Life is journey not a destinantion ...

Misteri Penunggang Kuda Bertopeng

INDEX PENDEKAR PULAU NERAKA
Pedang Kawa Hijau --oo0oo-- Dewi Asmara Darah



BAYU HANGGARA
Pendekar Pulau Neraka
Karya: Teguh. S
EP : MISTERI PENUNGGANG KUDA BERTOPENG

Cetakan Pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit


--««¦ [ SATU ] ¦»»--

Sebuah kereta kuda bergerak perlahan, melintasi tanah berbatu di Lereng Bukit Rantak. Kereta indah yang tampak megah itu ditarik delapan ekor kuda putih yang gagah. Di kiri kanan kereta terlihat empat penunggang kuda, berpakaian sangat indah. Di bagian belakang dan depan, berbaris para penunggang kuda lainnya. Mereka mengenakan pakaian seragam prajurit.
Sebuah kepala seorang laki-laki berusia setengah baya menyembut keluar dari balik jendela kereta kuda yang tertutup tirai kain berwama kuning keemasan. Dipanggilnya salah seorang penunggang kuda yang berada di sisi kereta ini. Penunggang kuda itu mendekat, dan membungkukkan tubuhnya mendekati kepala yang menyembul di jendela kereta kuda itu.
"Sudah hampir senja, kenapa tidak berhenti dan mencari tempat bermalam, Panglima Gajah Pati?" tanya laki-laki setengah baya itu.
"Sebentar lagi, Kanjeng Tumenggung. Setetah melewati sungai di depan sana, kita baru bisa beristirahat. Tempatnya tenang dan indah," sahut penunggang kuda yang dipanggil Panglima Gajah Pari.
Panglima Gajah Pati memang seorang pemuda tampan. Dan kalau dilihat dari usianya, sepertinya belum pantas menduduki jabatan seorang panglima. Tapi kepandaian yang dimiliki sudah mencapai tingkat tinggi. Sehingga, rasanya memang pantas untuk diangkat menjadi panglima sebuah kerajaan besar yang bernama Kerajaan Godaka. Letaknya di wilayah kulon ini. Sedangkan letak pusat pemerintahannya tidak seberapa jauh lagi dari Bukit Rantak, tapi masih memerlukan waktu sedikitnya satu setengah hari lagi untuk bisa sampai ke kota kerajaan itu.
"Panglima! Kau tahu, kenapa aku dipanggil Gusti Prabu Bojananta dengan pengawalan seperti ini?" tanya Tumenggung Pratala ingin tahu.
"Aku hanya menjalankan perintah, Kanjeng Tumenggung. Aku sendiri tidak tahu, kenapa diminta menjemput Kanjeng Tumenggung dengan membawa sepasukan prajurit. Hanya itu perintah yang kudapat dari Gusti Prabu Bojananta sendiri," jelas Panglima Gajah Pati tentang tugasnya.
"Aneh.... Tidak biasanya Gusti Prabu memanggilku begitu mendadak, dan dengan pengawalan begini ketat," gumam Tumenggung Pratala, seperti bicara pada diri sendiri.
Sebentar pandangannya beredar ke sekitarnya, kemudian kepalanya ditarik ke dalam. Sementara, Panglima Gajah Pati kembali ke tempat semula, berkuda di samping kanan kereta kuda ini Sedangkan di dalam kereta, Tumenggung Pratala masih terdiam dengan kening agak berkerut. Seorang gadis cantik yang duduk di sebelahnya, memperhatikan wajah laki-laki separuh baya yang tampak begitu murung.
"Ada yang dipikirkan, Ayah...?" tegur gadis itu. Suaranya terdengar begitu lembut
"Yaaah...," sahut Tumenggung Pratala mendesah panjang.
"Ayah masih memikirkan panggilan Gusti Prabu yang mendadak ini?" tebak gadis itu langsung.
Tumenggung Pratala tidak menjawab. Ditatapnya gadis cantik yang mengenakan baju warna merah muda di sampingnya ini. Perlahan tangan gadis itu diambil dan digenggamnya kuat-kuat. Gadis itu hanya membiarkan tangannya digenggam. Terasa sekali kalau tangan ayahnya begitu dingin dan berkeringat.
"Entah kenapa, sejak menerima panggilan yang mendadak ini ada perasaan aneh menyelinap di hatiku, Kara Gawing. Aku merasakan, seolah-olah akan terjadi sesuatu pada diriku," jelas Tumenggung Pratala, begitu perlahan suaranya.
"Bukankah sudah seringkali Gusti Prabu memanggil secara mendadak, Ayah...?"
"Memang benar, Rara Gawing. Tapi panggilan ini terasa begitu aneh. Lihatlah sendiri, tidak biasanya Panglima Gajah Pati yang menyampaikan surat panggilan. Bahkan sambil membawa sepasukan prajurit bcrsenjata lengkap. Seperti akan ke medan perang saja. Ini yang membuatku terus berpikir, Rara Gawing. Kurasakan ada sesuatu dari panggilan mendadak ini," ujar Tumenggung Pratala lagi.
Sementara Rara Gawing jadi terdiam. Sudah seringkali dia mendampingi ayahnya dalam segala urusan kerajaan. Dan memang baru kali ini Prabu Bojananta memanggil ayahnya begitu mendadak. Bahkan juga mendatangkan seorang panglima ternama, disertai sepasukan prajurit bersenjata lengkap. Dan ini memang tidak seperti biasanya. Tidak heran jika Tumenggung Pratala lantas mempunyai perasaan seperti itu.
Sementara kereta kuda yang membawa tumenggung dan putrinya terus bergerak perlahan-lahan, menyusuri jalan tanah berbatu. Sehingga, kereta itu berguncang-guncang agak keras. Dan rombongan yang berjumlah cukup besar itu sudah mulai melintasi sungai yang cukup lebar, namun sangat dangkal airnya. Begitu dangkalnya, sehingga mudah dilalui kereta kuda.
Hingga akhirnya, rombongan itu tiba di sebuah tempat yang cukup lapang setelah melewati sungai besar dan dangkal tadi Panglima Gajah Pati memerintahkan para prajuritnya untuk berhenti, lalu mendlrikan beberapa tenda. Saat ini, senja memang sudah cukup jauh turun. Dan tak berapa lama lagi, kegelapan malam pasti akan menyelimuti seluruh permukaan belahan bumi ini.

* * * * *



Malam begitu hening. Tumenggung Pratala tampak keluar dari dalam tendanya. Dua orang prajurit yang menjaga di depan pintu tenda itu segera membungkukkan tubuhnya untuk memberi hormat. Tumenggung Pratala terus saja melangkah mendekati api unggun yang menyala cukup besar di antara tenda-tenda yang berdiri mengelilinginya. Panglima Gajah Pati segera beranjak bangkit dari duduknya, dan membungkuk memberi hormat pada laki-laki separuh baya ini.
Kemudian, mereka duduk lagi menghadapi api unggun. Seorang gadis pelayan datang menghampiri, sambil membawa baki berisi dua guci arak dan dua buah gelas perak. Gadis pelayan itu menuangkan arak dari dalam guci ke dalam gelas-gelas perak itu.
"Silakan, Panglima," ujar Tumenggung Pratala.
"Terima kasih," ucap Panglima Gajah Pari seraya mengambil satu gelas perak itu.
Tumenggung Pratala juga mengambil gelas perak satunya. Kemudian, mereka mulai menenggak arak di dalam gelas itu hingga habis tak tersisa. Gadis pelayan berwajah cukup cantik itu hendak menambahkan arak lagi ke dalam gelas, tapi Tumenggung Pratala menolak dengan menggerakkan tangan sedikit.
"Kau tidur saja," ujar Tumenggung Pratala.
"Hamba, Kanjeng Tumenggung," sahut gadis pelayan itu seraya memberi sembah dengan merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung.
Tumenggung Pratala baru menuangkan arak ke dalam gelasnya yang sudah kosong, setelah gadis itu masuk ke dalam tenda yang diperuntukkan bagi pelayan-pelayan wanita yang menyertai rombongan ini. Setelah menghabiskan tiga gelas arak, Tumenggung Pratala baru mengedarkan pandangan ke sekeliling. Keningnya agak berkerut juga melihat penjagaan di sekitar perkemahan ini yang begitu ketat Bahkan separuh dari jumlah prajurit yang ada ditugaskan untuk berjaga malam. Dan senjata yang disandang begitu lengkap, seakan-akan mereka takut ada musuh yang menyerang tempat ini. Pemandangan yang seharusnya disaksikan jika terjadi perang. Tapi, ini bukan sedang perang. Bahkan Kerajaan Godaka, menurutnya sangat damai dan tenteram.
"Aku merasa kau terlalu berlebihan dalam menempatkan para prajurit, Panglima Gajah Pati. Apa memang perlu mereka berjaga dengan jumlah sebanyak ini...?" tanya Tumenggung Pratala.
"Aku harus menjaga keselamatan Kanjeng Tumenggung sampai ke istana. Maafkan jika tindakanku dianggap berlebihan. Tapi, hanya ini yang bisa kulakukan untuk menjalankan perintah Gusti Prabu Bojananta," sahut Panglima Gajah Pari, bersikap begitu hormat.
"Dengan cara begini, bukan ketenteraman yang kuterima, Panglima Gajah Pati. Tapi aku merasa seperi tawananmu saja," dengus Tumenggung Pratala.
"Maafkan, Kanjeng Tumenggung. Jika Kanjeng bisa bertanggung jawab kalau terjadi sesuatu, aku akan mengurangi penjagaan malam ini," ucap Panglima Gajah Pati.
"Tidak perlu."
"Tapi Kanjeng Tumenggung tidak menyukai hal seperti ini."
"Aku memang tidak suka, tapi tidak akan sekali-kali merebut tugasmu, Panglima. Kau hanya menjalankan tugas dari Gusti Prabu. Dan aku harus menerima, meskipun tidak suka dengan cara seperti ini."
"Aku bisa mengerti, Kanjeng Tumenggung."
Tumenggung Pratala bangkit berdiri setelah meneguk habis araknya. Panglima Gajah Pati bergegas berdiri, tapi mendadak saja....
Wusss!
"Kanjeng, awas...!"
Cepat sekali Panglima Gajah Pati melompat menubruk Tumenggung Pratala, begitu tiba-tiba saja sebuah benda seperti anak panah meluncur cepat bagaikan kilat ke arah tumenggung setengah baya itu. Mereka jatuh bergulingan di tanah. Panglima Gajah Pati cepat melompat bangkit, dan langsung menghampiri sebatang anak panah yang menancap di pohon.
"Siaga semua...!" seru Panglima Gajah Pati dengan suara keras menggelegar.
Tapi belum juga teriakan Panglima Gajah Pati hilang dari pendengaran, tiba-tiba saja terdengar teriakan-teriakan yang kemudian disusul bermunculannya orang-orang berbaju serba hitam, bersenjatakan golok terhunus. Orang-orang berbaju serba hitam itu langsung menyerang para prajurit yang kontan sangat terkejut
Sebentar saja, jeritan-jeritan panjang melengking tinggi terdengar saling sambut dari para prajurit yang lengah, dan tidak cepat menyadari keadaan. Lalu, pertempuran pun cepat berlangsung begitu sengit. Teriakan-teriakan pertarungan, jerit, serta pekikan melengking tinggi seketika terdengar memecah keheningan malam ini. Maka tubuh-tubuh bersimbah darah pun mulai teriihat bergelimpangan. Dua tenda yang berdiri sudah terbakar, membuat malam yang pekat ini jadi terang benderang. Api memang cepat sekali merambat besar, membakar tenda-tenda yang berdiri mengelilingi api unggun.
Malam yang semula begitu hening, benar-benar pecah oleh hiruk pikuk pertarungan yang tiba-tiba saja terjadi. Korban terus berjatuhan dari kedua belah pihak. Panglima Gajah Pati dan tiga orang wakilnya, bertarung seperti banteng kedaton untuk menghalau orang-orang berbaju serba hitam yang cepat menyerang dan mendadak sekali. Bahkan Tumenggung Pratala pun tidak tinggal diam begitu saja. Dengan pedang pendek yang sudah terkenal keampuhannya, dia berlompatan sambil membabatkan pedangnya ke arah orang-orang berbaju serba hitam ini.
Jerit dan pekikan melengking tinggi terus terdengar menyayat Pada saat kekacauan sedang berlangsung,
tiba-tiba saja dari kelebatan pepohonan muncul seseorang berjubah hitam. Dia menunggang kuda yang juga hitam pekat berkilat. Wajahnya, sukar dikenali karena tertutup sebuah topeng kayu berwarna hitam juga.
"Mundur...!" tiba-tiba saja penunggang kuda bertopeng hitam itu berteriak lantang menggelegar.
Seketika itu juga orang-orang berbaju hitam yang seluruhnya menggunakan senjata golok berlompatan mundur, menghentikan penyerangannya. Dan para prajurit yang masih selamat pun, segera berlompatan mundur ke belakang Tumenggung Pratala dan Pang-lima Gajah Pari. Kini, dua kelompok yang sama-sama udah berkurang jumlahnya saling berdiri berhadapan, dengan api unggun sebagai pembatas.

* * * * *



"Tidak ada gunanya melindunginya, Gajah Pati. Serahkan pengkhianat itu padaku untuk diadili...!" Terasa begitu dingin nada suara orang bertopeng hitam ini.
"Siapa kau...?!" tanya Panglima Gajah Pati lantang.
"Aku Penunggang Kuda Bertopeng. Kedatanganku ke sini untuk mengadili pengkhianat yang ada di sampingmu itu!" sahut penunggang kuda bertopeng hitam itu tidak kalah lantangnya.
"Jangan menuduh sembarangan, Kisanak! Apa buktimu menuduhku pengkhianat...?" keras sekali suara Tumenggung Pratala.
"Tidak perlu banyak bicara, Pengkhianat. Sudah terlalu banyak bukti kebusukan hatimu, Pratala! Dan kau tidak bisa berlindung dari siapa pun. Juga pada junjunganmu Prabu Bojananta!"
"Edan...!" dengus Tumenggung Pratala mendesis.
Pada saat itu, Rara Gawing keluar dari dalam tendanya. Langsung ayahnya dihampiri, dan berdiri di sampingnya. Gadis itu menatap tajam penunggang kuda bertopeng hitam, yang di belakangnya berbaris orang-orang berbaju serba hitam bersenjatakan golok terhunus di tangan kanan.
"Siapa mereka, Ayah?" tanya Rara Gawing.
"Orang gila yang ingin mencari urusan denganku," sahut Tumenggung Pratala.
Sementara itu, si Penunggang Kuda Bertopeng menatap Rara Gawing dengan sinar mata yang begitu sukar diartikan. Kedua bola matanya memang hampir tersembunyi di balik topeng hitamnya, sehingga sukar dilihat. Dan dia hanya diam saja menatap gadis cantik yang berdiri di samping Tumenggung Pratala.
"Kau memang licik, Pratala. Rara Gawing kau manfaatkan untuk melindungimu. Tapi ini hanya sementara, Pratala. Aku akan kembali lagi untuk mengambil dan mengadilimu!" ancam Penunggang Kuda Bertopeng itu dingin.
Setelah berkata demikian, orang bertopeng itu menghentakkan tali kekang, sehingga kuda hitam pekat yang tinggi dan gagah meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi. Lalu kuda itu cepat sekali melesat berlari masuk ke dalam lebatnya pepohonan. Pada saat itu juga, semua orang berbaju hitam berlompatan cepat mengikuti.
Gerakan mereka memang cepat sekali, sehingga tebentar saja sudah lenyap tak teriihat bayangannya. Sementara Tumenggung Pratala dan Panglima Gajah Pati masih berdiri tegak memandang ke arah hutan, empat orang aneh yang mengenalkan diri berjuluk Penunggang Kuda Bertopeng itu lenyap ditelan kegelapan malam. Sedangkan tiga orang wakil Panglima Gajah Pati sudah memimpin para prajurit membereskan mayat-mayat yang bergelimpangan.
Dari mayat-mayat itu, kebanyakan adalah para prajurit Dan setelah dikumpulkan, korban memang lebih banyak jatuh dari pihak prajurit. Bahkan jumlahnya dua kali lipat dari orang-orang berbaju serba hitam. Hal itu sudah menandakan kalau mereka lebih tangguh daripada para prajurit Kerajaan Godaka yang saat ini tengah bertugas mengawal Tumenggung Pratala.
"Inikah maksud Gusti Prabu Bojananta mengirim sepasukan prajurit untuk mengawalku, Panglima Gajah Pati..?" agak bergumam nada suara Tumenggung Pratala.
"Aku tidak tahu pasti, Kanjeng Tumenggung. Tapi mungkin juga memang demikian," sahut Panglima Gajah Pati.
"Hm.... Siapa Penunggang Kuda Bertopeng itu? Dan kenapa menuduhku pengkhianat..., Panglima Gajah Pati?" Tumenggung Pratala seperti bertanya pada diri sendiri.
Sedangkan Panglima Gajah Pati hanya diam saja, tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Pandangannya beredar berkeliling. Keadaan tempat ini begitu berantakan. Dan para prajurit sudah sibuk membenahi. Bahkan mayat-mayat sudah dijajarkan rapi, tidak jauh dari anak sungai kecil yang mengalir tidak jauh dari perkemahan ini.
"Rara Gawing, kembalilah ke tendamu. Malam masih terlalu panjang," ujar Tumenggung Pratala.
"Ayah tidak apa-apa?" tanya Rara Gawing ber-nada cemas.
"Tidak..., aku tidak apa-apa," sahut Tumenggung Pratala seraya tersenyum.
Rara Gawing memandangi wajah ayahnya beberapa saat, kemudian melangkah kembali masuk ke dalam tendanya. Sedangkan Tumenggung Pratala menghempaskan diri, duduk di dekat api unggun. Seorang gadis pelayan datang menghampiri sambil membawa sebuah guci arak. Tumenggung Pratala langsung merebut guci itu, lalu meneguk isinya dari mulut guci arak yang cukup besar. Kemudian, diserahkannya kembali guci itu pada gadis pelayan tadi.
"Pergilah...," ujar Tumenggung Pratala.
Setelah memberi hormat, gadis pelayan itu bergegas pergi. Sedangkan Panglima Gajah Pati masih tetap berdiri, tidak jauh dari laki-laki separuh baya yang masih kelihatan gagah itu. Meskipun tubuhnya sudah mulai mengembang tambun, tapi masih sangat tangkas dalam pertarungan tadi. Bahkan tidak sedikit lawan yang berhasil dibinasakannya.
"Maaf, Kanjeng. Apakah Kanjeng Tumenggung bisa mengenali suara Penunggang Kuda Bertopeng itu?" tanya Panglima Gajah Pati seraya menempatkan diri duduk di samping kanan Tumenggung Pratala.
"Sukar.... Sepertinya dia menggunakan suara perut untuk menutupi suara aslinya," sahut Tumenggung Pratala.
"Apa kau tidak bisa membedakan suara asli dan suara perut...?"
"Aku memang sudah menduga, Kanjeng. Tapi, tadi belum yakin kalau dia menggunakan suara perut," lelas Panglima Gajah Pati.
"Siapa pun dia orangnya, yang jelas ingin merusak namaku. Hhh.... Apa maksudnya menuduhku peng-khianat...?" agak mengeluh suara Tumenggung Pratala.
"Mungkin Gusti Prabu Bojananta mengetahuinya, Kanjeng Tumenggung," duga Panglima Gajah Pati.
"Hm...," Tumenggung Pratala hanya menggumam perlahan saja.
"Sebaiknya, Kanjeng Tumenggung beristirahat saja. Biar kami yang menjaga keamanan di slni malam Ini," kata Panglima Gajah Pati.
"Kau percaya apa yang dikatakannya tadi, Panglima?" tanya Tumenggung Pratala.
"Entahlah, Kanjeng. Di istana nanti semuanya akan jelas. Aku sendiri sebenarnya tidak tahu apa-apa, dan hanya menjalankan perintah saja," sahut Panglima Gajah Pati.
Tumenggung Pratala tersenyum, lalu bangkit berdiri sambil menepuk pundak panglima muda itu. Kemudian kakinya melangkah menuju tendanya tanpa berkata-kata lagi. Dan malam pun terus merayap semain larut. Udara di sekitar Lereng Gunung Rantak itu terasa begitu dingin. Beberapa prajurit tampak tengah menggali lubang yang cukup besar untuk menguburkan mayat-mayat yang sudah berjajar di tepi sungai Sementara, Panglima Gajah Pati memanggil ketiga orang wakilnya. Mereka kemudian sudah terlibat dalam pembicaraan yang begitu penting di dekat api unggun.

* * * * *



--««¦ [ DUA ] ¦»»--

Prabu Bojananta sendiri yang menyambut kedatangan Tumenggung Pratala di depan tangga istana. Tumenggung bersama putrinya segera membungkukkan tubuh dengan telapak tangan merapat di depan hidung, begitu keluar dari dalam kereta kuda yang rnembawanya ke Istana Godaka ini. Sementara, Panglima Gajah Pati terus mendampingi tumenggung ini sampai berada di depan Prabu Bojananta.
"Mari, silakan ke dalam," ajak Prabu Bojananta ramah.
"Terima kasih, Gusti Prabu," ucap Tumenggung Pratala seraya memberi hormat.
Mereka kemudian masuk ke dalam Balai Sema Agung. Di dalam ruangan yang berukuran sangat besar dan indah, sudah menunggu para patih, panglima, adipati, tumenggung dan para pembesar lain kerajaan ini. Mereka segera memberi hormat begitu Prabu Bojananta masuk bersama Tumenggung Pratala dan putrinya. Sementara Panglima Gajah Pati segera mengambil tempat di antara para panglima lainnya. Demikian pula tumenggung Pratala, mengambil tempat di antara para tumenggung kerajaan ini. Sedangkan Rara Gawing, langsung dibawa masuk ke dalam ruangan lain oleh dua orang dayang istana. Dan Prabu Bojananta duduk di singgasana yang megah, dikawal dua orang punggawa serta didampingi sepuluh orang pengawal khusus.
"Ini untuk pertama kali aku mengumpulkan Paman semua di Balai Sema Agung. Dan tentunya kalian bertanya-tanya, untuk apa kalian kuminta datang ke sini. Bahkan sampai mengirim para panglima dan prajurit pilihan untuk mengawal. Terutama, untuk para adipati dan tumenggung...," jelas Prabu Bojananta memulai membuka suara.
Tak ada seorang pun yang membuka suara. Sehingga suasana di Balai Sema Agung itu jadi terasa begitu sunyi, di saat Prabu Bojananta tidak berbicara lagi Untuk beberapa saat, suasana tetap seperti itu. Tidak terdengar suara sedikit pun
"Beberapa hari yang lalu, sepulang dari berburu, aku dicegat seseorang yang tidak dikenal. Dia mengatakan, ada di antara para adipati dan tumenggung yang sedang merencanakan pemberontakan. Tidak banyak yang dikatakannya, karena kemunculannya begitu tiba-tiba, dan menghilang pun dengan tiba-tiba pula. Makanya, aku merasa perlu mengumpulkan kalian semua untuk membahas kemunculan orang berselimut misteri itu. Dan ini kurasakan amat penting, karena aku percaya kalau kalian semua tidak punya maksud buruk padaku. Terutama untuk membuat kekacauan di kerajaan ini," jelas Prabu Bojananta lagi.
Semua orang yang ada di Balai Sema Agung itu jadi terkejut, terutama yang merasa menjadi adipati Ataupun tumenggung. Saat itu juga, Tumenggung Pratala mengangkat kepalanya, langsung diberikannya sembah pada Prabu Bojananta, dengan merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung.
"Ada apa, Paman Tumenggung Pratala?" tanya Prabu Bojananta.
Saat itu, semua orang menatap Tumenggung Pratala. Juga, Prabu Bojananta. Raja yang masih berusia muda itu memandang penuh arti pada laki-laki separuh haya yang masih kelihatan gagah ini.
"Maaf, Gusti Prabu. izinkan hamba bicara," pinta tumenggung Pratala.
"Silakan, Paman."
"Dalam perjalanan ke istana ini, rombongan hamba diserang orang-orang berbaju serba hitam yang dipimpin seorang penunggang kuda bertopeng hitam. Hamba tidak tahu, apa maksudnya, Gusti. Apa mungkin Penunggang Kuda Bertopeng itu yang menemui Gusti Prabu...?" kata Tumenggung Pratala, sikapnya begitu hormat pada junjungannya.
"Tepat Memang orang itu yang menemuiku," Agak keras suara Prabu Bojananta.
Seketika itu juga, ruangan Balai Sema Agung yang luas ini seakan-akan hendak runtuh oleh suara menggumam dari semua orang yang memenuhinya. Mereka semua benar-benar terkejut atas kata-kata pengakuan dari Tumenggung Pratala barusan. Dan suara mendengung bagai ribuan lebah itu seketika menghilang saat Prabu Bojananta mengangkat tangan kanannya. Kembali pandangan mereka tertuju pada Tumenggung Pratala.
"Panglima Gajah Pati...," panggil Prabu Bojananta sambil menatap Panglima Gajah Pati yang duduk di antara deretan para panglima.
"Hamba, Gusti Prabu," sahut Panglima Gajah Pati seraya memberi sembah.
"Benar apa yang dikatakan Paman Tumenggung Pratala?" tanya Prabu Bojananta ingin kepastian.
"Benar, Gusti Prabu. Mereka datang begitu tiba-tiba dan langsung menyerang. Tiga puluh prajurit tewas. Tapi, hamba tidak tahu maksud penyerangan itu, Gusti Prabu," Panglima Gajah Pati mencoba menjelaskan.
Prabu Bojananta terdiam dengan kepala terangguk beberapa kali. Kemudian pandangannya beredar, merayapi semua orang yang ada di ruangan Balai Sema Agung ini. Tak ada seorang pun yang membuka suara. Ruangan itu kembali hening, seperti di kuburan saja.

* * * * *



Cukup lama juga kesunyian menyelimuti Balai Sema Agung. Begitu sunyinya, sehingga detak jantung begitu keras terdengar di telinga masing-masing. Prabu Bojananta bangkit berdiri dari kursi singgasananya, lalu melangkah perlahan-lahan ke tengah-tengah ruangan. Semua mata memandang raja muda berusia sekitar dua puluh lima tahun itu.
Meskipun masih berusia cukup muda, tapi Prabu Bojananta sudah terkenal kebijaksanaannya dalam memutuskan sesuatu. Bahkan segala tindakan dan pikirannya selalu mementingkan kesejahteraan rakyat Kerajaan Godaka ini. Hal itu membuat seluruh rakyat begitu mencintainya. Bahkan semua pembesar yang rata-rata sudah berusia lanjut begitu menghormatinya, sebagaimana menghormati raja yang terdahulu, ayah Prabu Bojananta.
"Dalam keadaan seperti ini, aku ingin meminta kejujuran kalian. Aku rasa persoalan ini bukan hanya untuk adipati dan tumenggung, tapi juga menyangkut semuanya," kata Prabu Bojananta memecah kesunyian yang terjadi cukup lama.
Tak ada seorang pun yang membuka suara. Prabu Bojananta kembali melangkah mendekati singgasananya, kemudian duduk lagi di kursi yang indah itu. Puluhan pasang mata memandanginya, seakan-akan tengah menunggu suatu keputusan penting.
"Aku ingin tahu, apakah ada di antara kalian yang juga ditemui selain Paman Tumenggung Pratala...?" agak lantang suara Prabu Bojananta.
Tak ada seorang pun yang langsung menjawab. Mereka semua saling berpandangan, terutama yang duduk di barisan para tumenggung dan adipati. Tapi ink berapa lama kemudian, seorang adipati yang sudah berusia lanjut mengakui telah ditemui orang yang juga mengaku Penunggang Kuda Bertopeng dengan kata-kata sama.
Kemudian disusul oleh seorang adipati, lalu dua orang tumenggung dan tiga orang adipati lagi. Hingga akhimya, semua adipati dan tumenggung yang ada di ruangan itu mengaku telah ditemui orang yang sama dalam beberapa hari ini. Hal itu membuat keadaan di Balai Sema Agung itu kembali riuh. Mereka semua benar-benar tidak menyangka, kalau sepuluh tumenggung dan lima belas adipati Kerajaan Godaka ditemui orang yang sama, dan dengan kata-kata yang sama dalam beberapa hari ini. Dan terakhir, Penunggang Kuda Bertopeng itu menemui Tumenggung Pratala.
Sedangkan Prabu Bojananta jadi terduduk lemas. Sungguh tidak disangka kalau semua adipati dan tumenggungnya ditemui orang yang sama, dan dengan kata-kata yang sama pula. Benar-benar sulit dimengerti maksud Penunggang Kuda Bertopeng itu sebenarnya. Menemui dan mengancam semua adipati dan Tumenggung Kerajaan Godaka ini.
"Aku percaya pada kalian, semua adipati dan tumenggung. Aku tidak yakin, kalau yang dikatakan Penunggang Kuda Bertopeng itu benar. Tapi peringatannya juga tidak bisa kuabaikan begitu saja. Secara terbuka, aku akan mengadakan penyelidikan. Dan kuharap tidak ada seorang pun dari kalian yang merasa tersinggung atau sakit hati. Karena, apa yang akan kulakukan ini demi kelangsungan hidup dari Kerajaan Godaka," tegas Prabu Bojananta, setelah cukup lama berdlam diri.
Dan semua orang yang ada di ruangan Balai Sema Agung ini terdiam membisu. Terutama, mereka yang menjabat sebagai adipati dan tumenggung. Mereka semua terdiam dengan kepala tertunduk dalam. Tak ada seorang pun yang mengeluarkan suara.
"Apa yang akan kulakukan, bukan semata-mata untuk para adipati dan tumenggung. Tapi juga untuk semuanya, tanpa terkecuali," sambung Prabu Bojananta tetap tegas.
Masih belum ada yang membuka suara.
"Aku rasa, pertemuan siang ini sudah cukup. Jika ada yang ingin segera kembali ke kadipaten atau ke tumenggungan, aku tidak melarang. Tapi penyelidikan letap berlaku pada semua pembesar di seluruh kerajaan ini."
Setelah berkata demikian, Prabu Bojananta bangkit berdiri. Maka semua yang ada di Balai Sema Agung segera memberi hormat dengan merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung Kemudian raja berusia muda itu melangkah meninggalkan Balai Sema Agung diiringi pengawal pribadinya, serta para dayang cantik yang semuanya masih berusia muda.
Setelah Prabu Bojananta tidak teriihat lagi, mereka semua kemudian beranjak pergi meninggalkan ruangan yang berukuran sangat luas ini. Tak ada seorang pun yang berbicara. Tapi, pandangan mata mereka mengandung kecurigaan satu sama lain. Terutama, yang menjabat sebagai adipati atau tumenggung. Mereka tahu, kalau Prabu Bojananta sudah berkata ingin menyelidiki sendiri, itu berarti sekarang ini tidak seorang pun dari mereka semua yang bisa dipercaya lagi. Itu akan terus dilakukannya sampai diketahui siapa di antara mereka semua yang punya rencana untuk memberontak, menggulingkan takhta Kerajaan Godaka.
"Panglima Gajah Pati...."
Panglima Gajah Pari menghentikan ayunan kakinya begitu mendengar namanya ada yang memanggil. Begitu tubuhnya diputar berbalik, tampak Tumenggung Pratala melangkah agak cepat menghampiri. Sementara Balai Sema Agung ini sudah kosong. Mereka kemudian melangkah bersisian, keluar dari ruangan yang sangat luas dan indah ini.
"Mukaku benar-benar merasa tertampar, Panglima," kata Tumenggung Pratala bemada mengeluh.
"Bukan hanya Kanjeng Tumenggung, tapi aku juga merasa begitu. Sungguh tidak kukira bakal seperti ini jadinya," sahut Panglima Gajah Pati.
"Kau percaya, aku seperti yang dituduhkan Penunggang Kuda Bertopeng itu, Panglima?" tanya Tumenggung Pratala, seperti ingin mengetahui isi hati panglima berusia muda ini.
Panglima Gajah Pari tidak langsung menjawab.
"Seharusnya, aku memang tidak perlu bertanya seperti itu padamu, Panglima. Maaf... meskipun jauh lebih muda dariku, kau adalah seorang panglima. Dan ientu saja kau memiliki tugas tersendiri," kata Tumenggung Pratala lagi.
"Tidak ada tugas khusus untukku, Kanjeng Tumenggung. Dalam hal ini, Gusti Prabu tampaknya tidak akan mempercayai seorang pun. Dan kedudukanku saat ini tidak jauh berbeda denganmu, Kanjeng Tumenggung. Aku juga termasuk salah seorang yang dicurigai," jelas Panglima Gajah Pati bisa merasakan isi hati Tumenggung Pratala saat ini.
Sementara mereka sudah berada di luar ruangan Balai Sema Agung, dan terus melangkah menuju bagian samping bangunan istana yang besar dan megah ini. Beberapa prajurit yang berpapasan segera membungkuk memberi hormat
"Kenapa kau beranggapan seperti itu, Panglima?" tanya Tumenggung Pratala jadi ingin tahu.
"Merencanakan suatu pemberontakan itu tidak mudah, Kanjeng Tumenggung. Mereka membutuhkan banyak orang. Bukan hanya para tumenggung ataupun adipati, tapi juga memerlukan para prajurit dan panglima, serta patih yang terlatih dan berkepandaian tinggi. Dan hal itu sudah bisa kurasakan dari kata-kata Prabu Bojananta. Itu berarti, bukan hanya para tumenggung dan adipati saja yang harus dicurigai. Tapi juga semua patih, panglima, dan seluruh pembesar kerajaan ini."
"Hm. Ya..., ya...," Tumenggung Pratala mengangguk-anggukkan kepala.
"Pandanganmu luas sekali, Panglima."
"Itu hanya dugaanku saja, Kanjeng. Dan aku belum tahu kebenarannya. Masih terlalu dini untuk mengambil suatu keputusan," sahut Panglima Gajah Pati
"Tapi bagaimanapun juga, aku tidak akan tinggal diam, Panglima."
"Maksud, Kanjeng...?"
"Aku juga akan mencari, siapa biang keladinya. Dan semua itu bisa terungkap kalau aku bisa bertemu Penunggang Kuda Bertopeng itu lagi."
"Kalau Penunggang Kuda Bertopeng itu tidak muncul lagi?"
"Itu berarti hanya ingin mengacaukan suasana saja, Panglima. Ada kemungkinan juga itu hanya siasatnya saja, untuk mengacaukan istana, dan memecah belah di antara para pembesar kerajaan."
"Hm...," Panglima Gajah Pati hanya menggumam perlahan saja, dengan kepala terangguk beberapa kali.
Mereka terus berjalan tanpa berkata-kata lagi, dan baru berhenti setelah sampai di depan sebuah pintu samping bangunan Istana Godaka yang besar dan megah ini. Dan mereka berpisah, karena Panglima Gajah Pati masih ada tugas yang harus diselesaikan.

* * * * *



Kegelisahan begitu terasa di hati semua orang yang ada di Istana Godaka ini. Teriebih lagi, kegelisahan itu sangat dirasakan para adipati dan tumenggung yang masih berada di istana. Memang tidak mungkin mereka langsung kembali ke kadipatenan atau ketumenggungan. Paling tidak, sedikitnya harus tinggal dua hari di Istana Godaka. Karena saat itu senja memang sudah cukup jauh merayap turun.
Dan tidak seperti hari-hari biasanya, di dalam lingkungan benteng istana itu teriihat para prajurit bersenjata berjaga-jaga. Seakan-akan, istana ini hendak diserang musuh dari luar. Senjata dari berbagai bentuk, teriihat tersandang pada setiap prajurit Bahkan sepasukan prajurit berkuda, tampak siap tempur. Keadaan seperti ini tentu saja membuat tanda tanya bagi mereka yang tidak tahu persoalannya. Seperti halnya Rara Gawing, anak gadis Tumenggung Pratala yang ikut bersama ayahnya ke Istana Godaka ini. Dia jadi bertanya-tanya sendiri di dalam hati, setelah melihat keadaan istana yang seperti hendak berperang saja.
"Kita akan berperang melawan siapa, Ayah?" lanya Rara Gawing begitu melihat ayahnya, Tumenggung Pratala memasuki kamarnya.
"Tidak dengan siapa-siapa," sahut Tumenggung Pratala seraya menghempaskan tubuhnya di kursi, dekat jendela kamar ini. Kamar yang disediakan untuk beristirahat Rara Gawing.
Tumenggung Pratala memandang keluar melalui jendela yang terbuka lebar. Tampak di luar sana beberapa prajurit bersenjata lengkap tengah berjaga jaga. Bahkan teriihat pula sekitar dua puluh prajurit berkuda, meronda mengelilingi bangunan istana yang besar dan megah ini. Tumenggung Pratala menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat Sementara Rara Gawing terus memperhatikan dengan kening agak berkerut. Tidak mudah baginya untuk menebak pikiran yang mengganggu benak ayahnya saat ini.
"Ayah.... Boleh aku tahu...," terdengar ragu-ragu nada suara Rara Gawing.
Bahkan gadis itu tidak meneruskan ucapannya. Tumenggung Pratala berpaling, menatap anak gadis-nya. Teriihat jelas raut wajah Tumenggung Pratala begitu gelisah. Bahkan seperti ada beban yang begitu berat tersandang di dalam benaknya. Rara Gawing beranjak bangkit dari pembaringan. Kakinya melangkah perlahan mendekati laki-laki separuh baya itu, kemudian duduk di kursi satunya yang hanya dibatasi sebuah meja kecil yang berada tepat di bawah jendela kamar ini.
"Apakah keadaan ini ada hubungannya dengan Penunggang Kuda Bertopeng yang menyerang kita semalam. Yah...?" tanya Rara Gawing, langsung menebak.
"Hhh..!" Tumenggung Pratala tidak langsung menjawab. Dihembuskannya napas panjang yang terasa begitu berat.
Rara Gawing terus memandangi ayahnya. Dia lahu, ada sesuatu yang menjadi beban pikiran laki-laki separuh baya ini, sehingga terasa begitu gelisah. Terlebih, Tumenggung Pratala seperti berat untuk mengatakannya. Dan ini tidak seperti biasanya. Laki laki separuh baya itu biasanya selalu mengatakan tetiap persoalan yang sedang dihadapi pada anak gadisnya. Tapi sekarang Tumenggung Pratala seakan-akan begitu berat mengatakannya.
Dan Rara Gawing sudah bisa menebak persoalan yang kini sedang dihadapi ayahnya, pasti memang berat. Sehingga, sulit bagi orang tua itu untuk menceritakannya.
Sementara itu senja semakin jauh merayap turun menyelimuti mayapada. Rona merah jingga begitu nyata terlihat membias di ufuk Barat. Dan keremangan pun mulai merata, menyelimuti seluruh bumi Kerajaan Godaka yang sedang terselimut suatu persoalan berat atas munculnya seseorang yang mengaku berjuluk Penunggang Kuda Bertopeng. Suatu kemunculan yang membawa satu persoalan berat. Bukan hanya bagi para adipati dan tumenggung, tapi juga bagi seluruh kerajaan ini.
"Ayah...."
Belum lagi Rara Gawing bisa meneruskan kata-katanya, tiba-tiba saja melesat sebatang anak panah yang langsung menerobos masuk melalui jendela kamar ini. Tumenggung Pratala langsung melompat bangkit dari kursi yang diduduki. Begitu pula Rara Gawing yang duduk di seberangnya. Dan anak panah yang berwarna hitam itu menancap tepat di dinding, dekat sebuah lemari besar berukir di samping pembaringan. Tumenggung Pratala cepat melompat mendekati anak panah itu, dan mencabutnya dengan hanya sekali tarik saja.
"Ada suratnya, Ayah...," kata Rara Gawing seraya menghampiri ayahnya.
Tumenggung Pratala merrrperhatikan anak panah berwarna hitam itu sesaat, kemudian memandang ke luar jendela. Tak teriihat seorang pun di sana, kecuali para prajurit yang tetap menjaga di sekitar istana ini. Kemudian dibukanya ikatan selembar daun lontar yang mengikat bagian tengah batang anak panah ini.
"Apa isinya, Ayah...?" tanya Rara Gawing ingin tahu.
"Kau baca saja sendiri," sahut Tumenggung Pratala seraya menyerahkan surat dari lembaran daun lontar itu.
Rara Gawing mengambilnya, dan membaca sebaris kalimat yang tertera di lembaran surat daun lontar itu. Suaranya perlahan, setengah menggumam. Sementara, Tumenggung Pratala sudah kembali berdiri di depan jendela, memandang keluar dengan bibir masih terkatup rapat
"Temui aku di perbatasan Utara, malam ini!"
Rara Gawing langsung menatap laki-laki separuh baya yang kini membelakanginya setelah menggu-mamkan sebaris kalimat yang tertera pada lembaran surat daun lontar. Tidak ada apa-apa lagi selain sebaris kalimat yang bernada aneh itu. Perlahan-lahan kakinya melangkah menghampiri ayahnya, kemudian berdiri di sampingnya.
"Siapa pengirim surat ini, Ayah?" tanya Rara Gawing.
"Entahlah. Aku sendiri tidak tahu," sahut Tumenggung Pratala dengan nada suara mendesah perlahan.
"Ayah ingin menuruti permintaannya?" tanya Rara Gawing lagi.
"Hhh...!" Tumenggung Pratala hanya menarik napas panjang saja.
Terasa begitu berat tarikan napasnya. Sedangkan Kara Gawing kembali terdiam tidak bertanya-tanya lagi. Dia tahu, laki-laki separuh baya ini tengah mempertimbangkan permintaan pengirim surat ini. Dan permintaan ini tentu bukan hal yang bisa dianggap main-main, meskipun tidak ada nada ancaman sama sekali. Dan kalimat di dalam surat itu hanya bernada permintaan saja.
"Rara Gawing.... Kau bersedia menuruti permintaanku kali ini...?" tanya Tumenggung Pratala. Begitu perlahan suaranya, sambil berpaling menatap anak gadisnya.
"Tentu saja, Ayah," sahut Rara Gawing jadi heran.
"Besok pagi-pagi sekali, kau kembali ke ketumenggungan. Kau tidak perlu bicara lagi denganku, atau dengan siapa saja. Kalau ada yang bertanya, bilang saja ingin segera pulang. Kau bersedia bukan...."
Rara Gawing hanya menganggukkan kepala saja mendengar permintaan yang bernada aneh dari ayahnya ini Tapi, gadis itu tidak mau lagi bertanya. Dia tahu, sekarang ini ada satu persoalan yang sedang dihadapi ayahnya. Persoalan yang begitu berat, sehingga tidak memberitahukan padanya seperti biasa. Maka Rara Gawing tidak bisa lagi menolak permintaan ayahnya kali ini.
Tumenggung Pratala melangkah keluar dari kamar ini tanpa berbicara lagi. Sedangkan Rara Gawing hanya memandangi saja dengan kening sedikit berkerut. Sebenarnya, dia ingin lebih banyak lagi bertanya. Tapi melihat sikap ayahnya yang seperti tidak ingin membicarakan lagi, terpaksa semua pertanyaan harus disimpan di dalam kepala.

* * * * *



--««¦ [ TIGA ] ¦»»--

Tumenggung Pratala memacu cepat kudanya menuju arah Utara. Tak ada seorang pun bersamanya. Dia terus memacu kudanya, membelah kegelapan malam yang begitu pekat. Langit malam ini tampak begitu kelam. Sedikit pun tak teriihat cahaya bintang maupun bulan. Tapi, itu tidak menghalangi laki-laki separuh baya yang kali ini mengenakan baju warna pubh agak ketat, untuk memacu kudanya dengan kecepatan tinggi.
Tumenggung Pratala menghentikan laju kudanya Betelah sampai di perbatasan Utara Kerajaan Godaka. Sebentar laki-laki setengah baya itu mengedarkan pandangannya ke sekelilihg. Namun tak ada seorang pun teriihat Hanya kegelapan, dan pepohonan yang menghitam pekat di sekitarnya. Periahan-lahan kudanya digebah melewati perbatasan sebelah Utara ini, yang ditandai sebuah bangunan dari batu berbentuk candi kecil.
"Kau datang sendiri, Tumenggung Pratala...?"
Tumenggung Pratala langsung menghentikan langkah kaki kudanya, begitu tiba-tiba terdengar suara bernada sangat berat Sama sekali hatinya tidak terkejut karena memang sudah menduga akan ditemui seseorang yang pasti akan merahasiakan dirinya. Dan memang, pemilik suara itu belum juga menampakkan diri. Sukar bagi Tumenggung Pratala untuk bisa mengetahui, dari mana sumber suara itu. Karena suara menggema yang didengarnya tadi, seperti datang dari segala arah.
"Siapa kau?! Tampakkan dirimu...!" bentak Tumenggung Pratala.
Laki-laki setengah baya itu mengedarkan pandangannya berkeliling, namun tak ada sahutan sama. sekali. Tapi, mendadak saja keningnya jadi berkerut begitu mendengar derap langkah kaki kuda dari arah depan. Tak berapa lama kemudian, teriihat seseorang berbaju hitam pekat berada di atas punggung seekor kuda hitam yang tinggi dan gagah. Wajahnya sukar dikenali karena tertutup sebuah topeng yang berwarna hitam. Terlebih lagi, saat ini malam memang begitu gelap. Sedikitpun tak ada cahaya bulan maupun bin-tang yang menyinari.
"Penunggang Kuda Bertopeng...," desis Tumenggung Pratala perlahan, langsung mengenali penunggang kuda yang sudah berada sekitar satu batang tombak lagr jaraknya di depan.
"Aku kagum padamu sehingga berani datang seorang diri, Tumenggung Pratala," kata Penunggang Kuda Bertopeng. Suaranya dingin tanpa nada sedikit pun.
Tumenggung Pratala tahu, orang yang bersembunyi di balik topeng hitam itu menggunakan suara perut.
Dan tentu, dimaksudkan untuk menyembunyikan suaranya agar tidak dikenali. Tumenggung Pratala melompat turun dari punggung kuda. Gerakannya indah dan manis sekali. Sedikit pun tak ada suara yang ditim bulkan saat kakinya mendarat manis di tanah. Sementara kudanya dibiarkan berlalu menjauh darinya. Sedangkan Penunggang Kuda Bertopeng masih tetap duduk di punggung kudanya. Untuk beberapa saat, mereka terdiam tanpa berbicara sedikit pun. Mereka saling menatap tajam, seakan-akan tengah mengukur tingkat kepandaian yang dimiliki masing-masing.
"Untuk apa kau memintaku datang ke sini, Kisanak?"" tanya Tumenggung Pratala, membuka suara terlebih dahulu.
"Kau tentu sudah tahu, apa yang ingin kuketahui darimu, Tumenggung Pratala. Aku tahu, Prabu Bojananta sudah memberitahumu. Bahkan semua adipati dan tumenggung serta seluruh pembesar dan panglima," sahut Penunggang Kuda Bertopeng, masih dengan suara yang sama.
"Hm.... Aku tidak mengerti maksudmu yang sebenarnya, Kisanak. Kenapa kau bermain-main dan mengacaukan suasana...?" agak menggumam nada suara Tumenggung Pratala.
"Aku tidak membuat kacau suasana. Tapi, kau sendirilah yang seharusnya berpikir. Apa kekurangan yang kau dapatkan dari kerajaan ini? Kedudukan tinggi, harta berlimpah, dan kekuasaan yang tidak bisa didapatkan orang lain. Tapi, kenapa kau ingin memberontak...? Apa yang kau inginkan dari pemberontakan itu, Pratala?" agak tinggi nada suara Penunggang Kuda Bertopeng kali ini.
"Kau sudah menuduhku yang tidak-tidak tanpa bukti, Kisanak," desis Tumenggung Pratala agak tersinggung.
"Sudah kuduga, kau pasti akan membantah, Pratala. Tapi jangan harap bisa mungkir lagi di depanku. Aku tahu, apa yang kau lakukan selama ini di ketumenggungan!"
"Edan...! Apa sebenarnya yang kau inginkan, Kisanak? Kenapa menuduhku ingin memberontak pada Gusti Prabu Bojananta? Apa kau tidak berpikir, aku ini sudah mengabdi sejak raja yang terdahulu! Tidak ada di dalam pikiranku untuk berbuat sesuatu yang merugikan. Kau benar-benar gila, menuduhku sembarangan begitu...!" dengus Tumenggung Pratala menggeram berang.
"Seribu kali kau mengatakan kesetiaan, tidak akan membuat keyakinanku luntur, Pratala. Ingat-ingatlah. Kau tidak punya kesempatan sedikit pun untuk menggulingkan takhta Kerajaan Godaka!"
"Edan...!"
"Kesempatan itu memang tidak akan pernah kau dapatkan, Pratala. Karena, malam ini aku akan mengadilimu. Sudah kupikirkan, kau memang tidak pantas lagi menduduki jabatan tumenggung. Bahkan tidak pantas lagi hidup di dunia ini, Pratala. Bersiaplah menerima pengadilan ini."
Setelah berkata demikian, penunggang kuda yang mengenakan topeng dan berbaju serba hitam itu langsung saja melompat turun dari punggung kudanya. Dan begitu kakinya menjejak tanah, seketika itu juga dilepaskannya satu pukulan yang begitu cepat dan menggeledek. Akibatnya, Tumenggung Pratala jadi terperangah sesaat
"Uts...!"
Tapi dengan satu gerakan manis sekali, Tumenggung Pratala berhasil menghindari pukulan itu. Tubuhnya dimiringkan sedikit ke kanan, maka pukulan yang dilepaskan Penunggang Kuda Bertopeng hanya lewat sedikit saja di sampingnya.
Tapi belum juga Tumenggung Pratala bisa menegakkan tubuhnya kembali, Penunggang Kuda Bertopeng sudah memberi satu tendangan berputar. Begitu repat serangan susulannya, sehingga tak ada lagi kesempatan bagi Tumenggung Pratala untuk menghindar. Sehingga....
Desss!
"Akh...!" Tumenggung Pratala terpekik keras agak tertahan.
Seketika itu juga Tumenggung Pratala terpental ke samping, dan jatuh bergulingan beberapa kali, begitu tendangan Penunggang Kuda Bertopeng menghantam tubuhnya. Tapi cepat sekali dia melompat bangkit berdiri, walaupun agak terhuyung sedikit.
Segera dilakukannya beberapa gerakan untuk mengembalikan keadaan tubuhnya.
Sementara Penungggang Kuda Bertopeng sudah bersiap hendak melakukan serangan kembali. Memang sungguh dahsyat serangan-serangan yang dilakukannya. Dan setiap kali menyerang, sedikit pun tak ada suara yang ditimbulkannya. Dan ini membuat Tumenggung Pratala cepat berwaspada. Dia tahu, kalau lawan yang dihadapinya ini memiliki kepandaian begitu tinggi Hal itu bisa dirasakan ketika saat tendangan tadi bersarang di tubuhnya. Untung saja tendangan itu tidak mengandung pengerahan tenaga dalam, sehingga tidak menimbulkan luka dalam sedikit pun. Namun demikian, tendangan tadi sangat keras sekali dan hampir membuat tulang iganya patah.
"Bersiaplah, Tumenggung Pratala...!"
"Hm.... Ups!"

* * * * *



Dua orang itu sudah bersiap saling berhadapan untuk bertarung kembali. Tumenggung Pratala menggeser kakinya periahan ke kanan, ketika si Penunggang Kuda Bertopeng bergerak menggeser kakinya perlahan-lahan. Tak ada yang dibicarakan. Dan masing-masing menatap tajam, seperti tengah mengukur dan memperkirakan setiap serangan yang bakal dilakukan.
"Hep! Yeaaah...!"
Tiba-tiba saja Penunggang Kuda Bertopeng berteriak lantang menggelegar. Dan bagaikan kilat, dia melompat cepat sambil melepaskan beberapa pukulan keras menggeledek mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi. Tumenggung Pratala cepat bertindak. Dia berlompatan dan meliuk-liukkan tubuhnya, menghindari setiap serangan yang datang dengan cepat itu.
Pertarungan memang tidak dapat dicegah lagi. Dan sebentar saja, mereka sudah saling sambar dengan serangan-serangan berkekuatan tenaga dalam tinggi. Entah sudah berapa kali satu sama lain saling melepaskan pukulan dahsyat. Tapi, pertarungan itu tampaknya masih akan terus berjalan. Dan dalam waktu yang sebentar saja, tempat di sekitar pertarungan sudah porak-poranda terlanda pukulan-pukulan bertenaga dalam tinggi yang tidak menemui sasaran.
Jurus demi jurus beriaiu cepat Dan pertarungan pun terus berjalan semakin dahsyat saja. Bahkan kali Ini pukulan yang dilepaskan bukan hanya mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi, tapi juga mengandung aji kesaktian. Sehingga, malam yang pekat ini dihiasi kilatan-kilatan cahaya dari ajian yang dikeluarkan.
"Tahan! Yeaaah...!"
Tiba-tiba saja si Penunggang Kuda Bertopeng melentingkan tubuhnya ke udara. Kecepatannya begitu cepat luar biasa, tepat di saat Tumenggung Pratala melepaskan satu pukulan jarak jauh berkekuatan tenaga dalam tinggi yang dibarengi pengerahan aji kesaktian. Dan sebelum Tumenggung Pratala bisa menarik kembali serangannya, tahu-tahu si Penunggang Kuda Bertopeng sudah melepaskan satu pukulan bertenaga dalam tinggi sekali, disertai pengerahan aji kesaktian dalam pukulannya.
"Hiyaaa...!"
Slap!
Secercah sinar berwarna merah kekuningan, seketika itu juga meluncur deras ke arah Tumenggung Pratala yang belum sempat berbuat sesuatu lagi. Sementara serangan yang dilancarkan lawan begitu cepat, dan tidak mungkin lagi bisa dihindari. Teriebih, pada saat itu Tumenggung Pratala belum sempat menarik serangannya yang gagal. Sehingga....
Glarrr...!
"Akh...
Laki-laki separuh baya itu terpental jauh ke belakang, begitu sinar merah kekuningan menghantam dadanya. Tapi belum juga tubuh Tumenggung Pratala menghantam tanah, tiba-tiba saja sebuah bayangan kuning kehitaman berkelebat begitu cepat menyambarnya. Langsung tubuh Tumenggung Pratala dibawa menjauh dari si Penunggang Kuda Bertopeng. Seorang pemuda tampan berbaju kulit harimau, tahu-tahu sudah berdiri tegak memondong tubuh Tumenggung Pratala. Dengan hati-hati sekali, diletakkannya tubuh laki-laki separuh baya itu di tanah. Tumenggung Pratala kelihatan tak bergerak, kecuali pada dadanya saja yang bergerak lemah.
Glarrr...!
"Akh..!" teriak Tumenggung Pratala keras.
Tapi belum juga tubuh lelaki setengah baya itu menghantam tanah, tiba-tiba saja sekelebat bayangan kuning kehitaman cepat menyambarnya. Langsung tubuh Tumenggung Pratala dibawa ke tempat yang aman.
Ini menandakan kalau dia masih hidup. Pemuda tampan berbalut kulit harimau itu kemudian berdiri tegak, menatap tajam si Penunggang Kuda Bertopeng.
"Jangan mencampuri urusanku ini, Anak Muda Menyingkirlah...!" bentak Penunggang Kuda Bertopeng itu dingin.
"Hm...," pemuda berbaju kulit harimau itu hanya menggumam perlahan saja. Tangannya menepuk-nepuk monyet kecil berbulu hitam yang nangkring di pundaknya.
Sementara itu, Tumenggung Pratala sudah menggeliat sambil merintih lirih. Bibirnya meringis menahan sakh dan rasa sesak di bagian dadanya yang terkena pukulan si Penunggang Kuda Bertopeng tadi.
"Apa yang kau rasakan, Paman?" tanya pemuda tampan berbaju kulit harimau itu sambil berjongkok, tanpa menghiraukan si Penunggang Kuda Bertopeng.
"Dadaku..., terasa sesak sekali," sahut Tumenggung Pratala lirih.
"Hm...," kembali pemuda itu menggumam setelah meraba dada Tumenggung Pratala.
Dia kembali bangkit berdiri, lalu melangkah menghampiri si Penunggang Kuda Bertopeng. Langkahnya berhenti setelah jaraknya tinggal sekitar enam langkah lagi. Tatapan mata pemuda itu begitu tajam, seolah-olah tidak menyukai tindakan orang bertopeng hitam itu terhadap laki-laki separuh baya yang kini tergolek tak berdaya.
"Aku sudah mendengar percakapanmu dengan Paman Tumenggung itu, Kisanak. Kenapa kau menuduhnya tanpa bukti? Pengkhianatannya belum bisa kau buktikan. Jadi tidak seharusnya menjatuhkan tangan padanya, Kisanak," tegas pemuda tampan berbaju kulit harimau itu. Nada suaranya terdengar begitu dalam.
"Itu bukan urusanmu!" bentak si Penunggang Kuda Bertopeng, tidak
menyukai urusannya dicampuri iwmuda di depannya.
"Tidak akan menjadi urusanku, jika kau bertindak lebih bijaksana lagi, Kisanak," tenang sekali suara pemuda itu.
"Edan...! Siapa kau, Anak Muda...?!" geram Penunggang Kuda Bertopeng itu jadi berang atas sikap pemuda tampan berbaju kulit harimau ini.
"Maaf. Aku tidak suka memperkenalkan diri pada orang gegabah sepertimu," sahut pemuda itu, masih tetap tenang nada suaranya.
"Phuah...! Sombong benar kau ini."
"Lebih sombong lagi dirimu, Kisanak."
Si Penunggang Kuda Bertopeng itu menggeram berang. Hatinya benar-benar geram melihat tingkah pemuda berbaju kulit harimau yang telah mencampuri urusannya dengan Tumenggung Pratala. Beberapa saat dia terdiam, menatap tajam dari balik topeng hitam yang menutupi seluruh wajahnya. Sedangkan pemuda berbaju kulit harimau itu membalas tidak kalah tajam.
Perlahan laki-laki berbaju serba hitam yang wajahnya tertutup topeng berwarna hitam itu melangkah ke belakang mendekati kudanya. Kemudian, diambilnya tali kekang kuda hitam yang tinggi dan tegap itu. Sebentar matanya masih menatap pemuda berbaju kulit harimau. Kemudian dengan satu gerakan manis sekali, dia melompat naik ke atas punggung kuda hitamnya.
"Dengar, Anak Muda.... Aku tidak akan segan-segan menjatuhkan tangan jika kau berani mencampuri urusanku lagi. Untuk kali ini, kelancanganmu kumaafkan. Tapi lain kali, kau akan menyesal. Camkan itu, Anak Muda...!"
Setelah berkata demikian, si Penunggang Kuda Bertopeng langsung cepat menggebah kudanya. Kuda hitam itu meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi ke udara. Lalu bagaikan sebatang anak panah yang melesat dari busurnya, kuda hitam bertubuh tinggi tegap itu langsung berlari cepat bagai kilat. Begitu cepatnya, sehingga dalam sekejap saja sudah menghilang ditelan kegelapan malam yang begitu pekat.
Sebentar pemuda berbaju kulit harimau itu masih berdiri tegak memandang ke arah si Penunggang Kuda Bertopeng tadi menghilang di dalam kegelapan malam. Kemudian, tubuhnya berbalik menghampiri Tumenggung Pratala yang sudah bisa duduk bersila, meskipun napasnya masih agak tersengal. Pemuda berbaju kulit harimau itu kemudian duduk bersila di depannya. Dipindahkannya monyet kecil berbulu hitam yang ada di pundak ke pahanya.
"Bagaimana keadaanmu, Paman?" tanya pemuda itu setelah Tumenggung Pratala membuka kelopak matanya.
"Agak membaik," sahut Tumenggung Pratala masih agak tersengal.
"Terima kasih atas pertolonganmu yang telah menyelamatkan nyawaku, dan berhasil mengusir orang gila itu."
"Aku tidak mengusirnya, Paman. Dia sendiri yang pergi," jelas pemuda itu.
"Siapa namamu, Anak Muda?" tanya Tumenggung Pratala.
"Bayu Hanggara. Tapi, panggil saja aku Bayu," sahut pemuda itu memperkenalkan diri.
"Dan ini sahabatku. Namanya Tiren."
Pemuda yang memang bernama Bayu dan dikenal berjuluk Pendekar Pulau Neraka itu menepuk-nepuk kepala monyet kecil berbulu hitam yang duduk tenang di pangkuannya. Seperti mengerti kalau dirinya diperkenalkan, monyet kecil yang selalu dipanggil Tiren itu menganggukkan kepala. Tentu saja hal itu membuat Tumenggung Pratala tersenyum. Tapi, mulutnya langsung meringis, menahan nyeri pada rongga dadanya.
"Masih sakit...?" tanya Bayu
"Sedikit Pukulannya dahsyat sekali. Mungkin kalau tidak sedang mengerahkan tenaga dalam, sudah hancur dadaku ini," sahut Tumenggung Pratala.
"Tebaiknya Paman bersemadi dulu, untuk menghilangkan rasa nyeri di dada...," ujar Bayu menyarankan.
"Tidak periu lagi, Anak Muda. Aku yakin, dengan sedikit ramuan saja, rasa sakit di dadaku akan segera hilang."
Bayu hanya mengangkat bahunya saja. Memang, keadaan laki-laki separuh baya ini sudah diperiksanya. Dan rasanya tidak perlu dikhawatirkan. Luka dalam yang dideritanya juga tidak seberapa parah. Hanya dengan melakukan sedikit semadi dan meminum ramuan obat, pasti akan sembuh. Memang Bayu tadi masih sempat merasakan adanya aliran tenaga dalam di dada Tumenggung Pratala. Tapi hatinya tidak yakin kalau tenaga dalam itu yang menyelamatkannya. Pendekar Pulau Neraka malah lebih yakin lagi kalau orang berbaju serba hitam itu tidak dengan kekuatan penuh melancarkan pukulannya. Sehingga lawannya ini tidak cidera. Dan hal itu yang membuat Bayu tiba-tiba saja jadi bertanya sendiri dalam hati.
Kenapa orang berbaju hitam dan bertopeng itu tidak menciderai Apalagi membunuhnya...? Padahal dari apa yang dilakukannya, tidak terialu sulit menewaskan tumenggung ini. Tapi pukulan yang seharusnya bisa mematikan, malah ditahan kekuatannya. Sehingga, tidak mengakibatkan luka yang berarti, apalagi sampai menewaskan. Namun pertanyaan itu hanya tersimpan saja dalam benak Pendekar Pulau Neraka.

* * * * *



Saat matahari muncul di ufuk Timur, Bayu dan Tumenggung Pratala baru beranjak meninggalkan perbatasan Utara Kerajaan Godaka. Mereka melangkah Hdak tergesa-gesa memasuki wilayah kerajaan yang cukup besar ini. Tumenggung Pratala hanya menuntun kudanya. Rasanya memang tidak mungkin menung-yang kuda ini, sementara pemuda yang telah me-nyelamatkan nyawanya berjalan kaki bersama seekor monyet kecil yang selalu nangkring di pundak sebelah kanan.
"Kau berasal dari mana, Bayu?" tanya Tumenggung Pratala.
"Sebuah pulau kecil, tidak jauh dari Pesisir Pantai Utara," sahut Bayu.
"Sebuah perjalanan yang jauh," gumam Tumenggung Pratala perlahan.
"Lalu, ke mana tujuanmu?"
"Ke mana saja kaki ini melangkah, Paman," sahut Kayu.
"Kau tentu seorang pendekar, Bayu. Memang banyak pendekar muda yang mencari pengalaman hidup dengan cara mengembara dari satu tempat ke tempat yang lain tanpa tujuan pasti. Hm..., kau tentu mempunyai julukan. Kalau boleh kutahu, apa julukanmu, Bayu...?"
"Orang-orang memanggilku Pendekar Pulau Neraka. Aku sendiri tidak tahu. Mungkin karena aku berasal dari sana, sehingga julukan itu diberikan padaku," sahut Bayu lagi.
"Pulau Neraka. Hm.... Pulau itu pernah kudengar, dan memang tidak jauh dari Pesisir Pantai Utara. Sebuah pulau mati yang tidak berpenghuni. Dan, tak ada seorang pun yang sudi singgah di sana...," Tumenggung Pratala menatap Pendekar Pulau Neraka dalam-dalam, seakan-akan tidak percaya kalau pemuda tampan yang berjalan di sampingnya benar-benar berasal dari pulau yang sangat ditakuti para nelayan di Pesisir Pantai Utara.
Sedangkan Bayu tetap saja mengayunkan kakinya, seperti tidak peduli dengan pandangan laki-laki separuh baya ini. Dan untuk beberapa saat mereka terdiam, tak ada yang bicara lagi. Mereka terus melangkah menuju ke Kotaraja Kerajaan Godaka. Beberapa orang sudah teriihat melintas di jalan tanah yang cukup lebar dan berdebu, baik yang menunggangj kuda, membawa kereta, maupun yang hanya berjalan kaki saja. Kehidupan memang sudah mewarnai pagi ini. Dan mereka semua sudah mulai sibuk dengan segala pekerjaan sehari-hari.
"Semalam kau mengatakan kalau mendengar semua percakapanku dengan si Penunggang Kuda Bertopeng itu. Seberapa banyak yang kau ketahui Bayu...?" Tumenggung Pratala kembali membuka suara, setelah cukup lama berdiam diri saja.
"Tidak banyak," sahut Bayu singkat
"Lalu, kenapa menolongku?" tanya Tumenggung Pratala ingin tahu alasan Pendekar Pulau Neraka menolongnya.
"Entahlah.... Mungkin aku percaya kalau Paman bukan seorang pengkhianat yang sedang merencanakan pemberontakan," sahut Bayu dengan suara perlahan agak mendesah.
"Seandainya aku benar-benar pengkhianat seperti yang dituduhkan si Penunggang Kuda Bertopeng itu, apa kau juga akan tetap menolongku?"
"Mungkin iya, mungkin juga tidak. Aku menolong Paman karena tidak menyukai tindakan semena-mena. Terlebih lagi, menjatuhkan tuduhan tanpa bukti yang cukup jelas."
"Aku kagum pada tindakanmu, Bayu. Kau bertindak berdasarkan kenyataan yang teriihat."
"Tapi aku bisa cepat berbalik bila kenyataan berbicara lain, Paman."
"Aku bisa mengerti."
Kembali mereka terdiam untuk beberapa saat lamanya. Sementara mereka terus melangkah perlahan-lahan, jalan yang dilalui kini semakin banyak dipenuhi orang yang sudah keluar dari rumah masing-masing. Dan memang, gerbang perbatasan kota sudah teriihat
Maka sebentar lagi, mereka memasuki Kotaraja Godaka. Sebuah kota yang cukup besar dan padat penduduknya. Suasananya selalu ramai, sejak matahari terbit sampai malam. Kota itu baru bisa tidur setelah lewat tengah malam.
"Bayu, kau sudah membantuku. Dan tanpa disadari, kau sudah masuk ke dalam persoalanku yang juga persoalan kerajaan. Jika tidak berkeberatan, aku ingin kau membantu menyelesaikan persoalan ini. Rasanya, sulit bagiku dan yang lain untuk memecahkan persoalan ini dengan cepat. Meskipun, Gusti Prabu Bojananta sendiri sudah melakukan penyelidikan dengan caranya sendiri," Tumenggung Pratala meminta langsung kesediaan Pendekar Pulau Neraka tanpa basa-basi lagi.
"Apakah itu tidak berlebihan, Paman? Aku tidak tahu persoalannya. Dan Paman sendiri belum mengenalku seluruhnya. Malah, baru semalam saja kita bertemu," kata Bayu, agak terkejut juga mendengar permintaan Tumenggung Pratala yang begitu lang-sung, tanpa basa-basi lagi.
"Aku baru ingat setelah kau menyebutkan julukanmu, Bayu. Memang aku pernah mendengar julukan Pendekar Pulau Neraka, dan segala sepak terjangnya. Tapi tidak kusangka kalau Pendekar Pulau Neraka masih begini muda, gagah, dan tampan. Aku yakin, kau pasti bersedia membantuku untuk menegakkan keadilan di negeri ini, Bayu. Itu pun jika kau bersedia membantuku," desak Tumenggung Pratala.
"Mungkin bisa kupertimbangkan, jika Paman bersedia menceritakan keadaan yang sebenamya. Karena kulihat tidak ada tanda-tanda bakal terjadi pemberontakan di sini," sahut Bayu tidak ingin mengecewakan harapan laki-laki separuh baya ini.
"Terima kasih, Bayu. Pasti seluruhnya akan kuceritakan," sambut Tumenggung Pratala gembira, meskipun Bayu belum menyatakan kesediaannya secara langsung.
Bayu hanya tersenyum saja. Sedangkan Tumenggung Pratala sudah langsung menceritakan semua peristiwa yang dialaminya. Sejak dijemput dari ketumenggunggan oleh Panglima Gajah Pati ke Istana Godaka, sampai diserang orang-orang tak dikenal yang dipimpin seorang misterius berjuluk si Penunggang Kuda Bertopeng.
Bayu hanya diam saja mendengarkan. Pendekar Pulau Neraka tidak berbicara sedikit pun, sehingga Tumenggung Pratala bisa lancar menceritakan semua kejadian di Balai Sema Agung Istana Godaka. Tak ada sedikit pun yang dilewatkan. Semua jelas diceritakan. Sehingga, Bayu bisa benar-benar mengerti keadaan yang sedang terjadi di lingkungan Istana Kerajaan Godaka. Terutama, keadaan yang kini dialami para adipati dan tumenggung kerajaan ini.

* * * * *



--««¦ [ EMPAT ] ¦»»--

Dengan halus sekali, Bayu menolak tawaran Tumenggung Pratala untuk singgah di istana. Maka mereka terpaksa berpisah di depan bangunan istana yang megah, dikelilingi tembok benteng yang tinggi, tebal, dan sangat kokoh. Sementara Pendekar Pulau Neraka terus melanjutkan langkahnya, Tumenggung Pratala masuk ke dalam benteng yang mengelilingi bangunan istana ini. Dua orang prajurit penjaga pintu gerbang, membungkuk memberi hormat saat Tumenggung Pratala melewatinya.
"Kanjeng Tumenggung...!"
Tumenggung Pratala berhenti saat kakinya hendak melangkah menaiki anak tangga istana. Kepalanya berpaling, dan tubuhnya berputar begitu melihat Panglima Gajah Pati berlari-lari kecil menghampiri.
"Ada apa, Panglima Gajah Pati?" tanya Tumenggung Pratala begitu Panglima Gajah Pati yang masih berusia muda itu dekat di depannya.
"Putrimu.... Rara Gawing sudah pergi pagi-pagi sekali, tadi...," sahut Panglima Gajah Pari memberi tahu, dengan napas agak tersendat
Tumenggung Pratala hanya mengangguk-anggukkan kepala saja, mendengar laporan panglima berusia muda ini.
"Tapi, Kanjeng...."
"Ada apa lagi, Panglima?"
"Rara Gawing tidak mau diantar. Bahkan pergi seorang diri dengan pakaian biasa," jelas Panglima Gajah Pari lagi.
"Katanya, Kanjeng Tumenggung sendiri yang menyuruhnya begitu. Benar, Kanjeng...?"
"Ya, memang benar. Aku memang menyuruhnya menyamar agar tidak ada yang mengenalinya. Aku rasa, hal itu lebih aman daripada dikawal prajurit," sahut Tumenggung Pratala seraya tersenyum.
Tumenggung itu senang, karena anak gadisnya teryata mengikuti semua kata-katanya. Bahkan Panglima Gajah Pati sendiri sampai keheranan. Memang panglima muda itu tidak terbiasa terhadap cara berpikir Tumenggung Pratala, yang tentu saja pengalamannya jauh lebih banyak. Bagaimanapun juga, Panglima Gajah Pati masih terlalu muda. Dia masih perlu menimba pengalaman dari yang tua-tua seperti Tumenggung Pratala ini.
"Sepi sekali di sini. Apakah semua adipati dan tumenggung sudah kembali pulang, Panglima?" tanya Tumenggung Pratala membelokkan arah pembicaraan.
"Sudah, Kanjeng. Kebanyakan mereka berangkat sebelum matahari terbit. Tapi masih ada juga yang belum kembali kekadipatenan atau ketumenggungan," sahut Panglima Gajah Pati.
Tumenggung Pratala mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Maaf, Kanjeng. Pagi-pagi begini Kanjeng Tumenggung baru kembali dari luar istana. Kemana saja sepagi ini, Kanjeng?" tanya Panglima Gajah Pati.
"Aku tidak bisa tidur semalaman. Jadi, aku jalan-jalan saja sambil mengamati keadaan," sahut Tumenggung Pratala.
Tentu saja hal yang sebenarnya tidak dikatakan, pada panglima muda ini. Dan Tumenggung Pratala juga tidak akan mengatakannya sampai orang yang dicurigai benar-benar ketahuan. Atau paling tidak, mengetahui tanda-tanda siapa di antara para adipati dan tumenggung yang dikabarkan sedang merencanakan pemberontakan.
"Terlalu berbahaya berjalan seorang diri dalam keadaan seperti ini, Kanjeng Tumenggung. Kenapa tidak meminta beberapa pengawalan prajurit? Aku pun bersedia mengawal jika Kanjeng Tumenggung meminta," kata Panglima Gajah Pati.
"Terima kasih, Panglima," ucap Tumenggung Pratala seraya tersenyum.
Sudah bisa diduga kalau kata-kata Panglima Gaja Pati yang barusan didengarnya, menyiratkan rasa percaya panglima muda ini. Bahkan kata-katanya tak mengandung kekhawatiran. Tapi bagaimanapun juga Tumenggung Pratala belum mau mengatakan hal yang sebenamya. Hatinya sudah bertekad, harus mencari biang keladi dari semua kekacauan ini. Terlebih lagi, harus bisa diketahui, siapa Penunggang Kuda Bertopeng yang penuh misteri itu. Dan, apa tujuannya membuat keresahan di istana ini, dengan mengatakan kalau ada di antara adipati dan tumenggung merencanakan pemberontakan.
Laki-laki separuh baya itu mulai mengayunkan kakinya, meniti undakan baru depan istana yang megah ini. Panglima Gajah Pati mengikuti, dan mensejajarkan ayunan kaki di sampingnya. Mereka terus melangkah tanpa berbicara lagi. Hingga sampai di depan pintu istana, empat orang prajurit yang menjaga pintu segera membungkuk memberi hormat Mereka terus saja melangkah, dan langsung masuk ke dalam ruangan berukuran besar yang disebut ruangan Balai Sema Agung. Ruangan itu memang tempat pertemuan antara Prabu Bojananta dan para pembesar Kerajaan Godaka ini. Tak ada seorang pun teriihat di dalam ruangan yang sangat besar ukurannya ini. Bahkan seorang prajurit pun tidak teriihat.
"Seharusnya pagi ini ada pertemuan. Kenapa tak seorang pun teriihat di sini, Panglima?" tanya Tumenggung Pratala seraya merayapi sekitarnya yang sunyi senyap, bagai berada di tengah-tengah kuburan.
"Tidak akan ada pertemuan lagi di sini, Kanjeng Tumenggung," sahut Panglima Gajah Pati.
"Tidak ada pertemuan lagi...? Apa maksudnya, Panglima?" Tumenggung Pratala benar-benar tidak mengerti atas jawaban Panglima Gajah Pati barusan.
"Karena pemberontaknya sudah ketahuan."
"Siapa?"
"Kau!"
"Apa...?!"
Kedua bola mata Tumenggung Pratala kontan terbeliak lebar mendengar kata-kata yang diucapkan Panglima Gajah Pati barusan. Dan sebelum keterkejutannya hilang, tiba-tiba saja dari balik semua pintu yang ada di setiap sisi ruangan berukuran besar ini bermunculan para prajurit berseragam. Dengan senjata begitu lengkap, mereka langsung bergerak membuat kepungan.
"Apa-apaan ini, Panglima...?" tanya Tumenggung Pratala meminta penjelasan.
"Maaf, Kanjeng Tumenggung. Aku terpaksa menangkapmu," sahut Panglima Gajah Pati.
"Panglima.... Jelaskan padaku, kenapa aku dituduh sebagai pemberontak?" Tumenggung Pratala me-minta penjelasan
"Tindakan Kanjeng yang keluar sendiri malam malam, dan menyuruh Rara Gawing meninggalkan istana secara diam-diam, sudah membuat suatu kecurigaan. Dan dengan berat hati, terpaksa aku harus menangkapmu, Kanjeng Tumenggung," jelas Panglima Gajah Pati.
"Ohhh...," Tumenggung Pratala mendesah panjang.
Sungguh tidak disangka! Temyata apa yang dilakukannya, bisa diketahui begitu cepat Bahkan panglima muda ini yang mencurigainya. Dia benar-benar tidak tahu kalau semua ini sudah diatur. Bakan tidak disangka kalau panglima yang masih berusia muda ini memiliki pandangan yang begitu jauh. Bahkan bisa bersikap wajar, hingga membawanya ke Balai Sema Agung ini
"Maaf, Kanjeng Tumenggung. Sebaiknya Kanjeng tidak memberikan perlawanan yang bisa membuat kesulitan bagi diri Kanjeng Tumenggung sendiri," kata Panglima Gajah Pati seraya membungkuk memberi hormat
"Baiklah.... Tangkap aku, Panglima. Kalau itu memang bisa membuat suasana ini jadi berakhir," kata Tumenggung Pratala pasrah.
"Maaf, Kanjeng Tumenggung."
"Tidak mengapa, Panglima. Kau hanya menjalankan tugas yang memang sudah seharusnya kau lakukan."
Panglima Gajah Pati memerintahkan dua orang prajurit untuk meringkus tumenggung separuh baya ini. Tanpa ada perlawanan sedikit pun, dua orang prajurit itu meringkus Tumenggung Pratala setelah memberi hormat Kemudian, mereka menggiringnya keluar dari Balai Sema Agung ini. Panglima Gajah Pati memandangi sambil menghembuskan napas panjang yang terasa begitu berat.
Inilah kenyataan yang paling sulit dihadapi. Bagaimana tidak...? Dia harus mengamankan orang-orang yang telah dikenalnya dengan baik selama ini, hanya karena tingkah sosok orang penuh misteri yang menjuluki dirinya Penunggang Kuda Bertopeng. Sedangkan sampai saat ini, belum ada tanda-tanda akan terjadi pemberontakan, seperti yang dikatakan si Penunggang Kuda Bertopeng itu. Panglima Gajah Pati baru meninggalkan Balai Sema Agung ini setelah tidak ada lagi prajurit di ruangan ini.

* * * * *



Sementara itu, tidak jauh dari gerbang perbatasan Kotaraja Godaka, tampak seorang gadis mengendarai kuda perlahan-lahan. Gadis cantik berbaju merah muda itu adalah Rara Gawing, putri Tumenggung Pratala. Gadis ini memang sengaja mengenakan pakaian dari kalangan biasa, agar tidak ada seorang pun yang mengenalinya.
Dan sejak meninggalkan istana pagi-pagi tadi, Rara Gawing memang tidak begitu terburu-buru. Kudanya dikendalikan dengan langkah perlahan-lahan, sambil menikmati keindahan Kotaraja Godaka. Dia memang tidak terlalu sering datang ke sini Dan kalaupun datang, tidak banyak kesempatan untuk menikmati kota yang begitu indah dan semarak ini. Dan sekaranglah kesempatan itu datang. Rara Gawing tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Tidak heran bila sudah tengah hari ini, dia baru sampai di perbatasan kota.
Tapi baru saja Rara Gawing melewati gerbang perbatasan kota sebelah Selatan, tiba-tiba saja....
"Heh...?"
Rara Gawing begitu terperanjat, begitu tiba-tiba di sekitarnya berlompatan tubuh-tubuh berbaju serba hitam yang langsung mengepung rapat sekali. Gadis Itu langsung mengenali, kalau orang-orang inilah yang telah menyerang rombongannya ketika hendak ke Kotaraja Godaka. Dan jumlah mereka memang begitu banyak, bersenjatakan senjata golok terhunus di depan dada.
Di antara orang-orang berbaju serba hitam itu, tampak seorang penunggang kuda yang juga mengenakan baju serba hitam. Namun, wajahnya tertutup topeng kayu berwarna hitam pula, sehingga sangat sukar mengenalinya. Rara Gawing langsung bisa merasakan kalau keadaannya sekarang ini benar-benar tidak menguntungkan. Pandangannya langsung beredar ke sekeliling, merayapi orang-orang berbaju serba hitam yang telah mengepung begitu ketat. Sehingga, tak ada celah sedikit pun untuk bisa keluar dari kepungan ini. Tapi, Rara Gawing tidak mau menyerah begitu saja. Perlahan-lahan pedangnya yang tergantung di pinggang diloloskan.
Sret!
Gadis itu melintangkan pedangnya sambil menatap tajam si Penunggang Kuda Bertopeng yang duduk tenang di atas punggung kudanya yang berwarna hitam pekat berkiiat. Kuda hitam itu bergerak melangkah mendekati Rara Gawing yang juga masih berada di atas punggung kudanya, dan baru berhenti setelah jaraknya tinggal sekitar setengah batang tombak lagi
"Kuharap, kau tidak membuat kesulitan bagi dirimu sendiri, Rara Gawing," kata Penunggang Kuda Bertopeng itu. Suaranya terdengar berat dan bernada aneh.
"Hm.... Apa maumu, Kisanak?" tanya Rara Gawing dengan suara yang agak bergetar.
"Aku ingin kau ikut denganku tanpa banyak tanya, dan tanpa membuat kesulitan yang bisa merugikan dirimu sendiri," sahut Penunggang Kuda Bertopeng, masih dengan suara yang sama.
"Untuk apa aku ikut denganmu? Kau sudah membuat kesulitan bagi kami semua? Bahkan telah keji menuduh ayahku tanpa bukti Manusia kotor sepertimu, tidak patut diikuti!" agak kasar nada suara Rara Gawing.
"Seharusnya, kau bisa menelaah keadaan yang sedang terjadi, Rara Gawing. Mestinya kau bisa berpikir jernih, dan bukan berteriak-teriak begitu. Apa yang kulakukan ini, demi keutuhan Kerajaan Godaka yang sama sama kita cintai, Rara Gawing."
"Tapi semua yang kau lakukan, justru membuat keresahan. Kau terlalu membabi buta, dan tidak memikirkan akibatnya!" sentak Rara Gawing masih berang.
"Maaf. Aku terpaksa melakukannya. Dan hanya itu jalan satu-satunya untuk menghambat gerakan mereka. Dengan keadaan seperti ini, tentu mereka menyangka kalau gerakannya sudah diketahui. Dan mereka pasti menahan gerakannya, sampai keadaan menjadi reda. Nah! Di saat itulah bisa kutemukan, siapa manusia-manusia berotak kotor itu. Manusia yang tidak pemah puas dengan apa yang telah dicapainya."
"Jangan bersilat lidah di depanku, Kisanak!"
"Aku tidak bersilat lidah. Jika kau ingin tahu yang sebenamya, sebaiknya ikut denganku. Akan kutunjukkan kalau perbuatanku ini semata-mata demi kejayaan Kerajaan Godaka."
"Kenapa tidak di sini saja...?" tantang Rara Gawing.
"Tidak. Ini bukan tempat yang tepat untuk membicarakan sesuatu yang sangat suci dan mulia."
"Hm...," Rara Gawing mengerutkan keningnya dengan bibir menggumam perlahan.
Beberapa saat Rara Gawing terdiam dengan kening sedikit berkerut Sebentar kemudian, bibimya yang tipis dan selalu memerah itu menyunggingkan senyuman tipis.
"Baik, aku akan mengikutimu. Tapi dengan satu syarat," tegas Rara Gawing.
"Syarat apa yang kau ajukan, Rara Gawing?"
"Kau harus dapat mengalahkanku dulu, tanpa bantuan orang-orangmu," kata Rara Gawing sambil tersenyum.
"Kau terlalu mengada-ada, Rara Gawing. Aku tidak ingin melukaimu."
"Terserah...! Jika kau tolak tawaranku, jangan harap bisa membawaku begitu saja. Dan aku tidak menjamin keselamatan orang-orangmu!" ketus sekali nada suara Rara Gawing.
"Baiklah, jika itu keinginanmu, Rara Gawing. Tapi jangan menyesal jika kau sampai terluka."
"Hup!"
Rara Gawing tidak banyak bicara lagi, langsung saja melompat turun dari punggung kudanya. Manis sekali gerakannya. Dan tanpa menimbulkan suara sedikit pun, gadis itu mendarat ringan di tanah yang berumput cukup tebal. Sementara si Penunggang Kuda Bertopeng masih tetap duduk di atas punggung kudanya. Dipandanginya gadis itu beberapat saat. Kemudian dengan satu gerakan ringan, manusia berbaju serba hitam dan bertopeng itu melompat turun dari punggung kudanya. Begitu manis sekali gerakannya, pertanda ilmu meringankan tubuhnya sudah mencapai tingkat tinggi.
"Silakan. Kau boleh mulai lebih dulu, Rara Gawing," tantang si Penunggang Kuda Bertopeng, meminta Rara Gawing menyerang lebih dulu.
"Hm.... Kau terlalu menganggap enteng diriku, Kisanak," dengus Rara Gawing agak menggumam.
Gadis itu segera membuat beberapa gerakan manis, dengan kebutan pedangnya. Sementara si Penunggang Kuda Bertopeng hanya memperhatikan saja. Bola matanya tampak tidak berkedip, tersembunyi di balik topeng kayu hitamnya.
"Tahan seranganku, Kisanak! Hiyaaat..!"
Sambil berteriak keras menggelegar, Rara Gawing melompat cepat bagai kilat menyerang laki-laki berbaju serba hitam yang menutupi wajahnya dengan topeng kayu itu. Cepat sekali serangannya, sehingga kelebatan pedangnya sampai sulit diikuti pandangan mata biasa.
"Uts! Hap...!"
Tapi si Penunggang Kuda Bertopeng itu bisa menghindari serangan-serangan Rara Gawing yang begitu cepat dan dahsyat Gerakan-gerakannya begitu cepat dan lincah. Liukan tubuhnya pun manis sekali. Sehingga, beberapa tebasan pedang Rara Gawing tidak sampai menyentuh tubuhnya.
Namun Rara Gawing tidak mau menyerah begitu saja. Gadis itu terus melancarkan serangan gencar. Beberapa jurus sudah cepat dikeluarkan secara ber-ganri-gantL Tapi sampai sudah habis lima jurus, belum juga dapat mendesak orang penuh misteri yang ber-juluk si Penunggang Kuda Bertopeng ini.
"Sudah lima jurus, Rara Gawing," desis si Penunggang Kuda Bertopeng mengingatkan.
"Jangan mengejekku! Hiyaaat..!"
Rara Gawing jadi tidak bisa lagi mengendalikan diri, dan malah menyerang semakin hebat saja. Dan ini sangat dirasakan si Penunggang Kuda Bertopeng, sehingga terpaksa harus berjumpalitan menghindarinya.
"Edan...! Pertarungan ini dianggapnya sungguh-sungguh. Hhh! Aku harus segera menghentikannya sebelum telanjur," dengus Penunggang Kuda Ber-topeng dalam hati.
Sedangkan Rara Gawing terus saja melancarkan serangan menggunakan jurus-jurus dahsyat dan cepat luar biasa. Sama sekali tidak disadari kalau apa yang dilakukannya ini justru membuat si Penunggang Kuda Bertopeng semakin banyak menarik keluar jurus-jurus-nya. Dan ini memang disengaja. Si Penunggang Kuda Bertopeng itu ingin mengetahui, sampai di mana tingkat kepandaian putri Tumenggung Pratala ini. Tapi hatinya juga jadi khawatir, karena tampaknya Rara Gawing sudah tidak bisa lagi mengendalikan diri. Bahkan serangan-serangan gadis itu semakin dahsyat saja dan sangat membahayakan. Bukan saja bagi lawan, tapi juga bagi dirinya sendiri.
"Cukup, Rara Gawing! Hiyaaat...!"
Tiba-tiba saja si Penunggang Kuda Bertopeng melentingkan tubuhnya ke udara cepat bagai kilat. Dua kali tubuhnya berputaran di udara, lalu meluruk ke belakang Rara Gawing, sebelum gadis itu menyadari. Si Penunggang Kuda Bertopeng sudah melepaskan satu pukulan lunak ke punggung gadis itu.
Desss!
"Akh...!" Rara Gawing terpekik agak tertahan.
Gadis itu terhuyung-huyung ke belakang, begitu punggungnya terkena pukulan lunak dari si Penunggang Kuda Bertopeng. Dan begitu tubuhnya berputar berbalik, si Penunggang Kuda Bertopeng sudah melompat cepat sambil melepaskan satu totokan yang ringan ke bagian bahu kiri gadis ini. Begitu cepat se rangannya sehingga Rara Gawing tidak sempat lagi berkelit Terlebih lagi, keseimbangan tubuhnya memang belum begitu sempurna. Dan....
Jleb!
"Akh...!" lagi-lagi Rara Gawing terpekik tertahan.
Hanya sebentar saja Rara Gawing masih mampu berdiri, kemudian tubuhnya ambruk menggelimpang di tanah tidak bergerak-berak lagi. Hanya kepalanya saja yang masih bisa digerakkan. Sedangkan seluruh tubuhnya terasa begitu lemas, tak dapat digerakkan lagi Rara Gawing sadar kalau dia sudah terkena totokan yang melumpuhkan seluruh anggota tubuhnya.
"Bawa dia. Jangan sampai terluka...!" perintah si Penunggang Kuda Bertopeng.
Setelah memberi perintah, si Penunggang Kuda Bertopeng langsung melompat naik ke punggung kudanya. Sementara dua orang laki-laki berbaju hitam sudah bergerak menggotong Rara Gawing yang tertotok lemas tak berdaya lagi, lalu meletakkannya di punggung kuda gadis itu sendiri. Sebentar kemudian, gadis itu sudah digiring berpuluh-puluh orang berbaju serba hitam. Rara Gawing tidak tahu, ke mana dibawa pergi. Dan dia tidak berdaya lagi untuk memberontak, karena seluruh tubuhnya kini sudah lumpuh tertotok. Teriebih lagi, kesadarannya semakin berkurang, hingga akhimya tidak bisa mengingat apa-apa lagi.

* * * * *



--««¦ [ LIMA ] ¦»»--

Sementara itu di dalam penjara Kerajaan Godaka, Tumenggung Pratala jadi terkejut bukan main. Ternyata di dalam penjara ini bukan hanya dirinya sendiri yang dijebloskan. Tapi, hampir semua tumenggung dan adipati ada di sini. Mereka semua juga tidak mengerti, kenapa dimasukkan ke dalam penjara dengan tuduhan yang sama sekali sulit dimengerti. Mereka semua jadi bertanya-tanya, apa sebenamya yang sedang terjadi di kerajaan ini?
Tumenggung Pratala memperhatikan kalau masih ada dua tumenggung dan seorang adipati yang tidak ada di dalam penjara ini. Mereka adalah Tumenggung Abiguna, Tumenggung Baliga, dan Adipati Mahesa. Tapi, itu bukan suatu bukti kalau merekalah sebenarnya yang punya rencana memberontak. Dan Tumenggung Pratala lebih percaya kalau semua ini tentu sudah direncanakan. Bahkan bukannya tidak mungkin kalau salah satu dari mereka yang ada dalam penjara ini termasuk ke dalam kelompok pemberontak itu. Hanya saja, terlalu sulit untuk membuktikannya. Bahkan juga bukannya tidak mungkin kalau tidak ada pemberontakan, tapi hanya sebuah permainan yang memang sudah diatur. Tapi, entah apa maksudnya semua ini. Dan itu masih menjadi suatu pertanyaan besar benak Tumenggung Pratala.
Seorang Adipati yang usianya beberapa tahun lebih muda dari Tumenggung Pratala menghampirinya. Dan memang sejak dijebloskan ke dalam penjara ini, Tumenggung Pratala selalu menyendiri, tidak bergabung dengan yang lainnya. Dia hanya memperhatikan saja wajah-wajah murung dengan segudang pertanyaan dan ketidakmengertian atas semua kejadian ini. Tumenggung Pratala memandang Adipati Balengka yang masih berusia sekitar tiga puluh lima tahun Adipati itu menghenyakkan tubuh di sampingnya.
"Aku benar-benar tidak mengerti semua ini, Kakang Pratala," desah Adipati Balengka setengah mengeluh. Nada suaranya terdengar begitu periahan.
揟idak ada seorang pun yang bisa mengerti, Rayi Balengka," ujar Tumenggung Pratala juga perlahan suaranya.
"Apa kita semua akan terus mendekam di sini tanpa ada kepastian, Kakang?" tanya Adipati Balengka, seperti untuk diri sendiri.
"Entahlah...," sahut Tumenggung Pratala.
"Rasanya tidak sulit untuk keluar dari sini, Kakang. Penjagaan tidak ketat. Hanya ada empat prajurit saja di depan," jelas Adipati Balengka lagi.
"Jangan berpikir begitu, Rayi. Bisa-bisa malah memperburuk keadaan yang sudah tidak menentu ini. Itu sama saja memberontak, Rayi."
"Sudah terlanjur, Kakang. Selama ini, tidak ada sedikit pun pikiran untuk memberontak. Malah kita semua dituduh begitu. Dan sekarang..., harus meringkuk di dalam penjara tanpa tuduhan dan kesalahan pasti," dengus Adipati Balengka seperti putus asa.
"Aku yakin, cepat atau lambat kita akan dihukum gantung sebagai pemberontak. Padahal, kita tidak pernah melakukan pemberontakan. Apalagi merencanakannya, Kakang. Sekarang sudah telanjur. Rasanya aku tidak bisa tinggal diam begitu saja. Dalang dari semua ini tidak mungkin bisa diketahui, jika kita hanya mendekam saja di dalam penjara. Kakang..., mereka semua sudah setuju untuk keluar dari dalam penjara ini Mereka tinggal menunggu keputusanmu, karena kau yang tertua di antara kami, Kakang."
Tumenggung Pratala terdiam. Pandangannya beredar berkeliling, merayapi semua orang yang ada dalam ruangan tahanan ini. Memang di antara mereka, hanya Tumenggung Pratala yang paling tua. Dan mereka semua juga memandanginya, seperti berharap mendengar keputusannya untuk keluar dari dalam tahanan ini secara paksa. Perlahan Tumenggung Pratala menggelengkan kepalanya sambil mendesah, dan menghembuskan napas panjang.
"Tidak.... Kalian jangan berbuat bodoh. Lari dari sini tidak akan menyelesaikan masalah, dan malah akan memperburuk keadaan. Seharusnya, kalian me nyadari hal itu. Kita semua sudah terjebak ke dabm keadaan yang sulit dimengerti. Kita tidak tahu, rencana apa yang ada di balik semua ini...," kata Tumenggung Pratala perlahan, dengan suara mendesah.
"Tapi kita tidak punya pilihan lain lagi, Kakang," desak Adipati Balengka.
"Apa kau pikir dengan lari dari sini kita akan bebas, dan semua persoalan akan selesai...? Tidak, Rayi.... Hal itu malah akan bertambah buruk. Aku tahu, memang itu yang diinginkan mereka untuk menyingkirkan kita semua. Dan justru kita akan mati sebagai pemberontak bila kalian tetap lakukan itu. Tidakkah kalian berpikir kalau kita semua sudah terjebak...?" agak tinggi nada suara Tumenggung Pratala.
Tidak ada seorang pun yang membuka suara. Mereka saling melempar pandang, mempertimbangkan kata-kata yang diucapkan Tumenggung Pratala barusan. Sedangkan Adipati Balengka seperti tidak puas terhadap jalan pikiran Tumenggung Pratala. Dia kemudian bangkit dari duduknya di samping Tumenggung Pratala, dan berdiri di tengah-tengah ruangan tahanan ini. Pandangannya beredar berkeliling, merayapi sekitamya.
"Aku akan melakukannya sendiri. Dan tidak ada seorang pun yang bisa menghalangi Adipati Balengka. Tidak ada seorang pun yang bisa memenjarakan Adipati Balengka...!" lantang sekali suara Adipati Balengka.
"Siapa di antara kalian yang ingin tetap tinggal di sini, dan menunggu nasib seperti Kakang Tumenggung Pratala...?"
Seorang berusia tiga puluh tahun, melangkah maju mendekati Adipati Balengka. Namanya, Tumenggung Wirapati. Dia berdiri tegak di depan Adipati Balengka. Tatapan matanya begitu tajam, menusuk langsung ke bola mata Adipati Balengka.
"Apa maksudmu mengajak kami memberontak keluar dari sini, Kakang Balengka...?" terasa dingin sekali nada suara Tumenggung Wirapati.
"Aku hanya ingin membebaskan kau dan kalian semua dari tempat kotor ini," sahut Adipati Balengka.
"Dengan cara memberontak...?" sinis sekali nada suara Tumenggung Wirapati.
"Hanya itu jalan satu-satunya. Kita tidak bisa mencari, siapa dalang dari semua ini dengan hanya berdiam diri saja menunggu di sini."
"Sudah kutemukan salah seorang dari perusuh itu, Adipati Balengka...," semakin sinis nada suara Tumenggung Wirapati.
Adipati Balengka tampak terkejut mendengar kata-kata bemada begitu sinis. Dan seketika itu juga, wajahnya langsung memucat begitu melihat semua adipati dan tumenggung yang terkurung di kamar tahanan ini bergerak mendekatinya. Sinar mata mereka menyorot tajam menusuk ke arahnya. Adipati Balengka melangkah mundur mendekati pintu jeruji yang terbuat dari besi baja berwarna hitam. Empat orang penjaga yang berada di depan pintu, hanya memperhatikan saja tanpa berbuat sesuatu. Sementara Adipati Balengka sudah merapat di pintu jeruji besi kamar tahanan ini.
Wajah adipati itu semakin pucat pasi. Sementara semua adipati dan tumenggung yang ada di ruang tahanan ini terus bergerak semakin mendekat saja dengan mata menyorot tajam. Tapi pada saat jarak mereka sudah tinggal beberapa langkah lagi, tiba-tiba saja Tumenggung Pratala yang sejak tadi hanya diam memperhatikan, melompat cepat bagai kilat. Dan tahu-tahu saja dia sudah berdiri di tengah-tengah.
"Tahan...!" sentak Tumenggung Pratala lantang menggelegar.

* * * * *



Mereka semua langsung berhenti melangkah. Tumenggung Pratala merayapi wajah mereka semua secara bergantian. Lalu, tatapannya beralih pada Adipati Balengka yang tampak pucat pasi, dengan seluruh wajah dan leher bersimbah keringat. Sementara empat orang prajurit penjaga di depan pintu kamar tahanan ini masih tetap diam, tak melakukan tindakan apa pun juga. Mereka hanya memperhatikan saja dari jarak sekitar satu batang tombak di depan pintu.
"Ada apa ini...?" tanya Tumenggung Pratala meminta penjelasan.
"Tidak ada seorang pun yang ingin memberontak, Kakang Tumenggung Pratala. Bahkan kami semua rela mati di sini, demi Gusti Prabu Bojananta. Tapi si pengkhianat ini..., berani-beraninya menghasut untuk memberontak. Jelas, dia salah seorang pengkhianat-pengkhianat itu, Kakang Tumenggung," sahut Tumenggung Wirapati.
"Benar...!" sambut yang lain serempak Tumenggung Pratala menatap tajam Adipati Balengka yang masih kelihatan pucat wajahnya. Keringat sebesar butir-butir jagung, menitik deras di seluruh wajah dan lehemya. Tubuh adipati yang masih cukup muda usianya itu kelihatan gemetar seperti terserang demam.
"Kenapa kau lakukan itu, Rayi...?" tanya Tumenggung Pratala tidak mengerti sikap Adipati Balengka.
"Aku..., aku tidak mengerti. Kenapa kalian menuduhku berkhianat? Aku hanya ingin mengajak kalian bebas dari tempat ini...," jelas Adipati Balengka. Suaranya bergetar dan tergagap.
"Mereka semua rela, meskipun harus mati di kamar tahanan ini. Seharusnya, kau tidak perlu bersikap aneh seperti itu. Kau tahu, apa jadinya dalam keadaan seperti sekarang ini...? Tidak seorang pun yang bisa dipercaya lagi. Sedangkan sikapmu, bagi mereka adalah sikap seorang pengkhianat yang mencoba menjerumuskan mereka ke lembah neraka yang lebih dalam lagi. Seharusnya kau bisa menyadari itu, Rayi Balengka," ujar Tumenggung Pratala, yang menyesalkan sikap Adipati Balengka.
"Tidak ada gunanya lagi banyak bicara, Kakang. Dia pasti salah seorang dari mereka...!" sentak Tumenggung Wirapati lantang suaranya.
"Sebaiknya, kita gantung saja sekarang juga...!"
"Ya, benar...!"
"Gantung pengkhianat itu...!"
"Gantung sampai mati...!"
Ruangan yang berukuran tidak begitu besar ini seakan-akan hendak runtuh oleh riuhnya sorak-sorai mereka yang meminta agar Adipati Balengka digantung sekarang juga. Dan ini membuat Adipati Balengka semakin pucat wajahnya. Seluruh tubuhnya bergetar dahsyat, tidak sanggup membayangkan kalau sampai digantung di dalam rungan tahanan yang kotor begini.
Mereka sudah bergerak hendak meringkus Adipati Balengka. Untungnya, Tumenggung Pratala yang lebih tua dan dihormati oleh para adipati dan tumenggung itu segera bertindak. Dia mencegah tindakan brutal dari mereka yang sudah dihinggapi perasaan marah, akibat tindakan gegabah yang dilakukan Adipati Balengka.
"Tahan...!" bentak Tumenggung Pratala.
Seketika itu juga, keributan yang terjadi di dalam kamar tahanan ini langsung berhenti begitu terdengar bentakan keras menggelegar. Sementara Tumenggung Pratala sudah berdiri tegak membelakangi Adipati Balengka yang berdiri dengan punggung merapat di pintu jeruji besi ruangan tahanan ini.
"Sadarlah.... Kalian adalah para Adipati dan Tumenggung yang terhormat di negeri ini. Kalian bukan gerombolan penjahat. Apakah kalian ingin berbuat seperti gerombolan penjahat liar...? Tidakkah kalian menyadari akan diri dan kedudukan kalian..?" lantang sekali suara Tumenggung Pratala.
Tak ada seorang pun yang berbicara lagj. Namun dari sinar mata mereka, masih menyimpan kemarahan pada Adipati Balengka yang kini berada dalam lindungan Tumenggung Pratala. Satu persatu laki-laki separuh baya itu merayapi para Tumenggung dan Adipati yang berada di depannya. Mereka semua langsung tertunduk, seakan-akan tidak sanggup membalas sinar yang menyorot begitu tajam. Sementara Adipati Balengka sedikit merasa lega, karena saat ini masih bisa bernapas dalam lindungan Tumenggung Pratala, yang dtketahuinya begitu ditakuti dan dihormati semua Adipati dan Tumenggung Kerajaan Godaka ini.
Perlahan Tumenggung Pratala memutar tubuhnya, berbalik menghadap Adipati Balengka lagi. Ditatapnya Adipati muda itu dengan sinar mata penuh selidik. Sedangkan Adipati Balengka hanya tertunduk saja. Dengan punggung tangan, disekanya keringat yang membanjiri wajah dan lehernya.
"Siapa yang menyuruhmu melakukan ini, Balengka?" tanya Tumenggung Pratala, tidak lagi memanggil dengan sebutan rayi.
"Aku..., aku...," Adipati Balengka jadi tergagap.
"Jawab pertanyaanku dengan jujur, Balengka," desis Tumenggung Pratala dingin dan menggetarkan.
"Aku tidak tahu maksudmu, Kakang...," sahut Adipati Balengka, semakin tergagap suaranya.
"Sudah, Kakang. Tidak perlu banyak tanya lagi..," selak Tumenggung Wirapati tidak sabar.
"Diam kau, Wirapati...!" sentak Tumenggung Pratala seraya mendelik.
Tumenggung Wirapati terdiam mendapat bentakan dari Tumenggung Pratala. Kakinya bergeser dua tiridak ke belakang. Sementara yang lain tidak ada lagi yang berani membuka suara. Mereka semua tahu, jika Tumenggung Pratala sudah ikut turun tangan, tidak mungkin dicampuri lagi Dan mereka juga tahu, tidak mungkin Tumenggung Pratala bertindak berat sebelah. Siapa pun di antara mereka yang menyelusup sebagai pengkhianat, pasti akan ketahuan juga. Dan mereka percaya dengan kecerdikan serta cara-cara yang dilakukan Tumenggung Pratala dalam menghadapi persoalan seperti ini.
"Aku bisa menolongmu agar tidak digantung mereka. Itu kalau kau mau berkata jujur padaku, Balengka," desak Tumenggung Pratala lagi Sorot matanya tampak masih tetap tajam, menusuk langsung ke bola mata Adipati Balengka.
"Apa lagi yang harus kukatakan, Kakang? Aku bukan pengkhianat.... Maaf kalau aku tadi khilaf," sahut Adipati Balengka masih dengan suara bergetar.
"Kau berkata jujur, Balengka...?" desak Tumenggung Pratala.
"Aku..., aku...," Adipati Balengka jadi tergagap.
"Siapa yang menyuruhmu, Balengka?" Tumenggung Pratala terus mendesak.
"Tid..., tidak ada," sahut Adipati Balengka semakin tergagap.
"Kau begitu gugup, Balengka," kata Tumenggung Pratala terus menatap tajam ke bola mata Adipati muda ini.
Adipati Balengka kelihatan semakin gelisah saja. Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri, menatap empat orang prajurit penjaga yang sama sekali tidak bergeming. Sama sekali adipati itu tidak mampu membalas tatapan mata Tumenggung Pratala yang begitu tajam menusuk.

* * * * *



Dan baru saja Tumenggung Pratala ingin bertanya lagi, tiba-tiba saja empat orang prajurit penjaga membungkukkan tubuhnya. Kemudian, muncul empat orang berbaju serba merah dengan wajah ditutupi kain berwarna merah pula. Hanya dua lubang kecil saja yang ada untuk sepasang mata.
Salah seorang berbaju merah itu berbicara pada empat orang prajurit penjaga. Kemudian, salah seorang prajurit melangkah mendekati pintu kamar tahanan itu. Lalu, dibukanya kunci pintu, dan ditariknya Adipati Balengka keluar. Bergegas ditutupnya pintu tahanan itu kembali, dan dikuncinya.
"Kau ikut aku, Balengka," ujar salah seorang berbaju serba merah yang tadi berbicara dengan prajurit penjaga.
Adipati Balengka menatap sebentar pada Tumenggung Pratala, kemudian melangkah mengikuti dua orang berbaju serba merah. Kemudian, disusul dua orang lagi yang juga mengenakan baju wama serba merah. Sedangkan empat orang prajurit kembali ke tempatnya berjaga. Kepergian Balengka bersama empat orang berbaju serba merah itu diiringi pandangan mata para Adipati dan Tumenggung yang berada dalam kamar tahanan.
Sementara Adipati Balengka yang diapit dua orang berbaju merah di depan dan dua orang lagi di belakang, terus berjalan menyusuri lorong tahanan yang hanya diterangi beberapa obor terpancang di setiap kiri dan kanan dindingnya. Mereka terus berjalan tanpa berbicara sedikit pun, sampai tiba di depan pintu keluar. Dua orang prajurit penjaga membungkuk memberi hormat Salah seorang segera membuka pintu yang terbuat dari besi baja berukuran tebal itu.
Mereka terus melangkah keluar dari bangunan bawah tanah penjara ini. Adipati Balengka segera menghirup udara segar dalam-dalam, begitu berada di luar penjara. Matahari yang bersinar terang, membuat matanya jadi menyipit silau. Dia terus digiring menuju ke bangunan istana yang berdiri megah. Beberapa prajurit yang ada di sekitar bangunan penjara dan istana hanya memandangi saja.
Belum ada yang mengeluarkan suara, sampai mereka tiba di sebuah ruangan berukuran tidak begitu besar. Hanya ada dua pintu di ruangan ini. Satu pintu dilewati tadi, dan satu pintu lagi yang tertutup rapat
"Kau duduk di sini, Balengka," ujar salah seorang berbaju serba merah sambil menekan pundak Adipati Balengka. Mau tak mau, adipati berusia muda itu terduduk di kursi yang terbuat dari rotan.
Sedangkan empat orang berbaju serba merah itu berdiri berjajar di belakangnya. Pada saat itu, pintu yang langsung menghadap mereka terbuka perlahan-lahan. Maka empat orang berbaju serba merah itu segera membungkukkan tubuh, tepat di saat seorang laki-laki tua berjubah serba putih yang cukup longgar melangkah masuk. Dia diiringi dua orang pemuda yang juga mengenakan baju warna putih bersih dan cukup ketat, sehingga membentuk tubuh yang tegap, padat, dan berisi.
"Gusti...."
Adipati Balengka jadi terlongong, seakan-akan tidak percaya dengan apa yang dilihatnya saat ini. Cepat-cepat dijatuhkan dirinya ke lantai, dan berkitut Keningnya dirapatkan di lantai. Seluruh tubuhnya jadi bergetar hebat Sementara keringat dingin sebesar butir jagung menitik deras membasahi seluruh tubuhnya. Sedangkan laki-laki tua yang masih kelihatan tegap dan berjubah putih longgar itu mendekati Adipati Balengka. Ditepuk-tepuknya pundak adipati itu dengan lembut
"Bangunlah, Anakku Adipati Balengka...," ujar laki-laki tua itu. Lembut sekali nada suaranya.
"Ampunkan hamba, Gusti...," lirih sekali suara Adipati Balengka.
"Bangunlah, dan duduk di kursimu," ujar laki-laki tua itu lagi, masih tetap lembut suaranya.
Perlahan Adipati Balengka bangkit, kemudian duduk di kursi rotan yang tadi didudukinya. Sedangkan laki-laki tua berbaju putih longgar itu duduk tidak jauh di kursi kayu jati berukir, berwarna kuning keemasan. Alas kursi itu dari kain beludru berwarna merah. Sementara empat orang berbaju serba merah yang berdiri di belakang Adipati Balengka, segera berpindah ke belakang laki-laki tua itu. Mereka melepaskan kain yang menyelubungi seluruh kepalanya.
"Oh...?"
Adipati Balengka jadi semakin terperangah, begitu empat orang berbaju serba merah itu membuka kain selubungnya. Saat itu juga, kakinya terasa seperti sudah tidak berpijak lagi pada bumi. Napasnya seakan-akan berhenti bekerja, dan jantungnya begitu cepat berdetak. Keringat semakin banyak mengucur di seluruh tubuhnya. Sungguh.... Saat ini dia merasakan seolah-olah sudah tidak lagi hidup.

* * * * *



--««¦ [ ENAM ] ¦»»--

Apa yang dirasakan Adipati Balengka saat ini memang tidak berlebihan. Karena mereka yang ada di depannya saat ini adalah orang-orang yang patut dihormati. Memang, mereka adalah orang-orang utama di Kerajaan Godaka ini. Laki-laki tua berjubah serba putih itu adalah ayah kandung Prabu Bojananta, yang sebelumnya menjadi raja di Kerajaan Godaka ini. Sedangkan salah satu orang yang mengenakan baju serba merah adalah Prabu Bojananta sendiri.
Sementara tiga orang yang mendampingi adalah Tumenggung Abiguna, Tumenggung Baliga, dan Adipati Mahesa. Yang paling lama menduduki jabatan adipati, selama Prabu Bojananta belum menjadi raja di Kerajaan Godaka Ini, adalah Adipati Mahesa. Lalu, dua orang lagi yang mengenakan baju berwarna putih juga adalah dua orang panglima kepercayaan Prabu Podaralaga, ayah kandung dari Prabu Bojananta. Hal itulah yang membuat Adipati Balengka benar-benar seperti terlepas nyawanya saat ini.
"Aku sudah tahu, apa yang terjadi di dalam kamar tahanan. Kenapa kau ingin memberontak pada kerajaan ini, Balengka?" terdengar lembut suara Prabu Podaralaga. Tapi, ada sedikit tekanan pada nada suaranya yang begitu dalam.
"Hamba.... Hamba tidak memberontak, Gusti," sahut Adipati Balengka tergagap.
"Pikirkanlah dengan benar, Balengka. Katakan, siapa-siapa saja temanmu yang ingin menggulingkan takhta?" desak Prabu Bojananta tampak tidak sabar.
"Ampunkan hamba, Gusti. Hamba benar-benar tidak ada maksud memberontak. Memikirkan saja, hamba tidak berani, Hamba benar-benar tidak tahu rencana itu, Gusti," rintih Adipati Balengka memelas.
"Hm...," gumam Prabu Podaralaga perlahan.
Ditatapnya dalam-dalam wajah Adipati Balengka yang tertunduk menekuri ujung jari kakinya. Sebentar kemudian wajahnya berpaling pada dua orang berbaju putih yang berdiri tepat di belakangnya. Dua orang pemuda berbaju serba putih itu langsung membungkukkan tubuh, kemudian melangkah menghampiri Adipati Balengka. Salah seorang dari pemuda itu memang dikenali Adipati Balengka sebagai adik kandung Panglima Gajah Pati yang juga seorang panglima perang kerajaan ini. Namanya Panglima Gajah Sodra. Sedangkan yang satunya lagi adalah Panglima Gotama.
Dengan sikap hormat, mereka membangunkan Adipati Balengka hingga berdiri, lalu membawanya keluar dari ruangan ini. Tiga orang berbaju merah yang tadi bersama-sama Prabu Bojananta, segera keluar mengiringi Adipati Balengka yang dikawal dua orang panglima berbaju serba putih itu. Kini di dalam ruangan yang berukuran tidak begitu besar itu, tinggal Prabu Bojananta dan ayahnya saja.
"Mungkin berita itu tidak benar, Ayahanda Prabu. Aku khawatir terjadi sesuatu terhadap mereka," duga Prabu Bojananta setelah tinggal mereka berdua saja di ruangan ini.
"Aku merasa tidak akan ada hasilnya dengan cara seperti ini."
Sedangkan laki-laki tua berjubah putih yang walaupun tidak menjabat sebagai raja lagi, tapi tetap dipanggil dengan sebutan prabu, hanya diam saja. Dia bangkit berdiri dan melangkah mendekati jendela yang tertutup rapat. Perlahan-lahan dibukanya jendela itu lebar-lebar. Lalu, tubuhnya berbalik, menatap putranya yang kini menggantikan kedudukannya sebagai raja di Kerajaan Godaka ini.
"Barangkali bukan salah seorang dari mereka, Ayahanda Prabu. Mungkin salah seorang patih, atau pembesar-pembesar lainnya yang luput dari perhatian kita," kata Prabu Bojananta lagi.
"Naluriku tidak pernah salah, Bojananta," ujar Prabu Podaralaga, agak dalam nada suaranya.
"Tapi siapa...? Desas-desus ini sudah menyebar, dan membuat seluruh rakyat jadi resah. Aku tidak ingin berlarut-larut, Ayah. Yang jelas, secepatnya harus dicari penyelesaian agar tidak ada penyesalan di belakang hari."
Prabu Podaralaga kembali terdiam.
"Selama ini aku tidak pernah mendengar adanya rencana itu, Ayah?" tanya Prabu Bojananta.
"Percayalah, ada salah seorang Adipati atau Tumenggung yang akan melakukan pemberontakan di Kerajaan Godaka!" tegas Prabu Podaralaga, agak dalam nada suaranya.
"Menahan mereka sama sekali tidak berguna, Ayah. Bahkan akan membuat kesulitan baru lagi. Aku benar-benar tidak mengerti semua ini. Tiba-tiba saja Ayah keluar dari pertapaan, dan mengira kalau salah seorang dari Adipati dan Tumenggung merencanakan suatu pemberontakan. Sedangkan selama ini, aku tidak pernah mendengar adanya rencana seperti itu. Terlebih lagi dari mereka, Ayah. Sebenamya, dari mana Ayah mendapat berita seperti itu...?"
"Kau sudah mulai meragukan diriku, Bojananta," agak mendesis suara Prabu Podaralaga.
"Maaf, Ayahanda Prabu. Bukan maksudku untuk meragukan. Tapi keadaan ini rasanya tidak bisa dibiarkan terialu lama berlarut-larut. Harus ada satu penyelesaiannya. Akan semakin besar pengaruhnya bila mereka tidak segera dibebaskan, Ayah."
"Berpikirlah secara jernih, Bojananta."
Prabu Bojananta ingin bicara lagi. Tapi sebelum sempat membuka mulutnya, laki-laki tua berbaju serba putih itu sudah melangkah meninggalkan ruangan ini. Dia melalui pintu yang tadi dilalui, saat masuk ke dalam ruangan ini. Kini tinggal Prabu Bojananta sendbi di tempat itu. Dia duduk merenung memikirkan keadaan yang semakin bertambah tidak menentu ini. Sedangkan sampai sekarang, belum jelas kebenaran berita yang dibawa ayahnya, hingga sampai keluar dari pertapaan.
"Aku yakin, ada sesuatu yang tidak beres. Hm..., aku harus menyelidiki sendiri tanpa seorang pun boleh tahu. Tapi dari mana aku harus memulai...?" gumam Prabu Bojananta berbicara sendiri dalam hati.

* * * * *



Malam sudah merayap cukup larut menyelimuti seluruh wilayah Kerajaan Godaka. Prabu Bojananta menuntun kudanya perlahan-lahan, keluar dari benteng istana melalui jalan rahasia yang terletak di bagian Timur bangunan megah itu. Tak ada seorang pun yang mengetahui, karena pintu rahasia itu berada di dalam taman kaputren yang hanya keluarga istana saja yang boleh memasukinya.
"Heh...?!"
Prabu Bojananta jadi terkejut begitu berada di luar. Kedua bola matanya terbeliak lebar, hampir tidak percaya dengan apa yang sedang dilihatnya.
Belum lagi hilang rasa keterkejutannya, tiba-tiba saja tiga orang berpakaian serba hitam berlompatan menyerang. Golok-golok mereka yang berkilatan, ber-kelebat mengincar tubuhnya. Cepat-cepat Prabu Bojananta melentingkan tubuhnya ke udara, meninggalkan kudanya yang harus menerima nasib terbabat sebilah golok yang tadi diarahkan untuknya. Kuda berbulu putih bersih itu meringkik keras, lalu jatuh menggelepar dengan leher hampir terbabat buntung. Darah mengucur deras dari leher yang hampir buntung terbabat golok.
"Keparat..! Kalian harus ganti nyawa kudaku...!" geram Prabu Bojananta, seketika memuncak amarahnya.
Sret!
Kemarahan Prabu Bojananta memang tidak dapat dikendalikan, tatkala melihat kuda kesayangannya sudah tergeletak tak bemyawa lagi. Langsung pedangnya yang tersimpan di punggung dicabut
"Mampus kalian! Hiyaaat..!"
Bet!!!
Cepat sekali Prabu Bojananta meluruk, sambil membabatkan pedang ke arah kepala salah seorang berbaju hitam yang menyerangnya tadi. Begitu cepat gerakan tangannya saat mengebutkan pedang, sehingga orang berbaju hitam itu tidak sempat lagi berkelit. Dan....
Cras!
"Aaa...!"
Jeritan panjang melengking tinggi terdengar begitu menyayat orang berbaju serba hitam itu terhuyung-huyung sambil memegangi kepalanya yang terbelah terbabat pedang Prabu Bojananta. Raja yang masih berusia muda itu tidak puas begitu saja. Dengan kecepatan bagai kilat, dia kembali melompat menyerang dua orang berbaju serba hitam lainnya.
"Hiyaaat..!"
Bet!
Trang!
"Akh...!"
Satu orang yang mencoba menangkis tebasan pedang Prabu Bojananta jadi terpekik. Goloknya yang terbang melayang ke udara tidak bisa lagi diselamatkan. Sebelum orang itu sempat menyadari apa yang terjadi, Prabu Bojananta sudah melepaskan satu ten dangan menggeledek sambil memutar tubuhnya. Kembali orang berbaju serba hitam yang sudah kehilangan goloknya itu terpekik keras, begitu tendangan Prabu Bojananta mendarat telak di dadanya. Seketika itu juga tubuhnya terpental deras ke belakang, sampai menghantam sebatang pohon yang cukup besar hingga hancur berkeping-keping.
Pada saat yang bersamaan, Prabu Bojananta juga mengebutkan pedangnya pada satu orang lagi yang berada dekat dengannya. Tapi belum juga pedangnya sampai di dada orang itu, tiba-tiba saja berkelebat sebuah bayangan hitam pekat Kelebatan bayangan itu masih dibarengi kilatan cahaya keperakan, langsung menghantam pedang yang sudah hempir membelah dada orang berbaju hitam itu.
Trang!
"Ikh...?!"
Prabu Bojananta terkejut setengah mati, begitu pedangnya seperti membentur sebongkah batu cadas yang teramat keras. Seluruh tangan kanannya sampai bergetar. Raja muda itu cepat-cepat melompat mundur sebelum pedangnya teriepas dari genggaman. Bergegas pergelangan tangannya yang bergetar diurut Seakan-akan, seluruh aliran darah di tangan kanannya jadi terbalik, saat pedangnya terbentur cahaya keperakan yang muncul bersamaan dengan kelebatan bayangan hitam pekat
Dan kini tahu-tahu di depannya sudah berdiri seseorang yang mengenakan baju wama hitam pekat Seluruh wajahnya tertutup topeng kayu berwama hitam juga. Sebuah gagang pedang berwarna keperakan yang berkilat tersilang di depan dada. Dan belum lagi keterkejutan Prabu Bojananta hilang, tahu-tahu dari balik kegelapan malam bermunculan orang-orang berbaju serba hitam yang menghunus golok telanjang. Mereka langsung mengepung tempat itu tanpa diperintah lagi. Prabu Bojananta mengebutkan pedangnya beberapa kali, kemudian disiiangkan di depan dada.
"Penunggang Kuda Bertopeng..." desis Prabu Bojananta langsung mengenali orang yang tiba-tiba muncul itu.
"Seharusnya kau tidak perlu keluar dari istana, Prabu Bojananta," agak dalam nada suara laki-laki yang wajahnya terselubung topeng berwarna hitam. Memang, dia adalah si Penunggang Kuda Bertopeng.
"Aku keluar memang ingin mencarimu, Kisanak. Kau telah mengacaukan keadaan istana. Apa maksudmu menyebarkan fitnah yang begitu keji...?" tegas Prabu Bojananta langsung bertanya pada pokok persoalannya.
"Seharusnya kau tidak perlu marah padaku, Prabu Bojananta. Aku hanya menjalankan, apa yang menjadi kewajibanku untuk melindungi Kerajaan Godaka ini dari rongrongan musuh terselubung. Bahkan bisa menikammu dari belakang," tenang sekali jawaban si Penunggang Kuda Bertopeng.
"Terima kasih..., hhh!" dengus Prabu Bojananta sinis.
"Seharusnya kau sudah bisa meringkus mereka, Prabu Bojananta. Tapi sekarang, sudah terlambat Karena mereka sudah mulai bergerak, dan sudah ada di perbatasan Utara. Besok pagi, mereka pasti sudah sampai, dan langsung menyerang istana ini," jelas si Penunggang Kuda Bertopeng.
"Jangan coba-coba mempermainkan aku untuk yang kedua kali, Kisanak. Siapa kau sebenarnya...?" masih terdengar dingin nada suara Prabu Bojananta.
"Belum saatnya kau tahu tentang diriku, Prabu Bojananta. Tapi jika kata-kataku tidak dituruti, kau akan menyesal seumur hidup. Kedudukanmu sebagai raja sedang terancam. Sedangkan kau terlalu dibakar nafsu amarah."
"Huh! Jangan mengguruiku, Kisanak...!"
"Hm.... Kau terlalu keras kepala, Prabu Bojananta. Kau memang masih terlalu muda untuk menjadi raja. Baiklah.... Mungkin aku memang harus turun tangan untuk menyelamatkan Kerajaan Godaka. Aku tidak lagi bisa mengandalkanmu. Kau harus turun takhta malam ini juga, karena kau benar-benar buta dan tidak bisa melihat keadaan sekelilingmu. Kau masih terlalu terbawa nafsu dan darah mudamu," kali ini nada suara si Penunggang Kuda Bertopeng terdengar begitu dingin.
"Edan...! Rupanya kau sendiri yang ingin menjatuhkan takhtaku, Keparat..!" geram Prabu Bojananta, langsung memuncak amarahnya.
"Wadyabala...! Kalian semua masuk ke istana. Kuasai seluruh istana. Jaga, jangan sampai ada seorang pun yang keluar!" perintah si Penunggang Kuda Bertopeng, lantang.
Tanpa menunggu perintah dua kali, semua orang yang mengenakan baju serba hitam itu segera bergerak hendak masuk ke dalam benteng istana dari pintu ra-hasia. Tapi Prabu Bojananta sudah lebih dulu melompat cepat, dan berdiri tegak di depan pintu rahasia itu.
"Langkahi dulu mayatku jika kalian ingin masuk!" tantang Prabu Bojananta dengan pedang terhunus di depan dada.
Semua orang yang mengenakan baju hitam itu jadi berhenti bergerak, dan kelihatan ragu-ragu. Sedangkan si Penunggang Kuda Bertopeng menggereng geram melihat sikap Prabu Bojananta yang tidak mengindahkan peringatannya sama sekali.
"Tindakanmu sudah kelewat batas, Bojananta! Minggir kau...!" bentak si Penunggang Kuda Bertopeng itu lantang.
"Heh...!?"
Prabu Bojananta jadi tersentak kaget setengah mati mendengar bentakan yang begitu lantang menggelegar. Terlebih lagi, manusia penuh teka-teki yang selalu mengaku berjuluk si Penunggang Kuda Bertopeng itu langsung menyebut namanya saja, tanpa ada panggilan prabu di depan namanya.
"Hup...!"
Tapi belum juga hilang rasa keterkejutannya, tiba-tiba saja si Penunggang Kuda Bertopeng sudah melompat cepat bagaikan kilat ke depan Prabu Bojananta. Secepat kilat pula, dilepaskannya satu sodokan ke arah dada bagian kiri raja muda itu.
"Uts...!"
Tapi dengan gerakan manis sekali, Prabu Bojananta berhasil berkelit menghindari sodokan tangan kanan si Prabu Bojananta. Cepat-cepat tubuhnya meliuk. Lalu dengan bertumpu pada satu kaki, Prabu Bojananta segera memutar tubuhnya sambil melepaskan satu tendangan berputar yang begitu cepat luar biasa.
"Yeaaah...!"
"Hup!"
Namun si Penunggang Kuda Bertopeng sudah melentingkan tubuhnya ke udara. Sehingga, sepakan kaki kanan Prabu Bojananta tidak sampai mengenai tubuhnya. Bahkan begitu berhasil menjejakkan kakinya kembali ke tanah, cepat sekali diberikannya satu pukulan keras menggeledek yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Hiyaaa...!"
"Hait"
Prabu Bojananta tidak bisa lagi berkelit Dengan cepat sekali pedangnya dibabatkan, hendak mematahkan pukulan si Penunggang Kuda Bertopeng.
Wuk!
"Uts...!"
Cepat-cepat si Penunggang Kuda Bertopeng menarik tangannya pulang, sehingga terbebas dari tebasan pedang Prabu Bojananta. Namun sebelum sempat berbuat lebih jauh lagi, Prabu Bojananta sudah melakukan serangan kembali. Pedangnya berkelebat cepat bagai kilat mengarah ke pinggang. Begitu cepat serangannya, sehingga si Penunggang Kuda Bertopeng tidak sempat lagi menghindar. Maka, pedangnya cepat diayunkan untuk menangkis tebasan pedang raja muda itu.
Bet! Trang!

* * * * *



Percikan bunga api memijar, saat dua pedang beradu keras di samping pinggang si Penunggang Kuda Bertopeng. Cepat-cepat si Penunggang Kuda Bertopeng melompat ke belakang, lalu membuat beberapa gerakan dengan kebutan pedang di depan dada, begitu kakinya menjejak tanah kembali. Pada saat itu, Prabu Bojananta jadi terpaku begitu melihat pedang si Penunggang Kuda Bertopeng sudah melintang di atas kepala. Padahal di saat itu dia juga seiesai melakukan gerakan gerakan yang sama. Pedangnya juga sudah melintang di atas kepala. Saat itu juga Prabu Bojananta langsung menyadari kalau jurus yang mereka miliki sama persis.
"Heh...?! Siapa kau sebenamya?! Dari mana kau peroleh jurus 'Pedang Dewa'...?" tanya Prabu Bojananta terkejut setengah mati.
"Kau benar-benar buta, Bojananta. Seharusnya kau sudah tahu sejak awal tadi. Hhh...! Kau benar-benar belum pantas menduduki takhta Kerajaan Godaka...!" dengus si Penunggang Kuda Bertopeng, agak dingin nada suaranya.
"Suaramu...?" tersedak suara Prabu Bojananta.
Dan memang, suara si Penunggang Kuda Bertopeng kali ini terdengar lain di telinga Prabu Bojananta. Dan suara itu seperti mengingatkannya pada se-seorang yang sudah begitu lama tidak pernah dijumpai setelah dia menduduki takhta, sebagai Raja di Kerajaan Godaka ini Tapi....
"Mustahil.... Tidak mungkin...," desis Prabu Bojananta seraya menggeleng-gelengkan kepala.
Saat itu, si Penunggang Kuda Bertopeng sudah berdiri tegak kembali. Dan pedangnya kini dimasukkan ke dalam sarungnya yang tergantung di pinggang. Kemudian, sarung pedangnya dilepaskan dari pinggangnya, dan diberikannya pada salah seorang yang berada dekat dengannya. Sementara Prabu Bojananta hanya memperhatikan saja. Dia benar-benar tidak mengerti dengan semua kejadian yang bru saja di alaminya.
Dan raja muda itu juga masih belum yakin akan dugaannya sekarang ini. Sungguh dia tidak tahu, apa yang terjadi. Sementara si Penunggang Kuda Bertopeng mengangkat tangan kanannya keatas kepala, lalu perlahan-lahan melepaskan topeng kayu berwarna hitam pekat yang salama ini menutupi wajah dan seluruh kepabnya. Sedangkan Prabu Bojananta jadi menahan napas, menunggu untuk melihat wajah asli si Penunggang Kuda Bertopeng itu. Dan begitu seluruh topeng terlepas dari kepala orang yang penuh misteri itu....
"Kau...?!"
Kedua bola mata Prabu Bojananta jadi terbeliak lebar. Sepertinya dia sedang bermimpi, dan hampir tidak percaya dengan apa yang sedang disaksikannya. Sungguh tidak disangka kalau orang yang berdiri di depannya ini adalah paman, yang juga sekaligus gurunya. Guru yang segala hal, sejak masih kecil hingga menduduki takhta Kerajaan Godaka ini.
"Paman Waragati...," desis Prabu Bojananta masih belum percaya dengan apa yang dilihatnya.
Sama sekali tidak disangka kalau si Penunggang Kuda Bertopeng itu sebenamya adalah Paman Waragati. Memang sulit dipercaya! Tapi yang sekarang berdiri di depannya ini memang benar Paman Waragati, orang yang sangat dihormari selain ayahnya. Berkat bimbingan Paman Waragatilah, maka dia bisa menjadi pemuda yang tangguh dan patut diperhitungkan. Bahkan selama ini, dia selalu bersikap adil dan bijaksana selama menduduki takhta menggantikan ayahnya.
Tapi memang benar apa yang dikatakan Paman Waragati, kalau terkadang darah mudanya masih terasa sukar dikendalikan. Hal itu memang disadari. Sebagai seorang putra tunggal seorang raja, kekerasan kepalaannya memang sukar dihilangkan begitu saja. Padahal, dia sudah berusaha keras untuk menghilangkannya. Tapi semua itu akan selalu timbul bila menghadapi suatu persoalan yang begitu menekan Seperti persoalan yang baru-baru ini dihadapinya.
"Maafkan aku, Paman...," ucap Prabu Bojananta seraya membungkuk memberi hormat
"Sudahlah, Ananda Prabu," ujar Paman Waragati yang selama ini menggunakan julukan si Penunggang Kuda Bertopeng, seraya melangkah menghampiri raja muda itu.
"Tapi, kenapa Paman muncul dengan cara seperti ini? Kenapa tidak terang-terangan saja...?" tanya Prabu Bojananta langsung
"Itu tidak mungkin, Ananda Prabu. Jika kemunculanku terang-terangan, pemberontak itu bisa cepat mengetahui. Tapi dengan cara seperti ini, aku justru membuat mereka bingung."
"Tapi hal itu malah semakin memperburuk keadaan, Paman."
"Tidak juga, karena sebagian pemberontak sudah kutumpas."
"Maksud, Paman...?"
Paman Waragati hanya tersenyum saja. Dipanggilnya salah seorang yang mengenakan baju warna hitam pekat, yang ternyata murid-murid laki-laki separuh baya ini.
"Panggil Pendekar Pulau Neraka ke sini," perintah Paman Waragati.
"Baik, Ki," sahut laki-laki yang masih berusia muda itu sambil membungkukkan tubuh memberi hormat
"Pendekar Pulau Neraka...?" desis Prabu Bojananta seraya mengerutkan keningnya.
Sementara pemuda berbaju hitam itu sudah berlalu, Prabu Bojananta menatap agak dalam pada Paman Waragati. Dia teringat cerita Tumenggung Pratala yang sempat bertarung melawan si Penunggang Kuda Bertopeng ini, lalu diselamatkan seorang pemuda asing yang mengaku berjuluk Pendekar Pulau Neraka. Dan sebelum Prabu Bojananta selesai dengan semua pikiran yang berkecamuk di kepalanya, pemuda berbaju serba hitam murid laki-laki separuh baya ini sudah datang kembali bersama seorang pemuda tampan berbaju kulit harimau. Tampak seekor monyet kecil berbulu hitam nangkring di pundak kanannya.

* * * * *



--««¦ [ TUJUH ] ¦»»--

"Kau harus berterima kasih pada Pendekar Pulau Neraka, Ananda Prabu. Karena dialah, maka negeri ini bisa terselamatkan," kata Paman Waragati.
"Aku.... Aku tidak mengerti maksudmu, Paman?" Prabu Bojananta meminta penjelasan.
"Sebenamya aku sudah lama mencurigai beberapa orang Tumenggung dan Adipati. Tapi aku tidak bisa menyelidiki kebenarannya. Dan Pendekar Pulau Neraka kuminta bantuan untuk menyelidiknya. Hanya saja, salah satu Tumenggung yang kucurigai ternyata tidak terbukti. Dialah Tumenggung Pratala yang benar-benar setia pada negeri ini. Sedangkan yang benar-benar pengkhianat adalah Tumenggung Baliga, Tumenggung Abiguna, dan Adipati Mahesa. Semua ini terbukti, karena aku dan Pendekar Pulau Neraka telah meringkus beberapa orang pengikutnya. Dan sekarang mereka telah diamankan tidak jauh dari perbatasan kota sebelah Utara," jelas Paman Waragati singkat
"Benar, Gusti. Sehabis aku menyelamatkan Tumenggung Pratala, esoknya Paman Waragati menyuruhku untuk menemuinya. Itu pun secara sembunyi-sembunyi, yakni lewat muridnya yang berseragam hitam. Hal itu dilakukan agar tidak tercium kaum pemberontak. Dan ketika aku menemui di rumahnya, Paman Waragati langsung menceritakan duduk persoalannya," jelas Bayu.
"Lalu?" pinta Prabu Bojananta.
"Aku langsung menyelidikinya. Dalam penyelidikanku, aku berpatokan pada Tumenggung Pratala yang kau tangkap. Karena aku yakin, dia adalah orang setia. Dan begitu aku tahu kalau para Tumenggung dan Adipati lain juga kau tangkap, maka dugaanku kian jelas kalau mereka tak bersalah. Dengan demikian, kecurigaanku jatuh pada Tumenggung Baliga, Tumenggung Abiguna, dan Adipati Mahesa yang justru tidak kau tangkap. Orang-orang seperti ini biasanya memang lepas dari perhatian," tambah Bayu.
"Para pemberontak tahu kalau aku merupakan penghalang tujuan mereka. Dan ketika suatu malam gerombolan orang berbaju seragam prajurit menyerang padepokanku, aku berhasil menaklukkannya. Yang masih hidup langsung kupaksa untuk membuka suara. Maka dari sinilah aku tahu, siapa dalang dari semua ini," jelas Paman Waragati, menambahkan keterangan Bayu.
Prabu Bojananta benar-benar terkejut Karena dia tidak menyangka kalau orang-orang yang selama ini dipercayainya, justru berkhianat Sedangkan mereka yang justru setia, kini harus meringkuk dalam penjara. Dan semua itu karena menuruti kata-kata ayahnya, untuk menjebloskan semua tumenggung dan adipati ke dalam penjara. Kecuali, yang bertiga itu. Sebenarnya, justru mereka bertigalah yang masuk ke dalam penjara.
"Memang tadi aku mengatakan kalau mereka akan menyerbu ke sini. Itu semua hanya permainan kata-kataku saja, Ananda Prabu. Hal ini kulakukan karena permintaan ayahmu."
"Ayahanda Prabu...?"
"Benar, Ananda Prabu. Tanpa ayahmu, semua ini tidak akan berakhir. Bahkan bukannya tidak mungkin mereka benar-benar menggulingkan takhta."
"Oh...! Bagaimana ini bisa terjadi, Paman...?"
"Sebaiknya kau tanyakan saja pada ayahmu, Ananda Prabu. Karena, kecurigaanku sendiri bisa berkat laporan ayahmu, yang memang sudah lama mencurigai mereka. Bahkan kecurigaannya semakin mendalam saat kau mengangkat dan menempatkan mereka pada kedudukan tinggi."
Prabu Bojananta terdiam merenung. Sungguh belum bisa dipahami dengan semua ini. Dan dia juga tidak tahu, kenapa hal ini harus terjadi. Mereka yang ternyata pengkhianat, justru orang-orang yang sangat dipercaya. Bahkan ketika mereka meminta izin untuk mendirikan pasukan prajurit sendiri, Prabu Bojananta tidak punya pertimbangan lagi. Usul itu langsung disetujuinya, karena mereka menjanjikan akan selalu siap mengirim prajurit yang dibentuk bila diperlukan untuk memperkuat barisan prajurit kerajaan.
Tapi kenyataannya, justru prajurit itu dibentuk untuk maksud memberontak. Hanya saja, pemberontakan yang belum terlaksana ini membuatnya jadi tidak mengerti. Apa sebenarnya yang mendorong mereka hendak melakukan pemberontakan...? Pertanyaan itu yang kini mengganjal di hati Prabu Bojananta. Tapi pertanyaan itu memang sukar dijawab. Dan belum juga Prabu Bojananta menanyakannya pada Paman Waragati, tiba-tiba saja terdengar suara ribut-ribut dari dalam istana.
"Ada apa di dalam sana...?" desah Paman Waragati bertanya pada diri sendiri.
"Kita lupa, Paman. Mereka telah menyusupkan orang-orangnya ke dalam istana," ujar Bayu yang sejak tadi diam saja.
"Oh...?!" Paman Waragati menepuk keningnya sendiri.
"Hup...!"
Pada saat itu juga, Bayu melompat tinggi ke udara. Begitu sempurnanya ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Pendekar Pulau Neraka, sehingga lesatannya begitu cepat dan ringan. Hanya sedikit saja ujung jari kakinya disentuhkan ke bibir tembok benteng yang mengelilingi bangunan istana ini, lalu meluruk deras ke balik tembok benteng itu.
"Hup!"
"Yeaaah...!"
Paman Waragati dan Prabu Bojananta bergegas berlompatan melewati tembok benteng yang tingginya lebih dari dua batang tombak. Sementara orang-orang berbaju serba hitam yang temyata murid-murid Paman Waragati, bergegas berlarian masuk ke dalam bangunan benteng istana itu melalui pintu rahasia yang masih terbuka. Dan beberapa orang dari mereka yang sudah memiliki ilmu meringankan tubuh yang cukup tinggi, berlompatan melewati tembok benteng ini. Sehingga sebentar saja, keadaan di luar benteng itu sudah sunyi. Kini, tak terlihat seorang pun di sana. Se-mua orang tenggelam di dalam tembok benteng yang tinggi dan kokoh.

* * * * *



Bukan hanya Prabu Bojananta dan Paman Waragati yang terkejut melihat beberapa mayat prajurit bergelimpangan di sekitar bangunan istana yang megah ini. Sementara suara-suara ribut yang terdengar tadi, kini sudah tidak lagi terdengar. Keterkejutan mereka semakin bertambah, karena tidak menemukan seorang prajurit pun di sekitar istana ini
"Penjara...," desis Prabu Bojananta.
Bergegas raja muda itu berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh ke bangunan penjara yang terletak di belakang bangunan istana ini Paman Waragati dan Pendekar Pulau Neraka mengikuti dari belakang. Kembali mereka terkejut melihat pintu penjara sudah jebol. Sementara, enam orang prajurit penjaga sudah tergeletak tak bernyawa lagi.
"Di mana ayahmu, Bojananta...?" tanya Paman Waragati yang jadi lupa terhadap segala rata aturan. Dia telah memanggil Prabu Bojananta dengan namanya saja.
"Oh...?! Ayah...," desah Prabu Bojananta langsung teringat ayahnya.
"Ada di dalam istana, Paman...."
Tanpa membuang-buang waktu lagi, mereka bergegas berlarian kembali menuju bangunan istana. Langsung diterobosnya pintu belakang, dan terus menyusuri lorong yang di kanan dan ldrinya terdapat pintu-pintu kamar yang tertutup rapat. Tampak beberapa tubuh prajurit tergeletak di lorong ini, dan sudah tidak bemyawa lagi
Mereka sampai di sebuah ruangan yang berukuran sangat luas. Namun, tak ada seorang pun di dalam ruangan ini. Mereka terus melangkah cepat setengah berlari, melintasi ruangan itu. Prabu Bojananta cepat membuka pintu yang terbuat dari kayu jati tebal berukir cukup indah.
"Ayah...!" pekik Prabu Bojananta begitu pintu terbuka lebar.
Tampak di satu ruangan yang tidak begitu besar ukurannya, tergeletak sesosok tubuh berjubah putih berlumuran darah. Sebilah pedang tertanam dalam di dadanya yang sudah tak bergerak lagi. Tidak jauh dari situ, teriihat dua orang pemuda berbaju ketat serba putih. Mereka tampaknya juga sudah tidak bemyawa lagi. Darah berceceran di seluruh bagian lantai ruangan ini Prabu Bojananta cepat berlari, dan menghambur memeluk ayahnya yang sudah tidak bernyawa lagi.
"Siapa yang melakukan ini, Ayah...? Oh...! Akan kubunuh mereka semua...," desis Prabu Bojananta seraya memeluk jasad laki-laki tua itu.
"Akan kuperiksa ke tempat lain, Paman," kata Bayu perlahan, dekat telinga Paman Waragati.
"Kita sama-sama, Bayu. Biarkan murid-muridku mengamankan tempat ini," sahut Paman Waragati.
Paman Waragati memerintahkan murid-muridnya yang berkumpul di depan pintu ruangan itu untuk menjaga Prabu Bojananta. Kemudian, dia bersama Pendekar Pulau Neraka bergegas meninggalkan ruangan itu. Mereka melangkah cepat melintasi ruangan besar yang biasa disebut Balai Sema Agung, tempat pertemuan seluruh pembesar Kerajaan Godaka dengan rajanya.
Mereka terus melangkah ke luar melalui pintu depan yang terbuka lebar. Tampak empat orang prajurit tergeletak di depan pintu tak bernyawa lagi. Tak ada seorang prajurit pun yang teriihat masih hidup. Dan mereka terpaksa harus menahan napas begitu sampai di luar.
Di halaman depan istana yang luas ini, teriihat tubuh-tubuh tak bernyawa bergelimpangan sating tumpang tindih. Sungguh suatu pemandangan yang tidak sedap dinikmati. Rupanya, telah terjadi pertempuran dahsyat di dalam istana ini Sehingga, tak ada seorangpun yang teriihat hidup.
"Tidak kusangka kalau ini akan terjadi...," desah Paman Waragati mengeluh.
"Semua bisa terjadi kalau aku yang menginginkan, Waragati...!"
"Heh...?!"
Paman Waragati tersentak kaget begitu tiba-tiba terdengar suara keras menggema. Dan belum lagi hilang keterkejutannya, tiba-tiba saja berkelebat sebuah bayangan merah dari atas tembok benteng depan. Begitu cepat dan ringan sekali gerakannya, dan tahu-tahu di depan Paman Waragati dan Pendekar Pulau Neraka sudah berdiri seorang laki-laki yang usianya sebaya dengan Paman Waragati. Dia mengenakan baju merah menyala.
"Adipati Mahesa...," desis Paman Waragati langsung mengenali.
"Kau tentu terkejut kalau kerajaan ini bisa kuruntuhkan dalam sekejap, Waragati... Aku bisa melakukan apa saja di sini. Dan tak seorang pun bisa mencegah. Termasuk kau, Waragati," terasa dingin sekali nada suara laki-laki separuh baya yang temyata memang Adipati Mahesa.
Salah seorang adipati yang dipercaya, tapi justru yang hendak meruntuhkan Kerajaan Godaka ini. Dan tentu saja tidak ada yang bakal menyangka kalau Adipati Mahesa yang menjadi biang keladi dari semua kerusuhan ini.
Dan sebelum Paman Waragati bisa membuka suara, kembali teriihat dua sosok tubuh berbaju merah berkelebat Dan tahu-tahu, di samping kin dan kanan Adipati Mahesa sudah berdiri lagi dua orang laki-laki separuh baya. Mereka adalah Tumenggung Abiguna dan Tumenggung Baliga. Kemudian, disusul bermunculannya orang-orang berseragam prajurit yang berlainan corak dan bentuknya. Mereka semua menyandang senjata lengkap, dan siap bertempur. Dalam waktu sebentar saja, halaman depan istana yang luas dan sudah dipenuhi mayat, kini dipenuhi orang-orang berseragam prajurit Mereka tentunya bukan para prajurit Kerajaan Godaka.
"Seharusnya mereka tertahan di perbatasan Utara. Kenapa bisa sampai ke sini...?" desah Paman Waragati, seperti bicara pada diri sendiri.
"Pasti murid-muridmu sudah mereka hancurkan, Paman," sahut Bayu.
"Hm.... Jumlah mereka memang terlalu banyak," gumam Paman Waragati.
Laki-laki setengah baya itu menyadari, kalau murid-muridnya yang ditugaskan untuk menghentikan mereka di perbatasan Utara, tentu tidak akan bisa menahan jumlah sebanyak ini.
"Paman! Apakah tidak ada lagi prajurit Godaka...?" tanya Bayu.
Pendekar Pulau Neraka memang sejak tadi hanya melihat sejumlah kecil saja prajurit yang tewas, selama berada di dalam lingkungan istana ini
"Entahlah... Mereka seperti menghilang begitu saja," sahut Paman Waragati mendesah.
"Hm...," Bayu menggumam kecil.
Sementara itu, Paman Waragati tengah memandang tiga orang berpakaian serba merah. Kecurigaannya memang tepat, tapi sungguh tidak disangka kalau justru mereka yang punya rencana pemberontakan ini. Paman Waragati tahu betul, siapa Adipati Mahesa. Dia adalah adik tiri Prabu Podaralaga, sama seperti dirinya juga. Tapi selama ini, seluruh kehidupannya diabdikan untuk kejayaan Kerajaan Godaka. Sedangkan pengabdian yang diberikan Adipati Mahesa, ternyata hanya pengabdian semu dan di balik semua itu, ternyata tersimpan maksud untuk menguasai kerajaan ini. Dan saat yang tepat baginya adalah sekarang ini. Kerajaan Godaka yang dipimpin seorang raja yang masih berusia muda ini memang masih terlalu mudah dipengaruhi.
Hal ini yang sama sekali tidak diduga siapa pun juga. Karena selama ini, sedikit pun tidak ada sikap maupun tingkah laku Adipati Mahesa yang mencurigakan. Dan diam-diam, Paman Waragati mengagumi dalam hati. Dia kagum, karena Adipati Mahesa benar-benar bisa memerankan lakonnya sendiri, tanpa ada seorang pun yang mencurigainya.

* * * * *



"Sejak semula, aku memang sudah tahu kalau Penunggang Kuda Bertopeng itu adalah kau, Waragati. Aku sudah tahu saat kau muncul mengancamku, dan sempat bertarung beberapa jurus. Samaranmu tidak ada artinya di depanku, Waragati. Aku sudah mengetahui betul jurus-jurusmu," kata Adipati Mahesa dengan suara begitu sinis.
"Kalau sudah tahu, kenapa aku tidak kau bunuh saja waktu itu?" tanya Paman Waragati, agak terkejut juga.
"Untuk apa...? Permainan sudah kau buka bersama Kakang Podaralaga. Dan aku ingin mengikuti alur permainanmu. Tapi sayang, semua jalan permainanmu bisa mudah kupatahkan. Dan akhirnya, kau lihat sendiri kenyataannya, Waragati."
"Aku akui, kau memang cukup cerdik, Mahesa," puji Paman Waragati tulus.
"Ha ha ha...! Tapi sayang, semuanya sudah terlambat untukmu. Aku harus menyingkirkan siapa saja yang mencoba menghalangiku. Termasuk juga Kakang Podaralaga, yang coba-coba menentang keinginanku."
"Hm.... Jadi kau yang membunuh Kakang Podaralaga...?" desis Paman Waragati.
"Sudah kukatakan, aku harus menyingkirkan siapa pun yang mencoba menghalangiku, Waragati. Ha ha ha...!"
"Biadab...!" desis Paman Waragati, langsung bergetar seluruh tubuhnya menahan amarah yang tiba-tiba saja meluap mendidih.
"Kubunuh kau, Pengkhianat! Hiyaaat..!"
"Bojananta...?!" desis Paman Waragati terkejut, begitu tiba-tiba saja Prabu Bojananta melompat melompat cepat bagai kilat dari dalam istana.
Bukan hanya Paman Waragati yang terkejut, tapi juga Bayu, Adipati Mahesa, dan dua orang tumenggung yang mendampingi adipati pengkhianat itu. Mereka tidak menyangka kalau Prabu Bojananta akan menyerang begitu cepat dan tiba-tiba, begitu muncul dari dalam bangunan istana megah itu.
Sret!
Bet!
Cepat sekali Prabu Bojananta mengebutkan pedangnya, secepat mencabut dari warangka di pinggang. Kebutan pedangnya langsung diarahkan ke leher Adipati Mahesa yang saat itu masih terperangah. Tapi sebelum sabetan pedang Prabu Bojananta membabat lehernya, Adipati Mahesa sudah bertindak cepat.
"Uts!"
Hanya menarik sedikit tubuhnya ke belakang, ujung pedang Prabu Bojananta lewat sedikit saja di depan leher Adipati Mahesa. Dan sebelum Prabu Bojananta bisa menarik pedangnya kembali, tiba-tiba saja Tumenggung Abiguna sudah melompat cepat sambil melepaskan satu pukulan keras menggeledek, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Hiyaaa...!"
Begitu cepat serangan yang dilakukan Tumenggung Abiguna, sehingga Prabu Bojananta tidak bisa lagi berkelit menghindar. Dan....
Desss!
"Akh...!"
Prabu Bojananta terpental sekitar dua batang tombak, begitu pukulan Tumenggung Abiguna bersarang di tubuhnya. Keras sekali tubuhnya jatuh berguling di tanah. Dan pada saat itu, Tumenggung Baliga sudah melompat sambil mencabut pedangnya yang tergantung di pinggang.
"Hiyaaat..!"
Cepat sekali ujung pada pedangnya dihunjamkan ke arah dada Prabu Bojananta yang tergeletak telentang di tanah. Tak ada lagi kesempatan bagi Prabu Bojananta untuk bisa menyelamatkan nyawa dari ancaman pedang yang meluncur deras mengancam dadanya. Tapi begitu ujung pedang hampir menembus dadanya, tiba-tiba saja....
Wusss!
Tring!
"Ikh...?!"
Tumenggung Baliga terperanjat bukan main, begitu tiba-tiba saja sebuah benda berwama keperakan meluncur cepat bagai kilat menghantam mata pedangnya. Buru-buru dia melompat kebelakang, dan melakukan beberapa kali putaran. Kedua bola matanya jadi terbeliak, begitu melihat pedangnya buntung. Dan lebih terkejut lagi, begitu melihat pemuda tampan berbaju kulit harimau yang sejak tadi diam saja di samping Paman Waragati, tengah mengangkat tangan kanannya ke atas kepala. Maka sebuah benda keperakan berbentuk bintang bersegi enam melesat cepat, lalu melekat erat di pergelangan tangan pemuda itu.
Dengan tenang sekali, pemuda berbaju kulit harimau yang dikenal berjuluk Pendekar Pulau Neraka melangkah menghampiri Prabu Bojananta yang tengah berusaha bangkit berdiri. Pemuda yang sebenarnya bernama Bayu, segera membantu Prabu Bojananta begitu berdiri terhuyung-huyung. Sedangkan monyet kecil berbulu hitam masih tetap nangkring di pundak Pendekar Pulau Neraka.
"Bersemadilah. Kau terluka dalam cukup parah," ujar Bayu.
"Biar aku yang akan menghadapi mereka."
"Terima kasih," ucap Prabu Bojananta.
"Hati-hatilah. Mereka orang-orang yang berkepandaian tinggi."
Bayu hanya tersenyum saja mendapat peringatan itu. Pendekar Pulau Neraka memang tahu kalau mereka berkepandaian tinggi. Tapi mereka juga curang dan licik, karena menyerang pada saat lawan dalam keadaan tidak berdaya lagi. Pendekar Pulau Neraka melangkah tenang menghampiri tiga orang yang mengenakan baju warna merah menyala. Tatapan matanya begitu tajam menusuk. Diambilnya monyet kecil yang masih nangkring di pundaknya, dan ditaruhnya di tanah.
"Kau menyingkirlah, Tiren. Ini bukan pertarunganmu," ujar Bayu sambil mengelus kepala monyet kecil itu.
"Nguk!"
Monyet kecil yang dipanggil Tiren itu bergegas berlarian menyingkir, mendekati Prabu Bojananta yang sudah duduk bersila di tangga istana. Raja muda itu sudah duduk bersila, mengambil sikap bersemadi.
Pada saat itu, dari dalam istana bermunculan murid-murid Paman Waragati yang semuanya mengenakan baju serba hitam. Mereka langsung berdiri berjajar di belakang gurunya. Sementara, Bayu sudah berada sekitar tujuh langkah lagi di depan Adipati Mahesa yang didampingi Tumenggung Abiguna dan Tumenggung Baliga.

* * * * *



--««¦ [ DELAPAN ] ¦»»--

"Siapa kau, Anak Muda...?!" tanya Adipati Mahesa, lantang menggelegar.
"Rasanya itu tidak penting. Namun yang paling penting, aku paling tidak suka melihat manusia-manusia bejat seperti kalian mengotori dunia ini!" dingin sekali jawaban Bayu.
"Keparat..! Kau akan menyesal karena telah menghina kami, Bocah!" geram Tumenggung Baliga, yang masih penasaran karena pedangnya buntung oleh senjata maut pemuda berbaju kulit harimau itu.
Bayu hanya tersenyum sinis pada Tumenggung Baliga.
"Mampus kau, Bocah Keparat! Hiyaaat..!"
Tumenggung Baliga tidak bisa lagi menahan diri. Cepat sekali ia melompat sambil melepaskan beberapa pukulan beruntun yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi. Tapi dengan gerakan manis sekali, Bayu meliuk-liukkan tubuhnya. Dihindarinya pukulan-pukulan yang dilepaskan Tumenggung Baliga, sehingga tak satu pun yang berhasil mengenai sasaran.
"Paman Waragati, ini bagianmu...!" teriak Bayu tiba-tiba.
"Yeaaah...!"
Bagaikan kilat, Pendekar Pulau Neraka tiba-tiba saja melakukan gerakan yang sukar diikuti pandangan mata biasa. Dan tahu-tahu, tangannya sudah bergerak cepat menggedor dada Tumenggung Baliga. Begitu cepat serangannya sehingga Tumenggung Baliga tidak sempat lagi menghindar.
Degkh!
"Akh...!"
Seketika itu juga, tubuh Tumenggung Baliga terpental deras ke arah Paman Waragati. Dan begitu dekat, Paman Waragati langsung menghentakkan ke dua tangannya untuk menyambut tubuh yang melayang deras ke arahnya.
"Yeaaah...!"
Desss!
Tumenggung Baliga kembali terpental ke udara, lalu keras sekali jatuh menghantam tanah. Darah pun kontan muncrat dari mulutnya. Hanya sedikit saja tumenggung itu masih mampu menggeliat, kemudian mengejang kaku dan diam tak bernyawa lagi.
"Keparat..!" geram Adipati Mahesa melihat Tumenggung Baliga tewas seketika begitu cepat.
Sementara Bayu sudah berdiri tegak sambil tersenyum tipis. Sedangkan di samping Prabu Bojananta, Tiren berjingkrakan sambil mencerecet ribut menyambut kemenangan Pendekar Pulau Neraka.
"Kubunuh kau, Bocah Keparat, Hiyaaat..!"
Adipati Mahesa benar-benar meluap kemarahannya, begitu melihat Tumenggung Baliga tewas ditangan Pendekar Pulau Neraka. Bagaikan kilat, dia langsung melompat menyerang. Pada saat yang bersamaan, Paman Waragati sudah melompat menghadang Tumenggung Abiguna.
Sret!
Tumenggung Abiguna langsung mencabut pedangnya. Dia tahu, siapa yang harus dihadapinya. Seorang tokoh utama Kerajaan Godaka yang memiliki kepandaian tinggi sekali. Bahkan tingkat kepandaian Adipati Mahesa sendiri hanya satu tingkat saja di atas tingkat kepandaian Paman Waragati yang dulu menjabat panglima perang kerajaan ini. Dan begitu Prabu Podaralaga turun takhta dan digantikan putra tunggalnya, Paman Waragati langsung mengundurkan diri dari jabatannya sebagai panglima. Kini dia mengkhususkan diri untuk mengurus padepokannya.
"Kau lawanku, Tumenggung Abiguna," desis Paman Waragati.
"Phuih!" Tumenggung Abiguna menyemburkan ludahnya.
Mata Tumenggung Abiguna melirik ke kanan dan ke kiri. Sementara itu, Adipati Mahesa sudah bertarung ketat melawan Pendekar Pulau Neraka. Bahkan Adipati Mahesa sudah mengeluarkan senjata andalannya, berupa pedang perak yang cahayanya berkilatan menyilaukan mata.
"Kalian semua! Seraaang...!" teriak Tumenggung Abiguna tiba-tiba, begitu keras dan menggelegar.
"Hancurkan semuanya...!"
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Seketika itu juga, orang-orang berpakaian seperti prajurit yang memang sejak tadi sudah menunggu perintah, langsung berhamburan sambil berteriak-teriak mengangkat senjata. Melihat itu semua, Paman Waragati segera memerintahkan seluruh muridnya untuk menghadang. Tapi belum juga semua orang berpakaian serba hitam itu bergerak, tiba-tiba saja dari atas atap bangunan istana berhamburan ratusan anak panah ke arah para prajurit pembangkang.
"Setan keparat..!" desis Tumenggung Abiguna menggeram.
Tumenggung itu terkejut setengah mati. Karena tiba-tiba saja, dari atap bangunan istana bermunculan para prajurit yang, sejak tadi tidak kelihatan. Bahkan langsung menghujani para prajurit pembangkang dengan anak-anak panah. Pada saat itu, dinding kanan istana tiba-tiba saja bergerak menggeser ke samping. Maka dari dalam dinding itu tiba-tiba berhamburan para prajurit kerajaan yang selama ini seperti menghilang.
Rupanya, dinding itu merupakan pintu rahasia dari sebuah lorong yang besar dan panjang. Dan rupanya pula, para prajurit bersembunyi di sana. Kini mereka keluar, dan langsung berhamburan menyerbu prajurit-prajurit pembangkang yang kini malah jadi ciut nyalinya. Melihat ini semua, Tumenggung Abiguna jadi kelabakan. Terlebih lagi, para prajuritnya jadi kacau tak terkendali. Jerit pekik melengking tinggi dan menyayat terdengar saling sambut membelah angkasa yang terselimut kabut tebal. Pada saat itu juga, semua murid Paman Waragati langsung berlarian, masuk ke dalam kancah pertempuran tanpa diperintah lagi. Dan ini membuat para prajurit pembangkang semakin kelabakan tak terkendali lagi.

* * * * *



Pertempuran di alun-alun Istana Godaka itu memang tidak dapat dihindari lagi. Para prajurit kerajaan yang langsung dipimpin Panglima Gajah Pati, bertarung penuh semangat Tubuh-tubuh berlumuran darah, bergelimpangan diiringi jerit dan pekikan melengking tinggi yang saling susul tiada henti. Dan Paman Waragati pun sudah menyerang Tumenggung Abiguna yang jadi kelabakan melihat keadaan yang tidak diduga-duga ini.
Memang tidak ada yang menduga kalau para prajurit kerajaan sejak tadi menunggu saat yang tepat untuk menghadapi para pemberontak. Dan mereka baru muncul setelah tokoh-tokoh kerajaan yang dibantu Pendekar Pulau Neraka melakukan tindakan.
Sementara itu terlihat Panglima Gajah Pati berlari-lari menghampiri Prabu Bojananta yang kini sudah berdiri di anak tangga pertama istana, sambil memandangi pertempuran yang tidak diduga sama sekali akan terjadi seperti ini. Dan juga tidak disangka kalau para prajuritnya yang setia masih ada. Bahkan menunggu saat yang tepat untuk menghancurkan para pemberontak.
"Gusti Prabu tidak apa-apa...?" tanya Panglima Gajah Pati setelah dekat di depan Prabu Bojananta.
"Tidak. Tapi, aku tidak mungkin bisa ikut berperang," sahut Prabu Bojananta.
"Para prajurit sudah mampu mengatasinya, Gusti."
Prabu Bojananta menatap Panglima Gajah Pati, Hanya Panglima Gajah Pati yang tetap setia. Bahkan mampu memimpin para prajurit yahg masih berjumlah ratusan itu untuk menggempur para pembangkang.
"Bagaimana kau bisa tahu ada ruangan rahasia, Paman?" tanya Prabu Bojananta.
"Sebelum dibunuh, Gusti Ayahanda Prabu telah memberitahukan hamba, Gusti Prabu. Dan ternyata, memang berguna dalam keadaan genting seperti ini. Hamba sengaja memasukkan para prajurit ke sana sedikit demi sedikit, sehingga kelihatannya jumlah prajurit semakin berkurang. Dan itu atas perintah Gusti Ayahanda Prabu. Hamba hanya menjalankan perintah saja, Gusti Prabu," jelas PangBma Gajah Pati.
Prabu Bojananta menghembuskan napas panjang.
"Lalu, bagaimana keadaan para Adipati dan Tumenggung yang berada di dalam tahanan?" tanya Panglima Gajah Pati lagi.
"Mereka dalam keadaan selamat, Gusti Prabu. Mereka juga berada di ruangan rahasia yang lain. Semua hamba lakukan pada saat yang tepat, ketika mereka datang menyerang. Dan hanya ada satu regu prajurit saja yang belum hamba selamatkan, hingga akhirnya harus bertempur."
"Hm...," Prabu Bojananta menggumam perlahan.
Entah apa yang ada dalam pikirannya saat ini. Tapi yang jelas, rasa kagum pada ayahnya semakin bertambah atas kejadian ini. Memang, Prabu Bojananta tidak tahu kalau ayahnya sudah bisa mencium adanya pemberontakan ini, sehingga melakukan tindakan sangat tepat untuk menyelamatkan tahta dari kehancuran.
Sementara itu pertarungan terus berlangsung. Dan sudah jelas kalau para prajurit kerajaan benar-benar menguasai jalannya pertempuran. Sudah lebih dari separuh jumlah pemberontak yang tewas. Dan mereka semakin tak mampu lagi menahan gempuran para pra-jurit kerajaan yang begitu penuh semangat dalam pertempuran ini
Sedangkan di lain tempat, tampak Paman Waragati juga sudah berada di atas angin. Beberapa kali pukulan-pukulan kerasnya yang bertenaga dalam tinggi berhasil disarangkan ketubuh Tumenggung Abiguna. Tampak sekali kalau Tumenggung itu tidak mampu lagi menahan serangan-serangannya. Hingga akhirnya....
"Tamat riwayatmu, Abiguna! Hiyaaa...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, Paman Waragati melompat cepat sambil mengebutkan pedangnya ke arah dada Tumenggung Abiguna. Begitu cepat serangannya sehingga tidak ada lagi kesempatan bagi Tumenggung Abiguna untuk berkelit menghindar. Dan...
Bresss!
"Aaakh...!" Tumenggung Abiguna menjerit keras melengking tinggi.
Tubuhnya terhuyung-huyung sambil mendekap dadanya yang terbelah. Darah mengucur deras dari sela-sela jari tangan yang mendekap dada. Sementara itu, Paman Waragati sudah mengangkat pedangnya di atas kepala. Ujungnya tertuju lurus ke depan. Sedangkan sorot matanya tajam menusuk.
"Hiyaaat..!"
Bagaikan kilat, Paman Waragati melompat ke arah Tumenggung Abiguna. Dan secepat kilat pula, pedangnya dibabatkan ke leher tumenggung pembangkang itu.
Crasss!
"Aaa...!" lagi-lagi Tumenggung Abiguna menjerit melengking tinggi.
Hanya sebentar saja dia masih mampu bertahan berdiri, kemudian tubuhnya limbung. Tumenggung Abiguna ambruk menggelepar di tanah dengan leher terpenggal hampir buntung. Darah menyembur deras keluar dari dada dan lehemya. Tak berapa lama kemudian, Tumenggung Abiguna sudah tak bergerak-gerak lagi. Saat itu juga nyawanya melayang dari raga.
"Hhh...!" Paman Waragati menghembuskan napas berat
Laki-laki setengah baya itu berdiri tegak menatap mayat Tumenggung Abiguna, kemudian berpaling menatap ke arah pertarungan. Tampak Adipati Mahesa dan Pendekar Pulau Neraka masih bertarung sengtt, menggunakan jurus-jurus dahsyat tingkat tinggi Se-mentara, pertarungan antara prajurit sudah berhenti.
Para prajurit pembangkang yang merasa tidak ada gunanya lagi melawan segera melemparkan senjata, langsung berlutut menyerah. Panglima Gajah Pati segera mengambil alih. Diperintahkannya para prajurit untuk melucuti senjata para pembangkang itu. Kemudian, mereka dikumpulkan di tempat yang tidak dipenuhi mayat yang bergelimpangan saling tumpang tindih.

* * * * *



Sementara itu Bayu masih terus bertarung sengit melawan Adipati Mahesa. Dan tampaknya, Pendekar Pulau Neraka memang sengaja memperlambat jalannya pertarungan hingga seluruh pertempuran benar-benar terhenti
"Hup...!"
Bayu segera melompat mundur, keluar dari pertarungan begitu melihat seluruh pertarungan sudah berhenti. Beberapa kali Pendekar Pulau Neraka melakukan putaran di udara. Lalu, manis sekali menjejakkan kakinya di tanah, sekitar dua batang tombak jaraknya dari Adipati Mahesa.
"Tidak ada gunanya lagi melawan, Adipati Mahesa. Kau lihat sendiri, tidak ada lagi yang mendukungmu," kata Bayu kalem.
Adipati Mahesa tampak terkejut setengah mati begitu mengedarkan pandangan ke sekeliling. Sungguh tidak disangka kalau para prajuritnya sudah takluk. Dan sekarang, tinggal dia sendiri yang masih bertarung dengan Pendekar Pulau Neraka. Yang lebih mengejutkan lagi adalah kemunculan para prajurit kerajaan yang tidak diduga sama sekali. Bahkan dikira seluruh prajurit sudah kabur begitu istana ini diserangnya. Tapi kenyataannya, mereka muncul dan berhasil menaklukkan prajuritnya yang sudah terlatih.
"Persetan dengan kalian semua! Kalian harus mampus...!" geram Adipati Mahesa.
Seketika itu juga, Adipati Mahesa mengangkat pedangnya ke atas kepala. Senjata itu diputar cepat, hingga bentuknya tak terlihat lagi. Hanya lingkaran keperakan saja yang terlihat memayungi kepalanya.
"Gila...! Dia mengeluarkan aji 'Guntur Pembelah Bumi'...," desis Paman Waragati yang begitu mengenali jurus-jurus dan aji kesaktian yang dimiliki Adipati Mahesa.
Dan Paman Waragati tahu kalau ajian yang akan dikeluarkan Adipati Mahesa bisa membunuh siapa saja yang ada di dekatnya. Bahkan dalam jarak dua puluh tombak darinya. Itu berarti, semua yang ada di alun-alun depan istana ini akan mati. Bahkan juga ba-ngunan istana ini bisa hancur jadi puing. Dan selama ini, belum ada yang bisa mengalahkan aji 'Guntur Pembelah Bumi' yang begitu dahsyat.
Bayu yang mulai merasakan akan adanya ajian dahsyat yang sangat berbahaya, segera merentangkan kakinya lebar-lebar ke samping. Lalu tubuhnya direndahkan hingga agak terbungkuk ke depan. Sementara tangan kanannya disilangkan ke depan dada. Lalu....
"Hiyaaa...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, Pendekar Pulau Neraka menghentakkan tangan kanannya ke depan. Seketika itu juga, Cakra Maut yang selalu menempel di pergelangan tangannya melesat cepat bagai kilat ke arah pergelangan tangan Adipati Mahesa yang berada di atas kepala. Pedangnya tampak cepat sekali di atas dada.
Wusss...!
Cras!
"Akh...!" Adipati Mahesa terpekik keras agak tertahan.
Sungguh tidak disangka kalau pemuda berbaju kulit harimau itu akan menyerang begitu cepat luar biasa. Sehingga, Cakra Maut yang melesat begitu cepat tidak bisa lagi terlihat Dan senjata maut Pendekar Pulau Neraka itu langsung menghantam pergelangan tangannya.
Begitu dahsyat senjata Cakra Maut itu, sehingga kedua pergelangan tangan Adipati Mahesa terpenggal buntung. Sementara, pedangnya langsung jatuh ke tanah. Darah kontan mengucur dari kedua pergelangan tangan yang terpenggal buntung oleh Cakra Maut yang dilemparkan Pendekar Pulau Neraka.
"Keparat..! Setan kau...!" desis Adipati Mahesa menggeram berang.
Darah semakin banyak keluar dari kedua pergelangan tangan Adipati Mahesa yang buntung. Tanpa tangan lagi, Adipati Mahesa memang tidak bisa berbuat apa-apa. Bahkan untuk menghentikan darahnya saja, tidak mampu lagi. Dan dia hanya dapat menggeram, memaki-maki Pendekar Pulau Neraka yang telah membuntungi kedua pergelangan tangannya.
Begitu banyak darah yang keluar, membuat pandangannya jadi berkunang-kunang, dan tubuhnya terhuyung-huyung limbung. Sementara itu, Bayu sudah mengangkat tangan kanannya ke atas kepala. Maka Cakra Maut kembali menempel di pergelangan tangan kanannya.
"Setan...! Kubunuh kau, Bocah Keparat..!" geram Adipati Mahesa masih mencoba bertahan.
"Hiyaaat..!"
Tiba-tiba saja adipati itu berbuat nekat, melompat cepat dengan sisa-sisa kekuatannya yang ada. Meskipun kedua pergelangan tangannya buntung bercucuran darah, dia masih berusaha melepaskan beberapa pukulan beruntun. Tapi Bayu lebih cepat lagi bertindak Sambil membungkukkan tubuhnya, kembali tangan kanannya dihentakkan ke depan dengan cepat
"Hiyaaa...!"
Wusss!
Kembali Cakra Maut melesat cepat dari pergelangan tangan kanannya, dan langsung menerjang dada Adipati Mahesa yang kosong tak terlindung sama sekali.
Crab!
"Aaakh...!"
Adipati Mahesa terpental ke belakang diterjang Cakra Maut yang dilepaskan Bayu, disertai pengerahan tenaga dalam yang sempurna sekali. Keras sekali tubuh adipati itu terbanting ke tanah. Dan begitu Pendekar Pulau Neraka menghentakkan tangan kanannya ke atas kepala, Cakra Maut yang tenggelam di dada Adipati Mahesa kembali melesat cepat Dan kini, senjata itu kembali menempel di pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka.
Sementara Adipati Mahesa terus menggelepar sambil menggerung-gerung meregang nyawa. Beberapa saat kemudian, tubuhnya mengejang kaku, lalu diam tak bergerak-gerak lagi Kini, nyawanya melayang dari raganya. Bayu berdiri tegak memandangi seakan-akan ingin memastikan kalau lawannya benar-benar sudah tewas. Pendekar Pulau Neraka baru berpaling begitu mendengar cerecet si Tiren yang berjingkrakan di tangga istana, tidak jauh di samping Prabu Bojananta.

Episode berikutnya:
Dewi Asmara Darah

S E L E S A I



INDEX PENDEKAR PULAU NERAKA
Pedang Kawa Hijau --oo0oo-- Dewi Asmara Darah


Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.