Life is journey not a destinantion ...

Mencari Jejak Pembunuh

INDEX PENDEKAR NAGA PUTIH
Penjagal Alam Akhirat --oo0oo-- Bunga Abadi Di Gunung Kembaran



PANJI
Pendekar Naga Putih
Karya: T. Hidayat
EP : MENCARI JEJAK PEMBUNUH

Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit


←₪֎ [ SATU ] ֎₪→

PANJI berdiri tegak menatap Bukit Gua Harimau yang berdiri kokoh dan angker di hadapannya. Pohon-pohon besar yang sudah berumur ratusan tahun bertebaran di segala penjuru bagai raksasa penjaga hutan. Keadaan itu memang sudah sewajarnya karena Bukit Gua Harimau terletak di Hutan Randu Apus, sebuah hutan angker yang hampir tidak pernah didatangi manusia.
"Hm... bukit ini tampaknya tidak banyak mengalami perubahan selama kutinggalkan. Hanya beberapa jenis tumbuhan liar saja yang semakin menutupinya," gumam Panji seraya melangkahkan kakinya merayapi lereng bukit, tempat di mana gurunya yang dijuluki Malaikat Petir menggembleng dirinya dulu.
Matahari semakin tinggi ketika pemuda berjubah putih itu mulai mendaki lereng bukit. Wajahnya yang tampan tampak berseri-seri membayangkan kalau sebentar lagi akan bertemu dengan gurunya. Panji semakin mempercepat langkahnya ketika membayangkan wajah Eyang Tirta Yasa yang sudah pasti akan gembira melihat kedatangannya. Tak lama kemudian sampailah Panji alias Pendekar Naga Putih ditanah datar yang cukup luas. Sebuah pondok sederhana berdiri kokoh beberapa belas tombak didepannya.
"Eyang...," panggil pemuda berbaju putih itu sambil mendorong pintu pondok yang ternyata tidak terkunci. Panji bergegas masuk ketika tidak mendengar sahutan dari dalam. "Eh, ke mana perginya Eyang?" gumam Panji tatkala tidak mendapati gurunya di dalam pondok.
Bergegas Pendekar Naga Putih berlari ke arah sungai yang terletak tidak jauh di belakang pondok. Panji semakin heran ketika di sungai itu pun tidak juga menemukan Eyang Tirta Yasa. Kening pemuda itu berkerut dalam. Nalurinya membisikkan ada sesuatu yang terjadi dengan gurunya. Namun berusaha membuang jauh-jauh pikiran-pikiran buruk yang ada dalam benaknya.
"Ah, siapa tahu Eyang sedang bersemadi ditempat biasa," pikir Panji seraya bergegas menuju tempat Eyang Tirta Yasa biasa bersemadi. Jantung pemuda berjubah putih itu berdebar keras ketika melihat tempat berlatihnya dulu telah porak-poranda. Berbagai macam dugaan mulai bergayut di kepala pemuda itu. Nalurinya membaui sesuatu yang tidak wajar telah menimpa diri orang yang selama ini telah banyak berjasa kepadanya.
"Hm.... Belum lama di tempat ini tampaknya telah menjadi ajang pertarungan yang sangat hebat! Mungkinkah Eyang telah bertempur dengan seseorang? Kalau memang benar, siapa gerangan orang yang berani mati datang ketempat ini? Lalu di mana sekarang beliau berada?" berbagai pertanyaan memenuhi benak Panji. Namun, semua pertanyaan itu tak satu pun dapat dijawab. Kecemasandan kekhawatiran mulai membuat hatinya resah.
Pemuda berjubah putih itu melangkahkan kakinya meneliti bekas-bekas pertarungan. Sepasang mata Pendekar Naga Putih tertegun ketika mendapati tanda hitam di bagian tengah sebatang pohon yang tumbang. Ditempat lain ternyata diapun menemukan tanda yang sama pada beberapa batang pohon yang tumbang. Panji mulai dapat memastikan kalau yang telah bertarung ditempat ini memang gurunya.
"Hm... pohon-pohon ini pasti tumbang akibat pukulan 'Telapak Tangan Petir' Eyang yang nyasar! Lalu siapa orang yang jadi lawannya?" tanya pemuda itu pada dirinya sendiri.
Namun sampai sekian jauh menyelidik, tak satu pun yang dapat dijadikan pegangan untuk mengetahui siapa yang telah bertarung dengan Eyang Tirta Yasa. Murid tunggal Malaikat Petir itu terpaksa menunda penyelidikan ketika hari mulai gelap. Lalu diputuskan untuk melanjutkan penyelidikan keesokan harinya. Panji berjanji dalam hati tidak akan berhenti menyelidiki sebelum menemukan gurunya dalam keadaan hidup ataumati!

* * * * *



"Eyang...!"panggil pemuda tampan berjubah putih sambil menatap sesosok tubuh kurus yang berdiri tegak ditengah lapisan kabut putih tipis.
Pemuda yang tidak lain adalah Panji menajamkan matanya menerobos lapisan kabut yang menghalangi pandangan. Perlahan pemuda itu bangkit dan menghampiri orang tua yang tidak lain adalah gurunya. Meskipun wajahnya tampak pucat dan sangat letih, namun Eyang Tirta Yasa atau Malaikat Petir tetap tersenyum lembut. Sepasang matanya menatap wajah murid tunggalnya penuh kerinduan.
"Eyang...," sapa Panji sambil mendekati laki-laki tua yang selama ini banyak membimbingnya. Kedua kaki pemuda berjubah putih itu melangkah semakin cepat ketika melihat kedua lengan gurunya mengembang seolah-olah menyambut kedatangannya. Tapi Panji tidak sempat berpikir kalau setelah sekian jauh kakinya melangkah, jarak antara dirinya dan sang Guru tidak pernah berubah. Padahal semula jarak antara mereka tidak lebih dari empat tombak. Tiba-tiba tubuh Eyang Tirta Yasa terdorong mundur bagai segumpal kapas tertiup angin. Dan semakin Panji mempercepat langkahnya, tubuh Malaikat Petir terdorong semakin jauh.
"Eyang...!" Panji berteriak-teriak memanggil sambil mengulurkan keduat angannya untuk menggapai lengan Eyang Tirta Yasa. Namun, bayangan tubuh Eyang Tirta Yasa semakin menjauh. Dan, kemudian lenyap sama sekali tanpa meninggalkan bekas sedikitpun!
"Eyang...!" Panji berteriak-teriak putus asa. Kedua tangannya terus terulur menggapai-gapai. Tapi tiba-tiba tubuhnya tersentak dengan napas memburu. Seluruh pakaian yang dikenakannya basah oleh peluh yang menganak sungai.
"Oh... rupanya aku bermimpi," desah pemuda itu sambil menarik napas lega. "Apakah ini merupakan sebuah pertanda buruk? Atau hanya karena aku terlalu mengkhawatirkan keselamatan Eyang?"
Panji duduk termenung di balai-balai tempat tidurnya semalam. Benaknya masih dibayang-bayangi mimpi buruk yang mengerikan. Berbagai dugaan berkecamuk dalam kepala pemuda itu. Kehadiran Eyang Tirta Yasa dalam mimpinya telah membuat hatinya semakin resah. Pendekar Naga Putih bergegas melompat dari atas pembaringan ketika sinar matahari menerobos masuk nelalui celah-celah jendela. Cepat dia berkemas untuk melanjutkan pencarian gurunya. Bekas-bekas pertempuran yang ditemukan kemarin diteliti. Setelah beberapa saat meneliti, tiba-tiba sepasang matanya menemukan tetesan darah yang telah mengering. Bergegas Panji menyusuri tetesan darah yang berceceran di atas tanah berumput.
"Hm... ceceran darah ini berakhir tepat di bibir jurang. Mungkinkah ada orang terjatuh atau dilempar ke dalam jurang? Aku harus menemukan sendiri jawaban pertanyaanku ini!"
Berpikir demikian, Panji pun bergegas mencari jalan setapak untuk menuruni jurang yang cukup curam. Pemuda berjubah putih itu mengencangkan sabuk yang melingkar di pinggangnya ketika mencium bau busuk menyengat dari bawah jurang. Hampir saja seluruh isi perutnya tumpah kalau saja tidak cepat mengerahkan tenaga dalam untuk menekan rasa mual yang amat kuat. Perlahan-lahan murid tunggal Malaikat Petir melangkahkan kakinya mencari sumber yang menyebabkan bau busuk.
"Eyang...," desah Panji lirih ketika menemukan sesosok tubuh kurus tergeletak disemak-semak. Dari potongan tubuh dan pakaiannya, sudah dapat diduga kalau sosok mayat ini pastila hgurunya.
Pendekar Naga Putih menghembuskan napasnya kuat-kuat guna membangkitkan tenaga liar yang mengeram didalam tubuhnya. Seketika angin dingin berhembus kuat mengusir bau busuk yang menyengat hidung.Kemudian perlahan-lahan kedua telapak tangannya didorongkan ke arah mayat yang tergolek disemak-semak.
Wusss!
Angin dingin yang menggigit sampai ke tulang sumsum berhembus keras ketika Pendekar Naga Putih mendorong telapak tangan. Seketika semak-semak yang berada disekitar mayat itu beterbangan bagai tercabut tangan-tangan tak tampak. Beberapa saat kemudian, semak-semak itu pun habis tersapu bersih sehingga mayat Eyang Tirta Yasa yang terselubung kabut bersinar putih keperakan terlihat jelas. Panji bergegas menghampiri mayat Eyang Tirta Yasa dengan hati berdebar keras. Dadanya terasa sesak ketika mendapati mayat gurunya dalam keadaan menyedihkan. Hampir-hampir dia tidak dapat mempercayai kenyataan di hadapannya. Maka....
"Yeaaat..!" Panji kembali menghentakkan tenaga sakti hingga keadaan disekelilingnya menjadi dingin sekali! Pemuda itu benar-benar terpukul dengan kematian orang yang telah membimbingnya sejak kecil. Orang yang telah memberinya berbagai ilmu kesaktian, hingga dirinya disegani kawan maupun lawan.
"Huhhh...!" pemuda berjubah putih itu menarik napas perlahan-lahan, dan menghembuskannya kembali untuk menghilangkan rasa sesak didadanya. Bau busuk yang semula menyengat itu pun lenyap seketika karena diredam hawa sakti yang telah menyelimuti sekujur mayat gurunya. Tanpa rasa jijik, ditelitinya seluruh tubuh Malaikat Petir. Mendadak kening pemuda itu berkerut ketika melihat tanda merah berbentuk telapak tangan tergambar jelas di dada mayat Eyang Tirta Yasa.
"Hm... akan kucari orang yang memiliki ilmu pukulan bergambar telapak tangan ini," janji Panji sambil menggeram marah. Sepasang matanya tampak berkilat-kilat ketika mengucapkan kata-kata itu.
Seusai mengubur jenazah gurunya, Pendekar Naga Putih segera berlutut diatas gundukan tanah merah. "Eyang, aku berjanji akan mencari pembunuhmu. Hidupku tidak akan tenteram sebelum menemukan manusia kejam yang telah membunuhmu. Aku mohon pamit, Eyang," bisik Panji lirih. Selesai mengucapkan janji disisi makam gurunya, Panji kembali ke pondok. Pemuda yang tengah berkabung itu berniat tinggal semalam lagi di Bukit Gua Harimau.

* * * * *



Hari menjelang sore ketika terdengar teriakan nyaring disekitar Bukit Gua Harimau. Teriakan yang berat dan nyaring itu memantul dan bergema memenuhi puncak bukit hingga kelembah-lembah di sekitarnya.
"Hei, Malaikat Petir! Aku datang memenuhi janjiku!"
Panji yang baru saja selesai membersihkan tubuh menjadi terkejut mendengar teriakan yang didorong kekuatan tenaga dalam dahsyat. Kening murid Malaikat Petir berkerut dalam ketika mendengar nama gurunya disebut-sebut. Bergegas pemuda itu keluar pondok untuk melihat orang yang berteriak.
Beberapa tombak di depan pondok, tampak seorang kakek bertubuh kecil kurus dan berwajah kekanak-kanakan tengah berdiri dengan kaki mengangkang. Senyum jenaka selalu menghiasi wajahnya, seolah-olah tidak pernah mengalami kesedihan. Disebelah kiri kakek jenaka, berdiri seorang gadis cantik berpakaian biru muda. Dan seperti halnya si kakek, gadis itu juga selalu memperlihatkan senyum manis yang membuat wajahnya semakin enak dipandang. Rambutnya yang hitam dan lebat diikat dengan pita biru muda pada bagian atasnya.Benar- benar seorang gadis yang sangat menarik!
"Kakek siapa? Dan apa maksud kedatangan Kakek kemari!" tanya Panji halus dan sopan meskipun masih dalam keadaan berduka.
"Di mana si Tua Bangka Tirta Yasa? Suruh dia keluar!" seru kakek jenaka sambil tertawa terkekeh- kekeh. Pertanyaan Panji sama sekali tidak dihiraukannya.
Seketika darah muda Panji mendidih begitu mendengar sebutan kasar dan bernada tidak menghormat gurunya. Wajah murid tunggal Eyang Tirta Yasa itu merah padam menahan emosi yang hampir meluap. Namun tidak percuma Eyang Tirta Yasa menggemblengnya selama sepuluh tahun. Meskipun amarahnya telah meluap, namun kesadaran dan sikap yang di tunjukkan Panji benar-benar patut dipuji. Amarah yang menyesakkan dadanya berusaha ditekan dengan menarik napas panjang berulang-ulang.
"Kalau Kakek bersedia memperkenalkan nama dan mengatakan keperluan Kakek, baru akan kupanggilkan Eyang Tirta Yasa," sahut Panji tegas. Suaranya tetap tenang dan sopan.
"He he he... siapakah kau, Anak Muda? Apa keperluanmu berada dikediaman Malaikat Petir ini?" kakek jenaka kembali melemparkan pertanyaan tanpa mempedulikan perasaan pemuda berjubah putih. Sepertinya memang sengaja berbuat demikian untuk memancing amarah Panji.
"Hm...Orang Tua. Sebagai tuan rumah, seharusnya akulah yang bertanya lebih dulu. Dan itu sudah menjadi aturan yang tidak tertulis," ujar Panji yang emosinya sudah bangkit sehingga merubah panggilannya kepada tamu tak diundang itu.
"Kurang ajar! Biar kutampar mulutnya yang lancang itu, Eyang," selak gadis berpita biru muda yang sejak tadi hanya diam saja. Setelah berkata demikian, tubuh gadis yang berada disamping kakek jenaka langsung melesat kearah Panji. Gerakannya cepat sekali hingga yang terlihat hanya bayangan biru muda saja.
Wut! Wut...!
"Hm...!" Dua pukulan gadis itu berhasil dielakkan Panji hanya dengan menggeser tubuhnya kesamping kiri.
Ketika gadis cantik itu menyusuli pukulannya dengan tendangan kilat, Panji yang masih sungkan membalas segera melempar tubuhnya beberapa tombak ke belakang.
"Tahan seranganmu, Nisanak! Kita tidak punya alasan untuk bertarung," ujar Panji mencoba mengingatkan gadis cantik berbaju biru muda.
"Hm.... Kau telah bersikap kurang ajar kepada guruku. Dan itu sudah cukup kujadikan alasan untuk menampar mulutmu yang tidak mengenal sopan," sahut gadis cantik dengan ketus. Anehnya, meskipun kelihatan marah, tapi bibirnya tetap menyunggingkan senyum manis. Tentu saja sikap gadis itu membuat Panji terheran-heran.
"Kalau aku tidak salah duga, gadis ini pasti murid si kakek. Entah dari mana mereka berasal. Sikap mereka sangat aneh dan tidak wajar. Dan apa pula keperluan mereka mencari guruku," kata Panji dalam hati, tak habis mengerti melihat sikap aneh kedua orang itu.
"Hehehe.... Tunggu dulu, Ayuning. Sepertinya aku mengenal gerakan pemuda sok jago ini," cegah kakek jenaka ketika gadis itu bersiap-siap hendak menyerang.
Entah kapan bergeraknya, tahu-tahu saja kakek kecil kurus telah berada disamping gadis cantik yang tadi dipanggil Ayuning. Dari sini saja sudah dapat ditebak kalau kepandaian orang tua aneh ini tidak bisa dibuat main-main. Kakek kecil kurus meneliti tubuh Panji dari atas ke bawah bagaikan sedang menaksir-naksir. Kemudian seenaknya mengitari tubuh pemuda itu sambil tak henti-hentinya tertawa terkekeh-kekeh.
"Anak Muda, lihat serangan!" Tiba-tiba saja tubuh kakek jenaka yang tengah mengitari Panji sudah melompat seraya melepaskan serangan beruntun. Angin tajam berkesiutan menandakan kuatnya tenaga dalam yang terkandung dalam serangan si kakek.
Meskipun Panji sudah bersiap-siaga sejak semula, namun sempat terkejut melihat kecepatan yang diperlihatkan tamu tak diundang itu. Sungguh tidak disangka kalau orang tua aneh itu dapat bergerak sedemikian cepat, hingga membuatnya kalang-kabut menghindar.
"Hiaaat...!"
Plak! Plak!
"Aih...!"
Serangan kakek kecil kurus yang bagai angin topan membuat Panji tak punya pilihan lain selain menangkis. Posisi kuda-kudanya sudah tidak memungkinkan lagi menghindari serangan yang demikian cepat.
"Gila! Tidak mungkin!" teriak kakek itu dengan wajah keheranan. Seketika wajah yang biasanya berhiaskan senyum jenaka berubah tegang. Si kakek benar-benar tidak habis mengerti ketika tubuhnya terjajar mundur akibat dua tangkisan Pendekar Naga Putih. Bahkan lengannyapun sempat tergetar akibat pertemuan tenaga dalam tadi.
Demikian pula halnya dengan Panji yang sejak semula memang sudah menduga kalau lawan memiliki kepandaian tidak rendah. Tapi sama sekali tidak disangkanya kalau tenaga dalam si kakek sampai sekuat itu. Padahal tangkisannya sudah dialiri 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' yang di saat itu mulai bergolak liar. Untunglah setelah mengalami beberapa kali pertempuran, pemuda itu sedikit demi sedikit sudah mulai dapat mengendalikan tenaga liar yang mengeram dalam tubuhnya hingga dapat mengukur pengeluaran tenaganya.
"Anak Muda. Kalau menilik gerakanmu, kau pastilah murid Tua Bangka Tirta Yasa. Tapi apakah kau juga belajar dari orang lain?" tanya kakek itu penasaran ketika mendapat kenyataan betapa kuatnya tenaga dalam yang dimiliki Panji. Dan sebagai seorang ahli silat yang berpengalaman, diapun sadar kalau tenaga dalam sehebat itu tidak mungkin dapat dimiliki orang seusia Panji. Tenaga dalam yang dimiliki pemuda itu sepatutnya sudah terhimpun setelah bersemadi selama ratusan tahun. Jadi, jangankan pemuda seperti Panji, sedangkan kakek itu sendiri yang sudah berumur delapan puluh tahun belum tentu dapat memiliki tenaga dalam sekuat itu meskipun rajin berlatih siang malam. Tenaga dalam yang dimiliki pemuda ini rasanya hanya ada dalam dongeng saja.
"Benar! Aku adalah murid Eyang Tirta Yasa. Dan aku tidak pernah berguru kepada orang lain selain kepada beliau. Mengapa kau bertanya demikian, Orang Tua?" Panji balas bertanya karena merasa heran pada pertanyaan yang diajukan tamunya. Pemuda itu tidak habis mengerti maksud si kakek bertanya demikian. Apa pula yang telah menyebabkannya? tanya Panji dalam hati.
"Hm... apakah yang mengajarmu menghimpun hawa murni si tua bangka itu juga?" kembali kakek itu menegaskan pertanyaannya karena belum merasa puas dengan jawaban Panji.
"Orang Tua! Berhentilah menyebut guruku dengan sebutan tua bangka! Kata-kata itu bisa menyebabkan kau mendapat kesulitan!" bentak Panji dengan teriakan mengguntur karena benar-benar marah sekali mendengar gurunya berkali-kali disebut tua bangka. Tubuh pemuda itu bergetar menahan hawa amarah yang sudah hampir mencapai ubun-ubun.
Kakek kecil kurus rupanya tidak tega juga melihat wajah pemuda di hadapannya agak kemerahan menahan kemarahan. Tapi tiba-tiba tangannya bergerak mencegah muridnya yang sudah ingin merangsek lagi ketika pemuda itu membentak gurunya. Sesaat gadis berpakaian biru muda itu sempat hampir terjatuh mendengar bentakan Panji yang bagaikan ledakan petir ditelinganya.
"Hm...ketahuilah, Anak Muda. Aku adalah sahahat lama gurumu. Dan panggilan itu memang sudah menjadi kebiasaan kami sejak muda. Sebutan tua bangka kuberikan karena dia selalu saja menasihatiku setiap kali aku melakukan perbuatan yang menurut pendapatnya tidak benar. Apakah gurumu tidak pernah bercerita tentang sahabat-sahabatnya, Anak Muda?" ujar kakek itu serius karena melihat perubahan sikap yang tidak wajar pada diri pemuda berbaju putih di hadapannya.
Mendengar keterangan yang diberikan kakek kecil kurus, kening Panji berkerut dalam. Pemuda itu berusaha mengingat-ingat cerita Eyang Tirta Yasa mengenai sahabat-sahabatnya. Ditelitinya penampilan kakek itu sambil mengingat ciri-ciri sahabat-sahabat gurunya yang pernah diceritakan kepadanya.
"Apakah... apakah Eyang yang berjuluk Dewa Tanpa Bayangan?" tanya Panji memastikan dugaannya. Wajah pemuda itu tampak agak tegang karena kalau kakek ini memang benar sahabat lama gurunya, maka kemungkinan besar pasti tahu siapa-siapa saja musuh gurunya. Terutama seorang tokoh yang memiliki ilmu pukulan telapak tangan.
"He he he... bagus kalau kau sudah dapat mengingatnya, Anak Muda. Nah, sekarang cepat panggilkan gurumu. Apakah dia sudah jadi seorang pengecut yang tidak berani memenuhi janjinya?" ujar kakek kecil kurus yang ternyata adalah seorang tokoh tua sahabat lama Eyang Tirta Yasa.
"Kalau Eyang tidak keberatan, bolehkan aku tahu maksud Eyang mencari guruku?" tanya Panji yang masih juga ingin mengetahui maksud kedatangan kakek itu.
"Huh, pemuda ini ceriwis sekali, Eyang. Rasanya dia lebih pantas menjadi perempuan daripada laki- laki," tiba-tiba gadis cantik dan manis yang bernama Ayuning menyelak tak senang.
Wajah Panji merah padam mendengar kata-kata gadis itu. Ditatapnya wajah Ayuning dengan gemas. Namun, yang ditatap malah membalas dengan mata membelalak, seolah-olah menantang. Karuan saja Panji terpaksa mengalah. "Lebih baik kita masuk kedalam dulu, Eyang," ajak murid tunggal Malaikat Petir sambil melangkah mendahului guru dan murid itu.

←₪֎ [ DUA ] ֎₪→

"Itulah sebabnya mengapa aku mencurigai kedatangan Eyang berdua," ujar Panji menutup ceritanya. Wajahnya kembali diliputi kedukaan yang mendalam ketika teringat kematian gurunya.
Kakek kecil kurus yang berjuluk Dewa Tanpa Bayangan terkejut mendengar cerita Panji. Seketika juga senyum jenaka yang biasanya selalu menghias wajahnya lenyap. Kelihatan sekali kalau kakek itu merasa sangat terpukul mendengar kematian Eyang Tirta Yasa.
"Hhh... kedatanganku kemari sia-sia saja. Apakah kau tidak menemukan ciri-ciri ilmu si pembunuh?" tanya Dewa Tanpa Bayangan penuh sesal ketika mengingat kematian sahabat kentalnya.
"Aku memang telah menemukan ciri-ciri ilmu pembunuh Eyang Tirta Yasa. Tapi sayangnya aku tidak tahu siapa tokoh persilatan yang punya ilmu pukulan telapak tangan seperti yang terdapat pada jenazah Eyang Tirta Yasa. Kurasa banyak sekali tokoh persilatan yang memiliki ilmu pukulan seperti itu," jawab Panji sambil menerangkan jenis ilmu pukulan yang telah merenggut nyawa gurunya.
"Hm... ya. Ilmu pukulan sejenis itu memang banyak sekali dimiliki tokoh persilatan. Tapi sepengetahuanku, sulit sekali mencari tokoh persilatan yang mampu menandingi kesaktian Tirta Yasa. Apalagi membunuhnya dengan ilmu pukulan pasaran seperti itu. Menurutku, bukan tidak mungkin kalau pembunuh itu sengaja hendak menyamarkan ilmunya. Atau mungkin juga ilmu kepandaian orang itu memang di atas kepandaian gurumu. Dan pada saat dia sudah terluka berat, barulah pembunuh itu melontarkan pukulan yang bergambar telapak tangan. Mungkin itu dilakukannya hanya untuk menyamarkan saja," ujar Dewa Tanpa Bayangan memberikan beberapa penjelasan agar Panji tidak sembarangan melacak pembunuh gurunya itu.
Mendengar keterangan yang diberikan sahabat gurunya, pemuda yang tengah berkabung itu termenung sejenak memikirkan latar belakang pembunuhan yang misterius itu.
"Apakah Kakang Panji tidak menemukan tanda-tanda lain pada mayat Eyang Tirta Yasa?" tanya Ayuning menimpali. Rupanya rasa simpati di hati gadis itu timbul juga mendengar malapetaka yang tengah menimpa murid sahabat gurunya. Gadis yang sebenarnya lemah lembut itu sudah melupakan kejadian yang tidak menyenangkan diantara mereka beberapa saat sebelumnya.
"Tidak, Adik Ayuning. Hanya tanda telapak tangan merah itulah yang kutemukan pada jenazah guru," jawab Panji yang juga telah melupakan pertengkaran di antara mereka.
"Panji. Sebenarnya kedatanganku kemari bukan tidak mempunyai tujuan. Lima belas tahun lalu kami sama-sama berjanji mengadakan pertemuan disini. Dan waktu yang telah kami tentukan jatuh pada hari ini. Tapi, mengingat musibah ini, maka aku akan menunda sampai kau menemukan pembunuh gurumu. Aku tidak akan menjanjikan apa-apa kepadamu. Tapi percayalah, kami akan berusaha membantu mu mencari pembunuh Tirta Yasa. Apabila aku sudah menemukannya, kau akan kuberitahukan," hibur Dewa Tanpa Bayangan sambil tersenyum.
"Tapi, Eyang belum mengatakan keperluan Eyang mencari guru," desak Panji menuntut jawaban.
"Kami hanya ingin menjajal ilmu-ilmu yang kami sempurnakan selama lima belas tahun ini. Tapi sayang, gurumu telah pergi lebih dulu," sahut Dewa Tanpa Bayangan datar. Gairahnya telah hilang karena kematian sahabat kentalnya itu. "Kalau begitu, aku pergi dulu." Setelah berkata demikian, sahabat kental Malaikat Petir itu bangkit dan melangkah keluar pondok.
"Nanti dulu, Eyang. Di mana Eyang akan menemuiku kalau Eyang ternyata lebih dulu menemukan pembunuh itu?" tanya Panji sambil mengikuti langkah kakek itu.
"Eh, dasar sudah pikun! Mengapa aku sampai lupa," seru kakek itu sambil menempelkan tangannya di dahi. "Hm... begini saja. Kalau ternyata aku yang lebih dulu menemukan jejak pembunuh gurumu, aku akan menunggumu di tempat ini pada hari ketujuh bulan lima nanti. Bagaimana?"
"Hm... berarti masih tiga bulan dari sekarang. Baiklah, Eyang. Tepat pada waktu yang ditentukan, aku akan datang kemari," jawab Panji yang segera menyetujui usul kakek.
"Ayo, Ayuning, kita berangkat!" setelah berkata demikian, kakek kecil kurus itu sudah melesat meninggalkan pondok.
"Selamat tinggal, Kakang Panji. Mudah-mudahan kita dapat berjumpa lagi," pamit Ayuning sambil melambaikan tangannya ke arah Panji.
"Selamat jalan, Adik Ayuning," balas pemuda berjubah putih yang juga melambaikan tangannya kepada Ayuning. "Seorang gadis yang lincah dan mudah sekali membuat orang tertawa dan marah."
Tidak lama setelah kepergian Dewa Tanpa Bayangan dan muridnya, pemuda yang baru ditinggal mati gurunya itu berkemas-kemas mencari pembunuh Eyang Tirta Yasa. Angin bukit berhembus lembut mengiringi langkah Pendekar Naga Putih menuruni Bukit Gua Harimau.

* * * * *



Belasan pasang mata menatap penuh selidik ketika Panji dengan tenang memasuki pintu sebuah kedai makan. Tatapan belasan pasang mata itu sama sekali tidak dipedulikan. Pemuda itu melangkah dengan mantap menuju sebuah meja kosong yang terletak dekat jendela sambil menggerakkan tangannya memanggil pelayan. Panji menyebutkan nama beberapa macam makanan yang kemudian segera dihidangkan. Dan tanpa banyak cakap lagi pemuda itupun segera menyantap pesanannya tanpa mempedulikan beberapa pasang mata yang masih terus menatapnya. Tampaknya pemuda yang tengah mencari jejak pembunuh gurunya ini memang betul- betul menikmati makanannya.
Dua orang laki-laki yang duduk di sudut berbisik-bisik sambil sesekali melirik ke arah Panji. Salah seorang diantara mereka yang berwajah seperti tikus xtampak agak terkejut melihat kedatangan Panji. Sepasang matanya yang menjelajah keseluruh tubuh pemuda itu semakin membelalak ketika melihat pedang lentur yang melingkari pinggang pemuda itu.
"Hm...," sambil bergumam perlahan, si muka htikus melangkah ke tempat Panji yang tengah menikmati makanannya. Begitu tiba dihadapan pemuda itu, muka tikus mengangkat kaki kirinya ke atas kursi. "Kisanak! Apakah kau tidak tahu peraturan yang berlaku di desa ini?" tanya si muka tikus memasang tampang galak. Gagang senjatanya sengaja ditonjolkan untuk menciutkan nyali Pendekar Naga Putih.
Panji yang sadar kalau orang itu memang sengaja hendak mencari perkara, mencoba menahan diri agar tidak menimbulkan keributan didalam kedai. Segera kepalanya diangkat dengan wajah berpura-pura keheranan.
"Maaf, aku sama sekali tidak tahu peraturan di sini. Aku hanya kebetulan lewat dan hanya ingin melepaskan letih barang sejenak. Apakah aku telah menyalahi peraturan, Paman?" sahut Panji mencoba mengikuti kemauan laki-laki bermuka tikus.
Brakk!
"Bangsat! Berani kau berbicara sambil menatap wajahku! Apa kau tidak kenal siapa yang tengah berbicara denganmu, heh?!" bentak si muka tikus geram. Meja di hadapan Panji pecah berantakan akibat tamparan tangan laki-laki kasar yang tengah murka itu. Rupanya laki-laki galak ini memang sudah terbiasa ditakuti penduduk setempat. Sehingga tidak mengherankan kalau menjadi sangat marah ketika Panji berbicara sambil menatap tanpa rasa takut.
Sekilas terlihat wajah Pendekar Naga Putih memucat. Bukan karena takut kepada si muka tikus, melainkan khawatir tidak mampu menahan gejolak tenaga liar yang mengendap dalam tubuhnya. Hal inilah yang membuat wajahnya menjadi pucat.
Si muka tikus yang tidak mengetahui apa yang tengah dipikirkan pemuda itu semakin berlagak. Begitu melihat Panji menunduk diam, maka tingkah yang diperlihatkannya semakin menjadi-jadi. Beberapa pengunjung yang tidak ingin terlibat keributan, cepat-cepat meninggalkan kedai. Mereka yang telah mengenal siapa si muka tikus hanya dapat memandang iba pada pemuda tampan yang terlihat lemah dan sopan.
"Ketahuilah, Kisanak. Kalau kau membawa senjata ke Desa Kertasari, berarti kau telah melanggar peraturan! Dan sebagai hukumannya, kau harus menyerahkan pedangmu kepadaku!" desak si muka tikus galak. Laki-laki galak ini sengaja berkata demikian, karena tahu kalau senjata adalah nyawa kedua bagi kaum persilatan. Dan apabila seseorang meminta senjatanya, berarti sebuah penghinaan yang sudah melampaui batas! Rupanya si muka tikus memang sengaja hendak memancing kemarahan pemuda itu. Sehingga punya alasan untuk menghajarnya.
Panji yang mengetahui apa yang ada dalam otak biang onar di Desa Kertasari ini dengan tenang melepas Pedang Sinar Rembulan yang melilit pinggangnya. Setelah menyodorkan pedang kepada si muka tikus, pemuda itu pun meninggalkan kedai setelah membayar makanannya.
Tinggallah si muka tikus dan kawan-kawannya termangu bagai orang kehilangan akal. Mereka benar-benar tak habis mengerti mengapa pemuda itu menyerahkan pedangnya dengan sukarela. Padahal pedang itu adalah sebuah pedang pusaka yang jarang ada duanya dalam dunia persilatan. Beberapa saat lamanya mereka hanya melongo melihat kepergian Pendekar Naga Putih dengan kening berkerut. Si muka tikus baru tersadar ketika bayangan pemuda berjubah putih lenyap di balik pintu kedai. Dan tanpa membuang-buang waktu lagi, tubuhnya langsung melesat mengejar diikuti kawan-kawannya.
"Kisanak, tunggu...!" si muka tikus berteriak sambil melambaikan tangannya begitu melihat Panjit engah melangkah tenang, seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu pada dirinya.
Pemuda yang tengah berduka itu menghentikan langkahnya ketika mendengar panggilan si muka tikus. Kening Panji berkerut ketika menoleh ke belakang, matanya tertumbuk pada si muka tikus dan kawannya sedang berlari menyusulnya. Sekilas terlihat sepasang matanya berkilat tajam tanda tak senang.
"Ada apa lagi, Kisanak?" tanya Panji begitu si muka tikus dan kawannya sudah berada dua tombak di hadapannya. Dari ucapannya yang sudah berubah, jelas sekali kalau pemuda itu bangkit emosinya.
"Ucapanku tadi belum lengkap. Hukuman atas pelanggaran yang kau lakukan bukan hanya harus menyerahkan senjatamu saja. Selain itu kau harus cepat-cepat meninggalkan desa ini," ujar si muka tikus yang rupanya masih belum puas mempermainkan Pendekar Naga Putih.
Gigi Panji bergemeletuk mendengar permintaan yang benar-benar telah melampui batas. Tadinya dia memang sengaja mengalah dengan menyerahkan pedang meskipun harga dirinya telah terhina. Tapi di balik itu Panji sudah dapat menduga kalau si muka tikus dan kawannya memang sengaja hendak mempermainkan dirinya. Dugaan pemuda itu ternyata tidak meleset!
"Hm... jadi begitu!" tegas Pendekar Naga Putih sambil menatap tajam wajah si muka tikus yang tersentak kaget melihat sinar mata mencorong yang menggetarkan jantungnya. "Kalau boleh kutahu, siapa yang membuat peraturan keji ini?"
Suara Panji yang dingin dan berwibawa yang membuat hati si muka tikus kecut. "Eh... oh... peraturan itu... peraturan itu...," si muka tikus yang tak sanggup meneruskan kata-katanya tiba-tiba menggigil seperti orang terserang demam! Wajahnya yang semula angker dan galak mendadak pucat pasi.
"Hm... siapa yang membuat peraturan sekeji itu? Jawab...?!" geram Panji semakin menggetarkan sehingga membuat si muka tikus tak mampu lagi untuk menahan bobot tubuhnya. Tiba-tiba saja tubuh laki-laki berangasan itu melorot bagai karung basah. Tatapan sepasang mata Pendekar Naga Putih telah membuat keberaniannya terbang entah kemana.
Karena si muka tikus tidak juga mampu menjawab pertanyaannya, Panji pun tidak lagi mendesak. Segera diraihnya pedang yang berada digenggaman orang itu. Setelah melilitkan kembali Pedang Sinar Rembulan ke pinggangnya, Pendekar Naga Putih meninggalkan si muka tikus dan kawan-kawannya yang terpaku bagai patung.
Beberapa penduduk yang menyaksikan kejadian itu hanya dapat memandang bingung. Mereka pun tidak mengerti mengapa laki-laki bermuka tikus terjatuh. Padahal pemuda itu sama sekali tidak terlihat menggerakkan tangan. Aneh, pikir mereka menggeleng-gelengkan kepala tak habis mengerti. Kejadian yang tidak masuk akal itu ternyata tak lepas dari pengamatan seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun. Keningnya agak berkerut ketika menyaksikan peristiwa itu.
"Gila! Entah ilmu apa yang dimiliki pemuda itu! Apakah dia memiliki ilmu sihir? Kalau tidak, mengapa dapat membuat lawan tak berdaya hanya dengan memandangnya saja? Benar-benar seorang pemuda hebat dan berbahaya. Aku harus berhati-hati menyelidikinya. Siapa tahu dia musuh?" gumam laki-laki berperawakan tinggi sedang itu. Kalau dilihat dari penampilannya, pastilah laki-laki itu tidak asing dalam dunia persilatan. Tapi melihat pinggangnya yang tak bersenjata, maka orang pun akan ragu. Barangkali memang itulah yang diinginkan laki-laki itu.
Sementara itu, Panji meneruskan langkahnya memasuki desa tanpa mempedulikan keadaan di sekelilingnya. Murid tunggal Eyang Tirta Yasa itu sama sekali tidak mempedulikan sorot mata penduduk yang memperhatikan dirinya dengan perasaan takut bercampur kagum. Entah apa yang ada dalam kepala mereka masing-masing. Hanya merekalah yang tahu. Belum lagi Panji melangkah jauh, tiba-tiba terdengar jeritan dari sebuah rumah beberapa tombak di sampingnya. Sebagai pendatang yang belum mengetahui keadaan Desa Kertasari, tentu saja pemuda itu tidak terlalu menaruh perhatian pada jeritan tadi. Pendekar Naga Putih hanya berhenti sejenak sambil melirik kearah rumah itu, seolah-olah ingin memastikan apa yang tengah terjadi di dalam sana.
Panji tidak jadi meneruskan langkahnya ketika melihat tiga laki-laki berwajah seram bersenjata pedang tengah berdiri di muka pintu. Tak lama kemudian, dari dalam rumah muncul seorang laki-laki berusia sekitar dua puluh delapan tahun sambil menyeret seorang wanita yang wajahnya bersimbah air mata. Rupanya jeritan wanita itulah yang tadi didengar Pendekar Naga Putih.
"Dasar perempuan tidak tahu diuntung!" bentak laki-laki itu sambil menyeret wanita itu keluar. "Apa kau lebih suka kalau seluruh keluargamu digantung, heh? Sudah bagus Ki Kalari masih mau membebaskan seluruh hutang-hutang ayahmu asal kau bersedia bekerja dirumahnya."
Wanita malang itu hanya bisa menangis tanpa mampu melakukan perlawanan. Wajahnya yang babak belur, menandakan kalau dirinya habis disiksa sebelum diseret keluar oleh laki-laki itu.
Sebagai seorang pendekar yang selalu menjunjung tinggi keadilan, tentu saja hati Panji tergerak untuk mengetahui duduk persoalan lebih jauh. Tanpa ragu- ragu lagi kakinya dilangkahkan mendekati rumahitu. Tapi baru saja beberapa tindak kakinya melangkah, tiba-tiba laki-laki bercaping yang sejak tadi menguntit Panji mendekati.
"Jangan pedulikan mereka kalau kau tidak ingin mendapat kesulitan!" bisik laki-laki bercaping memperingatkan Panji. Setelah memberi peringatan, orang itu terus berlalu. Sepertinya laki-laki bercaping memang telah mengetahui duduk persoalan yang tengah dihadapi keluarga malang itu. Tapi, entah apa yang menyebabkan dia tidak mau mencampuri urusan.
Pendekar Naga Putih yang tidak sempat membalas peringatan orang bercaping, segera mengerahkan ilmu 'Mengirim Suara Jarak Jauh'. Beberapa saat kemudian, bibirnya terlihat berkomat-kamit mengucapkan sesuatu. "Maafkan aku, Kisanak. Aku tidak bisa menutup mata melihat kekejaman berlangsung di depan mataku. Sekali lagi maafkan aku. Aku terpaksa tidak menuruti nasihatmu..."
Orang bercaping terkejut ketika menerima kiriman suara yang demikian jelas ditelinganya. Tapi laki-laki misterius itu tahu kalau Panji-lah yang telah mengucapkan kata-kata itu. Orang bercaping hanya dapat menghela napas ketika melihat tubuh Panji sudah melesat ke rumah keluarga malang itu. Sesaat kemudian, pemuda itu sudah berdiri beberapa langkah didepan empat lelaki berwajah seram.
"Lepaskan gadis itu!" seru Panji tanpa basa-basi dan sudah merasa yakin kalau kejadian itu bukan sekadar kesalah pahaman.
Empat laki-laki kasar itu terkejut melihat ada seorang pemuda yang berani mencegah tindakan mereka. Beberapa saat lamanya keempat orang itu hanya berdiri termangu. "Hm... siapakah kau, Kisanak? Mengapa mencampuri urusan kami?" tanya laki-laki yang masih menyeret tubuh wanita malang heran. Bukankah selama ini tidak ada seorang pun yang berani mencegah perbuatan mereka? pikir laki-laki itu.
"Lepaskan gadis itu kataku!" ancam Panji lagi tanpa mempedulikan pertanyaan orang itu.
"Bangsat! Rupanya kau memang sengaja cari mampus, Kisanak!" bentak salah seorang dari tiga laki-laki yang berada di muka pintu. Laki-laki itu sangat berang melihat sikap keras kepala yang diperlihatkan Pendekar Naga Putih. Tanpa berkata apa-apalagi, orang itu segera mencabut senjata dan langsung ditusukkan ketubuh Panji.
Wuttt!
"Hm...." Panji hanya bergumam pelan melihat serangan itu. Begitu ujung pedang hampir menyentuh kulitnya, kaki kanannya segera digeser kesamping hingga tusukan pedang hanya mengenai tempat kosong.
Begitu melihat serangannya luput, laki-laki itu menjadi semakin marah. Cepat senjatanya diputar seraya kembali mempersiapkan serangan susulan bertubi-tubi. Namun tetap saja tak satu pun serangannya dapat menyentuh tubuh pemuda itu.
"Hm... kalian jangan paksa aku bertindak kasar!" ancam Panji dingin. Sepasang matanya mencorong tajam menggetarkan jantung.
"Keparat! Beri pemuda itu pelajaran agar lebih sopan apabila bertemu denganku lagi!" bentak laki-laki yang menyeret tubuh wanita malang gusar.
Tanpa diperintah dua kali, dua orang yang sejak tadi hanya menonton pertarungan langsung mencabut pedang. Serentak keduanya membantu kawannya yang hampir kehabisan napas karena serangannya tidak juga mengenai sasaran.
"Sesalilah dirimu yang berani berurusan dengan Tuan Muda Patala, Kisanak! Perbuatanmu sudah cukup jadi alasan untuk mengirim dirimu ke neraka!" pekik salah seorang pengeroyok seraya menyabetkan senjatanya. Dari desing pedangnya, dapat ditebak kalau tenaga dalam orang ini jauh lebih kuat daripada penyerang pertama. Meskipun begitu, kepandaiannya masih terlalu jauh jika dibandingkan dengan kepandaian Panji.
Dua orang lainnya juga mengayunkan senjata dengan cepat dan ganas. Ketiga laki-laki berwajah seram itu tampaknya memang benar-benar bernafsu menghabisi nyawa Pendekar Naga Putih. Sehingga tak mengherankan kalau serangan-serangan yang mereka lancarkan pun tidak main-main. Pada jurus keempat, tiga batang pedang meluruk berbarengan ke arah Panji. Namun pemuda itu sepertinya tidak melihat dan tetap berdiri tegak seolah-olah pasrah menerima ajal!
Trak! Trak!
"Aaa...!" Terdengar suara berdesing nyaring ketika tiga batang pedang menghantam tubuh Panji. Aneh! Bukan tubuh pemuda itu yang terluka, melainkan tubuh tiga pengeroyok itulah yang terpental diiringi jerit kesakitan. Sedangkan pedang mereka berpentalan dari genggaman entah kemana.


←₪֎ [ TIGA ] ֎₪→

"Ilmu iblis...!" teriak penyerang pertama sambil berusaha merangkak bangun meski dengan susah payah. Dari sela-sela bibirnya mengalir cairan merah.
"Pemuda setan...!" seru yang lainnya bersamaan seraya berusaha bangkit. Sesekali terdengar suara mengaduh dari mulut mereka.
Dengan wajah pucat dan tubuh menggigil, ketiga laki-laki yang menjadi tukang pukul orang bernama Patala buru-buru mundur menjauhi pemuda itu. Jelas sekali kalau ketiga orang itu merasa gentar menghadapi Pendekar Naga Putih.
"Keparat sombong! Jangan dulu kau membusungkan dada hanya karena mengalahkan tiga pembantuku! Kau boleh merasa bangga setelah merasakan kepalanku ini, Bangsat!" bentak Patala marah. Panji langsung diterjangnya dengan kepalan-kepalannya yang menimbulkan rangkuman angin berhawa panas.
Wusss! Wusss!
Panji menggeser tubuhnya ke kiri dan kanan menghindari pukulan yang mengandung hawa panas. Diam-diam pemuda itu terkejut melihat kepandaian laki-laki yang hanya beberapa tahun lebih tua darinya. Sama sekali tidak disangkanya kalau orang itu memiliki kepandaian cukup tinggi dan juga pukulan- pukulan yang mematikan. Memasuki jurus kelima, Panji mengangkat tangan kanannya sambil mengerahkan sebagian tenaga dalam saat pukulan Patala menderu datang! Dan celakanya tenaga yang diperkirakan hanya sebagian itu ternyata telah melebihi takaran. Maka akibatnya....
Plak!
"Uhhh...!" Terdengar letupan kecil yang disertai kepulan asap tipis ketika sepasang tangan kekar bertemu diudara. Tubuh Patala terjajar mundur sejauh delapan tombak diiringi jeritan kaget. Wajahnya masih pucat ketika berusaha memperbaiki posisi kuda-kudanya. Seketika dari sela-sela bibirnya mengalir cairan merah. Rupanya pertemuan tenaga dalam itu telah meng- guncangkan isi dadanya. Setelah berdiri kembali, mata Patala memandang berkeliling. Beberapa orang penduduk yang tertarik melihat pertarungan mulai berdatangan.
"Lari...!" seru Patala seraya membalikkan tubuhnya dan langsung melesat meninggalkan tempat itu.
Melihat majikannya telah melarikan diri, ketiga tukang pukul itu pun bergegas mengambil langkah seribu. Beberapa penduduk melempari mereka dengan batu-batu kecil sehingga membuat ketiganya lari pontang-panting. Setelah bayangan keempat orang itu lenyap dari pandangan, Pendekar Naga Putih bergegas menghampiri wanita muda yang masih terduduk lemas.
"Kau tidak apa-apa, Nisanak?" tanya Panji seraya mengulurkan tangan untuk menolong wanita itu bangkit.
"Terima kasih atas pertolongan Kisanak. Tapi ketahuilah, pertolongan Kisanak justru semakin menyulitkan kami. Karena setelah kepergian Kisanak, Tuan Muda Patala pasti datang lagi dengan membawa lebih banyak tukang pukul. Dan sudah pasti nasib keluarga kami akan lebih buruk lagi. Selain aku yang akan mereka bawa, mereka pun akan membunuh seluruh keluargaku," ujar wanita muda itu panjang lebar. Seolah-olah lebih suka menerima perlakuan orang-orang itu daripada ditolong Panji.
"Siapakah dia, Nisanak?" tanya Panji mencoba mencari tahu tentang pemuda yang bernama Patala. Namun, alangkah herannya hati pemuda itu karena wanita muda yang diajak bicara baik-baik itu sama sekali tidak menjawab pertanyaannya. Wanita itu malah melangkah masuk ke dalam rumah dan tidak lagi mempedulikan penolongnya.
"Mengapa Nisanak tidak menjawab pertanyaanku?" tanya Panji penasaran dan tanpa sadar ikut melangkah masuk ke dalam rumah.
Seorang laki-laki berusia sekitar enam puluh tahun dan seorang wanita berumur lima puluhan, bangkit dari balai-balai bambu berlapis selembar tikar usang. Kedua orang tua itu bergerak mencegah pemuda yang hendak mengejar putrinya.
"Pergilah, Kisanak. Tinggalkan desa ini secepatnya. Kehadiranmu di sini hanya akan membuat kami semakin susah. Mereka pasti akan melakukan tindakan yang lebih kejam terhadap keluarga kami sebagai pelampiasan dendam atas perbuatanmu," ujarlaki-laki tua sambil menggerakkan tangan mengusir Panji. Entah apa yang mendorong mereka lebih suka ditinggalkan daripada ditolong!
Pendekar Naga Putih tertegun mendengar ucapan keluarga yang baru saja ditolongnya. Selama berpetualang, baru kali ini dia menemui peristiwa seperti ini. Tiba-tiba Panji teringat ucapan orang bercaping yang tadi berusaha memperingatkannya. Samar-samar pemuda itu dapat meraba kesulitan macam apa yang dimaksud orang bercaping.
"Tapi, Paman, apakah tindakanku salah?" akhirnya keluar juga perkataan yang mewakili perasaan Panji. Sikap yang ditunjukkan oleh keluarga yang ditolongnya itu masih belum dimengertinya.
"Tidak, Kisanak. Tindakanmu sama sekali bukan kesalahan. Tapi, apalah artinya pertolongan Kisanak tadi jika dibandingkan dengan penderitaan yang akan kami alami setelah kepergian Kisanak nanti. Beberapa waktu yang lalu juga ada dua pendekar yang menolong salah satu keluarga di desa ini. Pertolongan kedua pendekar itu memang berhasil membebaskan keluarga itu dari ancaman maut. Tapi itu hanya berlangsung sementara. Setelah kedua pendekar meninggalkan desa, keluarga itu disiksa habis-habisan hingga semuanya tewas secara menyedihkan. Rasanya musibah yang sama akan menimpa keluarga kami," ujar orang tua itu menerangkan sebab-sebab yang membuat mereka semakin ketakutan setelah ditolong pemuda berjubah putih.
Setelah mendengar keterangan orang tua itu, barulah Pendekar Naga Putih tahu penyebab keluarga malang itu malah semakin ketakutan menerima pertolongannya. "Kalau begitu, aku akan tetap tinggal di desa ini sampai orang-orang itu jera dan tidak berani lagi mengganggu penduduk," tegas Panji menenangkan kecemasan di hati orang tua itu.
"Hhh...tidak ada gunanya, Kisanak. Kau tidak tahu siapa mereka. Daripada kau mati sia-sia, lebih baik cepat tinggalkan desa ini. Tak usah pikirkan keadaan kami. Kami sudah terbiasa dengan segala macam penderitaan," orang tua itu tetap bersikeras meng- hendaki kepergian penolongnya. Menurut anggapannya, mana mungkin pemuda ini mampu menghadapi anak buah Patala yang jumlahnya besar dan terdapat orang-orang sakti diantaranya.
"Biarlah, Paman. Aku tidak takut menghadapi kematian selama tidak menyeleweng dari jalan kebenaran," tegas Panji mantap sambil mengatupkan rahangnya kuat-kuat
"Hhh... segala usahamu akan sia-sia, Kisanak, akan sia-sia...," desah orang tua itu karena tidak berhasil menyuruh Panji meninggalkan Desa Kertasari. Tanpa berkata apa-apa lagi, suami istri berusia lanjut itu melangkah masuk kedalam kamarnya.
Tinggallah Pendekar Naga Putih termenung memikirkan kejadian yang baru saja di alaminya. Perlahan-lahan kakinya dilangkahkan keluar dari rumah. Dalam hatinya, pemuda itu bersumpah untuk membuat penduduk desa ini hidup tenang sebagaimana desa-desa lainnya.

* * * * *



Di dalam rumah besar yang menjadi kediaman Kepala Desa Kertasari, tampak Patala berjalan mondar-mandir sambil melipat tangannya ke belakang. Sesekali tangannya diremas-remas penuh kegeraman. Rupanya orang ini masih penasaran karena perbuatannya digagalkan Panji.
"Huh! Takkan puas hatiku sebelum mencincang tubuh pemuda keparat itu!" geram Patala sambil meninju telapak tangannya kuat-kuat.
"Apa kau tidak tahu siapa dia dan dari mana asalnya?" tanya laki-laki tua yang duduk mencangkung di atas kursi. Di wajah laki-laki tua itu terlihat garis-garis penderitaan hingga membuatnya nampak jauh lebih tua dari usia sesungguhnya. Sepertinya orang tua itu tengah mengalami tekanan batin yang sangat berat.
"Ah, sayang sekali aku tidak sempat bertanya. Saat itu aku benar-benar terkejut melihat ada orang yang berani menentangku. Tapi rasa-rasanya aku belum pernah melihat pemuda itu sebelumnya. Menurut dugaanku dia pasti bukan penduduk desa ini," sahut Patala menanggapi ucapan orang tua itu. Meskipun kata-katanya tidak terdengar kasar, namun menilik cara berbicaranya, Patala seolah-olah tidak menaruh hormat sama sekali kepada orang lawan bicaranya.
"Hm...kalau pemuda itu hanya pengembara yang kebetulah lewat, biarkan saja. Beberapa hari lagi pasti dia sudah meninggalkan desa," ujar orang tua itu datar.
"Tidak bisa, Ki. Perbuatannya yang telah mempermainkanku di depan mata penduduk harus kubalas! Dan itu harus!" tegas Patala yang rupanya tidak bisa melupakan kekalahannya terhadap Panji.
"Lalu, apa rencanamu sekarang? Dan bagaimana cara kau membalasnya? Sedangkan menurut penuturanmu, kepandaian pemuda berpakaian putih itu sangat tinggi," kembali orang tua itu mencoba mengingatkan Patala.
"Hm... malam ini aku akan menyatroni rumah itu. Akan kubawa beberapa orang yang kepandaiannya dapat diandalkan. Siapa tahu pemuda keparat itu masih ada di sana."
Setelah berkata demikian, Patala buru-buru keluar dari ruangan itu. Tinggallah si orang tua termenung menatap langit-langit ruangan.

* * * * *



Malam belum larut Bintang-bintang yang bertaburan di langit tampak berkedip-kedip menghiasi sang malam. Angin dingin berhembus perlahan diiringi suara nyanyian binatang malam yang saling bersahutan. Di tengah semaraknya nyanyian binatang malam, lapat-lapat terdengar suara derap kaki kuda. Derap kaki belasan ekor kuda terus bergema menuju sebelah Timur Desa Kertasari.
Penunggang kuda yang berada paling depan tidak lain adalah Patala. Lari kudanya sengaja diperlambat agar tidak terlalu menimbulkan suara berisik. Nampaknya Patala benar-benar ingin membuktikan ucapannya untuk menyatroni rumah dimana tadi pagi Panji mempecundanginya. Tak lama kemudian, Patala menghentikan lari kuda yang diikuti belasan anak buahnya. Patala dan belasan tukang pukul bergegas melompat dari punggung kuda. Setelah menambatkan kuda pada sebatang pohon, orang-orang itu segera mengendap- endap mendekati rumah yang dituju. Patala menjentikkan jemari tangan sebagai isyarat kepada dua tukang pukul agar maju mendekat.
"Benar juga apa yang dikatakan Ki Kalari. Pemuda keparat itu rupanya telah meninggalkan desa. Sekarang kalian berputar dan masuk dari jalan belakang. Kalian harus berhasil menculik gadis itu untukku. Awas jangan sampai gagal! Kalau sampai gagal, kepala kalian jadi gantinya, mengerti?!" perintah Patala berbisik pelan.
"Baik, Tuan Muda," sahut kedua tukang pukul mengangguk seraya bergegas menjalankan perintah tuan mudanya. Tak lama kemudian kedua orang tadi sudah lenyap ditelan kegelapan malam.
Namun sebelum kedua orang itu melangkah lebih jauh, tiba-tiba dari atas batang pohon melayang sesosok bayangan putih. Sesaat kemudian, bayangan putih itu telah menghadang didepan mereka.
"Hm.... Hendak mencuri apakah dua ekor tikus busuk mengendap-endap di tengah malam buta seperti ini?" tanya sosok bayangan putih yang tidak lain adalah Panji dengan nada mengejek. Ternyata Panji belum pergi meninggalkan desa seperti yang dugaan Patala. Rupanya Pendekar Naga Putih sengaja bersembunyi di atas pohon menanti kedatangan Patala yang menurut firasatnya masih menyimpan rasa penasaran. Dan dugaannya ternyata tidak meleset!
"Keparat! Siapa kau? Apa maksudmu menghadang kami?" tanya salah seorang dari kedua tukang pukul seraya mencabut senjata.
"Siapa aku, itu bukan urusanmu! Sebaliknya akulah yang harus bertanya kepada kalian. Apa maksud kalian mengendap-endap mendekati rumah orang dimalam buta seperti ini?" ujar Panji tak kalah gertak. Meskipun sudah dapat menebak maksud kedatangan kedua orang itu, namun untuk memastikan dugaannya, pemuda itu ingin mendengar sendiri dari mulut mereka.
"Bangsat! Mampuslah!" bentak salah seorang tukang pukul sambil menyabetkan golok membelah tubuh murid tunggal Eyang Tirta Yasa.
"Hm... aku tidak butuh senjatamu! Aku hanya butuh jawaban!" seru Panji sambil menggeser tubuh menghindari bacokan. Dan tanpa disangka-sangka tangan Pendekar Naga Putih menotok pergelangan tangan lawan yang memegang golok.
Tukkk!
"Aaah...!" Tukang pukul itu menjerit kesakitan! Tubuhnya bergetar hebat bagai terkena demam. Tapi sebelum sempat menyadari keadaannya, tahu-tahu sebuah tamparan yang cukup kuat singgah di kepalanya. Seketika itu juga tubuhnya menggelepar pingsandan tidak tahu lagi kejadian selanjutnya.
Pada saat tangan Panji bergerak menampar, kawannya yang seorang lagi mengayunkan golok ke leher. Pemuda itu segera menggeser kakinya ke belakang. Sesaat kemudian, tubuhnya sudah berputar sambil mengayunkan kaki menghantam tengkuk pembokongnya. Panji yang tahu kalau kedua orang itu hanyalah orang-orang suruhan, sengaja hanya mengerahkan sebagian kecil tenaga dalam. Di benaknya sama sekali tidak ada niatan untuk membunuh mereka. Cukuplah hanya memberi sedikit pelajaran agar mereka jera, pikir Panji.
Ternyata gerakan orang yang satu ini cukup gesit. Pada saat kaki Panji terayun mengancam leher, tukang pukul Patala ini cepat merendahkan kuda-kuda hingga tendangan itu lewat sejengkal di atas kepalanya. Sambil merendahkan tubuh, senjatanya ditusukkan ke arah lambung Pendekar Naga Putih. Namun, Panji yang sudah dapat membaca arah serangan itu, cepat menekuk kakinya dan menggencet senjata lawan ke atas permukaan tanah. Begitu kaki kirinya menjejakkan tanah, secepat itu pula kaki kanan menyepak wajah tukang pukul Patala.
Plak! "Uuuh...!" Orang itu mengeluh tertahan ketika telapak kaki Panji mencium pelipisnya. Tubuhnya terjajar mundur jauh enam langkah. Tapi belum lagi sempat memperbaiki posisi kuda-kudanya, tahu-tahu sebuah tamparan hinggap di kepala. Seketika itu juga tubuh anak buah Patala melintir seperti sebuah gasing. Seketika pandangannya terasa gelap hingga tidak tahu apa-apa lagi. Orang itu jatuh pingsan akibat tamparan Panji yang cukup keras!
Setelah merobohkan kedua tukang pukul Patala, tubuh Panji kembali melenting keatas pohon. Bagaikan bayangan hantu, pemuda berjubah putih itu berkelebat dari satu pohon ke pohon yang lain. Beberapa saat kemudian, akhirnya sampai ditempat Patala anak buahnya menunggu.
"Ha ha ha...!" Panji tertawa bergelak sambil mengerahkan tenaga dalam. Suaranya bergema di sekitar daerah itu hingga tak ubahnya seperti tawa iblis yang datang dari alam kegelapan. Pemuda itu berdiri dengan kaki terpentang di atas sebatang dahan yang agak tinggi. Jubahnya yang putih berkibaran tertiup angjn hingga pemandangan itu lebih dari cukup untuk membuat seorang penakut lari terbirit-birit.
"Sssi... apaaa... kau...?" teriak Patala gemetar dengan suara terputus-putus. Walau bagaimanapun pemandangan itu benar-benar menggetarkan hati siapa saja yang melihatnya.
"Ha ha ha...! Aku adalah iblis yang ditugaskan mencabut nyawamu, Manusia Bejat!" seru Panji, suaranya dibuat sebesar mungkin sehingga mampu mendirikan bulu roma orang yang mendengar.
Beberapa tukang pukul Patala terbelalak pucat! Mereka benar-benar menyangka kalau sosok serba putih itu adalah iblis yang ditugaskan mencabut nyawa mereka. Seketika keringat dingin mulai membasahi pakaian mereka. Namun tidak demikian halnya dengan Patala yang terlalu cerdik untuk dikibuli. Meskipun dengan perasaan agak gentar, Patala terus meneliti sosok yang berdiri di atas sebatang dahan. Samar-samar, mulai dapat diduganya sosok diatas pohon itu.
"Keparat! Rupanya kau pemuda usilan! Turunkau, Bangsat! Jangan beraninya hanya menakut-nakuti orang secara pengecut!" maki Patala merasa dipermainkan oleh musuh yang amat dibencinya.
Beberapa orang yang tadi sempat terkecoh, ikut marah. Serentak mereka mencabut senjata masing- masing. Wajah yang semula pucat, mendadak merah padam karena marah bercampur malu. Ketika Panji melayang dari atas pohon, Pataladan para tukang pukulnya langsung mengurung. Tanpa banyak cakap lagi, mereka segera menyerang dengan senjata terhunus! Seketika belasan senjata berkelebatan dibawah siraman sinar sang rembulan. Tapi Panji mampu bergerak cepat dan mengelak setiap sambaran senjata yang berdesingan disekitar tubuhnya.
"Hiaaat!" Disertai bentakan keras, Pendekar Naga Putih melambung keudara seraya mengembangkan kedua tangannya mengancam kepala dua tukang pukul terdekat.
Plak! Plak!
Tanpa bersuara lagi, anak buah Patala terpental ke depan ketika tamparan tangan pemuda berbaju putih menghantam belakang kepala mereka. Kedua orang itu langsung tergeletak tewas! Dengan hidung, telinga, dan mulut mengalirkan darah segar! Rupanya tenaga liar yang mengendap di dalam tubuh Panji kembali bergejolak. Padahal tadinya dia hanya berniat menjatuhkan lawan saja, namun tenaga liar dalam dirinya membobol keluar hingga menewaskan dua anak buah Patala sekaligus.
"Bangsat! Mampuslah kau!" teriak salah seorang tukang pukul lain sambil melompat dan menusukkan pedang ke dada pemuda berbaju putih. Tubuh Panji yang saat itu masih mengapung di udara, rasanya sulit sekali untuk menghindar. Namun Pendekar Naga Putih bukanlah pendekar kemarin sore. Berbagai macam pengalaman yang telah didapat setelah menghadapi berpuluh-puluh pertarungan tidak membuatnya gugup. Cepat kedua tangannya bergerak menghimpit senjata lawan. Dan dengan memanfaatkan tenaga dorong pedang lawan, tubuh Panji berputar keatas. Takpelak lagi sepasang telapak kakinya mampir di kepala tukang pukul Patala.
Desss!
"Ughk...!" Tanpa ampun lagi tubuh lawan terbanting ke tanah. Setelah meregang nyawa sesaat, akhirnya diam tak bergerak-gerak lagi. Rupanya orang itu tewas akibat tengkorak kepalanya retak!
Begitu Panji menjejakkan kedua kakinya ditanah, dua tukang pukul lain sudah datang menyerbu dari dua arah. Segera Pendekar Naga Putih merendahkan kuda-kuda sambil menjulurkan telapak tangan kedada dua penyerang.
Buk! Buk...!
"Hughk...!" Hantaman telapak tangan Panji tepat mengenai dada kedua penyerang. Tubuh keduanya terpental balik disertai semburan darah segar dari mulut. Setelah menabrak sebatang pohon, keduanya melorot dan terkulai pingsan!


←₪֎ [ EMPAT ] ֎₪→

Patala dan sembilan anak buahnya tersentak mundur. Kegentaran mulai membayangi diwajah mereka begitu melihat lima orang kawannya telah menggeletak tak berdaya hanya dalam beberapa jurus saja. Padahal kepandaian orang-orang itu tidak bisa dikatakan rendah. Mereka rata-rata adalah pembantu-pembantu utama Patala. Tapi ketika berhadapan dengan pemuda berpakaian putih itu, mereka tak ubahnya sekumpulan laron menyerbu api.
"Hei! Mengapa kalian diam saja!Apakah kepala kalian ingin dipenggal! Ayo, serbu!" Patala berteriak-teriak bagaikan nenek-nenek yang kehabisan sirih. Kemarahannya dilampiaskan kepada pengikutnya yang tengah termangu ragu.
Biar bagaimanapun gentarnya, namun orang-orang itu lebih takut kepada majikannya. Dan tanpa diperintah dua kali, sembilan orang tukang pukul Patala itu bergerak maju dan menerjang Panji dengan senjata terhunus. Tapi karena hatinya telah diliputi rasa gentar, maka serangan-serangan mereka pun tidak lagi seganas sebelumnya. Kadang-kadang pada saat mengayunkan senjata, mereka langsung melompat mundur ketika melihat Panji menggerakkan tangannya. Padahal serangan mereka belum sampai.
Panji yang tahu kalau lawan-lawannya telah dicengkeram kegentaran, segera memanfaatkan kesempatan. Suatu saat kedua kakinya dibanting ke tanah sambil berteriak nyaring.
"Hiaaa...!" Bentakan pancingan Pendekar Naga Putih ternyata tidak sia-sia. Para pengeroyok lari tunggang-langgang. Tinggallah Panji tertawa terpingkal-pingkal melihat Patala dan anak buahnya berlarian jatuh bangun. Sampai-sampai perutnya terasa sakit melihat tingkah mereka yang seperti dikejar setan.
"Ha ha ha... dasar tikus-tikus pengecut! Rupanya kalian hanya berani kepada orang-orang lemah saja. Sekalinya bertemu lawan yang lebih kuat, kalian lari terbirit-birit!" seru Panji sambil terus tertawa terbahak- bahak.
Tiba-tiba, Pendekar Naga Putih teringat pada pemuda yang menjadi majikan orang-orang itu. "Kurang ajar!Kemana perginya pemuda bejat itu?" gumam Panji geram. Sesaat kemudian, pemuda itu sudah bertengger di atas dahan dan terus berompatan di antara pepohonan sambil mengedarkan pandangan. Namun orang yang dicarinya sudah tak tampak batang hidungnya lagi. "Hm... rupanya dia sudah melarikan diri selagi anak buahnya mengeroyokku."
Karena tidak berhasil menemukan orang yang dicarinya, Panji bergegas meninggalkan tempat itu. Angin malam berhembus menyebarkan hawa dingin yang menusuk tubuh. Sementara sang rembulan masih tersenyum dengan pancaran sinarnya yang kuning keemasan.

* * * * *



Keesokan paginya, penduduk Desa Kertasari menjadi gempar! Mereka menemukan tiga sosok tubuh yang telah menjadi mayat. Sedangkan empat orang lainnya tergeletak pingsan dengan luka-luka yang cukup berat. Penduduk desa yang semula hendak mengerjakan tugas sehari-hari segera masuk kembali ke dalam rumah. Mereka mengunci pintu dan jendela rapat-rapat tatkala mengenali orang-orang itu sebagai anak buah Patala yang biasa mengawal kepala desa. Warga Desa Kertasari sadar kalau kejadian itu akan berakibat buruk bagi keselamatan mereka.
Ketika matahari sudah mulai naik, tampak serombongan orang berkuda mendatangi tempat itu. Mereka dipimpin oleh seorang laki-laki berusia enam puluhan yang wajahnya terlihat jauh lebih tua dari usia sesungguhnya. Orang tua itu adalah Ki Kalari, Kepala Desa Kertasari. Begitu rombongan berkuda tiba di tempat anak buah Patala tergeletak, tanpa banyak cakap lagi orang tua itu melompat dari punggung tunggangannya. Perlahan kakinya dilangkahkan mendekati sosok-sosok yang bergeletakan. Tujuh orang yang menyertai Ki Kalari, ikut melompat dari punggung kuda masing-masing. Mereka ikut menyertai kepala desanya mendekati sosok-sosok yang bergeletakan.
"Kuburkan mayat-mayat itu di tempat ini. Dan bawa yang masih hidup kebalai desa. Aku berangkat duluan dan menunggu disana," ujar Ki Kalari sambil melangkah meninggalkan para pembantunya.
"Baik, Ki," sahut salah seorang pengawal Ki Kalari mengangguk. Kepala Desa Kertasari itu bergegas melompat ke punggung kuda. Wajahnya teriihat kelam karena menyimpan rasa penasaran yang hebat. Tanpa menoleh lagi, kudanya segera digebah meninggalkan tempat itu.
Sepeninggal Ki Kalari, tujuh orang pengawal bergegas menjalankan perintah kepala desanya. Selesai mengubur mayat-mayat teman mereka, ketujuh pengawal bergegas meninggalkan tempat itu sambil membawa enam orang yang mengalami luka dalam yang cukup berat. Tak lama kemudian, ketujuh orang itu tiba dibalai desa di mana Ki Kalari dan Patala telah menanti kedatangan mereka. Patala berlari menyongsong kedatangan ketujuh orang itu. Tangannya bergerak cepat memeriksa tubuh empat anak buahnya yang dirobohkan Panji semalam. Setelah beberapa saat memeriksa, Patala mengangguk-anggukkan kepalanya sambil menarik napas lega.
"Hm... keadaan mereka tidak terlalu mengkhawatirkan. Beri mereka minum ramuan-ramuan yang telah kusediakan. Aku jamin mereka segera pulih dalam dua hari," ujar Patala sambil bertolak pinggang.
"Sudah kunasihatkan agar kau jangan dulu bertindak. Nah, sekarang kau lihat sendiri akibatnya? Pemuda itu pasti pendekar pengembara yang berilmu tinggi. Kalau sudah begini, pasti dia tidak akan meninggalkan Desa Kertasari sebelum tahu apa sebenarnya yang terjadi di sini? Menurut dugaanku, tidak lama lagi pasti dia akan menyatroni rumahku," ujar Ki Kalari bersungut-sungut
"Hm... hari ini aku memang mengaku kalah. Tapi lihat nanti! Akan kubuat dia berlutut minta ampun sambil menciumi ujung kakiku! Tunggu saja kau pemuda keparat!" ujar Patala sambil mengepal tinjunya. Sepasang matanya memancarkan api dendam yang membara.
Ki Kalari hanya tercenung menatap cakrawala biru. Ucapan Patala yang berapi-api karena terbakar dendam sama sekali tidak ditanggapinya. Patala menjentikkan jemarinya ketika melihat ketujuh pembantunya melangkah keluar dari balai desa. Mereka bergegas menghampiri Patala begitu melihat isyarat majikan mudanya.
"Jaga tempat ini baik-baik! Kalau pemuda keparat itu datang mencari Ki Kalari, katakan dia tidak ada tempat. Ingat jangan bertindak sendiri-sendiri! Dan selama aku pergi, kalian tidak boleh membuat keributan, mengerti!" ujar Patala kepada ketujuh orang pembantunya yang hanya mengangguk patuh.
"Dan kau, Ki. Kau tidak kuizinkan keluar selama aku tidak ada. Sekali kau langgar perintahku, kau akan tahu sendiri akibatnya!" ancam Patala galak. Dan anehnya, Ki Kalari pun tidak berani membantah ucapan anak muda itu. Entah apa yang menjadi penyebabnya.
Patala menghentakkan tali kekang kudanya meninggalkan Balai Desa Kertasari. Baru beberapa puluh tombak kudanya dipacu, tiba-tiba lari binatang tunggangannya dihentikan ketika melihat dua orang laki-laki menghampiri dari arah yang berlawanan.
"Tuan Muda...," sapa orang bermuka tikus dan kawannya berbarengan.
"Hm... dari mana saja kalian?" tegur Patala ketus dan bernada mengancam, sehingga membuat wajah kedua orang itu menjadi pucat.
"Kami... kami...."
"Ah, sudahlah! Sekarang kembalilah kalian ke tempat Ki Kalari. Awasi segala tingkah laku orang penyakitan itu. Laporkan padaku kalau dia memperlihatkan tingkah yang mencurigakan!" ujar Patala yang rupanya terburu-buru, hingga tidak sempat lagi menanyakan dari mana saja mereka pergi beberapa hari belakangan ini.
"Baik,baik!" sahut keduanya cepat sambil menarik napas lega, seolah-olah saat itu mereka-baru saja bebas dari sebuah keputusan hukuman mati. Setelah berpesan demikian, Patala pun kembali menghela kudanya menuju perbatasan Desa Kertasari. Pemuda itu terus memacu kudanya bagai sedang dikejar setan.
"Hhh... syukurlah dia terburu-buru. Kalau tidak, aku tidak bisa menjamin saat ini kepala kita masih ada di tempatnya," desah si muka tikus sambil menghembuskan napas kuat-kuat. Sedangkan kawannya hanya mengangguk lega.
Tidak lama kemudian, kedua orang itu pun kembali meneruskan langkahnya. Kali ini mereka menuju kediaman Ki Kalari, untuk menjalankan perintah Patala yang dipanggil dengan sebutan tuan muda.

* * * * *



Bagaikan orang kesetanan, Patala terus memacu kuda melewati perbatasan desa. Dan setibanya di luar lesa, kudanya dibelokkan menuju kearah Timur Desa Kertasari. Tanpa sepengetahuan Patala, ada sesosok bayangan putih berkelebat membayanginya. Gerakan bayangan putih yang tidak lain adalah Panji, demikian cepat dan ringan hingga tidak menimbulkan suara sedikit pun. Tubuh pemuda berjubah putih itu terus berkelebatan di antara batang-batang pohon. Kadang-kadang melambung kebatang pohon dan di lain saat sudah berlompatan dari satu dahan ke dahan yang lain.
Panji menghentikan larinya dan mendekam diatas dahan pohon berdaun lebat saat Patala mulai memasoki daerah perbukitan. Dan setelah menyeberangi sungai kecil, dilihatnya Patala memasuki mulut sebuah hutan. Panji menunda niatnya untuk membuntuti Patala ketika beberapa tombak di belakang pohon tempatnya bersembunyi, terlihat seorang lelaki yang bagian kepalanya tertutup caping lebar tengah membungkuk. Mendadak keningnya berkerut ketika melihat beberapa sosok tubuh bergelimpangan di sekitar orang bercaping.
"Eh, diakah yang telah membunuh orang-orang itu? Atau dia hanya menemukan saja?" gumam Panji bertanya pada dirinya sendiri. "Hm... aku harus hati- hati menghadapi orang bercaping itu. Karena aku belum tahu secara pasti di pihak mana sebenarnya orang misterius itu."
Pendekar muda itu segera turun dari pohon dan bergegas menghampiri orang bercaping yang tampaknya tengah memeriksa mayat-mayat itu. Panji yang ingin menegur orang bercaping mendadak mengurungkan niatnya ketika melihat dada mayat-mayat itu terdapat tanda telapak tangan berwarna merah. Saat itu juga ingatannya terbayang pada mayat gurunya yang juga punya tanda seperti itu.
"Hm... mau lari kemana kau, Pembunuh Biadab? Kali ini kau tidak akan lepas dari tanganku! Lihat serangan...!" bentak Panji seraya melancarkan serangan-serangan berbahaya.
Si orang bercaping terkejut mendengar bentakan yang datang dari belakangnya. Cepat dia melompat dan melakukan beberapa kali salto kesamping guna menghindari serangan anak muda yang tengah kalap itu. "Sabar dulu, Kisanak. Tidakkah sebaiknya kau dengar keteranganku lebih dahulu?" seru orang bercaping mencoba menyabarkan Panji.
"Hm... kau rupanya," ujar Panji begitu mengenali orang bercaping yang pernah memperingatkannya sewaktu hendak mencegah Patala. "Tak perlu banyak cakap lagi. Sekarang lebih baik kau sambut seranganku! Hiaaat..!"
Seketika itu juga, Pendekar Naga Putih meluruk sambil melancarkan beberapa kali serangan berturut-turut. Sambaran angin pukulan yang dilancarkan Panji berkesiutan mengancam tubuh orang misterius itu.
"Hei... hei! Nanti dulu, Kisanak! Apa salahku?" teriak orang bercaping sambil melompat menghindar. Gerakannya terlihat cukup lincah dan gesit, hingga beberapa pukulan Panji berhasil dihindari.
"Tidak perlu banyak bacot! Keluarkan seluruh ilmu kepandaianmu kalau tak ingin mati sia-sia!" bentak Panji geram. Kedua tangannya kembali melontarkan serangan yang membuat orang itu semakin kelabakan.
Sadar kalau membiarkan dirinya terus-menerus diserang akan mendapatkan celaka, maka orang bercaping terpaksa melancarkan serangan balasan. Sepasang tangannya bergerak cepat melancarkan pukulan-pukulan yang tidak kalah berbahaya. Sepasang tangannya yang membentuk kepalan meluncur bergantian dan menimbulkan sambaran angin yang cukup kuat.
Melihat lawannya mulai melancarkan serangan balasan, Pendekar Naga Putih semakin memperhebat serangan. Kedua tangannya diputar-putar hingga menimbulkan sambaran angin dingin yang kuat. Namun sampai sejauh itu Panji sama sekali belum memperlihatkan tanda-tanda akan mengeluarkan ilmu andalannya. Si orang bercaping masih dapat mengimbangi.
Wut! Wut...!
"Uts...!" Dua kali serangan yang dilontarkan Pendekar Naga Putih mengenai tempat kosong ketika orang bercaping menggeser tubuhnya dengan kedua kaki direndahkan. Begitu dua kali serangan itu luput, mendadak orang bercaping berputar sambil melakukan sapuan secara tak terduga.
Wukkk!
Panji mengangkat kaki depan hingga sapuan orang misterius itu hanya mengenai rumput kering. Secepat pemuda itu mengangkat kaki, secepat itu pula menjatuhkan tubuh sambil menjulurkan kaki kanannya menghantam perut lawan. Dan...
Bukkk!
"Aaakh...!" Orang bercaping yang tak sempat lagi menghindar, bergulingan sejauh tiga tombak kebelakang. Wajah di balik caping itu terlihat meringis, menahan rasa mual akibat terhantam tendangan yang cukup keras. Setelah berhasil menendang perut lawan, Pendekar Naga Putih berdiri tegak menunggu lawannya bangkit Aneh, padalah saat itu terbuka kesempatan untuk melumpuhkan lawan, tapi Panji sama sekali tidak mempergunakannya.
Melihat lawan tidak menyusuli serangan, si orang bercaping tertegun sejenak. Dia merasa heran sekali mengapa Panji tak mempergunakan kesempatan selagi dirinya terjatuh. Padahal menurut perhitungannya pemuda berjubah putih itu pasti akan dapat melumpuhkannya saat itu juga. Tapi mengapa tidak dilakukannya? pikir si orang bercaping heran.
"Apa sebenarnya keinginanmu, Kisanak? Bukankah kau dapat melumpuhkanku kalau kau memang menghendaki? Tapi mengapa kau tidak mempergunakan kesempatan ini?Apa sebenarnya yang kau inginkan dariku?" tanya orang bercaping mengungkapkan rasa penasaran.
"Karena kau belum mengeluarkan seluruh ilmu kepandaianmu. Nah, sekarang keluarkanlah seluruh ilmumu agar kau tak mati penasaran!" sahut Panji yang rupanya tengah menunggu lawannya mengeluarkan ilmu pukulan yang dapat menimbulkan tanda telapak tangan berwarna merah. Itulah yang menyebabkan mengapa Panji tidak melancarkan serangan pada saat si orang bercaping terjatuh.
"Hm... ilmu apalagi yang harus kukeluarkan untuk menandingimu, Kisanak? Seluruh kepandaianku telah kukerahkan untuk menahan gempuranmu selama tiga puluh jurus tadi," jawab orang bercaping sambil menyeringai menahan rasa nyeri yang mendera perutnya.
"Kau belum mempergunakan ilmu yang kau pakai membunuh mereka bukan? Nah, kalau kau tidak ingin celaka, cepat keluarkan ilmu yang kau pergunakan untuk membunuh mereka," ujar Panji yang sudah bersiap kembali melancarkan serangan yang lebih hebat.
"Percayalah, Kisanak. Aku bukanlah pembunuh orang-orang itu. Dan aku pun sama sekali tidak memiliki ilmu seperti yang kau sangka. Kau boleh percaya omonganku atau tidak, terserah!" ujar orang bercaping tegas.
"Hm... kalau bukan kau yang membunuh mereka, lalu siapa? Dan apa hubunganmu dengan mereka?" tanya Panji lagi yang masih belum yakin kalau orang bercaping bukan salah seorang pengikut Patala.
"Aku tidak punya hubungan apa-apa dengan orang-orang yang terbunuh ini. Aku tidak sengaja menemukan mayat-mayat ini karena hanya kebetulan lewat, seperti juga kau. Aku bisa saja menuduhmu sebagai orang yang telah membunuh mereka," jawab orang bercaping yang kini malah berbalik melontarkan tuduhan.
"Eh!" Panji tersentak kaget mendengar tuduhannya diputar balikkan. Sungguh sama sekali tidak disangkanya kalau orang itu malah berbalik menuduh. Beberapa saat lamanya pemuda berjubah putih ini hanya termenung tanpa mampu mengeluarkan sepatah kata pun.
"Nah, sekarang apa alasanmu membantah tuduhanku? Bisa saja kau yang membunuh mereka, lalu ketika melihat aku datang, kau segera sembunyi. Dan untuk menimbulkan kesan aku yang membunuh mereka, kau berpura-pura baru datang untuk melontarkan tuduhan secara pengecut," ujar orang bercaping lagi semakin memojokkan.
"Hm...," Panji hanya bergumam sambil mengerutkan kening ketika mendengar ucapan orang bercaping yang cukup masuk akal. Mereka berdua bisa saja saling tuduh karena tidak ada seorang saksi pun yang melihat kejadian itu. Ucapan orang bercaping membuat pemuda itu menyadari kekeliruannya. Tapi dia masih belum percaya sepenuhnya, karena sama sekali belum mengetahui siapa orang itu sebenarnya.
"Bagaimana, Kisanak? Benarkah kau yang membunuh mereka?" orang bercaping kembali menegaskan.
"Tidak. Seandainya aku yang membunuh mereka, aku tidak akan sepengecut itu melemparkan tuduhan kepada orang lain," jawab Panji tegas. Seolah-olah ingin mengatakan kalau dirinya bukan seorang pengecut seperti yang dituduhkan si orang bercaping.
"Kalau boleh kutahu, siapakah namamu, Kisanak? Apa keperluanmu di tempat ini?" meskipun nada suara si orang bercaping masih menimbulkan kesan menyelidik, namun sikapnya sama sekali tidak menunjukkan permusuhan.
"Namaku Panji. Orang-orang persilatan memberiku julukan Pendekar Naga Putih. Aku memberitahukan hal ini bukan karena menyombongkan julukan kosong itu. Tetapi agar kau dapat mempertimbangkan tuduhanmu," ujar Panji, karena tidak ingin terjadi kesalah pahaman di antara mereka lagi.
"Pendekar Naga Putih...!" seru orang bercaping membelalakkan matanya lebar-lebar, seolah-olah ingin meyakini kalau pemuda di hadapannya adalah pendekar muda yang tersohor itu. "Ah, maafkan sikapku yang kurang hormat tadi, Saudara Pendekar. Tentu saja tuduhanku tidak berlaku bagi Pendekar Naga Putih. Aku sudah sering mendengar nama besarmu selama ini, kau pendekar muda yang selalu menentang segala tindak kejahatan," ujar si orang bercaping segera membuka caping bambu yang selama ini menyembunyikan wajahnya.
"Hm... ucapanmu terlalu berlebihan, Kisanak. Sudahlah, jangan terlalu memujiku. Bisa-bisa kepalaku menjadi besar nanti," sahut Panji yang menjadi risih mendengar orang bercaping memuji dirinya. "Nah, ternyata wajahmu tidak buruk. Mengapa kau selalu menyembunyikannya?"
"Maafkan aku, Saudara Pendekar. Kedatanganmu benar-benar membuat harapanku yang semula hampir musnah bangkit kembali. Marilah kita cari tempat yang lebih baik. Akan kuceritakan duduk persoalannya," tukas orang bercaping sambil mencari tempat yang lebih enak untuk bercakap-cakap.


←₪֎ [ LIMA ] ֎₪→

"Namaku Kuntara. Anak Ki Kalari yang menjadi Kepala Desa Kertasari," orang bercaping memulai ceritanya. "Lima belas tahun lalu, ayah mengirimku ke salah satu perguruan untuk mendalami ilmu silat. Setelah dinyatakan lulus, akupun berniat kembali ke desa kelahiranku. Tapi, keadaan di desaku ternyata telah jauh berubah. Banyak kejanggalan-kejanggalan yang kutemui. Aku jadi ragu kalau orang yang kini memimpin desa itu masih ayahku," Kuntara berhenti sebentar untuk menekan emosinya. Ditariknya napas panjang berulang-ulang guna menenteramkan hatinya.
"Apakah kau tidak bertanya pada salah seorang penduduk?" tanya Panji melihat Kuntara menghentikan ceritanya.
"Itulah kenyataan pahit yang sempat membuatku terguncang. Sejak kecil ayah selalu menekankan agar aku selalu berlaku adil dan menentang segala tindak kejahatan. Sampai-sampai ayah menitipkan aku ke sebuah perguruan untuk mewujudkan keinginannya. Dapat kau bayangkan betapa malunya aku, Saudara Panji. Begitu menginjakkan kaki didesa ini, ternyata semua penduduk mengutuk ayahku karena perbuatannya yang kejam dan tidak berprikemanusiaan," ujar Kuntara serak seraya menyapu wajahnya seolah-olah ingin menghilangkan segala bayangan buruk tentang ayahnya.
"Apakah kau tidak berusaha menyelidiki penyebab ayahmu berbuat demikian?" tanya Panji ikut merasa prihatin dengan keadaan yang di alami pemuda berusia sekitar dua puluh lima tahun itu.
"Yahhh..., aku memang telah menyelidikinya. Aku terpaksa menyembunyikan wajahku agar tidak mudah dikenali oleh pembantu-pembantu ayahku. Dan pada suatu malam, aku berhasil menyelinap masuk dan menemuinya," tutur Kuntara meneruskan ceritanya.
"Lalu bagaimana sikap ayahmu? Apakah dia mengenalimu?" Panji menyelak tak sabar.
"Tentu saja dia mengenaliku. Nah, dari situlah baru kuketahui kalau semua kejadian yang menimpa penduduk bukan kemauannya sendiri. Ternyata ayah dijadikan boneka yang dikendalikan oleh seseorang. Dan itu sudah berlangsung kurang lebih lima tahun! Hhh.... Aku merasa berdosa sekali telah menuduhnya kejam."
"Apakah ada alasan yang menyebabkan ayahmu menuruti segala perintah yang bertentangan dengan hati nuraninya? Apakah dia tidak menjelaskan kepadamu?"
"Tentu saja ayah menceritakan segalanya kepadaku, Saudara Panji. Namun ayahku tidak dapat berbuat apa-apa untuk menghentikan segala kekejaman dan kebiadaban Patala, anak kepala rampok yang menguasai ayahku. Belakangan baru diketahui kalau yang menekan ayah adalah kepala perampok yang menguasai beberapa desa diwilayah ini. Ayah terpaksa menurut karena orang-orang jahat itu menyandera ibu dan adik perempuanku. Itulah sebabnya ayahku mendiamkan saja segala perbuatan Patala dan para pembantunya," tutur Kuntara sambil mengepalkan tinjunya erat-erat. Sepasang bola matanya berkilat menahan kemarahan.
"Apakah kau pernah mencoba membebaskan ibu dan adikmu? Atau mencoba mencegah perbuatan Patala?" tanya Panji kini mulai mengerti duduk persoalan yang menimpa penduduk Desa Kertasari.
"Tidak mungkin, Saudara Panji! Ibu dan adikku ditahan di tempat kediaman kepala rampok itu. Lagi pula di sana terdapat lebih dari seratus anggota perampok yang rata-rata memiliki ilmu cukup hebat. Kalau aku nekat membebaskan ibu dan adikku, itu sama artinya dengan bunuh diri?"
"Lalu, apa rencanamu sekarang? Aku siap membantumu!" ujar Panji yang membuat semangat Kuntara bangkit seketika.
"Ah! Dengan adanya bantuanmu, persoalannya tentu akan menjadi lain. Sekarang aku baru yakin kalau usaha kami akan berhasil!" seru putra Kepala Desa Kertasari begitu yakin pada kemampuan Pendekar Naga Putih yang namanya telah mengguncangkan dunia persilatan.
"Kami?" tanya Panji heran ketika mendengar Kuntara menyebut kata-kata 'kami'.
"Ya! Aku, paman guruku, dan beberapa saudara seperguruanku," tukas Kuntara yang rupanya telah meminta bantuan saudara-saudara seperguruannya.
"Apakah kau sudah menghubungi mereka?"
"Sudah lama aku menghubungi mereka. Dan kini mereka sudah berada di Desa Kertasari menunggu saat yang tepat untuk bertindak," jawab Kuntara yang membuat Pendekar Naga Putih sedikit terkejut karena tidak menyangka pemuda itu telah menyusun rencana.
"Hm..., Kuntara, apakah kau tidak mengenali salah satu mayat-mayat itu?" tanya Panji sambil menunjuk ke arah tujuh sosok mayat.
"Entahlah, aku tak tahu siapa mereka. Hanya dapat kupastikan kalau mereka adalah tokoh-tokoh persilatan golongan lurus. Aku pernah melihat salah seorang diantara mereka datang keperguruanku dan berbicara kepada guru," sahut Kuntara menerangkan.
"Kau tahu pembunuh mereka?"
"Tidak, Saudara Panji. Tapi menurutku, kemungkinan besar mereka dibunuh kawanan perampok. Karena tempat kediaman para perampok itu tidak begitu jauh dari tempat ini. Bolehkah aku tahu, mengapa kau begitu ingin mengetahui pembunuh mereka, Saudara Panji?" akhirnya Kuntara tak dapat menahan rasa ingin tahunya melihat Pendekar Naga Putih begitu penasaran dengan pembunuh itu.
"Ah,tidak. Aku hanya ingin tahu saja," sahut Panji mengelak, karena tidak ingin melibatkan orang lain dalam persoalannya. "Sebelum bertemu denganmu, aku sempat mengikuti Patala yang sedang menuju ke dalam hutan. Menurutmu, apakah yang tengah dikerjakan olehnya?" tanya Panji mengalihkan pembicaraan.
"Mungkin dia akan mengadu kepada ayahnya. Eh, apakah Patala tahu kalau kau Pendekar Naga Putih?" tanya Kuntara begitu teringat pada anak kepala perampok itu.
"Hm... kurasa tidak. Memangnya kenapa?" sahut Panji setelah berpikir sejenak.
"Ah, tidak apa-apa. Tapi yang jelas, kita akan bertambah sulit untuk bergerak kalau dia tahu siapa sebenarnya pemuda yang berani menentangnya. Dia pasti mengerahkan para perampok dan orang-orang golongan sesat untuk membunuhmu," jawab Kuntara seraya menarik napas dalam-dalam.
"Kuntara, apakah Patala selalu tinggal di rumah ayahmu?" tanya Panji yang rupanya ingin tahu lebih banyak tentang orang yang bemama Patala.
"Tidak tentu. Kadang-kadang kalau sudah bosan di desaku, maka dia pindah kedesa lain yang masih di bawah kekuasaan ayahnya. Biasanya setiap dua atau tiga bulan dia pindah ke desa lain untuk mencari gadis-gadis cantik yang akan dijadikan pemuas nafsu binatangnya," tutur Kuntara geram ketika teringat kebiadaban Patala.
"Kalau begitu, kau sudah tahu kediaman kepala perampok yang menyekap ibu dan adikmu? Dapatkah kau mengantarku ke sana?" pinta Panji sekaligus ingin membuktikan kebenaran cerita Kuntara. Biar bagaimanapun, cerita pemuda itu masih belum diyakini sepenuhnya.
"Tentu, sudah lama aku tahu persembunyian para perampok itu. Seperti yang kukatakan tadi, untuk dapat masuk ke sana merupakan suatu hal yang mustahil bagiku. Tapi lain halnya bila kau yang menyelinap kesana. Aku yakin kau pasti bisa, karena kepandaianmu berpuluh-puluh kali kepandaianku," puji Kuntara yang menurut Panji terlaluber lebihan.
"Ah, sudahlah. Ayo, antarkan aku!" ajak Panji tak ingin membuang-buang waktu lagi.
"Baiklah, ayo!" ujar Kuntara lebih dulu meninggalkan tempat itu.
Pendekar Naga Putih yang tidak ingin menonjolkan kepandaiannya, hanya berusaha mengimbangi lari pemuda itu tanpa berniat mengungguli. Sekilas Panji tahu kalau Kuntara sengaja mempercepat larinya untuk menguji.

* * * * *



Senja mulai merebah ketika kedua pemuda itu memasuki kawasan hutan kecil yang menurut Kuntara adalah kediaman para perampok. Setelah beberapa lama berlari, akhirnya mereka bersembunyi dibalik batu besar yang banyak berserakan ditempat itu.
"Itulah sarang mereka, Saudara Panji," ujar Kuntara sambil menunjuk ke sebuah tempat hampir mirip lembah yang dikelilingi dinding-dinding cadas tinggi.
"Hm...," gumam Panji.
Kedua anak muda itu berada di tempat agak tinggi hingga dapat melihat jelas sebuah lembah yang cukup luas berbentuk seperti danau. Di tengah lembah terlihat sebuah perkampungan yang terdiri dari rumah-rumah kecil berderet mengitari bangunan besar dan megah.
"Mungkin bangunan paling besar itulah kediaman kepala perampok. Hebat! Orang itu tak ubahnya raja kecil yang berkuasa di sini. Lihatlah! Gedung kediamannya tak kalah megah dengan milik seorang adipati," ujar Panji terheran-heran.
"Tidak aneh, Saudara Panji. Setiap musim panen mereka selalu mendatangi desa-desa yang berada di bawah kekuasaannya untuk merampas hasil panen. Dan para petani hanya diberikan sisanya yang tidak seberapa banyak," tutur Kuntara.
"Hm... pantas kalau mereka begitu makmur," gumam Panji sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. "Ssst...!" bisik Panji menempelkan jari telunjuk ke bibirnya. Kemudian tubuhnya langsung melayang ke atas sebatang pohon tidak jauh dari tempat mereka bersembunyi.
Kuntara yang langsung mengerti isyarat rekannya, ikut pula melompat ke atas sebatang pohon di sebelah Panji. Meskipun belum mendengar sesuatu yang mencurigakan, namun Kuntara percaya kalau Pendekar Naga Putih pasti telah lebih dulu mendengarnya.
Benar juga! Tidak lama setelah keduanya melompat ke atas pohon, serombongan orang berkuda melintas dibawah mereka. Rombongan itu berjumlah sekitar tiga puluh orang. Wajah mereka rata-rata terlihat kasar, namun seragam yang mereka kenakan nampak mewah dan terawat baik.
Kening Panji berkerut melihat diantara rombongan itu terdapat belasan wanita yang berwajah pucat dan basah oleh air mata. Pakaian mereka seperti yang biasa dikenakan gadis-gadis desa. Sekilas, sudah dapat diduga kalau wanita-wanita itu hasil culikan. Dan yang lebih membuat kening Pendekar Naga Putih semakin berkerut dalam adalah ketika melihat seorang gadis berpakaian biru muda di antara mereka. Gadis cantik berambut panjang itu terkantuk- kantuk diatas punggung kuda dengan kedua tangan terikat kebelakang.
"Ayuning...!?" desis Panji terkejut bercampur heran. Jantung pemuda itu berdebar seketika karena sedikit banyak telah tahu tingkat kepandaian Ayuning. Apabila gadis gagah itu dapat mereka tawan, sudah barang tentu tingkat kepandaian orang-orang itu tidak bisa dibuat main-main. Melihat Ayuning ditawan bersama gadis-gadis lainnya, tentu saja Panji tidak mau tinggal diam. Tanpa memikirkan keselamatan dirinya, pemuda berjubah putih itu melayang dari atas pohon disertai bentakan lantang.
"Berhenti!"
Rombongan berkuda tersentak kagetmendengar bentakan dahsyat yang disertai pengerahan tenaga dalam. Seketika binatang-binatang tunggangan panik seketika dan sulit dijinakkan. Alhasil, rombongan berkuda itu menjadi kacau-balau tak terkendali.
"Hieeeh...!"
"Shaaa... ck ck ck...!"
Para penunggang kuda kewalahan menjinakkan kuda-kuda mereka yang semakin binal. Bahkan tidak sedikit di antara mereka jatuh terinjak-injak kaki kuda. Di tengah suasana kacau itu, tiba-tiba Panji melesat cepat menyambar Ayuning yang berada di atas punggung kuda. Gerakannya hampir tak tampak oleh mata orang awam.
"Bangsat! Ada orang melarikan tawanan kita! Cepat kejar!" teriak salah seorang anggota rombongan yang sempat melihat sesosok bayangan putih menyambar gadis tawanannya. Seketika kudanya digebah cepat mengejar Panji.
Setelah berhasil membawa Ayuning ke tempat aman, Pendekar Naga Putih cepat melepaskan ikatan gadis itu. Tapi tiba-tiba ingatan Panji terlintas pada Kuntara. Mungkin saja Kuntara ikut melompat dari atas pohon pada saat dirinya membebaskan Ayuning, Hal itulah yang dikhawatirkan Panji.
"Kakang Panji...," desah gadis berbaju biru muda ketika mulai dapat mengenali penolongnya. "Ah, untunglah Kakang menolongku. Kalau tidak, entah apa yang akan terjadi pada diriku. Terima kasih, Kakang."
"Ayuning, lebih baik cepat kau tinggalkan tempat ini!Aku harus segera menolong kawanku. Siapa tahu dia mengalami kesulitan!" desak Panji sambil bergerak meninggalkan gadis itu.
Baru beberapa langkah meninggalkan Ayuning, pemuda itu telah dikepung belasan ekor kuda bersama anggota perampok di atasnya. Rupanya mereka berhasil menemukan orang yang melarikan tawanannya.
"Itu dia! Mau lari kemana kau, Bangsat.. ! Hei! Kau sudah bosan hidup? Atau mau cari mampus ditangan gerombolan Setan Kepalan Besi!" bentak salah seorang anggota perampok galak.
Setelah berkata demikian, orang itu melompat dari punggung kudanya. Gerakannya kelihatan gesit, pertanda kalau kepandaian orang itu tidak bisa dipandang rendah. Setelah perampok pertama turun, yang lain pun segera menyusul dan langsung membuat lingkaran mengepung Panji dan Ayuning. Kini kedua pendekar muda itu terkurung ditengah-tengah kepungan.
"Ha ha ha...! Sesalilah dirimu yang sok usilan, Kisanak! Hiaaat..!" disertai teriakan nyaring, orang itu melompat maju sambil mengayunkan pedang ke tubuh Panji. Teriakan itu juga merupakan isyarat bagi yang lain untuk segera menyerang. Setelah melihat kawannya sudah bergerak menyerang, perampok lain berlompatan susul-menyusul ke arah Panji dan Ayuning.
"Kakang Panji, hati-hati dengan bubuk beracun yang akan mereka gunakan nanti!" teriak Ayuning mengingatkan Panji ditengah hujan senjata belasan pengeroyok.
Wut! Wut...!
Panji menggeser kakinya ke samping sambil merendahkan kuda-kuda menghindari bacokan pedang dua perampok. Gerakannya disusul dengan tendangan kilat ke dada salah seorang lawan. Namun orang itu cukup cerdik dan gesit. Senjatanya langsung diputar untuk membabat kaki yang mengancam dadanya. Cepat Pendekar Naga Putih menarik kakinya kembali hingga bacokan itu pun luput untuk kedua kalinya. Bagaikan sebuah pegas, kaki Panji secepat kilat menendang dagu orang itu. Tendangan kuat dan dilakukan secara mendadak membuat lawan kelabakan. Tanpa dapat dicegah lagi tendangan itu telak mengenai sasaran.
Desss!
"Aaakh...!" Seketika itu juga perampok terbanting keras ke tanah ketika dagunya terhajar secara telak! Terdengar bunyi tulang patah diiringi jerit kesakitan menyayat. Perampok bernasib sial itu mengerang sambil menutup wajahnya. Seketika darah kental mengalir dari mulutnya karena tulang rahangnya patah.
Selagi perampok itu sibuk mengurusi lukanya, saat itu Pendekar Naga Putih sudah sibuk menghindari serangan empat pengeroyok lainnya. Serangan yang dilancarkan empat perampok itu demikian gencar, seolah-olah tak ingin memberi kesempatan untuk membalas. Sadar kalau lawan-lawannya adalah anggota perampok yang sering mengganggu penduduk desa-desa di sekitar wilayah itu, Panji bertindak kepalang tanggung. Dan begitu memasuki jurus ketujuh,tiba-tiba Pendekar Naga Putih merubah gerakannya.
"Heaaat..!"
Wuk! Wuk! Wuk...!
"Hm...!" Sambil mendengus kasar, Panji melenting ke udara menghindari serangan beruntun tiga perampok. Dan selagi masih berada diudara, kedua kaki pemuda berjubah putih itu meluncur kebelakang melakukan dua tendangan ke arah dua pengeroyok sekaligus! Dan...
Bukkk! Desss!
Tanpa bersuara lagi, dua perampok terjerembab mencium tanah ketika tendangan itu tepat menghantam punggung mereka. Tubuh mereka langsung ambruk bersimbah darah. Tewas seketika!
"Keparat! Kubunuh kau!" lawan yang kini tinggal seorang berteriak-teriak marah dan melangkah maju sambil mengayunkan pedang kalang-kabut.
Pada saat pedang lawan membabat kearah leher, Panji merendahkan kuda-kuda sambil meliukkan kepala. Ketika mata pedang lawan berdesing diatas kepala, tahu-tahu tangan kanannya menangkap pergelangan tangan lawan. Lalu tubuh orang itu ditekuk dan langsung disambut dengan gerakan lututnya. Terdengar jeritan tertahan ketika lutut Panji menghajar dada lawan. Darah segar langsung menyemprot seketika itu juga. Sejenak tubuh perampok itu menggelepar di tanah sebelum diam untuk selama-lamanya. Tewas dengan tulang dada remuk!
Belum lagi Panji sempat menarik napas lega,tiba-tiba terdengar derap kaki kuda mendatangi tempat itu. Tak lama kemudian, kawanan perampok yang ketinggalan dalam pengejaran telah tiba.
"Bangsat!" seorang laki-laki brewok berwajah bengis membentak ketika melihat tiga kawannya menggeletak tewas. "Bunuh pemuda itu!" perintah si brewok kepada belasan anak buahnya yang langsung melompat dari punggung kuda.
Tanpa banyak cakap lagi, belasan kawanan rampok yang baru tiba serentak menyerbu Panji. Senjata-senjata mereka menyambar-nyambar mengincar tubuh pemuda berbaju putih itu. Pertarungan pun kembali berlangsung seru. Di tempat lain, Ayuning juga tengah bertarung sengit melawan tujuh kawanan perampok. Meskipun para perampok terus mencecar gadis cantik itu dengan serangan bertubi-tubi, namun sampai sejauh itu tak satu pun senjata mereka yang dapat menyentuh tubuh Ayuning. Malah dua kawan mereka telah tergeletak akibat tamparan gadis berpakaian biru muda itu.
Sebagai murid tunggal tokoh sakti seperti Dewa Tanpa Bayangan, sudah dapat dipastikan kalau kepandaian Ayuning tidak bisa disamakan dengan tokoh-tokoh kebanyakan. Tentu saja sebagai murid tunggal, Ayuning telah dibekali ilmu-ilmu silat tinggi. Maka tidak mengherankan kalau gadis itu kelihatan tenang menghadapi keroyokan kawanan perampok meskipun tidak bersenjata! Hanya dengan tangan kosong.
"Haiiit..!" Tiba-tiba, Ayuning berteriak nyaring sambil melompat ke udara dengan kedua tangan terkembang. Dengan gerakan berputar, tangan gadis itu melakukan dua kali tamparan yang cepat dan tak terduga. Tentu saja serangan mendadak itu membuat pengeroyok yang menjadi sasarannya, kelabakan. Dan....


←₪֎ [ ENAM ] ֎₪→

Plak! Plak!
"Hughk...!"
Dua di antara para pengeroyok melintir ketika telapak tangan Ayuning menghantam pelipis mereka. Seketika itu juga keduanya melihat alam di sekelilingnya menjadi gelap hingga tidak tahu lagi apa yang terjadi selanjutnya. Kedua orang itu telah tergeletak pingsan!
Kawanan perampok yang mengeroyok Ayuning kini tinggal lima orang. Seketika para penggeroyok bergerak mundur melihat gadis itu kembali merobohkan dua kawan mereka. Beberapa saat lamanya, kelima orang itu hanya berdiri terpaku menatap pendekar wanita yang cantik jelita itu. Sebelum kedua belah pihak saling bergerak, tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan putih mendekati Ayuning. Dengan gerakan yang indah, bayangan putih itu mendaratkan kedua kakinya tepat di sisi gadis berpakaian biru muda itu.
"Kakang Panji...!" seru Ayuning gembira ketika melihat Panji tidak kurang suatu apa pun.
"Ayuning, sebaiknya kita tinggalkan tempat ini, sebelum kawan-kawan mereka datang membantu," bisik Panji perlahan.
"Mengapa, Kakang? Apakah kau takut?" tegur gadis cantik itu dengan kening berkerut. Ayuning tampaknya tidak begitu suka melarikan diri dari kancah pertarungan.
"Bukan begitu, Ayuning. Kalau bantuan mereka tiba, maka akan lebih sulit bagi kita meloloskan diri. Selain jumlah mereka banyak, tidak sedikit di antaranya adalah tokoh-tokoh digdaya," jawab Panji mencoba memberikan pengertian kepada gadis itu.
"Tapi... tapi... bagaimana dengan gadis-gadis desa yang akan mereka jadikan pemuas nafsu, Kakang? Apakah kau tega membiarkan mereka terancam bahaya yang lebih mengerikan daripada kematian?!" bantah Ayuning sambil memalingkan kepalanya ke arah belasan gadis desa yang berkumpul di dekat sebatang pohon dan dijaga ketat tiga perampok.
Mendengar bantahan Ayuning, Panji menjadi gelagapan. Tentu saja tidak akan dibiarkannya gadis-gadis desa itu jatuh ke tangan para perampok. Tapi pada saat ini posisinya benar-benar dalam keadaan sulit. Kalau sampai bantuan para perampok keburu tiba, maka rencana yang telah disepakati bersama Kuntara bisa berantakan.
"Baiklah! Mari kita habisi dulu para perampok ini. Setelah itu, baru kita tinggalkan tempat ini bersama gadis-gadis tawanan itu," sahut Panji mantap. Setelah berkata demikian, tubuhnya kembali melompat ke tengah lawan-lawannya.
Lima belas perampok tergetar mundur melihat lapisan kabut bersinar putih keperakan mengelilingi sekujur tubuh Panji. Seketika tubuh mereka menggigil akibat pengaruh hawa dingin menusuk tulang yang mulai memenuhi sekitar daerah itu.
Panji yang tidak ingin hawa dingin dari tubuhnya mempengaruhi yang lain, segera memancing lawan menjauhi tempat Ayuning dan para gadis tawanan berada. Tapi dia tertegun sejenak ketika mendengar derap kaki kuda yang makin lama makin dekat menuju ke tempat mereka.
"Hm.... Aku harus cepat bertindak sebelum terlambat," kata Panji dalam hati. Indra pendengarannya menangkap jelas derap kaki kuda rombongan bantuan yang sebentar lagi segera tiba dalam jumlah besar.
"Heaaat..!" Seketika itu juga Pendekar Naga Putih meluruk ke arah pengeroyok yang masih ragu untuk menyerang. Sepasang tangannya diputar-putar sehingga menimbulkan desir angin yang luar biasa dinginnya. Meskipun agak tersendat, Panji dapat mengatur tenaga liar yang mengendap dalam tubuhnya.
Wusss! Desss! Bukkk!
"Aaakh...!"
Dua kawanan perampok terguling dihantam pukulan maut. Kedua orang yang tidak sempat mengelak itu, tewas seketika dengan tubuh membiru. Para perampok lain mundur ketakutan. Mereka sama sekali tidak menyangka dua kawan mereka tewas dalam segebrakan saja. Padahal sebelumnya pemuda itu membutuhkan paling tidak lima jurus untuk menjatuhkan salah seorang diantara mereka. Kejadian ini segera menyadarkan orang-orang itu kalau sejak tadi Panji tidak bersungguh-sungguh menghadapi mereka.
"Keparat! Rupanya pemuda itu bukan orang sembarangan. Hati-hatilah kawan-kawan! Kali ini kita harus mengerahkan seluruh kemampuan untuk menangkapnya," seru salah seorang pengeroyok yang sepertinya pimpinan mereka.
Pendekar Naga Putih yang tidak ingin membuang- buang waktu lagi segera melesat kearah para gadis desa ditawan. Pemuda itu meluncur cepat bagai anak panah lepas dari busurnya, dan langsung menerjang tiga perampok yang menjaga gadis-gadis culikan itu. Melihat tubuh Panji tiba-tiba meluncur ke arah mereka, ketiga perampok segera mengayunkan senjata untuk menghalau. Serentak ketiganya membacok dengan mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalam.
"Hiaaa...!"
Trak! Bukkk!
"Aaakh...!"
Tiga perampok menjerit ngeri ketika senjata mereka menghantam tubuh Panji. Seketika itu juga ketiganya terlempar keras bagai disentakkan tenaga raksasa yang tak tampak. Sementara ketiga senjata mereka berpatahan ketika menyentuh tubuh Panji. Ketiga perampok meregang menahan sakit dan rasa dingin yang merasuk sampai ke tulang. Sesaat kemudian, tubuh mereka pun mengejang dan tewas dengan kulit membiru. Itulah kelebihan Pendekar Naga Putih. Tenaga sakti yang mengendap dalam tubuhnya bergejolak setiap saat dan menjadi penangkal bila diserang dari luar. Semakin kuat tenaga lawan yang menyentuh tubuh Panji, maka semakin kuat pula daya tolak yang diterima si penyerang.
Bersamaan kehadiran Panji di tempat para gadis desa, tahu-tahu melayang sesosok tubuh dari atas pohon dan mendarat didekat kerumunan gadis desa. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun orang itu langsung membuka tali pengikat yang membelenggu mereka.
"Kuntara...," seru Panji begitu mengenali orang yang baru datang. "Kuntara, bawa gadis-gadis tawanan ini pergi! Biar aku yang akanvmencegah para perampok itu!" ucap Panji lagi yang hanya dijawab anggukan oleh Kuntara. Setelah berkata demikian, murid tunggal Eyang Tirta Yasa itu melesat ke arah Ayuning yang tengah dikeroyok.
"Ayuning! Cepat kau menyingkir! Lindungi Kuntara membawa gadis-gadis desa meninggalkan tempat ini!" seru Panji begitu menjejakkan kakinya di dekat Ayuning.
"Tapi, bagaimana denganmu, Kakang?" tanya gadis berpakaian biru muda mengkhawatirkan keselamatan Panji.
"Aku akan menahan orang-orang yang akan mengejar kalian! Cepatlah! Jangan membantah!" seru Panji tegas karena tidak ingin mendengar bantahan gadis yang keras kepala itu.
Belum lagi Ayuning sempat meninggalkan pemuda itu, tiba-tiba terdengar suara bergemuruh yang disertai dengan munculnya para perampok lain. Rupanya salah orang anggota perampok sempat melaporkan kejadian yang mereka alami. Kawanan perampok yang berjumlah lebih dari lima puluh orang bergegas melompat dari punggung kuda dan mengepung tempat itu. Sepertiga dari mereka membawa busur dan anak panah. Terlambat bagi Panji dan Ayuning untuk meninggalkan tempat itu. Tapi untunglah Kuntara telah lebih dulu meninggalkan arena pertempuran bersama para gadis desa yang diselamatkannya.
"Ayuning, dengar kata-kataku dan jangan kau bantah!" bisik Panji kepada gadis itu. "Aku akan menerobos kepungan disebelah kiri. Dan pada saat itu, kau harus pergi dari sini, mengerti!?"
"Baiklah, Kakang," jawab Ayuning mengalah.
"Hm... bersiaplah!" bisik Panji sambil menarik napas dalam-dalam. Sesaat kemudian, tubuh Pendekar Naga Putih meluncur ke arah para pengepung yang berada di sebelah kirinya.
"Heaaat...!" Hawa dingin berhembus keras ketika sepasang telapak tangan Panji didorongkan ke depan. Dan...
Wusss! Blarrr!
Hebat sekali akibat yang ditimbulkan dorongan sepasang tangan Panji. Tanah dan rerumputan berhamburan ketika pukulan itu menghantam bumi. Beberapa pengepung yang tidak sempat menghindar terlempar keras. Tewas seketika dengan tubuh membeku. Pada saat kepungan kawanan perampok berantakan, Pendekar Naga Putih segera menarik tangan Ayuning untuk meloloskan diri. Setelah tubuh murid Dewa Tanpa Bayangan melesat ke depan, pemuda itu segera membalikkan tubuhnya untuk berjaga-jaga dari bokongan lawan.
"Hujani panah...!" teriak salah seorang pimpinan perampok yang bertubuh tinggi kurus dan berwajah pucat.
"Pendekar Naga Putih...!" seru pimpinan perampok satunya lagi terkejut. Laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun itu terbelalak melihat lapisan kabut sinar putih keperakan menyelimuti seluruh tubuh Panji.
"Pendekar Naga Putih!?" ulang pimpinan perampok yang berwajah pucat dengan rasa terkejut bercampur heran.
Mendengar aba-aba si muka pucat, barisan panah segera bersiap-siap melepaskan anak panah. Sesaat kemudian terdengar suara berdesing ketika puluhan batang anak panah meluncur deras kearah Panji.
Pendekar Naga Putih yang memang sudah siap menghadapi segala kemungkinan, bergegas memutar kedua tangannya. Sesaat kemudian, angin dingin laksana badai berputar menderu-deru. Batu-batu kecil dan ranting-ranting kering beterbangan di sekitar tempat itu.
Wrrr! Wrrr...!
Puluhan batang anak panah beterbangan ke segala arah. Tak satupun dari puluhan batang anak panah menyentuh tubuh Panji. Bahkan ada yang berbalik menghujani kawanan perampok sendiri.
Cappp! Cappp!
"Aaa...!" Tiba-tiba delapan kawanan perampok menjerit pilu ketika anak-anak panah berbalik menembus tubuh mereka sendiri. Kawanan perampok itu terjungkal, tewas seketika!
"Gila!" seru beberapa kawanan perampok terkejut.
"Ilmu setan...!" seru yang lain gentar.
"Jangan takut! Kepung pemuda iblis itu!" si pemimpin yang bertubuh tinggi kurus dan berwajah pucat berteriak memberi semangat kepada anak buahnya.
Belasan perampok kembali berlompatan maju ke depan. Di tangan mereka tergenggam pisau-pisau terbang yang siap dilemparkan!
"Hiaaa...!" Dibarengi teriakan nyaring sebagai isyarat, salah seorang dari mereka segera melompat sambil mengibaskan tangan. Kemudian disusul oleh yang lain turut-turut
Singgg! Singgg...! Puluhan batang pisau terbang sepanjang telapak tangan berdesingan mengancam Pendekar Naga Putih!
Panji yang belum sempat menarik napas lega, kembali menggerakkan tangan dan menariknya ke sisi pinggang. Dan disertai bentakan keras, kedua telapak tangannya didorong untuk menangkis puluhan pisau, terbang yang meluncur cepat ke arahnya.
Wusss!
Belasan pisau terbang yang dilepaskan tiga orang pertama berhasil dipukul runtuh. Namun sebelum pemuda itu sempat melancarkan pukulan balasan, belasan pisau terbang lain sudah berada di depan muka.
Plak! Plak...!
Trak! Trak...!
Pisau terbang yang mengancam wajah berhasil dirontokkan dengan tepisan kedua tangannya. Sementara belasan pisau lain jatuh berpatahan ketika menyentuh tubuh Panji yang dikelilingi lapisan kabut bersinar putih keperakan. Beberapa pisau ada yang berhasil ditangkap, langsung dilempar kembali keperampok dengan kecepatan menggiriskan!
Empat kawanan perampok yang tadi melepaskan pisau terbang langsung terjungkal dan tewas seketika dengan leher tertancap pisau mereka sendiri. Tentu saja kejadian itu semakin membuat kawanan perampok yang lainnya gentar! Melihat anak buahnya menjadi gentar, empat orang pimpinan perampok segera melompat maju dan langsung mengurung Panji.
"Huh! Rupanya kau makin sombong sehingga berani mencampuri urusan kami, Pendekar Naga Putih!" bentak pemimpin pertama yang berusia sekitar lima puluh tahun, geram. Tiba-tiba tangan orang itu berkelebat, mencabut sepasang trisula yang terbuat dari baja putih.
"Hm... membasmi kejahatan adalah urusanku, Kisanak. Itu memang sudah menjadi tugasku sebagai pendekar penegak keadilan!" sahut Panji tenang.
"Keparat sombong! Mampuslah!" bentak pemimpin yang satunya lagi. Orang itu langsung melesat sambil menebaskan golok bergerigi yang berdesing tajam.
Ketika golok bergerigi lawan hampir menembus tubuh Pendekar Naga Putih, kedua kakinya segera ditarik mundur. Begitu senjata perampok lewat, tangan kanannya berkelebat mencengkeram leher lawan. Namun, Panji terpaksa cepat menarik tangannya karena pada saat yang bersamaan, dari arah samping kiri telah menyambar pedang salah seorang kawanan perampok.
"Haiiit." Pendekar Naga Putih berteriak nyaring sambil melompat kebelakang. Dan ketika kembali ketanah, telapak tangannya langsung didorongkan kedepan. Seketika serangkum angin berhawa dingin berhembus keras menyertai pukulan jarak jauh itu.
Blarrr!
"Iiih...!"
Untunglah kedua penyerang itu sempat menghindar dari pukulan maut tersebut. Kalau tidak, tubuh mereka pasti remuk akibat kedahsyatan pukulan yang dilancarkan Panji.
Setelah melepas pukulan, Panji yang mendapat kesempatan meloloskan diri, langsung meninggalkan tempat itu. Pemuda berjubah putih sengaja berlari ke arah berlawanan dengan jalan yang diambil Ayuning dan Kuntara. Dengan jalan itu, ia berharap Kuntara dan Ayuning dapat melepaskan dari kejaran para perampok.
"Kejar...!" teriak keempat pimpinan perampok kepada anak buahnya seraya melompat kepunggung kuda dan langsung melakukan pengejaran.
Senja yang mulai remang-remang sangat menguntungkan Panji. Pendekar Naga Putih dengan mudah dapat menghindari kejaran para perampok dengan mengerahkan ilmu lari cepat.
Setelah lolos dari kejaran kawanan perampok, Panji segera mengambil jalan pintas menuju Desa Kertasari. Tubuh pemuda itu melesat cepat bagai tak menginjak tanah. Dia sengaja mengerahkan ilmu lari cepat agar dapat menyusul Ayuning dan Kuntara. Setibanya di mulut desa, kening Panji agak berkerut melihat api obor terang-benderang menyambut kedatangannya.
"Hei! Itu Kakang Panji...!" seru sebuah suara merdu yang berasal dari mulut gadis cantik berpakaian biru muda. Gadis itu tidak lain adalah Ayuning.
"Benar! Itu Saudara Panji!" seru Kuntara yang berjalan di sisi gadis cantik itu.
"Kuntara..., Ayuning...! Syukurlah kalian selamat!" seru Panji sambil mengayunkan langkah menghampiri kedua sahabatnya. Wajah mereka berseri-seri karena semua telah selamat.
"Mari ikut bersama kami, Saudara Panji," ajak Kuntara sambil menyerahkan seekor kuda kepada Panji. Setelah berkata demikian, putra Kepala Desa Kertasari segera melompat ke punggung kuda yang telah tersedia di tempat itu.
"Eh, mau ke mana kita, Kuntara...? Ayuning...?" tanya Panji yang masih belum mengerti maksud pemuda itu. Namun akhirnya pendekar perkasa itu terpaksa melompat juga ke atas punggung kuda ketika melihat Kuntara dan Ayuning hanya tersenyum sambil menggebah kuda mereka.
"Hendak ke mana kita?" tanya Panji lagi yang tak dapat menahan keheranannya.
"Ke balai desa!" jawab Kuntara singkat. Tanpa berkata apa-apa lagi, Kuntara bergegas mempercepat lari kuda hingga mendahului kedua kawannya.
Panji dan Ayuning pun ikut menggebah kuda mereka hingga dapat menyusul Kuntara. Meskipun sebenarnya merasa heran atas sikap kedua sahabatnya, tapi pemuda berjubah putih tidak bertanya karena keduanya seolah-olah sengaja menyembunyikan sesuatu. Tidak lama kemudian, mereka tiba di depan balai desa. Ketiganya terus memasuki halaman balai desa yang dijaga dua laki-laki gagah. Kuntara mengangguk kepada kedua penjaga yang menyambut kedatangan mereka dengan ramah. Sepertinya putra Kepala Desa Kertasari ini memang sudah mengenal kedua orang itu.
"Eh, ke mana perginya begundal-begundal Patala?" pikir Panji heran ketika tidak melihat seorang pun perampok berseragam hitam yang tempo hari pernah mengeroyoknya di balai desa. Pendekar Naga Putih memperhatikan dua laki-laki gagah yang tadi berteguran dengan Kuntara. Dua penjaga berseragam baju putih dan celana hitam kembali mengangguk ramah. Didada mereka tertera lambang burung elang membentangkan sayap.
"Siapa penjaga itu, Kuntara? Sepertinya mereka bukan orang-orang Patala?!" tanya Panji kepada Kuntara setelah keduanya turun dari kuda dan masuk balai desa.
"Mereka saudara-saudara seperguruanku yang pernah kuceritakan kepadamu," jawab Kuntara seraya tersenyum.
Sebelum pemuda berjubah putih sempat bertanya lebih jauh, dari ruang dalam balai desa muncul Ki Kalari didampingi laki-laki gagah berusia sekitar empat puluh tahun. Keduanya bergegas menyambut kedatangan Panji, Ayuning, dan Kuntara.
"Selamat datang, Pendekar Naga Putih! Mari silakan masuk!" sambut Ki Kalari dan laki-laki gagah itu berbarengan sambil memberi jalan kepada ketiga orang itu.
Meskipun masih diliputi rasa heran, Pendekar Naga Putih membalas juga senyum ramah kedua orang itu sambil terus memasuki ruang dalam balai desa. Pikiran Panji masih dipenuhi berbagai macan pertanyaan.

* * * * *



←₪֎ [ TUJUH ] ֎₪→

"Demikianlah, Panji. Ketika aku dan Ayuning tiba di desa, ternyata segalanya telah dibereskan paman guru, dan saudara-saudara seperguruanku," Kuntara mengakhiri ceritanya sekaligus menjawab semua pertanyaan yang ada dalam benak pemuda berjubah putih.
"Oh, jadi selagi Patala belum kembali, semua pengikutnya telah habis kalian basmi?" desah Pendekar Naga Putih seolah berkata kepada dirinya sendiri.
"Ya! Karena aku tahu kalau anak keparat itu tidak akan kembali dalam waktu singkat. Paling tidak dia menginap dua atau tiga hari di tempat kediaman Setan Kepalan Besi, ayah kandungnya," ujar Ki Sentanu, paman guru Kuntara menerangkan.
"Hm... bagaimana Ki Sentanu dapat mengenaliku? Padahal seingatku kita belum pernah bertemu," ucap Panji yang tak dapat menyembunyikan rasa penasaran karena Ki Sentanu telah tahu kalau dirinya adalah Pendekar Naga Putih.
"Ha ha ha... memang benar kita belum pernah bertemu sebelumnya. Tapi bukan berarti aku belum pernah melihatmu! Ingatkah kau dengan orang bermuka tikus yang meminta pedangmu tempo hari? Nah, di situlah aku melihat bagaimana kau dapat merobohkan si muka tikus. Saat itu aku memang belum dapat mengenal siapa dirimu. Tapi pada saat engkau melingkarkan pedangmu di pinggang, aku segera sadar kalau kau adalah Pendekar Naga Putih yang selama ini telah mengguncangkan dunia persilatan," jelas Ki Sentanu menghilangkan rasa penasaran di hati Panji.
"Lalu bagaimana dengan ibu dan adikmu, Kuntara?Bagaimana kalau kepala perampok itu tahu Desa Kertasari telah kembali ke tangan Ki Kalari?" tanya Panji. Tapi mendadak ucapan pemuda ini membuat orang-orang yang berkumpul di tempat itu menunduk cemas. "Ah, maafkan pertanyaanku tadi. Aku tidak bermaksud membuat kalian sedih. Tapi kupikir tidak ada salahnya kalau mulai dari sekarang kita sudah memikirkan keselamatan mereka."
"Ah, tidak apa-apa, Saudara Panji. Justru hal inilah yang ingin kami bicarakan denganmu," sahut Ki Kalari mulai angkat bicara.
"Maksud Aki?" tanya Pendekar Naga Putih yang belum mengerti maksud pembicaraan Kepala Desa Kertasari itu.
"Begini, Saudara Panji. Sebelum Patala kembali ke desa ini, kami bermaksud meminta kesediaanmu menolong istri dan anak perempuanku yang ditahan di perkampungan para perampok. Tentu saja kalau kau tidak keberatan," ujar Ki Kalari sambil menatap wajah pemuda berjubah putih.
Panji menatap wajah orang tua itu sejenak. Permintaan Ki Kalari tidak langsung dijawab. Pemuda itu tidak bisa memutuskan langsung begitu saja mengingat tugas yang dibebankan kepadanya kali ini tidaklah mudah. "Baiklah, Ki. Akan kucoba. Tapi kuminta kesediaan Kuntara dan Ayuning untuk membantuku," akhirnya Panji bersedia menerima tugas membebaskan istri dan anak Kepala Desa Kertasari.
"Aku siap!" sahut Kuntara mantap, tanpa keraguan sedikitpun.
"Aku juga bersedia!" Ayuning pun cepat menimpali.
"Baiklah! Kalau begitu kita harus sudah berangkat sebelum fajar!" ujar Panji memutuskan kesepakatan itu.
"Yah, kalau memang begitu, silakan kalian beristirahat agar besok sudah segar kembali," ucap Ki Kalari yang segera bangkit dari kursinya.
"Baiklah, kami permisi dulu!" sahut Panji mewakili Ayuning dan Kuntara yang sudah terlebih dahulu melangkah keluar dari balai desa.
"Ayuning, ke mana gurumu? Mengapa kau tidak bersama beliau?" tanya Panji kepada Ayuning dalam perjalanan menuju kediaman Ki Kalari.
"Guruku menyerahkan tugas itu kepadaku. Sedangkan beliau sendiri terus pulang ke pertapaannya," kata Ayuning.
"Lalu, apakah kau sudah menemukan jejak gerombolan Patala," tanya Panji lagi.
"Belum! Kakang sudah menemukannya?" Ayuning balik bertanya.
"Juga belum."
Kuntara yang tahu kalau Panji dan Ayuning telah saling mengenal sebelumnya tak ingin mencampuri urusan kedua sahabatnya. "Selamat beristirahat, Saudara Panji, Ayuning...," ujar Kuntara ketika tiba di kediaman kepala desa. Kuntara yang telah menunjukkan kamar untuk kedua sahabatnya, bergegas meninggalkan mereka dan masuk kamarnya sendiri.
"Selamat malam...," jawab Panji dan Ayuning berbarengan. Kemudian, keduanya pun berpisah memasuki kamar masing-masing.
Sang malam terus merayap ditingkahi suara nyanyian binatang malam yang semarak.

* * * * *



Malam hampir berganti pagi ketika terdengar kokok ayam jantan bersahut-sahutan menyambut daangnya sang fajar. Di bawah keremangan fajar, tampak tiga orang memacu kuda keluar dari Desa Kertasari. Mereka adalah Panji, Kuntara, dan Ayuning yang akan menunaikan tugas untuk menyelamatkan keluarga Ki Kalari dari cengkeraman kawanan perampok dibawah pimpinan Setan Kepalan Besi. Ketiga muda-mudi itu terus memacu kudanya menerobos udara yang masih dingin. Angin bersilir lembut seolah-olah ingin mengiringi kepergian tiga pendekar muda menunaikan tugasnya. Tidak lama kemudian, mereka mulai memasuki wilayah hutan kecil tempat perkampungan perampok.
"Kuntara, kau tunggulah di sini! Aku dan Ayuning akan mencoba menyelinap kedalam sarang perampok. Ingat! Jangan sekali-kali kau tinggalkan tempat ini sebelum aku dan Ayuning membawa ibu dan adikmu," pesan Panji setibanya diatas bukit dekat perkampungan perampok. Mereka sengaja memilih tempat yang agak tersembunyi dan jauh dari pengawasan perampok.
"Baiklah, Saudara Panji. Apapun yang terjadi aku akan menunggumu disini! Hati-hatilah kalian!" jawab Kuntara sambil melompat dari punggung kudanya, menambatkan tali kekang binatang tunggangannya pada sebatang pohon.
Begitu pula Panji dan Ayuning. Setelah menambatkan kudanya di pohon,keduanya menyelinap masuk keperkampungan perampok. Kuntara mengawasi kepergian dua orang sahabatnya yang rela menghadapi maut demi keluarganya. Padahal dua orang itu baru dua hari dikenalnya. Tapi mereka cepat sekali akrab, seperti telah saling mengenal bertahun-tahun.
"Ah, mereka benar-benar sahabat terbaik yang pernah kukenal. Mereka rela mempertaruhkan nyawa untuk kepentingan orang lain. Hm... keduanya benar-benar pendekar sejati yang selalu membela kebenaran tanpa pamrih. Sungguh bahagia aku dapat menjadi sahabat orang-orang berjiwa pendekar seperti mereka," gumam Kuntara yang merasa sangat beruntung dapat berkenalan dengan Panji dan Ayuning.
Sebentar saja, kedua pendekar muda itu telah lenyap dari pandangan Kuntara. Mereka bergerak cepat, menyelinap di antara bebatuan dan pepohonan. Tak lama kemudian akhirnya keduanya tiba di dekat perkampungan perampok. Panji memberi isyarat menunju kerumah besar dan paling megah di antara rumah-rumah lain yang diduganya sebagai tempat tinggal kepala perampok. Tubuh pemuda itu pun melayang ke atas atap salah satu rumah perampok yang terletak agak kepinggir.
Sedangkan Ayuning mengikuti dari belakang tanpa banyak cakap. Wajah gadis berpakaian biru muda itu teriihat tegang karena sadar kalau kini mereka telah memasuki sarang harimau. Sekali saja membuat kesalahan, bukan tidak mustahil nyawa mereka akan melayang.
Setelah menyusuri beberapa buah rumah, akhirnya mereka tiba dibagian belakang bangunan yang paling besar dan megah. Kedua pendekar muda itu melompati tembok setinggi empat meter dan melayang turun ditaman belakang. Setelah menjejak tanah, keduanya bergegas menyelinap di antara pepohonan yang tumbuh ditaman itu.
"Kau tunggu di sini sebentar, Ayuning. Aku akan menyergap salah seorang penjaga untuk mencari keterangan," bisik Panji ke telinga Ayuning. Selesai berkata demikian, Pendekar Naga Putih bergegas mendekati dua penjaga yang tampak terkantuk-kantuk. Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, Panji berhasil melumpuhkan kedua penjaga yang tak sempat berteriak. Salah seorang penjaga yang berhasil dilumpuhkan, diseret ke tempat Ayuning menunggu, sedangkan penjaga yang pingsan disembunyikan di semak-semak.
"Kalau kau masih ingin hidup, cepat katakan di mana tempat istri dan anak Kepala Desa Kertasari ditahan!" ancam Panji setelah membebaskan totokan pada penjaga itu.
Dengan terbata-bata, penjaga itu akhirnya memberi tahu tempat tahanan keluarga Ki Kalari. Selesai memberi keterangan, tangan Panji kembali bergerak cepat menotok lumpuh orang itu. Tindakan selanjutnya, Panji dan Ayuning melesat menuju tempat tawanan yang ditunjukkan penjaga tadi. Keduanya terus menyelinap, memeriksa ruang demi ruang sampai akhirnya terpaksa berhenti sejenak ketika mendengar suara para penjaga yang tengah asyik bermain kartu. Panji memberi isyarat kepada Ayuning menyergap keempat penjaga. Sesaat kemudian mereka melesat berbarengan. Dan....
Desss! Desss!
"Hughk...!"
"Heghk...!"
Dalam sekejap tubuh empat penjaga langsung rebah tidak berkutik lagi. Cepat Pendekar Naga Putih menyambar kunci yang tergantung di dinding ruang jaga. Lalu dibukanya salah satu kamar tahanan di mana istri dan anak gadis Ki Kalari mendekam. Kedua pendekar muda itu terus bergerak keluar membawa wanita setengah baya dan gadis remaja berusia sekitar lima belas tahun.
"Hei, siapa itu?" tiba-tiba muncul penjaga malam yang saat itu memasuki ruang tahanan.
Sejenak Panji terkejut mendengar teguran itu. Tapi tanpa membuang-buang waktu lagi, pemuda berjubah putih itu langsung mencelat dan melontarkan dua serangan mematikan sekaligus.
Bukkk! Desss!
"Aaargh...!" Kedua penjaga menjerit ngeri ketika telapak tangan Panji hinggap di leher mereka berbarengan. Keduanya langsung roboh bersimbah darah segar yang keluar dari mulut mereka. Keduanya tewas dengan tulang leher patah! Sebelum tewas, keduanya sempat mengeluarkan teriakan yang didengar empat penjaga lain yang saat itu sedang melintas didepan ruang tahanan.
"Eh, seperti teriakan orang kesakitan?"ucap salah seorang dari empat orang penjaga.
"Mari kita periksa!" ajak yang satunya lagi seraya melangkah cepat menuju pintu ruang tahanan. Namun begitu tangannya menyentuh daun pintu, mendadak pintu terbuka dan ada sebuah tangan kuat yang langsung menarik penjaga itu kedalam.
"Hei! Siapa itu?" seru salah seorang penjaga yang temannya ditarik ke dalam. "Cepat bunyikan kentongan tanda bahaya!"
Saat itu Panji dan Ayuning berusaha menerobos keluar sambil membawa kabur dua orang wanita yang berhasil mereka bebaskan. Tangan pemuda berjubah putih itu langsung bergerak melepaskan tamparan maut ke arah penjaga yang tadi berteriak.
Plak!
"Aaakh...!" Penjaga itu kontan terpelanting tewas. Tengkorak kepalanya retak akibat tamparan tangan Panji yang sudah dialiri tenaga dalam. Sedangkan dua penjaga lain sempat berlari untuk memukul kentongan tanda bahaya.
Tidak lama kemudian, diperkampungan perampok terdengar suara kentongan bersahut-sahutan hingga membuat suasana dinihari yang hening menjadi gaduh. Panji dan Ayuning segera melompati pagartembok tempat mereka masuk tadi bersama dua orang bawaannya. Sesaat kemudian, tubuh keduanya telah mendarat empuk di luar gedung besar tempat kediaman kepala perampok. Baru saja beberapa langkah mereka berlari, di depan mereka telah menghadang puluhan anggota perampok.
"Ayuning! Selamatkan dua orang ini! Aku akan mencerai-beraikan kawanan perampok. Dan selagi aku membuat keributan, cepat kau bawa mereka ke tempat Kuntara menunggu! Dan langsung ke desa! Jangan pikirkan aku!" seru Panji kepada Ayuning yang hanya dapat menganggukkan kepala dengan wajah pucat!
"Heaaat...!" Disertai pekikan nyaring, Pendekar Naga Putih langsung menggebrak barisan para perampok yang menghadang. Angin dingin yang menusuk tulang segera menebar dari tubuh pemuda itu. Seketika selapis kabut bersinar putih keperakan menyelimuti sekujur tubuhnya.
Blarrr!
Belasan perampok yang mencoba mengurung berpentalan dihantam pukulan keras Panji. Seketika debu mengepul tinggi hingga pandangan di sekitar tempat itu menjadi terhalang.
"Ayuning, lari...!" teriak Panji sambil mempersiapkan pukulan susulan. Di saat ketegangan memuncak dalam diri Pendekar Naga Putih, mendadak tenaga sakti inti gerhana bulan bergolak dahsyat menembus aliran darah di sekujur tubuh Panji. Lapisan kabut bersinar putih keperakan kian melebar, hampir setengah tombak dari tubuh pemuda perkasa itu. Angin dinginpun semakin kuat menderu-deru di sekitar tempat itu.
Bersamaan dengan kepulan debu yang menghalangi penglihatan, tubuh Ayuning berkelebat cepat meninggalkan para perampok. Meskipun membawa dua orang dibahunya pendekar cantik itu sama sekali tidak merasa terganggu gerakannya. Murid tunggal Dewa Tanpa Bayangan itu benar-benar memiliki ilmu lari cepat yang sangat tinggi. Seperti ilmu yang dimiliki gurunya yang terkenal karena kecepatan geraknya, maka gadis itu pun mewarisi ilmu lari cepat yang luar biasa. Jangankan para perampok, Panji pun rasanya sulit untuk menandingi kecepatan lari Ayuning kalau dalam keadaan biasa.
Pada saat Ayuning bersama dua orang bawaannya melesat meninggalkan arena pertarungan, Pendekar Naga Putih kembali melontarkan pukulan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' yang menggiriskan!
Wusss! Blarrr!
Kembali belasan perampok berpentalan tewas seketika dengan tubuh membiru. Seluruh permukaan kulit mereka dirasuki hawa dingin yang mampu memecahkan seluruh pembuluh darah.
"Mundur...! Jauhi pemuda berilmu setan itu!" teriak salah seorang pimpinan gerombolan yang terkejut melihat kedahsyatan tenaga dalam pemuda berjubah putih.
Kawanan para perampok berlompatan mundur dengan wajah pucat dan gigi-gigi bergemeletukan menahan hawa dingin yang menyebar di sekitar tempat itu. Sesaat kemudian, puluhan perampok lain mulai berdatangan. Panji yang belum merasa yakin kalau Ayuning belum terlalu jauh berlari, tidak segera meninggalkan tempat itu. Pemuda perkasa itu bertekad untuk menghalau kawanan para perampok sampai benar-benar yakin kalau Ayuning dan Kuntara telahs elamat.
"Gila! Perbuatan siapa ini!" bentak seorang laki-laki tinggi besar setibanya di tempat pertarungan. Sepasang bola matanya yang besar dan menakutkan membelalak, seolah-olah tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
"Pemuda gila itulah yang telah membunuh mereka, Ketua!" lapor salah seorang pimpinan perampok yang bertubuh tinggi kurus dengan wajah pucat.
"Mengapa kalian mundur! Bunuh pemuda itu!" perintah ketua perampok yang berjuluk Setan Kepalan Besi murka. Wajahnya yang hitam tampak semakin gelap menahan kemarahan yang menggelegak.
Saat Panji benar-benar dalam bahaya, mendadak tenaga liar yang mengendap di dalam tubuhnya bergolak semakin dahsyat. Perlahan-lahan kesadarannya mulai hilang, sehingga dia tidak dapat lagi membedakan mana kawan dan mana lawan. Kalau saja saat itu Ayuning masih berada didekatnya, bukan tidak mungkin Panji akan menyerangnya.
"Yeaaat...!"
Empat orang pimpinan perampok berteriak-teriak sambil mengayunkan senjata menyerbu Pendekar Naga Putih. Senjata-senjata mereka berdesingan hingga menimbulkan angin berkesiutan yang memekakkan telinga. Pertanda kalau kepandaian mereka memang tinggi dan tidak bisa dibuat main-main.
Panji yang sudah berubah seperti binatang terluka, mengamuk membabi buta! Pemuda berjubah putih itu tidak peduli lagi siapa yang diserangnya. Setiap perampok datang menyerang, disikat tanpa ampun! Yang dipikirkan saat itu hanyalah bagaimana mengeluarkan tenaga liar yang bergolak dahsyat sebanyak-banyaknya. Maka tidak mengherankan kalau pukulan yang dilontarkannya selalu berakibat maut bagi lawan-lawannya.
"Kreaaa...!" Tiba-tiba pemuda itu mengeluarkan jeritan parau yang mengerikan! Bumi disekitar ajang pertarungan bergetar hebat bagai diguncang gempa! Saat itu juga kedua tangannya didorong ke segala arah hingga menimbulkan suara mencicit tajam membeset udara pagi. Hembusan angin dingin menderu keras setiap kali tangannya didorongkan.
Belasan perampok bergulingan seketika mendengar raungan Pendekar Naga Putih itu. Dari telinga, mulut, dan hidung mereka mengalir darah segar! Belasan orang itu tewas karena tak sanggup menahan raungan yang luar biasa dahsyatnya! Bahkan beberapa orang yang tingkat kepandaiannya cukup tinggi pun mengeluh sambil mendekap dada mereka yang terguncang hebat. Yang lebih mengerikan lagi adalah nasib yang dialami empat orang pimpinan perampok yang pada saat itu menyerang Panji. Tatkala tubuh mereka melesat di udara, mendadak keempatnya tersentak balik bagai dilempar sebuah kekuatan raksasa yang tak tampak.
Desss! Desss! Desss!
"Aaargh...!"
Empat pimpinan perampok itu meraung sekuat-kuatnya merasakan tubuh mereka bagai dicerai- beraikan binatang buas. Seketika darah membanjir di sekitar tempat pertarungan. Tak dapat disangkal lagi, keempat pimpinan perampok tewas seketika dengan tubuh hampir tidak berbentuk lagi!
Pertarungan kejam itu makin menggemparkan kawanan perampok. Puluhan perampok termasuk ketuanya, bergegas melompat mundur dengan wajah pucat bagai tak dialiri darah. Nyali mereka hampir melayang menyaksikan kekuatan Pendekar Naga Putih yang hanya dapat mereka dengar dalam dongeng. Kalau saja tidak menyaksikan dengan mata kepala sendiri, mereka mungkin tidak akanp ercaya.
"Gila! Mustahil! Pemuda iblis!" teriak Setan Kepalan Besi tak mempercayai apa yang disaksikannya. Hatinya benar-benar merasa gentar dan terkejut.cHati kecil Setan Kepalan Besi sebenarnya gentar bukan kepalang. Namun sebagai seorang ketua yang disegani dan ditakuti, akhirnya diberanikan juga mengeluarkan senjata andalannya. Senjata berbentuk rantai baja dengan bola berduri pada ujungnya itu diputar-putar di atas kepala hingga menimbulkan angin keras yang menderu tajam.
Saat itu Panji berada dalam keadaan yang sangat mengerikan. Wajahnya seperti bukan wajah manusia lagi. Sepasang matanya menyipit karena seluruh wajahnya mengembang bagai sebuah balon udara. Rupanya 'Inti Tenaga Sakti Gerhana Bulan' yang mengendap dalam tubuh pemuda itu bergejolak kembali. Tapi di saat dirinya benar-benar berada dalam kesulitan seperti itu, kehadiran tenaga liar justru sangat menguntungkan.
"Heaaat..!" Dibarengi teriakan nyaring, Setan Kepalan Besi melontarkan senjata mautnya ke arah Panji. Kepala pemuda itu pastilah remuk apabila terhantam bola berduri yang dimainkan dengan pengerahan tenaga dalam dahsyat.
Panji yang saat itu hanya mengandalkan nalurinya saja, mengangkat tangan kanan memapak senjata lawan. Meskipun gerakan tangannya terlihat sembarangan, tapi sambaran angin yang ditimbulkan sangat menggiriskan!
Planggg!
"Aaah...!" Terdengar suara berdentang nyaring ketika telapak tangan Pendekar Naga Putih menampar bola berduri yang mengancam kepalanya. Bagaikan ditolakkan sebuah tenaga yang dahsyat, bola berduri berbalik mengancam majikannya sendiri. Serangan balik yang tiba-tiba itu membuat Setan Kepalan Besi menjerit tertahan.
Bummm!
Debu mengepul tinggi ketika bola baja berduri jatuh berdebum di tanah. Untunglah Setan Kepalan Besi sempat menghindar. Kalau tidak, mungkin saat itu tubuhnya sudah hancur tak berbentuk lagi. Ketua perampok itu mengusap keringat dingin yang membasahi keningnya.
"Gila! Bagaimana cara melumpuhkan pemuda yang memiliki kepandaian tak terukur ini? Hampir tidak mungkin rasanya kalau dikolong jagat ini ada tenaga dalam yang demikian hebat! Entah dari mana pemuda ini berasal?" gumam Setan Kepalan Besi tak habis mengerti.
"Yeaaat...!" Bagaikan harimau lapar, tubuh Pendekar Naga Putih meluncur disertai teriakan yang menggetarkan seluruh kawasan hutan. Kedua tangannya didorong bergantian kearah perampok-perampok yang sudah ciut nyalinya.
Blarrr...! Glarrr...!
"Aaa...!" Kembali belasan kawanan perampok yang tak sempat menghindar, berpentalan tewas disikat pukulan Panji. Darahpun semakin membanjir, membasahi arena pertempuran.
Sadar kalau pemuda itu tak mungkin dapat dilawan, Setan Kepalan Besi segera mengambil langkah seribu. Tanpa malu-malu lagi ketua rampok yang terkenal kejam itu kabur meninggalkan arena pertempuran. Belum jauh kaki kepala rampok berlari, tahu-tahu sesosok bayangan putih berkelebat ke arahnya. Sesaat kemudian, tiba-tiba tengkuknya dicengkeram bayangan putih yang tidak lain adalah Pendekar Naga Putih.
"Ampun...! Ampunkan saya...! Jangan bunuh saya...!" rintih Setan Kepalan Besi tak ubahnya seperti seorang anak kecil. Ketua perampok yang tadinya sangat ditakuti itu kini menangis menggerung-gerung dalam cengkeraman seorang pemuda seusia anaknya.
Panji yang saat itu sudah tak berbeda dengan binatang buas, sama sekali tidak mempedulikan rengekan Setan Kepalan Besi. Jari-jari tangannya makin lama makin mencengkeram keras. Dan....
Krekkk!
"Hekh...!" Terdengar bunyi tulang berpatahan disertai suara mengorok mirip ayam disembelih.SesaattubuhSetan Kepalan Besi menggelepar-gelepar! Tak lama kemudian, kepala rampok itupun diam tak bergerak gerak lagi. Tewas!
Melihat ketua mereka telah tewas, kawanan perampok yang hanya tersisa beberapa puluh orang itupun langsung lari terbirit-birit tak tentu arah. Sementara itu Panji masih terus melepaskan pukulan-pukulan maut. Angin pukulannya yang maha dahsyat menyambar-nyambar kesegala arah. Tidak sedikit pepohonan dan beberapa rumah disekitarnya yang ambruk akibat terhantam pukulan nyasar.
Setelah puas mengumbar tenaganya, Pendekar Naga Putih berlari tertatih-tatih karena lelah yang amat sangat mulai mendera tubuhnya. Dikala itu cahaya kemerahan mulai tampak dikaki langit sebelah Timur. Pagi mulai menampak, menggantikan sang malam yang harus menjalankan tugasnya di belahan bumi lain.

* * * * *



←₪֎ [ DELAPAN ] ֎₪→

"Kakang Panji...!"
"Saudara Panji...!"
Ayuning dan Kuntara berlari menyambut Panji dengan wajah cemas. Keduanya sangat terkejut melihat Panji melangkah tertatih-tatih menuju Desa Kertasari. Sekujur tubuh pemuda itu kotor oleh bercak-bercak darah yang hampir mengering. Serentak kedua muda-muda itu menyambar tubuh Panji yang hampir ambruk. Ayuning hampir menitikkan air mata karena mengira darah yang mengotori seluruh tubuh Panji adalah luka-lukanya sendiri. Akhirnya gadis berpakaian biru muda itu menghela napas lega ketika tahu kalau sahabatnya tidak terluka. Ternyata darah yang melekat di baju Pendekar Naga Putih adalah darah musuh.
Demikian pula Kuntara. Hatinya diliputi keharuan yang amat dalam. Betapa tidak? Panji adalah sahabat yang belum lama dikenalnya. Dan pemuda itu rela mengorbankan dirinya demi kepentingan orang lain walaupun bukan sanak ataupun keluarganya sendiri. Hampir saja putra Kepala Desa Kertasari tak dapat menahan keharuan hatinya melihat pemuda itu datang dalam keadaan yang amat mengerikan. Hati Kuntara baru agak tenang ketika tahu kalau darah yang membasahi seluruh pakaian dan wajah sahabatnya ternyata bukan berasal dari lukanya. Tubuh pemuda itu sama sekali tidak terluka. Diam-diam kekaguman di hati Kuntara semakin menebal melihat keperkasaan sahabatnya.
"Kakang...!" Ayuning berseru kaget ketika menyambar tubuh Panji yang langsung terkulai pingsan!
"Saudara Panji...!" Kuntara pun berteriak cemas ketika memegang lengan sahabatnya yang langsung terkulai tak sadarkan diri.
"Hm... benar-benar pemuda luar biasa! Rupanya diatelah berjuang keras menyelamatkan dirinyad ari kawanan perampok. Untunglah dia tidak apa-apa! Hanya saja tubuhnya terlalu lelah," ujar paman guru Kuntara yang sudah berada di dekat mereka. Tentu saja saja ucapan orang tua itu membuat hati Kuntara dan Ayuning menjadilega.
Mendengar ucapan Ki Sentanu, Kuntara bergegas membawa sahabatnya kerumah penduduk terdekat. Lalu dibaringkannya Panji diatas balai-balai bambu. Hati-hati sekali Kuntara merebahkan tubuh sahabatnya di atas pembaringan. Seolah-olah takut kalau penyelamat desanya itu terjaga apabila tidak berhati-hati meletakkannya.
Tanpa diperintah, Ayuning bergegas menyediakan air hangat untuk Panji. Tak lama kemudian, gadis cantik itu sudah kembali membawa air hangat dalam baskom dan sehelai kain putih bersih. Dengan penuh kesabaran, dibersihkannya seluruh darah kering yang melekat di seluruh tubuh pemuda itu.
"Berapa lama kira-kira dia dalam keadaan pingsan seperti itu, Paman Guru?" tanya Kuntara kepada Ki Sentanu setelah meninggalkan sahabatnya yang tengah diurus Ayuning. Saat itu Kuntara dan paman gurunya sedang duduk di atas balai-balai bambu di luar rumah.
"Entahlah? Mungkin bisa sampai setengah hari atau bahkan lebih. Tapi kau tidak perlu khawatir, Kuntara. Pendekar Naga Putih memiliki daya tahan tubuh yang kuat dan terlatih baik," sahut paman gurunya dengan wajah berseri.
"Syukurlah. Tadinya aku sangat khawatir ketika tubuhnya terkulai begitu kusentuh. Rupanya Saudara Panji telah mengalami suatu kejadian yang hebat! Tapi, aku tidak dapat membayangkan bagaimana dia dapat menyelamatkan diri dari kepungan kawanan perampok yang amat banyak jumlahnya," desah Kuntara yang rupanya masih belum mengerti bagaimana sahabatnya dapat meloloskan diri dari kepungan para perampok yang terkenal ganas dan berjumlah banyak.
"Nanti saja kau tanyakan padanya," ujar paman gurunya tersenyum. "Kuntara, kau dapat belajar banyak dari pemuda perkasa itu. Cobalah meminta beberapa petunjuk setelah dia siuman nanti. Jangan kau ragu-ragu! Siapa tahu Pendekar Naga Putih itu bersedia memberikan petunjuk padamu. Kurasa hal itu akan sangat berguna bagi kemajuan ilmumu."
"Nanti akan kucoba, Paman Guru. Ah,sebaiknya aku melaporkan hal ini dulu kepada ayah," ujar Kuntara bergegas bangkit dari duduknya. Setelah berpamitan kepada paman gurunya, Kuntara segera menuju kediaman Kepala Desa Kertasari.

* * * * *



Hari telah mulai gelap ketika Panji mulai membuka matanya. Pemuda itu mengerjap-ngerjapkan matanya karena cahaya pelita yang terasa menyilaukan. Samar-samar dilihatnya seraut wajah cantik tengah duduk di sisi pembaringan.
"Adik Kenanga... kaukah itu...?" desah Panji sambil mengulurkan tangan kanan berniat menyentuh wajah gadis itu.
Untuk beberapa saat lamanya, Ayuning hanya terpaku mendengar ucapan Pendekar Naga Putih. Namun, kejadian itu hanya berlangsung sesaat. Karena sekejap kemudian, wajah gadis itu sudah kembali seperti biasa. Lalu tangannya diulurkan menyambut tangan pemuda yang hendak mengusap wajahnya.
"Ah, Kakang, rupanya kau masih mengigau? Lihat baik-baik, apakah kau masih mengenaliku?" tanya Ayuning lembut sambil menggenggam jemari tangan pemuda yang dikaguminya.
"Ayuning!" seru Panji kaget ketika pandangannya sudah semakin jelas. Mendadak tubuhnya tersentak bagai disengat kalajengking sambil menarik tangannya dari genggaman Ayuning.
Tentu saja gerakan Panji yang tiba-tiba membuat Ayuning terkejut. Gadis cantik itu cepat meloncat beberapa langkah hingga tubuhnya hampir merapat pada dinding bilik kamar.
"Huh! Kau membuatu terkejut, Kakang!" ucap gadis itu setelah menyadari kalau pemuda ituhanya mengalami rasa keterkejutan saja.
"Ah, maafkan... maafkan aku, Ayuning. Aku tidak bermaksud mengejutkanmu. Maafkan aku...,"jawab Panjixterbata-bata.
"Tidak apa-apa, Kakang. Kau tadi menyebut nama seorang gadis. Kalau tidak salah namanya… mmm... Kenanga. Boleh aku tahu siapa dia, Kang? Kekasihmukah?" tanya gadis itu tanpa malu-malu. Memang sudah menjadi sifat gadis itulah yang selalu terbuka dalam membicarakan segala sesuatu tanpa tedeng aling-aling.
"Di mana, Kuntara...?" tanya Panji seraya berusaha bangkit dari pembaringan karena kesehatannya dirasakan telah pulih seperti semula. Sesaat tangan dan kakinya digerak-gerakkan seolah-olah ingin melemaskan urat-urat tubuhnya yang kaku akibat tertidur hampir setengah harian lebih.
"Entahlah? Mungkin dia berada di luar," jawab gadis itu datar. Ayuning yang menyadari kalau pemuda ini tidak ingin rahasianya diketahui orang lain, tidak berusaha mendesak. Dan gadis ini pun tahu kalau itu bukan urusannya.
"Mari kita menemuinya, Kang!" ajak Ayuning sambil melangkah keluar mendahului Panji.
"Ah, Saudara Panji, kau sudah sehat?" sapa Kuntara sambil bangkit dari duduknya, ketika melihat kedatangan sahabatnya yang diiringi Ayuning.
"Terima kasih!" jawab Panji tersenyum.
"Mmm... bagaimana kalau sekarang kita menghadap ayahku? Kau tidak keberatan bukan?" ajak Kuntara setelah berbasa-basi sejenak.
"Baiklah, ayo!" sahut pemuda berjubah putih sambil memandang Ayuning. "Ayo, Ayuning."
Beberapa saat kemudian, ketiga pendekar muda itu terlihat menuju rumah kepala desa dengan menunggang kuda. Dalam waktu singkat, ketiganya tiba didepan kediaman Ki Kalari. Namun belum lagi memasuki halaman rumah kepala desa, tiba-tiba terdengar suara tawa menggelegar yang disusul dengan berkelebatnya dua sosok tubuh kearah ketiga pendekar muda itu.
Panji, Kuntara, dan Ayuning terkejut mendengar tawa yang mengandung tenaga dalam yang amat kuat. Bahkan Kuntara sampai terjatuh dari punggung kudanya. Memang hanya pemuda itulah yang tenaga dalamnya paling rendah diantara mereka bertiga. Melihat Kuntara terjatuh, cepat Panji melompat dari punggung kudanya. Gerakan pemuda itu pun diikuti Ayuning yang segera melompat dari punggung tunggangannya.
"Hm! Siapa di antara kalian yang bernama Pendekar Naga Putih?" tanya seorang laki-laki tinggi yang hampir tidak terlihat daging ditubuhnya. Wajah pucat dan kaku itu mirip wajah mayat hingga penampilannya amatm enyeramkan.
"Tidak usah banyak tanya lagi, Kakek Guru! Aku yakin pemuda itulah yang telah membunuh ayah!" ujar seorang laki-laki muda yang datang bersama kakek itu seraya menunjuk kearah Panji. Pemuda itu tidak lain adalah Patala. Dan pada waktu Pendekar Naga Putih tengah menyelamatkan ibu dan adik Kuntara, Patala tidak berada diperkampungan. Putra kepala perampok itu tengah mengunjungi kakek gurunya untuk meminta ilmu silat yang lebih tinggi dengan maksud mengalahkan Panji.
"Hm..., Anak Muda! Benarkah kau yang telah membunuh Setan Kepalan Besi?" tanya kakek itu lagi karena masih belum percaya kalau muridnya bisa dikalahkan oleh pemuda yang terlihat halus dan sopan itu.
"Entalah, Kakek Tua? Aku tidak tahu?" jawab Panji sungguh-sungguh. Karena memang sesungguhnya tidak tahu apa yang telah terjadi pada dirinya saat dikeroyok oleh hampir dua ratus anggota perampok. Hal itu disebabkan kesadarannya sudah tidak bekerja lagi ketika tenaga liar mulai menguasai pikirannya.
"Keparat kau pemuda usilan! Semua anak buah ayahku mengatakan kalau pembunuh ayahku adalah pemuda berjubah putih yang dijuluki Pendekar Naga Putih!Hm.... Rupanya kau seorang pengecutcsehingga tidak berani mengakui perbuatanmu!" ejek Patala.
"Hm... dengar Anak Muda! Aku benar-benar tidak mengetahui apakah telah membunuh Setan Kepalan Besi ataupun setan-setan lainnya! Yang membunuh orang-orang diperkampungan perampok itu memang akulah orangnya!Akut idak menyangkal!" sahut Panji dingin. Meskipun hatinya terbakar ketika dimaki pengecut, namun pemuda itu masih dapat menahan diri.
"Nah, itu baru namanya pendekar!" sahut Patala masih penuh ejekan. "Ayo, Kakek Guru, tunggu apa lagi?Bunuh saja pemuda keparat itu!"
"Hm... meskipun aku belum percaya, tapi bersiaplah Anak Muda! Kau tidak akan rugi bila tewas ditangan Iblis Sembilan Nyawa!" ujar kakek itu parau. Setelah berkata demikian, tangan kakek itu terulur menjambret leher baju Panji.
"Ayuning, Kuntara, mundurlah! Kelihatannya kakek ini bukan orang sembarangan. Biar kucoba menahannya," seru Pendekar Naga Putih sambil mengibaskan tangan sebagai isyarat agar kedua orang sahabatnya menjauhi tempat itu.
Kuntara yang menyadari kalau keluarganya masih berada dalam bahaya, segera menyingkir. Pemuda itu segera berlari menuju ke dalam bersama Ayuning. Dan begitu sampai di ruang depan dilihatnya beberapa penjaga tergolek tak bernyawa. Mata kedua muda-mudi itu meneliti mayat-mayat yang tergeletak dilantai, tapi yang mereka cari tidak terlihat. Kuntara yang hatinya semakin bergolak, segera memburu ke ruang tengah. Di sanalah baru terlihat ibu, adik, dan ayahnya yang terikat pada kursi-kursi. Seketika hati Kuntara menjadi lega melihat keadaan keluarganya selamat. Diapun segera membebaskan ikatan yang membelenggu tubuh keluarganya.
Patala rupanya tidak menyadari kalau Kuntara dan Ayuning masuk ke dalam rumah. Pemuda berperangai kasar itu terpesona menyaksikan kehebatan Pendekar Naga Putih menghadapi serangan-serangan yang dilontarkan kakek gurunya yang berjuluk Iblis Sembilan Nyawa.
Wuttt!
Cengkeraman tangan Iblis Sembilan Nyawa luput ketika Panji menggeser kedua kakinya kebelakang. Namun, pemuda berjubah putih itu sempat terkejut melihat tangan kakek itu berputar dan tahu-tahu kembali mengincar leher bajunya. Panji kembali menggeser tubuhnya lebih menjauh. Tapi anehnya, tangan laki-laki kurus itu masih tetap mengejar, hingga membuat pemuda itu semakin terkejut dan penasaran. Bagaimana tidak? Tangan itu selalu mengejar ke mana saja dia menghindar. Akhirnya Panji yang sudah kehabisan akal terpaksa menggerakkan tangan kanannya untuk menangkis cengkeraman itu.
Plakkk!
"Eh!?" Terdengar suara benturan keras ketika kedua tangan yang terisi tenaga sakti itu saling bertemu di udara. Tangan Iblis Sembilan Nyawa langsung membalik disertai jeritan keheranan.
"Gila! Mustahil tenaga dalam bocah ini demikian tingginya?" gumam kakek renta itu hampir tak percaya dengan apa yang dirasakannya. Padahal selama ini setiap tokoh yang pernah berhadapan dengannya akan jatuh terguling setiap kali beradu tenaga. Maka wajar lah kalau kakek itu menjadi heran ketika merasakan lengannya kesemutan akibat benturan tadi.
"He he he... bersiaplah, Anak Muda! Kali ini aku akan lebih bersungguh-sungguh!" ucap Iblis Sembilan Nyawa memperingatkan Panji. Setelah berkata demikian, tubuh kakek tua itu langsung mencelat ke atas sambil mengirimkan serangan-serangan yang ganas dan mematikan.
Werrr! Werrr!
Desiran angin tajam berkesiutan mengiringi setiap sambaran kedua tangan kakek itu. Debu-debu dan batu kerikil beterbangan tersambar angin pukulan Iblis Sembilan Nyawa yang benar-benar menggiriskan. Dan...
Desss!
Entah dengan cara bagaimana, tahu-tahu telapak tangan guru Setan Kepalan Besi itu telah mengenai dada Panji. Tapi akibatnya tidak seperti yang diharapkan. Bukan tubuh Panji yang terpental, malah tubuh orang tua itulah yang jungkir balik beberapa tombak ke belakang akibat daya tolak tenaga liar yang mengeram dalam tubuhnya. Memang, setiap kali terkena pukulan, dengan sendirinya tenaga liar akan menyebar melindungi tubuhnya.
"Keparat! Ilmu macam apa yang digunakan pemuda setan itu!" teriak Iblis Sembilan Nyawa memaki-maki. Dari bibirnya meleleh cairan berwarna merah! Rupanya kakek itu mengalami luka dalam akibat pukulannya yang terpental balik (Untuk mengetahui dari mana Panji memperoleh tenaga liar yang mengeram dalam tubuhnya, silakan baca serial Pendekar Naga Putih dalam episode Raja Iblis dari Utara)
Panji pun tak kalah terkejut ketika melihat kakek guru Patala tidak tewas akibat pukulan yang terpental balik itu. Diam-diam Pendekar Naga Putih mengakui kehebatan Iblis Sembilan Nyawa.
"Eh!" sepasang mata pemuda berjubah putih seketika membelalak ketika melihat sinar kemerahan berpendar dari telapak tangan si kakek. Sekilas terbayang kembali mayat Eyang Tirta Yasa yang pada bagian dadanya terdapat tanda telapak tangan berwarna merah. Jantungnya berdebar keras ketika teringat pada tanda telapak tangan berwarna merah pada mayat gurunya.
"Kakek iblis! Kaukah yang telah membunuh Malaikat Petir beberapa bulan yang lalu?" tanya Panji dengan wajah yang mulai tegang karena kemungkinan besar saat ini dirinya sedang berhadapan dengan pembunuh Eyang Tirta Yasa.
"Mengapa? Apa hubunganmu dengan Malaikat Petir?" kakek itu malah balik bertanya. Diam-diam hatinya merasa terkejut mendengar pertanyaan yang tidak pernah diduganya.
"Jawab pertanyaanku! Kaukah yang membunuh Malaikat Petir!" teriak Panji yang sudah mulai dikuasai kemarahan. Meskipun wajahnya terlihat pucat, namun sinar matanya mencorong tajam bagaikan hendak menelan tubuh Iblis Sembilan Nyawa.
"Gila! Pemuda ini benar-benar seperti iblis!" desis kakek itu yang tanpa sadar melangkah mundur melihat tatapan Pendekar Naga Putih. Iblis Sembilan Nyawa sudah dapat menduga kalau pemuda di hadapannya adalah murid Malaikat Petir. "Ya! Memang aku pembunuhnya! Aku dan gurumu merupakan musuh bebuyutan. Sudah puluhan tahun aku menyembunyikan diri dan terus memperdalam ilmu kesaktian untuk membalas kematian kakak seperguruanku yang tewas di tangan Malaikat Petir. Aku belum dapat hidup tenang sebelum tua bangka sombong itu tewas di tanganku. Dan kini dendamku sudah terlunasi. Ha ha ha...!"
"Bangsat! Kubunuh kau!" teriak Panji sambil meraung murka. Sesaat kemudian pemuda itu melayang kearah kakek kurus itu dengan kedua tangan terkembang. Begitu mendekati lawan, sepasang tangan Pendekar Naga Putih bergerak susul-menyusul mencecar titik kelemahan lawan.
Wusss! Wuttt!
"Aiiih...!" Iblis Sembilan Nyawa berteriak kaget ketika merasakan sambaran hawa dingin yang dapat membekukan urat-urat tubuhnya, keluar dari sepasang tangan Panji. Meskipun berhasil menghindar, namun tak urung tubuh renta itu sempoyongan bagai terombang-ambing angin topan yang sangat kuat. Karuan saja Iblis Sembilan Nyawa semakin terkejut dan heran.
"Keparat! Rasakan pembalasanku!" bentak kakek guru Patala sambil menerjang Panji dengan hantaman telapak tangan yang mengeluarkan cahaya kemerahan.
Bresss!
"Aaa...!"
Hantaman telapak tangan Iblis Sembilan Nyawa tepat mengenai dada Panji. Namun kembali kakek itu terpental balik bagai dilempar kekuatan raksasa yang tak tampak. Tubuh si kakek terbanting keras di atas rerumputan kering diiringi semburan darah segar dari mulutnya.
"Huagk....!" Kembali kakek itu memuntahkan darah segar setelah terbatuk-batuk. Rupanya luka dalam yang dialami kali ini jauh lebih parah, karena tenaga dalam yang tadi dipergunakannya jauh lebih besar dari pukulan sebelumnya.
Diam-diam Pendekar Naga Putih semakin terkejut melihat daya tahan tubuh yang dimiliki kakek renta itu.
"Heaaa...!" Dibarengi teriakan mengguntur, tubuh Panji melompat sambil mendorongkan sepasang telapak tangannya kearah Iblis Sembilan Nyawa yangsudah kembali bersiap. Sambaran angin dingin yang keluar dari telapak tangan pemuda itu menimbulkan suara mencicit tajam.
Iblis Sembilan Nyawa yang masih merasa penasaran segera memutar kedua tangannya di depan dada sehingga menciptakan sebuah dinding pertahanan yang tak tampak. Begitu sepasang tangan Pendekar Naga Putih hampir mencapainya, tiba-tiba kakek guru Patala membentak keras sambil mendorongkan sepasang telapak tangannya menyambut pukulan Panji. Maka....
Blarrr!
"Wuaaa...!"
Hebat sekali akibat pertemuan tenaga dalam yang dahsyat itu! Bumi di sekitar tempat itu bagaikan diguncang gempa! Beberapa buah bangunan berderak roboh akibat guncangan yang cukup kuat itu! Sedangkan tubuh kakek yang berjuluk Iblis Sembilan Nyawa meluncur deras bagaikan daun kering yang diterbangkan angin. Tubuh tua renta itu menabrak sebatang pohon hingga tumbang!
Daya luncur tubuh Iblis Sembilan Nyawa baru terhenti ketika membentur tembok depan balai desa hingga runtuh! Sesaat tubuh renta itu bergerak-gerak lemah. Tak lama kemudian tak bergerak-gerak lagi. Tewas dengan tulang-tulang berpatahan akibat hantaman dan benturan-benturan keras yang dialaminya.
"Eyang...! Hari ini telah kubalas sakit hatimu! Semoga arwahmu tenang di alam baka," bisik Panji sambil menengadahkan kepalanya ke cakrawala.
Patala yang melihat kejadian itu hampir tak percaya kalau kakek gurunya tewas di tangan pemuda yang sangat dibencinya. Begitu terbayang wajah-wajah korban kekejamannya, pemuda itupun segera berlari menyelamatkan diri.
Panji menolehkan kepalanya ketika mendengar gerakan yang ditimbulkan Patala. Saat itu juga, pemuda berjubah putih itu mengejar Patala yang sudah kehilangan keberaniannya.
Kreppp!
"Aaakh...!" Patala tak mampu berbuat apa-apa lagi ketika tangan Pendekar Naga Putih yang mengandung hawa dingin telah mencengkeram lehernya. Patala berteriak-teriak ketakutan ketika merasakan jari-jari tangan yang mencengkeramnya semakin mengeras.
"Kakang Panji, tahan...!" tiba-tiba terdengar teriakan merdu yang terlontar dari dalam rumah Ki Kalari. Suara merdu itu tak lain adalah suara Ayuning yang tahu-tahu telah melompat keluar untuk mencegah Panji yang sudah siap mematahkan batang leher Patala.
"Kakang, jangan bunuh dia! Serahkan laki-laki busuk itu kepada Kuntara. Biar dia dan ayahnya yang akan mengadili pemuda bejat itu." Ayuning menyentuh lembut lengan Panji, setelah berada di sampingnya.
Sesaat Panji tertegun mendengar ucapan gadis itu. Sinar matanya mulai meredup dan perlahan-lahan cengkeramannya mulai merenggang hingga akhirnya terlepas sama sekali.
"Terima kasih, Kakang," jawab Ayuning sambil menyerahkan Patala kepada Kuntara dan Ki Kalari yang berdiri di belakangnya.
Pendekar Naga Putih yang kesadarannya sudah hampir pulih, mulai dapat mengenali orang-orang di sekelilingnya. Dipandanginya orang-orang itu lekat- lekat seolah-olah berusaha untuk melekatkan wajah mereka dalam ingatannya.
"Kuntara, Ayuning, dan Ki Kalari, maafkan aku. Aku tidak bisa menemani kalian lebih lama. Selamat tinggal!" setelah mengucapkan kata-kata itu, tubuh Panji langsung melesat dan menyelinap di antara rumah-rumah penduduk. Dalam sekejap tubuhnya telah menghilang dari pandangan.
"Kalau begitu, aku pun juga harus cepat-cepat pergi, Kuntara. Selamat tinggal...!" ujar Ayuning yang segera melesat meninggalkan tempat itu.
"Selamat jalan, sahabat-sahabatku...!" desah Kuntara menahan keharuan yang menyesak dadanya.

S E L E S A I

BUNGA ABADI DI GUNUNG KEMBARAN


INDEX PENDEKAR NAGA PUTIH
Penjagal Alam Akhirat --oo0oo-- Bunga Abadi Di Gunung Kembaran


Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.