Mustika Naga Hitam
tanztj
October 05, 2013
INDEX AJI SAPUTRA | |
Lembaran Kulit Naga Pertala --oo0oo Darah Penyambung Nyawa |
Pendekar Mata Keranjang 108
Karya : Dharma Patria
Penerbit : Cintamedia, Jakarta
--↨֍¦ SATU ¦֍↨--
Memang, sejak beberapa hari yang lalu sang surya seperti kehilangan keperkasaannya. Hujan turun terus-menerus tanpa henti bagai dicurahkan dari langit. Bumi hanya bisa pasrah, membiarkan permukaannya basah di sana-sini diguyur air dari langit.
Tapi, sejak dini hari, hujan telah berhenti. Meski demikian, hingga saat ini suasana masih remang-remang. Dalam keadaan seperti itu, setitik bayangan hitam yang terlihat bak sebuah kelereng meluncur dari lereng Bukit Camar. Titik hitam itu bergerak menuju ke lembah.
Titik hitam itu ternyata seorang pemuda berpakaian dua lapis. Yang luar berupa baju tangan pandek berwarna hijau. Sedangkan pakaian dalamnya berwarna kuning berlengan panjang.
Pemuda Itu berwajah tampan. Wajahnya penuh seri dan sepasang matanya berbinar-binar. Rambutnya dikuncir ekor kuda. Usianya tak lebih dari dua puluh tahun. Sungguhpun masih belia, si pemuda berkepandaian tak rendah. Gerakannya cepat bukan main. Malah, kecepatannya tak mengendur ketika berlari menuruni lereng menuju ke lembah. Medan yang curam dan licin karena curahan hujan tak ubahnya hamparan tanah datar saja.
Pemuda berambut dikuncir ekor kuda itu me lesat menuju ke mulut lembah, melalui jalan setapak yang berliku-liku. Kanan kiri jalan diapit oleh tabing batu yang menjulang tinggi bagaikan hendak menggapai langit. Di ujung lembah terdapat batu cadas yang luar biasa besar. Di sini, si pemuda jejakkan kaki sehingga tubuhnya melayang ke atas. Ketika luncuran tubuhnya terhenti, dia gunakan ujung kaki menotol sa lah satu tonjolan batu sehingga tubuhnya kembali meluncur ke atas. Kejap kemudian, sepasang kakinya telah hinggap di atas batu cadas yang tingginya sekitar dua belas tombak itu.
Pemuda berbaju hijau lengan pendek itu mengayunkan kakinya ke belakang batu cadas. Hanya dalam beberapa langkah dia telah berada di depan sebuah gua yang bergaris tengah kira-kira satu tombak. Di sini si pemuda menghentikan ayunan kakinya, dan mengarahkan pandangan ke gua. Tapi, yang terlihat hanya kegelapan.
"Kek...l" panggil pemuda berbaju luar kuning lengan panjang. Tidak keras.
Si pemuda menunggu. Namun, tak ada sahutan dari dalam gua. Yang terdengar oleh telinganya hanya kumandang panggilannya.
Pemuda berambut dikuncir ekor kuda itu garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Lalu, setelah beberapa saat tak juga ada sahutan, dia kembali buka mulutnya. Memanggil dengan suara yang lebih keras.
Tapi, seperti juga sebelumnya, tak ada tanggapan sama sekali dari dalam gua. Yang terdengar hanya gema ucapan si pemuda.Setelah itu, suasana kembail hening. Sunyi, seakan mati.
Kali ini pemuda berbaju hijau ketat itu tak sabar lagi. Dia berlari masuk ke dalam gua, melalui lorong yang agak berliku sejauh dua puluh tombak sebelum akhirnya tiba di bagian dalam gua yang agak luas.
Di salah satu sudut ruangan itu terdapat sebuah balai-balai dari batu. Si pemuda mengarahkan pandangan ke tempat itu. Karena, biasanya, sang penghuni gua duduk bersemadi di s itu. Tapi, sekarang balai-balai batu itu kosong.
Paras pemuda berambut dikuncir itu tampak tegang. Perubahan wajahnya terlihat cukup jelas karena bagian dalam gua itu cukup terang. Batang-batang obor yang bernyala di beberapa tempat pada dinding gua yang menyebabkan pemandangan di tempat itu cukup jelas.
Dengan raut wajah memancarkan ketegangan dan sorot mata menyiratkan kepanikan besar, si pemuda melesat ke ruangan lain di dalam gua itu. Dan, yang menyambutnya pertama kali adalah bau anyir darah yang menyergap hidungnya.
Hanya berbeda waktu sepersekian kejapan mata, pemuda itu telah terpaku di tampatnya. Tegak dengan mata membeliak besar dan mulut menganga lebar. Bola matanya tertuju ke lantai tanpa bergerak-gerak sama sekali.
Pemandangan yang tarlihat oleh si pemuda memang mengerikan . Lantai dalam ruangan yang seluruhnya terbuat dari batu itu telah berwarna merah oleh darah yang mulai membeku. Dan, di antara gelimangan darah itu, menggeletak sesosok tubuh ringkih yang tak bergerak-gerak.
Cukup lama pemuda berbaju hijau ketat seperti orang kehilangan akal, berdiri tegak dengan wajah pucat, mata membeliak, dan mulut menganga. Ketika tersadar, dia menubruk sosok yang tergeletak di lantai.
Tanpa membuang-buang waktu, si pemuda memeriksa detak jantung dan denyut nadi sang sosok yang berambut putih dan panjang. Hanya sebentar. Tapi, itu telah cukup baginya untuk mengetahui kalau nyawa sosok di lantai tak bisa diselamatkan lagi . Detak jantungnya sudah tak terdengar. Hanya nadinya yang masih berdenyut. Itu pun sudah lemah sekail dan tak beraturan. Pemuda berbaju luar hijau itu hembuskan napas berat yang sarat dengan perasaan duka sebelum tempelkan sepasang telapak tangannya pada dada sosok yang malang. Sosok itu ternyata adalah saorang kakek bertubuh kecil kurus, berambut panjang putih, dan berkaki sebelah. Kaki lainnya, yang kanan, buntung sampai sebatas lutut.
Si pemuda harus berhati-hati dan memilih ketika menempelkan sepasang tangannya. Karena, sekujur tubuh si kakek penuh dengan luka-luka tusukan. Darah yang telah mangering, membuat bekas luka itu terlihat mengerikan ! .
Walaupun demikian, karena terlalu banyaknya luka tusukan, sebagian telapak tangan pemuda berambut dikuncir ekor kuda itu, tetap mengenal bagian tubuh kakek berambut putih yang terluka. Si pemuda menguatkan hati untuk bersikap tak peduli, dan mulai mengerahkan hawa murni untuk meringankan penderitaan si kakek, sekaligus menyadarkannya.
Pemuda berbaju kuning lengan panjang ini tahu kalau tindakannya akan mempercepat kematian kakek berambut putih. Tapi, itu terpaksa dilakukannya. Karena, kendatipun dibiarkan, si kakek akan mati karena luka-lukanya yang terlalu parah. Mati tanpa sempat sadar lagi. Sedangkan pertolongan yang diberikan si pemuda, sungguhpun akan membuat kakek berkaki satu lebih cepat mati, tapi akan lebih dulu sadar dan mungkin dapat bicara untuk memberitahukan hal yang telah terjadi.
* * *
Waktu berlalu tanpa terasa. Pemuda berbaju hijau ketat tak tahu berapa lama dia telah kerahkan hawa murni ke tubuh kakek kecil kurus, dan tak mau tahu. Yang jelas, dia hentikan aliran tenaga dalam dan menarik tangannya, ketika merasakan gerakan pada tubuh si kakek. Paras si pemuda agak berseri ketika melihat sepasang mata kakek berkaki satu yang semula terpejam, mulai bergerak membuka. Dan, sorot mata tua yang telah hampir kehilangan cahaya kehidupannya itu, berseri ketika membentur wajah pemuda berambut dikuncir.
"Aji...," kakek berambut putih itu membuka mulutnya, mengeluarkan suara dengan susah-payah. Suaranya pelan. Kalau saja si pemuda tak memiliki pendengaran yang tajam, suara si kakek tak akan terdengar. Syukur kau keburu datang "
Pemuda berbaju kuning lengan panjang yang ternyata bernama Aji. Yang lengkapnya adalah Aji Saputra alias Pendekar Mata Keranjang 108, tersenyum pahit.
"Aku menyesal sekali datang tidak lebih cepat lagi, Kek. Kalau tidak, malapetaka yang menimpamu mungkin tak akan terjadi," racau si pemuda.
Kakek berkaki satu mencoba untuk tersenyum. Dia berhasil, meski yang tercipta tak terlalu indah.
"Kau tak perlu menyesal. Aji. Malah seharusnya kau bersyukur. Karena, bila kau datang lebih cepat lagi, bukan hanya aku yang akan celaka. Tapi, juga kau ! "
Ucapan penuh keyakinan kakek berambut putih, membuat Pendekar 108 penasaran bukan main. Dia usap-usap ujung hidungnya untuk menekan rasa tak sukanya. Lalu, Aji buka mulutnya siap untuk perdengarkan ucapan.
"Aji... kurasa lebih baik kita tak saling berbantah-bantahan mengenai hal ini. Ada hal penting yang Ingin kusampaikan padamu," selak kakek berkaki satu sebelum Pendekar 108 bicara. Terpaksa si pemuda katupkan kembali mulutnya kendati belum keluarkan ucapan.
"Kau tahu siapa aku, Aji?" tanya si kakek bernada menguji. Pendekar 108 gelengkan kepala, lalu berikan jawaban.
"Aku hanya tahu jati dirimu berdasarkan ceritamu pula, Kek. Kau adalah seorang tokoh sakti golongan hitam yang mengasingkan diri. Bosan dengan dunia ramai dan kesenangan dunia. Tapi, sayang beberapa orang kepercayaanmu tak suka dengan keputusan yang kau ambil. Mereka masih butuh pemimpin untuk menghadapi pentolanpentolan golongan putih."
"Orang-orang kepercayaanmu itu berusaha membujukmu untuk membatalkan maksud baikmu. Tapi kau bersikeras. Mereka mengalah juga akhirnya, dan mengubah permintaan. Tidak lagi membujukmu untuk batalkan niat menjauhi dunia ramai. Mereka minta kau wariskan beberapa ilmu-ilmu andalanmu untuk mereka pergunakan menghadapi pentolanpentolan golongan putih."
"Namun, lagi-lagi kau menolak perm intaan mereka. Karena, kau tak ingin ilmu-ilmumu dipergunakan untuk menyebar angkara murka. Keputusan yang kau ambil membuat orangorang kepercayaanmu murka. Mereka buat tantangan terhadap tokoh tertinggi golongan putih dan dengan mengatas namakan namamu. Di saat yang bersamaan, mereka kirimkan surat tantangan terhadapmu dengan meminjam nama dedengkot golongan putih. Mereka memang bermaksud mengadu kau dan tokoh sakti golongan putih."
"Maksud mereka ternyata kesampaian. Kau dan tokoh golongan putih itu terlibat pertarungan. Sayang, dedengkot golongan putih itu terlalu sakti. Kau berhasil dikalahkannya. Namun, sang pentolan pendekar itu tak membunuhmu. Dia meninggalkan kau yang tengah terluka."
Pendekar Mata Keranjang menghentikan penuturannya dulu karena didengarnya sang kakek menghembuskan napas berat. Malah, orang tua berambut pulih itu tundukkan kepala. Sikapnya menyiratkan penyesalan yang besar.
"Perlukah kuteruskan ceritaku, Kek ? !" Kakek berkaki satu menggelengkan kepala......
"Tidak perlu. Aji. Ceritamu masih panjang. Aku khawatir, tidak akan sempat mendengarkan semuanya. Waktuku amat terbatas. Lebih baik kuisi dengan pemberitahuan yang belum kau ketahui dan kau dengar."
Pendekar 108 tak bicara lagi. Pemuda Ini hanya usap-usap ujung hidung dengan tangan kirinya.
"Dengar baik-baik, Aji," ucap kakek berambut putih dengan suara yang semakin lirih.
Aji mengangguk. Kemudian dia menelengkan kepala seperti layaknya orang yang kurang mendengar.
* * *
"Aku merupakan tokoh hitam yang amat ditakuti. Tak terhitung tokoh-tokoh persilatan baik aliran hitam maupun aliran putih yang tewas di tanganku. Aku kejam dan telengas. Oleh karena itu aku mendapat julukan Penjagal dari Neraka."
"Sebuah julukan yang menyeramkan," kilah Pendekar 108 ketika si kakek hentikan cerita.
Pemuda berambut dikuncir ekor kuda itu sama sekali tak kaget mendengar sepak terjang si kakek yang berjuluk Penjagal dari Nereka itu. Karena, sabagian besar cerita kakek berkaki satu itu telah didengarnya. Hanya julukan si kakek yang belum diketahuinya.
"Nafsu angkara murka yang merajalela, membuatku banyak memiliki pengikut Beberapa di antaranya, menjadi orangorang kepercayaanku. Tapi, mereka pula akhirnya yang menghancurkan seluruh hidupku." Penjagal dari Neraka tundukkan kepala. Pendekar Mata Keranjang diam. Tak berkata apa pun, kendati sebenarnya apa yang diutarakan si kakek telah diketahuinya, karena sebelumnya telah pernah mendengarnya.
"Ketika aku terluka oleh dedengkot golongan putih lima belas tahun yang lalu, orang-orang kepercayaanku itu gunakan kesempatan bagus yang tercipta. Mereka mengeroyokku..Aku yang tengah terluka tak berdaya dan menjadi bulan-bulanan mereka. Untung, dengan sisa kemampuan yang kumiliki, aku berhasil kabur."
"Hanya karena keadiian Tuhan aku bisa selamat dan tinggal di sini bertahun-tahun. Menjadi pertapa. Terkadang, timbul dendam hebat terhadap orang-orang kepercayaanku, dan aku ingin membalas sakit hati ini. Tapi, aku tahu itu tak mungkin terlaksana. Karena luka-luka yang kuderita akibat pertarungan dengan dedengkot golongan putih, serta pengeroyokan orangorang kepercayaanku, menyebabkan sebagian besar kepandaianku musnah "
"Aku yang akan balaskan sakit hatimu, Kek," tandas Aji, mantap.
"Beritahukanlah padaku orang-orang yang telah melakukan tindakan keji terhadapmu."
Penjagal dari Neraka mengukir senyum di bibirnya, sebagai tanda terima kasih atas kesediaan Aji untuk membantunya.
"Aku gembira sekaligus terharu dengan maksud baikmu itu, Aji. Tapi, mungkin perlu kau ketahui mereka berkepandaian amat tinggi. Lima belas tahun yang lalu saja mereka jarang mendapatkan tandingan. Apalagi sekarang. Aku yakin, mereka telah mendapatkan kemajuan luar biasa. Karena, dengan tersingkirnya aku, mereka akan leluasa untuk mengangkangi dan memperebutkan kitab-kitab pusaka milikku."
"Sekalipun mereka sakti-sakti, aku tidak takut. Kek" tegas Pendekar 108, mantap.
"Lagi pula, aku yakin mereka tak akan bisa mengalahkanku dengan mudah ! " Penjagal dari Neraka tatap Pendekar 108 tepat pada bola matanya. Suaranya terdengar penuh kesungguhan ketika bicara.
"Di belahan dunia tempatmu berasal, tinggal, dan membuat nama besar, kepandaianmu mungkin jarang menemui tandingan, Aji. Tapi, di belahan dunia ini, orang-orang yang memiliki kesaktian sepertimu, amat banyak Malah, yang berkepandaian dua, tiga, empat atau lima kali lipat dan pada kepandaianmu pun tak terhitung."
Pendekar 108 melongo. Setelah garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal karena merasa heran dan tak percaya, pemuda ini keluarkan ucapan. Itu pun setelah terlebih dulu dengan susah payah menelan ludah untuk membasahi tenggorokan yang mendadak kering.
* * *
--↨֍¦ DUA ¦֍↨--
"Andaikata kau, dengan kapandaian setinggi ini bertemu denganku lima belas tahun lalu, dalam tiga jurus aku telah bisa robohkan kau tanpa melukai. Kalau untuk membunuhmu, mungkin tak sampai dua jurus ! "
Kali ini Pendekar Mata Keranjang tak hanya melongo. Tapi, terjingkat ke belakang saking kagetnya. Aji tahu, Penjagal dari Neraka tak berdusta. Kakek itu bicara sejujurnya. Oleh karena itu, Pendekar 108 mempercayainya. Dan, hal itu yang membuatnya terkejut besar.
"Kalau tingkat kepandaian Penjagal dari Neraka telah demikian luar biasa, bagaimana dengan dedengkot golongan putih yang mengalahkannya?! Mungkin dengan hanya kerdipkan mata atau senyuman, tokoh sakti itu telah mampu membinasakanku Gila ! Benar-benar gila ! " racau Pendekar Mata Keranjang dalam hati.
"Kalau menurut pendapatmu, apa yang harus kulakukan, Kek?l" Pendekar 108 yang bingung, akhirnya ajukan pertanyaan.
Penjagal dari Neraka tersenyum.
"Apakah kau telah lupa dengan tujuanmu semula muncari tempat ini, Aji ?! "
Pertanyaan kakek berkaki satu ini membuat Pendekar 108 tercenung. Pemuda ini jadi teringat akan penye-bab keberadaannya di tempat Ini. Mengingatkannya akan percakapannya dengan Setan Pesolek, beberapa waktu yang silam.
"Setan Pesolek. Aku m inta bukti kebenaran ucapanmu," kata Pendekar 108 waktu itu.
"Ucapanku yang mana, Aji?!" tanya Setan Pesolek dengan suara lembut seperti layaknya seorang wanita. Sambil bicara, dia menggerakkan tangannya pulang balik secara gemulai.
"Ucapanmu mengenal Lembaran Kulit Naga Pertala," jawab Pendekar Mata Keranjang dengan nada penasaran.
"Aku ingat betul. Waktu itu kau mengatakan kalau isi dari Lembaran Kulit Naga Pertala itu telah berada dalam diriku. Menurutmu, kelak akan tiba masanya Ilmu itu akan muncul bila kuperlukan. Tapi, nyatanya?! Beberapa kali aku hampir mampus namun Ilmu yang kabarnya dahsyat itu tak juga muncul! Apakah ilmu dahsyat pada Lembaran Kulit Naga Pertala itu hanya bohong belaka, Setan Pesolek?!" (Mengenal ucapan Setan Pesolek ini, silakan baca serial Pendekar Mata Keranjang 108 dalam episode: "Wasiat Sang Pendekar).
Setan Pesolek tak langsung menjawab. Lelaki yang bertingkah perempuan ini malah mengeluarkan cermin batunya. Kemudian merapikan rambutnya dengan gerakan lemah gemulai. Di lain kejap dia mendongak ke langit, dan perdengarkan ucapan.
"Pendekar 108. Terus terang, aku pun agak bingung dengan kenyataan yang kau alami. Mengapa Ilmu itu belum juga muncul, padahal beberapa kail kau hampir celaka karena mendapatkan lawan yang tangguh."
"Sampai sekarang pun aku belum jelas, Pendekar Mata Keranjang. Tapi, aku mendapatkan sesuatu yang aneh. Aku melihat sebuah pulau yang letaknya terpencil. Amat terpencil. Terpisah jauh dari daratan kita. Aku tak tahu pasti di mana adanya tempat itu. Mungkin ada di dasar bumi, di dasar laut, banyak kemungkinannya. Yang jelas, banyak hal yang aneh di sana."
"Pendekar Mata Keranjang. Aku meiihat adanya gambar seekor makhluk yang aneh. Makhluk itu berbadan kerbau dan berkepala naga. Apakah ini ada hubungannya dengan Lembaran Kulit Naga Pertala, aku masih belum jelas. Tapi, kemungkinan untuk itu bukannya tidak ada.".
Pendekar 108 hanya bisa menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal mendengar uraian Setan Pesolek.
Tapi, beberapa waktu setelah itu, karena dorongan ingin tahu, Pendekar Mata Keranjang memutuskan untuk pergi ke tempat yang dimaksud Setan Pesolek. Lelaki berpakaian perempuan itu pun memberikan petunjuk pada sang pendekar agar dapat tiba di pulau yang dimaksud.
Aji harus melaut. Melajukan perahunya terus ke utara. Tak berbelok-belok. Berhari-hari pemuda berambut dikuncir itu terombang-ambing di tengah laut, sebelum akhirnya badai muncul di hari ketujuh.
Pendekar 108 memang pendekar sakti. Kepandaiannya luar biasa tinggi. Tapi, apa daya seorang manusia, betapapun saktinya dibanding kekuatan alam?! Aji dipermainkan gelombang laut dan badai hingga tak sadar Ketika akhirnya sadar, pemuda Ini berada di balai-balau balu, milik Penjagal dari Neraka. Sang kakek yang menemukan tubuh Aji di pinggir laut dalam keadaan pingsan dan membawanya ke tempat tinggalnya. Kakek berkaki satu itu yang merawat Aji sampai akhirnya si pemuda tersadar setelah pingsan dan demam selama seminggu.
Pendekar Mata Keranjang 108 pun tinggal dan bergaul akrab dengan Penjagal dari Neraka. Mengatakan tujuannya, tapi tak menyinggung-nyinggung masalah makhluk aneh. Belakangan, Pendekar 108 tahu kalau tempatnya berada adalah tempat yang dicari-carinya.
Sayang, setelah beberapa hari tinggal, dan ketika Pendekar Mata Keranjang keluar gua untuk berburu, malapetaka ini terjadi. Penjagal dari Neraka didatangi orang dan dicelakai ! .
Sampai di sini, ingatan Pendekar Mata Keranjang membuyar. Dia menatap Penjagal dari Neraka, sesaat, sebelum akhirnya memberikan jawaban.
"Tentu saja aku tak lupa dengan tujuanku itu, Kek. Tapi "
"Tidak ada tapi-tapian, Aji. Kau harus mengutamakan apa yang menjadi tujuanmu lebih dulu!" tandas Penjagal dari Neraka, tegas.
"Aku aku masih belum tahu dari mana harus memulainya, Kek. Semuanya masih gelap," beritahu Pendekar 108, setengah mengeluh.
Penjagal dari Neraka menghembuskan napas berat. Dia bisa mengerti dan memahami kesulitan Pendekar 108.
"Kalau saja tahu, aku akan membantumu, Aji. Sayang... aku pun tak tahu. Tapi... tunggu sebentar... aku jadi teringat akan sesuatu. Mungkin saja benda ini dapat memberikan jawaban bagi masalahmu. Setidak-tidaknya mungkin ada hubungannya. Masalahnya, ilmu dan benda ini berasal dari binatang yang berjenis sama."
"Binatang?! Binatang apa, Kek?I" tanya Aji, Ingin tahu. Dada pemuda ini berdetak lebih kencang karena menyeruaknya sebuah dugaan di dalam benak.
"Mungkinkah yang dimaksud Penjagal dari Neraka adalah naga hitam?! Tapi..., benda apa yang berasal dari naga itu?"
"Naga hitam!"
"Naga hitam?!" ulang Pandekar 108 sambil garuk-garuk kepala.
"Namanya cukup menyeramkan! Bagaimana ciri-ciri binatang itu, Kek?! Di mana tempetnya berada?! Dan..., benarkah naga hitam itu seekor naga?! Menurut berita yang kusirap, naga hanya ada di negeri Cina. itu pun hanya tersiar. Lebih mirip dongeng daripada benar-benar ada."
"Naga hitam itu benar-benar ada, Aji. Memang, aku sendiri belum pernah melihatnya. Tapi, berita mengenai keberadaan binatang itu amat santer. Jadi, aku yakin kalau berita yang tersebar itu bukan isapan jempol belaka."
Aji diam. Tak memberikan sahutan sepatah pun. Tapi, batinnya bertanya-tanya.
"Naga Hitam?! Mungkinkah naga itu yang dimaksud Setan Pelet?!"
* * *
"Menurut berita yang tersiar, naga hitam itu diam di Gunung Nirwana. Tepatnya di sebuah danau yang amat luas di puncak gunung itu. Kabarnya, beberapa ratus tahun yang lalu, di atas puncak gunung itu tampak seekor naga. Melayanglayang di angkasa. Setelah kejadian itu, sang naga tak pernah muncul lagi."
Aji tetap tak bicara kendati Penjagal dari Neraka berhenti bicara. Tapi kendati mulutnya tak keluarkan sepatah kata pun, serangkaian kata-kata bergayutan di benak Pendekar 108.
"Kukira banyak saksi dan bukti-bukti yang menunjukkan keberadaan naga itu sehingga Penjagal dari Neraka ini kelihatan begitu yakin. Tak tahunya hanya selentingan berita dari masa ratusan tahun silam. Ini artinya berita tentang adanya naga itu hanya sekadar berita burung belaka."
"Beberapa bulan yang lalu, saat malam bulan purnama di pinggir danau puncak Gunung Nirwana kedengaran bunyibunyi aneh. Beberapa orang penduduk yang ingin tahu menyelidiki. Mereka terkejut ketika menjumpai seekor makhluk aneh di tepi danau. Makhluk itu berkepala naga dan berbadan kerbau."
"Makhluk itu berdiri di tepi danau. Kepalanya menghadap bulan sambil mengeluarkan dan menyedot sebuah benda bundar seperti balon dan berwarna merah. Benda itu adalah mustika sang binatang, Aji."
"Peristiwa itu segera menyebar pada para penduduk di sekitar Gunung Nirwana. Esok malam setelah kejadian itu, berbondong-bondong mereka pergi ke tepi danau untuk membuktikan kebenarannya. Tapi, makhluk itu tak mereka jumpai. Demikian pula malam-malam selanjutnya."
"Ternyata makhluk aneh itu hanya muncul pada saat bulan purnama. Rombongan penduduk itu melihatnya satu purnama setelah kejadian pertama. Berita pun menyebar dengan cepat. Tidak hanya ke penduduk, tapi juga ke dunia persilatan. Para penduduk menyebut binatang itu dengan nama 'Naga Hitam'."
"Mustika binatang itulah yang harus kau dapatkan, Pendekar Mata Keranjang. Apabila kau berhasil mendapatkannya dan menelannya, kau akan mendapatkan tambahan tenaga dalam yang dahsyat. Tambahan tenaga dalam yang hanya bisa kau peroleh bila kau berlatih pernapasan dan semadi belasan tahun!"
"Ah.. ! " Aji sampai terpekik karena tak kuasa menahan rasa kaget yang melanda.
"Sampai sedemikian hebatnya Mustika Naga Hitam itu, Kek?!"
"Benar, Pendekar Mata Kersnjang. Jadi, seandai-kata Mustika Naga Hitam itu tidak menyelesaikan masalahmu, setidak-tidaknya kau akan mendapatkan tambahan tenaga dalam yang luar biasa! Dengan sendirinya kepandaianmu akan meningkat. Karena, tingkat kepandaian seseorang ditentukan oleh tenaga dalamnya. Semakin kuat tenaga daiam, semakin tinggi tingkat kepandaian seseorang. Mutu ilmu kepandaian hanya memegang peranan kecil "
Pendekar 108 usap-usap ujung hidungnya. Dahi pemuda Ini berkerinyit karena berpikir keras.
"Bagaimana cara mendapatkan Mustika Naga Hitam itu, Kek?! Apakah sulit?!" tanya Pendekar 108, akhirnya.
"Tentu saja sulit, Aji. Karena di samping memikiran caranya untuk mengambil mustika itu dari sang naga hitam, kau pun harus menghadapi orang-orang persilatan yang menginginkan mustika itu."
Pendekar Mata Keranjang 108 manggut-manggut.
"Aku mengerti, Kek."
"Bagus. !" Penjagal dari Neraka keluarkan pujian untuk Aji.
Tapi, si pemuda tak menjadi gembira. Malah, cemas. Karena, kakek berkaki satu itu terlihat mulai payah. Napasnya tersengal-sengal.
Pendekar 108 tahu, saat akhir untuk Penjagal dari Neraka telah dekat. Jantungnya pun berdetak jauh lebih cepat karena rasa tegang yang melanda. Dia menunggu saat-saat kematian si kakek dengan hati trenyuh.
* * *
"Aji...." Suara Penjagal dari Neraka semakin lemah dan bergetar.
"Ya, Kek," sahut pemuda berambut dikuncir ekor kuda, cepat.
"Cepat ke ambang pintu ruangan ini."
Meski tak mengerti maksud perintah Penjagal dari Neraka, Aji tetap mematuhinya. Pemuda ini yakin, si kakek tak bermain-main dengan perintahnya. Rasanya tak mungkin di saat-saat terakhir hidupnya, Penjagal dari Neraka menyianyiakannya. Itu kesempatan terakhir.
"Mudah-mudahan saja kakek ini tak terganggu sarafnya akibat luka-luka yang diderita. Kalau benar dem ikian, sungguh sial aku! Dipermainkan oleh orang gila," Aji membatin seraya melesat ke tempat yang dimaksud.
"Melangkah ke kiri sebanyak dua puluh sembilan kaki," kata Penjagal dari Neraka, lagi.
Aji mulai mengerti kalau Penjagal dari Neraka ingin memberitahukannya sesuatu, atau malah memberinya sesuatu. Pendekar Mata Keranjang yakin kalau petunjukpetunjuk yang diberikan sang kakek sekarang, ada hubungannya dengan tempat rahasia. Mungkin tempat bendabenda pusaka, baik itu senjata pusaka maupun kitab-kitab yang berisi ilmu-iim u mukjizat.
"Hantam langit-langit gua di atas kepalamu," beri tahu Penjagal dari Neraka, ketika Aji telah bergerak ke kiri sejauh dua puluh sembilan kaki.
"ingat, pusatkan tenagamu sehingga bagian gua yang ambrol berbentuk lubang yang bergaris tengah dua kaki."
Pendekar 108 hanya menganggukkan kepala untuk menunjukkan kemengertiannya. Bagi pemuda berbaju hijau ketat itu apa yang diperintahkan Penjagal dari Neraka bukan merupakan sesuatu yang sulit. Dengan tenaga dalam yang dim ilikinya, Pandeker Mata Keranjang 108 dapat menujukan sasaran yang dikehendaki, tanpa mengganggu bagian yang lainnya.
Pendekar 108 kepalkan tangan kanannya. Kemudian, menghentakkannya ke langit-langit di atas kepalanya. Angin cukup keras menderu. Menggebrak. Terdengar bunyi cukup gaduh yang diikuti runtuhnya langit-langit gua.
Batu-batu sebesar kepalan berjatuhan ke tanah. Padahal, tepat di bawah langit-langit gua yang berguyuran itu, Aji tegak. Pemuda ini akan jadi sasaran pertama kali dari batubatu yang runtuh itu, sebelum akhirnya ambruk di tanah.
Aji tahu akan apa yang menimpanya. Tapi, dia tak bergeming dari tempat tegaknya. Seakan-akan tak peduli kalau tubuhnya akan terguyur hujan batu.
Namun, Pendekar 108 memang telah perhitungkan kejadian yang akan menimpanya dan persiapkan diri. Beberapa jari sebelum puing-puing batu langit-langit gua beserta debu-debunya mengenai tubuh Aji, benda-benda itu menyingkir. Seakan-akan di sekeliling tubuh pemuda murid Wong Agung itu ada benteng tak nampak yang membuat apaapa yang menggebrak ke arahnya melenceng sebelum mengenai sasaran.
Penjagal dari Neraka tak terlihat kaget melihat hal seperti ini. Dia tahu kalau Pendekar Mata Keranjang kerahkan tenaga dalam ke sekujur tubuh untuk membuat benda-benda yang meluncur ke arahnya melenceng sebelum mengenai sasaran.
Di lain pihak, Aji tak kecewa ketika melihat Penjagal dari Neraka bersikap biasa, tak kaget Pemuda berbaju kuning lengan panjang ini tak bisa berharap akan menimbulkan kekaguman pada si kakek. Karena, bagi kakek berambut putih itu apa yang dipertunjukkannya tak lebih dari permainan anakanak.
"Periksa puing-puing yang berhamburan. Aku yakin, tak semuanya batu. Pasti ada benda lainnya," terdengar oleh Pendekar 108, Penjagal dari Neraka kembali bicara.
Pendekar Mata Keranjang tak segera laksanakan perintah si kakek. Dia menunggu hingga debu-debu yang menghalangi pemandangan sirna. Baru setelah itu sepasang matanya diedarkan. Merayapi hamparan puing untuk menemukan sesuatu yang lain. Sesuatu yang bukan batu cadas.
Aji tak membutuhkan waktu yang lama untuk menemukan sesuatu yang diinginkannya itu. Benda yang bukan batu cadas itu terlihat menyolok, karena berupa gulungan daun lontar sepanjang dua kaki lebih. Tidak mampu terhalang oleh batubetu sebesar kepalan manusia.
Tapi, saat Aji hendak bergerak untuk mengambil gulungan daun lontar itu, terdengar pekikan tertahan.
Pendekar 108 terpaksa batalkan maksudnya. Dia tolehkan kepala menatap Penjagal dari Neraka. Orang yang keluarkan pekikan.
Kakek berambut putih itu tak balas menatap si pemuda. Memang sepasang mata tuanya membeliak besar, tapi sudah tak ada sinar kehidupannya sama sekali. Mulutnya menganga lebar. Tubuhnya tergolek diam, tidak bergerak-gerak lagi. Penjagal dari Neraka telah mati ! .
Aji hanya dapat hembuskan napas berat dan tundukkan kepala untuk menunjukkan rasa duka citanya.
"Kek...," pemuda berambut dikuncir ini bicara dalam hati.
"Kau boleh katakan kalau dirimu bukan orang suci. Tapi, aku punya hutang padamu. Hutang budi. Aku akan berusaha untuk membayarnya, Kek. Aku berjanji, apabila telah berhasil mendapatkan Mustika Naga Hitam dan memecahkan masalahku, orang-orang kepercayaanmu yang berkhianat akan kucari. Bahkan pontolan golongan putih yang mengalahkanmu pun ku-temui pula nanti. Ingin kubuktlkan ketinggian kepandaian sang dedengkot itu."
Usai bicara tanpa kata-kata itu, Pendekar Mata Keranjang 108 ayunkan kaki hampiri mayat Penjagal dari Neraka. Dia bermaksud untuk mengubur mayat itu secara layak.
* * *
--↨֍¦ TIGA ¦֍↨--
Ganasnya terpaan sinar matahari juga menggebrak Gunung Nirwana. Panas menyengat kulit. Permukaan tanah yang beberapa hari sebelumnya diguyur curah hujan dan becek, sekarang telah mulai mengering. Malah, pada beberapa tempat tak ada tanda-tanda kalau permukaan tanahnya pernah terguyur hujan!
Di jalan tanah cukup lebar di kaki Gunung Nirwana, Aji ayunkan kakinya lambat-lambat Pemuda ini berjalan sambil menolehkan kepalanya ke kiri dan ke kanan seperti orang yang tengah menikmati keindahan pemandangan di sekelilingnya.
Wajah pemuda berbaju hijau ketat itu tampak berseri-seri. Sepasang matanya bersinar-sinar. Kelihatan Jelas kegembiraannya. Perasaan duka akibat kematian Penjagal dari Neraka telah tak tampak lagi. Telah sirna. Pendekar 108 memang seorang pemuda yang berwatak periang. Rasa sedih dan duka tak pernah singgah lama dalam dirinya.
Aji tetap lanjutkan tingkahnya itu kendati sayup-sayup mendengar bunyi langkah seekor kuda yang tengah berlari. Mula-mula pelan. Kemudian mengeras. Pendekar 108 pun segera tahu kalau binatang tunggangan itu semakin mendekatinya.
Dari bunyi derap kaki kuda yang terdengar olehnya, Pendekar Mata Keranjang tahu kalau binatang itu telah tak jauh di belakangnya. Namun, si pemuda bersikap tak peduli. Dia tak menoleh sama sekali, bahkan ketika menyingkir ke pinggir untuk memberi jalan pada penunggang kuda itu.
Kuda yang berada beberapa tombak di belakang Pendekar Mata Keranjang memang terus berpacu. Malah dengan kecepatan yang menggila secara mendadak.
Di lain pihak, kendati kelihatan tak peduli. Aji memusatkan seluruh perhatian pada pendengarannya. Pemuda berpakaian dalam lengan panjang warna kuning itu bersiap-siap terhadap serangan mendadak dari sang penunggang kuda.
Ketika pendengarannya yang tajam menangkap adanya perubahan laju sang kuda, urat-urat saraf Pendekar Mata Keranjang menegang. Si pemuda telah bersiap untuk menghadapi kemungkinan yang tak diharapkan.
Tapi, kecurigaan Pendekar 108 langsung memupus ketika sang kuda terus melaju ke depan, melewatinya.
Dengar ekor matanya, pemuda murid Wong Agung ini sempat melihat kuda dan penunggangnya kendati hanya sekilas. Kuda itu berwarna coklat putih. Sedangkan sang penunggangnya mengenakan pakaian merah muda!
Kecurigaan Aji memang memupus. Namun, kejap kemudian, berganti kejengkelan. Karena, kuda coklat putih itu tak terus melainkan dihentikan sekitar satu tembak di depan Pendekar Mata Keranjang 108. Dihentikan secara tiba-tiba, sehingga membuat kaki depan sang kuda terangkat tinggitinggi ke udara. Debu pun mengepul tinggi ke udara, membubung dan menghambur kearah Aji yang berada di belakang kuda coklat putih itu. Pendekar Mata Keranjang 108 yang tak menyangka kejadian seperti itu, terlambat bertindak. Debu telah lebih dulu mengungkungi sekujur tubuhnya. Mengotori rambut dan pakaiannya. Memang, hanya sesaat karena si pemuda segera kerahkan tenaga daiam, membuat debu-debu itu berpentalan dari rambut dan pakaiannya.
Sungguhpun demikian, gangguan tak menyenangkan itu, membuat Aji merasa jengkel.
Pemuda berambut dikuncir ini telah siap untuk memuntahkan kemarahannya. Tapi, mulutnya yang telah membuka lebar jadi urung melontarkan ucapan. Sepasang matanya yang membeliak besar dengan sorot yang sarat dengan amarah, langsung melembut secara tiba-tiba ketika melihat perawakan sang penunggang kuda secara agak jelas.
Memang, Aji belum melihat sosok berpakaian merah muda yang duduk tegak di atas punggung kuda. Yang dilihat pemuda berwatak urakan itu baru bagian belakang sosok merah. Sosok yang ramping pinggangnya, tapi bulat penuh pinggulnya. Sosok yang segera dapat diketahui oleh Pendekar Mata Keranjang secara cepat sebagai sosok yang dimiliki oleh seorang perempuan muda yang sudah pasti berparas cantik.
Karena yakin akan dugaannya, Pendekar 108 tak |adi melampiaskan amarahnya. Malah, pemuda ini telah bersiapsiap untuk menghadiahkan senyuman paling manis yang dapat dibentuknya, sapaan paling menyenangkan yang akan dilontarkannya, dari Aji telah ber siap memasang wajahnya semenarik dan semenyenangkan mungkin !
* * *
" Ah...!"
Seruan tertahan yang sarat dengan perasaan kaget itu terlontar dari mulut Aji ketika sosok berpakaian merah itu melompat turun dari punggung kuda dan membalikkan tubuhnya ke arah Aji. Sosok berpakaian merah yang mampu turun dari punggung kuda dengan gerakan indah dilihat dan kelihatan ringan itu, ternyata adalah seorang yang berwajah luar biasa jelek ! .
Pendekar 108 sendiri, sampai mundur setindak karena kagetnya. Sepasang matanya yang besar, menyiratkan rasa kaget dan tak percaya akan apa yang terpampang di depan matanya. Pendekar Mata Keranjang seperti orang kesima.
Sosok berpakaian merah itu memang berparas amat jelek, kendati bentuk tubuhnya menggiurkan hati. Kulit wajahnya hitam, kasar, dan penuh benjolan-benjolan kecil, m irip kulit buaya. Sebagian kecilnya dipenuhi lubang-lubang kecil menghitam bekas luka yang sembuh tak sempurna. Sepasang matanya besar sebelah. Bibirnya terlihat lebih mengerikan karena membengkak besar seukuran kepala bayi, merah, dan menonjol keluar. Kesan keseluruhan, sosok berpakaian merah muda itu menyeramkan dan menjijikkan!
Wanita berpakaian merah muda tentu saja dapat melihat keterkejutan Aji. Karena memang sangat jelas. Dia pun sempat melihat senyum dan seri sepasang mata si pemuda tampan, sebelum akhirnya lenyap berganti keterkejutan dan kengerian. Sungguhpun demikian, si perempuan mampu bersikap tak peduli. Paras wajahnya yang buruk tak menampakkan gambaran perasaan apa pun.
"Aku hendak bertanya padamu," sepasang bibir yang mengerikan milik wanita berbaju merah, berkemik pelan. Nadanya datar dan dingin.
"Tanyalah. Bila aku tahu akan kujawab," jawab Aji hampir tanpa gairah. Kepiawaiannya dalam menghadapi perempuan, lenyap begitu saja bagaikan asap tertiup angin.
Pemuda berambut dikuncir ekor kuda itu tak pikirkan lagi rasa jengkel yang tadi menderanya. Tak pedulikan lagi perasaan-perasaan lain yang sebelumnya menyeruak. Yang diinginkan pemuda ini hanya satu. Perempuan berparas buruk ini segera angkat kaki dari depan hidungnya. Ada rasa tak nyaman yang melanda bagian dalam dadanya ketika melihat paras sang wanita.
"Aku yakin kau tahu," dengus perempuan berbaju merah dengan nada yakin.
"Kalau tidak, untuk apa kau berada di daerah ini?!"
Aji merasakan detak jantungnya bertambah cepat karena rasa tegang yang mencuat. Tapi, dia masih mampu untuk menguasai perasaan. Sehingga apa yang bergolak di hati tak nampak di wajah maupun di sikap.Bahkan suara si pemuda tetap tenang ketika bicara.
"Tak usah bertele-tele, Nona. Kalau memang ingin bertanya. Cepatlah ajukanl Ka lau kau ingin berdebat aku akan pergi dari tempat ini!"
Di mulut Aji berkata begitu. Tapi, di dalam dadanya, di hatinya, perkataan yang keluar berlainan.
"Aku harus hati-hati. Aku yakin, keberadaannya di tempat ini karena mendengar berita santer tentang naga hitam. Bila itu benar, berarti aku telah punya seorang saingan. Entah dari golongan mana dia berasal. Hitam atau putih."
Perempuan berparas buruk membeliakkan sepasang matanya. Rupanya ucapan Pendekar Mata Keranjang 108 membuatnya tersinggung.
"Mulutmu tak kenal aturan. Sobat. Lancang. Aku tahu, kau tak suka lama-lama di dekatku dan bicara, karena parasku yang buruk! Begitu bukan?! Kalau saja aku cantik, keadaan akan menjadi lain. Bagaimana?! Apakah ucapanku salah?!"
Aji tertegun. Dia tak menyangka kalau si perempuan akan bicara seperti itu. Pembicaraan yang sama sekali tak keliru. Seketika pemuda ini sadar akan kesalahan sikapnya.
"Perempuan ini benar. Aku telah bersikap kasar padanya, karena dia berwajah buruk. Kalau wajahnya cantik, sikapku tak akan seperti itu. Padahal, aku yakin dia pun tak menyukai parasnya itu bukan keinginannya, tapi kehendak Tuhan ! Betapa tidak adilnya aku menilai dan bersikap terhadap seseorang dengan melihat parasnya...," Aji membatin.
Seusai bicara dalam diam, dan menyadari ketidak patutan sikapnya, Pendekar 108 mengukir senyum manis di mulutnya. Lalu, dia bicara dengan nada yang jauh lebih lembut daripada sebelumnya.
"Ucapanmu memang tak salah, Nona. Aku telah bertindak keliru. Mulutku tak tahu aturan dan lancang. Sekarang aku telah sadar berkat petuahmu. Aku mohon maafmu. Sekaligus aku berterima kasih atas nasihat yang kau berikan."
Sekarang, ganti perempuan berbaju merah yang melongo. Rupanya dia tak menyangka akan mendapat tanggapan seperti itu dari Aji.
"Aku tak bisa menerima permohonan maaf dan terima kasihmu, Sobat. Ucapanmu tadi memang agak lancang. Tapi, sama sekali tak membuatmu punya kesalahan besar terhadapku. Sikap dan ucapan seperti itu tak aneh bagiku. Maksudku..., aku selalu mendapatkannya di mana-mana. Setiap orang yang kutemui, apalagi seorang pemuda, akan bersikap dan berbicara seperti kau tadi. Malah, banyak yang lebih keras. Kau terhitung seorang pemuda yang baik hati. Hampir tak pernah kujumpai orang yang langsung sadar dari kesalahan sikapnya ketika kukatakan pernyataan yang sama. Malah, banyak yang marah "
"Mungkin aku termasuk orang yang tak marah ketika kau utarakan paras buruk dan cantik yang menjadi penyebab timpangnya perlakuan yang diterima. Tapi, itu tak berarti aku tak punya salah padamu. Aku telah menghinamu dan berlaku kasar itu kesalahanku !. Dan untuk itu aku minta maaf." Perempuan berbaju merah hanya perdengarkan gumaman tak jelas ketika Aji hentikan ucapannya untuk mengambil napas.
"Sedangkan ucapan terima kasih yang kuaturkan padamu karena memang sebenarnya aku merasa berterima kasih. Kau telah membuka mata hatiku dan menyadarkanku dari kesalahan sikapku. Jadi, kau terima atau tidak, aku tetap aturkan permintaan maaf dan ucapan terima kasih."
"Kalau begitu maumu, terserah," si perempuan mengalah seraya angkat kedua bahunya. Pasrah.
"Tapi yang jelas, aku tak pernah menganggap kau punya salah. Apalagi sampai berikan nasihat. Aku tak bisa terima itu."
Pendekar Mata Keranjang hanya bisa cengar-cengir sambil usap-usap ujung hidungnya.
"O ya, hampir aku lupa," kata si pemuda ketika teringat. Dia menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
"Kau belum ajukan pertanyaan, Nona."
Perempuan berwajah buruk mengangguk.
"Aku memang belum ajukan pertanyaan lagi. Tapi, bukan karena lupa. Kau yang mengalihkan percakapan," bantahnya.
"Aku tak bermaksud alihkan percakapan, Nona. Hanya saja, tanpa sengaja pokok permasalahan itu telah berubah. Tapi, sekarang, kita kembalikan masalah pada yang seharusnya. Apa yang tadi hendak kau tanyakan, Nona?!"
Perempuan berpakaian merah tak langsung ajukan pertanyaan. Dia malah menatap Aji lekat-lekat .
"Kau tahu ke mana arah yang harus kutempuh agar bisa tiba ke danau yang berada di puncak Gunung Nirwana?!"
Si perempuan telah mengajukan pertanyaan secara hatihati. Suaranya pun pelan. Tapi, Pendekar 108 tetap terjingkat ke belakang. Padahal, pemuda ini telah menduga pertanyaan yang akan ditujukan padanya.
"Kau kelihatan terkejut sekali, Sobat. Ada yang salah dengan pertanyaanku?!"
"Tidak," jawab Aji seraya menggelengkan kepala.
"Tidak ada yang salah sama sekali."
"Lalu..., mengapa kau kelihatan terkejut sekali?!" Aji garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
"Perlukah kepura-puraanmu itu kau lanjutkan, Nona?!
Kurasa lebih enak dihentikan. Kita bicara terus terang saja. Terbuka. Kalau kau masih ragu, aku yang akan memulai. Secara jujur kukatakan aku tak terlalu kaget mendengar pertanyaanmu karena memang telah menduganya dulu sebelumnya. Dan, aku yakin, kau tahu mengapa aku terkejut!"
"Apakah kau punya tujuan yang sama denganku?!" si perempuan berbaju merah muda, menyeletuk.
Pendekar Mata Keranjang 108 mengangguk.
"Aku hendak menuju danau di puncak Gunung Nirwana. Sama sepertimu, Nona. Bahkan aku yakin kalau tujuan kita pun tak beda. Aku hendak berusaha untuk mendapatkan Mustika Naga Hitam yang ada di danau itu."
Perempuan berwajah buruk menghembuskan napas berat .
"Kita punya tujuan dan kepentingan yang sama. ini membuatku tak merasa nyaman. Karena, hal ini menjadikan kita berada di pihak yang bertentangan. Kita jadi saingan. Lawan."
"Kurasa tak sampai separah itu, Nona," kilah Aji, tak setuju seratus persen dengan pendapat si wanita.
"Mungkin kita harus bersaing untuk mendapatkan Mustika Naga Hitam itu demi kepentingan sendiri-sendiri. Tapi, perlu kutekankan, Nona. Apabila kau telah lebih dulu mendapatkan benda itu aku tak akan merampasnya. Aku berjanji."
Perempuan berbaju merah tersenyum. Tapi, karena bentuk bibir miliknya yang mengerikan, senyum yang terbentuk tak bagus dipandang. Lebih mirip seringai menyeramkan dedemit atau makhluk halus menyeramkan lainnya.
"Terima kasih atas kebaikan hatimu, Sobat. Tapi, perlu pula kau dengar tekadku. Aku pun tak akan merampas apabila kau yang telah lebih dulu dapatkan mustika itu."
"Terima kasih atas kesediaanmu, Nona." Si perempuan menganggukkan kepalanya.
"Sekarang. Bisakah aku dapat keterangan jalan untuk menuju ke puncak Gunung Nirwana itu?!"
"Tentu saja, Nona," tandas Pendekar Mata Keranjang 108, mantap.
"Kau ingin jalan setapak atau yang dapat kau lalui bersama kudamu?!"
Perempuan berbaju merah mengernyitkan dahinya sebentar untuk berpikir.
"Aku tak sampai hati meninggalkan kudaku di tengah jalan. Dia telah banyak menolongku. Jadi, aku memilih jalan yang bisa dilalui oleh kuda."
Tanpa banyak pikir lagi, Aji segera beritahukan jalan-jalan yang harus ditempuh. Malah, pemuda ini terpaksa buat guratan-guratan di tanah ketika wanita berbaju merah masih belum merasa jelas dengan keterangan yang diberikan.
Pendekar 108 tak mendapatkan kesulitan untuk menjelaskannya secara terinci. Karena, Penjagal dari Neraka telah tinggalkan peta mengenai Gunung Nirwana. Peta yang lengkap dan terinci jelas.
* * *
--↨֍¦ EMPAT ¦֍↨--
Bulan purnama yang dinanti-nanti dengan penuh harap oleh tokoh-tokoh persilatan yang saat ini telah berada di puncak Gunung Nirwana. Lebih tepatnya lagi, di sekitar danau! Sebagian besar di antara mereka, baik sendiri-sendiri maupun berkelompok, bersembunyi di balik pohon-pohon besar di sekitar danau. Sisanya mengintai dari balik gundukan batu yang ada.
Sebentar-sebentar tokoh-tokoh persilatan yang berjum lah puluhan, bahkan mungkin ratusan ini, mengarahkan pandangan ke danau luas yang menghampar di depan. Di kejap lain, kepala mereka tertengadah, menatap bulan! Masing-masing orang tak sabar menunggu keluarnya naga hitam.
Di antara sekian banyaknya kepala, kepala Aji termasuk salah satu di antaranya. Si pemuda telah beberapa kali menengadahkan kepala, menatap bulan.
"Menurut keterangan Penjagal dari Neraka, bila bulan te lah cukup tinggi, sang naga akan keluar dari persembunyiannya dan memainkan must ikanya. Tapi, sampai set inggi mana bulan itu tampak?! Apakah harus sampai berada tepat di atas kepala?!" Aji membatin, tak sabar.
Seperti menyambuti gerutuan hati Pendekar 108, permukaan tanah bergetar. Berbareng dengan itu terdengar bunyi seperti lenguh kerbau tapi agak aneh, dan bagaikan berasal dari tempat yang jauh.
Getaran dan suara itu bukan hanya Aji yang menangkapnya. Semua orang yang berada di situ, tahu pula. Seketika itu pula, perasaan tegang pun menyeruak. Mereka tahu, saat-saat kemunculan telah semakin dekat. Setiap tokoh persilatan bersiap-siap untuk menghadapi segala kemungkinan yang tak diharapkan.
Keadaan jadi terasa menegangkan. Sebagian besar tokoh persilatan masih mampu untuk bersabar, menunggu naga hitam keluar dari persembunyiannya. Tapi, sekelompok kecil telah tak mampu menahan sabarnya.
Orang yang tak sabar itu, menyeruak dari kerimbunan semak-semak di sebelah kiri danau. Tanpa pedulikan tokohtokoh lainnya, sosok yang ternyata adalah wanita berpakaian merah muda dan berparas buruk itu, melangkah menuju ke danau.
Tindakan perempuan buruk rupa itu menarik perhatian hampir semua tokoh persilatan yang berada di sekitar danau. Sebagian besar merasa geram dan jengkel pada si wanita. Karena tindakannya itu dapat membuat naga hitam tak jadi keluar dari sarangnya. Jika itu terjadi, semua jerih payah mereka sia-sia.
Tokoh perailatan lainnya malah ada yang berpikiran terlalu panjang. Tindakan perampuan berbaju merah membuat mereka khawatir sekali. Cemas akan keduluan oleh si wanita. Oleh karena itu, belum lama perempuan baju merah keluar, dari balik pohon di sebelah timur danau, menyeruak seorang lelaki berjubah ungu.
DI saat yang hampir bersamaan dari atas cabang pohon di sebelah tenggara, melesat sesosok bayangan putih yang kemudian menjejak tanah tanpa bunyi. Tindakan tokoh-tokoh persilatan yang tak sabaran itu, membuat tokoh-tokoh lainnya yang semula bermaksud menunggu perkembangan, jadi blingsatan. Seolah-olah mereka duduk di atas bara. Panas dan tak nyaman. Mereka bingung tak tahu harus bertindak bagaimana untuk beberapa saat lamanya.
Aji tak mau ketinggalan tampakkan diri. Ketika wanita berbaju merah mengarahkan pandangan ke tempatnya, pemuda berambut dikuncir ini keluar dari tempat persembunyiannya sambil tersenyum dan anggukkan kepala.
Si wanita balas anggukkan kepala, tersenyum, dan bahkan melambaikan tangan.
Tindakan si wanita tak luput dari perhatian banyak tokoh persilatan. Sebagian besar tak ambil peduli. Tapi, ada beberapa gelintir yang blingsatan seperti cacing diletakkan di abu panas. Mereka adalah dua orang pemuda yang samasama mengenakan pakaian biru. Di pinggang masing-masing tergantung pedang.
* * *
Dua pemuda berbaju biru yang bersembunyi di balik gundukan batu besar, saling pandang.
"Kau yakin kalau wanita itu adalah Kumala Sari?!" sa lah seorang di antara mereka, yang bertubuh pendek kekar, bicara.
Pemuda yang diajak bicara, yang bertubuh tinggi kurus, balas menatap wajah kawannya.
"Aku tak yakin, Banggala," timpal si tinggi kurus, akhirnya.
"Tapi, aku punya dugaan kuat kalau wanita Itu adalah Kumala Sari. Adik seperguruan kita yang cantik."
"Apa alasanmu, Suta?!" Banggala kembali bertanya.
"Sebelum kuberikan alasanku, aku ingin tahu alasanmu. Banggala."
"Potongan tubuhnya, Suta. Potongan tubuh perempuan itu kuyakini betul sebagai potongan tubuh Kumala Sari. Adik seperguruan kita yang manis. Mengenal wajahnya yang buruk dan pakaian merahnya, kurasa bukan masalah besar. Hanya tinggal berganti pakaian dan kenakan topeng seram. Sederhana bukan?!"
"Aku setuju dengan pendapatmu, Banggala," Suta berikan dukungan.
"Aku juga yakin kalau perempuan itu adalah Kumala Sari. Tidak salah lagi! Dia boleh menyamar seribu kali sehari. Kenakan ratusan warna dan model pakaian. Lekatkan segala macam bentuk dan ukiran topeng. Tapi, semua itu tetap tak bisa mengelabui aku."
Banggala menatap Suta dengan sorot mata kurang percaya. Yang ditatap, agak tersinggung karena merasa tak dipercaya. Oleh karena itu, nada suaranya agak keras ketika bicara lagi.
"Aku tak hanya bicara besar, Banggala. Aku punya patokan yang membuatku dapat mengetahui seseorang itu Kumala Sari atau bukan ! "
"Begitukah?!" Banggala masih kurang percaya.
"Boleh kutahu bagiamana kau bisa demikian yakin dengan patokanmu? Dan, menurut patokanmu, perempuan berpakaian merah itu adalah Kumala Sari?!"
"Benar, Banggala. Perempuan itu adalah Kumala Sari. Aku hafal betul gaya dan cara jalannya," jawab Suta, panjang lebar.
Banggala tak mengajukan pertanyaan lagi. Di sebelahnya, Suta tak bicara lagi. Suasana jadi hening sesaat. Sesaat karena Banggala melihat perempuan baju merah yang mereka duga adalah Kumala Sari tengah tersenyum, menganggukkan kepala, dan melambaikan tangan. Perasaan penasaran dan tak suka yang besar melanda hati Banggala dan Suta. Sebabnya, pemuda-pemuda ini samasama menyukai Kumala Sari. Sayangnya, si gadis terlalu angkuh. Kumala Sari tak melayani hasrat-hasrat cinta saudarasaudara seperguruannya. Jangankan membalas cinta, beramah tamah dengan mereka pun, Kumala Sari hampir tak pernah. Sekarang, gadis itu kelihatan begitu ramah. Keramahan yang ditujukan pada seseorang. Siapa yang tak menjadi dongkol?! .
Rasa tak senang semakin berkobar bahkan bercampur dengan benci ketika Suta dan Banggala melihat orang yang mendapat kehormatan dihargai demikian rupa oleh wanita baju merah yang mereka yakini adalah Kumala Sari.
Suta dan Banggala saling pandang sejenak sebelum akhirnya meiangkah keluar dari tempat persembunyian nya. Arah yang mereka tuju amat pasti. Tempat wanita berpakaian merah tegak.
Di lain pihak, wanita berparas buruk, seperti tak tahu akan adanya orang yang menghampirinya. Wanita itu tegak dengan sepasang tangan terlipat di depan dada. Sedangkan pandangannya tertuju ke permukaan danau. Menunggu keluarnya naga hitam.
Wanita berparas buruk ini tak sendirian berada di dekat danau. Lelaki berjubah ungu, dan sosok berpakaian putih yang ternyata adalah seorang kakek yang di samping berpakaian putih, juga mengenakan ikat kepala warna putih. Ketiga sosok ini yang berada paling dekat dengan danau ketimbang tokohtokoh persilatan lainnya.
* * *
"Kumala Sari...!" Suta berseru memanggil ketika telah berada beberapa tombak di belakang wanita berpakaian merah. Suta telah perhitungkan masak-masak. Dia tahu, orang yang menyamar menjadi orang lain, terkadang lupa, sewaktu seseorang memanggil nama aslinya, secara otomatis, orang itu menoleh. Suta gunakan siasat seperti itu.
Banggala tahu maksud Suta. Dia pun diam. Ingin tahu bagaimana kesudahannya. Pemuda ini memang masih belum yakin kalau wanita berparas buruk itu adalah Kumaia Sari.
Keraguan Banggala semakin membesar ketika si wanita tak tunjukkan tanggapan apa pun atas panggilan Suta. itu artinya, wanita itu tak tahu kalau dirinya dipanggil.
Berbeda dengan Banggala, Suta belum putus asa. Pemuda pendek kekar ini tak menjadi kecil hati kendati panggilannya tak mendapat hasil seperti yang diharapkan. Suta memang tak terlalu berharap usahanya berhasil. Karena, pemuda ini tahu apabila wanita berbaju merah cukup cerdik dan sempat teringat, dia tak akan pedulikan panggilan itu.
Oleh karena itu, Suta memutuskan untuk melaksanakan rencana lain yang memang telah dipersiapkannya. Pemuda tinggi kurus ini mengerling Banggala, berikan isyarat untuk mengikuti rencananya. Banggala mengangguk, tanda menyetujui meskipun belum tahu pasti akan hal yang hendak diperbuat oleh rekannya.
"Bocah tak tahu diri...! " seru Suta, lantang dan keras seraya mengarahkan pandangan pada Aji.
"Keluar kau...! Tunjukkan pada kami kalau kau bukan seorang pengecut yang hanya berani pada perempuan muda yang menjadi adik seperguruan kami!"
Sekarang Banggala baru mengerti jalan pikiran rekannya. Dia pun ikut buka mulut, perdengarkan ucapan yang tak kalah lantang.
"Anjing kecil! Orang seperti kau berani mengganggu adik seperguruan kami! Sungguh tak tahu malu!"
Pada saat yang bersamaan dengan terkatupnya mulut Benggala,Suta melangkah lebar-lebar menghampiri Aji. Banggala mengikuti tindakan rekannya dengan sikap tak kalah garang. Sedangkan Pendekar 108, yang semula belum yakin kalau dirinya yang dimaksud, sekarang baru mengerti kalau pemuda-pemuda berpakaian biru itu marah-marah padanya.
"Apakah perempuan berpakaian merah itu yang mereka maksudkan sebagai adik seperguruan mereka?! Bila benar, kapan aku mengganggunya?! Ataukah..., mereka telah salah paham dan salah mengenali orang?!" racau Aji dalam diam seraya tegak di tempatnya semula dengan pandangan tertuju pada Suta dan Benggala.
"Apa yang kalian maksudkan?! Aku masih belum mengerti! Ataukah kailan telah salah mengenali orang," kata Aji, sekenanya.
"Kami tak salah paham apalagi sampai keliru mengenali orang. Jelas-jelas kami lihat kau telah berani bersikap kurang ajar pada Kumala Sari. Adik seperguruan kami, yaitu wanita berpakaian merah muda."
"Begitukah?l" Pendekar 108 yang mulai jengkel mendapat perlakukan tak sopan, memberikan tanggapan seenaknya. Nadanya pun, menantang.
"Lalu..., kalian mau apa?!"
Suta mengepalkan jari-jari tangannya sehingga terdengar bunyi bergemeretakan nyaring. Dadanya pun dibusungkan ketika bicara. Tapi, karena tubuhnya yang kurus tetap saja dadanya tak membusung.
"Hendak memberikan pelajaran kepadamu, Bocah Tak Tahu Diri! Agar lain kali kau tak mengulangi kekurangajaranmu!"
Aji cengar-cengir seraya usap-usap ujung hidungnya.
"Orang-orang seperti kalian hendak memberikan pelajaran padaku?!" tanyanya dengan nada meremehkan.
Jawaban Pendekar 108 membuat dua pemuda berpakaian biru itu murka bukan kepalang.
Mereka merasa diremehkan. Hampir berbareng keduanya meluruk ke arah Pendekar Mata Keranjang. Seketika itu pula, berpasang-pasang mata yang sejak terjadinya ketegangan antara dua pemuda berbaju biru dan Aji, membagi perhatian pada mereka, sekarang semakin perhatikan mereka. Tentu saja dengan tidak meninggalkan perhatian pada danau dan bulan di langit.
* * *
--↨֍¦ LIMA ¦֍↨--
Suta melompat ke atas, kemudian menukik turun ke arah Aji seperti layaknya seekor garuda menyambar mangsanya. Pemuda tinggi kurus ini mengirimkan serangan berupa cengkeraman pada ubun-ubun dan pelipis Pendekar 108. Dua serangan yang berbahaya dan mematikan.
Sedangkan Banggala menggulingkan tubuhnya ke depan mendekati Pendekar Mata Keranjang. Ketika telah berada dekat si pemuda, dia bangkit seraya melancarkan tusukan jari tangan terbuka ke arah ulu hati dan pusar.
Aji mendapat serangan berbarengan dari atas dan bawah. Serangan-serangan mematikan yang dapat mengirim nyawanya ke neraka. Tapi, Pendekar Mata Keranjang tak menjadi gugup karenanya. Dia melempar tubuh ke belakang dan bersalto beberapa kali untuk menjauhkan diri.
Aji berhasil memupuskan serangan lawan-lawannya. Hal ini membuat Suta dan Banggala semakin bling-satan. Kian kalap. Karena tak menyangka kalau lawan yang mereka serang, tak selemah seperti yang diperkirakan.
Walaupun begitu, Suta dan Banggala tak menjadi putus asa. Malah sebaliknya, mereka semakin ganas menyerang. Dengan kerja sama seperti sebelumnya. Namun, hasil yang mereka peroleh tak beda jauh. Aji mampu mengandaskan serangan-serangan mereka tanpa kesulitan sama sekali.
Pemuda murid Wong Agung memang bermaksud untuk melampiaskan rasa jengkelnya akibat perlakuan Suta dan Banggala itu. Maka, selama beberapa jurus lamanya, pemuda berambut dikuncir ekor kuda itu tak memberikan perlawanan sama sekali. Dia mengelak ke sana kemari untuk mempermainkan lawan-lawannya.
Banggala dan Suta semakin kalap ketika seranganserangan yang mereka lancarkan terus-menerus menghan tam tempat kosong. Mereka seperti menyerang bayangan mereka sendiri. Kenyataan yang mereka terima ini, membuat dada mereka seperti hendak meledak. Mereka tersiksa bukan main oleh deraan amarah yang bergejolak di dalam dada. Amarah yang tak terlampiaskan, ditambah lagi dengan rasa tersinggung dan jengkel karena ketidakberhasilan menyarangkan serangan-serangan.
Amarah yang menggelegak di dalam dada Suta dan Banggala semakin merajalela ketika Pendekar 108 masih sempat keluarkan ejekan-ejekan yang memanaskan hati dan telinga mereka. Itu dilakukan pendekar 108 sambil terus mengelak.
"Dengan kemampuan seperti ini kalian hendak memberikan pengajaran padaku?! Seekor kecoa pun tak akan mampu kalian robohkan, apalagi seorang manusia ! Ataukah..., kalian masih berbaik hati, tidak buru-buru memberikan hajaran padaku dulu?! Mungkin menunggu saat yang tepat?!"
"Kalau kau bukan seorang pengecut, bertarunglah secara benar. Ataukah kau hanya bisa mengelak ke sana kemari?!" sambut Suta, keras.
"Baiklah kalau itu yang kalian inginkan!" timpal Pendekar 108.
Usai berkata demikian, pemuda berbaju luar hijau ketat ini, tegak di tempatnya. Berdiri diam. Padahal, saat itu dari kanan kirinya, lawan-lawannya lancarkan pukulan keras.
Aji benar-benar buktikan ucapannya. Kali ini dia tidak mengelak. Ketika serangan-serangan lawan menyambar dekat, dia buka kesepuluh jari-jari tangannya. Dan, dengan kecepatan gerakan yang sukar untuk diikuti mata Suta dan Banggala, pemuda berambut dikuncir itu, telah mencengkeram pergelangan tangan kedua orang lawannya.
Suta dan Banggala terperanjat bukan main melihat hasil serangan mereka. Buru-buru kedua orang ini menarik tangannya kembali. Tapi, kendati dua pemuda berbaju biru ini melihat jelas kalau Aji tak mencengkeram, cekalan pada tangan mereka tak bisa dilepaskan. Tangan Suta dan Banggala seperti terjepit oleh catut baja!.
Semua tokoh persilatan yang menyaksikan hal ini tahu, andaikata Pendekar 108 cengkeramkan jari-jari tangannya, nyawa Suta dan Banggala akan melayang karena urat nadi mereka putus. Suta dan Banggala sendiri menyadari hal itu. Maka, mereka berdua merasa tegang bukan main.
Tak jauh dari ketiga orang muda itu, kendati kelihatan tidak peduli, wanita berparas buruk diam-diam perhatikan tindaktanduk Aji dan dua orang lawannya sejak pertarungan mulai berlangsung. Dan sekarang, sorot mata si perempuan kelihatan cemas. Karena, seperti juga tokoh-tokoh lainnya, dia tahu kalau nyawa Suta dan Banggala tak ubahnya sebutir telur yang berada di ujung tanduki Setiap saat bisa melayang.
* * *
Wusss ... !
Segundukan angin keras menggebrak ke arah Aji. Si pemuda dapat memperkirakan kedahsyatan serangan itu dari bunyi gemuruh yang mengiringi me luncurnya serangan itu. Dia tahu, angin dahsyat itu mampu menghancurleburkan sebatang pohon yang besar.
Oleh karena itu, Pendekar Mata Keranjang 108 tak berani bertindak gegabah. Karena menangkis sudah tak memungkinkan lagi, dia mengelakkan serangan itu dengan membanting tubuh ke samping, lalu melanjutkan dengan bergulingan menjauh.
Kejap kemudian sepasang kakinya telah menjejak tanah secara mantap. Dan, begitu tegak, murid Wong Agung ini langsung bersikap waspada, bersiap untuk menghadapi segala kemungkinan yang tak diharapkan. Pemuda ini tak mempedulikan Suta dan Banggala yang terpaksa dilepaskannya karena mengelakkan serangan dahsyat yang tak terduga-duga itu.
Pendekar 108 mengarahkan pandangan ke tempat serangan angin keras tadi berasal. Dia melihat seorang wanita setengah baya berpakaian serba hitam. Jaraknya tak sampai tiga tombak dari Aji.
Sang penyerang yang berusia lebih dari lima puluh tahun namun masih terlihat menarik karena bersolek terlalu berlebihan itu, melemparkan senyuman memikat pada Aji. Senyuman yang diiringi dengan kerlingan mata penuh daya pikat.
"Guru...," seru Suta dan Banggala penuh rasa gembira ketika melihat sang penolong mereka.
Kedatangan wanita berpakaian hitam itu rupanya membuat keberanian Banggala dan Suta bangkit. Mereka bergerak mendekati Aji dengan dada dibusungkan. Malah, Suta perdengarkan seruan keras.
"Manusia Lancang...! Tadi kami belum bersungguh-sungguh bertarung. Sekarang kami akan berikan kau hajaran. Dan "
"Diam kau!" potong wanita pesolek dengan suara keras dan mata melotot.
"Menyingkirlah, Manusia-manusia Tak Punya Guna ! "
Suta dan Banggala langsung menghentikan langkah. Lalu, tanpa banyak bicara, keduanya menyingkir. Rasa malu karena meninggalkan pertarungan sebagai orang yang kalah, dan bahkan mendapat bentakan dari guru mereka, membuat Suta dan Banggala menjauhi tempat itu dengan wajah tertunduk ke tanah. menyembunyikan paras mereka yang merah padam.
"Bocah...," wanita pesolek itu bicara dengan sikap dan suara dibuat-buat seraya mengalihkan perhatian pada Aji.
"Kau benar-benar mengagumkan! Di samping wajahmu yang tampan, kepandaianmu pun lumayan. Sayang, kalau sampai celaka atau terluka olehku. Menyerahlah, Bocah Bagus. Kujamin kau akan hidup senang!"
Pendekar 108 cengar-cengir. Dia mengeluarkan kipas ungu yang berada di balik pakaiannya. Kemudian kebut-kebutkan kipas itu ke sekujur tubuhnya seperti layaknya orang yang kegerahan.
"Sayang sekali, Bibi. Saat ini aku telah hidup senang. Bahkan juga tenang. Aku ragu akan adanya kehidupan yang lebih baik lagi. Jadi, aku tak bisa memenuhi perm intaanmu. Kurasa lebih baik kau cari orang lain," ucap Aji yang bisa menduga kalau wanita di hadapannya adalah seorang perempuan cabul yang gemar bermain cinta. Terutama sekali dengan pemuda-pemuda tampan. Itulah sebabnya untuk memukul perasaan si wanita, untuk menyadarkannya akan usianya yang telah tua, Pendekar 108 sengaja menyapanya Bibi.
Senyum di bibir perempuan pesolek itu, pudar. Sepasang matanya berkilat-kilat, sarat dengan hawa amarah. Tapi, semua itu hanya tampak sekilas. Kejap kemudian, bibir itu kembali menyunggingkan senyum memikat.
"Kau pandai bergurau juga, Bocah Bagus. Tapi sayang tidak lucu. Kau kira manusia itu seperti barang yang bisa dioperoperkan begitu saja?!"
Aji hanya cengar-cengir mendengar tanggapan wanita berbaju hitam. Dia tak terlalu kaget mendengar Suta dan Banggala adalah murid-murid wanita pesolek itu. Karena, sejak semula pun Aji telah dapat menduga kalau sang penolong itu setidak-tidaknya punya hubungan dengan pemuda-pemuda berpakaian biru itu.
"Syukur kalau kau mengerti, Bibi. Rasa suka memang tak bisa dipaksakan. Karena itu hak kodrati setiap manusia. Aku tak suka ikut denganmu. Jadi, kuharap kau tak memaksaku "
"Mulutmu terlalu lancang, Bocah ! " rutuk wanita setengah baya yang telah tak bisa menahan amarahnya lagi itu.
"Kau tahu, belum pernah ada orang yang berani bersikap seperti itu padaku! Rupanya kau belum pernah mengenal atau setidaktidaknya mendengar berita tentangku, heh?! Aku dijuluki orang Dewi Berhati Besi. Ketua Perkumpulan Anak Langit."
Wanita pesolek yang berjuluk Dewi Berhati Besi itu bermaksud menakut-nakuti Aji dengan memperkenalkan julukannya. Si wanita tahu, julukannya amat terkenal dan ditakuti pihak lawan dan disegani kawan. Dia yakin, Aji akan sangat ketakutan begitu mendengar julukannya. Dewi Berhati Besi kecelik. Pendekar Mata Keranjang tak terkejut sama sekali. Apalagi sampai ketakutan. Hal ini membuat Ketua Perkumpulan Anak Langit ini untuk beberapa saat lamanya kesima di tempat seperti orang melihat sesuatu yang amat mengejutkan.
Aji sendiri tahu kalau Dewi Berhati Besi berusaha membuatnya gentar. Hal ini malah membuatnya semakin bertingkah konyol dan urakan.
"Jadi, belum pernah ada yang berani bersikap seperti itu padamu. Bibi?! Kalau begitu, aku patut untuk berbangga hati karena menjadi orang pertama yang lancang padamu. Mudahmudahan saja, karena telah ku-pelopori, orang-orang akan mengikuti tindakanku. Sehingga akan banyak orang yang kurang ajar padamu. Bukankah itu akan sangat menyenangkan, Bibi?!"
Dewi Berhati Besi banting kaki kirinya. Kelihatan tak bertenaga. Tapi, kesudahannya, tanah amblas sampai ke betisnya. Seakan permukaan tanah itu amat lunak seperti bubur lumpur.
Usai melampiaskan kemarahannya, Dewi Berhati Besi tudingkan jari telunjuknya yang lentik dan berkuku runcing terawat.
"Ternyata kau bodoh, Bocah KeparatI Kau lebih suka menderita daripada bersenang-senang denganku! Baik, kalau itu yang kau inginkan, akan kupenuhi!"
* * *
Dewi Berhati Besi ternyata tak menggertak kosong. Ketika ucapannya sirap, dia me luruk ke arah Aji seraya kirimkan tamparan tangan kiri ke arah pipi si pemuda. Gerakannya lembut dan tak terlihat bertenaga. Pendekar 108 yang telah bersiaga sejak tadi, tak tinggal diam. Pemuda ini tahu kalau Dewi Berhati Besi berkepandaian luar biasa tinggi. Dia menilai seperti itu berdasarkan pukulan jarak jauh yang dilancarkan Ketua Perkumpulan Anak Langit itu padanya. Sebuah pukulan jarak jauh yang luar biasa dahsyat.
Serangan Dewi Berhati Besi kali ini membuat Pendekar 108 tercekat. Karena, pemuda berambut dikuncir ekor kuda itu hanya melihat sekelebatan bayangan melesat ke arahnya. Lain saat, tangan Dewi Berhati Besi yang masih halus, telah melayang ke arah pipinya. Aji segera sadar kalau sang Dewi mempunyai kecepatan gerakan yang luar biasa. Padahal, tenaga dalam wanita berpakaian hitam itu pun amat kuat Aji tahu, kali ini dia berhadapan dengan seorang tokoh persilatan yang amat tangguh. Tidak bisa disamakan dengan orangorang seperti Suta atau Banggala.
Pendekar Mata Keranjang memang terperanjat. Tapi, pemuda ini pun mampu menunjukkan kalau dirinya bukan termasuk orang yang mudah dipecundangi.
Dengan gerakan menakjubkan, Aji menyelinap melalui bawah kaki Dewi Berhati Besi. Saat itu, tubuh sang Dewi memang berada beberapa kaki dari permukaan tanah. Ketika telah berada di belakang Ketua Perkumpulan Anak Langit, Aji balikkan tubuh sambil kebutkan kipasnya yang terkembang ke pinggang lawannya.
Wuuut...!
Dewi Berhati Besi tak kalah bertindak sigap. Begitu serangan yang dilakukannya mengenal tempat kosong, dan di belakangnya didengarnya kesiuran angin dingin, wanita ini segera sadar kalau Aji telah mengirimkan serangan balasan. Maka, dia melompat ke depan untuk mengelakkan serangan itu, seraya sepakkan kaki kanannya ke belakang untuk mencegah Pendekar 108 kirimkan serangan susulan. Wusss...!
Kebutan kipas Aji mengenai angin. Tendangan Dewi Berhati Besi pun menggebrak tempat kosong. Karena Aji buru-buru bersalto ke belakang untuk menghindari serangan. Untuk sesaat masing-masing pihak seperti saling menjauh.
Tapi, keadaan seperti itu hanya berlangsung sebentar. Di lain saat, dua tokoh yang saling berbeda jenis kelam in dan usia ini kembali bergerak. Pertarungan pun berlangsung. Dewi Berhati Besi yang telah sadar kalau Pendekar 108 adalah seorang lawan yang amat tangguh, segera mengeluarkan pecutnya. Bunyi meledak-ledak yang disertai kepulan asap tipis, menyeruak ketika wanita pesolek ini menggebrak.
Pertarungan berlangsung sengit Pendekar 108 benar-benar dipaksa untuk mengerahkan seluruh kemampuannya. Senjata di tangan Dewi Berhati Besi beberapa kali membuat si pemuda blingsatan, karena perubahannya yang tak terduga-duga.
Terkadang, pecut Dewi Berhati Besi lemas seperti layaknya sebuah pecut. Tapi, tak jarang menegang kaku tak ubahnya sebatang tombak. Namun, di lain saat meliuk-liuk seperti seekor ular, mematuk-matuk seraya mengeluarkan bunyi meledak-ledak yang memekakkan telinga.
Rrrttt...!
Di jurus ketiga puluh, dengan diiringi bunyi yang menggidikkan, pecut di tangan Dewi Berhati Besi menegang kaku, lurus bagaikan tombak meluncur ke perut Pendekar 108.
Perubahan bentuk senjata itu terlalu mendadak. Padahal, sebelumnya pecut itu masih meliuk-liuk dan mematuk-matuk bak seekor ular. Aji tercekat. Namun, kesigapannya membuat pemuda ini masih mampu bertindak menyelamatkan nyawanya. Kipasnya dikembangkan di depan perut, menghadang pecut.
Trakkk!
* * *
--↨֍¦ ENAM ¦֍↨--
Dewi Berhati Besi memang sudah memperkirakan kejadian seperti itu. Maka, ketika tubuhnya terhuyung, tangannya bergerak melecutkan senjatanya.
Pendekar Mata Keranjang terkesiap melihat ujung pecut yang mengancam ubun-ubunnya. Dia tahu, sedikit saja terkena, nyawanya akan lepas dari raga. Aji tak mau mati konyol. Maka, kipasnya yang terlipat, disorongkan di atas kepalanya.
Rrrttt !
Ujung pecut membelit kipas. Erat. Kejap Itu pula, Dewi Berhati Besi menggerakkan tangan menyentak. Aji tak ingin kehilangan senjatanya. Maka, pemuda ini ikut menarik pula untuk mempertahankan kipasnya. Adu tarik-menarik pun terjadi.
Pertarungan langsung berubah. Tidak lagi terjadi gerakangerakan, saling terjang, dan saling mengelak. Kedua belah pihak tegak di tempat masing-masing seraya mengerahkan seluruh tenaga dalam yang ada.
Jalannya pertarungan yang jauh lebih menegangkan dari sebelumnya ini, membuat hampir semua pasang mata yang ada tertuju ke sana. Mereka ingin tahu, pihak yang akan keluar sebagai pemenang. Semua tokoh persilatan tahu hasil dari pertarungan semacam itu hanya bertumpu pada kekuatan tenaga dalam masing-masing pihak. Selisih tenaga sedikit saja akan sangat menentukan, siapa.yang akan keluar sebagai pemenang.
Waktu berlalu terasa demikian lambat terutama sekail bagi pihak-pihak yang bertarung seperti Aji dan Dewi Berhati Besi. Mereka pun mulai merasa tak sabar, setelah beberapa saat lamanya sailng tarik, belum terlihat adanya tanda-tanda akan mengungguli pihak lawan.
Di antara Pendekar 108 dan Dewi Berhati Besi, sang Dewi yang lebih tidak sabar lagi. Apalagi dilihatnya Pendekar 108 cengar-cengir, seakan-akan menunjukkan kalau dirinya lebih unggul. Dada Ketua Perkumpulan Anak Langit seperti terbakar hangus oleh amarah yang bergelora. Wanita pesolek ini menyangka cengar-cengirnya Aji merupakan ejekan terhadap dirinya.
Dewi Berhati Besi tahu akan membutuhkan waktu yang sangat lama untuk memenangkan pertarungan ini. Itu pun belum tentu dengan hasil kemenangan di pihaknya.
"Kalau tak gunakan siasat, sulit bagiku untuk mengalahkan bocah sialan ini. Andaikata pun menang, aku pun tak akan luput dari luka yang cukup parah. Itu berarti aku akan kehilangan kesempatan untuk memperebutkan Mustika Naga Hitam. Itu tak boleh terjadi , Aku tak punya pilihan lain. Yang penting sekarang adalah menang tanpa terlukai" racau si wanita pesolek dalam diam.
Setelah memutuskan demikian, secara tiba-tiba Dewi Berhati Besi lepaskan cekalan pada pecutnya. Aji yang tak menyangka hal ini terjengkang ke belakang terbawa tenaga tarikannya sendiri. Kesempatan seperti ini yang ditunggutunggu sang Ketua Perkumpulan Anak Langit Ini. Tangan kirinya dihentikan, mengirimkan pukulan jarak jauh ke dada Aji.
Wuttt ! Angin yang mengeluarkan bunyi menggila menggebrak ke arah Pendekar 108. Sang pendekar muda terperanjat bukan main. Di sekitarnya berpasang-pasang mata telah memperkirakan kalau Pendekar 108 akan terhantam pukulan dahsyat itu.
Wanita berpakaian merah yang sejak tadi memperhatikan jalannya pertarungan, mengeluarkan pekikan kaget dan cemas. Dia tahu nyawa Pendekar Mata Keranjang akan melayang apabila terhantam serangan itu. Dan memang, Dewi Berhati Besi telah memutuskan untuk membinasakan Aji. Wanita pesolek itu telah keburu marah besar karena tingkah sang pendekar. Juga malu karena di depan sekian banyaknya pasang mata, dia, Ketua Perkumpulan Anak Langit yang amat terkenal, tak mampu mengalahkan seorang pemuda. Untuk menebus rasa marah dan malunya, Dewi Berhati Besi bertindak telengas.
Pada saat yang genting itu, dari arah sebelah kiri menderu angin keras ke arah Aji. Demikian kerasnya sehingga membuat tubuh Pendekar Mata Keranjang yang tengah terhuyung ke belakang jadi tertolak ke samping.
Sayang angin keras yang mendorong Pendekar 108 tiba agak terlambat. Memang, Aji terdorong ke samping kanan karenanya. Tapi pukulan jarak jauh Dewi Berhati Besi meluncur tiba.
Desss !
Angin pukulan yang mampu menghancurkan batu karang yang keras itu menghantam Aji secara telak. Hanya saja berkat dorongan angin dari sebelah kiri, serangan dahsyat itu tak menggebrak dada melainkan melenceng menghantam bahu kanan si pemuda.
Sungguhpun demikian, akibatnya bagi Pendekar 108 tetap mengerikan. Tubuhnya terpental ke belakang, melayang sejauh beberapa tombak. Dari mulut dan hidung Aji menyembur darah segar. Menetes membasahi tanah sepanjang tubuh sang pendekar muda melayang. Kipas dan pecut yang tercekal di tangan terpental jatuh, karena terlepas dari pegangan.
Setelah melayang-layang sejauh lima tombak lebih, tubuh Aji terhempas ke tanah secara keras. Kendati demikian, sejak terkena pukulan, saat tubuhnya melayang, dan terbanting keras di tanah, tak sepatah kata pun keluhan yang terlontar dari mulut Aji. Pendekar 108 bersikeras untuk tak mengunjukkan rasa sakit yang menderanya.
* * *
Pendekar 108 benar-benar punya watak keras hati. Kendati telah terluka parah, dia tak pasrah untuk menerima kematian yang mungkin datang lewat serangan susulan Dewi Berhati Besi.
Murid Wong Agung itu bersikeras untuk bangkit. Sekujur tubuh pemuda ini terlihat gemetar hebat ketika berjuang keras agar dapat duduk untuk kemudian berdiri. Beberapa saat hal itu terjadi, sebelum akhirnya Aji kembali terhempas ke tanah dengan menyemburkan cairan merah kental dari mulutnya.
Dewi Berhati Besi ternyata tak mengirimkan serangan susulan. Memang, dia memperhatikan Aji sejak tubuh pemuda itu terpental sampai terhempas ke tanah ketika gagal untuk bangkit. Tapi, setelah itu wanita pesolek ini bersikap tak peduli. Dia malah mengayunkan kaki mendekati pecutnya yang tergeletak di tanah. Kemudian tanpa bicara apa pun memungutnya dan menyimpannya kembali di selipan pinggangnya.
Wanita berparas buruk tampak kebingungan. Dia menatap Aji dengan sorot mata cemas. Tapi, sesekali mengerling ke arah Dewi Berhati Besi. Sikapnya kelihatan serba salah.
"Celaka...! Apa yang harus kuperbuat sekarang...?! Pemuda itu terluka parah. Aku yakin, apabila tak mendapatkan pertolongan, nyawanya akan terlepas dari badan. Tapi..., bagaimana harus menolongnya?! Apakah Dewi Berhati Besi tak mengenaliku? Rasa-rasanya dia tak bisa kutipu. Kenyataannya, Suta dan Banggala saja dapat mengenaliku. Hhh...! Bagaimana baiknya sekarang...?!" Wanita berparas buruk gelisah dalam diam.
Seperti mengetahui kebingungan hati perampuan berpakaian merah, dari arah sebelah kiri, tempat angin keras yang mendorong tubuh Pendekar Mata Keranjang 108 berasal, berkelebat sesosok bayangan putih. Di lain kejap, di dekat Pendekar Mata Keranjang yang masih tergolek, tegak sesosok tubuh ramping berpinggul bulat dan padat. Pakaiannya serba putih. Parasnya cantik kendati terlihat tidak muda lagi. Karana usia sang pendatang baru itu memang hampir lima puluh tahun.
Sayangnya, wajah yang terlihat lebih menarik karena kecantikannya yang telah matang itu, tampak diselaputi kedukaan besar. Parasnya murung dan dingin. Sorot matanya pun sayu. Sehingga kecantikannya terlihat menyeramkan. Apalagi dengan dandanan rambutnya yang digelung ke atas.
Dewi Berhati Besi terkekeh ketika melihat wanita berpakaian putih itu.
"Aku kira siapa orang yang lancang mencampuri urusanku. Kiranya Bidadari Berkabung. Entah apa yang menyebabkan kau bertindak usilan, Perempuan Aneh?!"
Wanita berambut digelung ke atas yang ternyata berjuluk Bidadari Berkabung, sama sekali tak pedulikan pernyataan Dewi Berhati Besi yang sarat dengan ejekan. Wanita ini bersikap seperti tak mendengar ucapan sama sekail. Dia malah perhatikan Aji lekat-lekat. Di lain pihak, Aji tahu kalau Bidadari Berkabung ini adalah orang yang telah menyelamatkan nyawanya dari bahaya kematian. Maka, ketika si wanita menatapnya, dia tersenyum.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Bibi. Kalau kau tak turun tangan, mungkin saat ini aku telah berada di lubang kubur," kata Pendekar Mata Keranjang 108 dengan suara lemah.
Bidadari Berkabung balas tersenyum. Tapi, hanya sekilas, itu pun sedikit sekali. Hampir bukan berupa senyum tapi gerakan sepasang bibir.
Bidadari Berkabung memasukkan tangannya ke balik baju, mengeluarkan buntalan kain hitam kecil. Dari dalam buntalan itu, wanita ini mengeluarkan beberapa buah pil. Lalu, dia memberikan pil-pil itu pada Aji. Si pendekar muda tanpa raguragu menerimanya.
"Telanlah obat itu, Anak Muda. Gunanya untuk menyembuhkan luka-luka dalam, baik ringan maupun berat. Pil-pil itu sangat mujarab. Asalkan jantung dan nadimu masih berdetak, kau akan sembuh!" tandas wanita berambut digelung itu, dengan nada yakin.
Untuk kedua kalinya, Aji menunjukkan rasa percaya yang besar pada Bidadari Berkabung. Dia tak khawatir kalau wanita Itu bukannya memberikan obat, tapi malah racun yang mematikan: Dengan cepat, obat-obat itu ditelannya.
Baru saja pil-pil itu masuk ke dalam perut Aji, bentakan keras menggeledek kembali terlontar. Bentakan yang sarat dengan kemarahan.
"Bidadari Berkabung! Julukanmu telah lama kudengar. Bahkan, dari kabar yang tersiar, aku tahu kalau kau bukan termasuk orang yang usilan dan mudah mencampuri urusan orang lain! Mengapa kau campuri urusanku?! Apakah kau memang hendak menantangku dan juga Perkumpulan Anak Langit?!" Bidadari Berkabung menolehkan kepala, menatap Dewi Berhati Besi, sejenak tepat pada bola matanya. Kemudian, sepasang bibirnya yang lebih sering rapat daripada terpisah itu, berkemik. Pelan, seperti orang yang malas berbicara.
"Aku tak hendak mencampuri urusanmu dan juga perkumpulanmu, Dewi. Tapi, aku tak bisa berdiam diri apabila kau hendak menjatuhkan tangan kejam pada pemuda ini! Aku tak hendak bertarung. Oleh karena itu, kum inta kau bersedia untuk menghabiskan urusan dengannya."
Selebar paras Dewi Berhati Besi merah padam. Raut ketidak senangannya terlihat jelas.
"Enak saja kau bicara, Bidadari! Kau tahu, pemuda itu telah melukai murid-muridku, mencoreng muka Perkumpulan Anak Langit di muka orang banyak, sekaligus menghina ku Mana mungkin aku menghabiskan persoalan ini begitu saja?!"
"Mungkin saja, Dewi," kilah Bidadari Berkabung.
"Toh, kau telah membalas kelancangannya dengan membuatnya terluka parah. Kurasa hukuman yang kau berikan telah lebih dari cukup!"
"Kalau aku tetap mau memperpanjang persoalan ini, bagaimana? hah?!" tanya Dewi Berhati Besi dengan nada menantang.
Bidadari Berkabung mengangkat kedua bahunya dengan sikap tak peduli.
"Terserah, Dewi. Yang jelas, aku tak bisa berpangku tangan melihat orang yang tak berdaya, mati percuma di tanganmu! Pula, aku tak ingin obat yang kuberikan jadi sia-sia !"
Jawaban dan sikap Bidadari Berkabung jelas-jelas merupakan tanggapan pasti atas tantangan yang dilontarkan Dewi Berhati Besi. Hal ini membuat Ketua Perkumpulan Anak Langit itu, meluap amarahnya.
"Rupanya kau telah terpincuk oleh ketampanan bocah itu, Bidadari! Sungguh tak tahu malu Tidakkah kau lihat usiamu?! Kau telah tua. Nenek-nenek! Aku yakin, bocah lancang itu tak akan mau melayani nafsu kotor-mu!"
Sepasang mata Bidadari Berkabung yang biasanya dingin dan sarat dengan kedukaan itu, seperti mengeluarkan api mendengar kata-kata yang tidak senonoh itu.
"Tutup mulutmu, Wanita Cabul! Aku bukan perempuan lacur sepertimu!" bentak Bidadari Berkabung dengan suara bergetar karena kemarahan yang mendera.
"Kau yang harus menutup mulutmu, Bidadari! Tidak hanya sesaat. Tapi, selama-lamanya!"
Berbareng dengan mengatupnya mulutnya, Dewi Berhati Besi melolos pecut yang terselip di pinggang. Ketua Perkumpulan Anak Langit ini telah bersiap untuk melancarkan serangan. Dia langsung mengeluarkan senjata andalannya karena tahu kalau Bidadari Berkabung merupakan lawan yang amat tangguh. Bahkan mungkin lebih tangguh daripada Pendekar 108.
Melihat Dewi Berhati Besi telah bersiap-siap dengan senjatanya, Bidadari Berkabung segera melolos sabuk yang melilit pinggangnya. Sabuk yang juga berwarna putih. Bidadari Berkabung tak berani bertindak sembrono, menghadapi Ketua Perkumpulan Anak Langit yang tarkenal dengan tangan kosong.
Dewi Berhati Besi me langkah maju. Di depannya, Bidadari Berkabung melakukan hal yang sama. Suasana kembali terasa menegangkan. Semua pasang mata tertuju pada dua orang wanita setengah baya yang telah siap untuk berlaga itu.
Dewi Berhati Besi dan Bidadari Berkabung saling pandang seakan-akan hendak mengukur kekuatan lawan melalui sorot mata. Kejap kemudian, Dewi Berhati Besi me lecutkan senjatanya ke udara, bersiap untuk melancarkan serangan. Tarrr!
Hampir berbareng dengan menggelegarnya bunyi pecut, tanah di sekitar tempat itu berguncang. Kali ini jauh lebih keras daripada sebelumnya. Bunyi keras seperti keluar dari mulut seekor kerbau kembali menyeruak, namun jauh lebih keras dan dahsyat daripada bunyi beberapa saat yang lalu. Bau amis yang menyebar ke sekitar tempat itu ikut mengiringi guncangan dan bunyi lenguhan keras yang terjadi.
Kejadian itu membuat semua pasang mata yang ada di sekitar tempat itu, tertuju ke danau. Tak terkecuali mata milik Bidadari Berkabung, Dewi Berhati Bes i, dan Aji. Pertarungan yang hendak berlangsung, seketika itu pula, jadi terhenti di tengah jalan.
Sebagian di antara tokoh-tokoh persilatan menengadahkan kepala, melihat langit. Ternyata bulan telah naik tinggi. Berada tepat di atas kepala.
"Apakah naga hitam itu telah akan keluar dari persembunyiannya?!" Pertanyaan itu menggayuti benak semua tokoh persilatan yang ada.
Puluhan pasang mata pun menikam ke danau. Tepatnya lagi ke arah lubang yang berada di tepi danau.
Mereka semua merasa tegang bukan main, sehingga matamata mereka hampir tak berkedip. Khawatir jika berkerjap, tak sempat melihat sang makhluk aneh itu keluar dari liangnya.
* * *
--↨֍¦ TUJUH ¦֍↨--
Tanah semakin keras berguncang bak tengah terjadi gempa. Bau amis semakin memualkan perut. Seakan-akan di sekitar itu terdapat tumpukan raksasa bangkai udang. Bunyi lenguhan laksana keluar dari mulut seekor kerbau terdengar tak ubahnya raungan puluhan ekor harimau murka.
Tokoh-tokoh persilatan yang berkepandaian tinggi dan bertenaga dalam kuat, mampu bertahan kendati tanah berguncang hebat. Mereka mampu tegak tanpa bergeming, apalagi terhuyung. Sedangkan tokoh-tokoh yang berkepandaian lumayan terhuyung-huyung ke sana kemari seperti orang mabuk.
Di antara semua orang yang berada di tempat itu, yang paling sial adaiah Pendekar 108. Guncangan yang keras pada tanah, membuat tubuh si pemuda terguling-guling ke sana kemari.
Saat itu, Aji memang lebih lemah daripada orang orang persilatan yang ada di situ. Pemuda berambut dikuncir ekor kuda itu, tengah terluka dalam akibat pukulan jarak jauh Dewi Berhati Besi. Memang, berkat pil-pil yang diberikan Bidadari Berkabung, keadaan Pendekar Mata Keranjang perlahan-lahan lebih enak. Kendati demikian, dia tetap tak boleh mengerahkan tenaga dalam yang berlebihan. Karena, bila hal itu dilakukan, bagian dalam dadanya yang terluka, tak akan bertahan, dan akan terluka lagi bahkan mungkin lebih parah.
Untuk pertama kalinya, Pendekar 108 merasa tegang bukan main saat itu. Aji tahu, dia tengah tak berdaya. Padahal, sebentar lagi naga hitam akan muncul.
"Kalau makhluk aneh itu keluar, mungkin aku yang akan pertama kali menjadi santapannya. Orang-orang yang lain, mungkin bisa menghindari naga hitam itu. Tapi aku?! Paling jauh hanya dapat beringsut!" racau sang pendekar dalam hati. Cemas dan gelisah.
Aji sendirian dalam kegelisahannya. Tokoh-tokoh persilatan lainnya, justru tengah merasa tegang menunggu keluarnya naga hitam dari sarangnya. Hal-hal lainnya tak terpikirkan oleh mereka sama sekali. Tak terkecuali wanita berparas buruk dan Bidadari Berkabung.
Dua orang wanita itu sama-sama punya perhatian pada Aji. Tapi, saat itu sang pemuda terlupakan akibat dari besarnya rasa ingin tahu mereka yang besar untuk melihat sosok dari naga hitam. Di samping itu juga, karena besarnya perasaan tegang yang melanda, mengingat sebentar lagi binatang yang hanya mereka dengar ceritanya itu, akan muncul di depan mata.
Bulan naik semakin tinggi. Suasana tegang melingkupi sekitar tempat itu. Tapi. tak satu pun orang yang bicara. Bahkan bernapas pun seakan-akan diatur. Sehingga, kendati di sekitar danau berada puluhan orang, seakan-akan tak ada orang sama sekali.
Ketika guncangan semakin hebat, bunyi lenguh kian keras, dan bau amis semakin menyengat, sehingga sebagian besar tokoh persilatan yang ada, banyak yang menutup hidungnya, wanita berpakaian merah teringat pada Aji.
Tak jauh dari si perempuan berparas buruk Itu, Bidadari Berkabung mendadak teringat pula pada Aji. Rasa khawatir akan keselamatan si pemuda, menyeruak di hatinya. Apalagi, ketika melihat Pendekar 108 berada dekat dengan danau Guncangan besar pada permukaan tanah, membuat tubuh Aji terguling-guling. Sialnya, gulingan itu menuju ke danau. Bidadari Berkabung segara berpikir cepat. Dia tahu, Aji berada dalam bahaya besar jika naga hitam itu keburu muncul dari liangnya. Oleh karena itu, wanita berwajah dingin ini memutuskan untuk membawa Pendekar Mata Keranjang ke tempat yang aman.
Tapi, saat Bidadari Berkabung hendak turun tangan, guncangan yang luar biasa dahsyat kembali menyeruak. Bau amis yang semakin menusuk hidung, semakin menggila. Kejap kemudian sang penghuni lubang itu muncul ! .
Seketika itu pula, berpasang-pasang mata milik tokoh-tokoh persilatan membeliak besar. Jantung mereka memukul keras di dalam dada, sehingga mereka khawatir kalau-kalau bunyi itu akan terdengar keluar.
Sang penghuni lubang itu, setelah keluar dari tempat persembunyiannya, langsung me lesat ke atas, setinggi sepuluh tombak lebih. Kemudian turun kembali ke tanah dengan perlahan-lahan.
Sekarang, puluhan tokoh persilatan dapat melihat bentuk sang penghuni lubang di pinggir danau, secara Jelas. Mata mereka seperti meiekat dengan sang makhluk. Membelalak besar dan tak berkedip.
Sang penghuni lubang memang menggiriskan hati. Berupa makhluk berbentuk aneh. Campuran antara dua binatang. Badan makhluk itu seperti badan kerbau, tapi kepalanya naga Seluruh badannya hitam berkilat. Kaki dan tangannya putih. Ekornya seperti ekor ular. Panjang dari kepala sampai ekor sekitar tiga tombak.
Setelah berada di tanah kembali, makhluk aneh yang tak lain dari naga hitam adanya, menghadapkan kepalanya ke arah bulan. Binatang itu sama sekali tak mempedullkan keberadaan banyaknya manusia di tempat itu. Padahal, yang berada di tempat terbuka saja ada beberapa orang. Sisanya yang jumlahnya berlipat ganda, tersembunyi, menyebar di antara pohon, batu, dan semak-semak.
Semua tokoh persilatan, tak terkecuali Aji memperhatikan naga hitam itu lekat-lekat. Mereka harus mengakui kalau berita yang tersiar itu benar adanya. Naga hitam yang berkepala naga dan berbadan kerbau itu benar-benar ada.
"Sekarang, benarkah makhluk aneh itu punya mustika?!" pertanyaan itu bergayut di dalam benak semua tokoh persilatan yang ada.
Seperti hendak memberikan jawaban, naga hitam itu mengeluarkan benda bulat berwarna merah dari dalam perutnya. Benda yang ukurannya sebesar kepala bayi itu dipermainkan oleh sang makhluk. Dikeluar dan dimasukkan ke mulut.
Berpasang-pasang mata milik tokoh-tokoh persilatan yang sejak tadi telah membeliak itu, semakin membesar ketika melihat benda bulat merah yang keluar masuk mulut naga hitam.
"Itulah Mustika Naga Hitam!" pekik hati semua tokoh persilatan dengan sorot mata memancarkan keinginan yang besar.
Memang mata mereka menyorotkan keinginan besar. Hati mereka pun menyuarakan hasrat untuk mendapatkan mustika yang mempunyai khas iat luar biasa itu. Tapi, wibawa naga hitam membuat hampir semua tokoh persilatan merasa jerih. Tidak ada yang berani untuk turun tangan lebih dulu.
Keadaan menjadi sunyi tapi menegangkan. Di lain pihak, naga hitam tetap dengan kesibukannya. Binatang aneh ini seakan-akan tak tahu, atau tak mau tahu hal yang tengah terjadi.
Bulan semakin tinggi. Naga hitam masih sibuk mengeluarkan dan memasukkan mustikanya. Sementara tokoh-tokoh persilatan masih saling menunggu. Masingmasing tokoh menanti orang yang menjadi pelopor.
Di saat yang penuh ketegangan itu, Dewi Berhati Besi bicara. Suaranya tidak keras. Tapi, karana suasana saat itu hening, perkataannya terdengar jelas.
"Mengapa belum ada yang memulai?! Apakah tak ada yang menginginkan mustika itu?! Ketahuilah, naga hitam bermainmain dengan mustikanya, di waktu bulan purnama, hanya sebentar saja. Setelah itu, sang binatang kembali ke tempat kediamannya untuk kemudian muncul kembali di waktu purnama mendatang."
Perkataan Ketua Perkumpulan Anak Langit itu bernada memberitahukan. Akibatnya, membuat banyak tokoh rimba persilatan jadi blingsatan seperti cacing di abu panas. Keberanian mereka timbul seketika, karena terdorong oleh rasa khawatir kalau-kalau naga hitam itu akan lebih dulu menghilang di tempat tinggalnya. Padahal, kedalaman lubang itu tak seorang pun dapat memperkirakannya.
Lelaki berpakaian ungu, yang tadi keluar dari persembunyiannya karena merasa khawatir kalau perempuan berpakaian merah akan mendahuluinya mendapatkan mustika, menjadi orang pertama yang memberikan sambutan atas pemberitahuan Dewi Berhati Besi.
Lelaki berpakaian ungu masukkan tangannya ke balik baju. Ketika dikeluarkannya lagi sekejap kemudian, pada jari-jari tangannya terselip beberapa pisau yang batangnya berwarna kehijauan suatu tanda kalau benda itu beracun.
Belum juga serangan si lelaki mengenai sasaran, dari berbagai penjuru di sekitar tempat itu, berkelebatan banyak sinar-sinar yang menyilaukan mata. Beraneka ragam, bentuk, jenis, dan ukuran senjata rahasia, meluncur bagaikan hujan. Belum juga serangan itu menghujam sasaran, belasan bahkan mungkin puluhan tokoh persilatan. Tak tinggal diam. Mereka bermunculan dari tempat yang tersembunyi di sekitar tempat Itu. Kemudian menyerbu naga hitam.
Naga hitam ternyata cukup cerdik. Ketika tahu dirinya dihujani beraneka macam, jenis, dan rupa senjata-senjata rahasia, dari segala penjuru, buru-buru mustikanya disedot kembali ke dalam mulut.
Trak, trak, trakkk!
Senjata-senjata rahasia yang dilepaskan tokoh-tokoh persilatan itu terpental balik ketika menghantam tubuh naga hitam. Pertemuan antara senjata-senjata rahasia dengan sekujur kulit sang makhluk aneh itu menimbulkan bunyi nyaring seperti beradunya dua macam benda terbuat dari logam.
Sebagian besar tokoh-tokoh persilatan tak merasa terkejut dengan hasil yang mereka saksikan. Mereka telah menduga lebih dulu kalau kulit binatang itu tak dapat ditembus oleh senjata tajam biasa. Masalahnya, binatang itu adalah seekor binatang langka yang punya khasiat luar biasa!
Sang naga hitam sendiri, tetap tak bergeming di tempatnya. Binatang itu seperti menunggu untuk serangan lanjutan dari lawan-lawannya. Sepasang matanya tampak menggidikkan, karena bijinya memancarkan sinar hijau berkilauan.
Ketika puluhan orang tokoh persilatan berkelebatan mendekatinya, naga hitam perdengarkan bunyi teriakan keras. Bersamaan dengan itu tubuhnya melesat tinggi ke udara, kemudian turun di dalam kerumunan tokoh-tokoh persilatan itu.
Kedatangan naga itu segara mendapatkan sambutan hangat dari tokoh-tokoh persilatan. Senjata-senjata yang tercekal di tangan, diayunkan ka arah sang naga. Berbagai macam senjata yang terdiri dari aneka bentuk, jenis, dan ukuran tertuju pada makhluk aneh itu. Tapi, seperti kejadian sebelumnya, serangan-serangan yang meluncur bagaikan hujan itu tak membawa hasil sama sekail. Senjata-senjata yang menetak, menusuk, menghujam, dan membabat, tak membuat naga hitam terluka. Malah, membuat binatang itu melancarkan sarangan balasan yang tak kalah ganas.
Naga hitam mengayunkan sepasang kaki depannya yang berkuku runcing ke arah lawan-lawannya. Mulutnya yang dipenuhi dengan gigi-gigi bagaikan mata gergaji, dipergunakan pula membantu cakar-cakarnya.
Crat, crat, crattt!
Jerit kesakitan dan lolong kematian terdengar bercampur baur, dan saling susul. Beberapa sosok terhuyung-huyung bermandikan darah untuk kemudian jatuh tertelentang. Mereka tewas dengan perut atau dada robek lebar akan cakaran naga hitam. Malah, beberapa di antaranya, koyak lehernya akibat gigitan makhluk aneh itu. Sisanya terluka.
Seketika Itu pula, kerumunan tokoh persilatan itu buyar. Mereka saling berlomba untuk menjauhkan diri, mencari selamat untuk sementara.
* * *
Sang naga hitam, setelah menimbulkan korban jiwa, kembali duduk melingkar di tanah. Bersikap tak peduli. Tak jauh di depannya, di kanan kirinya, di sekelilingnya, tokohtokoh persilatan tegak dengan sikap mengancam.
Pertarungan belum berlangsung. Naga hitam rupanya tak berminat untuk menyerang lebih dulu. Di seberang, tokohtokoh persilatan, merasa jerih untuk memulai. Telah mereka saksikan sendiri keluar biasaan makhluk aneh itu.
Naga hitam bisa sabar. Tokoh-tokoh persilatan yang merubung, bisa tahan diri. Tapi, Dewi Berhati Besi tidak. Wanita pesolek ini melompat dan me lecutkan senjatanya ke arah naga hitam.
Ctarrr!
Makhluk aneh berbadan kerbau berkepala naga ternyata tak berdiam diri. Memang, pecutan yang mengarah ke badannya itu tidak dipedulikannya. Tapi, pada saat yang sama, naga hitam menyampok ke arah perut lawannya dengan cakarnya yang memiliki kuku-kuku runcing dan jauh lebih tajam daripada pedang.
Prattt !
Begitu ujung pecut menggebrak kulit badan naga hitam, bukannya sang makhluk yang perdengarkan seruan kesakitan. Dewi Berhati Besi yang mengeluh tertahan. Wanita pesolek ini merasakan sekujur tangannya terasa lumpuh dan sakit-sakit. Untungnya, dia masih sanggup mencekal senjatanya.
Yang lebih membuat Ketua Perkumpulan Anak Langit ini mencelos hatinya adalah ketika melihat cakar naga hitam yang hampir saja membuat isi perutnya berentakan. Dewi Berhati Besi berhasil mengelakkan serangan dengan meminjam tenaganya yang tertolak ketika pecutnya menghantam tubuh makhluk aneh itu.
Dewi Berhati Besi menggeretakkan gigi karena perasaan geram yang mendera ketika telah berhasil menjejakkan sepasang kakinya di tanah. Untuk melakukan hal itu, wanita pesolek ini bersalto ke belakang beberapa kali untuk menjauhkan diri, berjaga-jaga terhadap serangan susulan naga hitam.
Dewi Berhati Besi tak gentar sama sekali. Wanita ini justru ingin tahu sampai di mana kedahsyatan naga hitam. Maka, dia bersiap untuk melancarkan serangan lagi.
Namun, kali ini bukan hanya Dewi Berhati Besi sendirian yang bermaksud untuk menggempur makhluk aneh itu. Karena, sebelum Ketua Perkumpulan Anak Langit itu melancarkan serangan, sesosok bayangan putih telah mendahuluinya.
Sosok bayangan itu bukan lain dari Bidadari Berkabung. Wanita berwajah dingin ini telah mengetahui keluar biasaan naga hitam. Maka, dia tak ragu-ragu lagi untuk langsung mengeluarkan sabuknya.
Wuttt !
Sabuk putih itu meluncur ke arah mata naga hitam. Kelihatan lemah sekali. Padahal, lecutan sabuk itu mampu menghancur leburkan sebatang pohon besar.
Makhluk campuran antara naga dan kerbau itu menggeram keras. Binatang ini rupanya menyadari kalau serangan kali ini tak bisa didiamkan saja. Makhluk aneh ini tahu kalau matanya tak sekuat bagian tubuhnya yang lain.
Oleh karena itu, naga hitam tak berdiam diri. Binatang itu sabetkan ekornya memapak serangan lawan.
Pyarrr!
Bidadari Berkabung hampir-hampir tidak percaya dengan apa yang dialaminya. Sabuk putihnya langsung hancur berkeping-keping ketika berbenturan dengan ekor naga hitam. Padahal, sabuk itu amat kuat. Senjata pusaka saja tak akan mampu memutuskannya, apalagi sampai menghancur leburkannya. Tapi, kenyataannya?!
Tidak hanya itu saja yang membuat Bidadari Berkabung terperanjat. Benturan antara sabuknya dengan ekor naga hitam, membuat tubuhnya terpalanting seperti seekor anak ayam diterjang dan dihantam taji oleh seekor ayam jago aduan.
Kenyataan ini segera menyadarkan Bidadari Berkabung kalau naga hitam benar-benar punya kekuatan tenaga dalam yang menggiriskan. Tenaga luar biasa dahsyat yang tak terlawan karena beberapa tingkat di atasnya.
Terpental keluarnya Bidadari Berkabung dari kancah pertarungan, membuat tokoh-tokoh persilatan lainnya punya kesempatan untuk ikut ambil bagian. Dari segala penjuru mereka menyerbu dengan aneka macam senjata di tangan. Di antara kelompok penyerang itu, terdapat Suta dan Banggala.
Naga hitam itu rupanya telah murka. Binatang itu menyongsong kedatangan para penyerangnya. Kejap kemudian terdengar bunyi gaduh ketika senjata-aenjata yang bermacam ukuran, jenis, dan bentuk itu, menggebrak sekujur tubuh sang makhluk.
Naga hitam tak kesakitan sama sekali. Malah, senjatasenjata itu yang terpental balik setiap kali berbenturan dengan tubuhnya. Malah, beberapa di antaranya terlepas dari cekalan dan jatuh ke tanah.
Berbeda dengan serangan para pengeroyoknya, yang berkesudahan sia-sia, serangan balasan naga hitam benarbenar menggiriskan. Ke mana saja kaki, tangan, atau ekornya bergerak, akan ada tokoh persilatan yang ambruk ke tanah. Tewas. Mayat-mayat pun bergeletakan di sana-sini berkubang darahnya sendiri.
Jalannya pertarungan benar-benar tak berimbang. Naga hitam dengan mengandalkan cakar-cakarnya yang runcing, menyebar maut di antara pengeroyoknya dengan merobekrobek tubuh sang korban. Sedangkan ekornya mengirim para pengeroyoknya ke akhirat dengan tulang-tulang remuk.
Hanya dalam waktu sebentar saja, pengeroyokan tokohtokoh persilatan yang sebagian besar berkepandaian lumayan itu, telah kacau berantakan. Sebagian besar mundur teratur, mencari selamat karena sadar kalau naga hitam bukan tandingan mereka. Sebentar saja di kancah pertarungan hanya tinggal beberapa gelintir. Naga hitam yang telah telanjur bangkit amarahnya terus menyebar maut. Tak lama lagi pengeroyokpengeroyok yang tersisa itu pun akan pergi pula ke neraka!
Di saat-saat menegangkan itu, sesosok bayangan gelap berkelebat ke dalam kancah pertarungan. Sosok itu me luncur mendekati naga hitam. Ketika telah berjarak beberapa kaki, saat tubuhnya masih berada di udara, sosok bayangan gelap itu melemparkan sebuah benda berbentuk bulat.
Benda bulat itu ternyata berbau harum. Harum yang menusuk hidung. Apalagi akibat sampokan angin malam yang sesekali berhembus agak keras itu, bau harum itu semakin keras dan tercium sampai ke tempat yang jauh.
Naga hitam rupanya tertarik dengan benda bulat itu. Binatang ini tertarik karena baunya yang harum. Sang naga mengira benda itu merupakan makanan yang enak.
Naga hitam membuka mulutnya lebar-lebar dan menelan benda bulat itu. Sedangkan orang yang melemparkan benda itu, langsung melompat balik ke tempat semula, banting tubuh ke tanah, kemudian bergulingan menjauh. Tingkahnya kelihatan kalap bukan main seperti ada sesuatu yang amat menakutkannya.
* * *
--↨֍¦ DELAP@N ¦֍↨--
Kesempatan baik saat semua tokoh persilatan belum berhasil menguasai perasaannya, dipergunakan sebaikbaiknya oleh sosok gelap yang telah memperhitungkan semuanya secara cermat. Dia me lesat ke arah tempat naga hitam semula berada.
Ketika telah berada dekat tubuh naga hitam, sosok coklat itu langsung mengedarkan pandangan, mencari-cari mustika makhluk langka itu. Tak terlalu mudah, karena daging dan tulang-tulang naga hitam hancur berkeping-keping. Berpentalan ke sana kemari, menimbulkan percikan darah di sana sini. Bercampur dengan mayat-mayat para tokoh persilatan yang berjumlah belasan.
Saat sosok coklat itu tengah mencari-cari, tokoh-tokoh persilatan lainnya mulai dapat menduga akan apa yang tengah dilakukan sang sosok. Dewi Berhati Besi dan Bidadari Berkabung langsung saja melesat mendekati. Di lain saat, wanita-wanita setengah baya ini telah menolehkan kepala ke sana kemari pula untuk mencari-cari Mustika Naga Hitam .
Memang, Mustika Naga Hitam luar biasa kuatnya. Mustika itu tak bisa dihancurkan. Oleh karena itu, kendati tubuh dan tulang-tulang naga hitam hancur berantakan, mustika itu akan tetap utuh. Tidak cacat atau hancur. Hal itu diketahui secara pasti oleh sosok coklat, dan sebagian besar tokoh persilatan lainnya. Maka, mereka pun ikut-ikutan mencari-cari.
Tapi, pepatah yang mengatakan siapa yang menanam dia memetik kali ini terbukti. Karena, orang yang mendapatkan Mustika Naga Hitam itu adalah sosok coklat. Dia ternyata adalah seorang kakek yang bercambang. Wajahnya menyeramkan dengan caling seperti layaknya babi hutan. Bidadari Berkabung dan Dewi Berhati Besi terperanjat bukan main ketika tahu siapa adanya orang yang berhasil memperoleh mustika itu. Tadi, karena perasaan buru-buru untuk mencari dan mendapatkan mustika, dua wanita setengah baya Ini sampai lupa, hingga tak perhatikan sang pendatang baru.
Sekarang, ketika melihatnya Bidadari Berkabung dan Ketua Perkumpulan Anak Langit, menghembuskan napas berat. Mereka kenal betul siapa adanya kakek bercaling itu. Dia adalah seorang tokoh sesat golongan hitam yang amat sakti, terkenal, dan ditakuti lawan dan disegani kawan.
"Iblis Pemakan Bangkai...," Bidadari Berkabung! dan Dewi Berhati Besi, cetuskan julukan tokoh sesat yang sama-sama mereka kenal itu. Tidak terlontar lewat mulut ucapan itu, hanya keluar di dalam hati.
Sementara itu, orang yang dibingungkan oleh dua wanita setengah baya yang sakti itu tengah sibuk tertawa-tawa karena luapan rasa gembira. Kakek ini tak teriihat khawatir meski sudah mendapatkan mustika. Dia tak cemas kalau-kalau mustika itu berhasil dirampas tokoh lainnya.
"Siapa yang tak kenal aku?!" Iblis Pemakan Bangkai menyombong dalam diam.
"Siapa yang tak kenal Iblis Pemakan Bangkai. Kalau ada yang berani mencegah tindakanku dan berusaha marampas hasil usahaku ini, dia akan mati dalam keadaan yang mengerikan ! "
Tapi, keyakinan Iblis Pemakan Bangkai ternyata keliru. Baru saja dapatkan muatika tersebut, secara mendadak melesat tiga bayangan. Hanya dalam waktu sekejap, mereka telah berada di depan Iblis Pemakan Bangkai. Ketiga orang itu ternyata adalah kakek-kakak yang memiliki postur tubuh seukuran bocah sepuluh tahun.
Iblis Pemakan Bangkai tertawa mengekeh. Dan, masih dengan dise lingi tawa, kakek ini bicara.
"Tiga Anak Tua. Mengapa kalian berani berjajar di depanku sehingga menghalangiku jalan? Cepatlah menyingkir sebelum kesabaranku habis, dan kalian akan terima akibatnya!"
"Iblis Pemakan Bangkai! Rupanya wawasanmu cukup luas. Buktinya kau bisa mengenal kami. Padahal, bertemu pun belum," kakek yang memiliki sepasang alis berwarna merah, berikan tanggapan.
"Kurasa tak ada gunanya kita berbasa-basi lagi, hanya akan membuang-buang waktu. Iblis Pemakan Bangkai! Aku lebih suka terus terang daripada main gelap-gelapan. Dengar, kami akan menyingkir apabila kau menyerahkan benda yang kau dapatkan entah di mana itu, pada kami," sambung kakek yang mempunyai kumis berwarna merah.
Iblis Pemakan Bangkai kembali tertawa terkekeh. Nadanya sarat dengan ejekan.
"Tiga AnakTua... ! Enak saja kalian bicara! Aku yang bersusah payah berusaha, kalian yang enak-enakan datang minta hasil. Kuberikan kalian kesempatan untuk tinggalkan tempat ini dengan tubuh utuh!" ancam Iblis Pemakan Bangkai penuh ancaman.
"Benda yang kalian minta adalah milikku. Dan, aku tak berminat untuk memberikannya pada orang lain."
"Kau pintar juga berdebat, Iblis Pemakan Bangkai. Tapi, perlu kau tahu harta benda dari langit dan pusaka dari tanah, siapa yang melihat ada mempunyai bagian. Kami bertiga telah melihatnya. Sekarang berikan bagian kami!" Kali ini kakek yang berjenggot merah yang perdengarkan ucapan.
Iblis Pemakan Bangkai tak bisa menahan rasa gusarnya lagi. Dia menatap anggota Tiga Anak Tua itu satu persatu dengan sorot mata beringas penuh keinginan untuk membunuh.
"Aku sudah tidak makan nyali manusia cukup lama," seru Iblis Pemakan Bangkai, bengis.
"Apakah kalian sengaja mengantarkan?! He he he...! Rasanya tidak pantas kalau tawaran ini kutolak."
Tiga Anak Tua tertawa bergelak mendengar ucapan Iblis Pemakan Bangkai. Mereka memang talah mendengar kabar kalau Iblis Pemakan Bangkai memiliki kepandaian luar biasa. Di samping itu juga mempunyai kegemaran memakan nyali manusia yang mati di tangannya. Entah berapa banyak tokoh golongan putih dan hitam yang tewas olehnya.
Meskipun begitu, mereka pun, Tiga Anak Tua, bukan orang sembarang. Julukan mereka pun terkenal. Banyak tokoh yang mereka robohkan baik dalam keadaan mati ataupun luka parah. Golongan hitam maupun putih mereka tak ambil pusing, karana tiga kakek itu memang punya watak aneh.
Dan sekarang, mereka Tiga Anak Tua yang terkenal dan belum pernah terkalahkan, dikatakan oleh Iblis Pemakan Bangkai sebagai orang-orang yang hendak mengantarkan nyawa. Padahal, seorang di antara mereka saja, belum pernah terkalahkan. Dan sekarang, Iblis Pemakan Bangkai meremehkan mereka sekaligus.
Bagaimana mereka tak menjadi geli?!
* * *
"Iblis Pemakan Bangkai," kakek yang beralis merah berkata setelah suara tawanya pupus.
"Mungkin perlu kau tahu, kami bertiga punya nyali amat keras. Kami khawatir kau tak akan bisa memakannya."
Iblis Pemakan Bangkai kembali memperdengarkan tawanya yang berbunyi aneh. Dan, masih dengan suara tawa yang belum putus, kakek bercallng itu menyerbu ke arah kakek beralis merah. Anggota dari Tiga Anak Tua yang terakhir bicara. Iblis Pemakan Bangkai melancarkan sampokan tangan kanannya yang berbentuk cakar ke arah pelipis kakek beralis merah. Yang diserang segera melompat mundur, sehingga serangan itu menyambar tempat kosong.
Dua anggota Tiga Anak Tua lainnya seperti tahu diri. Mereka segera menyingkir, membiarkan rekan mereka yang beralis merah melayani Iblis Pemakan Bangkai.
Sedangkan Iblis Pemakan Bangkai bersikap tak peduli. Dia tak merasa gembira, kendati lawan menghadapinya tanpa pengeroyokan. Dua anggota Tiga Anak Tua yang menyingkir tak ditolehnya sama sekail. Kakek bercaling Ini terus mencecar kakek beralis merah. Iblis Pemakan Bangkai mengirimkan tendangan kaki kiri lurus ke arah dada lawannya begitu sampokannya kandas.
Kakek beralis merah tak mau kalah gertak. Dia tak mengelak lagi sekarang. Anggota Tiga Anak T ua ini memapak serangan lawannya dengan gerakan yang sama.
Dukkk !
Benturan keras yang terjadi, membuat tubuh Iblis Pemakan Bangkai terhuyung satu langkah. Tapi, di pihak lawannya, kakek beralis merah terhuyung sampai lima langkah ke belakang.
Kakek beralis merah terperanjat bukan main melihat hasil benturan itu. Dia tak pernah menyangka kalau tenaga dalam Iblis Pemakan Bangkai demikian kuatnya. Sehingga kakinya yang beradu terasa sakit dan ngilu! Apalagi ketika dipergunakan untuk berdiri, kakek beralis merah tak mampu tegak. Kakinya terasa sakit dan ngilu.
Kakek beralis merah diam-diam menyesali kecerobohannya. Kalau saja serangan Iblis Pemakan Bangkai tak disambutnya keras lawan keras, keadaannya tak akan seperti ini. Memang , lukanya tak parah. Tapi, cukup merepotkan karena akan menyulitkannya bergerak. Padahal, dengan keadaan kaki yang seperti sediakala saja, anggota Tiga Amak Tua ini tak yakin akan dapat menandingi Iblis Pemakan Bangkai. Apalagi dalam keadaan seperti itu?!
Iblis Pemakan Bangkail punya watak telengas. Di samping itu, sebagaimana tokoh seaat lainnya, selalu memanfaatkan kesempatan yang tercipta. Maka, ketika melihat cara berdiri lawannya yang tak sewajarnya, kakek bercaling ini tahu kalau benturan tadi berpengaruh terhadap kakek beralis merah.
Itulah sebabnya, tanpa menunggu lebih lama lagi, Iblis Pemakan Bangkai mreluruk menerjang kakek beralis merah. Dia menyerang bertubi-tubi dengan mempergunakan tangan kanan kirinya yang berbentuk cakar. Menyampok dan mencakar.
Melihat keadaan rekannya terancam, kakek berkumis merah dan kakek berjenggot merah, tak tinggal diam. Mereka melesat menyergap Iblis Pemakan Bangkai.
Si kakek bercaling menggeram. Dia murka mendapatkan serangan dari anggota T iga Anak T ua lainnya. Karena, saat itu serangannya terhadap kakek beralis merah, hanya tinggal menunggu hasilnya saja.
Iblis Pemakan Bangkai tidak punya pilihan lagi. Kalau dia memaksa untuk meneruskan serangannya, sebelum berhasil menggebrak kakek beralis merah, serangan dari dua anggota Tiga Anak Tua lainnya, akan lebih dulu menghantamnya.
Iblis Pemakan Bangkai tak menginginkan hal itu. Maka, serangannya terhadap kakek beralis merah dibatalkan nya. Kakek bercaling ini, gerakkan tangan kanan kirinya untuk memapak serangan-serangan yang meluncur.
Bunyi gaduh terdengar beberapa kali. Kejap kemudian, tiga sosok terhuyung-huyung ke belakang. Hanya saja Iblis Pemakan Bangkai terhuyung tak terlalu jauh. Memang, Iblis Pemakan Bangkai hampir tak terpengaruh sama sekali dengan benturan itu. Tapi, Mustika Naga Hitam yang tadi didapatkannya, lepas dari tempatnya dan menggelinding ke tanah. Karena tali ikat pinggangnya putus. Padahal, mustika itu dimasukkan dalam kantung kain dan dise lipkan pada ikat pinggang.
* * *
Seketika itu pula kegemparan terjadi. Orang-orang persilatan yang melihat terlepasnya Mustika Naga Hitam dari kekuasaan Iblis Pemakan Bangkai, secepat kilat menyerbu ke arah jatuhnya benda bulat berwarna merah itu. Puluhan tokoh persilatan saling mendahului untuk mendapatkan mustika itu.
Sementara itu, Iblis Pemakan Bangkai ketika melihat mustikanya terlepas dari pinggang, mencoba untuk menyambar dengan tangannya. Sayang, gerakan kakek ini kurang cepat. Benda bulat berwarna merah itu telah terlebih dulu jatuh dan menggelinding menjauh.
Kakek bercaling ini hanya bisa berteriak-teriak kalap ketika menyaksikan puluhan sosok yang melesat untuk mendapatkan Mustika Naga Hitam itu.
Hanya berbeda seper sekian kejapan mata, Iblis Pemakan Bangkai yang merasa khawatir Mustika Naga Hitam akan terampas tokoh lainnya, telah menghentakkan sepasang tangannya. Kakek ini mengirimkan pukulan jarak jauhnya.
Wusss!
Angin yang luar biasa keras menggemuruh ketika Iblis Pemakan Bangkai melancarkan serangan. Dahsyat sekali Dan, tokoh-tokoh persilatan yang saling berlomba untuk mendapatkan Mustika Naga Hitampun mengetahuinya.
Oleh karena itu, untuk kedua kalinya tokoh-tokoh persilatan itu terpontang-panting. Hanya saja kalau semula, terpontangpanting untuk memperebutkan mustika. Sedangkan kali keduanya karena untuk menyelamatkan selembar nyawa.
Tapi, tak semua tokoh persilatan itu berhasil dalam usahanya. Gerakan yang kurang cepat, arah menjauhkan diri yang berbentrokan dengan tokoh lainnya, dan terlalu tibatibanya serangan Iblis Pemakan Bangkai, menyebabkan sebagian kecil tokoh-tokoh persilatan gagal dalam usahanya.
Pukulan jarak jauh Iblis Pemakan Bangkai memang luar biasa. Kalau manusia-manusia sakti saja berpentalan bak daun kering dihembuskan angin. Apalagi batu-batu kecil dan Mustika Naga Hitam? Batu-batu dan mustika itu terlempar lebih deras lagi !
Iblis Pemakan Bangkai tak menunggu labih lama. Dia melesat memburu mustika yang melayang di udara itu.
Ternyata kakek bercaling itu bukan satu-satunya orang yang memburu Mustika Naga Hitam. Bidadari Berkabung, Dewi Berhati Besi, Tiga Anak Tua, wanita berpakaian merah, dan beberapa tokoh lainnya tak mau ketinggalan. Mereka saling berlomba. Mereka saling bersicepat. Mereka saling Mengulurkan tangan masing-masing sejauh-jauhnya agar kemungkinan untuk menjangkau benda yang diidam-idamkan jadi lebih besar.
* * *
--↨֍¦ SEMBILAN ¦֍↨--
Saat ini, pemuda berambut dikuncir ekor kuda itu telah mampu bangkit. Keadaanya memang telah semakin membaik. Malah, Pendekar 108 Ini telah mampu merayap meski masih sempoyongan.
Aji baru merangkak beberapa kaki ketika secara mendadak mulutnya bergerak membuka, tanpa si pemuda melakukannya. Dan anehnya, Mustika Naga Hitam yang tengah melayang-layang, berbelok arah menuju ke Aji seperti tersedot oleh kekuatan tak nampak.
Mustika itu me luncur menuju mulut Aji. Dan, ketika beberapa jengkal lagi menabrak mulut si pemuda, mustika Itu mengecil dan memanjang. Lalu, meluncur dengan derasnya ke dalam mulut Pendekar 108, menggebrak masuk ke dalam tenggorokan dan terus ke perut .
Aji yang tak mengerti apa yang telah terjadi jadi blingsatan. Pemuda berpakaian hijau ketat ini pun tak pernah menyangka kalau benda bulat yang tertelan olehnya tanpa sengaja itu adalah Must ika Naga Hitam. Dia baru terperanjat ketika melihat tokoh-tokoh persilatan semuanya meluruk ke arahnya ! .
"Apa yang terjadi?! Mengapa tokoh-tokoh persilatan itu malah meluruk kemari?! Ataukah..., mereka telah bersepakat untuk membunuhku bersama-sama?!" Aji menduga dalam kegelisahan hati yang mendera.
Tak berselang lama, tokoh-tokoh persilatan itu telah berada di dekat Pendekar Mata Keranjang 108. Berdiri tegak, mengurung, membentuk lingkaran yang cukup besar. Matamata mereka tertuju pada sang pendekar. Tapi, mulut-mulut mereka terkatup rapat.
Aji yang belum mengerti dan tahu apa yang telah terjadi, balas menatap sosok-sosok di sekelilingnya. Tapi, sorot mata pemuda berpakaian dalam kuning ini, sarat dengan ketidak mengertian dan kebingungan.
"Mengapa mereka malah merubungiku?! Bukankah kedatangan mereka ke tempat ini adalah untuk mendapatkan Mustika Naga Hitam?! Ada sesuatu yang aneh di sini," Aji membatin.
Pendekar 108 tak tahu kalau tokoh-tokoh persilatan yang mengerumuninya juga bingung dan tak tahu harus berbuat bagaimana. Mustika yang mereka perebutkan telah ditelan Aji, meskipun tanpa sengaja.
"Apa yang harus kulakukan sekarang?!" pertanyaan itu menggayuti benak setiap tokoh perallatan yang berada di tempat itu.
* * *
Saat-saat yang sunyi mencekik tenggorokan tanpa adanya bunyi sama sekali itu tak berlangsung lama. Karena, Iblis Pemakan Bangkai telah menyeruak kerumunan orang dan mengeluarkan bentakan keras menggelegar.
"Bocah Ini akan kubawa. Siapa yang berani menghalangi akan kumakan mentah-mentah nyalinya saat Ini juga!"
Sambil bicara demikian, kakek bercaling ini mengedarkan pandangan berkeliling. Memperhatikan satu persatu wajahwajah di sekitarnya. Iblis Pemakan Bangkai ingin melihat tanggapan mereka. Tapi, tak satu pun yang menunjukkan penentangan. Malah, yang tertangkap pada sorot mata mereka adalah kebingungan.
"Mengapa Iblis Pemakan Bangkai Ingin membawa pemuda baju hijau ini?!" tanya para tokoh persilatan dalam hati yang bingung.
"Apakah ini ada hubungannya dengan Mustika Naga Hitam yang berada di dalam perut pemuda itu?!"
Saat para tokoh persilatan kebingungan, Iblis Pemakan Bangkai melangkah mendekati Aji. Kakek bercaling ini telah bersiap untuk melaksanakan apa yang diinginkannya. Namun, sebelum maksudnya terlaksana terdengar suara dengusan dingin.
"Apa maksudmu membawa pemuda ini, Pemakan Bangkai?!" sang pemilik dengusan, yang bukan lain dari Bidadari Berkabung, melontarkan pertanyaan bernada mendesak.
"Kau tak perlu tahu, Wanita Sial!" rutuk Iblis Pemakan Bangkai.
"Kalau kau ingin selamat, segera menyingkir dari tempat ini. Atau, paling tidak jangan coba-coba kau menghalangi maksudku!"
"Kalau kau tak beri tahukan maksudmu membawa pemuda itu, aku tak bisa tinggal diam !" tandas Bidadari Berkabung, mantap.
"Itu artinya kau mencari penyakit sendiri, Bidadari Berkabung!" timpal Iblis Pemakan Bangkai dengan nada penuh ancaman.
"Aku yakin kau tak bodoh dan bisa melihat kenyataan kalau dirimu bukan tandinganku! Jadi, jika kau paksakan juga untuk bertarung denganku, hanya kecalakaan yang akan kau peroleh!"
Bidadari Berkabung hanya mendengus dingin. Seakan-akan tak peduli, pada ancaman Iblis Pemakan Bangkai. Padahal, sebenarnya wanita berparas dingin ini dapat merasakan kebenaran dalam ucapan sang kakek bercaling , dan mengambil perhatian. Tapi, demi harga diri, Bidadari Berkabung tak menampakkan perasaannya.
Sungguh pun demikian, diam-diam dia memutar benaknya, mencari cara untuk menghadapi Iblis Pemakan Bangkai yang luar biasa lihai ini! Tentu saja dengan tidak menderita kerugian .
Bidadari Berkabung telah dapat memperkirakan kalau kepandaian yang dimiliki Iblis Pemakan Bangkai memang luar biasa. Wanita berparas dingin ini telah melihat pertarungan Dewi Berhati Besi. Begitu pula pertarungan Iblis Pemakan Bangkai. Oleh karena itu, sedikit banyak dia bisa mengetahui tingkat-tingkat kepandaian mereka.
Dari hasil pengamatannya itu, Bidadari Berkabung bisa memperkirakan kalau tingkat kepandaian Iblis Pemakan Bangkai berada di atas Dewi Berhati Besi. Juga di atas tingkatnya. Karena, Bidadari Berkabung yakin, tingkat kepandaiannya bisa dijajarkan dengan Dewi Berhati Besi.
Meski bersikap dan bertingkah dingin, Bidadari Berkabung mempunyai otak yang tidak dingin. Hanya dalam sekejapan saja, dia telah menemukan cara untuk menghadapi Iblis Pemakan Bangkai tidak dengan seorang diri.
"Aku bisa memaklumi mengapa kau bersikeras untuk membawa pemuda itu, Pemakan Bangkai. Karena kau menginginkan Mustika Naga Hitam-nya bukan?! Menurut pikiran wajar saja, mustika itu masih tetap utuh selama lambung belum bekerja untuk mencernanya. Kau masih punya harapan untuk mendapatkan mustika itu!"
"Itulah sebabnya kau ingin membawa pemuda Ini. Bukan merupakan persoalan bagimu untuk mengeluarkan mustika itu dari perutnya. Orang sekeji kau tak takut dan ragu untuk membelek perut siapa pun! Nah! Silakan bantah kalau dugaanku itu salah, Pemakan Bangkai!"
Iblis Pemakan Bangkai tergagu. Dia tak bisa menyangkal sama sekali karena semua dugaan Bidadari Berkabung benar belaka. Meskipun sebenarnya, kakek ini bisa saja membantah, tapi dia menyadari kalau hal itu akan sia-sia saja. Orang-orang persilatan tak akan percayai bantahannya.
Tapi, Bidadari Berkabung terlalu menganggap remeh Iblis Pemakan Bangkai. Kakek itu ternyata punya otak yang cukup cerdik. Kakek bercaling itu bukannya sibuk mencari-cari a lasan untuk membantah dugaan Bidadari Berkabung. Iblis Pemakan Bangkai justru gunakan isi kepalanya untuk balas memukul sang Bidadari.
"Semua ucapan Bidadari Berkabung memang benar. Aku memang bermaksud mengambil mustika itu dari perut pemuda yang sudah hampir mati ini ! Mengapa?! Daripada mustika itu hilang percuma, tak berarti karena masuk ke dalam tubuh orang yang hampir mati, bukankah lebih baik kalau diambil saja?! Toh, dibelek atau tidak perut si pemuda, dia akan mati juga!"
Bidadari Berkabung memaki dalam hati. Di depannya, Iblis Pemakan Bangkai tersenyum penuh kemenangan. Itu dilakukannya ketika melihat kepala semua tokoh persilatan yang masih berada di tempat Itu, mengangguk-angguk. Hanya satu kepala yang tidak mengangguk. Kepala milik perempuan buruk rupa ! .
Iblis Pemakan Bangkai tahu kalau Bidadari Berkabung telah kalah berdebat. Maka, dia memberikan pernyataan terakhir yang mengukuhkan kemenangan pendapatnya.
"Apalagi yang kalian tunggu?! Apakah kalian lebih suka kalau mustika itu hancur percuma di tubuh seorang bocah yang telah sekarat?!"
Iblis Pemakan Bangkai tak perlu mengulang ucapannya untuk membuat tokoh-tokoh persilatan itu bersiap merencahrencah Aji. Tiga Anak Tua. Tokoh-tokoh berwatak aneh yang tak ketahuan golongan berpijaknya telah bertindak paling dulu.
Tapi, Bidadari Berkabung memang telah bertekad bulat untuk menyelamatkan Aji. Dia berdiri di depan si pemuda hanya dengan sekali gerakkan kaki. Wanita berparas dingin ini mengangkat dagunya dan membusung kan dada, mengunjukkan sikap siapnya menghadapi segala kemungkinan. Sekalipun yang terburuk.
Pendekar Mata Keranjang 108 merasa terharu sekali melihat pembelaan Bidadari Berkabung yang demikian besar terhadapnya. Dia memang tahu, ada sesuatu yang membuat wanita dingin itu senantiasa membelanya.
Tapi, Aji tetap merasa berterima kasih sekali. Karena, dia tahu kalau sang Bidadari tidak bermaksud jahat.
Tapi, Aji tak bisa terlalu lama memikirkan Bidadari Berkabung. Karena, di dalam perutnya tiba-tiba seperti ada makhluk hidup yang bergolak. Ada hawa aneh yang berputaran keras di bawah pusarnya. Demikian kerasnya, sehingga membuat tubuh si pemuda terguncang-guncang! .
"Ada apa ini?!" tanya si pemuda dalam hati dengan perasaan bingung.
Pendekar 108 ini tak tahu kalau hawa yang berputaran itu tercipta akibat masuknya Mustika Naga Hitam! Benda mukjizat itu meluncur dan masuk ke dalam perut Aji, karena di dalam diri si pemuda terdapat isi dari Lembaran Kulit Naga Pertala. Hubungan antara isi dari Lembaran Kulit Naga Pertala dan mustika itu demikian eratnya tak ubahnya kutub-kutub magnit yang berbeda. Tarik-menarik dengan keras. Itulah sebabnya, Mustika Naga Hitam tertarik ke dalam perut Pendekar Mata Keranjang.
"Bidadari Berkabung," kakek beralis merah bicara dengan suara keren.
"Menyingkirlah dari tempat itu. Jangan kau bertindak serakah, mengangkangi bocah itu sendirian!"
'Tutup mulutmu, Peot!" desis sang Bidadari.
"Aku bukan manusia keji seperti kalian yang sampai hati membelek perut seorang manusia untuk mengambil benda terkutuk!"
"Kau tak perlu menasihatiku, Wanita Sial! Aku tak perlu segala saranmu!"
Berbareng ucapannya, kakek beralis merah itu melancarkan tinju kanannya ke arah dada. Tanpa ragu Bidadari Berkabung menyambutnya dengan gerakan serupa.
Bukkk ! Kakek beralis merah terhuyung dua langkah dengan jari-jari tangan terasa sakit-sakit. Di depannya, sang Bidadari tak bergeming sama sekali.
Kekalahan kakek beralis merah, membuat dua rekannya tak tlnggal diam. Mereka meluruk menerjang Bidadari Berkabung, secara berbareng.
Tapi, Bidadari Berkabung memang wanita cerdik. Dia tahu kalau tenaga dalamnya lebih kuat. Maka, serangan-serangan lawan-lawannya dipapaknya. Dua anggota Tiga Anak Tua kembali terhuyung ke belakang.
Bidadari Berkabung bagaikan dikeroyok baramai-ramai. Karena, baru saja Tiga Anak Tua terpukul mundur, berkat kecerdikan wanita berparas dingin itu, dua tokoh silat lainnya telah menyerbunya. Yang seorang bersenjatakan tongkat besi, menyerang dari sebelah kiri. Sedangkan yang di sebelah kanan bersenjatakan pedang. Mereka adalah si Tongkat Maut dan Dewa Pedang Kilat.
Bidadari berkabung cukup mengenal dua orang penyerang itu. Mereka adalah tokoh-tokoh golongan putih. Tingkat mereka dapat disejajarkan dengan Tiga Anak Tua. Ini berarti kepandaian mereka telah tinggi.
Kali ini Bidadari Berkabung tak berani mengelak tanpa menjauh dari tempatnya berdiri. Akan sangat berbahaya. Karena, saat itu kedudukannya tak menguntungkan. Tambahan lagi, perkembangan serangan kedua lawannya belum diketahuinya.
Dengan sangat terpaksa, Bidadari Berkabung menjauhi Aji. Dia menjejakkan kakinya ke tanah sehingga tubuhnya meiayang ke belakang. Serangan-serangan lawannyapun kandas karenanya.
Perginya Bidadari Berkabung dari depan Aji dimanfaatkan betul-betul oleh Tiga Anak Tua. Mereka meluruk ke arah Aji. Tapi, sebelum maksud mereka kesampaian. Dua sosok bayangan berkelebat.
Jeritan susul-menyusul yang menyayat hati terdengar. Tubuh kakek-kakek yang berbulu merah itu ambruk ke tanah dalam keadaan tak bernyawa. Sementara, dua sosok yang menyambar mereka telah menjejak tanah secara mantap.
* * *
--↨֍¦ SEPULUH ¦֍↨--
Sebenarnya, kalau saja Tiga Anak Tua tidak tengah memusatkan perhatian pada Aji, Iblis Pemakan Bangkai tak akan semudah itu membinasakan mereka. Begitu pula dengan Dewi Berhati Bes i. Betapapun kedua tokoh itu telah merencanakan waktu yang tepat, dan melakukan gerakan penyerangan secara kilat dan tak tersangka-sangka.
Iblis Pemakan Bangkai dan Dewi Berhati Besi saling pandang. Diam-diam merasa geli, karena bisa menyerang dalam waktu yang sama tapi dengan sasaran yang berbeda. Padahal, hal itu tak direncanakan. Mereka tak bersekutu. Yang ada di benak masing-masing hanya mengurangi jum lah saingan.
Tindakan Iblis Pemakan Bangkai dan Dewi Berhstl Besi menimbulkan kegemparan. Tokoh-tokoh persilatan yang tersisa jadi tak tenang. Masing-masing bersikap waspada dan memperhatikan sekeliling karena khawatir menjadi korban serangan gelap yang tidak terduga-duga.
Keadaan menjadi menegangkan. Untuk sesaat, Aj bisa tenang. Tak khawatir mendapet serangan lagi. Iblis Pemakan Bangkai, Dewi Berhati Besi, Bidadari Berkabung, si Tongkat Maut, Dewa Pedang Kilat, wanita berbaju merah, dan beberapa tokoh persilatan lainnya mengedarkan pandangan berkeliling. Berjaga-jaga.
Waktu berlalu sedikit demi sedikit. Tapi, belum ada satu pun tokoh persilatan yang bergerak. Masing-masing tegak di tempatnya. Hanya bola mata mereka yang berputaran liar. Keadaan demikian menegangkan. Setiap orang tahu, nyawa mereka bisa melayang sewaktu-waktu.
"Grrr...r "
Lagi-lagi, secara mendadak Iblis Pemakan Bangkai bertindak. Kakek bercaling ini menggeram dengan mengerahkan seluruh tenaga dalamnya.
Akibatnya memang luar biasa. Sekitar tempat itu bergetar hebat. Sebagian besar tokoh persilatan yang ada, tak mampu berdiri. Mereka roboh ke tanah, dan hanya berdiri dengan menggunakan lutut. Geraman keras itu membuat kaki-kaki mereka lemas.
Hanya beberapa gelintir tokoh yang mampu untuk tetap berdiri. Tapi, itu pun beberapa di antaranya tak mampu tegak. Si Tombak Maut dan Dewa Pedang Kilat terhuyung-huyung ke sana kemari seperti orang mabuk.
Dewi Berhati Besi dan Bidadari Berkabung yang keadaannya paling mendingan. Mereka tak sampai terhuyung. Hanya merasakan getaran hebat pada dada, dan sepasang kaki terasa lemas sehingga hampir tak kuat menopang tubuh. Namun, wanita-wanita perkasa ini mampu menguasai diri dan mengerahkan tenaga dalam untuk memunahkan pengaruh itu.
Keberhasilan Dewi Berhati Besi dan Bidadari Berkabung menguasai diri, membuat nyawa mereka dapat diperpanjang lagi. Karena, hanya berbeda sekejapan mata dengan geraman yang dilontarkannya, Iblis Pemakan Bangkai yang licik, telah melemparkan senjata-senjata rahasia berupa paku-paku beracun pada setiap orang yang berada di tempat itu.
Cap, cap, cappp...! .
Jeritan kematian terdengar silih berganti ketika paku-paku beracun itu menghujam sasaran. Belasan tokoh persilatan menggelepar-gelepar sekarat. Si Tombak Maut dan Dewa Pedang Kilat termasuk di antara para korban.
Dua tokoh golongan putih itu tengah sempoyongan seperti orang mabuk ketika paku-paku beracun itu menyerbu ke arah leher. Kedua orang ini mendengar adanya serangan gelap dan menyadari akan adanya bahaya tapi tak mampu berbuat apa pun.
Paku-paku yang mengandung racun ganas itu pun menghujam leher mereka. Si Tombak Maut dan Dewa Pedang Kilat langsung menggelepar. Mereka merasakan sakit yang luar biasa menggebrak, membuat mereka menggelepargelepar saat sekarat meregang nyawa.
* * *
Dewi Berhati Besi dan Bidadari Berkabung langsung menerjang Iblis Pemakan Bangkai. Mereka menyerang hampir bersamaan, seakan-akan talah disepakati sebelumnya.
Dua wanita perkasa yang telah agak tua itu menyerang Iblis Pemakan Bangkai karena merasa geram melihat kelicikannya. Kalau saja kurang kuat, Dewi Berhati Besi dan Bidadari Berkabung, tidak akan mampu mengelakkan serbuan paku beracun.
Berkat tenaga dalam yang kuat sehingga mampu menguasai diri, secara cepat, dua wanita perkasa itu mampu mengelakkan paku beracun yang menggebrak. Sementara Iblis Pemakan Bangkai tak kelihatan gugup kendati menghadapi serbuan Dewi Berhati Besi dan Bidadari Berkabung secara serempak.
Iblis Pemakan Bangkai memang seorang tokoh sesat yang mengerikan. Dia terkenal berkepandaian tinggi, kejam, dan gemar makan nyali manusia. Oleh karena itu dia mendapat julukan Iblis Pemakan Bangkai.
Di samping semua jati dirinya di atas, kakek bercaling ini cukup mahir dalam racun. Beberapa di antaranya termasuk racun ganas. Seperti halnya racun yang terkandung pada paku yang telah merenggut banyak nyawa tokoh persilatan itu.
Kali ini, saat menghadapi pengeroyokan Bidadari Berkabung dan Dewi Berhati Bes i, Iblis Pemakan Bangkai telah bersiapsiap untuk menggunakan racunnya. Tentu saja apabila keadaan telah tak menguntungkan.
Saat kakek bercaling itu merancang-rancang siasat lagi, serangan Dewi Berhati Besi telah menyambar tiba. Wanita pesolek ini mengirimkan serangan berupa tendangan bertubitubi. Susul-menyusul bagaikan angin ribut.
Serangan Dewi Berhati Besi memang dahsyat dan luar biasa. Serangan itu didahului dengan tendangan lurus ke arah dada. Disusul tendangan m iring ke arah leher yang dilakukan oleh kaki yang sama, kanan. Lalu, sambil membalikkan tubuh, wanita itu melancarkan tendangan kaki kiri yang dilakukan sambil membalikkan badan.
Plak, plak, plakkkk!
Semua serangan itu berhasil dikandaskan Iblis Pemakan Bangkai dengan tetakan-tetakan tangannya. Setiap kali terjadi benturan, kaki sang Ketua Perkumpulan Anak Langit terpental balik. Si wanita pesolek merasakan kakinya sakit-sakit, di samping tubuhnya terhuyung. Malah, pada benturan yang terakhir kali, Dewi Berhati Besi sampai terjengkang ke belakang. Hal ini menyadarkan sang Dewi kalau tenaga dalam lawannya berada cukup jauh di atasnya.
Suatu keuntungan bagi Dewi Berhati Besi. Di saat dirinya berada dalam keadaan tak menguntungkan itu, Bidadari Berkabung menyerang Iblis Pemakan Bangkai. Hal itu membuat sang Iblis tak sempat mengirimkan serangan balasan.
Tapi, seperti juga Dewi Berhati Bes i, serangan Bidadari Berkabung pun dapat dikandaskan oleh Iblis Pemakan Bangkai. Bahkan pada gerakan-gerakan lanjutan, sang Bidadari yang terdesak dan terancam.
Saat-saat genting bagi Bidadari Berkabung, Dewi Berhati Besi muncul sebagai penyelamat. Di lain saat, dua wanita yang semula bersateru itu, sekarang bahu-membahu menghadapi angkara-murka Iblis Pemakan Bangkai.
Bidadari Berkabung dan Dewi Berhati Besi sebenarnya tak sudi untuk bekerja sama, kalau saja tidak sangat terpaksa. Mereka berdua bukan orang segolongan.
Dewi Berhati Besi adalah seorang Ketua Perkumpulan Anak Langit. Sebuah perkumpulan yang beranggotakan tokoh-tokoh aliran hitam. Perkumpulan itu cukup besar dan ditakuti karena beranggotakan banyak dan rata-rata berkepandaian tinggi.
Dewi Berhati Besi sendiri cukup terkenal di dunia persilatan, sebagai tokoh golongan hitam yang gemar bermain cinta dengan pemuda-pemuda tampan. Entah berapa banyak pemuda yang menjadi korbannya, bermain cinta dengannya baik secara suka rela maupun terpaksa.
Seperti juga Iblis Pemakan Bangkai, Dewi Berhati Besi mempunyai watak kejam. Pemuda-pemuda yang telah bermain cinta dengannya, dibinasakan setelah dia bosan.
* * *
--↨֍¦ SEBELAS ¦֍↨--
Menurut berita yang tersiar, Bidadari Berkabung ini dulunya adalah seorang pendekar wanita yang barwatak cukup periang. Konon, sang pendekar wanita ini jatuh cinta. Tapi, sayang. Cintanya bertepuk sebelah tangan. Bidadari Berkabung Muda patah hati. Tenggelam dalam duka yang besar.
Si pendekar wanita itu menganggap dirinya telah mati seiring dengan matinya benih cintanya. Oleh karena itu, dia mengenakan pakaian serba putih sebagai tanda berkabung. Wajahnya yang cantik. Hidupnya yang berselubung duka dan kesedihan, membuatnya mendapatkan julukan Bidadari Berkabung.
Sebagaimana Dewi Berhati Besi yang termasuk pentolan goiongan hitam. Bidadari Berkabung terhitung tokoh tingkat atas pula. Tapi, pada jajaran golongan putih.
Dan sekarang, pentolan atas golongan putih dan hitam itu bersatu untuk menghadang angkara murka Iblis Pemakan Bangkai. Seorang pentolan aliran hitam yang amat terkenal.
Dewi Berhati Besi dan Bidadari Berkabung terpaksa bergabung, kendati tanpa kompromi lagi. Hanya menggunakan saling pengertian. Mereka sadar kalau bertarung seorang demi seorang, iblis Pemakan Bangkai akan menggulung mereka dengan mudah.
Kerja sama itu memang tak percuma. Setelah lewat tiga puluh jurus, Iblis Pemakan Bangkai mulai terdesak. Kakek bercaling itu mulai jarang melakukan serangan balasan. Mengelak dan bertahanlah yang sering diperbuatnya.
Iblis Pemakan Bangkai terus didesak mundur. Sang iblis pun sadar kalau keadaan terus berlangsung seperti ini, dia akan kalah. Dewi Berhati Besi dan Bidadari Berkabung akan menewaskan dirinya.
Di jurus kelima puluh, Iblis Pemakan Bangkai membanting tubuh ke tanah dan terus bergulingan. Dewi Berhati Besi dan Bidadari Berkabung tak menyia-nyiakan kesempatan bagus itu. Mereka meluruk, menyerbu.
Kesempatan aeperti ini memang dinanti-nanti oleh iblis Pemakan Bangkai. Dia membanting dua benda bulatnya sekaiigus ke tanah. Bukan benda bulat yang telah menghancurkan naga hitam.
Darrr, darrr...!
Diiringi bunyi ledakan cukup keras, asap berwarna merah muda, menyeruak keiuar. Dan membubung. Bau harum yang aneh menyebar di sekitar tempat itu.
Dewi Berhati Besi dan Bidadari Berkabung adalah tokohtokoh persilatan yang telah kenyang pengalaman. Oleh karena itu, ketika mendengar bunyi ledakan, mereka melentingkan tubuh menjauhi Iblis Pemakan Bangkai. Serangan yang siap dilontarkan, langsung dibatalkan. Dua wanita perkasa itu membaui adanya hal-hal yang membahayakan dari ledakan yang tercipta.
Dewi Berhati Besi dan Bidadari Berkabung telah bertindak cepat. Tapi, tak urung asap merah muda yang tercipta dari hasil ledakan itu, tercium oleh hidung mereka.
Dewi Berhati Besi dan Bidadari Berkabung terperanjat ketika sesaat kemudian merasakan adanya hal yang janggal. Lubang hidung mereka terasa panas, tenggorokan terasa gatal, dan sakit. Seketika itu pula, dua wanita sakti itu sadar kalau asap yang terhisap oleh mereka mengandung....
"Racun...," desis Dewi Berhati Besi dan B idadari Berkabung dengan perasaan cemas.
Meskipun demikian, sebagai tokoh-tokoh tingkat tinggi, mereka tahu kalau asap yang terhisap mereka terlampau sedikit. Andaikata pun racunnya bekerja, akibat yang ditimbulkannya tak telalu besar. Apalagi karena mereka memiliki tenaga dalam kuat.
Bukan hanya dua wanita sakti itu yang tahu kalau kadar racun yang terhisap ke dalam tubuh terlalu sedikit, iblis Pemakan Bangkai pun mengetahuinya. Dan, hal ini telah masuk ke daiam perhitungan kakek bercaling itu.
Iblis Pemakan Bangkai adalah seorang tokoh sesat yang licik, juga cerdik. Jadi, kakek ini telah perhitungkan semuanya secara terinci, itulah sebabnya ketika melihat Dewi Berhati Besi dan Bidadari Berkabung melenting ke atas, menjauhi asap beracun, kakek ini segera bertindak cepat.
Hanya berbeda waktu sepersekian kejapan mata dengan saat dua lawannya melenting menjauhi asap beracun, iblis Pemakan Bangkai menjulurkan sepasang tangannya ke arah asap yang membubung. Kakek bercaling ini mengerahkan tenaga dalamnya sampai ke puncak yang tertinggi.
Tidak ada bunyi yang terdengar. Tidak ada hembusan angin dari sepasang tangan iblis Pemakan Bangkai yang dijulurkan. Tapi, asap merah muda membubung laksana sekelompok awan mengikuti ke mana Dewi Berhati Besi dan Bidadari Berkabung menjauhi.
Sialnya, dua wanita sakti itu menjauhi ke arah yang sama. Asap yang membubung, membungkus mereka. Dan hebatnya, ketika tubuh terbungkus, sekujur tubuh terasa panas. Mata perih. Dewi Berhati Besi dan Bidadari Berkabung berusaha sekuat tenaga untuk menahan napas. Tapi, pengaruh asap itu tetap muncul.
Dua wanita setengah baya itu merasakan pusing luar biasa menyergap. Otot-otot dan urat-urat terasa lemas. Tenaga pun membuyar, seiring dengan semakin membesarnya rasa pusing yang melanda. Pandangan mata mulai berkunang-kunang.
* * *
Dewi Berhati Besi yang terbiasa mengumbar nafsu tak mempunyai daya tahan seperkasa Bidadari Berkabung yang senantiasa hidup teratur. Setelah berjuang keras untuk tetap bertahan, wanita pesolek ini ambruk ke tanah. Pingsan.
Bidadari Berkabung jauh lebih kuat. Wanita berwajah dingin ini malah mampu keluar dari kungkungan asap. Meski dengan terhuyung-huyung, sang Bidadari berusaha untuk mendekati Aji.
Iblis Pemakan Bangkai tak lanjutkan cara penyerangan seperti itu. Dengan langkah-langkah seenaknya dia mengikuti Bidadari Berkabung. Kakek bercaling ini tahu, tak lama lagi pun sang Bidadari akan ambruk menyusul Dewi Berhati Besi.
Bidadari Berkabung berdiri dengan sikap gagah, namun sempoyongan di depan Pendekar 108. Seakan-akan hendak melindungi si pemuda dari ancaman ibiis Pemakan Bangkai.
Iblis Pemakan Bangkai menatap Bidadari Berkabung lekatlekat. Suaranya terdengar penuh kesungguhan ketika berbicara.
"Kau bernasib jelek, Bidadari Berkabung. Saat ini aku menginginkan nyali seorang perempuan yang masih perawan. Kau tahu, sudah lama aku tak menikmati nyali seorang perawan. Dan kau, meski sudah tua, aku tahu masih perawan. Bersiaplah untuk menjadi santapanku, Wanita Sial !" Berbareng terkatup muiutnya, Iblis Pemakan Bangkai menghentakkan sepasang tangannya. Angin yang luar biasa keras dan mengeluarkan bunyi gaduh langsung tercipta. Kakek bercaling itu telah menggunakan seluruh tenaga dalamnya ketika mengirimkan pukulan jarak jauh.
Iblis Pemakan Bangkai terpaksa mengerahkan seluruh tenaganya karena khawatir kalau-kalau Bidadari Berkabung masih mampu memberikan perlawanan, lalu memapaknya. Kakek itu tak ingin gagal lagi.
Kehati-hatian ibiis Pemakan Bangkai terlalu berlebihan. Bidadari Berkabung sudah tak berdaya lagi. Pengaruh asap racun telah membuatnya tak berdaya. Bahkan ketika berdiri pun, tak mampu tegak.
Bidadari Berkabung masih sempat menyadari akan adanya ancaman maut. Tapi, apa dayanya?! Seluruh tenaganya telah lenyap entah ke mana. Dia hanya bisa pasrah menanti nasib!
Saat pukulan Jarak jauh ibiis Pemakan Bangkai itu meluncur semakin dekat, luka dalam Aji telah sembuh sama sekali. Malah dalam tubuhnya berputaran hawa liar .
Meski masih bingung dengan kejadian yang dialam inya, Pendekar Mata Keranjang tak memikirkannya lebih jauh. Dia tahu, nyawa Bidadari Berkabung berada di ujung tanduk. Terlambat bertindak sekejap saja, wanita berparas dingin itu akan tewas dengan sekujur tubuh hancur lebur.
Dengan kecepatan yang menakjubkan dan bahkan mengejutkan Pendekar 108 sendiri, pemuda berambut dikuncir ekor kuda ini menghentakkan sepasang tangannya. Aji memapak pukulan jarak jauh Iblis Pemakan Bangkai dengan pukulan jarak jauh pula. Hanya itu jalan satu-satunya untuk menyelamatkan nyawa Bidadari Berkabung!
Wusss ! Hawa yang luar biasa panas berhembus ketika pukuian jarak jauh Pendekar 108 menggebrak. Sekitar tempat itu bagaikan dipanggang. Menyengat dan menyesakkan pernapasan.
* * *
--↨֍¦ DUA BELAS ¦֍↨--
Tanah di sekitar tempat itu berguncang keras, bagaikan dilanda gempa. Malah, permukaan tanah tepat di bawah pertemuan dua tenaga dalam bertemu, berlubang besar! Debu dan batu-batu kecii beterbangan ke sana kemari. Udara panas menyengat dan menyesakkan pernapasan.
Aji tegak di tempatnya. Tak bergeming sama sekali. Di depannya, Bidadari Berkabung terhumbalang, terpelanting, dan menabrak tubuh Pendekar 108, untuk kemudian jatuh telentang.
Keadaan iblis Pemakan Bangkai lebih menyedihkan lagi. Kakek ini terjengkang ke belakang bak diseruduk kerbau liar. Beberapa tombak tokoh sesat yang menggiriskan hati ini terjajar ke belakang, sebelum akhirnya terbanting ke tanah. Jatuh tertelentang, iblis Pemakan Bangkai rebah lebih dari lima tombak dihitung dari tempatnya semula.
Suasana menjadi hening. Dan, ketika akhirnya gumpalan debu menyurut, sehingga keadaan di sekitar tempat itu terlihat lebih jelas, yang berdiri tegak hanya tinggal Pendekar 108 seorang . Iblis Pemakan Bangkai berusaha keras untuk bangkit. Namun, dia gagal. Malah, kakek ini memuntahkan darah segar dari mulutnya. Bentrok pukulan dengan Pendekar 108 ternyata membuat tokoh sesat yang menggiriskan hati ini, terluka dalam yang amat parah!
Ternyata yang berjuang keras untuk bangkit, bukan hanya Iblis Pemakan Bangkai seorang. Bidadari Berkabung pun demikian. Tapi, wanita berwajah dingin ini lebih beruntung daripada Iblis Pemakan Bangkai. Bidadari Berkabung berhasil bangkit dari rebahnya dan berdiri sebagaimana binatang berkaki empat berdiri. Terlihat lucu. Namun, itu pun sudah merupakan hasil perjuangan sekerasnya dari wanita yang senantiasa dibelit kedukaan itu.
Keadaan Iblis Pemakan Bangkai dan Bidadari Berkabung memang mengkhawatirkan. Tapi, pikiran keduanya justru segar bugar. Serentetan pertanyaan bergayut di benak.
"Mengapa tenaga dalam bocah itu jadi dem ikian kuatnya?!" Bidadari Berkabung membatin.
"Bukankah sebelumnya tak lebih kuat daripada tenaga dalam Dewi Berhati Bes i?! Mengapa sekarang malah mampu membuat Iblis Pemakan Bangkai yang memiliki tenaga dalam luar biasa kuat, terhumbalang?! Mungkinkah Mustika Naga Hitam yang membuat kekuatan tenaga dalamnya berlipat ganda?! Tapi, bukankah menurut berita yang tersiar, benda mukjizat itu akan muncul pengaruhnya setelah melewati masa setengah harian lebih?! itu artinya, pagi hari baru bocah itu akan bertambah tenaga dalamnya! Padahal, sekarang masih malam. Bahkan belum tertalu larut! Bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi?! Ataukah..., bukan Mustika Naga Hitam yang menjadi penyebabnya?! Tapi, kalau bukan benda mukjizat itu, apalagi yang membuat tenaga dalam si bocah menjadi demikian kuatnya?!"
"Benarkah bocah keparat itu mempunyai tenaga dalam sekuat ini? !" kata Iblis Pemakan Bangkai dalam hati.
"Rasanya mustahil! Tidak mungkin orang seusia dia bisa menghimpun tenaga dalam sedemikian kuatnya! Atau..., jangan-jangan ini semua karena Mustika Naga Hitam!"
Saat Bidadari Berkabung dan Iblis Pemakan Bangkai larut dalam alun pikirannya, Aji tetap tak bergeming. Tegak dengan sepasang mata tertuju lurus kedepan seperti orang kesima. Tentu saja tingkah pemuda berambut dikuncir itu, membuat Iblis Pemakan Bangkai dan Bidadari Berkabung keheranan.
Mereka tak tahu kalau hal itu terjadi karena tindakan Pendekar Mata Keranjang 108 yang berusaha menyelamatkan Bidadari Berkabung. Saat itu, hawa yang berputaran belum berhasil dikuasa i Aji untuk bergabung dengan tenaga dalamnya sendiri. Sehingga, ketika pemuda ini me lancarkan pukulan jarak jauh, hawa itu ikut meluncur. Bukan hanya ke tangan, tapi ke bagian kepala Aji, menyebar di bagian otak itu membuat Pendekar Mata Keranjang jadi terlihat linglung.
"Mengapa bocah itu tak bertindak atau berbuat sesuatu?! Iblis Pemakan Bangkai belum sepenuhnya berhasil dikalahkan. Apa yang terjadi dengannya?!" Bidadari Berkabung kebingungan.
"Bocah keparat itu benar-benar aneh" Iblis Pemakan Bangkai tak kalah bingung. Tapi, dalam gelutan rasa gembira.
"Mengapa dia tak menggunakan kesempatan baik ini untuk melumpuhkanku?! Dia malah bertingkah seperti orang tengah melihat hantu.Tapi, syukurlah dia bertingkah demikian. Lebih lama akan lebih baik. Aku jadi punya kesempatan untuk menyembuhkan luka dalamku! He he he...! Orang lain mungkin membutuhkan waktu cukup lama untuk mengobati luka daiam seperti ini. Tapi, aku tidak!"
Kakek bercaling ini lalu masukkan ibu jari tangan kirinya ke dalam mulut. Tangan kanannya ditekankan ke perut, Iblis Pemakan Bangkai telah memulai pengobatan untuk luka dalamnya. Cara yang aneh tapi tepat untuk menyembuhkan segala macam luka dalam. Cara dan ilmu ini hanya dim iliki oleh Iblis Pemakan Bangkai. Karena memang sengaja dipelajari oleh si kakek. Dia mendapatkannya karena kesukaannya makan nyali manusia!
Bidadari Berkabung tak tahu apa yang tengah dilakukan oieh Iblis Pemakan Bangkai. Tapi, pengalamannya yang luas, mengunjukkan padanya pengertian kalau kakek yang mengerikan itu, tengah berusaha untuk menyembuhkan dirinya.
Bidadari Berkabung jadi blingsatan. Apalagi ketika dilihatnya Aji malah ambruk ke tanah. Jatuh tertelentang, dan menggelepar-gelepar seperti ikan di darat. Si pemuda seperti tengah sekarat. Si wanita berwajah dingin semakin kelabakan ketika melihat Iblis Pemakan Bangkai bangkit dengan mudah. Sikap dan gerak-gerik kakek itu telah menunjukkan pada Bidadari Berkabung, kalau luka dalamnya telah sembuh sama sekali.
"He he he... ! " Iblis Pemakan Bangkai terkekeh.
"Apa yang kau alam i, Bocah Lancang?! Aku tak tahu apa yang terjadi pada dirimu. Tapi, aku bisa tahu kalau kau tengah sekarat! Tanpa kulakukan apa pun kau akan mati sendiri. Mati tersiksa. He he he...! Pergilah, Bocah! Pergilah menghadap malaikat maut...!"
Pendekar 108 yang tengah menggelepar-gelepar ke sana kemari, dapat mendengar ucapan Iblis Pemakan Bangkai yang sarat dengan kemenangan. Pemuda ini tak memberikan tanggapan sedikit pun. Karena, di samping lidahnya terasa kelu, sekujur tubuhnya terasa sakit-sakit bagaikan ditusuki oleh ribuan jarum berkarat!
"Sial betul! Apa yang tengah terjadi pada diriku?!' si pemuda masih sempat-sempatnya merutuk kendati di dalam hati.
"Apakah benar perkataan Iblis Pemakan Bangkai itu?! Aku sekarat?! Ahhh...! Sama sekali tak kusangka kalau nyawaku akan lepas dari badan. Padahal, aku masih muda dan belum lama tinggal di dunia. Dasar nasib. Selamat tinggal, Dunia...! Selamat tinggal, wanita...! Selamat tinggal, Ratu Sekar Langit...! Selamat tinggal, Guru...l Selamat tinggal semuanya...!"
"Sambil menunggumu mati, aku akan menikmati nyali seorang perawan. Kau boleh melihat aku merobek-robek pakaian sekaligus tubuhnya, Bocah!" masih tertangkap oleh telinga Aji ucapan Iblis Pemakan Bangkai.
Kakek bercaling itu rupanya memutuskan untuk mengubah caranya membunuh Bidadari Berkabung. Tidak lagi menggunakan pukulan jarak jauh, tapi merobek perutnya begitu saja, lalu mengambil nyalinya.
Tinggal setengah tombak lagi jarak antara Iblis Pemakan Bangkai dengan Bidadari Berkabung, sesosok bayangan keemasan berkelebat. Kejap kemudian, di depan sang Bidadari telah tegak sesosok tubuh berpakaian warna keemasan.
Sosok itu sukar untuk diketahui jati dirinya. Bentuk tubuhnya tak terlihat karena pakaian yang dikenakannya gombrang, dan berkibaran ditiup angin. Wajahnya ! lebih sukar lagi untuk dilihat, karena tertutup oleh sebuah topeng karet buruk dan kasar. Kesan yang terlihat, sosok keemasan itu seperti sengaja menjelek-jelekkan dirinya.
* * *
"Siapa kau, Cecunguk?! Berani kau muncul di depanku dan menghalangi tindakanku?! Apakah kau sudah hendak melawat ke akhirat!" bentak iblis Pemakan Bangkai ketika telah cukup memperhatikan sang pendatang baru itu.
"Panggil saja aku Manusia Bertopeng," jawab sosok berpakaian keemasan.
"Aku datang hanya kebetulan. Tapi, sekarang aku minta kau urungkan niatmu untuk membunuh orang-orang ini." Sepasang mata Iblis Pemakan Bangkai seakan bernyala ketika mendengar perkataan yang isinya penuh tekanan itu. Kakek ini merasa diperintah. Dengan sendirinya, dia jadi tersinggung.
"Dengar, Cecunguk! Sekarang bukan hanya dua orang ini saja yang akan kubunuh! Kau juga Malah kau jadi yang pertama karena berani lancang memerintahku!"
Kakek bercaling ini benar-benar memenuhi ancamannya. Dia menyampokkan tangan kanannya ke arah pelipis Manusia Bertopeng. Si iblis ini rupanya bermaksud membinasakan sang pendatang baru dalam sekali serangan.
Manusia Bertopeng memperdengarkan gumaman pelan. Kemudian, dia melangkahkan kaki kanannya ke belakang seraya mencondongkan tubuh ke arah yang sama. Hasilnya, serangan Iblis Pemakan Bangkai mengenai angin.
Manusia Bertopeng belum se lesai bertindak. Dia mengulurkan tangan kirinya dan mendorong. Akibatnya, Iblis Pemakan Bangkai terdorong dan terjerembab.
Ketika telah berhasil tegak kembali dan membalikkan tubuh sehingga berhadap-hadapan dengan Manusia Bertopeng, paras Iblis Pemakan Bangkai tampak mengelam. Kakek ini tak mengerti apa yang telah terjadi dan bagaimana itu terjadi. Segalanya tampak seperti mustahil dan tak masuk akal.
"Bagaimana mungkin aku bisa terjerembab begitu, mudahnya?! Bagaimana itu bisa terjadi? Dan, bagaimana Manusia Bertopeng itu melakukannya?!"
"Kuberikan kau kesempatan sekali lagi untuk tinggalkan tempat ini, Sobat," kata Manusia Bertopeng dengan suara keren.
"Kalau kau masih teruskan maksudmu, kau sendiri yang akhirnya akan menyesai."
"Tutup mulutmu, Cecunguk! Aku tak butuh nasihatmu!" bentak Iblis Pemakan Bangkai seraya menghentakkan sepasang tangannya, mengirimkan pukulan jarak jauh dengan kekuatan sepenuhnya.
Untuk kesekian kalinya angin menderu keras seraya memperdengarkan bunyi gemuruh. Dan, seperti juga sebelumnya, Iblis Pemakan Bangkai ini sisipkan ilmu 'Pukulan Darah Siluman' seperti yang dilakukannya pada Aji.
Tindakan yang dilakukan Manusia Bertopeng benar-benar membuat iblis Pemakan Bangkai tak percaya akan apa yang dilihatnya. Tampak sosok berpakaian keemasan itu julurkan tangan kirinya, bukan menghentakkan! Dem ikian pelannya gerakan si Manusia Bertopeng, sehingga terlihat tak bertenaga sama sekali ! .
Bresss !
Letupan perlahan yang terdengar sesaat kemudian. Bukan ledakan keras seperti benturan-benturan sebelumnya. Kejap kemudian, tubuh Iblis Pemakan Bangkai terjengkang ke belakang dan terguling-guling.
Di depan kakek bercaling itu, Manusia Bertopeng tak bergeming sama sekali. Padahal, Iblis Pemakan Bangkai terguling-guling sejauh hampir tujuh tombak. Dan, ketika akhirnya tegak, kakek bercaling ini sempoyongan seperti orang mabuk !
Ketika beberapa saat kemudian, pandangannya kembali seperti sediakala, iblis Pemakan Bangkai menatap Manusia Bertopeng dengan pandangan ngeri!
"Kau... kau siapa kau sebenarnya...?!" tanya kakek bercaling dengan suara bergetar. Tak tampak atau terdengar nada kegarangan pada pertanyaannya. Padahal. biasanya kentara jelas.
"Manusia Bertopeng," jawab sosok keemasan tanpa perubahan sama sekali.
"Sekarang maukah kau pergi?! Tapi, ingat, sebelumnya kau harus berikan obat pada dua orang ini?!"
Manusia Bertopeng bicara seraya mengalihkan pandangan pada Bidadari Berkabung dan Pendekar 108. Tapi, ketika menatap Pendekar 108, sinar mata sang sosok terlihat beriak: Ada keterkejutan besar di sana. Namun, kejap kemudian, sorot matanya kembali seperti semula.
Iblis Pemakan Bangkai menelan ludah beberapa kali untuk membasahi tenggorokannya yang mendadak kering. Kakek bercaling ini bergidik membayangkan tingkat kepandaian Manusia Bertopeng. Entah sampai di mana, sang iblis tak bisa memperkirakannya.
"Untuk yang perempuan aku bisa mengobatinya. Tapi, untuk bocah lelaki itu, aku tak mampu. Aku sendiri tak tahu apa yang telah terjadi pada dirinya. Tiba-tiba saja dia jadi demikian."
Manusia Bertopeng terjingkat ke belakang karena kaget. Di lain kejap, dia menatap Pendekar 108 dan Iblis Pemakan Bangkai berganti-ganti. Tatapannya terhenti dan terhujam di wajah kakek bercaling seperti ingin mengetahui kesungguhan jawaban yang diberikan s i kakek.
* * *
--↨֍¦ TIGA BELAS ¦֍↨--
"Sekarang berikan pemunah racun terhadap wanita itu.
Dan, setelah itu pergilah dari s ini." Tanpa banyak bicara, Iblis Pemakan Bangkai memberikan obat yang dimaksud pada Manusia Bertopeng. Dan, kakek itu bergegas pergi setelah obat diterima.
"Kau belum boleh pergi dulu, Sobat," kata Manusia Bertopeng ketika Iblis Pemakan Bangkai baru melangkah tiga tindak. Mau tak mau kakek bercaling itu berhenti jalan. Dia membalikkah tubuh dan mengajukan pertanyaan dengan penuh rasa ingin tahu.
"Mengapa?!" tanya sang Iblis, lebih mirip keluhan.
"Tidak apa-apa," kilah si Manusia Bertopeng ringan.
"Hanya saja akan lebih enak apabila kau pergi setelah kulihat wanita itu sembuh setelah menelan obatmu!"
Iblis Pemakan Bangkai merasakan dadanya seperti diseruduk kerbau. Dia tahu, Manusia Bertopeng tak berikan jawaban yang sebenarnya. Tapi, Iblis Pemakan Bangkai tak terlalu peduli. Kakek ini merasa gembira karena telah memberikan obat pemunah racun yang sesungguhnya dan bukan tipuan.
"Kalau tidak," kakek bercaiing itu bicara sendiri dalam diam.
"Aku tidak tahu, apa yang akan dilakukan oieh manusia aneh yang berkepandaian luar biasa ini."
Iblis Pemakan Bangkai memang patut bergembira karena telah memberikan obat pemunah racun yang sesungguhnya. Manusia Bertopeng benar-benar memenuhi janjinya. Kakek bercaling itu dilepaskannya setelah Bidadari Berkabung sehat seperti sediakala.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Sobat," sang Bidadari mengucapkan terima kasih.
"Kalau kau tak muncul, mungkin aku, Bidadari Berkabung te lah tak ada lagi di dunia ini."
Manusia Bertopeng mengulapkan tangannya dengan perasaan tak sabar.
"Lupakan saja hal itu." Manusia Bertopeng menghampiri Aji, memeriksa keadaan si pemuda tanpa berani menyentuh. Di sebelahnya, Bidadari Berkabung duduk bersimpuh. Wajah cantiknya semakin tebal digayuti awan kedukaan.
"Tidak ada yang dapat kita lakukan untuk menyelamatkan nyawanya," Manusia Bertopeng kembali bicara.
"Luka seperti ini baru pertama kali ini kujumpai. Hebatnya, bukan karena racun."
Bidadari Berkabung tak memberikan sambutan. Lagi pula, wanita berwajah dingin itu tak tahu harus bicara apa. Manusia Bertopeng tak kecewa kendati tak mendapatkan tanggapan. Dia bisa memaklumi s ikap wanita berparas dingin itu.
Di depan Manusia Bertopeng dan Bidadari Berkabung, Pendekar 108 tengah berkutat dengan penderitaan. Hawa liar yang telah merasuk ke otak, menimbulkan rasa sakit yang luar biasa. Oleh karena itu, si pemuda sampai blingsatan.
Waktu berlalu terasa demikian lambat bagi Manusia Bertopeng dan Bidadari Berkabung. Mereka yang kebingungan mencari cara untuk menolong Aji, akhirnya hanya memperhatikan si pemuda tanpa berbuat apa pun.
Manusia Bertopeng dan Bidadari Berkabung baru tercekat hatinya ketika gerakan Pendekar Mata Keranjang tiba-tiba terhenti. Bergegas keduanya memeriksa. Tapi, jantung Pendekar 108 tak lagi berdetak. Denyut nadinya pun tak terasa lagi.
Manusia Bertopeng dan Bidadari Berkabung tertegun. Meski telah dapat memperkirakan sebelumnya, tapi ketika Aji benarbenar tewas mereka seakan-akan tak percaya. Terutama sekali B idadari Berkabung. Wajah perempuan ini tampak pucat pasi. Sepasang matanya berkaca-kaca menahan kesedihan yang mendera.
Di sebelahnya, Manusia Bertopeng bengong. Sosok penuh rahasia ini kelihatan terpengaruh juga dengan matinya Pendekar 108. Kendati demikian, Manusia Bertopeng dan Bidadari Berkabung masih lebih mendingan. Mereka bisa saling pandang untuk melampiaskan rasa heran dan bingung.
Sedangkan sosok di belakang mereka, yang mengenakan pakaian warna merah, sendirian dalam kedukaannya. Parasnya basah oleh air mata yang mengalir turun bak anak sungai. Perempuan ini belum lama sadar dari pingsannya. Pingsan akibat pengaruh geraman Iblis Pemakan Bangkai.
Perempuan yang bertemu dengan Aji di kaki Gunung Nirwana itu masih mengenakan pakaian merah. Tubuhnya pun masih ramping. Pinggulnya masih bulat dan padat. Tapi, wajahnya tidak lagi buruk seperti sebelumnya. Wajah itu berkulit putih, halus, dan mulus. Juga cantik jelita. Wajah seorang gadis yang bernama Kumala Sari.
* * *
"Tidak ada yang bisa kita lakukan lagi...," kata Manusia Bertopeng dengan nada mengeluh. 'Tuhan telah memanggilnya."
Bidadari Berkabung hanya bisa menganggukkan kepala. Dia tak berani berbicara karena takut kalau suaranya terdengar gemetar akibat kesedihan besar yang mendera. Dengan mata berkaca-kaca dia membungkuk. Kemudian, tubuh Aji diangkatnya.
Manusia Bertopeng mengernyitkan alisnya. Dia merasa bingung melihat tindakan Bidadari Berkabung.
"Apa yang hendak kau lakukan?!" tanyanya, ingin tahu.
Kali ini Bidadari Berkabung tak bisa bungkam lagi. Sambil melangkah, dia memberikan jawaban.
"Aku tak sampai hati membiarkan mayatnya terbengkalai begitu saja. Sebagai seorang yang beraliran lurus, nuraniku akan berontak apabila tidak menguburkannya secara layak."
Manusia Bertopeng diam. Dia dapat menerima ke benaran ucapan Bidadari Berkabung.
"Kalau begitu aku akan pergi. Aku yakin, Iblis Pemakan Bangkai tak akan mencelakaimu lagi. Aku telah memberikannya totokan yang membuatnya tak bisa mengerahkan tenaga dalam terlalu kuat."
"Terima kasih atas...," Bidadari Berkabung terpaksa menghentikan ucapannya yang belum selesai karena Manusia Bertopeng telah tak berada lagi di situ. Dia tak melihat sosok misterius bergerak. Mendengar gerakannya pun tidak. Tapi, sosok itu telah tak berada di situ lagi. Padahal, wanita berwajah dingin itu hanya sekejap saja tak memperhatikannya.
Tapi, Bidadari Berkabung tak memusingkan hal itu lebih lama. Dia tahu kalau Manusia Bertopeng itu memiliki kepandaian yang luar biasa. Julukan Manusia Bertopeng amat ditakuti oleh tokoh-tokoh sesat, dan disegani tokoh-tokoh putih, karena kepandaiannya yang terkenal tak bisa dijajaki. Lagi pula, di sekitar tempat itu banyak semak, pepohonan, dan berbagai macam gundukan batu yang membuat Manusia Bertopeng cepat menghilang hanya dengan sekali gerak.
Bidadari Berkabung pun mengayunkan kaki meninggalkan tempat itu dengan Pendekar Mata Keranjang 108 berada di panggulannya. Meninggalkan tempat yang sebelumnya ramai dan gaduh. Yang tinggal di tempat itu dan dalam keadaan tegak, hanya Kumala Sari. Gadis ini hanya bisa menatap kepergian Bidadari Berkabung dengan s inar mata kosong. Ada sesuatu yang hilang dari datam dadanya seiring perginya Pendekar 108. Waktu berlalu terus. Malam semakin larut dan bahkan mendekati dini hari. Angin bertiup semakin dingin. Tapi, Bidadari Berkabung terus mengayunkan kakinya dengan paras memancarkan kedukaan yang besar.
Mendadak wanita berwajah dingin ini tersentak bagaikan disengat ular berbisa. Dia merasakan adanya detak jantung dari dada Pendekar Mata Keranjang 108 yang menempel dengan bahu kanannya. Mula-mula memang pelan. Tapi, lambat-laun semakin keras dan cepat.
"Mungkinkah bocah ini sebenarnya belum mati?!" sekelebatan dugaan menyelinap di benak Bidadari Berkabung. Dugaan yang membuatnya bersemangat dan jantungnya berdetak oleh rasa gembira.
Dengan penuh harap, Bidadari Berkabung menurunkan tubuh Aji dari panggulannya. Meletakkannya di tanah. Lalu memeriksanya. Kenyataan yang didapatkannya, membuat wanita ini hampir berseru karena rasa gembira yang meluapluap! .
Apa yang dirasakannya ternyata bukan khayalan. Jantung Pendekar 108 berdetak seperti sediakala. Bahkan nadinya pun berdenyut normal. Pemuda berambut dikuncir ekor kuda itu ternyata benar-benar belum mati .
Sepasang mata Bidadari Berkabung yang biasanya muram, mulai berseri-seri. Apalagi ketika melihat bulu-bulu mata Pendekar 108 bergerak-gerak, lalu sepasang bola matanya membuka.
Bidadari Berkabung hampir terjingkat ketika melihat sorot mata Aji. Sorot mata itu jauh lebih tajam dari pada sebelumnya! Bahkan mungkin tak kalah tajam dengan sorot mata Manusia Bertopeng! Padahal, ketajaman sorot mata menunjukkan kekuatan tenaga dalam . Pendekar 108 sendiri, ketika membuka matanya, dan melihat Bidadari Berkabung, langsung menyunggingkan senyum.
"Ada yang aneh dengan diriku, Bibi?!" tanya si pemuda, ringan.
Bidadari Berkabung kelabakan sebentar mendapat pertanyaan itu. Tapi, dia mampu menguasai diri dan segera menggelengkan kepala.
"Tidak. Hanya saja kau sebelumnya seperti telah mati. Aku bermaksud untuk menguburkanmu."
"Kau bergurau, Bibi," kata Aji seraya bangkit.
"Aku tak merasa mati, karena tak menjumpai adanya neraka. Aku hanya tidur. Tidak lebih."
Bidadari Berkabung tak memberikan tanggapan lagi. Di lain pihak Pendekar Mata Keranjang memang tak tahu kalau sebenarnya dia telah mati. Tapi, mati suri. Jantungnya berhenti berdetak. Nadinya berhenti berdenyut. Tapi, nyawanya masih tinggal di dalam raga.
Pendekar 108 hanya tahu kalau dirinya seperti berada di sebuah tempat yang aneh ketika rasa sakit yang membuatnya menggelepar-gelepar, te lah s irna. Di tempat yang suasananya seperti Bukit Siluman, dia berlatih. Tapi, anehnya bukan ilmuilmu yang dim ilikinya melainkan ilmu-ilmu yang belum dilihat atau dikuasainya. Pemuda itu sendiri tak mengerti, bagaimana dia bisa berlatih ilmu-ilmu yang belum pernah dilihatnya. (Untuk jelasnya mengenai Bukit Siluman baca serial Pendeka Mata Keranjang 108 dalam episode: "Bukit Siluman").
Di akhir latihannya itu, Aji membuka pakaiannya dan bertelanjang dada. Dia melihat adanya rajahan seekor naga di dada kanannya. Naga yang berwarna ungu dan pada tubuhnya tertera angka 108 . Tapi, waktu itu Aji tak mempedulikannya. Dia masih harus menyelesaikan satu latihan lagi. Mengatur napas sambil berbaring telentang. Dan, ketika akhirnya dia membuka mata, tempatnya berlatih sudah tak ada lagi. Yang dilihatnya justru Bidadari Berkabung .
"Apakah latihan-latihan yang kulakukan itu hanya mimpi belaka?!" Sekarang Aji membatin dengan perasaan bingung. Di depannya, Bidadari Berkabung masih belum mengeluarkan suara.
"Tapi, kalau hanya mimpi, mengapa aku masih ingat semua jurus yang kulatih?! Hanya ada satu cara untuk membuktikannya!"
"Bibi...," keputusan yang diambil membuat Pendekar Mata Keranjang bicara pada Bidadari Berkabung.
"Aku tak bisa berlama-lama di sini. Aku masih ada sebuah urusan yang penting. Selamat tinggal...!"
Tanpa menunggu jawaban Bidadari Berkabung, Aji melesat tinggalkan tempat itu. Ketika menggerakkan kaki, pemuda ini hampir terpelanting. Karena, kecepatan lesatannya tak bisa diaturnya. Jauh lebih cepat dan laju daripada sebelumnya.
Aji kebingungan sejenak. Tapi, dia langsung teringat akan Mustika Naga Hitam yang ditelannya.
"Mungkinkah ini karena mustika itu? Rasanya tidak salah lagil Pasti karena benda pusaka itu !"
Sementara Pendekar 108 tengah blingsatan untuk mengendalikan kemampuan larinya yang mendadak meningkat pesat, Bidadari Berkabung melongo. Wanita ini semula hendak mengejar. Tapi, urung ketika melihat kecepatan lari Pendekar 108. Bidadari Berkabung tahu kalau dia tak akan sanggup menyusulnya!
"Ada sesuatu yang terjadi pada diri bocah itu," Bidadari Berkabung membatin.
"Dan, aku yakin ini ada hubungannya dengan Mustika Naga Hitam yang ditelannya ! "
Beberapa ribu tombak dari tempat Bidadari Berkabung, di sebuah tempat yang tersembunyi, Pendekar 108 menghentikan langkah. Dia membuka pakaiannya dengan tak sabar, lalu memeriksa dada kirinya.
Jantung pemuda berambut dikuncir ekor kuda ini berdetak jauh lebih cepat ketika melihat adanya rajahan seekor naga berwarna perak di dada kirinya. Rajahan itu sama persis dengan lukisan naga pada Lembaran Kulit Naga Pertala, dan juga dengan bayangan naga di atas puncak Bukit Siluman.
"Naga Pertala...," desis Aji penuh rasa tidak percaya.
"Apakah ini berarti ilmu-ilmu dalam Lembaran Kulit Naga Pertala itu telah berhasil kumiliki?! Bukankah munculnya rajahan ini telah menjadi pertanda kalau pemiliknya telah memiliki dan menguasai ilmu-ilmu di lembaran kulit itu ?! Itu yang dikatakan oleh Setan Pesolek, kalau aku tak sa lah mengingatnya."
"Sekarang aku mengerti... ilmu-ilmu yang kulatih dalam keadaan aku seperti mati itu adalah ilmu-ilmu yang tersirat dalam Lembaran Kulit Naga Pertala."
Rasa penasaran dan tidak percaya membuat Aji melayangkan pikiran pada mimpinya. Dan, dia mampu mengingat semuanya dengan baik. Bahkan setiap jurus yang dilatihnya.
"Setan Pesolek benar ! Ternyata tempat ini yang menjadi jawaban atas masalahku. Aku telah berhasil menguasai ilmuilmu dalam Lembaran Kulit Naga Pertala, berkat Mustika Naga Hitam "
Dengan perasaan lega dan gembira, Aji melesat meninggalkan tempat itu. Sekarang, pemuda ini tak kerepotan dengan larinya, karena telah mampu mengaturnya. Dan, dengan ilmu-ilmu serta kemampuan yang didapatkannya ini, Pendekar Mata Keranjang 108 akan lebih mampu menumpas angkara murka di dunia ini.
SELESAI
INDEX AJI SAPUTRA | |
Lembaran Kulit Naga Pertala --oo0oo Darah Penyambung Nyawa |