Life is journey not a destinantion ...

Perawan Pembawa Maut

INDEX PENDEKAR PULAU NERAKA
Prahara Di Pantai Selatan --oo0oo-- Ratu Lembah Mayat

BAYU HANGGARA
Pendekar Pulau Neraka
Karya: Teguh. S
Cetakan Pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit


--««¦ [ SATU ] ¦»»--

Prak!
Sebuah guci keramik hancur berkeping-keping dihantam kepalan tangan berukuran cukup besar yang dilingkari gelang akar hitam pada pergelangannya. Meja tempat guci itu pun bergetar hebat, lalu retak tepat di tengah-tengahnya. Empat orang yang berada di depan meja itu seketika tersentak sampai terlompat mundur sekitar tiga langkah. Kepala mereka tertunduk dalam, tak sanggup memandang laki-laki separuh baya yang wajahnya memerah, dan gerahamnya bergemeletuk bagai tulang-tulang berpatahan.
"Goblok! Kerja begitu saja tidak becus...!" keras dan besar sekali suara laki-laki separuh baya ini.
Empat anak muda itu hanya diam saja sambil tetap menundukkan kepala menekuri lantai di bawah kakinya. Tak ada seorang pun yang berani memamerkan wajah. Apalagi mengucapkan kata-kata. Mulut mereka bagai terkunci, tak mampu lagi bersuara. Sedangkan laki-laki separuh baya bertubuh tinggi kekar dan berotot itu merayapi empat anak muda di depannya, dengan mata memerah bagai biji saga.
"Apa saja yang bisa kalian kerjakan, heh...?! Baru begitu saja sudah tidak becus!" dengusnya lagi dengan suara berat menggeram,
"Maaf, Ki...," ucap salah seorang anak muda memberanikan diri.
"Maaf..., maaf.... Hih!"
Plak!
"Aduh...!" anak muda itu mengeluh kesakitan.
Plpinya terasa panas bagai terbakar terkena tamparan tangan yang berukuran besar dan berbulu. Bahkan tubuhnya sampai melintir dua kali. Sedangkan tiga anak muda lainnya, semakin dalam tertunduk dengan tubuh gemetar hebat.
"Seharusnya, kalian mati saja daripada kembali lagi ke sini!" dengus laki-laki separuh baya itu lagi.
"Ki...?!"
Empat orang anak muda yang masih berusia sekitar dua puluh tahun itu terkejut bukan main. Mereka langsung menjatuhkan diri berlutut, sehingga keningnya menyentuh lantai. Tubuh mereka semakin gemetar hebat. Keringat pun semakin deras mengucur membasahi sekujur tubuh. Bahkan salah seorang mengeluarkan air pesing dari balik celananya. Bau tidak sedap pun seketika menyengat
"Setaan..!" geram laki-laki separuh baya itu.
Sambil bersungut-sungut, laki-laki kekar itu berbalik dan melangkah. Dengan ayunan kaki lebar-lebar, ditinggalkannya ruangan ini. Sementara empat anak muda itu masih tetap bersujud dengan kening menyentuh lantai. Kepala mereka baru terangkat, setelah laki-laki separuh baya tadi sudah tidak ada lagi di dalam ruangan ini. Sebentar mereka saling berpandangan, lalu seperti anjing yang digebah, bergegas meninggalkan ruangan ini.
Mereka langsung menggeletak begitu berada di luar. Saat itu, seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh lima tahun datang menghampiri. Dia tertawa terkekeh melihat empat anak muda itu seperti tikus habis tercebur ke dalam selokan. Sedangkan keempat anak muda itu hanya diam saja, sambil duduk di pinggiran papan beranda rumah berukuran cukup besar ini.
"Baru segitu saja sudah terkencing-kencing...," ejek laki-laki yang baru datang itu. Gagang goloknya yang berwarna kuning gading, tampak menyembul di pinggang.
Empat anak muda itu hanya diam saja.
"Sebenarnya, apa yang ditugaskan Ki Mangir...?" tanya laki-laki itu sambil duduk di dekat anak-anak muda ini.
"Melamar anak orang!" sahut salah seorang anak muda itu, bersungut-sungut.
"Ha ha ha...!" laki-laki bergolok di pinggang itu tertawa terbahak-bahak.
"Kau bisa saja tertawa! Tapi kalau tahu anak gadis siapa yang akan dilamar, baru tahu rasa! Huh!" rungut anak muda itu lagi.
"Kalau perkara melamar anak gadis..., nih! Serahkan padaku. Kabat tidak pernah gagal memikat gadis­gadis," orang itu menyombongkan diri dengan menepuk dadanya sendiri.
Empat anak muda itu hanya mencibir saja. Memang diakui, laki-laki yang bernama Kabat ini berwajah cukup tampan. Malah juga dikenal sebagai jagoan dalam masalah perempuan. Tapi, tidak sedikit juga masalah yang dihadapinya hanya gara-gara perempuan. Baru-baru ini saja Kabat hampir babak belur, gara-gara mengganggu istri orang. Kalau saja Ki Mangir tidak segera turun tangan, barangkali dia sudah mati dikeroyok orang sekampung. Untung saja penduduk Desa Jati Laksa masih memandang segan pada Ki Mangir.
"Anak gadis siapa yang akan dilamar Ki Mangir?" tanya Kabat lagi.
"Tanyakan saja sendiri," sahut salah seorang anak muda itu agak mendengus.
....."He he he...," Kabat terkekeh meremehkan.
Dia bangkit berdiri, lalu melangkah masuk ke dalam. Sedangkan empat anak muda itu hanya memperhatikan dengan bibir mencibir. Sementara Kabat sudah lenyap di dalam rumah berukuran cukup besar ini. Agak lama juga Kabat berada di dalam. Dan begitu keluar, raut wajahnya sudah berubah.
"Bagaimana...?" tanya salah seorang anak muda itu.
"Jangan tanya!" dengus Kabat terus berlalu. Keempat anak muda itu jadi tertawa terpingkal-pingkal melihat tampang Kabat mendadak jadi kusut.
Sedangkan Kabat hanya mendengus bersungut-sungut, sambil terus melangkah pergi.

* * * * *



Kabat tersentak kaget begitu tiba-tiba ada tangan menepuk pundaknya dari belakang. Laki-laki bergolok di pinggang itu mendengus berat begitu melihat seorang laki-laki seusia dengannya tahu-tahu sudah di belakangnya. Dibiarkannya saja laki-laki berbaju warna merah menyala itu duduk di seberang mejanya. Bahkan dia masih diam meskipun araknya ditenggak habis oleh laki-laki yang baru datang itu.
"Kulihat dari tadi, kau melamun terus. Ada apa?"
"Orang tua itu benar-benar sudah sinting!" dengus Kabat.
"Heh...?! Ada apa...?"
"Bayangkan saja! Masa dia ingin melamar Minarti," suara Kabat masih terdengar mendengus seperti kesal.
"Minarti yang mana...?" tanya laki-laki yang sebenarnya bernama Gandik itu.
"Minarti mana lagi...? Hanya satu Minarti di desa ini."
"Maksudmu..., Minarti putri Eyang Palagan...?" nada suara Gandik seperti tidak percaya. »
"Memangnya ada berapa orang yang bernama Minarti di desa ini...? Mana lagi kalau bukan putrinya Eyang Palagan...? Makanya kubilang Ki Mangir sudah Edan!"
"Kau sungguh-sungguh, Kabat...?" Gandik masih tidak percaya.
"Kalau tidak percaya, tanya saja pada anak-anak itu'" dengus Kabat seraya menunjuk empat anak muda yang duduk di sudut kedai ini.
"Merekalah yang disuruh melamar Minarti. Huh! Bisa-bisa desa ini jadi lautan api...!"
"Masa sih, Ki Mangir begitu...? Apa dia tidak...."
"Aku sendiri tidak habis mengerti, Gandik. Bisa-bisanya dia berpikir seperti itu. Padahal istri mudanya saja, belum genap tiga bulan dinikahi. Eee..., sekarang sudah ingin melamar anak gadis orang?!
Bahkan anaknya Eyang Palagan lagi...," potong Kabat menggerutu.
"Kenapa dia punya pikiran gila begitu, ya...?" Gandik seperti bertanya pada diri sendiri.
"Aku sendiri tidak mengerti," sahut Kabat juga bingung.
Mereka jadi terdiam membisu. Semua orang di Desa Jati Laksa ini tahu, siapa Eyang Palagan itu. Dia adalah seorang pertapa tua yang amat disegani, dan pernah menjadi kepala desa di sini. Bukan hanya itu saja. Ilmu-ilmu olah kanuragan dan kesaktian yang dimilikinya pun tidak ada tandingannya di seluruh desa ini. Bahkan di seluruh desa yang tersebar di sekitar kaki Gunung Banjaran. Dia juga begitu disegani oleh ketua-ketua padepokan di sekitar Gunung Banjaran ini Tak ada seorang pun yang mau coba-coba cari perkara terhadap Eyang Palagan.
Maka memang sukar dipercaya kalau Ki Mangir akan cari perkara dengan Eyang Palagan. Terlebih lagi sampai berani ingin melamar anak gadisnya. Padahal, istri Ki Mangir sudah enam orang. Dan yang termuda saja, belum genap tiga bulan dinikahinya. Kalau anak gadis orang lain, mungkin tidak akan jadi masalah. Tapi yang ingin dilamar Ki Mangir justru anak gadis orang paling terpandang dan disegani! Bukan hanya di Desa Jati Laksa ini, tapi juga seluruh desa yang tersebar di sekitar kaki Gunung Banjaran.
"Kau juga mendapat tugas melamar Minarti?" tanya Gandik setelah cukup lama berdiam diri.
"Aku lebih baik pergi dari desa ini, daripada cari penyakit!" sahut Kabat agak mendengus.
"Dalam soal begini, kurasa hanya kau yang dapat diandalkan Ki Mangir," Gandik mencoba mengangkat perasaan Kabat.
"Aku lebih memilih mati, daripada cari penyakit pada Eyang Palagan," sahut Kabat.
"Kalau Ki Mangir menyuruhmu, apa bisa kau tolak...?"
"Inilah yang membuatku pusing, Gandik," kali ini nada suara Kabat terdengar seperti mengeluh.
"Kenapa...?" .tanya Gandik.
"Ki Mangir malah menyuruhku menculiknya," pelan sekali suara Kabat, dan hampir tidak terdengar.
"Apa...?!" Gandik terlonjak kaget setengah mati.
Gandik memandangi Kabat, seperti tidak percaya dengan pendengarannya barusan. Sedangkan Kabat hanya diam saja seraya menuang kembali arak dari dalam guci ke dalam gelas bambu. Lalu, arak itu diteguknya hingga tak bersisa lagi. Tanpa berkata apa-apa lagi, Kabat beranjak pergi meninggalkan kedai minum ini.
"Mau ke mana kau...?" tanya Gandik, agak keras suaranya.
"Cari angin!" sahut Kabat seenaknya, dan terus saja berialu.
Sedangkan Gandik jadi bengong sendiri. Matanya kemudian melirik empat orang anak muda yang masih duduk melingkari meja di dekat jendela. Gandik bangkit berdiri ingin menghampiri, tapi keempat anak muda itu sudah lebih dulu beranjak pergi.
"Hhh...! Kalau benar Ki Mangir punya pikiran seperti itu, benar-benar sudah gila!" keluh Gandik.
Baru saja Gandik hendak melangkah pergi, pemilik kedai yang sudah berusia lanjut mencegahnya. Gandik terpaksa mengurungkan niatnya. Sementara laki-laki tua pemilik kedai ini segera membungkukkan tubuhnya, sambil cengar-cengir.
"Ada apa?!" tanya Gandik, agak membentak suaranya.
"Maaf, Den. Mereka semua tadi belum membayar," jelas pemilik kedai ini, bernada menagih.
"Jadi...?"
"Ya.... Jadi, Aden yang membayar semuanya."
"Setan!" dengus Gandik.
"Aden kan, temannya. Jadi, Aden harus membayar semua minuman mereka," ujar pemilik kedai itu.
Sambil bersungut-sungut, Gandik terpaksa membayar semua minuman. Kemudian dia cepat berlalu meninggalkan kedai ini. Sedangkan laki-laki tua pemilik kedai itu hanya tersenyum-senyum sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Memang anak buah Ki Mangir sudah dikenal satu persatu di seluruh Desa Jati Laksa ini. Dan mereka memang tidak ada yang pernah membuat keonaran, kecuali Kabat yang sering mengganggu perempuan-perempuan di desa ini. Tidak peduli apakah itu istri orang atau bukan.

* * * * *



Siang ini udara di sekitar Desa Jati Laksa terasa panas sekali. Matahari bersinar terik, bagai hendak membakar semua yang ada di permukaan bumi ini. Langit begitu cerah, tanpa awan sedikit pun menggantung. Dalam suasana begitu panas, memang nyaman bila berada di sungai. Seperti siang ini. Hampir semua penduduk Desa Jati Laksa memadati sepanjang alur sungai yang menjadi pembatas antara desa ini dengan Desa Rawa Kuning.
Di antara orang yang memadati sungai itu, terlihat pula Kabat bersama empat orang anak muda. Mereka berdiri di bawah pohon untuk melindungi diri dari sengatan matahari yang begitu terik membakar kulit Pandangan mereka tidak lepas ke arah seorang gadis yang agak menyendiri. Gadis berwajah cantik dan berkulit kuning langsat itu sama sekali tidak merasa kalau tengah diperhatikan. Dia terus sibuk mencuci pakaian di atas batu yang pipih.
"Sayang sekali kalau gadis secantik itu harus jadi istri Ki Mangir," desah Kabat agak menggumam.
''Tapi bagaimanapun juga, tugas ini harus dilaksanakan, Kang," tegas salah seorang anak muda yang berdiri di samping Kabat.
"Huh!" Kabat hanya mendengus saja.
Sebenarnya, Kabat enggan mendapat tugas seperti itu dari Ki Mangir. Tapi, dia tidak bisa berbuat apa-apa. Apalagi menolak. Bisa runyam urusannya kalau perintah orang yang paling berkuasa di Desa Jati Laksa ini sampai tidak dilaksanakannya. Semua orang tahu, kekuasaan Ki Mangir melebihi dari kekuasaan kepala desa. Tak ada seorang pun yang berani menentang kehendaknya. Selain mereka, masih ada tukang-tukang pukulnya yang memiliki kepandaian tinggi. Tiga orang di antaranya malah tidak pernah memandang sebelah mata jika sudah mendapat perintah.
"Dia sudah selesai, Kang," lapor pemuda yang mengenakan baju warna biru muda.
"Kalian pergi saja dulu. Ingat...! Jangan sampai ada yang tahu," tegas Kabat, agak berbisik suaranya.
"Baik, Kang."
Keempat anak muda itu bergegas pergi dengan langkah lebar. Sementara Kabat masih tetap berdiri di bawah pohon itu. Matanya terus memperhatikan gadis bertubuh sintal yang hanya dililit kain sebatas dada. Cantik sekali gadis itu, sehingga membuat jantung Kabat berdetak lebih cepat dari biasanya. Beberapa kali ludahnya ditelan, untuk membasahi tenggorokkan yang mendadak saja jadi terasa kering.
Sementara gadis itu terus berjalan sambil mengepit rinjing bambu di pinggangnya. Kabat mulai melangkah perlahan-lahan begitu gadis yang diperhatikannya sudah cukup jauh meninggalkan sungai. Tak ada seorang pun yang memperhatikan, meskipun di sekitar sungai itu banyak orang.
Kabat mempercepat langkahnya begitu melihat gadis cantik itu berbelok ke kanan. Sebentar kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri, lalu ke belakang. Merasa tidak ada seorang pun yang teriihat, Kabat cepat melesat mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Sebentar saja dia sudah sampai di tikungan jalan, lalu cepat berbelok ke kanan. Ayunan kakinya begitu cepat dan ringan, karena mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah lumayan tingkatannya. Sekilas matanya masih sempat melihat kalau gadis itu berbelok memasuki jalan setapak yang jarang dilalui orang.
"Hup!"
Kabat cepat melompat. Dua kali tubuhnya berputaran di udara. Dan begitu kakinya menjejak tanah di tikungan jalan kecil, kembali dia berlari. Tapi, mendadak saja larinya dihentikan. Seketika kedua matanya jadi terbeliak melihat empat anak muda yang tadi bersamanya di tepi sungai, tengah bergelimpangan di tanah sambil merintih dan mengerang kesakitan.
"Heh...?! Kenapa kalian...?!" tanya Kabat terkejut setengah mati.
Keempat anak muda itu bergerak bangkit berdiri sambil meringis seperti menahan sakit di sekujur tubuh. Kabat jadi celingukan tidak mengerti. Keempat anak muda itu tertatih-tatih menghampiri Kabat. Mereka masih meringis memegangi pinggangnya. Pakaian mereka pun kotor berdebu, dengan wajah biru lebam seperti baru saja dipukuli.
"Mana gadis itu..?" tanya Kabat.
"Kita pulang saja, Kang," ajak salah seorang anak muda itu sambil meringis.
Kabat mendelik. Tapi sebelum membuka mulutnya lagi, keempat anak muda itu sudah bergegas melangkah meninggalkan jalan setapak yang sepi ini. Kabat jadi kebingungan sendiri. Bergegas disusulnya keempat anak muda yang sudah berbelok itu. Kabat mendahului mereka, dan berhenti menghadang di depan.
"Ada apa dengan kalian? Apa yang terjadi...?" tanya Kabat meminta penjelasan.
"Gapar..., Sito..., apa yang terjadi pada kalian...?"
"Kita pulang saja, Kang," ajak salah seorang pemuda yang bernama Gapar.
"Tunggu dulu...'!" sentak Kabat.
"Jelaskan! Kenapa kalian jadi babak belur begini? Di mana gadis itu?"
Kabat terus mendesak meminta penjelasan. Dia benar-benar tidak mengerti atas kejadian ini.
Terlebih lagi, melihat empat anak muda ini yang menjadi babak belur. Padahal, belum lama mereka pergi dari tepi sungai tadi. Waktu yang begitu cepat, tapi sudah babak belur seperti diamuk banteng.
"Gadis itu yang membuat kalian seperti ini?" tanya Kabat lagi melihat empat anak muda itu hanya diam saja.
Tapi mereka tetap saja diam, tidak menjawab. Dan ini membuat Kabat jadi bingung. Hatinya makin penasaran, karena tidak ada penjelasan yang diberikan. Kabat merayapi wajah-wajah yang biru lebam dengan pakaian kotor penuh debu.
"Sebaiknya, kita pergi saja dari sini, Kang. Aku takut dia muncul lagi...," kata Gapar dengan suara pelan dan agak bergetar.
"Siapa yang kau maksud, Gapar...?" tanya Kabat masih meminta penjelasan.
"Perempuan setan itu," sahut Gapar lagi.
"Heh...?! Perempuan setan siapa...?" Kabat terlonjak terkejut tidak mengerti.
"Minarti," sahut Gapar pelan, hampir tidak terdengar suaranya. Dia seperti takut menyebutkan nama itu.
"Siapa...?!

* * * * *



--««¦ [ DUA ] ¦»»--

Kejadian yang dialami Gapar dan ketiga temannya siang tadi, membuat Ki Mangir gelisah sendiri. Terlebih lagi Kabat yang diberi tugas menculik Minarti, putri pertapa Eyang Palagan. Apa yang dialami Gapar dan ketiga temannya, memang sukar dipercaya. Mana mungkin gadis cantik yang kelihatan lemah lembut, bisa membuat empat orang babak belur dalam waktu begitu singkat.
"Kau tidak berdusta, Gapar...?" tegas Ki Mangir seperti ingin meyakinkan dirinya.
"Aku tidak berdusta, Ki. Minartilah yang membuat kami babak belur begini," sahut Gapar, meya­kinkan.
"Gerakannya begitu cepat, Ki. Seperti setan," sambung Sito.
"Benar, Ki. Bahkan kami tidak diberi kesempatan sama sekali untuk balas menyerang," sambung Kalil lagi.
"Dia benar-benar perempuan setan, Ki," sambut Gapar lagi.
Sedangkan Ki Mangir hanya diam saja sambil mendengar celotehan anak-anak muda ini. Sementara Kabat sejak tadi tetap tutup mulut, dengan kening berkerut cukup dalam. Dia sendiri sebenarnya masih belum bisa percaya kalau Minarti yang kelihatannya lemah, sanggup membuat Gapar, Sito, Kalil, dan Majan jadi babak belur begini. Padahal kepandaian yang dimiliki mereka tidak bisa dipandang rendah. Terlebih permainan kerja sama pedang yang terkenal sangat ampuh. Kabat sendiri mengakui belum tentu mampu menandingi jurus-jurus pedang mereka, bila bertarung melawan sekaligus.
"Sebaiknya, urungkan saja keinginan itu, Ki," usul Kabat.
"Setan! Kau tahu apa, heh...?!" bentak Ki Mangir.
Kabat langsung terdiam membisu. Kepalanya cepat ditundukkan menekuri lantai. Ki Mangir bangkit berdiri, lalu melangkah menghampiri jendela yang berukuran cukup besar. Kemudian dia berdiri di situ sambil bertopang pada kayu jendela yang terbuka lebar itu. Cukup lama juga dia berdiri mematung sambil memandangi bulan yang bersinar penuh malam ini. Perlahan tubuhnya diputar, memandangi Kabat dan empat anak muda yang duduk bersimpuh di lantai.
"Aku tidak mau tahu. Pokoknya, Minarti harus berada di sini! Apa pun cara kalian, aku tidak peduli!" tegas Ki Mangir.
"Ki...?!"
Kabat dan keempat anak muda itu seketika terlongong mendengar perintah yang begitu tegas. Mereka memandang laki-laki separuh baya itu beberapa saat, kemudian saling melempar pandang. Benar-benar sulit dimengerti keinginan Ki Mangir kali ini.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Ki Mangir melangkah meninggalkan ruangan ini. Kini tinggal Kabat, Gapar, dan tiga pemuda lain yang hanya bisa melompong seperti kerbau kehabisan rumput. Beberapa kali mereka saling melempar pandangan, dan tetap duduk bersila di tengah ruangan yang cukup besar ini. Padahal, Ki Mangir sudah tidak terlihat lagi.
"Sudah miring barangkali otaknya...!" dengus Gapar kesal.
"Hus! Jangan bicara sembarangan. Kalau dia dengar, bisa mampus kau!" sentak Kabat.
Gapar bangkit berdiri, diikuti yang lainnya. Kabat pun demikian. Tapi, mereka masih belum beranjak meninggalkan ruangan ini. Perintah Ki Mangir benar-benar membuat mereka dongkol setengah mati. Terlebih lagi, empat anak muda ini. Siang tadi, mereka telah babak belur tanpa punya kesempatan sedikit pun untuk memberi perlawanan.
"Bagaimana, Kang...?" tanya Gapar menyerah.
"Habis, mau bagaimana lagi...?" desah Kabat seraya mengangkat bahunya.
Mereka kemudian melangkah meninggalkan ruangan berukuran cukup besar ini dengan ayunan kaki lesu. Tapi tidak demikian halnya dengan Kabat. Meskipun juga tidak suka terhadap perintah itu, tapi di dalam hati kecilnya terselip rasa penasaran. Rasa penasarannya timbul atas kejadian siang tadi, yang dialami Gapar dan ketiga temannya ini.
Sementara itu, mereka sudah sampai di luar rumah berukuran besar ini. Mereka terus berjalan menyeberangi halaman depan yang cukup luas. Beberapa orang bersenjata golok terlihat hilir mudik di sekitar rumah Ki Mangir yang cukup besar ini.
"Kalian mau ikut aku...?" tiba-tiba Kabat menawarkan.
"Ke mana?" tanya Gapar tidak bersemangat.
"Ke rumah Eyang Palagan," sahut Kabat.
"Edan...! Mau apa ke sana?" dengus Gapar seraya menghentikan ayunan kakinya.
Kabat tidak menjawab, dan malah terus saja mengayunkan kakinya keluar dari halaman rumah Ki Mangir. Sementara Gapar dan yang lainnya hanya saling pandang saja. Entah kenapa, mereka tertarik untuk ikut. Mereka berlima terus berjalan menyusuri jalan tanah berdebu yang sunyi. Sementara malam terus merayap beranjak semakin larut. Di kejauhan terdengar lolongan anjing hutan yang bisa membuat orang bergidik mendengarnya. Tapi, kelima orang itu terus saja melangkah semakin jauh meninggalkan rumah Ki Mangir.

* * * * *



Sementara itu, di salah satu kamar di dalam rumah yang berukuran besar dan megah, tampak Ki Mangir tengah berdiri mematung di depan jendela yang terbuka lebar. Matanya tidak berkedip memandangi bulan yang bersinar penuh, tanpa dihalangi awan sedikit pun. Langit malam ini kelihatan begitu cerah, gemerlap oleh bintang bertaburan, sehingga menambah indahnya suasana malam ini. Tapi tidak demikian halnya hati Ki Mangir yang kelihatan begitu gelisah dan tidak tenang.
Beberapa kali terdengar tarikan napasnya yang panjang dan terasa begitu berat. Perlahan tubuhnya diputar membelakangi jendela. Tapi belum juga kakinya bergerak terayun, tiba-tiba saja terasa ada suatu desiran halus dari arah belakang. Cepat-cepat tubuhnya dimiringkan ke kanan.
Wus!
Pada saat itu terlihat secercah cahaya keperakan berkelebat cepat di samping tubuhnya. Cahaya kepe­rakan itu seketika menghantam tiang penyangga yang berdiri di tengah-tengah ruangan ini. Ki Mangir jadi terbeliak begitu melihat sebuah benda berbentuk bunga berwarna keperakan menancap di tiang berukuran cukup besar itu.
"Hup...!"
Tanpa berpikir panjang lagi, Ki Mangir langsung melesat keluar melompat jendela. Ringan sekali gerakannya. Tahu-tahu saja dia sudah berada di luar dari kamar itu. Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, laki-laki setengah baya itu menjejakkan kakinya di tanah berumput yang dibasahi embun. Cahaya keperakan sinar rembulan langsung menyelimuti dirinya, sehingga membuat sinar matanya yang setajam mata elang dapat melihat sekelebatan sebuah bayangan di atas atap rumahnya.
"Hap...!"
Ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Ki Mangir memang sudah mencapai tingkat tinggi. Sehingga, dalam sekali lompatan saja, dia sudah berada di atas atap. Begitu ujung jari kakinya menjejak atap, kembali tubuhnya melesat cepat dan ringan tanpa menimbulkan suara sedikit juga. Sekelebat masih sampat terlihat sebuah bayangan hitam bergerak cepat melompati tembok pagar bagian belakang.
"Hup...!"
Ki Mangir langsung mengempos ilmu meringankan tubuhnya hingga tingkat yang terakhir. Tubuhnya langsung berputaran beberapa kali di udara sebelum ujung jari kakinya menyentuh ujung pagar tembok bagian belakang. Kembali dia melenting mengejar bayangan hitam yang baru saja mendarat di tanah. Ki Mangir melewati atas kepala bayangan hitam itu, lalu manis sekali mendarat menghadang.
"Siapa kau...?!" bentak Ki Mangir. Suaranya dingin dan dalam.
Sinar matanya yang tajam langsung menyorot sosok tubuh hitam yang tampak terkejut melihat kemunculannya. Sosok tubuh itu langsung berhenti, lalu melompat ke belakang beberapa tindak Seluruh tubuhnya ramping, dan terbungkus baju hitam ketat. Bahkan seluruh kepalanya hingga wajah juga tertutup kain hitam. Hanya dua bulatan kecil pada matanya yang terlihat Mata Ki Mangir agak menyipit, mencoba mengenali sosok tubuh hitam di depannya. Tapi dalam keadaan malam seperti ini, memang sukar mengenali wajah yang tertutup kain hitam itu.
Namun dari bentuk tubuhnya yang ramping, sudah dapat dipastikan kalau orang ini pasti wanita. Ki Mangir melirik sedikit pinggang sosok tubuh ramping. Di situ tampak tergantung sebilah pedang panjang bergagang hitam. Pada bagian ujung gagang tampak sebuah batu warna merah.
Dicobanya untuk mengingat pedang itu, tapi sukar untuk bisa mengenalinya. Ki Mangir merasa baru kali ini melihat pedang seperti itu.
"Kuperingatkan padamu, Buaya Tua! Jangan coba-coba ganggu Minarti!" terdengar dingin sekali nada suara wanita berbaju serba hitam itu.
"Heh...?! Siapa kau sebenarnya...?!" Ki Mangir terlonjak kaget setengah mati.
"Aku si Perawan Pembawa Maut! Kalau berani mengganggu Minarti sekali lagi, maka kau harus berhadapan dengan maut!" sahut wanita berselubung hitam itu, lebih dingin dan datar suaranya.
"Hm...," Ki Mangir menggumam perlahan, tidak jelas.
Kembali ditelitinya wanita yang mengaku berjuluk si Perawan Pembawa Maut. Meskipun berhasil mengejar dengan mempergunakan ilmu meringankan tubuh, tapi Ki Mangir yakin kalau wanita itu memiliki kepandaian tinggi. Maka perlahan kakinya bergeser ke kanan beberapa langkah. Tangan kanannya meraba pinggang. Seketika, laki-laki separuh baya itu terkejut. Ternyata baru disadari kalau dia tidak membawa sepotong senjata pun.
"Kau ingin bermain-main, Ki Mangir...? Baik. Aku memang ingin membuatmu berpikir dua kali untuk mendekati Minarti," desis si Perawan Pembawa Maut.
"Phuih! Apa hubunganmu dengan Minarti, heh?" dengus Ki Mangir.
"Kau tidak perlu tahu, Buaya Tua!" sambung perempuan berselubung hitam tidak kalah dingin.
Si Perawan Pembawa Maut melangkah ke depan beberapa tindak. Perlahan pedangnya ditarik keluar dari warangka yang tergantung di pinggang. Sekilas, sinar keperakan berkelebat menyilaukan begitu pedang itu keluar dari warangkanya. Ki Mangir sedikit terkesiap melihat pamor pedang yang begitu dahsyat. Meskipun kelihatannya biasa saja, namun ada kekuatan terselubung yang langsung dirasakan begitu pedang itu berada di luar warangka.
"Tahan seranganku, Buaya Tua! Hiyaaat...!"
Cepat sekali wanita berselubung hitam itu melompat menyerang. Pedangnya seketika berkelebat cepat membabat langsung ke arah leher laki-laki setengah baya itu.
"Uts!"
Ki Mangir cepat-cepat menarik kepala ke belakang, sehingga ujung pedang itu hanya lewat sedikit saja di depan tenggorokannya. Tapi harinya sempat terkejut, karena merasakan adanya hawa dingin yang amat sangat begitu ujung pedang lewat di depan tenggorokannya. Cepat-cepat tubuhnya melenting ke belakang, melakukan putaran dua kali.
Namun begitu kakinya menjejak tanah, si Perawan Pembawa Maut sudah kembali menusukkan pedangnya ke arah dada dengan kecepatan luar biasa sekali. Ki Mangir cepat-cepat menarik tubuhnya ke kiri, sehingga tusukan pedang itu hanya lewat di samping tubuhnya. Laki-laki setengah baya itu mengambil kesempatan sempit ini untuk membalas serangan.
"Yeaaah...!"
Sambil mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalam, Ki Mangir mengibaskan tangan kirinya untuk menyodok perut si Perawan Pembawa Maut. Tapi tanpa diduga sama sekali, wanita itu tidak berkelit, dia malah seperti menerima sodokan itu dengan mengibaskan tangan
kirinya.
Plak!
"Heh...?!"
Ki Mangir tersentak kaget bukan kepalang begitu tangannya membentur tangan wanita ini. Maka dia cepat melompat mundur beberapa tindak. Dari adu tangan itu sudah bisa dirasakan kalau tenaga dalam si Perawan Pembawa Maut setingkat dengannya. Dan wanita itu juga rupanya terkejut sehingga sampai melentingkan tubuhnya ke belakang sejauh lima langkah.
Mereka kembali berdiri berhadapan, berjarak sekitar sepuluh langkah. Mereka sama-sama terkejut, dan tidak menyangka akan kepandaian masing-masing yang tampaknya berimbang. Perlahan kaki mereka bergerak berputar ke samping, seperti hendak menjajaki kekuatan masing-masing.

* * * * *



Keributan yang terjadi di belakang rumah Ki Mangir, rupanya terdengar para penjaga rumah itu. Maka seketika mereka berdatangan ke tempat itu. Dan ini membuat si Perawan Pembawa Maut mendengus kesal. Sebentar ditatapnya tajam-tajam laki-laki separuh baya di depannya. Kemudian, cepat pedangnya dimasukkan kembali ke dalam warangka di pinggang.
"Aku tidak suka mengotori tangan dengan darah anjing-anjingmu, Buaya Tua. Lain kali, aku akan datang menantangmu!" desis si Perawan Pembawa Maut.
Setelah berkata demikian, cepat wanita itu melesat pergi. Ki Mangir tidak sempat lagi mencegah, karena orang-orangnya sudah berdatangan ke tempat ini. Hanya dipandanginya saja kepergian wanita berbaju serba hitam yang seluruh kepalanya terselubung kain hitam pula. Di dalam hati, dia sempat mengagumi kepandaian orang aneh yang tidak dikenalnya itu. Tapi kehadiran orang itu juga jadi menghasilkan segudang pertanyaan yang menggayuti hatinya.
"Hm.... Siapa dia? Kepandaiannya tidak bisa dipandang sebelah mata," gumam Ki Mangir periahan.
Sementara itu sekitar sepuluh orang yang menyandang senjata golok sudah berada di dekatnya. Salah seorang dari mereka adalah Gandik. Bergegas dihampirinya laki-laki setengah baya ini, dan berdiri di samping kanannya. Tiga orang laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun yang mengenakan pakaian aneh, dan menyandang senjata berbentuk aneh pula, berdiri di belakang Ki Mangir. Mereka itu adalah tukang pukul kebanggaan Ki Mangir.
"Apa yang terjadi di sini, Ki?" tanya Gandik , "Hanya tikus betina yang mencoba mengusikku," sahut Ki Mangir seraya mengayunkan kakinya meninggalkan tempat itu.
Gandik jadi melongo mendengar jawaban laki-laki separuh baya itu. Sebentar dipandanginya Ki Mangir yang terus saja berjalan pergi. Kemudian, diperintahkannya para penjaga rumah laki-laki separuh baya itu untuk kembali ke tempat masing-masing. Lalu, dihampirinya tiga orang bertampang aneh yang masih tetap berdiri.
Seorang yang menyandang golok besar bertangkai panjang, dan mengenakan baju berwarna putih dikenal sebagai si Golok Setan. Satu orang lagi yang bersenjata sebuah pecut buntut kuda, dan memakai baju berwarna hitam dikenal sebagai si Cambuk Api. Sementara seorang lagi bertubuh kurus kerempeng dan tinggi. Bajunya dari bahan yang kasar dan longgar. Julukannya, Jerangkong Hidup. Tak ada satu senjata pun tersandang di tubuhnya.
"Seharusnya kalian menjaga Ki Mangir," ujar Gandik seperti menyesali kejadian yang dialami Ki Mangir malam ini.
"Maaf. Kami tidak tahu kalau ada peristiwa malam ini," sahut si Golok Setan. Suaranya terdengar besar dan berat sekali.
"Ada kejadian atau tidak, seharusnya kalian selalu berada di dekat Ki Mangir," selak Gandik.
Ketiga orang itu hanya diam saja. Mereka tidak berani menjawab, karena Gandik orang kepercayaan Ki Mangir. Bahkan kekuasaannya bisa disejajarkan dengan laki-laki separuh baya itu. Dialah yang mengatur segalanya di rumah besar ini, dan hanya Ki Mangir saja yang bisa menyuruhnya.
"Mulai sekarang, kalian tidak boleh jauh dari Ki Mangir. Paham...?!" tegas Gandik lagi.
"Kami mengerti," sahut ketiga orang itu berbarengan.
Gandik bergegas meninggalkan ketiga orang itu. Jalannya cukup cepat, dan ayunan kakinya lebar. Sebentar ketiga orang bertampang aneh itu diam berdiri, kemudian cepat-cepat kembali ke rumah besar itu. Mereka melewati pagar tembok belakang, dengan lompatan ringan sekali. Sebentar saja mereka sudah tidak terlihat lagi, tertelan di balik tembok yang cukup tinggi dan tebal bagai benteng. Dan malam pun semakin beranjak larut menyelimuti alam ini.

* * * * *



Peristiwa yang dialami Ki Mangir malam itu, cepat sekali tersebar. Bahkan sampai ke luar tembok rumahnya. Hampir semua penduduk Desa Jati Laksa ini sudah mendengar kejadian yang menimpa laki-laki separuh baya itu. Tentu saja hal ini menjadi suatu pembicaraan hangat semua orang. Yang pasti, mereka tidak tahu ujung pangkal persoalannya, dan hanya bisa menebak-nebak saja.
"Aku yakin, kejadian semalam ada hubungannya dengan keinginan gila Ki Mangir," jelas Gapar saat berada di kedai.
"Jangan keras-keras. Banyak orang di sini...," bisik Kabat memperingatkan.
"Biar mereka semua tahu!" dengus Gapar yang memang sudah kesal.
"Kau cari penyakit saja, Par," rungut Sito.
"Aku sependapat dengan Gapar," selak Kalil.
"Sependapat bagaimana...?" potong Kabat.
"Peristiwa malam itu, pasti ada hubungannya dengan keinginan gila Ki Mangir," sahut Kalil.
"Jangan-jangan, orang yang membuat kita babak belur yang mendatangi Ki Mangir," tebak Majan yang sejak tadi diam saja.
"Jangan ngomong sembarangan," dengus Kabat.
"Aku bicara yang sebenarnya, Kang. Sebenarnya, kami waktu itu tidak tahu, siapa orang yang menyerang," jelas Majan lagi.
"Heh...?!" Kabat jadi terperanjat mendengarnya.
"Kalian bilang, yang menyerang adalah Minarti. Kenapa sekarang lain lagi...?"
"Waktu itu, sebenarnya aku tidak tahu apakah itu Minarti atau bukan. Kami memang melihat Minarti berbelok masuk ke jalan kecil. Tapi begitu akan dihampiri, gadis itu tiba-tiba menghilang. Sebentar kemudian muncul seseorang mengenakan baju serba hitam, dan langsung cepat menyerang," Majan menceritakan yang sebenarnya.
"Jadi, yang membuat kalian jadi babak belur begitu bukan Minarti...?" tanya Kabat seperti ingin meyakinkan.
"Tidak tahu, Kang," sahut Majan lagi.
"Aneh.... Aku membuntutinya sejak dari sungai. Dia memang berbelok masuk ke jalan kecil itu. Rasanya, mustahil kalau bisa berganti rupa begitu cepat," suara Kabat terdengar menggumam, seperti bicara pada diri sendiri.
Mereka jadi terdiam. Begitu menariknya, sehingga tak ada seorang pun yang menyadari kalau pembicaraan itu didengar seorang pemuda berwajah tampan yang duduk tidak jauh dari tempat mereka duduk. Seorang pemuda yang mengenakan baju kulit harimau, dengan seekor monyet kecil nangkring di pundak kanannya. Tampaknya, pemuda itu tidak mempedulikan pembicaraan lima orang ini. Tapi sesekali matanya melirik juga dengan kening berkerut.
"Kang, apa sebaiknya semua ini kita ceritakan saja pada Ki Mangir," usul Majan.
"Jangan...!" sentak Gapar cepat
Semua memandang Gapar.
"Aku merasa ada sesuatu yang aneh dari semua peristiwa ini," duga Gapar pelan.
"Maksudmu, Par...?" tanya Kabat
"Dari keinginan gila Ki Mangir saja, sudah bisa kurasakan ada sesuatu yang tidak beres. Ditambah lagi, munculnya orang aneh yang mengaku berjuluk si Perawan Pembawa Maut. Aku yakin, ada sesuatu yang disembunyikan Ki Mangir. Dan keinginan gilanya itu hanya kedok belaka," Gapar memaparkan pikirannya.
"Aku tidak mengerti maksudmu, Par...?" lagi-lagi Kabat meminta penjelasan.
"Semalam, kita semua kan ke rumah Eyang Palagan. Dan hanya Minarti saja yang menemui. Dia tidak mengatakan apa-apa tentang ayahnya. Lalu, apa kalian melihat Eyang Palagan dalam satu bulan ini...?" agak berbisik suara Gapar.
Kabat dan yang lain hanya menggelengkan kepala saja. Mereka memang tidak pernah lagi melihat Eyang Palagan dalam sebulan belakangan ini. Bahkan mendengar kabarnya saja tidak lagi. Tapi, itu memang sudah tidak aneh. Eyang Palagan sering menghilang berhari-hari lamanya. Bahkan bisa satu, atau dua bulan tidak kelihatan, maupun terdengar kabar beritanya.
"Biasanya kalau Eyang Palagan tidak ada, Minarti selalu bercerita kalau ditanya. Tapi semalam, dia malah tidak mengatakan apa-apa. Aku yakin, ada sesuatu yang terjadi. Dan tentu saja Ki Mangir mengetahuinya.
Makanya, dia ingin melamar Minarti menjadi istrinya. Dan lamarannya pasti mengandung sesuatu yang sulit diketahui," lanjut Gapar.
"Ah! Kau terialu jauh berpikir, Gapar," selak Sito.
"Aku baru menduga. Tapi, siapa tahu bisa jadi kenyataan," kata Gapar mempertahankan pendapatnya.
"Ah, sudahlah.... Jangan berpikir yang jauh-jauh dulu. Sebaiknya kita lihat saja perkembangannya," Kabat menengahi.
Mereka kemudian diam, tak ada yang bicara lagi. Setelah menghabiskan semua minumannya, mereka semua beranjak pergi meninggalkan kedai ini. Laki-laki tua pemilik kedai terbungkuk-bungkuk menerima bayaran dari Kabat, lalu mengantarkan tamunya sampai di depan pintu. Sementara pemuda berbaju kulit harimau yang sejak tadi diam-diam mendengar semua pembicaraan itu, juga beranjak bangkit berdiri, setelah Kabat dan keempat anak muda itu meninggalkan kedai ini.

* * * * *



--««¦ [ TIGA ] ¦»»--

Senja baru saja merayap turun menyelimuti bumi. Sinar matahari kemerahan yang menyemburat lembut, hampir tenggelam di belahan bumi bagian Barat Burung-burung pun mulai beterbangan kembali ke sarangnya, setelah seharian penuh berkelana mencari penghidupan di alam bebas bagai tak bertepi. Kicauan burung-burung menjadikan senja yang temaram ini tampak begitu semarak, sehingga membuat suasana ceria bagi seorang gadis cantik yang duduk menyendiri di beranda depan rumahnya. Bibirnya bergerak tersenyum-senyum sendiri menyaksikan burung-burung kecil begitu riang berlompatan ke sana kemari dari dahan yang satu ke dahan lain.
Tapi mendadak senyumnya menghilang, begitu tiba-tiba di depannya berdiri seorang pemuda berusia sekitar dua puluh lima tahun. Pemuda berbaju kulit harimau itu muncul dari balik sebatang pohon yang cukup besar. Di pundak kanannya duduk mencangkung seekor monyet kecil berbulu hitam. Gadis itu bangkit berdiri, seraya menutupi bagian dadanya yang tadi agak terbuka.
"Apakah aku mengejutkanmu, Nisanak..?" sapa pemuda itu ramah, dengan senyum tersungging di bibir.
"Tidak," sahut gadis itu.
"Ada yang bisa kubantu?"
"Sahabatku ini kehausan. Boleh minta minum sedikit..?"
"Silakan. Itu di tempayan." Pemuda berbaju kulit harimau ini melangkah mendekati sebuah tempayan dari tanah liat di sudut beranda rumah kecil ini. Dibukanya tutup tempayan itu, dan disendoknya air yang ada di dalamnya dengan gayung dari tempurung kelapa. Air dingin yang segar itu diminumkan pada monyet kecil di pundaknya. Ke­mudian mukanya sendiri dibasuh dengan sisa air itu. Dan tempayan sudah ditutupnya kembali.
"Terima kasih," ucap pemuda itu, tetap lembut dan sopan suaranya.
Gadis itu hanya tersenyum saja.
"Indah sekali senja ini. Boleh beristirahat barang sejenak di sini...?" pinta pemuda itu lagi.
"Silakan," lagi-lagi gadis itu mempersilahkan dengan ramah.
Sambil menghembuskan napas panjang, pemuda berbaju kulit harimau ini duduk di pinggir beranda yang terbuat dari belahan papan diserut halus. Tangannya mengambil monyet kecil di pundaknya, lalu ditaruh di pangkuannya. Gadis itu kembali duduk agak jauh dari pemuda itu. Beberapa saat mereka jadi terdiam.
"Tampaknya kau bukan penduduk desa ini. Apakah kau seorang pengembara?" tanya gadis itu menebak.
"Benar," sahut pemuda itu.
"Sudah cukup jauh perjalanan yang kutempuh. Entah berapa jauh lagi aku harus berjalan mengelilingi rimba luas ini."
"Banyak pengembara yang singgah di sini. Dan biasanya, mereka bermalam di Desa Jati Laksa," jelas gadis itu.
"Desa yang indah, dan penduduknya pun ramah."
"Kau sudah ke sana?"
"Singgah sebentar."
"Sayang sekali. Seharusnya kau bermalam di sana. Biasanya kalau malam hari, Desa Jati Laksa selalu ramai. Banyak yang bisa disaksikan di sana."
"Keindahan biasanya menyembunyikan sesuatu yang sulit diduga," kata pemuda itu agak bergumam suaranya, seperti bicara pada dirinya sendiri.
"Memang. Termasuk juga keramahan yang bisa menyimpan seribu maksud tertentu," sambut gadis itu diiringi senyuman.
Pemuda itu juga tersenyum. Entah apa maksud senyuman mereka ini. Dan pembicaraan yang tadi berlangsung juga seperti menyimpan suatu arti yang sukar diterka. Pemuda itu menepuk-nepuk kepala monyet kecil di pangkuannya.
"Aku Bayu," pemuda itu memperkenalkan diri tanpa diminta.
"Dan kau pasti Minarti," lanjutnya menebak
Gadis itu hanya tersenyum saja. Sedikit pun tidak terlihat adanya keterkejutan di wajahnya setelah mendengar tebakan pemuda ini yang tidak meleset sama sekali. Dia seperti sudah terbiasa menghadapi para pendatang yang sudah mengetahui namanya, sebelum dia sendiri memperkenalkan diri.
Gadis yang memang bernama Minarti ini menggeser duduknya lebih mendekat. Tangannya terulur, lalu mengelus-elus monyet kecil di pangkuan pemuda berbaju kulit harimau ini Monyet kecil berbulu hitam itu jadi manja. Binatang itu berpindah ke pangkuan gadis ini, dan menyembunyikan wajahnya di dada yang membusung indah. Senyum di bibir Minarti semakin lebar mengembang.
"Siapa namanya?" tanya Minarti.
'Tiren," sahut Bayu.
"Lucu sekali. Sudah lama kau memilikinya?"
"Cukup lama juga."
Kembali mereka terdiam membisu. Tidak ada lagi kekakuan di antara mereka, seakan-akan sudah lama saling mengenal. Padahal, baru beberapa saat saja mereka bertemu dan berbicara.
''Tadinya aku ragu padamu. Tapi setelah melihat pergelangan tangan kananmu, aku yakin kalau kau orang yang kutunggu," kata Minarti lagi. Senyuman masih terkembang di bibirnya yang merah.
"Apakah kedatanganku terlambat?"
"Tidak. Malah lebih cepat satu hari daripada yang dijanjikan."
Kembali mereka terdiam. Sementara matahari semakin jauh tenggelam di sebelah Barat Suasana pun semakin meremang. Minarti bangkit berdiri, membiarkan Tiren menggelantung memeluk pinggangnya. Dinyalakannya pelita yang tergantung di tengah-tengah atap beranda ini. Kemudian kakinya melangkah masuk ke dalam, untuk menyalakan pelita. Tak lama kemudian dia keluar lagi, lalu duduk di samping pemuda berbaju kulit harimau ini.
"Bagaimana keadaan ayah?" tanya Minarti sambil mempermainkan bulu-bulu di atas kepala Tiren.
"Semakin membaik," sahut Bayu.
"Banyak kejadian yang membuatku sulit tidur beberapa hari ini. Aku sendiri tidak tahu, apakah mampu bertahan jika kau tidak segera datang, Pendekar Pulau Neraka," kata Minarti lagi.
"Panggil saja aku Bayu," pinta Baya
"Bagaimana kalau aku panggil... Kakang...?"
"Boleh juga," sahut Bayu seraya tersenyum.
"Kau pasti lebih tua dariku."
"Mungkin."
Lagi-lagi mereka terdiam, seperti sedang mencari kata-kata yang bisa dibicarakan.
"Ada pesan dari ayah untukku, Kakang...?" lagi-lagi Minarti yang membuka percakapan lebih dahulu.
"Hanya satu," sahut Bayu.
"Apa?"
"Kau dilarang menggunakan Sangkal Ireng kalau tidak perlu. Hanya itu saja pesannya."
Minarti hanya tersenyum saja mendengar pesan yang disampaikan Pendekar Pulau Neraka. Gadis itu kemudian beranjak bangkit berdiri, kemudian melangkah masuk ke dalam rumah ini. Bayu juga ikut berdiri, tapi tidak masuk mengikutinya. Minarti kembali muncul di pintu.
"Kau tidak ingin masuk, Kakang...?" lembut sekali suara Minarti.
"Sebentar," jawab Bayu tanpa berpaling.
"Sebentar lagi gelap. Aku siapkan dulu kamar untukmu," kata Minarti lagi.
"Tidak perlu repot, Minarti. Aku bisa tidur di mana saja."
Tapi Minarti sudah tenggelam di dalam rumah kecil ini, bersama Tiren yang masih menggelantung di pinggangnya. Sedangkan Bayu masih berdiri saja di depan beranda. Pandangannya beredar ke sekeliling. Mendadak saja keningnya jadi berkerut, dan matanya agak menyipit Sekilas terdengar sesuatu yang ganjil, di antara hembusan angin dan gemerisik dedaunan. Dan begitu wajahnya berpaling ke kanan, tiba-tiba saja terlihat sebuah bayangan berkelebat cepat di antara pepohonan.
"Hup!"
Bagaikan Kilat, Pendekar Pulau Neraka melesat cepat mengejar bayangan yang dilihatnya sekilas tadi. Begitu sempumanya ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya, sehingga dalam sekejapan mata saja bayangan tubuh Pendekar Pulau Neraka sudah hilang dari pandangan mata.

* * * * *



"Hei! Berhenti...!" seru Bayu lantang.
"Hup! Yeaaah...!"
Indah sekali gerakan Pendekar Pulau Neraka saat melenting di udara. Begitu cepatnya, sehingga dapat melewati bagian atas seseorang yang dikejarnya. Lalu, kakinya mendarat manis sekali di depan orang itu. Sedikit pun tidak terdengar suara saat kakinya menjejak tanah yang hampir tertutup dedaunan kering. Tapi belum juga Bayu sempat membuka mulut, tiba-tiba saja orang itu sudah mencabut goloknya. Tubuhnya langsung melesat menerjang Pendekar Pulau Neraka.
"Hiyaaat...!"
"Heh...?! Hup!"
Bayu terkejut, dan cepat-cepat memiringkan tubuhnya ke kiri untuk menghindari tebasan golok orang ini. Lalu dengan cepat kakinya ditarik ke belakang, begitu golok berkilat keperakan itu lewat di samping tubuhnya. Tapi sebelum Pendekar Pulau Neraka bisa melakukan sesuatu, kembali datang serangan cepat dari orang bersenjata golok ini.
Bet!
"Uts!"
Lagi-lagi Pendekar Pulau Neraka menarik tubuhnya ke belakang, begitu golok berkilat keperakan berkelebat cepat di depan dadanya. Dan sebelum golok menjauh, cepat sekali Pendekar Pulau Neraka menghentakkan tangan kirinya. Langsung dihantamnya pergelangan tangan orang yang memegang golok itu.
Begitu cepatnya gerakan yang dilakukan Pendekar Pulau Neraka, sehingga tidak sempat lagi disadari lawan. Dan orang itu tidak punya kesempatan menarik tangannya untuk menghindari tebasan tangan kiri pemuda berbaju kulit harimau ini.
Tak!
"Akh...!" orang itu memekik keras.
Seketika goloknya terlepas dari genggaman tangannya. Dan sebelum sempat menyadari apa yang terjadi, Bayu sudah memberi satu sodokan cepat dengan tangan kanan. Untuk kedua kalinya, orang itu terpekik. Sodokan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka tepat sekali menghantam bagian bawah lehernya. Tak ampun lagi, orang itu langsung lemas. Tubuhnya kontan melorot turun dan menggeletak tak berdaya lagi di tanah yang penuh daun kering ini.
Rupanya sodokan tangan kanan Bayu tadi merupakan suatu totokan yang tepat mengenai pusat jalan darah. Akibatnya, orang itu lemas seketika tanpa berdaya lagi. Seluruh tubuhnya jadi lumpuh, tak dapat digerakkan lagi. Hanya bagian leher ke atas saja yang masih mampu digerakkan. Bayu melangkah menghampiri, dan berdiri tegak di samping tubuh yang tergeletak tak berdaya ini.
"Siapa kau?! Untuk apa kau mengintaiku...?!" tanya Bayu dengan suara dingin menggetarkan.
Laki-laki bertubuh kurus kecil dan berkulit agak hitam ini hanya diam saja. Matanya berputaran merayapi wajah Pendekar Pulau Neraka yang berada di atasnya. Tubuhnya dicoba digerakkan, tapi totokan yang diberikan Bayu begitu kuat. Maka, dia harus pasrah dalam ketidakberdayaannya.
"Aku bisa membunuhmu, semudah membalikkan telapak tangan," desis Bayu mengancam.
Mendapat ancaman demikian, wajah laki-laki kurus kecil ini seketika pucat pasti. Bibirnya bergerak-gerak menggeletar, tapi sedikit pun tak ada suara yang keluar. Bayu jadi tersentak kaget. Baru disadari, kalau totokannya tadi juga membungkam pita suara laki-laki ini. Cepat Bayu membungkuk, dan memindahkan totokannya. Laki-laki itu mengeluh panjang. Suaranya kembali terdengar setelah Bayu memindahkan totokannya.
"Jawab pertanyaanku! Untuk apa kau mengintaiku...?" Bayu mengulang pertanyaannya.
"Aku..., aku hanya disuruh," sahut laki-laki Itu tergagap.
"Disuruh siapa?" kejar Bayu.
Belum juga orang itu menjawab pertanyaan Bayu, tiba-tiba saja berkelebat secercah sinar keperakan yang langsung menghantam tubuhnya.
"Aaakh...!" laki-laki bertubuh kurus kecil ini menjerit keras. Sebentar tubuhnya menggeletar, kemudian diam tak bernyawa lagi. Bayu terlonjak kaget setengah mati. Pandangannya cepat diarahkan ke arah datangnya sinar keperakan tadi. Tapi tak ada sesuatu pun yang dapat dilihatnya, selain pepohonan yang mulai menghitam karena kurang mendapat sinar matahari.
Pendekar Pulau Neraka cepat memeriksa tubuh laki-laki kurus kecil itu. Keningnya jadi berkerut melihat di dada orang ini tertancap sebuah benda berbentuk bunga berwarna perak. Di sekitar dada yang tertancap bunga perak itu terlihat warna biru yang semakin melebar. Bayu tahu, benda ini mengandung racun yang bekerja cepat dan sangat mematikan.
"Hm...," Bayu menggumam perlahan.
Kembali pandangannya beredar ke sekitarnya. Tapi tetap saja tidak terlihat ada orang lain. Perlahan Pendekar Pulau Neraka mengayunkan kakinya, sambil memasang tajam-tajam telinganya.
Tak ada yang bisa didengar, kecuali desir angin yang berhembus agak kencang sore ini.
Masih sulit bagi Bayu untuk bisa menduga, mengapa dan siapa orang melempar senjata rahasia itu. Dan dia memang tidak ingin menduga duga dulu sebelum mengetahui lebih banyak lagi. Pendekar Pulau Neraka kembali menuju ke rumah Minarti, setelah yakin tidak mungkin bisa menemukan orang yang melemparkan bunga perak itu.

* * * * *



Bayu baru saja menginjakkan kakinya di lantai papan beranda depan rumah Minarti, ketika tiba-tiba terdengar jeritan dari dalam.
Bergegas Pendekar Pulau Neraka melompat masuk menerobos pintu. Seketika matanya terbeliak, melihat seorang laki-laki bertubuh tinggi besar tengah berusaha meringkus Minarti.
"Hey...?!" bentak Bayu keras menggelegar.
Laki-laki bertubuh tinggi besar itu terkejut mendengar bentakan Pendekar Pulau Neraka. Wajahnya berpaling dan langsung melompat menerjang pemuda berbaju kulit harimau itu. Satu pukulan keras dilancarkan disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Uts!"
Tubuh Bayu cepat miring ke kanan, menghindari pukulan laki-laki bertubuh tinggi besar ini. Kemudian tubuhnya segera melenting ke belakang, melakukan putaran dua kali. Dan sebelum kakinya menjejak tanah, Pendekar Pulau Neraka memberi satu tendangan keras dengan kedua kakinya. Begitu cepatnya serangan balasan yang diberikan Bayu, sehingga laki-laki bertubuh tinggi besar itu tidak dapat lagi menghindar.
Des!
"Akh...!" dia memekik keras.
Tubuh yang besar bagai raksasa itu terpental jauh ke belakang, langsung menghantam dinding papan hingga jebol berantakan. Pendekar Pulau Neraka segera melesat mengejar sampai ke luar. Sedangkan laki-laki bertubuh tinggi besar dan berwajah kasar penuh brewok itu sudah berdiri tegak di bagian samping rumah kecil ini.
"Kakang, awas...!" seru Minarti yang tiba-tiba saja muncul dari dinding yang jebol berantakan.
Wusss!
"Uts!"
Bayu cepat merundukkan kepala ketika tiba-tiba saja dari arah samping kanan berhembus angin keras yang datang dari sebuah cambuk berbentuk buntut kuda. Senjata itu lewat sedikit di atas kepalanya. Pendekar Pulau Neraka cepat menarik kakinya tiga langkah ke belakang. Pada saat itu, di depannya berlompatan tiga sosok tubuh berperawakan aneh. Yang seorang memegang golok besar bertangkai panjang.
Dialah yang tadi hendak meringkus Minarti dengan paksa. Seorang lagi adalah yang baru saja mengebutkan cambuknya yang berbentuk buntut kuda. Sementara seorang lagi tidak kelihatan membawa senjata apa pun juga. Tubuhnya kurus tinggi seperti tengkorak terbalut kulit. Bayu memperhatikan ketiga orang ini satu persatu.
"Hm.... Siapa mereka...?" gumam Bayu perlahan, bertanya pada diri sendiri.
Memang, baru kali inilah Bayu melihat mereka. Dan tentu saja tidak mengenalnya. Sementara ketiga orang berperawakan aneh itu sudah melangkah, menyebar ke tiga arah untuk mengepung Pendekar Pulau Neraka. Namun Bayu sudah siap menghadapi segala kemungkinan yang bisa saja terjadi tanpa diduga sebelumnya. Pendekar Pulau Neraka terus memperhatikan setiap gerak ketiga orang yang sebenarnya adalah tukang pukul andalan Ki Mangir. Mereka memang ditugaskan untuk menculik Minarti. Hanya saja, Bayu memang tidak tahu maksud kedatangan ketiga orang itu.
"Hiyaaat..!"
Tiba-tiba saja orang yang menggenggam golok besar bertangkai panjang melompat cepat sambil mengebutkan senjatanya dengan kekuatan penuh ke arah kepala Pendekar Pulau Neraka. Angin kebutan golok itu demikian dahsyat, menderu kencang bagai angin badai.
"Uts!"
Bayu cepat merundukkan kepala sedikit, sehingga tebasan golok besar itu hanya lewat saja di atas kepalanya. Dan belum juga Pendekar Pulau Neraka bisa menarik kepalanya agar tegak kembali, satu serangan kembali datang dari orang bertubuh tinggi kurus seperti tengkorak hidup. Kedua tangannya bergerak cepat menyambar beberapa bagian tubuh Bayu yang mematikan.
"Hup! Yeaaah...!"
Bayu terpaksa berjumpalitan menghindari serangan-serangan itu. Tubuhnya meliuk-liuk, dan beberapa kali harus berlompatan menerima serangan-serangan cepat dan bergantian dari ketiga orang ini. Beberapa kali pula Pendekar Pulau Neraka terpaksa membanting tubuhnya ke tanah, dan bergulingan menghindari serangan yang datang bagaikan hujan.
Sementara Minarti yang menyaksikan pertarungan itu kelihatan cemas. Tapi dia tidak bisa berbuat banyak untuk membantu, selain hanya bisa melihat dan berharap dalam hati agar Pendekar Pulau Neraka bisa mengatasi lawan-lawannya yang tampaknya memiliki kepandaian tinggi. Dan pertarungan itu pun terus berjalan semakin sengit.
Beberapa kali Bayu bisa memberi serangan balasan yang tidak kalah dahsyatnya, dan setiap kali itu pula ketiga orang pengeroyok jadi berjumpalitan kelabakan menghindari. Meskipun dikeroyok tiga orang, tampaknya Pendekar Pulau Neraka tidak mudah dilumpuhkan.
"Hup! Yeaaah...!"
Tiba-tiba saja Bayu melentingkan tubuhnya tinggi-tinggi ke udara. Setelah melakukan beberapa kali putaran, cepat dia meluruk turun dengan deras sambil cepat mengebutkan tangan kanannya.
"Hiyaaa...!"
Bet!
Wuk!
Seketika itu juga Cakra Maut yang selalu menempel di pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka me­lesat cepat ke arah orang yang menyandang senjata golok besar bertangkai panjang. Kilatan cahaya keperakan dari Cakra Maut membuat orang yang jadi sasarannya terkejut setengah mati.
"Yeaaah...!"
Bet! Wut!
Beberapa kali orang itu mengebutkan goloknya, mencoba menghalau senjata maut Pendekar Pulau Neraka. Tapi tanpa diduga sama sekali, Cakra Maut ternyata mampu bergerak, menghindari tebasan golok besar bertangkai panjang itu. Bahkan kini sudah cepat meluruk deras ke arah dada orang bertubuh tinggi besar yang mengenakan baju kulit binatang ini.
"Heh...?! Ufs!"
Cepat-cepat orang itu membanting tubuhnya ke tanah, tapi tetap saja ujung Cakra Maut membabat bahu kanannya. Akibatnya orang bertubuh tinggi besar itu memekik agak tertahan. Seketika darah mengucur deras dari bahu kanannya yang sobek tersambar senjata andalan Pendekar Pulau Neraka.
Sementara itu, Pendekar Pulau Neraka sudah menyerang seorang lagi yang memegang senjata cambuk buntut kuda. Beberapa kali diberikannya pukulan beruntun yang keras dan mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi, dengan tubuh tetap melayang di udara. Serangan Pendekar Pulau Neraka dari arah atas ini, rupanya membuat orang bersenjata cambuk buntut kuda itu jadi kelabakan. Setengah mati dia berusaha menghindar dengan meliuk-liukkan tubuhnya sambil mengebutkan cambuknya beberapa kali.
Tapi ketika Bayu melentingkan tubuhnya melewati kepala, orang itu jadi gugup. Dan sebelum bisa menyadari apa yang akan dilakukan Pendekar Pulau Neraka, mendadak saja....
"Yeaaah...!" Des!
Serangan Pendekar Pulau Neraka yang bertubi-tubi, membuat orang bersenjata cambuk buntut kuda itu kelabakan. Setengah mati dia berusaha menghindar dengan meliuk-liukkan tubuhnya sambil mengebutkan cambuknya beberapa kali!
"Akh...!"
Laki-laki bersenjata cambuk buntut kuda itu terpekik keras, dan terjungkal mencium tanah begitu punggungnya terkena tendangan keras menggeledek dari Pendekar Pulau Neraka. Dan sebelum bisa menggelimpang, Bayu sudah mendarat di tanah. Pendekar Pulau Neraka langsung mengangkat tangan kanannya ke atas kepala. Maka Cakra Maut kembali menempel di pergelangan tangan kanannya.
"Lari...!" teriak orang bertubuh tinggi kurus tiba-tiba.
Tanpa banyak suara lagi, ketiga orang itu langsung berlari serabutan. Pendekar Pulau Neraka hanya memandangi saja tanpa ada maksud mengejar. Melihat ketiga orang itu berlari lintang-pukang, Minarti bergegas keluar menghampiri Pendekar Pulau Neraka. Rasanya ingin Minarti memeluk, tapi keinginannya ditahan dan hanya berdiri saja memandangi pemuda tampan berbaju kulit harimau ini.

* * * * *



--««¦ [ EMPAT ] ¦»»--

"Goblok...!" Brak!
Meja dari kayu jati tebal seketika hancur berkeping-keping terkena pukulan Ki Mangir yang marah setengah mati atas kegagalan ketiga tukang pukulnya menculik Minarti. Wajahnya memerah, dan bola matanya berkilatan menyimpan amarah yang meluap bagai bendungan yang hampir jebol kelebihan air.
Bukan hanya ketiga tukang pukul berperawakan aneh itu yang ada di ruangan ini. Kabat, Gandik, dan empat anak muda pengikutnya juga ada di sana. Mereka semua terdiam membisu, tanpa ada yang berani mengeluarkan suara. Bahkan memandang wajah Ki Mangir saja tidak berani. Sementara Ki Mangir merayapi kepala-kepala yang tertunduk di depannya.
Sudah segala cara dilakukannya untuk mendapatkan Minarti, tapi sampai saat ini belum juga menampakkan hasil. Bahkan sampai menggunakan cara kasar pun, tidak juga berhasil. Dan ini membuat laki-laki setengah baya itu semakin berang saja. Terlebih lagi tadi setelah mendengar laporan kalau Minarti sekarang punya pelindung seorang anak muda berkepandaian tinggi. Dan itu berarti ada dua orang yang melindungi Minarti. Hanya saja, yang seorang lagi tidak dikenali siapa orangnya.
"Aku tidak mau tahu cara kalian. Yang jelas, besok Minarti sudah ada di sini!" tegas Ki Mangir.
"Ki...?!" Gandik hendak membantah.
Tapi Ki Mangir sudah melangkah meninggalkan ruangan ini. Semua orang yang ada di dalam ruangan berukuran cukup besar itu jadi terlongong saling berpandangan. Mereka tidak mengerti terhadap sikap Ki Mangir yang begitu aneh. Tidak biasanya laki-laki setengah baya itu demikian gigih menginginkan seorang gadis. Apalagi, gadis yang diinginkannya bukan gadis sembarangan. Putri seorang pertapa yang amat disegani di Desa Jati Laksa! Bahkan juga disegani desa-desa lain yang berdekatan dengan desa ini.
"Terpaksa, kita harus melakukan perintahnya," desah Gandik
"Menculik Minarti...?" Kabat terbengong seperti kerbau kehabisan rumput
"Pekerjaan bunuh diri!" dengus Gapar.

* * * * *



Sementara malam masih terus merayap menyelimuti bumi. Angin semakin keras berhembus, menyebarkan udara dingin menusuk sampai ke tulang. Agak jauh dari rumah penduduk Desa Jati Laksa, Bayu masih terlihat duduk di beranda depan, ditemani Minarti. Gadis itu juga duduk beralaskan tikar, tidak jauh dari Pendekar Pulau Neraka. Mereka sama-sama tidak bisa tidur, setelah peristiwa usaha penculikan yang menimpa Minarti.
Mereka memandang lurus ke arah puncak Gunung Banjaran yang tampak angkuh, menjulang tinggi terselimuti kabut tebal. Angin dingin yang bertiup kencang, memaksa Bayu harus melindungi dirinya di tiang beranda rumah ini. Matanya menatap Minarti yang masih saja memandang ke arah puncak gunung yang menghitam pekat berselimut kabut.
"Apa yang dilakukan ayah malam-malam begini di puncak gunung itu, ya...?" desah Minarti perlahan, hampir tidak terdengar suaranya. Dia seperti bicara pada dirinya sendiri.
"Kau rindu ayahmu, Minarti?" tanya Bayu.
"Kakang! Kenapa ayah melarangku pergi ke sana?" Minarti malah balik bertanya.
"Aku tidak tahu. Tapi yang pasti, ayahmu punya maksud tertentu," sahut Bayu.
"Kalau aku ada di sana, tidak mungkin si tua bangka Ki Mangir menggangguku," desah Minarti seperti mengeluh.
Bayu menggeser duduknya lebih mendekat pada gadis ini. Diambilnya tangan Minarti dan digenggamnya hangat-hangat. Minarti membiarkan saja jari-jari tangannya digenggam Pendekar Pulau Neraka. Beberapa saat mereka saling berpandangan, namun perlahan Minarti mengalihkannya ke arah lain. Entah kenapa, dadanya jadi berdebar kencang mendapatkan sorot mata pemuda tampan ini. Dengan halus, tangannya dilepaskan dari genggaman pemuda berbaju kulit harimau itu.
"Minarti, boleh aku tahu. Mengapa Ki Mangir begitu menginginkanmu?" tanya Bayu dengan suara lembut.
Minarti hanya diam saja, tidak menjawab pertanyaan itu. Gadis itu hanya menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat. Dengan ekor mata, diliriknya Tiren yang melingkar di sudut beranda ini.
Monyet kecil itu sudah tertidur lelap sejak tadi. Cukup lama juga Minarti terdiam, dan kini perlahan kepalanya bergerak Kembali ditatapnya Pendekar Pulau Neraka yang duduk dekat di depannya. Maka, kembali mereka saling berpandangan. Bayu masih menunggu jawaban gadis cantik yang masih berusia sekitar sembilan belas tahun ini.
"Kau memang cantik, Minarti. Tapi aku yakin, bukan karena kecantikanmu yang membuat Ki Mangir begitu gigih menginginkanmu," duga Bayu lagi.
"Aku sendiri tidak tahu, Kakang Sejak kecelakaan yang menimpa ayah, Ki Mangir jadi sering datang ke sini. Tadinya aku tidak berprasangka apa-apa. Tapi begitu keinginannya diutarakan, aku langsung menolak Dia langsung marah, lalu...," Minarti tidak melanjutkan kata-katanya.
"Dia sudah main kasar, Minarti. Apa memang sikapnya begitu jika menginginkan sesuatu?" tanya Bayu lagi.
"Istri Ki Mangir memang banyak, dan tersebar di mana-mana. Malah belum ada tiga bulan habis menikahi gadis desa sebelah. Biasanya, dia tidak melakukan kekerasan apa pun. Dan kalau lamarannya ditolak, juga tidak marah dan memaksa. Apalagi sampai bermain kasar seperti ini."
Bayu mengerutkan keningnya. Sebelum sampai di rumah gadis ini, Pendekar Pulau Neraka sudah dua hari di Desa Jati Laksa. Dan sudah sering mendengar tentang Ki Mangir. Laki-laki separuh baya, dan orang terkaya di Desa Jati Laksa. Bahkan kekuasaannya melebihi kepala desa itu sendiri. Tak ada seorang pun yang berani mengusiknya. Ditambah lagi, Ki Mangir punya banyak tukang pukul yang berkepandaian cukup tinggi. Jadi, sedikitnya Bayu sudah tahu tentang Ki Mangir selama dua hari berada di Desa Jati Laksa.
"Minarti. Seberapa jauhkah hubungan antara ayahmu dengan Ki Mangir?" tanya Bayu lagi.
"Biasa saja. Tidak ada yang istimewa," sahut Minarti.
"Tapi...."
''Tapi kenapa, Minarti?" desak Bayu cepat
"Sebelum terjadi musibah itu, beberapa kali ayah dan Ki Mangir pergi bersama. Aku tidak tahu, ke mana mereka pergi. Bahkan terkadang sampai tiga hari baru pulang. Dan kalau mereka sedang berbicara, ayah selalu melarangku mendengarkannya," jelas Minarti lagi.
"Mereka pergi hanya berdua saja?" tanya Bayu lagi.
"Benar!"
Bayu terdiam. Dia jadi teringat peristiwa kecelakaan yang menimpa Eyang Palagan. Waktu itu, kebetulan Bayu sedang berjalan di tepi jurang di lereng Gunung Banjaran. Tiba-tiba terdengar jeritan panjang melengking tinggi dari arah seberang jurang yang tidak begitu besar.
Pendekar Pulau Neraka segera melompati jurang, dan mendapat seorang laki-laki tua berjubah putih terhimpit sebongkah batu besar. Seluruh tubuhnya hampir tenggelam, dan hanya kepala serta satu kakinya saja yang terlihat. Untungnya laki-laki tua itu bisa hidup, meskipun hampir seluruh tulang tubuhnya remuk.
Bayu membawanya ke puncak Gunung Banjaran, karena laki-laki tua berjubah putih yang ternyata Eyang Palagan memintanya untuk dibawa ke sana. Hampir seluruh tulang tubuhnya remuk akibat terhimpit batu. Sehingga Eyang Palagan tidak mampu menggerakkan tubuhnya sedikit pun. Bayu merawatnya sampai lebih satu purnama. Kemudian Eyang Palagan kembali bisa berjalan, meskipun harus dibantu tongkat.
Laki-laki tua itu pulang sebentar ke rumahnya, dan kembali lagi ke puncak Gunung Banjaran. Sebelum ke gunung itu, dia sempat berpesan sedikit pada Pendekar Pulau Neraka untuk menemui putrinya yang masih tinggal di pinggiran Desa Jari Laksa. Bayu sendiri tidak mengerti, tapi hanya menuruti saja setelah Eyang Palagan mengatakan kalau putrinya sedang dalam bahaya. Dan Bayu sendiri pun tidak mengira kalau Minarti sudah mengetahui tentang dirinya, meskipun mereka belum pernah berjumpa. Tapi sudah bisa diduga kalau Eyang Palagan sudah menceritakan tentang dirinya pada gadis ini. Dan ternyata, Minarti memang dalam bahaya seperti yang dikatakan ayahnya pada Pendekar Pulau Neraka. Hanya saja, memang belum diketahui bahaya apa yang sesungguhnya sedang menyelimuti diri gadis ini.
"Minarti! Apakah ayahmu meninggalkan sesuatu...?" tanya Bayu, setelah cukup lama mereka berdiam diri.
"Hanya Sangkal Ireng," sahut Minarti.
"Apa itu?" tanya Bayu.
Pendekar Pulau Neraka memang belum tahu, apa yang dimaksudkan dengan Sangkal Ireng, meskipun sudah pernah mendengarnya dari Eyang Palagan.
"Hanya sebatang pedang," sahut Minarti lagi.
"Pedang ayahmu?" tanya Bayu lagi
"Mungkin," jawab Minarti ragu­ragu.
"Pedang itu tidak ada yang tahu, kecuali ayah dan aku sendiri. Pedang itu selalu tersimpan dan tidak pernah digunakan, kecuali jika aku sedang berlatih jurus-jurus permainan pedang"
"Kau juga bisa ilmu olah kanuragan...?" Bayu terkejut tidak menyangka.
"Sedikit," jawab Minarti.
"Tapi kenapa tidak melawan sewaktu akan diculik?"
Minarti tidak menjawab, dan hanya tersenyum saja seperti menyembunyikan sesuatu.
"Aku tidak ingin ada orang lain tahu kalau aku belajar ilmu olah kanuragan. Ilmu-ilmu yang kupelajari juga peninggalan mendiang ibuku. Sama sekali ayah tidak mengajarkan ilmu olah kanuragan padaku. Ayah hanya memperbaiki saja kekurangannya," jelas Minarti.
"Dalam keadaan seperti ini, kau tidak perlu lagi main sembunyi, Minarti. Terlalu berbahaya bagi dirimu sendiri," Bayu menasihati.
Lagi-lagi Minarti hanya tersenyum saja.
"Hm...," tiba-tiba Bayu menggumam perlahan.
"Ada apa, Kakang?" tanya Minarti dengan suara agak berbisik
"Aku mendengar sesuatu yang mencurigakan," bisik Bayu.
"Pasti mereka datang lagi," desis Minarti.
"Sebaiknya kau masuk saja, Minarti. Biar mereka kuhadapi," ujar Bayu.
Minarti beranjak bangkit berdiri dan melangkah masuk ke dalam rumah. Sedangkan Bayu hanya memutar tubuhnya menghadap ke depan. Pendekar Pulau Neraka tetap duduk bersila di tengah-tengah ruang­an beranda depan rumah ini. Telinga dan matanya ditajamkan, mengamati setiap gerakan dan suara sekecil apa pun yang bisa didengarnya.
"Sembilan orang...," desis Bayu, agak menggumam suaranya. Wusss!
"Hup! Yeaaah...!"

* * * * *



Bagaikan kilat, Bayu cepat melesat keluar dari beranda itu begitu sebuah benda berwarna hitam meluncur deras ke arahnya. Benda itu seketika menghantam lantai beranda dari papan yang tadi diduduki Pendekar Pulau Neraka, hingga hancur berkeping-keping memperdengarkan ledakan dahsyat menggelegar. Akibatnya, Tiren yang sedang tidur melingkar di sudut beranda langsung terbangun kaget.
Monyet kecil itu mencerecet ribut, langsung ber-lari-lari ke sebatang pohon rindang yang tidak jauh di samping rumah kecil ini.
"Keluar kalian...!" teriak Bayu lantang.
Belum lagi hilang suara Pendekar Pulau Neraka, tiba-tiba dari balik pepohonan bermunculan empat orang anak muda yang mungkin sebaya dengan Bayu sendiri. Mereka langsung mengepung dari empat jurusan sambil menghunus pedang tipis yang panjang di tangan. Pedang itu berkilatan tertimpa cahaya bulan yang bersinar penuh. Bayu memperhatikan empat orang anak muda itu satu persatu. Mereka memang pernah dilihatnya di kedai, dan dikenal sebagai anak buah Ki Mangir. Mereka memang Gapar, Sito, Kalil, dan Majan. Gumam Bayu sambil tersenyum sinis.
Sementara keempat pemuda bersenjata pedang terhunus itu sudah bergerak perlahan memutari Pen­dekar Pulau Neraka yang berdiri di tengah-tengah. Pedang mereka berkelebatan di depan dada, memantulkan cahaya keperakan dari sinar bulan yang tak tertutup awan sedikit pun juga.
"Untuk apa kalian datang ke sini?" tanya Bayu, dingin.
"Menjemput Minarti," sahut Gapar tidak kalah dingin.
"Kalian tidak setuju dengan rencana majikan kalian sendiri. Kenapa masih juga mau melaksanakan perintahnya...?" pancing Bayu.
"Kau tidak perlu banyak tanya, Kisanak!" bentak Kalil.
"O.... Jadi, kalian ingin menyingkirkan aku dulu, baru membawa Minarti...," nada suara Bayu semakin terdengar sinis.
"Banyak mulut! Hiyaaat...!"
Kalil langsung melompat menyerang Pendekar Pulau Neraka. Pedangnya berkelebat cepat mengarah ke dada. Tapi hanya dengan mengegoskan tubuhnya sedikit, Bayu bisa mengelakkan ujung pedang itu dengan manis sekali. Bahkan tanpa diduga sama sekali, tangan Pendekar Pulau Neraka bergerak cepat menyodok ke arah perut.
Bet! "Uts!"
Tapi sebelum sampai ke perut, Bayu cepat menarik tangannya kembali begitu sebuah pedang lain cepat membabat ke arah tangannya. Pendekar Pulau Neraka cepat melompat mundur beberapa langkah. Pada saat itu, dari arah lain datang lagi serangan yang cepat. Terpaksa tubuhnya melenting ke udara dan berputaran beberapa kali sebelum kembali menjejak tanah.
Keempat anak muda itu terlongong melihat Bayu sudah berada di luar kepungan. Mereka cepat berbalik dan berlompatan mengepung kembali. Bahkan langsung memberi serangan-serangan cepat dari empat arah secara bergantian. Bayu terpaksa berjumpalitan menghindari sabetan dan tusukan pedang yang berkelebatan cepat di sekitar tubuhnya.
Beberapa kali Bayu melesat ke udara, dan keluar dari kepungan mereka. Tapi dengan cepat keempat anak muda itu kembali melakukan serangan-serangan dahsyat dan berbahaya. Dalam beberapa jurus saja, Bayu sudah dapat menilai kalau jurus-jurus permainan pedang keempat lawannya cukup baik dan rapi. Kalau bukan Pendekar Pulau Neraka, sudah pasti akan dibuat bungkam dengan cepat. Tapi kali ini, mereka menghadapi tokoh pendekar digdaya yang berkepandaian tinggi dan sukar dicari tandingannya. Sehingga, keempat orang itu harus mengerahkan seluruh kemampuannya dalam permainan pedang yang cepat, saling susul, rapi, serta beraturan.
Sebentar saja keempat anak muda itu sudah mengeluarkan sepuluh jurus, tapi belum juga bisa mendesak Pendekar Pulau Neraka. Bahkan serangan-serangan yang dilancarkan dapat dipatahkan Bayu dengan mudah. Tak satu pun yang mengenai sasaran. Dan justru setiap kali Bayu melakukan serangan balasan, mereka jadi kelabakan menghindari.
"Hiyaaa...!"
Tiba-tiba saja Pendekar Pulau Neraka cepat memutar tubuhnya sambil berteriak keras menggelegar. Lalu dengan kecepatan luar biasa, tubuhnya bergerak menyambar ke arah empat orang pemuda yang mengeroyoknya. Begitu cepat gerakannya, sehingga keempat anak muda ini jadi sukar untuk melihat ke mana arahnya. Dan tiba-tiba saja....
Des!
Begkh!
Dua orang anak muda itu tiba-tiba terpekik, dan tubuhnya terpental ke belakang. Sebelum jeritan itu menghilang dari pendengaran, kembali terdengar dua pekikan menyusul. Seketika langsung terlihat dua orang lagi terjungkal mencium tanah. Entah bagaimana caranya, tahu-tahu Bayu sudah berdiri tegak dengan kedua tangan menggenggam empat batang pedang.
Gapar, Sito, Kalil, dan Majan jadi terbeliak melihat pedang mereka sudah berpindah tangan. Mereka sama-sama memegangi dada dan perut yang terasa nyeri terkena pukulan Pendekar Pulau Neraka yang begitu cepat dan tak dapat dihindari lagi.
Trek! "Hah...!?"
Empat anak muda itu terlongong melihat pedang mereka dengan mudah dipatahkan begitu saja. Bayu melempar empat batang pedang yang sudah berpatahan itu ke depan para pemiliknya. Bibir Pendekar Pulau Neraka menyunggingkan senyuman tipis yang hampir tidak terlihat. Sedangkan Gapar dan ketiga temannya masih terbengong dengan mulut terbuka lebar. Baru kali ini mereka mendapatkan lawan begitu tangguh, bisa merampas pedang tanpa diketahui sama sekali gerakannya. Dan sekarang, pedang-pedang itu sudah berpatahan, tergeletak di depan kaki masing-masing.
"Jika kalian masih ingin melihat matahari esok pagi, cepatlah pergi dari sini!" dengus Bayu dingin.
Tapi keempat anak muda itu bukannya pergi, bahkan malah berlompatan mengepung Pendekar Pulau Neraka lagi. Tidak dipedulikan lagi kalau tadi mereka sudah dapat dijatuhkan dengan mudah. Mereka mengeluarkan sepasang pisau yang diambil dari balik lipatan baju masing-masing. Kini di tangan mereka sudah tergenggam masing-masing sepasang pisau tipis sepanjang jengkal.
"Nekat..!" dengus Bayu, kesal.

* * * * *



--««¦ [ LIMA ] ¦»»--

Bayu benar-benar geram melihat kebandelan empat anak muda yang kembali berlompatan menyerangnya. Bahkan kali ini serangan-serangan yang dilakukan lebih dahsyat dari yang pertama. Pisau-pisau mereka berkelebat cepat di sekitar tubuh Pendekar Pulau Neraka. Tapi, sedikit pun tidak juga bisa menyentuh ujung rambut Bayu. Jurus-jurus berlalu cepat, membuat pertarungan berlangsung dahsyat. Sedikit kelengahan saja, bisa berakibat maut.
"Kalian sudah membuatku marah!" geram Bayu sengit.
Mendadak saja Pendekar Pulau Neraka berteriak nyaring melengking tinggi. Dan seketika itu juga tubuhnya bergerak cepat menyambar salah seorang dari anak muda itu. Dan rupanya yang jadi sasaran adalah Majan. Satu pukulan keras dilepaskan. Begitu cepatnya serangan yang dilakukan Pendekar Pulau Neraka, sehingga Majan tidak sempat menghindar lagi.
Des!
"Akh...!" Majan memekik keras tertahan.
Tubuh pemuda itu terpental deras ke belakang, sampai menghantam sebatang pohon yang berada di belakangnya. Belum lagi jeritannya hilang dari pendengaran, Bayu sudah cepat berbalik. Pendekar Pulau Neraka cepat melompat. Dan kali ini sasarannya adalah Kalil. Begitu cepat gerakannya, membuat Kalil hanya dapat terpana tanpa bisa melakukan sesuatu untuk menyelamatkan diri. Seketika satu tendangan keras menggeledek yang dilepaskan Pendekar Pulau Neraka tepat menghantam dadanya.
"Aaakh...!" Kalil menjerit keras sekali.
Dia terpental ke belakang sejauh beberapa batang tombak. Keras sekali tubuhnya terbanting ke tanah, dan darah langsung mengucur dari mulutnya. Saat itu Bayu sudah memutar tubuhnya lagi. Kali ini calon korbannya adalah Sito. Mata Pendekar Pulau Neraka menatap tajam pemuda itu. Maka Sito bergegas melangkah mundur dengan wajah seketika memucat.
"Mundur kalian..!"
Tiba-tiba saja terdengar suara keras menggelegar, disusul munculnya seorang laki-laki separuh baya bertubuh tegap yang masih tampak jelas kegagahannya. Tak lama kemudian, kembali muncul seorang laki-laki setengah baya lainnya. Kedua orang itu langsung mendarat sekitar sepuluh langkah di depan Pendekar Pulau Neraka. Mereka adalah Kabat dan Gandik, dua orang yang menjadi kepercayaan Ki Mangir.
Gapar dan Sito menarik napas lega atas kemunculan dua orang itu. Sejak tadi, mereka sebenarnya sudah gentar menghadapi Pendekar Pulau Neraka. Bahkan sudah menyadari sejak tadi kalau tidak bakal unggul melawan pemuda berbaju kulit harimau ini. Sementara Bayu jadi tersenyum sinis melihat kemunculan dua orang laki-laki setengah baya ini.
"Hhh...!"

* * * * *



"Kisanak! Siapa kau sebenarnya?" tanya Kabat dengan suara tegas.
"Namaku Bayu. Dan kalian pasti kaki tangannya Ki Mangir," sahut Bayu memperkenalkan diri, langsung menebak dua orang laki-laki setengah baya di depannya.
Kabat dan Gandik saling berpandangan. Sementara Gapar dan Sito membantu kedua temannya berdiri. Keadaan mereka tampak parah, karena mengalami luka dalam akibat hajaran Bayu yang cukup keras tadi. Padahal tidak disertai pengerahan tenaga dalam sepenuhnya. Tapi hajaran itu cukup membuat kedua pemuda anak buah Ki Mangir harus beristirahat sedikitnya tiga hari, untuk memulihkan kesehatan tubuhnya. Mereka tertatih-tatih menjauhi tempat itu, dan berhenti setelah berada di tempat yang cukup aman. Bayu sempat melirik ke arah empat pemuda itu.
"Anak muda! Boleh kutahu, ada hubungan apa antara kau dengan Minarti?" tanya Gandik
"Minarti tunanganku! Dan kalian tidak berhak mengganggunya. Jelas...?!" sahut Bayu, tegas.
Jawaban tegas Pendekar Pulau Neraka itu tentu saja membuat Kabat dan Gandik jadi melongo terkejut. Sungguh tidak disangka kalau anak muda yang mengenakan baju kulit harimau ini tunangan Minarti.
"Kau jangan mendustai kami, Anak Muda," sentak Gandik tidak percaya.
"Dia tidak dusta...!" tiba-tiba saja terdengar suara keras yang lantang.
Bukan hanya Gandik dan Kabat yang terkejut, tapi Bayu juga tersentak kaget mendengar suara yang begitu keras dan lantang dari arah rumah kecil di pinggiran Desa Jati Laksa ini. Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di depan rumah kecil itu sudah berdiri seseorang bertubuh ramping mengenakan baju serba hitam. Seluruh kepalanya pun terselubung kain hitam pula. Hanya dua lubang kecil saja di bagian matanya, sehingga membuat sepasang bola mata bening bercahaya terlihat dari balik selubung kain hitamnya.
"Perawan Pembawa Maut...," desis Gandik langsung mengenali.
Gandik teringat peristiwa yang menimpa Ki Mangir malam itu. Meskipun hanya melihat sekilas ketika wanita itu menyatroni rumah Ki Mangir, tapi dia cepat bisa mengenali. Dan Ki Mangir sendiri pernah mengatakan kalau orang yang dihadapi menyebutkan julukannya sebagai Perawan Pembawa Maut
"Katakan pada majikanmu. Hentikan nafsu gilanya. Dan jangan coba-coba lagi mengganggu Minarti. Gadis itu sudah punya tunangan yang akan melindunginya!" tegas wanita berbaju serba hitam itu lagi, dengan suara lantang.
"Bagaimana...?" tanya Kabat berbisik dekat di telinga Gandik.
"Sebaiknya kita pergi saja dulu," sahut Gandik.
"Yah Keadaan memang tidak menguntungkan," Kabat langsung menyetujui.
"Hubungi yang lain. Kita kumpul di tepi sungai," ujar Gandik lagi.
Setelah berkata demikian, Gandik cepat berbalik dan melesat pergi. Kabat pun bergegas mengikuti jejak temannya. Demikian pula keempat anak muda yang sudah babak belur. Mereka tentu saja tidak bisa bergerak cepat, tapi tetap berusaha meninggalkan tempat ini dengan sisa-sisa kekuatan yang ada. Sementara Bayu sudah memutar tubuhnya dan melangkah mendekati wanita berbaju serba hitam yang masih tetap berdiri di depan rumah Minarti.
"Terima kasih, kau membantuku mengusir mereka," ucap Bayu seraya menjura membungkukkan tubuhnya.
"Jangan berterima kasih kepadaku. Dan itu memang sudah tugasku untuk melindungi Minarti. Seperti juga kau," sergah wanita berbaju serba hitam yang sudah dikenal berjuluk si Perawan Pembawa Maut.
"Kalau boleh kutahu, siapa sebenarnya Nisanak ini...?" tanya Bayu sopan.
"Belum saatnya kau tahu siapa aku, Pendekar Pulau Neraka," sahut wanita itu.
Belum juga gema suara Perawan Pembawa Maut habis, tubuhnya sudah melesat cepat. Bayu sejenak terkesiap.
"Hei...?! Tunggu...!"
Tapi wanita berbaju serba hitam itu sudah lebih cepat sampai ke atas atap rumah. Kemudian, tubuhnya langsung meluruk turun ke bagian belakang. Sebenarnya, Bayu bisa saja mengejar. Tapi, pikirannya langsung tertuju pada keselamatan Minarti. Padahal dalam benaknya timbul segudang pertanyaan yang tentu saja tidak mungkin bisa terjawab saat ini.
Pendekar Pulau Neraka kemudian mengayunkan kakinya memasuki beranda depan rumah ini. Sebentar matanya melirik lantai beranda yang jebol. Kakinya terus terayun melangkah masuk, lalu berhenti begitu melewati pintu Tampak Minarti tengah duduk saja di kursi yang ada di tengah-tengah ruangan depan rumah ini. Ternyata gadis ini tidak kurang suatu apa pun juga. Malah bibirnya menyunggingkan senyum, kemudian bangkit berdiri begitu melihat Bayu. Bergegas dituangnya air dingin dari dalam kendi ke dalam gelas bambu, dan dihampirinya Pendekar Pulau Neraka.
"Terima kasih," ucap Bayu sambil menerima gelas bambu berisi air dingin dari tangan gadis ini.
Bayu meneguknya hingga tak bersisa lagi. Diletakkannya gelas bambu itu di atas meja, lalu tubuhnya dihempaskan di balai-balai bambu yang hanya beralaskan selembar tikar anyaman daun pandan. Minarti kembali duduk di kursi yang tadi ditempatinya. Gadis ini kelihatan begitu tenang seperti tidak pernah terjadi apa-apa.
"Cepat atau lambat, mereka pasti akan datang lagi," kata Bayu, agak mendesah suaranya.
"Maaf, aku telah menyusahkanmu," ucap Minarti.
"Tidak ada yang perlu disesah, Minarti. Aku sudah berjanji pada ayahmu untuk melindungimu, selama ayahmu masih memulihkan keadaan dirinya," tegas Bayu.
"Seharusnya, kejadian ini tidak perlu ada, kalau saja...," Minarti tidak melanjutkan kata-katanya.
Bayu tidak memperhatikan sama sekali. Tubuhnya terasa begitu lelah setelah bertarung melawan empat orang yang memiliki kepandaian cukup tinggi tadi. Pendekar Pulau Neraka mengakui kalau keempat anak muda itu cukup tangguh. Kalau mereka bertarung tenang, pasti akan lebih berbahaya lagi. Sayangnya, tadi terlihat kalau mereka sudah gentar terlebih dahulu sebelum masuk ke dalam pertarungan. Dan ini yang membuat mereka jadi kurang mengendalikan diri. Sehingga, Bayu bisa mudah mengalahkannya, meskipun harus sedikit menguras tenaga.
"Minarti, kau tahu wanita berbaju hitam yang tiba-tiba muncul tadi...?" tanya Bayu teringat pada wanita berbaju hitam yang dikenal berjuluk si Perawan Pembawa Maut.
"Wanita yang mana?" Minarti malah balik bertanya.
"Kau tadi memperhatikan ke depan, bukan...?"
Minarti mengangguk.
"Tentu kau melihat ada wanita berbaju hitam yang muncul di depan rumah tadi. Ku dengar salah seorang dari mereka menyebutnya si Perawan Pembawa Maut Siapa dia, Minarti...?" desak Bayu lagi.
Entah kenapa, Pendekar Pulau Neraka jadi tertarik terhadap wanita aneh yang dijuluki si Perawan Pemawa Maut itu. Bayu jadi melupakan orang-orangnya Ki Mangir yang sudah beberapa kali mencoba membawa paksa gadis ini.
"Aku melihatnya, tapi.... Aku tidak tahu siapa dia," sahut Minarti.
"Tampaknya, tujuannya sama denganku. Hm..., mengapa harus pakai sembunyi-sembunyi segala...?" Bayu agak bergumam, seperti bicara pada diri sendiri.
Sedangkan Minarti hanya diam saja. Gadis itu kemudian bangkit dari duduknya, dan melangkah perlahan menuju kamar yang pintunya terbuka. Hanya sedikit saja Bayu melirik Minarti yang melangkah melewati kamar itu. Dan sebelum pintu kamarnya ditutup, Minarti menjulurkan kepalanya keluar.
"Kau tidak tidur, Kakang...?" lembut sekali suara Minarti.
"Tidurlah dulu. Aku ingin bersemadi sebentar," sahut Bayu.
Minarti menarik kepalanya ke dalam. Lalu ditutupnya pintu kamar itu. Seketika terdengar suara pintu terkunci. Sementara Bayu sudah mengambil sikap bersemadi. Kedua telapak tangannya diletakkan di lutut yang tertekuk melipat. Perlahan jalan napasnya diatur, kemudian kelopak matanya mulai terpejam. Seluruh jiwanya dikosongkan untuk menyatukan diri dengan alam dan sang Pencipta. Perlahan tubuhnya terasa jadi ringan, seperti melayang di angkasa. Aliran darahnya pun begitu perlahan dan tenang, disertai tarikan napas yang teratur.
Sementara Bayu tengah bersemadi, Minarti masih duduk di tepi pembaringan. Sebentar matanya menatap pintu kamarnya yang tertutup rapat, kemudian beralih pada jendela yang sedikit terbuka. Gadis itu bangkit dari pembaringan, lalu melangkah ke jendela kamarnya. Kemudian dibukanya pintu jendela lebar-lebar.
"Hm...," terdengar Minarti bergumam perlahan.
Sementara malam terus merayap semakin larut. Sedangkan bulan bersinar redup menggantung di langit cerah, tanpa awan sedikit pun menghalangi. Suasana begitu sunyi, sehingga desir angin yang halus pun terdengar jelas.

* * * * *



Malam masih merayap semakin larut. Suasana di sekitar Gunung Banjaran begitu sunyi. Terlebih lagi, keadaan Desa Jati Laksa. Tak terlihat seorang pun berada di luar rumah. Begitu sunyinya, sehingga desiran angin terdengar jelas mengusik dedaunan yang menghitam dan bermandikan titik embun yang memantulkan sinar bulan.
Sementara itu di tepi sebuah sungai yang mengalir bagai membelah Desa Jati Laksa menjadi dua bagian, terlihat sembilan orang tengah berkumpul. Mereka adalah anak buah Ki Mangir yang ditugaskan menculik Minarti, tapi sampai saat ini belum berhasil melaksanakan tugas itu. Minarti ternyata dalam lindungan dua orang yang berkepandaian tinggi, melebihi kepandaian yang mereka miliki.
Mereka tampak gelisah, karena sampai larut malam begini belum juga bisa menemukan cara untuk melaksanakan tugas yang diberikan Ki Mangir. Sudah berbagai cara dilakukan, tapi belum juga memperoleh hasil yang diinginkan.
"Seharusnya kalian menculik Minarti, selagi kami melawan anak muda itu!" dengus Gandik. Matanya tampak tajam menatap tiga orang laki-laki berperawakan aneh.
"Minarti tidak ada di dalam rumahnya," sahut si Golok Setan tidak mau disalahkan
"Mustahil...!" dengus Gandik.
"Aku sendiri dan Kakang Jerangkong Hidup masuk ke dalam. Sedangkan Kakang Cambuk Api menunggu di belakang," jelas si Golok Setan lagi.
"Kalau tidak ada di dalam, lalu ke mana...?" selak Kabat seperti bertanya pada dirinya sendiri.
"Kalau kalian tidak percaya, sebaiknya kita datangi lagi. Biar kami yang mengurus anak muda itu!" dengus si Jerangkong Hidup jadi kesal karena disalahkan terus-menerus.
"Bagaimana, Kakang...?" tanya Kabat.
Gandik tidak langsung menjawab. Matanya melirik empat pemuda yang babak belur dihajar Pendekar Pulau Neraka tadi. Tampak Kalil dan Majan tergeletak di tanah berumput kering dengan napas tersengal satu-satu. Keadaan mereka kelihatan cukup parah. Sedangkan Gapar dan Sito tengah duduk bersemadi, mencoba memulihkan keadaan tubuhnya.
"Biarkan mereka di sini," ujar si Cambuk Api seakan-akan mengerti apa yang sedang dipikirkan Gandik.
"Bagaimana keadaan mereka?" tanya Gandik seraya menatap Kabat yang mencemaskan keadaan keempat anak muda itu.
"Gapar dan Sito tidak begitu parah. Tapi Kalil dan Majan cukup mengkhawatirkan. Mereka terluka dalam cukup parah, dan harus dibawa ke tabib," jelas Kabat.
"Hhh...! Untung saja tidak ada yang tewas," desah Gandik.
"Bagaimana, Gandik...? Apa harus di sini semalaman?" tegur si Golok Setan tidak sabar.
"Kalian saja yang pergi. Aku akan menjaga mereka," elak Gandik.
"Mereka bukan anak kecil lagi, Gandik. Luka dalam pertarungan itu biasa," dengus si jerangkong Hidup sengit melihat sikap Gandik.
Gandik jadi terdiam. Kata-kata yang diucapkan si Jerangkong Hidup barusan memang tidak bisa dibantah lagi. Jangankan hanya mendapat luka, mati pun tidak akan menjadi masalah di dalam pertarungan. Teriebih lagi hidup mereka semua memang dari mengandalkan kekuatan dan kepandaian dalam ilmu olah kanuragan.
Sebentar Gandik memperhatikan keempat anak muda itu, kemudian mengayunkan kakinya perlahan meninggalkan tepian sungai ini. Kabat bergegas mengikuti, disusul tiga orang laki-laki berperawakan aneh itu. Mereka terus berjalan tanpa mengeluarkan kata-kata.
"Sebenarnya, apa sih yang diinginkan Ki Mangir, Kakang...?" tanya Kabat yang berjalan di samping kanan Gandik.
"Entahlah, aku sendiri tidak tahu," jawab Gandik, agak mendesah suaranya.
"Rasanya, tidak mungkin kalau Ki Mangir hanya ingin memperistri Minarti," duga Kabat lagi.
"Aku yakin, pasti ada sesuatu yang tersembunyi dari rencana ini"
"Apa perkiraanmu, Kabat?" Gandik malah balik bertanya.
"Belum lama ini, Ki Mangir selalu pergi berdua dengan Eyang Palagan, sebelum pertapa itu menghilang selama sebulan lebih ini. Keinginan Ki Mangir begitu tiba-tiba, tepat saat Eyang Palagan menghilang entah ke mana. Apa kau tidak merasakan adanya keanehan, Kakang...?" Kabat mengutarakan kecurigaannya.
Gandik hanya terdiam saja. Memang sekitar dua bulan yang lalu, Ki Mangir selalu terlihat pergi bersama Eyang Palagan. Tidak ada yang tahu, ke mana tujuan mereka. Bahkan sampai beberapa hari tidak pulang. Dan baru sebulan ini Eyang Palagan menghilang, tanpa kabar beritanya lagi. Bersamaan dengan itu, Ki Mangir sering datang menemui Minarti. Dan baru belakangan ini, laki-laki setengah baya itu mengatakan ingin memperistri Minarti. Bahkan mereka semua sekarang ditugaskan menculik gadis itu dengan cara apa pun juga.
Sebenarnya, Gandik juga sudah merasakan keanehan itu sejak semula. Tapi hal itu tidak pernah diutarakannya pada siapa pun juga. Terlebih lagi belakangan ini muncul orang aneh yang dijuluki si Perawan Pembawa Maut. Bahkan ditambah dengan seorang pemuda berbaju kulit harimau yang mengaku tunangan Minarti. Padahal mereka tidak pernah melihat pemuda itu sebelumnya. Dan kini, ada dua orang yang tidak dikenal melindungi gadis itu.
"Aku yakin, ada suatu rahasia yang disembunyikan Ki Mangir," duga Kabat menduga-duga lagi.
"Apa pun tujuannya, yang penting sekarang ini kita harus berhasil membawa Minarti pada Ki Mangir," tegas Gandik menyembunyikan perasaannya sendiri.
"Aku tidak yakin bisa berhasil, Kakang. Minarti punya pelindung yang tangguh. Dan kemampuan mereka pasti berada di atas kita semua," Kabat jadi ragu-ragu.
"Kenapa kau punya pikiran begitu, Kabat...?"
"Kenyataannya, Kakang. Sudah beberapa kali kita mencoba, tapi tidak pernah berhasil. Bahkan kita semua hanya dijadikan pecundang saja," nada suara Kabat terdengar agak kesal.
Gandik kembali diam saja.
"Huh! Kalau bukan Ki Mangir yang menyuruh, tidak bakalan aku mau!" dengus Kabat.
"Sudahlah.... Jangan menggerutu terus."
Kabat langsung diam. Mereka terus saja berjalan semakin cepat menuju rumah Minarti yang tidak seberapa jauh dari sungai. Tinggal satu belokan lagi, mereka tiba di rumah kecil gadis itu. Dan mereka baru berhenti melangkah setelah melihat rumah kecil itu yang terletak di antara lebatnya pepohonan, namun bagian halaman depannya cukup luas. Tentu saja halaman itu bisa dijadikan tempat berlatih, seperti berada di sebuah padepokan.
"Kalian bertiga terus saja. Aku dan Kabat berputar dari belakang," perintah Gandik.
"Beri tanda kalau sudah berhasil mendapatkan gadis itu," kata si Golok Setan.
"Kalau kalian mendengar suara burung, itu berarti kami berhasil," jelas Gandik lagi.
"Baik. Cepatlah kalian memutar ke belakang rumah itu," sahut si Golok Setan lagi.
Gandik segera mengajak Kabat berputar menuju belakang rumah kecil itu. Sementara si Golok Setan, Cambuk Api, dan Jerangkong Hidup terus mengayunkan kaki mendekati bagian depan rumah kecil di tepian hutan ini. Mata mereka tidak berkedip, menatap ke arah pintu depan yang tertutup rapat. Sementara Gandik dan Kabat sudah tidak terlihat lagi.

* * * * *



--««¦ [ ENAM ] ¦»»--

Sementara itu Bayu yang tengah bersemadi di dalam ruangan depan rumah Minarti, langsung membuka mata begitu mendengar suara-suara langkah kaki yang halus dan ringan mendekati rumah ini. Bergegas Pendekar Pulau Neraka menggerinjang turun dari balai-balai bambu yang hanya beralaskan tikar daun pandan. Telinganya langsung ditajamkan Dia merasa yakin ada tiga orang yang bergerak perlahan dan ringan sekali mendekati rumah ini.
Pada saat itu, pintu kamar Minarti terbuka. Dan dari balik pintu, menyembul sebuah kepala seorang gadis berwajah cantik. Sebentar kemudian, seluruh tubuh gadis itu benar-benar keluar dari pintu. Minarti melangkah mendekati Bayu yang berdiri tegak di tengah-tengah ruangan.
"Ada apa, Kakang?" tanya Minarti setelah berada di samping Pendekar Pulau Neraka.
"Mereka datang lagi," sahut Bayu pelan, hampir tidak terdengar suaranya.
"Berapa orang?" tanya Minarti.
"Tiga...," sahut Bayu "Hm..., tidak. Lima orang. Yang dua, dari arah belakang."
"Mereka pasti begundal-begundalnya Ki Mangir," dengus Minarti mendesis.
"Sebaiknya kau di kamar saja, Minarti. Aku akan keluar," ujar Bayu lagi.
"Hati-hati, Kakang. Mereka pasti sudah nekat," Minarti memperingatkan.
Bayu hanya tersenyum saja. Kemudian diserahkannya Tiren pada gadis ini. Dan kini kakinya melangkah tegap mendekati pintu depan. Sedangkan Minarti bergegas masuk ke dalam kamarnya lagi. Ditutupnya kamar itu, lalu dikuncinya. Sedangkan Bayu sudah membuka pintu depan rumah ini. Dia berdiri tegak di ambang pintu yang dibuka lebar-lebar.
Tampak di tengah-tengah halaman berdiri tiga orang berperawakan aneh. Sebentar Bayu memperhatikan ketiga orang itu, kemudian dengan tenang mengayunkan kakinya ke luar. Tangannya sempat menutup pintu kembali. Pendekar Pulau Neraka baru berhenti melangkah setelah jaraknya tinggal sekitar enam langkah lagi di depan ketiga orang ini.
"Hebat...! Kau bisa mengetahui kedatangan kami, Anak Muda," puji si Golok Setan, agak sinis nada suaranya.
"Apa maksud kalian datang lagi ke sini?" tanya Bayu tegas.
"Aku rasa, kau sudah tahu jawabannya, Anak Muda," sahut si Cambuk Api diiringi senyuman sinis tidak bersahabat.
"Sayang sekali, aku tidak yakin kalian bisa mendapatkannya," tandas Bayu, sudah bisa mengerti keinginan ketiga orang di depannya ini.
"Mungkin... Tapi aku juga tidak yakin kau bisa terus melindunginya," sambut si Golok Setan, semakin sinis nada suaranya.
"Aku juga tidak percaya kalau kau tunangannya. Kau pasti bukan dari Desa Jati Laksa, atau desa-desa lain di sekitar Gunung Banjaran ini. Berapa kau dibayar untuk melindunginya...?" sambung si Cambuk Api.
Bayu mendesis geram mendengar kata-kata yang mulai menyinggung perasaannya. Tapi kemarahannya dicoba untuk tidak terpancing. Disadari kalau orang-orang ini tengah memancing amarahnya, yang membuatnya lemah. Bayu sadar kalau kemarahan bisa mengurangi kewaspadaan. Dan dia tidak ingin terpancing sedikit pun.
"Atau barangkali dia dibayar dengan kemolekan tubuhnya," sambung si Cambuk Api diiringi suara tawanya yang keras.
"Ki Mangir pasti murka kalau tahu telah mendapatkan barang bekas," celetuk si Jerangkong Hidup yang sejak tadi diam saja.
Ketiga orang itu tertawa terbahak-bahak. Sedangkan Bayu hanya diam saja dengan muka memeah. Gerahamnya mulai terdengar bergelemeletuk menahan geram, tapi tetap berusaha bertahan agar tidak terpancing amarahnya. Padahal kata-kata yang terlontar semakin menyakitkan telinga.
"Aku hanya meminta satu kali. Dan jika kalian tidak segera angkat kaki dari sini, jangan katakan aku tidak bisa bersikap hormat!" desis Bayu menggeram.
"Ha ha ha...! Rupanya bisa galak juga bocah ini. Aku ingin tahu, apa pukulannya juga segalak kata-katanya," ejek si Golok Setan.
"Kalau kalian ingin merasakan, aku tidak akan sungkan memberikan," sambut Bayu dingin.
"Phuih! Bocah sombong! Rasakan ini! Hiyaaat...!"
Ternyata si Golok Setan sendiri yang tidak bisa menahan diri. Cepat sekali tubuhnya melompat mener-jang Pendekar Pulau Neraka. Goloknya yang besar dan bertangkai panjang berkelebat cepat beberapa kali ke arah tubuh pemuda berbaju kulit harimau ini.
"Hup! Yeaaah...!"
Bayu cepat-cepat meliukkan tubuhnya, menghindari serangan golok berukuran besar itu. Lalu, tubuhnya cepat melenting ke udara, melewati atas kepala si Golok Setan. Begitu kakinya mendarat di tanah, cepat dilontarkannya satu tendangan keras menggeledek disertai pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai tingkat kesempurnaan.
"Yeaaah...!"
"Uts!"
Si Golok Setan cepat menarik tubuhnya ke kanan, sehingga tendangan Bayu hanya meleset sedikit dari tubuhnya. Laki-laki bertubuh tinggi besar itu cepat memutar tubuhnya, sambil mengebutkan golok besar dan bertangkai panjang itu ke arah kepala Pendekar Pulau Neraka.
"Hih!"
Bayu cepat mengangkat tangan kanannya, mencoba menangkis golok berukuran sangat besar itu dengan pergelangannya. Sehingga....
Trang!
"Ikh...!?"
"Hup...!"
"Setan...!"

* * * * *



Si Golok Setan mengumpat berang. Maka dia cepat melompat mundur begitu tangannya terasa bergetar hebat ketika goloknya berbenturan dengan Cakra Maut yang menempel di pergelangan tangan kanan pemuda berbaju kulit harimau itu. Sedangkan Bayu sendiri tetap berdiri tegak sambil menyunggingkan senyum melihat wajah si Golok Setan jadi berubah memerah, kemudian memucat.
"Kau serang dari atas, aku dari bawah!" ujar si Cambuk Api berbisik "Bagaimana dengan Golok Setan?" tanya si Jerangkong Hidup.
"Biarkan dia mengisi bagian yang kosong," sahut si Cambuk Api.
"Baik, kalau begitu. Ayo kita
serang!"
"Hiyaaat..!"
"Yeaaah...!"
Ctar!
Bet!
"Ufs!"
Bayu cepat melompat ke belakang begitu dua orang itu langsung melesat cepat menerjangnya. Si Cambuk Api mengebutkan pecut buntut kudanya ke arah kepala pemuda berbaju kulit harimau itu. Sedangkan Jerangkong Hidup menyerang bagian bawah, dengan jurus-jurus tangan kosong.
Kesepuluh jari tangan Jerangkong Hidup yang kurus dan panjang, tampak terkembang lebar seperri cakar burung elang, berkelebat cepat mengincar kaki Pendekar Pulau Neraka. Mendapat serangan secara bersamaan begini, Bayu terpaksa berjumpalitan menghindarinya.
Sukar bagi Pendekar Pulau Neraka untuk melancarkan serangan balasan, karena si Cambuk Api dan Jerangkong Hidup menyerang cepat secara bergantian dari bawah dan atas. Beberapa kali pecut buntut kuda si Cambuk Api hampir menghantam kepalanya. Tapi sampai saat ini, Bayu masih sempat menghindarinya. Padahal cambuk itu selalu mengeluarkan percikkan bunga api bila dikebutkan.
"Phuh...!"
Bayu mendengus begitu mencium bau busuk yang tidak sedap, akibat kebutan-kebutan pecut buntut kuda si Cambuk Api. Jadi, cambuk itu tidak saja mengeluarkan api, tapi juga menyebarkan bau busuk yang tidak sedap dan memualkan sekali. Bayu terpaksa menutup jalan pernafasannya di hidung, lalu cepat memindahkannya ke perut. Dia menjaga kalau-kalau bau busuk itu mengandung racun mematikan.
Plak!
"Akh...!"
Tiba-tiba saja Bayu tersentak dan memekik agak tertahan ketika tiba-tiba saja punggungnya terhantam satu tamparan keras. Pendekar Pulau Neraka terjungkal ke depan, dan cepat menggulirkan tubuhnya ketika si Jerangkong Hidup sudah mencecar dengan sambaran-sambaran jari mautnya. Bayu sempat melirik si Golok Setan yang tadi membokongnya dari belakang.
"Licik...!" umpat Bayu jadi geram.
"Hup!"
Bergegas Pendekar Pulau Neraka melentingkan tubuhnya, bangkit berdiri begitu mendapat kesempatan. Tapi begitu kakinya menjejak tanah, si Cambuk Api sudah mengebutkan pecutnya dengan keras ke arah dada.
Ctar!"Uts!"Pendekar Pulau Neraka cepat-cepat menarik tubuhnya ke belakang, sehingga ujung cambuk yang mengeluarkan bunga api itu hanya sedikit saja lewat di depan dadanya. Dan kini tubuhnya cepat dimiringkan agak membungkuk, dan tangan kanannya bergerak cepat mengebut ke depan.
"Yeaaah...!"
Bet!
Wut..!
Seketika Cakra Maut yang selalu menempel di pergelangan tangan kanan pemuda berbaju kulit harimau itu melesat cepat bagai kilat ke arah si Cambuk Api. Tapi belum juga senjata maut itu bisa menyentuh tubuh si Cambuk Api, mendadak saja berkelebat secercah cahaya keperakan dari golok berukuran besar dengan tangkai panjang. Langsung disampoknya senjata cakra bersegi enam itu.
Trang!
"Hap!"
Bayu cepat mengangkat tangan kanannya ke atas kepala, ketika senjatanya terpental balik saat membentur senjata si Golok Setan. Cakra Maut kembali menempel di pergelangan Pendekar Pulau Neraka. Lalu, dua langkah pemuda berbaju kulit harimau itu menarik kakinya ke belakang.
"Hiyaaa...!"
Saat itu si Golok Setan sudah melompat cepat menerjang Pendekar Pulau Neraka. Satu kebutan goloknya langsung diarahkan ke kepala pemuda itu. Begitu cepat serangannya, sehingga membuat Bayu terkesiap untuk beberapa saat
"Hup!"
Bayu cepat-cepat merundukkan kepala, menghindari tebasan golok berukuran besar itu. Seketika dirasakan adanya hembusan hawa dingin yang menyusup langsung ke tulang, begitu golok berukuran besar itu lewat di atas kepalanya. Dan sebelum Bayu sempat menarik kepalanya tegak kembali, si Jerangkong Hidup sudah memberi serangan cepat
Bet!
Laki-laki tua bertubuh kurus jangkung itu mengebutkan tangan kanan ke punggung Bayu. Belum juga Pendekar Pulau Neraka bisa melakukan sesuatu, si Cambuk Api sudah mengebutkan senjata ke arah dada. Jadi, cukup sulit baginya untuk menghindari dua serangan yang datang secara bersamaan ini.
"Hiyaaa...!"
Tak ada pilihan lain lagi. Pendekar Pulau Neraka cepat melentingkan tubuh ke udara, menghindari dua serangan yang dilancarkan dari arah belakang dan depan secara bersamaan. Tapi tanpa diduga sama sekali si Jerangkong Hidup cepat menarik tangannya, dan langsung melesat mengikuti Pendekar Pulau Neraka. Seketika satu pukulan keras dilepaskan begitu berada di belakang pemuda berbaju kulit harimau ini
"Yeaaah...!"
Dug!
"Akh...!" untuk kedua kalinya Bayu terpekik keras.
Pendekar Pulau Neraka terpental deras ke depan, langsung menghantam sebatang pohon yang cukup besar. Tubuhnya langsung melorot jatuh di bawah pohon itu. Pukulan yang dilepaskan si Jerangkong Hidup tadi tepat menghantam punggungnya. Bayu cepat melompat bangkit berdiri. Mulutnya meringis, merasakan nyeri pada tulang punggungnya.
"Mampus kau malam ini, Bocah! Hiyaaat..!" teriak si Golok Setan lantang menggelegar.
Cepat sekali laki-laki bertubuh tinggi besar itu melompat menyerang Bayu. Goloknya yang berukuran besar dan bertangkai panjang itu berputar cepat di atas kepalanya. Lalu bagaikan kilat dikebutkan dari atas ke bawah, seakan ingin membelah tubuh Bayu jadi dua bagian.
"Hup!"
Sungguh sukar dipercaya. Sama sekali Pendekar Pulau Neraka tidak berusaha menghindar. Bahkan ketika golok itu hampir membelah kepalanya, dengan cepat sekali jemari tangan kanannya langsung menjepit senjata berukuran besar itu.
"Heh...?!"
Si Golok Setan terkejut setengah mati. Dicobanya menarik goloknya yang terjepit jemari tangan kanan pemuda berbaju kulit harimau ini. Tapi goloknya seakan-akan terasa terjepit catut baja yang begitu kuat Bahkan goloknya sama sekali tidak bergerak di dalam jepitan jemari tangan Pendekar Pulau Neraka.
"Hih!"
Lagi-lagi si Golok Setan mencoba menarik senjatanya.
Seluruh kemampuan tenaga dalamnya dikerahkan. Tapi Bayu hanya tersentak sedikit saja. Dan sebelum si Golok Setan bisa melepaskan senjatanya,
"Hiyaaa...!" Bet!
Tanpa melepaskan jepitannya pada golok besar itu, Pendekar Pulau Neraka melesat cepat ke udara sambil menghantam kepala si Golok Setan dengan kaki kanannya! tiba-tiba saja Bayu berteriak keras menggelegar. Seketika tubuhnya melesat cepat ke udara, tanpa melepaskan jepitannya dari golok besar itu.
"Hiyaaa...!"
Bet!
Prak!
"Aaa...!"
Satu jeritan panjang melengking tinggi terdengar, tepat ketika kaki kanan Bayu menghantam kepala si Golok Setan. Begitu kerasnya tendangan yang dilakukan Bayu, sehingga membuat kepala si Golok Setan jadi retak. Darah langsung muncrat dari kepala itu.
Sebentar si Golok Setan masih mampu berdiri. Dan begitu Bayu melepaskan satu pukulan keras mengandung pengerahan tenaga dalam sempurna ke dada, tubuh si Golok Setan seketika terpental deras ke belakang tanpa mampu bersuara lagi. Goloknya yang berukuran besar terpental entah ke mana. Keras sekali tubuh tinggi besar itu jatuh berdebuk di tanah tanpa ada gerakan lagi.
"Heh...?!"
"Hah...?!"
Si Cambuk Api dan Jerangkong Hidup terlongong melihat si Golok Setan tewas begitu cepat. Mereka seperti tidak percaya dengan apa yang disaksikannya ini. Sedangkan Bayu sudah melangkah menghampiri dua orang berperawakan aneh itu. Raut wajah Bayu kelihatan begitu kaku. Sinar matanya tajam, menyorot langsung pada dua orang yang masih terpana seperti tidak percaya dengan semua yang disaksikan.
Bayu berhenti sekitar satu batang tombak lagi di depan si Cambuk Api dan Jerangkong Hidup. Pada saat itu, tiba-tiba terdengar teriakan keras melengking tinggi, disusul terpentalnya satu sosok tubuh menjebol atap rumah Minarti. Dan tak berapa lama berselang, satu sosok tubuh lagi terbanting menjebol dinding rumah itu.
"Heh...?!"
"Gandik..., Kabat..?!"

* * * * *



Untuk kedua kalinya si Cambuk Api dan Jerangkong Hidup terkejut melihat Gandik dan Kabat tergeletak di tanah sambil meringis mengerang. Dan sebelum lenyap keterkejutan mereka, tiba-tiba saja dari dalam rumah itu melesat sebuah bayangan hitam. Tahu-tahu, di depan tubuh Gandik dan Kabat sudah berdiri seorang wanita berbaju serba hitam dengan seluruh kepala terselubung kain hitam pula. Di tangannya tergenggam sebilah pedang terhunus yang ujungnya menempel di tenggorokkan Gandik.
"Bangun kau, Bangsat..!" bentak wanita itu geram.
Sambil meringis menahan sakit, Gandik merayap bangkit berdiri. Kabat yang belum disuruh, juga bergegas berdiri. Kakinya cepat-cepat bergeser ke belakang Gandik Ujung pedang masih menempel di leher laki-laki setengah baya itu. Sementara Bayu sudah memutar tubuhnya, menyaksikan peristiwa yang sama sekali tidak diduga ini.
"Baiknya kita apakan bangsat-bangsat ini, Pendekar Pulau Neraka...?" tanya wanita berselubung kain hitam itu seraya melirik Bayu sedikit.
Bayu tidak menjawab, tapi malah menatap tajam wanita berselubung kain hitam itu. Sementara diam-diam, si Jerangkong Hidup dan Cambuk Api meninggalkan tempat itu. Mereka tidak mau menanggung akibat yang terlalu besar. Dan begitu punya kesempatan, mereka cepat melesat pergi, tanpa seorang pun yang sempat menyadari.
Tapi gerakan mereka rupanya diketahui Bayu. Cepat Pendekar Pulau Neraka memutar tubuhnya, namun dia jadi geram. Ternyata kedua orang ini sudah lenyap tak terlihat lagi.
"Pengecut..!" dengus Bayu.
Kembali Pendekar Pulau Neraka memutar tubuhnya, dan melangkah menghampiri wanita berbaju serba hitam, dengan kepala terselubung kain hitam. Dia berhenti sekitar tiga langkah lagi di samping wanita berbaju serba hitam itu. Dipandanginya Gandik dan Kabat dengan sorot mata tajam. Wajah kedua laki-laki separuh baya itu jadi semakin pucat
"Jauhkan pedangmu, Nisanak," ujar Bayu tanpa berpaling sedikit pun.
Wanita berbaju hitam ini menuruti permintaan Bayu. Pedangnya segera dijauhkan dari leher Gandik, dan dimasukkan kembali ke dalam warangka di pinggang. Gandik menarik napas panjang begitu ujung pedang tidak lagi menempel di lehernya.
"Kenapa kalian begitu ingin menculik Minarti?" tanya Bayu dingin.
"Kami hanya disuruh," sahut Kabat sebelum Gandik membuka mulutnya.
"Siapa yang menyuruh kalian?" tanya Bayu, meskipun sudah tahu siapa orang yang berada di belakang semua ini.
"Ki Mangir," sahut Kabat lagi.
"Kalian tahu, kenapa Ki Mangir menginginkan Minarti?" tanya Bayu lagi.
Kabat dan Gandik saling berpandangan, kemudian sama-sama menggelengkan kepala. Mereka memang tidak tahu tujuan yang sebenarnya, karena hanya mendapat perintah untuk menculik Minarti. Dan mereka hanya tahu kalau Ki Mangir ingin memperistri gadis itu. Hanya itu saja yang diketahui. Dan ini dikatakan Gandik tanpa ditanya lagi.
"Kalian boleh pergi!" dengus Bayu.
"Oh...?!"
Gandik dan Kabat terlongong seperti tidak percaya dengan pendengarannya barusan. Mereka jadi bengong dengan mulut terbuka seperti kerbau kehausan.
"Tunggu apa lagi...?! Cepat pergi, sebelum fikiranku berubah!" bentak Bayu.
Seperti cacing terinjak, mereka menggeliat dan cepat-cepat kabur mengambil langkah seribu. Bayu hanya memandangi saja sampai kedua orang itu lenyap. Wajahnya baru berpaling menatap wanita berbaju serba hitam yang seluruh kepalanya terselubung kain hitam.
"Kenapa kau tidak bunuh mereka saja?" tanya wanita itu seperti kurang senang atas tibacndakan Bayu.
"Tidak ada gunanya membunuh mereka," sahut Bayu.
"Mereka hanya cecunguk yang menjalankan perintah."
"Kau percaya pada keterangan mereka tadi?" tanya wanita yang berjuluk si Perawan Pembawa Maut ini lagi.
Bayu hanya tersenyum saja. Kakinya melangkah menuju beranda depan rumah kecil itu, dan menghempaskan dirinya duduk di pinggiran lantai beranda yang terbuat dari belahan papan. Sedangkan wanita berbaju serba hitam itu masih tetap berdiri tegak di tempatnya. Kemudian dihampirinya Bayu, dan duduk agak jauh di samping Pendekar Pulau Neraka itu.
"Kenapa kau tadi kelihatannya hanya bermain-main?" tanya wanita itu lagi.
"Hanya ingin tahu saja kekuatan mereka," sahut Bayu seenaknya.
Sesaat mereka terdiam.
"Aku yakin ada sesuatu yang diinginkan Ki Mangir, selain ingin memperistri Minarti," kata wanita itu lagi, setengah bergumam nada suaranya, seperti berbicara pada diri sendiri.
"Apa perkiraanmu?" tanya Bayu seakan-akan menyelidik
"Terlalu dini untuk menduga, Pendekar Pulau Neraka," sahut si Perawan Pembawa Maut
Bayu terdiam. Dipandanginya wanita berbaju serba hitam yang duduk agak jauh di sampingnya ini. Tiba-tiba saja Pendekar Pulau Neraka teringat Minarti yang tadi ditinggalkan di dalam rumah ini. Bergegas Pendekar Pulau Neraka melompat masuk ke dalam, tapi tidak lama kemudian sudah keluar lagi. Seketika hatinya jadi terkejut karena si Perawan Pembawa Maut sudah tidak berada lagi di beranda ini. Wanita itu sudah menghilang selagi Bayu berada di dalam.
"Hm.... Ke mana dia...?" Bayu bertanya-tanya sendiri dalam hati.
Pendekar Pulau Neraka jadi tercenung. Di dalam rumah ini Minarti tidak ditemukan. Sudah semua kamar dimasuki Bahkan di dalam kamarnya sendiri, juga tidak ditemukan. Selagi Bayu terdiam sendiri, tiba-tiba dari arah samping muncul Minarti memeluk Tiren di dadanya.
"Minarti...," desis bayu seraya bergegas menghampiri.
Minarti mengulas senyuman di bibirnya. Monyet kecil berbulu hitam yang berada di dalam dekapan dada gadis itu menggeliat, kemudian melompat berpindah ke pundak kanan Pendekar Pulau Neraka. Tangannya yang berbulu hitam halus, memeluk leher pemuda berbaju kulit harimau ini
"Dari mana kau?" tegur Bayu.
"Aku sembunyi," sahut Minarti.
Bayu memandangi gadis ini. Sinar matanya tampak penuh selidik. Pendekar Pulau Neraka seperti tidak percaya atas jawaban Minarti barusan. Sedangkan yang dipandangi kelihatan tidak peduli, malah melangkah masuk ke dalam rumahnya. Bayu bergegas mengikuti sampai di dalam rumah kecil ini Mereka lalu duduk di balai-balai bambu yang hanya beralaskan tikar daun pandan agak lusuh.
"Aku tadi keluar lewat pintu samping. Terus sembunyi," Minarti mencoba menjelaskan.
Bayu hanya diam saja memandangi gadis ini
"Kau tidak percaya, Kakang...?" tegur Minarti merasa kalau Pendekar Pulau Neraka tidak percaya dengan keterangannya.
Bayu menghembuskan napas panjang.
"Minarti, katakan yang sebenarnya. Mengapa Ki Mangir ingin menculikmu? Aku yakin, bukan karena dia ingin memperistrimu," desah Bayu
Minarti tidak langsung menjawab, tapi malah menatap dalam-dalam Pendekar Pulau Neraka.
"Apa ayah tidak mengatakannya padamu?" Minarti malah bertanya.
"Tidak," sahut Bayu.
"Hhh...! Dia ingin memperistriku memang ada alasannya," jelas Minarti perlahan.
"Boleh aku tahu?" pinta Bayu.
"Dia menginginkan Pedang Sangkal Ireng."
"Aku tidak mengerti maksudmu, Minarti," Bayu meminta penjelasan.
"Aku sudah pernah cerita padamu. Beberapa bulan yang lalu, sebelum ayah mendapat musibah, ayah dan Ki Mangir sering jalan bersama. Mereka sebenarnya mencari Pedang Sangkal Ireng. Senjata itu memang jatuh ke tangan ayah, namun Ki Mangir tidak menerima kekalahannya," jelas Minarti.
"Kekalahan...?"
"Mereka bertaruh. Siapa yang berhasil mendapatkan Pedang Sangkal Ireng, akan menguasai seluruh daerah ini. Dan yang kalah harus mengabdi seumur hidup."
"Sebenarnya pedang itu punya siapa?"
"Seorang pertapa yang sudah muksa puluhan tahun lalu."
Bayu mengangguk-anggukkan kepala. Kini baru dimengerti semua persoalannya. Ternyata Ki Mangir gagal dengan cara halus. Dan sekarang, dia sudah menggunakan cara kasar. Ki Mangir memang tidak tahu kalau ayah gadis ini masih hidup, dan Minarti sudah mengetahui semuanya. Sehingga, gadis ini tidak bisa ditundukkan begitu saja.
"Tidurlah. Besok, kau bangun kesiangan," ujar Bayu.
"Boleh aku tidur bersama Tiren...?" pinta Minarti.
Bayu mengambil monyet kecil di pundaknya, lalu memberikannya pada gadis ini. Minarti menerima dengan senyuman manis tersungging di bibir, kemudian melangkah masuk ke dalam kamarnya. Sebentar Bayu masih memperhatikan sampai pintu kamar itu tertutup rapat Pendekar Pulau Neraka kemudian duduk bersila, dan meletakkan kedua telapak tangannya di atas lutut yang terlipat Sebentar kemudian, dia sudah mulai bersemadi.

* * * * *



--««¦ [ TUJUH ] ¦»»--

Selama dua hari ini tidak terjadi sesuatu terhadap diri Minarti. Tak ada seorang pun tukang-tukang pukul Ki Mangir yang mencoba menculik gadis itu lagi Keadaan begitu tenang. Bahkan Minarti bersikap seperti tidak pernah terjadi sesuatu pada dirinya. Seperti hari-hari sebelumnya, dia selalu mandi dan mencuci di sungai. Juga mencari kayu bakar di hutan. Minarti tetap melakukan pekerjaan rutinnya, tanpa sedikit pun ada rasa khawatir.
Sementara selama dua hari ini, Bayu terus menyelidiki keadaan rumah Ki Mangir yang berukuran cukup besar. Bahkan lebih besar dari rumah kepala desa sendiri. Ternyata Bayu pun juga tidak menemukan sesuatu yang menarik di sekitar rumah itu. Keadaannya tampak wajar, seperti rumah-rumah saudagar kaya lainnya, yang selalu dipenuhi tukang pukul yang menjaga rumah ini.
Seperti malam ini, Bayu kini sudah berada tidak jauh dari rumah Ki Mangir, setelah keramaian yang terjadi setiap malam di desa ini berhenti. Desa Jari Laksa ini memang bagaikan surga yang begitu banyak menjanjikan kesenangan bagi semua orang. Tidak heran, jika hampir setiap hari selalu ada pendatang yang memasuki desa ini.
"Hm.... Siapa itu yang datang...?" gumam Bayu ketika melihat sebuah bayangan berkelebat cepat, dan menghilang di dekat pagar tembok sebelah kanan dari rumah yang sedang diawasinya.
Bayu terus mengamati dan menunggu, tapi bayangan itu tidak kunjung muncul juga. Hal ini membuatnya jadi penasaran. Maka cepat-cepat tubuhnya melesat ke bagian kanan rumah Ki Mangir. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuhnya, sehingga dalam waktu singkat saja Pendekar Pulau Neraka sudah sampai di tempat bayangan yang tadi dilihatnya menghilang.
"Tidak ada siapa-siapa di sini...," gumam Bayu lagi dalam hari.
Pemuda berbaju kulit harimau itu mengedarkan pandangan ke sekeliling. Memang sepi, tak terlihat seorang pun di sekitarnya. Pandangan Bayu tertumbuk pada tanah berumput di depannya. Perlahan-lahan kakinya melangkah menghampiri, sambil merundukkan tubuhnya meneliti rumput yang rebah seperti baru terinjak kaki.
Bayu memeriksa jejak-jejak kaki yang begitu jelas tertera di tanah berumput lembab ini. Jejak kaki itu menghilang tepat di dekat tembok pagar yang cukup tebal dan tinggi. Dan kini, tak ada lagi jejak yang didapatkannya. Bayu berdiri tegak memandangi tembok pagar yang terbuat dari baru merah ini. Dan rasanya, tak terlalu sulit melompatinya.
"Apakah orang itu melompati tembok ini...?" lagi-lagi Bayu menggumam bertanya pada diri sendiri.
Selagi Pendekar Pulau Neraka mengamati tembok ini, tiba-tiba saja di atas tembok muncul beberapa kepala. Bayu terkejut, dan cepat melompat mundur. Tapi hatinya jadi tersentak, karena di belakangnya juga bermunculan orang-orang bersenjata berbagai macam bentuk terhunus di tangan.
"Heh...?!"
Kembali Pendekar Pulau Neraka tersentak ketika orang-orang yang berada di atas tembok menebarkan sebuah jaring berwarna hitam pekat. Cepat-cepat Bayu melompat ke samping, menjatuhkan dirinya ke tanah. Tubuhnya menggelimpang beberapa kali, dan cepat melompat bangkit berdiri. Tapi pada saat itu, beberapa batang tombak meluncur ke arahnya.
"Hiyaaa...!"
Bayu cepat-cepat melentingkan tubuh ke udara, menghindari serbuan tombak-tombak yang meluruk deras mengancam nyawanya. Tapi begitu berada di udara, tiba-tiba saja sebuah jaring hitam kembali menebar ke arah dirinya. Dan kali ini Bayu tidak punya kesempatan menghindar lagi.
Rrrt!
"Oh...!"
Bruk!
Pendekar Pulau Neraka jatuh terguling di tanah berumput lembab. Seluruh tubuhnya sudah tergulung jaring hitam. Ada enam orang di atas tembok memegangi tambang yang mengikat jaring itu. Mereka serempak berlompatan turun, membuat Bayu yang berada di dalam jaring terangkat ke atas, dan langsung melewati tembok baru yang cukup tinggi ini.
Srak!
"Akh...!" Bayu memekik agak tertahan. Keras sekali tubuhnya terbanting ke dalam semak, dan terus terseret tanpa mampu berbuat sesuatu. Bayu menggeliat dan menggelepar di dalam belitan jaring yang kenyal dan kuat ini. Sementara, enam orang itu terus berlari ke arah belakang rumah sambil memegangi tambang yang menyeret Pendekar Pulau Neraka. Dan mereka baru berhenti berlari setelah sampai di halaman belakang.
Tanpa ada yang mengeluarkan kata-kata sedikit pun, mereka melemparkan tambang-tambang itu ke atas tiang yang melintang cukup tinggi, lalu berlompatan menyambar ujung tambang itu. Dan begitu turun menjejak tanah, Bayu terangkat naik Kini tubuhnya menggantung seperti hewan buruan yang tak memiliki daya lagi untuk melepaskan diri. Mereka mengikat ujung tambang itu menjadi satu ke pohon. Sementara Bayu tetap tergantung sekitar setengah batang tombak jaraknya dari tanah.
"Keparat..!" desis Bayu menggeram.

* * * * *



"He he he...!"
Bayu menatap tajam seorang laki-laki separuh baya yang berjalan menghampiri diikuti sekitar tiga puluh orang laki-laki bersenjata. Di antara mereka terlihat Gandik, Kabat, Jerangkong Hidup, Cambuk Api, dan empat anak muda yang beberapa kali pernah bertarung dengannya. Mereka berhenti tidak jauh di bawah Bayu yang tergantung di dalam jaring hitam.
"Selamat datang di istanaku, Pendekar Pulau Neraka," ucap laki-laki separuh baya yang ternyata Ki Mangir.
"Kuharap kau menyukai sambutan ini."
Bayu hanya diam saja. Sorot matanya tetap tajam tertuju langsung ke wajah laki-laki separuh baya itu. Sudah diduganya kalau laki-laki inilah yang dipanggil Ki Mangir. Pendekar Pulau Neraka menaruh tangan kanannya ke belakang, mencoba memutuskan jaring-jaring yang membelenggu tubuhnya dengan ujung Cakra Maut Sungguh hatinya masih bersyukur, karena senjata andalannya ini masih melekat di pergelangan tangannya.
"Kau terlalu banyak ikut campur urusanku, Pendekar Pulau Neraka. Jadi, terpaksa harus menyingkirkanmu lebih dahulu," kata Ki Mangir lagi.
Bayu masih tetap diam membisu, namun terus berusaha memutuskan tali-tali jaring hitam ini. Cukup lama juga satu tali jaring yang kenyal dan kuat ini bisa diputuskan. Dia tidak tahu, jaring ini terbuat dari apa. Begitu kuat sehingga kekuatan tenaga dalamnya terpaksa harus disalurkan ke Cakra Maut untuk memutuskannya.
"Turunkan dia!" perintah Ki Mangir.
Dua orang bergegas melepaskan ikatan tambang di pohoa Kemudian ikatan itu dilepaskan begitu saja, sehingga Bayu terbanting cukup keras ke tanah. Hanya terdengar sedikit keluhan yang agak mendengus dari hidung Pendekar Pulau Neraka.
"Ikat..!" perintah Ki Mangir lagi.
Dua orang yang melepaskan tambang itu bergegas melaksanakan perintah laki-laki separuh baya ini. Mereka mengikat seluruh tubuh Bayu dengan tambang yang cukup besar dan kuat Pendekar Pulau Neraka kini benar-benar tidak berdaya lagi, dan tidak mungkin bisa melepaskan diri dari belenggu ini. Dan dia hanya bisa mengeluh dalam hati.
"Ikat dia ke pohon!" perintah Ki Mangir lagi.
Enam orang pemuda bergegas melaksanakan perintah itu. Mereka menyeret Bayu ke pohon dan mengikatnya di sana. Ki Mangir menghampiri Gandik dan Kabat.
"Kalian jemput Minarti sekarang juga. Ingat..! Jangan sampai sedikit pun kulitnya tergores!" perintah Ki Mangir.
"Baik, Ki," sahut Gandik cepat
Tanpa menunggu perintah dua kali, Gandik dan Kabat bergegas meninggalkan halaman belakang ruah ini. Ki Mangir memerintahkan orang-orangnya untuk memperketat penjagaan di sekitar rumahnya, kemudian melangkah masuk ke dalam rumah yang berukuran cukup besar itu. Sedangkan si Cambuk Api dan Jerangkong Hidup mengikutinya dari belakang. Masih ada enam orang bersenjata golok terselip di pinggang menjaga Bayu yang terikat di pohon, dengan seluruh tubuh terbelenggu jaring hitam.
"Setan benar-benar licik dia...!" dengus Bayu mengumpat dalam hati.

* * * * *



Sementara itu Gandik dan Kabat yang mendapat perintah menculik Minarti, sudah sampai di depan rumah gadis itu. Mereka mengamati keadaan sekitarnya beberapa saat kemudian hati-hati sekali melangkah menghampiri rumah yang kecil di tepian hutan ini. Keadaannya begitu sunyi, seakan tidak ada penghuninya. Tapi belum juga mereka menginjakkan kaki di beranda, tiba-tiba saja dari dalam rumah itu melesat sebuah bayangan hitam.
"Awas...!" seru Gandik langsung melompat berputar ke belakang.
"Hup!"
Kabat cepat-cepat membanting tubuh ke kanan, dan bergulingan beberapa kali. Dia bergegas bangkit berdiri dan berbalik. Sementara Gandik cepat melompat mendekati temannya. Dan di depan mereka kini sudah berdiri seseorang bertubuh ramping mengenakan baju serba hitam. Seluruh kepalanya juga terselubung kain hitam.
'"Perawan Pembawa Maut..," desis Gandik, agak bergetar suaranya.
"Kalian benar-benar mencari mampus!" desis wanita berbaju serba hitam yang dijuluki si Perawan Pembawa Maut itu dingin menggetarkan.
Sret!
Cring!
Gandik dan Kabat segera mencabut pedang, langsung menyilangkannya di depan dada. Perlahan mereka menggerakkan kakinya, menyebar ke samping. Mata mereka tidak berkedip menatap wanita berbaju serba hitam ini.
"Kenapa masih juga nekat heh...?! Apa yang kalian peroleh dari si Buaya Tua itu..?" desis si Perawan Pembawa Maut dingin.
"Kau sendiri, kenapa melindungi Minarti? Apa yang kau peroleh dari Eyang Palagan?" Gandik malah balik bertanya ketus.
"Itu urusanku!" bentak si Perawan Pembawa Maut gusar.
"Sama...! Aku menculik Minarti juga urusanku!" balas Gandik tidak kalah ketusnya.
"Setan...! Kalian benar-benar manusia hina yang pantas mampus!" geram wanita berbaju serba hitam itu.
"Mungkin malah kau sendiri yang akan mati di tanganku!" sambut Gandik sinis.
"Barangkali nasibnya ingin sama seperti Pendekar Pulau Neraka," celetuk Kabat yang sejak tadi diam saja.
"Keparat..! Apa yang kalian lakukan pada Ka...?" ucapan si Perawan Pembawa Maut jadi terputus.
Si Perawan Pembawa Maut jadi mendesis geram begitu mendengar nama Pendekar Pulau Neraka disebut Dugaan buruk tiba-tiba saja muncul di kepalanya.
"Kalian harus mampus! Hiyaaat..!"
Bagaikan kilat wanita berbaju serba hitam itu tiba-tiba saja melompat sambil mencabut pedang, dan langsung dikebutkan ke arah dada Gandik yang berdiri di depan.
Begitu cepatnya serangan yang dilakukan si Perawan Pembawa Maut ini, sehingga membuat Gandik jadi terperangah. Tapi cepat-cepat dia melompat ke belakang tanpa menyadari kalau Kabat berada di belakangnya.
"Heh...?!"
Tak pelak lagi kedua laki-laki ini jatuh bergulingan. Dan itu membuat nyawa Gandik bisa selamat dari ujung pedang si Perawan Pembawa Maut Mereka cepat-cepat melompat bangkit berdiri.
"Setan! Kenapa kau di belakangku...?!" rungut Gandik geram.
"Awas, Kang...!" teriak Kabat tidak menghiraukan makian Gandik.
Bet!
"Uts!"
Gandik cepat-cepat merundukkan kepala, begitu tiba-tiba secercah cahaya keperakan berkelebat cepat di atas kepalanya. Seketika darahnya jadi mendesir, merasakan kebutan angin yang begitu keras lewat di atas kepalanya. Dan sebelum Gandik bisa menyadari apa yang terjadi, mendadak saja dadanya terasa terkena satu pukulan keras mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi.
Diegkh!
"Akh...!" Gandik terpekik kaget.
Tubuhnya mencelat ke belakang sejauh dua batang tombak. Keras sekali Gandik menghantam tanah dan bergulingan beberapa kali di tanah yang berumput basah oleh embun. Pada saat itu, wanita berbaju serba hitam sudah melompat cepat. Ujung pedangnya tertuju lurus mengancam dada Gandik yang tergeletak di tanah.
"Oh, mati aku..!" desis Gandik pasrah.
Tapi belum juga ujung pedang itu berhasil menyentuh kulit dadanya, tiba-tiba saja berkelebat satu kilatan cahaya keperakan membabat pedang si Perawan Pembawa Maut
Trang!
Kilatan bunga api memercik begitu dua pedang beradu keras. Gandik cepat-cepat menggulirkan tubuhnya ke samping beberapa kali, lalu bergegas melompat bangkit berdiri. Dadanya terasa begitu sesak, membuat napasnya jadi agak tertahan
"Setan...!" geram si Perawan Pembawa Maut Wanita berbaju hitam itu menatap tajam pada Kabat yang telah menggagalkan serangannya pada Gandik tadi. Sambil berteriak nyaring melengking tinggi, si Perawan Pembawa Maut melompat cepat sambil membabatkan pedang ke arah dada Kabat.
"Hait..!"
Tapi dengan manis sekali, Kabat meliukkan tubuhnya. Maka, serangan wanita itu tidak mengenai sasaran. Sambil menarik tubuhnya tegak kembali, Kabat langsung mengibaskan pedang ke depan, tepat ke arah perut wanita berbaju serba hitam itu.
Bet!
Si Perawan Pembawa Maut mengebutkan pedangnya untuk menangkis pedang Kabat Kembali memercik bunga api begitu dua pedang beradu keras di depan perut wanita berbaju serba hitam ini. Dua langkah wanita itu menarik kakinya ke belakang, lalu cepat sekali melentingkan tubuhnya ke atas. Dan satu kebutan cepat disertai pengerahan tenaga dalam tinggi dilancarkan mengarah ke kepala Kabat.
"Hap!"
Kabat cepat-cepat mengangkat pedangnya, melindungi kepala dari tebasan pedang wanita berbaju serba hitam itu
Trang!
Lagi-lagi senjata mereka beradu keras. Tapi sebelum Kabat bisa menguasai pedangnya akibat benturan itu, tiba-tiba saja si Perawan Pembawa Maut sudah mendarat di belakang tubuhnya. Langsung kaki wanita itu dihentakkan ke punggung laki-laki setengah baya ini.
Des!
"Aaakh...!" Kabat memekik keras.
Dia jatuh tersungkur mencium tanah. Sementara si Perawan Pembawa Maut sudah kembali melompat, dan langsung mengarahkan pedangnya ke dada Kabat Tak ada lagi kesempatan bagi laki-laki itu untuk bisa menghindar. Tapi begitu ujung pedang wanita ini hampir menikam jantungnya, entah dari mana datangnya muncul seorang laki-laki tua berjubah putih yang langsung menjepit pedang itu dengan kedua jari tangannya.
"Hentikan..!"
"Oh...?!"
Si Perawan Pembawa Maut terkejut setengah mati melihat kemunculan laki-laki tua berjubah putih yang begitu tiba-tiba. Dia cepat melompat mundur beberapa langkah, begitu pedangnya terlepas dari jepitan jari tangan laki-laki itu. Sementara Kabat bangkit berdiri, dibantu orang tua berjubah putih panjang ini. Sedangkan Gandik yang masih mencoba mengatur jalan napasnya, bergegas menghampiri Kabat dan orang tua yang sudah dikenal dengan baik

* * * * *



"Eyang Palagan...."
Gandik dan Kabat cepat-cepat berlutut di depan laki-laki tua berjubah putih panjang ini Mereka terkejut dan senang atas kedatangan orang tua ini. Dan dia memang Eyang Palagan yang selama ini menghilang tanpa diketahui kabar beritanya.
"Bangunlah kalian," ujar Eyang Palagan lembut.
Perlahan Gandik dan Kabat beranjak bangkit berdiri. Mereka menyingkir ke samping setelah menjura membungkukkan badan. Sedangkan Eyang Palagan melangkah maju beberapa tindak mendekati wanita berbaju serba hitam itu. Si Perawan Pembawa Maut ini sudah menyarungkan pedangnya kembali ke dalam warangka di pinggang.
"Kalian pulanglah...," ujar Eyang Palagan pada Gandik dan Kabat tanpa berpaling sedikit pun
"Tapi, Eyang.... Perempuan ini sangat berbahaya," bantah Gandik.
"Aku bisa mengatasinya. Pulanglah kalian Sekalian sampaikan salamku pada Ki Mangir," kata Eyang Palagan lagi, tanpa sedikit pun berpaling.
Gandik dan Kabat saling berpandangan sejenak, kemudian mereka membungkuk memberi hormat pada orang tua berjubah putih panjang ini. Bergegas mereka meninggalkan tempat itu, dan terus berlari cepat tanpa menoleh lagi. Sebentar saja bayangan tubuh kedua laki-laki separuh baya itu sudah tidak terlihat lagi.
Si Perawan Pembawa Maut segera menjatuhkan diri berlutut, begitu dua anak buah Ki Mangir tidak terlihat lagi. Kedua telapak tangannya ditempelkan ke tanah berumput yang basah oleh embun. Eyang Palagan menghampiri dengan bibir menyunggingkan senyum. Ditepuknya pundak wanita berbaju serba hitam itu dengan lembut sekali.
"Bangunlah, Anakku," ujar Eyang Palagan dengan suara lembut
"Maafkan aku, Ayah...," ucap si Perawan Pembawa Maut seraya bangkit berdiri.
Kepalanya masih tetap tertunduk meskipun sudah berdiri di depan orang tua berjubah putih panjang ini. Perlahan tangan Eyang Palagan bergerak membuka kain hitam yang menyelubungi seluruh kepala wanita itu. Dan di balik selubung kain hitam, ternyata tersembunyi seraut wajah cantik yang memiliki sinar mata indah bagai langit bertaburkan bintang.
"Kenapa kau lakukan ini, Minarti...?" tanya Eyang Palagan, tetap lembut nada suaranya.
Si Perawan Pembawa Maut yang ternyata Minarti, hanya diam saja. Perlahan kakinya terayun menuju rumah kecil yang tampak berantakan. Beberapa dindingnya masih terlihat jebol. Bahkan lantai beranda depannya juga berlubang cukup besar. Sementara Eyang Palagan memperhatikan saja sambil ikut melangkah. Mereka kemudian duduk di pinggiran lantai beranda yang terbuat dari papan.
"Sudah beberapa kali orang-orang Ki Mangir mencoba menculikku. Jadi, terpaksa aku harus melakukan ini, Ayah," Minarti mencoba menjelaskan.
"Aku tahu, Minarti. Tapi dia sangat berbahaya. Dengan kepandaianmu sekarang ini, kau tidak mungkin bisa menandinginya. Ingatlah, Minarti. Ki Mangir hampir membunuhku dengan licik Kalau saja orang-orangnya tidak membokongku, dan meruntuhkan bebatuan padaku, tidak bakalan aku bisa dikalahkan," jelas Eyang Palagan agak mendesis.
"Itu sebabnya, dia harus kubunuh, Ayah," tegas Minarti.
"Jangan, Minarti. Dia itu ular. Kau tidak bisa sembarangan menghadapinya. Dia manusia licik dan serakah. Kalau dia sampai tahu tentang dirimu dalam keadaan seperti ini, bukannya tidak mustahil kau akan dibunuh, seperti yang dilakukannya padaku. Untung saja, Bayu bisa menyelamatkan dari himpitan batu. Kalau tidak, pasti aku sudah menjadi santapan cacing tanah. Tidak seharusnya kau bertindak begini, Minarti. Bukankah aku sudah meminta tolong pada Bayu untuk..?"
"Kakang Bayu...? Oh...!" tiba-tiba Minarti tersentak
"Ada apa, Minarti?" tanya Eyang Palagan.
Minarti tidak menjawab, lalu cepat mengenakan kembali selubung kain hitam di kepalanya. Dan tanpa berkata apa-apa lagi, gadis itu cepat melesat pergi. Begitu cepatnya, sehingga sebentar saja bayangan tubuhnya sudah lenyap ditelan kegelapan.
"Minarti, mau apa kau...?!" seru Eyang Palagan terkejut
Tapi Minarti sudah tidak terlihat lagi dari pandangan. Sejenak Eyang Palagan tertegun, lalu cepat mengempos tubuhnya. Dan seketika dia lenyap bagai melesak masuk ke dalam bumi. Ilmu meringankan tubuh yang dimiliki orang tua pertapa itu memang sudah mencapai tingkat sempurna, sehingga bisa melesat cepat bagai menghilang saja.

* * * * *



--««¦ [ DELAPAN ] ¦»»--

Saat itu Bayu masih berusaha melepaskan diri dari belenggu yang mengikatnya di pohon. Sesekali matanya melirik enam orang yang menjaganya. Mereka tampak duduk melingkari api yang sedikit menghangatkan udara malam. Entah apa yang dibicarakan, Bayu tidak mempedulikan. Perhatiannya terpusat pada usahanya untuk bisa melepaskan belenggu yang mengikatnya ini.
"Nguk...!"
"Oh...?!"
Bayu tersentak kaget ketika tiba-tiba terdengar suara halus dari atas kepalanya. Kepalanya mendongak, dan bibirnya tersenyum melihat Tiren tahu-tahu sudah berada di dahan, tepat di atas kepalanya. Monyet kecil itu hati-hati sekali meluruk turun mendekati Pendekar Pulau Neraka.
"Lepaskan ikatan ini, Tiren," pinta Bayu dengan suara berbisik perlahan.
Pendekar Pulau Neraka melirik sedikit pada enam orang yang menjaganya. Tampaknya keenam orang itu tidak menyadari kehadiran monyet kecil ini. Sementara, Tiren mengerti apa yang diinginkan Bayu. Cepat badannya berputar ke belakang pohon Monyet kecil itu menggaruk-garuk kepalanya, memandangi tambang besar yang mengikat Pendekar Pulau Neraka di pohon ini.
"Cepat, Tiren. Gunakan gigimu...," bisik Bayu tidak sabar.
"Nguk!"
Tiren bergegas menggigit tambang itu menggunakan gigi-giginya yang runcing dan tajam. Sementara Bayu terus mengawasi enam orang itu. Sesekali matanya melirik monyet kecil yang terus berusaha memutuskan tambang-tambang. Satu ikatan saja, namun cukup sulit bagi Tiren. Dan monyet kecil ini terus berusaha menggigiti tambang itu.
Sedikit demi sedikit hasilnya mulai tampak Tambang itu mulai genting, dan akhirnya putus juga. Bayu cepat-cepat melepaskan diri dari ikatan ini. Dibukanya jala hitam yang menyelubunginya. Saat itu, salah seorang penjaga memergokinya.
"Hei...?!" seru orang itu terkejut
Lima orang lainnya juga tersentak kaget Tapi sebelum mereka sempat melakukan sesuatu, Bayu sudah melemparkan jala hitam yang tadi membelenggunya.
"Hiyaaa...!"
Rrrt
Enam orang itu tidak dapat berbuat apa-apa lagi, dan langsung terbungkus jala hitam yang dilemparkan Bayu. Seketika Pendekar Pulau Neraka langsung melemparkan tambang yang mengikat jala itu ke atas tiang. Sambil mengerahkan kekuatan tenaga dalam, tambang itu ditariknya. Akibatnya, enam orang yang terkurung di dalam jala terangkat dari tanah dan langsung berteriak-teriak keras minta tolong. Bayu mengikatkan ujung tambang ke pohon.
"Nguk!
hraaak..!"
Tiren melompat kegirangan dan berjingkrakan di atas pundak Bayu Saat itu terdengar tepukan tangan dari arah belakang. Bayu cepat memalingkan wajah ke belakang. Entah kapan datangnya, tahu-tahu di belakang Pendekar Pulau Neraka sudah berdiri seorang wanita mengenakan baju serba hitam, dan kepalanya terselubung kain hitam juga.
"Perawan Pembawa Maut..," desis Bayu pelan, langsung mengenali sosok wanita berbaju serba hitam itu.
Pendekar Pulau Neraka memutar tubuhnya berbalik. Kim mereka saling berhadapan dengan jarak tidak lebih dari dua batang tombak.
"Hebat..! Akan kau apakan mereka, Pendekar Pulau Neraka?" puji si Perawan Pembawa Maut
Bayu hanya tersenyum saja.
"Sayang aku datang terlambat Tapi, tampaknya kau tidak memerlukan bantuan," kata si Perawan Pembawa Maut lagi.
"Mungkin... Jika mereka tidak keburu datang," sahut Bayu kalem.
Wanita berbaju serba hitam itu cepat memutar tubuhnya berbalik. Dan tampaklah sekitar tiga puluh orang berlarian ke arah ini. Mereka semua sudah menghunus senjata masing-masing yang rata-rata berbentuk golok dan pedang. Tapi ada juga yang membawa tombak. Di antara mereka terlihat Gandik dan Ka-bat yang berlari paling depan. Sedangkan di belakang sekali, terlihat Ki Mangir di damping si Cambuk Api dan Jerangkong Hidup tengah melangkah ringan dan tenang. Tampaknya kita harus memeras keringat malam ini," kata Bayu.
"Mungkin mereka yang harus memeras darah," sambut si Perawan Pembawa Maut, agak sinis nada suaranya.
"Awas...!" seru Bayu tiba-tiba.
Sebatang tombak berukuran cukup panjang meluncur deras ke arah wanita berbaju serba hitam itu. Tapi hanya mengegoskan tubuhnya sedikit, si Perawan Pembawa Maut berhasil mengelakkannya. Dan dengan cepat sekali tangannya bergerak menangkap bagian tengah tombak itu, begitu lewat di samping tubuhnya.
"Yeaaah...!"
Cepat sekali gerakannya memutar tombak itu, dan langsung dilemparkan ke depan Tombak itu meluncur balik dengan kecepatan luar biasa. Satu jeritan panjang melengking tinggi terdengar begitu tombak bertangkai panjang itu menembus dada salah seorang yang berada di depan.
"Hiyaaat..!"
Sret!
Cring!

* * * * *



Bayu sempat tertegun melihat si Perawan Pembawa Maut sudah melesat lebih dulu menyambut anak buah Ki Mangir. Entah kapan dia mencabutnya, tahu-tahu pedang keperakan yang berkilat itu sudah berada di dalam genggaman tangannya. Secepat kilat pedangnya dikebutkan beberapa kali, membabat tubuh orang-orang yang berada di dekatnya.
Jeritan-jeritan panjang melengking tinggi seketika terdengar saling susul. Sementara Bayu juga sudah sibuk menghadapi beberapa orang yang mengeroyoknya. Pertarungan memang tidak dapat dihindari lagi. Sebentar saja tubuh-tubuh berlumuran darah sudah terlihat bergelimpangan. Bayu sempat melirik wanita berbaju serba hitam yang mengamuk dahsyat, seperti banteng liar.
"Gila...! Dia seperti kesetanan..!" dengus Bayu dalam hari.
"Bisa habis orang-orang ini dibantainya."
Meskipun menghadapi keroyokan sekitar sepuluh orang, tapi Bayu masih sempat memperhatikan wanita berbaju serba hitam itu. Dan sebenarnya Pendekar Pulau Neraka tidak mengerti atas sikap wanita yang dijuluki si Perawan Pembawa Maut itu. Dia seperti kesetanan, menghajar orang-orang yang berada di dekatnya. Sama sekali lawan-lawannya tidak diberi kesempatan mendekat Jeritan-jeritan menyayat semakin sering terdengar membelah malam yang seharusnya sunyi tenang ini.
"Mundur semua...!" tiba-tiba saja terdengar bentakan keras menggelegar.
Seketika itu juga orang-orang yang bertarung mengeroyok si Perawan Pembawa Maut, berlompatan mundur begitu mendengar bentakan keras menggelegar tadi. Pada saat yang sama, sepuluh orang yang bertarung melawan Pendekar Pulau Neraka juga berlompatan mundur, tanpa seorang pun yang terluka. Tapi mereka yang melawan wanita berbaju serba hitam itu sudah lebih dari separuhnya tergeletak tak bernyawa lagi. Yang tersisa hanya delapan orang lagi.
"Hup...!"
Ki Mangir yang sejak tadi hanya menonton saja, melompat cepat ke depan si Perawan Pembawa Maut Sedangkan mereka yang tadi bertarung, bergegas menyingkir menjauh. Sementara Bayu masih tetap berdiri di tempatnya. Diperhatikannya si Cambuk Api dan Jerangkong Hidup yang belum turun ke arena pertarungan. Sama sekali Gandik dan Kabat yang berkumpul bersama yang lainnya tidak dipedulikan.
"Siapa kau sebenarnya, Nisanak?" tanya Ki Mangir dengan suara dingin agak ditekan.
"Apa itu perlu untukmu, Buaya Tua...?" si Perawan Pembawa Maut malah balik bertanya dengan sinis.
"Kau tiba-tiba muncul, dan langsung memusuhiku. Apa sebenarnya yang kau inginkan dariku?"
"Aku hanya ingin meminta wadah dari benda ini," kata si Perawan Pembawa Maut sambil menunjukkan sebuah benda hitam berbentuk pedang pendek dari balik pinggangnya.
"Sangkal Ireng...," desis Ki Mangir terbelalak melihat pedang pendek berwarna hitam sudah di tangan wanita itu.
"Kau tidak pantas menyimpan warangkanya, Ki Mangir. Sebaiknya berikan warangka Sangkal Ireng, sebelum aku mematahkan batang lehermu," ancam si Perawan Pembawa Maut semakin dingin suaranya.
"Siapa kau sebenarnya, Nisanak? Kenapa Pedang Sangkal Ireng berada di tanganmu...?" tanya Ki Mangir, agak keras suaranya.
Wanita berbaju hitam itu tidak menjawab. Kemudian tangan kirinya diangkat setelah menyimpan kembali Pedang Sangkal Ireng ke balik pinggangnya. Perlahan-lahan kain hitam yang menyelimuti kepalanya dilepaskan.
"Kau...?!"
Ki Mangir terbeliak melihat seraut wajah cantik di balik selubung kain hitam itu. Dan bukan hanya Ki Mangir yang terkejut tapi Pendekar Pulau Neraka dan semua orang yang ada di situ jadi terbelalak tidak menyangka kalau wanita berselubung kain hitam itu ternyata adalah Minarti. Dialah putri Eyang Palagan yang selama ini dikenal lemah lembut dan tidak memiliki sedikit kepandaian ilmu olah kanuragan. Tapi, justru Minarti sendirilah yang membuat Ki Mangir jadi kelabakan selama ini.
"Keparat..! Kau telah mempermainkan aku, Minarti...," desis Ki Mangir jadi berang.
"Kau harus menerima akibatnya!"
"Aku khawatir, malah sebaliknya kau yang akan menyesal, Ki Mangir," kata Minarti sinis.
"Setan...! Tahan seranganku! Hiyaaat..!"
"Haitt"

* * * * *



Minarti cepat-cepat melompat ke belakang begitu Ki Mangir melepaskan satu pukulan keras mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi. Menyadari kalau gadis ini memiliki kepandaian cukup tinggi, Ki Mangir tidak lagi tanggung-tanggung melakukan serangan. Pukulan-pukulan yang dilepaskannya mengandung pengerahan tenaga dalam dahsyat luar biasa.
Minarti terpaksa berjumpalitan menghindari setiap serangan yang datang cepat dan beruntun itu. Lima jurus cepat berlalu. Dan Minarti semakin kewalahan saja menghadapi serangan-serangan yang dilancarkan laki-laki separuh baya ini. Beberapa kali dia terpaksa harus membanting dirinya ke tanah, dan beberapa kali pula harus melenting ke udara. Tapi, rupanya Ki Mangir tidak akan membiarkan gadis ini. Ke manapun Minarti mencoba menjauh, selalu cepat dikejar dan dilontarkan beberapa pukulan bertenaga dalam tinggi.
"Lepas!" tiba-tiba Ki Mangir berseru keras menggelegar.
Dan seketika itu juga tangan kanannya bergerak cepat menampar pergelangan tangan kanan Minarti yang agak menjulur ke depan. Begitu cepatnya, sehingga Minarti tidak sempat lagi menarik tangannya pulang. Maka....
Plak!
"Akh...!" Minarti terpekik agak tertahan.
Pedang yang tergenggam di tangan kanannya, seketika mencelat tinggi ke angkasa. Minarti cepat melompat hendak mengejar senjatanya, tapi Ki Mangir sudah lebih cepat lagi melesat ke udara. Dan laki-laki separuh baya itu cepat menghentakkan tangan kanannya, langsung mengarah ke dada gadis ini.
"Yeaaah...!"
Des!
"Akh...!" lagi-lagi Minarti memekik tertahan.
Gadis itu terpental ke belakang, dan jatuh keras sekali ke tanah. Beberapa kali tubuhnya bergulingan, tapi cepat mencoba bangkit berdiri. Minarti terhuyung-huyung sambil mendekap dadanya yang terkena pukulan Ki Mangir. Dua kali mulutnya memuntahkan darah agak kental dari mulutnya.
Sementara itu Ki Mangir sudah berhasil menangkap pedang Minarti yang melayang di udara, lalu cepat sekali meluruk deras ke arah gadis itu sambil mengarahkan pedang terhunus lurus ke depan. Begitu cepat gerakannya sehingga tidak ada lagi kesempatan bagi Minarti untuk mengelak. Mata gadis itu hanya bisa membeliak lebar melihat ujung pedangnya sendiri mengancam ke arahnya. Tapi belum juga ujung pedang itu menyentuh kulit tubuh gadis ini, tiba-tiba saja secercah cahaya keperakan berkelebat cepat menyambar ujung pedang itu
Trang!
"Heh...?!"
Ki Mangir tersentak kaget setengah mati. Hampir saja pedang itu terlepas dari genggaman. Seketika dia cepat-cepat melompat mundur beberapa langkah. Pada saat itu, sebuah bayangan kuning berkelebat cepat, dan tahu-tahu di depan Minarti sudah berdiri Pendekar Pulau Neraka. Pemuda berbaju kulit harimau itu mengangkat tangan kanannya ke atas kepala. Maka, Cakra Maut yang dilemparkannya untuk melindungi Minarti tadi, kembali menempel di pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka.
"Tidak sepatutnya kau menganiaya seorang gadis, Ki Mangir," desis Bayu tidak senang atas tindakan laki-laki setengah baya ini.
"Setan keparat..! Mampuslah kau, hiyaaat..!"
Ki Mangir jadi berang setengah mati. Seketika, dia langsung melompat cepat menyerang Pendekar Pulau Neraka. Pedang Minarti yang berada di tangannya, dikebutkan cepat sekali ke arah leher pemuda berbaju kulit harimau itu. Tapi dengan menarik kepalanya ke belakang sedikit saja, Bayu berhasil mengelakkan serangan. Dan tubuhnya cepat melenting ke udara begitu serangan Ki Mangir lewat
Dua kali Bayu berputaran di udara melewati atas kepala Ki Mangir. Lalu, manis sekali kakinya menjejak tanah, tepat di belakang laki-laki separuh baya ini
"Hiyaaa...!"
Cepat sekali Bayu melepaskan satu pukulan disertai pengerahan tenaga dalam yang sempurna ke punggung Ki Mangir. Tapi, rupanya laki-laki setengah baya ini bukanlah orang sembarangan. Tanpa memutar tubuhnya, pukulan Bayu dari arah belakang berhasil dihindari dengan memiringkan tubuhnya ke kanan.
Ki Mangir cepat memutar tubuhnya begitu pukulan Bayu lewat di sampingnya. Langsung pedangnya ke arah perut Pendekar Pulau Neraka. Dan Bayu terpaksa harus menarik kakinya ke belakang dua tindak Maka ujung pedang itu hanya sedikit saja lewat di depan perutnya.
Ki Mangir tidak berhenti sampai di situ saja. Merasa mendapat kesempatan, terus dilancarkannya serangan-serangan susulan yang cepat dan dahsyat luar biasa. Bahkan pergantian jurus pun cepat sekali dilakukan, tanpa dapat diduga sebelumnya. Dia benar-benar tidak memberi kesempatan sedikit pada Pendekar Pulau Neraka untuk balas menyerang.
Jurus demi jurus berlalu cepat. Tanpa terasa, pertarungan telah berlangsung lebih dari dua puluh jurus. Dan Bayu mulai bisa melakukan serangan-serangan balasan, meskipun hanya sesekali saja. Tapi setiap kali Pendekar Pulau Neraka melakukan serangan balasan, Ki Mangir sudah kelabakan menghindarinya. Semua orang yang menyaksikan pertarungan jadi terpaku bengong. Pertarungan memang berlangsung menggunakan jurus-jurus tingkat tinggi yang sedap disaksikan, tapi juga mengandung maut yang setiap saat mengincar.
"Hiyaaat..!"
Tiba-tiba saja Bayu melentingkan tubuhnya ke belakang, dan melakukan putaran beberapa kali. Dan begitu kakinya menjejak tanah, cepat tubuhnya dimiringkan agak sedikit membungkuk ke kanan, sebelum Ki Mangir mengejar. Begitu laki-laki setengah baya itu melompat hendak menerjang, Pendekar Pulau Neraka cepat mengebutkan tangan kanannya ke depan sambil berseru keras menggelegar.
"Hiyaaa...!"
Wusss!
"Heh...?!"
Ki Mangir jadi tersentak kaget. Sungguh tidak disangka kalau akan mendapat serangan seperti ini. Dan kelihatannya, sukar baginya untuk bisa menghindar dalam keadaan di udara seperti ini. Ki Mangir cepat-cepat membanting tubuhnya ke bawah, tapi gerakannya sudah terlambat sehingga....
Cras!
"Aaakh...!" Ki Mangir menjerit keras melengking.
Cakra Maut yang dilepaskan Pendekar Pulau Neraka menyobek kulit bahunya. Seketika darah muncrat keluar dari bahu kiri Ki Mangir yang robek cukup besar dan dalam ini. Laki-laki setengah baya itu terhuyung-huyung ke belakang begitu kakinya menjejak tanah, sambil mendekap bahu kirinya yang sobek mengucurkan darah.
"Hap! Yeaaah...!"
Begitu Cakra Maut kembali menempel di pergelangan tangan kanannya, Bayu kembali cepat melontarkannya ke arah laki-laki setengah baya itu. Serangan yang dilancarkan Pendekar Pulau Neraka demikian cepat sekali, sehingga Ki Mangir yang masih belum bisa? menguasai keseimbangan tubuhnya, tak mampu lagi berbuat sesuatu. Dan....
Crab!
"Aaa...!"
Satu jeritan panjang melengking dan menyayat mengiringi tubuh Ki Mangir yang terjungkal ke belakang akibat terhantam Cakra Maut yang dilepaskan Pendekar Pulau Neraka. Dari dadanya yang berlubang cukup besar, seketika menyembur darah segar. Beberapa saat Ki Mangir menggelepar dan mengerang, kemudian meregang kaku. Mati!
Sementara Pendekar Pulau Neraka segera mengangkat tangan kanannya ke atas kepala, maka Cakra Maut kembali menempel di pergelangan tangan kanannya.
Tampak Minarti berlari-lari kecil menghampiri pemuda berbaju kulit harimau ini. Dia berhenti setelah jaraknya tinggal sekitar dua langkah lagi di depan Bayu.
"Bagaimana dengan mereka, Kakang?" tanya Minarti seraya melirik orang-orang yang berada di sekitar tempat ini.
Bayu mengedarkan pandangan merayapi wajah-wajah yang memucat bagaikan mayat itu. Keningnya jadi berkerut, karena tidak melihat lagi si Cambuk Api dan Jerangkong Hidup. Rupanya, dua orang itu sudah melarikan diri begitu melihat Ki Mangir tidak mampu lagi menghadapi Pendekar Pulau Neraka.
"Kita tunggu saja ayahmu. Biar dia yang memutuskan," ujar Bayu.
"Kau tahu kalau ayahku datang.,.?" tanya Minarti agak terperanjat
"Kalau janjinya tepat, seharusnya sudah ada di sini malam ini," sahut Bayu.
"Sebentar pasti ayah datang," jelas Minarti.
"Kau sudah mendapatkan warangka Sangkal Ireng, Minarti?" tanya Bayu.
"Aku tidak tahu bentuknya. Hanya ayah yang tahu," jawab Minarti.
"Hhih! Hanya sebuah benda, harus mengorbankan nyawa," desah Bayu perlahan.

Episode Berikutnya:
RATU LEMBAH MAYAT

S E L E S A I



INDEX PENDEKAR PULAU NERAKA
Prahara Di Pantai Selatan --oo0oo-- Ratu Lembah Mayat
Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.