Life is journey not a destinantion ...

Laba-laba Hitam

INDEX PENDEKAR NAGA PUTIH
Sengketa Jago Jago Pedang --oo0oo-- Tersesat Di Lembah Kematian



PANJI
Pendekar Naga Putih
Karya: T. Hidayat
EP : LABA LABA HITAM

Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit


«₪֎ [ SATU ] ֎₪»

"Desa Kembangan...," sebut seorang lelaki tinggi kurus, membaca tulisan yang tertera pada sebuah tiang batu di tepi jalan.
Sejenak lelaki tinggi kurus berusia sekitar tujuh puluh tahun itu menoleh ke arah sosok di samping kanannya. Sepasang matanya yang cekung namun bersinar tajam, menandakan kalau kakek itu bukan orang sembarangan. Dalam dunia persilatan, ia dikenal sebagai seorang jago pedang nomor satu di wilayah Utara. Julukannya, Raja Pedang Angin Puyuh.
Sedangkan lelaki yang berdiri di sebelah kanannya, bertubuh tinggi kekar dan berwajah brewok. Sikapnya yang nampak gagah menandakan kalau ia jelas bukan orang sembarangan. Bahkan dalam hal ilmu pedang dan nama besar pun, tidak kalah oleh kawannya.
Raja Pedang Tujuh Bintang. Itulah julukan yang dianugerahkan kepadanya. Tak seorang tokoh pun di wilayah Barat yang tidak mengenalnya, karena dia merupakan jago pedang nomor satu di daerah itu.
Menilik dari ciri dan julukan kedua orang itu, je- las kalau mereka tak lain adalah Ki Ageng Semplak dan Ki Branta Sula (Untuk mengetahui lebih jelas tentang kedua jago pedang ini, pembaca silakan mengikuti serial Pendekar Naga Putih dalam episode Sengketa Jago-jago Pedang)
Ki Ageng Semplak dan Ki Branta Sula kini memang tengah melakukan perjalanan bersama, setelah peristiwa adu domba bagi para jago-jago pedang. Untunglah kehadiran Pendekar Naga Putih waktu itu telah menyelamatkan keempat jago pedang dari pertarungan adu domba, sehingga nyawa mereka selamat. Hingga akhirnya, bersatu dan bersepakat hendak membongkar kelompok orang berpakaian serba hitam yang membuat mereka hampir saling bunuh di antara kawan sendiri.
Sementara, Pendekar Naga Putih dan Kenanga bermaksud menyelidiki orang-orang berseragam hitam itu. Ki Ageng Semplak dan Ki Branta Sula kini tiba di sebuah desa yang bernama Desa Kembangan. Dan saat itu, mereka telah tiba diperbatasan desa.
"Bagaimana menurut pendapatmu, Adi Branta? Apakah kita singgah di desa itu, atau meneruskan perjalanan?" tanya Ki Ageng Semplak meminta pendapat sahabatnya.
"Hm.... Ada baiknya kita singgah sebentar untuk melepaskan lelah. Sekalian mencari keterangan di desa itu. Siapa tahu ada pedagang keliling yang kebetulan singgah dan saling bertukar pengalaman dengan temannya. Dari orang seperti merekalah bisa didapatkan berita-berita mengenai orang-orang berseragam hitam itu. Siapa tahu salah seorang dari pedagang keliling itu pernah berjumpa ataupun berurusan dengan mereka. Bagaimana, Ki Ageng? Setuju?" tanya Ki Branta Sula menatap tajam meminta persetujuan.
"Ayolah kalau memang menurutmu itu baik...," sahut kakek tinggi kurus itu sambil melangkah menelusuri jalan lebar yang berhubungan dengan Desa Kembangan. Tanpa banyak cakap lagi, Ki Branta Sula segera menjajari langkah sahabatnya.
Tidak berapa lama kemudian, kedua orang jago pedang itu telah tiba di mulut desa. Suasana desa yang terlihat cukup ramai oleh kesibukan penduduk, membuat kedua tokoh itu tidak merasa curiga. Mereka meneruskan langkah memasuki sebuah kedai makan. Beberapa orang pengunjung yang tengah menikmati hidangan, sama-sama menolehkan kepala begitu mereka memasuki kedai.
Namun orang-orang itu kembali melanjutkan makan, tidak peduli lagi kepada Ki Ageng Semplak dan Ki Branta Sula yang sudah memilih sebuah meja kosong di sudut kiri ruangan kedai. Ki Ageng Semplak mengulapkan tangannya memanggil seorang pelayan yang langsung saja menghampiri. Lalu, kakek tinggi kurus itu menyebutkan permintaan dan berpesan agar disediakan segera.
"Hm.... Mengapa kita tidak memilih kedai yang lebih banyak pengunjungnya saja, Adi Branta? Di tempat sesepi ini, mana mungkin bisa mendapatkan keterangan?" tegur Ki Ageng Semplak menatap tajam wajah sahabatnya.
"He he he.... Kau ini semakin tua semakin tidak sabar, Ki Ageng. Tunggulah beberapa saat. Aku yakin, tempat ini akan segera dipenuhi orang yang hendak mengisi perutnya. Bersabarlah," sahut Ki Branta Sula sambil tersenyum melihat ketidaksabaran sahabatnya.
"Nah, lebih baik nikmati saja hidangan ini sambil menantikan ramainya pengunjung."
Saat itu pelayan kedai memang tengah menghampiri meja makan mereka. Tanpa terburu-buru, kedua jago pedang itu mulai mencicipi hidangan yang telah tersusun di atas meja. Ki Ageng Semplak yang tidak sabar, segera menyambar gelas bambu yang berisi arak. Sekali teguk saja, lenyaplah isi gelas bambu itu kedalam perutnya. Sedangkan Ki Branta Sub tidak ingin mengikuti perbuatan sahabatnya. Sebelum meneguk arak di dalam gelas bambu, terlebih dahulu dicicipi hidangan yang telah tersedia didepannya.
"Fruahhh...!" Tiba-tiba saja, makanan yang baru dikunyahnya disemburkan kembali ke lantai. Setelah berbuat demikian, jago pedang wilayah Barat itu bergegas bangkit sambil menggebrak meja di depannya.
Brakkk...!
"Bangsat! Siapa yang berani main-main dengan Raja Pedang Tujuh Bintang?" bentak Ki Branta Sula dengan wajah merah padam. Kemudian, ia kembali meludah berkali-kali seolah-olah, ingin membuang habis yang baru saja dimakannya tadi.
Raja Pedang Angin Puyuh tentu saja menjadi terperanjat melihat perbuatan sahabatnya. Ditatapinya wajah Ki Branta Sula, lalu beralih ke meja yang telah hancur berkeping-keping itu. Jelas, kakek tinggi kurus itu belum mengerti tentang kelakuan sahabatnya. Sehingga, ia hanya dapat menatap dengan wajah bingung!
"Semua hidangan ini beracun, Ki Ageng Apakah kau tidak merasakannya?" tanya Ki Branta Sula.
Wajah Raja Pedang Tujuh Bintang berubah pucat ketika teringat Ki Ageng Semplak telah meneguk habis arak yang dihidangkan untuk mereka itu.
"Ahhh...!" Terkejut bukan main hati kakek tinggi kurus itu mendengar keterangan sahabatnya. Kepalanya yang semula memang agak pening, membuat wajahnya berubah pucat. Rasa pening yang kini semakin kuat mencengkeram kepalanya, membuat sadar akan apa yang telah terjadi terhadap dirinya.
"Celaka! Aku... aku telah keracunan, Adi Branta! Perutku... mulai terasa mual! Dan... dan tubuhku terasa lemas tak bertenaga," erang Raja Pedang Angin Puyuh. Ki Ageng Semplak memijat-mijat kepalanya yang bagaikan ditindih batu besar dan berat. Peluh dingin pun tampak mulai membasahi wajah dan tubuh kakek itu. Jelas, racun yang terdapat pada minumannya telah mulai bekerja.
"Tenang, Ki Ageng. Kuasai dirimu. Pusatkan pikiranmu, dan atur hawa murni untuk mendorong keluar racun yang mengeram dalam tubuh itu. Cepat laksanakan!" perintah Ki Branta Sula.
Rupanya Raja Pedang Tujuh Bintang lebih mengetahui perihal racun ketimbang Raja Pedang Angin Puyuh. Maka, ia pun mulai memberikan petunjuk kepadanya. Ki Ageng Semplak yang dikenal berjuluk Raja Pedang Angin Puyuh, sama sekali memang tidak mengetahui perihal jenis-jenis atau rasa racun. Sehingga, jago pedang yang sangat ditakuti dan terkenal dalam rimba persilatan itu tidak berdaya dalam menghadapi keadaan ini.
Berbeda dengan Ki Branta Sula. Meskipun tidak mengetahui secara mendalam tentang racun, tapi jago pedang wilayah Barat itu masih lebih berpengalaman daripada sahabatnya. Maka, ia pun segera memberi petunjuk cara mengusir hawa beracun yang merasuk ke dalam tubuh Ki Ageng Semplak.
Sebagai tokoh sakti yang memiliki tenaga dalam tingkat tinggi, tentu saja Ki Ageng Semplak tidak terlalu sulit mengikuti petunjuk Ki Branta Sula. Cepat pikirannya dipusatkan dan hawa murninya mulai dihimpun di bawah pusat. Lalu, disorongnya perlahan-lahan ke atas tubuhnya.
Sayang perbuatan Ki Ageng Semplak tidak bisa dilanjutkan. Karena pada saat itu juga, belasan sosok tubuh berseragam serba hitam telah berlompatan mengurung mereka. Bahkan para pengunjung kedai yang semula tengah menikmati hidangan, bangkit berdiri seraya menghunus senjata. Jelas, kedua orang jago pedang itu telah terjebak dalam perangkap musuh!
"Keparat! Rupanya bangsat-bangsat itu telah mengetahui dan mengikuti perjalanan kita! Hm... Kalau begitu, Desa Kembangan ini telah berada dalam kekuasaan manusia-manusia keji itu!" dengus Ki Branta Sula. Maka, Raja Pedang Tujuh Bintang segera menghunus senjatanya. Wajahnya tampak merah padam dibakar api kemarahan yang terasa bagaikan hendak meledakkan isi dada.
"Bunuh dua tua bangka itu...!" perintah seorang lelaki kurus berwajah kuning pucat. Pakaian serba hitam yang dikenakannya tampak semakin membuat pucat wajahnya. Sehingga orang tinggi kurus itu tak ubahnya sesosok mayat berjalan.
Mendengar seruan perintah tadi, Ki Branta Sula menoleh ke arah lelaki berwajah pucat yang saat itu juga tengah memandang kepadanya. Sekilas terlihat sinar berkilat di mata jago pedang wilayah Barat itu. Sepertinya, lelaki tinggi besar berwajah brewok ini ingin menelan tubuh orang itu hidup-hidup!
"Keparat! Rupanya kaulah yang menjadi pimpinan gerombolan pengacau itu, Iblis Mayat Hidup! Tapi, jangan harap akan dapat membunuh kami di tempat ini. Sebaliknya, malah kaulah yang akan kukirim ke neraka bersama begundal-begundalmu!" ancam Raja Pedang Tujuh Bintang dengan suara bergetar menahan kegeraman hati.
"Ha ha ha...! Hebat sekali kau, Raja Pedang Tujuh Bintang! Dalam keadaan tidak berdaya pun, rupanya masih juga mengeluarkan ancaman! Tapi sayang, kali ini kau tidak akan dapat menyelamatkan diri dari kematian! Lihatlah kakek tua renta sahabatmu itu. Dalam waktu kurang dari semalam, ia akan mati dengan tubuh beku. Dan kau pun mungkin akan lebih cepat menemukan jalan kematian. Kau tahu, aku sudah tidak sabar ingin segera menebas batang lehermu untuk ku pajang di pintu kedai ini! Ha ha ha...!"
Lelaki berwajah pucat seperti mayat yang ternyata berjuluk Iblis Mayat Hidup, sama sekali tidak merasa gentar terhadap ancaman Ki Branta Sula. Jelas, ia telah merasa yakin akan dapat menundukkan jago pedang wilayah Barat itu. Hal itu memang tidak berlebihan. Memang, di segala penjuru kedai itu telah dipenuhi puluhan orang berseragam serba hitam. Melihat banyaknya pihak lawan, jelas tidak mungkin bagi kedua orang jago pedang itu dapat menyelamatkan diri. Apalagi, saat itu Ki Ageng Semplak sama sekali hampir tidak berdaya.
Pemusatan pikiran yang tengah dilakukan Raja Pedang Angin Puyuh tentu saja menjadi terganggu oleh kehadiran orang-orang berseragam hitam itu. Sehingga, pengerahan hawa murni yang dilakukannya terputus di tengah jalan Wajah kakek tua itu pun kembali berubah pucat, dan sepasang matanya mulai redup. Sepertinya pengerahan hawa murni yang semula dimaksudkan untuk mengusir hawa beracun di dalam tubuhnya, justru telah membuat racun itu semakin cepat menyebar. Hal ini karena pengerahan tenaga yang dilakukannya terhenti secara tiba-tiba. Tidak heran kalau keadaannya semakin bertambah lemas!
"Bertahanlah sekuat mu, Ki Ageng. Biar ku coba membuka jalan agar kita bisa terbebas dari kepungan ini," bisik Ki Branta Sula yang merasa cemas melihat keadaan sahabatnya.
Sambil mengeluarkan geraman marah, Ki Branta Sula memutar pedang di tangannya hingga membentuk gulungan sinar yang berpendar menyilaukan mata. Bahkan, gulungan sinar pedang itu masih diwarnai bulatan-bulatan cahaya kebiruan, bagaikan gemerlap bintang di malam hari. Itulah ilmu 'Pedang Tujuh Bintang' yang telah membuat namanya melambung dan dikenal kaum rimba persilatan.
"Hujani mereka dengan senjata rahasia...!"
Lelaki kurus berwajah pucat berjuluk Iblis Mayat Hidup itu kembali memerintahkan puluhan orang pengikutnya. Sedangkan ia sendiri telah bergerak mundur dan merapatkan tubuh di dinding kayu, sehingga terlindung di belakang para pengikutnya. Melihat dari caranya saja, sudah dapat ditebak kalau Iblis Mayat Hidup merupakan seorang berjiwa licik.
Namun, Raja Pedang Tujuh Bintang sama sekali tidak merasa gentar dengan apa yang dilakukan para pengepungnya. Bahkan jago pedang itu semakin menambah putaran senjatanya, sehingga semakin cepat! Akibatnya, beberapa pengepung yang berdiri dalam jarak dua tombak harus berlompatan mundur. Memang, sambaran angin pedang yang ditimbulkan tokoh sakti itu demikian kuatnya, hingga mampu menggoyahkan kedudukan kuda-kuda para pengepung.
"Heaaa...!"
Werrr...! Werrr...!
Terdengar suara berdesir halus ketika beberapa orang pengepung mengeluarkan bentakan nyaring secara berbarengan. Dan bersamaan bentakan itu, tangan mereka yang tergenggam serentak mengibas ke arah kedua jago pedang itu.
Sadar kalau senjata rahasia yang berupa jarum-jarum halus dan paku-paku sepanjang setengah jari kelingking itu pasti mengandung racun jahat, maka Ki Branta Sula pun melompat disertai teriakan yang menggetarkan isi dada.
"Heaaat..!" Suara mengaung dahsyat mengiringi putaran pedang yang membentuk gulungan sinar berpendar sehingga menyilaukan mata. Serangkum angin keras bertiup bagaikan amukan angin puting beliung, hingga membuat senjata-senjata beracun orang-orang berseragam hitam itu terpental balik, dan beterbangan ke segala penjuru ruangan kedai.
"Gila!" maki Iblis Mayat Hidup. Laki-laki berwajah pucat itu menjadi terkejut melihat kedahsyatan ilmu pedang lawannya.
"Terus hujani manusia sombong itu dengan senjata rahasia! Jangan biarkan lolos dari kepungan!"
Sambil bersuara memberi perintah, lelaki berwajah pucat itu melolos senjatanya berupa tulang tangan manusia yang telah dikeringkan. Senjata aneh yang tergenggam di tangan Iblis Mayat Hidup itu berputar perlahan menimbulkan bau amis menyesakkan dada. Anehnya, para pengepung yang merupakan pengikut lelaki kurus berwajah pucat itu sama sekali tidak terpengaruh oleh angin berbau amis yang ditimbulkan putaran senjata berupa tangan manusia sebatas siku, lengkap dengan jemarinya. Jelas, mereka telah memiliki obat penawar yang mungkin telah disiapkan sebelumnya. Sehingga, meskipun ruangan kedai itu telah dipenuhi hawa beracun, para pengepung itu sama sekali tidak bergerak dari tempatnya.
Melihat kenyataan itu, Raja Pedang Tujuh Bintang semakin bertambah murka. Kecemasan pun mulai tergambar jelas di wajahnya. Dan, apabila ia dan Ki Ageng Semplak masih tetap berada di dalam ruangan kedai, sudah pasti tidak akan sanggup bertahan lebih lama. Dan besar kemungkinan, mereka berdua akan mati keracunan. Sadar akan bahaya maut yang setiap saat dapat merenggut nyawa, Ki Branta Sula pun menjadi nekat! Ketika beberapa belas orang pengepung berlompatan menerjang, jago pedang wilayah Barat itu pun berseru nyaring sambil memutar senjatanya sekuat tenaga.
"Heaaat..!" Hebat sekali akibat amukan yang ditimbulkan Raja Pedang Tujuh Bintang itu! Sekali bergerak saja, empat orang terdepan yang menerjangnya langsung terpental tewas mandi darah!
Tentu saja hal ini membuat pengepung lainnya terkejut! Tanpa sadar, mereka bergerak mundur dan merenggang. Jelas sekali kalau orang-orang berseragam hitam itu merasa gentar menghadapi amukan jago pedang wilayah Barat itu. Melihat betapa kepungan yang berada di samping kirinya merenggang, cepat Ki Branta Sula menyambar tubuh Ki Ageng Semplak. Lalu sambil tetap memutar senjatanya, tubuhnya cepat melompat menerobos kepungan.
"Heaaat..!"
Wuuut..! Brettt! Brettt!
Terdengar teriakan-teriakan ngeri ketika tubuh beberapa pengepung terkena sambaran mata pedang Ki Branta Sula. Tanpa menunggu lama lagi, korban-korban sambaran pedang tokoh sakti itu pun langsung tewas dengan luka mengalirkan darah segar. Iblis Mayat Hidup tentu saja marah bukan main melihat kenyataan itu. Cepat tubuhnya melesat disertai seruannya yang melengking panjang dan menggetarkan!
"Haiiit...!"
Wuuut..! Wuuut..!
Sekali bergerak saja, lelaki berwajah pucat itu langsung melancarkan dua kali serangan maut ke arah kepala dan dada lawan. Serangkum angin berbau amis berhembus menyertai serangan itu. Raja Pedang Tujuh Bintang yang saat itu tengah mengamuk dikeroyok puluhan orang berseragam serba hitam, tercekat ketika mencium bau amis yang tersedot tanpa sengaja olehnya. Cepat Ki Branta Sula menggoyangkan kepalanya kuat-kuat untuk mengusir rasa pening yang menyerang kepala. Sadarlah tokoh itu kalau hawa beracun telah merasuk ke dalam tubuhnya.
Meskipun kepalanya terasa mulai pening, namun Ki Branta Sula masih mampu menghindari sambaran senjata aneh lawan. Bahkan ia masih dapat melancarkan serangan balasan yang mengejutkan! Pedang di tangan tokoh sakti itu berkeredep bagai sambaran kilat menuju lambung Iblis Mayat Hidup yang tidak terlindung.
Syuuut..!
"Uts!" Terdengar seruan tertahan Iblis Mayat Hidup yang merasa terkejut melihat kecepatan gerakan lawan. Cepat ia melompat ke belakang untuk menghindari serangan maut itu. Sehingga, tusukan pedang Ki Branta Sula lewat di bawah tubuhnya.
Meskipun rasa pening di kepala terasa berdenyut-denyut namun kecepatan dan kegesitan Raja Pedang Tujuh Bintang ternyata masih sangat membahayakan lawan. Terbukti, ketika tusukan pedangnya luput senjata itu berputar dengan perubahan cepat dan mengejutkan!
Wueeet...!
Sambaran pedang Ki Branta Sula yang berputar, langsung menyambar tubuh lawan yang saat itu masih berada di udara! Suara mengaung tajam mengiringi sambarannya. Namun, Iblis Mayat Hidup memang bukanlah tokoh sembarangan! Walaupun saat itu tubuhnya tengah melayang di udara, ternyata tidak menjadi gugup. Cepat senjata berbentuk tulang lengan manusia itu bergerak memapak sambaran pedang lawan.
Wuuut..!
Trakkk...!
Terdengar suara keras ketika kedua senjata itu saling berbenturan di udara. Sesaat setelah benturan itu terjadi, terdengar seruan Iblis Mayat Hidup yang nyaring. Bersamaan dengan itu, tubuhnya langsung melambung dan berputaran beberapa kali di udara.
"Haiiit...!"
Tubuh tinggi kurus yang hanya tulang berlapiskan kulit itu melenting menjauhi Ki Branta Sula yang tak bergeming dari tempatnya. Hal ini jelas menandakan kalau kekuatan yang dimiliki jago pedang dari wilayah Barat itu masih jauh lebih kuat dari lawannya. Ki Branta Sula yang melihat tubuh lawan berjumpalitan menjauh, tentu saja tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan baik itu. Dibarengi pekikan nyaring yang menggetarkan, tubuh jago pedang itu langsung melesat mengejar musuhnya. Pedang di tangannya berputaran membentuk gulungan sinar yang menimbulkan angin menderu tajam.
Tapi, perbuatan Ki Branta Sula itu tidak didiamkan para pengepungnya. Melihat pimpinannya tengah terancam, orang-orang berseragam hitam itu langsung bergerak, memotong jalan serangan Raja Pedang Tujuh Bintang. Bahkan beberapa dari mereka mengibaskan tangan, melepaskan senjata rahasia berupa jarum-jarum beracun. Sehingga, keadaan Ki Branta Sula malah berbalik terancam!
Melihat bahaya mengancam, Ki Branta Sula terpaksa menunda serangannya terhadap Iblis Mayat Hidup. Senjata yang sedianya digunakan untuk menyerang lelaki tinggi kurus itu, langsung digerakkan mendatar dan menyilang.
Wuuut..! Wuuut..!
Dua kali sambaran pedang yang sangat cepat dan tak terduga itu kontan saja membuat para pengeroyok kalang kabut! Beberapa orang dari mereka yang tidak mungkin menarik pulang senjatanya, terpaksa menambah kekuatan tenaga untuk menyambut sambaran jago pedang wilayah Barat itu. Sayang gerakan memapak yang dilakukan beberapa orang lelaki berpakaian hitam itu masih jauh kalah cepat. Sehingga, ujung senjata Ki Branta Sula telah tiba lebih dahulu.
Brettt..! Crasss...!
Terdengar jeritan-jeritan kematian ketika pedang di tangan Ki Branta Sula membeset tubuh empat orang lawannya. Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh empat orang sial itu pun terjungkal roboh mandi darah! Sesaat kemudian napas mereka pun putus, melepas nyawa akibat luka menganga diperut dan dada.
Sementara itu jarum-jarum beracun yang meluruk ke arah tubuh jago pedang wilayah Barat, langsung berbalik dan mengancam tuannya masing- masing! Jerit kematian pun kembali bergema memenuhi ruangan kedai makan itu! Lima orang berseragam hitam lain, kembali terjungkal dengan tubuh hangus bagaikan terbakar. Jelas, kelima orang itu tewas akibat jarum beracun yang dilepaskan tadi.
Sedangkan Ki Branta Sula sendiri, telah mendaratkan kakinya di tempat aman. Meskipun demikian, ternyata kepungan orang berseragam hitam itu tetap saja tidak mengendur. Sehingga, Raja Pedang Tujuh Bintang menjadi bertambah geram.

* * * * *



«₪֎ [ DUA ] ֎₪»

"Ha ha ha.... Biarpun kau memiliki delapan lengan dan delapan kaki, jangan harap kali ini akan luput dari kematian, Raja Pedang Tujuh Bintang! Jangankan menyelamatkan tua bangka itu, untuk menyelamatkan nyawamu sendiri pun rasanya mustahil. Sekarang kau boleh pilih. Mati bunuh diri tanpa harus menderita, atau kami siksa perlahan-lahan sampai tewas. Bagaimana?" kata Iblis Mayat Hidup. Lagaknya jumawa, dan bernada meremehkan.
Seketika merah selebar wajah Ki Branta Sula mendengar tawaran yang diajukan lawannya. Gigi-giginya bergemeletuk menandakan kegeraman hatinya. Memang, ucapan Iblis Mayat Hidup jelas dimaksudkan untuk menjatuhkan harga dirinya sebagai tokoh kelas atas. Tentu saja hal itu amat menyakitkan!
"Bangsat!" maki Ki Branta Sula menggeram gusar.
"Jangan mimpi kau, Iblis Mayat Hidup! Meskipun kau membawa pengikut sepuluh kali lebih banyak, jangan harap aku akan menyerah begitu saja! Kalaupun harus mati di tempat ini, akan kubawa pengikut mu ke liang kubur sebanyak-banyaknya!"
Sementara mulutnya menyahuti ucapan Iblis Mayat Hidup, sepasang mata lelaki kekar itu bergerak liar mencari jalan meloloskan diri dari kepungan. Namun, meskipun hawa marah terasa hendak meledakkan dadanya, namun jago pedang wilayah Barat itu masih pula menggunakan akalnya. Jelas, Ki Branta Sula bukanlah orang kasar yang menghadapi segala sesuatu hanya mengandalkan ketajaman pedang saja. Terbukti, perhatian lawan dipancing dengan ucapan-ucapannya. Sedangkan akalnya terus bekerja mencari jalan menyelamatkan diri.
Apa yang dicari Raja Pedang Tujuh Bintang rupanya telah didapat. Tampak sinar matanya berkilat cerah sekilas. Maka, dibarengi sebuah bentakan yang mengejutkan, tubuh lelaki tinggi besar itu meluncur ke arah para pengepungnya sambil memutar senjata dengan dahsyatnya!
Serangan Ki Branta Sula yang secara mendadak itu, tentu saja membuat para pengepung tersentak kaget! Sehingga tanpa sadar mereka melangkah mundur beberapa tindak. Iblis Mayat Hidup bertindak cepat memberi perintah kepada para pengikutnya untuk menerjang. Sementara, ia sendiri sudah menggeser tubuhnya ke samping kanan sambil mengirim serangan dengan sambaran senjatanya.
Meskipun para pengepung bergerak menyambut serangannya, namun Ki Branta Sula tidak gugup. Pedang di tangannya berputar beberapa kali dengan ge- rakan menyilang dan mendatar. Kecepatan dan kekuatan yang dipergunakan pun tidak kepalang tanggung.
Wuuut..! Trangngng...! Trakkk!
Terdengar seruan-seruan kaget ketika pedang di tangan lelaki tinggi besar itu membentur keras senjata- senjata lawan. Sehingga, tubuh belasan orang yang senjatanya terpapak putus, langsung bertumbangan ke belakang! Tanpa menghiraukan lawan-lawannya yang berjatuhan, pedang di tangan Ki Branta Sula masih terus berkelebat menyambut serangan Iblis Mayat Hidup.
Wueeet..!
Karena telah merasakan betapa hebatnya kekuatan yang dimiliki lawan, Iblis Mayat Hidup tidak sudi menderita kerugian untuk yang kedua kalinya. Maka serangannya pun cepat ditarik pulang, lalu secepat itu pula tubuhnya berputar. Langsung dikirimkannya serangan kembali.
Wukkk...!
Senjata yang berupa lengan manusia kering itu menyambar cepat mengancam leher sebelah kiri Ki Branta Sula! Sehingga, mau tidak mau lelaki brewok itu berseru memuji ketangkasan lawan.
"Bagus...!" puji Ki Branta Sula tanpa bermaksud menghina. Sambil berseru demikian, tubuhnya bergerak doyong ke depan dengan posisi kuda-kuda miring ke kanan. Sehingga, serangan itu lewat di depan wajahnya.
Wuukkk...! Senjata yang berupa lengan manusia kering itu menyambar cepat, mengancam leher Ki Branta Sula.
"Bagus...!" puji Ki Branta Sula tanpa bermaksud menghina. Laki-laki itu segera mendoyongkan tubuhnya, menghindari sabetan Iblis Mayat Hidup!
Gerakan yang dilakukan Raja Pedang Tujuh Bintang ternyata tidak berhenti sampai di situ saja. Buktinya begitu serangan lawan luput, secepat itu pula tubuhnya bergerak bangkit dan langsung mengirimkan tendangan kilat mengejutkan! Hebat sekali tendangan yang dilancarkan Ki Branta Sula. Suara berdecit tajam mengiringi luncuran ujung kaki mengincar perut lawan.
Diesss...!
Iblis Mayat Hidup tak sempat lagi menghindari tendangan kilat itu. Sehingga, perutnya harus direlakan jadi sasaran. Kontan saja tubuh kurus itu terjengkang ke belakang dan menabrak beberapa pengikutnya yang berada di belakang. Meskipun di bahu kirinya membawa tubuh Raja Pedang Angin Puyuh, namun hal itu sama sekali tidak mengganggu gerakan Ki Branta Sula. Sesaat setelah lawannya terjatuh, tubuh lelaki tinggi besar itu lang- sung melambung menerobos atap!
Brolll...!
Atap kedai yang terbuat dari rumbia, langsung jebol menimbulkan suara ribut. Sedangkan tubuh Ki Branta Sula terus melambung hingga satu tombak dari atas atap. Namun, alangkah terkejutnya hati Raja Pedang Tujuh Bintang. Ternyata di atas atap telah menunggu beberapa orang berseragam hitam dengan senjata terhunus! Maka begitu tubuhnya muncul, langsung saja senjata-senjata tajam menyambutnya!
Hal yang sama sekali di luar perhitungan itu, sempat membuat hati Ki Branta Sula terkejut. Tapi sebagai ahli silat kawakan, tentu saja ancaman itu membuatnya harus bergerak sigap. Pedang di tangan kanannya menyambar cepat dengan gerakan mendatar!
Wuuut..!
Trangngng! Brettt! Brettt!
Hebat sekali akibat sambaran pedang tokoh sakti itu! Meskipun serangan lawan tidak terduga, namun Ki Branta Sula masih dapat mematahkannya. Bahkan sambaran pedang itu masih sempat juga merobohkan empat orang penyerang di sebelah kirinya. Kontan saja orang-orang itu menggelinding jatuh ke tanah dalam keadaan tak bernyawa.
Tapi, kali ini nasib jago pedang wilayah Barat itu kurang beruntung. Buktinya, sebuah bacokan yang datang dari belakangnya tak sempat dihindari. Sehingga, tubuh lelaki tinggi besar itu kontan limbung. Dan pada saat itu juga, kembali dua buah senjata lawan bersarang di punggungnya!
Crakkk! Brettt..!
"Aaakh...!" Raja Pedang Tujuh Bintang memekik kesakitan ketika dua batang pedang terakhir merobek kulit punggungnya. Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh Ki Branta Sula pun menggelinding jatuh di atas atap! Meskipun tubuhnya meluncur ke tanah dalam keadaan luka-luka, ternyata lelaki tinggi besar itu masih bisa menyelamatkan diri agar tak terbanting di tanah.
"Heaaah...!"
Sambil berseru nyaring, tubuh Ki Branta Sula berputar dan berjumpalitan beberapa kali di udara. Kemudian kedua kakinya mendarat di atas tanah. Walaupun ketika mendarat kuda-kudanya terlihat agak goyah, namun tubuhnya berhasil diselamatkan agar tidak sampai terbanting di atas tanah. Sayangnya, pada saat Ki Branta Sula jatuh menggelinding dari atap kedai, tubuh Ki Ageng Semplak terlepas dari pondongannya. Sehingga tanpa dapat dicegah lagi, tubuh kakek itu pun terbanting jatuh dibarengi suara berdebuk nyaring. 
Meski dalam keadaan setengah sadar, ternyata Ki Ageng Semplak merasakan juga akibat itu. Terdengar erangan lirih dari mulutnya. Tubuhnya mengejang menahan sakit Apa yang kemudian menimpa diri Ki Ageng Semplak benar-benar sangat mengerikan! Memang, saat tubuhnya terbanting di atas tanah, belasan batang tombak langsung meluncur merejam tubuhnya.
Crabbb! Blesss! Blesss!
Darah segar kontan berhamburan ketika ujung- ujung tombak dan belasan mata pedang menghunjam tubuh kakek itu.
"Aaargh...!" terdengar raungan kematian yang menggema mendirikan bulu roma!
Naas sekali nasib yang menimpa Raja Pedang Angin Puyuh. Belum lagi sempat tersadar dari pingsan akibat pengaruh racun. Nyawanya telah melayang meninggalkan raga yang hampir tak dapat dikenali lagi. Meskipun kakek tua itu telah tewas, namun belasan orang berseragam hitam itu bagaikan tak puas- puasnya menghunjamkan senjata. Sehingga, tubuh Raja Pedang Angin Puyuh tercabik-cabik hancur, tak ubahnya diamuk binatang buas.
"Ki Ageng Semplak...!" Ki Branta Sula yang mendengar raung kematian menggetarkan itu, berseru dengan wajah pucat seputih kapas. Betapa terkejutnya hati jago pedang wilayah Barat itu melihat apa yang menimpa sahabatnya.
Tubuh lelaki tinggi besar berwajah brewok itu gemetar hebat! Ia tidak tahu lagi, apa yang saat itu dirasakannya. Perasaan sedih dan marah bercampur menjadi satu. Ki Branta Sula tidak tahu, apakah harus menangis atau marah menyaksikan keadaan tubuh sahabatnya yang bagaikan seonggok daging tak berbentuk. Walaupun hati Ki Branta Sula ingin mengamuk dan membantai habis seluruh orang-orang berpakaian hitam itu, tapi pikirannya masih dapat dipergunakan dengan baik. Disadari sepenuhnya kalau ia tidak mungkin dapat menandingi puluhan lelaki berseragam hitam itu. Apalagi di antara mereka masih terdapat pemimpin-pemimpin yang kepandaiannya hanya beberapa tingkat di bawahnya. Maka, ditekannya keinginan gila itu.
"Maafkan aku, Ki Ageng. Walaupun aku ingin membalas perbuatan keji yang mereka lakukan terhadapmu, tapi kali ini rasanya tidak mungkin. Selain jumlah mereka terlalu banyak, keadaan tubuhku pun sudah semakin lelah dan tidak memungkinkan. Satu-satunya jalan, aku harus dapat meloloskan diri dari tempat ini. Kelak akan kucari mereka walaupun sampai ke ujung langit sekali pun!" tekad Ki Branta Sula, bergumam lirih menggeletar. Jelas kalau jago pedang wilayah Barat itu sangat terpukul atas kematian sahabatnya yang sangat menyedihkan itu.
"Ha ha ha...! Bagus, Anak-anak. Sekarang tinggal tubuh lelaki brewok itu yang harus dicincang. Ingat! Jangan biarkan dia lolos! Kalau hal itu sampai terjadi, ketua akan marah besar kepada kita semua!"
Terdengar seruan lantang yang keluar dari mulut seorang lelaki berkepala botak dan memakai anting-anting pada telinga kirinya. Pipi sebelah kirinya yang codet, membuat wajahnya semakin bertambah menyeramkan. Mendengar suara berat dan lantang itu, Ki Branta Sula sadar dari lamunannya. Sepasang matanya melirik ke arah lelaki botak yang jelas merupakan salah satu pimpinan orang-orang berseragam hitam itu.
"Heaaat..!"
Dibarengi sebuah pekikan dahsyat Ki Branta Sula yang bertekad untuk meloloskan diri dari kepungan itu segera melompat menerjang!
Wuuut...! Wuuut...!
Meskipun keadaan tubuhnya sudah mulai melemah, namun sambaran pedang di tangan Ki Branta Sula ternyata masih sangat berbahaya. Gulungan sinar berpendar yang menimbulkan deruan angin keras mengiringi putaran senjatanya. Jelas, jago pedang itu telah mengeluarkan seluruh tenaga saktinya dalam usaha meloloskan diri darikepungan. Sasaran serangan Raja Pedang Tujuh Bintang adalah kepungan sebelah kiri yang terlihat agak lemah.
Trangngng! Brettt! Brettt!
"Aaakh...!"
"Aaakh...!"
Terdengar jeritan kematian saling susul ketika pedang di tangan Ki Branta Sula merobek tubuh beberapa orang lawan. Darah segar kembali membasahi bumi bersamaan dengan robohnya empat orang berseragam hitam yang tewas seketika itu juga. Lelaki berkepala botak yang menjadi pimpinan di depan kedai, tentu saja menjadi marah bukan main! Saat itu juga, tubuhnya langsung melesat disertai teriakannya yang parau dan menggetarkan!
"Yeaaat..!" Wueeet..!
Raja Pedang Tujuh Bintang sempat menangkap sambaran angin dari belakang cepat berbalik mundur sejauh tiga langkah. Berbarengan dengan itu, pedangnya berkeredep melancarkan serangan balasan!
Namun, lelaki botak berwajah codet yang terkenal berjuluk Raksasa Sungai Padas ternyata cukup jeli. Apalagi, saat itu kecepatan gerak Ki Branta Sula memang sudah berkurang. Maka, tubuhnya bergegas digeser ke samping. Begitu sambaran pedang lawannya luput, langsung disusuli dengan tusukan kilat yang mengancam ulu hati lawan. Pada saat yang bersamaan, delapan orang berseragam hitam mengayunkan senjatanya ke tubuh jago pedang wilayah Barat itu. Sehingga, menyulitkan keadaan Ki Branta Sula.
Belum lagi semua serangan itu tiba, terdengar suara aneh, disusul meluncurnya benda kehitaman seperti asap tipis. Mendengar suara itu, Ki Branta Sula mendongakkan kepala ke atas. Tercekat hati jago pedang itu begitu mengetahui benda apa yang tengah meluruk dari atasnya. Memang, benda itu tak lain adalah sebuah jala halus yang sudah pasti tahan terhadap segala jenis senjata tajam. Tentu saja kenyataan itu membuatnya sempat gugup! Sadar kalau keadaannya saat ini benar-benar berbahaya, Ki Branta Sula segera mengambil keputusan nekat!
"Haiit...!"
Dibarengi teriakan sekuat tenaga, tubuh jago pedang itu melambung dan berjumpalitan beberapa kali di udara. Gerakan itu masih dibarengi putaran pedangnya yang mengiriskan! Raksasa Sungai Padas tentu saja tidak sudi membiarkan lawan dapat lolos. Cepat disusulinya dengan sebuah lompatan panjang yang disertai sambaran pedang ke punggung lawan.
"Yeaaat..!"
Trangngng.! Brettt! Brettt!
Terdengar suara berdentang nyaring yang disusul bunyi mata pedang merobek tubuh!
"Aaakh...!"
Dua orang berseragam hitam yang juga ikut me- lompat menyambut tubuh Ki Branta Sula, terbanting jatuh bersama semburan darah segar dari luka di tubuhnya. Mereka tewas seketika dengan luka menganga yang cukup dalam dan panjang. Sedangkan Ki Branta Sula sendiri tidak luput dari sambaran pedang Raksasa Sungai Padas. Jago pedang wilayah Barat itu menggigit bibirnya menahan rasa sakit pada punggungnya yang terobek pedang lawan Rasa sakit pada luka-luka di beberapa bagian tubuhnya, sama sekali tidak dihiraukan Ki Branta Sula. Tekadnya hanya satu, meloloskan diri, apa pun yang terjadi!
Maka, begitu kakinya mendarat meski dengan kuda-kuda limbung, tubuh lelaki tinggi besar itu langsung melesat kembali disertai putaran pedangnya. Belasan orang berseragam hitam yang bergerak menyambut terjangan, sama sekali tidak dipedulikan. Maka....
Trakkk! Trakkk! Brettt! Brettt!
Jeritan kematian pun kembali menggema ketika pedang di tangan Ki Branta Sula kembali merenggut beberapa nyawa lawan. Meskipun demikian, Ki Branta Sula pun tidak terlepas dari sambaran senjata dua orang lawannya. Luka di lambung dan bahu kanannya membuat jago pedang itu kembali menggigit bibir kuat-kuat. Lalu, kembali senjatanya diputar sambil melompat ke depan. Kepungan lawan yang telah mengendur itu membuat usaha Ki Branta Sula menjadi lebih mudah. Setelah merobohkan empat orang lawan yang berusaha mencegah, tubuh jago pedang wilayah Barat itu terus melesat dan melarikan diri
"Bangsat! Kejar manusia sombong itu! Jangan biarkan lolos!"
Raksasa Sungai Padas berteriak-teriak marah. Sambil mengeluarkan perintah, tubuhnya langsung melesat mengejar! Tanpa membuang-buang waktu lagi, para pengikutnya pun serentak berlompatan mengikuti. Iblis Mayat Hidup dan belasan orang pengikutnya yang baru saja keluar dari dalam kedai, tentu saja menjadi terkejut mendengar calon korbannya meloloskan diri.
"Ayo kita kejar keparat itu...!" teriaknya sambil melesat mendahului pengikutnya. Tanpa diperintah dua kali, belasan orang berseragam hitam itu pun bergegas mengikuti pimpinannya.

* * * * *



«₪֎ [ TIGA ] ֎₪»

Senja sudah mulai turun menyelimuti bumi, ketika sesosok tubuh berperawakan tinggi besar berlari terseok-seok memasuki mulut hutan. Melihat dari langkah kakinya yang tidak tetap, jelas kalau keadaannya tidak sehat
"Uhhh...!" Terdengar keluhan lirih keluar dari bibirnya. Bersamaan dengan itu, tangan kirinya menekap lambung yang tampak mengalirkan darah segar. Ternyata bukan hanya lambung sosok tubuh itu saja yang tampak luka. Bahkan pada beberapa bagian tubuhnya yang lain pun, terlihat luka bekas bacokan dan tusukan senjata tajam. Jelas sudah, sosok tinggi besar itu memang tengah terluka parah!
Teriakan-teriakan ramai dari belakang, membuat sosok tubuh itu semakin mempercepat langkahnya. Sehingga, beberapa saat kemudian tubuhnya pun lenyap di balik keremangan suasana hutan lebat ini. Sesekali sosok tinggi besar itu menolehkan kepala ke belakang. Teriakan lapat-lapat yang masih terdengar di telinganya, membuat sosok tubuh itu meneruskan larinya semakin jauh kedalam hutan.
Meskipun cuaca di dalam hutan saat itu sudah semakin terselimut kegelapan, namun sosok tubuh tinggi besar itu sama sekali tidak menemui kesukaran. Pandangan matanya yang meski terlihat redup, ternyata memiliki pancaran tajam. Sehingga, jalan yang akan dilaluinya dapat dikenali. Melihat kenyataan itu, jelas sosok tinggi besar itu bukanlah orang sembarangan. Terbukti jalan yang dilalui dapat dikenali dengan baik meski dalam cuaca agak gelap.
Ketika tiba pada sebuah aliran sungai yang membelah hutan, sosok tinggi besar itu bergegas turun ke tepian sungai. Kemudian disusurinya tepian sungai, tanpa menyeberanginya. Cukup lama sosok tinggi besar itu berlari-lari kecil menyusuri tepian sungai. Ia sama sekali tidak pedu- li, meskipun beberapa kali terpeleset karena menginjak bebatuan licin.
"Aaah...!"
Byurrr...!
Entah untuk yang keberapa kali sosok tinggi besar itu terjatuh ke dalam sungai. Dan untuk kesekian kalinya pula ia bangkit, lalu melanjutkan larinya meski tertatih-tatih. Ketika tiba pada sebuah tempat yang dirasakan cukup untuk bersembunyi, sosok tinggi besar yang tak lain Ki Branta Sula pun bergerak menaiki tepian sungai. Kaki-kakinya yang agak gemetar karena rasa lelah yang amat sangat, dipaksakan untuk melangkah di atas batu besar yang memenuhi tempat itu. Wajah pucat yang jelas menahan derita, berseri ketika menemukan sebuah lubang menganga di depannya. Lubang kecil yang sebesar dua kali tubuh orang dewasa itu, dimasukinya tanpa ragu-ragu. Yang ada dalam pikirannya saat itu hanyalah terbebas dari para pengejar yang masih membuntutinya.
"Ohhh...!" Ruangan dalam gua kecil itu ternyata cukup luas. Sehingga, Ki Branta Sula tidak perlu lagi terbungkuk-bungkuk memasukinya. Dengan helaan napas berat, tubuhnya dijatuhkan di atas tanah lembab dalam gua itu.
Ki Branta Sula atau si Raja Pedang Tujuh Bintang yang hampir sekujur tubuhnya penuh luka, langsung jatuh pingsan di atas tanah lembab ruangan gua itu. Rupanya, rasa lelah dan sakit yang dideritanya baru terasa setelah terbebas dari kejaran musuh- musuhnya. Sehingga, jago pedang wilayah Barat itu tergeletak tak ubahnya bagai orang mati.
Sementara itu, gerombolan orang berseragam hitam yang dipimpin Iblis Mayat Hidup dan Raksasa Sungai Padas, masih terus melakukan pencarian menggunakan obor.
"Bangsat! Ke mana perginya manusia keparat itu? Aku yakin, ia tidak akan dapat pergi jauh dari hutan ini. Sebab, ia menderita luka-luka yang cukup parah," dengus lelaki tinggi kurus berwajah pucat. Orang itu tak lain adalah Iblis Mayat Hidup yang merupakan salah satu pimpinan orang-orang berseragam hitam.
"Benar, Adi. Kalau begitu, mari kita lanjutkan pencarian!" ujar lelaki bertubuh raksasa, dan berkepala botak. Siapa lagi orang itu kalau bukan Raksasa Sungai Padas.
Tidak berapa lama kemudian, tibalah rombongan yang jumlahnya tidak kurang dari lima puluh orang itu di tepi sungai. Tepian sungai pun terang seketika, karena cahaya-cahaya obor yang berpendaran. Iblis Mayat Hidup dan Raksasa Sungai Padas segera memerintahkan beberapa orang pengikutnya untuk memeriksa daerah tepian sungai.
"Periksa tepi sungai ini secara teliti! Siapa tahu, jago pedang yang telah kita cundangi itu tidak menyeberangi sungai!"
Terdengar perintah lantang Raksasa Sungai Padas. Perintah itu jelas menandakan kalau lelaki bertubuh raksasa itu merupakan seorang yang cerdik dan sangat teliti. Setelah memeriksa hingga belasan tombak, namun ternyata mereka tidak menemukan jejak. Maka, belasan orang-orang berseragam hitam itu pun kembali, lalu melaporkan kepada Raksasa Sungai Padas. Berkerut kening kedua orang pimpinan itu mendengar laporan anak buahnya. Jelas, mereka tidak yakin kalau Raja Pedang Tujuh Bintang telah menyeberangi sungai.
"Hm.... Mungkinkah manusia keparat itu nekat menyeberangi sungai yang airnya mengalir deras ini...? Bagaimana pendapatmu, Adi?" tanya Raksasa Sungai Padas menolehkan kepala ke arah Iblis Mayat Hidup. Pada sepasang matanya jelas memancarkan keraguan.
"Bisa saja, Kakang. Orang yang sudah nekat, biasanya akan melakukan apa saja demi menyelamatkan selembar nyawanya. Dan hal itu bisa saja terjadi pada diri Ki Branta Sula," sahut Iblis Mayat Hidup sambil melepaskan pandangan ke seberang sungai yang tampak gelap.
"Hm, apakah menurutmu sebaiknya kita kembali saja ke Desa Kembangan? Lalu, apa kata ketua kita nanti?" desah Raksasa Sungai Padas. Dari nada suaranya yang lirih, jelas kalau harinya merasa gentar ketika menyebut kata 'ketua'.
"Yah.... Kita laporkan saja apa adanya. Kurasa, ketua tidak akan marah kepada kita. Biar bagaimanapun, usaha kita tidak gagal seluruhnya. Kita bawa saja mayat Ki Ageng Semplak sebagai bukti," sahut Iblis Mayat Hidup, mantap.
Setelah menimbang-nimbang sejenak, akhirnya lelaki berkepala botak itu menyetujui usul kawannya. Tak lama kemudian, rombongan itu bergerak meninggalkan tepian sungai. Sehingga, kegelapan pun kembali menyelimuti daerah sungai itu. Kegagalan orang-orang itu bukan karena disebabkan kebodohan dalam melacak jejak. Tapi, semua itu karena kecerdikan Raja Pedang Tujuh Bintang. Caranya menyusuri tepian sungai, tentu saja tidak diduga rombongan itu. Batu-batu yang bertonjolan di permukaan sungai itulah yang menjadi tumpuan telapak kaki Ki Branta Sula ketika menyusuri tepian sungai. Maka, wajar saja kalau orang-orang tadi tidak dapat menemukan jejak jago pedang itu. Sehingga, selamatlah Ki Branta Sula dari ancaman maut yang membayanginya.

* * * * *




Saat itu, semburat cahaya kemerahan sudah nampak di kaki langit sebelah Timur. Kokok ayam jantan masih terdengar saling bersahutan menyemarakkan datangnya sang pagi. Kicau burung yang bersenda-gurau, membuat suasana pagi di kaki Gunung Gagaran terasa menyenangkan.
Sapuan angin pagi yang sejukdan menyegarkan,membelai lembut wajah tiga orang lelaki gagah yang tengah bersembunyi di balik rimbunan semak belukar.Yang seorang bertubuh tinggi kurus, berusia sekitar enam puluh tahun. Wajahnya nampak angker, karena dihiasi garis-garis ketuaan. Meskipun demikian, tubuhnya yang kurus tampak tegap dan sehat. Kulitnya yang kuning langsat, nampak sangat pas dengan warna pakaiannya. Pada pakaiannya yang berwarna merah darah, terdapat garis hitam melingkari leher. Siapa lagi orang tua itu kalau bukan Ki Giri Tantra, atau berjuluk si Raja Pedang Sinar Pelangi.
Sedangkan kedua orang lelaki gagah yang menyertainya, sudah pasti Darpa dan Sudira. Kedua orang itu adalah murid utama Perguruan Pedang Sinar Pelangi yang masih setia terhadap guru besarnya (Untuk mengetahui lebih jelas tentang ketiga tokoh itu, silakan mengikuti serial Pendekar Naga Putih dalam episode Sengketa Jago-jago Pedang)
Setelah berpisah dengan Pendekar Naga Putih dan jago-jago pedang lain, Ki Giri Tantra mengajak kedua orang muridnya untuk menyelidiki perguruan mereka. Maksud itulah yang telah membawa mereka sepagi ini telah tiba di kaki Gunung Gagaran. Memang, bangunan Perguruan Pedang Sinar Pelangi terdapat di kaki gunung ini.
"Guru. Apa tidak sebaiknya kita menyelinap masuk saja ke dalam bangunan perguruan. Bukankah menurut Guru, masih ada beberapa orang murid yang tidak terpengaruh oleh pengkhianat Kinaya dan Wiradesa? Kita hubungi saja mereka untuk mengetahui kekuatan yang dimiliki kedua murid murtad itu. Setelah itu, baru kita dapat bergerak, dan langsung meringkus mereka," usul Darpa, murid ketiga setelah Kinaya dan Wiradesa.
Ki Giri Tantra tidak segera menyetujui usul yang diajukan salah seorang murid. Sepasang matanya yang tajam dan berwibawa, masih tetap tertuju ke arah sebuah bangunan yang dikelilingi pagar-pagar kayu bulat Darpa pun tidak terburu-buru menuntut jawaban usulnya itu. Diikutinya pandangan Ki Giri Tantra yang masih tertuju ke arah bangunan sejauh dua puluh tombak lebih dari tempat mereka bersembunyi.
Sedangkan Sudira masih duduk termenung di atas sebuah batu di samping Ki Giri Tantra. Lelaki gagah berusia sekitar tiga puluh tahun itu seperti tengah berpikir keras, mencari cara terbaik agar dapat memasuki bangunan perguruan mereka sendiri yang kini dikuasai bekas murid-muridnya. Tengah ketiganya termenung mengikuti arus pikiran masing-masing, tiba-tiba saja Sudira berseru tertahan sambil menjentikkan jemarinya. Menilik dari pancaran wajahnya yang berseri, jelas ia telah menemukan suatu cara untuk dapat memasuki perguruan itu. Ki Giri Tantra dan Darpa serentak menolehkan kepala dengan kening berkerut. Tampaknya, mereka merasa heran melihat tingkah laku Sudira.
"Hm.... Apa yang membuatmu begitu gembira, Sudira? Kau menemukan suatu cara yang baik?" tegur Ki Giri Tantra. Suara laki-laki itu lirih, namun mengandung wibawa. kuat Dipandanginya wajah Sudira dengan sorot mata menuntut jawaban.
"Kalau memang menemukan suatu pemikiran yang baik, cepatlah kemukakan, Adi Sudira. Jangan membuat kami penasaran," tegur Darpa yang menjadi tak sabar melihat tingkah laku adik seperguruannya. 
"Hm.... Begini, Guru, Kakang. Seperti kita ketahui, setiap tiga hari sekali murid-murid perguruan ada yang ditugaskan untuk membeli bahan keperluan sehari-hari ke desa terdekat. Nah! Menurutku, apakah tidak sebaiknya kita hadang untuk mengetahui sikap mereka terhadap kita. Dan kalau saja ternyata mereka masih mempunyai kesetiaan, tentu akan dapat membantu menyelundupkan kita masuk ke perguruan. Dengan demikian, kita tidak perlu susah-susah menyelundup masuk. Bagaimana? Apakah usul itu cukup baik?" jelas Sudira sambil menatapi wajah guru dan kakak seperguruannya berganti-ganti.
Baik Ki Giri Tantra maupun Darpa, tentu saja gembira mendengar usul yang sangat baik itu. Serentak mereka mengangguk-anggukkan kepala, menyetujui usul yang diajukan Sudira. Maka tanpa banyak cakap lagi, ketiganya bergerak bangkit menuju jalan yang biasa dilewati murid-murid perguruan yang akan turun ke desa terdekat untuk membeli keperluan sehari-hari.

* * * * *




"Heya...! Heyaaa...!"
Matahari sudah mulai naik tinggi ketika dua buah pedati yang masing-masing ditarik seekor kuda melintas di jalan lebar. Pada setiap pedati ditunggangi empat orang laki-laki berpakaian hitam. Melihat dari warna pakaian dan bangunan besar tempat mereka keluar, jelas delapan orang yang ada di dalam pedati itu merupakan murid-murid Perguruan Pedang Sinar Pelangi. Memang, meskipun perguruan itu telah dikuasai Kinaya dan Wiradesa, yang telah jadi pengkhianat, nama perguruan tetap tidak berubah.
Kinaya yang merupakan murid utama Perguruan Pedang Sinar Pelangi saat ini memang sengaja tidak merubah nama perguruannya. Hal ini dimaksudkan agar tidak menarik perhatian tokoh-tokoh persilatan golongan putih. Dan apabila digantinya dengan nama lain, bukan tidak mungkin akan mengundang perhatian tokoh-tokoh persilatan yang bersahabat dengan Ki Giri Tantra. Dan tentu saja hal itu sama sekali tidak diinginkannya, karena saat itu kedudukannya masih belum kuat. Sehingga, sebisa mungkin apa-apa yang kiranya dapat menimbulkan kesulitan bagi kedudukannya dihindari. Dari cara itu saja dapat dilihat, betapa cerdiknya orang yang telah mengkhianati gurunya itu.
Sementara itu, delapan orang murid yang ditugasi membeli bahan kebutuhan sehari-hari Perguruan Pedang Sinar Pelangi, masih melaju pesat di jalan yang rata dan cukup lebar. Suara derak roda pedati terdengar ribut ketika menggilas bebatuan kecil yang terdapat di beberapa bagian jalan. Namun hal itu sama sekali tidak membuat lelaki berkumis tipis yang mengendarai pedati mengurangi kecepatannya. Suaranya tetap saja terdengar diiringi ledakan pecut yang sesekali menghajar bagian bela- kang tubuh kuda yang menarik pedatinya.
"Heyaaa...! Heyaaa...!"
Cltarrr...! Jtarrr...!
Binatang itu terdengar meringkik nyaring sambil mempercepat larinya. Sehingga, suara roda pedati semakin berderak-derak ribut, menggilas apa saja yang dilalui. Tanpa sepengetahuan delapan orang itu, tiga pasang mata tajam tampak mengawasi dari balik semak di tepi jalan. Kepulan debu serta suasana jalan yang sunyi, membuat orang-orang berseragam hitam sama sekali tidak memperhatikan keadaan sekelilingnya. Sehingga, ketiga pasang mata itu dapat mengawasi dengan tenang.
Tiga pasang mata yang sudah jelas milik Ki Giri Tantra, Darpa, dan Sudira, terus bergerak mengikuti lajunya pedati. Sampai sedemikian jauh, ketiga orang itu sama sekali belum bergerak. Mereka tetap bersembunyi di balik semak-semak mengawasi kedua pedati itu. Berkali-kali Sudira menolehkan kepala ke arah Ki Giri Tantra dan Darpa. Namun, sepertinya kedua orang yang diperhatikan itu sama sekali tidak bergeming dari tempatnya. Sehingga, Sudira pun mengerutkan keningnya disertai tatapan heran.
"Mengapa kita tidak langsung menghadang mereka saja, Guru? Bukankah tempat ini cukup jauh dari perguruan? Kurasa, tidak akan ada orang yang memergoki kita?" Akhirnya karena merasa tidak sabar melihat kedua orang itu masih tetap berdiam diri, keluar juga ucapan bernada penasaran itu dari mulut Sudira.
"Hm Sabarlah, Sudira. Sebelum bertindak, aku ingin mengetahui lebih dahulu tentang sikap mereka. Kita ikuti mereka sampai di tempat tujuan. Lalu kita perhatikan, bagaimana sikap mereka pada saat berbelanja. Nah, dari situ baru dapat diambil langkah selanjutnya," sahut Ki Giri Tantra sambil tersenyum melihat wajah muridnya yang jelas-jelas membayangkan rasa penasaran itu. Perlahan ditepuknya bahu Sudira beberapa kali untuk menenangkan hati murid setia itu.
"Apa maksud Guru dengan sikap mereka? Aku... aku sama sekali belum memahaminya?" tanya Sudira dengan wajah masih mengandung rasa penasaran.
"Ah! Mengapa sekarang otakmu menjadi bebal, Adi? Maksud guru sudah jelas hendak melihat, apakah sikap murid-murid itu sudah berubah menjadi kasar, atau masih tetap sopan sebagaimana yang sering diajarkan guru. Nah! Setelah itu, barulah dapat dipastikan, apakah mereka dapat dipercaya atau tidak?" Darpa terpaksa menerangkan sambil menatap wajah Sudira yang terbengong-bengong bagai orang tolol. Sehingga, membuat bibir lelaki gagah berusia empat puluh tahun itu menyunggingkan senyum geli.
"Ooo...!" Sudira hanya dapat membulatkan mulutnya dengan wajah yang semakin nampak tolol. Pikirannya baru terbuka setelah mendengar penjelasan dari kakak seperguruannya itu.
"Jadi kita harus menguntit mereka sampai ke Desa Pandan?" tanya Sudira lagi.
"Tentu saja. Habis, ke mana lagi tujuan mereka kalau bukan ke desa itu. Bukankah hanya desa itu yang selama ini menjadi tempat berbelanja?" jelas Darpa yang senyumnya kian melebar melihat wajah adik seperguruannya yang tampak lucu.
"Sudahlah. Ayo kita ikuti mereka," ujar Ki Giri Tantra menengahi.
Tak tega juga hati orang tua itu melihat wajah Sudira yang sudah menjadi merah karena godaan Darpa. Kemudian, tubuh jago pedang wilayah Selatan itu sudah berkelebat mendahului kedua orang muridnya..Tanpa banyak cakap lagi, Darpa dan Sudira pun bergegas menggenjot tubuhnya. Sesaat kemudian, kedua orang itu telah berada beberapa langkah di belakang Ki Giri Tantra. Hal itu karena Raja Pedang Sinar Pelangi tidak mengerahkan seluruh ilmu larinya. Kalau tidak, sulit rasanya bagi kedua orang itu mensejajari lari gurunya.

* * * * *




Tepat ketika matahari berada di atas kepala, pedati yang ditumpangi delapan orang murid Perguruan Pedang Sinar Pelangi itu mulai memasuki mulut Desa Pandan. Beberapa orang penduduk desa yang kebetulan berpapasan dengan kedua pedati bergegas menyingkir sambil membungkuk hormat. Jelas, mereka telah cukup mengenal kedelapan orang berseragam hitam itu. Terbukti, sikap mereka tampak sangat segan dan hormat kepada orang-orang berseragam hitam itu.
Laju kedua pedati yang membelah jalan utama Desa Pandan itu baru berhenti di dekat sebuah pasar yang tampak mulai sepi oleh pengunjung. Maka, delapan orang berseragam hitam yang berada di dalamnya serentak berlompatan turun.
"Kalian mintalah keperluan seperti biasa kepada Paman Janara. Aku ingin beristirahat dulu di kedai makan itu. Kalau semuanya sudah selesai, susullah aku di sana," perintah lelaki berhidung besar sambil menunjuk sebuah kedai di seberang pasar itu. Kemudian, dia terus melangkah sambil membusungkan dada. Melihat dari caranya berjalan, jelas lelaki berhidung besar itu merupakan orang yang tinggi hati dan memandang rendah orang lain.
"Baik, Kakang Kadungga...," sahut salah seorang dari mereka yang berkumis tipis. Setelah berkata demikian, ia lalu berbalik dan mengajak kawannya untuk menemui orang yang bernama Paman Janara.
Ki Giri Tantra, Darpa, dan Sudira yang menyaksikan semua itu dari tempat agak tersembunyi, saling berpandangan satu sama lain.
"Kau kenal lelaki angkuh berhidung besar itu, Darpa?" tanya Ki Giri Tantra dengan wajah membayangkan keheranan.
Memang selama Ki Giri Tantra memimpin Perguruan Pedang Sinar Pelangi, seingatnya belum pernah mempunyai murid seperti orang itu. Tentu saja ketika melihat lelaki berhidung besar itu bersama tujuh orang yang dikenal sebagai murid-muridnya, orang tua itu menjadi heran.
"Tidak. Guru. Mungkin orang itu merupakan salah satu dari orang-orang berseragam hitam yang menguasai perguruan kita," sahut Darpa sambil menggelengkan kepala. Memang ia belum pernah melihat orang itu sebelumnya.
"Hm.... Melihat cara melangkahnya, rasanya kepandaian orang itu masih berada di bawah tingkat kepandaian Kinaya maupun Wiradesa. Jadi, tidak mungkin kalau kedua orang pengkhianat itu berada di bawah pengaruhnya. Aku sendiri masih belum mengerti, mengapa kedua orang yang sangat kupercaya itu sampai bisa berkhianat?" desah Ki Giri Tantra. Kembali hatinya menjadi geram ketika mengingat kedua orang muridnya yang durhaka itu.
"Mengapa tidak kita ikuti saja orang itu? Kita tangkap, lalu paksa untuk buka mulut," usul Sudira, geram. Setelah berkata demikian, kaki Sudira melangkah hendak menuju kedai tempat lelaki berhidung besar yang dipanggil Kadungga tadi masuk.
"Tunggu, Sudira...!" panggil Ki Giri Tantra, perlahan. Langsung disambarnya lengan Sudira, dan ditariknya ke belakang.
"Mengapa, Guru? Kalau memang kepandaian orang itu masih berada di bawah kepandaian Kinaya dan Wiradesa, tentu aku dapat meringkusnya," sahut Sudira tak sabar.
"Hm.... Kau benar-benar ceroboh, Sudira. Kita tidak boleh menunjukkan diri secara terang-terangan. Kalau sampai ada yang mengenali kita, bukankah keadaan akan menjadi runyam? Sebaiknya, wajah kita harus disembunyikan dari penglihatan orang. Sebab, siapa tahu di desa ini banyak mata-mata mereka," jelas Ki Giri Tantra kemudian.
"Lalu, bagaimana cara kita menyamar, Guru...?" tanya Darpa, bingung. Dia juga telah mendengar ucapan gurunya.
Namun, Ki Giri Tantra sama sekali tidak menyahuti pertanyaan muridnya itu. Cepat kakinya melangkah ke arah penjual tudung bambu yang biasa digunakan para petani melindungi wajah dari sengatan matahari.
"Pakailah ini...," perintah Ki Giri Tantra setelah membayar harga tudung bambu. Sedangkan ia sendiri sudah mengenakan, lalu melangkah ke arah kedai.
Tanpa banyak bertanya lagi, Darpa dan Sudira pun bergegas mengenakannya. Lalu mereka segera mengikuti langkah kaki orang tua itu menuju kedai di seberang.

* * * * *



«₪֎ [ EMPAT ] ֎₪»

Ki Giri Tantra menghentikan langkahnya beberapa tindak di depan pintu kedai. Lalu, kepalanya menoleh ke arah Darpa dan Sudira yang berada di belakangnya.
"Sebaiknya kalian berdua ikuti tujuh murid yang tengah membeli bahan makanan itu. Biar lelaki bernama Kadungga itu menjadi bagianku. Dan kalau bisa, bujuklah mereka. Usahakan jangan menggunakan kekerasan, kecuali terpaksa," pesan Ki Giri Tantra. Tanpa menunggu jawaban dari mereka, orang tua itu sudah melangkah masuk ke dalam kedai.
Darpa dan Sudira sadar kalau perintah Ki Giri Tantra tidak ingin dibantah. Maka, mereka bergegas menyebrangi jalan dan langsung bergegas menuju tempat masuknya ketujuh orang berseragam hitam tadi.
Sedangkan Ki Giri Tantra sendiri sudah duduk di dalam kedai. Sengaja dipilihnya meja yang terpisah cukup jauh di samping kanan lelaki bernama Kadungga itu. Dengan demikian, orang tua itu dapat mengawasinya tanpa menimbulkan kecurigaan. Suasana kedai yang cukup ramai, memudahkan niatnya terlaksana. Sambil menunggu datangnya makanan yang telah dipesan dari seorang pelayan, Ki Giri Tantra mengamati dengan teliti lelaki bernama Kadungga. Dan apa yang kemudian didapat, membuat wajah orang tua itu berubah gelap. Jelas, Raja Pedang Sinar Pelangi memendam rasa marah dalam dadanya.
"Hm.... Rasanya aku sudah mulai dapat mengenali orang yang bernama Kadungga itu," desis Ki Giri Tantra dalam hati.
"Kalau tidak salah, orang itu adalah tokoh sesat yang beberapa tahun terakhir ini tidak terdengar namanya. Ular Muka Dua.... Hm... kurasa pasti dialah orang yang bernama Kadungga itu."
Apa yang diduga Raja Pedang Sinar Pelangi memang tidak salah! Lelaki berhidung besar yang bernama Kadungga itu memang berjuluk Ular Muka Dua. Julukan yang diberikan kaum rimba persilatan, karena Kadungga terkenal sangat licik dan pandai memanfaatkan keadaan. Tokoh itu dengan mudah berbalik memusuhi rekannya apabila melihat keadaan tidak menguntungkan. Dan ia pun tidak ragu-ragu menjilat rekannya yang baru demi kepentingan diri pribadi. Karena sifatnya itulah, sehingga orang-orang rimba persilatan menjulukinya sebagai Ular Muka Dua. Setelah dapat mengenali orang itu, Ki Giri Tantra pun segera dapat mengetahui sampai di mana kepandaian yang dimiliki orang sesat itu.
"Sobat! Kalau kau ingin menemukan tempat persembunyian Raja Pedang Sinar Pelangi, ikutilah petunjukku..."
Lelaki berhidung besar yang ternyata berjuluk Ular Muka Dua itu tentu saja menjadi terkejut ketika mendengar bisikan yang sangat jelas terdengar di telinganya. Sebagai seorang tokoh persilatan, disadari betul ada orang yang membisikkannya dengan menggunakan ilmu 'Mengirimkan Suara dari Jauh'. Ia pun mengerti, pasti orang itu telah memiliki tenaga dalam sangat tinggi. Sehingga, mau tidak mau hatinya menjadi terkejut karenanya.
Karena merasa penasaran dan ingin tahu siapa orang yang mengirimkan petunjuk itu kepadanya, maka tokoh sesat itu pun mengedarkan pandangannya. Sepasang matanya tampak menyipit ketika memperhatikan para pengunjung kedai satu persatu.
"Jangan sekali-kali menoleh kalau memang menginginkan petunjuk dariku! Kalau tidak, maka kata-kataku akan ku tarik kembali," ancam suara yang memasuki telinga Ular Muka Dua.
Sejenak putaran kepala lelaki berhidung besar itu terhenti karena ancaman bisikan itu. Ditundanya niat mencari si pengirim suara. Meskipun kalau berusaha mencari akan dapat menemukan si pengirim suara, namun keraguan terlihat pada wajahnya. Memang, hanya dengan memperhatikan mulut pengunjung satu persatu, pasti si pengirim suara itu akan diketahuinya.
Rasa penasaran dengan apa yang akan disampaikan orang itu, maka Ular Muka Dua kembali menundukkan wajahnya dalam-dalam. Sikap itu merupakan isyarat kalau ia mau menerima petunjuk orang yang jelas-jelas tak ingin kehadirannya di kedai itu diketahui.
"Kalau kau menginginkan petunjukku, datanglah ke sebuah gubuk di sebelah Selatan desa ini. Ingat! Hanya kita berdua saja yang boleh mengetahui rahasia ini. Kutunggu kau setelah selesai makan," kata suara tanpa ujud yang kembali merasuki telinga Kadungga.
Ular Muka Dua yang masih menundukkan kepala segera mendongak ketika bisikan itu lenyap. Tanpa ragu-ragu lagi, pandangan matanya kembali beredar di sekeliling ruangan kedai. Namun, banyaknya pengunjung kedai siang itu menyulitkannya untuk dapat mengetahui si pengirim suara tadi. Tentu saja hatinya menjadi gemas bukan main.
Sengaja Ular Muka Dua tidak beranjak dari mejanya walaupun hidangan di atas meja telah tandas disantapnya. Ditunggunya beberapa saat lamanya, sambil memperhatikan para pengunjung yang bergerak meninggalkan kedai. Dugaannya, si pengirim suara yang diketahuinya berada di dalam kedai, pasti akan meninggalkan kedai lebih dahulu untuk menunggu kedatangannya.
Ketika pengunjung mulai sepi, Kadungga mengarahkan pandangannya kepada seorang lelaki tua yang kepalanya mengenakan tudung bambu. Keningnya berkerut dalam ketika melihat orang tua itu masih saja menikmati hidangannya perlahan-lahan. Gerakannya pun terlihat pelan seperti orang tua jompo saja layaknya. Tapi, rasa penasaran membuat kakinya melangkah menghampiri meja tempat Ki Giri Tantra duduk.
Kadungga tidak segera terburu-buru mendekat. Sambil melangkah perlahan, dipandanginya wajah orang tua itu penuh selidik. Setelah tiba di depan meja Ki Giri Tantra, Ular Muka Dua berdiri angkuh sambil menatap tajam wajah di balik tudung bambu itu.
"Hei! Orang Tua...!" bentak Kadungga sambil mengibaskan tangannya sehingga tudung bambu yang menyembunyikan wajah Ki Giri Tantra terlempar ke belakang.
Namun, kening Ular Muka Dua berkerut semakin dalam ketika melihat tubuh orang tua itu terjengkang bersama kursi yang didudukinya. Dari gerakan orang tua itu, Kadungga menilai kalau orang tua berkumis dan berjenggot putih itu sama sekali tidak memiliki kepandaian silat. Sehingga, ia semakin marah karenanya. "Bangsat! Tua bangka lemah...!" maki Ular Muka Dua sambil melepaskan tamparan yang cukup keras ke tubuh Ki Giri Tantra yang saat itu hendak bangkit berdiri.
Bukkk!
"Aaakh...!" Tamparan yang cukup keras itu telak menghajar tubuh Ki Giri Tantra. Sehingga tanpa dapat dicegah lagi, tubuh orang tua itu pun terpental ke belakang.
Melihat betapa hanya dengan tamparan sembarangan tubuh orang tua itu terjungkal, Ular Muka Dua mengeluarkan dengusan jengkel. Kemudian tanpa berkata sepatah pun, ia berlalu meninggalkan tubuh Ki Giri Tantra yang masih tergolek seperti orang lemah. Sayang Kadungga terlalu sombong hingga tidak sempat meneliti secara cermat. Kalau saja mau sedikit membuka mata, tentu hatinya akan terkejut melihat tubuh orang tua itu sama sekali tidak terluka akibat tamparan tadi. Padahal, kalau orang tua biasa tentu akan terbatuk-batuk.
Ki Giri Tantra pun bukanlah orang bodoh. Sadar kalau Ular Muka Dua hanya berniat mengujinya, maka ia pun berpura-pura tidak memiliki kepandaian silat. Sengaja daya dorong pukulan Ular Muka Dua dibantunya sambil mengerahkan tenaga dalam untuk melindungi tubuh agar tidak terluka. Sayang, Kadungga tidak sempat memperhatikan kalau jatuhnya Ki Giri Tantra itu bukan disebabkan kekuatan pukulannya. Melainkan, karena kaki Ki Giri Tantra sengaja menjejak agar pukulan itu tidak terlalu telak menghajar tubuhnya.
Setelah tubuh lelaki berhidung besar yang bengis itu lenyap di balik pintu kedai, barulah Ki Giri Tantra bangkit berdiri. Beberapa pengunjung kedai mencoba membantu orang tua itu bangkit. Wajah-wajah mereka memperlihatkan rasa iba terhadap orang yang sebenarnya merupakan jago pedang nomor satu wilayah Selatan!
"Aki tidak apa-apa...?" tanya pelayan kedai yang tadi menyediakan hidangan untuk orang tua itu.
"Terima kasih, Kisanak. Aku tidak apa-apa," sahut Ki Giri Tantra menyembunyikan senyumnya.
Diiringi pandang mata heran dari para pengunjung, Ki Giri Tantra melangkah tenang meninggalkan kedai makan itu.

* * * * *




Raja Pedang Sinar Pelangi menoleh ke kiri dan ke kanan setelah melewati pintu kedai. Sesaat kemudian, tubuhnya langsung melesat dengan kecepatan kilat menuju ke arah Selatan Desa Pandan. Sengaja Ki Giri Tantra berlari melalui perkebunan agar tidak terlalu menarik perhatian orang. Selain itu, ia bermaksud untuk tiba lebih dahulu daripada Ular Muka Dua yang diduga pasti saat itu tengah menuju ke tempat yang ditunjukkannya.
Keyakinan Ki Giri Tantra bukan tanpa alasan. Sebab hatinya yakin kalau Kadungga pasti akan mendatangi gubuk terpencil yang dimaksudkannya. Karena, memang dialah, orang yang telah mengirimkan suara kepada Ular Muka Dua. Dan sebagai seorang tokoh sesat yang selalu mengagungkan kepandaian sendiri, Ular Muka Dua pasti akan datang untuk menemui orang yang mengirimkan suara tanpa ujud itu. Keyakinan itulah yang membuat Ki Giri Tantra mendatangi tempat itu.
Kecepatan ilmu lari yang dimiliki Ki Giri Tantra memang sangat hebat dan jarang dimiliki tokoh persilatan lainnya. Sehingga dalam waktu singkat tokoh sakti itu telah tiba di tempat tujuannya. Perhitungan Raja Pedang Sinar Pelangi sama sekali tidak meleset. Ia memang tiba lebih dahulu daripada Ular Muka Dua. Sadar akan kelicikan tokoh sesat itu, maka Ki Giri Tantra tidak menunggu di dalam gubuk yang sudah tidak terpakai itu. Orang tua itu sengaja bersembunyi dalam jarak belasan tombak dari gubuk. Dari tempat itulah gubuk tua itu dapat diperhatikan dengan leluasa.
Tidak lama menanti, terdengarlah langkah kaki beberapa orang mendatangi tempat itu. Ki Giri Tantra bergegas merunduk menyembunyikan diri di balik semak-semak. Hati jago pedang wilayah Selatan itu sempat terkejut melihat kedatangan Ular Muka Dua yang ditemani empat orang laki-laki berpakaian serba hitam. Keterkejutan Ki Giri Tantra bukan disebabkan datangnya Ular Muka Dua bersama teman-temannya. Melainkan, karena mengenali dua orang teman lelaki berhidung besar itu.
"Bukankah kedua orang itu Palingga dan Lugita...? Hm.... Kalau mereka yang telah menjadi orang kepercayaan Kepala Desa Pandan itu sudah berada di bawah kekuasaan orang-orang berseragam hitam, patilah Desa Pandan sudah berada dalam kekuasaan mereka. Lalu, ke mana perginya Kepala Desa Pandan? Mungkinkah Ki Sora Gulawa telah dibunuh? Hm, aku tahu pasti sifat Penguasa Desa Pandan itu. Tidak mungkin rasanya kalau Ki Sora Gulawa sudi bersekongkol dengan orang-orang keji itu! Satu-satunya kemungkinan, orang tua itu pasti telah dibunuh mereka," desah hati Ki Giri Tantra setelah mengenali dua dari empat orang yang menemani Ular Muka Dua.
Setelah agak lama menanti dan memastikan kalau Ular Muka Dua hanya ditemani empat orang, maka Ki Giri Tantra pun bergegas keluar dari tempat persembunyiannya. Tentu saja hal itu tidak dilakukannya secara terang-terangan. Raja Pedang Sinar Pelangi mengambil jalan memutar melalui belakang gubuk tanpa sepengetahuan lima orang yang memang tengah menantinya itu. Hal itu tidaklah terlalu sulit baginya. Dengan kepandaiannya yang tinggi, tubuhnya dapat bergerak cepat tanpa menimbulkan suara mencurigakan.
"Hm.... Kau ternyata seorang pengecut, Ular Muka Dua! Kau tidak berani datang ke tempat ini seorang diri, sehingga harus ditemani Palingga dan Lugita. Percuma saja menyandang nama besar yang menyeramkan itu," tiba-tiba terdengar suara menggema, seperti berasal dari sekeliling tempat itu.
Tentu saja Kadungga menjadi terkejut mendengar suara yang telah membuat dadanya berdebar itu. Kekuatan tenaga dalam yang dipamerkan melalui pengerahan suara tadi, jelas menandakan kalau si pengirim suara merupakan tokoh berkepandaian tinggi. Kenyataan itu sempat pula membuat hatinya gentar.
Keterkejutan Kadungga masih belum seberapa bila dibandingkan kekagetan Palingga dan Lugita. Kedua orang kepercayaan Kepala Desa Pandan itu tentu saja menjadi pucat saat nama mereka telah dikenali si pengirim suara. Kenyataan itu membuat hati mereka bertanya-tanya, siapa orang aneh yang mengirimkan suara tanpa ujud tadi.
Kadungga bergegas mengerahkan tenaga dalam untuk menahan pengaruh suara yang menggetarkan isi dadanya. Pandangannya beredar ke sekeliling tempat itu untuk mencari sumber suara tanpa ujud itu. Demikian pula halnya Palingga, Lugita, dan dua orang berseragam hitam lainnya. Mereka pun segera mengerahkan tenaga dalam untuk menahan guncangan dalam dada akibat suara yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Hei! Siapa pun kau adanya, kalau memang benar-benar lelaki sejati, tunjukkanlah ujud dirimu! Kalau tidak, jangan salahkan apabila seluruh hutan kecil ini ku bakar habis!" ancam Kadungga disertai pengerahan tenaga dalam agar suaranya terdengar jauh. Sedang sepasang matanya tetap merayapi sekeliling dengan pandangan tajam.
"Ha ha ha....! Kalau hutan ini kau bakar, lalu apakah kau harus menyalahkan orang lain? Licik kau, Ular Muka Dua. Tapi agar kau puas, baiklah. Aku akan menunjukkan diriku di hadapan kalian berlima," terdengar jawaban yang kali ini bahkan lebih keras dari suara pertamanya.
Dan belum lagi gema suara itu lenyap, tiba-tiba dari dalam gubuk menyambar angin keras yang membuat kelima orang berseragam hitam itu saling berlompatan mundur. Dan kini, di tangan mereka telah tergenggam senjata terhunus. Kadungga dan keempat orang kawannya serentak menatap tajam sosok tinggi kurus berpakaian biru gelap. Sepasang mata tajam yang tersembunyi di balik tudung bambu itu tampak berkilat menggetarkan jantung.
"Kau...?!" sebut Kadungga. Laki-laki berhidung besar itu langsung mengenali sosok tinggi kurus berkerudung yang pernah dihajarnya di dalam kedai makan tadi. Tentu saja hati tokoh sesat itu menjadi terkejut, sekaligus heran.
Sedangkan Palingga dan Lugita hanya menatap dengan kening berkerut ke arah sosok tinggi kurus itu. Karena saat itu, Ki Giri Tantra tidak mengenakan pakaian seperti biasanya. Maka kedua orang kepercayaan Kepala Desa Pandan itu pun tidak dapat mengenali, siapa adanya lelaki tinggi kurus itu. Padahal, mereka telah mengenal Ki Giri Tantra cukup baik. Karena, Ketua Perguruan Pedang Sinar Pelangi itu merupakan sahabat kepala desa mereka. Bahkan sering berkunjung ke rumah majikan mereka dulu. Tapi, karena orang tua itu menyembunyikan wajah di balik tudung bambu, maka mereka tidak menduga kalau orang itu adalah Ki Giri Tantra.
Sedangkan Kadungga, jelas memang tidak pernah bertemu Raja Pedang Sinar Pelangi. Karena selama ini malang-melintang di wilayah Barat, sehingga belum pernah sekalipun berjumpa tokoh sakti wilayah Selatan itu. Jadi, wajar saja kalau tidak mengenal Ki GiriTantra. Bibir di balik tudung bambu itu tampak menyunggingkan senyum tipis yang menyimpan teka-teki. Perlahan-lahan tangan orang tua itu bergerak melepas tudung bambu yang menutupi kepala. Tampaklah wajah orang tua berusia sekitar enam puluh tahun yang wajahnya ditumbuhi kumis dan jenggot memutih.
Ular Muka Dua sama sekali tidak merasa terkejut meski Raja Pedang Sinar Pelangi telah menampakkan wajah aslinya. Sehingga, tokoh sesat itu hanya memandang dengan kening berkerut. Berbeda dengan Palingga dan Lugita. Wajah dua orang kepercayaan Ki Sora Gulawa itu berubah pucat ketika mengenali lelaki tinggi kurus itu sebenarnya.
"Ki Giri Tantra...?!" seru Palingga dan Lugita berbarengan. Tubuh kedua orang lelaki bertubuh gagah itu gemetar hebat karena rasa takut yang menyelimuti hati.
Mendengar disebutnya nama Ki Giri Tantra, barulah Kadungga terkejut. Memang, nama besar orang tua itu telah lama dikenalnya. Dan disadari betul, meski mereka saat itu berlima, namun jelas bukan tandingan Raja Pedang Sinar Pelangi. Tentu saja hal itu membuat Ular Muka Dua menjadi salah tingkah.

* * * * *



«₪֎ [ LIMA ] ֎₪»

Raja Pedang Sinar Pelangi sengaja mengarahkan tatapan matanya kepada Palingga dan Lugita. Sehingga, kedua orang itu menjadi salah tingkah dibuatnya. Apalagi, pandangan mata jago pedang itu jelas-jelas mengandung teguran.
"Apa kabar, Palingga, Lugita...? Sudah cukup lama rasanya kita tidak berjumpa? Bagaimana keadaan Ki Sora Gulawa? Apakah sehat-sehat saja?" sapa Ki Giri Tantra. Tentu saja sapaan itu mengandung maksud mencari keterangan untuk memastikan dugaannya.
Mendengar sapaan yang jelas mengandung maksud-maksud tertentu, Palingga dan Lugita semakin kikuk. Sejenak mereka saling berpandangan, seolah-olah hendak meminta pendapat satu sama lain.
"Kami.... Kami... eh...!"
Palingga yang mendapat isyarat dari Lugita untuk memberi keterangan kepada Ki Giri Tantra, tidak dapat menyelesaikan ucapannya. Jawabannya pun terbata-bata dan tidak selesai. Seolah-olah, kerongkongan lelaki tegap itu terasa kekeringan.
Ular Muka Dua yang melihat mereka telah saling mengenal, langsung melihat gelagat merugikan. Maka sebelum terlambat, pembicaraan di antara ketiga orang itu segera dipotongnya.
"Hm.... Sudah jelas orang tua itu sangat berbahaya bagi kita. Mengapa masih harus meladeni omongannya yang tidak berguna itu? Ayo, kepung dan tangkap orang tua gila itu! Atau bunuh saja sekaligus agar dapat melayat ke akhirat!" perintah Kadungga sambil mengibaskan tongkat hitamnya di depan dada.
Melihat Ular Muka Dua sudah siap bertarung, dua orang berseragam hitam lainnya telah menghunus senjata. Kemudian, mereka berlompatan ke kiri dan ke kanan Ki Giri Tantra, bersikap mengancam.
"Palingga! Lugita! Apa lagi yang kalian tunggu? Ayo, kepung dan tangkap orang tua itu! Atau kalian hendak berpihak kepadanya?" sentak Kadungga. Laki-laki berhidung besar itu bertindak cepat agar kedua anak buahnya tidak terpengaruh ucapan-ucapan Ki Giri Tantra.
"Hm.... Rupanya kalian benar-benar telah bersekongkol dengan manusia sesat itu. Bagus sekali sikap yang kalian ambil. Tega benar kalian mengkhianati Ki Sora Gulawa hanya karena takut menghadapi kematian? Lalu, ke mana kegagahan yang selama ini kalian bangga-banggakan itu?" pancing Ki Giri Tantra mencoba menyadarkan Palingga dan Lugita dari kesesatannya.
"Jangan dengarkan perkataan busuk itu! Ingat! Kalian akan mendapat hukuman berat apabila kejadian ini sampai diketahui ketua!" ancam Ular Muka Dua. Dia semakin cemas ketika melihat sinar keraguan di mata kedua orang itu. Sadar jika dibiarkan berlarut-larut Palingga dan Lugita bisa dipengaruhi Ki Giri Tantra, Ular Muka Dua pun segera bertindak!
"Serang...!" Sambil berseru keras, tubuh lelaki berhidung besar itu segera melompat disertai kelebatan tongkat hitamnya.
Bett! Bettt! Bettt!
Sekali menerjang, Kadungga langsung mengirimkan serangkaian serangan cepat dan kuat. Sadar akan kepandaian lawan, rupanya Ular Muka Dua langsung menggunakan tenaga dalam sepenuhnya dalam melancarkan serangan itu.
Hampir bersamaan dengan melesatnya Kadungga, dua orang berseragam hitam lain segera menyusuri dari kiri-kanan Ki Giri Tantra. Sehingga dalam gebrakan pertama saja, Raja Pedang Sinar Pelangi harus menghadapi serangan dari tiga jurusan sekaligus!
Namun, Ki Giri Tantra memang sudah memperhitungkan hal itu. Maka begitu serangan Kadungga tiba, orang tua itu menggerakkan pedangnya sambil melompat ke kiri. Pedang di tangannya sekaligus diputar membentuk dinding pertahanan yang kuat dan sukar ditembus lawan.
Trakkk! Trangngng...!
Terdengar suara berdentang nyaring ketika pedang di tangan Ki Giri Tantra membentur pedang lawan di sebelah kiri. Sehingga senjata orang itu langsung terpapas putus hingga separuh lebih. Papakan itu sekaligus untuk mematahkan serangan Ular Muka Dua. Sehingga, tubuh tokoh sesat itu terjajar mundur akibat tangkisan yang dialiri tenaga dalam tinggi itu.
Sedangkan serangan dari sebelah kanan, berhasil dielakkan Raja Pedang Sinar Pelangi dengan memiringkan tubuhnya. Dan begitu tusukan pedang lawan lewat di sampingnya, tubuh orang tua itu berputar sambil mengirimkan tendangan kilat yang tak terduga!
Zebbb...! Plakkk!
"Aaah...!"
Rupanya lawan yang berada di sebelah kanan cukup gesit dan jeli. Sehingga, ketika tendangan Ki Giri Tantra meluncur ke arah perutnya, tangan kirinya cepat bergerak menangkis. Sayang kekuatan tenaga dalam yang dimilikinya masih di bawah kekuatan Ki Giri Tantra. Akibatnya, tangkisan itu membuatnya menyeringai kesakitan. Bahkan tubuhnya pun terjajar mundur hingga enam langkah dalam keadaan limbung. Ki Giri Tantra rupanya tidak mau membuang-buang waktu, melihat tubuh lawan terjajar limbung. Maka cepat ia melompat disertai dorongan telapak tangan kirinya.
Wuuut...!
Dorongan yang menimbulkan hembusan angin berkesiutan itu jelas menandakan kehebatan tenaga dalam yang terkandung di dalamnya. Sehingga, wajah lawannya pucat seketika!
Sayang Ki Giri Tantra tidak bisa melanjutkan dorongan telapak tangannya, karena saat itu dari kedua sisinya menyambar suara berdesing nyaring!
Wuuut..! Bettt..!
"Hehhh...!" Sambil membentak nyaring, Ki Giri Tantra menarik tubuhnya dengan sikap doyong ke belakang. Lalu, disusul oleh jejakan kakinya ke tanah. Maka, tubuh orang tua itu langsung berjumpalitan beberapa kali di udara menjauhi lawan-lawannya.
"Hm.... Rupanya kalian benar-benar telah tersesat. Pasti Ki Sora Gulawa pun telah kalian bunuh bukan?" tegur Raja Pedang Sinar Pelangi, berwibawa. Sedangkan tatapannya tajam, seperti menggiris jantung.
"Jangan dengarkan ocehannya...! Bunuh tua bangka keparat itu!" teriak Ular Muka Dua, cepat mengingatkan Palingga dan Lugita yang terpaku ketika mendengar ucapan Ki Giri Tantra.
"Heaaat..!" Tanpa banyak cakap lagi, Palingga dan Lugita pun kembali berteriak nyaring sambil memutar senjatanya. Jelas, mereka lebih patuh terhadap Kadungga. Sehingga, mereka pun kembali menerjang Ki Giri Tantra dengan hebatnya.
Ular Muka Dua dan kedua orang berseragam hitam lainnya pun kembali menerjang Ki Giri Tantra. Mau tak mau, kembali jago pedang wilayah Selatan itu harus menghadapi ancaman lima bilah senjata yang berkelebatan di sekitar tubuhnya. Meskipun harus menghadapi keroyokan lima orang yang memiliki kepandaian tidak rendah, Ki Giri Tantra tidak menjadi terdesak karenanya. Pedang di tangannya bergerak menusuk dan melingkar diiringi kelebatan sinar pelangi yang menyilaukan mata. Sehingga, pertarungan itu terlihat indah dan sangat menarik!
"Hiaaat!"
Ketika pertarungan memasuki jurus yang kedua puluh, Ki Giri Tantra berseru keras disertai lesatan tubuhnya yang cepat laksana sambaran kilat di angkasa. Pedang di tangannya berkelebatan menimbulkan gulungan sinar berpendar yang mengejutkan!
Kadungga yang menjadi sasaran utama serangan itu menjadi kelabakan. Sebisa mungkin, serangan lawannya dielakkan dengan melompat ke samping. Gerakan itu masih disusuli kelebatan tongkat hitamnya yang menusuk lurus dada Ki Giri Tantra. Namun, pedang di tangan orang tua itu berputar cepat dengan perubahan mendadak dan tak terduga! Senjata itu bergerak menyilang dengan kecepatan menggetarkan!
Trakkk...!
Tanpa dapat dicegah lagi, mata pedang Ki Giri Tantra langsung membabat putus tongkat hitam di tangan Kadungga. Dan selagi tubuh tokoh sesat itu terhuyung mundur, langsung dikirimkannya tendangan kilat ke dada Kadungga!
Buggg...!
"Huakh...!" Bagaikan layang-layang putus, tubuh lelaki ber- hidung besar itu terlempar keras ketika telapak kaki Ki Giri Tantra menghajar telak bagian dadanya. Darah segar kontan terlompat mengiringi tubuh Kadungga yang tengah melayang di udara!
Setelah menghajar Ular Muka Dua, Ki Giri Tantra segera menarik pulang kakinya. Karena saat itu, dari kiri-kanan meluncur dua bilah pedang ke arahnya. Cepat kaki orang tua itu melangkah mundur dua tin- dak. Begitu tusukan pedang lawan luput, senjatanya langsung dikibaskan secara mendatar dengan gerakan melingkar mengitari tubuhnya. Dan....
Brettt! Brettt!
"Aaargh...!" Terdengar raung kematian yang berasal dari mulut kedua orang berseragam hitam itu! Tubuh mereka roboh dengan semburan darah segar dari luka menganga di perut. Setelah berkelojotan sesaat, tubuh kedua orang itu pun diam tak bergerak. Mati!
"Haiiit..!"
Ki Giri Tantra berseru nyaring sambil melambung ke udara. Karena saat itu, telinganya yang tajam menangkap datangnya serangan yang mengincar tubuhnya. Setelah berjumpalitan beberapa kali di udara, Ki Giri Tantra mendaratkan kakinya di belakang kedua orang penyerang yang tak lain dari Palingga dan Lugita.
"Sadarlah dari kesesatan kalian, Palingga, Lugita! Tidak ada kata terlambat apabila hendak bertobat dan kembali ke jalan benar," bujuk Ki Giri Tantra sambil menodongkan ujung pedangnya kepada Palingga dan Lugita yang saat itu masih membelakanginya.
Tentu saja Palingga dan Lugita menjadi terperanjat dengan wajah pucat! Memang kalau saja orang tua itu menginginkan kematian mereka, rasanya sudah semenjak tadi mereka tergeletak tanpa nyawa. Tapi, Ki Giri Tantra ternyata tidak melakukannya. Jelas, hal itu menandakan niat baik orang tua itu terhadap mereka.
"Berbaliklah! Aku memang tidak berniat membunuh kalian. Biar bagaimanapun juga, aku masih memandang kalian sebagai sahabat-sahabat baikku," bujuk Ki Giri Tantra lagi, bernada bersahabat
Mendengar ucapan itu, Palingga dan Lugita pun membalikkan tubuhnya perlahan-lahan. Melihat dari bilah pedang yang tergantung lemas di tangan, Ki Giri Tantra segera dapat memastikan kalau kedua orang kepercayaan sahabatnya itu masih dapat disadarkan.
"Ki, awaaas...!"
Begitu membalikkan tubuhnya, Palingga berteriak memperingatkan orang tua itu. Memang, pada saat itu Ular Muka Dua tengah melompat dengan serangan maut ke arah Ki Giri Tantra!
Sebenarnya hal itu sama sekali tidak perlu diperingatkan. Bagi tokoh kelas atas, tentu saja Ki Giri Tantra sudah mengetahui serangan dari belakangnya. Tapi biar bagaimanapun, Raja Pedang Sinar Pelangi harus berterima kasih kepada Palingga yang secara tak langsung telah menunjukkan kesadaran dari kesesatannya.
"Haiiit...!"
Tanpa membalikkan tubuhnya, Ki Giri Tantra pun tahu ketika serangan itu telah tiba di dekatnya. Sambil berseru nyaring, tubuh orang tua itu melakukan lompatan pendek ke samping. Lalu, tangannya berkelebat cepat mengirimkan sabetan pedangnya.
Ular Muka Dua yang memang keadaannya sudah tidak segesit dan sekuat semula tentu saja menjadi terkejut melihat serangan balasan lawan. Dan untuk menarik pulang senjatanya, jelas tidak mungkin. Maka, ia pun nekat meneruskan serangannya. Hanya saja, gerakannya berubah menjadi tangkisan.
Ki Giri Tantra pun bukan tidak tahu akan kenekatan lawan. Sambaran pedang yang semula akan menewaskan lawan, langsung dirubahnya dengan gerakan cepat menyambar bahu kiri lawan!
Wuuut..! Grattt...!
"Aaakh...!" Kadungga menjerit kesakitan ketika ujung pedang Ki Giri Tantra merobek bahunya. Darah segar memercik mengiringi jatuhnya tubuh lelaki berhidung besar itu ke atas tanah berumput kering.
"Uhhh...!" Namun, Kadungga tidak melanjutkan niatnya untuk bangkit. Apalagi, saat itu juga pedang lawan telah berada di tenggorokannya.
"Hm.... Kau akan kubebaskan apabila bersedia menceritakan tentang perkumpulanmu yang sesat itu!" ancam Raja Pedang Sinar Pelangi sambil menekan ujung pedangnya.
"Katakan, siapa yang mendalangi semua ini? Dan apa tujuan perkumpulanmu menga-cau perguruan-perguruan jago-jago pedang di empat penjuru?"
Tapi, apa yang dilakukan Ular Muka Dua benar-benar membuat hati Ki Giri Tantra menjadi terkejut setengah mati! Ternyata lelaki berhidung besar itu lebih suka menghunjamkan lehernya ke ujung pedang lawan.
"Ekhhh...!" Darah segar langsung mengucur dari luka di leh- er yang tertembus ujung pedang Ki Giri Tantra. Setelah menegang sesaat, tubuh Ular Muka Dua pun diam tak berkutik. Rupanya, ia lebih suka tewas daripada harus menjawab pertanyaan Ki Giri Tantra.
"Gila! Entah sampai di mana kekejaman ketua yang sangat ditakutinya itu? Sampai-sampai ia lebih suka mati ketimbang berkhianat. Hhh...," desah Ki Giri Tantra.
Raja Pedang Sinar Pelangi menghela napas penuh sesal melihat kematian Ular Muka Dua. Memang hanya orang itulah yang diharapkan bisa memberikan keterangan kepadanya mengenai peristiwa yang telah menimpa perguruannya. Dengan tewasnya Kadungga, maka lenyaplah harapan Ki Giri Tantra untuk dapat mengetahui dalang komplotan orang-orang berseragam hitam yang tengah merajalela saat itu.
"Ki...," panggil Palingga menyadarkan orang tua itu dari rasa sesalnya.
"Ahhh... Maaf, aku telah melupakan kalian. Syukurlah kalian telah sadar dari kesesatan. Mmm dapatkah kau menerangkan kejadian yang membuatmu tersesat? Ke mana perginya Ki Sora Gulawa? Dan siapa pula yang mendalangi semua ini?" tanya Ki Giri Tantra kepada Palingga.
Mendengar pertanyaan Ki Giri Tantra, kedua orang itu saling bertukar pandang sejenak. Beberapa saat kemudian, terlihat keduanya mengangguk perlahan. Kemudian, Palingga maju dua langkah mendekati jago pedang itu.
"Beberapa waktu yang lalu, desa kami didatangi serombongan penunggang kuda yang dipimpin seorang lelaki bertubuh jangkung. Mereka langsung mengacau desa, dan membunuhi belasan penduduk secara kejam. Ki Sora Gulawa yang mendengar laporan seorang penduduk, langsung mengajak kami berdua untuk mencegah kekejaman orang itu. Tapi baru saja tiba di halaman, lelaki jangkung dan beberapa orang berseragam hitam telah menghadang di depan. Tanpa basa-basi lagi, lelaki jangkung itu langsung menyatakan ingin menguasai Desa Pandan. Sedangkan Ki Sora Gulawa diminta menjadi pembantunya. Tentu saja kepala desa kami menolak keinginan gila itu. Apalagi, lelaki jangkung itu mengatakan akan memungut pajak kepada para penduduk."
Palingga menghentikan ceritanya sejenak. Terlihat tarikan nafasnya dalam, seperti hendak mengumpulkan ingatannya tentang peristiwa itu.
"Karena lelaki jangkung itu memaksa, maka pertempuran pun tak dapat dihindari lagi. Namun, kepandaian orang-orang berseragam hitam itu ternyata cukup hebat. Hingga, aku dan Palingga tak mampu berbuat banyak," sambung Lugita ketika melihat Palingga menghentikan ceritanya.
"Bahkan Ki Sora Gulawa tak mampu menghadapi lelaki jangkung itu lebih dari tiga puluh jurus. Sehingga, beliau tewas menyedihkan. Sedangkan kami berdua yang saat itu sudah terdesak tanpa mampu membalas, diselamatkan lelaki jangkung itu. 
Kemudian kami diminta agar tunduk dan menjadi pengikutnya. Yahhh.... Terpaksa kehendak orang itu kami turuti. Apalagi, untuk mati kami jelas belum siap. Karena, kami sadar bahwa untuk melawan adalah perbuatan bodoh. Maka, terpaksa kami berpura-pura tunduk kepada lelaki jangkung itu. Harapan kami, suatu saat kami akan menyusun kekuatan dan membalas kekejaman lelaki jangkung itu sekaligus merebut kembali Desa Pandan yang kami cintai. Kesabaran itu ternyata membuahkan hasil seperti yang selama ini kami harapkan. Kedatangan Ular Muka Dua yang mengajak kami mengeroyok seseorang yang ternyata Ki Giri Tantra, langsung kami sambut baik. Cerita selanjutnya seperti yang Aki telah saksikan tadi...," jelas Palingga menutup ceritanya.
"Hm.... Apakah lelaki jangkung itu mengenakan libatan tali-temali pada pakaiannya...?" tanya Ki Giri Tantra teringat akan pengalamannya ketika mendatangi rumah perguruannya, dan kemudian terjebak. (Baca serial Pendekar Naga Putih dalam episode Sengketa Jago-jago Pedang)
"Betul, Ki. Apakah Aki mengenal orang itu...?" sahut Palingga cepat "Sayang aku tidak mengenal manusia keji itu. Hanya saja, kemungkinan orang itu pulalah yang telah merampas perguruanku. Sebaiknya, marilah kita te- mui kedua orang muridku. Siapa tahu mereka telah berhasil membujuk murid-muridku yang datang ber- sama Ular Muka Dua," ajak Ki Giri Tantra yang tanpa menunggu jawaban lagi, langsung melesat menuju De- saPandan.
Palingga dan Lugita pun tidak banyak tanya lagi. Kedua lelaki gagah itu bergegas menyusul Ki Giri Tantra yang sudah beberapa tombak di depan.

* * * * *




Pintu gerbang Perguruan Pedang Sinar Pelangi berderit terbuka ketika dua buah pedati berhenti tepat di depannya. Delapan orang lelaki berseragam hitam berlompatan turun dan menarik pedati itu memasuki halaman perguruan.
"Hei, Subara...!" panggil salah seorang penjaga gerbang sambil mengulapkan tangannya ke arah salah seorang anggota rombongan itu
Lelaki muda berusia sekitar dua puluh tahun yang dipanggil Subara bergegas menghampiri. Namun, langkah Subara terhenti ketika bahunya ditepuk salah seorang kawannya yang mengenakan caping bambu lebar. Subara melangkah mundur ketika melihat isyarat gelengan kepala lelaki bercaping bambu itu. Dibiarkannya orang itu melangkah menghampiri penjaga pintu gerbang
"Mengapa pimpinan kita Ki Kadungga tidak terlihat kembali bersama kalian?" tanya penjaga yang bercambang lebat itu dengan suara galak.
Sedangkan penjaga yang seorang hanya memandang dengan kening berkerut. Jelas, ia tidak senang melihat lelaki bercaping itu datang menghampiri tanpa dipanggil. Untuk beberapa saat lamanya, lelaki bercaping itu tidak menjawab. Sebaliknya, pandangannya malah beredar merayapi ke halaman yang tampak sepi dari balik caping bambunya. Hanya ada tiga orang yang tampak tengah membersihkan halaman depan perguruan itu.
Mendadak, tiba-tiba saja lelaki bercaping bambu itu bergerak cepat menotok ketiga orang penjaga pintu gerbang. Sehingga, mereka hanya dapat berdiri kaku dengan mata terbelalak. Sedangkan untuk bicara, mereka sama sekali tidak mampu. Karena orang itu juga telah menotok urat suara.
"Hm.... Apakah kalian masih mengenali aku...?" tanya lelaki bercaping itu sambil menaikkan caping bambunya sedikit. Sehingga, hanya ketiga orang penjaga itu saja yang dapat mengenalinya.
Wajah ketiga orang penjaga itu langsung pucat ketika melihat siapa sebenarnya lelaki bercaping itu. Karena tidak dapat mengeluarkan suara, maka mata mereka saja yang tampak terbelalak bagai melihat hantu di siang bolong.
Setelah mengetahui kalau dirinya masih mempunyai pengaruh terhadap ketiga orang penjaga pintu gerbang itu, maka tangannya pun kembali bergerak membebaskan totokan. Lelaki bercaping bambu yang ternyata adalah Ki Giri Tantra itu, cepat mencegah ketika melihat ketiga orang penjaga itu hendak berlutut kepadanya.
"Aku mendapat keterangan dari Subara kalau di dalam gedung utama hanya ada Kinaya dan Wiradesa. Benarkah itu...?" tanya Ki Giri Tantra meminta jawaban pasti.
"Benar apa yang dikatakan Subara, Guru. Sudah dua hari ini lelaki jangkung yang berjuluk Laba-laba Hitam pergi entah ke mana. Sepertinya, ia sudah percaya penuh akan kesetiaan Kakang Kinaya dan Wiradesa. Dan kalau guru ingin merebut kembali perguruan ini, memang sekaranglah waktu yang paling tepat," jelas lelaki bercambang lebat yang sudah kembali tenang seperti semula.
"Hm... bagus kalau begitu. Darpa, Sudira," panggil orang tua itu kepada dua di antara empat lelaki bercaping bambu yang masih berdiri di dekat pedati.
"Kumpulkan murid-murid yang saat ini mungkin tengah beristirahat. Katakan pada mereka kalau aku sudah kembali. Dan kau, kau tetaplah berjaga di gerbang ini. Yang lain boleh membawa sayur-mayur itu ke dalam. Bersikaplah seperti tidak terjadi apa-apa"
Ki Giri Tantra kemudian melangkah menuju gedung utama perguruan. Sebagai orang yang pernah menghuni perguruan itu, tentu saja tidak sulit bagi Ki Giri Tantra untuk mencari kamar Kinaya maupun Wiradesa. Dan sudah pasti, kedua orang bekas muridnya yang terpengaruh Laba-laba Hitam itu berada dalam kamar yang pernah ditempatinya sewaktu masih memimpin perguruan itu.Beberapa orang berseragam hitam yang memergokinya, langsung ditotok roboh tanpa mengalami kesulitan. Ki Giri Tantra tentu saja tidak membunuh para penjaga, karena mereka adalah murid-muridnya juga. Sehingga, ia hanya menotok roboh tanpa melukai.
Dengan gerakan ringan dan tanpa suara, orang tua itu melangkah mendekati kamar yang pernah ditempatinya dulu. Kemudian, dibukanya pintu kamar secara perlahan. Ki Giri Tantra menahan napas, lalu melangkah mendekati tubuh Kinaya yang tengah terbaring dengan mata terpejam. Sambil tetap menahan napas, lelaki tua itu berdiri di tepi pembaringan tempat Kinaya tertidur. Sekali menggerakkan tangan saja, jago pedang itu langsung dapat melumpuhkan muridnya yang tengah terlelap.
"Hm... Untunglah ia tengah terlelap. Kalau tidak, tentu cukup sulit menundukkannya. Memang, 'Racun Perampas Sukma' yang dijejalkan Laba-lababHitam ketubuh sanggup membuatnya bertarung dengan tenaga yang tidak pernah habis," gumam orang tua itu sambil memeriksa tubuh Kinaya.
Tapi, apa yang dihadapi Ki Giri Tantra membuatnya terkejut. Ternyata Kinaya bukan tengah tertidur secara wajar, melainkan tengah terpengaruh sejenis obat yang dapat membuat orang terlelap untuk beberapa saat lamanya.
"Hm.... Pastilah Ular Muka Dua yang melakukan perbuatan ini. Sepertinya sebelum meninggalkan perguruan, ia telah membius Kinaya dan Wiradesa agar tidak bertindak macam-macam. Kalau begitu, aku harus segera mencari Wiradesa. Aku yakin, tidak lama lagi daya kerja obat itu akan segera lenyap. Dan kalau sampai ia terbangun, tentu akan lebih repot menghadapinya," pikir Ki Giri Tantra yang segera menyelinap masuk ke dalam kamar yang bersebelahan dengan kamar Kinaya.
Tepat pada saat Ki Giri Tantra memasuki kamar Wiradesa, tubuh muridnya tampak baru mulai bergerak disertai sebuah keluhan lirih. Persis seperti orang yang baru tersadar dari pingsannya. Tanpa menunggu lagi, tubuh Ki Giri Tantra langsung melesat dan melakukan totokan seperti yang dilakukan terhadap Kinaya.
"Aaakh...!" Wiradesa memekik kesakitan ketika jari-jari tangan orang tua itu menotok beberapa bagian tubuhnya. Sehingga, lelaki gagah itu kembali rebah dengan mata terbelalak.
"Hm.... Benar-benar keji manusia berjuluk Laba-laba Hitam itu! Kedua orang muridku ini sudah seperti mayat hidup saja akibat pengaruh 'Racun Perampas Sukma'nya," desis Ki Giri Tantra geram.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Ki Giri Tantra segera menjejalkan obat penawar yang telah diberi Pendekar Naga Putih. Karena Wiradesa masih dapat menggerakkan anggota tubuhnya, maka tidak sulit baginya untuk melolohkan obat penawar ke dalam mulut muridnya.
"Guru..." Empat orang lelaki gagah itu menjatuhkan diri, berlutut di depan seorang kakek tua yang duduk di atas kursi bergagang gading.
"Hm.... Bangkitlah ," sambut orang tua yang tak lain Ki Giri Tantra sambil melebarkan senyumnya.
"Aku sengaja memanggil kalian sore ini karena ingin membicarakan masalah yang sangat penting bagi ke lanjutan perguruan kita."
Keempat orang yang tak lain dari Kinaya, Wiradesa, Darpa dan Sudira telah bangkit, dan bersila di depan Ki Giri Tantra. Sebelum mengutarakan keinginannya, Ki Giri Tantra menceritakan segala sesuatu yang telah menimpa perguruan termasuk yang telah dialami kedua orang murid utamanya. Sehingga, baik Kinaya dan Wiradesa menjadi terkejut bukan main ketika mendengarnya.
"Hukumlah kalau memang kami berdua dianggap bersalah, Guru.... Tapi kalau Guru percaya, kami berdua sama sekali tidak mengetahui semua itu," ujar Kinaya kembali berlutut bersama Wiradesa dengan wajah pucat.
"Jangan kalian merasa kecil hati. Aku telah mengetahui semua yang telah menimpa diri kalian. Tapi perlu kalian berdua ketahui. Apa yang hendak kusampaikan ini, bukanlah mengenai kalian berdua. Justru penyebab semua kejadian inilah yang hendak kubicarakan. Kinaya dan Wiradesa. Kalian ku percayakan untuk mengatur perguruan ini, karena aku akan pergi bersama Darpa dan Sudira untuk menyelidiki dan sekaligus menangkap orang yang berjuluk Laba-laba Htam. Bagaimana? Apakah kalian sanggup memikul tanggung jawab yang kuberikan?" tanya Ki Giri Tantra.
"Sanggup, Guru...," sahut keempat lelaki gagah itu serempak.
"Kalau begitu, pertemuan ini selesai. Darpa, Sudira, kalian berkemaslah!" ujar Ki Giri Tantra yang segera beranjak dari kursinya.
"Baik, Guru...," sahut Darpa dan Sudira, segera bangkit dan berpamit untuk berkemas.
"Kinaya, Wiradesa, berhati-hatilah. Usahakan agar peristiwa kemarin jangan sampai terulang lagi," tegas Ki Giri Tantra sebelum meninggalkan ruang pertemuan itu.
"Kami akan mengingat segala pesan Guru...," sahut kedua orang lelaki gagah itu.
Rupanya mereka sudah kembali sadar seperti semula. Semua itu berkat obat penawar racun yang telah menghilangkan pengaruh 'Racun Perampas Sukma'. Sehingga, baik Kinaya maupun Wiradesa telah sembuh seperti sediakala. Kinaya dan Wiradesa baru meninggalkan ruang pertemuan setelah Ki Giri Tantra lenyap di balik pintu.

* * * * *



«₪֎ [ ENAM ] ֎₪»

"Kakang, lihat ini..!" ujar seorang dara jelita berpakaian serba hijau sambil menunjuk rerumputan. Pemuda tampan berjubah putih yang berjalan di sebelah kirinya serentak mengikuti arah yang ditunjuk gadis jelita itu Keningnya tampak berkerut ketika melihat cairan merah yang melekat di rerumputan.
"Darah...?!" desah pemuda tampan itu setelah memeriksanya dengan teliti.
"Hm Kalau melihat dari darah yang melekat di rumput ini, tampaknya ada orang yang menderita luka melewati hutan ini. Rasanya, kejadian ini belum lama lewat"
"Tapi menilik keadaan sekitar tempat ini, rasanya tidak terdapat tanda-tanda bekas orang bertarung? Apakah mungkin pertarungan itu terjadi di tempat lain? Lalu, apakah orang yang terluka itu berlari menyelamatkan diri ke hutan ini? Bagaimana menurutmu, Kakang?" tanya dara jelita itu lagi sambil menatap wajah pemuda tampan itu lekat-lekat
"Yah, bisa saja. Tapi supaya lebih jelas, sebaiknya kita cari saja. Siapa tahu jejak ceceran darah ini masih berkelanjutan," sahut pemuda tampan itu sambil melangkah perlahan-lahan.
Tanpa banyak cakap lagi, dara jelita berpakaian serba hijau itu pun bergegas mengikuti langkah kekasihnya. Sepasang matanya yang bulat dan jernih, mengawasi rerumputan di bawah kakinya. Namun sampai cukup jauh mereka memasuki hutan, ceceran darah itu sama sekali tidak ditemukan lagi. Sehingga, kedua anak muda itu pun menjadi heran dibuatnya.
"Aneh mengapa ceceran darah itu tidak terlihat lagi? Apakah Kakang yakin kalau itu darah manusia...?" tanya dara jelita mulai meragukan pendapat kekasihnya. Sepertinya, ia telah jenuh setelah sekian jauh mencari tanpa hasil.
"Tentu saja aku yakin. Jangan mudah putus asa. Lagi pula, jejak darah itu tidak hanya di atas rumput. Bisa saja melekat di kulit-kulit pohon atau batu. Ayo, kita cari lebih teliti," ajak pemuda tampan itu yang rupanya belum putus harapan untuk menemukan jejak darah berikutnya.
Mendengar usul yang diajukan pemuda tampan itu, dara berpakaian serba hijau ini pun kembali melangkah. Kali ini yang diteliti tidak hanya rerumputan di bawahnya. Batang-batang pohon dan bebatuan pun diperiksanya. Setelah cukup lama menyusuri hutan, tibalah pasangan muda itu di tepi sungai yang membelah hutan. Sejenak langkah keduanya berhenti, langsung mengedarkan pandangan ke sekeliling. Sesaat kemudian, mereka melepaskan pandangan ke seberang sungai yang lebarnya sekitar tiga tombak lebih.
"Rasanya, tidak ada lagi yang bisa kita gunakan sebagai petunjuk. Lebih baik, kita cari saja desa yang terdekat dengan hutan ini. Siapa tahu di sana bisa diperoleh keterangan," ujar dara jelita itu sambil menghembuskan napas kecewa.
"Sebentar..." Tiba-tiba saja pemuda tampan itu melompat turun, dan mendaratkan kakinya di tepian sungai.
"Rasanya aku sudah dapat menemukan jejak itu, Kenanga," kata pemuda itu sambil meneliti bercak darah di atas bebatuan di tepian sungai.
Dara jelita yang dipanggil Kenanga bergegas melompat turun dan mendaratkan kakinya di sebelah pemuda tampan yang tak lain adalah Panji. Atau, lebih dikenal dengan Pendekar Naga Putih.
"Apa pendapatmu dengan adanya bercak-bercak darah di batu-batu tepian sungai ini?" tanya Pendekar Naga Putih seperti hendak menguji kekasihnya.
"Sudah jelas, orang yang terluka itu turun dan bersandar di dinding tepi sungai ini. Lalu, dia menyeberang," sahut Kenanga setelah berpikir sesaat.
Panji tidak segera menanggapi jawaban kekasihnya. Sepasang matanya memandang ke seberang sungai dengan kening berkerut. Jelas, ia tengah berpikir keras setelah mendengar jawaban Kenanga. Tak lama kemudian, pemuda itu mengedarkan pandangan berkeliling.
"Apa yang dipikirkan, Kakang..?" tanya Kenanga tak sabar ketika melihat Panji hanya memandang ke sekeliling dengan kening berkerut
"Menurutmu, mengapa ia berlari ke dalam hutan ini?" tanya Panji lagi. Sehingga, membuat Kenanga kembali memutar otaknya mencari jawaban.
"Bisa jadi karena dikejar lawannya."
"Kalau kau yang terluka kemudian berlari ke dalam hutan dan menemukan sungai, apakah kau akan menyeberanginya? Sedangkan musuh-musuh berada di belakang dan tengah mengejarmu?" tanya Panji semakin bersemangat
"Ah, Kakang ini ada-ada saja. Kau senang ya, kalau aku terluka dan dikejar-kejar musuh?" sahut dara jelita itu. Kenanga jadi sengit mendengar pertanyaan kekasihnya.
"Bukan begitu, Kenanga. Kalau hal itu terjadi pada dirimu, akan kucari jahanam-jahanam keparat itu. Dan akan kuhajar mereka sampai menangis-nangis minta ampun," terpaksa Panji mengikuti arah pembicaraan kekasihnya ketika melihat Kenanga cemberut mendengar pertanyaannya.
"Betul...?" tanya Kenanga. Sebenarnya gadis itu kurang yakin akan ucapan kekasihnya. Namun dari tarikan bibirnya yang menyunggingkan senyum, jelas kalau ia merasa senang mendengar jawaban Panji.
Senyum di bibir Pendekar Naga Putih melebar melihat keanehan sifat wanita yang sangat dicintainya. Padahal apa yang ditanyakannya tadi hanya sekadar perumpamaan saja. Tapi, Kenanga ternyata menanggapinya dengan pikiran berbeda. Tentu saja keanehan itu membuatnya tersenyum.
"Betul," tegas Pendekar Naga Putih dengan wajah sungguh-sungguh.
"Apa kau belum percaya sepenuhnya kepadaku?"
"Tentu aku percaya sepenuhnya, Kakang Terima kasih...," sahut Kenanga, segera memeluk dan mencium pipi Panji.
Tentu saja perbuatan gadis itu semakin membuat Panji keheranan. Terus terang, pemuda tampan itu jadi semakin tidak mengerti akan sifat wanita. Semakin merasa dekat dengan dara jelita itu, makin banyak ditemui sifat-sifat aneh yang sulit dimengerti olehnya. Wanita memang benar-benar makhluk aneh yang perasaannya sangat sulit dimengerti.
"Lalu, bagaimana dengan pertanyaanku tadi? Apa yang akan kau lakukan?" tanya Panji setelah Kenanga melepaskan pelukannya.
Kenanga tidak langsung menjawab Gadis itu termenung sejenak, seperti hendak mengingat apa yang ditanyakan pemuda pujaannya.
"Mmm.... Yah. Aku tidak akan menyeberangi sungai. Dan paling tidak, musuh-musuh akan menduga aku menyeberanginya. Sehingga, aku dapat meloloskan diri dari kejaran," jawab Kenanga kemudian.
"Bagus!" puji Pendekar Naga Putih tersenyum.
"Kalau begitu, ayo kita telusuri tepian sungai ini"
"Apa tidak mungkin kalau orang itu sudah me- ninggalkan hutan ini, Kakang?"
"Aku rasa tidak mungkin. Menurutku, orang yang terluka itu pasti memiliki kepandaian yang cukup tinggi. Kalau tidak, bagaimana mungkin dapat melarikan diri dari lawan-lawannya. Dan lagi, luka-lukanya pasti cukup parah," sahut Panji sambil melangkah menyusuri tepian sungai.
Tidak sulit bagi kedua orang pendekar muda itu menyusuri tepian sungai. Meskipun permukaan batu-batu yang bertonjolan itu sangat licin, mereka enak saja berlompatan bagaikan dua ekor burung yang tengah bercanda di alam bebas.
"Tunggu...!" cegah Panji sambil menghentikan langkahnya. Melihat dari caranya, jelas kalau pemuda itu tengah mengerahkan indera pendengarannya yang memang jauh lebih tajam daripada Kenanga.
"Kau mendengar sesuatu, Kakang...?" tanya gadis jelita itu dengan dada berdebar tegang!
Panji tidak menyahuti pertanyaan kekasihnya, dan malah mengedarkan pandangan ke sekitar tempat itu.
"Hm.... Mari kita periksa gua yang terdapat di dinding sungai itu, Kenanga. Sepertinya aku mendengar rintihan lemah dari tempat itu," ajak Pendekar Naga Putih yang segera melesat dan langsung mendaratkan kakinya di dekat mulut gua.
"Gua sekecil ini, Kakang?" tanya Kenanga dengan kening berkerut. Sepertinya gadis itu tidak begitu yakin kalau ada orang yang sudi memasuki lubang gua yang hanya sebesar dua kali tubuhnya itu. Namun karena Panji telah masuk ke dalamnya, maka terpaksa diikutinya.
"Raja Pedang Tujuh Bintang...?!" Pendekar Naga Putih berseru tertahan ketika mengenali sosok tubuh yang tengah terbaring lemah di atas tanah lembab di dalam ruangan gua itu. Cepat kakinya melangkah menghampiri sosok tubuh yang jelas tengah terserang demam hebat itu.
"Benarkah orang itu Ki Branta Sula, Kakang..," tanya Kenanga yang sempat mendengar seruan kekasihnya. Bergegas ia melompat ke arah sosok tubuh itu terbaring
"Benar, Kenanga. Rintihannya tadi sempat tertangkap pendengaranku. Itu sebabnya aku tak menyahuti pertanyaan-pertanyaanmu. Harap kau dapat memakluminya," sahut Panji yang tidak ingin membuat dara jelita itu tersinggung atas perbuatannya.
"Tidak mengapa, Kakang. Aku dapat memakluminya," kata Kenanga sambil mengelus lembut punggung kekasihnya sebagai tanda kalau sama sekali tidak marah.
Melihat keadaan Ki Branta Sula yang terlihat menderita, bergegas Panji menurunkan buntalan di bahunya. Diambilnya beberapa jenis obat yang diperlukan untuk mengobati luka-luka jago pedang wilayah Barat itu. Setelah membalut seluruh luka, Panji dan Kenanga duduk di sudut gua sambil menunggu Ki Branta Sula siuman. Mereka duduk termenung mengikuti arus pikiran masing-masing. Sehingga, keadaan di dalam gua itu terasa hening, kecuali desah angin yang berhembus melalui mulut gua.
"Uhhh...!" Terdengar keluhan lirih yang berasal dari mulut Ki Branta Sula. Tubuh lelaki kekar bercambang brewok itu nampak menggeliat lemah.
Mendengar keluhan itu, Panji dan Kenanga bergegas bangkit, dan melangkah menghampiri. Mereka lalu duduk di kiri-kanan tubuh orang tua itu.
Perlahan-lahan kelopak mata orang tua itu membuka dan mengerjap-ngerjap. Suasana dalam ruangan gua yang remang-remang, membuat Ki Branta Sula harus membiasakan pandangan matanya untuk dapat mengenali kedua orang di kiri-kanannya.
"Pendekar Naga Putih...?! Benarkah kau yang berada di dekatku, Sahabat?" sebut Ki Branta Sula dengan wajah penuh keraguan. Kemudian wajahnya dipalingkan kesebelah kanan.
"Kau..., kaukah Kenanga..,?" tanya orang tua itu ketika mendapati sosok jelita yang mengenakan pakaian serba hijau.
Setelah bertanya demikian, orang tua itu kembali memejamkan matanya. Sepertinya hatinya belum merasa yakin akan apa yang telah dilihatnya. Sehingga kedua matanya dipejamkan agar pertemuan yang dikiranya hanya bayang-bayang semu itu tidak mengganggunya.
Panji yang dapat mengerti apa yang terpikir dalam benak orang tua itu, cepat menggenggam tangan Ki Branta Sula erat-erat. Kemudian, pemuda itu berbisik di telinga sahabatnya yang seperti merasa takut akan bayang-bayang yang mengganggunya.
"Benar, Ki. Aku Panji. Kami menemukanmu terbaring di dalam gua ini. Apa sebenarnya yang telah terjadi pada dirimu, Ki?" tanya Pendekar Naga Putih sambil tetap menggenggam telapak tangan orang tua itu yang mulai hangat
Merasakan panas tubuh orang tua itu sudah hampir seperti semula, Panji menarik napas lega. Karena, hal itu berarti demam yang diderita akibat luka-luka yang membengkak telah mulai lenyap. Rupanya, hal itulah yang membuat Ki Branta Sula tersadar.
Ki Branta Sula yang mendengar suara Panji, kembali membuka matanya perlahan. Pandangan matanya merayapi wajah Pendekar Naga Putih, seolah-olah masih belum percaya dengan apa yang dilihat dan didengarnya.
"Benarkah semua ini bukan hanya bayanganku, Panji? Kenanga...?" tanya orang tua itu.
Jelas, Ki Branta Sula masih meragukan keberadaan kedua pendekar muda yang pernah membantunya dalam menyelesaikan persoalan rumit di Lembah Kepala Naga. (Untuk lebih jelasnya silakan baca serial Pendekar Naga Putih dalam episode Sengketa Jago-jago Pedang)
Kedua orang pendekar muda itu tidak menjawab. Mereka hanya menggenggam telapak tangan orang tua itu lebih erat.
"Aaah...! Puji syukur kepada Tuhan yang telah mempertemukan kita kembali," desah Raja Pedang Tujuh Bintang. Jelas, orang, tua itu benar-benar merasa gembira dengan pertemuan yang sama sekali tidak disangka itu. Ketika Ki Branta Sula telah benar-benar sadar sepenuhnya, Panji menyodorkan sebutir pil berwarna putih bagaikan gumpalan salju kecil.
"Telanlah obat ini untuk menyembuhkan luka-luka dalam di tubuhmu, Ki. Setelah itu, istirahatlah sebentar. Kemudian, kita tinggalkan gua ini," ujar Panji perlahan.
Tanpa keraguan sedikit pun, Ki Branta Sula segera menelan pil pemberian pendekar muda itu. Sesaat kemudian, mata orang tua itu pun terpejam. Tidak berapa lama, terlihat Ki Branta Sula telah menyelesaikan semadinya. Ditatapnya pasangan pendekar muda itu penuh rasa terima kasih.
"Kau tidak ingin mendengar ceritaku, Panji...?" tanya Raja Pedang Tujuh Bintang yang tubuhnya mulai terasa segar kembali.
"Kalau Ki Branta Sula tidak merasa keberatan, biarlah aku mendengarnya di perjalanan saja. Ayolah kita tinggalkan tempat ini," ajak Panji yang segera memapah tubuh orang tua itu. Memang, meskipun kesehatan Ki Branta Sula sudah mulai pulih, tetap saja belum sanggup untuk melakukan perjalanan jauh.
Setelah keluar dari dalam gua, Panji, Ki Branta Sula, dan Kenanga menempuh perjalanan menuju Timur. Hal itu sesuai permintaan Raja Pedang Tujuh Bintang yang sambil lalu telah menceritakan pengalamannya.
"Melihat banyaknya orang berseragam hitam yang berada di Desa Kembangan, aku rasa markas mereka pasti tidak jauh dengan desa itu. Bagaimana me- nurutmu, Panji...," tanya Ki Branta Sula mengakhiri ceritanya.
"Keyakinanku pun demikian, Ki. Dan untuk mengetahui kebenaran dugaan kita, aku akan menyelidiki kelak," tegas Pendekar Naga Putih.
Panji yang tengah melangkah sambil memapah tubuh Ki Branta Sula, mendadak menghentikan langkahnya. Wajah pemuda tampan itu nampak menegang seperti membaui bahaya yang mengancam di balik semak belukar dan pepohonan di sekitarnya.
"Ada apa, Panji...?"
Meskipun bibirnya melontarkan pertanyaan demikian, namun wajah Ki Branta Sula terlihat tegang pula. Entah karena membaui sesuatu, atau karena terpengaruh ketegangan Panji.
Sedangkan Kenanga yang telah hampir mengenal semua kebiasaan kekasihnya, tentu saja segera mengetahui penyebab langkah pemuda itu terhenti. Cepat gadis jelita itu meraba gagang pedang yang melingkar di pinggang. Jelas, ia telah bersiap menghadapi segala kemungkinan yang bakal terjadi.
"Mungkin dugaanku belum sepenuhnya benar. Tapi, kuharap berhati-hatilah! Aku seperti merasakan adanya orang-orang yang tengah mengawasi kita. Tetaplah melangkah tenang, dan tingkatkan kewaspadaan!" kata Panji, kembali melanjutkan langkahnya menerobos semak perdu yang menghalangi jalan.
Sedangkan Kenanga berjalan di sebelah kanan Panji. Meskipun langkah gadis jelita itu terlihat tegang, namun jemari tangannya yang erat mencekal gagang pedang, jelas menandakan kalau tengah dilanda kete- gangan!
Ketegangan Panji maupun Kenanga bukannya tidak beralasan. Memang, keadaan Ki Branta Sula yang masih lemah itu tentu saja menimbulkan kekhawatiran di hati mereka. Belum lagi ingatan tentang lawan-lawan yang telah melukai Raja Pedang Tujuh Bintang. Luka-luka di beberapa bagian tubuh orang tua itu jelas menandakan kalau musuh-musuh yang tengah dihadapi sangat berbahaya. Sehingga, kelengahan sedikit saja akan mengancam keselamatan mereka.
"Hati-hatilah, Panji. Kalau orang-orang yang kau maksudkan itu adalah komplotan manusia berseragam hitam, berbahaya sekali. Pasti mereka tidak segan- segan menebarkan racun-racun jahat untuk memperoleh kemenangan," pesan Ki Branta Sula teringat akan kematian sahabatnya.
"Aku mengerti, Ki. Mudah-mudahan saja kejadian yang menimpa Ki Ageng Semplak tidak kita alami," sahut Panji.
Pendekar Naga Putih memang tidak ingin menonjolkan diri kalau cukup banyak mengetahui tentang racun-racun. Apalagi yang sering digunakan tokoh-tokoh persilatan. Hampir semua telah diketahuinya. Tapi pemuda tampan itu tidak mengatakannya kepada Ki Branta Sula, karena menurutnya memang tidak perlu. Tengah keduanya berbicara, tiba-tiba Panji yang memiliki ketajaman pendengaran lebih tinggi, menoleh cepat ke arah samping kirinya.
"Haiiit..!" Dibarengi bentakan nyaring, pemuda tampan itu mendorongkan telapak tangannya dengan pukulan jarak jauh!
Whusss...! Darrr...! Darrr...!
Bukan main terperanjatnya hati Pendekar Naga Putih. Dia sama sekali tidak menduga kalau benda-benda bulat sebesar buah duku itu akan meledak akibat benturan angin pukulannya.
"Awaaas...!"
Pendekar Naga Putih yang sempat menangkap adanya jarum-jarum halus menebar ke sekeliling tempat itu, cepat memperingatkan Kenanga dan Ki Branta Sula. Seiring bentakan itu, tubuhnya pun melambung dan berputar beberapa kali di udara. Lalu, kakinya mendarat ringan sejauh lima tombak dari tempatnya semula. Hebat sekali ilmu meringankan tubuh yang dimiliki pemuda tampan itu! Padahal saat melompat, Pendekar Naga Putih membawa tubuh Ki Branta Sula yang dipeluk dengan tangan kanan. Tentu saja Raja Pedang Tujuh Bintang semakin bertambah kagum melihat kepandaian yang dimiliki pemuda tampan itu
Sedangkan Kenanga yang juga ikut melompat berbarengan dengan teriakan Panji, mendaratkan kakinya sejauh dua tombak di sebelah kanan kekasihnya. Wajah dara jelita itu terlihat agak pucat hingga membuat Panji cemas!
Kau tidak apa-apa, Kenanga...?" tanya Panji. Mata Pendekar Naga Putih sempat melihat puluhan jarum berwarna hitam melekat di badan Pedang Sinar Rembulan. Rupanya, dara jelita itu telah menggunakan senjatanya untuk melindungi diri. Sehingga, jarum-jarum beracun yang mengancam keselamatannya hanya menempel di badan pedang pusaka yang mempunyai daya sedot terhadap benda-benda dari logam.
"Aku baik-baik saja, Kakang," sahut Kenanga agar Panji tidak terlalu cemas terhadap keselamatannya.
"Aaah! Aku kurang hati-hati, sehingga hampir kau dan Ki Branta Sula menjadi celaka. Jelas benda-benda bulat itu telah diisi bahan peledak dan jarum-jarum beracun. Benar-benar berbahaya!" desah Pendekar Naga Putih menghembuskan napas lega.
"Hati-hatilah, Panji! Aku semakin yakin penyerang gelap itu pastilah dari kelompok orang berseragam hitam. Mereka sangat licik dan penuh tipu daya!" bisik Ki Branta Sula teringat akan pengalamannya pada waktu dikeroyok orang berseragam hitam di Desa Kembangan.
Panji menganggukkan kepala sebagai jawaban atas nasihat yang dibisikkan Raja Pedang Tujuh Bintang kepadanya. Peringatan itu membuatnya semakin meningkatkan kewaspadaannya. Apalagi kedudukan musuh sama sekali tidak diketahui. Sehingga, mereka seperti mangsa empuk bagi penyerang-penyerang gelap yang entah bersembunyi dimana.
"Hm.... Terus terang, aku tidak menyukai keadaan seperti ini. Maka, akan ku paksa mereka keluar dari tempat persembunyiannya," geram Pendekar Naga Putih pelan. Kemudian Pendekar Naga Putih memalingkan wajahnya ke arah Kenanga yang telah berada di sebe- lahnya.v"Bersiap-siaplah, Kenanga. Aku akan memaksa mereka keluar dari persembunyiannya," lanjut Pendekar Naga Putih sambil memejamkan mata untuk memusatkan pikiran sepenuhnya.
Melihat sikap yang diambil kekasihnya, Kenanga pun tahu apa yang harus diperbuatnya. Maka dibawanya Ki Branta Sula menjauhi Pendekar Naga Putih. Melihat cara yang tengah dilakukan, jelas kalau yang dilakukan Pendekar Naga Putih adalah mewujudkan Pedang Naga Langit yang kini tersimpan dalam tubuhnya.
"Heaaah...!"
Disertai teriakan nyaring, Panji menjulurkan tangannya ke depan. Saat itu juga, sinar kuning keemasan yang menyilaukan mata muncul begitu Pedang Naga Langit telah berada dalam genggaman tangan kanan Pendekar Naga Putih. Sebuah pusaka ampuh yang tidak ada duanya dalam dunia persilatan.
Begitu pedang di tangan telah muncul secara utuh, Panji kembali menyatukan pikirannya dengan senjata ajaib itu. Terdengar suara mengaung ketika secara aneh pedang di tangannya bergerak naik dan terlepas dari genggaman Pendekar Naga Putih. Bagaikan seorang ahli sihir yang tengah memamerkan keahliannya, jari telunjuk dan tangan yang menegang kaku berputar perlahan-lahan di atas kepala.
Apa yang terjadi kemudian, benar-benar membuat Ki Branta Sula ternganga tak percaya. Andai saja tidak menyaksikannya sendiri, tentu jago pedang wilayah Barat itu akan menertawakan orang yang bercerita kepadanya. Tapi karena semua itu terlihat jelas, kepala orang tua itu hanya dapat menggeleng takjub!
"Hebat sekali kepandaian yang dimiliki kekasihmu itu, Kenanga. Kalau aku tidak menyaksikannya sendiri, tidak nantinya aku akan mempercayainya," puji Raja Pedang Tujuh Bintang berdecak penuh kagum.
Bagi Kenanga sendiri, apa yang dilakukan kekasihnya masih juga menimbulkan rasa takjub. Meskipun Panji telah pernah menceritakan dan memamerkan di hadapannya, tapi tetap saja dia terbelalak kagum.
Sedangkan saat itu, Pedang Naga Langit yang mengapung di udara tiba-tiba berputar mengikuti gerak tangan Pendekar Naga Putih. Bahkan senjata ajaib itu bergerak hidup, membabati semak perdu dalam jarak empat tombak di sekelilingnya. Sehingga dalam waktu yang tidak terlalu lama, sekitar tempat itu pun telah dikotori dedaunan dan ranting-ranting kayu yang berserakan akibat terpapas Pedang Naga Langit
Amukan pedang ajaib itu tentu saja membuat penyerang-penyerang gelap yang bersembunyi di sekitar tempat itu menjadi terkejut setengah mati. Sehingga, mereka terpaksa berlompatan keluar dari tempat persembunyiannya.
"Hm.... Akhirnya kalian muncul juga, Manusia-manusia Culas," kata Panji. Pendekar Naga Putih menjadi tersenyum melihat betapa wajah orang-orang itu pucat dan jelas membayangkan perasaan ngeri.
Bersamaan munculnya puluhan orang berseragam hitam yang mengurung tempat itu, Pedang Naga Langit pun kembali hilang dari pandangan. Panji terpaksa menarik pulang pedangnya, karena untuk melakukan hal seperti itu, harus menggunakan banyak tenaga dan pemusatan pikiran yang tidak boleh terganggu. Itu terjadi, karena pedang itu memang belum di kuasainya secara sempurna.
Melihat orang-orang berseragam hitam yang mengelilingi tempat itu, Panji, Kenanga, dan Ki Branta Sula saling mengadu punggung. Ketiga orang tokoh persilatan itu telah siap menghadapi keroyokan orang berpakaian hitam yang jumlahnya tidak kurang dari seratus orang.

* * * * *



«₪֎ [ TUJUH ] ֎₪»

"Ha ha ha...!"
Terdengar suara menggelegar yang berkumandang bagaikan datang dari segala penjuru hutan. Demikian hebatnya pengaruh suara itu, sehingga menimbulkan deru angin keras. Dan akibatnya, dahan-dahan pohon berderak ribut bagaikan hendak roboh!
Panji, Kenanga, dan Ki Branta Sula yang memang menjadi sasaran serangan tawa itu, cepat mengerahkan hawa murni untuk melindungi telinga dan dada. Ki Branta Sula yang saat itu tenaganya masih sangat lemah, merasakan dadanya sesak bagai ditindih beban berat. Meski berusaha untuk bertahan, namun akhirnya ia harus mengalah juga.
"Huaaakh...!"vTanpa dapat dicegah lagi, Ki Branta Sula memuntahkan darah segar karena tak sanggup membendung tekanan yang seperti menindih dadanya.
"Uhhh...!" Tubuh Raja Pedang Tujuh Bintang terhuyung limbung sambil menekap dadanya dengan wajah pucat. Dari sudut bibirnya masih terlihat tetesan darah segar. Jelas, kesehatannya yang masih lemah tak mampu melawan kekuatan serangan tawa itu.
"Ki...!"
Kenanga dan Panji berseru sambil menangkap tubuh orang tua itu yang terhuyung lemah. Kekhawatiran mereka semakin bertambah melihat keadaan Ki Branta Sula yang semakin melemah. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Pendekar Naga Putih segera menempelkan telapak tangannya ke punggung orang tua itu. Seketika hawa hangat pun mengalir melalui telapak tangannya yang langsung menerobos masuk ke dalam tubuh Ki Branta Sula.
Sehingga, secara perlahan namun pasti, wajah jago pedang wilayah Barat itu nampak mulai kemerahan. Untunglah, saat itu suara tawa yang menggetarkan telah lenyap. Kalau tidak, rasanya sulit bagi Pendekar Naga Putih untuk melakukan pertolongan kepada Ki Branta Sula.
Namun bersamaan lenyapnya suara tawa itu, muncul sesosok tubuh jangkung berpakaian serba hitam. Anehnya, pakaian yang dikenakannya, nampak dipenuhi tali sebesar ibu jari kaki. Sepertinya, hal itu sengaja dilakukan agar setiap gerakannya tidak membuat pakaiannya berkibar. Dan itu berarti setiap gerakannya akan sulit ditangkap pendengaran lawan.
Kemunculan sosok tubuh jangkung itu masih disusul melesatnya dua sosok tubuh lain yang langsung mendarat di kiri-kanannya. Menilik dari bentuk tubuh dan raut wajahnya, jelas kedua orang yang tiba belakangan tak lain dari Iblis Mayat Hidup dan Raksasa Sungai Padas.
"Hm.... Rupanya buruan kita bertambah dua orang, Ketua...," gumam Iblis Mayat Hidup.
"Hmh...!" Lelaki jangkung itu hanya menggeram perlahan. Tangan kanannya bergerak mengibas, sebagai perintah bagi Iblis Mayat Hidup untuk maju. Perintah yang sama juga diberikan kepada lelaki tinggi kekar berkepala botak. Pada telinga kirinya bergantung anting-anting bulat. Siapa lagi lelaki menyeramkan itu kalau bukan Raksasa Sungai Padas.
"Tangkap wanita jelita itu untukku! Biar pemuda sombong yang berjuluk Pendekar Naga Putih itu menjadi bagianku!"
Terdengar suara melengking tinggi yang keluar dari mulut lelaki jangkung itu. Suaranya demikian kecil dan melengking. Sepertinya orang itu kerongkon- gan-nya tersumbat sesuatu. Namun, suara itu terasa menyakitkan ditelinga.
Panji yang telah selesai menyalurkan hawa murni untuk menolong Ki Branta Sula, sempat mendengar perintah itu. Dengan sikap tenang, Pendekar Naga Putih mengawasi sosok lelaki jangkung yang diapit dua orang tokoh sesat. Sudah dapat diduga, siapa adanya orang yang berada di kiri-kanan lelaki jangkung bermata tajam itu. Memang, ciri-ciri kedua orang tokoh sesat itu sangat mudah dikenali. Dan, julukan kedua orang tokoh itu pun sudah lama didengar dalam pengembaraannya.
Sepasang mata Pendekar Naga Putih terus bergerak merayapi sosok bertubuh jangkung yang saat itu juga tengah menatap tajam ke arahnya. Kening pemuda tampan itu sempat berkerut ketika melihat tali sebesar ibu jari yang melilit pakaian orang itu, mulai dari kedua lengan hingga ke tubuhnya. Dari pengalamannya yang diperoleh selama pengembaraan, Panji pun dapat mengerti, mengapa tokoh jangkung itu melibatkan tali-tali pada pakaian yang dikenakan. Dugaan itu membuatnya semakin berhati-hati. Karena sekali pandang saja sudah dapat ditebak kalau orang yang mengeluarkan suara tawa menggetarkan tadi pastilah lelaki jangkung itu.
"Hm.... Rupanya kaulah yang berjuluk Pendekar Naga Putih, Bocah. Benar-benar hebat dan mengagumkan sekali," puji lelaki jangkung itu, bernada mengejek. Menilik dari raut wajahnya yang tersenyum sinis, jelas kalau ia menganggap remeh Pendekar Naga Putih. Mungkin hal itu dikarenakan usia Pendekar Naga Putih yang ternyata masih sangat muda.
Panji sendiri sama sekali tidak peduli dengan sikap maupun ucapan lawan yang jelas-jelas sangat menghina. Memang, melihat keadaannya yang terkurung, amarah pemuda tampan itu tidak ingin terpancing. Bahkan akan mengakibatkan kerugian saja. Sehingga, ucapan maupun sikap menghina lelaki jangkung itu ditanggapinya dengan senyum tenang
"Hm.... Jadi kau rupanya yang berjuluk Laba-laba Hitam?" tanya Panji ingin memastikan.
"Apa yang telah membuatmu demikian benci kepada jago-jago pedang di empat penjuru? Dan mengapa mengadu domba tokoh-tokoh itu?"
Pendekar Naga Putih memang ingin mengetahui alasan lelaki jangkung itu, sehubungan peristiwa yang hampir membuat jago-jago pedang di empat penjuru saling bunuh (Untuk lebih jelas baca serial Pendekar Naga Putih dalam episode Sengketa Jago-jago Pedang).
"Hm.... Jangan tanyakan itu kepadaku! Rasa penasaran mu boleh diajukan kepada empat manusia-manusia sombong itu di akhirat nanti!" sahut lelaki jangkung yang ternyata Laba-laba Hitam.
Tokoh sesat itu memang banyak memiliki pengikut yang tersebar di mana-mana. Bahkan boleh dibilang saat ini dunia persilatan tengah terancam maut. Karena, tokoh bertubuh jangkung yang melebihi tinggi manusia biasa telah malang-melintang dengan segala kekejamannya.
Memang jarang sekali Laba-laba Hitam turun tangan dalam segala hal. Kedua orang wakilnya yang merupakan tokoh sesat berkepandaian tinggi, selalu dapat menyelesaikan setiap persoalan. Memang, tugas-tugas yang dilakukan Iblis Mayat Hidup dan Raksasa Sungai Padas, jarang sekali mengecewakan ketuanya. Seperti halnya, ketika kedua tokoh sesat yang dibantu puluhan anak buahnya saat menjegal dua orang jago pedang. Bahkan jago pedang wilayah Utara yang bernama Ki Ageng Semplak, terpaksa tewas di tangan mereka. Tak urung, Raja Pedang Tujuh Bintang pun nyaris tidak tertolong nyawanya. Dan semua itu, adalah atas perintah Laba-laba Hitam yang menjadi ketua mereka.
"Tidak kusangka! Tokoh sakti berkepandaian tinggi dan sangat kejam sepertimu, ternyata tak lebih dari seorang pengecut yang tidak berani mengakui perbuatannya!" ejek Pendekar Naga Putih, mencoba memancing keterangan dari mulut lelaki jangkung itu dengan caranya sendiri. Meskipun hati Pendekar Naga Putih sempat gembira ketika melihat wajah kecoklatan lelaki jangkung itu, namun perasaannya segera ditekan agar tidak tergambar pada wajahnya. Jelas, pancingan yang dilakukan Pendekar Naga Putih seperti membawa hasil.
"Bangsat! Jaga mulutmu, Pemuda Gila! Apakah kau memang sudah tidak suka lagi mempunyai mulut?! Atau sebaiknya memang kuhancurkan saja mulutmu agar tidak dapat lagi bersuara?!" bentak lelaki jangkung itu suaranya menggelegar tinggi dan melengking menyakitkan. Jelas Laba-laba Hitam sangat berang dengan tuduhan pemuda tampan lawan bicaranya.
Sayang! Meskipun jelas Laba-laba Hitam terlihat sangat marah, tapi tetap saja tidak keluar jawaban dari mulutnya. Hanya sepasang matanya saja yang semakin menatap tajam Pendekar Naga Putih. Sepertinya, tubuh pemuda tampan itu ingin dilahap hidup-hidup.
"Hmh..." Sambil menggeram marah, lelaki jangkung itu menggerakkan kedua tangannya ke depan. Seketika itu juga, puluhan orang yang semenjak tadi mengepung, segera meluruk maju dan menerjang Pendekar Naga Putih!
"Heaaa...!"
Karuan saja serbuan puluhan lelaki berpakaian serba hitam itu membuat Pendekar Naga Putih kerepotan. Apalagi, Panji sama sekali tidak ingin membunuh orang-orang berseragam hitam itu. Menurut pendapatnya, mereka hanya melaksanakan tugas karena takut. Sehingga, Pendekar Naga Putih tak tega menurunkan tangan kejam kepada mereka yang ganas mengeroyok.
Tapi lama-kelamaan, Panji pun menjadi kesal juga. Maka, mulailah dilancarkan serangan balasan sesekali dengan mengukur kekuatan pukulan maupun tamparannya. Sebenarnya Pendekar Naga Putih bisa saja tidak melakukan perlawanan dan hanya bertahan menggunakan kekuatan tenaga saktinya yang sudah sangat tinggi. Apalagi tubuhnya dapat dibuat kebal terhadap senjata tajam yang dihantamkan ke tubuhnya oleh keroco-keroco itu.
Namun, Panji khawatir kalau-kalau Laba-laba Hitam akan membokongnya selagi tenaganya dikerahkan untuk melindungi tubuh dari ketajaman senjata-senjata lawannya. Hal itulah yang membuatnya terpaksa harus melakukan serangan balasan, meskipun harus mengukur penggunaan tenaganya. Ini agar tidak sampai menewaskan para pengeroyok yang terkena pukulan ataupun tamparannya.
"Haiiit..!"
Kenanga yang saat itu tengah dikeroyok Iblis Mayat Hidup dan Raksasa Sungai Padas, berusaha membela diri mati-matian! Untunglah, Laba-laba Hitam hanya memerintahkan menangkap. Kalau tidak, tentu gads jelita itu akan semakin sibuk dalam menghadapi senjata-senjata lawan.
Meskipun kedua orang tokoh sesat itu tidak menggunakan senjata dalam melancarkan serangan, tetap saja Kenanga dibuat sibuk. Lebih-lebih lagi, serangan kedua orang itu selalu didasari perbuatan tidak sopan. Sehingga, pikiran dara jelita itu menjadi kacau.
"Haaah...!"
Sambil menyeringai kurang ajar, Raksasa Sungai Padas melontarkan cengkeramannya ke arah dada gadis jelita itu. Sedangkan dari belakang, Iblis Mayat Hidup membarenginya dengan cengkeraman yang mengancam pinggul. Tentu saja gadis jelita itu menjadi ngeri melihat serangan kedua orang lelaki buas ini.
"Kurang ajar...!" maki Kenanga dengan wajah merah padam. Seketika itu juga Pedang Sinar Rembulan di tangannya diputar sedemikian rupa. Hal ini untuk melindungi seluruh tubuhnya dari jamahan tangan-tangan pengeroyoknya yang hendak bersikap kurang sopan.
Wuuut..! Wuuut..!
Gulungan sinar putih keperakan seketika berpendar membentuk lingkaran. Bahkan semakin melebar, menyelimuti sekujur tubuh gadis jelita itu. Sehingga, kedua orang tokoh itu terpaksa menarik tangannya, bila tidak mau buntung begitu saja. Melihat kedua orang lawannya melompat mundur, cepat Kenanga melenting dan melakukan beberapa kali salto di udara. Kedua kakinya baru mendarat setelah merasa cukup jauh dari kedua orang pengeroyoknya.
"Hmh...!" Dibarengi sebuah geraman lirih, gadis jelita itu memutar pedang di tangannya dengan kecepatan menggetarkan!
Wuuung! Wuuung!
Terdengar suara mengaung tajam bagaikan dengung ratusan ekor lebah yang marah! Tampaknya, Kenanga hendak menggunakan jurus andalannya untuk menghadapi gempuran Iblis Mayat Hidup dan Raksasa Sungai Padas.
"Haiiit..!"
Dibarengi teriakan nyaring, tubuh gadis jelita itu meluncur deras ke arah lawan-lawannya. Pedang di tangannya tampak bergerak berputar dan menyilang membingungkan kedua orang lawan yang terpaku kagum beberapa saat itulah jurus 'Bidadari Menabur Bunga' yang merupakan ilmu andalan Kenanga! Kedua orang tokoh sesat itu baru tersadar dari kekagumannya ketika ujung pedang Kenanga hampir merobek tubuh mereka!
Wuuut...!
"Aaah...!"
"Heiii...!"
Iblis Mayat Hidup dan Raksasa Sungai Padas memekik kaget ketika tahu-tahu ujung pedang gadis jelita itu telah berada sejengkal di depan tubuh mereka. Cepat kedua orang tokoh sesat itu melempar tubuh ke belakang dan langsung bergulingan di atas tanah berumput
"Gila...! Hampir saja aku tidak bisa melihat sinar matahari lagi...," gumam Iblis Mayat Hidup menyusut peluh yang menitik di keningnya. Tubuh kurusnya yang telah kembali tegak, tam- pak agak menegang mengingat nyawanya hampir saja melayang di tangan gadis cantik bagai bidadari itu.
Demikian pula halnya Raksasa Sungai Padas. Tokoh bertubuh tinggi kekar itu tampak menghela napas lega sambil menyusut keringat dingin di lehernya. Jelas, dia merasa tegang mengingat kejadian barusan. Sebenarnya apa yang dialami kedua orang tokoh sesat itu, bukanlah hal yang aneh. Karena, jurus 'Bidadari Menabur Bunga' yang dipergunakan Kenanga tadi memang mengandung pengaruh sangat hebat!
Sehingga pada waktu Kenanga menggunakannya, seolah-olah lawan bagai melihat seorang bidadari yang tengah menari-nari dikelilingi cahaya putih keperakan. Pemandangan yang sangat mempesona itulah yang membuat keduanya terpaku takjub!
Untuk beberapa saat lamanya, kedua belah pihak sama-sama terdiam saling tatap. Iblis Mayat Hidup dan Raksasa Sungai Padas menganggukkan kepala, seperti mendapat kata sepakat. Kemudian mereka kembali berpaling ke arah Kenanga.
Kenanga mengerutkan kening ketika melihat Iblis Mayat Hidup dan Raksasa Sungai Padas membuka ikat kepala. Bau wangi yang memusingkan tercium ketika kedua tokoh sesat itu menaburkan bubuk berwarna putih pada ikat kepala yang tergenggam di tangan kanan. Segera saja gadis jelita itu dapat menduga kalau lawannya hendak menggunakan bubuk beracun untuk melawannya.
"Kurang ajar...!" desis Kenanga. Gadis itu menjadi marah sekali mengetahui maksud lawannya. Disadari betul kalau keadaannya kini benar-benar berbahaya!
"He he he...! Sekarang kau tak mungkin dapat lolos dari kami, Manis...," kata Raksasa Sungai Padas. Tokoh sesat itu terkekeh, memperhatikan giginya yang kehitaman, sehingga lebih mirip sebuah seringai. Sepasang mata tokoh bertubuh raksasa itu tampak liar seperti sudah membayangkan kenikmatan memondong tubuh molek dara jelita di depannya.
Setelah masing-masing menelan sebutir pil berwarna hijau, kedua tokoh sesat itu melangkah bersikap mengancam.
"Heaaa...!"
Iblis Mayat Hidup memulai serangannya dengan sebuah bentakan mengejutkan. Tubuh tokoh kurus itu langsung meluncur ke arah Kenanga sambil mengebut-ngebutkan ikat kepala yang telah diberi bubuk pembius itu. Maka bau wangi yang menyengat pun segera menyebar mengotori arena pertarungan.
Raksasa Sungai Padas pun tidak mau ketinggalan. Dengan sebuah teriakan parau, tubuhnya segera melayang sambil mengebut-ngebutkan ikat kepala ke arah Kenanga. Maka bau wangi bubuk beracun itu pun semakin memenuhi arena pertarungan.
Namun, Kenanga bukanlah orang bodoh yang dapat ditundukkan begitu saja. Meskipun kedua lawannya telah menggunakan bubuk beracun untuk dapat membiusnya, tetap saja gadis jelita itu tidak gentar! Tangan kanannya bergerak mengambil kantung kain di pinggangnya. Lalu, ditelannya sebutir pil berwarna merah untuk menawarkan racun-racun yang terhirup olehnya. Setelah menelan dua butir pil berwarna merah darah, maka Kenanga tidak ragu-ragu lagi menghadapi serangan lawan. Pedang di tangannya kembali berpu- taran menyambar-nyambar dengan kecepatan menggetarkan!
Sebenarnya, kedua orang tokoh sesat itu merasa terkejut ketika melihat lawannya sama sekali tidak terpengaruh racun pembius. Hanya saja, mereka tak sempat lagi memikirkan, karena gadis jelita itu telah melontarkan serangan-serangan maut dengan Pedang Sinar Rembulannya. Sehingga, terpaksa mereka menggunakan senjata untuk menghadapi gempuran gadis jelita itu.
Pertarungan ketiga orang itu pun semakin bertambah ramai setelah Iblis Mayat Hidup dan Raksasa Sungai Padas telah menggunakan senjata masing-masing. Sementara itu di bagian lain, Raja Pedang Tujuh Bintang yang bertarung melawan belasan orang lelaki berseragam hitam tampak mulai kepayahan. Tenaganya yang memang belum seluruhnya pulih, membuat Ki Branta Sula harus bekerja keras untuk membendung gempuran belasan batang senjata yang berkelebat mengancam tubuhnya!
Siiing! Siiing...!
Ki Branta Sula yang telah dibasahi peluh, menggeliatkan tubuhnya ketika dua bilah pedang lawan datang membabat perut dan lehernya. Sesaat setelah serangan itu lewat, jago pedang wilayah Barat itu langsung membalas dengan kecepatan kilat!
Terdengar jerit kematian ketika pedang di tangan Ki Branta Sula merobek tubuh dua orang penyerangnya. Dan tanpa mempedulikan tubuh dua orang lawan yang roboh mandi darah, lelaki bertubuh kekar itu kembali mengayunkan pedang kekanan.
Brettt! Brettt!
Kembali tiga orang berpakaian hitam itu roboh mandi darah akibat sambaran pedang Ki Branta Sula. Namun....
Crattt!
"Aaakh...!" Ki Branta Sula menjerit ketika telah merobohkan ketiga orang lawan, sebuah bacokan menyerempet bahu kanannya. Sehingga, tubuh lelaki setengah baya itu sempat terhuyung beberapa langkah ke belakang
"Setan...!" Sambil menggeram murka, jago pedang wilayah Barat itu sekuat tenaga menusukkan senjata.
Blesss.... Brettt...!
Lelaki berpakaian serba hitam yang membokong Ki Branta Sula itu kontan melolong panjang! Tubuhnya melambung setinggi satu setengah tombak dengan usus terburai. Rupanya, setelah pedangnya amblas ke tubuh orang itu, Ki Branta Sula menyentakkannya sekuat tenaga. Sehingga, tubuh orang itu pun melambung dan tewas sebelum terbanting diatas tanah!
Melihat kejadian itu, para pengeroyoknya sama sekali tidak gentar. Bahkan semakin kerasukan setan dalam melakukan serangan-serangan. Maka semakin repotlah jago pedang dari wilayah Barat itu dalam menghadapi gempuran-gempuran. Sehingga peluh pun semakin banyak mengalir.
Semakin melemah dan menyusutnya tenaga Ki Branta Sula, maka semakin seringlah tubuhnya terkena sambaran senjata lawan-lawan. Meski telah merobohkan beberapa orang, namun lawan-lawannya tetap menggempur maju tanpa peduli terhadap kawan yang tewas. Maka tentu saja Ki Branta Sula semakin kerepotan dibuatnya.
Sambaran-sambaran senjata lawan-lawan yang bagaikan tak pernah putus, membuat Ki Branta Sula yang mulai kehabisan tenaga semakin terdesak hebat! Hingga ketika pertempuran melewati jurus ketiga puluh, dia tidak sanggup lagi menghindari sambaran dua batang pedang lawan yang telah merobek punggung dan dadanya!
Brettt! Craggg!
"Aaakh...!" Tubuh Ki Branta Sula terguling disertai teriakan kesakitan. Darah segar tampak semakin banyak menodai pakaian dan tanah tempatnya terjatuh. Untunglah tubuhnya masih sempat dimiringkan ketika senjata itu mengenainya. Sehingga luka yang dideritanya pun tidak terlalu dalam. Meskipun demikian, tetap saja luka itu mendatangkan rasa pedih yang membuatnya meringis menahan sakit
Melihat lawannya jatuh terguling-guling, belasan orang berseragam hitam yang selalu bertambah tidak ingin menyia-nyiakan begitu saja kesempatan emas itu. Sambil berteriak-teriak, mereka meluruk dengan pedang siap merejam tubuh Ki Branta Sula. Sedangkan Ki Branta Sula yang tengah berusaha bangkit, tentu saja menjadi terkejut melihatnya. Namun keadaannya yang sudah tidak memungkinkan, membuat lelaki bertubuh tinggi besar itu hanya dapat pasrah menerima nasib!

* * * * *



«₪֎ [ DELAPAN ] ֎₪»

Ki Branta Sula yang merasa ajalnya sudah tiba, hanya mampu memejamkan matanya rapat-rapat. Jelas, Raja Pedang Tujuh Bintang sudah pasrah dengan kematian yang bakal menjemputnya. Namun pada saat yang amat gawat, tiba-tiba melesat tiga sosok bayangan. Langsung dihalaunya belasan lelaki berpakaian hitam yang hendak melenyapkan Ki Branta Sula.
Seketika terdengar jerit kematian saling susul ketika senjata di tangan ketiga orang itu berkelebat dengan kecepatan hampir tidak terlihat mata biasa! Darah segar seketika berhamburan membasahi tanah berumput ketika belasan orang berpakaian hitam itu roboh tak berkutik lagi. Mereka tewas di tangan ketiga orang lelaki gagah yang baru tiba. Sehingga dalam beberapa gebrakan saja, habislah para pengeroyok Ki Branta Sula.
"Ki Giri Tantra...?!" sebut Ki Branta Sula. Setengah tak percaya, Raja Pedang Tujuh Bintang memandang salah seorang dari ketiga penolongnya.
"Benar, Ki Branta," sahut kakek tua itu tersenyum.
"Maaf, kedatanganku agak terlambat"
"Hhh...," Ki Branta Sula hanya dapat menghela napas lega.
"Darpa, Sudira! Bantulah gadis itu. Biar Ki Branta Sula aku yang urus...," terdengar perintah Ki Giri Tantra kepada dua orang lelaki gagah yang menyertai kedatangannya.
Ternyata kedua orang itu adalah dua murid Ki Giri Tantra yang masih setia dan belum terpengaruh oleh musuh yang sampai saat ini belum terungkap rahasianya. Tanpa banyak cakap lagi, kedua orang lelaki gagah itu segera mematuhi perintah gurunya. Tubuh mereka langsung melesat ke arah pertarungan yang terpisah beberapa tombak dari tempat mereka berdiri.
Namun langkah kedua orang murid Perguruan Pedang Sinar Pelangi itu terhenti dalam jarak tiga tombak dari tempat pertarungan. Memang, ketika tiba di tempat itu Darpa dan Sudira mendapat kenyataan kalau gadis jelita yang dikenal bernama Kenanga telah mendesak kedua orang lawannya. Bahkan sudah dapat diduga, kedua orang lawan gadis jelita itu belum tentu dapat bertahan lebih dari tiga jurus.
Darpa dan Sudira menjadi kagum bukan main menyaksikan ilmu pedang yang digunakan Kenanga saat mendesak lawan-lawannya. Sebagai murid utama seorang raja pedang, tentu saja mereka telah terbiasa dengan ilmu-ilmu pedang tingkat tinggi. Namun ketika melihat jurus pedang gadis jelita itu, mereka tidak bisa menyembunyikan rasa kagumnya.
Memang ilmu pedang yang dipergunakan Kenanga bukan ilmu pedang pasaran. Bahkan dalam hal keindahan dan kehebatan, jelas tidak kalah dengan ilmu pedang Perguruan Pedang Sinar Pelangi sendiri. Malah, mereka yakin kalau ilmu pedang gadis jelita itu masih lebih tinggi sedikit dengan yang dimiliki guru mereka. Tentu saja hal itu membuat mereka sadar, betapa banyaknya orang-orang sakti yang memiliki ilmu pedang yang sebanding, atau bahkan lebih tinggi daripada ilmu pedang perguruan mereka.
"Haiiit..!"
Saat itu, Kenanga yang sudah membuat kedua orang lawannya tak mampu membalas, berseru nyaring!Berbarengan dengan lompatan kilatnya, pedang di tangan Kenanga berputar siap melontarkan hawa maut. Bahkan sekaligus menghentikan perlawanan kedua orang tokoh sesat itu. Maka....
Brettt! Cragh!
"Aaargh...!"
"Aaakh...!"
Iblis Mayat Hidup dan Raksasa Sungai Padas sama-sama meraung keras ketika pedang di tangan gadis jelita itu merobek perut dan leher secara berbarengan! Maka tanpa ampun lagi, kedua tokoh sesat yang selalu menyebar maut itu pun roboh. Mereka menggelepar tewas di tangan seorang gadis jelita yang memang memiliki kepandaian tinggi.
"Luar biasa...! Hebat sekali ilmu pedang yang baru saja kau pergunakan itu, Kenanga," puji Darpa sambil bertepuk tangan. Seolah-olah apa yang baru saja dilihat mereka bukanlah sebuah pertarungan mati-matian. Melainkan, sebuah tontonan menarik. Setidak-tidaknya, begitulah anggapan Darpa.
Mendengar pujian lelaki gagah yang dikenal sebagai murid Raja Pedang Sinar Pelangi, Kenanga hanya tersenyum. Jelas, gadis itu tidak besar kepala atas pujian yang dilontarkan Darpa.
"Mari kita lihat pertarungan itu...," ajak Kenanga sambil menudingkan telunjuknya yang lentik ke arah perkelahian Pendekar Naga Putih yang masih berlangsung sengit
Darpa dan Sudira mengangguk cepat. Kemudian, keduanya melangkah di belakang gadis jelita itu.
"Setan Pedang Tanpa Bayangan...!?" desis seorang lelaki tua. Dia berusia sekitar enam puluh tahun. Wajahnya nampak geram. Matanya menatap tajam ke arah sosok jangkung berpakaian hitam yang tengah bertarung melawan Pendekar Naga Putih.
"Hm.... Rupanya keparat itulah yang telah mengadu domba kita," gumam lelaki tinggi besar berwajah brewok yang berdiri di sebelah kanannya.
Kenanga, Darpa, dan Sudira yang juga ikut menyaksikan pertarungan itu sama-sama menolehkan kepala ke arah Ki Giri Tantra dan Ki Branta Sula. Dari pandangan mata, jelas mereka terlihat heran dan seperti menuntut keterangan atas ucapan kedua jago pedang itu.
"Rupanya Aki berdua telah mengenal lelaki jangkung itu? Tapi, bukankah orang itu berjuluk Laba-laba Hitam? Dan mengapa Aki menyebutnya sebagai Setan Pedang Tanpa Bayangan?" tanya Kenanga. Gadis itu tidak tahan menyimpan rasa herannya. Makanya, diabertanya demikian kepada kedua orang jago pedang itu.
"Hm.... Biar berganti nama sampai seribu kali pun, aku tetap akan mengenalinya," sahut Ki Giri Tantra sambil tetap mengikuti jalannya pertarungan mati-matian itu.
"Kau tentu merasa heran, bukan? Nah, dengarlah. Pada dua puluh tahun yang lalu, kami sepakat mengadakan pertemuan untuk menambah pengetahuan dalam ilmu pedang. Aku, Ki Giri Tantra, Ki Ageng Semplak, dan Ki Tunggul Wulung yang merupakan jago-jago pedang pada masa itu bertemu di tempat yang ditentukan kemudian. Nah, pada saat pertarungan persahabatan hendak kami laksanakan, tiba-tiba muncul seorang lelaki jangkung yang mengaku berjuluk Setan Pedang Tanpa Bayangan. 
Dia memaksa untuk diikutsertakan dalam pertemuan itu. Tentu saja kami menolak. Selain ilmu pedangnya masih belum memadai untuk ukuran kami berempat, dia juga terkenal sebagai seorang tokoh sesat," jelas Ki Branta Sula, menceritakan tentang perkenalannya pertama kali dengan lelaki jangkung itu.
Lelaki tinggi besar itu diam sejenak, dan mengambil napas berulang ulang. Keadaan yang masih lemah, ternyata tidak dapat membuat Ki Branta Sula berbicara banyak. Sehingga, dia berpaling ke arah Ki Giri Tantra. Terlihat anggukan kepala Ki Giri Tantra yang rupanya mengerti kehendak sahabatnya.
"Kami berempat menolaknya mentah-mentah. Dan karena ia tetap berkeras kepala, maka terpaksa kami usir secara kasar. Semenjak kami lukai, julukan Setan Pedang Tanpa Bayangan itu lenyap tanpa bekas. Dan kami pun telah lama melupakannya. Tapi, siapa kira tokoh itu menyimpan sakit hati kepada kami. Bahkan membalasnya dengan mengadu domba kepada kami berempat, sehingga nyaris saling bunuh. Karena kejadian itu sudah terlalu lama, jadi tidak seorang pun di antara kami berempat yang menduga kalau semua ini ternyata ulah Setan Pedang Tanpa Bayangan yang kini berjuluk Laba-laba Hitam. 
Rupanya, selain mencuri kitab-kitab ilmu pedang ciptaan kami secara licik, dia juga telah mempelajari bermacam ilmu yang entah dari mana diperolehnya. Kini semuanya telah terbuka dengan jelas. Dan menurutku, Setan Pedang Tanpa Bayangan itu tidak bisa lagi dirubah hatinya. Lebih baik, manusia seperti itu dilenyapkan dari muka bumi agar tidak menimbulkan kerusuhan baru," ujar Ki Giri Tantra mengungkapkan perasaan hatinya yang bergolak-golak
"Kukira itu merupakan jalan satu-satunya yang terbaik," sahut Ki Branta Sula, menyetujui usul sahabatnya. 
"Mengapa Ki Tunggul Wulung tidak muncul...? Apakah telah mendapat musibah...?" tanya Kenanga sambil memandang Ki Giri Tantra.
Memang, Ki Giri Tantra sudah pasti tidak mengetahuinya. Dan Kenanga tahu itu. Selain itu, Ki Branta Sula telah menceritakan semua pengalamannya ketika Kenanga dan Panji menemukan tubuh orang tua itu di dalam sebuah gua.
"Ki Tunggul Wulung memang telah tewas. Setelah membereskan persoalan di perguruanku dan mengembalikan ingatan Kinaya dan Wiradesa yang terbius 'Racun Perampas Sukma', aku bersama kedua orang muridku menemukan mayat Ki Tunggul Wulung yang hampir tidak dapat dikenali lagi. Mungkin dalam penyelidikannya, ia terperangkap orang-orang berpakaian serba hitam. Tadi aku juga sudah mendapat kabar tentang kematian Ki Ageng Semplak yang tewas di Desa Kembangan. Dan, semua itu adalah ulah manusia busuk itu...!" jelas Ki Giri Tantra. Ki Giri Tantra mengakhiri ceritanya dengan menuding lelaki jangkung yang masih bertarung sengit melawan Pendekar Naga Putih.
"Hm.... Ternyata lelaki jangkung itu telah banyak menyusahkan orang," gumam Kenanga, kembali mengalihkan perhatian ke arah pertarungan.
Demikian pula halnya dengan yang lain. Perhatian mereka kembali tertuju ke arah pertarungan yang terlihat sudah semakin memuncak. Apa yang disaksikan Kenanga dan yang lainnya, memang tidak meleset jauh. Pertarungan yang berlangsung antara Pendekar Naga Putih melawan lelaki jangkung itu, memang sudah semakin memuncak!
Panji sendiri diam-diam merasa kagum terhadap keuletan lawannya. Memang, setelah bertarung selama kurang lebih hampir seratus jurus, kekuatan yang dimiliki lelaki jangkung itu sama sekali tak berkurang. Padahal, selama pertarungan berlangsung, lawan selalu melontarkan pukulan-pukulan yang mengandalkan tenaga besar. Tapi, tenaga orang itu seperti tidak pernah habis.
"Haaat..!"
Untuk yang kesekian kalinya, Laba-laba Hitam kembali berseru nyaring. Tubuhnya yang jangkung melesat disertai lontaran pukulannya yang menimbulkan angin menderu.
Wuuut! Wuuut!
Pendekar Naga Putih memiringkan tubuhnya, dan langsung melompat ke samping untuk menghindari serangan lawan yang datang bertubi-tubi. Ketika lelaki jangkung itu masih menyusulinya dengan bacokan sisi telapak tangan yang mengancam leher, Pendekar Naga Putih segera mengangkat tangan kanan untuk memapaknya.
Dukkk!
"Uhhh...!" Laba-laba Hitam memekik tertahan ketika lengannya bertumbukan keras dengan lengan Pendekar Naga Putih. Tangkisan itu kontan membuat kuda-kuda tergempur. Sehingga, tubuh jangkung itu sempat terjajar mundur sejauh sepuluh langkah. Dari seringai wajahnya, jelas kalau Laba-laba Hitam merasakan akibat bentrokan itu.
"Haiiit..!"
Karena ingin segera menyelesaikan pertarungan, maka begitu melihat tubuh lawan terjajar mundur, Pendekar Naga Putih melesat menyusuli.
Bettt! Bettt! Bettt!
Sambaran-sambaran cakar naga Pendekar Naga Putih berkelebatan mengancam bagian-bagian terlemah dari tubuh lawan. Menilik dari suara yang berkesiutan dan menebarkan hawa dingin menusuk tulang, jelas tenaga sambaran itu begitu hebat!
Laba-laba Hitam sendiri sempat pucat wajahnya ketika melihat serangkaian serangan maut yang mengancam. Apalagi keadaan tubuhnya tidak memungkinkan untuk menghindar. Maka terpaksa lelaki jangkung itu mendorongkan kedua telapak tangannya untuk menyambut serangan Pendekar Naga Putih! Maka....
Bresssh !
Hebat sekali pertemuan dua gelombang tenaga sakti itu! Udara di sekitar pertarungan kontan bergetar. Sementara tubuh Laba-laba Hitam yang masih mengapung di udara, kembali terlempar deras laksana daun kering tertiup angin. Dari semburan darah segar yang berceceran membasahi permukaan tanah, jelas lelaki jangkung itu telah menderita luka dalam hebat.
Sedangkan Pendekar Naga Putih yang juga terdorong balik, cepat melakukan beberapa kali salto di udara. Sehingga pada saat mendarat, Panji dapat menjejak tanah dengan kokoh.
Bresssh...!
Walau sudah berusaha mati-matian menyambut serangan Pendekar Naga Putih, tetap saja keadaannya yang tidak menguntungkan membuat tubuhnya terlempar deras laksana daun kering tertiup angin! Darah segar menyembur dari mulut Laba-laba Hitam!
Kenanga, Ki Giri Tantra, Ki Branta Sula, dan dua orang lainnya, bergegas memburu ke arah tubuh lelaki jangkung yang tengah berusaha bangkit berdiri itu.
"Hm.... Setan Pedang Tanpa Bayangan. Rupanya kaulah biang keladi semua kericuhan yang terjadi selama ini! Sekarang, terimalah hukuman yang setimpal untukmu!" desis Raja Pedang Sinar Pelangi yang rupanya sangat mendendam atas perbuatan lelaki jangkung itu.
"Ki, tahan..!" Panji melihat Ki Giri Tantra hendak membunuh lelaki jangkung yang sepertinya sudah tak berdaya. Maka, dia segera melesat hendak mencegah.
Namun Ki Giri Tantra yang sudah kepalang mengayunkan pedangnya ke leher Laba-laba Hitam, tak sempat lagi menarik pulang senjata itu. Dan....
Crakh...!
Laba-laba Hitam atau Setan Pedang Tanpa Bayangan tak sempat menjerit lagi. Pedang Ki Giri Tantra ternyata telah membuat kepalanya terpisah dari badan! Darah segar langsung mengucur dari leher yang menganga tanpa kepala itu. Setelah limbung sesaat tubuh tanpa kepala itu pun roboh ke atas tanah. Setelah berkelojotan bagaikan ayam disembelih, tubuh tanpa kepala itu pun diam tak bergerak-gerak lagi. Tewaslah lelaki jangkung berpakaian hitam itu dengan keadaan cukup mengerikan.
"Maafkan aku, Panji. Hatiku telah tertutup kabut dendam," ucap Ki Giri Tantra, pelan. Dia seperti menyesali tindakannya yang menghukum Laba-laba Hitam secara kejam.
"Sudahlah, Ki. Tidak ada yang perlu disesali...," sahut Pendekar Naga Putih.
Panji memang tidak bisa menyalahkan perbuatan orang tua itu. Karena, tokoh sesat itu memang telah terlalu banyak menimbulkan korban. Untuk beberapa saat lamanya, para tokoh persilatan itu sama-sama terdiam. Seolah-olah mereka masih tercekam atas kejadian yang dialami.
"Kurasa, tidak ada lagi yang dapat kukerjakan di tempat ini. Maaf kalau aku terpaksa tidak bisa menemani kalian lebih lama," ucap Panji memecah kebisuan di antara mereka.
"Hendak ke manakah kau Panji...?" tanya Ki Giri Tantra ketika mendengar ucapan Pendekar Naga Putih.
"Ke mana saja kaki ini membawaku. Karena, aku sendiri memang tidak mempunyai tujuan pasti " Setelah berkata demikian, Pendekar Naga Putih segera mengajak kekasihnya meninggalkan tempat itu. Sebentar saja tubuh pasangan pendekar itu telah berada belasan tombak di depan Ki Giri Tantra dan yang lain.
"Mengenai mayat-mayat itu, ku percayakan kepada kalian untuk mengurusnya !"
Ki Giri Tantra, Ki Branta Sula, Darpa, dan Sudira sama-sama tersenyum ketika mendengar suara Pendekar Naga Putih dari kejauhan.
"Pemuda luar biasa yang tidak pernah mengharapkan imbalan atas jasa-jasanya. Haaah... Benar-benar aku yang tua ini merasa malu kepada pemuda itu..," gumam Ki Giri Tantra sambil tetap memperhatikan pasangan pendekar muda yang kian lenyap ditelan kejauhan.
"Yaaah..." Ki Branta Sula hanya bisa menghembuskan napas mendengar ucapan sahabatnya. Dipandanginya lima butir pil berwarna merah pemberian Pendekar Naga Putih untuk memulihkan, dan menyembuhkan luka dalamnya. Ada rasa haru yang menyeruak dalam dada jago pedang itu ketika teringat semua jasa pemuda tampan berjubah putih itu kepadanya.

S E L E S A I



INDEX PENDEKAR NAGA PUTIH
Sengketa Jago Jago Pedang --oo0oo-- Tersesat Di Lembah Kematian


Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.