Life is journey not a destinantion ...

Penculik Penculik Misterius

INDEX PENDEKAR NAGA PUTIH
Pewaris Dendam Sesat --oo0oo-- Duel Jago Jago Persilatan



PANJI
Pendekar Naga Putih
Karya: T. Hidayat
EP : PENCULIK PENCULIK MISTERIUS

Penerbit Cintamedia, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit


:::≡¦ [ SATU ] ¦≡:::

SOSOK-sosok bayangan hitam itu berkelebatan cepat melintasi pepohonan. Bulan sabit yang menggantung di langit kelam, tak mampu menerangi bumi. Gumpalan awan-awan hitam menghalangi pancaran sinar redupnya, membuat suasana malam semakin diliputi kepekatan. Sehingga, sosok-sosok tubuh itu dapat bergerak dengan leluasa.
Meskipun bergerak dalam gelap, dan dengan sedikit bantuan sinar bulan, sosok- sosok tubuh itu sepertinya tidak menemui kesulitan. Mereka dapat mengenali jalan dengan baik, dan bisa menentukan arah yang mereka tuju dengan tepat. Itu menunjukkan mereka tidak terlalu asing dengan jalan-jalan yang dilalui. 
Setelah menyeberangi sungai kecil yang membentang di bawah sebuah jembatan, sosok-sosok tubuh itu berbelok ke arah jalan sebelah kanan. Melihat cara mereka menyeberangi sungai dengan tanpa mengurangi kecepatan lari, jelas itu membuktikan mereka bukan orang-orang sembarangan! Sebab, tidak mudah bagi orang biasa untuk menyeberang dengan berlari. Padahal, jembatan yang harus dilalui hanya berupa dua batang bambu, yang diikat jadi satu. Sungguh suatu kepandaian yang mengagumkan! 
Kali ini, sosok bayangan hitam yang berjumlah tiga orang itu, menyusuri jalan berbatu yang turun naik. Bagi orang yang tidak memiliki ilmu lari cepat yang baik, tidak akan berani melintas dengan kecepatan tinggi. Apalagi dalam suasana yang gelap itu. 
Tapi, tidak demikian dengan ketiga sosok tubuh berpakaian serba hitam itu. Mereka tidak mengurangi kecepatan larinya, meskipun medan yang harus dilalui cukup sulit dan berbahaya. Sekali saja mereka salah melangkah, sulit untuk dapat dipastikan mereka bisa selamat. Sebab, selain jalanan terkadang menurun curam, sebuah jurang menganga di kanan jalan. 
Kenyataan, bahwa ketiga sosok berpakaian serba hitam dapat melewati medan berat dengan baik, jelas merupakan bukti mereka memang memiliki kepandaian yang tidak bisa diremehkan. Hanya orang-orang gemblengan dan telah terlatih dengan baik saja yang mampu melakukannya. Setelah medan berat itu dapat mereka lalui dengan baik, ketiga sosok bayangan hitam bergerak mendekati sebuah bukit, yang terlihat cukup subur. Rupanya, tempat itulah tujuan mereka. Sebab, ketiganya terlihat mulai mendaki lereng. 
Bagai kelelawar-kelelawar besar yang keluar mencari mangsa, ketiga sosok tubuh itu berloncatan susul-menyusul. Bahkan, tak jarang mereka menggunakan batang-batang pohon sebagai jalan untuk naik. Rasanya, ketiga sosok bayangan hitam itu tidak akan kalah dengan kera-kera liar dalam hal berloncatan dari satu pohon ke pohon lain. Bahkan, gerakan mereka terlihat lebih gesit dibandingkan seekor kera. Sehingga, dalam waktu yang tidak terlalu lama, mereka pun tiba di atas bukit yang bertanah datar, dan banyak ditumbuhi rumput-rumput tebal. 
Sosok terdepan yang tiba lebih dulu di atas bukit, tampak menghentikan langkahnya, dan berdiri tegak menanti kedua kawannya. Setelah mereka kembali berkumpul, sosok pertama yang bertubuh padat berisi, membayangkan kekuatan hebat yang tersembunyi di dalam tubuhnya, menggerakkan tangan menunjuk ke arah sebelah barat bukit. Dari sini, bisa diduga sosok pertama itu lebih mengetahui keadaan puncak bukit daripada dua kawannya. Sehingga, dialah yang menjadi penunjuk jalan bagi teman-temannya. 
Setelah memastikan arah yang akan diambil, ketiganya kembali menyusuri tanah berumput. Kali ini mereka hanya berlari-lari kecil. Sepertinya, mereka sangat berhati-hati untuk bergerak maju. Beberapa saat kemudian, di depan mereka dalam jarak sekitar enam tombak, tampak sebuah bangunan besar berdiri kokoh. Di sekeliling bangunan itu terdapat kayu- kayu bulat setinggi satu setengah tombak, yang membentuk pagar. 
Ketiga sosok bayangan itu berhenti sejenak, kemudian merunduk merayapi bagian atas dan setiap sudut sebelah atas bangunan. Agaknya, mereka hendak memastikan keberadaan penjaga-penjaga bangunan pada pos-pos penjagaan di atas gerbang, dan di sudut kiri-kanan bangunan. 
"Tampaknya kehadiran kita tidak diketahui...," ujar sosok pertama yang bertugas sebagai pemimpin kedua orang kawannya. 
"Benar. Untuk itu kita harus bertindak cepat. Setiap penghadang harus kita singkirkan! Dengan itu, jejak kita tidak akan dapat diketahui...," sahut sosok kedua mengingatkan kawan-kawannya, yang mengangguk tanda mengerti. 
Usai berunding, ketiganya bergerak dengan membungkuk mendekati bagian samping kanan bangunan. Terkadang ketiganya bergulingan, agar kedatangan mereka tidak sampai terlihat penjaga-penjaga bangunan besar itu. Dan, sambil merapatkan tubuh ke pagar yang mengelilingi bangunan, mereka menggeser langkah mendekati sebatang pohon besar yang tumbuh di samping kanan bangunan itu. Melalui pohon besar itulah ketiganya bergerak masuk ke bagian dalam bangunan, dan terus melesat ke samping bangunan utama. 
Dua orang penghuni bangunan yang kebetulan keluar dari bagian samping, dan memergoki mereka, langsung roboh tertotok salah seorang dari ketiga sosok bayangan itu. Kemudian sosok itu mencabut pedang di pinggangnya. Tanpa rasa kasihan sedikit pun senjatanya berkelebat menghabisi nyawa kedua orang yang malang itu. Setelah itu, mereka kembali bergerak memasuki bagian dalam bangunan utama, yang merupakan induk bangunan Perguruan Tongkat Sakti. 
Seorang lelaki tua berusia sekitar enam puluh lima tahun yang kebetulan tengah membaca di ruang perpustakaan, mengerutkan kening ketika menangkap ada gerak langkah mencurigakan memasuki bangunan itu. 
"Hmmm...," lelaki tua itu bergumam perlahan. Sepasang matanya tampak berkilat tajam. Detik berikutnya, pelita di ruang perpustakaan dipadamkan. Sehingga, ruangan itu seketika menjadi gelap. 
Dengan langkah hati-hati, lelaki tua yang tidak lain Ketua Perguruan Tongkat Sakti, bergegas keluar dari ruang perpustakaan. Dan pada saat yang bersamaan, ia melihat tiga sosok tubuh terbungkus pakaian serba hitam, baru saja keluar dari dalam kamarnya. Sadar bahwa ketiga orang itu tamu-tamu tak diundang, lelaki tua bertubuh gagah itu langsung membentak! 
"Maling-maling, Hina! Menyerahlah sebelum kukirim ke neraka!" sambil berkata demikian, lelaki tua itu menerjang maju dengan tamparan yang menimbulkan desiran angin tajam! 
Bwettt...! 
Ketiga sosok berpakaian serba hitam berlompatan menghindar. Kemudian, bergerak mengepung dari tiga arah. Ketiga pasang mata mereka menatap tajam raut wajah orang tua itu. 
"Hm.... Kiranya kau, Ki Adiwarsa. Bagus...! Memang tujuan kami ke tempat ini ingin mencarimu...," ujar sosok bertubuh tegap dengan sorot mata berkilat tajam. Kelihatan sekali orang itu merasa gembira ketika melihat dan mengenali orang tua yang menyerang mereka. 
"Eh?! Rupanya, selain sudah mengenalku dengan baik, kalian pun mengetahui di mana letak kamar tidurku. Siapa sebenarnya kalian, dan mau apa mencariku...?" geram Ki Adiwarsa heran menyadari orang-orang berpakaian hitam itu mengenalnya. Padahal keadaan saat itu cukup gelap. 
"Mengenai untuk apa kami mencarimu, sebaiknya tidak kukatakan sekarang. Mari, ikut kami secara baik-baik. Jika tidak, terpaksa kami akan menggunakan kekerasan...," sahut sosok itu yang bertugas sebagai juru bicara dua orang temannya. 
"Hm.... Aku tidak kenal dengan kalian bertiga. Tapi, melihat cara kalian datang ke tempat ini, sudah dapat kupastikan kalian bukanlah orang baik-baik! Jadi, sebaiknya memang kalian harus menggunakan kekerasan. Sebab jika tidak, aku yang akan menggunakan kekerasan untuk membekuk kalian. Maling-maling Hina!" bentak Ki Adiwarsa mendengar ancaman tamu tak diundang itu. 
"Hmmm...," sosok berpakaian serba hitam itu menggereng perlahan. Kepalanya bergerak memberi isyarat pada kedua kawannya untuk bertindak maju. Ia sendiri sudah melangkah perlahan dari arah depan. 
"Haaattt...!" 
Ki Adiwarsa yang sudah marah kepada tamu-tamu kurang ajar itu, langsung membentak sambil melontarkan serangan-serangan yang cepat dan kuat. Sehingga, ketiga orang berpakaian serba hitam tak berani gegabah, untuk menghadapi secara langsung gempuran Ketua Perguruan Tongkat Sakti itu. 
"Whuuuttt...!" 
Sambaran bacokan tangan kanan Ki Adiwarsa, dapat dihindari lawan dengan membungkuk. Kemudian, terus melompat ke belakang sejauh setengah tombak, ketika lelaki tua itu menyusuli serangannya dengan sebuah tendangan miring ke arah ketiga lawannya. 
Cukup kaget juga hati Ki Adiwarsa melihat kegesitan lawan. Dan, lelaki tua itu terpaksa harus menunda serangannya. Ketika melihat dua sosok tubuh lain datang menyerbu untuk membantu kawannya. Sebentar kemudian, Ki Adiwarsa telah bertarung menghadapi ketiga lawannya, yang rata-rata berkepandaian tinggi. 
"Haiiittt...!" 
"Haaahhh...!" 
Setelah sepuluh jurus berlalu, mendadak ketiga orang lawannya berloncatan mundur, sambil mendorong kedua telapak tangan mereka masing-masing. 
"Whuuusss...!" 
"Celaka...!? Racun jahat..?!" pekik orang tua itu terkejut bukan main, ketika mengetahui pukulan jarak jauh yang dilontarkan lawan, menebarkan bau harum yang memabukkan. Pukulan jarak jauh itu sebenarnya, tidak berbahaya. Karena hanya untuk mendorong bubuk-bubuk beracun di tangan mereka. Tapi bubuk-bubuk beracun itulah yang berbahaya! 
Karena ruangan yang mereka gunakan untuk bertarung, tidak begitu luas, tentu sulit bagi Ki Adiwarsa untuk tidak menghirup bau harum memabukkan itu. Meski demikian, lelaki tua itu berusaha menahan napas sekuatnya. Sehingga, hanya sedikit racun yang terhisap ke dalam tubuhnya. 
Rupanya, ketiga lawan lelaki tua itu menyadari kecerdikan Ketua Perguruan Tongkat Sakti. Terbukti, ketiganya bergegas mendesak dengan pukulan-pukulan jarak jauh yang membuat orang tua itu kewalahan. Sebab, mana mungkin ia dapat menahan napas selagi harus menghadapi gempuran yang mengandung tenaga dalam hebat. Tentu saja itu tidak mungkin dapat dilakukannya. 
Menyadari hal itu, Ki Adiwarsa akhirnya memutuskan untuk mengadu nyawa dengan lawan-lawannya. Sambil mengeluarkan pekikan melengking tinggi, orang tua itu menerjang lawan-lawannya dengan pukulan-pukulan maut. 
Breeessshhh...! 
Tanpa dapat dicegah lagi, terjadi benturan keras yang membuat bangunan itu bergetar! Dan, tubuh Ki Adiwarsa maupun ketiga lawannya terdorong ke belakang menabrak dinding ruangan. Kejadian itu sangat merugikan Ki Adiwarsa. Sebab, dalam keadaan terengah, racun-racun yang terdapat di ruangan itu tersedot hidung dan mulutnya. Akibatnya, dalam sekejap saja tokoh itu sudah tidak bisa mengingat keadaan sekelilingnya. Ki Adiwarsa jatuh pingsan! 
Sedangkan ketiga sosok bayangan hitam itu sudah bangkit berdiri. Ketiganya merasakan dada mereka agak sesak akibat benturan keras tadi. Meski demikian, itu hanya luka dalam yang ringan dan tidak terlalu berbahaya. 
"Bawa orang tua itu...!" perintah sosok bertubuh tegap. Tanpa membuang-buang waktu lagi, kedua orang berpakaian serba hitam langsung mengangkat tubuh Ki Adiwarsa, dan diletakkan ke bahu salah seorang dari mereka. Kemudian, ketiga sosok itu bergerak meninggalkan bangunan perguruan. 
"Hei...!" 
Beberapa murid yang tadi mendengar pekikan melengking tinggi, terkejut melihat tiga sosok bayangan hitam bergerak meninggalkan bangunan perguruan. Mereka sempat melihat ada sosok tubuh yang dibawa lari ketiga orang berpakaian serba hitam itu. 
"Berhenti...!" Salah seorang murid Perguruan Tongkat Sakti yang merupakan murid utama Ki Adiwarsa, segera melesat ke depan, dan menerjang dengan pedangnya. 
"Haaahhh...!" 
Sosok bertubuh tegap yang berlari paling belakang, langsung membentak sambil mengibaskan lengannya ke belakang. Sehingga, terciumlah bau harum semerbak yang menyengat hidung. 
"Aaahhh...?!" Bukan main terkejutnya hati lelaki jangkung itu, ketika melihat serbuk putih yang menebarkan bau harum memabukkan, menghadang di depannya. Untuk menghindari bubuk putih, yang ia tahu bubuk beracun, jelas tidak mungkin. Maka, lelaki itu segera memutar senjatanya untuk mengurangi bahaya dari racun itu. 
Tapi, serbuk beracun yang dilemparkan dengan dorongan tenaga dalam itu, ternyata tidak mudah dihalau. Meskipun putaran pedang lelaki jangkung mampu menerbangkan daun-daun kering, tapi bubuk beracun yang seperti asap tebal itu, terus meluncur menerpa wajahnya. Sehingga... 
"Aaa...!" Rupanya, bubuk beracun yang kini digunakan, tidak sama dengan yang dipakai untuk membius Ki Adiwarsa. Teriakan lelaki jangkung, menandakan bubuk beracun itu sangat menyakitkan! Hingga lelaki jangkung itu melemparkan pedang di tangannya. Dan bergulingan di atas tanah, sambil mendekap wajah dengan kedua tangannya. 
Kenyataan itu, membuat murid-murid yang lainnya bergerak mundur. Dan, kesempatan itu dipergunakan oleh tiga sosok berpakaian serba hitam untuk melarikan diri. Tak seorang pun yang berani bertindak gegabah melakukan pengejaran. Karena mereka sadar itu sangat berbahaya. 
Sementara itu, lelaki jangkung yang wajahnya terkena bubuk putih, masih bergulingan sambil tetap mendekapkan kedua telapak tangan ke wajah. Jerit kesakitannya masih terdengar, membuat kawan-kawannya bertanya-tanya dalam hati. Apa yang membuat lelaki jangkung itu berteriak-teriak kesakitan? 
Jawabannya pun segera mereka peroleh. Lelaki jangkung itu terlihat berkelojotan. Wajah yang sudah tak dilindungi telapak tangan itu, tampak hangus bagaikan tersengat api. Seluruh kulit wajahnya rusak seperti terbakar. Dan, terlihat cairan berbau busuk membasahi sekujur wajah lelaki itu Tak berapa lama kemudian, napasnya putus. Membuat orang-orang yang menyaksikannya terpekik ngeri. 
"Kakang Malela...!" 
Mendadak, seorang murid perguruan tampak berlari-lari dari dalam bangunan utama. Kemudian bergegas menghampiri seorang lelaki gagah berusia sekitar dua puluh lima tahun. Napasnya tersengal-sengal ketika tiba di depan lelaki gagah bernama Malela. 
"Ada apa? Bagaimana keadaan guru kita? Apakah beliau selamat?" Malela langsung memberondong orang itu dengan pertanyaan. Sehingga, lelaki yang datang dengan napas tersengal itu menjadi gelagapan. 
"Guru kita..., hilang...," lapornya setelah berusaha mengatur napas, agar bisa menyampaikan apa yang diketahuinya. 
"Jadi, sosok yang digendong mereka tubuh guru kita?" tanya Malela entah pada siapa. Karena ucapan itu dikeluarkan mirip sebuah keluhan. 
Semua murid-murid yang mendengar ucapan Malela terdiam. Mereka belum bisa percaya guru besar mereka dapat diculik demikian mudahnya. Karena, mereka tahu sampai di mana kehebatan Ki Adiwarsa. Malela sendiri tak bisa berkata apa-apa. Pemuda itu segera melangkah menuju bangunan induk perguruan, setelah memberi perintah kepada beberapa murid untuk mengurus korban racun ganas. 
Hati pemuda bertubuh tegap itu benar-benar kacau, ketika tidak menemukan sosok gurunya di dalam bangunan induk. Sekarang ia mulai yakin, gurunya telah diculik orang. Tapi, dirinya sungguh tak mengerti, mengapa mereka harus menculik gurunya? Persoalan apa yang membuat mereka sampai menculik Guru Besar Perguruan Tongkat Sakti? 
Dengan kepala dipenuhi berbagai macam pertanyaan, Malela bergegas keluar dari bangunan utama. Setelah.memerintahkan murid-murid untuk kembali ke tempat masing-masing, Malela termenung di dalam kamarnya. Banyak hal yang membuat kepalanya terasa berat. Kakak seperguruannya telah tewas akibat racun jahat yang dilemparkan penculik gurunya. Sedangkan Ki Adiwarsa hanya mempunyai dua orang murid utama, yang telah mewarisi ilmu Perguruan Tongkat Sakti. Sekarang, hanya tinggal dia seorang yang harus bertanggung jawab atas perguruan. 
"Kalau aku pergi, siapa yang akan mengurus dan menjaga perguruan?" desis Malela dengan hati tak karuan.
"Sebaliknya, kalau aku tinggal menjaga perguruan, lalu siapa yang akan mencari guru?" 
Malela benar-benar pusing dihadapkan pada pilihan yang sulit. Sehingga, sampai pagi datang pemuda itu masih termenung di kamarnya, ia masih belum menemukan pilihan yang baik untuk mengatasi persoalan itu. 

* * * * *




Lenyapnya Ketua Perguruan Tongkat Sakti, membuat kaum persilatan gempar! Kesaktian Ilmu Tongkat Ki Adiwarsa memang sudah terkenal di kalangan persilatan. Jarang ada orang yang mampu menandingi kehebatan permainan tongkat tokoh itu. Tapi, ketua perguruan itu ternyata dapat diculik orang dari dalam perguruannya. Benar-benar sukar untuk dapat dipercaya. 
Beberapa tokoh yang bertempat tinggal tidak jauh dari Perguruan Tongkat Sakti, berdatangan hendak mencari keterangan yang lebih lengkap mengenai kebenaran kabar itu. Sehingga, Malela menjadi bingung menghadapi berbagai macam pertanyaan yang ditujukan kepadanya. 
"Bagaimana kejadian yang sebenarnya, Malela? Kami mendengar berita yang tersebar di luar sebagai fitnah orang-orang yang tidak menyukai Ki Adiwarsa. Tapi, rasanya akan lebih baik bila kami mendengar langsung dari mulutmu. Benarkah gurumu telah diculik orang? Apa kau mengetahui siapa penculik yang berani mati itu?" tanya seorang lelaki gagah bertubuh sedang yang di punggungnya terdapat sepasang golok kembar. 
Tokoh ini tidak lain Pendekar Golok Kembar, yang merupakan salah seorang sahabat Ki Adiwarsa. Lelaki gagah itu kebetulan berada di sekitar daerah itu, dan mendengar orang ramai membicarakan lenyapnya Ketua Perguruan Tongkat Sakti. Sehingga, dirinya menyempatkan diri untuk menanyakan kebenaran berita itu. 
Selain Pendekar Golok Kembar masih ada dua orang tokoh lainnya, yang merupakan sahabat-sahabat Ki Adiwarsa. Mereka pun ingin mendapatkan jawaban yang benar, agar dapat ikut memikirkan musibah yang menimpa Perguruan Tongkat Sakti. 
"Harap kalian semua dapat memaafkan kebodohanku. Peristiwa itu memang benar terjadi. Dan pencurinya berjumlah tiga orang. Kepandaian mereka sangat tinggi. Sehingga kami gagal untuk membekuknya...," sahut Malela perlahan. Hatinya tidak tenang mengingat peristiwa yang belum bisa dipercayainya itu. 
"Jadi, benar Ki Adiwarsa diculik orang?" lelaki tinggi besar berambut panjang yang semula belum percaya akan kebenaran berita itu kembali meminta ketegasan Malela. 
"Benar Ki," sahut Malela tidak bersemangat. 
"Apa kau tidak bisa menduga, siapa kira-kira penculik-penculik gila itu?" tanya Pendekar Golok Kembar dengan wajah membayangkan rasa penasaran hatinya. 
"Sayang, aku tak bisa menebaknya. Lagi pula, aku tak begitu banyak mengetahui musuh-musuh guruku...," sahut Malela yang memang tak bisa mengenali penculik- penculik itu. Sehingga, para tokoh yang berkumpul di ruang pertemuan itu, hanya bisa saling bertukar pandang dengan wajah heran. 
"Kalau begitu, kami akan bantu mencari manusia-manusia keparat itu, Malela," ujar tokoh-tokoh itu sebelum meninggalkan Perguruan Tongkat Sakti. 
Malela hanya bisa mengucapkan terima kasih, atas kesediaan sahabat-sahabat gurunya untuk menolong menemukan penculik-penculik itu. Dan, mengantarkan mereka pergi sampai ke pintu gerbang. Sepeninggal kawan-kawan gurunya, Malela kembali dicekam keresahan. Pemuda itu masih belum bisa mengambil keputusan. Apa yang akan dilakukannya? 
Jika ia pergi mencari penculik gurunya, sudah pasti untuk sementara perguruan akan ditutup. Sebab, tidak ada murid lain yang bisa diserahi tanggung jawab untuk menjaga perguruan. Tapi, keputusan harus segera diambil, sebelum semuanya makin bertambah parah. Tanpa Ki Adi-warsa, jelas murid-murid Perguruan Tongkat Sakti akan selalu dilanda keresahan. Untuk itu, ia harus berani mengambil keputusan! 

* * * * *



:::≡¦ [ DUA ] ¦≡:::

"HEYAAA...!
Kuda berbulu coklat itu melesat cepat bagai anak panah yang lepas dari busur. Debu mengepul tinggi, saat binatang itu berderap melintasi jalan tanah merah yang kering, terpanggang matahari. Lelaki bertuljuh kurus yang duduk di atas punggung kuda, tampaknya demikian bergegas. Terbukti, dari seringnya tali kekang dicambukkan ke tubuh binatang tunggangannya. 
Bentakannya terus bergema, meningkahi suara hentakan kaki kuda. Tidak berapa lama kemudian, tibalah penunggang kuda itu di kaki sebuah bukit kecil. Dari sini, lari kudanya baru diperlambat Karena selain jalan yang dilaluinya tidak rata, juga banyak terdapat belokan. Sehingga, terlalu besar risikonya jika ia masih nekat tidak mengurangi kecepatan lari binatang tunggangannya. Jurang menganga lebar di sebelah kanannya, siap menelan tubuh penunggang kuda itu dan binatang tunggangannya, bila ia salah melangkah.
Ketika jalan yang dilaluinya memecah dua arah, penunggang kuda itu mengambil jalan ke kanan, yang kadang menurun. Tidak berapa lama sesudahnya, tibalah ia di dekat sebuah rumah yang berhalaman cukup luas. Rumah itu berdiri di punggung bukit. Dengan kesigapan yang cukup mengagumkan, lelaki bertubuh kurus itu melayang turun dari atas punggung kuda. Kemudian, menambatkan binatang tunggangannya pada sebuah batang pohon. Setengah berlari lelaki kurus itu memasuki halaman rumah. 
"Ada berita apa, Ki Danara? Kelihatannya kau begitu tergesa?" tegur seorang lelaki bertubuh tegap, yang saat itu tengah melatih seorang gadis remaja berusia sekitar tujuh belas tahun. Kedatangan lelaki kurus yang bernama Ki Danara itu, membuat lelaki tegap mengalihkan perhatiannya. 
"Ampun, Guru. Berita yang kubawa kali ini memang sangat penting...," ujar Ki Danara sambil mengatur napasnya yang agak tersengal. Lelaki kurus itu menjatuhkan tubuhnya seraya mengangkat kedua tangan di atas kepala, dengan kedua telapak menyatu. 
"Hm... Coba katakan, berita apa yang kau anggap demikian penting itu, hingga kau tidak membawa bahan makanan seperti biasanya. Ingin kutahu, seberapa pentingnya berita itu bagiku...?" ujar lelaki bertubuh tegap yang menatap wajah Ki Danara dengan sinar mata tajam. 
"Ada apa, Ayah? Kelihatannya Paman Ki Danara demikian tergesa," gadis remaja berwajah manis dengan senyum yang memikat, menghentikan latihannya, dan melangkah menghampiri lelaki tegap yang tengah menghadapi Ki Danara. Kemudian, sepasang matanya yang bersinar cerah beralih pada Ki Danara, "Apa aku boleh ikut mendengarkan berita yang Paman bawa itu...?" tanyanya dengan suara agak manja. 
"Tentu saja boleh, karena berita yang akan paman sampaikan ini bisa menambah pengalamanmu, dalam mengikuti perkembangan kalangan persilatan dewasa ini...," sahut Ki Danara tersenyum, memandang wajah manis gadis itu. 
Kelihatan Ki Danara sangat menyayangi dara manis itu. Dan, lelaki itu tidak berusaha menyembunyikannya meski di depan, lelaki gagah, ayah gadis itu. Sebab, rasa sayang Ki Danara tak ubahnya kasih seorang ayah terhadap putrinya. Usia Ki Danara dan gadis itu terpaut jauh, sekitar dua puluh tahun lebih. Sehingga, rasa sayang yang ditunjukkan Ki Danara, bukan rasa sayang seperti pada orang-orang muda berlainan jenis. 
Sehabis menanggapi ucapan gadis berwajah manis, Ki Danara kembali memandang lelaki tegap yang masih menanti berita darinya. Terlihat lelaki gagah itu menganggukkan kepala, menyetujui apa yang dikatakan Ki Danara pada gadis itu. 
"Begini, Guru. Pada saat ini, orang banyak tengah ramai membicarakan Penculik-Penculik Misterius yang berkepandaian tinggi. Bukan hanya orang-orang biasa yang dibuat gempar. Bahkan, kaum rimba persilatan pun dibuat cemas oleh kemunculan penculik-penculik itu. Tahukah Guru, apa yang telah dilakukannya...?" Ki Danara menghentikan ceritanya, menanti tanggapan lelaki bertubuh tegap, yang mendengarkan penuturan Ki Danara dengan wajah bersungguh-sungguh. 
"Tidak perlu berteka-teki, Ki Danara. Kau tahu sendiri, aku sudah tidak pernah lagi mengikuti perkembangan yang terjadi di dunia ramai. Jadi, teruskan saja ceritamu, dan jangan membuatku penasaran," ujar lelaki bertubuh tegap yang kelihatan sudah tak sabar, ingin segera mengetahui berita yang dibawa Ki Danara secara lengkap. Karena, apa yang disampaikan lelaki kurus itu memang sangat menarik perhatiannya. 
"Maaf, Guru...," ucap Ki Danara pelan. Setelah menarik napas sesaat, lelaki kurus itu pun kembali melanjutkan ceritanya. Sehingga, membuat lelaki tegap itu nampak kaget. 
"Tokoh-tokoh persilatan lenyap diculik orang...?! Benarkah berita yang kau bawa ini, Ki Danara? Atau, kau hanya mendengar dari pembicaraan orang-orang yang tidak mempunyai pekerjaan?" ujar lelaki bertubuh tegap belum percaya sepenuhnya akan cerita muridnya itu. Sehingga, ia merasa perlu menegasi. Sebab, bukan tidak mungkin kabar itu sengaja disebarluaskan kaum golongan sesat, untuk membuat resah orang banyak. 
"Kalau belum mengetahui kebenarannya secara pasti, mana berani aku melaporkan berita ini kepada, Guru. Sebelum kembali ke sini, aku telah menyelidiki kebenaran berita ini. Hingga, aku harus bertanya langsung pada beberapa murid Perguruan Tongkat Sakti, yang telah kehilangan ketuanya. Perguruan yang telah cukup dikenal kalangan persilatan itu telah dibubarkan. Sebab, selain ketuanya lenyap diculik, salah seorang dari dua murid utamanya, tewas terbunuh pada malam kejadian. Sedangkan murid yang seorang lagi, pergi meninggalkan perguruan untuk mencari ketuanya. Itu sebabnya, Perguruan Tongkat Sakti dibubarkan untuk sementara...," jelas Ki Danara melanjutkan ceritanya. 
"Gila!" desis lelaki bertubuh tegap dengan wajah menggambarkan gejolak di dalam dadanya.
"Kalau sampai Ki Adiwarsa diculik orang dari perguruannya, benar-benar tidak bisa dipandang remeh kepandaian penculik-penculik itu!" 
"Selain itu, aku khawatir Guru akan menjadi korban penculikan selanjutnya...," ucap Ki Danara terdengar mengandung kekhawatiran yang dalam. Rupanya, alasan itulah salah satu penyebab, mengapa lelaki kurus itu melarikan kudanya seperti orang dikejar setan. 
"Mengapa kau menduga demikian, Ki Danara?" tegur lelaki bertubuh tegap menatap Ki Danara dengan kening berkerut. Sepertinya, merasa heran atas ucapan muridnya itu. 
"Paman. Mengapa kau sampai mempunyai pikiran demikian? Lagi pula, mana mungkin mereka berani datang ke tempat ini? Kalau pun benar mereka berani datang, pedang Ayah tentu akan dapat mengusir penculik-penculik keparat itu...," timpal gadis manis putri lelaki tegap itu menambahi perkataan ayahnya. Agaknya, gadis remaja itu sangat yakin akan kepandaian orang tuanya. 
Keyakinan gadis manis bernama Pujawati itu memang tidak terlalu berlebihan. Sebab, lelaki tegap itu, merupakan salah satu tokoh puncak dalam kalangan persilatan. Hanya saja, dalam beberapa tahun terakhir, tokoh itu menghilang dari dunia ramai, dan menetap di Bukit Kendal untuk mendidik putrinya. Lelaki itu mencari tempat yang jauh dari keramaian, setelah kehilangan istrinya semenjak Pujawati berumur tiga tahun. Istrinya tewas dibunuh gerombolan perampok yang menjarah desa tempat tinggalnya dulu. 
Meskipun kematian istrinya telah terbalas, tapi lelaki tegap itu tidak bisa menetap lebih lama di desa itu. Sehingga, ia memutuskan untuk melewatkan hari tuanya dengan mendidik Pujawati. Juga untuk menghapus semua kenangan yang pernah terukir di hatinya. Lelaki gagah itu merupakan seorang jago pedang yang tiada bandingnya dalam rimba persilatan. Kehebatan ilmu pedangnya, membuat ia dijuluki Pedang Pemecah Langit. 
Setelah sekian tahun hidup dalam kedamaian, tiba-tiba muncul persoalan yang mungkin akan menyeretnya kembali ke dunia ramai. Karena, biar bagaimanapun ia merasa ikut bertanggung jawab atas segala ketidakadilan yang sampai ketelinganya. 
Ki Danara yang mendapat pertanyaan demikian dari kedua orang yang dihormatinya itu, terdiam sesaat. Sepertinya, lelaki tua itu merasa berat untuk mengemukakan perasaannya. Biar bagaimanapun, kabar yang dibawanya pasti akan membuat hati mereka tidak akan tenteram seperti hari-hari kemarin. 
"Maaf, Guru. Bukan aku menyangsikan kepandaian Guru. Tapi, penculik-penculik itu memang mengincar tokoh-tokoh penting rimba persilatan. Sebab, Selain Ki Adiwarsa, Pendekar Golok Kembar, Sepasang Naga Laut, masih banyak lagi tokoh-tokoh lainnya yang lenyap tanpa jejak. Itu sebabnya, mengapa aku sangat mengkhawatirkan keselamatan Guru...," jelas Ki Danara yang dengan sangat terpaksa harus menyampaikan apa yang diketahuinya. 
Bukan main kagetnya hati Pedang Pemecah Langit ketika mendengar nama-nama yang disebutkan Ki Danara. Sebab, beberapa di antaranya memiliki tingkat kepandaian yang tidak berselisih jauh dengannya. Bahkan, Sepasang Naga Laut merupakan seorang tokoh puncak yang sangat ditakuti lawan dan disegani kawan. Tingkat kepandaian tokoh itu boleh dibilang masih setingkat di atas kepandaiannya. Tentu saja lelaki tegap itu menjadi kaget. 
"Hm.... Kalau begitu, persoalan ini jelas tidak bisa didiamkan begitu saja. Kekhawatiranmu memang beralasan, Ki Danara. Terima kasih atas kesetiaanmu padaku. Dan, bisa jadi penculik-penculik itu pun tengah mengincarku. Tapi, biar bagaimanapun aku tidak akan mundur. Sebab, kalau benar mereka menghendaki diriku, ke mana saja aku bersembunyi pasti akan dapat mereka temukan...," ujar Pedang Pemecah Langit dengan suara lantang dan gagah. 
"Benar, Pedang Pemecah Langit! Ke mana pun kau pergi bersembunyi, kami akan datang mencarimu. Bagus, kalau kau berniat menunggu kedatangan kami. Dan kau tidak perlu menunggu lama. Karena hari ini juga kami akan membawamu pergi...!" tiba-tiba terdengar suara yang bergema di sekitar tempat kediaman Pedang Pemecah Langit. 
"Siapa kau...? Tunjukkan rupamu kalau kau benar-benar seorang yang jantan! Aku tidak suka dengan orang-orang pengecut yang bisanya hanya bersembunyi...!" bentak Pedang Pemecah Langit yang diam-diam terkejut mendengar suara yang didorong kekuatan tenaga dalam tingkat tinggi itu. Terlebih lagi kehadiran si empunya suara tidak diketahuinya. Kenyataan itu menandakan orang-orang yang datang tanpa diundang itu, memiliki kepandaian yang tidak bisa dianggap remeh. 
Setelah berkata demikian, Pedang Pemecah Langit mencabut senjatanya dan melintangkan di depan dada. Kemudian menoleh ke arah Ki Danara dan putri tunggalnya.
"Ki Danara. Kalau terjadi apa-apa, bawalah Pujawati pergi dari tempat ini, selagi aku bertarung. Aku akan memberikan isyarat kapan kalian harus pergi...," bisik Pedang Pemecah Langit khawatir akan keselamatan putrinya. Lelaki itu sadar lawan yang kali ini harus dihadapi bukan lawan-lawan enteng. Itu sebabnya, ia segera berpesan pada Ki Danara. 
"Tidak! Aku akan membantu Ayah menghadapi orang-orang jahat itu! Aku tidak takut mati! Biar bagaimanapun, aku tidak mau lari seperti seorang pengecut!" bantah Pujawati berkeras tidak mau meninggalkan tempat itu, dan hendak membantu ayahnya menghadapi penculik-penculik yang datang. 
"Jangan membantah, Anakku. Semua ini Ayah lakukan demi kebaikan kita berdua. Kalau sampai kita berdua tertangkap, lalu siapa yang akan membebaskanku? Tapi jika kau pergi untuk sementara waktu dan menyempurnakan semua ilmu yang ayah ajarkan padamu. Dengan demikian, ayah bisa mengharapkan bantuanmu bila sampai tertangkap dan dibawa pergi oleh mereka...," bujuk Pedang Pemecah Langit mencoba memberikan alasan yang dapat diterima Pujawati. 
"Tapi..., bagaimana kalau Ayah tewas di tangan mereka. Jika itu sampai terjadi, bukankah aku bisa dituduh orang sebagai anak durhaka...?" Pujawati masih mencoba membantah ucapan ayahnya, meskipun dengan suara lemah. 
"Tidak, Anakku. Justru dengan menuruti kata-kata ayah, kau sudah menunjukkan baktimu. Jangan membantah lagi. Karena rasanya lawan terlalu kuat bagi kita...," bisik Pedang Pemecah Langit yang sudah membalikkan tubuh dan memandang berkeliling. Sebab, hingga saat itu ia belum mengetahui di mana lawannya berada. Pedang Pemecah Langit tidak perlu menunggu terlalu lama. Karena, orang yang ditunggunya telah meluncur turun dari atas pohon di tiga tempat. Kemudian, ketiga sosok tubuh itu melangkah perlahan membentuk kepungan. 
"Sebenarnya kami tidak ingin menggunakan kekerasan. Pedang Pemecah Langit! Tapi, kalau kau menghendaki, apa boleh buat...," desis salah seorang dari ketiga lelaki berpakaian serba hitam itu. Wajah mereka memancarkan sifat licik. Tapi, tak seorang pun dari ketiga lelaki berpakaian serba hitam itu dapat dikenalinya. 
"Hm... aku sudah tahu tujuan kalian datang ke tempat ini! Tidak perlu berbasa-basi lagi! Kalau memang mempunyai kesanggupan, lakukan saja apa yang telah kalian perbuat terhadap tokoh-tokoh persilatan lainnya...!" geram Pedang Pemecah Langit yang kini telah memutar pedangnya sedemikian rupa, hingga menimbulkan suara bercicitan tajam. 
"Bagus...! Sudah kukatakan sejak pertama tadi, bahwa apa pun yang kau minta akan kami turuti...," ujar salah seorang dari mereka, yang wajahnya terdapat bekas luka memanjang. 
"Mengapa kalian tidak menggunakan senjata...?" tegur Pedang Pemecah Langit ketika melihat tangan ketiga lawannya tampak kosong. Tidak ada tanda-tanda sedikit pun mereka akan menggunakan senjata. Sehingga, Pedang Pemecah Langit menjadi ragu. 
"Tidak perlu banyak cakap, Pedang Pemecah Langit! Waktu kami sangat singkat. Bersiaplah...!" sosok yang bertindak sebagai pimpinan, berkata dengan nada dingin dan memandang ringan Pedang Pemecah Langit. Rupanya sikap Penculik-Penculik Misterius semakin sombong, setelah tugas-tugasnya selalu berhasil dengan baik. 
Tapi, yang kali ini dihadapi mereka adalah Pedang Pemecah Langit, yang terkenal sangat berhati-hati dalam mengambil tindakan. Tokoh ini selalu mempertimbangkan dengan cermat setiap gerak langkahnya. Dan, tidak pernah memandang remeh, meski lawannya hanya seorang maling kecil sekali pun. Apalagi menghadapi tiga Penculik-Penculik Misterius, yang telah berhasil menculik tokoh-tokoh digdaya seangkatan. Tentu saja Pedang Pemecah Langit lebih berhati-hati lagi. 
Wrrr... wrrr...! 
Pedang di tangan lelaki tegap berwajah jantan, berusia sekitar lima puluh tahun itu, berputaran menimbulkan dengungan tajam. Sepasang matanya yang tajam bergerak lincah, meneliti langkah kaki ketiga lawannya yang mulai melangkah maju. Dan... 
"Haaattt...!" 
Ketika lawannya yang berada di depan menyerang, Pedang Pemecah Langit masih belum bergeser dari tempatnya. Lelaki tegap itu bersikap demikian tenang, menunggu serangan lawan tiba. Baru kemudian menarik mundur langkahnya dan langsung bergerak ke samping, menghindari sebuah pukulan yang meluncur datang mengancam dada! 
Beeettt…! 
Pedang Pemecah Langit kelihatan belum berminat untuk melontarkan serangan balasan. Terbukti, setelah berhasil menghindari serangan pertama, ia langsung melompat sejauh beberapa langkah, dan terus menjauh saat serangan lawan yang lain datang mengancam. Agaknya, lelaki tegap itu hendak mempelajari gerakan ketiga pengeroyok. Setelah itu, baru ia dapat memperhitungkan langkah penyerangan untuk melumpuhkan lawan-lawannya. 
Tindakan yang dilakukan Pedang Pemecah Langit memang sangat tepat. Sayang, tokoh itu tidak tahu lawan-lawannya ahli racun yang tangguh. Dan, berkat racun-racun pelumpuh itulah, mereka dapat menundukkan tokoh-tokoh besar golongan putih. Jika bukan karena itu, belum tentu mereka dapat berhasil dengan baik melakukan penculikan. 
Setelah sepuluh jurus berlalu, Pedang Pemecah Langit kelihatan mulai mempersiapkan jurus andalannya untuk menghadapi lawan. Cepat bukan main gerakan yang dilakukan lelaki tegap itu dalam memainkan senjatanya. Sehingga, ketiga lawannya kelihatan agak terkejut, dan merenggangkan kepungan. 
"Haiiittt...!" 
Dengan sebuah lengkingan panjang menggetarkan jantung, Pedang Pemecah Langit bergerak maju menerjang lawan-lawannya. Senjata di tangannya berubah banyak, dan tidak kelihatan bentuk aslinya lagi. Terdengar suara berciutan saat mata pedang mulai mengincar korbannya satu persatu. 
Swing...! 
"Aiiih...?!" Lawan pertama yang menjadi incaran ujung pedang lelaki tegap, berseru kaget. Hampir saja tenggorokannya tersayat ujung pedang. Untung ia masih sempat memiringkan tubuhnya. Sehingga, ujung senjata maut itu lewat setengah jengkal di sisi leher. 
"Shaaah...!" 
Tapi, serangan Pedang Pemecah Langit tidak berhenti sampai di situ saja. Begitu serangannya luput, senjata itu bergerak balik dengan kecepatan tinggi. Yang menjadi sasaran tetap tenggorokan lawan. 
"Hiaaah...!" 
Di sini, para Penculik-Penculik Misterius itu mulai memperlihatkan kecurangan. Sambil melempar tubuh bergulingan menghindari kejaran pedang lawan, tangannya mengibas menebarkan bubuk-bubuk beracun, yang bila sampai tersedot bisa membuat lawan lumpuh dan roboh pingsan. 
"Licik...!" Mendapat serangan gelap yang sebelumnya tidak diduga itu, terkejut juga hati Pedang Pemecah Langit. Cepat lelaki tegap itu melempar tubuh bergulingan ke belakang, sambil mengibaskan senjatanya dengan kecepatan tinggi. 
"Haaahhh...!" 
Tapi, begitu kedua kaki Pedang Pemecah Langit menyentuh tanah, lawan yang sudah berada di belakangnya langsung membentak, sambil mendorong sepasang telapak tangannya ke punggung lelaki tegap itu. Hingga.... 
Breeesssh..! 
"Aaakhhh.?!" 
Tanpa ampun lagi, tubuh Pedang Pemecah Langit terjerembab ke depan. Dan, asap beracun yang berada di depannya langsung terhisap tanpa sengaja. Sehingga, tubuh lelaki tegap itu terhuyung limbung. Darah segar tampak meleleh di sudut bibirnya. 
"Hmmm..." Sadar dirinya telah mengisap udara beracun, Pedang Pemecah Langit bergegas mengempos semangat, dan mengerahkan tenaga dalamnya untuk bertahan. 
"Ki Danara...! Pergi...!" desis Pedang Pemecah Langit dengan tubuh terhuyung limbung. Pedang di tangannya diputar sedemikian rupa untuk memberikan kesempatan Ki Danara dan Pujawati meninggalkan tempat itu. 
"Ayah...!" Pujawati merintih ketika melihat ayahnya terluka. Namun, kata-kata ayahnya membuat gadis remaja itu harus mengeraskan hati, dan membiarkan tangannya ditarik Ki Danara dan pergi. 
Ketiga Penculik-Penculik Misterius itu agaknya tidak begitu memperhatikan dua orang yang berlari meninggalkan tempat itu. Sebab, tujuan mereka hanya satu, menangkap dan menawan Pedang Pemecah Langit! 

* * * * *



:::≡¦ [ TIGA ] ¦≡:::

"HMM.... Sungguh alot sekali! Rupanya, kau masih juga hendak melawan, Pedang Pemecah Langit...?" geram salah seorang dari ketiga penculik, yang bertubuh paling tinggi di antara kedua kawannya yang lain. Meskipun mulutnya berkata demikian, tapi sepasang matanya tampak menyiratkan kekaguman atas kekuatan daya tahan tubuh Pedang Pemecah Langit, yang belum juga roboh meski telah menghirup udara beracun yang mereka sebarkan. 
"Sampai mati pun aku tidak akan sudi menyerah, Iblis Keji! Entah apa tujuan kalian sebenarnya, dengan melakukan penculikan terhadap tokoh-tokoh golongan putih...?" desis Pedang Pemecah Langit yang dalam keadaan payah, masih juga berbicara, mengemukakan rasa penasaran dihatinya. 
"Cerewet...!" geram lelaki berwajah codet tidak sabar, melihat Pedang Pemecah Langit tetap berusaha melakukan perlawanan. 
"Yeaaattt..!" 
Dengan nekat dan tidak peduli akan pengaruh racun di dalam tubuhnya, Pedang Pemecah Langit kembali menerjang maju dengan tusukan dan sambaran pedangnya, yang ternyata masih sangat berbahaya. Tentu saja ketiga Penculik-Penculik Misterius itu tidak berani bertindak gegabah. 
Cwiiittt… cwiiittt...! 
Ketiga pengeroyok itu melangkah mundur, ketika ujung pedang lelaki tegap itu bergerak cepat mencari sasaran. Meskipun gerakan itu sudah tidak begitu terarah, tapi masih sangat berbahaya, dan bisa merenggut nyawa lawan. 
"Hm...," lelaki tinggi besar yang menjadi pimpinan Penculik-Penculik Misterius menggeram gusar. Dan, ketika serangan pedang lawan kembali datang untuk yang kesekian kali, lelaki tinggi besar itu malah bergerak maju dengan mengandalkan kelincahannya. Lalu.... 
"Hiaaah!" 
Diiringi sebuah bentakan keras, lelaki tinggi besar melontarkan sebuah tamparan ke pelipis lawan. Tidak terlalu kuat, tapi sanggup membuat Pedang Pemecah Langit roboh tak berkutik! 
Plakkk! 
"Oughhh.!" Tubuh lelaki tegap itu langsung terbanting ke tanah berumput. Dan, pingsan seketika. Tamparan lelaki tinggi besar itu tepat mengenai bagian jalan darah kelemahan di kepala. 
"Hm.... Sungguh hebat sekali tokoh yang berjuluk Pedang Pemecah Langit ini. Rasanya, ia tidak kalah jika dibandingkan dengan Sepasang Naga Laut, tokoh pantai selatan itu...," gumam lelaki tinggi besar pada kedua orang kawannya yang agaknya sependapat dengannya. 
"Sebaiknya kita segera tinggalkan tempat ini...," usul lelaki bertubuh sedang yang berwajah codet. Setelah berkata demikian, tubuh Pedang Pemecah Langit segera digendongnya. Sebentar kemudian, terlihat ketiga Penculik Misterius itu menuruni lereng Bukit Kendal. Dan terus lenyap di kejauhan. 

* * * * *




"Aaah, aku sungguh seorang anak durhaka! Mengapa kubiarkan ayah tertawan oleh orang-orang jahat itu...?" sambil berlari dengan setengah terpaksa, Pujawati terus merintih menyebut-nyebut nama ayahnya. Kelihatan gadis remaja itu sangat terpukul dengan peristiwa yang baru saja dialaminya. 
Pukulan batin yang dialami Pujawati tidaklah aneh. Sejak kecil gadis itu telah digembleng ayahnya dengan ilmu-ilmu silat tinggi. Sekian belas tahun mereka hidup dalam kebahagiaan dan ketenteraman. Selama itu, mereka tidak pernah berpisah, meskipun hanya untuk satu hari. Maka, betapa berat dirasakan Pujawati saat ia harus berpisah dengan orangtua yang sangat dicintainya itu. Bahkan, mungkin tidak akan pernah bertemu lagi untuk selamanya. 
Ki Danara, lelaki tua berusia sekitar empat puluh lima tahun, berusaha menghibur putri tunggal gurunya. Meskipun sebenarnya lelaki tua itu bukan murid resmi, tapi baktinya demikian besar pada keluarga Pedang Pemecah Langit. Ki Danara sendiri sebenarnya seorang pedagang keliling, yang kebetulan berjumpa dengan Pedang Pemecah Langit di sebuah desa, sebelum pendekar itu menetap di Bukit Kendal. 
Karena hampir tiap dua minggu sekali Ki Danara mengunjungi Bukit Kendal, dengan membawa barang-barang yang diperlukan keluarga itu, akhirnya Pedang Pemecah Langit berkenan menurunkan beberapa ilmu untuk menjaga diri. Sejak itulah, Ki Danara menganggap Pedang Pemecah Langit bukan lagi seorang sahabat. Tapi, sebagai guru yang harus dihormati dan dibela. Itu sebabnya, mengapa lelaki tua itu mau bersusah-payah membawa Pujawati melarikan diri, agar tidak diganggu Penculik-Penculik Misterius. 
"Semua ini sudah menjadi kehendak ayahmu. Jadi tidak perlu kau sesali. Kalaupun ada yang harus kita pikirkan, bagaimana cara kita mengetahui tempat ayahmu ditahan. Dengan begitu, kita bisa mencari jalan untuk membebaskannya," hibur Ki Danara tanpa menghentikan larinya. Khawatir jika para penculik itu akan mengejar mereka. 
Ki Danara terus membawa lari Pujawati melalui tempat-tempat yang jarang dilewati orang. Itu dimaksudkan agar Penculik-Penculik Misterius itu kehilangan jejak bila masih terus mengejar mereka. Hingga, keduanya melintasi hutan liar, yang hanya didatangi pemburu-pemburu kawakan. 
"Hiaaah...!" Setelah setengah hutan mereka tempuh, tiba-tiba terdengar bentakan mengejutkan, disusul munculnya sosok-sosok tubuh dari dalam tanah. Tahu-tahu mereka telah terkurung belasan sosok tubuh menyeramkan! 
"Kawanan Perampok Ular Tanah...?!" desis Ki Danara terkejut, ketika mengenali orang-orang kasar yang mengurung mereka berdua. Sebagai pedagang keliling yang banyak melakukan perjalanan jauh, tentu Ki Danara banyak mengenal gerombolan perampok dan sebangsanya. Maka, tidak aneh kalau orang tua itu langsung dapat mengenali para pengepungnya dengan baik, setelah memperhatikan beberapa saat lamanya. 
"He he he...! Bagus kalau kau sudah mengenal kami. Orang Tua. Nah, kalau kau ingin selamat tinggalkan gadis itu dan sedikit harta yang kau bawa. Setelah itu, kau boleh meninggalkan tempat ini tanpa diganggu...," ujar seorang lelaki berwajah hitam dan berkulit kasar. 
Pujawati menahan seruannya ketika lelaki itu menyeringai ke arahnya. Giginya yang besar-besar dan kotor membuat Pujawati merasa jijik melihatnya. Sehingga, tanpa sadar gadis manis itu mundur beberapa langkah ke belakang. Itu bukan berarti Pujawati seorang gadis penakut. Gadis itu hanya kaget sesaat untuk kemudian, kembali tenang seperti biasa. 
"Raja Ular Tanah. Harap kau biarkan kami lewat. Untuk kebaikanmu itu, aku akan memberikan harta yang cukup banyak," ujar Ki Danara mencoba berdamai dengan gerombolan yang terkenal buas dan kejam. Bahkan, tidak jarang memakan daging manusia, yang menurut keyakinan mereka dapat membuat tubuh menjadi kebal. Mengingat hal itu, bergidik hati Ki Danara. Tapi, lelaki itu berusaha untuk bersikap setenang mungkin. 
"Keparat! Berani kau melakukan penawaran atas permintaanku! Apa kau belum mengenal baik siapa kami...?" bentak Raja Ular Tanah, pemimpin gerombolan manusia liar itu. 
Mendengar bentakan itu, Ki Danara pun sadar tidak ada jalan lain untuk melepaskan diri dari Gerombolan Ular Tanah, selain harus bertarung. Maka, dicabutnya pedang yang tergantung di pinggang. Sebagai murid Pedang Pemecah Langit, tentu saja Ki Danara telah dibekali ilmu-ilmu yang cukup untuk digunakan membela diri. 
"Kurang ajar! Kau hendak melawan, heh...!" geram Raja Ular Tanah ketika melihat gerakan tangan Ki Danara yang kini telah menggenggam pedang telanjang. 
"Kaulah yang memaksa, Raja Ular Tanah...!" sahut Ki Danara yang siap mengorbankan nyawa demi keselamatan putri gurunya. 
Pujawati sendiri tidak tinggal diam. Meskipun gadis itu hampir tidak pernah mendapat pengalaman seperti itu, namun dari cerita-cerita ayahnya, ia sudah banyak mendengar tentang orang-orang jahat yang berkeliaran di atas muka bumi ini. Ketika melihat Ki Danara mencabut senjata, gadis itu pun meloloskan pedang yang tergantung di pinggangnya. 
Sraaat...! 
Cahaya putih berkilau saat pedang di tangan Pujawati berkelebat menyilang dengan suara berdesing tajam. Melihat kenyataan itu, Raja Ular Tanah tampak terbelalak dengan wajah menyeringai. Kelihatan lelaki itu makin tertarik dengan sosok ramping yang memegang senjata. 
"He he he...! Sungguh hebat sekali. Hari ini aku akan mendapat seorang permaisuri yang gagah perkasa dan liar. Aku sungguh sedang beruntung...," gumam lelaki tinggi besar berperut gendut itu terkekeh serak. 
Pujawati yang meski hanya dengan nalurinya, mampu menangkap makna ucapan Raja Ular Tanah. Maka, gadis itu pun bersiap melakukan pertarungan. 
"Kita lawan saja mereka, Paman...," ujar gadis manis itu dengan suara serak, karena terlalu banyak menangis selama perjalanan. 
"Memang sebaiknya kita lawan mereka. Kalau tidak, mereka akan semakin beringas...," sahut Ki Danara yang sudah melintangkan pedangnya di depan dada. Ternyata, meskipun bukan murid resmi Pedang Pemecah Langit, gerakan Ki Danara terlihat cukup gesit dan mantap. 
"He he he...! Anak-anak, kalian bereskan orang tua itu. Biar gadis manis ini bagianku...," perintah Raja Ular Tanah terkekeh seraya melangkah ke arah Pujawati. Kelihatannya, lelaki tinggi besar berperut gendut itu, sudah tidak sabar untuk segera memeluk tubuh ramping di depannya. 
"Hm..." Pujawati bukanlah keturunan orang sembarangan. Gadis itu tidak merasa gentar, menghadapi lelaki kasar yang tampak seperti hendak melahap tubuhnya. Pedang di tangannya bergerak menyilang beberapa kali memperdengarkan suara berkesiutan. 
"He he he...!" Permainan pedangmu bagus sekali, permaisuriku. Ayo, terus tunjukkan padaku...," sambil melangkah ke arah Pujawati, mulut Raja Ular Tanah tak henti-hentinya mengoceh. 
Pujawati menggeser langkahnya menjauh, ketika mencium bau yang tak sedap dari tubuh dan mulut Raja Ular Tanah. Diam-diam hatinya bergidik, membayangkan tubuhnya dalam rangkulan lelaki menjijikkan itu. 
"Haaah...!" Melihat Pujawati bergerak mundur. Raja Ular Tanah yang takut kehilangan gadis itu langsung melompat sambil mengembangkan kedua tangannya, siap merangkul tubuh mungil dara remaja itu. 
"Shaaattt..!" 
Dengan sebuah bentakan mengejutkan, Pujawati mengelebatkan pedangnya untuk menyambut luncuran tubuh lawan. Dan.... 
Takkk! 
Pedang gadis itu telak menghajar perut gendut Raja Ular Tanah. Tapi, bukan main kagetnya hati data manis itu ketika pedangnya malah berbalik. Bahkan, lengannya terasa panas. Sadarlah Pujawati, tubuh lawan tidak mudah untuk dilukai oleh tebasan pedang. 
Whuuuttt.! 
Sepasang lengan yang besar dan kuat meluncur datang hendak meringkus tubuh mungil Pujawati. Untunglah gadis itu cepat sadar dari keterpakuannya. Cepat gadis itu melesat ke belakang dan terus berjumpalitan di udara. 
"He he he...! Bagus..., bagus.!" 
Raja Ular Tanah terlihat gembira bukan main menyaksikan ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Pujawati. Semua ketangkasan yang dimiliki gadis itu membuat Raja Ular Tanah makin bernafsu untuk segera meringkusnya. Pujawati yang sadar akan kekuatan tubuh dan tenaga lawan, terpaksa harus menggunakan kelincahannya, untuk menghindari terkaman-terkaman sepasang lengan yang berbulu lebat itu. Sesekali ia balas menyerang, mengincar bagian-bagian terlemah tubuh lawan yang tidak dilindungi kekebalan. 
Raja Ular Tanah pun tidak bodoh. Lelaki itu tahu daerah sasaran serangan Pujawati adalah bagian-bagian terlemah tubuhnya yang tidak dilindungi kekebalan. Maka, Raja Ular Tanah tidak berani menerima serangan pedang Pujawati pada bagian terlemah itu. Terpaksa lengannya harus menepis, bila ujung pedang gadis itu meluncur datang, mengincar jalan darah kematian ditubuhnya. 
"Haiiit..!" 
Untuk yang kesekian kalinya, Pujawati kembali menusukkan ujung pedangnya pada bagian belakang telinga lawan. Suara berdesing yang ditimbulkannya, membuktikan dara itu telah mengerahkan seluruh tenaganya untuk menyerang. 
"Hmmmhhh...!" Raja Ular Tanah menggeram gusar. Cepat tangan kanannya bergerak menepis pedang lawan. 
Plakkk! 
"Aaaihhh...!" Serangan pedang gadis remaja itu terpental balik akibat tepisan kuat. Tapi, sepertinya gerakan itu sudah termasuk dalam perhitungannya. Terbukti, pedang yang melenceng itu tiba-tiba berputar kembali, dan menyambar tenggorokan Raja Ular Tanah! Benar-benar sebuah serangan yang hebat dan tak terduga! 
Raja Ular Tanah tidak gugup menghadapi serangan itu. Dengan memiringkan tubuh, diterimanya sambaran mata pedang gadis itu dengan dadanya. Dan.... 
Takkk! 
Pujawati yang tak sempat menarik pulang serangannya, mengeluh tertahan. Belum lagi ia menyadari keadaannya, tiba-tiba gadis itu merasa pergelangan tangannya bagai dijepit jepitan baja. 
"Aaahhh...?!" Ketika teringat lawannya, Pujawati menahan jeritan. Jepitan yang sangat kuat itu ternyata jari-jari tangan Raja Ular Tanah! Dara remaja itu pun tidak bisa lagi menyembunyikan kengerian hatinya. 
Raja Ular Tanah memperdengarkan suara tawa yang parau. Sambil menyeringai lebar, lelaki tinggi besar berwajah kehitaman itu menyentakkan tangan Pujawati. Sehingga, tubuh gadis itu ikut tersentak maju. 
"Aaawww...!" 
Bukan main takut dan ngerinya hati Pujawati, ketika wajah Raja Ular Tanah begitu dekat dengan wajahnya. Sehingga, dara remaja itu menjerit kuat-kuat. Jeritan itu bukan karena Pujawati takut mati. Tapi, rasa ngeri yang tak bisa ditahannya ketika Raja Ular Tanah hendak menciumi wajahnya. 
"Lepaskan gadis itu..!" tiba-tiba terdengar sebuah bentakan nyaring, disusul berkelebatnya sesosok bayangan putih. Begitu tiba, sosok itu langsung melayangkan tamparannya ke kepala Raja Ular Tanah! 
Plakkk! 
"Ouuughhh.?!" Tamparan yang kelihatan perlahan itu, ternyata berakibat luar biasa bagi Raja Ular Tanah! Tubuh tinggi besar itu terhuyung melintir, kemudian jatuh terduduk di tanah berumput. 
Bagaikan orang tolol, Raja Ular Tanah terbengong seolah tak percaya dengan apa yang dialaminya. Dan beberapa saat lamanya, lelaki itu belum juga bergerak bangkit. Sedangkan sosok berjubah putih yang muncul menyelamatkan Pujawati, tampak berdiri tegak menatap sosok gadis remaja itu dengan mulut tersenyum. 
"Kau tidak apa-apa, Nisanak..?" tanya sosok berjubah putih yang ternyata seorang pemuda tampan. 
Untuk beberapa saat, Pujawati seperti orang yang baru terbangun dari mimpi. Sepasang matanya yang bening dan bulat, menatap sosok pemuda tampan yang menolongnya dari cengkeraman Raja Ular Tanah. Pujawati tidak bisa menyembunyikan rasa kagum dan herannya, terhadap sosok pemuda tampan berjubah putih. Kagum akan ketampanan pemuda itu, dan heran melihat pemuda itu dapat merobohkan seorang bertenaga kuat seperti Raja Ular Tanah. Gadis remaja itu tidak tahu, apa yang dilakukan penolongnya hingga Raja Ular Tanah terhuyung roboh. 
"Kau tidak apa-apa, Nisanak...?" sosok berjubah putih kembali mengulangi pertanyaannya. Karena gadis yang ditolongnya hanya diam membisu. 
"Eh, oh.... Tidak... aku tidak apa-apa. Terima kasih atas pertolonganmu, Kakang...," ucap Pujawati terputus-putus menyadari kebodohannya. Gadis itu segera menyebut kakang karena melihat usia pemuda itu lebih tua darinya. 
"Hm.... Syukurlah kalau begitu...," ujar pemuda tampan berjubah putih menghela napas lega, setelah mendapat kepastian dari dara remaja itu. 
Setelah terdiam sesaat, Pujawati teringat Ki Danara yang dikeroyok pengikut Raja Ular Tanah. Meskipun keningnya tampak berkerut melihat ada sesosok bayangan hijau yang membantu Ki Danara, tapi tarikan napas panjangnya menandakan kelegaan hatinya. Karena keadaan Ki Danara tidak perlu dicemaskan lagi. 
"Ayahmukah orang tua itu...?" tanya sosok berjubah putih, ketika melihat pandangan dara remaja itu terpusat ke arah pertandingan yang masih berlangsung seru. 
"Bukan, ia pamanku...," sahut Pujawati pelan mirip sebuah gumaman. 
Sosok pemuda tampan berjubah putih yang sudah pasti Panji, menoleh ketika mendengar suara langkah berat. Rupanya, Raja Ular Tanah telah bangkit, dan melangkah ke arah Panji dan Pujawati. Kemurkaan terpancar jelas pada sepasang matanya yang seperti hendak melompat keluar. 
"Siapa yang membokongku dengan curang...?" bentak Raja Ular Tanah. Meski mulutnya bertanya demikian, tapi sepasang matanya tertuju ke sosok Panji. Rupanya Raja Ular Tanah sudah menduga, yang menyerangnya pemuda tampan berjubah putih itu. 
"Aku yang melakukannya! Tapi, bukan berarti aku sudah berbuat curang. Kau sendiri telah bertindak kasar terhadap seorang gadis muda. Dan hukumannya sudah kau terima barusan...," sahut Panji membalas tatapan mata Raja Ular Tanah tanpa rasa gentar sedikit pun. 
Terdengar lelaki liar itu menggerang murka. Sepasang matanya semakin melotot keluar seolah hendak melompat dari tempatnya. Sedangkan pemuda itu tetap tenang tanpa memperlihatkan gerakan sedikitpun. 
"Hmmmhhh.... Kau akan mendapat hukuman yang setimpal untuk perbuatanmu tadi...!" geram Raja Ular Tanah segera bersiap untuk meremukkan tulang-tulang tubuh Panji. 
"Hati-hati, Kakang! Manusia jahat itu kuat sekali. Bahkan, tubuhnya kebal terhadap senjata tajam..," bisik Pujawati yang mau tidak mau sangat mengkhawatirkan pemuda penolongnya. Sebab, jika ia bandingkan sosok penolongnya dengan lelaki liar itu, jelas kelihatan betapa pemuda itu demikian lemah, tidak seperti Raja Ular Tanah yang garang dan perkasa. Rasanya, sekali remas saja tulang-tulang pemuda itu pasti akan remuk. Membayangkan hal itu, ngeri hati Pujawati. Dugaan itu membuat wajahnya agak pucat. 
"Benar. Manusia ini memang kuat sekali. Tapi, kalau kita tahu kelemahannya, ia tidak terlalu menakutkan seperti yang terlihat..," ujar Panji dengan suara tetap tenang, membuat dara remaja itu terpana. Rupanya, Pujawati merasa heran melihat ketenangan pemuda tampan itu, dalam menghadapi Raja Ular Tanah yang diketahuinya sangat kuat dan kebal. 
"Heaaahhh...!" Raja Ular Tanah yang sudah tidak bisa menahan kemarahannya, langsung menggereng sambil mengembangkan kedua tangannya, siap menerkam tubuh Panji yang kelihatan kecil dan lemah. 
Whuuuttt..! 
Apa yang terjadi kemudian, benar-benar membuat sepasang mata Pujawati terbelalak kagum. Sebab, ketika sepasang lengan yang besar dan kuat itu hampir mencengkeram tubuh penolongnya, tiba-tiba pemuda itu lenyap dari pandangan. Dan, muncul begitu saja di belakang Raja Ular Tanah. 
"Heh?!" Raja Ular Tanah sendiri tampak kebingungan, ketika kedua lengannya hanya menangkap angin kosong. Padahal, jelas ia melihat tubuh pemuda itu masih berada di depannya saat kedua tangannya siap menerkam. Tapi, kenyataannya tubuh pemuda itu telah lenyap, seperti asap yang terbawa angin. 
"Apa yang kau cari, Raksasa Tolol...?" tegur Panji membuat Raja Ular Tanah membalikkan tubuh, dan langsung menerkam ketika sudut matanya melihat sosok bayangan putih di belakangnya. 
Whuuuttt...! 
Lagi-lagi, Raja Ular Tanah hanya menerkam angin kosong. Sebab, tubuh pemuda itu sudah lenyap tanpa bekas! Membuat kemurkaan lelaki itu makin menjadi-jadi. Terdengar suara gerengannya yang mirip harimau kelaparan! 

* * * * *



:::≡¦ [ EMPAT ] ¦≡:::

"KURANG ajar! Apa kau tidak mempunyai kepandaian lain kecuali mengelak? Rupanya kau takut menghadapiku, heh!" geram Raja Ular Tanah dengan tubuh menggigil karena marah. 
"Hm..., lalu, apa yang kau inginkan, Kerbau Dungu...?" tanya Panji bersikap menantang, membuat Raja Ular Tanah menyeringai merasa pancingannya berhasil baik. 
"Kalau kau memang jantan, ayo hadapi aku. Jangan hanya mengelak dengan ilmu silumanmu itu!" tantang Raja Ular Tanah yang sudah bersiap hendak menerkam, dan meremukkan tubuh pemuda tampan berjubah putih. 
"Kalau demikian keinginanmu, baiklah. Aku terima tantanganmu," sambut Panji tanpa ragu sedikit pun. Bahkan, senyumnya masih tampak menghias wajah tampannya. 
"Kakang, jangan mau diperdaya Raja Ular Tanah! Lebih baik kita keroyok dia...," Pujawati yang merasa khawatir, ketika mendengar penolongnya menerima tantangan lelaki liar itu segera mencegah. 
"Biarlah, Nisanak. Kita lihat saja sampai di mana kekuatan yang dimiliki kerbau dungu itu...," ujar Panji tersenyum membuat Pujawati tidak bisa berkata apa-apa lagi, kecuali menghela napas panjang sebagai tanda kegundahan hatinya. 
"He he he...! Itu baru orang gagah. Nah, sekarang bersiaplah, Bocah.
" Raja Ular Tanah terlihat demikian gembira, ketika mendengar Panji menolak usul gadis manis itu. Lelaki liar itu sudah membayangkan, betapa dirinya akan melumat tulang-tulang pemuda itu sampai hancur, dengan kedua belah tangannya yang kokoh itu. 
"Hm.... Silakan, Raja Ular Tanah. Aku sudah siap sejak tadi," tantang Panji yang sudah berdiri tegak menunggu serangan lelaki buas itu. 
"Heaaahhh...!" Dibarengi bentakan mengguntur, Raja Ular Tanah menerkam maju dengan kedua tangan terkembang. Menilik suara bentakannya, jelas lelaki itu telah mengeluarkan seluruh tenaganya untuk melumat tubuh Panji. 
Greeeppp! 
"Aaahhh.. ?!" Pujawati memekik ngeri, ketika melihat sepasang telapak tangan Raja Ular Tanah, mencengkeram kedua bahu penolongnya. Gadis remaja itu sampai menutup mata, tidak ingin menyaksikan tubuh pemuda yang dikaguminya hancur lumat. 
"Heeehhh?!" Raja Ular Tanah tampak sangat terkejut Sepasang matanya membelalak lebar, menatap wajah tampan di depannya yang masih saja tersenyum. Lelaki gendut itu tidak mengerti, mengapa tubuh pemuda yang kecil itu tidak dapat terangkat oleh sentakannya. 
"Aaahhh...!" Raja Ular Tanah meraung, mengerahkan seluruh kekuatan yang ada untuk mengangkat tubuh Panji. Namun, meski wajah tubuhnya telah dibanjiri keringat akibat pengerahan tenaga yang dilakukannya, tapi tubuh pemuda berjubah putih itu tetap tidak dapat terangkat. Bahkan, bergeser dari tempatnya pun tidak! Tentu saja Raja Ular Tanah menjadi bingung! 
"Ahhh, mengapa harus sungkan-sungkan, Raja Ular Tanah? Cepatlah kau lumat tubuhku yang kecil ini. ," ujar Panji memancing kemarahan lelaki itu. Sehingga, Raja Ular Tanah mencoba lagi mengangkat tubuh Panji. 
Tapi, meskipun seluruh kekuatan yang dimilikinya telah dikeluarkan, tetap saja lelaki itu tidak berhasil mengangkatnya. Raja Ular Tanah tidak mengerti, mengapa hal itu bisa terjadi? 
Pujawati yang sejak tadi telah memejamkan mata, kini membukanya dengan perlahan. Gadis itu mendengar suara Raja Ular Tanah yang tengah kepayahan. Dan, ketika Pujawati membuka kedua matanya lebar-lebar, baru ia terkejut. Dilihatnya Raja Ular Tanah tengah berusaha keras mengangkat tubuh Panji dengan kedua tangannya. 
Wajah lelaki itu tampak semakin kelam. Urat-urat tubuhnya bertonjolan, pertanda lelaki liar itu tengah mengerahkan seluruh tenaganya. Peluh sudah membanjiri tubuh, wajah, dan kepala lelaki itu. Tentu saja Pujawati heran. Sadarlah dara itu, pemuda penolongnya tentu seorang yang memiliki kepandaian luar biasa! 
Raja Ular Tanah menjadi sangat penasaran. Mengira kekuatannya sudah musnah, mendadak lelaki liar itu melepaskan cengkeramannya, dan melangkah ke arah pohon besar yang berada tidak jauh dari tempatnya. Kemudian, dicekalnya batang pohon itu dengan kedua tangan. Dan.... 
"Heaaahhh.!" 
Brooolll.! 
Pohon besar itu langsung terangkat, tercabut hingga ke akar-akarnya. Jelas bahwa kekuatan Raja Ular Tanah belum musnah. Buktinya pohon besar itu dapat tercabut dengan mudah. 
"Setan! Ilmu apa yang dimiliki pemuda tampan itu hingga aku tidak mampu mengangkat tubuhnya? Mungkinkah pemuda itu bukan manusia biasa...?" gumam Raja Ular Tanah heran memikirkan kejadian yang dialaminya. Karena kenyataan itu sangat sukar diterima akalnya. 
"Jangan heran, Raja Ular Tanah. Tenagamu memang tidak akan mampu mengangkat tubuhku yang kecil ini...," ujar Panji membuat wajah Raja Ular Tanah semakin kelam. Lelaki itu merasa terhina dengan ucapan yang dikeluarkan Panji. 
"Hmmmhhh...!" Terdengar gerengannya yang menggetarkan hutan. Sesaat kemudian, lelaki gendut itu sudah menerjang maju dengan kepalan-kepalannya yang besar. 
Beeettt! Beeettt! 
Kepalan yang besar dan berat itu datang bertubi-tubi mengancam tubuh Panji. Tapi, pemuda itu dapat dengan mudah menghindari setiap kepalan lawan. 
Plakkk! 
Ketika serangan itu terus datang tanpa henti, Panji terpaksa mengangkat tangan untuk menangkis pukulan yang mengarah ke kepalanya. Akibatnya, tubuh Raja Ular Tanah terjajar mundur beberapa langkah ke belakang. Dan sebelum lelaki itu sempat memperbaiki kedudukannya, sebuah hantaman telapak tangan Panji, membuat Raja Ular Tanah jatuh terguling-guling! 
Deeesss! 
Pujawati hampir bersorak menyaksikan kejadian itu. Sungguh tak disangkanya pemuda tampan itu mampu memukul roboh Raja Ular Tanah yang sangat kuat. Bahkan, sampai jatuh terguling-guling. Benar-benar sukar dipercaya. 
"Hm.... Jelas, pemuda tampan itu seorang yang memiliki kepandaian luar biasa. Dan, mungkin hanya dirinya yang mampu menyelamatkan ayahku dari Penculik-Penculik Misterius itu...," gumam Pujawati yang teringat akan ayahnya ketika melihat kehebatan Panji. 
Sementara itu, Raja Ular Tanah telah dibuat jatuh bangun oleh Panji. Berkali-kali pemuda itu menyarangkan pukulannya ke tubuh Raja Ular Tanah, membuat lelaki gendut mengaduh kesakitan. Beberapa bagian tubuhnya tampak membiru. Rupanya, Panji sengaja hendak memberi pelajaran pada kepala rampok itu, agar tidak lagi menggunakan kekebalan dan kekuatannya untuk menindas orang. 
"Ampun, Tuan Pendekar... ampun." Akhirnya, Raja Ular Tanah benar-benar jera, dan tak sanggup menerima pukulan dan tendangan pemuda tampan berjubah putih itu. Lelaki gendut yang semula garang, kini meratap-ratap meminta ampun sambil bersujud di depan Panji. 
"Hm. Kuharap mulai saat ini kau sadar, Raja Ular Tanah. Meskipun kau memiliki kekuatan dan kekebalan, tapi janganlah kelebihan itu kau pergunakan untuk menekan dan menyakiti orang lain. Alangkah baiknya, jika kepandaian itu kau pergunakan untuk menolong dan membela yang lemah dan tertindas...," Panji menasihati Raja Ular Tanah yang kelihatan benar-benar telah bertobat. 
"Baik, Tuan Pendekar. Aku janji akan mengubah sikapku yang keliru selama ini. ," jawab Raja Ular Tanah seraya mengangguk-anggukkan kepalanya hingga membentur tanah. 
"Bagus, aku senang mendengar janjimu. Nah, sekarang perintahkan pengikut-pengikutmu untuk kembali ke jalan yang benar. Percayalah. Kau akan menemukan kedamaian dan kebahagiaan," tukas Panji lagi sambil melemparkan pandang ke arah pertempuran yang tampaknya sudah akan berakhir. 
"Hentikan pertempuran...!" Raja Ular Tanah berteriak memerintahkan para pengikutnya untuk menghentikan serangan. Sehingga, mereka yang memang sudah merasa gentar dengan sepak-terjang gadis jelita berpakaian serba hijau, langsung melompat mundur. 
Kenanga yang hanya bertangan kosong dalam menghadapi lawan-lawannya, tidak berusaha untuk mengejar. Dara jelita itu menghentikan gerakannya, dan menoleh ke arah lelaki tua yang tengah duduk kelelahan di dekat sebatang pohon Di beberapa bagian tubuh lelaki yang tidak lain Ki Danara, tampak ada noda darah. Agaknya lelaki kurus itu mengalami luka-luka ringan. 
"Kau tidak apa-apa, Paman?" tanya Kenanga menegur orang tua yang tengah mengatur napas. 
Ki Danara mengangkat wajahnya, menatap seraut wajah jelita yang ia tahu telah menyelamatkan nyawanya dari kematian. Lelaki tua itu segera menganggukkan kepala dengan sikap hormat 
"Terima kasih, Nisanak. Tanpa pertolonganmu, mungkin aku sudah jadi mayat...," ucap Ki Danara mencoba untuk bangkit berdiri. Tapi Kenanga cepat-cepat mencegah. 
"Bersemadilah, Paman. Agar tenagamu cepat pulih...," ujar dara jelita itu kemudian beranjak meninggalkan Ki Danara, dan menghampiri Panji yang tengah berhadapan dengan Raja Ular Tanah, yang tampak tidak segarang dan sebuas semula. 
"Nah, sekarang kau boleh pergi. Raja Ular Tanah. Ingat pergunakanlah kepandaianmu untuk menolong sesama...," pesan Panji sebelum melepaskan Raja Ular Tanah dan para pengikutnya. 
"Tuan Pendekar. Kini kami benar-benar akan merubah cara hidup kami yang sesat selama ini. Tapi, sebagaimana kenangan bagi kami, dapatkah Tuan Pendekar memperkenalkan nama besar. Tuan...?" pinta Raja Ular Tanah sebelum meninggalkan tempat itu. 
"Baiklah, Raja Ular Tanah. Kalau kau memang membutuhkannya sebagai kenangan. Panggil aku Pendekar Naga Putih. Begitulah, kaum rimba persilatan memberi julukan padaku...," jawab Panji terpaksa memperkenalkan julukannya pada Raja Ular Tanah. 
"Aaahhh?!" Mendengar disebutkannya nama itu, bukan hanya Raja Ular Tanah dan para pengikutnya yang berseru kaget Pujawati pun menahan rasa terkejutnya. Sebab, nama besar pendekar itu sering disebut-sebut ayahnya. 
"Kau..., benarkah Kakang yang berjuluk Pendekar Naga Putih...?" tanya gadis manis itu seraya melangkah ke arah Panji, dan meneliti wajah pemuda tampan yang telah menolongnya dari marabahaya itu. 
"Begitulah orang-orang memberi julukan padaku...," jawab Panji singkat tanpa menunjukkan kesan sombong. Apalagi bangga akan julukan itu. 
Raja Ular Tanah yang kini mengetahui siapa pemuda yang telah mengalahkannya, tidak begitu merasa terpukul. Bahkan, ia bangga kalah di tangan pendekar besar yang dihormati dan dipuja banyak orang. 
"Pendekar Naga Putih, kini aku semakin mantap untuk merubah jalan hidupku. Semoga lain kali kita dapat bertemu lagi...," pamit Raja Ular Tanah yang kini wajahnya terhias senyum gembira. Setelah berkata demikian, ia pun mengajak para pengikutnya untuk meninggalkan tempat itu. 
Sepeninggal gerombolan Raja Ular Tanah, Panji berniat hendak berpamitan. Karena sudah tidak ada lagi yang perlu dilakukannya di tempat itu.
"Kami pun harus pergi untuk melanjutkan perjalanan...," pamit Panji singkat pada Pujawati yang hanya berdiri mematung tanpa mampu bersuara. 
Gadis itu merasa malu untuk meminta bantuan pendekar muda yang tersohor itu. Takut jika Pendekar Naga Putih menolak permintaannya. Sehingga, Pujawati hanya bisa memandang kepergian pasangan pendekar itu dengan perasaan tak menentu, ia menoleh sekilas ke arah Ki Danara yang masih tenggelam dalam semadinya. Dan, kembali menatap kedua sosok tubuh yang semakin menjauh itu. 
"Pendekar Naga Putih, tunggu...!" 
Saat kedua sosok bayangan tubuh pendekar itu hampir tidak terlihat, Pujawati berseru tertahan. Meskipun suara panggilannya terdengar pelan dan penuh keraguan, tak urung Panji dapat menangkapnya dengan baik. Terbukti kedua sosok itu tampak berhenti. 
Pujawati meremas-remas tangannya dengan hati dipenuhi keraguan. Sehingga, gadis itu hanya berdiri mematung, dengan tatapan masih tetap tertuju ke arah dua sosok bayangan pendekar muda itu. Sedangkan Panji dan Kenanga saling berpandangan sejenak. Sesaat kemudian, keduanya kembali melemparkan pandang ke sosok Pujawati yang masih juga berdiri mematung. Setelah menanti sejenak, akhirnya pasangan pendekar muda itu melambaikan tangan. Kemudian, kembali bergerak menjauh. 
"Aaahhh...," Pujawati mengeluh kecewa. Kini bayangan Pendekar Naga Putih dan gadis jelita yang mendampinginya telah lenyap dari pandangan. Musnahlah sudah harapan dara remaja itu, untuk dapat menolong ayahnya dengan bantuan Pendekar Naga Putih. 
Ki Danara yang baru menyelesaikan semadinya, merasa heran melihat Pujawati tengah termenung menatap ke satu arah. Segera lelaki tua itu melangkah menghampiri gadis manis itu.
"Ke mana perginya pendekar-pendekar yang telah menolong kita, Pujawati?" tanya Ki Danara perlahan. Tapi membuat Pujawati tersentak kaget. 
"Mereka... telah pergi, Paman...," sahut Pujawati dengan suara lemah tak bersemangat. 
Menangkap ada nada kekecewaan dalam ucapan Pujawati, Ki Danara mengerutkan keningnya dalam-dalam. Sebentar kemudian, senyumnya tampak membayang. Agaknya, orang tua itu dapat menduga apa yang sedang dipikirkan gadis manis itu. 
"Gadis berpakaian serba hijau yang menyelamatkan aku, memiliki kecantikan yang luar biasa. Rasanya... hanya bidadari dari kayangan saja yang dapat menandingi kejelitaannya...," gumam Ki Danara seolah hendak memancing pendapat Pujawati. 
"Aku tahu, Paman. Penolongku memang sangat tampan dan memiliki kepandaian yang sukar dicari bandingnya. Tapi..., bukan itu yang kupikirkan...," desah Pujawati yang rupanya menyadari dugaan Ki Danara. Sehingga, orang tua itu menjadi malu. Sebab terkaannya ternyata meleset. 
"Lalu...?" Ki Danara menggantungkan ucapannya. 
"Dia seorang pendekar besar yang dipuja dan dihormati kaum rimba persilatan, Paman. Dapatkah kau menduga siapa pemuda tampan berjubah putih itu, Paman?" ujar Pujawati masih dengan suara perlahan, dan pandangan menerawang jauh ke depan. 
"Maksudmu..., pemuda tampan berjubah putih itu Pendekar Naga Putih...?" sahut Ki Danara yang kelihatan tegang ketika menyebutkan nama itu. 
"Benar, Paman. Pendekar besar itulah yang telah menyelamatkan kita...," tandas Pujawati seraya menolehkan kepala dan memandang Ki Danara dengan wajah sayu. 
"Aaahhh...?! Kalau begitu, mengapa kau tidak mencegah kepergiannya? Mengapa kau tidak meminta bantuannya untuk menyelamatkan ayahmu dari penculik-penculik biadab itu, Pujawati?" tegur Ki Danara yang langsung mempunyai pikiran demikian, seperti juga gadis manis itu, saat mengetahui siapa pemuda penolongnya. 
"Aku... aku takut pendekar itu akan menolaknya, Paman..," sahut Pujawati mengungkapkan perasaannya, mengapa ia tidak mengutarakan perihal Penculik-Penculik Misterius itu pada Pendekar Naga Putih. 
"Haiiihhh.... Betapa kelirunya pemikiranmu itu, Pujawati. Pendekar Naga Putih adalah seorang pemuda yang berjiwa agung, dan selalu bersedia mengulurkan tangannya pada siapa saja yang memerlukan pertolongan. Tanpa kita minta pun ia akan mengorbankan dirinya untuk menolong orang banyak. Kalau kau meminta pendekar itu untuk menyelamatkan ayahmu, tentu ia tidak akan pergi begitu saja...," sesal Ki Danara yang menjelaskan perihal budi dan sifat Pendekar Naga Putih yang selama ini di dengarnya. 
"Entahlah, Paman. Aku tidak tahu, mengapa sampai mempunyai pikiran demikian...," desah Pujawati semakin merasa menyesal atas dugaannya yang sangat keliru. Sayang, penyesalannya sudah terlambat. Pendekar muda yang terkenal itu telah pergi entah ke mana. 
"Hm. Mungkin kau merasa tidak enak untuk meminta pertolongan pada pendekar itu, karena ada dara jelita berpakaian serba hijau itu, bukan...,?" terka Ki Danara memaklumi perasaan Pujawati, yang mungkin merasa dirinya tidak akan diperhatikan Pendekar Naga Putih. Sebab dara pendamping pendekar muda itu memiliki kecantikan yang luar biasa. Sehingga, Pujawati menjadi rendah diri. 
Pujawati tidak menjawab. Gadis manis itu hanya menundukkan wajahnya yang tertutup mendung. Sikap itu jelas membuktikan dugaan Ki Danara tidak meleset. Sehingga, orang tua itu mengangguk-anggukkan kepala tanda memahami perasaan Pujawati. 
"Sudahlah. Tidak ada gunanya menyesali yang sudah terjadi. Sebaiknya, sekarang kita susul pasangan pendekar itu. Mudah-mudahan kita masih dapat berjumpa dengannya...," usul Ki Danara membuat Pujawati mengangkat kepala. Terlihat jelas binar harapan terpendar pada sepasang matanya yang bulat dan bening. 
"Paman akan berbicara dan meminta pertolongannya...?" tanya Pujawati dengan wajah penuh harap. 
"Tentu saja aku akan meminta pertolongannya. Kalau tidak, untuk apa kita bersusah-payah menyusulnya...," tegas Ki Danara membuat wajah mendung itu seketika cerah. Senyum dara itu pun melebar membuat Ki Danara terharu. 
"Terima kasih, Paman...," ucap Pujawati yang tanpa ragu-ragu, langsung memeluk tubuh Ki Danara sebagai tanda terima kasihnya. 
Ki Danara yang memang menganggap Pujawati seperti keponakannya sendiri, segera mengelus rambut gadis manis itu. Ada getar kehangatan yang dirasakan lelaki tua itu. Karena selama hidupnya ia memang tidak pernah menikah. Apalagi mempunyai seorang anak. Itu sebabnya, mengapa lelaki tua itu sangat sayang pada putri tunggal gurunya itu. 
"Ayo, Paman...," sahut dara manis itu dengan wajah riang. Kemurungan lenyap seketika, membuat Ki Danara tersenyum bahagia. 

* * * * *



:::≡¦ [ LIMA ] ¦≡:::

KEDUA sosok tubuh itu melangkah tenang melintasi jalan utama, menuju Desa Kenikir. Sinar matahari yang memancar lembut, membawa hembusan angin segar yang mempermainkan pakaian dan rambut kedua sosok tubuh itu. Sebentar saja, keduanya telah menapakkan kaki di Desa Kenikir. Namun, betapa terkejutnya hati kedua sosok tubuh itu, ketika menyaksikan mayat- mayat bergeletakan di atas tanah, di jalan utama desa. Melihat ceceran darah yang masih basah, mudah ditebak kalau orang-orang itu belum lama tewas. 
"Hm.... Apa yang sudah terjadi di desa ini...?" desis pemuda tampan berjubah putih. Pemuda itu merunduk, memeriksa mayat-mayat yang masih baru. Kemudian bangkit dan menatap berkeliling. 
"Kelihatannya di tempat ini baru saja terjadi perampokan atau perkelahian, Kakang. Melihat bercak-bercak darah yang masih basah, jelas pembunuhan ini belum lama terjadi," timpal sosok ramping terbungkus pakaian serba hijau yang ikut memandang berkeliling. Sinar matanya yang tajam tampak memancarkan kemarahan yang siap mele-dak. Sosok yang tidak lain Panji dan Kenanga semakin terkejut melihat beberapa rumah tampak rusak. Jelas, itu akibat perbuatan tangan-tangan jahat yang tidak bertanggung jawab. 
"Hm... Kemunculan Penculik-Penculik Misterius itu rupanya membuat orang-orang jahat semakin banyak bermunculan. Agaknya dunia persilatan yang sedang kacau, dan keadaan ini memberi peluang bagi manusia-manusia jahat untuk memanfaatkannya.," desis Panji segera mengayun langkahnya menyusuri jalan utama Desa Kenikir yang kelihatan lengang. 
"Ini tidak bisa kita diamkan, Kakang! Orang-orang jahat itu harus diberi pelajaran, biar mereka tahu bahwa dalam keadaan sekacau apa pun, masih ada orang yang akan mencegah perbuatan mereka!" ujar Kenanga dengan nada berapi-api. Dara jelita ini memang paling benci dengan orang-orang jahat yang bertindak seenaknya. Apa lagi jika sampai membunuh, tentu tidak ada ampun baginya. 
"Hm.... Sepertinya aku mendengar suara orang bertempur dari ujung desa sebelah barat..," ujar Panji tiba-tiba, kemudian melesat secepat kilat menuju arah suara. 
Kenanga pun tidak tinggal diam. Telapak tangannya yang memang sudah gatal ingin segera menghajar orang-orang jahat, membuat tubuhnya langsung bergerak secepatnya mengikuti Panji. Pendengaran Panji memang tidak meleset Di ujung sebelah barat Desa Kenikir, terlihat suatu pertempuran sengit. Belasan mayat bergeletakan di tanah. Suara denting senjata dan jerit kematian mewarnai pertempuran. 
"Heaaattt..!" Seorang pemuda gagah bertubuh tegap, memekik keras sambil melontarkan serangan tongkatnya dengan gerakan cepat dan mengagumkan. 
Bukkk! Prakkk! 
"Aurghhh...!" Dua orang lawan yang menjadi sasaran hantaman tongkatnya, langsung menggelepar seperti ikan di darat. Sungguh hebat gerakan pemuda itu. Setiap tongkat di tangannya bergerak, selalu tidak pernah meleset dari sasaran, dan ada korban yang jatuh tewas dengan tulang-tulang remuk. 
"Ayo, majulah penjahat-penjahat tengik!" tantang pemuda gagah berpakaian kuning cerah. Sepasang matanya mencorong tajam menatap wajah belasan orang kasar yang menjadi lawan-lawannya. 
Sedangkan orang-orang yang berada di pihak pemuda gagah itu, kembali menerjang maju dengan senjata di tangan. Kelihatannya mereka semakin bersemangat dengan adanya pemuda gagah itu. Pertempuran pun kembali berkobar. Jerit kematian, disusul robohnya tubuh-tubuh bermandikan darah kembali mewarnai pertarungan. Panji yang lebih dulu tiba, segera menghentikan larinya dan mengamati pertempuran dari jarak agak jauh. Pemuda itu meneliti sosok-sosok yang tengah bertarung, tanpa berniat turun ke arena. 
"Mengapa kau tidak segera menghajar orang-orang jahat itu, Kakang...?" begitu tiba, Kenanga langsung menegur kekasihnya. Gadis itu melihat Panji hanya berdiri menonton dari jarak beberapa tombak. 
"Kita tidak perlu terjun ke arena. Kau lihat pemuda itu. Nah, biarpun tanpa bantuan yang lainnya, ia pasti sanggup merobohkan gerombolan perampok busuk itu...," ujar Panji. 
Apa yang dikatakan Panji memang tidak salah. Kenanga pun dapat melihat ketangkasan pemuda gagah berpakaian kuning cerah, yang bersenjatakan sebatang tongkat. Setiap lawan yang berada di dekat pemuda itu, langsung roboh tak bergerak lagi. Jelas, pemuda itu bukan orang sembarangan. 
"Hm..., hebat sekali pemuda itu. Kau kenal gerakan tongkatnya, Kakang...?" tanya Kenanga yang rupanya mengagumi jurus-jurus tongkat pemuda gagah itu. 
"Kalau aku tidak salah, pemuda itu mungkin mempunyai hubungan dengan Ki Adiwarsa, yang berjuluk si Tongkat Sakti. Jika demikian, pastilah pemuda itu merupakan salah satu murid kesayangan orang tua itu. Melihat gerakannya, ia rupanya telah memiliki hampir seluruh ilmu tongkat Ki Adiwarsa. Dan bisa jadi, keberadaan dirinya di desa ini berhubungan dengan lenyapnya tokoh tua itu. Sebab, bukankah menurut berita yang tersebar Perguruan Tongkat Sakti sudah dibubarkan...?" ujar Panji yang agaknya cukup mengenal ilmu tongkat Ki Adiwarsa. Sehingga, langsung bisa menebak dari mana asal ilmu tongkat pemuda gagah berpakaian kuning cerah itu. 
"Pendekar Naga Putih...!" 
Panji dan Kenanga mengalihkan perhatiannya dari medan pertempuran yang hampir berakhir. Mereka mengerutkan kening ketika melihat dua sosok tubuh berlari-lari sambil melambaikan tangan. Salah satu dari merekalah yang memanggil julukan Panji. 
"Oh, kalian rupanya...," sapa Panji begitu melihat gadis manis dan orang tua yang pernah ditolongnya dari Raja Ular Tanah. 
Kenanga terlihat mengerutkan kening ketika matanya menangkap sosok Pujawati yang menundukkan wajah. Entah apa yang membuat gadis remaja berwajah manis itu kelihatan demikian risih? Desah batin Kenanga menduga-duga. 
Setelah agak lama meneliti wajah Ki Danara yang langsung menghadapinya, Panji dapat menduga orang tua itu mempunyai kepentingan dengan dirinya. Tapi, melihat betapa Ki Danara belum juga berbicara, Panji pun segera bertanya hati-hati. 
"Apakah Paman mempunyai keperluan penting denganku...?" tanya Panji dengan suara perlahan, membuat orang tua itu tersenyum malu. 
"Be... nar, Pendekar Naga Putih...," sahut Ki Danara merasa kikuk menghadapi pendekar muda itu. Lelaki tua itu merasa ada suatu perbawa yang membuat dirinya menaruh hormat dan segan pada pemuda tampan berjubah putih. 
"Katakanlah kalau memang ada yang bisa kulakukan untukmu, Paman...," ujar Panji lagi dengan suara tetap perlahan dan tidak kedengaran terlalu mendesak. 
Ki Danara terdiam sebentar. Kemudian mengerling ke arah Pujawati, yang saat itu kebetulan juga tengah mengerlingkan ke arahnya. Sehingga pandang mata mereka beradu, dan Pujawati kelihatan menganggukkan kepala perlahan. Seolah meminta agar Ki Danara segera mengatakan keperluannya menyusul Panji. Mereka dapat menyusul pasangan pendekar itu, yang sedang tidak terburu-buru melakukan perjalanan. Tidak berapa lama setelah Panji dan Kenanga tiba di Desa Kenikir, Ki Danara serta Pujawati berjumpa dengan mereka. 
"Pendekar Naga Putih. Gadis ini bernama Pujawati. Ia putri tunggal Pedang Pemecah Langit. Dan..., ayahnya telah ditawan oleh Penculik-Penculik Misterius yang saat ini tengahmengganas." Akhirnya, dapat juga Ki Danara menyampaikan maksudnya menemui Pendekar Naga Putih. Meskipun begitu, lelaki tua itu belum berani meminta pertolongan secara langsung. Tapi, Ki Danara berharap agar pendekar muda itu dapat mengerti maksud sebenarnya dari perkataan itu. 
"Ya. Aku pun sudah mendengar tentang mengganasnya Penculik-Penculik Misterius itu," gumam Panji menanggapi ucapan Ki Danara. Lalu menoleh ke arah Pujawati.
"Kuharap kau tabah menghadapi cobaan ini, Pujawati. Dan, mudah-mudahan aku bisa menolongmu dengan menemukan ayahmu. Sayang, sampai saat ini aku belum tahu tempat tinggal mereka. Selain itu, aku pun belum tahu apa maksud Penculik-Penculik Misterius itu di balik semua ini...," lanjut Panji menghibur Pujawati yang merasa lega hatinya, setelah mendengar kesediaan pemuda tampan itu untuk menolong orang tuanya. 
"Terima kasih...," hanya ucapan itu yang keluar dari mulut Pujawati. 
Merasa pembicaraan itu telah cukup, Panji kembali mengalihkan perhatiannya ke arah pertempuran. Tapi, pertempuran itu rupanya telah selesai, dan pemuda gagah berpakaian kuning cerah telah menghabisi semua perampok yang mengganas di Desa Kenikir. 
"Pemuda gagah itu adalah murid Ki Adiwarsa. Sebaiknya, kita menanyakan perihal gurunya pada pemuda itu...," ujar Panji kemudian melangkah ke arah arena pertarungan yang telah usai. 
Di belakangnya mengikuti, Ki Danara dan Pujawati. Ki Danara sebenarnya agak kaget ketika mendengar pemuda berpakaian kuning cerah itu murid Ki Adiwarsa. Tapi, lelaki tua itu tidak berkata apa-apa, dan mengikuti langkah Panji. 

* * * * *




Pemuda gagah berpakaian kuning cerah berdiri tegak, ketika melihat empat sosok tubuh berjalan menghampirinya. Sikapnya tampak demikian gagah dengan sorot mata tajam. Tongkat di tangan kanannya tergenggam erat, siap untuk digunakan. 
"Hm..., siapa kalian? Apa hendak membalas kematian para perampok busuk itu...?" tegur pemuda gagah yang tidak lain Malela. 
Panji tersenyum seraya menganggukkan kepalanya pada pemuda gagah itu. Kemudian, menghentikan langkahnya dalam jarak setengah tombak di hadapan Malela. 
"Benarkah aku tengah berhadapan dengan pewaris Tongkat Sakti Ki Adiwarsa...?" ucap Panji tanpa menjawab teguran Malela. Karena menurutnya itu tak perlu dijawab, cukup hanya dengan menunjukkan sikap bersahabat pada pemuda gagah itu, merupakan jawaban maksud baik mereka. 
Mendengar ucapan pemuda tampan berjubah putih, Malela terlihat mengerutkan keningnya dalam-dalam. Diam-diam ia merasa terkejut, sebab pemuda itu telah mengenal gurunya dengan baik. Dan, bukan tidak mungkin pemuda itu telah menyaksikan permainan tongkatnya ketika melawan para perampok. Sehingga, dapat menduga dengan tepat. 
"Hm.... Sebelum aku menjawab pertanyaanmu, harap kau sebutkan nama dan partaimu...?" Malela tak menjawab pertanyaan Panji, malah balik bertanya pada pemuda tampan berjubah putih itu. 
"Namaku Panji, dan aku tidak terikat dengan partai mana pun." Melihat sikap Malela masih tampak tegang, Panji akhirnya menjawab pertanyaan pemuda itu untuk menghilangkan ketegangan di antara mereka. 
"Hm...," Malela hanya menggumam. Meskipun pemuda tampan berjubah putih telah memperkenalkan diri, kelihatan Malela masih tetap curiga. Sepasang matanya menyapu wajah-wajah Ki Danara, Kenanga, dan Pujawati. 
"Kisanak...," akhirnya Ki Danara melangkah maju menghadapi Malela.
"Kami tahu kau murid Ki Adiwarsa, dan kau telah membubarkan perguruan untuk mencari gurumu yang hilang diculik orang. Kami pun mengalami hal yang sama. Gadis ini putri tunggal Pedang Pemecah Langit, yang baru saja ditawan Penculik-Penculik Misterius...," jelas Ki Adiwarsa berusaha mencari jalan keluar dari ketegangan itu dengan memperkenalkan putri gurunya. 
Mendengar disebutkannya nama Pedang Pemecah Langtt, wajah Malela tampak mengendur. Ditatapnya sosok gadis remaja berwajah manis, yang menurut keterangan orang tua kurus itu putri tunggal pendekar pedang yang tersohor itu. 
"Lalu...?" tanya Malela ingin mendengar kelanjutan ucapan Ki Danara. 
"Kami ingin agar kau bergabung, untuk mencari orang-orang gagah yang telah ditawan Penculik-Penculik Misterius itu," sahut Ki Danara melanjutkan. 
Mendengar tawaran itu Malela tampak tercenung. Dirinya pun tengah berupaya mencari gurunya. Pemuda gagah itu pergi mengembara setelah membubarkan perguruannya, hingga tiba di Desa Kenikir yang kebetulan tengah dilanda musibah. Kemunculan pemuda gagah itu membuat penduduk desa merasa bersyukur. Karena dengan kepandaiannya yang tinggi, Malela berhasil melenyapkan perampok-perampok itu. 
"Hm.... Apakah kalian sudah mempunyai petunjuk...?" tanya Malela menatap Ki Danara dengan sinar mata tajam. 
Mendengar pertanyaan itu, Ki Danara memalingkan wajahnya ke arah Pendekar Naga Putih. Sepertinya orang tua itu tidak bisa menjawab pertanyaan Malela, dan menyerahkan pada Panji. Panji pun tahu Ki Danara menyerahkan jawaban itu kepadanya. Dan, Malela mengalihkan perhatiannya pada pemuda tampan berjubah putih, yang tadi mengaku bernama Panji. 
"Kami memang belum menemukan petunjuk, Kisanak. Tapi itu bukan berarti kami menyerah atau tidak mampu. Kami baru akan mulai menyelidiki," ujar Panji datar, rupanya pemuda tampan itu mulai merasa tidak suka, melihat sikap kaku yang ditunjukkan Malela pada mereka berempat. 
"Apakah kau mempunyai rencana...?" desak Malela lagi tetap masih dengan sikap kaku. Bahkan, kelihatan pemuda itu seperti sengaja bersikap angkuh. Mungkin merasa khawatir jika ia langsung menyetujui, keempat orang itu akan memandangnya rendah. 
"Untuk saat ini memang belum. Tapi, aku akan mendatangi tokoh persilatan yang kemungkinan besar akan menjadi korban selanjutnya," sahut Panji setelah terdiam beberapa saat lamanya, dan menemukan jawaban yang tepat atas pertanyaan Malela. 
"Ah, benar sekali, Kakang. Mudah-mudahan perkiraan kita tak meleset, agar tak sampai kedahuluan Penculik-Penculik Misterius. Pasti kita akan dapat memergoki mereka...," Kenanga langsung menyambut dengan wajah cerah rencana kekasihnya. 
"Menurutmu, siapa kira-kira tokoh yang akan menjadi korban selanjutnya...?" tanya Malela masih tetap belum tergerak dan tidak menunjukkan ketertarikannya. 
Kenanga merasa jengkel dengan sikap pemuda gagah berpakaian kuning cerah itu. Sepasang matanya menyambar tajam mengungkapkan ketidaksenangan hatinya. Gadis itu menoleh ke arah Panji, lalu kembali ke sosok Malela. 
"Dengar, Kisanak! Pada dasarnya kami tak memerlukan bantuan siapa pun untuk menyelidiki Penculik-Penculik Misterius! Kalau kau tak suka dan merasa telah pandai, kami pun tak akan memaksa. Silakan kau cari jalan sendiri untuk menemukan gurumu itu!" tandas Kenanga. Kemudian menoleh ke arah kekasihnya, "Ayo, kita pergi, Kakang..." 
Panji yang memang tidak ingin membawa beban dalam melaksanakan setiap tugas-tugasnya, segera mengikuti langkah kekasihnya, setelah berpamitan pada ketiga orang itu. Biar bagaimanapun, Panji tidak melupakan kesopanan untuk pergi begitu saja tanpa pamit. 
Ki Danara dan Pujawati tampak terkejut melihat Pendekar Naga Putih pergi meninggalkan mereka. Meskipun pemuda tampan itu berjanji untuk mencari Pedang Pemecah Langit tetap saja hati Ki Danara dan Pujawati merasa kehilangan. Akibatnya, Malelalah yang mejadi sasaran kejengkelannya. 
"Sebagai murid orang pandai, tidak sepantasnya kau bersikap angkuh dan keras kepala seperti itu, kisanak. Kalau saja kau tahu siapa pasangan pendekar muda tadi, kau akan menyesali perbuatanmu seumur hidup!" ujar Ki Danara tak senang. Setelah itu, ia mengajak Pujawati meninggalkan Malela yang terpaku dengan wajah merah. Rupanya pemuda gagah itu telah menyadari kesalahannya. Itu terlihat dari perubahan wajahnya yang mendadak murung. 
"Paman, tunggu...!" Menyadari sikapnya tadi tidak memberikan kesan baik pada keempat orang itu, Malela segera melesat mengejar Ki Danara dan Pujawati. 
Mendengar adanya suara langkah kaki di belakangnya, Ki Danara dan Pujawati menoleh. Kening mereka berkerut ketika melihat sosok Malela bergerak mendatangi. 
"Ada apa lagi, Kisanak...?" tegur Ki Danara dengan nada agak tinggi. Rasa jengkel lelaki tua itu sepertinya belum lenyap. Sebab, pemuda gagah itulah penyebab kepergian Pendekar Naga Putih, yang bantuannya sangat mereka harapkan. 
"Maafkan sikapku yang tidak baik tadi...," ujar Malela begitu tiba di dekat mereka. Wajahnya tertunduk murung. Jelas terlihat pemuda gagah itu sangat menyesali perbuatannya. 
"Hm...," Ki Danara hanya bergumam perlahan. Kemudian, berbalik dan mengajak Pujawati meninggalkan pemuda itu. 
"Paman...!" Malela yang merasa belum dapat jawaban dari Ki Danara, terkejut melihat tindakan kedua orang itu. Cepat pemuda itu melesat menyusul mereka. 
Ki Danara dan Pujawati terpaksa menghentikan langkahnya dan kembali berbalik menghadapi pemuda gagah itu.
"Tindakanmu tadi sudah kumaafkan. Lalu, apa lagi yang kau inginkan dari kami..?" tegur Ki Danara kelihatan rak sabar melihat sikap pemuda itu. 
"Aku ingin menggabungkan diri dengan kalian untuk mencari Penculik-Penculik Misterius itu...," akhirnya keluar juga ucapan yang mengganggu pikirannya. Malela merasa lega setelah mengeluarkan ucapan itu. 
"Hm.... Apakah kau sudah mendapatkan petunjuk...?" tanya Ki Danara hendak mempermainkan pemuda gagah itu. Karena pertanyaan itulah yang dilontarkan Malela, saat Ki Danara mengajak pemuda gagah itu bergabung dengannya Pujawati yang semenjak tadi hanya diam mendengarkan, merasa kasihan melihat wajah pemuda itu berubah merah karena menahan malu. Gadis itu pun melangkah maju untuk menengahi. 
"Sudahlah, Paman. Kelihatannya ia benar-benar telah menyesali sikapnya yang keliru. Sebaiknya kita segera memikirkan langkah selanjutnya...," ujar Pujawati tanda ia menerima pemuda gagah itu bergabung dengannya. 
Ki Danara menghela napas panjang. Sebenarnya dirinya tidak bermaksud menolak uluran tangan pemuda itu. Ia hanya ingin memberi pelajaran pada pemuda yang bersikap angkuh itu. Akhirnya, lelaki tua itu pun menerima dan mengajak Malela memikirkan rencana mereka. 
"Sebaiknya kita mengikuti apa yang telah dikatakan Pendekar Naga Putih...," ujar Ki Danara setelah mereka setuju untuk bergabung. 
"Pendekar Naga Putih...?!" Malela kelihatan sangat terkejut mendengar Ki Danara menyebut nama tokoh besar yang menggemparkan itu. 
"Ya,.. Pemuda barjubah putih yang kau anggap remeh itu adalah Pendekar Naga Putih...," tandas Ki Danara membuat wajah Malela semakin pucat. 
Sepertinya Ki Danara masih hendak melanjutkan ucapannya untuk menekan pemuda gagah itu. Tapi, Pujawati segera mencegahnya. Dan mengajak mereka mencari tokoh yang akan menjadi korban penculikan selanjutnya, seperti rencana yang mereka dengar dari Pendekar Naga Putih. Ki Danara dan Malela menoleh ke arah gadis remaja itu. Keduanya mengangguk, dan mengikuti langkah Pujawati meninggalkan Desa Kenikir. 

* * * * *



:::≡¦ [ ENAM ] ¦≡:::

"KE MANA tujuan kita, Kakang...?" tanya dara jelita berpakaian serba hijau dengan suara agak keras. Saat itu ia tengah berlari di sebelah kanan pemuda tampan berjubah putih. 
"Entahlah. Aku sendiri belum tahu pasti. Tapi, yang jelas kita harus mengumpulkan nama tokoh-tokoh persilatan golongan atas. Sebab, selama ini sasaran Penculik-Penculik Misterius itu adalah tokoh-tokoh seperti itu," sahut pemuda tampan berjubah putih tanpa menghentikan larinya. 
Kening dara jelita itu tampak agak berkerut setelah mendengar jawaban itu. Langkah larinya agak diperlambat kemudian berhenti dan dilanjutkan dengan berjalan kaki. Sehingga, pemuda baijubah putih ikut menghentikan larinya, dan menjajari langkah dara jelita itu. 
"Apa kau mempunyai nama tokoh yang sekiranya pantas untuk kita datangi?" tanya pemuda tampan berjubah putih setelah mereka berjalan beriringan, melintasi jalan berbatu. 
"Hmmm... aku akan mencoba memikirkannya, Kakang...," sahut dara jelita itu menoleh sebentar. Kemudian mengalihkan perhatiannya ke jalan yang lurus membentang di depan. 
Pasangan orang muda itu tidak lain Kenanga dan Panji. Mereka menempuh jalan sendiri, setelah Malela, murid Ki Adiwarsa tidak berkenan untuk bergabung dengan mereka. Sehingga, dengan sangat terpaksa Panji meninggalkan Ki Danara dan Pujawati, yang meminta bantuannya untuk menyelidiki Penculik-Penculik Misterius. Mendengar jawaban kekasihnya, Panji pun terdiam. Otaknya bekerja cepat mengingat nama-nama tokoh persilatan yang diperkirakan akan menjadi sasaran Penculik- Penculik Misterius. 
"Bagaimana kalau kita mulai dengan mendatangi Pendekar Penakluk Harimau...?" ujar Kenanga mengusulkan, setelah mengingat sederetan nama-nama tokoh persilatan golongan putih. 
"Pendekar Penakluk Harimau...?" gumam Panji mengulang nama tokoh yang disebutkan Kenanga, "Hm..., aku tidak begitu mengingatnya. Dari mana tokoh itu berasal?" tanya Panji yang rupanya belum begitu ingat dengan nama tokoh itu. 
"Kalau aku tidak salah mengingat tokoh itu berasal dari daerah Pegunungan Dieng. Awalnya, tokoh itu seorang pemburu kawakan, yang tidak pernah gagal dalam melakukan pekerjaannya, meski harus menghadapi harimau sekuat apa pun," jelas Kenanga setelah mengingat-ingat beberapa saat tentang tokoh itu. 
"Hm..., aku ingat sekarang," ujar Panji setelah mendengar keterangan kekasihnya.
"Tapi..., rasanya tokoh itu tidak terlalu istimewa. Padahal, menurutku tokoh-tokoh yang diculik itu rata-rata memiliki ilmu andalan yang istimewa," lanjutnya seraya menoleh ke arah dara jelita itu. 
"Yaaa...," desis Kenanga tercenung setelah mendengar ucapan kekasihnya.
"Kalau demikian, pasti Penculik-Penculik Misterius itu mempunyai pimpinan yang memerintahkan mereka. Entah, apa sebenarnya yang diinginkan dari tokoh-tokoh itu. Yang pasti mereka tidak akan membunuh korbannya. Kalau memang itu yang mereka inginkan, untuk apa bersusah-payah membawa lari korban dalam keadaan pingsan?" gumam dara jelita itu berbicara pada dirinya sendiri. Kelihatan Kenanga tengah memeras otak untuk mengetahui alasan penculikan itu. 
Mendengar kekasihnya bergumam seorang diri, Panji pun terpengaruh dengan ucapan Kenanga. Sebab, pemuda itu pun merasa yakin bahwa Penculik-Penculik Misterius itu mempunyai tujuan tersembunyi. Dan, kemungkinan besar setelah penculikan itu berakhir, akan terjadi kekacauan yang lebih hebat! Pikiran itu tiba-tiba saja menyelinap dibenak Panji, membuat pemuda itu agak cemas. Karena ia belum bisa menebak, bencana apa yang kelak akan menggemparkan dunia. 
"Kakang...," tiba-tiba Kenanga memanggil kekasihnya, dan menatap wajah pemuda itu lekat-lekat. Sepertinya ada sesuatu yang hendak disampaikan, namun gadis itu masih merasa ragu untuk mengatakannya. 
"Kau sudah menemukan nama lain untuk kita datangi...?" tanya Panji, mengira gadis itu hendak mengusulkan nama seorang tokoh lain. 
"Bukan," sahut gadis itu cepat. 
"Lalu, apa yang hendak kau sampaikan...?" tanya Panji ketika melihat kekasihnya tampak ragu menyampaikan sesuatu yang terlintas dalam pikirannya, saat termenung tadi. 
"Bagaimana seandainya aku menduga tokoh yang memerintahkan penculikan itu, hendak menyerap ilmu-ilmu andalan tokoh-tokoh yang diculiknya. Sebab, bukankah hanya mereka yang memiliki keistimewaan saja yang menjadi korban penculikan?" ujar Kenanga dengan kening agak berkerut. Agaknya, dara jelita itu kurang yakin dengan dugaannya. 
"Hm...?" Panji bergumam, ketika mendengar dugaan kekasihnya. Pemuda itu menoleh sejenak menatap wajah jelita di sebelahnya. Kemudian, beralih ke jalan yang membentang turun naik di depannya. 
Kenanga sendiri belum melepaskan tatapan matanya dari wajah pemuda itu. Rupanya, gadis itu tengah menanti jawaban Panji atas dugaannya itu. 
"Rasanya, perkiraanmu itu cukup masuk di akal. Jika benar demikian, kemungkinan besar para tokoh itu masih selamat, selama ilmunya belum dapat diserap oleh dalang penculik itu. Seandainya sudah, ya... mungkin saja tokoh-tokoh itu telah mereka bunuh. Nah, itulah yang aku khawatirkan...," ujar Panji sambil terus berpikir. 
"Jadi, kau kurang yakin dengan dugaanku...?" tanya dara jelita itu. Sedikit kecewa. 
"Bukan begitu maksudku. Dugaanmu memang perlu diperhitungkan. Tapi, sebaiknya sekarang kita datangi tokoh yang berjuluk Dewa Tangan Salju. Rasanya, tokoh itu jauh lebih pantas untuk diculik dan diserap ilmunya...," tukas Panji bukan sekadar menghibur hati kekasihnya. Tapi, apa yang dipikirkan Kenanga rasanya memang pantas untuk diperhitungkan. Dan hal itu bukan sesuatu yang mustahil! 
"Tapi, apakah Penculik-Penculik Misterius itu berani melakukan, Kakang? Sebab, kepandaian Dewa Tangan Salju tidak dapat disamakan dengan tokoh-tokoh yang telah mereka culik?" ujar Kenanga yang meragukan para penculik itu berani mendatangi tokoh puncak seperti Dewa Tangan Salju. 
"Memang meragukan. Tapi, tidak ada salahnya jika kita mendatangi tokoh itu. Sekalian menengoknya...," jelas Panji yang telah menetapkan secara pasti, tokoh berjuluk Dewa Tangan Salju mempunyai kemungkinan yang sangat besar untuk menjadi sasaran penculikan. Apalagi, tokoh sakti itu mempunyai ilmu yang sangat istimewa, hingga dijuluki orang Dewa Tangan Salju. 
"Kalau memang Kakang sudah merasa yakin, tunggu apa lagi. Ayo kita datangi tokoh itu...," sambut Kenanga cepat dan bersemangat. 
Kelihatannya, dara jelita itu sudah merasa tidak sabar untuk segera membekuk penjahat-penjahat yang telah membuat resah rimba persilatan, terutama kaum golongan putih. Sebab, yang menjadi korban penculikan selama ini adalah tokoh-tokoh golongan putih. 
Setelah mendapat kata sepakat keduanya tidak lagi melanjutkan perjalanan ke selatan. Mereka berbelok dan menerobos hutan, mengambil arah sebelah barat. Karena, tokoh yang berjuluk Dewa Tangan Salju, tinggal di sebuah pegunungan di daerah barat. 

* * * * *




"Hm..." Kakek bertubuh kurus itu bergumam perlahan. Tubuhnya yang kurus tengah duduk di atas sebuah batu besar berbentuk pipih. Kelihatannya, kakek itu baru saja menyelesaikan semadinya. Sedang, sepasang matanya masih terpejam rapat. 
Setelah terdiam beberapa saat lamanya dengan telinga bergerak-gerak, kakek itu pun beranjak bangkit. Tubuhnya terlihat agak bungkuk, mungkin disebabkan usianya yang sudah sangat tua. Paling tidak, umur kakek itu berkisar sekitar sembilan puluh tahun lebih. Meski demikian, sepasang matanya terlihat masih sangat bening dan tajam. Menandakan kekuatan batinnya masih sangat kuat meskipun usianya telah tua. Bahkan, terkadang sepasang mata itu memancarkan sinar berkilat, pertanda tenaga dalam yang dimilikinya sudah mencapati titik kesempurnaan. 
"Sahabat! Kalau memang ada keperluan denganku, keluarlah! Untuk apa main sembunyi seperti anak kecil...!" ujar kakek itu dengan hanya sedikit menggerakkan bibirnya. Namun, suara yang terdengar laksana gaung yang bersahutan memenuhi penjuru puncak gunung tempat tinggalnya. Nyata sudah tenaga dalam kakek itu memang sangat luar biasa. 
Kakek yang tidak lain Dewa Tangan Salju itu tidak perlu menunggu lama. Sebab, sebelum gema suaranya lenyap, muncullah tiga sosok tubuh dari balik semak-semak di depannya. Rupanya, Dewa Tangan Salju sudah dapat menebak dengan tepat tempat persembunyian orang-orang itu. Buktinya, kakek itu langsung menghadap ke belakang dari kedudukannya ketika bersemadi. Itu menunjukkan usia yang sudah sangat tua, tidak membuat pendengarannya berkurang. Malah semakin bertambah tajam. 
Kening Dewa Tangan Salju terlihat membentuk kerutan yang cukup banyak, ketika melihat salah seorang tamunya dipapah oleh dua orang lainnya. Dewa Tangan Salju segera menduga, salah seorang tamu tak diundangnya itu tengah menderita luka yang cukup parah! 
"Maaf, jika kedatangan kami telah mengganggumu, Dewa Tangan Salju. Tapi, karena tempat ini paling dekat letaknya dari tempat-tempat lain, terpaksa kami memberanikan diri datang ke tempat pertapaanmu," ujar salah seorang dari tiga lelaki berpakaian serba hitam yang berada di sebelah kanan. 
"Hm...," Dewa Tangan Salju hanya memperdengarkan gumaman pelan, sambil mengelus jenggotnya yang panjang dan berwarna putih. Sepasang mata tuanya yang bening dan tajam, menatap ketiga sosok tamunya dengan penuhselidik. Sedangkan ketiga sosok tubuh yang rata-rata berpakaian serba hitam itu terus bergerak maju. Langkah mereka baru berhenti dalam jarak sekitar setengah tombak. 
"Apa maksud kalian datang ke tempat pertapaanku...?" tanya Dewa Tangan Salju sambil tetap meneliti sosok tamunya. Meskipun sebenarnya, kakek itu sudah dapat menebak maksud kedatangan ketiga orang itu, tapi pertanyaan itu tetap terlontar dari bibirnya. Padahal, melihat betapa pucatnya wajah lelaki yang dipapah kedua orang temannya, Dewa Tangan Salju sudah dapat menduga, orang itu tengah menderita luka yang cukup parah. 
"Kami hendak meminta pertolonganmu, Dewa Tangan Salju. Kuharap kau mau bermurah hati pada kami. Kami datang ke tempat ini, karena tahu kau seorang yang bijaksana, dan suka mengulurkan tangan menolong orang yang lemah dan memerlukan bantuan. Itulah sebabnya, kami memberanikan diri datang ke pertapaanmu ini," kembali yang menjawab lelaki bertubuh tinggi yang berada paling kanan. Agaknya ia bertindak sebagai juru bicara dua orang kawannya. 
"Hm..., coba terangkan lebih jelas maksud kedatangan kalian. Jangan membuat aku menduga-duga...," tukas Dewa Tangan Salju sambil tetap mengelus jenggot putihnya periahan-lahan. 
"Jelasnya, kami memohon agar kau mau menolong kawan kami yang terkena pukulan beracun...," sahut lelaki bertubuh tinggi dengan nada merendah, seperti layaknya orang yang memerlukan pertolongan. Bahkan, sepasang mata yang sebenarnya tajam itu, kini terlihat demikian memelas penuh permohonan. 
"Hm..., sebenarnya aku tidak begitu pandai dalam hal racun atau pun pengobatan. Kalian telah datang ke tempat yang kurang tepat. Tapi, karena untuk mencapai tempat ini kalian telah bersusah-payah. Biarlah, akan kucoba meringankan penderitaan kawanmu itu...," ujar Dewa Tangan Salju. 
"Terima kasih, Dewa Tangan Salju. Sudah kudengar kau seorang yang baik hati dan suka menolong orang lain...," lelaki itu seraya memperlihatkan senyumnya dengan wajah berseri. Jelas terlihat, betapa ia sangat gembira setelah mendengar kesediaan kakek tua itu untuk mengobati luka kawannya. Tanpa disuruh lagi, keduanya segera melangkah maju, memapah kawannya yang terluka. Dan, berhenti beberapa langkah di hadapan Dewa Tangan Salju. 
"Hm... Sebaiknya langsung kalian bawa ke pondokku. Di sana aku akan lebih leluasa mengobatinya...," pinta Dewa Tangan Salju membuat kedua orang tamunya menghentikan gerakan. Karena saat itu mereka mulai merebahkan temannya di atas rerumputan tebal. 
"Ah, kami tidak ingin terlalu merepotkan. Biarlah, di sini saja sudah cukup. Setelah penderitaan dan rasa sakit kawan kami berkurang, kami akan segera meninggalkan tempat ini. Rasanya, segan hati kami mengganggumu terlalu lama...," sahut lelaki bertubuh tinggi sambil meneruskan gerakannya menurunkan tubuh temannya di atas rerumputan. 
Sehingga, Dewa Tangan Salju tidak bisa menolaknya lagi. Dengan langkah perlahan, Dewa Tangan Salju mendekati ketiga orang tamunya. Kemudian menekuk kedua lututnya dengan tubuh membungkuk, hendak memeriksa lelaki yang wajahnya sudah sangat pucat bagaikan mayat. Bahkan, tubuh itu mulai terasa dingin, persis seperti sesosok mayat. 
Tapi..., baru saja Dewa Tangan Salju berjongkok, tiba-tiba orang yang berbaring itu membuka matanya, dan mendorong kedua telapak tangannya ke tubuh Dewa Tangan Salju! Sebuah serangan mendadak yang sangat tiba-tiba, dan rasanya tidak mungkin untuk dihindari meskipun oleh orang sehebat Dewa Tangan Salju! 
Ternyata, bukan hanya sosok yang berpura-pura sakit itu saja, yang melontarkan pukulan hebat berbau harum memabukkan. Bahkan, kedua orang lain yang berdiri tegak di depan Dewa Tangan Salju, juga melakukan hal yang sama. Sehingga, dalam sekejap mata saja, Dewa Tangan Salju telah terancam pukulan beracun dari tiga orang tamu yang tak diundang itu! 
Whuuuttt...! 
"Aaaihhh...!" Perbuatan ketiga orang itu tentu saja membuat Dewa Tangan Salju terkejut bukan main. Wajah kakek itu berubah, menggambarkan rasa terkejut yang sangat dalam. Sadar, untuk menghindari ataupun mengerahkan kekuatan untuk menyambut serangan licik itu tidak mungkin lagi dilakukan, terpaksa Dewa Tangan Salju nekat menyambut ketiga serangan maut itu dengan sebisanya. Maka.... 
Breeeshhh! 
Hebat bukan main akibat benturan keras dari tenaga dalam yang saling berbenturan itu. Udara di sekitarnya bagai berguncang, karena perubahan tekanan akibat tenaga-tenaga dalam yang saling berbenturan itu! 
"Aaahhh...?!" Dewa Tangan Salju memekik tertahan. Tubuh kakek itu terlempar ke belakang dengan deras. Darah segar tampak menetes dari mulutnya. Kendati demikian, Dewa Tangan Salju ternyata masih mampu menahan, dan menghentikan daya dorong itu dengan berjumpalitan lima kali di udara. Dan, berhasil mendarat dengan kedua kaki di atas rerumputan. 
Bukan hanya Dewa Tangan Salju saja yang terlempar akibat benturan keras itu. Bahkan, ketiga orang yang ternyata penjahat-penjahat licik itu pun terpental ke belakang. Beruntung mereka telah menggabungkan tenaga menjadi satu. Selain itu kedudukan mereka pun sangat baik. Sehingga, daya dorong yang mereka rasakan tidak separah dan sekuat yang dialami Dewa Tangan Salju. 
"Heaaahhh..!" 
"Haiiittt..!" 
Dua lelaki berpakaian serba hitam yang melancarkan pukulan dengan kuda-kuda kokoh dan dalam kedudukan berdiri, memekik sambil berjumpalitan dua kali di udara. Kemudian meluncur turun dengan selamat. Sebaliknya, lelaki berpakaian serba hitam yang berpura-pura terluka parah, tubuhnya terbenam ke dalam tanah sedalam satu jengkal. Bukti bahwa dalam keadaan tak siap pun, kekuatan tenaga dalam di tubuh Dewa Tangan Salju langsung bekerja, saat merasakan ada hawa asing yang hendak melukai tubuh kakek itu. Jika tidak, sudah pasti Dewa Tangan Salju hanya tinggal nama saja. 
"Kalian... benar-benar licik dan keji...!" desis Dewa Tangan Salju sambil mendekap dadanya yang terasa agak sesak. Kakek itu berusaha mengurangi rasa sesak di dadanya dengan menarik napas berulang-ulang. Sepasang matanya memancarkan sinar berkilat pertanda kemarahan hatinya atas kelicikan yang dilakukan ketiga orang itu terhadapnya. 
Sedangkan ketiga lelaki berpakaian serba hitam yang tidak lain Penculik-Penculik Misterius, telah bergabung dan siap kembali menyerang. Rupanya, mereka bermaksud hendak menculik Dewa Tangan Salju. Tapi, karena kepandaian tokoh tua itu tidak bisa disamakan dengan yang lainnya, mereka pun bersiasat dengan menggunakan kelicikannya untuk merobohkan kakek itu. 
Kini kedua belah pihak saling berpandangan dengan sinar mata tajam. Tatapan Dewa Tangan Salju menyiratkan kemarahan dan rasa penasaran, sedangkan di pihak lawan tampak pandang kekaguman bercampur kejengkelan, melihat betapa kakek itu ternyata masih dapat berdiri tegak dan siap tarung! 

* * * * *



:::≡¦ [ TUJUH ] ¦≡:::

"SIAPA sebenarnya kalian? Dan, mengapa memusuhiku...?" tanya Dewa Tangan Salju penasaran. Kakek itu merasa tidak mengenalnya, dan tidak bermusuhan dengan ketiga lelaki berpakaian serba hitam itu. Sebab, tidak ada orang yang menyerang dengan maksud mencelakai tanpa alasan yang jelas. Itulah, yang ingin diketahui Dewa Tangan Salju. 
"Hm..., tidak perlu kau mengetahui siapa kami. Yang jelas, maksud kedatangan kami adalah untuk menawanmu. Oleh karena itu, lebih baik kau menyerah saja. Karena racun yang terkandung dalam pukulan kami tadi telah meresap ke dalam tubuhmu. Sehingga, tanpa diserang pun kau akan roboh juga nantinya. Sayang, kami tidak mempunyai banyak waktu dan harus bergegas...," jawab lelaki bertubuh tinggi yang bertindak sebagai juru bicara, dan Pimpinan Penculik-Penculik Misterius itu. 
"Untuk apa kalian bersusah-payah menculik orang setua aku? Percuma saja. Aku tidak akan sudi mengikuti kemauan kalian sekalipun sudah tertawan...!" tandas Dewa Tangan Salju dengan wajah mulai dipenuhi bintik-bintik keringat. Kakek itu merasa tubuhnya mulai terasa panas. Hingga membuat Dewa Tangan Salju sadar pengaruh racun telah bekerja. 
"Nah, kau rasakan sendiri, bukan? Untuk apa lagi melakukan perlawanan. Pada akhirnya kau pun akan roboh dan dapat kami tawan. Sebaiknya, menyerahlah daripada membuang-buang tenaga percuma," kembali lelaki itu membujuk Dewa Tangan Salju, yang kelihatan tengah berusaha melawan pengaruh racun yang mulai menjalar ke seluruh tubuhnya. 
"Manusia-manusia Licik! Lebih baik aku mati daripada harus ditawan kalian...!" desis Dewa Tangan Salju berang. Usai berkata demikian, kakek itu memutar kedua tangannya hingga menimbulkan deruan angin dingin. Rupanya, tokoh hebat itu tengah menyiapkan ilmu andalannya untuk bertahan. 
"Tua Bangka keras kepala! Sudah kubilang percuma kau membuang-buang tenaga menghadapi kami...!" geram lelaki bertubuh tinggi yang kelihatan sangat jengkel melihat sikap keras kepala Dewa Tangan Salju. Lelaki itu bersiap membekuk kakek itu, dan menggeser langkahnya ke kanan. Dua orang temannya bergerak ke kiri dan ke depan. Rupanya, mereka hendak mengeroyok Dewa Tangan Salju dari tiga arah. Terbukti, mereka terus maju dan semakin mempersempit lingkaran. 
"Heaaahhh...!" Salah seorang dari lelaki berpakaian serba hitam, yang ada di sebelah kanan Dewa Tangan Salju memekik sambil melontarkan pukulan beracun. 
Whuuusss...! 
Dewa Tangan Salju sebenarnya lebih suka bertahan, bila keadaan tubuhnya tidak dalam keadaan terluka seperti sekarang. Tapi, karena ia sadar dalam tubuhnya telah mengeram racun yang amat kuat daya kerjanya, maka kakek itu berniat menggebrak lawan secepatnya. Dengan begitu, dirinya bisa segera merobohkan lawan secepatnya, kemudian mengusir racun yang mengeram ditubuhnya. 
"Yeaaahhh...!" 
Maka ketika serangari lawan datang, tubuh kakek itu langsung melesat cepat ke depan menyambutnya. Sepasang tangannya berputar cepat menyerupai baling-baling, yang menyebarkan hawa dingin menggigil. Itulah, jurus 'Tangan Sarju' yang menjadi andalannya sejak puluhan tahun silam. Dengan ilmu dahsyat itu pulalah, kakek itu mengukir namanya di kalangan persilatan. Sehingga dijuluki orang Dewa Tangan Salju. 
Tapi, para penculik itu rupanya sangat licik. Melihat kakek itu menyambut serangannya, lelaki berpakaian serba hitam yang bertubuh sedang tampak menahan gerakannya, dan melemparkan tubuhnya ke samping. Jelas, lelaki itu merasa gentar untuk bentrok secara langsung dengan kakek itu. Sehingga, memilih menghindari sambutan DewaTangan Salju. 
"Haiiittt..!" 
Penculik yang pertama bergulingan menghindar, penculik kedua yang bertubuh gemuk melancarkan serangannya dari belakang kakek itu. Sebuah tendangan keras yang dilepaskannya mengancam punggung Dewa Tangan Salju. Belum lagi serangan itu sampai dan mengenai sasaran, penculik ketiga sudah datang menyerbu dengan serangkaian pukulan yang menebarkan bau harum memabukkan. Jelas, pukulan itu mengandung racun pembius yang sangat kuat. 
Jeeeb! 
Bwettt..! 
Pukulan dan tendangan kedua pengeroyoknya berhasil dielakkan Dewa Tangan Salju dengan jalan menundukkan tubuhnya. Kemudian, sepasang tangannya mengibas ke kiri-kanan, seperti seekor burung besar yang mengepakkan sayapnya di angkasa. 
Dukkk, plakkk! 
"Aaahhh...?!" 
Kedua Penculik-Penculik Misterius itu terpekik, merasakan ada hawa dingin yang amat kuat mengalir ke dalam tubuh melalui lengan dan kaki mereka. Tubuh keduanya terdorong mundur, hampir terpelanting jatuh! Untunglah keduanya dapat bertindak cepat dengan melempar tubuh ke belakang, dan mendarat ringan dengan kedua kaki lebih dulu. 
"Gila...! Dewa Tangan Salju memang seorang tokoh yang luar biasa sekali! Padahal ia telah terluka, tapi masih dapat memberikan perlawanan yang berbahaya...!" desis salah seorang penculik bertubuh gemuk dan berkepala setengah botak. Lelaki itu mengerahkan tenaganya untuk mengusir hawa dingin yang menjalar di dalam tubuhnya. 
Meskipun Dewa Tangan Salju masih tetap tangguh, seperti tidak merasakan luka akibat benturan pukulan mereka, tapi para penculik itu tidak merasa gentar. Mereka kembali membentuk kepungan, dan berlari memutari kakek itu dengan berganti-ganti arah. Terkadang putaran itu demikian cepat hingga ketiganya hanya berbentuk bayang- bayang hitam. Sebentar kemudian melambat, hingga sosok mereka terlihat jelas. 
Dewa Tangan Salju berdiri bergoyang-goyang. Beberapa kali terlihat tokoh tua itu menggelengkan kepalanya. Agaknya, ia merasa pening dengan gerak berputar yang dilakukan para pengeroyoknya. Kenyataan itu membuat Dewa Tangan Salju sadar, ketiga lawannya sengaja melakukan gerakan itu untuk mempercepat daya kerja racun yang mengeram di dalam tubuhnya. Dan, setelah menyadari hal itu Dewa Tangan Salju pun menjadi geram! 
"Iblis-iblis Licik...!" desis kakek itu sambil berusaha mengikuti putaran tubuh ketiga lawannya. Rupanya, kakek itu hendak mengurangi pengaruh rasa pening pada kepalanya. 
"Haiiittt...!" 
"Haaattt...!" 
Putaran yang makin lama kelihatan semakin menyempit, tiba-tiba pecah! Ketiga penculik itu berloncatan menerjang Dewa Tangan Salju dari tiga arah. Kali ini serangan- serangan mereka kelihatan semakin hebat. Semua itu dapat dirasakan kakek itu dari sambaran angin pukulan yang berciutan memekakkan telinga! 
Bettt! Bettt...! 
Dua buah pukulan yang membawa bau harum memabukkan lewat mengenai angin kosong. Sebab, tubuh Dewa Tangan Salju telah bergeser dari tempat semula, dan berusaha melancarkan serangan balasan dengan jurus-jurus mautnya. 
"Ehhh?!" Dewa Tangan Salju tampak heran ketika gerakannya mulai kacau dan tak terarah. Bahkan, kepalanya kini berdenyut-denyut menyakitkan. Sadarlah orang tua itu, bahwa racun yang makin banyak terisap pernapasannya telah membuat pikirannya terganggu. Sehingga, gerakannya pun menjadi kacau! 
"Kurang ajar...!" desis kakek itu geram. Tapi dirinya tidak bisa berbuat apa-apa. Ketiga lawannya yang melihat gerakan Dewa Tangan Salju mulai tak teratur, makin memperhebat serangan-serangannya. Tentu saja kakek itu menjadi kerepotan. 
Desss, bukkk! 
Satu dua pukulan mulai mendarat di tubuh kurus Dewa Tangan Salju, membuat tubuhnya bergoyang dan terhuyung beberapa langkah. Bahkan, setelah lewat lima puluh jurus, pukulan dan tendangan lawan makin sering mengenai tubuhnya. Sehingga, Dewa Tangan Salju benar-benar tak berdaya. 
Bukkk! 
"Aaakhhh...!" Rasa pening yang kian berdenyut membuat Dewa Tangan Salju semakin berkurang kesigapan dan kegesitannya. Akibatnya, sebuah hantaman telapak tangan salah seorang pengeroyoknya, telak mengenai dada. Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh kakek itu pun terjungkal di atas tanah. Kendati demikian, ia masih berusaha bangkit sambil menggoyangkan kepalanya berkali-kali, untuk menghilangkan rasa pening yang membuat pemusatan pikirannya buyar! 
"Haaattt...!" 
Tapi, ketiga penculik itu tidak memberi kesempatan pada lawan untuk bangkit berdiri. Ketiganya sudah meluncur dengan serangan masing-masing! 
Whuuuttt...! 
Sambaran angin keras yang membawa bau harum memabukkan datang semakin dekat, mengancam Dewa Tangan Salju yang hanya bisa terbelalak dengan wajah pucat! Karena untuk bergerak ia tidak sanggup lagi. Kepalanya terasa semakin berat bagai diganduli batu besar. 
"Heaaattt...!" 
Dan, pada saat yang sangat berbahaya bagi keselamatan Dewa Tangan Salju, tiba-tiba terdengar lengkingan panjang yang menyakitkan telinga. Seiring dengan lengkingan itu, sesosok bayangan putih dan hijau berkelebat secepat sambaran kilat di angkasa. Sehingga.... 
Breeessshhh.... 
Plarrr...! 
"Aaahhh...!" 
Terdengar teriak kesakitan ketika sosok bayangan putih dan hijau menyambut serangan ketiga Penculik-Penculik Misterius. Sehingga, ketiga sosok berpakaian serba hitam itu terpental ke belakang dengan deras! 
Bukkk! 
Ketiganya jatuh bergulingan di atas tanah berumput. Sebab, mereka tidak siap untuk menghadapi lawan yang baru tiba, dan menyelamatkan Dewa Tangan Salju dari tangan mereka. Meski dengan dada terasa nyeri, ketiga penculik itu bergegas bangkit untuk melihat orang yang telah menggagalkan serangan mereka yang nyaris berhasil. Dan, ketiga pasang mata lelaki berpakaian serba hitam itu pun terbelalak, ketika melihat sesosok tubuh diselimuti lapisan kabut putih keperakan! 
"Pendekar Naga Putih. ?!" pekik tertahan itu meluncur dari mulut ketiga Penculik-Penculik Misterius. Wajah mereka kelihatan tegang! Karena mereka sadar siapa Pendekar Naga Putih! 
"Hm... Rupanya dugaanku tidak meleset! Kalian pasti akan datang ke tempat Dewa Tangan Salju. !" desis sosok pemuda tampan berjubah putih yang tak lain Panji. Sepasang matanya menyiratkan kemarahan, membuat ketiga penculik itu melangkah mundur tanpa sadar. Karena sinar mata itu tak ubahnya mata naga yang mencorong dikegelapan. 
Yang datang menyelamatkan Dewa Tangan Salju dari Penculik-Penculik Misterius itu ternyata bukan hanya Panji seorang. Bayangan hijau yang datang secara bersama dengan pendekar muda itu, kini berdiri tegak menatap ketiga Penculik-Penculik Misterius. Sorot mata dara jelita yang tidak lain Kenanga, tampak menyala, memancarkan kemarahan yang mengeram di dadanya. 
Tentu saja hati penculik-penculik itu makin bertambah kecut! Tak seorang pun dari ketiga penculik itu yang berani membuka mulut. Tampaknya, mereka masih terkejut dengan kemunculan pemuda itu yang namanya menggetarkan rimba persilatan. Sehingga, untuk beberapa saat lamanya mereka hanya terdiam bagai patung batu. 
"Kenanga, jagalah mereka. Jangan biarkan penculik-penculik itu pergi dari tempat ini. Aku hendak memeriksa keadaan Dewa Tangan Salju. Mudah-mudahan kakek itu tidak mengalami luka parah...," ujar Panji pada kekasihnya yang menjawab dengan anggukan kepala. Lalu, Panji pun bergegas menghampiri sosok Dewa Tangan Salju yang saat itu telah jatuh pingsan. 
Tanpa buang-buang waktu lagi, Panji membungkuk dan memeriksa tubuh orang tua itu. Wajah pemuda itu tampak menggambarkan kelegaan. Sebab, luka Dewa Tangan Sarju ternyata tidak terlalu parah. Memang di beberapa bagian tubuhnya tampak luka- luka memar. Tapi hal itu tidak akan membahayakan. Demikian pula dengan racun yang ditemukan Panji di dalam tubuh orang tua itu, juga tidak berbahaya. Karena hanya untuk membuat kakek itu tak sadarkan diri. 
"Bagaimana keadaan Dewa Tangan Sarju, Kakang...?" tanya Kenanga ketika melihat Panji telah berdiri di sampingnya kembali. 
"Tak terlalu mengkhawatirkan. Sekarang tinggal mengurus ketiga penculik biadab itu...," jawab Panji seraya menatap tajam ketiga sosok tubuh terbungkus pakaian serba hitam, yang kini telah berdiri tegak dengan menggenggam pedang telanjang! 
"Keparat kau, Pendekar Naga Putih! Kelak kau akan menyesal tujuh turunan atas keusilanmu ini...!" geram lelaki bertubuh tinggi kurus menentang pandang mata pendekar muda itu. Tapi, ia tidak bisa bertahan lama. Sebentar kemudian, kepalanya sudah tertunduk. Sorot mata pendekar muda itu terlalu kuat membuat dadanya berdebar bila dipandang berlama-lama. 
"Hm.... Kalian yang keparat, Penculik-penculik Hina! Sekarang kalian telah tertangkap basah, dan tidak mungkin akan kulepaskan begitu saja...!" sahut Panji sambil bergerak maju mendekati ketiga Penculik-Pencutik Misterius itu. 
Kenanga sebenarnya ingin menghadapi ketiga penculik itu, dan menghajar dengan tangannya sendiri. Tapi, mengingat ketiga orang itu sangat penting artinya bagi mereka, maka ia pun tidak mau bertindak gegabah. Dibiarkannya Panji menghadapi ketiga penculik itu. Sedangkan ia sendiri bergerak mundur untuk menjaga Dewa Tangan Salju yang tergolek pingsan. Agaknya, dara jelita itu merasa khawatir ketiga penculik itu akan bertindak licik, dan mempergunakan tubuh Dewa Tangan Salju sebagai sandera untuk dapat meloloskan diri dari Pendekar Naga Putih. 
Werrr... werrr...! 
Sementara itu, ketiga Penculik-Penculik Misterius sudah bergerak ke tiga arah sambil memutar senjatanya. Dengungan angin tajam yang ditimbulkan putaran pedang mereka, membuat dedauan kering beterbangan. Jelas, ketiga penculik itu telah siap bertarung dengan Pendekar Naga Putih. Sebab, untuk lolos dari pemuda itu rasanya mustahil! 
"Hm..." Panji bergumam lirih ketika melihat ketiga lawannya sudah mengelilinginya, membentuk sebuah kepungan. Dengan sepasang mata pemuda itu bergerak mengikuti langkah kaki mereka. Sedangkan sosoknya tetap tegak dengan kaki terpentang lebar. 
"Heaaattt..!" 
Beberapa saat kemudian, penculik yang berada di depan pemuda itu mulai membuka serangan. Kemudian disusul oleh dua orang temannya. Sehingga, Panji terkepung serangan dari tiga arah sekaligus. 
Siiing… sing! 
Ujung-ujung pedang lawan yang menyambar bagai kilatan petir meluncur dengan kecepatan tinggi. Rupanya, ketiga penculik itu langsung mengerahkan seluruh tenaga dan kecepatannya. Karena mereka sadar lawan yang kali ini dihadapinya bukan sembarangan pendekar. Dan, mereka pun telah mendengar sepak-terjang pendekar muda itu, yang membuat tokoh-tokoh kaum sesat kalang-kabut dibuatnya, Sehingga mereka tidak setengah-setengah dalam menggempur pemuda itu. 
"Heaaahhh...!" 
Bersamaan dengan bentakan keras, tubuh Panji menggeliat menghindari tusukan pedang yang berkelebat di sekujur tubuhnya. Kemudian, balas menyerang dengan tamparan dan tendangan yang menimbulkan suara mencicit tajam. Itu menandakan Panji hendak cepat-cepat menyelesaikan perkelahian dan menahan ketiga penculik itu. Pemuda itu merasa semakin yakin ada tokoh yang mendalangi penculikan, terhadap para pendekar terkenal. Sebentar kemudian, pertarungan berlangsung semakin sengit. Pendekar Naga Putih benar-benar dibuat repot! 
Kelihatannya, mereka tidak memberi kesempatan pada Pendekar Naga Putih untuk membalas serangannya. Semua itu terbukti dari semakin gencarnya serangan mereka, yang mencecar tubuh pendekar muda itu, pada titik-titik jalan darah besar yang bisa mengakibatkan kematian bila sampai terkena tusukan atau bacokan pedang lawan. 
Panji pun sadar akan hal itu. Dan, berusaha untuk melindungi bagian-bagian terlemah itu dengan mengelak serta sesekali menangkis, hingga pedang lawan terpukul balik. Ketika pertempuran menginjak jurus ketiga puluh. Pendekar Naga Putih terlihat mulai merubah gerakannya. Tubuh pemuda itu bergerak dengan kecepatan yang sukar ditangkap mata biasa. Sehingga, ketiga lawannya semakin meningkatkan kecepatan dan kekuatan serangan mereka. 
Syuuuttt... Bweeettt...! 
"Heaaahhh...!" 
Dua batang pedang meluncur deras mengancam pelipis dan tenggorokan pemuda itu. Cepat Panji merendahkan kuda-kudanya sambil menarik mundur tubuhnya. Kemudian melenting ke depan seraya melepaskan tendangan ke tubuh lawan. 
Bukkk, desss...! 
"Aaakhhh...!" 
"Ouggghhh...!" 
Gerakan yang cepat dan tak terduga itu tidak sempat dihindari lawan. Apalagi, saat itu tubuh keduanya tengah doyong ke depan. Maka, tendangan keras itu pun membuat tubuh keduanya terlempar sejauh satu tombak lebih! Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh mereka terbanting ke atas tanah. Darah segar tampak menetes keluar dari sela bibir keduanya.
Meski demikian, mereka berusaha untuk segera bangkit, saat Panji masih menghadapi penculik yang seorang lagi. Namun, lawan yang seorang itu tidak terlalu merepotkan. Panji. Sebentar saja, sebuah hantaman telapak tangannya mendarat di dada lawan! 
Desss...! 
Hantaman keras itu membuat lawan muntah darah, dan terguling sejauh dua tombak. Dan, penculik yang naas itu kelihatan tidak segera bangkit. Rupanya, hantaman itu membuat napasnya nyaris putus! 
"Haaattt...!" 
Pendekar Naga Putih melihat kedua penculik yang terkena tendangannya sudah bergerak hendak menyerang, segera mengeluarkan teriakan melengking panjang. Tubuhnya melayang bagai seekor naga yang tengah bermain diangkasa. 
Whuuuttt…! 
Angin dingin menusuk tulang datang menyerbu, ketika pemuda itu mendorong telapak tangannya bergantian. Rupanya, Panji hendak melumpuhkan lawan-lawannya dengan pukulan yang hebat. Mereka sadar akan bahaya yang datang mengancam. Keduanya bergegas mengambil sesuatu dari balik pakaian masing-masing. Lalu, melemparkannya ke arah Panji sambil melompat ke samping, bergulingan menjauh. 
Trakkk, tringngng, tringngng! 
Belasan batang paku beracun berjatuhan ke tanah dengan suara berdentingan. Meskipun serangan gelap itu tidak membuat Panji terluka, namun kedua penculik itu dapat menghindar dari serangan yang dilontarkan pemuda itu. 
"Hmmm...." Panji yang meluncur turun, bergumam dengan sepasang mata mencorong tajam, ditatapnya kedua penculik itu sambil menyilangkan kedua lengannya di depan dada. Pendekar Naga Putih tengah mempersiapkan serangan berikutnya. 

* * * * *



:::≡¦ [ DELAPAN ] ¦≡:::

"Hiaaattt...!" 
Diiringi pekikan nyaring, tubuh Pendekar Naga Putih kembali meluncur ke arah lawan-lawannya. Serangan yang kali ini dilancarkan pemuda itu jauh lebih hebat dari serangan-serangan sebelumnya. Rasanya, sangat sulit untuk menghindari gempuran maut yang dilancarkan pemuda berjubah putih. Kedua penculik itupun sadar akan kehebatan serangan Pendekar Naga Putih. Namun, mereka tidak melihat ada jalan lain kecuali menghadapi terjangan maut itu. 
"Haaattt…!" 
Pedang di tangan penculik-penculik itu berputaran membentuk gulungan sinar putih yang bergerak turun naik dengan kecepatan mengagumkan! Kemudian, secara bersamaan meluncur datang menyambut serangan Panji. 
Swingngng... swingngng...! 
Tidak seperti sebelumnya, kali ini Panji tidak berusaha menghindar. Sepasang tangannya yang telah dilindungi 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan, digunakan untuk menyambut sambaran mata pedang lawan. Tentu saja kedua penculik itu terkejut. Mereka tidak menyangka pendekar muda itu berani menyambut serangan pedangnya dengan tangan telanjang! Tapi, apa yang terjadi kemudian, benar-benar membuat mata mereka hampir melompat keluar dari tempatnya. 
Trakkk! Trakkk! 
"Aaaiii...?!" 
Kedua penculik itu terpekik ketika pedang mereka langsung patah terbentur sepasang lengan yang amat kuat. Padahal, senjata mereka terbuat dari baja pilihan yang tidak mudah dipatahkan. Tapi, Pendekar Naga Putih ternyata mampu melakukannya hanya dengan lengan telanjang! Benar-benar sukar dipercaya! Panji sendiri tidak begitu mempedulikan keterkejutan lawan-lawannya. Tubuhnya terus meluncur pesat saat tubuh kedua penculik itu terdorong mundur. Kemudian, sepasang tangannya kembali bergerak dengan pukulan yang cepat dan kuat! 
Desss, desss...! 
"Huaaakhhh...!" 
Tanpa ampun lagi, tubuh penculik-penculik itu terlonjak bagai disentakkan tangan-tangan raksasa yang tak nampak! Darah segar menyembur keluar membasahi rumput dibawahnya. Sedangkan tubuh mereka terbanting keras dan terus bergulingan tanpa mampu dicegah lagi. Panji melayang turun di dekat tubuh kedua lawannya yang terkapar dengan wajah pucat. Darah segar kembali keluar saat mereka terbatuk hebat! 
Kali ini, mereka tidak akan sanggup lagi untuk bangkit. Namun, sebelum Panji sempat menotok lumpuh kedua penculik itu, mereka telah memasukkan sesuatu ke dalam mulutnya. Sebentar kemudian, tubuh keduanya menggelepar seperti ayam disembelih. Kemudian, diam tak bergerak. Mati. 
"Kurang ajar...! Rupanya mereka telah menyiapkan racun mematikan!" Jelas, mereka lebih takut pada pimpinannya. Dan, lebih baik mati daripada ditawan pemuda itu. Kenyataan itu membuat Panji jengkel bukan main. 
"Aaahhh...?!" 
Cepat bagai kilat tubuh Panji berbalik ketika mendengar jeritan kaget. Pemuda itu kenal betul suara jeritan itu milik kekasihnya. Dan, tubuh Panji segera melayang ketika melihat Kenanga mendekap wajah dengan kedua tangannya. 
"Keparat..!" desis pemuda itu saat melihat sesosok bayangan hitam berlari menjauh meninggalkan puncak gunung. 
Sejenak Panji ragu. Jika dirinya mengejar penculik yang melarikan diri itu, tentu akan berhasil. Tapi, pemuda itu mengkhawatirkan Kenanga yang kelihatan masih merintih sambil mendekap wajah dengan kedua telapak tangannya. Dan, ia pun belum tahu pasti apa yang terjadi dengan kekasihnya? Maka, Panji memutuskan untuk menolong Kenanga lebih dahulu. 
"Kenanga, apa yang terjadi...?!" tanya Panji seraya memegang kedua lengan kekasihnya, dengan maksud untuk menurunkannya dari wajah gadis jelita itu. Tapi Kenanga mempertahankan, dan tetap mendekap wajahnya kuat-kuat. Hati Panji semakin bertambah cemas ketika melihat air mata mengalir turun dari sela-sela jemari tangan kekasihnya. Pemuda itu segera dapat menduga, pada kedua mata gadis jelita itu pasti ada sesuatu yang tidak beres. Dan, bukan tidak mungkin jika penculik yang melarikan diri itu telah menaburkan bubuk beracun, yang bisa mendatangkan kebutaan, mengingat betapa penculik-penculik itu cukup mahir menggunakan racun. 
"Apa yang kau rasakan, Kenanga...?" tanya Panji lagi. Kali ini suaranya terdengar parau. Karena hatinya sangat cemas melihat kekasihnya masih merintih sambil tetap menekapkan wajahnya. 
"Mataku... panas sekali, Kakang! Pedih... dan sakit..," rintih Kenanga di sela keluhannya. 
"Bukalah, agar aku dapat memeriksanya...," sambil berkata demikian, Panji kembali memegang lengan kekasihnya untuk dijauhkan dari wajah gadis itu. 
Kali ini Kenanga tidak menolak. Dibiarkan tangannya turun meninggalkan wajahnya. Cepat Panji mengerahkan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' dan menyalurkan ke kedua telapak tangan. Lalu, dilekatkan ke mata kekasihnya. Keluhan Kenanga baru berkurang ketika gadis itu merasakan hawa dingin meresap ke dalam matanya melalui sepasang telapak tangan Panji. Hingga, akhirnya rasa nyeri dan panas yang dirasakannya lenyap tak berbekas. 
"Bagaimana? Apakah masih terasa panas dan nyeri...?" tanya Panji meminta jawaban selekasnya. Pemuda itu melihat Kenanga tidak lagi merintih seperti tadi. 
"Tidak, Kakang...," sahut Kenanga dengan suara agak parau. Mendengar jawaban itu, Panji menarik telapak tangannya dari wajah gadis itu dengan gerakan perlahan. 
"Biarkan matamu tetap dalam keadaan tertutup. Jangan sekali-kali membukanya...," pesan Panji sebelum kedua telapak tangannya meninggalkan wajah dara jelita itu. 
Kenanga hanya menganggukkan kepala mengiyakan. Dengan langkah perlahan, Panji membimbing kekasihnya menuju pondok sederhana tempat Dewa Tangan Salju tinggal. Di bahu kiri pemuda itu tampak sosok Dewa Tangan Salju yang masih belum sadar dari pingsannya. Begitu memasuki pondok, Panji mendudukkan Kenanga di sebuah balai bambu, dan memerintahkan gadis itu berbaring dengan mata tetap terpejam. 
Kemudian Panji menghampiri balai lain yang letaknya agak sedikit ke dalam, dan membaringkan tubuh Dewa Tangan Salju. Setelah memeriksa tubuh lelaki tua itu, Panji kembali ke tempat kekasihnya berbaring. Sebab, keadaan Dewa Tangan Salju tidak mengkhawatirkan. Dengan cekatan, Panji mengambil bubuk obat dari dalam buntalan pakaiannya. Kemudian mencampurnya dengan air yang telah dimasak. Dan, membubuhkannya di kedua mata kekasihnya yang masih terpejam rapat. 
Kenanga yang tahu kekasihnya cukup pandai dalam hal pengobatan maupun jenis- jenis racun, tidak berusaha memberontak. Apalagi, ketika ia merasakan ada rasa sejuk yang membuat kedua matanya segar. Sampai akhirnya Panji membalut kain pengikat kepala gadis itu untuk menutup kedua matanya. 
"Berapa lama mataku harus ditutup seperti ini, Kakang...?" tanya Kenanga setelah merasa Panji selesai membalut matanya dengan kain pengikat kepalanya. 
Panji hanya tersenyum, meskipun saat itu Kenanga tidak dapat melihatnya. Kemudian, menyambut jemari tangan dara jelita itu yang ia tahu tengah mencari-cari tangannya. Panji membelai punggung tangan kekasihnya. 
"Racun yang mengenai matamu dapat mengakibatkan kebutaan. Dan, pengobatan yang kulakukan bisa memakan waktu tiga hari. Selama itu kau harus tetap dalam pengawasanku. Dan, jangan sekali-kali melepas penutup kedua matamu. Karena itu bisa mengganggu cepatnya penyembuhan," jelas Panji sambil menarik napas lega. 
"Lalu, selama itu aku harus berbaring di atas balai ini?" tanya Kenanga lagi. Rupanya salah seorang penculik berhasil melarikan diri, setelah menaburkan bubuk beracun ke wajahnya. 
"Tentu saja tidak. Kau boleh bergerak dan berjalan di dalam pondok. Tapi, tidak boleh keluar dari pintu pondok. Sebab, cahaya matahari bisa mengganggu dan memperlambat penyembuhan," jawab Panji kembali memberikan petunjuk agar penyembuhan dapat berjalan sempurna. 
"Hhh... penculik-penculik itu benar-benar licik sekali...!" geram Kenanga yang merasa dendam atas perbuatan orang itu terhadapnya. Sehingga, dirinya terpaksa harus tinggal di dalam pondok itu selama kurang lebih tiga hari. 
"Apa yang telah terjadi sebenarnya, Kenanga? Mengapa racun itu bisa mengenai matamu...?" tanya Panji ingin mengetahui, secara jelas kejadian yang sebenarnya. Kenanga menarik napas berat sebelum menceritakan kejadian itu. Dan, baru menjawab setelah menghela napas berulang-ulang. 
"Sewaktu Kakang tengah mengakhiri perlawanan kedua Penculik-Penculik Misterius itu, yang seorang lagi kulihat melarikan diri. Tentu saja itu tidak akan kubiarkan. Maka, aku segera melesat untuk mencegah kepergiannya. Dan, aku tidak menyangka sedikit pun ia akan berbuat licik untuk menahan langkahku. Sambil membalikkan tubuh, orang itu mengibaskan lengannya ke arahku. Kurasakan bubuk- bubuk halus berbau harum menerpa wajahku. Mataku terasa pedih dan panas, sehingga aku tidak bisa melihat manusia licik itu. Karena rasa panas dan pedih semakin menggila, maka kututup kedua mataku dengan telapak tangan. Aku terpaksa melupakan penculik itu. Karena, mana mungkin mengejarnya dengan mata tertutup...?" jelas Kenanga menerangkan kejadian yang menimpanya. 
Panji menghela napas panjang setelah mendengar cerita kekasihnya. Ada sedikit rasa kecewa, karena dirinya tidak berhasil mendapatkan keterangan tentang pemimpin penculik-penculik itu. Sebab Panji merasa yakin ada orang di belakang layar yang mendalangi penculikan terhadap tokoh-tokoh persilatan golongan putih. 
"Bagaimana dengan kedua lawanmu, Kakang. Bukankah kau sudah dapat melumpuhkan mereka...?" Kenanga ganti bertanya ketika teringat sebelum kejadian itu, dirinya sempat melihat kekasihnya telah merobohkan dua penculik misterius. 
"Hhh.... Sayang aku gagal mendapatkan keterangan mengenai markas dan pemimpin mereka. Kedua penculik itu segera menelan pil yang mengandung racun mematikan, saat aku hendak menawan mereka...," jawab Panji dengan nada kecewa. Sehingga, Kenanga meremas jemari tangan pemuda itu untuk menghibur kekecewaan di hatinya. 
"Biarlah, lain kali kita akan menangkapnya...," ucap dara jelita itu berdesah perlahan. 
"Hm.... Aku khawatir mereka akan kembali melakukan penculikan. Sebab, kalau benar mereka memiliki pemimpin, bisa jadi penculik itu bukan hanya terdiri dari tiga orang. Tapi, mungkin belasan. Untuk itu, kita harus bertindak cepat agar tidak kedahuluan mereka...," ujar Panji yang merasa khawatir jika para penculik itu akan muncul kembali dengan membawa kawan yang lebih banyak, untuk mencari sasaran lain. 
"Tapi, bagaimana mungkin, Kakang. Sedangkan mataku baru akan sembuh sedikitnya tiga hari. Itu yang kau perkirakan, bukan? Lalu, bagaimana kita bisa bertindak cepat untuk mencegah kejahatan mereka?" bantah Kenanga yang diam-diam sudah dapat meraba apa yang akan dilakukan kekasihnya. Meskipun demikian, gadis itu ingin mendengar langsung dari mulut Panji. Bukan hanya sekadar menduga. 
"Yahhh... Setelah Dewa Tangan Salju sadar dari pingsannya, aku terpaksa akan menitipkanmu padanya. Jika harus menunggu tiga hari, aku khawatir mereka sudah mendapatkan korban-korban baru." jawaban Panji ternyata tidak meleset dari terkaan dara jelita itu. 
Meskipun sebenarnya merasa berat, lapi Kenanga sadar kekasihnya saat itu sangat dibutuhkan orang banyak. Gadis itu pun dapat memaklumi jalan pikiran pemuda itu.
"Kalau memang itu yang terbaik, aku tidak keberatan kau tinggal dalam beberapa hari. Tapi, ingat! Bila dalam waktu tiga hari kau belum datang menjemputku, aku akan menyusulmu," tukas Kenanga seraya menekankan kata-katanya dengan jelas. 
Panji tersenyum mendengar gadis jelita itu dapat memaklumi jalan pikirannya. Tapi, saat ia hendak menjawab, terdengar suara orang mengeluh dari ruang belakang. 
"Rupanya, Dewa Tangan Salju mulai sadar dari pingsannya. Aku akan kesana untuk melihat dan memberi obat padanya...," tanpa menunggu jawaban Kenanga, Panji langsung melangkah ke dalam, dan melihat Dewa Tangan Salju hendak bangkit dari pembaringan. Cepat Panji mencegah. 
"Jangan banyak bergerak dulu. Eyang. Sebaiknya, telanlah obat ini untuk mempercepat pulihnya tenaga Eyang, dan mengusir pengaruh racun yang mungkin masih tersisa di kepala...," ujar Panji sambil menyodorkan sebuah pil berwarna putih, yang berguna untuk menyembuhkan luka dalam dan keracunan. 
Dewa Tangan Salju yang kesadarannya belum pulih benar, tampak terkejut ketika melihat seorang pemuda tampan berjubah putih datang mendekat dan menyodorkan benda bulat berwarna putih salju. Sejenak kakek itu terlihat bimbang, dan wajahnya diwarnai keheranan besar. 
"Di manakah aku...? Aku sudah berada di akherat, dan kau malaikat...?" ujar Dewa Tangan Salju belum mau menerima obat yang disodorkan Panji. Malah, kakek itu menatap berkeliling dengan sepasang matanya yang bening dan tajam. 
"Eyang berada di pondok tempat tinggal Eyang sendiri. Aku bukan malaikat seperti yang Eyang sangka. Aku manusia biasa seperti Eyang...," jawab Panji menjelaskan pada Dewa Tangan Salju yang tampak kebingungan. 
Setelah mendengar ucapan Panji, Dewa Tangan Salju mengerjap-ngerjap matanya beberapa kali. Beberapa saat kemudian, barulah kakek itu dapat mengenali bilik-bilik dan dinding pondoknya yang terdiri dari papan dan kayu pohon. 
"Hm. Aku ingat sekarang! Kau pasti sosok bayangan putih, yang menyelamatkan aku dari ancaman pukulan ketiga orang berpakaian serba hitam, bukan? Terima kasih atas pertolonganmu. Anak Baik. Lalu, ke mana perginya manusia-manusia licik itu?" tanya Dewa Tangan Salju sambil menatap wajah Panji dengan sorot mata penuh kagum. Kemudian, sepasang mata tua itu menjelajahi sekujur tubuh pemuda berjubah putih di depannya. Kerutan di keningnya terlihat semakin dalam. 
"Telanlah obat ini, Eyang. Mudah-mudahan kesehatanmu dapat segera pulih...," Panji kembali mengangsurkan obat di tangannya. 
"Kau siapa, Anak Baik? Tampaknya kau bukan pemuda sembarangan," tanya Dewa Tangan Salju seraya mengulurkan tangannya menerima obat pemberian pemuda tampan berjubah putih. Meski tangannya mengambil obat, tapi sepasang mata kakek itu tidak bergeser dari wajah pemuda di depannya. Tanpa banyak cakap lagi, dan langsung menaruh kepercayaan penuh pada pemuda tampan yang belum dikenalnya itu, Dewa Tangan Salju segera menelan obat berwarna putih, yang langsung memasuki tenggorokannya. 
"Selanjutnya Eyang pasti tahu apa yang harus dilakukan…," ujar Panji mengingatkan, tanpa memberi petunjuk, seperti terhadap orang-orang yang pernah ditolongnya. Sebab, pemuda itu tahu tokoh hebat dan kawakan seperti Dewa Tangan Salju tentu mengetahui apa yang harus dilakukannya. 
"Hm. sebelum aku melakukan semadi untuk memulihkan tenagaku, maukah kau berterus terang padaku, Anak Muda ?" tanya kakek itu bernada menuntut. 
"Tentu saja, Eyang. Bagiku, tidak ada susahnya berbicara terus terang. Karena memang tidak ada sesuatu pun yang hendak kusembunyikan. Silakan Eyang bertanya. Kalau tidak terlalu sulit, mungkin aku akan segera menjawabnya...," tukas Panji yang rupanya sudah dapat membaca jalan pikiran tokoh kawakan itu. Sebab, semenjak tadi Panji melihat sepasang mata kakek itu terus merayapi tubuhnya dari ujung kaki hingga ke ujung rambut. 
"Jawablah pertanyaanku. Apakah benar dugaanku, kau pemuda yang dijuluki kaum rimba persilatan Pendekar Naga Putih...?" tanya Dewa Tangan Salju tanpa melepaskan pandang matanya dari wajah tampan didepannya. 
"Benar, Eyang. Hanya sebuah julukan kosong. Mereka terlalu berlebihan memberikan julukan itu padaku...," jawab Panji membuat Dewa Tangan Salju tersenyum cerah. Tampaknya, kakek itu sangat gembira setelah mengetahui siapa pemuda tampan yang menyelamatkan nyawanya. 
"Bagus! Kau memang pantas dipuji dan dihormati orang, Pendekar Naga Putih. Kau memiliki sifat-sifat yang hanya patut dimiliki seorang pendekar besar. Wajahmu, sinar matamu, bahkan ucapanmu barusan menandakan kau seorang yang berbudi tinggi, dan tidak terbuai oleh pujian serta sanjungan orang. Aku benar-benar bangga padamu, Pendekar Naga Putih...," ujar Dewa Tangan Sarju dengan wajah berseri. Pujian orang tua seperti Dewa Tangan Salju bukanlah pujian kosong, sebab pertolongan yang diberikan pemuda itu kepadanya. Tapi, memang benar-benar keluar dari dalam hati pendekar kawakan itu. 
"Jangan membuatku malu, Dewa Tangan Salju. Pujian itu terlalu berlebihan. Sebagai manusia biasa, aku tentu mempunyai banyak kekurangan. Aku takut jika sampai lengah oleh pujian-pujian yang memabukkan..," tukas Panji justru makin membuat Dewa Tangan Salju terkekeh bangga. 
"Eyang. Salah seorang Penculik-Penculik Misterius telah berhasil lolos dari tanganku. Di luar ada kawan wanitaku yang terluka kedua matanya. Aku berniat menitipkannya pada Eyang selama beberapa hari. Karena aku harus menyelidiki komplotan penculik itu...," ujar Panji ketika melihat Dewa Tangan Salju sudah bersiap hendak melakukan semadi. Kemudian, pemuda itu menjelaskan bagaimana melakukan pengobatan pada diri Kenanga. 
Dewa Tangan Salju yang mendengar penuturan Pendekar Naga Putih, tentang Penculik-Penculik Misterius dan cara melakukan pengobatan terhadap Kenanga, menganggukkan kepala tanda mengerti. Sebab, apa yang dikatakan Panji sangat jelas dan terperinci. Sehingga mudah dimengerti. Apalagi, oleh seorang pendekar kawakan seperti dirinya. Merasa lega setelah Dewa Tangan Salju mengerti akan apa yang harus dikerjakan, Panji berpamitan pada tokoh tua itu. Dan berjanji akan datang dalam beberapa hari lagi. 
"Semoga kau berhasil, Cucuku...," doa Dewa Tangan Salju ketika Panji bergerak meninggalkannya. Setelah bayangan tubuh pemuda itu lenyap dari pandangan, Dewa Tangan Salju pun segera bersemadi untuk memulihkan tenaganya. Sebentar saja, kakek itu sudah tenggelam dalam semadinya yang khusyuk. 
"Kakang...," panggil Kenanga ketika mendengar suara langkah kaki mendatangi pembaringan. 
Panji menangkap jemari tangan kekasihnya dan meremas dengan penuh kasih. Berat sebenarnya bagi Panji untuk meninggalkan dara jelita yang sangat dicintainya itu. Apalagi, dalam keadaan yang masih memerlukan perhatiannya. Tapi, pemuda itu menguatkan hatinya. Karena mereka adalah orang-orang gemblengan yang memikul tanggung jawab berat di bahunya. 
"Kau akan pergi sekarang, Kakang...?" tanya Kenanga yang rupanya dapat merasakan melalui remasan jemari kekasihnya. 
"Benar, Adikku...," sahut Panji menahan getaran suaranya agar Kenanga tidak merasa berat melepaskan kepergiannya. 
"Pergilah, Kakang. Doaku bersamamu...," ucap dara jelita itu mengantar kepergian kekasihnya dengan hari tulus. Panji mengecup lembut kening dara jelita itu. Kemudian beranjak bangkit dan melangkah keluar pondok Sebentar kemudian, sosoknya telah lenyap di batik pepohonan lebat. 

* * * * *




Berhasilkah Pendekar Naga Putih membongkar komplotan Penculik-Penculik Misterius? Apa sebenarnya yang diinginkan komplotan Penculik-Penculik Misterius dari tokoh-tokoh persilatan yang diculiknya? Kalau benar ada tokoh lain yang mendalangi penculikan itu, siapa pula orangnya? Untuk itu, simaklah kelanjutan Penculik-Penculik Misterius dalam episode Duel Jago-jago Persilatan.

S E L E S A I



INDEX PENDEKAR NAGA PUTIH
Pewaris Dendam Sesat --oo0oo-- Duel Jago Jago Persilatan


Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.