Perisai Kulit Naga
tanztj
June 07, 2015
INDEX PENDEKAR PULAU NERAKA | |
Sepasang Bangau Putih --oo0oo-- TAMAT |
BAYU HANGGARA
Pendekar Pulau Neraka
Karya: Teguh. S
EP : PERISAI KULIT NAGA
Pendekar Pulau Neraka
Karya: Teguh. S
EP : PERISAI KULIT NAGA
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
--««¦ [ SATU ] ¦»»--
Siang itu matahari bersinar sangat terik, seakan ingin membakar hangus seluruh permukaan bumi. Langit terlihat cerah, tanpa awan sedikit pun. Rerumputan tampak menguning terbakar teriknya mentari. Pepohonan pun menggugurkan daunnya. Debu beterbangan terhembus angin kencang.
Namun, teriknya sinar matahari tidak menghalangi ayunan langkah kaki seorang anak muda berusia sekitar dua puluh tujuh tahun. Meskipun keringat sudah mengucur deras membasahi sekujur tubuhnya, dia tetap melangkah tegap menyusuri jalan tanah yang panas dan berdebu. Sesekali dia menyeka keringat yang membanjiri wajahnya dengan punggung telapak tangan.
Sebentar pemuda berpakaian dari kulit ular itu berhenti. Ditatapnya sang Surya yang dengan angkuhnya bersinar, seakan hendak menghanguskan tubuhnya. Hawa siang yang terasa sangat panas, membuat dia terpaksa menggulung rambutnya yang panjang, hingga melewati bahu. Ditatapnya kembali sang Raja Siang dengan kelopak mata agak menyipit. Kemudian kakinya terayun lagi menyusuri jalan tanah yang panas dan berdebu.
"Hhh...! Panas sekali siang ini. Sepertinya dunia mau kiamat...," keluhnya perlahan.
Walaupun dia mengeluh, kakinya terus terayun melangkah dengan mantap. Namun tiba-tiba kelopak matanya menyipit, ketika di depannya terlihat sesosok tubuh terbaring di tengah-tengah jalan. Bergegas dia mempercepat langkah menghampiri tubuh kurus yang tergeletak menelentang seperti mati. Pemuda itu langsung berlutut di sisinya. Jari tangannya menekan lembut leher di bawah rahang laki-laki tua bertubuh kurus dan kotor berlumur debu itu. Perlahan laki-laki tua itu membuka kelopak matanya.
Sedikit pun tidak terlihat lagi cahaya semangat kehidupan di dalam sinar matanya yang redup. Bibirnya yang kering dan pecah-pecah tampak gemetaran seperti ingin mengucapkan sesuatu. Pemuda berbaju kulit ular segera mengambil kantung kulit yang dibawanya. Dia menuangkan air dingin dari kantung kulitnya tepat di mulut laki-laki tua itu. Sedikit air dari kantung kulit itu sudah membuat tubuh si lelaki tua tampak agak segar.
"Te..., terima kasih..."
Ucapan lelaki tua itu hampir tak terdengar di telinga anak muda yang menolongnya. Setelah mengikat kembali kantung kulit tempat air ke pinggang, anak muda itu mengangkat tubuh kurus lelaki tua. Kemudian dibawanya ke bawah pohon rindang di pinggir jalan. Dibaringkannya tubuh lelaki tua dengan hati-hati. Dia kembali membasahi tenggorokan lelaki tua itu dengan air yang ada dalam kantung kulit
"Kau baik sekali, Anak Muda. Siapa namamu...?" tanya lelaki tua setelah tubuhnya dirasakan cukup segar kembali.
"Arya Sempalan," sahut anak muda itu menyebutkan namanya.
"Aku Ki Rangan," ujar lelaki tua juga menyebutkan namanya memperkenalkan diri.
Anak muda berbaju kulit ular yang mengaku bernama Arya Sempalan tersenyum. Dia membantu ketika Ki Rangan hendak duduk dan menyandarkan punggungnya ke batang pohon. Daun pohon yang rindang membuat tubuhnya semakin terasa segar. Dia meneguk lagi air dari kantung kulit yang masih dipegangnya. Namun belum juga air itu bisa membuatnya lebih segar, dia tertegun. Air di dalam kantung kulit itu sudah habis, tak tersisa sedikit pun.
"Airmu habis, Nak..., " ujar Ki Rangan sambil menyerahkan kembali kantung kulit itu pada Arya Sempalan.
"Tidak mengapa, Ki," sahut Arya Sempalan sambil menerima kantung kulit tempat air dan kembali mengikatkan ke pinggangnya.
"Seharusnya air itu untuk bekal perjalananmu. Kenapa kau berikan padaku...?" pelan sekali suara Ki Rangan.
"Tidak jauh dari sini ada sungai. Aku bisa mengisi penuh kantung ini nanti," kata Arya Sempalan seraya tersenyum.
Ki Rangan menggeleng-gelengkan kepala perlahan. Tatapan matanya begitu sayu, memandangi wajah tampan pemuda di depannya.
"Tidak ada lagi sungai di daerah ini, Anak Muda. Kau akan mati kehausan di jalan...," lirih sekali suara Ki Rangan, seakan menyesal telah menghabiskan bekal anak muda yang telah menolongnya.
"Jangan pikirkan itu, Ki! Yang penting sekarang kau sudah kembali segar," sahut Arya Sempalan masih tetap memberikan senyum.
"Ah, tidak banyak anak muda sepertimu. Rasanya dunia tidak jadi kiamat dengan kedatanganmu...," desah Ki Rangan.
Arya Sempalan tersenyum. Memang bagi orang yang sudah sekarat dan mendapat pertolongan, serasa dunia hendak kiamat kembali berseri.
Sementara matahari semakin terik membakar permukaan bumi. Jalan di depan tampak retak, seakan tidak mampu lagi menahan sengatan sang Mentari yang begitu panas membakar. Sepanjang mata memandang, tak satu rumah pun yang tampak. Hanya kegersangan yang ada di sekitarnya.
"Ke mana tujuanmu, Anak Muda?" tanya Ki Rangan lagi.
"Desa Kapuk," sahut Arya Sempalan singkat.
"Ah..., masih terlalu jauh dari sini," kembali Ki Rangan mendesah panjang.
"Memang jauh perjalananku, Ki."
"Ya, tapi bekalmu sudah habis. Kau tentu tidak akan bisa bertahan sampai ke sana tanpa air sedikit pun di kantungmu."
"Aku berharap Hyang Widi memberi kekuatan padaku, Ki."
"Kau seorang anak yang baik, Arya Sempalan."
Kembali Arya Sempalan tersenyum. Sementara Ki Rangan merogoh saku jubahnya. Dan dari dalam saku jubah putihnya itu dia mengeluarkan selembar gulungan kulit tipis diikat selembar pita berwarna merah darah. Arya Sempalan hanya memperhatikan ketika Ki Rangan menyodorkan gulungan kulit itu padanya.
"Terimalah, Anak Muda! Di dalamnya berisi petunjuk yang akan membawamu ke suatu tempat. Dan di sana kau akan mendapatkan sesuatu yang sangat tidak ternilai harganya. Sesuatu yang akan membuat dirimu digdaya tanpa tanding," kata Ki Rangan bernada mendesak.
"Tapi, Ki...," Arya Sempalan ingin menolak.
"Aku percaya, kau akan menggunakannya di jalan yang benar. Aku melihat kesucian di dalam sinar matamu. Ambillah! Benda ini sudah tidak ada artinya lagi bagiku. Tapi akan sangat berarti sekali bagimu yang masih muda dan jauh langkahnya," desak Ki Rangan lagi.
Dengan ragu-ragu Arya Sempalan menerima gulungan kulit berwarna kusam agak kehitaman itu. Namun akhirnya dia menerima, setelah memandanginya sesaat. Kemudian dia menatap wajah tua Ki Rangan yang kelihatan sudah segar. Lelaki tua itu tampak tersenyum senang melihat pemberiannya diterima.
Arya Sempalan menyimpan gulungan kulit itu ke kantung yang ada di sebelah dalam baju kulit ularnya.
"Pergilah, tinggalkan aku di sini...!" kata Ki Rangan.
"Tidak, Ki. Aku akan membawamu serta," sahut Arya Sempalan, tidak tega meninggalkan orang tua yang lemah di tempat gersang.
"Aku tidak apa-apa, Arya Sempalan. Pergilah, ikuti petunjuk yang ada dalam kulit kayu itu!" ujar Ki Rangan menyarankan.
Arya Sempalan tidak dapat menolak, setelah beberapa kali Ki Rangan memintanya meninggalkan dirinya. Dengan perasaan hati yang berat, Arya Sempalan akhirnya pergi meninggalkan orang tua itu seorang diri di pinggir jalan yang panas dan gersang. Beberapa kali Arya Sempalan berpaling ke belakang, memandangi Ki Rangan. Hatinya masih terasa berat sekali untuk mengayunkan kaki.
"Kuatkan hatimu, Arya Sempalan! Pergilah, jangan pedulikan aku...!"
Arya Sempalan sempat tertegun ketika mendengar suara Ki Rangan begitu keras di telinganya. Dia langsung berhenti melangkah dan berpaling ke belakang. Namun seketika itu matanya terbeliak kaget dengan mulut ternganga, seakan tak percaya dengan apa yang sedang disaksikan.
"Oh...!"
Dari seluruh tubuh Ki Rangan memancar cahaya terang bagai pelangi. Dan tubuh tua itu perlahan menghilang, tertutup cahaya yang semakin lama semakin terang menyilaukan mata. Hingga ketika cahaya bagai pelangi itu lenyap dari pandangan, tubuh Ki Rangan pun telah lenyap tanpa meninggalkan bekas.
"Oh, apakah dia itu dewa yang memberi petunjuk jalan hidupku...?" desah Arya Sempalan bertanya sendiri dalam hati.
* * * * *
Sepanjang perjalanan, Arya Sempalan belum juga bisa mengerti dengan semua yang telah dialaminya. Beberapa kali ia memandangi gulungan kulit yang seperti kulit binatang kering, dan diikat dengan pita merah. Hatinya terus diliputi berbagai macam pertanyaan tentang siapa sebenamya orang tua aneh tadi.
Tanpa disadari dia sudah berjalan begitu jauh. Bahkan matahari pun sudah condong ke arah barat. Namun sinarnya masih tetap menyengat kulit. Walaupun tidak sepanas tadi, sekujur tubuhnya bermandikan keringat. Sementara itu Arya Sempalan merasakan keanehan pada dirinya. Sedikit pun dia tidak merasa lelah, walaupun berjalan tanpa berhenti sejak tadi.
Hingga matahari sudah hampir tenggelam di balik peraduannya, Arya Sempalan sampai di tepi sebuah padang rumput yang tidak begitu luas. Tampak hutan yang cukup lebat bagai menghadang di seberang padang rumput itu.
"Mudah-mudahan aku bisa memperoleh air di sana. Kering sekali rasanya tenggorokanku...," gumam Arya Sempalan.
Dia menelan ludahnya sendiri. Terasa sakit tenggorokannya. Arya Sempalan merasa bibirnya kering dan pedih. Namun kakinya terus melangkah melintasi padang rumput yang tidak seberapa luas. Sedikit pun dia tidak merasakan kelelahan. Pemuda itu terus berjalan, hingga akhimya sampai di sebuah tepi hutan yang ada di seberang padang rumput.
"Sungai...!" desis Arya Sempalan ketika telinganya mendengar suara aliran sungai.
Dengan wajah memancarkan semangat hidup, anak muda itu mengayunkan kakinya dengan cepat menuju arah suara aliran air yang didengarnya. Dan tidak lama setelah berjalan menembus hutan terlihat di depannya sebuah jeram kecil. Tampak air itu terus mengalir melewati sebuah sungai yang bercabang.
"Dewata Yang Agung..., hup!"
Byurrr...!
Arya Sempalan langsung melompat dan mencebur ke dalam telaga yang berisi air jernih menyejukkan itu. Seperti sudah berhari-hari tidak bertemu air, Arya Sempalan merendam tubuhnya di dalam telaga sepuas-puasnya. Bahkan dia meneguk air telaga itu banyak-banyak, membasahi tenggorokannya yang tadi terasa kering sekali. Setelah puas, dia mengisi kantung kulitnya dengan air telaga. Kemudian dia naik ke tepi telaga.
Sementara sekitarnya mulai terselimut kegelapan. Angin yang bertiup membuat tubuhnya menggigil kedinginan. Setelah membuat api unggun di tepi telaga Arya Sempalan mengeluarkan bekal makanan yang dibawanya di dalam sebuah kantung kulit. Memang perbekalan yang dibawanya seperti untuk menempuh perjalanan panjang dan memakan waktu berhari-hari.
"Nikmat sekali makanmu, Anak Muda...."
"Oh...?!"
Arya Sempalan tersentak kaget setengah mati, ketika tiba-tiba terdengar suara dari belakangnya. Sekerat daging bakar yang baru saja digigitnya sampai terlempar keluar karena terkejutnya. Cepat dia berpaling ke belakang. Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di belakangnya sudah berdiri seorang perempuan tua berjubah biru gelap yang sudah usang kelihatannya. Sebatang tongkat kayu yang berbentuk tidak beraturan tergenggam di tangan kanan, seakan menyangga tubuhnya yang agak terbungkuk. Arya Sempalan cepat bangkit berdiri.
"Mari, Nyai! Kita makan sama-sama," Arya Sempalan langsung menawarkan dengan sikap yang ramah, dan senyuman lebar tersungging di bibirnya.
"Terima kasih," ucap perempuan tua itu seraya melangkah menghampiri.
Tanpa dipersilakan dia duduk dekat api unggun yang dibuat Arya Sempalan. Kemudian mengambil sekerat daging bakar yang ada di depannya. Arya Sempalan mengambil tempat tidak jauh di sebelah kanannya. Tanpa bicara lagi mereka kemudian menikmati makanan yang sederhana itu bersama-sama.
"Tidak ada air matang, Nyai. Kalau kau mau, cukup banyak di telaga. Aku juga minum di sana," ujar Arya Sempalan setelah selesai dengan santapannya.
"Kau baik sekali, Anak Muda," ucap perempuan tua itu tersenyum.
"Siapa namamu?"
"Arya Sempalan," sahut Arya Sempalan.
"Kalau boleh aku tahu, siapa namamu, Nyai...?"
"He he he..., untuk apa kau tahu namaku, Arya Sempalan?"
"Supaya kita bisa lebih enak berbicara, sambil menunggu malam." ,
"Ah, aku sendiri sudah lupa dengan namaku, Arya Sempalan. Tapi semua orang selalu menyebutku si Kalong Tua," sahut perempuan tua itu.
"Kalong Tua...?"
Arya Sempalan mengerutkan kening. Dirasakan nama perempuan tua itu sangat aneh di telinganya. Semua orang pasti tahu kalau kalong merupakan binatang menjijikkan yang selalu keluar pada malam hari. Hanya buah-buahan yang menjadi santapannya.
"Aku sendiri tidak tahu, kenapa mereka selalu memanggilku begitu. Mungkin karena aku selalu keluar malam," kata si Kalong Tua menjelaskan, seakan-akan bisa membaca jalan pikiran Arya Sempalan.
"Ah... Nama hanya sekadar sebutan, Nyai. Kau keberatan kalau aku juga memanggilmu begitu...?" ujar Arya Sempalan seperti hendak menghibur.
"Panggil saja aku begitu, Anak Muda! Sama sekali aku tak keberatan. Memang hidupku seperti kalong. Keluar kalau hari sudah malam, dan tidur sepanjang siang," ujar Nyai Kalong Tua seraya tersenyum lebar.
Arya Sempalan juga turut tersenyum. Mungkin hatinya merasa aneh dengan nama perempuan tua ini. Tapi bagi orang-orang persilatan, nama seperti itu tidak aneh terdengar di telinga. Banyak orang-orang yang berkecimpung di dalam rimba persilatan menggunakan nama julukan yang aneh-aneh dan sumbang terdengar telinga.
"Hm.... Ke mana tujuanmu, Anak Muda?" tanya Kalong Tua, setelah beberapa saat terdiam.
"Tadinya aku mau ke Desa Kapuk. Tapi...," Arya Sempalan tidak melanjutkan.
Dia teringat dengan selembar kulit pemberian Ki Rangan. Dan tidak mungkin dia memberitahukan benda berharga itu pada orang yang baru saja dikenalnya. Meskipun dia sendiri tidak tahu benda apa yang diberikan Ki Rangan padanya. Namun Arya Sempalan merasa kalau benda seperti lembaran kulit binatang yang sudah kusam itu sangat berharga sekali. Dan dia harus melaksanakan amanat Ki Rangan.
"Kenapa tidak jadi? Desa Kapuk tidak jauh lagi dari sini," tanya Nyai Kalong Tua kemudian.
"Ada hal penting yang harus aku dahulukan, Nyai. Tapi maaf, aku tidak bisa mengatakannya padamu. Sangat pribadi sekali sifatnya," Arya Sempalan beralasan dengan sopan.
Nyai Kalong Tua tersenyum dengan kepala terangguk beberapa kali. Perempuan tua itu sepertinya bisa mengerti. Dan dia tidak mau mendesak Arya Sempalan untuk mengatakan tujuan yang sebenarnya. Beberapa saat Nyai Kalong Tua terdiam. Namun dia terus memandangi Arya Sempalan yang sudah menyandarkan punggungnya pada sebatang pohon tumbang, tidak jauh dari api unggun.
Sementara malam terus merayap semakin larut. Mereka tidak lagi mengeluarkan suara. Begitu sunyi suasana di dalam hutan itu. Angin yang bertiup perlahan, membawa hawa dingin yang menusuk sampai ke tulang. Membuat Arya Sempalan terpaksa harus melingkarkan tubuhnya yang menggigil kedinginan.
"Dingin...?" tegur Nyai Kalong Tua.
"Ya...," sahut Arya Sempalan.
"Cobalah kau duduk bersila! Atur napasmu, dan kendalikan aliran darahmu. Salurkan hawa murni yang ada di seluruh tubuhmu. Mudah-mudahan bisa lebih hangat," Nyai Kalong Tua memberi petunjuk.
Arya Sempalan memandangi orang tua itu beberapa saat. Tapi dia berpikir kalau petunjuk Nyai Kalong Tua barusan memang tidak ada salahnya. Kemudian dia melakukan semua petunjuk perempuan tua itu. Dan ketika dia menyalurkan hawa murni ke seluruh tubuh, temyata benar apa yang dikatakan Nyai Kalong Tua. Arya Sempalan merasakan seluruh tubuhnya mulai menghangat. Dan hembusan angin dingin tidak lagi terasa mengganggu. Arya Sempalan tersenyum pada Nyai Kalong Tua.
"Bagaimana..,?" tanya Nyai Kalong Tua.
"Terima kasih, Nyai. Tubuhku sekarang terasa lebih hangat," sahut Arya Sempalan.
"Nah, sekarang tidurlah! Biar aku yang menjagamu di sini sampai pagi. Kau tidak perlu khawatir. Aku sudah terbiasa tidak tidur malam hari," kata Nyai Kalong Tua itu lagi.
Arya Sempalan hanya tersenyum. Dia masih tetap duduk bersila dengan sikap bersemadi. Kelopak matanya terpejam rapat, tapi tarikan napasnya terdengar begitu halus dan teratur sekali. Sementara Nyai Kalong Tua tersenyum melihat anak muda itu melakukan semadi.
* * * * *
--««¦ [ DUA ] ¦»»--
"Kau tidak tidur, Nyai?" tanya Arya Sempalan.
Nyai Kalong Tua hanya tersenyum sedikit. Tubuhnya kemudian bangkit berdiri. Arya Sempalan ikut berdiri, setelah membereskan semua perbekalan yang dibawanya. Semua masuk ke dalam kantung kulit yang disampirkan di punggung. Sebuah kantung kulit lainnya yang berisi air, sudah terikat di pinggang.
"Semoga kau berhasil dalam hidupmu, Anak Muda. Aku melihat kau akan menjadi pendekar besar penegak keadilan. Semoga Hyang Widi selalu bersamamu!" ucap Nyai Kalong Tua.
"Terima kasih, Nyai."
"Pergilah, sebelum matahari naik tinggi!"
Arya Sempalan menjura memberi hormat. Kemudian melangkah meninggalkan tepian telaga kecil itu. Sementara Nyai Kalong Tua juga melangkah pergi dengan arah yang berlawanan. Mereka berpisah dengan tujuan perjalanan masing-masing. Arya Sempalan terus berjalan menuju ke arah barat. Pagi ini dia merasakan tubuhnya begitu segar, hingga ayunan langkah kakinya pun begitu ringan.
Dan ketika matahari tepat berada di atas kepala, Arya Sempalan sampai di kaki sebuah bukit batu yang tidak begitu tinggi. Sambil memandangi ke sekitar, pemuda itu menghentikan langkahnya. Dia mengambil gulungan kulit lusuh dari kantung di balik baju kulit ularnya. Diperhatikan guratan gambar yang ada pada permukaan kulit kusam itu. Entah kenapa bibirnya tersenyum, saat melihat ke puncak bukit batu di depannya.
Tampak di puncak bukit itu ada sebuah tonjolan batu berbentuk seperti kepala seekor kerbau yang begitu besar ukurannya. Dan batu itu tergambar jelas pada gulungan kulit
Arya Sempalan tahu kalau dia sekarang sudah sampai di tempat yang ditujunya. Setelah menyimpan kembali gulungan kulit ke dalam kantung di balik bajunya, segera diayunkan kembali kakinya mendaki bukit batu.
Tidak terlalu sulit bagi Arya Sempalan yang memiliki ilmu meringankan tubuh tingkat tinggi untuk mendaki bukit itu. Dalam waktu tidak begitu lama, dia sudah sampai di puncak bukit. Arya Sempalan kembali berhenti dan memperhatikan sekitarnya. Tidak jauh di depannya, tampak sebuah mulut goa berukuran kecil seakan sudah menanti kedatangannya.
"Pasti goa itu yang dimaksudkan dalam gambar di kulit ini," gumam Arya Sempalan.
Sebentar dia memperhatikan lembaran kulit kusam itu, kemudian kembali mengawasi sekitarnya. Tidak ada yang dapat dilihatnya di atas puncak bukit, selain batu-batu yang terhampar. Sedangkan di kaki bukit, terlihat pucuk-pucuk pepohonan yang menghijau dan indah dipandang mata. Sedikit Arya Sempalan tersenyum. Kemudian dia melangkah mendekati mulut goa yang tidak terlalu besar ukurannya.
Namun baru saja dia berjalan beberapa langkah, tiba-tiba....
Slap!
"Heh...?! Hup!"
Arya Sempalan terkejut setengah mati. Tiba-tiba dari dalam goa itu melesat sesosok bayangan hijau kehitaman dengan kecepatan bagai kilat. Secepat itu pula dia melompat ke belakang, sambil memutar tubuhnya sekali. Dan bayangan itu lewat di atas tubuh Arya Sempalan.
"Hap!"
Dengan manis sekali Arya Sempalan menjejakkan kakinya di atas bebatuan yang terhampar di puncak bukit. Dan ketika memutar tubuh dan berbalik, hatinya tersentak kaget dengan mata terbeliak lebar. Hampir dia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Sekitar tiga batang tombak di depannya, berdiri sesosok tubuh yang tidak bisa lagi dikatakan manusia.
Walaupun berdiri pada kedua kaki, tapi lengannya begitu panjang, hingga hampir menyentuh lutut. Tubuhnya yang agak terbungkuk penuh ditumbuhi bulu-bulu kasar berwarna hitam legam. Dia mengenakan baju hijau lumut yang sudah kusam dan hampir pudar warnanya. Bagian dadanya terbuka hingga memperlihatkan bulu-bulu kasar. Sedangkan wajahnya lebih mirip kera daripada manusia. dan ketika mulutnya membuka, tampak baris-baris gigi yang runcing dan bertaring tajam. Kedua bola matanya yang bulat, menatap tajam anak muda di depannya.
"Ghrrr...! Mau apa kau datang ke sini, Anak Muda...?" terdengar begitu besar dan berat suara makhluk aneh setengah manusia dan kera itu.
Arya Sempalan terkejut karena tidak menyangka kalau makhluk aneh seperti kera itu bisa berbicara. Begitu terkejutnya dia, sampai untuk beberapa saat terdiam, tidak dapat mengeluarkan suara sedikit pun. Hanya tatapan matanya yang tidak berkedip memandangi makhluk aneh di depannya. Seakan dia ingin meyakinkan diri, kalau yang dihadapinya benar-benar kenyataan, dan bukan sedang bermimpi.
* * * * *
"Maaf, apakah kedatanganku mengganggumu..." agak bergetar suara Arya Sempalan.
"Semua yang datang ke sini selalu mengganggu dan membawa kesulitan. Apa kedatanganmu juga untuk mengambil Perisai Kulit Naga...? Jangan harap kau bisa mendapatkannya, Anak Muda! Sebaiknya cepat pergi sebelum terjadi penyesalan seumur hidup. Atau mungkin juga kau tak akan sempat lagi melihat matahari esok."
Arya Sempalan mengernyitkan kening mendengar ucapan makhluk setengah kera. Jelas sekali kalau makhluk aneh itu tidak menghendaki kedatangannya. Namun ketika dia mendengar Perisai Kulit Naga disebut, keningnya berkerut semakin dalam. Arya Sempalan berpikir. Dia teringat dengan kata-kata Ki Rangan, saat memberikan kulit yang memuat peta petunjuk untuk ke puncak bukit ini.
"Hm..., apakah sesuatu yang dimaksudkannya itu adalah Perisai Kulit Naga...?" gumam Arya Sempalan, bertanya-tanya sendiri di dalam hati.
Sementara Arya Sempalan terus diliputi berbagai pertanyaan yang membingungkan, makhluk manusia setengah kera itu menggeram kecil sambil melangkah beberapa tindak mendekatinya. Pemuda itu hanya memandangi dengan kening berkerut dan kelopak mata sedikit menyipit.
"Menunggu apa lagi kau...? Cepat tinggalkan tempat ini!" bentak mahkluk setengah kera dengan suaranya yang keras menggelegar memekakkan telinga.
Arya Sempalan masih tetap diam memandangi makhluk aneh di depannya dengan sinar mata tajam, tanpa berkedip sedikit pun. Melihat tatapan mata yang begitu tajam makhluk setengah kera itu jadi menggeram marah, merasa dirinya ditantang.
"Ghrrr...! Apa yang kau inginkan datang ke sini, heh...?"
Tampaknya si manusia setengah kera masih juga menahan kesabarannya.
"Aku datang untuk mengambil sesuatu yang ada di sini," sahut Arya Sempalan mantap.
"Apa...?" tanya mahluk setengah kera itu seperti ingin tahu.
"Aku tidak tahu. Tapi aku menerima ini dari seseorang. Aku diperintahkan untuk datang dan mengambil sesuatu di tempat ini."
Arya Sempalan mengambil gulungan kulit dari kantung di bagian dalam bajunya. Kemudian dilemparkan gulungan kulit terikat pita merah itu ke depan. Dan jatuh tepat di ujung kaki makhluk setengah kera di depannya. Makhluk mengerikan itu memandangi sebentar. Lalu dia membungkukkan tubuhnya dan memungut gulungan kulit yang dilemparkan Arya Sempalan tadi. Dia melepaskan ikatan pita merah dan membuka gulungannya. Seketika itu juga, kedua bola matanya terbeliak lebar.
"Ghrrrr...!"
Si manusia kera menggeram keras, sambil menggulung lagi kulit itu. Dia kemudian menatap Arya Sempalan dengan sinar mata yang merah menyala.
"Dari mana kau dapatkan ini?" tanyanya dengan suara berat dan besar menyakitkan telinga.
"Dari seseorang. Aku tidak tahu namanya," sahut Arya Sempalan tidak mau menyebutkan nama Ki Rangan.
"Baik... Kau akan mendapatkannya. Tapi kau harus mengalahkan aku dulu!" kata makhluk setengah kera itu tegas.
"Aku sudah berjanji padanya. Apa pun yang akan terjadi, aku harus menghadapi," sambut Arya Sempalan tidak kalah mantapnya.
"Bagus...! Sekarang kau tahan seranganku! Ghraaagkh...!"
Sambil menggeram keras, makhluk setengah kera langsung melompat dengan kecepatan bagai kilat menyerang Arya Sempalan.
"Haps...!"
Namun dengan sedikit saja Arya Sempalan meliukkan tubuhnya, serangan lawan tak menemui sasarannya. Kemudian dengan cepat Arya Sempalan melompat ke kanan untuk menjaga jarak. Sementara makhluk bertubuh penuh bulu itu sudah berputar balik dengan cepat sekali. Tubuhnya langsung melompat sambil memberikan satu tendangan keras menggeledek yang begitu cepat dan dahsyat. Begitu dahsyatnya tendangan si makhluk kera, hingga menimbulkan deru angin yang begitu keras menggetarkan jantung.
Namun dengan sikap yang sangat tenang, Arya Sempalan menunggu tendangan lawan datang. Ketika telapak tangan si makhluk kera hampir mendarat di dadanya, dengan cepat sekali dia menggerakkan kedua tangan menyilang di depan dada. Sehingga pergelangan kaki makhluk kera itu terjepit kedua tangannya yang begitu kuat bagai baja.
"Hih!"
Arya Sempalan langsung memutar jepitan tangannya, disertai dengan pengerahan tenaga dalam yang tinggi. Dan...,
Krekh!
"Argkh...!"
Manusia kera meraung keras, ketika merasakan tulang kakinya remuk dipelintir Arya Sempalan. Dan belum lagi dia bisa berbuat sesuatu, Arya Sempalan sudah menghentakkannya dengan kuat. Tubuh makhluk setengah kera itu terdorong keras sekali ke belakang hingga beberapa langkah. Dan dengan keras sekali tubuhnya menghantam bebatuan. Beberapa kali dia bergulingan. Kemudian cepat melompat bangkit berdiri.
Namun belum sempat dia bisa berdiri tegak, Arya Sempalan sudah melompat sambil melepaskan satu tendangan keras menggeledek, disertai dengan pengerahan tenaga dalam yang tinggi. Begitu cepat serangan anak muda itu, sehingga si manusia kera tidak dapat lagi berkelit menghindarinya.
Diegkh!
"Aauuurgkh...!"
Makhluk berwajah mengerikan itu meraung-raung keras dan menggetarkan, sehingga bebatuan di sekitar puncak bukit berderak bagai hendak runtuh. Tubuhnya kembali terbanting dengan keras sekali, menghantam bebatuan. Mulutnya mengerang-ngerang kesakitan. Sementara Arya Sempalan sudah berdiri tegak, dengan tangan kanan terkepal erat di depan dada. Siap untuk melakukan serangan lagi.
"Tahan...!"
Tiba-tiba saja si manusia kera membentak keras, melihat Arya Sempalan sudah siap melancarkan serangannya lagi. Sambil menggereng, dia berusaha bangkit berdiri. Tangan kiri yang berbulu hitam lebat, mendekap dadanya yang terasa begitu sesak, akibat terkena tendangan menggeledek Arya Sempalan. Dengan bersusah payah makhluk setengah kera yang mengerikan wujudnya itu bisa bangkit berdiri. Walaupun kini tidak lagi bisa tegak, berdiri di atas kedua kakinya yang berbulu hitam lebat. Arya Sempalan mengurungkan serangannya.
* * * * *
"Kau tangguh sekali, Anak Muda. Dari mana asalmu? Dan siapa gurumu...?" tanya si manusia kera dengan suaranya yang masih berat menggetarkan.
"Aku datang dari puncak Gunung Angkeran," sahut Arya Sempalan.
"Lalu siapa gurumu?"
"Hm...."
Arya Sempalan tidak langsung menjawab. Dia hanya menggumam sedikit sambil memandangi manusia kera dengan sinar mata yang memancarkan kecurigaan. Memang tidak mudah bagi Arya Sempalan untuk menyebut nama gurunya. Karena dia sendiri sudah berjanji tidak akan menyebut nama sang Guru pada orang yang belum dikenalnya dengan baik. Apalagi pada makhluk setengah kera yang mengerikan ini.
"Baiklah, Anak Muda. Aku tahu kenapa kau keberatan memberitahu nama gurumu. Tidak apa, aku tidak akan memaksa. Tapi apa boleh aku tahu namamu...?" kata si manusia kera lagi, setelah mengerti akan keberatan Arya Sempalan untuk menyebutkan nama gurunya.
"Arya Sempalan."
"Hm, kau tahu untuk apa kau diperintahkan datang ke sini?''tanya si manusia kera.
Arya Sempalan hanya menggelengkan kepala.
"Kau sudah memahami isi di dalam lembaran kulit ini?" tanya manusia kera itu lagi.
"Belum. Aku tidak sempat memahaminya," sahut Arya Sempalan terus terang.
"Sayang sekali, begitu banyak orang menginginkannya. Mereka berlomba-lomba untuk mendapatkannya, bahkan tidak segan-segan mempertaruhkan nyawanya. Tapi kau yang membawa petunjuknya ke sini justru sama sekali belum mengetahui...," manusia kera itu seperti bicara pada dirinya sendiri.
"Maaf, Ki! Sebenarnya ada maksud apa dengan lembaran kulit itu?" tanya Arya Sempalan meminta penjelasan.
"Guratan yang tertera pada lembaran kulit ini berisi petunjuk untuk memperoleh Perisai Kulit Naga. Dan aku diperintahkan sang Hyang Widi untuk menjaga perisai itu. Sang Hyang Widi hanya membuat satu petunjuk, yang dibuat pada selembar kulit naga. Dengan petunjuk itu, orang yang memegangnya akan memperoleh Perisai Kulit Naga. Kau benar-benar beruntung, Anak Muda. Kau mendapatkan petunjuk dari sang Hyang Widi," kata manusia kera menjelaskan.
Sungguh sulit untuk dikatakan, bagaimana kegembiraan hati Arya Sempalan mendengar penjelasan manusia kera itu.
Seketika wajahnya berseri-seri dengan kedua bola mata tampak bercahaya. Dia sering mendengar kalau sesuatu benda, apakah itu berupa senjata atau lainnya yang dibuat dewa, tidak akan bisa ditaklukan oleh senjata apa pun di dunia ini. Dan mereka yang beruntung bisa memperolehnya akan menjadi seorang manusia digdaya yang sukar dicari tandingannya.
Arya Sempalan sendiri tidak mengerti. Kenapa dia begitu mudah bisa memperolehnya. Sedangkan semua orang selalu berlomba-lomba untuk memperoleh benda-benda yang dibuat dewa. Terlebih lagi kalau benda itu merupakan sebuah senjata. Nyawa tidak ada harganya sama sekali. Mereka yang merasa memiliki kepandaian tinggi, akan berusaha dengan cara apa pun untuk memperolehnya. Tapi sekarang.... Arya Sempalan benar-benar tidak bisa lagi berkata-kata. Hatinya gembira sekali karena di puncak bukit batu ini dia akan memperoleh sebuah benda pusaka yang dibuat dewa di kayangan.
"Mari, aku tunjukkan jalan ke tempat penyimpanan perisai itu," kata si manusia kera mengajak.
Arya Sempalan pun langsung saja melangkah mengikuti manusia kera itu. Keduanya memasuki goa yang tidak begitu besar, tapi di dalam cukup gelap. Arya Sempalan terus mengikuti dari belakang tanpa berkata-kata sedikit pun. Hatinya begitu gembira, hingga merasa sulit untuk mengucapkan kata-kata. Semakin jauh ke dalam, goa itu semakin menurun dan berputar-putar. Suasananya pun tampak semakin bertambah gelap. Sehingga Arya Sempalan tidak mau jauh dari si manusia kera yang membawanya ke dalam goa itu.
Setelah cukup lama berjalan, akhirnya mereka sampai di mulut ujung goa. Arya Sempalan jadi ternganga melihat suatu pemandangan yang sangat indah ketika sudah keluar dari mulut goa. Dia merasa seakan-akan berada di dalam sebuah taman para dewa di kayangan. Suatu pemandangan menakjubkan yang pernah dilihatnya. Sementara si manusia kera terus saja berjalan. Dia berpaling ke belakang sambil menghentikan langkahnya, ketika merasa tidak ada yang mengikutinya dari belakang.
"Apa yang kau pandangi, Arya Sempalan?" tegur manusia kera ketika dilihatnya Arya Sempalan berhenti di depan mulut goa.
"Oh...?!"
Arya Sempalan tergagap lalu bergegas melangkah menghampiri manusia kera. Mereka pun kembali berjalan melintasi taman yang sangat indah itu. Akhirnya mereka sampai di depan sebuah pintu berwarna kuning, bagai terbuat dari emas. Manusia kera itu memberi hormat dengan merapatkan kedua telapak tangannya di depan dada, sambil membungkuk. Arya Sempalan cepat-cepat mengikutinya.
Dan tiba-tiba saja pintu itu terbuka sendiri. Arya Sempalan tercengang kaget tapi kemudian bergegas melangkah, begitu si manusia kera sudah melangkah memasuki pintu itu.
Arya Sempalan kembali terkagum-kagum, melihat dirinya kini berada di dalam sebuah ruangan yang sangat besar dan indah sekali. Bagai berada di dalam sebuah istana tempat tinggal para dewa. Namun dia tidak menghentikan langkahnya, melihat si manusia kera terus saja berjalan menyeberangi ruangan yang sangat besar dan indah itu.
Mereka kembali melewati sebuah pintu yang terbuat seperti dari emas. Pintu itu pun terbuka sendiri, saat keduanya hendak melewati. Kini mereka berada kembali di luar. Namun tiba-tiba Arya Sempalan mengerutkan keningnya. Sekelilingnya sekarang hanya ditumbuhi pepohonan yang rapat. Bahkan suasananya gelap, seperti malam hari.
Walaupun dengan kening berkerut dan berbagai pertanyaan membingungkan berkecamuk di dalam kepalanya, Arya Sempalan terus mengikuti langkah kaki si manusia kera. Tidak ada seorang pun dari mereka yang membuka suara.
Dan akhirnya mereka sampai di depan sebuah bangunan kecil yang terbuat dari batu. Bangunan itu seperti sebuah puri, berada di tengah-tengah hutan yang sangat lebat. Suara-suara binatang terdengar di sekitar puri. Membuat bulu-bulu halus di seluruh tubuh Arya Sempalan meremang berdiri. Sungguh menyeramkan keadaannya. Terlebih lagi melihat puri yang berdiri di tengah-tengah hutan itu sudah berlumut seluruh dindingnya. Bahkan pohon-pohon menjalar hampir menutupinya. Arya Sempalan menghentikan langkahnya, mengikuti si manusia kera yang sudah berhenti lebih dulu.
"Arya Sempalan..," manusia kera itu baru membuka suaranya.
"Ya, Ki," sahut Arya Sempalan.
"Kau benar-benar menginginkan Perisai Kulit Naga?" tanya si manusia kera itu, seakan ingin meyakinkan.
"Semula aku memang tidak tahu. Namun kalau Hyang Widi mempercayaiku, apa pun ujiannya akan aku hadapi," sahut Arya Sempalan mantap.
"Tidak ada ujian sedikit pun, Arya Sempalan," ujar si manusia kera seraya tersenyum menyeringai.
"Lalu. ?"
"Perisai Kulit Naga ada di dalam puri itu. Masuklah ke sana, dan ambil perisai itu untukmu!" kata si manusia kera memberitahu.
"Di dalam puri itu...?"
"Ya. Kenapa?"
Arya Sempalan terdiam. Baru saja dia membayangkan seperti apa dalamnya puri kecil yang kelihatannya sudah tidak terawat itu. Entah kenapa, tubuhnya jadi bergidik. Puri itu kelihatan sudah sangat rapuh. Mungkin hanya sekali gedor saja bisa runtuh. Arya Sempalan berpikir, bagaimana kalau ini hanya jebakan saja...? Dan begitu dia berada di dalam, si manusia kera menghantam puri itu hingga hancur. Dan dia bisa mati terkubur hidup-hidup di dalamnya.
"Kau tidak perlu ragu-ragu, Arya Sempalan. Kalau kau menghendaki, aku bisa mewakilimu mengambil perisai itu," kata si manusia kera, seakan-akan dia bisa membaca semua jalan pikiran anak muda ini.
"Oh, ti... tidak. Biar aku yang mengambilnya sendiri."
Arya Sempalan bergegas melangkah menghampiri puri kecil itu. Agak ragu-ragu juga ketika dia hendak membuka pintunya yang terbuat dari kayu sudah lapuk. Namun dengan memantapkan hati, dia mendorong pintu itu. Suara bergerit terdengar bagai mengiris jantungnya. Bau yang tidak sedap pun langsung menyeruak dari dalam puri. Namun dia terus melangkah masuk dengan hati mantap.
* * * * *
--««¦ [ TIGA ] ¦»»--
Dia melihat di atas batu altar itu terdapat selembar kain berwarna putih, seperti menutupi sesuatu. Arya Sempalan berhenti melangkah setelah dekat. Dipandanginya sebentar kain putih yang hampir menutupi seluruh permukaan batu altar. Dan perlahan dia menjulurkan tangan menyentuh kain putih itu. Lalu dibukanya pelan-pelan. Dan seketika itu juga...,
"Oh...?!"
Kedua bola mata Arya Sempalan tampak berbinar, ketika melihat sebuah perisai berada di atas batu altar yang ditutupi kain putih itu. Perlahan dibukanya seluruh kain itu, dan melemparkannya ke samping. Lalu diambilnya benda berbentuk perisai yang berukuran tidak begitu besar. Beberapa saat Arya Sempalan memandangi. Tapi mendadak...,
"Heh...?!"
Arya Sempalan terperanjat setengah mati, ketika tiba-tiba lantai puri yang dipijaknya bergetar. Dan seluruh dinding puri terasa bergetar bagi hendak runtuh. Debu-debu yang berada di langit-langit mulai berjatuhan. Dan belum lagi Arya Sempalan bisa berpikir lebih jauh, mendadak...
Brukkk!
"Hup...!"
Arya Sempalan melompat ke belakang, ketika sebongkah batu yang besar jatuh dan tepat menghantam altar. Debu seketika berhamburan di sekitarnya. Dan getarannya terasa semakin kuat. Arya Sempalan mendekap Perisai Kulit Naga erat-erat di dadanya. Batu-batu mulai berguguran di sekitarnya.
"Arya Sempalan, cepat keluar! Puri itu akan segera runtuh...!"
Arya Sempalan jadi tersentak dan langsung tersadar begitu mendengar suara si manusia kera dari luar puri. Tanpa membuang-buang waktu lagi, dia cepat memutar tubuhnya berbalik. Dan dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya yang tinggi, dia langsung melesat keluar. Tepat pada saat itu, batu-batu puri berjatuhan, memperdengarkan suara bergemuruh dan menggetarkan.
Bruak!
Puri itu seketika runtuh di saat Arya Sempalan sudah berada di samping si manusia kera. Debu seketika beterbangan ke angkasa, bersamaan dengan ambruknya puri itu. Arya Sempalan memandanginya dengan mata tak berkedip. Dia merasakan ada yang aneh pada peristiwa ini. Di dalam tadi, getarannya begitu kuat. Namun ketika berada di luar, tidak sedikit pun terasa ada getaran seperti gempa tadi, yang membuat puri kecil itu runtuh seketika.
"Ayo, kita pergi dari sini!" ajak si manusia kera.
"Ke mana?" tanya Arya Sempalan seperti orang bodoh.
"Kau sudah mendapatkan Perisai Kulit Naga. Sekarang kau punya tugas yang sangat penting, Arya Sempalan. Kau harus manfaatkan perisai itu untuk menegakkan keadilan di bumi. Nah, sebaiknya kau cepat tinggalkan tempat ini," kata si manusia kera menjelaskan.
Arya Sempalan menganggukkan kepala. Dia kemudian melangkah mengikuti si manusia kera meninggalkan puri. Sebuah perisai berwarna putih keperakan, kini berada di tangan kirinya. Beberapa kali Arya Sempalan memandangi perisai itu. Entah kenapa, dia merasakan ayunan langkah kakinya sekarang terasa begitu ringan, setelah dia memegang Perisai Kulit Naga. Bahkan tadi ketika melompat keluar dari dalam puri yang mau runtuh, lesatannya begitu cepat dan sempurna sekali. Belum pemah dirinya mampu melakukan lesatan yang begitu sempurna dan cepat. Bahkan sama sekali tidak terdengar suara ketika kakinya mendarat di samping si manusia kera ini.
Meskipun menyadari ada perubahan pada dirinya, Arya Sempalan tidak mau bertanya. Dia tahu kalau semua perubahan yang terjadi pada dirinya berkat Perisai Kulit Naga yang kini berada di tangannya. Menyadari semua itu, Arya Sempalan tidak bisa lagi mengatakan bagaimana gembira hatinya. Dengan perisai ini, akan sulit bagi tokoh-tokoh persilatan untuk menandinginya.
Arya Sempalan terus melangkah dengan bibir tersenyum mengikuti si manusia kera yang berjalan di depannya. Dia terus mengikuti petunjuk jalan keluar dari tempat yang aneh dan membingungkan ini. Tanpa petunjuk si manusia kera dia jelas tak tahu arah mana yang harus dituju. Namun sebelum dia memperhatikan, tahu-tahu sudah berada kembali di puncak bukit batu. Sementara si manusia kera hanya mengantarkan sampai di mulut goa.
"Pergilah, Arya Sempalan! Ingat, banyak ujian yang akan kau hadapi setelah turun dari bukit ini," ujar si manusia kera memperingatkan.
"Aku siap menghadapi semua ujian itu, Ki," sahut Arya Sempalan mantap.
"Jagalah perisai itu, jangan sampai jatuh ke tangan orang lain. Perisai itu akan sangat berbahaya sekali kalau sampai jatuh ke tangan orang durjana. Dan kau akan mendapatkan kesulitan besar jika sampai kehilangan perisai itu," pesan manusia kera.
"Akan kuingat pesanmu, Ki," ucap Arya Sempalan, seraya menjura memberi hormat
"Pergilah, jalankan tugasmu sebagai pendekar sejati!"
"Terima kasih, Ki."
* * * * *
Malam sudah datang menyelimuti permukaan bumi ketika Arya Sempalan sampai di kaki bukit batu. Sebentar dia memandang ke puncak bukit. Kemudian kakinya terus terayun melangkah menuju arah barat. Suasana malam tidak terlalu gelap. Bulan bersinar penuh, menggantung di langit yang semarak dengan bintang-bintang gemerlap. Arya Sempalan terus mengayunkan kakinya sambil bersiul-siul dengan irama yang tidak jelas. Sama sekali dia tidak menyadari kalau sejak tadi ada sepasang mata yang terus mengawasinya.
Ketika Arya Sempalan keluar dari sebuah hutan yang tidak begitu lebat, sepasang mata yang mengawasinya menghilang. Sementara pemuda berpakaian kulit ular itu terus mengayunkan kaki sambil bersiul-siul tanpa irama yang jelas. Namun mendadak.
Wusss...!
"Heh...?! Upths!"
Arya Sempalan melompat ke depan, sambil berputaran beberapa kali di udara, ketika merasakan hembusan angin yang begitu kuat menerjang dari belakang. Setelah mendarat dengan manis di tanah dia segera memutar tubuhnya berbalik. Seketika itu pula terlihat sesosok bayangan merah berkelebat begitu sangat cepat menyambar ke arahnya.
Slap!
"Hap!"
Arya Sempalan langsung melenting sambil bersalto beberapa kali di udara. Sehingga terjangan bayangan merah itu lewat di bawah tubuhnya. Kembali dia menjejakkan kakinya di tanah dengan ringan dan manis sekali. Sementara bayangan merah telah berputar balik, dan langsung melancarkan serangan susulan. Gerakannya begitu cepat laksana kilat, hingga sulit diikuti mata biasa.
"Hm..."
Arya Sempalan menggumam sedikit. Kemudian dia langsung mengangkat tangan kiri hingga Perisai Kulit Naga berada tepat di depan dadanya. Dan tepat pada saat itu juga, bayangan merah itu menghantamnya.
Brakkk!
"Akh...!"
Terdengar benturan keras disertai suara jeritan yang melengking. Tampak sesosok tubuh berbaju warna merah ketat terpental dan terhuyung-huyung ke belakang. Sementara Arya Sempalan sendiri terlihat tetap berdiri tegak, tak bergeming sedikit pun dari tempatnya.
Pandangan matanya yang tajam memperhatikan sosok tubuh laki-laki berusia separo baya yang masih terhuyung-huyung ke belakang. Tampak darah mengalir melalui jari-jemari tangan yang tengah mendekap kepalanya.
Beberapa saat dia terhuyung-huyung sambil mengerang kesakitan. Kemudian tubuhnya ambruk dan langsung menggelepar di tanah. Kepalanya pecah, akibat membentur Perisai Kulit Naga di tangan kiri Arya Sempalan. Sebentar kemudian, laki-laki berusia separo baya berpakaian merah ketat itu mengejang kaku, lalu diam tidak bergerak lagi. Darah semakin banyak bercucuran keluar dari batok kepalanya yang pecah.
"Hhh...!"
Arya Sempalan menghembuskan napas panjang dan berat. Dirinya belum mengerti, kenapa orang itu tiba-tiba saja menyerang dan tewas seketika begitu kepalanya membentur Perisai Kulit Naga. Arya Sempalan memandangi perisai maut yang baru didapatkannya. Dia teringat dengan kata-kata pesan yang diucapkan si manusia kera, penunggu benda-benda pusaka milik dewa.
"Ah, mungkin dia adalah salah seorang yang menginginkan Perisai Kulit Naga ini. Hm... Berapa banyak yang harus aku hadapi nanti...?" gumam Arya Sempalan dengan nada suara mendesah perlahan.
Arya Sempalan kembali mengayunkan kakinya perlahan, setelah memeriksa orang yang sudah tidak bernyawa itu. Sedikit dia sempat melirik, sebelum melanjutkan perjalanannya. Satu rintangan sudah dihadapinya. Dia tidak tahu, berapa banyak lagi rintangan dan cobaan yang akan dihadapinya. Namun dia sudah siap dengan Perisai Kulit Naga berada di tangannya. hatinya sudah bertekad untuk menghadapi semua rintangan yang bakal menghadang. Namun dirinya juga berharap segala cobaan itu akan cepat berakhir.
"Hhhh...!"
Kembali Arya Sempalan menghembuskan napasnya yang berat. Kakinya terus diayunkan melangkah perlahan-lahan menembus malam yang semakin larut. Pandangannya tertuju lurus ke depan sambil terus bersikap waspada. Dia tidak tahu lagi berada di mana sekarang ini. Sekelilingnya hanya semak, rerumputan, dan pepohonan yang menghitam terselimut kegelapan. Sementara bulan yang tadi bersinar tampak terhalang segumpal awan putih di langit. Arya Sempalan terus melangkah dengan ayunan kaki perlahan.
* * * * *
Sementara itu sosok mayat berpakaian merah tadi sudah dikelilingi orang-orang yang berpakaian serta bertampang dari kalangan rimba persilatan. Senjata-senjata yang mereka bawa juga beraneka ragam bentuk dan ukurannya. Entah kapan mereka datang. Tapi Arya Sempalan sudah jauh dan menghilang dari tempat itu.
Ada sekitar dua puluh orang merubungi mayat laki-laki berbaju merah. Tatapan mata mereka memancar begitu tajam, sulit untuk diartikan. Tidak ada seorang pun yang membuka suara. Tanpa ada yang bicara sedikit pun mereka kemudian bergerak pergi satu persatu. Hingga tinggal tiga orang saja yang masih berada di dekat mayat itu.
Ketiga orang itu terdiri dari seorang wanita muda berparas cantik. Di sampingnya berdiri seorang pemuda tampan dengan seekor monyet kecil dipundaknya. Tubuhnya yang kekar terbalut pakaian dari kulit harimau. Dan seorang lagi lelaki berusia lanjut, mengenakan jubah panjang warna putih bersih. Sebatang tongkat kayu tidak beraturan bentuknya tergenggam di tangan kanan. Sedang si gadis cantik membawa sebilah pedang yang tersampir di punggung. Hanya pemuda berbaju kulit harimau yang tampak tak membawa senjata. Namun pada pergelangan tangannya terlihat sebuah cakra persegi enam yang runcing dan berwarna putih keperakan. Mereka juga tidak ada yang mengeluarkan suara sedikit pun. Entah sudah berapa lama ketiganya berdiri mematung memandangi mayat laki-laki berbaju merah itu.
"Korban sudah jatuh. Perisai Kulit Naga akan meminta korban lebih banyak lagi selama masih berada di tangan orang yang salah," gumam orang-tua berjubah putih itu perlahan. Seakan dia bicara pada dirinya sendiri.
"Apa ada cara untuk memusnahkannya, Ki?" tanya pemuda berbaju kulit harimau yang berada di sebelahnya.
"Sepanjang zaman, tidak ada satu senjata pun di muka bumi ini yang dapat mengalahkan senjata milik dewa," sahut orang tua itu pelan.
"Lalu, apa yang akan kau lakukan, Ki Denawa?" tanya gadis cantik yang berada di sebelah pemuda berbaju kulit harimau.
Orang tua berjubah putih yang dipanggil dengan nama Ki Denawa itu hanya menggelengkan kepala. Seakan hatinya merasa berat sekali untuk menjawab pertanyaan si gadis. Dia sendiri sebenarnya tidak tahu, dengan cara apa menghadapi orang yang memegang senjata buatan dewa di kayangan. Belum ada seorang pun yang tahu seperti apa bentuk Perisai Kulit Naga. Namun pada umumnya tokoh-tokoh kalangan persilatan sudah tahu akan munculnya seseorang membawa senjata berupa perisai yang dinamakan Perisai Kulit Naga.
"Anak Muda, kaukah yang berjuluk Pendekar Pulau Neraka...?" tanya Ki Denawa seraya memandang pada pemuda berbaju kulit harimau di sebelahnya.
"Benar, Ki. Orang-orang memanggilku begitu. Tapi aku sendiri lebih senang kalau dipanggil dengan nama Bayu," sahut pemuda berbaju kulit harimau yang tak lain Bayu Hanggara.
Pemuda itu di kalangan rimba persilatan lebih dikenal dengan julukan si Pendekar Pulau Neraka. Sedangkan gadis cantik yang berada di sebelahnya bernama Triwarni. Seorang gadis berkepandaian tinggi yang lebih dikenal dengan julukan si Kupu-kupu Putih. Entah mengapa dirinya dijuluki si Kupu-kupu Putih. Mungkin karena kecantikan wajahnya, atau karena jurus-jurus yang dikuasainya selalu memiliki gerakan lembut seperti kupu-kupu. Padahal setiap gerakan jurusnya selalu mengandung kekuatan yang sangat dahsyat.
"Ada apa dengan dia, Ki?" tanya Triwarni seraya melirik pada Pendekar Pulau Neraka di sebelahnya.
"Mungkin bukan hanya aku yang mendapat wangsit dari Hyang Widi. Entah berapa orang lagi yang sudah tahu. Hanya aku berpesan padamu, Anak Muda. Hati-hatilah kau dalam persoalan ini! Kau akan menghadapi bahaya besar, karena kau akan berpihak pada orang yang memegang Perisai Kulit Naga sekarang ini. Dan itu berarti semua orang akan memusuhimu juga," kata Ki Denawa memberitahu wangsit yang diterima dari Dewa Persembahan.
"Hm...," Bayu menggumam seraya mengerutkan keningnya.
Sementara Triwarni memandangi Pendekar Pulau Neraka dengan sinar mata tajam dan sulit untuk diartikan. Dia baru mengalihkan pandangan ke arah lain, ketika Bayu melirik sedikit padanya. Ki Denawa sendiri memandangi Pendekar Pulau Neraka tanpa berkedip sedikit pun. Seakan dia tengah mencari sesuatu pada diri pendekar muda yang selalu mengenakan baju dari kulit harimau ini.
"Maaf, aku harus segera melanjutkan perjalananku," ucap Bayu meminta izin.
Tanpa menunggu jawaban lagi, Pendekar Pulau Neraka segera melangkah meninggalkan tempat itu. Tanpa disadari, arah yang ditujunya sama dengan arah jalan Arya Sempalan. Pemegang Perisai Kulit Naga yang kini diperebutkan semua tokoh persilatan. Sementara Ki Denawa dan si Kupu-kupu Putih memandangi Pendekar Pulau Neraka hingga lenyap tertelan keremangan malam di bawah cahaya bulan.
"Aku juga akan segera pergi, Ki," pamit Triwarni.
"Ke mana kau akan pergi, Anakku?" tanya Ki Denawa.
"Entahlah...," sahut Triwarni dengan suara mendesah.
"Kau tidak tertarik untuk mengikuti perlombaan ini, Triwarni?" tanya Ki Denawa bernada memancing.
Triwarni hanya tersenyum mendengar pertanyaan itu. Dan tanpa bicara lagi sedikit pun, dia melangkah pergi. Sementara Ki Denawa sendiri juga langsung pergi ke arah yang dituju Pendekar Pulau Neraka. Entah apa yang ada di dalam hati dan pikiran orang tua itu. Sedangkan Triwarni sendiri menghentikan ayunan langkah kakinya, lalu berpaling ke belakang.
"Hm, dia pasti mengikuti Pendekar Pulau Neraka. Baik, aku ikuti saja dia...," gumam Triwarni dalam hati.
"Hup!"
Cepat sekali gadis itu melesat. Dalam sekejap mata saja sudah lenyap bayangan tubuhnya. Entah ke arah mana gadis itu pergi. Sedangkan Ki Denawa terus saja melangkah dengan kepala agak tertunduk. Pandangan matanya tidak lepas dari jalan yang dilaluinya. Jalan yang begitu jelas sekali meninggalkan tapak-tapak kaki Pendekar Pulau Neraka.
* * * * *
Malam terus merayap semakin larut. Arya Sempalan sudah sampai di tepi sebuah desa yang penduduknya sudah terlelap dalam buaian tidur. Tidak ada seorang pun terlihat berada di luar rumah. Desa yang sunyi dan sepi, bagai tidak berpenghuni. Hanya pelita-pelita kecil tampak menyala di beranda depan rumah penduduk yang menandakan kalau desa ini masih berpenduduk. Arya Sempalan terus berjalan memasuki jalan utama desa yang berdebu dan agak lembab oleh embun.
Ayunan langkah kaki Arya Sempalan terhenti, ketika melihat sebuah rumah yang terang-benderang keadaannya. Sebentar matanya memperhatikan keadaan rumah yang tampak ramai itu. Dia memindahkan Perisai Kulit Naga ke punggungnya. Dan kembali melangkah menghampiri rumah yang diduganya sebagai rumah penginapan.
Ternyata dugaan Arya Sempalan benar. Rumah itu ternyata sebuah rumah penginapan yang sangat ramai pengunjungnya. Arya Sempalan langsung saja melangkah masuk tanpa ragu-ragu. Beberapa orang pengunjung di ruangan depan memperhatikannya dengan sinar mata yang seakan ingin menyapa atau mengucapkan selamat datang. Tampak ada yang mengangguk ramah. Ada pula yang tersenyum.
Arya Sempalan langsung menemui pemilik rumah penginapan yang ada di belakang sebuah meja besar berbentuk setengah lingkaran.
"Masih ada kamar untukku, Paman...?" tanya Arya Sempalan dengan nada suara ramah.
Laki-laki berusia separo baya bertubuh gemuk itu memperhatikan Arya Sempalan beberapa saat. Seakan dia hendak menilai apakah tamunya memiliki cukup uang untuk membayar sewa kamar, atau hanya ingin menumpang saja...?
Arya Sempalan seakan-akan tahu maksud pandangan pemilik rumah penginapan itu. Dia mengeluarkan lima keping uang emas dari dalam kantung sabuk pinggangnya. Dan langsung diletakkan di atas meja.
Kedua bola mata laki-laki gemuk pemilik rumah penginapan terbeliak melihat lima keping uang emas di atas mejanya. Dia langsung mengambil pembayaran sewa yang sangat mahal itu dengan bibir tersenyum dan bola mata berbinar.
"Mari, aku antarkan kau ke kamar yang istimewa!" ajak pemilik kedai itu dengan sikap ramah dan senyuman lebar terkembang di bibirnya.
Arya Sempalan hanya tersenyum. Dia kemudian melangkah mengikutinya masuk ke dalam lorong yang cukup lebar, dengan penataan indah. Pintu-pintu kamar berbaris di kiri dan kanan lorong. Semuanya dalam keadaan tertutup.
Sampai di ujung lorong, pemilik rumah penginapan membuka sebuah pintu. Ternyata pintu ini menghubungkan dengan bagian belakang, tampak sebuah taman yang sangat indah di bagian belakang rumah peginapan. Dan di taman itu, terdapat beberapa bangunan kecil yang manis bentuknya. Arya Sempalan terus saja mengikuti langkah kaki pemilik rumah penginapan yang membawanya ke salah satu bangunan di taman belakang ini.
"Silakan...! Tuan bisa beristirahat di dalam dengan nyaman. Tidak ada yang mengganggumu di sini. Tempat ini kubuat khusus untuk mereka yang bisa membayar sewa dengan harga mahal. Seperti Raden...," kata pemilik penginapan yang menyebut tuan bahkan kemudian raden kepada Arya Sempalan. Dia membuka pintu, dan mempersilakan Arya Sempalan masuk.
Arya Sempalan kagum melihat keadaan di dalam ruangan yang berukuran cukup besar. Sebuah ruangan indah dengan seperangkat meja dan kursi serta pembaringan yang indah pula. Di dalam ruangan itu ada satu pintu lagi berada di samping sebuah lemari kayu.
"Itu kamar untuk berbilas. Raden bisa membersihkan diri di sana sepuas-puasnya. Tanpa dipungut bayaran lagi. Dan Raden bisa tinggal di sini selama lima hari. Raden sudah membayarnya dengan cukup," kata pemilik rumah penginapan seraya menunjuk pintu dengan ibu jari.
"Terima kasih," ucap Arya Sempalan seraya tersenyum.
Dia merogoh kantung sabuk yang melilit pinggangnya. Kemudian menyerahkan sekeping lagi uang emas. Membuat kedua bola mata laki-laki separo baya itu agak kaget dan heran.
"Mungkin aku hanya semalam saja di sini, Paman," ujar Arya Sempalan.
"Ah, Raden bisa tinggal di sini selama mungkin yang Raden inginkan," kata pemilik rumah penginapan dengan sikap yang semakin dibuat ramah.
"Terima kasih."
"Oh, ya.... Kalau Raden membutuhkan seorang teman, saya bisa mencarikannya. Gadis-gadis di sini cantik-cantik. Raden cukup memberikan satu keping uang perak saja padanya," kata pemilik rumah penginapan mencoba menawarkan pelayannya.
Arya Sempalan hanya tersenyum mendapat penawaran yang sangat menggairahkan itu. Tapi sedikit pun dia tidak tertarik dengan tawaran pemilik penginapan. Dengan halus sekali Arya Sempalan memintanya keluar. Dan dia cepat mengunci pintu rapat-rapat setelah laki-laki gemuk itu keluar dari kamar yang disewanya.
"Hhhh...!"
Sambil menghembuskan napas panjang dan melepaskan Perisai Kulit Naga dari punggungnya, Arya Sempalan menghempaskan tubuh di atas pembaringan. Dia membuka lebar matanya, memandangi langit-langit kamar yang berwarna putih bersih. Indah sekali kamar yang disewanya. Baru pertama kali ini Arya Sempalan bisa merasakan berada di dalam kamar yang sangat indah dan nyaman.
Ketika matanya hampir terpejam, terdengar suara ketukan halus di pintu. Arya Sempalan langsung menatap pintu yang tertutup rapat. Sambil mendengus panjang, dia turun dari pembaringan. Disimpannya Perisai Kulit Naga di dalam lemari yang ada di samping pembaringan. Kemudian Arya Sempalan membuka pintu kamar.
"Aku diminta mengantarkan ini untukmu, Raden.... Namaku Rara Inten."
Arya Sempalan memandangi gadis muda berwajah cantik yang telah berdiri di depan pintu kamar. Gadis yang sangat cantik. Bentuk tubuhnya indah menggiurkan hanya terbungkus baju dari kain yang sangat tipis. Hingga cahaya lampu di taman depan kamar membuat bentuk tubuhnya membayang jelas. Gadis itu membawa sebuah baki kayu dengan seguci arak, dua cangkir dari perak, serta sepiring makanan kecil. Arya Sempalan menggeser tubuhnya sedikit ke samping. Gadis bernama Rara Inten itu melangkah masuk seraya memberikan senyuman yang manis sekali. Arya Sempalan hanya bisa memperhatikan tanpa dapat mengucapkan kata-kata. Sementara Rara Inten langsung menata hidangan yang dibawanya di atas meja di sudut ruangan. Tepat di bawah jendela yang tertutup rapat.
* * * * *
--««¦ [ EMPAT ] ¦»»--
Rara Inten hanya tersenyum, lalu duduk di kursi. Arya Sempalan nampak mengerutkan kening, heran. Dia melangkah menghampiri, dan duduk di kursi yang ada di seberang meja. Dengan sikap yang lembut sekali si gadis menuangkan arak dari guci ke dalam cangkir perak, di depan Arya Sempalan.
"Aku diperintahkan untuk melayanimu, Raden. Aku harus membuatmu senang," kata Rara Inten dengan suara lembut
"Siapa yang menyuruhmu?" tanya Arya Sempalan seraya menerima gelas berisi arak yang disodorkan padanya.
"Ki Sambura," sahut Rara Inten.
Arya Sempalan mengerutkan keningnya.
"Dia pemilik rumah penginapan ini," lanjut Rara Inten menjelaskan tanpa diminta lagi.
Arya Sempalan hanya diam saja. Diteguknya sedikit minuman yang telah disediakan kemudian meletakkan cangkir kembali ke atas meja. Arya Sempalan mencegah, saat gadis itu hendak menuangkan arak lagi.
"Kau sudah cukup baik melayaniku. Terima kasih, aku mau istirahat," kata Arya Sempalan dengan halus mengusir gadis itu.
"Aku diperintahkan untuk tidak meninggalkanmu, Raden."
"Katakan pada Ki Sambura, kau sudah melayaniku dengan baik. Terima kasih," kata Arya Sempalan tetap menghendaki si gadis cantik keluar. Dia mengeluarkan sekeping uang perak dan Iangsung menaruhnya di telapak tangan Rara Inten. Dengan halus Arya Sempalan membimbingnya ke pintu. Tanpa dapat menolak lagi, gadis cantik itu keluar dari dalam kamar. Dan dia sempat memberikan ciuman kecil di pipi Arya Sempalan.
Setelah gadis itu jauh, Arya Sempalan baru menutup pintu. Namun belum juga dia beranjak ke pembaringan, tiba-tiba terdengar suara jeritan seorang wanita dari luar. Arya Sempalan melompat dan langsung membuka pintu kamar penginapan.
Tampak di tengah taman belakang, seorang laki-laki bertubuh tinggi besar, dengan wajah kasar tengah memaksa gadis cantik yang tadi melayani Arya Sempalan. Entah kenapa, seketika darah Arya Sempalan mendidih. Dan tanpa pikir panjang lagi, dia segera melesat keluar dari kamar penginapannya.
"Lepaskan dia...!" bentak Arya Sempalan dengan suara lantang.
"Heh...?!"
Laki-laki kekar bertampang seram itu tersentak kaget, melihat Arya Sempalan tahu-tahu sudah ada di dekatnya. Dan belum sempat dia bisa berbuat sesuatu, Arya Sempalan sudah melepaskan satu pukulan keras dan cepat, hingga tak dapat dihindarkan lagi.
Diegkh!
"Ugkh...!"
Lelaki bertubuh kekar terlenguh sedikit. Tubuhnya terdorong ke belakang, hingga cekalannya pada gadis cantik terlepas. Arya Sempalan cepat mencekal pergelangan tangan Rara Inten dan membawa ke belakang dirinya. Sementara lelaki bertubuh kekar dengan wajah kasar penuh berewok itu mendengus geram melihat Arya Sempalan berdiri tegak menantang.
"Minggir kau...!" kata Arya Sempalan sambil merentangkan tangannya.
Gadis cantik yang mengenakan baju tipis berwarna biru muda itu bergegas menyingkir ke belakang. Sementara lelaki bertubuh kekar sudah melangkah menghampiri Arya Sempalan sambil mencabut goloknya. Sementara terlihat Ki Sambura datang menghampiri karena mendengar ribut-ribut di belakang rumah penginapannya. Dia tampak begitu terkejut sekali, melihat dua orang tamunya sudah saling berhadapan hendak bertarung. Namun begitu melihat Rara Inten berada di belakang Arya Sempalan lelaki bertubuh gemuk dan berkepala agak botak itu tampak tersenyum. Entah apa arti senyumannya itu.
"Ada apa Inten...?" tanya Ki Sambura setengah berbisik.
"Orang itu mau memaksaku," sahut Rara Inten.
"Lalu...?"
"Dia menolongku," sahutnya sambil menunjuk pemuda berpakaian dari kulit ular.
Ki Sambura tersenyum mendengar jawaban gadis penghiburnya itu. Sementara Arya Sempalan sudah siap menghadapi serangan lelaki bertubuh kekar dengan wajah kasar penuh berewok itu. Beberapa saat mereka saling bertatapan. Lalu....
"Hiyaaaa...!"
Sambil membentak keras, lelaki kekar itu melompat menyerang Arya Sempalan dengan sabetan goloknya yang tajam berkilat. Tapi sedikit pun Arya Sempalan tidak berusaha mengelak. Dan begitu golok yang sudah dekat menyambar ke kepalanya, cepat dia merapatkan kedua telapak tangannya. Hingga....
Tap!
"Heh...?!'
Belum hilang rasa keterkejutannya lelaki kekar itu langsung menjerit. Satu tendangan keras yang dilepaskan Arya Sempalan mendarat tepat di perutnya. Tubuhnya terhuyung ke belakang dengan tubuh terbungkuk. Dan goloknya lepas dari pegangan.
"Hah...?!"
Kedua bola matanya langsung terbeliak, begitu melihat Arya Sempalan menekuk golok itu dengan mudah sekali. Seperti tidak menggunakan tenaga sedikit pun. Golok yang sudah bengkok dilemparkan Arya Sempalan dengan bibir menyunggingkan senyum tipis.
"Aku bisa meremukkan batok kepalamu, kalau aku mau!" dengus Arya Sempalan dingin.
Melihat kedigdayaan lawannya, lelaki bertubuh kekar dengan wajah kasar penuh berewok ini langsung kabur tanpa bicara lagi. Arya Sempalan tersenyum. Ki Sambura datang menghampiri dengan tergopoh-gopoh, diikuti gadis penghiburnya, Rara Inten.
"Ah, terima kasih. Kau benar-benar seorang pemuda yang tangguh. Terima kasih, Raden...," ucap Ki Sambura sambil terbungkuk.
"Sudahlah..., sebaiknya kalian kembali saja. Aku ingin istirahat," kata Arya Sempalan, lalu melangkah kembali ke kamamya.
Sedikit pun dia tidak melirik pada Rara Inten yang ternyata wanita penghibur di penginapan itu. Sementara Ki Sambura mendorong punggung Rara Inten agar mengikuti Arya Sempalan. Dengan wajah takut dan tubuh agak gemetaran, gadis itu terpaksa juga mengikuti langkah Arya Sempalan. Sedangkan Ki Sambura berjalan menuju ruang depan penginapannya.
Arya Sempalan tidak jadi melangkah masuk, merasakan ada langkah kaki mengikuti dari belakang. Dia memutar tubuhnya berbalik. Dan kedua kelopak matanya langsung menyipit, melihat Rara Inten mengikutinya. Sementara dia tidak lagi melihat Ki Sambura.
"Kenapa kau tidak kembali ke kamarmu...?" tegur Arya Sempalan masih dengan suara lembut.
"Aku tidak bisa pergi begitu saja, sementara kau sudah menyelamatkanku," sahut Rara Inten dengan wajah tertunduk.
"Lalu, apa yang kau inginkan?" tanya Arya Sempalan.
"Sudah menjadi kebiasaan di desa ini. Orang yang sudah diselamatkan harus mengabdi sampai mati," sahut Rara Inten masih dengan wajah tertunduk.
"Kau tidak perlu mengabdi padaku, Nisanak..."
"Inten... Namaku Rara Inten. Kau boleh memanggilku Inten saja," kata gadis itu menyelak, mengingatkan Arya Sempalan pada namanya.
Arya Sempalan tersenyum. Dia memutar tubuhnya kembali, dan melangkah masuk. Sementara Rara Inten hanya berdiri di ambang pintu. Sedangkan Arya Sempalan sudah merebahkan dirinya di atas pembaringan. Dia menatap Rara Inten yang masih tetap berdiri menyandar di pintu.
"Masuklah, tutup pintunya!" pinta Arya Sempalan.
* * * * *
Rara Inten bergegas masuk ke kamar sewaan yang indah itu. Dia menutup pintu dan menguncinya dengan rapat. Sementara Arya Sempalan tetap terbaring menelentang menatap langit-langit kamar. Dan Rara Inten duduk bersimpuh di lantai, tidak jauh dari pembaringan. Sikapnya kini tidak lagi genit, tapi sikap seorang abdi yang berada di depan majikannya.
"Kenapa kau duduk di lantai? Itu ada kursi," kata Arya Sempalan seraya bangkit dan duduk di tepi pembaringan.
"Biar aku di sini saja. Aku sekarang abdimu, Raden," sahut Rara Inten.
"Aku bukan bangsawan atau putra raja. Jadi jangan panggil aku dengan sebutan raden. Terlalu tinggi sebutan itu untukku," kata Arya Sempalan meminta.
"Lalu, aku harus memanggilmu apa...?" tanya Kara Inten tidak tahu.
"Terserah, asal jangan raden."
Rara Inten terdiam dengan wajah masih tertunduk memandangi lantai kamar. Sedangkan Arya Sempalan sudah bangkit berdiri, lalu melangkah nendekati meja. Dia kemudian duduk di kursi menghadapi meja kayu. Diraihnya cangkir yang masih berisi arak, lalu ditenggaknya sampai habis.
Rara Inten bergegas bangkit berdiri dan langsung mengisi cangkir yang sudah kosong itu dengan arak. Arya Sempalan hanya diam memperhatikan. Gadis cantik itu kembali duduk bersimpuh di lantai, tepat di depan Arya Sempalan.
"Duduklah di sini!" pinta Arya Sempalan.
"Tapi..."
"Kalau kau mau mengabdi padaku, ikut saja perintahku," kata Arya Sempalan cepat memotong.
Rara Inten tidak bisa lagi menolak. Dia duduk di sebelah pemuda berbaju kulit ular ini. Hanya sebuah meja bundar berukuran tidak begitu besar saja yang menjadi pembatas.
"Nisanak..., kalau kau menjadi abdiku, itu berarti kau harus ikut ke mana saja aku pergi. Bukan begitu...?"
"Benar, memang begitu seharusnya."
"Lalu, kalau aku tidak mau?"
"Aku harus mati di hadapanmu."
Arya Sempalan terperanjat kaget, tidak menyangka akan mendengar jawaban seperti itu. Dan tidak mungkin dia membiarkan gadis secantik Rara Inten mati dengan sia-sia. Arya Sempalan merasa tidak bisa lagi berbuat lain. Dia harus menerima kehadiran gadis itu dalam pengembaraan, walaupun hatinya tidak menginginkan. Akan menjadi beban kalau sampai gadis lemah ini mengikutinya terus, ke mana saja dia pergi.
"Kalau kau perlu sesuatu, katakan saja! Aku akan selalu melayanimu. Apa pun permintaanmu...," kata Rara Inten dengan suara pelan.
Arya Sempalan tidak dapat lagi berkata-kata, meskipun ada sesuatu yang berkecamuk dalam pikirannya. Dia bangkit berdiri dan melangkah ke pintu yang sudah terkunci rapat. Sementara Rara Inten masih tetap duduk bersimpuh di lantai.
"Kau tidurlah di sana! Sudah malam...," kata Arya Sempalan sambil menunjuk pembaringan.
"Tapi...," Rara Inten ingin menolak.
"Ini perintahku...!" agak keras suara Arya Sempalan.
Dengan perasaan bimbang Rara Inten naik ke pembaringan. Dia merebahkan diri di tepi pembaringan dekat dinding. Sementara Arya Sempalan masih tetap berdiri membelakangi pintu. Dia tidak tahu lagi apa yang akan dilakukan pada gadis itu. Sedangkan untuk menolak, sudah tidak mungkin lagi. Dia tahu kalau menolak, Rara Inten akan bunuh diri di depannya. Dan kalau ditinggalkan begitu saja, kehidupannya akan terhina di desa ini. Rara Inten pasti akan pergi meninggalkan desa ini untuk mencarinya. Dan kalau sudah bertemu, dia akan langsung membunuh dirinya sendiri. Semua ini yang tidak dikehendaki Arya Sempalan. Namun dirinya juga tidak mungkin membawa gadis itu ke mana saja dia pergi mengembara. Sedangkan tujuan kepergiannya masih begitu jauh, dan memakan waktu sangat lama.
Malam telah larut. Suasana di penginapan itu pun tampak telah sepi. Arya Sempalan kembali duduk di kursi. Beberapa kali dia menatap Rara Inten yang tetap terbaring menelentang di atas pembaringan berukuran cukup besar itu. Cukup untuk tidur mereka berdua. Namun hatinya merasa jengah jika harus tidur bersama seorang wanita dalam satu ranjang. Dan itu belum pemah dilakukan selama hidupnya. Arya Sempalan lebih memilih tetap duduk di kursi, daripada harus tidur bersama dengan Rara Inten dalam satu pembaringan.
* * * * *
Brak!
"Hah...?!"
Tiba-tiba terdengar suara keras seperti benda keras terjatuh. Arya Sempalan langsung membuka matanya karena kaget. Kedua bola matanya terbeliak lebar, melihat Rara Inten terduduk di lantai dengan sebuah perisai berwarna keperakan berada di depannya. Tangan gadis itu memegangi sisi perisai. Arya Sempalan cepat melompat bangkit dari kursi.
"Apa yang kau lakukan...?!" bentak Arya Sempalan terkejut. Rara Inten tersentak kaget. Dia langsung mengangkat wajahnya yang seketika berubah memucat. Sekujur tubuhnya menggigil ketakutan. Sementara Arya Sempalan mendelik melihat senjata perisainya tergeletak di lantai, dipegangi tangan gadis itu.
"Aku.... Aku...," Rara Inten tampak menggeragap ketakutan. Lidahnya kaku dan tenggorokannya terasa kering melihat wajah Arya Sempalan memerah, dengan bola mata bagai menyala. Dengan cepat pemuda itu langsung mengambil Perisai Kulit Naga dan menyampirkannya ke punggung. Dengan kasar dia menarik tangan Rara Inten, hingga gadis itu terpekik kecil, langsung berdiri. Kerasnya cekalan tangan Arya Sempalan, membuat Rara Inten meringis menahan sakit.
"Siapa yang menyuruhmu mencuri perisaiku...?" desis Arya Sempalan dingin menggetarkan.
Rara Inten kelihatan benar-benar ketakutan. Dirinya seakan tidak sanggup menjawab pertanyaan pemuda itu. Wajahnya sudah putih seperti mayat. Tubuhnya bergemetaran bagai terserang demam. Dan belum sempat dia mengeluarkan suara apa pun, tiba-tiba saja sudah terdengar suara dari arah belakang Arya Sempalan.
"Serahkan Perisai Kulit Naga itu, Anak Muda...!"
"Heh...?!"
Arya Sempalan cepat membalikkan tubuh ke belakang. Entah kapan datangnya, tahu-tahu di ambang pintu sudah berdiri Ki Sambura. Di belakang pemilik penginapan itu berdiri empat orang lelaki bertubuh besar dan kekar, dengan wajah kasar penuh berewok. Salah seorang dari mereka dikenali Arya Sempalan. Orang itulah yang tadi hendak memaksa Rara Inten. Arya Sempalan tampak geram melihat kenyataan ini.
Arya Sempalan kini tahu apa yang sebenarnya terjadi. Rupanya kejadian tadi hanya tipu daya belaka. Ki Sambura sengaja, memperalat Rara Inten untuk mengambil Perisai Kulit Naga. Namun gadis itu terlalu lemah untuk mengangkat Perisai Kulit Naga. Dia tidak kuat hingga terjatuh ke lantai dengan suara keras. Menyadari dirinya masuk ke dalam perangkap yang sangat halus ini, Arya Sempalan marah bukan kepalang.
"Huh!"
Sambil mendengus geram, Arya Sempalan menyentakkan tubuh Rara Inten ke depan, hingga membuat wanita cantik yang mengenakan baju tipis biru muda itu jatuh tersungkur ke lantai. Mulutnya terpekik kecil. Lalu perlahan dia merangkak mendekati pembaringan. Wajahnya masih kelihatan pucat seperti mayat. Dan tubuhnya terus gemetaran hebat, dengan bintik-bintik keringat mengalir di keningnya.
"Serahkan Perisai Kulit Naga itu, Anak Muda. Dan aku jamin keselamatan nyawamu sampai ke perbatasan desa ini," ujar Ki Sambura dingin, dengan tatapan mata tajam menusuk langsung ke bola mata Arya Sempalan.
"Tidak semudah itu kau merebut Perisai Kulit Naga dariku, Ki Sambura," sambut Arya Sempalan dengan suara tenang.
"Kau tidak akan bisa keluar dari rumahku ini, Anak Muda. Serahkan saja perisai itu, kalau kau masih sayang pada nyawamu. Rumah ini sudah terkepung orang-orangku...," ancam Ki Sambura masih dengan nada suara dingin menggetarkan.
"Hm...," Arya Sempalan hanya menggumam sedikit.
Dia melirik ke jendela yang tertutup rapat dengan sudut ekor matanya. Sementara Ki Sambura sudah melangkah masuk ke kamar, diikuti empat orang pengawalnya yang masing-masing memegang golok terhunus. Belum sempat Ki Sambura bisa mendekat, mendadak...,
"Hup! Yeaaah...!"
Cepat sekali Arya Sempalan mengambil Perisai Kulit Naga dari punggungnya, dengan tangan kiri. Secepat kilat tubuhnya melompat ke depan sambil mengebutkan perisai pusaka itu dengan keras ke arah Ki Sambura dan empat orang anak buahnya itu.
Buk! Plak!
"Ugkh...!"
"Akh...!"
Dua orang seketika terpental, terkena sambaran Perisai Kulit Naga di tangan kiri Arya Sempalan. Pemuda itu langsung melesat ke luar dengan kecepatan bagai kilat. Untung saja Ki Sambura cepat melompat ke samping, hingga terhindar dari terjangan Arya Sempalan.
Arya Sempalan dengan manis sekali menjejakkan kakinya di tanah yang berumput lembut. Namun baru saja dia menegakkan tubuhnya, puluhan batang anak panah sudah melesat menghujaninya dari segala arah.
"Edan...! Hup!"
Dengan cepat Arya Sempalan melentingkan tubuhnya di udara, sambil mengibaskan Perisai Kulit Naga guna melindungi tubuhnya dari hunjaman anak-anak panah. Cepat sekali gerakan yang dilakukannya hingga tak satu pun anak panah yang sempat menghunjam ke tubuhnya.
"Hup! Yeaaaah...!"
* * * * *
--««¦ [ LIMA ] ¦»»--
Begitu cepatnya serangan yang dilancarkan Arya Sempalan, hingga tiga orang yang ada di atas atap tidak sempat menangkis atau menghindari. Seketika tubuh mereka berpentalan jatuh dari atap diiringi jeritan panjang melengking yang saling bersahutan.
Arya Sempalan berdiri tegak di atas atap bangunan kamar sewaan khusus itu. Dia melihat Ki Sambura sudah berada di luar bersama empat orang anak buahnya. Dia tampak terkejut sekali melihat Arya Sempalan berada di atas atap bangunan kamar sewaannya.
Beberapa saat Arya Sempalan memandangi mereka. Segera disampirkannya lagi Perisai Kulit Naga ke punggung. Kemudian dia melesat turun ke belakang bangunan kamar sewaannya. Begitu ringan dan cepat gerakannya. Sebentar saja dia sudah menjejakkan kakinya di luar pagar belakang rumah penginapan tanpa menimbulkan suara sedikit pun.
"Hup!"
Arya Sempalan tak mau membuang-buang waktu. Dengan cepat dia melesat dengan mempergunakan ilmu peringan tubuh yang sudah mencapai tingkat tinggi. Bagai angin tubuhnya melesat begitu cepat. Sehingga sebentar saja pemuda itu sudah berada di luar perbatasan desa. Dia baru berhenti berlari setelah dirasakan cukup jauh meninggalkan desa itu.
"Phuh...! Rasanya tidak ada lagi tempat tenang untukku...," dengus Arya Sempalan, seraya menghembuskan napas berat.
Dengan punggung tangannya, Arya Sempalan menyeka keringat yang membanjiri wajah dan lehernya. Sejenak dia memandangi desa yang masih terlihat lelap dalam buaian mimpi. Tidak ada seorang pun yang mengejar. Arya Sempalan kembali melanjutkan langkahnya meninggalkan desa itu.
Namun belum jauh dia berjalan, tiba-tiba berkelebat beberapa sosok bayangan mendekatinya. Sebentar saja pemuda itu sudah terkepung tidak kurang dari sepuluh orang dengan senjata terhunus.
"Hhh! Ada apa lagi ini...?" desah Arya SempaIan.
Kesepuluh sosok berpakaian hitam semuanya menggenggam pedang yang berkilatan tajam. Jelas sekali sikap mereka sama sekali tidak menunjukkan persahabatan. Arya Sempalan memandangi mereka satu persatu. Sementara sepuluh orang itu sudah bergerak berputar mengelilinginya.
"Serahkan perisai itu, Bocah! Atau kau ingin kepalamu terpisah dari leher...!"
"Hm...."
Arya Sempalan hanya menggumam seraya menatap tajam pada lelaki separo baya yang berada tepat di depannya. Tanpa dijelaskan lagi, Arya Sempalan sudah tahu apa maksud mereka mengepungnya. Tanpa menyahut tangan kirinya segera mengambil Perisai Kulit Naga yang ada di punggung. Sikapnya tampak tenang sekali. Seolah sedikit pun tak ada rasa takut dalam hatinya. Dengan perisai yang kini berada di depan dada, pemuda itu memiliki pelindung yang tidak akan bisa ditembus siapa pun.
"Kalian ingin perisai ini...? Langkahi dulu mayatku!" dengus Arya Sempalan dingin menggetarkan.
"Bocah sombong! Kau akan rasakan akibatnya! Seraaang...!"
Lelaki berusia separuh baya yang berada tepat di depan Arya Sempalan, berteriak lantang memberi perintah. Seketika itu juga, salah seorang yang berada di sebelah kiri Arya Sempalan melompat sambil membabatkan pedangnya. Tepat ke kepala pemuda ini.
Bettt!
"Hih!"
Arya Sempalan sengaja tidak bergerak menghindar. Namun, begitu pedang lawannya hampir menebas kepala, dengan cepat sekali dia mengangkat Perisai Kulit Naga guna memapak serangan itu. Hingga....
Trang!
"Akh...?!"
Orang itu terpekik, ketika pedangnya menghantam Perisai Kulit Naga yang melindungi kepala Arya Sempalan. Dan belum hilang rasa terkejutnya, Arya Sempalan sudah memberikan satu tendangan menyamping yang begitu cepat, disertai dengan pengerahan tenaga dalam.
"Yeaaah...!"
Begkh!
"Akh...!"
Begitu cepat tendangan yang dilepaskan Arya Sempalan, hingga lawannya tidak dapat menghindari. Dan tendangan yang keras bertenaga dalam tinggi itu menghantam telak dada lelaki berpakaian hitam. Tubuh orang itu terpental jauh ke belakang. Kemudian dengan keras terbanting di tanah. Sesaat tubuhnya berkelojotan. Kemudian mengejang kaku, tewas dengan darah merembes keluar dari mulutnya.
Wuttt!
"Hup!"
Arya Sempalan cepat memutar tubuhnya, ketika merasa ada serangan dari belakang. Dengan cepat pula dikibaskan Perisai Kulit Naga, menangkis tebasan pedang lawan yang menyerangnya. Namun lelaki bercambang lebat itu sepertinya sudah tahu kalau Perisai Kulit Naga tidak dapat ditembus dengan pedang biasa. Cepat dia memutar pedangnya, dan langsung menyabet ke pinggang.
"Haiiit...!"
Mengetahui lawannya memindah arah pedang, Arya Sempalan meliukkan tubuhnya ke belakang. Sehingga tebasan pedang lelaki berewok itu tak mengenai sasaran. Dan belum sempat tubuhnya dapat berdiri tegak satu serangan lagi datang dari sebelah kanan. Disusul dengan serangan lain memburu dari sebelah kirinya. Tampaknya lawan tak ingin memberi kesempatan bagi Arya Sempalan untuk menghindari serangan yang datang dari segala arah secara bersamaan. Dengan cepat tubuhnya berputar sambil mengebutkan Perisai Kulit Naga.
Wuttt!
Trang!
Tak!
Sabetan-sabetan pedang yang mengarah ke tubuh Arya Sempalan, seketika itu juga membentur Perisai Kulit Naga. Dentingan nyaring terdengar bersahutan diiringi percikan bunga api ke segala arah, ketika pedang-pedang itu beradu dengan Perisai Kulit Naga. Para pergeroyok itu berlompatan ke belakang dengan wajah memancarkan keterkejutan yang hebat. Mereka merasakan getaran hebat di tangan ketika berbenturan, bagai menghantam sebongkah batu cadas yang begitu keras melebihi baja.
Sementara Arya Sempalan telah berdiri tegak dengan sikap yang tampak tenang sekali. Tinggal sembilan orang lawan yang masih mengepungnya. Namun tampaknya mereka berkeras ingin menjatuhkan pemuda berpakaian dari kulit ular yang kini memegang senjata sakti itu.
Belum sempat kesembilan lelaki berpakaian hitam itu melakukan serangan tiba-tiba berdatangan orang-orang dari arah desa. Puluhan orang dengan berbagai macam senjata berlarian ke tempat pertarungan. Dan saat itu pula, terlihat dari arah utara serombongan orang berdatangan. Lalu dari segenap arah bermunculan orang-orang yang dilihat dari pakaian dan sikap mereka pasti orang-orang dari kalangan persilatan. Hingga tempat yang merupakan sebuah padang rumput kecil itu penuh dengan orang-orang dari kalangan persilatan, maupun mereka yang datang dari perguruan-perguruan silat. Mereka semua mengurung Arya Sempalan.
"Gila...! Apa mereka semua menginginkan Perisai Kulit Naga...?!" desis Arya Sempalan dalam hati.
* * * * *
Arya Sempalan benar-benar tidak mengerti dengan semua ini. Sungguh dia tidak menyangka kalau begitu banyak orang yang sudah tahu tentang Perisai Kulit Naga, bahkan menginginkankan senjata pusaka itu. Bergetar juga hatinya melihat begitu banyak orang yang mengepungnya. Mereka rata-rata tokoh-tokoh persilatan tingkat tinggi yang sudah punya nama di rimba persilatan.
Arya Sempalan tidak tahu, apakah dia bisa selamat...? Namun dirinya tidak ingin menyerah begitu saja. Terlebih lagi, dia harus mempertahankan Perisai Kulit Naga yang dipercayakan Hyang Widi padanya. Arya Sempalan yakin, kalau Perisai Kulit Naga memang diserahkan dewa padanya. Tapi sungguh hatinya tidak pernah menduga akan menghadapi persoalan rumit ini. Begitu berat tantangan yang harus dihadapinya.
Di antara puluhan tokoh persilatan tampak Pendekar Pulau Neraka dan Ki Denawa yang berdiri di sebelahnya. Triwarni yang dikenal dengan nama julukan si Kupu-kupu Putih juga terlihat ada di antara mereka semua. Tapi yang jelas, kehadiran Pendekar Pulau Neraka bukan karena menginginkankan Perisai Kulit Naga. Entah, mungkin juga apa yang diramalkan Ki Denawa memang benar. Selain itu juga terlihat Ki Sambura bersama sekitar lima belas orang anak buahnya.
Sementara itu Arya Sempalan sudah harus menghadapi dua orang lelaki berwajah kembar mengenakan baju warna merah menyala. Mereka menggunakan senjata berupa sepasang tombak pendek bermata pada setiap ujungnya. Semua orang tahu kalau dua orang lelaki kembar itu berjuluk Setan Kembar dari Utara. Dan semua tahu kalau sepak terjang mereka selalu merugikan orang lain.
Dengan geram dan sengit keduanya menyerang Arya Sempalan. Tapi pemuda yang mengenakan baju dari kulit ular dengan tenang sekali menghadapi mereka. Tidak satu pun serangan-serangan yang dilancarkan si Setan Kembar dari Utara berhasil bersarang di tubuhnya. Sementara pertarungan mereka sudah berjalan lima jurus. Namun saat memasuki jurus keenam, Perisai Kulit Naga yang berada di tangan kiri Arya Sempalan menghantam kepala kedua lawan kembarnya. Begitu keras hantamannya, hingga menimbulkan suara ledakan keras dan memekakkan telinga. Tampak Setan Kembar dari Utara terhuyung-huyung dengan kepala pecah. Tubuh keduanya ambruk dengan darah mengucur dari kepala mereka yang pecah.
Belum sempat Arya Sempalan menarik napas lega, tiba-tiba sesosok bayangan hitam melesat ke arah Arya Sempalan. Sosok bayangan itu ternyata seorang perempuan tua berjubah hitam dan sudah lusuh. Sebatang tongkat berbentuk ular yang juga berwama hitam, tergenggam di tangan kanannya. Tanpa banyak bicara, perempuan tua yang berjuluk Iblis Ular Betina itu langsung menyerang Arya Sempalan dengan jurus-jurus cepat dan dahsyat luar biasa.
"Dia tidak akan sanggup menghadapi mereka semua...," gumam Bayu perlahan, seperti bicara pada dirinya sendiri.
Gumaman Pendekar Pulau Neraka yang sangat pelan, menarik perhatian Ki Denawa. Dia berpaling menatap pemuda berbaju kulit harimau yang selalu membawa seekor monyet kecil berbulu hitam di pundak kanannya. Pandangan lelaki tua berjubah putih itu membuat Bayu melirik sedikit padanya. Namun kemudian dia cepat kembali memperhatikan pertarungan Arya Sempalan dengan si Iblis Ular Betina.
"Hanya pertolongan dewa yang bisa menyelamatkannya," ujar Ki Denawa dengan suara pelan.
"Rasanya dewa juga tidak akan bisa menolongnya dari keroyokan yang begitu banyak, Ki," selak Triwarni.
Sementara itu Arya Sempalan sudah menguasai jalannya pertarungan. Dua kali pukulan menggeledek mendarat di tubuh si Iblis Ular Betina. Kemudian disusul keprukan Perisai Kulit Naga di kepala, membuat perempuan tua itu menjerit melengking. Sebelum tubuhnya ambruk, Arya Sempalan sudah memberikan satu tendangan keras bertenaga dalam tinggi. Seketika tubuh perempuan tua itu terpental jauh ke belakang dan jatuh dengan keras sekali menghantam tanah. Seketika itu juga nyawanya melayang. Darah berhamburan dari kepalanya yang pecah terhantam Perisai Kulit Naga tadi.
"Ayo...! Siapa lagi yang mau merebut Perisai Kulit Naga dariku! Langkahi dulu mayatku...!" lantang sekali suara Arya Sempalan menantang.
Pemuda itu tampaknya sudah tak tahan menanggung kekesalan hatinya, melihat begitu banyak orang yang menghendaki Perisai Kulit Naga. Baru saja suara tantangan tadi lenyap dari pendengaran, sudah melesat empat orang laki-laki bertubuh tinggi besar, dengan otot-otot bersembulan ke luar. Mereka adalah tukang-tukang pukul Ki Sambura. Tanpa bicara lagi, keempatnya langsung menyerang Arya Sempalan dengan golok yang berukuran sangat besar.
Namun tukang-tukang pukul rumah penginapan itu tampak bukanlah tandingan berat bagi Arya Sempalan. Sehingga dalam beberapa gebrakan saja keempat lelaki bertubuh kekar itu berjatuhan dan tewas seketika. Kematian empat tukang pukulnya, membuat berang Ki Sambura. Namun melihat ketangguhan pemuda itu, hatinya gentar juga. Dia hanya bisa menahan kegeramannya di dalam hati. Sedikit pun kakinya tak bergerak maju melawan Arya Sempalan.
"Ayo, serang saja dia! Jangan diberi ampun...!"
Tiba-tiba terdengar suara keras menggelegar memberi perintah. Mendengar suara seruan menggelegar itu, Bayu tersentak kaget. Apalagi ketika dilihatnya mereka yang mengepung pemuda berbaju kulit ular sudah mulai bergerak maju hendak mengeroyok.
"Dia bisa mati kalau dikeroyok. Huh! Pengecut...!" dengus Bayu tidak tahan lagi melihat keadaan pemuda yang memegang perisai sakti itu benar-benar terjepit.
Tanpa berpikir panjang lagi, Pendekar Pulau Neraka langsung melompat, melewati beberapa kepala yang ada di depannya. Melihat lesatan Bayu yang begitu cepat, Ki Denawa dan Triwarni tersentak kaget. Namun sebelum mereka bisa menghilangkan keterkejutannya, Pendekar Pulau Neraka sudah berada di sebelah kanan Arya Sempalan.
"Tahan...!" bentak Bayu dengan suaranya yang keras menggelegar, disertai pengerahkan tenaga dalam yang sempuma.
Bentakan Pendekar Pulau Neraka menghentikan gerakan orang-orang yang hendak mengeroyok Arya Sempalan. Mereka terkejut sekali melihat munculnya pemuda berbaju kulit harimau yang sudah mereka kenali. Orang-orang yang berkecimpung di dalam rimba persilatan, sudah barang tentu sudah mendengar nama Pendekar Pulau Neraka. Bahkan mereka yang sudah pernah bertemu dengannya, langsung tergetar hatinya melihat kemunculan pendekar muda digdaya yang sukar sekali dicari tandingannya itu.
* * * * *
"Aku paling benci melihat tikus-tikus pengecut berebut makanan basi! Kalau kalian tidak berani menghadapi sendiri, cepat angkat kaki dari sini!"
Lantang sekali kata-kata Pendekar Pulau Neraka, karena disertai dengan pengerahan tenaga dalam yang tinggi. Hingga semua orang yang ada di tempat itu mendengar dengan jelas. Mereka yang sudah tahu siapa Pendekar Pulau Neraka, segera menarik diri ke belakang. Namun tidak sedikit juga yang masih tetap tidak bergerak mundur. Mereka adalah yang merasa memiliki kepandaian tinggi dan bisa menandingi kepandaian Pendekar Pulau Neraka.
Sementara Bayu berpaling sedikit menatap Arya Sempalan. Pada saat itu Ki Denawa melompat menghampiri. Lelaki tua berjubah putih itu langsung menjejakkan kakinya tiga langkah lagi di depan Bayu dan Arya Sempalan. Jejak Ki Denawa diikuti oleh si Kupu-kupu Putih. Mereka langsung mengambil tempat mengapit kedua anak muda digdaya itu.
Kemunculan dua tokoh persilatan tingkat tinggi yang berdiri di pihak Arya Sempalan, semakin membuat mereka terkejut. Mereka yang berkepandaian rendah semakin tak berani menunjukkan muka. Dan langsung memutuskan untuk menjadi penonton, daripada harus mati konyol seperti yang lain.
Untuk menghadapi Arya Sempalan saja sudah begitu sulit. Apalagi sekarang ini dia mendapat dukungan dari Pendekar Pulau Neraka, Ki Denawa yang dikenal dengan nama julukan Malaikat Bayangan itu, serta si Kupu-kupu Putih. Jelas kekuatan Arya Sempalan kini semakin sulit untuk dapat dikalahkan. Mereka yang masih sayang dengan nyawa, langsung menyingkir menjauhi tempat pertarungan. Untuk beberapa saat lamanya, keadaan di tempat itu jadi sunyi senyap. Tidak seorang pun yang mengeluarkan suara. Seperti berada di tengah-tengah padang pasir yang luas. Hanya angin malam yang terdengar mengusik telinga.
"Siapa kalian? Kenapa berpihak padaku...?" tanya Arya Sempalan sambil melirik pada Pendekar Pulau Neraka.
"Kami hanya orang-orang yang tidak suka akan keributan seperti ini. Kau berhak memiliki Perisai Kulit Naga. Tidak ada seorang pun yang berhak merebutnya darimu. Pertahankan perisai itu! Aku dan teman-temanku ini akan membantumu menghadapi mereka," Ki Denawa yang menyahuti.
"Terima kasih," ucap Arya Sempalan seraya tersenyum.
Ada kelegaan di dalam hati Arya Sempalan melihat masih ada orang yang tidak tergiur dengan Perisai Kulit Naga. Bahkan kini berpihak padanya untuk menghadapi tokoh-tokoh persilatan yang menghendaki perisai itu. Walaupun tidak kenal siapa ketiga orang ini, Arya Sempalan sudah bisa merasakan adanya ketulusan pada sinar mata mereka.
"Ki Denawa, usahakan dia bisa lolos dari tempat ini! Aku dan Triwarni akan menghadang mereka," kata Bayu.
"Aku percaya padamu, Bayu," sahut Ki Denawa seraya tersenyum kecil.
"Ayo, Triwarni! Kita hadapi mereka," ajak Bayu sambil mencolek sedikit lengan si Kupu-kupu Putih.
"Dengan senang hati, Kakang Bayu," sambut Triwarni diiringi senyuman manis.
Bayu hanya meringis mendapat gurauan seperti itu. Dan saat itu Ki Denawa membisikkan sesuatu pada Arya Sempalan. Pemuda itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Sementara tokoh-tokoh persilatan yang masih menginginkan Perisai Kulit Naga, sudah kembali bergerak maju. Mereka ternyata tokoh-tokoh persilatan golongan hitam. Sedangkan tokoh persilatan golongan putih, sudah tidak ada lagi yang menginginkan Perisai Kulit Naga, setelah tahu si Malaikat Bayangan, Pendekar Pulau Neraka, dan si Kupu-kupu Putih berpihak pada Arya Sempalan. Jelas kalau ketiga tokoh itu tidak dapat dihadapi. Walaupun mereka menyerang secara gabungan.
Ketiga tokoh itu tak dapat diragukan memiliki kepandaian ilmu silat yang sukar sekali dicari tandingannya. Namun tidak demikian dengan para tokoh persilatan dari golongan hitam. Tidak peduli siapa yang berpihak pada Arya Sempalan. Mereka terus bergerak maju semakin rapat mengepung.
"Seraaang...!"
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Begitu terdengar suara teriakan memberi perintah, seketika mereka berhamburan sambil berteriak-teriak melakukan serangan. Mereka meluruk cepat bagai air sungai yang menjebol tanggul. Triwarni langsung mencabut pedangnya. Sedangkan Pendekar Pulau Neraka sudah menggenggam Cakra Maut di tangan kanannya.
"Hadapi mereka, Triwarni! Yeaaah...!"
Wuttt!
Sambil membentak keras menggelegar, Bayu langsung melompat menghadang orang-orang itu. Dengan cepat dan keras dia mengibaskan tangan kanannya, menyabetkan Cakra Maut pada salah seorang yang berada dekat dengannya. Namun sabetan senjata itu berhasil dihindari. Sementara Triwarni sudah menghadapi tidak kurang dari lima orang lawan yang menyerangnya dengan gencar.
"Hiyaaat...!"
Arya Sempalan sendiri tidak bisa tinggal diam begitu saja. Dia langsung melompat menghajar lawan-lawannya. Ki Denawa sendiri sudah berkelebatan begitu cepat, menghadapi beberapa orang yang menyerangnya. Begitu cepat gerakan-gerakan yang dilakukan si Malaikat Bayangan itu, hingga yang terlihat hanya kelebatan bayangan putih dari jubah yang dikenakannya.
Pertempuran terbuka tidak dapat dihindarkan lagi. Puluhan orang mengeroyok empat orang yang berkepandaian tinggi. Pertempuran itu baru berlangsung beberapa saat. Namun suara pekik kemarahan dan jeritan kesakitan sudah terdengar bersahutan ditingkahi dentangan beradunya senjata. Kesunyian malam yang dingin seketika terpecah oleh riuh dan hiruk-pikuk mereka. Beberapa tubuh ambruk dan bergelimpangan berlumuran darah.
Tampak Bayu sendiri sudah merobohkan lima orang lawannya. Sementara pedang di tangan Triwarni juga sudah bernoda darah. Tubuh-tubuh tidak bernyawa bergelimpangan terinjak-injak mereka yang masih terus bertarung dengan sengit.
"Ki Denawa, cepat bawa dia pergi sekarang juga...!" teriak Bayu sambil menundukkan tubuhnya, menghindari sambaran sebuah tombak yang menyabet kepalanya.
Wuttt!
"Hih! Yeaaa...!"
Pendekar Pulau Neraka menghentakkan tangan kanannya sambil melepaskan Cakra Maut yang berada dalam genggaman. Senjata maut persegi enam itu melesat begitu cepat, hingga orang yang baru menyerang dengan tombaknya tidak sempat bergerak untuk menghindari. Dan...
Crab!
"Aaaa...!"
Hup!
Pendekar Pulau Neraka langsung melesat melompat sambil mengangkat tangan kanannya ke atas. Cakra Maut kembali menempel di pergelangan tangan kanannya. Kemudian dengan cepat dia melesat mendekati Ki Denawa yang tengah menghadapi lebih dari sepuluh orang lawan berkepandaian tinggi.
"Yeaaah...!"
Bettt!
Diegkh!
"Akh...!"
Lelaki berbaju hitam langsung terjerembab, terkena tendangan keras yang dilepaskan Bayu. Pemuda berpakaian kulit harimau itu langsung menjejakkan kakinya di samping Ki Denawa. Rupanya teriakannya tadi tidak terdengar sama sekali oleh orang tua ini.
"Bawa dia pergi sekarang, Ki! Cepat...!" sentak Bayu agak keras suaranya.
"Baik... Hati-hatilah...!" sahut Ki Denawa.
"Hup! Hiyaaa...!"
Ki Denawa langsung melompat menghampiri Arya Sempalan yang baru saja menghantamkan Perisai Kulit Naga ke kepala lawannya. Pemuda itu rupanya melihat juga kelebatan tubuh si Malaikat Bayangan yang menuju ke arahnya. Tanpa membuang-buang waktu lagi, dia langsung melesat ke atas dengan pengerahan ilmu meringankan tubuh yang sudah tinggi tingkatannya. Tepat pada saat itu juga, Ki Denawa menyambar tubuhnya. Pemuda itu dibawanya melesat dengan kecepatan bagai kilat, tanpa menyentuh kaki sedikit pun ke tanah.
"Triwarni, cepat ke sini...!" teriak Bayu, begitu melihat Ki Denawa sudah bisa membawa pergi Arya Sempalan.
Mendengar panggilan Pendekar Pulau Neraka, si Kupu-kupu Putih cepat melompat menghampiri. Dan saat itu juga mereka sama-sama melesat dengan cepat sekali sambil berpegangan tangan.
"Hup!"
"Hiyaaa...!"
"Kejaaar...! Jangan biarkan mereka lolos...!"
"Kejaaar...!"
* * * * *
--««¦ [ ENAM ] ¦»»--
Sementara si Malaikat Bayangan yang membawa Arya Sempalan sudah sampai di tepi sebuah telaga kecil di tengah-tengah hutan. Tidak lama mereka menunggu, Pendekar Pulau Neraka dan si Kupu-kupu Putih muncul dari balik kabut yang sangat tebal di dalam hutan. Mereka langsung mengedarkan pandangan berkeliling, mengamati keadaan sekitarnya yang sunyi dan sepi. Suasana gelap dan berkabut di hutan itu membuat pandangan mata mereka tidak bisa menembus jarak yang jauh.
"Aku rasa mereka tidak bisa mengejar, Ki," ujar Triwarni dengan suara pelan seperti berbisik.
"Hm, tapi kita jangan lengah. Mereka tentu tidak akan menyerah begitu saja, sebelum memperoleh Perisai Kulit Naga," kata Ki Denawa dengan nada suara terdengar agak menggumam.
"Benar, Ki. Kita harus tetap waspada sampai semua persoalan ini selesai," sambung Bayu.
Sementara Arya Sempalan hanya diam saja memandangi ketiga orang penolongnya. Entah apa yang ada di dalam pikiran pemuda itu. Tapi yang jelas, dia masih belum bisa mengerti dengan semua yang telah terjadi padanya. Sejak dia memiliki Perisai Kulit Naga, selalu saja datang bahaya yang mengancam.
"Tempat ini cukup aman untuk melewatkan malam," kata Bayu lagi.
"Kau yakin...?" tanya Triwarni menegaskan.
"Aku tahu betul seluk-beluk hutan ini. Aku yakin, mereka tak akan sampai mengejar ke sini. Kalaupun mereka ke sini, sudah tentu menunggu pagi," sahut Bayu meyakinkan.
"Aku percaya padamu, Bayu," kata Ki Denawa.
"Tapi sebaiknya jangan membuat api," kata Bayu lagi.
"Aku bisa mengerti," sahut Ki Denawa lagi seraya tersenyum mengerti.
"Tapi udara di sini dingin sekali, Bayu," selak Triwarni.
"Tidak terlalu lama. Aku yakin sebentar lagi pagi akan datang. Dan tempat ini akan kembali hangat. Tapi kita harus segera pergi sebelum matahari terbit. Nah, kita istirahat dulu di sini," kata Bayu lagi.
"Hm..., bagaimana denganmu...?"
Bayu menatap pada Arya Sempalan.
"Aku menurut saja apa yang menjadi keputusan kalian bersama. Aku berhutang budi pada kalian," sahut Arya Sempalan.
"Oh, ya.... Namaku Arya Sempalan."
"Bayu."
"Triwarni."
"Ki Denawa..."
Mereka saling berjabatan tangan, sambil memperkenalkan nama masing-masing. Kemudian duduk melingkar di tepi telaga. Sementara malam terus merambat menjelang pagi. Udara di sekitar telaga kecil itu semakin bertambah dingin. Suasana begitu lengang, hanya desau angin lembut yang terdengar.
* * * * *
Pagi-pagi sekali, sebelum matahari memancarkan cahayanya, mereka sudah berangkat meninggalkan telaga kecil di tengah hutan itu. Keempatnya berjalan cepat menuju ke arah timur, dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh. Hingga dalam waktu sebentar saja mereka sudah jauh, menembus ke dalam hutan lebat
Mereka terus berjalan tanpa beristirahat. Ketika matahari berada tepat di atas kepala, mereka sampai di kaki sebuah gunung yang tinggi. Mereka berhenti memandangi puncak gunung yang tertutup kabut itu.
"Untuk apa kita ke sana, Ki Denawa?" tanya Arya Sempalan tanpa mengalihkan pandangannya dari puncak gunung yang berdiri angkuh di depannya.
"Di sana Eyang Brajasakti tinggal. Kau harus menempa diri bersamanya, agar lebih sempurna lagi menggunakan Perisai Kulit Naga. Biasanya, mereka yang mendapatkan sesuatu dari Dewata, akan menempa diri bersama Eyang Brajasakti, agar lebih sempurna dalam menggunakannya," ujar Ki Denawa menjelaskan.
Arya Sempalan memandangi Perisai Kulit Naga yang masih melekat di tangan kirinya. Kemudian memandangi wajah Ki Denawa, lalu Bayu dan terakhir memandangi Triwarni. Mereka semua menganggukkan kepala pertanda menyetujui saran yang diberikan Ki Denawa.
"Maaf, kalian tidak ingin menjebakku, bukan...?" tukas Arya Sempalan seperti curiga.
"Ha ha ha...!"
Ki Denawa tertawa terbahak-bahak mendengar pertanyaan bernada curiga pemuda itu. Bayu dari Triwarni hanya tersenyum. Mereka tidak bisa menyalahkan Arya Sempalan kalau punya rasa curiga di hatinya. Memiliki sesuatu yang dibuat para dewa memang tidak bisa hidup tenang di mana pun. Namun, manusia yang dipercaya Dewata untuk menggunakan senjata buatannya, selalu mendapat perlindungan dalam menegakkan kebenaran di muka bumi ini.
"Kau tidak perlu curiga pada kami, Arya Sempalan. Kami semua masing-masing sudah memiliki senjata yang tidak kalah ampuhnya dari Perisai Kulit Naga. Untuk apa menginginkan benda pusaka milik orang lain...? Sedangkan kita sendiri sudah memilikinya," kata Bayu tanpa bermaksud membuat Arya Sempalan merasa tersinggung.
"Maaf...," hanya itu yang bisa diucapkan Arya Sempalan.
"Ah, sudahlah.... Ayo kita teruskan!" selak Bayu menengahi.
Mereka melanjutkan perjalanan menuju puncak gunung yang selalu berselimut kabut itu. Sepanjang berjalanan tidak ada satu rintangan pun yang mereka hadapi. Ketika matahari hampir tenggelam di peraduannya, mereka sampai di puncak gunung yang berkabut dan berhawa dingin.
Sungguh menakjubkan pemandangan di atas puncak gunung. Triwarni sampai berdecak kagum tiada hentinya, memandangi panorama yang sangat indah, bagai berada di taman swargaloka. Namun kekaguman Triwarni terganggu dengan berhentinya langkah Pendekar Pulau Neraka, yang sejak tadi berjalan di depan bersama Ki Denawa.
"Ada apa, Bayu?" tanya Triwarni.
"Diam saja di situ dulu," kata Bayu tanpa berpaling.
Pendekar Pulau Neraka menurunkan monyet kecil yang selalu berada di pundak kanannya. Kemudian perlahan kakinya terayun melangkah. Ki Denawa sendiri berhenti melangkah. Triwarni dan Arya Sempalan menghampiri orang tua itu.
"Mau apa dia, Ki?" tanya Triwarni.
"Lihat saja, Triwarni. Dia memiliki pendengaran dan penciuman yang tajam seperti binatang...."
Belum juga habis ucapan Ki Denawa, tiba-tiba Pendekar Pulau Neraka melentingkan tubuhnya dan bersalto ke belakang. Bersamaan dengan itu terlihat sebuah jebakan dari bambu, dengan tongkat-tongkat runcing terangkat dari dalam tanah. Namun dengan manis Pendekar Pulau Neraka menjejakkan kaki di tanah. Dia menarik napas panjang, memandangi jebakan yang bisa memanggang tubuhnya itu.
"Apa kataku, Triwarni. Tidak percuma membawa Pendekar Pulau Neraka ke sini," kata Ki Denawa.
Pendekar Pulau Neraka langsung memberi isyarat pada mereka agar terus berjalan. Dan dia sendiri sudah mengayunkan kakinya melangkah. Tiren sudah naik lagi di pundak kanannya. Ketiga orang itu pun kembali berjalan dengan biasa, mengikuti Bayu yang berada di depan.
Namun baru saja mereka berjalan beberapa batang tombak jauhnya, Bayu kembali memberi isyarat dengan menggerakkan tangan. Dan mereka yang berada di belakang langsung berhenti. Sementara Bayu terus berjalan dengan ayunan kaki perlahan dan hati-hati. Dia mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah sempurna. Sehingga, rerumputan yang berada di bawah telapak kakinya tidak bergoyang sedikit pun. Bahkan tidak terlihat ada bekas jejak langkah kakinya.
Baru saja Pendekar Pulau Neraka berjalan beberapa langkah, mendadak saja....
Wusss...!
"Hup! Yeaaaah...!"
Dengan cepat Bayu melompat sambil mengibaskan tangan kirinya, ketika tiba-tiba dari dalam tanah melesat dua batang tombak ke arahnya. Satu tombak berhasil dihindari dan lewat di bawah kakinya. Sedangkan yang satu lagi berhasil ditangkis hingga terpental ke tanah berumput.
Beberapa kali tubuhnya berputaran di udara. Kemudian dengan manis sekali dia menjejakkan kaki kembali ke tanah. Sebentar Pendekar Pulau Neraka terdiam sambil memasang telinganya dengan tajam. Dia menurunkan Tiren dari pundaknya lalu menepuk-nepuk lembut kepala monyet kecil itu.
"Ki, tolong bawa Tiren!" pinta Bayu tanpa berpaling.
Ki Denawa langsung merendahkan tubuhnya, dengan tangan kiri terulur ke bawah. Tiren berlari-lari kecil sambil mencerecet pelan menghampiri orang tua itu. Lincah sekali dia melompat naik ke pundak kiri Ki Denawa melalui tangannya yang menjulur ke bawah. Sementara Bayu sudah melangkah dengan ayunan kaki yang perlahan sekali. Di belakangnya mengikuti Ki Denawa, Triwarni, dan Arya Sempalan.
* * * * *
Ternyata banyak rintangan yang harus dihadapi Bayu di puncak gunung ini. Namun semua rintangan dan jebakan itu dapat dilalui dengan mudah. Dengan cekatan Pendekar Pulau Neraka mampu menghadapi segala rintangan dan jebakan, membuat mereka yang mengikuti berdecak kagum. Seakan pemuda berbaju kulit harimau itu sudah mengetahui semua letak jebakan. Hanya Ki Denawa yang kelihatan biasa melihat kegesitan Bayu dalam menghadapi semua jebakan. Dia memang sudah tahu siapa sebenarnya Pendekar Pulau Neraka.
Akhirnya mereka sampai di sebuah lembah di puncak gunung. Lembah yang cukup luas dan berselimut kabut tebal. Mereka berhenti di tepi lembah itu. Keempatnya memandangi hamparan rumput yang bagai permadani terhampar menutupi seluruh permukaan lembah. Bunga-bunga tampak bermekaran, menambah indahnya pemandangan di lembah itu. Beberapa saat mereka terdiam dengan hati diliputi rasa kagum menyaksikan keindahan lembah yang bagai taman swargaloka.
"Di mana rumahnya, Ki?" tanya Bayu tanpa berpaling sedikit pun dari lembah itu.
Ki Denawa tidak langsung menjawab pertanyaan Pendekar Pulau Neraka. Dia terus mengerahkan pandangan ke depan, merayapi hamparan rerumputan dengan bunga-bunga bermekaran di bawah sana. Namun sejauh mata memandang tak terlihat ada sebuah rumah pun berdiri di lembah itu. Bahkan tak tampak adanya tanda-tanda kehidupan manusia. Bayu sendiri tidak merasakan adanya napas kehidupan di dalam lembah itu.
"Ayo kita turun!" ajak Ki Denawa setelah beberapa saat terdiam.
Laki-laki tua berjubah putih itu langsung saja melangkah menuruni lereng menuju lembah. Bayu, Triwarni, dan Arya Sempalan mengikuti di belakang. Kali ini bukan Bayu yang berjalan di depan, melainkan Ki Denawa sebagai pemandu jalan yang sudah mengetahui keadaan di situ.
Namun belum jauh mereka memasuki lembah, mendadak...,
"Hiyaaaa...!"
"Yeaaah...!"
"Awas, Ki...!" teriak Bayu.
"Hup!"
Teriakan-teriakan keras terdengar memecah kesunyian senja, disusul munculnya beberapa sosok tubuh dari balik rerumputan. Ki Denawa melompat berputar ke belakang ketika sosok-sosok tubuh itu langsung menyerangnya.
"Hiyaaaa...!"
Pendekar Pulau Neraka melesat ke depan sambil melepaskan Cakra Mautnya ke arah salah seorang yang menyerang Ki Denawa. Cepat sekali senjata maut itu melesat, hingga lelaki baju hitam dan bersenjata tombak panjang itu tidak sempat bergerak mengelak dan memapakinya.
Crab!
"Aaaakh...!"
Jeritan panjang melengking pun seketika terdengar menyayat, memecah kesunyian. Sementara itu Bayu sudah melepaskan satu pukulan dahsyat dan bertenaga dalam tinggi ke kepala salah seorang gerombolan penyerang Ki Denawa.
Prakk!
"Aaaa...!"
Tak dapat dihindari, pukulan cepat Pendekar Pulau Neraka mendarat. Setika terdengar suara jeritan panjang dan menyayat. Tubuh seorang lelaki berpakaian merah menyala dan bersenjata sebuah kapak berputar lalu terhuyung-huyung. Tangannya memegangi kepala yang pecah terkena pukulan menggeledek dari Pendekar Pulau Neraka tadi.
Sementara Ki Denawa sendiri sudah merobohkan satu orang lawan dengan tusukan ujung tongkatnya yang runcing. Namun jumlah para pengeroyok tampak semakin bertambah. Mereka bermunculan dari rerumputan, seakan-akan berasal dari dalam tanah. Semua langsung melancarkan serangan terhadap Ki Denawa dan Pendekar Pulau Neraka.
"Ayo kita bantu mereka!" ajak Triwarni.
"Hiyaaat..!"
"Yeaaah...!"
Melihat orang-orang itu terus bermunculan, Triwarni dan Arya Sempalan tidak bisa tinggal diam. Keduanya langsung berlompatan, terjun ke dalam kancah pertarungan.
Empat orang berkepandaian tinggi itu tampaknya tak kesulitan sedikit pun dalam menghadapi para pengeroyok. Gerakan-gerakan tubuh mereka yang cepat sulit diikuti pandangan mata biasa. Bahkan serangan yang mereka lakukan sama sekali tak terbendung. Jeritan kematian pun semakin sering terdengar menyayat, memecah kesunyian lembah di puncak gunung itu.
Tubuh-tubuh berlumuran darah terus berjatuhan. Sebentar saja rerumputan di lembah itu sudah berubah merah tersiram darah. Namun gerombolan penyerang tampaknya tidak merasa gentar sedikit pun. Walau sudah tak terhitung kawan mereka yang ambruk bersimbah darah.
"Munduuur...!"
Tiba-tiba terdengar suara bentakan menggelegar keras. Gerombolan itu seketika berlompatan mundur. Pertarungan pun terhenti. Ki Denawa, Triwarni, dan Arya Sempalan langsung berlompatan mendekati Pendekar Pulau Neraka. Mereka berdiri saling beradu punggung memandangi lawan-lawannya yang tetap mengepung dengan rapat, di antara mayat-mayat yang bersimbah darah.
Dan di saat keheningan menyelimuti sekitar lembah itu, tampak sesosok bayangan merah berkelebat begitu cepat melewati kepala gerombolan itu. Dan tahu-tahu di depan Pendekar Pulau Neraka sudah berdiri seorang laki-laki tua berjubah merah. Seluruh rambutnya berwarna merah menyala bagai api. Sebatang tongkat yang juga berwarna merah tergenggam di tangan kanannya.
* * * * *
--««¦ [ TUJUH ] ¦»»--
Ki Denawa melangkah ke depan Bayu, menghadapi orang tua yang seluruh rambutnya berwarna merah seperti api itu. Dia menjura memberi hormat, dengan merapatkan kedua telapak tangannya ke depan dada. Orang tua serba merah itu membalas salam penghormatan Ki Denawa dengan membungkukkan tubuhnya sedikit. Sementara Bayu, Arya Sempalan, dan Triwarni berada di belakang Ki Denawa. Masih terasa sunyi, belum ada seorang pun yang membuka suaranya.
"Aku Ki Denawa. Aku datang mengantar Arya Sempalan ini untuk menempa diri bersamamu di sini," kata Ki Denawa setelah memperkenalkan dirinya.
"Hm...," laki-laki tua berambut merah menggumam kecil. Tatapan matanya yang tajam menembus langsung ke bola mata Ki Denawa.
Beberapa saat dia terdiam memandangi Ki Denawa. Seakan dia hendak mencari kebenaran pada kata-kata Ki Denawa dari sinar matanya yang seperti langsung menembus sampai ke lubuk hatinya.
"Siapa yang kau maksud?" tanya laki-laki tua berjubah merah dengan suaranya yang dalam dan berat.
"Arya Sempalan," sahut Ki Denawa sambil menunjuk Arya Sempalan yang berada di sebelah kanannya.
Arya Sempalan langsung maju beberapa langkah.
"Dia memiliki perisai sakti dari dewa. Baru beberapa hari dia memilikinya. Tapi sudah banyak orang yang tahu dan menginginkannya," kata Ki Denawa lagi menjelaskan.
"Ha ha ha...!"
Tiba-tiba saja laki-laki tua berambut merah yang dikenal dengan nama Eyang Brajasakti itu tertawa terbahak-bahak. Dan begitu suara tawanya menghilang dari pendengaran, dia mengebutkan kedua tangannya merentang ke samping. Seketika orang-orang yang berada di sekelilingnya lenyap. Mereka langsung berubah menjadi pohon-pohon kecil yang tumbuh di sekitar lembah. Bahkan mayat-mayat yang tadi bergelimpangan juga berubah menjadi pohon-pohon yang mati. Sedangkan darah yang berceceran berubah menjadi bunga-bunga yang berguguran, berserakan di atas hamparan rumput.
Semua perubahan itu membuat Bayu, Arya Sempalan, dan Triwarni terlongong bengong. Hanya Ki Denawa yang kelihatan tenang. Seakan sudah tahu kesaktian yang dimiliki Eyang Brajasakti.
"Aku bisa menjadikan apa saja di sini sesuka hatiku. Kalau aku mau, bisa saja aku membuat satu pohon yang tidak bisa kalian kalahkan. Bahkan kalian akan mati di sini oleh makhluk ciptaanku," kata Eyang Brajasakti menjelaskan.
"Hebat...," desis Bayu mengagumi dengan hati yang jujur.
"Hm...."
Eyang Brajasakti menggumam kecil memandangi Pendekar Pulau Neraka dengan sinar mata yang tajam. Mendapat tatapan mata yang begitu menusuk, entah kenapa Bayu memalingkan wajahnya ke arah lain. Seakan dia tidak sanggup menentang tatapan mata yang sangat tajam menusuk itu.
"Kau yang berjuluk Pendekar Pulau Neraka...?" tanya Eyang Brajasakti dengan suara datar.
"Oh..., benar," sahut Bayu terkejut
"Kau juga akan menempa diri di sini?" tanya Eyang Brajasakti lagi.
Bayu tidak bisa langsung menjawab pertanyaan itu. Dia malah menatap pada Ki Denawa. Namun lelaki tua berjubah putih itu seakan tidak mau melihat tatapan Pendekar Pulau Neraka. Sepertinya dia menyerahkan semua keputusan pada pemuda itu.
"Tidak, Eyang." sahut Bayu dengan sikap yang sopan.
"Hm, kenapa...? Apa kau merasa dirimu sudah sangat tangguh, hingga tidak mau lagi memperdalam semua yang sudah kau miliki?" agak tinggi nada suara Eyang Brajasakti.
"Bukan.... Bukan itu maksudku, Eyang. Mungkin lain kali aku akan datang ke sini meminta petunjuk darimu," kata Bayu cepat-cepat
"Hm, aku tahu.... Apa yang ada di dalam hatimu, Anak Muda. Tidak apa, aku bisa mengerti," ujar Eyang Brajasakti.
"Terima kasih," ucap Bayu seraya tersenyum.
"Mari, kalian ikut aku!" ajak Eyang Brajasakti kemudian.
Mereka langsung bergerak mengikuti Eyang Brajasakti yang sudah berjalan lebih dulu. Tidak ada lagi yang membuka suara. Mereka berjalan melintasi lembah di puncak gunung itu. Rerumputan yang tinggi hampir menenggelamkan separoh dari tubuh mereka.
Namun belum jauh mereka berjalan, tiba-tiba...,
"Heh...?! Apa itu...?" desis Arya Sempalan yang berjalan tepat di belakang Eyang Brajasakti.
"Ada tamu," ujar Eyang Brajasakti setengah menggumam pelan suaranya.
"Tamu...?"
* * * * *
Belum terjawab keheranan Bayu, terlihat debu bercampur rerumputan kering berkepul membumbung tinggi di angkasa, dari arah belakang mereka. Disertai dengan suara yang menggemuruh, seakan-akan terjadi gempa di lembah puncak gunung itu. Namun tidak lama kemudian, semua keheranan dan pertanyaan yang berkecamuk di dalam kepala mereka sudah terjawab.
"Kalian ke belakangku, cepat...!" sentak Eyang Brajasakti.
Tanpa ada yang membantah, semua segera bergerak menyingkir ke belakang orang tua serba merah itu. Sementara di depan mereka terlihat puluhan orang sudah berdiri tegak dengan sikap yang menunjukkan pertentangan. Mereka tak lain orang-orang dari kalangan persilatan yang menginginkan Perisai Kulit Naga milik Arya Sempalan.
"Mereka yang menginginkan Perisai Kulit Naga yang kau miliki, Arya Sempalan?" tanya Eyang Brajasakti tanpa berpaling sedikit pun juga.
"Benar, Eyang," sahut Arya Sempalan.
"Hhh! Aku paling tidak suka melihat orang-orang yang menginginkan milik orang lain dengan cara memaksa," dengus Eyang Brajasakti dengan suara dingin.
"Biar aku bereskan mereka, Eyang," selak Bayu yang sejak kemarin sudah muak melihat mereka yang terus mengejar Perisai Kulit Naga.
Eyang Brajasakti berpaling ke belakang, dan tersenyum melihat Bayu sudah melangkah maju dan berhenti di sebelah kirinya. Pendekar Pulau Neraka langsung memberi hormat dengan merapatkan kedua telapak tangan di depan dada, sambil membungkuk sedikit pada orang tua berambut merah itu.
"Hadapilah, usir mereka dari lembah ini!" kata Eyang Brajasakti memberi izin.
"Aku tidak akan mengecewakanmu, Eyang," sahut Bayu sambil menjura memberi hormat
Eyang Brajasakti tersenyum dan menepuk pundak Pendekar Pulau Neraka. Sementara Bayu menurunkan Tiren dari pundaknya. Monyet kecil itu langsung berlari menghampiri Ki Denawa, lalu melompat naik ke pundak orang tua itu, melalui tangan yang dijulurkan ke bawah. Sedangkan Bayu sudah melangkah beberapa tindak ke depan, menghadapi orang-orang yang masih menginginkan Perisai Kulit Naga dari Arya Sempalan.
"Pendekar Pulau Neraka, menyingkirlah! Kami tidak ada urusan denganmu!" bentak seorang laki-laki kekar, dengan tubuh yang tingginya hampir dua kali ukuran orang dewasa.
Sebuah gada yang sangat besar berwarna kuning keemasan terpanggul di pundak kanan. Kedua bola matanya yang besar berwarna merah, menatap tajam pemuda berbaju kulit harimau yang berdiri tepat di depannya.
"Aku tidak akan pergi sebelum kalian semua meninggalkan lembah ini," sahut Bayu tidak kalah tegasnya.
"Keparat..! Kupecahkan batok kepalamu!" geramnya sengit.
Wuttt!
Keras sekali hempasan angin menerpa tubuh Bayu, ketika lelaki kekar itu mengebutkan gadanya ke depan. Begitu kerasnya terpaan angin itu, membuat Bayu yang tidak menduga sama sekali terdorong dua langkah ke belakang. Namun pendekar muda itu dengan cepat bisa menguasai keseimbangan tubuhnya. Dia langsung menyilangkan tangan kanannya ke depan dada.
"Mampus kau! Hiyaaa...!"
Sambil membentak keras menggelegar, orang bertubuh besar seperti raksasa itu melompat. Dengan keras diayunkan gadanya yang besar itu, tepat diarahkan ke kepala Pendekar Pulau Neraka.
Namun sedikit pun Bayu tidak berusaha berkelit menghindar. Dan begitu gada kuning berukuran besar itu hampir menghantam kepalanya, cepat dia mengangkat kedua tangannya ke atas kepala. Dan...,
Tap!
"Heh...?!"
Semua orang yang menyaksikan terbeliak kaget, melihat kedua tangan Bayu menangkap ujung gada yang lebih besar dari kepalanya. Bahkan orang bertubuh tinggi besar bagai raksasa itu juga tersentak kaget. Tidak menyangka kalau lawannya ini menangkap gada tepat di atas kepala. Dan belum hilang rasa keterkejutannya, tiba-tiba saja Bayu sudah mengempos seluruh tenaga dalamnya yang sudah mencapai tingkatan sempurna.
"Yeaaah...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, Pendekar Pulau Neraka mengangkat gada itu ke atas, membuat lawannya juga terangkat naik. Secepat kilat, diputarnya gada itu di atas kepala. Lalu sambil membentak keras menggelegar, dilontarkan kuat-kuat gada bersama pemiliknya ke atas.
"Hiyaaa...!" .
Bayu melesat ke atas menyusul lawannya. Dan cepat sekali kakinya melontarkan satu tendangan keras menggeledek disertai pengerahan tenaga dalam sempurna. Begitu cepatnya tendangan yang dilepaskan Pendekar Pulau Neraka, sehingga membuat manusia setengah raksasa itu tidak sempat menghindarinya.
Prakkk!
"Aaaa...!"
Blukk!
Raungan yang begitu keras seketika terdengar, ketika tendangan-tendangan dahsyat Bayu mendarat di kepala lawan. Tubuh manusia raksasa itu terbanting keras sekali ke tanah berumput. Dan hanya sebentar si manusia raksasa menggeliat. Kemudian diam tidak bergerak-gerak lagi. Dari kepalanya yang remuk tampak darah berhamburan keluar membasahi rerumputan.
Sementara dengan manis sekali Pendekar Pulau Neraka mendarat ke tanah berumput.
Kematian si manusia bertubuh raksasa membuat mereka yang menyaksikan terlongong bengong, seakan tidak percaya kalau Bayu yang bertubuh jauh lebih kecil mampu mengalahkannya hanya dalam satu gebrakan. Bahkan hanya dalam waktu singkat. Tindakan Pendekar Pulau Neraka yang begitu cepat dan tegas juga membuat Eyang Brajasakti menggeleng-gelangkan kepala, tidak menyangka kalau kepandaian yang dimiliki pemuda berpakaian kulit harimau itu sangat dahsyat.
* * * * *
"Pendekar Pulau Neraka, aku lawanmu! Hiyaaa...!"
Baru saja Bayu bisa menarik napas, sudah melompat seorang perempuan tua berjubah merah longgar, dengan sebatang tongkat tergenggam di tangan kanannya. Semua tokoh persilatan tahu kalau perempuan tua itu seorang tokoh sakti dari golongan hitam yang berjuluk si Iblis Jubah Merah.
Tanpa banyak bicara, dia langsung meluruk melancarkan serangan. Secepat kilat si Iblis Jubah Merah mengibaskan tongkatnya yang berujung runcing dan tipis seperti pisau itu, tepat mengarah ke dada Pendekar Pulau Neraka.
Wuttt!
"Haiiit..!"
Namun dengan cepat pula Pendekar Pulau Neraka mengegoskan tubuhnya, membuat ujung tongkat Iblis Jubah Merah lewat di depan dadanya. Pada saat itu juga, Bayu memutar tubuhnya dengan cepat sambil melepaskan satu tendangan menggeledek disertai dengan pengerahan tenaga dalam sempurna.
"Hup!"
Namun si Iblis Jubah Merah sudah melentingkan tubuhnya ke atas, sehingga tendangan kaki kiri Pendekar Pulau Neraka tidak mengenai sasaran. Ketika dia berada di atas, tombaknya kembali berkelebat cepat sekali menyambar kepala lawan.
"Hih!
Bayu langsung mengangkat tangan kanannya ke atas kepala, hingga...,
Tring!
"Heh...?!"
Ketika si Iblis Jubah Merah tersentak kaget karena serangannya tertangkis, secepat kilat Pendekar Pulau Neraka mengibaskan tangan kanannya. Seketika itu juga Cakra Maut yang berada di pergelangan tangan kanan melesat begitu cepat.
Wusss!
Sementara si Iblis Jubah Merah sama sekali belum bisa menguasai dirinya. Sehingga tak sempat bergerak mengelak atau menangkis terjangan Cakra Maut.
Crab!
"Aaaa...!"
Jeritan panjang melengking seketika terdengar dari mulut si Iblis Jubah Merah. Senjata pipih bersegi enam itu menembus ke dadanya. Begitu keras hentakan tangan kanan Bayu tadi, sehingga senjata maut itu menembus sampai ke punggung. Dan terus melesat berputar kembali pada pemiliknya. Cakra Maut kembali menempel di pergelangan tangan yang terjulur di atas kepala.
Sementara itu si Iblis Jubah Merah tampak terhuyung-huyung ke belakang, dengan dada dan punggung berlubang mengucurkan darah segar.
Bruk!
"Hukh...!"
Keras sekali perempuan tua itu terjungkal menghantam tanah. Beberapa saat tubuhnya mengejang, kemudian diam tak berkutik lagi. Tewas!
Bayu berdiri tegak dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Memandangi mereka yang berada di depannya. Untuk beberapa saat suasana di lembah berubah hening. Orang-orang tampak tegang memandangi si Pendekar Pulau Neraka yang dengan mudah menghabisi dua orang lawannya.
Beberapa saat tidak ada seorang pun yang maju menghadapi Pendekar Pulau Neraka. Sementara Bayu sendiri tetap berdiri tegak dengan sikap tenang. Eyang Brajasakti melangkah menghampirinya. Lelaki tua berjubah dan berambut merah itu berdiri di samping kanannya. Bayu hanya melirik sedikit dengan sudut ekor matanya pada Eyang Brajasakti.
"Kau ke belakang! Biar kuusir mereka dari sini," ujar Eyang Brajasakti tanpa menoleh sedikit pun pada Pendekar Pulau Neraka.
"Mereka tidak akan mundur sebelum mendapat Perisai Kulit Naga, Eyang," tukas Bayu.
"Aku tahu.... Mudah-mudahan dengan caraku mereka kapok, tidak lagi memperebutkan Perisai Kulit Naga."
"Mudah-mudahan saja, Eyang," desah Bayu pelan.
Pendekar Pulau Neraka segera menarik kakinya ke belakang, sampai dia berada di sebelah Ki Denawa. Tiren yang ada di pundak orang tua itu, langsung melompat berpindah ke pundak tuannya. Sementara Eyang Brajasakti sudah melangkah beberapa tindak ke depan, mendekati gerombolan yang masih menginginkan Perisai Kulit Naga.
"Dengar...! Kalian tidak berhak memiliki Perisai Kulit Naga. Sebaiknya kalian pergi dari lembah ini," kata Eyang Brajasakti dengan suaranya yang lantang dan menggelegar.
Namun tidak seorang pun yang mengindahkan anjuran orang tua penghuni lembah di puncak gunung itu. Mereka masih tetap berdiri di tempat tak bergeming sedikit pun. Bahkan orang-orang itu menunjukkan sikap menantang. Eyang Brajasakti rupanya masih bisa menahan diri untuk tidak turun tangan. Sebenarnya bagi dia, tidak ada persoalan untuk menghadapi mereka, walaupun jumlahnya sangat banyak. Namun lelaki tua berjubah merah itu tidak ingin lembah yang damai dan indah kembali bernoda darah. Meskipun dirinya tahu kalau mereka adalah tokoh-tokoh sakti dari golongan hitam.
"Aku tak ingin kalian membuang-buang nyawa percuma di sini. Kembalilah kalian, dan jangan lagi bermimpi dapat memiliki Perisai Kulit Naga! Perisai itu sudah ada yang punya. Dan hanya dia yang bisa menggunakannya. Kalian semua tidak berhak sama sekali...!" ujar Eyang Brajasakti dengan suara lebih lunak.
Bagai tak mendengar permintaan Eyang Brajasakti gerombolan itu tetap tak beranjak meninggalkan lembah. Bahkan mereka yang berada di depan, terlihat mulai bergerak mendekati Eyang Brajasakti perlahan-lahan. Bahkan mereka sudah menghunus senjata masing-masing. Jelas sekali dari sikapnya, mereka tidak mempan hanya dengan kata-kata. Eyang Brajasakti bukan tidak menyadari semua ini. Namun tampaknya dia masih bisa menahan diri.
Sementara mereka yang berada di belakangnya, terlihat sudah hampir tidak dapat menahan diri. Terlebih lagi Pendekar Pulau Neraka yang sudah sangat geram melihat sikap orang-orang itu tidak mau juga menyerah. Bahkan tampak Pendekar Pulau Neraka sudah menurunkan Tiren dari pundaknya. Monyet kecil berbulu hitam itu seperti sudah bisa mengetahui akan bahaya yang bakal terjadi. Dia segera menyingkir jauh ke belakang.
"Aku tidak mau mengotori tangan dengan darah kalian, cepat pergi, sebelum aku berubah pikiran...!" bentak Eyang Brajasakti mulai tidak sabar.
"Jangan banyak bicara kau, Orang Tua! Menyingkirlah, sebelum kutebas batang lehermu!" bentak seorang pemuda dengan pedang terhunus di tangan. Dia berada tepat sekitar satu batang tombak di depan Eyang Brajasakti.
Bentakan pemuda berwajah cukup tampan dan bertubuh tegap itu membuat wajah Eyang Brajasakti yang memang merah, semakin bertambah merah. Sorot matanya langsung menatap tajam wajah pemuda itu. Terdengar gemerutuk dari geraham yang menahan kesabaran. Sementara mereka sudah semakin dekat pada Eyang Brajasakti. Ketika jarak mereka tinggal beberapa langkah lagi, tiba-tiba pemuda bersenjata pedang itu berteriak lantang menggelegar. Suaranya bagai hendak menggetarkan seluruh lembah di puncak gunung itu.
"Seraaang...!"
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
* * * * *
--««¦ [ DELAPAN ] ¦»»--
"Yeaaah...!"
Wusss!
Dari kedua telapak tangan Eyang Brajasakti seketika keluar hembusan angin kencang bagai badai di lautan. Orang-orang yang berlompatan menyerangnya langsung berpentalan ke belakang, bagai daun-daun kering terhempas angin.
Namun beberapa di antara para penyerang cepat menahan gempuran penghuni lembah di puncak gunung itu. Dan mereka pun menghentakkan tangannya ke depan, menyambut serangan yang dahsyat itu. Tenaga dorongan mereka membuat Eyang Brajasakti terdorong ke belakang beberapa langkah. Dan pengerahan tenaga dalamnya yang sudah begitu sempurna pun terhenti. Saat itu juga, mereka yang tadi berpentalan ke belakang, langsung melompat dengan cepat melakukan serangan sambil berteriak dengan keras menggelegar.
"Bunuh saja mereka semua! Hiyaaaa...!"
"Cincang...!"
"Yeaaah...!"
Beberapa senjata mulai berkelebatan di sekitar tubuh Eyang Brajasakti. Orang tua berambut merah ini terpaksa harus berjumpalitan di udara menghindari serangan yang datang bagai ombak samudera, cepat dan beruntun. Serangan-serangan itu datang begitu cepat dari segala arah, hingga membuat Eyang Brajasakti tak sempat lagi memberikan serangan balasan. Dia hanya bisa berjumpalitan di udara, dengan sesekali menangkis senjata lawan dengan tongkatnya.
Melihat Eyang Brajasakti mendapat serangan dahsyat dan tanpa dapat memberikan perlawanan membuat geraham Bayu bergemeletuk menahan geram. Pendekar Pulau Neraka itu tidak dapat menahan kesabaran. Diiringi teriakan yang keras menggelegar, dia langsung mengebutkan tangan kanannya sambil melompat ke depan.
"Hiyaaa...!"
Wuttt!
Cakra Maut yang menempel di pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka seketika melesat secepat kilat. Dan langsung menyambar salah seorang yang tengah melancarkan serangan dengan senjatanya ke kepala Eyang Brajasakti. Belum juga senjatanya sampai, dia sudah menjerit seketika tubuhnya terbanting ke tanah dengan Cakra Maut menembus dari punggung hingga ke dada.
"Hih!"
Sambil mengangkat tangan kanan ke atas, Bayu melepaskan satu pukulan menggeledek dengan tangan kiri. Begitu keras pukulannya sehingga orang yang terkena langsung terpental jauh disertai dengan suara jeritannya yang panjang melengking tinggi. Lelaki berpakaian hitam itu menggelepar sesaat, kemudian diam tak bergerak lagi.
Sementara Ki Denawa cepat mencegah Triwarni dan Arya Sempalan yang hendak terjun ke dalam pertarungan. Kedua anak muda itu mengurungkan niat. Walaupun mereka melihat dengan jelas, kalau lawan yang dihadapi Bayu dan Eyang Brajasakti begitu banyak dan dari kalangan persilatan tingkat tinggi.
"Cukup mereka berdua saja. Kalian tidak perlu ikut turun tangan! Lihat saja, tidak ada seorang pun yang bisa menyentuh tubuhnya," ujar Ki Denawa.
"Tapi tanganku sudah gatal, Ki. Biar mereka cepat habis," kilah Triwarni tidak sabar.
"Tunggu saja beberapa saat, Triwarni! Tidak lama, Bayu dan Eyang Brajasakti pasti bisa membuat mereka kabur dari sini," Ki Denawa masih menyabarkan.
Triwarni tidak dapat membantah lagi. Memang hanya menghadapi dua orang saja, mereka tak ada yang sanggup menjamah tubuhnya. Bahkan jeritan-jeritan panjang melengking mengiringi kematian semakin sering terdengar bersahutan. Tubuh-tubuh bersimbah darah pun terus berjatuhan di rerumputan yang hijau subur. Sementara Bayu dan Eyang Brajasakti sama sekali tidak bisa tertandingi lagi. Gerakan-gerakan mereka begitu cepat, hingga sukar untuk diikuti dengan pandangan mata. Hanya kelebatan bayangan tubuh mereka di tengah keremangan senja.
* * * * *
Setelah cukup lama pertarungan itu berlangsung, Eyang Brajasakti yang dibantu Pendekar Pulau Neraka tampak mulai menguasai keadaan. Bahkan para pengeroyok tampaknya tak ada yang sanggup membendung setiap serangan yang dilancarkan kedua tokoh sakti itu. Sementara dari pihak lawan sudah tidak terhitung lagi, berapa orang yang tewas berlumuran darah.
Ki Denawa tampak tersenyum kagum menyaksikan pertarungan sudah dapat dikuasai Eyang Brajasakti dan Pendekar Pulau Neraka. Bahkan kini tidak ada lagi perlawanan sengit yang terjadi dari pihak lawan.
Bayu, dengan Cakra Maut yang menjadi senjata andalannya, terlihat seperti malaikat maut mencabut nyawa lawan-lawannya tanpa terbendung. Senjata maut itu berkelebatan melesat ke sana kemari. Bagaikan memiliki mata, terus memburu sasaran. Sesekali cahaya matahari senja terbias dari senjata lempeng persegi enam itu.
Jeritan-jeritan melengking mengiringi kematian pun terus terdengar saling sambut. Membuat lembah di puncak gunung ini bagaikan sebuah ladang pembantaian. Rerumputan pun telah berubah merah tersiram darah.
"Cukup...!" bentak Eyang Brajasakti tiba-tiba dengan suaranya yang keras dan menggelegar.
Setelah membentak keras, Eyang Brajasakti langsung melompat keluar dari kancah pertempuran. Jejak lelaki tua berambut merah itu langsung diikuti Pendekar Pulau Neraka. Mereka meninggalkan lawannya yang kini tinggal kurang dari sepuluh orang. Kesepuluh anggota gerombolan itu tampaknya sudah tak punya daya guna melanjutkan pertarungan.
Keringat mengucur deras membasahi sekujur tubuh mereka. Tarikan napas pun tersengal memburu dengan cepat. Sementara itu Eyang Brajasakti dan Pendekar Pulau Neraka berdiri berdampingan.
Cakra Maut sudah menempel di pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka yang melintang di depan. Seakan siap untuk dilepaskan lagi, kalau lawan yang tinggal sedikit itu masih tetap nekat menyerang.
Di sekitar mereka terlihat tubuh-tubuh bersimbah darah yang sudah tak bernyawa, bergelimpangan saling tumpang tindih. Membuat pemandangan di lembah tidak sedap dipandang mata. Darah berceceran di mana-mana membuat rerumputan di sekitar tempat pertarungan berwarna merah. Lembah ini benar-benar menjadi ladang pembantaian orang-orang yang dipenuhi nafsu serakah.
"Kalian harus sayang dengan nyawa. Lupakan Perisai Kulit Naga! Perisai itu bukan milik kalian...!" terdengar lantang suara Eyang Brajasakti masih juga memperingatkan.
Orang-orang dari kalangan persilatan golongan hitam itu saling melemparkan pandangan. Dari sinar mata dan raut wajah mereka tampak kegentaran. Jumlah mereka yang begitu banyak saja tak sanggup menghadapi dua orang. Apalagi sekarang tinggal sepuluh orang, mustahil mereka mampu bertahan.
Kalau pertarungan ini diteruskan, sudah pasti mereka akan tewas semua. Dan dunia persilatan akan sepi tanpa mereka. Sedangkan Perisai Kulit Naga, tidak mungkin bisa diperebutkan lagi. Perisai itu sudah berada dalam lindungan orang-orang berkepandaian tinggi yang tidak mungkin bisa ditaklukan.
"Cepat pergi! Atau kalian juga mau mati di sini...?" bentak Eyang Brajasakti dengan suaranya yang masih terdengar lantang menggelegar.
Tampak dua orang dari gerombolan itu menarik diri ke belakang, sambil menyarungkan senjata. Dan tanpa bicara lagi, mereka segera memutar tubuhnya berbalik, lalu melangkah pergi meninggalkan lembah. Tinggal delapan orang lagi yang masih tetap bertahan. Namun mereka pun sudah gentar melihat ketangguhan Pendekar Pulau Neraka dan Eyang Brajasakti.
Beberapa saat mereka masih diam, memandangi Eyang Brajasakti dan Pendekar Pulau Neraka dengan sinar mata memancarkan dendam kesumat yang dalam. Ikut campurnya dua tokoh tingkat tinggi itu membuat keinginan mereka untuk merebut Perisai Kulit Naga terhalang. Bahkan rasanya tidak mungkin lagi dapat memilikinya dengan cara apa pun.
"Hhh...! Dunia akan semakin hancur, kalau Hyang Widi terus mengeluarkan senjata-senjatanya," desah Eyang Brajasakti disertai hembusan napasnya yang panjang dan terasa berat
* * * * *
Bukan hanya Bayu yang bisa menarik napas lega, karena Eyang Brajasakti bersedia menempa Arya Sempalan untuk menguasai Perisai Kulit Naga. Ki Denawa dan Triwami pun ikut merasakan kelegaan. Mereka merasa keselamatan Arya Sempalan tak perlu dikhawatirkan lagi, selama berada dalam lindungan Eyang Brajasakti yang tidak akan mungkin bisa tertandingi oleh siapa pun. Dalam pertarungan di lembah tadi pun sebenarnya tanpa bantuan Pendekar Pulau Neraka, orang tua itu bisa menghadapi seorang diri.
Bahkan kalau mau, tidak perlu dia sampai mengotori tangannya dengan darah. Orang tua sakti itu mampu menciptakan seluruh rerumputan dan pepohonan di lembah menjadi bala tentara yang tangguh. Namun entah kenapa, Eyang Brajasakti sendiri tak ingin menggunakan kesaktiannya untuk menghadapi orang-orang dari golongan hitam. Dia menggunakan kesaktiannya hanya untuk menguji maksud baik setiap orang yang datang menemuinya. Seperti yang dialami Pendekar Pulau Neraka saat pertama kali masuk ke lembah di puncak gunung itu.
"Rasanya tidak ada lagi yang perlu aku lakukan di sini. Aku mohon diri...," ujar Ki Denawa.
"Kau akan pergi, Ki...?" terasa berat Arya Sempalan mengucapkan kata-kata itu. Hatinya seperti tak rela sahabat baru itu harus segera meninggalkannya.
"Ya, kau sudah aman di sini, Arya Sempalan. Tak ada lagi yang akan mengganggumu," ujar Ki Denawa seraya tersenyum.
"Terima kasih atas semua yang telah kau lakukan untukku, Ki," ucap Arya Sempalan tulus.
Ki Denawa hanya tersenyum. Dia menepuk lembut pundak pemuda itu. Kemudian menjura memberi hormat pada Eyang Brajasakti. Setelah berbasa-basi sebentar, orang tua berjubah putih yang dikenal dengan nama julukan si Malaikat Bayangan itu segera meninggalkan lembah.
Dan tidak lama Ki Denawa pergi, Triwarni juga meminta diri. Gadis cantik yang dikenal dengan nama julukan si Kupu-kupu Putih itu berjalan meninggalkan lembah, ke arah yang berlawanan dari Ki Denawa tadi. Kini tinggal Bayu yang masih menemani Arya Sempalan yang untuk beberapa waktu harus tinggal bersama Eyang Brajasakti dalam menempa diri.
"Aku juga mohon diri, Eyang," ujar Bayu dengan sikap hormat.
"Tawaranku masih berlaku, Bayu. Kau bisa lebih menyempurnakan kepandaianmu di sini," ujar Eyang Brajasakti.
"Mungkin nanti, Eyang. Masih banyak yang harus kukerjakan di luar sana," sahut Bayu menolak secara halus.
"Datanglah kapan saja kau ada waktu, Bayu! Tanganku selalu terbuka untukmu," ujar Eyang Brajasakti.
"Terima kasih, Eyang," ucap Bayu.
Pendekar Pulau Neraka beralih memandangi Arya Sempalan. Dia menghampiri dan mengulurkan tangan kanannya. Arya Sempalan menyambut uluran tangan Pendekar Pulau Neraka. Kedua pemuda itu saling berjabatan tangan dengan hangat, disaksikan Eyang Brajasakti yang tersenyum-senyum dengan kepala terangguk perlahan.
"Aku harap kau menjadi seorang pendekar tangguh yang berada di jalan kebenaran, Arya Sempalan. Dunia mengharapkan baktimu," ujar Bayu lembut
"Aku bersumpah akan membela kebenaran dan memerangi segala bentuk kejahatan. Dengan Perisai Kulit Naga, aku akan menjadi seorang pendekar tangguh sepertimu, Kakang Bayu," sambut Arya Sempalan yang langsung menganggap Pendekar Pulau Neraka sebagai saudara tuanya.
"Jaga dirimu baik-baik! Ikuti semua petunjuk Eyang Brajasakti," pesan Bayu lagi.
Arya Sempalan mengangguk. Keduanya kemudian berpelukan dengan hangat, bagai dua orang saudara yang hendak berpisah. Bayu menghampiri Eyang Brajasakti setelah memberi beberapa petuah lagi pada Arya Sempalan.
"Aku mohon diri, Eyang," ucap Bayu seraya menjura hormat.
"Doaku menyertai setiap langkahmu, Pendekar Pulau Neraka," ucap Eyang Brajasakti.
Bayu kemudian melangkah pergi meninggalkan lembah, setelah menjura memberi hormat sekali lagi pada orang tua berambut merah itu. Kepergian Pendekar Pulau Neraka diiringi pandangan mata Arya Sempalan sampai lenyap tertelan rerumputan dan keremangan suasana senja lembah itu.
TAMAT
INDEX PENDEKAR PULAU NERAKA | |
Sepasang Bangau Putih --oo0oo-- TAMAT |