Istana Iblis
tanztj
May 30, 2015
INDEX PENDEKAR PULAU NERAKA | |
Gadis Buronan --oo0oo-- Di Balik Caping Bambu |
BAYU HANGGARA
Pendekar Pulau Neraka
Karya: Teguh. S
Pendekar Pulau Neraka
Karya: Teguh. S
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
--««¦ [ SATU ] ¦»»--
Suatu jeritan panjang melengking tinggi, memecah kesunyian malam yang mencekam. Jeritan itu membangunkan seorang laki-laki tua yang tengah tertidur melingkar di bawah pohon. Tubuh tua berkeriput itu bergegas bangun. Kepalanya dimiringkan ke kanan dan ke kiri, seolah-olah mencari arah sumber suara tadi. Sesaat kemudian tatapan matanya terpaku pada sebuah bangunan hitam di atas sebuah bukit batu.
Laki-laki tua berbaju compang-camping penuh tambalan itu bangkit berdiri. Namun belum juga bisa berdiri sempurna, mendadak saja berkelebat sebuah bayangan hitam tidak jauh di depannya. Laki-laki tua itu tersentak kaget Secepat kilat dia melesat mengejar bayangan hitam yang berkelebat tadi.
"Berhenti...!"serunya keras.
Seketika sosok tubuh hitam itu berhenti berlari. Laki-laki tua berpakaian penuh tambalan itu juga berhenti mengejar. Jarak mereka tinggal sekitar empat batang tombak lagi. Sosok tubuh hitam itu membelakangi, seakan-akan menyembunyikan wajahnya.
"Siapa kau?!" tanya orang tua itu sedikit dibuat galak.
"Hi hi hi...!"
Tiba-tiba saja sosok tubuh hitam agak bungkuk itu tertawa terkikik. Dan belum lagi suara tawanya hilang, dengan cepat dibalikkan tubuhnya. Seketika laki-laki tua itu terperanjat kaget. Kedua matanya membeliak lebar, dan mulutnya terbuka menganga. Tak ada kata-kata terucapkan keluar dari mulutnya. Sebelum laki-laki tua berpakaian pengemis itu bisa menyadari apa yang dilihatnya itu, mendadak saja sosok tubuh hitam bungkuk itu berkelebat cepat menyambar. Dan....
"Aaa...!" Laki-laki tua itu menjerit melengking tinggi.
"Hi hi hi...!"
Kembali jeritan melengking terdengar disertai tawa mengikik, membelah udara malam yang dingin ini. Dan sebelum suara itu lenyap dari pendengaran, sosok tubuh hitam itu sudah berbalik cepat, lalu melesat pergi menuju lereng bukit batu. Sedangkan laki-laki tua berpakaian pengemis itu masih berdiri tegak dengan mata terbuka dan mulut menganga lebar.
Sebentar kemudian, tubuh tua itu ambruk ke tanah. Bersamaan dengan itu darah langsung muncrat dari leher yang terpenggal. Kepala orang tua itu menggelinding terpisah dari lehernya. Tak ada lagi suara yang terdengar. Tak ada lagi gerakan dari tubuh pengemis tua itu. Laki-laki tua itu seketika tewas tanpa dapat melakukan gerakan apa pun juga. Sementara malam terus merayap semakin larut Udara pun semakin terasa menggigit tulang. Tak ada yang menyaksikan kejadian mengerikan itu. Sangat cepat, sukar disadari sepenuhnya.
* * * * *
Suasana pagi masih agak gelap. Matahari belum lagi menampakkan diri dengan penuh. Hanya cahaya merah jingga menyemburat di ufuk Timur. Kokok ayam jantan mengalun bersahutan membangunkan seluruh makhluk di mayapada ini. Dalam keremangan pagi buta ini, terlihat seorang laki-laki muda tengah mengayunkan kakinya pelahan-lahan menyibak kabut.
Rambutnya yang panjang tergerai sebatas bahu, melambai-lambai mengikuti irama langkah kakinya. Sesekali dihembuskan napas panjang, berusaha mengusir hawa dingin menggigilkan tubuh. Mendadak langkah kakinya terhenti, dan tatapan matanya terpaku pada sosok tubuh tergeletak tanpa kepala. Darah yang keluar dari lehernya sudah membeku.
Pelahan-lahan pemuda itu menghampiri, dan berlutut di samping tubuh tanpa kepala itu. Matanya menatap kepala tua yang teronggok tidak berapa jauh. Sebentar diperiksanya bagian leher yang buntung itu, kemudian terdengar tarikan napasnya yang panjang. Pemuda itu kembali bangkit berdiri.
"Aneh.... Begitu banyak orang mati di sini. Semuanya dengan leher buntung. Hmmm.... Apa yang terjadi di sini...?" pemuda itu bergumam pelan, bicara pada dirinya sendiri.
Sebentar matanya merayap ke sekeliling, kemudian kakinya kembali terayun melangkah pelahan. Pemuda itu mulai memasuki sebuah jalan tanah berbatu yang cukup besar. Jalan ini cukup untuk dilalui sebuah pedati pengangkut barang. Agak tertegun juga dia melihat jalan ini telah ditumbuhi rerumputan. Meskipun belum begitu banyak, namun sudah menandakan kalau jalan ini sudah lama tidak digunakan lagi.
Pemuda berbaju kulit harimau itu terus melangkah menyusuri jalan, menuju arah yang berlawanan dengan matahari terbit. Langkah kakinya kembali terhenti ketika memasuki sebuah perkampungan yang nampak sepi bagai tak berpenghuni. Kembali ditemukan sesosok mayat tanpa kepala. Sosok mayat perempuan yang hanya terbungkus selembar kain lusuh.
Pemuda itu menyingkirkan tubuh tanpa kepala itu ke tepi, dan menyatukan dengan kepalanya yang terpisah. Kemudian kembali langkahnya terayun. Pandangannya tidak berkedip merayapi ruman-rumah yang berjajar di sepanjang jalan ini. Begitu sepi, tak terdengar adanya napas kehidupan di perkampungan ini. Tak terlihat adanya cahaya pelita. Semua pintu dan jendela tertutup rapat. Sementara cahaya matahari semakin membias terang.
....."Hmmm...," pemuda berbaju dari kulit harimau itu menggumam pelan.
Ayunan langkahnya semakin pelahan. Matanya menatap sebuah rumah kecil yang kelihatannya ringkih. Dindingnya banyak yang berlubang. Tampak seorang laki-laki setengah baya duduk memeluk lutut di atas balai bambu yang beralaskan anyaman tikar pandan lusuh. Laki-laki tua itu mengangkat kepalanya pelahan-lahan. Sementara pemuda itu berhenti tidak jauh didepannya.
Tampak wajah laki-laki setengah baya itu demikian murung, dan sinar matanya redup tanpa sedikit pun memancarkan gairah kehidupan. Pemuda itu menyapa lembut dan sopan, namun laki-laki tua itu hanya menyambut dengan senyuman tipis. Hampir tidak terlihat gerak bibirnya.
"Boleh numpang beristirahat sebentar di sini, Kisanak?" pinta pemuda itu sopan.
Laki-laki setengah baya itu tidak menyahut tapi digeser juga duduknya sedikit Pemuda itu menganggukkan kepalanya, dan tersenyum, kemudian melangkah mendekati. Dia duduk di samping laki-laki setengah baya itu. Suasana kaku sangat terasa, dan tidak menyenangkan sama sekali.
"Apa nama desa ini, Pak?" tanya pemuda itu mengisi kebisuan.
"Walang," sahut laki-laki setengah baya itu singkat Begitu datar nada suaranya.
"Hmmm...," pemuda berbaju dari kulit harimau itu hanya bergumam saja.
Untuk beberapa saat lamanya tidak ada yang bicara lagi. Semua bisu, tapi hati berbicara sendiri-sendiri. Sementara pemuda itu mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Hari semakin terang, dan matahari mulai tinggi. Tapi suasana desa ini masih juga sepi. Tak ada seorang pun yang terlihat keluar dari rumahnya. Pemuda itu menatap laki-laki setengah baya yang duduk memeluk lutut di sampingnya.
Tiba-tiba saja terdengar suara rintihan lirih dari dalam pondok ini. Laki-laki setengah baya itu bergegas bangkit dan melangkah masuk ke dalam. Sepertinya tidak mau peduli lagi dengan pemuda yang jadi bengong tidak mengerti. Pemuda berbaju kulit harimau itu memandangi sampai laki-laki setengah baya itu masuk ke dalam pondok ini. Pintunya tidak ditutup, sehingga bagian dalam pondok dapat terlihat jelas.
Tampak di atas sebuah dipan bambu yang hanya beralaskan tikar lusuh, tergolek seorang wanita yang hanya mengenakan pakaian lusuh dengan beberapa bagian sobek. Rambutnya yang panjang tergerai lepas, dan wajahnya pucat. Laki-laki setengah baya itu duduk di tepi dipan. Diambilnya baskom tanah liat dan dicelupkan selembar kain ke dalam air dalam baskom itu untuk membasuh wajah wanita yang terbaring lemah itu. Wajahnya pucat. Sinar matanya redup tanpa cahaya kehidupan.
Pemuda berbaju dari kulit harimau itu bangkit berdiri, lalu melangkah masuk pelahan-lahan. Dipandangi wajah wanita yang kelihatan masih berusia muda, namun begitu pucat. Gerak napasnya sangat pelan, hampir tidak terlihat.
"Sakit, Kisanak?" pelan suara pemuda itu.
"Ya," laki-laki setengah baya itu menjawab lirih.
"Boleh aku lihat?"
Laki-laki setengah baya itu tidak menjawab, tapi hanya menoleh menatap pemuda berbaju dari kulit harimau yang sudah berada dekat di belakangnya. Kemudian dia berdiri dan menggeser memberi tempat Pemuda itu melangkah maju, lalu duduk di tepi pembaringan. Tangannya ditempelkan ke bagian leher dekat rahang gadis itu.
"Sudah berapa lama sakitnya, Ki?" tanya pemuda itu tanpa menoleh. Jari-jari tangannya bergerak lembut memberikan beberapa pijatan di beberapa bagian tubuh gadis itu.
"Hampir satu purnama," sahut laki-laki setengah baya itu.
"Ah...," wanita itu merintih lirih ketika jari tangan pemuda berbaju kulit harimau menekan dadanya.
"Hm...," pemuda itu bergumam, kemudian membalikkan tubuh wanita itu.
Tampak pada punggung yang terbuka lebar, terlihat noda merah kehitaman. Tidak begitu besar dan bulat seperti kuku ibu jari. Pemuda itu langsung menekan noda itu dengan telapak tangan kanannya.
"Akh...!" wanita itu memekik tertahan.
"He...!" laki-laki setengah baya itu terkejut, dan menyentakkan pundak pemuda itu.
"Tidak apa-apa, Ki. Akan kukeluarkan racun di dalam tubuhnya," kata pemuda itu tidak bergeming sedikit pun.
"Tapi...."
Pemuda berbaju kulit harimau itu diam saja. Wajahnya nampak menegang dan memerah bagai kepiting rebus. Dan tangan kanan yang menempel pada punggung berkulit putih halus itu agak bergetar. Sedangkan laki-laki setengah baya itu hanya memperhatikan saja. Raut wajahnya begitu tegang, dan sinar matanya memancarkan kecemasan yang amat sangat
"Akh! Hoek...!" Wanita itu memuntahkan darah kental agak kekuningan. Dua kali muntah, kemudian terkulai lemas. Napasnya memburu bagai baru saja berlari jauh. Pemuda berbaju kulit harimau itu membalikkan tubuh gadis itu, kemudian menghentakkan tangannya, tepat di dada wanita itu.
"Ugh! Hoeeek..!"
"Hhh...!" Pemuda itu menghembuskan napas panjang.
Pelahan pemuda itu bangkit berdiri, dan melangkah mundur. Dipandanginya wajah wanita muda yang tampak diam dengan mata agak terpejam. Pelahan namun pasti, wajahnya mulai memerah. Napasnya juga mulai teratur kembali. Pemuda berbaju dari kulit harimau itu membalikkan tubuhnya, dan mengajak laki-laki setengah baya itu keluar. Saat itu wanita yang tergolek di atas dipan bambu sudah terlihat tertidur tenang. Tarikan napasnya lembut dan teratur. Wajahnya tidak lagi memucat seperti tadi.
* * * * *
Siang ini terasa begitu lambat berlalu. Pemuda berbaju kulit harimau yang ternyata adalah Bayu tengah duduk di sebuah kursi reyot yang hampir tidak kuat menahan beban tubuhnya. Matanya kelihatan setengah terpejam. Sedang tidak jauh di sampingnya berdiri laki-laki tua yang menamakan dirinya Ki Sampang. Pandangan mata Pendekar Pulau Neraka itu tidak lepas ke arah sosok tubuh seorang gadis yang masih tergolek di atas dipan. Ki Sampang mengatakan kalau gadis itu
bernama Wurani.
"Dia sudah sadar. Den Bayu," ujar Ki Sampang.
Pendekar Pulau Neraka bangkit berdiri dari duduknya. Dilangkahkan kakinya mendekati dipan itu, lalu duduk di tepinya. Sedangkan Ki Sampang masih tetap berdiri dekat pintu. Gadis yang bernama Wurani mulai menggeliat, dan matanya mengerjap terbuka. Dia bergelinjang akan bangkit, tapi Bayu Hanggara lebih cepat mencegah.
"Jangan bangun dulu."
"Oh! Siapa kau?" tanya Wurani masih lirih suaranya.
"Aku Bayu," Pendekar Pulau Neraka itu memperkenalkan diri.
Wurani memalingkan mukanya, menatap pada Ki Sampang yang masih tetap berdiri dekat pintu pondok kecil yang reyot ini.
"Kau kutemukan tergeletak di jalan, lalu kubawa ke sini," kata Ki Sampang, seolah-olah bisa mengerti pandangan gadis itu.
"Terima kasih," ucap Wurani pelan.
"Kau mengigau dan menyebut namamu Wurani. Benar?" sambung Ki Sampang lagi seraya melangkah menghampiri. Laki-laki setengah baya itu berdiri saja dibelakang Pendekar Pulau Neraka.
"Benar. Aku memang bernama Wurani," pelan, hampir tidak terdengarsuara gadis itu.
"Pemuda ini yang menyembuhkanmu," sambung Ki Sampang lagi
"Terima kasih," ucap Wurani seraya berusaha tersenyum.
Sesaat lamanya mereka terdiam membisu. Entah apa yang ada dalam benak masing-masing. Sementara Bayu kembali memeriksa kondisi gadis itu, kemudian tersenyum lega.
"Bagaimana kau bisa terluka seperti itu, Nisanak?" tanya Bayu.
"Jangan panggil aku Nisanak, Panggil saja Wurani," pinta gadis itu.
Bayu kembali tersenyum, dan dibalas oleh Wurani dengan manis. Sementara itu Ki Sampang menyingkir dan duduk di kursi, tempat Pendekar Pulau Neraka duduk tadi.
"Lukamu bukan luka biasa. Aku tahu, kau juga memiliki daya tahan yang luar biasa...," kata Bayu lagi, terdengar mengambang nada suaranya.
"Dan aku yakin, kau juga bukan orang sembarangan, Kisa...."
"Bayu. Panggil saja aku Bayu," potong Bayu cepat
"Hm..., kau dapat menyembuhkan lukaku. Sebenarnya aku sendiri sudah pasrah. Terima kasih," Wurani kembali tersenyum. Begitu manis senyum gadis itu.
"Terlalu banyak kau mengucapkan terima kasih. Tapi belum juga kau ceritakan tentang lukamu itu, Wurani," Bayu mengingatkan pertanyaannya yang belum terjawab.
"Maaf, apakah itu penting untukmu?" tanya Wurani.
"Mungkin..., tidak," Bayu memang tidak punya kepentingan terhadap luka yang diderita gadis itu. Keberadaannya di sini hanya kebetulan saja, lalu menolong dan menyembuhkan luka wanita itu.
"Sebaiknya kau memang tidak perlu tahu," ujar Wurani.
"Aku tidak memaksa," desah Bayu seraya mengangkat bahunya.
"Tapi, asal kau tahu saja. Racun di dalam tubuhmu belum semuanya punah. Dan paling tidak kau harus bersemadi satu hari penuh."
"Terima kasih," ucap Wurani lagi seraya tersenyum.
Bayu menepuk punggung tangan gadis itu, kemudian bangkit berdiri. Pendekar Pulau Neraka itu melangkah mendekati Ki Sampang, lalu memberi isyarat dengan matanya. Dan Ki Sampang bisa mengerti, kemudian bergegas bangkit dan melangkah mengikuti pemuda berbaju dari kulit harimau itu. Mereka keluar dari pondok itu dan sama-sama duduk di dipan bambu yang sudah reyot, hampir rubuh. Sebentar Bayu menarik napas, dan memandang berkeliling. Suasana di desa ini masih tetap sunyi. Hampir setengah harian Pendekar Pulau Neraka itu berada di Desa Walang ini, tapi tidak melihat orang lain lagi, selain Ki Sampang dan Wurani.
"Ada yang ingin kau katakan, Den Bayu?" tanya Ki Sampang.
"Aku merasa ada kelainan di sini, Ki," desah Bayu pelahan.
"Kesunyian ini...?" tebak Ki Sampang langsung.
"Satu di antaranya."
"Sudah beberapa bulan ini Desa Walang mati. Tidak ada lagi orang yang suka tinggal di sini. Bahkan untuk melintasinya saja enggan," pelan kata-kata Ki Sampang.
"Ada tanda-tanda kemakmuran di sini. Aku tidak mengerti, mengapa semua penduduk meninggalkannya, Ki?" tanya Bayu lagi, makin ingin tahu saja.
"Bukan pada tempatnya kalau kau bertanya seperti itu padaku, Den. Aku sendiri hanya pendatang di sini. Aku datang, desa ini sudah seperti ini. Tidak ada lagi penduduknya."
"Oh...?!" Bayu terkejut tidak menduga.
"Aku rasa Wurani lebih tahu. Ketika aku datang ke sini dia sudah tergeletak di tepi jalan, dan kubawa ke pondok ini," sambung Ki Sampang.
Bayu tidak bertanya lagi. Namun tatapan matanya begitu dalam menusuk langsung ke bola mata laki-laki setengah baya di sampingnya. Seolah-olah Pendekar Pulau Neraka itu tidak percaya terhadap keterangan yang diberikan Ki Sampang barusan.
"Aku siapkan makan siang dulu," ujar Ki Sampang seraya bangkit berdiri.
Dan sebelum Bayu bisa mengucapkan sesuatu, laki-laki setengah baya yang mengenakan baju garis-garis dan memakai ikat kepala dari kain coklat itu sudah melangkah masuk kembali ke dalam pondok. Sebentar Bayu memandangi, sampai Ki Sampang lenyap dari depan matanya. Pendekar Pulau Neraka itu menarik napas panjang, dan menghembuskannya kuat-kuat
"Aneh...?!" desah Bayu seraya bangkit berdiri. Hanya itu yang bisa diucapkannya. Sungguh tidak jelas, apa yang sedang terjadi di Desa Walang ini.
Semua yang dilihat dan dirasakan memang terasa aneh. Sukar bagi Pendekar Pulau Neraka untuk bisa mempercayai. Sepanjang jalan yang dilalui menuju ke desa ini, tidak sedikit ditemukan mayat tergeletak dengan kepala buntung. Dari bekas penggalannya, tidak ditemukan adanya bekas senjata tajam. Leher dari mayat-mayat yang ditemukannya, seperti tercabut begitu saja. Dari pengalamannya dalam berkecimpung di rimba persilatan, Pendekar Pulau Neraka itu bisa mengenali setiap luka. Paling tidak bisa menentukan senjata atau pukulan yang digunakan. Tapi kali ini sungguh lain.
Juga luka di punggung Wurani. Meskipun Bayu bisa memastikan adanya aliran racun yang lambat dan dapat mematikan, tapi sukar untuk menentukan jenisnya. Sulit untuk bisa diduga apakah itu akibat dari pukulan atau akibat senjata. Noda hitam di punggung gadis itu ada sedikit lubang seperti bekas tusukan jarum. Namun lebih besar lagi. Dan tusukan itu bergerigi, sehingga mengoyak sedikit kulit punggungnya.
Pendekar Pulau Neraka itu mengayunkan kakinya pelahan-lahan. Langkahnya terhenti setelah sampai di tengah-tengah jalan di depan pondok kecil itu. Kembali matanya memandang berkeliling. Tampak beberapa ekor anjing liar tengah berpesta mengoyak sosok mayat yang nampaknya sudah membusuk. Udara di sekitar Desa Walang ini juga terasa lain. Sedikit bau. Mungkin saja akibat dari banyaknya mayat yang berceceran dengan kepala terpisah tanpa sempat dikuburkan lagi.
"Hhh...!" Bayu menarik napas panjang. Pendekar Pulau Neraka itu kembali melangkah, mendekati satu sosok mayat yang sebagian tubuhnya tenggelam dalam parit. Dia berhenti dekat mayat itu. Agak menggiris juga hatinya ketika melihat mayat itu, yang ternyata seorang gadis kecil. Mungkin usianya baru sekitar sepuluh tahun. Tak ada kepala lagi di lehernya. Bau busuk sudah terasa menyengat hidung. Namun Pendekar Pulau Neraka itu memeriksa sekitar leher yang buntung tanpa kepala.
"Hm..., seperti bekas tarikan yang kuat. Tidak ada tanda-tanda bekas tersayat senjata tajam," gumam Bayu.
"Den Bayu...!" terdengar panggilan. Bayu menoleh. Tampak Ki Sampang sudah berdiri di depan pintu pondok kecil itu. Dan Pendekar Pulau Neraka itu kembali mengayunkan kakinya menghampiri pondok. Benaknya masih sibuk memikirkan mayat-mayat yang tergeletak tanpa kepala lagi. Juga sikap Ki Sampang dan Wurani yang dirasakannya sangat aneh. Bayu tidak akan menduga-duga dulu, meskipun hatinya diliputi rasa penasaran yang sangat kuat
* * * * *
--««¦ [ DUA ] ¦»»--
"Bayu...," terdengar suara Wurani ketika Bayu akan membuka jendela itu.
Bayu mengurungkan niatnya, lalu berbalik memandang Wurani dan Ki Sampang secara bergantian. Jeritan melengking tadi tidak lagi terdengar. Dan suasana malam ini kembali sunyi lengang. Hanya desiran angin dingin saja yang masih terdengar mengusik gendang telinga. Angin malam yang menyebarkan bau tidak sedap.
"Kalian dengar suara jeritan tadi?" tanya Bayu ingin mengetahui sikap kedua orang itu.
"Ya," sahut Ki Sampang pelan tanpa tekanan sama sekali pada nada suaranya.
"Hm.... Sepertinya kalian sudah biasa mendengarnya," gumam Bayu mulai dihinggapi rasa curiga. Ki Sampang dan Wurani hanya diam saja.
"Aku akan melihat keluar," kata Bayu seraya membalikkan tubuhnya dan melangkah mendekati pintu.
"Apa yang akan kau lakukan di luar?" tanya Ki Sampang.
"Barangkali aku masih bisa menemukan seorang manusia," sahut Bayu seraya membuka pintu pondok itu.
"Bayu, jangan...!" sentak Ki Sampang seraya melompat turun dari dipan.
Tapi Pendekar Pulau Neraka itu sudah melangkah keluar. Ki Sampang mengejar, namun laki-laki setengah baya itu hanya sampai di depan pintu saja. Sebentar dipandangi Bayu yang melangkah tegap menjauhi pondok ini, kemudian menatap Wurani. Laki-laki setengah baya itu menutup pintu pondok kembali. Ditariknya napas panjang dan berat. Sedangkan Wurani hanya diam saja memandangi laki-laki setengah baya itu.
Sementara di luar, Pendekar Pulau Neraka terus melangkah pelahan-Iahan menyusuri jalan tanah berdebu. Udara malam yang berhembus agak kencang, semakin tidak sedap tercium hidung. Mayat busuk begitu banyak tergeletak di sepanjang pinggir jalan ini. Bahkan tidak sedikit yang sudah koyak disantap binatang liar. Bayu berhenti melangkah di depan sebuah rumah yang cukup besar yang berdinding sebagian dari batu, dan sebagian lagi dari belahan papan. Rumah itu nampak sepi lengang, namun terlihat ada sedikit cahaya menyemburat dari dalam.
Pendekar Pulau Neraka langsung melompat begitu melihat adanya satu bayangan berkelebat keluar dari atap rumah itu. Ringan sekali gerakan pemuda berbaju dari kulit harimau itu. Dalam sekejap saja tubuhnya sudah mendarat di atas atap rumah itu. Dan pada saat yang sama, bayangan hitam yang dilihatnya sudah berlari cepat ke bagian belakang rumah.
"Hup!" Bayu segera melompat disertai pengerahan ilmu meringankan tubuh. Lesatannya begitu cepat bagai kilat. Begitu sempurnanya ilmu meringankan tubuh yang dimiliki, sehingga Pendekar Pulau Neraka itu bisa menyusul dalam waktu singkat Bahkan langsung berbalik menghadang.
"Berhenti...!" bentak Bayu keras.
Sosok tubuh hitam itu langsung berhenti dari larinya.
"Siapa kau?" tanya Bayu.
Keadaan malam yang begitu gelap, sukar bagi Bayu untuk mengenali wajah sosok tubuh itu yang hampir sebagian wajahnya tertutup rambut panjang tergerai tidak teratur. Tubuhnya kurus dan agak bungkuk. Baju yang dikenakannya berwarna hitam pekat dan longgar. Bayu mencoba untuk melihat wajah orang itu. Tapi karena orang itu selalu menunduk, sukar untuk dilihat jelas.
Dan belum lagi Bayu sempat untuk bertanya, tiba-tiba saja orang aneh itu bergerak cepat bagaikan kilat menerjangnya. Begitu cepat dan tiba-tiba, sehingga membuat Pendekar Pulau Neraka itu tidak sempat menyadari lagi. Tahu-tahu pemuda berbaju kulit harimau itu sudah terpental deras ke belakang. Sebatang pohon beringin sangat besar, langsung hancur seketika terlanda tubuhnya.
"Sial...!" rutuk Bayu sambil melompat bangkit berdiri.
Pendekar Pulau Neraka itu mengatur napasnya yang mendadak saja terasa sesak. Dadanya seperti remuk, terasa nyeri sekali. Namun belum juga hilang nyeri didadanya, kembali orang aneh itu menerjang dengan kecepatan yang luar biasa. Sesaat Bayu terperangah, namun cepat-cepat membanting tubuhnya ke tanah, lalu bergulingan menjauh. Cepat pula tubuhnya melompat bangkit berdiri.
Namun belum juga Pendekar Pulau Neraka itu mampu berpijak kokoh, orang aneh berjubah hitam itu kembali melompat menerjang bagai kilat. Pendekar Pulau Neraka tidak punya kesempatan untuk berkelit lagi. Dengan cepat dihentakkan kedua tangannya ke depan. Maka satu benturan keras tidak dapat terhindarkan lagi.
"Akh...!" Bayu terpekik keras agak tertahan.
Pendekar Pulau Neraka itu terpental sejauh dua batang tombak. Sedangkan orang aneh berjubah hitam itu hanya terdorong sekitar dua langkah saja. Sebentar dia berdiri tegak, kemudian melesat demikian cepat, sehingga tahu-tahu bayangan tubuhnya sudah lenyap dari pandangan mata. Bayu berusaha mengejar, namun dadanya terasa begitu sesak Napasnya pun jadi tersengal.
Buru-buru Pendekar Pulau Neraka itu duduk bersila dan mengambil sikap bersemadi. Cukup lama Bayu bersemadi menyalurkan hawa murn ke seluruh tubuh untuk mengatur jalan napasnya. Pendekar Pulau Neraka itu kembali bangkit berdiri setelah kondisi tubuhnya kembali seperti semula. Ditekannya dada sebelah kiri. Masih terasa nyeri, namun tidak lagi sakit seperti tadi.
"Hm, siapa dia? Apa yang dilakukannya di rumah itu?" Bayu bertanya-tanya dalam hati.
Pendekar Pulau Neraka itu bergegas melangkah menuju ke rumah yang tidak seberapa jauh dari tempat ini. Nyala pelita masih terlihat redup, dari bagian dalam rumah itu. Sebentar Pendekar Pulau Neraka itu mengamati sekitarnya, lalu melesat ke udara, dan hinggap di atas atap. Tubuh pemuda berbaju kulit harimau itu langsung saja meluruk masuk ke dalam melalui atap yang jebol.
"Ah...!" Seketika mata Bayu membelalak lebar begitu kakinya mendarat di lantai rumah.
Sukar untuk dipercaya akan apa yang disaksikan Pendekar Pulau Neraka di dalam rumah ini. Seorang anak perempuan berusia sekitar sepuluh tahun, tengah menangis memeluk mayat seorang wanita tanpa kepala lagi. Tidak jauh di sampingnya tergeletak mayat seorang laki-laki yang juga buntung kepalanya.
Mungkin merasakan adanya orang lain, gadis kecil itu menoleh. Hampir saja Bayu memekik melihat wajah gadis kecil itu hampir tidak terlihat karena tertutup darah. Entah darah siapa, karena kedua tangannya juga penuh darah. Bayu buru-buru menghampiri dan menggendong gadis kecil itu.
"Mari adik kecil, kita keluar dari sini," ucap Bayu lembut.
"Ibuuu...," rintih gadis kecil itu lirih.
"Aku akan mengurusmu nanti," kata Bayu berjanji.
Pendekar Pulau Neraka itu tidak membuang-buang waktu lagi. Langsung tubuhnya melesat menembus atap rumah yang memang sudah jebol berantakan. Gadis kecil yang berada dalam gendongannya, masih menangis memanggil-manggil ibunya. Bayu terus melenting begitu berada diatas atap. Ringan sekali gerakan Pendekar Pulau Neraka itu. Lentingannya bagai seekor burung, dari atas atap langsung meluruk ke tanah. Dia berlari cepat menuju pondok kecil, tempat Ki Sampang dan Wurani berada. Dalam waktu tidak berapa lama, Bayu sudah berada di depan pintu. Diketuknya pintu itu beberapa kali.
"Siapa...?" terdengar suara dari dalam.
"Aku. Bayu.... Cepat buka pintunya!"sahut Bayu.
Pintu pondok itu terbuka. Muncul Ki Sampang. Laki-laki setengah baya itu hampir memekik melihat seorang gadis kecil berlumuran darah berada dalam gendongan Bayu. Ki Sampang bergegas mengambil gadis itu, dan membawanya ke dipan. Sementara Bayu melangkah masuk, lalu menutup pintu pondok itu. Wurani jadi sibuk membersihkan darah yang melumuri wajah, tangan dan tubuh gadis itu, sambil mencoba membujuk agar anak itu tidak menangis lagi.
Agak lama juga gadis kecil itu baru dapat berhenti menangis. Sesekali masih juga terisak lirih. Sementara Bayu sudah menghenyakkan tubuhnya di kursi. Ki Sampang menghampiri Pendekar Pulau Neraka itu. Sedangkan Wurani mencoba menenangkan gadis kecil itu agar tidur. Bayu hanya memperhatikan saja, tapi benaknya masih terus dipenuhi berbagai macam pikiran. Masih belum bisa dipahami semua yang terjadi di desa ini, juga pada malam ini. Semuanya terjadi begitu tiba-tiba dan cepat, sukar untuk bisa dimengerti.
"Di mana kau temukan gadis itu, Bayu?" tanya Ki Sampang yang sudah menghilangkan panggilan Raden pada Pendekar Pulau Neraka itu. Dan memang pemuda itu sendiri yang memintanya.
"Di sebuah rumah yang di depannya ada pohon kamboja," sahut Bayu seraya melirik ke arah dipan. Nampak gadis kecil itu sudah tidur, sedangkan Wurani duduk saja di sampingnya.
"Tidak kuduga masih ada yang hidup di sini...," gumam Ki Sampang setengah mendesah.
"Ayah dan ibunya baru saja tewas," ujar Bayu seperti untuk dirinya sendiri.
"Oh...!" Ki Sampang tampak terkejut.
"Barangkali masih ada orang lain lagi yang masih hidup. Aku memang tidak yakin kalau semua orang di sini telah tewas," kata Bayu lagi dengan nada bergumam.
Ki Sampang menarik napas panjang, lalu menghembuskannya kuat-kuat. Dibalikkan tubuhnya, lalu dihampiri dipan, dan duduk di sisinya. Sedangkan Wurani hanya tertunduk saja memandangi wajah gadis kecil yang telah lelap walau hanya beralaskan tikar pandan lusuh. Wajah dan tubuhnya sudah bersih. Tidak ada lagi darah yang melekat, karena memang tidak ada satu luka pun. Darah itu pasti darah ibunya yang tewas malam ini.
"Kau seperti menyembunyikan sesuatu, Ki," tebak Bayu sambil menatap tajam laki-laki tua itu.
Ki Sampang kembali menghembuskan napas panjang, seakan hendak melegakan rongga dadanya. Hembusan napasnya begitu terasa berat.
"Apa sebenarnya yang tengah terjadi di sini?" tanya Bayu mendesak.
"Sungguh aku tidak tahu. Aku juga sama sepertimu. Hanya pendatang," sahut Ki Sampang sambil mengangkat kepalanya menatap Pendekar Pulau Neraka.
"Kau juga begitu, Wurani?" Bayu mengalihkan pandangannya pada Wurani.
Wurani tidak menjawab. Kepalanya tetap tertunduk dalam. Sementara malam merambat semakin larut. Dan Bayu semakin yakin kalau tidak Ki Sampang, pasti Wurani yang mengetahui peristiwa yang tengah melanda Desa Walang ini. Hanya mereka berdua saja yang dijumpai di desa mati ini. Desa yang dipenuhi mayat bergelimpangan tanpa kepala.
Bayu menghembuskan napas panjang dan terasa berat. Memang sukar mendesak orang yang lebih suka diam menutup mulut. Pendekar Pulau Neraka itu bangkit berdiri dan melangkah ke pintu. Dibukanya pintu pondok itu, lalu kakinya terus melangkah keluar.
Ki Sampang bergegas menyusul, dan langsung menutup pintu begitu berada di luar. Sementara Bayu hanya berdiri saja merayapi kesunyian dan kegelapan malam ini. Ki Sampang menghampiri dan berdiri di samping pemuda berbaju dari kulitharimau itu.
"Jangan paksa aku atau Wurani untuk mengatakan apa-apa, Bayu. Sungguh kami tidak tahu apa-apa. Terlebih lagi aku yang hanya pendatang di sini, sama sepertimu," tegas Ki Sampang mencoba meyakinkan Pendekar Pulau Neraka itu.
"Kau cukup lama berada di sini, Ki. Tentunya bisa mengetahui sedikit keadaan di desa ini," kata Bayu pelan.
"Tidak! Aku tidak tahu apa-apa. Ketika aku datang, desa ini memang sudah seperti ini. Tidak ada yang kutemui selain Wurani. Dan gadis itu sendiri dalam keadaan terluka," sergah Ki Sampang.
"Dan kau menungguinya?" agak sinis nada suara Bayu. Sama sekali tidak dipercayainya keterangan laki-laki setengah baya itu.
"Aku berkata sejujurnya, Bayu. Aku tidak bisa meninggalkannya sendirian begitu saja. Sudah kucoba untuk menyembuhkannya, tapi aku tidak mampu. Untungnya kau cepat datang dan berhasil menyembuhkan lukanya," Ki Sampang tetap berusaha meyakinkan Pendekar Pulau Neraka itu.
"Hhh...!" Bayu menghembuskan napas panjang-panjang.
Ki Sampang terdiam membisu, lalu berbalik dan duduk di balai bambu yang sudah reyot. Sementara Pendekar Pulau Neraka masih tetap berdiri tegak memandang lurus ke depan. Cukup lama juga mereka membisu dengan pikiran masing-masing yang sukar untuk diterka.
"Bayu, mengapa kau begitu tertarik dengan keadaan di sini?" tanya Ki Sampang memecah kebisuan yang terjadi cukup lama.
"Hanya naluri," sahut Bayu pelan.
"Kau seorang pendekar?" tanya Ki Sampang lagi.
"Hanya pengelana."
"Kita akan menyelidiki keadaan di sini bersama-sama, Bayu," kata Ki Sampang lagi.
"Hmmm...," Bayu hanya menggumam saja, seperti tidak mendengar kata-kata laki-laki tua itu.
* * * * *
Siang ini udara terasa begitu panas menyengat Matahari bersinar terik, seakan akan hendak menghanguskan semua yang ada di atas permukaan bumi ini. Di bawah sengatan teriknya sinar matahari, Bayu berjalan menyusuri jalan berdebu. Setiap rumah yang dilalui, tidak pernah terlewatkan untuk diperiksa. Dan semua rumah yang dimasuki, dalam keadaan kosong tanpa penghuni. Padahal hampir semua rumah di Desa Walang ini telah diperiksa. Tapi tak satu pun manusia dijumpai. Bahkan binatangsaja tidak dilihatnya.
Pendekar Pulau Neraka itu tiba di sebuah bangunan batu bertumpuk sebagai tanda batas Desa Walang. Pemuda berbaju dari kulit harimau itu berhenti melangkah. Pandangan matanya langsung tertuju ke puncak bukit di depannya. Sebuah bangunan batu berdiri menantang langit di puncak bukit itu. Bayu tahu kalau bukit itu disebut Bukit Walang Jati dari gadis kecil yang ditemukan di dalam rumah saat menangisi mayat ibunya.
"Bayu...!" tiba-tiba terdengar suara panggilan dari arah belakang.
Bayu hanya menolehkan kepala saja. Tampak Wurani berjalan cepat menghampirinya. Bayu kembali memalingkan wajah setelah Wurani berada di sampingnya. Gadis itu kelihatan segar dan cantik siang ini. Baju biru yang dikenakannya sangat kontras dengan kulitnya yang putih halus. Bajunya ketat, sehingga memetakan lekuk tubuhnya yang ramping.
"Apa yang kau kerjakan di sini, Bayu?" tanya Wurani ingin tahu.
"Tidak tahu," sahut Bayu singkat dan datar.
"Ki Sampang sudah siap, tinggal menunggumu saja," kata Wurani lagi.
"Jadi dia meninggalkan desa ini?" tanya Bayu.
"Benar. Gadis kecil itu juga ikut"
"Kau sendiri?"
"Tergantung dirimu, Bayu. Kalau kau juga pergi, maka aku ikut pergi. Tapi kalau kau tetap akan menyelidiki keadaan di sini, maka aku akan ikut juga bersamamu," tegas jawaban Wurani.
"Kau perlu menentukan sikap, Wurani."
"Hanya itu sikapku, Bayu. Kau telah menyelamatkan nyawaku. Maka tidak akan kubiarkan kau sendirian berada di sini. Mungkin aku akan menyulitkan, tapi paling tidak kau masih punya teman untuk diajak bicara," tetap tegas nada suara Wurani.
"Sebaiknya kau pergi, Wurani. Aku merasa tempat ini dipenuhi hawa iblis dan kematian."
"Dan kau..., akan tetap di sini?"
"Tidak. Aku akan meneruskan pengembaraanku. Ada hal penting yang harus kukejar secepatnya. Bagiku tidak ada gunanya lagi lama-lama disini"
"Kalau begitu, sebaiknya kita bersama sama. Saat waktunya berpisah, aku tidak akan menghalangimu," ujar Wurani.
Bayu tersenyum, kemudian membalikkan tubuhnya dan berjalan kembali ke Desa Walang. Sedangkan Wurani mengikutinya, mensejajarkan langkahnya disamping Pendekar Pulau Neraka itu. Mereka berjalan tanpa berkata-kata lagi.
Dari kejauhan, tampak Ki Sampang dan seorang gadis kecil sudah menunggu. Laki-laki setengah baya itu memegangi tali kekang kuda coklat yang diduduki seorang gadis kecil di punggungnya. Mereka menunggu dengan sabar sampai Bayu dan Wurani mendekat.
"Ayo kita berangkat" ujar Bayu setelah berada di depan Ki Sampang.
Tanpa berkata apa-apa lagi, mereka segera berjalan meninggalkan Desa Walang itu menuju ke arah Barat. Tak ada yang membuka suara sedikit pun. Mereka berjalan terus tanpa menoleh atau memandang sekelilingnya, kecuali Pendekar Pulau Neraka. Pemuda berbaju kulit harimau itu tidak pernah berhenti memandang berkeliling. Dan setiap kali melihat seonggok mayat tanpa kepala, hatinya selalu tergiris.
Mereka terus berjalan sampai melewati perbatasan desa sebelah Barat. Masih tetap belum ada yang membuka suara sedikit pun. Sementara matahari sudah begitu tinggi, tegak lurus di atas kepala. Perjalanan mereka baru berhenti setelah tiba di tepi sebuah sungai kecil yang berair jernih. Mereka membersihkan diri dari debu yang melekat. Tempat ini begitu tenang. Udaranya pun sangat segar, meskipun matahari bersinar sangat terik.
"Agaknya kita harus berpisah di sini," kata Bayu setelah mereka cukup beristirahat.
Tak ada yang bicara. Bayu bisa mengerti arti pandangan mata mereka yang menginginkannya terus ikut pergi. Tapi Pendekar Pulau Neraka itu sudah mantap, harus berpisah di tempat ini. Dia kenal daerah ini. Setelah menyeberangi sungai, dan melintasi padang rumput, maka akan ditemukan sebuah perkampungan yang tidak begitu besar. Mungkin di sana akan didapat tempat yang layak
"Kalian terus saja berjalan menyeberangi sungai ini, lalu melintasi padang rumput Ada sebuah perkampungan tidak jauh dari padang rumput itu," jelas Bayu.
"Bayu, kenapa kau tidak ikut saja sekalian bersama kami?" tanya Ki Sampang.
"Sebenarnya aku ingin bersama kalian, tapi ada hal lebih penting yang harus kukerjakan," sahut Bayu beralasan.
"Aku tidak bisa mendesakmu, Bayu. Mudah mudahan kita bisa bertemu lagi," ujar Ki Sampang menyerah. Bayu hanya tersenyum saja.
"Selamat tinggal, Bayu. Aku senang bisa bertemu denganmu," ucap Ki Sampang seraya menepuk pundak Pendekar Pulau Neraka itu.
"Semoga kalian selamat" balas Bayu.
Ki Sampang menuntun kuda coklat yang membawa gadis kecil di punggungnya. Laki-laki setengah baya itu melangkah menyeberangi sungai. Sementara Wurani masih tetap berdiri di depan Pendekar Pulau Neraka itu. Pandangan gadis itu tidak berkedip ke arah wajah tampan di depannya.
"Pergilah," ujar Bayu lembut.
"Aku berhutang padamu.... Hm, boleh aku memanggilmu Kakang?"
"Dengan senang hati."
"Terima kasih."
Bayu menepuk lembut bahu gadis itu.
"Mudah-mudahan kita bertemu lagi. Aku ingin membalas kebaikanmu, Kakang," ucap Wurani
Bayu tidak menjawab, dan hanya tersenyum saja. Wurani membalikkan tubuhnya, lalu menyeberangi sungai, menyusul Ki Sampang yang sudah tiba di tepi. Sementara Pendekar Pulau Neraka masih tetap berdiri memandang kepergian mereka dari seberang sungai. Ki Sampang dan Wurani terus berjalan semakin jauh. Beberapa kali gadis itu menoleh, dan pada tolehan ke sekian kalinya Pendekar Pulau Neraka sudah tidak ada lagi di tempatnya.
* * * * *
--««¦ [ TIGA ] ¦»»--
Di sekitar pertarungan itu sudah tidak terhitung lagi tubuh yang bergelimpangan. Yang membuat hati tergiris melihatnya, tubuh-tubuh berlumuran darah itu semuanya berkepala buntung. Sedangkan sekitar sepuluh orang bersenjata golok dan pedang masih bertarung sengit mengeroyok seorang berjubah hitam dengan rambut panjang tergerai menutupi sebagian wajahnya.
"Aaa...!"satu jeritan melengking terdengar menyayat.
Tepat saat ada seorang yang ambruk dengan kepala buntung, mendadak sebuah bayangan kuning berkelebat cepat menghantam orang berjubah hitam agak bungkuk itu. Orang itu mengerang lirih. Tubuhnya bergulingan beberapa kali di tanah. Namun dia cepat bangkit berdiri.
Sekitar sembilan orang hanya terlongong begitu melihat seorang pemuda mengenakan baju kulit harimau menerjang orang berjubah hitam itu. Mereka jadi terpaku, karena pertarungan itu langsung pecah tanpa ada yang bisa mencegah lagi.
"Hiyaaa...!"
Tiba-tiba saja terdengar teriakan keras. Seketika tubuh hitam itu melesat cepat ke udara, dan dalam sekejap saja lenyap dari pandangan mata. Pemuda berbaju kulit harimau itu tidak bisa lagi mengejar. Sembilan orang yang memegang senjata terhunus, bergegas menghampiri. Salah seorang yang mengenakan baju ketat putih dan memegang pedang, membungkukkan badan memberi hormat di depan pemuda berbaju kulit harimau itu.
"Terima kasih. Kisanak datang tepat pada waktunya," ucap laki-laki setengah baya berbaju putih itu seraya menyarungkan pedangnya di pinggang.
Pemuda berbaju kulit harimau itu memandangi sembilan orang yang berada di depannya. Mereka semua memakai baju putih ketat berikat kepala juga putih. Melihat sulaman bergambar burung gagak di dada kiri, pemuda itu menduga kalau mereka tentu berasal dari sebuah padepokan. Pemuda itu memandang mayat-mayat yang bergelimpangan. Semuanya mengenakan baju putih bersulamkan gambar burung gagak berwarna hitam pada bagian dada sebelah kiri.
"Oh, ya. Siapakah Kisanak ini? Sekali lagi kuucapkan terima kasih atas kebaikan hati Kisanak menolong kami!" kata laki-laki setengah baya itu dengan nada suara sopan.
"Namaku Bayu, aku kebetulan saja lewat di sini," pemuda itu menyahut memperkenalkan namanya.
"Aku Tepasena. Ah, Kisanak telah berjasa pada kami. Jika tidak berkeberatan, aku atas nama Eyang Resi Jayaraga mengundang Kisanak ke Padepokan Gagak Hitam," ujar laki-laki setengah baya itu memperkenalkan dirinya.
"Rasanya sukar bagiku menolak undangan ramah ini,"sahut Bayu.
"Ah, terima kasih. Mari, Kisanak."
Bayu mengayunkan langkahnya di samping Tepasena. Sedangkan delapan orang berseragam putih ketat mengikuti dari belakang. Mereka masih terlihat muda-muda, dan mungkin usianya sebaya Pendekar Pulau Neraka itu.
"Ki Tepasena, boleh bertanya sesuatu?" pinta Bayu.
"Silakan, Kisanak," sahut Tepasena ramah.
"Ah, sebaiknya panggil saja aku Bayu. Hmmm..., siapa sebenarnya orang yang bertarung denganmu tadi itu?" tanya Bayu setelah meminta agar Tepasena memanggil namanya saja.
"Sukar untuk dikatakan, Ki..., oh, Bayu. Kami waktu itu sedang dalam perjalanan kembali ke padepokan. Tiba-tiba saja orang itu datang mencegat dan langsung menyerang tanpa berkata apa-apa lagi," jelas Tepasena singkat.
"Hm..., jadi kau tidak tahu siapa dia?" tanya Bayu agak kecewa. Padahal harapannya tadi, laki-laki setengah baya ini mengetahui tentang orang aneh yang juga pernah bertemu sekali dengannya di Desa Walang.
"Tampaknya kau pernah berhadapan dengannya, Bayu. Paling tidak, sekali," tebak Tepasena langsung.
Bayu hanya tersenyum saja. Tebakan lelaki setengah baya itu tepat, tidak meleset sedikit pun. Pendekar Pulau Neraka itu sempat mengagumi di dalam hati terhadap pandangan tajam Tepasena.
"Aku memang sedang memburunya, Ki Tepasena. Tapi tidak tahu siapa dia sebenarnya," kata Bayu.
"Oh! Kenapa?" Tepasena tampak terkejut.
"Sukar untuk dijelaskan."
"Tidak mengapa, Bayu."
Lagi-lagi Pendekar Pulau Neraka mengagumi sikap lelaki setengah baya itu. Sangat arif. Setiap kata yang diucapkan begitu sopan, berwibawa, dan terdengar agung. Dalam hati, Bayu menduga kalau Tepasena pasti seorang yang memiliki ilmu tinggi. Paling tidak seorang guru pengajar pada Padepokan Gagak Hitam.
Mereka terus berjalan menembus kegelapan malam tanpa bicara lagi. Sebenarnya Bayu ingin menceritakan kejadian di Desa Walang. Tapi rasanya belum ada alasan kuat. Lagi pula dugaannya, orang-orang dari Padepokan Gagak Hitam ini tidak tahu menahu sama sekali. Tapi sedikit ada harapan di hati Pendekar Pulau Neraka saat Tepasena mengatakan Padepokan Gagak Hitam tidak jauh dari Bukit Walang Jati sebelah Selatan ini.
Hanya dibatasi hutan kecil dan aliran sungai yang tidak begitu besar. Bayu berharap, mungkin di dalam padepokan itu bisa didapat banyak keterangan. Dia tahu kalau sebuah padepokan, tentu tidak jauh dari sebuah perkampungan. Kalau pun menyendiri, itu paling tidak di sebuah lembah, puncak gunung, atau sebuah bukit Tapi tetap juga tidak jauh dari perkampungan.
* * * * *
Sama sekali Bayu tidak menyangka kalau Eyang Jayaraga tidak seperti yang dibayangkannya semula. Biasanya, sebuah padepokan selalu dipimpin oleh orang tua berjubah panjang dan berjanggut memutih. Nada suaranya lembut penuh kewibawaan. Tapi yang sekarang berada di depan Pendekar Pulau Neraka kali ini..., sungguh tidak mudah dipercaya.
Bayu sendiri sampai terpana tidak percaya.ketika Tepasena memperkenalkannya pada Ketua Padepokan Gagak Hitam. Seorang pemuda cukup tampan yang usianya mungkin baru dua puluh delapan tahun, atau mungkin tiga puluhan. Kulitnya kuning langsat dan sinar matanya tajam menusuk. Pakaiannya sangat sederhana, terbuat dari kulit binatang Sengaja dibuat tanpa lengan, dihiasi tali-tali dari urat binatang menyilang pada bagian dadanya. Sebilah pedang yang gagangnya berbentuk kepala burung gagak bertengger di punggungnya.
"Senang sekali bisa bertemu denganmu, Pendekar Pulau Neraka," ucap laki-laki muda yang ternyata bernama Eyang Jayaraga itu menyambut kedatangan Bayu Hanggara.
"Terima kasih...," ucap Bayu, agak kaku juga. Betapa tidak? Bayu merasa tidak pantas memanggil laki-laki yang usianya sangat jauh jika dipanggil Eyang. Paling tidak dia memanggilnya Kakang.
"Silakan duduk," ujar Eyang Jayaraga.
Bayu duduk di kursi menghadap meja bundar kecil. Sedangkan Eyang Jayaraga kembali duduk di kursinya, tepat di depan Pendekar Pulau Neraka. Tidak ada lagi orang lain di ruangan yang cukup besar ini. Tepasena yang mengantarkan tadi, sudah sejak tadi keluar dari ruangan ini. Sebentar Bayu merayapi keadaan ruangan yang cukup besar dan indah ini.
"Sukar rasanya bagiku untuk memanggilmu...," Bayu tak jadi meneruskan ucapannya.
"Ha ha ha...!" Eyang Jayaraga hanya tertawa saja. Bayu terdiam membisu.
"Panggil saja aku Jayaraga. Tidak perlu kau panggil aku Eyang," kata Eyang Jayaraga polos disertai senyuman di bibir.
"Sulit. Meskipun kau masih kelihatan muda, tapi sudah memimpin padepokan. Sebutan Eyang sudah melekat di depan namamu," ujar Bayu.
"Kalau begitu, terserah kau sajalah."
Kembali Bayu terdiam.
"Terus terang, aku begitu gembira menerima kunjunganmu, Pendekar Pulau Neraka. Sudah lama aku ingin dapat bertemu denganmu. Dan sekarang sepertinya aku mendapat kehormatan atas kunjunganmu ke sini," ucap Eyang Jayaraga pelan dan cukup lembut.
"Hm..., kau tahu nama julukanku," gumam Bayu. Pendekar Pulau Neraka selalu memotong akhir ucapannya. Sepertinya berusaha untuk menghindar menyebut nama laki-laki muda pemimpin Padepokan Gagak Hitam ini. Terasa risih bagi lidahnya.
"Hanya ada satu Pendekar Pulau Neraka di dunia ini. Dan aku tahu siapa dirimu, meskipun belum kau sebutkan julukanmu," kata Eyang Jayaraga kalem.
"Bagaimana kau bisa tahu? Sedangkan baru kali ini kita bertemu," selidik Bayu ingin tahu.
"Pakaianmu, dan senjata anehmu itu."
Bayu tersenyum seraya mengangkat bahunya sedikit Pakaian yang dikenakannya memang terlalu menyolok, tapi dia sangat menyukainya. Terlebih senjata Cakra Maut yang setiap saat menempel di pergelangan tangan kanannya. Untuk beberapa saat lamanya mereka tidak ada yang bicara.
Dalam hati, Bayu mengagumi juga kejelian penglihatan laki-laki muda yang sudah dipanggil eyang itu. Pemimpin besar Padepokan Gagak Hitam ini memang masih menjadi beban pertanyaan di benak Pendekar Pulau Neraka. Sama sekali tidak diketahuinya tentang padepokan ini. Meskipun semua penghuninya ramah, tapi Bayu tetap ingin tahu banyak mengenai Padepokan Gagak Hitam yang berada di sebelah Selatan Bukit Walang Jati.
* * * * *
Dua hari Bayu berada di lingkungan Padepokan Gagak Hitam. Dan selama itu pula dia belum memperoleh apa-apa tentang manusia aneh dan misterius yang membantai penduduk Desa Walang secara kejam. Eyang Jayaraga sendiri tidak tahu tentang kekejaman itu. Bahkan sepertinya tidak tahu kalau ada sebuah desa di balik Bukit Walang Jati. Bahkan semua orang yang ada di padepokan ini, tidak ada yang bisa memberi jawaban memuaskan.
Sukar untuk dipercayai. Letak Padepokan Gagak Hitam dengan Desa Walang, tidak seberapa jauh. Mustahil kalau mereka tidak tahu menahu terhadap semua yang terjadi di desa itu. Beberapa kali Bayu menanyakan tentang hal ini pada Eyang Jayaraga, tapi laki-laki muda pemimpin padepokan itu seperti sengaja menghindar.
"Kau akan pergi juga, Bayu?" tanya Tepasena siang itu ketika melihat Pendekar Pulau Neraka sudah bersiap- siap akan meninggalkan Padepokan Gagak Hitam ini.
"Ya,"sahut Bayu singkat.
"Eyang Jayaraga sangat senang atas kehadiranmu disini. Bahkan dia menginginkan agar kau tetap tinggal untuk beberapa hari lagi," kata Tepasena.
"Aku juga senang berada di sini. Tapi masih ada yang harus kukerjakan di luar sana,"sahut Bayu.
"Hm.... Kau tetap akan menyelidiki orang misterius itu, Bayu?"
"Ya. Aku tidak bisa melihat kekejaman berlangsung di depan mataku," tegas jawaban Pendekar Pulau Neraka.
"Bukankah semua tindakanmu juga dikatakan kejam, Bayu."
Bayu Hanggara seketika tertegun. Pandangannya tajam menusuk langsung ke bola mata laki-laki setengah baya itu. Sungguh tidak disangka kalau Tepasena bisa bicara seperti itu. Kata-kata yang meluncur lancar bagai tidak pernah terpikirkan sebelumnya.
"Maaf, kalau ucapanku membuatmu tersinggung," ucap Tepasena buru-buru menyadari kata-katanya.
"Seberapa jauh kau mendengar tentang diriku, Paman?" tanya Bayu datar.
"Tidak banyak. Hanya mendengar saja dari cerita orang-orang," sahut Tepasena.
"Orang-orang..? Tidak kulihat adanya desa di sekitar sini. Hanya padepokan ini saja yang ada. Siapa yang dimaksud orang-orang itu, Paman?" nada suara Bayu terdengarseperti mencurigai dan penuh selidik.
Tepasena terdiam, tidak bisa segera menjawab. Raut wajahnya berubah seketika. Sepertinya baru saja kepergok mencuri. Sikap laki-laki setengah baya itu membuat Pendekar Pulau Neraka semakin curiga, dan ingin tahu lebih banyak lagi. Tapi waktu yang dimilikinya saat ini begitu sedikit. Dia sudah berpamitan pada Eyang Jayaraga, dan harus segera pergi dari Padepokan Gagak Hitam ini.
"Aku pergi dulu, Paman. Mudah-mudahan bisa bertemu lagi dalam suasana masih penuh persahabatan," ucap Bayu seraya menjura memberi hormat.
Tepasena hanya diam seraya menganggukkan kepalanya sedikit membalas penghormatan Pendekar Pulau Neraka itu. Tanpa bicara apa-apa lagi, Bayu membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi. Pendekar Pulau Neraka lewat di depan bangunan utama Padepokan Gagak Hitam ini. Langkahnya terhenti saat melihat Eyang Jayaraga berdiri di ambang pintu bangunan utama padepokan itu.
Bayu membungkukkan tubuhnya untuk memberi hormat, kemudian terus saja berjalan cepat keluar dari Padepokan Gagak Hitam. Dua orang penjaga pintu gerbang bergegas membuka pintu yang terbuat dari kayu tebal dan cukup tinggi. Pendekar Pulau Neraka terus saja berjalan. Sementara Eyang Jayaraga memandangi sampai pintu gerbang kembali tertutup. Digerakkan tangannya untuk memanggil Tepasena.
Bergegas laki-laki setengah baya itu menghampiri, lalu menjura memberi hormat dengan membungkukkan tubuhnya dalam-dalam. Eyang Jayaraga yang masih muda dan berwajah cukup tampan itu melangkah beberapa tindak menuruni anak-anak tangga beranda depan bangunan besar Padepokan Gagak Hitam itu. Langkahnya berhenti setelah dekat di depan laki-laki setengah baya itu.
"Apa saja yang ditanyakan padamu, Paman?" tanya Jayaraga datar nada suaranya.
"Seperti yang kemarin, Nanda Jayaraga. Selalu ingin tahu," sahut Tepasena.
"Hmmm...," Jayaraga menggumam dengan kepala terangguk-angguk. Pemuda yang selalu dipanggil eyang itu membalikkan tubuhnya, kemudian melangkah masuk ke dalam bangunan besar itu. Tepasena masih tetap berdiri dan tubuhnya agak membungkuk. Dia baru menegakkan tubuhnya setelah Jayaraga hilang di dalam bangunan utama padepokan itu.
* * * * *
Sementara itu, Bayu sudah cukup jauh berjalan meninggalkan Padepokan Gagak Hitam. Arahnya sudah jelas, kembali ke Desa Walang yang berada di balik bukit sebelah Timur. Ayunan kaki Pendekar Pulau Neraka itu tidak tergesa-gesa, namun terasa ringan seperti tidak menapak tanah.
"Heh...!" tiba-tiba Bayu berseru terkejut.
Mendadak saja beberapa orang berpakaian serba hitam muncul dari balik semak dan meluncur turun dari atas pohon. Pendekar Pulau Neraka memutar tubuhnya. Di sekelilingnya kini sudah mengepung tidak kurang dari dua puluh orang berpakaian serba hitam dengan kepala terselubung kain hitam pula. Hanya bagian matanya saja masih terlihat.
"Siapa kalian?! Kenapa mencegat jalanku?!" bentak Bayu keras.
"Jangan banyak omong! Bunuh...!" terdengar bentakan dari arah belakang.
Dan belum juga Pendekar Pulau Neraka bisa memutar tubuhnya, mendadak dua puluh orang berbaju serba hitam itu berlompatan sambil mencabut pedangnya masing-masing. Bayu tidak punya pilihan lain lagi. Seketika itu juga tubuhnya berputar, dan berkelit menghindari beberapa tebasan pedang yang datang beruntun. Pertempuran tidak dapat dihindari lagi. Beberapa kali Bayu mencoba bertanya, tapi tak ada yang menyahuti setiap pertanyaannya.
Serangan dua puluh orang berbaju serba hitam itu sangat luar biasa dahsyatnya. Beberapa kali Bayu harus membanting tubuhnya, atau berputaran di udara menghindari setiap serangan. Sebentar sebentar mulutnya mendesis menahan geram menghadapi pedang-pedang yang bisa merobek tubuhnya, atau mungkin juga bisa memenggal kepalanya. Orang-orang berbaju hitam itu bertarung tanpa banyak mengeluarkan suara. Namun setiap serangannya sungguh dahsyat, dan mengandung tenaga dalam cukup tinggi.
"Tahan..! Kenapa kalian menyerangku?! Siapa kalian?!" keras suara Baya
Tapi orang-orang berbaju hitam itu tidak ada yang menjawab, bahkan semakin memperhebat serangan-serangannya. Beberapa kali Bayu bertanya, tapi tak ada yang menjawab. Tentu saja hal ini membuat Pendekar Pulau Neraka itu kian berang. Terlebih lagi ketika sebuah pedang hampir saja membabat buntung lehernya. Untung pemuda berbaju kulit harimau itu cepat-cepat berkelit menghindarinya.
"Setan! Kalian yang memaksa...! Jangan menyesal, keparat!" geram Bayu memuncak amarahnya.
Seketika itu juga Pendekar Pulau Neraka berteriak keras menggelegar. Kedua tangannya segera mengembang ke samping, lalu bergerak cepat diikuti gerakan kakinya yang lincah. Saat itu juga dua orang berpakaian hitam terjungkal terhantam tangan yang bergerak bagai kilat dan mengandung pengerahan tenaga dalam cukup sempurna.
"Hiya! Hiyaaa...!"
Jeritan melengking terdengar saling sambut, disusul berpelantingannya orang-orang berbaju serba hitam itu. Bayu sengaja memilih bagian tubuh yang tidak mematikan, meskipun pukulannya mengandung tenaga dalam sangat tinggi. Tapi begitu mereka menggeletak ditanah, langsung menghunjamkan pedangnya ke tubuhnya sendiri.
"Keparat..!" geram Bayu tersentak kaget. Sebentar saja, tinggal dua orang yang masih hidup. Namun tanpa diduga sama sekali, mereka menusukkan pedangnya sendiri, tepat di dada. Bukan main terkejutnya Pendekar Pulau Neraka menyaksikan lawan-lawannya bunuh diri dalam keadaan kalah. Bayu memandangi mayat-mayat yang bergelimpangan terpanggang pedang masing-masing. Tak ada lagi yang hidup, semuanya tewas seketika.
Bayu menghampiri salah sebuah mayat yang tidak berapa jauh darinya, lalu membuka kain yang menyelubungi kepala orang itu. Pendekar Pulau Neraka menggeleng-gelengkan kepalanya. Kemudian dibukanya satu persatu kain-kain hitam yang menyelubungi mereka. Bayu berdiri setelah membuka selubung kepala mayat yang terakhir. Mereka semua masih muda, dan mungkin baru berusia sekitar dua puluh tahun. Hebatnya, tingkat kepandaian mereka sudah cukup tinggi. Hanya yang tidak bisa dimengerti, mereka bunuh diri sendiri setelah menyadari kekalahannya.
"Aku tidak tahu siapa mereka. Kenapa menyerang dan membunuh diri sendiri...?" desah Bayu sambil menggelengkan kepala beberapa kali.
Tak ada tanda-tanda yang dapat dikenali. Dan Pendekar Pulau Neraka itu tidak bisa mengenali wajah-wajah mereka yang begitu asing. Pelahan-lahan Bayu melangkah mundur, kemudian berbalik dan kembali berjalan cepat menuju Desa Walang. Saat itu hari sudah mulai senja. Dan Bayu tidak sampai kemalaman tiba diDesa Walang, karena berjalan cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh.
* * * * *
--««¦ [ EMPAT ] ¦»»--
Seorang pemuda berbaju kulit harimau yang tengah duduk memeluk lutut di beranda sebuah rumah kecil yang reyot mendadak mengangkat kepalanya ketika mendengar lolongan anjingan hutan. Lolongan itu begitu panjang dan menyayat hati. Pemuda itu menggelinjang bangkit saat matanya menangkap bayangan berkelebat cepat dari satu atap rumah ke atap lainnya.
"Hup...!" Pemuda itu bergegas melentingkan tubuhnya, langsung hinggap di atas atap. Ringan sekali gerakannya, sehingga tidak terdengar suara sedikit pun. Tatapan matanya begitu tajam, mengamati bayangan yang berkelebat cepat di atas atap rumah penduduk. Dan begitu bayangan itu meluruk turun ke jalan, pemuda berbaju dari kulit harimau itu langsung melesat menghadangnya.
Tunggu...!" sentak pemuda itu keras. Tampak seorang berjubah hitam yang rambutnya meriap panjang dan tidak teratur, sangat terkejut melihat kemunculan seorang pemuda berbaju kulit harimau yang begitu tiba-tiba. Sesaat mereka hanya saling pandang dalam jarak sekitar tiga batang tombak. Orang berjubah hitam dan bertubuh agak bungkuk itu menggumam kecil. Hampir tidak terdengarsuara gumamannya itu.
"Hik hik hik...!" tiba-tiba saja orang itu tertawa mengikik. Suaranya terdengar kecil dan serak.
"Hm..., siapa kau?" tanya pemuda berbaju kulit harimau itu dingin.
"Hik...! Anak muda, kau bukan penduduk sini. Aku tidak ingin berurusan denganmu. Pergilah, sebelum nasibmu sama dengan yang lain!" serak suara orang berjubah hitam itu.
"Pasti kau yang membantai semua penduduk di sini!" tetap dingin nada suara pemuda berbaju harimau itu.
"Apa pedulimu, bocah?" bentak orang berjubah hitam itu kasar.
"Aku selalu peduli pada setiap kekejaman yang terjadi di depan mataku!"
"Phuih! Kau cari penyakit, Anak Muda! Berani berurusan dengan penghuni Istana Iblis!"
"Sekalipun dari neraka, aku tidak peduli! Perbuatanmu sudah melampaui batas!"
"Hik hik hik...! Kau pikir dirimu sendiri bersih, bocah?! Sepak terjangmu tidak jauh berbeda dengan manusia iblis! Seharusnya kau bergabung denganku untuk menumpas manusia-manusia dungu tidak berguna. Menjadikan kerajaan iblis yang terbesar dan tidak tertandingi! Hik hikhik...!"
"Impianmu akan pupus, iblis busuk!" geram Bayu.
"Tidak seorang pun bisa menentangku, bocah!"
"Aku yang akan menghentikan!"
"Ha ha ha...!" orang berjubah hitam itu tertawa tergelak-gelak.
Seketika orang berjubah hitam itu menepuk tangannya tiga kali. Tiba-tiba saja dari balik rumah, pohon, dan atap, bermunculan orang orang berbaju hitam terselubung kain hitam pada kepalanya. Bayu tersentak kaget. Tidak diduga sama sekali kalau ditempat ini begitu banyak orang berpakaian hitam. Sama sekali tidak diketahui. Bahkan telinganya juga tidak mendengar keberadaan mereka.
Bayu menyadari kalau orang-orang itu memiliki kepandaian yang tidak bisa dianggap enteng. Terbukti kehadirannya tidak diketahui sama sekali. Pendekar Pulau Neraka itu menatap tajam orang berjubah hitam dan agak bungkuk di depannya. Orang itu terkikik serak sehingga bahunya sedikit terguncang.
"Aku percaya akan kemampuanmu, Anak Muda. Dua puluh orang anak buahku dengan mudah dapat kau kalahkan. Dan aku yakin, kau juga tidak mengalami kesulitan menandingi mereka sekaligus. Tapi kau pasti akan berpikir dua kali, Pendekar Pulau Neraka...," kata orang berjubah hitam yang wajahnya sukar untuk dilihat, karena tertutup rambut panjang yang tidak teratur itu.
"Heh! Kau tahu namaku...?!" sentak Bayu agak terkejut juga dia.
"Nama aslimu pun aku tahu. Semua sepak terjangmu selalu kuikuti. Itu sebabnya kau masih kuberi kesempatan hidup. Aku ingin kau ikut memperkuat pasukanku. Pasukan Istana Iblis, ha ha ha...!"
Bayu menggeram pelan. Disadari kalau semua sepak terjang serta dirinya sudah diketahui. Tapi dia tidak tahu, siapa orang berjubah hitam dan mereka yang mengepung tempat ini. Pendekar Pulau Neraka itu merasakan dirinya seperti tengah diadili saat ini. Memang diakui kalau selama ini tindakannya selalu tegas dan tanpa kompromi. Sehingga tidak heran kalau tokoh-tokoh rimba persilatan sukar untuk memasukkannya ke dalam golongan hitam atau putih.
Padahal jelas, kalau selama ini Bayu selalu menolong yang lemah. Memang tidak bisa dipungkiri kalau Pendekar Pulau Neraka itu kerap juga bentrok dengan tokoh beraliran putih. Dan yang lebih menyolok lagi, Bayu tidak pernah memberi kesempatan pada setiap lawannya untuk menghirup udara kembali.
Bayu memang berada di antara dua kutub yang begitu kuat menariknya. Darahnya adalah darah seorang pendekar, tapi semua kepandaiannya berasal dari seorang tokoh hitam beraliran sesat. Tidak heran kalau dalam diri Pendekar Pulau Neraka terdapat dua jiwa yang saling bertentangan. Dan ini belum bisa dikendalikan. Bayu masih menuruti apa kata hatinya. Jika dianggap harus bertindak, maka tidak ada yang bisa mencegahnya.
"Bagaimana, Bayu? Sudah ada pilihan?" tegur orang berjubah hitam itu membangunkan lamunan Pendekar Pulau Neraka.
"Aku kira, kau terlalu banyak berharap untuk bisa merangkulku, manusia iblis!" sahut Bayu dingin dan tegas nada suaranya.
"Ha ha ha...!" orang berjubah hitam itu tertawa terbahak-bahak.
Bayu jadi tidak mengerti ketika melihat orang berjubah hitam itu memberi isyarat agar anak buahnya yang mengepung tempat ini pergi. Dan tanpa diminta dua kali, mereka segera berlompatan menghilang. Begitu cepat gerakannya, sehingga sebentar saja sudah tidak ada lagi yang mengepung tempat ini. Tinggal Bayu dan orang berjubah hitam itusaja yang ada.
"Biasanya aku tidak pernah memberi kesempatan dua kali. Tapi untukmu, kuberi waktu untuk berpikir. Waktumu hanya dua hari, Pendekar Pulau Neraka! Ha ha ha...!"
"Hey...!" Bayu ingin mencegah, tapi orang berjubah hitam itu sudah lebih cepat melesat. Sekejap saja bayangan tubuhnya lenyap dari pandangan mata. Pendekar Pulau Neraka berdiri memandangi arah kepergian manusia misterius itu. Terlalu banyak yang ada dalam benak Bayu. Dan ini membuat kepala Pendekar Pulau Neraka itu jadi pening. Masih belum bisa dipahami semua peristiwa yang terjadi ini.
* * * * *
Semalaman penuh Pendekar Pulau Neraka berdiri di tengah-tengah jalan berdebu. Sampai matahari muncul, Pendekar Pulau Neraka belum juga bergeming dari tempatnya. Pandangan matanya lurus menatap ke arah Puncak Bukit Walang Jati. Di situ terlihat sebuah bangunan batu bagai istana kuno yang sudah tidak terpakai lagi. Ke arah sanalah orang aneh misterius itu pergi. Tepatnya kearah Bukit Walang Jati.
Bayu mengalihkan perhatiannya pada segumpal debu yang membumbung tinggi di angkasa. Semakin lama debu itu semakin terlihat jelas dan dekat. Dari balik gumpalan debu itu terlihat seekor kuda yang dipacu cepat bagai dikejar setan. Di punggung kuda itu duduk seorang laki-laki setengah baya mengenakan baju putih ketat. Semakin dekat semakin jelas terlihat.
"Paman Tepasena...," desis Bayu mengenali penunggang kuda itu. Kuda warna coklat yang kedua kaki depannya putih itu berhenti tepat di depan Pendekar Pulau Neraka. Dan penunggang kuda itu bergegas melompat turun, lalu menghampiri pemuda berbaju dari kulit harimau. Laki-laki setengah baya itu membungkukkan tubuhnya memberi hormat.
"Hm.... Ada apa, Paman?" tanya Bayu ingin tahu.
"Bayu, aku mohon maafkanlah aku...," ucap Tepasena dengan tubuh masih agak membungkuk.
"He...! Apa aku tidak salah dengar?" sentak Bayu terkejut tidak mengerti.
"Aku mohon, Bayu. Maafkanlah aku...," pinta Tepasena berharap. Begitu serius nada suaranya.
Bayu jadi berkernyit juga keningnya. Dipandanginya dalam-dalam wajah laki-laki setengah baya itu, mencoba mencari sesuatu di matanya. Dan Bayu jadi keheranan, karena sikap Tepasena begitu bersungguh-sungguh.
"Ada apa? Kenapa meminta maaf padaku?" tanya Bayu.
"Aku.... Aku telah mendustaimu, Bayu. Aku mohon maaf. Aku terpaksa berbuat itu karena.... Akh!"
"Paman...!" Bayu tersentak kaget.
Tiba-tiba saja sebatang anak panah melesat cepat dan menancap tepat di punggung laki-laki setengah baya itu. Pada saat itu terlihat sebuah bayangan hitam berkelebat cepat. Dan Bayu tidak membuang-buang waktu lagi. Segera dilentingkan tubuhnya mengejar bayangan hitam itu.
Ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Pendekar Pulau Neraka itu sudah mencapai taraf kesempurnaan. Gerakannya demikian cepat sehingga yang terlihat hanya bayangan tubuhnya berkelebat dari atap-atap rumah penduduk Desa Walang ini. Tatapan matanya tidak berkedip mengamati sosok tubuh hitam yang berkelebatan di depannya. Jarak mereka semakin dekat saja. Dan begitu Bayu melompat tiba-tiba....
"Hey...!" Pendekar Pulau Neraka kembali tersentak kaget.
Tiba-tiba saja sebuah bayangan memotong, dan langsung menghajar sosok tubuh yang tengah dikejar Pendekar Pulau Neraka itu. Demikian cepat gerakan orang berbaju biru muda itu, sehingga sukar untuk diikuti pandangan mata biasa. Tahu-tahu sosok tubuh hitam itu sudah menggelepar di tanah dengan dada sobek mengucurkan darah segar.
"Tunggu...!" seru Bayu ketika orang berbaju biru muda yang membelakanginya hendak pergi.
Orang berbaju biru muda itu membalikkan tubuhnya, setelah sosok tubuh berbaju hitam di depannya sudah tidak bergerak lagi. Dan seketika itu juga Bayu jadi membeliak dan mulutnya terbuka lebar. Hampir tidak dipercaya apa yang dilihatnya saat itu.
"Wurani...," desis Bayu tidak percaya akan penglihatannya.
"Apa kabar, Kakang?" orang berbaju biru muda itu ternyata memang Wurani. Gadis yang telah diselamatkan Bayu dari kematian akibat terkena sesuatu yang mengandung racun.
"Bagaimana kau bisa berada di sini?" dengus Bayu sambil melirik tubuh yang sudah tidak bernyawa lagi dibelakang Wurani.
Wurani tidak menjawab, tapi malah berpaling menatap tubuh tak bernyawa di belakangnya. Perlahan digeser kakinya mendekati Pendekar Pulau Neraka.
"Maaf, aku mendahuluimu," ucap Wurani perlahan. Namun tidak ada nada penyesalan di dalam suaranya.
Bayu tidak menanggapi. Ditariknya napas panjang, kemudian berbalik Pendekar Pulau Neraka langsung saja melangkah cepat kembali ke Desa Walang. Dia teringat Tepasena yang entah bagaimana nasibnya sekarang. Panah yang menancap di punggungnya begitu dalam. Kalau sampai menembus jantung, jelas tidak ada harapan hidup lagi. Padahal Bayu sudah merasa kalau laki-laki setengah baya itu akan mengatakan sesuatu yang penting
"Kakang...!" panggil Wurani seraya berlari mengejar.
Bayu terus saja berjalan cepat tidak mempedulikan Wurani yang sudah berjalan cepat pula di sampingnya.
"Kau marah padaku, Kakang?" tegur Wurani melihat Bayu diam saja tanpa menoleh sedikit pun padanya.
"Tidak!"sahut Bayu singkat.
"Tapi, sikapmu...."
"Lupakan saja."
Mereka terus berjalan cepat memasuki Desa Walang. Bayu langsung menghampiri sosok tubuh berbaju putih yang tengkurap di tanah. Sebatang anak panah masih terbenam di punggungnya. Darah merembes keluar mengotori baju putih itu. Bergegas Bayu membalikkan laki-laki setengah baya itu, lalu memeriksa detak jantungnya.
"Hhh...," Bayu menarik napas panjang, dan kembali berdiri. Ujung panah itu tembus ke dada. Tepasena sudah tidak bisa tertolong lagi. Dia tewas sebelum mengucapkan sesuatu yang penting. Padahal itu sangat diharapkan Pendekar Pulau Neraka.
"Siapa dia?" tanya Wurani yang berdiri di samping Bayu.
"Tepasena," sahut Bayu.
* * * * *
Hari itu Bayu menguburkan mayat-mayat yang bergelimpangan di Desa Walang. Udara di sekitar desa itu jadi tidak sedap oleh banyaknya mayat bergelimpangan membusuk tanpa kepala. Bayu tidak mungkin bisa menguburkan satu persatu. Sungguh sulit untuk menentukan, mana kepala yang cocok dengan tubuhnya. Dia menggali lubang besar dan mengubur mereka jadi satu. Tapi lubang yang dibuatnya tidak cukup, sehingga terpaksa harus menggali lagi.
Sudah tiga lubang yang dibuat dan telah terisi penuh oleh mayat. Namun belum juga cukup. Masih banyak mayat yang belum terkuburkan. Sementara senja sudah mulai turun. Suasana mulai meremang. Bayu menyeka keringat setelah selesai menggali lubang yang keempat. Sebuah lubang yang cukup besar, dan mampu untuk mengubur tiga bangkai gajah.
"Kau tidak mungkin mengubur mereka semua, Kakang," kata Wurani.
Bayu menoleh, menatap gadis itu. Sejak membuat lubang pertama, Wurani hanya diam saja memperhatikan. Tidak sedikit pun gadis itu membantu. Dan Bayu memang tidak meminta bantuannya. Memang hatinya masih kesal terhadap kecerobohan Wurani yang telah membunuh orang yang telah menewaskan Tepasena secara licik.
"Kau hanya membuang-buang tenaga saja, Kakang," kata Wurani lagi.
"Apa maksudmu, Wurani?" tanya Bayu bernada menyelidik.
Entah kenapa, selama ini Pendekar Pulau Neraka jadi mudah menaruh curiga. Mungkin karena orang-orang yang dijumpainya selalu bertingkah aneh dan misterius. Termasuk juga Wurani. Bayu belum tahu jelas tentang gadis itu. Juga bagaimana sampai bisa terluka parah, bahkan mungkin bisa menghilangkan nyawanya. Sedangkan sikap Wurani sendiri, seperti menyembunyikan sesuatu.
Wurani tidak menjawab, tapi malah mengangkat bahunya dan berbalik. Gadis itu melangkah mendekati sebuah rumah yang terlihat lebih baik dari yang lainnya. Sedangkan Bayu menguburkan mayat yang sudah dikumpulkannya di dekat lubang. Diuruknya lubang itu setelah mayat yang dikumpulkan masuk ke dalam lubang. Memang masih banyak yang belum dikuburkan, dan masih berserakan di mana-mana. Pendekar Pulau Neraka menghampiri Wurani yang sudah duduk mencangkung di beranda rumah itu, setelah ia selesai dengan tugasnya menguruk lubang kuburan.
"Mau minum?" Wurani menawarkan begitu Bayu menghenyakkan tubuhnya di sampingnya.
Bayu mengambil kendi yang disodorkan gadis itu, dan meneguk isinya. Diletakkan kendi itu di meja berdebu. Wurani membersihkan tikar pandan dan menggelarnya di dipan bambu yang didudukinya. Sedangkan Bayu pindah duduknya ke kursi dekat dipan.
"Lumayan, buat tidur malam ini," kata Wurani. Sepertinya sudah dilupakan semua yang terjadi, dan membuat Pendekar Pulau Neraka itu gusar.
"Hm...," Bayu hanya menggumam saja. Hanya sedikit melirik, kemudian perhatiannya dialihkan ke arah jalan.
"Kau masih marah padaku, Kakang? Maaf ya..., aku memang ceroboh," ucap Wurani seraya mendekati dan duduk di depan pemuda berbaju kulit harimau itu. Tidak dipedulikan kalau kursi yang didudukinya penuh debu.
"Hhh...," Bayu hanya menarik napas panjang saja.
"Kakang, kau tidak menanyakan kenapa aku kembali lagi ke sini. Atau menanyakan bagaimana keadaan Ki Sampang dan gadis kecil itu," kata Wurani mencoba membuka mulut Pendekar Pulau Neraka agar bicara.
"Untuk apa? Dengan caramu menyerang dan membunuh orang itu saja sudah bisa kutebak," sahut Bayu datar. Sedikit pun tidak berpaling. Pandangannya lurus menatap jalan yang lengang.
Wurani langsung terdiam membisu. Kata-kata Bayu terasa sinis di telinganya. Tapi gadis itu malah tersenyum, mencoba untuk tidak tersinggung. Disadari kalau tindakannya tadi salah, padahal sudah terlihat kalau Bayu sedang mengejar orang itu. Tapi Wurani masih belum bersedia mengatakan alasannya kenapa langsung membunuh orang berbaju hitam itu.
"Sejak pertama aku sudah tidak percaya kalau kau tidak tahu menahu tentang keadaan di sini. Dan tindakanmu tadi, semakin menebalkan ketidakpercayaanku," kata Bayu setelah bergumam, seolah-olah bicara pada dirinya sendiri.
"Kenapa bicara begitu, Kakang?"
"Kenapa...? Seharusnya bisa kau jawab sendiri, Wurani. Kau terluka cukup parah di tengah-tengah lingkungan yang sangat mengenaskan. Ditunggui seorang laki-laki setengah baya, dan kalian berpura-pura tidak saling mengenal. Aku tahu itu, Wurani. Semula aku tidak ingin tahu. Tapi belakangan ini aku merasa dilibatkan, dan kau masih juga menutupi. Untuk apa...?!" agak kesal nada suara Bayu terhadap sikap Wurani.
"Kau tidak mengerti, Kakang," pelan suara Wurani.
"Justru aku mengerti dan jadi peduli akan keadaan di sini!" dengus Bayu. Wurani terdiam.
"Aku bisa saja menutup telinga dan membutakan mata untuk tidak mau tahu terhadap semua ini, Wurani. Tapi hati kecilku tidak bisa begitu saja menyaksikan semua kekejaman di sini. Terlebih lagi setelah kujumpai orang-orang aneh yang bersikap penuh kepalsuan. Mereka semua tahu, tapi pura-pura tidak tahu! Sama seperti halnya kau, Ki Sampang, dan mereka...!"
Wurani tetap diam membisu.
"Apa sebenarnya yang sedang terjadi di sini, Wurani?" tanya Bayu seraya menatap dalam dalam pada gadis itu.
"Aku tidak tahu," sahut Wurani.
"He...! Kau masih juga pura-pura tidak tahu? Kenapa?! Untuk apa kau biarkan semua kepalsuan menyelimuti dirimu? Kenapa, Wurani?! Takut..? Apa yang ditakutkan?" Bayu semakin tidak mengerti terhadap sikap gadis itu.
"Sudah, Kakang. Jangan mendesakku terus. Aku tidak tahu!" agak keras suara Wurani.
"Lalu, kenapa kau bunuh orang itu? Padahal kau tahu kalau aku sedang mengejarnya, bukan?" tebak Bayu mendesak.
"Aku..., aku...," Wurani jadi tergagap.
"Kau membunuhnya karena sebenarnya kau tahu semua apa yang sedang terjadi di sini, bukan?" desak Bayu memotong cepat.
Entah kenapa, tiba-tiba saja Wurani bangkit, lalu melangkah ke dipan bambu. Dihenyakkan tubuhnya di atas dipan itu. Dia menelungkup, menutupi mukanya. Tak ada suara terdengar, tapi bahunya terguncang pelahan. Bayu menarik napas panjang. Dia tahu kalau gadis itu menangis, tapi dibiarkannya saja.
Cukup lama juga Wurani menelungkup di dipan itu, lalu pelahan-lahan bangkit dan duduk. Kepalanya tertunduk, tapi pelahan-lahan mendongak sambil menarik napas panjang Bayu sempat memperhatikan bola mata yang memerah sedikit sembab. Tidak ada air mata terlihat, meskipun mata itu berkaca-kaca. Dalam hati, Bayu kagum juga. Seorang gadis yang bisa menahan tangis, tentulah memiliki hati baja dan tegar.
--««¦ [ LIMA ] ¦»»--
Plak!
"Mampus kau!" umpat Bayu.
Pendekar Pulau Neraka memandangi seekor nyamuk yang gepeng di telapak tangannya. Nyamuk di sini cukup besar. Gigitannya pun cukup pedih menusuk kulit. Bayu melirik Wurani yang terjaga. Gadis itu bangkit lalu duduk memeluk lutut. Udara malam ini memang terasa dingin. Angin bertiup cukup kencang, masih membawa bau tidak sedap meskipun sudah mulai berkurang.
"Ada apa?" tanya Wurani seraya memandangi pemuda yang duduk bersandar di dinding.
"Nyamuk," sahut Bayu seraya menunjukkan nyamuk yang masih melekat gepeng di tangannya.
"Uhhh...! Nyamuk saja bikin kaget orang tidur!" rungut Wurani.
Bayu tersenyum kecut. Disentilnya bangkai nyamuk di telapak tangannya. Lalu dibersihkan titik noda darah dengan ujung tikar. Wurani menguap lebar menutupi mulurnya.
"Kau tidak tidur, Kakang?" pelan suara gadis itu.
"Tidak," sahut Bayu singkat.
"Tidurlah. Biar aku yang menggantikan," ujar Wurani.
"Kau saja yang tidur."
"Uh! Sudah bangun, susah lagi tidurnya...!" keluh Wurani.
Lagi-lagi Bayu hanya tersenyum kecut. Sementara Wurani menggosok-gosok matanya, lalu membasuh mukanya dengan air bening dari dalam kendi tanah liat. Wajahnya kelihaian segar kembali. Cantik juga, tapi Bayu tidak sempat memperhatikannya.
"Kau masih marah padaku, Kakang?" tegur Wurani merasa sepi karena Bayu hanya diam saja. Paling tidak hanya menjawab singkat dan datar.
"Tidak," sahut Bayu singkat.
"Tapi, kenapa sikapmu begitu dingin?"
"Aku tidak tahu."
"Hhh...!" Wurani mendesah panjang.
"Kau kelihatannya masih juga belum percaya semua yang kukatakan, Kakang."
Bayu diam saja. Matanya menerawang jauh memperhatikan kegelapan yang menyelimuti seluruh Desa Walang ini. Tangannya kembali memukul kakinya. Lagi-lagi seekor nyamuk bernasib sial. Tewas di tangan Pendekar Pulau Neraka itu.
"Aku mengatakan yang sebenarnya, Kakang. Kedatanganku ke sini memang sudah dalam keadaan seperti ini. Aku tidak tahu siapa yang melakukannya. Bahkan kudapatkan keluarga kakakku sudah tewas semua. Aku sempat menguburkan mereka, tapi malamnya aku diserang beberapa orang berbaju hitam. Dugaanku merekalah yang membantai penduduk desa ini. Tapi mereka sangat tangguh. Bahkan sebuah benda kecil berhasil dihunjamkan ke punggungku. Hhh....Aku tidak tahu lagi kelanjutannya, dan tidak sadarkan diri saat itu juga. Yang aku tahu..., aku tersadar keesokan harinya. Di situ sudah ada Ki Sampang. Aku sempat bicara dan saling mengenal nama dengannya. Tapi setelah itu, aku sering tidak sadarkan diri," Wurani menceritakan panjang lebar. Padahal semua itu sudah dikatakannya sore tadi.
"Kau lahir di sini?" tanya Bayu.
"Benar. Tapi sejak berusia tujuh tahun aku tinggal diPertapaan Kali Anget. Aku belajar banyak di sana, termasuk ilmu olah kanuragan. Kedatanganku ke sini sebenarnya hanya untuk berkunjung saja. Tapi yang kudapatkan...," Wurani berhenti berkata.
Bayu diam saja, seraya menarik napas panjang-panjang dan menghembuskannya kuat-kuat.
"Kau masih belum percaya, Kakang...?" pelan suara Wurani.
"Aku percaya," desah Bayu.
Wurani menghembuskan napas panjang.
"Kau lahir di desa ini. Aneh juga kalau sampai tidak tahu apa-apa yang telah terjadi di sini," kata Bayu setengah bergumam.
"Aku tidak pernah lagi ke sini sejak berumur tujuh tahun, Kakang. Baru kali inilah aku kembali."
"Hm...."
"Mungkin kau akan lebih jelas lagi kalau ada Ki Sampang."
Bayu menatap dalam-dalam gadis itu.
"Besok siang, Ki Sampang ke sini. Itu pun kalau dia sudah menemukan saudara gadis kecil itu. Dia kenal dan tahu keluarganya. Ki Sampang penduduk asli Desa Walang ini," jelas Wurani.
"Kau tahu itu, kenapa tidak kau katakan sebelumnya?" Bayu sedikit menyesali.
"Aku baru tahu setelah pergi dari sini kemarin," selak Wurani tidak ingin disalahkan terus.
Bayu terdiam.
"Dia banyak bercerita tentang keadaan di Desa Walang ini. Tapi aku tidak mengatakan apa-apa. Bahkan Ki Sampang tidak tahu kalau aku ke sini lebih dahulu darinya," lanjut Wurani.
"Tapi...."
"Kenapa?" desak Bayu.
"Anehnya, Ki Sampang selalu mengelak jika kudesak untuk menceritakan tentang kejadian sebenarnya...," sambung Wurani.
"Hm," Bayu mengerutkan keningnya.
"Bahkan waktu menyebut nama Istana Iblis, wajahnya langsung berubah dan terus mengalihkan pembicaraan. Setiap kali kuarahkan ke sana, Ki Sampang selalu mengelak," ujar Wurani lagi.
"Istana Iblis...," gumam Bayu pelan.
Bayu teringat kata-kata orang berjubah hitam yang misterius. Orang itu juga menyebut Istana Iblis. Bahkan juga mengatakan kalau dirinya pengikut atau penghuni Istana Iblis. Pendekar Pulau Neraka mengarahkan pandangannya ke Puncak Bukit Walang Jati. Tampaklah sebuah bangunan batu menyerupai sebuah istana berdiri megah di puncak bukit itu. Keadaannya sungguh mengerikan, bagaikan....
"Istana Iblis...!" lagi-lagi Bayu mendesis.
Malam terus beranjak semakin larut. Udara pun terasa dingin membekukan kulit. Suasana di Desa Walang semakin mencekam. Tak lagi terdengar suara sedikit pun, kecuali desir angin yang bertiup agak keras. Kabut pun ikut terbawa sehingga menyelimuti seluruh permukaan desa ini.
"Auuu...!"
Lolongan anjing hutan terdengar lirih, membuat hati siapa saja yang mendengarnya jadi tergiris. Lolongan anjing hutan itu semakin banyak dan terasa dekat terdengar. Wurani yang duduk di atas balai bambu, menggeser duduknya lebih mendekati Pendekar Pulau Neraka. Suasana malam ini memang sungguh mencekam. Sepertinya seluruh udara yang terhirup mengandung maut. Yang setiap saat dapat menyebar dan menjemputsiapa saja.
"Kang...," pelan dan agak tergetar suara Wurani.
"Kenapa?" tanya Bayu.
"Kau lihat di kaki bukit itu?"
Bayu yang memang sedang memperhatikan Kaki Bukit Walang Jati, tidak mengeluarkan suara apa pun. Pandangannya tidak berkedip, terus mengikuti cahaya yang bergerak timbul tenggelam di antara lebarnya pepohonan. Suara lolongan anjing hutan terus terdengar saling sambut Dan suasana pun semakin mencekam. Cahaya di kaki bukit itu semakin terlihat.
"Terus mendaki, Kang," desah Wurani.
Bayu tetap diam. Cahaya itu memang terus bergerak mendaki bukit. Semakin ke lereng, semakin jelas kalau itu merupakan cahaya obor. Entah berapa buah obor yang ada. Cahaya itu bergerak seperti ular menyusuri lereng bukit.
Bayu bangkit berdiri dan melangkah pelahan-lahan. Pandangannya tidak berkedip, menatap lurus cahaya obor yang terus mendaki bukit itu. Wurani bergegas mengikuti, gadis itu berjalan di samping pemuda berbaju kulit harimau itu.
"Hmmm..., siapa mereka...?" gumam Bayu seperti bertanya pada diri sendiri.
"Sepertinya mereka menuju ke...."
Belum habis Wurani berkata, mendadak sebuah bayangan berkelebat cepat bagai kilat dan langsung menyambar gadis itu. Namun Bayu lebih cepat lagi bertindak. Didorongnya tubuh Wurani, sehingga gadis itu jatuh bergulingan di tanah. Dan Pendekar Pulau Neraka itu sendiri melentingkan tubuhnya ke udara, lalu cepat menukik sambil melepaskan satu tendangan keras ke arah bayangan hitam itu.
Duk!
"Ughk!" satu keluhan pendek terdengar.
Bayu bergegas memburu, tapi secercah sinar keperakan melesat cepat ke arah Pendekar Pulau Neraka.
"Uts!" Cepat-cepat Bayu merundukkan kepala, maka benda kecil berwarna keperakan itu lewat di atas kepalanya. Dan belum lagi Bayu bisa menegakkan kepalanya kembali, satu tendangan menggeledek melayang ke arah dadanya.
"Hap!" Tak mungkin lagi bagi Bayu untuk berkelit. Dan cepat-cepat diangkat tangannya, menangkis tendangan itu. Terdengar satu benturan keras menggelegar, disusul pekikan keras melengking tinggi.
Belum lagi Bayu bisa berbuat sesuatu, mendadak Wurani melentingkan tubuhnya. Dan tahu-tahu gadis itu sudah menghunus sebilah pedang yang langsung dibabatkan ke arah orang berbaju serba hitam yang tengah mengerang kesakitan.
Cras!
"Aaa...!" orang berbaju serba hitam itu menjerit keras melengking tinggi.
Tebasan pedang Wurani tepat membelah dadanya. Darah memuncrat deras dari dada yang terbelah lebar. Hanya sebentar orang itu masih mampu berdiri, kemudian limbung dan ambruk menggelepar di tanah. Wurani menarik napas panjang melihat orang itu langsung diam tanpa nyawa lagi.
"He...!" Wurani tiba-tiba tersentak kaget. Saat menoleh, ternyata tidak ada lagi Pendekar Pulau Neraka di sekitar tempat ini. Gadis itu jadi celingukan, dan mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Bayu benar-benar sudah lenyap tidak ketahuan lagi bekasnya.
"Kakang...!" panggil Wurani keras.
Suara teriakan gadis itu menggema, dipantulkan oleh dinding bukit dan terus terbawa angin malam. Tapi tak ada sahutan sama sekali. Hanya desir angin dingin yang menyambut panggilan keras itu. Wurani kembali mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Tetapi tetap tidak ada tanda-tanda kehadiran Pendekar Pulau Neraka. Pemuda berbaju dari kulit harimau itu bagaikan lenyap tertelan bumi. Tak ada bekas sama sekali.
"Huh!" Wurani mendengus kesal. Bagaikan kilat gadis itu melesat cepat meninggalkan tempat itu. Begitu tingginya ilmu meringankan tubuh yang dimiliki, sehingga dalam sekejap saja bayangan tubuhnya sudah lenyap ditelan kegelapan malam. Namun dari arahnya, jelas terlihat kalau gadis itu menuju ke Bukit Walang Jati.
Dan belum begitu lama Wurani pergi, dari sebuah rumah yang dindingnya penuh lubang muncul Pendekar Pulau Neraka. Pemuda berbaju dari kulit harimau itu memandang ke arah kepergian Wurani. Tampak bibirnya menyunggingkan senyuman tipis, kemudian cepat sekali melesat mengejar.
Malam terus merayap semakin larut Bayu berlari cepat disertai pengerahan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai taraf kesempurnaan. Matanya lurus ke depan, tanpa berkedip memperhatikan tubuh ramping yang berkelebatan cepat menyelinap di pepohonan. Tapi tiba-tiba saja....
"He...!" Bayu tersentak kaget. Cepat-cepat Pendekar Pulau Neraka melompat, dan mendarat ringan di atas sebongkah batu besar menghitam penuh lumut. Pandangannya langsung beredar ke sekeliling. Tidak lagi terlihat tubuh ramping yang diikutinya sejak dari Desa Walang tadi.
"Mustahil dia bisa menghilang begitu saja!" dengus Bayu menggumam.
Pendekar Pulau Neraka mendongak ke atas. Seketika itu juga tubuhnya melenting cepat, dan hinggap di atas pohon yang cukup tinggi. Kembali pandangannya beredar ke sekeliling. Tetap saja tidak melihat adanya satu bayangan pun berkelebat. Malam begitu gelap, dan kabut sangat tebal menghalangi pandangan mata. Namun bagi Pendekar Pulau Neraka, hal itu bukan merupakan halangan berarti.
"Hm..., siapa sebenarnya gadis itu? Kenapa menghilang begitu tiba-tiba di sini?" Bayu kembali bergumam, bertanya pada dirinya sendiri.
Pendekar Pulau Neraka kembali melesat meluruk turun. Tak ada suara sedikit pun dari gerakannya. Dan begitu kakinya menjejak tanah, juga tidak menimbulkan suara apa-apa. Tapi belum juga mengedarkan pandangannya, mendadak sebatang tombak panjang melesat cepat ke arahnya.
"Uts!" Bayu bergegas memiringkan tubuhnya sedikit dan tombak itu lewat di depan dada. Namun belum juga bisa menarik kembali tubuhnya, kembali sebuah tombak melayang ke arahnya, disusul bertebarannya puluhan batang anak panah. Pendekar Pulau Neraka itu cepat melentingkan tubuhnya ke atas, dan bersalto beberapa kali menghindari hujan tombak dan anak panah.
Manis sekali pemuda berbaju kulit harimau itu menotokkan ujung jari kakinya pada sebatang tombak yang melesat lewat di bawah kakinya. Lalu dengan gerakan yang indah dan begitu ringan, tubuhnya melesat ke atas, dan hinggap di dahan pohon yang cukup tinggi. Serbuan panah dan tombak berhenti seketika. Dan Bayu mengedarkan pandangannya ke arah datangnya serbuan tadi. Sekilas dilihat adanya gerakan halus dari dalam semak. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Pendekar Pulau Neraka itu melesat cepat ke arah semak itu. Namun belum juga sampai, kembali datang puluhan anak panah ke arahnya.
"Kampret! Hup...! Hiyaaa...!"
Terpaksa Bayu harus berpelantingan di udara, menghindari hujan panah itu. Dan begitu kakinya mendarat di tanah, cepat dia melenting ke arah semak yang dicurigainya. Satu pukulan keras didaratkan disertai pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai taraf kesempurnaan.
Bug!
Bayu merasakan pukulannya mengenai sesuatu. Dan seketika itu juga terdengar suara jeritan melengkiing tinggi, disusul terpentalnya satu sosok tubuh menghantam pohon. Bayu bergegas memburu. Namun belum juga sampai, dari balik semak dan pepohonan berlompatan tubuh berbaju hitam pekat. Mereka langsung memberikan serangan dahsyat tanpa berkata apa-apa lagi.
"Kadal tengik! Hiyaaa...!" Bayu mengumpat geram.
Pendekar Pulau Neraka itu tidak dapat lagi mengontrol kemarahannya. Merasa dirinya dipermainkan, maka dengan kecepatan yang luar biasa, tubuhnya melompat ke belakang sambil bersalto beberapa kali. Begitu kakinya menjejak sebatang pohon, langsung meluruk tajam disertai seruan keras menggelegar.
"Hiyaaat...!"
Sekitar enam orang berpakaian hitam yang seluruh wajahnya terselubung kain hitam pekat langsung berpelantingan berusaha menghindari terjangan Pendekar Pulau Neraka. Tapi dua orang terlambat menghindar, dan langsung memekik keras. Tubuhnya terpental jauh, menghantam sebatang pohon hingga tumbang.
Bayu kembali berteriak keras menggelegar, lalu mengebutkan tangan kanannya dengan cepat. Seketika itu juga dari pergelangan tangan kanannya melesat sebuah benda bulat pipih yang ujung-ujungnya melengkung berjumlah enam buah. Senjata yang dikenal sebagai Cakra Maut itu kontan meluruk menghantam dua orang berbaju serba hitam itu. Dua jeritan melengking terdengar saling sambut. Dan belum lagi ada yang menyadari, Bayu sudah melesat cepat sambil melontarkan dua pukulan sekaligus.
"Hiyaaat..!"
"Akh!"
"Aaa...!"
Dua orang yang tersisa tidak bisa lagi menghindar, meskipun sudah berusaha. Serangan Pendekar Pulau Neraka demikian cepat dan sukar dibendung lagi. Tubuh mereka mencelat jauh ke belakang, dan tewas seketika itu juga. Bayu mengangkat tangan kanannya sedikit maka Cakra Maut kembali menempel di pergelangan tangan kanannya. Pendekar Pulau Neraka itu berdiri tegak. Tatapan matanya tajam merayapi enam sosok tubuh hitam yang menggeletak tak bernyawa lagi. Bau anyir darah langsung tercium terbawa angin malam yang dingin.
Bayu memutar tubuhnya, tapi mendadak tersentak kaget. Entah dari mana datangnya, tahu-tahu didepannya sudah berdiri puluhan orang berpakaian serba hitam. Pendekar Pulau Neraka itu memutar tubuhnya, maka semakin tersentak kaget. Ternyata di sekelilingnya sudah berdiri orang berbaju hitam yang berjumlah puluhan.
"Gila! Dari mana mereka muncul...?!" desis Bayu. Belum lagi Bayu sempat berpikir jauh, mendadak secercah sinar merah melesat bagai kilat ke arahnya. Seketika Bayu melompat ke samping, namun dari arah lain meluncur lagi sinar merah. Kali ini Pendekar Pulau Neraka itu sukar untuk menghindar, dan langsung menggerakkan tangan kanannya, menangkis sinar merah itu.
Trang!
"Heh...!" Bayu tersentak kaget, karena merasakan tangan kanannya terbentur sebuah benda keras. Belum juga hilang terkejutnya, kembali sinar merah yang memancar dari sebuah benda kecil bagai jarum itu melesat ke arahnya dari tempat lain. Pendekar Pulau Neraka itu buru-buru merundukkan kepalanya. Namun satu serangan lagi yang mengarah kakinya tidak dapat dihindarkan lagi....
"Akh...!" Bayu memekik keras tertahan. Saat itu juga, Pendekar Pulau Neraka merasakan kakinya jadi panas dan kaku. Rasanya sulit untuk menguasai keseimbangan tubuhnya yang langsung ambruk ke tanah. Saat itu juga dua orang yang mengurungnya melompat cepat sambil melemparkan tambang, yang langsung disambut dua orang lagi yang juga melompat cepat. Empat orang berlompatan di sekitar tubuh Pendekar Pulau Neraka.
Sukar dibayangkan, tahu-tahu tubuh Bayu sudah terikat tambang dari kaki sampai ke leher. Dan pemuda berbaju dari kulit harimau itu tidak berdaya lagi. Tubuhnya menggeletak terikat tambang. Ditambah lagi hawa panas yang menjalar dari kaki kirinya mulai merambat ke seluruh tubuhnya.
"Aaakh...!" Bayu berteriak keras melengking. Pendekar Pulau Neraka itu langsung jatuh pingsan ketika secercah sinar merah menghantam dadanya. Tampak, sebuah benda kecil seperti jarum menusuk dadanya. Dan benda yang sama juga tertanam pada kaki kiri.
Dua orang bertubuh hitam dengan kepala terselubung kain hitam pekat bergegas menghampiri. Mereka segera menggotong tubuh Pendekar Pulau Neraka, lalu membawanya pergi dari tempat itu. Orang orang berbaju serba hitam yang kepalanya terselubung kain hitam ketat, juga bergegas pergi. Sebentar saja tempat itu sudah sepi, tak ada lagi yang terlihat.
Tak ada seorang pun yang tahu, kalau semua kejadian itu disaksikan seseorang yang sejak tadi berada di atas pohon yang cukup tinggi, terlindung daun-daun. Sosok tubuh itu terus mengawasi tanpa berkedip. Lalu mendadak saja dia melesat. Gerakannya sungguh ringan, cepat bagaikan kilat. Sekejap saja sudah tak terlihat lagi. Hilang di antara pohon-pohon yang merapat dan hitam oleh kabut tebal.
* * * * *
--««¦ [ ENAM ] ¦»»--
"Oh..., di mana aku?" rintih pemuda itu lirih.
"Tenanglah, kau masih lemah. Jangan bergerak dulu," terdengar suara lembut.
Pemuda berbaju kulit harimau itu mengerjapkan matanya beberapa kali. Samar samar dilihatnya sesosok tubuh ramping berada di dekatnya. Pelahan namun pasti pandangannya mulai jelas. Kening pemuda itu agak berkernyit ketika melihat seorang wanita cantik dan berambut hitam meriap bergelombang. Wanita itu memakai baju biru muda yang sangat tipis, sehingga memetakan bentuk tubuhnya yang ramping, membayang dari balik bajunya yang tipis.
"Siapa kau...?" tanya pemuda itu seraya berusaha bangkit. Namun kembali tangan halus menahan dadanya.
"Berbaringlah, kau masih terlalu lemah," lembut suara wanita itu.
"Siapa kau?! Bagaimana aku bisa berada di sini?!" tanya pemuda itu tidak mempedulikan cegahan wanita cantik itu.
Pemuda berbaju kulit harimau itu menggelinjang bangkit, dan bergegas turun dari pembaringan ini. Dilangkahkan kakinya menuju jendela yang terbuka lebar. Jendela itu terhalang jeruji besi yang cukup tebal dan kuat. Sebentar diamati keadaan di luar. Tampak sebuah pemandangan yang cukup indah di sana. Sebuah taman yang tertata apik dihiasi kolam berair jernih. Beberapa gadis tampak tengah becanda ria di pinggir kolam. Mereka hanya mengenakan kain tipis membungkus tubuhnya. Pemuda itu membalikkan tubuhnya, langsung menatap wanita yang masih duduk di tepi pembaringan.
"Katakan! Siapa kau dan di mana ini?!" desak pemuda itu. Sorot matanya tajam menusuk.
"Kau berada di surga, Bayu...," lembut suara wanita itu, diiringi senyuman manis menawan.
"He...! Kau tahu namaku...?!" pemuda berbaju kulit harimau itu tersentak kaget
"Tentu, aku tahu," jawab wanita itu lembut.
Pemuda berjubah dari kulit harimau yang memang bernama Bayu dan berjulukan Pendekar Pulau Neraka itu melangkah menghampiri. Dia berdiri tegak di depan wanita itu. Pandangannya tetap tajam menusuk.
"Siapa namamu?" tanya Bayu.
"Mega Dara," sahut wanita itu lembut memperkenalkan dirinya.
Bayu mendesah panjang, kemudian memutar tubuhnya. Pada saat itu terdengar suara ketukan di pintu. Mega Dara dan Pendekar Pulau Neraka menoleh ke arah pintu hampir bersamaan. Saat itu pintu yang terbuat dari kayu jari berukir terbuka. Tak lama, muncul seorang laki-laki bertubuh tinggi kekar dan bertelanjang dada. Wajahnya cukup tampan, namun sorot matanya mencerminkan kebengisan disertai senyum tipis seperti meremehkan.
"Kau dipanggil, Mega," kata pemuda itu tanpa menoleh sedikit pun pada Bayu.
"Siapa?" tanya Mega Dara.
"Ayah."
Mega Dara bangkit berdiri. Dengan langkah gemulai, wanita itu berjalan keluar. Sedangkan Bayu hanya memandangi saja. Pemuda yang menjemput, bergegas keluar, lalu menutup pintu kamar itu. Bayu bergegas menghampiri, tapi tidak dapat membuka pintu yang sudah terkunci dari luar. Pendekar Pulau Neraka itu berbalik, dan menyandarkan punggungnya pada pintu.
"Aku tidak mengerti. Apa sebenarnya yang terjadi...?" desah Bayu bergumam.
Pendekar Pulau Neraka mencoba mengingat-ingat semua yang terjadi pada dirinya. Mulai dari Desa Walang, saat malam itu melihat cahaya api yang panjang bergerak mendaki Bukit Walang Jati. Lalu datang serangan kilat. Kemudian Wurani menghilang di lereng bukit. Bayu hanya ingat saat dikepung puluhan orang berbaju hitam, lalu diserang jarum-jarum merah. Setelah itu..., Bayu menggeleng-gelengkan kepalanya. Sulit untuk bisa mengingat apa yang terjadi selanjutnya. Tahu-tahu sudah tersadar dan berada di dalam kamar ini, bersama seorang wanita cantik yang mengaku bernama Mega Dara.
Bayu memeriksa setiap sudut kamar ini. Dinding, lantai, pintu, dan atap serta jendela. Semuanya diperiksa. Kamar ini tidak ada istimewanya sama sekali. Hanya sekali pukul.saja, pasti dinding atau pintunya jebol. Pendekar Pulau Neraka itu mendongak ke atas. Untuk keluar dari kamar ini, memang hanya melalui atap. Cara yang termudah dan cukup aman.
"Hup...!" Bayu mencoba melompat, tapi....
"Akh...!" Bayu memekik tertahan. Hampir tidak dipercaya. Pendekar Pulau Neraka tidak bisa lagi melompat tinggi. Sekali mencoba saja, sudah jatuh bergulingan. Tubuhnya terasa nyeri begitu menabrak dinding demikian keras. Bayu benar-benar tidak mengerti, kenapa dia begitu lemas dan tidak mampu melompat menembus atap itu. Bayu bergegas bangkit berdiri. Dihampirinya dinding yang tadi terlanda tubuhnya. Pendekar Pulau Neraka mengerahkan seluruh tenaganya, lalu....
"Hiyaaa...!"
Keras sekali Bayu menghantam dinding yang terbuat dari belahan papan itu, disertai pengerahan tenaga yang besar. Tapi....
"Akh...!" Pendekar Pulau Neraka itu memekik keras.
Bukan main terkejutnya ketika disadari kalau dinding papan itu demikian keras. Tulang-tulang tangannya seperti remuk saat membentur dinding itu. Bayu meringis kesakitan, memijat-mijat tangannya yang berdenyut nyeri.
"Setan...!" jerit Bayu begitu menyadari apa yang terjadi pada dirinya.
Pendekar Pulau Neraka berteriak-teriak sambil memukul-mukul dinding kamar ini sekuat tenaga. Tapi sampai terjatuh lemas, dinding kamar itu tetap utuh. Bahkan seluruh tangannya memerah bengkak. Bayu sadar kalau semua tenaganya sudah lenyap. Tapi dia tidak tahu, bagaimana semua itu terjadi.
Bayu bangkit berdiri. Wajahnya memerah dan bola matanya menyala berang. Napasnya mendengus cepat bagai baru saja berlari jauh. Sebentar ditatapnya Cakra Maut di pergelangan tangannya, lalu pandangannya beralih pada pintu yang terbuat dari kayu tebal berukir. Pelahan-lahan Pendekar Pulau Neraka itu merentangkan kakinya ke samping, lalu dibungkukkan tubuhnya sedikit doyong ke kiri.
"Hiyaaat...!"
Tiba-tiba saja Bayu menghentakkan tangan kanannya ke depan sambil berteriak keras. Tapi Cakra Maut bersegi enam berwarna keperakan itu tetap menempel pada pergelangan tangan kanannya. Bayu semakin gusar, lalu mengulangi sampai beberapa kali. Namun tetap saja senjata andalannya itu tidak terlepas dari pergelangan tangannya. Bukan main geramnya Pendekar Pulau Neraka itu. Dia berlari kencang dan menubruk pintu. Akibatnya tubuhnya terpental balik ke belakang, dan bergulingan beberapa kali. Pendekar Pulau Neraka baru berhenti bergulingan setelah menabrak sebuah meja.
"Setan keparat...! Apa yang mereka lakukan padaku..?!" geram Bayu memaki.
* * * * *
Bayu tidak tahu, berapa lama dia terlelap setelah puas mengamuk, memporak porandakan seluruh kamar yang mengurungnya ini. Pendekar Pulau Neraka itu baru terbangun ketika merasakan sentuhan lembut pada keningnya. Pemuda berbaju dari kulit harimau itu bergegas menggelinjang bangkit. Tampak seraut wajah cantik menyunggingkan senyuman manis begitu dekat di depannya.
Bayu merayapi keadaan kamar yang berantakan. Meja, kursi, dan perabotan lainnya yang tidak karuan lagi. Ada yang patah-patah, jungkir balik, tidak tentu tempatnya. Bahkan pembaringan yang semula rapih indah itu, kini tidak berbentuk lagi. Kamarnya ini seperti baru saja diamuk puluhan ekor gajah.
"Apa yang kau lakukan padaku, Mega Dara?" tanya Bayu ketus. Tatapan matanya begitu tajam menusuk.
"Kenapa? Aku tidak melakukan apa-apa terhadapmu, Bayu," lembut dan terdengar tenang suara Mega Dara.
Dengan kasar, Bayu mencekal pergelangan tangan.gadis itu, sehingga membuat Mega Dara meringis kesakitan. Tapi Bayu tidak peduli. Bahkan disentakkan gadis itu, hingga jatuh ke lantai. Bayu menekan tangannya ke leher yang putih jenjang.
"Jangan coba-coba mempermainkan diriku, Mega Dara!" desis Bayu bernada mengancam.
"Kau menyakiti aku, Bayu," rintih Mega Dara seraya meringis kesakitan.
"Aku bisa berbuat lebih dari ini!" dingin sekali nada suara Pendekar Pulau Neraka.
"Apa yang kau inginkan dariku?" tanya Mega Dara. Mulutnya meringis, tapi nada suaranya begitu tenang dan tetap terdengar lembut.
"Apa yang kau lakukan padaku?" tanya Bayu dingin.
"Aku tidak melakukan apa-apa. Sungguh...!" sahut Mega Dara serius.
"Mungkin kau tidak, tapi yang lain!"
"Aku..., aku tidak mengerti maksudmu."
"Hih!" Bayu menyentakkan rubuh gadis itu, dan dengan kasar dipaksanya untuk berdiri. Pendekar Pulau Neraka itu melingkarkan tangannya di leher Mega Dara dari belakang, sedangkan tangan yang lain memiting tangan gadis itu. Kembali Mega Dara meringis kesakitan. Tapi anehnya, wanita itu kelihatan tenang. Bahkan tidak bertindak apa pun juga. Mengaduh pun tidak.
"Kau lihat semua ini, Mega? Lihat..!" dingin nada suara Bayu
"Ya, aku lihat, Kamar ini berantakan. Dan yang pasti kau pelakunya," kata Mega Dara kalem.
"Kalau kau tahu namaku, tentunya tahu juga siapa aku sebenarnya. Kamar ini tidak seberapa kuat, mudah bagiku untuk menghancurkannya. Kau tahu, Mega! Kau tahu itu...?!"
"Ya."
"Ya..., kau memang tahu. Dan kau mengambil semua tenagaku! Hih...!" Bayu menyentakkan tubuh wanita itu.
Tak sedikit pun keluar suara pekikan, meskipun tubuh ramping itu terdorong kasar, sampai jatuh ke lantai keras. Tanpa mengeluh sedikit pun, Mega berusaha bangkit. Bibirnya malah tersenyum memandang wajah Bayu yang memerah menahan amarah.
"Kenapa tersenyum?!" bentak Bayu tidak senang.
"Aku tersenyum karena lucu," sahut Mega Dara semakin lebar senyumnya.
"Edan! Kau mengejekku, Mega Dara...!" rungut Bayu geram.
"Tidak."
"Phuih!"
Brak!
Bayu berbalik sambil menghantamkan tangannya ke dinding, sehingga ruangan ini bergetar. Pelahan-lahan Pendekar Pulau Neraka itu memutar tubuhnya. Tatapan matanya masih tajam, menusuk langsung ke bola mata yang bening dan indah itu. Bola mata yang seperti tidak memiliki dosa sama sekali. Begitu bening dan indah dipandang.
"Seharusnya kau banyak beristirahat. Meluapkan kemarahan bisa berakibat lebih fatal lagi nantinya. Kau belum pulih benar, masih banyak yang harus dilakukan Ayah agar kau kembali seperti semula," ujar Mega Dara lembut.
"Kau bicara seperti berhadapan dengan orang sakit!" dengus Bayu menggerutu.
"Kau memang sedang sakit dan cukup parah," sahut Mega Dara tetap kalem.
Bayu baru akan membuka mulutnya, ketika pintu kamar itu terkuak. Muncul seorang laki-laki tua yang rambut dan janggutnya sudah memutih semua. Laki laki itu memakai jubah panjang berwarna putih bersih. Sorot matanya bening bagai telaga. Di belakangnya berdiri seorang pemuda yang cukup tampan, namun garis-garis ketegasan terlihat jelas pada wajah dan sorot matanya.
"Ayah...," ucap Mega Dara seraya merapatkan kedua telapak tangannya di depan dada. Gadis itu beringsut ke samping dengan sikap penuh rasa hormat.
Laki-laki tua berjubah putih itu melangkah masuk, dan berhenti tepat sekitar tiga langkah lagi di depan Pendekar Pulau Neraka. Sebentar dirayapi seluruh kamar yang berantakan. Kemudian pandangannya yang lembut menatap wajah pemuda di depannya. Sedangkan Bayu membalas dengan tajam.
"Kau terlalu banyak membuang tenaga dan kemarahan, Anak Muda," tenang dan lembut sekali suara laki-laki tua berjubah putih itu.
"Siapa kau, Orang Tua?" tanya Bayu ketus.
"Orang-orang biasa memanggilku Eyang Tambak Baja. Itu anakku, dan kau pasti sudah mengenalnya lebih dahulu," laki-laki tua itu menunjuk Mega Dara.
"Dan dia suaminya."
Bayu menatap laki-laki muda di samping laki-laki tua berjubah putih. Eyang Tambak Baja memperkenalkan. Namanya Padu Reksa. Laki-laki muda itu hanya menganggukkan kepala sedikit kemudian menggeser kakinya mendekati Mega Dara.
"Dulu pernah kualami hal yang sama denganmu, Anak Muda. Aku juga mengamuk, marah dan tidak bisa mengontrol diri. Memang menyakitkan menjadi orang yang lemah tanpa daya sama sekali," kata Eyang Tambak Baja.
"Aku tidak mengerti maksudmu...."
"Kau terkena racun yang dapat mematikan. Racun itu bekerja dengan terlebih dahulu menghilangkan semua kekuatan yang ada pada dirimu," celetuk Mega Dara.
Bayu menatap wanita cantik itu.
"Berbaringlah, akan kuperiksa keadaanmu. Mudah-mudahan masih bisa kukembalikan kekuatanmu," ujar Eyang Tambak Baja.
Bayu tidak menolak ketika dituntun ke pembaringan yang berantakan. Pemuda itu menurut saja ketika disuruh berbaring. Bahkan diam saja saat jari-jari tangan Eyang Tambak Baja memberikan beberapa pijatan ditubuhnya. Laki-laki tua itu tersenyum dan mengangguk-anggukkan kepalanya, kemudian menoleh menatap Mega Dara.
"Bawa ke sini ramuan itu, Mega Dara," ujar Eyang Tambak Baja.
Mega Dara mengambil mangkuk kecil yang berada ditangan Padu Reksa. Segera dihampiri ayahnya, dan diserahkan mangkuk itu. Eyang Tambak Baja menerimanya, lalu meminumkan cairan kental berwarna merah ke mulut Bayu Hanggara. Pendekar Pulau Neraka itu meringis, merasakan pahit yang amat sangat saat minum cairan merah kental itu.
"Daya tahan tubuhmu sungguh luar biasa, Anak Muda. Aku yakin, dalam dua atau tiga hari saja kau akan pulih seperti sedia kala," jelas Eyang Tambak Baja seraya bangkit berdiri.
"Tungguh dulu!" cegah Bayu langsung duduk.
"Kalau kau ingin menanyakan sesuatu, bisa kau tanyakan pada putriku, atau menantuku ini," kata Eyang Tambak Baja seraya melangkah pergi.
Bayu menatap Mega Dara dan Padu Reksa bergantian.
"Kau bisa keluar, Kakang?" pinta Mega Dara.
"Baik, tapi harus kau katakan apa adanya, Ingat pesan Ayah. Jangan menutup-nutupi," kata Padu Reksa.
Mega Dara tersenyum manis. Padu Reksa berbalik dan melangkah keluar seraya menutup pintu kamar itu. Mega Dara menarik kursi yang menggeletak terbalik di lantai. Didekatkan kursi itu ke pembaringan, lalu duduk di sana dengan anggunnya. Bayu hanya memperhatikan saja tanpa berkedip.
"Apa yang akan kau tanyakan? Aku siap menjawab semuanya," ucap Mega Dara disertai senyuman menawan.
"Aku belum tahu siapa kau dan semua yang ada di sini," kata Bayu mulai lunak suaranya.
"Kau sudah tahu nama kami semua, Bayu."
"Apa sebenarnya yang terjadi pada diriku?" tanya Bayu langsung.
"Apa yang kau ingat saat terbangun dari pingsan?" Mega Dara malah balik bertanya.
"Aku tidak tahu. Aku bertarung, dan....," suara Bayu terputus.
"Kau bertarung melawan orang-orang penghuni Istana Iblis,"sambung Mega Dara.
"Istana Iblis...?!" Bayu terperanjat
"Benar. Ayah melihat semuanya."
"Lalu?"
"Sebelum dibawa mereka, Ayah berhasil membebaskanmu. Tapi mereka begitu kuat. Tentu saja Ayah tidak mungkin bisa mengalahkannya. Ayah hanya mampu membawamu pergi dalam keadaan tidak sadarkan diri. Hanya itu yang kutahu, Bayu," jelas Mega Dara.
Bayu terdiam. Ingatannya kembali pada semua peristiwa yang dialaminya. Dia memang pingsan dan tidak tahu apa-apa setelah terkena dua benda berwarna merah. Pemuda berbaju kulit harimau itu menatap Mega Dara dalam-dalam.
"Kau berada di Puri Sapta Dewa. Tempat yang belum terjamah manusia-manusia iblis penghuni Istana Iblis di Puncak Bukit Walang Jati," sambung Mega Dara.
"Belum...?!" Bayu tidak mengerti.
"Belum terjamah, tapi suatu saat nanti merek pasti akan menjarah ke sini. Seperti tempat-tempat lainnya. Kau pasti sudah tahu keadaan Desa Walang, atau mungkin juga kau telah ke Padepokan Gagak Hitam. Bisa kau lihat, bagaimana keadaannya di sana. Daerah yang sudah menjadi kekuasaan Ratu Istana Iblis," jelas Mega Dara lagi.
Bayu kembali diam membisu. Dicobanya mencerna semua kata-kata yang diucapkan Mega Dara. Mulai tumbuh keyakinan di hatinya kalau orang-orang di sini tidak bermaksud buruk, bahkan berusaha menolongnya. Bukan lagi berusaha, malah Eyang Tambak Baja sudah menyelamatkannya dari cengkeraman orang-orang yang tidak diketahuinya sama sekali. Orang-orang yang telah membunuh seluruh manusia di Desa Walang secara keji.
"Sudah beberapa kali mereka berusaha menjarah ke sini. Tapi kami masih bisa menghalaunya. Entah jika untuk lain kali. Ayah sudah berusaha meminta bantuan para pendekar, tapi semua tidak ada yang mampu melawannya. Ayah melihatmu, dan mengenali dirimu. Itu sebabnya kenapa Ayah nekad membebaskanmu dan berupaya menyembuhkanmu. Harapannya, jika kau kembali pulih seperti semula, pasti kau dapat menghancurkan Istana Iblis itu," kata Mega Dara lagi.
"Apa yang harus kulakukan?" tanya Bayu.
"Aku tidak tahu. Mungkin hanya Ayah yang tahu," sahut Mega Dara.
Bayu bergumam pelan. Dia melihat noda hitam pada dada dan betisnya. Noda seperti ini pernah dilihat pada Wurani, seorang gadis yang ditemuinya di Desa Walang. Pendekar Pulau Neraka itu kembali menatap Mega Dara yang masih tetap duduk di kursinya.
"Aku pernah menyembuhkan seseorang dari luka seperti ini," kata Bayu menunjuk luka pada dadanya.
"Oh, benarkah?" Mega Dara tampak terkejut.
"Ya. Dan kelihatannya dia tidak mengalami kehilangan tenaga sama sekali. Bahkan katanya sudah satu purnama terluka," kara Bayu lagi.
"Satu purnama...? Mustahil!"
Bayu menatap dalam-dalam Mega Dara yang menggeleng-gelengkan kepalanya tidak percaya akan cerita Pendekar Pulau Neraka itu. Mega Dara bangkit berdiri dan berjalan mendekati jendela, lalu membukanya lebih lebar, sehingga sinar matahari lebih banyak lagi yang masuk ke kamar ini. Beberapa saat kesunyian menyelimuti kamar yang berantakan ini.
* * * * *
--««¦ [ TUJUH ] ¦»»--
Pagi ini Bayu baru saja selesai berlatih tenaga dalam. Dia puas, karena kekuatan tenaga dalamnya sudah benar-benar pulih. Bahkan pagi ini sudah berlatih jurus-jurus yang keras. Pendekar Pulau Neraka itu tidak menyadari kalau Eyang Tambak Baja selalu memperhatikannya sampai latihannya selesai. Bayu baru mengetahui saat berbalik hendak kembali ke puri.
"Oh...!" Bayu agak terkejut juga.
"Tampaknya kau sudah benar-benar pulih, Bayu," ucap Eyang Tambak Baja seraya mendekati.
"Terima kasih. Semua ini berkat usahamu, Eyang," ucap Bayu merendah.
"Karena kemauanmu dan ketekunanmu, Bayu."
Pendekar Pulau Neraka itu hanya tersenyum saja, kemudian duduk bersila di atas rerumputan di bawah batang pohon yang cukup rindang. Eyang Tambak Baja juga mengambil tempat, duduk di depan pemuda berbaju dari kulit harimau itu.
"Mereka mulai mencoba menjarah tempat ini lagi. Semalam tiga orang muridku tewas," jelas Eyang Tambak Baja setelah cukup lama terdiam.
"Oh...!" Bayu terkejut mendengarnya.
Semalam Pendekar Pulau Neraka itu tidur nyenyak sekali, sehingga tidak mengetahui ada peristiwa yang menewaskan tiga orang murid Puri Sapta Dewa. Pendekar Pulau Neraka menatap dalam-dalam laki-laki tua di depannya.
"Memang tinggal tempat ini yang belum dijamah. Sedangkan kekuatan yang kumiliki semakin berkurang. Keruntuhan Puri Sapta Dewa tinggal menunggu waktu lagi," sambung Eyang Tambak Baja bernada mengeluh.
"Itu tidak akan terjadi, Eyang," tegas Bayu.
"Aku juga berkeyakinan begitu, Bayu. Tapi setelah runtuhnya Padepokan Gagak Hitam, keyakinanku seperti luntur."
"Aku pernah ke Padepokan Gagak Hitam, dan tampaknya mereka tidak mengalami sesuatu apa pun," selak Bayu.
"Baru dua hari yang lalu mereka hancur. Tidak ada seorang pun yang hidup lagi."
"Oh!" Kali ini Bayu benar-benar tersentak kaget.
"Bagaimana keadaan Eyang Jayaraga?"
"Tewas," pelan suara Eyang Tambak Baja.
Bayu mendesah lirih.
"Adi Jayaraga mencoba menentang keinginan Ratu Istana Iblis, karena tidak memiliki lagi orang-orang yang harus dipersembahkan. Dan dia mengambil resiko yang cukup tinggi," lanjut Eyang Tambak Baja.
"Persembahan...?" Bayu mengerutkan keningnya.
"Ya! Tujuh orang pemuda setiap purnama. Terutama mereka yang memiliki kepandaian cukup tinggi"
"Untuk apa?"
"Dijadikan prajurit, setelah otaknya terkuras. Mereka tidak bisa lagi mengetahui diri mereka sendiri. Yang diketahuinya hanya satu, perintah dari Ratu Istana Iblis."
"Ilmu hitam...!" desis Bayu.
Pendekar Pulau Neraka terdiam sambil menundukkan kepala. Kini baru dimengerti, kenapa sikap orang-orang yang ada di Padepokan Gagak Hitam selalu menutup diri. Bahkan Eyang Jayaraga sendiri sepertinya tidak ambil peduli dengan keadaan sekelilingnya. Rupanya sikap yang diambil hanya untuk keselamatan diri sendiri. Dan itu semua pecah dua hari yang lalu. Rupanya Eyang Jayaraga tidak bisa menahan lagi tekanan-tekanan yang datang. Maka diambillah resiko tinggi yang mengakibatkan kehancuran Padepokan Gagak Hitam. Memang sukar untuk dimengerti, tapi memang itulah kenyataannya yang harus dihadapi.
"Sekarang tidak ada lagi desa atau padepokan yang berdiri di Kaki Bukit Walang Jati. Tinggal Puri Sapta Dewa inilah satu-satunya," lanjut Eyang Tambak Baja lirih.
"Mereka harus dihentikan, Eyang!" tekad Bayu.
"Aku percaya pada kemampuanmu, Bayu. Tapi yang jelas aku tidak akan mengorbankan lagi seorang pendekar. Sudah begitu banyak pendekar yang kumintai bantuan, tapi semuanya tewas di tangan Ratu Istana Iblis. Tingkatan kepandaiannya sangat tinggi, sukar dicari tandingannya. Aku sendiri tidak akan sanggup menghadapinya," ujar Eyang Tambak Baja bernada mengeluh.
"Tidak ada yang langgeng di dunia ini, Eyang. Setiap kekuatan, pasti ada kelemahannya," kata Bayu mantap.
Eyang Tambak Baja hanya diam saja. Ditariknya napas panjang-panjang, dan dihembuskannya kuat-kuat. Sedangkan Bayu hanya memandanginya saja dengan mata tidak berkedip.
"Sudah berapa banyak pendekar yang kau mintakan bantuan, Eyang?" tanya Bayu.
"Entahlah! Aku tidak menghitungnya," sahut Eyang Tambak Baja.
"Eyang selalu melihat bagaimana mereka bertarung?"
"Tidak. Tidak ada yang berani mendekati Istana Iblis. Terlalu banyak penjagaan dan sangat ketat. Aku tidak tahu, apakah para pendekar itu dapat menembus masuk, atau tidak kuat menahan penjagaan yang begitu ketat. Yang jelas, tidak ada seorang pun yang pernah kembali lagi," sahut Eyang Tambak Baja menjelaskan.
"Hmmm...," Bayu bergumam pelan.
Pendekar Pulau Neraka itu bangkit berdiri dan melangkah pelahan-lahan. Eyang Tambak Baja mengikutinya, lalu mensejajarkan langkahnya disamping pemuda berbaju dari kulit harimau itu. Bayu jadi teringat akan pertemuannya beberapa kali dengan orang aneh dan misterius yang selalu mengenakan jubah panjang yang wajahnya tertutup rambut panjang meriap. Orang itu pernah mengatakan kalau dirinya penghuni Istana Iblis. Apakah itu yang disebut Ratu Istana Iblis...?
Apa yang dikatakan Eyang Tambak Baja memang benar. Begitu banyak orang berbaju hitam dengan kepala terselubung kain hitam tengah berjaga-jaga di sekitar bangunan tua yang terbuat dari batu berlumut tebal. Bangunan bagaikan sebuah istana yang sudah tidak terpakai lagi. Sangat cocok dengan julukannya "Istana Iblis".
Bayu mengamati bangunan itu dari tempat yang agak jauh dan cukup tersembunyi. Di sampingnya berdiri Mega Dara dan suaminya, Padu Reksa. Sebenarnya Bayu tidak ingin mereka ikut serta. Tapi keinginan Eyang Tambak Baja sulit ditolak. Beliau telah memerintahkan putri dan menantunya itu ikut bersama Pendekar Pulau Neraka ke Istana Iblis.
"Kita tidak mungkin masuk ke sana, Bayu. Penjagaannya terlalu ketat," kata Mega Dara setengah berbisik.
"Mereka terlalu banyak. Tidak mungkin menghadapi mereka semua," sambung Padu Reksa.
Bayu membalikkan tubuhnya, menatap pasangan suami istri muda itu. Mereka memang benar, dan Pendekar Pulau Neraka tidak membantah sama sekali. Tapi Bayu tidak ingin menyerah begitu saja. Terlebih lagi sudah berjanji pada Eyang Tambak Baja untuk menghentikan dan menghancurkan orang orang di Istana Iblis itu. Kalau saja mereka memang benar terkena pengaruh ilmu hitam, tentu ada sesuatu yang bisa membuat mereka normal kembali. Dan sesuatu itu adanya di dalam Istana Iblis.
"Mega Dara! Kau tentu ingat kalau aku pernah menolong seseorang yang terluka sama persis denganku, bukan?" Bayu menatap wanita cantik di depannya.
"Tentu," sahut Mega Dara teringat cerita Pendekar Pulau Neraka itu.
"Apa yang kau katakan waktu itu?"
"Mustahil," sahut Mega Dara.
"Tepat"
Mega Dara memandang Bayu tidak mengerti.
"Eyang Tambak Baja juga berkata seperti itu. Tidak ada seorang pun yang bisa tahan selama satu purnama. Dan gadis itu tidak mengalami gangguan apa pun, bahkan cepat sembuh hanya dalam waktu satu hari saja. Padahal sudah jelas, luka yang diderita sama persis dengan yang kualami."
"Maksudmu...?" Mega Dara masih belum mengerti.
"Dua kali aku berusaha menangkap salah seorang dari mereka. Tapi gadis itu sudah lebih dulu membunuhnya sebelum aku bisa berbuat apa-apa. Dan ketika kubuntuti, dia menghilang begitu saja. Bahkan kemudian muncul orang-orang berbaju hitam. Di situ aku kalah, dan selanjutnya kau sudah tahu."
"Siapa nama gadis itu?" tanya Padu Reksa yang sejak tadi diam saja mendengarkan.
"Wurani," sahut Bayu.
"Perempuan Iblis...!" geram Padu Reksa mendesis.
Bayu menatap laki-laki muda yang usianya tidak jauh berbeda darinya itu. Sedangkan Mega Dara juga mendesis dengan wajah berubah memerah.
"Kalian kenal gadis itu?" tanya Bayu.
Belum Juga Padu Reksa dan Mega Dara menjawab, tiba-tiba berlompatan orang-orang berbaju hitam pekat yang langsung mengurung mereka bertiga. Kemunculan orang-orang berbaju hitam itu sungguh mengejutkan. Dan tanpa berkata apa-apa, langsung menyerang dengan ganas.
Padu Reksa segera menghunus pedangnya, demikian pula Mega Dara. Sedangkan Bayu menghadapi dengan tangan kosong saja. Dia memang tidak memiliki pedang atau senjata lain lagi, selain Cakra Maut kebanggaannya. Tapi senjata andalannya itu hanya digunakan kalau keadaan terpaksa saja.
Bayu melihat orang berbaju hitam pekat itu semakin banyak saja jumlahnya. Dan hatinya jadi cemas melihat Padu Reksa dan Mega Dara mulai kewalahan menghadapi keroyokan itu. Sedangkan dia sendiri tidak bisa berbuat apa-apa. Begitu banyak yang mengeroyoknya tanpa memberi kesempatan sedikit pun untuk menggunakan senjata Cakra Maut.
"Akh...!" tiba-tiba terdengar pekikan keras tertahan.
Bayu tersentak kaget begitu melihat Padu Reksa terhuyung-huyung sambil menekap dadanya yang berdarah. Pendekar Pulau Neraka itu kontan melesat menghampiri Padu Reksa. Cepat sekali tangan kanannya mengibas, maka Cakra Maut melesat cepat bagaikan kilat menyambar dua orang berbaju hitam sekaligus. Suara jeritan melengking terdengar, dan Bayu langsung mendarat di depan Padu Reksa.
"Hiyaaa...!"
Pendekar Pulau Neraka itu melontarkan satu tendangan keras bertenaga dalam tinggi. Seorang yang mencoba membabatkan pedangnya, langsung memekik keras, dan tubuhnya terlontar ke belakang. Seketika itu juga orang itu tewas tanpa mampu mengerang lagi.
"Kau terluka, Reksa...," ujar Bayu sambil melontarkan satu pukulan keras bertenaga dalam sempurna. Satu orang yang mencoba mendekat, kontan terjungkal dan tewas seketika.
"Cukup parah,"sahut Padu Reksa.
"Secepatnya kita harus pergi dari sini," kata Bayu.
"Tidak mungkin, Bayu. Jumlah mereka semakin bertambah banyak."
"Tapi..."
Bayu tidak bisa melanjutkan ucapannya, karena orang-orang berbaju hitam itu kembali menyerang ganas. Pendekar Pulau Neraka itu bertarung sambil mempergunakan Cakra Maut-nya. Digenggam senjata mautnya itu pada salah satu sisinya. Dengan senjata andalannya itu, Pendekar Pulau Neraka bagaikan singa gurun yang terluka. Dia mengamuk, berlompatan, dan menghajar orang-orang yang terus merangsek tanpa mengenal takut. Padahal sudah tidak terhitung lagi dari mereka yang tewas.
Sedangkan Padu Reksa, terus bertarung dengan sisa-sisa kekuatannya. Darah semakin banyak keluar dari dadanya yang terluka. Sedangkan di tempat lain, tampak Mega Dara juga sudah semakin terdesak. Keringat telah bercucuran membasahi tubuh wanita itu. Dan Bayu semakin cemas menyadari keadaan yang tidak menguntungkan ini.
"Mega! Bawa suamimu pergi! Dia terluka...!" seru Bayu keras.
"Apa...?" tanya Mega Dara juga dengan suara keras, berusaha mengalahkan suara-suara teriakan pertarungan dan jerit lengking kematian.
"Suamimu terluka! Cepat bawa pergi..!"
"Hiyaaat...!"
Mega Dara cepat melompat menghampiri Padu Reksa begitu berhasil merobohkan dua orang, pengeroyoknya. Wanita itu segera menggamit tangan Padu Reksa. Mereka segera melompat melewati beberapa kepala, sambil mengayunkan pedangnya secepat kilat. Sementara Bayu berusaha menghalangi orang orang berbaju hitam yang berusaha menghadang pasangan muda itu. Bayu melontarkan Cakra Maut-nya cepat maka jeritan melengking terdengar saling susul.
"Hup! Hiyaaa...!"
Bayu bergegas melompat begitu Mega Dara dan Padu Reksa sudah lenyap. Cakra Maut sudah kembali menempel di pergelangan Pendekar Pulau Neraka itu. Tapi orang-orang berbaju hitam tidak memberi kesempatan pada Bayu untuk kabur, dan memusatkan perhatiannya pada Pendekar Pulau neraka itu. Mereka tidak lagi peduli pada dua orang yang berhasil kabur.
"Gunakan tambang...!" terdengar suara memerintah yang begitu keras.
Seketika itu juga beberapa orang mengeluarkan tambang, dan langsung berlompatan sambil membawa tambang terulur panjang, beberapa orang lagi menyambut ujung tambang satunya lagi. Bayu jadi kebingungan. Belum lagi menyadari apa yang terjadi, tambang-tambang itu sudah membelit tubuhnya erat-erat Bayu tidak kuasa lagi menguasai keseimbangan badan. Tubuhnya limbung, lalu jatuh tersungkur, dan telah terlilit tambang. Sepuluh orang yang memegangi ujung-ujung tambang itu langsung berlari cepat menyeret Pendekar Pulau Neraka.
"Ughk...!" Bayu berusaha melepaskan diri dari belitan tambang-tambang ini, tapi simpulnya demikian kuat. Tubuhnya terus terseret, benar-benar tidak berdaya lagi. Sukar baginya untuk bisa melepaskan diri. Sementara sepuluh orang yang menyeretnya, terus berlari kencang menuju Istana Iblis.
* * * * *
--««¦ [ DELAPAN ] ¦»»--
Bayu mengedarkan pandangan ke sekeliling. Disadari kalau dirinya berada di satu ruangan yang berdinding batu. Ruangan pengap yang hanya diterangi dua buah obor di dinding. Pandangan Pendekar Pulau Neraka kemudian tertuju pada seseorang yang duduk di sebuah kursi batu berhiaskan kepala-kepala tengkorak manusia. Orang itu mengenakan jubah hitam panjang. Rambutnya meriap tidak teratur, menutupi sebagian wajahnya. Namun yang menjadi perhatian Bayu adalah seorang gadis yang berada di sampingnya.
"Wurani...," desis Bayu mengenali gadis yang berdiri disamping orang berjubah hitam agak bungkuk itu.
Hampir saja Bayu terpekik ketika matanya tertumbuk pada sesosok tubuh menggantung di sudut ruangan. Sosok tubuh gadis kecil yang pernah dilihatnya di Desa Walang. Di samping tubuh gadis kecil itu ada Ki Sampang yang juga tergantung. Mereka semua sudah tewas. Itu terlihat dari luka menganga di lehernya yang cukup besar,hampir membuat leher itu buntung.
"Biadab...!" desis Bayu berusaha memberontak. Tapi empat orang berpakaian hitam kontan bergerak, dan langsung menempelkan senjata mereka ke leher Pendekar Pulau Neraka itu. Bayu langsung terdiam, dan hanya menggeram menahan amarahnya. Pandangannya begitu tajam menusuk langsung pada Wurani yang sudah melangkah menghampiri. Gadis itu tersenyum senyum, dan baru berhenti melangkah setelah jaraknya tinggal dua tombak lagi di depan Pendekar Pulau Neraka itu.
"Sayang sekali, kita bertemu dalam suasana yang tidak enak...," kata Wurani diiringi senyumannya.
"Seharusnya kubunuh saja kau, perempuan iblis!" geram Bayu mendesis.
"Ha ha ha...! Kau terlalu bodoh untuk bisa membunuhku, Bayu!" Wurani tertawa tergelak-gelak.
Seluruh tubuh Bayu menggelegar menahan geram. Bibirnya terkatup rapat, dan bola matanya memerah menahan amarah. Sementara Wurani terus tertawa terbahak-bahak sambil membalikkan tubuhnya. Suara tawanya berhenti, dan segera membungkukkan tubuhnya pada orang berjubah hitam yang duduk di singgasana batu berhiaskan kepala tengkorak manusia.
"Gusti Ratu, apa yang harus kulakukan terhadap pemuda dungu ini?" ujar Wurani.
"Kepandaiannya sangat tinggi, Wurani. Seperti biasanya, cuci otaknya dan jadikan dia anjing yang paling setia," sahut orang berjubah hitam itu. Suaranya serak dan kering.
"Baik, Gusti Ratu," sahut Wurani.
"Lakukan secepatnya. Aku berharap seluruh dunia persilatan gempar. Aku ingin menggunakan dia untuk menghancurkan orang-orang yang mencoba menantang
kita, hihi hi...!"
Wurani membungkukkan tubuhnya. Sebentar kemudian orang berjubah hitam itu bangkit berdiri, lalu berjalan meninggalkan ruangan batu yang cukup besar ini, namun berudara sangat lembab. Wurani baru berdiri tegak setelah orang berjubah hitam itu tidak terlihat lagi. Kemudian disuruhnya semua orang yang ada di ruangan ini keluar. Tidak ada yang membantah. Semuanya menuruti perintah gadis itu.
"Kau dengar! Apa yang diinginkan Gusti Ratu tadi, Bayu?" ucap Wurani seraya mendekati Pendekar Pulau Neraka.
Bayu hanya diam saja. Segera diatur jalan napasnya, mencoba untuk melenturkan seluruh otot-otot di tubuhnya. Dengan bantuan hawa murni dan kelenturan otot, memang bisa diatur keseimbangan tubuhnya agar kenyal seperti karet. Dan ilmu itu dinamakan 'Ragaseda'. Satu ilmu yang belum pernah digunakan sebelumnya, dan didapatkan dari gurunya di Pulau Neraka. Memang membutuhkan waktu yang tidak sedikit Bayu harus bisa memancing gadis ini agar tidak cepat-cepat mencuci otaknya.
"Apa yang akan kau lakukan padaku, Wurani?" tanya Bayu mencoba mengalihkan sedikit perhatian gadis itu. Sudah mulai dirasakan otot-ototnya mulai melentur, tapi belum cukup untuk melepaskan diri dari ikatan ini.
"Mencuci otakmu dan menjadikanmu budak yang sangat patuh pada perintah. Bahkan kau tidak akan bisa mengenal dirimu lagi. Kau hanya patuh pada perintahku saja,"sahut Wurani disertai senyum yang merekah.
"Seperti yang kau lakukan pada mereka?"
"Ha ha ha...! Rupanya kau sudah tahu banyak, Pendekar Pulau Neraka!"
"Hanya sedikit. Tapi aku tidak percaya dengan kelanggengan ilmu hitammu."
"Mungkin kau sudah mendengar. Tapi mungkin juga kau tidak akan percaya kalau aku tidak menggunakan benda apa pun untuk melakukannya. Hanya menggunakan kekuatan batin yang sempurna. Tidak ada seorang pun yang bisa mengembalikan mereka, kecuali kematianku sendiri. Tapi itu sulit.., sulit."
"Hebat...!" desis Bayu sinis.
"Memang! Bahkan Ratu sendiri berada di bawah kekuasaanku," dengus Wurani bangga.
"Ratu.., heh!" Bayu tersenyum sinis.
"Dia memang bukan seorang Ratu, tapi hanya perempuan tua yang memiliki kepandaian cukup tinggi. Aku hanya menjadikannya sebuah boneka agar istana ini memiliki ratu yang berada di bawah kendaliku. Dan sebenarnya, akulah Ratu Istana Iblis ini! Ha ha ha...!" Wurani tertawa terbahak-bahak.
Bayu diam saja. Semakin terasa muak mendengar ocehan gadis itu. Tapi dalam diamnya, Pendekar Pulau Neraka terus berusaha mengerahkan Ilmu 'Ragaseda'. Sudah mulai dirasakan ikatan pada pergelangan tangannya mengendur. Dan tidak berapa lama lagi ikatan tambang ini akan terlepas.
"Wurani! Aku pernah terkena benda beracun, persis seperti yang kau alami...," kata Bayu kembali mencoba mengalihkan perhatian gadis itu.
"Ha ha ha...! Kau benar-benar bodoh, Bayu. Aku yang memiliki senjata itu, dan tentu juga memiliki pemunahnya," sahut Wurani.
"Lalu, apa maksudmu berbuat begitu?"
"Kau terlalu banyak tanya, Bayu!" dengus Wurani mulai tidak senang.
"Aku bisa melakukan apa saja sesuka ku. Dan Ki Sampang tolol itu hampir saja membocorkan rahasiaku di depanmu! Maka hanya kematianlah yang pantas untuknya!"
Bayu menggumam tidak jelas. Hatinya sudah bisa tersenyum karena ikatan di tangannya sudah terlepas, tapi masih dipegangi tambang itu agar tidak jatuh. Dia menunggu kesempatan yang baik untuk bergerak. Sementara itu Wurani mulai menggerak-gerakkan tangannya di depan wajah Pendekar Pulau Neraka. Dari bibirnya keluar suara mendesis. Dan Bayu mulai merasakan kepalanya pening, lalu mencium bau tidak sedap. Bayu sadar kalau Wurani mulai beraksi menggunakan kekuatan batin untuk mencuci otaknya agar menjadi budak yang patuh.
"Cukup, Wurani...!" bentak Bayu tiba-tiba disertai pengerahan tenaga dalam yang sangat sempurna.
"Heh!" Wurani tersentak kaget. Dan belum lagi gadis itu hilang dari keterkejutannya, mendadak Bayu menghentakkan tangannya ke depan. Begitu cepatnya gerakan itu, sehingga Wurani tidak sempat mengetahuinya. Dan....
Buk!
"Akh...!" Wurani memekik tertahan.
Gadis itu terpental sejauh tiga batang tombak ke belakang. Hentakan tangan Pendekar Pulau Neraka tepat menghantam dadanya. Namun gadis itu cepat bangkit berdiri, meskipun agak limbung tubuhnya. Tampak dari sudut bibirnya mengalir darah.
"Setan...!" geram Wurani mendesis. Disekanya darah yang mengalir di bibir.
"Bersiaplah untuk mati, iblis!" desis Bayu menggeram.
Seketika itu juga, Pendekar Pulau Neraka cepat menerjang sambil mengirimkan dua pukulan secara beruntun. Wurani cepat-cepat berkelit dengan melompat ke samping, dan bergulingan beberapa kali. Gadis itu segera bangkit berdiri, dan melompat ke pintu. Tapi Bayu sudah kembali menerjang sambil melontarkan satu pukulan jarak jauh.
"Hiyaaa...!"
"Hup!"
Wurani melentingkan tubuhnya ke atas, maka pukulan Pendekar Pulau Neraka itu hanya menghantam dinding batu, sehingga jebol berentakan menimbulkan suara bergemuruh. Ruangan yang besar ini bergetar hebat. Pada saat itu, beberapa orang berbaju hitam berlarian masuk ke dalam.
"Bunuh setan keparat itu...!" perintah Wurani.
Sekitar sepuluh orang bersenjata pedang, serentak berlompatan menyerang Pendekar Pulau Neraka. Namun terjangan mereka begitu mudah dapat dihindari. Bahkan Bayu membalasnya tidak kalah dahsyatnya. Jerit pekik kematian terdengar saling susul diiringi bertumbangannya tubuh-tubuh berbaju hitam itu.
Wurani jadi geram. Dalam waktu sebentar saja, enam orang sudah tergeletak tak bernyawa di tangan Pendekar Pulau Neraka. Gadis itu berteriak keras memanggil yang lainnya. Tidak berapa lama, dari pintu bermunculan orang-orang yang mengenakan baju hitam dengan kepala terselubung kain hitam pula. Tampak seorang bertubuh kurus bungkuk mengenakan jubah hitam ikut muncul.
"Ada apa Wurani?" tanya orang berjubah hitam itu.
"Huh! Setan keparat itu...!" dengus Wurani.
"Biar aku yang menanganinya."
"Bunuh saja, aku tidak memerlukannya lagi!"
"He he he...!" orang itu terkekeh, kemudian melompat cepat ke dalam kancah pertempuran.
"Mundur...!"
Mendengar teriakan keras itu, orang-orang yang tengah mengeroyok Bayu, kontan berlompatan mundur. Seketika orang berjubah hitam yang wajahnya tertutup rambut panjang itu mendarat lunak sekitar satu batang tombak jaraknya di depan Pendekar Pulau Neraka.
"Aku sudah menawarkan dengan baik padamu, bocah. Tapi rupanya kau malah memilih mampus!" dingin nada suara orang itu. Disibakkan rambut yang menutupi wajahnya. Agak bergidik juga Pendekar Pulau Neraka saat melihat seraut wajah yang hampir tidak memiliki kulit dan daging lagi. Sebelah matanya bolong. Pipi kirinya terkelupas, menampakkan tulang pipinya, hingga bagian gigi-giginya terlihat.
Dan belum lagi Bayu bisa menghilangkan keterkejutannya, orang itu sudah melompat menyerang cepat luar biasa. Bergegas Bayu membanting tubuhnya ke tanah, lalu bergulingan beberapa kali. Cepat pula Pendekar Pulau Neraka itu melompat bangkit. Tapi belum juga berdiri sempurna, orang berjubah hitam itu sudah menyerang ganas kembali. Kali ini Bayu tidak ingin lagi berlama-lama. Langsung dihentakkan tangan kanannya ke depan. Seketika itu juga, dari pergelangan tangan kanannya melesat secercah sinar keperakan yang datang dari senjata Cakra Maut. Senjata bersegi enam itu meluncur deras bagaikan kilat.
Crab!
Cakra Maut kontan menembus dada orang berjubah hitam itu yang masih di udara. Dia tidak sempat lagi berkelit menghindarinya.
"Aaa...!" orang itu menjerit melengking tinggi. Tubuh berjubah hitam itu ambruk dan menggelepar di tanah.
Bayu mengangkat tangan kanannya, maka Cakra Maut melesat keluar dari dada yang berlumuran darah, langsung menempel kembali di pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka. Semua orang yang melihat terkejut setengah mati. Kematian ratu mereka begitu cepat dan tidak terduga sama sekali. Demikian pula Wurani. Gadis itu sampai terbengong tidak percaya.
"Kenapa bengong...? Serang! Bunuh keparat itu...!" seru Wurani keras.
Teriakan-teriakan keras terdengar. Seketika berlompatanlah tubuh-tubuh berbaju hitam, meluruk ke arah Pendekar Pulau Neraka. Bayu tidak ingin lagi menguras tenaga menghadapi mereka yang sebenarnya tidak pernah menyadari akan semua perbuatannya. Bahkan tidak lagi mengenal siapa dirinya sebenarnya. Setelah menewaskan tiga orang yang terdepan, Pendekar Pulau Neraka itu langsung melesat cepat ke udara. Tangannya yang terkepal erat menghantam atap yang terbuat dari batu cadas keras.
"Hiyaaa...!"
Glaaar...!
Atap batu itu hancur berhamburan. Batu batu besar dan kecil berjatuhan. Seluruh ruangan itu bergetar bagai terjadi gempa yang sangat dahsyat. Jerit dan pekik terdengar gaduh. Beberapa orang mulai menggelepar tertimpa batu-batu yang berguguran. Dua kali Pendekar Pulau Neraka itu menghantam dinding dan atap ruangan batu tersebut, kemudian melesat keluar begitu melihat Wurani bergegas berlari keluar menyelamatkan diri.
Tapi baru saja Bayu berada di luar, dua sinar merah meluruk ke arahnya. Pendekar Pulau Neraka bergegas melentingkan tubuhnya ke udara, dan bersalto tiga kali menghindari terjangan sinar merah itu. Kemudian dengan bertumpu pada dinding batu, pemuda berbaju kulit harimau itu segera menggenjot tubuhnya, langsung meluruk deras ke arah Wurani yang tengah melarikan diri dari dalam istana batu ini.
"Hiyaaa...!" Bayu berteriak keras melengking tinggi.
Dua kali pukulan dilontarkan, tapi Wurani gesit sekali bisa menghindarinya. Bahkan gadis itu langsung melesat keluar. Pukulan Pendekar Pulau Neraka itu menghantam sebuah pilar dan dinding bangunan istana di Puncak Bukit Walang Jati ini. Ledakan keras terdengar menggelegar dahsyat, membuat bangunan yang seluruhnya terbuat dari batu itu bergetar semakin keras. Bayu bergegas melesat keluar, sebelum istana ini benar-benar runtuh seluruhnya.
"Heh...!" Bayu tersentak kaget begitu sampai di bagian depan halaman istana batu itu.
Tampak Eyang Tambak Baja tengah bertarung melawan Wurani. Sedangkan tidak jauh dari situ, terlihat Mega Dara tengah dikeroyok tidak kurang dari tiga puluh orang berbaju hitam pekat Di tempat lain lagi terlihat pula Padu Reksa yang juga tengah bertarung. Sementara di belakang Pendekar Pulau Neraka, istana batu di Puncak Bukit Walang Jati ini semakin keras bergetar. Suara bergemuruh terdengar dahsyat membuat tanah berguncang.
"Akh...!" tiba-tiba terdengar pekikan keras tertahan.
Tampak Eyang Tambak Baja terhuyung-huyung sambil menekap dadanya yang berlumuran darah. Saat itu Wurani sudah melompat cepat sambil menusukkan pedangnya yang berwarna hitam pekat dan mengeluarkan uap kebiru-biruan.
"Hiyaaa...!"
Bagaikan kilat, Bayu melompat menghadang terjangan Wurani. Dikebutkan tangan kanannya, maka Cakra Maut melesat bagai kilat. Senjata andalan Bayu itu langsung menghajar pedang yang hampir saja menusuk dada Eyang Tambak Baja.
Tring!
"Akh!" Wurani memekik tertahan. Hampir saja pedang di tangan gadis itu terpental ketika terbentur Cakra Maut Untung saja Wurani cepat-cepat melompat mundur. Pada saat itu. Bayu cepat mengirimkan satu tendangan keras menggeledek yang tidak terduga sama sekali. Kembali gadis itu memekik keras terhantam tendangan yang mengandung tenaga dalam sangat sempurna itu. Tubuhnya terpelanting, bergulingan beberapa kali di tanah.
"Hoek..!" Wurani memuntahkan darah kental. Gadis itu berusaha bangkit berdiri, tapi tubuhnya limbung.
Sementara Bayu segera menolong Eyang Tambak Baja berdiri. Laki-laki tua itu merintih, meringis menahan sakit pada dadanya yang terbelah cukup dalam dan panjang. Darah mengucur deras membasahi jubah putihnya. Pada saat yang sama, Wurani sudah kembali melompat sambil berteriak keras menggelegar. Secepat itu pula, Bayu memutar tubuhnya sambil mengebutkan tangan kanannya. Kembali Cakra Maut melesat cepat bagai kilat, menyongsong terjangan Wurani.
"Hiyaaa...!" Wurani mengebutkan pedangnya, menghalau terjangan senjata Pendekar Pulau Neraka.
Trang!
"Hiyaaa...!" Bayu langsung melentingkan tubuhnya ke atas, dan secepat itu pula dilontarkan dua pukulan beruntun disertai pengerahan tenaga dalam sempurna. Wurani cepat-cepat berkelit dengan menarik miring tubuhnya. Tapi sungguh tidak diduga sama sekali. Kaki Pendekar Pulau Neraka itu melayang sebelum menjejak tanah, langsung menghantam iga gadis itu.
"Akh!" kembali Wurani memekik tertahan.
"Hup! Hiyaaa...!"
Begitu Bayu mendarat di tanah, langsung dikebutkan tangan kanannya cepat. Dan Cakra Maut yang baru saja melesat balik, seketika kembali berkelebat ke arah Wurani yang sedang berusaha bangkit berdiri. Gadis itu terperangah, dan matanya membeliak lebar. Dan....
"Aaa...!" Wurani menjerit melengking tinggi. Cakra Maut menghunjam dalam membabat leher yang putih jenjang itu. Wurani menggelepar di tanah dengan leher hampir terpenggal buntung.
Sementara Bayu mengangkat tangannya ke atas, maka senjata cakra bersegi enam itu kembali menempel di pergelangan tangan kanannya. Pendekar Pulau Neraka itu memandangi Wurani yang mengerang sambil menggelepar. Darah terus mengucur deras dari lehernya yang hampir buntung.
Cukup lama juga gadis itu meregang nyawa, dan pada akhirnya diam tidak bergerak-gerak lagi. Pendekar Pulau Neraka menarik napas panjang dan menghembuskannya kuat-kuat. Dia menoleh pada Eyang Tambak Baja yang berdiri bertumpu pada tongkatnya. Darah di dadanya sudah berhenti mengalir. Tadi Bayu memang sempat memberikan totokan untuk menghentikan aliran darah di dada laki-laki tua berjubah putih itu.
Pendekar Pulau Neraka membalikkan tubuhnya ke arah Puncak Bukit Walang Jati yang masih bergetar hebat. Dan pelahan-lahan bangunan istana batu yang disebut Istana Iblis itu runtuh. Batu-batu berguguran memperdengarkan suara bergemuruh, membuat bukit ini berguncang bagai terjadi gempa dahsyat. Tampak orang-orang berpakaian serba hitam berusaha keluar, berlarian di antara reruntuhan batu-batu Istana Iblis itu.
Pertempuran Mega Dara dan Padu Reksa melawan orang-orang berbaju hitam langsung berhenti seketika. Mereka semua memandangi runtuhnya Istana Iblis. Sebuah bangunan yang selama ini menjadi momok menakutkan bagi semua orang. Satu suara ledakan dahsyat terdengar menggelegar, bersamaan dengan ambruknya Istana Iblis itu. Debu berkepul membumbung tinggi ke udara.
Tepat saat bangunan batu itu ambruk, terlihat orang-orang berbaju hitam yang berhasil selamat langsung bergelimpangan ke tanah. Eyang Tambak Baja, Mega Dara, Padu Reksa, dan Bayu Hanggara memandangi mereka yang bergelimpangan tanpa sebab itu. Sementara debu terus membumbung tinggi dari reruntuhan bangunan Istana Iblis di Puncak Bukit Walang Jati ini.
"Kenapa mereka, Ayah?" tanya Mega Dara tidak mengerti melihat ke arah orang-orang berpakaian serba hitam itu.
"Pengaruh kekuatan batin mereka telah hilang. Mereka telah terbebas dari penguasa Istana Iblis," sahut Eyang Tambak Baja
"Aku tidak mengerti...," gumam Mega Dara.
"Selama ini mereka di bawah pengaruh kekuatan ilmu hitam, sehingga membuat mereka tidak ingat lagi dirinya sendiri, dan selalu patuh pada perintah Wurani," selak Bayu menjelaskan.
"Pencucian otak," sambung Eyang Tambak baja.
"Mempengaruhi jiwa dan pikiran manusia lewat kekuatan ilmu hitam. Bisa juga dari kekuatan suatu benda atau kekuatan batin."
"Ilmu sihir, Ayah?" tebak Mega Dara.
"Sejenisnya, tapi ini lebih kuat pengaruhnya dan sangat berbahaya."
Sementara itu, orang-orang berbaju hitam pekat mulai siuman. Mereka bangkit sambil merintih memegangi kepalanya. Orang-orang itu tampak kebingungan, lalu membuka selubung kain yang membungkus kepalanya. Satu sama lain saling bertanya-tanya, tapi tak ada yang memberikan jawaban. Mereka memandangi reruntuhan puing-puing Istana Iblis, lalu sama-sama berpaling menatap Eyang Tambak Baja, Mega Dara, Padu Reksa dan Pendekar Pulau Neraka.
Dengan singkat, Eyang Tambak Baja memberikan keterangan tentang semua yang telah terjadi. Sebagian dari mereka belum bisa mengerti sepenuhnya. Tapi tak ada yang bertanya lagi. Eyang Tambak Baja meminta mereka semua untuk kembali ke tempat tinggal masing-masing. Tapi ada beberapa orang yang kebingungan, karena tidak tahu harus pergi ke mana. Sebab Eyang Tambak Baja telah memberitahu mengenai beberapa desa yang hancur dan padepokan-padepokan yang kini sudah tidak ada lagi.
Eyang Tambak Baja ingin meminta pendapat pada Pendekar Pulau Neraka. Tapi begitu menoleh, pemuda berbaju kulit harimau itu tidak nampak lagi di tempat ini. Mega Dara dan Padu Reksa juga tidak mengetahui ke mana perginya Pendekar Pulau Neraka itu.
"Hhh...! Aku tidak tahu, harus mengucapkan apa. Terlalu besar jasanya bagi kita semua," desah Eyang Tambak Baja.
"Ayah! Sebaiknya mereka yang tidak mempunyai tempat, bisa tinggal sementara di Puri Sapta Dewa," usul Mega Dara.
"Baiklah," sahut Eyang tambak Baja menyetujui.
"Sudah hampir pagi, sebaiknya kita segera pulang."
Eyang Tambak Baja, Mega Dara, dan Padu Reksa berjalan menuruni Bukit Walang Jati ini. Sementara orang-orang berbaju hitam yang belum punya tujuan hanya mengikuti dari belakang. Tepat pada saat matahari muncul dari peraduannya, Bukit Walang Jati kembali tenang. Tampak puluhan orang tengah bergerak menuruni bukit itu, menuju Puri Sapta Dewa.
S E L E S A I
DIBALIK CAPING BAMBUINDEX PENDEKAR PULAU NERAKA | |
Gadis Buronan --oo0oo-- Di Balik Caping Bambu |