Raja Iblis Dari Utara
tanztj
May 04, 2017
INDEX PENDEKAR NAGA PUTIH | |
Penghuni Rimba Gerantang --oo0oo-- Penjagal Alam Akhirat |
PANJI
Pendekar Naga Putih
Karya: T. Hidayat
EP : RAJA IBLIS DARI UTARA
Pendekar Naga Putih
Karya: T. Hidayat
EP : RAJA IBLIS DARI UTARA
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
←₪֎ [ SATU ] ֎₪→
Di sebuah tanah lapang, tampak dua sosok tubuh tengah bertempur sengit. Beberapa batang pohon sepelukan orang dewasa roboh terkena pukulan nyasar. Dapat dibayangkan betapa hebatnya kepandaian kedua orang yang tengah bertarung itu!
"Heaaat...!" Sesosok tubuh kurus jangkung berjubah putih memekik keras! Tubuhnya melayang di udara sambil melontarkan dua buah pukulan yang menimbulkan suara mencicit tajam, pertanda tenaga dalamnya hampir mencapai kesempurnaan.
Sementara lawannya yang bertubuh tinggi besar dan bercambang bauk menggeram keras. Kedua belah tangannya diputar-putar sedemikian rupa hingga menimbulkan putaran angin kencang. Demikian hebatnya putaran angin yang ditimbulkan, sehingga daerah di sekitarnya bagaikan tengah dilanda angin topan! Bukan main! Rupanya kedua orang yang sedang bertarung itu merupakan tokoh-tokoh tingkat tinggi yang jarang tertandingi.
"Yeaaat...!" Sambil memekik nyaring, tubuh si tinggi besar melesat memapak serangan lawannya. Dan....
"Blarrr!" Terdengar suara ledakan menggelegar. Akibatnya tubuh kedua orang sakti itu terpental ke belakang, seolah-olah ada tangan-tangan raksasa yang melempar tubuh mereka. Namun keduanya segera melakukan salto di udara, sehingga dapat menjejak permukaan bumi dengan baik.
"Ha ha ha.... Ayo! Keluarkan seluruh ilmu yang kau miliki, Dewa Gunung Kebat!" teriak orang yang bertubuh tinggi besar sambil tertawa menantang. Perutnya yang buncit turut terguncang-guncang ketika tertawa. Luar biasa sekali kekuatan daya tahan tubuh orang ini! Sedikit pun ia tidak terpengaruh oleh benturan tenaga dalam tadi, malah ia masih dapat memanaskan perut lawannya.
"Hm... jangan kau merasa sombong dulu, Reksa Pati! Ilmu 'Perogoh Sukma' milikmu tak banyak berarti bagiku!" sahut si kakek tak mau kalah. Wajahnya yang sudah berkeriput tampak tenang. Rupanya kakek yang berjuluk Dewa Gunung Kebat itu pun tidak menderita luka.
"Jangan takabur dulu, peot! Ilmu yang kukeluarkan itu belum seberapa! Lebih baik kau berdoa agar kematianmu nanti dapat lebih mudah," ejek orang yang disebut Reksa Pati tadi. Wajahnya yang bertotol-totol hitam itu tampak memerah karena gembira. Luar biasa sekali keberanian yang dimiliki si tinggi besar itu. Padahal musuh di hadapannya bukanlah tokoh sembarangan, tapi ia masih sempat tertawa-tawa mengejek.
Dewa Gunung Kebat hanya tersenyum menanggapi ucapan lawannya. Wajahnya tetap tenang. Wajah seorang tua bijaksana dan penuh wibawa yang merasa yakin akan kemampuannya. "Hm..., kau mau bertarung atau cuma ingin mengumbar kesombongan, Reksa Pati?" tanya kakek itu tetap sabar.
"Bangsat! Hei manusia peot, ayo kita lanjutkan pertarungan kita!" bentak Reksa Pati gusar. Laki-laki tinggi besar berusia enam puluhan itu menghentak-hentakkan kakinya dengan geram. Kemudian tangannya kembali bergerak menutup dan mengembang. Wajahnya kemerahan karena saat itu ia tengah mulai memusatkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya. Asap tipis mengepul ketika kedua belah telapak tangannya digosok-gosokkan.
"Hm..., ilmu 'Telapak Lidah Api'...," gumam Dewa Gunung Kebat. Setelah berkata demikian, kakek itu pun bergegas melakukan sebuah gerakan yang luar biasa cepatnya. Sepasang tangannya berputar-putar bersilangan. Makin lama semakin cepat hingga menimbulkan pusaran hawa dingin yang menusuk tulang sum-sum.
"Hm..., ilmu 'Tapak Sakti Inti Salju'...," si tinggi besar bergumam ketika ia melihat ilmu yang diperlihatkan lawannya.
"Heaaat..!"
"Hiaaa...!"
Kedua tokoh itu kembali melompat saling terjang! Reksa Pati yang menggunakan ilmu 'Telapak Lidah Api', menjulurkan kedua belah tangannya bergantian. Lidah-lidah api menyembur keluar dari telapak tangannya. Ilmu yang dipergunakan si tinggi besar benar-benar berbahaya sekali. Berkali-kali Dewa Gunung Kebat hampir terjilat lidah api itu. Untunglah ilmu meringankan tubuhnya yang hebat itu dapat membuat tubuhnya bergerak gesit, sehingga serangan-serangan Reksa Pati selalu mengenai angin kosong.
Krak! Brill!
Sebatang pohon yang berada di belakang Dewa Gunung Kebat berderak patah. Bagian tengah batangnya hangus terbakar akibat terkena pukulan ilmu 'Telapak Lidah Api' yang nyasar.
"Ha ha ha..., sebentar lagi tubuh peotmu itulah yang hangus terbakar!" ejek Reksa Pati seraya tertawa bergelak.
"Jangan sesumbar dulu, Reksa Pati! Lihat seranganku!" balas Dewa Gunung Kebat sambil melontarkan sebuah pukulan kilat 'Tapak Sakti Inti Salju' yang terkenal ampuh.
"Wusss!" Serangkum angin dingin berhembus keras mengiringi pukulan yang dilancarkan pendekar tua itu.
"Blarrr!" Sebuah batu sebesar perut kerbau pecah berhamburan diikuti dengan suara ledakan keras! Untunglah Reksa Pati sempat menghindari pukulan maut itu. Kalau saja ia lengah, dapat dipastikan tubuhnya luluh lantak tak berbentuk lagi. Reksa Pati mendecakkan lidahnya takjub!
"Hiahhh...!" secepat kilat Reksa Pati melontarkan pukulan balasan yang tidak kalah ganasnya. Hawa panas berkesiuran menyertai pukulannya.
Dewa Gunung Kebat menggeser kaki kanannya ke belakang. Serangan pertama lewat hanya beberapa rambut di samping tubuhnya. Ketika pukulan kedua meluncur deras ke arah pelipis, kakek itu segera mengangkat tangan kanannya sambil merendahkan kuda-kuda.
"Aaakh...!"
"Uuukh...!"
"Cesss!" Terdengar suara mendesis bagaikan bara api dicelupkan ke dalam air ketika kedua pukulan yang berlawanan itu bertemu. Tubuh keduanya terjajar mundur sejauh tiga tombak. Darah segar menetes pelahan dari sela-sela bibir Dewa Gunung Kebat. Cepat-cepat dikerahkannya hawa murni untuk mengusir rasa nyeri yang menusuk dadanya. Dari sini dapat diketahui bahwa tenaga dalamnya berada satu tingkat di bawah lawan.
"Hm...! Terimalah kematianmu, peot!" sambil membentak keras, Reksa Pati yang sama sekali tidak terluka itu sudah melompat sambil mengirimkan dua pukulan beruntun mematikan!
Singgg!
"Aihhh...!" Reksa Pati berteriak kaget! Cepat dilempar tubuhnya ke belakang sambil melakukan salto sebanyak empat putaran. Tubuhnya mendarat ringan sejauh empat batang tombak dari lawan. Wajahnya agak pucat karena perutnya nyaris tertusuk pedang.
Rupanya pada saat gawat itu, Dewa Gunung Kebat sempat mencabut pedang di pinggangnya. Secepat ia mencabut, secepat itu pula pedangnya berdesing menyambar tubuh lawan. Untunglah Reksa Pati cepat mengetahui gerakan itu. Kalau tidak, dapat dipastikan bahwa perutnya sudah terburai.
"Keparat!" laki-laki tinggi besar itu menjadi gusar. Kedua tangannya meraba pinggang. Sesaat kemudian, di tangannya telah tergenggam dua buah senjata kecer. Senjata itu berbentuk bulat tipis bagaikan piring lebar. Pada bagian dalamnya terdapat tempat untuk jari-jari tangan.
Cerrr! Cerrr!
Sepasang senjata itu dibenturkan satu sama lain hingga menimbulkan suara memekakkan telinga. Inilah senjata andalan Reksa Pati. Senjata itu memiliki gerigi pada sisinya. Benar-benar sebuah senjata yang aneh dan mengerikan!
Dewa Gunung Kebat cepat memutar-mutarkan pedangnya hingga menimbulkan suara berdengung untuk mengatasi suara kecer. Pikirannya dipusatkan agar tidak terpengaruh suara tersebut.
"Ha ha ha..., bersiaplah menerima kematianmu, kakek peot!" setelah berkata demikian, tubuh Reksa Pati kembali melesat bagai kilat menerjang.
Kakek itu mencelat ke atas ketika senjata Reksa Pati mengancam lambungnya. Secepat kilat ia melakukan balasan dengan sabetan pedang ditujukan ke kepala lawan. Terdengar suara berdentang nyaring ketika pedang di tangan pendekar tua itu beradu dengan senjata Reksa Pati yang berusaha melindungi kepalanya. Kakek itu melompat dan berputar beberapa kali menjauhi lawannya. Reksa Pati kembali membenturkan senjatanya hingga menimbulkan suara yang memekakkan telinga. Dewa Gunung Kebat terkejut mundur sambil mendekap telinganya. Pada saat itu tubuh lawannya melayang ke arahnya. Sepasang kecernya ber- siutan menyambar-nyambar mencari sasaran.
Trang! Trang!
Dua kali si kakek berhasil mematahkan serangan lawan. Namun karena posisi lawannya lebih kuat menekan, maka tubuh tua itu terdesak mundur. Reksa Pati tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan emas ini. Pada saat itu juga sepasang kakinya terangkat menghantam dada lawan yang terbuka pertahanannya.
Des! "Ughhh...!" Tubuh kurus itu terlempar ke belakang. Tendangan kedua kaki Reksa Pati yang disertai dorongan tenaga sakti itu tepat mengenai sasaran.
"Huakkk...!" Segumpal darah segar keluar dari mulut Dewa Gunung Kebat. Dadanya terasa remuk redam. Si kakek berdiri terhuyung- huyung sambil berusaha memperbaiki posisi kuda- kudanya. Tapi Reksa Pati tidak memberi kesempatan. Secepat kilat tubuhnya melesat dengan sepasang senjata berdesing mengancam leher dan perut lawan.
Trang!
Sambaran kecer yang meluncur ke arah perutnya masih sempat ditangkis walaupun dengan susah payah. Namun sayang sambaran kecer yang menuju lehernya tak sempat lagi dielakkan. Maka....
"Cras!" Dewa Gunung Kebat tak sempat lagi bersuara. Tahu-tahu kepalanya sudah menggelinding putus terbabat kecer!
Desss!
Reksa Pati kembali melontarkan sebuah tendangan ke arah tubuh tanpa kepala yang masih berdiri tegak. Tubuh jangkung tanpa kepala itu terlempar sejauh enam tombak. Darah segar mengucur deras dari luka-luka di lehernya. Setelah berkelojotan beberapa saat, akhirnya tubuh itu tidak bergerak-gerak lagi untuk selama-lamanya.
"Ha ha ha...!" Suara tawa kemenangan Reksa Pati bergema ke lembah-lembah. Reksa Pati berlari cepat menuruni Lereng Gunung Kebat. Tubuh tinggi besar itu melayang bagaikan seekor burung besar yang tengah bermain-main.
* * * * *
Beberapa hari kemudian, tampak tujuh orang laki-laki gagah berjalan beriringan mendatangi Lereng Gunung Kebat. Dari langkah-langkahnya yang ringan, jelas terlihat kalau mereka rata-rata memiliki kepandaian yang tinggi. Tak berapa lama kemudian, tujuh orang itu pun telah tiba di atas puncak gunung.
"Aneh, perasaanku tidak enak, Kakang?" ujar salah seorang dari mereka lirih. Orang itu bertubuh sedang. Pada raut wajahnya yang tampan, terhias sebaris kumis tipis. Di punggungnya tergantung sebatang pedang serupa dengan milik keenam orang lainnya.
"Hm...," yang diajak bicara hanya bergumam tak jelas. Langkahnya dihentikan sambil mengedarkan pandangannya merayapi daerah di sekitarnya. Sepertinya ia pun memiliki perasaan yang sama.
Ketujuh orang itu meneruskan langkahnya menuju sebuah pondok yang terletak tidak jauh dari tempat mereka berdiri. Dari sikapnya, jelas terlihat seperti membaui sesuatu yang tak beres.
"Guru...!" seru orang tertua sambil mengulurkan tangannya membuka pintu pondok. "Hm..., tidak terkunci?" gumamnya heran. Sementara ia membuka pintu pondok, enam orang lainnya bersiaga sambil mencabut pedang di punggung mereka.
"Kalian bertiga tunggu di luar! Biar aku dan yang lainnya yang memeriksa keadaan di dalam pondok!" ucap yang satunya lagi pelan seraya bergerak mengikuti langkah saudara tertuanya memasuki pondok. Orang itu bertubuh kekar dan berkumis tebal.
Empat orang laki-laki gagah itu mengerutkan alisnya ketika mendapati isi pondok itu ternyata kosong! Meskipun mereka memeriksa hingga ke ruang belakang, namun tidak dijumpainya juga orang yang dicarinya. Keempat orang itu segera bergegas menemui saudara- saudaranya di luar.
"Kosong!" ujar laki-laki gagah yang berusia paling tua itu cepat sebelum yang lainnya sempat bertanya. Rupanya ketujuh orang laki-laki gagah itu adalah murid-murid Dewa Gunung Kebat. Dalam rimba persilatan mereka dijuluki Tujuh Pedang Pembelah Samudra. Pada hari ini mereka bermaksud mengunjungi sang guru setelah merantau kurang lebih dua tahun lamanya.
"Apa tidak sebaiknya kita berpencar, Kakang Bandawa?" usul salah seorang dari mereka kepada orang tertua yang bernama Bandawa itu.
"Baik sekali usulmu, Gumadi. Kalau begitu, mari kita berpencar. Apabila salah seorang dari kita menemukan Guru, berilah tanda dengan siulan," ujar laki-laki tertua yang dipanggil Bandawa tadi.
Sedetik kemudian, ketujuh murid Dewa Gunung Kebat itu sudah berpencar. Sekali menggerakkan tubuh saja, ketujuh orang itu telah lenyap ditelan rimbunan pohon.
"Tolong..., tolong...!" tiba-tiba terdengar sebuah teriakan memecah keheningan.
Bandawa yang berada paling dekat dari asal suara itu segera melesat menuju arah sumber suara. Beberapa saat kemudian, sepasang matanya. yang tajam menangkap sesosok tubuh yang tengah berlari tunggang langgang menuruni lereng gunung.
"Hup!" Kedua kaki Bandawa menjejak bumi. Sesaat kemudian tubuh laki-laki gagah itu sudah melayang mengejar orang itu. Dalam beberapa lompatan saja, Bandawa telah berdiri menghadang.
"Hah! Se... setan...! Tolong ada setaaan...!" orang itu berteriak-teriak ketakutan ketika tahu-tahu saja di hadapannya telah berdiri seorang laki-laki gagah.
"Tenang, Kisanak. Aku bukan setan seperti yang kau kira. Aku manusia biasa seperti kau. Lihatlah baik-baik," ujar Bandawa ramah.
"Betulkah..., betulkah kau bukan setan? Tapi..., tapi mengapa kau bisa terbang?" tanya laki-laki yang rupanya seorang pencari kayu. Sambil berkata demikian, laki-laki itu memandangi Bandawa mulai dari ujung kaki sampai ke ujung rambut.
"Hm..., sudahlah," hibur Bandawa sambil tangannya terulur menyentuh bahu si pencari kayu dengan lembut. "Nah, sekarang coba kau ceritakan kepadaku. Mengapa engkau sampai berlari bagai dikejar hantu? Apa yang kau lihat di atas sana?" tanya Bandawa pelan.
"Mayat!" jawabnya orang itu sambil menengok ke kiri-kanan seolah-olah ia takut kalau mayat itu mengejarnya.
"Mayat?! Di mana? Mayat siapa? Ayo tunjukkan padaku!" tanya Bandawa berdebar. Karena ketegangan yang menyelimuti dirinya, tanpa sadar ia menekan pundak si pencari kayu kuat-kuat. Bandawa baru tersadar ketika orang itu mengaduh kesakitan. Cepat dilepaskannya cengkeraman di pundak orang itu.
"Tapi..., mayat itu tanpa kepala...." sambil berkata demikian, matanya berputar liar. Sepertinya orang itu memang benar-benar takut.
"Tidak perlu takut! Kalau mayat itu bangkit, biar aku yang akan menghadapinya nanti. Ayo!"
Bandawa yang mulai tak sabar itu segera menarik tangan orang itu. Dengan terpaksa si pencari kayu menuruti kemauan Bandawa. Kedua kakinya agak gemetar ketika melangkah. Tidak berapa lama kemudian, mereka pun tiba di bagian sebelah Barat puncak gunung itu. Di hadapan mereka terbentang sebuah tanah lapang yang cukup luas. Bandawa merayapi sekitar tempat itu dengan kening berkerut. Jantungnya berdebar tegang ketika didapatinya daerah sekitar tempat itu banyak pohon-pohon yang tumbang.
"Hm..., sepertinya di tempat ini telah terjadi pertempuran pada beberapa hari yang lalu," gumam laki-laki gagah itu semakin tegang. Secepat kilat tubuhnya melesat ke tengah-tengah tanah lapang berumput tebal itu.
"Di mana mayat itu?" tanya Bandawa agak memburu. Ketegangan dan kekhawatiran akan keselamatan gurunya membuat Bandawa tak dapat bersikap tenang lagi.
"Di dekat pohon itu...!" sahut orang itu gugup. Setelah berkata demikian, dia pun langsung melarikan diri meninggalkan Bandawa. Rupanya rasa takut yang menguasainya, benar-benar sudah tak dapat dikendalikan lagi.
Sementara itu Bandawa sudah melesat menghampiri pohon yang ditunjuk orang tadi. Laki-laki gagah itu berdiri dengan wajah pucat! Kedua lututnya terasa lemas melihat pemandangan di hadapannya.
"Guru...," Bandawa menjatuhkan kedua lututnya di tanah. Laki-laki gagah itu tak mampu lagi membendung air matanya. Pikirannya kacau hingga tak ingat lagi untuk memberi tanda kepada saudara- saudaranya yang lain. Hatinya benar-benar terguncang melihat mayat orang tua yang amat dihormatinya itu. Setelah berhasil menguasai perasaan- nya, barulah Bandawa teringat untuk memberitahu saudara-saudaranya. Suara siulan Bandawa bergetar karena kesedihan hatinya yang mendalam.
"Kakang, kau menemukan sesuatu?" belum lagi gema siulannya lenyap, keenam adik seperguruannya sudah berlompatan menghampiri Bandawa. Keenam orang itu tak sempat bertanya lagi. Tubuh mereka langsung bergetar ketika mengenali sosok mayat tanpa kepala terpampang di hadapannya.
"Guru...!" enam orang laki-laki gagah yang pantang menangis dalam menghadapi apa pun itu, akhirnya menitikkan air mata di hadapan mayat sang guru.
Tujuh Pedang Pembelah Samudra yang selama ini ditakuti kaum sesat itu, kini menangis tersedu-sedu mengelilingi guru mereka yang telah menjadi mayat!
* * * * *
←₪֎ [ DUA ] ֎₪→
Mendengar perkataan itu, saudara-saudaranya mengangguk setuju. Sesaat kemudian, mereka sudah menyebar mencari penggalan kepala Dewa Gunung Kebat. Setelah berhasil menemukan penggalan kepala gurunya, ketujuh orang itu segera menguburkan jenazahnya.
"Guru, kami tujuh orang muridmu berjanji akan mencari pembunuhmu sampai dapat. Untuk sementara kami akan menetap di sini guna memperdalam ilmu silat kami. Karena kami sadar kalau kepandaian pembunuhmu pastilah sangat tinggi," janji Bandawa mewakili saudara-saudaranya yang lain. Ketujuh murid Dewa Gunung Kebat itu bangkit dan memberikan penghormatan terakhir di hadapan makam guru mereka.
Mulai hari itu ketujuh murid Dewa Gunung Kebat berlatih giat. Mereka terus memperdalam ilmu 'Tujuh Pedang Membelah Samudra' yang merupakan ilmu tertinggi yang pernah diajarkan guru mereka. Tanpa mengenal lelah, tujuh laki-laki gagah itu terus berlatih guna menuntut balas atas kematian guru mereka.
"Hari ini adalah hari terakhir kita berlatih. Marilah kita satukan seluruh perhatian dan kekuatan kita," ujar Bandawa yang memimpin adik-adik seperguruannya dalam setiap latihan.
Setelah berkata demikian, orang tertua dari Tujuh Pedang Pembelah Samudra itu melompat ke belakang. Kedua kakinya menekuk rendah. Kaki kanannya yang berada di depan, berada dalam posisi jinjit. Sementara tangan kanannya yang menggenggam pedang terangkat ke atas, melintang di atas kepala. Sedangkan tangan kirinya berada di depan dada. Gerakan Bandawa segera diikuti oleh saudara-saudaranya. Namun posisi kuda-kuda mereka berlainan. Inilah salah satu keistimewaan ilmu 'Tujuh Pedang Membelah Samudra'. Masing-masing mempunyai gerakan yang berlainan. Meskipun demikian mereka tetap mempunyai kekuatan dan tujuan yang satu.
"Hiyaaa...!" Tiba-tiba Bandawa berseru keras. Pedang di tangan kanannya bergerak cepat menimbulkan angin berkesiuran. Sinar pedangnya bergulung-gulung bagaikan ingin membelah gelombang samudra!
Bentakan Bandawa disambut bentakan- bentakan lainnya. Satu persatu adik seperguruannya mulai bergerak sesuai dengan tugasnya masing-masing.Hebat sekali ilmu pedang yang dimainkan ketujuh orang murid Dewa Gunung Kebat itu. Angin keras berdesing menyambar-nyambar ke segala penjuru.Kadang-kadang ujung-ujung pedang mereka nampak laksana seekor ular yang tengah meliuk-liuk di atas rerum- putan. Namun di lain saat ketujuh mata pedang itu menyambar ganas bagaikan seekor burung elang menyambar mangsa. Benar-benar hebat sekali ilmu yang dipertunjukkan tujuh jago pedang itu!
"Heaaat..!"
Pada akhir gerakan, ketujuh orang pendekar itu berteriak nyaring secara bersamaan. Teriakan itu sengaja mereka lakukan guna membuyarkan perhatian lawan. Tapi pada saat itu juga, ketujuh orang itu melesat secara bergelombang saling susul menyusul.
Singgg! Singgg! Singgg...!
Sinar pedang berkelebatan sambil mengeluarkan sinar yang menyilaukan. Tujuannya adalah untuk mengaburkan pandangan lawan. Tujuh pedang itu secara bergantian membabat dalam posisi yang berlainan. Setelah itu mereka pun berloncatan mundur sambil menyusut keringat yang meleleh membasahi wajah. Memang hebat sekali ilmu pedang yang dipertunjukkan tujuh murid Dewa Gunung Kebat. Apabila lawan tidak berhati-hati, pastilah sudah kehabisan tenaga dalam menghadapi serbuan tujuh mata pedang yang bagaikan tak pernah habis itu.
"Hhh..., puas rasanya hatiku melihat kemajuan yang kita capai selama beberapa bulan ini," ucap Bandawa berseri-seri. Wajahnya tampak segar kemerahan. Beberapa tetes keringat masih menghias wajahnya.
"Yahhh..., tidak sia-sia jerih payah kita selama ini. Semoga arwah guru merasa bahagia melihat keberhasilan kita," timpal Gumadi yang merupakan orang kedua setelah Bandawa. Wajahnya yang gagah, mengulum senyum puas.
"Kalau begitu, besok kita dapat meninggalkan tempat ini," sahut yang lainnya gembira. Biar bagaimanapun, kembali ke dunia ramai merupakan suatu hal yang sangat menyenangkan.
Selesai berlatih, ketujuh orang saudara seperguruan itu berkemas-kemas untuk meninggalkan Gunung Kebat keesokan harinya. Angin sejuk bertiup agak keras seolah-olah ikut menyambut kegembiraan Tujuh Pedang Pembelah Samudra.
* * * * *
Matahari belum lagi menampakkan sinarnya. Kokok ayam hutan telah terdengar bersahut-sahutan menyambut datangnya sang pagi. Alam masih terselimut kegelapan yang meremang. Di tengah keremangan pagi itu, tampak Tujuh Pedang Pembelah Samudra berlutut di depan sebuah makam yang terawat rapi. Makam itu adalah tempat beristirahatnya Dewa Gunung Kebat, guru mereka.
"Guru..., kami mohon restu untuk mencari pembunuhmu. Semoga kami dapat membalaskan kematianmu sesuai dengan apa yang telah dilakukannya terhadapmu," Bandawa memejamkan matanya menahan keharuan yang menyeruak dalam rongga dadanya. Sesaat kemudian, ia pun bangkit. Setelah menarik napas panjang, Bandawa melangkah meninggalkan makam gurunya diikuti adik-adik seperguruannya.
Bersamaan dengan munculnya cahaya keperakan di kaki langit sebelah Timur, tampak tujuh sosok berlarian menuruni Lereng Gunung Kebat. Kabut putih yang memenuhi lereng gunung, tidak menjadi halangan bagi mereka. Sorot mata mereka yang tajam mampu menembus kepekatan sang kabut. Sesekali tubuh ketujuh orang itu tampak melambung ke atas melompati batu besar yang banyak bertonjolan di sepanjang jalan. Gerakan-gerakan mereka tampak lebih gesit dan lincah daripada beberapa bulan sebelumnya. Mereka benar-benar telah mencapai kemajuan pesat sekali. Pada saat sinar matahari mulai menebar ke permukaan bumi, ketujuh orang itu sudah tiba di kaki gunung. Sebuah aliran sungai yang berair jernih menghadang perjalanan mereka.
"Arah mana yang sebaiknya kita tuju, Kakang?" tanya salah seorang adik seperguruannya kepada Bandawa, sambil mengedarkan pandangannya.
"Hm..., bagaimana menurutmu, Adi Gumadi?" Bandawa melemparkan pertanyaan kepada adik seperguruannya yang lain. Meskipun keputusan berada di tangannya, namun ia ingin meminta pendapat dari saudara-saudaranya terlebih dahulu.
"Bagaimana kalau kita ke arah Barat saja dulu, Kakang? Arah itu lebih cepat menuju desa terdekat. Bukankah kita harus mencari keterangan terlebih dahulu tentang rupa dan ciri-ciri si pembunuh?" ujar Gumadi.
"Baiklah! Kalau begitu kita ke arah Barat," sahut Bandawa sambil bergegas melangkahkan kakinya menyeberangi sungai. Sepasang kakinya bergerak lincah ber- loncatan di atas tonjolan batu-batu yang banyak terdapat di sungai itu.
"Kita harus mempercepat perjalanan, ayo!" ajak Bandawa, begitu mereka telah melewati sungai. Sambil berkata demikian, Bandawa pun melesat mendahului yang lainnya. Gerakan orang tertua dari Tujuh Pedang Pembelah Samudra ini cepat sekali. Sekali lompat saja tubuhnya sudah berada jauh beberapa tombak di depan saudara-saudaranya.
"Ayo, kita berlomba!" usul Gumadi latah. Seketika itu juga tubuh mereka melesat saling mendahului.
Bandawa yang saat itu berada paling depan, mengembangkan senyumnya melihat kegembiraan adik-adik seperguruannya. Baru beberapa puluh tombak ia berlari, mendadak matanya menangkap sosok tubuh yang terbujur agak tersembunyi di balik semak-semak. Dengan penuh waspada, Bandawa melangkah mendekati sosok itu. Kening pendekar itu berkerut ketika melihat percikan darah yang telah mengering menempel pada dedaunan. Cepat ia mencabut pedang di punggungnya. Sekali lompatan saja, tubuhnya sudah berada di balik semak belukar itu.
"Ahhh...!" Bandawa terguling ke kiri ketika kaki kanannya menginjak sebuah benda bulat. Setelah melenting bangkit, Bandawa mencari benda yang membuatnya terguling itu. Alangkah terperanjatnya pendekar itu ketika mengetahui benda bulat yang diinjaknya tadi ternyata adalah kepala manusia! Bandawa menyarungkan pedangnya setelah sebelumnya dipergunakan untuk memapas rerimbunan semak yang menutupi mayat itu. Pelahan-lahan sosok mayat itu ditariknya keluar dari rerimbunan semak.
"Ada apa, Kakang? Mayat siapa itu?" tanya Gumadi begitu tiba di tempat itu. Saudara-saudaranya yang lain ikut berkerumun dan menghujani Bandawa dengan berbagai pertanyaan.
Laki-laki gagah berusia empat puluh tahun itu mengangkat tangannya ke atas. Agaknya ia meminta saudara-saudaranya bersabar. Setelah keadaan menjadi hening, barulah Bandawa angkat bicara. "Kalian kenali mayat ini baik-baik! Siapakah dia?" ujar Bandawa kepada saudara-saudaranya. Sambil melontarkan pertanyaan itu, ditunjuknya kepala yang telah terpisah dari tubuhnya.
"Pendekar Golok Sakti...?!" teriak keenam saudara seperguruan Bandawa terkejut bercampur heran. Mereka kenal betul dengan Pendekar Golok Sakti. Beliau adalah seorang pendekar besar yang namanya menjadi momok bagi kaum sesat. Keharuman nama pendekar ini boleh dibilang hampir sejajar dengan guru mereka.
"Biadab! Pembunuhnya pastilah orang yang juga membunuh guru kita! Benar-benar iblis yang haus darah! Rasanya aku ingin mencincang tubuh iblis itu sampai lumat!" geram salah seorang adik seperguruan Bandawa sambil mengepalkan tangannya kuat-kuat.
"Sabarlah, Adi Supena. Pembunuh itu pastilah orang yang berilmu tinggi. Nyatanya guru kita dan Pendekar Golok Sakti saja tewas di tangannya," ujar Gumadi menenangkan adik seperguruannya yang bernama Supena. Hatinya pun sebenarnya merasa geram. Namun ia masih dapat menguasainya.
"Hm..., itu pun belum pasti, Adi Gumadi. Bisa jadi pembunuh itu tidak bertindak seorang diri. Mungkin saja guru kita dan juga pendekar ini tewas dikeroyok," Bandawa memberikan tanggapan atas dugaan Gumadi. Ia sengaja mengeluarkan pendapat demikian karena tidak ingin nyali adik-adiknya menjadi ciut bila membayangkan pembunuh guru mereka adalah seorang yang benar-benar berilmu tinggi.
"Ya! Mungkin saja, Kakang. Siapa tahu mereka memang tewas dikeroyok!" sahut Supena menyetujui ucapan kakak tertuanya itu.
"Sudahlah! Sekarang lebih baik kita kuburkan jenazah Pendekar Golok Sakti ini," ajak Bandawa kepada yang lainnya.
Dalam waktu singkat, di tempat itu sudah terlihat sebuah gundukan tanah merah yang letaknya agak ke tepi jalan. Tujuh Pedang Pembelah Samudra kemudian bergegas meninggalkan tempat itu meneruskan perjalanannya.
* * * * *
Seorang laki-laki tinggi besar berusia enam puluhan melangkah tegap. Di punggungnya tampak sepasang kecer yang bergerigi pada sisinya. Wajahnya yang bertotol-totol hitam menyiratkan kebengisan. Orang itu terus melangkah menghampiri sebuah pintu gerbang perguruan.
"Hm...!" orang yang tak lain adalah Reksa Pati, menggeram pelahan. Sesaat kemudian, tubuh gendut itu melesat menjambret papan nama yang bertuliskan 'Perguruan Gagak Putih'. Papan nama yang terbuat dari kayu jati tebal dan kuat itu lalu diinjaknya hingga hancur berkeping-keping. Setelah menghancurkan papan nama Perguruan Gagak Putih, Reksa Pati mengayunkan kakinya yang besar ke depan pintu gerbang perguruan itu.
"Hiah...!"
"Brakkk!" Pintu gerbang perguruan yang kokoh kuat itu jebol hingga menimbulkan suara gaduh. Kakek tinggi besar dan menakutkan itu mengibaskan tangannya menghalau kepingan-kepingan kayu yang bertebaran ke arahnya, sambil mengayunkan kakinya memasuki halaman perguruan.
"Hei! Orang gila dari mana datang-datang membuat keributan?!" bentak salah seorang dari dua penjaga pintu gerbang yang berlari mendatangi. Orang itu segera mengayunkan pedangnya membacok tubuh si pendatang.
"Hm...!" Reksa Pati hanya mendengus kasar. Sedikit pun ia tidak mempedulikan sambaran pedang yang membabat perutnya. Bagaikan orang yang tidak tahu bahaya, dia terus melanjutkan langkahnya.
"Mampuslah!" seru orang itu geram. Meskipun sebenarnya hati penjaga itu terkejut, namun ia tetap saja tidak menahan bacokannya.
Singgg! Trak!
"Aaakh...!" Aneh! Penjaga itu malah menjerit kesakitan ketika mata pedangnya menghantam perut gendut itu.
Perut Reksa Pati sama sekali tidak terobek seperti yang dibayangkan si penjaga. Malah pedangnya patah menjadi dua ketika bertemu perut si kakek. Si penjaga terpukul roboh. Tulang tangannya terasa patah. Penjaga gerbang itu beringsut menjauh dengan mata terbelalak ngeri.
"Huh! Tikus busuk tak tahu diri!" bentak Reksa Pati gusar. Setelah berkata demikian, tahu-tahu tubuh si penjaga yang masih telentang itu terangkat naik!
"Oh! Tolong...! Tolooong...!" orang itu berteriak-teriak ketakutan. Tubuhnya sudah terangkat kira-kira satu tombak di atas permukaan tanah! Benar-benar pertunjukan tenaga dalam yang sukar diukur kehebatannya.
"Pergilah!" bentak Reksa Pati sambil mengibaskan tangannya, bagaikan mengusir seekor lalat yang menjijikkan.
Hebat sekali akibat yang ditimbulkan oleh gerakan pergelangan tangan itu. Tubuh penjaga gerbang terpental deras bagai dilemparkan tangan raksasa yang tak tampak. Tubuh itu terus meluncur ke arah sebatang pohon yang berjarak sekitar empat tombak jauhnya.
Derrr! "Heghk...!" Krak!
Terdengar suara berderak keras tanda tulang-belulang orang itu berpatahan ketika tubuhnya membentur batang pohon sepelukan orang dewasa. Darah berhamburan dari mulut dan kepalanya yang retak. Sesaat kemudian, terdengar suara berderak yang disusul suara hiruk pikuk! Kiranya batang pohon tadi ikut pula tumbang! Dapat dibayangkan, betapa hebatnya tenaga sakti yang dimiliki kakek tinggi besar yang menyeramkan itu.
"Pembunuh gila! Kucincang tubuhmu! Hiaaat...!" penjaga yang seorang lagi berteriak marah. Meskipun hatinya berdebar melihat kesaktian si kakek, tapi kematian temannya membuat ia tidak berpikir tentang rasa takut Tanpa pikir panjang lagi, penjaga itu menusukkan tombaknya ke perut Reksa Pati.
Trak!
Tombak itu patah menjadi tiga bagian ketika menyentuh perut Reksa Pati. Orang itu terbelalak pucat. Tubuhnya gemetar. Ketika tangan kakek tinggi besar itu menampar kepalanya, terdengar suara gemeretak. Penjaga gerbang itu tewas seketika. Tamparan yang kelihatannya pelahan itu ternyata telah membuat kepala si penjaga pecah! Darah segar bercampur cairan putih menggenang membasahi pekarangan Perguruan Gagak Putih.
"Tolooong...! Ada pembunuh gila...!" teriak beberapa orang murid yang ikut menyaksikan kejadian itu sambil berlarian ketakutan.
Perguruan Gagak Putih gempar! Dalam waktu singkat, tempat itu telah dipenuhi puluhan orang murid Perguruan Gagak Putih. Mereka mengepung Reksa Pati yang masih berdiri di tengah pelataran. Beberapa di antaranya berteriak-teriak marah sambil mengacung-acungkan senjatanya. Namun, tak seorang pun di antara mereka yang berani maju. Kekejaman yang baru saja dipertunjukkan Reksa Pati membuat mereka harus berpikir dua kali untuk maju.
"Iblis biadab!" maki seorang murid yang ikut mengepung. "Kita bunuh saja iblis itu!" seru yang lainnya sambil mengacung-acungkan tombaknya.
Reksa Pati menatap para pengepungnya dengan wajah dingin. Sedikit pun dia tidak mempedulikan teriakan-teriakan itu. Kakek tinggi besar itu malah melangkah menuju gedung yang menjadi pusat perguruan. Para pengepung yang berada di depannya bergerak mundur. Wajah-wajah mereka terlihat tegang dan pucat.
"Hm...!"
Wusss!
Reksa Pati mendengus gusar seraya mengayunkan tangannya melontarkan pukulan jarak jauh. Terdengar suara angin berkesiuran mengiringi datangnya pukulan maut itu.
"Aaa...!"
Belasan pengepung di depannya terlempar bagaikan daun-daun kering. Beberapa orang di antaranya langsung tergeletak tewas! Dari mulut, hidung, dan telinga mereka mengalir darah segar. Sedangkan sisanya berkelojotan meregang nyawa!
Bukan main terkejutnya para murid Perguruan Gagak Putih. Sesaat kemudian kepungan itu pun merenggang. Mereka yang tadinya berteriak-teriak marah, langsung bungkam. Kegentaran dan kengerian menyelimuti hari mereka.
"Ihhh...!"
Belasan pengepung yang berada di kiri kanan si kakek serentak mundur dibarengi seruan-seruan ngeri ketika tatapan Reksa Pati merayapi mereka. Demikian dinginnya tatapan mata Reksa Pati, sehingga membuat tubuh mereka menggigil!
"Hm..., siapa yang berani mati mengacau perguruan kami?" tiba-tiba terdengar suara berat dan berwibawa memecah keheningan. Belum lagi gema suaranya lenyap, tahu-tahu lima orang laki-laki gagah telah mendaratkan kakinya ke tengah kepungan.
"Kakang, kakek buruk itu kejam sekali! Bunuh saja dia!" seru salah seorang pengepung ketika melihat murid- murid utama telah datang ke tempat itu.
"Benar, Kakang! Bunuh saja! Lihatlah! Dia sudah membunuh puluhan saudara kita!" teriak yang lainnya geram. Meskipun begitu, mereka tetap saja tidak berani maju mendekati Reksa Pati.
"Hm..., siapakah kau, Kakek Tua? Apa kesalahan saudara-saudara kami sampai kau tega menurunkan tangan maut kepada mereka?" tanya salah seorang murid utama Perguruan Gagak Putih. Orang itu berusia sekitar empat puluh tahun. Wajahnya gagah dengan sorot mata yang menyiratkan kesabaran dan keluasan pandangan.
"Mana gurumu si Gagak Sakti? Suruh dia keluar!" Reksa Pati sama sekali tidak mempedulikan pertanyaan tadi. Malah sebaliknya ia bertanya menuntut dengan dingin. Ia sama sekali tidak memandang sebelah mata pun kepada laki-laki gagah di depannya. Begitulah sifat-sifat tokoh-tokoh sesat yang berkepandaian tinggi!
"Bangsat! Akan kurobek mulutmu yang lancang, kakek buruk!" bukan main marahnya hati salah seorang murid utama Perguruan Gagak Putih demi mendengar ucapan Reksa Pati. Detik itu juga tubuhnya melesat disertai ayunan pedangnya yang berdesing membelah udara.
Reksa Pati sama sekali tidak menaruh perhatian pada serangan itu. Tepat pada saat mata pedang hampir tiba menusuk lehernya, ia hanya mengangkat sebelah tangannya ke atas. Sebuah getaran gelombang tenaga yang sukar diukur tingginya memagari tubuh kakek itu. Sehingga mata pedang murid utama tadi tertahan beberapa rambut dari lehernya.
Murid utama Perguruan Gagak Putih itu terbelalak kaget. Wajahnya pucat seketika. Keringat sebesar biji-biji jagung menetes membasahi wajahnya. Dia berusaha mengerahkan seluruh tenaga untuk menarik pulang senjatanya. Tapi anehnya senjata itu bagai dijepit tenaga yang tak tampak! Sehingga dia tidak dapat menarik ataupun mendorong senjatanya itu.
"Oh..., ah..., hhh...!"
Dengan napas yang semakin memburu karena rasa takut dan ngeri, orang itu terus berusaha melepaskan senjatanya.
"Hm...!" Sambil mendengus kasar, Reksa Pati mengibaskan tangannya dari bawah ke atas. Seketika itu juga, tubuh orang itu kontan melayang bagai disentakkan tenaga dahsyat! Darah segar memercik dari mulut dan hidungnya.
"Wuaaa...!" Brak!
Tubuh orang itu terbanting di atap gedung perguruan. Jerit kematian menggema memenuhi tempat itu. Murid utama Perguruan Gagak Putih itu tewas karena isi perutnya telah hancur akibat pukulan tenaga dalam yang dahsyat dari Reksa Pati.
* * * * *
←₪֎ [ TIGA ] ֎₪→
"Hm.... Cepat panggil gurumu sebelum kesabaranku habis!" geram Reksa Pati penuh ancaman. Sepasang matanya kali ini mencorong tajam bagaikan mata seekor harimau buas. Sambil berkata demikian, Reksa Pati mengedarkan pandangannya ke sekeliling.
Puluhan orang murid yang semula mengepungnya menjadi buyar dan berlarian menyelamatkan diri. Beberapa orang di antaranya bergegas melaporkan kejadian itu kepada guru mereka. Rupanya ancaman kakek tinggi besar itu telah merenggut seluruh keberanian di hari mereka. Beberapa saat kemudian, tampak seorang laki-laki berusia sekitar enam puluh tahun berjalan tergesa-gesa menuju halaman depan perguruan. Langkah kaki orang tua itu sangat ringan, pertanda memiliki kepandaian yang tidak rendah. Sepasang matanya jernih menyiratkan kesabaran. Wajah seorang tua yang bijaksana.
"Raja Iblis dari Utara...!" gumam kakek itu ketika dari kejauhan ia melihat Reksa Pati. Wajahnya yang semula tenang, berubah cemas. Jelas sekali kalau orang tua yang berjuluk Pendekar Gagak Sakti ini merasa gentar! Langkahnya dihentikan sejauh sepuluh batang tombak di hadapan Reksa Pati yang berjuluk Raja Iblis dari Utara itu.
"Ha ha ha...! Pendekar Gagak Sakti, mengapa kau tidak segera menyambut kedatanganku. Jangan salahkan aku kalau orang-orangmu yang lancang terpaksa kuberi sedikit pelajaran," Reksa Pati tertawa bergelak begitu melihat kehadiran orang yang dicarinya. Sesaat kemudian, wajahnya kembali beku. Dingin dan menakutkan!
"Guru...!"
Empat orang murid utama Perguruan Gagak Putih serentak menjatuhkan dirinya berlutut ketika melihat kedatangan guru mereka. Salah seorang di antara mereka yang hendak berbicara terpaksa mengurungkan niatnya ketika sang guru mengangkat sebelah tangannya sebagai isyarat untuk diam.
"Hm..., beruntunglah kalian masih selamat. Ketahuilah, kakek tinggi besar ini adalah seorang datuk sesat dari wilayah Utara. Tidak ada seorang pun di kalangan persilatan yang dapat mengukur kepandaiannya. Kekejamannya yang seperti iblis, membuat dunia persilatan menjulukinya Raja Iblis dari Utara!" Pendekar Gagak Sakti menghentikan ucapannya sejenak. Orang tua itu menarik napas panjang sambil matanya berkeliling menatap murid-muridnya.
"Satu pesanku kepada kalian. Apabila aku sampai bertarung melawan iblis itu, kalian harus segera pergi menyelamatkan diri. Aku tidak yakin akan mampu menghadapinya," ujar Ketua Perguruan Gagak Putih itu lirih.
"Tapi, Guru...!" murid utama Pendekar Gagak Sakti yang paling tua mencoba membantah ucapan gurunya.
"Sudahlah, turuti saja pesanku!" sahut pendekar itu cepat. Setelah berkata demikian, Pendekar Gagak Sakti segera melangkah mendekati Reksa Pati.
Ketua Perguruan Gagak Putih itu menghentikan langkahnya beberapa tombak di hadapan kakek iblis itu. Wajah yang biasanya selalu tenang, kini tampak gelisah. Orang tua itu gelisah bukan memikirkan nasibnya. Tapi ia memikirkan keselamatan murid-muridnya. Apabila dia kalah, sudah dapat dipastikan Perguruan Gagak Putih akan musnah. Pendekar Gagak Sakti kenal betul sifat Raja Iblis dari Utara yang tidak pernah kepalang tanggung dalam melakukan setiap kejahatan.
"Hm..., Raja Iblis dari Utara, apa maksudmu membuat keonaran di tempatku? Setahuku di antara kita tidak pernah ada persoalan?" ucap Pendekar Gagak Sakti mencela kakek tinggi besar itu.
"Ha ha ha...! Hei! Adiyasa. Perlu kau ketahui! Aku tidak pernah sudi mengurusi cecunguk-cecunguk seperti murid-muridmu itu. Tapi mereka sendirilah yang mencari celaka," sahut kakek iblis itu tanpa merasa bersalah sedikit pun. Malah sebaliknya ia menyalahkan murid-murid Pendekar Gagak Sakti.
"Apa maksud kedatanganmu mencariku?" tanya Pendekar Gagak Sakti yang bernama Ki Adiyasa, mencoba menekan kemarahannya. Meskipun ia telah mendengar sepak terjang Reksa Pati beberapa bulan belakangan ini, namun ia ingin mendengar sendiri pengakuannya.
"Apakah kau tidak pernah mendengar berita selama beberapa bulan terakhir ini? Baiklah! Aku akan mengatakannya kepadamu. Seperti halnya kepada para pendekar yang telah kubunuh itu, aku pun ingin menanyakan di mana aku bisa menemukan Pendekar Naga Putih? Jangan coba-coba membohongiku bila kau tidak ingin mengalami nasib seperti mereka!" ancam Raja Iblis dari Utara, mulai hilang keramahannya.
"Pendekar Naga Putih? Aku memang pernah berjumpa dengannya. Tapi sepengetahuanku, tidak ada seorang tokoh pun yang mengetahui tempat tinggalnya. Mengapa kau menanyakan hal itu kepadaku?" Ki Adiyasa mengerutkan keningnya dalam-dalam. Ia tahu bahwa pertanyaan itu hanyalah alasan yang dibuat-buat.
"Ha ha ha...! Sudah kuduga bahwa kau tidak akan memberitahukannya kepadaku! Baiklah kalau begitu, aku akan menggunakan caraku sendiri untuk memancing keluar pendekar sombong itu. Nah, sekarang bersiaplah untuk kukirim ke neraka, Adiyasa!" ucap Reksa Pati ringan.
"Tunggu dulu! Kalau boleh kutahu, apa urusanmu mencari Pendekar Naga Putih?" tanya Ki Adiyasa penasaran.
"Hm..., pendekar sombong itu telah membunuh tiga orang muridku! Aku ingin tahu sampai di mana kepandaiannya hingga berani membunuh muridku," Reksa Pati menurunkan tangannya yang semula sudah siap melontarkan serangan.
"Siapakah muridmu itu?"
"Muridku adalah Tiga Setan Sungai Kandal. Sudahlah! Lebih baik kau bersiap-siap menghadapi kematianmu yang sudah di ambang pintu," setelah berkata demikian, Raja Iblis dari Utara menggerakkan kedua tangannya menutup dan mengembang. Asap tipis tampak mengepul ketika ia mulai menggosok-gosokkan kedua belah telapak tangannya.
"Ilmu 'Telapak Lidah Api'!" seru Ki Adiyasa terkejut. Ia sudah mendengar kehebatan ilmu itu yang belum pernah tertandingi oleh tokoh mana pun. Cepat-cepat digerakkan tangannya menyilang di depan dada. Ki Adiyasa sadar kalau lawan yang dihadapi kali ini bukanlah tokoh sembarangan. Mau tak mau harus dikerahkan seluruh kepandaiannya kalau masih ingin hidup lebih lama.
"Hm...!" Ketua Perguruan Gagak Putih itu menggeram pelahan. Buku-buku jari tangannya berkerotokan pertanda kalau orang tua itu tengah mengempos tenaga dalamnya. Wajahnya yang semula bersih itu tampak kemerahan. "Mulailah, Raja Iblis !" seru Pendekar Gagak Sakti mempersilakan lawannya menyerang terlebih dahulu.
"Ha ha ha..., kaulah yang harus mulai lebih dulu, Adiyasa. Kuberi kau kesempatan menyerang sebanyak sepuluh jurus," jawab Reksa Pati mengejek lawannya.
"Tidak! Aku adalah tuan rumah di sini. Sudah sepatutnya kalau memberi kesempatan kepada tamuku terlebih dahulu!" sahut Ki Adiyasa tetap pada pendiriannya.
"Kalau memang itu maumu, baiklah! Lihat serangan!" belum lagi gema suaranya lenyap, tubuh Reksa Pati telah meluncur cepat sambil mengayunkan kedua tangannya bergantian. Hawa panas yang menyengat kulit menyebar memenuhi pekarangan depan Perguruan Gagak Putih.
Empat orang murid utama Ki Adiyasa bergegas menepi. Mereka menjauhi arena pertarungan yang menegangkan itu. Sebentar saja tubuh keempat murid utama itu basah bersimbah peluh.
"Gila! Ilmu apa yang dipergunakan iblis itu?" maki murid tertua itu mengumpat.
Kalau keempat orang muridnya yang berada agak jauh dari arena pertarungan saja sudah merasa kegerahan, apalagi Ki Adiyasa sendiri yang memang menjadi sasaran serangan. Pakaian yang dikenakan orang tua itu basah kuyup bagai dicelup ke dalam air. Meskipun demikian, ia tetap berusaha mengadakan perlawanan sengit. Setiap kali mendapat kesempatan, orang tua itu mencoba membalas.
"Hiaaat...!" Ki Adiyasa berteriak nyaring sambil melontarkan sebuah pukulan dengan pengerahan seluruh tenaga dalamnya. Angin pukulannya menderu-deru membuyarkan hawa panas yang menyengat itu. Telapak ta- ngannya yang terbuka, meluncur dan berputar mengancam titik kelemahan lawan.
Wut! Wut!
Dua buah pukulan yang dilontarkan Ketua Perguruan Gagak Putih berhasil dihindari Reksa Pati. Sambil menggeser tubuhnya, Raja Iblis dari Utara langsung melontarkan sebuah tendangan kilat ke lambung lawan. Melihat serangan balasan yang tak terduga itu Ki Adiyasa melempar tubuhnya ke belakang sambil bersalto beberapa kali menjauhi lawannya.
Tapi baru saja kedua kakinya menjejak tanah, terdengar suara mencicit tajam menyambar ke arahnya. Ki Adiyasa meliukkan tubuhnya menghindari dua buah pukulan jari tangan lawan. Begitu serangan lawan luput, lalu dilanjutkannya dengan sebuah pukulan sisi telapak tangannya ke arah pelipis Reksa Pati.
Dukkk! "Ahhh...!"
Ki Adiyasa terdorong ke belakang ketika hantaman sisi telapak tangannya disambut tangkisan lawan. Meski agak limbung, orang tua itu masih sempat memperbaiki kuda-kudanya sehingga tidak sampai terjatuh. Pendekar Gagak Sakti meringis menahan sakit pada pergelangan tangannya. Tulang- tulang lengannya seperti remuk ketika bertemu lengan Reksa Pati yang sekeras baja. Ki Adiyasa terkejut melihat bagian bawah lengannya ternyata melepuh bagaikan terbakar api saja layaknya. Sadar kalau kepandaiannya masih beberapa tingkat di bawah lawan, orang tua itu segera mencabut pedang yang tergantung di pinggangnya.
"Sring!" Seberkas sinar kebiruan terpancar ketika Ki Adiyasa mencabut keluar senjatanya. Pedang itu lalu diputarnya hingga menimbulkan suara berdesing tajam.
"He he he.... Ayo keluarkan seluruh kepandaianmu, Adiyasa!" ejek Reksa Pati bergelak.
Ki Adiyasa tidak menimpali ucapan lawan yang sengaja memanasinya. Ketua Perguruan Gagak Putih itu terus bergerak maju sambil memainkan jurus pedangnya. Dibarengi sebuah bentakan nyaring, diputar dan ditusuk pedangnya ke perut gendut lawan.
Raja Iblis dari Utara sama sekali tidak menghindar ketika pedang lawannya berdesing menuju perutnya. Kakek tinggi besar itu hanya mengangkat kedua lengannya ke depan dada. Tepat pada saat ujung pedang hampir menyentuh kulit tubuhnya, kedua tangannya bergerak merangkap di depan, menjepit pedang itu.
Tappp!
"Hiah...!" Pendekar Gagak Sakti mengerahkan seluruh tenaganya untuk menekan ujung pedangnya. Namun sepasang tangan Raja Iblis dari Utara yang laksana jepitan baja itu ternyata tak dapat ditembusnya. Gagal menekan, Ki Adiyasa mencoba menyentak pedangnya dari jepitan telapak tangan lawan. Sayang usahanya tetap tidak berhasil! Asap tipis mulai mengepul dari ubun- ubun Ki Adiyasa. Pertanda kalau orang tua itu telah mengerahkan seluruh tenaga dalamnya.
Raja Iblis dari Utara tidak menghindar ketika pedang Pendekar Gagak Sakti berdesing cepat. Tepat pada saat ujung pedang hampir menyentuhnya, kedua tangannya bergerak menjepit pedang itu.
"Hiah...!" Pendekar Gagak Sakti berusaha sekuat tenaga menusukkan ujung pedangnya!
Tiba-tiba Raja Iblis dari Utara menyentakkan pedang itu kekiri. Terdengar suara 'kletak' saat pedang itu patah menjadi dua. Sebelum Ki Adiyasa sempat menyadarinya, Reksa Pati melang- kahkan kaki kanannya ke depan. Sambil merendahkan tubuhnya, kakek tinggi besar itu mendorong kedua telapak tangannya ke dada Pendekar Gagak Sakti.
Bughk!
"Ahhh...!" Ketua Perguruan Gagak Putih terlempar ke belakang diiringi jerit tertahan. Darah segar menyembur dari mulutnya. Debu tipis mengepul ketika tubuh pendekar tua itu terbanting keras di tanah. Baju di bagian dadanya hangus bagaikan termakan api. Sedangkan di dadanya tampak ter- gambar dua buah telapak tangan yang hitam, melepuh dan menimbulkan bau sengit daging terbakar. Itulah pukulan 'Telapak Lidah Api' yang terkenal ganas dan keji!
"Guru...!" murid tertua Ki Adiyasa berlari memburu tubuh gurunya diikuti ketiga adik seperguruannya.
Orang tua itu terkapar lemah. Napasnya sudah tak beraturan lagi. Pukulan lawan yang telak itu rupanya telah menghancurkan isi dadanya. Darah segar masih saja mengalir dari mulutnya. Sesaat kemudian, kepala Ki Adiyasa terkulai di atas pangkuan murid tertuanya. Ketua Perguruan Gagak Putih tewas tanpa sempat mengucapkan sepatah kata pun kepada murid-muridnya!
"Guru...!" Keempat orang murid utama Ki Adiyasa itu berteriak-teriak sambil mengguncang- guncangkan tubuh gurunya. Namun, Ketua Perguruan Gagak Putih telah membisu untuk selama-lamanya.
"Keparat kau, Iblis Utara! Kau harus menebus kematian guruku dengan nyawamu!" seru salah seorang murid utama geram. Dengan wajah masih bersimbah air mata, dia bangkit seraya mencabut pedang yang tergantung di pinggangnya.
"Jangan...!" murid tertua Ki Adiyasa berteriak mencegah adik seperguruannya. Tapi sayang ia sudah terlambat untuk mencegah. Adik seperguruannya yang telah gelap mata itu sudah tiba di hadapan Raja Iblis dari Utara
Trak! Krep!
Pedang di tangan orang itu memang berhasil menyentuh tubuh Reksa Pati. Tapi bukan perut Raja Iblis dari Utara yang robek, melainkan pedang itu yang patah menjadi dua. Sebelum sempat murid Perguruan Gagak Putih itu menyadari, tahu-tahu tangan kakek tinggi besar itu sudah terulur menangkap lehernya.
"Hekh...!" Krek!
Terdengar suara gemeretak bunyi tulang yang patah ketika Reksa Pati mengerahkan tenaga pada cengkeramannya. Tubuh orang itu lalu dilemparkannya ke arah tiga orang murid utama yang masih berdiri terpaku. Serentak ketiganya melompat maju menangkap tubuh adik seper- guruannya yang telah menjadi mayat.
"Pergilah! Selamatkan diri kalian. Biar aku dan murid-murid yang lainnya menghadapi iblis itu," ujar murid tertua kepada dua orang adik seperguruannya. Setelah berkata demikian, segera dicabut pedangnya dan bersiap menghadapi Reksa Pati.
"Tidak, Kakang! Lebih baik kami mari daripada harus lari seperti anjing pengecut!" bantah salah seorang di antaranya.
"Kalau kalian ikut mati, siapa yang akan membalaskan dendam ini kelak? Sudahlah, pergilah kalian sesuai pesan guru kita."
"Tidak, Kakang! Biarkan kami di sini bersamamu untuk...."
"Pergi kataku!" murid tertua Ki Adiyasa membentak marah. Akhirnya kedua adik seperguruannya itu dengan hati pilu meninggalkan halaman gedung utama Perguruan Gagak Putih, dan menyelinap masuk ke pintu di balik gedung.
"Ha ha ha..., jangan harap kalian dapat lolos dari tanganku!" seru Raja Iblis dari Utara bergelak. Sesaat kemudian, tubuh tinggi besar itu melesat mengejar dua orang murid utama yang hendak lari itu.
"Seraaang...!" murid tertua Ki Adiyasa berteriak memberi peringatan kepada puluhan orang murid yang berada di belakangnya. Sambil berkata demikian, ia mendahului yang lainnya melompat maju.
Puluhan orang murid Perguruan Gagak Putih itu serentak berlari menerjang Raja Iblis dari Utara yang hendak mengejar dua orang murid utama itu. Mereka sudah tidak lagi mempedulikan kematian yang akan dihadapi. Hanya satu tekad mereka yaitu mencegah Raja Iblis dari Utara agar tidak mengejar kakak seperguruan mereka yang hendak meloloskan diri.
"Hm...!" Bukan main marahnya Raja Iblis dari Utara melihat kenekatan puluhan murid Perguruan Gagak Putih. Sambil mendengus gusar, kakek tinggi besar itu segera membagi-bagi pukulan dan tamparannya.
Blarrr!
"Aaa...!" Puluhan orang murid Perguruan Gagak Putih beterbangan bagaikan daun-daun kering. Darah muncrat menggenangi pelataran depan perguruan. Bau anyir darah mulai menyebar memenuhi tempat itu. Amukan si kakek iblis benar-benar menggiriskan sekali! Dalam beberapa gebrak saja, puluhan mayat murid perguruan itu sudah saling tumpang tindih tak karuan.
"Hiaaa...!" Murid tertua Ki Adiyasa melompat sambil mengayunkan pedangnya membabat leher Reksa Pati. Namun, Raja Iblis dari Utara yang sudah bagaikan malaikat pencabut nyawa, segera melontarkan tamparan yang menimbulkan suara mencicit tajam.
Prak!
Tanpa sempat berteriak lagi, orang itu ambruk dengan kepala pecah! Darah bercampur cairan putih kental, memercik menyebarkan bau anyir yang makin kuat Setelah menewaskan murid tertua Perguruan Gagak Putih, Raja Iblis dari Utara berkelebat mengejar dua orang lainnya yang bermaksud meloloskan diri. Sesaat kemudian, dua orang murid utama Ki Adiyasa itu sudah berhasil dikejarnya. Bukan main terkejutnya hati kedua orang itu ketika tahu-tahu di depan mereka telah menghadang Raja Iblis dari Utara.
"Ha ha ha...! Mau lari ke mana kalian? Jangan harap kalian dapat lolos dari kematian!" ujar Reksa Pati sambil tertawa sinis.
"Huh! Jangan harap kami akan menyerah begitu saja, iblis! Heaaat...!" sambil berteriak keras, salah seorang dari murid utama Perguruan Gagak Putih itu menerjang disertai ayunan senjatanya.
Melihat kawannya sudah menerjang, yang seorang lagi bergegas mencabut senjatanya. Sesaat kemudian, ia pun bergegas membantu kawannya yang sudah le- bih dahulu menerjang Raja Iblis dari Utara.
"Hm...!" Disertai dengusan kasar, Reksa Pati mengembang-kan sepasang tangannya memapak serangan dua orang itu.
Plak! Plak!
"Aaakh...!" "Aaa...!"
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh kedua orang itu pun terjengkang akibat tangkisan Raja Iblis dari Utara. Dan sebelum keduanya sempat bangkit, sepasang kaki yang besar dan kuat telah menjejak perut mereka. Terdengar bunyi gemeretak tulang-tulang yang berpatahan! Darah segar pun langsung mengalir dari mulut kedua orang murid utama Perguruan Gagak Putih itu.
Raja Iblis dari Utara mengangkat kedua kakinya begitu tubuh yang diinjaknya sudah tidak bergerak lagi. Diiringi gelak tawa yang menyeramkan, kakek iblis itu pun berkelebat cepat meninggalkan tempat itu.
* * * * *
←₪֎ [ EMPAT ] ֎₪→
"Gila! Kalau begini caranya, bisa habis tokoh-tokoh persilatan golongan putih dibantainya. Siapa yang sanggup menghentikan perbuatan Raja Iblis dari Utara itu?" ujar seorang laki-laki berwajah bulat bernada penasaran. Tangan- nya menggebrak meja agak keras sehingga para pengunjung kedai makan di sekitarnya serentak memalingkan wajah ke arah orang itu.
"Jangan terlalu keras bicaramu, Adi Gantara. Ucapanmu bisa-bisa membawamu melayat ke akherat nanti!" ucap kawannya mengingatkan. Orang itu menekan suaranya serendah mungkin agar tidak terdengar pengunjung yang lain.
"Benar apa yang dikatakan Kakang Ranjalu, Adi Guntara. Kita tidak boleh sembarangan membicarakan hal itu. Kalau mata-mata iblis itu mendengar, bisa runyam urusannya," bisik yang satunya lagi lirih. Sambil berkata demikian matanya melirik ke kiri-kanan. Raut wajahnya menyiratkan keemasan.
"Bukan itu saja. Kalau ada tokoh persilatan golongan putih yang merasa tersinggung dengan ucapanmu, bisa repot kita," orang paling tua yang bernama Ranjalu itu kembali mengingatkan.
"Huh! Untuk apa kita takut? Bukankah benar perkataanku tadi! Daripada harus tersinggung, bukankah lebih baik menumpahkan rasa kedongkolan kepada Raja Iblis dari Utara! Bukan kepada kita?" orang berwajah bulat yang bernama Guntara itu tetap saja mengobral rasa tak puasnya terhadap sikap kebanyakan tokoh-tokoh golongan putih saat itu. Ia terus saja mengumbar ucapannya keras-keras.
"Iya, tapi jangan di tempat umum seperti ini!" geram Ranjalu merasa agak kesal. Wajahnya mulai memerah karena amarahnya sudah bangkit melihat kebandelan adik seperguruannya.
"Benar yang dikatakan Saudara Guntara!" tiba-tiba seorang laki-laki setengah baya berambut sebahu, melangkah menghampiri meja di mana ketiga laki-laki itu duduk. Laki-laki itu mengucapkan kata-katanya sambil memperlihatkan senyum lebar. "Boleh aku bergabung di meja kalian?" pinta orang itu ramah.
"Silakan, silakan Kisanak," sahut Ranjalu membalas keramahan orang itu. Wajahnya yang semula sudah memerah, kembali berubah seperti sediakala. Ia tidak ingin kalau pertengkaran antara dia dan adik seperguruannya sampai diketahui orang lain.
"Namaku Karmapala. Aku menjadi tertarik untuk bergabung ikut mendengarkan obrolan kalian tadi. Rasa-rasanya apa yang diucapkan Saudara Guntara tadi, sama dengan apa yang ada dalam pikiranku," laki-laki setengah baya itu memperkenalkan diri, sambil mengungkapkan sikapnya dalam menanggapi persoalan yang tengah melanda dunia persilatan pada masa itu.
"Aku Ranjalu. Dan kedua orang ini adalah saudara-saudara seperguruanku," sahut Ranjalu sambil memperkenalkan nama kedua orang adik seperguruannya. Ia sengaja tidak menyebutkan nama perguruannya, karena laki-laki setengah baya itu juga tidak menyebutkan nama perguruan atau partainya.
"Nah! Benar kan ucapanku tadi, Kakang? Nyatanya Ki Karmapala pun berpikiran sama sepertiku. Bukankah begitu, Ki?" tegas Guntara sambil menatap laki-laki setengah baya itu. Pemuda berusia dua puluh tahun itu merasa gembira karena mendapat teman sependirian.
"Hm...," Ranjalu hanya bergumam menanggapi ucapan adiknya. Rupanya ia masih tetap belum dapat menerima pendapat Guntara.
"Kalau menurut pendapatku, orang yang mesti kita cari adalah Pendekar Naga Putih!" Ki Karmapala sengaja menekan pada kalimat 'Pendekar Naga Putih', untuk melihat reaksi ketiga orang itu. Sengaja suaranya agak dikeraskan sedikit agar dapat didengar semua pengunjung kedai makan itu.
"Eh, mengapa harus begitu?" Ranjalu terpaksa menyahut ketika mendengar disebutnya nama Pendekar Naga Putih yang selama ini mereka kagumi.
"Ya, mengapa harus Pendekar Naga Putih yang kita cari?" Guntara pun mengerutkan keningnya ketika mendengar ucapan Ki Karmapala yang cukup mengagetkan itu.
"Tentu Saja!" jawab Ki Karmapala tambah bersemangat ketika melihat perhatian ketiga orang gagah itu mulai tercurah kepadanya. Laki-laki setengah baya itu mulai mengemukakan pendapat dan pandangannya. Ternyata bukan hanya tiga orang itu saja yang tertarik. Bahkan hampir semua pengunjung kedai makan ikut memasang telinga guna mendengar lebih jelas tentang apa yang diceritakan dan direncanakan Ki Karmapala.
"Hm..., rasanya pendapat Ki Karmapala boleh kita coba!" usul Guntara yang disambut anggukan dua orang kakak seperguruannya. Selesai berkata demikian, ia pun bangkit berdiri diikuti ketiga orang lainnya. Rupanya keempat orang gagah itu berniat meninggalkan kedai itu. Beberapa saat setelah kepergian keempat orang gagah itu, beberapa orang yang menyandang pedang, bangkit dari kursinya. Setelah membayar harga makanan, orang-orang itu bergegas mengikuti arah yang diambil empat orang gagah tadi.
* * * * *
Panji atau yang dikenal berjuluk Pendekar Naga Putih melangkahkan kakinya lambat-lambat Kepalanya tertunduk memandangi batu-batu kerikil yang tergilas kakinya. Wajah pemuda tampan itu terlihat murung. Rupanya ada persoalan yang mengganggu pikirannya.
"Hhh...," terdengar helaan napas berat mewakili perasaan pemuda itu. Sebuah kerikil ditendangnya secara iseng. Batu, kecil itu melambung jauh diikuti tatapan matanya yang kosong.
"Kasihan. Para tokoh persilatan yang tak berdosa itu tewas hanya karena mereka tidak dapat memberitahu di mana adanya aku. Iblis itu benar-benar biadab sekali! Mengapa ia tidak mencariku saja? Mengapa ia harus menanyakannya kepada orang-orang yang memang betul-betul tidak mengetahuinya?" bermacam-macam perasaan terus berkecamuk dalam benaknya. Panji benar-benar tidak mengerti, apa sebenarnya yang diinginkan orang yang berjuluk Raja Iblis dari Utara itu. Dan mengapa pada saat ia muncul malah sebaliknya iblis itu tak pernah muncul? Baru kali inilah Panji merasa pikirannya benar-benar buntu!
Tiba-tiba Panji menghentikan langkahnya ketika pendengarannya yang tajam mendengar tangisan dan jerit orang minta tolong. Cepat pemuda itu menge- darkan pandangannya untuk mencari sumber suara.
"Hm..., kalau mendengar dari suara gaungnya, pastilah teriakan itu berada dekat sebuah tebing. Kalau begitu, pastilah suara itu berasal dari sebuah lembah atau dari balik bukit." Berpikir demikian, tubuh pemuda itu segera melesat mencari tempat yang dimaksud. Pendekar Naga Putih itu berkelebat cepat mengitari daerah sekitarnya. Namun hingga lelah mencari, ternyata apa yang diduganya tidak dijumpainya. Pemuda itu terpaksa menghentikan pencariannya.
"Ah, mungkin itu hanya suara angin saja. Atau aku yang salah dengar?" gumam Panji sambil mengerutkan kening. "Angin...? Ya, suara teriakan itu pasti terbawa angin!" Secepat kilat, Panji segera melesat mendaki sebuah anak bukit yang berada tidak jauh di depannya. Tak lama kemudian, tubuh pemuda itu sudah membungkuk di antara rimbunan semak- semak.
Apa yang dilihatnya benar-benar membuat kening pemuda itu berkerut. Di atas puncak anak bukit itu ternyata terdapat sebuah perkampungan kecil. Beberapa buah rumah sederhana yang terbuat dari kayu dan beratap rumbia tampak menghias puncak anak bukit itu.
"Hm.... Perkampungan apa ini? Benarkah apa yang kudengar tadi berasal dari sini?" hari Panji mulai ragu-ragu. Tapi sebelum pemuda itu berpikir lebih jauh, tiba-tiba terdengar suara pertempuran yang diselingi suara bentakan dan jerit kematian.
"Hup!" Tanpa berpikir dua kali, Panji menggenjot tubuhnya hingga melambung ke sebuah pohon besar yang berdaun lebat. Merasa aman dan agak tersembunyi dari pandangan orang-orang di bawahnya, ia pun bergegas duduk di atas sebuah cabang pohon yang dirasa cukup kuat menahan bobot tubuhnya.
"Keempat orang gagah itu pastilah tidak akan sanggup menahan gempuran puluhan orang kasar yang mengeroyoknya. Heran, mengapa mereka begitu berani mati, memasuki tempat ini tanpa perhitungan?" gumam Panji tak habis pikir. Merasa bahwa keempat orang itu akan tewas apabila tidak cepat ditolong, Panji berniat melompat untuk menolong mereka.
"Jangan takut, Kawan-kawan! Kami datang membantu!"
Panji menahan gerakannya ketika mendengar suara itu. Delapan orang yang baru datang itu bergerak cepat memasuki kancah pertempuran. Dalam beberapa gebrak saja, keadaan telah berubah! Keempat orang gagah itu kini dapat menarik napas lega. Apalagi ketika mendapat kenyataan bahwa kepandaian delapan orang itu ternyata rata-rata cukup tinggi.
"Terima kasih atas bantuan kalian, Sahabat!" teriak laki-laki setengah baya sambil mengayunkan pedangnya membacok seorang lawan yang seketika itu juga roboh mandi darah! Ternyata orang itu adalah Ki Karmapala. Orang-orang yang membantunya itu adalah orang-orang yang mengikutinya semenjak dari kedai.
"Ah! Tidak perlu sungkan-sungkan, Pendekar Pedang Sakti. Bukankah hal ini memang sudah menjadi kewajiban kita?" sahut salah seorang dari delapan laki-laki gagah itu cepat.
Bret! Crak!
"Aaakh...!" Dua orang laki-laki kasar terjungkal mandi darah akibat sambaran pedang orang yang berbicara kepada Ki Karmapala itu. Kemudian, tanpa banyak cakap lagi orang itu kembali menggempur lawan-lawannya yang mulai berkurang banyak itu.
Panji yang duduk di atas dahan, diam-diam merasa kagum akan sepak tenang kedua belas laki-laki gagah itu. Sambaran pedang mereka mantap dan terlatih baik. Beberapa waktu kemudian, para pengeroyok itu pun melarikan diri karena tak sanggup menahan amukan kedua belas orang itu. Tiba-tiba sepasang mata Panji yang tajam menangkap sesosok bayangan yang melesat menuruni anak bukit. Sesosok tubuh ramping tampak meronta-ronta dalam pondongannya. Rupanya salah seorang dari gerombolan itu berusaha menyelamatkan diri sambil membawa lari seorang gadis. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Panji segera melayang turun mengejar orang itu. Bagaikan seekor burung camar yang bermain-main di antara deburan ombak, tubuh pemuda itu meliuk dan berputar beberapa kali di udara.
Tappp!
Pendekar Naga Putih mendaratkan kakinya ke tanah berbatu menghadang lari orang itu. Sepasang matanya mencorong tajam menerbangkan semangat orang itu.
"Sssi... siapa kau...?" tanya laki-laki berwajah kusam itu agak bergetar. Rupanya ia begitu terkejut melihat kehadiran Panji yang tahu-tahu sudah berdiri di hadapannya.
"Hm.... Siapa aku bukanlah hal yang penting. Lepaskan gadis itu! Dan kau boleh pergi!" sahut Panji penuh ancaman.
"Anak Muda! Wanita ini adalah istriku. Apakah kau ingin mencampuri urusan rumah tangga ku?" laki-laki berwajah kusam itu rupanya sudah mendapatkan ketenangannya kembali. Kata- kata yang dilontarkannya sempat membuat Panji kaget.
"Eh...?!" untuk beberapa saat lamanya, Panji hanya berdiri termangu. Ia benar-benar tak menyangka akan mendapat pertanyaan seperti itu. Sesaat kemudian, kepala pemuda itu kembali terangkat. Rupanya ia tidak ingin dibohongi mentah-mentah. "Kalau memang benar begitu, turunkan perempuan itu. Biar kutanyakan sendiri kepadanya."
"Bangsat! Rupanya kau memang pengganggu rumah tangga orang! Nah, terimalah ini! Hih...!" setelah melontarkan makian yang membuat wajah pemuda itu memerah, laki-laki itu bergerak cepat menusukkan pedangnya ke perut Panji.
"Hm...," Panji hanya bergumam tak jelas. Pada saat serangan itu tiba, tubuh pemuda itu melenting sambil mengulur kedua tangannya merebut wanita dari pondongan laki-laki berwajah kusam itu. Tubuh Panji terus melayang hingga beberapa tombak jauhnya. Kakinya menjejak tanah secara indah. Tangannya lalu bergerak membebaskan totokan pada perempuan itu.
"Terima kasih, Kisanak. Aku bukanlah istri laki-laki biadab itu. Aku adalah salah seorang dari sekian banyak gadis desa yang diculiknya. Bunuh saja laki-laki jahanam itu, Kisanak. Dia... dia jahat dan kejam!" begitu terbebas dari totokan, wanita itu cepat menerangkan. Tadi dia hanya dapat mendengar tanpa mampu berbicara karena laki-laki berwajah kusam itu telah menotok urat dagunya.
"Hm..., masih mau mengatakan perempuan ini sebagai istrimu?" tanya Panji tersenyum mengejek. Hati pemuda itu lega begitu mendengar keterangan yang diberikan perempuan itu. Meskipun ia sudah menduganya sejak semula, namun sebelum mendapat kepastian tetap saja ia masih meragukannya.
"Keparat busuk! Kucincang tubuh-mu...!" laki-laki berwajah kusam itu kembali melompat sambil menyabetkan senjatanya ke leher pemuda itu.
Panji hanya menggeser kaki kanannya kebelakang yang disertai kelitan tubuhnya, dan pedang itu pun mengenai tempat kosong. Lawannya bergerak sigap menarik kembali senjatanya sambil melepaskan dua buah tendangan susul menyusul. Tendangan pertama dielakkan secara mudah. Dan ketika tendangan kedua tiba, Panji menggerakkan tangannya mengangkat kaki lawan. Sehingga....
Bukkk!
"Uhhh...!" Laki-laki itu terbanting keras di tanah yang dipenuhi batu-batu yang bertonjolan. Wajahnya meringis menahan sakit akibat membentur batu-batu yang bertonjolan itu. Sesaat kemudian, tubuhnya melenting berdiri dan langsung menyabetkan kembali senjatanya.
Kali ini tangan Panji bergerak cepat. Bagaikan seekor ular hidup, tangan pemuda itu meliuk dan menangkap pergelangan tangan lawan. Laki-laki itu menjerit kesakitan ketika Panji mengerahkan tenaganya meremas pergelangan orang itu. Begitu pedangnya terlepas, tangan Panji langsung bergerak menusuk lambung menggunakan jari-jari terbuka.
"Hughk...!" Orang itu mengeluh tertahan. Kedua kakinya sampai terlompat ketika tusukan jari-jari tangan Panji menghunjam lambungnya. Darah segar meleleh dari sela- sela bibirnya.
Untunglah Panji tidak mengerahkan tenaga dalam sepenuhnya sehingga orang itu tidak sampai tewas. Tubuh orang itu hanya menggelepar-gelepar menahan sakit yang tak terkira pada lambungnya.
"Pergilah, sebelum aku berubah pikiran!" ancam Panji sambil menendang tubuh orang itu hingga terguling-guling. Sambil menahan rasa sakit, orang itu berlari tertatih-tatih meninggalkan tempat itu. Belum lagi laki-laki berwajah kusam itu berlari jauh, tiba-tiba sesosok bayangan melesat dari sebelah kirinya. Sosok tadi langsung mengayunkan goloknya membabat leher laki-laki berwajah kusam tadi.
"Crak!" Darah memancur dari luka di lehernya. Sedangkan kepala orang itu telah menggelinding entah ke mana. Laki-laki berwajah kusam itu tewas tanpa sempat berteriak lagi.
"Orang seperti dia tidak patut mendapat ampunan, Kisanak! Kematian adalah balasan yang paling setimpal untuknya," ujar sosok bertubuh sedang sambil melangkah menghampiri Panji yang hanya berdiri terpaku. Kemunculan laki-laki setengah baya bertubuh sedang itu disusul beberapa orang laki-laki gagah. Dua belas orang laki-laki gagah itu meneliti Panji dari ujung rambut hingga ke ujung kakinya. Sesaat kemudian, dua belas orang laki- laki gagah itu berseru tertahan.
"Anak Muda. Apakah kau yang berjuluk Pendekar Naga Putih?" tanya laki-laki setengah baya yang ternyata adalah Ki Karmapala. Serentak kaki orang tua itu melangkah mundur. Sedang pedang di tangannya yang masih berlumuran darah itu tampak bergetar.
Gerakan mundur yang dilakukan Ki Karmapala diikuti oleh sebelas kawannya. Jari-jari tangan mereka meraba gagang senjata masing-masing. Jelas sekali kalau mereka telah bersiap-siap menghadapi sebuah pertarungan.
"Benar, Paman. Orang rimba persilatan menjuluki aku Pendekar Naga Putih," jawab Panji yang mulai meraba sikap yang diperlihatkan kedua belas orang laki-laki gagah yang dikaguminya itu.
Ki Karmapala kembali meneliti mulai dari ikat kepala, pakaian dan juga pedang yang melilit pinggang pemuda itu. "Hm..., tidak salah lagi! Pemuda inilah yang kita cari-cari!" ujar Ki Karmapala sambil menolehkan kepalanya ke arah kawan kawannya.
"Ada apakah sebenarnya, Paman?" Panji yang sudah melihat gelagat tidak baik yang diperlihatkan laki-laki gagah itu, bersiap meninggalkan tempat itu. Pengalamannya pada beberapa hari yang lalu telah membuatnya curiga. Memang, beberapa hari yang lalu dirinya pernah dikeroyok belasan orang tokoh persilatan golongan putih yang hendak menyerahkan dirinya kepada Raja Iblis dari Utara. Pemuda ini heran sekali mengapa para tokoh rimba persilatan golongan putih kini malah berbalik memusuhinya.
"Hm..., Pendekar Naga Putih. Karena ulahmu dunia persilatan menjadi kacau. Lebih baik sekarang kau menyerah secara baik-baik! Kau akan kami serahkan kepada Raja Iblis dari Utara. Ingat! Bila kau menolak, kami tidak segan-segan bertindak keras padamu!" ancam Ki Karmapala mengingatkan.
"Baik! Aku menyerah. Tapi aku tidak ingin diperlakukan seperti seorang tawanan. Bagaimana?" sahut Panji yang tidak ingin bentrok dengan dua belas orang laki-laki gagah itu.
"Tidak bisa! Kami harus menotok dan mengikat seluruh tubuhmu. Barulah kami dapat membawamu," Ki Karmapala tidak menyetujui usul yang diajukan Panji.
"Ki, bukankah pendekar muda itu sudah mengalah. Sudahlah, kita bawa saja dia sekarang ke tempat iblis itu," tiba-tiba Ranjalu berbisik di telinga laki-laki setengah baya itu. Rupanya Ranjalu tidak menyukai cara yang ditempuh Ki Karmapala. Oleh karena itu dia berusaha agar Ki Karmapala menerima usul Panji.
"Tidak, Adi Ranjalu. Kalau kita tidak melumpuhkannya terlebih dahulu, bagaimana kita dapat menjamin kalau dia tidak akan melarikan diri?" jawab Ki Karmapala tak mau kalah. Ranjalu tidak menjawab. Ia tidak dapat menyangkal ucapan itu.
"Aku bukan seorang pengecut, Paman. Aku berjanji tidak akan melarikan diri seperti yang Paman kira," tersinggung juga hari pemuda itu melihat sikap yang ditunjukkan Ki Karmapala.
"Tidak! Kami tetap akan membawamu dalam keadaan terikat dan tertotok lumpuh! Kalau tidak, lebih baik kami membawa mayatmu saja untuk kami serahkan kepada Raja Iblis dari Utara!" Ki Karmapala tetap kukuh pada pendiriannya.
* * * * *
←₪֎ [ LIMA ] ֎₪→
"Kau terlalu mendesakku, Orang Tua!" Panji tidak lagi menggunakan istilah paman kepada Ki Karmapala. Meskipun kesadaran masih menguasai pikirannya, namun sikap hormatnya kepada orang tua itu sudah hilang.
"Nah, kalian lihatlah! Betapa sombongnya pendekar muda ini. Ayo, kita tangkap dia! Lihat serangan...!" sambil berkata demikian, Ki Karmapala yang berjuluk Pendekar Pedang Sakti menerjang ke arah Panji. Angin pedangnya berdesing tajam menandakan kalau orang tua itu tidak main-main dalam serangannya.
Sebelas orang lainnya segera mengurung Panji. Sesaat kemudian di tangan mereka telah tergenggam senjata masing-masing. Panji melompat ke kiri menghindari serangan maut yang dilancarkan Ki Karmapala. Baru saja kakinya menyentuh tanah, tiba-tiba suara mengaung tajam telah mengancam tubuhnya. Cepat-cepat Panji meliukkan tubuhnya menggunakan kuda-kuda serendah mungkin. Pada saat pedang di tangan lawan lewat di atas kepalanya, tubuh Panji bersalto ke belakang sejauh tiga tombak. Rupanya pemuda itu masih sungkan untuk membalas serangan-serangan lawannya.
"Rupanya kau memang lebih suka kekerasan, pendekar sombong!" seru Pendekar Pedang Sakti mengejek. Sepertinya laki-laki setengah baya itu merasa benci sekali kepada Pendekar Naga Putih. Tak mengherankan jika serangan-serangannya pun demikian ganas dan mematikan. Kali ini pedangnya diputar sedemikian rupa hingga membentuk gulungan-gulungan sinar yang menyelimuti tubuhnya.
Pendekar Naga Putih masih terus mengelak tanpa berusaha untuk membalas. Wajar saja kalau dalam beberapa jurus pemuda itu sudah terdesak hebat! Dua belas orang pendekar itu rupanya memang benar-benar menginginkan kematiannya. Mereka tidak tanggung-tanggung lagi dalam melancarkan serangan. Dua puluh jurus sudah Panji berusaha mati-matian menghindari serangan dua belas mata pedang itu. Namun sampai sejauh itu belum satu pun pedang lawan yang berhasil menyentuh kulitnya. Gerakan Panji yang meliuk-liuk bagaikan seekor naga sakti yang tengah bermain di angkasa, membuat lawan-lawannya semakin penasaran!
"Hiaaat...!" Ki Karmapala yang sudah dipengaruhi rasa penasaran dan kemarahan, semakin memperhebat serangannya. Pedangnya berkelebat bagaikan sambaran-sambaran kilat di angkasa. Bahkan beberapa kali mata pedangnya hampir menyentuh tubuh Pendekar Naga Putin. Hal itu membuat orang tua itu semakin bernafsu.
Ranjalu, Guntara, dan sembilan orang lainnya pun tak mau kalah. Sinar-sinar pedang mereka berkilatan menimbulkan angin berkesiutan yang menyambar-nyambar ganas. Pedang-pedang mereka tak ubahnya seperti tangan-tangan malaikat maut yang siap mencabut nyawa Panji setiap saat.
Bret!
"Akh...!" Sebuah tusukan pedang lawan hampir melukai tubuh Panji. Untunglah serangan itu sempat dielakkan, sehingga ujung senjata itu hanya merobek baju pada bagian lambungnya. Pemuda itu melenting ke udara dan bersalto beberapa kali menjauhi lawan-lawannya.
"Berhenti!" teriak Panji keras. Suaranya menggelegar bagai ledakan petir di angkasa. Sepasang bola mata anak muda itu mencorong tajam, hingga sempat membuat lawan-lawannya tergetar mundur. Luar biasa sekali perbawa yang keluar dari sepasang matanya. "Jangan paksa aku melakukan kekerasan!" ancam Panji meskipun dirinya masih tetap berada dalam kepungan dua belas orang laki-laki gagah itu.
Pendekar Naga Putih mengedarkan pandangannya bagaikan mata seekor naga yang sedang marah! Beberapa saat lamanya kedua belas orang itu saling berpandangan ragu. Mereka memang harus mengakui kelihaian pemuda itu. Sampai sekian jauh mereka melancarkan serangan-serangan yang mematikan, namun hanya berhasil merobek baju pemuda itu. Padahal Pendekar Naga Putih sama sekali belum membalas serangan mereka. Diam-diam mereka merasa ngeri, kalau saja Panji membalas, dapat dipastikan mereka tidak mungkin dapat bertahan lebih dari dua puluh jurus.
"Jadi kau menyerah, Pendekar Naga Putih?" tanya Guntara yang tubuhnya menjadi panas dingin ketika tatapan Panji terarah padanya.
"Tidak! Aku hanya tidak ingin kalian menyerangku lagi. Tunjukkan padaku kediaman Raja Iblis dari Utara. Biar aku sendiri yang akan mendatanginya," sahut Panji tanpa melepaskan kewaspadaannya.
"Huh! Tidak bisa, pendekar sombong! Ayo, kawan-kawan. Tunggu apa lagi? Serang...!" teriak Ki Karmapala langsung melesat membabatkan pedangnya.
Begitu melihat Pendekar Pedang Sakti sudah menyerang, yang lain pun serentak mengikuti. Panji segera memusatkan perhatian menghadapi serangan tokoh-tokoh itu.
"Hm...!" Pendekar Naga Putih menggeram murka. Sesaat kemudian dia mulai mengempos tenaga dalamnya. Tiupan angin dingin yang menusuk tulang sum-sum berhembus keras memenuhi daerah di sekitarnya. Tak lama kemudian, terdengar suara berkerotokan ketika 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' mulai mengalir deras melalui tangannya. Selapis kabut putih keperakan bersinar menyelimuti seluruh tubuhnya.
"Heaaah...!"
Wusss...! Blarrr!
Debu mengepul tinggi ketika pukulan jarak jauh yang dilontarkan Panji menghantam tanah berbatu. Untunglah empat pendekar yang tengah menerjangnya dari depan sempat menghindar. Kalau tidak, tubuh mereka tentu sudah bergelimpangan tanpa nyawa!
Setelah melepaskan pukulan itu, tubuh Panji melambung ke atas dan berputar bagaikan gasing. Beberapa saat kemudian, tubuhnya meluruk ke arah lawan-lawannya sambil melontarkan serangan.
Delapan laki-laki gagah itu berjumpalitan sambil bergulingan menghina dari serangan Panji yang datang bagai air bah. Setelah berhasil menyelamatkan diri, mereka bergegas bangkit dan bersiap menghadapi Pendekar Naga Putih kembali.
"Hei, ke mana pemuda itu?" seru Ranjalu heran ketika tidak menemukan Panji di tempat itu. Ranjalu mengedarkan pandangan ke sekelilingnya. Namun, Panji benar-benar telah lenyap bagai ditelan bumi.
Rupanya pada saat-saat lawannya sibuk menghindari serangannya yang laksana angin topan tadi, diam-diam Panji langsung melesat meninggalkan arena pertarungan. Dia merasa tidak ada gunanya meladeni tokoh-tokoh persilatan yang sudah gelap mata itu. Satu-satunya jalan terbaik menurut pemuda itu adalah menghindari mereka.
"Benar-benar pemuda hebat! Seusia itu dia sudah mampu mengekang amarahnya. Benar-benar seorang pendekar sejati!" puji Ranjalu tulus.
"Huh! Dia tak lebih dari seorang pengecut bagiku!" tiba-tiba terdengar suara ketus penuh kebencian. Kata-kata kasar itu terlontar dari mulut Ki Karmapala. Sepertinya dia tidak senang kawan-kawannya memuji-muji pendekar muda itu. Karena sesungguhnya laki-laki setengah baya ini adalah salah seorang pendekar yang telah menyimpang dan bergabung dengan Raja Iblis dari Utara. Itulah sebabnya mengapa ia begitu membenci Panji.
"Kukira, ia bukan takut menghadapi kita, Ki. Mungkin ia tidak ingin salah seorang di antara kita menjadi korban pukulannya," ujar Guntara mencoba membantah ucapan Pendekar Pedang Sakti. Dalam hati kecilnya, ia menyetujui langkah yang diambil Pendekar Naga Putih.
"Ahhh, sudahlah! Lebih baik sekarang kita kejar pendekar pengecut itu, ayo!" sahut Ki Karmapala tak senang. Selesai berkata demikian, laki-laki setengah baya itu segera melesat mengejar Pendekar Naga Putih.
"Heran! Mengapa Ki Karmapala begitu membenci Pendekar Naga Putih?" desah Ranjalu tak habis mengerti.
"Entahlah, Kakang? Pasti ada sebabnya," sahut Guntara sambil menghela napas berat.
"Sudahlah. Lebih baik kita segera menyusulnya," usul yang lain sambil bersiap-siap hendak menyusul Pendekar Pedang Sakti.
"Eh, bagaimana dengan wanita-wanita yang diculik perampok itu? Apa tidak sebaiknya kita mengantarkan mereka kepada keluarganya terlebih dahulu?" tiba-tiba salah seorang di antaranya mengingatkan kalau pekerjaan mereka belum selesai.
"Hm..., mengapa kita sampai melupakannya? Kalau begitu kita berbagi tugas. Aku dan kedua orang saudaraku akan mengantarkan wanita-wanita desa itu. Sedangkan kalian menyusul Pendekar Pedang Sakti. Bagaimana?" Ranjalu mengusulkan.
"Kalau begitu, baiklah. Nah! Selamat berpisah, Sahabat. Mudah-mudahan kita dapat berjumpa lagi nanti," ujar Salah seorang menyetujui usul Ranjalu. Maka berpisahlah para tokoh persilatan itu dengan mengemban tugas masing-masing.
* * * * *
Panji terus berlari menghindari dua belas orang tokoh persilatan yang hendak menangkapnya. Dikerahkannya ilmu 'Lari Terbang di Atas Angin', sehingga tubuhnya hanya nampak bagaikan sebuah bayangan samar yang meluncur cepat melintasi keremangan hutan. Setelah merasa yakin dirinya tidak akan terkejar, pemuda itu segera menghentikan larinya. Panji mengusap peluh yang membasahi keningnya dengan punggung tangan. Belum lagi sempat menarik napas lega, tiba-tiba beberapa langkah kaki menuju ke arahnya. Secepat kilat pemuda itu melompat ke atas sebuah cabang pohon yang agak tinggi.
Dari tempat persembunyian, dilihatnya tujuh orang laki-laki gagah yang mengenakan pakaian warna-warni tengah melangkah tergesa-gesa. Gagang pedang yang menyembul di punggung orang-orang itu terhias ronce-ronce yang sama dengan warna pakaian mereka. Hiasan itu membuat penampilan ketujuh orang itu semakin gagah dan berwibawa. Ketujuh orang laki-laki gagah itu ternyata adalah murid-murid Dewa Gunung Kebat. Rupanya dalam usaha mencari pembunuh guru mereka, tujuh orang pendekar itu telah menemukan titik terang. Semua itu terungkap jelas dari pembicaraan mereka.
"Kakang, apakah kau yakin kalau kepala rampok itu tidak berbohong?" tanya adik seperguruan Bandawa yang bertubuh gemuk dan berwajah bulat. Sepertinya ia belum merasa yakin sepenuhnya atas penjelasan kepala rampok yang disebutnya tadi.
"Aku yakin, Adi Gumadi. Orang yang sudah tak berdaya seperti dia pastilah akan berkata jujur. Tokoh-tokoh sesat macam dia lebih mementingkan keselamatannya sendiri daripada kese- lamatan orang lain," jawab Bandawa meyakinkan adik seperguruannya yang bernama Gumadi itu.
"Kakang, menurutmu apakah tidak mungkin kalau Raja Iblis dari Utara mempunyai pengikut setia yang menjaga tempat tinggalnya?" adik seperguruannya yang lain latah bertanya.
"Kalau memang Raja Iblis dari Utara itu mempunyai pengikut, apakah kau merasa gentar, Adi?" ujar Bandawa balik bertanya. Sambil berkata demikian, wajah adik seperguruannya itu ditatapnya lekat- lekat. Seolah-olah dia ingin mengetahui apa yang tergambar di wajah sang adik.
Merasa kalau Bandawa meragukan keberaniannya, orang itu membalas tatapan kakak seperguruannya itu. Seolah-olah ingin menunjukkan kalau ia sama sekali tidak merasa gentar. Tidak seperti dugaan kakak seperguruannya. "Aku sama sekali tidak merasa gentar, Kakang. Hanya saja kalau Raja Iblis dari Utara itu mempunyai pengikut, kita harus lebih berhati-hati. Apabila dugaanku ini benar, maka kita tidak boleh memasuki tempat iblis itu secara terang-terangan," sahut adiknya tegas.
Mendengar penjelasan adiknya, Bandawa tersenyum sambil menepuk-nepuk bahu orang itu. Nampaknya ia gembira mendengar ucapan yang penuh semangat dan perhitungan itu. "Hm.,., kita lihat saja nanti. Apakah kita harus datang secara terang-terangan atau secara sembunyi-sembunyi," ujar Bandawa sambil mengalihkan pandangannya memandang cakrawala.
"Kalau menurutku, lebih baik kita tantang saja si Raja Iblis dari Utara. Biasanya seorang datuk sesat seperti dia pasti terlalu sombong untuk melibatkan pengikutnya menghadapi kita. Nah, bukankah dengan demikian kita dapat tenang menghadapinya!" tiba-tiba salah seorang adik seperguruan Bandawa yang lain memberikan usulnya.
"Nah, itu baru suatu usul yang jitu!" sahut Bandawa sambil mengangguk-anggukkan kepalanya tanda setuju.
"Ya, aku setuju," seru Gumadi cepat, diikuti teriakan-teriakan yang sama dari saudara-saudaranya.
Panji yang ikut mendengar percakapan ketujuh orang pendekar itu berdebar hatinya. Betapa tidak! Ia yang selama beberapa hari ini berusaha mencari tempat kediaman si Raja Iblis dari Utara, belum juga berhasil. Kini malah tak disengaja ia mendengar pembicaraan tujuh orang pendekar yang hendak menyatroni kediaman iblis itu.
"Hm..., lebih baik mereka kuikuti secara diam-diam," gumam Panji mengambil keputusan. Tadinya ia berniat untuk menampakkan dirinya di hadapan ketujuh orang itu. Tapi begitu ia mengenali siapa mereka, pemuda itu segera mengurungkan niatnya. Dia mengenali ketujuh orang ini adalah murid-murid Dewa Gunung Kebat yang berjuluk Tujuh Pedang Pembelah Samudra. Panji tidak menginginkan bentrok dengan mereka sebagaimana ia bentrok dengan pendekar-pendekar lain yang pernah ditemui sebelumnya. Itulah sebabnya mengapa ia mengambil keputusan untuk mengikuti mereka secara sembunyi-sembunyi saja.
Sementara itu, ketujuh orang pendekar itu semakin mempercepat langkah mereka. Bandawa yang mengenakan pakaian biru cerah berada paling depan. Laki-laki itu tampaknya sudah mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya. Rupanya ia ingin cepat-cepat tiba di tempat tujuan. Setelah beberapa waktu lamanya berlari, akhirnya mereka tiba di kaki sebuah bukit yang berdiri kokoh menyeramkan. Selimut kabut tebal tampak menutupi puncaknya. Pohon-pohon raksasa yang berdiri berjajar bagaikan barisan pengawal, membuat suasana bukit itu semakin angker dan menyeramkan.
"Hm..., benar-benar sebuah tempat yang sangat cocok untuk tempat tinggal iblis biadab itu," gumam Gumadi sambil merayapi daerah sekitarnya penuh curiga
"Benar, ayo kita naik!" ajak Bandawa yang segera melesat mendaki lereng bukit yang dipenuhi pohon-pohon dan batu-batu besar. Gerakan laki-laki gagah itu sigap sekali, seolah-olah batu yang bertonjolan itu sama sekali tidak menyulitkannya.
Keenam orang adik seperguruannya pun melesat mengikuti Bandawa. Dalam waktu singkat, mereka sudah tiba di lapangan rumput yang agak luas. Beberapa pohon besar tampak mengelilingi sebuah bangunan kuno yang masih tampak tokoh dan kuat. Tujuh Pedang Pembelah Samudra segera menyelinap di antara batang-batang pohon besar yang terdapat di sekitar tempat itu. Sepasang bola mata Bandawa merayapi daerah sekitar bangunan itu penuh selidik. Setelah memastikan kalau di depan mereka tidak terdapat penjaga, Bandawa dan adik-adiknya bergegas keluar dari tempat persembunyiannya.
"Hei! Raja Iblis dari Utara! Keluarlah kau! Kami murid-murid Dewa Gunung Kebat menantangmu mengadu nyawa...!" Bandawa berteriak sambil mengerahkan tenaga dalamnya, suaranya bergaung memenuhi puncak bukit itu.
Saat-saat yang mencekam, berlalu penuh ketegangan. Ketujuh pendekar itu sudah mencabut pedangnya masing-masing. Mereka sudah siap menghadapi segala kemungkinan yang bakal terjadi. Setelah agak lama menanti namun belum juga ada jawaban, Bandawa kembali bersiap mengulang tantangannya. Tapi, sebelum Bandawa mengulang tantangannya, tiba-tiba angin dingin bertiup keras disertai suara bergelak yang mengguncangkan isi dada mereka.
"Ha ha ha...! Ada tujuh ekor lalat datang hendak mengantar nyawa!" terdengar suara serak menggelegar menggetarkan puncak bukit. Rupanya Raja Iblis dari Utara sengaja mempertunjukkan tenaga dalamnya untuk menciutkan semangat lawan.
Panji yang bersembunyi dibalik semak-semak, merasa terkejut mendengar suara tawa Raja Iblis dari Utara. Dari suaranya saja sudah dapat diduga kalau orang yang berjuluk Raja Iblis dari Utara itu tentu memiliki tenaga dalam yang sukar diukur. Diam-diam ia mengkhawatirkan keselamatan tujuh laki-laki gagah itu. Bahkan ia sendiri pun meragukan kemampuannya bila harus menandingi kekuatan tenaga dalam iblis itu. Panji kembali mengalihkan pandangannya ke arah bangunan itu ketika dirasakannya tiupan angin yang semakin keras.
Sesosok tubuh tinggi besar berperut gendut, melesat melampaui tembok bangunan itu. Gerakannya ringan sekali. Seolah- olah melompati tembok tinggi itu bukan merupakan pekerjaan yang sulit baginya.
Jleg!
Bumi di sekitar puncak bukit itu bergetar ketika Raja Iblis dari Utara dengan sengaja menjejakkan kakinya kuat-kuat ke tanah. Beberapa batang pohon yang berada di sekitarnya bergetar, bahkan beberapa daunnya berguguran. Rupanya kakek tinggi besar yang menyeramkan itu kembali ingin mempertunjukkan kekuatan tenaga dalamnya.
Bandawa dan adik-adik seperguruannya bergerak mundur sambil mengerahkan tenaga dalamnya ketika merasakan sambaran angin keras mendorong tubuh mereka ke belakang. Diam-diam mereka merasa kagum menyaksikan kekuatan yang dipertunjukkan si kakek.
"Hm..., pantas saja kalau Guru sampai tewas di tangan iblis ini. Rupanya kepandaian yang dimilikinya sudah hampir mencapai taraf kesempurnaan," gumam Bandawa kepada dirinya sendiri. Kecemasan mulai membayang pada wajahnya. Namun Bandawa berusaha untuk menyembunyikannya. Ia tidak ingin mematahkan semangat adik-adik seperguruannya.
"Ha ha ha...! Kalian tentulah yang berjuluk Tujuh Pedang Pembelah Samudra. Jadi kalian ingin menuntut balas atas kematian guru kalian? Ha ha ha...! Seharusnya kalian mencari Pendekar Naga Putih untuk minta pertanggungjawabannya atas kematian guru kalian. Bukan padaku!" seru Raja Iblis dari Utara sambil tertawa bergelak.
Tentu saja Panji terkejut di tempat persembunyiannya. Hampir saja ia tidak dapat menahan dirinya. Dia bermaksud keluar dari tempat persembunyiannya untuk meminta penjelasan dari Raja Iblis dari Utara. Tapi untunglah jawaban orang tertua dari Tujuh Pedang Pembelah Samudra itu telah menahan langkah kakinya yang sudah siap bergerak maju.
"Ha ha ha..., jangan coba mengadu domba, Raja Iblis dari Utara! Meskipun kau mengatakan Pendekar Naga Putih yang bertanggung jawab atas kematian guru kami, tapi kami tahu kalau semua itu hanyalah siasat busukmu saja. Bukankah kau ingin agar pendekar muda itu dimusuhi tokoh-tokoh golongan putih?! Kami tidaklah sebodoh yang kau duga, kakek buruk!" jawab Bandawa yang membuat Raja Iblis dari Utara menjadi terdiam beberapa saat.
Kakek iblis itu sama sekali tidak menyangka akan mendapat jawaban seperti itu. Hal ini membuat kemarahannya bangkit seketika. "Hm..., kalau begitu mengapa kalian tidak segera bertindak? Apakah kalian hanya pandai bicara saja?" Raja Iblis dari Utara yang masih penasaran, kembali melontarkan ejekan yang memanaskan perut.
"Ayo, Kakang. Tunggu apa lagi?" ajak Gumadi. Setelah berkata demikian, langsung saja disiapkannya sebuah serangan.
"Jangan gegabah, Adi Gumadi! Ingat! Tidak boleh ada seorang pun yang boleh maju kecuali atas perintahku, mengerti! Nah, sekarang marilah kita bersiap-siap membentuk barisan ilmu Tujuh Pedang Membelah Samudra'," perintah Bandawa kepada adik-adik seperguruannya. Setelah berkata demikian, murid tertua Dewa Gunung Kebat itu segera mengambil posisi sebagaimana yang telah mereka latih bersama. Melihat kakak seperguruannya sudah mengambil posisinya, maka yang lain segera bergerak membentuk lingkaran mengurung Raja Iblis dari Utara yang hanya tertawa-tawa saja.
* * * * *
←₪֎ [ ENAM ] ֎₪→
"Hiaaat...!" Bandawa berteriak nyaring sebagai isyarat kepada saudara-saudara seperguruannya untuk memulai serangan. Orang tertua dari Tujuh Pedang Pembelah Samudra itu melesat diiringi ayunan pedangnya yang menimbulkan suara berdesing nyaring. Senjatanya meluncur deras membabat lutut Raja Iblis dari Utara.
"Hm...!"
Wut!
Pedang Bandawa mengenai angin kosong ketika Raja Iblis dari Utara mengangkat kakinya. Begitu sambaran pedang itu lewat, kakek iblis itu langsung melepaskan tendangan kilat ke kepala lawan. Bandawa segera melemparkan tubuhnya menghindar ke samping. Pada saat yang bersamaan, seorang adik seperguruan Bandawa menyabetkan pedangnya ke leher si Raja Iblis dari Utara. Kakek itu memiringkan kepalanya sambil menundukkan, jari-jari tangannya mengancam tenggorokan orang itu. Untunglah orang itu segera mencondongkan tubuhnya ke belakang. Sehingga serangan itu hanya mengenai angin kosong.
Belum lagi Raja Iblis dari Utara sempat bernapas lega, serangan yang lainnya meluruk ke perutnya yang gendut. Kakek itu cepat-cepat mengibaskan tangan- nya menghalau serangan itu. Pada saat yang bersamaan, serangan dari belakang telah meluncur datang!
"Bangsat!" Raja Iblis dari Utara mengumpat kasar. Ia yang semula terlalu memandang remeh lawan-lawannya, kini terpaksa harus kalang-kabut menghindari. Serangan Tujuh Pedang Pembelah Samudra yang bagai gelombang samudra itu benar-benar telah membuatnya repot. Raja Iblis dari Utara yang bernama asli Reksa Pati itu melempar tubuhnya ke belakang sambil mengatur kuda-kudanya. Wajahnya memerah karena amarahnya sudah bergejolak memenuhi rongga dadanya. Sambil menggeram marah, mulai dipersiapkan serangannya.
Sebenarnya kepandaian tujuh orang pendekar itu jauh di bawah kepandaian Raja Iblis dari Utara. Namun karena kakek iblis itu terlalu menganggap enteng la- wannya, akhirnya dia sendirilah yang dibuat kelabakan. Padahal, kalau saja Reksa Pati bersikap tenang, belum tentu dia akan menjadi kerepotan seperti itu. Tujuh Pedang Pembelah Samudra kembali mengatur serangan sesuai dengan posisinya masing-masing. Serangan mereka pada gebrakan pertama tadi benar-benar telah membangkitkan rasa kepercayaan diri dan keberanian mereka.
"Hati-hati, jangan merasa bangga dulu. Iblis itu belum mengeluarkan seluruh kepandaiannya!" teriak Bandawa mengingatkan adik seperguruannya agar kewaspadaan mereka tetap terjaga.
"Jangan khawatir, Kakang. Kami akan tetap waspada," sahut salah seorang adik seperguruannya.
"Hm...! Jangan merasa sombong dulu, lalat-lalat busuk! Sebentar lagi kalian akan segera merasakan kelihaian Raja Iblis dari Utara yang sesungguhnya!" ujar Reksa Pati geram. Sinar matanya mencorong tajam, penuh nafsu membunuh.
Dua orang adik seperguruan Bandawa tersentak mundur ketika tatapan Raja Iblis dari Utara menghunjam mereka. Tubuh dua orang itu bergetar sesaat bagaikan tersengat ratusan lebah berbisa.
"Pusatkan pikiran kalian! Jangan lihat matanya!" Bandawa memperingatkan dua orang adiknya. Untunglah keduanya cepat menundukkan kepalanya. Sesaat kemudian, mereka sudah terbebas dari pengaruh si Raja Iblis dari Utara. Kini keduanya kembali memusatkan perhatian pada permainan ilmu 'Tujuh Pedang Membelah Samudra'.
"Haaat...!"
Kali ini Gumadi membuka serangan lebih dulu. Sinar pedangnya bergulung-gulung bagaikan deburan gelombang ombak di lautan. Sesekali ujung pedangnya menyambar mengancam tubuh lawan. Pada saat yang hampir bersamaan, saudara-saudaranya juga meluncur ke arah Raja Iblis dari Utara. Serangan mereka yang saling susul-menyusul dan sating melindungi itu memang merupakan sebuah gaya serangan yang membuat lemah pertahanan lawan.
"Ha ha ha...," Reksa Pati kembali bergelak. Kali ,ini rupanya ia sudah mempersiapkan diri untuk menghadapi gempuran ketujuh orang pendekar itu.
Wurrr! Werrr...!
Angin dingin bertiup keras ketika Raja Iblis dari Utara memutar-mutar kedua tangannya. Akibatnya daerah di sekitar arena pertarungan bagaikan dilanda angin topan. Pohon-pohon berderak ribut hendak tumbang. Batu-batu sebesar kepalan tangan, beterbangan bagai dilemparkan tangan-tangan yang tak kelihatan.
"Heaaah...!" Raja Iblis dari Utara membentak menggelegar. Tiba-tiba tangan kanannya terulur ke arah Gumadi yang tengah meluncur ke arahnya. Serangkum angin tajam berdesir menyertai uluran tangan si kakek iblis. Benar-benar sebuah serangan maut!
Gumadi yang berlindung di balik gulungan sinar pedangnya, menjadi gugup. Di depannya secara tiba-tiba saja telah menanti beberapa pasang tangan yang tengah terulur ke arahnya. Segera disabetkan pedangnya untuk menghalau puluhan tangan yang tiba-tiba berubah hendak mencengkeramnya.
Wut! Wut!
Bukan main terkejutnya hati Gumadi ketika mendapat kenyataan tangan-tangan yang ditebasnya sama sekali tidak terputus. Apalagi sampai mengeluarkan darah! Pedangnya seolah-olah hanya menebas angin. Kini wajahnya mendadak menjadi pucat! Namun sebelum sempat dikuasai perasaannya, tahu-tahu tubuhnya bagaikan dihantam palu godam yang berat.
Desss!
"Ugh...!"
Tubuh Gumadi terlempar keras. Darah segar menyembur dari mulutnya hingga memercik ke mana-mana. Terdengar suara berdebuk keras ketika orang kedua dari Tujuh Pedang Pembelah Samudra itu terbanting ke tanah. Gumadi berusaha untuk merangkak bangkit. Namun isi dadanya terasa remuk! Dia hanya dapat rebah sambil menyeringai menahan sakit.
Sesaat setelah tubuh Gumadi terpental, serangan yang lainnya telah tiba. Seberkas sinar yang bagaikan sebuah lorong, meluncur seolah-olah hendak menelan tubuh Raja Iblis dari Utara. Dalam lorong sinar pedang itu terdapat daya sedot yang cukup kuat, hingga mengibarkan baju kakek iblis itu.
"Hm...!" Raja Iblis dari Utara menggeram gusar. Secepat kilat kakek tinggi besar itu melempar kakinya ke atas seraya memutar tubuhnya setengah lingkaran. Selagi masih berada di udara, sepasang tangannya didorongkan ke depan. Sesaat kemudian telapak tangan itu sudah dikembangkan ke kiri dan kanan. Gerakan yang dilakukan kakek iblis itu cepat luar biasa sehingga mengaburkan pandangan lawannya. Hingga....
Plak! Buk!
"Aaakh...!" Entah dengan cara bagaimana, tahu- tahu saja sepasang telapak tangan Raja Iblis dari Utara telah menampar pelipis dan lambung lawan. Orang itu menjerit kesakitan. Tubuhnya terpental beberapa tombak ke belakang disertai darah segera yang muncrat dari mulutnya. Luka yang dialaminya lebih parah daripada Gumadi. Setelah berkelojotan sekejap, napas orang itu terlepas dari raganya dengan tengkorak kepala retak! Melihat kejadian yang sama sekali di luar dugaannya itu, Bandawa cepat memerintahkan adik-adik seperguruannya mundur.
Gumadi yang semula masih mencoba untuk bangkit, tak lama kemudian juga tewas. Pukulan Raja Iblis dari Utara yang mengenai dadanya, telah mematahkan tulang-tulang dadanya hingga menusuk jantung. Dalam segebrakan saja, ilmu 'Perogoh Sukma' yang dimainkan Reksa Pati telah menelan dua korban dalam waktu yang hampir bersamaan. Bandawa berdiri pucat diapit empat orang adik seperguruannya. Sepasang matanya menyiratkan api dendam yang berkobar-kobar. Beberapa saat setelah dapat menenangkan hatinya, segera ditolehkan kepalanya ke arah adik-adik seperguruannya.
"Kalau ada di antara kalian yang ingin hidup, pergilah! Tinggalkan tempat celaka ini. Biar aku yang menghadapi iblis biadab ini," ujar Bandawa kepada empat orang adik seperguruannya yang masih tersisa. Suaranya terdengar parau dan tersendat. Sebenarnya ucapan Bandawa lebih tepat sebagai sebuah erangan daripada ucapan.
"Kakang! Apakah kau pikir kami ini adalah anjing-anjing pengecut! Tidak, Kakang. Kami lebih suka mari daripada hidup terhina!" jawab salah seorang adik seperguruannya yang disambut anggukan ketiga saudaranya.
"Kalau begitu, mari kita hadapi iblis ini bersama-sama!" ucap Bandawa sambil menggerakkan pedangnya. Tekadnya sudah bulat! Ia tak takut menghadapi maut!
Kali ini lima orang pendekar itu tidak lagi membentuk lingkaran untuk mengurung lawan. Dengan tewasnya dua orang saudara mereka, maka barisan 'Tujuh Pedang Membelah Samudra' tidak lagi dapat mereka mainkan. Kini mereka menyerang dengan mengandalkan jurus-jurus tunggal yang dimilikinya.
"Hm...!" Raja Iblis dari Utara kembali menggeram. Wajahnya yang kemerahan semakin bertambah angker. Diiringi gelak tawanya, si kakek iblis itu melangkah maju mendekati lawan-lawannya. Kedua telapak tangannya yang terbuka, diputar-putar di depan dada. Sesekali kedua telapak tangan yang terbuka itu mengembang ke kiri dan kanan.
"Hah...!"
Tiba-tiba kakek tinggi besar yang sudah haus darah itu melompat menerjang lima orang lawannya. Serangkum angin panas yang menyesakkan dada bertiup keras, hingga membuat kuda-kuda lima pendekar itu hampir goyah. Kelima pendekar bergerak cepat memutar pedang masing-masing untuk melindungi tubuh mereka. Usaha mereka ternyata tidak sia-sia. Kini angin keras yang menyesakkan dada itu tak lagi mereka rasakan. Lalu bagaikan dikomando, kelima pendekar itu bergerak berbarengan sambil mengayunkan pedangnya ke arah lawan. Raja Iblis dan Utara yang hasrat membunuhnya sudah memuncak, tidak tinggal diam. Tubuhnya yang tinggi besar melompat memapak kelima batang pedang lawan. Selagi tubuhnya melayang di udara, kedua tangannya segera didorongkan ke depan dengan jari-jari terbuka. Belum lagi serangan Raja Iblis dan Utara tiba, sesosok bayangan putih melesat memapak dorongan telapak tangannya. Dan....
Blarrr!
"Aaakh...!" Baik tubuh Raja Iblis dari Utara maupun sosok bayangan putih itu sama-sama terlempar ke belakang. Suara menggelegar laksana ledakan petir, mengiringi benturan tadi. Tanah di sekitar arena pertarungan itu bagaikan diguncang gempa. Sungguh luar biasa akibat benturan dua gelombang tenaga dahsyat itu! Bandawa dan empat orang kawannya sadar kalau mereka baru saja terlepas dari maut. Dengan wajah yang masih memucat, kelima orang itu menatap pemuda berpakaian putih yang tengah bertatapan dengan Raja Iblis dari Utara. Selapis kabut bersinar putih keperakan tampak menyelimuti sosok berpakaian putih itu.
"Pendekar Naga Putih...!" seru Bandawa dan empat orang adik seperguruannya hampir bersamaan. Hati mereka merasa heran bercampur girang.
Sosok berpakaian serba putih itu memang Panji adanya. Tadinya pendekar muda ini tidak mau turun tangan membantu Bandawa dan adik-adik seperguruannya. Tapi melihat mereka terdesak, mau tak mau Panji tak bisa tinggal diam.
"Ha ha ha..., itukah 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' yang kau banggakan?" ujar Raja Iblis dari Utara penuh kagum.
Sebagai seorang datuk persilatan yang berpengalaman, ia tahu kalau ilmu 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' benar-benar sebuah ilmu yang langka. Ilmu yang jarang ada duanya di dunia persilatan. Dan kalau pemuda itu telah dapat menyempurnakannya, ia menjadi ragu kalau dapat menandinginya.
"Hm..., Raja Iblis dari Utara. Kini aku sudah berada dihadapanmu. Marilah kita selesaikan urusan kita," ucap Panji dingin. Sama sekali tidak dipedulikan ucapan lawannya. Panji yang sempat tergetar akibat pertemuan tenaga dalam tadi, dapat meraba kalau tenaga sakti lawan tidak berada di bawahnya. Kenyataan ini membuat Pendekar Naga Putih semakin berhati-hati terhadap lawannya yang terkenal kejam itu. 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' terus bergolak melindungi dirinya.
"Ha ha ha..., jangan merasa takabur dengan nama besarmu Pendekar Naga Putih. Orang lain boleh takut melihat ilmu-ilmu mukjizatmu. Tapi Raja Iblis dari Utara tidak gentar! Nama besarmu akan kuhapus dari dunia persilatan hari ini!" sahut Raja Iblis dari Utara seraya tertawa terbahak-bahak. Jelas sekali kalau kakek ini merasa yakin dapat menundukkan pendekar muda yang tersohor itu. Apa yang diucapkan Reksa Pati bukannya tidak beralasan. Di antara datuk-datuk kaum sesat pada masa itu, Raja Iblis dari Utara inilah yang memiliki kepandaian tertinggi.
"Kalau begitu, mengapa kau tidak cepat bertindak, Raja Iblis dari Utara?" tanya Panji seraya tersenyum sabar. Dia tetap berusaha tenang. Kemarahannya ditekan agar tidak terpancing ucapan Reksa Pati.
"Ha ha ha..., rupanya kau sudah tidak sabar, Pendekar Naga Putih? Baiklah! Bersiaplah menahan beberapa jurusku!" setelah berkata demikian, Raja Iblis dari Utara menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Jari-jarinya yang terbuka tampak bergetar ketika dialiri tenaga sakti.
Melihat lawannya sudah bersiap menyerang, Panji segera menyedot napas dalam-dalam. Tidak tanggung-tanggung lagi, pemuda itu telah mengerahkan seluruh tenaga dalamnya. Dia sadar sepenuhnya kalau orang yang dihadapinya kali ini adalah seorang tokoh sesat yang maha sakti. Dia tidak ingin mendapat celaka akibat kelalaiannya.
"Hm...!" Raja Iblis dari Utara mendengus kasar. Kedua tangannya yang semula menyilang di depan dada, pelahan terangkat ke atas kepalanya. Kedua kakinya membentuk kuda-kuda.
"Heaaa...!" Dibarengi sebuah teriakan nyaring, Reksa Pati meluncur ke arah Panji. Kedua kakinya diseret maju hingga meninggalkan guratan yang cukup dalam di tanah. Sepasang tangannya bergerak cepat melakukan tamparan-tamparan yang menimbulkan suara mencicit tajam.
"Haaat...!" Panji pun tidak ingin ketinggalan. Diiringi teriakan panjang, pemuda itu melesat menghampiri lawan. Jari-jari tangannya yang sudah membentuk cakar naga bergerak bersilangan. Suara berciutan membelah udara mengiringi gerakan tangannya.
Sesaat kemudian, kedua orang sakti itu sudah terlibat dalam sebuah pertempuran sengit! Reksa Pati dan Panji saling serang dengan ganasnya. Sambaran-sambaran telapak tangan Raja Iblis dari Utara menderu-deru mengancam tubuh Panji. Sesekali telapak tangan yang berisi tenaga dalam tinggi itu membentuk totokan yang mencicit dan mematuk-matuk buas. Mau tak mau Panji harus meningkatkan kewaspadaannya kalau tidak ingin terpagut jari-jari tangan yang membawa hawa maut itu. Cakar naga Panji pun tidak bisa dianggap remeh. Jari-jari tangannya yang sekeras baja berciutan di sekeliling tubuh lawannya. Reksa Pati mau tidak mau harus berhati-hati menghadapi serangan yang dilontarkan pemuda itu. Sekali saja ia lengah, maka cakar naga itu tidak akan segan-segan mengorek isi perutnya!
Pada jurus yang ketiga puluh satu, sebuah hantaman telapak tangan Reksa Pati meluncur deras mengancam pelipis Panji. Kecepatannya yang melebihi sambaran kilat itu benar-benar membuat pemuda itu terkejut. Cepat-cepat tangannya bergerak memapak serangan tersebut.
Plak!
"Uhhh...!" Terdengar suara ledakan nyaring ketika telapak tangan yang berisi tenaga sakti tingkat tinggi itu bertemu di udara. Tubuh Panji terdorong mundur sampai dua tombak. Lengan kanannya yang digunakan untuk menangkis, terasa ngilu ke pangkalnya. Bergegas Panji menarik napas dalam-dalam untuk menahan debaran dalam rongga dadanya.
Sedangkan Raja Iblis dari Utara tertawa bergelak-gelak penuh kegembiraan. Meskipun tubuhnya sempat terdorong juga, namun dia benar-benar merasa puas. Sudah belasan tahun ia tidak pernah menemukan tandingan yang memuaskan hatinya. Ternyata baru beberapa bulan saja meninggalkan kediamannya di Utara, kakek ini telah dua kali menemui lawan yang benar-benar membuatnya gembira. Kedua orang itu adalah Dewa Gunung Kebat dan Pendekar Naga Putih yang kini berada di hadapannya.
"Ha ha ha..., aku tahu sekarang! Rupanya kau adalah murid si tua bangka Tirta Yasa yang berjuluk Malaikat Petir itu. Hebat.. hebat! Tak kusangka si tua bangka keparat itu mempunyai pewaris yang sangat berbakat" ucap Reksa Pati yang membuat Panji terkejut
"Hm..., dari mana kau dapat menerka begitu, Orang Tua?" tanya pemuda itu heran. Sepengetahuannya, selama bertahun-tahun melakukan pengembaraan, baru kali inilah ada orang yang mengetahui kalau dirinya adalah murid Malaikat Petir.
"Ha ha ha..., tak perlu heran, Anak Muda. Dari dasar-dasar ilmu silatmu, aku sudah menduga kalau kau adalah pewaris ilmu si tua bangka itu. He! Di mana sekarang gurumu bersembunyi?" bentak Raja Iblis dari Utara kasar.
"Hm..., apakah kau mencariku hanya untuk diajak bicara? Mengapa tidak dilanjutkan saja pertarungan kita?" sahut Panji yang tidak ingin membicarakan soal gurunya. Memang, Eyang Tirta Yasa berpesan agar ia tidak menceritakan perihal dirinya kepada siapa pun.
"Ha ha ha..., aku memang ingin melanjutkan pertarungan ini. Tapi tidak sekarang!" ujar Raja Iblis dari Utara yang membuat Panji dan lima orang pendekar lainnya tersentak kaget. Bagaimana mereka tidak menjadi kaget? Bukankah selama ini kakek itu melakukan pembunuhan-pembunuhan hanya untuk mencari Pendekar Naga Putih? Dan mengapa sekarang pada saat pendekar yang dicari-carinya itu berada di hadapannya, malah tidak ingin dibunuhnya?
"Apa maksudmu, Raja Iblis dari Utara?" tanya Panji seraya mengerutkan dahi. Ia benar-benar tidak mengerti apa yang diinginkan kakek itu.
"Dengarlah baik-baik, Pendekar Naga Putih! Aku tidak puas kalau kematianmu tidak disaksikan oleh tokoh-tokoh persilatan dari segala penjuru. Nah, aku menantangmu untuk melanjutkan pertarungan kita pada bulan dua hari ketujuh di Lembah Biru. Sekarang kau dan lima ekor lalat kotor itu boleh pergi! Ha ha ha...!" diiringi suara gelak tawa yang berkepanjangan, tubuh Raja Iblis dari Utara lenyap dari tempat itu.
Tinggal Panji termenung memikirkan ucapan Raja Iblis dari Utara tadi. Tapi sebuah tepukan pada bahunya telah menyadarkan pemuda itu dari lamunannya. Kiranya orang itu adalah Bandawa, orang tertua dari Tujuh Pedang Pembelah Samudra yang baru saja diselamatkan Panji.
"Sudahlah, Kisanak. Kalau kakek iblis itu sudah membuat keputusan, siapa yang dapat menentangnya. Mari kita tinggalkan tempat ini," ajak Bandawa kepada Panji. Dengan membawa mayat dua orang saudaranya, enam orang pendekar itu bergegas menuruni lereng bukit.
* * * * *
←₪֎ [ TUJUH ] ֎₪→
Hampir seluruh tokoh-tokoh persilatan baik dari golongan putih maupun golongan hitam, berdatangan menuju Lembah Biru. Mereka ingin menyaksikan pertarungan yang sangat jarang terjadi pada masa itu. Di mana dua orang tokoh sakti dari aliran yang berbeda akan mempertunjukkan ilmu-ilmu tingkat tinggi yang jarang ada duanya di dunia persilatan.
Boleh dikatakan, tidak ada seorang pun tokoh persilatan yang rela melewatkan kesempatan itu. Baik pendekar-pendekar ternama maupun orang-orang yang hanya memiliki ilmu pas-pasan. Semuanya ingin menimba pengalaman dari kedua tokoh sakti yang sudah pasti akan mengeluarkan ilmu-ilmu tingginya. Beberapa hari sebelum waktu yang ditentukan tiba, desa-desa yang berada di sekitar Lembah Biru sudah banyak dikunjungi orang.
"Wah...! Pertarungan itu pasti akan seru sekali. Ini benar-benar sebuah tontonan yang sangat menarik," ujar seorang berkepala botak kepada teman seperjalanannya. Wajah orang itu kelihatan berseri-seri. Sepertinya ia lupa bahwa pertarungan itu adalah sebuah pertarungan antara hidup dan mati.
"Tentu saja akan ramai dan seru! Eh, menurutmu siapakah yang akan menang?" tanya temannya juga gembira.
"Apakah kau ingin mengajak bertaruh?" tanya orang itu lagi. Rupanya orang berkepala botak itu termasuk orang yang gemar berjudi. Tak mengherankan kalau ia selalu menggunakan setiap kesempatan atau apa saja untuk berjudi.
"Huh! Dasar otak judi!" bentak temannya yang mengenakan ikat kepala hitam sambil mencibir. "Eh, memangnya apa yang hendak kau pertaruhkan?" biarpun semula mencemooh, tapi akhirnya ia tertarik juga pada usul kawannya.
Salah seorang dari tiga laki-laki yang berjalan di belakangnya melangkah maju. Wajahnya yang bulat menjadi merah ketika mendengar perkataan kedua orang didepannya. "Hei! Manusia pemadatan! Apakah tidak ada pikiran lain dalam otak kalian selain judi?" bentak laki-laki yang ternyata adalah Guntara sambil menuding ke arah dua laki-laki yang hendak bertaruh itu.
Tentu saja dua orang itu menjadi marah mendengar teguran Guntara yang terdengar kasar dan menyakitkan itu. Keduanya menggeram penuh kemarahan.
"He, muka bakpau! Apa pedulimu dengan urusan kami? Kalau kau tidak suka mendengarnya, ya sudah! Urus saja wajahmu yang seperti bakpau itu!" bentak orang yang berkepala botak tak mau kalah gertak. Sambil berkata demikian, tangannya meraba gagang golok yang tersembul di balik bajunya.
"Keparat! Kau kira aku takut melihat golok dapurmu!" sahut Guntara yang merasa tersinggung karena digertak lawan bicaranya itu. Tangan kanannya tahu-tahu sudah terulur menjambret leher baju orang itu.
Krep!
"Hekh...!" Entah karena gerakan tangan Guntara yang terlalu cepat, atau memang orang berkepala botak tidak memiliki kepandaian, tahu-tahu tubuh orang itu sudah terangkat. Sepasang tangan Guntara telah mencekik lehernya.
"Hm..., tikus busuk! Rupanya kau mau bertingkah di hadapanku!" geram Guntara yang sudah siap meremukkan batang leher orang berkepala botak itu.
"Adik Guntara, tahan!" tiba-tiba saja kakak seperguruannya yang bernama Ranjalu sudah berdiri di samping Guntara. Tangan Ranjalu segera mencekal tangan adik seperguruannya. "Sabarlah, jangan turuti emosimu."
Guntara berpaling sejenak memandang wajah kakak seperguruannya. Sinar matanya yang semula tajam, pelahan kembali lembut. Jari-jari tangannya mengendur. Tubuh orang berkepala botak itu lalu didorongnya hingga terjerembab di tanah. "Hm..., kali ini kau kuampuni. Tapi ingat! Sekali lagi kau membicarakan soal perjudian di depanku, akan kuremukkan batok kepalamu!" ancam Guntara bengis.
Setelah berkata demikian, ia pun berlalu meninggalkan Ranjalu yang hanya memandang sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Tinggallah si botak dan kawannya terpaku dengan wajah pucat. Keduanya hanya dapat memandangi punggung ketiga tokoh persilatan yang telah melanjutkan perjalanannya.
"Untunglah orang itu dapat dijinakkan kawannya. Kalau tidak, kepala botakmu pasti sudah diremukkan orang galak itu," ujar kawan si botak seraya menarik napas lega.
"Ah, sudahlah!" sahut laki-laki yang berkepala botak sambil menggerakkan tangannya seperti orang mengusir lalat yang mengganggunya. Tanpa banyak cakap lagi, ia pun segera melanjutkan perjalanannya.
* * * * *
Tepat pada hari yang ditentukan Raja Iblis dari Utara, Lembah Biru telah dipenuhi tokoh-tokoh rimba persilatan dari berbagai aliran. Bahkan ada beberapa di antara mereka yang memasang tenda-tenda darurat.Di tengah hamparan padang rumput yang cukup luas, tampak seorang pemuda tampan berpakaian serba putih tengah duduk bersila. Rambutnya yang panjang, dibiarkan berkibaran tertiup angin sore. Kedua matanya terpejam rapat. Sepertinya ia tengah bersemadi.
Pemuda tampan itu tak lain adalah Panji atau lebih terkenal berjuluk Pendekar Naga Putih yang tengah menanti kehadiran Raja Iblis dari Utara. Pemuda itu telah datang lebih awal dari lawannya. Tekadnya sudah bulat untuk menghadapi pertarungan mati-matian demi menegakkan kebenaran.
Beberapa belas tombak di belakang Pendekar Naga Putih, tampak Ranjalu dan dua orang adik seperguruannya tengah memperhatikan pendekar muda itu. Tiga tokoh persilatan itu duduk di dahan pohon yang cukup besar. Lima tombak di samping kiri mereka, tampak Bandawa dan empat orang adik seperguruannya. Selain kedelapan orang tokoh persilatan itu, masih terdapat puluhan tokoh persilatan lainnya.
Rupanya tokoh-tokoh golongan putih itu sengaja mengambil tempat di belakang Panji. Sepertinya tokoh-tokoh itu siap membantu pendekar muda itu apabila lawan bermain curang. Sedangkan belasan tombak di depan Pendekar Naga Putih, tampak para tokoh golongan sesat. Puluhan tokoh sesat itu pun bergerombol memperhatikan Pendekar Naga Putih yang tengah bersemadi.
Setelah beberapa saat lamanya para tokoh persilatan itu menanti dengan penuh ketegangan, tiba-tiba terdengar suara tawa yang menggema ke seluruh lembah.
"Ha ha ha...!"
Suara tawa yang berkepanjangan dan mengandung tenaga dalam yang sangat tinggi itu, terus bergema hingga menimbulkan ketegangan di hati para tokoh rimba persilatan yang berkumpul di tempat itu. Sehingga untuk beberapa saat lamanya keadaan di sekitar Lembah Biru terasa mencekam. Belum lagi gema suara tawa itu lenyap, tampak sesosok tubuh tinggi besar berkelebat diiringi hawa dingin menusuk. Tokoh tinggi besar itu berhenti agak jauh dari tempat Panji bersemadi. Sengaja dijejakkan kakinya kuat-kuat hingga menimbulkan getaran yang membuat tanah di sekitarnya bagai dilanda gempa.
"Raja Iblis dari Utara...!" beberapa tokoh golongan putih di belakang Panji, berbisik gentar.
Wajah mereka mendadak pucat. Cepat-cepat mereka mengerahkan tenaga dalam untuk meredam isi dada yang terguncang akibat hentakan kaki Raja Iblis dari Utara itu. Hal yang sama juga dialami para tokoh golongan sesat. Namun tak lama kemudian wajah mereka berubah berseri-seri menyambut kehadiran datuk mereka. Lain halnya dengan Panji. Begitu didengarnya suara tawa iblis itu, tubuhnya segera melompat bangkit. Dengan sedikit mengerahkan tenaga sakti, ia tidak terpengaruh oleh pertunjukan tenaga dalam si Raja Iblis dari Utara tadi.
"Ha ha ha..., rupanya kau sudah datang lebih dulu dariku, Pendekar Naga Putih!" ujar Raja Iblis dari Utara seraya bergelak.
"Hm...," Panji hanya bergumam tak jelas. Sama sekali tidak ditanggapi ucapan calon lawannya. Hanya sepasang matanya saja yang mencorong tajam menatap lekat wajah kakek iblis itu.
Raja Iblis dari Utara kembali bergelak. Sama sekali tidak dipedulikan, apakah ucapannya dijawab atau tidak. Tanpa mempedulikan Pendekar Naga Putih yang berdiri beberapa tombak di hadapannya, diedarkan pandangannya ke sekitar tempat itu.
"Ha ha ha..., sudah banyak juga tokoh-tokoh yang hadir di tempat ini. Rupanya mereka tertarik ingin menyaksikan bagaimana pendekar yang mereka banggakan jatuh di bawah telapak kaki Raja Iblis dari Utara," ujar Reksa Pati, sengaja mengerahkan tenaga dalam agar suaranya dapat didengar oleh semua yang hadir di situ.
"Hm..., Raja Iblis dari Utara! Apakah kedatanganmu kemari hanya untuk berkhotbah!" Panji yang sudah merasa tak sabar itu menegur lawannya.
"Sabarlah, Pendekar Naga Putih. Hari ini kematian pasti akan segera menjemputmu. Nikmatilah dulu keindahan Lembah Biru ini, agar kau dapat lebih tenang apabila harus meninggalkannya nanti," sahut Raja Iblis dari Utara yang sama sekali tidak terpengaruh ejekan pemuda itu. "Hm..., kalau kau memang sudah tak sabar, tak apalah! Hayo kita mulai!"
"Baiklah! Lihat serangan...!" seru Panji yang segera melesat, melancarkan sebuah serangan yang menimbulkan suara mencicit tajam. Angin dingin berhembus keras hingga terasa sampai ke tulang sum-sum.
Wut!
"Hm...!" Raja Iblis dari Utara mendengus kasar seraya memiringkan tubuhnya ke kiri hingga serangan Panji luput. Begitu serangan Pendekar Naga Putih itu lewat, secepat kilat kakinya mencelat menghantam lambung lawannya.
Wuttt! Dukkk!
"Uhhh...!" Keduanya terjajar mundur hingga beberapa tombak ke belakang.
Panji meringis menahan sakit pada lengannya. Meskipun berhasil ditangkisnya tendangan lawan, namun tulang lengannya terasa nyeri dan linu. Cepat-cepat dikempos seluruh tenaga saktinya untuk mengurangi rasa sakit di lengannya. Sedangkan Raja Iblis dari Utara, meskipun sempat terjajar mundur akibat tangkisan lawannya, namun dia sama sekali tidak menderita rasa nyeri. Dari sini sudah dapat disimpulkan kalau tenaga dalam Reksa Pati masih lebih unggul dibanding Pendekar Naga Putih. Pantaslah kalau Raja Iblis dari Utara itu merasa yakin dapat menundukkan lawannya.
"Ha ha ha..., bersiaplah, Pendekar Naga Putih! Sebentar lagi malaikat maut datang menjemputmu!" ejek Raja Iblis dari Utara sombong.
Panji sama sekali tidak mempedulikan ucapan lawannya. Pemuda itu bergegas mempersiapkan ilmu 'Naga Sakti'nya. Selapis kabut bersinar putih keperakan berpendar-pendar mengelilingi sekujur tubuhnya. Angin dingin semakin keras menyebar hingga beberapa tombak disekitar arena pertarungan. Saat itu Raja Iblis dari Utara sudah melesat sambil melancarkan ilmu pukulan 'Perogoh Sukma'. Kedua tangannya berputaran hingga menimbulkan deruan angin keras. Sepasang tangannya terus diputar-putar hingga terlihat menjadi berpuluh-puluh pasang banyaknya.
Wut! Wut!
Dua buah pukulan yang dilontarkan Raja Iblis dari Utara luput! Orang lain boleh tertipu pandangannya oleh kecepatan tangan kakek tinggi besar itu. Tapi tidak bagi Panji! Matanya yang telah terlatih baik, mampu membedakan mana tangan yang asli dan mana yang hanya tipuan. Reksa Pati cepat menarik pulang kedua lengannya. Tapi sebelum sempat membangun serangan kembali, tangan kanan Panji yang membentuk cakar naga sudah terulur ke wajahnya. Serangkum angin dingin lebih dulu menyambar. Reksa Pati merasakan wajahnya bagai dibenamkan dalam timbunan salju.
Namun, Raja Iblis dari Utara bukanlah tokoh kemarin sore. Hawa dingin yang dapat membekukan wajahnya itu seketika buyar hanya dengan memperdengarkan tawanya yang didorong oleh tenaga dalam. Pada saat cakar naga Panji tiba, Reksa Pati hanya memiringkan kepalanya sedikit. Serangan pemuda itu hanya mengenai tempat kosong. Tapi hal itu bukan berarti ancaman bagi Reksa Pati telah lewat! Karena pada saat itu juga tangan kiri Panji sudah datang menyusul. Raja Iblis dari Utara terpaksa menggerakkan tangannya menangkis.
Dukkk!
"Ahhh...!" Terdengar suara keras bagaikan dua batang besi yang dibenturkan. Tubuh keduanya terdorong ke belakang diiringi seruan tertahan.
Cepat-cepat Panji melempar tubuhnya ke belakang sambil bersalto beberapa kali untuk meredam daya dorong yang kuat itu. Kedua kaki pemuda itu mendarat manis di atas rumput. Meskipun tidak sampai terjatuh, namun tak urung isi dadanya terguncang. Dari sela-sela bibir pemuda itu, mengalir darah segar.
Demikian pula halnya dengan Reksa Pati. Tubuhnya yang tinggi besar itu terdorong limbung hingga beberapa tombak. Namun kakek iblis itu cepat menghentakkan kakinya ke tanah hingga daya dorong itu terhenti seketika. Wajah Raja Iblis dari Utara berkerut menahan rasa sakit pada lengannya. Terlihat sinar berkilat di kedua matanya. Sepasang mata itu menatap wajah lawannya penuh nafsu membunuh!
"Grrr...!" Raja Iblis dari Utara menggeram murka. Rupanya benturan itu juga telah mengguncang bagian dalam dadanya. Hawa dingin yang merasuk ke dalam tubuhnya telah membangkitkan kemarahan di hatinya. Tiba-tiba kedua tangannya digerakkan membuka dan menutup di depan dada. Sesaat kemudian, angin yang berhawa panas mulai menyebar di sekitar arena pertarungan. Itulah ilmu 'Telapak Lidah Api' yang mulai dimainkan kakek iblis itu.
"Hiaaat...!" Dibarengi teriakan yang mengguntur, Reksa Pati kembali melangkah maju. Sepasang tangannya meluncur dengan jari-jari terbuka. Telapak tangan yang kemerahan bagaikan bara itu meluncur ke arah Panji. Serangkum angin panas berhembus mengiringi pukulan yang dilancarkannya.
Pertarungan pun kembali berlangsung sengit! Hawa panas dan hawa dingin memenuhi sekitar arena pertarungan silih berganti. Kedua tokoh sakti itu saling serang dengan dahsyatnya. Arena pertarungan menjadi porak-poranda bagaikan dilanda badai yang hebat!
Wusss! Blarrr!
Krrrakkkh!
Sebatang pohon sepelukan orang dewasa tumbang menimbulkan suara berderak hebat. Pukulan jarak jauh yang dilontarkan Panji rupanya dapat dihindari Reksa Pati hingga menghantam pohon yang berada tiga tombak di belakang tokoh sesat itu.
"Hm...!" Raja Iblis dari Utara mendengus kasar. Sepasang tangannya bergerak melontarkan pukulan 'Telapak Lidah Api'.
Panji meliukkan tubuhnya ke kiri seraya merendahkan kuda-kudanya. Serangkum angin panas lewat disampingnya.
Blarrr!
"Aaakh...!" Tiga orang tokoh persilatan yang berada lima tombak di belakang Panji menjerit memilukan. Tubuh mereka terpental diterjang pukulan nyasar itu. Tiga orang tokoh yang bernasib sial itu tewas seketika dengan dada hangus!
Belasan orang tokoh persilatan golongan putih yang semula maju mendekat, serentak berlari mundur. Kematian tiga orang yang bernasib malang itu seolah-olah memperingatkan kalau pertarungan itu sangat berbahaya bagi keselamatan mereka. Lengah sedikit saja bisa mengakibatkan nyawa mereka melayang.
"Keparat..!" maki Panji gusar. Kematian tiga orang yang terkena pukulan nyasar itu membuat hatinya terbakar. Kemarahan semakin memenuhi rongga dadanya. Dengan mengerahkan seluruh tenaga dalamnya, Panji meluncur deras ke arah Raja Iblis dari Utara. Jurus 'Naga Sakti Meluruk ke Dalam Bumi' kini mulai dimainkannya.
"Hm...!" Raja Iblis dari Utara mendengus melihat sepasang cakar naga Panji berputar mengancamnya. Pada saat sepasang cakar itu terulur ke dadanya, Reksa Pati mengangkat kedua tangannya dengan telapak tangan terbuka. Raja Iblis dari Utara mengerahkan tiga perempat tenaga saktinya memapak serangan pemuda itu. Dan....
Blarrr!
"Aaakh...!" Hebat sekali akibat benturan yang maha dahsyat itu! Tanah di sekitar tempat itu bergetar bagai dilanda gempa! Akibat benturan dua gelombang tenaga sakti itu, tubuh Panji terpental bagai sehelai daun kering yang diterbangkan angin.
"Kraaakkk!" Tubuh Panji yang meluncur deras, menghantam sebatang pohon besar hingga tumbang! Tubuh pemuda itu terbanting keras ke tanah hingga menimbulkan suara berdebuk.
"Huakkk...!" Segumpal darah kental menyembur dari mulut Panji. Wajahnya pucat bagai mayat! Sepasang tangannya menekap dada yang terasa nyeri laksana ditusuk ribuan jarum. Rupanya benturan yang maha dahsyat itu telah mengakibatkan luka dalam di dadanya.
Sedangkan tubuh Raja Iblis dari Utara terlempar ke belakang sejauh empat tombak. Cepat kakek tinggi besar itu melenting bangkit. Benturan hebat itu tidak membuatnya terluka sedikit pun! 'Tenaga Inti Api' yang dikerahkan Raja Iblis dari Utara rupanya telah melindungi seluruh tubuhnya. Hanya saja napasnya agak sedikit memburu.
"Ha ha ha..., hanya begitu sajakah kekuatan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' yang terkenal itu? Hayo, Pendekar Naga Putih! Bangkitlah! Jangan hanya duduk seperti kakek-kakek jompo begitu!" Raja Iblis dari Utara tertawa mengejek Panji yang masih terduduk lemah. Pelahan-lahan dilangkahkan kakinya menghampiri Panji yang masih belum mampu berdiri.Baru saja Raja Iblis dari Utara melangkah sejauh delapan tindak, tiba-tiba terdengar sebuah bentakan yang disusul berkelebatnya sosok bayangan ramping yang langsung menyerangnya.
"Kakek iblis, rasakan tajamnya pedangku!" bentak sosok ramping itu marah.
"Hm..., pergilah!" bentak Reksa Pati sambil menggerakkan tangannya ke belakang. Tahu-tahu sepasang kecer bergerigi sudah tergenggam di tangannya. Secepat diambilnya senjata itu, secepat itu pula digerakkan senjatanya menangkis serangan orang itu.
Trang!
* * * * *
←₪֎ [ DELAPAN ] ֎₪→
"Adik Kenanga...!" Panji berseru parau menyebut nama sosok yang terpisah hanya dua tombak di samping kirinya. Rasa gembira dan cemas terbayang di wajahnya yang pucat itu. Dengan susah payah Panji berusaha bangkit mendekati kekasihnya.
Sosok ramping tadi memang Kenanga. Ia yang ikut menyaksikan pertarungan itu bergegas menyeruak diantara kerumunan tokoh-tokoh persilatan ketika melihat tubuh Panji terduduk lemah. Tanpa mempedulikan keselamatan dirinya sendiri, gadis itu langsung menyerang Raja Iblis dari Utara yang tengah menghampiri Panji. Kenanga menoleh ketika mendengar panggilan Panji. Namun sinar matanya terlihat dingin dan tak berperasaan. Rupanya gadis itu masih marah kepada pendekar muda itu (Baca serial Pendekar Naga Putih dalam episode Jari Maut Pencabut Nyawa)
Panji semakin terharu ketika melihat cairan merah mengalir dari sela-sela bibir wanita yang dicintainya. Meskipun sinar mata Kenanga terlihat dingin, namun Panji tahu kalau gadis itu masih mencintainya. Kalau tidak, mengapa dia menolongnya. Kedatangan kekasihnya membangkitkan semangat Panji. Kini Pendekar Naga Putih itu sudah berdiri sambil mencabut pedang yang melilit di pinggangnya. Tanpa mempedulikan lukanya, dipalingkan wajahnya ke arah Raja Iblis dari Utara. Saat itu Kenanga pun sudah bangkit berdiri. Pedang hitamnya dilintangkan di depan dada. Sesekali terlihat seringai dibibirnya.
"Adik Kenanga, kau menyingkirlah! Biar kuhadapi kakek iblis itu. Bukan aku tidak menghargai bantuanmu, Adik Kenanga. Tapi aku tidak ingin dikatakan sebagai pengecut yang berlindung kepada seorang wanita," pinta Panji lembut sambil menatap wajah kekasihnya penuh permohonan.
Memaklumi ucapan Panji yang mengandung kebenaran itu, Kenanga bergegas mundur meskipun dengan hati berat. Sekilas terlintas sinar kehangatan pada sepasang matanya ketika beradu pandang dengan mata Panji. Setelah Kenanga mundur, Panji menggerakkan pedangnya hingga menimbulkan angin berkesiutan. Dengan jurus 'Naga Api Meluruk ke Dalam Bumi', tubuh pemuda itu berputar terselimut gulungan sinar pedang yang menyilaukan mata.
Raja Iblis dari Utara tertawa tergelak seraya melesat menyambut serangan Pendekar Naga Putih. Pertempuran pun kembali berlangsung sengit! Saat itu malam telah menjelang. Para tokoh persilatan yang menyaksikan pertarungan telah menyalakan puluhan batang obor. Suasana lembah yang seharusnya gelap, kali ini menjadi terang benderang. Pada jurus yang keempat puluh tujuh, Reksa Pati memperhebat serangannya. Sepasang kecer bergeriginya berkelebatan di sekeliling tubuh lawannya. Panji mulai terdesak hebat sehingga tidak mempunyai peluang lagi untuk balas menyerang.
Bret! Bret!
"Aaakh...!" Tepat memasuki jurus keempat puluh delapan, Panji tak sempat lagi menghindari dua buah sambaran kecer bergerigi lawan. Tubuh pemuda itu terjajar mundur sejauh dua tombak. Pada bagian dada dan perutnya tampak luka memanjang yang mengalirkan darah segar. Untunglah lukanya tidak terlalu dalam. Rupanya Panji masih sempat memiringkan tubuhnya sehingga serangan lawan tidak terlalu telak mengenai tubuhnya. Raja Iblis dari Utara tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan itu. Selagi tubuh lawannya terhuyung, di-kirimkannya sebuah tendangan ke dada pemuda itu. Dan....
Bret! Bret!
"Aaakh…!" Tepat memasuki jurus keempat puluh delapan, Panji tak sempat lagi menghindari dua buah sambaran kecer Raja Iblis dari Utara. Pada bagian dada dan perutnya tampak luka memanjang yang mengalirkan darah segar!
Desss!
"Huakkk...!" Tubuh Panji terlempar keras kebelakang. Telapak kaki Reksa Pati yang besar dan mengandung tenaga dalam yang amat kuat, telak menghantam dadanya. Darah segar menyembur membasahi tanah berumput maupun pakaiannya. Pendekar Naga Putih itu merintih menahan rasa sakit dan panas yang membakar dadanya. Lapisan kabut putih keperakan yang selalu menyelimuti tubuhnya, kini lenyap akibat luka-luka yang dideritanya.
"Kakang...!" Kenanga berlari menubruk tubuh Panji yang tengah berusaha duduk. Dipeluknya pemuda yang dicintainya itu. Kemarahan yang selama ini menguasai hatinya, luluh seketika melihat kekasihnya berada dalam keadaan sekarat. Dengan wajah bersimbah air mata, gadis jelita itu membelai-belai wajah kekasihnya yang pucat bagai mayat.
"Ha ha ha.... Pendekar Naga Putih, apakah pada saat menjelang kematianmu kau ingin berlindung di balik kehangatan tubuh seorang gadis?" Raja Iblis dari Utara tertawa mengejek.
"Adik Kenanga. Kau... kau pergilah! Pertarungan ini belum selesai. Aku... aku harus menepati janjiku untuk bertarung melawan kakek iblis itu sampai salah seorang di antara kami tewas!" ujar Panji tersendat.
"Tidak, Kakang! Aku tidak peduli dengan anggapan tokoh-tokoh persilatan yang mungkin akan mengejekmu. Aku akan tetap bersamamu hidup atau mati!" Kenanga membantah keras. Sambil berkata demikian, gadis itu mencabut pedang hitamnya, siap melindungi kekasihnya walau menghadapi raja maut sekali pun!
"Ha ha ha..., lihatlah! Seekor kijang muda yang mulus mencoba menggertak sang harimau untuk melindungi pasangannya," seru Raja Iblis dari Utara sambil mengedarkan pandangan ke sekelilingnya. Selintas terlihat sinar kebuasan dari sepasang matanya. Setelah berkata demikian, dilangkahkan kakinya menghampiri sepasang kekasih yang siap menanti maut itu.
"Lihat pedang! Haiiit...!" teriak Kenanga melengking. Begitu si Raja Iblis dari Utara semakin mendekat, gadis itu langsung menerjang. Pedang hitamnya menderu tajam diiringi hawa maut.
Raja Iblis dari Utara yang sudah menyimpan senjatanya, hanya tertawa bergelak melihat serangan Kenanga. Kakek tinggi besar itu merendahkan kuda-kudanya sedikit disertai egosan tubuhnya. Ketika pedang hitam itu lewat di atas kepalanya, tangan kanannya sudah terulur menjambret bagian dada gadis itu. Tentu saja Kenanga tidak sudi dadanya disentuh tangan kakek iblis itu. Cepat ia melompat mundur sambil melepaskan sebuah tendangan ke arah lawan.
Bukkk!
"Ihhh...!" Tendangan Kenanga memang tepat mengenai sasaran. Tapi alangkah terkejutnya gadis itu ketika merasakan telapak kakinya bagai menghantam lempengan baja yang panas dan sangat kuat. Ternyata bukan kakek itu yang terlempar, malah sebaliknya ia sendiri yang terdorong hingga beberapa tombak jauhnya. Wajah gadis itu meringis menahan rasa nyeri dan panas pada telapak kakinya.
Belum lagi Kenanga sempat memperbaiki kuda-kudanya, tahu-tahu tangan lawannya sudah terulur ke arahnya. Dengan wajah pucat, gadis itu melempar tubuhnya kesamping. Namun alangkah terkejutnya hati Kenanga ketika ia bangkit ternyata tangan lawan sudah berada di depannya. Maka....
Bret! Bret!
"Auw...!" Kenanga yang tak sempat menghindar, menjerit tertahan ketika tahu-tahu saja tangan kakek tinggi besar itu telah merobek baju bagian atasnya. Maka, tampaklah sebagian kulit punggung dan dada yang putih mulus.
"Ha ha ha..., Pendekar Naga Putih. Sebentar lagi kau akan menyaksikan betapa mulusnya tubuh bidadarimu ini," Raja Iblis dari Utara bergelak bengis. Sepasang matanya menyorot liar ke arah tubuh yang terbuka sebagian itu.
"Keparat kau, Raja Iblis dari Utara! Lepaskan dia! Mari kita bertarung sampai seribu jurus!" Panji berteriak-teriak parau. Pemuda itu mencoba bangkit dengan berpegangan pada sebuah batang pohon. Namun kondisi tubuhnya memang sudah terlalu lemah. Setiap kali berusaha untuk bangkit, setiap kali pula ia terjatuh kembali. Darah segar kembali menetes dari sela-sela bibirnya. Panji menggigit bibirnya kuat-kuat karena tak sanggup membayangkan penderitaan yang akan dialami kekasihnya.
Saat itu Raja Iblis dari Utara sudah melompat kembali ke arah Kenanga. Tangannya terulur ke arah gadis yang tengah sibuk menutupi bagian-bagian tubuhnya yang terbuka. Kenanga memandang dengan penuh kengerian melihat kebuasan yang terpancar dari sepasang mata kakek iblis itu.
Bret! Bret!
"Aaauwww...!" Kembali terdengar bunyi kain sobek dan jerit kengerian. Kedua tangan Kenanga semakin sibuk menutupi tubuh bagian atasnya yang sudah tidak terlindung lagi. Kulit tubuhnya yang putih dan halus semakin membuat biji mata Reksa Pati hampir keluar. Air liurnya menetes dari sela-sela bibirnya. Kakek itu benar-benar mirip seekor binatang buas yang tengah kelaparan.
"Oh, jangan...! Jangaaan...!" Kenanga merintih lemah sambil mendekap dadanya yang sudah tidak tertutup. Air mata mengalir membasahi pipinya yang halus.
Para tokoh-tokoh sesat tertawa bergelak melihat pertunjukan yang dianggap sangat menyenangkan itu. Sinar mata mereka menyorot penuh nafsu begitu melihat tubuh indah yang terpampang dihadapannya.
"Keparat keji!" maki salah seorang dari kelompok tokoh golongan putih yang berada di belakang Panji. Selesai berkata demikian, orang itu segera menerjang Raja Iblis dari Utara sambil menyabetkan senjatanya. Perbuatan orang itu diikuti pula oleh tiga orang lainnya.
"Hm...!" Raja Iblis dari Utara berpaling gusar! Secepat kilat tubuhnya berbalik menghadap para penyerang itu. Sepasang tangannya segera didorongkan ke depan mengerahkan pukulan 'Telapak Lidah Api'. Dan....
Darrr!
"Aaa...!" Pukulan maut yang dilancarkan Reksa Pati tepat mengenai keempat orang yang tengah melompat ke arahnya. Tak pelak lagi, tubuh keempat orang itu pun terpental diiringi jerit kematian yang menyayat. Mereka tewas seketika dengan tubuh hangus.
Menyaksikan kejadian itu, para tokoh lainnya bergerak mundur. Kemurkaan Raja Iblis dari Utara benar-benar telah membuat hati mereka gentar. Kini tidak ada seorang pun yang berani mengikuti jejak keempat tokoh yang bernasib malang itu.
Saat itu Panji yang menyaksikan kekasihnya dihina didepan orang banyak, meraung keras. Kesedihan, kemarahan, dan rasa penasaran berbaur menjadi satu. Rasa tak berdaya melihat orang yang dicintainya tengah mengalami penderitaan yang lebih mengerikan daripada mati itu benar-benar menyiksanya.
"Ha ha ha..., Pendekar Naga Putih! Sebagai balasan atas arwah-arwah tiga orang muridku yang kau bunuh itu, maka malam ini juga aku akan memberikan tontonan yang sangat menarik untukmu," ujar Raja Iblis dari Utara sambil melangkah mendekati Kenanga yang sudah setengah telanjang.
"Raja Iblis dari Utara! Mengapa tidak kau bunuh saja aku! Hei, kakek pengecut! Kakek iblis! Hayo, bunuhlah aku! Jangan kau bawa-bawa gadis yang tak berdosa itu!" Panji berteriak-teriak serak. Tidak dipedulikan lagi rasa sakit pada kerongkongannya akibat teriakan itu.
"Ha ha ha...!" Raja Iblis dari Utara hanya tertawa tanpa mempedulikan teriakan Panji. Terus saja dilangkahkan kakinya menghampiri Kenanga yang memandangnya dengan wajah pucat.
Kenanga tak mampu lagi mengelak ketika kakek tinggi besar itu menubruknya. Gadis itu hanya bisa menangis dan menjerit-jerit ketika kakek itu mulai merobek baju bagian bawahnya sambil menciumi penuh kebuasan.
"Jangaaan...! Biadaaab...!" Panji berteriak-teriak sambil meremas-remas rerumputan. Wajahnya menyeringai menahan rasa sakit yang menusuk hatinya.
Mendadak alam yang semula cerah berubah gelap pekat! Angin dingin bertiup keras hingga membuat pepohonan di tempat itu berderak-derak hendak roboh. Api-api obor yang semula menerangi tempat itu langsung padam tertiup angin berhawa dingin.
Panji menengadahkan kepalanya ke atas memandang perubahan alam yang begitu tiba-tiba. Satu keanehan pun dialaminya! Mula-mula sekujur tubuh pemuda itu bergetar hebat! Pendekar Naga Putih itu terbelalak ngeri ketika merasakan suatu tenaga dahsyat menerobos masuk ke dalam tubuhnya. Hawa yang maha dahsyat itu terus bergolak dan menyatu dengan pusat tenaga saktinya. Makin lama dirasakan tubuhnya semakin membengkak bagaikan sebuah balon yang ditiup. Pendekar Naga Putih semakin terbelalak ngeri. Dirasakan kerongkongannya bagaikan tersumbat oleh aliran hawa mukjizat itu.
"Heeeaaa...!!" Tanpa sadar pemuda itu meraung dahsyat
Dan, akibatnya sungguh mengerikan sekali! Belasan tokoh persilatan yang berilmu pas-pasan terbanting roboh dan tewas seketika! Dari mulut, hidung, dan telinga mereka mengalir darah segar! Belasan tokoh lain yang memiliki tenaga dalam lumayan tersentak mundur dengan wajah pucat! Mereka sama sekali tidak menyangka kalau Pendekar Naga Putih bisa berbuat demikian. Para tokoh itu hanya saling berpandangan tak mengerti.
Raja Iblis dari Utara pun terkejut menyaksikan perubahan alam yang mendadak. Perasaan terkejutnya semakin bertambah ketika melihat Pendekar Naga Putih yang semula terduduk lemah itu, mendadak bangkit dengan tubuh bergetar, sepasang mata Panji yang memerah saga itu menyipit. Wajahnya terlihat begitu menakutkan. Urat-urat wajahnya bertonjolan keluar bagaikan hendak pecah!
"Gerhana bulan...?!" desis kakek iblis itu bercampur heran. Tapi sebagai tokoh sakti yang telah berpengalaman, ia pun dapat mengerti apa sebenarnya yang tengah dialami pemuda itu.
Munculnya gerhana bulan itulah rupanya yang telah membuat Panji bangkit. Inti kekuatan alam yang berada pada gerhana bulan telah merasuk ke dalam tubuhnya. Kekuatan alam tadi telah menyebabkan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' yang dimilikinya menjadi berlipat ganda! Bahkan melewati takaran!
Panji semakin ngeri ketika merasakan seluruh anggota tubuhnya bergerak-gerak sendiri. Kedua kakinya terasa ringan bagaikan tidak menyentuh tanah. Rupanya pemuda itu masih belum sadar kalau inti kekuatan gerhana bulan telah merasuki tubuhnya. Sepasang mata Panji yang semerah saga, tiba-tiba tertuju pada wajah brewok yang bertotol-totol hitam. Wajah Raja Iblis dari Utara! Sejenak pemuda sakti ini terlupa akan keadaan dirinya. Kebencian dan kemurkaan menggelegak dalam dadanya. Tanpa disadari didorongkan sepasang lengannya ke arah Raja Iblis dari Utara. Dan....
Blarrr!
"Aaah...!" Luar biasa sekali akibat dorongan sepasang telapak tangan pemuda itu. Tanah di sekitar Lembah Biru bagaikan digoncang oleh gempa yang dahsyat! Untunglah Raja Iblis dari Utara sempat menghindar. Sehingga tanah bekas raja iblis itu berpijak, berlubang besar terhantam tenaga yang terlontar dari sepasang tangan pemuda itu.
"Gila...!" pekik Raja Iblis dari Utara dengan wajah pucat. Kakek tinggi besar itu menggigit bibirnya. Keberaniannya terbang ketika melihat akibat yang ditimbulkan pukulan Panji.
Kenanga pun merasa ngeri melihat keadaan kekasihnya saat itu. Masih belum dimengerti, apa yang sebenarnya terjadi pada diri Panji. Hatinya menjadi cemas. Cepat gadis itu bersembunyi di balik sebatang pohon besar ketika melihat akibat yang ditimbulkan pukulan kekasihnya itu. Firasatnya mengatakan kalau saat itu Panji tengah dalam keadaan separuh sadar, sehingga bisa jadi pemuda itu tidak mengenali dirinya.
"Heaaat...!" Pendekar Naga Putih kembali berteriak mengguntur sambil mendorongkan kedua telapak tangannya ke arah Raja Iblis dari Utara yang sudah mencabut sepasang kecernya.
Kakek iblis itu membentur-benturkan sepasang kecernya untuk membuyarkan pengaruh teriakan yang menggelegar menyakitkan telinga. Namun usahanya sia-sia. Tubuhnya terhuyung-huyung karena kekuatan teriakan yang dikeluarkan Panji benar-benar luar biasa sekali. Kekuatan tenaga sakti Raja Iblis dari Utara yang selama ini tidak ada tandingannya, menjadi tidak ada artinya bila dibandingkan kekuatan Panji saat ini.
Blarrr!
"Uhhh...!"
Kraaakh...!
Empat batang pohon sebesar dua pelukan orang dewasa berderak roboh akibat hantaman Panji yang tidak mengenai sasaran. Wajah Raja Iblis dari Utara semakin memucat. Kegentaran mulai menguasai hatinya. Disadari kalau dirinya tidak akan mampu menandingi kekuatan pemuda itu saat ini. Sepasang matanya mulai berkeliling mencari-cari jalan keluar untuk melarikan diri.
"Yeaaa...!"
Wusss!
Raja Iblis dari Utara kembali melompat menghindari serangan Pendekar Naga Putih yang tidak mungkin dapat dihalaunya. Pukulan bertenaga dahsyat itu kembali mengenai tempat kosong. Namun selagi tubuh kakek iblis itu melayang di udara, Panji sudah mulai dapat meraba apa yang tengah terjadi pada dirinya. Kembali didorongkan telapak tangan kanannya ke arah kakek tinggi besar itu.
Desss!
"Aaa...!" Raja Iblis dari Utara terlempar deras bagai sehelai laun kering. Tubuhnya terus menabrak dua batang pohon hingga tumbang seketika! Kakek iblis itu menjerit menyayat. Darah segar menyembur deras dari mulutnya. Setelah berkelojotan sesaat, tubuh kakek tinggi besar itu pun diam tak bergerak-gerak lagi. Raja Iblis dari Utara tewas seketika dengan tulang dada remuk.
Meskipun lawannya telah tewas, namun Panji masih terus mengumbar pukulannya. Tenaga sakti yang terus bergolak dalam tubuhnya masih belum dapat dikendalikan. Para tokoh persilatan, baik golongan putih maupun hitam bergegas meninggalkan tempat itu. Mereka tidak ingin menjadi sasaran pukulan maut yang dapat mengantarkan mereka ke akherat! Daerah sekitar Lembah Biru itu pun seketika menjadi porak-poranda bagaikan dilanda badai yang dahsyat!
"Hhh..., hhh...," setelah tenaganya terkuras habis, Panji jatuh berlutut di atas rerumputan. Aliran tenaga sakti luar biasa itu telah terhenti karena gerhana bulan telah lama usai. Peluh yang telah bercampur darah, membasahi sekujur tubuh pemuda itu. Tubuh Panji bergetar hebat karena tiba-tiba saja hawa yang sangat dingin bergolak hebat dari bawah pusarnya. Pemuda itu menggigil kedinginan. Giginya bergemeletuk menahankan rasa dingin yang hebat.
"Kakang Panji...!" tiba-tiba terdengar suara merdu memanggil namanya. Kenanga berlari memburu tubuh kekasihnya yang masih berlutut di atas rerumputan. Gadis yang kini telah berpakaian lengkap itu menubruk dan memeluk kekasihnya penuh kecemasan. "Kakang, kenapa tubuhmu begini dingin?" tanya Kenanga cemas.
"Adik Kenanga..., aku..... Aku..., aaahhh...," Panji terkulai pingsan dalam pelukan kekasihnya. Rupanya serangan hawa dingin akibat tenaga sakti yang melewati takaran itu tak sanggup ditahannya.
"Ah, Kakang... kasihan sekali kau...," rintih gadis itu terisak. "Mudah-mudahan Eyang Wiku Ginting dapat menolongmu," ujar gadis itu lirih. Tanpa banyak cakap lagi, Kenanga memondong tubuh pemuda pujaannya itu, dan bergegas meninggalkan Lembah Biru.
Apakah yang akan terjadi pada diri Pendekar Naga Putih? Dan siapa pula Eyang Wiku Ginting yang disebut-sebut Kenanga? Untuk mengetahui jawabannya, ikutilah kisah Pendekar Naga Putih selanjutnya dalam episode Penjagal Alam Akherat
S E L E S A I
INDEX PENDEKAR NAGA PUTIH | |
Penghuni Rimba Gerantang --oo0oo-- Penjagal Alam Akhirat |