Mustika Dewi Pelangi
tanztj
May 29, 2015
INDEX PENDEKAR PULAU NERAKA | |
Menembus Lorong Maut --oo0oo-- Bunga Dalam Lumpur |
BAYU HANGGARA
Pendekar Pulau Neraka
Karya: Teguh. S
Pendekar Pulau Neraka
Karya: Teguh. S
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
--««¦ [ SATU ] ¦»»--
Pelahan-lahan gumpalan awan yang kian tebal itu bergerak turun, dan menyelimuti seluruh puncak bukit dengan pepohonan lebat yang sedap dipandang mata. Puncak bukit yang semula tampak hijau subur, kini tampak putih oleh awan yang menyelimuti bagai salju. Secercah kilat menyambar keluar dari gumpalan awan.
Sambaran kilat yang hanya sekejap itu membuyarkan awan yang menyelimuti puncak bukit. Pelahan-lahan awan itu menyingkir, tersapu angin yang berhembus keras sambil mempermainkan dedaunan. Tampak secercah cahaya terang kemilau menyemburat saat gumpalan awan lenyap. Cahaya itu berasal dari sebuah batu besar berwana bening, dan dihiasi oleh sapuan warna-warni yang bergerak-gerak membiaskan cahaya bagai pelangi.
Seorang pencari kayu yang kebetulan berada di puncak bukit itu, hanya mampu terpaku akan keajaiban yang terjadi di depan matanya. Matanya tidak berkedip menatap sebongkah batu yang berpijar terang bagai pelangi itu. Semakin lama cahayanya semakin menyilaukan mata. Laki-laki pencari kayu itu semakin terpana.
Glarrr...!
Satu ledakan keras terdengar, disusul dengan hancurnya bongkahan batu yang berpijar menyilaukan mata itu. Kilauan warna-warna masih menyelimutinya, kemudian pelahan lahan memudar. Seorang gadis cantik mengenakan baju indah bagai bidadari, tiba-tiba saja telah berdiri tegak di atas pecahan batu berkilau itu.
"Oh...!" laki-laki tua pencari kayu itu tersentak.
Belum sempat disadari apa yang telah disaksikan barusan, mendadak gadis cantik itu melompat menerkamnya. Kuku-kuku jari tangannya yang panjang, langsung mencengkeram leher laki-lakj tua pencari kayu itu.
"Aaakh...! Toloong...!" jerit laki-laki tua itu ketakutan.
Wanita cantik yang kelihatan lembut itu, semakin, kuat mencengkeram lehernya. Darah mulai merembes ke luar dari kulit leher yang koyak. Terdengar tulang patah. Tak lama kemudian, laki-laki tua pencari kayu itu terkulai. Tubuhnya ambruk ke tanah, tapi kepalanya masih dicengkeram wanita cantik itu. Kepala laki-laki tua itu telah terpisah dari leher.
"Hi hi hi...!" wanita itu tertawa mengikik.
Bagaikan seorang musafir yang tersesat dan kehausan di tengah padang pasir luas, dihirupnya darah dari leher tanpa kepala itu, sampai pada tetes-tetes terakhir. Wanita itu bangkit berdiri, sambil memandangi kepala yang berada dalam cengkeramannya. Sebentar kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri, lalu kakinya melangkah mendekati seikat kayu kayu kering. Diambilnya sepotong kayu kering, dan ditancapkannya ke tanah. Kepala laki-laki tua pencari kayu itu ditusukkan pada ujung kayu yang menancap ditanah. Sejenak wanita itu memandangi dengan bibir tersenyum lebar, bagai memandang sebuah patung indah mempesonakan.
"Hi hi hi...! Kau menjadi lambang keperkasaanku, lambang kekuasaanku! Hi hi hi...! Akan kuhiasai istana ini dengan kepala-kepala manusia! Kepala-kepala mereka yang telah menghinaku, mencaciku, dan membuangku dalam kesengsaraan! Dengar! Dengar hai manusia! Aku datang untuk menguasai dunia...!"
Tak berapa lama, secercah kilat berkelebat di angkasa. Wanita cantik itu mendongakkan kepalanya. Wajahnya langsung berubah kaku, sedangkan sinar matanya merah membara. Gerahamnya bergemeletuk.
"Ha ha ha...!" kemudian dia tertawa terbahak-bahak.
Tak ada yang menyaksikan semua kejadian itu. Satu-satunya orang yang melihat telah tewas dengan kepala terpancang pada tongkat kayu. Sedangkan tubuhnya menggeletak di tanah. Ujung jari wanita cantik itu kemudian menuding tubuh yang tergolek tanpa kepala. Seberkas cahaya merah memancar dari jari telunjuknya, dan melesat ke arah tubuh yang terbujur tanpa kepala. Tubuh tanpa kepala itu langsung terpental jauh ke bawah bukit begitu sinar merah menerpanya.
..... Kembali wanita itu tertawa terbahak-bahak. Tawanya begitu keras, sehingga menggetarkan seluruh puncak bukit. Sebentar kemudian ditatapnya kembali kepala yang terpancang ditonggak kayu.
"Kau jaga istanaku ini! Hanya kau satu-satunya prajuritku sekarang. Tapi jangan khawatir, sebentar lagi kau akan mempunyai teman. Hi hi hi...!"
Setelah berkata demikian, wanita cantik yang muncul dari sebongkah batu berpijar, segera melesat Begitu cepatnya ia melesat sehingga dalam sekejap mata saja bayangan tubuhnya sudah tidak terlihat lagi. Puncak bukit itu kembali sunyi seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Hanya sebuah kepala terpancang pada tonggak kayu yang menjadi saksi mati.
* * * * *
Desa Malapat tidak berapa jauh dari kaki Bukit Menjangan. Desa yang tenang dan tenteram. Letaknya agak terpencil dan jarang didatangi pendatang atau pengembara. Hampir semua penduduknya hidup dari hasil berburu di sekitar hutan Bukit Menjangan. Sedikit yang berladang. Kalaupun ada, itu hanya dilakukan di sekitar tepian hutan saja.
Suasana pagi Desa Malapat yang biasanya tenang dan damai, pecah oleh teriakan melengking seorang perempuan. Teriakan itu datang dari sebuah tempat dekat ladang yang ditanami pohon jagung. Para penduduk desa yang mendengarnya, berdatangan ke arah teriakan itu. Tampak seorang perempuan setengah tua menjerit-jerit sambil menutup mukanya. Tidak jauh di depannya tergeletak sesosok mayat tanpa kepala. Sebagian tubuhnya terbenam ke dalam parit.
Ki Pancur, Kepala Desa Malapat, menyeruak di antara kerumunan warga desanya. Wajahnya mendadak pucat melihat sosok mayat tanpa kepala itu. Sebentar dia jongkok memeriksa, kemudian bangkit lagi. Matanya merayapi penduduk yang mengerumuninya, kemudian memerintahkan memindahkan mayat itu. Ki Pancur berdiri dengan pandangan kosong ke arah Puncak Bukit Menjangan.
"Ayah...."
Ki Pancur menoleh. Dihirupnya napas dalam-dalam ketika melihat seorang anak muda berusia sekitar dua puluh tahun sudah berada di sampingnya. Sementara para penduduk mulai meninggalkan tempat itu, dan membawa mayat tanpa kepala yang baru saja ditemukan.
"Mengapa Ayah memandang ke sana?" tanya pemuda itu.
"Tidak apa-apa, Prawata," sahut Ki Pancur.
"Boleh aku bertanya?" tanya Prawata.
Ki Pancur mengangguk seraya menepuk pundak anaknya. Kaki mereka mulai melangkah beriringan mengikuti para penduduk yang kembali ke desa membawa mayat tanpa kepala itu.
"Apa yang ingin kau tanyakan?"
"Apakah kejadian ini ada hubungannya dengan cahaya terang di atas bukit itu, Ayah?" tanya Prawata.
Ki Pancur tidak segera menjawab. Mereka memang melihat cahaya terang menyilaukan bagai pelangi, terpancar dari Puncak Bukit Menjangan. Saat itu dia dan anaknya tengah duduk-duduk di beranda depan yang menghadap langsung ke Bukit Menjangan. Ki Pancur tidak tahu, apakah ada orang lain yang juga melihat sinar itu.
"Semalam seorang pemburu bercerita kalau dia melihat kepala terpancang di puncak bukit...," kata Prawata lagi.
"Pemburu?! Siapa namanya?" tanya Ki Pancur agak terkejut mendengar omongannya, Prawata.
"Paman Kabit."
"Jangan percaya. Manusia seperti dia tidak bisa dipercaya! Suka membohongi orang dan tukang dongeng!" kata Ki Pancur.
"Tapi ini lain, Ayah. Paman Kabit kelihatannya serius. Dia juga melihat sinar itu waktu berburu, dan bergegas menghampirinya. Tapi yang ditemukannya di situ hanya sebuah kepala manusia terpancang di tonggak kayu. Katanya lagi, dia menemukan butiran-butiran batu bercahaya bagai permata. Paman Kabit membawanya sebutir dan diperlihatkan kepada orang-orang. Aku sendiri melihatnya, Ayah," kata Prawata serius.
"Hhh! Mengapa dia tidak menceritakannya pada ku?"
"Aku sudah menyuruhnya, tapi Paman Kabit enggan. Katanya Ayah pasti tidak percaya. Kini Paman Kabit bermaksud ke kota dan akan menjual batu permata itu. Mungkin sekarang dia sudah berangkat," kata Prawata lagi.
Ki Pancur langsung menghentikan langkahnya. Dipandangi anaknya dalam-dalam. "Siapa lagi yang melihat batu itu?" tanya Ki Pancur.
"Banyak! Ki Wanara juga ada waktu itu. Pokoknya, yang semalam ada di kedai Ki Wanara pasti melihatnya," sahut Prawata.
Ki Pancur tidak berkata lagi. Bergegas dia. melangkah cepat melewati orang-orang di depannya yang berjalan menuju desa. Prawata juga bergegas berjalan cepat setengah berlari mengejar ayahnya. Pemuda itu mengajak beberapa temannya yang juga masih muda.
"Ada apa sebenarnya, Ayah?" tanya Prawata setelah langkahnya sejajar dengan langkah Ki Pancur.
"Cepat kau siapkan kuda! Beritahu pamanmu agar menyiapkan murid-muridnya!" perintah Ki Pancur tegas.
"Untuk apa?" tanya Prawata tidak mengerti.
"Laksanakan saja perintahku!" bentak Ki Pancur.
Prawata tidak bertanya lagi, lalu bergegas berlari mendahului yang lainnya diikuti empat orang temannya. Ki Pancur sempat memberi pesan kepada para penduduk agar cepat-cepat mengurus mayat itu, dan jangan meninggalkan rumah sebelum dia kembali. Seluruh penduduk desa itu bertanya-tanya, tapi Ki Pancur tidak sempat menjelaskan lagi. Dia segera berlari cepat menuju rumahnya. Sementara, Prawata sendiri telah lebih dahulu tiba dan langsung menyiapkan kuda.
* * * * *
Ki Pancur memacu cepat kudanya bagai dikejar setan. Sepanjang jalan yang dilalui, tidak terlihat satu penduduk pun. Mereka semua sangat patuh terhadap perintah kepala desanya. Begitu selesai menguburkan mayat yang ditemukan tanpa kepala lagi, semuanya langsung masuk ke dalam rumah masing-masing. Bahkan kedai-kedai pun tutup.
"Hiya! Hiya...!"
Ki Pancur terus memacu kudanya meninggalkan Desa Malapat Debu mengepul tinggi ke angkasa, diterjang kaki-kaki kudanya. Jalan yang dilaluinya semakin menyempit dan penuh dengan lubang-lubang. Ki Pancur harus berhati-hati mengendalikan kudanya agar tidak terperosok ke dalam kubangan. Namun demikian, dia tidak mengendurkan lari kudanya sedikit pun.
Laki-laki berusia lebih dari setengah abad itu terus memacu cepat kudanya meskipun telah memasuki jalan setapak yang sukar dilalui kuda. Ki Pancur memang tidak melalui jalan utama yang langsung menuju ke kota, tapi sengaja memotong jalan agar lebih cepat sampai.
"Hooop...!"
Ki Pancur menghentikan lari kudanya setelah sampai di jalan besar kembali. Sebentar diamati keadaan di kiri dan kanan sepanjang jalan itu. Seorang pun tidak terlihat di jalan ini. Laki-laki tua berbaju putih ketat dengan ikat kepala warna kuning gading itu melompat turun dari punggung kudanya. Dia jongkok di samping kudanya, memeriksa tanah sekitarnya.
"Hm. Belum ada yang lewat sini," gumam Ki Pancur pelan.
Ki Pancur kembali naik ke punggung kudanya, kemudian menggebah kudanya pelahan-lahan menyusuri jalan yang cukup besar dan berdebu. Matanya terus memandang keadaan sekeliling tanpa berkedip. Kuda putih belang coklat itu terus melangkah pelan-pelan dengan kepala terangguk-angguk.
Kembali Ki Pancur menghentikan kudanya, sebab tidak jauh di depan terlihat seorang laki laki muda. Rambutnya panjang tergerai, duduk di atas sebatang pohon tumbang di pinggir jalan. Pemuda yang memakai baju kulit harimau itu menolehkan kepalanya. Ki Pancur turun dari punggung kudanya, lalu melangkah menghampiri sambil menuntun kudanya.
"Boleh bertanya, Kisanak?" sapa Ki Pancur ramah.
"Oh, silakan," sahut pemuda itu, juga ramah.
"Apa Kisanak melihat ada orang lewat di jalan ini?" tanya Ki Pancur.
"Rasanya tidak ada yang lewat. Sejak pagi buta aku duduk di sini," sahut pemuda itu.
"Terima kasih," ucap Ki Pancur.
Kepala Desa Malapat itu kembali naik ke punggung kuda, lalu memacunya cepat. Pemuda berambut gondrong memakai baju kulit harimau itu memandangi dengan mata agak menyipit. Lalu, tiba-tiba saja tubuhnya melesat cepat bagaikan kilat menuju arah kepergian Ki Pancur.
Saat itu Ki Pancur terus memacu cepat kudanya menyusuri jalan yang cukup besar dan berdebu. Dia tahu betul kalau jalan itu menuju desanya kembali. Dia berharap pemburu yang dikatakan oleh Prawata belum melewati jalan ini.
"Hooop...!"
Kembali Ki Pancur menghentikan lari kudanya. Keningnya agak berkerut melihat kulit-kulit binatang dan sobekan-sobekan kain berserakan didepannya. Laki-laki tua itu segera melompat turun dari punggung kudanya. Gerakannya begitu ringan, pertanda memiliki kepandaian yang cukup tinggi. Pelahan-lahan kakinya melangkah menghampiri barang-barang yang berserakan ditengah jalan itu. Sebentar dia membungkuk memeriksa, lalu berdiri tegak. Matanya tajam memandang sekitarnya.
"Tolooong...."
Ki Pancur tersentak mendengar suara rintihan lirih dari arah samping kanannya. Begitu kepalanya berpaling, tampak semak belukar dipinggir jalan bergoyang-goyang. Kepala Desa Malapat itu langsung melompat ke arah semak-semak yang bergoyang. Jantungnya serasa akan copot melihat Kabit terluka parah terbujur didalam semak belukar. Bergegas dibantunya laki-laki berewokan itu berdiri dan dibawanya keluar dari semak belukar.
"Oh..., Ki...," rintih Kabit lirih.
Ki Pancur membaringkannya di pinggir jalan yang berumput agak tebal. Kemudian dia memeriksa luka-luka di tubuh dan wajah laki laki pemburu itu. Terdengar tarikan napasnya yang panjang. Ki Pancur merasa lega karena Kabit hanya luka-luka luar saja. Hampir seluruh tubuhnya memar dan banyak goresan yang mengeluarkan darah.
"Apa yang terjadi, Kabit?" tanya Ki Pancur.
"Mereka..., mereka merampokku, Ki," jawab Kabit agak tersendat.
"Mereka siapa?" tanya Ki Pancur lagi.
"Aku tidak tahu, Ki. Mereka banyak sekali."
"Apa yang dirampok?" tanya Ki Pancur lagi.
Kabit tidak segera menjawab. Matanya merayapi barang-barangnya yang berserakan ditengah jalan. Dia berusaha bangkit. Ki Pancur membantunya. Mereka mengumpulkan barang-barang yang berserakan. Kebanyakan memang hanya kulit binatang dan perlengkapan berburu, serta perlengkapan untuk bermalam di alam bebas. Kabit agak heran juga, karena semua barang-barangnya tidak ada yang hilang satu pun.
"Ada yang hilang?" tanya Ki Pancur lagi.
"Tidak...," sahut Kabit ragu-ragu.
"Katakan yang benar, Kabit."
"Sungguh, Ki. Mereka menghadang jalanku, dan langsung menyerangku. Banyak sekali jumlahnya. Mereka pergi begitu saja dan aku dilemparkan ke dalam semak-semak itu," kata Kabit sungguh-sungguh.
Kabit memeriksa kantung yang terikat di pinggangnya. Wajahnya pucat seketika. Ki Pancur memperhatikan perubahan wajah laki laki berewokan itu.
"Ada apa?"
"Batu itu, Ki. Mereka mengambil batu itu...!" sahut Kabit
"Batu apa?"
"Batu permata, Ki. Aku menemukannya di Puncak Bukit Menjangan, kemarin. Batu itu memancarkan cahaya terang, dan sangat indah. Aku bermaksud menjualnya ke kota. Aduh! Celaka...! Mereka pasti mengambil batu permataku, Ki. Perampok sial! Keparat..!" Kabit memaki-maki sendiri.
Ki Pancur jadi bingung. Masalahnya, Kabit hanya kehilangan sebuah batu saja. Tapi begitu menyesali. Yang membuat Ki Pancur berpikir, batu itu ditemukan di atas Puncak Bukit Menjangan. Ini berarti cerita Prawata bisa dipercaya. Ki Pancur menarik napas panjang, kemudian menghampiri kudanya.
"Ki...!" Kabit menghampiri.
Ki Pancur menatapnya kosong.
"Bagaimana ini, Ki? Batu itu pasti permata yang mahal harganya. Akan kusumbangkan hasil batu itu sebagian untuk desa, kalau bisa kembali lagi, Ki," rengek Kabit
"Kau akan terus ke kota?" tanya Ki Pancur tidak menghiraukan rengekan Kabit.
Kabit tidak menjawab.
"Kemasi barang-barangmu! Kita kembali saja ke desa. Luka-lukamu harus dirawat dulu biar sembuh," kata Ki Pancur seraya kembali turun dari punggung kudanya.
Ki Pancur membantu Kabit mengemasi barang-barangnya, dan menarahnya di punggung kudanya. Kuda dan kereta yang dibawa Kabit entah pergi kemana. Mungkin juga dibawa perampok, atau lari ketakutan.Kedua laki-laki itu kemudian berjalan menuju kembali ke Desa Malapat.
Ki Pancur berjalan pelahan-lahan di belakang Kabit yang menuntun kuda. Laki-laki tua itu terus berpikir keras tentang peristiwa yang terjadi hari ini. Peristiwa mengerikan yang berawal dari munculnya cahaya terang di Puncak Bukit Menjangan. Mereka terus berjalan tanpa menyadari sepasang mata tengah, memperhatikan sejak tadi.
* * * * *
--««¦ [ DUA ] ¦»»--
Siang itu udara di sekitar Desa Malapat terasa lebih panas dari biasanya. Sebagian besar penduduk terpaksa bertahan di dalam rumah. Mereka tidak berani keluar rumah kalau tidak punya keperluan mendesak. Hanya beberapa orang laki-laki saja yang masih terlihat berada di luar rumah. Dan mereka rata-rata membawa senjata tajam.
Dari arah Selatan terlihat debu mengepul ke udara, disusul terdengarnya derap kaki kuda dipacu. Tidak lama kemudian muncul seekor kuda hitam pekat yang berlari agak kencang memasuki desa yang tengah dilanda ketakutan itu. Penunggang kuda itu adalah seorang wanita muda yang cantik. Pakaiannya berwarna hijau ketat dengan ikat kepala juga berwarna hijau.
"Wanita itu memperlambat lari kudanya, dan berhenti ketika sampai di depan kedai. Kakinya melompat ringan. Mata yang indah, bulat bening, dan agak menyipit, mendapati pintu kedai tertutup rapat. Dia melangkah menghampiri laki-laki tua yang tengah duduk bersandar di samping kedai itu.
"Maaf, kedai ini tidak buka," kata laki-laki tua itu.
"Kenapa?" tanya wanita cantik itu sopan.
"Tidak ada yang datang."
"Kalau begitu, aku pengunjung pertamamu."
Laki-laki tua yang ternyata pemilik kedai itu dan bernama Ki Wanara memandang lekat-lekat wanita di depannya. Kemudian pandangan matanya merayapi sekelilingnya. Tampak beberapa orang memperhatikan dari jarak yang cukup jauh. Ki Wanara kembali mengalihkan pandangannya pada wanita itu.
Ki Wanara bangkit berdiri, kemudian melangkah masuk ke dalam kedainya. Wanita itu mengikuti dari belakang. Sebentar dirayapi keadaan kedai yang sepi dan hampir berdebu. Wanita itu duduk di kursi dekat pintu. Matanya masih merayapi keadaan kedai.
"Aku tidak punya apa-apa," kata Ki Wanara.
Wanita itu hanya mengangkat bahunya. Ki Wanara duduk tidak jauh dari wanita itu.
"Sebenarnya aku datang ke sini bukan untuk makan, Pak Tua," kata wanita itu.
"Lalu?" tanya Ki Wanara agak keheranan.
"Aku mencari seseorang yang mungkin kau kenal."
"Desa ini terkenal aman dan tentram. Bahkan pencuri ayam saja tidak berani datang ke sini. Tapi..., yah! Belakangan, di sini memang tengah dilanda musibah."
"Jangan salah duga, Pak Tua. Aku bukan mencari pencuri, rampok, atau pelarian. Orang itu hanya membawa sedikit milikku yang tidak berharga bagi orang lain. Aku tidak tahu, apakah disengaja atau tidak Yang jelas, aku merasa terganggu sekali dengan perbuatannya."
"Boleh aku tahu, siapa yang kau cari?"
"Aku tidak tahu namanya. Tapi pengawalku mengatakan bahwa dia seorang pemburu."
"Hm..., sebagian besar penduduk desa ini memang pemburu. Tidak mudah mencarinya. Dan lagi banyak pemburu dari desa lain, bahkan ada juga yang datang dari kota. Daerah ini memang sangat baik untuk berburu. Lebih-lebih di...," Ki Wanara tidak melanjutkan.
"Di Bukit Menjangan, maksud Pak Tua?" tebak wanita itu.
"Ya. Hutan di Bukit Menjangan memang banyak hewan buruan. Ng.... Kau datang dari mana? Dan siapa namamu?"
"Aku datang dari tempat yang sangat jauh, Pak Tua. Orang-orang biasa memanggilku Nini Ratih," wanita cantik itu memperkenalkan diri.
"Lantas, apa yang diambil orang itu darimu?"
"Sulit untuk dikatakan, Pak Tua. Lagi pula, hanya aku yang mengerti tentang benda itu," sahut Nini Ratih.
"Aneh...!" gumam Ki Wanara sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Apanya yang aneh, Pak Tua?"
"Kau mencari seseorang yang mengambil benda milikmu, tapi kau tidak bersedia mengatakan apa yang diambilnya. Kalau orang itu juga tidak tahu, mana mungkin mengambilnya?"
"Dia hanya menyangka benda itu berharga. Padahal tidak sama sekali. Benda itu hanya berharga untuk diriku sendiri."
"Maksudmu..., benda pusaka?"
"Bukan. Tapi itu menyangkut kelangsungan hidupku."
Ki Wanara kembali menggeleng-gelengkan kepala. Sama sekali sulit dimengerti semua kata-kata yang diucapkan wanita cantik itu. Ki Wanara berdiri, dan melangkah, menuju meja panjang yang di belakangnya terdapat lemari besar dengan beberapa guci dan peralatan kedainya. Ki Wanara mengambil sebuah guci arak dan dua buah gelas perunggu. Dia kembali menghampiri wanita itu dan duduk di depannya. Arak di dalam guci dituangkan ke dalam dua gelas perunggu.
"Silakan," ucap Ki Wanara.
"Terima kasih," sahut wanita itu.
* * * * *
Malam kian menyelimuti Desa Malapat. Bulan bersinar penuh dan bintang-bintang bertaburan, menambah indahnya pemandangan di angkasa. Namun semua keindahan dan sejuknya udara malam tidak bisa dinikmati penduduk desa itu. Hanya beberapa orang laki-laki bersenjata saja yang masih terlihat berada di luar rumah. Mereka adalah murid-murid sebuah padepokan yang dipimpin oleh Ki Kampar, adik kandung Ki Pancur, Kepala Desa Malapat ini. Mereka memang sengaja ditugaskan untuk menjaga keamanan desa, terutama sekitar rumah kepala desa.
Malam itu Ki Pancur kedatangan tamu, yang diterimanya dengan ramah di ruangan depan rumahnya. Di situ, juga ada Prawata dan Ki Kampar. Tamu yang datang malam itu tidak lain dari Ki Wanara, pemilik kedai yang terletak di ujung jalan.
"Maaf, kalau kedatanganku mengganggu," kata Ki Wanara setelah duduk di kursi menghadapi meja bundar.
"Tidak apa," sahut Ki Pancur ramah. "Ada keperluan apa?"
"Begini, Ki. Siang tadi aku kedatangan tamu seorang wanita yang sangat cantik. Dia bicara aneh," tutur Ki Wanara langsung pada pokok persoalannya.
"Aneh...?!" Ki Pancur memandang Ki Wanara sebentar, lalu beralih pada adiknya yang duduk di samping kanan laki-laki tua pemilik kedai itu.
"Benar, Ki. Katanya, dia akan mencari orang yang telah mengambil benda miliknya," kata Ki Wanara lagi.
"Benda apa?" tanya Ki Kampar menyelak.
"Dia tidak menjelaskannya. Katanya benda itu tidak berharga untuk orang lain, tapi sangat berharga bagi kehidupannya," sahut Ki Wanara.
Kembali Ki Pancur dan Ki Kampar saling berpandangan. Sementara Prawata hanya diam saja dengan kening sedikit berkerut. Keadaan desa yang tidak menentu ini membuat Prawata sibuk bertanya-tanya dalam hati. Dan kedatangan Ki Wanara kian membuat hatinya diliputi rasa penasaran.
"Siapa yang dia cari, Ki?" tanya Prawata memecah kebisuan.
"Itulah persoalannya! Dia sendiri tidak tahu orangnya. Tapi katanya, yang mengambil benda itu adalah seorang pemburu," sahut Ki Wanara.
Prawata langsung menatap tajam pada ayahnya. "Siapa nama wanita itu?" tanya Prawata lagi.
"Nini Ratih."
Kembali Prawata menatap ayahnya. Sedangkan Ki Pancur hanya tertunduk. Wajahnya langsung berubah pucat begitu mendengar nama yang disebutkan Ki Wanara tadi. Dan bukan hanya Prawata yang menatap laki-laki setengah baya kepala desa itu, Ki Kampar pun menatap tajam padanya. Sedangkan Ki Wanara jadi tidak mengerti dengan sikap ketiga orang itu.
"Ada apa? Apakah aku salah?" tanya Ki Wanara merasa tidak enak hatinya.
"Oh, tidak. Tidak ada yang salah, Ki," kata Ki Kampar buru-buru.
"Ki Wanara...," agak tercekat suara Ki Pancur.
Melihat raut wajah dan tatapan mata kepala desa itu, Ki Wanara bergegas beranjak berdiri. Setelah membungkukkan badan memberi hormat, laki-laki tua pemilik kedai itu meninggalkan ruangan depan rumah yang besar itu. Ki Pancur hanya memandang dengan tatapan mata kosong.
"Aku akan mengantarnya pulang," kata Prawata seraya beranjak bangkit.
"Jangan!" sentak Ki Kampar. "Biar muridku saja yang mengantarnya."
Prawata kembali duduk, sedangkan Ki Kampar beranjak bangkit dan melangkah ke luar. Dihampiri dua orang pemuda yang tengah duduk-duduk di tangga beranda. Sebelum kedua pemuda yang di pinggangnya terselip golok itu pergi, Ki Kampar sudah kembali masuk ke dalam. Dihenyakkan tubuhnya di kursi dekat pintu.
"Sudah jelas sekarang, siapa yang melakukan semua pembunuhan keji ini," kata Ki Kampar setengah mendesah.
"Aku tidak menduga hal ini akan terjadi begitu cepat," kata Ki Pancur.
"Prawata."
"Ya, Paman," sahut Prawata seraya menoleh.
"Keluarlah sebentar."
"Paman...!" Prawata akan menolak.
"Keluarlah, Prawata," tegas Ki Pancur pelan.
"Kenapa aku harus keluar!? Apakah ini rahasia?" Prawata menolak tegas. "Aku bukan anak ingusan lagi. Aku berhak tahu apa yang terjadi di sini!"
"Prawata...."
"Apa sebenarnya yang terjadi di sini?" Prawata tidak mempedulikan peringatan ayahnya.
Ki Pancur menatap adiknya yang juga tengah memandang ke arahnya. Kemudian mereka sama-sama mengalihkan pandangannya ke arah pemuda itu. "Nanti kau akan kuberitahu. Sekarang, keluarlah dulu," bujuk Ki Kampar bernada lembut.
"Baik! Tapi Paman harus janji!" tegas Prawata.
"Baik, aku janji."
Prawata bangkit berdiri, lalu melangkah keluar.
"Kenapa harus kau rahasiakan kepadanya?" tegur Ki Pancur.
"Sudahlah! Jangan berdebat soal itu, Kakang. Belum saatnya Prawata tahu," jawab Ki Kampar.
"Tapi dia sudah dewasa! Sudah mampu melihat semua yang terjadi di sini. Sikapmu membuatnya semakin penasaran ingin lebih tahu lagi."
"Mengapa kau tidak manahannya tadi? Kau juga menyuruhnya keluar, kan?" Ki Kampar tidak suka disalahkan.
"Itu karena kau yang mulai!"
Ki Kampar menggeleng-gelengkan kepala. Meskipun Ki Pancur seorang kepala desa, sekaligus kakak kandungnya, tapi tidak pernah bersikap sebagai seorang kakak. Sejak mereka masih muda dulu, Ki Pancur selalu mengalah dan tidak ingin membantah adiknya. Apa saja yang dikatakan adiknya, selalu dituruti. Meskipun bertentangan dengan kehendak hatinya.
Sewaktu menjadi kepala desa, sebenarnya juga bukan keinginannya. Tapi Ki Kamparlah yang mengajukan dan mendukungnya secara penuh. Apalagi memang seluruh penduduk Desa Malapat ini menyukainya, sehingga tidak ada hambatan baginya untuk menjadi kepala desa, menggantikan kepala desa yang lama.
"Baiklah, akan kupanggil kembali anakmu," kata Ki Kampar mengalah.
"Percuma!" dengus Ki Pancur.
Ki Kampar mengangkat bahunya.
"Apa yang akan kau bicarakan?" tanya Ki Pancur langsung mengalihkan pada pokok persoalan.
"Kemunculan Nini Ratih!" jawab Ki Kampar mantap.
"Aku tidak tahu harus berbuat apa lagi," pelan suara Ki Pancur.
"Kau harus menemui dan mengusirnya dari sini!" tegas kata-kata Ki Kampar.
"Tidak mungkin!" bantah Ki Pancur.
"Kenapa tidak? Kau yang dulu mengalahkannya, lalu mengasingkannya selama berpuluh-puluh tahun."
"Jangan bodoh, Kampar! Aku memang yang mengalahkannya, tapi batu Mustika Dewi Pelangi tidak ada lagi padaku! Mana mungkin aku bisa menandinginya?!"
"Lho, ke mana?" Ki Kampar terkejut.
"Itulah kesalahanku, Kampar. Jasadnya memang telah kubungkus dengan batu Mustika Dewi Pelangi, dan kulemparkan ke atas awan. Memang sudah kuduga, suatu saat mustika itu akan kembali lagi ke bumi. Tapi aku tidak menyangka akan secepat ini! Apalagi Nini Ratih masih hidup," suara Ki Pancur bernada mengeluh.
"Aku tidak menyangka kau akan melakukan itu, Kakang! Seharusnya batu itu kau tanamkan dikepalanya, lalu buang mayatnya ke laut. Pasti dia akan mati dan tidak akan pernah kembali lagi. Kau sudah tahu itu, kenapa tidak kau kerjakan? Bahkan malah melakukan yang lain!" Ki Kampar menyesali.
Ki Pancur tidak menjawab. Kepalanya tertunduk menekun permukaan meja. Di memang tahu kalau Nini Ratih baru dapat mati kalau kepalanya tertanam batu Mustika Dewi Pelangi, dan tubuhnya dibuang ke dasar laut. Semua ilmu dan kehidupannya akan musnah. Ki Pancur menyesali semua tindakan bodohnya, tapi rasanya sudah terlambat. Kesalahan yang dibuatnya jelas bisa menimbulkan akibat yang sangat fatal!
"Sekarang dia tengah mencari benda itu. Jelas, kalau jiwa dan seluruh kehidupannya sudah menyatu dalam batu mustika itu. Hhh...! Tidak bisa kubayangkan, apa jadinya dunia ini kalau Mustika Dewi Pelangi sampai dikuasainya! Tidak ada seorang pun yang mampu menandinginya. Dunia akan hancur...!" keluh Ki Kampar.
"Dia masih punya sebagian besar, Kampar," pelan suara Ki Pancur.
"Apa maksudmu, Kakang?" Ki Kampar tidak mengerti.
"Batu itu hancur, dan yang hilang hanya sebutir dari kekuatannya," sahut Ki Pancur.
"Hancur...?! Sebutir...?! Aku tidak mengerti maksudmu."
"Mustika Dewi Pelangi tidak lagi sebesar kuku jari, tapi lebih besar dari kepala orang dewasa. Batu itu akan hancur bila kembali menyentuh bumi. Hal itu bisa terjadi karena penyatuan jiwa yang terjadi puluhan tahun."
"Edan! Itu berarti kekuatan Nini Ratih berlipat ganda!"
"Lebih dari itu, Kampar. Dia tidak akan mati, kecuali kembali terbungkus Mustika Dewi Pelangi. Dan hal itu tidak mudah dilakukan. Aku yakin, yang dicarinya adalah inti dari Mustika Dewi Pelangi, sumber dari segala kekuatan dan kehidupannya yang baru. Dia tidak akan berdaya tanpa benda itu, tapi kekuatan silumannya...." Ki Pancur tidak meneruskan.
"Kenapa?"
"Semakin banyak mendapatkan darah manusia semakin besar kekuatan silumannya, yang akhirnya dia akan menjelma menjadi manusia siluman seutuhnya," lanjut Ki Pancur.
"Ya, Tuhan... akan jadi apa dunia ini?" keluh Ki Kampar.
"Dia juga akan membangun istana dari kepala setiap korban, dan di situlah sumber kekuatan silumannya. Tidak bisa kubayangkan, bagaimana jadinya dunia ini jika dia berhasil membangun istananya dan menguasai inti Mustika Dewi Pelangi. Saat itu seluruh dunia akan dikuasainya. Aku yakin, tidak akan ada seorang pun yang mampu menghalanginya. Tidak ada satu senjata pusaka pun yang dapat membunuhnya. Dia tidak akan dapat mati, dan terus hidup sampai dunia kiamat"
"Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi, Kakang...," lirih suara Ki Kampar.
Saat itu juga seluruh tubuh Ki Kampar terasa lemas, bagai tidak memiliki tulang. Saat ini pun dia tidak mungkin dapat menandingi wanita yang sebenarnya adalah siluman itu. Apalagi kalau sampai tercapai semua yang dikatakan Ki Pancur. Dunia akan selalu dilanda bencana yang tiada akhir. Ki Kampar masih belum bisa mengerti akan kebodohan kakaknya. Padahal Ki Pancur sudah tahu sejak semula, tapi kenapa masih juga melakukan kesalahan? Bahkan sepertinya memang disengaja! Ada apa sebenarnya?
* * * * *
Sementara itu, Ki Wanara sudah berada di depan rumahnya. Dua orang murid Ki Kampar masih mendampinginya. Ki Wanara berhenti dan memandangi dua orang yang mengantarkannya.
"Terima kasih, sampai di sini saja," kata Ki Wanara.
"Sebaiknya Ki Wanara masuk dulu," usul salah seorang.
"Kalian sudah begitu baik padaku. Sampaikan salamku pada gurumu'" kata Ki Wanara mencoba tersenyum.
"Akan kami sampaikan, Ki."
Ki Wanara menepuk pundak pemuda itu, kemudian kakinya terayun melangkah. Kedua pemuda itu baru meninggalkan tempat itu setelah Ki Wanara masuk ke rumahnya. Cahaya pelita dari minyak jarak menerangi ruangan depan rumah laki-laki tua itu.
"Dari mana, Pak Tua?"
"Oh!" Ki Wanara tersentak kaget. Wajah laki-laki tua itu langsung pucat pasi. Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di depannya telah berdiri seorang wanita cantik yang siang tadi datang ke kedainya. Ki Wanara berusaha bersikap wajar, tapi tidak bisa menahan deburan jantungnya.
"Semula aku ingin menganggapmu sebagai seorang yang patut dipercaya dan dapat membantuku. Tapi harapanku sia-sia saja...," kata wanita itu lembut, namun bernada penuh ancaman.
"Nini Ratih..., aku..!Aku...," Ki Wanara jadi tergagap.
Wanita yang ternyata memang Nini Ratih itu hanya tersenyum saja. Begitu manis senyumnya. Langkahnya pun demikian gemulai mendekati Ki Wanara. Laki-laki tua itu semakin pucat wajahnya, sedangkan tubuhnya gemetar hebat.
"Kenapa wajahmu pucat, Pak Tua?" masih tetap lembut suara Nini Ratih.
"Oh, tid..., tidak apa-apa," jawab Ki Wanara gugup.
"Apa yang kau katakan pada kepala desa itu?" tanya Nini Ratih. Nada suaranya mulai terdengar dingin.
"Aku..., aku hanya ngobrol," sahut Ki Wanara.
"Jangan mendustaiku. Pak Tua."
"Sss... sung..., sungguh! Aku tidak bohong! Aku hanya bertamu dan ngobrol!"
"Apa yang kau katakan pada Ki Pancur?" makin dingin nada suara Nini Ratih.
Ki Wanara tidak bisa lagi menjawab. Tubuhnya semakin keras bergetar. Keringat dingin mengucur deras membasahi wajahnya. Sedangkan Nini Ratih sudah demikian dekat di depannya. Wajah wanita itu terlihat kaku, dan matanya memancarkan sinar kekejaman. Bibirnya yang tipis dan merah terkatup rapat.
"Sayang sekali, kau harus menjadi salah satu penghias istanaku, Pak Tua," kata Nini Ratih datar.
"Apa yang akan kau lakukan?" tanya Ki Wanara bergetar suaranya.
"Memenggal kepalamu!"
"Apa...?!"
"Hih!"
"Aaa...!"
Hanya satu kali kibasan tangan saja, kepala Ki Wanara langsung menggelinding ke lantai. Darah muncrat dari leher yang buntung. Sesaat tubuh laki-laki tua itu masih mampu berdiri, kemudian ambruk dan menggelepar di lantai!
Nini Ratih cepat menubruknya, dan dengan buas dihirupnya darah yang mengucur deras dari leher yang terpenggal. Ki Wanara sudah tidak bergerak lagi dan terbujur kaku. Sementara Nini Ratih terus menghirup darah korbannya hingga tetes yang terakhir. Wanita cantik itu berdiri dan memandangi tubuh yang sudah tidak bernyawa lagi. Tangannya mengambil kepala laki-laki tua itu, dan menentengnya.
"hi hi hi...!
Nini Ratih melangkah keluar sambil tertawa mengikik. Dan begitu kakinya menjejak tanah di depan kedai, ia langsung melesat cepat bagaikan kilat. Hanya suara tawanya saja yang masih tertinggal. Bersamaan dengan lenyapnya tubuh wanita itu, lenyap pula suara tawanya. Malam yang hening itu semakin mencekam. Tak ada seorang pun yang menyaksikan kejadian itu. Tapi, dari balik sebuah pohon besar, sepasang mata memperhatikan kejadian itu.
"Kejam...!" terdengar desisan tertahan.
* * * * *
--««¦ [ TIGA ] ¦»»--
Sementara Ki Pancur semakin diliputi kegelisahan. Sedangkan Ki Kampar tidak tahu lagi mesti berbuat apa. Mereka tahu, siapa pemburu yang mengambil batu Mustika Dewi Pelangi yang juga tengah dicari Nini Ratih. Tapi pemburu itu sudah tidak ada di Desa Malapat ini lagi. Sedangkan Ki Pancur sendiri tidak tahu, perampok mana yang telah mengambil benda itu dari tangan Kabit, pemburu yang sedang dicari Nini Ratih.
"Paman, apa sebenarnya yang terjadi di desa ini?" desak Prawata saat ada kesempatan berdua dengan pamannya.
"Bukankah sudah kuceritakan padamu, Prawata."
"Tidak! Pasti ada yang Paman sembunyikan padaku," sentak Prawata.
Ki Kampar tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Baiklah kalau Paman tidak mau berterus terang. Aku akan menyelidikinya sendiri!" kata Prawata tegas.
"Apa yang akan kau lakukan?" tanya Ki Kampar agak kaget juga.
"Apa saja! Yang jelas aku ingin tahu kejadian yang sebenarnya! Aku tidak percaya kalau perempuan siluman itu hanya mencari batu Mustika Dewi Pelangi."
"Kenyataannya memang begitu, Prawata. Dan yang bisa mengetahui di mana benda itu, hanya Kabit. Dialah yang menyebabkan semua kejadian di sini," kata Ki Kampar menutupi yang sebenarnya.
"Jangan menimbulkan kesalahan pada orang lain, Paman. Aku yakin, perempuan siluman itu punya suatu tujuan sehingga datang ke sini. Dan Paman maupun Ayah sudah mengetahuinya, tapi sengaja merahasiakan!" Prawata tetap keras pada pendiriannya.
"Tidak ada yang perlu kurahasiakan, Prawata. Semua yang terjadi di sini bukan hanya persoalanku, atau persoalan ayahmu saja. Tapi menyangkut seluruh penduduk desa ini. Kau sudah dewasa, Prawata. Kau harus bisa berpikir secara dewasa. Jangan turuti nafsu dan darah mudamu," kata Ki Kampar mencoba menasehati setengah membujuk.
"Aku memang sudah dewasa, Paman. Dan aku tidak bisa tinggal diam melihat orang-orang tidak berdosa mati satu persatu. Sementara Paman dan Ayah yang mengetahui semua persoalan hanya diam saja. Aku tidak bisa, Paman. Aku harus bertindak!" tegas kata kata Prawata.
"Prawata! Kau pikir, kau ini siapa? Jangan menganggap dirimu kuat dan perkasa! Cara berpikirmu saja masih seperti anak kecil!" suara Ki Kampar agak tinggi.
"Aku memang tidak sehebat Paman atau Ayah! Tapi tidak pengecut!" nada suara Prawata juga tinggi.
"Prawata!" Ki Kampar jadi berang.
Tapi Prawata sudah berbalik dan berjalan cepat.
"Prawata! Tunggu...!"
"Aku tidak suka bicara dengan orang pengecut!" teriak Prawata kalap.
"Anak setan! Kembali kau...!" bentak Ki Kampar.
Prawata bukannya kembali, tapi malah berlari kencang. Ki Kampar akan mengejar, tapi sebuah tangan telah mencekal pundaknya. Laki-laki berusia separuh baya itu menoleh. Langsung dia menggelinjang sambil melompat begitu melihat seorang wanita muda dan cantik tahu-tahu sudah berdiri di belakangnya.
"Nini Ratih...," suara Ki Kampar agak bergetar.
"Kau masih mengenalku, Kakang Kampar?" lembut suara wanita itu.
Ki Kampar melangkah mundur beberapa tindak. Tangan kanannya segera meraba gagang golok yang terselip di pinggangnya. Sedangkan wanita cantik yang ternyata memang Nini Ratih itu hanya tersenyum saja.
"Anak itu benar. Tidak seharusnya kau sembunyikan. Katakan saja terus terang padanya," kata Nini Ratih tetap lembut nada suaranya.
"Jangan campuri urusanku, perempuan setan!" dengus Ki Kampar.
"Kau masih tetap seperti dulu saja, Kakang. Galak, kasar, dan tidak pernah jujur. Tapi aku menyukai sikapmu itu. Hanya sayang, kau sekarang kelihatan tua dan tidak menarik lagi."
"Simpan kata-kata kotormu, Nini Ratih!" bentak Ki Kampar.
"Ah! Jangan berlagak seperti orang suci. Aku tahu siapa dirimu. Aku tak akan melupakan saat-saat manis bersamamu, meskipun kau seorang pengkhianat busuk! Kepalamu pun juga dipenuhi segumpal nafsu!" agak ketus nada suara Nini Ratih.
"Pergi kau, perempuan setan!" geram Ki Kampar.
"Ah, Kakang.... Kenapa kau jadi berang begitu? Seharusnya kau senang dengan kedatanganku lagi. Lihatlah! Aku masih tetap seperti dulu, cantik, muda, dan tentu saja sangat menggairahkan. Apa kau lupa pada saat..."
"Pergi, kataku!" bentak Ki Kampar memotong cepat.
"Menyesal sekali. Seharusnya aku memang tidak mengunjungimu dalam suasana seperti ini. Baiklah, Kakang. Aku akan pergi, dan pasti akan kembali untuk menjemputmu."
"Perempuan laknat!" geram Ki Kampar seraya mencabut goloknya.
"Ha ha ha...!" Nini Ratih tertawa terbahak-bahak.
"Setan...!"
Sebelum Ki Kampar bisa mengibaskan goloknya, Nini Ratih sudah melesat cepat bagaikan kilat. Begitu cepatnya, sehingga bagaikan lenyap ditelan bumi. Ki Kampar mengumpat habis-habisan. Sambil menggeram, dimasukkan goloknya kembali ke dalam sarungnya di pinggang.
"Huh!" Ki Kampar mengayunkan kakinya cepat-cepat meninggalkan tempat itu. Dia masih saja bersungut-sungut. Tapi setiap kali kata-kata Nini Ratih tadi terngiang-ngiang di telinganya, tubuhnya langsung bergidik menggigil. Kata-kata wanita itu tidak dapat dianggap main-main, dan sewaktu-waktu bisa menjadi kenyataan.
"Uh! Perempuan keparat itu harus mampus!" dengusnya.
* * * * *
Prawata yang tengah dilanda amarah dan rasa ingin tahu, tidak menyadari kalau telah memasuki Hutan Bukit Menjangan. Pemuda itu baru menghentikan langkahnya ketika di depannya menghadang sebuah sungai yang cukup lebar dan berarus deras. Prawata menghenyakkan tubuhnya di bawah pohon rindang. Disandarkan punggungnya pada pohon itu.
Tatapan matanya lurus ke depan. Beberapa kali ditarik napas panjang dan dihembuskannya kuat-kuat. Pemuda itu sungguh tidak menyangka kalau ayah dan pamannya menyimpan suatu rahasia. Apalagi itu ada hubungannya dengan beberapa peristiwa yang terjadi di Desa Malapat. Peristiwa mengerikan dengan korban bergelimpangan dari orang-orang tidak berdosa.
Prawata mengangkat kepalanya ketika telinganya mendengar suara siulan berirama tidak teratur. Saat kepalanya berpaling ke kiri, terlihat seorang pemuda tampan dengan rambut gondrong meriap terikat kulit harimau. Pakaiannya pun dari kulit harimau. Mulutnya sedikit monyong, mengeluarkan suara siulan yang tidak enak didengar.
"Oh, maaf. Kukira tidak ada orang di sini," kata pemuda berbaju kulit harimau itu.
"Siulanmu bagus sekali. Rasanya cukup membuat hewan di hutan ini berlindung dalam sarang," kata Prawata agak ketus.
"Terima kasih! Kupikir kau tidak suka," sambut pemuda itu tersenyum.
"Suka! Hanya saja bukan pada waktu yang tepat."
Pemuda berbaju kulit harimau itu hanya tersenyum saja. Kakinya kembali terayun mendekati, dan berhenti tepat di depan putra kepala desa itu. Prawata memandanginya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Agak heran juga dia, karena pemuda berbaju kulit harimau itu tidak menyandang sebuah senjata pun. Orang ini pasti pengembara! Tapi, kenapa tidak membawa senjata? Prawata bertanya tanya dalam hati.
"Boleh aku istirahat di sini?" pinta pemuda itu, ramah.
"Silakan. Hutan ini milik siapa saja," sahut Prawata.
"Terima kasih."
Pemuda itu duduk bersila di depan Prawata. "Kelihatannya kau dalam kesulitan...," kata pemuda itu seraya merayapi wajah Prawata yang kelihatan murung.
"Maaf, bukan urusanmu," sahut Prawata ketus. Dia memang belum bisa menghilangkan kejengkelannya.
"Oh, ya.... Memang bukan urusanku. Tapi tidak enak kalau ngobrol dengan wajah murung."
"Apa maumu sebenarnya?" tanya Prawata jengkel.
"Hanya istirahat dan mencari teman ngobrol," sahut pemuda itu kalem.
"Aku bukan orang yang menyenangkan untuk diajak ngobrol. Sebaiknya cari orang lain saja."
"Sama sekali tidak. Aku merasa kau orang yang tepat untuk diajak berteman."
"Siapa kau ini sebenarnya?" Prawata mulai memandang curiga.
"Aku memang sedang mencari teman. Kurasa, tidak pantas kalau tidak memperkenalkan diri."
"Jangan berbelit-belit! Katakan saja, siapa kau, dan apa maksudmu datang ke sini?"
"Namaku Bayu Hanggara. Aku ke sini kebetulan lewat. Hampir tiga purnama aku tidak bertemu dengan seorang pun. Rasanya sunyi, tidak ada yang bisa diajak bicara," kata pemuda itu memperkenalkan diri. "Dan kebetulan kau orang kedua yang kujumpai di daerah ini."
"Sebaiknya kau temui saja orang yang pertama."
"Percuma! Dia juga tidak suka bicara banyak. Malah seperti orang kebingungan. Dia langsung pergi setelah bertanya padaku. Pertanyaan yang tidak masuk akal."
Prawata tidak menanggapi. Dimiringkan tubuhnya sedikit, dan dijulurkan kakinya. Tangannya dilipat di dada, lalu matanya dipejamkan.
"Oh, ya. Siapa namamu?" tanya Bayu tidak peduli terhadap sikap Prawata yang tidak bersahabat.
"Prawata," jawab Prawata singkat.
Bayu pindah duduknya di samping pemuda itu. Juga disandarkan punggungnya ke pohon, dan dijulurkan kakinya ke depan. Sikapnya meniru sikap Prawata. Pelahan matanya dipejamkan.
"Hm..., dia masih jengkel rupanya. Tapi harus ku dekati. Kata hatiku tidak pernah meleset..," Bayu bicara sendiri di dalam hatinya. Bayu masih tetap memejamkan matanya. Sedangkan Prawata sudah membuka matanya. Sebentar dipandangnya Bayu yang tampak tidur, kemudian bermaksud bangkit.
"Nyaman sekali di sini. Mau ke mana kau?"
"Eh!" Prawata terkejut. Dipandanginya wajah Bayu lekat-lekat.
Mata Pendekar Pulau Neraka itu masih terpejam rapat. Prawata hampir tidak percaya dengan pendengarannya barusan. Dia tidak jadi bangkit, tapi malah kembali menyandarkan punggungnya ke pohon. Pandangannya masih ke arah wajah pemuda di sampingnya.
"Jangan memandangiku begitu. Nikmati saja kesejukan udara di sini. Sangat baik untuk menenangkan pikiran dan mendinginkan hati yang panas," kata Bayu lagi tanpa membuka mata sedikit pun.
"Kau..., kau manusia apa...," Prawata jadi tergagap, lalu beringsut menjauh.
Bayu membuka kelopak matanya. Bibirnya menyunggingkan senyum. Kepalanya sedikit menoleh ke arah Prawata yang tengah memandanginya seperti melihat hantu. "Aku manusia, sama sepertimu juga," kata Bayu kalem.
"Siapa kau sebenarnya?" tanya Prawata masih agak bergetar suaranya.
"Bayu."
"Aku tidak percaya."
"Kau memang tidak tahu namaku. Apalagi mendengarnya. Tapi dengan julukanku, mungkin kau pernah mendengarnya."
Prawata semakin dalam memperhatikan laki-laki berbaju kulit harimau itu. Sama sekali dia belum pernah bertemu. Nama Bayu sangat asing di telinganya.
"Banyak orang mengenalku dengan nama, Pendekar Pulau Neraka," kata Bayu lagi.
"Pendekar Pulau Neraka...?!" Prawata mendesis setengah terkejut.
Hampir tidak dipercaya kalau orang yang berada di sampingnya sekarang ini adalah Pendekar Pulau Neraka. Seorang pendekar digdaya yang selalu menggemparkan dalam setiap pemunculannya. Prawata sering mendengar cerita tentang pendekar ini dari orang-orang yang kebetulan singgah di desanya, atau saat pergi ke kota. Orang-orang dari rimba persilatan sering membicarakan sepak-terjang Pendekar Pulau Neraka. Bahkan pamannya sendiri sering juga menyebut-nyebut nama itu. Dan kini orang itu ada di sampingnya!
"Maaf, dengan sikapku yang kasar padamu tadi," kata Prawata buru-buru.
"Lupakan saja," sahut Bayu kalem.
"Sungguh, aku tidak tahu kalau kau seorang pendekar digdaya yang begitu tersohor. Pantas kau bisa mengetahui apa yang kuperbuat, padahal kau tadi tidur"
"Aku tadi menggunakan ilmu 'Mata Dewa'. Aku memang tidak bisa melihat dengan mata terpejam, tapi hatiku bisa melihat jelas gerakan sekecil dan sehalus apa pun dapat terlihat jelas," ungkap Bayu.
"Hebat...," puji Prawata.
"Ah, itu hanya ilmu biasa saja," Bayu merendah.
"Tapi aku benar-benar kagum padamu. Aku sering mendengar cerita tentang dirimu. Ya..., macam-macamlah."
Bayu hanya tersenyum saja. Dia senang karena Prawata tidak lagi berkata ketus dan kasar. Ini berarti rencananya bisa di jalankan. Bayu memang membutuhkan seseorang yang berasal dari Desa Malapat. Dan dia memilih pemuda ini setelah beberapa hari mengamatinya, di samping mempelajari suasana di desa itu.
Beberapa kali Prawata mencuri pandang pada Pendekar Pulau Neraka. Sering didengarnya sepak-terjang pendekar itu. Tapi. setelah bertemu dengan orangnya langsung, keraguan akan Pendekar Pulau Neraka menyelimuti dirinya. Sama sekali tidak terlihat adanya kekejaman pada wajah itu. Sorot matanya juga terlihat lembut. Walaupun mengandung ketegasan, namun tidak tersirat kekejaman. Wajahnya juga tidak keras, bahkan bisa dikatakan simpatik. Rasanya sukar dipercaya kalau pemuda tampan dengan sinar mata lembut itu mampu berbuat kejam dan sadis terhadap lawan-lawannya.
Hampir semua cerita yang didengar Prawata tentang Pendekar Pulau Neraka, menyiratkan kekejaman dan kesadisan yang brutal. Bahkan dibumbui dengan cerita-cerita yang menyeramkan. Prawata memang sempat terpengaruh, dan selalu membayangkan kalau sosok yang bernama Pendekar Pulau Neraka itu berwajah kasar, seram, dengan suara berat menggetarkan. Tapi semua bayangannya sirna begitu bertemu langsung dengan orangnya. Sama sekali tidak terduga kalau orang yang dibayangkan selama ini memiliki wajah tampan dengan senyum manis simpatik. Bahkan sorot matanya pun lembut, memancarkan ketegasan diri.
"Kau melamun...?" tegur Bayu.
"Oh!" Prawata tersentak. Buru-buru dialihkan pandangannya ke arah lain.
"Apa yang kau pikirkan?" tanya Bayu dengan suara lembut.
"Aku...? Oh, tidak.... Aku tidak memikirkan apa-apa," sahut Prawata gugup.
"Kau memikirkan keadaan desamu?" tebak Bayu langsung.
Prawata kembali menatap Pendekar Pulau Neraka itu. Tatapannya agak tajam dan menunjukkan rasa keheranan.
"Aku sempat melihat kau bertengkar dengan pamanmu, juga pertengkaran dengan ayahmu. Dan aku juga sempat melihat kematian laki-laki tua pemilik kedai di desamu, dan kematian-kematian lain yang terjadi. Itu semua yang jadi pemikiranmu?" Bayu sedikit mendesak.
"Kau tahu?" Prawata semakin heran.
"Ya! Sejak aku bertemu seorang laki-laki di tengah jalan yang menuju ke desa ini, aku jadi penasaran dan ingin mengetahuinya. Sikapnya begitu aneh dan kelihatan buru-buru sekali. Rasa ingin tahuku semakin bertambah begitu melihat laki-laki itu menemui seorang yang terluka parah seperti habis dirampok. Tapi tidak ada yang hilang, hanya...."
"Batu Mustika Dewi Pelangi," potong Prawata cepat Langsung bisa ditangkap semua kata-kata Pendekar Pulau Neraka itu.
"Mungkin. Aku tidak tahu," desah Bayu.
"Benda itu yang menjadi awal malapetaka di desaku," jelas Prawata.
"Hm...," Bayu mengerutkan keningnya.
"Sedikitnya aku bisa mengetahui keadaan yang sedang terjadi di Desa Malapat. Aku pun tahu maksud kata-katamu. Kau pasti bertemu dengan ayahku, kemudian kau juga melihat Paman Kabit. Belum bisa kupastikan, apakah sumber malapetaka itu berasal dari Paman Kabit," kata Prawata lagi.
"Mengherankan! Kau seorang putra kepala desa, tapi tidak tahu persis kejadian yang tengah melanda desamu."
"Ini kenyataan! Mereka selalu merahasiakan dan menutupi. Aku tidak mengerti, kenapa Ayah dan Paman bersikap begi begitu tertutup padaku selama ini," suara Prawata bernada mengeluh.
"Mungkin mereka tidak ingin kau terlibat," Bayu menduga-duga.
"Aku sudah melihat dan mendengarnya sendiri! Untuk apa harus ditutupi?"
"Itu yang harus kau ketahui."
"Mustahil!"
"Jangan picik, Prawata. Masih banyak sumber lain yang bisa kau peroleh. Jangan terpaku pada satu sumber saja. Kau akan menemui jalan buntu kalau hanya mengejar yang satu dan membutakan lainnya."
"Kau benar!" sentak Prawata. Semangatnya seketika bangkit "Aku memang harus mencari dari sumber lain. Dan aku tahu tempatnya!"
"Oh, ya?"
Prawata langsung bangkit berdiri.
"Mau ke mana?" tanya Bayu juga ikut berdiri.
"Pulang, sudah sore," sahut Prawata. Setelah menjawab, Prawata segera melangkah pergi. Tapi baru beberapa langkah berjalan, pemuda itu berhenti dan berbalik. Bayu masih berdiri memandanginya.
"Sebaiknya kau ikut. Kau bisa tidur di kamarku," ajak Prawata.
"Terima kasih! Aku tidak ingin menarik perhatian orang," tolak Bayu halus.
"Lalu, di mana kau tidur?"
"Di mana saja."
"Kapan kita bisa bertemu lagi?" tanya Prawata.
"Kita bisa bertemu lagi di sini."
"Kapan?"
"Besok."
"Baiklah. Besok aku akan datang ke sini lagi. Kuharap kau bersedia membantu mengatasi keadaan di Desa Malapat," pinta Prawata.
"Tentu. Aku pasti membantumu," sahut Bayu tersenyum.
"Terima kasih, sampai jumpa besok."
Bayu hanya mengangkat tangannya saja. Prawata segera berbalik dan berlari-lari kecil meninggalkan tepian sungai itu. Sementara Bayu masih berdiri memandangi kepergian putra kepala desa itu. Otaknya segera berputar, mencerna kembali semua ucapan Prawata kepadanya. Bayu menggabungkannya dengan kejadian yang dilihatnya selama berada di sekitar Desa Malapat ini.
"Kejadiannya sama persis dengan yang tertulis di dalam buku Eyang Gardika. Aku jadi penasaran...," gumam Bayu pelan.
Bayu mengingat-ingat kembali baris-baris kalimat yang pernah dibaca dari buku-buku gurunya di Pulau Neraka. Salah satu dari buku yang dibacanya menceritakan tentang makhluk wanita siluman yang ingin menguasai dunia. Sayangnya, Eyang Gardika tidak menjelaskan lebih rinci lagi. Tapi kejadian yang disaksikan di sini, hampir sama persis dengan apa yang pernah dibaca dan dikatakan gurunya.
"Di dalam buku itu ditulis Bukit Menjangan dan Batu Mustika Dewi Pelangi. Hm....Prawata juga mengatakan bahwa batu itu sebagai penyebab malapetaka. Aku harus mengetahui, apa sebenarnya yang tengah terjadi di sini. Aku juga harus membuktikan, apakah cerita Eyang Gardika benar atau hanya khayalan belaka!" tekad Bayu dalam hati.
* * * * *
--««¦ [ EMPAT ] ¦»»--
"Hooop...!" Prawata menghentikan lari kudanya.
"Ada apa kalian menghadangku?" bentak Prawata kasar.
"Maaf, Den. Guru melarang siapa saja keluar dari desa ini," sahut salah seorang pemuda itu.
"Larangan itu tidak berlaku bagiku!" bentak Prawata sengit.
"Justru Guru lebih menekankan Den Prawata agar tidak keluar dari desa."
"Persetan dengan guru kalian! Minggir!" bentak Prawata geram.
"Den...!"
Prawata menggebah kudanya dengan keras. Kuda hitam itu meringkik sambil mengangkat kedua kaki depannya. Dan belum lagi kuda itu melompat, dua orang murid Ki Kampar sudah lebih dulu melesat ke arah Prawata. Tapi pemuda putra Ki Pancur itu lebih cepat lagi mengibaskan tangannya.
Buk! Buk!
Dua pemuda murid Padepokan Malapat itu terbingkai kena sodokan tangan Prawata. Namun mereka berhasil bangun kembali. Seorang berhasil menjambret tali kekang kuda, dan seorang lagi kembali menerjang sambil mencabut goloknya.
"Setan!" geram Prawata, langsung melentingkan tubuhnya. Dua kali Prawata berputar di udara, kemudian dengan manis sekali kakinya menjejak tanah.
Cring!
Prawata mencabut pedangnya yang tergantung di pinggang. Pedang berwarna keperakan itu melintang di depan dada.
"Maaf, Den. Ini perintah Guru dan Ayahanda Den Prawata sendiri," kata pemuda yang memegangi tali kekang kuda hitam itu, mencoba mengingatkan.
"Kami hanya menjalankan perintah," kata seorang lagi.
Prawata yang akan menyerang, mengurungkan niatnya. Kemarahannya berangsur reda. Dia sadar kalau kedua orang itu tidak mungkin menyerangnya kalau tidak mendapat perintah dari Ki Kampar. Prawata semakin tidak mengerti dengan sikap Paman dan Ayahnya. Pemuda itu kembali menyarungkan pedangnya di pinggang.
"Apa perintahnya?" tanya Prawata mau tahu.
"Guru memerintahkan kami untuk melarang siapa saja keluar dari desa ini. Khususnya Den Prawata sendiri. Kami diperbolehkan menggunakan kekerasan jika ada yang membangkang," jelas salah seorang.
Maaf, Den. Guru melarang siapa saja keluar dari desa ini," jelas salah seorang pemuda bergolok itu.
"Persetan dengan guru kalian! Larangan itu tidak berlaku bagiku. Minggir!" bentak Prawata geram sambil menggebah kudanya dengan keras.
"Kau tahu, mengapa Paman Kampar memerintahkan begitu?" selidik Prawata.
"Kami hanya menjalankan perintah, Den."
"Huh! Kalian dungu! Kalian manusia, bukan kambing congek yang hanya bisa diperintahi" dengus Prawata.
Dua orang murid dari Padepokan Malapat itu saling berpandangan.
"Dengar! Aku pergi bukan untuk melarikan diri, tapi untuk mengembalikan Desa Malapat seperti semula! Katakan pada Paman Kampar! Dia akan menanggung akibatnya kalau masih tetap keras kepala! Seluruh penduduk desa terancam nyawanya, termasuk kalian juga!" lantang suara Prawata.
"Tapi, Den...," dua orang itu mulai diliputi kebimbangan.
"Aku tidak peduli alasan kalian!"
Setelah berkata demikian, Prawata langsung melompat ke punggung kudanya. Tapi salah seorang dengan cepat juga melompat menghadang sambil mengirimkan satu pukulan keras bertenaga dalam cukup kuat. Prawata sempat terkejut. Buru-buru dilentingkan tubuhnya ke belakang, dan kembali mendarat di tanah.
"Maaf, Den. Sebaiknya Den Prawata kembali saja pulang," kata orang itu. "Kami tidak ingin dipersalahkan karena melanggar perintah. Kami rela mati demi menjunjung tinggi perintah guru."
"Phuih! Rupanya kalian tidak bisa diajak damai!" dengus Prawata sengit.
Kedua orang murid Ki Kampar itu memang diliputi kebimbangan. Tapi mereka memang tidak bisa melanggar perintah. Meskipun benak masih diliputi berbagai macam tanda tanya, tetapi mereka tetap patuh pada perintah gurunya. Tentu saja hal ini membuat Prawata jadi gusar. Kembali dicabut pedangnya.
"Jangan salahkan aku kalau terpaksa menggunakan kekerasan!" ancam Prawata gusar.
Dua orang murid Padepokan Malapat itu juga segera mencabut goloknya. Mereka menyadari kalau tingkat kepandaian Prawata berada di atasnya. Tapi sebagai murid padepokan yang setia dan patuh pada perintah, mereka tidak lagi memandang Prawata sebagai seorang putra kepala desa yang memiliki tingkat kepandaian lebih tinggi.
"Maaf, Den. Kami terpaksa mengambil jalan keras," kata salah seorang, masih tetap dengan sikap menghormat.
"Aku kagum pada kesetiaan kalian. Tapi kali ini, terpaksa kita berhadapan sebagai lawan," kata Prawata Jujur.
"Hup!"
Salah seorang langsung melompat sambil mengibaskan goloknya. Prawata menarik kakinya ke belakang selangkah, kemudian dengan cepat diangkat pedangnya untuk menangkis tebasan golok itu.
Trang!
Orang itu tersentak. Ternyata goloknya langsung terlepas dari pegangan ketika beradu dengan pedang Prawata. Dan belum lagi sempat berbuat sesuatu, kaki Prawata sudah melayang dengan cepat ke arah perut.
"Hugh!" pemuda itu mengeluh pendek.
"Yaaah...!" Prawata berteriak keras.
Satu pukulan keras bertenaga dalam cukup tinggi menghantam telak ke wajah pemuda itu. Tak pelak lagi, murid Ki Kampar ini terjungkal ke belakang. Secepat kilat Prawata melompat ke punggung kudanya. Tapi belum juga sampai, seorang lagi segera melompat sambil mengibaskan goloknya.
"Uts!"
Prawata menarik perutnya ke belakang, maka golok itu lewat sedikit di depan perutnya. Masih dalam keadaan di udara, kaki putra kepala desa itu bergerak cepat ke arah punggung setelah memutar tubuhnya. Sepakan kakinya itu tepat menghantam punggung lawannya, sehingga terjerembab mencium tanah.
"Hup! Ya...."
Prawata cepat menggebah kudanya begitu berada di atas punggung kuda hitam itu. Bagaikan sebuah anak panah lepas dari busurnya, kuda hitam itu langsung melesat cepat membelah angin. Dua orang murid Padepokan Malapat yang ditugaskan menjaga perbatasan desa itu merintih sambil berusaha bangkit. Mereka hanya bisa diam memandangi bayangan tubuh Prawata yang semakin jauh. Sesaat mereka saling berpandangan, kemudian sama-sama mengangkat bahunya. Dari mulut dan hidung mereka mengucurkan darah.
"Bagaimana ini?" tanya salah seorang.
"Mau bilang apa lagi? Den Prawata memang lebih tangguh."
"Sebaiknya kita laporkan saja pada guru."
"Ayo, cepat!"
Kedua pemuda itu bergegas berlari kembali menuju Desa Malapat. Mereka tidak mempedulikan tubuh yang nyeri dan muka babak belur. Dengan sekuat tenaga mereka berlari memasuki Desa Malapat. Sementara matahari belum juga muncul, namun cahayanya mulai menyemburat di ufuk Timur. Udara dingin masih terasa menusuk tulang. Belum ada seorang pun yang terlihat keluar rumahnya. Penduduk Desa Malapat masih tertidur lelap.
Prawata melompat turun dari kudanya setelah sampai di Puncak Bukit Menjangan Saat itu matahari telah muncul menerangi sekitarnya. Hati pemuda itu agak tercekat juga menyaksikan pemandangan yang sangat mengerikan. Puluhan kepala manusia terpancang pada tonggak kayu, mengelilingi butiran-butiran batu bercahaya terang bagai pelangi.
Pelahan-lahan Prawata mengayunkan kakinya melangkah lebih dekat. Bau busuk menyebar menyengat hidung. Beberapa di antara kepala yang terpancang itu dapat dikenali, dan sebagian besar telah rusak. Jantungnya semakin cepat berdetak saat mengenali beberapa kepala manusia yang malang itu. Rata-rata mereka adalah para penduduk Desa Malapat.
"Ki Wanara...," desis Prawata saat matanya terpaku pada kepala seorang laki-laki tua.
Darah pemuda itu seketika mendidih melihat kepala Ki Wanara terpancang di antara sekian banyak kepala manusia. Prawata mengalihkan perhatiannya ke arah lain. Rasanya tidak sanggup melihat pemandangan yang begitu mengerikan. Perutnya mulai terasa mual oleh bau busuk yang sangat menyengat itu. Prawata menyandarkan punggungnya pada sebatang pohon besar disampingnya.
Prawata memejamkan matanya rapat-rapat. Dia benar-benar tidak sanggup menyaksikan pemandangan itu. Pelahan-lahan kelopak matanya kembali terbuka, saat hidungnya tidak lagi mencium bau busuk yang menyengat. Dia agak heran juga, karena tiba-tiba bau busuk itu lenyap dan berganti dengan aroma yang harum menggelitik cuping hidungnya.
"Ohhh...!" Prawata terkejut dan kagum ketika matanya benar-benar terbuka.
Pemuda itu bagaikan berada di alam mimpi. Kini pemandangan yang dilihatnya bukan lagi pemandangan mengerikan dengan kepala kepala manusia terpancang di tonggak kayu. Yang sekarang dilihatnya adalah suatu taman indah dengan bunga-bunga warna-warni bermekaran, menyebarkan bau harum semerbak. Prawata memandangi dengan perasaan kagum bercampur heran. Bermacam macam pertanyaan berada di benaknya.
Di tengah-tengah taman indah itu, berdiri sebuah bangunan kecil namun indah. Seluruh bangunan itu bagai terbuat dari batu-batu permata yang memancarkan cahaya indah kemilau. Prawata merasa seolah-olah berada di taman milik para dewa. Begitu indah, dan belum pernah dilihat selama hidupnya.
"Prawata...."
"Oh!" Prawata tersentak ketika tiba-tiba mendengar suara seseorang yang menyebut namanya. Begitu halus dan lembut.
Ketika menoleh, pemuda itu semakin terkejut mendapati seorang wanita bertubuh ramping dan berwajah cantik bak bidadari. Lekuk-lekuk tubuhnya begitu jelas membayang indah di balik gaun tipis merah muda. .Sesaat Prawata terpana menatapnya. Belum pernah dilihat wanita secantik ini sebelumnya.
"Siapa kau?" tanya Prawata setelah rasa terkejutnya agak reda.
"Aku Nini Ratih," sahut wanita cantik menggiurkan itu.
"Nini Ratih...?!" kembali Prawata tersentak.
Pemuda itu sampai menggelinjang, melompat mundur mendengar nama itu. Pernah didengarnya nama itu dari Ki Wanara ketika datang ke rumahnya malam-malam.
"Kenapa? Kau terkejut mendengar namaku, Bocah Bagus?" lembut nada suara Nini Ratih.
Entah kenapa, Prawata jadi terpaku. Sementara wanita cantik yang mengaku Nini Ratih itu melangkah mendekatinya. Setiap ayunan kakinya begitu gemulai, dan menyebarkan aroma harum yang merangsang syaraf. Prawata masih diam terpaku dengan mata tidak berkedip. Dia sendiri tidak mengerti, kenapa jadi sulit dan tidak bisa berpikir.
Bau harum yang menyebar dan membelai lubang hidungnya membuatnya jadi sulit berpikir. Mendadak saja jantungnya berdetak cepat ketika Nini Ratih sudah begitu dekat di depannya. Prawata semakin tidak menentu perasaannya manakala tangan yang halus lembut dengan jari-jari lentik itu mulai meraba dadanya.
"Ah..., kau tampan dan gagah sekali," desah Nini Ratih seraya mendekatkan wajahnya ke wajah pemuda itu.
Prawata ingin menolak ketika tangan Nini Ratih mulai melingkar di lehernya, tapi tidak kuasa melakukannya. Seluruh syarafnya menegang, dan hanya bisa diam dengan perasaan dan pikiran tidak menentu. Sementara Nini Ratih semakin mempererat pelukan nya. Tubuhnya demikian rapat, sehingga di antara me reka tidak ada jarak lagi Prawata semakin kalut. Wajah Nini Ratih demikian dekat sehingga desah napasnya terasa hangat menyapu kulit wajahnya.
"Tidak kusangka, kau akan datang ke sini, Prawata," kata Nini Ratih lembut setengah mendesah.
"Oh, aku...," suara Prawata tercekat.
"Jangan katakan bahwa kau datang tidak sengaja, Bocah Bagus. Aku suka kedatanganmu. Tentunya kau akan senang berada di taman istanaku yang indah ini," potong Nini Ratih cepat.
Prawata ingin mengatakan sesuatu yang tiba-tiba terlintas di benaknya. Tapi, sebelum bisa berkata, Nini Ratih sudah menyumpal bibir pemuda itu dengan bibirnya. Seketika Prawata gelagapan bagai tenggelam di kolam yang sangat dalam. Hampir saja napasnya putus kalau saja Nini Ratih tidak melepaskan pagutannya. Wanita cantik itu tersenyum dan melepaskan rangkulannya pada leher pemuda itu.
Dia menggenggam tangan Prawata, dan menariknya. Prawata jadi lupa akan dirinya setelah mendapat pagutan wanita itu. Dituruti saja ke mana wanita itu menyeretnya. Dia tidak bisa berpikir banyak ketika tiba di taman nan indah. Di situ telah tersedia sebuah ranjang besar yang indah beralaskan kain sutra halus berwarna cerah.
Jalan pikiran Prawata tertutup sudah. Kesadarannya hilang tanpa diketahui dan dirasakan. Seperti kerbau dicucuk hidungnya, dituruti saja ketika Nini Ratih membawanya ke atas ranjang. Prawata pun tetap diam saat jari-jari tangan wanita itu melepaskan kancing bajunya, hingga lepas sudah pakaian yang melekat di tubuhnya. Dan Prawata tak kuasa menolak begitu tubuhnya dibaringkan di atas ranjang. Satu perasaan asing mendadak timbul di dalam diri Prawata.
Sulit untuk menolak perasaan yang begitu kuat membelenggunya. Dalam ketidaksadaran akan dirinya yang sebenarnya, pemuda itu mulai membalas rangsangan yang diberikan Nini Ratih. Tidak lagi diam dan menurut, bahkan menjadi liar dan kasar. Tapi wanita cantik itu malah tertawa mengikik dan merintih menggelinjang.
Seluruh syaraf-syaraf Prawata sudah tidak terkendali lagi. Semuanya terbelenggu dalam irama nafsu dan gairah yang memuncak. Di dalam taman indah buatan Nini Ratih, kesadarannya telah tenggelam, dan berganti dengan luapan gairah yang menggelegak tak terkendalikan. Napasnya memburu dan keringat bercucuran deras membasahi tubuhnya. Sementara Nini Ratih meregang, menggeliat, dan merintih dalam dekapan pemuda itu.
"Oh..., akh!" tiba-tiba Nini Ratih merintih tertahan.
Pada saat yang sama, Prawata menggumam lirih dan tubuhnya mengejang hebat. Kepalanya terdongak, sedangkan matanya terpejam rapat. Sesaat kemudian, tubuhnya terkulai lemas, bergulir di samping tubuh Nini Ratih. Wanita cantik itu menggeliatkan tubuhnya sebentar, lalu meraih selembar kain dan menutup tubuhnya. Tatapan matanya berbinar cerah penuh kepuasan.
Sementara Prawata terkulai lemas dengan mata terpejam. Pelahan-lahan napasnya kembali teratur. Dadanya bergerak turun naik berirama tetap. Nini Ratih beringsut merapatkan tubuhnya pada tubuh pemuda itu, dan meletakkan kepalanya di dada bidang yang basah oleh keringat.
"Kau hebat sekali, Bocah Bagus," pelan suara Nini Ratih.
"Hhh...!" Prawata hanya mendesah panjang.
Prawata benar-benar telah lupa akan dirinya. Dia tidak tahu lagi siang dan malam. Keadaan di dalam taman indah di Puncak Bukit Menjangan ini selalu terlihat siang. Matahari bersinar cerah sepanjang waktu. Langit pun tampak cerah tanpa awan menggantung di sana.
Setiap kali Nini Ratih muncul, Prawata selalu tidak kuasa menolak keinginan wanita cantik itu. Gairahnya segera bangkit menggebu-gebu tak terkendalikan. Dan kali selesai melayani wanita itu, seluruh tubuhnya seperti lemas, dan kesadarannya kembali pulih. Tapi dia tetap tidak mampu bangkit dari pembaringan. Prawata selalu merenung dan memikirkan setiap kejadian yang dialaminya ditempat ini. Dan jika Nini Ratih muncul, kesadarannya langsung hilang. Prawata benar-benar bagai hidup di dalam dua dunia yang membingungkan.
Prawata tergolek lemah di atas pembaringan besar dan indah. Dia mencoba menggerakkan tubuhnya, tapi seluruh persendiannya terasa lemas tak bertenaga. Hanya kepalanya saja yang masih mampu digerakkan. Baru beberapa saat yang lalu Nini Ratih pergi meninggalkannya. Prawata memandangi keadaan sekitarnya. Kesadarannya kembali berangsur pulih, dan mulai mengingat-ingat semua yang telah dialami selama berada ditempat asing ini.
"Oh .., di mana aku ini? Kenapa tubuhku terasa lemas sekali?" lirih suara Prawata bertanya-tanya sendiri.
Prawata mencoba mengingat-ingat kembali semua yang telah terjadi terhadap dirinya. Dia ingat betul sewaktu dalang ke Puncak Bukit Menjangan, dan melihat pemandangan yang mengerikan. Kepala-kepala manusia terpancang pada tonggak kayu yang mengelilingi beberapa pecahan batu berwarna terang menyilaukan. Dan tiba-tiba semua yang dilihatnya seketika berubah seperti sediakala.
"Apa yang telah terjadi pada diriku...?" kembali Prawata bertanya-tanya pada dirinya sendiri.
Pemuda itu menolehkan kepalanya ke kanan. Kelopak matanya agak menyipit melihat seorang laki-laki tua bertubuh kurus dan agak bungkuk, tengah memandanginya. Di punggungnya terdapat seikat kayu-kayu kering. Prawata langsung mengenalinya. Dia adalah penduduk Desa Malapat, dan pekerjaannya memang mencari kayu bakar untuk dijual kepada penduduk lainnya.
"Ki Kabul...!" teriak Prawata keras.
Laki-laki tua yang dipanggil Ki Kabul itu tetap berdiri setengah membungkuk. Pandangannya tidak lepas ke arah Prawata yang berusaha bergerak sambil berteriak-teriak memanggil. Tapi suara pemuda itu langsung tenggelam terbawa angin. Laki-laki tua itu sama sekali tidak mendengar, bahkan sepertinya tidak melihat.
"Ki...! Tunggu...! Tolong aku, Ki...!" teriak Prawata sekuat-kuatnya.
Tapi suaranya tetap tidak terdengar. Ki Kabul pun membalikkan tubuhnya, lalu melangkah pergi tergesa-gesa. Prawata berusaha bergerak sekuat tenaga, sambil tidak henti-hentinya berteriak-teriak memanggil laki-laki tua itu.
"Ki Kabul! Tunggu...!"
Tetap saja Ki Kabul berjalan tergesa-gesa semakin jauh. Lemas seluruh tubuh Prawata setelah tubuh tua setengah bungkuk itu lenyap dari pandangan. Prawata memalingkan kepalanya kembali. Sinar matanya sayu, menyiratkan keputusasaan. Dia sadar kalau tengah berada dalam satu lingkungan gaib yang sukar ditembus manusia biasa.
"Kenapa aku jadi begini...! Oh, Dewata Yang Agung...," rintih Prawata lirih.
* * * * *
--««¦ [ LIMA ] ¦»»--
Bayu menolehkan kepalanya ketika mendengar suara gemerisik semak belukar. Pemuda berbaju kulit harimau itu berbalik saat muncul seorang laki-laki tua kurus bertubuh agak bungkuk dari dalam semak belukar. Laki laki tua yang ternyata Ki Kabul itu terkejut melihat seorang pemuda yang tidak dikenal berdiri tidak jauh di depannya. Langsung dihentikan langkahnya.
"Oh..., biarkan aku lewat. Aku hanya membawa kayu bakar, dan tidak punya apa apa untuk kau ambil," kata Ki Kabul bergetar suaranya.
"He...!" Bayu tersentak kaget. Pendekar Pulau Neraka itu memandangi laki-laki tua yang tampak ketakutan. Sama sekali tidak dimengerti akan sikap laki-laki tua itu.
"Pak Tua, aku bukan perampok. Aku tidak akan menyakitimu," kata Bayu mencoba lembut.
"Kalau begitu, biarkan aku lewat"
"Tunggu dulu, Pak Tua," cegah Bayu seraya melompat ke hadapan laki-laki tua itu.
Ki Kabul mengurungkan langkahnya. Tubuhnya masih gemetar dan seluruh wajahnya pucat pasi. Sebentar dipandangi wajah pemuda di depannya, sebentar kemudian kepalanya tertunduk.
"Wajahmu pucat sekali. Apa yang kau takutkan?" tanya Bayu lembut.
"Tidak! Aku harus pulang. Maaf...!" kata Ki Kabul bergegas melangkah.
"Tunggu dulu, Pak Tua." Bayu kembali menghadang.
Ki Kabul kembali berhenti melangkah. Bayu makin penasaran dengan sikap laki-laki tua yang kelihatan ketakutan itu.
"Pak Tua, aku ingin bertanya sesuatu padamu. Boleh?" tetap lembut suara Bayu.
"Cepatlah! Apa yang ingin kau tanyakan."
"Sudah tiga hari ini aku menunggu teman di sini. Apa kau melihat temanku itu, Pak Tua?" tanya Bayu.
"Aku tidak kenal temanmu."
"Dia anak Kepala Desa Malapat. Namanya Prawata."
Ki Kabul langsung bergetar tubuhnya. Paras wajahnya semakin pucat pasi. Bola matanya berputar mengedar berkeliling, seolah-olah takut ada orang lain di sekitarnya. Bayu memperhatikannya dengan kening berkerut dalam. Rasa ingin tahunya semakin memuncak. Dia yakin kalau laki-laki tua ini mengetahui di mana Prawata sekarang.
"Kau tahu di mana Prawata, Pak Tua?" tanya Bayu lagi.
"Aku.... Aku...," Ki Kabul jadi tergagap.
"Kau kelihatannya takut sekali. Ada apa?" desak Bayu. "Kau tahu di mana Prawata?"
"Maaf, Anak Muda. Aku..., aku tidak tahu."
"Hhh...! Sayang sekali. Padahal dia sudah janji akan menemuiku di sini tiga hari yang lalu," desah Bayu pelan.
Ki Kabul memandangi wajah pemuda di depannya. "Ada apa kau menanyakan Den Prawata?" tanya Ki Kabul. Suaranya masih bergetar.
"Penting sekali. Juga untuk kepentingan desa ini," sahut Bayu.
"Siapa kau sebenarnya?" tanya Ki Kabul agak kaget juga.
"Namaku Bayu," Bayu memperkenalkan diri.
"Sudah tiga hari ini, Den Prawata meninggalkan Desa Malapat. Sampai sekarang belum kembali. Tidak ada yang tahu, ke mana perginya. Tapi...," Ki Kabul tidak melanjutkan. Ditatapnya Bayu dalam-dalam. Sepertinya ingin memastikan kalau pemuda itu bukan orang jahat yang ingin mencelakakan Prawata.
"Kenapa, Pak Tua?" desak Bayu.
"Tidak apa-apa. Prawata tidak ada lagi di Desa Malapat," sahut Ki Kabul, berusaha menyembunyikan sesuatu.
Bayu terdiam membisu. Dia merenung memikirkan kepergian Prawata yang tiba-tiba. Padahal anak itu sudah berjanji akan menemuinya lagi di tempat ini. Pendekar Pulau Neraka itu tidak lagi mencegah Ki Kabul pergi.
Ki Kabul bergegas melangkah cepat dan terburu-buru meninggalkan Lereng Bukit Menjangan ini. Sementara Bayu masih berdiri tegak memandangi punggung laki-laki tua itu yang sarat dengan kayu bakar.
"Mustahil Prawata pergi begitu saja. Hm..., pasti ada sesuatu yang terjadi padanya," gumam Bayu pelan.
Mendapat pikiran demikian, Bayu langsung melompat cepat menuju Desa Malapat. Gerakannya begitu ringan dan cepat bagai kilat. Dalam sekejap saja, bayangan tubuhnya sudah lenyap tertelan lebatnya hutan di sekitar Lereng Bukit Menjangan ini.
* * * * *
Bayu memandangi suasana di Desa Malapat. Keadaannya sangat sepi, seperti ditinggalkan penghuninya. Di beberapa tempat, terlihat orang-orang muda dengan golok terselip di pinggang seperti tengah berjaga-jaga. Bahkan ada pula yang membawa tombak panjang. Bayu jadi bertanya-tanya dalam hati. Suasana Desa Malapat sekarang ini seperti tengah bersiap-siap menghadapi serbuan dari luar.
Perhatian Pendekar Pulau Neraka itu tertumpah pada dua pemuda yang menjaga perbatasan Bukit Menjangan. Wajah dua pemuda itu terlihat agak memar. Mereka tengah bercakap-cakap. Bayu melesat mendekati. Gerakannya sangat ringan dan tidak menimbulkan suara sedikit pun. Pendekar Pulau Neraka itu tahu-tahu sudah berada di balik sebatang pohon besar, tidak jauh dari kedua pemuda yang ternyata murid Ki Kampar.
"Aku yakin, Den Prawata sudah jadi korban Nini Ratih," kata salah seorang murid Ki Kampar itu.
"Aku jadi heran, mengapa kepala desa tidak mencarinya, ya?" tanya yang seorang lagi.
"Tapi Ki Pancur kelihatannya sedih. Sudah tiga hari ini mengurung diri terus di dalam kamar."
"Sedih sih boleh saja. Tapi Den Prawata kan anak satu-satunya. Malah sudah disiapkan untuk menggantikan kedudukannya jadi kepala desa. Seharusnya kan dicari. Toh kita semua tahu kalau Den Prawata ke Puncak Bukit Menjangan."
"Huh! Kalau aku sih, berpikir dulu seribu kali! Datang ke sana sama saja mengantarkan nyawa. Kudengar, di Puncak Bukit Menjangan dijadikan tempat persembunyian Nini Ratih. Apalagi di sana banyak kepala manusia terpancang di tonggak kayu."
"Kau dengar dari mana?"
"Banyak yang sudah melihatnya. Kebanyakan pemburu dari desa ini juga. Tapi anehnya, ya... Orang yang telah melihat, besoknya pasti mati! Kepalanya pun hilang."
Kedua orang itu terdiam beberapa saat. Mereka seperti dicekam rasa takut Sementara itu Bayu yang mendengarkan dari balik pohon, hanya diam saja. Tapi kini jelas, kalau Prawata pergi ke Puncak Bukit Menjangan.
"Aku pikir-pikir, kata-kata Den Prawata benar juga. Kita seperti orang dungu saja. Sebenarnya apa sih yang kita jaga? Tidak ada seorang pun dari kita yang jadi korban Nini Ratih. Dia selalu mencari korban dari para penduduk yang rata-rata pernah ke Puncak Bukit Menjangan," kata salah seorang lagi.
"Iya juga, ya.... Berhari-hari di sini, tidak ada musuh satu pun," sambut satunya lagi.
"Uh! Lama-lama jadi bosan juga."
Saat itu, Bayu sudah melesat cepat meninggalkan tempat itu. Pikirannya langsung tertuju pada laki-laki tua yang ditemuinya di tepi sungai. Dia yakin kalau laki-laki tua itu baru dari Puncak Bukit Menjangan. Arahnya saja sudah bisa dipastikan, kalau habis dari puncak bukit itu.
Pendekar Pulau Neraka itu berlompatan cepat dan ringan. Dikerahkan ilmu meringankan tubuh yang sudah sampai pada taraf kesempurnaan. Begitu cepatnya, sehingga yang terlihat hanya bayangan berkelebatan. Bayu menyelinap dari satu rumah ke rumah lainnya. Yang dicarinya adalah tempat tinggal laki-laki tua yang ditemuinya di tepi sungai. Pembicaraan dua orang pemuda itu seperti memberinya peringatan.
"Hm...," Bayu bergumam dalam hati, begitu sampai pada sebuah rumah bilik yang kecil dan kumuh. Dari celah-celah yang terdapat di dinding, Pendekar Pulau Neraka mengamati bagian dalam rumah itu. Bibirnya tersenyum begitu melihat laki-laki tua yang ditemuinya di tepi sungai, tengah duduk sendirian di dalam rumah ini. Bayu bergegas melangkah mendekati pintu belakang, kemudian mengetuk pintu itu hati-hati.
"Siapa...?" terdengar suara tua dari dalam.
"Aku, Pak Tua," sahut Bayu agak berbisik.
Pintu belakang rumah itu terbuka. Ki Kabul agak terkejut melihat pemuda yang ditemuinya di tepi sungai telah berdiri di depan pintu belakang rumahnya.
"Boleh aku masuk?" lembut dan ramah suara Bayu Hanggara.
Ki Kabul tidak menjawab, tapi dibukanya pintu lebar-lebar. Bayu melangkah masuk, dan menutup pintu itu. Ki Kabul memandanginya dengan benak diliputi segudang tanda tanya. Sejenak Bayu merayapi keadaan sekitarnya. Tidak ada yang didapatkan. Semua perabotan rumah ini sangat sederhana sekali. Sementara Ki Kabul telah duduk di balai-balai bambu beralaskan tikar daun pandan. Bayu tetap berdiri dan baru duduk dikursi kayu setelah Ki Kabul mempersilakannya.
"Aku tidak melihat anak dan istrimu, Pak Tua," kata Bayu.
"Aku memang hidup sendiri di sini. Anak istriku ada di kota," jawab Ki Kabul.
"Oh...."
"Apa keperluanmu hingga datang ke sini?" tanya Ki Kabul.
"Aku tidak tahu, kenapa harus datang ke sini. Hanya saja aku merasa kau dalam bahaya, Pak Tua," sahut Bayu.
Ki Kabul menatap pemuda itu dalam-dalam.
"Kau tadi ke Puncak Bukit Menjangan, Pak Tua?" tanya Bayu.
"He! Untuk apa kau tanyakan itu?" Ki Kabul terkejut setengah mati.
"Jujur saja padaku, Pak Tua. Kalau kau memang tadi ke sana, itu berarti kau dalam bahaya besar," suara Bayu terdengar serius.
Ki Kabul tidak langsung menyahut, tapi jadi bertanya-tanya tentang diri pemuda itu. Dia memang ke Puncak Bukit Menjangan, dan itu tidak disengaja sama sekali. Hatinya memang sudah tidak menentu setelah menyadari bahwa kakinya sudah menginjak daerah terlarang. Mereka yang tewas dengan kepala hilang, semuanya pernah menginjakkan kakinya di Puncak Bukit Menjangan.
"Aku tahu, kau pasti curiga padaku, Pak Tua. Tapi kedatanganku justru ingin menolongmu. Nyawamu sekarang ini terancam, dan kau tidak bisa mengelak dari ancaman itu," jelas Bayu lagi.
"Dari mana kau tahu, aku telah ke Puncak Bukit Menjangan?" tanya Ki Kabul mencoba menyelidik.
"Kau datang dari arah sana, Pak Tua," sahut Bayu.
"Kalaupun aku dari sana, kenapa kau bisa mengatakan kalau nyawaku terancam?"
"Jangan berpura-pura, Pak Tua. Semua orang di desa ini tahu, kalau yang datang ke Puncak Bukit Menjangan pasti mati! Meskipun aku sendiri belum yakin benar!" Bayu agak kesal juga dengan sikap laki-laki tua itu.
Ki Kabul kembali diam dengan kepala tertunduk. Disadari kalau kata-kata pemuda itu benar. Bayu memang belum yakin benar dengan cerita-cerita tentang siluman wanita itu. Dan sampai saat ini dia masih terus mencari keterangan. Bayu yakin, Ki Kabul bisa memberi banyak keterangan yang diperlukan. Dia terus mendesak laki-laki tua itu.
"Aku memang ke sana, tapi aku tidak sengaja...," kata-Ki Kabul mengakui.
"Apa saja yang kau lihat di sana, Ki?" tanya Bayu.
"Mengerikan...!" Ki Kabul bergidik.
"Mengerikan...?"
"Banyak kepala manusia terpancang di sana. Dan...," Ki Kabul tidak melanjutkan.
"Teruskan, Ki," desak Bayu.
"Aku..., aku melihat..."
"Melihat apa?"
"Den Prawata," pelan suara Ki Kabul.
Seketika Bayu tertegun diam. Jadi, yang didengarnya dari dua orang penjaga perbatasan memang benar. Prawata datang ke Puncak Bukit Menjangan. Dan semua keterangan yang telah diperolehnya juga benar. Puncak Bukit Menjangan telah dijadikan tempat kekuasaan Nini Ratih, wanita siluman yang sangat kejam dan selalu meminta korban. Kepala dari korban-korbannya dijadikan hiasan istananya!
Hanya satu yang kini menjadi beban pikiran Pendekar Pulau Neraka. Mengapa Nini Ratih memilih Desa Malapat, dan Puncak Bukit Menjangan? Anehnya, kepala desa tidak melakukan tindakan sama sekali. Bahkan sepertinya- membiarkan warga desanya menjadi korban kebuasan wanita siluman itu. Bayu yakin, ada sesuatu di antara Ki Pancur dengan Nini Ratih, atau pun dengan Ki Kampar. Sikap kedua orang itu membuat Bayu jadi curiga. Lebih-lebih dengan adanya larangan untuk meninggalkan Desa Malapat ini.
Ki Kabul tidak ragu-ragu lagi, dan percaya penuh setelah Bayu mengatakan siapa dirinya sebenarnya. Nama Pendekar Pulau Neraka memang sudah tidak asing lagi. Semua penduduk Desa Malapat pun pernah mendengar nama itu. Ki Kabul sendiri tidak menyangka kalau dapat bertemu dan didatangi pendekar ternama yang namanya sudah tersohor itu.
Laki-laki tua itu percaya kalau Pendekar Pulau Neraka mampu melindunginya dari cengkeraman Nini Ratih, si Wanita Siluman. Bahkan dia percaya kalau pendekar itu juga mampu mengalahkan Nini Ratih. Meskipun baru kali ini bertemu, tapi Ki Kabul sudah yakin dengan kedigdayaan Pendekar Pulau Neraka. Cerita-cerita tentang pendekar itu sering didengarnya walau memang menyiratkan kekejaman dan kesadisan seorang pendekar yang tidak pernah memberi ampun setiap lawannya.
Tanpa diminta, Ki Kabul menceritakan tentang Nini Ratih, wanita siluman yang kini menjadi momok menakutkan bagi seluruh penduduk Desa Malapat. Ki Kabul adalah penduduk asli desa itu, dan tahu persis semua kejadian yang melanda desa ini. Walaupun usianya telah mencapai lebih dari delapan puluh tahun, tapi ingatannya masih kuat. Sementara Bayu mendengarkannya dengan penuh perhatian.
"Hm..., jadi Nini Ratih pernah muncul sebelumnya?" Bayu ingin menegaskan.
"Benar! Itu terjadi lebih kurang tiga puluh tahun yang lalu. Ketika itu Ki Pancur belum menjabat sebagai kepala desa," sahut Ki Kabul.
Bayu mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Dulu Ki Pancur yang berhasil mengalahkan, dan membuangnya ke angkasa...," lanjut Ki Kabul.
"Oh...!" Bayu agak kaget juga mendengarnya.
"Ketika telah dibungkus dengan batu Mustika Dewi Pelangi dan dilemparkan ke angkasa, dia sempat mengancam akan menghancurkan dan memusnahkan semua orang, tempat, dan desa Ki Pancur tinggal. Sekarang dia muncul lagi dan menepati ancamannya."
"Apakah batu mustika itu seperti ini, Ki?" Bayu mengeluarkan sebongkah batu yang memancarkan cahaya kemilau bagai pelangi dari balik sabuknya.
Ki Kabul ternganga melihat batu di tangan Pendekar Pulau Neraka itu. Sebentar kemudian, ditatapnya wajah Bayu. Ki Kabul mendorong tangan Pendekar Pulau Neraka itu dan meminta agar batu mustika itu segera disimpan.
"Dari mana kau dapatkan benda itu?" tanya Ki Kabul agak berbisik suaranya.
"Secara kebetulan, aku menemukan sarang perampok yang membegal pemburu dari desa ini," jelas Bayu.
"Maksudmu, si Kabit..?"
"Mungkin. Aku tidak tahu namanya. Sebelumnya, aku memang sempat melihat Ki Pancur bersama pemburu itu. Kudengar semua pembicaraannya. Oleh sebab itu aku jadi tertarik dan ingin mencari benda ini," kata Bayu menunjuk batu Mustika Dewi Pelangi yang sudah tersimpan di balik sabuknya.
"Kau bunuh semua perampok itu?" tanya Ki Kabul.
"Tdak semua. Mereka menyerahkan batu itu, asalkan aku tidak membunuh yang lainnya. Ya..., ada sekitar sepuluh orang yang tewas."
"Nini Ratih memang sedang mencari benda itu. Dan kudengar, benda itu adalah inti kekuatan dan kehidupannya," jelas Ki Kabul.
"Aku dengar, di Puncak Bukit Menjangan juga banyak batu seperti ini."
"Memang benar, tapi hanya pecahannya saja. Pecahan itu tidak akan berpengaruh pada Nini Ratih. Kau sangat beruntung, Anak Muda. Dengan batu itu, kau pasti mampu mengalahkannya."
"Nini Ratih pernah dikalahkan Ki Pancur, sebaiknya dia saja yang menghadapinya."
"Jangan...!" sentak Ki Kabul cepat.
"Kenapa?" tanya Bayu heran.
"Ki Pancur memang akan menggunakannya untuk menghadapi wanita siluman itu. Tapi pasti tidak akan membunuhnya. Yang jelas dia akan melakukan hal yang sama dengan hanya mengasingkan Nini Ratih saja. Karena... "
"Karena apa, Ki?" desak Bayu.
"Dulu mereka adalah sepasang kekasih. Padahal Ki Pancur tahu kalau kekasihnya itu wanita siluman, tapi tidak ambil peduli."
"Oh...," kembali Bayu mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Waktu itu guru mereka sangat khawatir, karena Ki Pancur pasti jadi siluman juga. Dengan demikian akan sangat berbahaya bagi kelangsungan hidup manusia. Eyang Jarata melakukan tindakan yang nekad. Dia menerobos sarang siluman, dan mencuri salah satu sumber kekuatan bangsa siluman, yang sekaligus juga sebagai alat kematiannya. Eyang Jarata memang berhasil, tapi terluka cukup parah oleh siluman-siluman itu. Dan batu Mustika Dewi Pelangi yang diambilnya sempat diserahkan pada Ki Kampar, adik kandung Ki Pancur. Eyang Jarata berpesan agar Ki Pancurlah yang harus menghadapi wanita siluman itu, sebelum menghembuskan napas terakhir," Ki Kabul mengisahkan.
"Lantas?" Bayu jadi semakin tertarik.
"Ki Pancur terpaksa melakukannya demi bakti pada gurunya. Tapi pesan gurunya tidak semua dilaksanakan. Batu itu tidak ditanamkan di kepala Nini Ratih, tapi malah dibungkus dan dilemparkannya ke angkasa. Padahal sehabis itu seharusnya dibuang ke dasar laut!"
Bayu mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Ki Pancur sebenarnya tahu, kalau perbuatannya itu akan berakibat fatal. Nini Ratih tidak akan mati dan pasti kembali lagi ke dunia. Ki Pancur tidak peduli, karena tetap menganggap dirinya pasti sudah mati sebelum Nini Ratih muncul kembali."
"Sikap yang mementingkan diri sendiri!" dengus Bayu.
"Itu memang sudah wataknya, Anak Muda."
"Pantas, dia juga tidak peduli terhadap keselamatan anaknya."
"Sejak masih muda, sampai sekarang ini, wataknya tidak pernah berubah. Selalu mementingkan diri sendiri. Sekarang ini pun dia tahu kalau Desa Malapat terancam musnah, tapi ya, begitulah wataknya. Bahkan melarang keras penduduk meninggalkan Desa Malapat ini."
"Aku tidak mengerti, apa maksudnya...?" gumam Bayu.
"Mungkin dia masih mencintai Nini Ratih, dan masih mengharapkan agar bisa bersatu. Padahal itu tidak mungkin! Sebab, Ki Kampar pun sudah menodai Nini Ratih dengan bujuk rayunya. Hal itu dilakukan Ki Kampar agar kakaknya tidak bisa bersatu dengan siluman itu. Dikorbankanlah dirinya. Akibatnya, dia kena kutuk sehingga tidak mungkin mempunyai keturunan seumur hidup. Kalaupun menikah, istrinya pasti langsung mati. Itulah sebabnya Ki Kampar tidak punya istri sampai sekarang."
Bayu Hanggara diam membisu. Kini semuanya jelas dan terang. Jiwa kependekarannya segera tergugah seketika. Untungnya batu sumber kekuatan dan kematian wanita siluman itu telah dipegangnya. Dan sudah tentu, nasib seluruh penduduk Desa Malapat, dan desa-desa lain di sekitar Bukit Bukit Menjangan berada di tangannya. Pendekar Pulau Neraka itu sadar kalau dirinya kembali harus bertualang menentang maut.
Baru saja Bayu akan membuka mulut, mendadak telinganya mendengar suara desiran halus. Belum sempat Pendekar Pulau Neraka itu berbuat sesuatu, mendadak....
Brak!
Pintu rumah Ki Kabul hancur berantakan. Ki Kabul kontan melompat berdiri dan berlindung di balik punggung Pendekar Pulau Neraka yang memang sudah berdiri lebih dulu. Di ambang pintu yang hancur, berdiri seorang wanita cantik mengenakan baju hijau muda yang ketat.
"Nini Ratih...," desis Ki Kabul bergetar.
"Jangan melakukan tindakan yang membahayakan dirimu, Ki," kata Bayu memperingatkan.
"I..., iya," sahut Ki Kabul gugup.
Wanita muda dan cantik itu melangkah masuk ke dalam. Tatapan matanya tajam menusuk, dan bibirnya terkatup rapat. Langkahnya terhenti setelah berjarak sekitar empat atau lima langkah lagi di depan Bayu. Wanita yang memang Nini Ratih itu merayapi wajah pemuda tampan di depannya. Pelahan kemudian, bibirnya mengulas senyum.
"Siapa kau, Bocah Bagus?" lembut suara Nini Ratih.
"Bayu," sahut Bayu singkat.
"Kau tampan sekali, Bocah Bagus."
"Terima kasih."
"Hati-hati, Bayu. Jangan terpikat rayuannya," bisik Ki Kabul.
--««¦ [ ENAM ] ¦»»--
"Nini Ratih! Apa maksudmu datang ke sini?" tanya Bayu tegas.
"Ah..., ternyata kau memang seorang pemuda tampan yang tegas dan jantan. Aku suka laki-laki sepertimu," kata Nini Ratih tanpa menjawab pertanyaan Bayu Hanggara.
"Maaf, Nini Ratih. Aku tidak ada waktu untuk bercengkerama!" dengus Bayu dingin.
"Luar biasa..., aku akan menunggu waktumu, Bocah Bagus."
Bayu menggeretak menahan geram. Dia benar-benar muak melihat tingkah wanita ini. Pendekar Pulau Neraka itu melangkah mundur satu tindak ketika cuping hidungnya mengendus aroma yang sangat wangi menusuk. Harumnya sangat luar biasa, sehingga membuat kepala Pendekar Pulau Neraka itu terasa agak pening.
"Hati-hati, Bayu. Dia menyebarkan ilmu pemikat," bisik Ki Kabul memperingatkan.
Bayu memang sudah menduga sejak semula. Bahkan sudah mengerahkan hawa murni untuk menolak ilmu pemikat yang disebarkan Nini Ratih. Pelahan-lahan rasa pening di kepalanya mulai sirna begitu hawa panas mulai menjalar di seluruh tubuhnya. Bayu pun segera menutup jalan darahnya untuk menolak pengaruh segala macam ilmu yang tidak bisa diduga sebelumnya.
Nini Ratih tersenyum kecut. Dia tahu kalau ilmu pemikat yang disebarkannya tidak berpengaruh sama sekali pada Bayu. Memang ilmu itu hanya ditujukan kepada Pendekar Pulau Neraka. Jadi meskipun Ki Kabul mencium bau harum, tapi tidak terpengaruh dengan ilmu itu.
Nini Ratih mencoba dengan cara lain. Dipandangi terus bola mata Bayu. Pelahan-lahan, namun pasti, bola mata wanita itu memancarkan cahaya terang bagai bintang. Bayu sempat terpana juga, tapi hawa murni yang sudah menutup seluruh syarafnya cepat menyentak memberi peringatan. Pendekar Pulau Neraka itu memejamkan matanya sebentar, dan begitu membuka matanya....
"Yaaa...!" Sambil berteriak keras, Bayu mendorong tangannya ke depan seraya mengerahkan tenaga dalam dengan kekuatan penuh. Angin dorongannya sungguh luar biasa. Nini Ratih tersentak kaget, dan sebelum sempat disadari, tubuhnya sudah terpental keluar dari rumah Ki Kabul itu.
"Keparat...!" geram Nini Ratih.
Wanita siluman itu langsung melesat cepat menerobos masuk ke dalam. Gerakannya cepat luar biasa, sehingga Bayu tidak sempat lagi berkelit. Tangan ki rinya langsung menyambar tangan Ki Kabul, dan melemparkannya ke samping. Dan dengan cepat tangan kanannya mendorong ke depan ke arah dada Pendekar Pulau Neraka. Bayu pun berusaha menahan dengan kedua tangannya.
Ledakan keras pun menggelegar begitu kedua tangan mereka bertemu. Ledakan itu sempat membuat rumah tua itu bergetar hebat. Bahkan beberapa kayu berjatuhan. Tubuh Pendekar Pulau Neraka tersentak ke belakang, dan melayang deras membentur dinding papan hingga jebol. Sedangkan bagi Nini Ratih tidak kalah hebatnya. Tubuhnya kembali terlontar keluar dan bergulingan di tanah beberapa kali.
"Hup!" Bayu segera bangkit berdiri. Sebentar digerakkan tangannya di depan dada, kemudian melesat keluar dengan cepat. Namun dia sempat memberi bisikan halus ke telinga Ki Kabul dengan menggunakan ilmu 'Bisikan Jarak Jauh'.
"Cepat tinggalkan tempat ini!"
Secepat tubuh Pendekar Pulau Neraka melesat keluar, secepat itu pula Ki Kabul berlari meninggalkan rumahnya. Tapi sempat pula dia berhenti di ambang pintu, dan berlindung di situ melihat Pendekar Pulau Neraka sudah berdiri berhadapan dengan Nini Ratih. Sebentar Ki Kabul memandang sekitarnya, kemudian berbalik dan berlari melalui pintu belakang. Ternyata laki-laki tua itu bukannya meninggalkan tempat ini, tapi malah berputar dan kembali berlindung di balik tumpukan kayu bakar. Dari tempat itu, ia bisa melihat dengan jelas dua orang yang saling berdiri tegak berhadapan.
"Kau hebat, Bocah Bagus, sehingga mampu menahan seranganku," kata Nini Ratih memuji.
"Aku pun bisa membunuhmu, Nini Ratih!" sambut Bayu dingin.
"Hik! Kau terlalu besar kepala, Bocah Bagus."
"Kau hanya punya dua pilihan! Mati, atau enyah dari sini selamanya!" tegas kata-kata Bayu.
"Ha ha ha...!" Nini Ratih tertawa terbahak-bahak mendengar ancaman Pendekar Pulau Neraka itu.
Sementara itu, murid-murid Padepokan Malapat yang tengah meronda, telah mulai berdatangan setelah mendengar ribut-ribut di depan rumah Ki Kabul. Tampak Ki Kampar dan Ki Pancur berlarian menghampiri. Nini Ratih mendengus kesal melihat orang-orang berdatangan membawa obor dan senjata.
"Huh! Nyamuk-nyamuk bodoh! Bisanya hanya mengganggu saja!" dengus Nini Ratih kesal. Setelah berkata demikian, Nini Ratih cepat melesat pergi. Bayu berusaha mengejar, tapi bayangan wanita itu sangat cepat menghilang. Pendekar Pulau Neraka itu mengurungkan niatnya.
"Urusan kita belum selesai, Bocah Bagus!" terdengar suara Nini Ratih. Bayu hanya mendengus sambil menghembuskan napasnya dengan kencang. Sementara itu orang-orang Padepokan Malapat sudah berdatangan. Ki Kabul juga keluar dari persembunyiannya. Ki Kampar dan Ki Pancur menghampiri Bayu yang kini sudah didampingi Ki Kabul.
"Apa yang terjadi?" tanya Ki Pancur.
"Hanya keributan kecil," sahut Bayu.
"Siapa kau, Anak Muda?" tanya Ki Kampar memandang penuh selidik.
"Namaku Bayu Hanggara, aku seorang pengembara yang kebetulan lewat di sini," sahut Bayu.
"Hm, kau sudah membuat kerusuhan di desa ini, Anak Muda," kata Ki Kampar dingin. "Kau harus ikut aku."
"Tunggu!" sentak Ki Kabul.
"Tenang, Ki. Ini urusanku," kata Bayu menenangkan laki-laki tua itu.
"Tidak! Kau datang untuk menyelamatkan nyawaku. Aku yang bertanggung jawab dengan kerusuhan ini!" tegas kata-kata Ki Kabul.
"Ki Kabul, bisa kau jelaskan?" pinta Ki Pancur bijaksana.
"Anak muda ini telah menyelamatkan nyawaku, Ki. Siang tadi aku tidak sengaja telah memasuki daerah terlarang di Puncak Bukit Menjangan. Akibatnya, tadi Nini Ratih datang untuk mencabut nyawaku. Untung saja pemuda ini telah menyelamatkanku dari cengkeramannya," Ki Kabul mencoba menjelaskan singkat.
"Bisa kupercaya kata-katamu, Ki Kabul?" Ki Kampar tidak percaya begitu saja.
"Aku berani sumpah! Tadi Nini Ratih datang, dan sempat bertarung dengan pemuda ini!" agak keras suara Ki Kabul.
"Apa pun alasannya, anak muda ini telah membuat kerusuhan dan mengganggu ketentraman. Dia harus menjelaskan dan mempertanggungjawabkannya," tegas Ki Kampar.
"Ki Kampar! Pemuda ini tidak bersalah! Dan lagi, keadaan desa ini memang tidak tentram!" sentak Ki Kabul gusar.
"Ki Kabul!" bentak Ki Kampar mendelik
"Aku memang orang tua yang miskin! Tapi aku dapat melihat kenyataan yang terjadi di sini, Ki Kampar. Aku tahu, apa yang sedang terjadi dan kau tidak bisa menutupi. Aku tahu semuanya, Ki Kampar!" nada suara Ki Kabul terdengar meninggi.
Wajah Ki Kampar merah seketika. Gerahamnya bergemeletuk menahan berang. Kalau saja Ki Pancur tidak menggamit tangannya, mungkin laki-laki tua ini sudah tersambar pukulannya. Sementara Bayu yang sejak tadi diam saja, mulai merasakan suasana yang makin kisruh dan panas. Pendekar Pulau Neraka itu maju selangkah.
"Hati panas tidak akan dapat menyelesaikan persoalan. Sebaiknya kita bicarakan dengan kepala dingin dan menahan emosi," kata Bayu tenang.
"Anak muda, kau seorang pendatang! Kau telah membuat kerusuhan di sini. Kuminta kau tidak mengeruhkan suasana!" bentak Ki Kampar.
"Heh! Ternyata desa ini benar-benar sudah jadi neraka!" dengus Bayu bergumam. Hatinya jadi gusar dengan sikap Ki Kampar.
"Jaga mulutmu, Anak Muda!" bentak Ki Kampar berang.
"Kampar...," Ki Pancur mencoba meredakan amarah adiknya.
"Kau diam saja, Kakang. Bocah setan ini harus diberi pelajaran, biar tahu adat sopan santun pada orang tua!" sentak Ki Kampar tidak bisa mengendalikan amarahnya.
Setelah berkata demikian, Ki Kampar segera melompat sambil mengirimkan sebuah pukulan keras ke arah dada. Serangan yang mendadak dan cepat itu, membuat Bayu sedikit terperangah. Namun dengan satu gerakan mengegos yang manis, serangan itu bisa dielakkan. Bahkan tanpa diduga sama sekali, tangan kirinya menyodok cepat.
"Hugh!" Ki Kampar mengeluh pendek.
Tubuh laki-laki setengah baya itu agak terbungkuk ketika sodokan tangan kiri Bayu mendarat telak di perutnya. Belum lagi bisa menyadari, tangan Bayu sudah mendorong pundaknya sehingga Ki Kampar terdorong beberapa langkah ke belakang. Wajah laki-laki setengah baya itu kian merah padam. Hatinya semakin berang dan malu karena berhasil dicundangi seorang pemuda di depan murid-muridnya.
"Kampar! Tahan!" seru Ki Pancur berusaha melerai.
Tapi Ki Kampar sudah tidak bisa lagi menahan amarahnya. Sambil menggeram dahsyat, kembali melompat menerjang dengan jurus-jurus pendeknya yang cepat dan dahsyat. Bayu berlompatan menghindari serangan-serangan yang cepat itu. Tubuhnya meliuk liuk bagai seekor belut. Sama sekali Ki Kampar tidak memberi kesempatan terhadap Pendekar Pulau Neraka untuk balas menyerang.
Sementara Ki Pancur tidak bisa lagi mencegah. Sedangkan Ki Kabul hanya bisa menyaksikan dengan wajah memerah. Sikap Ki Kampar benar-benar memuakkan hatinya. Tapi dia tidak bisa berbuat banyak. Dia tahu siapa Ki Kampar, seorang ketua padepokan yang memiliki tingkat kepandaian cukup tinggi.
Pertarungan terus berlangsung sengit. Jurus demi jurus dilalui dengan cepat. Bahkan Ki Kampar sudah mencabut senjatanya yang berupa golok bermata besar. Pada satu sisi terdapat gerigi yang siap mengancam lawan. Dengan senjata ditangan, serangan-serangan Ki Kampar semakin berbahaya. Namun sampai sejauh ini, Bayu masih bisa menandingi, meskipun sedikit sekali kesempatan untuk balas menyerang.
"Hiya! Yaaah...!"
"Hup! Hup...!"
Bayu melentingkan tubuhnya ke udara ketika golok Ki Kampar menebas ke arah kakinya. Kesempatan ini dimanfaatkan Bayu untuk mengambil jarak. Namun begitu kakinya mendarat, Ki Kampar cepat menyerang dengan menyodokkan ujung goloknya ke arah perut. Pada saat itu, Bayu tidak punya kesempatan lagi untuk menghindar. Tidak ada pilihan lain lagi. Dengan cepat tangan kanannya menyampok golok laki-laki setengah baya itu.
Trang!
Bunga api berpijar ketika pergelangan tangan Bayu membentur golok Ki Kampar. Seketika itu juga Ki Kampar melompat mundur dengan bibir meringis. Hampir tidak dipercaya kalau seluruh persendian lengannya bergetar nyeri. Pada saat yang sama, Bayu juga merasakan panas pada pergelangan tangannya. Tingkat tenaga dalam mereka hampir berimbang. Tapi memang, Bayu tidak mengerahkan sepenuhnya.
"Setan! Kubunuh kau!" geram Ki Kampar begitu melihat goloknya gompal.
Kemarahan yang meluap-luap, tidak membuat Ki Kampar bisa berpikir lebih tenang. Kembali diserangnya lawan dengan ganas. Goloknya berkelebatan mengurung tubuh Pendekar Pulau Neraka. Pertarungan kembali berlangsung semakin sengit. Dan kelihatannya Ki Kampar benar-benar ingin menghabisi nyawa lawannya.
Sedangkan Bayu terlihat hanya menghindar dan sesekali memberi serangan balasan. Hanya saja setiap arah pukulan maupun tendangannya tidak terarah pada bagian yang mematikan. Hal itu tentu saja sangat disadari Ki Kampar. Akibatnya dia bertambah berang. Dia menganggap Bayu hanya main-main dan ingin mempermalukan dirinya di depan murid-muridnya.
"Mampus kau! Hiyaaa...!"
"Uts!"
Bayu merundukkan kepalanya sedikit ketika golok Ki Kampar menebas ke arah kepalanya. Tebasannya begitu cepat dan tiba-tiba, disertai pengerahan tenaga dalam penuh. Bayu merasakan angin tebasan itu demikian dahsyat, ketika lewat di atas kepalanya. Dengan cepat, Bayu menarik kakinya ke belakang. Dengan tubuh setengah membungkuk miring, dikibas kan tangan kanannya ke arah golok Ki Kampar yang sudah berada diudara kembali.
Secercah cahaya keperakan melesat cepat dari pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka. Maka Cakra Maut pun melesat cepat bagai kilat Begitu cepatnya, sehingga Ki Kampar tidak sempat menarik kembali goloknya.
Trang!
"Akh!" Ki Kampar memekik tertahan. Laki-laki tua itu tidak bisa lagi mempertahankan goloknya yang kini terpental cukup jauh. Saat itu juga Ki Kampar menarik dan memegangi tangannya dengan bibir meringis. Jari-jari tangannya terasa kaku, dan tulang-tulangnya nyeri.
"Hap!" Bayu mengangkat tangannya ke atas kepala. Cakra Maut pun menempel kembali di pergelangan tangan. Pendekar Pulau Neraka itu berdiri tegak dengan tangan terlipat di depan dada. Sementara Ki Kampar mengurut-urut tangan kanannya sendiri. Bibirnya masih meringis menahan nyeri pada persendian tulang tangan kanannya. Akibat benturan keras dua senjata tadi, tangan kanan Ki Kampar seperti lumpuh, dan tidak bisa digerakkan lagi.
"Bagaimana Ki Kampar, akan dilanjutkan lagi pertarungan ini?" tantang Bayu.
"Kali ini kau boleh bangga, Anak Muda!" dengus Ki Kampar. Setelah selesai kata-katanya, Ki Kampar langsung berbalik. Dia menerima goloknya yang diberikan muridnya. Tanpa berucap lagi, laki-laki setengah baya itu melangkah pergi. Sementara Ki Pancur tampak kebingungan.
"Maafkan kekasaran adikku, Kisanak," kata Ki Pancur agak terbata-bata.
"Lupakan saja," sahut Bayu tersenyum. Ki Pancur bergegas menyusul Ki Kampar yang sudah lebih dahulu pergi. Sedangkan Bayu mengajak Ki Kabul kembali masuk ke dalam rumahnya. Sementara murid-murid Padepokan Malapat segera kembali menjalankan tugasnya masing-masing.
Ki Pancur setengah berlari mengejar adiknya. Disejajarkan langkahnya di samping Ki Kampar. Mereka melangkah cepat tanpa bicara sedikit pun. Tapi tiba-tiba Ki Kampar berhenti melangkah, dan langsung berbalik. Matanya lurus menatap rumah Ki Kabul yang sudah jauh ditinggalkan.
"Kau keterlaluan, Kampar!" dengus Ki Pancur tidak senang dengan sikap kasar adiknya tadi.
Ki Kampar hanya mendengus dan tersenyum tipis.
"Aku tidak mengerti, kenapa kau jadi brutal dan kasar begitu? Mereka benar. Aku sendiri sempat melihat Nini Ratih, sebelum melesat pergi. Dan aku yakin, murid-muridmu juga sempat melihat wanita itu!" kata Ki Pancur lagi.
"Memang, aku juga sempat melihatnya," sahut Ki Kampar.
"Lantas, kenapa kau berlaku sekasar itu tadi," tanya Ki Pancur terkejut mendengar kata-kata adiknya.
"Sengaja."
"Sengaja...?!" Ki Pancur jadi tidak mengerti.
"Ya! Aku memang sengaja memancing kemarahannya," tenang sekali jawaban Ki Kampar.
"Kau gila, Kampar!"
"Aku tahu siapa anak muda itu. Dia Pendekar Pulau Neraka yang sangat tersohor! Aku sengaja memancing kemarahannya agar bisa menguji kemampuannya dalam ilmu olah kanuragan. Aku pun tahu kalau dia tadi hanya setengah-setengah melayaniku."
"Aku tidak mengerti maksudmu, Kampar...?" Ki Pancur makin kebingungan.
"Kakang! Saat ini kita sedang menghadapi bahaya besar. Tidak mudah untuk melawan Nini Ratih. Apalagi sampai saat ini kita belum bisa menemukan batu Mustika Dewi Pelangi. Aku sendiri tidak tahu, kenapa tiba-tiba terlintas satu rencana di kepalaku begitu melihat Pendekar Pulau Neraka," Ki Kampar mencoba menjelaskan.
Ki Pancur diam saja, tapi berusaha untuk bisa mengerti.
"Aku sering mendengar sepak terjang Pendekar Pulau Neraka. Pada masa ini, tingkat kepandaiannya belum ada yang menandingi. Dan saat itulah, kesempatan baik untuk mengujinya. Sebab, tidak mungkin bertarung tanpa alasan yang pasti, makanya kucoba untuk memancing kemarahannya, agar bisa bertarung sekaligus menguji kemampuannya."
"Lantas, apa pendapatmu?" tanya Ki Pancur mulai bisa mengerti.
"Dia memang seorang pendekar digdaya yang sukar dicari tandingannya," sahut Ki Kampar.
"Hm. Lalu, apa rencanamu?"
"Akan kugiringkan dia untuk melawan Nini Ratih.,"
"Kau gila, Kampar!" sentak Ki Pancur terkejut.
"Hanya itu jalan satu-satunya untuk bisa terlepas dari cengkeraman Nini Ratih, Kakang."
"Tapi, resikonya terlalu besar, Kampar. Nini Ratih tidak akan mati tanpa batu Mustika Dewi Pelangi! Sedangkan sampai saat ini tidak ada yang tahu, di mana inti batu mustika itu. Hanya dengan batu itu dia bisa dikalahkan."
"Aku tahu! Tapi, apa salahnya kalau kita berusaha? Pendekar Pulau Neraka sangat tangguh. Aku yakin, dia akan mampu menandingi Nini Ratih."
"Rencanamu sangat berbahaya, Kampar. Itu sama saja kau mengorbankan Pendekar Pulau Neraka."
"Kita lihat saja nanti, Kakang. Sekarang ini, jangan sampai ada orang tahu tentang rencana ini."
"Terserah kau sajalah! Yang jelas, aku tidak suka terlibat dengan rencana gilamu itu!" sahut Ki Pancur.
"Kau memang selalu tidak mau tahu, Kakang!" dengus Ki Kampar sengit.
"Selama ini kau yang mengatur Desa Malapat. Menjadi kepala desa pun juga bukan kemauanku! Kaulah yang mendesak dan mengaturnya. Segalanya kuserahkan padamu, Kampar. Aku tidak mau tahu lagi dengan masa depan desa ini. Yang jelas, kalau rencanamu gagal, akan segera kutinggalkan desa ini!" kata Ki Pancur.
"Huh! Kau selalu mementingkan dirimu sendiri, Kakang "
"Keselamatanku lebih penting, Kampar."
"Kau memang selalu mementingkan keselamatan dirimu sendiri, tapi kau langgar semua pesan guru. Kalau saja kau tidak melakukan kesalahan, kejadian ini tidak akan pernah terulang lagi!"
"Aku tidak tahu! Aku tidak mampu membunuh Nini Ratih!"
"Huh!" Ki Kampar hanya mendengus saja.
Sementara Ki Pancur sudah kembali melangkah cepat. Dia memang paling tidak suka jika berdebat tentang Nini Ratih. Apalagi mengungkit-ungkit masa lalu. Bagaimanapun juga, dia masih mencintai wanita itu. Padahal, sudah jelas Nini Ratih adalah wanita siluman yang sangat kejam. Cintanya memang tidak akan pernah luntur sampai kematian datang menjemputnya nanti.
* * * * *
Sementara itu, di Puncak Bukit Menjangan, Prawata masih tetap terbaring tanpa daya di atas ranjang besar dan indah. Sudah beberapa hari ini dia menjadi tawanan Nini Ratih tanpa mampu berbuat apa-apa. Tubuhnya sudah tidak lagi terlihat tegap. Wajahnya pun pucat tanpa semangat hidup.
Prawata hanya melirik saja ketika Nini Ratih datang menghampiri. Wanita cantik itu langsung naik ke atas pembaringan. Dipandanginya lekat-lekat wajah Prawata yang sudah tanpa gairah lagi. Nini Ratih menggerak-gerakkan ujung jarinya ke beberapa bagian tubuh pemuda itu. Sebentar saja, Prawata merasakan tubuhnya dapat digerakkan lagi. Tapi dia segera beringsut menjauh.
Pemuda itu berusaha bangkit, tapi tubuhnya terasa lemah. Dia hanya mampu duduk lesu. Entah sudah berapa hari ini perutnya tidak terisi makanan. Sedangkan setiap saat harus melayani keinginan wanita itu. Seluruh daya yang dimilikinya benar-benar terkuras habis. Sudah beberapa kali Prawata terpaksa melayani dalam kesadaran penuh. Nini Ratih tidak lagi menggunakan pengaruhnya untuk memenuhi hasratnya terhadap pemuda itu.
"Aku lemas, Nini...," kata Prawata pelan ketika Nini Ratih memeluk dan menciuminya.
"He! Apa kau bilang?" sentak Nini Ratih seraya mencampakkan pemuda itu.
Prawata langsung jatuh terjerembab. Tubuhnya benar-benar lemas tak bertenaga lagi. Untuk bangkit saja, sudah tidak punya tenaga, apalagi harus melayani wanita iblis ini? Prawata sudah pasrah seandainya harus mati sekarang juga.
"Kau benar-benar mengecewakan, Prawata! dengus Nini Ratih kesal.
Prawata hanya diam saja.
"Kau harus melayaniku, Prawata. Harus...!"
Nini Ratih tidak peduli dengan keadaan Prawata. Dia menubruk dan memeluknya. Dengan liar diciumi pemuda itu. Tapi, Prawata benar-benar tidak berdaya lagi. Menggeliat saja tidak mampu. Pemuda itu hanya dapat mengerang lirih.
Sedangkan Nini Ratih bagaikan seekor singa betina lapar yang baru menemukan daging domba. Tapi mendadak kebuasannya terhenti. Dipandanginya wajah Prawata yang pucat lesu. Lalu matanya juga merayap ke seluruh tubuh pemuda itu. Nini Ratih menggerinjang bangkit. Kembali dikenakan pakaiannya yang sudah terlepas.
"Huh! Kau benar-benar tidak ada gunanya lagi, Bocah!" dengus Nini Ratih kecewa.
"Kenapa tidak kau bunuh saja aku?" tantang Prawata putus asa.
"Kau memang harus mati!"
Prawata mengeluh lirih.
"Kau harus mati, Bocah! Sudah ada penggantimu. Lebih tampan, lebih gagah, dan lebih perkasa! Tidak loyo sepertimu!"
Prawata diam saja. Hatinya terasa perih. Dia berharap pemuda itu tidak akan bernasib sama dengan dirinya. Sungguh tersiksa berada dalam kungkungan wanita ini.
"Saat ini aku memang belum mendapatkannya, tapi aku pasti akan memilikinya. Dan kau..., kau tidak berguna lagi, Bocah!"
Setelah berkata begitu, Nini Ratih mengibaskan tangannya dengan cepat. Prawata langsung memejamkan matanya. Pemuda itu tidak bersuara sedikit pun. Hingga lehernya terpenggal, tetap tidak terdengar suaranya. Darah mengucur deras dari leher yang buntung. Nini Ratih mendekati dan membungkuk. Kemudian dihirupnya darah itu dengan lahap! Tidak berapa lama, darah di tubuh Prawata sudah kering terhisap wanita siluman itu. Nini Ratih tersenyum puas. Wajahnya kelihatan segar kembali. Sejenak dipandangi kepala Prawata yang sudah buntung, lalu tawanya meledak terbahak-bahak.
"Ha ha ha...!"
* * * * *
--««¦ [ TUJUH ] ¦»»--
Kematian Prawata membuat Ki Pancur terguncang hebat. Putra satu-satunya itu sangat dicintainya. Ketika kabar tentang kepergian Prawata ke Bukit Menjangan sampai di telinganya,.sama sekali tidak dipercayai. Tapi kematian Prawata, membuatnya seperti gila. Ki Pancur merasa hidupnya tidak ada gunanya lagi. Semua harapannya kini sirna.
Ki Pancur bergegas menyiapkan kuda setelah upacara penguburan Prawata selesai. Tanpa disadari, semua yang dilakukannya selalu diperhatikan adiknya. Ki Kampar menahan pundak kepala desa itu ketika baru saja akan naik ke punggung kuda. Ki Pancur menoleh dan berbalik.
"Akan ke mana kau?" tanya Ki Kampar.
"Ke Bukit Menjangan," sahut Ki Pancur datar.
"Mau apa ke sana?" Ki Kampar terkejut.
"Perempuan itu harus membayar nyawa anakku!"
"Gila! Itu sama saja bunuh diri!" sentak Ki Kampar.
"Hidup pun tidak ada gunanya."
"Pikirkan dulu, Kakang! Nini Ratih bukan manusia! Kau sulit untuk menandinginya. Kau tidak lagi memiliki kekuatan untuk menghadapinya, dan akan mati sia-sia, Kakang," Ki Kampar berusaha mencegah.
"Jangan menghalangiku, Kampar."
"Sadar, Kakang. Prawata bukan satu-satunya korban, karena sudah banyak korban sebelumnya. Jangan makin mengeruhkan suasana yang sudah keruh ini, Kakang."
"Dengar, Kampar! Prawata itu anakku satu-satunya, dan aku sangat mencintainya! Aku tidak rela dia mati dengan cara seperti itu. Aku akan membalas kematiannya! Harus...!"
"Jangan bodoh, Kakang. Ingat rencana kita sudah mulai jalan. Jangan membuat kacau semua yang sudah kita rencanakan," Ki Kampar mengingatkan.
"Bukan rencana kita, tapi rencanamu!"
"Kakang...."
"Sudahlah, Kampar. Aku tidak suka lagi mendengar semua nasehatmu. Selama ini aku memang selalu bersikap mengalah, karena aku menyayangimu. Itu pun hanya sekedar menjalankan amanat terakhir mendiang Ibu. Rasanya sudah cukup aku menurutimu, Kampar. Aku sudah lelah jadi bonekamu! Biarkan aku menentukan jalan hidupku sendiri, Kampar. Jalan menuju kematianku!"
Ki Kampar terdiam. Selama ini dia memang selalu mencampuri kehidupan kakaknya. Bahkan semua yang dilakukan kakaknya dia yang mengatur. Dia tapi justru sama sekali tidak tahu kalau sikap mengalah kakaknya itu karena amanat terakhir mendiang ibu. Ki Kampar tidak bisa lagi mencegah ketika Ki Pancur naik ke punggung kudanya. Bahkan dia masih tetap diam walaupun kakaknya itu sudah menggebah kudanya dengan cepat. Ki Kampar masih berdiri terpaku memandangi kepergian kepala desa itu.
"Maafkan aku, Kakang...," desah Ki Kampar lirih.
* * * * *
Kuda berwarna coklat kehitaman berlari cepat bagaikan terbang saja. Debu mengepul membumbung tinggi ke angkasa. Kuda itu meringkik keras setiap kali digebah agar berlari lebih cepat lagi. Kecepatan larinya tidak berkurang, meskipun sudah memasuki hutan di Lereng Bukit Menjangan.
"Hiya...! Hiya...!"
Tiba-tiba kuda coklat kehitaman itu berhenti, lalu meringkik keras sambil mengangkat kaki depannya. Kuda itu terus bertingkah laku demikian. Ki Pancur jadi kewalahan juga. Dia melompat turun sebelum kuda itu melemparkannya. Sulit dimengerti, kenapa tiba-tiba kuda itu tidak bisa dikendalikan. Merasa bebannya sudah tidak ada, kuda itu berbalik dan langsung berlari cepat menuruni lereng bukit itu.
"Hey, kembali...!" teriak Ki Pancur.
Namun kuda coklat kehitaman itu sudah jauh meninggalkannya. Ki Pancur tidak mengejar. Dia hanya berdiri memandangi sebentar, lalu membalikkan tubuhnya memandang ke arah Puncak Bukit Menjangan. Hatinya agak heran juga, karena kudanya jadi tak terkendali begitu sampai di pertengahan lereng bukit ini.
"Hm, naluri kuda lebih kuat dari manusia...," gumam Ki Pancur pelan.
Sikap kudanya itu membuat Ki Pancur sadar kalau ada bahaya sedang mengintainya. Sikapnya langsung waspada. Dipasang telinganya tajam-tajam. Matanya beredar ke sekeliling. Keadaan Lereng Bukit Menjangan ini kelihatan sepi. Bahkan seekor binatang pun tidak terlihat. Suaranya pun tidak terdengar sama sekali.
"Hm...," lagi-lagi Ki Pancur bergumam pelan.
Keadaan di sekitarnya sungguh mengherankan, tapi membuatnya lebih waspada. Pelahan-Iahan kakinya terayun melangkah. Bola matanya tidak pernah berkedip mengamati sekelilingnya. Laki-laki setengah baya itu terus melangkah semakin jauh memasuki hutan di Lereng Bukit Menjangan itu.
"Keadaannya sama seperti tiga puluh tahun yang lalu...," lagi-lagi Ki Pancur bergumam. "Aku harus cepat sampai!"
Seketika itu juga dia melesat cepat menggunakan ilmu meringankan tubuh. Gerakannya sangat ringan, berkelebat dari pohon yang satu ke pohon lainnya. Begitu cepatnya, sehingga yang terlihat hanya bayangannya saja. Ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Ki Pancur memang hebat, sehingga dalam waktu tidak berapa lama saja telah tiba di Puncak Bukit Menjangan. Laki-laki setengah baya itu tertegun sesaat di puncak bukit itu. Hatinya sedikit terkesiap menyaksikan pemandangan di depannya. Sungguh suatu pemandangan yang mengerikan.
Kepala-kepala manusia terpancang berbaris pada tonggak kayu. Di tengah-tengah barisan kepala itu terlihat pecahan batu yang memancarkan cahaya kemilau indah bagai pelangi. Namun cahayanya kelihatan agak redup. Ki Pancur memandangi batu-batu itu. Dia tahu kalau batu-batu itu pecahan dari batu Mustika Dewi Pelangi. Matanya semakin ditajamkam, mencari inti batu Mustika Dewi Pelangi.
"Hhh...! Inti batu Mustika Dewi Pelangi benar-benar hilang. Hm..., batu-batu pecahannya itu mulai meredup cahayanya. Tapi aku tidak yakin kalau Nini Ratih berkurang kekuatannya," gumam Ki Pancur lagi.
Laki-laki setengah baya itu kembali mengedarkan pandangannya. Hatinya kembali terkesiap saat melihat kepala Prawata terpancang diantara kepala-kepala lainnya. Tapi Ki Pancur bertahan untuk tidak gegabah. Meskipun hatinya menjerit, dia berusaha tabah dan tegar. Dia tahu kalau daerah di sekitar kepala-kepala yang terpancang itu sangat berbahaya. Tidak sembarang orang bisa memasukinya tanpa seijin Nini Ratih. Kepala-kepala itu merupakan penjaga yang sangat berbahaya dan dapat membunuh siapa saja yang coba-coba melewatinya.
Ki Pancur melangkah mundur tiga tindak ketika kepala-kepala itu mulai bergerak-gerak. Semakin lama gerakannya semakin terlihat jelas. Kepala itu bergoyang-goyang, menggeleng ke kanan dan ke kiri. Semakin lama, tonggak-tonggak kayu yang memancangnya ikut bergoyang. Kayu-kayu itu bagaikan sebuah per baja bergerak ke kiri dan ke kanan mengikuti gerakan kepala yang terpancang pada ujungnya itu.
"Hugh!" Ki Pancur mengeluh begitu hidungnya mencium bau busuk yang memualkan.
"Hi hi hi...!" tiba-tiba terdengar suara tawa mengikik.
"Ha...!" Ki Pancur kembali melompat mundur beberapa langkah.
Laki-laki setengah baya itu terbeliak saat melihat seorang wanita cantik tahu-tahu sudah berdiri di atas pecahan batu bercahaya bagai pelangi itu. Sementara kepala-kepala yang terpancang itu terus bergoyang-goyang.
"Akhirnya kau datang juga, Kakang Pancur...," lembut suara wanita cantik itu.
"Aku datang untuk membunuhmu, Nini Ratih!" kata Ki Pancur lantang.
"Ha ha ha...!" Nini Ratih tertawa terbahak-bahak. Begitu suaranya hilang dari pendengaran, mendadak saja tubuhnya melesat cepat bagaikan kilat. Dalam sekejap mata saja, dia sudah berdiri tidak jauh di depan Ki Pancur.
Hal ini membuat Ki Pancur terperangah. Jantungnya seperti akan copot. Sungguh tidak disadari kalau Nini Ratih bisa melesat begitu cepat dan sulit diikuti pandangan matanya.
"Lama kita tidak bertemu, Kakang Pancur. Rasanya aku sudah rindu padamu," kata Nini Ratih lembut.
"Simpan saja kerinduanmu, Nini Ratih! Bukan waktunya lagi kita melepas rindu. Aku datang untuk membunuhmu!" suara Ki Pancur masih terdengar ketus.
"Oh...! Rupanya kau ingin mengulangi peristiwa tiga puluh tahun lalu...?"
"Lebih dari itu!"
"Sungguh menyesal sekali! Kau datang hanya mengantarkan nyawa saja, Kakang. Tapi itu lebih bagus. Artinya, kita bisa lebih cepat bersatu dalam cinta," kata Nini Ratih.
"Jangan berharap terlalu muluk, Nini! Aku bukan Pancur yang dulu. Pancur yang kau cintai dan mencintaimu telah mati!"
"Hm...!" Nini Ratih mengerutkan keningnya.
"Sekarang akulah Pancur yang akan membunuhmu. Pancur yang menjadi lawanmu!" Setelah berkata demikian, Ki Pancur cepat mencabut senjatanya, berupa pedang panjang berwarna putih kemerah-merahan.
Melihat senjata di tangan laki-laki setengah baya itu, Nini Ratih hanya tersenyum. Dan Ki Pancur memang sadar betul kalau bukan tandingan Nini Ratih lagi. Tapi semuanya sudah dipikirkan masak-masak. Dia harus membalas kematian anaknya, dengan pengorbanan nyawanya sendiri!
"Hup! Hiyaaa...!" Ki pancur berteriak keras sambil melompat menerjang.
"Uts!"
Nini Ratih memiringkan tubuhnya sedikit ke kiri, menghindari sodokan pedang Ki Pancur. Dan pada saat yang sama, tangan kanannya mendorong ke depan. Ki Pancur segera menarik kembali pedangnya pulang sambil menggeser kakinya ke kiri. Dan dengan cepat diputar pedangnya membabat tangan wanita cantik itu.
"Ikh!" Nini Ratih memekik tertahan. Buru- buru tangannya ditarik kembali, sehingga tebasan pedang Ki Pancur mengenai angin. Wanita cantik itu cepat melentingkan tubuh ke atas sebelum Ki Pancur dapat menarik kembali pedangnya. Pada saat itu, Nini Ratih melontarkan satu tendangan keras ke arah kepala.
"Hap! Yaaa...!" Cepat sekali Ki Pancur mendoyongkan tubuhnya ke belakang sambil membabatkan pedangnya ke atas.
Tentu saja Nini Ratih jadi terkesiap. Buru-buru diputar tubuhnya. Segera tubuhnya itu meluruk ke bawah setelah pedang laki-laki setengah baya itu lewat. Begitu kakinya menjejak tanah, dengan cepat Nini Ratih melontarkan pukulan keras ke arah dada lawannya. Ki Pancur yang tubuhnya masih dalam keadaan doyong ke belakang, tidak mungkin lagi berkelit. Dengan telak pukulan Nini Ratih bersarang di dadanya.
"Akh!" Ki Pancur memekik tertahan. Tubuh laki-laki setengah baya itu terpental ke belakang, dan dengan keras membentur pohon. Namun dia segera melompat dan menyerang ganas kembali. Meskipun dadanya terasa sesak, Ki Pancur tidak pe duli, dan terus menyerang semakin dahsyat. Sementara Nini Ratih berkelit dan berlompatan menghindar sambil balas menyerang.
Jurus demi jurus terlampaui dengan cepat. Tidak terasa, Ki Pancur sudah menghabiskan hampir semua jurus yang dimilikinya. Namun sampai sejauh itu, Nini Ratih masih mampu bertahan, bahkan terlalu alot untuk dikalahkan. Ki Pancur mulai ciut hatinya. Apalagi setelah mengerahkan jurus terakhir, tapi tidak menghasilkan apa-apa. Pada saat itu, Nini Ratih sudah mendesaknya dengan pukulan dan tendangan keras yang dahsyat.
Ki Pancur hanya bisa berkelit dan berlompatan menghindar. Sesekali masih bisa dikibaskan pedangnya. Tapi itu pun hanya untuk mengambil napas saja. Tidak terhitung lagi, berapa pukulan dan tendangan telah bersarang di tubuh kepala desa itu. Namun kelihatannya dia masih berusaha bertahan sekuat tenaga.
"Hiyaaa...!" tiba-tiba Nini Ratih berteriak keras. Seketika itu juga tubuhnya melompat tinggi ke udara, lalu dengan cepat meluruk ke bawah dengan jari-jari tangan mengembang kaku.
Ki Pancur terkesiap sesaat Namun sebelum bisa berbuat sesuatu, jari-jari tangan Nini Ratih sudah mencengkeram kepalanya.
"Aaa....!" Ki Pancur menjerit keras. Kepalanya terasa panas luar biasa, disusul oleh suara tulang-tulang pecah yang bergemeletak. Nini Ratih berada tepat di atas kepala Ki Pancur. Tangannya mencengkeram kuat kepala laki-laki setengah baya itu. Darah mulai merembes membanjiri tubuh laki-laki malang itu.
"Yahhh...!" Sambil berteriak keras, Nini Ratih memutar tubuhnya, sedangkan kakinya terayun mendupak keras punggung Ki Pancur.
"Aaa....!" kembali Ki Pancur menjerit keras menyayat.
Jeritannya pun lenyap bersama dengan lehernya yang putus. Tubuh kepala desa itu ambruk ke tanah dan menggelepar-gelepar. Sedangkan kepalanya berada di dalam cengkeraman tangan Nini Ratih. Hanya sebentar tubuh Ki Pancur menggelepar, kemudian diam tidak bergerak lagi. Darah terus mengucur deras dari lehernya yang buntung. Sesaat Nini Ratih tertawa terbahak-bahak memandangi tubuh tanpa kepala itu.
Tak ada yang menyaksikan kejadian itu. Seperti biasanya, Nini Ratih selalu menghirup darah korbannya, dan memancangkan kepalanya pada tonggak kayu. Kemudian dilemparkan tubuh korbannya ke arah Desa Malapat. Begitu pula yang dilakukannya terhadap Ki Pancur. Wanita cantik haus darah itu kembali tertawa terbahak-bahak setelah darah laki-laki setengah baya itu berpindah ke dalam tubuhnya.
"Hup!"
Hanya dengan satu tendangan saja, tubuh Ki Pancur yang sudah tidak berkepala itu melayang tinggi ke angkasa. Nini Ratih memandanginya sambil tertawa mengikik. Tangan kirinya masih mencengkeram kepala Ki Pancur. Kemudian wanita itu berbalik dan memancangkan kepala laki-laki setengah baya itu pada sebuah tonggak kayu di samping kepala Prawata.
"Hm...," Nini Ratih bergumam pelan. Sebentar dipandangi kepala korbannya yang baru, kemudian kakinya terayun pelan. Namun baru beberapa langkah, dia berhenti dan berbalik memandangi kepala yang terpancang hampir memenuhi puncak bukit ini. Bibirnya menyunggingkan senyum, dan kembali melangkah menuruni Lereng Bukit Menjangan itu.
* * * * *
--««¦ [ DELAPAN ] ¦»»--
Saat itu matahari belum lagi naik tinggi. Sinarnya yang lembut hangat menyemburat dari balik awan. Bayu bangkit dari duduknya. Sebentar dia menggeliat-geliat, mencoba menghilangkan rasa pegal dan kejenuhan. Sejak semalam dia duduk disini bersama Ki Kabul, laki-laki tua yang telah diselamatkan nyawanya dari cengkeraman maut Nini Ratih. Sebentar pandangan Bayu terarah ke Puncak Bukit Menjangan, kemudian beralih pada Ki Kabul yang masih duduk bersandar pada pohon tumbang.
"Ke mana tujuanmu sekarang, Ki?" tanya Bayu.
"Entahlah," desah Ki Kabul pelan. "Sekarang ini aku tidak mungkin kembali ke rumah. Nini Ratih pasti mengincarku terus."
"Bukankah anak dan istrimu di kota?"
"Sudah lama aku tidak pernah berkunjung kesana."
"Untuk sementara, sebaiknya kau pergi saja kesana, Ki."
"Justru itu yang kuhindari."
"Kenapa?"
"Nini Ratih pasti tahu, dan ini dapat mencelakakan keluargaku. Perempuan siluman itu pasti akan membantai seluruh keluargaku."
Bayu jadi terdiam. Tidak mungkin mengawasi laki-laki tua ini terus. Sedangkan dia harus ke Puncak Bukit Menjangan untuk menumpas perempuan siluman itu. Seluruh penduduk Desa Malapat jelas akan musnah jika perempuan siluman itu masih hidup dan bebas berkeliaran. Bayu menarik napas panjang Kepalanya berpaling ketika telinganya mendengar derap langkah kaki kuda dari arah kaki bukit. Tampak debu mengepul di udara, menyembul ke luar dari lebatnya pepohonan. Pendekar Pulau Neraka itu melesat ke atas, dan hinggap pada dahan pohon yang tinggi. Matanya langsung diarahkan pada suara kaki kuda itu.
"Hm...," gumam Bayu pelan.
Dalam kepulan debu, terlihat beberapa orang berkuda mendaki Bukit Menjangan ini. Tampak paling depan, Ki Kampar memacu cepat kudanya. Sekitar dua puluh orang mengikutinya dari belakang. Bayu bergegas melompat turun, dan mendarat ringan di depan Ki Kabul yang sudah berdiri memandanginya.
"Ada apa?" tanya Ki Kabul
"Ki Kampar dan orang-orangnya tengah menuju ke sini," sahut Bayu menjelaskan.
"Celaka! Dia pasti akan menangkapmu, Bayu," kata Ki Kabul kontan pucat wajahnya.
"Tenang saja, Ki. Biar kutunggu mereka di sini," kata Bayu tenang.
"Tapi...."
Belum sempat Ki Kabul melanjutkan kata katanya, dari balik pepohonan muncul Ki Kampar dan dua puluh orang muridnya. Laki laki setengah baya itu segera melompat turun dari punggung kudanya. Dua puluh orang muridnya pun ikut melompat turun dari kudanya masing-masing.
Ki Kampar melangkah maju beberapa tindak, dan berhenti di depan Pendekar Pulau Neraka dengan jarak sekitar lima langkah. Sedangkan Bayu menanti dengan sikap tenang. Tangannya melipat di depan dada. Namun tatapan matanya tajam menusuk langsung ke bola mata laki-laki setengah baya itu.
"Kelihatannya kau siap menyabung nyawa, Ki Kampar," kata Bayu kalem. Matanya tetap menatap tajam tidak berkedip.
"Benar," sahut Ki Kampar tegas.
"Dengan orang-orangmu?"
"Ya! Mereka sudah siap bertempur sampai tetes darah yang penghabisan."
"Kalau begitu, tunggu apa lagi?"
Ki Kampar tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Nada suara Bayu terdengar menantang. Tapi begitu melihat Ki Kampar yang tidak lagi garang dan bahkan tersenyum, Bayu jadi mengerutkan keningnya juga. Benar-benar sukar dimengerti sikap laki laki setengah baya itu. Ki Kampar melangkah menghampiri Ki Kabul yang berdiri agak ke belakang sedikit di samping Bayu. Dengan bibir masih menyunggingkan senyum, tangan kiri Ki Kampar menepuk pundak laki-laki tua itu seraya menyodorkan tangan kanannya.
Sikap Ketua Padepokan Malapat itu, membuat Ki Kabul keheranan. Dengan hati masih diliputi perasaan heran dan tidak mengerti, Ki Kabul menerima juga sodoran tangan itu. Mereka berjabatan tangan. Namun raut wajah Ki Kabul masih diliputi perasaan tidak mengerti. Sedangkan Ki Kampar menepuk-nepuk pundaknya beberapa kali dengan bibir tetap tersungging senyuman.
"Maafkan atas kekasaranku kemarin malam," kata Ki Kampar bernada menyesal.
"Ada apa ini?" Ki Kabul keheranan setengah mati.
Ki Kampar tidak menjawab, tapi malah berbalik dan langsung melompat ke punggung kudanya. Dua puluh orang muridnya juga segera naik ke kudanya masing-masing.
"Sebaiknya kau tinggalkan saja desa ini, Anak Muda. Jangan membuang nyawa sia-sia di sini," saran Ki Kampar kepada Bayu.
Setelah berkata demikian, Ki Kampar menggebah kudanya dengan cepat. Dua puluh orang muridnya juga segera menggebah kudanya mengikuti. Sementara Bayu masih memandangi dengan kepala dipenuhi berbagai macam pertanyaan akan sikap aneh Ki Kampar itu. Keningnya semakin berkerut, karena Ki Kampar dan murid-muridnya terus mendaki Bukit Menjangan.
"Cepat kembali ke desa, Ki. Beri tahu semua orang agar cepat mencari perlindungan. Kalau perlu segera tinggalkan desa itu!" seru Bayu keras.
Pendekar Pulau Neraka itu langsung melesat ke arah perginya Ki Kampar dan murid-muridnya. Sedangkan Ki Kabul terpaku tidak mengerti. Tapi begitu menyadari kalau orang-orang itu menuju ke Puncak Bukit Menjangan, dia langsung berlari sekuat tenaga menuju Desa Malapat.
Bayu berlari cepat menggunakan ilmu meringankan tubuh. Sengaja dilewati Ki Kampar dan dua puluh orang muridnya tanpa diketahui mereka. Pendekar Pulau Neraka itu terus berlari menuju ke Puncak Bukit Menjangan. Ilmu meringankan tubuhnya memang telah mencapai taraf kesempurnaan. Sehingga, dalam waktu tidak berapa lama, dia sudah tiba di Puncak Bukit Menjangan.
"Oh..!" Bayu tersentak kaget begitu menyaksikan pemandangan yang mengiris hati.
Bayu tidak bisa percaya dengan penglihatannya sendiri. Hampir seluruh Puncak Bukit Menjangan dipenuhi kepala manusia yang terpancang tonggak kayu. Bau busuk menyebar memenuhi seluruh udara di puncak bukit ini. Sebagian besar kepala itu sudah rusak membusuk, menyebarkan bau yang tidak sedap dan memualkan perut.
"Benar-benar iblis...!" desis Bayu menggeram. Pendekar Pulau Neraka itu mengepalkan tangannya kuat-kuat begitu melihat kepala Prawata dan ayahnya yang terpancang berdampingan. Perhatiannya kemudian tertumpah pada pecahan-pecahan batu yang memancarkan cahaya bagai pelangi. Tapi cahayanya sudah kelihatan memudar. Bayu meraba sabuk yang membelit pinggangnya. Pecahan batu itu hampir sama dengan batu yang berada di dalam sabuknya. Hanya saja batu yang ada padanya tidak memudar cahayanya, bahkan ukurannya juga lebih kecil.
"Eh!" mendadak Pendekar Pulau Neraka tersentak kaget.
"Ups!" Secepat kilat Bayu melentingkan tubuhnya ke udara ketika secercah cahaya melesat cepat ke arahnya. Cahaya merah Jingga itu meluruk di bawah tubuhnya. Pendekar Pulau Neraka itu menjejak manis di tanah. Tapi belum sempat menarik napas, sebuah bayangan berkelebat cepat menyambarnya.
"Akh!" Bayu memekik terkejut.
Bayangan itu demikian cepat, sehingga dia tidak bisa lagi menghindar. Tubuhnya terpental beberapa tombak ke belakang. Sebatang pohon tua yang besar hancur berkeping-keping, terhantam punggungnya. Bayu bergegas melompat bangkit berdiri. Matanya agak menyipit melihat seorang wanita cantik sudah berdiri di depannya. Bayu memang pernah bertemu dengannya di rumah Ki Kabul. Wanita itu jelas Nini Ratih, yang sering juga disebut Wanita Siluman.
"Aku tahu, kau memiliki inti batu Mustika Dewi Pelangi," kata Nini Ratih, dingin nada suaranya.
"Dari mana kau tahu?" tanya Bayu agak heran juga.
"Aku telah merasakan ketika bentrok pertama kali denganmu."
Bayu mengerti, kemudian dikeluarkan batu yang ada di balik sabuknya. Digenggamnya erat-erat batu itu dengan tangan kanannya. Namun cahayanya masih terpancar terang dari sela-sela jari tangan.
Nini Ratih terbeliak matanya melihat batu kehidupan dan kematiannya berada di tangan pemuda berbaju kulit harimau itu. "Berikan benda itu padaku, Anak Muda. Kau akan bebas pergi ke mana saja yang kau suka," kata Nini Ratih.
"Sayang sekali, aku tidak bisa percaya begitu saja dengan kata-katamu," dingin suara Bayu.
"Aku berjanji! Kau bebas pergi ke mana saja, dan aku tidak akan mengganggumu selamanya," janji Nini Ratih.
"Ambillah kalau kau bisa."
Merah padam wajah Nini Ratih. Kata-kata yang tenang dan bernada tantangan itu membuatnya berang. Tanpa berkata apa-apa lagi, wanita siluman itu langsung melompat menyerang. Bayu berkelit melompat ke samping. Namun sungguh di luar dugaan, tangan Nini Ratih dapat berputar, dan menyodok iganya.
"Ugh...!" Bayu mengeluh tertahan. Tubuh Pendekar Pulau Neraka itu terdorong beberapa langkah ke belakang. Dan pada saat Nini Ratih kembali menyerang, Bayu sudah siap menyambut serangan itu. Dengan cepat diangkat tangan kirinya ke depan seraya mengerahkan ilmu 'Pukulan Tapak Beracun'. Satu benturan keras terjadi. Tak ampun lagi, kedua orang itu terpental ke belakang sambil memekik keras.
Namun Bayu mampu menguasai keseimbangan tubuhnya. Sementara Nini Ratih terjungkal bergulingan beberapa kali di tanah. Wanita siluman itu bergegas bangkit dan kembali melompat menyerang. Pada saat yang sama, Bayu memiringkan tubuhnya ke kiri setengah membungkuk. Kakinya pun ditekuk hampir menyentuh tanah. Dan begitu tubuh Nini Ratih berada di udara, secepat kilat Bayu mengibaskan tangan kanannya.
Secercah cahaya keperakan melesat cepat dari pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka itu. Cahaya kilat senjata Cakra Maut, langsung memapak serangan Nini Ratih. Wanita siluman itu terperangah sesaat. Dia berusaha berkelit, namun senjata Cakra Maut mengikuti gerakan tubuhnya, dan langsung menghajar dada wanita itu.
"Akh!" Nini Ratih memekik tertahan. Tubuh wanita itu kontan terjungkal keras ke tanah. Pada saat itu, Bayu melompat cepat sambil berteriak keras. Sebelum Nini Ratih sempat bangkit berdiri. Pendekar Pulau Neraka itu menghantamkan tangannya yang menggenggam inti batu Mustika Dewi Pelangi, tepat ke ubun-ubun kepala Nini Ratih.
"Aaa...!" Nini Ratih menjerit melengking tinggi.
Bayu segera melompat mundur. Dari ubun-ubun wanita itu memancarkan cahaya menyilaukan bagai pelangi. Nini Ratih menggelepar di tanah sambil mengerang dan meraung-raung bagai binatang buas terluka. Bayu kembali melangkah mundur, dan menyentakkan tangan kanannya. Cakra Maut yang masih tertanam di dada wanita itu, melesat keluar dan kembali menempel di pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka.
Hampir tidak dapat dipercaya, tubuh Nini Ratih berangsur-angsur menyusut Kulitnya yang mulus mulai berkeriput, wajahnya pun jadi mengendor. Wanita siluman itu merintih menggeliat-geliat di tanah. Pada saat yang sama, pecahan-pecahan batu Mustika Dewi Pelangi bergerak-gerak, lalu merayap mendekati wanita siluman itu.
"Akh? Tidaaak...!" jerit Nini Ratih melengking.
Bayu sempat menolehkan kepalanya ketika melihat Ki Kampar berlari-lari menghampiri. Di belakang laki-laki setengah baya itu menyusul dua puluh orang muridnya. Mereka berlari sekuat tenaga mendaki Puncak Bukit Menjangan ini. Keadaan puncak bukit ini memang tidak bisa dilalui kuda, sehingga mereka terpaksa meninggalkan tunggangannya itu.
Sementara itu Nini Ratih terus meraung dan menjerit-jerit meregang nyawa. Pecahan pecahan batu Mustika Dewi Pelangi mulai memancarkan cahaya terang menyilaukan. Batu-batu itu terus bergerak mendekati tubuh Nini Ratih yang telah berubah jadi seorang nenek-nenek tua keriput! Rambutnya pun memutih semuanya!
Bayu menolehkan kepalanya ke arah laki-laki setengah baya Ketua Padepokan Malapat itu. Mereka sama-sama menyaksikan tubuh Nini Ratih terbungkus cahaya kemilau bagai pelangi. Tubuhnya pun menyusut kecil terbungkus pecahan-pecahan batu Mustika Dewi Pelangi. Hingga pada akhirnya, seluruh tubuh wanita siluman itu terbungkus bongkahan batu yang memancarkan cahaya menyilaukan.
"Terima kasih, kau telah menyelamatkan seluruh warga Desa Malapat," ucap Ki Kampar sambil menyodorkan tangannya.
Bayu hanya tersenyum saja. Disambutnya uluran tangan itu dengan hangat.
"Maaf, jika waktu itu aku bertindak kasar padamu."
"Ah! Lupakan saja."
"Tapi kau harus tahu, hal itu kulakukan bukan karena membencimu atau untuk melindungi Nini Ratih. Itu semata-mata untuk memancingmu agar mau menghadapi wanita siluman itu."
"Aku tahu," desah Bayu sambil tersenyum meskipun hatinya agak kaget juga.
"Oh, ya. Aku harus segera membawa jasad Nini Ratih ke laut, dan menceburkannya di sana. Dia akan mati jika terkena air laut yang merupakan pantangan besar bagi bangsa siluman darat."
"Silahkan," kata Bayu.
Ki Kampar memerintahkan murid-muridnya untuk membungkus batu bercahaya kemilau itu yang berisi jasad Nini Ratih. Dua puluh orang murid Padepokan Malapat itu segera melaksanakan perintah tanpa banyak tanya lagi. Batu itu dibungkus dengan selembar kain tebal yang kuat, dan diikat kuat-kuat. Setelah siap, batu itu dinaikkan ke atas punggung kuda dan diikat dengan tambang.
Bayu memperhatikan semua yang dilakukan dua puluh orang itu dengan seksama. Pandangannya kemudian beralih pada kepala-kepala yang terpancang di tonggak kayu. Ki Kampar juga mengedarkan pandangan ke sekeliling. Hatinya merasa terenyuh menyaksikan begitu banyak korban yang jatuh akibat kekejaman wanita siluman itu. Ki Kampar menelan ludahnya! begitu melihat kepala Prawata dan Ki Pancur terpancang tonggak secara berdampingan.
"Bagaimana dengan mereka?" tanya Bayu. Tangannya menunjuk ke arah kepala-kepala yang terpancang.
"Murid-muridku akan mengurusnya! Oh ya, aku harus cepat-cepat membawa batu itu ke laut sebelum matahari terbenam," sahut Ki Kampar.
"Hm...," Bayu hanya menggumam tidak jelas.
Entah bagaimana dan kapan mulainya, tahu-tahu tubuh Pendekar Pulau Neraka itu sudah melesat cepat bagai kilat. Ki Kampar sendiri terkejut begitu menyadari kalau pemuda tampan berbaju kulit harimau, sudah tidak berada lagi disampingnya. Laki-laki setengah baya itu segera memerintahkan murid-muridnya untuk menguburkan kepala kepala yang terpancang itu.
Dia sendiri kemudian membawa pergi batu Mustika Dewi Pelangi yang sudah mengurung Nini Ratih. Mereka yang ditugaskan Ki Kampar mengurusi kepala-kepala yang terpancang, diliputi perasaan getir. Bagaimana tidak? Mereka harus mengumpulkan kepala-kepala buntung dan menguburkannya.
S E L E S A I
Bunga Dalam LumpurINDEX PENDEKAR PULAU NERAKA | |
Menembus Lorong Maut --oo0oo-- Bunga Dalam Lumpur |