Life is journey not a destinantion ...

Misteri Penari Ronggeng

INDEX AJI SAPUTRA
Malaikat Berdarah Biru --oo0oo Ratu Petaka Hijau

AJI SAPUTRA
Pendekar Mata Keranjang 108
Karya : Dharma Patria
Penerbit : Cintamedia, Jakarta

--↨֍¦ 1 ¦֍↨--

"Biar angin bangun dan mengintai menggalang iringan awan Sibak timbunan dunia dengan darah! Kaulah panjang tanganku!
Kaulah lidah merah ku!
Genggamlah semuanya, agar mereka tahu Darah adalah lambang kematian!"


Sebuah syair melantun indah dengan irama turun naik terdengar mengalun dari sebuah gubuk di tengah Hutan Batu Licin. Sebuah hutan sunyi dan senyap yang sebenarnya jarang dirambah manusia. Namun entah kenapa, di tengah-tengah hutan itu justru berdiri sebuah gubuk. Mungkin saja penghuninya sengaja memilih tempat sepi seperti ini dengan alasan tertentu.
Sebuah sendang yang cukup luas dan berair jernih, menjadi pemandangan indah satu-satunya. Keindahan itu makin memikat, melihat gubuk yang dinding, atap, dan alasnya terbuat dari daun-daun jati hutan berdiri di atasnya. Gubuk itu ditopang oleh empat buah batang kayu yang tidak begitu besar yang ditancapkan ke dasar sendang.
Untuk mencapai gubuk, tidak tampak jembatan penghubung atau rakit, kecuali dua lembar daun jati yang mengambang. Satu di tepian sendang, sedang satunya di sebelah bawah gubuk.
Bukan hanya itu saja. Ternyata di antara kerapatan pepohonan hutan dengan sendang, dipisahkan sebuah jurang lebar dan curam. Sehingga jika dilihat dari atas, yang terlihat hanya lekukan tanah hitam pekat. Dan anehnya? Jembatan penghubung di atas jurang hanyalah berupa seutas rotan yang besarnya tidak lebih dari ibu jari kaki.
Sementara itu, suara lantunan syair tadi sepertinya datang dari kejauhan. Namun, gemanya menerabas hingga ke dasar jurang!
Bahkan begitu gema lantunan syair lenyap, sebersit sinar biru melesat ke atas. Sesaat sinar itu berubah merah dengan arah menukik ke bawah. Lalu....
Blarrr!
Hutan belantara sunyi itu seketika bagai terhempas gempa dahsyat. Beberapa pohon besar terdengar bergemeretak, lalu tumbang dengan kulit kayu mengelupas dan daun mengelinting merah.
Belum lagi gema suara memekakkan telinga itu hilang, terdengar suara tawa mengekeh panjang dari dalam gubuk. Sebuah suara berat dan serak dari penghuni gubuk. Menilik suaranya, jelas itu berasal dari mulut seorang laki-laki tua.
Memang, di dalam gubuk itu tengah duduk bersila seorang laki-laki tua berpakaian serba hitam. Rambutnya yang panjang dan berwarna putih seluruhnya, terlihat acak-acakan tak terurus. Mulutnya hampir tak memiliki bibir, sehingga giginya yang berwarna kuning terlihat jelas. Dan yang membuat wajahnya semakin angker adalah alisnya yang tebal. Sehingga matanya yang menyipit seperti menjorok ke dalam. Bahkan dari kedua matanya seperti menyorot sinar kemerahan.
Di depan laki-laki tua ini, duduk seorang gadis cantik berpakaian tipis warna putih. Begitu ketat pakaian yang dikenakan, sehingga dadanya yang membusung indah bagai hendak melompat keluar.
"Lintang Sari! Melihat pukulanmu telah sempurna, rasanya bekalmu untuk mendapatkan kembali hakmu terhadap tahta Kerajaan Malowopati yang terampas, sudah lebih dari cukup. Bagaimanapun caranya, tahta itu harus kembali ke tanganmu! Maka berbekal kepandaian yang sekarang kau miliki serta senjata alami yang melekat di dirimu, aku yakin tahta kerajaan yang hilang itu akan kau dapatkan."
Sebentar laki-laki tua itu menghentikan katakatanya yang bernada penuh dendam. Tarikan napasnya kelihatan memburu, membayangkan cita-cita yang diyakini bakal terwujud lewat tangan gadis di depannya yang di panggil Lintang Sari.
"Namun bukan berarti jalan untuk menggapai tahta itu akan mudah. Perjalananmu nanti sangat berat dan membutuhkan keyakinan, pengorbanan, serta keberanian! Karena di tengah-tengah perjalananmu akan sarat berbagai rintangan. Dan karena kaulah satu-satunya pewaris syah kerajaan yang tersisa, maka kau harus dapat mempergunakan segala celah yang dapat diterobos dengan kekuatan dan kecerdikan! Bila tidak, tidak mustahil cita-cita mu hanyalah sebuah impian! Bahkan bisa jadi merupakan kenyataan dari mimpi buruk! Ingat, Lintang Sari! Tinggal kaulah satusatunya kekuatan yang tersisa! Aku yang tua ini, tak bisa lagi membantumu. Aku hanya dapat melihat dari jauh. Syukur kalau diberi usia panjang, aku bisa menjadi salah seorang saksi bila kelak kau naik tahta menjadi seorang ratu!" lanjut orang tua bertampang angker ini, penuh tekanan.
Sementara, gadis cantik berpakaian tipis ini hanya tertunduk menekuri lantai gubuk yang hanya terbuat dari daun-daun jati. Dan bila lantai ini tidak ambrol, menjadi pertanda kalau ilmu meringankan tubuh kedua orang Ini sudah sangat, tinggi.
"Dan satu hal yang penting, Lintang Sari!" tambah orang tua itu......
"Kau terlebih dahulu harus menciptakan suatu kegemparan! Bantai dulu tokoh-tokoh utama kerajaan. Juga tokoh-tokoh yang disegani saat ini, baik dari golongan hitam atau golongan putih! Ini adalah sebagai tolok ukur. Jika kau berhasil, maka jalan mu selanjutnya akan lebih ringan. Dan bila tidak berhasil, muka jalan mu selanjutnya akan semakin berat. Karena jika kau berhasil membuat kegemparan, maka perhatian kerajaan akan terpusat pada satu masalah! Saat itulah waktunya bagimu menelusup masuk dalam kalangan istana. Pergunakan tarian dan dirimu sebagai senjata, selain syair yang telah kau pelajari!"
"Segala amanat dan pesan Guru akan kuperhatikan!" sahut Lintang Sari singkat dan tegas. Nadanya berapi-api dan tinggi.
"Lintang Sari! Malam ini saatmu telah tiba!" ujar laki-laki tua berwajah menyeramkan itu.
Dahi gadis bermata bulat dengan sorot tajam ini terlihat sedikit berkerut pertanda terkejut.
"Maksud Guru...?" tanya Lintang Sari agak heran. Tujuh tahun kau berguru di Hutan Batu Licin dengan menyimpan impian dan harapan, juga memendam bara! Malam ini, saat bagimu untuk memulai perjalanan menggapai impian dan melampiaskan bara! Berangkatlah malam ini...! Ingat! Buatlah keguncangan! Lalu, masuklah melalui celah-celah yang keropos! Gunakan segala cara, agar di antara putra-putra selir dan petinggi kerajaan timbul saling mencurigai!" tandas laki-laki tua ini, penuh tekanan.
"Tapi..., kenapa harus malam ini, Guru?" tanya Lintang Sari lagi.
"Lintang Sari! Tujuh tahun bukan waktu yang pendek. Maka jangan lagi beri kesempatan pada penguasa sekarang untuk memperkokoh barisan! Itu akan membuat jalan mu bertambah berat!"
"Jika demikian aku akan menurut perintahmu.
Guru...!" jawab Lintang Sari berat.
Sepasang mata gadis ini yang berbinar tajam memandang tajam laki-laki tua di hadapannya. Dan saat mata itu berkedip dan membuka lagi, air bening telah bergulir dari sudut-sudutnya.
"Guru!" panggil Lintang Sari seraya beringsut, dan menjatuhkan wajahnya di kaki gurunya.
"Lintang Sari! Aku, Restu Palaran, tak suka melihat orang menangis! Tangis adalah lambang kelemahan! Padahal, yang akan kau hadapi adalah tantangan yang membutuhkan kekuatan! Bangkitlah...!" ujar lakilaki di hadapan Lintang Sari yang menyebut dirinya Restu Palaran, setengah menegur.
Lintang Sari perlahan-lahan mengangkat kepalanya. Sebentar kedua matanya yang masih mengeluarkan butiran air bening dikatupkan.
"Aku mengerti, Guru! Kelak jika urusan ini telah selesai, aku akan datang untuk memboyong mu! Muridmu mohon diri "
Selesai berkata Lintang Sari menjura hormat, lalu bangkit berdiri. Tubuhnya hendak berbalik, namun....
"Sebentar. Lintang Sari!" tahan Restu Palaran. Tangan kanan lelaki berwajah mengerikan ini menepuk tiang penyangga gubuk hingga terkelupas dan berlubang. Dari dalam lubang, dikeluarkannya sebuah kotak kecil berlapis emas. Dengan perlahan dan sedikit gemetar, Restu Palaran membuka kotak. Seketika seberkas sinar hijau berkilauan langsung memancar dari dalam kotak.
"Lintang Sari! Ini adalah cincin bermata hijau yang bernama Aswagitha! Sebuah pusaka kerajaan yang hingga saat ini masih menjadi incaran orangorang. Aswagitha adalah lambang kerajaan! Siapa pun yang memilikinya dialah yang berhak menyandang gelar raja atau ratu! Selain sebagai lambang kerajaan, Aswagitha adalah sebuah senjata sakti! Jika kau lantunkan 'Syair Pamungkas', maka segala kekuatan lawan akan tersedot dalam cincin ini.! Pakailah...!" ujar Restu Palaran, sambil menjelaskan tentang cincin yang bernama Aswagitha.
Dengan mata terbelalak dan tangan gemetar. Lintang Sari mengambil cincin bermata hijau dari dalam kotak yang ada di tangan gurunya. Dan dengan hati-hati dikenakannya di jari manisnya.
Begitu cincin itu masuk, Lintang Sari tersentak. Dadanya seketika seperti dibebani muatan yang berat, namun sebentar kemudian lenyap. Selagi keterkejutannya belum sirna, mendadak Restu Palaran menjatuhkan dirinya, hingga wajahnya menyentuh alas gubuk.
"Apa sebenarnya semua ini. Guru...?" tanya Lintang Sari tak habis pikir.
Restu Palaran mengangkat kepalanya.
"Kau telah memakai Aswagitha. Maka, berarti kau telah menyandang gelar ratu, penguasa tunggal Kerajaan Malowopati. Aku adalah hambamu yang harus hormat, dan berbakti!" kata Restu Palaran, bernada rendah.
Bibir Lintang Sari terkatup rapat. Sekuat tenaga dia menahan agar air matanya tak menetes.
"Guru! Waktunya belum tiba untuk melakukan hal seperti itu. Aku adalah Lintang Sari. Dan kau adalah Restu Palaran, Guru dan pengasuh ku! Tidak lebih, tidak kurang, meski aku kelak telah menjadi seorang ratu!" kata gadis itu, dengan dada bergemuruh, karena rasa haru yang tak tertahankan. Restu Palaran tersenyum lebar.
"Itu adalah dua hal yang berbeda. Ratu!" sergah Restu Palaran langsung mengubah panggilannya pada Lintang Sari.
"Dan siapa pun juga tak akan dapat menyatukannya....
Hm.... masih ada satu lagi. Ratu !"
Dari balik pakaian hitamnya. Restu Palaran mengeluarkan sebuah kotak kecil langsung diangsurkannya pada Lintang Sari.
"Di dalam kotak ini juga terdapat sebuah cincin. Bentuk dan warnanya sama persis dengan Aswagitha. Aku memang telah membuat tiruannya. Kuharap, Ratu bisa mempergunakannya untuk lebih membuat istana guncang!" jelas Restu Palaran.
Dengan sedikit terkejut, Lintang Sari menerima kotak dan memasukkannya ke balik bajunya.
"Hm.... Tak kusangka jika kau telah mempersiapkan segala sesuatunya. Kerja keras mu tak akan kulupakan seumur hidupku ," kata batin Lintang Sari seraya memandang lekat-lekat.
"Ratu.... Saatnya telah tiba. Selamat jalan" kata Restu Palaran pelan namun tegas.
Sedikit berat, Lintang Sari berbalik kembali. Kedua bibirnya nampak saling menggigit. Dan dengan sekali kelebat, tubuhnya melesat turun, lalu mendarat di atas daun jati yang mengambang di bawah gubuk.
Dengan sekali menggerakkan tubuh, Lintang Sari telah membuat daun jati itu meluncur menuju tepian sendang. Namun belum mencapai tepi, tubuhnya telah kembali berkelebat, dan mendarat di atas tanah.
Sejenak Lintang Sari berbalik, memandang ke arah gubuk. Lamat-lamat dari gubuk terdengar lantunan syair.
"Malam berbalut sepi Ciptakan bentuk mimpimu Lahir mu akan guncang dunia Dunia yang hilang dari tanganmu."
Begitu gema lantunan syair berhenti. Lintang Sari berbalik kembali. Dengan ringan, kakinya menjejak di rotan penghubung di atas jurang sambil membuat beberapa putaran di udara, hingga akhirnya sampai di seberang. Dan tanpa menoleh lagi, tubuhnya segera berkelebat, lalu lenyap ditelan rimbunan pohon dan semak belukar hutan.

* * *



--↨֍¦ 2 ¦֍↨--

Gubuk di tengah sendang belantara Hutan Batu Licin kembali disentak sunyi. Udara malam yang merayap dingin menusuk tulang, membuat kesunyian semakin mencekam. Namun semua itu rupanya tak mampu menyurutkan dua sosok bayangan yang berkelebat cepat bagai kilat.
Menilik arahnya, jelas kalau dua sosok bayangan ini menuju sendang. Tatkala sampai pada batas pepohonan hutan dengan jurang, mereka berhenti. Salah satu sosok sejenak memandang ke arah jurang, lalu menoleh ke arah bayangan di belakangnya yang tegak mematung sambil memandangi gubuk yang ada di tengah-tengah sendang.
"Hm.... Orang tua itu rupanya cerdik juga dalam memilih tempat bersembunyi. Tujuh tahun diburu dan di cari, baru kali ini tempat persembunyiannya ditemukan. Kita harus cepat menyelesaikannya, Tantra Gilang! Sekaligus, menyeret mereka menghadap raja!" kata sosok yang berdiri paling depan yang ternyata laki-laki berusia sekitar empat puluh tujuh tahun. Suaranya terdengar pelan, mungkin takut terdengar oleh penghuni gubuk di seberang sana.
"Tapi kita harus berhati-hati, Rambu Pamulih! Restu Palaran adalah bekas tokoh silat kerajaan yang kedigdayaannya sukar dijajaki. Bukan tak mungkin kepandaiannya sekarang lebih hebat daripada tujuh tahun yang silam...!" tukas sosok di belakang yang dipanggil Tantra Gilang.
Sosok yang juga seorang laki-laki berusia empat puluh delapan tahun ini lantas melangkah maju ke arah rotan penghubung di atas jurang. Kaki kanannya dijulurkan untuk menjejak-jejak rotan. Lalu diberinya isyarat dengan anggukan pada sosok berbaju putih yang dipanggil Rambu Pamulih.
Tak lama kemudian, sosok berbaju coklat bernama Tantra Gilang menjejak pinggiran jurang. Dengan membuat putaran di udara, ia lantas meloncatloncat di atas rotan dengan cepat hingga mencapai seberang. Sementara Rambu Pamulih lantas mengikuti dari belakang.
Sampai seberang jurang, tepatnya di tepian sendang, kedua laki-laki yang usianya tak jauh beda itu berhenti dan berdiri tegak. Rambu Pamulih yang berpakaian putih, di dada sebelah kanannya terdapat lukisan kecil bergambar gapura kerajaan. Rambutnya hitam dan kelimis serta panjang. Wajahnya cerah. Sepasang matanya menyorot tajam dan berkesan wibawa. Sementara, Tantra Gilang berpakaian coklat muda, sebagian rambutnya telah memutih. Wajahnya tampak sedikit garang. Ini terlihat dari senyumnya yang sering menyeruak sinis. Tangan kirinya memegang sebuah tongkat kecil dari besi putih.
Sejenak kedua laki-laki ini saling berpandangan. Tak lama. Rambu Pamulih yang tampaknya menjadi pimpinan mengalihkan pandangan ke arah gubuk. Sejenak ditariknya napas dalam-dalam. Lalu....
"Restu Palaran! Kami utusan kerajaan datang, untuk membawamu dan Lintang Sari menghadap raja! Menyerahlah baik-baik!" teriak Rambu Pamulih, yang disertai sedikit pengerahan tenaga dalam.
Suara laki-laki berbaju putih ini menggema dahsyat. Sampai-sampai air sendang yang tenang sedikit bergelombang. Tak ada sahutan. Namun sebentar kemudian....
"Mandi kembang tujuh warna Tak akan sirnakan bara terpendam di dada Sambut kedatangan sang pendatang baru, wahai penghuni neraka.
Mereka akan datang dengan genangan darah! Darah lambang kematian !"
Mendadak terdengar lantunan syair. Begitu keras menggema, hingga bagai datang dari segala penjuru. Bahkan sampai mengiang, menusuk telinga dua laki-laki yang berdiri tegak di tepian sendang. Wajah Rambu Pamulih dan Tantra Gilang sebentar berubah. Merah padam.
"Restu Palaran! Kami tak butuh syair-syairmu! Sekali lagi kami peringatkan, menyerahlah secara baikbaik agar urusan ini tak berlarut-larut!" teriak Rambu Pamulih, setelah menekan rasa terkejutnya.
"Rambu Pamulih, Tantra Gilang! Tujuh tahun aku menanti kedatangan kalian. Dan rupanya, penantianku malam ini akan berakhir! Aku sebelumnya cemas, jangan-jangan kalian berdua telah tewas di tangan orang lain!" balas suara dari dalam gubuk yang memang Restu Palaran.
Dua orang laki-laki, yang mengaku sebagai utusan kerajaan itu tampak terkejut. Betapa tidak, jelas kalau kehadiran mereka memang sudah diketahui Restu Palaran. Buktinya, nama mereka bisa diketahui dari dalam gubuk.
Saat itu juga Tantra Gilang menarik tangan kanannya ke belakang. Sementara tangan kirinya yang memegang tongkat ditarik sejajar dada, siap melancarkan serangan. Sedangkan Rambu Pamulih memberi isyarat agar Tantra Gilang mengurungkan serangan.
"Restu Palaran! Kami masih menghormatimu sebagai bekas tokoh kerajaan. Kedatangan kami dengan baik-baik untuk membawamu serta Lintang Sari menghadap Paduka Raja! Namun jika kalian berdua tak bisa dihormati, jangan menyesal jika kami menyeret tubuh kalian berdua!" teriak Rambu Pamulih.
"Ha.... Ha.... Ha...." Restu Palaran malah tertawa mengekeh.
"Rambu Pamulih, Tantra Gilang! Apakah kalian yakin telah datang ke tempat yang benar? Ketahuilah! Lintang Sari tidak berada di sini! Aku di sini sendirian...! Kalau kalian tak percaya, silakan kemari! Biar sekalian aku dapat melihat wajah kalian berdua untuk yang terakhir kali! Bukankah kedatangan kalian berdua sebenarnya ingin menghiasi air sendang itu dengan warna merah...?!"
"Tua bangka keparat!" bentak Tantra Gilang dengan dada bergemuruh karena hawa amarah yang memang sudah menggelegak sejak tadi.
"Restu Palaran! Kau telah kami beri kesempatan. Namun rupanya kau ingin kekerasan. Baiklah, Restu Palaran. Bersiaplah! Kau dan anak asuhmu malam ini tak akan dapat lolos lagi!"
Sehabis berkata, Tantra Gilang kembali menarik tangan kanannya ke belakang. Lalu tangan kiri ditarik sejajar dada. Sesaat kemudian, tangan kanannya didorong perlahan ke depan. Dan....
Wesss. !
Seketika angin deras menggeledek menghempas ke depan. Maka air sendang yang semula tenang itu mendadak bergolak liar dan berputar-putar, membuat gubuk yang berada di tengah-tengah sendang tampak oleng ke kanan dan ke kiri, seakan-akan amblas ke dasarnya. Dinding serta atapnya yang terbuat dari daun jati berkibar-kibar. Namun anehnya, tak satu pun daun jati itu rontok! Padahal, angin yang menerpa begitu keras!
"Tantra Gilang! Aku yang sudah tua ini muak dan bosan melihat mainan anak-anakan seperti itu!" dengus Restu Palaran.
Belum juga serangan Tantra Gilang sampai, Restu Palaran telah membuka mulut kembali.
"Angin adalah raga Air adalah jiwa Gelombang adalah penghias di antaranya!"
Tepat ketika Restu Palaran selesai melantunkan syair, dari salah satu daun jati yang berkibarkibar me-lesat selarik sinar. Pelan dan tak bersuara. Namun, air sendang yang bergolak liar itu tiba-tiba menggulung dan membentuk gelombang.
Brrr. !
Lalu dengan suara dahsyat air sendang itu bergerak ke arah Tantra Gilang dan Rambu Pamulih, sekaligus melabrak serangan Tantra Gilang. Sementara, gubuk yang berada di tengah sendang tetap diam tak bergerak!
Tantra Gilang tersenyum sinis mendapati serangannya berbalik, meski kaki kanannya surut ke belakang setengah tindak. Sementara, Rambu Pamulih tetap tegak tak bergeming. Keduanya seperti siap menanti. Belum sampai gulungan gelombang menghantam....
"Gelombang bertabur angin pusaran Gejolak menghias udara malam Darah adalah pemadam di antaranya!"
Air sendang yang telah bergelombang dahsyat dan menggemuruh itu mendadak menggumpal, dan melesat bagai bongkahan batu besar! Di kejap lain, bongkahan air yang telah mengeras tiba-tiba pecah berkeping-keping bertaburan ke arah Tantra Gilang dan Rambu Pamulih dari segala penjuru.
"Hiaaah...!"
Serta-merta Tantra Gilang dan Rambu Pamulih serentak mengangkat kedua tangannya. Dan sekali sentak, tubuh mereka bergerak berputar-putar.
Wesss...! Tak! Tak!
Beberapa kepingan air yang telah mengeras langsung mental tersapu ke sana kemari, tersambar angin kencang yang keluar dari putaran tubuh Tantra Gilang dan Rambu Pamulih. Sesaat kemudian, Tantra Gilang tampak melesat ke arah kanan. Sedangkan Rambu Pamulih ke arah kiri.
"Chiaaa...!" Dari kanan dan kiri, serentak mereka menghantam pukulan jarak jauh. Wesss! Wesss!
Dua rangkum angin panas langsung menggebrak ke arah gubuk Namun bersamaan dengan itu, dari dalam gubuk melesat dua larik sinar tanpa suara ke arah kanan dan kiri, memapak dua rangkum angin panas yang menderu tajam.
Tas! Tasss!
Terjadi benturan empat kekuatan dahsyat. Walaupun hanya menimbulkan suara perlahan, namun tubuh Rambu Pamulih dan Tantra Gilang sempat terjajar tiga langkah ke belakang. Sementara gubuk itu sedikit bergoyang.
"Restu Palaran!" bentak Rambu Pamulih begitu mendarat kembali di tanah.
"Keluarlah! Jangan hanya sembunyi dalam gubuk jika kau benar-benar jantan!"
"Ha.... Ha.... Ha...!" Restu Palaran malah tertawa panjang.
"Sudah kukatakan, kemarilah! Aku sebagai tuan rumah yang baik mempersilakan kalian masuk! Tapi kuperingatkan, ini adalah tempat Restu Palaran. Bukan istana! Jadi, kalian tak berhak memerintah!"
Sebentar Rambu Pamulih dan Tantra Gilang saling berpandangan. Tepat ketika Rambu Pamulih mengangguk perlahan dari jarak jauh, Tantra Gilang kembali mengirimkan serangan dengan sentakkan kedua tangan ke depan.
Wesss...!
Namun didahului suara kekehan, dari dalam gubuk kembali melesat seberkas sinar memapasi serangan Tantra Gilang. Glarrr!
Dentuman menggelegar pecah saat dua pukulan jarak jauh yang telah dialiri tenaga dalam tinggi bentrok di atas sendang. Maka seketika air sendang kembali bergolak.
Dalam suasana demikian, mendadak Rambu Pamulih kembali menghentakkan tangannya, melepaskan pukulan tanpa suara ke arah gubuk.
Settt! Brak!
Sekejap kemudian, empat batang kayu penyangga gubuk berderak patah. Namun, lagi-lagi Rambu Pamulih dan Tantra Gilang terbelalak. Gubuk itu ternyata tak bergoyang atau amblas. Bahkan mengapung, dan melesat menuju arah tepian sendang!
Melihat gubuk itu meluncur. Rambu Pamulih dan Tantra Gilang kembali segera mendorongkan tangan ke arah gubuk.
Wes! Wesss...!
Dua kilatan seketika meluruk dari arah kiri dan kanan. Namun kali ini dari dalam gubuk tak ada balasan serangan. Hingga....
Brasss !
Tak ampun lagi gubuk dari daun jati itu hancur berhamburan.
Sejenak Rambu Pamulih dan Tantra Gilang menunggu dengan mata nyalang, mengawasi hamburan daun-daun jati yang telah menghitam. Namun sampai sepasang mata mereka melotot, tak menemukan tubuh Restu Palaran.
Selagi mereka berdua mencari-cari...
"Pandangan hati adalah pangkal segala tahu Pandangan mata manusia sering tertipu.
Buang segala impianmu Darah telah menanti mu!"
Terdengar kembali lantunan syair yang tak dapat ditebak, dari mana sumbernya. Rambu Pamulih dan Tantra Gilang sama-sama tercekat. Sehingga mereka berdua tersurut mundur dua langkah ke belakang seraya memasang kuda-kuda menyerang. Kepala mereka bagai diberi aba-aba berputar dengan sepasang mata menyengat mencari-cari.
Belum hilang rasa tercekat dua orang ini, dari dasar sendang berkelebat sebuah bayangan hitam. Satu tombak di atas sendang, bayangan hitam ini rentangkan kedua tangannya.
Wesss...! Wesss...!
Dua rangkum angin menderu kencang langsung melesat ke arah Rambu Pamulih dan Tantra Gilang, begitu sosok berpakaian serba hitam ini menyentakkan kedua tangannya.
Dengan menekan rasa terkejut, Rambu Pamulih dan Tantra Gilang segera memapak dengan kepalan tangan menjotos ke depan.
Brak! Brak! "Aaakh..."
Terdengar dua bentrokan keras disertai keluhan tertahan. Tubuh Tantra Gilang tampak terjengkang, lalu jatuh terduduk. Sementara Rambu Pamulih tergontai-gontai sebentar, sebelum akhirnya dapat segera kuasai keadaan.
"Sedangkan bayangan hitam, yang tak lain Restu Palaran terus melayang dan mendarat dengan kaki kokoh di tepian sendang.
Begitu mendarat. Restu Palaran cepat berbalik. Sepasang matanya yang hanya menyerupai garis pendek tipis itu berkilat-kilat melirik ke arah Rambu Pamulih dan Tantra Gilang.
"Restu Palaran! Sebelum kau kuseret menghadap raja, lekas katakan di mana Lintang Sari!" bentak Rambu Pamulih, ketika melihat Lintang Sari tak bersama Restu Palaran.
"Ha.... Ha.... Ha...! Percuma rajamu mengangkat kalian menjadi tokoh-tokoh silat kerajaan jika berotak bebal! Sejak pertama kedatangan kalian tadi, sudah kukatakan bahwa Lintang Sari tidak ada di sini! Apa kalian tidak mengerti bahasa ku? Atau kalian memang manusia-manusia dungu yang harus ditusuk telinganya?!" ejek Restu Palaran.
Kening Rambu Pamulih berkerut menahan geram. Wajahnya merah padam. Dagunya terangkat pertanda amarahnya telah meluap. Sementara Tantra Gilang membuka telapak tangan kirinya yang memegang tongkat. Lalu tangan kanannya yang mengepal dihantamkan ke telapak tangan kirinya. Senyum sinisnya menyeruak. Mulutnya mengembung. Sebentar wajahnya berpaling, lalu meludah.
"Rambu Pamulih! Mana ada seorang penjahat buronan kerajaan yang bisa bicara baik-baik?" kata Tantra Gilang, seraya tersenyum sinis.
"Kau tak salah omong, Tantra Gilang? Apa bukan kau yang pantas disebut penjahat? Penjahat kepala dua! Yang mencari kehormatan dengan menjual harga diri?!" balas Restu Palaran.
"Jahanam!" bentak Tantra Gilang, seraya meloncat dan mendarat satu tombak di samping kiri Restu Palaran. Seketika tangan kanannya cepat didorongkan ke depan.
Satu gelombang angin segera melabrak, mengeluarkan suara menderu keras. Dan saat itu juga, tubuh Tantra Gilang melesat di belakang angin serangan.
"Uts!"
Sedapa sebelum angin menggebrak bahu, Restu Palaran membuat gerakan seperti orang menari. Tangannya melenggang turun ke bawah, sementara tubuhnya melorot sedikit. Sehingga serangan Tantra Gilang lewat di atas kepalanya. Bahkan secepat itu pula tangannya dikibaskan, dengan kaki terangkat.
Tantra Gilang terkejut. Apalagi tubuhnya telah melayang ke arah Restu Palaran. Dan mau tak mau tangan serta kaki Restu Palaran yang telah siap menanti harus didobraknya.
Prak! Des!
Benturan rak dapat dihindari lagi. Tubuh Tantra Gilang terpental di udara. Dan belum sampai melayang turun, Restu Palaran telah melesat sambil mendorongkan kedua tangannya ke arah tubuh Tantra Gilang yang mulai menukik turun disertai tenaga dalam tinggi.
"Hih!"
Wut...
Sekali terhantam, tak ampun lagi dipastikan tubuh Tantra Gilang akan berderak dengan tulang patah-patah.
Namun ketika pukulan tangan Restu Palaran lima jengkal sebelum mencapai sasaran, dari arah samping kiri melesat serangkum gelombang angin disertai sinar putih, langsung memotong serangannya.
Darrr!
Tantra Gilang selamat dari serangan maut tangan Restu Palaran. Namun, tubuhnya kembali terpental terkena bias bentrok antara dua pukulan di bawahnya. Begitu kembali menukik, keseimbangan tubuhnya sudah tak dapat dikuasai lagi, hingga tanpa ampun lagi menabrak pohon besar.
Brak! "Aaakh...!"
Tantra Gilang berusaha merangkak bangkit. Tampak dari sudut-sudut bibirnya menetes darah. Lengan baju coklatnya hangus. Dan tatkala tegak, tubuhnya terhuyung-huyung dan kembali jatuh terduduk.
Sementara itu tanpa menoleh. Restu Palaran telah tahu siapa yang telah memotong pukulannya. Maka tanpa melihat, segera tangannya dihentakkan ke arah penghadangnya yang tak lain Rambu Pamulih.
Hantaman tangan Restu Palaran tak terdengar. Namun tanah tak jauh dari tempatnya berdiri terbongkar. Dan tangannya dihantamkan kembali ke arah tanah yang terbongkar. Seketika tanah itu membumbung, membuat malam yang sudah gelap bertambah pekat.
Tatkala udara pekat, Restu Palaran mengendus-endus. Dan secepat itu pula tangannya diangkat dan dihantamkan ke arah samping.
Desss! "Aaakh...!"
Terdengar jeritan tertahan di samping Restu Palaran. Begitu hamburan tanah lenyap, tampak Rambu Pamulih terkapar sambil memegangi bahunya. Namun dia segera merambat bangkit, dan segera meloncat ke arah Tantra Gilang yang sudah berdiri tegak walau masih agak terhuyung-huyung.
"Tantra Gilang, dugaanku tidak meleset! Ilmu si tua itu telah meningkat dibanding tujuh tahun yang lalu. Kita harus berpencar, agar serangannya terbagi. Jangan menyerang bersamaan. Kita harus menyerang beriringan, biar tenaganya terkuras!" bisik Rambu Pamulih.
"Malam menjelang pagi Hamparan embun telah menapak datang Lihat! Malaikat Maut telah menyosong turun Tangannya berlumuran darah. Darah kematian!"
Terdengar kembali lantunan syair dari mulut Restu Palaran.
"Menyingkir, Tantra Gilang!" ujar Rambu Pamulih seraya melesat menjauh.
Sementara Tantra Gilang cepat pula melesat mengambil arah berlawanan dari yang diambil Rambu Pamulih.
"Ha… Ha… Ha...! Kenapa kalian pontangpanting. Hamba Kerajaan? Bukankah kalian datang untuk menyeretku menghadap junjunganmu?" ejek Restu Palaran seraya melirik tempat beradanya Tantra Gilang dan Rambu Pamulih.
Kali ini baik Tantra Gilang maupun Rambu Pamulih tak ada yang menyahut. Mereka sadar, kepandaian Restu Palaran masih berada di atasnya. Walaupun Rambu Pamulih dan Tantra Gilang adalah barisan kedua dari tokoh persilatan kerajaan.
"Hm.... Jika kalian tak jadi menyeretku, sekarang akulah yang akan menyeret kalian ke neraka!"
Sehabis berkata, kepala Restu Palaran mendongak ke atas dengan telapak tangan membuka tegang. Dengan memajukan kakinya satu langkah ke depan, tangannya tiba-tiba menyentak ke arah Tantra Gilang. Rupanya, dia ingin menyelesaikan riwayat lelaki berbaju coklat itu terlebih dahulu, yang telah terluka dalam.
Wesss"! Gelombang angin langsung menggelinding cepat. Namun, Tantra Gilang yang telah waspada segera memapak dengan menghentakkan tangannya. Pada saat yang sama, Rambu Pamulih pun telah menghentakkan tangannya melepaskan pukulan jarak jauh.
"Heh?!"
Restu Palaran tak dapat menahan seruan kagetnya, melihat serangan yang meluruk ke arahnya. Namun secepat itu pula tangannya dihentakkan, untuk memapak serangan Rambu Pamulih.
Karena baru saja melepaskan pukulan penuh pada Tantra Gilang, maka pukulan Restu Palaran yang memapak serangan Rambu Pamulih tak begitu kuat. Sehingga....
Blarrr. !
Darrr. !
Tubuh Restu Palaran kontan terpental dan bergulingan di atas tanah. Sementara, Rambu Pamulih hanya terjajar satu langkah ke belakang.
Namun tidak demikian halnya Tantra Gilang. Karena keadaannya telah terluka, begitu terjadi benturan, tubuhnya masih terpelanting dan terbanting ke tanah disertai erangan panjang pendek.
"Keparat busuk! Mana sifat ksatria mu sebagai tokoh silat kerajaan? Ternyata kau tak lebih dari kelakuan para perampok-perampok! Main bokong!" dengus Restu Palaran sambil menahan dadanya yang terasa berdenyut sakit.
"Kau tak usah banyak mulut, Restu Palaran! Untuk menangkap seorang buronan, tak diperlukan lagi peraturan! Terimalah saat kematianmu untuk menuju neraka!" bentak Rambu Pamulih, seraya berkelebat. Dan tahu-tahu, dia telah berada di samping Restu Palaran yang masih bergerak bangkit. Belum sampai Restu Palaran tegak, Rambu Pamulih telah menyapukan kakinya ke arah kepala.
Wuttt!
Mau tak mau, Restu Palaran harus merunduk untuk menghindar terjangan kaki. Namun tanpa diduga sama sekali. Rambu Pamulih langsung berputar. Maka ketika serangan pertama lolos, secepat itu pula kakinya yang kanan menggebrak ke arah dada.
Begitu cepat serangan Rambu Pamulih, membuat Restu Palaran terlambat menghindar. Hingga....
Desss! "Aaakh !"
Restu Palaran terpental dua tombak ke samping disertai jerit kesakitan. Begitu mencium tanah, dia mencoba merangkak bangkit. Wajahnya tampak menyiratkan kemarahan. Tangannya mengepal. Sepasang matanya menyorot tajam dan berkilat-kilat merah.
Secepat kilat Restu Palaran mengatupkan kedua tangannya sejajar dada. Matanya yang hanya tampak segaris mengatup. Mulutnya bergerak-gerak, seperti mengucapkan mantera-mantera.
"Hiaaah…!"
Tepat ketika Restu Palaran selesai berkemakkemik, kedua tangannya bergerak ke depan. Dan saat itu pula satu gelombang sinar biru mendadak bergulung-gulung. Dan ketika sinar itu bergerak ke depan, mendadak berubah merah dan langsung melesat cepat ke arah Rambu Pamulih.
Rambu Pamulih rupanya telah mengetahui pukulan andalan Restu Palaran. Maka sebelum gelombang sinar merah menghantam, tenaga dalamnya segera dikerahkan ke kedua tangannya, sehingga tampak berkilau. Lantas dengan mata terpejam tangannya didorongkan ke depan.
"Hiaaah...!"
Seberkas sinar putih dari telapak tangan Rambu Pamulih yang terbuka segera melesat bagai dinding tebal, menahan gerak maju gulungan sinar merah dari telapak Restu Palaran.
Beberapa saat kedua orang ini saling bertahan. Namun sesaat kemudian Restu Palaran segera menambah tenaga dalamnya. Wajahnya telah dibanjiri keringat.
Sementara Rambu Pamulih tampak mulai goyah. Tubuhnya bergetar, dan sedikit demi sedikit kedua kakinya amblas ke dalam tanah. Matanya makin terpejam. Sedangkan tangannya makin terdorong ke belakang. Dan....
Bret! Bret!
Pakaian putih Rambu Pamulih mulai koyak di sana-sini terkena pengaruh kekuatan sinar merah dari tangan Restu Palaran. Dari seluruh lubang pori-pori di tubuhnya mulai mengeluarkan darah. Sementara kakinya lelah amblas hingga betis. Melihat keadaan ini, Tantra Gilang yang menggelosor di tanah cepat merangkak mendekati Rambu Pamulih.
"Tahan terus. Rambu! Aku bantu dari belakang ," ujar Tantra Gilang.
Segera laki-laki berpakaian coklat ini menempelkan telapak tangannya pada kedua kaki Rambu Pamulih. Hingga, untuk sementara waktu kaki Rambu Pamulih kembali terangkat. Dan tangannya perlahanlahan pula mulai bergerak ke depan. Bahkan kini, dinding gelombang sinar putih miliknya mulai mendorong gelombang merah. Begitu membuka kelopak matanya, Restu Palaran menggeram, melihat Tantra Gilang telah membantu menyalurkan tenaga dalam.
"Hiaaat...!"
Didahului bentakan menggemuruh, Restu Palaran mengerahkan seluruh tenaganya, sehingga poripori tangan dan wajahnya sudah mengeluarkan darah!
Di saat yang demikian itulah, tiba-tiba Tantra Gilang melemparkan tongkat putihnya.
Wuttt!
Restu Palaran terkejut, membuat perhatiannya terpecah. Dan Rambu Pamulih pun tak menyianyiakan kesempatan yang hanya sekejap ini. Dengan seluruh tenaga sisanya tangannya didorongkan kuatkuat. Akibatnya, gulungan sinar merah melemah, hingga berbalik dan menggebrak ke arah Restu Palaran.
Restu Palaran makin terkesiap. Namun di saat sinar merah itu menerpa bahunya, ia cepat melempar tubuh ke samping sambil menyentakkan tangannya dengan tenaga yang masih tersisa. Rambu Pamulih yang barusan lepaskan tenaga terakhirnya, tak bisa lagi menghindar, sementara Tantra Gilang sendiri tak kuasa lagi berkelit.
Desss! Desss! "Aaakh...! Aaakh...!"
Tubuh Rambu Pamulih dan Tantra Gilang kontan terhempas ke belakang disertai jeritan lengking menyentak. Tubuh mereka kontan terjerembab di atas tanah. Tantra Gilang sudah tak bergerak-gerak lagi. Sedangkan Rambu Pamulih masih sempat memandang ke arah langit sebelah timur yang mulai terang. Namun sebentar kemudian sepasang matanya lantas meredup dan mengatup!
Di lain pihak, Restu Palaran bergerak bangkit. Namun, begitu akan duduk...
"Hoeeekh...!"
Darah kehitaman ambyar dari mulut orang tua ini. Segera tubuhnya ditelentangkan di atas tanah. Sedikit demi sedikit, ditariknya napas dalam-dalam. Agak lama, baru Restu Palaran telungkup. Dengan sekujur tubuh gemetar serta hidung, bibir, telinga mengeluarkan darah, tubuhnya segera bangkit. Tak ada suara keluhan dari mulutnya. Dia terus melangkah walaupun sempat terhuyung dan ambruk. Dan begitu ambruk, tubuhnya langsung bangkit dan kembali berjalan terhuyung-huyung menuju pohon besar di sebelah sendang.

* * *



--↨֍¦ 3 ¦֍↨--

"Kegegeran… Hm..., kegegeran! Aku harus membuat kegegeran!" gumam seorang gadis berbaju ketat warna putih, di tengah kelebatan tubuhnya yang berlari cepat dalam keremangan suasana Hutan Batu Licin.
Meski udara cukup dingin, namun sekujur tubuh gadis ini nampak berkeringat. Sehingga lekuklekuk tubuhnya tampak membayang jelas, di balik pakaian yang tipis dan ketat.
Begitu sampai di perbatasan antara Hutan Batu Licin dengan Hutan Batu Ampar, gadis yang tak lain Lintang Sari ini menghentikan larinya. Sebentar pakaian yang terangkat ke atas ditariknya, karena melekat di dadanya yang membusung.
Sementara itu sang mentari telah mulai beranjak dari sebelah timur, membuat udara mulai hangat, Lintang Sari sejenak memperhatikan pakaian dan tubuhnya. Sepertinya sudah mengenali daerah itu, dia segera kembali berkelebat ke dalam Hutan Batu Ampar yang tidak begitu lebat ini. Di bawah pohon besar yang di sampingnya terdapat sebuah pancuran, gadis ini berhenti.
Dengan mata berbinar dan bibir tersenyum, Lintang Sari melangkah ke arah air pancuran. Langsung ditadahkannya air pancuran, dan di siramkan ke wajahnya. Mendapati kesegaran air, timbul niat di hatinya untuk mandi, sekaligus menyegarkan tubuhnya. Jari-jari lentik gadis ini lantas langsung saja bergerak cepat membuka satu persatu kancing bajunya. Sebentar kemudian, tampak tubuh polosnya yang sudah telah berada di bawah pancuran.
Lintang Sari sepertinya ingin berlama-lama di bawah air pancuran. Sebentar-sebentar jarinya yang lentik menggosok seluruh tubuhnya. Namun mendadak, gerakan tangannya terhenti. Secepat kilat, tubuhnya berkelebat ke arah pakaiannya. Dengan gerakan cepat pula, pakaiannya dikenakan. Sebentar kemudian, tampak gadis ini telah mengendap-endap di balik sebuah pohon dengan mata nyalang dan telinga terpasang tajam-tajam. Dan memang, sayup-sayup dari arah perbatasan hutan terdengar derap kaki kuda.
"Hm.... Tujuh tahun mendekam di belantara ini, baru kali ini ada orang berkuda melintas. Siapa mereka? Jangan-jangan...?" batin gadis berbaju putih ini.
Sebelum pertanyaannya terjawab, Lintang Sari telah berkelebat ke arah perbatasan kembali, ke arah suara derap kaki kuda yang tadi terdengar.
"Hup!" Begitu sampai di jalan yang membatasi antara Hutan Batu Licin dengan Hutan Batu Ampar, Lintang Sari menggenjot tubuhnya ke atas. Di sebuah dahan pohon yang agak besar di pinggir jalan ini, kakinya mendarat ringan. Sementara itu, derap kaki kuda yang didengarnya semakin mendekati ke arahnya.
"Hm.... Menilik pakaiannya..., dua orang ini pasti dari kerajaan! Apakah tempat ini telah diendus bangsat-bangsat kerajaan?" gumam Lintang Sari. Sepasang matanya tak berkedip memandang ke arah dua penunggang kuda yang sebentar lagi melintasi pohon tempat persembunyiannya.
Baru saja dua penunggang kuda ini lewat....
"Perjalanan panjang yang gila dan melelahkan Perjalanan yang berujung dengan penyesalan Perjalanan yang harus dibayar dengan darah!"
Terdengar lantunan syair yang sepertinya keluar dari sela-sela pohon. Dengan rasa terkejut, kedua penunggang kuda ini segera menghentikan kuda tunggangannya. Mata mereka nyalang mencari sumber suara.
"Ha... ha... ha !"
Belum juga bisa menebak dari mana suara syair, mereka dikejutkan kembali dengan suara tawa panjang. Begitu mendongak, baru mata kedua penunggang ini terbelalak, menelusuri lekukan tubuh dan dada gadis berbaju putih yang duduk menjuntai di atas sebuah pohon menghadap ke arahnya. Kedua kakinya sengaja direnggangkan, hingga pahanya yang berkulit putih tampak jelas.
"Hati-hati! Bila mendengar suara tawanya, perempuan ini agaknya bukan orang sembarangan!" bisik penunggang di sebelah kiri tanpa menoleh. Mata penunggang kuda itu tajam menatap gadis berbaju putih ketat yang tak lain Lintang Sari.
"Siapa kau...?!" bentak penunggang kuda yang ternyata seorang laki-laki berusia setengah baya.
Dua penunggang kuda ini memang dua orang laki-laki setengah baya. Mereka mengenakan pakaian putih-putih. Di bagian dada pakaian tampak lukisan kecil sebuah gapura kerajaan. Wajah mereka hampir mirip dengan tubuh kekar dan berotot
"Aku yang seharusnya bertanya pada kalian! Siapa kalian?! Dan hendak ke mana?! Jangan cobacoba memasuki kawasan hutan ini tanpa terlebih dahulu mengatakan siapa dan hendak ke mana!" balas Lintang Sari setengah berteriak.
"Oh, begitu...?" kata penunggang sebelah kiri seraya kernyitkan kening dan tersenyum penuh arti. Lalu mengangguk.
"Gadis cantik! Apakah kau penguasa hutan ini?" tanya laki-laki yang di sebelah kanan disertai senyum lebar. Matanya tak beranjak dari dada membusung Lintang Sari.
"Kalian tak berhak bertanya sebelum menyebutkan nama dan tujuan!" bentak Lintang Sari disertai pengerahan tenaga dalam.
Dua laki-laki kembar di depannya terkejut, merasakan telinga seperti ditusuk
"Aku, Jayeng Palaguna!" kata laki-laki sebelah kiri.
"Sedangkan di sebelahku, saudara kembar ku. Namanya, Jayeng Parawira. Kami berdua adalah utusan Kerajaan Malowopati. Kami dari tokoh silat kerajaan barisan ketiga! Soal tujuan kami, maaf. Itu adalah rahasia kerajaan!"
Laki-laki di sebelah kiri yang mengaku bernama Jayeng Palaguna sengaja menyebutkan diri dari tokoh silat kerajaan barisan ketiga, dengan tujuan agar gadis berbaju putih itu tahu diri.
"Ha... ha... ha... hi... hi... hi...!"
Namun keterangan Jayeng Palaguna disambut kekehan tawa Lintang Sari.
"Ah! Rupanya, kalian kacung-kacung kerajaan yang memburu rahasia. Apakah kaitan tak tersesat, hingga sampai menelusuri kawasan hutan sunyi ini...?!" ejek gadis itu.
Lintang Sari kemudian melayang turun, dan mendarat dua tombak di hadapan laki-laki kembar itu.
"Sungguh kasihan jalan manusia-manusia yang tersesat. Mereka harus membayar mahal kesesatannya Dan bayaran yang setimpal adalah darah?"
"Bangsat!" dengus Jayeng Parawira.
"Gadis ini tak bisa dibiarkan! Dia telah berani menghina kita dan kerajaan!"
"Hm.... Rupanya bangsat-bangsat kerajaan telah mengendus tempat kediaman Restu Palaran?! Sebelum segalanya berlarut, aku harus menyingkirkan keduanya!" kata batin Lintang Sari.
Sementara, dua pasang mata Jayeng Palaguna dan Jayeng Parawira segera membelalak, saat Lintang Sari berdiri seraya busungkan dada.
"Gadis cantik! Siapa kau sebenarnya?!" tanya Jayeng Palaguna. dengan mata tak beralih dari dada Lintang Sari.
"Sayang, kalian sekarang belum saatnya mengetahui tentang diriku. Tapi jika kalian penasaran, bisa ditanyakan pada teman baru kalian di alam neraka!" sahut Lintang Sari, enteng. Baru saja kata-katanya selesai, Lintang Sari langsung menghentakkan kedua tangannya ke depan.
Wesss...!
Saat itu juga melesat serangkum gelombang angin panas, menderu tajam ke arah orang kembar ini. Jayeng Palaguna dan Jayeng Parawira yang menyadari adanya bahaya, cepat melesat seraya menghantamkan tangan ke arah leher kuda masingmasing.
Dua binatang itu meringkik kaget, lalu melesat cepat. Sehingga kedua kuda itu selamat dari hantaman tangan Lintang Sari.
Begitu mendarat, Jayeng Palaguna dan Jayeng Parawira segera berdiri berjajar dan siap menyerang. Sementara Lintang Sari tampak diam tak bergerak. Hanya sepasang matanya tampak menyengat tajam.
"Jayeng Palaguna! Aku curiga, jangan-jangan dia gadis yang kita cari-cari! Tujuh tahun wajah seseorang memang telah berubah. Apalagi seorang perempuan! Sayang sekali, aku dahulu hanya sempat sekali bertemu dengannya!" bisik Jayeng Parawira.
"Aku pun masih belum bisa menentukan. Jika bersama Restu Palaran, jelas aku bisa mengenali! Tapi siapa pun gadis ini, kita harus cepat menyudahinya. Apalagi, rupanya dia menginginkan kematian kita! Lagi pula kita akan terlambat menyusul Kanda Rambu Pamulih dan Tantra Gilang, jika tak segera menyelesaikan urusan dengan gadis ini!"
Selesai berkata, Jayeng Palaguna cepat meloncat dan berdiri tegak satu tombak di hadapan Lintang Sari. Tak lama, Jayeng Parawira segera menyusul.
Diapit dua orang. Lintang Sari tenang-tenang saja. Malah bibirnya mengulas senyum manis hingga, giginya yang putih tampak berkilat. Bibirnya yang membentuk bagus ditarik sedikit ke dalam, lalu mulutnya dibuka sedikit. Lantas ujung lidahnya menjulur sedikit perlahan ke sana kemari seperti mengundang kedua laki-laki itu untuk mengulumnya. Sepasang matanya yang tadi berbinar tajam meredup, dan setengah memejam.
Jayeng Palaguna dan Jayeng Parawira terbeliak, terpesona melihat tingkah Lintang Sari yang sepertinya menginginkan sesuatu. Namun selagi mereka terkesima, mendadak tubuh gadis itu berputar cepat dan lenyap dari pandangan. Belum sempat kedua lakilaki kembar itu berbuat apa-apa, Lintang Sari telah berkelebat cepat. Dan....
Des! Des !
"Aaakh !"
"Aaa !"
Sesaat kemudian terdengar dua jeritan melengking. Di kejap lain tampak Lintang Sari telah kembali duduk menjuntai di atas pohon sambil tersenyum memandang Jayeng Palaguna dan Jayeng Parawira yang terkapar sambil memegang dada masing-masing yang terkena hantaman gadis itu.
"Huh! Kurang ajar. !"
Disertai dengusan keras, Jayeng Palaguna dan Jayeng Parawira bangkit. Saat itu juga, mereka mengerahkan tenaga dalam tinggi di kedua tangan masingmasing hingga tampak membiru.
"Hantam bersama-sama!" seru Jayeng Palaguna.
Serentak kedua orang ini menjejak tanah, lalu melesat dengan kedua tangan mengepal ke arah Lintang Sari berada. Namun belum juga sampai, gadis itu telah menyongsong turun.
Prak! Prakkk! Terdengar dua kali benturan. Tubuh Jayeng Pala-guna dan Jayeng Parawira menukik turun dengan deras, lalu terbanting di tanah.
Bruk! Bruk!
Sementara. Lintang Sari membuat gerakan berputar dua kali dan mendarat dengan kokoh. Namun belum sampai berbalik, Jayeng Palaguna dan Jayeng Parawira yang telah cepat bangkit telah menyentakkan tangannya.
"Hih...!" Set! Set!
Dua buah pisau kecil berwarna putih seketika melesat cepat ke arah Lintang Sari tanpa mengeluarkan suara.
Lintang Sari yang baru saja berputar tercengang. Secepat kilat tubuhnya dihempaskan ke samping. Pisau yang satu memang dapat dihindari, namun pisau satunya terus menerabas. Dengan gerakan mengagumkan, gadis ini berguling-guling di tanah. Namun demikian....
Srat!
Tak urung pisau kecil itu menyerempet pakaian bagian bawah ketiak Lintang Sari, hingga terkoyak. Dahsyatnya, koyakan itu langsung menghitam dan merembet. Sehingga tanpa ampun lagi, kulit putih Lintang Sari bagian bawah ketiak dan dada sebelah kanan terlihat. Buah dadanya yang sebelah kanan menyembul tak tertutup.
Lintang Sari menggeram marah. Tanpa mempedulikan dadanya yang tak tertutup, tubuhnya segera menggeliat. Sementara tangannya melenggang lembut ke atas bagai orang menari. Namun sesaat kemudian, tangan itu menegang. Dan dengan kuda-kuda kokoh kedua tangannya cepat mendorong ke depan. Wesss...! Wesss.!
Dua larik gelombang biru melesat ke arah kedua orang kembar itu. Dan di kejap lain larikan gelombang biru itu berubah merah.
Jayeng Palaguna dan Jayeng Parawira tercekat. Tampang mereka berubah pucat, dengan sepasang kaki mundur dua langkah ke belakang.
"Benar dugaanmu, Jayeng Parawira! Gadis ini buronan kerajaan! Aku tak akan lupa. Jurus yang ini adalah milik Restu Palaran! Cepat menghindar!" ujar Jayeng Palaguna, mengingatkan. Seketika tubuhnya melesat.
Namun, terlambat bagi Jayeng Parawira. Akibatnya gelombang warna merah sempat menyapu dadanya.
Prat! "Aaa...!"
Jeritan menyayat keluar dari mulut Jayeng Parawira seakan menyentak tempat itu. Tubuhnya langsung terpelanting sampai beberapa tombak ke belakang. Saat terhempas di atas tanah, keadaannya telah mengenaskan. Dari mulutnya keluar gumpalan darah kehitaman. Pakaiannya tercabik-cabik, dan kulitnya membiru. Sebentar kedua kaki Jayeng Parawira meregang, sesaat kemudian kaku!
Jayeng Palaguna menggereng keras mendapati saudara kembarnya tewas. Sedangkan Lintang Sari tersenyum mengejek.
"Lintang Sari! Kau telah menewaskan saudara kembarku! Tak ada imbalan lain yang sepadan, selain nyawa busukmu! Setelah itu, penggalan kepalamu akan kutenteng ke hadapan paduka raja! Menyesal aku baru tahu sekarang!" teriak Jayeng Palaguna.
"Ha... ha... ha..,"
"Penyesalan di akhir perjalanan tiada arti Kematian adalah sebuah tidur panjang Jalan pintas ke arahnya penuh liku dan warna Siapa pun makhluk di kolong langit tahu Darah adalah salah satu jalan itu!"
Seiring lantunan syair. Lintang Sari kembali mendorongkan kedua tangannya.
"Hih!" Wesss!
Gelombang warna merah kembali melesat disertai deru angin dahsyat ke arah Jayeng Palaguna. Walau telah tahu kehebatan pukulan yang telah menewaskan saudara kembarnya, lelaki ini tak gentar. Segera dipapaknya serangan disertai penyaluran seluruh tenaga dalam ke kaki dan tangan. Lalu dengan berteriak nyaring, tangannya mendorong, sedangkan kakinya menancap kokoh di atas tanah.
Werrr...!
Gulungan angin menggemuruh melesat dari tangan Jayeng Palaguna, memapak gelombang merah dari tangan Lintang Sari. Hingga....
Glarrr! Desss!
Terdengar gelegar dahsyat begitu dua kekuatan beradu. Kedua kaki Jayeng Palaguna bergetar dan goyah. Namun tak lama kemudian, tubuh lelaki itu mencelat dan bergulingan di atas tanah.
Lintang Sari melangkah lebar-lebar menghampiri saat tubuh Jayeng Palaguna terlihat masih bergerak-gerak. Satu depa di samping lelaki itu, langkahnya berhenti. Dan ketika dua kelopak mata Jayeng Palaguna membuka dan menatap ke arahnya, gadis ini tersenyum. Bahkan tanpa berusaha menutup buah dadanya yang menyembul.
"Dengar Jayeng Palaguna! Aku akan menyembuhkan luka-lukamu. Bahkan merawatmu, jika kau setuju syarat yang ku ajukan!"
"Uh! Jika penjahat kerajaan menjanjikan sesuatu, pasti di baliknya ada maksud tertentu!" jawab Jayeng Palaguna, tersendat-sendat.
Lintang Sari tersenyum, lalu jongkok. Sehingga kulit pahanya yang putih mulus tepat berada di muka Jayeng Palaguna. Sementara, jemarinya yang lentik memegangi lengan lelaki ini.
"Jangan salah sangka, Jayeng Palaguna! Jika setuju, kau nanti juga dapat memiliki ku...," desah Lintang Sari, masih dengan senyum.
"Hm.... Katakan, apa maksudmu!" ujar Jayeng Palaguna pelan.
"Melihat tugasmu, aku yakin kau orang kepercayaan raja. Jika kau berhasil memasukkan aku dalam kalangan istana, biar jadi apa pun. kau bisa mendapatkan apa yang kujanjikan tadi "
Mendengar keterangan Lintang Sari, meski dengan meringis menahan sakit sekujur tubuhnya, Jayeng Palaguna coba tersenyum.
"Hm.... Sayang sekali. Aku tak tertarik ucapan mu! Dan juga, tak tergiur kemolekan tubuhmu! Lebih baik mati berkalang tanah daripada berkhianat seperti kau!" desis Jayeng Palaguna.
Baru saja kata-kata lelaki ini selesai, Lintang Sari cepat mengebulkan tangannya.
Prak! Prak! "Aaakh !"
Dua kepalan tangan Lintang Sari melayang keras ke mulut, membuat kepala Jayeng Palaguna terbanting ke samping. Mulutnya mengeluarkan erangan pendek di sertai darah menggumpal. Dua matanya melotot, lalu meredup dan terpejam selamanya!
Lintang Sari menggeram. Segera dia bangkit, dan mengayunkan kakinya menyapu tubuh Jayeng Palaguna. Saat itu juga tubuh yang telah kaku ini melayang dan jatuh keras tak jauh dari tubuh Jayeng Parawira.
Dengan senyum mengiriskan, Lintang sari berkelebat dan berdiri di antara tubuh Jayeng Palaguna dan Jayeng Parawira. Matanya melirik sebentar. Lantas dengan sedikit membungkuk, tangannya bergerak cepat melepas kancing-kancing baju Jayeng Palaguna yang masih utuh. Lalu sekali sentak, tubuh lelaki itu membalik. Dan saat itu juga, baju putihnya lelah berada di tangan Lintang Sari. Seraya keluarkan tawa panjang, gadis itu berkelebat dan menghilang.

* * *



--↨֍¦ 4 ¦֍↨--

Matahari bersinar garang, membuat kulit terasa melepuh. Namun keadaan ini sama sekali tidak dipedulikan seorang gadis cantik berpakaian putih yang dirangkap baju putih. Di dadanya tampak lukisan kecil berbentuk gapura kerajaan. Gadis ini melangkah cepat menuju sebuah bukit.
Begitu sampai lereng bukit ini, gadis yang tak lain Lintang Sari menghentikan langkahnya. Telapak kirinya menghadang di depan kening untuk menangkis silaunya sinar matahari. Dengan begitu, puncak bukit baru dapat terlihat jelas.
"Hm Bangunan agak megah di puncak bukit.
Menurut Paman Restu Palaran, itulah tempat tinggal tokoh hitam yang saat ini disegani dan menjadi kaki tangan kerajaan. Hm.... Dada Sukma atau Iblis Penggali Kubur, sambutlah kedatanganku! Gumam Lintang Sari, seraya kembali melangkah ke arah puncak bukit.
Dengan ilmu meringankan tubuh yang sudah cukup tinggi, sebentar saja Lintang Sari telah sampai sepuluh tombak dari bangunan megah di puncak bukit. Namun, mendadak langkahnya tertahan, ketika tahu-tahu berkelebat satu sosok bayangan dan langsung berdiri menghadang.
"Berhenti!"
Lintang Sari menghentikan langkahnya. Diperhatikannya sosok laki-laki bertubuh gemuk di hadapannya dengan kening berkerut pada jarak dua tombak.
"Hm.... Siapa kau, Cah Ayu. Apa keperluanmu datang ke puncak Bukit Prono Jiwo ini?" tegur laki-laki gemuk itu. Matanya tak cepat ke arah dada Lintang Sari yang membusung menantang.
"Hei? Apakah matamu buta, sampai-sampai tak mengenali pakaian yang ku kenakan... ? Cepat katakan pada Iblis Penggali Kubur, ada orang kerajaan datang ingin bertemu! Ada pesan yang harus kusampaikan langsung padanya!" bentak gadis itu sambil menutupkan pakaian luarnya yang seperti sengaja tak dikancingkan.
"Hm..., begitu? Baik, akan kusampaikan! Tapi sebutkan dahulu, siapa namamu. Dan, dari barisan ke berapa?"
"Kau terlalu banyak mulut! Siapa aku dan dari barisan ke berapa, itu tak penting! Yang jelas, aku utusan kerajaan dan mengemban tugas untuk menyampaikan pesan raja!"
"Kalau kau tak menyebutkan nama, jangan harap bisa menemui Iblis Penggali Kubur! Lagi pula saat ini Iblis Penggali Kubur sedang tak menerima tamu! Siapa pun adanya tamu itu! Kalau memang ada pesan, aku, Kumbara mewakilinya!" kata sosok bertubuh gemuk yang mengaku bernama Kumbara seraya menepuk dada.
Lintang Sari mengangguk perlahan sambil tersenyum. Lantas tubuhnya menggeliat dengan kedua tangan merentang. Dan untuk kedua kalinya, pakaian luarnya menyingkap, sehingga buah dadanya yang tak tertutup tampak jelas. Seraya melenggang mendekati Kumbara, pinggulnya sedikit digoyang.
Sepasang mata Kumbara kembali melotot. Jakunnya naik turun dengan napas memburu lebih kencang. Sementara bibirnya tersenyum, namun lebih mirip seringai.
Selagi Kumbara terpesona, tiba-tiba Lintang Sari menjejakkan kakinya sambil mendorong kedua tangan ke depan. Begitu cepat gerakannya, dan sama sekali tidak terdengar.
Wesss...!
Gelombang angin segera menggebrak ke arah Kumbara yang masih terkesima. Dan belum sempat Kumbara bergerak menghindar, pukulan jarak jauh Lintang Sari yang telah dialiri tenaga dalam telah keburu datang.
Des! "Aaakh...!"
Tubuh gembrot Kumbara kontan terpelanting begitu pukulan Lintang Sari mendarat di bahunya. Tubuhnya terus meluncur, dan menabrak batu-batuan bukit dengan keras. Mulutnya yang mengeluarkan darah tampak menyeringai. Namun baru saja Kumbara bergerak bangkit, Lintang Sari telah berkelebat cepat dengan tangan bergerak menotok.
Tuk! Tuk! "Aaakh...!"
Dua buah totokan Lintang Sari pada pundak, membuat Kumbara melenguh pendek dan kembali jatuh tak bisa bergerak lagi.
Baru saja Lintang Sari berbalik, kembali dua sosok tubuh berkelebat dari bangunan megah di puncak bukit ini. Sebentar saja dua sosok yang ternyata dua orang laki-laki berusia sekitar tiga puluh lima tahun itu telah berdiri di depan Lintang Sari. Rupanya, mereka berdua tadi melihat tindakan gadis itu terhadap Kumbara.
"Siapa kau, Cah Ayu?! Mengapa kau lukai teman ku?!" tegur laki-laki yang bermuka lebar.
Sepasang mata kedua laki-laki ini mendelik dan siap melancarkan serangan. Apalagi melihat Kumbara di buat tak berkutik.
"Manusia-manusia buta! Sudah tahu masih bertanya pula!" kata Lintang Sari sambil busungkan dadanya. Kedua tangannya diangkat ke atas kepala dengan perlahan dan lembut Sementara, tubuhnya menggeliat.
"Hati-hati, Kakang Randu Paksa! Jangan terpesona. Kulihat tadi Kakang Kumbara tertipu dengan gerakannya!" bisik laki-laki yang berkumis lebat sambil mengawasi.
Laki-laki bermuka lebar yang dipanggil Randu Paksa mengangguk perlahan.
"Kakang Kumbara roboh. Ganda Manik! Dia tak tahu harus bagaimana caranya menghadapi gadis macam begini!" ujar Randu Paksa disertai senyum penuh makna.
Namun baru saja kata-kata Randu Paksa habis, mendadak.
"Hah.... Hah...!"
Mendadak terdengar suara tawa dari mulut Lintang Sari, membuat kedua laki-laki di depannya tersentak kaget. Mereka hendak berbuat sesuatu, namun terlambat. Keduanya seperti terkena gempuran tenaga dalam dahsyat, hingga tak bisa menggerakkan anggota tubuh. Rasanya, tulang-tulang mereka seperti di lolosi, mendengar suara tawa Lintang Sari.
Randu Paksa dan Ganda Manik berusaha mengempos semangat dengan mengerahkan tenaga dalam. Namun sebelum itu terjadi. Lintang Sari segera menghentikan tawanya. Tubuhnya mendadak melesat ke depan. Lalu satu langkah di depan kedua laki-laki itu gadis ini melepaskan dua tendangan berturut-turut.
Des! Des! "Aaakh!" "Aaa...!"
Terdengar dua jeritan kematian, ketika tendangan Lintang Sari yang berturut-turut tepat menghantam dada mereka. Tubuh Randu Paksa dan Ganda Manik terpental dan jatuh di atas tanah. Sesaat tampak mereka kelojotan, lantas diam tak bergerak lagi!
Lintang Sari merapikan pakaiannya. Sebentar matanya menatap dua mayat lawannya, lalu melesat ke arah bangunan. Di depan bangunan, matanya beredar ke sekeliling.
"Dada Sukma! Keluarlah! Aku, utusan kerajaan datang untuk menangkapmu...!" teriak Lintang Sari.
Beberapa saat tak ada sahutan. Tapi saat Lintang Sari akan buka mulut....
"Berpuluh-puluh tahun malang melintang dalam rimba persilatan, berpuluh-puluh tahun melanglang buana, hanya liga gelintir manusia di kolong langit yang mengetahui nama asli ku, Cah Ayu! Kau telah mengaku sebagai utusan kerajaan yang mengusik ketenangan ku. Siapa kau sebenarnya...?!"
Terdengar sahutan dengan suara berat. Lintang Sari tak menjawab. Matanya nyalang mengawasi sekeliling.
"Baik! Kalau kau tak mau mengatakan, mungkin kau menunggu tanganku yang akan membuka mulut mu!"
Terdengar lagi suara dari dalam bangunan. Lintang Sari mendelik.
"Dada Sukma! Kau tak usah mengumbar suara! Keluarlah. Terimalah gurat kematianmu hari ini!" ancam gadis ini.
"Anjing kurap tak tahu adat! Kau kira sedang berhadapan dengan siapa saat ini, he?! Setan kecil! Ketahuilah! Kedatanganmu ke puncak Prono Jiwo hanyalah mengantar nyawa!" bentak suara dari dalam bangunan. Kelihatannya, dia amat geram, sehingga suaranya terdengar menggemuruh.
"Setan hutan! Memangnya kau siapa...? Kau tak lebih dari tua bangka yang menunggu saat kematian! Keluarlah, Tua Busuk!" balas Lintang Sari.
"Aku telah di luar. Setan Kecil!"
Paras muka Lintang Sari seketika berubah. Dengan menahan rasa keterkejutan, kepalanya menoleh ke samping. Sepasang matanya melotot, seakan lak percaya. Karena tahu-tahu di sebelah bangunan telah berdiri seorang laki-laki berusia lanjut. Pakaiannya warna kuning kusam. Tubuhnya kurus kering. Jenggotnya panjang dan kaku. Bibirnya sangat tebal. Sepasang matanya besar, menjorok masuk ke dalam rongga yang menganga lebar. Mukanya sangat pucat. Tangan kirinya memegang sekop kecil berwarna kuning yang berkilatan.
"Bagus! Ternyata kau bukan pengecut, Dada Sukma! Dengar baik-baik! Aku utusan kerajaan yang datang untuk menangkapmu dan menyeret tubuhmu ke hadapan raja!" kata Lintang Sari, setelah menyembunyikan rasa terkejut.
"Ha... ha... ha...! Kau kira aku bisa dikelabui, Setan Kecil? Di dunia ini hanya tiga manusia yang tahu nama ku! Dua gelintir, sudah masuk liang lahat. Sementara yang satunya adalah buronan kerajaan. Namanya Restu Palaran! Tanpa kau beritahu, aku sudah dapat menebak. Kau adalah anak asuh buron kerajaan itu!" kata laki-laki tua bernama Dada Sukma yang di kalangan persilatan berjuluk Iblis Penggali Kubur.
Sebentar Dada Sukma menghentikan katakatanya. Dikenalinya dulu wajah Lintang Sari yang cantik.
"Hari ini rupanya ada orang mengantar rejeki besar! Ketahuilah, Lintang Sari! Kau adalah deretan pertama nama buron kerajaan! Dan siapa pun juga yang mengantar kepalamu ke hadapan raja, akan mendapatkan imbalan besar. Dan hari ini, rupanya kau datang mengantar kepalamu tanpa aku susahsusah mencarinya...!" lanjut laki-laki tua berjuluk Iblis Penggali Kubur.
"Bagus, jika kau telah tahu. Tua Bangka! Namun sayang. Karena, hal itulah kau harus pergi ke neraka!" desis Lintang Sari.
Dan seketika, Lintang Sari melompat setinggi dua tombak ke atas. Dengan membual gerakan berputar satu kali di udara, sepasang kakinya melesat bagai sambaran kilat ke arah Iblis Penggali Kubur.
"Hm Rupanya kau telah mewarisi ilmu si keparat Restu Palaran. Tapi, ketahuilah. Restu Palaran sudah pernah menjilat pantat ku! Dan sekarang kau harus menjilat seluruh tubuhku! Ha... ha... ha...!" leceh Iblis Penggali Kubur, mengekeh panjang.
Sejengkal kaki Lintang Sari menghantam. Iblis Penggali Kubur menghentikan kekehan tawanya. Seketika tubuhnya mendadak kaku. Dan bagai sebatang kayu, tubuhnya cepat di rebah sejajar tanah.
Wesss!
Sepasang kaki Lintang Sari hanya lewat di atas tubuh Iblis Penggali Kubur yang rebah di atas tanah.
"Keparat busuk!" geram Lintang Sari begitu mendarat di tanah dan berbalik Cepat kaki kanannya menyapu deras ke arah tubuh Iblis Penggali Kubur yang masih kejang di alas tanah.
Wut!
Lintang Sari kembali dibuat tercengang dan tak percaya ketika kaki kanannya yang menyapu deras ternyata hanya menghantam angin. Dan begitu gadis ini mendongak, ternyata laki-laki kurus kering itu telah mengapung di udara dengan senyum mengejek. Hebatnya, masih dalam keadaan berselonjor kaki seperti tadi! Sementara, sekop kecilnya tetap dipanggul di atas pundaknya.
"Bangsat!" bentak Lintang Sari marah karena beberapa serangannya dengan mudah dapat dihindari.
"Chiaaat !"
Disertai bentakan nyaring, Lintang Sari menjejakkan kakinya. Seketika tubuhnya telah mengangkasa. Namun bersamaan dengan itu, tubuh Iblis Penggali Kubur yang masih kaku berputar cepat bagai balingbaling. Bahkan langsung menukik turun dengan sebuah serangan kaki dan tangan, menyongsong Lintang Sari yang melayang ke atas.
Plak!
Kaki Iblis Penggali Kubur dapat ditangkis tangan Lintang Sari. Namun, tangan kanan laki-laki tua kurus kering itu tak terbendung lagi menghantam pinggang Lintang Sari.
Des...!
Bret...!
Tubuh Lintang Sari langsung menukik deras kembali ke bawah, dan menghantam tanah dengan keras. Bruk!
Gadis itu bergerak bangkit. Namun baju luar yang telah koyak di bagian pinggang segera di lepasnya. Saat mendarat, sepasang mata Iblis Penggali Kubur yang besar dan menjorok berkilat-kilat memandang tak berkedip. Ternyata di balik baju luar yang telah dilepas; buah dada sebelah kanan Lintang Sari menyembul menantang karena bajunya robek agak besar.
Namun seperti tak menghiraukan pandangan mata Iblis Penggali Kubur, Lintang Sari cepat menakupkan kedua tangannya sejajar dada. Dengan kudakuda kokoh, dilepaskannya pukulan ke arah laki-laki tua ini....
Wesss. !
Saat itu juga. gelombang sinar biru yang langsung berubah merah bergerak dengan suara menggemuruh mengancam keselamatan laki-laki tua itu. Namun dengan tenang, Iblis Penggali Kubur segera memutar-mutar sekop kecil di tangan kirinya. Sementara, tangan kanan mendorong ke depan. Glarrr!
Terdengar gelegar hebat begitu dua kekuatan dahsyat bertemu. Pohon-pohon di puncak bukit berderak-derak tumbang. Bahkan bangunan agak megah itu bergetar. Tubuh Lintang Sari terjajar dua langkah ke belakang, dan jatuh terduduk. Dari mulutnya mengalir darah. Di pihak lain, Iblis Penggali Kubur hanya tergontai-gontai.
Baru saja Lintang Sari mengusap mulutnya, serangan Iblis Penggali Kubur menggebrak. Sekop kecil di tangannya berputar-putar, dan mendadak lenyap. Yang ada hanyalah biasan warna kuning disertai suara menggidikkan. Disertai suara menderu, tiba-tiba sekop di tangan Iblis Penggali Kubur melesat ke arah bahu kanan Lintang Sari.
Gadis itu akan bergerak menghindar dengan melemparkan tubuhnya ke samping kiri, namun dari arah sama sekonyong-konyong menggebrak angin deras di sertai hawa dingin.
Mendapati dirinya terkurung serangan, Lintang Sari tampak tercekat. Namun tubuhnya segera melesat ke atas, karena hanyalah itu tempat aman dari serangan.
Namun mendadak Iblis Penggali Kubur memejamkan mata. Seketika tubuhnya kaku. Dan sekali jejak, tubuhnya yang kaku melesat dengan kepala menusuk. Karena tak menduga, Lintang Sari tak bisa menghindar. Sehingga….
Des!
Lintang Sari memekik tertahan ketika kepala Iblis Penggali Kubur menusuk tepat perutnya, dan langsung berputar. Bret!
Baju Lintang San terkoyak, dengan tubuh terkapar di atas tanah. Kini kedua buah dadanya sudah tak tertutup lagi. Dan darah pun kembali menyembur dari mulutnya.
"He... he... he...!"
Iblis Penggali Kubur mengeluarkan kekehan panjang"Setan kecil! Sungguh sayang aku sudah tua. Sehingga, lak tertarik dengan bentuk tubuh mu! Seandainya saja aku masih muda, mungkin kau akan merasakan kenikmatan terakhir, sebelum kematian menjemput mu! Tapi kau harus berbahagia. Karena meski telah tewas, kepalamu berharga mahal di hadapan raja! Nah, bersiaplah!" ancam laki-laki tua itu.
Dengan menahan rasa sakit dan mual-mual, Lintang Sari menggeser tubuhnya dan bersandar pada pecahan balu besar. Sesaat tangannya ditarik. Dan secepat itu pula, diputarnya Cincin Aswagitha menghadap ke depan.
"Biar angin bangun dan mengintai menggalang iringan awan Sibak timbunan dunia dengan darah Kaulah panjang tanganku Kaulah lidah merahku Genggam semuanya, agar mereka tahu Darah adalah lambang kematian!"
Dari bibir-Lintang Sari meluncur lantunan syair. Tepat ketika lantunan syairnya selesai, Iblis Penggali Kubur telah bergerak dengan memutar sekop di tangan kirinya. Sementara tangan kanannya mendorong kuat-kuat ke depan. Wesss...!
Segelombang angin deras berhawa dingin yang menderu, ditingkahi kilatan-kilatan kuning menyambar-nyambar meluncur ke arah Lintang Sari. Namun dengan gerakan cepat, Lintang Sari memalangkan tangannya yang mengenakan Cincin Aswagitha. Sementara, tangan satunya menakup perut. Terjadi keanehan. Gelombang serangan dari Iblis Penggali Kubur seketika bergerak perlahan dan bersatu menuju pada satu titik berwarna hijau yang ada di tangan Lintang Sari. Dan perlahan-lahan pula, titik berwarna hijau itu menyedot gelombang angin dan kilatan-kilatan warna kuning!
Mata Iblis Penggali Kubur terbeliak. Dan mendadak dia mengeluarkan seruan tertahan, karena tubuhnya tiba-tiba terasa bergetar dan tertarik ke depan.
"Hiaaah...!"
Dengan mengeluarkan bentakan keras, Iblis Penggali Kubur mengerahkan segenap tenaga untuk bertahan agar tubuhnya tak tersedot ke depan. Namun sedotan dari Cincin Aswagitha rupanya lebih kuat. Sehingga, kedua kaki laki-laki ini sedikit demi sedikit terseret ke depan. Dicobanya untuk menggerakkan sekop, tapi tangannya seolah-olah tak bisa digerakkan. Hingga tanpa bisa dibendung lagi, tubuh Iblis Penggali Kubur bergerak mendekati Lintang Sari yang masih duduk.
Dua langkah lagi Iblis Penggali Kubur mencapai tempatnya, Lintang Sari mengibaskan tangannya. Maka saat itu juga tubuh laki-laki tua ini terdorong deras ke depan. Pada saat yang sama Lintang Sari mengerahkan seluruh tenaga dalamnya ke kaki. Dan saat itu juga di hantamnya selangkangan Iblis Penggali Kubur yang menghambur ke arahnya.
Tubuh Iblis Penggali Kubur terpental ke belakang disertai jeritan panjang. Begitu terjerembab di atas tanah, bagian bawah tubuh Iblis Penggali Kubur telah berlumuran darah. Sekop di tangannya terpental jatuh ke lereng bukit.
Dengan memegangi anggota tubuh bagian bawanya, Iblis Penggali Kubur merambat bangkit. Namun tiba-tiba matanya membelalak. Tubuhnya terasa ringan dan kekuatannya lenyap! Makin ciutlah nyali Iblis Penggali Kubur. Apalagi saat dilihatnya Lintang Sari bergerak perlahan mendatangi.
"Ternyata penggalan kepalamu yang akan menghadap raja, Dada Sukma!" kata Lintang Sari seraya melesat ke atas. Di udara, gadis ini berputarputar, lalu berkelebat ke arah laki-laki tua itu. Dan....
Diegkh! Krak! "Aaakh.."
Jeritan melengking terdengar diiringi suara tulang patah, ketika hantaman Lintang Sari mendarat telak di kepala.
Ketika Lintang Sari telah tegak kembali, tampak tubuh Iblis Penggali Kubur terkapar tanpa kepala!
Sebentar Mala Lintang Sari yang berkilat-kilat beredar ke sekeliling, mencari-cari. Senyumnya segera tersungging, saat melihat penggalan kepala Iblis Penggali Kubur masih tergeletak di samping sebuah bongkahan batu.
Dengan senyum seringai, Lintang Sari menghampiri kepala Iblis Penggali Kubur. Penggalan kepala yang masih berlumuran darah itu segera diambil dan dijinjing. Lalu dengan cepat dibungkusnya dengan baju putih yang tadi dibuat rangkapan. Sambil menenteng bungkusan berisi kepala Iblis Penggali Kubur, Lintang Sari melesat masuk ke dalam bangunan. Tak lama gadis itu berada di dalam, sebentar saja dia keluar dengan mengenakan pakaian warna kuning sambil menenteng kotak.
Seraya tertawa mengekeh. Lintang Sari melayang turun dari puncak bukit. Sampai di tempat Kumbara yang masih tertotok, gadis itu berhenti. Dengan cepat, dibebaskannya totokan di tubuh Kumbara. Selagi Kumbara tercengang tak percaya, gadis ini telah berkelebat turun.
"Sengaja ku perpanjang umurmu, agar kau menyebar berita ini! Hi... hi... hi...!" gumam Lintang Sari.

* * *



--↨֍¦ 5 ¦֍↨--

Matahari telah tenggelam, ketika Lintang Sari memasuki kotaraja.
"Hmm.... Kegelapan bisa membantu keleluasaan gerakanku...!" gumam Lintang Sari perlahan, seraya terus berkelebat ke arah istana. Gadis ini rupanya melewati jalan yang sepi. Bahkan tak jarang masih menyelinap dan muncul lagi, saat keadaan telah memungkinkan.
Tak berapa kemudian. Lintang Sari telah tampak mengendap-endap di belakang istana yang dibatasi tembok tinggi dan tebal. Sejenak sepasang matanya nyalang mengawasi ke sekeliling. Setelah dirasa tak ada mata yang melihat, dilemparkannya kotak yang tadi dibawanya, masuk ke dalam istana bagian belakang.
Seiring senyum yang menghiasi bibir, Lintang Sari berbalik dan berkelebat ke arah selatan.
"Hm.... Kegegeran sebentar lagi akan berlangsung. Dan tentunya, akan bertambah seru jika ditambah penggalan kepala Pendekar Lembah Seribu Bunga, bekas kepala tokoh silat kerajaan! Aku harus segera menambah keguncangan itu dengan kepala pendekar itu!" gumam Lintang Sari sambil bergegas menuju kedai di ujung kotaraja.

* * *



Selesai mengisi perut. Lintang Sari melangkah keluar kedai. Sesekali matanya masih mengawasi jalan yang dilaluinya. Namun begitu sampai di tempat yang agak sepi, segera dikerahkannya ilmu meringankan tubuhnya untuk berkelebat cepat ke arah selatan.
Dengan pengerahan ilmu meringankan tubuh setinggi mungkin. Lintang Sari melesat bagaikan bayangan setan. Sebentar saja dia lelah jauh meninggalkan kota-raja. Dan kini, gadis itu telah tiba di sebuah lembah yang banyak ditumbuhi aneka bunga.
Lintang Sari memperlambat langkah. Matanya segera berkeliling menyelidik. Namun hingga agak lama, tak juga menemukan sebuah bangunan pun. Yang tampak hanyalah gundukan-gundukan batu dan tumbuh-tumbuhan beraneka ragam.
"Hm.... Menurut Guru, Pendekar Lembah Seribu Bunga bertempat tinggal di sini. Tapi yang kulihat di sini hanya berupa tumbuh-tumbuhan dan gundukan batu-batu "
Wajah Lintang Sari tampak mulai kesal. Tapi matanya terus mengawasi setiap sudut lembah. Tak ada tanda-tanda penghuninya.
Setelah menarik napas dalam-dalam, Lintang Sari menuju sebuah gundukan batu yang paling besar. Dengan kecewa, pantatnya dihempaskan di atas gundukan batu. Namun begitu menyentuh gundukan itu, matanya mendadak mendelik. Parasnya berubah, sementara telinganya tertarik ke belakang. Ternyata, gundukan batu yang didudukinya bergerak-gerak teratur seperti mengembang dan mengempis.
Lintang Sari cepat berdiri, lalu melangkah mengitari gundukan batu. Saat matanya tertumbuk pada sebuah lobang di bagian belakang, senyumnya segera menyungging.
"Pendekar itu pasti berada di bawah lobang ini! Orang-orang persilatan memang aneh-aneh dalam memilih tempat...!" gumam Lintang Sari dalam hati.
Gadis itu segera mendekati lobang. Dan begitu kepalanya melongok....
Wesss!
Seketika serangkum angin hangat dan deras menghambur dari dalam lobang. Dengan cepat Lintang Sari menarik pulang kepalanya dengan melotot lak percaya
"Tak salah dugaanku.... Dia berada di sini! Akan ku coba memancingnya!"
Lintang Sari mundur dua langkah.
"Pendekar Lembah Seribu Bunga! Aku utusan kerajaan datang untuk menemuimu!" teriak Lintang Sari, disertai sedikit pengerahan tenaga dalam.
Teriakan Lintang Sari hanya terjawab oleh gema suaranya sendiri yang memantul. Dan karena disertai tenaga dalam, suaranya sempat menggugurkan bunga-bunga di sekitarnya.
Namun tak lama kemudian....
"Anak muda! Berlakulah sopan di tempat orang! Kalau kau benar-benar utusan kerajaan, masuklah! Dan, bicaralah baik-baik!"
Tiba-tiba terdengar suara yang seakan-akan datang dari langit. Suara itu seperti masuk ke dalam lobang, langsung memantul menimbulkan gema panjang yang menggidikkan bulu roma. Lintang Sari mendengus, lalu melangkah ke mulut lobang. Namun baru satu tindak....
Wesss!
Seketika dari dasar lobang kembali berhembus angin deras. Lintang Sari cepat menarik tubuh dengan kening berkernyit. Dan tiba-tiba kaki kanannya menjejak gundukan batu.
Derrr. !
Gundukan batu itu pecah berkeping-keping. Segera saja gadis itu memungut kepingan batu agak besar. Langsung dilemparkannya batu itu ke dalam lobang.
Tak lama Lintang Sari menunggu hasil tindakannya.
Sekejap kemudian, kepingan batu itu telah mental keluar. Setengah tombak di atas lobang, mendadak kepingan batu itu bertaburan ke udara dan berubah menjadi debu lembut berwarna hitam.
"Gila! Akibat hembusan angin itu begitu dahsyat Bagaimana aku harus masuk...?" rutuk Lintang Sari dalam hati. Tanpa dapat dicegah lagi, tengkuknya terasa dingin.
Agak lama baru anak asuh Restu Palaran ini tersenyum dan mengangguk-anggukkan kepala. Ia rupanya telah menemukan cara. Lintang Sari lalu mundur tiga langkah ke belakang. Dan tiba-tiba kedua tangannya menyentak ke arah gundukan balu. Pelan. Gundukan batu itu kembali pecah berkepingkeping, berjatuhan di atas tanah. Dan dengan senyum di-kulum, Lintang Sari duduk di antara kepingankepingan batu. Kemudian tangannya mulai bergerak, melemparkan kepingan batu satu persatu ke arah lobang. Setiap batu yang dilempar masuk, langsung mental dan berhamburan jadi debu. Namun, gadis itu terus melempar kepingan batu.
"Kau akan terus mengeluarkan tenaga. Pendekar! Dan itu sebuah keuntungan bagiku...!" gumam Lintang Sari.
Dugaan Lintang Sari benar, karena tak lama kemudian, batu-batu yang dilemparkan tak lagi mental. Seketika dengan kecepatan kilat, tubuhnya segera berputar-putar.
Angin berputar menderu-deru segera melindungi diri Lintang Sari. Dan seketika tubuhnya cepat melesat masuk ke dalam lobang. Ketika tubuhnya mendarat pada sebuah ruangan, putaran tubuhnya segera dihentikan. Saat itu juga, matanya memandang ke sekeliling. Saat matanya berujung pada sebuah batu besar putih yang berkilauan, langkahnya surut dua tindak ke belakang.
Di atas batu yang berkilauan tampak duduk bersila seorang laki-laki. Rambutnya panjang dan hitam. Demikian pula jenggot dan kumisnya. Wajahnya berseri-seri, meski usia lanjut tak dapat disembunyikannya. Kedua matanya terpejam rapat. Sementara, napasnya berhembus secara teratur. Dan seakan-akan tak ambil peduli dengan kedatangan Lintang Sari.
"Anak muda! Katakan siapa dirimu...?! Dan, apa maksudmu mengusik tempatku...?!"
Sedikit saja laki-laki di atas batu putih membuka mulut. Namun suara yang keluar sangat menusuk dan menggetarkan. Untuk menyembunyikan rasa terkejutnya, Lintang Sari tersenyum.
"Pendekar Lembah Seribu Bunga! Kau ingat kejadian tujuh tahun lalu di Istana Malowopati?!" Lintang Sari malah bertanya.
Tanpa membuka kelopak matanya, laki-laki yang di panggil Pendekar Lembah Seribu Bunga mengangguk perlahan.
"Bagus, jika kau belum pikun. Pendekar! Lalu, apa kau juga masih ingat dengan pembantaian yang dilakukan tokoh-tokoh silat kerajaan yang kau pimpin pada sang raja dan anggota keluarganya...?!" susul gadis itu.
Laki-laki tua itu tersentak kaget. Sehingga, bahunya terangkat. Namun matanya tetap tak membuka. Lantas kepalanya sedikit mendongak.
"Tunggu!" seru Pendekar Lembah Seribu Bunga tertahan.
"Kau "
Tiba-tiba Pendekar Lembah Seribu Bunga mengurungkan bicaranya.
"Harap kau meneruskan kata-katamu, Orang Tua!" kejar Lintang Sari.
Pendekar Lembah Seribu Bunga perlahan membuka kelopak matanya. Sekilas dipandangnya tajam-tajam ke arah Lintang Sari.
"Gadis cantik, dengar baik-baik. Kau mungkin men-dengar perihal itu dari !"
"Restu Palaran...!" sambar Lintang Sari, ketika Pendekar Lembah Seribu Bunga tak segera meneruskan kata-katanya.
"Hm.... Dugaanku tak meleset!" kata Pendekar Lembah Seribu Bunga kalem.
"Dan aku juga sekarang. bisa menduga, kalau kau adalah Lintang Sari. Tapi kalau boleh kukatakan, peristiwa tujuh tahun yang lalu itu sebenarnya telah menyimpang dari apa yang disepakati sebelumnya! Jadi dalam hal ini, kau tak bisa menumpahkan segala kejadian itu hanya padaku!"
"Hm.... Begitu? Lantas, siapa yang bertanggungjawab atas peristiwa pembantaian itu?!" cecar Lintang.
Untuk beberapa saat Pendekar Lembah Seribu Bunga tak menjawab. Bibirnya mengatup rapat. Sementara sepasang matanya memancarkan rasa berat.
Mata Lintang Sari makin menyala melihat Pendekar Lembah Seribu Bunga tak segera menjawab pertanyaannya.
"Jawab, Pendekar! Siapa yang bertanggung jawab atas peristiwa pembantaian Sri Baginda dan seluruh anggota keluarganya tujuh tahun yang lalu?!"
Pendekar Lembah Seribu Bunga menarik napas lam-dalam.
"Lintang Sari! Kau waktu itu masih belum mengetahui apa-apa! Bukan tak mungkin Restu Palaran tidak mengatakan kejadian yang sebenarnya!" sentak Pendekar Lembah Seribu Bunga akhirnya.
"Kau jangan menambah dosa-dosamu dengan menuduh orang!" tukas Lintang Sari geram setengah membentak.
"Lintang San! Aku tidak menuduh, tapi curiga. Jangan-jangan Restu Palaran memperalat mu untuk menumpahkan dendam kesumatnya! Lintang Sari, sadarlah! Peristiwa itu telah terjadi! Bagaimanapun usahamu, Sri Baginda ayahmu, serta seluruh kerabat mu, tidak akan bisa lagi kembali! Belajarlah menerima kenyataan!"
"Pendekar Lembah Seribu Bunga! Camkan kata-kataku! Kedatanganku dengan satu tujuan. Yakni, ingin mendengar dari mulutmu sendiri tentang siapa yang bertanggung jawab atas terjadinya pembantaian itu! Kau tak usah mengumbar suara yang bukanbukan!" bentak Lintang Sari, disertai kegeraman yang amat sangat. Napasnya terlihat turun naik, siap memuntahkan amarahnya.
"Aku tak bisa mengatakan, siapa yang bertanggung jawab atas peristiwa pembantaian itu. Lintang Sari! Waktu itu keadaan sangat kacau. Lagi pula…."
Belum selesai Pendekar Lembah Seribu Bunga dengan kata-katanya….
"Siapa kepala tokoh silat kerajaan waktu itu?" tukas Lintang Sari, makin keras. Matanya sudah mencorong tajam, seperti hendak menelan bulat-bulat lakilaki itu.
"Aku...!" jawab Pendekar Lembah Seribu Bunga berusaha kalem.
"Mengapa waktu itu kau tak berusaha mencegah? Malah, bersekongkol dengan musuh untuk menggulingkan Sri Baginda?!"
"Jangan salah sangka, Lintang Sari! Waktu itu, aku sudah berusaha agar pembantaian tak berlangsung. Tapi apalah artinya aku, jika menghadapi beberapa tokoh silat lain, serta pembesar-pembesar istana?!" kilah Pendekar Lembah Seribu Bunga, tetap berusaha tenang.
"Alasan usang yang ketinggalan zaman, Pendekar!" ejek Lintang Sari, dengan senyum sinis.
"Kau jangan termakan hasutan Restu Palaran, Lintang Sari! Itu hanya akan menambah beban dendam di hatimu! Terimalah keadaan saat ini. tanpa harus membuka luka lama! Dan kalau kau menuduhku berbuat kelalaian, sekarang aku bersedia menerima hukuman dan minta maaf padamu!" ujar Pendekar Lembah Seribu Bunga menenangkan hati Lintang Sari yang telah diamuk hawa amarah dan dendam.
"Hanya begitu! Phuih!" ejek Lintang Sari disertai dengusan sinis dan semburan ludah.
"Terlalu enak jika segala perbuatan salah hanya berujung pada kata maaf! Pendekar! Jika kau tak bisa jawab siapa yang bertanggung jawab atas peristiwa itu, sekarang jawab pertanyaanku. Jika seseorang berhutang nyawa, bayaran apa yang harus dikembalikan!"
Pendekar Lembah Seribu Bunga terkejut. Dan untuk beberapa lama dia tak membuka suara.
"Kau ternyata bodoh. Pendekar! Kedua pertanyaanku tak bisa kau jawab. Jika demikian, baiklah. Dengarkan baik-baik, aku akan jawab sendiri pertanyaan tadi...!"
"Sebentar, Lintang Sari!" tahan Pendekar Lembah Seribu Bunga mencoba memotong pembicaraan Lintang Sari. Namun rupanya gadis itu tak menghiraukan.
"Yang bertanggung jawab atas pembantaian itu adalah kau sendiri. Pendekar! Dan hutang nyawa harus di bayar nyawa!"
Lintang San mengakhiri kata-katanya dengan tekanan. Bukan hanya itu saja. Setelah selesai bicara, tubuhnya segera melesat ke atas. Dengan sekali jungkir balik di udara, mendadak tubuhnya menukik deras dengan kaki menghantam ke arah Pendekar Lembah Seribu Bunga.
Namun dengan tenang Pendekar Lembah Seribu Bunga memiringkan tubuhnya. Sementara, tangannya bergerak cepat menangkap tangan Lintang Sari yang bergerak ke arah dada.
Hantaman kaki Lintang Sari lewat di atas bahu Pendekar Lembah Seribu Bunga. Namun tangan gadis itu lebih cepat bergerak. Sehingga tanpa bisa dibendung lagi tangan yang kelihatan ringan itu menggedor dada Pendekar Lembah Seribu Bunga.
Desss!
Pendekar Lembah Seribu Bunga yang masih dalam keadaan duduk bersila terpelanting dan jatuh terkapar. Namun tanpa mengeluarkan keluhan ia bangkit sambil tersenyum.
"Tunggu, Lintang Sari. Kau tak usah terlalu menguras tenaga begitu banyak, jika hanya menginginkan nyawaku! Lakukanlah apa yang kau inginkan. Aku tak akan melawan!" ujar Pendekar Lembah Seribu Bunga sambil melangkah mendekati Lintang Sari yang kini telah tegak di tempatnya semula.
"Berarti kau mengakui kesalahanmu, Pendekar?!" desis gadis murid Restu Palaran ini.
"Tidak! Aku tidak merasa melakukan kesalahan! Namun karena peristiwa itu di bawah tanggung jawabku, maka sudah selayaknya jika aku menanggung segala sepak terjang bawahanku! Nah, lakukanlah apa yang kau mau!" sahut Pendekar Lembah Seribu Bunga, mantap.
"Ha... ha... ha...! Kau membuat tingkah lucu yang seharusnya tak dilakukan orang sepertimu, Pendekar! Dengan ucapanmu tadi, berarti kau mengajari ku berbuat pengecut dengan membunuh orang yang tidak melawan!" ejek Lintang Sari.
Paras Pendekar Lembah Seribu Bunga merah padam. Sepasang matanya menatap tajam ke arah Lintang Sari.
"Ketahuilah, Lintang Sari! Setelah peristiwa yang menimpa seluruh keluargamu, aku keluar dari lingkungan istana. Karena, aku merasa tindakan para tokoh silat kerajaan serta pembesar-pembesar istana, sudah tak sesuai hati nurani ku! Aku ingin menghabiskan sisa-sisa hari tuaku dengan membersihkan diri tanpa mencampuri urusan istana!" jelas Pendekar Lembah Seribu Bunga, tenang dan lembut.
"Itu urusanmu! Biar kau malang melintang atau jungkir balik, aku tak peduli! Namun satu hal yang perlu kau ingat. Pendekar! Hutang harus tetap dilunasi! Dan aku tak akan berbuat pengecut, seperti yang kau ajarkan! Kuberikan bak padamu untuk membela diri. Entah digunakan apa tidak, aku tak mau tahu!" tandas lintang Sari.
Sejenak gadis itu terdiam. Diambilnya napas dalam-dalam, lalu dihembuskannya kuat-kuat. Sepertinya dia ingin segera menuntaskan keinginannya sekarang juga.
"Biar angin bangun dan mengintai menggalang iringan awan Sibak rimbunan dunia dengan darah! Kaidah panjang tanganku Kaulah lidah merah ku Genggam semuanya, agar mereka tahu Darah adalah lambang kematian!"
Begitu lantunan syairnya selesai, lintang Sari mengatupkan kedua tangannya sejajar dada.
"Hm.... Anak ini rupanya tak main-main! Anak keras kepala! Sungguh sayang, anak ini telah termakan kata-kata Restu Palaran! Apa boleh buat? Aku harus bertahan...," gumam Pendekar Lembah Seribu Bunga sambil memejamkan mata.
Pendekar Lembah Seribu Bunga segera mempersiapkan diri dengan mengempos semangatnya. Saat itu juga tenaga dalamnya dialirkan ke seluruh tubuh. Kemudian, pelan-pelan matanya membuka.
"Lintang Sari! Baiklah jika itu yang kau kehendaki! Tapi, ingat! Aku hanya mempertahankan diri, tanpa berniat mencederai!"
Mendengar ucapan Pendekar Lembah Seribu Bunga, Lintang San lak menyahut. Malah segera kedua tangannya didorong ke depan.
Wesss...!
Gelombang sinar merah segera bergerak ke arah Pendekar Lembah Seribu Bunga.
"Hiaaat...!"
Didahului bentakan membahana, Pendekar Lembah Seribu Bunga segera melemparkan diri ke samping sambil mendorongkan kedua telapak tangannya, memapaki gelombang sinar merah.
Blarrr!
Ruangan bawah tanah ini kontan bergetar bagai hendak ambruk. Dinding, lantai serta langitlangitnya yang terbuat dan batu-batu langsung retak. Pendekar Lembah Seribu Bunga sendiri tersungkur ke pojok ruangan dengan kepala mengantuk dinding. Terdengar keluhan dari mulutnya.
Sementara itu Lintang Sari tampak terkapar di lantai ruangan. Namun dengan sigap dia segera bangkit.
"Bagus! Keluarkan simpanan ilmumu. Pendekar! Hutang itu harus dilunasi sekarang!"
Di akhir kalimatnya. Lintang Sari kembali menyentakkan kedua tangannya melepaskan pukulan jarak jauhnya.
Wesss...!
Seketika melesat gelombang kekuatan berwarna merah ke arah Pendekar Lembah Seribu Bunga. Tapi tentu saja laki-laki tua itu tidak tinggal diam. Tubuhnya segera melesat ke atas, menghindari serangan. Dari udara, dilepaskannya satu pukulan jarak jauh pula.
"Hiaaa..!"
Pada saat yang sama mendadak Lintang Sari memalangkan tangannya yang memakai Cincin Aswagitha. Pendekar Lembah Seribu Bunga tersentak kaget. Parasnya tiba-tiba pucat pasi. Tapi, keterkejutannya terlambat. Saat itu juga serangan yang dilancarkannya dari udara perlahan-lahan tersedot masuk ke dalam Cincin Aswagitha. Dan di kejap itu juga tubuhnya bagai tak bertenaga dan menukik deras ke bawah!
Lintang Sari yang telah di rasuki hawa amarah tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Saat tubuh Pendekar Lembah Seribu Bunga luruh ke arahnya, gadis itu melepaskan tendangan dahsyat berisi tenaga dalam tinggi.
Desss...!
Tubuh Pendekar Lembah Seribu Bunga yang lelah tak bertenaga kontan terhempas ke atas.
Brolll...!
Tubuh laki-laki itu langsung menerabas pinggiran lobang, hingga keluar.
Brukkk!
Keras sekali tubuh Pendekar Lembah Seribu Bunga jatuh di luar lobang, dan terkapar. Sekujur tubuhnya tampak merah melepuh. Rambutnya terpangkas hampir habis. Sementara pakaiannya telah terkoyak-koyak. Ketika membuka kedua mata. Pendekar Lembah Seribu Bunga tercekat. Satu tombak di depannya, Lin-tang Sari telah berdiri dengan tatapan garang. Namun tatapan mata gadis itu hanya sekejap. Saat kepalanya mendongak...
"Sunyi mengandung maut menggantung di udara Maut yang datang tanpa diundang Maut yang setiap saat pasti menjelang Maut yang berawal dari darah!"
Selantun syair keluar dari mulut Lintang Sari. Dan sebentar kemudian matanya telah menyorot tajam ke arah laki-laki ini
"Pendekar Lembah Seribu Bunga, bekas kepala tokoh silat kerajaan! Hari ini hutangmu padaku lunas!" Sambil berkata, Lintang Sari mendorongkan tangannya ke arah laki-laki ini yang telah memejam pasrah.
Wesss...!
Gelombang sinar merah kembali bergerak ke arah Pendekar Lembah Seribu Bunga yang telah tak berdaya, dengan kecepatan luar biasa. Namun saat pukulan berhawa maut itu siap melepas nyawa Pendekar Lembah Seribu Bunga.
Werrr...!
Tanpa diduga dari arah samping terdengar suara menggemuruh bagai gelombang laut, memotong serangan yang dilepaskan Lintang Sari.
Akibatnya, gelombang sinar merah itu berbelok ke samping, menghantam tumbuh-tumbuhan bunga.
Blarrr...!
Terdengar ledakan dahsyat, mengiringi berhamburannya bunga beraneka warna itu ke segala arah. Bahkan tanah tempat tumbuh tanamantanaman itu terbongkar, menciptakan lobang cukup dalam.
"Jahanam!" teriak Lintang Sari geram.
"Siapa bertindak lancang mencampuri urusan kerajaan!" Lintang Sari melangkah mundur.
"Kurang ajar! Pukulanku begitu saja melenceng saat terpotong. Siapa gerangan jahanam usil ini?! Apakah orang kerajaan?!"
Berpikir begitu, Lintang Sari segera menoleh ke samping. Tepat pada saat itu pula Pendekar Lembah Seribu Bunga membuka kelopak matanya. Dan dia ikut-ikutan menoleh ke samping, ke arah Lintang Sari memandang.
Keduanya sama-sama terkejut. Lima tombak di samping mereka, tahu-tahu lelah berdiri seorang pemuda berambut gondrong dan dikuncir ekor kuda. Jubahnya warna hijau ketat, dengan pakaian dalam warna kuning lengan panjang. Raut wajahnya tampan. Tubuhnya kekar. Pemuda ini berdiri tegak dengan sikap tak acuh. Sementara dari mulutnya terdengar dendang nyanyian yang tak jelas.
"He! Siapa kau...?! Jangan berani bertindak mencampuri urusan ini, jika tak ingin tubuhmu hitam legam!" bentak Lintang Sari.
Gadis ini menggeram marah. Senyumnya menyeringai beringas. Namun, rupanya Lintang Sari tak mau bertindak sembrono. Disadari betul, jika pukulannya berhasil dipotong berarti orang itu memiliki tingkat kepandaian yang tak bisa dipandang sebelah mata.
Sambil menjentikkan jari-jari pada ujung hidungnya, pemuda tampan berambut gondrong yang tak lain Aji alias Pendekar Mata Keranjang 108 ini celingukan memandang ke arah Lintang Sari dan Pendekar Lembah Seribu Bunga berganti-ganti.
"Orang ini tampangnya keren. Tapi, sikapnya seperti orang tolol dan sinting! Namun melihat pukulannya tadi, dia pasti menyembunyikan sesuatu di balik sikapnya! Hm..., menilik pakaian yang dikenakan, dia bukan dari kalangan istana. Meski, wajahnya pantas jadi orang istana!" kata batin Lintang Sari sambil tak kedip mengawasi pemuda di sampingnya dari ujung kaki hingga ujung rambut.
Namun ditunggu agak lama, pemuda itu tetap saja celingukan. Bahkan sambil senyam-senyum dan bergumam tak karuan. Melihat hal ini Lintang Sari jadi jengkel.
"He...! Kau dengar kata-kataku bukan...?! Apa telingamu minta dikorek? Lekas katakan, siapa kau...?!" bentak Lintang Sari, disertai pengerahan tenaga dalam.
Dibentak begitu. Pendekar Mata Keranjang 108 tersenyum. Bahkan balik menatap tajam.
"Gadis cantik! Apalah pentingnya sebuah nama? Kau bisa memanggilku apa saja! Sesukamu lah. Terserah kau mau, terserah kau pilih!" kata Aji.
"Orang sinting!" rutuk Lintang Sari, kesal.
"Panggilan itu juga boleh...!" sahut Aji cengengesan. Namun, matanya berkedip nakal.
"Sinting! Benar-benar sinting! Baru kali ini aku menemui orang edan seperti dia!" kata Lintang Sari, dalam hati.
"He, Sinting! Cepat tinggalkan tempat ini! Ku-peringatkan, jangan turut campur masalah ini kalau masih ingin lebih lama menikmati kesintingan mu!" bentak Lintang Sari, kembali.
"Oh, begitu? Baiklah, Gadis Ayu! Segala peringatanmu akan kuperhatikan. Tapi, harap dengar dahulu ucapanku. Jika kau masih akan menghajar orang yang sudah tak berdaya, jangan harap aku pergi dari sini! Malah aku akan membuntuti ke mana kau pergi!"
Meski Lintang Sari menggeram menahan marah, namun sesaat bibirnya tersenyum.
"Apakah berarti kau akan mencampuri urusan ini? Urusan yang siapa saja tak berhak mencampurinya...?!"
Setelah berkata sinis, Lintang Sari mendongak. Lalu....
"Sungguh kasihan orang yang bersikap tolol Mereka harus membayar mahal ketololannya Dengan tetesan darah
Darah kematian!" ri. Satu bait syair, meluncur dari bibir Lintang Sa"Hai, Orang Sinting! Mumpung masih ada kesempatan, sebaiknya lekas tinggalkan tempat ini. Daripada kau terpuruk di sini tanpa kubur, cepat patuhi perintah ku!" dengus gadis itu, bernada mengancam. Matanya yang melotot, seperti hendak menghujam jantung Pendekar Mata Keranjang 108.
Masih dengan senyam-senyum, Aji mendongak ke atas. Lalu.... kepala "Sungguh minta dikasihani orang yang keras.
Mereka melangkah dengan tertatih-tatih Padahal tongkat di tangannya telah rapuh Sedang yang dituju adalah alam kegelapan" Pendekar Mata Keranjang malah ikut-ikutan melantunkan syair.
"Gadis cantik! Selagi ada waktu, sadarlah! Perbuatanmu ini tak terpuji. Kalau kau memang ksatria, beri kesempatan pada orang tua yang telah tak berdaya itu untuk meninggalkan tempat ini!" ujar Aji, tak kalah garang.
Lintang Sari mengumpat panjang pendek dalam hati.
"Kau memang orang sinting yang cari mati!" Setelah berkala. Lintang Sari segera menyentakkan tangannya ke arah Aji.
Wesss...!
Seketika dari telapak tangan gadis ini meluruk gelombang berwarna merah yang berhawa maut, mengancam keselamatan pemuda tampan itu.
Pendekar Mata Keranjang 108 cepat melentingkan diri ke udara. Dan masih dengan cengengesan, kakinya mendarat di samping Pendekar Lembah Seribu Bunga.
Lintang Sari semakin marah, karena merasa dipermainkan. Lalu tanpa bicara lagi, segera kedua tangannya disatukan sejajar dada.
"Orang muda, hati-hati!" kala Pendekar Lembah Seribu Bunga, dengan suara tersendat di tenggorokan.
Baru saja Aji hendak menoleh, gelombang sinar merah telah kembali bergerak cepat ke arahnya.
"Jika aku menghindar, gelombang sinar ini akan menghajar orang tua ini...!"
Berpikir begitu. Pendekar Mala Keranjang 108 segera mengepalkan tangannya, membuat jurus 'Gelombang Prahara'. Dan ketika gelombang sinar merah telah melesat, cepat pula tangannya dihentakkan ke depan.
Werrr...!
Gelombang angin disertai suara menggemuruh segera pula menggebrak memapak serangan gelombang sinar merah.
Blarrr...! Ketika dua pukulan bentrok, tempat itu laksana di guncang gempa dahsyat. Bunga-bunga kembali berguguran dan menghitam. Sementara Aji terpelanting hingga dua tombak ke samping, lalu jatuh mencium tanah. Wajah dan sebagian jubah hijau ketatnya tampak kemerah-merahan. Tenggorokannya bagai terjilat api, dengan napas sesak.
Di lain pihak. Lintang San terpental hingga empat tombak ke belakang. Baju bagian pinggang dan bahu tampak terbakar. Wajah pucat pasi. Namun saat terpental tadi, dia masih sempat membual gerakan berputar di udara. Begitu mendarat tubuhnya sebentar tergontai-gontai, tapi segera dapat berdiri tegak kokoh. Di sudut-sudut bibirnya mengalir darah agak kehitaman pertanda terluka dalam. Hal ini bisa dimaklumi, karena sudah untuk yang ketiga kalinya jurus ini dikerahkan. Hingga bagaimanapun hebatnya pukulan itu, bentrokan yang ditimbulkan tak bisa menghindarkan dirinya dari luka dalam.
Untuk beberapa lama. gadis murid Restu Palaran ini tegak tak bergeming. Parasnya meringis menahan sakit. Bahkan tatkala melirik tangannya, matanya langsung mendelik. Kulit tangannya tampak kemerahan dan serasa seperti ditusuk jarum.
Melihat hal ini Lintang Sari menggoreng. Saat itu juga tangannya yang mengenakan Cincin Aswagitha dipalangkan. Sementara, tangan satunya bersiap melepaskan pukulan jarak jauh. Sinar hijau berkilauan tampak memancar dari jari tangan kanannya. Aji tercengang dan melotot, melihat cincin yang dikenakan Lintang Sari.
"Cincin Aswagitha!" gumam Pendekar Lembah Seribu Bunga perlahan.
"Anak muda! Cincin itu adalah senjata sakti. Kau harus berhati-hati! Jangan mengeluarkan tenaga jika menghadapinya!" Aji mengangguk perlahan, mendengar penjelasan sekaligus peringatan dari bibir Pendekar Lembah Seribu Bunga.
Merasa keadaan agak gawat, Pendekar Mata Keranjang 108 segera mengeluarkan kipas lipatnya. Dipentangkannya benda itu di depan kepala dengan kaki membuat kuda-kuda kokoh.
Begitu kipas terpentang, sinar hijau dan putih menyilaukan segera memancar. Dan ini membuai Lintang Sari dan Pendekar Lembah Seribu Bunga samasama terkesima. Bahkan gadis itu surut setengah langkah ke belakang.
"Aku harus memancingnya, agar dia menyerangku. Dengan demikian, tenaganya akan tersedot ke dalam Cincin Aswagitha!" kata batin Lintang Sari.
Lantas dengan sedikit menyimpan rasa jerih Lintang Sari tersenyum sinis.
"Hm Kipas rombeng, apa hebatnya!" ejek Lintang Sari.
"Hei, Sinting! Sungguh kasihan kau. Sudah sinting, masih juga jadi antek pengkhianat! Kau memang pantas segera menghuni neraka!"
"Hm..!"
Aji hanya menggumam panjang mendengar kata-kata Lintang Sari. Bibirnya tersenyum, dengan tatapan menusuk.
"Gadis cantik! Urusan menghuni neraka, kukira bukan kau yang menentukan! Dan satu hal yang harus diingat, aku bukannya ikut campur urusanmu. Aku hanya tak suka melihat kau masih ringan tangan terhadap orang yang sudah tak berdaya! Dan, jangan harap aku akan menyerang mu. Aku hanya berusaha mematahkan seranganmu!" balas Pendekar Mata Keranjang 108, kalem.
Lintang Sari terkejut mendengar ucapan Aji.
"Bajingan! Apa orang ini tahu tentang Cincin Aswagitha...?!" batin Lintang Sari.
Dan Lintang Sari makin melongo tak percaya melihat Aji tersenyum-senyum dan melangkah ke arahnya dengan terus memandangi tak berkedip.
"Edan! Betul-betul edan manusia satu ini!" rutuk Lintang Sari seraya mundur.
Tangan kiri Lintang Sari yang tadi siap melancarkan serangan, perlahan-lahan luruh ke bawah. Sepasang matanya mendelik tak berkedip melihat sikap Aji.
"Gara-gara orang gila ini, urusanku dengan Pendekar Lembah Seribu Bunga terpaksa harus kutunda!" kata Lintang Sari dalam hati sambi! berbalik.
Gadis itu berdiri membelakangi Aji. Dia seperti tak peduli pada Pendekar Mata Keranjang 108 yang terus melangkah mendatangi
"Berhenti, Orang Sinting! Kali ini omongan mu ku turuti! Tapi, jangan harap urusanku dengan Pendekar Lembah Seribu Bunga selesai sampai di sini! Kelak aku akan datang menjemput nyawanya yang tertunda! Dan kau, Orang Sinting! Sekali lagi ikut campur, aku tak akan bermurah hati lagi!"
Selesai berkata Lintang Sari berkelebat dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya. Sebentar saja, tubuhnya telah lenyap dari pandangan Pendekar Mata Keranjang 108.
"Terima kasih, Orang Muda...!" kata Pendekar Lembah Seribu Bunga sambil memegangi dadanya. Suaranya tersendat-sendat dan hampir tak terdengar.
Ketika menoleh, Aji terkejut. Ternyata Pendekar Lembah Seribu Bunga telah kembali terkapar. Mulutnya tampak mengeluarkan gumpalan darah kehitaman.
"Kalau boleh tahu, ada sengketa apa sebenarnya hingga gadis tadi sepertinya sangat menginginkan kematianmu, Pendekar...?" tanya Aji seraya membantu mendudukkan Pendekar Lembah Seribu Bunga.
Sebentar Pendekar Lembah Seribu Bunga mengatur jalan napasnya.
"Ah! Itu sebenarnya urusan lama yang telah ku lupakan. Dan..., aku sendiri tak menduga..., jika..., dia akan muncul!" sahut laki-laki itu, tersendat.
Baru saja kata-katanya selesai kembali gumpalan darah kehitaman keluar dari mulut Pendekar Lembah Seribu Bunga.
"Bertahanlah, Pendekar! Aku akan membantumu menyalurkan hawa murni!" ujar Aji.
Pendekar Mata Keranjang 108segera membuka telapak tangannya. Segera ditempelkannya ke dada Pendekar Lembah Seribu Bunga.
"Anak muda, percuma! Tenagaku sudah habis tersedot cincin gadis tadi. Aku tak bisa diselamatkan lagi! Hanya saja aku mohon padamu. Cegah keinginan Lintang Sari! Dia..., sangat berbahaya!" desah Pendekar Lembah Seribu Bunga.
"Lintang Sari...?'' gumam Aji perlahan dengan kening berkernyit.
"Gadis tadi.... Dia..., adalah putri..., Sri Baginda yang telah terguling. Dia..., akan "
Pendekar Lembah Seribu Bunga tak kuasa lagi meneruskan kata-katanya. Hanya mulutnya bergerakgerak tanpa ada suara yang keluar. Aji berusaha menyalurkan hawa murni ke tubuh Pendekar Lembah Seribu Bunga. Namun seperti kata laki-laki tua itu, ternyata hawa yang disalurkan Aji tak membawa arti. Hingga sejenak kemudian tampak mata Pendekar Lembah Seribu Bunga meredup. Dan sesaat kemudian, terpejam bersamaan dengan gerakan kepalanya yang lunglai.

* * *



--↨֍¦ 6 ¦֍↨--

Istana Kerajaan Malowopati menjadi gempar saat pagi hari di depan bangsal keputren ditemukan kotak yang berisi penggalan kepala tokoh sesat yang belakangan diketahui menjadi kaki tangan kerajaan. Iblis Penggali Kubur! Namun, bukan penggalan kepala Iblis Penggali Kubur yang membuat kalangan istana guncang dan curiga. Tapi, pembungkus kepala itu yang membuat kalangan istana bertanya-tanya. Karena pembungkus kepala itu berupa baju berlambang kerajaan.
Untuk mengatasi guncangan itu. malam hari ini Sri Baginda Kerta Bumi mengadakan pertemuan dengan mahapatih.
"Paman Patih Gagak Rimang! Keresahan yang mulai merambat di kalangan istana ini harus segera dicari jawabannya! Jika tidak, aku khawatir keadaan ini akan dijadikan kesempatan oleh orang-orang yang berniat buruk terhadap kerajaan!" titah Sri Baginda pada patih Kerajaan Malowopati yang bernama Gagak Rimang.
Mendengar penuturan Sri Baginda Kerta Bumi, patih bertampang wibawa dan berusia agak lanjut itu mengangguk.
"Benar, Sri Baginda! Malah tadi seorang tokoh silat kerajaan mengatakan, bahwa mereka diam-diam telah mulai mengadakan penyelidikan, dengan tujuan agar ruang gerak lebih leluasa. Dan tentu saja untuk menjaga agar keresahan ini tak menjalar ke seluruh wilayah kerajaan!"
"Hm.... Bagus! Hatiku memang belum tenteram jika kejelasan tentang Restu Palaran dan Lintang Sari tak juga kunjung selesai. Bahkan aku curiga, janganjangan Rambu Pamulih dan Tantra Gilang mendapatkan rintangan. Atau, mungkin saja secara diamdiam mereka berkhianat pada kerajaan? Buktinya pembungkus kepala Iblis Penggali Kubur itu berlambang kerajaan! Bagaimana pendapatmu, Paman Patih..?"
Mendengar pertanyaan Sri Baginda, Mahapatih Gagak Rimang mengangkat kepalanya.
"Rambu Pamulih dan Tantra Gilang, serta dua orang prajurit yang menyusul adalah orang-orang yang telah teruji kesetiaannya pada kerajaan. Jadi kemungkinan mereka berkhianat, rasanya mustahil. Yang mungkin terjadi adalah, mereka mendapat rintangan dalam tugasnya menangkap Restu Palaran dan Lintang Sari! Sekarang para tokoh istana juga sedang menyelidiki, apa tujuan di balik pemenggalan kepala Iblis Penggali Kubur yang dibungkus dengan baju berlambang kerajaan itu! Sekadar membuat keresahan, atau ada tujuan tertentu?! Namun demikian, Sri Baginda harap tidak begitu mencemaskan kejadian-kejadian ini! Kami akan segera mengirim tokoh-tokoh silat barisan pertama, untuk menyusul Rambu Pamulih dan Tantra Gilang. Juga, penjagaan lingkungan istana akan lebih diperketat!"
"Hm Namun satu hal yang di atas segalanya, Paman Patih. Dan ini yang membuatku tak enak dalam menjalankan roda pemerintahan "
Sri Baginda menghentikan kata-katanya. Ditarik napas panjang.
"Soal belum diketemukannya lambang kerajaan! Yaitu, Cincin Aswagitha!" lanjut laki-laki berusia lima puluh dua tahun ini.
"Masalah Cincin Aswagitha, kami juga sedang mencarinya, Sri Baginda. Bahkan kami telah mengumpulkan beberapa ahli nujum untuk membantu pencarian cincin itu!"
Sri Baginda Kerta Bumi mengangguk mendengar keterangan Mahapatih Gagak Rimang.
'Hamba perlu petunjuk lebih lanjut, Sri Baginda!" kala Mahapatih Gagak Rimang setelah saling diam agak lama.
Untuk beberapa saat Sri Baginda masih terdiam.
"Paman Patih!" panggil Sri Baginda, akhirnya.
"Untuk mengatasi keadaan ini, kau harus mengambil langkah-langkah. Pertama, persiapkan orang-orang khusus yang terpercaya untuk mencari jejak Cincin Aswagitha. Kedua, bentuk pasukan yang dipimpin tokoh silat kerajaan barisan pertama, untuk menangkap Restu Palaran dan Lintang Sari. Ketiga lipat gandakan penjagaan. Terutama, sekitar istana dan bangsal keputren. Keempat, perintahkan pada seluruh adipati yang berada di bawah wilayah Kerajaan Malowopati, untuk perketat daerah masing-masing. Ini untuk berjagajaga, jika Restu Palaran dan Lintang Sari bisa lolos dari sergapan. Dan semua ini harus kau laksanakan secepat mungkin!"
"Jika demikian, titah Sri Baginda akan kami laksanakan. Hamba mohon diri...," pamit Mahapatih Gagak Rimang seraya menjura. Dan setelah itu, dia berlalu.
Siang ini, di ruang pendopo istana tampak Mahapatih Gagak Rimang sedang membicarakan titah Sri Baginda pada tokoh-tokoh silat dan pembesarpembesar kerajaan. Termasuk, putra-putra dari selir Sri Baginda
"Demikianlah titah Sri Baginda Kerta Bumi yang harus segera dilaksanakan! Dan khusus untuk pasukan yang bertugas mencari jejak Cincin Aswagitha, langsung di bawah tanganku!" jelas Mahapatih Gagak Rimang mengakhiri pembicaraannya.
"Mahapatih! Ada berita buruk Dan ini mungkin ada kaitannya dengan tewasnya Iblis Penggali Kubur!" seru salah seorang dari golongan tokoh silat.
"Hm.." Berita apa...?"
"Seseorang tadi pagi dalang ke tempatku. Dia mengatakan, bahwa tempat tinggal Pendekar Lembah Seribu Bunga telah porak poranda. Dan, pendekar itu tidak ada di tempatnya!"
Seluruh orang yang hadir tersentak kaget. Bahkan Mahapatih Gagak Rimang sempat ternganga.
"Lalu...?" susul Mahapatih Gagak Rimang.
"Mendapati kabar itu, aku segera berangkat ke Lembah Seribu Bunga. Dan nyatanya, berita itu benar. Pendekar Lembah Seribu Bunga tak kutemukan. Tempat tinggalnya berantakan. Dan di sekitar tempat itu, aku juga melihat ceceran darah yang sudah mengering. Namun yang lebih dari semua itu, tak jauh dari situ kutemukan tanah gundukan baru. Sepertinya, kuburan!" papar tokoh silat Kerajaan Malowopati itu.
"Rentetan peristiwa ini mungkin saling mengait. Dan rupanya, si pembuat keresahan ini menginginkan kita sulit menebak, dari golongan mana sebenarnya. Karena Iblis Penggali Kubur dan Pendekar Lembah Seribu Bunga adalah tokoh yang berhaluan berbeda. Dan jika demikian halnya, berarti keadaan mulai genting! Aku akan menghadap Sri Baginda. Kalian masingmasing, harap melaksanakan tugas! Kalau ada sesuatu yang mencurigakan, cepat lapor! Untuk hari ini kita cukup-kan sekian dulu!"
Setelah berkala. Mahapatih Gagak Rimang segera berlalu.
Di antara rombongan orang yang keluar dari pendopo Istana Kerajaan Malowopati, tampak seorang laki-laki berusia kira-kira tiga puluh tahun. Pakaian lengkap dengan lambang kerajaan. Dia menunggang kuda, di iringi empat orang berkuda yang berpakaian pasukan prajurit kerajaan. Ketika dia keluar dari gapura istana, para penjaga di luar tampak menjura hormat. Sementara, laki-laki ini sendiri tampak acuh.
"Pengawal! Kita terus saja ke Hutan Wonosari. Aku ingin berburu!" kata laki-laki muda saat telah berada di luar istana.
Keempat orang yang rupanya pengawal kerajaan hanya menjura tanpa berkata.
Maka rombongan berkuda itu segera menggebah kudanya dengan cepat. Hutan Wonosari yang berada di utara. Namun tanpa disadari, sejak keluar dari istana rombongan ini diikuti satu sosok bayangan yang mengendap-endap dari arah belakang. Melihat gerakannya, sosok ini memiliki tingkat kepandaian tinggi. Nyatanya tanpa menunggang seekor kuda, sosok ini tak tertinggal jauh dari orang-orang yang diikuti. Bahkan tanpa menimbulkan suara, dia leluasa bergerak dari satu pohon ke pohon lainnya.
Karena tidak begitu jauh, sebentar saja, rombongan berkuda itu telah tiba di kawasan Hutan Wonosari. Sementara, laki-laki berpakaian kebesaran istana itu segera turun dari kuda tunggangannya, diikuti empat pengawalnya. Setelah mempersiapkan panah, kakinya mulai melangkah dengan mata nyalang mencari binatang buruan.
Namun belum sampai laki-laki ini menemukan seekor binatang yang siap diburu.... tara lang raya bumi
"Ketika kesunyian menghempas suasana belanSang pemburu tiba-tiba datang menghentak, jaDatangnya bagai mata dewa pengutuk jagat
Kasih sayang seperti hilang ditelan suka. Darah sang buruan akan segera membasahi Ditingkah gema tawa calon penghuni neraka!" Sayup-sayup terdengar lantunan syair, yang kelihatannya dari arah sebuah dangau.
"Hm.... Di tengah hutan sunyi, siapa gerangan yang melantunkan syair?" kata laki-laki berpakaian indah itu seraya memandang berkeliling. Sementara empat orang pengiringnya yang berdiri agak jauh nampak mencari-cari asal suara.
"Mungkinkah hantu hutan yang bersuara?" tanya salah seorang dari empat pengawal dengan mengangkat bahu.
"Dasar penakut! Mana ada hantu bisa melantunkan syair? Siang-siang lagi...!" timpal prajurit lain, sambil tertawa.
"Kalian tetap tunggu di situ!" teriak laki-laki berpakaian indah, seraya bergegas menuju arah sumber suara.
"Hm..., pangeran bila dengar suara perempuan saja sudah blingsatan!" bisik salah seorang pengawal. nya!"
"Ya, apa mau dikata? Itu memang kesukaanSementara itu, laki-laki berpakaian kebesaran istana yang tak lain putra Sri Baginda Kerta Bumi telah tak nampak lagi dari pandangan para pengawalnya. Dia terus melangkah ke arah datangnya lantunan syair.
Dan kini, pangeran ini tiba di pinggir sebuah dangau yang terletak di bawah sebuah pohon besar. Pangeran muda ini melihat seorang perempuan berambut panjang duduk sendirian di sana.
"Hm.... Seorang perempuan sendirian di tepi dangau. Mudah-mudahan tak mengecewakan...!" gumam, laki-laki ini.
Pangeran muda itu terus melangkah, menerabas semak belukar. Lalu dia memutar ke kiri. Dari arah sini, untuk beberapa saat dia hanya berdiri tegak termangu, seraya mengawasi perempuan yang tampaknya masih mengumandangkan syair-syair. Sesaat, tampak senyum menyungging di bibir pangeran muda ini.
"Hm..., gadis cantik dan masih muda! Dan..., tubuhnya. Hm..., baru kali ini aku melihat dada membusung dan menantang menggemaskan seperti itu! Dan..., pinggulnya.... Mendebarkan! Ah, sungguh sempurna!" desah batin laki-laki yang agaknya mata keranjang ini.
Gadis cantik yang duduk di tepi dangau, sepertinya tak mengetahui kalau ada sepasang mata sedang menelusuri tubuhnya disertai senyum penuh arti. Gadis itu terus menggumam perlahan, seperti melantunkan nada-nada syair. Bahkan sesekali mulutnya membuka untuk menarik napas dalam-dalam. Sehingga, dadanya yang terbungkus pakaian putih ketat tampak membusung kencang.
Jakun pangeran muda ini tampak turun naik. Namun rupanya dia masih belum berani mengusik keasyikan gadis itu, sehingga hanya tetap tegak memandangi dengan sorot aneh, penuh hasrat. Dan ketika telah terbakar nafsu, kakinya mulai melangkah pelan mendatangi.
Bibir mungil gadis yang tampak bergerak-gerak melantunkan syair, mendadak sontak berhenti saat mendengar ada langkah-langkah mendekat. Dan begitu menoleh, dia serentak berdiri.
Sementara pangeran muda itu terkesiap. Dalam keadaan berdiri, lekukan tubuh gadis ini lebih tampak jelas. Sehingga untuk beberapa saat membuat terkesima laki-laki itu. Sepasang matanya berputar liar.
Sebaliknya, gadis itu tampak tersentak kaget Segera langkahnya tersurut mundur ke belakang. Sepasang mata bulatnya yang berbinar tajam memandang penuh selidik.
"Cah Ayu, kau tak usah khawatir! Aku orang baik-baik yang kebetulan sedang berburu di hutan ini!" sergah pangeran muda ini.
"Kau..., kau siapa...?!" tanya gadis itu tersendat. Paras wajahnya tak busa menyembunyikan rasa takut.
Pangeran muda itu tersenyum.
"Aku..., Puja Manggala pangeran dari Kerajaan Malowopati. Kebetulan, aku sedang berburu Kau sendiri siapa...? Dan. sedang apa di pinggir dangau sendirian? Aku tadi mendengar lantunan syair mu. Indah dan merdu! Apakah kau seorang pesinden.?" kata pangeran muda yang mengaku bernama Puja Manggala, lembut.
Melihat laki-laki di depannya adalah seorang pangeran, seketika gadis itu menjura dalam-dalam.
"Maafkan sikapku yang tak hormat. Pangeran. Hamba tak menduga jika sedang berhadapan dengan Pangeran Puja Manggala putra Sri Baginda Kerta Bumi, Penguasa Kerajaan Malowopati...," ucap gadis cantik ini tetap menjura.
Pangeran Puja Manggala tersenyum. Lalu dipegangnya bahu gadis itu dan menyuruhnya tegak kembali.
"Cah ayu.... Kau belum menjawab pertanyaanku! Siapa kau sebenarnya?" tanya pangeran ini.
Laki-laki itu terus memandangi gadis di depannya yang kini menunduk tak berani memandang. Dan ini membuat mata Pangeran Puja Manggala lebih leluasa menelusuri lekuk tubuh gadis itu.
"Hamba..., hamba Kumala Dewi. Hamba berasal dari Dusun Kepatihan. Seperti kata Pangeran, hamba memang seorang pesinden. Namun, tepatnya juga seorang penari. Penari dusun! Hamba datang ke kotaraja berniat mencari paman hamba. Tapi, dia lak bisa hamba temukan. Sehingga, hamba berniat pulang kembali ke Dusun Kepatihan. Waktu lewat hutan ini, hamba terpesona melihat pemandangannya. Lalu, hamba duduk-duduk di sini, sampai Pangeran datang "
Pangeran Puja Manggala menganggukanggukkan kepala mendengar penuturan gadis yang mengaku bernama Kumala Dewi.
"Ngg.... Kumala Dewi! Kalau kau mau, bagaimana kalau sementara waktu tak usah kembali dulu ke Dusun Kepatihan. Aku akan menolongmu mencari pamanmu itu. Karena aku sudah mengenal daerah ini, mungkin aku lebih mudah mencarinya. Atau, aku nanti bisa memerintah para pengawal untuk mencari pamanmu itu...!" ujar Pangeran Puja Manggala, lemah lembut.
"Terima kasih atas tawaran Pangeran. Tapi, hal itu tak mungkin. Pangeran! Karena hamba di sini tak punya kerabat. Sementara, harus menunggu!" tolak Kumala Dewi halus.
Pangeran Puja Manggala tersenyum lebar.
"Soal itu kau tak usah khawatir, Kumala Dewi! Sementara sambil menunggu, kau bisa tinggal di tempatku!"
Kumala Dewi terperanjat, seolah tak percaya mendengar kata-kata pangeran ini. Kepalanya sampai terangkat menatap laki-laki itu.
"Kau lak percaya? Sekarang juga aku akan membawamu ke tempatku!" kata Pangeran Puja Manggala saat melihat wajah Kumala Dewi mengisyaratkan tak percaya.
"Tapi..., hamba.... hanyalah seorang dusun, Pangeran. Tak pantas rasanya harus tinggal di tempat Pangeran!" kilah Kumala Dewi.
Pangeran muda tertawa tergelak-gelak.
"Kumala Dewi! Lupakanlah hal itu! Dari mana pun asalmu, yang pasti kau adalah seorang gadis cantik dan pantas tinggal di tempatku. Dan kalau kau mau, aku tak keberatan mengusulkan kau jadi penari istana!"
Kumala Dewi kembali tengadah, seakan-akan terkejut. Sementara pangeran itu tersenyum-senyum sambil mengawasi sekeliling.
"Hari sudah hampir gelap. Sebaiknya kita segera pergi dari sini. Kau tentunya lelah dan perlu istirahat...," kata pangeran ini, mengajak.
Kemudian tangan Pangeran Muda memegang tangan Kumala Dewi yang halus mulus berjari lentik.
Sejenak Kumala Dewi tersipu malu dan jengah. Namun ketika melihat pangeran itu tersenyum, Kumala Dewi menurut saja ketika dituntun ke arah para pengawal.

* * *



Pangeran Puja Manggala dan Kumala Dewi sampai di tempat para pengawal. Dan ini membuat para pengawal terkesima. Namun, mereka tak berani memandangi terus-terusan ke arah Kumala Dewi. Bahkan mereka segera menjura hormat.
"Pengawal! Berikan satu kuda pada Kumala Dewi! Dan kau berdua, menunggang satu kuda!" titah Pangeran Puja Manggala pada salah seorang pengawal. Pengawal itu menjura, lalu mendekatkan kudanya pada Kumala Dewi. Lantas dengan tangannya yang kekar, pangeran itu mengangkat tubuh Kumala Dewi ke atas punggung kuda.
"Pengawal! Kalian jalan di muka!" pinta Pangeran Puja Manggala seraya meloncat ke atas punggung kudanya dan menjajari Kumala Dewi.
Keempat pengawal itu tanpa bicara menarik kuda masing-masing, melangkah mendahului sang pangeran.

* * *



--↨֍¦ 7 ¦֍↨--

Pagi ini langit tampak cerah, tanpa tertutup awan sedikit pun. Sang mentari yang baru saja merambat dari bentangan kaki langit sebelah timur, tidak terhalang lagi menyapu dataran bumi dengan sinarnya yang terasa menghangat.
Seorang pemuda berwajah tampan terbungkus pakaian jubah ketat berwarna hijau dengan pakaian dalam warna kuning lengan panjang tampak melangkah di keramaian kotaraja Malowopati. Pemuda ini berbadan tegap dan kekar. Rambutnya gondrong dan dikuncir ekor kuda. Sambil melangkah, kepalanya bergerak ke kanan dan ke kiri, dengan sepasang mata menebar pandangan seakan mencari sesuatu. Melihat arah langkahnya, arah yang dituju adalah istana.
"Lintang Sari, putri bekas Sri Baginda yang terguling, mendadak muncul. Dan menurut Pendekar Lembah Seribu Bunga, dia harus dicegah. Hm..., dicegah...? Apa gerangan yang akan dilakukannya? Berbuat makar pada Sri Baginda yang sekarang berkuasa? Ini tak mungkin! Kukira, dia tak mengarah sampai sejauh itu. Balas dendam? Ini mungkin yang mendekati kebenaran! Namun, apa hubungannya dengan Pendekar Lembah Seribu Bunga? Yang dikatakan gadis itu sebagai seorang pengkhianat. Berkhianat pada siapa...? Pada ayahnya yang terguling? Hm.... Aku belum jelas betul dengan persoalan ini! Aku akan menanyakan hal ini...!" gumam pemuda berambut gondrong yang tak lain Aji Saputra, alias Pendekar Mata Keranjang 108, berkala pada diri sendiri.
Pendekar Mata Keranjang terus melangkah, mendekati istana. Dan di depan pintu gerbang istana, langkahnya berhenti. Sementara beberapa pengawal jaga di pintu gerbang terus mengawasinya dengan pandangan rasa curiga.
Aji tampak celingak-celinguk dan tersenyumsenyum sendiri. Sementara dari mulutnya terdengar gumaman seperti orang mendendangkan nyanyian.
Karena seluruh pengawal telah diperintah agar memperkuat penjagaan, maka ketika mendapati ada seorang pemuda yang bertingkah mencurigakan, dua orang penjaga lantas bergegas melangkah mendekati.
"Hei, ada perlu apa kau berdiri di sini? Apa kau tak tahu, sedang berada di mana saat ini...?!" bentak salah seorang penjaga.
Pemuda yang dibentak tidak menjawab, atau berpaling pada kedua orang yang di dekatnya. Malah gumamannya agak dikeraskan.
Tingkah pemuda ini tentu saja membuat dua orang penjaga itu jengkel dan marah.
"Mungkin orang sinting yang datang minta dihajar. Beri saja dia sedikit pelajaran, biar tahu sopan santun. Sekalian gampar mulutnya biar mau bunyi...!" ujar pengawal satunya.
"He...! Apa kau ingin aku melakukan seperti yang dikatakan temanku tadi...?!"bentak penjaga itu kembali.
Seakan tak mendengar teguran dan nada ancaman, pemuda berjubah ketat berwarna hijau itu tetap bertingkah seperti semula. Bahkan Aji terus tersenyum-senyum. Sekilas matanya melirik ke arah dua orang penjaga yang membentaknya.
"Apakah aku bisa bertemu Paman Patih...?" tanya Pendekar Mata Keranjang 108, seenaknya.
"Kawan! Kau dengar omongannya? Dia ingin bertemu Mahapatih...! Apa dikira Mahapatih itu pamannya?!" ejek salah seorang penjaga pada kawannya seraya tertawa bergelak.
"Seperti yang kukatakan tadi, dia pemuda sinting yang ingin diajar sopan santun! Gampar saja mulutnya!" timpal pengawal lain ikut tertawa.
"Penjaga! Waktuku tidak banyak! Antarkan aku ke hadapan Paman Patih!" desak Aji. Sikap Pendekar Mata Keranjang 108 seketika berubah. Nada suaranya menusuk. Sengaja pada saat berkata tenaga dalamnya sedikit disalurkan. Hingga meski Aji hanya membuka sedikit mulutnya, suara yang keluar sudah cukup membuat telinga seperti ditusuk. Dan ini membuat dua orang penjaga yang berada di dekatnya tersentak dan mendelik.
"Kurang ajar! Rupanya kau ingin unjuk kebolehan, Bocah!"dengus salah seorang penjaga. Seketika pangkal tombaknya ditusukkan ke arah kaki Aji.
Namun hanya menarik kakinya satu tindak ke belakang, Pendekar Mata Keranjang 108 mudah sekali menghindarinya. Dan tombak itu terus melesat, hanya mengenai tempat kosong.
"Jahanam!" bentak penjaga yang lain saat melihat tusukan temannya begitu mudah dihindari pemuda agak sinting.
Penjaga ini lantas menghantamkan tombaknya ke dada Aji. Rupanya, hatinya sudah jengkel. Sehingga hantaman tombaknya kali ini mengarah pada anggota yang mematikan. Namun, lagi-lagi Aji hanya menghindar dengan sedikit miringkan tubuhnya.
Melihat ada keributan, para penjaga lain yang berada di pintu gerbang segera mendatangi. Dan tanpa bicara lagi mereka langsung mengurung Aji.
"Para penjaga, dengar baik-baik! Kedatanganku dengan niat baik! Dan aku tak ingin membuat keributan!" ujar Aji sambil memandang ke sekeliling pada delapan orang yang mengurungnya.
"Terlalu banyak mulut! Hajar dan tangkap dia!" teriak salah seorang yang rupanya bertindak sebagai kepala jaga.
Orang ini sambil berteriak langsung membabatkan tombaknya. Melihat hal ini, tujuh penjaga lain segera pula menghujamkan tombak masing-masing ke setiap penjuru tubuh pemuda itu.
Dengan membabi buta para penjaga ini terus menyerang. Namun sesaat kemudian mereka sepertinya tak mempercayai apa yang terjadi. Tombak mereka ternyata hanya menghantam tempat kosong. Bahkan beberapa orang sempat terkena hajaran tombak temannya sendiri. Rupanya pada saat mereka menyerang, Pendekar Mata Keranjang 108 telah berkelebat cepat tanpa terlihat mata.
"Kalian memang orang-orang cekatan! Tapi terlalu sembrono menilai seseorang...!"
Begitu menoleh, kedelapan penjaga sama-sama terbeliak Pemuda yang dikiranya akan babak belur terhajar tombak, sudah enak-enakan duduk di tanah sambil berdendang ria.
"Aku telah membuat mereka agar tak gegabah menilai seseorang!" gumam Aji sambil bangkit berdiri.
Selagi ke delapan orang penjaga memandang ke arahnya dengan rasa tak percaya, Aji cepat memutar tubuhnya. Sesaat kemudian tubuhnya berkelebat cepat hingga seperti lenyap. Yang tampak hanya bayangbayang tangan yang bergerak, mengeluarkan suara berkesiutan. Gerakannya benar-benar sulit diikuti mata.
Plak! Des! Des! "Aaakh!" "Aaa...!"
Sekejap kemudian, terdengar beberapa seruan tertahan berturut-turut. Di kejap lain, Aji telah berdiri tegak kembali agak jauh dari delapan orang penjaga itu.
Enam batang tombak yang tadi digunakan para penjaga untuk menyerangnya, kini tergenggam di tangan. Dua lainnya mental dan patah.
Dengan tangan kiri dan kanan menggenggam tombak, Pendekar Mata Keranjang 108 melangkah ke arah para penjaga disertai senyum manis. Agak dekat, diangsurkannya tombak-tombak itu pada para penjaga.
"Ambil tombak kalian. Dan, antarkan aku menemui Paman Patih! Ada sesuatu yang harus kusampaikan padanya!" perintah Pendekar Mata Keranjang 108.
Untuk beberapa saat kedelapan orang penjaga terkesima. Mereka saling memandang dengan tubuh agak gemetar.
"Kalian tentunya mendengar perkataan ku, bukan...?!" tegur Aji saat para penjaga itu masih tegak memandang.
Seorang laki-laki berkumis lebat yang tampaknya menjadi kepala jaga melangkah maju. Dengan raut yang tak bisa menyembunyikan rasa takut, diambilnya tombak-tombak dari tangan Aji. Lalu tubuhnya sedikit menjura.
"Kalau boleh tahu, kami sedang berhadapan dengan siapa...?" tanya laki-laki berkumis lebat ini.
"Ah...!" desah Aji seakan-akan terkejut, lalu tersenyum.
"Aku hanyalah seorang pengelana jalanan yang tak ada juntrungannya! Dan aku ingin bertemu Paman Patih! Ada sesuatu yang harus kusampaikan!"
"Tingkah para pendekar memang aneh-aneh...!" bisik salah seorang penjaga.
"Tapi yang ini aneh! Orangnya muda, tampan, berilmu tinggi dan tingkahnya seperti orang sinting!" timpal yang lain.
"Nah, Penjaga. Bawa aku menghadap Paman Patih!" ulang Aji.
"Baik, Pendekar!" jawab kepala jaga, mantap.
Diiringi kepala jaga, Aji melangkah memasuki istana. Sejenak mata Pendekar Mata Keranjang 108 dibuat terpana oleh kemegahan bangunan istana.

* * *



"Tampaknya baru kali ini aku melihatmu, Anak Muda! Ada perlu apa...?" tanya Mahapatih Gagak Rimang, ketika menerima kedatangan Aji. Sikapnya terlihat penuh wibawa.
"Hamba Aji, Lengkapnya Aji Saputra, Mahapatih! Hamba memerlukan beberapa keterangan...!"
"Hm.... Keterangan? Keterangan apa...?!" tanya Mahapatih Gagak Rimang agak heran.
'Tentang.... Sri Baginda yang telah terguling!" jawab Aji singkat tanpa tedeng aling-aling.
Mahapatih Gagak Rimang terperanjat. Lama dipandanginya Aji dengan dahi berkernyit.
"Ada hubungan apa kau dengan mendiang Sri Baginda Alam Jaya Paksu?"
"Hamba tak ada hubungan apa-apa, Mahapatih! Hamba hanyalah rakyat biasa. Namun akhir-akhir ini, kudengar banyak orang yang membicarakannya. Lebih-lebih tentang putrinya! Kalau boleh tahu, bagaimana cerita yang sebenarnya...?"
Agak lama, Mahapatih Gagak Rimang terdiam.
"Anak muda!" kata Mahapatih Gagak Rimang, akhirnya.
"Sebenarnya masalah ini menyangkut rahasia kerajaan. Namun karena masalah ini telah bocor, bahkan jadi buah bibir, maka tak ada salahnya jika kau mengetahuinya. Barangkali, kau nanti bisa menolong!"
Sejenak Mahapatih menarik napas, mencari kata-kata yang tepat untuk melanjutkan.
"Tujuh tahun yang lalu, Sri Baginda Alam Jaya Paksu yang waktu itu memerintah, berhasil digulingkan Sri Baginda Kerta Bumi yang saat ini memerintah. Sri Baginda Kerta Bumi adalah saudara lain ibu dengan Sri Baginda Alam Jaya Paksu. Sri Baginda Kerta Bumi terpaksa melakukan perebutan kekuasaan, karena di bawah tangan Sri Baginda Alam Jaya Paksu keadaan kerajaan selalu kacau-balau. Pembunuhan dan perampokan terjadi di mana-mana. Hukum tak jalan. Sementara, beberapa pemberontak telah menggalang persatuan. Namun di pihak lain. Sri Baginda Alam Jaya Paksu sepertinya tak ambil peduli. Hingga, timbullah beberapa kelompok yang menentang. Sebagian kelompok yang paling keras adalah dari golongan silat kerajaan, yang waktu itu di bawah pimpinan Pendekar Lembah Seribu Bunga. Menginjak saat genting, Sri Baginda Alam Jaya Paksu masih juga tak ambil peduli. Sehingga, habislah kesabaran orang-orang yang menentangnya. Pada waktu itu, Pendekar Lembah Seribu Bunga menawarkan peralihan kekuasaan dengan jalan damai. Tapi, tawaran itu tak mendapat jawaban. Hingga, terjadilah pengambilalihan kekuasaan dengan jalan kekerasan. Namun rupanya Sri Baginda Alam Jaya Paksu tak mau begitu saja menyerahkan tahta kerajaan. Ia membuat perlawanan. Terjadilah perang saudara. Hingga pada akhirnya Sri Baginda Alam Jaya Paksu harus tewas beserta seluruh kerabatnya."
Kembali Mahapatih Gagak Rimang menghentikan penuturannya. Wajahnya tampak membersit kesedihan. Dia menarik napas panjang.
"Namun ternyata, tidak seluruh kerabat Sri Baginda Alam Jaya Paksu yang tewas pada waktu itu. Salah seorang putri Sri Baginda yang bernama Lintang Sari, berhasil diselamatkan seorang pengasuhnya yang bernama Restu Palaran. Selain dikenal sebagai pengasuh putra-putri Sri Baginda, Restu Palaran juga dikenal sebagai tokoh silat kerajaan yang handal. Tahuntahun pertama pemerintahan Sri Baginda Kerta Bumi, Restu Palaran dibantu beberapa adipati mencoba mengadakan pemberontakan, dan menuntut agar mahkota kerajaan diserahkan pada Lintang Sari. Namun pemberontakan itu dapat dipadamkan. Sejak itulah, Restu Palaran dan Lintang Sari tak terdengar lagi kabar beritanya. Hanya saja, akhir-akhir ini beberapa penyelidik kerajaan telah berhasil menemukan tempat persembunyian Restu Palaran dan Lintang Sari. Namun, beberapa utusan kerajaan yang melacak kesana hingga saat ini belum juga kembali. Tentu saja ini menimbulkan beberapa dugaan dan keresahan di kalangan istana. Dan keresahan ini memuncak, saat beberapa hari yang lalu ditemukan penggalan kepala seorang tokoh sesat yang telah sadar. Julukannya, Iblis Penggali Kubur. Kemudian terdengar pula kabar tentang terbunuhnya bekas pimpinan silat kerajaan, yakni Pendekar Lembah Seribu Bunga.
Mendengar keterangan Mahapati Gagak Rimang, Aji mengangguk-angguk Agaknya dia ingin jadi pendengar yang baik, sehingga tak pernah memotong sampai Mahapati Gagak Rimang menuntaskan ceritanya.
"Lantas soal keresahan kalangan istana itu, apa ada hubungannya dengan Restu Palaran dan Lintang Sari?" tanya Aji, semakin tertarik.
"Benar! Bahkan sebagian kalangan istana menghubungkan kematian Iblis Penggali Kubur dengan Pendekar Lembah Seribu Bunga. Kematian mereka pasti dilakukan oleh Restu Palaran atau Lintang Sari. Guru dan murid itu memang termasuk orang keras kepala. Karena pada waktu itu sebenarnya Sri Baginda Kerta Bumi telah menawarkan damai padanya. Bahkan menyuruh mereka berdua tinggal di istana. Tapi, mereka berdua menolak. Malah mengadakan pemberontakan. Hingga mau tak mau, kerajaan mengumumkan mereka berdua sebagai buronan. Namun di samping itu, ada hal lain yang sebenarnya membuat Restu Palaran dan Lintang Sari terus diburu dan dicari pihak kerajaan!"
"Apa itu, Mahapatih!" selak Aji cepat.
"Lambang kerajaan, yang serupa Cincin Aswagitha telah lenyap! Dan diduga kuat, cincin itu berhasil dicuri Restu Palaran dan Lintang Sari!" papar Mahapatih Gagak Rimang.
Aji tersentak dan termangu-mangu.
"Nah, Anak Muda! Eh..., Aji! Sudah cukup jelas bukan keteranganku?" tanya Mahapatih Gagak Rimang seraya bergerak memanggil prajurit.
"Tunggu, Mahapatih! Ada satu hal lagi. Menurut Mahapatih, cincin lambang kerajaan itu diduga kuat di curi Restu Palaran atau Lintang Sari. Kalau boleh tahu, bagaimana bentuk cincin itu...?"
Sesaat lamanya Mahapatih terdiam.
"Cincin itu berupa permata bulat berwarna hijau Selain lambang kerajaan, cincin itu juga merupakan sebuah senjata sakti yang mungkin sulit dicari tandingnya! Maka dari itu, kerajaan saat ini sedang memusatkan perhatian kesana! Apalagi, kalangan istana mulai resah dengan beberapa kejadian yang akhir-akhir ini timbul!" jelas Mahapatih Gagak Rimang.
"Ngg.... Terima kasih atas waktu dan keterangan yang telah Mahapatih berikan pada hamba. Sekarang, hamba mohon diri...," ucap Aji, seraya menjura.
"Sebentar, Aji! Kalau kau sewaktu-waktu menemukan hal yang berkaitan dengan keterangan tadi, harap lapor padaku!"
"Tentu, Mahapatih...!"

* * *



Setelah keluar dari istana, Aji duduk bersila di bawah sebatang pohon besar di pinggiran kotaraja. Di tempat ini Pendekar Mata Keranjang memikirkan keterangan mahapatih yang langsung dihubunghubungkan dengan ucapan Pendekar Lembah Seribu Bunga.
"Mahapatih mengatakan, Iblis Penggali Kubur tewas terpenggal kepalanya. Hm..., bukan tak mungkin ini juga dilakukan Lintang Sari. Apa mungkin Restu Palaran dan Lintang Sari merencanakan ulang sebuah pemberontakan...? Kalau benar begitu, kenapa harus menewaskan tokoh-tokoh silat? Kenapa tidak kalangan istana? Kalau terhadap Pendekar Lembah Seribu Bunga, mungkin ada unsur balas dendam. Namun dengan Iblis Penggali Kubur yang dari tokoh sesal...? Apa pentingnya bagi Lintang Sari? Tapi di atas itu semua, aku yakin bahwa cincin yang dikenakan Lintang Sari tempo hari adalah Cincin Aswagitha. Cincin lambang kerajaan!"
Aji tersenyum sendiri jika ingatannya melayang pada Lintang Sari.
"Hm..., Lintang Sari. Siapa pun dia adanya, yang telah pasti adalah seorang gadis cantik Dan tubuhnya, hemmm..., memang sayang dilewatkan untuk dipandang. Dia mungkin masih sebaya dengan "
Aji tak meneruskan kata hatinya. Ingatannya langsung melayang pada Ajeng Roro.
"Ajeng Roro Sudah sekian lama kita tak jumpa. Dan mungkin kita belum dapat berjumpa, sebelum aku kembali dengan berhasil mendapatkan kipas dan kitab kedua seperti yang ditugaskan Eyang Selaksa... Ajeng Roro "
Belum habis ingatan pemuda ini pada Ajeng Roro, tiba-tiba terdengar derap ladam kaki kuda menghentak pelan menuju arah tempatnya berada.
"Sekarang keadaan sedang genting. Siapa pun juga orang asing pasti dicurigai! Daripada...." Tanpa sempat menuntaskan kata-katanya, Aji cepat berdiri. Tubuhnya langsung menyelinap di balik pohon besar tempat dia duduk Saat penunggang kuda melintas, kening Aji sedikit berkernyit dengan sepasang mata membesar.
"Hm.... Seorang gadis muda dan cantik. Tapi , aku sepertinya mengenali wajahnya...! Ya! Aku sepertinya pernah bertemu dengan gadis itu. Tapi, di mana...? Seperti.... Ah, tak mungkin dia! Gadis ini berpakaian indah. Dan sepertinya, dari kalangan istana! Tapi... kalau dari kalangan istana, mengapa pergi tanpa dikawal? Jangan-jangan "
Berpikir begitu, Aji diam-diam mengikuti gadis penunggang kuda yang dilihatnya dari belakang.
"Gila! Ke mana tujuan gadis ini? Sepertinya, dia menghindari jalan besar dan jalan umum. Dan melihat tingkahnya, paham betul dengan daerah sini!" kata Aji dalam hati seraya terus mengikuti.
Hingga cukup jauh dari kotaraja. gadis penunggang kuda itu terus memacu kuda tunggangannya. Bahkan ketika sampai di tempat sepi di luar wilayah kotaraja, gadis ini mempercepat lari kudanya. Mau tak mau, Pendekar Mata Keranjang 108 harus mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya agar tidak kehilangan jejak.
Namun hingga matahari hampir terbenam di bentangan kaki langit sebelah barat, gadis penunggang kuda ini tak juga menghentikan tunggangannya. Kudanya terus dipacu, seakan diburu waktu.
"Edan, gila! Perjalanannya seperti tak berujung. Salahku sendiri, kenapa harus mengikuti? Tapi, apa boleh buat? Sudah kepalang basah!" umpat Aji panjang pendek dalam hati, sambil matanya terus mengawasi gadis yang diikuti. Jubah hijau dan sekujur badannya telah basah bersimbah keringat.
Baru setelah gelap penuh melingkupi bumi dan memasuki sebuah daerah yang agak ramai, gadis itu memperlambat lari kudanya. Dan ketika tiba di depan sebuah bangunan megah yang dikelilingi pagar tembok tinggi, gadis itu menghentikan lari kuda tunggangannya.
Melihat papan nama yang terpampang di depan bangunan megah, Aji bisa segera mengetahui tempat itu.
"Kediaman adipati yang memerintah daerah Bumi Rejo," gumam Aji perlahan, membaca papan nama di depan bangunan tempat gadis itu berhenti.
Melihat seorang penunggang kuda berpakaian kerajaan, dua orang penjaga di pintu depan bangunan menjura hormat. Lalu salah seorang penjaga menuntun kuda yang ditunggangi sang gadis, masuk ke dalam bangunan megah tempat adipati.
"Bagaimana sekarang...? Apa aku harus ikutikutan masuk? Ah, sudah telanjur. Aku juga harus ikut masuk!"
Aji lantas berkelebat memutar, menuju arah belakang bangunan. Dengan mengendap-endap dan mala dipasang tajam-tajam. Pendekar Mata Keranjang 108 sejenak diam mengawasi. Dan ketika merasa aman, kakinya langsung menjejak tanah.
"Hup!"
Seketika tubuh Pendekar Mata Keranjang 108 melenting, melewati pagar tembok bagian belakang bangunan. Begitu kakinya mendarat di pelataran bagian belakang, kembali matanya jelalatan. Dan dia melihat tiga orang penjaga masing-masing di sebelah kanan dan kiri bangunan. Mereka mondar-mandir berkeliling dengan tangan memegang senjata golok panjang.
Aji lantas membungkuk. Diambilnya dua buah batu kecil. Secepat kilat dua batu itu dilemparkan ke arah kanan dan kiri bangunan.
Klotar!
Para penjaga serentak terkejut dan berlarian.
"Ada apa...?" teriak salah seorang.
"Ada orang yang melempar batu!" jawab penjaga satunya dengan pandangan memutar ke arah atas.
"Mungkin anak-anak kecil yang usil!" sahut yang lain.
"Tak mungkin! Lemparannya keras. Lihat! Tanah itu amblas sampai sedalam satu jari kelingking!"
"Ya! Mungkin saja tanahnya yang gembur, sehingga terkena lemparan begitu saja amblas. Lagi pula. sejak lima tahun terakhir di sini tak pernah terjadi kekacauan. Kenapa kita sekarang harus pusing-pusing dengan sebuah batu kecil...?" timpal yang lain lagi sambil berbalik dan kembali ke tempat semula. Temannya lantas ikut-ikutan berlalu ke tempat masingmasing.
Sementara itu Aji kini telah berada di atap bangunan dan mengendap-endap dengan mata menyapu ke seluruh halaman bangunan di bawahnya. Merasa tak ada yang melihat, lantas digesernya dua genting. Lalu perlahan-lahan tubuhnya masuk.
"Sial! Di sini gelap...!" omel Aji seraya merabaraba. Pemuda ini lantas jongkok dengan berpijak pada kayu langit-langit bangunan. Sepasang matanya terus jelalatan, mengawasi suasana. Sementara telinganya dipasang baik-baik.
"Terdengar suara di sebelah sana!" kata Aji dalam hati, sambil merambat pelan ke arah sumber suara.
Di atas langit-langit sebuah ruangan yang terletak agak ke dalam. Pendekar Mata Keranjang duduk sambil mencuri dengar percakapan di bawahnya.
"Aku tak menduga jika Gusti Ayu muncul secepat ini! Aku Adipati Bulu Kumba, pemegang kendali wilayah Bumi Rejo menghaturkan hormat dan mengucapkan selamat datang pada Gusti Ayu "
Terdengar suara seorang laki-laki. Suaranya berat dan sedikit bergetar.
"Paman Adipati! Kuharap Paman tidak usah bersikap demikian, untuk sekarang ini. Belum waktunya, Paman!" ujar suara seorang perempuan.
"Hm..., itu pasti suara gadis penunggang tadi!" kata Aji dalam hati.
"Harap maafkan aku. Gusti Ayu. Aku..., aku terkejut dan tak menduga. Sehingga, aku lupa akan kerahasiaan ini! Tapi, Gusti Ayu tak usah khawatir. Seluruh warga wilayah Bumi Rejo telah berada di bawah barisan kita. Mereka tinggal menunggu perintah dan menunggu saat yang tepat!" tambah suara lakilaki, yang rupanya Adipati Bulu Kumba, yang memerintah daerah Bumi Rejo.
"Aku gembira sekali mendengar hal itu. Paman! Kelak jasa Paman pasti terbalas. Namun begitu, kuharap Paman tidak gegabah. Dinding, langit-langit, jendela biasanya mempunyai telinga tersembunyi!" "Sontoloyo! Apa dia tahu aku berada di sini?"
rutuk batin Aji. Tengkuknya kontan merinding.
"Kalau mereka sampai tahu, ah...! Mungkin tak ada ampun lagi bagiku. Karena yang mereka bicarakan rupanya sebuah rahasia!"
Untuk beberapa saat, tidak terdengar lagi suara. Dada Aji lebih keras berdetak. Lututnya bergetar. Namun, segera ditariknya napas panjang pertanda lega. setelah terdengar lagi suara di bawahnya.
"Aku lihat, Gusti Ayu tidak..."
Suara adipati itu tidak diteruskan karena....
"Hal itu tak usah menjadi pikiran, Paman," potong suara perempuan itu.
"Paman sekarang tinggal memperkuat barisan dan menggalang persatuan. Kalau bisa, tarik perhatian para tokoh-tokoh silat. Sementara Paman bergerak menggalang bala tentara, aku bergerak dengan caraku sendiri. Jika saatnya tiba, aku akan mengirimkan utusan untuk menemui Paman. Karena, sudah tak mungkin bagiku datang ke sini sendiri. Maka dari itu, kuharap sejak malam ini Paman bersiap-siap!"
"Segala petunjuk Gusti Ayu akan kulaksanakan!"
"Dan satu hal lagi, Paman...," sela suara perempuan itu lagi. Namun suara itu berbisik-bisik hingga Aji tidak bisa mendengar.
"Tiga hari di muka, malam hari, Pangeran Muda Cakra Manggala ku nanti di Gua Tetes!"
Hanya itu kata-kata terakhir yang terdengar Pendekar Mata Keranjang 108.
"Baik, Gusti Ayu! Hal itu akan secepatnya kulaksanakan!"
"Ngg..., Paman! Apakah Paman tahu tentang seorang pemuda berjubah ketat."
Suara perempuan itu tidak diteruskan.
"Pemuda berjubah ketat...? Yang Gusti Ayu maksud ?"
"Ah! Soal itu lain waktu saja kita bicarakan. Sekarang, aku harus segera kembali. Selamat malam, Paman "
"Silakan, Gusti Ayu. Selamat jalan "
Tak berselang lama, terdengar pintu berderit. Dan sesaat kemudian, terdengar derap ladam kuda keluar-dari bangunan megah.
"Mendengar percakapan, rupanya mereka berencana jahat! Aku akan mengorek keterangan dari gadis itu!" kata batin Aji seraya merambat perlahanlahan ke atap genting yang terbuka tadi.
Setelah keluar dan menaruh genting pada tempatnya semula. Pendekar Mata Keranjang 108 mengendap-endap menelusuri atap. Merasa aman, tubuhnya segera melayang turun. Dan sekali menjejak tanah, tubuhnya melesat melewati tembok bangunan dan berkelebat menyusul arah terdengarnya derap kuda.

* * *



"Akan ku hadang di tempat agak sepi!" kata Aji dalam hati, ketika telah berlari mengejar gadis yang tadi dilihatnya.
Saat itu juga Pendekar Mata Keranjang 108 mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah sangat tinggi. Sehingga larinya bagaikan kelebatan bayangan setan saja. Bahkan sebentar saja, matanya telah melihat gadis penunggang kuda di depannya dalam jarak sekitar dua puluh tombak. Begitu sampai di tempat agak sepi, Aji semakin menambah kecepatan larinya. Dan kini jaraknya tinggal tujuh rombak lagi.
"He! Tunggu...!" teriak Aji, dari belakang. Sedikit terperanjat, gadis penunggang kuda itu menarik tali kekang. Seketika kuda tunggangannya berhenti, setelah mengangkat kaki depannya tinggi-tinggi.
"Siapa kau...?!" bentak gadis itu, garang. Aji yang masih berkelebat, segera menghentikan larinya. Dia kini berdiri di hadapan gadis penunggang kuda yang ternyata Lintang Sari
Saat itu juga paras gadis ini berubah. Sepasang matanya membesar mengawasi dengan tatapan galak. Bahunya sedikit terangkat.
"Manusia satu ini sulit diduga, apa tujuan sebenarnya. Saat bertemu di Lembah Seribu Bunga, dia sepertinya tak punya urusan apa-apa dengan kerajaan. Sekarang, tahu-tahu berada di sini. Apakah dia tahu segalanya? Untuk sementara, aku harus menghindar. Kelihatannya dia berilmu tinggi. Apalagi waktuku terlalu mendesak! Hm.". Sebenarnya aku "
"Siapa kau sebenarnya. ?!" tanya Pendekar Mata Keranjang 108, memotong pertanyaan Lintang Sari dalam hati.
Sambil menahan rasa terkejut, gadis itu tersenyum. Namun sesaat kemudian sepasang matanya mendelik
"Anak manusia! Tanpa bertanya, semestinya kau telah tahu dari pakaian yang ku kenakan! Dan justru aku yang seharusnya bertanya padamu! Siapa kau!" bentak Lintang Sari.
Aji tersenyum lebar.
"Aku Aji! Dan aku tahu, apa yang telah kau bicarakan!" jawab Aji terus terang, dengan mata menatap lekat-lekat gadis di depannya.
Sengaja Pendekar Mata Keranjang berterus terang, berharap agar gadis itu terkejut.
Namun, harapan Aji meleset. Ternyata gadis ini tak menampakkan rasa keterkejutannya.
"Jangkrik! Gadis ini pemain sandiwara yang baik!" rutuk Aji dalam hati.
"Lantas...?" Lintang Sari balik bertanya. Bibirnya tersenyum.
Sementara Aji tampak kebingungan.
"Aku akan membawamu menghadap mahapatih!" pancing Aji.
"Ha... ha... ha...!" Lintang Sari tertawa panjang.
"Apakah mahapatih begitu mudah mempercayai ucapanmu...?"
Selesai bicara, Lintang Sari loncat turun. Perlahan-lahan, kakinya melangkah mendekati Aji.
"Aji!" sebut Lintang Sari perlahan, agak mendesah.
"Bawalah aku jika kau menginginkan...." Aji semakin kebingungan.
"Sial! Bagaimana ini?" kata batin Aji dengan tetap tegak. Bahkan tatkala Lintang Sari memegang tangannya, Aji diam saja.
"Aji, lupakan masalah itu...," bisik Lintang Sari.
Kepalanya sedikit mendongak.
Dan tahu-tahu, gadis ini menggerakkan kepalanya ke depan. Seketika bibirnya cepat memagut bibir Aji yang masih tampak melongo kebingungan, bercampur keheranan.
Namun keterkejutan Aji hanya berlangsung sebentar. Bibir Lintang Sari yang seakan melenakan, membuat Aji tanpa sadar mulai membalas kehangatannya.
Saat itulah tiba-tiba saja kedua tangan Lintang Sari bergerak cepat ke belakang. Sementara Aji mengira tangan gadis ini akan bergerak merangkul. Namun ternyata gerakan tangan Lintang Sari yang cepat tahutahu menggedor dadanya. Tak ada waktu lagi untuk menghindar, sehingga...
Des! "Aaakh...!"
Tubuh Aji kontan terlempar hingga satu tombak ke belakang disertai jerit tertahan. Dan keras sekali tubuhnya mencium tanah. Dari mulutnya terdengar erangan panjang
Sementara Lintang Sari hanya tersenyum menyeringai. Lalu tubuhnya berbalik dan meloncat ke atas punggung kuda.
"Hei, Aji! Jangan coba-coba mencampuri masalah ini! Itu jika kau masih sayang nyawa!" gertak Lintang Sari, seraya menghentak tali kekang kudanya. Seketika kuda itu telah berderap di kegelapan malam.
Karena hantaman tangan Lintang Sari berisi tenaga dalam dan dilakukan jarak dekat, membual Pendekar Mata Keranjang 108 agak lama baru bisa merambat bangkit. Dari mulutnya terdengar umpatan panjang pendek. Dia terbatuk-batuk, disertai percikan darah sedikit kehitaman.
"Ah, bodohnya aku. Kenapa aku bisa ditipu? Namun rupanya dia tak menginginkan kematianku! Karena seandainya mau, tentunya dia telah melakukannya waktu aku tak berdaya..." gumam Joko sambil memandang sekeliling.
"Aku harus bertindak lebih hati-hati!"
Pendekar Mata Keranjang 108 lantas memejamkan kedua matanya. Kedua tangannya menakup di depan dada. Dicobanya menyalurkan hawa murni ke dada yang terasa sesak dan nyeri.

* * *



--↨֍¦ 8 ¦֍↨--

Bulan setengah lingkaran menggantung di langit, dikelilingi bongkahan-bongkahan awan putih. Sehingga cahaya bintang-bintang tertutup tak mampu menembus awan. Namun cahaya lembut sang rembulan yang hanya setengah itu masih mampu menerangi sebuah bangunan megah yang terletak agak jauh dari lingkungan istana. Tapi melihat dari megahnya bangunan dan atribut yang dipasang di depannya, bisa mudah diterka kalau bangunan ini dihuni salah satu kerabat istana.
Dan kenyataannya memang demikian. Bangunan megah itu adalah kediaman putra Sri Baginda Kerta Bumi, yakni Pangeran Muda Puja Manggala.
Konon, Sri Baginda Kerta Bumi memang mempunyai enam orang anak. Dua di antaranya adalah laki-laki yang berasal dari selir. Mereka adalah Pangeran Puja Manggala dan Pangeran Cakra Manggala. Sementara dari permaisuri sendiri, Sri Baginda tidak mempunyai anak. Karena anak-anak Sri Baginda telah dewasa, maka mereka pun dibuatkan rumah sendiri-sendiri.
Di malam yang baru saja melingkupi bumi, dari bangunan megah kediaman Pangeran Muda Puja Manggala ini sayup-sayup terdengar lantunan syair yang bersumber pada salah satu ruangan berjendela terbuka.
Dengan cahaya lampu dari dalam ruangan, ternyata yang melantunkan syair adalah seorang gadis berparas cantik jelita. Rambutnya panjang tergerai. Kulitnya putih bersih. Bentuk tubuhnya bagus. Dengan pakaian ketat dan tipis, lekukan tubuhnya sangat mempesona.
"Lantunan syair mu indah dan bagus, Kumala Dewi!"
Mendadak terdengar kata memuji. Begitu menoleh, gadis berparas cantik bernama Kumala Dewi yang baru saja melamunkan syair, sedikit terkejut. Buru-buru dia menjura hormat saat tahu siapa gerangan yang mengeluarkan kala pujian.
"Ah, Pangeran. Kau terlalu memuji...." desah Kumala Dewi, seraya menunduk.
Dan Kumala Dewi buru-buru mau bergerak ke dalam saat orang yang dipanggil pangeran menatap tubuhnya tanpa berkedip. Karena saat itu, pakaian yang dikenakan Kumala Dewi memang pakaian tidur. Namun langkah Kumala Dewi tertahan ketika....
"Bagaimana perjalananmu ke Dusun Kepatihan kemarin, Kumala Dewi?" tanya orang yang dipanggil pangeran. Dia tak lain dari Pangeran Puja Manggala.
"Baik. Pangeran " jawab Kumala Dewi, singkat.
"Waktu kau pergi, aku sedikit cemas. Jangan-jangan kau akan mendapat halangan di jalan. Apalagi kau menolak untuk dikawal...!" kata Pangeran Puja Manggala sambil tersenyum.
"Maafkan hamba. Pangeran. Jika kemarin hamba menolak tawaran itu, terus terang karena masih rikuh dengan hal-hal begitu. Maklum, hamba hanyalah seorang perempuan dusun...," ucap Kumala Dewi.
"Kau terlalu merendah, Kumala Dewi. Namun meski orang dusun, aku yakin kecantikanmu tiada tanding di wilayah kotaraja ini!" puji laki-laki berpakaian kebesaran itu lagi.
"Ngg.... Maaf, Pangeran.... Bisakah Pangeran keluar sebentar? Hamba..., hamba akan ganti pakaian...," pinta Kumala Dewi, tergagap.
"Kumala Dewi.... Di mataku, kau lebih cantik mengenakan pakaian begitu!"
Paras Kumala Dewi jadi bersemu merah. Sementara, sepasang mata pangeran itu mulai nakal, menelusuri lekukan tubuh Kumala Dewi.
"Kumala Dewi Dua hari aku merenung. Dan, baru sore tadi bisa memutuskan !" susul pangeran ini dengan sorot mata tak beranjak dari dada Kumala Dewi.
Kumala Dewi tersentak. Keningnya berkernyit.
"Tentang apa. Pangeran...?" tanya gadis itu "Tentang kau...!" jawab Pangeran Puja Manggala, singkat.
'Tentang hamba...?" ulang Kumala Dewi perlahan. Dadanya berdegup lebih kencang. Gadis ini jadi bertanya dalam hati, apakah pangeran itu tahu kepergiannya ke Bumi Rejo menemui Adipati Bulu Kumba...?"
Memang, sebenarnya Kumala Dewi adalah Lintang Sari. Waktu ditemukan Pangeran Puja Manggala, gadis itu memang sudah mengatur rencananya. Yakni, saat Lintang Sari membuntuti Pangeran Puja Manggala dan rombongan pengawal saat pergi berburu di Hutan Wonosari.
"Aku telah memutuskan untuk mengambilmu sebagai istri!"
Kumala Dewi terlonjak. Dilarik napas lega. Namun sebenarnya bukan karena tahu kalau mau diambil sebagai istri. Tapi karena dugaannya yang mengira pangeran tahu ke mana kemarin ia pergi, meleset!
"Ah, Pangeran agaknya suka bergurau. Bukankah masih banyak gadis cantik yang melebihi hamba...?. Hamba hanyalah orang dusun. Hamba tak pantas mendampingi Pangeran. Hamba."
"Apakah aku terlihat seperti orang bergurau, Kumala Dewi?" tukas Pangeran Puja Manggala memotong kalimat Kumala Dewi.
"Dengar baik-baik, Kumala Dewi! Aku telah memutuskan untuk mengambilmu sebagai istri! Soal lain-lain, itu tak akan menghalangi keputusanku!"
"Pangeran.... Apakah Pangeran telah memikirkan hal itu masak-masak? Hamba kira "
"Kumala Dewi...!" tukas pangeran itu lagi-lagi.
"Aku tak ingin lagi mendengar alasan! Aku hanya ingin mendengar, bagaimana pendapat mu!"
"Secepat itukah. Pangeran ?"
"Lebih cepat, menurutku lebih baik!" tandas pangeran itu sambil melangkah mendekati Kumala Dewi.
Gadis yang sebenarnya Lintang Sari ini menunduk. Namun tangan Pangeran Puja Manggala cepat menahan dengan menyentuh ujung dagunya. Ditengadahkannya kepala Kumala Dewi. Kini sepasang mata pangeran itu menusuk tajam pada bola mata bulat Kumala Dewi. Sementara bibirnya menyungging senyum.
"Kau tidak menolak, bukan...?" tanya pangeran ini. Sementara tangan satunya telah bergerak ke pundak Kumala Dewi.
Kumala Dewi tidak menjawab. Dia hanya tegak termangu, sambil balas menatap. Bahkan sepertinya tidak terusik oleh tangan nakal sang pangeran yang mulai bergerak turun dari pundaknya. Perlahan-lahan matanya meredup. Sementara dari mulutnya terdengar desahan perlahan. Napasnya berhembus panjang, sehingga dadanya tampak lebih membusung kencang. Dan ini membuat Pangeran Puja Manggala tambah terkesima. Sementara tangannya pun bertambah nakal.
"Pangeran...," bisik Kumala Dewi perlahan seperti mendesah.
Pangeran Puja Manggala seperti tak mendengar. Tampaknya dia lebih asyik menikmati lekukan tubuh Kumala Dewi dengan tangannya yang menjalar ke mana-mana.
"Pangeran...," panggil Kumala Dewi kembali. Kali ini suaranya agak keras, sehingga pangeran itu menghentikan gerakan tangannya.
"Hm.... Kau ingin mengutarakan sesuatu? Katakanlah!" ujar Pangeran Puja Manggala sambil kembali menggerakkan tangannya.
"Apakah kau yakin, hamba tidak menolak tawaran mu...?" tanya Kumala Dewi dengan kedua tangan saling meremas.
"Apakah berarti kau menolak tawaranku...?" Pangeran ini balik bertanya dengan sedikit terkejut. Matanya menatap mata Kumala Dewi.
Gadis itu tersenyum.
"Boleh hamba mengutarakan sesuatu...?" tanya Kumala Dewi lagi.
"Tentu! Apa yang ingin kau utarakan? Apa ada hubungannya dengan keputusan ku mengambilmu sebagai istri?!"
"Betul, Pangeran! Bahkan menyangkut masa depan Pangeran! Seandainya Pangeran tak mengambil keputusan demikian, hamba tak akan mengutarakan hal ini...!"
Mendengar kata-kata Kumala Dewi, serentak Pangeran Puja Manggala menarik tangannya dari tubuh Kumala Dewi. Dahinya berkerut, menyiratkan rasa penasaran.
"Katakanlah, Dewiku...," susul laki-laki berpakaian indah ini.
"Apakah Pangeran tahu, apa lambang Kerajaan Malowopati?" tanya Kumala Dewi perlahan.
"Ah! Kau aneh, Kumala Dewi. Tadi kau katakan akan mengutarakan sesuatu yang menyangkut masa depan. Sekarang, balik bertanya soal lambang kerajaan. Memangnya apa hubungannya...?"
"Jawab saja dahulu. Pangeran!" desak Kumala Dewi cepat, sambil tersenyum.
Agak lama Pangeran Puja Manggala terdiam, masih lak mengerti arah pembicaraan Kumala Dewi. Dia tampak ragu-ragu.
"Cincin Aswagitha," jawab pangeran itu, pelan.
"Apakah sekarang pewaris yang memegang Cincin Aswagitha yang nantinya berhak menggantikan Sri Baginda dan berhak menyandang gelar raja?" susul Kumala Dewi cepat.
"Benar...! Tapi, Cincin Aswagitha telah lenyap sejak terjadinya peralihan kekuasaan. Dan hingga kini cincin itu belum bisa ditemukan. Jadi hingga saat ini Sri Baginda dan pembesar istana belum bisa menentukan. Siapa nantinya yang berhak naik menggantikan Sri Baginda. Hm Ada apa kau menanyakan masalah itu ?" Pangeran Puja Manggala balik bertanya.
"Cincin itu sebenarnya tidak lenyap, Pangeran!" kata Kumala Dewi tandas.
Pangeran Puja Manggala terkejut mendengarnya. Namun sejenak kemudian tawanya meledak.
"Ha... ha... ha ! Siapa pun warga Kerajaan Malowopati telah tahu, bahwa Cincin Aswagitha telah lenyap tak tentu rimbanya. Bahkan Sri Baginda sendiri telah menugaskan Mahapatih Gagak Rimang untuk membentuk pasukan khusus yang mengemban lugas melacak cincin itu. Sekarang, lantas kau mengatakan bahwa Cincin Aswagitha tidak hilang. Kau tentunya bergurau, Kumala Dewi "
Kumala Dewi tersenyum.
"Pangeran Kau ingat cerita tentang paman ku kemarin ?"
"Pamanmu yang tidak berhasil ditemukan itu...?"
"Pangeran.... Paman ku adalah seorang ahli permata dan batu-batuan. Sebelum kepergiannya yang hingga saat ini tak tentu rimbanya dia cerita padaku "
"Cerita apa...?"
"Dia pernah didatangi seorang pemuda yang menunjukkan sebuah cincin berwarna hijau. Paman waktu itu terkejut setelah meneliti. Karena menurutnya cincin itu yang dicari-cari pihak kerajaan adalah cincin lambang kerajaan. Waktu itu, paman berusaha mengatakan hal yang tidak sebenarnya pada pemuda itu. Namun begitu pemuda itu mengatakan bahwa dirinya adalah Pangeran Kerajaan Malowopati dengan menunjukkan bukti-bukti, akhirnya paman mengatakan hal yang sebenarnya. Yakni bahwa benda itu adalah Cincin Aswagitha. Pemuda yang mengaku sebagai pangeran itu lantas memberi hadiah pada paman. Namun, dengan syarat. Paman harus bisa menyimpan rahasia ini, dan harus meninggalkan kotaraja hingga terjadi pengangkatan raja baru...! Makanya, walau aku telah berusaha mencari paman di seluruh kotaraja, dia lak kutemukan. Ini berarti, apa yang dikatakan paman adalah benar!" papar Kumala Dewi panjang lebar.
Mendengar keterangan Kumala Dewi, Pangeran Puja Manggala ternganga. Matanya mendelik, hampir tak percaya.
"Jadi...?"
"Siapa lagi pangeran yang datang pada paman, kalau bukan Pangeran Cakra Manggala yang juga saudara pangeran lain ibu itu...?" potong Kumala Dewi dengan wajah memberengut.
"Hm.... Jadi, Cakra Manggala...," gumam Pangeran Puja Manggala.
"Pangeran Cakra Manggala mungkin menunggu saat yang lepat. Atau, dia mungkin saja mempunyai rencana tertentu, bila sampai saat ini merahasiakan cincin itu!" sambung Kumala Dewi.
Wajah Pangeran Puja Manggala merah padam. Rahangnya terangkat. Sepasang matanya tampak menyala-nyala tanda menyimpan kemarahan.
"Jahanam! Berarti dia ingin melangkahi akui" desis pangeran ini.
"Hm.... Lantas menurutmu, apa yang harus kulakukan, Kumala Dewi?"
"Pangeran jangan tanyakan soal itu pada hamba.... Hamba !"
"Kumala Dewi!" potong Pangeran Puja Manggala lagi.
"Kau sudah ku putuskan menjadi calon pendampingku. Jadi, mau tak mau aku juga harus minta pendapatmu. Bukankah ini juga berarti masa depan kita berdua...?"
Kumala Dewi tersenyum. Kakinya lantas melangkah satu tindak ke depan. Digenggamnya tangan laki-laki yang mengepal menahan marah.
"Pangeran! Pangeran Cakra Manggala mungkin tidak hanya ingin melangkahi mu. Lebih dari itu, mungkin dia merencanakan untuk menyingkirkan mu! Karena hanya kaulah batu sandungan yang dapat menghalangi niat Pangeran Cakra Manggala untuk naik tahta sebagai raja menggantikan Sri Baginda Kerta Bumi. Maka kalau menurutku, sebelum hal ini terjadi, Pangeran harus bertindak lebih dahulu!"
"Maksudmu...?" tanya sang pangeran.
"Menyingkirkan adalah lebih baik dari disingkirkan. Pangeran!"
Sejenak mata Kumala Dewi memandang lekatlekat kepada Pangeran Puja Manggala. Dan ingin meyakinkan, apakah usulnya disetujui. Namun sampai saat ini laki-laki itu hanya diam termangu.
"Dan masalah itu, Pangeran tentu bisa mengaturnya. Atau kalau Pangeran tak keberatan, aku bisa mengaturnya!" lanjut Kumala Dewi, tegas.
Sambil berkata, tangan lentik Kumala Dewi bergerak melingkar ke pinggang sang pangeran. Dan Pangeran Puja Manggala pun melingkarkan tangannya pada leher gadis ini. Ditariknya wanita itu ke depan, sehingga wajah mereka saling menempel Sesaat kemudian, bibir laki-laki ini telah memagut dan melumat bibir Kumala Dewi. Agak lama mereka saling melepas kehangatan lewat permainan bibir, membuat nafsu Pangeran Puja Manggala makin terbakar. Sementara tangannya sudah berkeliaran meremas ke sana kemari.
Perlahan-lahan, Kumala Dewi melepaskan pagutannya. Bibirnya lantas tersenyum manis sambil menarik napas panjang.
"Pangeran, bagaimana...?" tanya Kumala Dewi "Apanya...?" tanya sang pangeran seraya menggerakkan wajahnya ke arah leher Kumala Dewi.
Gadis itu menggelinjang. Namun, tak berusaha menolak.
"Tentang Pangeran Cakra Manggala! Apakah Pangeran setuju jika hamba yang mengatur...?" "Kau adalah seorang perempuan, Kumala Dewi! Biarlah masalah ini aku dan orang-orang kepercayaanku yang mengurusnya!"
"Pangeran tadi mengatakan, bahwa ini demi masa depan kita berdua...! Apakah salah jika hamba ikut andil dalam menyelesaikan hal ini? Hamba tidak mau hanya mengambil enaknya saja, Pangeran...!"
"Hm.... Lantas, apa yang akan kau lakukan...?" "Itu urusanku, Pangeran. Pangeran tahu beres saja! Hanya saja, hamba minta untuk sementara ini kehadiranku di sini dirahasiakan. Ini untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan. Juga, untuk menjaga kebersihan nama Pangeran...!" kilah Kumala Dewi memberi alasan. Dan suaranya mendadak terputus, karena saat itu tangan pangeran ini telah mulai melepas kancing-kancing baju Kumala Dewi.
"Tapi kau memerlukan orang lain, Kumala Dewi! Aku takut "
"Maaf, PangeranJika dibantu orang lain, itu akan menimbulkan kecurigaan. Aku ingin bertindak yang tidak menimbulkan kecurigaan, sekaligus berhasil!"
"Kau ternyata perempuan cerdik, Kumala Dewi! Tak salah aku memilihmu! Jika demikian maksudmu, baiklah. Lakukan apa yang ingin kau lakukan! Tapi satu hai, aku tak rela jika siapa pun juga, apalagi pangeran bangsat itu menyentuh mu!" desis Pangeran Puja Manggala, tandas.
Kumala Dewi tersenyum. Wajahnya langsung berbinar.
"Masalah itu tak perlu dicemaskan. Pangeran. Hamba hanyalah milik Pangeran. Dan..."
Belum sampai Kumala Dewi meneruskan katakatanya, Pangeran Puja Manggala telah menutup bibir Kumala Dewi dengan bibirnya. Sementara kancingkancing baju Kumala Dewi telah terlepas semua. Hingga dengan leluasa, tangan pangeran ini menelusup di balik baju Kumala Dewi.
"Astaga! Pangeran.... Pintu dan jendelanya belum tertutup. Jangan-jangan "
Kumala Dewi segera melepaskan diri dari rengkuhan tubuh Pangeran Puja Manggala. Sedangkan pangeran ini tampak kesal, karena keasyikkannya terpotong.
"Tolong tutup pintu dan jendelanya, Pangeran. Setelah itu, Pangeran bisa mendapatkan yang di inginkan...," ujar Kumala Dewi lembut, membuat laki-laki ini tersenyum.
Bergegas Pangeran Puja Manggala melangkah ke pintu. Dan dengan sekali jejakkan tumitnya, pintu itu tertutup. Lantas kakinya melangkah ke arah jendela. Kali ini sebentar matanya menebar pandangan keluar. Tampak tiga orang penjaga di luar. Dia mengangguk, lalu menutup jendela.
Sementara Pangeran Puja Manggala menutup jendela, Kumala Dewi melangkah ke arah meja. Dituangkannya air ke dalam dua gelas. Dan tanpa diketahui, diam-diam wanita ini memasukkan sebuah benda kecil bulat berwarna putih pada salah satu gelas. Saat itu juga benda itu langsung larut di dalam air.
Begitu jendela telah tertutup, Pangeran Puja Manggala cepat meloncat ke arah Kumala Dewi. Dari belakang, tangannya langsung dilingkarkan. Kumala Dewi sepertinya sengaja tak mengancingkan bajunya lagi. Hingga untuk ke sekian kalinya, tangan pangeran muda ini bergerak liar di balik bajunya.
Sambil mendesah perlahan, Kumala Dewi menarik tangan kanan laki-laki itu dan mengangkatnya. Segera diletakkannya gelas di genggaman tangan sang pangeran.
"Pangeran, minumlah dahulu. Kulihat kau basah berkeringat. Air ini mungkin bisa membantu sedikit kegerahan "
Tanpa banyak bicara, Pangeran Puja Manggala langsung menarik tangannya, meminum tuntas isi gelas. Lalu dengan melemparkan gelas begitu saja, tangannya bergerak kembali ke balik baju Kumala Dewi.
Kumala Dewi hanya mendesah. Namun karena pangeran yang ada di belakangnya ini sedang diamuk nafsu, tanpa diketahui sepasang mata Kumala Dewi telah berkilat-kilat merah dengan senyum menyeringai. Mungkin karena sudah tak tahan oleh gejolak birahi, tangan Pangeran segera bergerak ke pinggul Kumala Dewi.
"Dan dengan sekali angkat, tubuh gadis ini telah berada di bopongannya.
Dengan tawa bergerai, Pangeran Puja Manggala melangkah sambil membopong tubuh Kumala Dewi menuju tempat tidur.
Namun baru saja tangan pangeran ini menaruh tubuh Kumala Dewi di atas tempat tidur, tubuhnya mendadak terasa lemah. Sepasang matanya meredup. Dan tak lama kemudian tubuhnya tergolek di sebelah Kumala Dewi yang telah telentang.
Kumala Dewi terdiam sejenak, kemudian segera meraba kening dan membuka kelopak mata pangeran di sebelahnya. Lalu dengan cekatan tangannya melepas kancing-kancing dan melepas baju laki-laki itu. Pakaian itu dibiarkan berserakan begitu saja. Dengan cekatan pula diambilnya selimut dan di tutupinya tubuh Pangeran Puja Manggala yang polos!
Dengan cepat, Kumala Dewi langsung turun dari tempat tidur. Cepat dibukanya jendela. Sebentar, lalu ditutupnya kembali. Sepasang matanya yang bulat mengawasi wajah pangeran ini. Saat itu juga senyumnya menyeringai.
Dengan masih tersenyum, Kumala Dewi melangkah ke pojok tempat tidur. Segera diambil sebuah kotak kecil dan dibukanya.
"Aswagitha! Kau rupanya begitu berarti!" gumam Kumala Dewi perlahan, seraya menutup kotak kecil itu dan meletakkannya di tempat semula.
"Pangeran cabul! Kau akan merasakan akibatnya...!" gumam Kumala Dewi, seraya melepas bajunya sendiri.
Dengan tubuh tanpa sehelai benang pun, Kumala Dewi meloncat melewati tubuh Pangeran Puja Manggala. Lalu ditariknya selimut menutupi tubuhnya yang mulus menggairahkan. Langsung direbahkan tubuhnya di samping Pangeran Puja Manggala.

* * *



--↨֍¦ 9 ¦֍↨--

"Gila! Apa rencana itu tidak jadi...?" gerutu Pendekar Mata Keranjang 108 di atas sebuah pohon belakang rumah kediaman Pangeran Cakra Manggala.
Memang, setelah mencuri dengar pembicaraan antara Lintang Sari dengan Adipati Bulu Kumba, Aji berniat menunggu di kediaman Pangeran Cakra Manggala pada hari yang ditentukan, yakni hari ini, Pendekar Mata Keranjang menduga, akan terjadi sesuatu terhadap putra Sri Baginda Kerta Bumi dari selir yang lain itu.
Berdasarkan keterangan para penduduk, Aji tak menemukan kesulitan untuk mencari kediaman Pangeran Cakra Manggala. Tak heran kalau sebelum keberangkatan pangeran itu, dia sudah bertengger di atas pohon, belakang rumah saudara tiri Pangeran Puja Manggala ini. Namun setelah ditunggu sekian lama. apa yang harapkan belum juga nampak
"Hm.... Apa aku salah dengar...? Kurasa tidak. Atau ada rencana lain di luar itu, yang tidak kuketahui.,.? Atau "
Aji tidak meneruskan kata hatinya ketika melihat dua orang berkuda keluar meninggalkan kediaman Pangeran Cakra Manggala.
"Hm..., meski aku belum jelas betul tampang Pangeran Cakra Manggala, aku yakin dia pasti salah satu penunggang itu. Dan tujuan mereka berdua adalah Gua Tetes!"
Berpikir begitu, Aji langsung melayang turun. Begitu mendarat, tubuhnya berkelebat menuju arah dua penunggang kuda yang baru saja keluar dari tempat kediaman Pangeran Cakra Manggala.
"Hm akan kuikuti dari jarak dekat, biar aku dapat mencuri dengar percakapan mereka...!" gumam Aji sambil mempercepat larinya.
Dua penunggang itu mula-mula melarikan, kuda masing-masing dengan perlahan-lahan. Namun ketika keluar dari perbatasan kotaraja, mereka memacu kencang-kencang.
Aji jadi menggerutu panjang pendek. Segera disusulnya kedua penunggang kuda itu disertai pengerahan ilmu meringankan tubuhnya. Karena jalan yang dilalui masih banyak rumah penduduk, Aji tak bisa langsung mendekati kedua penunggang itu.
Baru setelah memasuki kawasan yang jarang rumah penduduk dan di kanan kirinya banyak ditumbuhi pohon besar, Aji bisa mendekati dua penunggang itu.
Dua penunggang ini ternyata dua orang lakilaki. Yang di sebelah kanan tampak masih muda. Wajahnya tampan dan bertubuh tegap. Meski memakai pakaian biasa, namun gaya priyayinya dalam berkuda lak dapat disembunyikan. Sementara di sebelah pemuda ini adalah lakilaki berusia sudah tampak lanjut. Rambutnya panjang dan memutih. Memasuki sebuah kawasan lembah, dua penunggang ini memperlambat jalannya.
"Paman Rangkujang! Menurut Paman, apa keterangan Adipati Bulu Kumba bisa dipegang kebenaran-nya?" tanya pemuda yang menunggang kuda di sebelah kanan.
"Soal itu aku masih belum bisa menjawab dengan pasti, Pangeran. Berpuluh tahun aku hidup di daerah sini, baru kali ini aku mendengar jika di Gua Tetes hidup seorang petapa perempuan yang bisa meramal seseorang dan menebak sesuatu! Tapi karena yang membawa kabar adalah seorang adipati, maka sedikit banyak kata-katanya bisa dipercayai. Tidak mungkin seorang adipati mengatakan hal yang tidak benar. Apalagi yang diberi kabar adalah Pangeran. Apa dia ingin dicopot jika berdusta? Namun jawaban yang pasti baru kita dapatkan, setelah nanti bertemu orang yang diceritakan adipati itu!" jawab penunggang yang berusia lanjut, yang dipanggil Paman Rangkujang.
"Tapi aku merasa heran. Kenapa adipati berpesan, jika aku benar-benar datang ke Gua Tetes, hanya diperbolehkan membawa satu orang kepercayaanku...?" tanya pemuda yang tak lain memang Pangeran Cakra Manggala.
"Adipati itu berpikir, mungkin karena yang akan kita tanyakan adalah menyangkut rahasia kerajaan yang tak boleh diketahui banyak orang...! Tapi Pangeran tak perlu cemas. Sebelum berangkat aku telah berpesan pada kepala pengawal, jika aku dan Pangeran belum kembali sampai esok pagi, dia kuperintahkan datang dengan membawa bala bantuan ke Gua Tetes. Ini untuk berjaga-jaga jika kita mendapat halangan!"
Setelah itu, tak terdengar lagi ucapan dari dua orang penunggang ini. Ketika sampai di sebuah gundukan batu besar yang berlobang, mereka menghentikan kuda tunggangannya.
Di bawah temaram cahaya sinar rembulan, sejenak dua penunggang ini saling berpandangan. Dan saat Paman Rangkujang akan turun dari atas kuda tunggangannya, mendadak....
"He...! Dua orang berkuda! Apa perlu kalian mengusik kesendirianku?"
Terdengar suara dari dalam gua yang membahana, seakan-akan keluar dari sebuah ruangan yang tertutup. Sehingga suara itu bergaung dan menggema panjang, sebelum akhirnya perlahan lenyap meninggalkan kesan yang membual bulu kuduk mengkirik,
"Jangkrik! Suara itu bukan suara manusia sembarangan. Siapa pun yang bersuara, dia pasti mempunyai tenaga dalam sempurna...!"' rutuk Aji dalam hati ketika juga telah sampai di tempat itu, dan langsung berkelebat bersembunyi di samping gua. Hingga untuk beberapa saat tenaga dalamnya dikerahkan untuk menangkis gema suara yang terasa menusuk telinga.
Saat ini Aji berada di balik batu yang berada tak jauh dari Rangkujang dan Pangeran Muda Cakra Manggala.
'Tapi aneh, kenapa suara dari dalam gua itu hanya mengetahui kedatangan dua orang ini? Hm..., mungkin aku tidak dianggap manusia. Tapi itu sebuah keuntungan. Bukankah jika suara itu menyebut tiga orang, maka kehadiranku akan ketahuan...? He.... He...!" kata hati Aji seraya cengengesan. Sementara matanya tetap mengawasi dua orang yang tak jauh tempatnya.
Di lain pihak, mendengar suara dari dalam gua, Pangeran Cakra Manggala dan Paman Rangkujang terkejut selengah mati. Bahkan dua kuda tunggangan itu sampai menaikkan kaki depan masing-masing tinggitinggi. Dan dari mulut binatang-binatang itu keluar ringkikan keras. Lembah itu seketika bagai tersentak dari kesunyian.
Pangeran Cakra Manggala dan Paman Rangkujang kembali saling berpandangan. Tubuh pangeran itu tampak sedikit gemetar. Sementara Paman Rangkujang tampak bersikap tenang-tenang, meski raut wajahnya tak bisa menyembunyikan rasa was-was,
"Apakah kami boleh masuk, Nek..?" seru Rangkujang setelah menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan hatinya.
"Kami ada keperluan sangat mendesak dan sangat penting yang harus disampaikan padamu !"
Sejenak suasana jadi hening. Ketika belum ada jawaban dan dalam gua.
"Masuklah!" ujar suara itu akhirnya.
Pangeran Cakra Manggala dan Paman Rangkujang masih berdiri tegak di atas kuda masing-masing. Wajah mereka seperti diselimuti rasa khawatir dan ragu-ragu.
"Kalau kalian ragu-ragu, cepat tinggalkan tempat ini! Aku pun sebenarnya lak mau diusik!" terdengar kembali suara dari dalam gua.
Mendengar teguran ini secepat kilat Pangeran Cakra Manggala dan Paman Rangkujang turun dari ku-da masing-masing. Sebentar saja. mereka sudah melangkah menuju mulut gua dan masuk ke dalamnya.
Aji segera keluar dari balik batu. Dan perlahanlahan tubuhnya merambat di samping mulut gua. Dengan gerakan kilat, tubuhnya langsung berkelebat dan masuk.

* * *



Pangeran Cakra Manggala dan Paman Rangkujang melangkah pelan dengan mata melirik liar. Namun sekian lama, kedua orang itu tak menemukan seorang pun dalam ruangan gua yang sempit ini. Yang tampak hanyalah gunduk-gundukan batu yang berbentuk tak teratur.
"Cepat katakan, apa maksud kalian...!" tiba-tiba terdengar suara bagai geledek.
Pangeran muda dan Paman Rangkujang tersentak. Mereka sama-sama menoleh ke arah sumber suara. Seketika dua orang ini menyurutkan langkah masing-masing, dengan mata membesar seakan tak percaya.
Sepasang mata Aji yang lelah bersembunyi di tempat yang terlindung ikut-ikutan memandang ke arah sumber suara.
Dan memang, tak jauh dari tempat Pangeran Cakra Manggala dan Paman Rangkujang tampak seseorang menggelantung membelakangi. Kedua kakinya diikat seutas tali. Sementara ujung tali menjulur ke alas, dan ditancapkan begitu saja pada langit-langit gua dengan menggunakan sebuah ranting. Kedua tangan orang menggelantung ini menakup sejajar dada. Hebatnya, meski menggantung terbalik, pakaiannya tak menyingkap. Bahkan rambutnya yang panjang lak terurai ke bawah!
"Nek...! Kami datang menanyakan tentang "
"Beradanya Cincin Aswagitha. ?!"
Suara Paman Rangkujang yang parau dan bergetar langsung terputus oleh suara sosok perempuan tua yang menggelantung.
Pangeran Cakra Manggala dan Paman Rangkujang mendelik tak percaya. Sementara, Aji terus mengawasi dengan dahi berkerut.
"Aneh orang tua ini. Tahu sebelum orang ngomong! Apa juga berarti tahu tentang kehadiranku ?"
gumam Aji dalam hati.
"Betul. Nek !" kali ini yang menjawab Pangeran Cakra Manggala.
"Sebenarnya cincin itu tidak hilang. Cincin itu sekarang dipegang oleh Pangeran Puja Manggala. Dan kelak, dia akan memberikannya padamu. Kembalilah besok pagi. Dia akan menunggumu di sini!" papar perempuan tua itu.
Mendengar hal ini. Pangeran Cakra Manggala dan Paman Rangkujang terbengong. Dan mereka hampir tak percaya dengan pendengarannya.
"Kukira hanya itu keperluan kalian datang kemari. Nah, sekarang lekaslah tinggalkan tempat ini!" ujar nenek itu, memecah keterpakuan Pangeran Cakra Manggala dan Paman Rangkujang.
"Tapi, Nek. Untuk keterangan yang kau berikan, kami membawakan untukmu "
"Pangeran! Aku tak membutuhkan imbalan! Yang kubutuhkan adalah kesunyian...!" tukas nenek yang menggelantung.
"Kalau demikian, kami mengucapkan terima kasih. Dan kami mohon diri!"
Tak ada jawaban dari nenek yang menggelantung. Pangeran Cakra Manggala dan Paman Rangkujang segera berbalik. Bergegas mereka melangkah keluar gua. Dan tak lama kemudian, terdengar derap kaki kuda yang dipacu cepat, meninggalkan tempat ini.
Sementara itu Aji masih tetap di tempat persembunyiannya. Pendekar Mala Keranjang terus mengawasi orang yang menggantung. Dan baru beberapa tarikan napas Aji mengawasi...
"Ha... ha... ha... hi... hi...!"
Tiba-tiba saja dari mulut orang yang menggelantung terdengar tawa kekehan panjang. Dan sekali sentak, tali yang menjulur ke atas putus. Lalu dengan membuat gerakan berputar satu kali di udara, tubuh orang yang menggelantung telah berdiri tegak.
"Benar-benar seorang nenek tua! Siapa gerangan dia...?" tanya Aji dalam hati.
Dengan langkah lebar-lebar dan ringan sekali, nenek tua ini melangkah ke mulut gua. Sejenak pandangan di lebar keluar, lalu tiba-tiba tangannya bergerak ke wajah. Dengan cekatan sekali, tangan itu mengupas kulit wajahnya sendiri, yang ternyata sebuah topeng! Sebuah topeng yang mirip wajah seorang nenek berusia ratusan tahun!
Begitu topeng terlepas, tampaklah wajah asli di baliknya. Ternyata, wajah itu milik gadis yang tak lain Lintang Sari. Sebentar kemudian gadis itu telah melepas rambut palsunya, serta pakaiannya. Kembali Lintang Sari memandang ke sekeliling, sebelum akhirnya berkelebat meninggalkan Gua Tetes ini.
"Jangkrik! Sandiwara apa ini?" rutuk Aji tak mengerti, di tempat persembunyiannya....
Pendekar Mata Keranjang 108 langsung pula berkelebat mengikuti arah yang ditempuh Lintang Sari. Dan hampir-hampir pemuda ini tak percaya. Ilmu meringankan tubuh gadis yang diikutinya begitu sempurna. Sehingga untuk beberapa saat, dia sempat tertinggal Namun dengan mengerahkan seluruh tenaga, akhirnya Pendekar Mala Keranjang 10S tak sampai kehilangan buruan.
"Aneh! Dia sepertinya menuju arah istana! Tapi..., tidak! Dia terus.... Eh, mau ke mana dia ?" tanya Aji dalam hati.
Dan sampai di sebuah bangunan agak megah. Lintang Sari berbelok dan menghilang. Aji ternganga tak percaya.
"Dia berbelok dan menghilang di sini. Hm... Bukankah ini kediaman Pangeran Puja Manggala. ?" kata Aji masih hampir tak percaya.
"Aku masih belum jelas dengan semua ini...! Hm.... Aku menduga pasti ada orang yang mengadu domba kedua pangeran itu! Dan mungkin mencari keuntungan di baliknya! Mungkinkah gadis itu? Hm Ini harus segera dicegah. Aku besok akan mulai bergerak Sekarang, tubuhku sangat capek. Aku akan pergi ke penginapan dan istirahat!"
Aji langsung berbalik dan berkelebat menuju penginapan.

* * *



--↨֍¦ 10 ¦֍↨--

"Hm.... Benar kata Adipati Bulu Kumba. Puja Manggala ternyata memang telah menungguku. Apa gerangan yang membuatnya rela memberikan cincin itu padaku? Apakah ini hanya tipu muslihatnya saja? Tapi kulihat, ia datang sendirian "
Gumaman ini meluncur dari mulut seorang pemuda berpakaian indah. Sepasang mata tak berkedip menatap ke arah sosok yang telah berdiri tenang di depan mulut Gua Tetes.
"Maaf, Puja Manggala! Aku datang terlambat. !"
ucap pemuda yang di atas punggung, ketika lelah berada lima tombak dari sosok yang menunggu dan tak lain dari Pangeran Puja Manggala.
"Ah, tak apa Cakra Manggala. Waktu tidak menjadi soal jika dibandingkan dengan ketulusanmu yang akan memberikan cincin itu padaku! Aku berterima kasih sekali padamu. Aku pun tak akan begitu saja melupakan ketulusan mu. Kelak kau pun akan ku beri kedudukan yang pantas!" kata Pangeran Puja Manggala seraya tersenyum.
Mendengar kata-kata Pangeran Puja Manggala, pemuda di atas kuda yang tak lain Pangeran Cakra Manggala jadi terkejut. Keningnya berkernyit dengan matanya menyipit. Tapi lantas bibirnya tersenyum.
"Kau jangan bercanda! Bukankah cincin itu ada padamu. Dan sekarang akan kau berikan padaku !" kata Pangeran Cakra Manggala, seraya turun dari kudanya.
Pangeran Puja Manggala ganti berkernyit. Sepasang matanya membelalak.
"Kau yang rupanya bercanda. Cakra!" desis Pangeran Puja Manggala.
"Bercanda?" ulang Pangeran Cakra Manggala heran.
"Kau jangan berpura-pura. Puja! Lekas serahkan cincin itu padaku!"
"Aneh! Bukankah cincin itu ada padamu. Dan, kau akan memberikannya padaku? Mana cincin itu...?" ujar Pangeran Puja Manggala agak jengkel.
"Kau akan mempermainkan aku rupanya, Puja!" hardik Pangeran Cakra Manggala agak geram.
"Cepat serahkan cincin itu, sebelum habis kesabaranku!"
Puja Manggala terdiam. Rahangnya tampak mengeras. Giginya saling menggetal. Dadanya terasa panas, mendengar hardikan Pangeran Cakra Manggala.
"Bedebah! Kau yang sengaja mempermainkan aku! Sebaiknya, tak usah berpanjang lebar. Jika kau tak ingin menyerahkan cincin itu, terpaksa aku akan bertindak kasar!" gertak Pangeran Puja Manggala.
"Kau terlalu mencari-cari alasan!" dengus Pangeran Cakra Manggala sambil melangkah menghampiri Pangeran Puja Manggala. Kini jarak mereka terpaut setengah tombak saja. Kedua tangannya telah mengepal, sehingga otot-ototnya tampak bertonjolan.
Melihat sikap Pangeran Cakra Manggala, Pangeran Puja Manggala segera bersiap diri. Sepasang matanya menatap tajam bola mata saudara tirinya itu.
"Kau memang lak bisa dikasih hati!" bentak Pangeran Cakra Manggala.
Begitu kata-katanya selesai. Pangeran Cakra Manggala langsung mengibaskan tangannya ke arah kepala Pangeran Puja Manggala.
Pangeran Puja Manggala terkejut, namun buruburu merunduk. Sehingga hantaman tangan Pangeran Cakra Manggala lewat di atas kepalanya. Dan ketika serangan lewat tubuhnya diputar. Sementara kaki kanannya diangkat dan diterjangkan ke perut Pangeran Cakra Manggala.
Wuttt..."
Disertai dengusan keras, Pangeran Cakra Manggala cepat memapak serangan kaki Pangeran Puja Manggala yang menerjang ke arahnya dengan tangan kiri.
Plak!
Terdengar benturan keras ketika tendangan Pangeran Puja Manggala berhasil ditangkis. Bahkan tubuh Pangeran Puja Manggala langsung terbanting ke tanah.
Sementara Pangeran Cakra Manggala terhuyung dua langkah ke belakang. Tangannya terasa ngilu dan kesemutan setelah menangkis tadi.
Tanpa bisa dihalangi lagi, dua saudara seayah ini terlibat perkelahian sengit. Hingga tak disadari, tak jauh dari tempat mereka dua pasang mata tengah mengawasi tanpa berkedip dengan senyum kepuasan.
Karena dua pangeran ini tak banyak mengerti tentang ilmu silat, maka perkelahian di antara keduanya berlangsung jarak dekat. Dan mereka hanya mengandalkan kekuatan otot masing-masing.
Setelah beberapa gebrakan, Pangeran Puja Manggala tampak terdesak. Bibir dan hidungnya telah tampak mengeluarkan darah. Di bawah mata kirinya tampak kebiru-biruan, terkena hantaman tangan Pangeran Cakra Manggala.
Sementara Pangeran Cakra Manggala sendiri tak jauh berbeda. Hanya Saja dia tampak di atas angin.
Pada suatu kesempatan, Pangeran Puja Manggala terhantam dagunya. Tubuhnya terbanting ke samping. Dari mulutnya terdengar pekikan tertahan.
"Baiklah, Cakra! Kita tuntaskan masalah ini.
Dan siapa pun yang masih hidup, berarti dialah kelak yang berhak naik tahta!" desis Pangeran Puja Manggala seraya bangkit dan mencabut keris dari pinggangnya.
Melihat Pangeran Puja Manggala cabut senjata, Pangeran Cakra Manggala segera pula mencabut kerisnya. Dua pasang mata yang mengawasi tak jauh dari mereka, tambah membesar. Bahkan tak berkedip barang sejenak pun.
Tanpa menunggu lama, Pangeran Puja Manggala segera meloncat dan menghantamkan kerisnya ke arah bahu Pangeran Cakra Manggala.
Namun dengan cepat Pangeran Cakra Manggala berkelit dengan miringkan sedikit tubuhnya. Sementara kakinya diangkat tinggi-tinggi secara nyamping memapak tangan Pangeran Puja Manggala.
Plak!
Tubuh Pangeran Puja Manggala terhuyung, begitu tangannya yang terpapak terpental oleh kaki Pangeran Cakra Manggala. Saat itulah tiba-tiba Pangeran Cakra Manggala menusukkan kerisnya ke pinggang Pangeran Puja Manggala../
Crap! "Aaakh...!"
Pangeran Puja Manggala menjerit melengking. Tubuhnya langsung limbung. Namun belum sampai tubuhnya roboh ke tanah, Pangeran Cakra Manggala menusukkan kembali kerisnya ke punggung saudara tirinya itu.
Crap! "Aaa...!"
Pangeran Puja Manggala langsung roboh ke tanah bersimbah darah. Sebentar terdengar erangan tersendat dari mulutnya. Tapi tak lama kemudian erangan itu terhenti, tepat ketika napasnya tuntas.
Pangeran Cakra Manggala beberapa lama mengawasi tubuh Pangeran Puja Manggala, lalu melangkah mendekat. Parasnya sedikit berubah melihat keadaan
Pangeran Puja Manggala. Tangannya gemetar. Namun baru saja akan jongkok menggapai tubuh saudara tirinya itu mendadak...
Werrr...!
Tiba-tiba dari arah belakang menderu angin kencang disertai suara menggemuruh dahsyat. Pangeran Cakra Manggala terkejut dan berpaling. Namun, dia tak sempat lagi menghindarinya. Dan....
Splash !
"Aaakh !"
Tanpa ampun lagi pukulan angin menderu menghantam. Tubuh Pangeran Cakra Manggala kontan terpental hingga dua tombak ke belakang, lalu bergulingan di atas tanah. Dari mulutnya mengalir darah hitam. Sepasang matanya memejam merasakan sakit dan nyeri yang tak terperikan mendera dadanya.
Pangeran Cakra Manggala tadi sempat melihat, kalau orang yang menyerangnya adalah seorang gadis cantik yang entah dari mana datangnya. Tahu-tahu, gadis itu telah berada tak jauh darinya, dan langsung melepaskan serangan. Karena memang pemuda itu tak banyak memiliki kepandaian, apalagi serangan datangnya juga demikian cepat, tak ayal lagi tubuhnya mudah sekali dijadikan sasaran.
Dengan meringis menahan sakit, Pangeran Cakra Manggala coba bangkit. Tapi baru saja bergerak, selarik gelombang sinar merah melesat ke arahnya. Tak mungkin lagi dia menghindar. Selain tubuhnya lemah, serangan itu juga demikian cepat sehingga.... Plash !
"Aaa !"
Selarik sinar merah itu langsung menghantam tubuh Pangeran Cakra Manggala. Terdengar jeritan panjang, begitu tubuhnya terpental. Begitu terkapar di tanah. Pangeran Cakra Manggala sudah tidak lagi bergerak! Seluruh pakaiannya hangus, dan sekujur tubuhnya membiru!
Sejenak gadis yang tak lain Lintang Sari itu memandangi mayat Pangeran Cakra Manggala. Lalu tatapannya beralih pada sebuah celah balu yang tak jauh dari tempat ini.
"Paman! Urusan disini telah selesai! Kita tinggalkan tempat ini!" ujar Lintang Sari.
Dari celah balu melesat sesosok tubuh, langsung berdiri di hadapan Lintang Sari. Dia adalah seorang laki-laki setengah baya. Berpakaian putih-putih. Rambutnya kelimis. Kumis dan jenggotnya tampak terawat rapi.
"Paman Bulu Kumba! Paman segeralah kembali, dan tunggu kabar dariku! Perjalanan kita sudah sampai pada pertengahan!" ujar Lintang Sari lagi pada laki-laki di depannya yang ternyata Adipati Bulu Kumba.
"Baiklah, Gusti Ayu...," ucap Adipati Bulu Kumba seraya menjura hormat, lalu berkelebat meninggalkan tempat itu.
Lintang Sari kembali mengawasi mayat Pangeran Puja Manggala dan Pangeran Cakra Manggala. Bibirnya tersenyum puas. Lantas perlahan dilepaskannya cincin berwarna hijau yang dikenakannya. Dan perlahan-lahan pula, cincin itu diletakkan di samping tubuh Pangeran Puja Manggala. Dan dia kembali tersenyum, lalu berkelebat pergi. Pendekar Mala Keranjang 108 memacu cepat kudanya menuju arah Gua Tetes. Karena sudah pernah ke sana, lak sulit baginya untuk tiba di sana. Namun di tengah perjalanan Aji mendapati banyak orang lalu-lalang. Dan mereka kebanyakan berpakaian kerajaan Dengan sedikit curiga, Aji lebih cepat memacu larinya
Ketika Pendekar Mata Keranjang 108 sampai di lembah di mana terdapat Gua Tetes, kecurigaannya bertambah besar. Di sana ternyata sudah banyak kerabat istana dan juga para pembesar istana. Termasuk, Sri Baginda dan Permaisuri.
Terlambat.... Sial! Ini gara-gara aku terlalu lelah, sehingga tertidur pulas. Dan aku jadi kesiangan!" gerutu Aji seraya mendekati salah seorang prajurit.
"Apa yang terjadi...!?" tanya Aji, kepada salah seorang prajurit yang ditemaninya.
"Pangeran Puja Manggala dan Pangeran Cakra Manggala "
Prajurit itu tak meneruskan kata-katanya.
"Kenapa dengan pangeran itu ?"
"Mereka berdua mangkat bersama-sama...!" jawab prajurit itu lirih.
Lemaslah tubuh Aji mendengar keterangan prajurit itu. Matanya membeliak, seakan tak percaya. Lantas kakinya melangkah, menyeruak kerumunan kerabat istana. Matanya melirik ke sana kemari, seakanakan ada yang dicari.
"Seandainya aku bangun lebih pagi mungkin hal ini tak akan terjadi," gumam Pendekar Mata Keranjang 108.
"Hm, jadi jelas. Agaknya memang gadis itu yang telah mengadu domba antara dua putra mahkota Kerajaan Malowopati. Sayang, aku terlambat mencegahnya." Aji kembali menyapukan pandangannya pada orang-orang yang masih berkerumun.
Sementara itu jenazah dua pangeran putra Sri Baginda Kerta Bumi telah dimasukkan dalam peti, dan diangkut sebuah kereta istana untuk dibawa menuju istana.
Setelah kereta pembawa jenazah meninggalkan Gua Tetes, satu persatu kerabat dan prajurit serta pembesar istana juga meninggalkan tempat ini. Sebentar saja, tempat ini telah sunyi kembali. Sementara Aji masih terpaku, belum bisa berbual apa-apa. Dan baru saja kakinya hendak melangkah.
"Kau menunggu seseorang...?"
Tiba-tiba terdengar suara seseorang di belakang Pendekar Mata Keranjang. Begitu menoleh. Aji tersentak. Sepasang matanya membesar, melihat seorang gadis cantik kini telah berdiri. Rambutnya panjang tergerai, berpakaian kerabat istana.
"Nona...! Bukankah kau "
"Namaku Kumala Dewi!" potong gadis yang ternyata Lintang Sari.
"Kau menunggu seseorang? Atau ?"
"Ah, tidak. Aku hanya kebetulan lewat. ," jawab Aji disertai senyum.
Sebenarnya, Pendekar Mata Keranjang 108 yakin betul kalau yang dilihatnya adalah Lintang Sari. Bukan Kumala Dewi. Namun karena gadis ini memakai pakaian kebesaran kerajaan. Aji tak berani gegabah menduga. Apalagi berusaha menangkapnya, karena gadis itulah yang membunuh Pendekar Lembah Seribu Bunga. Untuk sementara ini Pendekar Mata Keranjang 108 memang lak ingin bertindak ceroboh.
"Kalau boleh tahu, kau, eh...! Kumala Dewi ini sebenarnya siapa?" Gadis di depannya yang memperkenalkan diri sebagai Kumala Dewi tak segera menjawab. Malah sepasang matanya menyorot tajam, memandang ke arah Aji.
"Aku adalah adik dari Pangeran Puja Manggala! Kau sendiri siapa?!" Kumala Dewi balik bertanya.
Aji pun tak segera menjawab. Dia bertingkah seperti Kumala Dewi waktu ditanya Aji.
Dalam hati Kumala Dewi yang tak lain adalah Lintang Sari berkata kalau pemuda itu memang aneh! Dan memang cocok jika disebut Pendekar Mata Keranjang.
"Tapi dia memang menarik. Seandainya..., ah! Tapi itu tak mungkin! Eh, kenapa aku berpikir sejauh itu? Jangan-jangan aku "
Kumala Dewi cepat membuang pikiran itu jauhjauh.
"Lantas kau hendak ke mana...?" tanya Kumala Dewi menyelidik.
"Ya, namanya saja sinting. Jadi aku tak punya tujuan, tak punya juntrung. Aku hanya berjalan ke mana kakiku melangkah.-." jawab Aji, seenaknya.
"Hm.... Jadi benar-benar sinting manusia ini!" gumam Kumala Dewi, lantas bergegas melangkah melewati Aji.
Gadis itu melangkah menuju arah selatan. Jika dia terus menuju arah selatan, maka akan sampai di jalan umum yang menuju kotaraja.
"Tunggu!" tahan Aji.
Kumala Dewi menghentikan langkahnya. Tubuhnya berbalik menghadap Aji.
Sejenak Pendekar Mata Keranjang 108 mengamati wajah gadis di depannya lekat-lekat.
"Ada apa...?" tanya Kumala Dewi.
"Kau mengingatkan ku pada seseorang…'' gumam Aji perlahan., ingin berusaha mengungkapkan dugaannya.
"Banyak orang yang berbuat begitu sebelum kau...! Dan sekali menebak, pasti benar.... Kau akan mengatakan kalau aku Lintang Sari bukan...?" tebak Kumala Dewi tersenyum. Aji terperanjat.
'Tadi sudah kukatakan. Banyak orang sebelum kau yang berbuat begitu. Mereka mengatakan, wajahku mirip Lintang Sari, si buronan kerajaan itu!"
Aji hanya manggut-manggut.
"Bisa saja itu terjadi, karena kami sebenarnya adalah saudara. Tidak ada lagi yang perlu kau tanyakan...?" tanya Kumala Dewi seraya tersenyum.
"Jangkrik! Gadis ini memang enak dipandang. Apalagi bila tersenyum. Seandainya..., dia bukan kerabat istana, mau rasanya aku...! Edan "
Aji jadi merutuk sendiri dalam hati.
"Kalau memang kau menuju arah istana, bagaimana kalau kita jalan sama-sama. ?" kata Aji, menawarkan.
Kumala Dewi tak menjawab. Dia malah tersenyum, membuat Aji semakin berani. Pendekar Mata Keranjang 108 lantas melangkah mendekat.
"Orang sinting sekali-kali jalan dengan kerabat istana" kan asyik!" kata Aji seenaknya.
"Manusia satu ini konyol, tapi menyenangkan. Tapi..., aku tak boleh lengah. Tugasku belum selesai...," kata batin Kumala Dewi yang memang Lintang Sari seraya mengangguk.

* * *



--↨֍¦ 11 ¦֍↨--

Hingga malam menjelang, tamu-tamu yang ingin melayat atas mangkatnya Pangeran Puja Manggala dan Pangeran Cakra Manggala masih saja terus berdatangan. Sedangkan Sri Baginda Kerta Bumi sendiri tengah berusaha menenteramkan kedua selirnya, yakni ibu dari masing-masing pangeran itu di ruang khusus.
Sementara para kerabat istana melakukan penyambutan pada beberapa tamu yang datang, lak jauh dari situ para pembesar istana dan tokoh-tokoh silat kerajaan mengadakan pertemuan untuk mengetahui duduk persoalan sebenarnya tentang kejadian menyedihkan di Istana Kerajaan Malowopati ini.
"Melihat cincin yang berada di dekat mayat, dugaan kalau Pangeran Puja Manggala dan Pangeran Cakra Manggala saling bertempur untuk memperebutkan cincin adalah dugaan yang paling mungkin. Tapi yang menjadi pertanyaan, dari mana datangnya cincin ini...?" urai Mahapatih Gagak Rimang seraya menunjukkan cincin berwarna hijau pada para tokoh yang hadir dalam pertemuan ini.
"Apa cincin itu memang cincin yang selama ini kita cari, Mahapatih?" tanya seorang dari tokoh silat kerajaan.
"Cincin ini, bentuk dan warnanya memang sama dengan Cincin Aswagitha. Namun jika dilihat lebih teliti, ada perbedaannya. Dan yang lebih mencolok, cincin ini tak mengandung daya sedot. Jadi, cincin ini palsu!" jelas Mahapatih Gagak Rimang.
"Berarti ada pihak ketiga yang berada di balik semua ini!" simpul salah seorang.
"Benar! Berarti ada pihak ketiga yang berkepala dua! Selain memihak pada Pangeran Puja Manggala, juga ikut mempengaruhi Pangeran Cakra Manggala. Lantas, siapa gerangan pihak ketiga ini...? Yang pasti, orang itu pasti dekat dengan mereka berdua..!"
"Jika demikian, pihak ketiga itu pasti ada di lingkungan kerabat istana kerajaan!" ujar seseorang, yang sepertinya dari kalangan pembesar istana
"Untuk sekarang ini, kita belum bisa memastikan. Dan hal itu, kalau bisa jangan membuat para kalangan istana saling mencurigai. Karena jika hal ini terjadi, musuh dalam selimut ini akan lebih leluasa bergerak! Jadi untuk sementara waktu, penyelidikan diutamakan pada orang-orang yang sering berhubungan langsung dengan dua pangeran itu...!" kata Mahapatih Gagak Rimang berwibawa.
Namun baru saja kata-kata patih ini tuntas, mendadak....
"Aaa...!"
"Aaak...!"
Dari luar istana tiba-tiba terdengar pekik kematian yang berturut-turut, ditingkahi suara-suara pertarungan. Bahkan itu pun masih ditambah oleh suara derap rombongan berkuda.
Belum juga para pembesar dan para tokoh silat kerajaan bergerak, mendadak seorang prajurit tergopoh-gopoh masuk pendopo.
"Mahapatih Gagak Rimang! Pasukan bersenjata yang jumlahnya belum bisa ditentukan telah bergerak memasuki kotaraja! Benteng pertahanan di luar kotaraja telah mereka kuasai...! Kami minta petunjuk lebih lanjut...!" lapor prajurit itu.
"Tutup semua jalan menuju istana...! Kerahkan semua prajurit yang berada di Istana untuk membantu di depan pintu gerbang...!"
"Segala perintah akan kami laksanakan!" Setelah menjura, prajurit tadi berbalik dan bergegas berlalu.
"Semua yang hadir di istana, kami harap memasuki ruangan darurat yang telah dipersiapkan! Semua harap tidak cemas...!" ujar Mahapatih Gagak Rimang, menenangkan para pelayat.
Namun belum sampai para pelayat bergerak memasuki ruangan yang telah ditentukan....
"Biar angin bangun dan mengintai menggalang iringan awan Sibak timbunan dunia dengan darah! Kaulah panjang tanganku! Kaulah lidah merahku! Genggamlah semuanya, agar mereka tahu Darah adalah lambang kematian.!" syair. Tahu-tahu saja terdengar sebuah lantunan
"Kerta Bumi! Malam ini hari kekuasaanmu telah usai! Kau harus turun tahta! Akulah pewaris sah atas tahtamu. Kedatanganku sekarang adalah untuk mengambil hakku! Dan bagi para patih dan hulubalang kerajaan. perintahkan pada pasukan kalian untuk menyerah, agar tidak terjadi pertumpahan darah! Jika kalian tak menyambut tawaran kami, terpaksa istana ini akan dihancurkan!"
Belum juga gema lantunan syair itu lenyap, sudah terdengar kembali suara bernada ancaman. Begitu menoleh, orang-orang yang berada dalam pendopo istana terkejut. Tahu-tahu saja seorang perempuan cantik berambut panjang tergerai telah berdiri di atas tembok yang mengelilingi istana.
"Lintang Sari!" seru Mahapatih Gagak Rimang, tersentak.
"Benar! Aku Lintang Sari, pewaris sah Kerajaan Malowopati datang untuk mengambil hakku!
Mahapatih Gagak Rimang, perintahkan pada bawahanmu untuk menyerah! Istana ini telah terkepung!" ujar gadis muda yang memang Lintang Sari seraya berkacak pinggang.
"Kau lak berhak memerintahku, Lintang Sari! Kau adalah pemberontak!" dengus patih ini.
"Ha... ha... ha...!"
Lintang Sari tertawa panjang berderai disertai tenaga dalam tinggi. Hingga para pelayat yang lak mempunyai ilmu tenaga dalam langsung menjerit, karena telinga mereka akan seperti tertusuk duri.
"Dengar, Gagak Rimang! Akulah pewaris yang berhak atas tahta kerajaan! Lambang kerajaan ada di tanganku!" teriak Lintang Sari lagi.
Sementara itu, di luar pintu istana telah terjadi pertempuran. Karena pasukan istana dalam keadaan berkabung dan tak terkendali, maka sedikit demi sedikit mulai terdesak.
"Lumpuhkan dulu gembongnya!" perintah Mahapatih Gagak Rimang.
Serentak, empat orang tokoh silat kerajaan barisan ketiga melesat ke arah Lintang Sari. Namun baru saja tubuh mereka melenting ke udara, gadis itu telah melayang turun.
Prak! Prak! "Aaa...!"
Dua orang yang tak sigap langsung terkapar terkena kibasan Lintang Sari. Sementara dua orang lainnya, hendak berbalik. Namun baru saja tubuh dua orang itu bergerak, Lintang Sari telah menggebraknya dengan pukulan jarak jauh.
Wesss...!
"Heh?!"
Karena tak menyangka, dua orang ini terkejut dan cepat menghindar dengan membuat lompatan di udara. Tapi, Lintang Sari tak memberi kesempatan. Begitu tubuh dua orang ini akan mendarat, cepat dikirimkannya pukulan jarak jauh kembali.
Wesss...!
Splash...! "Aaa...!"
Salah seorang yang tak sempat menyelamatkan diri, langsung terpental dengan dada hangus. Begitu mencium tanah, tubuhnya tak bergerak lagi. Sementara orang satunya yang selamat, langsung menggebrak. Langsung dilepaskannya satu tendangan ke arah dada Lintang Sari. Namun dengan miringkan tubuh, Lintang Sari berhasil menghindarinya. Bahkan secepat itu pula tangannya terayun dari arah bawah. Dan....
Desss! "Aaakh !"
Tubuh orang ini kontan melambung ke udara. Dan sebelum sempat menghantam tanah, Lintang Sari telah melenting ke atas. Di udara sambil memutar tubuhnya, sepasang kakinya menghujam ke kepala orang yang sudah tak berdaya ini. Sehingga....
Prak! "Aaa !"
Dengan jeritan menyayat orang itu jatuh di atas tanah dengan kepala pecah!
"Biadab!" seru tertahan Mahapatih Gagak Rimang.
"Mundur semua! Biar aku yang menghadapi pemberontak ini!" teriak Mahapatih Gagak Rimang saat melihat tiga orang dari barisan utama tokoh silat kerajaan akan maju melangkah.
"Bagus! Itulah yang kutunggu, Mahapatih! Biar urusan ini selesai malam ini juga!" desis Lintang Sari, tersenyum mengejek.
Sementara itu para pelayat dan para pembesar yang tidak punya ilmu silat hanya cepat-cepat mundur menjauhi arena pertarungan.
"Lintang Sari, dengar baik-baik! Saat ini aku sebagai wakil kerajaan masih menawarkan padamu dua pilihan. Menyerah secara baik-baik, atau harus tewas dengan mimpi besarmu itu!" gertak patih ini.
Lintang Sari tersenyum mengejek.
"Gagak Rimang! Seharusnya aku yang menawarkan dua pilihan padamu! Berlutut dan mengangkat sumpah padaku, atau mampus bersama pangeranmu itu!" balas Lintang Sari, tak kalah gertak.
"Hm.... Jadi, kaulah biang keresahan selama ini...!" desis patih ini.
Lintang Sari tertawa tergelak-gelak.
"Manusia-manusia bodoh memang pantas membayar mahal kebodohannya! Gagak Rimang! Sebelum malam bertambah larut, berlututlah!"
Mahapatih Gagak Rimang tersentak. Wajahnya langsung merah padam.
"Kau terlalu dengan mimpi besarmu, Bocah!" Mendengar ucapan Mahapatih Gagak Rimang,
Lintang Sari segera menghentakkan tangannya ke depan.
Wesss...!
Gelombang sinar merah segera melesat ke arah Mahapatih Gagak Rimang. Namun secepat itu patih ini segera menghindar dengan melompat satu tombak ke samping sambil cepat memutar tubuhnya. Begitu mendarat, tubuhnya melesat cepat dengan tangan menyambar ke arah kepala Lintang Sari.
Lintang Sari sedikit terkejut. Namun dia segera menekan rasa terkejutnya. Lalu secepat kilat kepalanya menunduk. Namun tiba-tiba saja, Mahapatih Gagak Rimang telah menyapukan kakinya ke arah perut, tanpa dapat dicegah lagi. Sehingga....
Desss!
Tubuh Lintang Sari kontan terpelanting, bergulingan di atas tanah. Secepat kilat dia bangkit, seraya mengatupkan tangannya sejajar dada.
"Heaaa !"
Disertai teriakan melengking, gadis ini mendorong tangannya ke depan. Wesss. !
Gelombang angin merah segera kembali melabrak. Pada saat yang sama. tubuh Lintang Sari meloncat. Lintang Sari menduga, Mahapatih Gagak Rimang pasti akan melompat menghindar ke samping. Dan ternyata dugaannya tidak meleset. Begitu gelombang sinar merah menyambar, patih itu menghindari ke samping. Dan pada saat itulah kakinya menghujam dada laki-laki ini.
Desss! "Aaakh...!"
Kali ini tubuh Mahapatih Gagak Rimang yang terpelanting, mencium tanah. Sementara Lintang Sari seperti tak memberi kesempatan sedikit pun. Begitu Mahapatih Gagak Rimang mau bangkit, kakinya langsung kembali menghantam.
Desss! "Aaakh...!" Untuk kedua kalinya tubuh Mahapatih Gagak Rimang harus bergulingan di atas tanah. Namun kali ini, darah segar telah muncrat dari mulutnya dan membasahi seluruh pakaian.
Sementara orang yang ada di dalam pendopo istana hanya menjerit tak tahan. Namun tak satu pun yang berani bergerak. Mahapatih Gagak Rimang mencoba merambat bangkit. Namun tiba-tiba tubuhnya goyah dan ambruk lagi di atas tanah.
Lintang Sari tersenyum mengejek. Sementara dari luar gedung istana terdengar pekik yang mengumandangkan nama Lintang Sari.
Lintang Sari rupanya ingin segera menghabisi Mahapatih Gagak Rimang. Buktinya dia kembali mengatupkan kedua tangannya sejajar dada. Lalu pelanpelan didorong ke depan, ke arah Mahapatih Gagak Rimang yang terduduk tak berkutik.
Wesss...!
Kembali gelombang sinar merah melesat ke arah laki-laki ini. Semua mata yang ada di pendopo telah memejam tak tega menyaksikan kejadian ini.
Satu tombak sinar merah melabrak tubuh Mahapatih Gagak Rimang, mendadak....
Werrr. !
Blarrr. !
Pendopo istana bagai terguncang gempa.
"Ahhh !"
Terdengar kembali keluh ketakutan dari orangorang di pendopo. Semua mata kembali membuka ingin melihat tubuh Mahapatih Gagak Rimang yang diduga telah binasa. Namun, semua mata jadi terbelalak saat melihat tubuh Mahapatih Gagak Rimang tetap seperti semula. Hanya saja dia agak bergeser ke belakang. leh.
"Jahanam!" umpat Lintang Sari seraya menoDan semua mata ikut memandang ke arah pandangan gadis itu.
Lintang Sari tercengang dan hampir tak percaya. Demikian juga orang-orang yang ada di pendopo.

* * *



Tahu-tahu seorang pemuda berjubah ketat berwarna hijau dan berambut gondrong dikuncir ekor kuda tampak berdiri di samping Mahapatih Gagak Rimang sambil senyum-senyum.
"Aji! Hm... Jangan-jangan kau yang sering dijuluki Pendekar Mata Keranjang!" duga Lintang Sari tertahan.
"Begitulah orang menjuluki aku," sahut pemuda yang telah menyelamatkan Mahapatih Gagak Rimang dengan pukulan jarak jauhnya. Dia tak lain memang Aji alias Pendekar Mata Keranjang 108.
"Pendekar Mata Keranjang...?" orang-orang yang ada di pendopo ikut-ikutan terkejut. Mereka saling menatap.
"Pendekar Mata Keranjang! Jangan campuri masalah ini! Ini masalah kerabat kerajaan...!" bentak Lintang Sari dengan mata menyengat.
"Kumala Dewi! Aku tahu, kau sebenarnya, Lintang Sari. Dan aku tak ikut campur masalah kerajaan, tapi hanya menginginkan kedamaian. Jika masalah ini terus berlanjut, aku kira orang-orang di sini tak akan merasa damai. Mereka akan selalu dihantui kecemasan dan ketakutan! Maka dari itu, sebelum segalanya telanjur, urungkan niatmu!" ujar Aji, disertai senyum.
"Ha... ha... ha...!" Lintang Sari tertawa.
"Pendekar Mata Keranjang! Kau ternyata juga seorang pemimpi yang ingin diakui orang-orang ini sebagai pahlawan! Kuperingatkan, tinggalkan tempat ini kalau ingin selamat!" ancam Lintang Sari tak kalah gertak.
"Sayang, Lintang Sari. Aku lebih suka di sini, untuk mencegah tindakanmu!"
"Baik kalau itu keinginanmu...!"
Selesai berkata, Lintang Sari cepat menakupkan tangan dan mendorongkannya ke depan.
Wesss...!
Gelombang sinar merah saat itu juga menggebrak ke arah Aji.
Namun Pendekar Mata Keranjang 108 tidak menghindar, tapi malah memapak dengan mengerahkan pukulan 'Gelombang Prahara'. Sehingga... Glarrr...!
Terdengar gelegar hebat saat dua pukulan sakti bertenaga dalam tinggi itu bertemu.
Lintang Sari tampak terpental lima langkah ke belakang. Sedangkan Aji terjajar tiga langkah.
Sementara pertarungan antara Lintang Sari dan Aji berlangsung, dari arah luar tampak pasukan istana tambah terdesak. Lintang Sari sadar kalau yang dihadapi adalah tokoh berkepandaian tinggi. Dari keterangan yang baru-baru ini didapatnya, dia baru tahu kalau Pendekar Mata Keranjang 108 adalah tokoh yang selama ini telah menggegerkan dunia persilatan. Sejak pertemuannya beberapa kali dengan pemuda ini, hatinya juga sudah waswas. Jangan-jangan, pemuda itu adalah batu sandungan yang akan menjegalnya dalam merebut tahta Kerajaan Malowopati. Dan ternyata dugaannya tak meleset!
Menyadari hal ini, Lintang Sari bertekad untuk membunuh Pendekar Mata Keranjang 108. Kini matanya berkilat-kilat. Kemudian dia memutar sesuatu di jarinya.
Semua mata yang ada di pendopo membelalak tak percaya.
"Cincin Aswagitha!" seru salah seorang. Tanpa bicara lagi, Lintang Sari segera mendorongkan telapak tangan yang memakai Cincin Aswagitha. Sementara, tangan satunya menakup di dada.
Wesss,..!
Selarik sinar merah dan hijau segera bergerak ke arah Aji. Kali ini, Pendekar Mata Keranjang 108 tak berani memapak. Dia ingat betul akan nasihat Pendekar Lembah Seribu Bunga.
"Heaaa...!"
Disertai bentakan, Pendekar Mata Keranjang 108 melenting ke atas, menghindari sinar-sinar yang datang.
Melihat serangannya tak lagi dipapak, Lintang Sari tambah merangsek maju. Sementara orang-orang di pendopo terheran-heran melihat tingkah Aji yang hanya menghindar, tanpa berani menyerang.
Hingga beberapa lama, Pendekar Mata Keranjang 108 masih bergerak menghindar, walau sesekali tubuhnya terserempet gelombang sinar merah dan hijau, membuat jubah hijaunya tampak koyak dan hangus di sana sini.
"Bagaimana aku harus melumpuhkannya...?" kata batin Aji sambil memutar otak. Dia takut tenaganya akan tersedot Cincin Aswagitha. Namun tiba-tiba Pendekar Mata Keranjang 108 sedikit tersenyum. Agaknya baru menyadari, bagaimana caranya melumpuhkan senjata Cincin Aswagitha. Maka waktu Lintang Sari mengirimkan pukulan dengan mendorongkan telapak tangannya, cepat diambilnya kipas dari balik baju dan langsung membentangkannya di depan dada.
Melihat hal ini, Lintang Sari tak ambil peduli Rupanya gadis itu ingin cepat menyudahi pertarungan.
"Shiaaa...!"
Dengan teriakan keras, Lintang Sari mendorongkan kedua tangannya ke depan. Wesss...!
Segelombang angin dan sinar merah langsung melesat dari telapak gadis ini. Namun tanpa mengeluarkan tenaga sedikit pun. Aji menyapukan kipasnya ke depan.
Wuttt! Splash...!
Gelombang sinar dan angin yang menghantam ke arah Pendekar Mata Keranjang 108, mendadak membalik. Bahkan kini bergerak ke arah Lintang Sari.
Gadis itu jadi terkejut. Mau tak mau, ia harus menghindar dari pukulannya sendiri.
"Aneh! Kenapa tenaganya tidak tersedot cincin ini?" kata Lintang Sari, dalam hati.
"Hm.... Tanpa mengeluarkan tenaga, berarti cincin itu tak akan bisa berbuat banyak...! He... he.. he...!" gumam Aji dalam hati sambil melangkah mendekati Lintang Sari yang telah siap dengan serangan kembali.
Satu tombak di depan. Lintang Sari segera menyentakkan tangannya.
Wesss...!
Kembali gelombang angin dan sinar merah bergerak, mengancam Pendekar Mata Keranjang 108. Wuttt...!
Tanpa mengeluarkan tenaga pula Pendekar Mata Keranjang 108 mengebutkan kipasnya, membuat sinar dan angin itu kembali berbalik. Karena kali ini jaraknya terlalu dekat, maka Lintang Sari lak bisa lagi menghindar dari serangannya sendiri yang membalik. Hingga....
Splash! "Aaakh !"
Tubuh Lintang Sari kontan terpental ke belakang sejauh tujuh tombak disertai jeritan menyayat. Begitu menyentuh tanah, darah kehitaman langsung meluncur dari mulutnya. Pakaiannya tampak hangus seperti kain terbakar. Sekujur tubuhnya membiru. Dengan langkah perlahan Aji mendatangi. Namun, tiba-tiba saja.....
"Biar angin-angin bangun dan mengintai menggalang iringan awan Sibak timbunan dunia dengan darah Kaulah panjang tanganku Kaulah lidah merahku, Genggamlah semuanya, agar mereka tahu Darah adalah lambang kematian!"
Tiba-tiba saja Lintang Sari melantunkan syair. Pelan saja suaranya. Lalu dengan sisa-sisa tenaganya, tubuhnya menelentang di atas tanah. Dan seketika, tangannya mendorong ke depan, ke arah Aji yang sedang melangkah mendatangi.
Wesss. !
Seketika gelombang sinar meluncur datang lebih dahsyat. Pendekar Mata Keranjang l08 terkejut. Namun secepat itu pula memalangkan kipasnya di depan dada.
Gelombang sinar itu bagai menghantam kipas Aji, dan mental balik ke arah Lintang Sari yang telentang tak berdaya. Begitu cepat serangan balik itu meluncur, membuat Lintang Sari tak dapat lagi menghindar. Dan....
Splash "
"Aaakh-..!"
Tubuh Lintang Sari tersapu serangannya sendiri. Disertai jeritan menyayat, tubuhnya kontan membumbung ke udara dengan keadaan mengenaskan. Kulitnya yang semula putih, berubah menjadi agak kehitaman. Pakaiannya telah hangus. Dan begitu jatuh kembali ke tanah, di sela bibirnya tampak menggenang darah berwarna hitam.
Melihat hal ini Mahapatih Gagak Rimang segera melangkah ke arah Aji.
"Terima kasih. Pendekar Mala Keranjang! Kau telah menyelamatkan kerajaan. Sulit dibayangkan, apa yang akan terjadi jika kau lak segera menolong," ucap Mahapatih Gagak Rimang.
"Masalah itu kita pikirkan nanti saja. Mahapatih. Sekarang beritahu pada para pemberontak itu kalau pimpinan mereka telah tewas. Dengan demikian, mereka akan ciut nyalinya. Sehingga pertumpahan darah lebih lanjut, dapat dicegah ," ujar Aji kalem.
Mahapatih Gagak Rimang menganggukkan kepala. Sejenak kakinya melangkah ke arah Lintang Sari. Lalu pelan-pelan diambilnya cincin berwarna hijau yang dikenakan gadis itu.
Dengan cincin di tangan, Mahapatih Gagak Rimang berkelebat cepat keluar istana, tempat pertempuran sedang berlangsung. Lalu seketika dia melompat ke atas tembok istana.
"Hentikan pertempuran! Hai, para pemberontak! Lihat! Cincin Aswagitha telah berada di tanganku! Pimpinan kalian. Lintang Sari telah tewas! Kalian menyerahlah, jika masih ingin hidup...," teriak Mahapatih Gagak Rimang.
Serentak para prajurit pemberontak yang sedang bertempur menghentikan pertarungan dan mendongak. Begitu melihat cincin berwarna hijau lambang kerajaan, mereka membuang senjata dan menyerah.
Seketika, para prajurit kerajaan meringkus prajurit yang menyerah. Lalu, mereka digiring menuju halaman istana.
Pada saat itulah dari dalam istana keluar seorang laki-laki mengenakan pakaian kebesaran. Dan para yang hadir di pendopo segera menjura hormat.
"Sri Baginda Kerta Bumi "
Sri Baginda Kerta Bumi mengangguk perlahan. Wajahnya masih tampak murung dan kedua matanya tampak sembab. Sementara Mahapatih Gagak Rimang segera turun dari alas tembok dan bergegas ke arah Sri Baginda Kerta Bumi.
"Sri Baginda.... Para pemberontak telah menyerah. Lintang Sari sebagai pimpinannya juga telah dapat di lumpuhkan...," jelas Mahapatih Gagak Rimang seraya menjura hormat, begitu tiba di depan laki-laki berwibawa ini.
Sri Baginda Kerta Bumi tersenyum, walau terlihat seperti dipaksakan.
"Sri Baginda, inilah Cincin Aswagitha. Dan harap Sri Baginda sudi mengenakannya!" kala patih itu lagi sambil memberikan Cincin Aswagitha.
Dengan tangan gemetar Sri Baginda menerima cincin itu. Sebentar matanya mengawasi cincin berwarna hijau itu. Dan matanya pun kembali berkacakaca. Lantas dengan tangan gemetar, diangkatnya cincin itu ke atas kepala. Lalu perlahan-lahan dikenakannya.
Seluruh tamu segera menjura. Suasana mendadak lengang dan hikmat.
"Sri Baginda, kalau tadi tidak ada seorang pendekar yang melumpuhkan Lintang Sari, mungkin ceritanya akan lain...." lapor Mahapatih Gagak Rimang lagi.
"Mana pendekar itu, Paman Patih?" tanya Sri Baginda, pelan.
Mahapatih Gagak Rimang berdiri dan memutar pandangan. Namun orang yang dicari tak ditemukan.
"Pendekar itu telah pergi, Mahapatih...," kata salah seorang yang berada di pendopo.
Mahapatih Gagak Rimang menggeleng-geleng, lalu kembali menjura pada Sri Baginda.
"Dia telah meninggalkan tempat ini, Sri Baginda...," jelas patih ini.
Sri Baginda mengangguk perlahan.
"Itulah watak seorang pendekar sejati. Berjuang tanpa pamrih. Hm..., siapa nama pendekar itu. Paman...?" tanya Sri Baginda, lirih.
"Aji, Sri Baginda. Tapi dia terkenal sebagai Pendekar Mata Keranjang "
"Pendekar Mata Keranjang.... Hm Pendekar Mata Keranjang....," gumam Sri Baginda berulangulang.
Sri Baginda Kerta Bumi lantas menebar pandangan ke depan. Keningnya tampak berkerut.
"Dari mana Lintang Sari mendapat prajurit sebanyak itu, Patih?" tanya laki-laki tua ini.
"Menurut telik sandi, prajurit-prajurit itu berasal dari Kadipaten Bumi Rejo. Seperti Sri Baginda ketahui, Adipati Bulu Kumba memang gemar mengumpulkan banyak prajurit. Hamba semula heran. Baru setelah kejadian ini, hamba sadar kalau semua itu justru untuk membantu pemberontakan Lintang Sari," papar Mahapatih Gagak Rimang.
"Hm.... Baru aku sadar, ternyata adipati itu tidak sepenuhnya berpihak padaku. Ya, dia memang masih ada hubungan saudara dengan Lintang Sari. Kalau tak salah, hubungan antara paman dan keponakan, walaupun dari lain keturunan," gumam penguasa Kerajaan Malowopati.
Suasana jadi hening ketika Sri Baginda Kerta Bumi didatangi para kerabat kerajaan untuk mengucapkan duka cita alas kejadian yang menimpa Kerajaan Malowopati.

SELESAI



INDEX AJI SAPUTRA
Malaikat Berdarah Biru --oo0oo Ratu Petaka Hijau

Berita Top News - ANTARA News

Suara.com - Informasi Berita Terkini dan Terbaru Hari Ini

Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.

Followers