Jerat Peri Kembangan
tanztj
May 11, 2017
INDEX PENDEKAR NAGA PUTIH | |
Siluman Gurun Setan --oo0oo-- Warisan Terkutuk |
PANJI
Pendekar Naga Putih
Karya: T. Hidayat
EP : JERAT PERI KEMBANGAN
Pendekar Naga Putih
Karya: T. Hidayat
EP : JERAT PERI KEMBANGAN
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
:::≡¦ [ SATU ] ¦≡:::
Bukan hanya bentuk tubuhnya saja yang menarik. Wajahnya pun sangat cantik. Apalagi, mulutnya selalu menyunggingkan senyum memikat serta kerling mata genit yang membuat dada lelaki berdebar. Secara keseluruhan, wanita berusia sekitar dua puluh tahun itu memang sangat mempesona dan menggairahkan.
Setelah melewati mulut Desa Gondang, gadis cantik itu membelokkan langkahnya memasuki sebuah kedai. Belasan pasang mata pengunjung, yang kebanyakan laki-laki, langsung tertuju ke arah pintu. Gadis itu seperti sengaja hendak menarik perhatian. Ia tidak segera masuk ke dalam kedai. Tapi berdiri di ambang pintu beberapa saat lamanya. Kemudian melenggang lembut menuju sebuah meja kosong.
"Pelayan...!" panggil gadis cantik itu melambaikan tangannya dengan gerakan lembut. Sepasang matanya sengaja dikerjap-kerjapkan, membuat dada pelayan itu berdebar-debar. Dengan gaya yang manja dan genit, gadis cantik itu memesan beberapa jenis makanan. Dan meminta agar pesanannya disediakan secepat mungkin.
"Baik... baik...," sahut pelayan kedai manggut-manggut seperti burung pelatuk. Lalu bergegas meninggalkan meja gadis cantik itu untuk menyiapkan pesanan.
Seorang lelaki brewok yang sejak tadi tidak lepas mengawasi gadis cantik itu bergegas bangkit saat pesanan telah siap. Dihampirinya pelayan kedai itu.
"Biar aku yang mengantarkan makanan ini kepada si cantik...," bisik lelaki brewok. Tanpa menunggu jawaban pelayan kedai, disambarnya pesanan itu. Lalu berbalik menuju meja gadis cantik itu.
"Nyai yang cantik, ini pesananmu...," ujar lelaki brewok seraya tersenyum. Sepasang matanya memandang liar, menjilati wajah cantik yang menengadah.
"Hm...," gadis cantik berpakaian serba merah itu bergumam lirih. Kendati senyum manisnya belum lenyap, namun sepasang matanya menyiratkan keheranan.
"Pakaianmu tidak menunjukkan seorang pelayan. Siapa kau, Kisanak...?" tanya wanita cantik itu dengan suara merdu dan lembut, walau senyumnya mulai lenyap. Ada ketidaksenangan pada sepasang mata bulat jemih itu.
"Aku memang bukan pelayan kedai. Tapi..., untuk seorang wanita secantik Nyai, rasanya aku rela menjadi pelayan...," jawab lelaki brewok masih tersenyum-senyum dengan mata kurang ajar.
"Apa maksudmu, Kisanak...?" tanya wanita cantik itu. Nada suaranya berubah dingin dan datar. Bahkan sepasang matanya menyiratkan kemarahan yang ditahan.
Perubahan sikap gadis berpakaian serba merah yang semula lembut dan penuh senyum memikat itu sejenak membuat lelaki brewok menjadi salah tingkah. Apalagi hampir semua mata pengunjung tertuju ke arahnya. Tentu saja lelaki brewok itu malu.
"Nisanak...!" desis lelaki brewok seraya membungkuk. Sehingga, wajah keduanya semakin dekat.
"Sejak masuk ke dalam kedai, kau seperti sengaja hendak menjerat semua lelaki. Tapi, mengapa sambutanmu demikian dingin dan sinis?"
Gadis cantik itu menarik wajahnya menjauh. Kilatan pada sepasang matanya semakin tajam. Kelihatan sekali ia tidak bisa menerima perlakuan lelaki brewok itu.
"Hei, Kerbau Dungu!" bentak gadis cantik berpakaian merah seraya bangkit dari duduknya. Walaupun nada ucapannya marah, namun wajahnya tetap dingin. Bahkan senyumnya terukir manis.
"Berkacalah agar kau bisa melihat betapa buruknya wajahmu! Jangankan wanita cantik sepertiku, kerbau betina pun rasanya tidak akan sudi kau dekati! Nah, minggatlah dari hadapanku...!"
Terkejut bukan main lelaki brewok itu mendapati lengan lembut gadis cantik di depannya terulur mendorong dadanya. Angin keras yang mendahului datangnya dorongan membuat lelaki brewok sadar kalau serangan itu cukup berbahaya dan bisa membuatnya terluka. Maka, cepat ia mengelak.
Desss...!
Kendati sudah berusaha mengelak, tapi tak urung bahunya terserempet telapak tangan halus gadis cantik itu. Dan akibatnya benar-benar sukar dipercaya. Tubuh lelaki brewok itu terpelanting menimpa meja di belakangnya.
Brakkk!
Terdengar bunyi meja berderak patah. Hidangan di atas meja berserakan. Dan mengotori pakaian pengunjung yang duduk di meja itu. Mereka berlompatan menjauh sambil menepiskan makanan yang melekat di pakaian.
"Kurang ajar...!"
Salah seorang dari tiga pengunjung kedai berdesis marah. Diangkatnya tubuh lelaki brewok itu bangkit. Kemudian kepalannya terayun ke wajah lelaki brewok.
Plak!
Lelaki tegap berwajah keras itu terkejut. Tubuhnya terjajar mundur ketika lelaki brewok memapaki pukulannya. Kekuatan lelaki brewok itu masih lebih unggul. Tubuhnya hanya bergetar akibat benturan cukup keras tadi.
"Setan...!" Lelaki tegap itu kembali memaki. Lalu pedang dipinggangnya diloloskan.
Perbuatan itu membuat keadaan menjadi kacau! Pengunjung yang merasa tidak mempunyai kemampuan, langsung angkat kaki meninggalkan kedai. Mereka berduyun-duyun keluar, hingga suasana bertambah kacau. Apalagi dua orang kawan lelaki tegap itu juga sudah mencabut senjata. Sedangkan gadis cantik yang menjadi penyebab keributan itu tetap tenang di tempatnya. Bahkan mulai mencicipi hidangan yang dipesannya. Ia tampak tidak peduli dengan keributan itu.
Sementara itu, pertarungan sudah tidak bisa dihindari lagi. Keempat lelaki yang hendak berlaga itu telah siap. Lelaki brewok pun sudah meloloskan senjatanya.
"Hiaaat..!"
Lelaki tegap membuka serangan dengan teriakan keras. Tubuhnya bergerak ke depan dengan langkah-langkah kokoh. Dan pedang di tangannya dikelebatkan hingga menimbulkan suara berdesing yang menyakitkan telinga.
Namun lelaki brewok tidak tinggal diam. Cepat kaki kanannya digeser seraya meliukkan tubuh. Begitu pedang lawan lewat di samping tubuhnya, senjatanya berkelebat melepaskan serangkaian serangan balasan yang cepat dan kuat.
Bwettt, bwettt...!
Gerakan lelaki brewok itu memang hebat! Kelebatan pedangnya mengarah bagian-bagian berbahaya tubuh lawan. Dan tidak akan berhenti sebelum mengenai sasaran. Setelah pertarungan berjalan belasan jurus, ketiga orang itu baru sadar kalau lelaki brewok itu bukan lawan mereka. Sayang kesadaran itu terlambat datangnya. Mereka kini harus berjuang keras mempertahankan selembar nyawanya.
"Haiiit...!"
Ketika pertarungan memasuki jurus ketujuh belas, tiba-tiba lelaki brewok berteriak keras. Kakinya melangkah menyilang. Pedang di tangannya bergerak kian kemari mencari sasaran. Hingga ketiga lawannya menjadi kelabakan menyelamatkan diri.
Whuuut..!
"Aaa...!"
Salah satu dari ketiga orang itu, yang bertubuh gemuk, menjerit ngeri saat pedang lawan datang mengancam. Kelihatannya ia sudah pasrah. Karena untuk mengelakkan serangan itu memang sangat sulit. Namun pada saat yang berbahaya itu, tiba-tiba meluncur secercah cahaya putih yang langsung memapaki sambaran pedang lelaki brewok.
Trak!
"Akh...?!"
Akibatnya sungguh hebat! Tubuh lelaki brewok terhuyung mundur. Bahkan pedang di tangannya terlepas. Padahal yang memapaki sambaran pedangnya hanya sepotong tulang ayam! Benar-benar sulit dipercaya!
"Hm.... Aku tidak suka ada pembunuhan didepan mataku...."
Desisan itu berasal dari bibir si gadis cantik, yang telah menyelesaikan makannya. Kemudian wanita itu melangkah pergi setelah membayar makanannya. Tinggallah empat lelaki yang bertarung dam terpaku tanpa kata. Mereka menatap kepergian gadis cantik itu dengan perasaan tidak menentu.
"Perempuan sundal...!"
Pada saat tubuh ramping terbungkus pakaian serba merah itu hampir tiba di ambang pintu, lelaki brewok tersadar dari keterpakuannya. Setelah berdesis kasar, tubuhnya melayang ke depan. Pedang yang kembali telah tergenggam dikelebatkan dengan sekuat tenaga.
Whuttt...!
Sambaran angin pedang yang cukup tajam ini tidak membuat gadis cantik itu berbalik. Langkahnya terus terayun, seolah tidak mengetahui bahaya yang mengancam dirinya. Tapi....
Plak, desss...!
Dengan gerakan yang sukar diikuti mata, mendadak tubuh gadis cantik itu berputar. Hanya dengan sebelah tangan gadis itu menangkis, sekaligus menyarangkan hantaman telapak tangannya ke tubuh lelaki brewok. Tanpa ampun lagi, tubuh itu terjerembab mencium tanah. Untuk beberapa sesaat ia tidak sanggup bangkit. Wajahnya menyeringai menahan rasa sesak di dada. Dari sudut bibirnya mengalir darah segar.
Gadis cantik berpakaian serba merah membatalkan niatnya untuk meninggalkan kedai. Rupanya ia sempat mendengar makian tadi. Dan itu membuatnya marah!
"Ulangi makianmu tadi, Kerbau Dungu!" desis gadis cantik itu dengan wajah datar dan dingin. Kilatan nafsu membunuh terpancar jelas pada sepasang mata beningnya.
Semula lelaki brewok tidak ingin mengulangi perkataannya. Tapi karena gadis cantik itu memaksa, akhirnya ia ucapkan juga kata-kata makian itu.
"Kau..., perempuan sundal...," desis lelaki brewok dengan wajah pucat.
"Hm....." gadis cantik itu menggeram perlahan. Tangan kanannya terangkat ke atas, dan siap meremukkan batok kepala lelaki brewok itu.
"Tahan...!"
Baru saja telapak tangan gadis cantik berpakaian merah hendak bergerak turun, terdengar sebuah bentakan keras. Gadis itu menunda gerakannya. Kemudian menoleh ke arah asal suara.
Sesosok tubuh tegap dengan dada bidang berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar. Sikapnya terlihat demikian jantan dan gagah, membuat gadis cantik itu tidak berusaha menyembunyikan kekagumannya.
"Siapakah kau, Kisanak? Apamukah lelaki brewok ini...?" tanya gadis cantik itu dengan mata mengerjap genit. Sikapnya yang memikat kembali muncul melihat kegagahan dan kejantanan pemuda itu. Apalagi pemuda tampan itu kelihatan cukup berisi. Itu dapat diduga dari bentakannya yang mengandung tenaga dalam. Maka semakin tertariklah gadis cantik berpakaian serba merah itu.
"Aku tidak mempunyai hubungan apa-apa dengannya. Aku hanya tidak bisa berdiam diri melihat lelaki brewok itu terancam maut. Dan, aku yakin wanita secantikmu pasti memiliki sifat lembut dan pemaaf...," ujar lelaki muda itu.
"Ah! Selain gagah, rupanya kau pun memiliki hati yang lembut, Kisanak...," tukas gadis cantik berpakaian merah itu. Kemudian kakinya melangkah dengan lenggang-lenggok memikat sambil memamerkan senyum manisnya.
Meskipun telah berusaha menyembunyikan perasaan hatinya, gadis cantik itu sangat yakin umpannya telah mengena. Sebab ia melihat dengan jelas sinar kekaguman pada sepasang mata lelaki muda itu, kendati berusaha disembunyikan. Kenyataan itu membuat senyumnya semakin melebar dan mempesona.
"Aku memang tidak bermaksud membunuhnya. Hanya ingin memberi sedikit pelajaran agar lain kali lebih bersikap hormat terhadap wanita. Kalau boleh kutahu, siapakah namamu? Rasanya menyenangkan sekali dapat berkawan denganmu," ujar gadis cantik itu dengan suara mendayu-dayu yang sanggup meruntuhkan hari lelaki paling keras sekalipun. Apalagi seorang anak muda seperti lelaki tampan itu. Tentu saja hatinya langsung jatuh dengan sikap dan gaya bicara yang penuh daya pikat itu. Terbukti pemuda itu tersenyum, meskipun agak ragu-ragu.
"Namaku Arja. Arja Lawung. Siapakah namamu, Nyai? Apa yang membuatmu sampai berkelahi dengan lelaki brewok itu?" tanya pemuda tampan itu. Sikapnya tidak lagi sedingin tadi. Bahkan mulai berani menanyakan nama gadis cantik dan genit itu.
"Panggil aku Anyelir, Arja. Senang sekali dapat berkenalan dengan seorang pemuda yang gagah dan berhati mulia sepertimu. Mudah-mudahan perkenalan ini bisa semakin erat...," sahut gadis cantik itu memperkenalkan namanya.
Anyelir menghentikan langkahnya tepat di hadapan Arja Lawung. Kepalanya agak menengadah, karena pemuda itu memang lebih tinggi darinya. Sepasang bola mata gadis cantik itu bergerak perlahan merayapi wajah lelaki muda di depannya. Anyelir tampaknya tidak berusaha menyembunyikan kekagumannya.
"Namamu indah sekali, Anyelir...," desah Arja Lawung yang merasa aliran darahnya bertambah cepat. Bahkan deru napasnya terdengar agak memburu. Tubuh Anyelir begitu dekat. Dan harum tubuh gadis cantik itu membuat keinginannya tergugah.
"Namamu pun gagah dan sesuai dengan orangnya, Arja. Tidakkah sebaiknya kita tinggalkan kedai ini, dan mencari tempat yang tepat untuk lebih saling mengenal...?" ujar Anyelir, nadanya hampir mirip sebuah desahan panjang. Napas gadis itu menyapu wajah Arja Lawung. Dan membuat pemuda itu semakin terbius.
"Terserah kaulah, Anyelir...," tukas Arja Lawung yang mendadak pikirannya buntu. Sosok gadis cantik itu memang sangat mempesona. Arja Lawung tidak menolak ketika tangannya ditarik pergi meninggalkan kedai itu.
"Ke mana kita, Anyelir...?" tanya Arja Lawung tanpa berusaha melepaskan lengannya dari genggaman jemari lembut Anyelir. Pemuda tampan itu tak ubahnya kerbau yang dicocok hidung, menurut saja ke mana gadis cantik itu membawanya.
"Ke tempat yang tenang, agar tidak ada seorang pun mengganggu kita...," sahut Anyelir tanpa menghentikan larinya. Gadis itu membawa Arja Lawung meninggalkan Desa Gondang.
Arja Lawung seorang pemuda yang hijau. Ia belum berpengalaman menghadapi wanita. Apalagi wanita secantik dan sebebas Anyelir. Meski usianya sudah dua puluh tahun, tapi Arja Lawung tidak pernah bergaul akrab dengan seorang wanita. Selain itu, ia sudah benar-benar terpikat oleh kecantikan dan sikap manja Anyelir. Sehingga, Arja Lawung tidak berusaha menolak ajakan gadis cantik itu.
Setelah cukup lama berlari, akhirnya Anyelir memperlambat langkahnya. Dan berhenti di tepi sungai yang berair jernih. Dengan manja Anyelir menjatuhkan tubuhnya di atas rumput tebal di bawah sebatang pohon besar, yang menyembunyikan tubuh mereka dari pandangan orang.
"Nah! Bagaimana, Arja? Tidakkah tempat ini sangat cocok untuk mempererat hubungan kita?" ujar gadis cantik itu dengan manja. Tanpa ragu-ragu, sepasang tangannya melingkari bahu Arja Lawung, membuat napas pemuda itu semakin memburu. Wajah pemuda itu merah karena jengah. Arja Lawung belum pernah mendapat perlakuan semesra itu dari seorang wanita.
"Kau... cantik sekali, Anyelir...," desah Arja Lawung dengan dada sesak. Suaranya terdengar agak aneh. Tapi Anyelir menanggapi dengan senyum manis. Bahkan semakin merapatkan tubuhnya ke tubuh Arja Lawung.
Perlakuan Anyelir membuat bendungan Arja Lawung bobol seketika. Disambarnya wajah cantik yang sangat dekat itu. Lupa sudah pemuda itu akan kesopanan. Padahal mereka baru saja mengenal, dan belum tahu asal-usul masing-masing. Cukup lama Arja Lawung menumpahkan gejolak yang bergemuruh di dadanya. Sampai akhirnya Anyelir mendorong tubuh pemuda itu perlahan. Sehingga Arja Lawung terpaksa melepaskan pelukannya, meski dengan sorot mata penuh pertanyaan.
"Tidak perlu terburu nafsu, Arja. Masih banyak waktu untuk kita...," hibur gadis cantik itu seraya menyunggingkan senyum puas.
Arja Lawung gelagapan seperti orang tenggelam ke dalam sungai. Kendati telah melepaskan pelukannya, pemuda ini tidak bisa menahan diri untuk membelai wajah cantik Anyelir. Namun gadis cantik itu kembali mendorong tubuh Arja Lawung ketika hendak mencumbunya kembali.
"Mengapa, Anyelir...?" tanya Arja Lawung penasaran. Pemuda itu kelihatan tidak sabar dengan sikap Anyelir yang menolak untuk bercumbu.
"Sudah kukatakan waktu untuk itu masih banyak. Mengapa begitu terburu-buru...?" tukas Anyelir manja, membuat Arja Lawung menghela napas kesal.
"Apa lagi yang kau tunggu, Anyelir? Bukankah tempat ini kau bilang aman, dan tidak ada orang yang melihat perbuatan kita?" kembali Arja Lawung mengungkapkan rasa penasarannya.
Ucapan Arja Lawung malah membuat Anyelir melepaskan pegangan tangannya. Kemudian wanita itu bangkit berdiri dengan menghela napas panjang, seperti ada sesuatu yang mengganjal hatinya.
"Perbuatanmu hanya didorong oleh nafsu, Arja. Tidak ada sedikit pun rasa cinta di hatimu...," desah Anyelir mencela Arja Lawung.
Arja Lawung bangkit berdiri dengan wajah sungguh-sungguh.
"Apa maksudmu, Anyelir...?" tanya Arja Lawung tidak mengerti.
"Katakan kau melakukannya karena mencintaiku, Arja. Bukan karena nafsu kotor yang ada dalam setiap pikiran laki-laki bila melihat wanita cantik...," pinta Anyelir.
"Kau ini aneh. Tentu saja aku melakukannya karena rasa cinta. Bukan karena sekadar dorongan nafsu kotor seperti yang kau katakan," bantah Arja Lawung kembali melingkarkan lengannya ke tubuh gadis cantik itu dari belakang.
Kali ini Anyelir tidak memberontak Bahkan menyandarkan kepalanya ke tubuh pemuda itu. Sehingga, dada Arya Lawung kembali bergemuruh bagai gelombang lautan.
"Kalau benar kau mencintaiku, lakukanlah dengan lembut. Tapi sebelum itu aku minta kejujuranmu untuk menjawab pertanyaanku...," desah Anyelir.
"Tanyakanlah! Aku akan menjawab dengan sejujurnya...," tukas pemuda itu seraya menciumi rambut Anyelir yang harum.
"Apakah sebelumnya kau pernah melakukannya pada wanita lain?" tanya Anyelir dengan nada aneh. Kendati demikian, Arja Lawung tetap menjawabnya.
"Selama hidupku, baru kali ini aku berdekatan dengan seorang wanita...," jawab Arja Lawung jujur, membuat senyum Anyelir melebar. Setelah itu, ia pasrah dengan segala perlakuan Arja Lawung. Bahkan membalasnya dengan sepenuh hati.
Sebentar kemudian kedua insan muda itu terlelap dalam buaian asmara. Kebisuan alam menjadi saksi perbuatan mereka berdua.
* * * * *
:::≡¦ [ DUA ] ¦≡:::
Tiba-tiba terdengar bentakan menghina. Disusul muncul-nya seorang lelaki brewok bertubuh tinggi besar dengan ditemani enam orang kawannya. Bentakan itu membuat Anyelir dan Arja Lawung tersentak kaget. Cepat keduanya bangkit dan mengenakan pakaian. Wajah mereka merah menahan malu, karena perbuatannya dipergoki orang. Namun lelaki brewok itu tidak mau membiarkan Arja Lawung dan Anyelir mengenakan pakaian. Dengan bengis, kawan-kawannya segera diperintahkan untuk menyerbu dan menangkap kedua orang muda itu.
"Serbu...!"
Sambil berteriak keras, lelaki brewok melompat ke arah Anyelir yang saat itu belum selesai berpakaian. Karuan saja gadis cantik itu menjadi kelabakan. Kendati demikian, cengkeraman lelaki brewok dapat dihindarinya.
Saat itu Anyelir hanya mengenakan pakaian bagian bawah. Sedangkan tubuh bagian atasnya masih polos tanpa tertutup sehelai kain pun. Keadaan tubuhnya membuat Anyelir sibuk menutup dari tatapan liar mata lawan.
"Kurang ajar kau, Monyet Kurap! Awas! Akan kubeset mulutmu, dan kukuliti tubuhmu...!" desis Anyelir yang merasa jengah berhadapan dalam keadaan setengah telanjang. Ancaman yang keluar dari bibirnya bukan sekadar menakut-nakuti. Wanita itu memang marah sekali pada lelaki brewok.
Lelaki brewok sendiri hanya cengar-cengir seperti monyet makan terasi. Ia merasa dipermalukan di depan orang banyak sewaktu di kedai. Rasa penasaran dan dendam membuatnya membawa kawan-kawannya membuntuti wanita berpakaian merah itu. Dan akhirnya ia berhasil menemukan orang yang dicarinya sedang melakukan perbuatan tidak senonoh. Lelaki brewok itu marah karena dibakar rasa cemburu.
"He he he...! Hayo serang aku, Manis. Mengapa sungkan-sungkan? Apa kedua tanganmu telah menjadi kaku...?" ejek lelaki brewok dengan air liur hampir menetes.
Anyelir memang melipat kedua tangannya di depan dada. Itu dilakukan untuk melindungi dadanya yang polos.
"Keparat! Kubunuh kau...!" pekik Anyelir marah. Sebab lelaki brewok itu menjilati sekujur tubuhnya dengan tatapan liar bagai singa lapar.
"Hiaaat...!"
Gejolak amarah yang menggelora membuat Anyelir tidak peduli lagi dengan keadaan tubuhnya. Gadis cantik dan genit itu melesat ke depan dengan tendangan dan pukulan yang menerbitkan deruan angin keras. Rasanya kalau kepala lawan sampai terkena kepalannya, sulit dipastikan dapat melihat matahari esok.
Bettt! Bettt...!
Sambaran kaki dan tangan Anyelir yang cepat dan kuat memang tidak bisa dianggap main-main. Lelaki brewok itu kelabakan dan sibuk setengah mati menghindarinya. Bahkan....
Plak, desss...!
"Akh...!"
Tamparan dan tendangan keras berturut-turut bersarang di kepala dan tubuh lelaki brewok itu. Akibatnya tubuh tinggi besar itu terjungkal roboh. Dan langsung tewas dengan pelipis retak!
Begitu selesai mematahkan perlawanan lelaki brewok, Anyelir melompat ke balik semak-semak untuk membenahi pakaian yang belum sempurna menutupi tubuhnya.
Tewasnya lelaki brewok mengagetkan kawan-kawannya. Namun mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Karena harus menghadapi Arja Lawung yang memang bukan orang sembarangan. Pemuda itu masih sanggup melancarkan serangan meskipun harus menghadapi keroyokan enam orang lawan. Bahkan dalam enam jurus dua orang pengeroyoknya roboh mandi darah. Pedang di tangan Arja Lawung telah ternoda darah kedua orang korbannya.
"Habisi mereka, Arja...!" seru Anyelir yang telah muncul dan berpakaian rapi. Gadis cantik itu berdiri di tepi arena menyaksikan amukan Arja Lawung.
Mendengar seruan gadis yang telah membuatnya mabuk kepayang, Arja Lawung pun menggertakkan giginya kuat-kuat. Seketika itu juga gerakannya dipercepat. Bahkan kekuatan tenaganya dilipat gandakan. Sambaran angin pedangnya terdengar menderu-deru.
Brettt, brettt...!
"Aaa...!"
Kembali dua orang pengeroyok terguling mandi darah! Mereka tewas dengan perut menganga lebar. Meskipun demikian, Arja Lawung masih belum puas. Rasa malu dan marah karena perbuatannya dipergoki membuat pemuda tampan dan gagah itu bertindak tidak kepalang tanggung. Sepertinya tanpa diperintah Anyelir pun pemuda itu memang hendak menghabisi para pengeroyoknya.
"Haaat...!"
Dengan sebuah pekikan nyaring, tubuh Arja Lawung melompat ke udara. Pedang di tangannya berkelebat dari atas ke bawah dengan kecepatan mengagumkan. Akibatnya....
"Aaa...!"
Jerit kematian terdengar merobek langit. Tubuh dua orang lawan terakhirnya terjungkal dengan leher hampir putus! Darah segar kembali mengalir membasahi rerumputan hijau.
"Bagus, Arja! Kau benar-benar tidak mengecewakan...," puji Anyelir tanpa nada gembira. Bahkan terkesan dingin dan datar.
Mendengar nada ucapan gadis cantik berpakaian serba merah itu, Arja Lawung menoleh dengan kening berkerut. Dan kerutan itu semakin dalam ketika melihat Anyelir melipat kedua tangannya di depan dada seraya menatapnya dengan dingin. Tak sedikit pun terlihat sisa-sisa kemesraan pada sepasang bola mata yang indah dan bening itu. Hingga Arja Lawung tersentak kaget.
"Ada apa, Anyelir...?" tanya Arja Lawung sambil melangkah menghampiri gadis cantik yang telah memikat hatinya. Perubahan sikap gadis cantik itu tentu saja membuatnya heran.
"Sekarang giliranmu menyusul mereka...," desis Anyelir dengan wajah datar tanpa emosi. Walaupun bibirnya yang ranum tetap mengukir senyum manis. Benar-benar seorang gadis yang aneh dan sulit ditebak.
"Apa... apa maksudmu, Anyelir...?" tanya Arja Lawung. Pemuda ini merasa gentar juga melihat perubahan sikap gadis itu.
"Hm.... Bodoh! Apa ucapanku masih kurang jelas...?!" tukas Anyelir seraya melangkah lambat menyongsong kedatangan Arja Lawung.
"Tapi..., apa salahku...?" seru Arja Lawung dengan nada agak tinggi. Pemuda tampan itu mulai dilanda kegelisahan. Ia melihat ada ancaman dalam bola mata gadis cantik itu. Sehingga, hatinya mulai ragu kalau Anyelir hanya main-main mengucapkan kata-katanya.
"Tidak peduli kau bersalah atau tidak! Yang jelas, tak seorang pun kubiarkan hidup setelah menikmati kehangatan tubuhku...!" jawab Anyelir tetap dingin dan penuh ancaman.
"Tapi..., bukankah kita melakukannya atas dasar suka sama suka?" bantah Arja Lawung semakin heran dengan sikap Anyelir. Ucapan-ucapan gadis cantik itu sungguh tidak dimengertinya.
"Hmh! Atas dasar suka sama suka kau bilang! Jadi, kau telah jatuh cinta kepadaku, Arja...?" ujar Anyelir balik bertanya. Sinis sekali suara gadis cantik itu.
"Terus terang kuakui aku benar-benar jatuh cinta kepadamu, Anyelir...," jawab Arja Lawung tanpa keraguan sedikit pun. Bahkan saat menyatakan perasaan itu sepasang matanya menatap wajah gadis berpakaian serba merah itu dengan penuh kasih. Sayang semua itu tidak membuat Anyelir berubah sikap.
"Hm.... Tahukah kau, Arja. Berapa kira-kira usiaku...?" tanya Anyelir.
"Sekitar dua puluh tahun...," jawab Arja Lawung menebak. Sinar mata gadis itu demikian menuntut. Hingga Arja Lawung tidak bisa menolak.
"Hik hik hik...!" Mendengar jawaban Arja Lawung, Anyelir tertawa mengikik sambil menutupi mulutnya dengan punggung tangan. Namun, suara tawa itu hanya sebentar. Sikap gadis itu kembali dingin dan kaku.
"Ketahuilah, Arja. Usiaku sudah hampir tiga puluh lima tahun! Aku menjadi awet muda karena sering berhubungan dengan pemuda-pemuda seusiamu. Tentu saja yang masih perjaka tulen.
Dan aku ahli dalam menilai, walau baru sekali bertemu...," ujar Anyelir tanpa perasaan. Padahal ucapan gadis cantik itu membuat hati Arja Lawung seperti ditusuk-tusuk.
"Setiap kali habis berhubungan, aku harus membunuhnya. Demikian pula dengan dirimu. Nah, sekarang bersiaplah. Terserah kau. Melawan boleh, tidak melawan pun bukan masalah bagiku...."
"Kalau itu memang keinginanmu, lakukanlah. Aku tidak akan melawan. Karena aku benar-benar mencintaimu, dan rela menyerahkan selembar nyawaku untukmu...," ujar Arja Lawung pasrah. Pemuda itu memang sudah tergila-gila oleh kecantikan dan sikap gadis itu sewaktu pertama kali bertemu. Dengan penyerahan itu, Arja Lawung berharap Anyelir akan berubah pikiran.
"Hm.... Rupanya kau ingin memperlihatkan kebesaran cintamu, Pemuda Tolol! Hendak kulihat sampai berapa besar rasa cintamu itu...," ucap Anyelir dengan nada sinis. Setelah berkata demikian, gadis cantik itu melemparkan pedangnya pada Arja Lawung.
Pemuda itu segera menyambutnya. Kemudian menggenggamnya erat-erat. Kelihatannya Arja Lawung tidak main-main dalam membuktikan kebesaran cintanya. Mata pedang itu ditempelkan di tenggorokannya. Dan....
Srattt...!
Semula Arja Lawung mengira perbuatannya akan dihentikan Anyelir. Kenyataannya, gadis cantik itu diam saja walau mata pedang mulai bergerak dan melukai tenggorokan Arja Lawung. Bahkan sampai tubuh pemuda itu roboh, Anyelir tidak berkedip. Bibirnya menyunggingkan senyum mengejek yang membayangkan kekejaman hatinya.
"Pemuda tolol! Kau pikir aku tidak tahu akal bulusmu! Silakan kau bawa cintamu ke liang kubur...!" gumam Anyelir tertawa dingin.
Rupanya gadis cantik itu tahu jalan pikiran Arja Lawung. Dan menganggap pemuda itu bodoh jika hendak menggertaknya dengan alasan cinta. Anyelir memang tidak pernah menyukai pemuda itu. Meskipun semula gadis itu kelihatan menyambut cinta Arja Lawung, itu karena ia ingin menjeratnya, kemudian mencampakkannya begitu saja. Seperti sebuah mainan yang dilupakan setelah puas dipermainkan.
Sambil memperdengarkan tawanya yang dingin, Anyelir bergerak meninggalkan korban-korbannya. Rambutnya yang panjang dan lebat dibiarkan tergerai, terayun lembut dipermainkan angin.
* * * * *
Pemuda tampan berjubah putih dan gadis jelita berpakaian serba hijau melangkahkan kaki memasuki mulut Desa Warang. Sinar matahari siang itu menyorot garang dan terasa panas menyengat kulit. Meskipun demikian, desa yang mereka masuki tampak cukup ramai. Agaknya terik sang Raja Siang tidak mengganggu mereka. Baru saja kedua orang muda itu hendak memasuki sebuah kedai makan, mendadak langkah mereka terhenti. Dari dalam kedai terdengar suara ribut-ribut orang bertengkar.
"Sepertinya tengah terjadi pertengkaran, Kakang," gumam dara jelita berpakaian serba hijau, menoleh pada kawannya.
"Kelihatannya begitu. Tapi, mudah-mudahan mereka hanya ribut mulut dan tidak sampai terjadi perkelahian. Mari kita masuk...," ajak pemuda tampan berjubah putih itu, membuka pintu kedai, dan melangkah dengan tenang.
Munculnya pasangan muda itu tidak membuat pertengkaran terhenti. Bahkan berpaling sekejap pun tidak. Pertengkaran malah semakin bertambah panas. Dan, suara mereka bertambah keras.
"Kisanak! Aku hanya sekadar mengingatkan agar bersikap sedikit sopan terhadap wanita. Bukan berarti aku mau sok bersikap pahlawan. Keliru sekali kalau kau berpandangan sesempit itu...!" ucap seorang pemuda bertubuh kekar dan berwajah simpatik.
Tapi, ucapannya tidak mendapat tanggapan yang baik dari lelaki kurus lawan bertengkar mulut pemuda itu. Senyum mengejek tidak lepas dari bibirnya. Lelaki kurus itu menyahuti dengan lagak yang benar-benar memualkan perut.
"Hei, Bocah Sok Jagoan! Apa kau kira gadis cantik itu akan tertarik kepadamu, setelah kau membelanya mati-matian? Pemuda sepertimu tidak akan dilirik sedikit pun olehnya, tahu?!" balas lelaki kurus itu seraya menggerakkan kepalanya ke arah seorang gadis cantik berpakaian serba merah yang duduk tenang di kursinya, tak jauh dari kedua lelaki yang bersitegang itu. Rupanya gadis cantik itu yang membuat kedua lelaki ini ribut
Merah padam wajah pemuda kekar itu mendengar ucapan lawan bicaranya. Jari-jari tangannya mengepal. Pemuda ini merasa terhina dengan ucapan lelaki kurus itu. Apalagi perkataan itu dikeluarkan di hadapan orang banyak. Tentu saja pemuda kekar ini merasa dipermalukan.
"Kau benar-benar sudah keterlaluan, Kisanak! Aku tidak bisa menerima penghinaan ini...!" geram pemuda bertubuh kekar seraya menatap wajah di depannya bagai hendak ditelan bulat-bulat. Suaranya terdengar agak gemetar, karena menahan emosi yang bergejolak di dadanya.
"Lalu apa maumu, hah...?!" tantang lelaki kurus itu bertolak pinggang sambil tersenyum mengejek.
Pemuda kekar itu menggeram gusar. Tampaknya ia sudah tidak bisa lagi menahan amarah. Sikap itu membuat lelaki kurus bergerak mundur dua langkah. Sepertinya ia tidak menganggap remeh pemuda kekar itu, walaupun sikapnya selalu penuh ejekan.
Suasana yang semakin menegang membuat beberapa pengunjung bergegas meninggalkan kedai. Tapi, dua orang yang berada di belakang lelaki kurus malah menyebar seperti hendak mengeroyok pemuda bertubuh kekar. Agaknya mereka berdua kawan lelaki kurus.
"Hm...." Pemuda bertubuh kekar menggeram perlahan. Sepasang matanya bergerak sigap meneliti langkah dua lelaki yang hendak mengurungnya. Kelihatannya pemuda itu tidak merasa gentar meskipun sadar hendak dikeroyok.
"Hmh...!" Lelaki kurus berusia sekitar tiga puluh tahun itu menggerakkan dagunya keatas memberi isyarat. Kemudian, tanpa memberi peringatan, ia langsung menyerang pemuda di depannya dengan sebuah pukulan lurus yang mendatangkan angin cukup kuat.
Whuttt...!
Sayang serangan pemuda itu menemui kegagalan. Pemuda bertubuh kekar sudah menggeser tubuhnya tiga langkah ke belakang. Kemudian menyiapkan diri menghadapi serangan lawan selanjutnya.
"Hahhh...!"
Dua lelaki yang mengurungnya di kiri dan kanan membentak sambil melancarkan serangan. Kali ini pemuda bertubuh kekar tidak bergerak mundur. Sebab di belakangnya terdapat sebuah meja. Sehingga, terpaksa tubuhnya membungkuk menghindari tendangan ke arah kepala dari sebelah kirinya. Sedangkan pukulan yang datang dari sebelah kanan ditangkisnya dengan pengerahan tenaga yang kuat.
Dukkk!
"Auhhh...!?"
Lelaki gendut berkumis jarang yang melancarkan pukulan ke lambung pemuda itu memekik kesakitan. Tubuhnya terjajar mundur beberapa langkah. Jelas tenaganya kalah dengan pemuda kekar itu.
"Keparat...!" geram lelaki kurus yang menjadi pimpinan dua orang kawannya. Kemudian disiapkannya serangan dengan sepasang mata melotot, seperti hendak keluar dari tempatnya. Tampaknya perkelahian tidak bisa dihindari lagi.
* * * * *
:::≡¦ [ TIGA ] ¦≡:::
Tiba-tiba pemuda bertubuh kekar berseru lantang, membuat ketiga lawannya menunda gerakan dan memandang dengan kening berkerut.
"Hm.... Kau hendak menyerah dan meminta ampun kepadaku? Kalau begitu, cepat berlutut dan merangkak kemari seperti anjing buduk!" ujar lelaki kurus dengan bibir menyunggingkan senyum sinis. Rupanya ia menduga pemuda bertubuh kekar gentar terhadapnya.
"Hmh! Jangan takabur, Kisanak! Aku sedikit pun tidak gentar, meskipun harus menghadapi keroyokan kalian bertiga. Tapi sebaiknya perkelahian ini dilanjutkan di luar kedai. Aku tidak ingin merugikan pemilik kedai ini...," sahut pemuda bertubuh kekar membantah dugaan lawannya. Setelah berkata demikian, kaki pemuda bertubuh kekar itu melangkah menuju pintu kedai. Sedang sepasang matanya tetap mengawasi ketiga lawannya. Pemuda itu khawatir kalau salah seorang lawannya akan menyerang secara licik.
"Setan...!" desis lelaki bertubuh kurus dengan wajah merah padam.
Ucapan lelaki bertubuh kurus itu membuat pengunjung kedai menatap sinis dan meremehkannya. Mereka melecehkan dirinya yang mengandalkan jumlah banyak untuk menghadapi pemuda kekar itu.
"Akan kurobek mulutmu yang lancang itu...!" geram lelaki kurus itu gusar. Kemudian kakinya melangkah ke luar kedai.
Gadis jelita berpakaian serba hijau yang duduk bersama pemuda tampan berjubah putih bergerak bangkit. Namun, gerakannya tertahan oleh pegangan pemuda di sampingnya.
"Jangan dulu mencampuri urusan mereka. Kita belum mengetahui persoalannya secara jelas...," bisik pemuda tampan berjubah putih mengingatkan.
"Aku hanya ingin melihat kelanjutan pertarungan mereka," sahut dara jelita itu. Sehingga, pemuda tampan berjubah putih melepaskan pegangannya.
"Mari kita lihat...," ujar pemuda berjubah putih, segera bangkit dari duduknya. Dan melangkah meninggalkan ruangan kedai.
Di halaman samping kedai, yang merupakan tanah kosong yang cukup luas, tampak telah cukup ramai oleh orang-orang yang hendak menyaksikan pertengkaran itu. Mereka berdiri memagari tempat itu dalam bentuk lingkaran. Seolah tanpa sengaja orang-orang itu telah membentuk sebuah arena pertarungan.
Di antara belasan penonton terlihat seorang gadis cantik berpakaian serba merah. Senyum manisnya tak pernah lepas dari wajahnya. Bahkan tidak jarang matanya berkedip genit. Siapa lagi wanita cantik itu kalau bukan Anyelir, yang kali ini tengah mencari korban baru untuk memuaskan nafsunya.
"Kakang...," panggil dara jelita berpakaian serba hijau pada kawannya dengan agak berbisik. Saat itu tubuhnya bersender pada sebatang pohon yang cukup besar.
"Hm...." Pemuda tampan berjubah putih di sebelah kanannya bergumam menyahuti. Sepasang matanya tetap tertuju ke tengah arena pertarungan yang sebentar lagi akan dimulai.
"Coba perhatikan gadis cantik berpakaian serba merah yang kelihatan agak genit itu...," lanjut dara jelita berpakaian serba hijau seraya menggerakkan kepalanya ke satu arah, hampir tidak kentara.
"Ya. Aku sudah mencurigainya sejak di dalam kedai. Agaknya wanita itulah yang menjadi penyebab perkelahian keempat lelaki itu," sahut pemuda tampan berjubah putih. Rupanya tadi ia diam-diam sempat memperhatikan Anyelir. Buktinya gadis jelita di sampingnya tidak mengetahui perbuatannya.
"Mungkinkah gadis itu yang belakangan ini membuat ulah dengan perbuatannya yang kejam...?" tanya dara jelita berpakaian serba hijau itu dengan suara perlahan, hingga tidak menimbulkan kecurigaan orang-orang di dekatnya. Saat itu perkelahian sudah berlangsung cukup seru.
"Maksudmu..., gadis itu yang berjuluk Peri Kembangan...?" timpal pemuda tampan berjubah putih yang rupanya dapat menebak jalan pikiran dara jelita di sebelahnya.
"Rupanya kita mempunyai dugaan yang sama, Kakang...," tukas dara jelita itu mendengar ucapan pemuda berjubah putih.
"Tapi kita masih memerlukan bukti yang lebih kuat. Sebab, bukan hanya seorang wanita yang berdandan seperti itu...," lanjut pemuda tampan berjubah putih mengingatkan. Semua itu baru dugaan dan belum pasti.
Setelah berkata demikian, pemuda berjubah putih yang tidak lain Panji dan lebih dikenal sebagai Pendekar Naga Putih, kembali mengikuti jalannya perkelahian. Keningnya tampak agak berkerut ketika melihat para petarung telah menggunakan senjata. Perkelahian itu jelas sudah bukan tontonan yang menarik lagi baginya.
Apa yang dikhawatirkan Panji memang beralasan. Dengan menggunakan senjata, korban sudah pasti akan jatuh. Apalagi lelaki kurus itu kelihatan tangat bernafsu melancarkan serangan-serangannya. Ia bukan lagi hendak sekadar memberikan hajaran. Tapi, sudah bermaksud membunuh lawan. Dan Panji tidak ingin melihat pertumpahan darah di depan matanya.
"Haaat..!"
Untuk kesekian kalinya, lelaki kurus itu berteriak nyaring. Pedang di tangan kanannya berkelebat cepat menimbulkan desingan tajam. Lelaki kurus itu tampaknya sudah tidak sabar ingin segera mengakhiri perkelahian. Sementara pemuda bertubuh kekar yang juga meng-genggam pedang telanjang bergerak ke kiri dan kanan menghindari gempuran lawan.
Meskipun masih sanggup bertahan, namun jelas terlihat kalau lelaki muda bertubuh kekar itu sudah hampir tidak sanggup membalas serangan pengeroyoknya. Sehingga dapat diramalkan kalau pemuda kekar itu tidak akan sanggup bertahan pada jurus-jurus selanjutnya.
Bwettt...!
"Eits?!"
Sebuah sambaran pedang yang datang dari samping kanannya, nyaris membuat pemuda kekar terpanggang. Untung pada saat pedang lawan hampir mengenai sasaran, pemuda itu sempat melempar tubuhnya ke belakang. Kemudian bergulingan menjauhi kelebatan senjata lawan-lawannya yang lain.
"Mampus kau, Pemuda Keparat...!" Lelaki kurus segera mempergunakan kesempatan sebaik-baiknya. Saat tubuh lawan bergulingan menjauh, ia melompat ke udara sambil mengangkat pedangnya tinggi-tinggi. Kemudian disabetkan dari atas ke bawah seperti hendak membelah tubuh pemuda bertubuh kekar. Serangan itu sangat berbahaya. Sebab pemuda kekar tidak akan mempunyai peluang untuk mengelak. Selain itu, kedudukannya jauh lebih lemah dari lawannya. Sehingga dapat dipastikan pemuda kekar itu akan mendapat celaka. Tapi....
"Haiitt..!"
Saat mata pedang lelaki kurus terayun, tiba-tiba terdengar bentakan halus yang menggetarkan dada. Disusul dengan berkelebatnya sesosok bayangan merah, yang langsung memapaki serangan maut itu. Dan....
Trang...!
Bunga api berpijar menandakan betapa keras benturan itu. Disusul pekikan kaget lelaki kurus. Tubuh lelaki itu terjengkang kebelakang. Sedang pedang yang digunakannya untuk menyerang terpental entah ke mana.
Gusrakkk!
Tubuh kurus itu meluncur membentur penonton di sisi kiri arena pertempuran. Terdengar sumpah serapah yang kotor saat ia berusaha bangkit, sambil menepis kotoran yang melekat di pakaiannya.
"Monyet! Siapa yang...." Lelaki kurus itu menghentikan makiannya. Sepasang matanya membelalak melihat sesosok tubuh ramping terbungkus pakaian serba merah berdiri dengan senyum mengejek di depan pemuda bertubuh kekar. Tentu saja ia terkejut, dan tidak percaya. Kepalanya menoleh ke kiri dan kanan. Seolah hendak mencari orang yang menggagalkan serangannya.
"Hm.... Siapa yang kau cari, Cacing Kurus...?" tegur gadis cantik berpakaian serba merah mengejek.
"Eh?!" Lelaki kurus terperangah. Kepalanya tersentak ke belakang. Kemudian berputar menghadapi gadis cantik itu.
"Kaukah yang barusan menggagalkan seranganku...?" tanya lelaki kurus ragu. Sepertinya ia mengharap gadis cantik yang genit itu akan membantah. Sayang harapannya tidak terkabul. Gadis cantik berpakaian serba merah yang tidak lain Anyelir, menjawabnya dengan sikap sangat menghina.
"Hm.... Cacing kurus sepertimu mana mungkin memiliki kepandaian! Tanpa kusentuh pun, kau akan roboh juga. Untung aku masih merasa sedikit kasihan. Kalau tidak, kau sekarang pasti sudah tidak bernyawa lagi...," ujar gadis cantik itu tetap dengan senyum mengejek.
"Kau...!" Lelaki kurus kelabakan menerima perkataan yang demikian tajam dan penuh hinaan. Wajahnya merah padam. Dan kepalanya menoleh ke kiri dan kanan. Saat itu suara tawa terdengar di sekelilingnya. Akhirnya lelaki kurus itu menoleh ke arah dua orang kawannya yang berdiri mematung. Kedua orang itu pun terlihat ragu untuk melanjutkan perkelahian setelah melihat gadis cantik itu maju ke tengah arena.
"Goblok!" bentak lelaki kurus memaki kawan-kawannya.
"Mengapa kalian malah mematung seperti orang tolol! Ayo, tangkap wanita itu untukku...!" perintahnya dengan suara tinggi. Laki-laki itu merasa sangat terhina ditertawakan orang banyak.
"Baik, Kakang Angkara...," sahut kedua lelaki itu hampir berbarengan. Keduanya pun bergerak maju, walau terlihat masih agak ragu. Mereka merasa enggan bertempur dengan gadis cantik yang penuh daya pikat itu.
Lelaki kurus yang dipanggil Angkara sudah bergerak maju setelah menemukan pedangnya kembali. Tertawaan para penonton perkelahian itu membuatnya merasa terhina. Apalagi dirinya jagoan desa itu yang selama ini tidak ada yang berani melawan dan menertawakannya. Angkara tampak tidak peduli lagi siapa lawannya saat itu. Dengan pedang di tangan, Angkara maju menghadapi Anyelir.
"Perempuan sundal! Rupanya kau tidak tahu disayang orang!" desis Angkara. Lalu mengibaskan pedangnya, membuka jurus serangan. Sepasang matanya melotot seperti hendak melompat dari tompatnya.
"Tidak perlu banyak bicara, Cacing Kurus! Kalau memang mempunyai kepandaian, majulah! Tidak perlu teriak-teriak seperti kakek-kakek kebakaran jenggot..!" ejek Anyelir sambil bertolak pinggang. Sikap itu semakin membuat Angkara bertambah kalap.
"Haaat...!"
Kemarahan yang meledak-ledak di dadanya membuat Angkara tidak bisa menahan diri lagi. Ia segera menerjang dengan ganasnya. Angkara tidak lagi peduli semula ia bertarung karena gadis cantik itu.
Whuttt...!
Pedang Angkara menyambar dengan kecepatan mengagumkan! Sayang serangan itu tidak mengenai sasaran. Tubuh gadis cantik itu sudah lenyap dari hadapannya. Hingga Angkara kebingungan. Ia hanya melihat bayangan merah berkelebat dengan kecepatan yang hampir tidak bisa ditangkap mata. Tahu-tahu saja gadis cantik itu telah lenyap. Anyelir yang saat itu sudah meluncur turun di depan Angkara, menyentuh tubuh lelaki kurus itu dari belakang. Sehingga Angkara kaget, dan menoleh ke belakang.
"Mampus...!" Begitu melihat tubuh gadis cantik itu, Angkara langsung saja menyabetkan pedangnya dengan ganas.
Sayang, lagi-lagi ia kehilangan sasaran. Tubuh Anyelir sudah melayang ke udara melewati kepala Angkara. Bahkan kedua kakinya sempat menotok punggung lelaki kurus itu. Hingga tubuh Angkara terdorong ke depan. Meskipun tidak terlalu kuat, namun cukup untuk membuat wajah Angkara semakin terbakar.
"Haiiit...!"
Dua orang kawan Angkara yang sejak tadi masih ragu-ragu, kini mulai ikut membantu. Keduanya menerjang maju dengan sambaran pedangnya.
"Hm....." Anyelir bergumam dengan bibir menyunggingkan senyum mengejek. Begitu serangan kedua lelaki itu tiba, kuda-kudanya direndahkan sambil mengibaskan lengan ke kiri dan kanan. Dan sebelum lawan menyadari tangkisannya, telapak tangan gadis cantik itu meluncur deras menggedor dada kedua lawannya secara bersamaan.
Desss, desss...!
"Aaa...!"
Terdengar pekik kesakitan. Disusul terlemparnya tubuh kedua kawan Angkara. Mereka terbanting keras dan memuntahkan darah segar. Beberapa saat kemudian, kepala keduanya tergolek lemah. Napas mereka langsung putus saat itu juga. Gedoran telapak tangan Anyelir memang dimaksudkan untuk membunuh.
Kejadian yang tidak disangka-sangka itu membuat suasana menjadi gempar. Penduduk yang menyaksikan perkelahian langsung bubar. Kekejaman gadis cantik berpakaian serba merah itu membuat mereka merasa ngeri, dan tidak bernafsu lagi menonton kelanjutan kejadian itu.
Panji sendiri sempat tersentak menyaksikan kekejaman gadis cantik itu. Ia sungguh tidak menduga, sehingga tidak sempat mencegahnya. Panji baru menyadari ketika melihat kedua orang itu melepaskan nyawa menghadapi sakaratul maut.
"Gila! Gadis cantik itu sungguh kejam sekali! Tanpa alasan yang jelas, ia tega membunuh kedua orang itu! Tidak salah lagi, wanita itu pasti Peri Kembangan....!" desis Panji. Lalu tubuhnya melayang ke tengah arena mendahului Kenanga. Sehingga, dara jelita itu menunda gerakannya untuk terjun ke arena pertempuran.
Campur tangan Panji ternyata tidak diterima baik oleh Angkara. Lelaki kurus itu menatap Panji dengan sorot mata mengancam. Ia merasa kalau pemuda tampan berjubah putih itu hendak memusuhinya.
"Sabar, Kisanak...," ujar Panji sebelum Angkara sempat menumpahkan makian kepadanya.
"Aku hanya tidak ingin melihatmu menjadi korban Peri Kembangan selanjutnya...." Angkara terlihat memalingkan wajahnya menatap sosok memikat Anyelir.
"Peri Kembangan...?!" desis Angkara. Agaknya lelaki kurus itu telah mendengar perihal tokoh yang belakangan ini tengah mengganas itu. Wajah Angkara menjadi pucat. Ia memang pernah mendengar ciri-ciri tokoh wanita yang tega membunuh dengan bibir tersenyum itu.
Anyelir pun tampak agak terkejut mendengar pemuda tampan berjubah putih itu menyebutkan julukannya. Hatinya yang semula terpikat oleh sosok pemuda tampan itu, kini pudar seketika. Sepasang matanya yang bulat memancarkan kilatan aneh dan penuh curiga.
"Siapa kau, Pemuda Tampan? Rupanya kau cukup banyak mengetahui tentang diriku...?" tanya Anyelir tanpa mempedulikan kehadiran Angkara di antara mereka berdua.
Panji bergerak maju beberapa langkah, dan berhenti dalam jarak satu tombak dari hadapan Anyelir. Sikapnya tetap tenang, membuat Peri Kembangan semakin curiga. Ia menduga pemuda itu memiliki kepandaian yang bisa diandalkan. Karena sikap pemuda tampan berjubah putih itu sangat tenang dan penuh percaya diri.
"Tidak banyak yang kuketahui tentang dirimu, Peri Kembangan. Tapi sepak terjangmu membuatku memberanikan diri untuk mencoba menghentikannya...," sahut Panji tanpa merasa perlu memperkenalkan diri pada gadis cantik itu.
Sementara itu, pemuda bertubuh kekar yang sejak tadi diam mendengarkan, kini melangkah maju, dan berhenti di samping Anyelir. Sikapnya jelas menujukkan kalau dia berpihak kepada Anyelir. Rupanya pemuda ini sudah terpikat oleh kecantikan dan sikap genit gadis cantik itu.
"Kisanak," ucap pemuda bertubuh kekar seraya menatap tajam wajah Panji.
"Seharusnya kau tidak memusuhi wanita ini. Ketiga orang itulah yang memulai keributan. Terlebih lelaki kurus itu, yang semula hendak berbuat kasar tidak senonoh. Sikapmu ini bukan pada tempatnya...."
"Hm.... Meskipun demikian, tidak seharusnya dia menurunkan tangan kejam dengan membunuh kedua orang itu. Seharusnya kau pun sadar, Kisanak. Gadis cantik yang kau bela itu bukan orang baik-baik. Bahkan sudah sering membunuh orang-orang tak berdosa setelah menjerat dengan kecantikannya...," tukas Panji mengingatkan lelaki bertubuh kekar.
Sebenarnya Panji tidak bisa menyalahkan pemuda bertubuh kekar, yang usianya paling-paling baru sembilan belas tahun. Sosok Peri Kembangan memang sanggup meruntuhkan hati lelaki yang bagaimanapun kerasnya. Apalagi ditambah dengan sikap genit yang memancing perhatian laki-laki.
Jangankan anak muda, kakek kakek pun sulit menghindari jerat Peri Kembangan. Itu harus diakuinya. Panji sendiri mengakui kecantikan serta daya tarik yang amat kuat pada diri wanita berpakaian serba merah itu. Kalau saja ia tidak mendapat gemblengan kuat dari gurunya, serta kehadiran sosok Kenanga, mungkin ia pun akan jatuh ke dalam jerat wanita cantik yang kejam itu.
"Hm...." Anyelir bergumam pelan mendengar ucapan Pendekar Naga Putih. Tapi, mulutnya tidak juga mengucapkan sesuatu. Tampaknya Anyelir hendak mendengar tanggapan pemuda kekar, yang ia tahu telah terjerat jaring-jaring asmara mautnya.
Tapi pemuda kekar itu kelihatannya belum pernah mendengar sepak terjang Peri Kembangan. Terbukti sikapnya tidak berubah. Ia tetap menunjukkan kalau dirinya berpihak kepada wanita cantik berpakaian merah itu. Bahkan perkataan Panji membuat wajahnya berubah merah. Pemuda bertubuh kekar itu tidak bisa menerima wanita yang telah menjatuhkan hatinya dihina demikian rendah.
"Tajam sekali lidahmu, Kisanak! Rupanya kau merasa dirimu sangat suci, sehingga mudah melemparkan tuduhan keji kepada wanita yang lemah lembut ini. Aku tidak bisa menerima ucapanmu itu...!" geram pemuda bertubuh kekar dengan sikap menantang.
Panji menghela napas panjang melihat sikap pemuda itu. Tapi, bukan berarti ia akan mendiamkan Peri Kembangan menyebar kekejaman. Meskipun terpaksa ia harus menghadapi pemuda kekar itu, Panji tetap akan menghentikan sepak terjang wanita iblis itu.
"Kau sungguh hebat, Peri Kembangan! Tapi, jangan harap kau dapat melampiaskan kekejamanmu pada pemuda itu...," ujar Panji, tanpa mempedulikan pemuda bertubuh kekar, yang tentu saja merasa tersinggung karena diremehkan.
"Manusia sombong...!" geram pemuda kekai sudah tidak bisa menahan diri lagi. Kakinya melangkah maju dengan sikap mengancam.
"Kau harus melangkahi mayatku untuk dapat menjamah wanita ini...!" Dengan kemarahan yang meluap-luap, lelaki bertubuh kekar melepaskan sebuah pukulan menyilang. Sasarannya pelipis kiri Panji.
Bwettt!
Tanpa menggeser langkahnya, Panji memiringkan kepala. Kemudian melangkah melewati tubuh pemuda kekar setelah berhasil mematahkan serangan pukulan lawan. Dan terus mendekati Anyelir yang sempat kagum melihat cara Panji mengelakkan serangan itu.
"Kau harus dihentikan, Peri Kembangan...!" ujar Panji seraya mengulurkan tangan kanannya dengan totokan pelumpuh. Panji kelihatan ragu untuk berbuat kasar pada gadis cantik yang penuh daya pikat itu.
"Hm...." Anyelir tersenyum mengejek melihat serangan Panji. Gadis cantik itu hendak menunjukkan kehebatannya kepada Pendekar Naga Putih. Begitu serangan Panji luput, kaki kanannya digeser dengan kuda-kuda indah, kemudian melancarkan serangan lurus ke dada Pendekar Naga Putih.
Whuttt..!
Kepalan mungil itu meluncur datang mengancam dada kiri Panji. Melihat angin pukulannya, Pendekar Naga Putih tahu kalau kekuatan yang digunakan wanita cantik itu cukup untuk membuat seseorang pingsan bila tidak memiliki tenaga dalam yang cukup tinggi. Diam-diam Panji mengakui kepandaian Peri Kembangan yang memang tidak bisa dipandang remeh. Tapi walaupun begitu Pendekar Naga Putih tidak berniat mengelakkan serangan itu. Tangannya sengaja diangkat untuk memapaki sekaligus mengukur kekuatan tenaga dalam wanita pemikat itu. Dan....
Plakkk!
Anyelir pun mempunyai maksud serupa. Gadis itu tidak merubah arah serangannya, meskipun tahu pemuda tampan berjubah putih itu akan menyambutnya. Ia baru merasa kaget saat kedua lengan mereka saling berbenturan. Karena ada rasa nyeri yang menjalar ke pangkal lengannya. Kenyataan itu menandakan kalau kekuatan lawan jelas tidak bisa dianggap ringan. Hingga Anyelir lebih memperhatikan pemuda itu.
"Hebat...!" Panji memuji kekuatan tenaga dalam Anyelir. Sekarang ia baru maklum, mengapa selama ini belum ada seorang tokoh pun yang dapat menghentikan sepak terjang gadis cantik itu. Memang cukup sulit mencari orang yang dapat menandingi kepandaian Peri Kembangan.
"Kau pun hebat, Pemuda Tampan...!" puji Peri Kembangan yang kelihatan merasa sayang harus melukai pemuda setampan dan sehebat Panji. Rasanya Anyelir lebih suka melepaskan pemuda kekar yang membelanya ketimbang pemuda berjubah putih itu. Sayang pemuda tampan itu kelihatannya tidak mudah ditundukkan dengan jeratnya. Bahkan pemuda itu terang-terangan mengatakan hendak menghentikan sepak terjangnya. Anyelir hanya dapat menghela napas menyesali sikap Panji.
Sementara Panji sudah kembali bersiap hendak menundukkan Peri Kembangan. Kali ini kelihatannya ia tidak main-main lagi. Pemuda itu mulai menunjukkan kepandaiannya kepada gadis cantik itu. Sebab Peri Kembangan bukan lawan yang mudah ditundukkan.
"Majulah, Pemuda Tampan! Hendak kulihat sampai di mana kehebatanmu!" tantang Anyelir.
* * * * *
:::≡¦ [ EMPAT ] ¦≡:::
Panji yang tengah bersiap menghadapi Peri Kembangan cepat menoleh ke belakang. Telinganya menangkap suara berdesing. Terdengar helaan napas beratnya ketika melihat pemuda bertubuh kekar meluncur datang dengan pedang di tangan.
"Hm...!"
Bwettt!
Sambaran pedang pemuda kekar meluncur dengan kecepatan yang cukup mengagumkan. Meski agak terpaksa, Panji menggeser tubuhnya dan memapaki serangan itu. Lalu melancarkan sebuah pukulan yang cukup kuat untuk menghentikan kebandelan pemuda itu.
Bukkk!
Memang tidak terlalu kuat pukulan yang dilancarkan Panji. Namun, cukup untuk membuat lawannya terjungkal dan jatuh pingsan.
"Maaf! Aku terpaksa bertindak sedikit keras terhadapmu, Kisanak," desah Panji sedikit menyesal. Kemudian kembali mengalihkan perhatiannya pada Peri Kembangan. Sebab saat itu terdengar bentakan lawan yang disertai deru angin pukulan.
"Lihat serangan...!"
Belum lagi gema suara itu lenyap, serangan Peri Kembangan telah menderu tajam mengancam tubuh Panji. Cepat pemuda itu mengelak dan membalas serangan lawan. Sebentar saja keduanya terlibat dalam sebuah pertarungan sengit!
Peri Kembangan berseru heran setiap kali serangannya dapat dipatahkan Panji. Mata gadis cantik itu semakin terbuka lebar dan sadar kalau pemuda yang dihadapinya bukan orang sembarangan. Selain sanggup menghadapi jurus-jurus serangannya, juga sempat mengirimkan serangan balasan yang cukup berbahaya.
"Hiaaat..!"
Penasaran karena serangannya belum juga mengenai sasaran, Anyelir membentak keras dan menambah kecepatannya. Sambaran angin yang menderu-deru mem-buat pepohonan di sekitar arena pertarungan berderak ribut. Memang hebat angin pukulan gadis cantik itu! Rasanya kepalan mungil berkulit halus itu sanggup meleburkan apa saja yang menghalanginya.
Whuttt..!
Pada jurus ketiga puluh dua, Panji bergerak mundur. Serangan Peri Kembangan bagai deburan ombak yang tidak pernah putus. Kendati semua serangan dapat dipatahkan dengan baik, tapi Panji belum mengirimkan serangan balasan yang mengejutkan.
Plak!
Untuk kesekian kalinya, lengan yang dilindungi kekuatan tenaga dalam itu saling berbenturan. Tapi kali ini Peri Kembangan terlihat agak kaget. Dan kuda-kudanya tergempur mundur beberapa langkah. Yang paling mengagetkan, ada getaran hawa dingin yang muncul dari lengan pemuda tampan berjubah putih. Tubuh gadis cantik itu menggigil sesaat. Hingga serangannya terhenti.
Peri Kembangan berdiri tegak dalam keadaan siap tempur. Sepasang matanya menatap tajam sosok pemuda berjubah putih di hadapannya. Bayang keraguan tampak pada sepasang mata bening dan indah itu. Gadis cantik itu tengah berbantahan dengan hatinya sendiri. Maka....
"Siapa kau sebenarnya, Kisanak...?" tanya Anyelir curiga. Kelihatannya ia mempunyai dugaan terhadap pemuda itu.
"Aku bernama Panji. Nah, apa kau sudah puas...?" sahut Panji memperkenalkan namanya, meskipun ia sudah dapat menebak arah pertanyaan Peri Kembangan.
"Kurang ajar! Bukan nama jelekmu yang aku tanyakan! Tapi julukanmu! Hanya orang pengecut yang tidak berani memperkenalkan julukannya...!" tukas Peri Kembangan dengan berang. Ia tahu pemuda itu sengaja memancing dirinya agar bertanya lebih jelas.
"Orang menjulukinya sebagai Pendekar Naga Putih. Itukah yang ingin kau ketahui, Perempuan Pemikat...?" Tiba-tiba terdengar jawaban yang datangnya bukan dari mulut Panji. Sebab selain sangat lembut untuk suara lelaki, arah datangnya pun dari tempat lain.
Jawaban itu membuat Peri Kembangan menoleh ke arah asal suara. Keningnya berkerut dalam ketika melihat sesosok tubuh ramping terbungkus pakaian serba hijau sedang melangkah ke tengah arena. Gadis berparas jelita itulah yang menjawab pertanyaannya. Dan, jawaban itu pun tidak kalah mengejutkan. Sehingga, gadis cantik berhati kejam itu tertegun sejenak
"Pantas kepandaianmu sangat hebat. Rupanya kau pendekar muda yang dipuja banyak orang itu...!" ujar Anyelir dengan nada suara yang mengandung ejekan.
"Petualanganmu akan segera berakhir di tangannya...," lanjut suara merdu Kenanga. Sementara dara jelita itu terus melangkah mendekati kekasihnya.
"Boleh aku yang menangani wanita kejam ini, Kakang...?"
Sebenarnya Panji ingin menangani sendiri wanita sesaat itu. Tapi ketika melihat kilatan aneh pada mata dara jelita itu, ia pun mengangguk. Panji tahu Kenanga merasa khawatir ia akan terpikat dan tidak tega melukai Peri Kembangan yang memang sangat mempesona. Dan Panji pun tidak ingin membuat dara jelita yang sangat dicintainya itu tertekan rasa cemburu.
"Berhati-hatilah...," pesan Panji seraya bergerak meninggalkan arena pertempuran.
Entah mengapa, melihat kejelitaan Kenanga, timbul rasa benci yang amat sangat di hati Peri Kembangan. Apalagi saat melihat sikap Pendekar Naga Putih yang demikian mesra terhadap dara jelita berpakaian serba hijau itu. Timbul niat dalam hatinya untuk melenyapkan Kenanga. Anyelir tahu kebenciannya disebabkan oleh rasa cemburu pada dara jelita itu. Peri Kembangan harus mengakui hatinya tertarik kepada pemuda tampan berjubah putih, yang baru kali ini ditemuinya selama bertualang di dunia persilatan.
"Apa hubunganmu dengan Pendekar Naga Putih, Kuntilanak..?" tanya Peri Kembangan yang tidak berhasil menyembunyikan rasa iri hatinya.
"Hm.... Kau tidak perlu mengetahui hubungan kami...," tukas Kenanga. Rupanya gadis jelita itu dapat menebak perasaan Anyelir. Kenanga ingin membuat Peri Kembangan penasaran.
"Kurang ajar...! Ternyata kau sama sombongnya seperti Pendekar Naga Putih! Hendak kulihat apakah kepandaianmu sesuai dengan sikapmu...!" geram Peri Kembangan yang segera membuka jurusnya, siap menggempur Kenanga.
Kenanga sendiri tidak mau banyak cakap lagi. Melihat lawan sudah mulai bersiap, langkahnya segera digeser membentuk kuda-kuda silang. Kemudian kaki kanannya maju membentuk kuda-kuda rajawali. Kemudian tangannya membuat gerakan yang kelihatan lemas, namun menyembunyikan kekuatan hebat. Dan....
"Haaat...!"
Disertai sebuah bentakan nyaring, tubuh dara jelita itu bergerak maju menyambut serangan lawan. Dalam gebrakan pertama itu Kenanga langsung menggunakan tiga bagian dari tenaga dalamnya. Bahkan mengeluarkan jurus andalannya. Sebab tadi ia telah menyaksikan kehebatan gadis pemikat itu. Kenanga agaknya tidak mau bertindak tanggung-tanggung lagi.
Whuttt...!
Begitu mengelakkan sebuah tamparan lawan, Kenanga langsung membalas dengan pukulan miring. Kecepatan dan kesigapan dara jelita itu sempat membuat Peri Kembangan tertegun. Tampaknya ia tidak menduga kalau dara jelita itu memiliki kecepatan gerak yang tidak kalah dengannya. Bahkan terlihat lebih mantap dan kuat.
"Heaaah...!"
Sadar kalau serangan balasan lawan tidak bisa diabaikan begitu saja, Anyelir segera melompat ke samping untuk menghindar. Tapi, untuk kedua kalinya gadis cantik itu dilanda rasa terkejut. Begitu serangan pertama luput, Kenanga masih melanjutkan serangannya dengan serangkaian pukulan dan tendangan yang jauh lebih berbahaya. Hingga dalam gebrakan pertama itu Peri Kembangan menjadi kalang-kabut!
"Jaga pukulanku...!"
Bentakan yang mengejutkan itu disusul dengan dua buah pukulan yang menerbitkan angin menderu tajam. Sehingga, Peri Kembangan berseru tertahan. Kedudukannya tidak memungkinkan untuk mengelak!
Plakkk!
Terdengar suara lengan berbenturan ketika dengan sangat terpaksa Peri Kembangan mengangkat tangan memapaki serangan Kenanga.
"Uhhh...?!" Peri Kembangan mengeluh tertahan. Tubuhnya terjajar mundur sejauh setengah tombak lebih. Untung ia masih sempat berputar untuk menjaga keseimbangan tubuhnya. Lalu membentuk kuda-kuda kokoh.
"Kurang ajar...!" desis gadis cantik berpakaian serba merah itu jengkel. Sekarang baru terbuka matanya kalau lawannya ternyata tidak bisa dipandang ringan!
"Mengapa berhenti, Perempuan Genit?" tegur Kenanga melihat gadis cantik itu menghentikan gerakannya, dan memandang dirinya dengan sorot mata tajam.
"Apa kau ingin menyatakan takluk kepadaku? Kalau begitu, cepatlah berlutut dan minta ampun."
"Setan...!" desis Peri Kembangan dengan dada turun naik. Anyelir tidak membalas ejekan lawannya. Sebab saat itu ia tengah memikirkan jalan keluar untuk meloloskan diri dari tempat itu.
Kenanga memperdengarkan tawanya yang renyah ketika melihat kegelisahan lawan. Sekali pandang ia langsung dapat menduga kalau Peri Kembangan hendak melarikan diri.
"Jangan harap kau dapat meninggalkan tempat ini dengan selamat, Perempuan Iblis! Aku tidak akan melepaskanmu. Dosa-dosamu sudah terlalu banyak. Kau harus menebusnya sekarang juga...!"
Peri Kembangan kelihatan semakin gelisah mendengar ancaman itu. Kakinya bergerak ke belakang beberapa langkah. Dan kedua tangannya membuat jurus-jurus baru. Wanita iblis itu tengah mempersiapkan ilmunya untuk pertarungan berikutnya.
"Bagus kalau kau masih mempunyai keberanian untuk melanjutkan pertarungan...!" ujar Kenanga. Kemudian kakinya melangkah maju, siap menggempur wanita iblis itu.
"Haiiit...!"
Kali ini Kenanga yang memulai serangan lebih dulu. Tubuhnya melayang dengan kecepatan yang mengagumkan. Angin pukulannya datang menyambar sebelum serangan itu tiba. Jelas serangan Kenanga kali ini jauh lebih berbahaya dari sebelumnya.
Peri Kembangan pun sadar akan kehebatan serangan lawan. Ia tidak mau bertindak ceroboh dengan memapaki serangan itu. Maka begitu serangan tiba, Anyelir melompat ke samping sambil mengirimkan tendangan kilat ke tubuh Kenanga.
"Hiaaa...!"
Plakkk!
Kenanga langsung menyambut tendangan lawan dengan telapak tangan terbuka. Terus menggeser kaki kirinya membentuk kuda-kuda silang seraya mengibaskan kedua tangannya dengan telapak membuka. Hebat dan cepat bukan main serangan dara jelita itu.
Peri Kembangan terpaksa harus melempar tubuhnya dengan berjumpalitan beberapa kali di udara. Dan baru meluncur turun setelah merasa yakin telah berada jauh dari jangkauan serangan lawan.
Tapi, Kenanga yang tidak ingin buruannya lepas, segera melesat dengan serangan-serangannya. Dara jelita itu tidak ingin memberi kesempatan kepada Peri Kembangan untuk meneliti sekitar tempat itu. Kenanga terus mencecar dengan hebatnya.
"Setan keparat...!" Lagi-lagi Anyelir mengumpat marah. Karena baru saja kedua kakinya menjejak tanah, serangan Kenanga kembali datang mengancam.
"Heaaah...!"
Rasa jengkel dan penasaran membuat Peri Kembangan bertindak nekat. Kali ini ia tidak berusaha menghindar. Bahkan mempersiapkan jurusnya untuk menyambut serangan lawan.
Whuttt, whuttt...!
Peri Kembangan mengeluarkan jurus andalannya dengan mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya. Akibatnya sungguh hebat sekali. Kenanga harus mengerahkan segenap kemampuannya untuk mengimbangi permainan lawan. Pertarungan pun bertambah seru dan berjalan cepat. Kedua wanita yang memiliki pesona memabukkan itu saling terjang bagai singa-singa betina.
Memang berbahaya sekali wanita cantik berjuluk Peri Kembangan itu. Kalau saja orang lain yang menjadi lawannya, mungkin sudah sejak tadi dapat ditundukkan. Untunglah kepandaian Kenanga sudah bertambah maju. Kalau tidak, belum tentu ia sanggup menandingi kepandaian wanita itu, gumam Panji dalam hati. Diam-diam Pendekar Naga Putih mengagumi kepandaian Peri Kembangan. Ia maklum jika wanita itu berani malang-melintang menyebar kejahatan. Sebab menurut penilaiannya, jarang ada tokoh yang sanggup menandingi kehebatan wanita cantik itu.
"Haaat..!"
Peri Kembangan semakin penasaran! Setelah bertempur enam puluh jurus lebih, ternyata ia masih belum sanggup mengalahkan lawan. Padahal selama ini ia jarang menemukan tandingan. Jangankan seorang wanita muda seusia lawannya, tokoh-tokoh tua yang cukup terkenal pun banyak yang gugur di tangannya. Jadi wajar kalau saat ini ia benar-benar dibuat penasaran oleh ketangguhan dara jelita itu.
Bukan hanya Anyelir yang diam-diam mengagumi kehebatan lawan. Kenanga sendiri terkejut setelah merasakan kehebatan wanita cantik itu. Bahkan ia mulai merasa ragu dapat mengalahkan lawannya. Karena sampai sejauh itu belum nampak tanda-tanda lawannya akan dapat dikalahkan. Bahkan serangan Peri Kembangan semakin bertambah hebat, kendati pertarungan sudah cukup lama berjalan.
"Hm.... Tampaknya aku memang harus menguras seluruh kepandaianku untuk menundukkan wanita iblis ini!" Gumam batin Kenanga.
Berpikir demikian, Kenanga mulai mengubah per-mainannya. Kali ini ia menggunakan jurus-jurus pamungkasnya yang sudah disempurnakan kekasihnya. Pengaruhnya tentu saja tidak kecil. Jurus 'Bidadari Menabur Bunga' yang kelemahan-kelemahannya boleh dikatakan sulit ditemui, telah mengejutkan Peri Kembangan. Ia mulai mengakui keunggulan lawan.
"Setan...!"
Lagi-lagi Peri Kembangan hanya bisa memaki ketika ia terdesak gempuran-gempuran Kenanga. Ruang geraknya semakin sempit, hingga sulit untuk mengembangkan jurus-jurusnya. Sampai kemudian....
Bukkk!
"Aaakh...!" Tubuh Peri Kembangan terlempar sejauh satu tombak akibat pukulan keras yang menghantam tubuhnya. Wanita cantik itu pun dilanda kegelisahan. Ia sadar kepandaian lawan masih lebih tinggi setingkat dari kepandaiannya. Anyelir menyusut cairan merah yang mengalir di sudut bibirnya. Napasnya terengah-engah, karena pukulan lawan membuat dadanya agak sesak, dan sulit bernapas. Tapi meskipun begitu, ia berusaha bangkit untuk menjaga serangan susulan yang mungkin akan dilancarkan.
Kewaspadaan Peri Kembangan memang beralasan. Karena saat itu Kenanga telah melesat dengan serangan berikutnya. Tampaknya gadis jelita itu ingin segera menyelesaikan pertarungan yang melelahkan ini.
"Heaaah...!"
Sadar kalau tidak mungkin sanggup menghadapi serangan lawan, Peri Kembangan mengambil tindakan licik. Sambil menyiapkan senjata rahasia yang disimpan di pinggangnya, wanita cantik itu membentak nyaring. Kemudian lengannya dikibaskan dengan sisa-sisa tenaganya.
Srrr... srrr...!
Belasan jarum-jarum halus meluncur menyambut tubuh Kenanga! Tentu saja dara jelita itu terkejut. Sedikit pun tidak diduganya kalau lawan akan berbuat selicik itu. Tidak ada jalan lain baginya kecuali sebisa mungkin menghalau sinar-sinar hitam itu.
"Haiiit...!"
Dengan mengerahkan seluruh tenaga dalamnya, Kenanga memutar kedua tangannya. Tapi....
"Akh...?!" Meskipun sudah berusaha melindungi tubuhnya dari serangan gelap itu, tak urung beberapa di antaranya lolos juga. Kenanga terpekik dengan tubuh terbanting ke tanah.
"Kenanga...!"
Menyaksikan tubuh kekasihnya terbanting jatuh, Panji cepat berlari memburu. Pendekar Naga Putih memang sempat menyaksikan perbuatan Peri Kembangan. Tapi, karena jarak antara mereka cukup jauh, ia tidak sempat mencegahnya. Kekhawatiran akan keadaan Kenanga membuat Panji tidak mempedulikan wanita iblis itu. Ia sudah dapat menebak Peri Kembangan menggunakan senjata rahasia yang dilumuri racun. Sehingga, Panji lebih mementingkan keselamatan kekasihnya daripada mencegah Peri Kembangan yang dilihatnya langsung meninggalkan tempat itu.
"Wanita iblis itu sungguh licik sekali, Kakang...," rintih Kenanga, sebelum jatuh tak sadarkan diri. Racun di dalam jarum-jarum halus itu telah bekerja cepat.
Melihat kekasihnya tak sadarkan diri, Panji langsung memeriksa tubuh dara jelita itu. Dan menotok di beberapa tempat untuk mencegah racun itu tidak segera menyebar ke jantung. Sebab kalau hal itu sampai terjadi, besar kemungkinan kekasihnya akan tewas. Panji menarik napas lega setelah memberikan pertolongan pertama. Lalu tanpa mempedulikan sekelilingnya, tubuh pemuda berjubah putih itu melesat pergi membawa Kenanga.
* * * * *
LIMA PANJI terus berlari meninggalkan Desa Warang. Ia hendak mencari tempat yang aman untuk mengeluarkan racun yang mengeram di tubuh kekasihnya. Satu-satunya tempat yang cocok adalah sebuah hutan di sebelah selatan desa itu. Setelah memasuki hutan dan mencari-cari tempat yang dianggapnya cocok, dilihatnya sebuah pondok sederhana. Cepat dibawanya Kenanga ke tempat itu. Meskipun sudah agak rapuh, ditemukannya sebuah balai-balai bambu. Panji segera membaringkan tubuh Kenanga.
Secara kebetulan, pondok sederhana itu dibangun dekat aliran sungai yang berair jernih. Dari sungai itulah Panji mengambil air. Karena ia sudah meneliti sifat racun yang berada di dalam tubuh Kenanga. Ia tahu kekasihnya pasti akan merasa haus setelah sadar dari pingsannya. Sebab racun itu mengandung hawa panas.
"Uhhh...."
Panji yang duduk di tepi pembaringan, segera memegang jemari tangan kekasihnya. Dan meng-genggamnya erat-erat. Pemuda itu tersenyum saat melihat kelopak mata Kenanga mengerjap dan terbuka.
"Kakang...," panggil dara jelita itu dengan suara berdesah pelan. Keningnya tampak dibasahi titik-titik keringat.
"Ya...," sahut Panji seraya meremas perlahan jemari dara jelita itu, sebagai tanda ia berada di dekatnya.
"Aku haus...," rintih Kenanga lagi disertai erangan lirih. Wajah jelita itu tampak kemerahan. Karena racun yang berada dalam tubuhnya kembali bekerja.
Panji pun segera menyodorkan air yang ditampungnya pada selembar daun pisang. Kemudian didekatkan ke bibir Kenanga yang kelihatan pucat dan kering. Setelah meneguk habis air yang diberikan Panji, Kenanga kelihatan agak tenang. Tapi, bukan berarti bahaya telah lewat. Tubuh dara jelita itu makin bertambah panas. Bahkan pakaian yang dikenakannya mulai dibasahi peluh yang mengalir deras di sekujur tubuhnya.
"Hebat sekali racun yang terdapat pada jarum-jarum halus itu. Tidak kusangka wanita iblis itu memiliki keahlian yang cukup tinggi dalam hal racun. Entah dari mana ia berasal, dan siapa yang telah mendidiknya sampai demikian lihai...," gumam Panji ketika melihat cara kerja racun itu. Panji pun sadar satu-satunya jalan untuk mengusir racun di dalam tubuh Kenanga adalah dengan menggunakan 'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi'.
"Kenanga..., kau dengar suaraku....?" tanya Panji mendekatkan wajahnya ke telinga dara jelita itu, yang kini telah memejamkan kedua matanya kembali.
"Aku dengar, Kakang...," sahut Kenanga setengah berbisik. Kenanga tampaknya cukup menderita dengan keadaan itu.
"Hm.... Coba kosongkan pikiranmu. Kuasai tenaga dalammu agar tidak melawan sewaktu aku menyalurkan 'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi' ke dalam tubuhmu. Hanya ini jalan satu-satunya untuk mengenyahkan racun yang ada dalam tubuhmu. Kau sanggup melakukannya...?" ujar Panji memberikan petunjuk.
"Aku... sanggup, Kakang...," jawab Kenanga lirih.
"Kalau begitu, bersiaplah...," lanjut Panji. Lalu membantu kekasihnya bangkit agar mudah menyalurkan tenaga mukjizatnya ke dalam tubuh Kenanga.
Kenanga tidak membantah ketika Panji menyuruhnya duduk dalam sikap semadi. Dara jelita itu mengosongkan pikirannya agar tenaga dalamnya tak melawan saat Panji memindahkan tenaga dalamnya melalui telapak tangan yang diletakkan ke punggung dara jelita itu.
Tubuh Panji yang duduk dalam sikap semadi di belakang kekasihnya mulai diselimuti cahaya keemasan. Pertanda 'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi' mulai menunjukkan kekuatannya. Dengan perlahan cahaya keemasan itu bergerak dan berkumpul di kedua telapak tangan pemuda itu. Lalu lenyap ke dalam tubuh Kenanga. Beberapa saat kemudian, setelah tenaga mukjizat itu berpindah ke dalam tubuh kekasihnya, Panji melepaskan kedua telapak tangannya perlahan-lahan. Dan merebahkan tubuh kekasihnya yang telah diselimuti cahaya keemasan.
"Hhh...!" Panji menghela napas lega melihat cahaya keemasan itu melebar dan hawa panasnya semakin menyengat kulit. Ia tahu itu pertanda 'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi' mulai bekerja. Sekarang ia hanya tinggal menunggu kesembuhan kekasihnya. Karena tenaga mukjizat itu sanggup membakar segala jenis racun. Bahkan racun yang paling ganas sekalipun!
Panji tampaknya tidak perlu menunggu terlalu lama. Daya kerja tenaga mukjizatnya memang luar biasa. Beberapa saat setelah ia memindahkannya, Kenanga mulai sadar dan mengeluh perlahan. Senyum di wajah pemuda tampan berjubah putih itu pun terkembang ketika Kenanga bangkit dengan wajah segar seperti biasa. Dara jelita itu sudah sembuh dan terbebas dari pengaruh racun Peri Kembangan.
"Kau kelihatan sudah sehat seperti semula, Kenanga...," ujar Panji saat melihat dara jelita itu tersenyum manis.
"Benar, Kakang. Tubuhku terasa segar. Bahkan jauh lebih segar dari biasanya...," sahut Kenanga segera bangkit dari pembaringan dan duduk di sebelah kekasihnya.
"Itu karena 'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi' masih mengalir di seluruh tubuhmu," jelas Panji.
"Kau benar, Kakang. Aku memang merasakannya...," tukas Kenanga setelah terdiam sesaat, seperti hendak meneliti kebenaran ucapan itu.
Apa yang dikatakan pemuda itu memang tidak salah. Kenanga merasakan ada hawa hangat mengalir di dalam tubuhnya. Hawa mukjizat itu masih menjaga kalau-kalau ada racun yang tersisa di dalam tubuh dara jelita itu.
"Biarlah untuk sementara kekuatan mukjizat itu berada dalam tubuhmu...," ujar Panji. Karena ia tahu hal itu sangat baik bagi Kenanga.
"Kita harus segera mencari wanita iblis itu, Kakang. Aku khawatir ia akan kembali melakukan perbuatan kejinya. Entah keuntungan apa yang didapatnya dari perbuatan terkutuk itu...?" ucap Kenanga yang merasa telah cukup kuat untuk melakukan perjalanan jauh maupun bertempur.
Panji tidak menjawab dengan kata-kata. Pemuda itu hanya mengangguk menyetujui usul kekasihnya. Ia yakin Kenanga sudah pulih seperti biasa. Maka, Panji segera bangkit dan mengajak Kenanga mencari Peri Kembangan untuk menghentikan perbuatan biadab wanita cantik berhati iblis itu.
* * * * *
Gadis cantik berpakaian serba merah itu duduk di atas batu bulat di dalam taman. Sepasang matanya yang bulat bening mengawasi bunga-bunga yang sedang mekar. Hingga menyebarkan bau harum di sekitar tempat itu. Kelihatannya gadis cantik itu benar-benar menikmati keindahan alam dl sekitarnya.
"Anyelir, Dewi Pujaanku...." Suara panggilan mesra bernada rayuan itu menyelusup ke dalam telinga, membuat gadis cantik itu menoleh dengan raut tak senang. Kelihatannya ia merasa terganggu dengan kehadiran suara itu.
"Ah.... Kau rupanya, Kakang Japati...," ujar gadis cantik yang tidak lain Anyelir. Bibirnya yang merah menantang, mengulas senyum manis ketika melihat seorang lelaki gagah melangkah ke arahnya.
"Maaf, kalau kehadiranku telah membuatmu terganggu, Anyelir...," ujar lelaki gagah yang bernama Japati masih dengan penuh mesra. Kemudian tubuhnya dijatuhkan di sebelah Anyelir. Tangannya melingkar di bahu yang hangat itu.
"Tidak mengapa, Kakang. Kehadiranmu tidak mengganggu. Bahkan aku merasa senang sekali...," tukas Anyelir. Lalu merebahkan kepalanya di dada bidang Japati. Manja sekali sikap Anyelir terhadap lelaki gagah itu. Padahal wajah lelaki itu tidak bisa dibilang tampan. Biasanya Anyelir tidak akan berbuat demikian. Ia hanya menyukai pemuda-pemuda tampan yang memenuhi seleranya. Tapi, kali ini tampaknya ia tidak mempedulikan hal itu.
"Syukurlah kalau begitu. Tadinya aku merasa cemas ketika tidak menemukanmu di dalam rumah. Kukira kau telah pergi karena tidak suka hidup bersamaku...," lanjut Japati, mengecup lembut rambut Anyelir yang berbau harum.
Anyelir tidak menanggapi ucapan itu. Hanya menggesekkan kepalanya ke dada bidang Japati, bagai seekor kucing yang hendak bermanja kepada majikannya. Japati menarik napas dalam-dalam mencium bau harum tubuh Anyelir. Deru napasnya terdengar lebih cepat. Rupanya bau tubuh gadis cantik itu telah membuat gairahnya bangkit. Maka ditariknya tubuh lembut itu ke dalam pelukannya. Kemudian membisikkan sesuatu ke telinga gadis itu.
"Iiih...! Bukankah kita sudah melakukannya beberapa kali dalam semalam...?" Terdengar suara manja Anyelir ketika mendengar bisikan Japati. Kendati berkata demikian, namun bibirnya menyunggingkan senyum menantang, membuat lelaki gagah itu semakin tidak sanggup menahan gejolak dalam dadanya.
"Salahmu sendiri. Mengapa kau demikian cantik dan mempesona...," tukas Japati.
Kemudian tubuh ramping itu dipondongnya tanpa mempedulikan pekikan manja yang mencela perbuatannya. Gadis cantik itu dibawanya ke dalam rumahnya yang merupakan bangunan megah. Tampaknya Japati merupakan orang terhormat dan banyak memiliki harta.
Anyelir memperdengarkan kekehnya yang genit. Ia tidak berusaha melepaskan diri. Dan membiarkan lelaki gagah itu melakukan apa yang diinginkannya. Sebentar kemudian, tubuh keduanya lenyap di balik pintu kayu tebal yang berukir indah. Hanya dinding-dinding kamar tempat mereka berada yang tahu perbuatan manusia berlainan jenis itu.
Japati memang bukan orang sembarangan di kadipaten itu. Ia adalah penguasa di tempat itu, yang dengan sikapnya sanggup menghitamputihkan segala sesuatu. Japati seorang adipati yang ditakuti penduduk daerah itu. Agaknya alasan inilah yang membuat Anyelir menyerahkan diri sepenuhnya kepada lelaki setengah baya itu. Tentunya ia mendapat keuntungan yang telah dipikirkannya masak-masak. Kalau tidak, mana mungkin wanita cantik itu mau menyerahkan dirinya pada Adipati Japati yang wajahnya tidak bisa dibilang tampan. Bahkan mendekati buruk dan bengis.
Tanpa sepengetahuan Japati dan Anyelir, sepasang mata tajam sempat melihat mereka memasuki kamar paling besar di dalam bangunan megah itu. Ada kilatan marah dan benci dalam bola mata sosok tubuh tegap yang bersembunyi di balik dinding ruangan besar itu. Apa yang dilakukan Anyelir bersama Adipati Japati telah membangkitkan rasa cemburu di hatinya.
"Perempuan laknat...!" desis pemilik sepasang mata tajam itu. Kilatan dendam tersirat dalam pandang matanya.
"Rupanya bukan cuma aku yang mendapatkan cintanya! Dasar perempuan rendah...!"
Setelah menumpahkan kemarahannya melalui makian dan cercaan, pemilik sorot mata tajam itu bergerak meninggalkan tempat itu. Langkahnya demikian hati-hati. Sepertinya ia merasa khawatir kehadirannya akan diketahui kedua orang itu. Ia sangat maklum kedua orang yang diintainya sejak dari dalam taman merupakan orang-orang terlatih yang bisa mendengar suara langkah kaki. Sosok itu baru melangkah biasa setelah agak jauh. Kemudian bergegas masuk ke dalam kamar yang cukup besar. Dan lenyap di balik pintu tebal berukir.
* * * * *
Cahaya kemerahan tampak menghiasi kaki langit sebelah barat. Tak berapa lama kemudian, pijarnya lenyap tertutup kegelapan. Rembulan pun muncul menghiasi malam. Bintang-bintang yang berkerlip jenaka bergantungan di langit kelam, membuat suasana malam demikian indah dipandang mata.
Di bawah pancaran cahaya bulan yang gemerlap tampak sesosok tubuh bergerak menuju taman yang terletak di belakang rumah Kadipaten Banjaran. Dari sikapnya yang hati-hati, mudah ditebak kalau kedatangannya di tempat itu tidak ingin diketahui orang.
"Kasihan... Apa kau terlalu lama menungguku, Ganajaya...?" tegur sosok tubuh itu dengan mesra. Kali ini ia tidak takut-takut lagi untuk menunjukkan dirinya. Kedatangannya memang hendak menemui sosok tubuh tegap yang tengah duduk termenung di dalam taman.
Sosok tubuh tegap yang sudah pasti seorang lelaki itu tidak menoleh, meskipun jelas-jelas mendengar teguran itu. Bahkan tetap memandang lurus ke depan saat sosok tubuh itu melangkah gemulai menghampiri. Lelaki tegap yang dipanggil Ganajaya itu tampaknya tidak mempedulikan kehadiran sosok tubuh ramping padat itu.
"Hm.... Rupanya kau masih berani juga menemuiku, Perempuan Rendah...!" desis Ganajaya saat sosok tubuh ramping itu semakin dekat.
Ucapan kasar itu membuat langkah sosok wanita itu terhenti. Kemudian kembali bergerak dan agak bergegas. Ia sempat terkejut mendengar ucapan tadi.
"Kau bicara apa barusan, Ganajaya...? Apakah makian itu kau tujukan untukku...?" tegur gadis bertubuh menggiurkan itu dengan menyembunyikan keheranan dan rasa penasarannya.
Ganajaya tidak menyahut. Tubuhnya langsung bangkit saat wanita itu duduk di sebelahnya. Tampaknya lelaki tegap itu benar-benar sedang marah. Sampai-sampai tidak sudi duduk berdampingan dengan gadis bertubuh ramping padat itu.
"Ada apa, Ganajaya...? Sikapmu benar-benar membuatku penasaran! Kalau kau memang sudah tidak suka kepadaku, aku akan pergi dari tempat ini. Tapi katakan dulu, apa yang membuatmu berubah seperti ini? Apakah kata cinta yang pernah kau ucapkan hanya rayuan karena ingin menikmati tubuhku...? Jawab pertanyaanku, Ganajaya?" ujar wanita itu dengan suara agak meninggi. Kelihatannya ia merasa tersinggung dengan sikap Ganajaya.
"Jangan tanya padaku, Anyelir! Coba kau teliti dirimu. Apakah ucapan manismu juga kau desahkan untuk menggoda ayahku? Nah, apa jawabmu...?" tukas Ganajaya melemparkan kembali kata-kata yang diucapkan wanita bertubuh menggiurkan, yang ternyata Anyelir.
Ganajaya adalah putra Adipati Japati, yang merupakan kekasih Anyelir atau Peri Kembangan. Rupanya wanita kejam itu telah melangkah terlalu jauh. Dengan beraninya ia menjerat ayah dan anak penguasa Kadipaten Banjaran. Sungguh sebuah keberanian yang luar biasa!
"Hm.... Katakan terus terang, Ganajaya? Apa maksud ucapanmu?" tanya Anyelir mencoba menyembunyikan perbuatannya. Ia hendak mencari tahu, sampai sejauh mana lelaki tegap itu mengetahui hubungannya dengan Adipati Japati.
"Jangan berpura-pura, Anyelir! Kau pikir aku tidak tahu apa yang telah kau perbuat dengan ayahku? Coba katakan, apa yang akan diperbuat dua orang berlainan jenis di dalam kamar tertutup? Apakah kau hendak mengatakan kalian tengah bermain kucing-kucingan di dalam kamar itu?" geram Ganajaya dengan suara bagaikan kucing terinjak buntutnya.
Hati lelaki tegap itu terasa sakit mendengar wanita yang dicintainya berusaha menyembunyikan perbuatan kotornya. Terlebih lagi dilakukan bersama ayahnya, lelaki yang seharusnya dihormati Anyelir. Tak dapat dibayangkan betapa sakitnya luka yang tertoreh di hati lelaki tegap itu.
"Ganajaya...!" pekik Anyelir dengan terisak. Wanita iblis itu hendak mempergunakan senjata wanitanya untuk meruntuhkan hati Ganajaya. Air mata itu agaknya berhasil membuat hati Ganajaya tergerak. Lelaki itu tidak berkata apa-apa untuk beberapa saat. Hanya berdiri mematung menatap Anyelir yang menutupi wajah-nya dengan bahu berguncang lembut. Apa yang dilakukan wanita itu membuat Ganajaya tertegun.
"Kau tidak tahu, Ganajaya. Betapa aku melakukannya dengan sangat terpaksa...," rintih Anyelir masih tetap menutupi wajahnya. Kelihatannya hati gadis itu sangat ter-luka oleh tuduhan Ganajaya.
"Apa... apa maksudmu, Anyelir...? Mengapa kau katakan terpaksa?" tanya Ganajaya seraya menghampiri gadis cantik itu dan memegang bahunya.
Merasa senjatanya berhasil mengenai sasaran, Anyelir semakin terisak. Tapi tak setetes air mata pun mengalir membasahi jemarinya. Tangis itu jelas hanya dibuat-buat. Sayang Ganajaya tidak memperhatikan hal itu. Ia sudah cukup sibuk memikirkan ucapan Anyelir barusan.
"Aku tidak ingin kau semakin terluka bila kuceritakan hal yang sesungguhnya terjadi, Ganajaya. Biarlah semua ini kusimpan sendiri. Dan..., selamat tinggal...."
Setelah berkata demikian, Anyelir membalikkan tubuh hendak meninggalkan tempat itu. Tapi, Ganajaya tidak membiarkan gadis cantik itu meninggalkannya tanpa mengatakan apa sebenarnya yang sudah terjadi.
"Kau tidak boleh pergi, Anyelir. Katakan, apa yang sebenarnya telah terjadi? Aku berjanji akan memaafkan perbuatanmu, dengan syarat kau tidak akan mengulanginya lagi...," pinta Ganajaya mencegah kepergian gadis cantik itu.
Mendengar ucapan itu, Anyelir berbalik dan menyurukkan kepalanya ke dalam pelukan Ganajaya. Sehingga, lelaki tegap itu kelihatan semakin iba, dan membalas pelukan Anyelir. Bahkan membelai rambut gadis itu dengan penuh kasih sayang. Untuk beberapa saat suasana menjadi bisu. Hanya desau angin yang terdengar lembut, ditingkahi gemerisik dedaunan. Kedua insan itu masih tetap saling berpelukan tanpa kata.
* * * * *
:::≡¦ [ ENAM ] ¦≡:::
Pada mulanya Anyelir bersikeras tidak mau menceritakan apa yang dialaminya. Tapi karena Ganajaya terus memaksa, akhirnya gadis cantik itu menceritakan juga.
"Pada mulanya aku pun kaget...," Anyelir memulai ceritanya.
"Ayahmu datang menemuiku saat aku tengah menyendiri di taman. Entah setan apa yang merasuk ke dalam tubuhnya ketika melihat aku duduk sendirian. Ia langsung merayu dengan menjanjikan akan mengabulkan segala keinginanku. Asalkan aku mau melayani nafsu bejatnya. Tentu saja aku menolak. Ayahmu sangat marah dengan penolakanku. Ia berkata akan mengusirmu dari rumah ini, dan tidak akan mengakuinya sebagai anak lagi. Sungguh kaget hatiku mendengar ancaman itu...."
Sampai di situ Anyelir menghentikan ceritanya. Wajahnya menengadah menatap Ganajaya. Seolah hendak melihat tanggapan pemuda bertubuh tegap itu. Ganajaya terkejut bukan main mendengar penuturan Anyelir. Sedikit pun tidak pernah terpikir ayahnya akan bertindak sejauh itu. Tubuh pemuda tegap itu menggigil seperti orang terserang demam hebat. Wajahnya tidak lagi merah, tapi pucat saking marahnya.
"Lanjutkan, Anyelir...," pinta Ganajaya dengan suara bergetar penuh dorongan emosi yang bergejolak dalam dada. Sepasang matanya memancarkan kemarahan dan luka yang dalam.
"Sudahlah, Ganajaya. Sebaiknya kita lupakan saja semua itu. Kita tinggalkan tempat ini, dan hidup bersama jauh dari jangkauan kekuasaan ayahmu. Aku tidak ingin menyiksamu lebih jauh...," bujuk Anyelir agar Ganajaya tidak perlu lagi mendengar kelanjutan cerita itu.
"Tidak, Anyelir. Aku harus tahu semuanya. Kau... tidak perlu khawatir...," bantah Ganajaya dengan suara bergetar. Ditariknya napas dalam-dalam untuk menyiapkan kekuatan mendengar kelanjutan cerita gadis cantik itu.
"Jangan, Ganajaya...!" Anyelir masih berusaha mencegah keinginan pemuda tegap itu. Ditatapnya wajah Ganajaya dengan penuh permohonan.
"Lanjutkan, Anyelir. Aku ingin tahu apa lagi yang dikatakan tua bangka tak tahu diri itu untuk membujukmu...?" ujar Ganajaya dengan nada suara yang mulai menurun, kendati tetap menunjukkan kekerasan hatinya.
"Baiklah...," desah Anyelir menyerah. Gadis itu lalu melanjutkan ceritanya. Termasuk ucapan-ucapan Adipati Japati untuk merayu dirinya agar menuruti keinginan kotor penguasa Kadipaten Banjaran itu.
"Keparat...!" desis Ganajaya dengan mata merah menyala. Kemarahan di dalam dadanya menyentak kuat bagai gelora ombak samudera, membuat lelaki tegap itu meringis sambil mendekap dada.
"Ganajaya...!" Anyelir terpekik kecil ketika melihat lelaki tegap itu tampak menderita sekali. Tapi, kekhawatiran itu hanya tipu muslihatnya. Jauh di dalam hatinya, Anyelir tertawa puas melihat kebencian mulai timbul di hati Ganajaya terhadap orangtuanya. Memang itulah maksudnya masuk ke dalam lingkungan Kadipaten Banjaran.
"Tua bangka itu harus diberi pelajaran! Sungguh tega ia hendak mencampakkan ibuku untuk mendapatkanmu. Rasanya ia benar-benar sudah ditunggangi iblis...!" ujar Ganajaya seraya mengepalkan tinjunya erat-erat
Ucapan itu bukan sekadar ancaman kosong belaka. Anyelir tahu betul akan hal itu. Bibirnya pun menyunggingkan senyum iblis, karena rencananya berjalan mulus Anyelir diam menatap wajah yang tengah dilanda kemarahan hebat itu. Kali ini ia tidak menanggapi dan tidak berusaha menenangkan lelaki tegap itu. Dibiarkannya Ganajaya menumpahkan semua kemarahannya melalui ancaman-ancaman berbau maut.
"Aku akan menemuinya, dan memaksa agar semua yang pernah diucapkannya ditarik kembali. Kalau tidak, terpaksa aku akan bertindak untuk kebahagiaan kita, juga untuk ibuku...!" ujar Ganajaya seraya menatap langit kelam, sekelam dan sehitam suasana hatinya saat itu.
Mendengar ucapan itu, Anyelir kelihatan sangat kaget. Tentu saja hal itu tidak dikehendakinya. Ia harus segera mencegahnya.
"Jangan, Ganajaya! Aku tidak ingin kau melakukan hal itu...!" ujar Anyelir terdengar agak keras dan penuh tekanan, membuat pandangan lelaki tegap itu beralih ke raut wajah cantik menggiurkan itu.
"Mengapa, Anyelir...? Bukankah sudah seharusnya aku mengingatkan ayah atas kesesatannya itu...?" tanya Ganajaya memegang bahu gadis cantik itu, dan meremas-nya lembut penuh kasih sayang.
"Kau tidak perlu bertindak sejauh itu. Sebaiknya kita lupakan saja yang sudah terjadi. Marilah...," tukas Anyelir sambil merebahkan kepalanya di dada Ganajaya. Dan menggesek-gesekkannya dengan penuh kemanjaan.
Perbuatan gadis cantik itu membuat Ganajaya menarik napas panjang. Bau harum rambut wanita itu serta kelembutan dan kehangatan tubuh ramping yang melekat erat di tubuhnya, membuat keinginannya bangkit seketika.
"Anyelir, kekasihku... dewiku...," desah Ganajaya seraya memeluk erat tubuh lembut yang menawarkan kenikmatan itu.
Sebentar kemudian mereka bergerak meninggalkan taman dengan tubuh saling berpelukan. Dan lenyap di balik pintu kamar rumah Adipati Japati. Hanya mereka berdua yang tahu apa selanjutnya yang terjadi di dalam kamar itu.
* * * * *
"Kita tidak mungkin membiarkan semua ini berlanjut, Kakang! Sebab, bukan tidak mungkin perempuan iblis itu akan menguasai kadipaten ini. Kalau sudah demikian, tidak ada lagi kesempatan bagi kita untuk bertindak...!" ujar lelaki gemuk berkumis tebal dengan penuh semangat. Tampaknya ia tengah merasa cemas terhadap sesuatu.
"Apa lagi yang harus kita lakukan, Adi? Kalau adipati sendiri sudah tidak mau lagi mendengar nasihat kita, tidak ada lagi yang dapat kita perbuat. Menurutku, kita hanya tinggal menunggu keruntuhan kadipaten ini...," tukas lelaki setengah baya, yang sebagian rambut di atas telinganya berwarna putih. Kelihatannya lelaki itu sudah putus asa dan tidak tahu harus berbuat apa.
"Tidak! Perempuan iblis itu harus segera dilenyapkan. Atau paling tidak mengusirnya keluar dari lingkungan kadipaten! Kita berdua harus melakukannya, Kakang. Karena keutuhan dan keamanan kadipaten ini ada di tangan kita berdua. Apa pun yang terjadi, kita harus bertindak!" tegas lelaki gemuk berkumis tebal yang kelihatannya belum berputus asa. Bahkan dalam kepalanya telah tersusun sebuah rencana.
"Kau mempunyai rencana, Adi...?" tanya lelaki setengah baya yang kelihatan masih gagah. Lelaki setengah baya ini memang bukan orang sembarangan. Di dalam lingkungan Kadipaten Banjaran, ia merupakan orang kedua yang memiliki kekuasaan penuh setelah Adipati Japati. Ia adalah Senapati Bawara, yang bertanggung jawab penuh atas keselamatan junjungannya maupun keutuhan kadipaten itu.
"Ya! Sebab, aku tidak ingin ulah perempuan keparat itu semakin menjadi-jadi. Walau harus mengorbankan nyawa, aku bertekad mencegah kehancuran kadipaten ini...!" jawab lelaki gemuk berkumis lebat, yang bernama Jipangga dan merupakan jagoan Kadipaten Banjaran. Mereka merupakan sahabat baik, dan selalu setia pada junjungannya.
"Aku pun tidak akan ragu berkorban untuk tegaknya kadipaten ini, Adi. Tapi, kita tidak boleh mengorbankan nyawa sia-sia. Apalagi perempuan iblis itu kabarnya memiliki ilmu yang tidak rendah. Menurut laporan beberapa mata-mata yang kusebar, dapat kutarik kesimpulan kalau wanita cantik menggiurkan itu adalah Peri Kembangan.
Sayang aku terlambat mengetahuinya. Karena baik Adipati Japati maupun Tuan Muda Ganajaya telah masuk ke dalam jerat yang dipasang perempuan setan itu. Sehingga, mata dan hati mereka menjadi buta dan tidak lagi mau mendengar laporanku. Bahkan beliau sangat marah dan mengancam akan memecatku bila masih juga menjelek-jelekkan Peri Kembangan...."
Senapati Bawara kelihatan sangat sedih karena laporannya ditolak, bahkan kedudukannya terancam. Ia tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan dan hanya bisa menyesali sikap Adipati Japati.
"Aku pun tidak luput dari ancaman itu, Kakang. Bayangkan, setelah mendidik Tuan Muda Ganajaya selama sekian tahun, baru kali ini aku tidak bisa mencegah tindakannya. Bahkan ia memutuskan hubungan guru dan murid ketika kunasihati agar berhati-hati terhadap perempuan iblis itu. Alangkah sakitnya hatiku mendengar perkataan Tuan Muda Ganajaya. Kalau menurutkan kata hatiku, sudah jauh-jauh hari aku meninggalkan kadipaten ini. Karena aku selalu menentang segala bentuk kejahatan dan berpegang pada keadilan itulah yang memaksaku bertahan di tempat ini...."
Jipangga memaparkan pengalaman pahitnya yang hampir mirip dengan pengalaman sahabatnya. Ternyata mereka bukan hanya memikirkan kepentingan diri sendiri. Pengabdian mereka jelas bukan karena harta ataupun kedudukan.
"Sekarang katakanlah rencanamu, Adi. Aku akan membantu dengan sekuat tenaga. Satu hal yang perlu kuingatkan padamu. Apa yang akan kita lakukan nanti, kuharap jangan diberitahukan kepada orang lain. Biarlah hanya kita berdua yang mengetahuinya...," ujar Senapati Bawara yang jelas-jelas mendukung rencana sahabatnya.
"Terima kasih, Kakang. Aku benar-benar bangga mempunyai sahabat sepertimu. Yang memiliki kesetiaan terhadap jabatan," ujar Jipangga seraya menjabat erat jemari tangan sahabatnya.
Setelah mengetahui sikap sahabatnya, Jipangga segera memaparkan rencana yang selama ini disimpannya. Tapi, meskipun merasa yakin kalau pembicaraan mereka tidak ada yang mendengarkan, tetap saja rencana itu mereka atur dengan berbisik-bisik.
"Hm.... Rencanamu cukup bagus, Adi. Sekarang juga akan kusiapkan surat tantangan untuk Peri Kembangan. Mengenai pengirimannya, kau tidak usah khawatir. Aku jamin tak seorang pun akan mengetahuinya kecuali perempuan iblis itu," ujar Senapati Bawara yang wajahnya terhias cambang bauk lebat itu. Ia sangat setuju mendengar rencana sahabatnya. Sehingga, semangatnya bangkit kembali.
"Satu hal yang tidak boleh kau lupakan, Kakang Senapati...," tukas Jipangga.
"Apa itu, Adi...?" tanya Senapati Bawara dengan mengerutkan kening.
"Kau tidak boleh membawa prajurit seorang pun!" jelas Jipangga, mengingatkan kalau rencana itu hanya boleh diketahui mereka berdua.
"Jangan khawatir, Adi. Akan kuingat baik-baik hal itu...," sahut Senapati Bawara cepat Jawaban itu membuat sahabatnya menarik napas lega.
"Kalau begitu aku pamit dulu, Kakang Senapati. Tengah malam besok aku akan menunggumu di hutan sebelah utara kadipaten." Setelah berkata demikian, Jipangga bergerak meninggalkan tempat kediaman Senapati Kadipaten Banjaran itu.
"Hati-hati, Adi...," pesan Senapati Bawara mengingatkan saat kawannya menyelinap melalui jendela. Rupanya pertemuan itu merupakan rahasia yang tidak boleh diketahui orang.
Tanpa berkata lagi, Jipangga melompat melalui jendela, dan merendahkan tubuhnya begitu kedua kakinya menginjak tanah. Setelah merasa yakin tidak ada orang yang melihatnya, tubuh gemuk itu melayang ke atas atap, dan terus bergerak di keremangan malam.
* * * * *
"Kenapa, Adi? Kelihatannya kau begitu gelisah...?" Senapati Bawara menatap wajah lelaki gemuk disebelahnya yang kelihatan tidak bisa berdiri tenang. Sikap yang tidak seperti biasanya itu membuat lelaki gagah ini tidak bisa menahan keinginannya untuk bertanya.
"Hhh...!" Lelaki gemuk yang tidak lain Jipangga itu tidak segera menjawab. Bahkan kembali merubah sikap berdirinya disertai helaan napas yang menandakan kegundahan hatinya. Tatapan matanya yang semula tertuju lurus ke depan, beralih ke wajah lelaki gagah di sebelah kanannya.
"Aku mempunyai firasat jelek, Kakang Senapati. Tapi, aku tidak tahu apa...?" desah Jipangga disertai tarikan napas yang membuat kening Senapati Bawara berkerut.
"Jujurlah, Adi. Apakah kegelisahanmu karena kau merasa gentar terhadap ilmu Peri Kembangan yang kabarnya sangat tinggi itu...?" tanya Senapati Bawara. Pertanyaan itu diajukan bukan karena ingin mengejek. Tapi, hendak memancing agar mengetahui penyebab kegelisahan yang melanda perasaan rekannya.
Jipangga yang cukup terkenal dengan ilmu tombak bergoloknya dalam kalangan persilatan, menoleh agak kaget. Rupanya pertanyaan itu mengejutkannya. Kerutan di keningnya kembali lenyap ketika melihat wajah Senapati Bawara. Pada raut wajah yang ditumbuhi brewok lebat itu sedikit pun tidak didapatinya tanda-tanda hinaan. Hal itu membuatnya sadar kalau pertanyaan itu bukan dimaksudkan untuk menghinanya.
"Seperti yang telah kita sepakati bersama, berkorban nyawa bukanlah sesuatu yang perlu kupersoalkan. Aku tidak takut mati, Kakang Senapati! Kegelisahan ini benar-benar tidak kumengerti? Apakah kau tidak merasakan sesuatu pada hatimu...?" Jipangga mengajukan pertanyaan itu untuk mengetahui apa yang saat itu dirasakan Senapati Bawara, yang ia tahu tidak pernah mengenal rasa takut.
"Entahlah, Adi. Yang pasti, ada sesuatu mengganjal di hatiku. Sayang aku tidak tahu pertanda apa perasaan tidak enak ini...?" sahut Senapati Bawara disertai helaan napas panjang. Itu membuktikan mereka berdua memang merasakan sesuatu, meski dengan sikap berlainan. Yang jelas mereka tengah dilanda kekhawatiran terhadap sesuatu.
Jipangga tidak menanggapi ucapan Senapati Bawara. Saat itu pandangannya sudah kembali tertuju ke depan. Sebab dari situlah apa yang mereka tunggu akan muncul. Senapati Bawara dan Jipangga menarik napas panjang saat angin keras berhembus mempermainkan rambut dan pakaian mereka. Bahkan sempat membuat lengan Jipangga yang menggenggam erat tombak bergolok agak bergetar. Tiupan angin yang menurutnya agak aneh itu membuatnya waspada.
"Jipangga...," panggil Senapati Bawara agak berbisik namun cukup jelas ditangkap telinga lelaki gemuk itu.
"Apakah kau merasa ada sesuatu yang tengah memperhatikan kita...?"
"Ah?! Kau benar, Kakang," sahut Jipangga berbisik tanpa merubah kedudukannya.
"Rupanya inilah yang sejak tadi membuatku tidak bisa tenang!"
"Katakanlah, Jipangga. Apakah kau percaya akan kejujuran dan sikap gagah Peri Kembangan...?" tanya Senapati Bawara tetap dengan berdiri tegak dan menatap lurus ke depan. Tangan kanannya sudah bergerak meraba gagang pedang di pinggangnya.
"Maksudmu...?" Jipangga tidak melajutkan kalimatnya. Wajahnya kelihatan tegang ketika memikirkan hal itu.
"Ya. Aku curiga Peri Kembangan mengadukan persoalan ini kepada Adipati Jipangga atau Tuan Muda Ganajaya. Bisa celaka kita kalau sampai dugaan itu benar terjadi...!" desis Senapati Bawara mendadak tegang seperti halnya Jipangga. Baru saja perkataan Senapati Bawara selesai, tiba-tiba....
"Hik hik hik...!"
"Keparat...!" umpat Senapati Bawara yang merasa jantungnya nyaris copot. Tawa yang mirip kekeh kuntilanak itu begitu tiba-tiba datangnya. Dan dalam keadaan hati tengah dilanda ketegangan memuncak!
"Bedebah...!" Tubuh Jipangga sampai terlonjak. Tombak bergolok di tangan kanannya diputar sedemikian rupa dengan pengerahan tenaga sepenuhnya. Itu dilakukan untuk menenangkan hatinya yang berdebar keras.
Suara tawa mengekeh berkepanjangan itu mendadak lenyap. Suasana di dalam hutan kembali hening mencekam. Hanya suara binatang malam yang terdengar saling bersahutan. Senapati Bawara dan Jipangga bertukar pandang sesaat. Agaknya mereka tidak bisa menebak dari arah mana suara tawa itu berasal. Karena selain datangnya begitu tiba-tiba, suara tawa itu pun bergaung seolah datang dari setiap pelosok hutan. Sehingga sulit untuk me-nemukan sumbernya. Tapi, mereka tahu siapa yang mengeluarkan suara tawa itu.
"Peri Kembangan, Perempuan Iblis! Tunjukkan dirimu kalau kau memang datang untuk memenuhi tantangan kami! Kuhitung sampai tiga! Kalau kau masih belum muncul juga, sebaiknya pergi dari lingkungan kadipaten! Dan, jangan ganggu junjungan kami lagi...!"
Jipangga berteriak lantang mengerahkan tenaga dalamnya, menantang pemilik suara tawa barusan yang mereka pastikan Peri Kembangan, orang yang mereka tantang untuk bertarung malam itu.bTapi sampai gema suara Jipangga lenyap dibawa angin, suasana malam tetap sunyi. Tidak ada tanda-tanda munculnya sosok yang tengah mereka tunggu-tunggu. Sampai akhirnya....
"Hik hik hik...!"
Whusss...!
Senapati Bawara dan Jipangga melompat ke belakang ketika suara tawa itu kembali muncul disertai hembusan angin keras. Disusul dengan melayangnya sesosok tubuh ramping dari atas pohon yang jaraknya sekitar dua tombak dari tempat kedua lelaki itu berdiri. Dengan ringan, sosok tubuh ramping itu menjejakkan kaki di atas rumput. Tawanya masih terdengar ber-kepanjangan. Sosok yang tak lain Anyelir atau Peri Kembangan itu menatap tajam wajah kedua penantangnya. Tak sepatah kata pun keluar dari bibir menggairahkan itu. Untuk beberapa saat mereka hanya saling tatap dengan sikap waspada.
* * * * *
:::≡¦ [ TUJUH ] ¦≡:::
"Tidak salah!" sahut Senapati Bawara mendahului kawannya. Kemudian lelaki brewok itu bergerak maju beberapa langkah. Tangan kanannya masih melekat pada gagang pedang di pinggangnya, yang setiap saat dapat digunakan untuk menghadapi wanita iblis itu.
"Kami sudah tahu siapa sebenarnya dirimu, Perempuan Keji! Begitu juga dengan perbuatan kotormu di lingkungan kadipaten. Kami berdua telah bersepakat untuk menghentikan perbuatanmu...!" Jipangga menimpali ucapan Senapati Bawara. Lelaki gemuk itu pun sudah maju beberapa langkah. Tombak bergolok di tangan kanannya berputaran menimbulkan deruan angin keras.
"Hik hik hik...! Memang sudah sejak semula aku merasa tidak suka kepada kalian berdua. Sungguh tidak kusangka kalian berani mencari penyakit dengan menantangku malam ini...," ujar Anyelir yang kelihatan tetap tenang, dan belum menunjukkan siap bertarung.
Senapati Bawara dan Jipangga saling bertukar pandang. Mereka agak heran melihat wanita iblis itu tidak terkejut, meski mereka telah mengetahui latar belakangnya. Tampaknya perempuan licik itu memang sudah mempersiapkan segalanya. Sehingga tidak merasa cemas terhadap kedua tokoh Kadipaten Banjaran itu. Bahkan masih saja memperlihatkan senyum mengejek.
"He, mengapa kalian malah berdiri seperti patung? Kalau memang ingin bertarung, ayo seranglah...!" tantang Anyelir.
"Keparat, Perempuan Sombong! Tanpa kau suruh pun akan segera kucincang tubuhmu...!" Jipangga kelihatannya sudah tidak bisa menahan diri lagi mendengar ejekan perempuan iblis itu. Begitu ucapannya selesal, lelaki gemuk itu bergerak merenggang dari Senapati Bawara.
Whuuuk..., whuuuk...!
Jipangga memutar tombak bergoloknya sedemikian rupa hingga memperdengarkan suara angin menderu-deru. Lelaki gemuk yang terkenal dengan permainan tombak ber-golok itu langsung mengeluarkan ilmu andalannya. Rupa-nya ia sadar lawannya bukan tokoh sembarangan. Jipangga tidak mau menganggap remeh kendati lawannya hanya seorang wanita.
Melihat Jipangga sudah bergerak dari sebelah kiri, Senapati Bawara pun segera meloloskan pedangnya. Kemudian memutar dengan gerak menyilang. Dari suara angin yang ditimbulkannya, agaknya lelaki brewok itu menggunakan seluruh kekuatannya. Senapati Bawara pun tidak main-main menghadapi perempuan cantik yang berjuluk Peri Kembangan itu.
"Hm...." Anyelir semakin melebarkan senyum. Kelihatan ia tak merasa gentar, meskipun harus menghadapi dua orang jagoan sekaligus. Tubuhnya baru bergerak saat serangan kedua lawannya hampir tiba.
"Haaat..!"
Tombak bergolok Jipangga bergerak semakin cepat. Suara teriakannya membuktikan kalau lelaki gemuk itu telah memulai serangannya. Dalam gebrakan pertama ia langsung mencecar lawan dengan mata goloknya yang terdapat di ujung tombak.
Bwettt..., bwettt...!
"Bagus...!" puji Anyelir yang memutar goloknya dengan gerakan indah. Beberapa kali sambaran tombak bergolok Jipangga dapat dielakkan tanpa kesulitan. Bahkan mulai melancarkan serangan balasan dengan tidak kalah berbahayanya.
Whuuut..!
Sebuah tamparan yang cepat dan kuat meluncur mengancam kepala Jipangga. Untunglah lelaki gemuk itu sempat menyadari datangnya bahaya maut. Cepat kepalanya ditarik ke belakang dengan kuda-kuda rendah. Sehingga, serangan balasan yang dilancarkan Peri Kembangan berhasil dielakkan.
Tapi Peri Kembangan tidak memberi kesempatan kepada lawan untuk menarik napas lega. Serangannya kembali berlanjut. Bahkan kali ini ia mencecar dengan serangan pukulan dan tendangan yang mengarah beberapa jalan darah kematian di tubuh Jipangga. Tentu saja lelaki gemuk itu menjadi kelabakan.
"Haaat...!"
Melihat sahabatnya terdesak, Senapati Bawara meluncur dengan putaran pedangnya. Sehingga Peri Kembangan terpaksa menghentikan desakannya, dan melompat mundur sejauh satu tombak lebih. Gadis cantik itu tentu tidak ingin tubuhnya tersayat pedang lawan.
"Gila! Perempuan iblis itu ternyata benar-benar hebat..!" desah Jipangga menghela napas panjang. Lelaki gemuk ini seolah-olah merasa dirinya baru saja terbebas dari kematian. Pada keningnya tampak peluh menitik turun. Rupanya Jipangga sempat dibuat tegang oleh desakan lawannya tadi.
"Itu sebabnya kita tidak boleh bertindak gegabah, Adi Jipangga," timpal Senapati Bawara mengingatkan sahabatnya kalau yang diperbuat Jipangga barusan sangat berbahaya.
Jipangga tidak membantah. Ia sendiri menyadari tindakannya terlalu terburu-buru. Kalau saja Senapati Bawara tidak segera terjun ke arena, bukan tidak mungkin saat itu ia sudah menjadi korban keganasan Peri Kembangan. Paling tidak dirinya akan mendapat luka berat. Pengalaman itu membuat Jipangga berjanji kepada dirinya sendiri untuk lebih memperhitungkan tindakan selanjutnya.
Sementara itu, Peri Kembangan sudah mempersiapkan pedangnya untuk menghadapi keroyokan jagoan-jagoan kadipaten itu. Sinar putih berkilauan disertai sambaran angin menderu saat wanita itu menghunus senjata yang tergantung di pinggangnya. Nampak Anyelir tidak ingin main-main lagi dalam mengambil tindakan.
"Bersiaplah kalian untuk melayat ke akhirat..!" desah bibir merah menantang itu, berbau hawa maut! Kemudian....
"Haiiit..!"
Saat berikutnya, tubuh Peri Kembangan sudah berkelebat cepat disertai putaran sinar pedang yang menderu-deru tak ubahnya angin ribut. Sehingga suasana yang semula hening mencekam pecah oleh sambaran pedang wanita sesat itu.
Melihat Peri Kembangan sudah memulai serangannya, Senapati Bawara dan Jipangga merenggang ke kiri dan kanan. Kedua jagoan Kadipaten Banjaran itu telah siap menyambut serangan lawan.
"Haaat..!"
"Yeaaa...!"
Dibarengi teriakan yang merobek kesunyian malam, Senapati Bawara dan Jipangga melesat bersamaan menyambut serangan Peri Kembangan. Sebentar saja ketiga tokoh itu telah terlibat dalam sebuah pertarungan sengit yang mempertaruhkan nyawa. Dalam jurus-jurus awal, Senapati Bawara maupun Jipangga masih sanggup menghadapi serangan lawan yang terlihat sangat ganas.
Bahkan tidak jarang keduanya melancarkan serangan balasan yang juga tidak bisa dipandang ringan. Tapi ketika Peri Kembangan semakin meningkatkan kecepatan serangannya, mulailah ruang gerak kedua jagoan Kadipaten Banjaran itu menyempit. Hanya sesekali mereka membalas serangan lawan.
"Haiiit...!"
Anyelir kelihatan semakin bertambah ganas! Sambaran-sambaran pedangnya semakin sering datang mengancam. Sehingga, Senapati Bawara dan Jipangga dipaksa bermain mundur. Serangan balasan kedua tokoh itu hampir tidak terlihat lagi. Nampaknya kedua jagoan Kadipaten Banjaran itu harus mengakui kehebatan lawan.
Peluh membanjir di wajah dan tubuh Senapati Bawara serta Jipangga saat pertempuran menginjak jurus ketiga puluh. Napas kedua jagoan itu sudah demikian berat. Mereka benar-benar harus memeras seluruh ilmu dan tenaga untuk menghadapi ancaman ujung pedang Peri Kembangan. Dan ketika pertarungan menginjak jurus ketiga puluh lima....
"Mampusss...!" Sambil membentak keras, Peri Kembangan melenting ke udara. Dari atas tubuhnya meluncur turun disertai bacokan pedangnya, bagai hendak membelah tubuh Jipangga, orang yang berada di sebelah kirinya.
Whuuut...!
"Aaah...?!" Jipangga memekik ngeri dengan wajah berubah pucat bagai mayat! Ancaman maut yang datang dengan kecepatan mengagumkan itu membuat Jipangga tidak mampu menghindar. Lelaki gemuk itu merasa seolah kedua kakinya tertanam di tanah dan sukar digerakkan. Ia hanya bisa membelalakkan mata menanti ajal.
Trang...!
Untunglah pada saat yang sangat menentukan itu, Senapati Bawara bertindak cepat, dengan pedang di tangannya, lelaki brewok itu nekat memapaki bacokan pedang Anyelir. Bentrokan keras pun terjadi!
"Aaakh...?!" Senapati Bawara terpekik kesakitan! Pedangnya terpental dari genggaman. Ternyata tenaga dalamnya masih kalah dua tingkat dari lawan. Akibatnya, tubuh lelaki brewok itu terjungkal ke belakang dengan lengan rasanya seperti patah. Sedangkan Peri Kembangan masih datang mengancam, meski arahnya agak menyeleweng dan kecepatannya berkurang jauh. Tapi....
Brettt..!
"Aaakh...!"
Kendati tidak sampai membahayakan nyawa Jipangga, tetap saja ujung pedang Peri Kembangan menyerempet pangkal lengan lelaki gemuk itu. Darah segar pun memercik saat kulit dan daging pangkal lengan Jipangga terpapas. Jipangga terhuyung mundur dengan wajah semakin pucat. Tombak bergoloknya lepas dari genggaman. Lelaki gemuk itu sibuk mendekap pangkal lengannya yang terluka.
"Tunggu...!"
Peri Kembangan yang semula sudah siap menamatkan riwayat kedua jagoan Kadipaten Banjaran, terpaksa menunda gerakannya, dan menoleh ke arah asal suara bentakan itu.
"Ganajaya...?!" desis Anyelir langsung mengenali sosok lelaki tegap yang tengah berlari kearah arena pertempuran. Kening gadis cantik itu agak berkerut ketika melihat belasan orang berlarian di belakang lelaki tegap itu. Tampaknya Ganajaya tidak datang sendirian!
"Apa yang terjadi, Anyelir...?" tegur lelaki tegap yang memang Ganajaya.
Putra tunggal Adipati Banjaran itu menatap wajah Anyelir dan kedua lawan gadis cantik itu. Wajah tampan itu tampak kaget ketika mengenali kedua lawan kekasihnya. Senapati Bawara dan Jipangga pun kelihatan sangat terkejut! Cepat keduanya membungkukkan tubuh kepada putra junjungan mereka. Tapi, di balik kekagetan itu ada rasa lega di hati mereka. Kemunculan Ganajaya secara tidak langsung telah menyelamatkan mereka dari kematian.
"Tuan Muda...," sapa Senapati Bawara dan Jipangga berbarengan. Kemudian wajah mereka tertunduk menekuri rerumputan.
"Ada apa ini? Mengapa kalian berkelahi...?" tanya Ganajaya menatap wajah Anyelir. Sebab hanya gadis cantik itu yang tidak menundukkan kepala. Secara tidak langsung pertanyaan itu tertuju kepada Anyelir.
"Ganajaya, dari mana kau tahu aku berada di sini...?" Bukannya menjawab, Anyelir malah melemparkan pertanyaan kepada pemuda bertubuh tegap itu. Sedikit pun tidak tersirat kegentaran maupun kecemasan dalam suaranya.
Ganajaya tidak langsung menjawab. Ia mengalihkan pandangannya kepada Senapati Bawara dan Jipangga. Lalu kembali ke wajah cantik Anyelir. Sebab wajah kedua jagoan kadipaten itu masih juga belum terangkat.
"Aku menemukan surat tantangan di dalam kamarmu," jawab Ganajaya pelan.
"Mengapa kau tidak menceritakan hal ini kepadaku, Anyelir? Sehingga, aku terpaksa harus menyusul ke sini. Untunglah surat itu sempat terlihat olehku. Kalau tidak, entah ke mana aku harus mencarimu?"
"Maaf kalau aku tidak menceritakan tantangan kedua orang berhati busuk itu, Ganajaya. Aku tidak ingin membuatmu susah. Dan, aku ingin memberi pelajaran kepada mereka dengan tanganku sendiri," jawab Anyelir tanpa mengalihkan pandangannya dari wajah tampan Ganajaya. Sehingga pemuda itu mengalihkan perhatiannya, dan memandang kedua pembantu ayahnya dengan sorot mata mengandung kemarahan.
"Katakan, Paman. Apa yang mendorong kalian berbuat seperti ini? Aku ingin mendengar penjelasan secepatnya...," ujar Ganajaya dengan suara tinggi. Lelaki tegap itu marah melihat kekasihnya hendak dicelakai kedua orang itu.
"Tidak perlu kau bertanya lagi, Ganajaya. Aku sudah tahu apa yang ada dalam kepala mereka...," Anyelir mendahului sebelum Senapati Bawara atau Jipangga menjawab pertanyaan itu.
"Apa maksudmu, Peri Kembangan? Kau hendak melempar fitnah kepada kami?" geram Senapati Bawara yang tentu saja menjadi marah mendengar perkataan Peri Kembangan. Ia sudah dapat meraba apa yang akan dikatakan wanita itu tentang diri mereka berdua.
"Hm.... Tidak perlu berpura-pura, Senapati! Aku tahu kalian berdua bersekongkol untuk menguasai Kadipaten Banjaran. Kehadiranku di dalam llngkungan kadipaten membuat kalian merasa cemas. Sehingga kalian mengirimkan surat tantangan untuk melenyapkanku, agar rencana kalian tidak ada yang menghalangi. Nah, apakah kalian masih mau membantah...?" ujar Anyelir dengan liciknya, membuat wajah kedua orang itu pucat.
"Keparat busuk! Perempuan iblis...!" Senapati Bawara gemetar sekujur tubuhnya. Apa yang diucapkan Anyelir bisa membahayakan mereka. Tentu saja tuduhan itu tidak benar.
Ganajaya sendiri terbelalak mendengar ucaran kekasihnya. Wajah tampannya berubah merah padam. Tampaknya ia mempercayai perkataan Anyelir. Itu terlihat jelas dari kemarahan yang ditujukan kepada Senapati Bawara dan Jipangga, tokoh yang telah mendidiknya dalam ilmu silat.
"Manusia tidak berbudi! Inikah balasan kalian terhadap segala kebaikan yang telah diberikan ayahku? Mengapa kalian demikian tega mengkhianati kami...?" bentak Ganajaya.
"Ganajaya, mana mungkin mereka mau mengakui rencana busuk yang ada dalam batok kepala mereka," tukas Anyelir mengejek.
"Sebaiknya habisi saja mereka sebelum semuanya terlambat..."
Ucapan Anyelir itu sepertinya cukup mengena. Kendati masih agak bimbang, Ganajaya tampak lebih berpihak kepada Anyelir. Perasaan itu tentu saja berkaitan dengan rasa cintanya pada gadis cantik itu. Sehingga, keputusan yang akan diambilnya bisa saja salah. Sebab pikiran dan hatinya telah dibutakan oleh cinta.
"Perempuan iblis...! Hatimu benar-benar keji!" desis Senapati Bawara dengan kemarahan menggelegak. Kemudian berpaling ke arah putra junjungannya.
"Tuduhan itu sama sekali tidak benar, Tuan Muda. Justru wanita iblis itulah yang bisa menghancurkan kita semua. Bukan tidak mungkin semua yang dituduhkan kepada kami merupakan rencana yang ada di dalam kepalanya. Jangan mudah dipercaya wanita berhati iblis seperti dia...!"
Mendengar perdebatan kekasihnya dengan kedua pembantu ayahnya, Ganajaya menjadi pusing. Meskipun jelas-jelas lebih berpihak kepada Anyelir, namun ia belum bisa mengambil keputusan untuk menjatuhkan tuduhan itu kepada Senapati Bawara dan Jipangga. Ia belum percaya sepenuhnya kalau kedua orang kepercayaan itu akan tega berkhianat. Sehingga, Ganajaya bimbang dan belum bisa mengambil tindakan.
Melihat Ganajaya belum juga mengambil tindakan, Anyelir merasa khawatir pemuda itu akan membawa mereka semua ke hadapan Adipati Japati. Gadis itu tidak mau mengambil risiko. Maka, ia berkata kepada Ganajaya.
"Hm.... Kalau kau memang lebih suka aku mati di tangan kedua manusia jahat itu, baiklah! Biar, akan kuhadapi mereka tanpa meminta bantuanmu!" Setelah berkata demikian, Anyelir melompat ke arah Senapati Bawara dan Jipangga. Dan langsung melancarkan serangan maut kepada kedua jagoan kadipaten itu.
"Anyelir, tahan...!" Ganajaya berusaha mencegah tindakan gadis yang telah membuat dirinya tergila-gila. Tentu saja ia cemas akan nasib gadis cantik itu.
Tapi, Anyelir tidak peduli. Ia terus menggempur kedua lawannya. Senapati Bawara dan Jipangga pun terpaksa melakukan perlawanan. Mereka tidak ingin menjadi korban pedang di tangan lawannya yang menyambar-nyambar ganas. Pertarungan kembali berlangsung seru. Ganajaya yang belum tahu kehebatan Anyelir, tidak mau membiarkan gadis cantik itu celaka di tangan kedua pembantu ayahnya. Lelaki tegap itu segera terjun ke arena pertempuran setelah tidak berhasil mencegahnya.
"Berhenti...!" Sambil membentak keras, pemuda tegap itu melancarkan serangan ke arah Senapati Bawara. Sehingga lelaki brewok itu terpaksa melompat jauh menghindari serangan putra junjungannya, karena untuk menangkis ia merasa segan.
Lain halnya dengan Jipangga. Meskipun ia termasuk abdi kadipaten, tapi telah mendidik Ganajaya dengan ilmu-ilmunya. Ketika pemuda itu melancarkan serangan ke arahnya, lelaki gemuk itu menjadi tersinggung. Sehingga tidak lagi memandang Ganajaya sebagai putra junjungannya. Jipangga langsung melancarkan serangan balasan setelah menghindari serangkaian pukulan dan tendangan pemuda tegap itu.
Perlawanan Jipangga mendapat tanggapan lain dari Ganajaya. Walaupun lelaki gemuk itu telah mendidiknya dalam hal ilmu silat, tapi menurut Ganajaya, Jipangga harus tunduk padanya. Hingga kenyataan yang sebaliknya itu membuat Ganajaya marah. Maka ia menggempur Jipangga dengan sungguh-sungguh. Bahkan memerintahkan prajurit yang menyertainya untuk membantu.
"Tangkap mereka berdua...!" perintah Ganajaya tanpa menghentikan serangannya.
Tanpa diperintah dua kali, belasan prajurit segera berlompatan memasuki arena. Meskipun yang harus mereka hadapi orang-orang yang mereka segani, namun Ganajaya merupakan putra Adipati Japati. Kelak pemuda itulah yang akan melanjutkan tugas junjungan mereka. Sehingga meski agak terpaksa para prajurit itu lebih mentaati perintah Ganajaya, walaupun harus menghadapi atasannya.
* * * * *
:::≡¦ [ DELAPAN ] ¦≡:::
"Haiiit...!"
Anyelir tidak mau berlama-lama untuk menghabisi kedua orang itu. Untuk kesekian kalinya, sambaran pedangnya kembali datang mengancam Senapati Bawara yang memang berhadapan dengannya.
Whuuut...!
Disertai deruan angin tajam, pedang Peri Kembangan mengancam tubuh lelaki brewok itu. Kali ini Senapati Bawara tidak mungkin dapat mengelak dari kematian. Karena selain tenaganya telah jauh berkurang, ia pun tidak mempunyai peluang untuk mengelak.
"Aaa...!" Senapati Bawara memekik ngeri saat ujung pedang Peri Kembangan siap memenggal batang lehernya! Tapi....
"Haiiit...!"
Pada saat nyawa Senapati Bawara sudah di ambang maut, terdengar lengkingan nyaring disusul berkelebatnya sesosok bayangan putih. Sosok itu langsung menyambut sambaran pedang Peri Kembangan.
Plakkk!
"Aaakh...!" Peri Kembangan yang semula merasa yakin akan dapat melenyapkan Senapati Bawara kaget bukan main. Tubuhnya terjajar dan hampir terbanting jatuh. Pedangnya terlepas dari pegangan. Dan lengan kanannya menjadi lumpuh untuk beberapa saat lamanya.
Senapati Bawara sendiri sempat kaget melihat sesosok bayangan putih tahu-tahu memapaki serangan Peri Kembangan. Perasaan lega dan heran merayapi hatinya ketika dilihatnya sosok bertubuh sedang terbungkus jubah panjang putih berdiri tegak membelakanginya.
"Pendekar Naga Putih...!" Anyelir kaget bukan main ketika mengenali sosok berjubah putih yang telah menyelamatkan nyawa Senapati Bawara. Langkahnya langsung tersurut. Ia sungguh tidak menduga pendekar yang pernah mengalahkannya muncul mengacaukan rencananya.
"Hm.... Kita bertemu lagi, Peri Kembangan...," ujar pemuda tampan berjubah putih yang memang Panji. Wajahnya tetap tenang dengan senyum yang hampir tidak pernah meninggalkan bibir.
Tidak berselisih lama dengan kemunculan Pendekar Naga Putih, melayang turun sesosok tubuh ramping terbungkus pakaian serba hijau. Siapa lagi kalau bukan Kenanga yang datang bersama Panji. Begitu tiba, dara jelita itu langsung menyelamatkan Jipangga, yang saat itu tengah dikeroyok Ganajaya bersama prajuritnya. Sehingga lelaki gemuk itu terlepas dari kematian yang siap merenggutnya.
Kemunculan dua orang itu tentu saja mengagetkan Ganajaya. Terlebih setelah merasakan kehebatan dara jelita berpakaian serba hijau itu. Kemarahannya pun semakin memuncak. Karena kedua orang itu telah berani mencampuri urusannya.
"Siapa kalian? Apa kepentingan kalian sehingga berani mencampuri urusanku...?" bentak Ganajaya yang telah bergabung dengan Anyelir. Di belakang mereka tampak belasan prajurit pilihan dari Kadipaten Banjaran. Mereka siap melindungi putra junjungannya.
"Ganajaya, untuk apa bertanya lagi? Mereka jelas hendak membantu pengkhianat-pengkhianat itu! Sebaiknya kita bunuh saja mereka semua."
Sebelum Panji dan Kenanga menjawab, Anyelir langsung menyela. Wanita licik itu tentu saja merasa khawatir jawaban Pendekar Naga Putih dan dara jelita berpakaian serba hitam itu akan membahayakan dirinya. Ia tidak ingin semua itu terjadi.
Kali ini Ganajaya tidak banyak cakap lagi. Ia sendiri telah menyaksikan betapa kedua orang kepercayaan ayahnya berani melawan kepadanya. Itu sudah cukup sebagai alasan untuk menghukum kedua jagoan kadipaten itu. Maka, lelaki tegap itu segera memerintahkan prajurit-prajuritnya untuk menangkap atau membunuh keempat orang itu.
"Tunggu...!" Melihat gelagat tidak baik, Panji segera berseru keras. Kendati belum tahu pasti masalah yang terjadi, tapi Pendekar Naga Putih merasa apa yang dilakukannya tidak keliru. Orang yang menjadi musuh Peri Kembangan sudah pasti berada di pihak yang benar. Alasan itu membuat Panji tidak merasa ragu untuk menyelamatkan Senapati Bawara dan Jipangga.
Teriakan, Panji yang lantang dan membuat dada mereka berdebar sempat membuat gerakan Ganajaya dan prajuritnya tertunda. Tapi hal itu tidak berlangsung lama. Karena Anyelir telah kembali berseru.
"Serang...! Tidak ada gunanya mendengarkan perkataan pemuda sombong itu...!"
Mendengar seruan Anyelir, Ganajaya kembali memerintahkan pasukannya untuk bergerak maju. Ia sendiri sudah melompat menerjang Pendekar Naga Putih dengan pedang di tangan.
"Hiaaat..!"
Sadar bahwa pertempuran tidak mungkin dapat dielakkan lagi, Panji segera menggeser tubuhnya menghindari sambaran pedang Ganajaya. Dan terus berlompatan ke kiri dan kanan ketika serangan lelaki tegap itu masih terus berkelanjutan.
"Hiaaah...!" Saat pedang Ganajaya kembali menyambar Panji membentak keras dan langsung menepis serangan pemuda itu. Dan....
Plakkk!
"Uhhh...?!" Tubuh Ganajaya terjajar mundur satu tombak. Pemuda itu meringis sambil mengurut lengan kanannya yang terasa bagai hendak patah. Padahal Panji belum mengerahkan sampai setengah tenaganya. Sebab dari serangan lelaki tegap itu, Panji sudah dapat mengukur kekuatan lawan. Ia memang tidak bermaksud melukai pemuda itu.
"Keparat...!" desis Ganajaya yang merasa malu karena dalam sekali gebrak ia nyaris dipecundangi pemuda tampan berjubah putih itu. Terlebih kejadian itu berlangsung di depan mata Anyelir, wanita yang membuatnya mabuk kepayang. Tentu saja kenyataan itu tidak bisa diterima Ganajaya.
"Mari kita hajar pemuda sombong itu bersama-sama, Ganajaya...," ujar Anyelir ketika melihat pemuda itu terdiam beberapa saat seraya menatap Pendekar Naga Putih dengan sorot mata penuh dendam dan kebencian.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Ganajaya langsung mengangguk dan kembali melompat ke depan. Pedang di tangannya diputar sedemikian rupa, hingga menimbulkan deruan angin tajam. Anyelir sendiri sudah menyusul dengan serangannya yang mengarah jalan darah kematian di tubuh Pendekar Naga Putih. Tampaknya wanita sesat itu merasa dendam dan ingin segera melenyapkan Panji.
Kali ini Panji tidak hanya sekadar mengelak, tapi mulai membalas dengan tamparan dan tendangannya. Kendati dengan tangan kosong, namun kelihatan sekali betapa kedua lawannya menjadi sibuk. Ganajaya dan Anyelir harus menguras kepandaiannya untuk mengimbangi permainan Pendekar Naga Putih.
Sementara itu, Kenanga tengah bertarung dengan belasan prajurit pilihan Ganajaya. Sebab para prajurit itu hendak mengeroyok kedua lelaki yang telah lelah dan hampir mati kehabisan tenaga. Tentu saja Kenanga tidak akan membiarkan kedua lelaki yang ditolongnya itu men-jadi korban. Maka, tanpa banyak cakap lagi, dihadapinya belasan prajurit Kadipaten Banjaran itu dengan tangan kosong!
Tapi meskipun dara jelita itu hanya menggunakan tangan kosong untuk menghadapi lawan-lawannya yang bersenjata lengkap, tidak membuatnya menjadi kewalahan. Malah belasan prajurit itu yang penasaran! Sebagai prajurit-prajurit pilihan yang terlatih baik, tentu saja ada rasa malu dalam hati mereka. Perasaan itu membuat serangan-serangan mereka semakin bertambah ganas. Kalau semula masih ragu untuk mencelakai dara yang sangat mempesona itu, sekarang mereka ingin melenyapkannya secepat mungkin. Tidak ada lagi rasa kasihan yang tersisa.
Kenanga bukan tidak menyadari apa yang dikehendaki para pengeroyoknya. Dari semakin ganasnya mereka melancarkan serangan, dara jelita itu sadar mereka menghendaki kematiannya. Kenyataan itu membuat Kenanga merubah gerakannya. Dara jelita itu tidak ragu-ragu lagi merobohkan mereka dengan pukulan yang berbahaya, Daya serangannya pun meningkat cepat, dan sepasang tangannya menyambar-nyambar diselingi tendangan yang mencuat dengan kecepatan kilat
"Haiiit..!"
Plakkk, desss...!
Dua orang lawan yang terlalu bernafsu merobohkan dara jelita itu terpental muntah darah. Tendangan dan tamparan keras Kenanga membuat mereka roboh tak sadarkan diri. Hingga yang lainnya terkejut dan menjadi marah!
"Perempuan celaka...!" geram salah seorang pengeroyok yang langsung melesat ke depan disertai tebasan pedang. Tapi....
Bukkk!
Sambil menggeser tubuhnya ke kanan, Kenanga langsung melepaskan tendangan yang telak mengenai perut lawan. Kemudian masih dilanjutkan dengan tamparan keras yang membuat tubuh prajurit sial itu terjerembab mencium tanah. Tubuh itu meregang sesaat sebelum melepas nyawa yang hanya selembar itu.
"Gila...!"
Para prajurit lainnya terpekik kaget! Mereka langsung bergerak mundur tanpa diperintah. Robohnya tiga orang kawan mereka membuat yang lainnya menjadi gentar. Sekarang baru terbuka mata mereka bahwa dara jelita itu ternyata bukan orang sembarangan.
"Hm.... Mengapa berhenti? Bukankah kalian hendak membunuhku? Ayo, majulah...!" tantang Kenanga seraya tersenyum mengejek.
Tapi, tantangan itu tidak mendapat sambutan. Para prajurit itu sudah tidak mempunyai keberanian untuk menyerang Kenanga. Mereka hanya saling berpandangan satu sama lain. Seolah hendak meminta pendapat masing-masing. Ketika para prajurit itu tidak satu pun berani melanjutkan pertempuran, Kenanga bergerak mundur ke tempat Senapati Bawara dan Jipangga.
"Bagaimana dengan luka-luka kalian...?" tanya Kenanga. Dara jelita itu segera membungkuk untuk memeriksa luka-luka kedua jagoan Kadipaten Banjaran itu. Kenanga menarik napas lega ketika melihat luka-luka yang diderita kedua lelaki itu tidak terlalu berbahaya.
Setelah memberi pengobatan kepada Senapati Bawara dan Jipangga, Kenanga mengalihkan perhatiannya ke arah pertempuran yang masih berlangsung. Saat itu pertempuran Panji dan Peri Kembangan yang dibantu Ganajaya telah memasuki jurus ketiga puluh. Panji tampak sudah mulai menguasai arena. Melihat kedua pengeroyok itu sudah hampir tidak mampu membalas serangan Pendekar Naga Putih, dapat dipastikan kalau dalam beberapa jurus lagi pertarungan pasti berakhir.
"Haiiit...!"
Saat kedua lawannya sudah benar-benar tidak mampu membalas serangannya, Pendekar Naga Putih membentak nyaring. Tubuhnya berkelebat cepat kearah Peri Kembangan. Dan....
Plak..., desss...!
"Aaakh...!"
Cepat bukan main serangan Pendekar Naga Putih. Sekali bergerak, tangan kirinya melancarkan dua buah serangan kilat! Tubuh Peri Kembangan pun terjungkal memuntahkan darah segar.
"Huakkkh...!" Anyelir yang mencoba bangkit berdiri kembali terbungkuk memuntahkan darah kental. Kemudian rebah dengan napas satu-satu. Wajah cantiknya tampak pucat dengan butir-butir keringat meleleh membasahi sekujur wajahnya.
"Anyelir...!" Ganajaya melupakan lawannya melihat wanita yang dicintainya tergeletak tak berdaya. Langsung saja pemuda tegap itu menjatuhkan diri berlutut di dekat tubuh Anyelir.
Panji sendiri melangkah menghampiri Peri Kembangan. Pemuda itu berdiri tegap di hadapan lawannya. Dan menatap tajam wajah cantik yang kelihatan sangat menderita itu.
"Kau memang hebat, Pendekar Naga Putih...," ujar Anyelir dengan suara payah. Sepasang matanya menatap sayu wajah pendekar muda itu, membuat hati Panji merasa iba.
"Maafkan aku, Peri Kembangan. Bertahanlah, aku akan mencoba mengobati lukamu...," ujar Panji seraya membungkuk hendak memeriksa luka Peri Kembangan.
Anyelir terbelalak mendengar perkataan Pendekar Naga Putih. Sedikit pun tidak diduganya kalau pemuda itu akan berkata demikian.
"Keparat...!" Mendengar ucapan Panji, Ganajaya serentak bangkit dan kembali mengambil pedangnya yang tergeletak di tanah. Ucapan Panji mengingatkan Ganajaya bahwa orang yang melukai kekasihnya masih berada di tempat itu. Tapi....
"Ganajaya, jangan...!"
Lelaki bertubuh tegap itu tertegun dan menunda gerakannya. Kemudian kembali berlutut di dekat tubuh Anyelir. Gadis cantik itulah yang mencegahnya dengan suara lemah.
"Anyelir, dia musuh kita. Aku harus membalas perlakuannya terhadapmu...," ujar Ganajaya penasaran. Sebab Anyelir malah mencegah perbuatannya, bukannya mendorong agar ia membalas dendamnya. Tapi Anyelir tidak mempedulikan pertanyaan Ganajaya. Gadis cantik itu kembali menatap Pendekar Naga Putih dengan matanya yang sayu.
"Anyelir...," ujar Panji menyebut nama asli Peri Kembangan, membuat gadis cantik itu kembali tertegun heran.
"Di antara kita tidak ada permusuhan. Kalaupun aku menentangmu, itu bukan karena aku benci dengan dirimu, tapi perbuatanmu itu yang harus kucegah. Kejahatanmu yang aku perangi, bukan dirimu....
"Lalu, mengapa sekarang kau hendak mengobatiku...?" tanya Anyelir ingin tahu. Di mata gadis cantik itu tidak ada lagi sinar kebencian, yang terlihat justru kekaguman. Rupanya ucapan Panji telah membuka mata Anyelir pada luasnya pandangan pendekar muda itu. Gadis itu merasa dirinya sangat kerdil berhadapan dengan Pendekar Naga Putih yang sekarang ia tahu sangat bijaksana dan tidak membenci dirinya.
"Aku melihat adanya kesadaran dalam pancaran matamu. Maaf kalau aku telah membuatmu menderita seperti ini...," jawab Panji.
Ganajaya melirik sejenak. Kemudian kembali memandangi wajah kekasihnya yang semakin pucat. Ada gumpalan rasa cemburu ketika melihat betapa Anyelir lebih memperhatikan pemuda berjubah putih itu ketimbang dirinya. Tapi Ganajaya tidak berkata apa-apa. Ia hanya membisu tanpa kata.
"Terima kasih, Pendekar Naga Putih...," tolak Anyelir ketika Panji hendak mengobatinya.
"Aku sudah tidak mungkin dapat tertolong lagi. Pukulanmu terlalu berat. Rasanya telah membuat remuk bagian dalam tubuhku. Kau benar-benar berhati mulia, Pendekar Naga Putih. Aku... ka... gum padamu...."
"Anyelir...! Kau tidak boleh mati! Aku mencintaimu...!" melihat napas kekasihnya semakin berat seperti dengusan kuda pacu, Ganajaya menggenggam erat jemari gadis cantik itu.
"Ganajaya, tidak perlu berkata begitu...," Anyelir mengalihkan perhatiannya pada Ganajaya.
"Ketahuilah, sebenarnya usiaku sudah tidak muda lagi. Kalaupun wajahku masih seperti gadis remaja, itu karena aku selalu berhubungan dengan lelaki-lelaki muda, yang setelah itu kubunuh tanpa rasa kasihan sedikit pun. Kedua pembantu ayahmu itu tidak bersalah. Aku memang Peri Kembangan. Yang membunuh dan mempermainkan laki-laki muda sesuka hatiku. Jadi, kuharap kau tidak dendam pada siapa pun. Dengan begitu, berarti kau benar-benar mencintaiku...."
"Tapi,..."
"Ja...ngan membantah..., Ganajaya. Arwahku tidak akan bisa tenang bila kau tidak merelakan kepergianku. i... ngat pesanku...," Anyelir memotong kalimat Ganajaya yang belum selesai. Tarikan napasnya terlihat kian berat. Hingga akhirnya memperdengarkan suara mengorok.
"Anyelir...!" Ganajaya memekik ketika melihat wanita yang dicintainya meregang nyawa. Beberapa saat kemudian, kepala gadis itu terkulai di atas rerumputan hijau. Ganajaya menjatuhkan kepalanya dan memeluk tubuh Anyelir sambil menyebut nama gadis cantik itu dengan suara parau. Tapi, Peri Kembangan sudah pergi meninggalkan dunia dengan damai.
Panji tidak bisa berbuat apa-apa. Nyawa Peri Kembangan memang tidak bisa diselamatkan lagi. Pemuda itu bergerak bangkit. Kenanga segera menyambut dan meremas jemari tangan pemuda pujaannya itu. Tampaknya dara jelita itu pun merasa terharu mendengar ucapan terakhir Peri Kembangan.
"Mari kita pergi...," ajak Panji membalas remasan jemari kekasihnya. Kemudian bergerak perlahan meninggalkan tempat itu, saat semua orang masih terpengaruh oleh suasana yang mengharukan. Tak seorang pun memperhatikan kepergian pasangan pendekar muda itu.
Fajar datang seiring dengan kokok ayam hutan yang bersahutan. Semilir angin demikian lembut menyapu wajah-wajah lelah. Mereka baru tersadar dari keadaannya masing-masing.
Ganajaya bangkit perlahan seraya memondong tubuh Peri Kembangan, dan dibawanya pulang ke Kadipaten Banjaran. Pemuda itu hendak memakamkan Peri Kembangan di tempat pemakaman keluarganya. Ganajaya telah menganggap Peri Kembangan sebagai satu-satunya wanita yang membuatnya bahagia.
S E L E S A I
INDEX PENDEKAR NAGA PUTIH | |
Siluman Gurun Setan --oo0oo-- Warisan Terkutuk |