Life is journey not a destinantion ...

Showing posts with label Fahri A.. Show all posts
Showing posts with label Fahri A.. Show all posts

Serial Pendekar Bayangan Sukma

Terima kasih untuk para pecinta Pendekar Bayangan Sukma yang telah bersusah payah membuat E-Book dan scanning cover, rasa salut juga rasa hormat untuk para pembaca sehingga blog saya ini ada. Kami mohon maaf jika halaman ini masih banyak kekurangannya.
Pendekar Bayangan Sukma merupakan Cerita silat karya Fahri. A, menceritakan seorang pendekar dengan nama asli Madewa Gumilang. Untuk lebih jelasnya silahkan dibaca serialnya dari awal sampai akhir.
Hak cipta dan copyright pada penerbit/Pengarang dibawah lindungan undang-undang Dept. Kehakiman RI Direktorat Jenderal Hak Cipia Paten dan Merek, Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Pengarang/Penerbit.
Berikut Judul buku dan cover bagi para pecinta Pendekar Bayangan Sukma yang dapat dibaca dimanapun anda berada (Klik gambar yang ingin anda baca):
           
Pedang Pusaka Dewa Matahari Dendam Orang-Orang Gagah Petaka Cinta Berdarah Dewi Cantik Penyebar Maut Keris Naga Merah Kakek Sakti dari Gunung Muria
           
Pendekar Kedok Putih Iblis Berbaju Hijau Racun Kelabang Putih Gadis dari Alam Kubur Pertarungan Di Gunung Tengkorak Undangan Berdarah
           
Sumpit Nyai Loreng Serikat Kupu-kupu Hitam Maut Buat Madewa Gumilang Prahara di Laut Selatan Warisan Berdarah Sumpah Jago-Jago Bayaran
           
 
Munculnya Si Pamungkas Tiga Ksatria Bertopeng Sepasang Manusia Serigala Datuk Sesat Bukit Kubur Pertarungan Para Pendekar  
           
Semoga cerita Pendekar Bayangan Sukma bisa diambil pelajaran dan hal hal baiknya oleh kita sebagai hamba Allah SWT..

Dendam Orang Orang Gagah

INDEX MADEWA GUMILANG
Pedang Pusaka Dewa Matahari --oo0oo-- Petaka Cinta Berdarah

MADEWA GUMILANG
PENDEKAR BAYANGAN SUKMA
Karya : Fahry A.

Hak Cipta Pada Penerbit
Dilarang Mengcopy atau Memperbanyak
Sebagian atau Seluruh Isi Buku Ini
Tanpa Izin Tertulis dari Penerbit

֍↨::::¦ SATU ¦::::↨֎

"Kang Genda dipanggil Ayah?" tanya Ratih Ningrum dengan suara tersendat.
"Soal apa gerangan, Kang Genda?"
Genda menghela nafas. Dia tahu Ratih Ningrum menangis memikirkan Madewa. Ah, Tuannya begitu egois mengusir Madewa, sementara putrinya menangis semalaman karena kepergian pemuda itu.
"Soal Madewa, Den Putri."
Mata Ratih Ningrum membesar.
"Kenapa dengan Madewa, Kang Genda? Dia pergi kemarin pagi. Dia tidak menoleh sedikit pun padaku." Ratih Ningrum menyambung sedih, "Dan tidak membalas senyumanku."
"Yah... mungkin Tuanku telah bertindak keliru atau juga benar. Memang Den Putri, saat ini memang wanita bernama Pratiwi tengah mencari Madewa. Dan Tuan tidak ingin seisi rumah ini menjadi terlibat. Lalu dia memutuskan, agar Madewa menyelesaikan urusannya dengan wanita itu."
"Urusan apa, Kang Genda?" Dada Ratih Ningrum berdebar.
"Ini baru dugaan Tuan, Den Putri. Madewa memiliki pedang pusaka dewa matahari. Dan Pratiwi datang untuk merebutnya."
"Oh!" desah Ratih Ningrum pilu.
"Dia bisa terluka, Kang Genda." Genda mengangguk. Tidak kuasa melihat wajah Ratih Ningrum yang begitu ketakutan. Ratih Ningrum menggigit bibirnya. Dia tidak kuasa membayangkan Madewa terluka. Sambil menangis, dia berlari ke kamarnya. Ditumpahkannya seluruh air matanya di atas bantal.
Bayangan wajah Madewa yang lembut, yang manis, yang selalu tersenyum berganti dengan wajah yang menakutkan. Cacat. Berdarah, karena bertempur dengan Pratiwi si Selendang Merah. Biarpun tidak mengerti ilmu silat. Ratih Ningrum tahu apa kejahatan ilmu silat. Dia bisa membinasakan lawan atau kawan!
Dan Madewa tergeletak tanpa nyawa! Sementara itu, orang yang dicemaskannya sedang duduk melamun di suatu tempat yang sunyi. Begitu pergi dari rumah Biparsena, Madewa Gumilang tidak langsung pergi mencari Pratiwi. Dia berjalan ke arah barat. Ingin menenangkan pikirannya.
Selendang Merah rupanya masih penasaran dengannya. Dan kehadiran selendang merah bisa membongkar rahasianya sebagai murid tunggal Ki Rengsersari! Bisa bermunculan tokohtokoh persilatan untuk merebut pusaka dewa matahari dari tangannya! Ini bisa gawat. Karena tugas dari gurunya belum dia jalankan sementara dia bisa mati konyol di tangan orang yang gila pusaka itu. Hhh, ini gara-gara kemunculan Pratiwi! Yang... ah, Madewa mendesah. Dia ingat bagaimana heran dan sedihnya Ratih Ningrum ketika dia melengos begitu saja. Itu memang disengaja, agar Ratih Ningrum tahu, kalau hubungannya tidak direstui. Dia juga heran, bagaimana Biparsena bisa tahu soal itu.
Hanya satu dugaannya, ada yang mengadukan! Tetapi siapa? Fitnah itu berdosa. Berprasangka buruk saja sudah berdosa.
Madewa mengambil sebatang rumput berwarna kuning. Menggigit-gigitnya perlahan. Hei, aneh! Rumput ini berair. Dan terasa manis. Madewa mengambil lagi sebatang. Mengisap-hisapnya. Manis. Baru kali ini dia merasakan rumput berair manis. Atau ini rumpun tebu? Tidak, tebu besar. Ini kecil.
Mendadak Madewa menguap lebar. Matanya mendadak terasa ngantuk. Tapi dia berusaha menahan. Dia harus memikirkan bagaimana caranya untuk menghadapi Pratiwi. Tapi kantuk itu terus menyerangnya. Tanpa sadar Madewa tertidur pulas. Sebatang rumput aneh itu masih menyantel di bibirnya.
Suasana daerah itu tetap sunyi. Begitu Madewa tertidur, muncul seorang kakek tua berjubah putih. Kakek itu menggeleng-geleng melihat Madewa.
Dia bergumam, "Hmm, rupanya rumput ajaib kelangkamaksa, berjodoh dengan pemuda ini. Beruntung sekali pemuda ini. Bertahun-tahun aku menjaga rumput itu, baru sekarang ada yang menghisap sarinya."
Setelah bergumam demikian, kakek berjubah putih itu mendadak menghilang. Sama seperti datangnya tadi, lenyapnya pun demikian.
Waktu berganti, tak terasa sore sudah tiba. Madewa menggeliat. Tubuhnya terasa letih. Dia cepat terbangun. Rupanya dia tertidur. Hmm, dia harus segera mencari Pratiwi. Tantangannya harus segera disambut.
Madewa cepat melangkah, tak tahu arah. Dia hanya mendengar, kalau si Selendang Merah itu tinggal di gubuk dekat sungai hitam. Dia harus ke sana untuk menantangnya.
Tiba-tiba terdengar derap kuda dari arah depan. Madewa menepi. Tiga sosok tubuh berpakaian pendekar memacu kuda mereka ke arah Madewa. Madewa cepat bersalto, karena salah seekor kuda itu menerjangnya. Aneh! Apa maunya mereka. Tubuh Madewa hinggap kembali di tanah dengan ringan.
Orang yang menerjang itu tertawa ngakak. Sikapnya sombong sekali.
"Gerakan yang bagus!" katanya memuji.
Madewa memperhatikan.
"Maksud apa kalian menghadang perjalananku?" tanyanya dengan sikap tenang.
"Dan siapa kalian?".....
Orang itu terbahak lagi.
"Rupanya kau belum tahu nama tiga dewa penunggang kuda yang sudah membedah langit. Kalau begitu biar kuperkenalkan. Camkan baik-baik! Kami ini yang disebut Tiga Dewa Penunggang Kuda. Namaku sendiri, Wirapaksa. Yang memakai baju hitam itu Wirapati, yang terkenal dengan pukulan geledeknya. Dan adik kami yang bungsu, Wiratiga, yang terkenal dengan aji awang-awang! Puas?"
Madewa tetap tenang.
"Lalu kalian mau apa?"
"Jangan berpura-pura, Madewa! Kami tertarik dengan murid tunggal Ki Rengsersari! Dan kami bermaksud mencoba ilmu murid Ki Rengsersari itu!"
"Untuk apa, kalau hanya akan menimbulkan pertumpahan darah!" sahut Madea tak kalah seramnya.
"Ha... ha... sudah jelas untuk merebut Pedang Pusaka Dewa Matahari!"
Lagi-lagi soal itu. Tidak ada jalan lain untuk berdamai. Dia harus menyambut Tiga Dewa Penunggang Kuda itu. Maka Madewa pun bersiap.
Ketika orang itu terbahak. Suaranya membedah kesunyian. Dan mendadak mereka menerjang dengan kuda yang meringkik hebat. Madewa menghindar, dengan jalan bersalto tiga kali ke belakang. Tapi belum lagi dia hinggap di tanah, Wirapaksa kembali menerjang. Sulit bagi Madewa untuk menghindar. Maka tak urung kakinya tersepak kuda putih Wirapaksa. Belum juga dia bangkit, Wirapati menyerang dengan pukulan tangan geledeknya. Madewa menyambut dengan jurus ular ajaran Ki Rengsersari, Ular Mematuk Katak. Keduanya terpental. Pukulan tangan geledek Wirapati membuatnya terhuyung.
Wirapati terbahak. Belum ada seorang pun yang lolos dan pukulan tangan geledeknya. Hanya begitu saja rupanya murid tunggal Ki Rengsersari.
Tetapi mendadak matanya melotot. Madewa berdiri tegak dengan sikap siap. Tak sedikit pun dia terluka. Peluh setitik pun tidak nampak di wajahnya.
Bukan hanya Wirapati yang terkejut, Madewa pun terkejut. Tadi disangkanya dia sudah mati, ajalnya hanya sampai di sini, tapi ternyata dia masih hidup!
Madewa tidak bisa berpikir lagi, karena Wirapati sudah menyerang kembali. Dia penasaran. Pukulan tangan geledek tingkat tinggi. Lagi-lagi Madewa menyambutnya. Kembali dua pukulan penuh tenaga itu beradu.
Wirapati mental ke belakang dengan muntah darah. Sedangkan Madewa berdiri tegak tak kurang suatu apa!
Wirapaksa menggeram. Tidak bisa dianggap enteng murid Ki Rengsersari itu. Dengan memekik keras dia bersalto dari kudanya dan menerjang degnan pukulan lurus ke arah Madewa. Sementara dari sebelah kiri Wiratiga sudah merapal aji awang-awangnya. Yang terkena pukulan aji awang-awang itu, bisa kaku dan mati membiru.
Menghadapi kedua serangan itu, Madewa. tenang-tenang saja. Tapi dia menyambut keduanya. Menunggu serangan itu sampai padanya, lalu menghempas kedua tangannya ke depan. Kembali pukulan itu beradu.
Dan kembali Madewa tidak apa-apa. Sementara Wirapaksa mati kelojotan. Rupanya ketika Madewa merentangkan tangannya, Wirapaksa bersalto menghindar dan balik menyerang. Cuma naas baginya, Wiratiga sedang melancarkan pukulannya. Tak ayal lagi, pukulan itu terkena kakak seperguruannya sendiri!
"Kang Wirapaksa!" jeritnya terkejut. Lalu memeriksa tubuh Wirapaksa. Tak dapat ditolong lagi, Wirapaksa sudah mampus dengan tubuh membiru!
Wiratiga berbalik dengan geram. Dan kembali dia menyerang Madewa. Kali ini Madewa merasakan desiran angin yang panas yang siap menyambarnya. Lalu berganti dengan rasa dingin yang menyengat. Madewa menghimpun hawa murninya, justru ini yang fatal. Dia tidak siap menyambut serangan Wiratiga. Tanpa ampun lagi pukulan itu singgah di tubuhnya dengan deras. Madewa terpental ke belakang.
"Aaaah!" terdengar jeritan. Bukan dari mulut Madewa, tapi Wiratiga! Dia merasakan panas yang lebih besar menyambarnya ketika pukulan nya mampir di dada Madewa. Lalu dia mengejang. Kaku. Dan mati membiru. Pukulan aji awang-awangnya berbalik menyerangnya!
Sementara Madewa jatuh terduduk tanpa cidera sedikit pun. Keheranannya semakin me-besar. Siapa yang telah melindungiku ini, desah Madewa dalam hati.
Wirapati yang terluka dalam, tidak berbuat banyak. Ia beringsut mengangkat kedua mayat saudara seperguruannya ke kuda masing-masing. Lalu mengeprak kuda itu. Dia sendiri naik ke kudanya. Sebelum berangkat, Wirapati menoleh pada Madewa sambil menahan nyeri yang bukan main sakitnya.
"Ingat, Madewa! Aku, Wirapati, salah seorang dari Tiga Dewa Penunggang Kuda, akan menuntut balas dari kekalahan ini! Ingat, Madewa! Aku akan mencari kau di mana saja! Aku tak akan melupakan semua ini!"
Sesudah berkata demikian, Wirapati menggeprak kudanya. Menyusul kuda-kuda yang membawa tubuh Wirapaksa dan Wiratiga. Kekalahan ini terasa sekali, membuat sakit hati Wirapati semakin dalam. Apalagi dua saudara seperguruannya tewas di tangan pemuda itu. Dia akan datang lagi untuk menuntut balas atas kematian mereka. Telah bertahuntahun dia melanglang buana dengan kedua saudara seperguruannya, dan bertahuntahun pula mereka bersama-sama menaklukkan jago-jago kawakan, hingga membuat nama mereka melambung ke langit tertinggi.
Tapi hari ini, hanya dengan bocah ingusan mereka takluk, bahkan harus ditebus dengan nyawa kedua saudara seperguruannya! Mendidih darah Wirapati mengingat itu.
Setelah Wirapati menghilang, Madewa menghela nafas panjng. Dia telah membuat permusuhan lagi. Ini akan menghambat perjalannya mencari musuh besarnya, yang sampai saat ini dia sendiri tidak tahu siapa orangnya!
Tiba-tiba dia teringat akan keanehan yang terjadi pada dirinya. Heran, mengapa mendadak saja dia menjadi kebal yang hebat sekali? Pukulan geledek Wirapati seakan tak dirasakan menyentuh tubuhnya. Dia hanya merasakan usapan halus begitu pukulan itu menyentuh tubuhnya. Aneh, keajaiban apa yang telah masuk ke dalam dirinya?
Madewa berusaha mengingat-ingat. Tapi apa yang menyebabkan semua ini? Dia tidak tahu, kalau sumber kekuatan itu berasal dari sari rumput yang dihisapnya tadi. Dari rumput itu keluar air yang manis, dan air itulah yang menjadikan tubuh Madewa kebal. Bahkan bisa membalikkan tenaga lawan.
Rumput itu dulu merupakan tanaman pada orang sakti dan sampai pada suatu masa, kalau bibit rumput itu hanya tinggal sebuah. Kebetulan seorang pemuda yang bernama Kartasura, menemukan bibit rumput itu. Ia menanam dan merawatnya. Sampai rumput itu tumbuh dengan su-bur. Ketika dia akan memakan rumput itu, ada sebuah suara gaib menyelinap di telinganya. Yang mengatakan, kalau dia hanya boleh merawat rumput itu saja dan bukan pewarisnya. Jika Kartasura nekat memakannya, niscaya Dewa mengutuknya.
Itulah sebabhya, Kartasura tidak berani mengambil sari ajaib dari rumput itu. Dan bertahun-tahun dia menjaga dan mengawasinya. Dia juga tidak berani memberikan rumput itu kepada sembarang orang.
Akhirnya Kartasura bersumpah dalam hati, rumput itu akan dibiarkan saja sampai ada orang yang memakannya sendiri. Herannya, sekian lama itu rumput itu tidak membesar. Tetap seperti sediakala. Yang akhirnya, Madewa Gumilang menghisap sari dari rumput itu tanpa sengaja.
Dan ketika mengalirkan tenaga sakti ke dalam tubuhnya, yang mampu membuatnya menjadi orang tak terkalahkan. Kartasura gembira melihat ada yang menemukan rumput itu.
Dan sekarang, Madewa menggelenggeleng bingung. Dia tidak mempersoalkan keajaibannya itu lagi. Madewa hanya berterima kasih pada orang yang telah menolong. Itulah keyakinannya tentang kesaktiannya tadi. Suatu saat nanti, dia akan mencari orang yang telah menolongnya itu.
Sekarang dia harus menghadapi Pratiwi, sebelum wanita iblis itu semakin merajalela, juga menhindari terbukanya rahasianya sebagai murid tunggal Ki Rengsersari, yang akan membuatnya dalam kesulitan, karena bisa bentrok dengan orang-orang yang masih gila Pusaka Dewa Matahari.
Dengan cepat Madewa berkelebat. Gerakannya menjadi lebih ringan. Begitu dia menghilang, sesosok tubuh berjubah putih muncul lagi. Dia geleng-geleng kepala dengan bangga.
"Hmm, pemuda yang tangguh dan taat. Aku bersimpati padamu. Mudah-mudahan
kau berhasil menemukan musuh besar gurumu dan membalaskan kematiannya!"
Lalu bayangan itu menghilang.

* * *



֍↨::::¦ DUA ¦::::↨֎

Selama perjalanan pulang, perasaan bersalah semakin menggunung di hati Genda. Dia bukan orang yang gampang mengkhianati seseorang atau membuka rahasia seseorang, namun ancaman Biparsena begitu menakutkannya!.
Dia membutuhkan makan. Dan dia bukan orang yang mampu. Hanya pekerjaan dari Biparsenalah yang diharapkan bisa mencukupi kehidupannya sehari-harinya. Dan terpaksalah dia membuka rahasia siapa sebenarnya Madewa itu, yang bisa menjadikan malapetaka untuk dirinya.
Sambil memasuki rumahnya, perasaan itu masih menghantui Genda. Perasaan yang bersalah dan diliputi penyesalan. Seharusnya dia tidak perlu membuka rahasia itu. Namun. Yah... banyak sekali namun di dunia ini. Saat itu, Genda ingin tak ada satu 'namun' pun di dunia ini. Dan tanpa dia sadari, sesosok tubuh berpakaian hitam-hitam menyelinap di belakang rumahnya. Gerakan orang itu lincah dan ringan sekali, menandakan ia memiliki ilmu peringan tubuh yang sempurna. Dengan hanya sekali salto saja dia sudah berada di bubungan rumah Genda. Gerakannya pun tak menimbulkan suara sedikit. Ia membuka sedikit genting dan mengintip ke dalam. Yang diintip sedang merapikan pakaiannya. Dan akan bersiap-siap hendak makan. Genda merasa tak ada gunanya memikirkan kesalahannya lagi. Dan dia menganggap bukan kesalahan yang sangat besar bagi dirinya.
Sosok tubuh berbalut hitam-hitam itu membetulkan letak genting kembali. Dia melompat dengan ringan ke bawah. Mengetuk pintu rumah Genda dengan cepat. Lalu menyelinap bersembunyi tanpa membuat suara sekecil pun
Genda yang akan menyendok nasi, mengurungkan niatnya. Dia berjalan membuka pintu. Tetapi di luar tidak nampak siapa-siapa. Genda mendengus jengkel. Perasaan bersalah terhadap Madewa Gumilang berubah menjadi kejengkelan yang luar biasa pada yang mengganggunya ini. Siapa yang mau main-main di malam ini.
Hhh! Ia memeriksa keluar sebentar. Tak ada bayangan sedikit pun yang mencurigakan. Tetapi ketika dia akan menutup pintu. Sebuah bayangan hitam menyergapnya. Mulutnya ditekap. Dan dia diseret masuk ke dalam.
Genda berusaha membebaskan diri. Namun cengkraman orang itu begitu kuat.
"Cepat katakan, di mana temanmu yang bernama Madewa Gumilang berada?" tanya sosok hitam itu dengan suara yang seram dan penuh ancaman.
Genda gelagapan. Dia megap-megap minta dikendori tekanpan pada mulutnya. Orang itu mengendorkan tekapan tangannya.
"Ak... aku... tidak tahu...." suara Genda terputus-putus. Belum bernafas dengan lega.
"Jangan main-main denganku!" 
"Sungguh, aku tidak tahu!"
"Bangsat! Kau pasti tahu! Cepat katakan, aku tidak suka main-main! Atau... kau ingin kumampusin?!"
"Aku sudah lama tak jumpa dengannya!"
"Katakan!"
"Aku sungguh-sungguh tidak tahu!" 
"Katakan!" 
Orang itu memuntir lengan Genda. Genda menjerit kesakitan.
"Aku tidak tahu!"
"Katakan!" Orang itu semakin kuat memuntir. Genda semakin keras menjerit.
"Biar kau paksa aku sampai sesakit apa pun, aku tetap tidak tahu!" seru Genda geram.
Orang itu mendengus. Marah. Tapi tidak memaksa lagi. Dia yakin Genda benar-benar tidak tahu.
Dan dengan gerakan cepat, orang itu menotok urat suara Genda, hingga pemuda itu terdiam dengan mulut menganga. Tubuhnya pun tak bisa bergerak, karena orang itu juga telah menotoknya. Sosok tubuh hitam itu menggeram.
"Besok aku akan datang lagi. Katakan pada Madewa Gumilang, akulah yang menyebarkan kabar palsu untuk gurunya! Kalau dia ingin membunuhku, kutunggu kapan saja! Dan katakan, jaga nyawanya baik-baik! Kalau tidak ingin cepat melayang! Ha... ha... ha...!"
Sosok hitam itu melayang keluar. Tetapi mendadak dia berbalik. Tangannya memetik dua buah daun kebil. Daun itu dilemparkannya ke arah leher dan dada Genda. Seketika itu totokan di tubuh Genda terlepas.
Tenaga dalam yang hebat. Hanya dengan sehelai daun dia bisa melepaskan totokannya. Menandakan, orang itu bukan orang sembarangan! Orang itu sudah menghilang dalam kegelapan malam.
Genda berbalik akan mengejar. Dia penasaran ingin tahu siapa orang itu. Bukan main, orang itu benar-benar luar biasa. Dan keberaniannya sungguhsungguh luar biasa pula. Dia berani menampakkan diri dan mengaku terus terang, kalau dialah yang telah menyebarkan kabar palsu untuk gurunya Madewa Gumilang.
Kalau saja pemuda itu mendengar, pasti akan langsung dibunuhnya orang itu. Hmm, Genda merasa dia harus segera mencari pemuda itu. Untuk memberitahu semua ini. Tetapi ke mana dia harus mencari, sedangkan bau pemuda itu pun sedikit juga tak tercium olehnya. Genda terdiam. Berpikir-pikir. Kemana, ke mana akan dicarinya?
Tak ada jalan lain, dia harus memberitahukan semua ini pada majikannya, Biparsena. Majikannya yang tidak percaya pada kata-katanya. Dan dia bisa membuktikan kebenarannya sekarang. Orang yang bersosok hitam itu sendiri yang mengaku dan membuktinya kejahatannya.
Jadi ucapan Madewa benar. Sejak semula Genda sudah percaya pada pemuda itu. Dan dia yakin, kalau Madewa Gumilang benar-benar murid Ki Rengsersari.
Tanpa membuang waktu lagi, Genda segera berlari ke rumah Biparsena. Tetapi Biparsena tidak berada di rumah. Kata Patidina yang menemuinya, Biparsena sedang mengunjungi tempat 'kupu-kupu' cantiknya bersama Tek Jien. Biparsena baru mendengar, kalau pengawal 'Kupu-kupu cantik'-nya yang bernama Agriwe telah tewas beberapa hari yang lalu di tangan Pratiwi.
Genda terdiam. Tak bergairah menceritakan kunjungan orang berpakaian serba hitam tadi kepada Patidina. Dia langsung berpamitan. Tetapi ketika dia sampai di pintu gerbang, "Kang Genda!"
Genda terhenti. Ratih Ningrum. Dari mana gadis ini malam-malam?
"Ya, Den Putri." 
"Mencari siapa?" Ratih Ningrum mendekat.
"Tuan, Den Putri."
"Ayah sedang ke rumah Agriwe. Katanya dia ditemukan mati di rumahnya." 
"Saya sudah tahu, Den Putri. Saya...saya permisi, Den Putri." 
"Kang Genda."
Genda tak jadi melangkah. Ia berbalik lagi. Mata gadis itu menatapnya penuh minta pertolongan. Genda seperti tahu apa yang akan menjadi pertanyaan Ratih Ningrum. Pasti masalah Madewa.
"Ya, Den Putri."
"Kang Genda, sudah mendapat berita tentang Kang Madewa?"
Genda menggeleng, lesu. Dia pun akan mencari pemuda itu. Entah ke mana. Yang penting dia akan mencarinya. Gadis itu pun menunduk lesu. Tanpa banyak tanya lagi, dia beranjak meninggalkan Genda. Masuk ke rumahnya. Genda terdiam. Dan menghela nafas panjang. Kasihan gadis itu. Dia menjadi korban ketidakjujuran ayahnya sendiri. Genda tak menghiraukan tentang gadis itu lagi. Dia langsung melesat pulang. Makan dengan cepat, lalu keluar lagi. Dengan tekad bulat, tak akan pulang sebelum bertemu dengan pemuda itu.

* * *



֍↨::::¦ TIGA ¦::::↨֎

Tengah malam telah tiba. Suasana di tepi sungai hitam itu sepi. Hanya desir angin yang terdengar. Dan desah nafas turun naik yang membum yang terdengar dari dalam gubuk kecil di tepinya.
Niniwulandari mendengus. Sejak tadi dia menunggu di sini. Pratiwi sudah asyik lagi, dia seolah lupa kalau orang yang dicarinya akan datang malam ini. Untuk membunuh atau dibunuh.
Niniwulandari menggerutu dalam hati. Setiap kali dia datang, pasti Pratiwi sedang asyik. Benar-benar gila dewi cabul itu. Bisa habis perjaka di desa ini dihisap olehnya. Lagi-lagi Niniwulandari menggerutu. Nafsu apa yang merasuki diri Pratiwi, hingga nafsu sexnya begitu besar.
Agaknya permainan di dalam gubuk itu telah berakhir. Dua penghuninya sedang melepaskan kenikmatan yang terakhir itu dengan nafas panjang. Lalu terkulai lemah di balai-balai.
Pratiwi bangkit memakai pakaiannya. Dan berkata pada pemuda yang menemaninya, "Cukup sudah untuk malam ini. Aku suka padamu. Kau pemuda yang kuat dan tangguh. Aku akan memanggilmu kalau aku butuh lagi."
Pemuda itu mengangguk-angguk tersipu. Pratiwi mencium bibir pemuda itu lama sekali sampai kehabisan nafas. Setelah itu dia menyuruhnya untuk segera pulang. Biar begitu, Pratiwi masih ingat, kalau Madewa Gumilang akan datang malam ini. Dia harus segera menyambutnya.
Pemuda itu memakai pakaiannya dengan terburu-buru. Lalu menyelinap lewat pintu belakang dan berlari terseok-seok.
Letih, karena tenaganya habis terkuras. Niniwulandari yang melihatnya geleng-geleng kepala.
"Dasar cabul! Semakin hebat saja kurasa permainan ilmu selendang merah dewi cabul itu!" makinya sebal.
Ia menunggu Pratiwi keluar. Udara yang dingin tak dirasakan oleh Niniwulandari. Nenek sakti itu telah menjalari darahnya dengan tenaga dalamnya hingga melindunginya dari rasa dingin.
Dan dia menggeram lagi. Dewi cabul itu belum keluar-keluar juga. Apa ada pemuda lain di sana?
Benar-benar gila! Yah... siapa pun akan tertarik pada dewi cabul yang cantik itu. Tetapi malam, ini, dia harus 'bertanding' dengan dua pemuda. Gila. Gila!
Niniwulandari menggerutu jengkel. Ditunggunya lagi.
Tapi tak terdengar desah nafas turun naik. Sialan, pasti dewi cabul itu ingin menggodanya! Jengkel Niniwulandari melangkah masuk. Sebenarnya Pratiwi ingin menguji ilmu selendang merahnya pada nenek tua itu. Makanya dia sengaja tidak keluar. Dia menunggu sampai nenek tua itu masuk. Dibiarkan saja Niniwulandari memasuki gubuknya. Nenek sakti itu tidak tahu maksud Pratiwi, dia enak saja masuk ke gubuk itu walau hatinya jengkel.
Dan mendadak saja dia berjumpalitan. Bersalto ke belakang dengan cepat dan hinggap dengan sempurna di tanah. Menghindari kebutan selendang merah Pratiwi.
Pratiwi terbahak. Senang melihat nenek sakti itu panik. Niniwulandari menggeram jengkel. Mau coba rupanya si dewi cabul ini.
Baik, akan diterimanya permainan ini sebelum menghadapi murid Ki Rengsersari itu. Niniwulandari diam. Merapal ilmunya. Setelah itu dia melangkah lagi mendekati pintu gubuk itu. Tetapi Selendang Merah Pratiwi menyambutnya lagi.
Kali ini Niniwulandari tidak menghindar. Dia menyambut selendang itu dengan tangkisan tangan yang langsung membuat tangan kanannya terasa ngilu, dengan cepat ia mundur ke belakang kalau tidak mau terkena sabetan selendang itu lagi.
Hmm, sudah hebat sekarang rupaya ilmu selendang merah Pratiwi. Pantas, pantas, dia berani bermain-main dengannya.
Niniwulandari menarik nafasnya. Menghimpun tenaga dalamnya di pusarnya. Lalu mengedarkan melalui darah dengan bantuan tenaga angin. Itulah ilmu kebalnya yang bernama Ilmu Menghimpun Tenaga Matahari.
Sebenarnya kalau memakai tenaga matahari, lebih dahsyat hasilnya. Senjata macam apa pun tak akan mampu melukainya.
Setelah merapak ilmunya, Nini wulandari melangkah lagi. Kali ini dia membiarkan selendang merah Pratiwi menghujani tubuhnya. Niniwulandari terus melangkah. Tak menghiraukan sabetan-sabetan selendang merah itu yang kadang berubah lemas dan tegak.
Kadang juga seperti membentuk tombak yang ujungnya meruncing tajam! Dan berbahaya.
Namun kali ini selendang merah itu tak ada gunanya. Niniwulandari masuk dengan selamat.
Pratiwi menghentikan serangannya. Ia terkekeh seolah senang melihat keberhasilan Niniwulandari menembus serangannya. Padahal dia sedang menutupi kekagetannya, karena ilmu selendangnya masih belum mampu mengalahkan ilmu menghimpun tenaga matahari milik nenek tua itu. Dulu pun, ketika dia berniat merebut pusaka Siluman Mata Air, ilmu menghimpun tenaga matahari itulah yang mengalahkannya. Dan sekarang dia masih belum mampu mengalahkannya!
"Kau semakin hebat saja, Nenek tua!" pujinya. Kali ini setulus hati.
Niniwulandari terkekeh. Menjawab merendah, "Kau semakin hebat, Dewi cabul. Ilmu selendang merahmu sudah sempurna sekali. Lima orang pemuda lagi yang kau hisap keperjakaannya, maka aku bisa kau kalahkan."
Pratiwi mendengus.
"Bah! Susah mencari pemuda yang benar-benar perjaka di sini. Tadi pun sudah tidak perjaka, hanya tampang mereka yang masih kelihatan muda. Yah... hanya kepalang tanggung saja, nafsuku sudah minta pelampiasan, tak ada jalan lain, kulepaskan saja pada dia.
"Itu bagus! Bisa habis perjaka di sini kalau kau hisap semuanya!" Niniwulandari terkekeh. Mengejek dalam hati, rasakan kau, dewi cabul!
Lagi Pratiwi mendengus. Dia memakai selendang merahnya, untuk menutupi buah dadanya yang nampak dari baju suteranya yang tipis. Niniwulandari langsung ke persoalan, setelah tidak ada yang perlu dibicarakan lagi.
"Sudah datang murid Ki Rengsersari itu?" 
"Belum! Tapi bagus, aku masih sempat bercinta dengan pemuda tadi."
"Bah!"
Pratiwi tertawa.
"Jangan iri kau, Nenek. Nafsumu sudah mati sih! Mungkin tengah malam, pemuda itu datang."
"Atau dia tidak tahu di mana kau berada?"
"Dia pasti tahu. Aku sengaja menyebutkan gubukku ini pada orang-orang desa. Lagipula, namaku sudah tenar di desa ini sebagai perusak. Bisa jadi Madewa bertanya dan orang itu menjawab dengan benar. Hai, Nenek Tua!" panggil Pratiwi tiba-tiba.
Niniwulandari mengangkat kepalanya. Menatap dewi cabul itu.
"Ada apa! Kau takut menghadapi pemuda itu? Hhh!" Nenek itu mendengus melecehkan.
"Pukulan bayangan sukma tidak akan bisa sempurna jika dimainkan oleh orang lain, biarpun dia itu langsung mendapatkannya dari Ki Tua yang sudah mampus itu."
Pratiwi terdiam. Sebenarnya bukan itu yang dikuatirkannya. Dia kuatir Madewa datang tanpa pedang pusaka yang diinginkan Niniwulandari.
Nah, Ini yang menjadi masalahnya. Nenek tua itu bisa marah besar dan ada kemungkinan dia akan membunuh Madewa. Pratiwi menyayangkan itu. Madewa perjaka asli yang bisa dinikmati keperjakaannya. Hmm, dia harus mencari akal untuk menghalangi hal yang satu ini. Dia lalu berkata dengan pura-pura ketakutan, "Yah, aku menakutkan soal yang satu ini. Dulu aku pernah dikalahkannya dengan pukulan bayangan sukma."
Niniwulandari terkekeh melecehkan.
"Tenang saja kau, Dewi cabul. Biar aku yang menghadapi pemuda itu. Percaya padaku, dia akan kubuat bertekuk lutut hingga mau melayanimu dengan senang hati. Dan ingat... pedang pusaka dewa matahari itu harus kumiliki." Nenek itu terkekeh lagi.
"Sebagai pengganti pedang Siluman Mata Air yang hilang entah ke mana."
Keduanya lalu tertawa berbarengan. Hanya tawa keduanya itu berbeda makna. Niniwulandari tertawa penuh kesenangan karana sebentar lagi akan memiliki pusaka yang dihebohkan, sedangkan Pratiwi hanya tertawa berpura-pura, menutupi kekuatirannya akan tangan telengas Niniwulandari membunuh Madewa! Sementara itu, tanpa mereka ketahui, sesosok berbaju hitam-hitam, mengintai dan mendengar pembicaraan mereka dari balik semak yang tumbuh di sekitar sungai hitam itu. Langkah orang itu ringan dan mengandung tenaga. Buktinya Niniwulandari dan Pratiwi tidak mengetahui kedatangannya. Padahal sebelum Pratiwi mempersilahkan Nini wulandari masuk, orang misterius itu
sudah berada di sana! Dia hanya mengangguk-angguk mendengar percakapan itu. Setelah tidak ada yang penting lagi menurutnya, orang itu segera melompat dan menghilang.
Bertepatan dengan itu, Madewa Gumilang muncul! Dia sempat melihat bayangan itu berkelebat. Tanpa bersuara lagi, Madewa mengejar!
Agaknya orang itu tahu kalau ada yang mengejar. Ia mempercepat larinya. Madewa pun tak mau kalah. Ilmu meringankan tubuh yang dipelajarinya dari Ki Rengsersari ditambah tekanannya. Tiba-tiba Madewa menghentikan larinya. Ia duduk persila. Daripada susah-susah dia kejar tanpa hasil, lebih baik diperhatikan saja. Bukankah dia memiliki ilmu pandangan menembus sukma? Maka dia pun mulai merapal. Tangannya mengembang ke samping, lalu bersatu di dada. Dia mengambil nafas. Memejamkan matanya.
Dan mendadak saja pandangannya mererang. Menembus gelapnya malam. Sesosok tubuh hitam-hitam itu pun tertangkap oleh pandanganya. Orang itu tengah celingukan, menanti orang yang mengejarnya. Tapi rasa-rasanya orang yang mengejarnya tidak sanggup mengikutinya. Sosok hitam itu memperlambat langkahnya. Dan dia membuka penutup kepala sampai ke wajahnya!
Madewa terkejut. Dia kenal dengan orang itu. Pemuda yang bicara dengan Genda di warung nasi. Buntoro! Hmm, bukan main. Pemuda yang nampak lemah itu mempunyai simpanan ilmu yang hebat. Tapi mau apa dia mendengar pembicaraan Niniwulandari dan Pratiwi. Madewa pun sudah mengetahui siapa yang berada di dalam gubuk itu. Ilmu menembus sukma warisan Ki Rengser ternyata berguna sekali.
Hmm, lebih baik dia mengangkap Buntoro saja. Dia harus tahu! Madewa pun menghentikan rapalannya. Seketika tempat itu terlihat gelap. Pohon-pohon yang tinggi seakan berserakan. Lalu ia berlari dengan cepat menyusul Buntoro yang berjalan tanpa perasaan diikuti.
Lebih baik disergapnya saja Buntoro, sebelum pemuda itu bersiaga. Maka setelah dekat, Madewa menerjang menyergap. Disangkanya dia akan mudah meringkus Buntoro, tapi meleset. Buntoro merasakan angin mendesir ke arahnya.
Maka dia langsung bersalto ke depan. Madewa mendengus. Kini keduanya berhadapan. Buntoro terkejut. Orang yang mengejarnya adalah Madewa Gumilang! Dan dia tidak menyangka kalau pemuda itu masih mengejarnya.
Dengan suara geram Buntoro berkata, "Mau apa kau mengikuti, Murid Ki Rengsersari?"
Merah wajah Madewa diejek demikian. Tapi dia tenang saja.
"Aku ingin tahu apa maksudmu menguping pembicaraan orang?"
"Hhh!" Buntoro mendengus.
"Pertanyaan tak mutu! Lebih baik kau minggat daripada aku marah!"
Buntoro menantangnya! Merah lagi wajah Madewa.
"Aku tidak akan minggat sebelum kau menjawab!"
"Bangsat! Apa perlumu mendengar jawabanku?"
"Tak banyak. Aku tak suka kau mencuri dengar pembicaraan orang."
"Lalu apa maumu?" Naik darah Buntoro.
"Jawab, atau kita main-main sejenak."
"Setttan!!" Geram Buntoro jengkel. Murid Ki Rengser ini benar-benar hendak mencobanya. Disangkanya dia takut. Hmm, murid kesayangan Niniwulandari tidak pernah mundur selangkah pun menghadapi siapa pun juga. Tak terkecuali murid tunggal Ki Rengsersari itu.
Setelah menggeram panjang, Buntoro menerjang. Pukulannya cepat, lurus ke wajah Madewa. Madewa merasakan tenaga yang kuat tersalur di tangan Buntoro. Dia mengelak ke samping dan membalas dengan sapuan ke kaki Buntoro. Buntoro mencelat ke atas. Luar biasa. Selagi tubuhnya terbang, dia bisa melancarkan tendangannya tepat ke kepala Madewa. Sedetik Madewa tak merunduk, bisa mampus dia. Lagi serangan Buntoro meleset. 
Buntoro hinggap dengan mulusnya. Dan langsung melenting lagi. Rupanya Buntoro tidak mau membuang kesempatan yang ada untuk menyerang. Bagaimana pun posisinya dia harus menyerang. Kali ini tangan dan kakinya bekerja bersamaan. Madewa bersiaga. Tiba-tiba dia melenting pula. Menyambut serangan Buntoro dengan gebrakan yang sama. Begitu hampir bertabrakan, Madewa mencelat ke samping. Dan menendang pinggang Buntoro sampai orang itu jatuh.
Serasa ngilu pinggang Buntoro. Tapi dia langsung bangkit. Rupanya Buntoro benar-benar murid kesayangan Niniwulandari, buktinya dia memiliki ilmu menghimpun tenaga matahari yang hebat. Buntoro pun langsung merapalnya. Akan dia habisi pemuda sialan ini.
"Hmm, bersiap-siaplah, Madewa. Ajalmu sudah dekat," ejeknya sambil menyilangkan tangan di dada.
Madewa tahu akan ilmu itu. Tapi dia heran, ini malam hari. Matahari tidak ada. Tenaga dari mana diambilnya? Tanpa matahari ilmu itu tidak ada gunanya mestinya.
Buntoro tertawa mengejek. Rupanya dia tahu jalan pikiran Madewa.
"Jangan terkejut, Madewa. Ilmu menghimpun tenaga matahari, tanpa matahari pun bisa dilakukan. Dia menyerap sinar bulan dan mempersatukannya dengan tenaga bayu. Ini kekuatan yang lebih dahsyat. Nah, bersiaplah menerima kematianmu!" Buntoro menjalankan tangannya perlahan ke depan. Tiba-tiba dia melanjutkan perkataannya, "Titip apa kau buat Ratih Ningrum?"
Madewa agak terkejut. Buntoro tahu soal itu!
"Aku tidak akan mati di tanganmu, Buntoro. Ratih Ningrum tetap akan menjadi kekasihku yang setia."
Buntoro ngakak.
"Ha... ha... jangan mimpi, Madewa! Kau akan menerima hukuman dari Tuan Biparsena setelah membunuh Selendang Merah. Makanya, gembel berkasih-kasihan dengan jutawan, mimpi di siang bolong!"
Merah wajah Madewa mendengar ejekan itu. Didengarnya lagi perkataan Buntoro, "Kau tidak akan sempat membunuh Selendang Merah, karena ajalmu ada di tanganku. Nah, kesempatan terakhir sebelum kau mampus, ketahuilah, akulah yang mengadukan hubunganmu dengan Biparsena! Aku cemburu padamu, Madewa. Aku mencintai Ratih Ningrum. Dan aku siap menyingkirkan sainganku dengan jalan apa pun!" Kini Madewa mendengus. Geram. Rupanya ini biang keladi dari semua ini. Pantas Biparsena bisa tahu hubungannya dengan Ratih Ningrum.
Hmm, sekarang pun dia siap mengadu nyawa. Dia tak sudi Ratih Ningrum jatuh ke pelukan laki-laki setan ini.
Madewa pun menghimpun ilmu pukulan bayangan sukmanya dengan sempurna. Buntoro memperhatikan. Hmm, dia belum merapal dengan baik. Kesempatan yang bagus. Dia harus menyerang!
Dan diserangnya Madewa selagi pemuda itu tengah merapal ilmunya. Pekikan keras membuyarkan konsentrasi Madewa. Apalagi pukulan lurus yang mengandung tenaga yang hebat dari Buntoro sudah menerjang.
Tak ada kesempatan berkelit. Hanya satu-satunya jalan, menangkis. Tetapi resikonya besar. Namun tak ada jalan lagi. Begitu tangan Buntoro mendekat, asal saja Madewa menangkis.
"Aauuuh!"
Buntoro terhuyung ke belakang dengan muntah darah! Sementara Madewa tegak tak kurang suatu apa!
Kembali keajaiban itu terjadi. Tubuh Madewa seakan ada yang melindungi. Lagi-lagi Madewa heran. Tadi dia mengira benar-benar hanya sampai di situ umurnya. Hmm, siapa orangnya yang tengah melindungi dia. Madewa tidak tahu, keajaiban itu timbul dari sari rumput kelangkamaksa yang mengandung tenaga penghalang dari setiap serangan yang datang!
"Hauuuk!" Buntoro muntah darah lagi. Tubuhnya kejang. Rupanya pukulannya itu mengenai dirinya sendiri. Tanpa sempat memikirkan keheranannya, Buntoro sudah pergi untuk selamalamanya.
Jeritannya menggema keras. Madewa mendesah. Kesombongan itu akhirnya runtuh juga, walau dipertahankan dengan jalan apa pun.
Tetapi kepergian Buntoro memecahkan teka-teki siapa yang mengadukan hubungannya dengan Ratih Ningrum pada Biparsena. Buntoro yang terbakar cemburu buta!
Dia pulalah yang mengintip setiap kali keduanya berhubungan.
Madewa agak menyesal, sebenarnya dia tidak menghendaki kematian Buntoro. Pemuda itu masih bisa dipakai untuk dimintai keterangan. Tentang keadaan di sungai hitam itu. Tetapi begitu Madewa muncul tadi, Buntoro malah merasa dia harus melenyapkan pemuda itu!
Yang menjadi saingannya dalam mengambil hati Ratih Ningrum. Gadis yang dicintainya.Namun ajal telah datang padanya. Madewa menengadah. Menatap langit yang agak hitam. Tiba-tiba saja dia rindu akan Ratih Ningrum. Gadis jelita yang menggoda hatinya.
Dia rindu akan mata indah gadis itu. Senyumnya yang hangat dan manis. Bibirnya yang merekah dan selalu menunduk tersipu jika dikecup. Tapi sayang, kini tak bisa dikecupnya lagi bibir gadis itu. Tak bisa dinikmatinya mata indah gadis itu. Tak bisa diresapinya lagi senyum gadis itu. Suara 'krak' dari belakang membuyarkan lamunannya. Dia bersiaga. Hanya seekor binatang malam yang keluar hendak mencari makan.... Dan mengingatkannya akan tantangan Pratiwi si Selendang Merah di sungai hitam.
Yah, kali ini dia harus berhadapan lagi dengan tokoh cabul yang hebat itu. Apalagi Nini wulandari ada di sana, entah mau apa. Yang pasti dia membantu dewi cabul itu.
Madewa cepat melesat. Tantangan itu harus segera dipenuhinya. Entah apa yang akan terjadi nanti jika dia benar-benar berhadapan dengan kedua tokoh kosen itu. Dia akan mempertahankan selembar nyawanya! Dan Madewa berhadap, keajaiban itu akan muncul lagi! Ah, siapa sebenarnya orang yang berada di belakangnya yang menolongnya itu. Madewa tidak yakin kalau keajaiban tadi muncul dari dalam dirinya.
Karena sampai saat ini, Madewa tidak tahu apa penyebabnya. Malam semakin merambat.

* * *



֍↨::::¦ EMPAT ¦::::↨֎

Di tepi sungai hitam itu, Niniwulandari menggerutu terus sejak tadi.  Pratiwi hanya sesekali tertawa.
"Sabar, Nini. Sebentar lagi pemuda itu pasti datang. Dan kau akan memiliki pusaka yang ampuh itu. Kau pasti akan menjadi tokoh persilatan nomor satu dan tak ada tanding!" hibur Pratiwi setengah menghasut. Karena bantuan nenek sakti itu amat dibutuhkannya. Tetapi nenek itu mendengus.
"Hhh! Kalau pusaka itu sudah kudapat, akan kucari pedang Siluman Mata Airku yang hilang. Akan kubunuh dan kucincang orang yang mengambilnya itu!"
Pratiwi tahu pusaka itu telah berhasil direbut Kebo Winata. Tetapi dia juga tidak tahu siapa yang telah membunuh tokoh itu dan merebut pedang pusaka.
Suatu kejadian yang masih terpendam dan memendam sejuta rahasia tentang orang itu.
"Kalau kau butuh bantuanku untuk mencarinya, aku akan membantumu."
"Hmm, setelah itu kau memintanya dariku?"
Wajah Pratiwi memerah.
"Jangan bicara demikian, Nini. Aku hanya ingin bersahabat denganmu. Ada baiknya bukan, kita bersatu setelah tugas ini? Kekuatan kita berdua akan menggemparkan dunia persilatan, Nini. Akan kita taklukan jago-jago dunia lainnya. Kita tantang tokoh-tokoh kosen dari Tiongkok. Bukankah akan menjadikan dan menempatkan nama kita di tempat kehormatan?"
Niniwulandari tetap mendengus.
"Pintar kau, Dewi cabul! Omonganmu menjadi manis sekali! Demi keperjakaan pemuda yang kau perlukan itu, kau bermanis membujukku!"
Lagi-lagi memerah wajah Pratiwi. Panas dirasakannya. Dan mendadak dia menoleh ke arah yang gelap tak jauh dari mereka menunggu. Pendengarannya yang tajam menangkap langkah orang datang.
Diliriknya Niniwulandari. Nenek sakti itu agaknya sudah rnendengar pula, hanya dia tenang-tenang saja. Pratiwi menduga pasti Madewa yang datang. Dia berpikir, kalau nenek tua ini yang lebih dulu menyerang, nyawa pemuda itu bisa melayang saat ini juga. Lebih baik dia saja yang mendahului.
Dengan cepat Pratiwi menguraikan selendang merahnya. Dengan aliran tenaga dalam yang lemah, selendang itu tegak di ujungnya. Dan langsung dihentakkan menyambar leher orang yang baru datang itu, yang langsung berdiri tegak tanpa bisa bergrak. Karena tertotok oleh ujung selendang itu.
"Luar biasa!" Niniwulandari mengguman salut. Lalu melesat mendekati sosok yang kaku itu.
Pratiwi menyusul dengan cepat pula. Dan dilihatnya Niniwulandari telah membopong tubuh yang kaku itu. Luar biasa, nenek peot itu mampu mengangkat tubuh yang tiga kali lebih berat dari tubuhnya. Gerakannya pun ringan. Ia mendirikan tubuh yang kaku itu di depan Pratiwi.
"Kerjaan yang hebat, Dewi cabul," katanya memuji.
Tetapi Pratiwi tidak gembira, tidak menyambut pujian itu. Dia malah terbelalak jengkel. Mendengus. Pemuda itu bukan Madewa Gumilang. Bah! Siapa lagi dia? Kalau tahu begini, biar dihancurkan saja dia oleh Niniwulandari. Ditolehnya nenek tua itu.
"Nenek tua! Bukan ini orang yang kita tunggu!" Niniwulandari terkejut. Dia memperhatikan tubuh yang kaku itu dengan seksama. Dan mendengus kesal pada tubuh itu yang tak lain adalah Genda. Pengurus kuda milik Biparsena yang tengah mencari Madewa Gumilang.
"Kau benar?" tanya Niniwulandari sangsi. Kuatir Pratiwi menipunya.
"Ya!" Pratiwi meludahi wajah Genda. Dan tangannya mengayun. Selendang merahnya langsung berubah menjadi tombak dan menembus tepat di jantung Genda. Darah segar mengumbar membasahi baju Genda. Dewi cabul itu jengkel sekali. Dia mengayunkan lagi selendang merahnya pada tubuh yang ambruk jadi mayat itu, menampar wajah Genda hingga hancur berantakan.
Pemuda yang tengah mencari Madewa itu benar-benar sudah mampus tak berbentuk. Dan tak sempat mengucapkan sepatah kata pun ketika maut menjemputnya untuk ikut!
Pratiwi terkekeh senang. Dia melampiaskan kekesalan terakhirnya dengan menendang tubuh Genda ke sungai hitam.
Byurr!
Tubuh itu lambat-lambat tenggelem. Dan kelebatan yang baru datang ini benar-benar yang mereka tunggu. Madewa Gumilang. Sedetik dia telah terlambat datang. Kalau saja dia tidak lewat dari satu detik itu, dia masih bisa menyelamatkan Genda.
Dia berdiri dengan sikap gagah. Niniwulandari yang terkekeh melihat kerjaan Pratiwi berbalik dengan sigap. Matanya menyelidik ke arah pemuda itu. Ia terkekeh lagi. Sementara Pratiwi langsung berbalik dan tersenyum genit. Pemuda itu benar-benar jantan, berani datang menyambut tantangannya. Dan kegagahan serta ketampanan pemuda itu membangkitkan kobaran nafsu birahi Pratiwi. Ia langsung mengeluarkan ilmu pengharum tubuhnya sambil menguraikan selendang merahnya yang langsung menampakkan buah dadanya yang padat dan segar.
Madewa memejamkan mata sejenak seraya menghimpun hawa murninya. Lalu dia berkata, "Aku sudah datang, Selendang Merah."
Pratiwi terkikik.
"Bagus, kau memang pemuda yang jantan.... Dan aku penasaran terhadapmu."
"Tapi kita tidak punya masalah, Selendang Merah. Kita tidak ada tali permusuhan. Lalu untuk apa kau menantangku?"
"Hik... hik... kalau kau mau melayaniku, aku akan melepaskanmu dengan baik-baik."
Wajah Madewa memerah. "Omonganmu kotor, Pratiwi!" geramnya yang membuat Pratiwi terkekeh. Diam-diam dia semakin mengeluarkan ilmu pengharum tubuhnya. Dan terlihata Madewa sedikit tersedak. Tanpa sadar dia sudah menghirupnya. Lagi-lagi dia menaikkan hawa murninya, untuk mengusir hawa yang menghanyutkan. Rupanya Niniwulandari sudah bosan dengan basa-basi. Apalagi sejak tadi diperhatikannya pemuda itu tidak membawa apa-apa, apalagi pedang yang
diimpikannya. Dia langsung membentak, "Hei, Bocah! Serahkan pusaka Dewa Matahari padaku!"
Madewa melirik. Memperhatikan nenek tua ini. Hmm, dia pernah melihat nenek ini, yang pernah berkunjung ke rumah Biparsena. Dia juga tahu nama nenek itu, Niniwulandari.
"Pedang apa maksudmu, Nenek?" 
"Hhh! Kau pura-pura, Bocah! Cepat serahkan padaku!"
Madewa tertawa keras. Menatap mengejek.
"Rupanya kutemui lagi orang tolol! Dengar, Nenek! Aku tidak memiliki pedang itu. Juga tidak pada almarhum guruku, Ki Rengsersari!"
"Apa maksudmu, Bocah?"tanya Niniwulandari antara tak percaya dan terkejut.
"Kabar Pusaka Dewa Matahari itu hanya kabar bohong belaka! Dan tak ada seorang pun yang memilikinya!"
"Jangan bohong kau, Bocah!!" geram nenek tua itu jengkel. Ia bersiap hendak menyerang. Madewa masih tenang saja. Dia harus menyakini nenek tua ini kalau dia tidak memiliki pedang pusaka itu. Itu lebih baik. Bentrok dengan nenek tua ini dan si Selendang Merah bisa kacau!
"Aku tidak bohong, Nenek! Kupikir tokoh kosen macam kau tidak termakan kabar bohong itu, tapi nyatanya, kau juga termakan!" Diejek begitu wajah Niniwulandari memerah, jengkel.
"Bohong! Kau yang menyebarkan kabar bohong itu! Pedang itu ada padamu!"
"Aku benar-benar tidak mengerti!" Madewa mengeluh sambil menggeleng geleng.
"Demi Dewa Jagat Raya, aku tidak memiliki pedang itu! Dan aku yakin, tak seorang pun di dunia ini yang memiliki pedang itu!"
Niniwulandari menggeram marah. Dia sudah merasakan asam garam dalam rimba persilatan. Dan dia tahu tipuan macam ucapan Madewa. Maka tanpa banyak cakap lagi, dia langsung menerjang.
Untung Madewa sudah bersiaga sejak tadi. Dia langsung berkelit seraya membalas dengan tendangan ke arah perut. Niniwulandari menahan pukulannya. Menghindar dengan jalan bersalto ke belakang. Tetapi Madewa terus mengejarnya sambil menendang balik.
"Des!" benturan antara kaki dengan tangan itu menimbulkan suara yang lumayan.
Niniwulandari menggeram dengan kesal. Dia membalas lagi. Kali ini tangan kanannya menyambar ke bawah. Madewa mengangkat sebelah kakinya. Justru itu yang fatal. Gerakan tanan kanan Niniwulandari hanya tipuan. Begitu Madewa mengangkat sebelah kakinya, kaki nenek tua itu langsung menyambar kaki tumpuan berat badan Madewa. 
"Tapi!" Madewa terpelanting. Ketika Niniwulandari mengejar hendak menjejakkan kakinya ke perut Madewa, selendang merah Pratiwi menahan gerakannya. Dan membanting Niniwulandari yang berontak dengan bersalto hingga tidak jatuh.
Niniwulandari menoleh pada Pratiwi. Marah.
"Apa maksudmu berbuat begitu?!" 
"Ingat perjanjian kita!" sahut Pratiwi seraya menarik lagi selendang merahnya.
"Tapi dia tidak membawa pusaka itu!!"
"Hei, Nenek tua! Dia musuhku! Aku yang berhak menghancurkannya. Bukan dirimu yang tak punya masalah apa-apa dengannya!!"
Niniwulandari menggeram kesal. Lalu berkata dengan sinis, "Baik! Kau selesaikan dia! Kalau kau tidak sanggup mengalahkannya, dia menjadi bagianku! Mau kuapakan terserah padaku! Dengar Pratiwi, dia akan kubunuh!"
Madewa yang merasa ada kesempatan untuk bangkit mengambil nafas, memulihkan pernafasannya yang terasa sesak tadi. Dia bersiaga, bersiap menunggu serangan dari si Selendang Merah.
Pratiwi pun bersiap. Selendangnya di putar-putar yang menimbulkan desingan cepat dan angin yang agak dingin. Ia mendekat sambil menggoyangkan tubuhnya. Buah dadanya yang hanya tertutup sedikit begitu menantang pandangan.
Apalagi dengan hawa harum yang menguar dari tubuhnya, bisa membuat laki-laki langsung bangkit nafsu birahinya.
Tetapi Madewa telah berusaha mati-matian menahan semua itu dengan hawa murninya.
Pratiwi belum memulai serangannya. Sebenarnya ia merasa sayang harus mengalahkan pemuda ini yang paling tidak harus terluka di salah satu bagian tubuh pemuda itu. Belum lagi kalau nenek tua itu ingin membunuhnya.
Ya, dia harus dapat mengambil keperjakaan yang terpendam di tubuh pemuda itu dulu.
"Dewi cabul! Tunggu apa lagi? Cepat kau bunuh dia!!" geram Niniwulandari.
Pratiwi menghela nafas dalam-dalam. Lalu menyalurkan lagi tenaga dalamnya. Hingga putaran selendangnya semakin cepat dan hebat.
Tak ada jalan lain. Dia harus menyerang. Daripada nenek tua itu yang lebih dulu membunuh Madewa, lebih baik dia.
Dengan hentakan cepat Pratiwi mengibaskan selendang merahnya ke leher Madewa. Untung Madewa sudah bersiap sejak tadi. Dia langsung bersalto ke belakang. Tapi serangan Pratiwi terus berdatangan. Begitu Madewa berdiri, Pratiwi memukul dengan tepakan tangan kirinya. Madewa menangkis.
"Des! Plak! Plak!"
Keduanya terhuyung. Tapi Pratiwi lebih cepat. Sambil terhuyung begitu, dia mengibas lagi selendangnya. Madewa cepat berkelit berguling.
Selendang Pratiwi menghantam sebuah pohon hingga berlubang. Dan serangan demi serangan berlanjut. Keduanya sama-sama tangguh.
Niniwulandari semakin bosan karena Pratiwi belum juga menjatuhkan pemuda itu. Dia mengibaskan tangannya. Selarik sinar biru keluar dan tertuju pada Madewa.
Sedetik Madewa tidak menghindar, hangus sudah wajahnya dihantam sinar itu. Pratiwi bersalto karena tersentak. Dan hinggap di depan nenek sakti itu.
"Tidak perlu membokong! Seranganmu berbahaya!" bentaknya marah.
"Kau bodoh, Pratiwi! Karena nafsumu kau masih main-main dengan bahaya!" balas Niniwulandari sebal.
"Aku tidak merasa main-main! Aku akan menangkap anak itu!"
"Dia berbahaya, Pratiwi. Lagi pula, dia tidak membawa pusaka itu!"
"Kau mau apa?"
"Aku akan membunuhnya!"
"Hei, kalian orang-orang jahat!" bentak Madewa jemu.
"Cepat kalian kemari! Akan kucabut nyawa busuk kalian!!"
Niniwulandari mendengus. Berpaling pada Pratiwi. Dan berkata mengejek, "Lihat, nyawamu atau nyawanya yang hilang!"
Dan Pratiwi berpaling marah pada pemuda itu. Dengan ganas ia menerjang lagi. Kali ini dia tidak perduli mau jadi apa pemuda itu. Pikirannya cuma satu, anak itu harus mati! Di tangannya... atau di tangan nenek sakti itu.
Madewa menghindar, berlompat ke kiri. Tapi serangan Niniwulandari mengurungkan niatnya. Dia bersalto ke belakang. Lagi serangan dari Pratiwi datang. Dua buah gelombang serangan yang dahsyat berusaha dihindarinya dengan mati-matian.
Suatu ketika Niniwulandari membentak.
"Jatuh!"
Mendadak pertahanan Madewa goyah. Ia terhuyung ke belakang, namun berusaha untuk tidak jatuh.
"Jatuh!"
Madewa terhuyung lagi. Tahu-tahu dia membentak pula.
"Tidak!"
"Jatuh!"
"Tidak!" Madewa tegak lagi. Jurus Ular Menyimpan Tenaga digunakannya dengan sempurna.
Niniwulandari membentak lagi. Pandangan matanya berubah menjadi merah. Ia telah menggunakan ilmu sihirnya. Tapi ilmu itu tetap tak membawa pengaruh yang besar selain membuat Madewa terhuyung sebentar untuk berdiri tegak.
"Tidak!" seru Madewa sambil menerjang. Niniwulandari tersentak. Konsentrasinya kuat. Ia tak sempat menangkis pukulan Madewa.
"Des! Aaaah!" 
Ganti sekarang Niniwulandari yang terhuyung. Madewa mencecar terus. Dua buah pukulannya mengenai bagian kaki dan wajah Niniwulandari. Ketika akan melakukan serangan lagi, selendang merah Pratiwi menangkap tangannya. Dan membantingnya. Ketika ditarik itu Madewa tidak menahan, malah mengikuti arah tarikannya. Dan mengempos tubuhnya ke arah Pratiwi.
Pratiwi terkejut. Tidak menyangka pemuda itu berbuat nekat. Dengan begitu dia mencoba menjajagi berapa besar tenaga Pratiwi. Cepat Pratiwi melepaskan libatan selendang merahnya dari tangan Madewa. Dan tangan kirinya menghantam tangan Madewa.
"Plak! Plak!"
Dengan jurus Ular Meloloskan Diri, Madewa berkelit ke samping. Dan bergerak dengan cepat.
"Des!"
Tubuh Pratiwi terhantam kaki kanannya. Pratiwi mengaduh. Belum lagi dia berdiri, Madewa sudah menerjang. Sejak tadi dia merapal pukulan andalannya. Tak ada jalan lain. Dia dalam keadaan terdesak. Dia harus mengelurkan jurusnya yang paling ampuh. Kedua tangannya mengepal. Dan mengeluarkan asap putih.
"Hiaaat!"
Niniwulandari tahu gelagat itu. Pukulan Bayangan Sukma, siap mencabut nyawa Pratiwi yang masih terhuyung. Dengan secepat kilat dia bersalto tiga kali dan mendorong tubuh Pratiwi.
"Wuttt!" serangan Madewa lewat di atas kepala dewi cabul itu. Menghantam dua buah pohon yang berjajaran dan seketika hangus dengan daun berguguran. Niniwulandari membentak dan berbalik. Lagi selarik sinar biru mengarah pada Madewa. Madewa tak sempat mengelak. Ia menyongsong sinar biru itu.
"Des! Duaaar!"
Ledakan itu terdengar hebat. Niniwulandari tertawa dalam hati. Pasti hangus tubuh pemuda itu. Demikian pula Pratiwi, yang sudah tidak menghiraukan keperjakaan pemuda itu. Yang pasti dia sudah membalas kematian Gundaling. Namun kedua-duanya terbelalak kaget. Malah Niniwulandari mengusapusap matanya, seolah tak percaya pada penglihatannya sendiri. Madewa masih berdiri tegak. Tak kurang suatu apa.
Ketika kedua lawannya sedang terbengong itu, Madewa membentak dan menerjang. Walaupun masih terbengong, keduanya bukan jago kemarin. Dengan reflek keduanya menghindar. Bergulingan. Madewa terbahak.
"Ternyata sinar birumu tak berguna untukku, Nini! Pukulan Bayangan Sukma tetap nomor satu!"
Bukan main geramnya Niniwulandari. Selagi pemuda itu meleng, dia melepaskan lagi pukulan jarak jauhnya.
"Siing!"
Madewa terkejut. Dia telah dibuai oleh kemenangannya. Tak ampun tubuhnya terhantam pukulan itu. Dia terguling. Jatuh. Dan muntah darah.
Dia tidak siap dengan ilmu pukulan bayangan sukmanya. Maka dia kena terhantam. Kalau saja bukan Madewa, mungkin orang itu sudah mati hangus tak berbentuk.
Walaupun begitu, Niniwulandari terbahak melihat hasil kerjanya.
"Pratiwi! Kau bunuh dia!" Tertatih selendang merah bangkit.
Kemarahannya sudah ingin meledak di ubun-ubun. Tanpa membuang waktu lagi, dia mengayunkan selendang merahnya. Siap mencabut nyawa Madewa!
Tetapi tiba-tiba dari atas pohon terdengar tawa terkekeh-kekeh, panjang. Sesosok tubuh berpakaian hitam-hitam dengan penutup wajahnya tergelak-gelak sambil menggoyang-goyangkan kaki. Di tangan kanannya terdapat sebuah pedang aneh, karena pedang itu mengeluarkan sinar putih yang menyilaukan mata.
Mereka terkejut. Madewa heran, apakah orang itu Buntoro? Bukankah dia sudah mampus?
Pratiwi terbelalak. Sejak tadi dia tidak mendengar adanya orang di atas pohon itu. Pasti sejak mereka bertempur dia sudah berada di sana.
Niniwulandari lebih kaget lagi. Pedang di tangan orang itu dikenalnya. Pedang kepunyaannya. Pusaka Siluman Mata Air!
Hei, mengapa pedang itu ada padanya? Apakah orang ini yang telah membunuh Kebo Winata dan merebut pedang itu? Kemarahan Niniwulandari semakin naik. Tanpa basa-basi lagi dia menyerang. Pukulan jarak jauhnya mengibas orang asing itu. Tapi orang itu cepat melentingkan tubuhnya dan hinggap di tanah dengan sempurna. Seolah sebuah kapas yang jatuh dari atas. Sementara ranting kecil yang didudukinya itu hancur terkena pukulan jarak jauh nenek tua itu.
Orang itu terbahak.
"Ha... ha... nenek peot! Aku menampakkan diri sekarang! Dengarlah kau, Nenek peot! Akulah yang telah membunuh Kebo Winata, dan merebut pedang pusakamu ini!
Sekarang jika kau menginginkannya, rebutlah dariku!" Orang berpakaian hitam-hitam itu terbahak, lalu menyambung lagi, "Nenek peot, apa yang dikatakan pemuda itu benar! Tentang Pusaka Dewa Matahari adalah kabar bohong!
Kau tak perlu kaget! Dan kau Madewa, akulah orang yang selama ini kau cari! Akulah yang menyebarkan kabar bohong itu untuk gurumu, Ki Tua yang telah mampus!" Madewa terbelalak gusar. Sakit tidak dirasakannya lagi. Pengakuan yang telah lama ditunggu-tunggunya. Tajam ia menatap orang itu.
"Bangsaaat!!" geramnya marah.
"Kau harus membayar semua perbuatanmu itu dengan nyawamu!"
Orang itu geleng-geleng kepala.
"Jangan mimpi, Bocah. Apa bisamu, hah?!"
Sejak tadi yang tidak mengerti hanya selendang merah. Dia hanya kaget karena tidak mengetahui adanya orang berpakaian hitam-hitam itu. Dan terbengong-bengong mendengar orang-orang itu adu mulut. Tetapi kemudian dia tanggap. Orang itu yang telah mencuri pusaka Siluman Mata Air milik Niniwulandari dan penyebar kabar bohong tentang adanya pusaka dewa matahari. Tapi apa tujuan orang itu melakukan ini semua? Pratiwi mencetuskan keherannya, "Kisanak, tanpa tujuan yang pasti, kau tentu tidak akan melakukan semua itu, bukan?"
Orang itu tergelak lagi. Merasa lucu dengan pertanyaan Pratiwi.
"Ha... ha... perempuan cabul, kau pintar omong juga rupanya! Kukira yang kau tahu hanya nafsu birahi saja!" Tanpa menghiraukan wajah Pratiwi yang memerah, orang itu melanjutkan, "Baiklah, kalian dengarkan semua! Memang pedang siluman mata air ini kurebut dari Kebo Winata, yang telah berhasil merebutnya dari nenek peot itu. Kalian tentu heran, kenapa aku bisa membunuh Kebo Winata? Ha... ha... racun kelabang hitamku bekerja dengan ampuh pada air yang kusuguhi untuknya!"
Sampai di situ orang itu bicara, terdengar sahutan,
"Keji!"
"Tak ada jalan lain, Selendang Merah. Tubuh yang telah tak berdaya itu kuhancurkan dengan pedangku! Dan kubuang! Mudah, bukan!"
"Lalu apa maksudmu menyebarkan kabar bohong itu untuk guruku?!" bentak Madewa yang dari tadi tak tahan untuk bicara, wajahnya memerah menahan marah.
"Ha... ha... muda saja! Biar orang-orang yang gila akan pusaka Siluman Mata Air beralih pada Ki Rengsersari yang memiliki pusaka Dewa Matahari! Dan aku terbebas dari orang-orang gila itu!
Hanya yang disayangkan, Ki Rengsersari memiliki seorang murid, yang bisa menjadi duri bagiku! Yang menjadi bukti terkuat, kalau kabar itu benar-benar kabar bohong. Dan murid itu adalah kau, Madewa"
Sampai di situ, orang itu menyerang Madewa. Lengan kirinya mengembang membentuk cakar, sasarannya adalah jantung!
Madewa berkelit lagi. Padahal dia tengah menutupi kekagetannya. Jarang orang yang bisa menghindar dari serangan cakar macanya. Ketika dia akan menyerang lagi, Pratiwi berseru, "Tahan!"
Orang itu melirik mengejek.
"Hmm, mau apa kau, Dewi cabul?"
"Sebelum berakhir semua ini, aku ingin tahu namamu, Kisanak. "
Belum habis kalimat Pratiwi, Madewa memotong, "Biar aku bisa menulis namamu di batu nisanmu nanti!"
Kalau tidak tertutup topeng hitam itu, pasti mereka dapat melihat betapa memerahnya wajah orang itu. Tetapi dia hanya tertawa, padahal dalam hatinya geram bukan main. Akan dihabisinya nanti pemuda sialan ini!
"Ha... ha... bagus, bagus! Camkan nama besarku baik-baik! Orang-orang menyebutku pendekar Cakar Macan alias Bayangan Hitam alias. " 
"Kambing kentut!" dengus Nini wulandari yang sudah tidak dapat menahan jengkelnya. Baru sekarang ditemukannya orang yang telah merebut pedang pusakanya. Dan orang itu beraniberaninya muncul!
Punya ilmu macam apa dia? "Nenek peot yang pemarah!" sahut bayangan hitam dengan nada mengejek.
"Tak perlu marah-marah! Jika kau ingin merebut kembali pedangmu ini, rebutlah! Cuma ingin, mengalahkanmu semudah membalikkan telapak tangan, Nenek peot!!"
Niniwulandari menggeram marah. Sekarang Madewa Gumilang tidak dipersoalkannya lagi, karena pemuda itu benar-benar tidak memiliki pedang pusaka dewa matahari.
Kini ia berbalik pada Bayangan Hitam. Ia menyerang bercampur hentakan tenaga dalam yang mengalir melalui tatapannya. Bayangan hitam tahu serangan diam-diam itu. Namun kelihatan dia tenang-tenang saja. Seolah serangan diam-diam itu tidak dirasakannya. Dia malah tenang-tenang saja dengan mata berkedip-kedip.
Dan tahu-tahu, Niniwulandari mengaduh pelan. Tenaganya berbalik menimpanya sendiri. Matanya sangat pedih. Itulah yang dinamakan ajian bayangan hitam, yang membuat orang bisa termakan tenaganya sendiri. Si Bayangan Hitam terbahak, "Ilmu tak berguna kau pamerkan kepadaku! Kau cari mati saja, Nenek peot!"
Niniwulandari geram bukan main. Tahu-tahu dia berteriak dan menerjang dengan pukulan serentak. Bayangan hitam berkelit dengan cepat. Geraknya cocok sekali dengan tingkatan ilmunya, yang dapat bergerak bagaikan bayangan. Tak satu pun serangan Niniwulandari yang masuk. Bayangan hitam bersalto ke belakang.
"Kenapa hanya kau yang menyerangku, Nenek peot! Kau pun boleh menyerangku, Madewa! Musuh besarmu berada di sini sekarang! Jangan sungkan, balaskan dendam Ki Rengsersari! Tetapi ingat, mengalahkanmu juga tak sesulit mengalahkan nenek peot itu!!"
Justru yang geram adalah Pratiwi. Setidaknya, dengan datangnya Bayangan Hitam, perhatian Niniwulandari terlepas dari Madewa. Dan ia tak mungkin bisa mengalahkan Madewa sendiri.
Tanpa banyak cakap lagi, dia mengelebatkan selendang merahnya.
"Wuuutt!"
Dengan tangkas Bayangan Hitam menghindar. Sambil melompat itu dia berseru, "Ha... ha... Selendang Merah rupanya turun tangan juga! Baiklah, kalian jangan sungkan! Keroyoklah aku! Dan kalian akan merasakan serangan kalian itu sia-sia!!"
Sehabis berkata begitu, di Bayangan Hitam meloloskan pedangnya. Benar-benar sebuah pedang yang hebat dan diimpi-impikan oleh orang-orang rimba persilatan!
Pedang itu memancarkan sinar putih yang luar biasa terangnya. Keadaan malam yang gelap itu seperti pada siang hari. Dan bagi yang mempunyai tenaga dalam lemah, bisa buta kedua matanya terkena sinar pedang itu.
Masing-masing menahan serangan diam-diam itu dengan menghimpun tenaga dalam mereka.
"Ayo maju! Tunggu apa lagi?" ejek Bayangan Hitam.
"Kita buktikan siapa yang digjaya! Anggaplah kita tengah mengadakan pertandingan perebutan pusaka Siluman Mata Air! Tetapi ingat, pertarungan ini mempertaruhkan nyawa! Yang masih sayang dengan nyawanya, lebih baik mundur! Tidur di rumah dan menyusu pada ibu kalian!"
"Bangsat! Jangan banyak omong! Serahkan pedang itu padaku, Bayangan Hitam!" geram Niniwulandari seraya menyerang ke depan. Bayangan Hitam dengan lincah menghincar serangan itu. Melihat serangannya luput, Niniwulandari menjadi geram bukan main. Apalagi pusaka yang dipegang Bayangan hitam itu membuatnya semakin bernafsu untuk merebut.
Tetapi kali ini, ketika dia bergerak lagi, Bayangan Hitam mengibaskan pedang itu. Nenek tua itu menjerit kaget dan bersalto menghindar. Namun tak urung pakaiannya terkena dan hangus terbakar.
Bayangan Hitam tergelak-gelak. Yang lain memandang kagum dan terkejut. Pedang yang ampuh itu semakin hebat rasanya di tangan orang yang memiliki ilmu pedang. Seperti si Bayangan Hitam. Madewa merasa dia harus menyerang pula. Selagi musuh besarnya berada di sini. Dilupakannya masalahnya dengan Pratiwi dan Niniwulandari. Dan agakaya keduanya juga melupakan masalah itu.
Dia menghimpun ilmu pukulan bayangan sukma tingkat tinggi, karena Madewa tahu ilmu yang dimiliki Bayangan Hitam. Dan menghantam orang itu dengan cepat. Bayangan Hitam menerjang dengan sambaran pedangnya. Kelitan pedang itu dihindarinya dengan meloncat, tetapi pukulannya tetap deras ke depan. Bayangan Hitam berbalik dan mengibaskan pedangnya lagi. Lagi Madewa menghindar, malah kakinya sempat menyampok tangan kiri orang itu.
"Des!"
Bayangan Hitam terhuyung. Madewa melanjutkan serangannya tetap dengan ajian saktinya. Tak ada jalan lain. Dengan terhuyung itu Bayangan Hitam memapaki serangan Madewa.
"Des!"
Kedua-keduanya terpental. Bayangan Hitam kaget juga melihat serangan hebat itu. Tangannya terasa ngilu. Dan nyeri dirasakan.
Demikian pula dengan Madewa, pukulan bayangan sukmanya ternyata tak membawa pengaruh pada lawannya itu. Dia membetulkan sikapnya berdiri. Belum lagi dia menyerang, Pratiwi sudah menyambarkan senjatanya. Tetapi Pratiwi menjadi kaget sendiri. Disangkanya dalam posisi yang goyah itu dia akan mudah mendaratkan selendangnya, namun dugaannya meleset. Selendangnya langsung putus dan terbakar tersabet pedang pusaka itu.
"Bangsat!" geram Pratiwi marah.
"Kau telah merusak selendangku!"
"Ha... ha... tak ada gunanya kau mengomel, Pratiwi! Karena nyawamu akan kucabut saat ini juga!
"Baik! Aku akan mengadu jiwa denganmu!" Pratiwi menerjang lagi. Sungguh berbahaya. Dia berani memasuki lingkaran kibasan pedang pusaka itu.
Nini Wulandari berseru memperingatkan,
"Hati-hati, Dewi cabul!" Lalu dia sendiri memasuki ajang pertempuran.
Dikeroyok begitu, Bayangan Hitam masih tenang-tenang saja. Pedangnya terus berkelebatan kesana kemari. Sampai sekian jurus kedua pengeroyoknya belum mampu menyentuh tubuhnya. Malah dia yang telah melukai kedua pengeroyoknya!
Lengan kiri Niniwulandari tergores dan hangus. Sedangkan Pratiwi telah telanjang bulat karena dengan cabulnya Bayangan Hitam merobek seluruh bagian baju Pratiwi dengan pedangnya. Pratiwi mejerit. Dia berusaha menutupi tubuhnya dengan pakaian yang compang-camping. Dan buru-buru mengambil sisa selendangnya dan membelitkan ke tubuhnya. Walaupun begitu tetap tak banyak gunanya.
"Biadab! Cabul kau, Bayangan Hitam!"
Bayangan Hitam malah terbahakbahak. Senang melihat tubuh Pratiwi yang putih mulus. Dia sengaja tak melukai tubuh indah itu. Lebih asyik mengoyak pakaian selendang merah!
Sementara Pratiwi kalang kabut, Niniwulandari menekap lukanya. Terasa perih sekali. Kalau saja Bayangan Hitam tidak memiliki pusaka itu, pasti dengan mudah dikalahkannya. Biarpun terluka, Niniwulandari bertekad, akan mengadu jiwa dengan orang itu.
Tanpa menghiraukan rasa sakitnya lagi, dia nekad menyerang.
"Ha... ha... keluarkan semua ilmumu, Nini!" Jelas ini merupakan ilmu pamungkas dari nenek tua itu. Ilmu kebalnya dikerahkan sampai ke tingkat pamungkas. Dia berharap, ilmu menghimpun tenaga matahari mampu menahan serangan pusaka itu. Bayangan Hitam agaknya mengenal ilmu itu, dia berusaha menjaga jarak walaupun dia memegang pedang. Pukulan Niniwulandari bisa dihancurkan tubuhnya jika dikehendaki. Dan nenek tua itu menghendakinya!
"Awas!!"
Bayangan Hitam berkelit. Bersalto ke atas. Di saat tubuhnya melayang itu, Pratiwi menerjang. Pukulannya tepat mengenai pinggang Bayangan Hitam. Namun semua itu harus dibayar mahal. Lengan kirinya buntung ditebas pedang pusaka! "Aaaah!" Keduanya menjerit bersamaan. Tetapi Pratiwi ambruk, sedangkan
Bayangan Hitam hanya mengeliat.
"Dewi cabul!" jerit Madewa terkejut. Biar bagaimana pun bencinya dia pada Pratiwi, tetap! melihat wanita itu menggeliat kesakitan, amarahnya timbul. Sejak tadi dia diam, karena berusaha melihat titik kelemahan ilmu pedang Bayangan Hitam dengan ilmu pandangan menembus sukma.
Dan dia akan menghancurkan orang itu!
Bersamaan dengan jerit yang mengerikan, Madewa menyerang. Bayangan Hitam mengibaskan pedangnya. Madewa bersalto. Di saat bersalto itulah dia ingat akan keajaiban yang kerap datang membantunya. Tetapi mengapa tidak datang! Mana tenaga yang bisa membalikkan serangan lawan mengenai dirinya sendiri?
Mana?
Bayangan Hitam mengejar. Kali ini dibarengi dengan jurus cakar macannya. Madewa tidak sempat berkelit. Cakar macan itu mampir di pinggangnya. Tetapi dirasakan oleh Bayangan Hitam kalau pinggang itu terasa keras. Dan tangannya terasa panas. Buru-buru dia melirik tangannya.
Madewa heran melihat musuhnya menjerit. Dia baru sadar, orang itu mencengkram seruling naga pemberian gurunya. Ingat itu, Madewa berpikir. Yah... dia harus menggunakan seruling sakti itu.
Dengan cepat dia mencabut seruling itu. Dan ingat lagi akan petuah gurunya, kalau seruling itu tidak bisa digunakan dalam keadaan bernafsu atau marah.
Cepat-cepat dia menenangkan dirinya. Dan duduk bersila dengan menghimpun tenaga dalamnya. Niniwulandari menjerit jengkel.
"Pengecut!" serunya melihat Madewa duduk. Dalam medan laga, pantangan besar bagi kesatria untuk duduk. Itu tanda menyerah! "Percuma kau sebagai murid tunggal Ki Tua yang sakti itu, kalau menyerah!"
Madewa menyahut pelan, "Biar dia menyerangku, Nenek! Aku ingin tahu sampai di mana kehebatannya!"
"Pengecut!" Niniwulandari menyembrut gusar. Hhh! Dia berbalik pada Bayangan Hitam yang berdiri tenang-tenang saja. Niniwulandari menyerang lagi. Tetapi kembali dia ambruk. Kali ini Bayangan Hitam tak ampun lagi. Dia menyabet mati nenek tua itu. Hilanglah sudah nyawa nenek sakti itu. Dalam ajalnya dia masih sempat menjerit, "Bunuh dia, Madewa!" Lalu mati!
"Nenek tua!" jerit Madewa kaget.
Sementara musuhnya tertawa terbahak.
"Jangan kau tangisi dia, Madewa! Sekarang hadapilah aku! Sudah kukatakan, kalau hidup kalian hanya sampai di sini!" Madewa mendengus gusar. Tatapannya nyalang. Ia menyahut angker, "Baiklah...sekarang seranglah aku!"
Ha... ha... kau sombong. Baik. Kau lihat seranganku! Awas serangan!"
Bayangan Hitam memainkan gerakan ilmu pedangnya. Dan menyerang. Madewa tetap duduk dengan tenang. Dengan gerakan tenang pula dia memainkan serulingnya. Meniup dengan perlahan. Tetapi suara seruling itu seakan membakar telinga Bayangan Hitam yang sedang bernafsu. Jika yang menyerang itu marah, maka kerja seruling itu lebih cepat. Bayangan Hitam menjerit. Dan melompat ke belakang.
"Seruling Naga!"
Tetapi Madewa terus meniup seruling itu, N-danya semakin menyentak dirasakan oleh telinga musuhnya. Dia menjerit. Tenaga dalam dan hawa murninya serasa tidak bekerja menahan serangan seruling itu, karena dia telah dikuasai oleh seruling itu.
Tiba-tiba dia menerjang dengan diiringi jeritan nyaring. Pedangnya terhunus langsung ke arah jantung. Madewa tetap meniup seruling itu. Dia berdoa, semoga seruling itu mampu menahan serangan yang berbahaya. Tetapi pedang itu terus terhunus ke arahnya. Seruling tidak mampu menahan! Kesempatan untuk bergerak pun susah. Tak ada detik untuk mengelak. Inilah ajal bagi Madewa? Tetapi keajaiban itu muncul lagi.
Belum sampai pusaka itu menyentuh tubuhnya, orang itumsudah jumpalitan dan jatuh muntah darah.
Lagi-lagi Bayangan Hitam berteriak, "Rumput kelangkamaksa!"
Madewa menghentikan meniup serulingnya. Dia mendengar teriakan orang itu. Rumput? Oh, Dewa... rupanya khasiat air rumput ajaib itu yang menjadikannya sehebat ini.
Pantas, keajaiban itu tidak datang lagi. Rupanya orang yang menggunakan ini harus dalam keadaan tenang pula. Di saat Bayangan Hitam kelojotan, Madewa meniup serulingnya lagi.Tubuh itu semakin kelojotan. Terlihat dari hidung dan mulut Bayangan Hitam mengeluarkan darah. Pedang pusaka Siluman Mata Air terlepas dari genggamannya. Mengherankan, karena begitu terlepas, tiba-tiba cahaya yang memancar dari pedang itu, hilang. Dan pedang itu hancur menjadi debu! Sementara tubuh Bayangan Hitam masih menggelepar. Kali ini dari mata dan duburnya mengeluarkan darah.
"Madewa...." rintihnya.
"Bunuh, bunuh saja aku. Jangan kau siksa begini... ah!"
Madewa terus meniup serulingnya. Orang sesat macam Bayangan Hitam biar disiksanya dulu sebelum dibunuh. Tak ada gunanya orang macam ini hidup. Tetapi akhirnya Madewa menghentikan juga meniup serulingnya. Tak tahan melihat lawannya sudah merintih demikian.
Hati-hati dihampirinya lawannya yang tengah sekarat. Sebentar lagi ajal pasti menjemputnya. Diperhatikannya topeng hitam yang berwarna karena darah yang mengalir dari seluruh wajah orang itu. Perlahan Madewa membungkuk dan menarik topeng itu. Dia terkejut. Mulutnya menganga. Dia kenal wajah ini.
Wajah yang tak asing lagi! Wajah Biparsena! Majikannya! Orang itu ternyata memang Biparsena. Murid durhaka yang berani merebut pusaka dan membunuh gurunya sendiri, Niniwulandari. Megap-megap orang itu menatap Madewa.
"Madewa... kau... ampunilah dosa-dosaku..... Aku bersalah... maafkanlah aku... aku tahu kau orang gagah... ja-ja... jaga... jagalah Ratih Ningrum dalam... dekapanmu.... Aku... aku rela... aku... ah. "
Tubuh itu ambruk untuk selama-lamanya. Madewa mendesah. Tak tahan dia melihat siksaan yang terjadi pada bekas musuhnya, juga majikannya.
Dengan gontai dia berdiri. Menatap senja yang mulai berarak. Tak terasa pertempuran itu memakan waktu setengah hari. Diperhatikannya satu per satu mayat yang bergeletakan. Dia menguburkannya dengan menahan haru dan air mata. Ditatapnya tubuh Biparsena dan Niniwulandari sebelum dikuburkan.
Orang-orang gagah yang mati dalam kesesatan. Setelah menguburkan keduanya, Madewa menghampiri Pratiwi yang masih pingsan. Dibalutnya lengan kiri wanita itu yang buntung, agar darah tidak mengalir terus. Senja semakin turun. Tak ada hukuman yang akan dijatuhkan Biparsena padanya.
Tanpa menghiraukan Pratiwi lagi, dia beranjak meninggalkan tempat itu. Meninggalkan dua tubuh yang dikebumikan. Meninggalkan Pratiwi yang masih pingsan. Dan meninggalkan sepotong harapan yang diberikan Biparsena untuk menjaga putrinya.
Dia tidak melangkah menuju rumah Biparsena. Dia tidak ingin menemui Ratih Ningrum. Tugas mendiang gurunya telah diselesaikan. Dia ingin mencari ayahnya, mendadak kerinduan itu muncul. Dan dirasakan sebagai tugas selanjutnya. Tetapi dia juga berjanji, akan menolong orang-orang yang lemah. Dia akan membela kebenaran dan membasmi kejahatan. Seperti janjinya pada mendiang gurunya.
Dia cinta Ratih Ningrum. Tetapi dia juga tahu, gadis itu ada yang menjaga. Tiga pengawal Biparsena yang hebat. Mukti, Patidina dan Tek Jien. Biarlah nanti kalau ada waktu dia akan menemui Ratih Ningrum. Tetapi untuk saat ini tidak. Kalau dia bertemu dengan gadis itu, mau tidak mau dia akan bercerita tentang ayah gadis itu, tentang kematiannya. Biparsena yang mati di tangannya!
Madewa terus melangkah. Tak tahu arah, tak tahu hendak ke mana. Madewa hanya berpikir, ke mana kakinya akan melangkah, dia akan mengikuti.

* * *



֍↨::::¦ LIMA ¦::::↨֎

Malam yang gelap dan dingin, membuat orang merasa lebih senang dan aman berada di rumah. Bercakap dan menghangatkan tubuh di depan perapian bersama keluarga.
Suasana di jalan itu hening. Tak seorang pun yang kelihatan berkeliaran. Tetapi tiba-tiba berkelebat bayangan hitam dari satu atap rumah ke atap yang lain. Gerakannya ringan. Dan langkahnya cepat. Menandakan orang itu memiliki ilmu meringankan tubuh yang tinggi.
Di salah sebuah rumah di ujung jalan, orarig itu berhenti. Kembali dengan ringannya dia melompat turun. Dan bersalto dua kali hingga sampai di samping rumah.
Kelihatan dia terdiam, seperti mengingat-ingat.
"Hmm, benar ini rumah yang diinapi pemuda bangsat itu. Mudah-mudahan dia belum pergi. Aku harus membalaskan dendam itu sekarang juga!" Siapa sebenarnya orang itu? Kalau dilihat dari gumamannya tadi, dia memendam dendam kesumat yang amat dalam.
Dan dia telah bersumpah harus membalas dendam itu sampai akhir hayatnya. Orang itu tidak lain adalah Wirapati, salah seorang dari Tiga Dewa Penunggang Kuda, yang begitu dendam pada Madewa Gumilang, pemuda yang tengah dicarinya saat ini. Pemuda itu pernah mengalahkannya setahun yang lewat. 
Tetapi Wirapati tidak akan bisa tenang sebelum membalas kematian kakak dan adik seperguruannya, yang tewas di tangan Madewa Gumilang. Dalam waktu setahun itu, Wirapati bersembunyi. Berlatih ilmu silat. Dan bisa di duga, kemajuan ilmu silatnya sangat pesat sekali. Ilmu meringankan tubuhnya pun semakin tinggi.
Dendam begitu membakarnya, sampai dia bisa menciptakan ilmu silat yang hebat sekali, yang dinamakannya jurus Naga Menguak Langit dan ilmu pedang yang tak kalah dahsyatnya, yang dinamakan, ilmu pedang membelah mega!
Setelah dirasakannya bekalnya telah cukup, Wirapati pun keluar dari persembunyiannya. Dia mulai melangkah mencari jejak Madewa Gumilang, pemuda yang tak akan terlupakan selama hidupnya. Hampir sebulan Wirapati tidak menemukan jejek pemuda itu, sampai akhirnya dia mendengar kalau di kota ini ada seorang pemuda yang memiliki ilmu pukulan bayangan sukma!
Yang dengan ilmunya itu telah menghancurkan segerombolan perampok yang hendak merampok rumah Tuan Abindamanyu, orang yang terpandang di kota itu. Wirapati berpikir, siapa lagi orangnya yang memiliki ilmu pukulan bayangan sukma selain Madewa alias murid tunggal Ki Rengsersari, yang meninggal akibat kabar bohong yang menimpa dirinya.
Maka Wirapati pun mulai menyelidik tentang adanya pemuda itu. Dan hasilnya memuaskan. Memang benar, pemuda itu yang telah menyebabkan kematian kedua saudara seperguruannya. Dan pemuda itu selama ini menginap di rumah Tuan Abindamanyu, tuan hartawan yang telah ditolongnya.
Wirapati pun tak kuasa lagi memendung dendamnya lama-lama. Dia mulai mempersiapkan diri. Dan malam ini dia menjalankan missinya.
Dengan langkah yang tetap ringan malah seakan tak menginjak tanah, Wirapati berkelebat mendekati pintu. Dia sudah menghitung berapa banyaknya pengawal Tuan Abindamanyu itu. Hanya lima dan tampak seperti keroco yang hanya mengandalkan tampang yang bengis dan golok yang besar dan panjang.
Tidak sulit untuk melumpuhkan mereka. Dia mengendap mendekati penjaga yang berberewok tebal yang menjaga di pintu masuk dari belakang. Dengan sigap Wirapati mengambil sebuah batu kerikil yang kecil. Disambitnya batu itu ke arah penjaga, sedetik kemudian terlihat kalau penjaga itu tersentak dan terdiam kaku. Rupanya Wirapati menotok dari jauh melalui kerikil itu.
"Benar-benar tidak sulit," gumamnya seraya bersalto menghampiri penjaga di pintu depan yang sedang tertawa-tawa sambil menikmati kopi hangat. Rupanya di bagian depan di tempatkan penjaga dua orang. Dan keduanya tengah tertawa kegirangan merasa nasib mereka sebagai penjaga sangat baik.
Kali ini Wirapati langsung berkelebat ke depan. Kedua penjaga itu tak sempat berbuat apa-apa. Karena tangan Wirapati sudah mengepit kedua leher mereka. Terdengar tarikan nafas dipaksakan.
Heiik! Lalu kedua tubuh itu ambruk tak bernyawa.
Wirapati berkelebat lagi. Tinggal dua penjaga. Hmm, itu tidak sulit. Dia harus masuk ke dalam rumah. Dengan setengah berlari Wirapati memeriksa setiap bagian yagn bisa dipakai untuk masuk. Hmm, jendela di sebelah kanan tampak sedikit terbuka. Keadaan dalamnya pun terang. Wirapati mendekat. 
Dan mengintip. Terlihat olehnya seorang gadis manis tengah membaca buku di tempat tidur. Cantik sekali. Dialah Nindia, putri tunggal Abindamanyu yang kecantikannya tersohor sekali. Selain cantik, budi pekerti Nindia juga baik sekali dinilai oleh orang sekitarnya. Nindia tidak sombong seperti kebanyakan anak-anak orang kaya yang lain. Dia mau berteman dengan siapa saja, tak perduli kaya atau miskin.
Wirapati melihat ke sana kemari Tidak ada tanda-tanda orang yang datang. Sementara Nindia tidak sedikit pun melihat bahaya mengancam, dia terus asyik dengan buku sastranya. Nindia menggemari sastra-sastra. Tetapi begitu bayangan hitam itu berkelebat masuk, dia bangkit terkejut.
"Siapa kau?!" jeritnya. Tetapi hanya itu yang sempat diucapkan, karena tiba-tiba dia merasakan lidahnya sukar untuk bicara. Wirapati telah menotok urat suaranya!
"Jangan ribut, Nona! Kalau Nona berisik, berarti Nona akan menemui kematian!" ancam Wirapati bengis.
Tetapi Nindia masih mau berontak, walau suaranya sukar untuk dikeluarkan. Wirapati menjadi geram. Tangannya melayang ke pipi gadis itu yang kontan terjengkang ke ranjangnya.
Nindia mengaduh dalam hati. Dan menangis ketakutan.
"Sudah kubilang, kau diam saja! Atau... kau ingin kuhina, Nona. Biar semua orang tahu, kalau gadis kesayangan Tuan Abindamanyu, sudah tidak perawan lagi!!"
Mendengar ancaman yang mengerikan itu, Nindia terdiam. Tetapi air matanya jatuh satu per satu. Dia menyesal mengapa jendela kamarnya tidak ditutup. Padahal ayahnya selalu berpesan sejak terjadinya peristiwa perampokan yang gagal itu karena ada Madewa Gumilang yang menolong mereka.
Wirapati mendekatkan wajahnya ke wajah Nindia yang ketakutan setengah mati. Tangannya bergerak, membebaskan totokannya pada urat suara Nindia.
"Jangan ribut, atau kuperkosa kau! Sekarang jawab pertanyaanku, di mana pemuda yang telah menolong kalian!"
"Oh... dia... dia," desis Nindia takut-takut.
"Jawab yang benar!"
"Dia... dia baru saja pergi tadi sore "
"Hah?" potong Wirapati terkejut. Sia-sia kalau begini kedatangannya.
"Ke mana dia pergi?!"
"Ka... kami tidak ada... yang tahu, karena... pemuda itu aneh. katanya dia... hendak merantau lagi. "
"Bangsaaat!!" Wirapati menggeram jengkel. Belum lagi dia berkata apa-apa, terdengar jeritan dari laur,
"Pembunuhan! Pembunuhan!"
Wirapati bergerak sigap. Ia menotok tubuh Nindia yang seketika menjadi lemas. Cepat dibopongnya tubuh yang montok itu. Sebelum pergi dia menggigit ujung jari telunjuknya hingga berdarah. Lalu dangan darah itu dia menulis di cermin yang ada di depan meja rias Nindia.

KALAU INGIN MENEMUI PUTRIMU, SURUH MADEWA GUMILANG MENEMUIKU DI TANAH GENTING SEBELAH TIMUR LAUT SELATAN

WIRAPATI.


Setelah menulis itu dia melompat ke luar. Walaupun membawa beban, sedikit pun dia tak kelihatan repot. Malah seakan tak membawa apa-apa Wirapati berkelebat menghilang. Melompat dari atap yang satu ke atap yang lain. Lalu menghilang di telan malam bersama tubuh Nindia.
Keadaan di rumah Abindamanyu menjadi kacau. Tuan rumah itu keluar dengan cepat bersama istrinya begitu mendengar seruan penjaganya tentang pembunuhan.
"Apa yang terjadi?" tanyanya pada dua penjaganya itu.
"Jaka dan Topa kami temukan mati, Tuan!" sahut penjaganya yang bertubuh lebih pendek dari yang satu. Dia bernama Dika.
"Kenapa bisa begini?" tanya Abindamanyu tak mengerti.
Belum lagi Dika menjawab, penjaga kebun berlari-lari dari belakang, "Tuan, Kang Depa berdiri kaku di belakang! Saya tidak bisa membua-nya bergerak lagi!"
Teman Dika yang satu langsung berlari ke belakang. Dia membebskan Depa dari totokan itu. Semula sukar sekali dia menemukan di mana totokan itu. Tapi akhirnya ketemu. Di urat yang berada di dada sebelah kanan. Kalau saja totokan itu langsung dilakukan melalui melalui tangan, bukan melalui batu, pasti orang itu tidak akan bisa membebaskan Depa.
Depa mengeliat. Lalu mengucapkan terima kasih pada temannya.
"Apa yang terjadi, Depa?" 
"Seseorang yang berbaju serba hitam menyerangku, Kang Raga."
"Siapa?" dengus Raga memburu. Dia nampak geram sekali melihat semua ini. Tadi dia dan Dika sedang mengontrol bagian luar rumah sehingga tidak mengetahui semua ini. Dan baru tahu setelah melihat tubuh Jaka dan Topa yang tergeletak dengan lidah menjulur. Diketahui kalau keduanya mati tercekik dan belum lama, karena tubuh mereka masih hangat.
"Aku tidak tahu, Kang Raga. Memang apa yang telah terjadi di sini?"
"Jaka dan Topa diketemukan mati!" 
"Oh, Tuhan!" Tanpa banyak tanya lagi, Depa melesat ke depan lalu Raga menyusul. Benar kata Raga, kedua temannya itu mati dan di sana sudah ada tuan rumah berserta istrinya yang wajahnya pucat bukan main. Mungkin terpukul melihat mayat itu dan terkejut yang amat sangat. Tuan Abindamanyu menyuruh tiga orang pengawalnya mengangkat tubuh Jaka dan Topa, lalu menenangkan istrinya dengan jalan memeluknya.
Tapi tiba-tiba istrinya memberontak dan seraya berlari ke dalam dia menjerit, "Anakku?!" Di mana anakku, Nindia!!"
Serentak mereka terkejut. Dan langsung mengikuti nyonya rumahnya masuk. Dari dalam kamar Nindia terdengar jeritan kaget dan panik istri tuannya. Abindamanyu memburu dengan cepat dan menemukan tubuh istrinya yang jatuh pingsan dengan tangan tertunjuk ke cermin.
Sambil memeluk tubuh istrinya, Abindamanyu menoleh ke cermin. Terlihat dan terbaca tulisan berdarah yang sudah agak mengering itu. Dia menghela nafas panjang, tubuhnya mendadak lemas. Anaknya hilang diculik oleh orang yang mengaku bernama Wirapati!
Lagi-lagi dia menghela nafas panjang. Wajahnya kuyu dan lemah. Semua ini terjadi karena orang itu mencari Madewa Gumilang! Sedikit yang disesalkannya, kenapa Madewa pergi sebelum kejadian ini terjadi.
Pengawalnya yang berdesakan masuk, melihat kedua tuan rumahnya dalam keadaan menunduk, sementara istri tuannya jatuh pingsan dalam rangkulan suaminya. Mereka sadar, kalau putri Nindia tidak ada di tempat. Dan baru jelas setelah membaca tulisan berdarah di cermin.
Raga melangkah ke depan. Menghormat pada tuannya, "Tuan Abindamanyu, jika persoalan ini menyangkut nama Dik Madewa Gumilang, ada baiknya kalau sekarang juga saya mencarinya. biar kita tahu apa yang menjadi masalah ini dan biar dia yang menyelesaikan semuanya, karena dari tulisan itu jelas diketahui kalau ada sangkut paut antara Madewa dengan Wirapati yang pasti suatu dendam lama!" Abindamanyu tidak bisa berkata-kata lagi. Dia hanya mengangguk saja. Dan mencium wajah istrinya yang terkulai lemas seraya memanggil nama putrinya lemah, "Nindia. "
Malam itu juga Raga cepat berangkat setelah memerintahkan pada dua orang temannya untuk menjaga di tempat itu dengan baik dan menyuruh mereka mengerahkan tukang kebun dan penjaga kuda agar tidak tidur semalam suntuk ini. Raga berjanji, sebelum matahari esok terbit, dia sudah kembali bersama pemuda yang bernama Madewa Gumilang. Dengan cepat dia berlari ke kudanya dan menggeprak punggung kudanya sehingga kuda itu melompat dengan menyentak.
Bersamaan dengan itu, di suatu tempat yang jauh dari kota itu, di sebuah rumah besar terdengar bentakan dan seruan keras seorang perempuan. Kalau dilihat sekilas nampak seperti marah-marah dan ketakutan. Tetapi kalau dilihat dari dekat, jalas sekali gadis itu tengah berlatih silat.
Gerakannya mantap dan kukuh. Tenaganya pun besar. Di dekatnya berlatih berdiri tiga orang laki-laki yang memperhatikan. Merekalah guru dari gadis cantik itu. Masing-masing guru mempunyai kebiasaan sendiri. Dan mereka dengan sukahati dan serempak menurunkan ilmu mereka pada gadis itu, yang menjadikan murid kesayangan mereka.
Selain cantik, kemauan gadis itu besar untuk bisa menguasai ilmu yang diajarkan ketiga gurunya. Laki-laki yang berdiri agak kiri, seorang laki-laki yang tegap. Orang itu memakai baju hitam dan berselempang dua buah pedang di punggungnya. Orang itu adalah Mukti yang berjuluk si Pedang Kembar.
Di sebelahnya berdiri orang yang mamakai pakaian keraton, dialah Patidina si keris tunggal. Dan yang terakhir memakai celana hitam gombrang tanpa baju. Orang itu ada keturunan Cina, matanya sipit. Wajahnya dingin. Dialah Tek Jien, si Pukulan Seribu.
Mereka adalah tiga pengawal Pribadi dari Biparsena (baca : Pusaka Dewa Matahari). Sedangkan gadis yang menjadi murid mereka tak lain adalah Ratih Ningrum. Putri tunggal Biparsena. Yang sekarang semakin nampak kecantikan dan kemolekkannya. Juga perubahan pada bentuk tubuhnya.
Bentuk tubuh yang padat dan indah, semakin menarik karena banyak bergerak. Dalam gerakan ilmu silat, terdapat gerak senam yang harus dikuasai oleh setiap pendekar. Dan senam itu semakin membuat keindahan tubuh Ratih Ningrum.
Peristiwa setahun yang lalu masih terbayang di benak Ratih Ningrum. Kejadian yang menimpa dirinya dan Madewa. Madewa dulu adalah kekasihnya, tetapi sekarang ini entah dia berada di mana. Waktu itu Ratih Ningrum tidak tahu apa sebabnya Madewa meninggalkannya. 
Dan akhirnya dia tahu, sebelum ayahnya pergi, ayahnya pernah bilang, kalau dia tidak boleh berhubungan dengan Madewa, karena dia telah dijodohkan oleh Buntoro, adik seperguruan ayahnya dari guru Niniwulandari. Tentu saja Ratih Ningrum terkejut, tapi tak bisa berbuat apa-apa. Karena ayahnya pantang ditentang. Sesudah itu ayahnya pergi keluar, katanya mau mencari angin.
Dan setelah itu ayahnya tidak pernah pulang ke rumah. Tidak ada kabarnya pula sedikit pun. Baru kemudian diketahui di dekat sungai hitam ditemukan dua buah kuburan yang masih kelihatan baru. Ratih Ningrum curiga dengan kuburan itu. Dia menyuruh membongkar kembali kuburan itu. Dan bukan main terkejutnya dia ketika diketahui kalau dua buah mayat itu adalah mayat ayahnya dan Niniwulandari.
Perasaan Ratih Ningrum saat itu menjadi kacau balau. Lalu didengarnya pula telah diketemukan mayat Buntoro. Ratih Ningrum tetap tidak tahu apa yang telah terjadi.
Pikirannya semakin kalut, apalagi tidak ada Madewa Gumilang di sisinya, ketika tempat 'kupu-kupu cantik' ayahnya porak poranda, karena tidak ada yang membiayainya. Ratih Ningrum terkejut, karena dia baru tahu sekarang kalau ayahnya mengelola tempat itu.
Lalu dia menyuruh tiga orang pengawal ayahnya yang setia membubarkan tempat itu dan membakar hanguskannya, sementara masing-masing penghuni diberi biaya sedikit untuk hidup.
Setelah itu keadaan Ratih Ningrum semakin parah. Akhirnya Mukti, si Pedang Kembar, menyarankan kepada kedua temannya untuk menghibur Ratih Ningrum dengan jalan mengajarkannya permainan ilmu silat. Kedua temannya sepakat. Lalu mulailah mereka menggembleng Ratih Ningrum, yang mau mengikuti saran dan usul mereka.
Kelihatan sekali kalau Ratih Ningrum begitu berbakat. Dan sedikit demi sedikit dia menguasai ilmu yang diturunkan oleh ketiga pengawalnya yang sekarang menjadi gurunya. Dia juga mulai melupakan kesedihan yang menimpanya.
Sekarang ini, masing-masing guru tengah melihat kelihaian dan kematangan ilmu silat Ratih Ningrum. Benar-benar mengagumkan. Sepasang tongkat kayu yang dimainkan Ratih Ningrum, sungguh hebat sekali. Keduanya bergerak bergantian, saling mengisi tempat yang kosong.
Begitu pula ketika dia memainkan jurus keris tunggal dengan menggunakan sebatang kayu. Benar-benar pesat ilmu silat yang dimiliki Ratih Ningrum.
Gadis itu kelihatan begitu tegar sekarang. Begitu kukuh dan mengagumkan. Selain cantik, ilmu silatnya pun dalam. Dari Tek Jien, dia menerima ilmu tangan kosong pukulan tangan seribu dan ilmu meringankan tubuh yang dikuasainya dengan sempurna. Mungkin kalau gurunya melawan dia, belum tentu mereka menguasai muridnya. Karena muridnya menguasai ilmu ketiganya, sedangkan gurunya hanya menguasai ilmu yang diturunkan pada muridnya saja.
Ratih Ningrum sudah selesai memainkan ilmu pedang kembarnya dengan baik. Wajahnya yang cantik terlihat semakin cantik dengan tubuh berpeluh dan wajah agak berkeringat. Riap-riap rambutnya basah kena keringat. Ketiga gurunya bertepuk tangan dengan kagum.
"Bukan main! Kau menguasai ilmu pedang kembar dengan baik, Ratih!"
Ratih Ningrum menjura. Sikapnya menghormat.
"Terima kasih, Paman Mukti. Kalau tidak Paman ajarkan, apakah bisanya saya? Demikian pula dengan Paman Patidina dan Paman Tek Jien. Saya menghaturkan beribu terima kasih." Tek Jien tertawa sambil menggoyang-goyangkan tangannya.
"Tak perlu berterima kasih, sudah sepatutnya kami mendidikmu. Hari sudah larut malam, sebaiknya kamu masuk saja, Ratih. Beristirahatlah dengan tenang." Ratih Ningrum menjura lagi.
"Maaf, Paman. Sebenarnya ada yang hendak saya bicarakan dengan Paman sekalian." 
"Apakah itu, Ratih?" tanya Patidina.
"Sekali lagi maaf, Paman. Sebenarnya, telah lama keinginan saya ini muncul..."
"Keinginan apakah gerangan itu, Ratih?" Ratih Ningrum tertunduk tersipu. Wajahnya mendadak semburat merah. Dengan malu-malu dia berucap, "Sa... saya ingin mencari Kang Madewa, Paman."
"Oh!" seruan itu terdengar bersamaan dari mulut ketiga gurunya. Rupanya gadis itu masih ingat dengan pemuda yang telah pergi, yang telah membawa sebagian hatinya bersama kepergiannya itu. Mukti menyambung, "Lalu maksudmu apa, Ratih?"
"Sa... saya, minta izin paman sekalian, untuk mengizinkan saya mencari Kang Madewa. Saya ingin melihat dunia luar, Paman. Telah lama saya tidak berjalan-jalan. Keinginan itu pun akan saya laksanakan kalau Paman sekalian mengizinkan. Karena Paman bertigalah yang saya anggap sebagai pelindung dan penganti orang tua saya. "
Ketiga gurunya saling berpandangan. Tak ada yang bersuara, Ratih Ningrum menunggu tegang. Tetapi jika tidak diizinkan dia tidak akan memaksa dan memberontak. Dia akan tetap menurut. Dan menuruti apapun yang akan dikatakan ketiga gurunya itu.
Tek Jien mengangkat wajahnya, menatap Ratih Ningrum. Lalu katanya lembut, "Ratih, sebaiknya kau masuk saja ke dalam. Malam semakin larut. Tentang izin yang kau inginkan itu, bisa kau dengan besok pagi. Masuklah."
Ratih Ningrum menjura lagi. Lalu melangkah perlahan ke dalam. Tetapi kali ini langkahnya kelihatan mantap dan kukuh bertanda bukan gadis yang cengeng lagi dia, melainkan gadis yang tegar dan mampu bermain silat dengan cemerlang!
Sementara itu ketiga gurunya meneruskan percakapan mereka sambil merundingkan permintaan Ratih Ningrum. Sampai ayam berkokok mereka baru masuk ke dalam. Dan telah menemukan sebuah keputusan!
Keesokan harinya, seperti biasa Ratih Ningrum bangun. Mandi. Berpakaian lalu makan. Pelayan-pelayannya masih setia kepadanya. Hanya dua orang yang berhenti, itu pun dia tidak tahu ke mana. Yang satu adalah Genda, penjaga kuda yang kita ketahui meninggal di tangan Pratiwi alias Selendang Merah. Yang satunya lagi, adalah Manggada, penjaga kebun yang minta berhenti tanpa menjelaskan maksudnya. Ratih Ningrum hanya mengabulkan saja, tanpa banyak tanya. Sedangkan yang lain, tetap seperti yang dulu.
Selesai makan, dia melangkah ke ruang samping. Beristirahat dulu sebenar, lalu mulai melatih ilmu silatnya. Kali jni ia memainkan jurus pukulan tangan seribu yang diwariskan oleh Tek Jien. Pukulan itu mantap sekali dimainkan Ratih. Tak ada celanya sedikit pun. Malah terlihat lebih mantap daripada Tek Jien sendiri.
Lalu ia melompat ke sana kemari, melatih ilmu meringankan tubuhnya.
Wuttt!
Dia melompat ke atas dan langsung bersalto ke belakang. Begitu hinggap di tanah, langsung melompat kembali seolah di bawahnya ada per yang membuatnya melompat. Begitu seterusnya. Ratih Ningrum tak puas-puasnya berlatih.
Sebenarnya dalam hati kecilnya, keinginan untuk mencari Madewa hanya alasan saja kepergiannya. Sebenarnya dia ingin mencari pembunuh ayahnya. Sampai saat ini dia tidak tahu siapa pembunuh ayahnya dan apa penyebabnya.
Ratih Ningrum hanya mendengus, pembunuh ayahnya adalah Pratiwi si Selendang Merah, yang dia tidak tahu di mana wanita itu berada.
Begitu selesai berlatih, terdengar tepukan dari samping. Ratih Ningrum menoleh dan langsung menjura hormat. Ketiga gurunya sudah berada di sana. Lengkap dengan senjata mereka, kecuali Tek Jien yang memang hanya berkosong tangan.
"Selamat pagi, Guru sekalian!"
"Selamat pagi, Ratih! Pukulan tangan seribumu sudah sempurna sekali," kata Tek Jien memuji.
"Terima kasih, Paman."
Mukti melambaikan tangannya, menyuruh Ratih Ningrum mendekat. Perlahan gadis itu melangkah. Mendadak dadanya berdebar, melihat keseriusan wajah Mukti.
"Ada apa, Paman?"
"Ratih... pagi ini kau akan mendengar apa yang menjadi jawaban kami atas keinginanmu Untuk merantau sekaligus mencari Madewa Gumilang."
Semakin berdebar dada Ratih Ningrum mendengar itu. Tetapi dia nampak tenang, tidak menampilkan wajah yang tegang.
"Tetapi kami harap, kau tegar mendengar semua ini. Kau tidak boleh marah atau kecewa mendengar keputusan kami. Kau bersedia, Ratih?" Ratih Ningrum menganggtik mantap.
"Apa pun keputusan Paman sekalian, akan saya terima dengan senang hati. Bukankah kemarin malam saya pun mengatakan yang demikian?"
"Kami memang mendengarnya, Ratih. Tapi kami ingin lebih meyakinkan diri. Baiklah, sekarang dengarkan keputusan kami. Kalau memang niatmu hanya untuk merantau dan mencari Madewa Gumilang, kami semua mendukung dan... menyetujui keinginanmu," sampai di situ Muktu berkata, wajah Ratih Ningrum berseriseri. Sambil tersenyum si Pedang Kembar melanjutkan, "Untuk itu, kami bertiga telah sepakat untuk membekali kepergianmu."
Kali ini kening Ratih Ningrum berkerut. Bekal? Bukankah sudah cukup bekal ilmu yang diberikan ketiga gurunya padanya? Dia yakin, dia mampu membela diri dari setiap serangan yang datang. Ah, lagipula, belum tentukan akan adanya serangan itu?
Seperti mengetahui jalan pikiran Ratih Ningrum, Mukti berkata lagi, "Kami bertiga yakin, kamu mampu menjaga diri. Tapi kami akan tetap memberimu bekal, walaupun bekal itu tidak seberapa besarnya."
Bekal uangkah? Kalau memang iya, Ratih Ningrum bersiap akan menolak. Dia masih punya uang simpanan yang banyak. Lagipula, warisan ayahnya begitu melimpah ruah. Lalu apa gerangan bekal itu?
"Ratih, bekal itu kami minta agar kau menjaganya. Dan gunakanlah untuk kebaikan, karena kami tidak ingin bekal ini, ternodai oleh darah kejahatan."
Ratih Ningrum akhirnya mencetuskan keheranannya, "Paman, sejak tadi Paman hanya menyebutkan bekal, tanpa memberitahu bekal apa yang hendak Paman bekalkan padaku."
Mukti tersenyum. Melirik Patidina, yang terlihat mengangguk.
"Baiklah, Ratih," kata Mukti seraya meloloskan sepasang pedang kembarnya.
"Ini yang kumaksudkan dengan bekal itu. Terimalah sepasang pedang kembarku, yang telah lama ada bersamaku dengan setianya. Hei, terimalah!"
Ragu-ragu Ratih Ningrum mengambil bekal itu. Dia tidak menyangka kalau itu yang akan diberikan oleh guru-gurunya. Begitu pula dengan Patidina, dia menyerahkan keris tunggalnya. Ruparupanya Tek Jien tidak mau kalah. Setelah semalam mereka mencapai keputusan untuk membekali Ratih Ningrum dengan senjata masing-masing, Tek Jien mengambil sumpit beracunnya, yang telah lama disimpan. Sumpit itu pun diberikannya pada Ratih Ningrum, yang menerima kesemuanya dengan sukacita. Matanya mengembang bening. Terharu. Begitu cinta nampaknya ketiga gurunya padanya. Guru yang dulu sebagai pengawal!
Setelah menerima kesemua itu, Ratih Ningrum berlutut.
"Paman, terima kasih atas bekal yang Paman sekalian berikan. Saya berjanji, akan menjaga bekal ini dengan baik, dan tidak akan menodainya dengan kejahatan." 
"Bagus!" kata Mukti.
"Kapan Kau akan berangkat?"
"Kalau bisa, ketika matahari sepenggalah saya sudah meninggalkan rumah."
"Begitu cepat?" tanya Mukti agak kaget.
"Karena lebih cepat lebih baik Paman."
Mukti menghela nafas panjang.
"Baiklah, persiapkanlah dirimu dengan baik. Kalau bisa, ada baiknya kau menyamar sebagai pria dan kalau bisa gantilah namamu."
"Baik, Paman."
Setelah memberi hormat, Ratih Ningrum berlari ke kamarnya. Dia segera mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik. Dia juga merias dirinya menjadi seorang pria. Kumis tipis dipakainya untuk menyempurnakan samarannya. Ketika dia keluar lagi, ketiga gurunya agak terkejut, karena seorang pria keluar dari kamar Ratih Ningrum!
Serentak mereka menyebar dengan sigap. Berdiri dengan sikap mengurung. Tentu saja Ratih Ningrum yang sudah menyamar itu menjadi keheranan.
"Hei, Paman? Kenapa Paman bertiga mengurung saya?"
Mendadak ketiga gurunya tersipu. Rupanya Ratih Ningrum. Sungguh pekerjaan yang cepat. Disuruh menyamar, saat itu pula dia menyamar. Dan dalam hati mereka tahu apa penyabab Ratih berbuat segala sesuatunya dengan cepat. Dia ingin buru-buru bertemu dengan sang pujaan!
Patidina cepat-cepat memperbaiki sikapnya, juga dengan yang lain. Ia memandang Ratih dengan penuh kasih sayang, seperti orang tua yang hendak ditinggal pergi oleh anaknya. Dan kali ini benar-benar dirasakan demikian oleh Patidina.
"Hati-hati Ratih. Pesan Paman, hati-hatilah dalah bertindak. Jangan sembarangan menjatuhkan tangan. Dan ingat, kau harus segera kembali setelah bertemu dengan Madewa Gumilang!"
"Baik, Paman. Pesan Paman akan saya laksanakan. Seperti kata saya tadi Paman, saya akan berangkat sebelum matahari sepenggalah."
Ketiga gurunya menatap terharu. Perlahan Ratih Ningrum mengangkat buntelannya di pundak. Sikapnya seperti seorang pria sejati! Dengan sepasang pedang di punggung. Keris di pinggang dan sumpit di dalam buntelan, Ratih merasa cukup bekalnya untuk pergi. Untuk mencari pembunuh ayahnya!
Langkahnya pun mulai beranjak. Ia menjura lagi.
"Selamat tinggal, Paman sekalian! Saya berharap kita bisa bertemu lagi."
Tak ada yang bersuara. Ketiga gurunya melambaikan tangan. Tanpa diminta oleh Ratih untuk menjaga rumah warisan mendiang ayahnya, ketiga gurunya itu mempunyai kewajiban untuk menjaganya.
Ratih Ningrum membalas lambaian itu. Dan melangkah perlahan. Hatinya riang merasa lepas dari rumah yang membuatnya teringat akan kejadian yang lalu.
Namun dalam hati kecilnya, dia merasa bersalah. Telah membohongi ketiga gurunya tentang kepergiannya. Yang tak lain dan tak bukan, hendak mencari siapa pembunuh ayahnya!
"Maafkan saya, Paman sekalian.
" Suaranya bersatu dengan desir angin.

* * *



֍↨::::¦ TUJUH ¦::::↨֎

Derap kuda itu memecah kesunyian. Paman yang tengah membakar ikan menjadi bersiaga. Tetapi dia tidak berusaha bersembunyi. Sikapnya wajar. Malah dia seperti menunggu orang yang berkuda itu mendekat.
Tiba-tiba orang yang berkuda itu menghentikan laju kudanya. Hidungnya mencium asap wangi yang enak, yang langsung membuat perutnya menagih. Orang itu baru ingat, sejak tengah malam dia berkuda dan belum sekali pun istirahat, apalagi makan.
Dia langsung tururi mencari sumber bau wangi itu. Tak jauh dari tempatnya berhenti, terlihat asap mengepul. Dia langsung mendekati tempat itu, dengan sedikit harapan agar kiranya yang membakar ikan itu mau membaginya sedikit untuk mengganjal rasa laparnya. Dengan harapan itu, dia mendekat.
"Selamat pagi, Tuan."
Pemuda yang sedang membakar itu menoleh sambil tersenyum. Tetapi mendadak senyumnya hilang dan berubah menjadi keterkejutan. Demikian pula dengan tamu yang baru datang itu. Matanya terbelalak.
"Tuan Madewa!"
"He, Raga! Ada apa kau kemari?!" tanya pemuda yang tak lain adalah Madewa Gumilang. Sebenarnya sehabis makan dia akan melanjutkan perjalanan lagi. Tetapi menunda karena yang datang adalah pengawal Tuan Abindamanyu.
Raga seperti kejatuhan bulan. Hampir setengah malam dia mencari pemuda itu sehubungan dengan penculikan Nindia, tak tahunya pemuda itu berhasil ditemui. Dia hampir putus asa. Seperti janjinya, akan kembali sebelum matahari terbit!
Dia buru-buru menghormat, "Kiranya Tuan Madewa ada di sini..."
"Duduk yang baik, Raga. Ceritakan, kenapa kau sampai ke tempat ini? Kalau dilihat dari bicaramu tadi, kau memang seperti mencariku. Ada apa gerangan?"
Raga buru-buru bercerita tentang kejadian yang menimpa keluarga majikannya setelah pemuda itu pergi.
"Sekarang Nona Nindia diculik, Tuan. Dia berada di dalam kekuasaan penculik itu.... Sebelum pergi penculik itu menulis dengan tetesan darahnya, kalau kami ingin mencari Nona Nindia, harap menemuinya di tanah genting sebelah timur laut selatan. Tulisan itu ditujukan kepada Tuan Madewa, karena nampak orang itu mendendam kepada Tuan."
"Siapa nama penculik itu?" 
"Wirapati."
"Wirapati?" Kening Madewa berkerut. Lalu terbayang kejadian setahun yang lalu, ketika dia mengalahkan Tiga Dewa Penunggang Kuda. Sebelum Wirapati meninggalkan tempat itu, masih dingatnya benar akan seruan Wirapati, "Ingat, Madewa! Aku akan datang menuntut balas!" Dan rupa-rupanya dia benar-benar tidak melupakan seruannya itu.
Madewa menjadi tidak enak hati. Putri Tuan Abindamanyu dalam kesulitan gara-gara persoalannya. Lalu ia mengajak makan Raga. Setelah itu dengan membonceng kuda Raga, mereka kembali ke rumah Abindamanyu.
Jelas Abindamanyu merasa gembira. Tadi dia sudah cemas karena Raga belum kembali seperti yang dijanjikannya. Tiba-tiba dia mendengar derap kuda, dia langsung bangkit menyambut. Kiranya tepat dugaannya, Raga dengan Madewa Gumilang!
"Oh, Tuan Madewa!" serunya sukacita. Madewa turun dengan gerakan ringan.
"Maafkan saya, Tuan Abindamanyu. Karena persoalan saya, Tuan sekalian dalam kesulitan," katanya sambil menjura.
"Oh, tidak-tidak apa-apa. Hanya yang kurisaukan, masalah putriku. Aku tidak ingin dia dihina oleh orang yang mengaku bernama Wirapati. Oh... mari silahkan masuk!"
Kedua orang itu masuk ke dalam. Abindamanyu bertepuk tiga kali. Lalu keluar pelayan dengan hidangan yang enak. Sambil mempersilahkan Madewa mencicipi hidangan itu, Abindamanyu memanggil istrinya, yang keluar dari kamar dalam keadaan kuyu dan sembab matanya. Rupanya dia terus menerus memikirkan nasib putri tunggalnya.
"Maafkan saya, Kakak Nadia," kata Madewa seraya berdiri hormat. Nadia menghapus air matanya. Ia berusaha tersenyum, namun terasa sekali kalau dipaksakan.
"Itu bukan salahmu, Dik Madewa. Mungkin itu sudah nasib adikmu, Rayi Nindia."
Madewa tersenyum mendengar perkataan Nadia yang mencerminkan jiwa yang tabah. Abindamanyu menyuruh Madewa menceritakan masalahnya terhadap Wirapati.
Dengan hati-hati Madewa menceritakan peristiwa yang dihadapinya dulu. Setelah mendengar cerita itu, Abindamanyu mengangguk-angguk.
"Sekali lagi saya tidak menyalahkan masalahmu, Adik Madewa. Tetapi sebagai seorang ayah, saya amat mengkhawatirkan keselamatan putriku. "
"Saya akan berusaha mencari putri Nindia, Tuan Abindamanyu." kata Madewa mantap.
"Kalau itu memang keinginanmu, saya tidak melarang. Dan ingat Madewa, kau jangan merasa dipaksa olehku. walau ini agak merupakan paksaan. Pasti kau mengerti, bagaimana galaunya perasaan seorang ayah terhadap putrinya, yang tidak tahu di mana rimbanya."
"Saya mengerti, kakang. Dan saya memang berniat hendak menyelesaikan masalah dengan Wirapati. Dalam kesempatan ini saya juga akan berusaha mencari dan menyelamatkan Putri Nindia." Nadia menghapus air matanya. Wanita setengah baya itu menatap Madewa penuh harap, "Dik Madewa... temukanlah putriku. Bawalah dia kepadaku. "
"Saya akan berusaha memenuhi harapan kakak Nadia. Untuk itu, saya tidak perlu berlama-lama lagi di sini. Saya mohon pamit dan mohon doa agar berhasil menyelesaikan masalah ini."
Abindamanyu berdiri.
"Kenapa harus terburu-buru?"
"Semakin cepat, akan semakin baik. saya mohon diri," kata Madewa seraya mundur. Lalu menghormat sekali lagi. Dan melompat ke belakang.
Wutt!
Seperti terbang begitu saja. Dan menghilang. Abindamanyu dan istrinya memandang kagum. Diam-diam dalam hati keduanya, akan menjodohkan Madewa dengan putri mereka kalau berhasil diselamatkan.
Begitu meninggalkan rumah Abindamanyu, Madewa melangkah ke arah timur. Dia hendak langsung menyusul ke tanah genting, tempat yang diinginkan Wirapati bertempur dengannya.
Tanah genting itu sungguh sukar sekali dicapai. Orang sudah tahu, kalau yang nekat berani datang ke sana, hanya maut taruhannya. Karena di sana-sini banyak tempat yang berbahaya. Belum lagi lumpur hidupnya yang penuh dengan lintah. Tempat yang mengerikan! Dan hanya orang-orang yang mati saja yang ingin datang ke sana.
Namun Madewa tak gentar mendengar semuanya itu. Dia hanya bertekad untuk menyelesaikan masalahnya dengan Wirapati. Dan menggembalikan putri Nindia secara utuh pada Abindamanyu, orang kaya yang pernah ditolongnya dari perampokan.
Wirapati benar-benar menepati ucapanya dulu. Dia akan datang lagi menuntut balas. Menuntut kematian dua saudara seperguruannya.
Pasti kepadaian Wirapati semakin maju, Orang macam Wirapati sudah tidak memikirkan kehidupan. Di benaknya hanya ada satu pikiran, menuntut balas! Dan bunuh orang itu!
Mendadak Madewa menghentikan langkahnya. Di depannya terjadi keributan. Beberapa orang berpakaian lengkap seperti pengawal istana sedang mengolok-olok seorang pengemis yang duduk ketakutan di bawah sebatang pohon. Wajah pengemis itu pias dan pucat. Rupanya pengemis itu kelaparan dan hendak memasuki sebuah rumah makan yang mewah. Namun oleh penjaga rumah makan itu tidak diizinkan, karena hanya orang-orang terpandang saja yang boleh memasuki rumah makan itu.
Dan orang-orang yang berpakaian seperti pengawal istana itu tidak menyia-nyiakan kesempatan ini untuk mengganggu si pengemis. Mereka beramai-ramai mengolok-olok dengan kata-kata yang tidak sopan. Kelihatan mereka orang-orang yang berkuasa. Karena orang-orang di sana diam saja, tak ada yang berani menolong pengemis itu.
"Hei, Gembel busuk!" bentak yang kurus tinggi dengan codet di sebelah pipi kiranya.
"Kau tidak pantas masuk ke rumah makan! Makananmu cukup hanya sampah yang busuk itu!"
Kata-katanya disambut oleh yang lain. Jumlah orang-orang itu ada delapan. Lengkap dengan senjata pedang masing-masing. Madewa jadi geram mendengarnya. Benar-benar tidak berperikemanusiaan orang-orang itu. Namun ia menunggu sampai di mana prilaku orang-orang itu terhadap si pengemis.
"Kalau ingin makan, nih ambil!" kata yang seorang lagi seraya melempar bungkusan.
Rupanya pengemis itu benar-benar kelaparan. Dia langsung menubruk bungkusan yang dilempar tadi. Namun sebelum sampai pada sasarannya, orang tadi menendang bungkusan itu ke samping. Si pengemis berusaha untuk mengambilnya. Namun di tendang lagi. Begitu seterusnya. Sampai si pengemis kelelahan dan ludahnya berceceran saking tak kuatnya menahan lapar. 
Sementara orang-orang itu tertawa kegirangan, merasa mendapat mainan yang mengasyikan. Madewa menggeram jengkel. Dia akan membereskan persoalan itu. Tetapi tiba-tiba meloncat bayangan ringan ke dekat pengemis itu, yang langsung masuk ke lingkaran para pengawal.
Bayangan yang berkelebat itu, seorang pemuda yang perkasa. Tubuhnya tegap. Dia memakai caping yang bagus sekali. Pemuda itu menolong sang pengemis. Lalu memberinya makanan dari bekal yang dibawanya.
Hal itu membuat orang-orang yang mempermainkan pengemis tadi menjadi marah. Salah seorang membentak, "Hei, siapa kau! Berani lancang menolong gembel busuk itu!!"
Tetapi pemuda itu tenang-tenang saja. Tidak beranjak dari tempatnya, memperhatikan pengemis itu makan. Orang-orang itu semakin marah.
"Bangsat! Kau ingin main-main rupanya dengan kami! Delapan Pendekar Berpakaian Pengawal!"
Kali ini pemuda itu bangkit. Sikapnya tetap tenang. Wajahnya tampan sekali. Matanya yang kecil menatap mereka dengan garang.
"Heh!" serunya mengejek.
"Julukan yang kosong saja! Kalian hanya berani menganggu orang yang lemah! Kalau kalian hebat, coba layani aku beberapa jurus! Ditanggung, sebelum sepuluh jurus kalian sudah berantakan!!"
Kata-kata itu semakin membuat orang-orang itu geram. Diam-diam Madewa memperhatikan pemuda yang bersuara angkuh itu. Suaranya terdengar merdu. Menandakan dia orang yang berpendidikan tinggi. Tiba-tiba dua orang yang berpakaian pengawal itu maju seraya menyabetkan pedangnya secara bersamaan namun berlawanan.
"Wuit! Des!"
Dua bayangan pedang itu berkelebat bagai sinar putih. Namun pemuda itu tetap tenang. Tanpa beranjak sedikit pun, dia menggerakkan kedua tangannya. Mendadak terdengar kedua orang itu menjerit.
"Des!!"
Lalu ambruk dengan tangan yang terasa ngilu. Pemuda itu tertawa.
"Ha... ha... siapa lagi yang mau maju! Cepat, selagi aku ingin bermain-main dengan kalian!!" Enam orang yang lain itu menjadi demikian geramnya. Tanpa aba-aba lagi, serentak mereka mengurung pemuda tampan itu.
"Hei, pemuda ceriwis! Katakan siapa namamu sebelum kami mencabut nyawamu?!" 
"Ha... ha... baik, baik, kalau memang itu perlu. Camkan baik-baik, namaku Adi Permana, alias Walet Putih dari Utara! Ha... ha... bawalah namaku ke liang kubur kalian masing-masing!"
Pemuda itu berkelit begitu serangan datang. Gerakannya ringan. Benar seperti walet terbang. Kembali pedang-pedang itu bersambaran dengan cepat. Dan terlihat gulungan bayangan putih menjadi satu dengan tubuh yang lincahnya melompat dan menghindar. Sampai lima jurus pedang-pedang itu belum satu pun menyentuh tubuh si Pemuda yang bernama Adi permana. Tiba-tiba pemuda itu melompat dengan menyambar.
Dukk!
Tubuh seorang lawannya terjungkal dengan muntah darah. Gerakan pemuda itu begitu cepat. Seolah tangannya berkelebat menjadi banyak. Demikian terus menerus, sampai semua lawannya ambruk tak berkutik.
Pemuda itu terbahak. "Ha... ha... benar kataku, bukan? Sebelum sepuluh jurus, kalian akan tumbang di tanganku! Sekarang cepat kalian berlutut dan ngabur dari sini! Cepaaaatt!!"
Terburu-buru delapan orang itu berlutut. Sikap mereka pasrah. Dan malunya tidak ketulungan. Setelah itu mereka lari seperti anak perempuan, yang diiringi oleh tawa pemuda itu.
Madewa kagum bukan main. Dengan sebentar saja delapan orang itu dibuat kalang kabut oleh sang pemuda. Tetapi mendadak, dia teringat. Dia seperti mengenai pukulan yang dilakukan pemuda itu. Hmm, tapi siapa orangnya yang punya pukulan demikian. Tanpa memikirkan soal itu lagi, Madewa berkelebat. Bersamaan dengan itu, Adi Permana menoleh. Sekilas melihat wajah Madewa. Dia berseru, "Hei, tunggu!!" Lalu berkelebat mengejar.
Madewa yang merasa dirinya dipanggil, menghentikan larinya. Pemuda yang mengejar itu sampai di tempatnya menunggu.
"Ada keperluan apa, Walet Putih, memanggil saya?" tanya Madewa sopan.
Pemuda itu memperhatikan Madewa. Tiba-tiba dia tersenyum, "Maaf, kusangka kau salah seorang dari pengacau tadi!"
"Oh, tuduhan yang keliru." 
"Sekali lagi maaf. Boleh kutahu namamu?" Madewa mengangguk.
"Namaku, Madewa Gumilang," kata Madewa yang merasa Adi Permana bicara akrab dengannya.
"Hmm, boleh kutahu ke mana kau pergi?" 
"Tidak ada salahnya. Kebetulan sekali, saat ini aku hendak ke tanah genting di sebelah timur laut selatan. Ada keperluan apakah kiranya saudara Adi Permana mengetahui kepergian saya?"
"Oh, tidak. Aku hanya ingin bersahabat denganmu. Sejak turun gunung, belum seorang pun aku mendapat sahabat. Apakah kiranya Saudara Madewa menerima persahabatanku?" Madewa tersenyum. Pemuda ini sopan. Tidak ada salah menerima persahabatan itu.
"Dengan senang hati."
"Terima kasih, Saudara Madewa," kata Adi Permana seraya membuka capingnya. Madewa melihat wajah yang sangat tampan sekali. Mata itu begitu bening. Alisanya begitu hitam. Dan kumis tipis semakin menambah ketampanan wajah itu. "
Aku harap, kita bisa menjadi dua sahabat yang baik."
"Aku pun berharap begitu. Namun... aku harus melanjutkan perjalanan ke tanah genting, di sana ada masalah yang sangat penting yang harus kuselesaikan." 
"Apakah Saudara Madewa tidak keberatan kalau aku ikut serta?" 
"Oh."
"Kenapa, Saudara Madewa?"
"Tentu dengan senang hati. Hanya saja, perjalananku kali ini menempuh bahaya yang amat tinggi. Karena kedatanganku ke sana, harus menyelesaikan dendam yang tak mungkin akan padam."
"Walaupun bagaimana bahayanya, sebagai seorang sahabat, aku bersedia membantu."
"Kalau memang itu keinginanmu, baiklah. Mari kita berangkat."
Lalu keduanya melangkah. Persahabatan yang cepat. Tanpa saling mencurigai siapa sahabatnya itu, keduanya berjalan dengan riang dan penuh tawa. Tidak menyadari kalau di tanah genting sebelah timur laut selatan maut telah menunggu kedatangan mereka.
Di suatu tempat yang sunyi, terdengar langkah kaki terseok-seok. Seakan pemilik kaki itu sudah tak kuat lagi melangkah. Enggan, namun dipaksakan.Tangannya memegang sebuah tongkat kayu.
Dan pakaiannya betapa lusuh dan jeleknya. Warnanya sudah pudar. Rambutnya pun kusut. Wajahnya kuyu. Dan tubuh orang itu baunya minta ampun. Mungkin sudah setahun orang itu tidak mandi!
Ya, orang itu adalah pengemis yang tadi di tolong oleh Walet Putih, yang kini pergi bersama Madewa ke tanah genting.
Walaupun sudah mendapat makanan, pengemis itu masih kelihatan lemah. Tanpa disadari, langkahnya mengarah pada tanah genting! Entah kenapa dia mengikuti Madewa melangkah.
Ia pun tahu saat ini Madewa bersama siapa. Tiba-tiba terdengar suara membentak, "Itu dia orangnya!"
Pengemis itu gugup. Ketakutan dia mencari suara itu. Tahu-tahu telah muncul orang-orang berpakaian pengawal mengurungnya. Merekalah yang mengganggu pengemis itu di depan rumah makan. Delapan Pendekar Berpakaian Pengawal!
"Bangsat rendah!" geram salah seorang jengkel. Ia menendang pengemis itu hingga jatuh bergulingan. Lalu yang lain menyambar. Menendang pula.
"Gara-gara kau kami dibuat malu oleh pemuda itu!
Des! Des!" Pengemis itu sampai tak berdaya.
Tetapi orang-orang itu belum puas juga. Mereka menghajar pengemis itu sampai tak berdaya. Mereka marah. Menurut mereka gara-gara pengemis inilah mereka dipecundangi oleh Walet Putih.
Padahal, kalau mereka tidak menganggu pengemis itu, tidak akan mereka dikalahkan oleh Adi Permana alisa Walet Putih.
Tapi orang-orang bengis itu tak perduli. Mereka menghantam. Memukul. Menendang. Pengemis itu sampai benar-benar sekarat.
Dan mereka tertawa kegirangan merasa kemarahan mereka terlampiaskan. Pengemis itu mengaduh dan memohon ampun. Namun hanya tawa dan cacian yang
diterimanya. Juga pukulan!
"Am... ampuni saya... aaahh!" Des! Plak! Plak!"
Pengemis itu ambruk tak berdaya. Dari seluruh tubuhnya mengalir darah 
"Bunuh saja!"
"Cepat habisi!" Salah seorang dari mereka mengangkat tangan kanannya. Dan siap menghabisi nyawa pengemis itu.
"Tahan!"
Orang itu menghentikan ayunan tangannya. Sesosok tubuh melayang dari atas pohon. Gerakannya ringan. Dan tidak menimbulkan suara.
"Ingin kalian apakan orang itu?!"
Mereka hanya tertawa. Mereka sangka siapa tadi. Tidak tahunya seorang wanita setengah baya yang masih kelihatan cantik. Dan berpakaian indah. Sungguh besar nyali wanita ini, berani menghalangi perbuatan mereka.
"Hei, kamu mau apa mencampuri urusan kami? Cepat minggat dari sini!"
Wanita itu hanya tersenyum saja. Tidak bergeser sedikit pun dari tempatnya berdiri. Bahkan dia melangkah menghampiri pengemis yang sudah mau mampus itu.
Dua orang bersalto menghalanginya.
"Cepat enyah dari sini, sebelum kami keprus kepalamu!" bentak salah seorang. Wanita itu tetap hanya tersenyum.
Kecantikan wajahnya masih menggetarkan setiap pria. Tahu-tahu matanya menatap dengan mesra sekali. Kedua orang itu menjadi gugup. Dan tanpa mereka sadari, mereka begitu bernafsu sekali pada wanita itu.
Serentak keduanya menubruk. Memeluk. Dan menciumi. Kawan-kawannya terkejut. Sedangkan wanita itu hanya tenang saja. Dibiarkan saja kedua orang itu memeluk dan menciuminya.
Namun tiba-tiba kedua tangan wanita itu terangkat. Dan menggeprak kepala kedua orang itu.
"Haitt! Des!"
Kedua orang itu terkulai dengan kepala pecah. Wanita itu menepuk-nepuk kedua tangannya. Hmm, hanya mengotorngotori tanganku saja, katanya dalam hati.
Teman-teman kedua orang itu kaget. Tak menyangka semudah itu wanita itu menghabisi nyawa teman mereka.
Tanpa diperintahkan, serentak mereka mengurung. Wanita itu sangat berbahaya. Mereka sudah tidak perduli dengan pengemis itu.
"Kejam!" desis salah seorang dari mereka.
Wanita itu hanya tertawa.
"Kalian tidak sadar dengan perbuatan kalian... yang lebih kejam dari binatang," ejeknya sambil menunjuk pengemis itu.
"Itu urusan kami! Kau tak perlu mencampuri!!"
Wanita itu tersenyum.
"Kalian juga tidak perlu mencampuri urusanku. Biar kedua orang itu mampus. Itu urusanku, bukan urusan kalian!"
"Setan! Mereka teman kami, dan urusan kami!" 
"Pengemis itu temanku, dan urusanku."
Orang itu menggeram marah. Mendadak dia menyerang dengan goloknya yang panjang. Wanita itu hanya berkelit sedikit. Luput dari serangan pedang itu. Namun golok-golok yang lain segera berterjangan. Silih berganti.
Tetapi wanita itu tetap tenang. Lagi-lagi ia hanya menghindar ke sana-kesini dengan gerakannya yang cepat. Bahkan dia sempat menjatuhkan dua orang dari mereka, yang langsung mati terkena pukulannya.
Mereka terkejut. Hanya dengan sekali pukul, kawan mereka mati. Lagi mereka serentak menyerang.
Dan ambruk tubuh mereka satu persatu. Wanita itu mendengus. Meremehkan.
"Kepandaian cuma segitu, kalian pamerkan padaku!"
Lalu ia melangkahi mayat-mayat itu, menghampiri pengemis yang masih tergeletak. Dia mengomel sendirian, "Sudah kubilang jangan pergi, kau malah meninggalkanku. Dasar bandel!"
Wanita itu mendudukkan pengemis itu dalam posisi bersila. Sedangkan dia berada di belakangnya. Kedua telaak tangannya bertumpu di punggung pengemis itu. Lalu dia menarik nafas panjang. Dan mengalirlah tenaga dalamnya ke tubuh pengemis itu Rupanya dia hendak mengobati pengemis itu. Kedua telapak tangannya mengeluarkan asap putih. Sekian lama dia menyalurkan tenaga dalamnya.
Dan mendadak pengemis itu tersentak dan muntah darah.
"Huaak!"
"Terus muntahkan, tolol!" bentak wanita itu masih tetap menyalurkan tenaga dalamnya.
Pengemis itu terus muntah darah. Tak berapa lama kemudian, berhenti. Tangan wanita itu dengan cekatan menotok beberapa bagian tubuh pengemis itu. Lalu ia berdiri dan membentak, "Sudah kukatakan jangan pergi, kau pergi juga! Beginilah akibatnya!"
Pengemis itu menggeliat. Tubuhnya sudah terasa agak enakan. Dia jengkel dibentak demikian. Tidak berterima kasih sedikit pun.
Ia balas membentak, "Kau tidak perlu memperdulikan aku lagi, Pandan! Cepat kau balik ke rumah! Aku akan tetap dengan tujuanku!"
"Bah!" Wanita itu mendengus.
"Mana mungkin kau masih mengenalinya? Sekian tahun dia pergi! Dan tak ada kabarnya! Kau pun belum tahu dia masih hidup atau sudah mati?!"
"Tidak, aku akan tetap mencarinya!
Aku rindu pada mereka!"
Wanita cantik itu sekali lagi mendengus. Ia membentak lagi, "Kau tidak akan menjumpainya, Karto! Sudah lama mereka pergi, entah ke mana!"
"Ini semua gara-gara kau, tahu! Kau telah membuat keluargaku berantakan! Kau memang wanita iblis, Pandan!"
Wanita tu menggeleng.
"Jangan salahkan aku! Salahkan ayahnya Warsih Inten, istrimu itu! Dialah yang telah mempermainkan ibuku sampai ibuku menjadi gila. Orang itu seenaknya saja menghamili ibuku. Aku tidak terima, Karto.... Dan aku lahir ke dunia ini karena cinta terpaksa dari ayah Warsih Inten, yang lalu membuang aku dan ibuku jauh ke hutan.
Aku mendendam pada orang itu, sekalipun dia adalah ayahku sendiri. Tapi sayang, orang itu sudah mati ketika aku ingin membalas dendam.
Tetapi istrimu adalah anaknya, aku bisa membalaskan dendam itu padanya, dengan merebutmu dari sisinya!"
"Kau jahat, Pandan!" geram pengemis itu.
"Bukan aku!"
"Kau! Kau telah mempengaruhiku. Dan menyebabkan anak istriku pergi entah ke mana dan bagaimana nasib mereka."
"Biar saja kedua orang itu mampus. Aku toh istrimu. "
"Tidak! Aku akan tetap mencari mereka!!"
Wanita cantik berpakaian indah itu mengejar, "Aku ikut, Karto!" 
"Tidak!" Pengemis itu berbalik dan menatap wanita itu dengan garang.
"Sudah kukatakan Pandan, kau tinggalkan aku sendiri di sini! Jangan ganggu aku lagi. Kita sudah sama-sama tua...Pandan.. Kuminta padamu, di akhir hidupku ini, jangan ganggu aku lagi. Biarkan aku mencari anak istriku. Aku ingin mengakhiri hidupku bersama mereka."
"Tapi aku istrimu!"
"Iya, tapi kau tidak boleh ikut!" Wanita itu menggeleng keras.
"Aku akan ikut denganmu! Akan kubunuh anak istrimu itu!"
"Pandan!"
"Aku mencintaimu, Karto... hu... hu... kau jahat.... Jangan tinggalkan aku, Karto."
Pengemis itu menggeleng-geleng kepala bingung. Yah... pengemis itu bernama Kartonggolo dan wanita cantik itu bernama Pandan Ningsih.
Kartonggolo itu sebenarnya adalah ayahnya Madewa Gumilang, yang telah berbuat serong dengan Pandan Ningsih (baca : Pedang Pusaka Dewa Matahari).
Pandan Ningsih melakukan semua itu, karena mendendam pada ayahnya Warsih Inten, istri Kartonggolo, yang telah menyebabkan ibunya menjadi gila. Dia sengaja mengacaukan rumah tangga Warsih Inten. Dan menyebabkan wanita itu pergi bersama Madewa ketika masih kecil. Sangka Pandan Ningsih, setelah menyebabkan wanita itu pergi, dia akan segera meninggalkan Kartonggolo. 
Namun dia amat mencintai laki-laki. Dan dia pun enggan meninggalkannya. Selama 15 tahun dia hidup penuh cinta dengan laki-laki itu. Dan di saat yang lama itu, dia teringat akan nasib Warsih Inten. Biar bagaimanapun, Pandan Ningsih masih mempunyai naluri keibuan. Dia menyesal telah menyebabkan wanita itu pergi dan sengsara.
Tetapi ketika suaminya berniat hendak menyusul mereka, Pandan Ningsih menjadi marah dan cemburu. Dia selalu menghalangi ke mana pun suaminya pergi. Sedangkan rasa rindu Kartonggolo pada anak istrinya begitu mendesak dan menyentak. Namun suatu ketika, dia berhasil lolos dari pengamatan istrinya yang sedang mandi. Dengan cepat Kartonggolo menyelinap dan menyelinap dan menyamar sebagai pengemis agar tidak dikenali istrinya, Pandan Ningsih.
Tetapi agaknya Pandan Ningsih jeli. 15 tahun tinggal bersama, dia hafal bau Kartonggolo. Dia berhasil menjumpai suaminya itu, yang merasa kembali ada halangan untuk menjumpai anak istrinya. Karena Pandan Ningsih ingin membunuh mereka, karena merasa kasih sayang Kartonggolo akan diambil alih oleh mereka. Ini membuat Kartonggolo kebingungan lagi. Tapi kalau saja Pandan Ningsih yang sudah menjadi istrinya secara sah tidak datang, dia pasti mampus di tangan orang-orang tadi.
Diam-diam Kartonggolo bersyukur juga jika istrinya ikut. Istrinya seorang wanita yang pandai bersilat. Juga ilmu hipnotisnya yang hebat. Kalau istrinya ikut, pasti keselamatannya ter-amin. Namun istrinya akan membunuh putranya jika bertemu.
Tak ada pilihan lain. Kartonggolo mengajak Pandan Ningsin ikut mencari putranya. Biar dia pergi sendirian, pasti Pandan Ningsih akan tetap membuntutinya.

* * *



֍↨::::¦ SEMBILAN ¦::::↨֎

Tanah genting itu sunyi. Tetapi di atas sana beberapa camar berteriakteriak. Tak seorang pun yang kelihatan berada di sana. Hanya yang ingin cari mati saja yang nekad datang ke tampat itu.
Tetapi pagi itu terdengar suara isak dari goa yang terdapat di sana. Isak itu begitu memilukan. Sejak malam isak itu terdengar. Dan lagi-lagi terdengar bentakan jengkel, "Jangan menangis! Atau kau ingin kubunuh?!"
Tetapi suara tangis itu bukannya mereda malah berkepanjangan. Suara tangis wanita, yang tak lain adalah Nindia. Dan yang membentak itu Wirapati yang sudah lima hari menyekap Nindia.
Wirapati kesal bukan main, karena sekian lama orang yang ditunggunya tidak datang-datang. Apalagi gadis itu sepanjang hari kerjanya menangis terus. Dan terasa mengganggunya.
Ancaman apa pun tak mempan bagi gadis itu. Walaupun diancam akan dibunuh, tetap menangis. Bagi Nindia, lebih baik dibunuh daripada disekap oleh penjahat itu.
Bayangan wajah ayah dan ibunya bermain di matanya setiap malam. Dia ingin lari dari sini. Dia ingin berada di samping ayah ibunya.
Sudah dua kali dia mencoba lari. Tetapi dua kali itu pula kepergok oleh Wirapati, yang langsung menyeretnya tanpa ampun.
Sejak kejadian itu, Nindia tidak berani melarikan diri walau ada kesempatan sekali pun.
Dan tidak ada yang dapat dilakukannya selain menangis. Dan menangis, memohon belas kasihan penyekapnya agar dia dibebaskan. Tapi Wirapati tetap tidak perduli! Sebelum pemuda yang ditunggunya datang, dia tidak akan melepaskan sanderanya.
Hari ini Nindia menangis lagi. Tubuhnya semakin kurus dan lemah. Matanya sembab. Pipinya memerah. Dia selalu menolak makanan yang disuguhkan oleh Wirapati. Dia tidak sudi memakan makanan yang dihidangkan oleh orang yang dibencinya!
"Hei, Gadis manis!" bentak Wirapati jengkel, karena tangis itu belum berhenti juga.
"Kalau kau tidak menghentikan tangismu, aku akan benarbenar membunuhmu!" Wirapati menarik pedangnya dari sarungnya.
Sreeet!
Pedang yang bercahaya itu diacungkan di depan wajah Nindia.
"Lihat ini, kalau kau tidak berhenti menangis, akan kubuat cacat tubuhmu!"
"Lakukan, lakukan itu! Buat cacat wajahku!" tantang Nindia tidak takut. Suaranya serak, penuh kegeraman.
"Aku lebih baik mati daripada disekap olehmu! Bunuh, bunuh aku!"
Wirapati menjadi semakin jengkel. Dengan gerakan yang cepat tangannya mengayun.
Sreet! Sreeet!
Ujung pedang itu mengenai pakaian atas Nindia. Tidak melukai wajahnya. Juga tidak melukai bagian tubuh yang lain. Gerakan itu sebenarnya tidak sengaja. Tapi Wirapati benar-benar akan membunuh gadis itu. Kegeramannya sudah naik ke ubun-ubun, minta ditumpahkan.
Tetapi dia ingat, akan datangnya Madewa Gumilang untuk mengambil gadis ini. Wirapati seorang kesatria yang memegang teguh adat kekesatriaannya. Yang tidak boleh melanggar ucapannya sendiri.
Jika dilanggar bagaikan mencoreng mukanya sendiri. Makanya dia menyalahkan sasaran pedangnya dari wajah Nindia.
"Oh!" Nindia mengeluh kaget melihat pakaiannya mendadak melorot begitu saja. Reflek dia menutupi dadanya dengan kedua tangannya.
Matanya melotot merah dan benci pada Wirapati.
"Kau?! Penjahat cabul!!" bentaknya geram seraya beringsut ke belakang.
Justru dengan terlihatnya bagian dada Nindia, mata Wirapati terbelelak. Mendadak matanya berkilat-kilat penuh gairah. Marahnya mendadak tiba-tiba padam, bergantian dengan nafsu birahi. Tatapannya liar, nanar menatap pemandangan yang sudah lama tidak dinikmatinya.
Sejak bergabung dengan Tiba Dewa Penunggang Kuda, Wirapati telah lama tidak merasakan kehangatan tubuh wanita lagi. Dan kali ini melihat Nindia, mendadak nafsu yang sudah padam itu bangkit. Ia masih menatap. Ia menjilat lidahnya. Matanya memancarkan sorot yang menakutkan. Berkilat dan bercahaya penuh gairah.
Nindia ketakutan melihat sorot mata itu. Dia beringsut ke sudut. Perlahan Wirapati menjatuhkan pedangnya. Perlahan pula mendekati dengan menyeringai lebar.
"Ma... mau... apa kau?!" bentaknya takut-takut.
"He... he... tubuhmu sedap dipandang juga, gadis manis," desis Wirapati sambil membelai lengan Nindia, "Iih!" desis Nindia jijik.
"Ja... jangan ganggu aku! Kubunuh kau nanti!!" 
"Ha... ha... omonganmu besar juga, Gadis. Hei, aku belum tahu siapa namamu?" 
"Tidak, tidak! Jangan... jangan ganggu aku!"
"Ha... ha... aku ingin tahu namamu, Gadis manis." Tiba-tiba suara Wirapati berubah bengis, "Ingat, kalau sampai besok Madewa tidak datang kau akan kuhina habis-habisan! Kau harus melayaniku selama-lamanya di sini ha... ha. "
Nindia menangis terguguk. Sedikit lega karena Wirapati tidak sekarang menghendaki tubuhnya. Tiba-tiba dia berharap, agar pemuda yang pernah menginap di rumahnya datang menolong. Tetapi kapan harapan itu akan datang.
Wirapati bangkit sambil menelan air liurnya. Tiba-tiba saja dia menyentak kedua tangan Nindia dari dadanya. Nindia menjerit seraya meronta. Wirapati terkekeh. Senang melihat buah dada Nindia yang montok.
"Penjahat cabul!!" tiba-tiba terdengar bentakan keras itu. Wirapati menoleh sigap. Disangkanya Madewa yang datang, dia langsung menyambar pedangnya yang jatuh, Tetapi dia terkejut, bukan Madewa, malainkan seorang wanita yang cantik. Dengan senyumnya mendebarkan.
"Siapa kau?!" bentak Wirapati yang merasa wanita itu menganggu keasyikannya. Dia tak perduli siapa wanita itu. Pokoknya yang telah mengganggunya, akan dihabisinya.
Wanita cantik itu tertawa. Baju di lengan kirinya menjuntai. Rupanya lengan kiri wanita cantik itu buntung! Ia mengenakan baju tipis berwarna merah, juga selendangnya yang berwarna merah.
"Kau ingat dengan selendang ini?" suara wanita itu mengerikan.
Wirapati terdiam. Mengingat-ingat. Kalau selendang merahnya dia jelas tahu siapa wanita itu, tetapi mengapa lengan kirinya buntung?
Belum lagi dia menjawab, wanita itu terkekeh, "Tepat dugaanmu, Penjahat cabul! Akulah Pratiwi, si Selendang Merah. Hik... hik...!"
Wirapati terperangah. Kaget. Matanya memperhatikan wanita yang lengan sebelah kirinya buntung. Wanita itu mengaku Pratiwi? Apa tidak salah. Wirapati tahu, Pratiwi adalah tokoh wanita sesat yang berpredikat Dewi cabul. Tetapi akhir-akhir ini namanya telah lenyap. Namun sekarang ada yang mengaku-ngaku sebagai Pratiwi. Ha... ha... lucu! Pratiwi si Selendang Merah tidak buntung lengan kirinya!
"Hei, perempuan buntung!" bentak Wirapati mengejek.
"Enak-enak saja kau mengaku sebagai Pratiwi! Mimpi apa aku menjumpai wanita gila macam kau!"
Dibentak seperti itu Pratiwi hanya terkekeh. Tanpa menghiraukan Wirapati, dia menghampiri Nindia yang merasa beruntung karena datangnya dewi penyelamat itu.
Nindia langsung memeluk Dewi Cabul itu. Ia menangis terguguk. Pratiwi membelai rambutnya dan berbisik lembut, "Jangan menangis, Anak manis. Jangan takut. Selama ada aku di sini, kau akan aman."
"Bangsat kau, Perempuan buntung!" geram Wirapati marah karena seruannya dianggap angin lalu saja oleh Pratiwi. Pratiwi bangkit dengan cepat.
Matanya seakan menyala menatap Wirapati. Jengkelnya bukan main karena sudah dua kali dia dipanggil perempuan buntung.
"Hmm," desisnya mengerikan. Suaranya persis ular cobra yang sedang marah.
"Katakan siapa namamu, sebelum kucabut nyawamu?!" Wirapati tergelak.
"Punya nyali juga rupanya kau, Perempuan buntung! Ketahuilah, aku Wirapati, salah seorang dari Tiga Dewa Penunggang Kuda. Ha... ha... cepatlah berlutut sebelum kucabut nyawamu!"
"Hhh! Kau yang akan menerima akibatnya dari ucapanmu itu!"
"Ha... ha... aku ingin kau membuktikan ucapanmu, Perempuan Buntung! Biarpun kau mengaku sebagai Pratiwi alias Si Selendang Merah, tak ada rasa takut sedikit pun terhadapmu!"
Merah wajah Pratiwi. Tahu-tahu dengan gerakan yang sangat cepat, ia telah menguraikan selendang merah yang membelit di dadanya. Wirapati hanya tertawa mengejek. Dia tahu siapa Selendang Merah. Dan dia yakin, wanita ini hanya orang gila yang mengaku sebagai tokoh wanita sesat itu.
"Baik, Wirapati! Kau sambutlah ilmu selendang merahku. Perhatikan baikbaik, siapa aku sebenarnya!" sesudah berkata begitu, Pratiwi langsung melecutkan selendangnya dengan jurus Angin Membelah Badai. Wirapati tersentak. Dia mengenai jurus itu. Jurus yang nampak ringan namun berbahaya. Dia langsung berkelit menghindari lecutan selendang itu. Serangan Pratiwi luput, dan selendang merahnya meluncur mengenai dinding goa yang menimbulkan suara keras.
"Plarr!"
Dinding goa itu hancur berantakan. Belum lagi Wirapti sempat membalas, selendang merah Pratiwi kembali menyerang. Rupanya jurus Angin Membelas Badai, merupakan gerakan yang menyambung, yang ujung selendang telah dialiri tenaga dalam yang kuat. Kali ini Wirapati bergerak cepat. Dan tangannya mengayunkan pedang dengan gerakan cepat pula. Pratiwi menarik pula selendang merahnya.
Dia langsung merubah jurusnya. Kali ini dia memainkan jurus selendang Menjadi Tombak. Dan keanehan terjadi. Selendang yang lemah dan lembut itu, mendadak berubah menjadi sebuah tombak yang kokoh dan kuat. Dengan tombak itu dia melakukan tusukan yang cepat ke arah leher Wirapati.
"Trang... trang!!'
Bunyi itu terdengar keras. Sebelum tombak Pratiwi mengenai sasarannya, Wirapati sudah menghalau dengan pedangnya. Namun dia terhuyung ke belakang. Tangannya terasa kesemutan. Tenaga yang mengalir dalam selendang itu begitu besarnya.
Sekarang Wirapati yakin, siapa wanita ini sebenarnya. Memang Pratiwi alis si Selendang Merah. Tetapi mengapa tangannya buntung? Dan ke mana dia selama setahun belakangan ini? Nindia yang sejak tadi cemas, bisa bernafas dengan lega kembali. Wanita yang datang itu benar-benar seorang tokoh jagoan yang sakti. Walaupun lengan kirinya buntung, tetapi dia mampu menandingi Wirapati!
"Tahan!" jerit Wirapti seraya menghindar.
"Kau memang benar Pratiwi adanya. Sebelum dilanjutkan, ada beberapa pertanyaanku."
"Hhh!" Pratiwi mendengus meremehkan. Tangannya memutar-mutar selendangnya yang kini kembali lembut.
"Jangan bertele-tele Wirapati, aku sudah tak tahan ingin mencabut nyawamu!!"
"Tahan, Pratiwi! Dengar pertanyaanku, bukankah kau selama setahun ini sudah mengundurkan diri? Apa gerangan yang membuatmu kembali ke rimba persilatan ini?"
"Itu urusanku! Kau tidak perlu tahu!"
"Baik! Kurasa kita hentikan saja pertandingan ini. Bawalah gadis itu bersamamu. Aku tak ingin membuat permusuhan denganmu!"
"Pengecut! Rupanya bekas anggota Tiga Dewa Penunggang Kuda, punya nyali seperti tikus!"
SELESAI


INDEX MADEWA GUMILANG
Pedang Pusaka Dewa Matahari --oo0oo-- Petaka Cinta Berdarah
Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.