Life is journey not a destinantion ...

Topan Di Gurun Tengger

INDEX WIRO SABLENG
155.Sang Pemikat --oo0oo-- 157.Nyawa Titipan

WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito


Di tengah ruangan Pendekar 212 berdiri tanpa pakaian, membelakangi Purnama. Keberadaan sang pendekar seperti ini membuat Purnama tercekat hentikan langkah. Tiba­tiba Wiro membalikkan tubuh. Purnama terperangah. Dua bola mata membesar. Lutut terasa goyah dan dada bergoncang keras. Aliran darah dalam tubuh mengalir deras. Sepasang mata tak berkedip memandangi sosok telanjang sang pendekar. Mulai dari kepala sampai ke ujung kaki. Saat itulah gadis ini sempat melihat ada satu tanda putih dibagian bawah pusar Wiro.


SATU

Dalam episode sebelumnya (Sang Pemikat) diceritakan setelah mengalami kesembuhan dari penyakit kelainan darah, Pendekar 212 Wiro Sableng, secara diam­diam meninggalkan rumah panggung tempat dia dirawat. Namun kepergiannya diketahui dan diikuti Purnama. Lenyapnya kedua orang itu kemudian membuat semua orang yang ada dirumah panggung menjadi heboh. Berbagai dugaan dan prasangka muncul. Walau bergurau Naga Kuning bocah sakti bermulut jahil sempat mengatakan jangan­jangan Purnama membawa Wiro untuk diuji kejantanannya.
Setelah memeriksa lewat cermin sakti Ratu Duyung membagi orang­orang yang ada ditempat itu menjadi dua rombongan. Dia bersama Naga Kuning dan Gondoruwo Patah Hati mencari dan mengejar Pendekar 212. Sesuai ucapan Wiro dan petunjuk lewat cermin pendekar itu memang tengah menuju ke Gunung Gede tempat kediaman gurunya, Eyang Sinto Gendeng. Agaknya dia telah berbulat tekad hendak meninggalkan rimba persilatan dan menjadi seorang pertapa.
Setan Ngompol dan Ki Tambakpati diminta mencari Purnama, gadis dari Latanahsilam, negeri 1200 tahun silam. Di dalam cermin sakti tidak terlihat petunjuk keberadaan Purnama. Kemungkinan kesaktian yang dimilikinya bisa menutup diri dari daya tangkap cermin milik ratu Duyung.
Setan ngompol dan Ki Tambakpati berhasil menemui Purnama. Gadis ini berada dalam keadaan terpendam di tanah akibat ilmu kesaktian Menyusup Bumi Menghancur Bala yang dikeluarkannya ketika menghadapi serangan mahluk jahat tanpa wajah berhasil dikunci lawan. Setelah diselamatkan Purnama mengajak kedua kakek mengejar Wiro ke Gunung Gede. Mencegah pendekar itu melaksanakan niatnya hendak menjadi pertapa. Namun Ki Tambakpati enggan ke Gunung Gede karena ingin membangun gubuknya yang hancur dan menyiapkan peralatan pengobatan yang dulu dimusnahkan oleh orang­orang Kerajaan. Setan Ngompol sendiri lebih mementingkan mencari Liris Biru yang tengah mengejar Cakra Mentari ke Kuto Gede. Dia yakin gadis itu dalam bahaya besar. Walau Ratu Duyung merasa agak kecewa ketiga orang itu akhirnya berpisah.
Keesokan harinya saat matahari terbit ketika Purnama tengah mandi di sebuah kali kecil mendadak muncul seorang berjubah dan bersorban hitam, memiliki mata kanan yang hanya merupakan rongga besar mengerikan. Orang berwajah putih, memiliki kumis dan janggut serta cambang bawuk hitam berkilat ini mengaku bernama Deewana Khan. Dia menyerahkan dua buah kitab pada Purnama. Kitab pertama sebuah kitab yang keadaannya rusak hangus karena habis terbakar, dikatakan sebagai Kitab Jagad Pusaka Dewa yang asli. Kitab kedua merupakan salinan dari kitab Jagad Pusaka Dewa, berbentuk utuh namun mata biasa tidak mampu melihat dan membaca isinya. Seseorang harus bertapa 100 hari 100 malam untuk memiliki kemampuan membaca isi kitab itu.
“Kitab yang terbakar ini masih ada beberapa bagian halaman yang utuh. Serahkan dua kitab ini pada Pedekar Dua Satu Dua Wiro Sableng.”
Kejut Purnama bukan alang kepalang mendengar ucapan Deewana Khan. Lebih terkesiap lagi sewaktu lelaki berjubah itu berkata. “Pemuda kepada siapa seharusnya kitab ini diberikan telah tersesat jatuh ke tangan insan jahat dan akhir­akhir ini telah menimbulkan malapetaka bejat berupa pemerkosaan dan pembunuhan mengerikan di negeri ini. Insan­insan jahat itu hanya bisa dibasmi berdasarkan petunjuk rahasia dalam kitab yang terbakar. Dewa mengetahui hanya Pendekar Dua Satu Dua yang mempu membuka petunjuk rahasia dalam kitab.”
Deewana Khan letakkan dua buah kitab di tanah dan membungkuk memberi hormat. Dua kaki dijulurkan ke belakang. Begitu dua tangannya menyentuh tanah maka tubuh mahluk ini meluncur bersurut ke arah dari mana tadi dia datang. Hanya dalam sekejapan mata saja sosoknya kemudian hilang dari pemandangan.
Purnama perhatikan dua buah Kitab Jagat Pusaka Dewa. Kitab pertama yang masih utuh dibalik­balik. Kitab ini hanya memiliki empat halaman. Seperti yang dikatakan mahluk bermata satu tadi, empat halaman kitab tampak kosong, tidak ada tulisan apa­apa. Kitab kedua yang rusak karena terbakar juga memiliki empat halaman yang telah hangus. Di beberapa bagian halaman kitab ini terlihat beberapa deret tulisan. Purnama mencoba membaca, namun huruf­huruf dalam tulisan itu seolah bergerak­gerak. Ketika dipaksakan pendangan matanya mengabur dan kepalanya menjadi pusing......
“Kitab aneh. Ada kekuatan yang melindungi hingga aku tak bisa melihat dan membaca jelas,” ucap Purnama. Gadis ini lalu memasukkan dua buah kitab ke balik pakaian. “Aku harus segera mengejar Wiro. Sudah banyak waktu terbuang percuma.” Sambil menerapkan ilmu kesaktian Segara Angin yang membuatnya mampu berlari luar biasa cepat hingga sosoknya lenyap dari pemandangan, gadis dari Latanahsilam ini sekali­sekali mengeluarkan ilmu Nafas Sepanjang Badan. Ilmu kesaktian ini selain mampu mengetahui keberadaan mahluk gaib, juga bisa dipergunakan untuk mencium atau membaui seseorang yang sebelumnya telah dikenal hingga mudah diketahui ke arah mana orang itu keberadaannya.
“Dia bergerak ke arah barat. Agaknya memang tengah menuju Gunung Gede. Bau tubuhnya hilang­hilang timbul. Pertanda dia bergerak cepat sekali. Pasti dia menerapkan ilmu lari tingkat tinggi. Atau….astaga! “Purnama hentikan lari. “Ada mahluk hidup lain bersamanya. Mungkin dia menunggang kuda?” Purnama dongakkan kepala, menghirup udara dalam­dalam lalu menahan nafas beberapa lama. Sesaat kemudian gadis ini terbatuk­batuk, mukanya tampak merah. Sepasang mata berair. Dada turun naik. “Bukan kuda…..seekor binatang lain yang tak bisa aku duga. Aneh, bagaimana mungkin? Apa yang sebenarnya terjadi?” Purnama berdiri lurus­lurus. Dua kaki bergerak, tubuh berputar. Mula­mula perlahan lalu berubah cepat, berputar­putar seperti gasing, menebar angin mengeluarkan suara menderu hingga ranting pepohonan bergoyang dan daun­daun berguguran. Di lain kejap tubuh yang berputar itu melesat ke udara dan lenyap dari pemandangan.

***
Dari jurusan lain, Ratu Duyung dan Naga Kuning serta Gondoruwo Patah Hati juga tengah mengejar Pendekar 212 Wiro Sableng. Sambil berlari Ratu Duyung tiada henti menerapkan ilmu Menembus Pandang. Bilamana ilmu kesaktian ini tidak dapat diterapkan karena orang yang dipantau berada diluar jangkauan maka Ratu Duyung pergunakan cermin sakti. Di satu tempat gadis cantik bermata biru ini hentikan lari.
“Ada apa?” Tanya Naga Kuning.
Ratu Duyung dekatkan cermin pada Naga Kuning dan Gondoruwo Patah Hati.
“Lihat ke dalam cermin. Di dalam cermin ada dua titik putih. Titik putih pertama adalah bayangan sosok Wiro. Titik putih kedua yang lebih besar dan selalu berubah­ubah adalah bayangan sosok lain yang berada bersama Wiro.”
“Kau bisa menduga siapa?” Tanya Gondoruwo Patah Hati.
“Mungkin itu bayangan Purnama.” Kata Naga Kuning pula.
Ratu Duyung terdiam, berpikir sejenak lalu menggeleng. “Seperti kalian lihat titik putih besar selalu berubah­ubah. Ini suatu pertanda titik itu bukan perwujudan manusia…..”
“Aku bisa menduga, saat ini Wiro tengah menunggang kuda.” Kata Naga Kuning pula.
“Tadinya aku juga berpendapat demikian,” jawab Ratu Duyung. “Tapi kuda tidak memiliki kecepatan bergerak seperti yang aku lihat dalam cermin …..”
“Mungkin seorang sakti mendukung Wiro?” ucap Gondoruwo Patah Hati.
“Nek.. sudah aku katakan mahluk itu bukan manusia ….”
“Aku tahu.” Kata Naga Kuning dengan wajah sungguh­sungguh. “Wiro didukung oleh Purnama! Kita semua tahu Purnama bukan manusia biasa. Dia mahluk dari alam gaib!”
Ratu Duyung terdiam. Wajahnya berubah dan sepasang mata menatap tek berkesip pada Naga Kuning. “Apa yang dikatakan anak ini mungkin saja betul…..” Ratu Duyung membatin. Untuk memastikan dia lalu kerahkan ilmu Menyirap Detak jantung. Namun tidak berhasil karena sasaran yang coba dipantau terlalu jauh. “Kalau saja aku bisa mendapatkan Batu Mustika Angin Laut Kencana Biru pasti kejap ini juga aku bisa mengejar Wiro. Ah, bagaimana ini? Satu­satunya usaha hanya mengandalkan cermin sakti ini.” Batu Mustika Angin Laut Kencana Biru adalah batu sakti milik Nyai Roro Kidul Penguasa Laut Selatan. Batu ini mampu membuat seseorang berpindah dari satu tempat ke tempat lain yang diinginkannya hanya dalam bilangan kejapan mata. Nyai Roro Kidul pernah meminjamkan batu sakti tersebut pada orang kepercayaannya bernama Nyi Roro Manggut untuk menolong Pendekar 212 yang berada dalam keadaan bahaya (baca serial Wiro Sableng berjudul “Sang Pembunuh).
Tak mau membuang waktu berlama­lama Ratu Duyung
memberi tanda. Ketiga orang itu berkelebat, melanjutkan
pengejaran ke arah barat.
***

DUA

Kita ikuti dulu apa yang terjadi dengan Bidadari Angin Timur, gadis cantik berkepandaian tinggi yang memiliki rambut berwarna pirang yang tak asing lagi bagi rimba persilatan tanah Jawa. Di dalam serial Wiro Sableng berjudul “Insan Tanpa Wajah” dituturkan bagaimana Bidadari Angin Timur menyirap kabar ditangkapnya Wiro oleh Pangeran Tua Sena Wirapala dengan tuduhan telah memperkosa dan membunuh cucunya yang bernama Raden Ayu Ambarsari. Ketika Bidadari Angin Timur menyelidik ke Kotaraja, ternyata Wiro telah dibebaskan oleh seseorang dan saat itu berada di sebuah gubuk di tikungan Kali Progo, dijaga oleh Setan Ngompol dan Ki Tambakpati.
Bidadari Angin Timur mendatangi gubuk, menangis di tepi ranjang dimana Pendekar 212 terbaring. Dia merasa sangat sedih melihat sang pendekar yang berulang kali mengalami nasib sengsara sejak beberapa waktu belakangan ini. Apalagi sebelum masuk ke dalam gubuk milik Ki Tambakpati si gadis telah mendengar percakapan dua kakek. Diantara isak tangisnya Bidadari Angin Timur berkata.
“Ketika berada di tepi kali, aku sempat mendengar pembicaraan kakek berdua. Apa betul Wiro telah menjadi seorang lelaki yang tidak sempurna? Apa benar dia telah kehilangan kejantanannya? Apakah dia memang tidak bisa disembuhkan lagi untuk selama­lamanya?”
Setan Ngompol pegangi bagian bawah perut menahan kencing. Ki Tambakpati terdiam tak bisa menjawab. Tangis Bidadari Angin Timur pecah.
“Sahabatku, mari kita keluar. Kita bicara di luar …..” Setan Ngompol membujuk si gadis.
Bidadari Angin Timur gelengkan kepala lalu berkata.
“Rasanya tidak ada yang perlu dibicarakan lagi Kek. Aku sudah mendengar semuanya.”
Gadis berambut pirang itu membungkuk mengusap kening Pendekar 212 yang terasa sangat dingin.
“Kami berdua akan berusaha memusnahkan penyakitnya,” berkata Ki Tambakpati.
Bidadari Angin Timur tidak menjawab. Dia letakkan kepalanya di dada Pendekar 212 lalu menangis keras.
“Hentikan tangismu. Sebaiknya kau membantu dengan memanjatkan doa pada Gusti Allah agar Wiro bisa disembuhkan ….,” berkata Ki Tambakpati.
“Akan aku lakukan Kek, akan aku lakukan ..,” Jawab Bidadari Angin Timur berulang kali. Dalam hati gadis ini membatin. “Tuhan, Kau tahu sejak dulu aku telah memanjatkan segala doa dan mohon. Tapi agaknya aku harus melihat kenyataan lain …” Lalu tanpa berkata lagi Bidadari Angin Timur melangkah ke pintu.
“Bidadari Angin Timur, tunggu dulu!” Setan Ngompol memanggil.
Namun gadis cantik berambut pirang itu telah lenyap dari pandangan. Dikejar keluar gubuk sosoknya tak kelihatan lagi. Di dalam rimba persilatan Bidadari Angin Timur dikenal sebagai tokoh yang memiliki kecepatan bergerak yang luar biasa. Tidak heran kalau kedua kakek tidak berhasil mengejar. Padahal kurang dari sekejapan mata sosoknya masih terlihat di ambang pintu.
“Heran, aku tahu dia sangat mencintai Wiro. Tapi mengapa pergi begitu saja?” berucap Setan Ngompol sambil pegangi bagian bawah perutnya.
“Kalau memang benar dia telah mendengar pembicaraan kita, aku rasa gadis itu sangat terpukul mengetahui penyakit yang diderita Wiro ….” Ujar Ki Tambakpati pula.
“Aku tidak tahu ….” Ucap Setan Ngompol. “Kalau aku jadi dia, aku tidak akan meninggalkan pemuda itu. Aku akan berusaha mencari obat penyembuh. Tapi ….” Setan Ngompol gelengkan kepala berulang kali.
“Mungkin itu yang ada dalam pikirannya. Mencari obat untuk kesembuhan pemuda yang dicintainya. Mungkin juga gadis itu tak mau berlama­lama di sini karena sudah merasa bakal ada gadis­gadis lain kerabat Wiro yang akan muncul.” Kata Ki Tambakpati pula. Kenyataannya seperti yang dikisahkan dalam episode sebelumnya beberapa orang gadis yang sama mencintai Pendekar 212 memang datang ke gubuk di tepi Kali Progo itu. Mereka adalah Purnama, Bunga dan Ratu Duyung.
***
Keadaan Bidadari Angin Timur sangat mengenaskan. Setelah dua hari berlari tanpa tujuan seolah hanya sepembawa kakinya, disuatu pagi ini sampai disebuah bukit kecil. Di bawah bukit terbentang pedataran subur dialiri Kali Pemali. Pakaian birunya kotor, wajah pucat dan rambut yang pirang tampak awut­awutan. Sepasang mata kelihatan agak sembab karena terlalu banyak menangis. Dia tak ingat kapan terakhir kali dia makan mengisi perut. Memandang ke arah kali timbul niatnya untuk mandi membersihkan diri. Apalgi tempat itu tampak sepi. Ketika dia tengah menuruni bukit, melangkah tergontai­gontai disela­sela pepohonan, tiba­tiba suasana tenang dan sepi dirobek oleh suara derap kaki kuda riuh sekali. Memperhatikan ke bawah bukit Bidadari Angin Timur terheran­heran karena tepi kali yang tadi sunyi senyap kini dipenuhi oleh dua rombongan orang berkuda yang datang dari arah berlawanan dan kini tampak berhadap­hadapan.
Bidadari Angin Timur yang tengah kacau pikiran dan kelelahan menyelinap di balik rerumpunan semak belukar lalu melompat ke cabang sebatang pohon di tepi kali. Dia ingin menyaksikan apa yang akan segera terjadi.
Rombongan penunggang kuda di sebelah kanan berjumlah dua puluh orang. Mereka mengenakan daster dan pakaian serba hitam, rata­rata memiliki tubuh besar. Semua mencekal sebilah golok, kecuali penunggang kuda paling depan yang hanya mengandalkan tangan kosong, pertanda dia pasti memiliki ilmu kepandaian tinggi. Orang ini menutupi wajahnya dengan sebuah topeng berwarna putih perak. Di belakang kepala rambut panjang menjulai sebahu. Agaknya dia yang menjadi pimpinan orang­orang berseragam hitam ini. Bidadari Angin Timur punya dugaan ini bukan orang baik­baik. Mungkin gerombolan penjahat atau rampok. Dalam jumlah yang lebih banyak mereka punya keberanian untuk menghadapi rombongan yang datang dari arah depan. Rombongan kedua ini berjumlah sepuluh orang. Mereka mengenakan pakaian seragam pasukan Kerajaan. Walau bagian Kali Pemali dimana dia berada terletak di wilayah Jawa sebelah tengah namun Bidadari Angin Timur mengenali kalau pasukan yang berjumlah sepuluh orang itu bukan berasal dari Kerajaan di wilayah itu. Dia tidak pernah melihat seragam pasukan seperti itu sebelumnya. Pakaian dan celana serta topi biru. Anggota pasukan rata­rata bertubuh kecil dan masih muda belia, bersenjata pedang, golok, dan tombak. Pasukan kecil ini di pimpin oleh seorang Perwira Muda berwajah cakap. Hanya Perwira ini satu­satunya yang memiliki tubuh besar tegap.
Ketika memperhatikan wajah sang Perwira Muda tersiraplah darah Bidadari Angin Timur. Dada berdebar. Hati berucap. “Benarkah dia ? Bagaimana ceritanya dia bisa berada di kawasan ini. Sejak kapan dia jadi seorang Perwira. Dari kerajaan mana. Bukankah aku dan dia sudah berjanji akan bertemu di air terjun Batuputih pada Satu Suro. Satu purnama dari sekarang. Ternyata pertemuan terjadi lebih cepat dari yang direncanakan. Apakah semua ini atas kehendak Gusti Allah?”
Walau dia ingin cepat­cepat menemui sang Perwira Muda namun Bidadari Angin Timur terpaksa menahan diri. Dia memperhatikan dengan mata tak berkesip. Makin diperhatikan tambah keras detak jantungnya. “Rasanya pandangan mataku tidak mungkin keliru. Sahabat…… Kau pernah membuat hatiku dalam kebimbangan. Hari ini kebimbangan itu muncul kembali.” Sekilas terbayang wajah Pendekar 212 Wiro Sableng dipelupuk mata si gadis. “Tuhan, apa kali ini kebimbangan itu akan berakhir pada suatu ujung …. Ah, sulit aku membayangkan.”
Di tepi kali, lelaki bertopeng perak mengangkat tangan, memberi tanda untuk menahan serangan pada sembilan belas anak buahnya yang sudah siap menyerbu dengan golok di tangan.
Orang ini arahkan pandangan pada Perwira Muda berpakaian dan bertopi biru yang ternyata juga tidak membekal sebilah senjatapun.
“Tubagus Putrakesuma! Jumlah kami dua kali lebih banyak! Anak­anak buahku rata­rata berbadan kokoh besar. Anggota pasukanmu hanya pemuda­pemuda kurus kurang makan! Apakah kau masih punya nyali untuk menangkapku? Aku memberi saran sebaiknya kau pulang saja ke Cirebon, cuci kaki, cebok dan tidur! Ha … ha … ha … ha!” Suara tawa lelaki bertopeng perak diikuti oleh suara bergelak sembilan belas orang anak buahnya.
Di atas pohon Bidadari Angin Timur terheran­heran mendengar lelaki bertopeng menyebut Perwira Muda itu dengan nama Tubagus Putrakesuma.
“Kalau memang dia, mengapa namanya Tubagus Putrakesuma? Apa dia memang sudah berganti nama? Banyak keanehan yang tidak aku mengerti …” Gadis berambut pirang membatin dalam hati.
Perwira Muda bernama Tubagus Putrakesuma yang dilecehkan balas menatap tajam pada lelaki bertopeng. Tidak ada bayangan rasa takut diwajahnya yang cakap.
“Topeng Perak! Kau pimpinan pemberontak pengacau Kerajaan. Aku membawa tugas menangkapmu. Aku tidak akan kembali ke Cirebon tanpa membawa dirimu. Jika kau mau menyerah hidup­hidup, aku berjanji akan meminta keringanan hukuman bagimu pada Sultan Cirebon.”
Mendengat ucapan Perwira Muda yang ternyata berasal dari Kerjaan Cirebon, sebuah Kerajaan yang baru saja berdiri, lelaki bertopeng perak tertawa gelak­gelak.
“Tubagus Putrakesuma. Bagiku apa yang namanya Kerajaan Cirebon itu tidak pernah ada! Jadi yang namanya Sultan Cirebon juga tidak ada!”
“Asal muasalnya kau adalah orang jahat kepala rampok keji tidak berperikemanusiaan. Sekarang kau melibatkan diri dalam urusan Kerajaan. Siapa yang berada di belakangmu?” Tanya
Perwira Muda Tubagus Putrakesuma.
Kembali Topeng Perang tertawa bergelak.
“Lagakmu hebat hendak menyelidik diriku! Baru beberapa minggu jadi Perwira sudah sombong selangit. Bicaramu tidak karuan! Tidak ada orang lain di belakangku. Aku bertindak untuk kepentinganku sendiri ….”
“Hemm, apakah kepentinganmu itu?”
“Membakar tahta, melenyapkan apa yang kau sebut Kerajaan Cirebon …”
“Kau ingin mengambil kekuasaan dari Sultan Cirebon? Begitu?” Tubagus Putrakesuma tertawa.
“Manusia sepertimu apa pantasnya jadi Sultan. Unjukkan muka saja tidak berani. Buktinya kau menutupi wajah dengan topeng. Berarti nyalimu sebenarnya hanya sedengkul.”
“Perwira keparat! Kau tak akan pernah melihat Sultanmu lagi. Ketahuilah, serombongan besar pasukan anak buahku saat ini tengah bergerak dari utara ke selatan. Siap membuat Cirebon sama rata dengan tanah!”
Tubagus Putrakesuma tertawa mencemooh. “Kau boleh menggertak. Siapa mau percaya. Siapa merasa takut.”
Lelaki bertopeng keluarkan suara menggembor, angkat tangan kanannya ke atas lalu berteriak, “Anak­anak. Cincang sampai lumat cecunguk­cecunguk Kerajaan Cirebon ini!”
“Tunggu!” Perwira Muda Tubagus Putrakesuma berseru. “Topeng Perak, kita sama­sama pimpinan disini. Mengapa mau mengorbankan anak buah? Bagaimana kalau kita bertarung satu lawan satu. Kalau aku kalah aku akan kembali ke Cirebon. Kau boleh bebas. Tapi kalau kau yang jadi pecundang, aku akan membawamu ke Kotaraja!”
“Sombongnya berani menantang! Pimpinan, biar aku tabas batang leher perwira keparat ini!” Seorang anak buah Topeng Perak yang ada di samping kanan berteriak sambil angkat golok tinggi­tinggi lalu dibabat ganas ke arah leher Tubagus Putrakesuma. Namun saat itu juga sebuah benda melesat berdesing di udara lalu terdengar raungan anak buah Topeng Perak yang barusan menyerang. Tubuhnya tergelimpang jatuh ke tanah. Di kening menancap potongan cabang kayu sepanjang dua jengkal, besar dua kali jari tangan. Darah mengucur menyelomoti mukanya. Beberapa ekor kuda meringkik dan bersurut mundur.
“Bangsat kurang ajar! Pengecut! Kau menyembunyikan orang berkepandaian tinggi melakukan serangan membokong!” Teriak Topeng Perak marah sekali.
Tubagus Putrakesuma, Perwira Muda Kerajaan Cirebon saat itu sebenarnya juga merasa heran. Dia tidak menyembunyikan orang pandai seperti yang dituduhkan. Namun siapa gerangan yang barusan membunuh anak buah Topeng Perak begitu rupa? Adakah orang itu berada dipihaknya atau sekedar iseng menunjukkan kehebatan?
Sekali menggebrak kuda tunggangannya, Topeng Perak melesat ke udara. Kaki kanan menerjang lurus ke arah dada Tubagus Putrakesuma. Jurus serangan ini bernama Ladam Sakti Menembus Dinding Karang. Demikian cepatnya serangan ini hingga Perwira Muda Kerajaan Cirebon itu terlambat berkelit. Walau dadanya selamat namun bahu kirinya masih sempat ditabrak tumit orang. Sang Perwira terpuntir di atas punggung kudanya lalu terbanting ke bawah. Bahu kirinya sakit bukan kepalang dan terasa kaku. Namun dengan cekatan dan gerakan enteng dia masih mampu jatuh ke tanah di atas dua kaki. Pada saat dua kakinya menginjak tanah, kejap itu pula Topeng Perak datang dari depan, lancarkan serangan berupa pukulan berantai. Pertarungan hebat serta merta terjadi. Dalam keadaan seperti itu sebenarnya Topeng Perak tadi sempat terkesiap melihat kekebalan tubuh lawan. Tendangan yang dilancarkannya jika mengena telak jangankan dada manusia, dinding batu sekalipun pasti akan jebol hancur berkeping­keping. Ketika tendangan membentur bahu kiri lawan, Perwira Muda itu ternyata hanya terpuntir. Tubuhnya sama sekali tidak cidera. Padahal tendangan tadi mampu meremukkan daging dan menghancurkan tulang bahunya!
Melihat pimpinan mereka sudah bertempur, delapan belas anak buah Topeng Perak segera menyerbu sembilan prajurit Kerajaan Cirebon. Saat itulah dari pohon besar di tepi kali melayang turun satu bayangan biru yang bukan lain adalah Bidadari Angin Timur. Di tangan kanan gadis ini memegang patahan cabang pohon sebesar betis.
“Diberi peringatan kalian tidak mau membuka mata. Sekarang biar mata kalian aku tutup untuk selama­lamanya.”
“Praakk!”
“Praakk!”
Dua anak buah Topeng Perak mencelat dari punggung kuda masing­masing. Terkapar di tanah dengan kepala remuk! Enam belas temannya berteriak geger, marah tapi banyak yang mulai merasa kecut nyalinya. Saat itu diantara mereka berdiri seorang gadis cantik berpakaian biru, berambut pirang. Wajah yang cantik mengulum senyum, membentuk lesung pipi di pipi kiri kanan.
“Bidadari Angin Timur!” Berseru Perwira Muda Tubagus Putrakesuma. Mata terbeliak, wajah unjukkan rasa kaget tidak percaya.
“Tuduhanku benar! Perwira keparat ternyata kau memang membawa bergundal perempuan berkepandaian tinggi untuk menolongmu!” Teriak Topeng Perak marah besar walau diam­diam dia sangat terpesona dengan kecantikan si gadis sementara hati kecilnya menduga­duga. Dia rasa­rasa pernah mendengar nama gadis yang tadi disebutkan Perwira Muda itu.
“Mengapa kalian diam melongo! Bunuh perempuan itu!” teriak Topeng Perak pada anak buahnya. Apa boleh buat. Walau nyali leleh, enam belas anak buah Topeng Perak segera menggebrak kuda masing­masing. Empat diantaranya melompat dari punggung kuda langsung menyerang Bidadari Angin Timur. Agaknya mereka memiliki kepandaian silat dan ilmu meringankan tubuh yang cukup lumayan. Empat golok menyambar ganas.
Bidadari Angin Timur tertawa panjang. Sambil melompat ke kiri mengelakkan tebasan golok dua orang lawan, kayu sebesar betis di tangan kanan berkelebat ke depan mengeluarkan suara berdesing.
“Wuuuttt!”
Dua orang anak buah Topeng Perak yang barusan menyerang meraung keras. Yang satu jebol perutnya, satu lagi hancur tulang pinggulnya. Dua orang berikutnya, selagi mereka terkesiap menyaksikan apa yang terjadi, kayu besar di tangan Bidadari Angin Timur berturut­turut menghajar kepala masing­masing.
Melihat kehebatan serta keganasan serangan gadis cantik berambut pirang, sekian banyak anak buah Topeng Perak tak sanggup lagi menahan ngeri. Beberapa diantaranya ada yang sudah mengambil ancang­ancang untuk melarikan diri. Pada saat itu pula sembilan prajurit Kerajaan Cirebon datang menyerbu. Walau jumlah mereka masih lebih banyak namun ke tiga belas anak buah Topeng Perak memilih kabur. Yang bernasib mujur bisa melarikan diri hanya enam orang. Empat menemui ajal, tiga luka parah.
Topeng Perak keluarkan seluruh kepandaiannya berusaha menghabisi lawan secepat mungkin. Dia merasa di atas angin karena Perwira Muda yang dihadapinya berada dalam keadaan cidera bahu kiri akibat tendangannya tadi. Namun dia merasa heran, setiap serangan dilancarkan dari tubuh lawan berdesir keluar hawa aneh yang membuat tangan atau kakinya menjadi sakit seperti dicucuki puluhan jarum. Semakin dia mempercepat serangan dan melipat gandakan tenaga dalam semakin hebat rasa tusukan itu. Dia tersentak kaget ketika melihat dua tangannya yang tersembul diujung lengan baju hitam mengeluarkan bercak­bercak darah!
Jurus demi jurus Topeng Perak mulai terdesak. Menyadari kalau dia hanya tinggal sendirian di tempat itu, lelaki ini melompat mundur, keluarkan teriakan bergelegar sambil pentang dua tangan ke atas. Saat itu juga sepasang tangan Topeng Perak berubah menjadi hitam kelam sebatas siku sampai ke ujung jari! Lelaki ini hentakkan kakinya kiri kanan ke tanah. Serta merta dua kaki itu berubah pula menjadi hitam mulai dari lutut sampai ke jari! Inilah ilmu kesaktian yang disebut Naroko Wesi Ireng.
Untuk memperlihatkan ilmu kesaktiannya itu sekaligus bermaksud membuat gentar lawan Topeng Perak menyambar ke kiri, menghantam dada seorang prajurit dengan tangan kanan.
“Bukk!”
Tak ampun lagi prajurit itu terpental dari punggung kuda, jatuh terbanting ke bawah. Walau dada yang kena dihantam namun luar biasanya seluruh tubuh mulai dari kepala sampai ke kaki kelihatan hancur, mengkeret menjadi hitam dan mengepulkan asap kelabu!
Belum puas, Topeng Perak tendang pinggul kuda prajurit yang barusan dibunuhnya dengan kaki kanan.
“Duukkk!”
Kuda hitam besar itu meringkik keras. Berkelojotan di tanah beberapa lama. Tubuhnya hancur, mulai dari pinggul yang kena tendang, terus menjalar kebagian tubuh lainnya sampai kepala dan empat kaki. Keseluruhan sosok binatang itu tak berbentuk lagi, hancur lumat, mengkeret hitam dan mengepul asap kelabu!
***

TIGA

Perwira Muda Tubagus Putrakesuma terkesiap kaget. Gerakan Topeng Perak sewaktu menghabisi secara kejam anak buah dan kuda hitam luar biasa cepat hingga dia tidak sempat menolong. Delapan prajurit Kerajaan Cirebon tampak pucat dan merinding dingin tengkuk masing­masing menyaksikan apa yang terjadi. Mampukah pimpinan mereka yang masih muda itu menghadapi ilmu kesaktian lawan yang begitu dahsyat?
Bidadari Angin Timur sendiri seumur hidup baru sekali ini menyaksikan ilmu kesaktian yang demikian ganas mengerikan. Seperti diketahui gadis ini memiliki ilmu gerak luar biasa cepat. Dia melihat kecepatan gerak lawan waktu membunuh prajurit dan kuda tadi hanya satu tingkat di bawah Ilmu Selaksa Kilat yang dimilikinya.
”Tubagus Putrakesuma! Apakah kau sudah siap aku jadikan puntung neraka?!” ucap Topeng Perak lalu keluarkan suara mendengus.
”Manusia sombong!” ejek si Perwira Muda. “Kuda tak berdosa kau bunuh! Sekarang kau tunggu apa lagi! Mengapa tidak langsung menyerang diriku!”
”Perwira!” berkata Bidadari Angin Timur sambil menggeser kaki ke arah Topeng Perak. ”Tanganku sudah kepalang tanggung membunuh anak buahnya. Sekarang biarkan aku menghabisi bapak buahnya!”
”Gadis congkak!” Bentak Topeng Perak sebelum Tubagus Putrakesuma semapat menjawab. ”Lebih baik kau duduk saja di bawah pohon sana. Kalau manusia satu ini sudah kujadikan puntung neraka, aku akan membawa kau pergi kemana kau suka!”
Bidadari Angin Timur tertawa. ”Kalau begitu aku ke neraka sekarang juga! Hik … hik … hik!”
Habis berkata begitu gadis cantik berambut pirang ini berkelebat.
Tubuhnya berubah menjadi bayangan biru.
”Wuuut!”
”Breett!”
Dada pakaian hitam Topeng Perak robek besar namun Bidadari Angin Timur sendiri terpekik dan melompat mundur sambil usap kepalanya. Memandang ke arah lawan Bidadari Angin Timur melihat sejumput rambutnya berada dalam genggaman tangan kiri Topeng Perak. Lelaki ini sunggingkan seringai lalu meniup. Serta merta rambut pirang dalam genggamannya terbakar mengepulkan asap. Topeng Perak tertawa bergelak.
Mau tak mau paras Bidadari Angin Timur jadi berubah. Selama malang melintang dalam rimba persilatan tanah Jawa baru sekali itu ada lawan sanggup menjambak rambutnya!
Melihat apa yang terjadi Tubagus Putrakesuma merasa khawatir. Kalau mau tadi Topeng Perak bisa menghancurkan kepala Bidadari Angin Timur. Cemas akan keselamatan si gadis jika kedua orang ini melanjutkan pertarungan, sang Perwira cepat berkata.
”Bidadari Angin Timur, Kerajaan menugaskanku untuk menangkap manusia ini hidup atau mati. Harap kau mundur dulu ketempat aman!”
Bidadari Angin Timur tidak menjawab juga tidak beranjak. Dua kaki digeser merenggang. Tangan kiri diangkat ke atas. Tangan kanan perlahan­lahan mengusap perut. Di kejauhan terdengar suara meraung seperti srigala melihat setan di malam buta. Walau saat itu siang hari namun semua orang termasuk Topeng Perak merasa mengkirik bulu kuduknya. Apalagi ketika Bidadari Angin Timur kemudian keluarkan suara tawa panjang. Sepasang mata menatap ke arah Topeng Perak tak berkesip. Wajahnya yang cantik berubah seputih kapur!
Tubagus Putrakesuma terkejut.
”Astaga, apakah dia memiliki ilmu Pusar Pusara? Apakah ilmu kesaktiannya sanggup melawan ilmu Naroko Wesi Ireng Topeng Perak?” ucap Perwira Muda itu sambil matanya memperhatikan bagian perut Bidadari Angin Timur. Ketika tangan yang mengusap bergerak ke samping, sang perwira sempat melihat ada sesuatu yang menonjol di bagian pusar si gadis. Setelah itu!
”Wusss!”
Dari balik pakaian Bidadari Angin Timur, tepat di arah pusar, melesat keluar selarik cahaya biru terang menyilaukan. Hawa luar biasa panas memenuhi udara.
”Ilmu Pusar Pusara! Cahaya Geni Biru! Dia memang masih memiliki ilmu kesaktian itu!” ucap Tubagus Putrakesuma lalu cepat bergerak menjauh.
Seperti terkisah dalam serial Wiro Sableng berjudul “Nyi Bodong”, Bidadari Angin Timar nekad membuang diri ke dalam jurang karena menyangka dirinya telah diperkosa oleh Hantu Muka Dua. Gadis ini diselamatkan oleh seorang kakek sakti bernama Kiai Munding Suryakala. Kakek inilah yang kemudian memberikan satu ilmu dahsyat pada Bidadari Angin Timur disebut Ilmu Pusar Pusara. Dari pusarnya yang menyembul bodong bisa melesat keluar cahaya biru bernama Geni Biru atau Api Biru. Sejak kejadian itu Bidadari Angin Timur dikenal dengan sebutan Nyi Bodong, walau orang­orang rimba persilatan tidak mengetahui siapa dirinya. (Baca juga serial Wiro Sableng berjudul ”Api di Puncak Merapi” dimana diceritakan riwayat tewasnya dedengkot tokoh rimba persilatan golongan hitam Pangeran Matahari).
Ketika diserang lawan, Topeng Perak yang merasa percaya penuh akan kehebatan Naroko Wesi Ireng yang dimilikinya, hanya bergerak mengelak dua langkah ke samping lalu menggebrak dengan dua pukulan maut.
Bidadari Angin Timur putar pinggulnya. Larikan cahaya Geni Biru ikut bergeser. Pada saat itu dua serangan tangan Topeng Perak hanya tinggal satu jengkal lagi akan mendarat di dada dan kepala Bidadari Angin Timur, cahaya biru yang keluar dari pusar si gadis melabrak tubuhnya!
Topeng Perak meraung setinggi langit. Tubuhnya sebelah depan, mulai dari dada sampai ke perut hangus terbelah jebol!
Darah menyembur, usus membusai. Namun saat itu tinju kanannya masih mampu menderu ke arah kepala Bidadari Angin Timur. Hanya sekejapan mata lagi kepala gadis cantik berambut pirang itu akan hancur tiba­tiba dari samping kiri melesat satu mahluk coklat, langsung menabrakkan tubuhnya ke tangan kanan Topeng Perak.
”Buukkk!”
Jotosan tangan kanan Topeng Perak mendarat telak di tubuh mahluk coklat. Topeng Perak sendiri terhuyung beberapa langkah sambil pegangi perutnya yang jebol dengan tangan kiri lalu jatuh terjengkang tak berkutik lagi. Manusia satu ini memang luar biasa. Orang lain kalau sampai terkena hantaman Geni Biru pasti akan tercerai berai tubuhnya.
”Nguiiikk!”
Mahluk coklat terpental dan terguling di tanah. Mengeluarkan jeritan aneh. Semua prajurit Kerajaan Cirebon yang ada ditempat itu dan juga Bidadari Angin Timur mendelik kaget. Mahluk yang tadi menyelematkan si gadis ternyata adalah seekor binatang langka.
Tubuhnya sebelah kiri yang tertutup duri­duri cokelat panjang dan runcing tampak hangus leleh mengepulkan asap.
”Tikus raksasa berbulu duri! Dari mana datangnya?” seru seorang prajurit dengan mata mendelik.
”Landak jejadian!” teriak prajurit disebelahnya.
”Hai kemana lenyapnya Perwira Tubagus Putrakesuma?!” prajurit lain berteriak. Mereka saling berpandangan lalu sama­sama memperhatikan binatang yang mendekam di tanah.
Perlahan­lahan sosok mahluk coklat yang merupakan seekor landak hampir sebesar anak kerbau itu ujudnya menjadi samar lalu berubah membentuk sosok manusia. Dan manusia ini bukan lain adalah Tubagus Putrakesuma! Pakaiannya sebelah kiri tampak hangus. Kulit tubuh lecet merah. Disela bibir kelihatan ada kucuran darah. Seluruh prajurit Kerajaan Cirebon yang ada ditempat itu melengak kaget. Tak percaya akan apa yang mereka lihat.
”Jatilandak!” teriak Bidadari Angin Timur. ”Kau ….kau tak apa­apa?”
Perwira Muda Tubagus Putrakesuma yang sebenarnya adalah Jatilandak, pemuda dari negeri Latanahsilam, putra Luhmintari yang kini bernama Tubagus Putrakesuma kedipkan mata. Tubuhnya bergetar hebat, sakit luar biasa. Kepala berdenyut seperti mau pecah, pandangan agak buram. Bidadari Angin Timur menolong pemuda berdiri.
”Kau terluka…” ucap si gadis.
”Hanya luka luar. Tidak apa­apa …”
”Tapi kau juga terluka di dalam. Ada darah di mulutmu.”
Tubagus Putrakesuma alias Jatilandak seka darah di sela bibir. Dia coba tersenyum. “Aku senang bertemu denganmu.”
“Jangan bicara itu dulu. Aku khawatir sekali akan keadaanmu.”
Jatilandak terdiam sejurus. Pemuda ini merasa terharu mendengar kata­kata Bidadari Angin Timur tadi. ”Ternyata dia sangat memperhatikan diriku ….” ucap Jatilandak dalam hati. Lalu dia berkata.
”Keadaanku baik­baik saja. Bulu landak melindungi diriku. Kalau tidak merubah diri menjadi landak, aku mungkin tidak bisa menahan pukulan Topeng Perak. Saat ini aku pasti sudah hancur lumat seperti prajurit dan kuda tadi.”
”Jatilandak, aku sangat berterima kasih padamu. Untuk kesekian kali kau menyelamatkan jiwaku tanpa memikirkan keselamatan dirimu sendiri. Yang aku tidak mengerti bagaimana ceritanya kau sekarang menjadi seorang Perwira. Dari Kerajaan Cirebon. Benar ….?”
Tubagus Putrakesuma tersenyum.
”Nanti aku ceritakan.” kata sang Perwira pula. Dia memandang ke arah mayat Topeng Perak yang tergeletak di tanah. ”Aku ingin tahu dulu siapa sebenarnya manusia berjuluk Topeng Perak itu …” Tubagus Putrakesuma lalu melangkah mendekat mayat dan menarik lepas topeng perak yang masih menempel menutupi wajah. Ketika topeng tersingkap, semua prajurit Kerajaan Cirebon yang ada ditempat itu keluarkan seruan kaget sementara Tubagus Putrakesuma sendiri tersurut satu langkah sambil berucap menyebut nama.
”Karang Randu …”
”Siapa dia?” tanya Bidadari Angin Timur.
”Sahabat dekat Sultan Cirebon. Setahuku dulu dia ikut membantu berdirinya Kerajaan Cirebon. Konon dia mencintai Nyai Rara Santang, saudara perempuan Sultan. Namun dia bertepuk sebelah tangan. Setelah tahu cintanya tidak bersambut, Karang Randu melenyapkan diri entah kemana. Tidak tahunya ….. Tidak bisa ku bayangkan. Demikian hebatnya cinta yang berubah menjadi kebencian.” Tubagus Putrakesuma alias Jatilandak berpaling pada Bidadari Angin Timur. Si gadis menatap wajah pemuda ini. Dua pasang mata saling beradu pandang, menimbulkan getaran­getaran aneh di lubuk hati masing­masing.
”Saudara Sultan itu pasti seorang gadis cantik jelita …” ucap Bidadari Angin Timur pula.
Tubagus Putrakesuma tidak menjawab. Pemuda ini merasa ada nada rasa cemburu yang tersembunyi. ”Apakah dia masih memiliki perasaan hati seperti dulu terhadapku? Apakah aku masih mempunyai secercah harapan….?”
Tubagus Putrakesuma memerintahkan anak buahnya berangkat duluan ke Cirebon dengan membawa mayat Topeng Perak alias Karang Randu setelah terlebih dahulu diikat bagian dada dan perutnya yang jebol.
”Sampaikan pada Sultan aku akan menyusul kemudian. Ada satu urusan yang harus aku selesaikan lebih dulu di tempat lain.”
Delapan prajurit segera tinggalkan tempat itu dengan hati bertanya­tanya. Siapa gerangan gadis cantik berambut pirang yang memiliki ilmu kesaktian hebat dan berhasil membunuh
Topeng Perak yang selama ini menjadi momok nomor satu bagi Kerajaan Cirebon. Apa hubungan si gadis dengan atasan mereka.
***

EMPAT

Setelah semua prajurit pergi Tubagus Putrakesuma meminta Bidadari Angin Timur naik ke atas kuda miliknya. Dia sendiri menunggangi kuda bekas kepunyaan salah seorang anak buah Topeng Perak. Perwira itu kemudian membawa Bidadari Angin Timur ke satu tempat berbukit­bukit dimana terdapat sebuah teratak beratap bambu.
”Indah sekali pemandangan di sini …” ucap Bidadari Angin Timur.
Diantara kehijauan pepohonan serta petak­petak sawah menguning, di bawah sana tampak mengalir Kali Pemali. Dia arah timur menjulang Gunung Kumbang, didampingi Gunung Kadaka di sebelah barat. Diam­diam Tubagus Putrakesuma perhatikan gadis di sampingnya. Ketika Bidadari Angin Timur berpaling kearahnya, untuk kesekian kali keduanya saling beradu pandang tanpa ada yang bicara. Namun seribu kata seolah sudah terucapkan. Seribu kata yang menjalin rasa bahagia karena terjadinya pertemuan itu, sekaligus melepas rasa rindu yang mendalam.
”Aku senang sekali bertemu denganmu. Sesuai perjanjian kita seharusnya baru bertemu pada Satu Suro bulan mendatang di air terjun Batu Putih. Ternyata aku bisa melihatmu lebih cepat. Apakah selama ini kau baik­baik saja?” Bertanya Tubagus Putrakesuma.
Bidadari Angin Timur tidak menjawab, hanya mengangkat bahu lalu tersenyum. Tubagus Putrakesuma merasa ada sesuatu yang mengganjal dalam hati gadis berambut pirang ini.
”Sahabat, kau mau menceritakan bagaimana kau bisa tersesat sampai sejauh ini?”
”Aku harus memanggilmu dengan nama apa? Tubagus Putrakesuma atau Jatilandak? Atau Perwira?” bertanya Bidadari Angin Timur.
”Terserah kau mau memanggil apa. Tapi kalau boleh aku lebih suka kau memanggilku Jatilandak. Itu nama asliku. Itu pula namaku ketika kita pertama kali saling mengenal ….”
Bidadari Angin Timur terdiam. Dipelupuk matanya sekilas terbayang banyak hal dimasa lalu yang terjadi antara dirinya dan pemuda dari negeri 1200 tahun silam itu. Gadis ini akhirnya tersenyum.
”Aku juga lebih senang memanggilmu dengan nama itu. Nah, sekarang kau saja yang duluan bercerita bagaimana kau bisa jadi seorang Perwira Kerajaan Cirebon.”
Jatilandak duduk menjeplok di tanah sementara Bidadari Angin Timur duduk di bangku panjang terbuat dari tiga batang bambu yang sudah agak lapuk. Melihat bambu yang diduduki melengkung Jatilandak berkata. ”Hati­hati, kalau patah kau bisa jatuh.”
Bidadari Angin Timur cuma mengangguk.
Jatilandak yang sekarang jadi Perwira Muda Kerajaan Cirebon dan bernama Tubagus Putrakesuma, putra Luhmintari alias Purnama mengawali cerita ketika dia dan Pendekar 212 Wiro Sableng bersama ibunya serta Rayi Jantra bertemu Walang Sungsang alias Pangeran Cakrabuana dan Nyai Rara Santang putera­puteri Prabu Siliwangi dari Pajajaran. (Baca serial Wiro Sableng berjudul ”Sang Pembunuh).
”Saat itu kami dalam satu urusan besar, mencari pembunuh nenek sakti jejadian Eyang Sepuh Kembar Tilu. Urusan ini ada sangkut pautnya dengan dua buah dadu dari negeri Cina yang disebut Dadu Setan serta satu tempat terkutuk bernama Istana Seribu Rejeki Seribu Sorga. Pangeran Cakrabuana dan Nyai Rara Santang tengah mendirikan satu Kerajaan baru di pantai utara yang disebut Kesultanan Cirebon. Mereka menawarkan pada Wiro jabatan Kepala Balatentara Kerajaan. Namun Wiro menolak. Akhirnya mereka meminta diriku. Karena mendapat izin dari ibu dan teman­teman, aku ikut bersama mereka.
Tapi aku tahu diri. Ilmu kepandaianku tidak ada apa­apanya dibanding dengan Wiro. Karena itu aku hanya mau menerima jabatan Perwira mengepalai satu dari dua pasukan besar Kerajaan. Sejak satu minggu lalu aku bersama pasukan mengetahui keberadaan Topeng Perak di kawasan ini. Kami memata­matai dan membuntuti lalu menghadang mereka dekat Kali Pemali.” (Baca serial Wiro Sableng berjudul ”Sang Pembunuh).
”Cerita hebat. Tidak sangka kau bisa jadi perwira.” Memuji Bidadari Angin Timur.
”Tugasku berat. Banyak orang tidak menyukai berdirinya Kesultanan Cirebon.” Jatilandak menghela nafas panjang. ”Sekarang giliranmu bercerita bagaimana kau bisa sampai di tempat ini.” Jatilandak perhatikan wajah si gadis beberapa lama lalu berkata. ”Terus terang aku melihat satu bayangan di balik wajah cantikmu. Aku tahu itu bukan bayangan keletihan. Kalau aku boleh bertanya dan kau mau berterus terang, ada ganjalan apa di dalam hatimu?”
”Ganjalan? Tak ada ganjalan dalam hatiku.” Jawab Bidadari Angin Timur. Dia tutupi kedustaannya ini dengan tersenyum. Lalu dia palingkan wajah, menatap ke arah pesawahan dan Kali Pemali di kejauhan sana.
”Kalau begitu ada sesuatu yang mengganggu jalan pikiranmu.”
Bidadari Angin Timur menggigit bibir. Matanya masih menatap ke arah kejauhan.
”Kalau saja kita bisa berbagi rasa, mungkin ada sesuatu yang bisa aku lakukan untuk menolong. Atau mungkin antara kita dua bersahabat masih ada tabir penghalang hingga tidak bisa berterus terang?”
Bidadari Angin Timur masih diam. Seperti merenung berpikir­pikir menyelami ucapan Jatilandak. Setelah menghela nafas dalam gadis ini akhirnya berkata.
”Pikiranku sedang kacau. Wiro tertimpa satu musibah besar ….”
”Wiro? Musibah apa? Dimana dia sekarang?” tanya Jatilandak sambil menatap lekat­lekat ke wajah si gadis.
Bidadari Angin Timur menuturkan kisah mulai sewaktu Wiro ditangkap karena dituduh telah memperkosa dan membunuh cucu seorang Pangeran.
”Aku tidak yakin dia melakukan hal seperti itu.” Kata Jatilandak.
”Dua kakek yaitu Setan Ngompol dan Ki Tambakpati menemui Wiro di sebuah bukit dalam keadaan pingsan. Mereka membawa Wiro ke sebuah gubuk dekat Kali Progo. Tapi mereka tak mampu mengobati. Aku menemui dan melihat Wiro di tempat itu. Keadaannya sangat mengenaskan. Dia menderita penyakit kelainan jalan darah. Selain itu ada satu penyakit lain yang diindap Wiro. Menurut dua kakek sulit disembuhkan …” Sampai di sini Bidadari hentikan ceritanya. Lagi­lagi dia menatap kejauhan. Namun kali ini sepasang matanya yang bagus tampak berkaca­kaca.
”Penyakit apa?” tanya Jatilandak sambil memperhatikan air mata menggelinding jatuh di pipi Bidadari Angin Timur.
”Wiro ….” Bidadari Angin Timur tutup wajahnya dengan kedua tangan. Tubuhnya bergetar menahan tangis.
Goncangan tubuh Bidadari Angin Timur karena menahan tangis membuat tiga batang bambu lapuk yang didudukinya tiba­tiba berderak patah.
”Kraakk!”
Bidadari Angin Timur terhuyung ke samping dan akan terjerembab di tanah kalau tidak lekas dirangkul oleh Jatilandak. Tubuhnya terduduk di atas pangkuan dan tenggelam dalam pelukan si pemuda. Jatilandak yang tidak menyangka akan berada dalam keadaan seperti itu untuk beberapa lama duduk diam terpaku. Ingatannya kembali pada saat ketika dia dan gadis itu bermesraan di sebuah mata air dan sempat dipergoki Wiro. (Baca serial Wiro Sableng berjudul ”Bendera Darah).
Sebaliknya entah sadar entah tidak Bidadari Angin Timur tidak pula berusaha bangkit dari pangkuan atau melepas diri dari pelukan Jatilandak. Gadis ini ingat saat­saat ketika Jatilandak menuturkan riwayat dirinya yang penuh duka kesedihan. (Baca serial Wiro Sableng berjudul ”Api Cinta Sang Pendekar).
Jatilandak mengelus punggung Bidadari Angin Timur, membelai rambutnya lalu berbisik ke telinga si gadis.
”Kuatkan hatimu. Katakan penyakit apa yang diderita sahabat kita Wiro.”
Mendengar ucapan Jatilandak pecehlah tangis Bidadari Angin Timur. Dua tangannya digelungkan ke punggung sementara wajah didekapkan ke dada si pemuda.
Jatilandak menunggu dengan dada berdebar hati terguncang.
Setelah tangis Bidadari Angin Timur mereda dia kembali bertanya. ”Katakan, penyakit apa yang diderita Wiro.”
Bidadari Angin Timur menarik nafas panjang berulang kali sebelum menjawab. Wajahnya masih disembunyikan di dada si pemuda. Lalu terdengar suaranya berucap.
”Wiro kehilangan kemampuannya sebagai laki­laki….”
Kening Jatilandak mengernyit.
”Maksudmu?”
”Dia kehilangan kejantanannya …”
Wajah Jatilandak berubah. Mata terpana menatap Bidadari Angin Timur. ”Bagaimana mungkin? Apa yang terjadi?” tanya Jatilandak kemudian.
”Tidak ada yang tahu bagaimana kejadiannya.” jawab Bidadari Angin Timur. ”Saat itu pikiranku sangat kacau. Aku lari meninggalkan gubuk tepi Kali Progo itu….”
Untuk beberapa lama Jatilandak tak bisa berkata apa­apa.
Perlahan­lahan Bidadari Angin Timur turun dari pangkuan dan melepaskan pelukannya dipunggung si pemuda. Gadis ini duduk di tanah membelakangi Jatilandak dengan wajah ditundukkan.
”Kalau betul apa yang kau ucapkan, ini satu malapetaka besar bagi Wiro. Seharusnya kau tidak meninggalkan dirinya dalam keadaan seperti itu …” Jatilandak berkata perlahan.
”Saat itu aku tidak tahu lagi apa yang harus aku lakukan. Aku seolah berubah ingatan. Aku lari dan lari. Tanpa tujuan. Aku tidak lagi memperdulikan keadaan diriku. Aku juga tidak habis pikir bagaimana aku kemudian bisa terpesat sejauh itu dan tahu­tahu sudah sampai di tepi Kali Pemali sewaktu kau dan Topeng Perak tengah berhadap­hadapan.”
”Kita harus mencari Wiro. Kita harus menolongnya. Kau tahu dimana dia sekarang berada?”
”Kata­katanya menyatakan ketulusan hati. Membuat diriku merasa bersalah.” Ucap Bidadari Angin Timur dalam hati dan tundukkan kepala lalu menjawab. ”Aku tidak tahu dimana Wiro berada saat ini. Selama beberapa hari ini aku dihantui oleh rasa gelisah, sedih, kecewa, dan juga marah. Sepertinya dunia ini bukan milikku lagi. Itu sebabnya tadi aku menghajar Topeng Perak dan anak buahnya secara kalap. Aku merasa itu salah satu usaha untuk melepas tekanan batin yang aku derita …”
”Sahabat, kau tidak boleh menurutkan kata hati serta jalan pikiran keliru seperti itu. Kau bisa sakit …” Jatilandak memegang lengan Bidadari Angin Timur.
”Terima kasih. Aku mendengarkan nasihatmu.” jawab Bidadari Angin Timur.
”Lalu apa yang akan kau lakukan. Kemana kau akan melanjutkan perjalanan?”
Bidadari Angin Timur menggeleng. Wajahnya tampak kosong.
”Aku tidak tahu mau berbuat apa dan mau pergi kemana. Aku seperti seekor semut di tengah gurun pasir …”
”Tidak, kau bukan seekor semut di tengah gurun pasir. Kau tetap seorang Bidadari di bumi Tuhan yang indah ini …”
Bidadari Angin Timur angkat kepalanya, menatap Jatilandak dengan berlinang air mata. Pemuda ini ulurkan tangan mengusap tetesan air mata di kedua pipi gadis itu.
”Kalau kau tidak tahu akan berbuat apa dan tidak tahu mau pergi kemana, ikutlah bersama aku ke Cirebon. Aku akan memperkenalkanmu pada Nyai Rara Santang, saudara perempuan Sultan. Mudah­mudahan kalian berdua bisa bersahabat.”
Bidadari Angin Timur tersenyum namun bersamaan dengan itu derai air mata semakin banyak jatuh meluncur di pipinya. Dalam hati dia berkata. ”Mungkin memang dia, mungkin memang pemuda ini satu­satunya yang akan menjadi tempat aku berlindung. Dia begitu penuh perhatian …”
Perlahan­lahan Bidadari Angin Timur berdiri, melangkah lalu naik ke atas kuda milik Jatilandak. Dia menatap pemuda itu sebentar lalu berkata.
”Aku ikut bersamamu ke Cirebon.”
Mengira si gadis akan pergi meninggalkannya begitu saja, ketika mendengar ucapan itu tidak menunggu lebih lama lagi Jatilandak langsung melesat ke punggung salah seekor kuda yang ada di tempat itu. Tak lama kemudian kedua orang itu memacu kuda masing­masing ke arah utara. Jatilandak di sebelah depan.
***
RATU DUYUNG hentikan lari dan menatap ke dalam cermin.
”Aneh …” katanya.
”Apanya yang aneh?” tanya Gondoruwo Patah Hati yang berdiri di sampingnya bersama Naga Kuning.
Ratu Duyung melintangkan cermin sakti di depan ke dua orang itu. ”Lihat ke dalam cermin. Di arah utara kini kelihatan tujuh titik. Tiga di sebelah kanan, empat di sebelah kiri. Jarak masih terlalu jauh. Cermin sakti tidak mampu memperlihatkan ujud sebenarnya dari tujuh titik itu.”
”Yang di sebelah kanan aku bisa menduga. Itu Wiro dan mahluk dari alam gaib.” Kata Naga Kuning pula. ”Lalu siapa titik yang ketiga?”
”Mungkin sekali Purnama yang tengah mengikuti Wiro. Kalian bisa melihat, titik ketiga ini selalu berada di belakang dua titik lainnya,” menyahuti Gondoruwo Patah Hati.
”Bagaimana dengan empat titik di sebelah kiri. Dua berwarna biru, dua berwarna hitam,” Naga Kuning berkata sambil memperhatikan cermin sakti yang dipegang Ratu Duyung.
”Salah seorang dari dua titik biru ini aku rasa Bidadari Angin Timur. Siapa satunya sulit aku menduga. Dua titik hitam mungkin sekali dua ekor kuda yang mereka tunggangi. Walau mereka sama­sama berada di utara agaknya masing­masing punya tujuan yang berbeda.” Ratu Duyung berkata sambil kerahkan tenaga dalam, berusaha memperjelas ujud titik di dalam cermin namun tak berhasil.
”Kita akan terus mengejar Wiro atau mengikuti Bidadari Angin Timur?” bertanya Naga Kuning.
”Kita tetap mengejar Wiro. Ada satu hal yang perlu aku beritahukan. Dia berubah arah. Dia tidak menuju Gunung Gede tapi ke arah pantai utara.” Ratu Duyung simpan cermin saktinya lalu melesat lebih cepat mendahului si nenek dan si bocah berambut jabrik. Disamping tidak dapat melihat jelas ujud orang­orang dalam cermin, gadis bermata biru ini juga merasa gelisah. Apa benar titik ketiga di sebelah kanan cermin adalah Purnama?.
***

LIMA

TIUPAN angin terasa semakin kencang. Deru ombak terdengar bertambah keras pertanda lautan luas yang membentang di sebelah utara semakin dekat. Di langit cahaya benderang sang surya mulai memudar memasuki awal petang. Tak selang berapa lama Teluk Losari kelihatan terhampar membentuk satu pemandangan indah. Di samping bukit batu yang ikut membentuk tepian teluk, seekor harimau putih besar bermata hijau berlari melesat luar biasa cepat. Di atas punggung binatang ini duduk seorang pemuda berambut gondrong yang bukan lain adalah Pendekar 212 Wiro Sableng. Murid Sinto Gendeng ini hanya mengenakan celana putih bertelanjang dada. Siapapun yang melihat sulit mempercayai. Mana ada ceritanya manusia menunggang harimau! Dan seekor harimau putih langka pula!
Di satu bagian tebing bukit batu yang sempit dan cukup terjal murid Sinto Gendeng tepuk tengkuk harimau besar putih bermata hijau.
”Datuk Rao sahabatku berhentilah. Tunggu aku disini sampai aku menemuimu kembali …”
Datuk Rao Bamato Hijau, begitulah nama harimau putih besar bermata hijau tunggangan Wiro hentikan lari. Kepala merunduk ke tanah berbatu­batu, ekor dikibas­kibas dan dari mulut binatang ini keluar suara menggereng perlahan. Harimau inilah yang terlihat dalam cermin sakti Putri Duyung dalam bentuk titik putih berkedip­kedip.
Seperti diketahui Datuk Rao Bamato Hijau adalah seekor harimau gaib sakti peliharaan datuk Rao Basaluang Ameh, seorang tua di tanah Minang yang konon telah menemui kematian seratus tahun silam. Karena kesaktiannya yang luar biasa orang menganggap dirinya setengah roh setengah dewa.
Selain memberi ilmu kesaktian pada Wiro melalui Kitab Putih Wasiat Dewa, Datuk Rao Basaluang Ameh juga menjadikan harimau gaib peliharaannya sebagai sahabat dan sekaligus pelindung Pendekar 212 Wiro Sableng. Selama ini Wiro jarang meminta bantuan binatang gaib sakti itu. Namun ketika dalam kacau pikiran dan baru saja sembuh dari penyakit kelainan jalan darah yang dideritanya, sewaktu meninggalkan rumah panggung di tepi Kali Progo murid Sinto Gendeng ingat pada sang datuk.
Bagaimana sampai Wiro bisa bersama sang harimau sakti? Dalam perjalanannya di satu tempat Wiro hentikan lari, duduk bersila di tanah, menutup mata mengheningkan cipta sambil mulutnya berucap.
”Sahabatku Datuk Rao Bamato Hijau datanglah. Aku perlu bantuanmu.”
Hanya berselang beberapa lama di tempat itu tiba­tiba muncul kabut putih. Di dalam kabut itu tampak kilatan dua cahaya hijau dan samar­samar muncul satu sosok putih besar disertai suara menggereng. Walau suara gerengan ini halus perlahan namun cukup membuat tanah dan bebatuan bergetar.
Perlahan­lahan kabut tipis sirna.
Wiro membuka kedua matanya. Begitu melihat sosok harimau putih besar telah berdiri dihadapannya dia segera bangkit, merangkul leher dan mengusap kepala binatang yang muncul secara gaib ini lalu berkata.
”Datuk sahabatku, terima kasih kau mau datang.”
Harimau putih besar menggereng halus seolah bertanya apa yang bisa diperbuatnya lalu ulurkan lidah menjilati tangan sang pendekar.
”Datuk, aku perlu pertolonganmu. Pikiranku sedang kacau. Aku bermaksud menemui Eyang Sinto Gendeng di Gunung Gede. Tapi ada sesuatu yang harus aku ambil di Teluk Losari di arah utara. Aku ingin cepat­cepat sampai dan berada di dua tempat itu. Apakah kau mau mengantarkan diriku?”
Sebagai jawaban harimau putih besar rundukkan tubuh ke tanah.
Wiro segera saja naik ke punggung binatang gaib itu.
”Wusss!”
Sekali berkelebat harimau besar sudah melesat jauh belasan tombak.
***
DICERITAKAN sebelumnya ketika Wiro meninggalkan rumah panggung tempat dirinya dirawat, secara diam­diam Purnama mengikuti. Namun gadis dari alam 1200 tahun silam ini terhalang dengan kemunculan mahluk tanpa wajah yang memaksa ikut bersamanya. Purnama menolak. Mahluk tanpa wajah menyerang dan berhasil membuat gadis itu terpendam di dalam tanah. Untung Setan Ngompol dan Ki Tambakpati menemui dan menolongnya. Purnama tidak habis mengerti mengapa mahluk tanpa wajah itu selalu berniat mencelakai dirinya. Apa karena keterkaitannya dengan Wiro?
Sewaktu Purnama melanjutkan mengejar Pendekar 212, dia merasa heran karena jarak orang yang dikejar kini berada setengah harian di depan sana. Hal ini diketahuinya setelah dia menerapkan ilmu kesaktian bernama Nafas Sepanjang Badan.
”Aneh, kalau dia berlari biasa mengandalkan ilmu kesaktian, bagaimana mungkin jaraknya denganku kini terpisah begitu jauh?” Purnama hentikan lari. Untuk kedua kalinya gadis ini kerahkan Ilmu Nafas Sepanjang Badan.
”Aku mencium ada bau mahluk lain bersama Wiro. Bukan manusia, bukan juga seekor kuda yang mungkin jadi tunggangannya. Lalu mahluk apa ini? Jin? Setahuku Wiro tidak memelihara mahluk semacam itu. Aku harus mencari tahu.”
Cukup lama Purnama merenung. Dia tidak dapat memastikan, dia tidak mampu memantau keberadaan harimau putih gaib yang jadi tunggangan Pendekar 212.
”Aku harus melipat gandakan Ilmu meringankan tubuh dan tenaga dalam agar ilmu lari Segara Angin yang kumiliki bisa dua kali lebih cepat! Aku harus meminta tambahan kekuatan gaib dari alam roh seribu dua ratus tahun silam.”
Setelah menghirup udara dalam­dalam lalu melepas nafas panjang, Purnama pergunakan ilmu lari Segara Angin. Karena sekali ini dia mengerahkan ilmu meringankan tubuh dan tenaga dalam dua kali lipat ditambah masuknya kekuatan gaib alam roh ke dalam tubuhnya maka sosok gadis ini melesat lenyap seolah berubah jadi bayang­bayang. Meskipun demikian, setelah mengejar cukup lama Purnama hanya mampu mempersingkat jarak seperempat hari perjalanan.
”Ilmu Segara Angin tidak dapat mengejarnya. Kalau sampai matahari terbenam aku tidak dapat mempersingkat jarak, bisa­bisa aku akan kehilangan jejak …” Untuk kedua kalinya gadis dari Latanahsilam ini hentikan lari. Dia mendongak ke langit, pejamkan mata dan hirup udara dalam­dalam. ”Apakah aku tidak salah menduga? Wiro bergerak ke utara. Ke arah pantai. Jika dia terus menerus bergerak lurus … Astaga! Dia menuju Teluk Losari tempat kediamanku! Mengapa kesana? Bukan ke Gunug Gede?” Dada si gadis berdebar. ”Tidak mungkin dia mencariku. Dia tahu waktu dia meninggalkan rumah panggung aku masih berada di tempat itu.” Jantung si gadis berdetak keras. ”Hanya ada satu cara untuk bisa mengejarnya. Aku harus kembali ke alam roh. Tapi apakah aku tidak akan terjerat di alam sana? Bagaimana kalau aku tidak dapat lagi kembali ke bumi?” Purnama merenung bimbang. Akhirnya gadis dari alam 1200 tahun silam ini berkata dalam hati. ”Aku serahkan semua pada Yang Maha Kuasa. Tuhanku sama dengan Tuhan Wiro. Masakan Dia tidak akan menolong diriku?”
Purnama susun sepuluh jari di atas dada, telapak saling dirapatkan. Lalu dua tangan diangkat ke atas. Dua tangan bergetar keras. Ketika dua tangan memancarkan cahaya kebiruan saat itu pula tubuhnya lenyap. Yang tertinggal hanya cahaya ditebari ratusan percikan bunga api biru.
Mendadak dari arah langit sebelah utara tiba­tiba wuuss! Melesat cahaya tiga warna. Merah, biru, dan hijau. Namun Purnama telah terlebih dulu lenyap masuk ke dalam alam roh. Tebaran ratusan percikan bunga api berwarna biru yang terkena hantaman tiga cahaya menggelegar dahsyat. Tanah bergetar, pepohonan berderak. Ranting­ranting berpatahan dan dedaunan rontok luruh!
Jauh di atas langit, satu sosok berpakaian selempang kain putih tersentak dua langkah ke belakang. Rambut putih awut­awutan berjingkrak ke atas seperti mau terserabut tanggal. Sepasang mata mendelik marah. Mulut mengutuk menyerapah.
”Kurang ajar. Gadis itu keburu masuk ke alam roh! Kalau saja jin peliharaanku Rajip Kupal tidak dimusnahkan oleh keparat Deewana Khan gadis itu tak akan bisa lolos. Kepingan emas tongkat sakti milikku ada padanya. Berbahaya, sangat berbahaya. Aku harus dapat merampasnya …”
***
DI SATU telaga kecil Ratu Duyung hentikan lari lalu keluarkan cermin bulat sakti. Kalau sebelumnya dia melihat lima titik di dalam cermin yaitu dua di sebelah kiri dan tiga di arah kanan, kini tinggal tiga titik yang terlihat yaitu yang di sebelah kanan. Tiga titik ini makin lama makin meredup kecil.
”Wiro, mahluk gaib, dan Purnama …” ucap gadis bermata biru ini dalam hati. Dia menatap pada Naga Kuning si bocah berambut jabrik dan Gondoruwo Patah Hati si nenek berwajah setan.
”Dengan kecepatan lari yang kita miliki saat ini, kita tidak mungkin mengejar Wiro. Kita harus mencari akal. Aku harus melakukan sesuatu …” memberitahu Ratu Duyung pada dua sahabatnya itu.
”Dengan ilmu kesaktian yang Ratu miliki, apakah Ratu hendak pergi mendahului kami?” bertanya Gondoruwo Patah Hati.
Ratu Duyung menggeleng. ”Kesaktianku kali ini tidak dapat menandingi Wiro. Entah ilmu kesaktian apa yang dipergunakannya. Aku ingat batu sakti Batu Mustika Angin Laut Kencana Biru milik Nyai Roro Kidul pernah meminjamkan batu mustika sakti itu pada Nyi Roro Manggut sewaktu menyelamatkan Wiro yang terjebak racun maut dalam menyelidiki bangunan istana Seribu Rejeki Seribu Sorga. (Baca serial Wiro Sableng berjudul ”Sang Pembunuh). Kalau aku bisa memiliki batu sakti itu, dalam beberapa kejapan mata pasti aku bisa mengejar Wiro.” Ratu Duyung menghelas nafas dalam. ”Mungkinkah Nyai Roro mau meminjamkan batu sakti itu?” Ratu Duyung bimbang sesaat. Hati kecilnya berkata. ”Aku harus menempuh cara paling cepat untuk dapat menghubungi Nyai Roro. Aku harus bersentuhan dengan air. Kebetulan ada telaga …”
Ratu Duyung berpaling pada Naga Kuning dan Gondoruwo Patah Hati. ”Sahabat berdua, kalian tunggu aku di sini.”
”Memangnya kau mau kemana?” tanya Naga Kuning.
”Ratu, kau mau berbuat apa?” si nenek ikut bertanya.
Tanpa menjawab pertanyaan dua orang itu Ratu Duyung melompat masuk ke dalam telaga. Dalam sekejapan tubuhnya lenyap di bawah permukaan air.
”Eh, mengapa dia masuk ke dalam telaga?” ujar Naga Kuning. ”Kalau cuma berniat mandi, mengapa Ratu Duyung tidak mengajakku? Nek, kau tunggu di sini. Aku mau ikutan mandi,” kata Naga Kuning sambil melangkah mendekati telaga.
”Bocah geblek!” kata Gondoruwo Patah Hati sambil jambak rambut jabrik Naga Kuning. ”Jangan kau berani mengganggu apa yang dilakukan gadis itu! Aku yakin Ratu Duyung tengah melakukan sesuatu! Bukan mandi!”
”Kau selalu cemburu. Kalau tidak percaya padaku, ikutan saja mandi sekalian. Tapi ada syaratnya. Sebelum masuk ke dalam telaga kita berdua harus sama­sama menanggalkan pakaian!” kata Naga Kuning pula lalu tertawa gelak­gelak.
Gondoruwo Patah Hati yang nama aslinya Ning Intan Lestari dan berpenampilan seorang gadis cantik dan sebenarnya adalah kekasih Naga Kuning menyeringai. Tangan kanan masih menjambak rambut Naga Kuning, kini tangan kiri menjewer telinga bocah itu dan memuntirnya hingga Naga Kuning terpekik.
”Bocah konyol,” berkata si nenek. ”Lain waktu kalau urusan sudah selesai aku terima tantanganmu! Aku bawa kau masuk mandi ke dalam telaga. Akan aku gosok tubuhmu mulai dari ubun­ubun sampai ke ujung kaki. Sampai kulitmu terkelupas!”
”Hik … hik … hik …” Naga Kuning tertawa cekikikan lalu wajahnya ditempel dan diusapkannya ke perut Gondoruwo Patah Hati hingga nenek ini terpekik kegelian dan lepaskan jambakan serta jeweran.
Tiba­tiba di langit dari arah selatan melesat sebuah benda bercahaya biru terang. Di atas telaga benda ini menukik turun, berputar tiga kali lalu melesat masuk ke dalam air.
”Benda apa tadi itu …?” ucap Naga Kuning.
Gondoruwo Patah Hati tidak menyahut. Dia pegangi perutnya yang masih terasa geli. Tiba­tiba dari dalam telaga melesat keluar sosok Ratu Duyung. Dipertengahan dadanya tampak ada satu benda bercahaya biru terang. Dengan wajah berseri dia berkata memberi tahu.
”Aku berhasil mendapatkan Batu Mustika Angin Laut Kencana Biru dari Nyai Roro Kidul. Kalian berdua lekas pegang tanganku kiri kanan. Dalam beberapa kejapan mata kita bisa sampai di tempat dimana Wiro berada.”
Baru saja ratu Duyung keluarkan ucapan tiba­tiba dilangit muncul satu bayangan putih. Bersamaan dengan itu melesat cahaya tiga warna.
”Awas serangan gelap!” Gondoruwo Patah Hati berteriak.
”Mahluk tanpa wajah!” teriak Ratu Duyung. ”Lekas menyingkir!”
Naga Kuning melompat ke kiri sementara Gondoruwo Patah hati bergerak ke kanan. Keduanya sama­sama mengangkat tangan ke atas sambil kerahkan tenaga dalam penuh. Gondoruwo Patah Hati lepaskan pukulan sakti yang disebut Pukulan Batu Naroko sedang Naga Kuning menghantamkan pukulan Naga Murka Merobek Langit.
Ditempatnya berdiri Ratu Duyung keluarkan cermin sakti, ditengadahkan ke langit sedang tangan kanan melepas pukulan sakti yang disebut Genta Biru Menatap Langit.
Dari dalam cermin sakti berkiblat cahaya putih menyilaukan. Dari tangan kanan sang Ratu melesat cahaya biru berbentuk kipas terbuka disertai lapat­lapat terdengar suara genta aneh.
”Bumm …. bummm …. bumm!”
Tiga ledakan keras berdentum di udara terbuka.
Di langit cahaya merah, kuning, dan biru tercabik­cabik, membentuk kepulan asap dan musnah. Naga Kuning dan Gondoruwo Patah Hati jatuh terduduk di tanah. Wajah masing­masing tampak pucat. Untungnya mereka tidak mengalami cidera.
Ratu Duyung merunduk setengah berlutut. Mulut merapal mantra sakti.
”Gaib atau nyata kembalilah ke tempat asalmu!”
Habis berucap Ratu Duyung meniup ke udara. Selarik cahaya biru pekat dan angker melesat. Sesaat kemudian di atas langit terdengar suara raungan aneh disertai sapuan satu cahaya kuning.
”Sahabat berdua kita harus segera tinggalkan tempat ini sebelum mahluk jahanam itu menyerang lagi!” kata Ratu Duyung. Lalu dia pegang lengan kiri Gondoruwo Patah Hati dan cekal tangan kanan Naga Kuning. Sekali dia menghentakkan kaki kanan ke tanah maka laksana terbang ke tiga orang itu melesat ke utara.
”Ratu! Jangan tinggi­tinggi! Jangan kencang­kencang! Aku gamang. Bisa terkencing­kencing! Ingat waktu kau membawaku mencebur jurang di Seratus Tiga Belas Lorong Kematian?!” Teriak Naga Kuning. (Baca serial Wiro Sableng berjudul ”Kematian Kedua).
”Anak konyol! Kau berisik saja! Kalau mau kencing, kencing saja!” berteriak Gondoruwo Patah Hati. ”Syukur­syukur ada setan lewat. Biar dipencet kantong menyanmu!”
Naga Kuning yang memang kegamangan pejamkan kedua mata dan tekap bagian bawah celana hitamnya. Dasar bocah nakal mulutnya berucap menyahuti kata­kata si nenek.
”Nek, kalau aku kencing beneran nanti kau yang nyebokin ya?!”
Gondoruwo Patah Hati pencongkan mulut lalu memaki. ”Anak kurang ajar! Enak saja mulutmu bicara!”
***

ENAM

Langit di atas Teluk Losari disaput cahaya kuning kemerahan sinar sang surya yang tengah menggelincir menuju ufuk tenggelamnya. Di lamping bukit batu yang membujur dari barat ke arah timur membentuk sebagian tepian teluk, Purnama melihat sosok Pendekar 212 melangkah cepat, sesekali melompat di atas bebatuan. Saat menjelang matahari tenggelam itu pemandangan di teluk indah sekali. Namun Purnama sama sekali tidak memperhatikan hal itu. Pikirannya serta mata dipusatkan pada Pendekar 212 yang tengah diikutinya.
”Tempat kediamanku di atas bukit. Agaknya Wiro tidak menuju ke sana.” Purnama terus menguntit dan memperhatikan. Tadinya dia ingin berteriak memanggil pemuda itu. Namun dia kemudian memutuskan untuk mengikuti secara diam­diam. Saat itu gadis dari alam 1200 tahun silam ini telah keluar dari alam roh dan kembali membentuk diri dalam ujud manusia biasa.
Di satu celah bebatuan sosok Wiro lenyap. Purnama berkelebat cepat mengejar. Namun gadis ini hampir terpekik keras ketika tiba­tiba di hadapannya entah dari mana datangnya telah berdiri seekor harimau putih besar. Empat kaki terpentang kokoh di atas batu bukit. Kepala agak merunduk. Sepasang matanya yang hijau menatap tak berkesip. Dari mulut keluar suara gerengan halus. Purnama dapat merasakan bagaimana gerengan sangat perlahan itu membuat bukit batu yang dipijaknya terasa bergetar. Harimau putih ini pasti memiliki kesaktian luar biasa!
Purnama tegak tak bergerak. Bahkan bernafaspun dia seolah tertahan. ”Aku memang tidak lama diam di tempat ini. Tapi tak pernah ada harimau berkeliaran. Ini bukan binatang biasa. Jangan­jangan harimau putih ini peliharaan Wiro. Hem … aku tahu sekarang ini rahasianya. Pasti mahluk ini yang membawa Wiro laksana kilat ke tempat ini.”
Walau terasa menyeramkan namun Purnama melihat harimau putih bermata hijau tidak menunjukkan sikap buas, apalagi hendak menyerang menerkam dirinya. Bahkan sesaat kemudian binatang ini merundukkan badan dan berbaring di atas batu menyisakan jalan tidak seberapa lebar di sisi kanan. Sementara di sebelah kiri menjulang dinding batu yang tinggi dan terjal. Di bawah sana terbentang Teluk Losari dengan ombak bergulung menderu, membentur dasar lamping batu, menimbulkan suara debur gemuruh tiada henti. Dari tempatnya berdiri Purnama bisa melihat celah batu dimana tadi Wiro menyusup masuk dan lenyap.
”Aku tak pernah menyelidik kawasan ini. Agaknya ada satu rongga batu di bawah sana. Mungkin sebuah goa. Aku harus kesana, aku harus segera menemui Wiro. Tapi harimau putih besar itu menghadang jalan. Aku bisa saja melompat diatasnya. Tapi … apakah dia tidak akan menyerangku?”
Purnama maju beberapa langkah. Dia menatap harimau besar yang sejak tadi memperhatikan dirinya dengan sepasang matanya yang hiaju. Gadis ini berlutut dua langkah di hadapan harimau putih hingga kepala mereka berada di ketinggian yang sama. Purnama berusaha menahan rasa dingin ditengkuknya yang merinding.
”Harimau putih, aku tahu kau sahabat Pendekar Dua Satu Dua Wiro Sableng. Aku juga sahabat Wiro. Berarti kita berdua juga adalah sahabat. Jangan kau menaruh sangka buruk. Aku perlu menemui Wiro sekarang juga. Aku harus menyerahkan sesuatu padanya. Aku perlu bicara dengan dia. Harap kau mau memberi aku lewat.”
Perlahan­lahan Purnama luruskan tubuh lalu selangkah demi selangkah dia berjalan di sisi kanan harimau putih. Pada saat dia tepat berada di samping binatang ini tiba­tiba harimau besar menggereng halus dan bangkit berdiri. Purnama merasa nafasnya terbang. Terlebih ketika harimau itu panjangkan leher dan membuka mulut lebar­lebar.
”Celaka, kalau binatang ini menyerangku apakah aku harus melawan?” Purnama takut dan bingung.
Harimau putih membuka mulut lebar­lebar, ulurkan lidah lalu merunduk menjilati tangan kiri si gadis. Purnama melepas nafas lega. Dengan tangan kanannya dia usap­usap bagian kepala diantara dua mata harimau seraya tundukkan kepala dan berucap perlahan.
”Aku berterima kasih kau mau bersahabat denganku …”
Harimau putih menggereng perlahan. Purnama usap leher binatang ini lalu menindak dua langkah. Pada langkah ketiga dengan cepat dia membuat lompatan, melesat kebagian bawah lamping bukit batu yang ada celahnya dimana tadi Wiro terlihat menyusup masuk dan lenyap.
Apa yang diduga Purnama ternyata benar. Diantara dua buah batu yang membentuk celah terdapat sebuah goa. Pada jarak enam langkah dari mulut goa di sebelah dalam lorong goa membelok ke kiri. Di bagian ini hawa terasa agak hangat karena angin yang bertiup dari arah teluk tidak langsung masuk. Selain itu bagian dalam goa yang seharusnya gelap tampak ada cahaya cukup terang. Dengan berdebar Purnama meneruskan langkah melewati belokan goa.
Begitu melewati belokan dan memandang ke depan, gadis ini keluarkan suara tercekat dan cepat hentikan langkah. Wajahnya mendadak berubah merah dan panas. Tubuh bergetar dan jantung berdebar keras. Seharusnya dia cepat bersurut mundur, paling tidak memalingkan kepala. Namun dua hal itu tidak satupun mampu dilakukan. Sepasang mata terpentang lebar.
Ujung goa merupakan sebuah ruangan berbentuk segitiga. Di salah satu dinding goa terdapat satu batu sebesar kepala memancarkan sinar aneh. Sinar dari batu inilah yang membuat ruangan itu menjadi cukup terang. Di tengah ruangan Pendekar 212 Wiro Sableng berdiri tanpa pakaian, membelakangi Purnama. Keberadaan sang pendekar seperti inilah yang membuat Purnama tercekat hentikan langkah. Di lantai goa tampak celana putih kotor yang sebelumnya dipakai Wiro. Lalu ada satu kantong lain berwarna biru.
Tiba­tiba Wiro membalikkan tubuh.
Purnama terperangah. Dua bola mata membesar. Lutut terasa goyah dan dada bergoncang keras. Aliran darah dalam tubuh mengalir deras.
”Purnama, sudah lama kau berdiri di situ?” Wiro bertanya. Suaranya terdengar datar.
Purnama tak dapat menjawab. Sepasang matanya masih tidak berkedip memandangi sosok telanjang sang pendekar. Mulai dari kepala sampai ke ujung kaki. Saat itulah gadis ini sempat melihat ada satu tanda putih di bagian bawah pusar Wiro.
Purnama sadar. Perlahan­lahan gadis ini tundukkan kepala dan mundur satu langkah. Dia merasa berdosa telah memergoki dan melihat Wiro dalam keadaan tidak berpakaian seperti itu. Namun dia juga berpikir bertanya­tanya dalam hati. Bagaimana mungkin Wiro bersikap setenang itu. Sama sekali merasa kaget atau malu dan berusaha menutupi aurat atau membalikkan tubuh. Malah dia mengajukan pertanyaan pula! Ada satu kelainan dalam sikap dan jalan pikirannya. Dia seperti seorang anak kecil yang tidak memiliki rasa malu ketika kedapatan dalam keadaan telanjang. Apakah ini akibat dari penyakit aneh yang dideritanya? Kehilangan kejantanan?
Seperti tidak mengacuhkan Purnama perlahan­lahan Wiro membungkuk. Dari dalam kantong biru dia mengeluarkan sehelai baju dan sepotong celana panjang putih. Tenang saja dihadapan Purnama Wiro mengenakan baju dan celana itu. Dari kantong kain Wiro kemudian mengeluarkan pula beberapa benda lalu disimpan di dalam saku kecil dibalik pinggang celana. Sesaat Wiro berpaling, menatap ke arah Purnama. Lalu dia membungkuk disudut lantai. Pada salah satu bagian lantai terdapat satu gundukan batu cukup besar. Wiro dorong gundukan batu. Ternyata gundukan batu ini bisa digeser ke samping. Di lantai terlihat sebuah lobang. Dari dalam lobang ini Wiro keluarkan sebuah benda. Purnama yang terus memperhatikan melihat benda yang dipegang Wiro adalah sebuah kitab tebal terbuat dari daun lontar.
”Kitab Seribu Pengobatan!” ucap Purnama dalam hati. ”Jadi goa ini adalah tempat rahasia dia menyimpan barang­barang berharga miliknya. Luar biasa. Goa ini dekat sekali dengan tempat kediamanku di atas sana. Tapi aku tidak pernah mengetahui. Sejak kapan hal ini terjadi?”
”Wiro, aku sengaja mengikutimu sampai kesini ….”
”Aku tahu. Aku dalam perjalanan ke Gunung Gede. Aku mampir dulu kesini untuk mengambil kitab ini dan beberapa barang berharga milikku yang kusimpan di goa ini…”
”Wiro, ada sesuatu yang harus aku serahkan padamu. Ini menyangkut perkara besar yang terjadi beberapa waktu belakangan ini.”
”Perkara apa?” tanya Wiro.
”Malapetaka perkosaan atas diri puluhan gadis. Munculnya mahluk­mahluk aneh yang bukan mustahil menjadi dalang dari semua bencana ini, termasuk penyakit yang kini kau derita…”
”Aku tidak sakit. Aku merasa sehat­sehat saja. Bukankah sewaktu di rumah panggung di dekat Kali Progo kau dan para sahabat telah menyembuhkan diriku?”
”Betul, tapi menurut Setang Ngompol dan Ki Tambakpati kau masih mengidap satu penyakit lain …”
”Penyakit apa?”
Purnama tak sanggup memberikan jawaban.
”Kau tak usah menerangkan. Aku sudah tahu. Ki Tambakpati pernah mengatakan padaku. Seseorang telah menganiaya diriku hingga aku kehilangan kejantanan. Aku tidak berharga lagi hidup sebagai seorang lelaki …”
”Wiro, aku harap kau tidak berputus asa. Di dunia ini tidak ada penyakit yang tidak ada obatnya. Selain itu kita sudah punya dugaan siapa manusia jahat yang telah melakukan perbuatan terkutuk itu. Dia telah memperkosa dan membunuh puluhan gadis. Kami menduga ada sesuatu yang lebih besar di balik semua perbuatannya itu. Tidakkah kau punya niat untuk mencari dan membuat perhitungan dengan orang yang telah mencelakai dirimu?”
Wiro masukkan Kitab Seribu Pengobatan ke dalam kantong biru. Dia memperlihatkan sikap hendak melangkah ke mulut goa, siap meninggalkan tempat itu.
Dari balik pakaian birunya Purnama cepat­cepat mengeluarkan dua buah kitab yang didapatnya dari Deewana Khan. Satu berbentuk utuh tapi kosong tak ada tulisan. Satunya hangus bekas terbakar dan masih menyisakan beberapa baris tulisan.
”Wiro, seorang asing bernama Deewana Khan menyerahkan dua kitab ini padaku. Katanya dia muncul dari alam kematian atas kehendak para Dewa. Kitab yang terbakar ini adalah asli Kitab Jagat Pusaka Dewa sedang yang masih utuh merupakan salinan. Kitab utuh ini tak bisa dibaca isinya dengan mata biasa. Untuk bisa membaca isi dan petunjuk didalamnya seseorang harus lebih dahulu bersamadi selama seratus hari. Menurut orang asing itu sebenarnya kitab yang asli akan diserahkan pada seseorang pemuda. Namun pemuda itu telah tersesat dan berada dibawah pengaruh kekuasaan insan jahat. Pemuda itu telah menimbulkan malapetaka terkutuk di negeri ini. Deewana Khan mengatakan insan­insan jahat itu hanya bisa dibasmi berdasarkan petunjuk rahasia yang ada dalam kitab yang terbakar …”
”Orang bernama Deewana Khan itu, apakah kau sempat menyelidik siapa dia adanya?” bertanya Wiro.
Purnama menggeleng. ”Dia orang asing. Mungkin dari India. Fasih berbahasa negeri ini. Aku punya dugaan dia tahu latar belakang semua kejadian keji ini. Yang penting dia punya niat baik ….”
”Kitab itu sudah hangus terbakar, bagaimana bisa mendapatkan petunjuk?”
Purnama menatap Wiro sesaat. Gadis ini merasa lega. Dengan mengajukan pertanyaan seperti itu merupakan satu pertanda bahwa jalan pikiran sang pendekar tidak keseluruhannya bermasalah.
”Kitab ini memang sudah hangus terbakar. Namun masih tersisa beberapa baris tulisan. Kau mampu membacanya. Wiro, menurut orang asing itu hanya dirimu yang mampu membuka petunjuk rahasia dalam kitab. Wiro kita harus menyelematkan banyak orang yang akan jadi korban perkosaan dan pembunuhan. Selama ini telah puluhan gasis jadi korban. Selain itu yang lebih penting adalah mengobati dirimu …”
Wiro terdiam beberapa lama lalu berkata.
”Purnama, aku tidak mau terlibat dengan semua urusan yang kau katakan. Aku harus menemui guruku Eyang Sinto Gendeng untuk menyerahkan Kitab Seribu Pengobatan. Selain itu aku sudah memutuskan untuk menjadi pertapa.”
Purnama gelengkan kepala berulang kali. Sepasang matanya mulai berkaca­kaca.
”Wiro setiap saat kau bisa menemui gurumu. Jika kau memang ingin jadi pertapa kapan saja kau bisa melakukan. Tapi ada satu hal penting yang lebih dulu harus kau lakukan. Menyelamatkan puluhan gadis dari kemungkinan bencana pemerkosaan dan pembunuhan. Menyelamatkan rimba persilatan tanah Jawa dari kehancuran. Kau …. kau menghadapi semua ini dengan keputusasaan. Apakah gurumu Eyang Sinto Gendeng pernah mengajarkan hal itu padamu? Kau masih hidup. Tapi kau sengaja mencari mati dalam kehidupanmu. Kau bunuh diri secara perlahan­lahan Wiro. Kau harus tahu Wiro, tidak ada hal paling memalukan bagi seorang pendekar selain bunuh diri!”
Murid Sinto Gendeng tegak tak bergerak di ruang batu berbentuk segi tiga yang diterangi cahaya memancar dari batu aneh di dinding. Tempat itu mulai terasa sejuk karena diluar sang surya telah tenggelam dan malam merayap datang.
Dengan berurai air mata Purnama mendekati Wiro, memegang lengan kiri pemuda itu lalu berkata dengan suara bergetar.
”Tadi aku bertanya. Tidakkah kau punya niat untuk membuat perhitungan dengan orang yang telah mencelakai dirimu? Tapi kau tidak menjawab. Wiro, kalau kau memang ingin mati dalam hidupmu, kalau kau memang ingin bunuh diri, aku mohon bisa ikut bersamamu ke alam baka. Aku tidak ingin berada seorang diri dimuka bumi ini untuk selama­lamanya …”
Pendekar 212 Wiro Sableng tatap wajah Purnama beberapa lama. Pertemuan pandangan mata dengan mata si gadis yang basah menimbulkan berbagai rasa di dalam lubuk hatinya. Wiro angkat kepala, menatap langit­langit goa. Lalu tangan kanannya bergerak ke atas menggaruk kepala! Melihat hal ini Purnama terkesiap. Ini satu tanda bahwa Wiro telah kembali pada jati dirinya yang asli. Kesukaan menggaruk kepala! Saking gembiranya, walau menangis bercucuran air mata Purnama memeluk sang pendekar dan menciumi wajahnya berulang kali.
”Aku tahu kau pasti sembuh. Aku tahu kau, kita dan para sahabat pasti mampu menumpas orang­orang jahat penimbul bencana malapetaka keji di negeri ini …”
Purnama memeluk semakin kencang. Tubuhnya merapat panas di tubuh Wiro. Beberapa bagian tertentu tubuh mereka saling menempel bergeseran.
Dipeluk dan dicium begitu rupa Wiro hanya diam saja.
”Ya Tuhan, dia benar­benar telah kehilangan kejantanannya. Tubuhnya sama sekali tidak mengeluarkan getaran. Tidak ada gelora hawa panas. Kupeluk dan kucium dia seperti tidak bergairah. Apakah aku harus berbuat lebih jauh yang menyalahi adat…?” Purnama turunkan tangan kanannya ke bawah. Gerakan tangan itu sesaat terhenti di perut Wiro. Ketika Purnama menggerakkan tangannya lebih ke bawah tiba­tiba terdengar Wiro berkata.
”Purnama, aku mau melihat dan meneliti dua kitab yang kau bawa itu ….”
***

TUJUH

Purnama pejamkan mata, tarik nafas panjang dan lepaskan rangkulannya. Dia cepat­cepat menyerahkan dua buah kitab pada Wiro.
Mula­mula Wiro meneliti kitab dari Kitab Jagat Pusaka Dewa. Seperti dikatakan Purnama kitab yang terdiri dari tiga halaman itu tidak memiliki tulisan sama sekali, kosong.
”Kau perlu waktu seratus hari untuk bersamadi kalau kau ingin melihat dan membaca isi kitab ini. Kau tak mungkin melakukan itu sementara orang­orang jahat itu bisa leluasa menebar malapetaka keji.”
”Kau benar. Aku tidak akan bersamadi,” kata Wiro pula. Dia mengembalikan kitab utuh dan mengambil kitab yang hangus terbakar. Sampul kitab nyaris musnah. Halaman pertama kitab ini terbakar habis. Halaman kedua yang masih tersisa pada bagian sebelah bawah terdapat serangkai tulisan namun tak bisa terbaca karena hitam dan gosong. Halaman ketiga atau halaman terakhir terlihat banyak tulisan namun sebagian besar tulisan itu hilang tak terbaca atau dalam keadaan putus­putus.

KITAB JAGAT PUSAKA DEWA
Halaman Ketiga
Bunga.. .anj… Bunga Bertuah
Wahai an.. manusia
Setiap …u ..sakt… memil… .ant..g..
Tak ada ilmu kesakt…
Yang tak ..mili.. pant….n
.ilama..a ilmu kes…ian
Dipergun.kan ..tuk ….ikan
…n didap.. ber..h serta .anju…n
Bilam… ..mu .esakt…
..perg..ak.. unt.. .eja..t.n
Akan did..at bala dan kut.k..
.ohon t ..nja di guru. .engge.
Akan ..nyap
Kemba.. ke.empa. .sa.
J.uh d. da..r ..wa gunu.. ..omo
Kes..tian akan ..nyap
Berkah .kan ..snah
D.ri ..sar k.wah itulah
Jika cip.. di.eningk..
Pe..n.uk akan .atang
Bunga put.. bu… h.r.m
Bu..a suci bunga ber..h
Men.ad. b.. busuk b.. kem..ian
P.neb.s seri.. dos. s.rib. nista
Para dewa ..lah membi rah.t
….pa manusia ..rtin.. k keji
Para ..wa mem…. ilmu kes…ian
Meng… .anu… berl.u ..lan.t
..hai anak ….sia
Camkan … .ni .a.k­baik
..nga .an…. Bu… …tuah

Wiro perlihatkan halaman kitab yang terbakar pada Purnama dan menyuruh gadis itu membaca rangkaian tulisan yang masih tertera. Setelah memperhatikan sejenak dan coba membaca Purnama berkata.
”Aku tak bisa membacanya. Tulisan ini seperti bergerak, bergoyang dan guram …”
Wiro membaca kembali tulisan di kitab hangus sampai beberapa kali. Dari berdiri kali ini dia duduk menjeplok di lantai goa. Purnama ikutan duduk dihadapannya, berusaha menolong tapi tidak tahu mau melakukan apa.
”Aku butuh waktu untuk mencari tahu dan menyambung potongan kata yang hilang. Kalau tidak berhasil maka rahasia di balik tulisan ini tidak akan terungkap. Kalau berhasil masih butuh waktu untuk mengartikan dan mengungkap semua apa yang tersurat. Aku tak bisa menduga berapa lama waktu yang diperlukan. Mungkin satu hari, mungkin lebih ….” kata Wiro sambil menggaruk kepala berulang kali.
”Aku akan menemanimu di tempat ini sampai rahasia itu terpecahkan.” kata Purnama pula.
Wiro duduk bersila dan letakkan kitab hangus di atas pangkuan.
Ketika Wiro mengambil sikap bersamadi, diam­diam gadis ini kerahkan ilmu Nafas Sepanjang Badan. Dadanya berdebar ketika lewat penciuman dia mengetahui ada beberapa orang diluar goa, tak jauh dari sosok harimau putih berada. Dari penciuman itu Purnama bahkan mampu mengetahui siapa saja orang­orang itu. Dia berharap Wiro segera mampu memecahkan petunjuk dalam kitab yang hangus. Namun sampai lewat tengah malam dan udara di dalam goa masih terasa sangat dingin, Wiro masih dalam sikap bersamadi. Setiap hembusan nafasnya mengepulkan uap berasap putih. Purnama kemudian melihat tubuh pemuda itu mulai bergetar. Ada hawa dingin luar biasa memancar keluar dari tubuh Wiro yang membuat Purnama mulai menggigil. Selain itu dari ubun­ubun murid Sinto Gendeng mengepul asap putih menebar bau aneh. Purnama merasa tengkuknya merinding ketika dia mengenali. Dadanya berdebar. Lantas saja dia berucap dalam hati.
”Bau kembang tanjung ….”
Hawa dingin dan hamparan bau bunga tanjung membuat sosok Purnama berguncang keras. Di hadapannya getaran pada tubuh Wiro tampak semakin kencang. Bahkan rambutnya yang gondrong perlahan­lahan berjingkrak ke atas. Tarikan dan hembusan nafas terdengar cepat. Pakaian basah, wajah penuh butir­butir keringat.
”Hawa dingin itu bisa membunuh Wiro. Ada tekanan kuat mendesak keluar. Tubuhnya bisa meledak! Aku harus melakukan sesuatu!”
Tulang di sekujur tubuh Purnama berkeretekan ketika gadis ini bergerak bangun. Kakinya seperti diganduli batu besar dan berat hingga dia terhuyung­huyung ketika melangkah. Dia berjalan ke belakang Wiro yang sampai saat itu masih duduk bersila di lantai goa dengan tubuh terguncang­guncang, memancarkan hawa dingin serta mengepulkan asap dari ubun­ubun.
Purnama angkat dua tangan ke atas. Telapak saling dirapatkan. Mata menatap tak berkesip ke arah bagian belakang kepala Wiro. Bibir bergetar, mulut berucap perlahan.
”Kekuatan api alam roh, cahaya panas alam gaib. Datanglah! Ada seorang anak manusia yang perlu diselamatkan dari kematian.”
Baru saja Purnama selesai berucap tiba­tiba ada kilatan cahaya merah melesat di langit malam, masuk ke dalam goa dan menyambar dua tangan yang terpentang ke atas. Saat itu juga dua tangan gadis dari Latanahsilam ini berubah merah seperti bara menyela! Didahului teriakan keras Purnama turunkan tangan. Telapak tangan kanan ditempel di atas kepala sedang telapak tangan kiri ditekankan ke punggung di bawah leher Wiro.
”Cess!”
”Cess!”
Begitu telapak tangan menempel di kepala dan punggung terdengar suara seperti batu api masuk ke dalam air. Satu kekuatan dahsyat mengandung hawa dingin melesat keluar dari tubuh Wiro, menghantam Purnama membuat gadis ini terpekik dan terjengkang di lantai goa, tubuh panas dingin.
Wiro sendiri saat itu rebah ke lantai, berkelojotan beberapa kali lalu terkapar diam tak berkutik. Melihat ini Purnama langsung menjerit dan bangkit menghampiri. Dia mengguncang tubuh sambil memanggil nama pemuda itu berulang kali namun Wiro tetap diam saja.
”Celaka! Apakah aku telah kesalahan tangan?!” Purnama berucap setengah menangis. Gadis ini dekapkan telinga kirinya ke dada Wiro. Belum sempat dia mendengar suara degup jantung tiba­tiba dua tangan merangkul punggungnya.
”Terima kasih. Kau bertindak tepat pada waktunya. Kalau tidak saat ini aku sudah menemui ajal …”
”Wiro …. Kau yang barusan bicara?” Purnama seperti tidak bicara. Dia angkat kepalanya dari dada Wiro dan melihat sang pendekar memandang padanya dengan wajah pucat penuh keringat.
”Purnama, dengar. Aku telah mendapat petunjuk. Tapi hanya sebagian saja. Kita harus pergi ke Gunung Bromo saat ini juga.”
”Pergi ke Gunung Bromo?” ujar Purnama.
”Ya. Kita langsung masuk ke kawahnya. Kita berangkat sekarang juga. Kurasa saat ini sudah hampir pagi.” Wiro berusaha bangun.
”Tunggu,” bisik Purnama. ”Aku bahagia, aku gembira melihat kau seperti ini. Tadinya aku mengira … Wiro, izinkan aku menciummu.” Lalu tidak menunggu lebih lama gadis itu tindih tubuh sang pendekar dan menciumi setiap bagian dari wajah Wiro, mulai dari kening, mata, pipi, dan leher. Bahkan dia juga mengecup bibir Wiro berulang kali. Tidak dapat dipastikan apakah semua itu benar­benar dilakukan karena luapan rasa bahagia atau ada tersembunyi gairah alamiah yang dalam keadaan berdekatan berhimpitan seperti itu memang sulit untuk dihindari. Apalagi gadis dari Latanahsilam ini sejak lama telah memendam rasa cinta yang membara terhadap sang pendekar.
***
DENGAN mengandalkan kesaktian Batu Mustika Angin Laut Kencana Biru milik Nyai Roro Kidul, Ratu Duyung bersama Naga Kuning dan Gondoruwo Patah Hati berhasil sampai di Teluk Lohsari tak lama setelah Wiro dan Purnama masuk di dalam goa pada petang hari yang sama.
Untuk meyakinkan dimana beradanya Pendekar 212, di satu tempat Ratu Duyung hentikan lari lalu keluarkan cermin bulat sakti. Ketika dia melihat ke dalam cermin, gadis bermata biru ini terpekik. Cermin sakti terlepas dan hampir jatuh ke tanah kalau tidak lekas ditanggapi Naga Kuning.
***

DELAPAN

ADA APA Ratu? Bertanya Gondoruwo Patah Hati pada Ratu Duyung yang saat itu kelihatan berdiri tegang. Dada yang busung turun naik. Wajah merah dan untuk beberapa lamanya dia tak mampu bersuara apalagi menjawab.
Naga Kuning yang memegang benda sakti milik Ratu Duyung segera melihat ke dalam kaca. Sesaat tampang bocah ini tampak berkerut. Lalu mulut sunggingkan seringai.
”Hik … hik ..” Naga Kuning menahan tawa geli. Kepala digelengkan lalu keluarkan suara berdecak ck … ck … ck berulang kali.
”Oala! Besar amat! Bulunya hitam rimbun! Ha ha ha!” tawa Naga Kuning meledak lepas.
Gondoruwo Patah Hati melirik ke arah Ratu Duyung. Sampai saat itu gadis bermata biru ini masih dalam keadaan tegang dan memalingkan wajahnya ke arah lain. Si nenek melangkah mendekati Naga Kuning.
”Hai! Kemarikan cermin itu! Aku mau melihat ada apa didalamnya!”
Bukannya menyerahkan tapi Naga Kuning terus saja memperhatikan ke dalam cermin bulat sambil tertawa­tawa dan goyang­goyangkan tangan kiri lalu melangkah mundur menjauhi si nenek.
”Apa kataku?!” ucap si bocah pula. ”Kini terbukti dari alam gaib itu memang ingin menjajal kejantanan Wiro! Mungkin juga dia ingin mengobati. Itu sebabnya dia membawa Wiro ke tempat sunyi ini. Tapi burung tekukurnya kenapa layu menunduk saja?! Ha… ha … ha!”
”Bocah geblek! Kau ini bicara apa?! Apa yang kau tertawakan?! Kemarikan cermin itu!” bentak Gondoruwo Patah Hati.
”Sstt … Tunggu dulu Nek, aku lagi asyik nih. Ada tontonan bagus!” jawab Naga Kuning lalu melompat dan duduk di atas satu gundukan batu.
”Bocah kurang ajar! Kalau kau tidak berikan cermin itu padaku kukepruk kepalamu!” Gondoruwo Patah Hati mengancam lalu melompat ke atas batu.
Naga Kuning cepat sembunyikan cermin bulat di balik punggungnya. ”Nek, kalau kau mau ikutan melihat apa yang ada di dalam cermin boleh saja. Silahkan duduk disampingku! Tapi aku tidak akan menyerahkan cermin padamu!”
Si nenek mengalah, duduk di sebelah Naga Kuning. Si bocah keluarkan cermin bulat dari balik punggung lalu diperlihatkan pada Gondoruwo Patah Hati. Begitu melihat ke dalam cermin wajah si nenek langsung mengkerut. Mata mendelik dan nafas berhembus kencang. Tubuhnya mendadak panas. Saat itu di dalam cermin masih kelihatan Wiro tengah berdiri tanpa pakaian di hadapan Purnama.
”Oo edan!” Si nenek berucap setengah memaki. Wajah mendongak mata dipejamkan, kepala digeleng­geleng. ”Ini tidak mungkin! Tidak bisa terjadi kalau gadis itu tidak menjebaknya! Dasar perempuan gatal! Wiro tidak mungkin mau berbuat seperti itu! Mau telanjang bulat di hadapan seorang gadis!”
”Kau masih bicara tidak mungkin Nek. Kau kan sudah lihat sendiri di dalam cermin!” ujar Naga Kuning.
Gondoruwo Patah Hati turunkan kepala, buka mata dan mendeliki si bocah.
Naga Kuning tertawa. ”Sudah Nek, temani saja Ratu Duyung. Biar aku sendirian yang melihat apa yang terjadi. Nanti aku ceritakan bagaimana kelanjutan tontonan asyik ini padamu.”
Gondoruwo Patah Hati melompat turun dari atas batu. Sampai disamping sang Ratu nenek ini berkata.
”Ratu, kita harus mendatangi goa dimana Wiro dan gadis itu berada. Kelihatannya sebuah goa tak jauh dari sini.”
Ratu Duyung belum sempat menjawab, di atas gundukan batu Naga Kuning berkata. ”Nah … nah … Kalian berdua jangan khawatir. Wiro sekarang sudah pakai celana dan baju. Dia asyik ngobrol dengan Purnama …”
”Ratu, kau harus segera mengambil cermin sakti itu dari tangan Naga Kuning!”
”Seharusnya begitu Nek. Tapi aku rasa ada baiknya kalau ada orang memantau apa yang terjadi. Yang penting bukan aku. Biar saja anak itu memperhatikan terus.” Ratu Duyung menolak karena khawatir akan melihat lagi sesuatu yang menusuk mata dan hatinya di dalam cermin.
”Aku tidak setuju dengan pendapatmu. Bagaimana kalau kita bertiga masuk saja ke dalam goa menemui dua orang itu. Kita harus bertindak cepat sebelum kejadian gila itu berkelanjutan!”
”Hai!” Naga Kuning tiba­tiba berseru.
”Anak kurang ajar! Ada apa?! Apa yang kau lihat?!” bentak Gondoruwo Patah Hati.
”Purnama memeluk dan menciumi Wiro. Tapi Wironya diam saja. Tololnya dia! Kalau aku pasti aku balas memeluk dan mencium! Hik … hik … hik!”
Gondoruwo Patah Hati tak dapat lagi menahan diri. Nenek ini melompat ke atas gundukan batu dan merampas cermin sakti dari tangan Naga Kuning. Si bocah coba berkelit tapi si nenek jitak kepalanya. Selagi Naga Kuning meringis kesakitan Gondoruwo Patah Hati cepat merampas cermin sakti lalu menyerahkan pada Ratu Duyung sambil berkata.
”Ratu, aku tahu hatimu sangat terguncang. Apa yang terlihat di cermin mungkin saja bukan begitu kenyataannya…”
”Cermin itu tidak pernah berdusta, Nek.” jawab Ratu Duyung. Suaranya bergetar.
”Kalaupun itu terjadi, pasti ada sesuatu sebab musababnya. Aku tahu Purnama itu gadis rada­rada gatal. Bisa saja dia punya maksud nakal mau menjebak Wiro….”
Wajah Ratu Duyung tampak tidak berubah. ”Aku tidak tahu Nek. Aku masih percaya Purnama adalah gadis baik …”
”Kalau begitu tenangkan hatimu. Simpan kembali cermin ini.” kata Gondoruwo Patah Hati pula.
”Untuk sementara biar kau pegang dulu Nek.” jawab Ratu Duyung.
”Lalu apa yang akan kita lakukan?” tanya si nenek pula.
Ratu Duyung tak menjawab. Gondoruwo Patah Hati berpaling ke arah gundukan batu. Ternyata Naga Kuning tak ada lagi di atas gundukan batu itu.
”Eh, kemana perginya anak konyol itu?!” si nenek celingukan. ”Aku khawatir dia mendahului masuk ke dalam goa.”
Ratu Duyung memandang ke langit. Sebentar lagi malam segera datang. ”Nek, kau mungkin benar. Ada baiknya kita masuk ke dalam goa dimana Wiro berada …”
Kedua orang itu berkelebat cepat ke arah lamping bukit batu yang memagari sebagian Teluk Losari.
Di satu tempat mereka menemui Naga Kuning cengengesan duduk menjeplok di tanah. Sekitar enam langkah di hadapan si bocah berbaring seekor harimau putih. Sepasang mata hijau binatang ini menatap tak berkesip ke arah Naga Kuning lalu berputar menatap Ratu Duyung dan Gondoruwo Patah Hati.
”Aku ingat, harimau putih ini peliharaan seorang sakti di negeri seberang …” kata Ratu Duyung pula.
”Setahuku dia adalah sahabat dan pelindung Wiro. Kalau aku tidak salah namanya Datuk …. ah aku lupa nama panjangnya. Sekarang aku mengerti mengapa Wiro mampu bergerak luar biasa cepat. Pasti binatang ini yang membawa Wiro ke tempat ini.”
Harimau putih Datuk Rao Bamato Hijau menggereng halus. Ekor menyentak ke kiri dan ke kanan, kepala diulurkan ke arah Naga Kuning membuat anak berambut jabrik ini menggeser duduknya ke belakang.
”Waktu aku mencoba lewat harimau ini menghalangi.” memberitahu Naga Kuning.
”Untung Cuma dihalangi. Kalau aku jadi harimau itu sudah aku geragot lehermu!” kata Gondoruwo Patah Hati yang masih jengkel pada Naga Kuning.
Ratu Duyung melangkah menghampiri harimau putih.
”Ratu, hati­hati ….” mengingatkan Gondoruwo Patah Hati.
Dua langkah di hadapan harimau putih Ratu Duyung berhenti.
”Datuk … kami semua yang ada disini adalah sahabat Wiro. Kami tahu dia ada dalam sebuah goa di lamping bukit batu sebelah sana. Kami mohon kau mau memberi jalan.” Habis berkata begitu Ratu Duyung ulurkan tangan membelai kuduk harimau putih. Binatang itu bergerak bangkit menggereng halus seperti mengerti akan ucapan orang dia gelengkan kepala.
”Ah, kau tidak mengizinkan kami menemui Wiro. Kami datang membawa urusan sangat penting …”
Untuk kedua kalinya harimau putih bernama Datuk Rao Bamato Hijau menggereng halus dan gelengkan kepala.
”Ratu, kau ajak terus dia bicara. Nanti aku akan mencoba melesat melewatinya.” berbisik Gondoruwo Patah Hati.
”Tidak, jangan lakukan itu Nek. Kalau Datuk tidak mengizinkan kita lewat pasti ada sebabnya …”
”Binatang ini agaknya bersekongkol dengan Purnama.” bisik nenek lagi.
”Kita tidak bisa berbuat lain. Seorang sahabat tidak mau memberi jalan. Kita terpaksa menunggu di tempat ini sampai Wiro muncul keluar dari goa.” Ratu Duyung berkata lalu memberi isyarat pada Gondoruwo Patah Hati dan Naga Kuning. Ketiganya mencari tempat rata dan duduk bersandar ke lamping bukit batu. Malam turun membawa kegelapan. Di langit tak ada rembulan tak nampak bintang. Angin laut yang menderu ke arah teluk terasa dingin.
Selama menunggu di tempat itu tidak satupun diantara ketiga orang itu bicara. Mereka berdiam diri dalam pikiran masing­masing. Naga Kuning telah menguap beberapa kali. Sementara Gondoruwo Patah Hati yang masih memegang cermin sakti milik Ratu Duyung tidak dapat menahan hati. Dia berusaha tanpa diketahui kedua orang didekatnya melihat ke dalam cermin. Saat itu di dalam goa Purnama pada keadaan menindih tubuh Wiro, memeluk dan menciumi sang pendekar. Si nenek mendelik dan
keluarkan seruan seperti tercekik.
”Ada apa Nek?” tanya Ratu Duyung.
”Tidak, tidak ada apa­apa. Aku hanya merasa kedinginan.” jawab Gondoruwo Patah Hati lalu batuk­batuk berulang kali.
Dari samping Naga Kuning cucukkan jari telunjuknya ke iga si nenek seraya berbisik.
”Kau dusta. Jangan kira aku tidak tahu apa yang barusan kau lakukan. Ayo ceritakan apa yang kau lihat dalam cermin.”
”Bocah sinting! Tutup mulutmu!” tukas si nenek. Lalu berpaling ke jurusan lain. Pikirannya merenung. Ingat sewaktu peristiwa dia dan Wiro serta beberapa sahabat rimba persilatan lainnya menyerbu 113 Lorong Kematian. Waktu itu Gondoruwo Patah Hati jatuh berguling­guling saling tindih dengan Wiro. Entah bagaimana kejadiannya mulut mereka saling beradu dan terjadi ciuman bibir dengan bibir. Wiro hendak menyeka bibirnya tapi dilarang oleh si nenek yang sebenarnya memiliki perujudan seorang gadis cantik bernama Ning Intan Lestari. Saat itu si nenek bahkan sempat berterus terang pada Wiro bahwa kalau saja dia tidak keburu jatuh cinta pada Naga Kuning, bocah konyol yang perujudan aslinya adalah seorang kakek sakti bernama Kiai Paus Samudera Biru, maka Wirolah penggantinya. Celakanya kejadian cium­mencium itu sempat terlihat oleh Dewa Tuak yang ada ditempat itu. Wiro sendiri berharap kegilaan si nenek hanya sampai disitu dan selanjutnya dia menjaga jarak karena bagaimanapun juga dia harus menghormati Naga Kuning. (Kisah ini dapat dibaca dalam serial Wiro Sableng berjudul ”Kematian Kedua).
”Ratu, sebaiknya aku kembalikan saja cermin sakti ini padamu. Kalau aku pegang terus­terusan aku khawatir rusak atau pecah …”
Ratu Duyung terpaksa menerima kembali cermin sakti miliknya. Tanpa memperhatikan permukaan cermin, benda itu disimpan di balik pakaian. Kalau saja dia melihat ke dalam cermin dimana saat itu Purnama masih menindih, memeluk dan mencium Wiro entah bagaimana jadinya.
***
SAPUTAN cahaya kuning tampak di ufuk timur pertanda tak lama lagi sang surya akan segera muncul menerangi jagat.
”Fajar sudah menyingsing. Sebentar lagi pagi datang. Sampai saat ini Wiro masih mendekam di dalam goa bersama gadis alam gaib bernama Purnama itu. Apa sebenarnya yang mereka lakukan? Aku tidak dapat membayangkan!” kesunyian di tempat itu dipecah oleh suara ucapan Naga Kuning.
Ratu Duyung diam, Gondorueo Patah Hati tak bersuara. Tiba­tiba harimau putih bermata hijau bangkit dari berbaringnya. Kepala mendongak buntut bergerak kian kemari.
”Aku merasa …”
Ucapan Ratu Duyung terputus. Gadis bermata biru ini cepat berdiri diikuti Naga Kuning dan Gondoruwo Patah Hati. Dari arah lamping bukit batu terjal di sebelah depan berkelebat satu bayangan putih dan satu bayangan biru gelap. Tak lama kemudian di samping harimau putih telah berdiri Pendekar 212 Wiro Sableng dan Purnama. Melihat ketiga orang yang berada di depan gundukan batu, Wiro segera mendahului menegur.
”Sahabat bertiga, aku gembira melihat kalian ada di sini …”
”Kami memang mengikutimu.” jawab Gondoruwo Patah Hati.
”Kami tahu kau dan Purnama ada di dalam goa. Tapi sahabatmu harimau putih ini tidak mengizinkan kami mendatangimu ke dalam goa …”
”Di dalam goa aku dan Purnama bekerja keras semalam suntuk …” menerangkan Wiro tanpa diminta karena dari wajah tiga orang dihadapannya dia maklum ada bayangan rasa bertanya­tanya mengapa dia berada dalam goa dan apa yang dilakukannya.
Naga Kuning cepat­cepat tutup mulut menahan tawa geli yang mau tersembur. Wajah dipalingkan ke arah laut, hati berkata. ”Kerja keras semalam suntuk. Kerja apa? Hik … hik … hik! Pasti kerja yang enak­enak!”
Purnama memperhatikan Naga Kuning. Cepat­cepat dia membuka mulut. ”Kami berusaha mengungkapkan petunjuk pada sebuah kitab yang sudah hangus terbakar.”
”Petunjuk apa?” bertanya Ratu Duyung.
”Petunjuk bahwa aku harus pergi ke dasar kawah Gunung Bromo ….”
”Apa perlunya kau pergi ke sana?” Naga Kuning yang bertanya.
”Aku harus bersamadi, mengheningkan cipta untuk mendapat petunjuk lebih lanjut. Petunjuk tentang bunga tanjung …”
”Bunga tanjung? Kok aneh kedengarannya? Kenapa bukan bunga mawar?” Naga Kuning keluarkan mulut usil.
Yang menjawab Purnama tapi tidak langsung ditujukan pada bocah berambut jabrik itu.
”Sahabatku Ratu Duyung, kurasa kau juga tahu bahwa munculnya bunga tanjung bersamaan dengan sekian banyak perkosaan dan pembunuhan atas diri belasan gadis …”
Ratu Duyung mengangguk perlahan. ”Sahabat Bunga pernah bercerita tentang pohon tanjung. Semua gadis yang diperkosa dan dibunuh ditempeli bunga tanjung dikeningnya …”
”Selain itu aku punya firasat petunjuk itu juga bisa mengungkap rahasia serta penyembuhan penyakit yang diderita Wiro.” Purnama sambung ucapannya.
”Lalu kalian sekarang mau melakukan apa?” Gondoruwo Patah Hati bertanya.
”Petunjuk dalam kitab hangus itu belum seluruhnya terungkap. Ada pesan bahwa kami harus segera pergi ke Gunung Bromo.” menerangkan Wiro.
”Gunung Bromo? Sangat jauh dari sini. Apa yang akan kalian lakukan disana?” tanya Ratu Duyung.
”Sumber petunjuk ada disana. Ratu, aku tidak dapat menerangkan lebih banyak. Kuharap kau dan dua sahabat mau bergabung. Ikut bersama kami.” Jawab Pendekar 212 lalu mengusap tengkuk Datuk Rao Bamato Hijau. Sesaat dia memandang ke arah dada Ratu Duyung. Ada sebuah benda dibalik pakaian sang Ratu memancarkan cahaya kebiruan. Wiro pernah melihat benda bercahaya seperti itu dibalik pakaian Nyi Roro Manggut sewaktu pembantu utama Nyai Roro Kidul itu menyelamatkan dirinya dari jebakan racun maut di satu bangunan bekas Istana Seribu Rejeki Seribu Sorga. (Baca serial Wiro Sableng berjudul ”Sang Pembunuh).
Wiro naik ke punggung harimau putih besar. Purnama menyusul hendak duduk di belakang sang pendekar. Namun sebelumnya dia berpaling dulu pada Ratu Duyung dan berkata. ”Ratu, kalau kau ingin pergi lebih dulu besama Wiro silahkan ….”
Ratu Duyung tersenyum menyembunyikan perasaan cemburu serta air muka yang berubah. Dia cepat gelengkan kepala dan berkata.
”Kau lebih tahu urusannya. Silahkan pergi duluan …”
Purnama naik ke punggung harimau putih, duduk di belakang Wiro sambil gelungkan dua tangan di pinggang sang pendekar.
”Ratu …” Wiro berkata.
Ratu Duyung saat itu tegak memandang tak berkesip ke arah dua orang di atas harimau. Telinganya seperti tersumbat oleh rasa cemburu.
”Ratu, berjanjilah kita akan bertemu di Gunung Bromo.” kata Wiro lalu dia usap kepala Datuk Rao Bamato Hijau. Didahului gerengan yang menggetarkan bukit batu Teluk Losari, sekali berkelebat harimau putih besar dan dua penunggangnya telah berada jauh di arah terbitnya sang surya di sebelah timur.
Ratu Duyung berpaling pada Naga Kuning dan Gondoruwo Patah Hati. ”Bagaimana menurut kalian? Apakah kita akan menyusul mereka ke Gunung Bromo?”
”Kita sudah mengejar Wiro jauh­jauh sampai ke sini. Kita punya kemampuan mengikutinya. Mengapa tidak menyusul ke Gunung Bromo? Menurut perhitungan ku beberapa hari dimuka akan ada perayaan hari suci Kasada di gunung itu. Bilamana memang ada urusan yang harus diselesaikan ditempat itu maka harus dilakukan sebelum perayaan itu berlangsung agar tidak mengganggu kesucian upacara.”
Ratu Duyung terdiam seolah merenung. Sesaat kemudian mulutnya berucap perlahan.
”Aku punya firasat akan terjadi satu hal luar biasa di kawasan Gunung Bromo ….”
”Yang lebih penting ….” kata Gondoruwo Patah Hati setengah berbisik hingga tidak terdengar Naga Kuning. ”Kita tidak boleh membiarkan Wiro dan Purnama berdua­dua terus­terusan.”
Gadis jelita bermata biru ini menatap wajah buruk Gondoruwo Patah Hati. Diam­diam dia membatin.
”Sahabat yang satu ini apa tadi dia berkata untuk membela diri dan perasaanku atau lebih mengungkapkan perasaan hatinya sendiri?”
Setelah menarik nafas dalam Ratu Duyung pegang lengan Naga Kuning dan Gondoruwo Patah Hati. Sekali kaki kanan dihentakkan di tanah, dengan mengandalkan kesaktian Batu Mustika Angin Laut Kencana Biru yang didapat dari Nyai Roro Kidul ketiga orang itu melesat laksana terbang dan lenyap dari pemandangan.
***

SEMBILAN

MALAM hari menjelang pagi. Lereng sebelah timur puncak Gunung Bromo. Dalam sebuah kuil yang diterangi lentera kecil dan diselimuti udara dingin serta kesunyian, dua orang Resi duduk berhadap­hadapan. Resi di sebelah kiri bernama Resi Sumabarang berusia tujuh puluh tahun menatap sahabatnya Resi Jantika Lamantara yang berusia hampir sepuluh tahun lebih tua. Kedua resi ini baru saja sama­sama menyelesaikan samadi.
”Resi Sumabarang, apakah ada petunjuk yang kau dapat dalam samadimu?” bertanya Resi Jantika Lamantara.
”Resi Lamantara, terus terang saya merasa khawatir. Saya melihat langit hitam. Beberapa kali petir menyambar. Lalu ada hembusan angin dari arah selatan. Dalam kegelepan saya melihat pasir berterbangan ke udara. Berputar­putar tujuh kali dan baru lenyap setelah ada satu cahaya putih datang dari arah barat. Saya berusaha mengartikan petunjuk itu namun belum mampu. Mungkin saya perlu melakukan samadi susulan sampai menjelang pagi nanti.”
”Resi Sumabarang, kau tak perlu melakukan samadi susulan. Ada petunjuk lain yang aku dapat dalam samadiku. Aku melihat langit di atas Gurun Tengger berwarna merah membara. Lalu hembusan angin kencang datang dari empat jurus arah mata angin mengeluarkan suara menggidikkan. Gurun Tengger seperti di angkat ke udara. Di saat yang sama aku melihat tiga larik cahaya berwarna merah, biru dan hijau. Lalu ada cahaya kuning besar seperti hendak melabrak kelap­kelip satu cahaya kuning kecil. Aku juga melihat puluhan bahkan ratusan benda aneh kecil berwarna putih kekuningan. Kemudian ada suara mendidih dahsyat dari dalam kawah Gunung Bromo. Dalam samadi aku juga mencium bau harumnya bunga ….” Resi Jantika Lamantara berpikir sejenak.
Resi Aji Sumabarang mendahului bertanya.
”Resi Lamantara ingat? Bau harum bunga apa?”
”Sepertinya bau harum bunga tanjung ….” jawab Resi Jantika Lamantara. Resi berusia delapan puluh tahun ini merenung sejenak lalu berkata. ”Aku jadi ingat pada kisah lama tentang pohon tanjung yang lenyap dari alun­alun Kerajaan ….”
”Kita sama­sama menaruh rasa khawatir. Kalau boleh saya mendahului membuat kesimpulan agaknya akan terjadi sesuatu di kawasan ini. Lima puluh tahun silam pernah terjadi topan besar di Gurun Tengger. Saya khawatir kejadian ini akan berulang lagi.”
Resi Jantika Lamantara menatap wajah sahabatnya lalu berkata. ”Kalau hal itu terjadi pasti ada sebab­musababnya. Kita harus menyelidik. Tapi tak cukup waktu. Dua hari lagi kita akan melaksanakan hari suci Nyadnya Kasada. Penduduk disekitar ini telah bersiap­siap menyambut hari besar itu. Aku sudah melihat banyak sekali Ongkek yang sudah dibuat. Aku berharap kalau memang terjadi sesuatu, kiranya tidak pada hari itu. Kita harus melakukan sesuatu untuk menolak bala.” Dari balik pakaiannya Resi Jantika Lamantara mengeluarkan sebuah kalung berbentuk tasbih besar terbuat dari untaian butir­butir batu alam aneka warna sebesar ujung ibu jari tangan. Kalung diletakkan di atas pangkuan lalu Resi ini pejamkan mata. Resi Sumabarang ikut picingkan mata dan menunggu. (Ongkek = persembahan yang diarak ke dasar Gunung Bromo dalam berbagai bentuk. Antara lain berupa binatang dan terbuat kebanyakan dari sayur­sayur serta bebuahan).
Tak lama kemudian Resi Jantika Lamantara buka kedua mata dan berkata. ”Resi Sumabarang, agaknya kita perlu meminta bantuan saudara di Gunung Bromo ini dan juga di Gunung Widodaren. Minta mereka menampung tetesan air suci serta air embun murni sebanyak mungkin. Berdoa mohon keselamatan lalu meneguk air itu. Mudah­mudahan dengan kuasa para Dewa dapat dipergunakan untuk menghindari bala bencana malapetaka ….”
”Kalau begitu saya mohon diri untuk melakukan permintaan Resi Lamantara sekarang juga ….”
Kedua Resi itu sama­sama berdiri lalu saling membungkuk memberi hormat dan salam. Resi Jantika Lamantara letakkan untaian kalung batu di atas kening lalu menciumnya dalam­dalam. Resi tua ini menarik nafas panjang. ”Aku memang mencium akan datang topan di Gurun Tengger. Tetapi apa yang menjadi penyebabnya?! Ini bukan perbuatan Yang Kuasa. Ini karena ulah manusia. Semoga Para Dewa memberi perlindungan.” Lalu Resi ini kembali duduk bersila dan mulai bersamadi lagi. Namun entah mengapa dia tidak dapat memusatkan hati dan jalan pikiran. Ada kegelisahan muncul didalam dirinya. Setelah mencoba berulang kali dan tetap tidak berhasil akhirnya Resi ini bangkit berdiri dan melangkah keluar kuil. Malam gelap dan dingin. Di langit tak ada bulan tak tampak bintang. Tiupan angin seperti mengikis daun telinga. Belum lama berdiri di tempat terbuka, gelap dan dingin, tiba­tiba di langit Resi Jantika Lamantara melihat satu benda putih melesat dari arah barat disertai berkelipnya dua cahaya hijau. Benda ini kemudian menukik masuk ke dalam kawah Gunung Bromo.
”Para Dewa Penguasa dan Penjaga Alam! Tidak salahkah mataku melihat?” ucap Resi Jantika Lamantara dalam kejutnya. ”Seekor binatang putih besar melesat di udara. Masuk ke dalam kawah. Ada dua makhluk menungganginya. Ah ….”
Baru saja makhluk­makhluk tadi lenyap dari pandangan mata sang Resi mendadak ada lagi benda lain melayang cepat, datang dari jurusan yang sama.
”Para Dewa, apa artinya semua ini? Aku melihat tiga orang melayang di langit.” Resi Jantika Lamantara jatuhkan diri berlutut dan mengucap menyebut nama Dewa berulang kali namun matanya tidak lepas dari tiga makhluk yang melesat di udara itu. Seperti binatang putih besar bersama dua penunggangnya tadi tiga orang yang melesat di langit melayang turun masuk ke dalam kawah Gunung Bromo.
Saat itu langit di arah timur sudah mulai terang pertanda sebentar lagi sang surya akan segera mengubah malam menjadi siang. Setelah berdoa dan menetapkan hatinya Resi Jantika Lamantara lari menuju tepi kawah Gunung Bromo. Dalam usia yang sudah delapan puluh tahun itu ternyata sang Resi memiliki gerakan enteng dan gesit pertanda menguasai ilmu kesaktian tinggi. Namun dia hanya mampu memasuki dua pertiga kedalaman kawah. Hawa luar biasa dingin menjadi penghalang. Dia terpaksa menunggu di satu bagian lereng kawah sampai matahari muncul membawa hawa panas. Dari tempatnya berada Resi ini memandang ke dasar kawah. Matanya masih mampu melihat cukup jelas di balik kepulan asap yang perlahan­lahan mulai sirna. Di dasar kawah tampak sosok seekor harimau putih besar serta lima orang, salah satu diantaranya seorang anak kecil berambut jabrik.
”Dewa Jagatnata. Lima orang ditemani harimau besar di dasar kawah Gunung Bromo. Salah seorang dari mereka duduk bersila di atas batu, mengambil sikap bersamadi. Apa artinya semua ini …? Wahai Para Dewa. Apapun yang mereka lakukan jangan sampai mengganggu hari suci perayaan Kasada …”
***
WALAU kepulan asap tebal yang keluar dari kawah di dasar Gunung Bromo menutupi pemandangan namun dengan menerapkan ilmu Menembus Pandang Wiro bisa melihat cukup jelas. Selain itu harimau putih sakti Datuk Rao Bamato Hijau berjalan di sebelah depan sebagai pemandu. Di belakang Wiro melangkah Purnama diikuti Ratu Duyung bersama Gondoruwo Patah Hati dan Naga Kuning. Sang Ratu juga telah mengerahkan ilmu Menembus Pandang sehingga sehingga dapat melihat keadaan sekitarnya dengan jelas. Kalau orang­orang itu tidak mengandalkan harimau putih sakti tidak mudah bagi mereka bergerak di dasar kawah Gunung Bromo.
Hawa luar biasa dingin menjadi kendala yang tidak diperhitungkan sebelumnya. Dada terasa sesak. Sebab hembusan nafas menimbulkan kepulan asap. Untuk menghindari tubuh menjadi kaku membatu semua orang segera menerapkan kesaktian, mengerahkan lalu mengalirkan hawa panas di dalam tubuh masing­masing. Wiro menyalurkan hawa panas Kapak Naga Geni 212 yang ada di dalam tubuhnya.
Di satu tempat harimau putih hentikan langkah. Binatang bermata hijau ini berbalik ke arah Wiro, membuat gerakan berdiri di atas dua kaki belakangnya lalu membungkuk dan menjilat tangan kanan Wiro sambil keluarkan gerengan halus.
Wiro mengerti apa arti sikap yang dibuat sang harimau segera merangkul binatang itu, menyusup tengkuknya dan berkata.
”Datuk sahabatku. Aku tahu kau memiliki keterbatasan. Tidak mungkin berada bersamaku dan teman­teman. Kau sudah banyak memberi bantuan. Membawa kami sampai ke tempat ini. Aku dan semua sahabat mengucapkan terima kasih.” Wiro peluk harimau besar itu sekali lagi. Datuk Rao Bamato Hijau menggereng halus. Sebelum melesat ke atas puncak Gunung Bromo, Datuk Rao Bamatao Hijau jilati tangan semua orang yang ada disitu satu per satu.
”Ueh! Tanganku yang dijilat kenapa jadi putih?!” Naga Kuning keluarkan ucapan. Semua orang memperhatikan lalu melihat ke tangan sendiri. Ternyata telapak tangan merekapun juga berwarna putih.
”Apa yang dilakukan harimau itu?” tanya Gondoruwo Patah Hati sambil usap­usap tangan kanannya.
”Ya apa artinya ini? Aku merasa tubuhku jadi hangat.” berkata Ratu Duyung.
”Mungkin datuk meninggalkan sesuatu untuk kita semua. Semacam bekal.” kata Pendekar 212 Wiro Sableng pula.
Sementara itu cahaya matahari yang datang dari atas membuat udara jadi hangat dan membantu melenyapkan hawa dingin serta mengurangi asap.
Purnama dekati Wiro. ”Saatnya kau mencari tempat yang baik untuk mulai samadi sesuai petunjuk dalam kitab.”
Wiro memandang sekeliling dinding dasar kawah. Pandangannya membentur potongan batang pohon kayu besi yang menancap di lereng kawah sebelah bawah. Mata menatap dada langsung berdebar. Seperti diceritakan dalam serial ”Misteri Bunga Noda” batang pohon kayu besi berwarna hitam ini ditancapkan oleh Darmasewara untuk dijadikan petunjuk keberadaan sebuah goa.
”Batang pohon di dasar kawah. Satu hal yang tidak mungkin terjadi kalau tidak ada manusia atau makhluk gaib yang meletakkannya disitu …” Wiro berucap lalu merenung sejenak. Dia kemudian melangkah ke arah lereng kawah. Sejarak dua tombak dari batang kayu hitam ada satu gundukan batu berwarna kelabu yang bagian atasnya agak rata. Wiro naik ke atas gundukan batu lalu duduk bersila. Purnama dan Ratu Duyung serta Gondoruwo Patah Hati dan Naga Kuning berdiri di sebelah belakang batu. Saat itu sang surya telah naik cukup tinggi. Asap di dasar kawah banyak berkurang, udara terasa hangat dan seluruh dasar kawah kini dalam keadaan terang benderang.
Wiro merapal sebagian tulisan terputus­putus yang pernah dibacanya di Kitab Jagat Pusaka Dewa yang hangus terbakar. Dengan susah payah semalam suntuk bersama Purnama dia berhasil menyambung­nyambung tulisan yang nyaris sulit di baca itu.

”Bilamana ilmu kesaktian. Dipergunakan untuk kebaikan. Akan didapat berkah serta sanjungan. Bilamana ilmu kesaktian. Dipergunakan untuk kejahatan. Akan didapat bala dan kutuk. Pohon tanjung di Gurun Tengger. Akan lenyap. Kembali ke tempat… Jauh di dasar kawah Gunung Bromo. Kesaktian akan lenyap. Berkah akan musnah. Dari dasar kawah itulah. Jika cipta diheningkan. Petunjuk akan datang …”

Wiro letakkan dua tangan di atas dada, mata dipejam. Perlahan­lahan pikiran dikosongkan. Hanya beberapa saat setelah Wiro masuk ke dalam alam samadi tiba­tiba di kejauhan terdengar suara aneh seperti puluhan seruling ditiup. Bersamaan dengan itu terasa getaran pada dinding dan dasar kawah. Di sebelah atas gunung tampak debu kelabu beterbangan. Lalu ada tiupan angin turun ke dasar kawah. Kecuali Wiro, semua orang mendongak ke puncak gunung memperhatikan apa yang terjadi.
Ketika suara seperti tiupan seruling akhirnya lenyap, deru angin sirna, getaran di dasar serta dinding kawah hilang, dan gebubu debu di atas gunung tak tampak lagi, Pendekar 212 telah tenggelam dalam samadi khusuk. Lubuk hatinya tiada henti berkata.
”Tuhanku Yang Maha Kuasa. Jika memang di tempat ini aku akan mendapat petunjuk, berikanlah. Engkau Maha Mengetahui malapetaka apa yang akan terjadi tanpa pertolonganMu.”
”Ada orang datang.” tiba­tiba Naga Kuning memberi tahu. Semua orang berpaling. Saat itu seorang tua berpakaian serba putih, berwajah tirus tahu­tahu telah berdiri di tempat itu. Setelah menatap orang­orang didepannya dia lalu berkata.
”Namaku Jantika Lamantara. Aku resi penjaga kawasan Gunung Bromo. Kalian semua datang dari mana. Ada keperluan apa berada di dasar kawah? Satu hari lagi akan ada perayaan hari suci Kasada di tempat ini. Aku tidak mau ada tindak perbuatan kalian yang mengganggu ketentraman kawasan ini. Apalagi sampai mengganggu kesucian jalannya Kasada. Aku mohon kalian segera meninggalkan tempat ini. Dari pakaian kalian aku bisa menduga kalian adalah orang­orang rimba persilatan.” Sambil bicara Sang Resi melirik ke arah Wiro yang tengah duduk bersamadi. Ada getaran aneh di dalam dadanya ketika dia melihat wajah sang pendekar. Dia kerahkan hawa sakti untuk meneliti sosok Wiro. Namun mendadak lututnya terasa goyah. Mulutnya bergumam.
Gondoruwo Patah Hati yang punya sifat berangasan langsung saja hendak membuka mulut. Namun Purnama cepat mendekati Resi Jantika Lamantara membungkuk memberi hormat dan berkata dengan suara sopan.
”Resi Jantika, kau benar. Kami memang orang­orang rimba hijau persilatan. Kami datang membawa niat baik. Untuk mendapat petunjuk dari satu kekuatan gaib. Mungkin yang datang dari Para Dewa. Petunjuk itu sangat berguna untuk menghancurkan kekuatan jahat yang kini tengah merajalela. Kami tidak membekal niat merusak kawasan, juga mengganggu ketentraman, apalagi merusak kesucian hari Kasada. Kami mohon maaf kalau kami datang tanpa memberi tahu. Resi lihat sendiri. Salah seorang dari kami tengah melakukan samadi. Berusaha berhubungan dengan kekuatan gaib yang akan memberi petunjuk.”
Resi Jantika Lamantara perhatikan satu persatu orang yang berdiri dihadapannya lalu berkata. ”Aku masih belum percaya kebenaran ucapan kalian. Tadi aku mendengar suara angin seperti tiupan seruling. Ada debu yang mengapung di udara. Lima puluh tahun silam hal serupa pernah terjadi. Semua merupakan tanda­tanda akan munculnya topan prahara di kawasan Gurun Tengger. Kalian bisa saja menjadi pangkal penyebab terjadinya bencana itu karena alam tidak menerima kehadiran kalian.”
”Resi Jantika, kami memang tengah menghadapi satu kekuatan gaib dari golongan hitam. Kekuatan itu mungkin saja menimbulkan petaka berupa topan prahara. Bahkan bisa juga meledakkan gunung besar keramat ini. Itu sebabnya kami berusaha untuk mencegah …”
Kecurigaan Resi Jantika Lamantara berkurang sedikit setelah mendengar kata­kata yang barusan diucapkan Ratu Duyung. Dia kembali pandangi keempat orang dihadapannya itu. Dua gadis sangat cantik, seorang bocah dan seorang nenek berwajah seram seperti setan. Tiba­tiba untuk pertama kalinya sang Resi melihat telapak tangan kanan keempat orang itu yang berwarna putih. Wajahnya berubah. Dia cepat mendekati Naga Kuning. Memegang tangan kanan bocah ini lalu mendekatkan ke hidungnya. Berusaha membaui sesuatu.
”Eh Kek, ada apa kau mencium tanganku?” tanya Naga Kuning heran.
”Aku mencium sesuatu. Sesuatu yang pernah aku cium lima puluh tahun lalu. Angin Putih Tangan Dewa … ” ucap sang Resi perlahan dengan suara bergetar. Lalu dia balik bertanya. ”Bagaimana tangan kalian bisa bertanda putih seperti ini?”
Dari keempat orang itu tak ada yang mau memberi tahu. Malah Gondoruwo Patah Hati ajukan pertanyaan. ”Memangnya kenapa?”
”Lima puluh tahun lalu …” jawab Resi Jantika. ”Sewaktu terjadi malapetaka topan besar di Gurun Tengger. Satu hari sebelum topan muncul ayahku Resi Mojong Lamantara kedatangan seorang …”
Ucapan Resi Jantika Lamantara terputus oleh munculnya getaran keras di dasar kawah. Lalu dinding kawah dihadapan mana Wiro duduk bersamadi berderak. Pada dinding itu tampak retakan dalam, berbentuk setengah lingkaran dengan ketinggian hampir satu setengah tombak. Perlahan dan sedikit demi sedikit retakan di sebelah atas dinding kawah gugus jatuh ke bawah. Tak selang berapa lama pada dinding kawah itu muncul satu lobang besar menyerupai mulut goa.
Hampir tiada beda dengan peristiwa yang pernah terjadi ratusan tahun silam, dari dalam goa melangkah keluar seorang pemuda gagah mengenakan baju dan celana hitam. Wajah segar bersih dilengkapi kumis, cambang bawuk serta jenggot rapi tipis.
Ratu Duyung dan Purnama sama­sama terpana. Bukan karena tertarik akan ketampanan wajah sang pemuda. Namun kedua gadis cantik ini samar­samar ingat sesuatu. Pakaian serba hitam dengan sulaman bunga tanjung terbuat dari benang perak dan emas! Mereka berdua memang belum pernah melihat orangnya. Namun telah sering mendengar cerita.
Resi Jantika Lamantara ketika melihat pemuda yang keluar dari dalam goa di dinding dasar kawah itu langsung tampungkan dua tangan ke langit sambil mulutnya berucap.
”Dewa sungguh besar. Puluhan tahun hidup di Gunung Bromo baru sekali ini aku mengetahui dan melihat kalau gunung ini memang memiliki seorang penunggu sakti.”
Dengan sikap tenang pemuda yang barusan keluar dari dalam dinding kawah perhatikan orang­orang didepannya. Ketika dia berpaling pada Resi Jantika, Resi ini cepat membungkuk dan bentangkan kedua tangan. Dia maklum kalau pemuda itu bukan manusia biasa. Kalau tidak dengan kuasa Dewa tidak mungkin dia ada dan muncul seperti itu.
Pemuda berpakaian hitam sesaat perhatikan Pendekar 212 Wiro Sableng yang duduk bersamadi di atas batu kelabu. Dia melangkah mendekati dan letakkan tangan kanan di bahu Wiro. Dari mulutnya keluar ucapan dengan suara lembut.
”Sahabat tak dikenal, ratusan tahun tidak ada yang sanggup memanggil diriku dari alam roh kecuali dengan kehendak Para Dewa. Dan kau sanggup melakukan! Aku sudah berada dihadapanmu. Beritahu apa yang kau dan para pengantarmu inginkan.”
Hawa dingin yang keluar dari tangan kanan pemuda berpakaian hitam mengalir ke dalam tubuh Pendekar 212 membuat sang pendekar sadar, hentikan samadi. Ketika dia membuka mata dan melihat orang yang berdiri dihadapannya serta merta Wiro terbelalak. Pemuda di candi yang mengobatinya tapi sekaligus mencelakainya! Pemuda bejat yang memperkosa dan membunuh sekian banyak gadis! Manusia terkutuk yang telah merampas kehormatan dan menghabisi Raden Ayu Ambarsari lalu menimpakan fitnah kesalahan pada dirinya! Dengan cepat Wiro melompat turun dari atas batu sambil mulutnya berseru.
”Jahanam terkutuk! Cakra Mentari! Kau!”
***

SEPULUH

PEMUDA berpakaian hitam mundur selangkah ketika melihat Pendekar 212 Wiro Sableng angkat tangan kanannya. Tangan itu serta merta berubah warna seperti perak berkilau dan menghampar hawa panas pertanda siap melepas pukulan sakti mematikan. Pemuda di depan Wiro mengangkat kedua tangan lalu dengan cepat berkata.
”Sahabat, tahan seranganmu. Tidak heran kau salah mengira. Wajahku dan wajah orang yang barusan kau sebutkan namanya itu memang sangat sama. Karena aku sempat menitis ke dalam dirinya ketika dia masih bayi. Katakan apakah ada permusuhan besar antara dirimu dengan Cakra Mentari …”
Wiro balas menatap, pandangi pemuda didepannya mulai dari rambut sampai ke kaki. Bedanya pemuda ini dengan Cakra Mentari hanya dia tidak mengenakan secarik kain merah pengikat kening. Perlahan­lahan Wiro turunkan tangan kanannya yang tadi sudah siap menghantamkan pukulan sakti Sinar Matahari.
”Kami dalam usaha menumpas manusia terkutuk itu. Dia telah berbuat kejahatan keji dimana­mana. Memperkosa dan membunuh banyak gadis. Namun usaha kami tidak mudah dilakukan. Selain dia memiliki ilmu kepandaian tinggi ada makhluk gaib yang menjadi pelindung. Keras dugaan makhluk gaib itu sekaligus menjadi otak dari semua kejahatan bejat yang dilakukannya. Wiro hentikan ucapan, memandang lagi Suma Mahendra penuh selidik lalu ganti bertanya. ”Sekarang giliranmu menerangkan. Siapa dirimu dan apa hubunganmu dengan Cakra Mentari.”
”Namaku Suma Mahendra. Aku berasal dari Kerajaan Singosari ratusan tahun lalu …”
”Tunggu, kalau kau memang berusia ratusan tahun, bagaimana kau bisa tampil sebagai seorang pemuda seperti ini …”
Suma Mahendra tertawa. Dia menunjuk pada Naga Kuning.
”Anak itu.” katanya. ”Bagaimana dia mungkin hadir sebagai seorang bocah. Padahal sebenarnya bukankah dia seorang kakek berusia lebih dari seratus tahun? Kita semua mendapat berkah dari Para Dewa sesuai dengan keadaan diri masing­masing.”
Wiro menggaruk kepala. Suma Mahendra lanjutkan keterangannya.
”Suatu ketika guna mendapatkan ilmu kesaktian mandraguna aku masuk ke dasar kawah Gunung Bromo ini untuk bertapa dan mendapatkan sebuah kitab sakti bernama Kitab Jagat Pusaka Dewa. Permohonanku ternyata tidak dikabulkan Para Dewa. Seperti kataku tadi Dewa hanya mengizinkan aku menitis ke dalam tubuh seorang bayi yang kemudian dikenal dengan nama Cakra Mentari. Kepadanya kelak Kitab Pusaka Jagat Dewa akan diberikan. Namun ada satu makhluk jahat bertindak culas. Mencuri kitab dan menggantikannya dengan kitab palsu yang mengandung sari kemesuman dan kejahatan. Cakra Mentari mempelajari kitab sesat itu tanpa dia sadar apa yang dilakukannya ….”
”Dia memperkosa dan membunuh sekian banyak gadis. Mustahil hal itu dilakukan diluar kesadaran …” kata Ratu Duyung yang sejak tadi berdiam diri.
”Betul.” jawab Suma Mahendra. ”Disitulah letak kesesatan yang bersumber dari kitab palsu dan jahat. Pemuda bernama Cakra Mentari itu berada di bawah satu kekuatan dahsyat yang tak bisa dilawannya. Dia tidak sadar, dia bahkan lupa akan masa silamnya. Dia hanya menjadi alat seseorang yang luar biasa keji untuk menjadi perantara mendapatkan ilmu kesaktian yang tiada taranya di dunia ini …”
”Siapa adanya manusia itu?” tanya Purnama.
Suma Mahendra menggeleng. ”Sayang sekali, aku tidak mengetahui siapa adanya orang itu ….”
”Aku sangat menduga manusianya adalah makhluk tanpa wajah yang tiba­tiba saja muncul di tanah Jawa ini. Sering sekali dia muncul untuk mencelakai kami.” ucap Ratu Duyung.
”Kau menyebut makhluk itu. Aku jadi ingat dan ucapanmu benar.” kata Suma Mahendra pula. ”Dia muncul di puncak Gunung Mahameru ketika aku berusaha menyelamatkan Cakra Mentari sebelum terjebak dan tersesat oleh kitab palsu. Dia menghantamku dengan tongkat sakti berlapis emas. Berarti makhluk itu yang telah menukar lalu memberikan kitab jahat pada Cakra Mentari.”
Dari balik pakaian putihnya Wiro mengeluarkan dua buah kitab, satu masih utuh satu dalam keadaan hangus. Dua kitab diperlihatakan pada Suma Mahendra. Lalu Wiro menerangkan.
”Sahabatku Purnama menerima dua kitab ini dari seorang bernama Deewana Khan. Apakah kau mengenal orang itu?”
Suma Mahendra menggeleng.
”Yang bekas terbakar ini adalah Kitab Jagat Pusaka Dewa yang asli. Yang masih utuh merupakan salinan tapi tidak bisa dibaca oleh mata biasa. Orang yang memberikan kitab mengatakan bahwa ada petunjuk di dalam kitab yang terbakar. Aku dan sahabatku ini mempelajari semalam suntuk. Kami berhasil mengungkapkan tulisan hangus dan rusak di dalam kitab. Yang mengatakan aku harus datang ke dasar kawah Gunung Bromo ini dan bersamadi untuk mendapatkan petunjuk. Ternyata aku bertemu dengan dirimu. Berarti kaulah sumber petunjuk bagiku dan kawan­kawan untuk dapat menumpas manusia keji bernama Cakra Mentari itu serta siapapun yang menjadi otak di belakangnya.”
Wiro menyerahkan kitab yang masih utuh pada Suma Mahendra.
”Deewana Khan memberi petunjuk, jika seseorang bertapa seratus hari, dia akan sanggup membaca seluruh isi kitab dan menguasai semua ilmu kesaktian yang ada didalamnya. Aku ingin menyerahkan kitab itu padamu. Ambillah.”
Suma Mahendra tersenyum. Dia tepuk­tepuk bahu Pendekar
212.
”Kau orang baik. Aku senang bisa bertemu denganmu. Hanya saja harus kau ketahui. Masaku telah lewat. Sejak semula aku memang tidak berjodoh dengan kitab ini. Di dalam alam roh, aku tidak membutuhkan lagi segala macam ilmu kesaktian. Simpan baik­baik. Kelak pasti ada seorang lain yang lebih pantas mendapatkannya.”
Wiro masukkan dua kitab ke balik pakaiannya kembali.
”Sebelum kami pergi, mohon petunjuk apa yang bisa kami lakukan untuk menumpas Cakra Mentari dan makhluk jahat itu.”
Suma Mahendra picingkan sepasang mata. Dua tangan dirapatkan lalu diangkat ke atas.
”Des … des … des!”
Tiga larik asap putih mengepul keluar dari batok kepala pemuda ini. Setelah asap hilang dia buka matanya kembali.
”Kau dan teman­temanmu tidak akan mampu mengalahkan Cakra Mentari sebelum terlebih dahulu menghabisi manusia atau makhluk pelindungnya …”
”Maksudmu makhluk tanpa wajah itu?” tanya Purnama.
Suma Mahendra mengangguk.
”Makhluk tanpa wajah itu siapapun adanya, dia memiliki ilmu kesaktian dahsyat yang bersumber pada sebuah tongkat emas. Untuk mengalahkannya kau harus menghancurkan atau merampas tongkat itu.” selesai bicara Suma Mahendra berpaling pada Purnama. Matanya memandang seperti hendak menelanjangi hingga Purnama merasa tidak enak.
”Ada apa? Mengapa kau melihat diriku seperti itu?” tanya Purnama.
Suma Mahendra tersenyum.
”Kau dan diriku sama. Kita sama­sama mahkluk dari alam roh. Namun tingkatanmu jauh lebih tinggi karena kau berasal dari alam lebih dari seribu tahun lalu.”
”Lalu?” tanya Purnama lagi.
”Aku melihat sebuah benda kecil bercahaya kuning di balik pakaianmu. Maukah kau mengeluarkan dan memperlihatkan padaku?”
Dalam herannya melihat kemampuan orang mengetahui benda kuning yang memang ada dibalik pakaian birunya, Purnama mengeluarkan benda itu dan menyerahkannya pada Suma Mahendra. Setelah memperhatikan cukup lama Suma Mahendra bertanya.
”Kepingan emas ini berasal dari tongkat emas makhluk tanpa wajah itu. Bagaimana bisa sampai berada padamu?”
Purnama menerangkan peristiwa perkelahiannya dengan makhluk tanpa wajah. Ketika lawan menghantam dan membuat dia terkunci terpendam di dalam tanah, dia berhasil membuat gompal tongkat emas senjata manusia tanpa wajah itu.
”Gompalan tongkat emas ini bukan benda sembarangan. Bisa dipergunakan untuk menjajagi dimana keberadaan makhluk itu. Sebaliknya memegang kepingan tombak ini bisa berbahaya. Karena makhluk tanpa wajah dapat mengetahui keberadaanmu dan kawan­kawan …” Suma Mahendra hentikan ucapan. Wajahnya agak berubah.
Dia genggam gompalan tongkat emas di tangan kanan lalu pejamkan mata dan hirup udara dalam­dalam. ”Aku merasakan datangnya bahaya. Mungkin makhluk …”
Belum selesai pemuda berpakaian serba hitam itu berucap tiba­tiba entah darimana datangnya selarik sinar kuning berkiblat, membuat Suma Mahendra terpental dan jatuh duduk di dasar kawah. Mukanya pucat.
Wiro cepat melompat menolong Suma Mahendra berdiri. Ratu Duyung dan Purnama sama­sama tempelkan tangan ke punggung pemuda ini untuk mengalirkan hawa sakti untuk mencegah cidera tubuh di bagian dalam.
”Terima kasih, aku tak kurang suatu apa.” kata Suma Mahendra lalu buka genggaman tangan kanan.
”Kepingan emas ini, ketika aku mengerahkan tenaga dalam untuk menjajagi, makhluk pemilik tongkat merasa ada kontak. Dia langsung mengirimkan serangan. Daya serangannya luar biasa hebat. Padahal jarak makhluk itu dari sini sangat jauh. Namun dalam waktu cepat, sebelum matahari naik dia akan segera berada di tempat ini. Dia membekal niat dahsyat. Membuat topan di Gurun Tengger untuk menggulung dan melumat kalian. Tadi sewaktu kalian pertama kali sampai di dasar kawah ini, aku rasa dia telah menjajal mengirim angin dan debu ….”
”Betul sekali.” yang berucap adalah Resi Jantika Lamantara. ”Tadi memang ada angin dan debu. Jadi makhluk itu rupanya yang akan menimbulkan bencana di kawasan ini. Semoga Dewa di kahyangan turun tangan untuk menghukum dirinya. Tidak satu orang atau makhluk pun boleh merusak kesucian hari besar Kasada.”
”Sahabat semua, sebaiknya kalian segera meningglkan tempat ini. Cepat naik ke atas …”
Purnama membisikkan sesuatu ke telingan Wiro.
Wiro lalu berkata pada Suma Mahendra. ”Dalam semua kejadian yang menimbulkan semua malapetaka keji ini kami melihat bunga tanjung muncul dimana­mana. Bahkan pakaian yang kau kenakan di sulam dengan gambar bunga itu. Kami mohon petunjukmu apa arti dan hubungan bunga tanjung dengan semua kejadian keji itu.”
”Sebelum aku menitis masuk ke dalam tubuh Cakra Mentari, aku terlebih dahulu mengirimkan ratusan bunga tanjung ke dalam tubuhnya sebagai pagar penjaga keselamatan. Namun sewaktu pemuda itu terperangkap dalam tangan makhluk jahat, mahkluk jahat menyusupkan lebih dari tiga ratus bunga tanjung ke dalam tubuh Cakra Mentari, merusak dan menghancurkan bunga tanjung milikku. Bunga tanjung berubah menjadi bunga noda. Jika kau ingin mengalahkan Cakra Mentari, kau harus menguras habis semua bunga tanjung yang ada dalam tubuhnya ….”
”Caranya?” tanya Gondoruwo Patah Hati yang bicara untuk pertama kalinya.
”Konon ada satu pantangan yang tak boleh dilanggar oleh Cakra Mentari. Sayangnya aku tidak tahu apa pantangan itu.”
Purnama belum puas. Dia berkata lagi. ”Wiro sahabatku ini dicelakai oleh Cakra Mentari hingga hilang kejantanannya sebagai laki­laki. Apakah kau punya petunjuk untuk mengobatinya?”
Suma Mahendra menatap ke bagian bawah pusar Wiro. Kelopak matanya bergetar.
”Ada satu tanda putih di bawah pusar. Seseorang, mungkin saja Cakra Mentari sengaja menyusupkan bunga tanjung untuk melumpuhkan kejantananmu. Bunga tanjung itu harus dicari dan ditanam di bawah pohon tanjung, diantara dua akar yang sejajar ….”
”Kejadiannya sudah cukup lama. Bagaimana mungkin mencari dan menemukan bunga tanjung yang satu itu ….”
Suma Mahendra merenung lalu pejamkan kedua matanya. Saat mata dibuka kembali pemuda ini berkata.
”Ada petunjuk dari alam gaib. Berasal dari pohon tanjung besar yang pernah tumbuh di alun­alun Kerajaan Singosari. Pohon itu kemudian masuk ke dalam kawah ini lalu satu kekuatan dahsyat memindahkannya ke Gurun Tengger, di pakai untuk tempat Cakra Mentari melakukan tapa sesat. Menurut petunjuk seorang perempuan berusaha menolong Wiro. Dia mengambil bunga tanjung yang disusupkan di bawah pusar lalu menghancurkannya. Tanpa diketahui perempuan penolong pada saat itu terjadi satu hal aneh. Hancuran bunga tanjung menguap di udara lalu dihembus angin gaib, menyatu kembali namun masuk ke dalam kemaluan perempuan itu …”
”Oala!” ucap Naga Kuning.
”Untuk menyembuhkan Wiro, bunga tanjung itu harus didapatkan, diambil dan seperti kataku tadi disusupkan diantara akar sejajar sebuah pohon tanjung. Pohon sanjung dimana saja yang bisa kalian temukan.”
”Apakah … apakah …” Naga Kuning kembali membuka mulut. Kali ini sambil mesem­mesem geli. ”Apakah diketahui siapa adanya perempuan yang menolong Wiro itu? Kalau tidak diketahui apakah mungkin kita semua memeriksai sekian banyak kemaluan perempuan untuk mencari bunga tanjung itu? Untung­untung masih utuh. Kalau sudah leleh dan bau­bau pesing!! Oala! Hik … hik … hik!” si bocah berambut jabrik ini lalu tertawa cekikikan.
Wiro, Purnama dan Ratu Duyung terkesiap mendengar ucapan lucu tapi kurang ajar itu. Resi Jantika tundukkan kepala mengucap berulang kali. Semua orang merasa khawatir kalau Suma Mahendra marah.
Gondoruwo Patah Hati pencet tengkuk Naga Kuning seraya membentak. ”Bocah edan! Ini bukan saatnya bicara ngelantur seenak udelmu!”
Sebaliknya tidak disangka Suma Mahendra malah tertawa gelak­gelak sampai wajahnya menjadi merah.
”Ratusan tahun dalam alamku, aku tidak pernah mendengar senda gurau yang menyegarkan seperti itu.” kata Suma Mahendra pula. ”Ucapan sahabat kecil itu benar adanya. Mungkin satu petunjuk lagi bisa aku beritahu. Perempuan yang menolong Wiro adalah seorang yang berasal dari alam gaib …”
”Nah … nah!” kembali Naga Kuning bersuara. Kali ini sambil melirik ke arah Purnama.
Merasa tidak enak dirinya seperti dicurigai Purnama cepat­cepat berkata. ”Sahabat Suma Mahendra. Tidak sia­sia kami datang kesini. Kami sangat berterima kasih atas semua petunjuk yang kau berikan.”
”Ada satu hal yang menjadi pertanyaan dalam pikiran dan hatiku. Apakah Cakra Mentari pantas bertanggung jawab dan dibunuh? Karena semua kejahatan yang dilakukannya berpangkal pada tipu daya makhluk tanpa wajah. Ketika dia berusia dua belas tahun dia anak yang cerdas. Tanpa setahu kedua orang tuanya secara gaib aku mengajarkan ilmu silat dan kesaktian padanya. Dia memiliki ilmu kesaktian yang disebut Raja Demit berupa satu makhluk raksasa berkulit merah yang bisa keluar dari gosokan kedua tangannya. Dia juga memiliki ilmu pukulan sangat berbahaya yang didapat setelah bersamadi di Gurun Tengger. Pukulan itu bernama Tiga Cahaya Alam Gaib, memancarkan cahaya merah, biru dan hijau. Setahuku pemuda itu mempunyai teman seekor elang putih berjambul hitam. Hanya itu yang bisa aku sampaikan pada kalian …”
”Kami sangat berterima kasih. Setelah tahu siapa dan bagaimana keadaan Cakra Mentari tentunya kami …”
Ucapan Purnama terputus. Tiba­tiba ada getaran keras di dasar kawah. Air yang tergenang di beberapa bagian kawah tampak bergejolak seperti mendidih. Di langit tampak tebaran debu coklat kehitaman disertai suara angin menyerupai tiupan seribu seruling.
”Topan …” desis Resi Jantika Lamantara.
”Sahabat semua! Lekas tinggalkan tempat ini. Naik ke atas gunung! Cepat!” teriak Suma Mahendra. Lalu pemuda ini balikkan tubuh, melangkah masuk ke dalam lobang di dinding kawah. Secara aneh dinding yang berlobang membentuk mulut goa itu menutup kembali!
Didahului oleh Gondoruwo Patah Hati dan Naga Kuning, disusul oleh Resi Jantika Lamantara, Wiro, Ratu Duyung dan Purnama, semua orang itu melesat ke atas gunung. Namun dari atas gunung menggebubu angin luar biasa dahsyat, menghantam ke bawah membawa debu dan pasir gurun hampir selebar mulut gunung dengan ketebalan mencapai tiga tombak! Daya dorong yang luar biasa hebat membuat semua orang tertekan ke bawah. Apapun yang mereka lakukan tidak mampu menembus ke atas, tidak dapat menyelamatkan diri. Naga Kuning yang pertama sekali kelihatan limbung lalu terlempar ke bawah. Gondoruwo Patah Hati berusaha mencekal tangan anak ini tapi diapun ikut terseret dan terhempas jatuh. Sementara Wiro, Purnama dan Ratu Duyung tampak menggapai­gapai sia­sia.
”Celaka!” teriak Resi Jantika. Tubuhnya melayang paling cepat ke bawah. ”Kita semua akan terkubur hidup­hidup di dasar kawah!” dalam keadaan menegangkan begitu rupa tiba­tiba sang Resi ingat sesuatu. Dia berteriak sekeras yang bisa dilakukan.
”Angin Putih Tangan Dewa! Kalian semua! Lekas pukulkan tangan kanan kalian ke atas!” habis berteriak begitu sang Resi terhempas ke bawah, terpelanting ke dinding kawah dan tergeletak satu cegukan batu dengan kepala benjut berdarah.
Setengah sadar dia kemudian menyaksikan apa yang terjadi dan berulang kali menyebut nama Dewa.
***

SEBELAS

INTAN! Naga Kuning berteriak memanggil Gondoruwo Patah Hati dengan nama aslinya. ”Aku tidak takut, aku tidak penasaran kalau kita harus mati berdua di dasar kawah Gunung Bromo ini!”
”Gila! Aku belum mau mati!” balas berteriak si nenek. ”Kau dengar apa yang diteriakkan Resi itu? Dia tahu sesuatu! Ayo hantamkan tangan kananmu ke atas!”
Sementara tubuh melayang ke bawah Gondoruwo Patah Hati pukulkan tangan kanannya ke atas. Naga Kuning lakukan hal yang sama. Keduanya sama­sama mengerahkan tenaga dalam penuh.
”Tar! Tar!”
Dari tangan kanan kedua orang itu muncul kilatan terang disertai suara seperti petir menyambar. Lalu dua cahaya putih melesat ke atas mengandung kekuatan angin dahsyat, menderu menggelegar, menghantam pasir gurun tebal yang tengah menggemuruh jatuh ke bawah laksana atap raksasa menimpa roboh!
Melihat apa yang terjadi, Wiro, Purnama dan Ratu Duyung segera pula pukulkan tangan kanan masing­masing. Dari telapak tangan yang putih setelah dijilat harimau sakti Datuk Rao Bamato Hijau, menggelegar tiga kilatan cahaya terang, melesat ke atas, bergabung dengan dua pukulan yang telah terlebih dahulu dihantamkan Naga Kuning dan Gondoruwo Patah Hati.
Terjadilah satu hal yang hebat. Begitu lima cahaya putih bertabrakan dengan pasir gurun yang jatuh siap menutup dasar kawah dan mengubur hidup­hidup kelima orang itu termasuk juga Resi Jantika Lamantara, lima ledakan luar biasa dahsyat menggelegar. Gunung Bromo seolah hendak meletus. Pasir gurun yang tebalnya sampai dua tombak dan bergerak turun tercabik buyar, melesat muncrat ke atas. Lalu di udara muncul satu kekuatan aneh, menyedot pasir serta semua orang yang ada di dalam kawah!
Laksana daun kering Wiro, Resi Jantika dan empat orang lainnya melayang di udara, dibawa angin kencang berputar­putar ke arah selatan dimana terletak Gurun Tengger. Angin dahsyat kemudian mencampakkan mereka ditempat yang terpisah satu sama lain. Ketinggian ilmu yang dimiliki orang­orang itu membuat mereka masih bisa jatuh di gurun pasir dengan hanya mengalami cidera ringan. Walaupun begitu mereka terpaksa harus berbaring menelungkup serata mungkin di tanah gurun dan melindungi mata dengan lengan. Sambaran ribuan bahkan mungkin jutaan pasir gurun laksana senjata rahasia bisa membutakan mata dan membuat tubuh mereka berubah jadi saringan!
Ditempatnya menelungkup sesekali dan sangat hati­hati Wiro coba mengintai dari balik lengan. Gila! Dia hanya melihat kegelapan saking tebalnya pasir gurun yang beterbangan. Dia terapkan ilmu Menembus Pandang. Tidak mempan!
”Apa yang harus aku lakukan?” pikir murid Sinto Gendeng. Dia mengusap wajahnya yang penuh pasir dengan tangan kanan. Saat itu samar­samar dia melihat kalau warna putih di telapak tangan kanannya tak ada lagi. ”Datuk Rao Bamato Hijau. Dia yang membuat warna putih dengan jilatan lidah. Ternyata warna putih itu adalah satu kekuatan ilmu dahsyat yang mampu melabrak hembusan angin topan, merobek tumpukan pasir gurun hingga menguak celah untuk menyelamatkan diri. Resi Jantika menyebutnya Angin Putih Tangan Dewa. Bagaimana sang Resi tahu nama ilmu kesaktian tersebut. Apakah dia punya hubungan dengan Datuk Rao Basaluang Ameh di tanah seberang pemilik harimau putih sakti? Datuk Rao Bamato Hijau, aku harap kau mendengar suaraku. Kalau tidak berkat pertolonganmu, aku dan teman­teman saat ini mungkin sudah terkubur jadi bangkai di dasar kawah Gunung Bromo. Kami sangat berterima kasih …”
Sementara itu ditempat lain Ratu Duyung tutupi wajahnya dengan cermin sakti. Setiap ada kesempatan dia berusaha melihat ke dalam cermin. Gelap kelam. Hanya itu yang terlihat. Gadis ini maklum bukan hanya tebalnya topan pasir yang jadi kendala, tapi ada suatu kekuatan sangat dahsyat ikut menahan daya sakti cermin.
”Makhluk jahanam tak punya wajah itu. Pasti dia ada di gurun ini.” pikir Ratu Duyung. ”Berapa lama aku bisa bertahan dari topan gila ini? Dimana Wiro. Dimana yang lain­lainnya?” dalam keadaan menelungkup dia berteriak. ”Wiro?! Kau dimana?! Tak ada jawaban. Begitu juga setiap Ratu Duyung berteriak nama yang lain. Sama sekali tidak ada jawaban. Suara teriakannya lenyap ditelan gaung panjang tak berkeputusan suara angin topan yang menderu ganas. Ratu Duyung kerahkan ilmu Menyerap Detak Jantung untuk mengetahui keberadaan Wiro dan yang lain­lainnya. Tapi gagal.
”Ini bukan topan kehendak alam. Seperti yang dikatakan Suma Mahendra ini adalah topan buatan makhluk tanpa wajah! Untuk mencelakai Wiro dan para sahabat termasuk diriku. Agaknya makhluk itu sudah tahu pertemuan dengan Suma Mahendra.” Ratu Duyung membatin dalam hati. ”Berarti makhluk itu ada di gurun ini juga! Kalau aku bisa mengetahui dimana dia berada …” Ratu Duyung berusaha memandang ke berbagai penjuru namun tetap saja dia hanya bisa melihat kegelapan menghitam akibat tebaran pasir gurun yang luar biasa tebal.
Resi Jantika Lamantara beruntung jatuh di Gurun Pasir Tengger tak jauh dari satu gundukan batu. Dengan menggulingkan diri dia berlindung di balik batu ini. Namun pikirannya diselimuti rasa khawatir amat sangat. Hatinya tiada henti berkata. ”Aku harus menyelamatkan kuil. Aku harus menyelamatkan semua benda persembahan untuk hari suci Kasada besok. Aku tak bisa hanya tinggal diam di tempat ini. Topan belum tentu berhenti sampai malam nanti. Dewa Penguasa Alam, lindungi diriku. Aku harus melakukan sesuatu.”
Dengan nekad Resi usia delapan puluh tahun ini bangkit berdiri. Terbungkuk­bungkuk dia melangkah ke arah di mana dia menduga terletaknya kuil. Namun baru dua langkah berjalan terpaan topan membuat tubuh sang Resi terpental dan jatuh terguling di pasir. Masih nekad dia kembali berdiri. Sekali ini hantaman pasir melabrak tubuhnya. Pakaian putihnya berlubang­lubang. Ratusan pasir menusuk kulit, masuk menembus ke daging. Resi Jantika mengeluh kesakitan. Ketika sekali lagi angin deras menghantam, orang tua ini terpental, terkapar di tanah gurun tak mampu bergerak lagi. Dari mulutnya terdengar suara merapal doa diselingi erang menahan sakit.
Di satu tempat di arah timur Gurun Tengger Purnama merapal satu aji kesaktian. Dari tubuhnya memancar cahaya biru yang diharapkan bisa melindungi diri dari kemungkinan tersambar pasir gurun. Celakanya setiap pasir gurun berbenturan dengan lapisan cahaya biru terjadi letupan keras disertai pancaran bunga api yang berbalik membakar pakaian birunya. Purnama akhirnya berhenti merapal. Seperti Ratu Duyung dia kemudian teringat keterangan Suma Mahendra kalau topan yang terjadi saat itu adalah perbuatan gila makhluk tanpa wajah.
”Kalau topan gila ini memang hasil perbuatan makhluk itu, mungkin aku bisa mengetahui dimana dia berada lalu memancingnya keluar dari persembunyian! Tapi dimana teman­teman. Apa sanggup menghadapi mahkluk jahat itu sendirian?” Gadis dari alam gaib ini coba menyelidik keberadaan Wiro dan kawan­kawan dengan ilmu Nafas Sepanjang Badan. Namun seperti yang terjadi dengan Ratu Duyung, ilmu tersebut tidak mampu diterapkan. Purnama berpikir sejenak lalu masukkan tangan kanannya ke saku celana biru. Dari saku ini dia keluarkan gompalan tongkat emas milik makhluk tanpa wajah. Gompalan tongkat ini diikatnya dengan benang sepanjang sepuluh langkah yang dicabut dan dibuat dengan cepat dari benang baju biru pakaiannya. Gadis ini pegang ujung benang kemudian bersurut menjauh. Di dalam gelapnya topan pasir Gurun Tengger, gompalan tongkat emas mengeluarkan cahaya kuning terang.
Purnama menunggu dengan dada berdebar dan dia tidak menunggu lama. Selagi masih bersurut tiba­tiba dari arah timur tampak cahaya kuning luar biasa terang, melesat ke arah tempatnya tengkurap. Purnama tarik ujung benang yang mengikat gompalan tongkat emas sambil berguling menjauh. Cahaya kuning berkiblat, melabrak tanah didepannya. Pasir gurun muncrat sampai dua tombak. Di tanah tampak satu lobang besar dan dalam mengepulkan asap. Purnama berbaring tak bergerak. Mata menatap lurus ke depan. Makhluk yang ditunggu tidak muncul. Namun Purnama yakin makhluk itu masih berada di gurun. Karenanya dia siapkan ilmu kesaktian bernama Menahan Raga Menyerap Tenaga yang mampu membuat lawan kaku lemas seluruh anggota tubuhnya. Namun sang makhluk tetap tidak menampakkan diri.
Mendadak Purnama merasa merinding. Jangan­jangan makhluk jahat tanpa wajah itu sudah berada didekatnya, melihat dirinya tapi dia sendiri tidak melihat makhluk itu! Memikir seperti itu Purnama segera saja melenyapkan diri, masuk ke dalam alam roh tapi sosok tubuh kasarnya masih tetap berbaring di tanah.
Apa yang terjadi dengan Naga Kuning dan Gondoruwo Patah Hati? Ketika tubuh mereka melesat ke udara dan tersedot ke atas puncak Gunung Bromo kedua orang yang sebenarnya adalah sepasang kekasih ini sempat saling berpegangan. Sewaktu jatuh di tanah gurun keduanya jatuh saling tindih dan beruntung masuk ke satu cegukan tanah hingga agak terlindung dari sambaran pasir gurun. Namun setelah ditunggu beberapa lama Naga Kuning yang menindih di sebelah atas masih tidak turun­turun dari atas tubuh si nenek bahkan sama sekali tidak bergerak. Ketika diperhatikan kedua matanya terpejam.
”Gunung, kau kenapa?” tanya Gondoruwo Patah Hati khawatir. Gunung adalah nama asli Naga Kuning. Si nenek merangkak mendekati bocah itu. Tubuh Naga Kuning diguncang. Anak ini masih saja diam tak bergerak. ”Heh..?” Gondoruwo Patah Hati semakin khawatir. Pipi Naga Kuning ditepuk­tepuk. Sewaktu mau diangkat diturunkan ke samping tubuh si bocah terasa berat. Sementara di sebelah bawah ada sesuatu yang menekan dan terasa panas dan sesekali bergerak­gerak.
”Gunung! Kau jangan macam­macam!” teriak Gondoruwo Patah Hati. Dia merasa ada yang tidak beres. Terlebih sewaktu sosok Naga Kuning yang menindihnya tiba­tiba berubah menjadi sosok seorang kakek gagah mengenakan jubah kelabu! Ini adalah ujud Naga Kuning yang sebenarnya dan dikenal dengan nama Kiai Paus Samudera Biru. ”Kurang ajar! Kau mau berbuat apa?!” bentak si nenek. Dia berusaha menurunkan tubuh yang menindihnya tapi tubuh itu semakin berat. Malah dua tangan si kakek kini bergerak merangkulnya. Lalu ditelinganya terdengar suara bisikan.
”Intan, lama sekali aku menginginkan kita berdua­dua seperti ini. Baru sekarang ada kesempatan…”
”Ihhh!” Gondoruwo Patah Hati terpekik. ”Tua bangka kurang ajar! Lekas turun! Kalau tidak …”
”Nek, tidakkah kau ingin merubah dirimu menjadi Intan Ning Lestari agar kita bisa bermesraan lebih mantap? Apa kau tega membiarkan diriku seperti ini?” bisik Naga Kuning alias Kiai Paus Samudera Biru.
”Kiai edan! Jangan­jangan kau sudah kemasukan roh jahatnya Cakra Mentari!” si nenek susupkan tangan kirinya ke balik jubah si kakek. Kiai Paus Samudera Biru mesem­mesem merasakan sentuhan tangan yang menjalar itu. Dia menunggu datangnya usapan terakhir ditempat yang tak bisa dibayangkan.
Namun tiba­tiba sang kiai menjerit keras. Kantong menyan perabotannya kena dipencet si nenek! Tanpa disuruh lagi langsung saja tubuh si kakek melintir turun ke tanah. Dua kaki melejang­lejang, mulut mengerang dan muka meringis menahan sakit.
”Rasakan! Makan pencarianmu!” maki Gondoruwo Patah Hati lalu cekikikan. Namun nenek ini kemudian hentikan tawa dan unjukkan muka khawatir. Sebabnya sosok Kiai Paus Samudera Biru kini tergeletak di tanah tidak bergerak tidak bersuara! Ketika dia menatap muka si kakek kelihatan sepasang matanya terbuka mendelik.
”Astaga! Jangan­jangan …” si nenek ketakutan lalu jatuhkan diri dan peluk tubuh si kakek. Dia usap kepala sambil ciumi Kiai Paus. ”Gunung, apakah tadi aku terlalu keras memencet anumu?”
Si kakek tidak dapat menahan tawanya lagi. Sosoknya berubah menjadi Naga Kuning kembali. Sambil merangkul punggung dengan kedua tangan serta menggelungkan dua kaki dipinggul si nenek bocah ini tertawa terpingkal­pingkal.
”Anak kurang ajar!” Gondoruwo Patah Hati mendamprat lalu berguling menjauh sambil terus memaki panjang pendek.

TAMAT


Ikuti episode berikutnya berjudul
NYAWA TITIPAN


INDEX WIRO SABLENG
155.Sang Pemikat --oo0oo-- 157.Nyawa Titipan

Berita Top News - ANTARA News

Suara.com - Informasi Berita Terkini dan Terbaru Hari Ini

Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.

Followers