Pewaris Keris Naga Emas
tanztj
June 04, 2015
INDEX PENDEKAR PULAU NERAKA | |
Dewi Beruang Putih --oo0oo-- Titisan Siluman Harimau |
BAYU HANGGARA
Pendekar Pulau Neraka
Karya: Teguh. S
EP : PEWARIS KERIS NAGA EMAS
Pendekar Pulau Neraka
Karya: Teguh. S
EP : PEWARIS KERIS NAGA EMAS
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
--««¦ [ SATU ] ¦»»--
Sesekali binatang bertubuh raksasa ini memandang pada pemuda berbaju kulit harimau yang lebih dikenal dengan julukan Pendekar Pulau Neraka. Entah sudah berapa lama Dewi Beruang Putih duduk bersila dan bersemadi sejak bertarung dengan Ki Laksa dan si Perampok Tiga Nyawa. Sedangkan Bayu tidak bisa lagi berbuat sesuatu. Dan, memang Dewi Beruang Putih tidak menginginkan pertolongan Pendekar Pulau Neraka. Dia masih bisa mengatasi keadaan dirinya sendiri dengan cara bersemadi.
"Heh! Panas sekali udara di sini," keluh Bayu, perlahan.
Begitu pelan suara Pendekar Pulau Neraka, hingga hanya dia sendiri yang mendengarnya. Dan, memang Bayu merasakan udara di sekitarnya menjadi terasa begitu panas. Bahkan, semakin lama semakin bertambah menyengat, bagaikan berada dekat dengan tungku api pembakaran. Keringat mulai terlihat menitik di kening Pendekar Pulau Neraka.
Udara terasa semakin bertambah panas. Bahkan, rerumputan dan dedaunan mulai kelihatan menguning kering. Pohon-pohon pun mulai menggugurkan daunnya. Bayu sendiri mulai merasa tidak tahan dengan udara yang semakin panas menyengat ini. Sambil menghembuskan napas panjang, dia kemudian bangkit berdiri. Sebentar pandangannya tertuju pada Dewi Beruang Putih yang masih duduk bersemadi ditemani Beruang Putih peliharaannya.
Ketika kepala Pendekar Pulau Neraka sedikit mendongak ke atas, keningnya langsung berkerut. Karena, meskipun saat itu matahari sedikit tertutup oleh awan, udara di sekitar Bayu terus bertambah panas dan menyengat, seakan-akan ingin membakar seluruh kulit tubuhnya. Hawa panas yang dirasakan Pendekar Pulau Neraka semakin lama semakin menggila saja.
Bayu hampir tidak tahan lagi. Namun, baru saja dia hendak mengerahkan hawa murni untuk menahan sengatan hawa panas itu, mendadak terjadi perubahan yang begitu cepat. Hawa panas yang dirasakan begitu menyengat ini mendadak menghilang. Dan, langsung berganti dengan udara dingin yang menggigilkan.
"Ugkh...!"
Bayu langsung teringat ketika dirinya berada di pinggiran Jurang Setan. Ketika itu dia merasakan hal yang sama dengan yang dialaminya sekarang ini. Hawa panas dan dingin yang bergantian itu begitu cepat membuat peredaran darahnya terganggu (Baca serial Pendekar Pulau Neraka dalam kisah "Tiga Pengemis Sakti").
Tubuh Pendekar Pulau Neraka terlihat bergidik dan menggigil kedinginan. Pandangannya tertuju lurus pada Dewi Beruang Putih yang masih tetap diam, duduk bersila dengan sikap bersemadi. Cukup lama juga Bayu merasa tersiksa dalam udara yang begitu dingin menggigilkan ini. Dari langit pun turun gumpalan-gumpalan putih seperti kapas. Dan, sebentar saja sekitar hutan itu dipenuhi oleh gumpalan-gumpalan putih yang menyebarkan udara dingin membekukan tulang.
"Hep!"
Tidak ada jalan lain bagi Bayu. Dia segera menyalurkan hawa murni ke seluruh tubuhnya. Hawa murni yang terasa hangat membuat tubuhnya tidak lagi menggigil kedinginan. Pendekar Pulau Neraka kembali duduk bersila. Kedua telapak tangannya dirapatkan didepan dada. Dia merasakan, semakin kuat hawa murni dikerahkannya, semakin keras pula hawa dingin itu merasuk ke dalam tubuhnya. Hal itu membuat darahnya bergolak, seakan-akan ada pertentangan di dalam tubuhnya.
* * * * *
Entah berapa lama Pendekar Pulau Neraka duduk bersila dengan sikap bersemadi melawan hawa dingin yang menyelimuti seluruh tubuhnya. Bahkan, kini gumpalan-gumpalan putih bagai kapas sudah menutupi hampir seluruh tubuhnya. Hanya bagian leher dan kepalanya yang masih terlihat. Sementara itu, Dewi Beruang Putih masih tetap bersemadi.
"Hup!"
Tiba-tiba saja gadis berbaju putih dan compang-camping penuh tambalan itu melompat bangkit berdiri. Sebentar dia melakukan beberapa gerakan yang indah dan lembut. Kemudian tubuhnya berdiri tegap, sedangkan matanya memandang ke arah matahari yang saat itu mulai terlihat condong ke arah Barat.
"Oh...?!"
Dewi Beruang Putih tampak terkejut. Dia melihat, tidak jauh di depannya, seorang pemuda berwajah tampan duduk bersila dengan seluruh tubuh terbungkus gumpalan putih seperti kapas. Bergegas gadis itu menghampiri sambil terus mengamati. Sedangkan pemuda tampan yang tak lain adalah Bayu tetap diam dengan mata terpejam rapat.
"Hep...!"
Cepat-cepat Dewi Beruang Putih menghentakkan kedua tangannya kedepan, sambil duduk bersila di depan Pendekar Pulau Neraka. Dan, seketika itu juga dari kedua telapak tangannya memancar cahaya merah bagai api yang berkobar. Cahaya merah itu langsung menyelubungi seluruh tubuh Pendekar Pulau Neraka.
"Hup...!"
Hanya sebentar, kemudian Dewi Beruang Putih sudah melompat ke belakang sejauh tiga langkah. Dan, saat itu juga Bayu membuka kelopak matanya. Tidak ada lagi gumpalan putih yang menyelimuti tubuhnya. Perlahan Pendekar Pulau Neraka bangkit berdiri. Pandangannya langsung tertuju pada gadis berbaju putih compang-camping dan penuh tambalan di depannya. Gadis itu juga memandangi wajah Pendekar Pulau Neraka dengan sinar mata yang kelihatan cukup tajam, sedikit terlindung oleh rambutnya yang meriap tak beraturan.
Entah berapa lama mereka berdiam diri dan bertatapan saja dengan sinar mata yang cukup tajam. Kemudian Dewi Beruang Putih menggerakkan kepalanya perlahan. Pandangannya mengarah ke sekeliling tempat ini. Dia melihat, tidak jauh darinya tergeletak dua sosok tubuh tak bernyawa lagi. Dan, di atas sebatang pohon terlihat pula sesosok tubuh tersampir di sebatang cabang yang cukup besar dan kuat. Dia tahu, mayat-mayat itu adalah Ki Laksa dan dua orang dari si Perampok Tiga Nyawa.
"Kau yang membunuh mereka...?" tanya Dewi Beruang Putih. Nada suara gadis itu terdengar begitu dingin. Bahkan, tak ada tekanan nada sedikit pun pada suaranya. Pandangannya kembali tertuju tajam pada Pendekar Pulau Neraka.
"Kenapa kau bertanya begitu?" Bayu malah balik bertanya.
Pendekar Pulau Neraka tahu, gadis berpakaian pengemis ini sesungguhnya sudah tahu bahwa dialah yang menewaskan ketiga laki-laki tua itu. Dan, kalau tidak ada Bayu, mungkin gadis ini dan beruang putih raksasanya sudah tewas di tangan Ki Laksa dan si Perampok Tiga Nyawa (Baca serial Pendekar Pulau Neraka dalam kisah "Dewi Beruang Putih").
Tapi, entah kenapa Dewi Beruang Putih bersikap seakan-akan tidak tahu apa yang telah terjadi di tempat ini tadi.
"Mereka bukan orang-orang sembarangan. Kalau kau bisa membunuh mereka semua, itu berarti kau memiliki kemampuan yang lebih tinggi dari mereka," kata Dewi Beruang Putih dengan nada suara yang terdengar datar dan dingin.
"Lalu...?" Bayu sengaja memancing.
"Kau sudah mengalahkan dan membunuh mereka. Kau juga harus bisa mengalahkan aku kalau ingin menguasai Keris Naga Emas," desis Dewi Beruang Putih, semakin dingin.
Bayu tersenyum tipis. Dia menggeser kakinya ke kanan dua tindak. Pandangannya masih tetap tak berkedip, tertuju lurus ke bola mata yang hampir tertutup rambut hitam acak-acakan itu. Kata-kata Dewi Beruang Putih barusan sudah membuktikan, bahwa sebenarnya dia memang mengetahui semua yang telah terjadi di dalam hutan ini. Itulah yang membuat Bayu tersenyum. Beberapa saat mereka kembali terdiam, tak berbicara lagi.
Sedikit Bayu melirik pada beruang putih raksasa yang masih mendekam diam di bawah pohon, tidak jauh di belakang Dewi Beruang Putih ini, dengan jarak hanya sekitar dua batang tombak.
"Sebaiknya kau serahkan saja keris itu padaku, Kisanak. Karena, akulah yang berhak memegang keris pusaka itu," kata Dewi Beruang Putih lagi.
"Memang yang berhak memegang keris ini adalah seorang wanita. Tapi aku tidak yakin kalau kau pewarisnya," ujar Bayu, yang tetap bersikap tenang.
"Huh!"
Dewi Beruang Putih mendengus kesal mendengar kata-kata pemuda berbaju kulit harimau itu. Tapi, dia cepat menyadari, memang tidak mudah membuktikan bahwa dirinyalah pewaris tunggal Keris Naga Emas yang sekarang berada di tangan Pendekar Pulau Neraka itu. Dia juga menyadari, dirinya sendiri baru sekarang ini muncul ke dunia luar, setelah selama lima belas tahun tinggal bersama-sama dengan Tiga Pengemis Sakti di dalam dasar Jurang Setan. Terlebih lagi, dengan keadaannya yang seperti ini, tidak mungkin ada orang yang bisa mengenalinya lagi. Bahkan, semua orang menyangka kalau dia sudah mati tercebur ke dalam Jurang Setan saat usianya baru empat tahun.
"Kisanak, kau tahu siapa nama pewaris Keris Naga Emas itu?" tanya Dewi Beruang Putih, kemudian seakan-akan tengah menguji Pendekar Pulau Neraka.
"Ya," sahut Bayu mantap.
"Namanya Intan Kumala. Dan dia putri tunggal Ki Satria, tapi memang kuakui, aku belum pernah bertemu dengannya. Dan aku akan terus berusaha menemuinya kalau dia memang benar-benar masih hidup sekarang ini."
"Ketahuilah, Kisanak. Akulah yang bernama Intan Kumala. Dan aku putri tunggal Ki Satria," kata Dewi Beruang Putih dengan tegas.
"Hm..."
Bayu hanya mengerutkan keningnya. Kelopak matanya tampak menyipit. Diperhatikannya seluruh tubuh gadis berpakaian pengemis di depannya ini. Jelas sekali dari sinar matanya, Pendekar Pulau Neraka tidak percaya dengan pengakuan yang diucapkan Dewi Beruang Putih barusan.
"Baiklah kalau kau tidak percaya, Kisanak. Aku akan buktikan bahwa akulah pewaris tunggal Keris Naga Emas itu," kata Dewi Beruang Putih lagi, dengan suara yang masih tetap terdengar tegas.
"Bagaimana kau akan membuktikannya?"
"Menemukan ibuku yang hilang. Hanya ibuku yang tahu semua duduk persoalannya."
"Hm...."
"Kita akan bertemu lagi, Kisanak"
Kemudian dengan cepat sekali Dewi Beruang Putih melesat masuk ke dalam hutan. Bersamaan dengan itu, Beruang Putih yang sejak tadi mendekam di bawah pohon juga ikut melompat cepat. Begitu cepat gerakan mereka, hingga dalam sekejap mata keduanya sudah lenyap tak terlihat lagi.
Sementara itu Bayu masih tetap berdiri tegak di tempatnya. Kedua matanya memandang lurus ke arah kepergian gadis pengemis dan beruang putih raksasa itu. Beberapa saat Pendekar Pulau Neraka berdiri diam. Kemudian, dia memutar tubuhnya dan melangkah ringan meninggalkan daerah padang rumput di tengah-tengah hutan ini. Ayunan kakinya begitu ringan, seakan-akan tidak menjejak tanah. Sebentar saja Pendekar Pulau Neraka sudah jauh meninggalkan tempat ini, sekaligus meninggalkan dua sosok mayat yang menggeletak di tanah dan satu lagi di atas pohon.
* * * * *
"Wulan...!" seru Bayu lantang, di depan mulut gua yang cukup besar dan hampir tertutup oleh semak belukar.
Belum lagi suara teriakan Pendekar Pulau Neraka menghilang dari pendengaran, seorang gadis cantik berbaju merah muda agak ketat muncul dari dalam gua. Gadis itu tampak menyibakkan semak belukar yang menutupi mulut gua. Seekor monyet kecil berada di pundak kanannya. Monyet kecil itu cepat melompat turun dan berlari-lari menghampiri Pendekar Pulau Neraka.
Bayu mengulurkan tangannya. Diraihnya monyet kecil berbulu hitam itu, lalu ditaruh di atas pundak kanannya. Sedang gadis cantik berbaju merah muda agak ketat itu sudah berada di depan Pendekar Pulau Neraka. Kedua tangannya kelihatan kotor, penuh dengan lumpur yang melekat.
"Kenapa tanganmu, Wulan?" tanya Bayu.
"Aku baru saja selesai menguburkan si Nyawa Biru," sahut Ratna Wulan.
"Di sana ada sungai. Cuci dulu tanganmu," kata Bayu sambil menunjuk ke arah kanan.
Tanpa berkata-kata sedikit pun, Ratna Wulan melangkah mengikuti arah yang ditunjuk Pendekar Pulau Neraka. Sedangkan Bayu tetap berdiri memperhatikan. Hanya sebentar, gadis itu telah menghilang di dalam lebatnya pepohonan. Dan, tak lama kemudian dia muncul lagi dengan tangan yang sudah bersih dari noda tanah berlumpur.
"Ke mana saja kau pergi tadi, Kakang?" tanya Ratna Wulan setelah dekat di depan Pendekar Pulau Neraka.
"Membereskan mereka," sahut Bayu, kalem.
"Terus...?" desak Ratna Wulan, ingin tahu lebih jauh.
"Yaaah..., mereka tidak mungkin bisa muncul lagi."
"Kau menewaskan mereka semua?"
Bayu hanya menganggukkan kepala. Kakinya terayun melangkah. Ratna Wulan mengikuti, lalu mensejajarkan ayunan kakinya di sebelah kiri Pendekar Pulau Neraka.
"Lalu, apa lagi yang terjadi...?" tanya Ratna Wulan lagi saat melihat ada sesuatu yang lain pada raut wajah Pendekar Pulau Neraka.
"Kau ingat ketika berada di dasar Jurang Setan...?" Bayu malah balik bertanya.
Ratna Wulan mengerutkan keningnya tidak mengerti. Dipandanginya wajah Pendekar Pulau Neraka dalam-dalam. Sedangkan kakinya terus terayun melangkah mengikuti irama ayunan langkah kaki pemuda tampan berbaju kulit harimau di sebelah kanannya ini.
"Beruang putih raksasa itu muncul lagi ketika aku sedang terdesak," lanjut Bayu.
"Beruang putih...?"
Ratna Wulan langsung teringat saat dia dan Pendekar Pulau Neraka berada di dasar Jurang Setan. Mereka memang sempat dihadang seekor beruang putih bertubuh raksasa. Beruang Putih itu langsung saja menyerang, tapi kemudian juga dengan mendadak berhenti menyerang. Bahkan, langsung pergi begitu saja. Dan, sekarang Beruang Putih itu berada di sini, dihutan yang dekat dengan perbatasan Desa Gebang.
Ratna Wulan hampir tidak percaya mendengarnya. Tapi, dia yakin bahwa Bayu tidak mungkin berbohong padanya.
"Tadi dia muncul tidak sendirian, Wulan," lanjut Bayu dengan suara yang terdengar pelan.
"Maksudmu...?" Ratna Wulan semakin tidak mengerti.
"Dia datang bersama pemiliknya," sahut Bayu, masih pelan.
"Pemiliknya...?!"
Ratna Wulan tidak bisa lagi menyembunyikan keterkejutannya. Dia memang benar-benar terkejut mendengar beruang putih raksasa itu muncul lagi, bahkan kali ini bersama pemiliknya. Walaupun sejak berada didasar Jurang Setan dia sudah menduga bahwa beruang putih raksasa itu dipelihara orang, tetap saja gadis ini tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya.
"Dia bukan saja mempunyai urusan dengan Ki Laksa dan si Perampok Tiga Nyawa. Tapi dia juga menginginkan Keris Naga Emas. Bahkan dia pun mengaku bernama Intan Kumala, pewaris Keris Naga Emas itu, Wulan," sambung Bayu, tanpa menghiraukan keterkejutan gadis di sebelahnya itu.
"Oh...," Ratna Wulan mendesah panjang.
"Ada apa, Wulan?" tanya Bayu sambil memperhatikan wajah gadis ini lekat-lekat.
Ratna Wulan diam saja. Dia terus mengayunkan kakinya perlahan-lahan. Bayu menghentikan ayunan langkahnya. Dia terus memperhatikan Ratna Wulan yang tidak juga menghentikan ayunan kakinya. Sesaat kemudian barulah Bayu kembali melangkah dan mensejajarkan jalannya di samping gadis ini. Pendekar Pulau Neraka mengerutkan keningnya. Dipandanginya raut wajah Ratna Wulan yang tampak berubah. Sedangkan pandangan mata gadis itu tetap tertuju lurus ke depan. Sedikit pun Ratna Wulan tidak membuka suara.
"Ada yang mengganggu pikiranmu, Wulan?" Pertanyaan Bayu kali ini bernada mendesak. Dia memang benar-benar ingin tahu, kenapa tiba-tiba sikap Ratna Wulan berubah setelah dia menceritakan semua peristiwa yang dialaminya tadi.
"Entahlah...," desah Ratna Wulan, perlahan. Gadis cantik berbaju merah itu seakan-akan tidak yakin dengan jawabannya sendiri. Hal ini membuat kening Bayu semakin dalam berkerut. Dia yakin, ada sesuatu yang dipikirkan gadis ini. Tapi, entah apa...?
Sedangkan Ratna Wulan sendiri tidak tahu, kenapa tiba-tiba saja seperti ada sesuatu yang terlintas di dalam kepalanya. Hanya sekelebatan saja pikiran itu melintas, hingga dia tidak yakin dengan apa yang ada di dalam kepalanya saat ini.
"Kakang, aku jadi lupa, siapa nama gadis pewaris Keris Naga Emas itu?" tanya Ratna Wulan, setelah cukup lama berdiam diri membisu.
"Intan Kumala," sahut Bayu singkat.
"Lalu, gadis pemilik beruang putih itu, siapa namanya?"
"Semula dia mengaku bernama Dewi Beruang Putih. Tapi setelah dia melihat Keris Naga Emas, langsung dia mengaku bernama Intan Kumala. Bahkan dia juga menyebutkan bahwa nama ayahnya adalah Ki Satria. Tapi aku belum percaya kalau Dewi Beruang Putih itu adalah Intan Kumala, Wulan. Dan aku tidak mau menyerahkan keris pusaka yang dititipkan padaku ini pada sembarang orang. Aku harus menyerahkannya pada orang yang benar-benar tepat," kata Bayu, tegas.
"Aku merasa, memang dialah pewarisnya, Kakang," gumam Ratna Wulan perlahan, seakan-akan bicara dengan dirinya sendiri.
"Apa yang kau bilang, Wulan...?!" sentak Bayu kaget.
Ratna Wulan tidak menjawab. Dia kembali diam dan terus melangkah tanpa bicara lagi. Sedangkan Bayu terus memandangi wajah cantik di sampingnya ini. Sungguh dia tidak mengerti, apa maksud dari kata-kata yang diucapkan Ratna Wulan barusan. Kata-kata yang bernada menggumam itu seakan-akan keluar bukan dari bibir gadis ini.
Sementara itu tanpa disadari, mereka berjalan menuju ke Desa Gebang. Saat ini matahari sudah jauh condong ke ufuk Barat. Cahayanya yang semula terik mulai terasa begitu lembut dan berwarna merah jingga. Sungguh indah pemandangan senja ini. Tapi, keindahan yang tersirat itu tidak bisa dinikmati Bayu maupun Ratna Wulan.
Mereka terus sibuk dengan berbagai macam pikiran yang berkecamuk di dalam benaknya masing-masing. Entah apa yang ada di dalam kepala mereka saat ini. Hanya mereka sendiri yang tahu.
* * * * *
--««¦ [ DUA ] ¦»»--
Sunyi sekali di sekitarnya. Tak ada seorang pun yang terlihat di tempat ini selain gadis berpakaian pengemis itu. Entah sudah berapa lama dia berada di dekat puing-puing reruntuhan rumah itu. Sinar matanya yang begitu tajam tampak tak berkedip sedikit pun memandangi reruntuhan rumah itu. Memang, ada sesuatu yang sedang dikenangnya, sesuatu yang tak akan mungkin bisa dilupakannya seumur hidup.
Di dalam pandangannya, seakan-akan dia melihat rumah itu masih berdiri tegak dan begitu indah. Bibirnya kemudian tersenyum saat melihat seorang bocah perempuan berusia sekitar empat tahun tengah berlari-lari kecil sambil tertawa riang mengelilingi taman yang tertata sangat indah. Di belakang gadis kecil itu, seorang wanita cantik mengikutinya dengan bibir tersenyum manis.
"Jangan kencang-kencang larinya, Intan. Nanti jatuh...!" seru wanita cantik berpakaian indah bagai permaisuri raja itu, dengan suara yang terdengar lembut sekali.
Gadis kecil yang memang bernama Intan Kumala itu berhenti berlari. Dia berbalik memandangi wanita cantik yang tak lain adalah ibunya ini. Senyuman manis yang begitu lucu menyungging di bibirnya yang merah. Dari pintu taman, terlihat pula seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun yang kelihatan gagah dan tampan berdiri tersenyum-senyum memandangi.
Begitu ceria wajah-wajah mereka. Namun, keceriaan mereka mendadak sirna ketika tiba-tiba terlihat sebatang anak panah meluncur deras ke arah gadis kecil itu. Laki-laki setengah baya yang berdiri di ambang pintu taman cepat sekali melesat. Secepat kilat pula tangan kanannya tampak dikibaskan ke depan. Dan, langsung disambarnya anak panah yang hampir menghunjam ke dada gadis kecil itu.
"Hap!"
Manis sekali laki-laki setengah baya itu menjejakkan kakinya di tanah, tepat di depan Intan Kumala. Saat itu juga, wanita yang tadi mengikuti gadis kecil itu bergegas berlari dan langsung mengambil gadis kecil itu ke dalam gendongannya.
"Cepat kau bawa masuk ke dalam, Rayi," kata laki-laki setengah baya itu sambil memperhatikan anak panah yang berada dalam genggaman tangan kanannya.
Tanpa diperintah dua kali, wanita itu bergegas meninggalkan taman yang indah ini. Namun, belum juga dia sampai di pintu taman, mendadak sebuah bayangan terlihat berkelebat begitu cepat. Dan, tahu-tahu didepan wanita cantik itu sudah berdiri seorang perempuan tua bertubuh bungkuk yang mengenakan jubah panjang berwarna hitam. Di tangan kanan perempuan tua itu tergenggam sebatang tongkat, dengan bagian ujung atasnya berbentuk tengkorak kepala manusia.
"Oh...?!"
"Hup!"
Laki-laki setengah baya yang juga merupakan ayah gadis kecil itu segera melompat. Begitu ringan gerakannya. Tahu-tahu dia sudah, berada di samping kanan istrinya yang memeluk Intan Kumala.
"Hik hik hik...!"
"Siapa kau?" bentak ayah Intan Kumala.
"Hik hik hik...!"
Perempuan tua bertubuh bungkuk itu hanya tertawa terkikik. Suara tawanya terdengar sangat kering dan mengerikan. Matanya yang memerah dan bersinar tajam menatap langsung ke bola mata lelaki setengah baya itu. Kemudian pandangannya berpindah pada Intan Kumala yang berada di dalam gendongan ibunya.
"Tidak lama lagi, Satria. Hik hik hik.. Tidak lama lagi kau akan hancur, Satria...!"
"Perempuan tua, siapa kau? Apa maksudmu datang ke sini?" bentak ayah Intan Kumala yang bernama Ki Satria itu dengan suaranya yang tajam.
"Hik hik hik...!"
Cepat sekali tangan keriput yang terulur ke depan itu bergerak hendak menyambar Intan Kumala. Tapi, sebelum tangan perempuan tua itu menyentuh Intan Kumala, Ki Satria sudah cepat bertindak.
"Hiyaaa...!"
Bet!
"Ikh...!"
Cepat-cepat perempuan tua menarik kembali tangannya ketika Ki Satria mengebutkan tangan kanannya begitu cepat dengan pengerahan tenaga dalam tinggi. Dua langkah perempuan tua itu melompat mundur. Dirasakannya angin kebutan tangan kanan Ki Satria yang mengandung hawa panas begitu menyengat.
"Kau benar-benar tidak sayang dengan puterimu, Satria. Aku datang justru ingin menyelamatkan keturunanmu!" bentak perempuan tua itu sambil mendesis dingin.
"Katakan dulu, siapa kau? Apa maksudmu berkata begitu?" ujar Ki Satria dengan tidak kalah dinginnya.
"Aku Ratu Mayat Bukit Tengkorak. Aku terpaksa keluar dari istanaku karena ingin menyelamatkan keturunanmu, Satria. Kau dalam bahaya. Kehancuran sudah dekat di depan matamu," sahut perempuan tua itu dengan nada suara yang masih tetap dingin.
"Jangan coba-coba menggertak ku, Nisanak. Sebaiknya pergi saja kau. Dan, jangan coba-coba mengganggu ketenteraman keluargaku!" bentak Ki Satria, yang tidak percaya dengan kata-kata perempuan tua itu.
"Heh! Kau benar-benar bodoh, Satria!" dengus perempuan tua yang mengaku bernama Ratu Mayat Bukit Tengkorak itu.
"Cepat pergi! Atau kau ingin aku panggil para pengawalku, heh...!" bentak Ki Satria lagi.
Sebentar Ratu Mayat Bukit Tengkorak memandangi Ki Satria. Dia melangkah mundur beberapa tindak, kemudian tanpa berkata sedikit pun melesat pergi dengan cepat sekali. Begitu cepat gerakannya. Dalam sekejap mata, tubuhnya pun sudah lenyap tak terlihat lagi, bagaikan hilang tertelan bumi.
"Mari, Rayi Sebaiknya kita masuk saja," ajak Ki Satria sambil merangkul pundak istrinya.
* * * * *
Ajakan Ki Satria membawa istri dan anaknya masuk ke dalam rumah ternyata sama sekali tidak menghilangkan ketegangan yang terjadi dengan tiba-tiba di taman tadi. Kedua bola matanya kini terbeliak lebar begitu melihat orang-orangnya yang berada di dalam rumah sudah terkapar tak bernyawa lagi. Darah bercucuran menggenangi lantai. Ki Satria cepat-cepat membawa anak dan istrinya ke dalam kamar.
"Kau jangan ke mana-mana, Rayi," pesan Ki Satria.
"Kakang...," kata wanita itu dengan suara bergetar.
"Tenanglah, aku akan kembali secepatnya. Jaga anak kita," kata Ki Satria, mencoba menenangkan istrinya.
Bergegas Ki Satria keluar dari kamar itu setelah lebih dulu berpesan kepada istrinya untuk mengunci pintu dan jendela. Dengan langkah yang lebar dan tergesa-gesa, Ki Satria menyusuri lorong yang tidak seberapa panjang. Dia langsung masuk ke dalam ruangan tengah yang berukuran cukup luas. Kembali bola matanya terbeliak lebar begitu melihat mayat-mayat bergelimpangan di dalam ruangan ini.
"Hup!"
Bagaikan seekor kijang, Ki Satria melompati mayat-mayat yang bergelimpangan hampir memenuhi lantai ruangan ini. Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, laki-laki setengah baya itu langsung menjejakkan kakinya di ambang pintu, yang berhubungan langsung dengan ruangan depan. Cepat dia menerobos masuk ke dalam ruangan depan.
"Keparat...!" desis Ki Satria, geram.
Hampir laki-laki setengah baya itu tidak percaya dengan apa yang disaksikannya sekarang ini. Dia merasa seperti mimpi. Seperti halnya ruangan tengah tadi, ruangan depan ini pun dipenuhi oleh mayat-mayat yang tampaknya masih baru. Darah yang menggenangi lantai pun masih terlihat segar dan hangat. Sambil berjingkat, Ki Satria terus menuju ke pintu depan. Diperiksanya beberapa orang yang menggeletak tak bernyawa lagi itu. Keningnya langsung berkerut. Kemudian dipandanginya sekalian semua tubuh yang bergelimpangan saling tumpang tindih itu.
"Hm, aneh..., tak ada luka sedikit pun. Tapi kenapa banyak darah...?" gumam Ki Satria pada dirinya sendiri.
Memang, tidak ada sedikit pun luka di tubuh mereka. Meskipun darah yang menggenang dan memenuhi lantai itu jelas sekali tampak keluar dari mulut, hidung, serta telinga. Kematian yang sangat aneh ini membuat Ki Satria bertanya-tanya sendiri di dalam hati. Tak ada sedikit pun tanda-tanda bekas terjadi pertarungan. Dan, tak ada luka sedikit pun di tubuh mereka semua.
"Hup!"
Ringan sekali Ki Satria melompat keluar. Sedikit pun tak ada suara yang ditimbulkan. Ini pertanda bahwa ilmu meringankan tubuh yang dimiliki sudah mencapai pada tingkatan yang tinggi. Begitu ringan kedua kakinya mendarat di lantai beranda depan. Sebentar dia mengedarkan pandangannya berkeliling. Tapi, tetap tak ada seorang pun yang terlihat. Hanya mayat-mayat yang tampak bergelimpangan saling tumpang tindih dihalaman depan rumah yang berukuran besar bagai sebuah istana kecil ini.
"Setan keparat! Bagaimana ini bisa terjadi...!" desis Ki Satria, geram.
Darah lelaki setengah baya itu langsung mendidih ketika melihat tak ada seorang pun pengawalnya yang masih hidup. Semua sudah bergelimpangan tak bernyawa lagi. Dia juga tidak tahu, kapan semua ini terjadi. Padahal, sejak tadi dia berada di taman belakang bersama anak dan istrinya. Dan, sama sekali tidak didengarnya suara pertarungan sedikit pun tadi. Tapi, kini orang-orangnya terlihat sudah menggeletak tak bernyawa lagi. Darah menggenang dihampir setiap sudut tempat tinggalnya yang megah ini.
"Laksa...! Rahun...!"
Ki Laksa berteriak keras memanggil dua orang kepercayaannya. Tapi, tak ada sahutan sedikit pun yang terdengar. Suaranya yang keras karena dikeluarkan dengan pengerahan tenaga dalam yang tinggi itu menggema sampai terdengar ke seluruh penjuru mata angin. Dan, hanya gemerisik dedaunan yang menyahuti teriakan laki-laki gagah berusia setengah baya ini.
"Hm, ke mana mereka? Apakah mereka juga sudah mati...?" gumam Ki Satria, bertanya-tanya sendiri.
Kembali Ki Satria mengedarkan pandangannya berkeliling. Tapi, tidak juga ada seorang pun yang dilihatnya hidup. Semua yang dilihatnya hanyalah mayat-mayat bergelimpangan saling tumpang tindih, Bau anyir darah begitu tajam menyeruak rongga hidung. Kemudian perlahan Ki Satria bergerak hendak melangkah keluar dari beranda depan rumahnya ini. Tapi, baru saja kakinya menjejak tanah, mendadak...!
Wusss...!
"Hup!"
Cepat sekali Ki Satria melentingkan tubuhnya begitu mendengar desiran angin yang sangat halus dari arah kanannya. Dan, secepat itu pula dia mengebutkan tangan kanannya.
Tap!
"Hap!"
Manis sekali Ki Satria menjejakkan kakinya di tanah, di antara tubuh-tubuh yang bergelimpangan tak bernyawa lagi. Perlahan tangan kanannya yang terkepal bergerak terbuka. Dan, kedua bola matanya langsung terbeliak lebar begitu melihat di dalam telapak tangannya terdapat sebuah benda berbentuk kapak kecil berwarna merah.
"Perampok Tiga Nyawa...," desis Ki Satria.
Tapi, belum juga Ki Satria sempat berpikir jauh, mendadak terlihat tiga buah bayangan berkelebatan meluruk turun dari atas atap. Ki Satria cepat-cepat melompat ke belakang sejauh dua batang tombak. Manis sekali gerakannya. Dan, tanpa menimbulkan suara sedikit pun, kakinya kembali menjejak tanah.
Tap!
"Keparat...!" bentak Ki Satria.
Lelaki setengah baya yang masih kelihatan gagah itu mendesis ketika melihat tiga orang laki-laki berusia muda sudah berada sekitar dua batang tombak di depannya. Ketiga lelaki muda itu mengenakan baju dengan potongan yang sama, tapi dengan warna yang ber-beda. Mereka memang jelas masih tergolong muda. Paling tidak, usia mereka baru sekitar tiga puluh tahun.
Tampak di tangan kanan mereka masing-masing tergenggam sebilah kapak yang berukuran sangat besar. Dan, kilatan cahaya membersit dari mata kapak di tangan kanan ketiga pemuda itu. Ki Satria tahu, mereka adalah tokoh-tokoh persilatan yang dikenal dengan julukan si Perampok Tiga Nyawa.
"Pasti kalian yang membantai para pengawalku," desis Ki Satria, dingin menggetarkan.
"Keparat...! Apa maksud kalian membunuhi orang-orangku, heh...?"
"Tidak terlalu sulit menidurkan mereka, Ki Satria," kata salah seorang dari ketiga pemuda itu, yang mengenakan baju berwarna merah menyala.
"Hanya dengan ini...," sambung pemuda satunya lagi, yang mengenakan baju biru. Pemuda berbaju biru itu melemparkan sesuatu yang diambil dari dalam saku bajunya. Ki Satria cepat melompat dan berputaran beberapa kali di udara, lalu kakinya kembali menjejak tanah. Benda yang dilemparkan pemuda berbaju biru itu ternyata berupa serbuk berwarna kuning, yang langsung menguap menja di asap.
"Upfhs...!"
Cepat-cepat Ki Satria menutup seluruh aliran darah dan memindahkan pernafasannya ke perut. Dia tahu bahwa serbuk kuning yang menguap menjadi asap itu adalah serbuk racun yang sangat berbahaya dan mematikan. Kembali tubuhnya melenting ke udara dan berputaran beberapa kali. Lalu, kembali pula kakinya menjejak tanah setelah jaraknya sudah mencapai sekitar tiga batang tombak.
"Phuuuh...! Edan...!" dengus Ki Satria disertai hembusan nafasnya yang berat.
* * * * *
Sementara itu di dalam kamar, istri Ki Satria yang bernama Nyai Wandari kelihatan cemas. Dia tidak melepaskan putrinya dari pelukan. Gadis kecil itu juga seperti bisa merasakan kecemasan ibunya. Dia memeluk dan menyembunyikan kepalanya di dada yang membusung indah itu.
Tok! Tok! Tok..!
"Oh...?!"
Nyai Wandari tersentak kaget ketika mendengar suara ketukan di pintu. Pandangannya langsung tertuju ke arah pintu yang tertutup rapat. Ketukan itu sebentar saja sudah menghilang. Tapi, tak lama kemudian terdengar lagi. Perlahan-lahan wanita itu bangkit dari pembaringan.
"Siapa..?!" tanya Nyai Wandari, agak keras.
"Aku, Nyai...," sahut suara seorang laki-laki dari balik pintu.
"Siapa?" tanya Nyai Wandari lagi.
"Rahun."
"Oh, Rahun...."
Bergegas Nyai Wandari menghampiri pintu kamar ini. Dia langsung membukanya. Dan, seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh lima tahun terlihat berdiri tegak di ambang pintu. Tampak rambutnya yang panjang tergelung ke atas kepala.
"Ada apa, Rahun?"
"Ki Satria meminta ku untuk membawa Nyai dan Rara Putri Intan."
"Oh...?! Apa yang terjadi sebenarnya, Rahun? Di mana suamiku?" tanya Nyai Wandari, tidak bisa lagi menyembunyikan kecemasannya.
"Keadaan gawat, Nyai. Sebaiknya Nyai bergegas...," sahut Ki Rahun, terputus.
"Sebentar."
Nyai Wandari kembali menutup pintu. Sedangkan Ki Rahun tetap menunggu di depan pintu. Nyai Wandari mengambil bungkusan kain putih dari dalam kotak kayu yang ada di meja kecil dekat jendela. Dia menyelipkan bungkusan kain putih yang tampak berisi sebilah pisau kecil itu ke balik ikat pinggangnya. Tak berapa lama kemudian, dia sudah keluar lagi sambil tetap menggendong putrinya.
"Ke mana kau akan membawaku, Rahun?" tanya Nyai Wandari sambil terus berjalan mengikuti orang kepercayaan suaminya ini.
"Mengungsi ke tempat yang aman," sahut Ki Rahun, tanpa menghentikan langkahnya.
Mereka terus berjalan menyusuri lorong yang tidak begitu panjang menuju ke bagian belakang rumah besar dan megah ini. Ki Rahun membuka pintu yang ada di ujung lorong. Kemudian dipersilahkannya Nyai Wandari untuk masuk lebih dulu. Nyai Wandari tahu, pintu ini merupakan pintu kamar semadi suaminya. Dan, di dalam kamar ini terdapat sebuah pintu rahasia yang langsung menuju keluar melalui jalan di bawah tanah.
Setelah berada di dalam kamar semadi itu. Ki Rahun menggeser sebongkah baru besar yang sering digunakan untuk bersemadi. Di bawah baru yang berbentuk pipih itu terdapat lubang yang cukup besar. Tanpa banyak bicara lagi, Nyai Wandari bergegas masuk ke dalam lubang itu. Ki Rahun mengikuti dari belakang. Batu pipih itu pun kembali bergerak menutup setelah mereka melewatinya.
"Ke mana suamiku menyuruh mengungsi, Rahun?" tanya Nyai Wandari.
"Ke gua penyimpanan senjata pusaka," sahut Ki Rahun.
"Di sana sudah menunggu dua puluh orang pengawal, Nyai."
"Lalu, di mana suamiku?"
"Menghadapi mereka bersama yang lain."
"Mereka...? Siapa mereka, Rahun?"
"Aku tidak tahu, Nyai. Mereka tiba-tiba saja datang dan menyerang. Sudah banyak yang menjadi korban," jelas Ki Rahun dengan singkat.
Nyai Wandari tidak bertanya lagi. Dia terus berjalan di depan sambil tetap memeluk putrinya dalam gendongan. Sedangkan Ki Rahun mengikuti dari belakang. Tampak sebentar-sebentar dia menoleh ke belakang. Lorong rahasia di bawah tanah ini cukup panjang juga. Tapi, keadaannya sangat terang, karena banyak obor terpasang di dinding. Ki Rahun bergegas mendahului setelah mereka sampai di ujung lorong bawah tanah ini.
Dia mendorong sebongkah batu yang cukup besar. Sedikit demi sedikit batu itu pun tergeser. Dan, tampaklah dengan nyata bahwa tempat ini merupakan ujung lorong. Mereka langsung bergegas keluar. Dan, ternyata mereka sudah ditunggu oleh sekitar dua puluh orang pemuda bersenjata golok. Tanpa banyak bicara lagi, semuanya bergegas berjalan dan langsung masuk ke dalam hutan.
Nyai Wandari sendiri tidak banyak bertanya lagi. Dia terus mengikuti pemuda-pemuda yang dia kenali sebagai para pengawal suaminya. Sedangkan Ki Rahun selalu berada di belakang wanita itu, sambil sesekali berpaling ke belakang. Tak ada seorang pun yang membuka suara lagi. Semuanya terdiam dan terus berjalan merambah hutan yang cukup lebat ini.
"Rahun, bukankah ini jalan menuju ke Jurang Setan...?"
Nyai Wandari baru membuka suara ketika sadar bahwa jalan yang ditempuh mereka bukan menuju ke gua tempat penyimpanan senjata.
"Memang benar, Nyai," sahut Ki Rahun.
"Tapi tadi kau bilang, kita akan ke gua penyimpanan senjata pusaka."
"Ini hanya siasat saja, Nyai. Untuk mengelabui mereka," sahut Ki Rahun.
Nyai Wandari tidak bertanya lagi. Dia bisa menerima alasan yang diberikan Ki Rahun barusan. Memang, mereka bisa saja melalui pinggiran Jurang Setan ini untuk menuju ke gua penyimpanan senjata pusaka. Walaupun, tentu saja mereka harus memutar dan berjalan lebih jauh. Tapi, Nyai Wandari tidak mengeluh dan tidak mau bertanya lagi. Dia terus saja berjalan mengikuti para pengawalnya yang berjumlah sekitar dua puluh orang itu. Sedangkan Ki Rahun tetap berjalan di belakangnya.
* * * * *
--««¦ [ TIGA ] ¦»»--
Akhirnya, pertarungan itu sampai di dekat Jurang Setan, yang tampak sangat besar dan dalam. Begitu dalam jurang ini, sampai-sampai dasarnya pun sangat sulit dilihat. Apalagi, kabut yang sangat tebal selalu menutupinya. Pada saat yang hampir bersamaan, Nyai Wandari, Ki Rahun, dan dua puluh orang pengawalnya juga sampai di jurang ini. Nyai Wandari begitu terkejut ketika melihat suaminya sedang bertarung sengit dengan tiga lelaki yang masing-masing bersenjatakan kapak.
"Rahun, cepat bantu suamiku!" perintah Nyai Wandari.
"Tidak mungkin, Nyai. Ki Satria tidak akan senang kalau pertarungannya dicampuri," tolak Ki Rahun.
"Tapi...," Nyai Wandari tidak melanjutkan ucapannya.
Memang, alasan yang dikemukakan Ki Rahun tidak bisa dibantah lagi. Ki Satria pasti tidak akan senang kalau pertarungannya dicampuri orang lain. Nyai Wandari tahu betul watak suaminya. Lelaki tua gagah itu lebih memilih mati dalam pertarungan daripada harus dicampuri orang lain. Meskipun ada orang yang benar-benar bermaksud membantunya, Ki Satria tidak akan berterima kasih. Bahkan, dia bisa marah besar.
"Ayo, Nyai. Sebaiknya kita menyingkir dari sini," ajak Ki Rahun.
Nyai Wandari memperhatikan pertarungan itu beberapa saat. Kemudian dia bergegas mengikuti Ki Rahun yang sudah lebih dulu berjalan menjauhi pertarungan. Dua puluh orang yang mengawal mereka juga bergegas mengikuti. Tidak ada seorang pun yang berani ikut terjun ke dalam pertarungan itu. Tapi, belum juga mereka jauh, tiba-tiba....
"Berhenti kalian semua...!"
"Heh...?!"
"Hah...?!"
Bukan main terkejutnya mereka ketika tiba-tiba saja terdengar bentakan yang sangat keras dan menggelegar bagai guntur di siang hari. Mereka langsung berhenti melangkah. Pada saat itu, terlihat sebuah bayangan putih berkelebat begitu cepat. Dan, tahu-tahu di depan mereka sudah berdiri seseorang yang berjubah putih panjang dan longgar. Wajah orang itu sulit dikenali, karena tertutup oleh topeng kayu berwarna hitam. Tampak di tangan kanannya tergenggam sebatang tongkat kayu yang runcing pada bagian ujungnya.
"Kau tidak akan bisa lolos dariku, Nyai Wandari," ujar orang berjubah putih dan bertopeng kayu hitam itu dengan nada suara yang terdengar begitu dingin.
"Siapa kau?" bentak Nyai Wandari.
"Ha ha ha...!"
Orang bertopeng hitam itu hanya tertawa terbahak-bahak. Begitu keras dan menggelegar suara tawanya. Telinga yang mendengarnya pun terasa sakit, seperti tertusuk jarum. Nyai Wandari cepat-cepat menutup telinga putrinya.
"Kalian semua harus mampus! Hiyaaat..!"
Bagaikan kilat, orang bertopeng hitam itu melompat dan langsung menerjang ke arah Nyai Wandari. Tapi, belum juga dia sampai, mendadak terlihat sebuah bayangan hitam berkelebat begitu cepat memotong arus terjangan orang bertopeng itu.
"Uts...!"
Untung saja orang bertopeng hitam itu cepat melenting ke belakang, sehingga terhindar dari suatu benturan keras. Beberapa kali tubuhnya berputaran di udara. Dan, dengan manis sekali kakinya menjejak tanah, sekitar dua batang tombak jauhnya dari Nyai Wandari, yang masih didampingi Ki Rahun dan dua puluh orang pengawalnya.
Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di depan Nyai Wandari sudah berdiri seorang perempuan tua bertubuh bungkuk, dengan tongkat berkepala tengkorak tergenggam pada tangan kanannya. Nyai Wandari langsung mengenali, perempuan tua itulah yang datang menemuinya di taman dan hendak meminta anaknya tadi.
"Tidak ada gunanya kau menutupi wajahmu dengan topeng jelek, Laksa," desis perempuan tua bungkuk yang dikenali Nyai Wandari bernama Ratu Mayat Bukit Tengkorak itu, dengan suara yang terdengar begitu kering dan dingin.
"Laksa...?" desis Nyai Wandari, terkejut.
"Phuih!"
Orang bertopeng hitam itu mendengus berat. Dengan kasar sekali dia membuka topeng kayu berwarna hitam yang menutupi wajahnya. Kini tampaklah di balik topeng kayu itu, seraut wajah seorang laki-laki yang agaknya berusia lima puluh tahun lebih. Sorot matanya tampak tajam berapi-api. Dan, wajah itu sangat dikenali oleh Nyai Wandari.
"Laksa...!" desis Nyai Wandari, hampir tidak percaya.
Tapi, Nyai Wandari tidak sempat lagi bertanya-tanya ataupun berpikir panjang. Karena, tiba-tiba saja Ki Laksa sudah melompat begitu cepat melakukan serangan.
"Hiyaaat...!"
"Hup! Yeaaah...!"
Pada saat yang bersamaan, Ratu Mayat Bukit Tengkorak ternyata juga melentingkan tubuhnya. Disambutnya serangan laki-laki berjubah putih itu. Dan secara bersamaan keduanya melepaskan satu pukulan keras menggeledek yang mengandung pengerahan tenaga dalam tingkat tinggi. Begitu cepat pukulan yang dilepaskannya, hingga mereka sama-sama tidak dapat lagi menghindari benturan dua tenaga dalam yang tinggi tingkatannya itu.
Plak!
Seketika itu juga tubuh mereka sama-sama terpental balik ke belakang. Namun, dengan manis sekali keduanya berhasil menjejakkan kaki di tanah secara bersamaan. Dan, tanpa membuang-buang waktu lagi, mereka sudah berlompatan kembali saling menyerang. Pertarungan pun tak lagi terhindarkan, seakan-akan menyaingi pertarungan seru yang sedang terjadi antara Ki Satria dan tiga orang lawannya yang dikenal dengan julukan si Perampok Tiga Nyawa.
Pertarungan antara Ratu Mayat Bukit Tengkorak dan Ki Laksa terlihat semakin sengit. Keduanya mengeluarkan jurus-jurus yang begitu dahsyat dan sangat berbahaya. Pukulan-pukulan yang mereka lontarkan mengandung pengerahan tenaga dalam yang sangat tinggi. Sehingga setiap pukulan yang tidak mengenai sasaran akan menimbulkan ledakan dahsyat jika menghantam pohon atau bebatuan hingga hancur berkeping-keping.
"Hiyaaat...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, bagaikan kilat Ki Laksa melompat ke udara. Dan, secepat kilat pula tongkatnya yang berujung runcing dikebutkan ke arah kepala Ratu Mayat Bukit Tengkorak Begitu tinggi tenaga dalam yang disalurkan ke dalam kebutan tongkat Ki Laksa, sehingga menimbulkan suara angin menderu yang disertai hempasan hawa panas menyengat.
"Uts...! Hap!"
Cepat-cepat Ratu Mayat Bukit Tengkorak melompat ke belakang. Dan, secepat itu pula dia menghentakkan tongkatnya. Ditangkisnya kibasan tongkat Ki Laksa.
Trakkk!
Dua senjata tongkat beradu begitu keras sampai menimbulkan percikan bunga api yang menyebar ke segala arah. Tampak Ratu Mayat Bukit Tengkorak terdorong ke belakang dua langkah. Dan, pada saat itu pula terlihat Ki Laksa memutar tubuhnya di udara. Lalu, tanpa diduga sama sekali, lelaki tua itu melepaskan satu tendangan keras menggeledek disertai pengerahan tenaga dalam yang begitu tinggi tingkatannya.
"Hiyaaa...!"
"Oh...?!"
Ratu Mayat Bukit Tengkorak tampak terperangah setengah mati. Cepat-cepat dia menggeser kakinya ke samping sambil meliukkan tubuh menghindari tendangan menggeledek yang dilepaskan laki-laki berjubah putih itu. Tapi dengan gesit dan cepat sekali Ki Laksa bisa memutar balik kakinya. Dan, secepat kilat kembali dia menghentakkan kaki kanannya ke depan dengan setengah berputar. Begitu cepatnya serangan yang dilancarkan laki-laki berjubah putih itu, sehingga Ratu Mayat Bukit Tengkorak tidak sempat lagi menghindar. Dan....
Des!
"Akh...!"
Telak sekali tendangan kaki kanan Ki Laksa mendarat di dada kiri Ratu Mayat Bukit Tengkorak. Akibatnya, tubuh perempuan tua yang agak kurus itu terpental cukup jauh ke belakang. Dan, sebongkah batu sebesar kerbau yang sangat kokoh langsung hancur berkeping-keping seketika begitu tubuh si Ratu Mayat Bukit Tengkorak menghantamnya.
"Hiyaaat...!"
Tanpa membuang-buang waktu sedikit pun, Ki Laksa cepat melompat ke arah Nyai Wandari. Tapi, tiba-tiba saja wanita cantik itu mengebutkan tangan kirinya dengan cepat. Dan, tahu-tahu di tangan kirinya sudah tergenggam sebilah pisau kecil yang sangat tajam dan berkilatan, yang dicabutnya dengan cepat tadi dari balik ikat pinggangnya.
"Heh...?! Uts!"
Ki Laksa terperanjat setengah mati begitu tiba-tiba sekelebatan cahaya keperakan hampir saja membelah dadanya. Cepat-cepat dia melentingkan tubuhnya ke belakang dan berputaran beberapa kali. Pada saat itu, Ratu Mayat Bukit Tengkorak sudah bisa berdiri lagi. Dia segera menghampiri Nyai Wandari yang masih menggendong putrinya.
"Berikan anakmu padaku, Nyai. Dia harus diselamatkan," kata Ratu Mayat Bukit Tengkorak cepat-cepat.
Nyai Wandari memandangi perempuan tua berwajah buruk penuh keriput itu beberapa saat. Kemudian dia menyerahkan Intan Kumala kepadanya. Dan, cepat-cepat perempuan tua itu meraih Intan Kumala dari gendongan Nyai Wandari, lalu bergegas melesat pergi dengan cepat sekali. Namun, belum juga dia pergi jauh, tiba-tiba tangan kanan Ki Rahun bergerak cepat tanpa seorang pun sempat mengetahuinya. Dan, saat itu juga terlihat beberapa benda halus seperti jarum berhamburan dengan deras sekali ke arah si Ratu Mayat Bukit Tengkorak.
Ratu Mayat Bukit Tengkorak, yang tidak menyadari akan mendapat serangan gelap yang begitu cepat itu, tidak dapat lagi menghindarkan diri. Dan....
Crap!
"Akh...!"
Beberapa benda halus seperti jarum itu langsung menembus tubuh Ratu Mayat Bukit Tengkorak Perempuan tua itu pun jatuh terguling ke tanah. Dan Intan Kumala yang berada dalam gendongannya seketika terlepas dan langsung melayang jauh menuju ke arah jurang.
"Intan...!" jerit Nyai Wandari, benar-benar terperanjat.
* * * * *
Cepat-cepat Nyai Wandari melompat hendak meraih anaknya yang melayang ke arah jurang. Tapi belum juga dia bergerak jauh, Ki Laksa sudah bertindak cepat. Tongkatnya yang berujung runcing segera dikebutkan ke arah lambung wanita cantik itu.
Bet!
"Ikh...!"
Hampir saja lambung Nyai Wandari robek. Untung saja dia cepat-cepat berkelit meliukkan tubuhnya tadi menghindari sabetan tongkat yang berujung runcing itu. Sedangkan Intan Kumala terus meluncur deras ke arah jurang.
"Ibuuu...!" jerit Intan Kumala, ketakutan.
"Hup! Hiyaaa...!"
Nyai Wandari kembali melesat mengejar anaknya, begitu kakinya menjejak tanah. Tapi, baru saja dia melesat, kembali Ki Laksa menghadang dengan cepat. Satu pukulan keras yang disertai dengan pengerahan, tenaga dalam tinggi langsung dilepaskannya dengan cepat sekali ke arah dada.
"Hap!"
Nyai Wandari cepat-cepat melentingkan tubuhnya dan berputaran ke belakang menghindari pukulan itu. Dan, begitu kakinya menjejak tanah kembali, tahu-tahu Ki Laksa sudah melepaskan satu tendangan keras menggeledek yang begitu cepat. Benar-benar cepat tendangan yang dilepaskan laki-laki berjubah putih itu. Nyai Wandari pun tidak sempat lagi menghindar, terlebih lagi pikirannya tengah tercurah pada putrinya yang sedang menghadapi maut.
Des!
"Akh...!"
Nyai Wandari terpental deras ke belakang, lalu jatuh bergulingan beberapa kali di tanah. Sementara itu Intan Kumala terus meluncur dan mulai masuk ke dalam jurang. Jeritannya yang panjang melengking terdengar begitu menggiris.
"Ibuuu...!"
"Intan...!"
Nyai Wandari tidak mempedulikan dadanya yang terasa sesak akibat terkena tendangan Ki Laksa tadi. Cepat-cepat dia melompat bangkit berdiri hendak mengejar lagi anaknya yang sudah mulai tercebur ke dalam Jurang Setan. Jeritan bocah kecil itu masih juga terdengar, meskipun semakin jauh.
"Intan...!"
Nyai Wandari berteriak-teriak memanggil nama anaknya sambil terus berlari menghampiri jurang. Tapi, begitu dia sampai di tepi jurang, tubuh Intan Kumala sudah tidak terlihat lagi. Hanya kabut tebal yang terlihat kini menyelimuti seluruh bagian dalam jurang itu.
"Oh, Intan...."
Jeritan Intan Kumala dan Nyai Wandari sempat juga mempengaruhi perhatian Ki Satria yang sedang bertarung melawan si Perampok Tiga Nyawa. Dia sempat berpaling ke arah Jurang Setan. Dan pada saat itu juga si Perampok Tiga Nyawa yang mengenakan baju biru melepaskan satu pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam yang tinggi tingkatannya.
"Hiyaaa...!"
Ki Satria yang tengah lengah tidak sempat lagi menghindari pukulan itu. Akibatnya, dadanya telah terkena pukulan yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi itu.
Degkh!
"Akh...!"
Ki Satria memekik tertahan. Tubuhnya langsung terpental ke belakang sejauh dua batang tombak. Dan tubuh kekar itu baru berhenti melayang setelah menghantam sebatang pohon yang cukup besar hingga hancur berkeping-keping.
"Hiyaaa...!"
Saat itu juga si Perampok Tiga Nyawa yang mengenakan baju kuning melompat cepat sambil mengebutkan kapaknya yang berukuran sangat besar.
Wuk!
"Hih...!"
Ki Satria cepat-cepat menggulirkan tubuhnya ke samping. Dihindarinya hantaman kapak yang berkilatan itu. Kemudian, dengan cepat dia melompat bangkit berdiri sambil mendekap dadanya yang terasa begitu sesak.
"Yeaaah...!"
Belum lagi pijakan kaki Ki Satria sempurna, datang lagi serangan berupa tendangan kaki kiri dari si Perampok Tiga Nyawa yang mengenakan baju merah. Kembali Ki Satria masih bisa menghindar dengan mengegoskan tubuhnya ke kanan. Namun, begitu kaki kanan salah seorang dari si Perampok Tiga Nyawa itu terayun cepat sambil memutar ke arah lambung, Ki Satria tidak dapat lagi menghindar. Dan....
Des!
"Akgh...!"
Untuk kedua kalinya Ki Satria terpekik. Kembali dia jatuh bergulingan di tanah beberapa kali. Belum lagi dia sempat bangkit berdiri, si Perampok Tiga Nyawa yang mengenakan baju biru sudah mengayunkan kapaknya dengan deras sekali sambil melompat dan berteriak keras menggelegar.
"Hiyaaat.:.!"
Wuk!
"Uts...!"
Cepat-cepat Ki Satria menggulirkan tubuhnya ke samping.
Crab!
Hantaman kapak itu hanya mengenai tanah yang kosong. Namun, secepat kilat pemuda berbaju merah itu kembali mengayunkan kapaknya sambil berteriak-keras menggelegar. Dan, pada saat yang bersamaan pemuda yang mengenakan baju kuning juga melakukan serangan dengan kapaknya dari arah lain.
"Hup!"
Ki Satria cepat-cepat melompat menghindari dua serangan yang datang secara bersamaan itu. Tapi begitu berada di udara, mendadak pemuda yang mengenakan baju biru mengebutkan tangan kanannya. Saat itu juga terlihat serbuk berwarna kuning tersebar langsung ke wajah Ki Satria. Begitu cepat serangan kali ini, sehingga ki Satria tidak sempat lagi menghindarinya.
"Ukgh...!"
Ki Satria langsung terhuyung dan terbatuk. Wajahnya seketika membiru. Serbuk racun yang ditebarkan si Perampok Tiga Nyawa yang berbaju biru itu langsung merasuk ke dalam hidung Ki Satria dan terus merembes dengan cepat ke dalam dada. Napas Ki Satria terasa bagai tersumbat batu yang sangat besar.
"Ugkh! Ugkh...!"
Ki Satria semakin terhuyung, lalu tubuhnya ambruk menggelepar di tanah. Mulut, hidung, dan telinganya mulai kelihatan mengeluarkan darah. Dia terus menggelepar sambil mengerang meregang nyawa, hingga akhirnya diam tak bergerak gerak lagi. Seluruh tubuh lelaki tua itu langsung membiru. Dan, darah terus bercucuran keluar dari mulut, hidung, dan telinganya.
Sementara itu Nyai Wandari masih berdiri mematung sambil terus memandang ke dalam Jurang Setan yang selalu berkabut itu. Dia kini sudah didampingi Ki Rahun dan dua puluh orang pengawalnya, yang semuanya menyandang golok terhunus di tangan kanan.
"Ayo, Nyai. Kita cepat tinggalkan tempat ini," ajak Ki Rahun.
Sebentar Nyai Wandari memandangi Ki Rahun. Tapi, wanita cantik itu tampaknya sama sekali belum tahu bahwa laki-laki di hadapannya ini telah mengkhianatinya. Kemudian Nyai Wandari segera melangkah menjauhi bibir jurang diikuti para pengawalnya. Sedangkan Ki Laksa dan si Perampok Tiga Nyawa hanya diam memandang dengan bibir mengulum senyum. Keempat lelaki itu terus memperhatikan Nyai Wandari, Ki Rahun, dan dua puluh orang pengawalnya yang semakin jauh meninggalkan tempat ini.
"Bagaimana sekarang, Ki?" tanya si Perampok Tiga Nyawa yang mengenakan baju merah.
"Tunggu sampai mereka jauh dulu. Aku tidak ingin Nyai Wandari mengetahui rencanaku. Juga Ki Rahun itu. Dia bisa berbahaya nantinya," sahut Ki Laksa.
"Ternyata tidak sulit, Ki. Tidak perlu mengerahkan orang-orang kita," kata si Perampok Tiga Nyawa yang berbaju merah lagi.
"He he he...!" Ki Laksa hanya terkekeh kekeh.
"Ayo...."
Nyai Wandari, Ki Rahun, dan dua puluh orang pengawalnya terus bergerak cepat menerobos lebatnya hutan. Dan, tidak ada seorang pun yang tahu kalau Ki Laksa dan si Perampok Tiga Nyawa terus membuntuti dari jarak yang cukup jauh. Akhirnya, sampailah mereka di gua tempat penyimpanan senjata. Ki Rahun segera membuka pintu gua yang terbuat dari batu. Mereka cepat-cepat masuk ke dalam gua itu. Kemudian, begitu pintu ditutup, Ki Laksa dan si Perampok Tiga Nyawa muncul di sana.
"Bagaimana, Ki?" tanya si Perampok Tiga Nyawa yang mengenakan baju biru.
"Hancurkan gua itu," perintah Ki Laksa.
Tanpa menunggu perintah dua kali, tiga orang pemuda yang dikenal dengan julukan si Perampok Tiga Nyawa itu langsung melepaskan pukulan-pukulan jarak jauh yang begitu dahsyat. Tak pelak lagi, gua itu pun tak lama kemudian hancur seiring dengan terdengarnya ledakan-ledakan dahsyat menggelegar yang menggetarkan bumi.
"Ha ha ha...!" Ki Laksa tertawa terbahak-bahak melihat gua itu telah hancur tak berbentuk lagi.
* * * * *
--««¦ [ LIMA ] ¦»»--
"Oh...?!"
Gadis berbaju putih dan compang-camping penuh tambalan itu tersentak kaget ketika tiba-tiba terdengar ledakan keras menggelegar, Lamunannya buyar saat itu juga. Dia segera menengadahkan kepalanya ke atas. Tampak langit begitu kelam, tersaput awan hitam yang menggumpal tebal. Gadis itu kemudian kembali memandangi reruntuhan puing rumah di depannya.
"Ayah, Ibu.... Walaupun bukan aku yang melakukannya, kini sakit hatimu sudah terbalas. Tapi aku masih punya satu persoalan. Aku belum bisa mendapatkan keris pusaka mu. Aku janji, Ayah. Aku akan mendapatkan keris itu."
Gadis berbaju putih dan compang-camping penuh tambalan itu berkata-kata dengan suara yang terdengar pelan sekali. Dan, tanpa disadari, setitik air bening menitik keluar dari sudut matanya. Tapi, cepat dia menyadari, lalu cepat-cepat menghapus air matanya dengan punggung tangan.
Sebentar kemudian kakinya mulai bergerak melangkah mendekati reruntuhan puing rumah di depannya ini. Namun, baru beberapa langkah dia berjalan, mendadak...
Srek!
"Heh...?!"
Cepat dia berhenti dan langsung memutar tubuhnya ketika tiba-tiba terdengar suara gemerisik dari arah belakang. Saat itu, terlihat sebuah bayangan berkelebat cepat menyelinap di antara lebatnya pepohonan yang menghitam kelam.
"Hup...!"
Begitu cepat dan ringan gerakannya saat melompat. Dan, tahu-tahu gadis itu sudah berada di atas cabang pohon yang cukup tinggi. Saat itu sekilas dia melihat kembali sebuah bayangan berkelebat tidak jauh darinya.
"Hup!"
Kembali dia melompat turun dan langsung meluruk deras ke arah menghilangnya bayangan itu. Setelah sedikit ujung jari kakinya menyentuh tanah, kembali tubuhnya melenting tinggi ke udara. Beberapa kali dia melakukan putaran di udara, lalu dengan manis sekali meluruk deras begitu melewati atas kepala seseorang yang berlari cepat menyelinap di antara pepohonan.
"Berhenti kau...!"
Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, gadis berbaju putih compang-camping dan penuh tambalan itu menjejakkan kakinya pada jarak setengah batang tombak dari seorang laki-laki setengah baya. Gadis berbaju putih compang-camping dan penuh tambalan yang tak lain adalah si Dewi Beruang Putih itu tampak menyipitkan kelopak matanya saat memperhatikan laki-laki setengah baya di depannya.
"Siapa kau, Kisanak? Kenapa kau memata-matai ku?" tegur Dewi Beruang Putih.
Suara gadis itu terdengar dingin dan datar. Tatapan matanya yang begitu tajam menembus langsung ke bola mata lelaki di hadapannya yang kelihatan agak memerah. Sedangkan laki-laki setengah baya yang mengenakan baju kuning agak ketat itu beberapa saat terdiam. Tampak dia memindahkan tongkat kayunya dari tangan kanan ke tangan kiri. Lalu dua tindak dia melangkah ke depan. Sinar matanya yang memerah terlihat begitu tajam membalas tatapan mata si Dewi Beruang Putih.
"Seharusnya aku yang bertanya padamu, Nisanak. Untuk apa kau datang dan memperhatikan bekas rumah Ki Satria...?" ujar laki-laki setengah baya itu dengan nada suara yang terdengar dingin sekali.
"Heh...?! Siapa kau ini sebenarnya, Kisanak?" balas si Dewi Beruang Putih yang tampak terkejut.
"Orang-orang selalu memanggilku Ki Gaduk..."
"Paman Gaduk..?!" desis Dewi Beruang Putih, langsung memutuskan ucapan laki-laki setengah baya itu.
"Heh...?!"
Kali ini laki-laki setengah baya yang memperkenalkan dirinya dengan nama Ki Gaduk itulah yang terperanjat, saat gadis berpakaian pengemis itu menyebutnya paman. Dia langsung memperhatikan gadis didepannya ini dalam-dalam, seakan-akan mencari sesuatu pada diri gadis berpakaian pengemis ini.
"Oh...! Kau... kau pasti sudah tidak mengenaliku lagi, Paman. Lima belas tahun memang bukan waktu yang pendek," kata si Dewi Beruang Putih dengan nada suara yang terdengar agak mendesah.
"Nisanak, siapa kau ini?" tanya Ki Gaduk, yang tampak penasaran.
"Paman, aku... aku Intan, Paman. Intan Kumala...," jawab Dewi Beruang Putih, agak tersendat.
"Intan Kumala...?!"
Ki Gaduk tampak semakin terperanjat saat gadis itu memperkenalkan dirinya. Dia sampai menarik kakinya ke belakang tiga langkah. Dan, kelopak matanya terlihat menyipit memperhatikan gadis berpakaian pengemis di depannya ini. Kelihatannya lelaki tua ini tidak percaya kalau gadis itu bernama Intan Kumala.
"Tidak...," desis Ki Gaduk kemudian sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Aku benar-benar Intan, Paman. Intan Kumala..., putri tunggal Ki Satria dan Nyai Wandari," selak si Dewi Beruang Putih, mencoba meyakinkan.
"Tidak.... Intan Kumala sudah mati...," desis Ki Gaduk sambil terus menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Oh..., kenapa kau menyangka begitu, Paman?" keluh Dewi Beruang Putih.
"Kenapa semua orang menyangka aku sudah mati? Padahal aku masih hidup, walaupun...."
Dewi Beruang Putih tidak melanjutkan kata-katanya. Dia memandangi Ki Gaduk dalam-dalam. Gadis itu ingat, Ki Gaduk adalah salah seorang pengawal yang ikut dengan ibunya ketika Ki Laksa dan si Perampok Tiga Nyawa menghancurkan rumah ayahnya. Dia juga tahu, Ki Laksa telah mengambil alih kedudukan Ki Satria sebagai orang kepercayaan kerajaan yang bertugas mengantar barang-barang berharga ataupun mengawal anggota keluarga istana dan para pembesar lainnya. Gadis itu pun masih ingat, bukan hanya Ki Gaduk, melainkan masih ada dua puluh orang lagi yang bersama dengan Nyai Wandari ketika itu.
"Aku tahu, memang tidak mudah untuk mempercayai ku begitu saja. Aku memang tidak mungkin bisa meyakinkanmu bahwa aku benar-benar Intan Kumala. Tidak mengapa, Paman. Aku tidak menyalahkanmu. Tapi aku akan membuktikan kalau aku adalah Intan Kumala, putri tunggal Ki Satari," kata Dewi Beruang Putih dengan nada suara agak tertahan.
Setelah berkata demikian, Dewi Beruang Putih memutar tubuhnya berbalik, lalu segera melangkah pergi dengan ayunan kaki perlahan-lahan. Sedangkan Ki Gaduk masih tetap diam memandangi. Entah apa yang ada di dalam kepalanya saat itu. Bahkan dia masih tetap berdiri diam mematung walaupun si Dewi Beruang Putih yang mengaku bernama Intan Kumala sudah tidak terlihat lagi, tertelan pekatnya malam ya dingin ini.
"Oh, benarkah dia Intan Kumala...?" desah Ki Gaduk perlahan, bertanya-tanya pada dirinya sendiri.
* * * * *
Entah berapa lama Ki Gaduk berdiri diam mematung di dalam gelapnya malam. Kemudian dia memutar tubuhnya dan cepat berlari sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat tinggi. Begitu cepatnya dia berlari, sehingga sebentar saja sudah jauh. Dan Ki Gaduk terus berlari menembus lebatnya hutan. Dia tampak sudah mengenali daerah hutan ini. Tidak ada sedikit pun halangan baginya, meski malam begitu pekat dan bulan tersaput awa hitam yang tebal menggumpal.
Cras!
Glarrr!
Sesekali terlihat cahaya kilat menyambar di angkasa, disertai dengan ledakan guntur menggelegar bagai hendak membelah alam. Namun, Ki Gaduk terus berlari semakin jauh masuk ke dalam hutan. Dia baru berhenti setelah sampai di depan sebuah bangunan cukup besar yang dikelilingi pagar tinggi dari balok-balok kayu bulat. Di depan pintu, terlihat dua orang laki-laki berusia sekitar dua puluh lima tahun. Mereka masing-masing membawa tombak dan golok yang terselip di pinggang. Salah seorang langsung membuka pintu begitu melihat Ki Gaduk.
"Jangan biarkan siapa pun masuk," pesan Ki Gaduk saat melewati dua orang penjaga pintu itu.
"Baik, Ki," sahut mereka bersamaan. Salah seorang penjaga cepat-cepat menutup pintu setelah Ki Gaduk berada di dalam. Pada saat itu juga, dari balik sebatang pohon muncul seorang gadis berpakaian putih penuh tambalan dan compang camping. Dari pakaiannya, jelas dia adalah si Dewi Beruang Putih. Rupanya dia mengikuti Ki Gaduk sampai ke tempat yang menyerupai sebuah benteng ini. Dengan ayunan kaki yang ringan dan tenang, dia melangkah mendekati pintu yang dijaga dua orang pemuda itu.
"Berhenti...!" bentak salah seorang pemuda itu sambil menyilangkan tombaknya di depan dada.
"Biarkan aku masuk ke dalam!" desis si Dewi Beruang Putih, dingin.
"Tidak ada seorang pun yang diperbolehkan masuk," sahut salah seorang penjaga itu, tegas.
"Hm, kenapa...?"
"Itu perintah dari Ki Gaduk. Dan sebaiknya kau cepat tinggalkan tempat ini."
Dewi Beruang Putih menyipitkan kelopak matanya. Dipandanginya dua orang pemuda penjaga pintu itu. Dan, tiba-tiba....
"Hih!"
Cepat sekali dia melompat sambil mengebutkan kedua tangannya secara bergantian. Begitu cepat gerakannya, sehingga dua orang pemuda itu tampak terhenyak. Dan, sebelum mereka bisa berbuat sesuatu tahu-tahu....
"Hegkh!"
"Ugkh...!"
Kedua pemuda itu langsung jatuh tersuruk begitu terkena totokan halus di bagian dada sebelah kiri. Sedangkan Dewi Beruang Putih berdiri tegak di depan pintu. Dia hanya melirik sedikit pada dua orang pemuda penjaga pintu yang menggeletak tak sadarkan diri setelah jalan darahnya tertotok.
"Kalian tidak akan bersikap begitu kalau tahu siapa aku," desis Dewi Beruang Putih. Kemudian gadis berpakaian compang camping mendorong pintu yang terbuat dari gelondongan kayu. Perlahan-lahan pintu terkuak. Sedikit dia menjulurkan kepalanya melongok ke dalam. Setelah yakin tidak ada seorang pun yang terlihat, cepat dia melompat masuk ke dalam. Tapi, baru saja dia menjejakkan kakinya, mendadak bermunculan orang-orang bersenjata tombak dan golok. Dan, sebentar saja Dewi Beruang Putih sudah terkepung oleh tidak kurang dari tiga puluh orang yang masih muda-muda.
"Hm...."
Dewi Beruang Putih hanya menggumam perlahan. Dia mengedarkan pandangannya berkeliling. Dirayapinya orang-orang yang telah rapat mengepungnya dengan senjata masing-masing terhunus di tangan. Kemudian pandangannya tertuju ke arah sebuah bangunan rumah besar yang terbuat dari kayu. Tampak di beranda depan rumah yang sangat besar berdiri seorang wanita berusia setengah baya. Di samping wanita itu, berdiri pula seorang laki-laki berbaju kuning yang dikenal oleh Dewi Beruang Putih sebagai Ki Gaduk.
Walaupun sudah berusia setengah baya, garis-garis kecantikan masih terlihat jelas pada raut wajah wanita itu. Wanita cantik setengah baya itu kemudian melangkah perlahan dengan anggun sekali keluar dari beranda. Ki Gaduk pun mengikuti dari belakang. Dewi Beruang Putih memandangi wajah wanita setengah baya yang masih kelihatan cantik. Kemudian pandangannya berpindah ke beranda. Di situ terlihat seorang gadis berdiri tidak jauh dari pintu. Gadis itu tampak amat cantik, dengan baju biru muda ketat, yang membentuk lekuk-lekuk tubuhnya yang ramping dan indah. Tampak pula sebilah pedang berukuran panjang tergantung di pinggangnya yang ramping.
Sementara itu, Ki Gaduk dan wanita setengah baya itu sudah sampai begitu dekat di depan Dewi Beruang Putih. Jarak mereka tinggal sekitar enam langkah. Sedangkan sekitar tiga puluh orang bersenjata tombak dan golok masih tetap mengepung dengan sikap siap menerima perintah. Tak ada seorang pun yang membuka suara. Suasana pun menjadi hening dan begitu mencekam. Detak-detak jantung begitu terasa jelas terdengar. Entah kenapa, sorot mata Dewi Beruang Putih dan wanita setengah baya yang cantik itu saling bertemu.
Mereka sama-sama merasakan adanya getaran di dalam dada. Dan, getaran itu semakin lama semakin bertambah kuat. Kedua wanita itu terus terpaku dari mematung diam. Cukup lama juga keduanya berpandangan, seperti tengah berbicara di antara hati masing-masing.
"Kau yang mengaku bernama Intan Kumala...?
Wanita setengah baya yang masih kelihatan cantik itu terlebih dulu tersadar. Dia langsung bertanya dengan suara yang agak tertekan.
"Aku memang Intan Kumala," sahut Dewi Beruang Putih.
"Terus terang, aku memang kehilangan seorang anak perempuan lima belas tahun yang lalu. Dan kalau memang masih hidup, dia tentu sudah sebesar mu. Tapi aku ingin bukti kalau kau benar-benar Intan Kumala," kata wanita itu, tegas.
Dewi Beruang Putih langsung terdiam. Dia memang tidak mempunyai bukti satu pun yang bisa menunjukkan bahwa dirinya adalah Intan Kumala, putri tunggal Ki Satria. Tapi di dalam hatinya dia merasa yakin kalau wanita yang berdiri di depannya ini adalah ibunya, ibu kandungnya yang sudah lima belas tahun terpisah. Ingin rasanya dia bersimpuh dan memeluk kaki wanita di hadapannya ini. Tapi, karena sikap wanita itu jelas sekali menunjukkan keragu-raguan, Dewi Beruang Putih harus menahan rasa kerinduan selama lima belas tahun ini.
"Nisanak, kalau kau memang anakku Intan Kumala, kau pasti tahu nama ayah dan ibumu," kata wanita setengah baya itu lagi, yang jelas hendak menguji.
"Ayahku bernama Ki Satria. Sedangkan ibuku Nyai Wandari," sahut Dewi Beruang Putih, tegas.
"Lalu, bagaimana kau bisa sampai terpisah dari kedua orang tuamu?"
"Ayah dikhianati oleh Paman Laksa yang dibantu Perampok Tiga Nyawa. Ayah tewas dalam pertarungan, sedangkan aku tidak tahu bagaimana nasib ibuku, setelah aku terlempar masuk ke dalam Jurang Setan. Hanya itu yang aku ingat," jelas Dewi Beruang Putih dengan singkat.
Wanita setengah baya yang tak lain memang Nyai Wandari itu hanya bisa menggigit-gigit bibirnya mendengar penuturan gadis berpakaian pengemis itu. Dan tampak jelas kedua bola matanya berkaca-kaca. Degup detak jantungnya begitu jelas terdengar. Sedangkan tarikan nafasnya juga begitu kuat memburu. Di hadapannya, Dewi Beruang Putih tetap berdiri diam memandangi dengan perasaan yang tidak menentu.
"Apa yang kau katakan memang benar, Nisanak. Tapi apakah kau tahu kalau ada seorang lagi yang berkhianat?" tanya Nyai Wandari lagi.
Dewi Beruang Putih hanya menggeleng gelengkan kepalanya. Dia memang tidak tahu kalau masih ada satu orang lagi yang mengkhianati ayahnya. Yang dia tahu, hanya Ki Laksa yang berkhianat. Dan, lelaki itu telah merebut kedudukan Ki Satria menjadi orang kepercayaan kerajaan.
"Seorang lagi telah berkhianat dan mencuri senjata pusaka suamiku. Itu sebabnya, kenapa suamiku sampai mudah dikalahkan. Nisanak, jika kau memang benar Intan Kumala, aku hanya ingin bukti lewat pusaka itu. Kalau kau bisa membawa pusaka itu padaku, kau memang anakku yang hilang lima belas tahun lalu," kata Nyai Wandari, dengan suara agak tersendat.
Dewi Beruang Putih hanya diam memandangi. Dia tahu, pusaka apa yang dimaksudkan wanita setengah baya ini. Dan dia juga tahu, siapa yang memegangnya sekarang. Inilah yang membuatnya diam terpaku. Dia justru mencari wanita ini karena ingin merebut kembali Keris Naga Emas dari tangan Pendekar Pulau Neraka.
Tapi sekarang wanita yang diyakini sebagai ibunya ini malah memintanya untuk membawa Keris Naga Emas kepadanya. Dewi Beruang Putih tidak bisa lagi berbicara. Dia harus membawa Keris Naga Emas agar bisa berkumpul kembali dengan ibu kandungnya ini.
Tanpa berkata-kata sedikit pun, dia memutar tubuhnya dan langsung melangkah keluar dari bangunan besar berbentuk benteng pertahanan ini. Dua orang pemuda yang memegang senjata tombak cepat-cepat membuka pintu gerbang. Dewi Beruang Putih terus melangkah keluar tanpa berpaling lagi sedikit pun. Sedangkan Nyai Wandari yang terus didampingi Ki Gaduk masih berdiri memandangi sampai pintu gerbang ditutup kembali.
"Gaduk...," kata Nyai Wandari pelan sekali.
"Iya, Nyai," sahut Ki Gaduk.
"Kau ikuti dia. Dan bantu sebisa mu untuk mendapatkan Keris Naga Emas," ujar Nyai Wandari, memberi perintah.
"Tapi, Nyai...," kata Ki Gaduk, seperti hendak menolak.
"Gaduk, perasaanku mengatakan, dia memang Intan Kumala," selak Nyai Wandari, memotong cepat.
"Ikuti dia, jangan sampai ketahuan."
"Baik, Nyai," sahut Ki Gaduk, tidak bisa membantah lagi.
Nyai Wandari bergegas memutar tubuhnya dan melangkah cepat-cepat ke rumah besar tempat tinggalnya selama ini. Dia berhenti setelah sampai di depan pintu. Sedikit dia melirik pada seorang gadis cantik yang sejak tadi berdiri saja di samping pintu. Gadis itu juga memandangnya dengan sinar mata yang begitu sukar diartikan.
"Bu..., benarkah aku masih punya kakak...?" ujar, gadis itu, ragu-ragu.
"Ayo masuk, Ibu ceritakan semuanya di dalam? kata Nyai Wandari.
"Tapi, benarkah aku masih punya kakak, Bu?' desak gadis itu.
Nyai Wandari tersenyum, lalu merengkuh bahu gadis itu. Mereka kemudian melangkah masuk ke dalam rumah yang berukuran besar dan terbuat dari kayu ini. Keduanya duduk di balai-balai dari bambu yang beralaskan permadani lembut berwarna biru muda. Dengan tutur kata yang lembut dan perlahan-lahan, Nyai Wandari kemudian menceritakan semua peristiwa yang terjadi lima belas tahun yang lalu, di saat dia tengah mengandung sekitar dua bulan. Gadis cantik itu tampak mendengarkan dengan penuh perhatian. Sedikit pun dia tidak menyelak sampai Ny Wandari selesai dengan ceritanya.
Lama juga kedua wanita itu terdiam. Gadis cantik berbaju biru muda itu masih tetap diam, meskipun ibunya sudah tidak bercerita lagi. Dia memandangi wajah yang sudah mulai keriput itu dalam-dalam. Entah apa yang dirasakannya saat ini setelah mendengar semua cerita menyedihkan yang terjadi lima belas tahun lalu itu.
"Begitulah ceritanya, Rara Anting. Sampai sekarang ini aku tidak tahu, bagaimana nasib kakakmu, kata Nyai Wandari agak mendesah, setelah cukup lama berdiam diri.
"Bu, apa mungkin Kak Intan Kumala masih bisa hidup di dalam Jurang Setan...?" tanya gadis cantik yang dipanggil Rara Anting itu, dengan suara yang pelan sekali dan terdengar ragu-ragu.
"Entahlah, Anakku. Belum pernah aku mendengar ada orang yang bisa hidup setelah jatuh ke dalam Jurang Setan," sahut Nyai Wandari, mendesah perlahan.
"Tapi, siapa gadis itu tadi, Bu?" tanya Rara Anting, terus mendesak.
"Aku tidak tahu, Rara Anting. Tapi dia mengaku sebagai Intan Kumala."
"Ibu percaya?"
Nyai Wandari hanya menggeleng gelengkan kepalanya. Bibirnya terlihat mengukir sebuah senyum. Tapi, terasa getir sekali senyum itu. Perlahan-lahan memalingkan kepalanya, lalu menatap keluar melalui jendela yang dibiarkan terbuka lebar. Raut wajahnya terlihat menyiratkan kedukaan yang begitu dalam. Rara Anting beringsut mendekati dan langsung memeluk bahu ibunya.
"Bu..., aku senang sekali kalau Kak Intan masih hidup," ujar Rara Anting, berbisik pelan.
"Aku juga berharap begitu, Anting. Siang malam aku selalu memohon pada Hyang Widi untuk melindungi Intan Kumala dan mempertemukan aku dengannya kembali," sahut Nyai Wandari, yang juga berbisik pelan.
"Jika Ibu mengizinkan, aku akan mencarinya," kata Rara Anting.
Nyai Wandari langsung menatap dalam dalam ke bola mata anak gadisnya ini. Terlihat jelas adanya kesungguhan pada sinar mata Rara Anting. Nyai Wandari tidak dapat lagi mengendalikan diri. Dia langsung menarik gadis itu dan merengkuhnya ke dalam pelukan. Tak dapat lagi dia menahan air matanya yang jatuh menitik. Sedangkan Rara Anting hanya diam saja, tidak tahu harus berbuat apa lagi. Dia takut kalau ucapannya tadi membuat hati ibunya terluka.
Lama juga Nyai Wandari memeluk putrinya. Kemudian perlahan-lahan dia melepaskan pelukannya dan memandangi wajah Rara Anting begitu dalam. Dengan punggung tangannya dia menyeka air mata yang mengalir membasahi pipinya.
"Dunia luar begitu kejam, Anakku. Sedangkan bekal yang kau miliki belum cukup untuk mengarungi ganasnya rimba belantara," kata Nyai Wandari, agak tersendat.
"Tapi, Bu...."
"Aku sudah memerintahkan Paman Gaduk untuk mencari keterangan tentang kakakmu. Sebaiknya kau di sini saja bersamaku, Anting. Tidak ada lagi yang aku miliki sekarang ini selain kau," selak Nyai Wandari, cepat-cepat memotong ucapan putrinya.
"Bu, orang-orang mungkin masih ada yang mengenali Paman Gaduk. Tapi tidak ada seorang pun yang bisa mengenaliku. Izinkan aku mencari kak Intan, Bu...," rengek Rara Anting.
"Jangan, Anting....Aku tidak mau kehilangan mu."
"Aku janji, Bu. Hanya satu pekan saja. Setelah itu, aku tidak akan keluar dari tempat ini. Berikan aku kesempatan, Bu. Aku akan mencari tahu kabar Kak Intan," desak Rara Anting.
Nyai Wandari terdiam. Memang sulit baginya untuk mencegah Rara Anting jika gadis itu sudah menginginkan sesuatu. Gadis ini memang keras. Dan, wataknya yang keras ini mengingatkan Nyai Wandari pada mendiang suaminya. Agaknya, tidak ada sedikit pun yang terbuang dari watak watak Ki Satria pada diri Rara Anting.
"Baiklah...," desah Nyai Wandari, mengalah.
"Oh, terima kasih, Bu...," ucap Rara Anting sambil langsung memeluk wanita yang melahirkannya ini.
"Tapi ingat, Anting. Satu pekan saja. Setelah itu kau jangan keluar lagi dari tempat ini," pesan Nyai Wandari, mengingatkan.
"Aku janji, Bu. Satu pekan saja," sahut Rara Anting dengan gembira.
"Dan sebaiknya pula kau membawa teman," usul Nyai Wandari.
"Untuk apa...?"
"Bekalmu belum cukup, Anting."
"Tapi, di antara yang lain, aku tidak pernah terkalahkan, Bu. Mereka semua masih berada di bawah kepandaianku. Hanya Paman Gaduk dan Ibu yang tidak bisa aku kalahkan," tolak Rara Anting, tegas.
"Hhh...!"
Nyai Wandari hanya menghembuskan napas panjang. Memang sulit baginya untuk bisa berdebat dengan Rara Anting. Gadis itu tidak akan mau mengubah pendiriannya. Kalau sudah mengatakan sesuatu, selamanya dia tidak akan mengubah atau menarik lagi ucapannya.
Nyai Wandari pun tidak bisa lagi mendesak. Dia hanya bisa berpesan agar anak bungsunya ini berhati-hati, karena akan sangat banyak rintangan dan bahaya yang akan dihadapinya, di alam bebas nanti.
* * * * *
--««¦ [ LIMA ] ¦»»--
Tring!
"Heh...?! Apa itu...?"
Intan Kumala terhenyak kaget ketika tiba-tiba telinganya mendengar dentingan halus. Cepat dia terlonjak bangkit berdiri. Sebentar dia menengadahkan kepalanya sedikit. Dicobanya untuk mendengarkan lebih jelas lagi suara yang membuatnya terkejut tadi.
"Suara pertarungan...," gumamnya, perlahan.
Beberapa saat Intan Kumala mencoba menentukan arah datangnya suara yang didengarnya barusan. Kemudian tubuhnya melesat begitu cepat bagai kilat. Sungguh ringan gerakannya, bagaikan daun kering tertiup angin. Dewi Beruang Putih terus berlari cepat disertai ilmu meringankan tubuhnya menuruni lereng bukit batu ini. Begitu ringan dan cepat larinya, sehingga kedua telapak kakinya bagaikan tidak menyentuh tanah sama sekali. Dan, sebentar saja dia sudah sampai di kaki bukit batu ini.
Tampak di sebuah padang rumput yang tidak seberapa luas, seorang gadis berbaju biru muda tengah bertarung melawan empat orang laki-laki bertubuh tinggi kekar yang masing-masing menggunakan senjata berupa golok. Gadis itu tampak kewalahan menghadapi serangan-serangan empat orang lawannya.
"Akh...!"
Jelas sekali terlihat gadis itu terpental sambil memekik keras begitu dadanya terkena tendangan salah seorang lawannya. Dia tersuruk jatuh mencium tanah. Dan, pada saat itu, seorang lawannya lagi sudah melompat sambil mengibaskan goloknya dengan cepat. Pada saat itu juga....
"Hiyaaat..!"
Sambil berteriak nyaring, Intan Kumala cepat melompat. Langsung dia melepaskan satu pukulan keras disertai dengan pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai tingkat tinggi. Begitu cepatnya serangan yang dilakukan Intan Kumala, sehingga laki-laki bertubuh tinggi tegap yang mengenakan baju hitam itu tidak dapat lagi menghindar.
Diegkh!
"Akh...!"
Keras sekali pukulan yang dilontarkan Intan Kumala. Akibatnya, laki-laki berbaju hitam itu terpental ke belakang sejauh dua batang tombak. Tubuhnya menghantam tanah dengan keras, lalu bergulingan beberapa kali. Tapi, dia cepat melompat bangkit berdiri, meskipun agak sedikit terhuyung. Sedangkan Intan Kumala sudah mendarat tepat di samping gadis berbaju biru muda yang mulai bergerak bangkit berdiri.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Intan Kumala sambil berpaling sedikit.
"Hanya dadaku sesak. Terima kasih...," sahut gadis itu, setelah bisa berdiri kembali.
Tangan kanan gadis berbaju biru muda itu terus memegangi dadanya yang sesak, akibat terkena tendangan keras bertenaga dalam cukup tinggi dari lawannya tadi.
Sementara itu, empat laki-laki bertubuh tinggi tegap dan kekar dengan wajah kasar yang mencerminkan kebengisan sudah bergerak mengepung dari empat arah. Golok-golok mereka bergerak-gerak perlahan melintang di depan dada.
"Kalau ada kesempatan, menyingkirlah. Biar mereka aku yang tangani," kata Intan Kumala.
Gadis cantik berbaju biru muda itu hanya menganggukkan kepalanya. Dia memang menyadari, tidak akan mungkin dirinya bisa bertahan lebih lama lagi kalau meneruskan pertarungan ini. Dadanya yang terkena tendangan keras bertenaga dalam cukup tinggi tadi masih terasa sangat nyeri dan sesak. Nafasnya pun tersendat-sendat.
"Sakit..?" tanya Intan Kumala sambil memandangi gadis di sampingnya ini.
"Iya," sahut gadis itu sambil meringis menahan sakit di dadanya.
Sebentar Intan Kumala memandangi gadis itu. Kemudian, tiba-tiba saja dia bergerak cepat menyambar pinggang gadis berbaju biru muda itu. Dan, secepat kilat pula dia melompat tinggi ke udara. Begitu cepat dan ringan gerakannya. Keempat orang pengepung pun tidak sempat lagi menyadari. Tahu-tahu, Intan Kumala sudah berada di luar kepungan, lalu segera menurunkan gadis berbaju biru muda yang berada dalam kepitannya. Pada saat itu, keempat orang laki-laki bertampang kasar dan bengis itu baru menyadari keadaan yang terjadi. Dan, mereka langsung berlompatan hendak mengepung kembali.
"Hiyaaat..!"
Pada saat yang bersamaan, Intan Kumala sudah begitu cepat bertindak, Sambil melompat dan berteriak nyaring, gadis yang menjuluki dirinya si Dewi Beruang Putih itu melontarkan beberapa pukulan secara beruntun yang begitu cepat, disertai pengerahan tenaga dalam yang tinggi. Tapi, empat orang laki-laki bertampang kasar itu memang bukanlah lawan yang sembarangan. Dengan manis sekali mereka berhasil menghindari serangan cepat yang dilancarkan Dewi Beruang Putih.
"Hup! Hiya! Hiya! Yeaaah...!"
Tiba-tiba saja Intan Kumala menjatuhkan tubuhnya ke tanah, lalu bergulingan beberapa kali. Dan, begitu melompat bangkit, secepat kilat dia mengibaskan tangan kanannya dengan cepat sekali sambil memutar tubuhnya. Tampak rumput-rumput kering, yang dicabutnya tadi ketika bergulingan, berhamburan. bagai anak-anak panah yang terlepas dari busurnya.
"Hup! Yeaaah...!"
"Hiyaaa...!"
Keempat lawan Dewi Beruang Putih kelabakan setengah mati menghindari rumput-rumput kering yang berhamburan bagai serbuan anak panah itu. Mereka mengebutkan goloknya dengan cepat untuk menyampok rumput-rumput yang berubah menjadi senjata mematikan itu. Dan, pada saat itu pula, Intan Kumala kembali dengan cepat melentingkan tubuhnya.
"Hiyaaat...!"
Cepat sekali Dewi Beruang Putih melesat. Dan, secepat itu pula dia melepaskan satu pukulan keras menggeledek disertai pengerahan tenaga dalam yang tinggi ke arah salah seorang lawannya. Begitu cepatnya serangan yang dilancarkan Dewi Beruang Putih itu, sehingga sulit sekali diikuti dengan pandangan mata biasa.
Dan....
Des!
"Aaakh...!"
"Hiyaaa.,.!"
Begitu berhasil menjatuhkan seorang lawan, Intan Kumala cepat melompat kembali dan melepaskan satu tendangan keras bertenaga dalam tinggi pada seorang lawan lainnya. Sungguh cepat luar biasa gerakan yang dilakukan Dewi Beruang Putih. Laki-laki tinggi besar dan berwajah kasar itu pun sulit untuk bisa menghindari lagi.
Begkh!
"Akh...!"
* * * * *
Gerakan-gerakan yang dilakukan Intan Kumala memang sangat sulit diikuti dengan pandangan mata biasa. Satu persatu dia menjatuhkan lawan-lawannya hingga berpelantingan sambil memekik keras. Pukulan serta tendangan yang dilontarkan Dewi Beruang Putih juga mengandung pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai tingkat tinggi. Dan, akibatnya sungguh luar biasa. Keempat laki-laki berwajah kasar itu langsung terjungkal dan tak mampu bangkit lagi setelah memperdengarkan erangan kecil.
"Hup...!"
Dengan sekali lesatan saja, Intan Kumala sudah berada dekat di depan gadis cantik berbaju biru muda. Sedangkan keempat laki-laki yang mengeroyoknya tadi sudah tidak ada lagi yang bisa berdiri. Keempat laki-laki bertubuh besar itu menggeletak tak bergerak-gerak lagi. Tapi, dari gerakan halus di dada masing-masing bisa dipastikan mereka masih hidup. Memang, pukulan serta tendangan yang dilepaskan Intan Kumala tidak sampai mematikan, walaupun disertai dengan pengerahan tenaga dalam yang tinggi tingkatannya. Karena, Intan Kumala sengaja tidak melakukannya pada bagian tubuh yang mematikan. Dia hanya ingin membuat keempat orang itu tidak sadarkan diri.
"Bagaimana dadamu? Masih sakit...?" tanya Intan Kumala.
"Sedikit," sahut gadis berbaju biru muda itu.
"Coba aku periksa."
Tanpa menunggu persetujuan gadis itu, si Dewi Beruang Putih segera menempelkan telapak tangan kanannya di dada gadis ini. Saat itulah dia menyalurkan hawa murni, yang membuat dada gadis itu terasa hangat. Hanya sebentar Intan Kumala menempelkan telapak tangan kanannya. Dia kemudian melangkah mundur dan duduk bersila di bawah pohon. Sedangkan gadis berwajah cantik yang mengenakan baju biru muda itu mengambil tempat di depan Dewi Beruang Putih. Dia merasakan dadanya tidak lagi sesak dan nyeri.
"Sepertinya aku pernah melihatmu...," kata Intan Kumala, agak ragu-ragu.
"Memang, kau pernah melihatku di padepokan ibu," sahut gadis itu.
"Padepokan ibu...?" Intan Kumala menyipitkan keningnya.
"Kau yang datang kemarin malam," kata gadis itu lagi.
Intan Kumala langsung terlonjak berdiri begitu teringat bahwa gadis inilah yang dilihatnya di rumah yang didatanginya kemarin malam. Dia ingat, gadis ini berdiri di dekat pintu ketika dia sedang berusaha meyakinkan Nyai Wandari kalau dia adalah anaknya.
"Aku sengaja keluar dari padepokan untuk bertemu denganmu, Kak Intan," kata gadis cantik berbaju biru muda yang tak lain adalah Rara Anting ini.
"Eh...?! Kenapa kau memanggilku Kak Intan...?" sentak Intan Kumala.
"Aku yakin kalau kau adalah kakakku. Kau adalah Intan Kumala, kakakku yang hilang lima belas tahun yang lalu," kata Rara Anting, mantap.
"Siapa namamu?" tanya Intan Kumala.
"Rara Anting."
Intan Kumala memandangi gadis cantik yang sesungguhnya baru berusia sekitar lima belas tahu ini. Tapi, tubuh Rara Anting yang bongsor memang membuatnya tampak sudah berusia lebih dari delapan belas tahun. Hanya sorot matanya yang masih menampakkan kekanak-kanakannya. Intan Kumala kembali duduk. Punggungnya di sandarkan ke batang pohon. Namun, pandangannya tetap tertuju pada gadis cantik yang masih tetap duduk di depannya ini.
"Bagaimana kau bisa begitu yakin bahwa aku kakakmu?" tanya Intan Kumala lagi.
"Waktu itu aku memang belum lahir, Kak. Aku masih berada di dalam kandungan ibu. Jadi aku bisa memaklumi kalau kau tidak bisa mengenaliku," jelas Rara Anting.
"Rara Anting, sebaiknya kau kembali saja kepada ibumu. Tidak ada gunanya kau menemuiku. Ibumu sendiri tidak mau mengakui aku sebagai anaknya," kata Intan Kumala, dengan suara agak tertahan.
Dewi Beruang Putih tampak menggigit-gigit bibirnya sendiri saat mengatakan bahwa ibunya tidak mau mengakui dia sebagai anaknya yang hilang lima belas tahun lalu. Saat itu Rara Anting menggeser duduknya lebih dekat, sehingga jaraknya hanya tinggal satu langkah lagi di depan Dewi Beruang Putih.
"Aku akan membantumu mencari pusaka itu, Kak. Kita akan bersama-sama menyerahkannya kepada ibu," kata Rara Anting, mantap.
"Tidak..," desah Intan Kumala seraya menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Kenapa tidak..?"
"Kau tidak tahu bahayanya mendapatkan Keris Naga Emas, Rara Anting," kata Intan Kumala.
"Keris itu sekarang berada di tangan orang yang memiliki tingkat kepandaian sangat tinggi. Aku sendiri belum tentu bisa memperolehnya dengan mudah. Kecuali, aku bisa mengalahkannya. Dan itu juga sulit, Rara Anting. Sebaiknya kau kembali saja ke padepokan. Biar aku sendiri yang berusaha merebut keris itu, ini persoalanku, kau tidak perlu melibatkan diri."
"Tapi, Kak..."
"Sudahlah, Rara Anting. Ibumu pasti cemas memikirkan mu. Jangan kau buat ibu menderita lagi. Sudah terlalu banyak penderitaan yang dialaminya", potong Intan Kumala dengan cepat.
Rara Anting tidak bersuara lagi. Entah kenapa, dia tidak bisa membantah semua ucapan yang dikatakan oleh Dewi Beruang Putih. Padahal, biasanya dia tidak mau kalah. Sementara itu Intan Kumala sudah berdiri lagi. Dia melangkah beberapa tindak menjauhi Rara Anting. Pandangannya tertuju lurus ke arah Desa Gebang yang terlihat begitu kecil dari kaki bukit batu ini.
"Pulanglah, Anting. Masih banyak yang harus aku kerjakan," kata Intan Kumala tanpa berpaling sedikit pun.
"Kak...."
Tapi, Intan Kumala sudah melesat begitu cepat, sehingga Rara Anting tidak sempat lagi meneruskan kata-katanya. Gadis itu hanya bisa diam. Dipandanginya arah kepergian Dewi Beruang Putih, yang dengan cepat sekali melesat bagai menghilang tertelan bumi.
"Aku yakin, kau adalah Intan Kumala, Kakakku," desah Rara Anting sambil bangkit berdiri.
Sebentar gadis cantik berbaju biru muda itu masih memandang ke arah kepergian Intan Kumala. Dia kemudian perlahan-lahan mengayunkan kakinya meninggalkan tepian hutan ini. Rara Anting pun terus berjalan perlahan-lahan. Dan, tanpa disadari dia justru berjalan menuju ke Desa Gebang.
* * * * *
Sementara itu Intan Kumala sendiri sudah berada di Desa Gebang. Pakaiannya yang compang-camping dan penuh tambalan tentu saja membuatnya menjadi perhatian semua orang di desa yang cukup besar ini. Tapi, Intan Kumala tidak mau peduli. Dia terus mengayunkan kakinya perlahan-lahan. Disusurinya jalan tanah berdebu yang seakan-akan membelah Desa Gebang ini menjadi dua bagian.
Ayunan kaki Dewi Beruang Putih tiba-tiba terhenti ketika melihat seorang pemuda tampan berbaju kulit harimau berada di dalam sebuah kedai kecil tidak jauh dari tempatnya berdiri. Di depan pemuda itu, tampak duduk seorang gadis cantik yang mengenakan baju berwarna merah muda. Dan, sebilah gagang pedang menyembul di punggung gadis itu. Seekor monyet kecil berbulu hitam terlihat pula duduk nangkring di pinggiran meja.
Pada saat itu, pemuda berbaju kulit harimau yang tak lain adalah Bayu dan lebih dikenal dengan julukan Pendekar Pulau Neraka itu menoleh ke arah jalan. Sesaat darah Pendekar Pulau Neraka terkesiap begitu melihat Intan Kumala berada di seberang jalan. Cepat dia berdiri dari kursinya. Bersamaan dengan itu, gadis cantik berbaju merah yang berada di depannya juga melihat ke arah jalan, lalu cepat-cepat berdiri mengikuti Pendekar Pulau Neraka.
"Sebentar aku kembali," kata Bayu, seraya mengambil Tiren dan meletakkan dipundak kanannya. Lalu, bergegas dia keluar dari kedai.
Intan Kumala, yang melihat Pendekar Pulau Neraka melangkah menghampirinya, segera mengayunkan kakinya cepat-cepat. Dia langsung menyeruak di antara kerumunan banyak orang yang hampir memadati jalan tanah berdebu ini. Sedangkan Bayu terus berjalan cepat dengan langkahnya yang lebar-lebar mengejar gadis berbaju compang-camping itu. Dan, di belakangnya tampak Ratna Wulan mengikuti.
"Nisanak, tunggu...!" seru Bayu seraya mempercepat langkahnya.
Namun, Intan Kumala malah semakin mempercepat langkah. Bahkan, kini dia berlari menghindari kejaran Pendekar Pulau Neraka. Tanpa berpikir panjang lagi, Bayu pun segera berlari semakin cepat. Tapi ketika sampai di perbatasan desa sebelah Timur, Bayu kehilangan gadis berpakaian pengemis yang dikejarnya itu. Dewi Beruang Putih tiba-tiba saja menghilang setelah melewati perbatasan Desa Gebang ini.
"Hhh! Ke mana dia...?" keluh Bayu sambil menghentikan langkahnya.
Pendekar Pulau Neraka mengedarkan pandangannya berkeliling. Tapi, tetap saja dia tidak melihat Dewi Beruang Putih. Bahkan, bayangannya gadis itu pun tidak terlihat sama sekali. Intan Kumala benar-benar seperti lenyap tertelan bumi. Sementara itu, Ratna Wulan sudah berada di samping pemuda berbaju kulit harimau ini.
"Sudahlah, Kakang. Tidak perlu kau bersusah payah mencari dia," kata Ratna Wulan.
Bayu tidak menyahut. Dia terus mengedarkan pandangannya berkeliling. Tapi, si Dewi Beruang Putih benar-benar lenyap begitu saja seperti tertelan bumi di perbatasan sebelah Timur Desa Gebang ini.
"Kau pasti terpengaruh oleh cerita perempuan tua di kedai kemarin, Kakang," kata Ratna Wulan lagi.
"Hampir semua orang di Desa Gebang ini bilang, anak gadis Ki Satria lima belas tahun lalu jatuh tercebur ke dalam Jurang Setan. Bukan hanya perempuan tua yang aneh itu saja yang bilang, Wulan," kata Bayu.
"Tapi...."
"Aku yakin, dia memang Intan Kumala, yang lima belas tahun lalu tercebur ke dalam Jurang Setan," potong Bayu cepat.
Ratna Wulan tidak bisa bicara lagi. Dia tahu, Pendekar Pulau Neraka sudah merasa pasti bahwa si Dewi Beruang Putih adalah Intan Kumala, gadis yang sudah dicarinya selama ini. Dan, gadis itulah satu-satunya pewaris Keris Naga Emas, yang diserahi oleh Ki Rahun dulu kepada Bayu (Baca serial Pendekar Pulau Neraka dalam kisah Tiga Pengemis Sakti).
"Kalau ternyata bukan dia pewarisnya, apa kau akan terus mencari pewaris Keris Naga Emas yang sebenarnya, Kakang?" tanya Ratna Wulan, ingin kepastian.
"Aku tidak bisa mengabaikan pesan orang yang sudah meninggal, Wulan. Sampai kapan pun, aku akan tetap mencari pewaris Keris Naga Emas. Bahkan kalau perlu aku akan berusaha mencari istri Ki Satria, yang belum kita ketahui nasibnya sampai saat ini. Sahut Bayu, tegas.
Trek!
Tiba-tiba saja terdengar suara ranting patah terinjak. Bayu cepat memutar tubuhnya. Ratna Wulan mengikuti gerak Pendekar Pulau Neraka. Dan, mereka langsung terkejut begitu melihat si Dewi Beruang Putih tahu-tahu sudah berdiri di atas punggung seekor ruang putih raksasa.
* * * * *
--««¦ [ ENAM ] ¦»»--
Dengan gerakan yang begitu ringan dan indah, si Dewi Beruang Putih melompat turun dari punggung beruang raksasa berbulu putih itu. Dan, tanpa menimbulkan suara sedikit pun, kakinya menjejak tanah tepat sekitar satu batang tombak di depan Pendekar Pulau Neraka. Dia seakan-akan ingin memamerkan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah mencapai tingkat tinggi. Sedangkan beruang raksasa berbulu putih itu tetap diam tak bergerak sedikit pun. Namun, sorot matanya yang begitu tajam tertuju langsung ke bola mata Pendekar Pulau Neraka.
"Kisanak, aku pernah mengatakan padamu bahwa aku akan membuktikan kalau diriku adalah Intan Kumala. Aku sudah bertemu dengan ibuku. Tapi aku tidak diakuinya sebelum mendapatkan bukti. Dan aku harus menyerahkan Keris Naga Emas sebagai bukti bahwa aku adalah anaknya. Kau mengerti maksudku, Kisanak..?" ujar Dewi Beruang Putih dengan nada suara yang terasa dingin sekali.
Bayu tersenyum, lalu melangkah beberapa tindak mendekati Dewi Beruang Putih. Dia berhenti setelah jaraknya tinggal sekitar lima langkah. Dan, dari balik sabuk yang membelit pinggangnya, dikeluarkannya sebilah keris yang berwarna kuning emas dan bercahaya indah.
"Memang tidak ada alasan lagi bagiku untuk tidak mempercayaimu, Nisanak. Terimalah pusaka warisan mu ini," kata Bayu dengan suara yang terdengar begitu lembut.
"Heh...?!"
Si Dewi Beruang Putih tampak terkejut. Sungguh dia tidak menyangka kalau pemuda berbaju kulit harimau itu bisa begitu cepat sekali mengubah pendiriannya. Bahkan, dia mau menyerahkan Keris Naga Emas begitu saja. Intan Kumala bukannya menerima keris yang disodorkan itu, tapi malah memandangi Bayu, seakan-akan tidak percaya kalau pemuda berbaju kulit harimau ini benar-benar mau menyerahkan keris itu.
"Ambillah.... Keris Naga Emas ini memang milikmu, Intan Kumala," kata Bayu sambil tetap menyodorkan Keris Naga Emas itu.
Intan Kumala masih, belum juga mau menerima keris itu. Dia benar-benar tidak mengerti akan perubahan sikap Bayu yang begitu cepat ini. Padahal, semula Bayu tidak percaya kalau dia adalah putri Ki Satria, pewaris tunggal Keris Naga Emas. Tapi sekarang, dengan mudah sekali Bayu ingin menyerahkan keris itu. Hal ini tentu saja menimbulkan berbagai pertanyaan di dalam benak Dewi Beruang Putih.
Wusss!
"Awaaas...!"
"Heh...?!"...
Teriakan Intan Kumala yang begitu keras dan tiba-tiba membuat Bayu tersentak kaget. Cepat-cepat dia melompat ke belakang ketika melihat sebuah bayangan hitam berkelebat begitu cepat ke arahnya. Pada saat yang bersamaan, Intan Kumala juga melompat ke belakang dan berputaran dua kali di udara.
"Hap!"
Indah sekali Bayu menjejakkan kakinya kembali di tanah setelah melakukan tiga kali putaran di udara. Tapi, mendadak dia langsung tersentak kaget setengah mati. Keris Naga Emas yang tadi berada dalam genggaman tangannya ternyata sudah tidak ada lagi.
"Hik hik hik...!"
"Oh...?!"
Bukan hanya Bayu yang tampak terkejut. Intan Kumala dan Ratna Wulan pun tersentak kaget ketika tiba-tiba terdengar suara tawa yang terkikik kering mengerikan. Suara tawa itu terdengar menggema, seakan-akan datang dari segala penjuru mata angina. Jelas, tawa itu dikeluarkan dengan pengerahan tenaga dalam yang tinggi sekali tingkatannya.
"Hup! Hiyaaa...!"
Tiba-tiba saja Bayu melesat ke arah sebatang pohon beringin yang sangat besar, tidak jauh dari Intan Kumala berdiri. Begitu cepatnya gerakan Pendekar Pulau Neraka, sehingga sulit diikuti dengan pandangan mata biasa.
Srak!
Baru saja Pendekar Pulau Neraka menembus daun-daun pohon yang rimbun itu, mendadak dia sudah terpental keluar dengan deras sekali. Beberapa kali pemuda berbaju kulit harimau itu melakukan putaran di udara. Dan, dengan manis sekali kedua kakinya menjejak tanah. Tepat pada saat itu, dari kerimbunan daun pohon meluncur sesosok tubuh berbaju serba hitam yang longgar. Cepat sekali sosok tubuh hitam itu meluncur turun dari atas pohon. Dan, tahu-tahu di depan Bayu sudah berdiri seorang perempuan tua yang berjubah panjang dan longgar berwarna hitam pekat. Sebatang tongkat berkepala tengkorak tampak tergenggam di tangan kanannya. Sedangkan tangan kirinya memegang Keris Naga Emas. Wajahnya yang berkeriput terlihat pucat seperti mayat. Namun, sinar matanya yang merah bersorot begitu tajam.
Sementara itu Intan Kumala tertegun diam memandangi perempuan tua bungkuk berjubah hitam yang tiba-tiba muncul itu. Ingatannya langsung kembali ke masa lima belas tahun silam, di saat dia baru berusia sekitar empat tahun. Perempuan tua inilah yang datang memperingatkan ayahnya dan hendak mengambilnya sebelum terjadi peristiwa yang menewaskan Ki Satria. Intan Kumala ingat, perempuan tua bungkuk dan berjubah hitam itu adalah Ratu Mayat Bukit Tengkorak.
"Nek, bukankah kau yang bernama Ratu Mayat Bukit Tengkorak...?" tanya Intan Kumala, ingin meyakinkan hatinya.
"Heh...?! Dari mana kau tahu...?" sentak perempuan tua berjubah hitam itu, agak terkejut.
"Aku tahu siapa kau, Nek. Kau yang datang pada ayahku dan hendak mengambil ku lima belas tahun yang lalu. Tapi..., bukankah kau sudah mati oleh senjata rahasia...?" ujar Intan Kumala, agak ragu-ragu.
"Hik hik hik...! Tidak kusangka, rupanya kau masih hidup, Bocah. Hik hik hik...! Bagus, aku senang melihat kau masih hidup. Itu berarti kau bisa mewarisi ilmu-ilmuku, Intan Kumala." Ratu Mayat Bukit Tengkorak tampak gembira.
Dia kemudian melangkah menghampiri Dewi Beruang Putih. Tawanya yang terkekeh terus terdengar sumbang menyakitkan telinga. Sementara itu Intan Kumala masih tetap diam dan tak bergeming sedikit pun. Sedangkan Bayu dan Ratna Wulan hanya bisa memandang dengan sinar mata yang memancarkan ketidakmengertian.
"Senjata-senjata rahasia itu memang mengandung racun. Tapi tidak ada artinya bagiku, Intan. Waktu itu aku hanya pingsan sebentar," kata Ratu Mayat Bukit Tengkorak.
"Sayang.... Kalau saja ayahmu mau mendengar kata-kataku, tidak akan mungkin terjadi malapetaka itu."
Saat itu Intan Kumala tampak gembira, karena masih ada orang yang mengenalinya. Dia melirik sedikit pada Pendekar Pulau Neraka yang berdiri tidak jauh darinya. Saat itu Bayu juga tengah memandang pada Dewi Beruang Putih yang sesungguhnya berwajah cantik. Dan, tanpa disadari, pandangan mata mereka bertemu pada satu titik. Entah kenapa, saat itu juga Intan Kumala merasakan adanya desiran pada aliran darahnya. Tapi cepat-cepat dia segera memalingkan mukanya dan memandang kembali pada Ratu Mayat Bukit Tengkorak.
"Ini milikmu. Terimalah...." Ratu Mayat Bukit Tengkorak menyerahkan Keris Naga Emas yang tadi dirampasnya dari tangan Bayu.
Tapi, Intan Kumala tidak langsung menerima senjata pusaka warisan terakhir ayahnya itu. Dia malah melirik lagi pada Pendekar Pulau Neraka. Dan, rupanya pemuda berbaju kulit harimau itu bisa mengetahui lirikan Dewi Beruang Putih ini. Sambil tersenyum, dia menganggukkan kepalanya sedikit. Hampir tidak terlihat gerakan pada anggukan kepala Pendekar Pulau Neraka itu.
"Terima kasih," ucap Intan Kumala seraya menerima Keris Naga Emas dari tangan perempuan tua bertubuh bungkuk itu.
Sebentar Dewi Beruang Putih memandangi keris bergagang kepala naga dan berwarna kuning keemasan itu. Kemudian diselipkannya keris itu ke balik ikat pinggangnya. Ratu Mayat Bukit Tengkorak tampak tersenyum-senyum melihat Keris Naga Emas sudah tersimpan di balik ikat pinggang Intan Kumala.
"Kau sudah bertemu dengan ibumu, Intan?" tanya Ratu Mayat Bukit Tengkorak.
Intan Kumala tidak langsung menjawab. Kepalanya bergerak tertunduk saat mendengar pertanyaan perempuan tua berwajah pucat seperti mayat itu. Namun, tak berapa lama kemudian dia sudah mengangkat kepalanya kembali. Sebentar ditatapnya wajah keriput yang pucat itu. Kemudian kepalanya dianggukkan sedikit.
"Lalu?" desak Ratu Mayat Bukit Tengkorak.
Intan Kumala masih belum juga membuka mulutnya. Saat itu juga dia merasakan lidahnya menjadi kelu, sulit untuk diajak bicara. Entah apa yang akan dikatakannya pada perempuan tua ini. Karena, tidak mungkin baginya untuk mengatakan bahwa ibunya tidak mau menerima dirinya tanpa membawa Keris Naga Emas.
"Ada apa, Intan?" tanya Ratu Mayat Bukit Tengkorak.
Kelopak mata perempuan tua itu tampak menyipit ketika melihat raut wajah Dewi Beruang Putih yang kelihatan murung. Sementara itu Bayu, yang sejak tadi juga memperhatikan, merasakan ada sesuatu yang tersembunyi yang membuat Intan Kumala tampak murung begitu. Perlahan-lahan pemuda tampan itu mendekati, lalu berdiri di samping Ratu Mayat Bukit Tengkorak. Sedangkan perempuan tua berjubah hitam yang wajahnya pucat bagai mayat itu hanya melirik sedikit pada Pendekar Pulau Neraka.
"Katakan padaku, Intan. Kau sudah menemui ibumu, bukan...?" desak Ratu Mayat Bukit Tengkorak.
Intan Kumala menganggukkan kepalanya.
"Lalu, apa yang terjadi?" desak Ratu Mayat Bukit Tengkorak lagi.
"Ibu tidak mau menerima kehadiranku," jawab Intan Kumala, pelan sekali.
"Heh...?! Benar begitu...?" sentak Ratu Mayat Bukit Tengkorak, terkejut.
Bukan hanya perempuan tua itu yang terkejut mendengar pengakuan Dewi Beruang Putih. Tapi, Bayu yang sejak tadi diam saja juga tersentak kaget mendengarnya. Dia sampai memandangi wajah gadis itu dalam-dalam, seakan-akan ingin mencari kesungguhan dari ucapannya barusan. Sedangkan Intan Kumala hanya mengangguk. Lalu kepalanya kembali tertunduk menekuri ujung jari kakinya.
Keheningan langsung menyelimuti mereka semua. Tak ada lagi yang membuka suara. Bukan hanya Ratu Mayat Bukit Tengkorak yang tidak mengerti dengan sikap Nyai Wandari. Bayu juga tidak habis mengerti, kenapa Nyai Wandari tidak mau mengakui Intan Kumala sebagai anaknya. Apakah perpisahan yang begitu lama telah menjadikan Nyai Wandari lupa pada anak gadisnya ini?
Sulit untuk mencari jawaban dari semua pertanyaan yang bergayut di kepala mereka saat itu. Sedangkan Intan Kumala sendiri hanya diam, seperti menerima saja semua yang telah terjadi pada dirinya.
* * * * *
Nyala api unggun yang cukup besar membuat udara malam yang dingin ini sedikit terusir. Tidak jauh dari api unggun itu, terlihat Ratu Mayat Bukit Tengkorak tengah berbincang-bincang dengan Ratna Wulan. Dan seekor monyet kecil tampak duduk di pangkuan Ratna Wulan sambil menikmati pisang.
Sementara itu agak jauh di suatu tempat yang cukup gelap dan padat ditumbuhi pepohonan, tampak Bayu berdiri tegak di depan Intan Kumala. Gadis berjuluk Dewi Beruang Putih itu tidak lagi kelihatan kumal dan kotor. Meskipun pakaian putih yang dikenakannya masih tetap compang-camping dan penuh tambalan, terlihat rambutnya tidak lagi dibiarkan meriap tak teratur. Dan, kecantikannya kini sudah bisa jelas dipandang.
"Kenapa kau tidak mengatakan hal yang sebenarnya pada Ratu Mayat, Intan?" ujar Bayu, dengan suara yang terdengar pelan.
"Entahlah.... Aku sepertinya belum percaya penuh padanya," sahut Intan Kumala, agak mendesah.
"Tapi, kenapa kau mengatakannya padaku?"
Intan Kumala tidak bisa menjawab. Entah kenapa, si Dewi Beruang Putih jadi begitu mudah mempercayai Pendekar Pulau Neraka. Bahkan, dia telah menceritakan semua tentang pertemuannya dengan ibunya, termasuk permintaan ibunya agar dia membawa Keris Naga Emas kalau ingin diakui sebagai anak. Hal inilah yang tidak diceritakan Intan Kumala kepada Ratu Mayat Bukit Tengkorak.
"Lalu, kau akan ke sana lagi dan menyerahkan Keris Naga Emas itu kepada ibumu?" tanya Bayu lagi.
"Aku..., aku jadi ragu-ragu," sahut Intan Kumala, bimbang.
"Kenapa?"
"Aku memang merasakan adanya getaran saat melihatnya, Bayu. Tapi aku merasa asing, dan...," ucapan Intan Kumala terputus.
"Kau merasa, ada sesuatu yang lain pada ibumu, Intan?" tanya Bayu lagi.
"Entahlah.... Aku tidak tahu," sahut Intan Kumala dengan suara tetap mendesah.
Tiba-tiba saja Intan Kumala terisak. Bayu langsung terkejut melihat gadis yang selama ini dikenalnya begitu tegar dan keras tiba-tiba saja mengeluarkan air mata. Dan, tidak ada yang bisa dilakukan Pendekar Pulau Neraka selain merengkuh gadis itu ke dalam pelukannya.
Namun, tangisan Intan Kumala bukannya berhenti, tapi malah menjadi-jadi. Dia menyembunyikan wajahnya di dada Bayu yang bidang dan sedikit berbulu. Dan, tidak ada lagi yang bisa dilakukan oleh Bayu. Dia membiarkan saja dadanya dibasahi air mata, Cukup lama juga Pendekar Pulau Neraka membiarkan Intan Kumala menangis di dadanya. Dia baru melepaskan pelukannya setelah tidak lagi mendengar isak tangis gadis itu.
"Rasanya tidak ada lagi gunanya aku hidup. lbu kandungku saja tidak mau menerimaku sebagai anaknya," keluh Intan Kumala, setelah bisa menguasai dirinya lagi.
"Tidak, Intan. Masih banyak yang bisa kau lakukan," hibur Bayu.
Intan Kumala memandangi wajah tampan Pendekar Pulau Neraka. Begitu dekatnya wajah mereka, sehingga desah napas mereka terasa begitu hangat menerpa kulit wajah. Beberapa saat keduanya terdiam dan hanya saling pandang.
"Bayu..., boleh aku memanggilmu dengan sebutan Kakang...?" pinta Intan Kumala.
"Kenapa tidak? Aku senang kalau kau mau memanggilku begitu," sambut Bayu seraya memberikan senyumnya yang manis.
Intan Kumala tersenyum kecil. Jarak mereka masih begitu dekat, seakan-akan sama-sama tidak mau menjauh. Intan Kumala sendiri seperti tidak menyadari bahwa sejak tadi tangannya digenggam Pendekar Pulau Neraka. Dan, genggaman itu membuatnya seperti mendapat kekuatan dihati. Kehangatan genggaman tangan Bayu membuat Intan Kumala kembali tegar. Isak tangisnya pun benar-benar hilang. Hanya sisa-sisa air matanya yang masih terlihat membasahi wajahnya.
"Kakang, boleh aku tahu kenapa kau selalu mencari dan memperhatikan aku...?" tanya Intan Kumala setelah beberapa saat terdiam.
"Aku mendapat pesan dari seseorang untuk menyerahkan Keris Naga Emas pada pemiliknya. Orang itu hanya menyebutkan nama Intan Kumala. Dan dari sekian banyak orang yang aku tanyai, aku merasa pasti kalau kau adalah pewaris Keris Naga Emas. Itu sebabnya kenapa aku selalu mencarimu, Intan," jelas Bayu dengan suara yang lembut.
"Sekarang Keris Naga Emas sudah ada padaku. Lalu, apa yang akan kau lakukan?"
Bayu hanya mengangkat bahunya. Dia tidak segera menjawab pertanyaan Dewi Beruang Putih. Saat ini lelaki berbaju kulit harimau itu memang tidak tahu, apa yang akan dilakukannya. Mungkin dia akan melanjutkan pengembaraannya lagi. Dan, dia akan melakukan perjalanan yang tiada ujung akhirnya, yang begitu panjang dan melelahkan. Tapi, memang sudah demikianlah garis perjalanan hidup seorang pendekar kelana seperti Pendekar Pulau Neraka. Pendekar kelana seperti ini tidak akan pernah bisa hidup dalam satu tempat. Dia akan selalu berpindah-pindah dan selalu menentang maut.
"Kakang, kau tadi bilang bahwa Keris Naga Emas kau dapatkan dari seseorang. Boleh aku tahu siapa orangnya...?" Intan Kumala kembali membuka suara.
"Ki Rahun," sahut Bayu.
"Paman Rahun...?!" Intan Kumala tampak agak terkejut mendengar nama yang barusan disebut Bayu.
"Iya, dia mengaku bernama Ki Rahun. Kau kenal dia, Intan...?"
"Paman Rahun adalah salah seorang pekerja ayahku yang sudah dipercaya. Dia yang membawa aku dan ibu keluar dari rumah. Oh... kenapa Keris Naga Emas ada padanya...?"
"Katanya, dia mencuri keris itu dari ayahmu. Tapi dia akhirnya menyadari kalau dirinya hanya diperalat oleh Ki Laksa. Dia mencoba membalas, karena dia pun kemudian dikhianati. Tapi nasib menentukan lain. Ki Rahun tewas akibat luka-lukanya terlalu parah, Sayang..., aku tidak bisa menyelamatkannya," ujar Bayu, pelan.
"Akh..., kenapa begitu banyak orang yang berkhianat...?" keluh Intan Kumala dengan nada suara yang terdengar mendesah.
Bayu diam saja. Dan, keduanya kembali terdiam. Namun mata mereka kini berpandangan. Perlahan-lahan Bayu melingkarkan tangannya ke pinggang yang ramping ini, kemudian merengkuhnya dengan lembut ke dalam pelukan. Sama sekali Intan Kumala tidak menolak. Dan, saat itu dia merasakan dadanya menggemuruh.
"Mhhh...."
Perlahan-lahan kedua kelopak mata Intan Kumala terpejam saat Bayu mulai mendekatkan wajahnya. Semakin dekat ke wajah Bayu, semakin terasa pula kehangatan dari desah nafasnya. Dan, tiba-tiba saja seluruh tubuh gadis itu menggeletar ketika merasakan sentuhan lembut dan hangat di bibirnya.
"Ohhh...," desah Intan Kumala.
Merasakan tidak ada perlawanan dari gadis ini, Bayu langsung melumat bibir yang selalu merah menggairahkan itu. Sedangkan Intan Kumala hanya mendesah dan menggumam kecil. Dia merasakan ada sesuatu yang aneh di dalam dirinya, sesuatu yang sangat asing dan belum pernah dirasakannya selama ini. Tapi, seperti ada suatu dorongan kuat di dalam dirinya yang membuat dia melingkarkan tangannya di leher Pendekar Pulau Neraka.
Intan Kumala pun semakin mendesakkan tubuhnya lebih ke dalam pada pelukan, pemuda tampan itu. Sementara jari-jari tangan Bayu mulai bergerak menjelajahi tubuh gadis itu, Intan Kumala menggelinjang di dalam pelukan pemuda ini, sama sekali si Dewi Beruang Putih tidak menyadari kalau jari-jari tangan Pendekar Pulau Neraka dengan lincah sekali mulai melepaskan pakaiannya. Dan, ketika Bayu melepaskan pagutannya....
"Oh...?!"
Intan Kumala seketika tersentak. Dia langsung menyurukkan kepalanya ke dada Bayu yang bidang dan tegap. Wajahnya seketika bersemu merah. Entah apa yang ada di dalam dadanya. Seumur hidupnya, belum pernah dia merasakan hal seperti tadi, sesuatu yang membuatnya menggeletar. Dia seperti tidak peduli bahwa pakaiannya sebagian sudah terbuka hingga menampakkan kulit tubuhnya yang putih dan halus. Baru saja Bayu mengecup pundak gadis itu, tiba-tiba....
Srek!
* * * * *
Bayu segera menoleh ketika mendengar suara bergemerisik. Dan, dia tampak terpana begitu tahu-tahu Ratna Wulan muncul dari kegelapan malam. Gadis itu juga terbeliak lebar. Dia terkejut setengah mati melihat Intan Kumala berada di dalam pelukan Pendekar Pulau Neraka. Beberapa saat Ratna Wulan terpaku diam dengan mata terbeliak dan mulut ternganga lebar. Dia seakan-akan tidak percaya dengan apa yang disaksikannya saat ini. Kemudian gadis itu cepat-cepat memutar tubuhnya dan langsung berlari cepat menjauhi tempat itu.
Pada saat itu juga, Intan Kumala baru melepaskan pelukannya. Dia sempat melihat sedikit bagian belakang tubuh Ratna Wulan sebelum menghilang ditelan kegelapan malam dan rimbunnya pepohonan. Bayu cepat-cepat melepaskan pelukannya pada Intan Kumala. Tampak jelas sekali di wajahnya bahwa dia begitu serba salah. Sebentar dia memandang Intan Kumala, dan sebentar kemudian menatap ke arah Ratna Wulan yang sudah tidak terlihat lagi.
"Ayo kita kembali, Intan," ajak Bayu, langsung mengusir kekakuan yang menghinggapi dirinya.
"Siapa itu tadi?" tanya Intan Kumala, yang memang tidak sempat melihat jelas.
"Ratna Wulan," sahut Bayu.
Intan Kumala yang baru saja melangkah mengikuti Pendekar Pulau Neraka seketika berhenti berjalan. Dan, Bayu juga ikut berhenti. Dia memutar tubuhnya menghadap pada Dewi Beruang Putih. Pandangan mata mereka langsung bertemu begitu dalam.
"Dia..., dia melihat...," suara Intan Kumala tergagap dan terputus.
"Mungkin," sahut Bayu seraya mengangkat bahunya sedikit.
Intan Kumala memandang Pendekar Pulau Neraka dalam-dalam. Kemudian dia bergegas berlari meninggalkan pemuda berbaju kulit harimau ini.
"Intan, tunggu...!" teriak Bayu.
Cepat-cepat Pendekar Pulau Neraka mengejar. Sedangkan Intan Kumala sudah jauh menembus lebatnya hutan yang gelap ini.
* * * * *
--««¦ [ TUJUH ] ¦»»--
"Sudah kau cari ke sungai, Bayu?" tegur Ratu Mayat Bukit Tengkorak.
"Sudah. Dia tidak ada di sana," sahut Bayu, lesu.
"Aneh.... Kenapa dia pergi begitu saja...?" desah Ratu Mayat Bukit Tengkorak, seperti bertanya pada diri sendiri.
Tentu saja Bayu dan Intan Kumala tidak menjawab pertanyaan yang bernada menggumam itu. Mereka hanya saling melemparkan pandang. Mereka tahu, kenapa Ratna Wulan pergi tanpa pamit. Gadis itu pasti merasa marah, kecewa, dan entah apa lagi, setelah melihat Intan Kumala berada di dalam pelukan Bayu dalam keadaan setengah telanjang.
"Mungkin dia punya urusan sendiri yang tidak mau dicampuri, Bayu. Apa Ratna Wulan pernah cerita sesuatu padamu, Bayu?" ujar Ratu Mayat Bukit Tengkorak.
"Tidak. Dia jarang bicara, Nek," sahut Bayu tenang.
"Hm..., gadis itu memang pendiam. Dia jarang sekali bicara kalau tidak ditanya," gumam Ratu Mayat Bukit Tengkorak, seperti bicara pada dirinya sendiri.
Bayu dan Intan Kumala diam saja. Sambil menghembuskan napas panjang, Pendekar Pulau Neraka kemudian bangkit berdiri. Dia mengulurkan tangan pada Intan Kumala. Dibantunya gadis itu berdiri. Sedangkan Tiren langsung melompat naik ke pundak Pendekar Pulau Neraka. Monyet kecil berbulu hitam ini juga tidak bersikap seperti biasanya. Tidak terdengar sedikit pun celotehnya yang ribut menyakitkan telinga. Dia seakan-akan mengetahui kegundahan yang sedang terjadi pada diri Pendekar Pulau Neraka.
"Ayo, kita berangkat," ajak Bayu, memecah kebisuan yang terjadi di antara mereka.
"Apa tidak sebaiknya kita cari Ratna Wulan dulu, Kakang...?" usul Intan Kumala, yang merasa bersalah terhadap kepergian Ratna Wulan yang tanpa pamit.
Bayu tidak menjawab. Dia menatap pada Ratu Mayat Bukit Tengkorak. Sedangkan wanita tua itu malah mengarahkan pandangannya ke arah lain, seakan-akan tidak ingin mencampuri urusan ini. Dia seperti membiarkan Pendekar Pulau Neraka memutuskannya sendiri.
"Aku akan mencarinya kalau urusanmu sudah selesai," kata Bayu.
Intan Kumala hanya mengangkat bahunya sedikit. Sedangkan Bayu sudah mengayunkan kakinya mengikuti Ratu Mayat Bukit Tengkorak yang sudah lebih dulu berjalan tiga batang tombak di depan. Intan Kumala kemudian mensejajarkan langkahnya di samping Pendekar Pulau Neraka. Tak ada yang berbicara sedikit pun. Tapi, sesekali Intan Kumala terlihat melirik ke wajah Pendekar Pulau Neraka di sampingnya.
"Kau masih memikirkannya, Kakang?" tegur Intan Kumala.
"Hm...."
Bayu hanya menggumam. Dia melirik pada gadis di sebelahnya ini. Kakinya terus terayun melangkah dengan teratur. Sedangkan Intan Kumala terus memandang wajah tampan Pendekar Pulau Neraka. Dia tahu kalau Bayu masih memikirkan Ratna Wulan yang pergi begitu saja tanpa pamit. Entah kenapa, ada perasaan tidak senang di hati Intan Kumala melihat Bayu diam saja dengan kening terus berkerut.
Timbul dugaan di dalam kepalanya bahwa Pendekar Pulau Neraka masih terus memikirkan Ratna Wulan. Rasa tidak senang gadis cantik pewaris Keris Naga Emas ini timbul dan rasa cemburu. Intan Kumala sendiri tidak tahu, kenapa dia bisa mencemburui Ratna Wulan. Padahal, baru semalam dia merasa begitu dekat dengan pendekar tampan ini. Sedangkan sebelumnya, Bayu sudah bersama-sama dengan Ratna Wulan.
"Dia tentu sangat berarti bagimu, Kakang," ujar Intan Kumala dengan nada suara yang terdengar agak sinis.
"Aku merasa bertanggung jawab padanya, Intan," sahut Bayu, mencoba meminta pengertian.
Pendekar Pulau Neraka merasakan adanya nada kecemburuan di dalam suara Intan Kumala barusan. Bayu langsung menyadari bahwa gadis ini sudah terpikat padanya. Entah terpikat karena apa. Mungkin karena ketampanannya, atau mungkin karena tingkat kepandaian yang dimilikinya begitu tinggi. Tapi yang jelas, Bayu tahu bahwa Intan Kumala mencemburui Ratna Wulan. Dan, itu jelas sekali tersirat dari nada suaranya yang terdengar sinis tadi.
"Bagiku, Ratna Wulan bukan orang lain lagi. Dia kuanggap adikku sendiri. Orang tua angkatnya menitipkan padaku sampai dia bisa bertemu kembali dengan orang tua kandungnya. Aku sudah berjanji akan selalu menjaganya," ujar Bayu mengatakan yang sebenarnya tentang Ratna Wulan.
"Oh, benarkah...?" desah Intan Kumala, setengah tidak percaya.
"Orang tua angkatnya adalah adik angkat ayahku. Jadi tidak berlebihan kalau aku juga menganggapnya adik. Dan aku masih mempunyai tanggung jawab yang tidak kecil. Dia harus kupertemukan dengan orangtua kandungnya," sambung Bayu.
Intan Kumala terdiam. Bayu juga tidak bicara lagi. Mereka terus berjalan mengikuti langkah kaki Ratu Mayat Bukit Tengkorak, yang berjalan sekitar satu batang tombak di depan. Tidak ada lagi yang berbicara.
Dan, tidak ada yang tahu, apa yang ada di dalam hati masing-masing. Tapi, sesekali tampak Intan Kumala melirik dan memandangi wajah Pendekar Pulau Neraka yang berjalan di sampingnya. Entah apa yang ada di dalam kepalanya saat ini, hanya dia sendiri yang tahu. Dan, dia sendiri juga tidak bisa menebak isi hati Pendekar Pulau Neraka.
* * * * *
Matahari sudah berada di atas kepala. Bayu, Intan Kumala, dan Ratu Mayat Bukit Tengkorak pun sudah sampai di depan sebuah bangunan besar yang dikelilingi pagar gelondongan kayu. Bangunan besar ini menyerupai sebuah benteng pertahanan. Di dalam bangunan seperti benteng itulah ibu kandung Intan Kumala tinggal.
"Pertama kali aku datang ke sini, ada dua orang penjaga di depan pintu," gumam Intan Kumala. Tapi kenapa sekarang tidak ada penjaga seorang pun...?"
Keadaan bangunan itu memang kelihatan sepi, seperti tidak berpenghuni. Tapi, Bayu mendengar suara-suara orang dari dalam pagar benteng yang tinggi dan kokoh itu. Pendengarannya memang tajam, sehingga bisa mengetahui kalau di dalam pagar benteng itu ada orang.
"Coba, aku lihat dulu," kata Ratu Mayat Bukit Tengkorak.
Tapi, baru saja dia berjalan beberapa langkah, tiba-tiba saja dari atas pagar benteng itu bermunculan orang-orang yang siap dengan anak panah terpasang di busur. Perempuan tua bertubuh bungkuk dan berjubah hitam panjang itu langsung menghentikan ayunan kakinya. Sekitar tiga puluh orang di atas pagar benteng itu tampak mengarahkan panah kepadanya.
"Hm..., sikap mereka seperti menyambut musuh saja," gumam Bayu, agak mendesis.
"Biar aku bicara dengan mereka, Kakang," kata Intan Kumala.
Belum juga Bayu menjawab, si Dewi Beruang Putih sudah melangkah ke depan. Dilewatinya Ratu Mayat Bukit Tengkorak Sementara itu Bayu juga melangkah. Tapi, dia berhenti setelah sampai di samping perempuan tua bungkuk berjubah hitam itu. Sedangkan Intan Kumala sudah dekat sekali dengan pintu. Sekitar satu batang tombak lagi jaraknya. Dan yang pasti, gadis itu sudah berada di dalam jangkauan panah yang terarah kepadanya.
"Dengar...! Kami datang bukan sebagai musuh. Kami ingin bertemu dengan Nyai Wandari...!"
Lantang sekali suara Intan Kumala. Tapi, tak ada sahutan sedikit pun dari orang orang yang berada di atas pagar benteng itu. Mereka tetap mengarahkan ujung anak panah masing-masing kepada Dewi Beruang Putih. Sedangkan gadis itu tetap berdiri tegak dengan kepala agak menengadah ke atas. Dipandanginya orang-orang yang berada di atas pagar benteng dengan anak panah terpasang pada busurnya. Dan, tampaknya mereka tinggal menunggu perintah untuk melepaskan anak-anak panah itu. Intan Kumala kemudian melangkah lagi beberapa tindak.
"Katakan pada pimpinanmu. Aku... Intan Kumala yang datang membawa pesanannya!" seru Intan Kumala lagi, masih tetap lantang karena disertai dengan pengerahan tenaga dalam yang cukup tinggi.
Begitu suara Intan Kumala menghilang dari pendengaran, tampak pintu gerbang yang tebal dan kokoh itu bergerak terbuka perlahan-lahan. Dan, dari balik pintu itu keluar seorang gadis cantik berbaju biru muda, yang didampingi seorang laki-laki setengah baya. Di belakang mereka, terlihat sekitar sepuluh orang yang menyandang senjata tombak, pedang, dan golok di pinggang. Tapi, semuanya tetap berdiri di ambang pintu.
"Kak Intan, cepat masuk...!" seru gadis cantik berbaju biru muda itu lantang. Intan Kumala berpaling ke belakang. Sebentar kedua matanya menatap pada Ratu Mayat Bukit Tengkorak dan Pendekar Pulau Neraka. Kemudian dia mengayunkan kakinya melangkah. Bayu dan Ratu Mayat Bukit Tengkorak bergegas mengikuti. Gadis cantik berbaju biru muda yang tak lain adalah Rara Anting, itu pun bergegas memeluk Intan Kumala. Langsung saja dia memberikan ciuman di pipi si Dewi Beruang Putih.
"Ayo masuk...," ajak Rara Anting.
Pintu gerbang itu segera tertutup kembali begitu mereka sudah berada di dalam. Rara Anting dan lelaki setengah baya yang tak lain adalah Paman Gaduk membawa mereka masuk ke bangunan utama yang berdiri di tengah-tengah pagar benteng ini. Di dalam bangunan itu sudah menunggu Nyai Wandari. Perempuan berusia setengah baya yang masih kelihatan cantik itu mempersilakan tamu-tamunya ini duduk.
Tidak ada kursi ataupun meja di dalam ruangan yang berukuran cukup besar ini. Mereka semua duduk bersila di lantai kayu yang beralaskan permadani tebal berwarna merah muda yang lembut. Rara Anting duduk di samping si Dewi Beruang Putih. Mereka duduk tepat di depan Nyai Wandari. Sedangkan Bayu dan Ratu Mayat Bukit Tengkorak berada di sebelah kanan, agak di belakang Nyai Wandari.
"Aku bawa Keris Naga Emas yang kau inginkan, Nyai," kata Intan Kumala dengan nada suaranya agak ditekan.
Terasa canggung sekali suara dan sikap Dewi Beruang Putih. Gadis itu mengeluarkan Keris Naga Emas dari balik ikat pinggangnya. Kemudian, keris itu diletakkannya dengan hati-hati di depan Nyai Wandari. Perempuan setengah baya yang masih kelihatan cantik itu menjumput Keris Naga Emas. Beberapa saat dia memperhatikan, lalu bibirnya tampak tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepala. Kemudian dia memandang Intan Kumala dalam-dalam. Dan, tiba-tiba saja kedua bola matanya terlihat berkaca-kaca.
"Anakku...," desis Nyai Wandari, mendesah.
"Oh, Ibu...."
Intan Kumala tidak dapat lagi menahan perasaan hatinya. Dia langsung menghambur dan memeluk ibunya yang sudah lima belas tahun terpisah dengannya ini. Saat itu juga, semua orang yang berada di dalam ruangan ini menundukkan kepala. Mereka seakan-akan tidak sanggup menyaksikan pertemuan yang begitu mengharukan ini. Rara Anting pun sampai menitikkan air mata, walaupun bibirnya yang bergetar terlihat menyunggingkan senyum.
Entah berapa lama Intan Kumala dan ibunya berpelukan saling menumpahkan seluruh kerinduannya yang selama ini terpendam dalam di hati. Perlahan-lahan Nyai Wandari melepaskan pelukannya. Dipandanginya wajah Intan Kumala dalam-dalam, seakan-akan ingin menuntaskan kerinduannya. Sedangkan Intan Kumala mengusap air mata yang membasahi seluruh wajahnya. Dia kembali duduk bersila di samping Rara Anting. Kesunyian masih terjadi beberapa saat lamanya di dalam ruangan yang berukuran cukup besar ini.
* * * * *
"Intan, bagaimana kau bisa mendapatkan Keris Naga Emas ini?" tanya Nyai Wandari setelah bisa menenangkan dirinya kembali.
"Keris itu ada pada Kakang Bayu," sahut Intan Kumala, sambil melirik pemuda tampan berpakaian kulit harimau.
Nyai Wandari langsung menatap pada pemuda tampan berbaju kulit harimau itu. Dan, sesaat kemudian pandangannya tertuju langsung pada perempuan tua bertubuh bungkuk dan berjubah panjang hitam yang duduk di samping Bayu. Tapi Nyai Wandari cepat-cepat mengalihkan pandangannya kembali kepada Bayu begitu Ratu Mayat Bukit Tengkorak membalas tatapannya dengan tidak kalah dalamnya.
"Terima kasih, Anak Muda," ucap Nyai Wandari.
Bayu hanya tersenyum. Kepalanya sedikit terangguk. Sedangkan Ratu Mayat Bukit Tengkorak diam saja. Sedikit pun perempuan tua itu tidak membuka suara. Dia masih tetap diam meskipun beberapa kali memergoki Nyai Wandari memperhatikannya dengan begitu dalam. Dan, Ratu Mayat Bukit Tengkorak menebak, Nyai Wandari pasti sedang berusaha mengingat-ingat perihal dirinya.
"Anak muda, Boleh aku tahu bagaimana kau bisa mendapatkan Keris Naga Emas ini?" tanya Nyai Wandari.
"Seseorang yang memberikannya kepadaku," sahut Bayu.
"Seseorang...? Siapa?" tanya Nyai Wandari.
Tanpa diminta lagi, Pendekar Pulau Neraka menceritakan semuanya tentang bagaimana dia memperoleh Keris Naga Emas itu. Juga, bagaimana di berusaha untuk bisa menyelamatkan nyawa Ki Rahun yang akhirnya tidak bisa tertolong lagi. Bayu bercerita. Ki Rahun hanya bisa menyerahkan Keris Naga Emas kepadanya, sebelum menghembuskan napas terakhir. Bahkan, Ki Rahun sempat pula memberikan pesan terakhir yang harus dikerjakan Pendekar Pulau Neraka. Dan, pesan yang kelihatannya sangat menyenangkan itu ternyata membuat Bayu terpaksa beberapa kali bertarung.
"Oh, jadi Rahun sudah meninggal...?" desah Nyai Wandari dengan suara agak tertahan.
"Ya, aku tidak bisa menyelamatkan nyawanya. Luka-luka akibat pertarungannya dengan Ki Laksa dan si Perampok Tiga Nyawa terlalu parah. Dia meninggal setelah memberikan Keris Naga Emas sambil berpesan kepadaku," jelas Bayu lagi. (Untuk lebih jelas lagi, baca serial Pendekar Pulau Neraka dalam episode "Tiga Pengemis Sakti" dan "Dewi Beruang Putih")
"Lalu, bagaimana dengan Laksa dan si Perampok Tiga Nyawa?" tanya Nyai Wandari lagi, ingin tahu lebih dalam.
"Mereka sudah mati semua, Bu," sahut Intan Kumala.
"Oh, benarkah...?!"
Intan Kumala mengangguk meyakinkan. Tergurat kelegaan dalam hembusan napas Nyai Wandari begitu mengetahui kalau orang yang mengkhianati dan membunuh suaminya sudah tewas. Tapi, sesaat kemudian wajahnya langsung diselimuti mendung.
"Kakang Bayu yang menewaskan mereka semua," kata Intan Kumala lagi, sambil melirik pada Pendekar Pulau Neraka.
"Mereka orang-orang yang berkepandaian tinggi. Tentu kau memiliki tingkat kepandaian yang sangat tinggi hingga bisa mengalahkan mereka, Anak Muda," kata Nyai Wandari.
Pada saat itu, masuk seorang anak muda dengan sebilah pedang tergantung di pinggang. Pemuda itu membungkukkan tubuhnya memberi hormat. Nyai Wandari hanya menganggukkan kepalanya sedikit untuk membalas penghormatan anak muda yang usianya sekitar dua puluh dua tahun itu.
"Ada apa?" tanya Nyai Wandari.
"Mereka sudah datang, Nyai. Jumlah mereka semakin bertambah banyak saja."
"Hm...."
Nyai Wandari menggumam perlahan. Sebentar dia memandangi Bayu dan Ratu Mayat Bukit Tengkorak bergantian, lalu beralih memandangi kedua anak gadisnya, kemudian kembali menatap pada pemuda yang masih berdiri di ambang pintu dengan tubuh agak membungkuk itu.
"Siapkan semua orang yang ada. Sebentar lagi aku keluar," kata Nyai Wandari, tegas.
"Baik, Nyai," sahut pemuda itu seraya menjura memberi hormat.
Kemudian pemuda itu bergegas meninggalkan ruangan ini. Saat itu Nyai Wandari bangkit berdiri dari duduknya, lalu diikuti Paman Gaduk. Dan, semua yang berada di ruangan ini juga bergegas berdiri. Tapi, tidak ada yang mendahului berjalan keluar dari rumah ini. Kemudian Nyai Wandari pun melangkah keluar, setelah mengedarkan pandangannya berkeliling beberapa saat.
"Siapa yang datang, Anting?" tanya Intan Kumala, berbisik perlahan di dekat telinga Rara Anting.
"Mereka yang mau merebut tempat ini," sahut Rara Anting.
"Siapa mereka?" tanya Intan Kumala lagi.
Sementara itu Nyai Wandari dan Paman Gaduk sudah sampai di luar ruangan, diikuti Bayu dan Ratu Mayat Bukit Tengkorak. Sedangkan Intan Kumala dan Rara Anting masih tetap berada di dalam ruangan depan yang berukuran cukup luas dan kelihatan begitu lapang ini, karena tidak ada satu pun barang di dalamnya.
"Gerombolan perampok yang ingin menguasai hutan ini. Mereka tidak senang dan merasa terganggu dengan berdirinya padepokan ini. Sudah beberapa kali mereka berusaha menghancurkan dan merebutnya, tapi ibu dan semua murid-muridnya berhasil menghalau mereka," Rara Anting menjelaskan dengan singkat keadaan di dalam lingkungan benteng padepokan ini.
"Hm, kenapa ibu tidak menceritakan hal ini kepadaku...?" gumam Intan Kumala, seperti berbicara pada diri sendiri.
"Dan kau juga, Anting, kenapa waktu itu tidak mengatakannya kepadaku?"
"Maafkan aku, Kak Aku memang dilarang ibu untuk menceritakan hal ini kepadamu sebelum ibu merasa yakin kalau kau adalah Intan Kumala," sahut Rara Anting.
Intan Kumala mengangguk-anggukkan kepalanya. Dia bisa mengerti akan semua yang diucapkan Rara Anting barusan. Kemudian dia mengajak adik satu-satunya ini keluar. Tanpa membantah sedikit pun, Rara Anting melangkah mengikuti kakaknya yang sudah lebih dahulu berjalan keluar.
* * * * *
--««¦ [ DELAPAN ] ¦»»--
Sementara itu, di halaman yang luas, terlihat lebih dari lima puluh orang sudah siap dengan senjata. terhunus di tangan. Mereka semua berdiri dan berbaris dengan rapi menghadap ke pintu gerbang.
Der! Der! Der!
Tampak pintu gerbang yang kokoh itu bergetar disertai dengan suara yang begitu keras menggetarkan hati. Rupanya orang orang yang berada di luar pagar benteng ini tengah berusaha untuk mendobrak pintu. Jeritan-jeritan panjang melengking tinggi terus terdengar, disertai dengan dentingan-dentingan senjata yang beradu dengan anak-anak panah.
"Hup...!"
Tiba-tiba saja Bayu melentingkan tubuhnya ke udara. Begitu cepat dan ringan gerakannya, sehingga dalam sekejap saja Pendekar Pulau Neraka sudah hinggap di atas pagar benteng yang mengelilingi bangunan besar padepokan ini. Kening pemuda, berbaju kulit harimau itu tampak berkerut ketika melihat begitu banyak orang tengah berusaha menerobos masuk ke dalam benteng ini, meskipun anak-anak panah terus menghujani tanpa henti.
Bayu berpaling sedikit saat merasakan ada orang mendarat tepat di sebelah kanannya. Ternyata Nyai Wandari yang menghampirinya. Pendekar Pulau Neraka kembali mengarahkan pandangan keluar benteng ini. Jelas sekali terlihat, tidak sedikit dari orang-orang di luar sana yang sudah menggeletak tak bernyawa tertembus panah.
"Siapa pemimpin mereka, Nyai?" tanya Bayu.
"Garang Dungkul," sahut Nyai Wandari.
"Itu yang ada di bawah pohon kenanga."
Bayu mengarahkan pandangannya mengikuti jari telunjuk Nyai Wandari. Di bawah sebatang pohon kenanga, memang terlihat seorang laki-laki bertubuh tinggi tegap dengan wajah yang kasar dan dipenuhi brewok. Sebilah golok yang berukuran sangat besar tampak tersandang di pundaknya.
"Apakah dia memimpin mereka semua seorang diri saja, Nyai?" tanya Bayu.
"Ya, dia memang memimpin sendiri," sahut Nyai Wandari.
"Hm...."
Bayu menggumam perlahan. Dia merasa aneh ada orang yang bisa memimpin begitu banyak anak buah seorang diri saja. Biasanya, seorang pemimpin sebuah kelompok selalu didampingi oleh wakil-wakil kepercayaan. Tapi, Garang Dungkul sama sekali tidak didampingi seorang wakil pun. Sementara itu teriakan-teriakan Garang Dungkul yang memberi perintah begitu keras terdengar menggelegar. Suaranya mengalahkan teriakan-teriakan dan jeritan-jeritan melengking dari orang-orangnya yang berjumlah begitu banyak, yang terus berusaha menerobos masuk ke dalam benteng padepokan Nyai Wandari ini.
"Kau jangan heran melihat kenekatan mereka, Bayu. Mereka orang-orang yang tidak mengenal kata takut. Mereka tidak pernah peduli, meskipun sudah banyak yang tewas," kata Nyai Wandari lagi.
"Hentikan pertumpahan darah ini, Nyai," kata Bayu, tegas.
"Apa...?!"
Nyai Wandari tampak terkejut mendengar permintaan Bayu yang tidak diduganya sama sekali itu. Di pandanginya wajah tampan Pendekar Pulau Neraka dalam-dalam, seakan-akan ingin mencari kesungguhan hati dari kata-katanya barusan. Sedangkan yang dipandangi malah menatap pada Garang Dungkul dengan sinar mata yang begitu tajam.
"Aku akan menantang pemimpinnya," kata Bayu lagi, dengan nada suara yang tetap tegas.
"Kau jangan gila-gilaan, Bayu!" sentak Nyai Wandari.
Bayu tersenyum saja.
"Aku akan membuat perjanjian dengannya, Nyai. Aku akan mengusir mereka tanpa harus mengeluarkan darah lebih banyak lagi," sambung Bayu.
Nyai Wandari masih belum percaya dengan kesanggupan Pendekar Pulau Neraka ini untuk menantang Garang Dungkul, seorang pemimpin gerombolan perampok yang sangat tinggi kepandaiannya. Selain itu, kekejamannya juga sudah begitu terkenal. Dia tidak pernah membiarkan lawan-lawannya tetap hidup. Dia akan membunuh siapa saja yang berani menantangnya.
"Perintahkan murid-muridmu menghentikan serangannya, Nyai," pinta Bayu, tegas.
"Kau akan dilumatnya habis, Bayu," kata Nyai Wandari, masih mencoba mencegah keinginan Bayu untuk menantang pemimpin gerombolan perampok itu.
"Percayalah kepadaku, Nyai," ujar Bayu, berusaha meyakinkan Nyai Wandari.
Sebentar Nyai Wandari termenung berpikir. Kemudian dia memerintahkan murid-muridnya untuk berhenti menghujani perampok-perampok itu dengan anak panah. Begitu terdengar teriakan keras dari Nyai Wandari, panah-panah itu pun berhenti berhamburan. Saat itu juga Bayu hendak melompat turun. Tapi, Nyai Wandari cepat mencegahnya.
"Bawa ini, Bayu," kata Nyai Wandari sambil menyerahkan Keris Naga Emas.
Bayu hanya memandangi senjata pusaka berwarna kuning keemasan yang berbentuk seekor naga itu.
"Aku sengaja mencari Keris Naga Emas ini untuk menghadapi Garang Dungkul. Tapi karena kau yang akan menghadapinya, maka keris ini aku serahkan padamu," kata Nyai Wandari lagi.
"Terima kasih, Nyai. Simpan saja pusaka itu. Aku tidak akan bisa menggunakannya," tolak Bayu, halus.
Setelah berkata begitu, Bayu segera melompat keluar dari benteng padepokan ini. Begitu indah dan ringan gerakannya. Nyai Wandari sendiri tidak dapat lagi mencegahnya. Perempuan setengah baya itu pun menyimpan kembali Keris Naga Emas ke balik lipatan bajunya.
Tepat di saat Pendekar Pulau Neraka mendarat ditanah, Intan Kumala dan Rara Anting sampai di samping ibunya. Mereka tampak terkejut melihat Bayu sudah berada di luar pagar benteng padepokan ini. Sedangkan perampok-perampok itu juga menghentikan usahanya mendobrak pintu.
Mereka langsung bergerak mengepung Pendekar Pulau Neraka. Tampak pemuda berbaju kulit harimau itu melangkah tegap menghampiri Garang Dungkul yang masih tetap berdiri angkuh di bawah pohon kenanga.
"Mau apa Kakang Bayu ke sana, Bu?" tanya Intan Kumala.
"Menantang Garang Dungkul," sahut Nyai Wandari.
"Heh...?!"
Bukan hanya Intan Kumala yang terkejut, tapi Rara Anting juga tersentak kaget mendengar jawaban ibunya. Saat itu juga tersirat kecemasan di wajah Intan Kumala. Dia begitu cemas, karena Bayu akan menghadapi pemimpin gerombolan perampok itu seorang diri saja. Tapi, saat itu Bayu sudah melangkah menghampiri Garang Dungkul, dengan ayunan kaki yang tegap dan mantap.
* * * * *
"Kau yang bernama Garang Dungkul?" tanya Bayu dengan nada suara yang agak dalam begitu berada sekitar dua batang tombak lagi di depan laki-laki bertubuh tinggi tegap dan berwajah kasar penuh brewok itu.
"Phuih!" Garang Dungkul menyemburkan ludahnya.
"Benar, aku yang bernama Garang Dungkul. Mau apa kau kemari?"
"Aku akan menantangmu bertarung, Garang Dungkul," sahut Bayu, tegas.
"Ha ha ha...!"
Garang Dungkul tertawa terbahak-bahak mendengar tantangan terbuka yang diucapkan Pendekar Pulau Neraka. Sedangkan Bayu diam saja sambil menatap tajam pada laki-laki berwajah kasar ini. Sementara itu semua anak buah Garang Dungkul sudah membuat lingkaran mengepung tempat keduanya berdiri. Di atas pagar benteng, terlihat Nyai Wandari dan kedua putrinya serta murid-muridnya menyaksikan dengan hati berdebar cemas.
Tapi, tak ada seorang pun yang bisa berbuat sesuatu. Mereka hanya bisa memohon perlindungan bagi Pendekar Pulau Neraka pada Sang Hyang Widi di dalam hati.
"Dengar, Garang Dungkul. Kalau kau bisa mengalahkan aku, kau boleh menduduki padepokan itu. Tapi kalau kau yang kalah, kau harus membawa pergi semua anak buahmu. Dan jangan kembali lagi ke sini," kata Bayu, memberikan penawaran.
"Phuih! Matamu sudah buta, Bocah! Apa kau tidak tahu siapa aku, heh...?!" bentak Garang Dungkul, sengit.
"Justru karena aku tahu siapa kau, maka aku ingin menantangmu bertarung, Garang Dungkul," sahut Bayu, mantap.
"Edan...! Apa yang kau andalkan, Bocah?"
"Keyakinan untuk mengalahkanmu."
"Phuih!"
Merah padam seluruh wajah Garang Dungkul mendengar kata-kata Pendekar Pulau Neraka yang begitu tenang dan mantap. Dia merasa direndahkan dan tidak dipandang sebelah mata. Baru kali ini dia ditantang oleh seorang pemuda yang usianya jauh di bawahnya. Tapi, tantangan yang dilontarkan secara terbuka ini tidak mungkin bisa ditolak lagi. Dia akan kehilangan muka kalau menolak tantangan terbuka seperti ini.
"Baik, aku terima tawaranmu, Bocah. Tapi aku akan menambahkan tawaranmu," kata Garang Dungkul.
"Katakan," balas Bayu.
"Aku akan membantai semua yang ada di dalam sana. Dan kau harus menyaksikan semua itu. Mengerti...?!"
Lantang sekali suara Garang Dungkul, sehingga sampai terdengar oleh mereka yang berada di atas pagar benteng padepokan itu.
"Kau tidak akan bisa mengumbar nafsumu, Garang Dungkul," ujar, Bayu yang nada suaranya kali ini terasa sinis.
"Keparat..!" geram Garang Dungkul, tak bisa lagi menahan kemarahannya.
"Mampus kau! Hiyaaa...!"
Cepat sekali Garang Dungkul melompat sambil mengayunkan goloknya yang besar ke arah kepala pemuda berbaju kulit harimau ini. Tapi, dengan gerakan yang begitu manis, Bayu berhasil menghindari serangan itu. Dan, cepat-cepat dia melompat ke belakang beberapa langkah.
"Hiyaaa...!"
Baru saja Bayu menjejakkan kakinya di tanah, Garang Dungkul sudah melakukan serangan lagi secara beruntun dengan cepat sekali. Bayu pun terpaksa berjumpalitan menghindarinya. Pendekar Pulau Neraka mencoba mencari peluang untuk balas menyerang. Tapi, Garang Dungkul rupanya tidak mau memberi kesempatan sedikit pun kepada lawannya untuk balas menyerang. Cepat sekali dia kembali menyerang dengan goloknya yang besar dan berkilatan tajam. Bayu pun harus berjumpalitan lagi. Tubuhnya meliukliuk menghindari setiap serangan yang datang begitu cepat dan dahsyat luar biasa ini.
"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"
Semakin dahsyat saja serangan-serangan yang dilancarkan Garang Dungkul. Semua orang yang menyaksikan pertarungan itu pun tampak menahan napas. Dan, gerakan-gerakan yang dilakukan oleh kedua orang yang tengah bertarung ini terlihat begitu cepat, sehingga sulit diikuti dengan pandangan mata biasa. Hanya bayangan-bayangan yang terlihat berkelebatan begitu cepat.
Pertarungan itu berjalan begitu dahsyat. Garang Dungkul langsung mengerahkan jurus-jurusnya yang dahsyat dan sangat berbahaya. Goloknya yang berukuran raksasa berkelebatan begitu cepat di sekitar tubuh Pendekar Pulau Neraka. Entah sudah berapa jurus berlalu, tapi tampaknya pertarungan itu masih akan terus berlangsung dan semakin bertambah sengit saja.
"Mampus kau! Hiyaaa...!"
"Hap!"
Tepat ketika Garang Dungkul membabatkan goloknya ke dada, cepat sekali Bayu mengatupkan kedua telapak tangannya di depan dada. Sehingga ujung golok yang berkilatan tajam itu terjepit di antara kedua tangan yang merapat itu.
"Ihhh...!"
Garang Dungkul terkejut setengah mati. Cepat-cepat dia menarik senjatanya disertai pengerahan tenaga dalam yang tinggi. Dan, pada saat itu juga....
"Hih!"
Bayu malah menghentakkan kedua tangannya melepaskan jepitan pada golok itu. Hingga tak pelak lagi, Garang Dungkul jadi tersentak. Dia langsung terhuyung ke belakang, tidak bisa lagi menguasai keseimbangan tubuhnya. Dan, pada saat itu pula, dengan kecepatan bagai kilat, Bayu melompat sambil melepaskan satu tendangan keras menggeledek yang mengarah ke dada.
"Hiyaaa...!"
"Hih!"
Tanpa diduga sama sekali, Garang Dungkul malah mengebutkan goloknya ke depan. Cepat-cepat Bayu memutar tubuhnya. Dihindarinya sambaran golok itu. Lalu, beberapa kali Bayu melakukan putaran di udara. Dan, dengan manis sekali dia menjejakkan kakinya di tanah, sekitar dua batang tombak di depan Garang Dungkul.
"Hap!"
Cepat-cepat Bayu memiringkan tubuhnya ke kiri dan mendoyongkan sedikit ke depan. Kedua kakinya dipentang lebar ke samping. Sorot matanya yang begitu tajam terarah lurus ke bola mata laki-laki bertubuh tinggi besar dan berwajah kasar penuh brewok itu.
"Hiya! Yeaaah...!"
Tiba-tiba saja Bayu menghentakkan tangan kanannya yang menyilang di depan dada. Tangan kanan Pendekar Pulau Neraka itu terulur ke depan. Saat itu juga, terlihat Cakra Maut yang selama ini menempel dipergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka meluncur deras.
"Hup!"
Garang Dungkul cepat-cepat melentingkan tubuhnya ke udara dan melakukan putaran beberapa kali. Dihindarinya terjangan senjata maut Pendekar Pulau Neraka itu. Tapi, baru saja dia menjejakkan kakinya di tanah, Bayu sudah menghentakkan tangan kanannya. Cakra Maut kembali melesat begitu cepat.
"Hup! Hiyaaa...!"
Sambil melompat ke udara, Garang Dungkul mengebutkan goloknya dengan cepat, tepat di saat Cakra Maut hampir menembus dadanya. Dua senjata pun langsung berbenturan begitu keras, sampai menimbulkan ledakan yang dahsyat luar biasa, bagai ledakan gunung berapi yang murka akibat ulah manusia yang tidak bertanggung jawab.
"Hup! Hiyaaa...!"
Cepat sekali Bayu melenting ke udara sambil menghentakkan tangan kanannya ke atas kepala. Cakra Maut kembali menempel di pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka dengan cepat sekali. Dan, tahu-tahu pemuda berbaju kulit harimau itu sudah melompat begitu cepat dan meluruk deras ke arah Garang Dungkul.
"Yeaaah...!"
Begitu cepat serangan yang dilancarkan Bayu kali ini. Akibatnya Garang Dungkul, yang masih berusaha menguasai diri akibat benturan goloknya dengan Cakra Maut tadi, tidak dapat lagi menghindari tendangan menggeledek yang dilepaskan Pendekar Pulau Neraka dari udara.
Des!
"Akh...!"
Garang Dungkul memekik sedikit begitu tendangan yang dilepaskan Bayu mendarat telak di dadanya. Seketika itu juga tubuhnya terpental deras ke belakang. Sebatang pohon yang terlanda tubuh besar itu langsung hancur berkeping-keping. Dan, saat itu juga Bayu sudah kembali melompat tinggi-tinggi ke udara.
"Hiyaaa...!"
Bet!
Slap!
Kembali Cakra Maut melesat cepat begitu tangan kanan Pendekar Pulau Neraka mengibas ke depan. Cepat sekali senjata maut Pendekar Pulau Neraka itu meluncur, sehingga Garang Dungkul yang baru saja mencoba bangkit berdiri tidak dapat lagi menghindari. Dan...
Crab!
"Aaa!"
Jeritan panjang melengking tinggi seketika itu juga terdengar menyayat ketika Cakra Maut menembus dada Garang Dungkul. Laki-laki bertubuh tinggi besar itu menggelepar di tanah. Darah langsung muncrat keluar begitu Cakra Maut melesat balik dan kembali menempel dipergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka.
"Hap!"
Ringan sekali Bayu menjejakkan kakinya kembali di tanah. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya. Sehingga, tak sedikit pun terdengar suara saat tubuhnya mendarat tidak jauh dari Garang Dungkul, yang menggeletak dan menggelepar meregang nyawa di antara puing-puing kayu pohon yang terlanda tubuhnya tadi.
"Kau..., kau...
Akh!"
Garang Dungkul tidak mampu lagi menyelesaikan ucapannya. Dia langsung mengejang kaku dan tewas seketika dengan dada berlubang berlumuran darah. Melihat pemimpinnya tewas, seketika itu juga orang-orang yang mengepung Bayu langsung berlarian mengambil langkah seribu. Sedangkan Pendekar Pulau Neraka tersenyum saja melihat anak buah si Garang Dungkul berserabutan melarikan diri.
Sementara itu dari dalam benteng, berhamburanlah semua murid Nyai Wandari. Di antara mereka, terlihat pula Intan Kumala, Rara Anting, dan Nyai Wandari sendiri. Mereka setengah berlari menghampiri Pendekar Pulau Neraka. Nyai Wandari langsung menyodorkan tangan begitu sampai di dekat pemuda berbaju kulit harimau ini. Dan, Bayu langsung menyambutnya dengan senyum tersungging di bibir.
"Terima kasih, kau telah menyelamatkan padepokanku," ucap Nyai Wandari, tulus.
"Sudah sepantasnya sesama makhluk hidup saling membantu, Nyai," sambut Bayu, merendah.
"Bayu, sebagai ucapan rasa terima kasihku, maukah kau tinggal beberapa hari di padepokanku," pinta Nyai Wandari.
Bayu belum bisa menjawab permintaan itu. Tapi, Intan Kumala sudah mendesak dibantu adiknya. Pendekar Pulau Neraka pun tidak bisa lagi menolak permintaan mereka. Dia hanya menganggukkan kepala saja. Dan Intan Kumala tampak tersenyum cerah melihat anggukan kepala Pendekar Pulau Neraka.
* * * * *
Kisah berikutnya
TITISAN SILUMAN HARIMAU
INDEX PENDEKAR PULAU NERAKA | |
Dewi Beruang Putih --oo0oo-- Titisan Siluman Harimau |