Life is journey not a destinantion ...

Pendekar Kembar

INDEX PENDEKAR PULAU NERAKA
Pengantin Dewa Rimba --oo0oo-- Pesanggrahan Goa Larangan

BAYU HANGGARA
Pendekar Pulau Neraka
Karya: Teguh. S
Cetakan Pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit


--««¦ [ SATU ] ¦»»--

PAGI itu langit kelihatan cerah. Matahari bersinar penuh, tanpa sedikit pun awan yang menghalangi. Burung-burung berkicau riang sambil berlompatan dari dahan ke dahan. Sementara anak-anak pun tampak ceria bermain air di sungai yang mengalir jernih, membawa berkah kehidupan dan kemakmuran. Gadis-gadis desa juga bergembira merendam tubuhnya sambil mencuci. Di sepanjang sungai Desa Galuhung tak seorang pun yang berwajah murung.
Tidak jauh dari sungai itu, tampak seorang pemuda gagah dan berbaju kulit harimau tengah berdiri tegak sambil memandang ke arah sungai. Tatapan matanya terus tertuju pada seorang gadis yang tengah bercanda ria bersama gadis-gadis lain. Kain basah yang membelit tubuhnya, hampir melorot turun, sehingga menampakkan kulit dadanya yang putih halus. Dua gundukan di dadanya menyembul hampir ke luar. Tak lama kemudian, gadis itu pun membetulkan kainnya, dan mengangkat keranjang cuciannya.
"Aku duluan, ya...!" seru gadis itu dengan nada ceria.
Sedang gadis-gadis lainnya menyahuti dengan mengangkat tangannya. Ada beberapa orang yang menggodanya, membuat wajah gadis itu sedikit bersemu merah. Dia kemudian melangkah keluar dari dalam sungai. Tampak seorang anak kecil segera membantunya dengan mengambil keranjang yang sedang dibawa gadis itu. Dan sambil berlari lari kecil, bocah itu memanggul keranjang meninggalkan sungai. Gadis itu hanya tersenyum dan melangkah pelan-pelan di jalan setapak, meninggalkan sungai itu. Sementara canda tawa ceria masih terdengar, membuat pagi yang indah itu jadi semakin semarak.
Dengan langkah pelan dan ceria, gadis itu terus berjalan semakin jauh meninggalkan sungai. Sementara anak kecil yang membawa keranjangnya sudah cukup jauh meninggalkannya. Sejenak tangannya yang halus lentik, memetik bunga-bunga yang tumbuh di sepanjang jalan setapak itu. Dari bibirnya terdengar suara menggumam menyanyikan lagu yang iramanya terdengar merdu. Dan saat dia mencapai tikungan jalan, langkahnya mendadak terhenti. Tampak seorang pemuda tampan dan gagah sudah berdiri di tengah-tengah jalan menghadangnya.
"Maaf," gadis itu menganggukkan kepalanya seraya berjalan menyamping melanjutkan langkahnya.
Namun pemuda itu segera menyambar tangannya dan mencekalnya dengan kuat. Gadis itu pun langsung tersentak kaget.
"Heh! Apa-apaan ini?!" sentak gadis itu memberengut.
"Kau cantik, aku suka padamu," kata pemuda itu sambil tersenyum menyeringai.
"Lepaskan!" gadis itu menyentakkan tangannya, tapi cekalan pemuda itu lebih kuat.
"Kau bertambah cantik kalau marah begitu, Manis"
Melihat keadaan demikian, naluri gadis itu segera mengatakan kalau dirinya sedang menghadapi bahaya. Maka dengan sekuat tenaga, dia kembali menyentakkan cekalan pemuda itu. Begitu terlepas, dia langsung lari. Namun baru saja dia berlari beberapa depa, tahu-tahu pemuda itu sudah berdiri menghadangnya. gadis itu buru-buru berbalik dan kembali berlari. Tapi pemuda itu kembali menghadangnya. Kini pucat pasi-lah wajah gadis itu. Napasnya mulai memburu. Rasa takut pun langsung menghinggapi dirinya.
"Kau tidak akan bisa lepas dariku, Manis...," lembut suara pemuda berbaju kulit harimau itu. Namun di balik kelembutannya, mengandung nada ancaman.
Tiba-tiba saja pemuda itu melompat, dan langsung menerkam gadis itu. Jeritan tertahan segera terdengar. Dan tanpa dapat ditahan lagi, mereka jatuh bergulingan di atas rerumputan kering. Gadis itu memberontak sambil menjerit-jerit, berusaha melepaskan diri dari dekapan pemuda itu. Namun dengan ganas dan liar, pemuda itu merenggut kain basah yang melilit tubuh gadis itu.
"Akh...!" gadis itu menjerit kaget. Tangannya jadi sibuk menutupi bagian-bagian tubuhnya yang terbuka.
Dalam keadaan demikian, mata pemuda itu semakin liar merayapi tubuh indah di dalam dekapannya. Namun dia agak kewalahan juga, karena gadis itu terus memberontak sambil menjerit jerit.
....."Lepaskan! Au...! Tolooong...!" jerit gadis itu melengking.
"Diam!" bentak pemuda itu kasar.
Plak!
"Ah...!"
Satu tamparan keras membuat gadis itu kembali menjerit. Pipinya jadi merah bergambar lima jari tangan. Air mata mulai menitik dari sudut matanya yang indah. Perlawanan gadis itu langsung berhenti. Dia merintih, memohon belas kasihan. Namun pemuda itu tidak mempedulikan lagi. Dan pada saat dia hampir terlaksana maksudnya, mendadak terdengar sebuah bentakan keras yang mengejutkan.
"Hey...!"
Pemuda itu langsung tersentak dan menoleh. Tampak seorang laki-laki muda bertubuh tegap tengah berlari menghampiri. Dan di saat pemuda itu lengah, gadis itu segera memanfaatkannya untuk memberontak. Kemudian dia langsung berdiri dan berlari sambil membetulkan kainnya.
"Setan!" dengus pemuda berbaju kulit harimau itu.
"Tolong aku, Kang. Dia mau memperkosaku...!" rintih gadis itu seraya berlindung di balik tubuh pemuda yang baru datang.
"Phuih!" pemuda itu menyemburkan ludahnya. Matanya tajam menatap pada laki-laki tampan dan gagah, berbaju kulit harimau di depannya.
Dua laki-laki muda dan tampan itu saling bertatapan dengan tajam. Sementara si gadis beringsut mundur menjauh. Tangannya tetap memegangi kain di depan dada. Keadaannya kini sudah benar-benar tidak karuan. Tampak kainnya sudah sobek-sobek di beberapa bagian. Rambutnya juga kusut tidak teratur. Namun dia tidak peduli lagi dengan keadaan dirinya. Matanya menatap penuh kekhawatiran pada pemuda yang baru datang menolongnya.
"Siapa kau, orang asing?" tanya pemuda itu ketus.
"Aku, Pendekar Pulau Neraka!" sahut laki-laki tampan berbaju kulit harimau. Suaranya dingin menggetarkan.
Pemuda itu tampak terkejut mendengar nama Pendekar Pulau Neraka disebut. Matanya merayapi dengan tajam pada laki-laki muda tampan didepannya. Dia memang pernah mendengar nama Pendekar Pulau Neraka, seorang pendekar digdaya yang sukar untuk dicari tandingannya. Pemuda itu kemudian melangkah mundur dua tindak. Ada sedikit rasa gentar yang tiba tiba menghinggapi.
"Murti, cepat lari. Selamatkan dirimu!" kata pemuda itu sambil menoleh pada gadis yang masih berdiri memandanginya.
"Kakang...," gadis itu terasa berat untuk pergi.
"Cepat pergi!" bentak pemuda Itu.
Dan masih dengan hati ragu-ragu, gadis itu pun berbalik dan langsung berlari cepat. Namun baru saja dia berlari, laki-laki berbaju kulit harimau yang mengaku Pendekar Pulau Neraka itu, langsung melompat mengejar. Pemuda gagah dengan dada telanjang, segera melompat memapaknya.
"Hiya...!" Teriak pemuda itu seraya melancarkan dua kali pukulan yang beruntun, namun dengan manis sekali laki-laki berbaju kulit harimau bisa mengelakkannya. Dan tanpa diduga sama sekali, kakinya mendadak bergerak cepat menyepak. Tentu saja pemuda itu terperangah, buru-buru dia berkelit, namun sepakan kaki laki-laki berbaju kulit harimau berhasil bersarang di pundaknya.
"Akh!" pemuda itu langsung memekik tertahan. Tubuhnya terjungkal ke tanah.
"Kakang Saka...!" jerit Murti terkejut melihat pemuda yang menolongnya bergulingan di tanah.
"Cepat pergi, Murti!" bentak pemuda bernama Saka itu. Dia segera melompat bangkit. Bibirnya tampak menyeringai merasakan sakit pada pundaknya.
Namun Murti malah berlari menghampiri Saka Dipta. Dan hal itu segera dimanfaatkan oleh laki laki yang mengaku bernama Pendekar Pulau Neraka. Kemudian dengan cepat dia melompat, dan menerkam gadis itu.
"Akh!"
"Murti...!"
Laki-laki yang mengaku bernama Pendekar Pulau Neraka berhasil meringkus Murti dengan kuat. Sedang gadis itu langsung menjerit sambil meronta berusaha melepaskan diri. Melihat itu Saka Dipta jadi geram. lalu tanpa menghiraukan lagi siapa orang yang sedang dihadapi itu, dia segera melompat sambil mengirimkan dua kali pukulan beruntun.
Pendekar Pulau Neraka berhasil mengelakkan serangan Saka Dipta, namun dia jadi geram, karena Murti menggigit tangannya. Sambil menahan marah, dia segera mendorong dengan keras tubuh gadis itu, hingga terjungkal ke tanah. Seketika Murti memekik kesakitan. Buru-buru Saka Dipta melompat menghampiri gadis itu, dan membantunya bangun.
"Cepat pergi! Minta bantuan pada orang-orang desa!" kata Saka Dipta sedikit membentak.
"Kakang...."
"Jangan hiraukan aku, cepat pergi!" bentak Saka Dipta.
Murti segera beringsut mundur menjauh, dan langsung berlari cepat ke desanya. Tentu saja laki-laki tampan berbaju kulit harimau, menggeram melihat gadis itu berlari semakin jauh. Maka dengan nyalang matanya menatap Saka Dipta, yang sudah kembali bersiap-siap menghadapi laki-laki yang berpakaian mirip dengan Pendekar Pulau Neraka.
Saka Dipta yang sudah banyak mendengar tentang sepak terjang Pendekar Pulau Neraka dari gurunya, kini semakin berhati-hati. Dia sadar kalau tidak mungkin bisa menandingi pendekar itu. Dan Saka Dipta semakin yakin, kalau laki-laki di depannya itu adalah benar-benar Pendekar Pulau Neraka yang sering didengar ceritanya, dan selalu menjadi pembicaraan hangat di kalangan kaum rimba persilatan, karena tindakannya yang tegas dan kejam pada setiap lawannya.
Sementara itu Murti terus berlari dengan sekuat tenaga. Dia terus berteriak-teriak minta tolong. Tampak beberapa orang yang tengah bekerja diladang, terkejut mendengar teriakan itu. Bahkan para penduduk Desa Galuhung sampai berlarian menghampiri gadis itu. Murti kemudian berhenti terengah-engah dengan keringat membanjiri seluruh tubuhnya. Sebentar saja di sekelilingnya sudah berkumpul orang-orang desa, laki-laki, perempuan, tua dan muda. Mereka semuanya membawa senjata bermacam-macam.
"Murti, ada apa?" tanya seorang laki-laki tua berjubah putih.
"Ki Sandak..., tolong, Ki. Kakang Saka sedang bertarung dengan Pendekar Pulau Neraka," sahut Murti masih tersengal.
"Pendekar Pulau Neraka...?! Di mana?" laki-laki tua berjubah putih yang bernama Ki Sandak itu terkejut.
"Di sana, Ki. Di jalan setapak yang menuju sungai," sahut Murti sambil menunjuk ke arah sungai.
Ki Sandak tidak bertanya lagi, dengan cepat dia melompat dan berlari bagai angin. Para penduduk desa segera mengikuti. Sedang Murti masih berdiri bengong, tampak seorang perempuan tua berjalan menghampiri. Dan Murti langsung memeluk perempuan tua itu, yang di belakangnya berdiri seorang laki-laki berusia lanjut.
"Ibu..," Murti langsung menangis di pelukannya.
"Sudahlah, Murti. Kau tidak apa-apa, kan?" lembut suara wanita tua itu. Murti hanya menggeleng.
"Sebaiknya kalian segera pulang, aku akan menyusul yang lain," kata laki-laki lanjut usia yang sejak tadi diam saja.
Perempuan tua itu pun membimbing anaknya pulang sedangkan laki-laki berbaju putih bersih itu segera melangkah menyusul yang lainnya. Benaknya terus berputar dengan segudang tanda tanya. Dia sering mendengar sepak terjang Pendekar Pulau Neraka, tapi rasanya tidak mungkin, kalau pendekar itu sampai berbuat tidak senonoh, dan mementingkan nafsu setannya.
Pendekar Pulau Neraka memang sudah terkenal dengan kekejamannya. Tapi perbuatannya yang tidak mengenal belas kasihan itu hanya pada lawan-lawannya. Baru kali ini laki-laki tua itu mendengar perbuatan Pendekar Pulau Neraka di luar kontrol. Dan itu terjadi pada anak gadisnya. Namun dia masih bersyukur, karena Murti belum sempat ternodai.
Sementara itu di jalan setapak menuju sungai, Saka Dipta tengah bertarung melawan Pendekar Pulau Neraka. Pertarungan mereka berjalan tidak seimbang, dan Saka Dipta terus menjadi bulan-bulanan Pendekar Pulau Neraka. Sudah beberapa kali pukulan dan tendangan keras mendarat di tubuh pemuda itu, namun Saka Dipta pantang menyerah. Dia tetap melakukan perlawanan sengit.
Perlawanan Saka Dipta yang alot tentu saja membuat Pendekar Pulau Neraka itu jadi sengit. Dia pun meningkatkan serangannya lebih hebat lagi. Hingga satu saat, pukulan mautnya berhasil mendarat di dada Saka Dipta.
"Akh!" seketika Saka Dipta memekik tertahan. Dan tanpa dapat dicegah lagi, tubuhnya terlontar keras menghantam pohon. Pemuda itu menggelosor ambruk ke tanah. Buru-buru dia berusaha untuk bangkit kembali, namun dadanya mendadak terasa sesak dan panas bagai terbakar. Dia memuntahkan darah kental kehitaman. Sedangkan Pendekar Pulau Neraka segera menghampiri dengan tatapan mata tajam dan bengis.
"Kau telah berani mencampuri urusanku, itu berarti bahwa kau harus mati di tangan Pendekar.Pulau Neraka!" dingin suara Pendekar Pulau Neraka.
"Phuih! Kau pikir aku takut mati, manusia iblis!" dengus Saka Dipta geram.
Pendekar Pulau Neraka melangkah semakin dekat, dan tangannya sudah terkepal erat. Saka Dipta tampak pasrah, namun matanya bersorot tajam penuh kebencian. Tiba-tiba dengan satu teriakan melengking tinggi, Pendekar Pulau Neraka melompat deras, dan menghajar kepala Saka Dipta dengan satu pukulan keras bertenaga dalam sempurna.
Prak!
"Aaa...!" seketika Saka Dipta menjerit melengking tinggi. Sebentar tubuhnya menggelepar, lalu diam dengan kepala retak.
Pendekar Pulau Neraka masih memandangi mayat lawannya. Bibirnya segera menyunggingkan senyum sinis dan dingin. Tapi mendadak kepalanya terangkat ke atas. Dia mendengar suara langkah-langkah kaki menghampiri. Tanpa membuang-buang waktu lagi, pemuda berbaju kulit harimau itu melesat cepat dan tangannya sempat melontarkan sebuah benda berwarna keperakan. Benda itu pun langsung tertanam di dada Saka Dipta yang sudah mati!
Tidak lama setelah pemuda itu pergi, tampak Ki Sandak berlari-lari diikuti oleh beberapa orang dibelakangnya. Mereka semua memegang senjata bermacam-macam. Malah ada di antaranya yang memegang cangkul. Mereka memang rata-rata penduduk desa yang sehari-harinya bertani.
"Saka Dipta...!" seru Ki Sandak tersentak kaget begitu melihat Saka Dipta menggeletak dengan kepala pecah.
Mereka yang berlari mengikuti Ki Sandak, langsung berhenti begitu melihat laki-laki tua itu menubruk dan memeluk Saka Dipta. Sebagian ada yang meringis ngeri melihat mayat pemuda itu. Ki Sandak kemudian mencabut benda berbentuk bintang dan berwarna perak, dari dada Saka Dipta yang berwarna hitam membiru bagai terbakar.
Tiga orang pemuda bertubuh tegap dengan pedang tergantung di pinggang, segera mendekat disaat Ki Sandak beranjak bangkit. Ketiga pemuda itu segera mengangkat tubuh Saka Dipta, dan membawanya meninggalkan tempat itu. Sedang Ki Sandak mengikutinya dengan kepala tertunduk. Sesekali dia melihat benda berbentuk bintang keperakan di dalam genggaman tangannya. Para penduduk juga mengikuti dari belakang. Tidak ada seorang pun yang bicara.
"Pendekar Pulau Neraka...," desis Ki Sandak selalu mengamati benda di tangannya.
"Kakang," panggil seorang laki-laki berusia lanjut dan berbaju putih sambil menghampiri.
"Adi Lebong, bagaimana keadaan putrimu?" Tanya Ki Sandak.
Laki-laki berusia lanjut dan ternyata ayah Murti, tak segera menjawab. Dia malah memandang mayat Saka Dipta yang tengah digotong oleh tiga orang pemuda bertubuh tegap. Matanya lalu beralih ke tangan Ki Sandak. Dan dia segera mengambil benda berbentuk bintang keperakan itu.
"Apakah benda ini tadi ada di tubuh Saka Dipta?" tanya Ki Lebong tanpa menjawab pertanyaan Ki Sandak lebih dulu.
"Ya," sahut Ki Sandak pelan.
"Pendekar Pulau Neraka selalu meninggalkan senjata bintang sebagai tanda kemunculannya," gumam Ki Lebong pelan.
Ki Sandak tidak menyahuti. Dia diam saja dengan kepala tertunduk. Sedang Ki Lebong juga tidak lagi membuka mulutnya. Mereka terus berjalan pelan-pelan mengikuti yang lain. Ki Lebong bisa merasakan, betapa pedihnya perasaan yang diderita oleh kakak kandungnya saat ini. Memang berat kehilangan seorang murid utama kesayangan. Apalagi kematiannya karena dibunuh oleh seorang pendekar yang sudah ternama, dan selalu menggemparkan pada setiap kali kemunculannya. Kini pagi yang semula ceria, dan penuh dengan canda tawa riang, berubah jadi mendung berseling duka. Kematian seorang murid utama Padepokan Galuhung membuat semua orang bersedih.

* * * * *



--««¦ [ 2 ] ¦»»--

Peristiwa yang terjadi di Desa Galuhung itu, cepat menyebar sampai ke desa-desa tetangganya. Bahkan sampai ke desa yang jauh sekalipun. Nama Pendekar Pulau Neraka kini semakin dikenal dan ditakuti. Pendekar itu juga selalu muncul dengan tiba-tiba, dan membuat keonaran di seluruh desa sekitar Kaki Gunung Panjalukan. Beberapa padepokan sudah mulai gelisah dan membicarakan sepak terjang Pendekar Pulau Neraka, yang dianggap sudah melewati batas-batas kemanusiaan.
Dailam waktu beberapa pekan saja, sudah tidak terhitung lagi gadis-gadis yang menjadi korban kepuasannya. Mereka yang berusaha menentang, selalu tewas dengan mengerikan. Dan pada setiap mayat yang tewas di tangan Pendekar Pulau Neraka, selalu tertancap senjata bintang keperakan. Seluruh desa di sekitar Kaki Gunung Panjalukan diliputi kegelisahan dan kecemasan. Bahkan kini gadis-gadis tidak ada yang berani ke luar rumah sendirian.
Hari itu seluruh ketua padepokan di seluruh wilayah tersebut berkumpul di Padepokan Galuhung. Dan maksud dari mereka berkumpul sudah jelas, mereka akan membicarakan tentang sepak terjang Pendekar Pulau Neraka. Karena semakin hari tindakan pendekar itu semakin brutal. Bukan saja gadis-gadis yang menjadi sasarannya, bahkan harta benda penduduk pun menjadi sasaran.
"Saudara-saudara sekalian, mungkin saudara-saudara sudah mengetahui maksud dari undanganku ini," Kata Ki Sandak membuka pertemuan ini.
Semua yang hadir di ruangan besar Padepokan Galuhung mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka semua rata-rata sudah tua. Dilihat dari pakaian dan sikap mereka, orang-orang itu adalah tokoh-tokoh rimba persilatan yang selalu menentang keangkaramurkaan.
"Aku sengaja mengumpulkan saudara-saudara di sini, khusus untuk membicarakan tentang tindakan Pendekar Pulau Neraka...," lanjut Ki Sandak dengan suara penuh kewibawaan.
"Benar!" celetuk salah seorang yang duduk paling depan. Orang itu mengenakan jubah panjang berwarna hijau tua. Dia dikenal sebagai ketua padepokan di Kaki Gunung Panjalukan sebelah Utara. Namanya Ki Jarak.
"Tindakan Pendekar Pulau Neraka memang tidak bisa didiamkan begitu saja. Kita semua sudah tahu, bagaimana sepak terjangnya sebelum sampai ke sini."
"Tunggu dulu!" celetuk salah seorang lagi. Tampak seorang laki-laki setengah baya berusia sekitar empat puluh tahun, segera berdiri. Wajahnya tampan, dan tubuhnya tegap. Dia menyandang sebilah pedang di punggung bergagang kuning keemasan. Pemuda itu juga mengenakan baju ketat berwarna kuning emas. Sebenarnya dia bukan utusan dari suatu padepokan, tapi seorang pendekar kelana yang selalu memerangi kezaliman.
Semua mata memandang pada Pendekar Pedang Emas. Mereka semua tahu, siapa dia sebenarnya. Seorang pendekar yang arif dan bijaksana. Tindakannya selalu dipikirkan dulu masak-masak, tidak main hantam kromo tanpa perhitungan. Bahkan tidak jarang dia mengampuni lawannya yang tidak berdaya.
"Aku sering mendengar sepak terjang Pendekar Pulau Neraka. Meskipun aku belum pernah berjumpa dengannya, tapi aku yakin kalau dia bukan seorang pendekar beraliran sesat. Memang tindakannya bisa dikatakan kejam, tapi tidak brutal. Terus terang, aku masih belum yakin kalau pengacau itu adalah Pendekar Pulau Neraka!" kata Pendekar Pedang Emas lantang.
Sebentar saja suara bergumam terdengar memenuhi ruangan besar itu. Kata-kata Pendekar Pedang Emas tidak pernah mereka duga sebelumnya. Mereka semua yang ada di ruangan itu tadinya sepakat, untuk menghadapi Pendekar Pulau Neraka sampai titik darah penghabisan. Tapi ternyata masih ada juga orang yang belum percaya akan hal itu.
"Saudaraku, Pendekar Pedang Emas. Aku juga belum pernah bentrok dengan Pendekar Pulau Neraka, tapi aku punya bukti kuat, kalau semua kekacauan yang terjadi akibat ulahnya. Lihat ini!" kata Ki Sandak sambil mengeluarkan bintang keperakan dari balik lipatan jubahnya.
Kembali terdengar suara menggumam bagai lebah diusik sarangnya. Mereka semua sudah mengenali benda itu.
"Bukan hanya benda ini saja sebagai bukti, tapi juga keterangan orang-orang yang selamat dari cengkeraman mautnya. Mereka semua mengatakan, bahwa orang itu Pendekar Pulau Neraka. Seorang pemuda yang mengenakan baju dari kulit harimau. Bukankah itu ciri-ciri Pendekar Pulau Neraka?" sambut Ki Sandak mantap.
"Saudara Pendekar Pedang Emas, kami semua juga punya bukti kuat, kalau tindakan Pendekar Pulau Neraka sudah melampaui batas kemanusiaan. Sejak kemunculannya di Pesisir Pantai Selatan, dia sudah meminta banyak korban!" celetuk seorang laki-laki tua yang memegang sebatang tongkat berbentuk ular.
Pendekar Pedang Emas kembali duduk. Dia tidak bisa berkala apa-apa lagi. Semua bukti memang menyatakan, kalau semua perbuatan dan kejadian yang meresahkan itu, adalah perbuatan Pendekar Pulau Neraka. Namun dalam hatinya masih belum yakin benar, jauh-jauh dia datang memenuhi undangan Ki Sandak, memang bukan untuk langsung mendukung menghadapi Pendekar Pulau Neraka, tapi mencoba untuk mengajak mereka semua menimbang kembali. Tapi rupanya mereka sudah begitu yakin akan keputusannya itu.
Semakin lama, pembicaraan tokoh-tokoh persilatan itu semakin menghangat. Dan mereka kemudian mengambil satu kesepakatan, untuk menghadapi Pendekar Pulau Neraka bersama-sama. Mereka yakin, dengan kekuatan yang bersatu penuh, cita-cita mereka akan berhasil. Sementara Pendekar Pedang Emas hanya diam dengan benak bekerja keras.
Pada saat mereka sedang berunding, tiba-tiba terdengar suara tawa terbahak-bahak. Suara tawa itu bergema seolah-olah datang dari segala penjuru mata angin. Tentu saja yang berada di ruangan itu serempak bangkit, dan langsung berlompatan ke luar. Suara tawa itu terus terdengar semakin melengking tinggi.
Seorang laki-laki tua berbaju kumal dan penuh tambalan, tampak duduk di sebuah dahan pohon dekat pagar tembok, yang mengelilingi Padepokan Galuhung. Di tangannya tergenggam sebuah tongkat berwarna hitam pekat. Laki-laki tua itu tertawa terbahak-bahak, seperti sedang menonton suatu pertunjukan badut. Hal itu membuat tokoh-tokoh persilatan yang sedang berkumpul di padepokan itu jadi geram.
"Pengemis Tongkat Hitam, silakan turun. Maaf aku telah lupa untuk mengundangmu," kata Ki Sandak yang mengenali siapa laki-laki tua itu.
"He he he...," laki-laki tua yang ternyata Pengemis tongkat hitam itu kembali terkekeh lalu dengan gerakan ringan, dia meluruk turun dari dahan pohon itu.
"Selamat datang di padepokanku yang buruk ini, Pengemis Tongkat Hitam," sambut Ki Sandak ramah.
"He…he…he...," untuk kesekian kalinya Pengemis Tongkat Hitam terkekeh. Matanya tampak merayapi orang-orang yang berdiri di belakang Ki Sandak.
"Rupanya kalian semua sedang berkumpul di sini. Apa ada pesta?"
"Kami berkumpul bukan sedang berpesta, Pengemis Tongkat Hitam," celetuk salah seorang berbaju biru tua, senjatanya yang berupa rantai baja membelit pinggangnya.
"Lalu?"
"Kami sedang membicarakan tentang Pendekar Pulau Neraka."
"O...!" Pengemis Tongkat Hitam agak terkejut mendengarnya. Dia kemudian menatap tajam pada Ki Sandak, seolah meminta penjelasan.
"Beberapa pekan belakangan ini, kami semua disibukkan dengan perbuatan Pendekar Pulau Neraka yang brutal dan kejam. Sudah tidak terhitung lagi nyawa yang melayang, dan gadis-gadis pun jadi korban nafsu kebinatangannya," Ki Sandak menjelaskan dengan singkat.
"Pendekar Pulau Neraka memang selalu bertindak tegas, bahkan cenderung kejam. Tapi aku tidak yakin, kalau dia yang telah melakukan perbuatan itu," kata Pengemis Tongkat Hitam seperti bergumam.
Serempak semua yang hadir di situ saling berpandangan.
"Aku pernah bersama-sama dengannya menumpas perbuatan Pendeta Pasanta di Desa Gampil. Aku sudah kenal betul, siapa Pendekar Pulau Neraka. Kalau tidak ada dia, mungkin aku pun tidak akan bisa sampai ke sini. Dia memang kejam dan sadis segala tindakannya, namun semua itu dilakukan hanya pada lawan-lawannya saja. Ah... mungkin kalian salah menduga," sambung Pengemis Tongkat Hitam.
"Kau kenal benda Ini, Pengemis Tongkat Hitam?" Ki Sandak mengeluarkan benda berbentuk bintang berwarna keperakan, dari lipatan jubahnya.
"Dari mana kau dapatkan benda itu?" tanya Pengemis Tongkat Hitam.
"Dari mayat muridku. Dia kalah bertarung melawan Pendekar Pulau Neraka yang hampir memperkosa Murti, seorang gadis anak adik kandungku," sahut Ki Sandak.
"Kau yakin kalau muridmu benar-benar bertarung dengan Pendekar Pulau Neraka?"
"Murti telah menyebutkan ciri-cirinya, dan sama persis dengan Pendekar Pulau Neraka. Seorang laki-laki muda yang memakai baju dari kulit harimau.
Kalau kau pernah bersamanya, tentu mengenali ciri-ciri Itu, Pengemis Tongkat Hitam," agak sengit nada suara Ki Sandak
Pengemis Tongkat Hitam langsung diam. Ciri-ciri yang telah disebutkan Ki Sandak itu memang benar, apalagi ditambah senjata bintang keperakan, yang merupakan tanda dari kemunculan Pendekar Pulau Neraka Tapi dalam hatinya masih belum percaya begitu saja. Beberapa hari yang lalu dia bersama Pendekar Pulau Neraka di Desa Gampil, dan dia tahu betul siapa Pendekar Pulau Neraka!
"Pendekar Pedang Emas, apakah kau juga ingin membunuh Pendekar Pulau Neraka?" tanya Pengemis Tongkat Hitam, seraya menatap Pendekar Pedang Emas. Dia tahu kalau pendekar itu memiliki hati yang arif dan bijaksana.
"Aku belum bisa memutuskan, Pengemis Tongkat Hitam," sahut Pendekar Pedang Emas.
"Kalau begitu, kita harus segera pergi dari sini!"
Tentu saja semua orang terkejut mendengar kata-kata tegas dari Pengemis Tongkat Hitam. Tak terkecuali Pendekar Pedang Emas, dia juga langsung menatap tidak berkedip. Dia memang masih belum yakin, kalau Pendekar Pulau Neraka melakukan perbuatan brutal tanpa alasan, tapi tidak sedikit pun terbetik di hatinya, untuk langsung menentang keputusan mereka.
"Dengar baik-baik, kalian akan menyesal telah bertindak ceroboh, menuruti rasa amarah yang tidak beralasan!" kata Pengemis Tongkat Hitam.
"Ayo, Pendekar Pedang Emas. Kita buktikan bahwa bukan Pendekar Pulau Neraka yang telah berbuat itu!"
Pendekar Pedang Emas jadi bimbang hatinya. Dia masih berdiri diam dengan bingung. Sementara Pengemis Tongkat Hitam sudah melesat pergi, melompati pagar tembok yang tinggi dan tebal itu. Kata-kata Pengemis Tongkat Hitam barusan membuat semua orang yang ada di Padepokan Galuhung jadi terdiam dengan pikiran masing-masing.
"Ki Sandak, maaf. Bukannya aku tidak mendukung keputusan itu. Tapi kupikir kata-kata Pengemis Tongkat Hitam harus dipertimbangkan. Dan aku akan bersama kalian semua, jika memang terbukti bahwa Pendekar Pulau Neraka-lah yang melakukan perbuatan keji itu," kata Pendekar Pedang Emas.
Setelah berkata demikian, Pendekar Pedang Emas segera menjura memberi hormat, lalu dengan satu Iesatan saja, tubuhnya sudah lenyap di balik tembok yang mengelilingi padepokan itu. Suasana kini jadi hening, masing-masing jadi sibuk dengan pikirannya

* * * * *



Kegagalan dalam menghimpun tokoh-tokoh golongan putih untuk menghadapi Pendekar Pulau Neraka, membuat Ki Sandak kelihatan putus asa. Mereka tidak semua mengikuti jejak Pengemis Tongkat Hitam dan Pendekar Pedang Emas. Tapi keadaan itu malah membuat Ki Sandak jadi gundah..Sejak siang tadi hingga malam ini, Ki Sandak duduk saja merenung di dalam kamar pribadinya. Tidak seorang pun diijinkan masuk.
Slap!
Tiba-tiba seberkas cahaya keperakan menyusup masuk melalui jendela kamar pribadi Ki Sandak. Buru- buru laki-laki tua itu melompat sedikit, dan cahaya keperakan itu lewat di samping kepalanya.
"Bintang perak...!" desis Ki Sandak tersentak. Laki-laki tua berjubah putih itu segera melompat keluar melalui jendela. Pada saat itu, mendadak sebuah bayangan melesat turun dari atas dahan pohon. Ki Sandak terperangah, begitu di depannya berdiri seorang pemuda tampan dan gagah, mengenakan baju dari kulit harimau.
"Pendekar Pulau Neraka...," desis Ki sandak di sela rasa terkejutnya.
"Kau terkejut, Ki Sandak?" sniis suara laki-laki muda itu. Matanya tajam dan bengis menatap tajam pada Ki Sandak.
"Mau apa kau datang ke sini?" bentak Ki Sandak.
"Mau apa...? Ha ha ha...!" pemuda tampan yang dikenal sebagai Pendekar Pulau Neraka itu tertawa terbahak-bahak.
Ki Sandak melangkah mundur dua tindak. Tiba-tiba saja dia bersiul nyaring melengking. Dan belum lagi siulannya berhenti, dari segala arah sudah bermunculan orang-orang bersenjata macam-macam. Tampak Pendekar Pulau Neraka memandanginya dengan bibir menyunggingkan senyum sinis. Sikapnya jelas memandang remeh pada murid-murid Padepokan Galuhung itu. Dia juga tidak memandang dengan sebelah mata pun pada Ki Sandak yang sangat dihormati di Desa Galuhung.
"Ayah...." Seorang gadis tiba tiba muncul dari dalam rumah yang paling besar, di antara rumah-rumah lainnya disekitar padepokan itu. Pendenar Pulau Neraka langsung memandang pada gadis yang baru muncul, dengan mata liar penuh nafsu. Sejenak gadis itu menatap pada Pendekar Pulau Neraka. Seketika tubuhnya bergidik saat pandangannya bertemu dengan mata pendekar itu.
"Ranti, kenapa kau ke sini? Masuk sana!" Ki Sandak mencemaskan putrinya. Dia sempat melihat pandangan Pendekar Pulau Neraka.
"Siapa dia, Ayah?" tanya Ranti tidak menghiraukan perintah ayahnya.
"Dia manusia iblis," sahut Ki Sandak sengit.
"Iblis yang tampan, bukan?" celetuk Pendekar Pulau Neraka seraya melemparkan senyum pada Ranti.
Gadis itu langsung membuang mukanya ke arah lain. Hatinya memang mengakui kalau pemuda itu sangat tampan dan gagah. Tapi begitu melihat bajunya, tahulah dia kalau pemuda itu adalah Pendekar Pulau Neraka, yang telah membuat onar diseluruh Kaki Gunung Panjalukan.
"Manusia iblis! Cepat tinggalkan rumahku, sebelum kau mendapat celaka di sini'" bentak Ki Sandak keras.
"Ki Sandak, bukankah kau ingin bertemu denganku. Aku tahu, kalau kau telah mengumpulkan ketua-ketua padepokan di Kaki Gunung Panjalukan. Bahkan tokoh-tokoh rimba persilatan juga kau undang. Aku tahu maksud undanganmu itu, Ki Sandak. Justru kedatanganku ingin mempercepat kematianmu," pelan dan lembut kata-kata Pendekar Pulau Neraka, namun suaranya bernada kejam penuh ancaman
"Bunuh dia...!" seru Ki Sandak keras. Seketika semua murd-murid Padepokan Galuhung yang berjumlah tiga puluh orang itu, berlompatan menyerang Pendekar Pulau Neraka. Pemuda itu pun bergerak lincah menghindari setiap serangan yang datang, bahkan setiap kali tangannya berkelebat, satu dua orang langsung terjungkal roboh dan tidak bangun lagi
Ki Sandak tentu saja terkejut melihat sepuluh orang muridnya tewas dalam waktu singkat. Gerakan-gerakan Pendekar Pulau Neraka begitu cepat, sukar diikuti oleh pandangan mata biasa. Dan setiap kali pukulan atau tendangannya terlontar, berarti nyawa melayang. Ki Sandak kemudian memeriksa salah seorang muridnya yang tewas. Seketika dia tersentak karena pada dada muridnya itu tergambar telapak tangan hitam.
"'Pukulan Tapak Beracun'...," desis Ki Sandak.
Laki-laki tua berjubah putih itu sudah tahu, kalau jurus 'Pukulan Tapak Beracun' sangat dahsyat, dan sulit dicari tandingannya. Kebesaran nama Pendekar Pulau Neraka memang dari jurus 'Pukulan Tapak Beracunnya, di samping senjatanya yang berbentuk cakra bersegi enam keperakan. Keterkejutan Ki Sandak semakin bertambah, dengan tewasnya ketiga puluh orang muridnya, dalam waktu tidak berapa lama.
"Setan! Kau benar benar binatang, Pendekar Pulau Neraka!" geram Ki Sandak.
"Majulah, Ki Sandak. Aku ingin memberi peringatan pada yang lainnya," kata Pendekar Pulau Neraka dingin.
"Mampus kau, iblis keparat! Hiyaaa...!" Ki Sandak tidak bisa lagi meredam amarahnya.
Sambil berteriak keras melengking, Ki Sandak melompat seraya mengirimkan pukulan mautnya. Namun hanya dengan mengegoskan tubuhnya sedikit, Pendekar Pulau Neraka berhasil mengelakkan serangan Ketua Padepokan Galuhung itu. Bahkan tanpa diduga sama sekali, tangan kanannya melayang cepat ke arah dada Ki Sandak.
Buk!
"Hughk!" Ki Sandak langsung mengeluh pondok.
Tubuhnya dengan cepat terjajar ke belakang
"Ayah...!" jerit Dewi Ranti.
Dengan penuh emosi gadis cantik itu pun melompat menerjang pada Pendekar Pulau Neraka. Serangannya sangat dahsyat, dan bertenaga dalam cukup tinggi. Sedang Pendekar Pulau Neraka hanya berkelit ke kiri dan ke kanan menghindari setiap serangan gadis itu. Dewi Ranti jadi geram, karena serangannya selalu luput membawa hasil.
"Kau terlalu cantik untuk mati, Gadis Ayu," kata Pendekar Pulau Neraka seraya berkelit menghindari pukulan Dewi Ranti.
Pada saat itu, tangan kiri Pendekar Pulau Neraka segera meluncur ke arah dada. Seketika Dewi Ranti memekik tertahan, buru-buru dia melompat mundur! Namun jari tangan Pendekar Pulau Neiaka sempat menyentuh dadanya. Merah padamlah wajah gadis itu.
"Kurang ajar! Kubunuh kau!" bentak Dewi Ranti menahan malu dan marah luar biasa.
"Ah, kau semakin cantik bila marah begitu, Gadis Ayu," goda Pendekar Pulau Neraka.
Sementara Ki Sandak yang sudah bisa bangkit kembali, langsung melompat menerjang ke arah pemuda berbaju kulit harimau itu. Sedangkan Dewi Ranti tidak mau ketinggalan. Rasa benci dan marah yang meluap di dalam dada membuatnya tidak peduli lagi, kalau lawannya berada jauh di atas tingkat kepandaiannya.
Namun Pendekar Pulau Neraka tetap tangguh meskipun dikeroyok dua orang berkepandaian cukup tinggi. Serangan-serangan Ki Sandak dan Dewi Ranti dengan mudah dapat dipatahkan. Bahkan beberapa kali pukulan Pendekar Pulau Neraka mendarat ditubuh Ki Sandak. Tampaknya Pendekar Pulau Neraka tidak mau menjatuhkan tangan pada Dewi Ranti.
"Rasanya sudah cukup aku memberi pelajaran pada kalian," kata Pendekar Pulau Neraka, tetap lembut suaranya. Setelah berkata begitu, dengan cepat dia menggerakkan tangannya di depan dada, lalu bagaikan seekor elang menyambar mangsa, pemuda berbaju kulit harimau itu melompat dan meluruk deras ke arah Ki Sandak.
"Ikh!" Ki Sandak terperangah. Buru- buru dia memutar tubuhnya sambil menarik kakinya ke belakang. Namun serangan Pendekar Pulau Neraka begitu cepat. Tiga kali pukulan maut pendekar itu mendarat di dada Ki Sandak. Seketika laki-laki tua itu memekik keras, dan tubuhnya terjungkal ke tanah! Tampak pada bagian dadanya melesak dalam, hangus bagai terbakar.
"Ayah...!" jerit Dewi Ranti pilu. Gadis itu langsung melompat menghampiri ayahnya, namun lompatannya terhalangi Pendekar Pulau Neraka dengan cepat menendang tubuh gadis itu hingga terpental beberapa tombak. Dan belum lagi Dewi Ranti bisa bangkit, tahu-tahu tubuh Pendekar Pulau Neraka sudah berada di atasnya. Cepat sekali jari-jari tangan pemuda berbaju kulit harimau itu bergerak di beberapa bagian tubuh Dewi Ranti. Sehingga gadis itu lemas tak berdaya. Tubuhnya kini sulit untuk digerakkan lagi.
"He…he…he,,,," Pendekar Pulau Neaka terkekeh.
Pemuda berbaju kulit harimau kemudian bangkit seraya mengangkat tubuh Dewi Ranti ke dalam pondongannya. Gadis itu sudah terkulai lemas dengan beberapa darah tertotok. Sebentar pemuda itu memandang ke arah Ki Sandak yang tergeletak dengan dada melesak ke dalam.
"Ha…ha…ha...!" Pendekar Pulau Neraka itu tertawa keras, lalu dengan cepat dia melompat meninggalkan Padepokan Galuhung.
Suara tawanya yang keras masih sempat terdengar, walaupun tubuhnya sudah lenyap. Kini suasana di Padepokan Galuhung kembali sunyi, tampak mayat-mayat bergelimpangan dengan darah mengucur membasahi tanah. Malam itu Padepokan Galuhung benar-benar hancur di tangan Pendekar Pulau Neraka.
Tak seorang pun dari murid-murid Padepokan Galuhung yang tersisa hidup. Semuanya tewas dengan keadaan tubuh mengerikan! Di antara mayat-mayat yang bergelimpangan, tampak Ki Sandak menggerak-gerakkan tubuhnya. Terdengar suara rintihan lirih. Kemudian laki-laki tua itu berusaha bangkit, namun tubuhnya masih terasa kaku, sulit digerakkan!
"Akh...!" Ki Sandak memekik keras saat dia memaksakan diri untuk bangkit. Laki-laki tua pemimpin Padepokan Galuhung itu kembali jatuh. Sebentar dia mengerang lirih, lalu diam dan tak bergerak-gerak lagi. Namun dari dadanya yang hitam melesak ke dalam, dapat diketahui kalau laki-laki itu masih hidup. Dadanya bergerak lemah hampir tidak terlihat. Pada saat itu, tiba-tiba sebuah bayangan melesat cepat, dan menyambar tubuh Ki Sandak. Begitu cepatnya, sehingga dalam sekejap mata saja tubuh Ki Sandak sudah lenyap bersama bayangan itu.

* * * * *



--««¦ [ 3 ] ¦»»--

Kabar tentang hancurnya Padepokan Galuhung, membuat padepokan-padepokan lain di sekitar Kaki gunung Panjalukan gempar! Bahkan tokoh-tokoh rimba persilatan pun, dibuat tidak mengerti dengan tindakan Pendekar Pulau Neraka kali ini tidak sedikit dari mereka yang kemudian mencari Pendekar Pulau Neraka. Tapi banyak pula yang masih meragukan, bahwa orang itu benar-benar Pendekar Pulau Neraka.
Benarkah yang membuat keonaran ilu Pendekar Pulau Neraka? Pertanyaan itulah yang selalu menghantui sebagian dari tokoh-tokoh rimba persilatan, yang sudah mengenal pendekar Pulau Neraka. Pertanyaan itu juga selalu menghantui Pengemis Tongkat Hitam, yang selama beberapa hari pernah bersama Pendekar Pulau Neraka.
Kini laki-laki tua berpakaian compang-camping itu tampak tengah duduk merenung di beranda depan sebuah pondok kecil beratap daun rumbia. Dia masih belum yakin, kalau semua keonaran dan kegemparan itu ulah dari Pendekar Pulau Neraka, namun untuk membuktikannya masih terlalu sulit. Bahkan semakin hari tindakan orang itu semakin bertambah brutal. Dan hancurnya Padepokan Galuhung merupakan awal dari malapetaka yang lebih besar lagi.
"Ehm-ehm!"
"Oh!" Pengemis Tongkat Hitam tersentak dari lamunannya. Laki-laki tua bertongkat hitam itu segera menoleh. Tampak seorang laki laki berusia sekitar empat puluh tahunan sudah berdiri di ambang pintu pondok. Di punggungnya tersampir sebilah pedang bergagang keemasan.
"Bagaimana keadaannya, Pendekar Pedang Emas?" tanya Pengemis Tongkat Hitam seraya bangkit.
"Ki Salaka masih berusaha mengobatinya," sahut Pendekar Pedang Emas. Dia kemudian menghenyakkan tubuhnya di balai-balai bambu dekat pintu.
"Hhh..., rasanya sulit untuk dipercaya kalau Pendekar Pulau Neraka sampai bertindak sebrutal itu," desah Pengemis Tongkat Hitam, juga duduk disamping Pendekar Pedang Emas.
"Tapi luka-luka di tubuh Ki Sandak akibat dari 'Pukulan Tapak Beracun'. Dan jurus itu hanya dimiliki deh Pendekar Pulau Neraka," sahut Pendekar Padang Emas.
"Hal itulah yang membuatku tidak habis mengerti, Pendekar Pedang Emas. Aku tidak mau percaya begitu saja, tapi bukti-bukti yang kudapatkan semakin menunjukkan, kalau semua itu adalah perbuatan Pendekar Pulau Neraka," keluh Pengemis Tongkat Hitam.
"Kau ada sesuatu dengan pendekar itu?" pertanyaan Pendekar Pedang Emas bernada curiga.
"Ya," sahut Pengemis Tongkat Hitam mendesah.
Pendekar Pedang Emas mengerutkan keningnya.
"Aku berhutang nyawa pada Pendekar Pulau Neraka. Dia pernah menyelamatkan nyawaku akibat terkena 'Pukulan Tapak Beracun'," pelan suara Pengemis Tongkat Hitam.
"Heh! Kau juga pernah bentrok dengannya?!" Pendekar Pedang Emas terkejut.
"Tidak, aku belum pernah bentrok. Aku terkena 'Pukulan Tapak Beracun' dari orang lain, dan Pendekar Pulau Neraka-lah yang menolongku," Pengemis Tongkat Hitam menjelaskan.
"Mustahil! Semua orang juga sudah tahu, kalau jurus 'Pukulan Tapak Beracun' hanya dimiliki oleh Pendekar Pulau Neraka. Tidak ada seorang pun yang bisa menguasai jurus itu," bantah Pendekar Pendekar Emas.
"Kau memang tidak akan percaya, Pendekar Pedang Emas. Tapi aku sudah mengalaminya sendiri. Jurus itu dimiliki juga oleh seorang pendekar yang berjuluk si Iblis Hitam, dan Pendeta Pasanta. Tapi mereka sudah tewas di tangan Pendekar Pulau Neraka...." Pengemis Tongkat Hitam kembali menjelaskan (Baca Serial Pendekar Pulau Neraka dalam kisah Pengantin Dewa Rimba).
Pendekar Pedang Emas menggeleng-gelengkan kepalanya masih belum percaya. Sedangkan Pengemis Tongkat Hitam tampaknya juga tidak mau mendesak agar pendekar itu mempercayai ceritanya. Memang tidak ada orang lain yang tahu selain dia sendiri, kecuali si Kembar Iblis Biru yang kini sudah menetap di Istana Dewa Rimba.
Saat mereka terdiam, tampak seorang laki-laki tua bertubuh bungkuk keluar dari dalam pondok. Langkahnya tertatih-tatih dengan bantuan tongkat rotan. Pengemis Tongkat Hitam dan Pendekar Pedang Emas bergegas bangkit, dan membantu laki-laki tua itu untuk duduk di balai-balai bambu. Kedua tokoh rimba persilatan itu pun juga mengambil tempat di balai-balai bambu itu.
"Bagaimana keadaannya, Ki Salaka?" tanya Pengemis Tongkat Hitam.
"Racun yang mengendap di tubuhnya sudah sampai ke aliran darah. Maaf, aku tidak bisa berbuat banyak lagi. Paling-paling aku hanya bisa memperlambat penjalarannya," sahut Ki Salaka dengan suaranya yang agak bergetar karena tua. Mungkin laki-laki itu sudah berusia lebih dari seratus tahun.
"Apakah ada cara lain untuk menyembuhkannya, Ki?" tanya Pendekar Pedang Emas.
"Entahlah, aku kenal betul dengan jenis racun itu. Sebuah racun yang disebarkan melalui jurus 'Pukulan Tapak Beracun'," sahut Ki Salaka pelan.
"Benar, Ki!" seru Pengemis Tongkat Hitam
"Kau juga tahu itu, Pengemis Tongkat Hitam?"
"Ya, aku tahu persis!" sahut Pengemis Tongkat Hitam pasti.
"Berarti kau tahu, siapa orang yang mempunyai jurus itu?"
"Ya."
"Rasanya hanya dia yang mampu menyembuhkannya," wajah Ki Salaka berubah seketika. Kepalanya tertunduk
"Berpuluh-puluh tahun yang lalu, aku kenal dengan seseorang yang mempunyai jurus 'Pukulan Tapak Beracun'. Tapi dia sudah tewas dikeroyok oleh tokoh tokoh rimba persilatan yang dendam padanya. Dan aku tidak tahu lagi, apakah di zaman ini masih ada orang yang bisa menguasai dangan baik jurus itu?" nada suara Ki Salaka seperti bicara pada dirinya sendiri.
Pengemis Tongkat Hitam menundukkan kepalanya. Rasanya dia ingin mengatakan, bahwa dia juga sudah tahu tentang itu semua. Tapi sulit untuk diucapkannya. Semalam dia sempat menyelamatkan Ki Sandak, Ketua Padepokan Galuhung yang hampir tewas di tangan Pendekar Pulau Neraka. Kedatangannya memang terlambat, tapi masih bersyukur bahwa nyawa Ki Sandak tertolong.
Pengemis Tongkat Hitam tampak berdiri mematung, sambil memandangi tubuh Ki Sandak yang terbujur dengan napas pelan satu-satu. Di sampingnya berdiri Pendekar Pedang Emas. Sedangkan tabib tua Ki Salaka, duduk di tepi balai-balai bambu. Sampai saat ini Ki Sandak belum juga sadarkan diri. Kondisi tubuhnya semakin lemah, dan noda hitam juga semakin melebar dari dadanya.
"Ohhh...," Ki Sandak merintih lirih. Kepalanya bergerak-gerak. Sebentar kemudian dia mulai sadarkan diri.
Tabib tua Ki Salaka segera menggerakkan jari-jari tangannya di sekitar leher Ki Sandak. Dan sedikit demi sedikit kelopak mata Ki Sandak terbuka. Sinar matanya begitu lemah dan sayu.
"Oh, di mana aku? Apakah aku sudah mati...?" pelan dan lirih suara Ki Sandak.
"Kau masih hidup, Ki," kata Pengemis Tongkat Hitam cepat-cepat.
"Kaukah Pengemis Tongkat Hitam?"
"Ya, aku Pengemis Tongkat Hitam. Ini Pendekar Pedang Emas, dan ini Tabib Salaka," sahut Pengemis Tongkat Hitam.
"Pengemis Tongkat Hitam yang telah menyelamatkanmu, Ki Sandak," sambung Tabib Salaka.
"Terima kasih...," ucap Ki Sandak lemah "Ah, anakku...."
'Tenang, Ki. Kau masih lemah." Tabib Salaka mencegah Ki Sandak yang mau bangkit. Akibat dari gerakannya itu, Ki Sandak terbatuk-batuk . Tampak darah kental kehitaman keluar dari mulutnya. Buru-buru Ki Salaka membersihkan dengan sehelai kain.
"Oh…, tolong selamatkan anakku. Dia diculik Pendekar Pulau Neraka," kata Ki Sandak pelan.
"Tenang, Ki. Kau masih lemah, aku pasti akan mencari anakmu," kata Pengemis Tongkat Hitam menenangkan.
"Tolong selamatkan Dewi Ranti…," kembali Ki Sandak terbatuk. Darah kental keluar lagi dari mulut laki-laki tua itu. Dia kembali jatuh pingsan. Tabib Salaka segera membersihkan darah yang keluar dari mulut Ki Sandak, kemudian tampak jari-jari tangannya juga bergerak di sekitar leher Ki Sandak. Tampak Pengemis Tongkat Hitam mendesah panjang, dan melangkah ke luar. Sementara Pendekar Pedang Emas mengikutinya.
"Kau harus segera menghentikan kebiadabannya," kata Pendekar Pedang Emas.
"Aku tidak tahu lagi, apa yang mesti kulakukan," Pengemis Tongkat Hitam mengeluh.
"Kau sudah berjanji untuk menyelamatkan putri Ki Sandak. Tepatilah janjimu."
Pengemis Tongkat Hitam kembali menarik napas panjang-panjang.
"Aku bisa memahami perasaanmu, Pengemis Tongkat Hitam. Tapi sebagai seorang pendekar sejati, kita harus mampu menyingkirkan perasaan pribadi. Kau bisa membayar hutangmu dengan tidak membunuhnya. Kau cukup menyelamatkan Dewi Ranti dari tangannya, biar aku yang menghadapi pendekar berhati iblis itu," kata Pendekar Pedang Emas lagi.
"Yaaah..., memang tidak ada jalan lain. Bagaimanapun juga aku berkewajiban memberantas keangkaramurkaan," pelan suara Pengemis Tongkat Hitam.
"Sebaiknya kita segera berangkat mencari Pendekar Pulau Neraka, sebelum terjadi sesuatu pada Dewi Ranti," kata Pendekar Pedang Emas mengusulkan.
"Benar, sebaiknya kalian cepat pergi. Biar aku yang mengurus Ki Sandak," sergah Tabib Salaka, yang tahu-tahu sudah berdiri di ambang pintu.
"Ah, terima kasih atas bantuanmu, Ki," ucap Pendekar Pedang Emas sambil menjura hormat.
"Sudahlah, hal ini memang menjadi kewajibanku untuk menolong sesama. Tapi jangan lupa, kalau bisa minta racun pemunahnya," kata Tabib Salaka berpesan.
"Racun pemunah...?!"
"Ya. 'Pukulan Tapak Beracun' hanya bisa disembuhkan oleh yang memiliki pukulan itu juga. Tapi bisa juga disembuhkan dengan racun pemunah. Memang aneh, racun dilawan dengan racun. Tapi itu sudah menjadi ketentuannya."
"Baik, Ki. Akan kuusahakan," kata Pengemis Tongkat Hitam.
"Berangkatlah restuku bersama kalian."
Kedua tokoh itu pun menjura memberi hormat, lalu segera pergi meninggalkan pondok kecil, ditengah lereng Gunung Panjalukan itu. Sedangkan Tabib Salaka masuk kembali ke pondok, setelah bayangan kedua tokoh itu lenyap dari pandangannya.

* * * * *



Saat itu, di sebuah sungai yang membelah Lereng Gunung Panjalukan, tampak seorang pemuda gagah tengah asyik memancing. Dia duduk di alas batu pipih yang menjorok ke sungai berair bersih itu. Dengan sabar dia menanti ikan yang memakan umpannya. Di sampingnya tergolek tiga ekor ikan yang cukup besar.
Pemuda itu tidak menyadari kalau sejak tadi diperhatikan oleh sepasang mata yang bersembunyi dari balik gerumbul semak. Dia baru menoleh ketika telinganya mendengar suara ranting patah terinjak. Tampak dari gerumbul semak itu, melesai sebuah bayangan. Pemuda itu hanya memperhatikan saja. Bibirnya segera tersenyum melihat seseorang berlari cepat seperti melihat setan. Pemuda tampan itu kembali memusatkan perhatiannya pada pancingnya.
Baru beberapa saat pemuda itu kembali menekuni pekerjaannya, kembali telinganya mendengar suara langkah kaki menghampirinya. Dia menoleh ke arah suara itu. Tampak dua orang laki-laki tengah berjalan cepat ke arahnya. Yang satu seorang laki-laki tua berbaju kumuh compang-camping, sedangkan satunya lagi adalah laki-laki bertubuh tegap dan
memakai baju indah berwarna kuning keemasan.
"Ah...! Kakek Pengemis Tongkat Hitam...!" seru pemuda itu gembira melihat Pengemis Tongkat Hitam datang menghampiri bersama Pendekar Pedang Emas.
Namun Pengemis Tongkat Hitam tidak menyambut dengan gembira. Dia hanya berdiri tegak sekitar tiga batang tombak jaraknya. Wajahnya kaku, dan sinar matanya menampakkan keraguan. Sedangkan Pendekar Pedang Emas sudah bersiaga penuh. Pemuda itu tampak mengerutkan keningnya melihat sikap dua orang yang mendatanginya. Dia kemudian membuang pancingnya, dan melompat turun dari atas batu.
"Tidak kusangka kita akan bertemu lagi, Kakek Pengemis Tongkat Hitam," kata pemuda itu masih ramah.
"Jangan mendekat, Pendekar Pulau Neraka!" sentak Pengemis Tongkat Hitam saat pemuda berbaju kulit harimau itu hendak melangkah mendekatinya
Tentu saja pemuda berbaju kulit harimau yang ternyata adalah Bayu Hanggara, atau Pendekar Pulau Neraka itu jadi terkejut, melihat sikap Pengemis Tongkat Hitam. Dia tidak mengerti, apa sebenarnya yang diinginkan laki-laki tua itu.
"Ada apa ini? Kenapa kau menyambutku begitu dingin, Kek?" tanya Bayu bernada heran.
"Di mana kau sembunyikan Dewi Ranti?" dingin pertanyaan Pengemis Tongkat Hitam.
"He...! Ada apa ini? Siapa itu Dewi Ranti?" tampak sekali kalau Bayu benar-benar tidak mengerti.
"Jangan pura-pura bodoh, Pendekar Pulau Neraka!" bentak Pendekar Pedang Emas geram.
"Kau memang tangguh dan digdaya, tapi jangan kira aku takut menghadapimu!"
"Kakek, apa sebenarnya yang terjadi? Kenapa kau bersikap begitu?"
"Huh! Rupanya kau pintar juga bersandiwara, heh!" dengus Pendekar Pedang Emas tak sabar.
Sret!
Pendekar Pedang Emas langsung mencabut pedangnya yang memancarkan cahaya keemasan. Kembali Bayu terkejut setengah mati. Sejenak masih mengharapkan penjelasan, dengan tatapan matanya pada Pengemis Tongkat Hitam. Namun hal itu tidak tersampaikan, karena Pendekar Pedang Emas telah menerjangnya dengan jurus-jurus mautnya.
"Hey, tunggu dulu...!" seru Bayu seraya berkelit menghindari serangan itu.
"Mampus kau, manusia iblis!" geram Pendekar Pedang Emas kembali menerjangnya.
"Uts!" Pendekar Pulau Neraka langsung melompat ke samping menghindari sabetan pedang Pendekar Pedang Emas. Dan ketika kakinya baru saja menjejak tanah, satu tendangan kilat segera dilancarkan Pendekar Pedang Emas. Bayu yang masih diliputi ketidak mengertian, jadi lengah. Tendangan itu kontan bersarang diperutnya.
"Hugh!" Seketika Pendekar Pulau Neraka itu terjajar kebelakang beberapa langkah. Bibirnya tampak meringis merasakan mual pada perutnya. Tapi Pendekar Pedang Emas tidak memberinya kesempatan lagi. Dia langsung menyerang kembali dengan ganas. Sedang Bayu pun kembali berlompatan ke sana kemari menghindarinya.
"Pendekar iblis! Ayo lawan aku, jangan bisanya hanya berkelit!" bentak Pendekar Pedang Emas sengit.
"Jelaskan dulu, kenapa kau menyerangku?"
"Tidak ada penjelasan bagimu, manusia keparat!"
Tiba-tiba Bayu melompat tinggi ke udara! Pada saat itu juga, Pendekar Pedang Emas segera melentingkan tubuhnya ke udara. Pedangnya berkelebat cepat menimbulkan suara angin menderu. Bayu memutar tubuhnya dua kali dan dengan cepat kakinya menghentak ke depan.
Buk!
"Hegk...!" Tubuh Pendekar Pedang Emas meluruk deras ke bawah setelah kaki Bayu menghantam punggungnya. Pendekar Pedang Emas bergulingan beberapa kali di tanah, namun dengan cepat dia bisa bangkit kembali. Pada saat yang bersamaan, Pendekar Pulau Neraka sudah mendarat dengan manis di tanah. Jarak mereka cukup jauh sekarang. Sementara Pengemis Tongkat Hitam hanya memperhatikan saja dengan sikap ragu-ragu.
"Kakek Pengemis, kenapa kau diam saja. Jelaskan, kenapa dia ingin membunuhku?" Bayu meminta penjelasan.
"Maaf, Bayu. Aku memang berhutang nyawa padamu, tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa," sahut Pengemis Tongkat Hitam.
"Tunggu dulu!" sentak Bayu ketika Pendekar Pedang Emas bergerak hendak menyerang lagi.
"Aku tidak kenal siapa kau, kenapa kau ingin membunuhku?"
"Kau memang harus mati, Pendekar Pulau Neraka!" dingin kata-kata Pendekar Pedang Emas.
"Aku tidak bisa diam melihat kau membantai orang-orang tidak berdosa!"
Bayu lalu menatap Pengemis Tongkat Hitam laki-Iaki tua itu hanya membalas dengan pandangan sayu.
"Katakan, di mana kau sembunyikan Dewi Panti, sebelum kurobek dadamu!" bentak Pendekar Pedang Emas.
"Sejak tadi kau menyebut-nyebut nama Dewi Ranti, sudah kukatakan, aku tidak kenal siapa dia!" jengkel juga Bayu menjawabnya.
"Baiklah. kalau kau tidak mau mengaku. Tahan seranganku, Pendekar Pulau Neraka! Hiyaaa...!"
"He…!" Pendekar Pulau Neraka tidak punya kesempatan lagi untuk bicara. Kini Pendekar Pedang Emas sudah menyerangnya kembali dengan dahsyat. Pedangnya yang berwarna kuning keemasan, berkelebat cepat mengurung tubuh Pendekar Pulau Neraka. Pertarungan segera berlangsung dengan cepat dan dahsyat. Namun Bayu belum mau menyerang balik. Dia masih saja berkelit dan menghindar!
Sikap Bayu yang demikian itu, membuat Pendekar Pedang Emas semakin gusar. Namun sebaliknya bagi Pengemis Tongkat Hitam. Dia jadi ragu-ragu, apakah benar yang melakukan semua keonaran selama ini adalah Pendekar Pulau Neraka? Mendadak, Pengemis Tongkat Hitam tersentak. Dia jadi ingat akan sesuatu.
"Tahan...!" serunya keras.
Bayu langsung melompat mundur, begitu Pendekar Pedang Emas menghentikan serangannya. Pengemis Tongkat Hitam melesat bagai kilat, dan tahu-tahu dia sudah berdiri di tengah-tengah kedua pendekar itu.
"Pengemis Tongkat Hitam, mundurlah! Jangan menghalangiku!" bentak Pendekar Pedang Emas.
"Tenang dulu, Pendekar Pedang Emas," Pengemis Tongkat Hitam menyabarkan.
"Huh!" Pendekar Pedang Emas mendengus kesal.
"Bayu, sejak kapan kau berada di Lereng Gunung Panjalukan ini?" tanya Pengemis Tongkat Hitam.
"Baru saja," sahut Bayu tanpa curiga.
"Boleh aku minta satu bintang perakmu?"
"Untuk apa?" Bayu jadi keheranan.
"Berikan, Bayu. Ini menyangkut nama baikmu juga," desak Pengemis Tongkat Hitam
Sejenak Bayu ragu-ragu, tapi akhirnya dia mengeluarkan juga sebuah benda berbentuk bintang bersegi enam, dan berwarna keperakan. Dia kemudian menghampiri Pengemis Tongkat Hitam dan menyerahkan benda tersebut. Sedangkan laki-laki tua itu berbalik memandang Pendekar Pedang Emas.
"Kau masih menyimpan bintang perak itu, Pendekar Pedang Emas?"
Setelah berpikir sebentar, Pendekar Pedang Emas merogoh ke balik lipatan bajunya. Kemudian dia menjulurkan tangannya, yang sudah menggenggam sebuah benda berwarna perak berbentuk bintang. Pengemis Tongkat Hitam pun menerima benda itu. Di kedua telapak tangannya kini terdapat dua benda berbentuk bintang keperakan. Keningnya sedikit berkerut melihat dua benda yang sama dari orang berbeda. Benda itu sama persis!
"Mustahil...!" desis Pengemis Tongkat Hitam sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Ada apa, Pengemis Tongkat Hitam?" tanya Pendekar Pedang Emas seraya menghampiri.
Pengemis Tongkat Hitam tidak menjawab. Dia kembali memandangi dua benda di telapak tangannya, tatapannya lalu beralih pada Bayu. Tampak jelas kilau Pendekar pulau Neraka itu tidak mengerti dengan sikap Pengemis Tongkat Hitam
"Bayu, sebenarnya aku tidak mau percaya begitu saja. Tapi semua bukti menunjukkan, kalau kaulah yang telah melakukan pembantaian dan keonaran di sini," pelan suara Pengemis Tongkat Hitam.
"Kakek Pengemis, aku tidak mengerti maksudmu?"
"Bayu, kau masih menganggapku sebagai sahabat?"
Bayu segera mengangguk walau bertambah bingung.
"Tolong, berikan racun pemunah 'Pukulan Tapak Beracun'," kata Pengemis Tongkat Hitam.
"He...!" Bayu langsung terlonjak kaget.
"Demi membalas hutangku padamu, aku tidak akan ikut campur dalam persoalan ini. Tapi jika kau masih menganggapku sahabat, berikan racun pemunah dari 'Pukulan Tapak Beracun' yang kau miliki. Aku juga minta, agar kau menunjukkan dimana kau sembunyikan Dewi Ranti," agak terpaksa nada suara Pengemis Tongkat Hitam.
"Kakek Pengemis, kau ini bicara apa? Aku benar-benar tidak kenal siapa Dewi Ranti. Kau jangan membuatku pusing, Kakek Pengemis."
"Sudah kubilang, tidak ada gunanya lagi bicara dengan bocah setan ini!" dengus Pendekar Pedang Emas menyelak.
"He! Jaga mulutmu, Kisanak!" bentak Bayu mulai sengit juga.
"Aku tidak bisa menahan sabar terlalu lama!"
"Kau pikir aku juga akan sabar mendengar segala macam ketololanmu?" balas Pendekar Pedang Emas tidak kalah sengitnya.
"Aku tidak kenal kau, Kisanak. Dan aku juga tidak pernah punya urusan denganmu! Tapi kalau kau mencari urusan denganku, aku tidak akan menolak!" dingin kata-kata Bayu. Kata-kata Pendekar Pedang Emas benar-benar membuat darahnya mendidih.
"Persoalannya ada pada dirimu sendiri, manusia keparat!"
"Kadal buduk! Rupanya kau belum kenal, siapa Pendekar Pulau Neraka, heh?!" kini Bayu benar-benar tidak bisa lagi mengendalikan amarahnya.
"Dan kau juga harus tahu, dengan siapa kau berhadapan!"
"Sudah..., sudah, tenang!" Pengemis Tongkat Hitam berusaha melerai.
Pertengkaran mulut itu pun segera berhenti. Namun mereka masih saling tatap dengan amarah memuncak hampir meledak!
"Bayu, berikan racun pemunah 'Pukulan Tapak Beracun'," kata Pengemis Tongkat Hitam.
"Aku tidak punya!" ketus jawaban Bayu. Amarahnya dan rasa tersinggungnya membuat dia tidak bisa mengendalikan diri lagi.
"Bayu. jika kau mau menyelamatkan nyawa orang tua yang tengah sekarat, aku jamin, kau bisa meninggalkan Lereng Gunung Panjalukan ini dengan dengan damai.
"Kakek Pengemis, aku menghormatimu sebagai sahabat. Tapi aku bukan orang lemah yang memerlukan jaminan keselamatanmu! Aku tidak punya pemunah 'Pukulan Tapak Beracun', dan aku tidak pernah melukai seorang pun di Lereng Gunung Panjalukan ini! Cukup jelas, Kakek Pengemis Tongkat Hitam!" tegas kata-kata Bayu.
"Bayu...."
"Maaf, aku tidak mau lagi mendengar persoalan yang aku tidak tahu!" potong Bayu cepat
Setelah berkata begitu, Bayu langsung melesat cepat bagai kilat! Dalam sekejap mata saja, tubuhnya sudah lenyap ditelan kerimbunan pepohonan. Sedangkan Pendekar Pedang Emas buru-buru mau mengejar, tapi segera ditahan oleh Pengemis Tongkat Hitam.
"Pendekar Pedang Emas, kalau kau masih penasaran, aku bersedia bertarung melawanmu! terdengar suara menggema.
"Monyet!" geram Pendekar Pedang Emas.
Suara itu jelas datang dari mulut Bayu. Teriakan itu terdengar menggema, seolah-olah datang dari segala penjuru mata angin. Hal itu menandakan kalau Pendekar Pulau Neraka adalah seorang tokoh yang sukar diukur tingkat kepandaiannya.
"Aku tidak mengerti, kenapa kau membiarkan dia kabur?" dengus Pendekar Pedang Emas kesal.
"Aku merasakan kejujuran pada nada suaranya," sahut Pengemis Tongkat Hitam tenang.
"Hhh! Seharusnya kita bisa memaksa dia."
"Pendekar Pedang Emas..., aku jadi tidak mengerti. Kau yang dikenal sebagai pendekar arif bijaksana, kini jadi mudah terbakar amarah."
"Aku juga manusia, Pendekar Tongkat Hitam. Aku sudah tidak tahan lagi melihat tingkah lakunya. Semakin hari, semakin brutal saja!"
"Aku mengerti, tapi cobalah untuk berkepala dingin. Sekarang ini kita tengah menghadapi persoalan yang bukan hanya menyangkut nama baik seseorang, tapi juga seluruh kalangan rimba persilatan. Apa kau tidak bisa melihat, akibat dari kemelut ini bisa membuat seluruh tokoh rimba persilatan terpecah belah, karena tidak bisa saling mengendalikan emosi."
Pendekar Pedang Emas hanya bisa diam. Dalam hati, dia mengakui kebenaran kata-kata Pengemis Tongkat Hitam. Kemudian dia memasukkan kembali pedangnya, dan berjalan tanpa berkata-kata lagi. Sementara Pengemis Tongkat Hitam mengikuti dibelakangnya.

* * * * *



--««¦ [ EMPAT ] ¦»»--

Siang itu, Bayu sampai di sebuah desa yang tidak jauh dari sungai di Lereng Gunung Panjalukan. Dia tidak tahu nama desa itu, tapi semua orang yang melihatnya langsung berlarian. Rumah-rumah pun langsung ditutup rapat-rapat Tak ketinggalan kedai-kedai juga segera menutup pintu. Bahkan para pedagang di pasar desa. Itu meninggalkan dagangannya. Pokoknya mereka seperti tengah melihat datangnya satu makhluk yang mengerikan!
Bayu benar-benar tidak mengerti dengan sikap para penduduk desa itu. Sudah dua desa dia masuki, dan semua penduduknya bersikap sama. Tentu saja hal itu membuat Bayu jadi bertanya-tanya sendiri. Desa yang semula ramai, langsung berubah sepi sekali. Namun Pendekar Pulau Neraka itu tahu, kalau dari celah-celah jendela, para penduduk desa mengintip memperhatikannya.
"Aneh, kenapa mereka semua ketakutan...?" gumam Bayu dalam hati.
Pendekar Pulau Neraka itu terus melangkahkan kakinya menyusuri jalan desa yang sudah sepi senyap. Tak seorang pun yang terlihat. Bahkan rumah-rumah penduduk juga tertutup rapat. Benar-benar suatu pemandangan yang tidak mengenakkan.
"Aku jadi penasaran. Apa sebenarnya yang tengah terjadi? Sudah dua desa kumasuki, dan keadaannya sama. Semua orang ketakutan melihatku. Bahkan sudah tiga tokoh persilatan yang mencoba membunuhku. Hhh...! Aku jadi tidak mengerti...," kembali Bayu bergumam sendiri.
Langkah Pendekar Pulau Neraka itu langsung berhenti, ketika di depannya tiba-tiba muncul seorang laki-laki setengah baya, didampingi oleh sekitar dua puluh orang bersenjata golok! Mereka berdiri dengan sikap tidak bersahabat, dan pandangan mata mereka penuh kebencian. Sejenak Bayu tertegun melihat sikap orang-orang tersebut.
"Aku adalah Kepala Desa Gantang, dan atas nama seluruh warga, aku meminta agar kau segera meninggalkan desa ini," kata seorang laki-laki yang berdiri paling depan.
"Boleh aku tahu, kenapa semua orang tampaknya memusuhiku?" tanya Bayu masih diliputi ketidak mengertian.
"Kau Pendekar Pulau Neraka, kan?" "Benar."
"Tidak ada lagi gadis yang bisa kau ambil, juga seluruh harta kami sudah habis!" lantang suara kepala desa itu.
"Tunggu! Kalian pasti salah duga, aku bukan perampok gadis atau harta. Aku...."
"Jangan bersilat lidah, Pendekar Pulau Neraka!" bentak Kepala Desa Gantang memotong.
"Cepat tinggalkan desa ini, atau kami akan menyabung nyawa denganmu'"
Kini Bayu benar-benar terkejut mendengar kata-kata tegas bernada kasar itu. Tapi dia berusaha sekuatnya untuk tetap menahan diri. Kala kata Kepala Desa Gantang itu membuatnya jadi berpikir. Dia merasa yakin, kalau ada seseorang yang telah menjual namanya untuk kepentingan pribadi, dan orang itu melakukan tindakan yang merugikan desa-desa di sekitar Kaki Lereng Gunung Panjalukan ini.
"Baiklah, aku akan pergi," kata Bayu mengalah, tapi kalian harus tahu, aku tidak pernah melakukan perbuatan yang kalian tuduhkan padaku "
Setelah berkata begitu, Bayu segera berbalik dan melangkah pergi meninggalkan desa itu. Dia berjalan cepat dengan kepala semakin dipenuhi berbagai macam pertanyaan. Pendekar Pulau Neraka itu pun segera mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya. Sehingga sebentar saja dia sudah melewati batas Desa Gantang.
"Berhenti...!"
Tiba-tiba saja terdengar bentakan keras yang disertai pengerahan tenaga dalam cukup tinggi. Seketika Bayu langsung menghentikan langkahnya. Tampak matanya agak menyipit, ketika dari gerumbul semak dan balik pohon, bermunculan orang-orang yang langsung mengepungnya. Mereka semua sudah memegang senjata yang beraneka ragam. Sikap mereka jelas tidak menunjukkan persahabatan.
"Hhh..., ada apa lagi ini...?" keluh Bayu dalam hati. Pendekar Pulau Neraka itu memperhatikan orang-orang yang mengepungnya. Mereka berjumlah tidak kurang dari tiga puluh orang. Dan semuanya jelas tokoh-tokoh dari rimba persilatan.
"Apa maksud kalian menghadang perjalananku?" tanya Bayu agak lantang suaranya.
"Jangan berpura-pura bodoh, Pendekar Pulau Neraka!" bentak salah seorang yang memegang golok besar bagai penjagal.
"Apa yang baru saja kau lakukan di Desa Gantang?"
"Aku...?! Aku tidak melakukan apa-apa...?!" sahut Bayu Hanggara keheranan.
"Kau sudah terkepung, manusia keparat! Ajalmu sudah dekat, masih juga berlagak tolol!" bentak salah seorang lagi.
"Heh! Apa maksud kalian sebenarnya?" Bayu jadi sengit.
"Hari ini kau harus mempertanggungjawabkan semua perbuatanmu, Pendekar Pulau Neraka!"
"Berapa banyak kau sudah memperkosa dan membunuh gadis-gadis, merampok harta rakyat, dan membantai orang-orang tidak berdosa! Kami semua muak denganmu, manusia keparat!"
"Kau harus mati, iblis!" teriak yang lain.
Bermacam-macam makian dan umpatan segera terlontar bagai tanggul terhempas badai. Kini merah padamlah seluruh wajah Bayu! Caci maki itu membuat darahnya ketika mendidih. Gerahamnya bergemeletuk menahan geram. Tapi dengan sekuat tenaga dia menahan perasaan amarahnya. Dia sadar, kalau mereka semua hanya salah paham. Namun rasanya tidak ada waktu lagi untuk menjelaskannya. Ketiga puluh orang itu langsung berlompatan menerjang, dengan teriakan-teriakan menggelegar membelah angkasa!
"Hiya...!" Bayu berteriak keras. Pendekar Pulau Neraka itu berlompatan ke sana kemari menghindari serangan yang dalang dengan cepat silih berganti. Keadaan Pendekar Pulau Neraka kini benar-benar tidak menguntungkan. Dia diserang dari segala jurusan. Ketiga puluh orang itu makin mengepungnya dengan rapat. Tidak sedikit pun memberi kesempatan pada Bayu untuk menarik napas.
Bayu benar-benar kewalahan menghadapi tiga puluh orang yang rata-rata memiliki kepandaian cukup tinggi. Pendekar Pulau Neraka itu hanya mampu berkelit, berlompatan dan menghindar tanpa mampu membalas. Mereka semua tidak memberi kesempatan pada Pendekar Pulau Neraka untuk membalas. Setiap kali pendekar itu hendak melakukan pembalasan, selalu terhalang oleh serangan yang datang dengan cepat.
Buk!
Mendadak satu tendangan keras berhasil mendarat di punggung Pendekar Pulau Neraka. Seketika pemuda berbaju kulit harimau itu terjungkal keras! Pada saat yang bersamaan, sebuah senjata rantai tiba-tiba meluncur ke tubuhnya. Buru-buru Bayu menggulirkan tubuhnya ke samping, dan rantai itu pun mendarat di samping tubuhnya. Belum lagi Pendekar Pulau Neraka itu sempat bangkit, sebilah pedang sudah berkelebat cepat ke arahnya, dan Bayu berusaha berkelit, namun ujung pedang itu berhasil juga menggores perutnya. Tampak darah segera merembes ke luar dari perutnya yang sobek
"Uh! Mereka benar-benar ingin membunuhku!" dengus Bayu dalam hati. Pendekar Pulau Neraka itu menggelimpangkan tubuhnya ke samping, tepat pada saat sebatang tombak meluruk ke arahnya. Lalu dengan kecepatan yang sukar diikuti oleh mata biasa, kaki Bayu melayang menghantam tombak itu.
Trak!
Seketika tombak itu patah jadi dua. Secepat kilat. Bayu melenting bangkit. Tangan kanannya berkelebat mengibas ke depan. Mendadak secercah cahaya keperakan melesat cepat dari pergelangan tangannya. Langsung saja satu jeritan melengking terdengar, disusul ambruknya satu orang dengan dada terbelah!
"Sejenak Bayu menarik tangannya ke depan dada, dan kembali mengebutkan dengan kuat. Senjata cakra bersegi enam keperakan itu pun melesat cepat bagai memiliki saja. Dalam waktu singkat, lima orang sudah terjungkal dengan bersimbah darah. Sementara , jeritan melengking terus mengiringi pertarungan itu. Pada satu saat, Bayu melompat bagai kijang ke arah seorang yang terdekat, dan melepaskan pukulan keras dari jurus 'Pukulan Tapak Beracun'
"Aaakh...!" seketika orang itu menjerit melengking. Musuh itu mendekap dadanya yang terluka dalam, dengan gambar telapak tangan berwarna hitam. Dan belum lagi jeritan itu hilang dari pendengaran, kembali terdengar satu jeritan melengking. Kini Bayu benar-benar tidak mau lagi mengalah. Dia terus mengamuk dengan ganas, bagai singa terluka! Tubuh-tubuh tak henti-hentinya bergelimpangan mengucurkan darah segar. Sebentar saja serangan tokoh-tokoh rimba persilatan itu jadi kacau.
"Kalian sungguh-sungguh manusia-manusia picik! Mencari mati berurusan dengan Pendekar Pulau Neraka!" seru Bayu keras menggelegar.
Para pengeroyok yang kini sudah berkurang hampir separuhnya itu, segera berlompatan mundur. Bayu sejenak mengangkat tangan kanannya ke atas, seketika senjata mautnya kembali melayang ke arah pergelangan tangan kanannya, dan menempel.
"Dengar! Aku tidak pernah melakukan perbuatan yang kalian tuduhkan, Jika kalian masih juga ingin membunuhku, majulah. Biar kukirim kalian semua ke neraka!" keras suara Bayu. Emosinya masih belum reda.
Musuh-musuhnya yang kini berjumlah delapan belas itu, terdiam dengan sikap tetap bersiaga penuh. Hati mereka mulai dilanda kegentaran. Suasana hening segera melanda tempat itu. Bayu masih menatap tajam pada mereka yang masih mengelilinginya. Pelahan-lahan kakinya bergerak melangkah maju. Mereka yang berada di depannya, bergegas menyingkir.
Pendekar Pulau Neraka itu terus melangkah pelan-pelan. Matanya tetap tajam merayapi sekitarnya. Tak seorang pun yang berani lagi mendekat. Hari mereka benar-benar sudah gentar menghadapi kedahsyatan pendekar itu! Merasa ada kesempatan untuk lolos, Bayu segera melesat pergi meninggalkan tempat itu. Gerakannya ringan, dan cepat bagai kilat! Dalam sekejap mata saja. tubuhnya sudah lenyap dari pandangan. Sementara tokoh-tokoh rimba persilatan itu langsung bubar tanpa berkata-kata sedikitpun. Kini tinggal mereka yang tewas menggeletak, tanpa ada yang mempedulikan.
Bayu segera menjatuhkan dirinya di rerumputan, begitu mencapai tepi sungai dekat Desa Galuhung. Darah masih mengucur dari perutnya yang sobek. Sebentar dia memejamkan matanya, lalu bangkit duduk bersila. Jari tangannya bergerak lembut dan lincah menotok di sekitar luka pada perutnya. Seketika darah berhenti mengalir. Pandangan matanya beredar berkeliling. Sepi, tidak terlihat seorang pun di tempat itu.
"Hhh...! Untung senjata itu tidak beracun," desah Bayu pelan. Pendekar Pulau Neraka itu kemudian bangkit dan melangkah ke sungai. Dia jongkok di tepi sungai, lalu membersihkan luka di perutnya dengan air. Terakhir Bayu membalut lukanya dengan kain berwarna merah yang selalu membeliti pinggangnya.
Baru saja dia berdiri, mendadak telinganya mendengar suara langkah kaki dari arah belakang. Bayu segera berbalik, tampak seorang gadis sudah berdiri tertegun sambil memandangnya. Gadis itu tampak terkejut melihat Pendekar Pulau Neraka berada dekat sungai. Sampai-sampai keranjang yang dibawanya terlepas! Seketika dia berbalik, dan langsung berlari cepat.
"Hey! Tunggu...!" teriak Bayu seraya melompat mengejar. Hanya dua kali lompatan saja, Bayu sudah berhasil menyusul gadis itu. Tangannya langsung mencekal lengan gadis itu.
"Lepaskan!" sentak gadis itu ketakutan.
"Diamlah, aku tidak akan menyakitimu," kata Bayu datar.
Gadis itu pun diam tidak memberontak. Namun wajahnya masih kelihatan pucat, dan tubuhnya gemetaran. Bayu melepaskan cekalannya pada tangan gadis itu.
"Kenapa kau lari melihatku?" tanya Bayu lembut.
"Tolong, lepaskan aku. Jangan hancurkan hidupku, jangan bunuh aku Lepaskan aku, Tuan...," rintih gadis itu memelas.
Bayu mengerutkan keningnya.
"Siapa namamu ?" tanya Bayu lembut.
"Murti...," sahut gadis itu pelan. Hampir tidak terdengar suaranya.
"Dengar, Murti! Aku bukan hantu, aku bukan tukang begal, atau pembunuh. Aku manusia biasa, kau tidak perlu takut," kata Bayu berusaha meyakinkan.
Gadis cantik yang bernama Murti itu, segera mengamati pemuda tampan dan gagah, berbaju kulit harimau di depannya. Dia memandangi dari ujung kepala hingga ujung kaki. Seolah-olah gadis itu sedang menilai laki-laki di depannya.
"Kau..., Pendekar Pulau Neraka...?" bergetar suara Murti.
"Ya," sahut Bayu mengangguk.
"Oh...," Murti langsung jatuh tertunduk lemas.
"Hey, ada apa?" Bayu tersentak, dia segera berlutut dengan mata menatap heran pada gadis itu.
"Dewata Yang Agung.... Jika kau menghendaki nyawaku. Ambillah tapi jangan kau biarkan dia memperkosaku", rintih Murti lirih. Setitik air bening tampak menggalir dari sudut matanya.
Seketika Bayu terduduk lemas mendengar rintihan Murti. Dia menjambaki rambutnya sendiri. Sungguh, dia tidak bisa memahami semua yang terjadi di Kaki Lereng Gunung Panjalukan ini. Segala peristiwa yang ditemui, membuat kepalanya serasa mau pecah! Dia tidak mengerti, kenapa semua orang jadi membenci dirinya? Mungkinkah ada orang yang telah mengaku dirinya, dan membuat kebodohan? Melakukan keonaran, menculik gadis-gadis, memperkosanya lalu membunuhnya? Kalau memang benar, apa maksudnya?
Keheningan menyelimuti sekitar tepian sungai itu. Pelahan-lahan Murti mengangkat kepalanya. Sejenak dia tertegun melihat laki-laki yang menjadi momok menakutkan selama ini, terduduk lemas sambil menjambaki rambutnya sendiri. Gadis itu tampak keheranan melihat paras Pendekar Pulau Neraka tidak garang. Bahkan tampak kusut bagai sedang menyimpan ribuan persoalan yang sukar dipecahkan. Tanpa disadari, Bayu juga menatap ke arah gadis itu. Sesaat mereka saling berpandangan.
"Apa sebenarnya yang telah kulakukan? Kenapa semua orang membenciku, dan mau membunuhku?" desah Bayu seperti bertanya pada dirinya sendiri.
Murti diam membisu.
"Kau pernah bertemu denganku sebelumnya?" tanya Bayu.
Murti mengangguk tanpa disadari.
"Kapan? Apa yang aku lakukan padamu?" tanya Bayu lagi setengah mendesak.
Murti tidak menjawab. Mendadak ada perasaan lain hinggap di hatinya, begitu mendengar pertanyaan-pertanyaan Pendekar Pulau Neraka itu. Matanya yang bulat indah tampak berputar-putar, seakan-akan dia tengah meneliti pemuda tampan di depannya.
"Pandanglah aku, benarkah aku orang yang pernah bertemu denganmu?"
Murti masih belum menjawab. Pelahan-lahan kepalanya menggeleng, saat dia melihat ke pergelangan tangan Bayu Hanggara. Kemudian matanya kembali menatap wajah tampan di depannya.
"Tidak...," desis Murti seperti tak sadar.
"Murti, baru kemarin aku datang ke sini. Dan aku jadi bingung, kenapa semua orang membenciku, dan mau membunuhku? Apa sebenarnya yang telah terjadi di sini, Murti? Katakanlah, apa yang telah terjadi?," desak Bayu penuh harap.
"Siapa kau sebenarnya?" tanya Murti berbalik tanpa menjawab pertanyaan Bayu.
"Namaku Bayu Hanggara, aku memang lebih dikenal dengan julukan Pendekar Pulau Neraka," sahut Bayu jujur.
"Kau benar-benar tidak melakukan perbuatan-perbuatan itu, atau kau hanya pura-pura saja?" selidik Murti. Entah dari mana datangnya, tahu-tahu dia punya keberanian.
"Kenapa kau tanyakan itu? Apakah aku kelihatan berpura-pura?"
"Dia juga bernama Pendekar Pulau Neraka. Semuanya mirip denganmu. Wajahnya, pakaiannya, pokoknya mirip. Tapi...."
"Tapi, apa?" desak Bayu.
"Dia tidak membawa itu," sahut Murti sambil melirik ke pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka.
"Ah, terima kasih...! Terima kasih, Murti !" seru Bayu. Begitu gembiranya dia, sampai tidak sadar memeluk gadis itu.
Tentu saja Murti tersentak kaget, buru-buru dia menolakkan tubuh pemuda itu.
"Maaf, aku tidak sengaja," ucap Bayu buru-buru.
Paras wajah Murti bersemu merah. Kepalanya tertunduk. Entah kenapa, hatinya tiba-tiba berdebar aneh. Bayu kemudian mengambil tangan gadis itu, dan menggenggamnya erat-erat. Pelahan-lahan Murti pun mengangkat kepalanya. Tatapan matanya langsung bertemu dengan sorot mata Bayu. Sesaat keheningan kembali menyelimuti mereka berdua.
"Kau telah membuka selimut kabut yang menyelimuti seluruh daerah Gunung Panjalukan ini, Murti. Aku tahu sekarang, ada seseorang yang telah menyamar jadi diriku, dan pasti dia punya maksud untuk menghancurkan aku dengan perbuatannya itu. Terima kasih Murti. Kau telah membantu banyak padaku kata Bayu semakin erat menggenggam tangan Murti.
"Jadi, kau bukan Pendekar Pulau Neraka?" tanya Murti seolah ingin kepastian.
"Akulah Pendekar Pulau Neraka, dan orang itu memakai namaku untuk menghancurkanku," sahut Bayu tegas.
Tampaknya Murti masih belum mengerti, namun dia tidak bertanya lagi. Bayu melepaskan genggaman tangannya, kemudian beranjak bangkit. Pendekar Pulau Neraka itu berjalan menghampiri keranjang yang menggeletak tidak jauh darinya. Dia lalu memungut keranjang itu, dan memasukkan baju-baju dan kain ke dalamnya. Setelah itu dibawanya kembali pada gadis cantik yang masih duduk di rerumputan.
"Kau ke sini untuk mencuci?" tanya Bayu.
"Ya," sahut Murti seraya bangkit dari duduknya.
"Mencucilah, aku akan menjagamu," kata Bayu sambil melangkah ke sungai. Dia masih menjinjing keranjang gadis itu.
Sementara Murti melangkah di samping pemuda itu. Benaknya masih belum bisa mengerti, dengan laki-laki yang bernama Pendekar Pulau Neraka. Meskipun rasa khawatir terus bersemayam di hatinya namun gadis itu mulai menaruh kepercayaan, kalau pemuda yang bersamanya kini tidak sejahat dan sekejam pemuda yang hampir memperkosanya dulu.
Selesai mencuci, Murti masih duduk di atas batu. Sementara Bayu berada tidak jauh darinya. Gadis itu merasakan adanya sesuatu yang berbeda pada Pendekar Pulau Neraka dengan pemuda yang dulu. Tapi melihat bentuk tubuh, wajah dan yang dikenakan oleh Bayu, dia benar-benar bingung.
"Kenapa kau tidak segera pulang?" tanya Bayu seraya memandang gadis itu.
Murti tidak menyahut. Dia kemudian bangkit sambil mengepit keranjangnya di ketiak lalu kakinya mulai melangkah meninggalkan sungai itu. Sebentar dia berhenti, dan menoleh pada Pendekat Pulau Neraka. Kemudian dia kembali melangkah agak cepat. Sementara Bayu tetap duduk di atas batu sambil memandangi.
Begitu jarak Murti sudah jauh, Pendekar Pulau Neraka itu baru bangkit dan melangkah mengikuti gadis itu. Bayu mengikuti dengan menjaga jarak. Sedangkan Murti terus melangkah. Sesekali dia menoleh ke belakang. Hatinya jadi agak tenang karena tidak melihat pemuda berbaju kulit harimau itu lagi. Gadis itu sama sekali tidak tahu kalau dirinya terus diikuti.
Murti langsung berlari cepat begitu sampai didesanya. Desa Galuhung yang semakin sunyi saja. Hampir seluruh penduduk desa itu lebih senang tinggal di rumah, lebih-lebih para gadisnya, tidak ada yang berani ke luar rumah kalau tidak ada keperluan yang mendesak. Sementara Bayu hanya memperhatikan saja dari arah yang cukup jauh. Dia tersenyum melihat Murti sudah masuk ke rumahnya.
"Bayu.."
"Eh!" Bayu tersentak kaget ketika tiba-tiba namanya disebut dari belakang. Belum lagi pemuda itu menoleh, Pengemis Tongkat Hitam sudah berada di sampingnya. Bayu segera menghenyakkan tubuhnya di bawah pohon yang rindang. Sementara Pengemis Tongkat Hitam mengambil tempat di depan pemuda berbaju kulit harimau itu.
"Sejak semula aku memang tidak percaya, kalau kau yang telah melakukan perbuatan tercela danbrutal itu," kata Pengemis Tongkat Hitam.
Bayu diam saja. Pandangannya tetap ke arah Desa Galuhung yang sepi. Hanya ada satu dua orang saja yang kelihatan ke luar rumah, itu pun hanya laki-laki tua.
"Aku sengaja meminta Murti untuk ke sungai. Semula niatku untuk memancing Pendekar Pulau Neraka palsu, tapi yang muncul malah kau, Bayu," kata Pengemis Tongkat Hitam lagi.
Bayu langsung memandang laki-laki tua di depannya.
"Aku pun mendengar semua percakapanmu dengan Murti. Sekarang aku yakin, kaulah Pendekar Pulau Neraka yang kukenal. Aku memang belum pernah bertemu dengan orang yang menyamar dan memakai namamu, sehingga aku sulit membedakannya." lanjut Pengemis Tongkat Hitam lagi.
"Apa yang ingin kau katakan lagi padaku? Meminta racun pemunah 'Pukulan Tapak Beracun'?" agak ketus nada suara Bayu.
"Tidak, Ki Sandak sudah tewas," sahut Pengemis Tongkat Hitam.
"Kalau saja temanmu itu tidak bermata gelap, mungkin aku masih bisa menolong," kata Bayu datar.
"Ya, aku juga menyesali tindakannya..."
Bayu diam membisu. Pandangannya kembali terarah ke Desa Galuhung. Entah apa yang sedang dia pikirkan saat ini. Sementara Pengemis Tongkat Hitam juga diam.



--««¦ [ LIMA ] ¦»»--

Malam belum lagi beranjak larut. Namun udara di sekitar Gunung Panjalukan sudah semakin dingin. Kabut tebal menyelimuti seluruh Puncak Gunung Panjalukan itu. Dinginnya udara malam ini terusik oleh pijaran api dari ranting-ranting kering yang terbakar di dalam sebuah goa yang cukup besar dan lapang.
Tidak jauh dan api unggun itu tergolek sesosok tubuh ramping dengan pakaian koyak tidak teratur letaknya. Wajahnya yang cantik, tampak lesu tanpa gairah hidup. Matanya kosong menerawang jauh ke dalam api. Gadis itu berusaha menggeliat, namun seluruh tubuhnya terasa lumpuh, tidak bisa digerakkan Sinar matanya langsung berubah tajam penuh kebencian dan dendam saat menatap seorang laki-laki yang duduk dekat api unggun.
Laki-laki muda, tampan, bertubuh tegap itu tersenyum melihat gadis itu menatapnya tajam. Dia menggeser duduknya mendekat. Tangannya diletakkan ke atas paha putih yang terbuka lebar. Jari-jari tangannya bermain-main, menari-nari di atas kulit yang putih mulus tanpa cacat itu.
Pemuda tampan berbaju kulit harimau itu merebahkan tubuhnya di samping gadis itu. Bibirnya masih menyunggingkan senyum. Perlahan dia mendekatkan wajahnya ke wajah gadis itu. Saat wajahnya sudah demikian dekat, gadis itu memalingkan mukanya. Namun pemuda itu malah memeluk dan menciuminya dengan liar.
"Akh...! Binatang! Kubunuh kau'" pekik gadis itu mencoba menggeliat, namun sedikit pun tubuhnya tidak dapat digerakkan. Hanya kepalanya saja menggeleng-geleng ke kanan dan ke kiri, berusaha menghindari sergapan ciuman-ciuman pemuda itu yang bertubi-tubi.
"Ah, aku senang Kau masih juga galak dan menggairahkan...," desah pemuda itu seraya melepaskan bajunya yang terbuat dari kulit harimau.
Bret!
"Ah...!" gadis itu memekik tertahan ketika baju yang menutup bagian dadanya dirobek paksa.
Mata pemuda itu semakin liar merayapi dua buah gunung kembar yang putih indah menantang. Gadis itu memejamkan matanya rapat-rapat saat merasakan dengus napas memburu pada dadanya. Dia menggigit-gigit bibirnya sendiri. Setitik air menggulir dari sudut matanya. Napasnya tertahan merasakan berat pada tubuhnya.
Sia-sia saja gadis itu berusaha meronta, karena seluruh tubuhnya tidak dapat digerakkan lagi. Menjerit pun tidak ada gunanya lagi. Tidak ada seorang pun yang ada di Puncak Gunung Panjalukan itu. Gadis itu hanya bisa pasrah dan menangis dengan hati hancur berkeping-keping. Ia memejamkan matanya rapat-rapat, tidak sanggup melihat wajah pemuda yang begitu dekat di atasnya.
"Akh!" tiba-tiba gadis itu memekik tertahan. Sebentar matanya terbuka membeliak, lalu merapat kembali dengan kepala terkulai lemah ke samping. Air matanya semakin deras mengalir. Rintihannya terdengar lirih menahan sesuatu yang belum pernah dia rasakan sebelumnya.
Beberapa saat gadis itu merasakan amat tersiksa. Saat itu dia merasakan dirinya sudah mati. Namun beban yang berada di atas tubuhnya menyadarkannya kalau dia belum mati, dan masih berada di dalam cengkeraman seorang laki-laki berhati iblis yang mengaku bernama Pendekar Pulau Neraka.
Gadis itu kembali memekik tertahan, bersamaan dengan terdengarnya suara mendesis lirih. Tak lama kemudian, tubuh pemuda itu menggulir ke samping. Sebentar dia merebahkan tubuhnya di samping gadis itu, kemudian tangannya meraih pakaian yang teronggok di sampingnya. Matanya merayapi sebentuk tubuh indah terbungkus kulit putih yang mulus tanpa catat di sampingnya. Bibirnya tersenyum penuh kemenangan dan kepuasan. Pemuda itu kembali mengenakan pakaiannya.
"Seharusnya aku tidak lagi memerlukanmu, Manis," kata pemuda itu, lembut suaranya
Gadis itu hanya diam dengan mata, terpejam rapat. Dia benar-benar tidak ingin melihat laki-laki yang telah menghancurkan hidupnya, mengoyak seluruh hatinya. Saat itu yang ingin dia lakukan hanya satu, mati!
"Ah, aku memang tidak memerlukanmu lagi. Masih banyak gadis yang lebih cantik dan lebih menggairahkan darimu," kembali pemuda berbaju kulit harimau itu berkata pelan. Pemuda itu beranjak bangkit sambil mengangkat tubuh gadis itu. Kemudian dia melangkah keluar goa. Langkah kakinya tegap dan mantap. Dia baru berhenti melangkah setelah sampai di Lereng Gunung Panjalukan yang cukup terjal dan berbatu. Pemuda berbaju kulit harimau itu meletakkan gadis yang hanya tertutup kain koyak itu di atas sebuah batu besar dan agak pipih permukaannya.
"Kenanglah aku di neraka, Manis," kata pemuda itu lembut. Dia membungkukkan badannya sedikit, dan mengecup pipi gadis itu. Lalu mendorong tubuh ramping itu dengan kuat. Suara jeritan melengking terdengar menyayat, bersamaan dengan menggulingnya tubuh gadis itu ke bawah. Tubuhnya meluncur deras menghantam batu-batuan, dan baru berhenti meluncur setelah menghantam sebongkah batu yang cukup besar. Darah mengucur deras dari kepalanya yang pecah. Gadis itu tergolek tak bernyawa lagi.
"Ha ha ha...!" pemuda berbaju kulit harimau itu tertawa terbahak-bahak. Tak ada yang menyaksikan semua kejadian itu. Hanya bulan yang mengintip di balik awan dan kabul tebal menyaksikan semua kekejaman pemuda itu. Kesunyian kembali menyelimuti seluruh Puncak Gunung Panjalukan Kemudian pemuda berbaju kulit harimau itu berbalik dan berlompatan meninggalkan tepi lereng yang curam. Kembali tawanya terdengar berderai.

* * * * *



Malam terus merayap semakin larut. Udara pun semakin bertambah dingin. Gunung Panjalukan tampak angker, hitam pekat berselimut kabut tebal. Namun suasana malam yang seperti itu tidak menghalangi sesosok tubuh yang tengah berlari cepat menuruni Lereng Gunung Panjalukan. Gerakannya sangat cepat dan ringan, sehingga yang terlihat hanya bayangan berkelebatan saja.
Sosok tubuh itu berhenti berlari setelah sampai di batas Desa Galuhung. Tampak wajahnya tampan, dengan sinar mata bersorot tajam. Orang itu mengenakan baju dari kulit harimau. Dia berdiri tegak bertohk pinggang, sambil menatap lurus ke arah Desa Galuhung di depannya. Desa itu tampak sepi, tak terlihat seorang pun yang berada di luar rumah.
Kakinya kembali terayun melangkah tegap dan mantap memasuki Desa Galuhung. Sepanjang perjalanan, hanya kesunyian yang dilaluinya. Bahkan, beberapa rumah yang tadinya masih terang, langsung gelap. Pemuda tampan berbaju kulit harimau itu tersenyun lebar, melihat rumah-rumah langsung memadam lampunya. Bahkan terdengar suara pintu dan jendela terkunci.
Langkah kaki pemuda berbaju kulit harimau itu kemudian berhenti, tepat di depan pintu sebuah rumah yang cukup besar. Rumah berdinding papan itu tampak sepi, hanya ada lampu pelita kecill yang menerangi beranda. Sejenak pemuda itu menghentakkan kakinya ke tanah, dan tubuhnya melesat ke udara. Manis sekali dia hinggap di atas atap rumah itu.
Dan dengan hati-hati dia membongkar atap rumah itu, dan meluruk turun ke dalam. Ringan, tak terdengar suara sedikit pun saat kakinya menjejak lantai. Gelap menyelimuti seluruh ruangan dalam rumah itu. Pemuda berbaju kulit harimau itu melangkah ringan mendekati sebuah pintu. Tampak seberkas cahaya kecil membias di bawah pintu.
Senyum di bibirnya kembali terkembang. Pemuda berbaju kulit harimau itu kemudian melangkah mendekati pintu. Pelahan-lahan tangannya mendorong pintu kamar itu. Bola matanya segera berbinar melihat seorang gadis tengah lelap di pembaringan. Sehelai kain menutupi tubuh gadis itu. Tampak beberapa bagian tubuhnya tersingkap, menampakkan kulit yang putih bersih.
"Ah..., cantik sekali," desisnya pelan.
Lalu dengan mengendap-endap, pemuda berbaju kuljt karimau itu mendekati pembaringan. Sebentar dipandanginya bentuk tubuh yang masih tergolek lelap dalam buaian mimpi. Dadanya mendadak berdebar saat matanya menangkap sebentuk buah dada indah hampir tak tertutup kain. Maka dengan gerakan lembut tangannya terulur, dan dengan cepat jari-jari tangannya menotok beberapa bagian jalan darah gadis itu.
"Akh!" gadis itu sempat memekik, namun sedetik kemudian lemas tak berdaya. Tampak mulutnya terbuka lebar, sedang matanya membeliak memancarkan rasa takut yang amat sangat. Namun tak sedikit pun suara keluar dari mulutnya yang terbuka. Pemuda berbaju kulit harimau itu kembali tersenyum menyeringai. Lalu dia beranjak naik ke pembaringan itu.
"Murti...!" tiba liba terdengar suara dari kamar lain.
"Uh!" pemuda berbaju kulit harimau itu mendengus kesal. Saat kepalanya menoleh ke arah pintu, tampak seorang laki-laki lanjut usia sudah berdiri terpaku diambang pintu. Dia seperti terkesima melihat ada seorang laki-laki berbaju kulit harimau, berada di atas tubuh anak gadisnya.
"Pendekar Pulau Neraka...," desis laki-laki tua itu.
Pemuda berbaju kulit harimau itu menggeram kesal. Lalu bagaikan kilat, dia mengibaskan tangan kirinya. Seketika secercah cahaya keperakan meluncur deras ke arah laki-laki tua itu. Namun tanpa diduga sama sekali, laki-laki tua itu segera mengegoskan tubuhnya ke samping, dan cahaya keperakan itu lewat di samping tubuhnya, dan menancap pada dinding.
"Kurang ajar'" rungut pemuda berbaju kulit harimau itu. Dan tanpa mempedulikan gadis yang sudah lemas tertotok, pemuda berbaju kulit harimau itu melompat ke arah pintu. Pada saat yang sama, laki-laki tua berjubah putih itu pun langsung melentingkan tubuhnya ke atas. Namun gerakannya kalah cepat! Pemuda berbaju kulit harimau itu sudah mengibaskan tangannya lagi.
"Aaakh!" laki-laki tua itu kontan menjerit melengking. Sebuah benda berbentuk bintang parak tampak menancap dalam di punggungnya. Tanpa ampun lagi, tubuh tua renta itu meluruk kembali ke bawah. Dan sebuah tendangan keras segera menyusul dan menghantam tubuhnya. Seketika suara berderak terdengar, bersamaan dengan hancurnya dinding itu tertimpa tubuh tua renta.
Laki-laki tua itu tampak berusaha bangkit, namun pemuda berbaju kulit harimau lebih cepat melompat, sambil melayangkan satu pukulan keras ke wajahnya. Kembali laki-laki tua itu memekik keras, dan tubuhnya terjungkal menghantam lantai!. Tak pelak lagi, darah langsung muncrat ke luar dari mulutnya. Dan dengan ganas, tiba-tiba pemuda berbaju kulit harimau itu melompat, dan menjejak tubuh laki-laki tua itu.
"Hegh!" Sebentar laki-laki tua itu menggelepar, lalu diam tak bergerak-gerak lagi. Dari mulut serta hidungnya segera mengucurkan darah segar. Pemuda itu pun lalu berbalik, dan pada saat yang sama, dari dalam kamar lain keluar seorang wanita tua. Wanita itu seketika terkejut, begitu melihat seorang laki-laki berbaju kulit harimau menginjak tubuh suaminya.
"Ah! Tolooong...!" jerit wanita itu sekuat-kuatnya.
"Keparat!" laki-laki berbaju kulit harimau itu menggeram. Dan bagaikan kilat, tangannya mengibas cepat ke depan. Seketika itu juga, sinar keperakan melesat ke arah perempuan tua itu. Tak pelak lagi, sinar dari senjata bintang perak itu menembus dadanya.
"Aaa...!" perempuan tua itu menjerit melengking tinggi.
Pemuda berbaju kulit harimau itu tidak membuang-buang waktu lagi. Dia segera melompat ke dalam kamar gadis yang lemas tertotok jalan darahnya. Bergegas dia mengangkat tubuh gadis itu, dan melesat ke atas sambil membopong gadis cantik yang bernama Murti.
Begitu kakinya hinggap di atap, mendadak puluhan anak panah dan tombak bertebaran ke arahnya. Pemuda berbaju kulit harimau itu mengumpat geram. Dia segera berlompatan sambil mengibaskan tangan kirinya, menghalau serbuan anak panah dan tombak. Tampak di sekeliling rumah itu sudah dipenuhi oleh puluhan orang dengan berbagai senjata.
"Setan!" geram pemuda itu. Dia lalu memindahkan tubuh Murti ke atas pundaknya. Dan hanya dengan sekali lompatan saja, pemuda berbaju kulit harimau itu meluruk ke bawah. Dan langsung disambut oleh mereka yang sudah mengepungnya. Pertempuran pun tak terhindarkan lagi.
Sebentar, saja jerit kesakitan dan pekik kemarahan berbaur menjadi satu. Malam yang semula dingin, berubah hangat. Para penduduk Desa Galuhung rupanya sudah tidak lagi menghiraukan nyawanya. Mereka terus menyerang pemuda berbaju kulit harimau itu dengan brutal. Tubuh-tubuh bersimbah darah kini mulai bergelimpangan. Jeritan kematian semakin sering terdengar. Pemuda berbaju kulit harimau yang memanggul Murti, berkelebatan cepat membantai para penduduk yang rata-rata tidak memiliki ilmu olah kanuragan itu. Mereka hanya dibekali dengan kemarahan yang memuncak, meledak tak terkendalikan lagi. Mereka tidak lagi peduli dengan nyawa. Mereka tidak menghiraukan, siapa yang sedang dihadapi.
Rasa dendam, benci dan kemarahan yang menggumpal menjadi satu, membuat penduduk yang sehari-harinya bekerja di ladang itu jadi nekad. Kini sudah tidak terhitung lagi, berapa orang yang menggeletak jadi mayat. Namun mereka tetap menggempur pemuda berbaju kulit harimau itu. Meskipun hanya menghadapi orang-orang yang tidak mengerti ilmu olah kanuragan, pemuda berbaju kulit harimau itu kerepotan juga menghadapinya.
"Gila! Kalau begini terus, aku bisa kehabisan tenaga!" dengus pemuda itu dalam hari. Pemuda berbaju kulit harimau itu mencoba untuk menerobos kepungan para penduduk Desa Galuhung. Tapi kepungan itu semakin bertambah rapat saja. Mereka seperti kesetanan, tidak mempedulikan lagi keselamatan jiwanya.
"Mundur...!" Tiba-tiba terdengar suara bentakan keras menggelegar.
Para penduduk desa itu pun segera mundur. Tampak di antara mereka sudah berdiri tokoh-tokoh rimba persilatan yang tidak sedikit jumlahnya. Seluruh penduduk Desa Galuhung sedikit bergembira melihat kedatangan tokoh tokoh rimba persilatan dan murid-murid padepokan. Sementara itu pemuda berbaju kulit harimau tampak terkejut bukan main. Dia sadar, kalau malam ini adalah hari sialnya. Tapi dia tidak mau menyerah begitu saja. Pemuda itu lalu menurunkan tubuh gadis yang berada di pundaknya, dan membuka totokan jalan darah di tubuhnya.
"Ah, tolooong...!" jerit Murti begitu terbebas dari totokan. Buru-buru pemuda berbaju kulit harimau Itu menjepit leher Murti, dan memegangi tangannya ke belakang. Gadis itu sama sekali tidak berdaya lagi lebih-lebih setelah pemuda itu mengancam akan membunuhnya jika bergerak.
"Kalian berani maju selangkah, kupatahkan leher gadis ini'" ancam pemuda itu.
Semua tokoh rimba persilatan itu tidak ada yang bergerak di antara mereka, tampak Pendekar Pedang Emas, Pendekar Tongkat Ular, Malaikat Bayangan Hijau. Mereka adalah tokoh-tokoh rimba persilatan yang sudah tidak asing lagi namanya. Namun semuanya tidak ada yang bergerak mengingat keselamatan Murti terancam.
"Bagus! Kalian yang di sana, minggir!" bentak pemuda berbaju kulit harimau.
Mereka yang ditunjuk segera menyingkir membuka jalan. Pemuda berbaju kulit harinnu itu melangkah pelan-pelan sembari menyeret Murti. Gadis itu berusaha memberontak, namun jepitan pada lehernya begitu kuat, dan terasa sakit.
"Diam! Kubunuh kau, kalau coba-coba memberontak!" ancam pemuda itu bengis.
"Serang dia! Jangan hiraukan aku!" teriak Murti putus asa. Tapi gadis itu jadi terpekik karena tangan yang menjepit lehernya menekan kuat.
Beberapa tokoh persilatan yang ingin bergerak, langsung berhenti. Sedikit demi sedikik pemuda berbaju kulit harimau itu terus melangkah sambil menyeret gadis tawanannya. Dan pada saat dia sudah berada di luar kepungan, mendadak tubuhnya melesat cepat ke arah Gunung Panjalukan.
"Tolooong...!" jerit Murti melengking.
"Kejar! Jangan sampai lolos...!" seru Pendekar Padang Emas.
Seluruh tokoh-tokoh rimba persilatan itu langsung berhamburan mengejar. Namun bayangan tubuh pemuda berbaju kulit harimau itu sudah lenyap ditelan oleh gelapnya malam, ditambah pepohonan di sekitar Kaki Gunung Panjalukan yang memang sangat lebat. Namun tokoh-tokoh rimba persilatan itu terus saja mengejar, meskipun mereka tidak tahu lagi, ke arah mana pembuat kerusuhan itu melarikan diri.

* * * * *



Pada saat itu, di tengah-tengah hutan Lereng Gunung Panjalukan, tampak Bayu tengah berbincang-bincang dengan Pengemis Tongkat Hitam. Mereka duduk dekat api unggun kecil dan seekor rusa, terpanggang di atasnya.
"Sejak tadi kau murung terus. Ada apa, Bayu?" tegur Pengemis Tongkat Hitam.
"Tidak apa-apa," sahut Bayu pelan.
"Aku tahu, kau pasti kecewa karena aku telah gagal untuk meyakinkan mereka," pelan suara Pengemis Tongkat Hitam.
"Hhh...." Bayu hanya menarik napas saja.
"Perbuatan orang itu sudah melampaui batas, Bayu. Dan dia selalu menggunakan nama Pendekar Pulau Neraka. Lagi pula jurus-jurus yang digunakan, sama persis dengan yang kau miliki. Akupun tidak bisa menyalahkan mereka yang tetap menuduhmu sebagai pelaku semua kebrutalan dan pembantaian itu. Sudah lebih satu purnama hal itu berlangsung dan sampai saat ini belum ada yang mampu menghentikan perbuatannya." Kata Pengemis Tongkat Hitam lagi.
"Aku tidak peduli mereka tetap menuduhku, Kek. Yang aku tidak mengerti, untuk apa orang itu menggunakan namaku? Kalau memang dia mempunyai dendam, kenapa tidak menantangku saja! Toh dia juga punya jurus-jurus yang sama denganku," nada suara Bayu terdengar kesal.
"Kita akan tahu kalau sudah menemukannya, Bayu."
Belum lagi Bayu membuka mulutnya, mendadak mereka dikejutkan oleh munculnya orang orang dari kalangan rimba persilatan. Di antara mereka, tampak Pendekar Pedang Emas, Pendekar Tongkat Ular dan para ketua padepokan di sekitar Gunung Panjalukan ini. Bayu langsung bangkit diikuti oleh Pengemis Tongkat Hitam. Orang-orang dari kalangan rimba persilatan itu langsung bergerak mengepung. Pendekar Pedang Emas langsung berdiri tegak di depan Bayu dengan jarak sekitar tiga batang tombak
"Pendekar Pulau Neraka, sebaiknya kau menyerah dan jangan mengadakan perlawanan. Lihat tempat ini sudah terkepung rapat," kata Pendekar Pedang Emas dingin.
Pengemis Tongkat Hitam ingin bicara, tapi keburu dicegah oleh Bayu. Pendekar Pulau Neraka itu kemudian melangkah maju tiga tindak. Sejenak matanya beredar berkeliling. Tampak tempat itu sudah dipenuhi oleh tokoh-tokoh rimba persilatan dengan senjata terhunus. Sikap mereka jelas-jelas menunjukkan permusuhan.
"Kalau kalian ingin menangkapku, tangkaplah!" tantang Bayu tegar. Pendekar Pulau Neraka itu menjulurkan kedua tangannya ke depan Pendekar Pedang Emas makin memandanginya dengan tajam. Sesaat keheningan menyelimuti sekitar hutan di Lereng Gunung Panjalukan ini.
"Bayu...," Pengemis Tongkat Hitam menghampiri.
"Biarkan, Kek. Biarkan mereka puas dengan kebodohannya!"
Pengemis Tongkat Hitam kembali terdiam. Dia lalu memandangi orang orang yang berada di sekelilingnya. Tatapan matanya tajam menusuk langsung ke bola mata Pendekar Pedang Emas.
"Kau keterlaluan, Pendekar Pedang Emas! Kau akan menyesal menuduh orang yang tidak bersalah!" kata Pengemis Tongkat Hitam agak geram.
"Pengemis Tongkat Hitam, manusia iblis ini baru saja membantai penduduk Desa Galuhung, dan melarikan seorang gadis!" kata Pendekar Pedang Emas.
"Dasar manusia-manusia bodoh! Apa kalian semua tidak melihat? Sejak tadi aku bersama Pendekar Pulau Neraka di sini. Mana mungkin satu orang bisa berada di dua tempat dalam waktu bersamaan? Ayo, jawab!" Lantang suara Pengemis Tongkai Hitam. Nadanya emosi berat.
Tak ada seorang pun yang membuka suara. Saat itu juga wajah mereka berubah menyiratkan keraguan. Kata-kata Pengemis Tongkat Hitam tidak bisa dibantah. Mereka memang mendapatkan Pendekar Pulau Neraka bersama laki-laki tua itu, duduk di dekat api unggun. Dan lagi, tidak tampak seorang gadis pun di tempat itu.
"Sejak siang tadi aku bersama Pendekar Pulau Neraka. Dan kami belum menginjak Desa Galuhung. Apa kalian sudah buta, sehingga tidak bisa membedakan seseorang? Coba lihat! Apa orang ini yang kalian kejar? Yang kalian tuduh sebagai pembuat keonaran, pembantai manusia, pemerkosa dan pembunuh gadis-gadis? Lihat baik-baik! Buka mata kalian lebar-lebar!" sangat kasar kata-kata yang keluar dari mulut Pengemis Tongkat Hitam.
Tetap tidak ada seorang pun yang membuka suara.
"Pendekar Pedang Emas, aku benar-benar tidak mengerti dengan sikapmu kali ini. Hatimu seperti buta, tidak bisa menilai dari setiap kejadian. Kau begitu terkenal sebagai pendekar yang arif dan bijaksana. Tapi kenapa sekarang kau jadi buta? Terpengaruh oleh tuduhan-tuduhan yang tidak beralasan," agak melemah suara Pengemis Tongkat Hitam.
Pendekar Pedang Emas diam saja. Kata-kata yang meluncur deras dari mulut Pengemis Tongkat Hitam membuatnya ragu-ragu. Dia memang dikenal sebagai tokoh yang selalu mementingkan kebijaksanaan, dan selalu berpikir matang sebelum mengambil tindakan. Pendekar Pedang Emas seakan-akan baru saja tergugah dari sebuah mimpi buruk, yang hampir saja menghancurkan nama besarnya.
"Ayo, Bayu. Kita tinggalkan tempat ini," ajak Pengemis Tongkat Hitam.
"Tunggu...!" Seorang laki-laki mendadak melompat ke depan disertai suara bentakan keras mengejutkan.
Sejenak Pengemis Tongkat Hitam mengurungkan niatnya. Dipandanginya laki-laki yang hampir sebaya dengannya itu. Seorang laki-laki tua yang mengenakan baju berwarna biru, dengan dada tersulam gambar bunga melati dari benang perak. Dia adalah Ketua Padepokan Melati Putih yang letaknya di sebelah Utara Kaki Gunung Panjalukan.
"Ki Suratala, ada apa lagi?" nada suara Pengemis Tongkat Hitam terdengar kesal.
Laki-laki tua yang bernama Ki Suratala itu kemudian mendekati Pendekar Pulau Neraka. Tatapan matanya tajam, menusuk langsung ke bola mata pemuda berbaju kulit harimau itu. Sedangkan Bayu masih tampak tenang. Kesunyian kembali menyelimuti sekitarnya. Semua orang menunggu, apa yang akan di lakukan oleh Ki Suratala.



--««¦ [ ENAM ] ¦»»--

"Kata-katamu memang cukup beralasan, Pengemis Tongkat Hitam. Tapi aku tidak mudah percaya begitu saja," dingin kata-kata Ki Suratala seraya melirik pada Pengemis Tongkat Hitam.
Pengemis Tongkat Hitam balas menatap dengan tajam.
"Tidak sedikit murid-muridku yang tewas terbunuh oleh Pendekar Pulau Neraka. Dan aku harus membunuhnya dengan tanganku sendiri!" Setelah berkata begitu, Ki Suratala tiba-tiba mengibaskan tangannya menyodok ke dada Bayu. Gerakan yang begitu cepat dan mendadak itu tentu saja membuat Bayu terperangah. Namun dengan cepat dia menarik kakinya ke belakang seraya memiringkan tubuhnya ke kiri. Sodokan Ki Suratala pun luput dari sasaran
Tunggu!" seru Pengemis Tongkat Hitam ikut terkejut.
Namun peringatan Pengemis Tongkat Hitam tidak digubris, Ki Suratala kembali menyerang dengan jurus-jurus mautnya. Sedangkan Bayu terpaksa berkelit dan menghindari setiap serangan yang datang dengan gencar dan dahsyat itu. Pertarungan pun segera berlangsung dengan sengit!
Sepuluh jurus telah dilalui dengari cepat, namun belum satu pukulan pun yang berhasil disarangkan oleh Ketua Padepokan Melati Putih itu. Dan sampai saat itu Bayu masih dapat menahan diri. Dia hanya berkelit menghindar tanpa membalas satu serangan pun. Hal itu tentu saja membuat Ki Suralala jadi bertambah berang. Mundur pun rasanya tidak mungkin lagi, bisa-bisa malah nama besarnya hancur malam ini juga.
Sementara puluhan tokoh-tokoh rimba persilatan yang ada di tempat itu, dan tiga puluh orang murid pilihannya, terus menonton. Tampak Ki Suratala jadi tambah beringas, karena serangan-serangannya selalu kandas. Maka tanpa peduli akan ada yang tewas, Ketua Padepokan Melati Putih itu pun segera mencabut senjata dari balik jubahnya yang panjang.
Sret!
"Ki Suratala! Hentikan seranganmu!" bentak Pengemis Tongkat Hitam terkejut.
Namun Ki Suratala sudah tidak bisa lagi diperingati. Pedang pendek berwarna putih dengan gagang berukir bunga melati, berkelebat cepat bagai kilat mengurung seluruh gerak tubuh Pendekar Pulau Neraka. Serangan-serangan Ki Suratala begitu cepat dan sukar diikuti oleh pandangan mata biasa. Pertarungan itu kini sudah mencapai tingkat tinggi. Gerakan-gerakan tubuh mereka sangat sulit ditebak arahnya, hanya dua bayangan saja yang terlihat berkelebatan saling sambar.
Bayu menghadapi serangan-serangan Ki Suratala dengan sungguh-sungguh. Gempuran laki-laki tua itu benar-benar dahsyat. Kelengahan sedikit saja bisa berakibat fatal. Dua kali dia mendengar peringatan dari Pengemis Tongkat Hitam, tapi peringatan itu tidak digubris sama sekali oleh Ki Suratala. Bayu menggeretakkan rahangnya, karena tampaknya Ki Suratala bernafsu benar ingin membunuhnya.
"Cukup, Ki Suratala! Jangan memaksaku bertindak!" seru Bayu setelah merasa dirinya tak sabar.
"Jangan banyak omong, setan! Malam ini juga, kau atau aku yang mati!" bentak Ki Suratala keras.
Bayu pun kini tidak lagi banyak bicara, dia segera mengerahkan jurus 'Pukulan Racun Hitam'. Sedangkah Ki Suratala langsung terkejut tatkala merasakan angin pukulan Pendekar Pulau Neraka itu mengandung hawa dingin dan panas bercampur menjadi satu.
"Awas kaki!" bentak Bayu tiba-tiba.
"Hup!" Ki Suratala segera melompat begitu kaki Bayu berputar melayang ke arah kakinya. Tapi pada saat itu juga, Bayu menggedor tangannya ke arah dada Ketua Padepokan Melati Putih itu. Tak pelak lagi, tubuh Ki Suratala langsung terjungkal keras menghantam tanah. Dari mulutnya tampak mengucur darah kental kehitaman.
"Hiyaaa..!" pekik Bayu keras. Tepat ketika Ki Suratala baru bangkit dan hendak menyerang kembali, tangan Pendekar Pulau Neraka sudah mengibas ke depan di saat kakinya baru menjejak tanah. Langsung saja cakra di tangannya melesat melesat cepat ke arah Ki Suratala. Begitu cepatnya, sehingga Ki Suratala tidak sempat lagi menghindar.
"Aaa....!" Ki Suratala kontan menjerit keras. Tampak cakra perak bersegi enam itu menembus dadanya hingga ke punggung. Dan pada saat tubuh laki-laki tua itu limbung, Bayu segera melompat bagai kilat, dan tangan kanannya mengibas ke arah leher. Tak pelak lagi, leher Ki Suratala tergores oleh sabetan tangan Pendekar Pulau Neraka. Tubuhnya kemudian ambruk dan darah muncrat dari lehernya.
"Hup!" Kembali Bayu menjejak tanah, dan mengangkat tangan kanannya ke atas. Cakra yang tertanam ditubuh Ki Suratala pun langsung melesat, kembali menempel di pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka itu. Sebentar Bayu menatap pada tubuh lawannya yang sudah jadi mayat, kemudian tangannya melipat di depan dada. tatapan matanya tajam merayapi orang-orang yang masih berada disekitarnya.
"Bayu, ayo kira pergi dari sini!" ajak Pengemis Tongkat Hitam seraya menghampiri.
"Tunggu!"
Dengan serempak, tiga puluh orang murid murid Padepokan Melati Putih berlompatan maju. Sementara Pengemis Tongkat Hitam menggerutu dalam hati. Dia sudah menduga kalau urusannya tidak akan selesai begitu saja. Kejadian malam itu merupakan awal dari permasalahan baru lagi. Sudah pasti, mereka yang ada di sini tidak akan tinggal diam melihat kematian Ki Suratala. Keadaan semakin bertambah runcing dengan berlompatannya tiga puluh orang murid Ki Suratala.
"Kau tidak bisa pergi begitu saja, Pendekar Pulau Neraka. Kau harus membayar mahal nyawa guru kami" kata salah seorang dari tiga puluh murid Padepokan Melati Putih itu.
Sret! Cring!
Mereka langsung mencabut pedang masing-masing. Pedang berwarna keperakan itu berkilat tertimpa cahaya bulan. Semua gagangnya terdapat ukiran bunga melati. Tampak Pengemis Tongkat Hitam menatap Bayu yang berada di sampingnya.
"Menyingkirlah, Kek," kata Bayu pelan.
"Jangan layani mereka, Bayu. Keadaan bisa bertambah parah." Pengemis Tongkat Hitam mencoba meredakan hati Pendekar Pulau Neraka Itu.
"Sudah kepalang basah. Sekarang, besok atau lusa sama saja. Tanganku pasti akan bergelimang darah mereka," datar nada suara Bayu.
Pengemis Tongkat Hitam hanya bisa menarik napas panjang dan berat. Semua ini gara-gara Ki Suratala yang tidak bisa menahan emosi. Suasana panas tidak mungkin bisa diredakan lagi. Tiga puluh orang murid Ki Suratala sudah berlompatan mengepung dari segala penjuru. Sementara Bayu masih berdiri tegak dengan tangan melipat di depan dada. Matanya tajam merayapi mereka yang sudah mengepungnya.
"Seraaang...!" seru salah seorang.
"Hiya...! Yeaaah...!"
Teriakan-teriakan pemberi semangat langsung bergema membelah malam di Lereng Gunung Panjalukan itu. Tiga puluh orang yang berpakaian putih itu berlompatan menyerang Pendekar Pulau Neraka. Pedang mereka berkelebatan cepat mengurung dari segala jurusan. Namun Pendekar Pulau Neraka hanya berkelit memiringkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri, menghindari setiap sabetan dan tusukan pedang lawan-lawannya.
Murid-murid Padepokan Melati Putih bukanlah tandingan Pendekar Pulau Neraka. Dua kali lipat banyaknya dari jumlah itu pun, masih belum tentu bisa menandinginya. Tidak heran kalau dalam waktu singkat saja, hampir separuh dari jumlah mereka langsung menggeletak bersimbah darah. Teriakan-teriakan pertempuran, berbaur menjadi satu dengan pekik dan jerit kematian.
Sementara Pengemis Tongkat Hitam tampak semakin gelisah saja. Dia mengkhawatirkan keselamatan Pendekar Pulau Neraka, tapi tokoh-tokoh rimba persilatan yang ada di sekitar tempat itu, pasti tidak akan tinggal diam begitu saja melihat Bayu membantai murid-murid Padepokan Melati Putih.
Kegelisahan Pengemis Tongkat Hitam semakin bertambah saat tokoh-tokoh rimba persilatan mulai meloloskan senjatanya masing-masing. Wajah mereka kelihatan tegang dan kaku, menahan geram melihat tindakan Pendekar Pulau Neraka yang tidak kenal ampun.
"Bayu! Cepat pergi...! Hiyaaa...!"
Mendadak Pengemis Tongkat Hitam melenting cepat bagai kilat. Tangannya langsung menyambar pergelangan tangan kiri Bayu, dan membawanya pergi dan tempat itu. Begitu cepatnya, tahu-tahu mereka sudah lenyap ditelan kegelapan malam dan kerimbunan pepohonan. Tentu saja semua tokoh rimba persilatan tersebut segera berlompatan mengejar. Murid-murid Padepokan Melati Putih yang tinggal delapan orang, tidak ikut mengejar. Sisa-sisa murid tersebut segera mengurusi mayat-mayat saudara seperguruannya, dan mayat gurunya.

* * * * *



Bayu menyentakkan tangannya, sehingga cekalan Pengemis Tongkat Hitam terlepas. Namun mereka terus berlari cepat dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh. Kedua tokoh digdaya itu seperti tengah berlomba lari. Mereka baru berhenti setelah sampai di tepi sungai yang mengalir deras dari puncak gunung.
"Uh! Aku tidak suka jadi buronan!" dengus Bayu sedikit terengah.
"Kau tidak bisa menghadapi mereka semua. Bayu. Lagi pula tidak ada gunanya kau membunuhi mereka!" sahut Pengemis Tongkat Hitam seraya mengatur napasnya.
"Mereka yang memulai, dan aku tidak bisa berdiam diri dicaci maki begitu!" rungut Bayu kesal.
"Hhh..., persoalannya jadi bertambah runyam!" keluh Pengemis Tongkat Hitam.
"Kau tahu, Kakek Pengemis. Aku tidak peduli, apakah mereka dari golongan putih atau golongan hitam. Siapa saja yang menantangku, harus kuhadapi!" kata Bayu tegas.
"Jangan membabi buta, Bayu. Kau tidak akan dapat menaklukkan dunia hanya dengan mengandalkan jurus-jurus ilmu silat. Masih banyak orang yang lebih tinggi tingkatannya darimu," kata Pengemis Tongkat Hitam, mencoba meredakan amarah Pendekar Pulau Neraka itu.
"Jangan mengguruiku, Kakek Pengemis. Di mataku, semua orang sama! Tidak ada golongan putih maupun hitam. Semua bisa jadi teman maupun lawan. Aku tidak peduli siapa mereka. Siapa saja yang mengoyak harga diriku, harus berhadapan denganku!" tegas kata-kata Bayu
"Bayu, tenangkan dirimu. Kendalikan emosimu, masih banyak persoalan yang lebih penting daripada menuruti hawa nafsu. Ingat, Bayu. Saat ini kau harus membersihkan namamu. Kau harus mencari orang yang telah merusak namamu. Itu persoalan yang paling penting, yang harus kau selesaikan sekarang!" kata Pengemis Tongkat Hitam mengingatkan.
"Percuma!" dengus Bayu kesal.
"Tidak ada yang percuma. Mereka hanya...."
"Ah,… sudahlah!" sentak Bayu memotong.
"Aku memang harus membunuh setan keparat itu, tapi aku tidak peduli dengan anggapan semua orang tentang diriku!"
Pengemis Tongkat Hitam hanya mengangkat bahunya. Sia-sia saja dia menasehati pemuda berbaju kulit harimau itu. Watak dan kepribadian Pendekar Pulau Neraka tidak bisa dirubah lagi. Namun hatinya merasa iba juga dengan keadaan yang tengah dihadapinya. Fitnah memang sangat keji. Bukan hanya merusak nama baik seseorang, tapi juga suatu perkumpulan. Memperbaiki benda yang rusak memang pekerjaan mudah, tapi memperbaiki nama yang sudah cacat..!? Bukan suatu hal yang mudah untuk dilakukan.
"Sebaiknya kira mencari tempat yang lebih aman, Bayu. Di sini sudah diketahui orang, kata Pengemis Tongkat Hitam mengusulkan.
"Sebenarnya aku tidak ingin kau berada di pihakku. Kakek Pengemis. Mereka akan menuduhmu berkomplot denganku. Nama baikmu juga bisa rusak," kata Bayu pelan.
Pengemis Tongkat Hitam hanya tersenyum saja. Kemudian dia melangkah pelan-pelan menyusuri tepian sungai. Namun arahnya berlawanan dengan aliran air sungai itu. Sebentar kemudian Bayu ikut juga berjalan di samping laki-laki tua itu. Mereka terus melangkah tanpa bicara lagi. Sementara malam terus merambat semakin larut, kabut pun semakin tebal menyelimuti seluruh Gunung Panjalukan ini.

* * * * *



Sementara itu tokoh tokoh rimba persilatan yang mengejar Pendekar Pulau Neraka, kehilangan jejak. Mereka memang sempat tiba di tepi sungai, di mana Pendekar Pulau Neraka dan Pengemis Tongkat Hitam tadi berhenti. Kini mereka tidak tahu lagi, ke mana harus mengejar. Sedangkan kabut yang menyelimuti seluruh Lereng Gunung Panjalukan itu demikian tebal, sehingga menghalangi pandangan mereka.
Sepanjang mata memandang, hanya kegelapan dan kabut yang terlihat. Di antara mereka, tampak Pendekar Pedang Emas duduk di atas batu pipih yang hitam pekat dan dingin. Sementara yang lainnya terus sibuk menentukan arah. Tak lama kemudian, mereka mengambil kesepakatan untuk berpencar. Namun Pendekar Pedang Emas duduk diam sambil memandangi arus sungai yang mengalir menuruni lereng gunung ini.
"Oh!" Pendekar Pedang Emas tersentak kaget ketika sebuah tangan menepuk pundaknya.
"Malaikat Bayangan Hijau…"
Tampak seorang laki-laki berbaju serba hijau tersenyum. Lalu dia menempatkan dirinya duduk di samping Pendekat Pedang Emas. tanpa disadari, di tepi sungai itu kini tinggal mereka berdua saja. Semua orang mengejar Pendekar Pulau Neraka sudah berpencar ke arah tujuan masing-masing. Yang pasti, mereka masih tetap mencari di sekitar lereng Gunung Panjalukan ini
"Apa yang sedang kau lamunkan, Pendekar Pedang Emas?" tanya Malaikat Bayangan Hijau.
Pendekar Pedang Emas hanya menarik napas panjang.
"Ada yang menyusahkan hatimu?" tanya Malaikat Bayangan Hijau lagi.
"Entahlah...," desah Pendekar Pedang Emas pelan.
"Sepertinya kata-kata Pengemis Tongkat Hitam terngiang terus di telingaku..."
"Terus terang, aku sendiri juga memikirkannya," kata Malaikat Bayangan Hijau. Pelan juga suaranya.
Pendekar Pedang Emas segera menatap setengah tidak percaya pada Malaikat Bayangan Hijau.
"Kita terlalu bangga dengan nama besar dan ilmu olah kanuragan yang tinggi. Aku seperti baru terbangun dari mimpi keindahan dan kemasyhuran. Aku merasakan seperti orang yang paling bodoh di dunia ini," nada suara Malaikat Bayangan Hijau sedikit mengeluh.
"Bukannya bodoh, Malaikat Bayangan Hijau. Tapi hati kita seperti tertutup, tidak bisa mengambil sari dari semua peristiwa yang terjadi di sini," Pendekar Pedang Emas meluruskan.
"Ya, memang tidak mungkin. Satu orang berada pada dua tempat dalam waktu bersamaan. Kita mengejar Pendekar Pulau Neraka dari Desa Galuhung. dan menemukannya bersama Pengemis Tongkat Hitam. Aku rasa menangkap seekor rusa dan memanggangnya memerlukan waktu lama. Dan aku melihat api unggun sudah dinyalakan. Aku jadi berpikir lain, Pendekar Pedang Emas," kata Malaikat Bayangan Hijau, seperti bicara pada dirinya sendiri.
"Kau menduga ada orang lain yang menyamar jadi Pendekar Pulau Neraka?" Pendekar Pedang Emas ingin meyakinkan.
"Aku rasa memang begitu. Kau ingat ketika Pengemis Tongkat Hitam mengatakan, kalau Pendekar Pulau Neraka sedang difitnah? Bahkan gadis yang bernama Murti memberi kesaksian, kalau dia bertemu dengan Pendekar Pulau Neraka yang asli. Gadis itu bahkan berani bersumpah, ada perbedaan pada kedua Pendekar Pulau Neraka," Malaikat Bayangan Hijau mengingatkan.
Pendekar Pedang Emas pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Dia ingat betul dengan kata-kata Pengemis Tongkat Hitam, yang berbicara lantang di depan sekian banyak tokoh rimba persilatan. Juga gadis yang bernama Murti itu memberikan kesaksian, kalau yang melakukan semua perbuatan keji bukan Pendekar Pulau Neraka, tapi orang lain yang menyamar sebagai Pendekar Pulau Neraka. Saat itu memang tak seorang pun yang mau percaya. Mereka semua bahkan menganggap, bahwa Pengemis Tongkat Hitam memperalat Murti untuk melindungi Pendekar Pulau Neraka. Karena Pengemis Tongkat Hitam berhutang nyawa pada pendekar itu.

* * * * *



--««¦ [ TUJUH ] ¦»»--

Kegelapan masih menyelimuti sekitar Gunung Panjalukan. Namun dinginnya udara malam itu, tidak terasa di dalam sebuah goa yang cukup besar di Puncak Gunung Panjalukan. Nyala api dari ranting-ranting kering yang terbakar, membuat suasana di dalam goa itu terasa hangat.
Tidak jauh dari api unggun itu, tampak seorang pemuda tampan yang memakai baju dari kulit harimau, tengah duduk meringkuk. Matanya menatap tajam tidak berkedip pada seorang gadis, yang tergolek tak berdaya dihamparan daun-daun kering. Kain yang membelit tubuhnya sudah tersingkap, sehingga menampakkan sebentuk paha indah, dan berkulit pulih halus.
"He he he...," pemuda berbaju kulit harimau itu terkekeh. Kemudian dia beranjak dan mendekati gadis itu Pemuda itu lalu duduk dekat pinggang gadis yang masih lemas. Hanya kepalanya saja yang masih bisa digerak-gerakkan. Gadis itu berusaha menggeliat, ketika jari-jari tangan pemuda itu mulai meraba pahanya. Namun sedikit pun dia tidak bisa menggerakkan tubuhnya.
"Kau cantik sekali, Murti," desah pemuda itu penuh nafsu.
"Binatang! Lepaskan aku!" bentak gadis yang bernama Murti itu. Aku memang akan membiarkanmu pergi, tapi setelah menikmati malam yang indah ini," sahut pemuda itu lembut.
Seketika pucat pasilah seluruh wajah Murti mendengar kata-kata itu. Kembali dia berusaha menggeliat, namun tubuhnya benar benar terasa lemas. Napas pemuda berbaju kulit harimau itu mulai mendengus, sedangkan jari-jari tangannya semakin liar saja menjelajahi bagian-bagian tubuh gadis itu. Bola matanya terus berputar liar merayapi tubuh merangsang itu. Mendadak tangan pemuda itu mencengkeram kain di dada Murti, lalu dengan kasar dia menariknya.
"Au...!" Murti langsung memekik tertahan.
"Ahhh...," pemuda berbaju kulit harimau itu mendesah saat melihat sebentuk tubuh indah yang menggiurkan, terbuka polos tanpa penutup lagi. Dan pada saat pemuda berbaju kulit harimau itu mau berbuat lebih jauh....
"Setan!" maki pemuda itu seraya melompat.
Telinganya yang tajam tiba-tiba mendengar suara langkah kaki yang cepat dan ringan. Sementara Murti segera beringsut. Tangannya bergegas menutupi tubuhnya yang sudah terbuka.
"Cari mampus! Berani mengganggu kesenanganku!" umpat pemuda itu lagi. Kemudian laki-laki berbaju kulit harimau itu menghampiri Murti. Dan dengan cepat dia menotok jalan darahnya. Gadis itu pun langsung menggeletak lemas.
"Kau di sini dulu, aku segera kembali setelah membereskan tikus itu!" kata pemuda itu seraya melompat ke luar.
Pada waktu yang sama, tampak dua orang tengah berlari-lari mendaki Gunung Panjalukan itu. Mereka adalah Pendekar Pulau Neraka dan Pengemis Tongkat Hitam. Gerakan mereka sangat ringan, berlari dan berlompatan menuju puncak gunung. Namun saat mereka melompat ke atas batu yang menjorok ke luar, gerakan mereka terhenti.
"Dewi Ranti ," desis Pengemis Tongkat Hitam tersedak suaranya. Mata laki-laki tua Itu tidak berkedip, memandang pada sesosok tubuh wanita yang tergolek di atas bebatuan. Kepalanya berlumur darah yang sudah membeku. Tubuhnya hanya tertutup secarik kain yang sudah koyak di beberapa bagian. Pengemis Tongkat Hitam segera melompat mendekati mayat itu.
"Biadab...!" geram Pengemis Tongkat Hitam sambil menggemeletukkan giginya. Laki-laki tua itu kemudian bangkit ketika pundaknya disentuh. Dia lalu menoleh pada pemuda tampan yang mengenakan baju dari kulit harimau. Sejenak mereka hanya saling pandang tanpa berkata-kata. Kini sudah lima mayat gadis yang mereka temui di Gunung Panjalukan itu. Mereka tewas dengan keadaan yang benar-benar mengenaskan.
"Dia pasti ada di sekitar tempat ini," kata Pendekar Pulau Neraka yakin.
"Aku tidak akan memberinya ampun Keparat itu harus kubunuh!" geram Pengemis Tongkit Hitam. Amarah laki-laki tua itu benar-benar sudah tidak dapat ditahan lagi. Sering dia berhadapan dengan tokoh-tokoh rimba persilatan golongan hitam, tapi baru kali ini menemukan kebiadaban di luar batas.
Pengemis Tongkat Hitam segera melompat kembali menuju Puncak Gunung Panjalukan itu. Sedangkan Pendekar Pulau Neraka pun langsung mengikuti. Mereka mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tahap sempurna. Di malam yang penuh kabut tersebut, dua tubuh berkelebatan. Mereka kemudian kembali berhenti begitu sampai di puncak gunung. Sesaat mereka mengedarkan pandangan berkeliling. Namun kabut tebal yang menyelimuti seluruh Puncak Gunung Panjalukan, membuat daya pandangan mereka berkurang.
"Kita berpencar Kek," kata Bayu. Setelah agak lama terdiam.
"Baiklah, kau ke arah sana," sahut Pengemis Tongkat Hitam menunjuk ke satu arah.
Dalam keadaan seperti itu, mereka tidak tahu lagi arah Utara dan Selatan. Sepanjang mata memandang, hanya kegelapan dan kabut tebal yang terlihat. Bayu mulai melangkah pelahan-lahan menuju arah yang telah ditunjuk oleh Pengemis Tongkat Hitam. Matanya terbuka lebar dan tajam, berusaha menembus pekatnya kabut. Langkah kakinya ringan, tak menimbulkan suara sedikit pun. Bayu terus melangkah dengan pelahan lahan dan hati-hati. Di tempat itu sepi tetap menyelimuti, hanya tiupan angin saja yang terdengar menderu-deru.
Mendadak mata Pendekar Pulau Neraka itu agak menyipit, ketika menangkap cahaya berkelip di antara kabut dan pepohonan. Sebentar cahaya itu terlihat, dan sebentar kemudian hilang, lalu terlihat lagi, dan hilang lagi. Bayu terus melangkah dengan hati-hati ke arah cahaya yang dilihatnya. Semakin dekat dia ke arah cahaya itu, semakin yakinlah kalau cahaya itu datang dari api unggun. Kembali matanya menyipit. Cahaya api itu ternyata berasal dari dalam sebuah goa yang cukup besar.
Trak!
Bayu mendadak terkejut ketika kakinya tidak sengaja menginjak ranting kering. Pendekar Pulau Neraka itu langsung melesat naik ke pohon di sampingnya. Suara ranting yang patah di dalam kesunyian malam itu, terdengar cukup keras. Sejenak Bayu terhenyak ketika melihat seseorang keluar dari dalam goa itu. Hampir dia tidak bisa mempercayai penglihatannya. Orang yang keluar dari dalam goa itu sama persis dengan dirinya. Bentuk tubuh, wajah, rambut, dan pakaiannya. Kini Bayu seperti tengah memandang dirinya sendiri.
Orang yang baru keluar dari dalam goa itu, segera mengedarkan pandangannya berkeliling. Kepalanya agak mendongak ke atas, lalu mendadak saja tangan kanannya mengibas cepat. Dan sebuah benda berbentuk bintang keperakan meluncur deras ke arah pohon yang dinaiki Bayu.
"Hup!" Dengan cepat Bayu melentingkan tubuhnya ke bawah. Manis sekali kakinya menjejak tanah, sekitar dua tombak jaraknya dari laki-laki tampan, tegap dan berbaju kulit harimau.
Sejenak kedua pemuda tampan yang sama persis itu saling berpandangan. Benar-benar sukar dipercaya. Tak sedikit pun ada perbedaan di antara mereka berdua. Bak pinang terbelah. Bayu terkejut juga ketika melihat pergelangan tangan kembarannya juga menempel cakra perak bersegi enam. Rasanya dia tidak mempercayai penglihatannya sendiri. Dia pandangi orang di depannya itu dari ujung kepala sampai ke ujung kaki.
"Siapa kau? Kenapa kau menyamar jadi diriku," tanya Bayu.
"Seharusnya akulah yang bertanya demikian'" dingin suara orang itu.
"Buka topengmu, keparat!"
"Bukankah kau sendiri yang memakai topeng?"
"Jawab pertanyaanku! Siapa kau sebenarnya?"
"Aku Pendekar Pulau Neraka!"
"Edan!"
"Kau yang gila' Siapa kau sebenarnya?"
"Aku Pendekar Pulau Neraka!"
Tragis! Dua orang laki-laki kembar itu sama-sama mengaku Pendekar Pulau Neraka. Sulit dibedakan, mana yang asli, dan mana yang palsu. Mereka begitu sama persis. Suaranya juga sama, tidak ada perbedaan sedikit pun. Pada saat itu datanglah Pengemis Tongkat Hitam. Laki-laki tua berpakaian compang-camping itu langsung terkejut. Pengemis Tongkat Hitam segera memandangi dua orang kembar itu secara bergantian. Kepalanya jadi berputar tujuh keliling. Sementara kedua Pendekar Pulau Neraka tersebut juga memandang ke arah Pengemis Tongkat Hitam yang tengah kebingungan.
"Kakek Pengemis..."
"Kakek Pengemis...."
Secara bersamaan kedua Pendekar Pulau Neraka itu memanggil Pengemis Tongkat Hitam. Tentu saja hal itu membuat Pengemis Tongkat Hitam semakin bertambah kebingungan, karena suara kedua pendekar itu tidak berbeda sama sekali.
"Kakek Pengemis, tunjukkan siapa di antara kami Pendekar Pulau Neraka yang asli," kata salah seorang pendekar itu.
"Benar, kau harus tunjukkan siapa yang asli," sambung satunya lagi.
Pengemis Tongkat Hitam tidak bisa langsung menentukan. Meskipun dia sudah memandangi dengan teliti, namun sukar untuk menentukan siapa yang asli dan yang palsu. Pengemis Tongkat Hitam kemudian menoleh ke arah goa, ketika telinganya mendengar suara rintihan lirih.
"Murti...," desis Pengemis Tongkat Hitam dengan kening berkerut dalam. Lalu tanpa menghiraukan tatapan kedua pendekar itu, Pengemis Tongkat Hitam melesat masuk ke dalam goa. Tidak seorang pun dari kedua Pendekar Pulau Neraka itu yang berusaha mencegah. Sedangkan Pengemis Tongkat Hitam langsung tersentak begitu melihat Murti menggeletak tak berdaya, dengan tubuh hanya tertutup oleh selembar kain.
Pengemis Tongkat Hitam segera menghampiri, dan memeriksa tubuh gadis itu. Kemudian jari-jari tangannya bergerak lincah membuka totokan jalan darah di tubuh gadis itu. Murti bergegas bangkit dan membenahi kainnya. Dia langsung menangis dipelukan laki-laki tua itu.
Sementara Pengemis Tongkat Hitam tidak mampu untuk berbuat apa-apa. Dia membiarkan saja gadis itu menumpahkan air matanya di dalam pelukannya. Setelah beberapa saat Murti menguras air mata nya, pelahan-laha dia melepaskan pelukannya, dan beranjak berdiri. Wajahnya langsung berubah tegang, dan berlari keluar goa.
"Kubunuh kau, keparat...!" teriak Murti melengking.
"Murti...!" Pengemis Tongkat Hitam bergegas melompat dan menghadang Murti yang sudah mencapai luar goa. Seketika Murti terperangah, begitu melihat ada dua Pendekar Pulau Neraka. Wajah tegangnya berubah jadi keraguan dan keheranan. Sedangkan Pengemis Tongkat Hitam berdiri di samping gadis itu. Sementara dua Pendekar Pulau Neraka menatap Murti tidak ber kedip.
"Murti, siapa yang membawamu ke sini?" tanya Pengemis tongkat Hitam.
Murti tidak bisa langsung menjawab. Dia terus memandangi dua orang yang sama persis secara bergantian. Hatinya jadi diliputi oleh keraguan dan keheranan. Tidak mungkin dia asal tunjuk saja. Tampak Murti hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Tidak..," desis Murti pelan. Gadis itu lalu memandang Pengemis Tongkat Hitam dan dengan cepat dia merampas pisau yang selalu terselip di pinggang laki-laki tua itu. Sambil menjerit histeris, mendadak Murti menghunjamkan pisau itu ke dadanya sendiri.
"Murti..."' Pengemis Tongkat Hiiam terperanjat.
Kedua Pendekar Pulau Neraka itu pun terkejut. Namun mereka tetap diam tidak bergerak. Sementara Pengemis Tongkat Hitam langsung menubruk tubuh gadis itu. Kemudian dia segera mencabut pisau yang terbenam dalam di dada Murti. Darah langsung muncrat begitu pisau tercabut. Dengan cepat Pengemis Tongkat Hitam menotok jalan darah disekitar luka pada tubuh gadis itu. Darah pun langsung berhenti mengalir.
"Murti, kenapa kau lakukan hal ini?" pelan suara Pengemis Tongkat Hitam.
"Dia telah membunuh orang tuaku, dan hampir memperkosaku. Tidak ada gunanya lagi aku hidup...," pelan dan lirih suara Murti.
"Siapa?" desak Pengemis Tongkat Hitam.
"Pendekar Pulau Neraka...." Belum lagi Pengemis Tongkat Hitam bertanya lebih lanjut, Murti sudah keburu pingsan. Laki-laki tua itu kemudian meletakkan tubuh gadis itu, dan bangkit berdiri. Matanya kembali memandangi kedua Pendekar Pulau Neraka itu.
"Biadab! Kau harus bertanggung jawab, keparat!" geram salah seorang Pendekar Pulau Neraka.
"Kau yang harus bertanggung jawab!" balas yang satunya lagi.
"Untuk apa kau lakukan semua itu? Kenapa kau memfitnahku? Jawab!"
"Kau seharusnya yang menjawab, bukan aku!"
"Setan! Kau benar benar binatang!"
"Mampus kau! Hiyaaa...!"
Salah seorang Pendekar Pulau Neraka langsung melompat menerjang Sedangkan Pendekar Pulau Neraka lainnya segera mengegoskan tubuhnya ke samping menyambar ke arah iga. Namun berhasil dielakkan oleh yang satunya. Sementara Pengemis Tongkat Hitam kini benar-benar sudah kebingungan.
Kedua pendekar itu bertarung dengan mempergunakan jurus-jurus yang sama persis. Mereka tampaknya juga sama-sama tangguh, dan sudah menguasai betul akan jurus-jurusnya. Pertarungan terus berjalan cepat. Masing masing mengerahkan serangan yang dahsyat dan mematikan. Namun sampai sejauh ini, belum ada yang berhasil menyarangkan pukulan atau tendangan mautnya.
Kini pertarungan itu sudah mencapai lebih dari dua puluh jurus. Sementara itu tempat di sekitar pertarungan tersebut, sudah porak-poranda bagai dilanda gempa. Kabut pun mulai menyingkir, karena setiap pukulan yang mereka lepaskan menimbulkan sapuan angin yang keras dan dahsyat, di samping mengeluarkan haea panas yang luar biasa.
Dari tadi Pengemis Tongkat Hitam hanya bisa menyaksikan dengan kepala pening. Dalam keadaan seperti itu, ia semakin sulit untuk membedakan satu sama lainnya. Setiap pergantian jurus, selalu bersamaan waktunya. Mereka seperti memiliki kontak batin yang sangat kuat.
"Hhh..., kalau begini terus, dua-duanya bisa mati," desah Pengemis Tongkat Hitam. Ada niat di hatinya untuk memisahkan kedua orang yang sedang bertarung itu. Namun dia benar-benar bingung, karena pertarungan dua Pendekar Pulau Neraka itu berjalan semakin sengit dan dahsyat.
Pada saat itu, mendadak muncul Pendekar Pedang Emas dan Malaikat Bayangan Hijau. Mereka langsung mendekati Pengemis Tongkat Hitam. Sementara pertarungan terus berjalan cepat, sehingga yang terlihat hanya dua bayangan berkelebatan saling sambar.
"Siapa yang bertarung?" tanya Pendekar Pedang Emas.
"Pendekar Pulau Neraka," sahut Pengemis Tongkat Hitam tanpa mengalihkan perhatiannya.
"Dengan siapa?" tanya Pendekar Pedang Emas lagi.
"Pendekar Pulau Neraka."
Seketika Pendekar Pedang Emas tersentak kaget. Jawaban laki-laki tua itu dirasakan sangat aneh, dan seperti bermain-main. Namun belum juga Pendekar Pedang Emas membuka suara lagi, mendadak pertarungan berhenti. Tampak Pendekar Pedang Emas dan Malaikat Bayangan Hijau terperangah!
Hampir mereka tidak bisa mempercayai penglihatannya. Dua orang Pendekar Pulau Neraka berdiri berhadapan dengan mata saling tatap tajam. Secara bersamaan, mereka membuat gerakan tubuh yang serupa. Lalu dengan berteriak lantang, mereka kembali melompat ke depan dengan kedua tangan terbuka menjulur ke depan.
"Hiyaaa...!"
"Hiyaaa...!"



--««¦ [ DELAPAN ] ¦»»--

Satu ledakan keras terdengar memekakkan telinga, ketika dua pasang telapak tangan berbenturan, di udara. Kedua Pendekar Pulau Neraka itu langsung terpental kebelakang, dan jatuh bergulingan di tanah. Namun mereka segera bangkit kembali tampak dari lubang hidung dan sudut bibir mereka mengeluarkan darah.
Kedua Pendekar Pulau Neraka itu kembali saling mengeluarkan jurus-jurus simpanannya. Sungguh sulit dipercaya, seperti ada yang memberi komando saja, mereka melakukan gerakan yang sama persis, lalu kembali melenting sambil berteriak nyaring. Kembali terdengar suara ledakan keras menggelegar, bersamaan dengan berbenturannya tangan mereka. Dan untuk kedua kalinya, mereka terlontar ke belakang dengan keras!
Namun kali ini ada sedikit perbedaan. Satu dari Pendekar Pulau Neraka itu tidak sampai jatuh terguling, dan berhasil menjejakkan kakinya di tanah. Sedangkan satunya lagi bergulingan beberapa kali di tanah sebelum bisa bangkit
"Ugh!" Pendekar yang bergulingan di tanah itu, memuntahkan darah kental kehitaman. Tangan kanannya tampak menekap dada, namun sorot matanya tetap tajam pada lawannya. Mendadak saja paras wajahnya berubah, ketika melihat lawannya melepaskan senjata Cakra Maut keperakan, dari pergelangan tangan kanannya.
"Cabut cakra palsumu itu, bajingan!" kata Pendekar Pulau Neraka yang sudah melepaskan senjatanya.
Dan tanpa menghiraukan sentakan itu, Pendekar Pulau Neraka satunya lagi segera mengibaskan tangan kanannya dengan cepat. Seketika benda-benda kecil berbentuk bintang perak, bertebaran meluruk ke arah lawannya.
"Yaaaat..!" Pendekar Pulau Neraka itu langsung berlompatan menangkis serangan, dengan senjata cakra di dalam genggaman salah satu ujungnya.
Tring! Trang!
Bintang-bintang perak itu tidak satu pun yang mengenai sasaran. Dan begitu kakinya turun ke tanah, dia menempelkan kembali senjatanya ke pergelangan tangan kanannya. Tepat pada saat itu, Pendekar Pulau Neraka satunya kembali melontarkan bintang-bintang peraknya.
Tring!
Cepat sekali tangan kanan Pendekar Pulau Neraka itu bergerak menangkis serbuan senjata bintang perak, dan kakinya bergerak cepat menghindari bintang-bintang perak yang tidak tertangkis. Sesaat, ketika serbuan bintang perak itu berhenti, secepat kilat tangan kanannya mengibas ke depan dengan tubuh agak membungkuk ke samping.
Slap!
Seketika Cakra Maut bersegi enam keperakan di pergelangan tangan kanan, melesat cepat bagai kilat. Suaranya mendesing. Pendekar Pulau Neraka yang tadi melontarkan bintang-bintang perak itu langsung terperangah, namun dengan cepat dia berkelit menghindarinya. Sayang bahu kirinya sempat tergores juga.
"Akh!"
Senjata cakra itu berbalik dengan cepat, dan segera menyerang kembali. Pendekar Pulau Neraka itu langsung berjumpalitan! Sedangkan pemiliknya mengendalikan dari jarak tidak begitu jauh. Tangan kanannya terus bergerak gerak mengatur jalannya Cakra Maut itu.
"Akh!" Kembali terdengar pekikan tertahan. Tampak tubuh Pendekar Pulau Neraka itu limbung, ketika senjata itu berhasil menembus perutnya. Pada saat itu, Cakra Maut kembali melesat, dan menempel ke pergelangan tangan pemiliknya. Dan tanpa membuang waktu sedikit pun, dia segera melompat sambil mengibaskan tangan kanannya.
Cras!
"Aaa...!" Seketika terdengar jeritan melengking tinggi. Belum lagi hilang suara jeritan itu, mendadak tubuh Pendekar Pulau Neraka yang tertancap cakra pada dadanya, melambung tinggi ke udara, lalu jatuh dengan keras ke tanah!
Sedangkan Pendekar Pulau Neraka satunya lagi langsung memburu, dan menekan lututnya ke dada lawannya yang terluka itu. Sejenak dia mencabut cakra dari dada, dan menempelkannya kembali ke pergelangan tangannya.
"Siapa kau sebenarnya?"
"Heh! Tak ada gunanya kau tahu, aku puas meskipun harus mati di tanganmu," dengusnya mengejek.
"Monyet...!"
Plak!
"Bayu...."
Pendekar Pulau Neraka yang sedang menekan lawannya, langsung menoleh. Tampak Pengemis Tongkat Hitam menghampiri dengan langkah cepat dan lebar. Sementara Pendekar Pedang Emas dan Malaikat Bayangan Hijau mengikuti dari belakang.
"Aku tahu siapa dia," kata Pengemis Tongkat Hitam.
Pendekar Pulau Neraka segera bangkit. Sedangkan Pendekar Pulau Neraka satunya lagi semakin lemah tak berdaya. Pengemis Tongkat Hitam kemudian berlutut, dan tangannya menjulur ke wajah Pendekar Pulau Neraka yang menggeletak tak berdaya. Lalu dengan hati-hati sekali dia menarik kulit wajah itu. Tampaklah di balik wajah Pendekar Pulau Neraka itu, tersembunyi wajah lain. Seorang laki-laki dengan wajah buruk bagai kodok buduk.
Pendekar Pulau Neraka segera mengamati laki-laki yang sudah terbuka kedoknya itu. Sementara Pendekar Pedang Emas dan Malaikat Bayangan Hijau hanya memperhatikan saja, dengan kepala dipenuhi oleh berbagai macam pertanyaan. Pengemis Tongkat Hitam lalu berdiri. Sebentar dia menatap wajah yang sudah pucat, dengan napas kembang kempis tak teratur, kemudian dia menatap pada Bayu, atau Pendekar Pulau Neraka yang asli.
"Dia bernama Bagaspati, putra tunggal Pendeta Pasanta," kata Pengemis Tongkat Hitam.
Bayu kembali memandangi wajah laki-laki yang ternyata bernama Bagaspati. Dia sudah bisa menduga, kenapa laki-laki ini menyamar jadi Pendekar Pulau Neraka. Putra tunggal Pendeta Pasanta itu pasti dendam, karena ayahnya tewas ditangannya. Bayu juga tidak heran lagi, kenapa Bagaspati bisa menguasai jurus-jurusnya dengan baik. Hal itu disebabkan Pendeta Pasanta sempat mencuri kitab peninggalan Eyang Gardika, guru Pendekar Pulau Neraka, dari tangan Branta Ireng, atau si Iblis Hitam.
Bacalah Serial Pendekar Pulau Neraka dalam kisah, Pengantin Dewa Rimba
"Sebenarnya, maksudku datang ke Desa Gampit memang untuk memburu Bagaspati, yang telah membuat banyak kekacauan di daerahku. Juga Pendeta Pasanta, yang selalu melindunginya. Mereka memang ahli dalam hal menyamar, merubah wajah, menirukan suara orang, dan mencuri ilmu. Dan aku tahu, saat dia mempergunakan senjata bintang perak, dia sebenarnya mempergunakan jurus 'Seribu Mutiara Hitam'. Senjata aslinya adalah berupa bola hitam yang beracun sangat mematikan," Pengemis Tongkat Hitam menjelaskan.
"Licik!" desis Bayu geram. Tiba-tiba dengan kemarahan yang memuncak, Bayu langsung mengangkat tubuh Bagaspati. Dan dengan cepat tangan kanannya melayang ke arah leher!
Seketika Bagaspati memekik keras, lalu menggelepar. Bayu pun segera mencampakkan tubuh Bagaspati dengan kasar. Bagaspati masih menggelepar sesaat, lalu diam dan tidak bergerak-gerak lagi. Sementara itu Pengemis Tongkat Hitam, Pendekar Pedang Emas dan Malaikat Bayangan Hijau hanya menarik napas panjang menyaksikan kesadisan Pendekar Pulau Neraka itu.
Saat itu matahari mulai menampakkan cahayanya di ufuk Timur. Kabut yang menyelimuti Puncak Gunung Panjalukan itu, sedikit demi sedikit tersibak. Dan kehangatan sang mentari pagi pun mulai terasa. Bayu kemudian melangkah menghampiri tubuh Murti, yang masih tidak sadarkan diri. Dia lalu mengangkat tubuh gadis itu dan menggendongnya. Kembali langkah kakinya terayun meninggalkan tempat itu. Tapi baru saja dia berjalan sejauh dua tombak, langsung terjatuh. Dan gadis yang dipondongnya itu pun tergulir lepas dari tangannya. Tampak Bayu memuntahkan darah kental kehitaman.
"Bayu...!" Pengemis Tongkat Hitam terkejut.
Laki-laki tua itu bergegas menghampiri. Matanya langsung membeliak begitu melihat pundak Bayu terluka memar merah sebesar kepalan tangan. Buru-buru dia menotok di sekitar luka memar itu.
"Kau terkena 'Pukulan Tapak Berbisa'," kata Pengemis Tongkat Hitam.
"Pengemis Tongkat Hitam, sebaiknya kau segera bawa dia ke Tabib Salaka, hanya dialah yang mampu menyembuhkan "Pukulan Tapak Berbisa'," kata Pendekar Pedang Emas.
"Ugh!" Bayu kembali terbatuk dan memuntahkan darah kental kehitaman.
Maka tanpa menunggu waktu lagi, Pengemis Tongkat Hitam segera memondong tubuh Pendekar Pulau Neraka, dan membawanya pergi dengan cepat. Dalam waktu singkat saja. Bayangan tubuhnya sudah lenyap ditelan kelebatan hutan.
Sementara Pendekar Pedang Emas segera mengangkat tubuh Murti, dan membawanya meninggalkan Puncak Gunung Panjalukan. Sedangkan Malaikat Bayangan Hijau mengikuti disampingnya. Mereka kemudian meninggalkan tempat itu bersamaan dengan semakin naiknya matahari.
"Hendak kau bawa ke mana gadis itu?" tanya Malaikat Bayangan Hijau.
"Ke Desa Galuhung," sahut Pendekar Pedang Emas.
"Biar para penduduk desa yang merawatnya. Untung dia belum sempat jadi korban."
"Sebaiknya kita bawa juga mayat Dewi Ranti," usul Malaikat Bayangan Hijau.
"Ya, cepatlah kau ambil mayatnya." Malaikat Bayangan Hijau segera melompat menuju lereng berbatu.

* * * * *



Saat itu di pondok Tabib Salaka, Pendekar Pulau Neraka tampak terbaring di atas dipan kayu beralaskan tikar daun pandan. Sementara Tabib Salaka tengah berusaha mengeluarkan racun yang mengendap di dalam tubuh Bayu. Sedangkan Pengemis Tongkat Hitam menungguinya tidak jauh dari tempat tidur itu.
"Hhh...!" Tabib Salaka menarik napas panjang seraya bangkit.
"Bagaimana, Ki?" tanya Pengemis Tongkat Hitam cemas.
"Tidak parah, untung belum menyebar. Sebentar lagi juga akan pulih," sahut Ki Salaka.
Pengemis Tongkat Hitam segera menarik napas lega.
"Apakah dia bertarung dengan Pendeta Pasanta?" tanya tabib Salaka.
"Anaknya."
"Hhh! Rupanya Ayah dan anak sama saja."
"Tapi semuanya sudah tewas, Ki."
"Syukurlah. Kalau manusia-manusia seperti mereka dibiarkan hidup, bisa hancur dunia ini "
Tabib Salaka memandang Bayu sejenak, lalu dia menarik tangan Pengemis Tongkat Hitam, dan membawanya ke luar pondok. Sedangkan Pengemis Tongkat Hitam hanya menurut saja. Mereka kemudian berhenti di bawah pohon rindang di depan pondok kecil itu.
"Bukankah dia Pendekar Pulau Neraka, yang telah membuat keonaran di sekitar Kaki Gunung Panjalukan ini?" agak berbisik suara Ki Salaka.
"Benar," sahut Pengemis Tongkat Hitam.
"Kenapa kau bawa dia ke sini?"
"Ceritanya panjang, Ki. Yang jelas, dia Pendekar Pulau Neraka yang asli."
"Maksudmu?"
"Akan kuceritakan semuanya kalau dia sudah sehat."
"Baiklah, kau janji. Aku tidak mau menolong orang jahat seperti Pendekar Pulau Neraka "
"Pendekar Pulau Neraka tidak jahat, Ki. Tindakannya memang tegas, bahkan cenderung kejam. Tapi dia tidak sembarangan bertindak, Ki..."
"Yang namanya penjahat, tetap saja jahat."
Pengemis Tongkat Hitam hanya tersenyum saja. Kemudian dia melangkah kembali ke dalam pondok. Tampak Bayu masih terbaring tidak sadarkan diri. Noda merah pada pundaknya sudah hilang. Kini Pendekar Pulau Neraka itu tinggal menunggu kesehatannya pulih.
"Sayang sekali, kau sudah terlanjur dicap sebagai pendekar kejam, Bayu," desah Pengemis Tongkat Hitam pelan. Entah kenapa, Pengemis Tongkat Hitam tersenyum. Mungkin dia teringat dengan kata-kata Bayu, bahwa dia tidak peduli dengan aliran dalam rimba persilatan. Siapa saja yang menantangnya akan dihadapi! Mungkin hal itu dikarenakan oleh latar belakang kehidupannya.
"Kenapa kau tersenyum, Kakek Pengemis?"
"Oh!" Pengemis Tongkat Hitam terperanjat. Dia terkejut sekali begitu melihat Bayu tahu-tahu sudah duduk.
"Kau belum pulih benar, Bayu. Sebaiknya segera berbaring lagi," kata Ki Salaka, yang sejak tadi memperhatikan.
"Terima kasih, aku harus segera melanjutkan perjalanan," sahut Bayu.
"Bayu...." Pengemis Tongkat Hitam mau mencegah.
"Maaf, aku tidak bisa lama-lama berada di sini." Kemudian Bayu segera mengayunkan langkahnya keluar dari pondok itu. Pendekar Pulau Neraka itu terus berjalan, tanpa menoleh sedikit pun.
Sementara Pengemis Tongkat Hitam hanya bisa memandangi saja. Dia sudah bisa memahami wataknya yang keras. Sedangkan Ki Salaka tampak menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia heran, tapi juga kagum dengan daya tahan tubuh Bayu yang luar biasa.
Tak lama kemudian Pengemis Tongkat Hitam juga minta diri. Tapi Ki Salaka mencegahnya. Dia segera mengingatkan janji Pengemis Tongkat Hitam untuk menceritakan tentang Pendekar Pulau Neraka. Laki-laki tua berbaju compang-camping itu pun tak bisa menolak. Dia sudah terlalu banyak menyusahkan tabib itu, dan tidak keberatan untuk menceritakan tentang semuanya. Sementara itu Pendekar Pulau Neraka sudah semakin jauh meninggalkan pondok Tabib Salaka. Dia berjalan ke arah Timur. Sebuah perjalanan panjang yang berliku, dan penuh tantangan!

S E L E S A I

PESANGGRAHAN GOA LARANGAN


INDEX PENDEKAR PULAU NERAKA
Pengantin Dewa Rimba --oo0oo-- Pesanggrahan Goa Larangan
Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.