Majikan Pulau Setan
tanztj
May 10, 2017
INDEX PENDEKAR NAGA PUTIH | |
Pemburu Nyawa --oo0oo-- Sepasang Pedang Iblis |
PANJI
Pendekar Naga Putih
Karya: T. Hidayat
EP : MAJIKAN PULAU SETAN
Pendekar Naga Putih
Karya: T. Hidayat
EP : MAJIKAN PULAU SETAN
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
:::≡¦ [ SATU ] ¦≡:::
"Guntala! Di mana kau simpan perahu-perahu itu...?" tanya seorang lelaki gemuk dengan suara berat dan dalam. Lelaki gemuk itu melempar pandang ke arah seorang lelaki tegap yang dipanggil Guntala.
"Jangan khawatir, Kakang Brajanata. Perahu-perahu itu kusimpan di tempat yang aman. Segela sesuatunya telah kupersiapkan dengan baik, sesuai perintah Kakang...," sahut Guntala sambil mengacungkan ibu jari dan memperdengarkan tawa yang menggelitik telinga.
"Hm.... Kalau begitu, bawa beberapa orang kawanmu untuk mengambil perahu-perahu itu. Aku dan yang lain akan menunggu di pantai," perintah lelaki bercambang bauk yang memiliki sorot mata bengis.
"Baik, Kakang...," sahut Guntala dan segera mengajak enam orang anggota rombongan untuk mengambil perahu.
Sedang lelaki gemuk yang bernama Ki Braja-nata, memerintahkan anggota rombongan yang lain untuk mengikutinya menuju tepi pantai. Ada lima orang yang bergerak mengikuti langkahnya, agaknya Ki Brajanata merupakan pimpinan rombongan.
Ki Brajanata berdiri tegak memandang lautan yang membentang luas di hadapannya. Sosok lelaki gemuk yang berpenampilan menyeramkan itu, seperti tidak peduli dengan air laut yang datang membasahi kakinya. Dan baru bergerak menggeser langkahnya saat Guntala dan enam orang anggota rombongan datang membawa tiga buah perahu yang cukup besar dan kuat untuk menahan gelombang lautan.
"Ayo, kita berangkat...!" Perintah Ki Brajanata kepada anggota rombongan untuk naik ke atas perahu. Sementara kakinya sendiri sudah melangkah menuju sebuah perahu yang berjajar di atas pasir.
"Kakang..." Tiba-tiba salah seorang anggota rombongan memanggil Ki Brajanata, membuat langkah lelaki gemuk bermata bengis itu terhenti dan menoleh ke arah asal suara.
"Hm.... Ada apa, Soganta...?" tanya Ki Brajanata dengan kening sedikit berkerut. Sepasang matanya menatap tajam sosok lelaki kekar yang bernama Soganta.
"Apa tidak sebaiknya kita berangkat saat matahari terbit, Kakang? Aku rasa itu lebih baik, karena kita dapat memastikan arah yang dituju dengan tepat," Soganta mengajukan pendapatnya, dan beberapa orang anggota tampak mengangguk menyetujui.
Tapi tidak demikian dengan Ki Brajanata. Setelah memandang wajah para pengikutnya, terdengar jawabannya yang datar disertai dengusan tak senang.
"Soganta. Tujuan kita cukup jauh. Hari sudah siang sebelum tempat itu terlihat. Itu sebabnya, mengapa aku perintahkan kalian berangkat sekarang juga...," lanjut Ki Brajanata memberikan alasannya. Sehingga seluruh anggota rombongan mulai mengerti jalan pikiran pimpinan mereka.
"Apa kita akan datang dengan terang-terangan, Kakang...?" tanya anggota rombongan yang lain, membuat pandangan Ki Brajanata beralih.
"Kita belum tahu pasti kekuatan lawan. Selain itu, Ki Dayut Ganda agaknya tidak akan datang. Mungkin paman guruku itu tidak bersungguh-sungguh mengucapkan janjinya, saat aku datang menemuinya. Tapi biarpun demikian, kita tetap berangkat. Dan tentu saja kita tidak langsung menunjukkan diri sebelum tahu pasti kekuatan lawan," jelas Ki Brajanata dengan sesekali mengedarkan pandangan. Seolah berharap dapat menemukan sosok Ki Dayut Ganda yang dipanggilnya paman guru.
Orang yang diharapkan kedatangannya oleh Ki Brajanata bukanlah tokoh sembarangan. Ki Dayut Ganda sangat dikenal dalam rimba persilatan. Meskipun tokoh menggiriskan itu jarang menampakkan diri di dunia ramai, tapi namanya menggetarkan rimba persilatan dari barat sampai timur.
Tokoh itu termasuk dalam jajaran kaum tua yang menjadi tokoh puncak golongan hitam. Bahkan Ki Dayut Ganda diakui sebagai datuk kaum sesat yang bersemayam di daerah lautan timur, sehingga dijuluki Datuk Lautan Timur. Itu sebabnya, mengapa Ki Brajanata sangat mengharapkan bantuan paman gurunya.
"Tapi sewaktu Ki Dayut Ganda mengucapkan janjinya akan membantu kita, beliau kelihatan bersungguh-sungguh, Kakang. Tidakkah sebaiknya kita tunggu sebentar lagi. Mungkin beliau hanya terlambat..."
Soganta rupanya masih ingin menanti kedatangan Datuk Lautan Timur. Lelaki kekar itu pun ikut mengedarkan pandang matanya ke sekeliling. Soganta sangat berharap dapat menemukan sosok Ki Dayut Ganda dalam bayang-bayang pohon kelapa yang banyak tumbuh di pantai itu.
"Sebenarnya aku pun sangat mengharapkan kehadirannya, Soganta. Tapi kita tidak bisa menunda kepergian, hanya karena menunggu kedatangan orang yang belum pasti akan membantu kita. Kendati dia paman guruku, aku tidak akan sudi meminta bantuannya dengan cara mengemis.
Tanpa bantuannya pun aku yakin kita dapat menundukkan lawan. Sudahlah. Mari kita berangkat..," Ki Brajanata mengakhiri ucapannya. Kemudian membalikkan tubuh, dan melangkah menuju perahu yang berada paling kiri.
"Kakang,lihat...!" Tiba-tiba Soganta berseru keras. Sepasang matanya tampak membelalak, menatap sosok bayangan hitam yang sedang duduk di atas perahu yang akan ditumpangi pimpinannya.
Ki Brajanata sendiri sebenarnya tidak perlu diberi tahu Soganta. Lelaki gemuk itu memang telah melihat sosok bayangan hitam yang tampak duduk tenang di atas perahu sambil memandang riak gelombang air laut. Merasa penasaran, tubuhnya berbalik dan memandang anggota rombongannya satu persatu.
Agaknya, Ki Brajanata hendak menghitung jumlah anggota rombongan. Dan hatinya sangat terkejut ketika mendapati semua anggota rombongan masih berada di belakangnya. Kenyataan itu menunjukkan, sosok bayangan hitam yang duduk di atas perahu bukan salah satu anggota rombongannya.
"He he he...! Mengapa kau seperti orang tolol begitu, Ki Brajanata? Cepatlah berangkat. Aku tidak sabar lagi melihat sikap kalian yang penuh keraguan. Apa kau telah menduga kalau aku telah berubah pikiran dan tidak jadi mengunjungi Pulau Setan?" tegur sosok bayangan hitam, membuat wajah Ki Brajanata berubah gembira. Jelas, pemilik suara itu telah dikenalnya.
"Dayut Ganda...?! Kaukah itu...?!" seru Ki Brajanata dengan suara tertahan.
Aneh memang, bila orang mendengar panggilan Ki Brajanata kepada tokoh yang disebutnya paman guru itu. Dia sama sekali tidak memanggil eyang atau panggilan hormat lainnya. Melainkan cukup dengan nama saja. Mungkin bagi orang-orang yang memiliki kesopanan, sikap Ki Brajanata dianggap kurang ajar.
Tapi memang seperti itulah sifat orang-orang golongan sesat. Kadang meraka tidak mempedulikan tata cara kesopanan. Sikap mereka sangat bebas, tidak terikat peraturan yang menurut anggapan mereka hanya sekadar basa-basi saja. Ki Dayut Ganda sendiri tidak mempersoalkan panggilan itu.
"Tidak perlu banyak cakap lagi! Hayo, kita berangkat..!" seru Ki Dayut Ganda.
Sebenarnya, baik Ki Brajanata maupun anggota rombongannya masih terpana saat mengetahui siapa sosok bayangan hitam yang duduk di atas perahu itu. Diam-diam hati mereka bergidik melihat kesaktian tokoh yang telah berusia lanjut itu.
Sebab dari sekian banyak orang, tak satu pun yang melihat atau mendengar kedatangan Ki Dayut Ganda. Bahkan tak seorang pun tahu, sejak kapan datuk sesat itu duduk di atas perahu. Mungkinkah datuk itu sempat mendengar ucapan Ki Brajanata yang bernada tak puasbarusan?
Tapi semua pertanyaan di dalam hati setiap anggota rombongan itu tidak memperoleh jawaban yang pasti. Segala pertanyaan yang memenuhi kepala mereka lenyap, saat mendengar perintah Ki Dayut Ganda agar segera berangkat meninggalkan pantai.
"Baik!" sahut Ki Brajanata bersemangat Kemudian tanpa banyak cakap lagi, lelaki gemuk berwajah brewok itu segera memerintahkan anggota rombongan naik ke atas perahu. Sebentar kemudian, ketiga perahu itu bergerak meninggalkan tepi pantai, membelah gelombang lautan.
* * * * *
"Warsa! Ke mana perginya tuan mudamu...?" tegur lelaki gagah berusia sekitar tema puluh tahun lebih, berwibawa. Sepasang matanya yang setajam mata elang menatap sosok lelaki kurus yang duduk bersimpuh di hadapannya.
"Tuan Muda Sanggala sedang bermain-main di laut, Tuanku. Hamba..., hamba."
"Bodoh! Bukankah sudah kukatakan agar kau menyampaikan pesanku, kalau Sanggala tidak boleh pergi meninggalkan pulau hari ini! Apa kau belum menyampaikannya...?!" bentak lelaki gagah yang sangat marah melihat kelalaian pembantunya.
"Hamba sudah menyampaikan perintah Tuanku. Tapi, Tuan Muda Sanggala mengatakan agar Tuanku tidak perlu khawatir. Karena dia tidak akan pergi jauh meninggalkan pulau. Tuan Muda hanya ingin menikmati keindahan laut.
Hamba tidak dapat berbuat apa-apa, Tuanku...," jelas Warsa dengan terputus-putus. Wajah lelaki kurus itu tampak pucat dan dipenuhi butir-butir keringat. Jelas, dia sangat takut i melihat majikannya marah.
"Hhh..." Lelaki gagah berkumis lebat bernama Ki Wanalungga yang menjadi Majikan Pulau Setan, hanya bisa menghela napas mendengar keterangan pembantunya. Lelaki gagah itu sadar, Warsa tidak pantas disalahkan. Putranya memang bandel dan tidak bisa dinasihati. Apalagi hanya seorang pelayan seperti Warsa.
"Sudahlah. Kau boleh pergi sekarang, dan tunggu sampai majikan mudamu kembali. Katakan padanya agar segera menemuiku," ujar Ki Wanalungga dengan nada lebih lunak.
Warsa menarik napas lega. Dari tekanan suara majikannya, dapat diduga kalau dirinya tidak akan mendapat hukuman.
"Terima kasih, Tuanku. Hamba mohon diri...," ucap Warsa.
Kemudian, bergegas lelaki kurus itu meninggalkan ruangan dengan tubuh terbungkuk-bungkuk. Dikhawatirkan kalau majikannya akan berubah pikiran jika dirinya berlama-lama di ruangan itu.
"Tunggu sebentar, Warsa...!" cegah Ki Wanalungga tiba- tiba, membuat langkah kaki lelaki kurus itu terhenti. Wajah Warsa kembali memucat saat membalikkan tubuhnya sambil membungkuk dalam-dalam.
"Ya, Tuanku..."
"Sampaikan kepada Karmangga, aku ingin agar kawan- kawannya dikumpulkan dan segera menghadapku," perintah Ki Wanalungga, membuat Warsa merasa lega.
Semula lelaki kurus itu menduga kalau majikannya akan memberi hukuman atas kelalaiannya. Tapi dugaannya ternyata meleset. Meskipun majikannya seorang yang berwatak keras dan penuh disiplin, tapi hatinya sangat baik.
"Baik, Tuanku. Akan hamba sampaikan secepatnya."
Setelah membungkuk hormat, Warsa segera meninggalkan ruangan itu dengan setengah berlari.
"Kasihan Warsa, Kakang. Kelihatannya sangat takut akan menerima hukuman darimu...," gumam seorang wanita cantik berusia sekitar empat puluh tahun yang duduk di sebelah Ki Wanalungga. Wanita itu istri Ki Wanalungga, Majikan Pulau Setan.
"Aku tidak berniat menghukumnya. Tapi biar bagaimanapun, kita harus keras dalam mendidik orang-orang yang tinggal di pulau ini. Apalagi belakangan ini hatiku merasa tidak tenteram. Firasatku mengatakan, akan ada badai besar yang mungkin akan mengaramkan pulau ini berikut isinya...," ujar Ki Wanalungga pelan, seperti berkata pada diri sendiri.
Tentu saja ucapan itu membuat istrinya terkejut. Tapi sebelum membuka mulut, terdengar langkah orang banyak mendatangi tempat itu. Tak lama kemudian, muncul seorang pengawal yang langsung melapor.
"Tuanku, Ki Karmangga dan empat orang kawannya meminta izin untuk menghadap...," lapor pengawal itu setelah membungkukkan tubuh.
"Suruh mereka masuk...," sahut Ki Wanalungga cepat.
Tidak berapa lama setelah pengawal itu lenyap di balik pintu, muncul seorang lelaki tinggi besar. Tubuhnya terlihat sangat kokoh dan kuat, tak ubahnya seekor harimau muda yang garang dan penuh semangat Lelaki berusia empat puluh* tahun itu adalah Ki Karmangga, yang datang bersama empat orang rekannya. Mereka pembantu utama sekaligus murid utama Ki Wanalungga.
Setelah kelima orang pembantu utama itu duduk dihadapannya, Ki Wanalungga segera mengutarakan kekhawatiran hatinya. Dan meminta kepada kelima orang itu agar memperketat penjagaan di sekitar pulau, karena khawatir akan ada sesuatu yang menimpa Pulau Setan. Baru saja Ki Karmangga ingin mengutarakan pendapatnya, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh kemunculan seorang pengawal dengan wajah pucat dan napas memburu.
"Ada apa? Mengapa kau menghadap tanpa kupanggil...?!" bentak Ki Wanalungga, marah. Kedatangan pengawal yang tiba-tiba itu telah mengganggu pertemuannya.
"Ampun, Tuanku. Di luar sedang terjadi pertempuran. Pulau ini telah diserang segerombolan orang-orang berkepandaian tinggi," lapor pengawal itu, membuat wajah Ki Wanalungga dan kelima orang pembantunya berubah tegang.
"Hm.... Panggil beberapa orang kawanmu untuk menjaga keselamatan istriku...!"
Belum lagi gema suaranya lenyap, tubuh Ki Wanalungga telah melesat cepat meninggalkan ruangan itu. Ki Karmangga dan keempat orang lainnya tentu tidak tinggal diam. Mereka langsung bergerak menyusul, hendak melihat orang-orang yang telah berani mengacau Pulau Setan.
"Datuk Lautan Timur...?!" desis Ki Wanalungga ketika melihat seorang lelaki tua bertubuh tinggi kurus sedang melemparkan tubuh para pengawalnya dengan sebelah tangan. Kehadiran datuk sesat yang menggariskan itu membuat Ki Wanalungga sangat terkejut.
"He he he...! Selamat bertemu, Majikan Pulau Setan. Orang-orangmu sangat ramah sekali. Mereka menyambut kedatangan kami dengan meriah...," ujar kakek tinggi kurus sambil memperdengarkan suara tawanya yang menyakitkan telinga.
"Kau terlalu kejam, Datuk Lautan Timur! Mereka bukan lawan-lawanmu...!" geram Ki Wanalungga segera melesat mencegah korban jatuh lebih banyak.
"Haaat..!"
"Hm...!" Datuk Lautan Timur hanya mendengus melihat datangnya serangan lawan. Tubuhnya bergeser ke kanan menghindari pukulan yang menimbulkan deruan angin keras.
Bettt!
Begitu serangan lawan luput, telapak tangan Ki Dayut Ganda langsung bergerak melancarkan serangan balasan. Cepat dan kuat sekali hantaman telapak tangan kakek tinggi kurus itu, hingga membuat Ki Wanalungga terkejut. Sadar untuk menghindar sudah terlambat, Majikan Pulau Setan itu mengangkat tangan kirinya sambil menggeser kaki kanan ke belakang.
Plakkk!
Pelipisnya memang selamat dari incaran telapak tangan lawan yang mampu meremukkan batu karang. Tapi akibat perbuatannya, Ki Wanalungga terjajar mundur dengan wajah menyeringai. Telapak tangannya terasa panas dan ngilu. Jelas, kekuatan tenaga dalam lawan masih beberapa tingkat di atasnya.
"Hiaaah...!"
Belum lagi sempat memperbaiki kuda-kuda, Datuk Lautan Timur kembali mengirimkan serangan susulan ke arah dada Ki Wanalungga.
"Haiiit..!"
Tidak ada jalan lain bagi Ki Wanalungga kecuali melempar tubuhnya berjungkir-balik ke belakang, dan terus berputaran sebelum mendaratkan kakinya sejauh satu setengah tombak dari tempat semula.
"Datuk Lautan Timur! Selama ini di antara kita tidak pernah terjadi perselisihan. Lalu mengapa tiba-tiba kau memusuhiku? Apakah ada salah seorang penduduk pulau ini pernah berbuat salah padamu?" tegur Ki Wanalungga seraya menyiapkan ilmu untuk menghadap gempuran lawan berikutnya.
"Aku tidak mau tahu! Yang jelas, kedatanganku ke tempat ini dengan satu tujuan. Merebut Pulau Setan dari tanganmu! Sekarang, sebaiknya kau bersiap menghadap malaikat maut!" sahut Ki Dayut Ganda kembali melesat tanpa memberi kesempatan pada lawan untuk berbicara lebih banyak.
"Kalau begitu, aku akan mempertahankan pulau ini sampai titik darah penghabisan...!" ujar Ki Wanalungga lantang.
"Hahhh!" Ki Wanalungga melompat mundur ketika sebuah pukulan lawan datang mengancam jalan darah kematian di tubuhnya. Kemudian, langsung membalas dengan tidak kalah ganas. Sebentar kemudian, kedua tokoh itu sudah saling gempur dengan hebatnya!
Di tempat lain, Ki Karmangga tengah menghadapi Ki Brajanata. Dengan kepandaiannya yang tinggi, lelaki gemuk bermata bengis itu menggempur Ki Karmangga habis-habisan, hingga membuatnya kewalahan.
"Yiaaa...!"
Plak! Plak!
"Aaah...!" Ki Karmangga memang mampu menyelamatkan diri dari hantaman lawan. Tapi kuda-kudanya tergempur terkena tamparan lawan yang sangat kuat. Sehingga pada serangan berikutnya, serangan Ki Brajanata tidak sempat lagi dihindari. Dan....
Desss!
"Hugkhhh.!" Tanpa ampun lagi tubuh Ki Karmangga terpental ke belakang akibat tendangan keras yang singgah di dadanya. Tampak darah segar menyembur dari mulutnya. Dan tubuhnya terbanting ke tanah dengan suara berdebuk nyaring!
"Tamat riwayatmu...!" bentak Ki Brajanata. Lelaki gemuk ini tidak menyia-nyiakan kesempatan baik itu. Selagi lawannya tidak berdaya, tubuhnya langsung melesat siap menjejak tubuh lawan!
* * * * *
:::≡¦ [ DUA ] ¦≡:::
Debu bercampur kepingan-kepingan tanah berhamburan, saat telapak kaki Ki Brajanata yang mengandung kekuatan hebat menjejak tempat Ki Karmangga tergeletak. Untunglah lelaki tinggi kekar itu sempat menggulingkan tubuh, hingga selamat dari malapetaka yang mengerikan.
Dengan sisa-sisa kekuatan yang ada, Ki Karmangga berusaha bangkit untuk memberikan perlawanan. Dicabutnya sebilah golok besar yang tergantung di pinggang. Kemudian memutarnya di depan tubuh, membentuk benteng pertahanan yang sangat kuat.
"Hmhhh...!" Ki Brajanata mendengus meremehkan senjata lawan. Dan dengan langkah-langkah pendek, tubuh lawannya dihampiri.
"Haaat...!" Kali ini Ki Karmangga rupanya tidak ingin kedukaan oleh lawan. Saat tubuh lawan bergerak mendekat, lelaki kekar itu melompat maju seraya memutar golok besarnya yang menimbulkan deruan angin keras.
Bettt! Bettt!
Dua kaK sambaran golok Ki Karmangga berhasil dielakkan lawan. Meski demikian, Ki Karmangga tidak patah semangat. Bahkan kelebatan goloknya semakin terarah dengan baik. Sehingga untuk beberapa saat lamanya, Ki Brajanata tidak mampu membalas serangan lawan. Karena ilmu golok yang digunakan Ki Karmangga sungguh tidak bisa dipandang ringan.
Namun sikap yang ditunjukkan Ki Brajanata bukan karena tidak mampu melancarkan serangan balasan. Agaknya, lelaki gemuk itu sengaja memancing lawan agar semakin gencar melancarkan gempuran. Ki Karmangga terus berkelebat dengan menggunakan kelincahan tubuhnya. Dan ketika melihat pertahanan lawan sedikit mengendur, langsung saja kakinya mencelat melancarkan sebuah tendangan miring yang telak menghajar iga Ki Karmangga.
Bukkk!
"Aaakh...!" Lagi-lagi Ki Karmangga harus mengakui kehebatan lawan. Baik dalam kecepatan maupun kekuatan, dia masih berada di bawah Ki Brajanata. Sehingga tanpa ampun lagi, tubuhnya kembali terbanting keras.
"Habis...!" bentak Ki Brajanata.
Saat Ki Karmangga tengah berusaha berdiri tegak, Ki Brajanata langsung melompat sambil mengembangkan kedua lengannya. Dan....
Prakkk!
"Aaargh.!" Terdengar raung kematian yang menggetarkan seisi pulau. Sepasang telapak tangan Ki Brajanata yang mengandung tenaga dalam kuat, menghantam telak kedua pelipis lawan, hingga retak. Darah segar pun meleleh keluar membasahi pakaian Ki Karmangga. Lelaki kekar itu ambruk ke tanah dan tewas seketika.
Setelah menyelesaikan lawannya, Ki Brajanata angsu g melesat menuju bangunan induk di pulau itu. Beberapa orang pengawal yang mencoba menghadang, langsung berpelantingan terkenatamparannya. Tanpa mempedulikan korban-korbannya, Ki Brajanata Bergerak memasuki bagian dalam bangunan. Setiap kamar dijelajahinya dan isi kamar dia cak hingga porak-poranda. Rupanya, lelaki gemuk itu sedang mencari sesuatu yang menjadi tujuannya mendatangi pulau ini.
Brakkk...!
Sebuah kamar yang terkunci rapat hancur terkena tendangan keras Ki Brajanata. Sepasang mata lelaki gemuk itu berkilat saat melihat sesosok tubuh ramping meringkuk di sudut kamar. Wanita itu tidak lain istri Majikan Pulau Setan!
"He he he...! Tak kusangka keparat Wanalungga memiliki seorang istri yang cantik. Meskipun sudah tidak muda lagi, tapi masih sangat menggairahkan...," ujar Ki Brajanata terkekeh sambil meneliti sekujur tubuh wanita itu dengan sepasang mata yang memerah saga.
"Pergi kau, Manusia Jahat! Atau aku akan mengakhiri hidupku dengan senjata ini...?!" teriak wanita cantik itu sambil mengangkat sebilah pisau dengan tangan kanannya. Tapi wanita yang tidak memiliki kepandaian silat itu tidak dapat berbuat apa-apa. Dengan sekali berkelebat, Ki Brajanata melepaskan pisau itu. Kemudian menotok lumpuh tubuhnya.
"Cepat katakan! Di mana suamimu menyembunyikan benda keramat itu?! Jika tidak, aku tidak akan segan-segan menyiksamu...!" ancam Ki Brajanata sambil mendekatkan wajahnya ke wajah wanita cantik itu.
"Aku tidak tahu benda apa yang kau cari! Aku pun tidak pernah melihatnya...!" jawab wanita cantik itu, berusaha menjauhkan wajahnya. Tapi karena tubuhnya telah tertotok, wanita itu hanya bisa menangis.
"Bohong...!" Ki Brajanata tidak percaya dengan jawaban wanita itu. Kemudian, dilemparkannya tubuh perempuan malang itu ke atas pembaringan. Dan....
Breeet..!
Sekali renggut saja, kain yang dikenakan wanita itu langsung robek. Ki Brajanata menjilati bibirnya dengan jakun bergerak turun-naik, melihat pemandangan yang membangkitkan nafsu setannya.
"Bicaralah, atau." Kembali Ki Brajanata mengancam seraya mengulurkan tangan, membuat wanita itu ketakutan. Tapi apa daya karena tubuhnya telah tertotok lumpuh. Wanita itu hanya dapat menangis, ketika jemari tangan Ki Brajanata menggerayangi tubuhnya.
"Aku tidak tahu...!" rintihnya lemah dengan wajah bersimbah air mata.
"Setan.!" Ki Brajanata memaki sambil melepaskan tubuh wanita malang itu. Kemudian, isi kamar itu diobrak-abrik, mencari benda yang diinginkannya. Sayang, meskipun seluruh sudut kamar telah diperiksanya, Ki Brajanata tetap tidak menemukan benda yang dicarinya.
"Hm.... Kaulah yang memaksaku berbuat kasar, Nyai. Rasakanlah akibat kekerasan sikapmu...!" geram Ki Brajanata dan langsung menerkam tubuh di atas pembaringan itu, lalu menggelutinya dengan kasar.
Setelah melakukan perbuatan terkutuknya, Ki Brajanata memukul pecah kepala perempuan malang itu hingga tewas seketika. Kemudian melompat ke luar kamar, dan terus ke pekarangan.
Desss...!
"Huakkkh...!" Darah segar menyembur keluar dari mulut Ki Wanalungga. Tubuh lelaki gagah itu terlempar deras dan jatuh terbanting di tanah.
"He he he...!" Datuk Lautan Timur melangkah maju sambil terkekeh parau hingga menyakitkan telinga. Kekejaman terpancar jelas pada sepasang matanya yang kecil dan tajam.
Ki Wanalungga menyeret tubuhnya menjauhi lawan, kemudian bergerak bangkit dengan gerakan limbung. Sementara lawannya sengaja memperlambat langkah untuk menyiksa lelaki gagah itu.
"Hm.... Rupanya kau telah diperdaya oleh keparat Ki Brajanata, Datuk Lautan Timur!" desis Ki Wanalungga ketika melihat bayangan lelaki tinggi gemuk melesat keluar dari dalam rumahnya.
"Apa maksudmu, Wanalungga...?" tanya Ki Dayut Ganda seraya menyipitkan sepasang matanya. Agaknya tokoh sesat yang menggiriskan ini tidak mengerti maksud ucapan Ki Wanalungga.
"Ki Brajanata datang ke tempat ini dengan satu tujuan, merebut sebuah benda keramat yang menurutnya ada padaku. Dia telah memperalatmu untuk membantu usahanya...," sahut Ki Wanalunggai tiba-tiba mendapatkan akal untuk mengadu domba, kedua lawannya.
Setelah mendengar ucapan Ki Wanalungga, Datuk Lautan Timur segera mematingkan wajahnya ke arah Ki Brajanata yang menjadi kaget melihat perubahan itu.
"Ki Brajanata...!" panggil Datuk Lautan Timur dengan suara menggelegar.
Kakek itu memang tidak tahu tujuan sebenarnya perbuatan Ki Brajanata. Murid keponakannya1 itu hanya mengatakan meminta bantuannya untuk merebut Pulau Setan. Dan sama sekati tidak memberi tahu soal benda keramat yang dikatakan Ki Wanalungga.
Meskipun dengan wajah tegang, Ki Brajanata melangkah mendatangi paman gurunya. Diam-diam lelaki gemuk itu menyiapkan jawaban bila Ki Dayut Ganda menanyakan perihal benda keramat yang dicarinya.
"Katakan terus terang! Apa sebenarnya tujuanmu menyerbu pulau ini?! Kalau tidak kau akan menyesal, dan aku tidak akan memandangmu sebagai murid keponakan lagi! Karena kau telah berani berdusta dan memperalatku...!" geram Ki Dayut Ganda dengan sepasang mata berkilat tajam. Kakek itu sangat marah karena merasa dipermainkan.
"Aku tidak bermaksud mempermainkanmu, Dayut Ganda. Aku hanya khawatir kau akan menolak membantuku, bila aku mengatakan hal yang sebenarnya. Sebab dengan kepandaianmu yang tinggi, kau pasti tidak sudi membantuku menemukan benda keramat itu. Jadi, aku tidak bermaksud memperalatmu, apalagi menipumu," jawab Ki Brajanata, licik. Sehingga kemarahan yang semula terpancar di wajah kakek itu kini menurun.
"Hm.... Coba kulihat, seperti apa benda yang sangat kau inginkan itu...?" ujar Ki Dayut Ganda mengulurkan tangannya, meminta benda yang dicari Ki Brajanata.
"Aku belum menemukannya...," jawab Ki Brajanata sambil menggelengkan kepala.
"Hm.... Kau hendak mengelabuiku, Ki Brajanata...?" geram Datuk Lautan Timur dengan sepasang mata berkilat tajam.
"Aku sudah menggeledah setiap sudut bangunan. Tapi, benda keramat itu tidak kutemukan. Entah di mana bangsat Wanalungga menyembunyikannya...?" kilah Ki Brajanata membela diri dan berusaha meyakinkan paman gurunya.
"Kalau begitu..., eh?! Keparat...!" Ki Dayut Ganda yang teringat pada Ki Wanalungga segera menoleh ke tempat lelaki gagah itu berada. Dan bukan main terkejutnya hati kakek itu ketika melihat Ki Wanalungga telah lenyap dan tidak kelihatan lagi batang hidungnya.
"Bangsat!" Geram Datuk Lautan Timur sambil mengedarkan pandangan ke arah pertempuran yang mulai berakhir. Namun sosok Ki Wanalungga tetap tidak ditemukan. Agaknya, Majikan Pulau Setan itu telah melarikan diri saat Datuk Lautan Timur bertengkar dengan Ki Brajanata.
"Ayo, kita cari keparat itu...!" ajak Ki Dayut Ganda yang langsung disetujui Ki Brajanata dan beberapa orang anggota rombongan.
Ki Dayut Ganda dan Ki Brajanata berpencar untuk mencari Ki Wanalungga. Demikian pula dengan anggota rombongan lelaki gemuk itu. Mereka men/ilajahi sekitar tempat itu. Semua tempat yang dicurigai sebagai tempat persembunyian, telah mereka geledah. Namun, sosok lelaki tegap itu seperti lenyap ditelan bumi. Setelah gagal mencari Ki Wanalungga, Datuk Lautan Timur kembali mengumpulkan anggota rombongan murid keponakannya. Kini kakek itu mengambil alih pimpinan yang semula dipegang Ki Brajanata.
"Saat ini lupakan Ki Wanalungga. Sekarang, kuperintahkan kalian semua menggeledah setiap sudut pulau ini untuk mencari benda keramat itu. Tanyakan pada Ki Brajanata tentang ciri-ciri benda itu. Tapi sebelumnya, kalian harus membereskan tempat ini, dan buang mayat-mayat itu ke laut Aku ingin beristirahat..." Setelah berkata begitu, Datuk Lautan Timur melangkah pergi meninggalkan Ki Brajanata dan kawan-kawannya yang hanya bisa bertukar pandang
"Kakek keparat...!" Setelah Ki Dayut Ganda lenyap dari pandangan, Ki Brajanata baru berani mengumpat Kemudian, memerintah semua anggota rombongannya untuk melaksanakan perintah Datuk Lautan Timur.
* * * * *
"Eh...?! Apa yang terjadi di tempat kediamanku...?" desis pemuda tampan berusia sembilan belas tahun ketika melihat mayat-mayat terapung di dekat pantai. Cepat perahunya dibelokkan ke bagian pantai yang agak tersembunyi dari pandangan orang-orang yang berada di Pulau Setan. Setelah menyembunyikan perahunya di balik semak-semak, pemuda tampan itu bergerak mengendap-endap, mendekati bangunan besar yang di depannya tampak terjadi kesibukan.
"Hm.... Siapa mereka? Mengapa aku tidak melihat seorang pengawal pun di depan bangunan? Aku harus menyelidikinya. Entah apa yang telah terjadi di tempat ini. Mungkinkah Pulau Setan diserbu gerombolan perampok? Tapi, rasanya tidak mungkin. Sebab aku tidak menemukan perahu besar di pantai...," gumam pemuda tampan itu, bertanya-tanya sendiri.
Pemuda tampan yang berusia sembilan belas tahun itu adalah Sanggala, putra tunggal Majikan Pulau Setan. Pemuda itu baru saja kembali dari laut, sehingga tidak tahu apa yang telah terjadi di pulau itu. Untunglah kecurigaannya langsung muncul ketika melihat belasan mayat terapung di laut. Kalau saja tidak berpikir panjang dan langsung menuju tempat tinggalnya, kemungkinan Sanggala akan tewas.
Paling tidak akan tertawan gerombolan Ki Brajanata. Sanggala semakin terkejut saat melihat orang-orang yang tidak dikenalnya itu bergerak menyebar ke seluruh pelosok pulau. Pemandangan itu membuat hatinya semakin bertanya-tanya.
"Siapa mereka sebenarnya? Mereka sepertinya tengah mencari-cari sesuatu? Ke mana pula perginya ayah dan Paman Karmangga serta yang lainnya? Mungkinkah di antara mayat-mayat yang terapung di laut itu terdapat mayat ayah atau Paman Karmangga? Hhh.... Benar-benar pening aku dibuatnya. Sebaiknya aku tidak usah menampakkan diri sebelum segalanya menjadi jelas. Hm.....Lebih baik aku menyelidikinya melalui jalan rahasia...," gumam Sanggala yang tiba-tiba teringat sebuah jalan rahasia yang hanya diketahui keluarganya.
Maka Sanggala segera melesat dengan hati-hati, menuju semak belukar yang terdapat di samping bangunan yang menjadi tempat tinggalnya selama ini. Tak seorang pun akan menduga kalau di dalam semak belukar yang terdapat di samping bangunan, ada sebuah jalan rahasia. Memang tidak mudah untuk mengetahuinya, karena pintu masuk jalan rahasia itu tertutup semak belukar. Tapi bagi Sanggala, hal itu tidak sulit, karena sejak kecil telah seringkah melaluinya.
Sanggala menyusuri lorong panjang yang hanya bisa dilalui satu orang. Pemuda itu berusaha tetap dapat menatap ke depan. Untuk itu, tenaga dalamnya harus dikerahkan agar dapat melihat dalam cahaya remang-remang. Dan kewaspadaannya pun harus tetap dijaga. Siapa tahu lorong rahasia ini telah diketahui orang-orang yang tak dikenalnya.
Sebab, ketika memasuki tempat rahasia ini, sempat dilihatnya orang-orang asing itu tengah mencari-cari sesuatu. Bukan tidak mungkin mereka sedang mencari jalan rahasia yang kini dilaluinya. Baru beberapa belas tombak berjalan, Sanggala menghentikan langkahnya. Wajahnya seketika berubah tegang. Samar-samar terdengar dengus napas berat dari arah depan.
"Hm.... Tidak kusangka tempat rahasia ini telah diketahui mereka. Apa sebenarnya yang mereka cari di pulau ini...?" gumam Sanggala.
Berpikir begitu, Sanggala segera meloloskan pedangnya perlahan lahan tanpa suara. Dengan menyembunyikan pedang di balik lengan agar kilaunya tidak tertangkap lawan, Sanggala kembali bergerak maju dengan lebih hati-hati. Pemuda tampan itu bertambah tegang ketika dengus napas berat tadi semakin jelas terdengar.
Setelah terdiam beberapa saat untuk memastikan di mana pemilik napas itu, Sanggala kembali bergerak maju. Tenaganya langsung menyebar ke seluruh tubuh dan siap digunakan setiap waktu. Sanggala yang merasa pasti kalau pemilik napas berat itu berada di balik dinding sebelah depannya, segera melompat cepat dengan pedang terhunus. Namun....
"Ayah.?!" Sanggala terpekik ketika mengenali sosok pemilik napas berat itu adalah ayahnya sendiri.
"Sanggala...! Kaukah itu...?" tegur lelaki tegap yang tergolek lemah, bersandarkan dinding tanah lorong rahasia.
Sanggala tidak mampu lagi menahan perasaannya. Tanpa menjawab pertanyaan ayahnya, pemuda itu langsung memburu dan memeluk tubuh Ki Wanalungga.
"Ayah.... Kau..., terluka...? Apa yang sudah terjadi, Ayah? Di mana ibu...?" Sanggala langsung memberondong Ki Wanalungga dengan pertanyaan-pertanyaan yang memenuhi kepalanya.
"Sabar, Anakku. Kita harus tabah menghadapi cobaan berat ini...," bujuk Ki Wanalungga seraya menepuk-nepuk bahu putranya.
Diam-diam lelaki gagah itu merasa bersyukur putranya tengah bermain di laut saat peristiwa itu terjadi. Kalau tidak, mungkin Sanggala sudah tewas di tangan lawan-lawannya yang berkepandaian tinggi. Terutama Ki Dayut Ganda yang berjuluk Datuk Lautan Timur.
Dengan suara perlahan, Ki Wanalungga menceritakan peristiwa yang menimpa penduduk Pulau Setan. Sanggala mendengarkan dengan hati terbakar. Meski demikian, tak sekali pun cerita ayahnya dipotong. Baru setelah Ki Wanalungga selesai bercerita, Sanggala mengungkapkan rasa marah dan penasarannya.
"Jadi kedatangan orang-orang jahat itu hanya karena sebuah benda yang sebenarnya tidak ada pada Ayah?! Lalu, dari mana Ki Brajanata mendapat berita bohong itu? Bagaimana pula nasib ibu? Apakah Ayah sudah mengetahuinya?" Kembali Sanggala melontarkan pertanyaan-pertanyaan kepada ayahnya. Agaknya pemuda itu sangat mengkhawatirkan keselamatan ibunya.
"Entahlah, Sanggala. Aku sendiri tidak tahu, dari mana keparat Ki Brajanata mendapat berita bohong itu. Tapi kelihatannya dia sangat yakin benda itu berada di tangan Ayah. Mengenai nasib ibumu..., dapat dipastikan tidak mungkin selamat. Sebab saat aku bertarung dengan Ki Dayut Ganda, sempat kulihat Ki Brajanata keluar dari dalam bangunan. Kemungkinan besar ibumu telah dibunuhnya...," jelas Ki Wanalungga dengan suara terpatah-patah. Sesekali lelaki gagah itu menyeringai sambil memegang dadanya yang terasa bagai ditusuk ribuan jarum. Majikan Pulau Setan itu memang mengalami luka dalam yang parah!
"Ayah, luka dalammu mungkin sangat parah. Kau harus menyembuhkannya dulu, setelah itu kita cari ibu," ujar Sanggala. Ucapan itu jelas menunjukkan Sanggala masih sangat hijau dengan pengalaman.
Ki Wanalungga pun memaklumi ketidaktahuan putranya. Lelaki gagah itu tersenyum pahit dan menggelengkan kepalanya disertai helaan napas panjang.
"Hhh.... Lukaku sangat parah, Sanggala. Selain orang yang memiliki tenaga sakti sempurna, tidak ada lagi yang dapat menolongku. Sekarang aku tak ubahnya orang lumpuh. Siapa pun dapat dengan mudah membunuhku. Sebaiknya, kau tinggalkan tempat ini, carilah kehidupan baru di tempat lain. Dan jangan sekali-kali berniat hendak membalas dendam, karena musuhmu bukan orang sembarangan.
Tokoh sakti seperti Datuk Lautan Timur sangat sukar dicari tandingannya. Kendati kau berlatih seumur hidup, tokoh itu belum tentu dapat dikalahkan. Untuk itu, tinggalkan tempat ini. Lupakan Pulau Setan, Anakku," ujar Ki Wanalungga menyadari saat kematiannya tidak akan lama lagi. Lelaki gagah itu ingin memberi nasihat untuk terakhir kalinya kepada putra tunggalnya.
Batin Sanggala, menjerit mendengar ucapan ayahnya. Betapa tidak? Dia tidak mampu membalas sakit hati kedua orangtuanya pada orang-orang yang telah demikian kejam melukai ayah dan mungkin membunuh ibunya. Sehingga Sanggala menyembunyikan wajahnya, khawatir air matanya akan jatuh dan terlihat oleh ayahnya. Sanggala tidak ingin lelaki gagah yang sangat dicintainya itu menganggap dirinya pemuda cengeng.
"Tidak. Kalau Ayah tidak pergi, aku pun akan tetap tinggal di sini. Dan jika pergi, Ayah harus kubawa. Siapa tahu di daratan sana ada orang yang mampu menyembuhkan luka Ayah. Nanti malam, aku akan membawa Ayah pergi dari pulau ini," bantah Sanggala mantap, tidak dapat ditawar lagi. Mendengar ucapan itu, Ki Wanalungga hanya bisa menghela napas panjang. Lelaki gagah itu pasrah pada keinginan putra tunggal yang sangat disayangnya.
"Kalau itu sudah menjadi keputusanmu, Ayah tidak bisa mencegah lagi, Sanggala. Hanya saja kita harus hati-hati. Siapa tahu mereka masih mencariku...," ujar Ki Wanalungga dengan suara perlahan.
"Jangan khawatir, Ayah. Aku pasti dapat membawamu meninggalkan tempat ini...," sahut Sanggala merasa yakin mereka dapat meninggalkan Pulau Setan dengan selamat. Ki Wanalungga tidak menyahut. Rasa nyeri masih menggigit bagian dalam dadanya. Ki Wanalungga hanya bisa menggigit bibir, menahan rasa sakit yang dideritanya.
* * * * *
:::≡¦ [ TIGA ] ¦≡:::
"Sudah lama sekali kita tidak merasakan suasana seperti ini, Kakang. Entah mengapa, tiba-tiba aku ingin merasakan suasana laut. Bagaimana kalau perjalanan ini kita lanjutkan melalui samudera yang luas itu? Apa kau tidak merasa tertantang oleh gelombang yang bergulung-gulung itu, Kakang?"
Terdengar suara merdu sosok tubuh ramping berpakaian serba hijau. Wajahnya yang jelita tampak kemerahan tersengat terik sinar matahari. Yang semakin menambah pesona dirinya.
Pemuda tampan bertubuh sedang berjubah panjang warna putih tidak segera menjawab. Pandang matanya dilayangkan ke laut lepas, memandang ombak yang berkejaran menuju pantai. Baru kemudian beralih menatap wajah jelita di sebelahnya.
"Kalau kau memang menginginkannya, aku setuju saja. Tapi kita harus mencari pelabuhan yang terdekat. Sebab di perkampungan nelayan ini aku tidak menemukan kapal besar, yang ada hanya perahu penangkap ikan," sahut pemuda tampan berjubah putih itu. Pandangannya diedarkan ke sekitar tempat itu. Tapi sejauh mata memandang, yang terlihat hanya deretan perahu-perahu nelayan.
"Lalu..." Dara jelita itu meminta kepastian dengan wajah dimiringkan, memandang pemuda tampan di sebelahnya. Melihat adanya pijar kemesraan dalam pandang mata mereka, dapat diduga pasangan muda itu bukan sekadar kawan seperjalanan.
"Ya. Kita cari dermaga tempat kapal-kapal besar merapat Mungkin kita bisa menumpang bila kapal itu kembali bertolak," jawab pemuda tampan itu, menyetujui.
"Kalau begitu kita harus mencarinya, Kakang...," ujar dara jelita itu lagi.
Pemuda tampan itu kelihatannya setuju saja. Tapi baru saja mereka hendak menjauhi tepi pantai, terdengar suara pertarungan yang cukup jelas.
"Kau dengar suara itu, Kenanga...?" tanya pemuda tampan berjubah putih, kepada dara jelita yang tidak lain Kenanga. Sedang pemuda itu adalah Panji yang dalam rimba persilatan berjuluk Pendekar Naga Putih.
"Ya. Aku mendengarnya, Kakang. Ayo kita lihat..!" ajak Kenanga. Kemudian tanpa menunggu jawaban Panji, dara cantik berpakaian serba hijau itu langsung melesat mencari sumber suara pertarungan.
Tidak berapa lama kemudian, keduanya melihat seorang pemuda tampan berusia sekitar sembilan belas tahun, tengah mati-matian membela diri dalam keroyokan empat orang bertampang kasar. Sekali melihat saja, Panji bisa menilai pihak mana yang harus dibelanya. Maka tanpa banyak cakap lagi, Pendekar Naga Putih segera berkelebat mendahului kekasihnya.
"Haiiit..!"
Plak! Plak!
Begitu tiba, Panji langsung memasuki arena pertempuran dan menyelamatkan pemuda itu dari ancaman dua pedang lawan. Sehingga kedua orang kasar itu hampir terpelanting terkena tangkisan Pendekar Naga Putih.
"Bangsat! Siapa kau berani mencampuri urusan kami?!" bentak seseorang yang bertubuh tinggi tegap. Sepasang matanya berkilat menatap wajah Pendekar Naga Putih. Rupanya lelaki itu sangat marah melihat campur tangan Panji.
Panji hanya tersenyum mendengar ucapan lelaki bertubuh tegap itu. Dan dengan sikap yang tenang pertanyaan itu dijawabnya.
"Kisanak. Persoalan di antara kalian memang bukan urusanku. Tapi sebagai orang gagah, aku tidak bisa tinggal diam melihat ketidakadilan terjadi di depan mata. Sudah menjadi kewajiban setiap manusia untuk memerangi ketidakadilan," ujar Panji, membuat lelaki tegap itu menggereng.
"Hm.... Kalau begitu, kau pun harus segera kukirim ke neraka! Bersiaplah...!" geram lelaki tegap itu. Kemudian, anak buahnya diperintahkan untuk mengeroyok Panji.
"Kisanak, hati-hati...," ujar pemuda tampan berusia sembilan belas tahun yang tubuhnya terlihat kokoh.
"Mereka memiliki kepandaian tinggi."
"Tenang. Aku akan berusaha menyingkirkan mereka...," jawab Panji seraya melangkah maju mendekati empat orang lawannya.
"Hm.... Rupanya kau sudah tidak sayang dengan nyawamu, Pemuda Tolol...!" desis lelaki kasar yang bertubuh kekar dan otot lengan bersembulan.
"Haaat...!"
Sebelum Panji sempat menimpali ucapannya, lelaki kekar itu sudah menerjang dengan kepalan-kepalannya yang besar. Angin keras mengiringi setiap lontaran pukulannya, menandakan kekuatan yang tersembunyi di dalamnya tidak bisa diremehkan.
"Hmh..." Panji hanya mendengus melihat datangnya kepalan lawan. Dengan mengegoskan tubuh, kedua serangan itu pun luput di dekat sasarannya. Dan karena elakan Pendekar Naga Putih dianggap suatu kebetulan, maka lelaki kekar itu pun mempergencar serangannya.
Plakkk!
Seielah bosan berkelit, akhirnya Panji menepis sebuah kepalan yang mengincar dadanya. Saat lawan terhuyung, Pendekar Naga Putih menyodok-kan sikutnya yang telak mengenai iga lawan.
Dukkk!
Lelaki kekar itu terkejut merasakan sodokan sikut yang membuatnya menyeringai. Bahkan merasa heran melihat kuda- kudanya tergempur mundur. Maka amarahnya pun meledak.
"Heaat..."
Sebelum lelaki kekar itu kembali melancarkan serangan, tiga orang pengeroyok lain sudah menghambur ke arah Panji. Kilatan-kilatan putih mulai memenuhi arena, saat tiga pedang lawan berkelebatan mengancam tubuh Pendekar Naga Putih.
"Minggat kalian...!" Ketika pertempuran memasuki jurus kesepuluh, tiba-tiba Panji membentak sambil mengibaskan kedua lengannya ke kiri dan kanan. Akibatnya....
Bresssh!
Ketiga lelaki kasar itu terpekik ngeri dengan tubuh terlempar hingga satu tombak lebih. Mereka menjadi gentar, karena tidak menyangka kalau pemuda tampan berjubah putih itu ternyata memiliki kepandaian tinggi.
"Haaat..!" Tapi lelaki kekar berotot yang hatinya masih penasaran, kelihatan belum jera. Bahkan semakin memperhebat serangan, dan melipatgandakan kekuatannya untuk merobohkan Pendekar Naga Putih.
"Hm...!" Pendekar Naga Putih bergumam tak jelas melihat serangan yang dilancarkan lelaki kekar itu. Kali ini Panji tidak berusaha mengelak, malah seperti hendak menerima pukulan lawan dengan tubuhnya.
"Ahhh.?!" Pemuda tampan yang diselamatkan Panji terpekik melihat kenyataan itu. Hampir saja dia menyerbu ke dalam arena. Tapi Kenanga yang juga menyaksikan perkelahian itu cepat menahannya. Sehingga pemuda itu tidak jadi membantu Panji, dan hanya bisa menatap dengan rasa ngeri.
Bukkk!
"Aaakh.!" Kepalan yang besar dan kuat singgah dengan telak di tubuh Pendekar Naga Putih. Tapi yang berteriak kesakitan justru lelaki kekar itu. Bahkan tubuhnya terhuyung mundur sambil memegangi kepalannya yang bengkak.
"Lari...!" Menyadari pemuda tampan berjubah putih itu bukan tandingan mereka, lelaki kekar itu segera menghambur meninggalkan tempat itu dengan mengajak ketiga kawannya.
Panji hanya tersenyum melihat keempat lawannya melarikan diri tunggang-langgang. Pendekar Naga Putih tidak berniat mengejarnya, karena antara mereka dengan dirinya tidak ada permusuhan.
"Mereka orang-orang jahat! Mengapa dibiarkan pergi begitu saja? Kelak mereka akan mencarimu dengan membawa kawan- kawan dan pimpinannya."
Pemuda tampan bertubuh kokoh yang diselamatkan Panji menegur tak puas. Kelihatan sekali kalau tindakan Panji yang membiarkan lawan-lawannya melarikan diri disesalinya.
"Apa yang menyebabkan kau bermusuhan dengan mereka? Kelihatannya kau sangat membenci orang-orang kasar itu," tanya Panji tanpa mempedulikan perasaan tak puas pemuda berpakaian serba biru itu.
"Nanti kuceritakan. Sekarang aku hendak melihat ayahku. Beruntung mereka tidak begitu memperhatikan. Kalau saja ayahku sampai terlihat, mungkin mereka sudah membunuhnya....," ujar pemuda berpakaian serba biru yang tidak iain Sanggala, putra Majikan Pulau Setan.
Rupanya pemuda itu berhasil meninggalkan Pulau Setan bersama ayahnya. Sayang mereka terlihat lawan, sehingga Sanggala nyaris tewas di tangan musuh-musuhnya. Untunglah Panji cepat datang menyelamatkannya.
Melihat pemuda itu berlari masuk ke dalam hutan kecil, Panji dan Kenanga bergegas mengikuti. Sepasang pendekar muda itu kelihatannya sangat tertarik dengan kejadian yang menimpa pemuda itu Bahkan mereka bermaksud ingin membantu pemuda yang baru dikenal itu.
"Ayah...!" panggil Sanggala menyeruak ke dalam sela bebatuan yang agak terlindung dari sinar matahari dan tertutup pepohonan berdaun rimbun.
"Sanggala...," desis lelaki gagah yang tampak semakin payah dan pucat. Lelaki itu adalah Ki Wanalungga. Majikan Pulau Setan itu pergi dari pulaunya dengan membawa luka dalam yang semakin parah.
"Ayah...," desah Sanggala semakin iba melihat keadaan ayahnya.
"Syukurlah kau selamat, Anakku. Apakah mereka sudah pergi dari tempat ini...?" tanya Ki Wanalungga belum menyadari ada dua orang lain yang datang bersama putranya.
"Sanggala...," pangil Panji yang mengetahui nama pemuda itu dari panggilan orangtuanya.
"Kelihatannya luka ayahmu sangat parah. Kalau tidak keberatan, aku ingin memeriksanya."
Sanggala tidak langsung menjawab. Dipandanginya Kenanga dan Panji berganti-ganti, seolah ingin menilai sepasang pendekar itu. Karena biar bagaimanapun, mereka baru saja bertemu. Nama kedua penolongnya pun belum diketahuinya. Jadi wajar saja jika Sanggala belum percaya sepenuhnya pada Panji dan Kenanga.
"Bagaimana, Sanggala?" kali ini Kenanga yang mengajukan permintaan.
"Siapa mereka, Sanggala...?" tanya Ki Wanalungga ketika mendengar ada suara lain. Kening lelaki gagah itu berkerut ketika melihat sseorang lelaki dan perempuan muda membungkuk dan tersenyum padanya.
"Kami sahabat putramu, Paman...," sahut Panji mendahului Sanggala menjawab pertanyaan Ki Wanalungga.
"Merekalah yang menyelamatkan aku dari manusia-manusia jahat itu, Ayah...," jelas Sanggala ketika Ki Wanalungga menatap anaknya meminta penjelasan.
"Namaku Panji. Sedangkan kawanku ini Kenanga. Kami kebetulan sedang lewat di tempat itu saat Sanggala bertempur," jelas Panji, langsung memperkenalkan diri tanpa diminta.
"Terima kasih atas pertolongan kalian...," ujar Ki Wanalungga. Lalu, terbatuk hebat hingga terlihat cairan merah di sudut bibirnya.
"Luka dalam yang Paman derita kelihatannya sudah cukup parah. Bolehkah aku memeriksanya? Kalau dibiarkan berlarut-larut bisa bertambah parah dan membahayakan nyawa Paman...," ucap Panji ketika melihat kesempatan baik untuk menawarkan bantuannya.
"Luka ini sudah sulit disembuhkan, Panji. Aku sudah pasrah menanti kematian...," kata Ki Wanalungga.
"Paman, sebelum kematian datang menjemput, kita wajib berusaha. Izinkan aku memeriksa lukamu. Siapa tahu aku bisa meringankan penderitaan Paman," bujuk Panji. Pendekar Naga Putih langsung berjongkok di dekat Ki Wanalungga. Kemudian tangannya diulurkan ketika melihat orang tua itu terdiam, seolah menyetujui usulnya.
"Hm.... Kita harus mencari tempat yang lebih baik untuk menyembuhkan luka ayahmu, Sanggala," ujar Panji setelah memeriksa Ki Wanalungga.
"Kau bisa menyembuhkannya, Panji...?" tanya Sanggala setengah tak percaya. Sebab menurut penuturan ayahnya, luka itu hanya bisa disembuhkan oleh orang yang memiliki tenaga dalam sempurna. Sedang Sanggala tak yakin pemuda berjubah putih itu memilikinya.
"Kita harus berusaha, Sanggala." Setelah berkata demikian, Panji mengeluarkan dua butir obat berwarna merah dan putih. Kemudian, memberikannya kepada Ki Wanalungga.
Lelaki gagah itu menatap Panji, lalu beralih ke obat yang diangsurkan. Agaknya Ki Wanalungga merasa obat yang diberikan Panji tak akan berguna.
"Ambillah, Paman. Kedua obat ini dapat mengurangi rasa nyeri yang setiap kali datang mengganggu di dalam dada...," jelas Panji, membuat sepasang mata Ki Wanalungga terbelalak. Rupanya orang tua itu kaget mendengar Panji mengetahui penderitaannya.
Melihat Panji mengangguk, Ki Wanalungga segera menerima kedua pil itu, dan menelannya tanpa ragu. Wajah orang tua itu semakin memperlihatkan rasa kaget ketika beberapa saat setelah kedua pil itu masuk ke dalam perutnya, dirasakan ada sesuatu yang bergolak.
"Luar biasa! Pil yang kau berikan sangat mukjizat, Panji!" ujar Ki Wanalungga sambil memperlihatkan senyum ketika merasakan sesuatu yang hangat dan sejuk berganti-ganti menjalar ke seluruh tubuh. Kenyataan itu membuat hatinya gembira.
"Syukurlah, Paman. Memang itu yang kita harapkan...," ujar Panji tersenyum lega.
Sanggala yang melihat ayahnya sudah bisa tersenyum, menjadi heran. Tapi pemuda itu tidak bisa menyembunyikan kegembiraan hatinya.
"Terima kasih, Panji. Meskipun ayahku belum sembuh, tapi kau telah mengurangi penderitaannya. Agaknya kau sengaja dikirim untuk menolong kami...," ucap Sanggala merasa gembira mendengar ucapan ayahnya.
"Bahaya masih belum lewat, Sanggala. Mari kita ke penginapan terdekat untuk mengobati luka dalam ayahmu. Mudah-mudahan beliau dapat diselamatkan...," ujar Panji.
Kemudian, tanpa banyak cakap lagi, tubuh Ki Wanalungga diangkat dan diletakkan di bahu kanannya. Semula Sanggala terkejut melihat perbuatan Panji. Namun ketika melihat pemuda itu hanya sekadar ingin menolong, legalah hati Sanggala. Tanpa banyak tanya, pemuda itu mengikuti Panji dan Kenanga mencari tempat yang lebih aman untuk menyembuhkan luka dalam Ki Wanalungga.
Tidak berapa lama kemudian, mereka pun tiba di sebuah desa yang cukup ramai. Panji segera memesan tiga buah kamar di sebuah rumah penginapan bagi para pelancong dan pedagang keliling.
* * * * *
:::≡¦ [ EMPAT ] ¦≡:::
"Apa bahaya yang kau khawatirkan, Panji?" tanya Sanggala yang memang belum banyak pengalaman. Sehingga tidak mengetahui bahaya menyalurkan tenaga sakti ke tubuh orang lain.
"Begini, Sanggala. Saat aku menyalurkan tenaga saktiku ke tubuh ayahmu, kau dan Kenanga harus tetap siaga jika musuh datang menyerbu. Karena saat itu aku tidak bisa berbuat apa- apa. Kalau sampai aku terganggu atau dibokong lawan, mungkin aku akan mendapat luka dalam yang parah, dan kemungkinan besar ayahmu akan tewas. Itu sebabnya mengapa kita harus bicarakan terlebih dahulu sebelum melakukannya," jelas Panji membuat Sanggala mengangguk- anggukkan kepala tanda mengerti.
"Sungguh berbahaya sekali...," gumam Sanggala tidak menyangka kalau akibat yang akan ditanggung Panji sangat berat. Diam-diam Sanggala kagum dengan keluhuran budi pemuda itu. padahal mereka baru saling mengenal. Tapi pemuda tampan berjubah putih demikian tulus menolong dirinya dan ayahnya. Sampai-sampai berani menanggung akibat yang besar dan berbahaya.
"Bagaimana? Apa kalian sudah siap? Nanti malam kita akan memulai pengobatan itu...," ujar Panji meminta jawaban Sanggala dan Kenanga.
"Aku siap, Kakang...," sahut Kenanga mantap, tanpa keraguan sedikit pun.
"Demi kesembuhan ayahku, aku siap mengorbankan nyawa...," Sanggala pun menjawab dengan tegas dan bersemangat, hingga Panji merasa puas.
"Kalau begitu, kalian harus berjaga-jaga di luar kamar selama aku mengobati Ki Wanalungga...," ujar Panji memberi petunjuk pada kekasihnya dan Sanggala.
"Baik," jawab keduanya serentak.
* * * * *
Ketika gelap mulai datang menyelimuti bumi, Panji sudah siap melakukan pengobatan pada Ki Wanalungga. Pemuda itu melekatkan kedua telapak tangannya di punggung Majikan Pulau Setan yang duduk bersila di depannya. Sedangkan Kenanga dan Sanggala berjaga-jaga di luar kamar.
Kenanga kelihatan sangat tenang, karena sudah terbiasa menghadapi bahaya maupun ancaman maut. Berbeda dengan Sanggala yang selama ini hidup di Pulau Setan. Apalagi menghadapi bahaya maut yang sewaktu-waktu datang tanpa dapat diduga. Maka tidak heran jika pemuda itu tampak gelisah.
"Jangan terlalu tegang, Sanggala. Sebagai orang yang telah ditempa, kejadian seperti ini sudah menjadi bagian hidup kita. Dengan sikap tenang, kita akan bisa mengatasi segala ancaman yang datang," bujuk Kenanga mencoba menenangkan hati pemuda itu. Karena kegelisahan Sanggala terlihat jelas, tidak bisa disembunyikan.
"Hhh.... Selama hidup, aku belum pernah merantau atau meninggalkan Pulau Setan. Kejadian-kejadian yang kualami belakangan ini membuat hidupku tidak tenteram. Tapi biar bagaimanapun, aku siap menghadapi ancaman maut...," ujar Sanggala, tidak malu mengakui perasaan hatinya kepada Kenanga.
"Bersemadilah, Sanggala. Pusatkan pikiranmu dan jangan biarkan mengembara tanpa tujuan. Setelah itu, aku yakin kau akan merasa lebih enak...," Kenanga kembali memberi nasihat kepada Sanggala.
Mendengar petunjuk gadis itu, Sanggala segera menurutinya. Pemuda itu agaknya menyadari, hanya itulah jalan satu-satunya yang dapat dilakukan agar hatinya menjadi lebih tenang, dan tidak selalu dihantui perasaan was-was.
Kenanga tersenyum ketika melihat Sanggala menuruti petunjuknya. Dara jelita itu menyukai Sanggala yangtidak mempunyai sifat sombong. Dan mau mempertimbangkan serta menuruti nasihat orang lain. Selama nasihat itu berguna bagi dirinya. Tapi baru beberapa saat Sanggala tenggelam dalam semadi, samar-samar Kenanga menangkap suara ribut di luar. Kamar mereka memang terletak di belakang. Tentu saja suara ribut itu membuat Kenanga terkejut.
"Hm.... Kalau tidak ingat pesan Kakang Panji, aku akan memeriksa apa yang terjadi di luar sana. Mungkinkah musuh-musuh Sanggala dan ayahnya telah menemukan tempat ini?" gumam Kenanga seraya meraba gagang pedangnya. Sengaja Sanggala tidak dibangunkan dari semadinya, sebelum mengetahui secara pasti apa yang sebenarnya terjadi di luar sana.
"Aaa...!" Kenanga mulai yakin kalau kemungkinan besar musuh-musuh yang dikhawatirkan itu benar-benar datang. Cepat gadis itu menyadarkan Sanggala dari semadinya.
"Ada apa, Kenanga...?" tanya Sanggala yang merasa harinya menjadi lebih tenang setelah menjalankan semadi dengan sungguh-sungguh.
"Aku mendengar suara jerit kematian di luar sana. Mungkin musuh-musuhmu telah mengetahui kalian menginap di desa ini. Aku ingin memeriksanya sebentar. Kau tunggu di sini, dan jangan pergi ke mana-mana...," pesan Kenanga yang merasa! penasaran ingin melihat apa yang terjadi dengan! pemilik penginapan.
Sanggala tidak sempat mencegah kepergian dara jelita itu, karena bayangan Kenanga segera lenyap dari pandangannya. Akhirnya, Sanggala hanya bisa menghela napas panjang. Dan berjaga-jaga di depan pintu kamar dengan tangan siap di gagang pedang.
Dugaan Kenanga ternyata meleset Memang benar di bagian depan penginapan itu telah terjadi keributan. Tapi yang datang mengacau bukanlah musuh-musuh Ki Wanalungga. Itu dapat diketahuinya saat melihat beberapa orang kasar memanggul barang-barang di bahunya. Rupanya mereka para perampok.
"Keparat busuk...!" desis Kenanga.
Saat itu dilihatnya seorang wanita cantik berusia tiga puluh tahun dibawa dengan paksa oleh seorang lelaki brewok yang tubuh bagian atasnya tidak tertutup pakaian. Tanpa banyak cakap lagi, Kenanga langsung melesat dan melepaskan sebuah tamparan keras ke kepala orang itu.
Plakkk!
"Aaakh...!" Hebat sekali akibat tamparan telapak tangan dara jelita itu. Korbannya yang tak sempat mengelak, langsung terpelanting roboh. Dan melihat lelehan darah segar di kepala lelaki brewok itu, dapat dipastikan kalau batok kepalanya retak.
"Kembalilah ke kamarmu. Biar aku yang akan memberi pelajaran pada perampok-perampok busuk itu...!" ujar Kenanga seraya menarik bangkit perempuan itu, dan mendorongnya ke ruang dalam. Kemudian, Kenanga yang sedang dilanda amarah itu melompat keluar mengejar perampok lainnya.
"Hei, berhenti...!" bentak Kenanga seraya melesat dan melambung ke udara. Kemudian melayang turun setelah berputar beberapa kali, dan menghadang enam lelaki kasar yang membawa barang-barang rampasan.
Tentu saja keenam perampok itu terkejut bukan main melihat sesosok bayangan meluncur turun bagai jatuh dari langit. Mereka segera bergerak mundur sambil menghunus senjata.
"Aihhh...?!" Salah seorang perampok yang melihat wajah Kenanga, berseru gembira. Betapa tidak? Sosok bayangan itu ternyata seorang dara yang cantik luar biasa.
"Gadis cantik ini pasti bidadari yang turun dari langit untuk menemani kita!" seru perampok yang bermata sipit, setelah melihat wajah sosok yang menghadang mereka.
"Manusia-manusia keparat!" desis Kenanga semakin bertambah marah mendengar ucapan lelaki itu. Kata-kata kotor yang dilontarkan mereka, membuat wajah Kenanga memerah. Maka tanpa banyak cakap lagi, Kenanga langsung menerjang orang terdepan dengan tamparan keras.
Plakkk!
"Akhhh...!" Tanpa ampun lagi, perampok bermata sipit itu terpelanting ke tanah. Tubuhnya berkelojotan seperti ayam disembelih. Dan sebentar kemudian, diam tak bergerak-gerak lagi. Perampok itu tewas dengan kepala retak!
"Siluman...!" "Perempuan iblis...!"
Kelima perampok itu terkejut dengan wajah pucat. Mereka hampir tidak percaya kalau wanita yang memiliki kecantikan luar biasa itu dapat membunuh hanya sekali pukul! Sungguh tidak masuk diakal!
"Hm.... Orang-orang seperti kalian tidak patut dibiarkan hidup lebih lama. Kalian hanya menyusahkan orang lain saja. Karena itu,' aku akan mencabut nyawa kalian satu persatu! Siapa yang ingin maju lebih dulu...?" tantang Kenanga dengan sorot mata menggetarkan jantung.
Kelima perampok itu saling bertukar pandang satu sama lain. Tentu saja tak seorang pun dari mereka ingin mati. Sehingga, tidak ada yang berani maju lebih dulu.
"Keparat kau, Perempuan Siluman! Kau pikir kami akan lari ketakutan mendengar ancaman kosongmu! Walau kau memiliki ilmu iblis neraka sekalipun, aku tidak mau menyerah begitu saja!"
Salah seorang perampok rupanya tidak merasa gentar. Jika kawannya tewas hanya sekali pukul, mungkin itu hanya kebetulan, pikirnya menghibur diri. Maka, kakinya pun melangkah maju dengan golok terhunus! Melihat seorang kawannya bergerak maju dengan senjata di tangan, yang lainnya pun tidak mau ketinggalan. Mereka segera bergerak mengurung dara jelita itu.
"Hm..., bagus...!" desis Kenanga seraya mengedarkan pandangannya, merayapi wajah-wajah yang terlindung gelapnya malam. Dara jelita itu ikut berputar ketika para pengepungnya bergerak mengelilingi dengan kedudukan berpindah-pindah.
"Haaat..!" Didahului sebuah pekikan nyaring, pengeroyok di belakang Kenanga menerjang sambil mengayunkan goloknya, disusul dengan yang lainnya berturut-turut.
Bettt! Singgg!
Kilatan cahaya putih berkilauan mengancam tubuh Kenanga. Tapi dengan penuh ketenangan, dara jelita itu menggeser tubuhnya di antara sambaran sinar pedang lawan. Kemudian....
"Haiiit.!" Tiba-tiba Kenanga berseru nyaring. Seiring seruannya, tubuhnya berkelebat cepat disertai kilatan sinar putih yang berpendar menyilaukan mata. Memang, Kenanga telah mengeluarkan Pedang Sinar Rembulan untuk menghadapi lawan-lawannya. Terdengar jerit kematian susul-menyusul memecah keheningan malam.
"Aaa...!" Sekali Pedang Sinar Rembulan terhunus, kelima perampok itu roboh bergelimpangan dengan tubuh bermandikan darah!
Kenanga berdiri tegak di tengah korban-korbannya. Setelah membersihkan pedangnya pada pakaian lawan, senjata itu kembali melingkaripinggangnya. Baru saja dara jelita itu hendak mengumpulkan barang- barang rampokan untuk dikembalikan kepada pemiliknya, tiba-tiba matanya menangkap sosok-sosok yang berkelebat cepat mendekati penginapan.
Teringat akan musuh-musuh Ki Wanalungga dan Sanggala yang mungkin akan datang mencari kedua orang itu, Kenanga pun segera melesat naik ke atap rumah. Kemudian meluncur turun di samping rumah penginapan, dan terus berkelebat menuju kamar tempat kekasihnya sedang mengobati Ki Wanalungga.
"Kenanga, mengapa lama sekali? Tadi aku mendengar jerit kematian berturut-turut Apa mereka musuh-musuhku?" Sanggala langsung menyambut kedatangan Kenanga dengan pertanyaan. Tangan pemuda itu menggenggam pedang telanjang, karena sempat terkejut melihat bayangan berkelebat menuju tempatnya berjaga. Hati Sanggala baru merasa lega setelah mengetahui bayangan itu adalah Kenanga.,
"Hm.... Hanya perampok perampok busuk yang tidak tahu diri. Aku terpaksa membunuh mereka. Selain pekerjaan mereka hanya menyusahkan orang banyak, mereka juga bermulut kotor dan menyebalkan," jelas Kenanga, membuat Sanggala menarik napas lega.
"Perampok-perampok naas. Mengapa mereka melakukannya saat kita sedang berjaga-jaga. Sehingga harus menemui kematian di tanganmu...," gumam Sanggala tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala memikirkan perampok-perampok sial itu.
"Jangan gembira dulu, Sanggala. Aku cepat-cepat kembali justru karena melihat sosok-sosok bayangan mencurigakan sedang menuju penginapan ini. Sebaiknya kita lebih berhati- hati. Siapa tahu yang kulihat itu musuh-musuhmu," ujar Kenanga, membuat Sanggala berubah tegang.
"Benarkah, Kenanga? Kalau begitu, kita harus bersiap-siap menghadapi mereka...," ujar Sanggala seraya menggenggam pedangnya erat-erat Sepasang matanya tampak berkilat memancarkan semangat tinggi yang membuat Kenanga tersenyum.
"Aku selalu siap, Sanggala...," sahut Kenanga. Kemudian, dara jelita itu menggeser langkahnya menjauhi daun pintu. Kenanga mengerahkan indera pendengarannya untuk menangkap suara-suara mencurigakan. Suasana menjadi hening dan mencekam ketika Sanggala pun membisu tanpa kata.
"Sanggala, bersiaplah! Mungkin mereka akan datang ke tempat ini...," ujar Kenanga dengan suara rendah. Jari-jari tangan dara jelita itu meraba gagang pedangnya, siap untuk digunakan.
Sanggala yang belum menangkap ada gerakan di luar rumah penginapan menjadi tegang. Jemari tangannya semakin erat menggenggam gagang pedang. Dan beberapa saat kemudian, pemuda itu mendengar ada suara langkah dari sebelah kanan rumah penginapan serta dari atap rumah.
Sanggala menggeser tubuhnya dari depan pintu ke tempat yang agak tersembunyi dari pandangan. Pemuda itu siap menghadapi segala kemungkinan dengan senjata di tangan. Tidak berapa lama kemudian, terdengar suara langkah kaki mendekati kamar tempat Panji sedang mengobati Ki Wanalungga. Dari suara langkahnya, dapat diketahui kalau yang datang tidak hanya satu orang.
"Kau yakin mereka menginap di tempat ini...?" terdengar suara berat dan parau bertanya kepada kawannya.
"Pasti, Kakang. Aku sudah menyelidiki sebelumnya. Dan telah bertanya pada beberapa orang penduduk," sahut sebuah suara, lantang tanpa keraguan sedikitpun.
"Hm.... Tinggal tiga kamar di belakang ini yang belum kita periksa. Mudah-mudahan keterangan yang kau dapat tidak salah...," ujar suara pertama, separuh berharap. Suara langkah kala mereka semakin jelas terdengar. Agaknya tamu-tamu tak diundang itu ingin secepatnya tiba di kamar bagian belakang rumah penginapan.
"Kalian hendak mencari siapa...?" tegur Kenanga yang langsung berdiri menghadang, ketika tiga sosok tubuh muncul dari pintu penghubung.
"Itu gadis yang telah menyelamatkan putra Majikan Pulau Setan! Pasti pemuda berjubah putih dan yang lainnya berada di tempat ini!" seru lelaki bertubuh tegap sambil menudingkan jarinya ke wajah Kenanga.
Kenanga hanya mendengus melihat lelaki tegap yang siang tadi dihajar Panji. Gadis itu tidak berbicara separah kata pun, tapi segera menghunus senjata. Perhatiannya tertuju kepada sosok kakek bertubuh kurus dan lelaki gemuk brewok yang sedang menatapnya.
Lelaki gemuk brewok yang tidak lain Ki Brajanata, menatap Kenanga dengan mata terbelalak, tak ubahnya seekor harimau lapar melihat kijang muda. Tapi hal itu tidak aneh. Selain sosok Kenanga sangat mempesona, Ki Brajanata pun seorang lelaki mata keranjang. Lelaki itu hampir meneteskan air liur melihat sosok yang begitu mempesona. Ki Brajanata yang sudah melangkah maju, terpaksa menunda gerakannya, ketika melihat tangan lelaki tua di sebelahnya melintang menghalangi jalannya.
"Hati-hati, Ki Brajanata. Kelihatannya gadis jelita ini cukup berisi. Biar aku yang menghadapinya...," bisik lelaki tua yang tidak lain Ki Dayut Ganda, atau lebih dikenal berjuluk Datuk Lautan Timur.
"Nisanak. Kami mencari telaki berusia sekitar lima puluh tahun yang sedang menderita luka parah. Juga seorang pemuda tampan berusia sembilan belas tahun yang mengenakan pakaian serba biru. Apakah kau melihatnya...?" tanya Ki Dayut Ganda tanpa melepaskan pandang matanya yang tajam ke wajah dara jelita berpakaian serba hijau itu.
Tapi sebelum Kenanga sempat menjawab, Sanggala yang sejak tadi bersembunyi mendengar pembicaraan itu segera melesat ke luar. Tentu saja perbuatan pemuda itu mengejutkan Kenanga.
"Sanggala...!" tegur Kenanga.
Tapi Sanggala tidak mempedulikannya. Pemuda itu sudah menghadapi ketiga orang musuh ayahnya, dan menudingkan senjatanya ke arah mereka.
"Untuk menawan ayahku, kalian harus melangkahi mayatku dulu...!" bentak Sanggala dengan wajah kemerahan menahan amarah.
"Bocah sombong!" desis Guntala, salah seorang pembantu utama Ki Brajanata.
Sedangkan Ki Brajanata hanya tertawa terkekeh melihat tingkah pemuda itu, sepertinya melihat sesuatu yang lucu. Baginya, pemuda itu tak ubahnya seekor kijang muda yang menggertak harimau kelaparan. Perumpamaan itu membuat Ki Brajanata tak bisa menahan perasaan geli yang menggelitik hatinya. Wajah Sanggala semakin merah padam. Sepasang matanya berkilat memancarkan api kemarahan. Dia tahu kalau lelaki brewok itu menertawakan dirinya.
"Hm.... Manusia-manusia pengecut! Kalian bisanya hanya mengeroyok! Kalau benar-benar jantan, kalian kutantang bertarung satu lawan satu sampai salah seorang di antara kita menggeletak jadi mayat! Nah, apa jawab kalian...?!" geram Sanggala seraya melangkah maju dua tindak hendak melewati Kenanga. Tapi dara itu segera merentangkan lengannya, menahan gerak maju tubuh pemuda itu.
"Keparat! Kau sama keras kepalanya dengan ayahmu...!" bentak Ki Brajanata tak bisa menahan kegeraman hatinya. Diiringi gerengan keras, tubuh lelaki gemuk itu melesat maju dengan sebuah tamparan telapak tangan yang mendatangkan hembusan angin menderu tajam.
"Haiiit..!" Kenanga yang berada di depan Sanggala segera membentak nyaring. Tubuhnya bergerak ke depan menyambut serangan lelaki gemuk brewok bermata bengis itu. Dan....
Hak! Plak!
"Akh.?!" Terkejut bukan main hati Ki Brajanata ketika merasakan betapa kuatnya tenaga yang tersembunyi di balik telapak tangan halus itu. Bahkan lelaki gemuk itu merasakan telapak tangannya panas dan nyeri. Tubuhnya tergeser mundur akibat tangkisan dara jelita itu.
"Setan...!" umpat Ki Brajanata jengkel. Sambil menggereng marah, segera jurusnya disiapkan untuk menggempur Kenanga.
"Hm.... Kau hadapi dara jelita itu, Ki Brajanata. Aku akan mencari Wanalungga...," ujar Ki Dayut Ganda seraya bergerak ke samping hendak melewati Kenanga.
"Berhenti...! Selangkah lagi kau maju, jangan salahkan aku kalau tubuh peotmu remuk oleh pukulanku...!" ancam Kenanga segera melompat menghadang kakek itu.
Ki Dayut Ganda terkekeh mendengar ancaman dara jelita itu. Sepasang matanya yang kecil semakin menyipit meneliti wajah jelita yang menghadang jalannya. Kenanga sendiri sudah meloloskan Pedang Sinar Rembulan.
* * * * *
:::≡¦ [ LIMA ] ¦≡:::
"Pedang bagus...!" puji Ki Dayut Ganda. Kemudian, tangannya diulurkan hendak meno-tok pergelangan Kenanga. Jelas Ki Dayut Ganda berniat merebut pedang di tangan gadis itu.
Tapi betapapun cepatnya gerakan Ki Dayut Ganda, sepasang mata indah dara itu tidak bisa dikelabui. Sebelum serangan licik itu tiba, Kenanga sudah menarik lengannya dan memutar dengan kecepatan mengagumkan. Sehingga, lengan kakek itu yang kini terancam mata pedang.
"Hebat..!" kembali Ki Dayut Ganda mengeluarkan pujian melihat sambutan Kenanga.
"Tidak mengecewakan kau memiliki pedang sebagus itu, Nisanak."
Kenanga tidak tergoda oleh pujian lawan. Langkahnya segera digeser untuk menyiapkan jurus andalannya menghadapi kakek itu. Karena dalam gebrakan pertama tadi Kenanga sudah menilai kakek itu bukan orangsembarangan.
Sementara Sanggala saat itu sudah bertarung melawan Guntala. Pemuda itu bertarung seperti banteng luka. Sehingga dalam beberapa jurus saja, pembantu utama Ki Brajanata itu kelabakan. Mata pedang lawan seperti tidak pernah jauh dari tubuhnya, selalu membayangi dan siap menghirup darahnya..
"Haaat...!"
Saat Guntala berjuang sekuat tenaga untuk mempertahankan selembar nyawanya, tiba-tiba terdengar teriakan nyaring. Seiring dengan pekikan itu, sesosok tubuh kekar melesat dan langsung menyerang Sanggala.
Bettt! Bettt!
Sanggala yang saat itu tengah mencecar lawannya, terkejut merasakan sebuah serangan hebat yang mengancam jalan darah kemarJan'di tubuhnya. Pemuda itu cepat melesat mundur sambil mengibaskan senjatanya untuk melindungi tubuh.
"Syukurlah kau segera datang, Kakang Soganta. Terlambat sedikit saja, mungkin aku sudah menjadi mayat Pemuda ini tidak bisa dipandang ringan," ucap Guntala ketika mengetahui penolongnya adalah Soganta, tangan kanan Ki Brajanata. Lelaki kekar itu datang pada saat yang tepat
"Haaat...!"
Sanggala yang sangat dendam pada orang-orang yang telah merebut pulaunya dan membuatnya sengsara, segera menerjang dengan putaran pedangnya. Seluruh kemampuannya dikerahkan untuk menghabisi kedua lawannya secepat mungkin. Sebagai putra Ki Wanalungga, Sanggala tentu sudah dibekali ilmu-ilmu tinggi.
Pada saat ditolong Panji, dia dalam keadaan terdesak karena dikeroyok empat orang lawan. Tapi kalau hanya menghadapi Guntala dan Soganta, pemuda itu tidak dapat dikalahkan dengan mudah. Hanya saja Sanggala belum berpengalaman dalam bertarung. Sehingga seringkali terlihat ragu untuk mempergunakan kesempatan-kesempatan yang sering didapatinya dari kedua lawannya itu.
Sedangkan Guntala dan Soganta adalah orang-orang kasar yang hidupnya lebih banyak dijalani dengan pertarungan- pertarungan. Sehingga kedua pembantu utama Ki Brajanata itu memiliki pengalaman yang lebih banyak dari Sanggala. Hanya berkat keuletan dan ketabahannyalah Sanggala masih sanggup menghadapi keroyokan lawan-lawannya. Pertempuran merka berjalan seimbang, hingga belasan jurus terlewati.
Sementara Kenanga bertarung ketat melawan Ki Dayut Ganda. Dara jelita yang menyadari kesaktian lawannya setelah pertarungan semakin jauh, mulai menggunakan ilmu-ilmu andalannya. Baik yang disempurnakan Panji, maupun yang digabungkannya sendiri. Sehingga tidak mudah bagi Ki Dayut Ganda untuk segera melumpuhkannya.
Ki Brajanata pun tidak menyia-nyiakan kesempatan baik itu. Dia berusaha menerobos masuk ke dalam kamar yang tertutup dan dijaga ketat dara jelita itu. Karena meskipun Kenanga tengah bertarung melawan Datuk Lautan Timur, namun gadis itu selalu berusaha mencegah Ki Brajanata masuk ke dalam kamar.
"Setan...!" geram Ki Brajanata yang setiap kafi bergerak maju, selalu kembali melompat mundur. Karena pedang sinar putih keperakan dara jelita itu selalu menghalanginya.
"Haaat..!" Ki Dayut Ganda yang mengetahui maksud Ki Brajanata, berusaha mendesak dara jelita itu dengan serangan-serangan yang mematikan. Bahkan kakek kurus itu telah menggunakan senjata khasnya yang berbentuk dayung, namun kedua sisinya tajam seperti mata pedang. Dengan senjata aneh itu Datuk Lautan Timur berusaha merobohkan Kenanga.
Kenanga sendiri berusaha sekuat tenaga untuk menghadapi gempuran kakek sakti itu. Dia sengaja tidak mau membenturkan pedangnya dengan senjata lawan, karena sadar tenaga saktinya masih kalah. Sehingga Kenanga lebih banyak menghindari bila dayung maut lawan mencecarnya. Dansesekali membalas serangan lawan, hingga membuat hati Ki Dayut Ganda semakin bertambah penasaran.
Sedangkan di dalam kamar Ki Wanalungga! Panji tengah mengerahkan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' yang disalurkan ke tubuh Ki Wanalungga. Perlahan-lahan hawa sakti yang dingin meresa masuk ke dalam tubuh Ki Wanalungga. Kemudian Panji menggerakkan kekuatannya untuk mendorong keluar racun yang berada di tubuh Majikan Pulau Setan itu. Luka dalam yang diderita lelaki gagah itu sudah berubah menjadi racun, hingga Ki Wanalungga sering terbatuk hebat sampai menger luarkan darah kehitaman.
Wajah Ki Wanalungga perlahan-lahan beruba. kehitaman, ketika Panji mengerahkan kekuatanny untuk mengeluarkan racun itu. Untuk melakukannya bukan pekerjaan yang mudah bagi Panji. Penl dekar Naga Putih harus mengerahkan seluruh kekuatan tenaga saktinya agar Ki Wanalungga dapa sembuh seperti sediakala. Dan usaha Panji akan berhasil, kalau saja pada saat yang sangat menentukan itu, tidak muncul seorang lelaki yang sebagian wajahnya tertutup selembar kain hitam.
Jleg!
Sosok tubuh tinggi kurus itu meluncur turun setelah menjebol atap kamar. Gerakannya terlihat demikian ringan, pertanda ilmu meringankan tubuhnya sudah cukup tinggi. Sosok tubuh itu melangkah mendekati Panji yang tengah tenggelam dalam usaha penyembuhan luka dalam Majikan Pulau Setan.
"Hmhhh...!" Terdengar dengusan mengejek dari sosok tinggi kurus. Kemudian, semangatnya dikempos untuk memancing keluar seluruh tenaga sakti yang dimilikinya. Dan....
Desss...!
Tanpa ragu-ragu lagi, dengan curangnya lelaki tinggi kurus itu mendorongkan telapak tangannya menggedor punggung Pendekar Naga Putih! Akibatnya....
"Aaa...!"
Dalam keadaan yang sangat berbahaya, 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' yang seluruhnya sedang terpusat untuk menyembuhkan luka dalam Ki Wanalungga, langsung memecah ketika merasakan ada bahaya yang datang mengancam majikannya. Sebagian tenaga yang merasuk ke dalam tubuh Ki Wanalungga langsung berbalik melindungi tubuh Panji dari serangan gelap itu. Akibatnya, tubuh tinggi kurus itu terpental balik menjebol bagian belakang dinding kamar yang terbuat dari kayu. Dan jatuh terguling-guling keluar.
Sedangkan yang dialami Ki Wanalungga tidak kalah mengejutkan. Akibat berbaliknya seluruh kekuatan yang tengah mendorong racun di dalami tubuh, tubuhnya bergetar hebat Dan memuntahkan darah segar dari mulutnya.
"Huakhhh.!"
Darah segar itu menyembur keluar membasahi balai-balai dan lantai di bawahnya. Kemudian tubuh Majikan Pulau Setan itu terjungkal dari atas balai-balai dan tak sadarkan diri.
Sementara Pendekar Naga Putih mendapat akibat yang tidak ringan. Tubuh pemuda itu terlempar dari atas pembaringan dan terjerembab meng-hantam dinding depan kamar, tepat di sampingi pintu. Hantaman licik yang telak menghajar punggungnya, membuatnya muntah darah. Karena berbaliknya 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' yang disalurkannya ke tubuh Ki Wanalungga, membuat Panji mendapat luka dalam yang tidak ringan.
Sedangkan sosok tinggi kurus yang sebagian wajahnya dilindungi kain hitam, sudah merangkak bangkit meskipun dengan susah-payah. Kemudian bergerak memasuki kamar dan menyambar tubuh Ki Wanalungga. Dengan memanggul tubuh Majikan Pulau Setan di atas bahu kanannya, sosok tinggi kurus itu bergerak meninggalkan rumah penginapan.
Sementara, Kenanga yang saat itu tengah terdesak hebat oleh gempuran Datuk Lautan Timuil terkejut mendengar suara ribut di dalam kamar yang dijaganya. Wajah dara jelita itu semakin pucat melihat sesosok tubuh menjebol dinding kamar di samping kanannya.
"Kakang...?!" teriak Kenanga, yang langsung mengenali Panji. Dan karena kelengahannya itu, Kenanga menanggung akibat yang tidak ringan. Sebuah hantaman gagang senjata Ki Dayut Ganda mendarat dipunggungnya.
Bukkk!
"Huakhhh...!" Darah segar menyembur keluar seiring dengan terlemparnya tubuh Kenanga. Kemudian, terus bergulingan ke dekat sosok Panji yang mulai bangkit meski dengan pandangan nanar.
"Kenanga...?!" Panji berseru tertahan ketika matanya menangkap sosok bayangan hijau yang terguling di dekat kakinya. Cepat tangannya terulur meraih tubuh kekasihnya.
Terpentalnya tubuh Panji ke luar kamar, membuat Ki Dayut Ganda dan Ki Brajanata saling berpandangan. Mereka merasa heran dengan kejadian itu. Seperti diperintah, keduanya bergerak ke dalam kamar melalui dinding yang jebol terlanggar tubuh Pendekar Naga Putih.
"Apa yang terjadi? Mana Ki Wanalungga...?" tanya Ki Dayut Ganda kepada Panji yang saat itu tengah berpelukan dengan kekasihnya.
"Tidak perlu berpura-pura, Manusia Licik! Salah seorang dari kalian telah memasuki kamar dan membokongku dengan licik. Mungkin sekarang orang itu telah melarikan Ki Wanalungga...," desik Panji, membuat kedua tokoh sesat itu saling berpandangan dengan wajah menyiratkan keheranan. Rupanya mereka tidak memahami ucapan pemuda i berjubah putih itu.
"Hm.... Kaulah yang menipu kami, Anak Muda! Kami datang ke tempat ini hanya berempat. Tidak ada orang lain yang menginginkan Majikan Pulau Setan selain kami! Cepat serahkan Ki Wanalungga! Atau aku akan mencabut nyawamu sekarang juga...?!" bentak Ki Brajanata tidak mempercayai keterangan Panji. Dia menduga kalau Pendekar Naga Putih ingin menipunya dengan berpura-pura terkika dan menyembunyikan Ki Wanalungga darinya.
"Hm.... Jangan samakan kami dengan kalian yang bergelimang kelicikan dan kejahatan! Kalau tidak percaya, aku tidak akan memaksa. Kami siap menghadapi kalian sampai titik darah terakhir geram Panji tidak kalah gertak dengan Ki Brajanata. Sehingga lelaki gemuk itu menjadi ragu.
"Kalau begitu, siapa lagi yang menginginkan! Majikan Pulau Setan? Hm... Dia pasti juga mengetahui perihal benda keramat itu...," gumam Ki Brajanata mulai mempercayai keterangan Panji danj berpikir tentang tokoh lain yang mungkin bertujuan sama dengan dirinya.
"Sudahlah, Ki Brajanata. Sebaiknya kita segera mengejar orang itu. Kalau pemuda ini berbohong, kita akan kembali untuk memenggal batang lehernya...," ujar Ki Dayut Ganda yang sejak tadi menatap sosok pemuda berjubah putih yang terluka itu Lelaki tua itu melihat sinar kejujuran di mata Panji. Sehingga, segera mengajak Ki Brajanata untuk melakukan pengejaran terhadap orang misterius yang telah menculik Ki Wanalungga.
"Guntala, Soganta! Ayo, kita tinggalkan tempat ini...!" perintah Ki Brajanata, segera bergerak menyusul Ki Dayut Ganda.
Kedua pembantu utama Ki Brajanata kelihatan sangat terkejut Mereka tidak mengerti, mengapa ketua mereka mengajak untuk meninggalkan tempat ini. Padahal dalam beberapa jurus lagi mereka dapat merobohkan putra Majikan Pulau Setan itu. Memang, Sanggala kelihatan sudah hampir tidak mampu lagi mengadakan perlawanan. Di beberapa bagian tubuhnya tampak luka goresan pedang. Bahkan bajunya sudah terkoyak di beberapa tempat
"Ayo, Guntala...!" ajak Soganta melihat Ki Dayut Ganda dan pimpinannya telah melangkah pergi. Tanpa banyak cakap lagi, keduanya bergerak meninggalkan Sanggala yang jatuh terduduk kehabisan tenaga.
"Sanggala...!" seru Kenanga dan Panji hampir bersamaan.
Keduanya segera bergerak mendekati pemuda itu yang kelihatan sangat payah. Butir-butir keringat dan bercak-bercak darah terdapat di beberapa bagian tubuhnya.
"Hhh.... Aku lelah sekali, Panji. Rasanya seluruh tenagaku terkuras habis...," desah Sanggala dengan napas tersengal-sengal.
Panji dan Kenanga menghela napas lega. Pemuda itu tidak mendapat luka yang berbahaya, kecuali luka-luka kecil yang hampir tidak berarti.
"Mengapa..., mereka pergi...? Bagaimana dengan ayahku? Apakah dia sudah sehat..?" tanya Sanggala, membuat Panji dan Kenanga saling berpandangan!
"Kau tidak perlu khawatir, Sanggala. Sebaiknya pulihkan dulu tenagamu, nanti kuceritakan...," ujar Panji, tidak ingin membuat pemuda itu terpukul.
Pendekar Naga Putih sengaja tidak mengatakan terus terang mengenai kejadian yang dialaminya. Nanti, setelah keadaannya sudah cukup tenang, Panji akan menjelaskannya kepada Sanggala apa yang telah terjadi sebenarnya. Tanpa banyak cakap lagi, Sanggala segera mengikuti petunjuk yang diberikan Panji. Sebentar, kemudian, pemuda itu telah tenggelam dalam semadi
"Kakang. Apakah kau tidak sempat mengenali pembokong licik itu?" tanya Kenanga, setelah Panji memberinya obat luka dalam. Keadaan tubuh dara jelita itu tidak terlalu mengkhawatirkan.
Panji mengajak Kenanga untuk menjauhi Sanggala, agar tidak mengganggu semadi pemuda itu dengan pembicaraan mereka. Pendekar Naga Putih menghela napas panjang, sebelum menjawab pertanyaan Kenanga.
"Semula aku menduga penyerang licik itu salah seorang dari mereka. Ternyata dugaanku keliru. Nyatanya lelaki gemuk yang bernama Ki Brajanata dan lelaki tua itu tidak tahu. Mereka pun hanya datang berempat tanpa membawa kawan lainnya. Aku tidak sempat melihatnya meskipun sekilas, karena manusia curang itu membokongku dengan sangat licik.
Untung saja tenaga saktiku bergerak memecah dan langsung melindungi tubuhku. Kalau tidak, mungkin aku sudah tewas oleh serangannya. Entah bagaimana nasib Ki Wanalungga. Mungkin dia langsung tewas karena kekuatanku tiba-tiba lenyap separo dari dalam tubuhnya. Tapi, mudah-mudahan Tuhan masih melindunginya," sahut Panji seraya melepaskan pandangannya ke langit kelam.
"Jadi kau tidak sempat melihat bentuk tubuh maupun raut wajah pembokong itu, Kakang...?" tanya Kenanga lagi, menegasi.
"Tidak. Peristiwa itu berlangsung sangat cepat. Mungkin selagi aku berusaha bangkit, orang itu sudah melesat pergi dengan membawa Ki Wanalungga," jawab Panji, membuat Kenanga menghela napas, seperti menyesali kejadian yang tidak diduganya itu.
"Mungkinkah orang itu terluka, mengingat tenaga saktimu bergerak menahan gempurannya...?" Pertanyaan itu tidak begitu jelas terdengar, karena mirip sebuah desahan panjang. Tapi bagi Panji terdengar cukup jelas.
"Jelas dia terluka akibat benturan itu, Kenanga. Tapi melihat dia dapat melarikan Ki Wanalungga dengan sangat cepat, rasanya penyerang gelap itu bukan tokoh sembarangan. Orang itu pasti berilmu tinggi atau bisa jadi salah seorang musuh lama Ki Wanalungga...," jawab Panji, mulai menduga-duga hubungan penyerang gelap itu dengan Majikan Pulau Setan. Karena baik dirinya maupun kekasihnya belum mengetahu secara jelas asal- usul Ki Wanalungga dan Sanggala.
"Nanti kita tanyakan saja kepada Sanggala, Kakang...," usul Kenanga yang agaknya ingin mengungkap misteri yang melibatkan mereka berdua.
"Apa yang hendak kalian tanyakan padaku...?" Tiba-tiba terdengar sahutan atas usul Kenanga. Sanggala muncul dengan wajah dan tubuh lebih segar. Meskipun kesehatannya belum pulih seluruhnya, tapi pemuda itu kelihatan sudah bisa tersenyum.
"Mari duduk bersama kami, Sanggala," ajak Panji kepada putra Majikan Pulau Setan itu.
"Ada sesuatu yang ingin kami bicarakan denganmu"
Sanggala mengerutkan keningnya melihat sikap Panji dan Kenanga yang kelihatan bersungguh-sungguh. Pertanyaan tentang ayahnya yang sudah berada di ujung lidah ditahannya. Dia ingin mendengar lebih dulu, apa yang akan disampaikan kedua penolongnya itu.
"Kami ingin menanyakan perihal ayahmu...," ujar Panji, setelah Sanggala duduk di hadapannya.
Pertanyaan Panji seperti membuka peluang bagi Sanggala untuk menanyakan perihal ayahnya. Maka, sebelum menjawab pertanyaan Panji, Sanggala mengajukan pertanyaan lebih dahulu.
"Aku melihat kamar itu berantakan dan ada ceceran darah di dekat balai-balai. Apa sebenarnya yang sudah terjadi, Panji? Apakah ayahku berhasil mereka culik...?" tanya Sanggala seraya menatap wajah Panji.
Pendekar Naga Putih tidak segera menjawab pertanyaan Sanggala. Dia hanya menghela napas panjang, dan mengalihkan pandangannya ke kegelapan malam. Sementara Sanggala menunggu dengan sabar. Apa yang akan disampaikan Panji, diduganya mungkin sangat berat Sehingga, Sanggala tidak mendesak penolongnya itu.
Suasana hening untuk beberapa saat. Panji tengah memikirkan kata-kata yang akan disampaikannya kepada Sanggala. Pendekar Naga Putih tidak ingin Sanggala menjadi kalap dan gelap mata, lalu bersikeras hendak mencari sendiri penculik ayahnya. Kenyataan seperti itu yang ingin dihindari Panji.
* * * * *
:::≡¦ [ ENAM ] ¦≡:::
"Maksudmu, ayahku berhasil diculik mereka...?" tanya Sanggala tak sabar.
"Benar, ayahmu telah diculik. Tapi bukan oleh mereka. Rupanya ada orang lain yang menginginkan ayahmu...," jawab Panji hati-hati dan matanya tak lepas mengamati perubahan wajah Sanggala.
"Orang lain...? Siapa orang lain yang kau maksudkan itu, Panji?" desak Sanggala semakin tak sabar. Pemuda itu tidak menduga ada orang lain yang menginginkan ayahnya, selain musuh yang kini menguasai Pulau Setan.
"Itu yang ingin kutanyakan padamu Sanggala. Apa kau tahu, siapa musuh-musuh ayahmu? Dengan begitu, kita akan lebih muda melacak, ke mana ayahmu dibawa pergi orang misterius itu," ujar Panji lagi, membuat Sanggala terdiam seolah hendak mencari jawaban pertanyaan itu.
"Setahuku, selama ini kami hidup tenang di Pulau Setan, tanpa mempunyai musuh seorang pun. Aku tidak tahu ada permusuhan apa antara ayahku dengan Ki Brajanata, orang yang telah menyerbu dan menguasai Pulau Setan. Selain mereka, aku tidak tahu." Sanggala sungguh tidak mengerti dengan rentetan kejadian yang membuat keluarganya berang takan.
"Apakah ayahmu tidak pernah bercerita tentang sesuatu yang dapat kita jadikan pegangan untuk mengetahui penculiknya?" tanya Panji beri usaha mencari keterangan sebanyak mungkin.
"Maksudmu...?" tegas Sanggala yang rupanya belum mengerti ke mana arah pembicaraan Panji
"Begini, Sanggala. Apa kau tahu alasan Ki Brajanata merebut Pulau Setan dari ayahmu? Sebab, bukan mustahil penculik itu mempunyai tujuan yang sama," jelas Panji, membuat Sanggala tersentak kaget
"Aku ingat sekarang!" seru pemuda itu, mengejutkan Panji dan Kenanga.
"Ayah pernah bercerita tentang suatu benda keramat, yang menurutnya merupakan alasan Ki Brajanata dan kawan-kawannya merebut dan menguasai Pulau Setan. Sayangnya, ayah tidak tahu-menahu mengenai benda keramat yang dimaksud Ki Brajanata. Seperti apa bentuk benda itu, ayah pun tidak tahu. Entah dari mana manusia jahat itu mengetahuinya?"
"Benda keramat itulah yang menjadi pokok persoalan sebenarnya, Sanggala. Tapi, benarkah ayahmu tidak mengetahui benda keramat itu? Atau beliau sengaja merahasiakannya agar tidak diketahui orang lain," ucap Panji termenung memikirkan persoalan yang kini mulai menemui titik terang.
"Termasuk aku...?" Sanggala menegasi maksud ucapan Panji.
"Mungkin. Tapi itu belum pasti, hanya sekadar dugaan," sahut Panji.
Suasana jadi hening beberapa saat lamanya. Ketiga orang muda itu termenung dibawa arus pikiran masing-masing.
"Jika benar benda itu ada pada ayah, tidak mungkin dia merahasiakannya padaku. Bukankah aku putra tunggalnya yang akan mewarisi seluruh peninggalannya kelak...?" gumam Sanggala, seolah berkata pada diri sendiri. Namun, terdengar jelas oleh Panji dan Kenanga. Sehingga kedua orang itu menoleh ke arah Sanggala yang kelihatan sangat berduka.
"Sudahlah, Sanggala. Hal itu tidak perlu menjadi beban pikiranmu. Sebaiknya sekarang kita pikirkan ke mana kira-kira penculik itu membawa pergi ayahmu. Kita harus menemukan beliau secepatnya. Aku sendiri belum tahu bagaimana nasibnya. Mudah-mudahan Tuhan masih melindunginya...," hibur Panji, mencoba membangkitkan semangat pemuda berbaju biru itu.
Sanggala yang merasa sedih bercampur geram karena ayahnya diculik orang tak dikenal, melirik sekilas ke arah Panji. Jelas terlihat sinar keputus-asaan pada sepasang matanya.
"Sebelum meninggalkan Pulau Setan, ayah telah menasihatiku untuk melupakan semua peristiwa ini Karena meskipun aku belajar seumur hidup, aku tetap tidak akan mampu merebut Pulau Setan dari tangan mereka. Sebab kesaktian Datuk Lautan Timur sangat tinggi dan sukar dicari bandingannya...," keluh Sanggala, teringat ucapan ayahnya sebelum mereka meninggalkan Pulau Se tan secara sembunyi- sembunyi
"Ah! Aku baru ingat sekarang!" seru Panji seraya memukul keningnya dengan telapak tangan.
"Pantas aku seperti pernah melihat kakek kurus bersenjata dayung baja itu. Tidak salah lagi, dialah yang berjuluk Datuk Lautan Timur. Benarkah dugaanku, Sanggala?"
"Aku pun belum pernah berjumpa dengan datuk sesat itu. Tapi menurut ayah, tokoh itu berusia sekitar tujuh puluh tahun dan bertubuh kurus. Kakek itu yang telah menyiksa dan melukai ayahku," ujar Sanggala yang hanya menyebut ciri-ciri dan usia datuk sesat itu, tanpa membenarkan ucapan Panji.
"Hm.... Lalu, apa rencanamu sekarang? Apa kau tidak ingin mencari ayahmu, dan merebut Pulau Setan dari tangan mereka...?" tanya Kenanga, ingin mengetahui isi hati Sanggala.
"Mereka terlalu kuat. Nasihat ayah benar. Sebaiknya aku memang tidak usah memikirkan Pulau Setan lagi. Dan kalau benar ayah masih hidup, aku akan berusaha mencarinya..," jawab Sanggala dengan suara lemah dan tak bersemangat Rupanya dia sadar akan kemampuan dirinya.
"Sanggala...," ujar Panji seraya duduk di samping pemuda itu.
"Meskipun kita baru saling mengenal, tapi percayalah, kami berdua akan membantumu dengan sekuat tenaga. Baik untuk merebut Pulau Setan maupun mencari ayahmu."
"Tapi yang kita hadapi tokoh-tokoh sesat berkepandaian tinggi Mana mungkin kita bertiga sanggup melawan mereka?" sergah Sanggala penasaran.
"Biarpun begitu, kita harus berusaha semampu kita, Sanggala. Soal berhasil atau tidak, Itu perkara nanti. Yang penting kita mempunyai semangat dan kemauan. Karena biar bagaimanapun, kejahatan pasti akan dapat dikalahkan...," ucap Panji bersemangat untuk menggugah semangat Sanggala yang telah pudar.
"Aku hanya tidak ingin kalian tewas karena menolongku," ujar Sanggala lemah.
"Bagi orang-orang gagah seperti kita yang selalu mendahulukan kepentingan orang banyak, mati bukanlah hal yang menakutkan, Sanggala. Kalau kami harus mati, tidak perlu kau sesali. Sebab kami membantumu dengan ikhlas," tegas Panji menekankan keinginan hatinya, membuat Sanggala terharu.
"Kalian terlalu baik padaku...," desah Sanggala, yang akhirnya bersedia menuruti perkataan Panji untuk merebut Pulau Setan, dan mencari ayahnya yang entah berada di mana.
"Bagus! Ayo, kita segera berangkat sambil memikirkan langkah-langkah yang akan diambil...," ujar Panji lega, karena telah berhasil membangkitkan semangat hidup Sanggala.
Malam itu juga ketiganya berangkat meninggalkan penginapan, setelah Panji membayar semua kerugian yang diderita pemilik rumah penginapan itu.
* * * * *
Di siang hari yang terik, tampak sebuah perahu nelayan berlayar mengarungi lautan lepas. Penumpang perahu nelayan itu adalah tiga orang muda yang tak lain dari Panji, Kenanga, dan Sanggala. Tujuan mereka satu, Pulau Setan. Dengan ilmunya yang tinggi, tidak sulit bagi Panji untuk mempercepat perjalanan.
Setiap kali menggerakkan dayung di tangannya, perahu melaju pesat membelah samudera. Sehingga, sebentar saja mereka telah jauh meninggalkan tepi pantai. Sanggala duduk di bagian depan perahu. Pemuda itu bertindak sebagai penunjuk jalan, sehingga perjalanan berlangsung cepat Dan saat matahari semakin tinggi, Pulau Setan sudah tampak di depan mereka.
"Sebaiknya kita mencari tempat yang agak tersembunyi untuk mendarat..," usul Sanggala ketika perahu mereka sudah semakin mendekati Pulau Setan.
"Hm.... Berapa besar kekuatan mereka di pulau itu, Sanggala?" tanya Panji sebelum menjawab usul putra Majikan Pulau Setan itu.
Sanggala yang tidak mengerti maksud pertanyaan Panji, menoleh ke arah pemuda tampan berjubah putih itu. Kelihatan sekali kalau pertanyaan Panji tidak begitu dimengertinya.
"Jumlah mereka tidak terlalu banyak. Kurang lebih lima belas orang termasuk Ki Brajanata dan Datuk Lautan Timur," jawab Sanggala setelah terdiam beberapa saat.
"Hm.... Kalau begitu kita tidak perlu datang dengan sembunyi-sembunyi. Lagi pula pulau itu adalah milikmu. Aku akan meminta dengan baik-baik agar mereka menyerahkannya padamu," jelas Panji, membuat Sanggala terkejut Sampai saat ini, Sanggala memang belum mengetahui Panji adalah Pendekar Naga Putih yang namanya telah menggetarkan rimba persilatan.
"Meskipun jumlah mereka tidak terlalu banyak, tapi mereka memiliki kepandaian tinggi. Ayahku sendiri bersama penduduk pulau tidak sanggup menghalau mereka. Jadi bagaimana mungin kita dapat menghadapi keroyokan mereka...?" tanya Sanggala, masih belum mengerti jalan pikiran Panji.
"Mudah-mudahan mereka mau berdamai dengan kita, Sanggala," sahut Panji penuh harap.
Suasana kembali hening. Sanggala yang masih belum mengerti jalan pikiran Panji jadi termenung. Pemuda itu heran melihat keberanian Panji yang berniat memasuki pulau dengan terang-terangan. Padahal orang-orang yang saat itu menguasai pulau bukan tokoh-tokoh yang berilmu rendah.
"Hhh...!" Akhirnya Sanggala hanya bisa menghela napas panjang. Dan menyerahkan segala keputusan kepada pemuda tampan berjubah putih itu. Apalagi Kenanga tidak kelihatan cemas saat mendengar ucapan Panji. Sehingga membuat Sanggala bertanya-tanya. Apa yang diandalkan kedua orang itu, sehingga mereka tidak merasa gentar menghadapi kematian?
Sementara itu, perahu mereka sudah merapat di pantai. Panji segera melompat dan menarik perahu ke pantai berpasir. Sedangkan Sanggala dan Kenanga sudah lebih dulu melompat turun dan siap menghadapi orang-orang Pulau Setan yang mungkin telah mengetahui kedatangan mereka.
Apa yang dikhawatirkan Sanggala memang tidak berlebihan. Baru saja mereka mengedarkan pandangan berkeliling, tampak serombongan orang berlari mendatangi mereka. Panji yang baru saja selesai menyeret perahu ke atas pasir, segera melompat menghadang enam orang lelaki kasar yang datang dengan senjata teracung Hal itu dilakukan agar Sanggala tidak sempat menumpahkan kemarahan dan dendamnya kepada orang-orang yang telah merebut pulau itu.
"Siapa kalian..?!" tegur seorang lelaki gemuk berperut buncit dengan kepala separo botak.
Tapi begitu sepasang matanya memandang wajah Sanggala, lelaki itu bergerak mundur. Kemudian senjatanya disilangkan, siap menghadapi pemuda yang dikenalnya sebagai putra Majikan Pulau Setan.
"Hmh...!" Sanggala menggeram sambil mencabut senjatanya. Kilatan dendam dan nafsu membunuh terpancar jelas pada sepasang matanya.
"Tahan, Sanggala. Biar aku yang menghadapi mereka...," cegah Panji melintangkan lengannya ketika melihat Sanggala bergerak maju. Pendekar Naga Putih memang bisa menahan tindakan Sanggala Tapi tidak bisa mencegah enam lelaki kasar yang bergerak maju dengan senjata siap dihunjamkan ke tubuh mereka bertiga.
"Serbuuu...!" Lelaki berperut buncit yang separo kepalanya botak segera memerintahkan kawan-kawannya untuk menggempur Panji, Kenanga, dan Sanggala. Keenam orang itu rupanya sudah menduga, kalau kedatangan Sanggala ke pulau ini untuk membalas dendam dan mengambil kembali pulau yang menjadi haknya.
"Sudah kuduga mereka tidak bisa diajak bicara baik-baik," desis Sanggala segera menghunus pedangnya dan langsung melompat menyambut datangnya serangan lawan.
Kali ini Panji tidak berusaha mencegah tindakan Sanggala. Pendekar Naga Putih tahu, keenam orang itu tidak mungkin dapat diajak berdamai. Apalagi saat melihat keenam lelaki itu sangat garang, memancarkan nafsu membunuh yang meledak-ledak.
Sehingga tanpa banyak bicara lagi, Panji langsung menghadapi dua orang lawan. Demikian pula dengan Sanggala dan Kenanga. Masing- masing menghadapi dua orang lawan. Sebentar kemudian, pertarungan pun berlangsung tanpa bisa dicegah lagi.
"Haaat..!" Sanggala agaknya memanfaatkan kesempatan itu untuk membalas dendam. Maka serangan yang dilancarkannya sangat ganas. Pedang di tangannya diputar sedemikian rupa, sehingga dalam beberapa jurus saja kedua pengeroyok kelabakan.
Breeet!
Seorang lawan Sanggala yang tak sempat menghindari sambaran pedangnya, langsung terjungkal mandi darah. Tewas seketika dengan luka memanjang di perut
"Heaaa...!" Tanpa mempedulikan korban sambaran pedangnya, Sanggala kembali menggerakkan senjatanya ke arah lawan yang tinggal seorang. Kemudian mencecarnya tanpa memberikan kesempatan pada lawan untuk membalas. Hingga akhirnya....
Crakkk!
Tanpa ampun lagi, tubuh orang itu langsung tersungkur mencium tanah. Dan nyawanya terbang saat itu juga. Tenggorokannya nyaris putus oleh sambaran pedang putra Majikan Pulau Setan itu.
Bukan hanya Sanggala saja yang telah menyelesaikan lawan-lawannya. Panji dan Kenanga pun telah menyelesaikan pertarungan Bedanya, Panji dan Kenanga hanya melukai dan membuat lawan-lawannya tak sadarkan diri. Pasangan pendekar itu memang tidak berniat membunuh lawan-lawannya.
"Hm...!" Sanggala menggeram ketika mengetahui hal itu Cepat dia melompat hendak menghabisi nyawa keempat orang yang tergeletak pingsan. Tentu saja perbuatan itu membuat Panji dan Kenanga terkejut
"Sanggala, tahan...!" seru Panji mencegah pemuda itu agar jangan membunuh lawan yang sudah tidak berdaya.
Tapi Sanggala tidak mau mendengarkan ucapan Panji lagi. Tebasan pedangnya yang menimbulkan angin berkesiutan tetap dilanjutkan.
Plakkk!
"Ahhh...?!" Sanggala kaget bukan main melihat sosok Panji melesat dan menepiskan lengannya. Sehingga pedang di tangan pemuda itu terlepas dari pegangan. Bahkan tubuh Sanggala terjajar beberapa langkah ke belakang.
"Kau..., membela mereka...?." desis Sanggala dengan suara bergetar. Jelas, Sanggala tidak senang Panji mencegah maksudnya untuk menghabisi nyawa orang-orang jahat itu.
"Membunuh lawan yang sudah tidak berdaya bukan sifat orang gagah, Sanggala...," ujar Panji menentang tatapan tajam pemuda itu.
"Kau tidak tahu, Panji! Mereka manusia-manusia keji yang membunuh ibu dan kawan-kawanku. Kalau sekarang kita ampuni, nanti mereka pasti akan mengulangi perbuatannya lagi. Aku tidak ingin orang lain mengalami nasib sepertiku. Maka aku harus membunuh mereka...," bantah Sanggala yang rasa dendamnya telah melewati batas.
"Kita harus berjiwa besar, Sanggala. Siapa tahu setelah siuman, mereka akan berubah pikiran dan mau meninggalkan perbuatan jahat yang selama ini dikerjakan Berilah kesempatan kepada mereka untuk kembali ke jalan yang benar. Untuk menebus dosa-dosa yang telah mereka lakukan di masa lalu...," ujar Panji, tetap tidak menyetujui sikap Sanggala.
"Aku tidak percaya! Orang-orang jahat yang selama hidupnya selalu menyusahkan orang lain, pasti akan kembali melakukannya. Mana mungkin orang berhati hitam seperti mereka dapat menjadi orang baik-baik...?" kilah Sanggala, tetap pada pendiriannya. Sehingga Panji harus bersabar menghadapi pemuda yang tengah dilanda dendam itu.
"Hm.... Kita lihat saja nanti. Kalau memang mereka masih belum sadar dari kesesatannya, apa susahnya membunuh mereka...?" ujar Panji lagi, membuat Sanggala terdiam. Karena merasa ucapan Panji benar dan tidak bisa dibantah lagi.
"Sebaiknya kita segera mendatangi tempat tinggalmu. Siapa tahu Ki Brajanata dan Datuk Lautan Timur telah berhasil menemukan penculik tak dikenal itu dan membawa ayahmu ke pulau ini..." Ketika melihat Sanggala terdiam, Panji langsung memanfaatkan kesempatan itu untuk mengalihkan perhatian Sanggala.
Kelihatannya usaha Panji berhasil. Terbukti Sanggala menganggukkan kepalanya. Biar bagaimanapun, menurutnya keselamatan ayahnya lebihi penting daripada membunuh orang-orang itu yang bisa dilakukannya lain waktu. Maka tanpa banyak cakap lagi, Sanggala segera membawa Panji darf Kenanga ke tempat tinggalnya yang telah direbut Ki Brajanata dan gerombolannya.
* * * * *
:::≡¦ [ TUJUH ] ¦≡:::
Bukan hanya Panji dan Kenanga saja yang merasa heran. Sanggala pun kelihatan mengerutkan keningnya ketika mendapati tempat itu seperti tak berpenghuni. Langkah kakinya pun diperlambat, khawatir jika suasana itu sebuah perangkap lawan untuk menjebak mereka.
"Hm.... Selama aku tinggal di pulau ini, belum pernah pintu gerbang bangunan ini tertutup. Mungkin dugaanmu tidak salah, Panji. Datuk Lautan Timur bersama Ki Brajanata dan dua orang pengikutnya belum kembali ke tempat ini. Kalau demikian, tidak sulit bagi kita untuk merebut pulau ini...," ujar Sanggala perlahan. Ada nada kelegaan dan kegembiraan dalam suara pemuda itu. Sebab dia tidak perlu bersusah-payah untuk merebut kembali tempat tinggalnya.
"Sanggala, tunggu...!" seru Panji ketika melihat Sanggala hendak memasuki pekarangan sebelah dalam bangunan dengan melompati pintu gerbangj "Mengapa...?" tanya Sanggala, terpaksa menahan gerakannya dan menoleh ke arah Panji, seolah meminta penjelasan pemuda itu.
"Suasana ini terlalu mencurigakan.... Aku khawatir, jangan-jangan mereka telah mempersiapkan jebakan untuk kita...," jawab Panji, membuat Sanggala mengurungkan niatnya untuk melompati pintu gerbang.
"Lalu, apakah kita harus memanggil mereka keluar...?" tanya pemuda itu seraya menatap Panji yang sedang meneliti keadaan di sekitar bangunan.
"Kita tidak perlu melakukannya. Sebaiknya kau dan Kenanga berjaga-jaga di sini. Aku akan mencoba memeriksa keadaan sebelah dalam bangunan ini. Seandainya benar tempat ini kosong, kalian boleh ikut masuk...," usul Panji.
"Tapi aku tidak bisa diam berpangku tangan, sementara kau mempertaruhkan nyawamu untuk menolongku. Kau bisa celaka, Panji...," ujar Sagala penuh kekhawatiran.
Ucapannya itu tentu saja membuat Kenanga tersenyum. Sedang Panji diam-diam mengagumi pemuda berwatak polos itu.
"Kau tidak perlu khawatir, Sanggala. Kakang Panji tentu bisa menjaga diri." Kenanga akhirnya angkat bicara untuk meyakinkan Sanggala bahwa kekasihnya tidak perlu dikhawatirkan.
"Yahhh.... Terserah kalianlah...," Sanggala akhirnya mengalah.
Tapi sebelum Panji bergerak melompati pagar setinggi satu setengah tombak itu, tiba-tiba di kiri dan kanan pintu gerbang muncul sosok-sosok tubuh yang siap membidikkan anak panah ke arah mereka. Tentu saja Panji terkejut. Bagi dirinya dan Kenanga, mungkin serangan anak panah itu tidak bisa berbuat banyak. Tapi, apakah Sanggala mampu menghalau hujan anak panah itu?
"Mundur. !" seru Panji. Kemudian, Pendekar Naga Putih langsung menyambar tubuh Sanggala dan melesat beberapa tombak menjauhi pintu gerbang. Tindakan Panji memang sangat tepat Karena pada saat melompat terdengar suara berdesingan, pertanda anak panah telah dilepaskan lawan.
Zinggg! Zinggg!
Suara berdesingan yang memekakkan telinga mengiringi datangnya hujan anak panah yang puluhan jumlahnya. Kenanga meloloskan Pedang Sinar Rembulan untuk menghalau hujan anak panah yang mengancam tubuhnya. Terdengar suara benda keras berparahan ketika pedang dara jelita itu meruntuhkan belasan anak panah yang menuju ke arahnya. Gerakan itu memang tidak sulit dilakukan oleh seorang dara seperti Kenanga yang memiliki kecepatan dan kekuatan melebihi ukuran manusia biasa.
Panji yang saat itu masih mengapung di udara, segera mengibaskan lengan kanannya ke belakang dengan mengerahkan tenaga saktinya. Sehingga puluhan anak panah itu langsung runtuh ke tanah sebelum mencapai sasarannya.
Baru terbuka mata Sanggala akan kehebatan Panji dan Kenanga, saat melihat cara mereka menghalau datangnya hujan anak panah. Sebab, ayahnya sendiri belum tentu mampu melakukannya. Apalagi dia yang kepandaiannya masih berada di bawah ayahnya. Kini Sanggala yakin akan dapat merebut pulau itu dengan bantuan dua orang sahabatnya yang ternyata memiliki kepandaian tinggi.
"Aneh, mengapa jumlah mereka jadi berlipat ganda? Padahal sewaktu aku meninggalkan pulau ini, mereka hanya berjumlah kurang lebih lima belas orang. Heran, dari mana datangnya orang-orang itu...?" gumam Sanggala terkejut bukan main melihat jumlah lawan ternyata cukup banyak. Paling sedikit jumlah mereka sekitar lima puluh orang.
"Hm.... Menurutku mereka pengikut Datuk Lautan Timur. Mungkin tokoh sesat itu telah membawa anak buahnya untuk tinggal di pulau ini. Dan itu tidak terlalu mengherankan, mengingat datuk sesat itu ikut membantu Ki Brajanata merebut pulau ini...," sahut Panji, menduga-duga.
Perkiraan Panji ternyata tidak meleset Ki Dayut Ganda memang telah membawa para pengikutnya untuk bergabung dengan pengikut Ki Brajanata. Itu sebabnya, mengapa Ki Dayut Ganda tidak khawatir meninggalkan pulau dalam waktu cukup lama.
"Keparat licik! Pantas sampai saat ini mereka belum kembali! Rupanya pulau ini telah dijaga ketat oleh pengikut-pengikutnya...!" geram Sanggala merasa harapan untuk dapat merebut tempat itu sangat kecil. Sebab, jumlah lawan sangat banyak dan telah terlatih baik untuk menghadapi setiap serbuan yang datang ke pulau itu.
"Hm.... Satu-satunya jalan, kita harus membuka paksa pintu gerbang. Jika tidak, akan sulit sekali untuk mendekat dan memasuki bagian dalam bangunan. Sebaiknya kau tunggu di sini, Sanggala. Aku akan mencoba menghancurkan pintu gerbang itu," ujar Panji seraya bergerak maju mendekati bangunan yang dijaga ketat oleh pasukan panah.
"Biarkan Kakang Panji melakukannya, Sanggala...," cegah Kenanga ketika melihat Sanggala hendak beranjak mengikuti Panji.
Pemuda itu pun hanya memandang dari jauh apa yang akan diperbuat Pendekar Naga Putih. Melihat sosok pemuda tampan berjubah putih bergerak mendekati pintu gerbang, hujan anak panah pun kembali berdesingan ke arah sosok Panji. Tapi Pendekar Naga Putih tidak mempedulikannya, dan tetap melangkah maju tanpa terganggu hujan anak panah yang mengenai tubuhnya.
Kecuali yang mengarah ke bagian matanya, Panji tidak peduli. Setiap anak panah yang menyentuh tubuhnya selalu runtuh ke tanah, tanpa mampu menembus lapisan kabut bersinar putih keperakan yang menyelimuti sekujur tubuhnya.
"Luar biasa sekali kesaktian kekasihmu, Kenanga. Seharusnya pemuda sepertinya mendapat julukan dari kaum rimba persilatan...," desis Sanggala takjub melihat Panji dengan tenangnya terus bergerak mendekati pintu gerbang. Sanggala melihat setiap anak panah yang menyentuh tubuh Pendekar Naga Putih langsung runtuh ke tanah, tanpa melukai kulit atau merusak pakaiannya. Sanggala menggeleng- gelengkan kepalanya melihat kejadian itu.
"Tentu saja dia mempunyai julukan. Apa kau belum mengetahuinya...?" sahut Kenanga tenang, menyembunyikan senyumnya.
Tentu saja jawaban dara jelita itu membuat Sanggala menoleh dengan kening berkerut "Apa julukannya, Kenanga? Mengapa kalian tidak menceritakannya padaku...?" tanya Sanggala yang sangat bernafsu mengetahui julukan Panji.
"Kakang Panji dijuluki Pendekar Naga Putih. Apa kau pernah mendengarnya...?" jawab Kenanga! sambil meneliti perubahan wajah Sanggala. Dara jelita itu tidak yakin kalau Sanggala pernah mendengar tentang Pendekar Naga Putih. Sebab menurut Sanggala, dia tidak pernah meninggalkan Pulau Setan sejak kecil. Jadi, kemungkinan besar pemuda itu belum mendangar nama besar Panji.
"Pendekar Naga Putih...?" gumam Sanggala mengulang julukan Panji dengan wajah tercenung. Rupanya, putra Majikan Pulau Setan itu sedang mengingat- ingat, kapan dan di mana pernah mendengar orang menyebut julukan itu.
"Ahhh.... Aku ingat sekarang! Beberapa waktu lalu sekembalinya ayah dari daratan, dia pernah bercerita tentang seorang pendekar muda yang membuat kaum sesat kalang-kabut. Sungguh tidak kusangka kalau pendekar besar itu Panji," ujar Sanggala tidak menyembunyikan rasa kagumnya. Kemudian, kembali dipandanginya sosok Panji yang saat itu berada di dekat pintu gerbang.
Begitu tiba di depan pintu gerbang yang kelihatan sangat kokoh, Panji langsung mendorong sepasang lengannya ke depan dengan mengerahkan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'. Dan....
Krakkkhhh!
Diiringi suara berderak keras, pintu gerbang yang terbuat dari kayu tebal itu pecah berantakan! Serpihan kayunya menyebar ke segala arah. Tanpa menunggu reruntuhan itu jatuh ke tanah, Panji langsung melesat menerjang kedalam.
Melihat Panji sudah menerobos masuk, Kenanga segera mengajak Sanggala menyusul. Tubuh keduanya melesat menuju bangunan dengan pengerahan ilmu lari cepat. Pendekar Naga Putih saat itu sudah dikepung sekitar tiga puluh orang bertampang kasar. Tapi sikapnya tetap tenang sambil menatap wajah-wajah pengepungnya.
"Aku ada keperluan penting dengan Datuk Lautan Timur dan Ki Brajanata! Tolong kalian panggilkan kedua tokoh itu...!" seru Panji mengerahkan tenaga dalam melalui suaranya, sehingga terdengar jelas dan lantang.
"Siapa kau, Anak Muda? Sebut namamu, baru kami menyampaikannya kepada pimpinan kami...," seorang pengepung yang bertindak sebagai pimpinan, melangkah maju sambil meneliti sosok Panji dari ujung kaki sampai ke ujung rambut
"Hm.... Katakan saja kepada pimpinanmu kalau putra Majikan Pulau Setan menginginkan agar dia segera angkat kaki dari tempat ini!" sahut Panji, membuat wajah lelaki kekar itu merah padam.
"Lancang sekali bicaramu, Anak Muda! Apa kau pikir kami budakmu, sehingga dapat kau suruh-suruh seperti itu..?!" bentak lelaki kekar itu sambil menuding wajah Panji dengan ujung pedangnya.
"Aku tidak mengatakan demikian. Tapi kalau kalian ingin menjadi budak-budakku, aku tidak keberatan...," sahut Panji lagi, membuat lelaki kasar itu mendengus kasar.
"Keparat! Rupanya kau datang untuk mencari mati!" bentak lelaki kekar itu tak bisa menahan kemarahannya lagi Dengan teriakan parau, lelaki itu segera memerintahkan orang-orangnya untuk menggempur pemuda berjubah putih itu.
"Haaat..!"
"Heaaa...!"
Terdengar bentakan susul-menyusul diiringi berkelebatnya para pengepung menyerbu Panji. Senjata-senjata di tangan mereka berkilauan menuju sasaran. Panji tetap berdiri tegak dengan sikap tenang, siap menyambut para pengeroyoknya. Kemudian kakinya bergerak ke kiri dan kanan menghindari sambaran pedang yang susul menyusul datang mengancam tubuhnya.
Sepasang tangannya pun bergerak kian kemari membagi-bagi pukulan, membuat lawan terdekatnya langsung terpelanting tanpa mampu bangkit lagi Sepak terjang pemuda itu membuat para pengeroyoknya kaget. Ketika dalam beberapa gebrakan saja delapan orang tergeletak di tanah, para pengeroyok Panji pun bergerak mundur dengan wajah berubah. Terlihat rasa gentar pada wajah-wajah mereka.
"Sebaiknya turuti saja kata-kataku. Panggil pimpinanmu agar kalian tidak merasakan kerasnya kepalanku...," ujar Panji, lantang.
"Jangan dengarkan omongan pemuda keparat itu! Ayo, serang dia...!" Lelaki kekar yang memimpin kawan-kawannya, berteriak memberi perintah. Sehingga Panji pun kembali diserbu dari segala penjuru.
Di bagian lain, Kenanga menghadapi keroyokan belasan pengikut Datuk Lautan Timur. Dara jelita itu menggunakan senjatanya yang berkelebat kian kemari membawa hawa kematian. Setiap kafi pedangnya bergerak, selalu ada sosok lawan yang terjungkal mencium tanah dengan tubuh bermandikan darah. Sehingga dalam waktu yang tidak terlalu lama, Kenanga telah merobohkan tujuh orang pengeroyok. Kendati demikian, para pengeroyoknya tidak merasa jera. Mereka terus menyerbu disertai teriakan-teriakan keras.
"Haiiit..!"
Untuk yang kesekian kalinya, pedang di tangan dara jelita itu kembali berkelebat meminta korban! Dua sosok pengeroyoknya terjungkal dan tewas seketika. Darah segar semakin-banyak menggenangi permukaan tanah dan menyebarkan bau anyir.
Di arena lain, tidak jauh dari pertarungan Kenanga, Sanggala tengah mengamuk menghadapi keroyokan dua belas orang lawan. Pemuda itu rupanya hendak membalaskan dendamnya yang menggumpal di dalam dada. Ingatan tentang ayah, ibu, serta saudara-saudara seperguruannya, membuat Sanggala lebih mirip iblis haus darah! Pedang di tangannya tak pernah berhenti bergerak. Dalam sepuluh jurus, empat orang pengeroyok telah berhasil dirobohkannya. Semua tewas dengan leher hampir putus! Sungguh mengerikan sepak terjang pemuda yang hatinya terbakar dendam itu.
"Yeaaat..!"
Breeet! Breeet!
"Aaa...!"
"Aaakh...!"
Dua orang pengeroyok terdepan langsung terjungkal dengan tubuh bersimbah darah. Sanggala yang seperti tidak pernah puas itu, tidak mempedulikan korban sambaran pedangnya. Dia terus merangsek maju mencari korban berikutnya.
Sementara itu para pengeroyok Panji semakin menipis. Sudah dua puluh orang lebih yang bergelimpangan pingsan terkena pukulan atau tendangannya. Sehingga lawan yang tinggal dua belas orang termasuk lelaki kekar yang menjadi pimpinan, bergerak mundur tanpa diperintah. Rupanya kali ini mereka memang merasa gentar pada pemuda tampan berjubah putihitu. Pendekar Naga Putih menghentikan gerakannya dan melangkah satu-satu menghampiri lawan-lawannya yang terus bergerak mundur.
"Mengapa majikan kalian belum kelihatan batang hidungnya? Apa dia takut melihat kehadiranku...?" tanya Panji sambil menatap wajah-wajah yang kini kelihatan sangat pucat. Dan ketika tak seorang pun menjawab pertanyaannya, Pendekar Naga Putih segera melangkah memasuki bagian dalam bangunan. Tapi....
"Haaat..!"
Lelaki kekar pemimpin para pengikut Datuk Lautan Timur, tiba-tiba melesat cepat disertai kelebatan pedangnya. Jelas, lelaki itu tidak menginginkan Pendekar Naga Putih menginjakkan kakinya di bagian dalam bangunan besar itu.
"Hm..." Panji mendengus melihat serangan lawan. Tangan kanannya terulur memapaki sambaran pedang, kemudian mengirimkan serangan balasan dengan hantaman telapak tangan ke tubuh lawan.
Plakkk!
Sebelum telapak tangan Pendekar Naga Putih sempat menyentuh tubuh lawan, tiba-tiba terdengar teriakan melengking nyaring disusul berkelebatnya sesosok tubuh memapak hantaman telapak tangannya. Seruan kaget terdengar dari sosok bayangan hitam yang menyambut serangan Panji. Pendekar Naga Putih sendiri sempat terkejut merasakan lengannya bergetar. Meskipun kuda-kudanya tidak sampai tergempur mundur, tapi cukup mengejutkannya.
"Datuk Lautan Timur...?!" desis Panji ketika melihat sosok kakek bertubuh kurus yang berdiri menatapnya dengan sorot mata berkilat tajam.
"Bagus, jika kau sudah mengetahui siapa aku...," geram kakek yang memang Datuk Lautan Timur dengan wajah dingin. Dipandanginya sosok pemuda tampan berjubah putih itu dengan penuh selidik.
Panji pun tidak mengalihkan pandang matanya dari wajah kakek kurus itu. Sehingga untuk beberapa saat lamanya kedua tokoh sakti itu saling bertatapan tajam.
"Rupanya kau sengaja menipuku agar tidak segera kembali ke pulau ini. Lalu kau pergunakan kesempatan itu untuk menyerbu pulau ini. Sungguh suatu tipu muslihat yang sangat jitu dan patut dipuji...," ujar Datuk Lautan Umur, tanpa melepaskan pandang matanya.
Diam-diam Datuk Lautan Timur terkejut melihat kilatan sinar bola mata pemuda itu yang mengandung perbawa amat kuat. Hatinya mulai menduga-duga, siapa pemuda tampan berjubah putih itu.
"Apa maksudmu, Datuk Lautan Timur? Aku tidak bermaksud menipumu. Ki Wanalungga memang telah diculik oleh orang tak dikenal. Katakan saja kalau kau tidak bisa menemukan penculik itu. Tidak perlu berdalih karena ketidak mampuanmu..," balas Panji tenang.
"Hm.... Rupanya kau harus dipaksa untuk mengatakan di mana keparat Wanalungga berada...!" geram Datuk Lautan Timur sambil menyiapkan jurus andalannya untuk menggempur Panji. Agaknya benturan tadi membuat Datuk Lautan Timur lebih berhati-hati. Lelaki tua yang bernama Ki Dayut Ganda itu merasakan kekuatan tenaga Panji.
Pendekar Naga Putih yang juga menyadari sepenuhnya kalau kakek itu bukan lawan yang ringan, segera menggeser tubuh dua langkah ke samping. Kemudian, menyiapkan ilmu andalannya untuk menghadapi Datuk Lautan Timur.
"Haaat..!"
Dibarengi sebuah bentakan menggeledek, tubuh Ki Dayut Ganda melesat ke arah Panji dengan serangan mautnya. Sepasang tangannya berputaran menimbulkan suara bercicitan saat meluncur ke arah Panji. Kenyataan itu menunjukkan kalau tenaga dalam Datuk Lautan Timur tidak bisa dipandang ringan.
"Haiiit..!"
Panji tidak ingin menunggu serangan lawan tiba di dekatnya. Maka, tubuhnya langsung melesat menyambut serangan lawan. Sebentar saja, kedua to-j koh sakti itu telah terlibat dalam sebuah pertarungan sengit dan mendebarkan!
* * * * *
:::≡¦ [ DEL@PAN ] ¦≡:::
"Bedebah...!" bentak lelaki gemuk berwajah brewok. Lelaki yang tak lain dari Ki Brajanata itu marah sekali ketika melihat pengikut-pengikutnya banyak yang tewas di tangan Kenanga dan Sanggala yang dikenalnya sebagai putra tunggal Ki Wanalungga. Maka tanpa banyak cakap lagi, Ki Brajanata segera melesat ke arah Kenanga dan langsung melancarkan serangan kilat
Whuuut!
Merasakan ada desingan tajam datang dari belakangnya, Kenanga langsung menoleh. Pedang di tangannya bergerak menyambut ketika melihat kelebatan pedang mengancam tubuhnya.
Tranggg!
"Aihhh...?!" Ki Brajanata yang terlalu memandang rendah dara jelita itu terpekik kaget. Tubuhnya hampir terpelanting terkena tangkisan lawan yang demikian kuat. Untunglah keseimbangan tubuhnya masih dikuasai. Sehingga tidak sampai terbanting jatuh dalam satu gebrakan saja.
"Hm.... Bagus kau muncul, Ki Brajanata. Dengan begitu, aku bisa sekaligus mengirimmu ke neraka. Kasihan pengikut-pengikutmu di sana. Mereka pasti akan kehilangan jika kau tidak menyertai mereka," ujar Kenanga dengan nada mengejek. Hingga paras Ki Brajanata merah seperti terbakar.
"Awas kau, Perempuan Liar! Kalau sampai tertawan olehku, kau akan kupermainkan sepuas hatiku...!" geram Ki Brajanata dan segera menyilangkan pedangnya di depan dada.
Kenanga hanya tertawa kecil mendengar ucapan lelaki gemuk itu. Dara jelita itu tidak gentar mendengar ancaman yang menyembunyikan niat kotor itu.
"Hiaaat...!" Ki Brajanata segera menerjang maju tanpa memberi kesempatan lawan untuk bersiap. Lelaki gemuk brewok itu memang berwatak curang dan licik.
Bettt...!
Kenanga menggeser tubuhnya dengan gerakan menyamping. Sehingga tusukan pedang lawan lewat setengah jengkal di sisi tubuhnya. Kemudian, langsung dikirimkannya serangan balasan yang cepat dan kuat
Ki Brajanata yang mengetahui kekuatan lawan, tidak ingin membenturkan senjatanya kalau tidak terpaksa, karena itu hanya akan merugikan dirinya sendiri. Maka ketika serangan balasan dara jelita itu datang, Ki Brajanata melompat ke belakang. Dan kembali membangun serangan yang lebih hebat. Pertarungan pun terus berlanjut sengit!
Di bagian lain, Sanggala kembali berhadapan dengan Guntala dan Soganta. Sadar kalau kedua orang lawan sangat lihai, Sanggala segera mengerahkan seluruh kemampuan untuk menahan gempuran lawan-lawannya. Dan sesekali mengirimkan serangan balasan bila melihat ada peluang yang terbuka. Dalam jurus-jurus awal, pertarungan mereka kelihatan seimbang. Kedua belah pihak saling berusaha untuk segera merobohkan lawan. Sehingga pertempuran jadi sangat seru dan mendebarkan.
Di tempat lain, pertarungan Panji dan Datuk Lautan Timur semakin meningkat Apalagi tokoh sesat berkepandaian tinggi itu sudah menggunakan senjata dayung maut andalannya. Pertarungan itu membuat orang-orang yang berada di dekatnya segera menjauh. Karena angin pukulan kedua tokoh itu dapat menewaskan, meski dalam jarak satu setengah tombak.
Sehingga arena pertempuran kedua tokoh sakti itu agak terpisah dari dua pertarungan lainnya. Panji yang menggunakan tangan kosong dengan mengerahkan 'Ilmu Silat Naga Sakti', mampu mengatasi serangan dayung maut Datuk Lautan Timur. Sehingga kakek itu semakin penasaran.
"Hm.... Sejak semula aku memang sudah mencurigaimu, Pendekar Naga Putih! Ternyata penglihatanku tidak salah...!" geram Ki Dayut Ganda yang kini dapat menebak jati diri pemuda tampan berjubah putih itu. Maka kakek itu pun semakin memperhebat serangannya, setelah mengetahui siapa lawannya.
"Haiiit..!"
Untuk kesekian kalinya, Datuk Lautan Timur kembali memperdengarkan pekik yang menggetarkan jantung. Sehingga beberapa orang yang menyaksikan pertarungan itu dan tidak memiliki tenaga dalam yang tinggi, langsung roboh sambil mendekap dada yang teras nyeri dan sesak. Dapat dibayangkan, betapa dahsyatnya pekikan Datuk Lautan Timur!
Sayangnya pekikan itu tidak berpengaruh bagi Pendekar Naga Putih. Hingga Datuk Lautan Timur semakin penasaran. Dan sampai jurus kesembilan puluh dua, kakek itu masih belum mampu melukai Panji. Jangankan melukai, menyentuh pakaiannya pun sangat sulit dilakukan.
"Heaaah...!" Ketika pertarungan menginjak jurus keseratus tiga belas, tiba-tiba Pendekar Naga Putih mengeluarkan pekikan keras yang terasa merontokkan jantung. Bersamaan dengan itu, tubuhnya melesat ke depan dengan kecepatan yang sulit ditangkap mata. Sepasang tangannya digerakkan menyilang berganti-ganti, membuat pandangan Datuk Lautan Timur kacau. Sehingga....
Bukkk! Desss!
"Huakkkh...!"
Dua buah hantaman keras membuat tubuh kakek itu terjungkal muntah darah. Lalu jatuh berguling-guling sejauh satu tombak lebih. Dan ketika bangkit berdiri, terlihat kuda-kudanya goyah. Sedang kedua tangannya mendekap dada yang terkena hantaman Panji.
Pendekar Naga Putih yang ingin segera menyelesaikan pertarungan, langsung melesat ke depan dengan mendorong sepasang telapak tangannya. Dan Datuk Lautan Timur yang senjatanya telah terpental dari genggaman, hanya bisa menatap dengan wajah pucat bagai mayat. Maka....
Bresssh.!
Bagaikan selembar daun kering tubuh Datuk Lautan Timur terpental deras. Darah segar kembali menyembur.ke luar dari mulutnya. Maka tanpa ampun lagi, tubuh renta itu terbanting di tanah dan tewas dengan dada remuk!
Melihat lawannya telah tewas, Panji menoleh ke arah pertarungan lain. Betapa terkejutnya hati Pendekar Naga Putih ketika melihat Sanggala terdesak hebat oleh dua orang pengeroyoknya. Bahkan tubuh pemuda itu telah dipenuhi luka yang mengucurkan darah.
Maka tanpa membuang-buang waktu lagi, Panji segera memasuki arena pertarungan. Dan begitu tiba, kedua tangannya langsung dikibaskan ke kiri dan kanan memapaki sambaran pedang dua pembantu utama Ki Brajanata yang siap menghabisi nyawa Sanggala.
Plak! Bresssh...!
"Aaakh...!"
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh kedua orang itu terpelanting deras. Bahkan Soganta lebih sial dari Guntala, karena dadanya terkena hantaman telapak tangan Panji. Akibatnya, darah segar menyembur keluar dari mulut lelaki kekar itu. Setelah berkelojotan beberapa saat, tubuhnya diam tak bergerak lagi. Soganta tewas dengan isi dada pecah!
Sanggala pun tidak menyia-nyiakan kesempatan baik itu. Ketika melihat tubuh Guntala terhuyung-huyung, maka dengan sisa-sisa tenaganya, pemuda itu menerjang maju dengan tusukan pedang lurus tertuju ke jantung lawan.
Blesss!
"Aaakh...!" Guntala terpekik ngeri ketika pedang di tangan Sanggala masuk ke dalam perutnya hingga setengah. Wajah lelaki itu menegang menahan rasa sakit yang dideritanya.
"Heahhh...!" Seiring bentakan itu, Sanggala menarik keluar pedangnya yang terbenam di tubuh lawan. Darah segar pun mengucur keluar dari luka yang dalam itu. Dan tubuh Guntala roboh mencium tanah dengan nyawa terbang ke alam baka.
"Aaakh...!" Pada saat yang hampir bersamaan, terdengar jerit kematian keluar dari mulut Ki Brajanata. Tubuh lelaki gemuk bermata bengis itu terpelanting terkena sambaran pedang Kenanga yang merobek tubuh bagian depannya. Ki Brajanata pun tewas menyusul yang lainnya.
Para pengikut Datuk Lautan Timur dari Ki Brajanata yang masih selamat langsung melempar senjata mereka, setelah melihat kedua pemimpinnya tewas. Mereka berlutut di depan ketiga pendekar itu sambil meminta ampun. Sanggala menoleh ke arah Panji seolah meminta keputusan pemuda itu. Pendekar Naga Putih tersenyum dan melangkah menghampiri lima belas lelaki bertampang kasar itu.
"Minta maaflah kepada majikan muda kalian, yang mulai hari ini jadi Majikan Pulau Setan," ujar Panji seraya menoleh ke arah Sanggala yang menerima keputusan itu dengan senyuman. Sebagai pertanda kalau pemuda itu mengampuni bekas musuh-musuhnya.
"Terima, kasih, Tuan Muda Sanggala...!" ujar kelima belas lelaki kasar itu yang merasa bersyukur karena telah diampuni. Mereka berjanji akan mengabdi kepada Sanggala, Majikan Pulau Setan yang baru
"Sanggala. Menurut dugaanku, ayahmu mungkin dilarikan ke pulau ini...," ujar Panji setelah mereka membereskan semua kerusakan di tempat itu, dan membuang ke laut mayat-mayat yang berserakan.
"Mengapa kau menduga demikian, Pendekar Naga Putih...?" tanya Sanggala heran.
"Karena benda keramat itu pasti berada di sekitar pulau ini. Jika orang misterius itu ingin membunuh ayahmu, untuk apa dia harus bersusah-payah melarikannya. Padahal kesempatan untuk itu telah terbuka lebar...," jelas Panji yang mulai menemukan jawabannya setelah merangkai semua peristiwa- peristiwa yang terjadi.
"Lalu di mana benda keramat itu disembunyikan?" tanya Sanggala.
"Hm.... Apakah seluruh keluargamu secara turun-ternurun tinggal di pulau ini?" tanya Panji. Pendekar Naga Putih memang mulai menemukan titik terang dari semua kejadian yang menimpa penghuni Pulau Setan.
Sanggala hanya mengangguk menjawab pertanyaan Panji. Kening pemuda itu tampak berkerut merasakan pikirannya mulai terbuka.
"Apa kau ingin mengatakan kalau benda keramat itu tersimpan di sekitar makam leluhurku..?" duga Sanggala seraya menatap Panji dengan wajah menegang.
"Itu hanya dugaanku, Sanggala," sahut Panji, membuat Sanggala segera melesat meninggalkan tempat itu.
"Ikuti aku...!" teriak Sanggala tanpa mengurangi kecepatan larinya."
Tanpa banyak tanya lagi, Panji dan Kenanga bergegas mengikuti pemuda yang terus bergerak menuju ke arah selatan Pulau Setan.
"Makam leluhurku terletak di selatan pulau ini. Di sana ada sebuah bangunan kuno yang tidak terlalu besar. Tapi tak ada seorang pun yang berani memasukinya selama ini," jelas Sanggala sambil tetap berlari.
"Mudah-mudahan dugaanku tidak keliru. Dan kita bisa menemukan ayahmu di sana...," sahut Panji berharap agar persoalan itu segera terungkap.
Tidak berapa lama kemudian, mereka tiba di daerah pekuburan yang tidak terlalu luas. Di dalamnya terdapat enam belas makam dalam ukuran sedang.
"Itu bangunan yang kumaksudkan...," ujar Sanggala seraya menudingkan jarinya ke sebuah bangunan yang terbuat dari batu dan tidak terlalu besar namun terlihat sangat kokoh.
Tiba-tiba Panji menarik lengan Sanggala dan Kenanga, sehingga langkah keduanya tertahan.
"Aku mendengar suara bentakan yang samar...," ujar Panji sebelum keduanya sempat bertanya. Karena Panji mengatakannya dengan berbisik, Sanggala dan Kenanga pun mengerti kalau mereka tidak boleh mengeluarkan suara terlalu keras.
"Aku tidak mendengar apa-apa...," bisik Sanggala mencoba mengerahkan indera pendengarannya. Tapi tetap saja tidak dapat menangkap suara yang dimaksudkan Panji.
"Aku juga belum bisa mendengarnya." Kenanga pun tidak berbeda dengan Sanggala. Dara jelita itu tidak mendengar suara yang didengar kekasihnya.
"Kalian berdua tunggu di sini. Aku akan menyelidikinya...," ujar Panji yang dijawab dengan anggukan oleh Sanggala dan Kenanga.
Panji segera bergerak maju dengan langkah hati-hati. Suara bentakan samar itu mulai bertambah jelas terdengar, membuat Pendekar Naga Putih semakin mempercepat langkahnya. Dengan ilmu meringankan tubuhnya, langkah Panji tidak menimbulkan suara.
Sehingga tidak mudah ditangkap pendengaran manusia biasa. Langkah Pendekar Naga Putih terhenti di sebuah mulut gua yang berukuran sedikit lebih besar dari tubuhnya. Kemudian, Panji merapatkan tubuhnya di dinding mulut gua. Dan berusaha menjenguk ke dalam untuk melihat apa yang terjadi di dalam sana.
"Keparat kau, Saluya! Tidak kusangka kau semakin terseret jauh ke dalam lumpur kesesatan! Kalau yang kau maksudkan benda keramat itu peninggalan leluhurku, sampai mati pun aku tidak akan memberitahukannya kepadamu. Sebaiknya kau bunuh saja aku! Percuma kau menakut-nakuti-ku...!" Terdengar suara parau dan lemah, menandakan pemilik suara itu tengah menderita luka dalam.
"Ki Wanalungga...?!" desis Panji yang segera dapat mengenali pemilik suaraitu.
"Hm.... Kalau kau tetap keras kepala aku akan menyiksamu, hingga kau menyesal telah dilahirkan di dunia ini!" bentak suara lainnya yang terdengar garang dan penuh kemarahan
Kini semakin jelaslah bagi Panji, apa yang sedang dipertengkarkan kedua orang yang berada di dalam gua itu.
"Murid murtad! Lakukan apa yang kau inginkan! Tapi jangan harap aku akan memberitahukan di mana benda keramat itu tersimpan!" terdengar suara Ki Wanalungga menyiratkan kemarahan yang terpendam di dalam hati.
"Hm.... Jadi penculik itu salah seorang murid Ki Wanalungga yang telah berkhianat dan memilih jalan sesat..," gumam Panji semakin mengerti.
Terdengar suara langkah kaki bergerak menuju mulut gua. Panji yang sedang mendengarkan pembicaraan mereka, segera melayang naik ke atas pohon yang berada tidak jauh dari mulut gua. Dan ketika sesosok tubuh jangkung muncul dari mulut gua, Pendekar Naga Putih langsung meluncur turun dan menghadangnya.
"Siapa kau...?! Mau apa datang ke tempat ini...?!" bentak lelaki jangkung itu terkejut sambil meraba gagang pedang di pinggangnya.
"Hm.... Kau sungguh seorang murid yang tidak berbudi, Saluya. Untuk itu kau harus dihukum!" geram Panji, membuat lelaki jangkung itu terkejut mendengarnya. Tapi Panji tidak memberikan kesempatan kepada Saluya untuk mengungkapkan keheranannya. Pendekar Naga Putih segera menerjang maju untuk membekuk lelaki jangkung yang telah berkhianat kepada gurunya untuk mendapatkan benda keramat yang bukan miliknya.
Beeet!
Tamparan tangan Panji mengenai angin kosong, karena Saluya telah menggeser tubuhnya dengan lompatan pendek ke samping. Bahkan mulai memberikan perlawanan dengan serangan-serangan yang cepat dan kuat. Tapi semua serangan itu tidak berarti banyak bagi Pendekar Naga Putih, karena dengan mudah dapat dielakkannya.
Sebentar kemudian, keduanya sudah terlibat dalam sebuah pertarungan yang tidak seimbang. Setelah lewat dua puluh jurus Saluya menyerang habis-habisan, Pendekar Naga Putih segera menundukkan lelaki jangkung itu dengan sebuah tendangan keras. Kontan tubuh Saluya terpental dan jatuh di atas sebuah makam.
"Setan belang...!" Saluya mengumpat seenaknya. Tapi belum sempat lelaki itu berdiri tegak, Pendekar Naga Putih telah mengirimkan sebuah pukulan yang bersarang telak di tubuhnya.
Bukkk!
"Huakkkh...!" Pukulan keras itu membuat Saluya memuntahkan darah segar. Tubuhnya menggigil seketika, karena Pendekar Naga Putih telah mengerahkan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'nya. Saluya agaknya tidak sanggup menahan pukulan keras itu. Terbukti, lelaki jangkung itu langsung menggeletak pingsan. Sementara darah segar masih mengalir dari bibirnya.
Panji segera meninggalkan tubuh lawannya. Pemuda itu bergerak memasuki gua dan menyelamatkan Ki Wanalungga yang keadaannya semakin bertambah parah. Setelah memberikan dua butir pil berwarna merah dan putih yang langsung ditelan lelaki tual itu, Panji segera memapah Ki Wanalungga keluar j dari dalam gua.
"Ayah...!" Sanggala berteriak ketika melihat Panji melangkah sambil menggendong tubuh Ki Wanalungga di bahu kanannya dan tubuh Saluya di bahu sebelah kiri.
"Penculik ayahmu adalah Saluya, Sanggala," jelas Panji sebelum Sanggala menanyakannya.
"Kakang Saluya...?! Hm.... Dulu pun dia pernah berkhianat Lalu ayah mengusirnya dari pulau ini. Peristiwa itu terjadi kira- kira tiga tahun yang lalu. Rupanya dia merasa sakit hati pada kami...," jelas Sanggala.
"Hm.... Manusia jahat dan berhati licik ini harus mendapat hukuman yang setimpal. Tapi, yang terpenting persoalan ini sudah selesai. Sekarang tinggal mengobati ayahmu, Sanggala. Kemungkinan besar beliau masih bisa diselamatkan. Berdoalah untuk kesembuhan ayahmu...," ujar Panji.
Pendekar Naga Putih memutuskan untuk menginap di Pulau Setan untuk menyembuhkan luka dalam Ki Wanalungga. Rombongan kecil itu bergerak meninggalkan daerah pekuburan. Baru beberapa tindak, Panji tiba-tiba menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Sanggala.
"Sanggala, kalau diperkenankan, aku ingin melihat benda keramat yang diperebutkan itu...?" ujar Panji, perlahan.
Sanggala ikut menghentikan langkahnya, dan menoleh ke arah Panji. Ditatapnya pendekar muda itu dengan sinar mata aneh. Kemudian berpaling pada ayahnya yang juga mendengar ucapan pendekar muda itu.
"Mari kita ke sana. Aku pun belum pernah membukanya. Hanya ada beberapa kitab peninggalan ayahku, yang menurut beliau diambil dari daerah pekuburan tua ini"
Ki Wanalungga rupanya percaya penuh kepada Pendekar Naga Putih. Terbukti lelaki tua itu membawa Panji ke tempat penyimpanan pusaka leluhurnya.
Tidak berapa lama kemudian, mereka pun tiba di depan sebuah bangunan yang kokoh dan sangat tua. Ki Wanalungga minta agar tubuhnya diturunkan. Atas persetujuan Ki Wanalungga, Panji membongkar bagian depan bangunan itu dengan menggunakan pukulan jarak jauh. Dinding yang kokoh itu pun jebol dengan suara ribut. Terciptalah sebuah lubang besar yang cukup untuk dimasuki dua orang.
"Luar biasa...!" Panji bergumam sambil melangkah ke luar dari dalam bangunan itu dengan membawa beberapa kitab, pedang, dan permata.
Semua mata yang melihat terbelalak takjub, termasuk Majikan Pulau Setan dan putranya. Sebab, mereka pun belum pernah masuk ke dalamnya. Setelah melihat benda-benda pusaka itu, rombongan pun kembali bergerak menuju bangunan tempat tinggal Ki Wanalungga.
Setibanya di bangunan yang telah dihuni selama berpuluh tahun, Ki Wanalungga memerintahkan orang-orangnya untuk mengangkut benda-benda pusaka leluhurnya. Dan membuatkan sebuah ruangan khusus untuk menyimpan benda-benda pusaka itu.
S E L E S A I
INDEX PENDEKAR NAGA PUTIH | |
Pemburu Nyawa --oo0oo-- Sepasang Pedang Iblis |