Setan Alam Kubur
tanztj
May 01, 2014
INDEX PENDEKAR RAJAWALI SAKTI | |
Harpa Neraka --oo0oo-- Gadis Serigala |
RANGGA PATI
Pendekar Rajawali Sakti
Karya: Teguh .S
EP:SETAN ALAM KUBUR
Pendekar Rajawali Sakti
Karya: Teguh .S
EP:SETAN ALAM KUBUR
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
①
"Oh, Jagad Dewa Batara... selamatkanlah diriku dari kejaran mereka..." keluhnya diantara nafasnya yang tersengal. Tak terasa langkah pemuda itu mendaki se-buah bebukitan di pinggir sebuah hutan yang ger-sang. Namun menuju lebih jauh ke dalam, pe-pohonan semakin lebat dan cahaya matahari senja itu seperti tak mampu menerobos ke dalam. Suasana mulai terasa suram dan gelap mewarnai isi hutan. Menuju ke sebuah lembah, pemuda itu se?makin tak peduli dengan keadaan sekelilingnya. Padahal tempat itu terlihat seram dan seperti tak dihuni manusia.
"Aduh!"
"Bruk!" Sebuah batu kerikil mcnyandung kaki mem?buat tubuhnya terhempas di atas sebuah gun-dukan tanah. Nafasnya terengah, dan tak ter?lihat dia berusaha bangkit. Pemuda berusia sekitar dua puluh delapan tahun itu seperti hendak melepaskan lelah dalam keadaan tengkurap. Darah yang mengucur dari luka di tubuh?nya masih menetes dan membasahi gundukan tanah yang kering, langsung merembes ke dalam seperti terhisap.
"Oooh... tempat apakah ini" He..."!" Pemuda itu baru menyadari adanya sebatang tonggak kayu di ujung gundukan tanah yang di-tidurinya.
"Sebuah nisan" Jadi... jadi...." Keheranannya segera berlanjut dengan ke-anehan yang mulai dirasakan. Pelan-pelan gun?dukan tanah yang ditidurinya bergerak ke atas dan terbelah. Bukan main kagetnya pemuda itu. Buru-buru dia bangkit dengan mulut terganga dan sepasang matanya terbelalak. Gundukan ta?nah yang tak lain dari sebuah makam itu betul-betul terbongkar. Sebuah tangan menyembul. Wajah pemuda itu semakin tegang. Jantungnya berdetak lebih kencang dengan bulu kuduk semakin tegak berdiri.
"Bruak!"
"Astaga...!"
"Ha ha ha ha...! Bebas... kini bebaslah aku dari segala kematian yang telah membelenggu selama berabad-abad lamanya! Kini tak seorang pun boleh membuat aku kembali mati! Tak se?orang pun kubiarkan membuatku mati...! ha ha ha ha...!" Suara tawa itu menggelegar dan memekakan telinga dari sesosok tubuh yang tiba-tiba melom-pat dari dalam makam itu. Wajahnya hitam dan dekil, serta tubuhnya kurus bagai kulit pembalut tulang saja. Sepasang matanya tampak cekung dengan sorot yang menakutkan. Hidungnya nya-ris rata dengan wajah meninggalkan dua buah lubang. Kepalanya gundul dengan rambut yang menjuntai beberapa helai. Sementara tubuhnya dibungkus oleh baju longgar yang telah tercabik-cabik di sana-sini. Dari kesepuluh jari tangan dan kakinya terlihat kuku-kuku yang runcing dan tajam. Setelah selesai tertawa sepuas hatinya, dia mengeram buas sambil berpaling pada sesosok tubuh yang tergeletak diam tak bergerak di de-katnya. Di periksanya tubuh itu, kemudian se?telah yakin bahwa orang tersebut tak bernyawa, diangkatnya kemudian dia jebloskannya ke dalam liang kubur tempatnya tadi berada.
"Terima kasih, Kisanak. Kau telah menolongku dengan menyumbangkan darah bagi kehidupanku, kalau tidak karenamu, tentu aku? belum bangkit saat ini...." Ditimbunnya kembali lubang itu hingga men-jadi gundukan, kemudian sebelum berlalu dari tempat itu, sempat dia mengeram dengan suara nyaring.
"Ha ha ha ha...! Kulihat tubuhmu penuh luka, dan darahmu terlalu banyak tumpah. Kurasakan pula peluh dari hela nafasmu yang memburu. Kau seperti sedang dikejar sesuatu yang menakutkan. Aku tak biasa berbuat kebaikan untuk orang lain. Tapi karena kau telah menolongku, biarlah kubantu? kau ?membalaskan sakit? hatimu pada mereka yang telah menyakitimu." Setelah berkata begitu, orang tersebut langsung melesat meninggalkan tempat itu de?ngan kecepatan yang sulit diikuti oleh mata biasa. Apa yang terjadi sebenarnya dengan pe?muda itu" Pada saat tubuhnya tiba di tempat ini, kekuatannya telah lemah karena darah yang mengucur di tubuhnya terlalu banyak keluar akibat luka yang di deritanya. Kemudian ketika menyaksikan pemandangan yang mengerikan di depan matanya, tak ayal lagi. Keterkejutan bercampur dengan rasa takut yang hebat bukan saja membuat dia tak sadarkan diri, tapi lebih jauh dari itu membuat jantungnya berhenti berdenyut yang berakibat nyawanya terhenti seketika.
* * * * *
Lebih dari lima belas orang yang mengenakan ikat kepala bergambar tengkorak tampak menghentikan langkah. Seseorang yang bertubuh besar memegang sebuah golok besar di tangan. Wajahnya tampak beringas dan sadis., "Setan! Kemana dia melarikan diri"!" umpat-nya sambil duduk di sebuah batu.
"Di telan setan penghuni hutan itu barang-kali!" tunjuk salah seorang yang berada di dekat-nya sambil mendengus geram.
"Bagaimana sekarang, Jolo Kerot" Apakah akan kita cari dia sampai ketemu?" tanya salah seorang yang bertubuh kurus pada temannya yang bertubuh besar itu. Jolo Kerot membuang ludah sambil menya-rungkan goloknya di punggung. Sepasang mata?nya tajam menatap ke dalam hutan di dekat mereka, sebelum menjawab.
"Puih! Sebelum keparat itu ditemukan, jangan harap kita bisa pulang dengan selamat. Percuma saja. Jala Tunda pasti tak akan mengampuni jiwa kita."
"Tapi kemana lagi harus kita cari?"
"Kita akan masuk ke dalam!"
"Apa"!" Beberapa orang yang mendengar kata-kata Jolo Kerot terbelalak kaget. Wajah mereka tam?pak pucat, dan rona kekhawatiran mulai mem-bayang.
"Kenapa" Kalian takut"!" suara Jolo Kerot tampak marah.
"Bukan begitu. Tapi Hutan Alas Dandaka terkenal seram dan menakutkan. Tak pernah seorang pun yang keluar selamat dari tempat itu," sahut salah seorang yang bernama Pari Kelor.
"Pari Kelor, kau laki-laki dan juga anggota Tengkorak Merah. Tahu akibatnya kalau Jala Tunda mengetahui kita tak membawa pulang si penghianat itu hidup atau mati"!" Pari Kelor bergidik ngeri. Jala Tunda adalah Ketua Perguruan Tengkorak Merah yang ter?kenal kejam. Sekali dia memberi perintah, maka hal itu harus di kerjakan sampai tuntas. Sedikit saja gagal, hukuman yang berat akan menimpa mereka. Bahkan tak jarang Jala Tunda memenggai kepala anak buahnya sendiri. Tak heran bila mereka begitu khawatir saat Jolo Kerot mengingalkan hal itu.
"Mari kita berangkat sekarang!" ajak Jolo Kerot sambil bangkit berdiri. Teman-temannya segera mengikuti dari be?lakang dengan langkah lesu. Baru berjalan be?berapa langkah, sekonyong-konyong melesat se?sosok bayangan di depan mereka. Serentak se-muanya terkejut dan langsung mencabut golok?nya masing-masing.
"Ha ha ha ha ...! Cecurut-cecurut busuk berkeliaran tak tentu rimba. Apa yang kalian cari disini"!"
"Siapa kau"!" bentak Jolo Kerot. Di depan mereka telah berdiri sesosok tubuh yang amat mengerikan seperti mayat hidup. Tu?buhnya kurus kering berwarna hitam legam. Ke-palanya botak dengan beberapa helai rambut. Se?pasang matanya tampak cekung dengan hidung rata meninggalkan dua buah lubang. Bibirnya se?perti tak terlihat seperti kulit yang robek saja. Pakaiannya compang-camping tak berbentuk.
"Tikus buduk. Ditanya malah balik bertanya!" bentak sesosok tubuh itu marah.
"Kurang ajar!" Jolo Kerot langsung mencabut goloknya dengan wajah bcrang.
"Ha ha ha ha...! Kau mencabut senjatamu untuk apa" Mau membunuhku" bagus... bagus! Ayo, bacoklah aku sepuas hatimu sebelum kalian kukirim ke akherat!" sahut sesosok tubuh itu sambil terbahak-bahak menganggap enteng.
"Bedebah!" Salah seorang dari anggota Perguruan Teng?korak Merah langsung menyerang dengan wajah geram.
"Ha ha ha ha...! Satu orang ingin mampus di tangan Setan Alam Kubur, kenapa tidak semua-nya saja?"
"Tap!"
"Trak!"
"Jross!"
"Aaaa...!" Orang yang menamakan dirinya sebagai Se?tan Alam Kubur itu tenang-tenang saja begitu melihat dirinya diserang dengan golok terhunus. Tanpa berkelit, dua jari tangan kanannya menangkap mata golok lawan dan dengan mudah dipatahkannya. Sementara bersamaan dengan itu dua jari tangan kirinya bergerak cepat menyam-bar dahi lawan. Tak ampun lagi. Kedua jarinya yang memiliki kuku-kuku yang tajam dan runcing menembus dahi lawan. Orang itu tcrpekik ke-sakitan. Setan Alam Kubur langsung mengayun-kan kaki menendang dadanya.
"Hei"!" Jolo Kerot terkejut. Begitu juga dengan teman-temannya yang lain ketika mengetahui tu?buh Selan Alam Kubur telah tak bernyawa begitu menyentuh tanah.
"Siapa kau sebenarnya dan kenapa begitu ke?jam turun tangan pada teman kami"!" tanya Jolo Kerot garang.
"Siapa kalian dan cari apa di sini?" bentak Setan Alam Kubur. Tak kalah garang.
"Setan...!" Pari Kelor sudah mulai panas dan mencabut golok untuk menyerang. Tapi Jolo Kerot men-cegahnya. Meski hatinya pun geram bukan main tapi sebagai pimpinan rombongan ini dia harus mampu menahan sabar. Dua kali Setan Alam Ku?bur itu ditanya, tapi saat itu juga dia malah balik bertanya. Melihat cara dia membuat tewas salah seorang teman mereka, pastilah dia memiliki ilmu olah kanuragan yang tak bisa dibuat sem-barangan.
"Kami dari Perguruan Tengkorak Merah, dan aku Jolo Kerot yang memimpin rombongan ini. Kehadiran kami ke sini adalah untuk mencari salah seorang murid Tengkorak Merah yang telah berkhianat. Ki Jala Tunda, guru besar kami me-merintahkan untuk menghukum mati orang itu dan membawa pulang mayatnya sebagai bukti," sahut Jolo Kerot menjelaskan.
"Pemuda yang seluruh tubuhnya penuh luka?" selidik Setan Alam Kubur dengan suara khasnya yang parau.
"Heh" Apakah kau mengetahui di mana dia?" lanya Jolo kerol bersemangat.
"Ha ha ha ha...! Pucuk dicinta ulam tiba. Ini dia rupanya manusia-manusia yang mesti kubuat mampus!" Selan Alam Kubur tertawa terbahak-bahak dengan suara yang memekakan telinga. Jolo Kerot tersentak kaget. Dia telah ber?usaha untuk bersikap manis. Tapi yang mereka terima justru kata-kata yang mengancam dan menganggap remeh. Maka karena pada dasarnya dia memang pemarah, Jolo Kerot langsung membentak garang.
"Manusia bangkai tak tahu diri. Di perlaku-kan baik kau malah mengancam, kau pikir kami takut denganmu!" Satu hal yang membuat mereka tadi terkejut dengan kehadiran Setan Alam Kubur adalah bau busuk yang menyertai tubuhnya. Hal itu baru te?rasa setelah orang-orang itu hilang dari ke-terkejutannya menyaksikan wajah yang me-nyeramkan dan tawa yang membuat jantung ber?detak lebih kencang, "Heh! Mata Setan Alam Kubur melotot garang.
"Setan!" maki Jolo Kerot.
"Seraaang...!" Pari Kelor langsung memberi aba-aba.
"Yeaaah...!"
"Ha ha ha ha...! Ketahuilah, orang yang kalian cari itu telah mampus." Tapi kematiannya justru menolongku hadir di muka bumi ini kembali. Paling tidak dia telah menanam budi dan aku ingin membalasnya dengan membalaskan sakit hatinya pada kalian!" sahut Setan Alam Kubur sambil bergerak cepat menghindari serangan lawan. Tubuhnya mengapung seperti sehelai bulu tertiup angin, kemudian melesat cepat bagai anak panah menyambar sasaran.
"Prak!"
"Crass!"
"Aaaa...!"
"Ha ha ha ha...! Mampuslah kalian... mam?pus! Setan Alam Kubur kembali berpesta dengan setiap cucuran darah yang mengalir di tubuhmu!" Apa yang dilakukan Setan Alam Kubur ter-hadap murid-murid Perguruan Tengkorak Merah sangat mengagumkan, sekaligus mengerikan. Ke?sepuluh jari-jari tangan dan ditambah dengan jari-jari kakinya menyambar-nyambar leher, dahi, dan jantung lawan. Dalam sekejap saja pekik kematian memecahkan tepi hutan yang tadi sepi. Darah mulai membanjir dan sepuluh orang tewas dengan tubuh mengerikan seperti tercabik-cabik kawanan serigala.
"Keparat!" Jolo Kerot memaki saat dua orang temannya kembali tewas, dan Setan Alam Kubur masih saja tertawa-tawa.
"Jangan memaki kau, Tikus buduk! Sini ma-kan bagianmu!" bentak Setan Alam Kubur sambil menyambar tubuh Jolo Kerot.
"Trak!"
"Cras!"
"Aaaa...!" Jolo Kerot memekik nyaring. Seperti tak per-caya bahwa lawan mampu bergerak secepat itu. Begitu goloknya melesat, Setan Alam Kubur hanya menjentikkan kukunya yang panjang. Golok di tangannya bergetar membuatnya tersentak kaget. Saat itu pula kuku-kuku jari tangan kiri lawan me?nyambar tenggorokannya. Jolo Kerot cuma mampu menjerit tertahan. Kepalanya terkulai ketika lehernya robek lebar. Tubuhnya menggelepar-gelepar di tanah seperti ayam di sembelih sebelum akhirnya diam tak bergerak seiring dengan nafasnya yang terhenti untuk selama-lamanya.
"Ha ha ha ha...!" Setan Alam Kubur tertawa lebar.
"Keparat! Kita serang dia bersama-sama!" maki Pari Kelor sambil mengajak kedua teman?nya yang masih tersisa. Dua orang menyerang, tapi temannya yang seorang lagi agaknya mulai ciut nyalinya. Tanpa memperdulikan temannya, dia melarikan diri. Pari Kelor cuma bisa menyumpah-nyumpah.
"Ha ha ha ha...! Tak apa dia kabur, tapi kalian berdua jangan harap bisa lepas dari ceng-keramanku. Yeaaa...!" Tubuh Setan Alam Kubur melesat cepat ba?gai anak panah sambil menyebarkan bau busuk. Pari Kelor dan temannya bersiap sambil meng-ayunkan golok.
"Bret! Bret!"
"Aaaa...!" Dengan lincah tubuh Setan Alam Kubur menghindari sabetan golok lawan. Tubuhnya menggelinjang dan cakar tangannya merobek pe-rut Pari Kelor, sedang cakar kakinya merobek leher lawan yang satu lagi. Keduanya terpekik kesakitan sambil terhuyung-huyung dan ke?mudian ambruk ke tanah. Setelah menggelepar-gelepar sesaat, keduanya meregang nyawa. Tapi saat itu pula tubuh Setan Alam Kubur telah hi?lang sambil meninggalkan tawa menyeramkan dan bau busuk yang menyengat.
"Ha ha ha ha...!"
* * * * *
֍֍֍[ 2 ]֎֎֎
"Eit, mau kemana kalian" Ayo, kembali bekerja dan potong padi-padi itu!" bentak salah seorang sambil mengacungkan golok.
"Belum menguning betul, Juragan. Mungkin dua atau tiga hari lagi, kalau dipotong sekarang hasilnya tak akan menguntungkan...." jawab salah seorang petani di antara beberapa orang yang berusaha kembali pulang.
"Jangan banyak bicara! kau pikir mataku buta"! Padi-padi itu telah siap dipanen dan hari ini langsung harus kalian antar pada Juragan Jala Tunda!"
"Tapi, Juragan...."
"Plak!" Orang bersenjata golok dengan hulu berben?tuk tengkorak itu langsung menampar muka si petani hingga berdarah. Si petani mengeluh kesakitan. Ujung bibir?nya terlihat pecah ketika dirabanya. Beberapa orang temannya terkejut dan menunjukkan wajah tak senang.
"Apa"! Kalian mau melawan" Ayo kemari ka?lau mau kuhajar!" bentak orang bergolok itu garang. Tak seorang pun yang berani bersuara. Pe-tani-petani itu menyadari tak ada gunanya me?reka melawan. Orang-orang ini kejam tak kenal perikemanusiaan, maka dengan langkah pelan mereka kembali bubar menuju sawah. Orang itu menyarungkan goloknya sambil mendengus pelan.
"Dasar kerbau-kerbau dungu, mau ber-tingkah lagi. Huh...!" Petani itu sebenarnya masih untung hanya mendapat tamparan, karena pada saat yang ham-pir bersamaan, salah seorang temannya terlihat dihajar habis-habisan oleh salah seorang yang bergolok dengan hulu tengkorak juga. Tubuhnya jatuh bangun berkubang dalam, lumpur.
"Ayo bangun! Sini kau biar kuberi pelajaran lagi. Berani-beraninya kau berkata begitu. Ingat! Kalian telah berhutang budi pada Juragan Jala Tunda. Sudah sepatutnya kalian menjual semua hasil padi ini dengan harga murah."
"Tapi, Den... Juragan Jala Tunda membayar dengan harga yang amat murah sekali. Kami hanya ingin...."
"Duk!"
"Akh...!" Seorang petani yang ingin bicara langsung terkena tendangan orang itu. Tubuhnya terje-rembab dalam lumpur sambil mengeluh ke?sakitan.
"Siapa lagi yang mau membantah ketentuanyang telah di tetapkan Juragan Jala Tunda"!" bentak orang bergolok itu sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling. Wajahnya mendengus sinis sambil bertolak pinggang dengan pongah. Tak seorang pun di antara petani-petani itu yang berani buka mulut. Nyali mereka ciut melihat beberapa orang teman?nya di hajar orang-orang bergolok itu.
"Nah, kalau begitu kembali bekerja se?karang! jangan sampai golokku menebas batang leher kalian!" bentaknya lagi.
"Den... kami petani kecil yang hidup serba kekurangan. Betul Juragan Jala Tunda telah membantu banyak, tapi sangat tak seimbang bila kami mendapat sedikit sekali dari hasil kerja ke-ras selama berbulan-bulan..." sahut satu suara dengan nada memelas.
"Heh"!" Sepasang alis orang itu naik tinggi ketika dia menoleh pada seorang pemuda kurus yang baru saja buka suara.
"Hm, besar juga nyalimu bicara begitu..." de-ngusnya sambil mendekati pemuda kurus yang sedang memegang arit di tangannya.
"Maaf, Den... saya tak bermaksud bicara ka-sar. Tapi mohon kemurahan hati Juragan Jala Tunda untuk membeli hasil padi kami dengan harga yang pantas...."
"Pantas Bapak Moyangmu...!"
"Uts!" Petani bertubuh kurus itu rupanya memiliki sedikit ilmu kepandaian olah kanuragan, karena begitu mendekat, orang bergolok itu langsung
?mengirim satu sodokan ke dadanya, tapi dengan mudah dielakkan.
"Pantas kau berani buka mulut besar. Berisi juga kau rupanya..." ejek orang bergolok itu yang tak lain dari murid Perguruan Tengkorak Merah.
"Maaf, Den. Saya tetap seorang petani, tapi berhak pula membela diri kalau Aden hendak berbuat kasar..." sahut petani muda itu merendah.
"Kendil Lapis, sudahlah. Jangan membuatkeruh keadaan..." ucap salah seorang petani ber?usia tua mengingatkan.
"Tidak apa, Pak. Mata mereka harus dibuka agar tak seenaknya menurunkan tangan kasar pada kita...."
"Tapi kau akan celaka sendiri." Pemuda itu tak menyahut. Dia telah bergerak cepat menghindar dari serangan orang bergolok itu yang dengan bernafsu menyerangnya kembali sambil mencabut golok.
"Mampus kau!"??? "Uts!"
"Plak!"
"Des!" ?"Akhhh...!" Orang bergolok itu menjerit keras. Golok di tangannya terlepas ditangkis pemuda kurus itudan satu depakan keras bersarang di perut mem?buat tubuhnya yang gendut mulai limbung dan terjerembab di kubangan lumpur sawah. Beberapa orang petani tak kuat menahan geli, ada yang tertawa tertahan. Karena orang itu jatuh bukan hanya mengotori tubuhnya saja, tapi dalam keadaan muka terbenam di lumpur. Se-hingga ketika dia bangkit jadi kelihatan lucu bagi para petani itu.
"Diam! Berani kau berbuat begitu. Mampus?lah bagianmu, bocah keparat!" bentak salah se?orang yang merupakan teihan orang-orang ber?golok itu. Si pemuda itu bersiap ketika salah seorang mendekatinya dengan wajah garang. Tubuhnya besar dengan kumis tebal. Pada bagian dadanya terbuka hingga terlihat bulu dadanya yang rimbun dan lebat. Di pergelangan tangan kanannya melingkar sebuah gelang bahar yang berukuran besar. Sepasang matanya tampak merah dan menakutkan ketika dia memandang pemuda petani itu.
* * * * *
Para petani yang lain mulai khawatir ketika orang itu mendekati si pemuda, sebab siapapun kenal siapa orang itu sebenarnya. Dia tak lain dari Wiryo Keduro, salah seorang anak buah Jala Tunda yang kejam dan berilmu tinggi. Orang itu tak segan-segan mencabut nyawa siapa saja yang takdisukainya. Dan kebetulan dalam rombongan Tengkorak Merah yang berjumlah lebih dari se?puluh orang ini, dia menjadi pimpinan. Melihat salah seorang anak buahnya dipecundangi begitu, sudah cukup membuatnya tersinggung dan marah.
"Siapa kau" Agaknya kau orang baru di sini"!" bentak Wiryo Keduro sambil menyipitkan mata dengan wajah sinis.
"Namaku Kendil Lapis. Betul aku memang orang baru di sini, tapi tak berarti bisa berdiara diri melihat kekasaran kalian yang tak berperi-kemanusiaan," sahut Kendil Lapis tenang.
"Hm, pantas! Tapi bocah, kau keterlaluan, berani mencampuri urusan Juragan Jala Tunda. Bahkan mempermainkan salah seorang anak buahku. Kau tak punya kesempatan lain untuk memperbaiki kesalahanmu karena siapa pun yang berani berbuat begitu harus mampus!" Kata-kata Wiryo Keduro enteng saja. Tapi begitu selesai berbicara, tubuhnya langsung ber?gerak mengayunkan telapak tangan ke kepala Kendil Lapis.
"Yeaaa...!"
"Uts!"
"Plak!" Wiryo Keduro menyadari bahwa lawan me?miliki kepandaian yang cukup lumayan. Itulah sebabnya dia tak mau gegabah menyerang dengan sembarangan. Gerak tipunya berhasil dihindari pemuda itu dengan baik, bahkan ketika me-nangkis tadi terasa bahwa pemuda bertubuh ku?rus itu memiliki tenaga dalam yang dapat dian?dalkan. Kendil Lapis sendiri sebenarnya memang ter?lalu gegabah bertindak tanpa memikirkan akibat?nya. Dia belum mengetahui banyak tentang orang-orang Perguruan Tengkorak Merah selain dari cerita-cerita para petani saja. Lalu ketika berhasil menjatuhkan seorang dari mereka, keyakinannya semakin bertambah. Dengan kemampuan yang di milikinya saat ini tentu tak sukar untuk menghadapi yang lain. Begitu dia berpikir. Tapi yang terjadi saat ini sungguh mengejut-kan. Serangan yang dilakukan Wiryo Keduro be?rat dan ganas. Bahkan dalam beberapa kali ben-turan tangan terasa bahwa tenaga dalam lawan berada di atasnya, masih untung dia memiliki ilmu peringan tubuh yang dapat diandalkan, ka?lau tidak tentu scjak awal tubuhnya babak belur di hajar lawan. Bahkan tak mustahil akan me-renggut nyawanya!"
"Bagus! kau bisa bertahan dari dua jurus se-ranganku pertanda bahwa kau memiliki kepan?daian yang bisa diandalkan. Cukuplah sudah ka?rena kini saat kematianmu telah tiba. Yeaaa...!" Selesai berkata begitu Wiryo Keduro langsung merubah serangan. Kendil Lapis sendiri bukannya tak merasakan hal itu. Tubuhnya pontang-panting menghindari serangan lawan yang bertenaga kuat itu. Bahkan dalam satu kesem?patan,arit yang sejak tadi diselipkannya di ping?gang terpaksa digunakan untuk melindungi se-lembar nyawanya. Tapi hal itu sudah membuat geram Wiryo Keduro. Tanpa berpikir panjang lagi dia langsung mencabut golok dan menghajar senjata di tangan pemuda kurus itu.
"Trak!"
"Breeet!"
"Des!"
"Aaaakh...!" Seperti selcmbar daun kering tertiup angin, tubuh Kendil Lapis terhempas jauh terkena ten?dangan lawan sambil mengeluarkan jeritan ke?sakitan. Ketika senjata mereka beradu, golok la?wan berhasil membuat arit di tangannya patah. Kendil Lapis terkejut. Tangannya perih bukan main. Belum lagi dia memperbaiki keadaan, ujung golok Wiryo Keduro langsung menghajar dada. Masih untung dia sempat bergerak mundur sehingga dadanya cuma tergores saja. Tapi Wiryo Keduro tak berhenti sampai di situ. Kaki kanan?nya melayang sebagai serangan susuian dan tak dapat dielakan oleh Kendil Lapis.
"Mampus!" bentak Wiryo Keduro sambil me-lompat mengejar tubuh Kendil Lapis yang ter-hempas di kubangan lumpur. Bisa dipastikan dalam sesaat saja tubuh kurus itu akan tewas disabet golok Wiryo Keduro yang tak kenal ampun. Para petani yang lain sudah menarik nafas. Mereka cuma bisa berdo'a agar hal itu tak terjadi, namun harapan itu rasanya amat tipis sebab tak pernah sekalipun Wiryo Ke?duro mengampuni orang yang sedang berurusan dengannya.
"Tak!"
"Heh"!" Wiryo Keduro tersentak kaget. Sebuah ke?rikil sebesar kepalan anak kecil melesat menghantam mata goloknya hingga bergetar dan ter?tahan lajunya meski tak terlepas. Wajahnya lang?sung merah padam menahan geram. Buru-buru dia menoleh dari arah datangnya kerikil itu dan melihat seorang pemuda berambut memakai baju rompi putih. Sebatang pedang berhulu kepala burung tampak tersembul di punggungnya.
* * * * *
"Siapa kau berani mencampuri urusanku"!" bentak Wiryo Keduro garang.
"Ki sanak, aku cuma seorang pengembara. Kulihat anak muda itu sudah tak berdaya. Apa?kah kesalahannya hingga kau bermaksud me-renggut nyawanya?" tanya pemuda itu sopan de-ngan suara ramah bersahabat.
"Puih! Bocah kesasar! Apa urusannya kau mencampuri persoalanku" Pergilah kau dari sini dan teruskan perjalananmu sebelum kemarahan-ku berpindah padamu!" Pemuda yang tak lain dari Rangga alias Pen?dekar Rajawali Sakti itu tersenyum kecil.
"Ki sanak, sudilah kau mengampuninya. Dia sudah betul-betul tak berdaya, Setelah ilu ba-rulah aku akan melanjutkan perjalananku tanpa ada ganjalan memikirkan seorang anak manusia yang tak berdaya terhimpit kematian." sahut Rangga enteng.
"Keparat! jadi kau bermaksud mencampuri urusanku?" mata wiryo Keduro mendelik garang.
"Sama sekali tidak, Ki sanak. Aku cuma me-mohon belas kasihanmu untuk mengampuni se-lembar nyawanya...."
"Itu sama saja dengan mencampuri urusanku tahu! Kau tahu akibatnya jika ikut campur" Cuma ada satu, yaitu kematian!" lanjut Wiryo Keduro menggertak. Rangga mendecah sambil menggejengkan kepala.
"Ah, berat sekali akibatnya. Tapi tak apalah kalau kau menuduhku begitu. Aku sudah siap dengan akibatnya karena tahu betul bahwa nyawa manusia bukan berada di tanganmu."
"Bedebah! Omonganmu betul-betul mem?buatku ingin muntah. Rupanya kau sudah merasa hebat bisa menangkis golokku" Baik, Kau rasakan ini. Yeaaa...!" Wiryo Keduro agaknya tak bisa lagi menahan amarahnya. Sambil berteriak nyaring diserangnya Pendekar Rajawali Sakti dengan penuh nafsu. Goloknya berkelebat dengan cepat me?nyerang titik kelemahan di tubuh lawan. Melihat dari caranya memainkan senjata itu, terlihat bah?wa Wiryo Keduro sangat ahli dan amat menguasai permainan golok. Bahkan bisa tergolong dalam tokoh yang disegani, sebab tak sembarangan to?koh bisa melakukan apa yang dilakukannya saat ini ketika menyerang lawan. Kalau pun dia mengerahkan segenap kemam-puannya untuk menyerang lawan hanya karena pertama tadi dia telah dibuat malu di depan anak buahnya. Maka karena tak mau kejadian itu sam?pai terulang lagi, dia tak mau gegabah menyerang pemuda berbaju rompi putih itu dengan setengah hati.
"Uts!" Rangga dapat merasakan serangan-serangan lawan yang dahsyat dan berbahaya. Tak mem?buang waktu lagi dia langsung meladeni dengan jurus Sembilan Langkah Ajaib untuk menghin?dari serangan lawan yang gencar dan bertubi-tubi.
"Hm, pantas kau bertingkah. Rupanya kau pun memiliki kepandaian yang lumayan. Tapi percuma kau pamerkan di depan hidungku ka-rena nasibmu tak jauh berbeda dengan petani sok jago itu!" dengus Wiryo Keduro sangat yakin ka?lau dia sebentar lagi akan menjatuhkan pemuda itu.
"Bisa jadi begitu, Ki sanak. Tapi biarlah kali ini aku mengalah agar tak sama nasibku dengan petani itu. Mudah-mudahan kali ini per-untunganku sedang baik." sahut Rangga santai.
"Huh!"
"Hiyaaat...!"??? . Sambil berteriak nyaring Rangga mulai mem-balas dengan membuka jurus Rajawali Sakti tingkat pertama.
"Uts!"
"Plak!"
"Duk!"
"Akh!" Sekali kepalanya berkelit dari tebasan golok lawan, kepalan tangan kanannya langsung me-nyodok ke dada Wiryo Keduro ketika tangan kiri?nya menyambar pergelangan tangan lawan yang, menggenggam golok. Wiryo Keduro menjerit kesakitan sambil mendekap dada ketika tubuhnya bergerak lim?bung. Golok di tangannya terlepas dan pada saat yang bersamaan dadanya terasa nyeri terkena suatu hantaman yang keras bukan main.
"Keparat!" Wiryo Keduro memaki. Beberapa orang anak buahnya berusaha me-ngepung Rangga, tapi dengan cepat di cegahnya.
"Diam kalian di tempat! Aku masih mampu menghajar bocah ini dan membuatnya mampus!" Terpaksa anak buahnya menyurutkan lang?kah dan memperhatikan Wiryo Keduro berusaha bangkit dengan cepat dan menatap Rangga de?ngan wajah garang.
"Bocah, sebutkan kau punya nama agar Wiryo Keduro tak lupa menuliskan nama di nisanmu?? nanti!"?? kata? Wiryo? Keduro? sambil menggeram.
"Dasar kantong nasi tak berguna! Apakah kau tak mengenali Pendekar Rajawali Sakti di depanmu!"
"Heh"!" Wiryo Keduro tersentak kaget. Suatu suara menimpali dan sekaligus menjawab pertanyaan-nya. Ketika dia melirik ke arah orang yang me-ngeluarkan suara tadi, buru-buru dia beserta se?luruh anak buahnya memberi hormat.
"Ah, kukira siapa. Tak tahunya kau, Ki Soko Menggolo. Terimalah salam hormat kami...."
* * * * *
֍֍֍[ 3 ]֎֎֎
"Ki sanak, maaf. Aku sama sekali tak bermak?sud mencampuri urusan mereka. Tapi hatiku me?rasa tak tega melihat orang-orang ini menyiksabeberapa orang petani hingga tak berdaya," sahut Rangga membalas sindiran Ki Soko Menggolo.
"Ah, kenapa sungkan-sungkan" Bukankah Pendekar Rajawali Sakti terkenal welas asih dan suka membantu orang yang lemah" barangkali telah digariskan bahwa kehadiranmu di sini untuk menolong mereka." Pendekar Rajawali Sakti mengerutkan alis. Dia tak mengerti apa maksud orang itu berkata demikian. Sementara itu Wiryo Keduro dan teman-temannya terkejut ketika mengetahui bahwa pe?muda yang tadi berhadapan dengannya adalah Pendekar terkenal yang namanya menggetarkan rimba persilatan belakangan ini. Pantas saja dia dapat dijatuhkan dengan mudah. Tapi menge?tahui kehadiran Ki Soko Menggolo hatinya se?dikit tenang. Siapa sebenarnya laki-laki yang berusia se-kitar tiga puluh tahun dan dipanggil Soko Meng?golo itu" Dia tak lain tangan kanan Jala Tunda yang termasuk dalam jajaran orang-orang dekat-nya. Ilmu olah kanuragannya hebat bukan main, dan orang-orang persilatan mengenalnya dengan gelar Malaikat Hitam Bermuka Dua.
"Ki sanak, aku tak mengerti maksud kata-katamu itu...." sahut Rangga pelan.
"Kenapa tak paham" Bukankah itu soal mu?dah. Ada kebaikan dan kejahatan. Keduanya tak pernah sejalan karena masing-masing memilikijalurnya sendiri. Nah, kau yang mengaku berjalan pada hal kebaikan tentu saja tak sejalan dengan kami yang dianggap berjalan pada hal yang jahat...."
"Lalu?"
"Hm... aku tak perduli dengan keadaan itu. Tapi mengusik anggota Perguruan Tengkorak Merah, tentu saja aku perduli, bahkan merasa di usik, dan tak mungkin mendiamkannya begitu saja!" Sampai disitu mengertilah Rangga apa yang dimaksud orang itu. Rangga menggelengkan kepala sambil mendecah pelan.
"Ki sanak aku tak suka keributan. Kalau ada penyelesaian yang baik dengan jalan musyawarah tentu aku akan lebih senang melakukannya. Ini soal yang amat jelas, kenapa malah membuat kalian merasa tak suka dan marah?"
"Pendekar Rajawali Sakti, mudah kau ber?kata begitu tapi tak mudah bagi kami menerimanya. Aku si Malaikat Hitam Bermuka Dua memang tak sepadan dibandingkan denganmu. Tapi mana bisa berdiam diri melihat kau meng?hajar anak buahku!" sahut Ki Soko Menggolo masih dengan sikap tenang. Tak heran dia bisa bersikap begitu mengingat gelarnya sebagai Malaikat Hitam Bermuka Dua. Walau di hatinya amarah telah berkobar, namun wajahnya masih tetap tenang bahkan bisa ter?senyum dengan suara yang tetap datar.
"Jadi apa yang kau inginkan, Ki sanak?"
"Huh! Inilah yang kuinginkan!" sambut Ki Soko Menggolo sambil mencelat ke arah Rangga dengan mengirim serangan hebat. Pendekar Rajawali Sakti telah memperkira-kan hal itu, namun tak menyangka bahwa lawan bisa bergerak secepat yang tak di duganya. Tak percuma Ki Soko Menggolo dihormati oleh ang?gota Perguruan Tengkorak Merah, karena ke-pandaiannya niemang jauh di atas rata-rata murid yang lainnya.
"Hup!"
"Hiyaaat...!"
"Plak!" Serangan pertama itu dapat dielakkannya de?ngan mulus, dan dalam suatu kesempatan bahkan dia berusaha menangkis siku tangan lawan. Ki Soko Menggolo menggeliat bagai belut mcnghantam telapak tangan ke dada kiri Pendekar Rajawali Sakti.
"Jebol igamu!"
"Uts!" Rangga menghindar dengan gesit sambil mengayunkan kaki kanan menghantam dagu la?wan. Tubuh Ki Soko Menggolo melompat ke be?lakang membuat gerakan salto yang indah. Rang?ga mengejar dengan sodokan kepalan tangan.
"Tap!"
"Yeaaa...!" Gerakan yang dibuat Ki Soko Menggolo sungguh indah seperti orang menari. Bertumpu dengan telapak tangan lawan, tubuhnya kembali bersalto terus ke belakang bagian tubuh Pen?dekar Rajawali Sakti.
"Heh!"
"?? "Plak!" Tapi dengan gerakan yang tak kalah gesit Rangga terus bergerak menghantamkan kaki kirinya yang di tangkis oleh telapak tangan kiri Ki Soko Menggolo yang menyilang di dada. Orang itu terkejut merasakan telapak tangannya perih. Tapi Rangga telah jumpalitan ke arahnya sambil kembali menyodok kepalan tangan kanan ke dadanya.
"Duk!"
"Akh!" Ki Soko Menggolo mengeluh kesakitan. Wa?lau dia berusaha mengelak namun tak urung bahu kirinya sempat terkena hajaran lawan. Tulang engsel lengannya serasa mau copot menerima pu-kulan itu. Meski Rangga tak melanjutkan serang?an, tubuh Ki Soko Menggolo telah melesat ke belakang untuk menghindari kcmungkinan lawan meneruskan serangan susulan.
"Hebat kau, Ki sanak! Nah, sekarang mari kita lanjutkan permainan dengan adu senjata!"
"Sriiing!" ?
* * * * *
? Ki Soko Menggolo telah mencabut kerisnya yang berlekuk sembilan. Bagian tengah badan keris itu terlihat ukiran lidah api dan meman-carkan hawa maut yang menakutkan. Rangga masih diam tak memberikan reaksi. Dia cuma bersiap jika lawan bermaksud me?nyerang dengan senjata itu.
"Kenapa ragu" Ayo, cabutlah pedangmu yang terkenal itu dan hadapi kerisku ini! ucap Ki Soko Menggolo tak puas dan merasa di remehkan me?lihat lawan tak meladeni keinginannya.
"Ki sanak, apakah tak sebaiknya kita sudahi urusan sampai di sini" Di antara kita tak ada saling permusuhan, kenapa kau memaksa untuk menggunakan senjata...."
"He he he he...! Apakah kau mulai takut, Pen?dekar Rajawali Sakti" Kaulah yang memulai urusan maka kau pun harus menyelesaikannya secara tuntas!"
"Penyelesaian tuntas bagaimana yang kau maksudmu?"
"Pertarungan yang membuat salah seorang di antara kita harus mengakui kehebatan yang lain?nya!"
"Maksudmu bila salah seorang kalah maka dia harus menyudahi urusan dan tak ikut cam?pur?" Ki Soko Menggolo terkekeh pelan, "Betul, bahkan lebih dari itu dia tak bisa lagi mencampuri urusan mana pun...." Alis Rangga berkerut mencerna kata-kata orang itu. Tapi dia tak berpikir panjang ketika Ki Soko Menggolo melanjutkan ucapannya.
"Sampai salah seorang di antara kita mam?pus!"
"Heh"!"
"Kenapa" Mulai takut" Apakah Pendekar Rajawali Sakti yang ke sohor itu mengenal rasa takut juga?" ejek Ki Soko Menggolo.
"Ki sanak, itu sudah keterlaluan...."
"Bagi orang-orang Tengkorak Merah tak ada hal yang keterlaluan, berani mencampuri urusan kami maka harus berani pula menanggung akibat?nya!" sahut Ki Soko Menggolo tegas. Rangga menghela nafas dan berpikir be?berapa lama kemudian.
"Bagaimana Ki sanak, apakah kau berani me?nanggung akibatnya?"
"Baiklah... tapi harus ada tambahannya. Bila aku yang tewas, tak ada urusan lagi. Tapi kalau kau yang tewas maka perintahkan anak buahmu sebelumnya untuk tidak mengganggu para petani ini dan urusan selesai. Bagaimana?" Rangga merasa tak ada jalan lain untuk mengelak tantangan orang itu, dan terpaksa me-nyambutnya. Sebaliknya Ki Soko Menggolo be?gitu yakin bahwa dia mampu mengalahkan lawan, langsung berteriak pada anak buahnya, "Kalian dengar itu" Aku yang mewakili Jala Tunda memerintahkan pada kalian untuk tidakmencampuri urusan petani-petani ini jika aku ka?lah dalam pertarungan melawan Pendekar Raja?wali Sakti. Kalian pulang dan melupakan per-soalan ini, dan tak seorangpun boleh mengusik petani-petani ini. Siapa yang melanggar sama artinya melanggar aturan yang dibuat Jala Tunda!"
"Tapi, Ki...."
"Kau mau membantah, Wiryo?" Wiryo Keduro diam menundukkan wajah sambil menggelengkan kepala.
"Eh, ti... tidak, Ki...." Ki Soko Menggolo mendengus sinis. Kemu?dian mengalihkan pandangan ke Rangga.
"Nah, kau dengar, Ki sanak" Kini bersiaplah kau menahan seranganku!" Murid-murid Perguruan Tengkorak Merah mengetahui bahwa ilmu olah kanuragan Ki Soko Menggolo memang hebat, bahkan sedikit berada di bawah Guru Besar mereka, Ki Jala Tunda. Wiryo Keduro juga mengetahui bahwa banyak kata-kata Ki Soko Menggolo yang di setujui oleh Ki Jala Tunda. Tapi melupakan soal hasil panen padi ini dan melaporkan hasil itu pada Ki Jala Tunda adalah perbuatan bunuh diri. Membantah perintah yang dikeluarkan Ki Soko Menggolo pun termasuk hal yang sama. Mereka memang tak punya pilihan selain pasrah dan berharap bahwa Ki Soko Menggolo mampu mengungguli lawannya. Tidak demikian halnya dengan para petani itu. Mereka yang tadi bersiap-siap memetik padi, kini naik ke tegalan dan berkumpul rapi dengan wajah cemas. Seorang yang tak dikenal begitu rela bertaruh nyawa demi mereka adalah per?buatan yang nekat dan berani, sekaligus per?buatan bunuh diri. Sebab, siapa yang tak kenal Perguruan Tengkorak Merah" Murid-muridnya banyak dan rata-rata berilmu tinggi. Mereka bisa membumi hanguskan sebuah desa dalam sekejap, dan menewaskan banyak tokoh yang memiliki ke?pandaian ilmu silat yang cukup lumayan. Dan kini seorang pemuda tak dikenal tiba-tiba saja berani menantang salah seorang pentolan Tengkorak Merah. Pastilah kalau tidak gila dia seorang yang putus asa dan berniat mati secepatnya. Memang, orang-orang itu hanya petani biasa yang tak mengerti apa-apa tentang dunia per?silatan berikut tokoh-tokoh yang berkecimpung di dalamnya. Meski mengetahui bahwa pemuda berbaju rompi putih itu adalah Pendekar Raja?wali Sakti, tapi nama itu seperti tak berarti apa-apa dibandingkan dengan sepak terjang orang-orang Perguruan Tengkorak Merah yang telah mereka lihat dan alami sendiri. Sementara itu perlahan-lahan Rangga men?cabut pedang di punggungnya. Seberkas sinar biru keluar dari batang pedang itu seperti me-nerangi tempat itu sesaat. Semuanya terkagum takjub menyaksikan pamor pedang yang luar biasa itu. Termasuk juga Ki Soko Menggolo. Hatinya bergetar hebat dan tak terasa sedikit kegentaran mulai muncul dalam benaknya.
"Aku telah siap. Silahkan dimulai, Ki sa?nak...!" sahut Rangga pelan.
"Yeaaah...!" Dengan satu teriakan menggelegar Ki Soko Menggolo mulai menyerang lawan dengan keris di tangan. Kali ini dia mengeluarkan jurus ter-hebatnya yang diberi nama Malaikat Maut Men-jarah Darah, dan bersamaan dengan itu kepalan tangan kirinya terlihat hitam legam bagai arang menandakan bahwa dia telah bersiap meng?gunakan pukulan sakti yang di beri nama Gagak Hitam Menerkam. Sementara itu Pendekar Rajawali Sakti sen?diri menyadari hal itu dan tak mau menganggap remeh lawan. Dia telah bersiap mengeluarkan jurus Ilmu Pedang Pemecah Sukma, dan tangan kirinya mulai membara pertanda dia siap meng?gunakan Pukulan Maut Paruh Rajawali. ?
* * * * *
? "Hiyaaa...!"
"
Glaaar!"
"Tras!"
"Aaaa...!" Terdengar pekik kematian halus. Tubuh KiSoko Menggolo terlempar sejauh lima tombak dengan tubuh biru. Dan telah tak bernyawa ke?tika tiba di tanah. Kejadian itu amat cepat dan mengejutkan semua yang melihat. Begitu keduanya melompat dan saling menyerang, kecepatan mereka sulit diikuti oleh mata biasa. Bahkan Wiryo Keduro sendiri tak mengetahui selain dari kedua pukulan mereka yang beradu. Dari telapak kiri Ki Soko Menggolo keluar sinar hitam menghantam lawan. Sementara dari telapak tangan kanan Pendekar Rajawali Sakti melesat sinar merah. Keduanya beradu dan menimbulkan percikan bunga api dan ledakan keras. Asap hitam mengepul, namun saat itu tubuh Ki Soko Menggolo telah limbung ke belakang sambil mendekap dada. Saat itulah tu?buh Pendekar Rajawali Sakti melesat sambil mengayunkan pedang. Wiryo Keduro, tak melihat bagaimana keris Ki Soko Menggolo patah ketika berusaha menangkis, dan pedang lawan terus menghantam dadanya tanpa menimbulkan suara berderak ketika tulang iganya putus. Perlahan-lahan sinar biru di tubuh Ki Soko Menggolo hilang seiring Pendekar Rajawali Sakti menyarungkan kembali pedangnya. Wajah Pen?dekar Rajawali Sakti yang tadi seram dan me?nakutkan, perlahan-perlahan kembali memudar dan wajar seperti semula.
"Ki Soko Menggolo...!" teriak Wiryo Keduro dan anak buahnya sambil mengerubungi mayat KiSoko Menggolo. Mereka seperti tak percaya bahwa tangan kanan Ki Jala Tunda tewas dalam beberapa ge-brakan saja di tangan Pendekar Rajawali Sakti. Semula beberapa anak buah Wiryo Keduro ber?maksud menyerang pemuda itu, tapi dia meng?ingatkan janji yang telah dibuat Ki Soko Meng?golo sebelumnya.
"Ki sanak, aku sebagai orang yang dipercaya oleh Ki Soko Menggolo akan memegang janjinya demi kehormatan Perguruan Tengkorak Merah. Tapi ingat! Guru kami, Ki Jala Tunda, tentu saja tak akan membiarkan hal ini berlalu begitu saja. Kau harus hati-hati, sebab bisa jadi giliranmu nanti yang menyusul Ki Soko Menggolo!" ujar Wiryo Keduro sambil membopong mayat Ki Soko Menggolo.
"Sebaliknya Ki sanak, aku lebih suka kau sampaikan pesan pada Guru Besarmu agar me?nyudahi persoalan ini sampai di sini. Kematian temanmu itu bukan salahku karena kalian sendiri menjadi saksi bahwa dia sangat memaksa mengadakan pertarungan denganku," sahut Rangga enteng.
"Bukan aku yang memutuskan soal urusan yang menyangkut Perguruan Tengkorak Merah. Itu adalah urusan Ki Jala Tunda. Tak seorang pun di antara kami yang berhak membantah!" Wiryo Keduro mengingatkan sebelum dia dan anak buahnya meninggalkan tempat itu. Pendekar Rajawali Sakti diam mematung de?ngan mata nyaris tak berkedip menatap rombonjan itu yang menghilang di balik perbukitan yang menjulang tinggi di ujung sana.
"Ki sanak, terima kasih atas pertolongan-mu...." Rangga menoleh dan melihat pemuda ber?tubuh kurus yang tadi di hajar Wiryo Keduro telah berada di dekatnya beserta para petani yang tadi akan memanen hasil sawah mereka. Pen?dekar Rajawali Sakti tersenyum kecil.
"Ah, sudahlah. Itu soal biasa...."
"Tapi Ki sanak...."
"Panggil saja namaku Rangga...."
"Aku Kendil Lapis...."
"Nak Rangga, mereka tentu tak akan tinggal diam atas peristiwa ini. Kau tentu mengalami na-sib naas kalau sampai Ki Jala Tunda sendiri yang datang. Sebaiknya cepat-cepat tinggalkan desa ini demi keselamatan dirimu sendiri!" ujar salah seorang petani berusia lanjut dengan wajah cemas.
"Siapakah Jala Tunda itu" Kenapa dia begitu berkuasa" Apakah dia orang kepercayaan Raja hingga kalian mesti takut kepadanya?"
"Dia bukan saja orang kepercayaan, tapi Raja di wilayah ini. Den!" sahut salah seorang petani yang lain.
"Betul, Den. Anak buahnya banyak dan se?ring berbuat sesuka hatinya pada rakyat desa..." timpal yang lainnya lagi. Rangga mengangguk-angguk mendengar pe-nuturan-penuturan itu.
"Itulah, Den... sebaiknya buru-buru saja me?ninggalkan desa ini agar Aden bisa selamat. Bu?kan kami tak mau menerima Aden, tapi juga demi keselamatan Aden sendiri!" kata yang lainnya.
"Ki sanak semua, terima kasih atas perhatian kalian. Tapi biarlah aku berada di sini untuk be?berapa hari kalau kalian berkenan. Aku yang me?mulai semua ini mana bisa kutinggalkan kalian untuk menanggung akibatnya! Kecuali kalau ka?lian tak suka dengan kehadiranku dan ingin raengusirku dari desa ini...." Para petani yang mendengar kata-kata Rangga itu jadi salah tingkah dan saling pandang.
"Bagaimana" Apakah kalian tak suka aku tinggal di sini beberapa hari saja?"
"Ah, bagaimana kami bisa menolak orang se-baikmu, tapi...."
"Tak usah ragu dan cemas. Biar segala akibat?nya akan kutanggung. Anggap saja persoalan tadi menjadi tanggung jawabku, dan aku tak mau kalian yang terkena getahnya dari perbuatanku. Kalau memang Ki Jala Tunda marah, biarlah kutunggu dia di sini untuk menjelaskan persoalan yang sebenarnya..."
"Tapi, Den, Ki Jala Tunda tak akan bisa me?ngerti. Orang itu tak perduli benar atau salah. Kau pasti dibunuhnya!" ujar salah seorang petani.
"Kalau memang begitu, biarlah kutanggung akibatnya." Para petani tak bisa lagi mencegah kemauan pemuda itu. Akhirnya mereka menyerahkan per?soalan pada pemuda itu. Apalagi ketika pemuda itu sudah langsung terjun ke sawah membantu mereka memanen padi. Para petani itu cuma menggelengkan kepala sambil menghela nafas. Di satu sisi mereka senang melihat kehadiran pemuda itu di tengah-tengah mereka, tapi di sisi lain ancaman maut mungkin akan menanti pe?muda itu. Bukan mustahil nyawanya besok melayang saat Ki Jala Tunda turun tangan sen?diri!
* * * * *
֍֍֍[ ④ ]֎֎֎
"Jadi apa yang harus kita lakukan saat ini, Ki...?" tanya sala seorang kaki tangannya.
"Hm, aku heran, belum pernah kudengar dia. Ciri-ciri yang di berikan muridku sama sekali tak kukenali. Siapa tokoh itu sebenarnya?" sahut Jala Tunda dengan wajah heran.
"Apakah dia bukan musuhmu?"
"Siapa tokoh yang tak kukenal saat ini. Tapi orang yang satu ini agaknya luput dari per-hatianku. Dengan caranya menjatuhkan Jolo Ke?rot dengan mudah, tentulah dia bukan orang sem?barangan...."
"Tapi dia terlalu gegabah berani mencampuri urusan kita, Ki. Dan orang itu tak boleh diberi ampun!" dengus Kala Pati yang merupakan murid tertua Ki Jala Tunda.
"Betul, Ki! Orang seperti dia harus diberi pelajaran agar dia tak sembarangan bertindak terhadap Perguruan Tengkorak Merah!" sahut salah seorang kaki tangannya yang bernama Kebo Lantungan. Orang ini dalam dunia persilatan dikenal se?bagai Bandul Sakti Bertangan Darah. Senjatanya memang berupa bandul besi yang di permukaan-nya terdapat paku-paku yang tajam dan kuat. Se?mentara kedua belah tangannya selalu tampak merah sehingga dia mendapat julukan seperti itu. Jala Tunda mendengus geram. Wajahnya yang bulat jadi tampak lucu. Tapi tak seorang pun yang berani mcnertawakannya. Apalagi kalau dia melotot garang. Sepasang kelopak matanya yang menyipit sulit sekali terbelalak.
"Huh! Orang itu mesti mampus hari ini!" de?ngus Jala Tunda.
"Biar aku saja yang akan mengurusnya, Ki!" sahut Ki Selo Gemulung cepat. Ki Selo Gemulung adalah juga salah seorang kaki tangan Ki Jala Tunda yang dapat dipercaya. Kepandaiannya pun tak rendah, dan keberanian-nya dapat dijagokan. Tapi Ki Jala Tunda berpikir lain. Dibandingkan dengan Jolo Kerot, ilmu olah kanuragan Ki Selo Gemulung berada satu tingkat di atasnya. Kalau saja Jolo Kerot dapat denganmudah dikalahkan, tentu Ki Selo Gemulung pun dapat dikalahkan juga tanpa menemui kesulitan berarti.
"Ki Selo Gemulung, bukan aku meremehkan kesediaanmu, tapi seperti diketahui setiap ang?gota mempunyai tugas masing-masing. Aku ber-anggapan bahwa tugas ini lebih cocok dilakukan oleh Ki Soko Menggolo. Ada pun halnya dengan kalian, aku mempunyai tugas lain yang telah ku-rencanakan," sahut Ki Jala Tunda. Meski hati Ki Selo Gemulung agak kecewa dengan penolakan itu, dia berusaha untuk me?nunjukkan kebesaran hatinya sambil tersenyum kecil.
"Tak apalah kalau memang begitu. Tapi ka?lau Ki Soko Menggolo memerlukan bantuan, aku akan berada di barisan paling depan. Itu pun kalau Ki Jala Tunda tak memberi tugas lain...."
"Syukurlah. Saat ini kita sedang menunggu Ki Soko Menggolo yang belum hadir. Mudah-mudahan kalau tak ada halangan dia akan tiba sesaat lagi," sahut Ki Jala Tunda. Selesai Ki Jala Tunda berkata begitu, tiba-tiba hadir salah seorang muridnya yang bernama Wiryo Keduro di ruangan itu. Melihat bajunya yang kotor berkubang lumpur, Ki Jala Tunda me?ngerutkan dahi. Lebih-lebih lagi melihat wajah Wiryo Keduro yang kuyu dan ketakutan.
"Kenapa kau, Wiryo"!" sentak Ki Jala Tunda.
"Ampun, Ki. Kami... kami,..."
"Bicara yang betul kau!"
"Eh... ketiwasan, Ki. Ki Soko Menggolo tewas...."
"Apa"!" sentak Ki Jala Tunda kaget sampai bangkit dari kursinya.
"Ki Soko Menggolo tewas di tangan seorang yang menamakan dirinya sebagai Pendekar Rajawali Sakti..." sahut Wiryo Keduro dengan wajah takut-takut.
"Pendekar Rajawali Sakti"!" untuk yang ke?dua kalinya Ki Jala Tunda tersentak kaget. Ruangan itu sepi sesaat begitu Ki Jala Tunda menyebut nama itu.
"Hm... kalau dia mau ikut campur, apakah ini bukan pertanda bahwa urusan akan semakin berantakan, Ki...?" tanya Kala Pati.
"Diam kau Kala Pati! Segala Pendekar Raja?wali Sakti kau buat takut. Siapa yang pernah mengajarkan rasa takut padamu"!" bentak Ki Jala Tunda garang.
"A... ampun, Ki. Aku tak bermaksud begitu..." sahut Kala Pati dengan suara tergagap.
"Kala Pati, tak seharusnya kau berkata be?gitu. Gurumu orang hebat, dan tak sembarangan orang bisa mengalahkannya. Kenapa mesti mengkhawatirkan segala anak ingusan yang bergelar Pendekar Rajawali Sakti?" timpal Ki Kebo Lantungan.
"Betul, kepandaian Ki Jala Tunda tak se?orang pun yang bisa menandingi. Apakah artinya seorang Pendekar Rajawali Sakti. Dengan mu?dah orang itu akan kita singkirkan," sahut Ki Selo Gemulung. Kala Pati semakin diam saja menundukkan kepala mendengar mereka berkata begitu. Dalam hatinya mengutuk dan memaki bahwa kedua kaki tangan Gurunya itu berkata seperti penjilat.
"Wiryo, kemari kau! Ceritakan persoalan itu hingga tuntas!" panggil Ki Jala Tunda dengan suara keras. Wiryo Keduro maju ke depan dengan takut dan cemas.
"Ayo cepat...!"
"Ba... baik..." sahut Wiryo Keduro semakin takut. Dia pun menceritakan peristiwa yang tadi li-hatnya di persawahan itu dari awal sampai tewas-nya Ki Soko Menggolo. Semua yang hadir di ruangan itu seperti tak percaya ketika menge?tahui bahwa Ki Soko Menggolo tewas dalara be?berapa gebrakan saja.
"Barangkali ceritamu hanya dibesar-besarkan saja, Wiryo. Padahal Pendekar Rajawali Sak?ti tak sehebat apa yang kau ceritakan tadi," kala Ki Selo Gemulung sinis.
"Ki Selo Gemulung, yang menyaksikan itu bukan hanya aku seorang, tapi beberapa murid Perguruan Tengkorak Merah juga ada. Ki sanak boleh tanyakah pada mereka kebenaran ceritaku!" sahut Wiryo Keduro dengan wajah tak senang.
"Sudahlah. Biarkan orang itu menjadi urusanku...."
"Maaf", Ki. Kenapa mesti turun tangan sen?diri" Biarlah bocah itu aku yang mengurusnya!" Sela Ki Selo Gemulung menawarkan diri ketika melihat kesempatan itu. Ki Jala Tunda berpikir sesaat sebelum meng-anggukkan kepala.
"Baiklah, Ki Selo Gemulung. Kalau kau me?rasa mampu menangani Pendekar Rajawali Sakti, silahkan kau urus dia."
"Sekarang juga aku akan ke sana dan mem?bawa kepala bocah itu padamu!" sahut Ki Selo Gemulung cepat sambil bangkit dari duduknya. Tapi belum lagi dia melangkah, seorang mu?rid Perguruan Tengkorak Merah masuk dan ter-gopoh-gopoh melapor.
"Ketiwasan, Ki Guru. Seorang tokoh tak dikenal mengamuk di gerbang depan...!"
"Bedebah siapa orang itu"!"
"Dia menyebut dirinya sebagai Setan Alam Kubur...." ?
* * * * *
Ki Jala Tunda menggeram buas ketika men?dengar nama itu. Dengan langkah panjang dia langsung keluar diikuti oleh semua orang yang hadir di ruangan itu. Baru saja mereka berada di depan rumahnya yang megah itu, tercium bau busuk menyengat. Beberapa murid Perguruan Tengkorak Merah malah terbatuk-batuk merasakan tenggorokan?nya seperti tercekik.
"Ha ha ha ha...! Inikah Perguruan Tengkorak Merah yang menjagokan diri di sepanjang Pesisir Utara" Ha ha ha ha...! Ternyata tak lebih dari sekumpulan kerbau-kerbau dungu yang tak becus apa-apa!" Di tempat itu, tepatnya di halaman depan Perguruan yang luas itu, tegak berdiri sesosok tubuh yang amat menyeramkan. Tubuhnya yang kurus tinggal kulit pembalut tulang, tampak le?gam dan dekil. Kepalanya gundul hanya ditumbuhi beberapa helai rambut saja. Sepasang mata?nya cekung ke dalam seperti tak memiliki biji mata. Mereka juga melihat beberapa murid Per?guruan tewas dengan tubuh yang mengerikan se?perti di cabik-cabik binatang buas. Semua yang berada di situ segera memperhatikan kuku-kuku kaki dan tangan sesosok tubuh itu yang panjang dan runcing. Bajunya sudah tak bisa disebut baju sebab telah banyak terkoyak-koyak di sana-sini.
"Ki sanak, siapa kau sebenarnya" Datang membuat kekacauan, agaknya kau sudah bosan hidup!" bentak Ki Selo Gemulung mewakili Ki Jala Tunda.
"Siapa pula kau" Berani mampus berkata begitu padaku!" balas sesosok tubuh itu ketus.
"Sial!"
"Bocah kurang ajar! Kemari kau kalau mau mampus!" bentak orang bertubuh kurus itu galak.
"Ki Jala Tunda, biarlah ku wakili kau untuk menghajar orang tak tahu diri ini!" ujar Ki Selo Gemulung meminta ijin. Ki Jala Tunda mengangguk pelan.
"Mayat hidup keparat! mampuslah kau! Yeaaa...!" Saat itu pula Ki Selo Gemulung langsung me?lompat sambil mengirim satu pukulan telak ke batok kepala lawan, namun dengan gerakan ri-ngan lawannya berkelit menghindar. Tangan ka?nannya terkibas memapaki lengan Ki Selo Gemulung.
"Plak!"
"Prak!"
"Aaaa...!"
"Heh"!" Tubuh Ki Selo Gemulung ambruk ke tanah dengan kepala pecah. Tubuhnya menggelepar bagai ayam disembelih, kemudian diam tak ber-kutik ketika nyawanya lepas. Kejadian itu be?gitu cepat sekali terjadi. Bahkan mereka yang melihat seperti tak percaya. Ki Selo Gemulung bukanlan orang sembarangan. Tapi dengan se?kali hajar, dia tewas tanpa perlawanan. Begitu tangannya menangkis, telapak tangan lawan langsung bergerak menghantam batok kepala Ki SeloGemulung.
"Jahanam!" maki Ki Kebo Lantungan geram.
"Ki Kebo, apakah kau bermaksud meng?hadapi orang itu?" tanya Ki Jala Tunda dingin.
"Biarlah kubuat mampus orang gila kesasar ini, Ki!" sahut Ki Kebo Lantungan sambil melom?pat cepat dan mengeluarkan senjata andalannya.
"Ha ha ha ha...! Kebo buduk, apakah kau hendak menjalaku dengan mainanmu itu" Ha ha ha ha...! Sini biar kuletakkan di kepalamu agar dapat merasakan betapa bagusnya kepalamu di letakkan paku-paku itu!" ujar sesosok tubuh kurus itu sambil tertawa kegirangan. Bukan main geramnya Ki Kebo Lantungan diejek demikian. Tapi dia berusaha menguasai diri. Tewasnya Ki Selo Gemulung membuktikan bahwa dia tak boleh lengah sedikit pun, kalau tidak nasibnya akan sama dengan temannya itu.
"Setan kesasar, mampuslah kau! Yeaaa...!"
"Uts!"
"Sial!"
"Kenapa memaki" Ayo, serang lagi aku se-puasmu dengan benda mainanmu itu sebelum ke?palamu kubenturkan ke situ!"
"Keparat! Hiyaaat...!"
"Wuut!"
"Lepas...!" Dengan jari telunjuknya, orang yang meng?aku bernama Setan Alam Kubur itu menangkap tali penghubung antara bandul besi berpaku itu dan pangkalnya yang berada di tangan Kebo Lan?tungan. Tali itu terbuat dari bahan yang alot dan keras, namun dengan mudahnya Setan Alam Ku?bur membuat bandul besi itu berputar seiring dengan sentakan tangannya. Kebo Lantungan berusaha menahan, tapi dia menjerit kesakitan ketika telapak tangannya terkelupas menahan sentakan lawan yang kuat luar biasa.
"Mampus!"
"Uts!" Bandul Ki Kebo Lantungan telah berpindah ke tangan kanan Setan Alam Kubur, sementara bersamaan dengan itu telapak tangan kirinya ter-sorong menghantam lawan. Serangkum angin kuat yang berbau busuk nyaris membuat tubuh Kebo Lantungan hancur berantakan kalau saja dia tak buru-buru menghindar. Tapi hal itu ter?nyata hanya taktik lawan belaka karena serangan yang sesungguhnya adalah bandul besi itu sendiri yang melesat cepat menghantam batok kepala Kebo Lantungan.
"Modar!"
"Crap!"
"Aaaa...!" Tak ayal lagi. Bandul besi itu bukan saja me-nancap di batok kepala Kebo Lantungan, tapi juga membuat kepalanya retak. Orang itu me?mekik kesakitan sambil berlari ke sana ke mari tak karuan, namun langkahnya semakin lama se?makin limbung untuk selanjutnya ambruk ketika dengan tiba-tiba Ki Jala Tunda menghantam de?ngan pukulan jarak jauhnya. Setan Alam Kubur yang melihat Kebo Lan?tungan bertingkah tak karuan begitu langsung tertawa-tawa kegirangan. Namun terhenti ketika melihat apa yang diperbuat Ki Jala Tunda.
"Sial! mau mampus mencampuri urusanku, heh"!" bentak Setan Alam Kubur berang. ?
* * * * *
? "Ki sanak, kaukah yang menamakan diri se?bagai Setan Alam Kubur" Aku Jala Tunda, Ketua Perguruan Tengkorak Merah, kau telah mencam?puri urusanku dengan membantai anak buahku, dan kini malah dalang ke sini membuat keonaran. Apa yang kau inginkan dari kami" Atau kau se-kedar ingin mampus" suara Ki Jala Tunda ter?dengar dingin menusuk dengan nada mengan?cam.
"Peduli dengan segala ocehanmu! Aku me?mang Setan Alam Kubur. Aku melakukan apa saja yang kusuka. Kudengar pula bahwa kau menjagoi Pesisir Utara ini, dan ingin kubuktikan sam?pai di mana kehebatan kalian. Puiih! Ternyata cuma bakul-bakul nasi semua!" sahut Setan Alam Kubur dengan nada kesal sambil membuang ludah.
"Ki sanak, kau sudah keterlaluan menghina orang. Tadinya aku masih berpikir untuk meng-hormatimu. Tapi dengan caramu itu, tak ada pi?lihan lain. Kau harus mampus!" desis Ki Jala Tunda geram. Bersama dengan selesainya kata-katanya itu, belasan murid-murid Perguruan Tengkorak Me?rah langsung mengurung dan menyerang Setan Alam Kubur dengan ketat.
"Yeaaat...!"
"Setan! Kau pikir punya hak apa meremeh?kan aku begitu rupa" Kemari kau biar kupecahkan batok kepalamu!" bentak Setan Alam Kubur kalap sambil melompat ke arah Ki Jala Tunda. Tapi dengan segera murid-murid Tengkorak Merah bergerak menghalangi. Akibat yang me?reka alami sungguh tragis. Sekali tangan Setan Alam Kubur terkibas, saat itu pula bau busuk menyebar membuat para pengeroyoknya sulit bernafas. Dengan sekali bergerak, kuku-kuku ta?ngan dan kakinya bergerak merobek tenggorokan lawan-lawannya. Bukan hanya itu, na?mun meski golok-golok penyerangnya mampu mengenai sasaran, hal yang mengejutkan justru kulit tubuh Setan Alam Kubur kebal terhadap senjata tajam. Ki Jala Tunda sendiri terkejut karena dengan tiba-tiba menderu serangkum angin berbau bu?suk? menghajarnya.? Buru-buru? dia? bergerak menghindar"
"Prak!"
"Bangsat!" makinya geram. Bangunan tembok di belakangnya hancur be?rantakan terkena pukulan lawan yang tadi ber?hasil dihindarinya. Ki Jala Tunda tak sempat memaki lebih lan?jut karena dengan tiba-tiba tubuh Selan Alam Kubur telah melesat cepat menyerangnya dengan gencar sambil menyebarkan bau busuk di sekitar tempat itu. Melihat Guru mereka diserang lawan, murid-muridnya yang lain jadi bingung dan salah ting?kah. Selama ini menjadi pantangan kalau Ki Jala Tunda sedang bertarung dibantu oleh murid-mu?ridnya. Siapa yang melanggar larangan itu pasti akan kena hukuman berat. Agaknya Ki Jala Tun?da memang senang memamerkan dan memper-lihatkan kehebatannya di depan murid-muridnya sendiri. Tapi dalam hubungannya saat ini bukan dia segan atau takut berhadapan dengan Setan Alam Kubur. Semata-mata karena perutnya terasa mual mencium bau busuk yang menyebar di mana-mana setiap kali tubuh lawan bergerak. Maka Ki Jala Tunda tak ayal lagi langsung me?ngeluarkan jurus andalan serta pukulan saktinya untuk membinasakan lawan secepatnya.
"He he he he...! Jurus apa yang kau per-gunakan seperti cacing kepanasan ini" Walah... walah! Pukulan apa itu" Warna merah seperti darah kerbau. Oh, rupanya kau ingin sekali ber-main-main darah denganku. Baiklah, akan kutunjukkan bagaimana caranya," ejek Setan Alam Ku?bur menyaksikan jurus dan pukulan yang di keluarkan Ki Jala Tunda.
* * * * *
֍֍֍[ 5 ]֎֎֎
"Hiyaaat...!"
"Yeaaa...!"
"
Glaaar!"
"Aaaa...!" Ki Jala Tunda hanya sempat terpekik sesaat ketika dengan berani dia menyambut pukulan ja?rak jauh yang dilontarkan Setan Alam Kubur de?ngan pukulan Udan Kembang miliknya yang ber-hawa dingin. Letupan nyaring terjadi. Pukulan Setan Alam Kubur yang mengeluarkan sinar hi?tam berbau anyir menderu tanpa terbendung menghantam tubuh Ki Jala Tunda hingga hancur seperti terkena ledakan dahsyat.
"Ha ha ha ha...! Siapa yang mampu di dunia ini menahan pukulan Setan Hitam milikku. Mam?puslah bagianmu! Ha ha ha ha...!" Setan Alam Kubur tertawa tergelak dengan suara nyaring me-mekakkan telinga. Kelihatan dia begitu gembira sekali seperti anak kecil yang mendapatkan mainan kesukaan-nya. Kedua tangannya bertolak pinggang dan se?sekali dia meludah ke tanah dengan wajah po-ngah, barulah beberapa saat kemudian dia me?nyadari bahwa tempat itu telah sepi.
"Eh, kemana kerbau-kerbau dungu itu" Ku?rang ajar! Mereka malah kabur, sial! Aku jadi tak mempunyai permainan lagi. Tapi tak apalah. Da?sar kerbau-kerbau tolol! Mereka sama sekali tak berarti apa-apa, baiknya aku mencari kerbau lain yang lebih cerdik dan kuat," dengus Setan Alam Kubur kesal. Baru saja dia akan pergi meninggalkan tem?pat itu, telinganya yang tajam mendengar derap langkah yang mendekati. Tanpa membuang wak?tu lagi dia langsung menghampiri. Tiga sosok tu?buh bergerak cepat mendekati bebukitan yang menuju tempat kediaman Ki Jala Tunda ini. Seorang di antara mereka berusia lanjut mengenakan baju serba hitam dan rambut yang panjang digulung ke atas. Sementara dua orang lagi, pe?muda dan pemudi berusia sekitar delapan atau sembilan belas tahun.
"Berhenti!" Ketiga orang itu tersentak kaget ketika se?seorang berwajah buruk menghentikan langkah mereka dengan suara nyaring yang seakan meng?hantam gendang telinga. Yang paling tua di antara mereka bertiga langsung bersiaga dengan sorot mata penuh waspada.
"Siapa kau, Ki sanak" Kenapa kau menghen?tikan langkah kami?" tanya si orang tua dengan nada datar.
"Siapa pula kau tidak mengenal Setan Alam Kubur"!" bentak orang yang tiba-tiba muncul itu yang tak lain dari Setan Alam Kubur sendiri.
"Hm, jadi Setan Alam Kubur" Namamu baru kukenal hari ini. Maafkan kealpaanku, Ki sanak. Apakah kedatanganmu ke sini karena undangan Ki Jala Tunda seperti halnya aku?"
"Kurang ajar! Bukannya menjawab per-tanyaanku malah balik bertanya. Apakah kau ingin mampus"!" Mendengar kata-kata itu si orang tua tam-paknya kurang senang. Pemuda di sebelahnyamalah berbisik geram.
"Sudahlah, Eyang. Kenapa mesti meladeni orang gila sepertinya. Lebih baik kita lanjutkan perjalanan."
"Bocah sial! Apa katamu" kau bilang aku gila" Ingin cepat mampus kau rupanya!" mata Setan Alam Kubur melotot garang.
"Mayat hidup sial! Kau pikir aku takut...."
"Permana! Sudahlah...." Si Orang tua yang agaknya guru dari kedua muda-mudi itu berusaha untuk mencegah mulut lancang yang di panggilnya Permana. Tapi Setan Alam Kubur tampaknya sudah marah mendengar ocehan pemuda itu, sebab dengan tiba-tiba saja tubuhnya bergerak ringan ke arahnya.
"Permana, awas!"
"Plak!"
"Akh!" Orang tua itu bermaksud melindungi murid?nya dengan mendorong Permana. Tangan kanan?nya berusaha menangkis lengan Setan Alam Ku?bur yang bermaksud menghantam batok kepala Permana. Tapi bukan main terkejut hatinya ka?rena merasakan tangannya terasa perih dan sakit bukan main.
"He he he he...! bagus, kau mau mewakili bocah itu" Nyawanya telah berada di tanganku, karena kau mencoba menghalangi, maka kau bo?leh mampus lebih dulu!" dengus Setan Alam Kubur geram.
"Ki sanak, barangkali ini hanya soal salah pa-ham belaka. Ada baiknya kita selesaikan secara baik-baik. Maafkanlah muridku. Dia memang tak tahu apa-apa soal sopan-santun. Apalagi kita se-sama teman sendiri yang merupakan tamu di sini. Tak baik rasanya bermusuhan...."
"Siapa yang jadi tamu" Keparat kau! kau pikir aku serendah derajatmu"! Jala Tunda yang kau sebutkan, sudah mampus di tanganku!"
"Apa"!"
"Kerbau budek! Aku tuan rumah di sini. Kau harus menuruti apa kata-kataku. Ayo, bersujud tiga kali!" sentak Setan Alam Kubur sambil me-nuding ke bawah telapak kakinya.
"Hehe!"
"Sial! mau membantah kau rupanya"!"
"Ki sanak, kau ternyata sudah keterlaluan se?kali. Biarpun nama Iblis Pedang Delapan tak di kenal di mana-mana, tapi siapa sudi kau hina begitu rupa!" sahut orang tua itu yang menyebut dirinya sebagai Iblis Pedang Delapan mulai tak senang.
"Bagus! Bersiaplah kau untuk mampus!"
"Hup!"
"Yeaaa...!" ?
* * * * *
? Tiba-tiba saja tubuh Setan Alam Kubur lang?sung mencelat menyerang si orang tua bergelar Iblis Pedang Delapan dengan kedua tangan ter-pentang membentuk cakar. Iblis Pedang Delapan melompat bagai hari-mau menerkam, kemudian menjatuhkan diri ke-tanah dengan kedua kaki terangkat bermaksud menghantam perut lawan.
"Crak!"
"Uts!"
"Heh!" Iblis Pedang Delapan terkejut ketika kaki lawan tertekuk dan kuku-kuku yang tajam me?nyambar permukaan telapak kakinya. Buru-buru dia menarik pulang serangan. Namun tak urung kulit kakinya tergores meski sedikit. Belum lagi dia menguasai diri untuk bergulingan dan ber?maksud bangkit, dari arah belakang, Setan Alam Kubur kembali menyambar dengan cepat ke arah tengkuknya.
"Yeaaa...!"
"Wuuut!"
"Hiiih...!" Keringat dingin mulai keluar dari pori-pori Iblis Pedang Delapan, belum pernah sebelumnya dia menemui lawan segila ini. Gerakannya cepat bukan main dan ganas seperti ingin secepatnya menyelesaikan pertarungan. Dan yang paling penting dari semua itu, adalah bau busuk me?nyengat setiap kali dia bergerak. Berkali-kali Iblis Pedang Delapan terpaksa menutup jalan na?fas setiap kali mereka bertarung pada jarak dekat. Kalau tidak, bukan saja perutnya yang mual, tapi bau busuk itu pun seperti menyumbat tenggorokannya. Iblis Pedang Delapan jadi serba salah. Ber?tarung dengan jarak dekat dia mengambil resiko parah, sebaliknya bertarung dengan jarak jauh tak kurang celakanya karena serangan lawan yang cepat seperti tak terduga dari mana datang?nya. Hanya karena kelincahannya bergerak dan ilmu peringan tubuhnya yang telah mencapai tingkat sempurna, hingga dia bisa lolos dari se?rangan maut Setan Alam Kubur. Tapi hal itu pun rasanya tak bisa berlangsung lama. Dalam dua jurus di muka pasti dia akan kehabisan nafas di?serang secara beruntun begitu.
"Sriiing!"
"Ha ha ha ha...! Kenapa tidak sejak tadi kau gunakan penggebuk lalat itu" Ayo kemari biar kutunjukkan bagaimana caranya menggebuk lalat!" ejek Setan Alam Kubur.
"Maaf, Ki sanak. Kau terlalu memaksa. Aku tak pilihan selain membela diri dan menyelamat-kan selembar nyawaku!" sahut Iblis Pedang Delapan.
"Aaaah... kenapa banyak omong segala! Da?sar kerbau budek pengecut! Meski kau meng?gunakan senjata apa pun, mana bisa Setan Alam Kubur kau takut-takuti!"
"Huh! Terimalah jurus Pedang Bcrsayap Delapan!" sentak Iblis Pedang Delapan sambil memainkan suatu jurus pedangnya. Orang tua itu menyadari bahwa lawan me?nyerangnya dengan sunguh-sungguh dan meng-inginkannya nyawanya. Dan merasakan bahwa serangannya berat dan berhawa maut, Iblis Pe?dang Delapan tak bisa berlaku ayal-ayalan kalau tak ingin nyawanya melayang. Tak heran bila akhirnya dia langsung mengeluarkan jurus an?dalannya.
"He he he he...! Bagus! Cukup hebat, tapi tak cukup untuk membuat gembira!" ejek Setan Alam Kubur sambil melejit ke sana ke mari meng?hindari serangan lawan yang bertubi-tubi. Sungguh gila apa yang dilakukan orang ber-wajah buruk itu. Jurus Ilmu pedang lawan sung?guh dahsyat dan mematikan, tapi dengan seenak?nya dia menghindari sambil tertawa-tawa meng-ejek.
"Bangsat!" maki Iblis Pedang Delapan sambil menghantamkan pukulan yang mengeluarkan si?nar ungu dari telapak tangan kirinya ke arah lawan.
"Uts! Keparat! mau main api rupanya kau! Baik. Kau yang memulai maka kau pula yang harus menanggung akibatnya!" geram Setan Alam Kubur sambil menggosokkan kedua te?lapak tangan. Dari situ keluar asap kelabu mengepul yangdengan cepat berganti menjadi hitam.
"Yeaaa...!" Tubuhnya mencelat dengan kedua tangan membentuk cakar menyerang Iblis Pedang De?lapan. Saat itu pula si orang tua menangkis sambil menyabetkan pedang.
"Uts!"
"Trak!"
"Heh!"
"Yeaaa...!"
"
Glaaar!" Tubuh Setan Alam Kubur meliuk menghin?dari sabetan pedang lawan. Tapi kuku-kuku ta?ngan kirinya yang runcing, tajam, dan kuat meng?hantam tubuh pedang hingga patah menjadi dua bagian. Iblis Pedang Delapan terkejut bukan main. Senjatanya bukanlah sembarangan. Tapi warisan leluhur dari guru-gurunya terdahulu dan telah dibuktikan kehebatannya sampai sekarang. Tapi dengan mudah Setan Alam Kubur mematah-kannya dengan kuku-kuku tangan. Dalam ke-terkejutannya itulah Setan Alam Kubur langsung menghantamkan pukulan dahsyatnya yang ber?nama Setan Hitam dan tak mampu di elakkan oleh Iblis Pedang Delapan. Iblis Pedang Delapan tak mampu berteriak sedikit pun. Tubuhnya han?cur seperti terkena ledakan dahsyat.
"Eyang Guru...!" teriak kedua muda-mudi itu berseru kaget sambil memburu tubuh si orang tua yang hancur berantakan.
"Ha ha ha ha...! Kerbau-kerbau dungu yang merasa dirinya hebat tiada tertandingi akan mam?pus di tangan Setan Alam Kubur! ha ha ha ha...! Kalian semua akan mampus di tangan Setan Alam Kubur?" teriak orang berwajah buruk itu dengan suara nyaring.
"Setan keparat! kau harus mampus untuk me-nebus kematian Guruku!" bentak Permana sam?bil berbalik dan menatap wajah orang itu dengan garang.
"Eit! Bocah celaka! Rupanya kau ingin buru-buru menyusul Gurumu" Ke sini biar kupecah-kan kepalamu!"
"Sriiing!"
"Mampus!"
"Uts! Masih mentah, bocah. Kau perlu be-lajar satu abad lagi untuk bisa menandingiku!"
"Kakang,? aku? akan? membantumu? mem?binasakan iblis keparat ini! Yeaaa...!"
"Dewi, jangan. Pergilah kau dari sini. Dia bukan lawanmu!" cegah Permana khawatir me?lihat adik seperguruannya itu telah mencabut pe?dang dan ikut-ikutan menyerang Setan Alam Kubur. Permana mengetahui kalau saja Gurunya bi-nasa di tangan tokoh ini, maka perlawanannya pun akan sia-sia. Tapi itu masih di pandangnya bagus ketimbang menjadi seorang pengecut dan hidup membawa beban melihat Gurunya tewas tanpa terbalas. Meski nyawanya jadi taruhan"
"Tidak, Kakang! Si Keparat ini harus mampus di tangan kita berdua!" sahut Dewi berkeras.
"Pergilah kau dari secepatnya. Iblis ini bukan tandinganmu. Kau akan mengorbankan nyawa sia-sia. Biar aku yang menghadapinya!" bentak Permana. Tapi gadis itu sudah tak memperdulikan lagi kata-kata saudara seperguruannya. Dia terus mcnempur Setan Alam Kubur dengan gencar.
"He he he he...! Kalian pikir bisa membuatku binasa dengan menari-nari begini" Huh! Jangan harap. Seratus orang seperti kalian belum tentu mampu menjatuhkan Setan Alam Kubur!" de?ngus Setan Alam Kubur dengan sikap pongah.
"Setan Alam Kubur, kau pikir hanya kau sen?diri yang jago di atas dunia ini"! Huh! Aku pun mampu membuatmu mampus!" sentak Permana ketus.
"Sial! Bocah sepertimu memang tak seharus?nya dibiarkan hidup lebih lama, mampuslah kau sekarang! Hiiih...!"
"Wuuut!"
"Trak!"
"Heh!"
"Breeet!"
"Aaaa...!"
"Kakang Permana...!" teriak Dewi memekik nyaring melihat leher saudara seperguruannya robek dan mengucurkan darah dengan deras. Ketika cakar tangan kiri Setan Alam Kuburbergerak menyambar dada Permana, saat itu pula pedang Dewi menyambar lehernya. Setan Alam Kubur berbalik dan menangkis hingga pedang itu patah. Permana terkejut, saat itulah cakar kanan lawan menyambar.
"Hi hi hi hi...! Bocah dungu yang sok jago. Kau pikir bacotmu bisa membuktikan kehebatanmu" Puiiih...!" Setan Alam Kubur tertawa keras sambil meludah berkali-kali. Gadis itu bersujud sambil tak henti menitik-kan air mata melihat keadaan tubuh Permana yang seperti diterkam binatang buas. Masih sem?pat dia menyaksikan Permana menggelepar-gelepar seperti ayam disembelih sebelum akhir?nya diam tak bergerak untuk selamanya.
"Eyang Guru... Kakang Permana. Tenanglah kalian dialam sana. Aku bersumpah akan mem?balaskan sakit hati dan dendam ini!" geram gadis itu sambil memungut pedang Permana yang ter?geletak tak jauh darinya.
"Ha ha ha ha...! Betina tolol. Kau pikir bisa berbuat apa padaku" Ke sinilah cepat kalau kau pun ingin menyusul mereka!" Perlahan-lahan Dewi berbalik dan menatap tajam ke arah Setan Alam Kubur. Sinar matanya menunjukkan kebencian dan dendam yang me-nyala-nyala. Dengan pedang menyilang di dada dia mendesis sinis.
"Setan Alam Kubur, kau harus mampus di tanganku!"
"Ha ha ha ha...!"
"Yeaaa...!"
"Hup! Sial...!"
"Trak!"
"Bret!" Suara tawa Setan Alam Kubur berhenti se-ketika ketika ujung pedang si gadis menyambar tenggorokannya. Sambil memiringkan kepala, ta?ngan kanannya bergerak menyambar pedang la?wan dan dengan sekali sentil pedang itu patah menjadi dua. Tapi si gadis seperti tak memper?dulikan keadaan lagi. Kepalan tangannya sudah langsung melayang ke wajah lawan diiringi pe-ngerahan tenaga dalam kuat. Setan Alam Kubur berkelit dan kuku-kuku kirinya menyambar dada gadis itu hingga bajunya robek menampakkan be-lahan dadanya yang membusung lebar dan sem?pat menggurat kulit tubuhnya hingga mengeluar?kan darah.
"Hi hi hi hi...! Gadis perawan yang malang. Sayang mataku terbelalak melihat kemolekan tu?buhmu, tapi nafsuku tak berhasrat lagi untuk itu selain ingin melihat darah membanjir di tubuh?mu!" kata Setan Alam Kubur kemudian meng?geram buas.
"Yeaaa...! Mampuslah kau jahanam!"
"Plak!"
"Hiyaaat...! Heh!" Gadis itu mengeluh kesakitan ketika kepalan tangannya di tangkis lawan. Saat itu pula telapak tangan kanan Selan Alam Kubur telah siap untuk menghancurkan batok kepala si gadis. Tiba-tiba langit menjadi gelap dan saat itu pula menyambar angin kencang menderu ke arah keduanya. Setan Alam Kubur terkejut dan me?maki tak karuan ketika tubuhnya terdorong ke belakang beberapa langkah.
"Bajingan keparat! Perbuatan siapa ini"! Ayo, tunjukkan dirimu!" bentaknya sambil mem?balas dan menghantamkan pukulan maut Setan Hitam yang dahsyat dan menyemburkan bau busuk yang menusuk hidung.
"Khraaaghk...!"
"Heh"!" Setan Alam Kubur terkejut ketika melihat seekor burung Rajawali berukuran raksasa terbang membumbung ke angkasa sambil mengibaskan sayap menghalau pukulannya. Tapi pukulan itu hanya tertahan sesaat, dan burung yang ter?lihat cerdik itu dengan cepat menguncupkan sa?yap hingga pukulan lawan lewat beberapa inci dari sayapnya, untuk kemudian terus membumbung tinggi dengan kedua kaki mencengkeram sesosok tubuh.
"Keparat! Awas kau kalau bertemu sekali lagi! Binatang celaka, kau akan mampus di ta?nganku!" bentak Setan Alam Kubur memaki tak karuan mengumpat sumpah serapah. Masih sempat dua kali dia melepaskan pu?kulan Setan Hitam. Yang pertama dapat dielak?kan burung Rajawali raksasa ilu dengan terus bergerak cepat dan membumbung tinggi. Dan yang kedua, pukulan itu terhenti pada jarak ter-tentu karena tak mampu menjangkau ketinggian burung itu terbang. Sampai burung itu lenyap dari pandangan, Setan Alam Kubur masih terus memaki-maki sambil berteriak-teriak marah.
* * * * *
֍֍֍[ 6 ]֎֎֎
"Hmm, sudah lama sekali aku tak bertemu dengan sobatku. Tentu dia pun rindu padaku," gumam Rangga. Pemuda itu kemudian mendongakkan wajah ke angkasa sambil memperhatikan ke sekeliling tempat itu.
"Mudah-mudahan dia bisa mendengar isyaratku..." lanjutnya kembali sambil memasuk-kan dua jari tangan ke mulut.
"Suiiit...!" Terdengar suitan panjang dari mululnya. Rangga menunggu beberapa saat. Kemudian kembali meluncur dari mulutnya suitan panjang yang melengking untuk kedua kalinya. Dan kali ini mulai terlihat bintik hitam di angkasa yang sedikit demi sedikit melebar dan menunjukkan rupa seekor Rajawali raksasa.
"Grakh...!"
"Eh, siapa yang kau bawa ini"!" tanya Rangga kaget ketika melihat sesosok tubuh wanita dalam cengkeraman Rajawali raksasa ilu. Buru-buru dia menangkap tubuh itu sebelum burung Rajawali tersebut menjejakkan kakinya. Diperiksanya sesaat dan melihat luka cakar di bagian dada gadis itu. Rangga merasa sedikit je-ngah melihat pemandangan di depan matanya itu. Tapi gadis ini harus cepat ditolong karena se?kujur tubuhnya mulai menghitam.
"Gadis itu terkena racun ganas. Masih untung kau cepat menolongnya. Kalau tidak nyawanya pasti tak akan tertolong lagi," desis Rangga sam?bil membaringkan tubuh gadis yang sedang tak sadarkan diri itu. Rangga merapatkan kedua belah telapak ta?ngannya beberapa saat hingga terlihat perlahan-lahan memerah sambil mengepulkan asap tipis.
"Hup!"
"Plak!" Ditempelkannya sebelah telapak tangannya ke bagian dada si gadis persis di atas luka bekas cakaran itu. Wajahnya tampak berkerut seiring dengan hela nafasnya yang semakin kencang. Butir-bulir keringat mulai keluar dari pori-porinya. Tapi usahanya tak sia-sia karena sedikit demi sedikit bagian menghitam di dada gadis itu sirna, dan....
"Yeaaa...!"
"
Glaaar!" Rangga menarik telapak tangannya sambil berteriak keras dan menghantam sebuah batu ka?rang hingga hancur berkeping-keping. Bersama?an dengan itu si gadis sadar dan memuntahkan darah kental yang bergumpal-gumpal sebesar jempol tangan berwarna kehitam-hitaman.
"Ayo, terus muntahkan sisa-sisa racun di tu?buhmu!" ujar Rangga sambil menyandar si gadis pada sebuah batu dan mengusap punggungnya dari bawah ke atas.
"Hoeeekh...!" Gadis itu menyemburkan sisa-sisa racun ter-akhir yang mengendap di tubuhnya. Nafasnya ter-sengal-sengal. Rangga masih mengurut-urut punggungnya hingga pernafasan gadis itu per?lahan-lahan membaik.
"Heh, siapa kau"!" sentak gadis itu sambil menutupi bagian dadanya yang terbuka begitu menyadari bahwa seorang pemuda yang tak di-kenalnya mengusap-usap punggungnya. Wajahnya yang masih pucat tampak garang dan menunjukkan ketidaksenangannya atas per?buatan yang dilakukan pemuda itu. Tapi begitu melihat darah kental berceceran di sekitar tem?pat itu, sikapnya berubah lain. Lebih-lebih ketika melihat seekor burung raksasa bertengger tak jauh dari situ. Menger?tilah dia apa yang telah terjadi. Dengan wajah malu-malu ditundukkannya kepala.
"Ni sanak, maaf kalau kau tak suka dengan caraku. Melihat kau terluka parah aku bermak?sud menyelamatkan kau dari kematian. Syukur?lah sobatku itu buru-buru membawamu ke sini..." ujar Rangga pelan.
"Ng... terima kasih atas pertolonganmu...."
"Nisanak, maaf kalau kau tak suka dengan ca?raku. Melihat kau terluka parah, aku hanya ber?maksud menyelamatkan kau dari kematian. Syukur?lah sobatku ini buru-buru membawamu kemari...," ujar Rangga menjelaskan.
"Ng... terima kasih atas pertolonganmu...," sa?hut gadis yang tampak masih lemah itu. ? "Sudahlah. Bukankah itu hal biasa sesama manusia saling tolong menolong. Kalau tak ke-beratan, bolehkah aku mengetahui kenapa kau bisa sampai begitu" Agaknya kau baru saja ber?tarung dengan tokoh yang amat kejam...." Gadis itu tak buru-buru menyahut setelah mengangguk perlahan. Bola matanya menera-wang jauh ke ujung permukaan laut yang bertaut dengan batas cakrawala. Wajahnya terlihat mu-rung. Rangga menyadari bahwa gadis ini tentu lelah mengalami peristiwa hebat yang membuat batinnya terguncang. Maka dia tak terlalu me?maksa, dan hanya diam sambil sesekali memper?hatikan dan mengelus-elus bulu leher Rajawali raksasa yang merupakan teman dekatnya itu. ?
* * * * *
? "Guru dan Kakak seperguruanku tewas oleh-nya...."
"Tewas oleh siapa...?"
"Manusia berwajah buruk dan berbau busuk yang menamakan diri sebagai Setan Alam Kubur...."
"Setan Alam Kubur" Baru kudengar nama itu. Siapa gerangan gurumu hingga bisa tewas di tangan?nya" Apakah kalian mempunyai urusan dendam de?ngannya?"
"Tidak. Bahkan tak ada urusan sama sekali. Guruku bergelar Iblis Pedang Delapan. Kami bermaksud untuk mengunjungi Ki Jala Tunda ka?rena beliau mengundang. Guruku tadi menyang?ka bahwa Setan Alam Kubur adalah juga salah seorang tokoh yang diundang oleh Ki Jala Tunda. Tapi ternyata tidak. Bahkan dia mengaku telah membunuh Ki Jala Tunda..." kata gadis itu men?jelaskan. Rangga mengangguk-anggukkan kepala mendengar cerita gadis itu. Hatinya sedikit tak enak karena dia telah menolong murid salah se?orang tokoh golongan hitam, bahkan sekutu Ki Jala Tunda yang sudah jelas perbuatannya sangat merugikan rakyat. Tapi hati kecilnya yang lain seolah menghibur dan mengingatkan bahwa me?nolong manusia tak boleh pandang siapa orang-nya.
"Jadi sekarang apa yang akan kau lakukan?" lanya Rangga hati-hati.
"Iblis itu harus mati di tanganku!" dengus gadis itu sambil mengepalkan tangan. Rangga tak memberikan reaksi mendengar tekad gadis itu. Dalam hatinya cuma merasa yakin bahwa tindakan gadis itu hanya sia-sia belaka. Sebab kalau saja gurunya dapat dikalahkan bah?kan tewas di tangan tokoh yang bernama Setan Alam Kubur, mana mungkin dia mampu mem?balaskan dendam dengan kepandaian yang di-milikinya saat ini. Ada hal yang membuat pemuda itu tak habis pikir. Siapa sebenarnya Setan Alam Kubur itu" Apakah dia salah seorang tokoh pembela ke?benaran yang muak dengan sepak terjang Ki Jala Tunda beserta murid-muridnya selama ini" Atau-kah tokoh golongan hitam dan bermaksud mem?bantai mereka satu persatu" Seribu satu per?tanyaan menggantung di benak pemuda yang di?kenal dengan gelar Pendekar Rajawali Sakti itu. Dalam keadaan demikian tiba-tiba Rangga tersentak kaget melihat asap hitam mengepul ke angkasa dari arah desa yang tadi di tinggalkan-nya.
"Heh..." Desa itu kebakaran. Apa yang ter?jadi?" Buru-buru dia naik ke punggung Rajawali itu dan bermaksud untuk meninggalkan puncak bu?kit itu secepatnya ketika burung Rajawali itu ber?teriak kecil mengingatkan.
"Astaga, hampir lupa! Ni sanak, apakah kau ingin tinggal di sini atau ikut denganku?" tanya-nya pada si gadis. Gadis itu menoleh dengan pandangan lesu dan belum memberikan jawaban.
"Ayolah! Aku tak bisa berlama-lama mem?biarkan keadaan desa itu. Di sana pasti ada ke?kacauan."
"Na... naik ke punggung burung itu...?" tanya-nya ragu.
"Kenapa" Takut" Bukankah tadi kau malah di cengkeramnya" Ayo, cepat naik!" Rangga ter-paksa turun dari leher Rajawali itu dan menarik lengan gadis itu yang masih ragu-ragu beranjak dari tempatnya semula. Meski dengan hati gamang, tapi akhirnya ga?dis itu pun menurut dengan hati-hati sekali. Ke?tika Rajawali itu melesat ke angkasa, rasa takut-nya tak terbendung lagi. Dengan cepat di peluknya tubuh Rangga dari belakang seperti tak hendak dilepaskannya.
"Berpegang erat-erat ya" Awas! kalau lepas kau pasti akan jatuh. Dan tahu sendiri akibatnya kalau jatuh dari ketinggian saat ini. Tentu tubuh?mu tak akan berbentuk lagi begitu tiba di bawah!" teriak Rangga sambil tersenyum dalam hati. Gadis itu cuma diam tak banyak bicara. Mes?ki wajahnya jengah dan perasaan hatinya tak ka?ruan, tapi pelukan di punggung pemuda itu tak dilepaskannya. Meski... Rangga merasakan bukit kembar gadis itu seperti membuat detak jantung?nya lebih kencang berbunyi! Burung Rajawali raksasa itu melesat cepat dan berputar-putar sesaat di atas rumah-rumah di desa itu yang hancur berantakan di amuk api. Kemudian menukik perlahan dan turun di tanah yang agak luas. Rangga dan gadis itu cepat melompat turun dan melihat mayat-mayat ber-gelimpangan di mana-mana.
"Astaga! Apa yang telah terjadi di sini"!" serunya kaget. Dia memeriksa satu-persatu mayat-mayat itu. Tampak di antara mereka bekas bacokan-bacokan senjata tajam di tubuh, dan luka-luka bekas cakaran. Rangga terkejut ketika melihat beberapa buah golok berhulu kepala Tengkorak tergeletak di sana.
"Hm, agaknya ketika aku ke atas sana orang-orang Tengkorak Merah datang dan mengacau di sini. Tapi... kenapa mereka pun tewas seperti tercakar hewan buas?" tanya Rangga semakin bingung. Tiba-tiba dia teringat luka cakar yang dialami gadis yang bersamanya. Buru-buru dia menoleh, tapi gadis itu sudah tak ada di belakangnya.
"Sial! Kemana dia?"
"Kenapa kau menggerutu sendiri?"
"Heh"!" Rangga melihat gadis itu keluar dari salah satu rumah dan berganti pakaian. Mengertilah ia apa yang tadi dikerjakan gadis itu.
"Tak ada pakaian yang bagus. Tapi yang ini tak apalah, meski terlihat sebagai gadis desa..." kata gadis itu sambil melangkah ke dekat Rangga.
"Ni sanak, luka di tubuh orang-orang Teng?korak Merah ini sama dengan luka yang kau de-rita. Tahukah kau kira-kira kemana orang itu pergi?"
"Apakah Setan Alam Kubur yang kau mak?sud?" Rangga mengangguk. Gadis ilu dilihatnya mengangkat bahu.
"Mana kutahu dia pergi ke mana!" Rangga menghela nafas pendek sambil me?natap ke sekeliling.
"Oooh...!"
"Heh!"
* * * * *
? Rangga buru-buru melompat ke arah datang?nya keluhan pelan yang sempat di dengarnya. Gadis itu pun mengikuti dari belakang. Seorang warga desa tampak terluka parah dengan nafas satu-satu. Rangga menyandarkan-nya ke tiang rumah, meski wajah laki-laki berusia lanjut itu terkulai layu.
"Kuatkan dirimu, Ki sanak! Katakan padaku, siapa yang melakukan semua ini?"
"Orang-orang Tengkorak Merah... tapi ke?mudian seorang yang mengaku bernama Setan Alam Kubur menghabisi semuanya," sahut orang tua itu lemah. Setelah berkata demikian nafasnya terhenti untuk selamanya. Nyawa orang itu tak tertolong lagi. Rangga menghela nafas sesak sambil me?lepaskan pangkuannya pada orang tua itu. Dia berdiri dengan wajah garang.
"Biadab! Orang-orang itu ternyata tak kapok-kapoknya!"
"Siapa yang kau maksud" Apakah orang?-orang Perguruan Tengkorak Merah?" tanya gadis di dekatnya. Rangga cuma mendengus pelan. Kemudian katanya.
"Ya, kenapa" Kau ingin membela per?buatan-perbuatan mereka yang terkutuk"!" Setelah berkata begitu Rangga langsung ke?luar dan berdiri di dekat burung Rajawali raksasa itu dan menatap ke arah mayat-mayat yang ber-gelimpangan dengan hati geram. Gadis itu sendiri melangkah pelan mendekatinya.
"Maaf, aku tak punya maksud menyinggung perasaanmu. Apakah kau berpikir bahwa orang-orang itu merupakan teman-temanku...?" tanya gadis itu lirih.
"Kalau Gurumu berteman dengan mereka, lalu apa namanya kalau kau tak berteman dengan mereka juga?"
"Ki sanak, kita belum saling mengenai, ke?napa kau menuduhku begitu?" Rangga diam tak menjawab. Gadis itu pun membisu beberapa saat lamanya.
"Memang benar Guruku tokoh golongan hi?tam, tapi tak berarti bahwa aku pun sering ber?buat keonaran di mana-mana. Aku bahkan tak tahu apa yang dilakukan Guruku selama ini. Beliau baru saja kali ini mengajak kami untuk turun gunung...." kata gadis itu bercerita lirih. Rangga hanya menoleh sekilas kemudian kembali mengalihkan pandangan.
"Aku tak memaksamu untuk percaya dengan ceritaku. Sejak kecil aku dipungut Guruku dan tak pernah tahu siapa kedua orangtuaku. Beliau-lah yang selama ini mengasuhku. Tapi apakah berarti bahwa dosa beliau harus di pikul oleh-ku..." lanjut gadis itu.
"Maafkanlah, aku tak bermaksud menuduh-mu begitu..." akhirnya keluar juga kata-kata pe-nyesalan dari mulut Rangga.
"Tak apa. Aku bisa mengerti kalau kau curiga begitu mengetahui siapa Guruku. Dengan begitu aku bisa mengetahui siapa kau sebenarnya. Kalau bukan musuh Guruku tentu kau adalah seorang pendekar yang selalu membela kebenaran...."
"Aku cuma pengembara biasa...." Gadis itu tersenyum kecil.
"Guruku pernah bercerita tentang tokoh-tokoh rimba persilatan. Baik mereka yang ter?masuk golongan hitam mau pun putih. Juga ten?tang seorang tokoh persilatan yang belakangan ini namanya amat menggemparkan dunia per?silatan. Orang itu memiliki burung Rajawali rak?sasa dan mempunyai ciri-ciri khusus yang kau miliki saat ini. Hanya saja tadi aku belum sempat memperhatikan. Ki sanak, apakah kau yang me?miliki gelar Pendekar Rajawali Sakti?" tanya gadis itu sambil menatap Rangga dalam-dalam. Rangga cuma tersenyum kecil.
"Tak salah. Matamu sungguh jeli. Tapi kalau dikatakan aku menggemparkan rimba persilatan, pastilah itu karena kebodohanku yang tak becus apa-apa..." sahut Rangga merendah.
"Satu hal pula yang ku dengar memang tak salah dengan kenyataan yang saat ini kulihat."
"Apa?"
"Pendekar Rajawali Sakti memang suka merendahkan diri...."
"Sudahlah, Ni sanak. Kau terlalu banyak me-muji orang. Tapi itu tak adil. Kau tahu aku se-dangkan aku tak tahu siapa kau."
"Kenapa tak adil" Kau justru lebih tahu siapa kau, dan kau yang belakangan tahu siapa kau." Rangga kembali tersenyum kecil.
"Namaku Rangga..." katanya pelan.
"Panggil saja aku Dewi, atau Dewi Koma-lasari."
"Nah, Dewi. Kurasa cukuplah pertemuan kita sampai di sini. Kau bisa melanjutkan perjalanan?mu," lanjut Rangga bersiap naik ke leher Raja?wali raksasa itu. Dewi Komalasari tampak diam tak berusaha beranjak. Pandangannya lirih menatap langit senja yang mulai tampak.
"Aku tak tahu harus kemana membawa lang?kah kakiku ini. Kalau ada satu urusan yang harus kukerjakan adalah membalaskan sakit hati Guru dan Saudara seperguruanku..." sahut Dewi per?lahan dengan nada lirih. Rangga jadi bingung mendengar kata-kata Dewi Komalasari. Tak mungkin rasanya dia terus-terusan membawanya kemana-mana.
"Kau sendiri akan ke mana?" tanya Dewi sam?bil menatap Rangga.
"Aku akan mencari orang yang menamakan dirinya Setan Alam Kubur." Wajah Dewi Komalasari tampak berseri. Buru-buru dia bangkit dan mendekati Rangga.
"Rangga, tak keberatankah bila aku ikut menyertaimu" Paling tidak kau bersedia mengan-tarkanku pada orang itu."
"Siapa" Setan Alam Kubur?" Dewi Komalasari mengangguk. Rangga menghela nafas. Gadis itu seperti mengerti me?lihat reaksi Pendekar Rajawali Sakti.
"Aku tahu kau pasti meremehkanku. Tapi apa artinya aku hidup bila tak bisa membalas budi pada orang yang selama ini telah mengasuhku sedari kecil. Walaupun kau tak sudi mengajakku, aku akan tetap mencari orang itu dan membuat perhitungan dengannya meskipun nyawaku men?jadi taruhannya...." Mendengar tekad gadis itu yang tak bisa di-halangi lagi, Rangga tak punya pilihan selain mengajaknya. Begitu mendengar pemuda itu menganggukkan kepala, gadis itu cepat melom?pat ke leher burung Rajawali raksasa sambil ber?seru girang.
"Terima kasih, Rangga. Paling tidak aku bisa merasakan kembali enaknya melayang di angkasa di atas leher sobatmu ini. Tapi ingat! Jangan lagi kau gunakan akal bulusmu untuk mencuri kesem?patan di saat aku dalam kesempitan!" Rangga terkekeh dan melompat di depan ga?dis itu, Sesaat saja Rajawali raksasa itu telah membumbung tinggi di angkasa yang semakin lama menjadi sebuah tilik di angkasa nan luas.
* * * * *
֍֍֍[ 7 ]֎֎֎
"Kenapa mesti pusing segala. Kita datang saja Perguruan Tengkorak Merah dan minta pertang-gungjawaban Ki Jala Tunda atas segala kelakuan murid-muridnya selama ini!" kata Ki Ageng Selar yang terkenal berangasan.
"Tak bisa begitu, Ki Ageng Selar. Kita harus pasti bahwa hal ini perbuatan murid-murid Per?guruan Tengkorak Merah. Soalnya mereka se?ring menyamar seolah-olah itu perbuatan perampok-perampok liar," sela Ki Anusa Gengger.
"Betul apa yang di katakan Ki Anusa Geng?ger. Sebaiknya toh kita mencari cara bagaimana membuktikan bahwa perbuatan-perbuatan bejat yang sering melanda desa-desa di wilayah Pesisir Utara ini adalah perbuatan murid-murid Teng?korak Merah," sahut Ki Jenjang Pipit.
"Tapi itulah sulitnya. Selain mereka memiliki kepandaian yang tinggi, orang-orang itu pun amat licin ditangkap!" geram Ki Saba Lolo.
"Alaaah...! Kenapa sih memikirkan sopan santun segala"!" Aku setuju dengan pendapat Ki Ageng Selar. Untuk apa periksa dan bukti segala. Langsung saja kita ke Perguruan Tengkorak Me?rah dan minta pertanggungjawaban Ki Jala Tun?da. Kalau dia mengelak berarti dia pantas men?dapat hukuman!" ujar Ki Cadas Welus sengit.
"Ki Sempang Arga langsung angkat bicara ketika perselisihan pendapat terjadi di antara mereka.
"Ki sanak semua, kehadiran kita di sini untuk mencari cara bagaimana menanggulangi keresah-an-keresahan yang selama ini terjadi di daerah kita masing-masing. Kesimpulan memang ada bahwa hal itu terjadi karena didalangi oleh seseorang, tapi belum bisa dipastikan hal itu di lakukan oleh orang?orang Tengkorak Merah. Kita harus hati-hati da?lam hal ini. Jangan sampai tuduhan ini berlanjut menjadi fitnah yang tak berbukti. Karena itu bagaimana cara kita mencari bukti bahwa hal ini didalangi oleh orang-orang tertentu...."
"Ki Sempang Arga, maaf... bukan aku tak se?tuju dengan pendapatmu. Berbuat sabar dan ber?sikap demikian itu baik sekali pada keadaan yang benar. Tapi soal ini lain. Kita tak perlu menutupi diri dan mencoba berbuat seperti malaikat de?ngan menarik garis lurus antara hal yang nyata dan tidak. Ini soal nyata, dan beberapa orang di antara murid-muridku pernah memergoki bahwa mereka adalah murid-murid Tengkorak Merah!" sela Ki Cadas Welus tegas.
"Bagaimana mereka membuktikannya?" ta?nya Ki Saba Lolo.
"Ya, bagaimana murid-muridmu membukti?kan bahwa mereka adalah orang-orang Tengkorak Merah?" timpal Ki Jenjang Pipit.
"Itu soal mudah. Selama ini yang diketahui hanya orang-orang Tengkorak Merah yang me?miliki ciri khas senjata golok yang berhulu kepala tengkorak. Tapi ketika mereka melakukan per?buatan-perbuatan terkutuk, senjata mereka diganti. Begitu juga dengan lambang Perguruan mereka yang lain. Tapi satu hal yang mereka tak bisa rubah begitu saja adalah tato tengkorak di tiap-tiap dada murid Tengkorak Merah. Bentuknya kecil dan ber?ada di dada sebelah kanan, dantertutup oleh baju. Tapi ketika bentrok dengan beberapa orang murid-muridku sempat tersibak," jelas Ki Cadas Welus.
"Hm, kalau begitu buat apa ditunda lebih lama lagi. Sudah jelas sekarang siapa pelaku di balik semua kejahatan-kejahatan yang terjadi belakangan ini!" timpal Ki Ageng Selar. Yang lain berdiam diri seolah meyakini cerita yang di paparkan Ki Cadas Welus. Orang tua itu memang sering bersikap angin-anginan dan mau menang sendiri. Tapi kalau urusan berbohong dia boleh di bilang hampir tak pernah. Maka tak heran bila mereka mempercayai kata-katanya. Tapi belum lagi Ki Sempang Arga mengeluar?kan suara, tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut dari arah luar yang disusul suara ketawa meleng?king yang memekakkan telinga. Tak lama kemu?dian tercium bau busuk yang menyebar di tempat itu. Serentak mereka keluar untuk melihat apa yang terjadi.
* * * * *
"Ha ha ha ha...! Ayo maju semua kerbau-ker?bau dungu! kemari kalau kalian ingin mampus! Ha ha ha ha...!"
"Prak!"
"Breeet!"
"Aaaa...!" Beberapa orang murid Perguruan Merpati Putih yang mencoba menahan amukan seorang bertubuh kurus dan berwajah buruk, tewas de?ngan kepala pecah dan leher robek seperti di cakar binatang buas. Pekik kematian dan bau anyir darah serta mayat-mayat bergelimpangan mewarnai pagi yang tadi terlihat cerah.
"Ha ha ha ha...! Dasar orang-orang tak ber?guna! Kalian pikir bisa menghalangi Setan Alam Kubur untuk mencabut nyawa busuk kalian semua"! hiiih...!"
"Breeet!"
"Aaaa...!" Dua orang kembali tewas dengan leher robek dicakar kuku-kuku orang yang menamakan diri Setan Alam Kubur itu.
"Hentikan!" bentak Ki Sempang Arga dengan suara menggeledek. Mendengar itu murid-murid?nya langsung menghentikan penyerangan ter?hadap orang asing itu. Ki Sempang Arga beserta tokoh-tokoh yang lain turun ke lapangan dan melihat sesosok tubuh bagai mayat hidup dengan wajah buruk dan tubuh menyebarkan bau busuk yang menusuk hidung.
"Ki sanak, siapakah kau dan mengapa datang tiba-tiba langsung mengamuk" Rasanya di antara kita tak ada perselisihan apa-apa, atau mungkin ada yang terlupa. Tapi kenapa tak kita bicarakan baik-baik?" sapa Ki Sempang Arga halus.
"Kutu kupret! Sial, agaknya kau tak mengenal nama Setan Alam Kubur. Apa kau mau kubuat mampus seperti mereka"!" Ki Sempang Arga dan tokoh-tokoh yang lain menarik nafas mendengar jawaban itu. Tapi Ke?tua Perguruan Merpati Putih itu masih bisa me?nahan sabar.
"Hm" jadi Ki sanak bernama Setan Alam Ku?bur. Ada keperluan apakah hingga mengamuk dan membuat keonaran di tempatku ini?"
"Puiih! Tak perlu berbasa-basi. Siapa kau dan punya hak apa bertanya-tanya padaku" Aku me?lakukan apa saja yang kusuka. Kalau kau merasa tak suka, kau boleh mampus atau minggat dari sini setelah mencium telapak kakiku!" sentak Se?tan Alam Kubur dengan sikap sombong.
"Ki Sempang Arga, kenapa kau malah ber-debat omong dengan manusia tak berguna ini" Kalau kau meladeninya berbicara samalah gila-nya kau dengannya!" sindir Ki Cadas Welus mulai kesal melihat lagak orang itu.
"Apa katamu"! Keparat! Rupanya kau yang ingin lebih dulu mampus!" bentak Setan Alam Kubur melotot garang sambil melesat cepat ke arah Ki Cadas Welus dan mengirim serangan dahsyat.
"Hup!"
"Modar!"
"Modar bapak moyangmu! Aku masih hidup, monyet kesasar!" sahut Ki Cadas Welus sambil bergerak cepat menghindari serangan lawan. Dalam serangan pertama memang dia mam?pu menghindari serangan lawan. Tapi pada se?rangan berikutnya, orang tua yang suka berbaju penuh tambalan itu di buat terkejut dengan angin serangan lawan yang bukan saja berbau busuk tapi penuh tekanan yang berhawa maut.
"Bangsat!" dengus Ki Cadas Welus ketika ujung kuku lawan nyaris merobek punggungnya. Cara bertarung lawan memang tak kenal ba?tas. Dia menyerang di mana saja sesukanya. Tak perduli dari belakang, membokong, atau berbuat curang. Sehingga kalau Ki Cadas Welus tak hati-hati menghadapinya. Nyawanya pasti melayang ter?kena hajaran lawan.
"Yeaaa...!"
"Uts!"
"Jebol igamu!"
"Breeet!" Keringat dingin mulai keluar dari pori-pori orang tua yang suka ugal-ugalan ini. Gerakan lawan cepat bukan main dan sulit di duga ke mana arah serangannya yang utama. Ketika Ki Cadas Welus bergerak ke kiri, maka kuku kaki kanan lawan menyambar perutnya dengan tiada terduga karena Ki Cadas Welus mengkhawatirkan tangan kanan lawan yang siap menyodok dadanya. Orang tua itu mengeluh kesakitan. Luka be?kas cakaran itu terasa perih dan berdenyut cepat ke seluruh tubuh. Gerakan selanjutnya terasa lambat seperti otot-ototnya kaku.
"Celaka! Kukunya beracun!" desis Ki Cadas Welus.
"Hiyaaat...!"
"Setan Alam Kubur, terima seranganku!"
"Plak!"
"Breeet!"
"Aaaa...!" Ki Cadas Welus memekik kesakitan. Pada saat-saat terakhir ketika lawan menyerang, tiba-tiba Ki Ageng Selar berkelebat cepat bermaksud membantu menyerang Setan Alam Kubur. Na?mun tanpa menoleh tubuh Setan Alam Kubur bergulung dua kali di udara dan melanjutkan se?rangan dengan merobek leher Ki Cadas Welus serta menangkis sodokan Ki Ageng Selar dengan kedua telapak kakinya. Kedua-tokoh itu mengalami nasib yang ber?beda meski tak jauh. Tublih Ki Cadas Welus ter?geletak di tanah. Menggelepar-gelepar seperti ayam disembelih menanti ajal. Sementara Ki Ageng Selar sendiri terpental ke belakang men?dapat hantaman kedua kaki lawan. Masih untung dia mampu bersalto dan mendarat mulus dengan kedua kakinya. Tapi tak urung dia terkejut ka?rena merasakan telapak tangannya sakit bukan main akibat benturan tadi. Padahal dia telah me?ngerahkan segala tenaga dalamnya untuk mem-bendung serangan lawan.
"Hi hi hi hi...! Cuma segitukah kepandaian kerbau-kerbau tolol ini"!" ejek Setan Alam Kubur sambil bertolak pinggang.
"Ki sanak, apa sebenarnya yang kau cari da?lam hal ini?" tanya Ki Sempang Arga mulai kurang senang.
"Mungkin dia utusan orang-orang Tengkorak Merah..." kata Ki Ageng Selar.
"Betul. Bukankah Ki Jala Tunda memilik ba?nyak kaki tangan?" timpal Ki Saba Lolo.
"Kerbau-kerbau dungu sialan! Apa yang ka?lian bicarakan" Puiih! Jangan coba-coba meren?dahkan derajatku. Orang-orang Tengkorak Me?rah kocar-kacir ku obrak-abrik, dan yang ber?nama Jala Tunda ku buat mampus. Sekarang gilir-an kalian!" bentak Setan Alam Kubur berang.
"Apa" Ki Jala Tunda tewas di tanganmu?" tanya Ki Sempang Arga seperti tak percaya.
"Sial! Apa gunanya aku berbantahan dengan?mu" mau percaya atau tidak, bukan urusanku!"
"Lalu urusan apa sampai kau mengamuk di sini?" tanya Ki Sempang Arga kembali.
"Dasar kerbau budek! Aku berbuat sesuatu yang kusuka. Tak peduli apa pun! kalau kalian tak suka boleh maju dan menyerangku beramai-ramai!"
"Dasar orang sinting!" maki Ki Ageng Selar.
"Monyet buduk! Mampuslah kau...!"
"Hup!"
"Plak!"
"Akh!" Setan Alam Kubur tampaknya memang berangasan dan pantang tersinggung. Mendengar Ki Ageng Selar memakinya, dia sudah langsung berkelebat menyerang orang itu. Ki Sempang Arga dan yang lainnya tak bisa berbuat apa-apa. Dalam gebrakan dengan Ki Cadas Welus yang telah tewas, mereka dapat memperkirakan bahwa Setan Alam Kubur memiliki kepandaian yang tinggi dan sulit diukur. Ki Cadas Welus sendiri selama ini dikenal memiliki kepandaian yang tak rendah. Bahkan tak sembarangan orang mampu mengalahkannya. Kini dapat dijatuhkan dengan mudah oleh tokoh satu ini. Sementara itu terlihat Ki Ageng Selar me?ngeluh kesakitan ketika berusaha menangkis per?gelangan tangan lawan. Belum lagi dia sempat menguasai diri, ujung kuku tangan lawan nyaris merobek wajahnya kalau saja dia tak buru-buru melompat ke belakang sambil bersalto.
"Yeaaa...!"
"Plak!"
"Breeet!"
"Aaaakh...!" Untuk kedua kalinya Ki Ageng Selar me?ngeluh kesakitan. Pada saat tubuhnya melompat ke belakang, Setan Alam Kubur terus bergerak mengikuti dan menyambar punggung. Namun de?ngan cepat Ki Ageng Selar mengibaskan tangan untuk menangkis. Tapi saat itu juga lawan terus berguling dan menyambar Ki Ageng Selar dengan kesepuluh kuku-kuku jarinya. Ki Ageng Selar merasakan punggungnya te?rasa perih bukan main. Bahkan rasa sakit itu te?rus menjalar di seluruh bagian tubuhnya. Dia sa?dar bahwa cakar lawan yang mengenai tubuhnya mengandung racun hebat. Dengan segera dia me-ngempos hawa murni untuk mengusir racun yang mulai menjalar di sekujur tubuh dengan menarik nafas panjang. Tapi saat itu pula Setan Alam Kubur kembali menyerang tanpa memberi ke?sempatan sedikit pun pada lawan untuk memper?baiki keadaan.
"Yeaaa...!"
"Plak!"
"Breeet!"
"Aaaa...!" Ki Ageng Selar terpekik ketika perutnya ro?bek di sambar cakar kaki lawan, hingga terlihat isi bagian dalam perutnya terburai keluar. Orang itu melolong kesakitan. Meski dia sempat meng?elak dan berusaha menepis serangan yang di lan-carkan kedua belah tangan lawan. Namun dengan gesit tubuh Setan Alam Kubur berputar dan mengayunkan sebelah kakinya.
"Biadab!" maki Ki Sempang Arga geram.
"Setan Alam Kubur, mari bermain-main de?nganku!" seru Ki Saba Lolo sudah langsung me?nyerang dengan amarah yang meluap.
* * * * *
֍֍֍[ ⑧ ]֎֎֎
"Yeaaa...!" teriak Ki Saba Lolo sambil me-nyorongkan telapak tangan kirinya ke arah lawan. Dari situ menderu angin kencang bercampur hawa panas yang mampu menghanguskan seekor kambing.
"He he he he...!" Kenapa pukulan seperti itu yang kau pamerkan padaku" Sepuluh kali lipat pun belum tentu bisa mengalahkanku!" Setan Alam Kubur berkelit dengan mudah sambil mengejek lawan.
"Jangan sombong kau, Ki sanak. Pukulan Pa-sir Merahku memang tak hebat, tapi kalau ter?kena tubuhmu boleh kau rasakan akibatnya!" dengus Ki Saba Lolo gusar. Setelah berkata begitu dia langsung bergerak cepat menyerang lawan habis-habisan. Tubuh Ki Saba Lolo sulit diikuti oleh mata biasa, dan se?rangannya berbau maut. Apalagi senjata di ta?ngan kanannya menyambar-nyambar seperti me?ngejar ke mana saja tubuh lawan bergerak. Ber?pindah dari tangan kanan ke tangan kiri secara bergantian. Tapi tubuh Setan Alam Kubur meliuk-liuk dengan ringan dan gesit. Bahkan dia masih sem?pat terkekeh-kekeh mengejek setiap serangan yang dilancarkan Ki Saba Lolo.
"Kodok buduk, ingin ku lihat bagaimana ju-rusmu menandingi jurus Merampas Bukit Meng-goreng Gunung milikku ini!" bentak Setan Alam Kubur sambil merubah jurusnya. Setelah berkata begitu, Setan Alam Kubur merubah gerakannya menjadi tak teraturdan su?lit diterka ke mana serangannya tiba.
"Yeaaa...!"
"Wuuut!" ? "Uts!"
"Trak!"
"Heh!" Ki Saba Lolo terkejut. Ketika sebelah cakar lawan menyambar ke arahnya, dengan cepat dia menyambut dengan mengibaskan senjatanya. Tapi Setan Alam Kubur menekuk tubuhnya un?tuk menghindari ujung senjata lawan yang run?cing, kemudian tangan kirinya menangkap ba?tang tongkat lawan. Dengan sekali mendengus sinis tongkat lawan di tekan ke bawah hingga patah. Tentu saja ini amat mengejutkan karena batang tongkat Ki Saba Lolo terbuat dari baja pilihan. Kalau saja kayu biasa mungkin dia tak akan seterkejut itu.
"Yeaaa...!"
"Breeet!"
"Akh!" Ki Saba Lolo menjerit pelan. Cakar lawan menyambar bagian dadanya dan sempat merobek kulit tubuhnya hingga berdarah. Buru-buru dia bersalto ke belakang untuk menghindari serang?an berikut sambil menghantamkan pukulan Pasir Merahnya dengan pengerahan tenaga dalam penuh.
"Glaaar!"
"Heh!"
"Keparat!" Semua tokoh yang berada di situ tersentak kaget dengan wajah geram. Tubuh Ki Saba Lolo hancur menjadi beberapa potong ketika Setan Alam Kubur menangkis pukulan lawan dengan pukulan Setan Hitam miliknya. Terjadi ledakan dahsyat dan asap hitam mengepul di tempat itu. Bukan saja pukulan Pasir Merah milik Ki Saba Lolo tak berhasil melukai lawan, tapi pukulan Setan Hitam yang dilepaskan Setan Alam Kubur membuyarkan dan terus menghantam tubuhnya tanpa bisa di cegah lagi.
"He he he he...!" Kau pikir pukulan bututmu itu bisa mengalahkan dan mencelakakanku" Hi hi hi hi...!" Kau bermimpi bisa menjatuhkan Setan Alam Kubur!" teriak orang berwajah buruk itu sambil tertawa kegirangan dengan sikap angkuh.
"Ki sanak, tindakanmu sungguh kejam. Aku tak bisa mendiamkanya begitu saja!" seru Ki Sem?pang Arga sambil melompat cepat bersiap meng?hadapi lawan.
"He he he he...! Kenapa kau sendiri yang melawanku" Ayo, ajak dua orang temanmu itu, atau seluruh kecoa-kecoa busuk yang ada di sini. Biar sekalian kukirim kalian ke akherat!"
"Apakah kau takut menghadapiku seorang diri?" tanya Ki Sempang Arga memancing.
"Keparat! kau pikir kepandaianmu sudah he?bat berani bicara begitu" Sepuluh orang seper?timu tak ada artinya bagiku. Tapi menghadapiku seorang diri kau terlalu meremehkan, dan aku paling tak suka!" bentak Setan Alam Kubur garang. Selesai berkata begitu dia langsung merapat?kan kedua belah telapak tangan. Dari situ keluar asap kelabu yang dengan cepat berubah hitam dan menyebarkan bau busuk yang tiada terkira. Kemudian dengan membentak keras dia melancarkan pukulan jarak jauh kepada tiga tokoh itu sekaligus.
"Yeaaah...!"
"Uts!"
"Bruaaak!" Ketiganya cepat melompat menghindari diri, dan pukulan Setan Hitam yang dilontarkan Setan Alam Kubur terus menderu menghantam pon-dokan Ki Sempang Arga hingga hancur beran?takan menjadi puing-puing kecil. Bukan main ter-kejutnya ketiga tokoh itu menyaksikan kedah-syatan pukulan lawan. Tapi mereka tak sempat terpaku lama sebab dengan satu bentakan keras, Setan Alam Kubur sudah bergerak cepat me?nyerang ketiganya lagi.
"Sial!" maki Ki Anusa Gengger nyaris disam-bar cakar lawan. Orang tua itu langsung melempar senjata ra-hasia berupa bunga-bunga teratai berwarna pe?rak yang runcing dan tajam. Sementara pada saat yang bersamaan toya di tangan Ki Jenjang Pipit menderu-deru dahsyat ke seluruh tubuh lawan yang jungkir balik menghindari senjata rahasia. Ki Sempang Arga pun tak mau ketinggalan. Sam?bil berteriak keras dia melancarkan pukulan mautnya yang diberi nama Angin Putih. Ke-lihatannya redup seperti awan, namun mampu menghancurkan sebatang pohon besar.
"Hiyaaat...!"
"Tap!"
"Lepas!"
"Tak!" Setan Alam Kubur berteriak nyaring sambil menyambar toya di tangan Ki Jenjang Pipit dan menariknya dengan tenaga penuh. Hampir saja tubuh orang tua itu terbanting kalau dia tak buru-buru melepaskan senjatanya dari cekalan lawan. Telapak tangannya terkelupas akibat kedahsyatan tarikan lawan. Meski begitu dua buah senjata rahasianya sempat menghantam tepat ke bahu kiri dan pinggang lawan. Tapi bukan main terkejutnya dia karena senjata rahasianya jatuh begitu saja tanpa melukai lawan sedikit pun. Pukulan Angin Putih yang dilancarkan Ki Sempang Arga dapat dihindari Setan Alam Ku?bur dengan tubuh meliuk-liuk mendekati kedua lawannya yang lain.
"Plak!"
"Breeet!"
"Aaaa...!"
"Mampus!" Cakar kirinya menyambar leher Ki Jenjang Pipit, namun dapat ditangkis oleh orang tua itu. Tapi cakar kaki kanan Setan Alam Kubur ber?putar dengan tak terduga dan menyambar dada Ki Anusa Gengger dan Ki Jenjang Pipit ber?samaan. Serangan selanjutnya di lancarkan Setan Alam Kubur dengan mengayunkan toya Ki Jen?jang Pipit yang telah berada di tangannya ke arah batok kepala Ki Sempang Arga.
"Wuuut!"
"Breeet!"
"Akh!" Ki Sempang Arga sempat berkelit, tapi se?rangan itu ternyata hanya tipuan belaka sebab Setan Alam Kubur telah menyiapkan serangan sungguhan ke arah lawan menghindar dengan ca?kar tangan kanannya dan merobek perut orang tua itu agak dalam. Ketiga tokoh tua itu sempoyongan sambil menjerit kesakitan. Saat itu juga Setan Alam Ku?bur telah siap kembali melancarkan serangan me?matikan ke arah ketiganya. Beberapa orang mu?rid Merpati Putih yang masih tersisa mencoba menahan laju serangan orang berwajah buruk dan berbau busuk itu, tapi mereka malah tewas dengan sia-sia. Sekujur tubuhnya robek seperti di terkam binatang buas.?
"Khraghk...!"
"Heh"!" Setan Alam Kubur menghentikan amukannya ketika merasakan kehadiran sesosok bayangan besar menderu ke arahnya dan membuat ba-yangan hitam yang besar. Bersamaan dengan itu angin kencang menghantam arena pertarungan itu hingga membuat beberapa orang murid Mer?pati Putih terpelanting.
"Bagus! Kau datang menjemput kematian?mu!" dengus Setan Alam Kubur bermaksud menyerang seekor Rajawali raksasa yang terbang rendah di dekat mereka. Tapi dia tak melanjutkan niatnya ketika me?lihat dua sosok tubuh meloncat turun dari leher burung Rajawali itu. Yang seorang adalah pemuda berwajah tam?pan berambut panjang terurai, memakai baju rompi putih. Pedang berhulu kepala burung tam?pak tersembul di balik punggungnya. Sedang se?orang lagi adalah gadis remaja berusia sekitar delapan belas lahun dengan wajah cantik me?makai baju seperti wanita desa kebanyakan. Tapi melihat gerak-geriknya, dia bukanlah gadis desa sembarangan.
"Dewi, ingat pesanku. Kau tak boleh turun tangan apa pun yang terjadi padaku. Kecuali aku tewas di tangannya. Mengerti?" kata si pemuda yang tak lain dari Rangga alias Pendekar Raja?wali Sakti mengingatkan.
"Tapi Rangga...."
"Tak ada tetapi! Ini sudah perjanjian kita!
"Bocah-bocah sial! Apa yang kalian ributkan?" bentak Setan Alam Kubur berang. Rangga tak mengacuhkan bentakan orang itu melainkan mendekati orang itu dan bertanya dengan suara menyelidik.
"Kaukah yang bernama Setan Alam Kubur"
"Keparat! Satu orang lagi yang tak mengenal namaku harus mampus!" bentak Setan Alam Ku?bur langsung menyerang pemuda itu dengan ganas.
"Uts!" Rangga tersentak kaget. Bukan saja serangan lawan kuat dan dahsyat, tapi juga dari sekujur tubuhnya menyebar bau busuk yang menganggu pernafasannya.
"Hati-hati, Ki sanak! Kuku-kukunya amat beracun!" teriak sajah seorang murid Merpati Putih memperingatkan. Rangga memperhatikan dengan seksama. Se?rangan yang dilakukan lawan lebih banyak meng-andalkan cakar kaki dan tangannya. Dan dia pun sudah mencium hawa beracun dari situ. Maka Rangga terpaksa harus berhati-hati sekali meng-hadapinya.
"Sial! Ternyata kau berisi juga rupanya. Tapi sebentar lagi kau akan mampus di tangan Setan Alam Kubur!"
"Ki sanak, nyawa seseorang itu bukan kau yang menentukan. Jadi jangan harap aku takut dengan gertakmu itu!"
"Kurang ajar! kau pikir bisa bertingkah di depan Selan Alam Kubur! Yeaaa...!"
"Heh!"
"Glaaar!" Rangga tersentak kaget. Tiba-tiba saja dari telapak tangan Selan Alam Kubur menderu se?berkas angin hitam bergumpal dan menimbulkan ledakan dahsyat ketika menghantam beberapa batang pohon yang langsung tumbang menjadi serpihan kecil. Udara di sekitar tempat itu langsung terasa pengap seperti mengandung racun hebat. Rangga langsung menyuruh Rajawali raksasa itu untuk terbang sambil mengibas-ngibaskan sa?yapnya menghalau kabut hitam itu.
"Sial! Mampus kau! Mampus...!" bentaknya kesal sambil menghamburkan pukulan Setan Hi?tam berkali-kali ke arah Rangga dan burung Rajawali raksasa itu. Rangga terkejut kaget. Dia saja agak ke-walahan menghindari pukulan maut lawan, bagai?mana jadinya jika mengenai Rajawali yang tak mampu bergerak cepat unluk menghindar" Berpikir begitu dia langsung mengeluarkan pedang pusakanya. Saat itulah seberkas sinar biru me-nerangi tempat itu sesaat. Rangga mengelus ba-lang pedang dengan tangan kiri, kemudian ber?teriak nyaring sambil menghantamkan pukulan yang mengeluarkan sinar biru untuk memapaki pukulan lawan.
"Aji CAkra Buana Sukma!"
"Glaaar!"
"Heh!" Selan Alam Kubur terkejut bukan main. Se?lama ini pukulannya belum pernah ada yang me?nandingi. Tapi sinar biru yang keluar dari pu?kulan pemuda itu mampu membuyarkannya de?ngan menimbulkan suara menggelegar dan asap hitam yang mengepul ke atas.
"Yeaaa...!" Selan Alam Kubur sudah langsung me?nyerang pemuda itu dengan hati penasaran. Tapi Rangga alias Pendekar Rajawali Sakli pun telah bersiap, menyambutnya. Wajah pemuda ilu tam?pak kelam dan sadis membayang hawa maut yang tak kenal ampun. Begitu pedangnya berkelebat, terasa hawa panas yang mengiringi suara menggaung dahsyat.
"Tras! "Tap!"
"Sreeet!"
"Akh!" Ketika cakar tangan lawan bermaksud me-nyambar tenggorokannya Rangga langsung me-mapas kuku-kuku beracun itu hingga putus. Be?gitu juga ketika tubuh Setan Alam Kubur ber?balik dan bermaksud menipu lawan dengan me?nyerang bagian perut Pendekar Rajawali Sakti dengan sambaran kuku-kuku kakinya. Tapi lagi-lagi dibabat putus oleh pedang pusaka Pendekar Rajawali Sakti. Setan Alam Kubur bukan main kagetnya. Meski cakarnya terlihat biasa, tapi pengerahan tenaga dalamnya terpusat di situ. Tak heran bila kuku-kukunya menjadi senjata yang mematikan. Dengan berani dia berusaha menangkap pedang lawan dan bermaksud mematahkannya. Tapi akhirnya dia sendiri yang terpekik kaget ketika Rangga menariknya dengan keras hingga telapak tangannya terkelupas. Tapi anehnya telapak ta?ngannya tak mengeluarkan setetes darah pun!"
"Yeaaa...!"
"Hiyaaa...!"
Glaaar!'' Pada saat itu juga dari telapak kaki kiri Setan Alam Kubur melesat sinar hitam pada jarak dekat menghantam. Pendekar Rajawali Sakti tak punya pilihan selain memapaki dengan Aji Cakra Buana Sukma dengan pengerahan tenaga penuh. Ledak-an dahsyat terjadi. Kedua tubuh itu terlempar jauh. Tapi tubuh Setan, Alam Kubur hancur se?perti dihantam ledakan dahsyat menjadi be?berapa potong dengan keadaan rusak tak bisa dikenali lagi. Sementara Rangga sendiri nafasnya megap-megap dengan darah kental menetes di sudut bibirnya. Rangga berusaha tegak berdiri, tapi kedua kakinya terasa goyah dan bergetar sebelum akhirnya dia ambruk dalam keadaan bersila di tanah.
"Rangga...!" Dewi Komalasari memburunya sambil men?jerit lirih dengan wajah cemas.
"Tenanglah Dewi, aku tak apa-apa. Pe?ngerahan tenaga dalam sepenuhnya membuatku lemas seperti tak bertenaga. Tapi sebentar lagi tentu akan pulih..." sahut Rangga lirih sekali. Pedang pusaka di tangannya seperti tak kuat lagi di genggamnya. Dewi memasukkan benda itu ke dalam warangkanya dan mengurut-urut be?berapa bagian tuhuh Pendekar Rajawali Sakti'' sambil menyalurkan hawa murni. Perlahan-lahan wajah Rangga yang sebelum?nya pucat, kini mulai segar meski rasa nyeri di dadanya belum hilang betul. Tapi dia sudah bisa bangkit dan menepuk-nepuk pundak gadis itu.
"Terima kasih, Dewi...."
"Tak selayaknya kau berkata begitu. Kaupun pernah menolongku...." Rangga tersenyum kecil. Kemudian dia ter-ingat pada ketiga tokoh yang tadi bertarung de?ngan Setan Alam Kubur, Buru-buru keduanya menghampiri. Dua orang diantara mereka yang tadi bersemadi tampak lesu ketika memandang salah seorang teman mereka yang nyawanya ru-dah tak tertolong lagi.
"Terima kasih atas pertolonganmu. Ki sanak. Siapakah Ki sanak sebenarnya?" Tanya Ki Anusa Gengger sambil bangkit menatap pemuda berbaju rompi putih itu lekat-lekat.
"Namaku, Rangga! Tapi orang-orang lebih mengenalku dengan gelar Pendekar Rajawali Sakli...."
"Ah. Tak pelak lagi dugaanku! Melihat bu?rung Rajawali raksasa itu dugaanku pastilah kau orangnya. Sayang. Ki Sempang Arga telah tiada. Kalau tidak dia pasti senang sekali melihat ke-hadiranmu di sini." Rangga cuma bisa tersenyum kecut sambil memandang sesosok tubuh Ketua Perguruan Merpati Putih yang nyawanya tak tertolong ka?rena racun yang mengendap di tubuhnya telah menjalar sampai ke jantung.
"Ki sanak, kulihat kalian pun belum berhasil mengeluarkan racun di tubuh. Aku ingin membbantu, tapi saat ini tenagaku habis terkuras...."
"Ah, tidak perlu. Tak lama lagi kami tentu akan berhasil mengeluarkan racun ini." sahut Ki Anusa Gengger.
"Kalau begitu, syukurlah. Karena tak ada urusan lagi, maka kami permisi dulu kata Rangga. Mereka bermaksud menahan pemuda itu agak lama, tapi dengan halus Rangga menolak dengan alasan akan melanjutkan berjalan lagi. Keduanya meninggalkan tempat itu dengan menaiki burung Rajawali raksasa. Dewi Komala?sari lebih berjanji untuk merawat pemuda itu sampai sembuh. Semula Rangga menolak. Tapi karena gadis itu memaksa, maka dia pun menyetujuinya. Mereka berdiam sementara di pon?dok tempat gadis itu dibesarkan selama ini oleh Gurunya. Itu pun setelah si gadis menyetujui bah?wa begitu luka dalam yang diderita Pendekar Rajawali Sakti sembuh, maka saat itu pula perpisahan mereka terjadi.
TAMAT
INDEX PENDEKAR RAJAWALI SAKTI | |
Harpa Neraka --oo0oo-- Gadis Serigala |