Life is journey not a destinantion ...

Pendekar Gila

INDEX PENDEKAR NAGA PUTIH
Mustika Naga Hijau --oo0oo-- Misteri Desa Siluman



PANJI
Pendekar Naga Putih
Karya: T. Hidayat
EP : PENDEKAR GILA

Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit


«₪֎ [ 1 ] ֎₪»

MATAHARI semakin bergeser ke ufuk Barat. Angin senja yang membawa udara dingin berhembus keras dan menggugurkan daun-daun kering. Sesekali terdengar suara pepohonan berderak ribut. Sepertinya hembusan angin itu hendak mencabut pepohonan yang akarnya terhunjam di dalam tanah.
Meskipun suasana alam di Puncak Gunung Tambak saat itu cukup mengerikan, namun dua sosok tubuh yang saling berhadapan dalam jarak tiga tombak itu tidak mempedulikannya sama sekali. Mereka tetap tegak, dan saling pandang dengan sorot mata tajam. Melihat dari sikap dan cara mereka bertatapan, jelas keduanya bukanlah dua sahabat. Bahkan keduanya tampak siap untuk saling menyerang.
Sosok pertama bertubuh sedang dan tegap. Sorot matanya terlihat begitu dingin dan kosong. Sedang raut wajahnya yang tampan itu, nampak agak pucat tanpa perasaan. Namun, penampilannya sangat angker dan memancarkan perbawa aneh.
Sementara sosok kedua bertubuh jangkung dan agak bungkuk. Kumis dan jenggotnya berwarna putih keperakan, jelas kalau usianya telah lebih dari enam puluh tahun. Walaupun begitu, sikapnya terkesan lebih angker dari lelaki muda di depannya.
Bahkan, kalau melihat dari raut wajah dan sorot matanya, kakek bungkuk itu mempunyai kelebihan yang tidak dimiliki sosok di hadapannya. Yaitu, kelembutan dan kesabaran yang terpancar dari wajahnya. Dan, bersikap lebih tenang daripada lelaki muda didepannya.
"Anak muda..," ujar kakek bungkuk itu membuka percakapan.
Lelaki muda itu berdiri tenang. Hanya sepasang matanya menatap tajam ke arah lelaki tua itu
"Siapakah kau sebenarnya? Dan, apa tujuanmu datang ke tempatku yang sunyi dan terpencil ini...?" tanyanya sambil meneliti sosok pemuda di depannya dengan kening agak berkerut
"Aku datang hendak mencabut nyawamu...," jawab pemuda tampan berwajah kepucatan itu dengan suara berat dan dalam. Kemudian, kedua kakinya melangkah mendekat. Dan, jarak di antara mereka semakin dekat
"Tunggu...!" seru kakek bungkuk itu mengulurkan tangan kanannya mencegah langkah pemuda tampan itu.
Lelaki muda itu menghentikan langkahnya sejenak, tanpa berkata-kata.
"Sahabat muda, siapakah yang kau cari sebenarnya? Apakah kau yakin tidak salah alamat...?"
"Aku tidak peduli siapa pun kau...!" sahut pemuda tampan berwajah kepucatan itu dengan nada dingin menggetarkan.
Kakek bungkuk itu tersenyum.
"Saat ini yang ada dalam pikiranku, mencabut nyawamu secepatnya," jelas pemuda itu dengan wajah dingin tanpa emosi.
"Hm..., sombong sekali kau, Anak Muda! Apakah kau pikir mencabut nyawaku semudah mencabut rumput di bawah kakimu?" sergah kakek tua yang mengaku berjuluk Dewa Bungkuk.
"Ha ha ha... Sial sekali nasibmu. Dewa Bungkuk. Di masa tuamu ternyata kau tetap tidak bisa terlepas dari kekerasan," tawa pemuda tampan berwajah pucat itu. Ada nada sesal dan kekecewaan dalam ucapan dan tawanya.
Kakek tua bertubuh jangkung dan agak bungkuk itu memang seorang tokoh persilatan golongan atas, yang telah lama mengundurkan diri. Sudah sepuluh tahun lebih, ia bertapa di Puncak Gunung Tamak sambil menanti maut menjemputnya.
Siapa sangka kalau maut yang disongsongnya datang dalam bentuk lain, yakni seorang pemuda, la tahu kalau kepandaian yang dimiliki pemuda berwajah kepucatan itu cukup tinggi dan berbahaya.
Untuk menilai semua itu, Dewa Bungkuk tidak perlu melihat gerak lawan, tapi cukup melihat sorot mata lawan saja, kakek itu sudah dapat mengukur kekuatan lawannya. Satu hal yang tidak dimengerti olehnya. Kedatangan pemuda tampan berwajah pucat itu, yang ingin mencabut nyawanya. Padahal, ia tidak pernah merasa berjumpa dengan pemuda tampan itu sebelumnya. Itulah yang membuatnya penasaran!
"Anak muda, sebutkanlah namamu dan orang tuamu. Mungkin, aku bisa mengetahui persoalan di antara kita," pinta Dewa Bungkuk dengan suara tegas dan berwibawa. Sepertinya kakek itu telah mengerahkan kekuatan batinnya untuk mengorek keterangan dari mulut pemuda tampan berwajah pucat itu. Namun, Dewa Bungkuk tercekat ketika jawaban yang diinginkannya, datang dalam bentuk lain. Pemuda tampan itu melesat seperti kilat dan langsung mengirimkan pukulan maut!
Wuuut.... Darrr...!
"Haiiit..!"
Dewa Bungkuk terkejut bukan main melihat serangan lawannya yang tak terduga. Untunglah ia sempat mengelakkan lontaran pukulan maut lawan, dengan berjumpalitan ke belakang beberapa kali. Sehingga, ia berhasil menyelamatkan diri dari kematian. Kakek itu sempat bergumam ketika melihat kepalan tangan pemuda itu menghantam batu sebesar perut kerbau. Dan batu itu pecah berhamburan menjadi kerikil-kerikil kecil.
"Gila...!" desis Dewa Bungkuk yang segera menyiapkan jurus-jurus andalannya untuk mempertahankan nyawa.
"Haaat...!"
Rupanya Dewa Bungkuk tidak perlu menunggu lama. Begitu serangan pertamanya luput, pemuda tampan berwajah pucat itu kembali melesat dan mengejarnya!
Wuuut! Wuuut!
Angin keras yang berkesiutan berputaran mengiringi serangan maut lawan. Dan, pukulan dahsyat itu selalu ditandai dengan suara mencicit tajam, setiap kali tangannya menyambar.
Sadar kekuatan tenaga dalam lawannya sangat tinggi. Dewa Bungkuk tidak mau bertindak tanggung-tanggung lagi. Begitu serangan lawannya datang, langsung disambutnya dengan jurus-jurus andalan yang dimilikinya dan pernah mengguncangkan dunia persilatan.
Meskipun ilmu itu sudah jarang dilatihnya, namun masih terlihat kedahsyatannya. Bahkan angin pukulan yang ditimbulkan, tidak kalah mengiriskan dengan angin pukulan lawannya. Pertempuran di atas Puncak Gunung Tambak itu semakin mendebarkan!
Puncak Gunung Tambak yang semula tenang dan damai itu, berubah menjadi arena pertarungan maut yang mengerikan. Tempat yang indah itu menjadi porak-poranda akibat angin pukulan mereka. Keduanya memang memiliki pukulan yang dahsyat dan jarang dimiliki tokoh-tokoh persilatan kebanyakan. Tak aneh kalau pertarungan mereka berdua masih terlihat seimbang. Meskipun keduanya berusaha saling menjatuhkan lawan dalam waktu sesingkat-singkatnya.
Dewa Bungkuk semula tidak ingin menggunakan jurus-jurus simpanannya dalam menghadapi pemuda tampan itu. Biar bagaimanapun sebagai tokoh tua, ia merasa segan menurunkan tangan maut kepada lawannya. Apalagi usia lawan yang pantas menjadi cucunya itu, membuatnya merasa malu. Karena la tidak ingin dunia persilatan mendengar ada seorang pemuda tewas akibat ilmu 'Telapak Tangan Mautnya'
Tapi, pendirian Dewa Bungkuk berubah ketika melihat serangan-serangan lawannya makin bertambah ganas dan berbahaya! Bahkan ketika pertarungan memasuki jurus keseratus. Dewa Bungkuk mulai terdesak oleh gempuran-gempuran lawannya yang datang bagaikan badai ombak lautan itu. Beberapa kali kakek itu nyaris nyawanya melayang akibat desakan lawan yang ternyata memiliki kepandaian sangat tinggi itu.
"Haaat..!"
Pada suatu kesempatan, pemuda tampan berwajah pucat itu mengeluarkan pekikan dahsyat dan menggetarkan! Berbarengan dengan itu, tubuh pemuda berwajah pucat itu bergerak aneh dan hampir tak masuk di akal Dewa Bungkuk. Bukan main kagetnya Dewa Bungkuk ketika melihat tubuh lawannya bagai timbul tenggelam itu.
Terkadang tubuh lawannya lenyap begitu saja seperti ditelan bumi. Di lain saat, muncul kembali dalam jarak yang sangat dekat. Sehingga, mau tidak mau kakek itu menjadi kelabakan dibuatnya. Akibatnya...
Buggg...!
"Aaakh..!"
Dewa Bungkuk yang sempat terpaku melihat keanehan ilmu lawannya, tak dapat lagi menghindarkan sebuah pukulan telapak tangan lawan yang menghantam di dada kirinya! Tanpa ampun lagi, tubuh jangkung itu terlempar dua tombak jauhnya! Dan, kakek itu terus bergulingan hingga satu tombak lebih!
"Huaaakh...!"
Segumpal darah kehitaman terlompat dari mulut Dewa Bungkuk. Kakek itu terbatuk-batuk sambil menahan dadanya. Rasa nyeri yang menjalari dadanya tidak dipedulikan lagi, karena saat itu lawannya mengirim kembali serangan yang disertai teriakan parau! Jelas, pemuda tampan itu hendak membuktikan ucapannya.
Meskipun hantaman telapak tangan lawan menyebabkan luka dalam tubuhnya, namun Dewa Bungkuk tidak ingin pukulan lawan untuk kedua kali menghantamnya. Dengan sisa-sisa kekuatan, kakek tua itu melompat dan bergulingan menjauhi tempat itu!
Wuuus.... Blarrr...
Terdengar suara ledakan dahsyat ketika sepasang tangan pemuda tampan itu menghantam tanah, tempat Dewa Bungkuk tergeletak! Dan akibat yang ditimbulkannya benar-benar mengerikan sekali! Tanah tempat Dewa Bungkuk berdiri, berhamburan membuat suasana di sekitar arena pertarungan menjadi gelap seketika! Sebuah lubang sebesar kubangan kerbau tercipta, ketika suasana kembali terang.
"Gila...!" Dewa Bungkuk mendesis takjub ketika melihat akibat hantaman telapak tangan pemuda tampan berwajah pucat itu.
Kenyataan itu membuatnya sadar, kalau kematiannya memang sudah dekat. Dewa Bungkuk semakin menyadari kedahsyatan ilmu dan tenaga sakti lawannya, la pun kembali mempersiapkan ilmu-ilmunya.
Meskipun belum diketahui penyebab pemuda tampan itu ingin membunuhnya, namun Dewa Bungkuk tidak lagi memperdulikannya. Yang menjadi pikirannya hanyalah, bagaimana cara menundukkan pemuda tampan berwajah pucat itu.
Setelah bertarung lebih dari seratus jurus, kakek itu sadar karena ia harus menggunakan 'Ilmu Telapak Tangan Maut'nya, yang selama pertarungan disimpannya. Dengan diiringi hembusan angin keras. Dewa Bungkuk merendahkan tubuhnya dengan posisi setengah berjongkok.
Sepasang tangannya dengan telapak terbuka, berputaran di kiri-kanan. Hawa panas pun mulai menyebar di sekitar arena pertarungan itu. Inilah "Ilmu Telapak Tangan Maut' yang telah mengangkat namanya di gelanggang persilatan puluhan tahun itu.
Sementara pemuda tampan berwajah pucat itu, yang menjadi lawannya berdiri tegak dengan tatapan sinis. Jelas, kalau ia sama sekali tidak terpengaruh, dan merasa terkejut dengan ilmu andalan lawannya. Wajahnya tetap dingin dan tanpa perasaan Bahkan, kilatan sorot matanya tampak semakin tajam dan mengerikan.
"Hmh..." Sambil memperdengarkan geraman lirih, pemuda tampan berwajah pucat itu menggeser kaki kanannya dengan gerakan menyilang. Kemudian tubuhnya merendah dalam posisi kuda-kuda harimau yang siap menerkam mangsanya. Tangan kanan dan kirinya yang selalu berubah-ubah bentuk itu, terlihat bergetar. Dan, semua itu membayangkan kekuatan dahsyat yang tersimpan didalamnya!
Dewa Bungkuk yang berpengalaman dalam bertarung, lebih banyak bergerak ke kiri-kanan dengan langkah-langkah pendek, dan kokoh. Sejauh itu, ia sama sekali tidak memperlihatkan tanda-tanda penyerangan.
Karena kakek itu sadar kalau membuka serangan lebih dahulu, akan membuka pertahanan dirinya. Pikiran itulah yang membuat Pertapa Gunung Tambak itu tidak mendahului menyerang lawannya.
Lain halnya dengan apa yang dilakukan lawannya. Gerak-gerik Dewa Bungkuk yang melangkah ke kiri-kanan itu, sama sekali tidak dipedulikannya. Dengan diiringi sebuah raungan panjang yang menggetarkan, tubuh pemuda tampan berwajah pucat itu, melesat cepat dan menerjang lawannya!
"Heaaa...!"
Suara mencicit tajam terdengar saling bersusulan menyertai setiap sambaran tangan pemuda tampan itu. Jari-jari tangannya yang terkadang mengepal dan membuka secara tak terduga itu, bergerak cepat bagai tangan-tangan maut yang turun dari langit. Sehingga, Dewa Bungkuk sendiri sempat kerepotan dibuatnya! 
Namun, sebagai seorang tokoh tua yang banyak mengalami pertempuran-pertempuran maut, Dewa Bungkuk tetap bersikap tenang. Sambil bergerak menghindar, sesekali telapak tangannya terlontar membawa hawa panas dan menyengat permukaan kulit la masih bisa bertahan dari gempuran-gempuran dahsyat lawannya.
Sayang, Dewa Bungkuk yang semula dapat bernapas lega karena lawan terlihat agak gentar dengan 'Ilmu Telapak Tangan Maut'nya kembali harus menelan kenyataan pahit. Lawannya seperti tidak merasakan hawa panas yang keluar dari kedua telapak tangannya. Sehingga, ilmu andalan yang selama puluhan tahun sangat dibanggakannya itu, tidak berarti sama sekali bagi pemuda berwajah pucat itu.
"Bocah iblisss...!" desis Dewa Bungkuk ketika lawannya semakin mendesaknya dengan serangan-serangan dahsyat dan mengiriskan!
"Haaat...!"
Kenyataan itu membuat Dewa Bungkuk marah. Dengan sebuah teriakan keras, tubuhnya melesat menyambut terjangan maut lawannya!
Bettt! Wuuut!
Sepasang telapak tangan yang menebarkan hawa panas itu, bergerak cepat dengan tamparan keras, menuju pelipis dan dada lawannya!
Melihat serangan Dewa Bungkuk, pemuda berwajah pucat itu sama sekali tidak menghindar. Sepasang tangannya yang saat itu meluncur deras mengancam kepala Dewa Bungkuk, tetap dilanjutkan. Sedangkan serangan kakek itu sama sekali tidak dipedulikannya.
Dewa Bungkuk yang berniat melanjutkan serangannya, sempat terkejut melihat kenekatan lawannya. Sadar kalau pemuda tampan berwajah pucat itu hendak mengadu nyawa, kakek itu pun bergegas merubah serangannya. Sepasang tangan yang semula meluncur ke tubuh lawan itu, bergerak memutar menyerupai sebuah tangkisan, guna mematahkan serangan maut lawannya.
Untuk kesekian kalinya, Dewa Bungkuk kembali dibuat kaget lawannya. Sepasang tangan yang semula akan meremukkan kepalanya, tiba-tiba bergerak aneh, dan berputar dengan kecepatan mengiriskan. Sehingga, wajah kakek itu pucat seperti kapas!
"Ahhh...!"
Teriakan ngeri yang tertahan, meluncur dari mulut Dewa Bungkuk. Dan, sepasang cakar lawan telah kembali meluncur dari kiri-kanan kepalanya. Serangan itu jelas dimaksudkan untuk mematahkan batang lehernya. Dan....
Kraghhh...!
"Ekhhh...!"
Terdengar suara gemeretak bunyi tulang yang patah! Sepasang mata Dewa Bungkuk seperti akan terlompat keluar, ketika sepasang cakar lawannya mencengkeram dari dua arah. Dan, darah segar pun mengalir dari luka-luka akibat cengkeraman jari-jari tangan yang keras bagaikan baja itu.
"Heaaah!"
Sambil mengeluarkan bentakan keras, pemuda tampan berwajah pucat itu menghempaskan tubuh Dewa Bungkuk ke atas tanah. Tak ayal lagi rubuh kakek itu jatuh terguling-guling
Seperti belum merasa puas dengan apa yang dilakukannya, pemuda berwajah pucat itu kembali melompat, dan menyambar tubuh Dewa Bungkuk. Diangkatnya tubuh yang tengah sekarat itu di atas kepala. Lalu, diputarnya bagaikan baling-baling. Dan, dibarengi sebuah lengkingan panjang, tubuh Dewa Bungkuk dilemparkan ke arah sebuah batu besar.
Terdengar suara benturan keras ketika tubuh Dewa Bungkuk menghantam batu itu. Dan. darah segar memercik ke segala arah. Tubuhnya berkelojotan sejenak, lalu tak bergerak lagi. Dewa Bungkuk tewas di tangan pemuda tampan berwajah pucat itu, yang tidak dikenalnya.
Setelah memastikan kalau Dewa Bungkuk benar-benar tewas, pemuda berwajah dingin tanpa perasaan itu, sejenak berdiri termangu. Perlahan kakinya melangkah dan meninggalkan Puncak Gunung Tambak yang masih diselimuti kabut.
"Ha ha ha.... Mulai hari ini, semua tokoh-tokoh persilatan yang pernah memperebutkan Pusaka Gua Ular, akan menemui kematiannya yang menyedihkan"
Terdengar suara parau dan berat mengiringi langkah kaki pemuda berwajah pucat itu. Aneh! Orang berusia muda, tapi memiliki suara serak dan parau seperti seorang kakek tua renta.

* * * * *



«₪֎ [ 2 ] ֎₪»

SOSOK pemuda tampan itu melangkah ringan memasuki sebuah kedai makan di Desa Ampenan. Sepasang matanya yang tajam merayapi ruang dalam kedai itu secara sepintas. Dengan sikap tenang dan angker, pemuda berwajah pucat itu, menyeret sebuah kursi, dan langsung duduk tanpa mempedulikan lagi keadaan disekelilingnya.
Dengan sikap acuh, pemuda itu mengulapkan tangannya ke arah seorang pelayan. Lalu, ia memesan makanan dan segelas tuak. Sepeninggal pelayan itu, ia kembali duduk tenang dengan tatapan lurus ke depan. Pemuda tampan berwajah pucat itu, baru menoleh ketika makanan yang dipesannya datang Tapi, baru saja hidangan itu hendak dinikmatinya, tiba-tiba terdengar jeritan seorang wanita yang berteriak-teriak ketakutan.
Kening pemuda itu terlihat berkerut tak senang. Sekali bergerak tubuhnya telah berdiri tegak di luar pintu kedai. Terdengar suara geraman lirih yang keluar dari kerongkongan pemuda tampan itu Dari sorot sinar matanya yang berkilat, jelas ia merasa marah dengan pemandangan yang disaksikannya itu.
Beberapa langkah di depan pemuda tampan itu, terlihat seorang gadis desa yang mengenakan kain sebatas dada, tengah diseret paksa oleh dua orang lelaki bertubuh tegap. Tak seorang pun di antara penduduk desa itu bergerak menolongnya. Mereka hanya berdiri menonton tanpa berani berbuat apa-apa.
Tentu saja kenyataan itu membuat hati pemuda berwajah pucat itu semakin geram. Namun, sebelum tubuhnya bergerak, tiba-tiba terdengar sebuah bentakan nyaring yang menggetarkan. Kemudian disusul sekelebat sosok bayangan merah. Dan, langsung berdiri tegak menghadang jalan kedua orang lelaki kasar yang menyeret gadis desa itu.
"Lepaskan gadis yang tak berdaya itu. Kerbau Gundul...!" bentak seorang gadis cantik dengan nada mengancam. Tubuhnya yang ramping itu, berdiri tegak dengan kedua tangan diletakkan di pinggang. Sikapnya terlihat gagah dan menarik sekali. Sehingga, beberapa lelaki muda penduduk desa itu sempat berdecak kagum.
Dua orang lelaki kasar yang memang berkepala botak itu, tentu saja menjadi marah sekali. Apalagi hinaan itu dilontarkan di hadapan orang banyak. Karuan saja wajah keduanya menjadi merah, dan sepasang mata mereka terbelalak marah.
"Kasihan, rupanya kedua kerbau gundul itu ternyata tuli!" ejek gadis berpakaian merah menyala itu.
Kedua lelaki itu semakin marah. Sepasang matanya menatap tajam.
"Sekali lagi kuperingatkan! Lepaskan wanita itu, atau aku terpaksa menghukum kalian, Kerbau Gundul Tuli!" tegas gadis cantik bertubuh ramping itu.
Kedua orang lelaki gundul yang semula belum mempercayai pendengarannya, menggereng murka. Salah seorang di antaranya melangkah maju dengan wajah merah padam. Sedangkan seorang lagi, tetap mencekal lengan gadis desa yang tengah menangis itu.
"Siapa kau, Nisanak? Berani kau mencampuri urusan kami! Tahukah kau, wanita itu kami minta secara baik-baik dari orang tuanya?" ujar lelaki yang tengah marah besar itu.
Gadis cantik itu berdiri tenang dan tak berkata sepatah pun.
"Jadi, tidak ada alasan bagimu untuk menghalangi atau pun menghukum kami. Sebaiknya kau menyingkirlah, sebelum aku berubah pikiran!" ancam lelaki gundul yang wajahnya dipenuhi cambang bauk itu.
Mendengar keterangan lelaki gundul bercambang bauk itu, sejenak gadis berpakaian merah itu tertegun bimbang. Dengan wajah bingung, ia mengalihkan tatapannya ke arah gadis desa yang berada dalam cengkeraman lelaki gundul berwajah kehitaman itu.
"Nyai..., benarkah apa yang dikatakan kerbau gundul yang menjijikkan ini? Kalau memang benar, mengapa kau menangis...?" tanya gadis berpakaian merah darah itu meminta keterangan.
"Mereka adalah tukang pukul rumah judi di desa ini. Ayahku mempunyai hutang dan tidak dapat melunasinya. Lalu, majikan rumah itu datang menagih hutang kepada ayah. Ketika melihatku, mereka secara paksa untuk meminta dijadikan jaminan. Menurut kedua orang itu, hutang ayah akan lunas bila aku mau bekerja di rumah majikan mereka..."
Gadis cantik berbaju merah itu tertegun. Sedangkan kedua lelaki berkepala botak itu menatap sinis ke arah gadis desa yang matanya basah.
"Aku tidak mau..., tapi kedua orang itu menyeret ku secara paksa...," jawab gadis desa itu dengan wajah bersimbah air mata. Dari sorot matanya, jelas la sangat mengharapkan bantuan gadis cantik berpakaian merah darah itu.
"Hm..., mengapa kau tidak bersedia? Apakah kau tidak mau meringankan beban ayahmu? Berapa lama kau akan bekerja di rumah majikan kedua kerbau gundul itu...?" tanya gadis berpakaian merah itu, sambil melepaskan senyum ejekan kepada kedua orang tukang pukul rumah judi yang berkepala gundul itu.
"Hei, Kuntilanak! Jaga mulutmu! Atau kau memang sengaja mau mencari perkara...?" bentak lelaki gundul bercambang bauk yang tersinggung dengan perkataan 'kerbau gundul', yang berkali-kali diucapkan gadis cantik itu. Terdengar suara bergemeretak ketika lelaki itu mengepal tangannya kuat-kuat. Sepertinya dengan berbuat demikian, ia ingin menakut-nakuti gadis berpakaian merah darah itu.
"Diam kau. Kerbau Gundul! Siapa yang menyuruhmu bicara?" Hebat sekali gadis berpakaian merah itu. Gertakan lelaki gundul itu sama sekali tidak membuatnya gentar. Bahkan, dengan beraninya ia memaki dan membentak lelaki gundul itu.
Karuan saja wajah lelaki itu semakin gelap.
"Nisanak. Rupanya kau memang ingin mencari keributan! Sejak tadi aku selalu mengalah, meski kau telah menghinaku di depan orang banyak. Tapi, kali ini kau sudah benar-benar keterlaluan! Jangan salahkan kami, bila kami bertindak kasar terhadapmu!" geram lelaki gundul bercambang bauk itu sambil menggertakkan giginya keras-keras.
"Hm..., kalau kau memang memiliki keberanian, mengapa tidak langsung menyerang saja. Untuk apa kau banyak bacot dan hanya membuat mulutmu pegal saja. Ayo, majulah, kalau kau memang ingin merasakan halusnya telapak tanganku," tantang gadis berpakaian merah darah itu tanpa rasa gentar sedikit pun.
Jelas, gadis itu bukan orang sembarangan. Gadis mana yang berani menantang tukang pukul rumah judi itu, kalau tidak memiliki kepandaian.
"Perempuan setan! Lidahmu tajam sekali! Hmh..., kau memang harus diajar adat, agar lebih mengenal siapa Galiwa dan Galinta...," desis lelaki bercambang bauk yang mengaku bernama Galiwa itu. Kemudian, tubuhnya langsung melompat dengan diiringi cengkeraman kedua tangannya yang berbentuk cakar.
Wuuut! Wuuut!
"Aiiih..., sayang luput...," ejek gadis berpakaian merah darah itu, seusai menggeser dua kali langkahnya ke belakang Dan, cengkeraman lelaki gundul bercambang bauk itu luput dan hanya mengenai angin kosong.
Namun, Galiwa tidak mau terpancing dengan segala ejekan gadis cantik itu. Ia bergegas membangun serangannya dengan sambaran-sambaran cakarnya yang jauh lebih berbahaya. Sayang, serangan-serangan Galiwa yang gencar, tak satu pun mampu menyentuh tubuh gadis cantik itu.
Karuan saja lelaki bercambang bauk itu semakin menjadi-jadi kemarahannya. Bahkan, sekujur tubuhnya gemetar karena hawa marah yang seolah-olah akan meledakkan dadanya.
Gadis cantik berpakaian merah darah itu, memang cerdik dan tajam sekali lidahnya. Walaupun diserang habis-habisan oleh Galiwa, namun sepasang matanya yang lincah itu sempat menyambar sosok pemuda tampan yang tengah berdiri di depan pintu kedai. Bagaikan mendapat pikiran yang baik, bibir gadis cantik nampak tersenyum manis.
"Haiiit...!"
Gadis cantik itu tiba-tiba mengeluarkan teriakan nyaring. Saat itu juga, tubuhnya melesat dengan sebuah lompatan tinggi melampaui kepala lawannya. Gerakan itu segera dibarengi dengan sebuah tendangan keras yang telak menghantam bagian belakang tubuh Galiwa.
Bukkk!
"Hukhhh...!"
Karuan saja tubuh lelaki kekar bercambang bauk itu terjerunuk ke depan. Seperti telah diperhitungkan gadis cantik itu, tubuh Galiwa tepat menabrak sosok pemuda tampan yang tengah berdiri di depan pintu kedai. Tubuh Galiwa yang meluncur dengan kepala lebih dahulu itu, sempat membuat pemuda berwajah pucat itu berkerut keningnya.
Cepat ia mengulur tangan kanannya, dan menahan kepala botak yang hendak menghantam tubuhnya itu. Sehingga, tubuh Galiwa tidak sampai terjatuh karena tertahan telapak tangan pemuda tampan itu.
Perbuatan pemuda berwajah pucat itu telah menyelamatkannya, tapi Galiwa bertambah murka! Dengan kemarahan yang semakin menggelegak, lelaki gundul bercambang bauk itu segera melepaskan tangan pemuda itu dari kepalanya. Secepat kilat tubuhnya berbalik, dan langsung mengirim serangan dengan disertai makian kalang kabut
"Mampus kau, Keparat! Hinaan ini hanya bisa kau tebus dengan nyawamu!" maki Galiwa yang rupanya tidak senang dengan cara pemuda itu menolongnya. Tapi, lagi-lagi Galiwa harus menelan kenyataan pahit. Serangan-serangannya dengan mudah dielakkan pemuda tampan berwajah pucat itu.
"Setaaan...! lblisss...!"
Sambil tak hentinya melontarkan makian kasar, Galiwa terus merangsek maju dengan kepalan dan tendangannya. Tapi, lelaki kasar itu harus menerima kenyataan kalau pemuda tampan berwajah pucat itu, yang semula dianggapnya sebagai orang yang penyakitan itu. Ternyata memiliki kepandaian yang jauh lebih tinggi dari gadis berbaju merah darah itu. Dan, sepertinya gadis itu memang sengaja ingin mengadu domba antara Galiwa dengan pemuda tampan itu.
Plakkk!
"Aaakh...!"
Serangan-serangan Galiwa yang dilontarkannya dengan penuh kemarahan itu, ternyata malah berakibat buruk terhadap dirinya. Sebuah hantaman telapak tangan pemuda tampan itu telah menyerempet bahu kanannya. Dan, tubuh lelaki tinggi besar itu pun melintir bagaikan gasing yang berputar.
"Hik hik hik.... Nah, kau rasakanlah akibat keteledoranmu itu, Galiwa! Rupanya hari ini nasibmu sedang sial. Sebaiknya kau minggatlah, sebelum kesialan itu berkelanjutan," terdengar suara ejekan yang datangnya dari gadis cantik berpakaian merah darah itu.
Galinta lelaki gundul bermuka kehitaman yang saat itu masih mencekal lengan gadis desa, menjadi murka. Ketika melihat kawannya menjadi bulan-bulanan lawan, la terpaksa melepaskan tawanannya. Sekali melompat, ia langsung mengirim serangan susul-menyusul ke arah gadis berpakaian merah yang tidak jauh berada didekatnya.
"Hiaaah...!"
Wuuut! Wuuut!
Namun, gadis berpakaian merah darah itu ternyata memiliki pendengaran cukup tajam. Meskipun serangan Galinta datang dari sebelah belakangnya, gadis itu cepat melangkah dua tindak ke depan. Kemudian, sambil memutar tubuhnya, ia langsung menendang pelipis lawannya.
Bettt!
Untunglah Galinta cukup waspada. Tendangan gadis berpakaian merah darah itu sempat dielakkannya dengan merendahkan tubuhnya, dan berputaran dengan menggunakan tenaga pinggang. Tapi sayang Galinta masih kalah perhitungan terhadap lawannya.
Sebab, begitu tendangannya luput, gadis cantik itu segera menarik pulang tendangannya dengan menekuk lutut. Kemudian, kaki ramping itu kembali melontarkan tendangan ujung sepatunya yang mengancam perut Galinta. Hingga....
Buggg!
"Ekhhh. !"
Tendangan ujung sepatu gadis berpakaian merah darah itu, telak mencium perut Galinta. Lelaki gundul berwajah kehitaman itu terjungkal ke belakang! Darah segar mengalir dari sudut bibirnya yang tebal dan hitam. Galiwa yang melihat keadaan kawannya, cepat berlari memapah tubuh Galinta.
Sejenak keduanya saling bertatapan seolah ingin meminta pendapat satu sama lain. Kemudian, Galiwa dan Galinta sama-sama melepaskan pedang ke arah gadis berpakaian merah darah, dan pemuda tampan berwajah pucat yang masih berdiri di depan pintu kedai.
'Tunggulah! Kalian akan bayar mahal akibat perbuatan ini!" ancam Galiwa yang rupanya sadar kalau kedua orang itu bukanlah lawan mereka. Seusai berkata, kedua lelaki gundul itu membalikkan tubuhnya dan segera meninggalkan tempat itu tanpa banyak cakap lagi.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Kisanak...," ucap gadis berpakaian merah darah itu ketika menghampiri pemuda tampan berwajah pucat itu. Meski mulutnya mengucapkan demikian, namun ia menyembunyikan nada mengejek dalam ucapannya itu.
"Mengapa harus berterima kasih kepadaku? Bukankah kau sendiri yang sengaja melemparkan orang itu kepadaku? Hm..., pandai sekali kau memancing orang untuk terlibat dengan persoalanmu, Nisanak," sahut pemuda tampan berwajah pucat itu.
Pemuda itu segera melangkahkan kakinya meninggalkan kedai makan. Tentu saja setelah la membayar terlebih dahulu makanan dan minuman yang baru sedikit dicicipinya. Namun, langkahnya terhenti ketika terdengar suara lambat di sisi kirinya.
"Wah, kau rupanya marah, ya? Aneh orang semuda kau memiliki sifat seperti seorang kakek-kakek. Kalau kau memang tidak suka, mengapa kemarahan mu tidak kau tumpahkan kepadaku? Bukankah kau bilang aku yang menjadi penyebab semua ini," ujar gadis cantik berpakaian merah darah itu yang merasa tidak senang mendengar jawaban ketus dari pemuda tampan itu.
"Nisanak, aku tidak menyalahkanmu sama sekali. Hanya saja aku harap kau lebih berhati-hati melibatkan diri pada sebuah persoalan yang belum kau ketahui kebenarannya," sahut pemuda tampan berwajah pucat itu yang terpaksa menyahut karena gadis cantik itu menjajari langkahnya.
"Terima kasih atas nasihatmu, Kek. Aku berjanji lain kali akan lebih berhati-hati dalam menolong orang. Mmm.... kalau boleh ku tahu, siapakah nama besar Kakek yang mulia...," balas gadis cantik berpakaian merah darah itu dengan lagak dibuat-buat
"Baiklah, namaku Wirya Saka. Dan, aku adalah petualang yang tidak mempunyai tempat tinggal. Nah, apakah kau sudah puas?" ujar pemuda tampan berwajah pucat itu yang terpaksa memperkenalkan dirinya.
"Hm..., Wirya Saka. Sebuah nama yang gagah dan cocok dengan orangnya," puji gadis cantik itu tanpa rasa canggung sedikit pun.
Pemuda tampan itu pun menjadi risih. Meskipun wajah pucat itu tampak terhias senyum tipis. Namun, ia sadar telah terpengaruh oleh kepintaran gadis itu dalam berbicara. Menyadari kalau tidak diladeni gadis itu akan terus menghujaninya dengan berbagai pertanyaan konyol. pemuda tampan itu terpaksa membalikkan tubuh. Ditatapinya wajah cantik yang tengah memamerkan senyum manisnya itu.
"Mengapa kau memandangi ku seperti itu? Apakah kau ingin mengenalku, Kakek...?" kembali suara merdu gadis cantik itu membuat si pemuda tampan berwajah pucat gelagapan.
"Tidak salah apa yang dikatakan Galiwa tadi. Kau memang memiliki lidah yang tajam, Nisanak." Pemuda tampan berwajah pucat itu hanya diam, dan memandang wajah gadis yang berdiri di hadapannya.
"Namaku Winarti. Dan, aku seorang petualang yang tidak mempunyai tempat tinggal tetap. Apakah kau juga sudah merasa puas...?" balas gadis cantik berpakaian merah darah itu seperti tidak mau kalah.
"Nah, bolehkah aku pergi sekarang...?" tanya Wirya Saka yang mulai tertarik hatinya dengan sikap terbuka dan kocak dari gadis cantik bernama Winarti itu.
"Tidak. Kau tidak boleh pergi, sebelum menyelesaikan urusanmu di Desa Ampenan ini," jawab gadis berpakaian merah darah itu, yang segera membalikkan tubuhnya meninggalkan Wirya Saka.
Tanpa mempedulikan kebingungan pemuda tampan itu, Winarti melenggang menghampiri gadis desa yang telah diselamatkannya itu.
"Nyai, jauhkah rumahmu dari tempat ini...?" tanya Winarti kepada gadis desa itu.
"Rumahku tidak begitu jauh dari tempat ini. Terima kasih atas pertolonganmu, Nisanak yang gagah," ucap gadis desa itu penuh haru.
Winarti memandangi wajah gadis desa itu, yang basah oleh air mata.
"Aku khawatir mereka akan datang lagi dan mengambilku. Apa yang harus kulakukan apabila orang-orang rumah judi itu datang dan menyiksa orang tuaku?" isak gadis desa itu yang rupanya masih merasa cemas dengan keselamatan ayahnya.
"Hm..., kau kembalilah ke rumahmu. Tak usah cemas dengan mereka. Aku bersama pemuda itu akan mengobrak-abrik tempat mereka. Dengan begitu, desa ini tidak akan mengalami kejadian seperti yang baru dialami keluargamu. Nah, kau pulanglah..."
Setelah berkata demikian, Winarti membalikkan tubuhnya dan melangkah menghampiri Wirya Saka yang menatap bingung, la benar-benar tidak mengerti apa yang diinginkan gadis cantik itu terhadap dirinya.
"Ayo, kita obrak-abrik rumah judi keparat itu...," ajak Winarti yang segera menarik tangan Wirya Saka.
Sementara Wirya Saka menurut saja tanpa membantah, la benar-benar seperti kerbau yang dicocok hidungnya. Keinginan gadis cantik itu diturutinya tanpa mempedulikan perasaannya.

* * * * *




"Itu dia, mereka...!"
Seruan itu keluar dari mulut seorang lelaki gundul bertubuh kekar dengan wajah dipenuhi cambang bauk. Sambil berseru, tangannya menunjuk ke arah sosok pemuda tampan berwajah pucat dan gadis cantik berpakaian merah darah. Lelaki gundul itu tak lain Galiwa, yang telah dipecundangi Wirya Saka dan Winarti.
Sedangkan sosok pemuda tampan berwajah pucat dan gadis cantik berpakaian merah darah itu memang benar Wirya Saka dan Winarti. Mereka berdua melangkah maju tanpa merasa gentar sedikit pun. Malah Winarti semakin mempercepat langkahnya mendekati Galiwa dan kawan-kawannya.
"Hik hik hik.... Kerbau Gundul, mengapa kau hanya membawa empat orang? Lalu, mana di antara mereka yang menjadi majikanmu?" tegur Winarti langsung melontarkan pertanyaan tanpa merasa takut me-ihat Galiwa dan kawan-kawannya itu.
Galiwa yang memang dendam terhadap Winarti, segera mencabut sebilah golok besar. Namun, langkahnya terhenti ketika salah seorang dari kawannya yang berpakaian serba hitam mencegahnya.
"Sabarlah, Galiwa. Biar aku yang memberi pelajaran kepada gadis binal itu," ujar lelaki berseragam hitam yang wajahnya terhias kumis tebal dan lebat. Kemudian lelaki itu segera melangkah maju beberapa tindak ke depan.
"Kaukah majikan rumah judi yang menjerat penduduk Desa Ampenan, agar menyerahkan anak gadisnya untuk kau jadikan gundikmu?" tanya Winarti sambil menuding wajah lelaki berkumis lebat itu.
"Kau keliru, Nisanak. Majikan kami tidak pantas berhadapan dengan gadis binal sepertimu. Tapi, kalau kau bersedia menjadi istri mudanya, aku jamin kehidupanmu pasti menjadi lebih baik," sahut lelaki berkumis lebat itu dengan nada lembut. Namun ucapan itu membuat wajah Winarti merah padam. Karena kata-kata lelaki itu jelas mengandung niat kotor dan menghinanya.
Tapi ucapan itu tidak berhasil memancing kemarahan Winarti. Gadis cantik itu terlalu cerdik untuk dipancing kemarahannya. Malah senyumnya semakin lebar dan manis, meski dadanya terlihat turun naik seperti tengah menahan emosi yang siap meledak.
"Apakah kau mendengar ucapan kucing dapur itu, Kakang Wirya?? tanya Winarti ketika berbalik dan menatap Wirya Saka.
"Ya, aku mendengarnya...," sahut Wirya Saka yang telah terpengaruh oleh gadis cantik itu. la pun mau saja dijadikan pelindung oleh Winarti.
Winarti bukan tanpa perhitungan mengajak pemuda tampan berwajah pucat yang baru dikenalnya itu. Karena ia tahu kepandaian Wirya Saka hanya dengan melihat sorot mata pemuda tampan berwajah pucat itu. Gurunya, Ki Galari sering menceritakan kepadanya tentang tokoh-tokoh sakti dunia persilatan yang memiliki tatapan mata tajam, dan menimbulkan rasa gentar di hati lawannya.
Winarti yang melihat Wirya Saka, segera menduga kalau pemuda tampan itu pasti memiliki kepandaian yang tinggi. Paling tidak lebih tinggi dari kepandaiannya sendiri.
Tapi, bukan sorot mata itu yang membuat Winarti mau bersahabat dan membawa Wirya Saka untuk membasmi rumah judi, yang menurutnya telah menyengsarakan penduduk Desa Ampenan. Melainkan, sikap bingung dan wajah pucat pemuda tampan itulah yang membuatnya merasa tertarik, dan ingin mengenalnya lebih jauh.
Semenjak kecil memang Winarti telah yatim piatu dan hanya diasuh oleh gurunya di tempat sunyi. Tak mengherankan bila melihat Wirya Saka, Winarti seperti menemukan teman yang menurutnya dapat membimbingnya dalam mengarungi kehidupan di dalam dunia persilatan.
Meskipun baru sekali bertemu, ia telah melihat kejujuran dari wajah dan sinar mata pemuda itu. Hal itu pula yang membuatnya tidak ragu-ragu mengajak Wirya Saka mendatangi rumah judi yang ingin dihancurkannya.
Wirya Saka sendiri, bukan tanpa alasan mengikuti ajakan gadis cantik berpakaian merah darah itu. Hanya saja ia merasa aneh karena mau menuruti kemauan Winarti. Meskipun dalam hatinya, ada perasaan hangat ketika gadis itu tanpa canggung menggenggam tangannya, dan membawanya untuk menghancurkan rumah judi.
Tapi, pemuda itu sama sekali tidak mengerti mengapa la tidak mempunyai keinginan membantah. Satu hal yang membuatnya tidak membantah, karena ia merasa ada dorongan ingin berdekatan dengan Winarti. Perasaan itu muncul begitu saja ketika Winarti membimbing tangannya. Hal itu pulalah yang membuatnya menuruti ajakan gadis cantik itu.

* * * * *



«₪֎ [ 3 ] ֎₪»

"KALAU begitu, apa lagi yang kau tunggu, Kakang? Jelas ucapan kucing dapur itu bernada kotor dan kurang ajar, apa kau senang aku dihina seperti itu?" ujar Winarti sambil membanting-banting kaki kanannya dengan wajah cemberut.
Mendengar ucapan itu, Wirya Saka bengong seperti orang tolol. Meski hari kecilnya tidak menerima hinaan lelaki berkumis tebal itu, namun Wirya Saka tidak bergerak sama sekali. Pemuda itu hanya termangu, seolah ia tengah memikirkan mengapa ia harus berada di tempat itu. Kesadarannya baru pulih setelah mendengar ucapan Winarti yang meminta perlindungannya.
"Lalu..., aku harus bagaimana, Winarti...?" tanya Wirya Saka dengan wajah ketololan. Sepertinya pikiran Wirya Saka tidak bekerja, la bingung menghadapi persoalan yang memang belum dimengerti sepenuhnya.
"Aduh, kau ini bagaimana sih? Jelas kucing dapur itu harus diajar adat, biar dia tidak berani lancang menghinaku," sahut Winarti yang hampir memekik karena kesal melihat sikap pemuda tampan berwajah pucat itu. Tapi, karena hatinya tengah dilanda kemarahan, la tidak memperhatikan tingkah Wirya Saka yang nampak aneh.
"He he he.... Rupanya kau hendak mengandalkan pemuda tolol berpenyakitan itu untuk menghadapiku? Sayang kau salah pilih mengambil pelindung mu, Gadis Liar. Lebih baik kau suruh kawanmu itu pulang dan menetek pada ibunya," lelaki gagah berkumis tebal itu tertawa mengejek ketika melihat Winarti yang tengah membujuk pemuda berwajah pucat itu untuk membelanya. Dan, tawanya semakin keras ketika melihat pemuda tampan berwajah pucat itu menunjukkan sikap yang ketololan menggelikan.
Sedangkan Wirya Saka sendiri sudah melangkah mendekati enam orang tukang pukul rumah judi itu. Wajahnya yang pucat, semakin bertambah angker karena sorot matanya tampak begitu dingin den mengerikan. Menilik dari sikapnya, jelas pemuda itu telah siap bertempur.
Winarti sendiri yang memang merasa penasaran ingin melihat tingkat kepandaian sahabat barunya itu, wajahnya menjadi berseri-seri semenjak pertama kali Ia melihat Wirya Saka di depan pintu kedai makan, Winarti memang sudah menduga kalau Wirya Saka bukanlah pemuda sembarangan.
Dan, ia sengaja melemparkan tubuh Galiwa untuk memancing pemuda itu menunjukkan kepandaiannya. Sayang, ia sempat kecewa karena Wirya Saka sama sekali tidak menunjukkan ilmu silatnya ketika menghadapi Galiwa. Winarti tidak merasa puas melihatnya.
"Hm…, kali ini aku pasti berhasil memancing kepandaian pemuda yang seperti itu. Menilik dari sikap dan cara Galiwa berbicara kepada lelaki berkumis tebal itu, jelas kalau lelaki berpakaian hitam yang mirip kucing dapur itu memiliki kepandaian yang lebih tinggi daripada kedua kerbau gundul tadi.
Dan, mau tidak mau Kakang Wirya Saka pasti akan mengeluarkan ilmunya untuk menghadapi orang itu...," gumam Winarti yang segera melangkah mundur beberapa tindak. Gadis cantik itu memang sengaja mengadu domba Wirya Saka dengan lelaki berkumis tebal itu.
"Hm..., Anak Muda. Sebaiknya kau pulanglah. Jangan mau diperbudak gadis binal itu. Di antara kita tidak ada permusuhan pribadi. Jadi, tidak ada alasan bagi kita untuk bertarung," ujar lelaki berkumis tebal itu yang merasa gentar melihat perbawa yang terpancar dari sosok pemuda tampan berwajah pucat itu.
"Dengan melontarkan hinaan terhadap Winarti, cukup alasan bagiku untuk menghukum mu...," sambut Wirya Saka dengan suara dingin dan datar. Apa yang diucapkannya seolah-olah hanya hafal saja. Meski nada ucapannya mengancam, namun wajah pucatnya tetap tidak memperlihatkan perasaan apapun.
"Sudahlah, Ki Badarata, tunggu apa lagi? Hajar saja pemuda penyakitan itu. Biarlah gadis binal yang sok pahlawan itu kami yang membereskannya," terdengar salah seorang dari tiga kawannya berkata dengan nada sombong.
Sedangkan Galiwa dan Galinta hanya memandang keempat kawannya sambil mengangguk-anggukkan kepala. Sepertinya kedua orang lelaki gundul itu yakin kalau keempat kawannya akan dapat menundukkan lawan-lawannya.
Lelaki bertubuh gemuk yang mengenakan rompi putih itu, melangkah menghampiri Winarti yang tengah duduk di bawah pohon. Mulutnya masih mengumbar ucapan takabur. Lelaki gemuk berwajah hitam totol itu sangat yakin bisa menangkap Winarti.
Namun, Winarati tidak gentar sama sekali. Meski la menghadapi tiga orang lawan, senyumnya tetap menghias wajah. Sepertinya gadis cantik yang sikapnya ugal-ugalan itu memang tidak pernah mengenal arti takut. Kalaupun la menyuruh Wirya Saka untuk menghadapi lelaki berkumis tebal yang telah melontarkan hinaan kepadanya, bukan berarti ia takut menghadapinya.
Tapi, ia memang sengaja hendak menguji kepandaian dan pembelaan Wirya Saka terhadapnya. Dan, rencananya ternyata berjalan mulus. Karena Wirya Saka telah terbujuk dan mau menuruti permintaan wanita cantik itu.
Dengan gerakan yang gesit dan ringan, Winarti melesat bangkit dari duduknya. Tubuhnya yang ramping dan terbungkus pakaian merah darah itu berjumpalitan beberapa kali, sebelum menjejakkan kedua kakinya di tempat yang cukup lapang. Wanita cantik yang cerdik itu telah siap menghadapi Ketiga orang lawannya. 
"Hati-hati, Ki Banggala. Gadis binal itu memiliki kepandaian yang tidak rendah," bisik Galinta memperingatkan lelaki gemuk berompi putih itu. Karena Ia sendiri telah merasakan kehebatan Winarti. Tidak heran kalau Galinta memberikan peringatan kepada lelaki gemuk yang dipanggil dengan nama Ki Banggala itu.
Mendengar peringatan Galinta, Ki Banggala mendengus. Melihat perubahan paras wajahnya, jelas lelaki gemuk itu merasa tersinggung dengan ucapan kawannya.
"Heaaah...!"
Dibarengi dengan sebuah bentakan nyaring, tubuh Ki Banggala melenting dan berjumpalitan tiga kali di udara. Dan, langsung melontarkan serangan- serangan maut kearah Winarti yang memang telah siap menyambutnya. Sebentar saja, keduanya telah terlibat dalam pertarungan sengit!
Galiwa dan Galinta pun tidak ingin membuang-buang waktu lagi. Saat itu juga, keduanya langsung melompat memasuki kancah pertempuran. Begitu tiba, mereka langsung mencecar Winarti yang saat itu tengah mendesak Ki Banggala. Masuknya kedua orang lelaki gundul itu, membuatnya terpaksa melompat mundur sejauh satu setengah tombak.
"Hik hik hik.... Kerbau-kerbau gundul kelaparan, rupanya kalian masih ingin merasakan kerasnya kepalan ku? Bagus! Kalau begitu, aku akan memberikan kalian masing-masing hadiah yang tidak akan kalian lupakan seumur hidup...," ejek Winarti yang segera mencabut senjatanya yang selama ini tergantung di pinggang kirinya.
Singngng!
Terdengar suara berdesing ketika pedang yang berkilat tertimpa cahaya matahari itu terpisah dari sarungnya. Kemudian, berputar di depan tubuh gadis cantik itu dengan suara mendengung tajam. Melihat lawan sudah mengeluarkan senjata tanpa ragu-ragu lagi Galiwa dan Galinta bergegas mencabut senjata-senjatanya. Hanya Ki Banggala yang tidak menggunakan senjata, la merasa terlalu pagi untuk mengeluarkan senjatanya hanya untuk menghadapi seorang gadis yang pantas menjadi anaknya itu.
"Haiiit..!"
Dengan diiringi sebuah seruan nyaring dan panjang, Winarti melesat sambil memutar senjatanya. Sehingga menimbulkan suara berdesingan tajam. Dengan gerakan yang Indah dan cepat, pedang di tangannya berkelebatan mencari sasaran!
Ki Banggala, Galinta dan Galiwa tidak tinggal diam. Ketiga tukang pukul rumah judi itu segera berpencar, dan menerjang lawannya dari tiga penjuru. Winarti terpaksa mengerahkan semua kemampuannya untuk menghadapi serangan ketiga orang musuhnya. Mereka tampak melakukan serangan dengan kerjasama yang baik sekali. Tak terhindarkan lagi. Pertarungan berjalan semakin seru dan sengit!
Di tempat lain, Wirya Saka sudah menunjukkan kebolehannya dalam menghadapi tiga orang lawannya. Pemuda tampan berwajah pucat itu, bergerak cepat seperti bayangan hantu, yang terkadang lenyap di antara kilatan cahaya senjata lawannya. Dan secara tiba-tiba, muncul di hadapan salah seorang musuhnya, sambil melontarkan sebuah serangan tak terduga!
Ki Badarata dan dua orang kawannya benar-benar terkejut ketika mengetahui tingkat kepandaian pemuda tampan itu. Orang yang dikiranya penyakitan itu, ternyata mampu bergerak cepat. Sehingga, mereka sering kehilangan lawannya dan tiba-tiba muncul di hadapan mereka. Kenyataan itu tentu saja membuat mereka menjadi gentar dan ngeri. Karena mereka seperti tengah berhadapan dengan bayangan hantu, dan bukan manusia biasa.
"Gila! Pemuda itu turunan iblisss...!" umpat Ki Badarata yang senantiasa kehilangan sosok lawannya. Karena pedang yang semula membabat perut lawan, tapi hanya menyabet angin kosong. Sedangkan lawannya lenyap entah kemana.
"Aaah...!" Bagai disengat kalajengking, Ki Badarata terlonjak ketika merasakan sentuhan lembut pada tengkuknya. Tanpa berpikir panjang lagi, Lelaki berkumis lebat itu langsung menyabetkan senjatanya ke arah sumber sentuhan itu.
"Setan keparat...!" lagi-lagi Ki Badarata mengumpat dengan teriakan keras. Karena senjatanya tidak mengenai sasaran! Sepasang mata lelaki gagah yang selama hidupnya tidak pernah mengenal kata takut itu, berdiri bulu tengkuknya. Karena ia tidak dapat mengenali musuhnya. Jangankan sosok lawannya, bayangan pemuda itu saja tidak sempat dilihatnya.
Sehingga, Ki Badarata sendiri meragukan ada orang yang menyentuh tengkuknya. Belum lagi rasa ngeri di hatinya lenyap, tiba-tiba terdengar jeritan susul-menyusul yang datang dari sebelah belakangnya. Hampir copot jantung lelaki gagah itu ketika menyaksikan tubuh dua orang kawannya tengah meluncur deras kearahnya!
Tanpa pikir panjang lagi, Ki Badarata langsung saja melemparkan tubuhnya ke belakang, dan terus berjumpalitan dan bersalto di udara. Tubuhnya baru meluncur turun ketika merasa telah cukup jauh dari tempatnya semula. Dengan sepasang mata membelalak lebar, Ki Badarata mengedarkan pandangannya ke sekeliling.
Kendati tempat itu telah dijelajahi kedua matanya, namun sosok pemuda tampan berwajah pucat itu, yang menjadi lawannya tetap tidak diketemukan. Ketegangan hati lelaki gagah itu semakin menjadi-jadi. Karena ia tidak tahu dimana lawannya berada.
Dengan langkah perlahan, dan sambil tetap mengerahkan indera pendengarannya, lelaki gagah itu menghampiri tubuh dua orang kawannya yang tergeletak tak bergerak lagi. Ketegangan di hati Ki Badarata kian menjadi-jadi ketika melihat kedua kawannya tewas dengan leher berlubang. Jelas, kalau mereka terkena tusukan jari tangan yang ampuh, dan mengandung kekuatan hebat.
Karuan saja kenyataan itu membuatnya semakin merasa ngeri. Ki Badarata yang tengah diliputi perasaan ngeri dan tegang Itu, tiba-tiba melompat ke depan ketika mendengar suara langkah kaki menghampirinya. Pedang di tangannya berkelebat cepat, membentuk gulungan sinar yang membentangi tubuhnya.
"Ajalmu sudah tiba, Orang Tua...," terdengar suara dingin dan datar keluar dari mulut Wirya Saka. Wajahnya pucat, dingin dan tanpa perasaan.
"Iblisss...!" desis Ki Badarata yang menjadi gemetar sekujur tubuhnya ketika melihat sinar mata sedingin es dari pemuda tampan itu. Tanpa sadar, lelaki setengah baya itu melangkah mundur sambil menyilangkan senjatanya di depan dada.
Meskipun Ki Badarata bertekad melindungi dirinya mati-matian, terap saja ia tidak dapat menangkap sosok pemuda itu. Gerakan yang dipertunjukkan Wirya Saka sangat cepat sekali. Sehingga lelaki gagah itu tidak dapat menangkap gerakan lawannya.
Wuuut! Praaak...!
Terdengar suara berderak keras ketika telapak tangan Wirya Saka menampar hancur batok kepala Ki Badarata! Tidak terdengar keluhan dari mulut lelaki gagah itu. Karena kepalanya hancur sebelum ia sempat berteriak. Tanpa ampun lagi, tubuh tukang pukul rumah judi kelas satu itu, terjungkal disertai perakan darah segar yang bercampur dengan cairan putih.
Kemudian, ambruk di atas tanah. Setelah berkelojotan sesaat, tubuh tanpa kepala itu diam dan tak bergerak lagi. Ki Badarata tewas dalam keadaan sangat mengerikan!
Setelah menewaskan ketiga orang pengeroyoknya, Wirya Saka melirik ke arah pertarungan Winarti. Sinar mara yang biasanya kosong dan dingin itu mengerjap. Sepertinya pemuda itu merasa khawatir akan keselamatan Winarti, gadis cantik yang baru dikenalnya itu.
Meskipun Winarti tidak terlihat terdesak, namun untuk mengalahkan ketiga orang pengeroyoknya itu, bukan suatu pekerjaan yang gampang. Kenyataan itu membuat Wirya Saka tidak bisa berpangku tangan saja.
Dengan diiringi sebuah lengkingan panjang yang tinggi, tubuh pemuda tampan itu melesat bagaikan seekor burung besar. Kecepatan gerak pemuda tampan berwajah pucat itu luar biasa sekali! Hanya kilatan cahaya kebiruan yang terlihat meluncur ke tengah arena pertarungan! Kejadian selanjutnya, benar-benar tidak pernah dibayangkan oleh Winarti.
Suara lengkingan yang nyaring dan menulikan telinga itu, sempat membuat pertarungan terhenti sesaat. Dan, selagi ketiga orang lawannya tertegun dengan wajah pucat, serta-merta tubuh mereka terlempar ke kiri dan seperti terlanggar angin topan.
Buggg! Desss! Prakhhh!
Terdengar teriakan-teriakan ngeri yang susul-menyusul mengiringi robohnya ketiga orang pengeroyok Winarti! Gadis cantik yang urakan dan tidak pernah mengenal kata takut itu, matanya terbelalak dan pucat wajahnya melihat keadaan ketiga orang pengeroyoknya. Ki Banggala terlihat berkelojotan dengan tubuh tanpa kepala!
Karena kepala lelaki gemuk itu telah hancur terkena tamparan dahsyat yang dilontarkan Wirya Saka! Sedangkan dua orang lainnya, menggelepar bagaikan ayam disembelih. Galiwa dan Galinta merintih dengan tubuh bersimbah darah! Bagian dada keduanya tampak melesak ke dalam. Jelas, tulang dada mereka jebol karena dihantam telapak tangan pemuda tampan berwajah pucat itu.
Sedangkan Wirya Saka sendiri, berdiri tegak menatapi mayat ketiga orang itu dengan pandangan hampa. Tidak sedikit pun perubahan pada wajah pemuda tampan itu. Dan hatinya tak bergetar sama sekali ketika melihat mayat ketiga orang tukang pukul rumah judi itu bergeletak.
"Kakang..., apa yang telah kau lakukan...?" Hanya pertanyaan itulah yang keluar dari sepasang bibir mungil Winarti. Karena tidak tahu harus berkata apa. Sedangkan wajahnya masih terlihat pucat.
"Aku... aku tak tahu, Winarti. Aku... hanya merasa geram, dan mereka ku pukul semua. Hanya itu yang kulakukan," sahut Wirya Saka seraya menatap Winarti dengan wajah ketololan. Jelas, ia tidak sadar sama sekali, atau tidak tahu kalau kejadiannya seperti itu.
"Sudahlah. Mungkin kau memang sedang kurang sehat. Lagi pula sudah seharusnya mereka dihukum, meski hukuman ini terlalu mengerikan, dan tidak pernah terlintas dalam benakku," ucap Winarti menghibur.
Wanita cerdik itu mulai dapat menebak apa yang tengah terjadi dalam jiwa sahabat barunya itu. Satu hal yang tidak pernah diduganya. Wirya Saka ternyata dapat bertindak sangat kejam. Meski pemuda itu sendiri tidak begitu menyadari
"Sekarang marilah kita cari rumah judi Juragan Jumali. Manusia busuk itulah yang seharusnya mendapat hukuman seperti ini," ujar Winarti yang segera mengajak Wirya Saka meninggalkan tempat itu.
Wirya Saka yang wajah dan tatapan matanya telah kembali seperti semula dingin dan beku, sama sekali tidak membantah. Pemuda tampan berwajah pucat itu yang sepertinya menyimpan suatu beban berat itu, menurut saja ketika Winarti membimbing lengannya.

* * * * *



«₪֎ [ 4 ] ֎₪»

SOSOK tubuh itu berlari cepat seperti kijang. Sesekali kepalanya menoleh ke belakang. Seolah la merasa khawatir ada yang mengejarnya. Langkah kakinya terhenti ketika ia tiba di sebuah gapura.
"Ada apa, Mirja...? Mengapa kau seperti orang ketakutan?" tanya salah seorang penjaga gapura itu, yang memiliki wajah persegi dengan gigi menjorok keluar.
Lelaki kurus yang dipanggil Mirja itu tidak segera menjawab. Deru napasnya yang memburu dan tak beraturan itu, membuat Mirja sulit menjawab, la hanya menunjuk-nunjuk ke arah belakangnya dengan wajah pucat.
"Apa ada yang ingin kau laporkan kepada Tuan Besar...?" tanya penjaga kedua berkepala setengah botak, la bertanya demikian karena tidak sabar melihat Mirja hanya menunjuk-nunjuk tanpa berkata.
Mirja menganggukkan kepalanya berkali-kali ketika mendengar pertanyaan itu. Dan, tanpa menunggu lebih lama lagi, lelaki kurus itu segera masuk begitu kedua penjaga gapura memberinya jalan. Sepeninggal Mirja, kedua orang penjaga itu saling bertukar pandang dan saling meminta pendapat masing-masing. Wajah keduanya terlihat agak bingung. Karena mereka tidak tahu secara pasti, apa sebenarnya yang mau dikatakan Mirja.
"Hm..., firasatku mengatakan ada sesuatu yang akan terjadi di sini..." tebak penjaga berwajah persegi itu sambil melepaskan pandangannya jauh ke depan. Seolah-olah dengan berbuat demikian, ia dapat mengetahui apa yang telah terjadi dengan Mirja.
"Yahhh..., firasatku pun mengatakan demikian. Sebaiknya kita waspada. Siapa tahu saja dugaan kita tidak meleset...," desah penjaga kedua yang berkepala setengah botak itu dengan suara seperti orang tercetak.
Sikap Mirja yang gagap telah mendatangkan ketegangan di hati kedua penjaga itu. Dan, seperti hendak menenangkan ketegangan harinya, lelaki yang berkepala setengah botak Itu meraba gagang pedang yang tergantung di pinggangnya. Sedangkan temannya yang berwajah persegi sudah siap kemungkinan-kemungkinan untuk membunuh.
Sementara itu, Mirja yang langsung menghadap pemilik rumah yang disebut sebagai 'tuan besar', duduk bersimpuh dengan napas memburu. Lelaki kurus itu bersusah-payah menenangkan perasaannya dengan menarik napas berulang-ulang.
"Ada apa, Mirja? Sepertinya kau baru saja melihat sesuatu yang menakutkan...?" tanya lelaki tinggi besar berpakaian sutera biru. Lelaki yang usianya lebih dari setengah baya itu duduk disebuah kursi bergagang gading. Jelas, kalau ia pemilik rumah besar itu yang bernama Juragan Jumali.
"Anu... anu..., Tuan Besar..., anu...," Mirja masih saja terbata-bata memberikan jawabannya. Sehingga Juragan Jumali mengerutkan keningnya dalam-dalam.
"Katakan saja, ada apa sebenarnya...?" karena tidak sabar melihat sikap yang ditunjukkan pembantunya itu, Juragan Jumali membentak marah. Bahkan, ia bangkit dari kursinya dengan kening yang semakin berkerut.
"Iiii... Ki Badarata. , Ki Banggala dan empat orang tukang pukul Juragan tewas... Hihhh..., mengerikan sekali kematian mereka...," jelas Mirja menunjukkan mimik wajah memancarkan rasa ngeri hatinya.
"Apa? Bagaimana mereka bisa tewas? Siapa yang telah berani mati mengacau rumah judiku? Cepat katakan...?" Juragan Jumali menggebrak meja bulat di samping kanannya. Meja pun pecah berantakan dengan suara berderak keras. Dari sorot matanya yang seperti hendak melompat keluar itu, jelas Juragan Jumali tengah dilanda kemurkaan yang hebat.
"Aku..., aku tidak tahu. Tuan Besar. Mereka..., ada dua orang. Satu laki-laki, dan satunya lagi perempuan. Tapi, yang membunuh tukang-tukang pukul Juragan adalah lelaki muda teman wanita itu. Lelaki muda itu sangat jahat sekali.
Tuan Besar, la dapat membunuh orang hanya dengan sekali pukul. Dan..., kepala Ki Banggala serta Ki Badarata pecah oleh pukulannya...," jawab Mirja yang gemetar ketika melihat kemarahan tuan besarnya itu.
"Bagaimana kau bisa mengetahui semua ini? Apa kau melihatnya dengan mata kepala sendiri?"
"Benar, Tuan Besar. Aku melihatnya sendiri. Saat itu aku bersembunyi di balik semak-semak. Meskipun jaraknya terpisah beberapa tombak, tapi aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Setelah kedua iblis itu pergi, aku baru berani keluar dari tempat persembunyian untuk melapor kepada Tuan Besar," jelas Mirja lagi yang kali ini suaranya terdengar lebih tenang dan jelas.
"Bedebah, Bangsat!" geram Juragan Jumali. Sebenarnya dia sendiri bukan tidak terkejut mendengar keterangan Mina. Karena orang yang dapat membunuh Ki Badarata dan Ki Banggala dengan sekali pukul, sudah pasti tidak bisa dipandang ringan.
Namun, lelaki tinggi besar yang usianya sudah mendekati lima puluh enam tahun itu, tidak mau memperlihatkan rasa terkejut di depan pembantunya yang bernama Mirja itu. Sebisa mungkin ia tetap berusaha bersikap tenang dan wajar. Karena meskipun Juragan Jumali mempekerjakan tukang-tukang pukul, bukan berarti ia tidak mengetahui tentang ilmu silat.
Penilaian itu sama sekali tidak betul. Jauh sebelum Juragan Jumali menetap di Desa Ampenan Itu, ia dikenal seorang tokoh sesat berkepandaian tinggi yang seringkali menebarkan kejahatan di mana-mana. Bahkan dunia persilatan memberikan julukan yang cukup mengerikan buat lelaki tinggi besar itu. Iblis Kalajengking Merah.
Julukan itu diberikan kepada Juragan Jumali karena dalam setiap aksinya, lelaki tinggi besar itu selalu meninggalkan jejak berupa lambang kalajengking merah. Lambang itu selalu ditinggalkannya pada daun pintu atau di mana saja, setelah ia menebarkan bencana. Jejak itu sengaja ditinggalkannya. Karena Juragan Jumali tidak ingin dianggap sebagai orang pengecut yang tidak mau mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Setelah usianya beranjak tua, tokoh sesat yang mengiriskan itu lenyap tanpa berita. Tidak ada seorang pun yang tahu, kalau tokoh sesat yang kejam seperti iblis itu menetap di Desa Ampenan. Semenjak itu, Iblis Kelajengking Merah tidak pernah terlihat keluar dari tempat kediamannya yang megah di desa itu. la membuka usaha rumah-rumah perjudian di sekitar Desa Ampenan. Dari usahanya itulah Juragan Jumali dapat menikmati masa tuanya dengan tenang.
Namun, ketenangan Juragan Jumali tidak bisa dinikmati selamanya. Persoalan yang kali ini datang menimpanya, cukup membuat tokoh sesat itu pusing. Dan, ia tidak dapat menduga siapa kedua orang muda yang telah membunuh orang-orang kepercayaannya itu. Langkah Juragan Jumali terhenti tepat di depan wajah Mirja, yang tidak berani mengangkat kepalanya. Lelaki kurus itu dilanda ketakutan yang hebat, tanpa sadar celananya telah menjadi basah.
"Ke mana perginya keparat-keparat itu, Mirja?" bentak Juragan Jumali dengan suara menggelegar. Kemarahannya yang menggelegak itu semakin menjadi-jadi ketika ia mencium bau tak sedap yang berasal dari celana pembantunya itu
"Mungkin.... Mungkin mereka tengah mengobrak-abrik rumah judi kita. Tuan Besar...," meski terdengar terputus-putus, jawaban itu keluar juga dari mulut Mirja.
"Bangsat! Kalau mereka berani berbuat demikian, akan kucincang hancur tubuh mereka. Dan, akan kuberikan pada anjing hutan potongan tubuh mereka...," geram Juragan Jumali dengan gigi bergemeletukan karena rasa geram yang amat sangat.
"Ayo, ikut aku...!" perintah Juragan Jumali yang segera menyuruh seorang pelayan mengambil senjatanya. Setelah itu, dengan langkah lebar, lelaki tinggi besar itu bergegas meninggalkan tempat kediamannya. Tujuannya adalah rumah judi yang selama ini dikelolanya.

* * * * *




Juragan Jumali baru saja akan melompat ke atas punggung kudanya, terkejut ketika ia mendengar jerit kematian dari halaman depan rumahnya. Dari suara teriakannya, tokoh sesat yang telah lama menjalani hidup tenang itu segera dapat menduga kalau suara itu pasti berasal dari dua orang penjaga gapuranya.
"Setan! Ada apa lagi ini...!" geram Juragan Jumali dengan wajah semakin gelap. Karena belum lagi selesai persoalan yang satu, kini muncul persoalan lain. Tentu hatinya menjadi panas oleh hawa marah.
Mirja yang tengah bersiap menaiki kuda tunggangannya pucat seketika. Di dalam benaknya tergambar kematian Ki Badarata dan Ki Banggala. Rasa cemas dan takut, membuat lelaki kurus itu menduga kalau suara jerit kematian itu pasti disebabkan oleh pembunuh yang dilihatnya di dalam hutan kecil tadi. Teringat peristiwa itu, gemetar sekujur tubuh Mirja.
"Mungkin... kedua pembunuh itu telah sampai ke tempat ini. Tuan Besar...," sahut Mirja yang kembali celananya menjadi basah.
"Keparat! Kalau memang benar mereka telah tiba di sini, itu lebih baik. Biar mereka tahu, Juragan Jumali tidak dapat disamakan dengan juragan-juragan lainnya!" geram Juragan Jumali yang segera melompat turun dari atas kudanya. Sekali berkelebat saja, lelaki tinggi besar itu sudah berada hampir empat tombak dari tempatnya semula, la terus menghilang di balik dinding yang menuju ke pekarangan depan.
"Berhenti...! Siapa kau keparat?" Juragan Jumali mengeluarkan bentakan keras ketika melihat sesosok tubuh tegap berpakaian biru berkelebat akan memasuki bagian tengah rumahnya. Sambil mengeluarkan bentakan, tubuhnya langsung berkelebat menghadang.
Juragan Jumali yang semula siap melontarkan segala kemarahan di hatinya, sejenak tertegun ketika melihat wajah sosok tegap berpakaian biru itu. Tanpa sadar, lelaki tinggi besar yang beberapa waktu lalu pernah menggegerkan dunia persilatan itu, bergerak mundur dengan seringai ngeri di wajahnya.
Apa yang dihadapi Juragan Jumali saat itu, memang benar-benar mengejutkan sekali. Karena, sosok tubuh tegap berpakaian serba biru itu, nampak aneh dan tidak wajar. Raut wajahnya yang tampan, tapi terlihat pucat.
Dengan bilur-bilur berwarna merah darah di bagian keningnya. Sepasang matanya yang dingin dan tajam itu, memancarkan perbawa yang amat kuat Orang seperti Juragan Jumali pun sanggup dibuatnya tergetar. 
"Hm..., kau pasti orang yang telah membunuh Ki Badarata dan Ki Banggala bukan? Sebutkan namamu, sebelum tubuhmu kucincang hancur, dan kujadikan santapan anjing hutan!"
Juragan Jumali yang sudah dapat menguasai perasaannya mengeluarkan bentakan marah. Sementara sepasang matanya yang besar, merayapi sekujur tubuh pemuda itu, kalau-kalau la pernah mengenal atau melihat sebelumnya. Setelah meneliti secara cermat ia tidak mengenal pemuda tampan yang terlihat aneh itu.
Juragan Jumali menggeser langkahnya dua tindak ke kanan. Terdengar gerengan yang keluar dari kerongkongannya. Rupanya kakek itu menjadi gusar karena pertanyaannya tidak mendapat tanggapan sama sekali.
Namun, Juragan Jumali yang semula hendak mengeluarkan bentakan kembali, bergerak mundur empat langkah. Dan, segera ia menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Pemuda tampan itu mengeluarkan suara gerengan lirih yang membuat jantung Juragan Jumali bergetar.
Kenyataan itu membuat pemilik rumah judi Ku sadar kalau yang dihadapinya, bukanlah seorang lawan yang dapat dianggap enteng. Kendati usianya masih muda, sosok tegap Itu memiliki tenaga sakti yang sangat tinggi
Juragan Jumali yang banyak memiliki penga- laman semasa masih berkeliaran di rimba persilatan, tentu saja terkejut merasakan kekuatan tenaga sakti lawannya. Sepanjang pengalamannya, hanya tokoh-tokoh tua yang mampu membuat la tergetar dengan penyerang melalui suara gerengan.
Tapi, pemuda yang pantas menjadi anaknya itu, ternyata mampu membuat dadanya bergetar hanya dengan sebuah gerengan lirih. Juragan Jumali semakin yakin kalau pemuda yang dihadapinya merupakan lawan tangguh
"Apa maumu, Anak Muda...?" tanya Juragan Jumali sambil memutar otaknya guna mencari cara untuk menundukkan lawannya. Sambil berkata demikian, ia melangkah mundur dua tindak ke belakang seraya mengerahkan tenaga dalamnya, dan bersiap siap menghadapi segala kemungkinan.
Diam-diam hati Juragan Jumali merasa terkejut sekali. Meskipun yang menyatroninya seorang pemuda ingusan, namun ia merasa tegang. Seolah ia melihat ada sesuatu yang ditakutinya dalam diri pemuda tampan berwajah pucat itu. Ia mencoba menghibur diri dengan menekannya, lawannya hanya seorang pemuda yang tidak banyak memiliki pengalaman, namun ketegangan dan rasa aneh di dalam hatinya tak juga mau hilang.
"Heaaah...!"
Juragan Jumali yang telah siap menghadapi sebuah pertarungan, masih sempat terkejut oleh suara teriakan yang keluar dari kerongkongan pemuda tampan berwajah pucat itu. Karena suara itu jelas didorong oleh kekuatan dahsyat. Sehingga, suara itu lebih mirip sebuah raung orang yang tengah menderita suatu tekanan berat dalam dirinya, bergetar dan merintih.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Juragan Jumali cepat mengerahkan kekuatannya untuk melawan pengaruh teriakan itu. Wajah lelaki tinggi besar itu terlihat agak merah. Tentu saja tenaga yang dikerahkannya guna melawan pengaruh itu cukup banyak.
"Setan...!"
Juragan Jumali menggeram marah. Saat itu juga kedua tangannya langsung berputaran, dan menimbulkan angin keras yang menderu-deru.
"Heaaat...!"
Dibarengi sebuah teriakan mengguntur, tubuh Juragan Jumali langsung melesat dengan disertai serangan kedua tangannya.
Wuuut! Wuuut!
Tangan-tangan yang besar dan berbulu lebat itu bergerak cepat saling bersusulan. Seolah-olah saling berebutan untuk dapat menyentuh tubuh lawannya. Sambaran angin dingin terdengar berkesiutan. Pertanda tenaga dalam yang terkandung didalamnya sangat tinggi dan mematikan!
Namun, pemuda tampan berpakaian biru yang tidak lain dari Wirya Saka Itu, tidak gentar sama sekali oleh serbuan lawannya. Seperti setan, tubuh pemuda itu mendadak lenyap dari hadapan lawannya Kemudian, langsung melancarkan serangan-serangan ke tubuh Juragan Jumali dengan tidak kalah dahsyat.
Iblis Kalajengking Merah atau Juragan Jumali yang menyamar sebagai seorang juragan itu, ternyata masih dapat bergerak gesit dan membahayakan. Sepertinya lelaki tinggi besar yang pernah menjadi momok di dalam dunia persilatan beberapa waktu lalu, tidak pernah melupakan ilmu silatnya. Gerakannya tetap terlihat luwes, dan tampak sering dilatihnya. Sehingga, pertarungan kedua orang sakti itu semakin seru dan menarik.
"Heaaat..!"
Dengan penuh kemarahan. Juragan Jumali terus berusaha merangsek lawannya dengan serangan-serangan kilat yang mematikan! Kedua tangannya terkadang membentuk cengkeraman, tapi sewaktu-waktu dapat berubah menjadi tusukan dengan jari-jari sekeras baja, dan mampu menghancurkan batu karang sebesar perut kerbau. Dapat dibayangkan, betapa mengerikan serbuan-serbuan yang dilontarkan Iblis Kalajengking Merah itu.
Wirya Saka sendiri tidak terlalu sibuk dengan serangan-serangan lawannya. Gerakannya yang seperti bayangan hantu itu sanggup membuat Juragan Jumali kewalahan dibuatnya. Sebelum serangannya mengenai sasaran, pemuda itu lenyap dari pandangannya. Karuan saja kenyataan itu membuat Juragan Jumali bagaikan kakek-kakek kebakaran jenggot.
"Bedebah kau, Setan Keparat! Awas! Kucincang tubuhmu!" sambil terus berteriak-teriak, Juragan Jumali mengumbar serangannya seperti orang kesetanan. Gerakan pemuda tampan berwajah pucat itu jauh lebih cepat dari gerakannya, membuat Juragan Jumali menjadi kalang-kabut Karena serangannya selalu kandas sebelum mencapai sasaran.
Setelah hampir tujuh puluh jurus bertarung sengit Juragan Jumali terlihat mengendurkan serangan-serangannya. Lontaran pukulan lawan yang sesekali mengancamnya, masih sanggup dielakkan lelaki tinggi besar itu dengan geseran-geseran kakinya.
Namun, serangan-serangannya mulai jarang dilontarkan, kali ini semakin berbahaya. Tenaga lontaran-lontaran pukulan Juragan Jumali terasa berat bagaikan ingin menggetarkan bumi. Tak Jarang pohon-pohon di sekitar tempat pertarungan berderak ribut ketika lelaki tua itu melontarkan pukulannya yang tampak lambat tapi mengandung kekuatan hebat!
Pemuda tampan berwajah pucat itu, mulai bergerak lambat seperti ingin menyesuaikan dengan gerakan-gerakan lawannya. Terkadang tubuhnya melambung ketika lawan melontarkan pukulan yang mengancamnya. Bagaikan selembar kapas yang dihembus angin, tubuh Wirya Saka terdorong ketika angin pukulannya menyambar tubuhnya.
Ketika pertarungan menginjak jurus ke seratus lebih, terdengar Wirya Saka mengeluarkan pekikan tinggi melengking dan mengejutkan! Saat itu juga, tubuhnya langsung melakukan gerakan-gerakan aneh yang mengagetkan Juragan Jumali.
"Aaah...!"
Juragan Jumali mengeluarkan seruan kaget ketika melihat keanehan gerakan lawannya. Karena tubuh lawannya terkadang lenyap dari pandangannya. Dan, di lain saat muncul begitu saja di depannya. Karuan saja gerakan musuhnya membuat Juragan Jumali menjadi kelabakan.
"Langkah Malaikat Maut..?! Kau..., kau dari Gua Ular...?!" terdengar suara bisikan lemah yang keluar dari mulut Juragan Jumali. Wajah orang tua itu pucat seketika. Dari bisikannya, jelas sudah ilmu yang dikerahkan Wirya Saka dikenal dan sangat ditakutinya. Tanpa sadar. Juragan Jumali seperti lupa akan kepandaiannya.
"Haaat..!"
Bagai binatang liar yang terluka, Wirya Saka menerjang lawannya tanpa ampun! Sepasang tangannya yang telah berbentuk cakar itu, langsung meluruk ke arah batok kepala Juragan Jumali yang hanya dapat memandang dengan mata terbelalak dan wajah pucat
"Aaa...!"
Terdengar raung kematian merobek angkasa. Berbareng dengan itu, darah segar bercampur cairan putih kental memercik ke segala arah! Sementara, tubuh Juragan Jumali yang batok kepalanya pecah itu terhuyung limbung. Kemudian tubuh itu digedor Wirya Saka dengan telapak tangan, tampak ia belum puas dengan apa yang dilakukannya.
Berbarengan dengan robohnya tubuh Juragan Jumali, terdengar raungan panjang yang memilukan keluar dari kerongkongan Wirya Saka. Sedangkan kedua tangannya terlihat meremas-remas kepalanya. Jelas, kalau ia sangat tersiksa. Setelah memperdengarkan raung kesakitan, tubuh pemuda tampan yang penuh misteri itu berkelebat lenyap. Lolongan panjang terdengar mengiringi lesatan tubuhnya.

* * * * *



«₪֎ [ 5 ] ֎₪»

SOSOK tubuh jangkung berpakaian serba hitam itu berlari cepat, dan menerobos keremangan hutan. Rambutnya yang panjang, hingga melewati bahu itu, berkibaran tertiup angin. Sesekali langkahnya diperlambat, ketika melewati semak belukar yang menghalangi jalan. Saat itu tongkat hitam di tangannya bergerak ke kiri dan kanan, menyibakkan semak belukar yang menghalanginya.
Tidak lama kemudian, sosok tubuh itu tiba di sebuah daerah perbukitan kecil, yang masih terletak di dalam wilayah hutan itu. Sejenak ia menghentikan larinya dan berdiri termangu. Ditatapinya sebuah tiang batu setinggi bahu yang terpancar kokoh di bawah sebuah pohon.
Sepertinya pohon itu sengaja ditanam untuk melindungi tiang batu. Terdengar helaan napas berat yang keluar dari mulut sosok tubuh jangkung berpakaian hitam itu. Terlihat dari wajahnya, kalau ia tengah dilanda keresahan.
"Hm..., kalau Siluman Hutan Kembang tidak mau memberikan perlindungan kepadaku, terpaksa aku akan menantangnya bertarung. Hanya dialah satu-satunya yang menjadi harapanku untuk bersembunyi. Sedang kawan-kawanku yang lain telah menolak kehadiranku. Gila! Iblis dari Gua Ular itu benar-benar telah menghebohkan dunia persilatan...," desah lelaki jangkung berpakaian hitam itu kembali menghela napas panjang.
Perlahan lelaki jangkung itu mengangkat wajahnya. yang cekung dan tulang-tulang pipi menonjol. Sepasang matanya menyipit menatap lurus ke depan. Sedang tangan kanannya mengelus permukaan tiang batu yang pada bagian depannya terdapat tulisan besar dan kokoh.
"Mudah-mudahan saja Partai Siluman Baju Kembang belum mendengar berita yang menghebohkan itu. Sehingga aku mempunyai harapan untuk dapat bersembunyi diwilayahnya..." usai bergumam, lelaki itu kembali menggejot tubuhnya yang langsung melesat, dan lenyap di balik tikungan jalan.
Tidak lama kemudian, sosok jangkung berpa- kaian serba hitam itu telah tiba di depan pintu gerbang sebuah bangunan besar. Ditatapinya bangunan itu sejenak dari jarak empat tombak. Kemudian. Lelaki jangkung itu segera melangkahkan kakinya menuju pintu gerbang. Belum lagi sosok rubuh jangkung itu sempat mendekat ke arah gerbang, tiba-tiba terdengar suara berdesing nyaring, yang datangnya dari empat penjuru.
"Hm..." Seperti telah diduganya, lelaki jangkung berwajah cekung tidak terkejut sama sekali. Tanpa ingin mengetahui penyebab timbulnya suara berdesingan itu, ia segera memutar tongkat di tangan kanannya dengan membentuk lingkaran.
Wuuuk! Wuuuk!
Terdengar suara angin yang menderu ketika tongkat hitam di tangan lelaki itu, berputaran melindungi tubuh pemiliknya. Dengan suara berkerontangan, dan disusul dengan suara gemerincing senjata-senjata rahasia jatuh ke tanah. Rupanya senjata rahasia itu berbentuk paku, sebesar ibu jari dengan panjang sejengkal. Dan, senjata itu pula yang menimbulkan suara berdesing nyaring.
Kelanjutan senjata-senjata rahasia itu seperti telah diketahui arahnya, sehingga lelaki jangkung itu melambung ke udara dengan disertai putaran tubuhnya. Kemudian tubuh lelaki jangkung itu hinggap di atas ujung kayu pintu gerbang.
Dan pada saat bersamaan, beberapa sosok tubuh berkelebatan ke tempat lelaki jangkung itu semula berada. Dengan tindakan demikian, lelaki jangkung itu memang telah mengetahui serangan sosok-sosok tubuh itu. Sehingga, ia selamat dari serangan lawannya
"He he he..., kalian salah sangka. Siluman Tongkat Beracun tidak mudah untuk dikelabui...," terdengar suara tawa mengejek yang berasal dari atas pintu gerbang Partai Siluman Baju Kembang. Suara itu tentu saja berasal dari sosok tubuh lelaki jangkung yang tengah berdiri angkuh diatas pintu gerbang itu.
"Siluman Tongkat Beracun...!" terdengar enam orang berpakaian kembang-kembang yang warnanya aneh itu, berseru heran dan terkejut.
Jelas, mereka telah mengenal baik siapa lelaki jangkung itu sesungguhnya. Siluman Tongkat Beracun memang dikenal sebagai salah satu gembong dunia hitam, yang selalu melakukan perbuatan jahat dan keji. Belakangan namanya menghilang dan tidak terdengar lagi kabar beritanya. Disebabkan beredarnya berita tentang seorang pembunuh gila. Dan, beberapa orang tokoh yang terbunuh dikenal oleh Siluman Tongkat Beracun.
Setelah menimbang-nimbang, lelaki jangkung itu sadar kalau suatu hari nanti, pembunuh gila itu akan datang mencarinya. Karena semua tokoh persilatan yang terbunuh merupakan kawan baiknya dua puluh tahun yang lalu. (Bagi pembaca yang belum mengenal tokoh Siluman Tongkat Beracun, dapat diketahui lebih jelas pada episode Mustika Naga Hijau)
Kecurigaan Siluman Tongkat Beracun semakin besar, ketika beberapa orang kenalannya yang juga tokoh-tokoh sesat, ternyata tidak berani menerima kehadirannya. Jelas, kawan-kawannya telah menduga kalau ia pasti akan dicari pembunuh gila itu.
Dalam usahanya mencari perlindungan, Siluman Tongkat Beracun tiba di daerah Utara. Di Hutan Kembang, ia mencari salah seorang sahabat lamanya untuk menyembunyikan diri. Itulah sebabnya kenapa Siluman Tongkat Beracun telah berada di wilayah Hutan Kembang.
"Benar, akulah yang datang! Tolong beritahukan Siluman Hutan Kembang kalau sahabat lamanya datang berkunjung...," seru Siluman Tongkat Beracun sambil meluruk turun dari atas pintu gerbang.
"Maafkan kalau kami telah bertindak lancang menyerangmu, Ki. Kalau saja engkau tidak berbaik hari, tentunya kami telah bergeletakan menjadi mayat...," ujar salah seorang dari enam lelaki berpakaian kembang-kembang itu. Tubuhnya yang tinggi kokoh agak membungkuk. Sedangkan kawan-kawannya yang lain segera mengikuti.
"Hm..., kau terlalu merendahkan kepandaianmu sendiri, Kisanak. Sebenarnya aku tidak bersungguh-sungguh, mungkin akulah yang akan menjadi mayat oleh paku-paku kembang kalian yang memang sangat terkenal itu...," sahut Siluman Tongkat Beracun. Meskipun terdengar memuji lawannya, namun dalam nada ucapannya tersirat kesombongan.
"Silakan, Ki...," ucap lelaki tinggi kokoh itu yang sepertinya pemimpin dari keenam orang itu. Setelah berkata demikian, ia membungkukkan tubuhnya sambil mempersilakan Siluman Tongkat Beracun memasuki halaman perguruan. Sedangkan pin- tu gerbang perguruan itu telah terbuka setengah.
Tanpa ragu-ragu lagi, Siluman Tongkat Beracun segera melangkah lebar memasuki halaman perguruan itu. Tawanya terdengar berkepanjangan mengiringi langkah kakinya. Sedangkan enam orang lelaki berpakaian seragam kembang-kembang itu tetap mengiringi di belakangnya.

* * * * *




"Ha ha ha.... Selamat datang, Sahabat. Lama sekali kita tidak berjumpa. Angin apakah yang telah membawamu ke tempatku yang sunyi dan terpencil ini...?" terdengar suara berat yang parau ketika Siluman Tongkat Beracun menaiki undakan anak tangga kedua, yang terdapat di ruangan depan bangunan utama perguruan itu.
Siluman Tongkat Beracun memperdengarkan suara tawanya yang berkepanjangan. Sedangkan langkahnya terus saja terayun menuju ke ruang utama.
"Ha ha ha.... Selamat bertemu, Siluman Hutan Kembang. Kau nampak tidak berubah semenjak kita berjumpa terakhir kali.
Kau masih gagah dan sehat seperti seorang pemuda saja...," puji Siluman Tongkat Beracun yang segera menghempaskan tubuhnya di sebuah kursi yang bergagang gading yang terletak di depan tuan rumah.
"Hm..., tidak perlu menyembunyikan sesuatu dariku, Siluman Tongkat Beracun. Dari raut wajahmu, aku bisa menduga kalau kau tengah menghadapi persoalan yang berat. Kalau boleh ku tahu, apa sebenarnya yang telah membuat hatimu resah...," tanya Siluman Hutan Kembang yang segera melontarkan pertanyaan kepada tamunya.
"Haiii..., kau benar-benar hebat, Sahabatku. Matamu sangat tajam dan otakmu cerdik sekali," puji Siluman Tongkat Beracun.
Sepasang mata Siluman Hutan Kembang merayapi tubuh sahabat lamanya.
"Aku memang tengah menghadapi persoalan berat. Sayangnya, aku tidak bisa menceritakannya kepadamu," ujar Siluman Tongkat Beracun sambil menghela napas berat yang berkepanjangan.
"Mengapa kau tidak menceritakannya kepadaku? Apakah kau sudah tidak mempercayai ku lagi?" Siluman Beracun Kembang melangkah bangkit dari kursinya dengan wajah keruh. Jelas, kalau ia merasa tidak senang mendengar jawaban sahabatnya itu
"Bukan aku tidak percaya kepadamu, Sahabat! Tapi, persoalan yang kini kuhadapi sangat berat sekali. Dan, aku tidak ingin kau sampai ikut terlibat didalamnya," Jawab Siluman Tongkat Beracun yang merasa tidak enak demi mendengar ucapan sahabat lamanya itu
"Apa pun yang kau hadapi, ceritakanlah kepadaku. Demi persahabatan kita, aku berjanji akan membantumu, meskipun dengan taruhan nyawa. Nah, ceritakanlah...," desah Siluman Hutan Kembang lagi sambil menepuk-nepuk bahu sahabatnya.
"Baiklah. Karena kau terlalu mendesak, aku akan menceritakan persoalanku ini...," sambil menghela napas berat. Siluman Tongkat Beracun melangkah perlahan.
"Sekitar dua atau tiga puluh tahun yang lalu, aku pernah mengabdikan diri pada seorang tokoh yang berjuluk Malaikat Gunung Naga. Di sana, aku banyak mengenal orang lain, yang kini menjadi tokoh-tokoh terkenal di kalangan rimba persilatan. Kami semua memang tamak dan serakah..."
Siluman Tongkat Beracun menghentikan ceritanya sejenak. Mata lelaki jangkung itu nampak terpejam seperti ingin mengumpulkan daya ingatannya tentang peristiwa itu Siluman Hutan Kembang diam dan memperhatikan cerita lelaki Jangkung di hadapannya.
"Suatu hari kami merencanakan mencuri sebuah benda keramat yang bernama Mustika Naga Hijau. Karena benda itu merupakan kunci untuk membuka sebuah tempat di Gua Ular. Sedangkan letak gua itu sendiri, hanya ada dalam peta yang selalu membungkus mustika itu."
Siluman Hutan Kembang tetap tidak menunjukkan perasaannya. Lelaki gagah bertubuh gemuk dan berperut gendut itu, hanya memandangi wajah sahabatnya.
"Benda itu berhasil kami dapatkan. Sedangkan Malaikat Gunung Naga dan seluruh keluarganya, kami bantai habis tanpa rasa kasihan sedikit pun."
"Jadi benda itu kau pegang sekarang?" potong Siluman Hutan Kembang.
"Sayang di tengah perjalanan kami saling memperebutkan benda itu. Salah seorang di antara kami yang berjuluk Dewa Kerdil berhasil mendapatkan benda mukjizat itu. Tapi, ia menyembunyikan dirinya bertahun-tahun.
Karena kami semua mencarinya untuk merebut kembali benda itu dari tangannya. Dua tahun yang lalu, aku sempat mendengar kabarnya. Berita itu ternyata didengar pula oleh Sepasang Beruang Iblis. Tentu saja kami saling berlomba untuk merebut benda itu. Baca episode Mustika Naga Hijau)
Siluman Hutan Kembang hanya membisu.
"Belakangan ini, tiba-tiba tersiar kabar seorang pembunuh gila yang datang dari Gua Ular. Semua itu dapat diketahui dari cerita, salah seorang yang berhasil lolos dari amukan pemuda gila itu. la sempat melihat 'Ilmu Langkah Malaikat' yang dipergunakan pemuda itu.
Mereka yang terbunuh adalah orang-orang yang dulu pernah bekerja pada Malaikat Gunung Naga, maka aku pun mendapat firasat kalau pembunuh gila itu pastilah akan mencariku. Beberapa orang temanku di wilayah Barat sana, tidak mau menerimaku."
"Kenapa?" tanya lelaki gemuk dan berperut gendut yang berjuluk Siluman Hutan Kembang itu.
"Mereka takut akibat yang bakal mereka terima. Itulah sebabnya, aku ke tempatmu yang sunyi dan terpencil ini," jelas Siluman Tongkat Beracun mengakhiri ceritanya.
"Aneh. Kenapa kau takut terhadap seorang pembunuh yang hanya seorang pemuda ingusan itu? la memang dapat membunuh tokoh-tokoh lainnya, tapi siapa tahu ia menggunakan jebakan atau cara-cara yang licik. Sehingga, kawan-kawanmu itu dapat dibantainya," Siluman Hutan Kembang mencoba membangkitkan keberanian di hati sahabatnya dengan meremehkan pembunuh gila itu.
"Hhh..., kau tidak tahu. Sahabatku. Pemuda itu memang masih ingusan. Tapi, ia memiliki 'Ilmu Langkah Malaikat'. Sebuah ilmu dahsyat yang tidak mudah dipelajari. Selain itu, orang yang berhadapan dengannya, seolah-olah tengah berhadapan dengan malaikat la sama sekali tidak mengetahui di mana lawan saat itu.
Nah, kau bisa bayangkan, apa yang terjadi kalau kau berhadapan dengannya?" bantah Siluman Tongkat Beracun yang merasa kurang senang, karena sahabatnya telah meremehkan ilmunya.
"Yahhh..., aku memang pernah mendengar nama tokoh sakti yang berjuluk Malaikat Gunung Naga itu. Kepandaiannya memang sangat tinggi. Hanya ada beberapa orang tokoh yang dapat disejajarkan dengan anak muda itu. Ah, sudahlah.
Sebaiknya, kau kuantar ke tempat istirahat Kau boleh tinggal di tempat ini sampai bosan...," ujar Siluman Hutan Kembang sambil mengajak sahabatnya ke kamar yang memang disediakan untuk tamu-tamunya.
Siluman Tongkat Beracun sama sekali tidak berusaha membantah. Lelaki jangkung itu menyeret langkahnya dan mengikuti sahabat lamanya itu.

* * * * *




"Heaaah...!"
Sosok bertubuh tegap itu meraung keras, sambil memijat kepalanya sendiri berulang-ulang. Melihat dari raut wajahnya yang terlihat sangat tersiksa itu, jelas kalau sosok tubuh tegap berpakaian serba biru itu tengah merasakan sesuatu yang menyakitkan pada bagian kepalanya.
Tidak lama kemudian, sosok tubuh yang tidak lain Wirya Saka itu menegang. Perlahan-lahan kedua tangannya turun ke sisi pinggang. Tampak wajah pemuda itu pucat, dengan bilur-bilur merah di sepanjang keningnya.
Seperti orang yang hilang kesadarannya, tiba-tiba pemuda itu melesat cepat bagaikan kilat. Kecepatan ilmu lari yang dimiliki pemuda itu luar biasa sekali, yang tampak hanya secercah sinar biru berkelebat melintasi pepohonan. Cukup lama Wirya Saka berlari seperti orang gila yang tidak mengenal lelah. Gerakannya baru diperlambat ketika ia melintasi sebuah daerah perbukitan kering. Kemudian, ia melangkah lambat tanpa semangat
"Kakang Wirya...!"
Wirya Saka menoleh ketika mendengar suara yang memanggil namanya. Sekilas terlihat sorot kegembiraan pada sepasang matanya. Namun, itu hanya sekejap karena sinar mata pemuda itu kembali kosong, dingin dan tanpa semangat hidup.
Sosok tubuh ramping berpakaian merah darah yang memanggil Wirya Saka, bergegas mendekati pemuda tampan itu Wajahnya yang cantik dengan sepasang mata indah itu, nampak semakin memikat. Rasa bahagia dan gembira berjumpa dengan pemuda tampan itu, tidak disembunyikannya sama sekali.
"Winarti...," desis bibir Wirya Saka dengan wajah yang tetap tidak menunjukkan perasaan hatinya. Pemuda itu berdiri tegak, dan menyongsong kedatangan wanita berpakaian merah darah yang ternyata Winarti itu.
"Ke mana saja kau, Kakang? Mengapa kau tiba-tiba mengamuk seperti orang kesetanan di rumah judi itu? Lalu lenyap begitu saja tanpa kabar? Satu hal yang membuatku tidak jadi marah kepadamu, yaitu, kau ternyata telah lebih dahulu menghabisi nyawa Ki Jumali, si Juragan Keparat itu," Winarti langsung saja bercerita panjang lebar. Bibirnya bergerak-gerak lucu ketika ia bercerita. Sehingga, mau tidak mau, Wirya Saka terpaku menatapnya.
"Aku..., aku tidak tahu, Winarti. Sekarang pun aku tidak tahu harus ke mana...," desah Wirya Saka dengan suara lirih. Kemudian membalikkan tubuhnya dan melangkah gontai menyusuri tanah bebatuan.
"Apa maksudmu, Kakang. Ada apa sebenarnya yang terjadi dengan dirimu?" tanya Winarti yang segera menarik tangan Wirya Saka sehingga pemuda itu terpaksa menghentikan langkahnya.
"Apa yang terjadi dengan diriku...? Aaah..., aku tidak tahu, Winarti. Sepertinya aku telah gila. Tanpa sebab, tiba-tiba saja kepalaku terasa sakit, bagai dihimpit oleh sesuatu yang amat kuat. Lalu, aku tiba-tiba ingin membunuh siapa saja yang kutemui. Bahkan yang lebih mengerikan, kadang aku tidur di atas mayat seseorang yang baru saja tewas.
Kau tahu, Winarti? Mayat itu ternyata akulah yang membunuhnya. Karena di tanganku masih membekas noda-noda darah yang basah...," ujar Wirya Saka yang segera menutup wajahnya dengan hati terpukul perih. Jelas, kalau pemuda tampan berwajah pucat itu sangat menderita.
"Kasihan kau, Kakang. Semenjak pertama kali aku melihatmu, telah kuduga kalau kau tengah memikul beban berat. Dan, karena aku merasa suka kepadamu. Aku sengaja mencari jalan untuk dapat mengenalmu lebih dekat. Sayang, kau menghilang begitu saja, ketika kita tengah menghancurkan rumah judi di Desa Ampenan," gumam Winarti.
Wirya Saka tetap menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan, dan tanpa bicara sepatah kata pun.
"Ke mana saja kau selama ini, Kakang? Apa yang telah kau alami...?" tanya Winarti dengan wajah cemas. Dan tanpa rasa canggung lagi, gadis cantik itu langsung memegang dan mengguncangkan bahu pemuda tampan berwajah pucat itu kuat-kuat
"Aku tidak tahu..., Winarti.... Aku tidak tahu..., sahut Wirya Saka berulang-ulang sambil tetap menutup wajahnya dengan telapak tangan.
Winarti terpaksa diam, membiarkan Wirya Saka larut dalam kedukaannya, la hanya duduk menunggu dengan sabar. Dan, ia berharap dengan pemuda yang tampan berwajah pucat itu mau mencari jawaban atas segala yang telah dilakukannya.

* * * * *



«₪֎ [ 6 ] ֎₪»

"SYUKURLAH kau bisa mengatasi penyakit menular itu. Kenanga. Hhh..., kasihan sekali nasib penduduk desa yang terpencil itu. Sayang, orang-orang pandai itu tidak banyak menyadari kepentingan mereka. Kalau saja orang-orang pandai itu mau mengorbankan tenaganya di Desa Pugar, tentu wabah penyakit menular itu tidak akan menelan korban yang begitu banyak," ujar seorang pemuda tampan berjubah putih dengan nada penuh sesal.
Gadis berpakaian serba hijau yang berjalan di sebelah kiri pemuda berjubah putih itu memberikan tanggapan. Wajahnya yang cantik jelita seperti bidadari itu, tengadah sejenak dan menatapi cakrawala biru. Terdengar helaan napasnya yang berat dan berkepanjangan.
"Hhh..., pada masa sekarang ini, sulit sekali menemukan orang yang berwatak jujur, Kakang. Kebanyakan mereka, lebih mementingkan keperluan pribadi daripada orang lain. Kalau pun mereka mau menolong, tentunya dengan imbalan yang pantas.
Mereka mana mungkin mau bersusah payah mendatangi desa terpencil itu, hanya untuk memberikan pertolongan tanpa imbalannya?" sahut gadis jelita itu seraya memalingkan wajahnya dan menatap wajah pemuda tampan. Senyumnya tampak terkembang, sehingga menambah kejelitaan wajahnya.
"Yahhh..., untunglah saat wabah itu terjadi, kebetulan hadir seorang bidadari berhati emas. Dengan kepandaian ilmu pengobatan, bidadari itu berhasil menyelamatkan penduduk Desa Pugar dari ancaman maut. Sempat ku saksikan, betapa para penduduk desa itu sangat berat melepaskan kepergian sang Bidadari yang telah menolong mereka.
Bahkan, beberapa di antara mereka sempat mencucurkan air mata. Benar-benar sebuah pemandangan yang sangat mengharukan...," desah pemuda tampan itu sambil melirik si gadis jelita dengan tersenyum menggoda.
"Aaah, kau terlalu berlebihan, Kakang, Tapi, biar bagaimanapun, sebenarnya kaulah yang telah menolong mereka secara tidak langsung. Karena kepandaian yang kumiliki ini datangnya dari Kakang," elak gadis jelita itu dengan cerdik.
"Ha ha ha..., kau pandai sekali memutar balik omongan orang Kenanga. Rupanya selama ku tinggalkan di Desa Pugar, banyak kemajuan yang kau dapatkan. Benar-benar mengagumkan sekali...," puji pemuda tampan itu lagi sambil mengulurkan tangannya, dan langsung dipeluknya tubuh gadis jelita itu dengan penuh rasa cinta.
Gadis jelita berpakaian hijau yang bernama Kenanga, sama sekali tidak mengelak pelukan pemuda tampan itu. Malah ia merebahkan kepalanya ke bahu pemuda itu, yang tidak lain Panji. Sambil merebahkan kepalanya, tangan kanannya melingkar memeluk pinggang kekasihnya. Cukup lama sepasang kekasih itu terbuai dalam rasa cinta dan rindu yang telah terpendam.
Langkah-langkah kaki keduanya menyusuri jalan setapak dengan lambat. Tampak di kiri dan kanan terlihat pepohonan yang rimbun. Selagi keduanya terlelap dalam rasa kasih yang dalam, mendadak Panji menghentikan langkah. Tentu saja membuat Kenanga tersentak kaget. Gadis jelita itu langsung mengangkat kepalanya dari bahu Panji.
"Ada apa, Kakang..? Kau mendengar sesuatu...?" tanya Kenanga yang memang mengetahui ketajaman pendengaran kekasihnya. Kemudian gadis jelita itu mengerahkan indera pendengarannya. Meskipun ia telah mencobanya sekuat kemampuan, tapi tidak satu pun mencurigakan tertangkap oleh indera pendengarannya.
"Aku seperti mendengar suara orang yang sedang bertempur. Mungkin jaraknya sangat jauh dari tempat ini. Aku belum bisa memastikan di mana suara itu berasal. Tapi, sepertinya pertarungan itu sangat hebat.," sahut Panji yang segera memejamkan matanya dan mengerahkan kekuatan indera pendengarannya, guna memastikan di mana pertempuran itu berlangsung.
Kenanga yang melihat kekasihnya tengah mencari asal suara itu, hanya berdiri menatap Panji. Karena ia sendiri tidak bisa menangkap suara itu, maka ia hanya menanti dan mengharapkan kekasihnya dapat menemukan asal suara itu.
"Bagaimana, Kakang,..?" tanya Kenanga sambil mendekati Panji begitu matanya terbuka.
"Mari ikut aku...," Panji segera melesat dengan mengerahkan ilmu larinya. Pemuda itu sengaja tidak mengerahkan tenaga sepenuhnya. Karena ia tidak ingin kekasihnya tertinggal jauh.
Melihat tubuh kekasihnya sudah melesat. Kenanga bergerak menyusul. Wajah gadis itu sempat berseri, ketika mengetahui kalau kekasihnya sengaja memberi kesempatan untuk menyusul. Sehingga, gadis jelita itu dapat menjajari pemuda tampan itu. Namun, Kenanga harus mengerahkan seluruh ilmu kepandaian larinya agar dapat mengimbangi Panji.
Tidak lama kemudian, sepasang kekasih itu tiba di sebuah daerah perbukitan tandus. Dari kejauhan Panji melihat dua sosok tubuh tengah bertarung sengit. Namun, Panji yang pandangan matanya lebih tajam dan jeli dari tokoh-tokoh kebanyakan, dapat menilai dengan tepat. Panji tahu kalau kedua orang itu bukan tengah bertempur.
Lebih tepat, sosok tubuh yang lebih pendek dan berambut lebih panjang itu, tidak mempunyai kesempatan untuk menyerang. Sosok yang diduga Panji sebagai seorang gadis itu, tampak tengah berusaha menyelamatkan dirinya dari serbuan sosok yang berpakaian biru.
Sadar kalau sosok tubuh ramping berpakaian merah darah itu tidak mungkin dapat bertahan lama, bergegas Panji melesat dengan kecepatan kilat, dan langsung memapaki cengkeraman sosok berpakaian biru itu, yang siap mencengkeram batok kepala lawannya.
"Haiiit..!"
Wukkk!
Begitu tiba, Panji langsung mengirimkan tamparan dengan telapak tangan kanannya. Serangkum hawa dingin yang menggigit tulang berhembus mengiringi lontaran telapak tangan, yang di sekelilingnya terselimut kabut putih keperakan.
Pyarrr..!
"Aaah...!"
"Uhhh...!"
Benturan cengkeraman dengan telapak tangan dari kedua sosok tubuh itu, ternyata menimbulkan akibat yang sangat hebat sekali! Dibarengi seruan kaget dari mulut keduanya, tubuh mereka pun terdorong kebelakang, hingga satu setengah tombak! Keduanya segera mematahkan daya dorong itu dengan berjumpalitan dua kali, kemudian mendarat ringan di atas permukaan tanah.
"Hai... tidak kusangka, hebat juga tenaga yang dimiliki sosok berpakaian biru itu. Dia tidak hanya mampu menahan gempuran "Tenaga Sakti Gerhana Bulan'ku. Tapi, sanggup pula membuat tubuhku terdorong. Hebat...!"
Panji memuji ketika merasakan hebatnya kekuatan sosok berpakaian serba biru itu. Jarang tokoh yang mampu menandingi kekuatan tenaga Panji, sehingga buat pemuda itu kagum terhadap orang yang mampu membuat tubuhnya terdorong. Padahal, tenaga yang dikerahkannya cukup tinggi. Dan, jarang orang yang mampu menahannya.
Kekagetan Panji yang dikenal sebagai Pendekar Naga Putih ternyata tidak selesai sampai di situ. Bahkan, yang lebih mengejutkannya ketika ia melihat secara jelas, sosok berpakaian serba biru itu memiliki kekuatan tenaga sakti yang sangat tinggi.
"Wirya Saka...?" seru Panji yang hampir tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Seorang pemuda lugu yang mendapatkan warisan tanpa sengaja dari seorang kakek kecil kurus yang berjuluk Dewa Kerdil. (Untuk mengetahui lebih jelas tentang perkenalan Panji dengan Wirya Saka, baca episode Mustika Naga Hijau)
Kenanga yang telah mengetahui dari cerita Panji, sejenak menatap lelaki muda berwajah pucat yang bernama Wirya Saka. Wajah jelitanya berkerut ketika melihat wajah pemuda tampan berwajah pucat yang tampak menderita itu.
"Kakang..., dia... dia itu sepertinya...
" Kenanga tidak melanjutkan ucapannya.
Panji lebih dahulu memotong ucapan gadis jelita itu.
"Ya. Sepertinya pemuda itu dalam keadaan tidak wajar. Tapi, entah apa, aku sama sekali tidak bisa menduganya secara pasti. Perlu diteliti secara lebih dekat untuk mengetahuinya...," sahut Panji sambil tetap menatap wajah Wirya Saka dengan penuh selidik.
"Kisanak, jangan lukai dia. Dia... dia tidak tahu dengan apa yang dilakukannya...," tiba-tiba saja, gadis berpakaian merah darah yang diselamatkan Panji mendekati kedua orang itu, dan memohon perlindungan dengan suara bergetar.
"Hm..., jangan takut, Nisanak. Aku kenal dengan pemuda itu. Dan, ia pun mengenalku bila dalam keadaan wajar. Tahukah kau, apa yang menyebabkannya berbuat seperti itu kepadamu...?" tanya Panji yang berusaha mencari keterangan dari gadis cantik berpakaian serba merah itu.
"Aku..., aku tidak tahu secara pasti Karena kami belum lama berkenalan. Aku... merasa kasihan sekali kepadanya. Kadang-kadang ia terlihat murung, dan tanpa gairah hidup. Tapi, bila penyakitnya kumat berubah menjadi iblis yang tidak kenal ampun.
Seperti yang kau saksikan tadi, meski aku sahabatnya, namun tetap diserangnya seperti musuh besar yang sangat dibencinya...," tutur wanita cantik berpakaian merah darah yang tidak laindari Winarti itu.
"Hm..., Wirya Saka..., apakah kau masih mengenaliku...?" tanya Panji sambil melangkah mendekati pemuda tampan berwajah pucat itu. Kening Panji berkerut ketika melihat bilur-bilur merah yang membentuk garis melengkung di kening Wirya Saka.
"Hmrrr...!"
Panji menghentikan langkahnya ketika melihat wajah pemuda tampan berwajah pucat itu makin bertambah buas. Bahkan Wirya Saka menggereng seperti seekor harimau yang terganggu kesenangannya Jelas, Wirya Saka tidak mengenali Panji sama sekali.
"Haaarkhhh...!"
Tiba-tiba, disertai raungan panjang yang menggetarkan perbukitan itu, Wirya Saka melesat dengan kecepatan kilat Dan, langsung melancarkan serangan-serangan maut ke arah Panji.
Wuuut! Wuuut! Wuuut!
Sambaran angin dahsyat yang bercicitan, datang susul-menyusul mengancam tubuh Pendekar Naga Putih. Menilik dari gerakan dan sambaran angin pukulannya, jelas serangan Wirya Saka sangat berbahaya dan mematikan!
"Mundur kalian...!" seru Panji kepada Kenanga dan gadis berpakaian merah darah itu, seraya Panji bergerak dan melompat ke samping kiri. Sengaja ia bertindak demikian untuk memancing Wirya Saka agar mengejarnya terus, dan menjauhi kedua gadis itu.
Pendekar Naga Putih tentu saja menjadi serba salah. Untuk menggunakan kepandaiannya, ia khawatir Wirya Saka akan terluka. Sedang bila dibiarkan, la sendiri bisa celaka di tangan pemuda tampan berwajah pucat itu yang telah berubah menjadi iblis pembunuh itu.
Panji tidak sempat berpikir panjang. Karena Wirya Saka menggempurnya terus dengan serangan-serangan dahsyat! Pendekar Naga Putih benar-benar dipaksa mengerahkan kecepatan geraknya kalau ia tidak ingin celaka.
"Hebat! Rupanya Wirya Saka telah menguasai ilmu pusaka yang tersimpan di Gua Ular itu. Luar biasa sekali ilmu ini. Kalau saja aku tidak hati-hati, bukan tidak mungkin aku akan celaka di tangannya," desis Panji yang kagum terhadap ilmu yang dimiliki lawannya.
Kekaguman Panji berubah menjadi kaget, ketika ia menyaksikan kepandaian 'Ilmu Meringankan Tubuh' Wirya Saka. Ternyata kepandaiannya itu tidak di bawah tingkatannya. Terus saja Pendekar Naga Putih semakin kagum dibuatnya.
"Yeaaat...!"
Ketika pertempuran memasuki jurus keempat puluh, tiba-tiba saja Wirya Saka mengeluarkan suara nyaring. Bersamaan dengan itu, tubuhnya berjumpalitan di udara, dan meluruk dengan disertai dorongan telapak tangannya.
Wusss...!
Serangkum angin dahsyat yang mengeluarkan hawa aneh, berhembus keras mengancam jiwa Pendekar Naga Putih! Panji bukan tidak sadar akan bahaya maut yang mengancamnya, la segera melemparkan tubuhnya ke samping sejauh satu tombak lebih.
Pendekar Naga Putih sengaja tidak memapaki dorongan dahsyat yang mematikan itu. Itu dilakukannya karena ia tidak ingin Wirya Saka mengalami cedera. Karena, ia tahu kalau tindakannya dilakukan tanpa kesadaran yang wajar.
Blarrr..."
Hebat sekali akibat yang ditimbulkan dorongan sepasang telapak tangan Wirya Saka! Tiga batang pohon yang besarnya dua pelukan orang dewasa, langsung tumbang dan hancur berserpihan!
"Hebat..!" Panji yang merasa takjub dengan kedahsyatan pukulan yang ditunjukkan Wirya Saka. Kenyataan itu membuatnya semakin bertambah cemas!
"Kakang! Dia tidak bisa dibiarkan! Kalau kau terus mengalah, kau sendiri yang akan celaka di tangannya...!" Kenanga merasa terkejut melihat kedahsyatan pukulan Wirya Saka, berseru memperingatkan kekasihnya. Hati gadis jelita itu diliputi rasa cemas akan keselamatan Panji.
Panji sendiri sudah mulai berpikir lain. Kedahsyatan tenaga sakti yang ditunjukkan Wirya Saka, mau tidak mau membuatnya semakin bertambah cemas! Biar bagaimanapun, ia ingin menundukkan Wirya Saka dengan jalan yang diyakininya tidak akan membuat pemuda tampan berwajah pucat itu celaka.
"Hm...," Panji bergumam lirih dengan wajah yang tiba-tiba bersinar cerah. Pemuda sakti itu tampaknya telah menemukan jalan keluar yang dianggapnya sangat baik.
Setelah mendapatkan jalan untuk menundukkan Wirya Saka tanpa membuatnya cedera, Panji menggeser kedua kakinya dan membentuk kuda-kuda menunggang kuda. Dengan sebuah gerengan lirih dan menggetarkan, Pendekar Naga Putih merendahkan kuda-kudanya. Sesaat kemudian, terlihat dua buah sinar membelah tubuhnya. Kedua sinar itu berasal dari 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan', dan 'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi'
"Heaaah...!"
Hembusan angin dingin dan panas menyebar ketika Panji menggerakkan kedua tangannya secara menyilang. Meski gerakannya terlihat lambat, namun sambaran udara yang ditimbulkannya benar-benar menggetarkan. Kenanga dan Winarti yang menyaksikan Pendekar Naga Putih, bergerak mundur tanpa sadar.
Bahkan wajah Winarti tampak pucat dan dilanda kecemasan yang hebat. Namun sebelum Panji membuka serangan, tiba-tiba terdengar suara-suara aneh. Suara-suara seperti siulan dan rintihan itu, terdengar bergelombang dengan membawa pengaruh yang sangat kuat. Gelombang suara yang dikirim melalui kekuatan tenaga sakti tingkat tinggi, terus menggeletar memenuhi arena pertarungan.
Panji sendiri terkejut dengan serangan gelombang suara aneh itu, dan keningnya berkerut dalam. Walaupun seluruh tubuhnya telah dilindungi dua tenaga mukjizat itu, tapi Panji sempat merasakan kekuatan gelombang suara aneh itu. Pendekar Naga Putih tahu kalau gelombang suara aneh itu, bukan dimaksudkan untuk menyerangnya. Panji menjadi curiga. Tapi, ia tetap waspada terhadap gerakan-gerakan pemuda berwajah pucat itu.
"Yieeehhh...!"
Mendadak saja, Wirya Saka yang mendengar suara aneh bergelombang itu, berteriak nyaring seperti lenguhan binatang terluka. Tampak pemuda berwajah pucat itu meremas-remas kepalanya dengan wajah mirip orang kesakitan. Kemudian, tanpa mempedulikan Panji lagi, tubuh pemuda tampan berwajah pucat itu segera melesat dengan gerakan aneh.
"Haiii..! Ilmu apa yang dipergunakan Wirya Saka itu...?" seru Panji yang merasa heran melihat tubuh Wirya Saka yang terkadang lenyap dari pandang matanya, tapi ketika tubuhnya muncul, bayangannya telah jauh terpisah sekitar lima sampai enam tombak dari tempatnya semula. Tentu saja Panji yang belum mengenal ilmu itu menjadi tertegun keheranan!
Panji terkagum-kagum melihat cara Wirya Saka melarikan diri. la tidak terpikir untuk mengejarnya. Hanya berdiri tegak dengan sepasang matanya menatap bayangan pemuda tampan berwajah pucat yang pernah ditolongnya itu, lenyap di balik tikungan jalan yang terhalang oleh dinding bukit
"Hm.., jelas suara aneh bergelombang itu yang menyebabkan Wirya melarikan diri. Semua itu pasti ada hubungannya dengan ketidakwajaran sikap pemuda itu...," gumam Panji yang mulai dapat memecahkan sedikit rahasia di balik keanehan sikap Wirya Saka.
"Mengapa kau tidak berusaha mengejarnya, Kakang?" tanya Kenanga yang merasa tidak puas melihat kekasihnya diam termangu.
"Kurasa untuk sementara ini kita biarkan saja. Kenanga. Sebab, aku ingin mengetahui lebih dahulu apa yang menyebabkan Wirya Saka bertingkah laku aneh seperti itu. Aku merasa curiga, jangan-jangan ada orang di belakang layar yang menggunakan pemuda itu untuk mencapai maksud-maksud tertentu. Kita harus tetap waspada.
Menurutku, orang yang menguasai Wirya Saka itu, pasti bukan tokoh sembarangan. Semua itu dapat terlihat dari ilmu kepandaian yang dimiliki Wirya Saka...," jelas Panji yang tidak melepaskan pandangannya dari tempat Wirya Saka menghilang.
"Lalu, ke mana lagi kita harus mencarinya? Sedangkan Wirya Saka jelas memerlukan pertolongan. Dan, kita tidak tahu ke mana tujuannya sekarang...?" Winarti yang memang sangat mencemaskan Wirya Saka bertanya dengan wajah murung dan sedih.
"Hm..., Wirya Saka pastilah orang yang dijuluki Pendekar Gila. Dan, melihat ia pergi begitu saja setelah mendengar suara aneh. Aku menduga ia mendapat tugas untuk membunuh musuh-musuh orang yang mengendalikannya. Kalian tidak usah cemas. Aku mempunyai cara, dan aku yakin dengan cara itu kita dapat menemukan Wirya Saka. Mari ikut aku...," ajak Panji yang segera melangkah perlahan.
Kenanga dan Winarti tidak berkata-kata lain. Keduanya melangkah di belakang Pendekar Naga Putih dengan wajah penuh tanda tanya. Karena mereka memang tidak tahu apa yang akan dilakukan Panji untuk menemukan jejak Wirya Saka.

* * * * *



«₪֎ [ 7 ] ֎₪»

WIRYA SAKA terus berlari meninggalkan Panji, tanpa menoleh lagi. Sambil berkelebatan seperti bayangan hantu, pemuda tampan berwajah pucat itu terus saja meremas-remas kepalanya. Karena ia merasakan denyut-denyut yang menyakitkan seperti ribuan jarum menusuk batok kepalanya. Setelah berlari setengah harian penuh, Wirya Saka yang dijuluki Pendekar Gila itu tiba di mulut Hutan Kembang.
Seperti ada yang menuntunnya, pemuda tampan berwajah pucat itu bergegas memasuki hutan. Keremangan hutan tidak dipedulikan pemuda tampan berwajah pucat itu sama sekali. Dia tetap saja melangkah hingga tiba di sebuah tiang batu setinggi dadanya. Untuk beberapa saat lamanya, Pendekar Gila itu berhenti dan berdiri mengawasi sekelilingnya.
Sorot mata yang dingin dan mengerikan itu, memandang sejenak sebuah jalan kecil yang sering digunakan orang untuk lewat. Tanpa berpikir panjang lagi, tubuh pemuda tampan berwajah pucat itu terus melesat dan menerobos jalan kecil yang di kiri dan kanannya ditumbuhi semak belukar.
Langkah kakinya baru terhenti, ketika tiba di sebuah pintu gerbang yang kokoh dan kuat. Namun, baru saja pemuda berpakaian biru itu akan melangkah, terdengar suara berdesing dari empat penjuru ke arah tubuhnya.
Pendekar Gila yang keadaannya sudah normal, menggeram gusar. Sepasang matanya berkilatan tajam, memandang berkeliling. Kemudian, tubuhnya melenting ke udara disertai dengan kibasan tangan yang membentuk cahaya bulat dan mengitari tubuhnya.
Wuuus!
Serangkum angin keras yang mengandung hawa aneh berhembus menghantam balik senjata-senjata beracun yang dilemparkan oleh musuhnya. Kemudian tubuh pemuda tampan berwajah pucat itu kembali meluruk turun, dan berdiri tegak dengan sikap waspada.
Baru saja sepasang kaki pemuda tampan berwajah pucat itu menyentuh permukaan tanah,terdengar suara teriakan nyaring yang susul-menyusul. Suara-suara teriakan yang ramai dan bising itu, dimaksudkan untuk mengacaukan pemusatan pikiran Wirya Saka.
Namun, pemuda tampan berwajah pucat itu sama sekali tidak bergerak. Ia tetap tegak dan menanti datangnya serangan. Tak lama kemudian, beberapa sosok tubuh berkelebatan, dan langsung mengurung Pendekar Gila. Mereka tidak lain murid-murid Perguruan Siluman Hutan Kembang, yang memang bertugas menyambut setiap tamu yang datang tanpa diundang.
Penyambutan pertama berupa serangan gelap, yang dimaksudkan untuk menguji kepandaian tamu yang datang. Tidak mengherankan ketika pemuda tampan berwajah pucat itu mendekati pintu gerbang, langsung disambut senjata-senjata rahasia.
"Hm..., siapa kau, Anak Muda? Apa tujuanmu menyatroni perguruan kami?" tegur salah seorang lelaki berpakaian kembang-kembang yang bertubuh tinggi besar. Sorot matanya tampak bengis dan menyiratkan ancaman.
Pendekar Gila yang saat itu tengah terpengaruh kekuatan aneh, hanya menatapi enam orang lelaki yang mengurungnya. Sedikit pun tidak terlihat kalau pemuda berpakaian biru itu menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya.
"Hei! Apakah kau tuli?!" bentak seorang lelaki bertubuh gemuk yang berjenggot lebat. Jelas kalau ia merasa marah melihat sikap Wirya Saka yang seperti tidak peduli itu.
"Heaaah..!"
Bukannya menjawab yang diberikan pemuda berwajah pucat itu, malah sebaliknya ia menggeram gusar. Sepasang matanya mencorong tajam mengawasi lelaki yang membentak dirinya.
"Ehhh...?!" Lelaki gemuk berjenggot lebat itu terkejut bukan main, melihat sinar mata Pendekar Gila yang terarah kepadanya. Tanpa sadar, lelaki itu melangkah mundur dengan wajah berubah agak pucat. Tentu saja ia merasa gentar melihat sinar mata yang tajam, dan menimbulkan perbawa maut itu.
"Keparat Rupanya kau memang minta dihajar...!" teriak lelaki tinggi besar yang sepertinya pimpinan lima orang lelaki itu. Sambil membentak tubuhnya segera meluncur dengan disertai ayunan tangan kanannya ke arah kepala Wirya Saka.
Melihat serangan itu, sepasang mata Pendekar Gila semakin berkilat menakutkan. Tanpa menggeser tubuhnya, pemuda tampan berwajah pucat itu mengulur tangan kanannya memapaki tamparan lawan. Dan....
Kreppp!
Terkejut bukan main lelaki tinggi kekar itu, tanpa melihat kapan pemuda tampan berwajah pucat itu bergerak, tahu-tahu saja telapak tangannya telah dicengkeram Wirya Saka.
Krekkk!
"Aaakh...!"
Lelaki tinggi kekar yang belum menyadari akibat yang akan menimpa dirinya itu menjerit kesakitan ketika jari-jari tangannya ditekuk dan langsung patah! Tindakan Pendekar Gila tidak hanya berhenti di situ. Setelah menekuk patah jemari tangan lawan, pemuda tampan berwajah pucat itu mengirim sebuah tendangan keras, yang mengancam dada lawannya!
Desss!
"Arrrgh...!"
Hebat sekali akibat ayunan kaki pemuda tampan berwajah pucat itu. Tubuh kekar yang kokoh seperti batu karang itu, terjungkal dengan disertai darah segar muncrat dari mulutnya. Menilik dari suara berderak yang terdengar mengiringi tendangan pemuda berpakaian biru itu, tentu tulang dada lawannya remuk!
Brakkk...!
Terdengar suara berderak ribut ketika tubuh pimpinan lima orang itu, membentur pagar kayu bulat yang berada di belakangnya. Kemudian tubuh itu melorot jatuh, dan berkelojotan! Tidak lama kemudian, tubuh lelaki kekar itu diam dan tidak bergerak-gerak lagi.
"Gila! Dia tewas...?!" teriak salah seorang lelaki berpakaian kembang-kembang itu seusai memeriksa tubuh kawannya. Terkejut bukan kepalang ketika tak dirasakannya denyut nadi di tubuh pimpinannya itu.
"Bangsat! Kucincang hancur tubuhmu...!" geram lelaki gemuk berjenggot lebat yang segera mencabut senjatanya, dan langsung menyerang Pendekar Gila.
Sementara, empat orang lelaki lainnya tidak tinggal diam. Mereka segera mencabut senjatanya. Kemudian menyerbu pemuda berwajah pucat yang telah menewaskan pimpinannya.
"Hmh..." Melihat datangnya kilatan-kilatan senjata yang mengancam tubuhnya, Wirya Saka menggeram gusar. Tanpa menunggu lagi serangan lima orang lelaki itu, tubuhnya langsung berkelebat dengan kecepatan tinggi
"Heaaah...!"
Diiringi sebuah bentakan nyaring yang menggetarkan, pemuda tampan berwajah pucat itu melontarkan telapak tangannya susul-menyusul! Terdengar suara mencicit tajam mengiringi datangnya tamparan Wirya Saka! Dan...
Bukkk! Desss! Desss!
Hebat sekali serangan pemuda tampan itu! Tubuh dua orang pengeroyoknya yang terdepan, langsung terjungkal akibat tamparan keras yang menghantam dada dan pelipis mereka. Keduanya langsung menggelepar dan tewas seketika! Kenyataan itu membuat tiga orang rekannya terbelalak pucat!
"Iblisss...!" desis lelaki gemuk yang berjenggot lebat yang tertegun menyaksikan peristiwa yang berlangsung sekejap mata itu. Kalau saja ia tidak melihat dengan mata kepala sendiri, peristiwa itu tidak akan dipercayainya.
Sedang Pendekar Gila seperti iblis haus darah, sama sekali tidak mempedulikan lawan-lawannya yang tengah kaget. Tubuh pemuda tampan berwajah pucat itu kembali meluruk dengan kecepatan menggetarkan!
"Haaat...!"
Wirya Saka kembali berteriak nyaring. Sepasang tangannya berkelebatan seperti tangan-tangan maut yang siap mencabut nyawa ketiga orang lawannya.
Jerit-jerit kematian terdengar susul-menyusul! Berbarengan dengan tiga tubuh lelaki berpakaian kembang-kembang itu, jatuh tersungkur dalam keadaan tak bernyawa! Darah segar berserakan dan membasahi permukaan tanah.
Bagai seorang algojo yang baru saja menyelesaikan tugasnya, Wirya Saka berdiri tegak mengawasi ketiga mayat yang pada pelipisnya terdapat lubang cukup besar! Rupanya jari tangan pemuda tampan berwajah pucat itu memakan korbannya.
Usai menghabisi nyawa keenam orang lawannya, Pendekar Gila mengalihkan pandangannya, ke arah pintu gerbang. Perlahan tangan kanannya diangkat tinggi-tinggi. Setelah menariknya ke sisi pinggang, pintu gerbang itu didorongnya ke depan dengan gerengan kasar!
"Hiiieee...!"
Duarrr...!
Apa yang terjadi kemudian, sungguh dahsyat sekali! Pintu gerbang yang terbuat dari kayu bulat itu, hancur berantakan dengan menimbulkan suara hiruk-pikuk yang mengejutkan! Beberapa orang lelaki berpakaian kembang- kembang yang tengah berada di depan gedung utama perguruan itu, berlompatan dengan wajah pucat! Mereka langsung berserabutan ke arah pintu gerbang perguruan.
"Gila! Ada apa ini...!" seru seorang lelaki tinggi kurus dengan wajah bingung.
Sementara belasan orang murid yang lainnya, hanya dapat saling bertukar pandang dengan wajah ketololan. Belum sempat belasan orang murid Siluman Hutan Kembang itu mengetahui jawabannya, tiba-tiba dari serpihan kayu pintu gerbang yang hancur itu, muncul sosok tubuh yang langsung berdiri tegak di hadapan mereka.
"Heaaakh...!"
Sosok tubuh berpakaian serba biru yang tidak lain dari Pendekar Gila itu, mengeluarkan suara gerengan seperti binatang luka. Tanpa banyak cakap lagi, kedua tangannya segera didorong ke depan dengan kekuatan hebat!
Blarrr...!
Mengerikan sekali apa yang terjadi dengan belasan orang murid Siluman Hutan Kembang itu. Tubuh mereka terpental bercerai berai dalam keadaan tidak utuh! Darah segar membanjir di halaman depan perguruan itu, dan menyebarkan bau amis yang menyengat.
"Ada pembunuh gila mengamuk...!" seorang murid yang baru saja melangkah keluar dari dalam bangunan utama perguruan itu berteriak dan berlari masuk kembali la merasa ngeri melihat belasan mayat kawan-kawannya yang bergeletakan, dan saling tumpang tindih dalam keadaan yang mengenaskan.
Pendekar Gila tidak peduli sama sekali dengan korban-korban akibat amukannya itu. Ia melanjutkan kembali langkahnya menuju bangunan utama perguruan Siluman Hutan Kembang. Langkah Wirya Saka terhenti ketika dari dalam bangunan utama perguruan itu, muncul seorang lelaki gemuk berperut gendut yang ditemani dua orang lelaki kekar berwajah kembar.
"Bangsat! Kaukah yang berjuluk Pendekar Gila, Anak Muda? Mengapa kau membuat keonaran di tempatku? Apakah di antara kita pernah ada perselisihan...?" bentak lelaki gemuk yang tidak lain Siluman Hutan Kembang itu.
"Tepat sekali! Akulah Pendekar Gila itu! Ha ha ha...," sahut pemuda berpakaian biru itu seraya tertawa.
Lelaki gemuk itu melangkah menuruni undakan tangga kayu, sambil meneliti sosok berwajah pucat yang berjarak satu setengah tombak dari tempatnya. Sementara Pendekar Gila sama sekali tidak bergeser dari tempatnya. Pemuda tampan yang telah berubah menjadi iblis haus darah itu menatap tajam, tepat di kedua mata Siluman Hutan Kembang.
"Aku..., aku..., datang hendak menjemput nyawamu. Siluman Tongkat Beracun," terdengar jawaban terpatah-patah dan bernada kaku dari Wirya Saka. Sepasang matanya tetap tidak beralih, menatap lekat mata Siluman Hutan Kembang.
"Aku tidak menyembunyikan Siluman Tongkat Beracun di sini. Sebaiknya kau pergilah, dan cari di tempat lain," sahut Siluman Hutan Kembang dengan suara yang terdengar agak sumbang. Tentu saja tokoh sesat yang itu merasa gentar dengan penampilan pemuda tampan berwajah pucat yang berjuluk Pendekar Gila.
"Ha ha ha..." Tiba-tiba terdengar suara tawa yang parau, namun memiliki pengaruh yang hebat sekali. Bersamaan dengan berkumandangnya suara tawa itu, muncul sesosok tubuh kurus kering dengan pakaian awut-awutan.
Siluman Hutan Kembang dan dua orang pengawal yang menjadi murid utamanya itu, gemetar ketika melawan pengaruh suara tawa yang dahsyat itu. Bahkan, wajah Siluman Hutan Kembang terlihat memucat. Sedangkan dua orang murid utamanya memuntahkan darah segar. Jelas, pengaruh tenaga dari suara itu membuat mereka terluka dalam.
"Hm , kau tidak perlu berbohong, Cecurut Busuk! Serahkan manusia bejad itu, sebelum tubuhmu kulumat dan perguruan ini ku bakar habis!" ancam lelaki kurus kering yang penampilannya lebih mirip seperti gelandangan itu.
"Siapa kau...? Mengapa kau memusuhi perguruanku?" tanya Siluman Hutan Kembang dengan wajah yang masih pucat.
"Aku adalah keturunan terakhir dari Malaikat Gunung Naga. Dan, aku akan mencabut nyawa manusia licik seperti Siluman Tongkat Beracun itu. Kalau kau memang masih ingin hidup, sebaiknya menyingkirlah, dan serahkan manusia licik itu kepadaku!" kembali lelaki kurus kering itu menyahuti dengan suara parau.
Untuk beberapa saat lamanya. Siluman Hutan Kembang terdiam, la tidak berniat sama sekali melindungi Siluman Tongkat Beracun, meskipun tokoh itu adalah sahabat lamanya. Sebagai seorang tokoh sesat, tentu saja ia lebih mengutamakan kepentingan pribadinya daripada menolong orang lain.
Kalau ia belum sempat memberitahukan tempat Siluman Tongkat Beracun, itu bukan karena ia ingin melindungi sahabatnya. Tapi, la merasa geram atas perbuatan Wirya Saka yang telah membantai murid-muridnya.
Ketika melihat kemunculan lelaki kurus kering yang mengaku sebagai keturunan terakhir dari Malaikat Gunung Naga, Siluman Hutan Kembang mulai menyadari bahaya yang akan mengancamnya.
"Orang yang kau cari, ada di sebuah gubuk yang terletak di belakang bangunan ini...," akhirnya Siluman Hutan Kembang terpaksa memberitahukan tempat Siluman Tongkat Beracun bersembunyi. Semua itu dilakukannya demi menyelamatkan diri dan perguruannya dari kehancuran.
Terdengar lelaki kurus kering itu tertawa terbahak-bahak. Setelah menoleh kepada Pendekar Gila, dan berbisik dengan suara aneh. Tubuh lelaki kurus kering itu segera berkelebat menuju bagian belakang gedung perguruan itu.
"Hmh...!"
Sepeninggal lelaki kurus kering itu, Wirya Saka terdengar menggeram lirih. Menilik dari sorot matanya, jelas kalau pemuda tampan berwajah pucat itu telah siap menebarkan maut Dengan diiringi teriakan nyaring, Pendekar Gila memutar kedua tangannya dengan gerakan perlahan.
Sepertinya ia telah siap melontarkan pukulan mautnya. Namun sebelum Wirya Saka melepaskan pukulan mautnya, tiba-tiba sesosok bayangan putih berkelebat, disertai suara teriakannya yang nyaring!
"Wirya Saka, tahan...!" seru sosok bayangan putih itu sambil menjejakkan kakinya tepat di tengah-tengah arena.
Namun, saat itu Wirya Saka tidak dalam keadaan normal. Tentu saja ia tidak bisa lagi membedakan kawan dan lawan. Kendati Panji berdiri menghadangnya dengan sikap bersahabat, tapi pemuda berpakaian biru itu tidak menghentikan gerakannya.
Panji sadar kalau Wirya Saka tidak mungkin dapat dihentikan dengan bujukan, ia pun segera bertindak cepat. Sesaat kemudian. Panji memejamkan matanya dan mengerahkan 'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi'. Detik itu juga, cahaya kuning keemasan berpendar menyelimuti sekujur tubuhnya. Sepertinya Pendekar Naga Putih telah memperhitungkan secara masak untuk menghadapi amukan Wirya Saka.
"Heaaah...!"
Tak lama kemudian, terdengar Panji mengeluarkan bentakan perlahan. Sungguh luar biasa sekali sinar kuning keemasan yang semula menyelimuti tubuhnya, secara perlahan mengecil dan berkumpul di kedua telapak tangannya. Lalu, disertai sebuah bentakan nyaring, Panji mendorongkan sepasang telapak tangannya ke arah Wirya Saka.
Wuuus!
Saat itu juga, dua gulungan sinar kuning keemasan terlontar dari telapak tangan Panji dan meluncur dengan kecepatan kilat menuju sasarannya.
Bleppp!
Kejadian selanjutnya benar-benar sukar diterima akal sehat! Gulungan sinar kuning keemasan itu sama sekali tidak membuat tubuh Wirya Saka terluka. Apalagi sampai terpental. Sebaliknya, sinar kuning keemasan itu malah masuk ke dalam tubuh pemuda tampan berwajah pucat itu. Kini sekujur tubuh Wirya Saka mengeluarkan sinar berpendar kuning keemasan.
"Aaarghhh...!"
Saat berikutnya, Pendekar Gila meraung setinggi langit seperti tengah menerima azab yang sangat menyakitkan. Bersamaan dengan raungan itu, sinar kuning keemasan yang menyelimuti sekujur tubuhnya lenyap secara perlahan, bagaikan meresap ke dalam tubuh pemuda tampan berwajah pucat itu. Lenyapnya sinar kuning keemasan itu, ternyata berakibat bagi Wirya Saka.
Tubuh pemuda berwajah pucat itu tampak bergetar seperti orang yang terserang demam hebat. Dengan diiringi raungan panjang yang menggetarkan, tubuh pemuda tampan berwajah pucat itu terjungkal dan bergulingan di atas tanah. Dan, tubuh pemuda tampan berwajah pucat itu terdiam tak bergerak-gerak lagi. Rupanya Wirya Saka pingsan karena tidak sanggup menahan rasa sakit yang luar biasa itu.
"Apakah dia akan sembuh seperti semula, Kakang...?" sosok berpakaian merah darah yang tiba di tempat itu, dan sempat menyaksikan perbuatan Panji bertanya cemas.
"Berdoalah, Winarti. Kalau dugaanku memang benar bahwa pemuda itu menderita keracunan, maka ada harapan akan sembuh seperti sediakala, tanpa harus kehilangan kepandaiannya. Hanya saja tenaga saktinya akan berkurang," Panji menghentikan sejenak penjelasannya dan menghela napasnya.
Sementara dengan rasa cemas Winarti tetap mengamati wajah Panji, hatinya tak sabar ingin mendengar kelanjutan cerita Pendekar Naga Putih.
"Bukan mustahil tenaga yang dimilikinya telah tercampur dengan racun jahat yang merusakkan jaringan syaraf di otaknya. Seperti yang pernah kukatakan, sinar kuning keemasan itu dapat memunahkan segala macam jenis racun. Jadi, kuharap engkau tidak perlu terlalu cemas...," jelas Panji melanjutkan ceritanya dengan tersenyum, meski dalam hatinya agak berdebar.
"Benar, Winarti. Kita berdoa saja. Semoga Wirya Saka dapat sembuh seperti semula...," hibur Kenanga yang rupanya telah tiba, dan melihat juga kejadian yang menimpa Wirya Saka.
Sedangkan Siluman Hutan Kembang dan dua orang murid utamanya, hanya bisa memandang bingung. Mereka benar-benar hampir tidak mempercayai apa yang disaksikannya itu.

* * * * *



«₪֎ [ 8 ] ֎₪»

"HA HA HA.... Kini tuntaslah sudah dendam keluargaku! Semua manusia licik yang mengkhianati kakekku, telah mendapat hukuman yang pantas!"
Tiba-tiba saja terdengar suara tawa terbahak-bahak, yang menggetarkan sekitar tempat tubuh Wirya Saka tergeletak. Tampak Panji dan dua orang gadis cantik tengah menunggui tubuh pemuda tampan pucat itu.
Mendengar suara tawa serak yang menyeramkan itu, sejenak mereka berpaling ke arah asal suara. Tidak lama kemudian, muncul sosok tubuh kurus kering. Segera ia menjejakkan kedua kakinya di tempat itu. Sejenak sosok tubuh itu kebingungan, ketika melihat tubuh Wirya Saka tergeletak tak berdaya, dan ditunggui oleh dua orang wanita cantik dan seorang pemuda tampan.
"Hei, apa yang telah terjadi dengan algojoku! Hah...?" tegur sosok kurus kering itu sambil menatap tubuh Wirya Saka dengan pandangan hampir tak percaya.
"Hm..., jadi kau yang mengendalikan Wirya Saka selama ini? Siapakah kau sebenarnya, Orang Tua? Mengapa kau begitu tega menyiksa pemuda yang tak berdosa ini dengan tujuan jahatmu itu?" tegur Panji sambil melangkah menghampiri lelaki bertubuh kurus kering itu, yang berusia empat puluh tahun.
"Hm..., aku bernama Ki Gada Bumi. Dan, aku sendiri keturunan terakhir dari Malaikat Gunung Naga. Kau tentu Pendekar Naga Putih yang selama ini namamu telah tersiar di kalangan rimba persilatan. Hm.... Sayang, selama puluhan tahun aku tidak pernah melihat dunia luar. Jadi, maaf kalau aku tidak pernah mengenalmu.
Biar bagaimanapun aku merasa beruntung berjumpa denganmu hari ini. Nah, sekarang aku tidak mempunyai keperluan lagi. Jadi, anak muda itu ku tinggalkan saja di sini.," setelah berkata demikian, lelaki tinggi kurus itu segera beranjak meninggalkan tempat itu.
"Hei, tunggu...!" Panji yang masih mempunyai keperluan dengan lelaki kurus kering yang mengaku bernama Ki Gada Bumi itu, segera berseru mencegah. Kakinya melangkah cepat mendekati orang tua kumal itu.
"Hm..., ada perlu apa lagi, Pendekar Naga Putih? Apakah karena kau seorang pendekar besar, lalu bisa berbuat sekehendak hatimu kepadaku?" ujar Ki Gada Bumi dengan wajah menyeringai seperti orang tak waras. Jelas, otak orang tua itu agak terganggu. Mungkin disebabkan selama puluhan tahun la hidup menyendiri dan tak pernah melihat dunia ramai.
"Orang tua, kalau saat ini aku melarangmu pergi, bukan karena aku merasa sebagai seorang pendekar besar. Tapi, karena orang yang telah kau gunakan sebagai alat pembunuh ini adalah sahabatku. Sudah sepatutnya kalau aku ingin meminta penjelasan darimu, tentang keadaan yang menimpa Wirya Saka. Aku harap engkau sudi menerangkannya," pinta Panji dengan suara halus dan sopan. Tidak tampak sama sekali kalau pemuda itu merasa tersinggung dengan ucapan kasar Ki Gada Bumi.
"Ha ha ha..., jadi kau hendak menuntut balas kepadaku, Pendekar Naga Putih? Boleh.., boleh saja. Nah, siapa yang akan memulai lebih dahulu mati, kau ataukah aku?" ujar Ki Gada Bumi yang segera membalikkan tubuhnya dan menghadapi Panji dengan sikap siap tempur.
"Bukan itu maksudku, Ki Gada Bumi. Tapi, aku hanya ingin sedikit penjelasan mengenai Wirya Saka yang mengalami penderitaan seperti itu? Dan, mengapa kau begitu tega menyiksa orang yang tak berdosa hanya untuk membalas dendam? Bukankah kau sendiri mampu melakukannya?" sahut Panji yang tidak segera meladeni tantangan orang tua itu.
"Ha ha ha..., bilang saja kau takut. Pendekar Naga Putih! Baiklah, akan kuberikan penjelasan kepadamu," akhirnya Ki Gada Bumi mau juga memenuhi permintaan Panji.
Sepasang mata Pendekar Naga Putih menatap tajam wajah Ki Gada Bumi.
"Dengan satu syarat, kau harus menebusnya dengan nyawamu...!" lanjut orang tua itu lagi dengan sorot mata tajam dan liar.
"Hm..., ceritakanlah...," sahut Panji tanpa mempedulikan permintaan gila Ki Gada Bumi. Pemuda tampan itu tetap tenang, dan tanpa rasa tega sedikit pun.
"Dengarlah," ujar Ki Gada Bumi datar.
Panji berdiri tenang seraya matanya tetap menatap tajam wajah orang tua itu, yang mengaku bernama Ki Gada Bumi.
"Mustika Naga Hijau yang ada di tangan pemuda itu adalah milik kakekku. Kemudian mustika itu dicuri oleh para pembantunya. Lalu, pusaka itu diberikan kepada Wirya Saka. Jadi, pemuda itu terlibat pencurian juga," jelas orang tua itu.
"Tidak. Wirya Saka tidak mencurinya. Dia mendapatkan benda itu dari seorang kakek yang berjuluk Dewa Kerdil. Benda itu didapatnya karena ia seorang pemuda berbudi, dan telah menolong Dewa Kerdil. Karena benda pusaka itu, ia telah kehilangan kedua orang tua dan saudara-saudara seperguruannya. Jadi, kalau kau mengatakan Wirya Saka adalah seorang pencuri. Jelas, salah besar," tegas Panji yang memang mengetahui secara jelas Wirya Saka mendapatkan pusaka itu. (Baca episode Mustika Naga Hijau)
"Terserah kalau begitu pendapatmu," ujar Ki Gada Bumi seperti tidak peduli dengan bantahan Panji.
Pendekar Naga Putih kaget mendengar jawaban Ki Gada Bumi. Tapi, ia tetap tenang tanpa berkata sepatah kata pun.
"Pada waktu kakekku dikeroyok oleh manusia-manusia licik yang mencuri pusaka, aku terpaksa melarikan diri. Selama dua puluh tahun lebih, aku bersembunyi di dalam Gua Ular, untuk menanti siapa yang akan mengambil semua harta dan ilmu-ilmu pusaka keluarga kami. Untuk menghukum manusia-manusia jahat itu, aku sengaja menebarkan racun di dalam Gua Ular. Jadi, bagi siapa yang memasuki gua itu akan mengalami keracunan hebat.
Setelah lama kutunggu, muncul pemuda itu. Begitu memasuki gua dan menghisap hawa beracun, dia langsung roboh tak sadarkan diri. Nah saat itulah ku tanamkan jarum-jarum di sepanjang keningnya. Setelah ia sadar, semua perintahku melalui bisikan jarak jauh, akan dikenalkannya tanpa membantah," jelas Ki Gada Bumi yang menghentikan ceritanya dan mengalihkan tatapan matanya ke arah tubuh Wirya Saka yang tengah terbaring.
"Tapi, mengapa kau biarkan pemuda itu mempelajari ilmu-ilmu yang ada di dalam Gua Ular? Bukankah kalau kau mau dapat membunuhnya, dan merebut mustika itu tanpa kesulitan?" selidik Panji yang merasa belum puas dengan keterangan Ki Gada Bumi.
"Hm..., kalau aku mau tentu saja semua dapat kulakukan sesuai keinginanku. Tapi, selama ini aku telah menyusun rencana untuk menghukum manusia-manusia licik itu, termasuk Wirya Saka. Jadi, la sengaja kubuat sebagai pembunuh gila, yang akan membalaskan dendam keluargaku. Nah, apakah kau sudah puas, Pendekar Naga Putih...?" tanya Ki Gada Bumi sambil menelengkan kepalanya dengan mimik wajah aneh. Seperti orang yang kurang waras.
"Hhh..., yah, aku merasa semua ini sudah cukup jelas sekarang. Nah, kalau kau ingin pergi, silakan Ki Gada Bumi. Aku tidak akan mencegahmu lagi...," ucap Panji tersenyum bersahabat.
"Ha ha ha..., kau ternyata seorang yang ingkar. Pendekar Naga Putih. Seperti yang kukatakan tadi, syarat untuk menceritakannya adalah nyawamu! Nah, sekarang kau bersiaplah. Aku akan melaksanakan janjiku tadi...," Ki Gada Bumi melangkah lambat menghampiri Panji. Menilik dari sikapnya, jelas ucapan orang tua itu memang tidak main-main.
"Kau yang berjanji, Orang Tua. Sedangkan aku sama sekali tidak menjanjikan apa-apa," sahut Panji dengan suara yang tetap tenang dan senyum sabar diwajahnya.
"Licik! Kau tidak bisa berbuat semaumu di hadapanku, Pendekar Naga Putih. Siapa pun yang berjanji, aku tidak peduli! Suka atau tidak, aku harus mengambil nyawamu!" bentak Ki Gada' Bumi seraya bersiap untuk melaksanakan ucapannya. Tanpa mempedulikan apakah Panji bersedia atau tidak, Ki Gada Gumi langsung melompat dengan disertai cengkeraman mautnya!
Wuuut! Wuuut!
Dua kali sambaran maut Ki Gada Bumi berhasil dihindari Panji dengan menarik mundur tubuhnya ke belakang. Lalu, ia terus melompat ke samping kiri, dan bersiap menghadapi serangan selanjutnya.
"Hm..., bagus! Aku lebih suka kalau kau mempergunakan kepandaianmu untuk mempertahankan nyawamu! Ha ha ha..." geram Ki Gada Bumi sambil memperdengarkan suara tawanya yang serak.
"Maaf, Ki Harap kita sudahi saja pertempuran ini. Menurutku tidak ada gunanya sama sekali," ucap Panji dengan wajah senyum sabar.
"Pengecut! Meskipun kau tidak bersedia, aku tetap akan menyerangmu sampai nyawamu tercabut, baru aku puas!" desis Ki Gada Bumi sambil menggeram gusar.
Mendengar perkataan pengecut yang dilontarkan Ki Gada Bumi, senyum di bibir pemuda itu lenyap seketika. Kata pengecut merupakan pantangan bagi seorang pendekar. Panji pun tidak bisa menerima hinaan seperti itu.
"Kau terlalu memaksa. Orang Tua. Baiklah kalau kau memang memaksa, apa boleh buat.," ujar Panji yang segera menyiapkan ilmu andalannya untuk menghadapi Ki Gada Bumi. la sadar kalau yang dihadapinya seorang keturunan manusia sakti, tentu saja memiliki kepandaian yang sangat tinggi. Begitu siap, Panji langsung mengeluarkan ilmu andalannya.
"Sambutlah! Heaaat..!"
Dengan diiringi sebuah teriakan nyaring yang menggetarkan, Ki Gada Bumi langsung menerjang Panji dengan pukulan-pukulan maut yang mematikan! Serangan yang dilancarkan Ki Gada Bumi benar-benar dahsyat! Sambaran-sambaran angin pukulan bercicitan. bagaikan sabetan senjata tajam. Panji terpaksa mengerahkan 'Ilmu Naga Sakti'nya.
Kenanga dan Winarti yang merasakan betapa berbahayanya pertarungan kedua orang sakti itu, cepat membawa tubuh Wirya Saka untuk menyingkir. Angin pukulan yang ditimbulkan lontaran-lontaran tangan Ki Gada Bumi benar-benar mengiriskan. Andai saja mereka tidak menyingkir, bukan tidak mungkin salah satu pukulan dari tokoh itu nyasar dan menewaskan mereka.
Siluman Hutan Kembang dan dua orang murid utamanya, terbelalak matanya menyaksikan pertarungan yang dahsyat itu. Tokoh sesat bertubuh gemuk itu menggeleng-gelengkan kepalanya sebagai tanda rasa takjub. Baru kali ini selama' hidupnya menyaksikan pertarungan yang benar-benar membuat dadanya berdebar!
"Luar biasa sekali pertarungan kedua orang sakti itu. Ah, rasanya aku akan mati tenang setelah menyaksikan pertempuran yang selama hidup tidak pernah terlihat dalam alam pikiranku. Benar-benar sebuah tontonan yang sangat langka...," gumam Siluman Hutan Kembang berdecak tak henti-hentinya. Jelas, tokoh sesat itu sangat bersyukur dapat menyaksikan pertarungan yang tidak pernah terlintas dalam mimpi.
Sementara itu, pertarungan terus berlangsung sengit. Jurus demi jurus telah mereka keluarkan. Tanpa terasa pertarungan telah menginjak jurus keseratus. Panji semakin kagum dengan kehebatan lawannya. Ia terpaksa berjuang keras untuk menandingi kedahsyatan ilmu-ilmu Ki Gada Bumi. Bahkan, 'Ilmu Silat Naga Sakti' yang jarang menemui tandingan itu, harus dikerahkan sekuat tenaga untuk mengimbangi terjangan-terjangan maut lawannya.
"Haiit..!"
Ketika pertarungan telah menginjak jurus keseratus tiga puluh, mendadak Ki Gada Bumi berseru nyaring sambil melompat ke belakang sejauh satu setengah tombak. Begitu kedua kakinya mendarat di atas tanah, orang tua kurus kering itu langsung melipat kedua tangannya di depan dada. Sedangkan kedua kakinya membentuk kuda-kuda aneh dengan kedua lutut saling berhimpitan.
Pendekar Naga Putih mengerutkan keningnya ketika menyaksikan jurus yang akan dipergunakan musuhnya. Kali ini, la benar-benar terkejut ketika melihat tubuh lawannya lenyap dari pandangan. Belum lagi Panji sadar, tiba-tiba tubuh lawan telah berada di hadapannya. Cepat Panji melempar tubuhnya ke belakang, guna menghindari pukulan lawan yang datang seperti sambaran kilat itu!
Panji terus melempar tubuhnya dan bersalto lima kali di udara. Begitu kedua kakinya menginjak tanah, ia langsung merendahkan tubuhnya dengan sepasang tangan saling berhimpitan di depan wajahnya. Dan, berbarengan dengan terdengarnya suara bercicitan, kedua tangan pemuda itu terbuka lebar dalam bentuk cakar naga. Rupanya Pendekar Naga Putih hendak menggunakan jurus 'Naga Sakti Meluruk Dalam Bumi'. Sebuah jurus pemungkas yang selama ini selalu berhasil menundukkan lawannya.
Sayang, musuh yang dihadapi Panji bukanlah seorang tokoh yang memiliki ilmu pasaran. Karena 'Ilmu Langkah Malaikat' yang merupakan warisan dari Malaikat Gunung Naga, sangat dahsyat dan langka. Tentu saja jurus andalan pemuda itu benar-benar menemui tandingannya. Namun, pengalaman bertarung dengan tokoh-tokoh sakti dunia hitam yang dimiliki Panji tidaklah percuma.
Karena itu ia segera mengetahui kehebatan ilmu yang dimilikinya. Sadar kalau ilmu lawan sangat aneh dan tidak bisa diduga ke mana arah geraknya. Panji pun segera menyatukan kekuatan batinnya dengan tenaga sakti Pedang Naga Langit yang saat itu masih mengeram dalam tubuh Wirya Saka.
Menurut perhitungan Pendekar Naga Putih hanya tenaga sakti itulah yang dapat dipergunakan untuk mengecoh lawannya. Tidak lama kemudian, lapisan kabut yang bersinar putih keperakan berkumpul di sisi kiri tubuhnya. Sedangkan di sisi kanan tubuhnya, muncul sinar kuning keemasan yang berpendar menyilaukan mata.
"Haiiit...!"
Melihat Ki Gada Bumi telah mulai membuka serangan lagi, Panji berseru nyaring sambil melesat memapaki serangan lawannya. Gerakan pemuda itu meliuk-liuk bagaikan seekor ular besar. Ki Gada Bumi menjadi terperanjat dibuatnya.
Wuuus...!"
Dorongan sepasang tangan Ki Gada Bumi luput, karena tubuh Panji meliuk dengan manis menghindari hantaman maut lawannya. Dan, pukulan orang tua kumal itu menghantam pepohonan di belakang Pendekar Naga Putih. Karuan saja pohon-pohon besar itu ambruk dengan suara ribut!
Panji sendiri tidak tanggal diam. Begitu serangan lawannya luput, pemuda itu segera mengibaskan tangan kanannya dengan kecepatan yang mengiriskan! Bersamaan dengan kibasan tangan Pendekar Naga Putih, meluncur segulung sinar keemasan yang berpendar menyilaukan mata.
Melihat cara pemuda itu menggunakan 'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi', jelas kepandaian yang dimilikinya mengalami kemajuan yang sangat pesat Karena mampu mengatur tenaga itu sesuai dengan kemauannya.
Akibatnya pun tidak kepalang tanggung! Gulungan sinar kuning keemasan itu langsung membentur tubuh Ki Gada Bumi, sehingga menimbulkan ledakan yang dahsyat dan menggetarkan bangunan utama perguruan Siluman Hutan Kembang! Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh Ki Gada Bumi terlempar disertai percikan darah segar yang menyembur dari mulutnya.
"Aaagh...!"
Ki Gada Bumi meraung tinggi seperti ingin merobek langit! Tubuhnya terbanting keras menghantam dua buah pohon sebesar dua kali tubuhnya, dan langsung tumbang dengan suara hiruk-pikuk! Kemudian tubuh tua itu melorot jatuh ke tanah dengan napas satu-satu. Jelas, luka yang dialaminya sangat parah. Sehingga tokoh itu tidak mampu bangkit lagi.
"Kau... benar-benar hebat, Pendekar Naga Putih. Aku tidak menyesal tewas di tanganmu. Jangan kau merasa bersalah. Sebab, kalau kau tidak membunuhku, akulah yang akan menghabisi nyawamu..," ujar Ki Gada Bumi dengan napas memburu. Sepasang matanya menatap kagum kepada Panji, yang telah membungkuk di sisi tubuh orang tua itu.
"Biar bagaimanapun, aku mohon maaf, Ki," ucap Panji tulus sambil mengulur tangannya.
Digenggamnya tangan orang tua itu erat-erat, karena tangan Ki Gada Bumi telah mencekalnya dengan hangat. Tapi, hal itu tidak berlangsung lama. Panji mulai merasakan tangan Ki Gada Bumi telah mengeras. Rupanya kakek itu tewas karena mengalami luka-luka yang sangat parah.

* * * * *




Selesai menguburkan mayat Ki Gada Bumi, Pendekar Naga Putih dan Kenanga pamit kepada Wirya Saka dan Winarti. Kedua pasangan itu berpisah karena jalan yang mereka tempuh memang berlainan.
"Hhh..., besar sekali budi yang telah kau lepaskan kepadaku, Pendekar Naga Putih. Entah dengan apa aku bisa membalasnya...," ucap Wirya Saka ketika ke duanya hendak berpisah.
"Tidak ada yang perlu dibalas, Wirya. Dan, tidak ada budi yang kulepaskan kepadamu. Janganlah kau pikirkan untuk membalasnya," jawab Panji sambil memeluk dan menepuk bahu pemuda itu perlahan.
Tidak lama kemudian, kedua pasangan muda itu saling berpisah. Panji dan Kenanga melanjutkan perjalanan ke arah Selatan. Sedangkan Wirya Saka dan Winarti menuju ke arah Timur.
Tinggallah Siluman Hutan Kembang bersama sisa-sisa muridnya. Tokoh sesat itu sadar, kepandaian yang dimilikinya tidaklah berarti, jika dibandingkan dengan kepandaian Pendekar Naga Putih dan Ki Gada Bumi. Kenyataan itu membuatnya berpikir lebih jernih, dan ia ingin menggunakan ilmunya di jalan yang benar. Semua itu diungkapkannya kepada Pendekar Naga Putih dan yang lainnya, sebelum berpisah.
Sementara itu, Kenanga yang melangkah sambil menggelayutkan lengannya di bahu Panji, berhenti secara mendadak.
"Ada apa, Kenanga...?" tanya Panji yang merasa heran melihat kekasihnya mendadak berhenti.
"Kakang, apakah Wirya Saka benar-benar telah sembuh, dan tidak akan timbul lagi kegilaannya...?" tanya Kenanga yang masih mencemaskan keadaan Wirya Saka yang dijuluki Pendekar Gila.
"Hm..., kau meragukan keampuhan tenaga jelmaan Pusaka Naga Langit? Bukankah kau melihat sendiri, semua jarum-jarum yang tertanam di keningnya telah keluar. Lagi pula, pemuda itu sudah kelihatan benar-benar sehat. Apa kau tidak lihat wajahnya yang telah segar itu...?" jelas Panji sambil membelai rambut kekasihnya dengan lembut.
Kenanga tidak menjawab, ia kembali melangkahkan kakinya sambil tangannya bergelayut di bahu Pendekar Naga Putih.

S E L E S A I



INDEX PENDEKAR NAGA PUTIH
Mustika Naga Hijau --oo0oo-- Misteri Desa Siluman


Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.