Life is journey not a destinantion ...

Bangkitnya Malaikat Petir

INDEX PENDEKAR NAGA PUTIH
Petualangan Di Alam Roh --oo0oo-- Misteri Selendang Biru



PANJI
Pendekar Naga Putih
Karya: T. Hidayat
EP : BANGKITNYA MALAIKAT PETIR

Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit


:::¦ [ 1 ] ¦:::

KOKOK ayam hutan terdengar bersahut-sahutan, menyambut sang fajar. Suasana masih terselimut kegelapan, sehingga nyanyian jangkrik masih terdengar menyemarak. Butir-butir embun masih melekat di pucuk-pucuk dedaunan, bagaikan taburan permata gemerlapan. Udara juga masih dipenuhi kabut, terasa dingin menusuk tulang.
Dan ketika sinar matahari mulai merambah permukaan bumi, suara jangkrik yang saling bersahutan pun lenyap. Lapisan kabut yang menebarkan udara dingin perlahan-lahan hilang tersaput cahaya sang raja siang. Butir-butir embun di pucuk-pucuk dedaunan mulai menguap tanpa meninggalkan bekas sedikit pun. 
Tanda kehidupan dimulai kembali. Kicau burung yang bercanda di ranting-ranting pohon, menyambut dua sosok tubuh yang baru saja bangun dari tidurnya. Rupanya, bias cahaya keemasan yang menerobos dedaunan telah menimpa wajah, sehingga membuat mereka terjaga.
"Uuuh..." Sosok pemuda tampan bertubuh sedang yang terbungkus jubah berwarna putih, menggeliatkan tubuhnya. Dan dengan gerakan lincah, dia bergerak bangkit.
Setelah menggerak-gerakkan anggota tubuhnya untuk melemaskan otot-otot yang kaku, pemuda tampan itu melangkah. Langsung dibukanya gerakan jurus-jurus silat perlahan-lahan. Meskipun kelihatan perlahan dan sembarangan, namun desir angin yang ditimbulkannya ternyata cukup hebat Jelas, pemuda berjubah putih itu bukanlah orang sembarangan.
Pemuda berjubah putih itu terus bergerak kian kemari dengan perlahan. Sepertinya, dia sama sekali tidak tahu kalau ada sosok ramping berpakaian hijau tengah duduk memperhatikan sambil memeluk lututnya. Meski jelas-jelas kelihatan kalau baru saja bangun tidur, namun raut wajah gadis itu benar-benar membuat jantung setiap pria berdegup keras. Wajahnya demikian cantik dan memancarkan pesona luar biasa.
Kalau saja keberadaannya tidak ditemani pemuda tampan itu, mungkin orang akan mengira dia seorang bidadari yang turun ke bumi. Cukup lama juga gadis cantik itu memperhatikan gerak-gerik pemuda di depannya. Meskipun sama sekali tidak menoleh, tapi pemuda itu sadar kalau tengah diperhatikan.
"Hm..."
Tiba-tiba gadis jelita itu tersenyum seorang diri sambil bergerak bangkit dengan perlahan. Menilik dari senyum yang terkembang di bibirnya, jelas kalau gadis itu hendak usil.
Benar saja. Tepat pada saat tubuh pemuda berjubah putih itu tengah membelakanginya, tiba-tiba gadis Itu melesat. Kecepatannya benar-benar sukar dipercaya. Tubuh ramping yang kelihatannya lemah lembut Itu ternyata dapat bergerak hampir secepat kilat!
Whuttt! Whuttt..!
Terdengar sambaran angin menderu-deru ketika gadis jelita itu memutar kedua tangannya, siap untuk menyerang. Dan begitu tiba dekat, sisi miring telapak tangan kanannya langsung meluncur menebas ke batang leher belakang pemuda berjubah putih itu. Bahkan tangan kirinya juga masih menyusuli dengan dorongan ke arah kepala. Sebuah serangan yang bisa mendatangkan kematian, apabila pemuda itu tidak bisa menghindarinya.
Whesss...!
Gerakan pemuda berjubah putih itu ternyata jauh lebih mengejutkan lagi. Pada saat sisi telapak tangan gadis itu hanya tinggal seperempat jengkal, tahu-tahu saja kepala pemuda berjubah putih itu mengegos dengan kecepatan sukar ditangkap mata. Masih dengan gerakan menakjubkan, tubuhnya bergeser ke belakang. Sehingga, tubuh dara berpakaian hijau itu kini berada didepannya.
"Hiaaah...!"
Sebelum dara jelita itu sempat menoleh, pemuda tampan itu membentak sambil mengulurkan kedua tangannya. Tujuannya, untuk mencengkeram bahu gadis jelita yang menyerang secara gelap. Namun....
"Haiiit...!"
Gadis jelita itu ternyata cepat tanggap. Maka tanpa membalikkan tubuh, dia berseru nyaring seraya berjumpalitan ke belakang. Sehingga, cengkeraman pemuda itu hanya mengenai tempat kosong.
Jleg!
Dengan sebuah putaran indah, tubuh dara jelita itu meluncur turun dan mendarat ringan di atas rerumputan tebal. Begitu kedua kakinya menginjaki tanah, senyumnya kembali mengembang. Demikian manis dan mempesona.
"Kemajuanmu semakin bertambah, Kenanga. Dalam beberapa tahun lagi, mungkin aku akan kesulitan! menundukkanmu. Bisa-bisa, akulah yang justru akan tunduk padamu...," puji pemuda tampan berjubah putih yang ternyata memang Panji. Dalam rimba persilatan, dia berjuluk Pendekar Naga Putih. Sedangkan gadis cantik itu memang Kenanga yang selalu mendampingi pengembaraan Pendekar Naga Putih.
"Ah! Kau bisa saja, Kakang. Mana mungkin aku bisa menundukkan Pendekar Naga Putih. Meskipun berlatih selama puluhan tahun, belum tentu aku bisa mengimbangimu. Apalagi mengalahkanmu. Kau terlalu berlebihan, Kakang..," tukas gadis itu sambil melangkah menghampiri kekasihnya.
"Tapi, apa kau berniat mengalahkan aku...?" tanya Pendekar Naga Putih seraya memeluk tubuh ramping kekasihnya. Sepasang mata pemuda itu menghunjam tepat di kedua bola mata Kenanga.
"Hi hi hi... Tentu saja tidak, Kakang. Lagi pula, untuk mengalahkanmu, ke mana aku harus belajar...?"sahut Kenanga, sambil membalas tatapan kekasihnya tidak kalah tajam. Bahkan sepasang matanya tampak berbinar bagaikan kerlip bintang kejora.
"Hm..." Panji hanya bergumam tanpa kata. Lalu, mereka beranjak menuju ke sebuah aliran sungai yang letaknya tak jauh dari situ. Sepasang pendekar itu memang sengaja memilih tempat bermalam yang dekat aliran sungai. Selain mudah untuk membersihkan diri, untuk minum pun tidak akan kesulitan.
"Hm.... Lega rasanya sekarang...," desah Pendekar Naga Putih usai menghabiskan seekor ayam hutan yang telah dibakarnya.
"Sekarang, perjalanan bisa dilanjutkan."
Sedangkan Kenanga cepat bergerak bangkit dari duduknya. Dia juga telah menyelesaikan makannya. Sehingga tanpa banyak cakap lagi, kakinya melangkah disamping kekasihnya.
"Berapa lama kita akan tinggal di puncak Bukit Gua Harimau, Kakang...?" tanya Kenanga sambil menatap wajah kekasihnya dari samping lekat-lekat. Kelihatan sekali kalau pertanyaannya bukan sekadar untuk melenyapkan kesunyian di antara mereka.
"Hm..., entahlah. Aku tidak bisa memastikannya. Kau sendiri, bagaimana? Berapa lama kira-kira kita harus tinggal di sana...?"
Pendekar Naga Putih mala balik bertanya. Sementara, Kenanga memalingkan wajahnya, dan melepaskan pandangan jauh ke depan.
"Mengapa kau diam. Kenanga? Apa kau tidak menyukai tempat tinggal guruku...?" tanya Panji ketika gadis itu belum menjawab pertanyaannya. Malah, pemuda itu sampai-sampai menolehkan kepala dengan kening berkerut.
"Mm... Kalau aku mau selamanya, bagaimana...? Apa Kakang bersedia menemaniku...?" jawab Kenanga tanpa berani memalingkan wajahnya ke arah Panji. Rona merah tampak menghias wajahnya sehingga pesonanya tampak semakin nyata.
"Tentu saja aku mau," sahut Panji cepat tanpa berpikir dua kali.
Tentu saja jawaban itu membuat Kenanga hampir terlonjak. Tapi, dia masih menahan diri, karena belum yakin akan jawaban kekasihnya.
"Betul...?" desak Kenanga. Kali ini sepasang matanya menatap wajah kekasihnya tanpa malu-malu lagi.
"O, tentu! Hanya lelaki berotak miring saja yang menolak untuk menemani seorang bidadari," kata Panji sambil menggenggam jemari lentik kekasihnya.
"Oh..., Kakang...," desah Kenanga seraya menghentikan langkahnya, dan merebahkan tubuhnya ke dalam pelukan Panji. Kelihatan sekali pancaran kebahagiaan pada mata dan raut wajahnya. Sehingga, Panji menjadi terharu karenanya.
"Nah, apa lagi yang mesti ditunggu? Ayolah kita cepat-cepat mengunjungi makam eyang...," ajak Panji setelah beberapa saat saling berpelukan.
"Ayolah..., "sambut Kenanga. Wajahnya nyata sekali menyorotkan rasa bahagianya. Tampak semakin berseri-seri, dan bertambah jelita.
Dengan kepandaian yang dimiliki, tentu saja waktu yang diperlukan jadi terlalu singkat. Apalagi mereka memang telah berada tidak jauh dari Hutan Randu Apus. Sehingga ketika hari menjelang sore, sepasang pendekar itu telah menaiki lereng Bukit Gua Harimau.
"Mari kita langsung ke makam eyang...," bisik Panji setelah beberapa saat lamanya mengedarkan pandangan ke sekeliling puncak Bukit Gua Harimau. Tampak tidak terlihat adanya perubahan yang berarti, kecuali pohon-pohon yang semakin banyak tumbuh di atas puncak bukit itu.
Dengan berlari-lari kecil, pasangan pendekar itu bergerak menuju makam Eyang Tirta Yasa, guru dari Pendekar Naga Putih. Wajah keduanya tampak berseri bahagia. Sambil berpegangan tangan saling melempar senyum, mereka menyibak rerumputan liar dengan kaki-kaki yang terus melangkah.
Dan ketika tiba di makam Malaikat Petir, wajah sepasang pendekar itu memucat. Ternyata makam yang semula hendak diziarahi itu telah tidak ada lagi Pendekar Naga Putih kontan berjongkok dan menyeruakkan kepalanya untuk melihat ke dalam lubang kuburan.
"Kurang ajar...! Manusia laknat dari mana yang telah berani mati membongkar makam eyang...! Apa yang diinginkan manusia keji itu dengan melakukan perbuatan ini...?" tutuk Panji, sambil memukulkan tinjunya ketanah.
Hati Pendekar Naga Putih sangat terpukul melihat keadaan makam gurunya yang telah terbongkar. Tentu saja hal itu membuatnya merasa bersalah, karena tidak bisa menjaga makam orang tua yang sangat dihormatinya.
Kenanga duduk bersimpuh di sisi Panji. Sinar kebahagiaan yang semula berpendar di wajahnya lenyap seketika. Jelas sekali Kenanga juga sangat terpukul melihat kenyataan yang ada. Bukan hanya kegagalan untuk tinggal di tempat itu saja yang membuatnya berduka. Tapi, lenyapnya mayat Eyang Tirta Yasa yang tanpa diketahui penyebabnya itu, membuatnya ikut merasakan kesedihan kekasihnya.
"Kenanga...," panggil Panji setelah beberapa saat lamanya terbenam dalam kedukaan.
"Maafkan aku. Kuharap kau suka tinggal di sini, sementara aku pergi untuk memecahkan persoalan ini. Rencana itu terpaksa ditunda. Entah untuk berapa lama, tidak bisa kupastikan. Dan kuharap, kau mau mengerti..."
Pendekar Naga Putih sadar, apa yang dikatakannya mungkin akan membuat jiwa gadis jelita itu terluka atau sedih. Makanya suaranya terdengar pelan, seperti mengharapkan pengertian gadis itu.
"Aku mengerti, Kakang. Kita memang harus menyelidiki kejadian ini. Tapi terus terang, aku tidak bisa menunggu sendirian di tempat ini. Bawalah aku serta, Kakang. Berilah kesempatan padaku untuk menunjukkan baktiku pada gurumu...," sahut Kenanga sambil menatap wajah kekasihnya, penuh harap.
Mau tak mau Panji menjadi tidak tega melihatnya.
"Baiklah. Sekarang, kita periksa dulu sekitar puncak bukit ini. Kalau memang tidak menemukan petunjuk, terpaksa kita harus mengembara kembali untuk mencari petunjuk-petunjuk lain yang bisa dijadikan pegangan..," ujar Panji, seraya bangkit dari jongkoknya. Sepasang matanya tampak berputar liar meneliti tanah disekitarnya.
"Hm..."
"Ada apa, Kakang...? Kau menemukan sesuatu...?" tanya Kenanga ketika mendengar kekasihnya bergumam lirih. Cepat kakinya melangkah mendekati Panji.
"Lihatlah...," ujar Panji sambil menunjuk rerumputan yang seperti baru terpijak kaki manusia.
"Berarti ada orang lain yang datang ke tempat ini..."
"Tapi... mengapa jejaknya hanya satu orang? Bahkan seperti tidak membawa beban. Apakah tidak mungkin kalau eyang..," Kenanga tidak melanjutkan kalimatnya. Hanya sepasang matanya saja yang menatap ragu-ragu wajah Panji.
"Ah! Kau terlalu mengada-ada, Kenanga. Mana mungkin orang yang sudah mati dapat bangkit kembali. Lain halnya kalau ada pengaruh ilmu hitam yang menggerakkannya...," bantah Panji yang seperti dapat membaca pikiran kekasihnya.
"Itu yang kumaksudkan, Kakang. Siapa tahu jasad Eyang Gurumu dibangkitkan untuk maksud-maksud jahat," duga Kenanga lagi, seperti masih berusaha mempertahankan dugaannya.
"Tapi...," Panji menahan ucapannya. Seketika, Pendekar Naga Putih mengerahkan indera pendengarannya, begitu samar-samar seperti mendengar sesuatu yang mencurigakan. Kenanga segera diberinya isyarat, untuk terus berbicara agar sikap mereka tidak begitu mencurigakan.
Kenanga yang langsung paham maksud kekasihnya, segera melanjutkan bantahannya tadi. Dan ketika baru beberapa kata terucap dari mulut gadis itu, tiba-tiba tubuh Panji telah melenting ke belakang dengan kecepatan kilat. Pendekar Naga Putih terus berjumpalitan dan meluncur ke samping kanan, kira-kira sejarak lima sampai enam tombak Sasarannya adalah gerumbulan semak yang sangat lebat. Jelas, Panji menduga ada sesuatu yang mencurigakan dibalik semak itu.
Krosakkk...!
"Heiii...?! Berbarengan suara gemerisik ribut, tubuh Pendekar Naga Putih lenyap tertelan gerombolan semak belukar.
Sesaat sesudah tubuhnya lenyap, terdengar seruan terkejut yang disusul melesatnya sesosok tubuh tinggi kurus dari dalam semak-semak. Tak lama kemudian, Panji muncul dan langsung mengejar sosok bayangan tinggi kurus tadi.
"Berhenti...! Mau lari ke mana kau...?!" bentak Panji sambil berlompatan dan mengerahkan ilmu meringankan tubuh.
Namun ketika jarak di antara mereka sudah tinggal empat tombak, tiba-tiba saja Panji terkejut setengah mati. Betapa tidak? Meskipun sosok itu membelakanginya, tapi Panji tidak akan pernah lupa terhadap sosok tinggi kurus itu. Pendekar Naga Putih kenal betul dengan orang itu!
"Eyang...?!" desis Panji dengan wajah berubah tegang. Memang Pendekar Naga Putih yakin dan tidak salah lihat. Jadi, tidak mungkin kalau sampai keliru mengenali orang.
Sosok tinggi kurus itu menurut Panji adalah Eyang Tirta Yasa atau yang berjuluk si Malaikat Petir. Hanya yang sulit dimengerti, mengapa gurunya bisa bangkit lagi? Padahal, ia sendiri yang menguburkan mayat orang tua itu. Panji terpaku dengan wajah sebentar pucat, se bentar tegang, la benar-benar tidak habis pikir untuk, beberapa saat lamanya, sehingga sama sekali tidak berusaha melanjutkan pengejarannya.
Lain halnya Kenanga. Gadis jelita itu memang belum pernah berjumpa dengan Eyang Tirta Yasa. Jadi wajar saja jika tidak mengenali sosok orang tua itu. Dan ketika melihat kekasihnya berhenti mengejar, tentu saja Kenanga jadi heran. Merasa ikut bertanggung jawab terhadap lenyapnya mayat Malaikat Petir, Kenanga tidak bisa berpangku tangan saja. Maka begitu melihat sosok tinggi kurus berjubah putih itu melesat meninggalkan puncak bukit, maka tanpa berpikir dua kali dia langsung saja melesat mengejar.
"Berhenti...!" seru Kenanga sambil melontarkan sebuah pukulan lurus ke tubuh tinggi kurus itu. Karena jaraknya memang tidak terlalu jauh, maka sosok tinggi kurus itu pun tentu saja tidak sudi tubuhnya dijadikan sasaran pukulan.
Bettt...!
Kepalan mungil yang diiringi sambaran angin keras luput tidak mengenai sasaran, begitu sosok tinggi kurus itu telah lebih dahulu merunduk dengan rubuh doyong ke belakang. Dan begitu kepalan Kenanga lewat di atas kepala, cakar kanannya cepat bergerak hendak mencengkeram pergelangan tangan gadis itu.
"Haiiit...!"
Kenanga juga tahu maksud serangan sosok tinggi kurus itu. Maka langsung saja kepalannya ditarik pulang, dan disusulinya dengan sebuah tendangan kilat ke iga lawan yang terbuka.
Sementara, sosok tinggi kurus itu ternyata sangat lihai dan gesit gerakannya. Begitu melihat tendangan dara itu mengancam iga, tangannya cepat bergerak turun untuk memapak. Maka, benturan keras pun tak terhindarkan lagi
Dukkk!
"Ugh...?!" Kenanga terkejut bukan main ketika merasakan sebuah kekuatan hebat bagaikan menekan tenaga saktinya. Sehingga, tubuhnya kontan terhuyung dan hampir jatuh! Sama sekali tidak pernah dibayangkan kalau tenaga sosok tinggi kurus itu ternyata sangat dahsyat
Jtarrr! Darrr...!
Tiba-tiba terdengar ledakan keras disertai kilatan cahaya yang mengejutkan. Mata Kenanga sampek terbelalak lebar menyaksikan telapak tangan sosok tinggi kurus yang ternyata seorang kakek berusia! delapan puluh tahun, dapat mengeluarkan sinar berkilat, disertai ledakan dahsyat seperti petir.
"Telapak Tangan Petir...?!" desis gadis itu. Kenanga tentu saja tahu ilmu dahsyat, karena Panji memang sering menceritakannya. Kini melihat gerak tangan serta akibat yang ditimbulkannya, Kenanga segera saja dapat menebak tepat ilmu itu.
"Kenanga...!"
Untungnya sebelum sosok tinggi kurus itu melontarkan pukulan, Panji telah datang menghampiri kekasihnya. Rupanya ledakan keras tadi telah mengembalikan kesadarannya. Sayang, saat Panji datang mendekat, sosok tinggi kurus itu segera saja melesat meninggalkan Kenanga yang masih terpaku tegang.
"Eyang..., tungguuu...!" Panji berseru mencegah. Tapi, sosok kakek kurus itu telah meluncur turun dengan pesatnya. Sementara, Panji yang juga mengkhawatirkan nasib Kenanga, terpaksa tidak melakukan pengejaran.

* * *



:::¦ [ 2 ] ¦:::

KENANGA tentu saja tidak mengerti sikap kekasihnya. Dara jelita itu sempat termenung mendengar Panji yang memanggil sosok kakek lawannya barusan, dengan benak masih dipenuhi berbagai macam pertanyaan, Kenanga melangkah menghampiri Panji.
"Kau tidak apa-apa, Kenanga...?" tanya Panji menyambut kekasihnya yang wajahnya terlihat masih agak pucat itu. Pendekar Naga Putih memeluk dara jelita itu hingga beberapa saat lamanya. Sepertinya ingin dihilangkan keresahan hatinya setelah menyaksikan dengan mata kepala sendiri sosok gurunya. Kejadian itu tentu saja membuat hatinya tidak karuan.
"Aku tidak apa-apa. Tadi hanya sedikit terkejut saja. Siapakah kakek itu, Kakang? Kulihat, ia memiliki ilmu 'Telapak Tangan Petir'. Padahal menurutmu, ilmu itu hanya dimiliki Eyang Tirta Yasa. Lalu, mengapa kakek itu juga menguasainya? Bahkan sudah sempurna tingkatannya! Apakah kau kenal dengan kakek itu Kakang...?" tanya Kenanga mengungkapkan perasaan herannya.
Rupanya, gadis jelita itu juga merasakan keresahan hati kekasihnya. Dan memang, tidak biasanya Panji bersikap demikian terhadapnya. Apalagi, sampai memeluknya berlama- lama tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Kelihatannya Panji hendak menghindar, dan tidak ingin Kenanga melihat wajahnya yang mungkin tampak tidak tenang.
"Aku..., aku.... Ahhh...! Sulit sekali untuk menerangkannya, Kenanga. Aku sendiri belum percaya betul dengan apa yang kulihat barusan. Rasanya, aku seperti sedang bermimpi buruk, yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya...," desah Panji, tetap masih menyembunyikan wajahnya di belakang kepala gadis Jelita itu. Sepertinya, pemuda itu merasa malu untuk mengatakan hal yang sebenarnya kepada Kenanga.
"Hm.... Kau ternyata masih belum menaruh kepercayaan sepenuhnya kepadaku, Kakang. Kau masih saja suka menyimpan rahasia. Kalau begitu, baiklah. Kalau memang Kakang tidak ingin membicarakannya, aku pun tidak memaksa...," desah Kenanga, segera melepaskan pelukan kekasihnya, dan melangkah menuju pondok.
"Kenanga...," panggil Panji, seraya menangkap tangan kekasihnya. Sehingga, langkah dara jelita itu tertahan. Pendekar Naga Putih memegang bahu gadis itu dengan lembut. Ditatapnya wajah Kenanga lekat-lekat.
Kenanga membalas tatapan kekasihnya. Hatinya sedikit bergetar saat melihat sorot mata Panji yang tampak bagaikan menyimpan luka dan sesal. Disadari kalau semua itu bukan disebabkan sikapnya barusan. Tapi, sosok kakek tinggi kurus itulah yang telah membuat Pendekar Naga Putih terlihat bingung, tidak seperti biasanya yang selalu tenang dan penuh senyum.
"Kenanga. Bukan aku tidak ingin menceritakannya kepadamu. Tapi, aku sendiri belum yakin dan belum percaya dengan apa yang, baru saja terjadi. Ketahuilah, Kenanga. Kakek yang tadi sepertinya adalah Eyang Tirta Yasa, guruku. Sosoknya demikian sempurna, tidak seperti sosok mayat hidup. Dan juga, tidak menebarkan bau busuk.
Bukankah itu sangat aneh?! Padahal, kedua tanganku sendiri yang menurunkan tubuh orang tua itu ke liang lahat. Kini, mengapa tahu-tahu muncul dalam keadaan hidup...? Tidak mungkin kalau orang sudah mati dapat hidup kembali...," jelas Panji. Semua itu diceritakannya karena tidak ingin dianggap masih belum percaya sepenuhnya terhadap dara jelita itu.
"Jadi..., kakek tadi Malaikat Petir...? Begitu maksudmu?" tanya Kenanga, meminta ketegasan.
Meskipun sudah dapat menduga kalau Panji mempunyai hubungan dengan kakek tadi, tapi sama sekali tidak disangka kalau hubungan itu demikian dekatnya. Kakek yang menggebrak beberapa jurus terhadapnya tadi, ternyata guru kekasihnya!
"Benar! Aku yakin, tidak salah lihat...," jawab Panji dengan suara mantap tanpa keraguan sedikit pun. Dan memang, Pendekar Naga Putih telah melihat dan menegasinya beberapa kali.
"Tapi, mengapa dia tidak mengenalmu, Kakang? bahkan seperti tidak peduli...," tanya Kenanga lagi.
Tentu saja Kenanga jadi ikut-ikutan bingung, karena selama ini diketahuinya Malaikat Petir sudah tewas beberapa waktu yang lalu. Bahkan Panji sendiri yang menceritakan semuanya. Lalu, mengapa tahu-tahu kini tokoh sakti itu muncul? Mungkinkah yang tadi itu hanya rohnya?
"Itulah yang membuatku bingung, Kenanga. Ada beberapa kemungkinan yang berhubungan dengan kejadian aneh itu. Pertama, mungkin saja sosok yang dulu kukuburkan bukan Eyang Tirta Yasa. Meskipun, aku yakin saat itu kalau beliaulah yang kumakamkan. Dan kedua, mungkin saja ada orang yang sengaja membangkitkan mayat eyang untuk tujuan-tujuan tertentu, dan sudah jelas bukan tujuan kebaikan.
Tapi kalau kemungkinan kedua lebih tepat, bukankah mayat eyang menurut perhitungan sudah tinggal tulang-belulang saja? Mana ada mayat yang ditanam dalam tanah bisa tetap utuh...?" jelas Panji yang belum juga mendapatkan jawaban tepat bagi kejadian aneh yang dialaminya.
"Bagaimana kalau kemungkinan pertama, Kakang. Katakanlah, mayat yang kau kubur dulu bukan gurumu, meskipun mungkin sosok dan pakaiannya serupa. Kalau memang benar begitu, berarti sosok yang barusan muncul pastilah gurumu yang asli. Mungkin beliau baru keluar dari tempat bertapa." Kenanga mengungkapkan pendapatnya. Sehingga Panji jadi termenung untuk beberapa saat.
"Hm.... Meskipun kemungkinan itu sangat kecil tapi anggaplah kemungkinan itu ada. Nah! Sekarang bagaimana pendapatmu dengan usia yang tidak bertambah. Padahal kematian eyang sudah cukup lama Tapi wajahnya tadi, justru sama sekali tidak berubah. Mengapa ia tidak bertambah tua?" kata Panji. Sejak pertama, Pendekar Naga Putih memang sudah merasa heran melihat wajah yang diduga gurunya yang sama sekali tidak berubah, tetap seperti dua tahun yang lalu.
Kenanga terdiam setelah mendengar bantahan Panji. Meskipun dalam hati belum bisa menerima bantahan itu, tapi kepalanya tetap mengangguk, tanda setuju.
"Sebaiknya, tadi kita mengejarnya, Kakang. Dengan demikian, kita baru bisa menyingkap rahasia yang membingungkan ini...," ujar Kenanga setelah cukup lama keduanya terdiam dalam pikiran masing-masing.
"Hhh.... Saat itu, terus terang aku tidak bisa melakukannya, Kenanga. Hatiku begitu terkejut melihat orang yang selama ini kusangka telah tewas, tahu-tahu muncul begitu saja di depanku. Jadi aku tidak bisa berpikir lain, kecuali keanehan itu. Tapi kalau dia memang benar Eyang Tirta Yasa, pasti kita akan menemukannya. Lain halnya, kalau sosok kurus tadi adalah makhluk halus...," desah Panji yang mau tak mau berpikiran ke situ, karena semua jalan pemikirannya benar-benar buntu.
"Tidak mungkin, Kakang. Kakek itu jelas-jelas manusia. Aku berani sumpah!" tegas Kenanga.
"Bagaimana kau bisa seyakin itu...?" tanya Panji. Diam-diam Pendekar Naga Putih menjadi kagum akan ketegasan dan pendirian kekasihnya. Kenanga tidak hanya mengiyakan perkataannya, tapi juga bisa memberi pandangan, dan tidak segan-segan membantah apabila pendapat pemuda itu salah.
"Tentu saja aku sangat yakin, Kakang. Karena, aku mempunyai sebuah alasan yang sangat kuat..," jawab Kenanga tersenyum, seperti berusaha memancing rasa penasaran Panji.
"Apa alasanmu...?" desak Panji. Diam-diam Pendekar Naga Putih menjadi gemas melihat sikap Kenanga yang seperti sengaja hendak menggoda. Tapi, pemuda itu berusaha menahan diri karena ingin mendengar alasan kekasihnya yang begitu yakin kalau sosok kakek tinggi kurus tadi adalah manusia biasa, dan bukan makhluk halus.
"Karena, aku sempat berbenturan dan beradu tenaga dengannya tadi. Dan tentu saja dapat kurasakan adanya arus gelombang tenaga sakti yang amat kuat. Rasanya, tenaga kakek itu tidak kalah dengan tenaga saktimu, Kakang...," jawab Kenanga, agak khawatir ketika mengucapkan kalimat terakhirnya.
"Hm.... Kalau memang manusia biasa, siapa benarnya orang itu? Apakah dia benar-benar Eyang Tirta Yasa? Kalau bukan, mengapa memiliki 'Ilmu Telapak Tangan Petir'? Padahal, menurut eyang, ilmu itu tidak pernah diajarkan dan diturunkan kepada siapa pun. Juga kepadaku, meskipun memiliki dasar-dasarnya. Herannya, 'Ilmu Telapak Tangan Petir' sekarang kelihatan sempurna," gumam Panji.
"Sebaiknya, kita cari di sekitar puncak Bukit Gua Harimau dan Hutan Randu Apus. Apabila tidak ditemukan di sini, kita cari saja di tempat lain. Kalau dia memang bukan Eyang Tirta Yasa, tentu ada maksud jelek dengan penampilannya yang sengaja menyamar. Mudah-mudahan saja kita belum terlambat untuk mencegahnya...," usul Kenanga yang sepertinya merasa sangat penasaran atas keanehan-keanehan itu.
"Hm.... Untuk saat ini, rasanya memang usul itulah yang paling baik. Ayolah kita mulai mencarinya...," ajak Panji yang semangatnya timbul kembali.

* * *




Sosok tinggi kurus tampak melangkah ringan, menyusuri jalan lebar yang menghubungkannya dengan Desa Kalang. Saat itu, matahari sudah berada di atas kepala. Sinarnya memancar terik, bagai hendak memanggang bumi di bawahnya. Tapi, semua itu sama sekali tidak membuat sosok tinggi kurus itu terganggu. Kakinya tetap terayun dengan irama tetap.
Ketika tengah melewati jalan yang di kiri dan kanannya membentang persawahan, sosok tinggi kurus yang ternyata seorang kakek-kakek itu terdengar menggumam takjelas. Sorot mata tuanya tampak berkilat tak senang, karena di depannya seorang gembala tengah sibuk mengatur puluhan ekor kambing yang memadati jalan. Rupanya pemandangan itu yang membuatnya tak senang.
"Hei, Bocah Edan! Suruh binatang-binatang keparat itu menyingkir! Kalau tidak, terpaksa akan kusingkirkan sendiri!" bentak kakek itu galak. Padahal raut wajahnya terlihat lembut dan penuh kesabaran. Sungguh tak sepadan antara suara dengan wajahnya.
"Maaf, Kek. Aku sibuk mengurus kambing-kambing disebelah sini. Kalau Kakek mau lewat, silakan singkirkan sendiri...," sahut bocah berusia sekitar tiga belas tahun itu. Dia hanya menoleh sekilas, kemudian kembali sibuk mengurus ternaknya.
"Husy..., husy...!"
Mendengar jawaban acuh tak acuh itu, si kakek bergumam lirih. Kemudian, kakinya melangkah seenaknya melewati kambing-kambing yang berdesak-desakan memadati jalan lebar itu.
"Mbeeek..., eeekh...!"
Tiba-tiba terdengar embik kesakitan dari beberapa ekor kambing. Sementara, kakek itu terus melangkah sambil memukul dan melemparkan binatang-binatang itu seenaknya. Tentu saja perbuatan itu mengejut si bocah penggembala.
"Hei, Kakek Gila! Kau appp...!"
Bocah penggembala itu tidak sempat menyelesakan kalimatnya, karena tahu-tahu saja salah seekor kambing menimpa wajahnya. Seekor kambing yang dilemparkan oleh kakek berwajah arif, namun berwatak telengas.
Bukkk!
Karuan saja, bocah itu jatuh terjungkal di atas tanah. Belum lagi sempat kata-kata makian terlontar kembali dari mulutnya, tiba-tiba....
"Ahhh.?" Bagaikan disengat kalajengking, tubuh bocah tanggung itu tersentak bangkit ketika merasakan suatu cairan hangat membasahi wajah dan pakaiannya. Wajahnya langsung memucat begitu mengenali cairan apa yang mengotori wajah dan pakaiannya.
"Darah...!?" desis bibir bocah tanggung itu gemetar. Dan ketika bocah itu memeriksa kambing yang jatuh menimpanya, ternyata kepalanya telah pecah. Rupanya, dari situlah darah berasal. Tentu saja, ia menjadi ketakutan setengah mati. Apalagi ketika melihat bukan hanya kambing itu saja yang mati, tapi masih banyak lagi yang bergeletakan bersimbah darah segar.
"Celaka...! Ada kakek gila ngamuuuk...! tolong...! Ada kakek gila ngamuuuk...!"
Setelah sadar akan apa yang telah menimpa binatang ternaknya, bocah itu pun langsung kabur sambil berteriak-teriak ketakutan. Tentu saja pembantaian ternak itu baginya merupakan suatu pemandangan yang mengerikan.
"He he he...! Dasar bocah gendeng...," umpat kakek itu sambil terus melemparkan kambing-kambing ke sana kemari.
Meskipun jalan baginya telah terbuka lebar, namun kakek itu tetap saja memukul, dan melemparkan binatang-binatang tak berdosa itu ke segala arah.
Sedangkan penggembala itu terus saja berlari menuju desa sambil berteriak teriak minta tolong. Beberapa orang petani yang melihat dan mendengar teriakan bocah itu, segera saja berdatangan, dan langsung menghampiri.
"Hei, ada apa...? Mengapa kau berlari-lari seperti orang dikejar setan...? Kau bisa kena marah juraganmu kalau ternak-ternak itu ditinggalkan begitu saja...," kata salah seorang petani berkulit hitam yang tubuhnya tampak kokoh. Rupanya, dia cukup mengenal bocah itu.
"Hhh..., hhh.... Ada..., ada kakek gila mengamuk dan membunuhi ternak-ternakku..." Akhirnya, meski dengan suara patah-patah dan napas tidak beraturan, bocah itu bisa juga menyampaikan apa yang ingin dikatakannya.
"Hah?! Ada kakek gila mengamuk, membunuh kambing- kambingmu? Kakek gila dari mana? Siapa dia...?" tanya petani lain yang bertubuh tinggi sambil menepuk pipi bocah penggembala itu.
Rupanya, ia tidak percaya dengan laporan anak kecil itu. Karena menurutnya, mana ada seorang kakek-kakek yang sanggup membunuh puluhan ekor kambing. Jadi, sebenarnya hanya sekadar basa-basi saja. Bahkan cenderung mencemooh.
"Betul, Kakang! Aku tidak bohong. Ini! Lihat saja wajah dan pakaianku! Ini adalah darah salah seekor kambing yang dibunuhnya, kemudian dilemparkan ke wajahku...," jelas bocah itu ketika para petani tidak mempercayai laporannya.
"Kalau begitu, kita harus hentikan perbuatan kakek gila itu! Ayo, tunjukkan kepada kami tempatnya...!" ujar petani bertubuh kokoh yang kulitnya hitam dengan suara lantang. Jelas, ia ingin menunjukkan keberaniannya kepada kawan-kawannya.
Tanpa banyak cakap lagi, bocah penggembala ini langsung mengajak sepuluh orang petani untuk mendatangi tempat semula. Belum sampai beberapa langkah mereka berjalan, tiba-tiba semuanya serentak memandang ke atas. Karena entah kapan datangnya tahu-tahu saja dari atas kepala mereka terdengar suara benda melayang, menimbulkan desir angin mengejutkan."
"Awaaas...!
Petani muda bertubuh kokoh yang wajahnya agak kehitaman sepertinya merupakan orang yang paling berani di antara yang lain. Dan peringatan itu pun datang dari dia juga.
Bukkk! Bukkk!
"Aaakh,..!"
"Hugkh...!"
Sayang, dua orang petani tidak sempat menghindari jatuhnya benda berbulu coklat. Kekuatan daya dorongnya ternyata sangat luar biasa. Sehingga, tubuh kedua orang petani malang itu terjerembab hingga mengalirkan darah pada sudut bibirnya. Dan ketika tubuh mereka terbanting jatuh ke sawahnya sendiri, karuan saja lumpur-lumpur membedaki sekujur tubuh dan pakaian mereka.
"Gila...! Kakek itu benar-benar tak waras...!" desis salah seorang yang merasa takut setelah melihat kejadian di depan matanya.
"Eh?! Apa yang telah terjadi dengan mereka? Mengapa kedua orang kawan kita belum juga muncul-muncul..?" tanya seorang petani bermuka pucat. Sepertinya, dia mulai ciut melihat siapa gerangan orang yang datang. Namun, ketika melihat tubuh kedua orang temannya tetap terbenam di dalam lumpur, sadarlah para petani itu. Ternyata kakek gila itu bukan orang sembarangan.
"Keparat kau, Kakek Gila! Datang-datang membantai ternak orang! Dan kini muncul lagi menyusahkan orang lain. Bedebah...!" maki si petani muda bertubuh kokoh dan berkulit hitam.
Jelas sekali kalau dia merasa marah bukan main. Hanya yang tidak dimengerti, bagaimana kedua kawannya tidak bisa bangun lagi. Padahal, mereka hanya tertimpa tubuh kambing. Dengan wajah merah padam, petani muda yang terlihat sangat kuat itu mengayunkan cangkulnya dengan maksud untuk menakut-nakuti. Tapi ketika melihat kakek itu malah mengejek, maka cangkulnya segera diayunkan ke arah kepala.
Kakek bertubuh tinggi kurus berjubah putih itu nampak sama sekali tidak gentar. Dengan tenang, langkahnya dilanjutkan menghampiri petani-petani itu. Sama sekali tidak dipedulikannya sambaran mata cangkul yang siap membelah batok kepalanya.
Wukkk...! Trakkk!
"Aaa...!" Apa yang terjadi kemudian, benar-benar membuat! para petani itu melotot dengan perasaan ngeri. Kenyataannya, bukan kepala kakek itu yang terbelah, melainkan mata cangkul itulah yang patah. Bahkan petani muda yang menyerang tadi tampak terjengkang dari merintih kesakitan sambil memegangi tangannya yang bengkak hingga sebatas sikut.

* * *



:::¦ [ 3 ] ¦:::

KEJADIAN itu tentu saja membuat para petani terbelalak tak percaya. Mereka sama-sama berdiri terpaku dengan wajah pucat. Benar-benar sukar diterima akal! Mana mungkin tubuh kakek yang hanya terdiri dari kulit dan daging itu mampu menahan mata pacul yang terbuat dari besi? Tentu saja para petani yang sama sekali tak paham ilmu silat, belum bisa mempercayainya.
Tapi, kakek tinggi kurus berpakaian putih itu sama sekali tidak peduli. Dengan langkah tenang, dihampirinya petani yang barusan menghantamkan cangkul ke tubuhnya. Tanpa berkata sepatah pun, tangannya menjulur untuk mencekal batang leher petani muda bertubuh kekar itu. Dan....
"Eeekhhh...!"
Terdengar teriakan yang tersumbat saat tubuh petani muda itu terangkat dari atas tanah. Benar-benar sukar dipercaya! Lengan kakek kurus itu ternyata mampu mengangkat tubuh petani yang besar dan kokoh. Bahkan, sepertinya sama sekali tidak mengerahkan tenaga sedikit pun!
"Hmh...!" Seiring geraman yang keluar dari mulutnya, kakek itu mengetatkan cengkeraman jemari tangannya pada leher sasarannya. Dan....
Krrrkhg!
Bagaikan meremas segumpal tanah kering yang gembur, tangan kakek itu melumatkan batang leher si petani Seketika, terdengarlah suara tulang berpatahan, seiring tetesan darah segar yang mengalir melalui jari-jari tangannya yang terbenam di daging si petani
"Hihhh...!" Tanpa merasa menyesal atau berdosa sedikit pun, kakek itu melemparkan tubuh petani muda yang nyawanya telah melayang ke akhirat, ke arah kawan-kawannya.
"Aaah...!"
Para petani yang semula sama sekali tidak menyadari luncuran tubuh kawannya, kontan terkejut setengah mati. Sayang, kesadaran mereka telah terlambat. Kenyataannya, tubuh yang sudah tidak bernyawa lagi itu hanya tinggal beberapa jengkal dari mereka. Dan....
Bruggg!
Terdengar teriakan-teriakan kesakitan dari para petani. Rupanya lemparan yang kelihatan perlahan itu berakibat sangat hebat. Begitu membentur sasaran, ternyata tenaga dorongnya lebih kuat daripada tenaga gajah! Tentu saja hal itu sama sekali tidak pernah disangka. Kesadaran itu baru didapat saat tubuh mereka terlempar hingga sejauh satu tombak lebih.
"Hm..." "Hm... Kakek tinggi kurus itu hanya bergumam perlahan, kemudian kembali beranjak meninggalkan tempat itu. la sama sekali tidak ingat kepada bocah gembala yang sejak tadi telah lari ke desa.
Namun baru beberapa tindak melangkah, tiba-tiba kakek itu berhenti mendadak. Pendengarannya yang tajam mendengar adanya suara berdesing halus yang berasal dari belakangnya. Segera saja rubuhnya berbalik, meskipun desingan itu sama sekali tidak berbahaya. Memang, dari suaranya dapat diketahui kalau si pelempar sama sekali tidak mempunyai ilmu silat. Buktinya, lemparan lima buah batu itu tidak dengan pengerahan tenaga dalam.
"Hm..." Sambil bergumam perlahan, kakek itu mengulur tangannya dengan sembarangan saja. Maka beberapa batu sebesar kepalan tangan telah tergenggam di tangannya. Anehnya, batu-batu yang tidak mungkin bisa digenggam itu saling lekat satu sama lain. Sehingga, kelima batu itu dapat dipegang sekaligus!
"Hm.... Kalian sendiri yang cari mampus...," desis kakek itu dengan nada dingin dan datar. Usai berkata demikian, tangan yang memegang batu-batu itu dikibaskan. Perlahan saja kelihatannya, namun akibatnya....
Whuttt!
Benar-benar mengejutkan! Diiringi suara mendesing yang menyakitkan telinga, kelima buah batu itu meluncur ke arah para petani yang melemparkannya. Dan sebelum para petani itu tahu apa yang sebenarnya yang menimbulkan suara sedemikian menyakitkan, tahu-tahu saja tubuh mereka terjengkang satu persatu ke atas tanah.
"Aaakh...!"
"Aaa...!"
Hampir bersamaan, tubuh kelima orang petani malang itu ambruk ke tanah dengan tubuh bersimbah darah segar. Batu-batu yang dikembalikan kepada mereka, tepat mengenai pelipis masing-masing. Maka saat itu juga, mereka tewas dengan kepala retak!
Setelah semua petani itu tewas, kakek kurus itu melangkah tenang ke arah desa. Sedikit pun tidak terbersit rasa penyesalan di wajahnya. Seolah-olah nyawa manusia tidak lebih berharga daripada seekor lalat. Benar-benar keji hati kakek tinggi kurus itu.

* * *




Matahari sudah semakin condong ke Barat, saat kakek tinggi kurus itu tiba di mulut Desa Kalang. Dan keningnya yang memang sudah berkeriput oleh garis-garis ketuaan, tampak kelihatan semakin nyata. Terdengar suara menggeram jengkel dari kerongkongannya.
"Itu dia, kakek gila yang telah membunuh ternak-ternakku dan para petani yang hendak menolongku tadi"
Terdengar suara bening yang berasal dari seorang bocah laki-laki. Ia tak lain dari si bocah penggembala. Rupanya, dia telah melaporkan kepada pihak keamanan desa. Buktinya begitu kakek itu tiba di mulut desa, puluhan keamanan desa telah siap dengan senjata di tangan. Memang, kakek itulah yang tengah ditunggu.
Seorang lelaki gagah berkumis tipis tampak menatap ke arah kakek tinggi kurus itu dengan kening berkerut. Sepertinya, dia kurang percaya kalau lelaki tua bertubuh kurus yang terbungkus pakaian berwarna putih itu dapat mencelakai orang.
"Kau yakin, dia yang telah membunuh ternak-ternakmu dan melukai beberapa orang petani?" tanya lelaki gagah itu meminta ketegasan bocah penggembala.
"Bukan yakin lagi, Ki. Kelihatannya kakek itu memang seperti orang lemah, tapi sangat kuat. Hati-hatilah, Ki. Tampaknya para petani yang menolongku sudah dicelakai olehnya...," jawab bocah penggembala itu tanpa ragu sedikit pun, sehingga membuat lelaki gagah itu mengangguk-anggukkan kepala. Tidak ada pilihan lain baginya, kecuali mempercayai keterangan bocah itu.
"Kalian semua tetap di tempat. Siapkan anak-anak panah. Siapa tahu, kita memerlukannya. Jalud, Bontang! Ikut aku...!" perintah lelaki gagah itu, kemudian segera melangkah menghampiri kakek tinggi kurus berpakaian putih.
"Baik, Ki..."
Kedua orang lelaki yang dipanggil Jalud dan Bontang bergegas mengikuti langkah kaki lelaki yang nama Ki Balwa Ranta. Dia memang menjadi Kepala Keamanan Desa Kalang, dan juga tangan kanan Kepala desa.
"Orang tua...! Harap berhenti sebentar,..! Ada beberapa pertanyaan yang hendak kami ajukan kepadamu...!"
Terdengar suara Ki Balwa Ranta yang berhenti dalam jarak dua tombak dari sosok kakek tinggi kurus itu. Tampaknya, Kepala Keamanan Desa Kalang itu merupakan seorang yang selalu berhati-hati dalam mengambil tindakan.
Mendengar teguran lelaki gagah itu, si kakek menghentikan langkahnya. Namun tak berapa lama kemudian, kakinya kembali melangkah maju, seolah-olah sama sekali tidak mengerti apa yang diucapkan Ki Balwa Ranta barusan.
"Orang tua! Kuharap kau tidak membandel dengan membantah perintahku...!" seru Ki Balwa Ranta kembali memperingatkan.
Setelah berseru demikian, tangannya meraba gagang pedang di balik pakaian hitamnya. Dan ternyata kakek tinggi kurus itu benar-benar tidak peduli. Langkahnya terus dilanjutkan bagaikan orang tuli. Tetu saja hal itu membuat Ki Balwa Ranta menjadi bingung. Pikirnya, siapa tahu kakek itu memang tuli, sehingga tidak mematuhi perintahnya.
Ki Balwa Ranta menjadi serba salah. Jika pengikutnya diperintahkan untuk melepaskan anak panah, khawatir kakek itu akan terluka. Tapi jika tidak bertindak, dia takut kalau-kalau apa yang dikatakan bocah penggembala itu benar.
Setelah agak lama bergulat dengan pikirannya sendiri, Ki Balwa Ranta cepat mengambil keputusan. Diraihnya busur dan anak panah dari salah seorang anak buahnya, kemudian dibidikkan ke tubuh kakek yang tengah melangkah itu. Dan....
Twang...!
Begitu busur dilepaskan, maka anak panah pun meluncur deras mengancam tubuh kakek tinggi kurus itu. Namun wajah Ki Balwa Ranta menjadi tegang, begitu melihat kakek itu seperti tidak peduli. Bahkan terus melangkah dengan tenangnya.
Cappp!
Anak panah yang dilepaskan Ki Balwa Ranta rupanya hanya sekadar untuk peringatan saja. Buktinya, hanya menancap beberapa langkah di depan sasarannya. Sehingga, kakek tinggi kurus itu menghentikan langkahnya dan langsung menatap Ki Balwa Ranta.
"Hhh..."
Ki Balwa Ranta terdengar menarik napas lega, ketika kakek itu tidak menunjukkan kalau mengerti ilmu silat. Melihat hal ini, Ki Balwa Ranta jadi tidak mempercayai keterangan si bocah penggembala. Saat langkah kakek itu semakin dekat Ki Balwa Ranta sama sekali tidak bertindak apa-apa.
Tinggallah si bocah penggembala yang merasa ketakutan setengah mati. Apalagi, hanya ia seorang yang tahu betapa kejamnya sifat kakek itu. Tapi bocah itu tidak bisa berbuat sesuatu, sebab baik Ki Balwa Ranta maupun para Keamanan Desa Kalang seperti telah menerima kedatangan kakek itu. Senjata-senjata mereka pun telah diturunkan, dan disimpan di tempatnya semula. Sehingga, bocah gembala itu hanya bisa menatap dengan wajah pucat dan keringat membanjiri sekujur tubuh.
"He he he...!"
Terdengar suara kekeh kakek tinggi kurus itu, saat langkahnya sudah semakin mendekati mulut desa. Kali ini matanya tampak merayapi orang-orang di depannya, yang berjarak kurang dari dua batang tombak.
Ki Balwa Ranta, Kepala Keamanan Desa Kalang, melangkah mendekat. Sepertinya dia hendak menyambut kedatangan kakek tinggi kurus itu. Dua orang pembantu lelaki gagah itu ikut pula menyertai, mengapit di kiri dan kanan. Untuk kesekian kalinya, kakek tinggi kurus itu terkekeh berkepanjangan. Sepasang matanya tampak memancarkan sinar berkilat mengerikan.
Untunglah Ki Balwa Ranta lebih dahulu waspada. Maka begitu melihat adanya percikan darah di pakaian kakek itu pada beberapa bagian Ki Balwa Ranta segera bergerak mundur dengan kecurigaan langsung timbul. Sikap mendadak itu tentu saja membuat tenaga saktinya bergolak seketika, dan menyebar melindungi sekujur tubuhnya.
Tindakan yang dilakukan Ki Balwa Ranta ternyata sangat tepat. Karena pada saat yang bersamaan, telapak tangan kakek tinggi kurus itu terulur dengan jari-jari membentuk cengkeraman. Dari sambaran angin yang ditimbulkannya, jelas kalau cengkeraman itu tidak main-main.
Wuttt...!
Gerakan cengkeraman itu sepertinya memang sengaja diperlambat. Kalau tidak, tentu takkan mungkin sempat dielakkan Ki Balwa Ranta.
"Awas, Ki...!"
Salah seorang dari dua lelaki gagah yang mengapit Ki Balwa Ranta rupanya selalu memasang sikap waspada. Dan ketika lengan kakek itu terulur mencengkeram, mereka langsung bergerak dari kiri dan kanan. Senjata mereka langsung diayunkan, hendak membabat putus lengan kakek itu.
Bettt! Bettt!
Sayang, pemilik lengan itu tidak tinggal diam. Lengan kakek itu bergerak cepat seperti lenyap, sewaktu serangan pedang dua orang pembantu Ki Balwa Ranta hampir menyentuhnya. Dan sebelum kedua keduanya sempat mencari-cari ke mana lengan itu pergi, tahu-tahu sajamereka merasakan sesuatu yang dingin menyentuh kuduk.
"Ahhh...?!"
Kedua orang laki-laki gagah itu terbeliak dengan wajah pucat, begitu tahu-tahu saja tubuh mereka terangkat dari atas tanah. Keruan saja, mereka menjerit ketakutan.
"He he he...!" Kakek tinggi kurus itu sepertinya malah senang mendengar jeritan kedua lawannya. Kedua lengannya yang mencengkeram batang leher, terus membawa tubuh kedua lelaki gagah itu ke atas hingga setinggi satu tombak.
"Hei, lepaskan...!" sentak Ki Balwa Ranta. Lelaki gagah itu tentu saja terkejut melihat kejadian yang menimpa kedua orang pembantunya. Maka cepat senjatanya dihunus, dan langsung menyerbu.
"He he he.... Kalau hanya minta agar mereka dilepaskan, mengapa harus segalak itu? Nah, terimalah. kawan-kawanmu ini...," kata kakek tinggi kurus itu sambil terkekeh parau. Kemudian, dilemparkan tubuh kedua orang telaki gagah itu ke arah Ki Balwa Ranta.
Perbuatan kakek itu tentu saja membuat Ki Balwa Ranta menjadi bingung. Cepat senjatanya disimpan, dan kedua tangannya diulurkan untuk menyambut tubuh kawan-kawannya. Tapi...
Bruggg...!
"Ahhh...?!" Bukan main terkejutnya hati Ki Balwa Ranta, ketika mendapatkan dua sosok tubuh yang disambutnya ternyata sangat berat. Sehingga tanpa dapat dicegah lagi, tubuh lelaki gagah itu terjajar mundur dan hampir terjungkal ke belakang. Untunglah, Ki Balwa Ranta sempat memantekkan kedua kakinya di tanah, sehingga sanggup menahan dorongan yang mengandung kekuatan tenaga dalam yang sepenuhnya itu.
"Gila...?! tenaga dalam kakek itu ternyata hebat sekali," gumam Ki Balwa Ranta, hampir tak percaya dengan apa yang barusan dialaminya.
Sementara, kedua sosok tubuh yang dilemparkan kakek tinggi kurus itu tampak tidak bergerak sama sekali. Hal ini membuat keningnya berkerut. Segera saja kakinya melangkah mendekati kedua sosok kawannya itu. Dan....
"Biadab. !" desis Ki Balwa Ranta geram. Kedua sosok tubuh kawannya ternyata sudah tidak bernyawa lagi. Tewas dengan tulang leher remuk.
"Iblisss...!"
Untuk kesekian kalinya, Ki Balwa Ranta kembali mengutuk kakek tinggi kurus itu. Sama sekali tidak diketahuinya, kapan kedua orang kawannya itu terbunuh. Padahal, mereka tidak terlalu lama berada dalam cengkeraman tangan kakek itu. Tentu saja kenyataan ini merupakan satu bukti kehebatan kakek tinggi kurus itu.
Kematian kedua orang pembantunya itu, tentu saja membuat amarah Ki Balwa Ranta sampai ke ubun-ubun. Cepat dia bergerak mundur menjauhi kakek itu. Dengan pedang di tangan, segera diperintahkan anak buahnya untuk menyiapkan anak panah.
"Habisi kakek gila itu..!" perintah Ki Balwa Ranta sambil mengayunkan pedang di tangannya ke depan. Maka seketika itu juga, terdengarlah suara berdesingan yang susul menyusul.
"He he he.... Bagus..., bagus.... Sambutan kalian ternyata sangat meriah...," ejek kakek tinggi kurus itu sambil terus melangkah mendekati batas desa. Sepertinya, sama sekali tidak dipedulikan datangnya puluhan batang anak panah yang berdesingan mengancam tubuhnya.
Ki Balwa Ranta menarik napas ketika melihat kakek tinggi kurus itu terus melangkah maju, seperti orang yang tidak tahu bahaya. Tentu saja, lelaki gagah itu menjadi tegang. Ingin diketahuinya, apa yang akan dilakukan kakek itu untuk menyelamatkan diri. Apa yang selanjutnya disaksikan Ki Balwa Ranta dan anak buahnya, ternyata, benar-benar membuat mereka terbelalak pucat. Ternyata dari sekian banyak anak panah yang dilepaskan, tak satu batang pun yang menempel di tubuh tinggi kurus itu. Semuanya runtuh ke atas tanah dalam keadaan patah!
"Gila...!" desis beberapa orang Keamanan Desa Kalang yang hampir tidak percaya melihat kenyataan itu.
"Ilmu iblis...!"
Lagi-lagi Ki Balwa Ranta mengutuk menyaksikan kesaktian kakek tinggi kurus itu. Kejutan-kejutan yang dibuat kakek itu dalam beberapa gebrakan, membuatnya merasa cemas terhadap keselamatan Desa Kalang. Ki Balwa Ranta sudah dapat mengukur kalau mereka tidak mungkin mampu menghalangi kakek tinggi kurus itu untuk masuk ke Desa Kalang. Tapi, Ki Balwa Ranta dan para Keamanan Desa Kalang rupanya bukan orang-orang pengecut. Dengan gagahnya, Kepala Keamanan Desa Kalang ini mengajak anak buahnya untuk bergerak maju mengepung kakek tinggi kurus itu.
"Maju...! Jangan biarkan ia masuk ke dalam desa kita...!" Sambil berseru demikian, Ki Balwa Ranta sudah bergerak maju dengan pedang terhunus. Dihadapinya kakek tinggi kurus yang masih terkekeh itu dengan ketabahan luar biasa. Memang, sebagai kepala keamanan desa, tentu saja tanggung jawabnya sangat besar. 
"Hm..." Terdengar gumaman lirih dari kerongkongan kakek tinggi kurus itu. Sedangkan bibirnya sama sekali tidak bergerak, dengan sepasang mata berkilat-kilat mengawasi sekeliling.
"He he he" Kembali terdengar suara tawa terkekeh, melihat para pengepungnya sudah semakin dekat, siap merencah hancur tubuhnya.

* * *



:::¦ [ 4 ] ¦:::

"Serbuuu...!"
Seiring perintah Ki Balwa Ranta, maka meluncurlah puluhan sosok tubuh bersenjata terhunus ke arah kakek tinggi kurus itu. Ki Balwa Ranta sendiri menerjang pating dulu. Kelebatan sinar pedangnya menyambar-nyambar, disertai desiran angin tajam.
Bettt! Bettt!
"Hait...! Bagus..., bagus...!"
Berkali-kali kakek tinggi kurus itu berseru memuji permainan pedang Ki Balwa Ranta. Meskipun begitu, belum sekali pun ujung pedang lelaki gagah itu menemui sasaran. Sehingga, Ki Balwa Ranta menjadi penasaran dibuatnya.
"Heaaah...!"
Saat melihat serbuan beberapa batang pedang dari sebelah kiri, kakek tinggi kurus Ku mengeluarkan bentakan mengejutkan Seiring bentakan itu, tangan kanannya bergerak menyapu ke arah para penyerang. Terdengarlah suara mencicit tajam yang membeset udara.
"Aaagh...!"
"Aaah...!"
Terdengar pekik kematian yang susul-menyusul. Dalam segebrakan saja, belasan Keamanan Desa Kalang terjerembab dengan kepala bersimbah darah. Rupanya, mereka menjadi korban pukulan jarak jauh yang dilontarkan kakek itu. Dan akibatnya, nyawa mereka pun langsung melayang ke akhirat.
"Iblis keji...!" Ki Balwa Ranta tentu saja menjadi geram buka. main menyaksikan kematian kawan-kawannya Dengan wajah bagai terbakar, dia meluruk ke arah lawannya. Pedang di tangannya menyambar-nyambar dengan kecepatan yang mengagumkan. Kilatan-kilatan sinar pedangnya berkeredep, mengincar bagian-bagian terlemah di tubuh lawan.
Cwittt...! Cwittt...!
"Bagus...!" Kembali terdengar pujian dari mulut kakek itu! sambil bergerak ke belakang setengah tindak. Ini dilakukan untuk menghindari tusukan ujung pedang Ki Balwa Ranta yang mengincar salah satu jalan darah besar di tubuhnya. Memang, meskipun tubuh kakek itu kebal, tapi belum tentu dapat menahan tusukan pedang di jalan darah besarnya. Itulah sebabnya, sambaran ujung pedang Ki Balwa Ranta harus dielakkan.
Ki Balwa Ranta pun bukan tidak tahu keterkejutan lawan. Meskipun hanya sekilas, tapi sempat tertangkap kalau sepasang mata kakek itu tampak agak terkejut. Melihat hal itu, Ki Balwa Ranta yang cukup berpengalaman dalam ilmu silat, segera mengetahui kalau kekebalan tubuh lawan dikarenakan kekuatan tenaga dalamnya yang memang sudah tinggi.
Kenyataan itu membuat hatinya besar. Kenyataan, ilmu-ilmu kekebalan yang menggunakan tenaga dalam memang sangat terbatas, dan tidak bisa digunakan terus-menerus. Mendapat pemikiran seperti ini, Ki Balwa Ranta semakin mempergencar serangannya.
"Haiiit...!"
Dibarengi teriakan nyaring, tubuh lelaki gagah itu kembali melesat ke arah lawan. Pedang di tangannya berkelebat semakin cepat, karena semangat Ki Balwa Ranta pun seperti terpompa oleh harapan untuk dapat segera menundukkan lawan.
Tapi, harapan Ki Balwa Ranta segera saja dikandaskan oleh kenyataan yang dialami sekarang. Tusukan pedangnya yang diayunkan dari atas ke bawah, hendak membelah bagian tengah tubuh lawan, ternyata dapat dilumpuhkan kakek itu dengan mudah, Entah dengan cara bagaimana, tahu-tahu saja badan pedangnya telah dapat dijepit telapak tangan lawan. Tentu saja Ki Balwa Ranta tidak tinggal diam begitu saja. Cepat dibetotnya pedang yang dijepit lawan, menggunakan gerakan mundur dalam keadaan tubuh rendah.
"Heaaah...!"
Seiring bentakannya yang menggelegar, lelaki gagah itu menarik senjatanya dari jepitan telapak tangan lawan. Tapi, meskipun Ki Balwa Ranta telah mengerahkan seluruh kemampuannya, tetap saja jepitan tangan lawar tidak tergoyahkan!
Para pengikut Ki Balwa Ranta yang melihat pimpinannya dalam bahaya, segera saja meluruk dengan tusukan dan bacokan senjata ke tubuh kakek tinggi kurus itu Mereka berharap apabila senjata mereka menghunjam ke tubuh kakek itu, pedang di tangan Balwa Ranta dapat terlepas dari jepitan.
"Yeaaat...!"
Trak! Crak...!
Namun, usaha para keamanan desa itu ternyata juga sia-sia. Sepertinya senjata-senjata keamanan di itu sama sekali tidak berarti apa-apa. Jangankan menjerit kesakitan atau melepaskan jepitannya pada pedang Ki Balwa Ranta. Bahkan untuk menoleh ke arah pembokongnya pun tidak dilakukan oleh kakek itu. Sehingga, para Keamanan Desa Kalang seperti putus asa dalam menghadap lawan berpakaian serba putih ini.
"He he he...! Sekarang naiklah, Orang Gagah," kata kakek itu sambil terkekeh.
Rupanya, kata-kata itu membuat Ki Balwa Ranta tertegun. Dan setelah ucapan itu selesai, ternyata kedua tangannya tidak bisa dilepaskan dari gagang pedangnya. Tentu saja kenyataan itu membuat wajahnya berubah pucat.
"Heiii...!" seru Ki Balwa Ranta kaget.
Ternyata dengan perlahan-lahan tubuhnya terangkat naik, bersamaan dengan tangan kakek itu yang juga terangkat. Anehnya, kakek itu sama sekali tidak kelihatan mengerahkan tenaga dalam. Padahal berat tubuh Ki Balwa Ranta cukup lumayan, dan tak mungkin dapat diangkat begitu saja oleh orang yang bertenaga sekuat apapun. Apalagi, Ki Balwa Ranta bukan orang lemah. Tapi sayangnya, semua itu seperti tidak ada artinya.
"He he he...! Bagus.... Kau ternyata sangat penurut, Orang Gagah...," ledek kakek tinggi kurus itu seperti merasa kesenangan melihat lawannya ketakutan.
"Bangsat...! Siapa yang berani mati mengacau Desa Kalang...?!" Tiba-tiba di saat semua orang merasa tegang menyaksikan tubuh Ki Balwa Ranta yang diangkat semakin tinggi, terdengar seruan yang mengandung tenaga dalam kuat.
Tapi, kakek tinggi kurus itu sendiri sama sekali tidak peduli. Bagaikan orang yang tidak tahu apa-apa, ia terus saja terkekeh sambil menatap wajah Ki Balwa Ranta yang sudah dibanjiri keringat sebesar biji jagung. Dan kini keadaan kepala Ki Balwa Ranta jadi di bawah, sementara kedua kakinya tegak lurus ke atas. Entah apa yang dilakukan kakek itu terhadap tubuhnya sehingga dapat menjadi sedemikian rupa.
Dan rupanya Ki Balwa Ranta sepertinya masih bernasib baik. Saat itu juga di tengah arena, muncul sesosok tubuh terbungkus pakaian coklat tua. Wajahnya tidak bisa lagi disebut muda. Dari jenggot dan kumisnya yang berwarna dua, dapat dikira-kira kalau usia sosok itu tidak kurang dari enam puluh tahun Meskipun demikian, tubuhnya tampak masih segar di penuh pancaran semangat di matanya. Kelihatannya kesehatan tubuhnya sangat terjaga.
"Ki Darpa Sungga...!" Ki Bakva Ranta yang melihat kehadiran lelaki tua yang masih gagah itu berseru memanggil. Tentu saja Ki Balwa Ranta merasa lega untuk sesaat Memang, lelaki tua itu tak lain dari Kepala Desa Kalang.
"Ayah.... Siapakah kakek itu...? Dan, mengapa kita tidak segera menolong Paman Balwa...?" Terdengar suara berang dan renyah memecah keheningan yang hanya sekejap. Seorang gadis cantik berusia delapan belas tahun, tampak mengacungkan telunjuknya ke arah Ki Balwa Ranta. Rupanya, gadis cantik itulah yang barusan mengeluarkan suara.
"Tenanglah, Murni..," bisik Ki Darpa Sungga, seperti telah bisa menilai keadaan yang terjadi.
"Sepertinya, kakek berpakaian putih itu bukan orang sembarangan. Entah apa maksudnya mengacau desa kita ini..." Kemudian, Ki Darpa Sungga melangkah mendekati tempat kakek tinggi kurus itu berdiri.
Gadis cantik berkepang dua yang bernama Murni itu kelihatan seperti tidak setuju dengan ucapan ayahnya. Namun, ia sama sekali tidak membantah. Begitu pun ketika Ki Darpa Sungga menyuruhnya tetap di tempat, dan jangan bergerak tanpa seizinnya.
"Sahabat...," panggil Ki Darpa Sungga ketika jarak di antara mereka hanya tinggal satu setengah tombak lagi. Namun, yang dipanggil seperti tidak mendengar. Padahal, suara Ki Darpa Sungga cukup keras. Mustahil kalau tidak terdengar.
Ki Darpa Sungga mengulangi panggilannya beberapa kali, sampai akhirnya kakek itu menoleh, meskipun dengan enggan. Tapi, hal itu sudah membuat hati Kepala Desa Kalang kembali tenang. Dan sebenarnya, kalau saja panggilan terakhirnya tidak juga mendapat sambutan, Ki Darpa Sungga sudah mengambil keputusan untuk menerjang kakek itu.
"Kuminta dengan sangat, lepaskan orang itu. Apa pun kesalahannya, itu menjadi tanggung jawabku...," pinta Ki Darpa Sungga langsung, saat kakek itu menolehkan kepala ke arahnya.
Mendengar permintaan itu, wajah si kakek tampak berkerut seperti berpikir keras.
"He he he.... Kau siapa...? Dan, mengapa perbuatan orang gagah ini menjadi tanggung jawabmu? Apa kau bersedia mati demi untuk membelanya...?" tanya kakek tinggi kurus itu sambil meneliti raut wajah lawan bicaranya.
"Aku adalah Kepala Desa Kalang. Sedangkan orang itu merupakan pembantuku. Itu sebabnya, segala perbuatannya kukatakan sebagai tanggung jawab ku...," sahut Ki Darpa Sungga.
Jelas, Kepala Desa Kalang itu mengambil sikal mengalah sambil mengamati setiap jengkal tubuh dari wajah kakek itu. Dari kerut-kerut di wajahnya, jelas kalau Ki Darpa Sungga seperti lupa-lupa ingat terhadap kakek itu.
"Hm..., begitu? Tapi sayang, aku tidak bisa menurunkannya. Kalau kau memang sangat memerlukannya, coba turunkan sendiri," jawab kakek tinggi kurus itu acuh tak acuh. Sehingga, Ki Darpa Sungga sempat jengkel dibuatnya.
"Orang tua! Kalau aku bertanya dan bersikap baik-baik kepadamu, itu bukan berarti takut. Tapi, rupanya kau termasuk orang yang sombong. Baiklah. Sekarang, kau boleh pilih! Melepaskan pembantuku kemudian pergi tanpa diganggu, atau ingin dihukum gantung karena telah menewaskan banyak Keamanan Desa Kalang!" tandas Ki Darpa Sungga. Dia memang sudah kehilangan kesabaran akibat sikap kakek itu yang seperti memandang rendah kepadanya.
"He he he.... Terserah apa maumu, Kisanak. Aku tidak ingin memilih yang kau sebutkan itu. Kalaupun ingin memilih, aku lebih suka memilih tinggal di sini dan menjadi penguasa. Bukan begitu, Gadis Cantik..?" kata kakek itu sambil mengalihkan pandangannya ke sosok gadis bernama Murni. Dan tentu saja, gadis itu hanya dapat melotot mendengarnya.
Rupanya sosok Murni merupakan sesuatu yang jauh lebih menarik ketimbang Ki Balwa Ranta maupun Ki Darpa Sungga. Buktinya, kakek itu langsung melepaskan pedang Ki Balwa Ranta yang sejak tadi masih dipegangnya. Karuan saja, pedang beserta tubuh lelaki gagah itu meluncur deras ke tanah. Sedangkan kakek itu sendiri telah melangkah ke tempat Murni berada. Dari sepasang matanya yang berkilat-kilat, jelas kalau kakek itu sangat tertarik pada gadis yang hanya satu-satunya di antara semua lelaki yang berada di mulut Desa Kalang itu
Untunglah, Ki Darpa Sungga bertindak cepat. Diselamatkannya tubuh bawahannya yang nyaris tewas terancam pedangnya sendiri dengan sebuah sergapan tangan. Dan kini, Ki Balwa Ranta bisa menghela napas panjang berulang-ulang setelah dirinya baru saja lolos dari kematian.
"Terima kasih, Ki...," ucap Ki Balwa Ranta sambil menyusut peluh sebesar biji-biji jagung yang menghias wajahnya. Lelaki gagah itu terduduk lemas, seolah-olah tenaganya ikut terserap rasa tegang dalam menghadapi kematian tadi.
Tapi, Ki Darpa Sungga sendiri sudah tidak mendengar lagi ucapan terima kasih bawahannya. Saat itu juga, tubuh lelaki tua yang masih tampak gagah ini langsung melesat ke tempat putrinya berada.
"Iblis keji...!"
Ki Darpa Sungga mengutuk murka melihat kakek itu tengah membantai keamanan desanya yang menghalangi jalan menuju ke arah Murni. Meskipun jelas bukan tandingan, namun dengan keberanian yang luar biasa, para keamanan desa berani berkorban nyawa demi menjaga keselamatan putri kepala desanya. Terharu bukan main hati Ki Darpa Sungga menyaksikan hal itu.
Maka tanpa banyak cakap lagi, tubuh orang tua itu langsung melesat disertai putaran sepasang tangannya yang menimbulkan angin berkesiutan. Ki Darpa Sungga ternyata bukan orang sembarangan. Melihat angin pukulan yang ditimbulkan sepasang tangannya, jelas kalau tenaga maupun kepandaiannya masih di atas Ki Balwa Ranta. Tidak heran kalau serangannya tampak jauh lebih berbahaya.
"Yeaaah...!"
Wuttt! Whukkk!
Begitu tiba, sepasang telapak tangan Ki Darpa Sungga langsung menghujani tubuh lawan dengan serangkaian serangan maut. Akibatnya, kakek tinggi kurus yang merasakan sambaran angin tajam di sekeliling tubuhnya, langsung saja bergeser menghindar.
"Ah...! Bagus! Rupanya kepandaianmu cukup hebat Pantas saja kalau mereka mengangkatmu sebagai penguasa desa...," kata kakek tinggi kurus itu begitu mengenali penyerangnya.
"Jangan banyak bacot kau, Manusia Keji...! Manusia sepertimu tidak patut dibiarkan hidup! Kau hanya pantas bergaul dengan iblis dan setan-setan kuburan...!" maki Ki Darpa Sungga. Kepala Desa Kalang itu benar-benar marah saat melihat belasan keamanan desanya telah bergeletakan dengan tubuh bermandikan darah.
Tapi, kakek tinggi kurus itu sepertinya tidak begitu peduli, la masih saja mengelak dengan gerakan yang lincah dan sukar diikuti mata. Dan setiap serangan Ki Darpa Sungga selalu saja menemui sasaran kosong. Meskipun kecepatan dan kekuatannya telah ditambah, namun tetap saja tubuh lawan tidak bisa disentuh. Akibatnya, Ki Darpa Sungga jadi penasaran.
"Yeaaat...!"
Setelah selama sembilan jurus menyerang tanpa hasil, rupanya Ki Darpa Sungga menjadi jengkel. Maka pada jurus yang kesepuluh, langsung dikeluarkannya bentakan nyaring sambil mendorongkan kedua telapak tangan disertai pengerahan seluruh tenaga dalamnya.
Whusss...!
Serangkum angin kuat langsung saja menyerbu tubuh kakek tinggi kurus itu. Melihat dari raut wajahnya, jelas serangan lawan kali ini tidak bisa dipandang rendah.
"Hmh...!" Terdengar geraman lirih dari mulut kakek tinggi kurus yang langsung menggeser kedua kakinya ke kiri dan kanan. Kedua telapak tangannya dipertemukan di atas kepala. Begitu kuda-kudanya merendah, sepasang telapak tangannya pun meluncur turun dan berhenti di depan dada. Kemudian, langsung ditariknya ke sisi pinggang dengan kecepatan kilat. Maka.... Dibarengi langkah kaki kanan ke depan, kakek tinggi kurus itu menghantamkan kedua telapak tangannya satu sama lain.
Jdarrr...! Jdarrr!
Hebat sekali akibat yang ditimbulkannya. Cercahan sinar putih yang mirip kilatan halilintar, langsung melesat untuk menyambut datangnya serbuan angin pukulan jarak jauh Ki Darpa Sungga. Akibatnya....
Bresssh...!"
Dua gelombang tenaga sakti yang saling berbenturan kontan saja menimbulkan ledakan yang memekakkan telinga. Namun, kilatan petir yang berasal dari tangan kakek tinggi kurus itu berhasil mendorong mundur serbuan gelombang tenaga sakti Ki Darpa Sungga.
"Uuukh...!" Kepala Desa Kalang itu terjajar mundur sambil menekap dadanya yang terasa nyeri akibat benturan keras tadi. Dari sudut bibirnya tampak lelehan darah segar. Tampaknya, Ki Darpa Sungga mengalami luka dalam yang parah.
"Ayaaah...!" Murni segera saja menghambur ke arah Ki Darpa Sungga yang tampak tengah berdiri limbung. Jelas, orang tua itu mencoba untuk tetap bertahan.
"Murni..." Ki Darpa Sungga meraih tubuh putrinya ke dalam pelukan. Sedangkan sepasang matanya tetap mengawasi lawan yang berdiri dalam jarak dua tombak.
"Murni, larilah. Orang tua itu sangat sakti. Ayah tidak akan menang melawannya. Kakek itu mengincarmu, Anakku. Sebaiknya, beritahukan hal ini kepada uwakmu. Mintalah perlindungan darinya," bisik Ki Darpa Sungga yang merasa kalau kematian sudah pasti tidak akan lama lagi bakal menjemputnya.
"Tapi, Ayah...," Murni masih mencoba membantah. Memang gadis itu tidak mungkin membiarkan ayahnya tewas ditangan kakek itu.
"Tidak ada waktu lagi, Anakku. Aku tahu, kau pasti ingin berbakti kepada ayahmu, bukan? Nah! Tunjukkanlah baktimu dengan menuruti perintahku. Ini merupakan satu-satunya jalan terbaik untukmu. Anakku," ujar Ki Darpa Sungga dengan tekanan nada yang tidak ingin dibantah.
Setelah mengecup kening putrinya, orang tua itu melepaskan pelukannya. Kini dia bersiap menghadapi lawannya kembali.

* * *



:::¦ [ 5 ] ¦:::

"Ayah...!" Murni berdiri dengan wajah pucat bersimbah air mata. Hatinya masih merasa berat, karena ia tahu kalau hari ini mungkin merupakan hari terakhir per jumpaannya dengan ayahnya Dan Murni masih belum bisa meninggalkan tempat itu.
"Murni, pergilah...," desis Ki Darpa Sungga. Kepala Desa Kalang itu menoleh sejenak ke belakangnya. Di situ putrinya tampak menatap dengan mata basah dan isak memilukan. Dengan menguatkan hati. orang tua itu kembali mengalihkan perhatiannya ke arah lawan.
"He he he...! Jangan harap bisa menyelamatkan putrimu yang cantik itu. Kepala Desa Tolo! Sebaiknya, serahkan saja putrimu itu untukku. Dan kujamin, kau serta seluruh warga desamu akan selamat," kata kakek tinggi kurus itu, bernada memuakkan itu menunjukkan kalau ia menginginkan Murni.
"Kakek renta! Rasanya aku tahu, siapa kau adanya. Tapi terus terang, aku merasa ragu kalau tokoh itu kau orangnya. Karena tokoh yang terkenal memiliki 'Ilmu Telapak Tangan Petir' adalah seorang tua yang gagah dan selalu membela kebenaran. Aku ragu, kalau kau orang yang berjuluk Malaikat Petir...," kata Ki Darpa Sungga.
Rupanya, kepala desa itu mulai dapat menebak siapa lawannya, setelah melihat ledakan-ledakan petir yang berasal dari telapak tangan lawan. Hanya saja hatinya merasa ragu ketika melihat kekejamannya. Ternyata, kabar tentang Malaikat Petir tidak seperti yang pernah didengarnya selama ini.
"He he he...! Baguslah kalau kau sudah tahu siapa aku, Manusia Tolol! Nah! Sekarang setelah kau tahu aku adalah Malaikat Petir, apakah kau masih ingin mempertahankan putrimu yang cantik menarik itu...?" kata kakek tinggi kurus yang ternyata mengaku sebagai Eyang Tirta Yasa atau yang berjuluk Malaikat Petir.
"Tidak! Meskipun kau Malaikat Petir, tapi aku tetap tidak sudi menyerahkan putriku di tangan manusia bejat sepertimu, Iblis Tua!" tegas Ki Darpa Sungga tanpa rasa gentar sedikit pun.
Sementara itu, dengan menguatkan hati, Murni melesat cepat meninggalkan ayahnya. Gadis itu menuju rumahnya sendiri. Dan sebentar saja, tubuhnya telah hilang dari pandangan. Sedangkan ayahnya saat itu sedang berpikir keras, mengapa Malaikat Petir yang selama ini terdengar sebagai tokoh atas kaum pendekar, kini malah berbalik dengan berbuat kejahatan? Tapi, Ki Darpa Sungga tidak sempat berpikir lama-lama, karena saat itu juga Malaikat Petir telah melesat. Hantaman telapak tangannya diarahkan ke dada dan kepala penguasa desa ini.
"Mampus kau, Manusia Keparat!" maki Eyang Tirta Yasa yang sepertinya ingin segera menyelesaikan pertarungan itu.
Whuuuk! Whuuuk!
Serangkum angin pukulan berkesiutan dan susul-menyusul mengincar tubuh Ki Darpa Sungga Kali ini, kelihatannya tokoh tua itu tidak lagi bertindak main-main. Hal itu terlihat jelas dari serangan-serangannya yang ganas dan cepat.
Sebentar saja, Ki Darpa Sungga dibuat kelabakan untuk menyelamatkan diri dari incaran telapak tangan yang menimbulkan hawa panas menyengat itu. Untunglah, pada saat hampir tidak bisa menyelamatkan dirinya lagi, Ki Balwa Ranta datang membantu. Dia memang tidak sudi melihat orang yang paling dihormatinya direncah serangan lawan.
"Yeaaat...!"
Wuttt! Cwiiit!
Begitu tiba, Ki Balwa Ranta langsung mengibaskan senjata untuk menyelamatkan atasannya yang nampak sudah sangat terdesak. Meskipun tidak terlalu bera namun kehadiran Ki Balwa Ranta dalam kancah pertarungan telah membuat Ki Darpa Sungga bisa menarik napas lega sesaat. Gempuran kakek yang mengaku sebagai si Malaikat Petir itu memang sangat hebat! Meskipun Ki Darpa Sungga telah dibantu Ki Balwa Ranta dan belasan orang keamanan desa yang masih hidup, tetap saja dia tidak merasa kerepotan.
Malah, sudah beberapa kali pukulannya membuat Keamanan Desa Kalang terjungkal dengan kulit hangus pada bagian yang terkena hantaman. Tentu saja melihat kematian orang-orangnya, membuat Ki Darpa Sungga semakin bertambah marah dan sedih.
"Hiaaat...!"
Dalam kemarahannya kali ini, Ki Darpa Sungga segera merebut sebatang pedang dari salah seorang anak buahnya. Kemudian diiringi sebuah pekikan nyaring, tubuhnya melesat disertai putaran senjata yang bergulung-gulung membungkus sekujur tubuhnya.
"Hmh...!"
Malaikat Petir sendiri hanya mendengus kasar melihat serbuan Ki Darpa Sungga. Bahkan masih tidak memandang sebelah mata sewaktu melihat Ki Balwa Ranta datang membantu, menyusuli serbuan orang tua yang menjadi kepala desanya.
"Yeaaah...!"
Begitu kedua orang itu sudah semakin dekat, Malaikat Petir tiba-tiba berseru mengejutkan! Seiring dengan itu, telapak tangannya dipukulkan satu sama lain.
Jdarrr...! Jdarrr...!
Terdengarlah suara menggelegar, tak ubahnya ledakan petir di angkasa. Bahkan sinar kilat yang menyilaukan mata, langsung melesat menyambar Ki Darpa Sungga dan Ki Balwa Ranta.
Jdarrr...! Jdarrr...!
Ledakan petir kembali terdengar merobek udara. Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh Ki Datpa Sungga dan Ki Balwa Ranta tertahan sesaat kenka sinar kilat itu menyambar susul-menyusul.
"Aaa...!"
Seiring jeritan panjang yang menyayat dari mulul mereka, tubuh Ki Darpa Sungga dan Ki Balwa Ranta tersentak ke belakang, untuk kemudian ambruk keatas tanah dalam keadaantubuh hangus dan tidak dapat dikenali. Sungguh mengerikan akibat pukulan dari 'Ilmu Telapak Tangan Petir' itu.
Roboh dan tewasnya kedua orang tetua Desa Kalang, tentu saja membuat para keamanan desa menjadi pucat. Bagaikan anak ayam kehilangan induk, mereka berlarian ke segala arah. Masing-masing tak peduli terhadap yang lain. Yang penting, saat ini adalah bagaimana caranya menyelamatkan diri dari kematian, itu saja.
"Ha ha ha...!"
Tinggallah Eyang Tirta Yasa berdiri dengan kaki terpentang lebar, memperdengarkan tawa berkepanjangan. Benar-benar puas nampaknya kakek itu.
Sebenarnya sangat sulit sekali dimengerti, mengapa Eyang Tirta Yasa yang selama ini dikenal sebagai tokoh golongan putih sampai tega bertindak demikian keji. Memang, kadang kala sifat manusia selalu berubah-ubah. Seseorang uang selama ini terkenal sebagai golongan putih yang berjuluk Malaikat Petir, ternyata sampai hati juga berbuat kejahatan dalam usia tuanya.
Dengan langkah ringan, Malaikat Petir melangkah memasuki mulut Desa Kalang. Tidak dipedulikannya lagi para penduduk yang berlarian kian kemari. Kakek itu terus melanjutkan langkahnya menuju tempat kediaman kepala desa.

* * *




Sosok tubuh ramping berambut panjang memacu kudanya bagai dikejar setan. Melihat dari penampilannya, tampaknya dia adalah seorang gadis yang berwatak keras. Debu mengepul tinggi seiring derap kaki kuda yang menggilas bebatuan di bawahnya. Meskipun jalan yang dilalui tidak rata, namun gadis itu sama sekali tidak memperlambat lari binatang tunggangannya.
"Heya..., heyaaa...!"
Sambil mengeluarkan bentakan nyaring sesekali, tangannya tak henti-henti mencambuk punggung kuda dengan tali kekang. Binatang itu pun kembali melesat setiap kali rubuhnya tersengat tali kekang yang digunakan untuk mencambuki punggungnya. Tidak berapa lama kemudian, jalan berbatu yang tidak rata pun telah dilewatinya. Kini ia mulai memasuki daerah yang bertanah merah. Di kiri kanan jalan itu terhampar perkebunan jagung yang mulai berbuah.
"Hieeeh...!"
Kuda berbulu coklat itu meringkik sambil mengangkat kaki depannya, begitu gadis di atasnya menarik tali kekang agak mendadak. Seketika, kuda itu berhenti tepat di pertigaan jalan. Untuk beberapa saat lamanya, gadis itu mengedarkan pandangannya ke arah jalan di kiri dan kanannya. Kelihatan sekali kalau sosok ramping itu merasa ragu untuk menentukan pilihan jalan yang akan dilaluinya.
"Hm.... Kalau tidak salah, seingatku ayah pernah memberitahukan tentang pertigaan jalan di daerah perkebunan jagung. Menurutnya, aku harus mengambil jalan ke arah kanan yang berupa sebuah hutan kecil. Tapi, mengapa jalan sebelah kanan yang kulihat sekarang hanya perkebunan jagung...? Hm.... Bisa jadi sudah berubah. Atau mungkin juga, memang aku yang salah jalan...? Ahhh...! Sebaiknya, kucoba saja dulu Siapa tahu, jalan ini memang telah berubah...," desah sosok tubuh ramping terbungkus pakaian coklat tua itu.
Setelah mengambil keputusan, dia membelokkan kudanya ke jalan yang sebelah kanan. Kemudian di pacunya binatang itu perlahan, sambil memperhatikan sekelilingnya. Tampaknya, ia takut mengambil jalan yang salah. Wajah yang tampak bingung, baru agak berseri ketika melihat adanya tiga orang petani yang tengah memetik jagung.
"Maaf, Kisanak...," sapa gadis berpakaian coklat tua itu, yang sudah turun dari atas punggung kudanya. Suara maupun wajahnya tampak demikian ramah dan halus. Sehingga membuat petani yang tengah memetik jagung itu menoleh bersamaan. Salah seorang di antaranya segera bergerak menghampiri
"Ada yang bisa kubantu, Nisanak...?" tanya petani berusia sekitar empat puluh tahun, sambil melepaskan caping yang menyembunyikan wajahnya dari terik matahari. Gadis cantik berusia kira-kira delapan belas tahun itu tersenyum seraya menganggukkan kepala. Kelihatannya hatinya merasa senang mendapat sambutan yang ramah dari petani itu.
"Maaf, aku telah mengganggu pekerjaan Paman. Aku hanya ingin bertanya sedikit...," kata gadis cantik itu lagi dengan nada lembut dan enak didengar.
"Silakan, Nisanak. Kalau memang kami bisa membantu, tentu saja kami senang sekali...," sahut petani itu seraya tersenyum ramah.
"Mmm.... Aku ingin pergi ke Gunung Bakang. Bisakah Paman menunjukkan jalannya...?" tanya gadis cantik itu dengan sepasang mata penuh harap.
"Gunung Bakang...?" desis petani itu seraya mengerutkan keningnya. Jelas, ia merasa heran dengan pertanyaan gadis itu.
"Benar, Paman. Mengapa...? Nampaknya Paman agak terkejut dengan pertanyaanku? Ada apa...?" tanya gadis cantik itu. Dia jadi heran melihat sikap petani itu.
"Tidak apa-apa, Nisanak. Tapi..., banyak orang yang keliru dan menyalahtafsirkan dua tempat yang memiliki nama sama. Itu yang membuat aku bingung untuk menjawabnya," jelas petani itu lagi, menerangkan perihal keheranannya.
"Maksud, Paman...?" darah cantik itu meminta ketegasan.
"Mmm.... Kalau boleh kutahu, sebenarnya yang Nisanak cari Gunung Bakang, atau Perguruan Gunung Bakang? Padahal, kedua tempat itu letaknya agak berjauhan. Kami sendiri pun tidak mengerti tentang kedua tempat itu...," jelas petani itu lagi, sehingga membuat dara cantik itu mengangguk-anggukkan kepala.
"Kalau begitu. Perguruan Gunung Bakanglah yang menjadi tujuanku. Bisakah Paman menunjukkannya...?" tegas dara cantik itu pasti.
Petani itu tersenyum ketika mendengar pernyataan dara cantik penunggang kuda itu. Kemudian, dijelaskannya jalan-jalan yang bakal dilalui gadis itu. Sementara yang dijelaskan mengangguk-angguk gembira.
"Terima kasih atas petunjuk Paman. Sekarang, aku harus pergi...," pamit gadis itu. Setelah mengucapkan terima kasih, segera saja kuda tunggangannya dipacu cepat Sedangkan petani itu hanya memandang dengan wajah berseri, karena merasa gembira telah dapat membantu gadis penunggang kuda itu.

* * *




Dua orang lelaki gagah penjaga pintu gerbang Perguruan Gunung Bakang bergerak merapat, menghadang seorang gadis penunggang kuda. Sikap mereka jelas tidak menginginkan gadis itu memasuki bangunan perguruan.
Sementara, gadis bertubuh ramping dan berwajah cantik itu terpaksa menarik tali kekang kudanya, tepat berhenti di depan kedua orang lelaki gagah ini.
"Maaf! Hendak ke manakah, Nisanak? Harap kau turun dari punggung kudamu...," sapa salah satu dari kedua lelaki gagah itu.
"Aku bernama Murni. Datang dari Desa Kalang. Katakan kepada Uwak Kerta Pangat, aku datang membawa suatu kabar yang sangat penting...," sahut gadis Itu. Dan ternyata, jawaban gadis ini membuat penjaga itu terkejut
"Maksud, Nisanak. Kau.... Kau putri Ki Darpa Sungga...?" kedua pengawal itu menegasi dengan nada takut-takut Rupanya, mereka telah mengenali orangtua gadis itu dengan baik.
"Benar. Cepatlah bukakan pintu gerbang. Aku harus segera menemui uwak...," ujar gadis bernama Murni itu lagi, sambil memberi isyarat dengan gerai kepala, agar pintu gerbang segera dibuka.
Setelah mengetahui jati diri gadis cantik ini, tentu saja kedua penjaga itu tidak berani bertindak macam-macam. Cepat mereka berlari ke arah pintu gerbang, dan bergegas membukanya.
Belum lagi pintu gerbang terbuka separuhnya, Murni langsung melesat masuk ke dalam. Sedangkan kedua orang penjaga itu hanya dapat menggeleng-gelengkan kepala melihat ketidaksabaran gadis bernama Murni. Tapi mereka tidak bisa berbuat apa-apa, karena Murni mempunyai hubungan erat dengan ketua mereka.
Setelah menambatkan kudanya pada sebatang pohon, Murni langsung menuju bangunan utama. Para murid perguruan yang kebetulan berpapasan dengannya, hanya bisa memandang bingung. Tapi, tidak si pun yang berani mencegah. Kini, gadis itu telah tiba di sebuah ruangan yang cukup lebar. Di sana, duduk seorang lelaki berusia enam puluh tahun lebih. Murni langsung saja menjatuhkan lututnya, bersimpuh di depan orang tua itu
"Uwak...," panggil Murni dengan sepasang mata telah digenangi air. Sehingga, kepalanya tertunduk seperti berusaha menyembunyikan perasaannya.
"Kau.... Benarkah kau Murni, putri Adi Darpa Sungga...?" tanya orang tua itu seraya melangkah dan mengulurkan tangannya yang berkeriput ke kepala Murni.
"Benar, Uwak...," sahut Murni. Gadis itu hampir tidak bisa menahan tangisnya ketika merasakan jemari tangan kakek itu membelai lembut rambut kepalanya. Jelas, orang tua itu masih mengenali dan menyayanginya.
"Bangkitlah, Anakku. Angkat wajahmu. Ah... betapa lama sekali aku tidak melihatmu. Kukira kau sudah melupakan orang tua yang tidak berguna ini...," ujar lelaki tua yang tak lain Ki Kerta Pangat, Ketua Perguruan Gunung Bakang. Pendekar gagah yang hidup menyendiri tanpa menikah itu tampak sangat menyayangi putri adiknya.
Murni terpaksa mengangkat wajahnya yang kini telah basah bersimbah air mata. Memang, selain berita yang dibawanya telah mendatangkan kesedihan, suara penuh rindu Ki Kerta Pangat juga terdengar sangat menyentuh perasaannya. Sehingga, orang tua itu sendiri agak kaget melihat wajah cantik itu telah bersimbah air mata.
"Apa yang telah terjadi dengan keluargamu, Anakku? Jangan katakan kalau kedatanganmu membawa kabar buruk...," tanya Ki Kerta Pangat
Tubuh Murni segera dipeluk, dan dibelainya penuh kasih sayang. Kelihatan sekali kalau orang tua itu sangat menyayangi putri adiknya itu. Maka tanpa dapat dibendung lagi, tangis Murni pun meledak. Tentu saja hal itu membuat Ki Kerta Pangat bingung, karena Murni sama sekali tidak bercerita separah kata pun tentang apa yang telah menimpa keluarga adiknya.
Cukup lama Murni tenggelam dalam kesedihannya. Selama itu pula, Ki Kerta Pangat membiarkan keponakannya menangis di atas dadanya. Setelah puas menumpahkan segala kesedihannya, Murni menceritakan kejadian yang menimpa ayah dan desanya. Ki Kerta Pangat sama sekali tidak memotong cerita Murni, dan hanya mendengarkan penuh kesabaran serta perhatian. Hanya kepalanya sesekali mengangguk, selama Murni bercerita.
"Hm.... Manusia gila dari mana yang berani mengacau desamu. Bahkan berniat membunuh ayahmu! Hm Bisa kuduga, mungkin sekarang ayahmu telah tewas di tangannya. Apakah kau bisa mengenalinya? Atau mungkin kau mendengar ayahmu menyebutkan nama manusia sesat itu...?" tanya Ki Kerta Pangat setelah Murni menyelesaikan ceritanya. Terlihat wajah orang tua itu menyimpan kegeraman dalam suaranya.
Sementara, Murni juga sudah yakin kalau ayahnya telah tewas. Namun dia sudah menguatkan hati. Pesan ayahnyalah yang membuat hatinya tabah. Yang jelas, Murni sudah menunjukkan bakti terhadap orangtuanya.
"Hm.... Aku ingat. Sebelum ayah menyuruhku pergi untuk meminta perlindungan Uwak," sahut Murni setengah berseru.
"Siapa...? Sebutkanlah! Mungkin aku bisa mengenalnya...?" tanya Ki Kerta Pangat agak bernafsu ingin cepat mengetahui.
"Kalau tidak salah, kakek itu berjuluk Malaikat Petir. Usianya sudah sangat tua, sekitar delapan puluh tahun...," sahut Murni. Namun, wajah Murni yang semula berseri karena berhasil mengingat nama orang yang membunuh ayahnya, berubah tegang. Sebab, dilihatnya wajah Ki Kerta Pangat tampak pucat ketika mendengar ia menyebut nama Malaikat Petir.
"Tidak mungkin. Murni. Kau mungkin salah dengar, atau mungkin juga ayahmu keliru mengenali orang...," desah Ki Kerta Pangat. Tentu saja Ketua Perguruan Gunung Bakang itu tidak percaya dengan keterangan Murni. Apalagi ia mengenal baik, siapa Malaikat Petir itu.
"Mengapa, Uwak...? Mengapa tidak mungkin...?" tanya Murni, meminta ketegasan kakek itu.
"Kau tahu, Malaikat Petir adalah tokoh golongan atas yang sangat dihormati kaum persilatan. Meskipun orang-orang sekarang jarang yang mengenalnya, tapi para tokoh tua seperti aku dan ayahmu tentu saja pernah mendengar sepak terjangnya sebagai pendekar pembela kebenaran. Tapi biar bagaimanapun, aku akan menyelidikinya. Sebaiknya, beristirahatlah. Besok kita sama-sama berangkat untuk melihat Malaikat Petir yang kuduga palsu...," ujar Ki Kerta Pangat Langsung dibimbingnya putri adiknya itu ke ruangan dalam bangunan.

* * *



:::¦ [ 6 ] ¦:::

KEESOKAN paginya, ditemani Ki Kerta Pangat, sepuluh orang murid Perguruan Gunung Bakang, dua orang murid utama, dan Murni kembali ke Desa Kalang. Saat ini matahari baru saja muncul dengan sinarnya yang lembut dan hangat Bahkan kabut pagi masih tampak menyelimuti beberapa tempat yang tertutup pepohonan lebat.
Ki Kerta Pangat yang bertubuh kurus itu menjalankan kudanya di depan. Sedangkan Murni berada di sampingnya. Lelaki berusia enam puluh tahun lebih itu mengatakan akan mengambil jalan terdekat, agar bisa lebih cepat tiba di desa kelahiran Murni.
Murni hampir tidak percaya ketika matahari sudah semakin condong ke Barat, ternyata mereka telah tiba tidak jauh dari perbatasan Desa Kalang. Hanya saja, jalan yang dilalui terlalu sulit ditempuh, meskipun mempersingkat waktu. Padahal sewaktu Murni menuju Perguruan Gunung Bakang, memerlukan waktu sehari semalam.
"Uwak! Apakah kita tidak menyelidiki dulu keadaan Desa Kalang? Siapa tahu saja, keadaan sudah berubah. Aku khawatir, kakek iblis itu masih bercokol di dalam desa...," kata Murni, terdengar penuh ketegangan dan kecemasan. Bahkan wajahnya pun terlihat agak pucat
"Hm.... Tenanglah, Anakku. Tentu saja kita tidak langsung masuk begitu saja. Tentu saja kita harus bersikap hati-hati. Apalagi, saat ini kita sama sekali belum tahu bagaimana keadaan yang sebenarnya...," sahut Ki Kerta Pangat sambil menatap wajah putri adiknya itu dengan senyum menghibur.
"Lalu, apa yang harus kita lakukan?" tanya Murni seperti merasa bodoh dan tidak tahu apa-apa.
"Hm.... Aku akan menugaskan dua orang muridku untuk menyelidiki keadaan orangtuamu, dan penduduk Desa Kalang. Kalau ternyata kakek iblis itu sudah tidak di tempat, baru kita segera memasuki desa, dan melihat sendiri keadaan yang sebenarnya...," jawab Ki Kerta Pangat.
Ketua Perguruan Gunung Bakang itu melompat turun dari atas punggung kudanya. Setelah menambatkan kudanya di sebatang pohon di pinggir jalan, orang tua itu pun menjatuhkan pantatnya di atas sebongkah batu.
Murni dan para murid Perguruan Gunung Bakang juga ikut duduk tak jauh dari situ. Mereka mengambil tempat agak ke dalam, untuk menghindari dari pandangan orang yang kebetulan lewat
"Badur, Sogar. Kalian pergilah ke Desa Kalang. Berpura- puralah sebagai pengembara yang kebetulan lewat. Tapi, ingat. Jangan hilangkan kewaspadaan. Kalau terjadi sesuatu, gebahlah kuda kalian untuk kembali ke tempat ini...," perintah Ki Kerta Pangat kepada kedua orang murid utamanya, ketika baru saja melepaskan lelah.
"Baik, Ki. Kami akan berusaha semampu mungkin...," sahut salah seorang yang bernama Badur. Lelaki bertubuh pendek kekar itu membungkukkan tubuhnya memberi hormat Demikian pula halnya Sogar. Lelaki tinggi kurus itu pun membungkuk, sebelum melaksanakan tugas yang diberikan gurunya.
"Aku ikut...!" Tiba-tiba saja terdengar ucapan nyaring yang berasal dari mulut Murni. Gadis itu melompat bangkit dan bergegas mendekati Ki Kerta Pangat
"Untuk sementara ini, kau tidak kuperbolehkan ikut serta, Murni. Biar kedua kakangmu saja yang melakukan penyelidikan. Setelah mereka kembali, baru kita bersama-sama memasuki desa," ujar Ki Kerta Pangat Ki Kerta Pangat tentu saja tidak setuju kalau Murni ikut dalam tugas yang cukup berbahaya. Dengan lembut, orang tua itu membelai punggung Murni. Dicobanya untuk memberi pengertian kepadanya.
"Tapi..., aku harus mengetahui keadaan ayah. Siapa tahu saja, ayah belum tewas seperti yang kuduga. Untuk itu, aku harus ikut bersama Kakang Badur dan Kakang Sogar, Uwak," Murni tetap bersikeras dengan keinginannya.
Melihat dari pancaran matanya, jelas kalau hati gadis itu telah mantap untuk ikut menyelidiki keadaan Desa Kalang. Sedangkan Ki Kerta Pangat hanya menghela napas mendengar bantahan gadis cantik itu. Tapi biar bagaimanapun, orang tua itu tetap tidak menyetujui keinginan Murni yang jelas-jelas hendak menentang bahaya.
"Kau harus sabar dan tabah, Anakku. Juga kau harus tahu, kapan harus berbuat nekat, dan kapan harus menggunakan akal sehat serta perhitungan mantap. Untuk kali ini, kau harus dapat menggunakan akal serta perhitungan. Kuharap, kau bisa mengerti keadaan ini, Anakku...," bujuk Ki Kerta Pangat lagi.
Kali ini, dia merangkul dan membawa gadis cantik itu melangkah, seraya mengedipkan matanya memberi isyarat kepada Badur dan Sogar. Kedua orang lelaki gagah itu pun sama-sama menganggukkan kepala.
Sesaat setelah kepergian Ki Kerta Pangat dan Murni. Badur serta Sogar segera beranjak untuk menunaikan tugasnya. Mereka menuntun kuda hinggi cukup jauh dari tempat beristirahat, setelah itu baru melompat naik ke atas punggung kuda. Langsung disentakkan tali kekang binatang itu, hingga berlari membelah jalan lebar di depannya.

* * *




Kedua orang penunggang kuda itu memperlambat lari kudanya ketika mulut Desa Kalang terlihat hanya tinggal dua tombak lagi di depan. Kemudian, mereka melompat turun setelah tiba di mulut desa ketika sebuah palang kayu menghalangi jalan masuk ke dalam desa itu. Kedua lelaki gagah itu bergerak maju ke arah empat orang penjaga yang berdiri bertolak pinggang namun agak sedikit membungkuk. Dan dari tatapan, bisa ditebak sambutan tidak ramah empat orang penjaga itu.
"Hei?! Siapa kalian...?! Mau apa datang ke Desa Kalang ini...?" bentak salah seorang penjaga yang berhidung besar dan berwajah kasar.
Melihat penampilan serta sikapnya, rasanya lelaki itu lebih pantas menjadi seorang perampok ketimbang keamanan desa. Namun, kedua orang lelaki gagah yang tak lain Badur dan Sogar sama sekali tidak terpancing amarahnya. Mereka tetap menunjukkan sikap hormat dan sopan, sebagaimana seorang pendatang di suatu tempat asing.
"Kisanak! Kami berdua adalah perantau yang kebetulan lewat di desa ini. Karena cukup lama melakukan perjalanan, maka sekadar untuk beristirahat dan melepaskan dahaga, kami berdua berniat singgah di desa ini. Tapi, tentu saja kalau tidak mengganggu...," jawab Badur dengan kepala sedikit membungkuk.
Sikap lelaki pendek kekar itu benar-benar menunjukkan sikap seorang pengembara tulen. Sehingga, keempat orang keamanan desa itu sepertinya tidak merasa curiga sedikitpun.
"Hm..." Penjaga berhidung besar yang wajahnya seram itu mengangkat palang kayu yang menghalangi jalan, lalu melangkah menghampiri kedua pengembara itu bersama seorang temannya. Mereka berhenti beberapa tindak di depan Badur dan Sogar sambil memasang wajah sombong.
"Sebagai seorang tamu, kalian tentu harus tahu dan patuh pada peraturan desa ini. Yang pertama, kalian harus membayar pajak. Kedua, apabila ada keributan di dalam desa, maka kesalahan jatuh kepada kalian, tanpa peduli siapa pun yang salah. Nah! Untuk saat ini, hanya kedua persyaratan itu yang harus dipenuhi. Lain halnya apabila kalian bermaksud bermalam di desa kami...," jelas lelaki berhidung besar itu dengan kata-kata yang memperlihatkan kesombongan serta kekuasaannya.
"Satu hal lagi!" lelaki kurus di belakang penjaga, hidung besar itu menyelak cepat, "Apabila kedatangan kalian menyebabkan keributan, maka semua yang kalian miliki akan disita!"
Terdengar helaan napas berulang-ulang dari kedua orang lelaki gagah itu. Jelas kelihatan kalau mereka merasa keberatan atas persyaratan yang diajukan penjaga-penjaga tadi. Untuk beberapa saat, Badur dan Sogar hanya bisa saling berpandangan untuk bertukar pendapat
"Bagaimana, Kisanak? Cepatlah! Kami tidak punya banyak waktu untuk meladeni kalian berdua...," selak telaki berhidung besar tak sabar. Sepasang matanya tampak berkilat tak senang melihat kedua orang tamunya terdiam.
"Sebentar, Kisanak. Kami berdua tentu saja harus mempertimbangkannya baik-baik. Dan terus terang, sebelumnya tak pernah kami mendapat perlakuan seperti ini. Tapi mungkin di desa Tuan ini tengah terjadi sesuatu, sehingga peraturannya demikian berat," sahut Badur sambil tetap menahan amarahnya yang siap meledak. Memang, baik sikap maupun raut wajah penjaga-penjaga itu, benar-benar membuatnya ingin meludahi mereka. Tapi semua itu berusaha ditahan, demi keberhasilan tugas mereka.
"Hm.... Pertanyaanmu merupakan pelanggaran yang harus dibayar denda. Dan salah satu dari peraturan yang belum kami sebut adalah, tidak boleh beritanya macam-macam tentang keadaan desa ini. Tapi karena kalian belum mengetahuinya, biarlah hal itu kami maafkan. Sekarang, cepatlah beri keputusan sebelum kesabaran kami hilang!" ujar lelaki berhidung besar itu dengan sikap lebih kasar dari semula. Sepertinya para penjaga itu sudah tidak sabar melihat lambatnya jawaban kedua orang pendatang itu.
"Maaf, kisanak. Karena persyaratan itu teramat berat, maka kami berdua mengambil keputusan untuk melanjutkan perjalanan. Mungkin lain kali jika keadaan desa ini telah membaik, kami baru akan datang berkunjung. Sekali lagi, kami mohon maaf karena telah mengganggu kalian semua..."
Setelah berkata demikian, badur melompat ke atas punggung kudanya, diikuti Sogar. Namun ketika kedua orang murid Ki Kerta Pangat itu hendak membalikkan kudannya, lelaki berhidung besar itu memerintahkan kawan-kawannya untuk mengepung.
"Jangan biarkan mereka pergi...!" seru laki-laki berhidung besar itu seraya melompat menghadang jalan dengan senjata terhunus.
Sikap itu tentu saja membuat Badur dan Sogar mengerutkan kening dengan wajah merah.
"Apa-apaan ini...?" mengapa kalian menghadang perjalanan kami?! Bukankah kami sudah mengatakan tidak jadi singgah...?! apakah karena jawaban itu hingga kalian menghadang kami...?!"
Sogar yang sejak tadi memang telah menyimpan kegusaran dan kemarahan, langsung saja membentak tak senang. Sepintas saja sudah dapat diduga kalau para penjaga mulut Desa Kalang itu memang tidak menghendaki kepergian mereka.
"Jangan banyak bacot! Setelah tahu segala persyaratan untuk singgah di desa ini, maka mau tak mau kalian harus masuk ke dalamnya! Kecuali, jika kalian berdua memang sudah bosan hidup...!" balas lelaki berhidung besar itu, tidak mau kalah gertak sambil mengacungkan senjatanya.
"Bangsat! Mana ada peraturan seperti yang kalian buat itu di desa lain. Aku yakin, desa kalian ini tidak akan pernah disinggahi orang. Kecuali, jika peraturan keparat itu dirubah atau ditiadakan! Dan apa pun yang akan terjadi, kami tetap memutuskan untuk pergi meninggalkan desa yang dipenuhi orang serakah berjiwa kotor seperti kalian!" timpal Badur.
Rupanya, Badur juga memendam kemarahan sejak pertama kali melihat sikap para penjaga itu. Tidak heran kalau perkataannya tak kalah garangnya. Bahkan lelaki pendek kekar itu sudah menggenggam erat pedang di pinggangnya, siap untuk bertarung!
"Keparat! Kalian rupanya lebih memilih kematian! Nah, mampuslah!" Seiring makian itu, tubuh lelaki berhidung besar yang sepertinya merupakan kepala jaga segera melesat disertai tusukan pedangnya. Langsung diincarnya dada kiri Badur.
Whutt...!
"Hait...!" Badur tentu saja tidak sudi membiarkan tubuhnya dijadikan sasaran ujung pedang lawan. Maka begitu senjata lawan datang semakin dekat, dia berseru nyaring. Dan tubuhnya langsung melenting ke udara. Begitu sudah di atas, pedang yang sudah tergenggam di tangannya langsung ditusukkan ke punggung lawan yang kini berada dibawah.
Namun, lelaki berhidung besar itu ternyata tidak kalah sigap dan gesit Dengan sebuah putaran manis senjata di tangannya bergerak ke belakang melindungi punggungnya dari ancaman Badur. Dan....
Trang...!
Bunga api langsung berpijar, seiring bentur nyaring yang memekakkan telinga. Sedangkan tubi kedua orang lelaki gagah itu sama-sama melenting di berputar di udara, untuk kemudian mendarat ditanah dengan kuda-kuda kokoh. Badur dan lawannya saling berpandangan dalami jarak satu setengah tombak. Mereka kembali bergerak maju dengan langkah-langkah kokoh, dan siap salin, terjang kembali.
Sementara itu, Sogar sudah pula melesat turun dari atas punggung kudanya. Entah kapan dilakukan tahu-tahu saja sebatang pedang telanjang telah tergenggam erat di tangannya. Sepasang matanya tampak bergerak liar menyapu ketiga orang lawan yang mengepung.
"Hm.... Kalian lebih pantas menjadi perampok-perampok tengik ketimbang keamanan desa. Sikap kalian benar-benar tidak sesuai dengan jabatan yang dipegang...," desis Sogar. Lelaki tinggi agak kurus itu segera melintangkan senjatanya di atas kepala dengan sebuah liukan indah. Hal itu dilakukan ketika melihat ketiga orang pengepungnya sudah mulai merapat.
"Heaaat..!"
"Haaat..!"
Dibarengi teriakan susul-menyusul, ketiga orang Keamanan Desa Kalang itu pun saling berebutan menerjang Sogar. Pedang di tangan mereka berkelebatan dengan kilatan-kilatan menyilaukan mata. Tapi sebagai seorang murid tokoh sakti yang telah terlatih baik, Sogar tentu saja tidak gugup melihat serangan itu. Dengan tenang, tubuhnya bergerak menghindari sambaran ketiga batang pedang lawan. Sesekali, senjatanya bergerak memapak apabila sudah tidak bisa lagi menghindar. Semua itu dilakukan hingga pertempuran melewati jurus yang kedelapan. Setelah itu, barulah Sogar mulai membangun serangan-serangannya.
"Heaaa...!"
Gempuran pedang Sogar benar-benar mengejutkan ketiga orang pengeroyoknya. Ternyata, sejak tadi lelaki tinggi agak kurus itu memang sengaja bertahan untuk meneliti permainan dan serangan pengeroyoknya. Dan setelah mengetahui titik kelemahannya, barulah dipastikan untuk menggempur habis-habisan.
Whukkk! Brettt!
"Aaargh...!"
Seorang pengeroyok yang lengah, menjadi ssaran empuk pedang di tangan Sogar. Orang yang bernasib sial itu langsung tersungkur berlumur darah. Pada dadanya tampak luka memanjang yang cukup dalam, hingga sukmanya terbang ke akhirat!
"Bangsat..!" Melihat seorang kawannya terkapar, kedua orang pengeroyok lain ternyata tak gentar. Bahkan terlihat semakin beringas! Maka sambil mengeluarkan makian dan sumpah serapah, mereka kembali menggempur Sogar. Bahkan kali ini serangan-serangannya demikian maut dan mengerikan. Jelas, kedua orang pengeroyoknya telah bertekad melenyapkan Sogar, tanpa mempedulikan keselamatan diri lagi.
Meskipun begitu, Sogar sama sekali tidak terpancing. Lelaki murid kedua Ki Kerta Pangat itu tetap tenang dalam memainkan jurus-jurusnya. Memang menurutnya, ketenangan dalam menghadapi pertempuran akan membawa keuntungan baginya. Rupanya, pandangan Sogar tidak meleset. Setelah menahan gempuran kedua orang pengeroyoknya selama sepuluh jurus, kembali didapatkan peluang baik untuk menghabisi nyawa lawan-lawannya.
Saat kedua pengeroyoknya mengepung dari kiri dan kanan dengan pedang berkelebatan mengancam leher dan lambung, Sogar menarik mundur kaki kanannya. Kemudian dengan merendahkan tubuh hampir jongkok, pedangnya diayunkan membabat perut kedua lawannya dengan gerakan mendatar.
Brettt! Brettt!
"Aaargh...!" Seketika terdengar jerit kematian hampir berbarengan. Darah segar menyembur keluar membasahi tanah dan juga pakaian Sogar. Sementara tubuh kedua orang lawannya terjajar beberapa langkah ke belakang, sebelum akhirnya ambruk dengan nyawa lepas.
Sogar berdiri tegak dengan napas agak memburu. Dirayapinya mayat ketiga orang lawan, seperti khawatir kalau masih hidup. Kemudian pandangannya dialihkan ke arah pertarungan kakak seperguruannya yang melawan lelaki berhidung besar.
"Hm.... Nampaknya mereka bukan keamanan-keamanan desa seperti sewajarnya. Hal itu dapat kulihat dari kepandaian mereka yang rata-rata cukup tinggi. Seperti halnya lelaki berhidung besar itu Meskipun ia seorang kepala jaga, tapi seharusnya tidak dapat menandingi kepandaian Kakang Badur. Jangankan hanya seorang kepala jaga atau kepala keamanan desa. Kepala desa yang bernama Ki Darpa Sungga pun belum tentu mampu bertarung sampai sedemikian lama melawan Kakang Badur. Benar-benar aneh sekali...?" kata Sogar dalam hati.
Jelas, Sogar merasa curiga melihat dan merasakan kelihaian para penjaga mulut desa itu. Buktinya, kepandaian keempat orang itu, terutama sekali kepala jaganya, benar-benar di luar sewajarnya. Tentu saja hal itu menimbulkan tanda tanya besar dalam benaknya. Namun lamunan Sogar rupanya tidak berumur panjang. Lelaki tinggi agak kurus itu tiba-tiba tersadar dari lamunannya begitu pendengarannya yang tajam samar-samar mendengar suara orang berlarian dari dalam desa. Langsung bisa ditebak kalau yang datang itu pasti bantuan dari pihak lawan.
Sadar kalau ada bantuan tentu mereka takakan bisa selamat, maka tanpa pikir panjang lagi, Sogar langsung meluncur memasuki arena pertempuran. Meskipun saat itu Badur tampak tengah mendesak lawan, tapi sogar tetap saja cemas. Ia khawatir, bantuan lawan akan tiba sebelum lawan kakak seperguruannya berhasil ditundukkan. Tapi, rupanya Sogar tidak perlu terlalu bersusah payah. Baru saja kedua kakinya mendarat di tengah arena, Badur telah lebih dulu menghunjamkan pedangnya di tubuh lawan.
Cappp!
"Hugkh...!" Lelaki berhidung besar itu kontan merintih seraya menekap perutnya yang tertembus pedang lawan. Pedangnya sendiri yang semula siap membabat leher lawan, jatuh akibat tendangan telak dari Badur yang mengenai pergelangan tangan.
Badur membentak keras sambil menarik keluar pedangnya dari perut lawan. Seketika itu juga, darah segar mancur dari tubuh lawan yang langsung membasahi tanah. Sedangkan laki-laki berhidung besar itu sendiri masih terpaku sambil memegangi perutnya. Hal itu rupanya membuat Badur kesal. Langsung saja dikirimkan tendangan keras ke arah lawan yang masih tegak dengan wajah berkerut-kerut menahan sakit.
Desss...!
Tanpa ampun lagi, tubuh lelaki berhidung besar itu terjengkang, langsung membentur sebatang pohon di tepi jalan. Dan tanpa mempedulikan lawan yang tewas dengan tubuh remuk, Badur dan Sogar segera melesat ke atas punggung kuda. Rupanya, Badur pun mendengar derap langkah yang menuju ke arah pertempuran. Kini mereka langsung menggebah kuda masing-masing, segera pergi dari tempat itu.

* * *



:::¦ [ 7 ] ¦:::

BADUR dan Sogar yang melarikan diri, rupanya sempat dilihat beberapa orang yang baru saja datang.
"Kejar mereka...! Jangan biarkan pengacau-pengacau itu lolos!"
Seorang lelaki bertampang kasar yang wajahnya ditumbuhi bulu-bulu halus, langsung saja berteriak-teriak memerintah. Suaranya terdengar parau. Dan ia sendiri langsung membedal binatang tunggangannya, mengejar Badur dan Sogar.
Karena yang menunggang kuda hanya lima orang, maka yang tidak menunggang kuda segera berlompatan ke atas punggung kuda kawan-kawannya. Sehingga, seekor kuda bisa ditunggangi tiga orang pengejar. Tapi, semua itu tidak lagi dipikirkan. Binatang tunggangan mereka langsung saja dibedal membelah jalan.
"Keparat! Rupanya mereka benar-benar tidak kenal menyerah...!" umpat Sogar ketika mendengar derap kaki kuda dari belakangnya. Hati lelaki tinggi agak kurus itu semakin geram sewaktu samar-samar melihat ada seorang penunggang kuda yang terpisah hanya beberapa tombak di belakangnya.
"Adi, jangan pedulikan mereka!" Badur rupanya sempat melihat gelagat tidak baik dari Sogar. Maka cepat ia berteriak mencegah dan memerintahkan Sogar untuk tetap memacu kudanya.
Meskipun hatinya merasa penasaran, Sogar sama sekali tidak berani membantah. Dan kekesalannya ditumpahkan dengan membedal kudanya secepat mungkin.
"Heyaa...! Heyaaa...!"
Jtar! Jtar...!
Kuda yang ditunggangi Sogar langsung melejit melewati kuda Badur. Lari kuda itu semakin dipercepat begitu tersengat cambukan keras dari majikannya. Sehingga sebentar saja, Badur tertinggal satu setengah tombak di belakang adik seperguruannya. Lelaki gagah bertubuh pendek kekar itu hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah Sogar.
Bisa dimakluminya perasaan adik seperguruannya. Sebagai orang-orang gagah, tentu saja mereka pantang melarikan diri dan dikejar-kejar musuh seperti pengecut. Kalau saja tidak karena perintah gurunya, rasanya Badur pun lebih suka mati ketimbang melarikan diri seperti sekarang ini.
Ctarrr...! Jtarrr...!
Badur semula merasa agak tenang. Dikiranya, lawan yang mengejar hanya sebangsa keroco. Tapi hatinya menjadi terkejut setengah mati, begitu tahu-tahu terdengar suara meledak-ledak di atas kepalanya. Dan segera disadari kalau ledakan itu berasal dari sebuah cambuk. Jelas, yang memainkannya pasti miliki kepandaian tinggi.
"Heyaaa...!"
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Badur langsung saja melecutkan tali kekang ke punggung kuda disertai teriakan nyaring. Sehingga, binatang tunggangannya langsung melejit pesat ke depan. Apalagi cambukan Badur disertai pengerahan tenaga dalam, sehingga binatang itu berlari bagai dikejar setan!
Untung tindakan yang dilakukan Badur sangat tepat waktunya. Ledakan cambuk yang semula siap meremukkan batok kepalanya, terpaksa harus membelah udara kosong. Karena sasarannya telah lebih dahulu melesat ke depan.
"Bangsat...!" Lelaki bercambang bauk yang telinga kirinya memakai anting-anting itu menggeram gusar. Meskipun cara menghindar lawan tadi seperti tidak disengaja, tetap saja hal itu membuatnya gusar. Dan sebagai penggantinya, punggung binatang tunggangannyalah yang menjadi sasaran. Akibatnya, tentu saja hebat sekali. Lecutan cambuk yang mengandung kekuatan tenaga dalam itu langsung membuat kuda yang ditungganginya melejit disertai ringkik kesakitan.
Dan tanpa dicegah lagi, kuda lelaki brewok itu dapat menyusul dua orang buruannya. Dan tentu saja, membuat Sogar dan Badur kaget. Tapi lelaki brewok itu pun tidak kalah terkejutnya, ternyata kuda yang ditungganginya terus saja melaju, meskipun telah menyusul orang-orang yang dikejarnya.
"Binatang laknat! Berhenti kau! Atau, kupecahkan palamu dengan cambukku...!" maki lelaki brewok kalang kabut.
Tapi, meskipun berusaha untuk menahan, binatang yang masih kesakitan itu terus saja berlari bagaikan kesetanan. Pemandangan yang lucu itu tentu saja membuat Badur dan Sogar tidak bisa membendung tawanya. Mereka tergelak menyaksikan pengejarnya tampak mati-matian menahan laju lari kudanya.
"Rasakan kau, Manusia Tolol...!" umpat Sogar. Seketika itu juga, Sogar merasa hatinya lapang. Rupanya kekesalannya sempat terobati oleh pemandangan lucu yang dilihatnya kini.
Tapi tawa Badur dan Sogar terhenti seketika, begitu tahu-tahu satu setengah tombak di depan telah berdiri lelaki brewok tadi sambil mempermainkan cambuknya. Di sebelah kanannya, tampak mayat kuda yang telah pecah kepalanya. Rupanya dia lebih suka membunuh kudanya ketimbang kehilangan buruan.
"Hm.... Sekarang kalian boleh tertawa lebih keras lagi...!" seru lelaki brewok itu sambil melecut-lecutkan cambuknya yang langsung meledak-ledak disertai percikan bunga api.
"Hieeeh...!" Sogar dan Badur segera menarik tali kekang kudanya. Biantang-binatang itu kontan berhenti dan meringkik, seraya mengangkat kedua kaki depannya. Sogar dan Badur memang memiliki ilmu meringankan tubuh yang cukup tinggi. Sehingga ketika kuda-kuda itu berhenti secara mendadak, mereka langsung melenting dan berputaran beberapa kali di udara, sebelum mendarat.
"Heaaaah...!"
Tanpa banyak bicara lagi, lelaki berewok itu langsung melecutkan cambuknya ke arah Badur dan Sogar. Sama sekali tidak diperdulikannya keadaan lawan yang belum siap siaga. Begitu licik dan telengas sifatnya. 
Jdaaarr...! Jtarrr!
"Haiiit...!"
Terdengar ledakan keras diiringi berhamburannya tanah dan rerumputan! Untung Sogar dan Badur telah lebih dulu membuang diri ke kiri dan kanan. Setelah bergulingan beberapa kali, mereka bangkit berdiri. Dan begitu mereka melihat tanah tempat berpijak tadi, ternyata telah menjadi lubang akibat ledakan cambuk maut lawan!
Sring...!
Sadar kalau lawan kali ini bukan orang sembarangan, Badur dan Sogar segera saja mencabut senjata masing-masing. Kini mereka siap menggempur lawan dari dua arah. "He he he...! Jangan harap dapat lepas dari Cambuk Setan...," ujar lelaki brewok yang ternyata berjuluk Cambuk Setan, sambil menggedikkan kepalanya dengan sikap sombong sekali.
Ucapan yang sekaligus bermaksud memperkenalkan diri itu, tentu saja membuat Sogar dan Badur tersentak kaget. Julukan Cambuk Setan bukan baru kali ini terdengar. Bahkan merupakan momok bagi kaum golongan putih, seperti perguruannya. Sama sekali tidak disangka kalau hari ini mereka dapat berjumpa tokoh sesat yang kabarnya sangat hebat permainan cambuknya. Jadi memang tidak berlebihan apabila kaum persilatan memberikan julukan Cambuk Setan kepadanya. Sogar dan Badur telah membuktikan sendiri kehebatan permaianan cambuk lawan tadi.
"Kita harus hati-hati, Adi Sogar. Dia bukan orang sembarangan. Sebaiknya kita bermain mundur dan memancing ke tempat guru dan yang lainnya. Aku khawatir, kawan-kawan cambuk Setan akan berdatangan ke tempat ini..." bisik Badur. Badur langsung saja menyusun siasat begitu lawan memperkenalkan dirinya. Meskipun keduanya belum tentu kalah melawan cambuk setan, namun untuk dapat menang juga bukan sesuatu yang mudah.
"Pikiran yang bagus, Kakang. Menurutku, tempat ini tidak seberapa jauh dari tempat guru dan saudara-saudara seperguruan kita menunggu. Ada baiknya kedua kuda itu dikirim pulang. Dengan begitu, guru dan yang lain mungkin akan segera datang kemari..! sambut Sogar dengan sebuah usul.
"Ah...! Kau benar, Adi. Itulah satu-satunya jalan terbaik yang bisa kita lakukan saat ini." Dengan nada gembira, Badur langsung saja menyetujui usul adik seperguruannya. Maka tanpa membuang-buang waktu lagi, Badur segera bersiul. Tentu saja, hanya dapat dimengerti binatang tunggangannya.
Sogar juga tidak mau ketinggalan. Cepat ia bersiul panjang dengan irama aneh. Sebentar kemudian kedua binatang yang semula kelihatan kebingungan, segera berlari meninggalkan majikannya masing-masing. Melihat hal itu, Badur dan Sogar jadi gembira. Untuk beberapa saat lamanya, mereka mengawasi kuda-kudanya, sebelum menghilang di balik sebuah anak bukit
Si Cambuk Setan rupanya bukan tidak tahu maksud kedua orang buruannya. Tokoh sesat itu memang terlalu sombong, dan memandang rendah orang lain. Kemenangan demi kemenangan yang selama ini diraihnya, membuat kepala lelaki brewok itu semakin bertambah besar. Apalagi, selama ini belum pernah ada seorang pun yang sanggup menandingi 'Ilmu Cambuk Setan'nya. Maka tentu saja kesombongannya semakin menjadi-jadi. Tampak senyum meremehkan terkembang di bibirnya.
Sementara itu, Badur dan Sogar tidak ingin membuang- buang waktu lagi. Mereka segera bergerak sambil memainkan pedangnya, sehingga menimbulkan angin menderu-deru.
"Hmh...!" Si Cambuk Setan menggeram sambil menatap tajam gerakan yang dilakukan kedua orang lawannya. Kening tokoh sesat itu agak berkerut saat melihat jarak antara mereka tampak semakin bertambah jauh. Kini sadarlah lelaki brewok itu kalau lawannya hendak melarikan diri.
"Ha ha ha...!"
Seketika itu juga, meledaklah tawa si Cambuk Setan. Rupanya baru disadari kalau kedua orang lawannya sebenarnya tidak ingin bertempur. Itu terbukti dari gerakan Badur dan Sogar yang semakin menjauh, seperti orang yang sengaja menghindari perkelahian. Tentu saja si Cambuk Setan tidak mau menerima hal itu.
"Hmh...," si Cambuk Setan menggeram sambil melecut- lecutkan cambuknya ke udara.
Jtarrr...! Jdarrr...!
Ledakan-ledakan memekakkan telinga pun kembali terdengar susul-menyusul. Percikan-percikan bunga api semakin ramai menghiasi setiap ledakan yang timbul. Tentu saja perbuatan si Cambuk Setan membuat Sogar dan Badur semakin siaga.
"Heaaa...!"
Jtarrr...! Dibarengi pekikan keras, cambuk di tangan lelaki brewok itu meluncur deras dan menghantam tempat Badur berpijak. Seketika serpihan tanah berumput, berhamburan seiring ledakan keras tadi. Untunglah Badur telah lebih dulu melenting ke udara, sehingga tidak menjadi sasaran cambuk lawan. Badur berputaran beberapa kali, lalu mendarat dengan manis di udara.
"Yeaaat..!"
"Haaat..!"
Dibarengi sebuah pekikan melengking, Badur dan Sogar sama-sama melesat dengan putaran pedang yang menimbulkan angin mendera tajam. Sebentar saja, ketiga orang itu telah terlibat dalam sebuah pertarungan sengit. Namun, kesaktian si Cambuk Setan sepertinya memang bukan kabar bohong. Terbukti setelah bertarung selama tiga puluh jurus, Badur dan Sogar mulai tertekan oleh sambaran cambuk lawan. Bahkan ledakan-ledakan cambuk itu telah membuat gerakan mereka semakin kacau.
Jtarrr...!
"Aaakh...!" Sogar yang tampak sangat tersiksa oleh ledakan cambuk lawan, tampak terhuyung sewaktu lecutan itu kembali menggelegar. Kesempatan itu tentu saja tidak disia-siakan lawan yang langsung saja menyusuli lecutan cambuknya untuk mengancam kepala Sogar.
Syuuut...!
Ujung cambuk lelaki brewok itu meluncur deras, siap meremukkan batok kepala Sogar. Sementara,Sogar sendiri hanya bisa memandang terbelalak, karena saat itu tengah berusaha menahan tubuhnya agar tidak sampai terjatuh.
"Heaaat.!"
Mendadak, pada saat yang sangat berbahaya bagi keselamatan Sogar, tahu-tahu sesosok bayangan putih berkelebat memapak sambaran ujung cambuk yang siap merenggut nyawa.
Prattt..!
"Akhhh...!?" Si Cambuk Setan menjerit kesakitan ketika ujung senjatanya membentur suatu kekuatan yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Kontan saja tubuhnya terjengkang deras ke belakang
Brug...!
Tanpa ampun lagi, tubuh laki-laki brewok itu terbanting jatuh ke tanah. Sedangkan cambuk di tangannya telah pula terlepas dari pegangan. Tentu saja, kenyataan itu seperti mimpi buruk bagi si Cambuk Setan.
"Hmrrrh...!" Si Cambuk Setan bangkit sambil mengerahkan tenaga saktinya untuk mengusir hawa dingin yang merasuk kedalam tubuh. Sepasang matanya menatap liar ke arah sosok tubuh berjubah putih yang tampak berdiri tegak di tengah arena.
"Siapa kau...?!" hardik si Cambuk Setan setelah dapat melenyapkan pengaruh hawa dingin yang terasa membekukan tubuhnya. Ditatapnya sosok pemuda tampan itu dengan kening berkerut. Tampaknya, si Cambuk Setan mencoba untuk mengingkari dugaannya. Semua itu terlihat jelas dari wajahnya yang pucat dan penuh kecemasan. Dan si Cambuk Setan memang dapat menduga, siapa sosok pemuda tampan berjubah putih itu.
"Hm.... Perlukah aku menjelaskannya lagi padamu, Cambuk Setan?" tanya pemuda tampan berjubah putih itu seraya tersenyum tenang. Sepertinya pemuda ini bisa mengetahui kalau lelaki brewok itu sudah bisa menebak dirinya.
"Hm.... Jadi, kaukah yang berjuluk Pendekar Naga Putih...?" tegas si Cambuk Setan, menyebutkan nama pendekar besar itu dengan nada hampir tidak terdengar. Kering, seperti orang yang kerongkongannya tercekik
"Tidak salah! Lalu, apa yang akan kau perbuat setelah mengetahui diriku, Cambuk Setan...?" tanya sosok pemuda tampan yang tak lain dari Panji atau berjuluk Pendekar Naga Putih.
Beberapa langkah di sebelah kanan pemuda itu tampak seorang gadis cantik berpakaian hijau. Dan dia hanya menonton perdebatan itu. Sebelum si Cambuk Setan menjawab pertanyaan pemuda tampan itu, tiba-tiba terdengar gemuruh derap kaki kuda. Tak berapa lama kemudian, tampaklah empat ekor kuda yang ditunggangi sepuluh orang laki-laki. Mereka tak lain adalah kawanan si Cambuk Setan yang juga melakukan pengejaran terhadap Sogar dan Badur.
Melihat kawan-kawannya berdatangan, si Cambuk Setan segera bergerak mendekat. Setelah bergabung dengan kawan-kawannya, tatapannya dilepaskan ke arah sosok Pendekar Naga Putih yang tetap tenang sambil tersenyum.
"Pendekar Naga Putih! Selama ini aku hanya mendengar nama dan kehebatanmu tanpa menyaksikannya. Sekarang, kalau kau benar-benar seorang pendekar sejati, mari kita bertarung secara jujur!" tantang si Cambuk Setan. Tentu saja dengan siasat liciknya. Rupanya lelaki brewok itu sempat cemas mendengar kepandaian Pendekar Naga Putih yang kesohor itu.
Panji sendiri hanya tertawa mendengar tantangan si Cambuk Setan. Yang ditertawakannya adalah kelicikan tokoh sesat itu.
"Kuterima tantanganmu. Bersiaplah...," sambut Panji seraya melangkah maju beberapa tindak mendekati lawannya.
"Tunggu...!" seru si Cambuk Setan sambil mengangkat telapak tangannya. Dari raut wajahnya, kelihatan sekali kalau tokoh sesat itu merasa khawatir Panji berbuat curang.
Pikiran itu tentu saja terbaca oleh Pendekar Naga Putih.
"Jangan khawatir, Cambuk Setan. Kaum golongan putih jangan disamakan dengan golongan hitam yang selalu menggunakan kelicikan dan kecurangan dalam menghadapi lawan. Bagi kami, justru kejujuran dan kegagahanlah yang menjadi pegangan utama. Jadi, jangan khawatir kalau aku akan berbuat curang...," sahut Panji, enteng.
Mendengar sahutan itu telinga si Cambuk Setan kontan merah. Ia merasa, pemuda itu telah mengetahui isi hatinya.
"Hm.... Jangan dikira hanya golongan putih saja yang tidak menggunakan kelicikan dan kecurangan. Aku pun tidak pernah berbuat curang. Kalau aku menggunakan sedikit tipuan dalam mencari kemenangan, rasanya wajar saja. Dan itu menandakan kalau otakku lebih baik dibandingkan lawan-lawan yang berhasil kukelabui," elak si Cambuk Setan, tak mau kalah.
"Hm.... Kau ingin mengajak bertarung, atau aku disuruh mendengarkan ceramahmu...?" ledek Panji lagi, sehingga membuat wajah si Cambuk Setan kembali gelap.
"Bangsat!" maki si Cambuk Setan dengan suara mengguntur.
"Sambutlah seranganku...!" Seketika itu juga, tubuh si Cambuk Setan langsung meluruk ke arah Pendekar Naga Putih.

* * *



:::¦ [ 8 ] ¦:::

JTAARRR...! Jdarrr...!
Cambuk di tangan lelaki brewok itu meledak-ledak hebat, mengancam kepala Pendekar Naga Putih. Namun, dengan gerakan indah Panji selalu saja bisa meloloskan diri dari kepungan ujung cambuk yang bagaikan puluhan banyaknya. Tentu saja hal itu membuat si Cambuk Setan menjadi penasaran.
"Bangsat...! Mengapa kau tidak membalas seranganku, Pendekar Sombong...?! Ayo, balaslah! Jangan bisanya hanya mengelak seperti seorang pengecut...!" maki si Cambuk Setan.
Wajar saja kalau si Cambuk Setan memaki seperti itu, karena lawannya selama sepuluh jurus terus saja menghindar, tanpa sekali pun membalas. Sebenarnya hal itu menguntungkan, tapi karena serangannya tidak juga mengenai sasaran, si Cambuk Setan hanya maki-maki untuk melepas kejengkelan hatinya.
"Hm... Kau ingin agar aku membalas seranganmu? Baiklah. Sekarang bersiaplah...," jawab Pendekar Naga Putih, tetap tenang tanpa berbau amarah. Usai berkata demikian, Panji benar-benar membuktikan ucapannya. Pemuda tampan itu mulai melangkah dengan kuda-kuda kokoh dan gesit. Sepasang tangannya yang terkadang membentuk cakar, dan terkadang seperti paruh ular, bergerak cepat menuju ke arah si Cambuk Setan.
Bettt! Wuuut..."
"Uts!?" Si Cambuk Setan mengeluh ketika jari-jari tangan Pendekar Naga Putih yang berbentuk paruh ular meliuk dan nyaris menghajar lambung kirinya. Untunglah tubuhnya masih sempat dilempar dan bergulingan, sehingga sambaran jari-jari tangan pemuda itu hanya mengenai angin kosong.
Tapi, hal itu bukan berarti kalau si Cambuk Setan telah lolos dari celaka. Meskipun berusaha menghalau serangan Pendekar Naga Putih dengan lecutan cambuknya, tapi tetap saja si Cambuk Setan harus bermain mundur. Memang, serangan pemuda tampan itu bagaikan tidak pernah berhenti. Selalu saja datang susul-menyusul, bagaikan gelombang di lautan.
"Jaga seranganku kali ini, Cambuk Setan...!" seru Panji ketika pertarungan sudah menginjak jurus kedua puluh. Begitu ucapannya selesai, tubuh Pendekar Naga Putih berkelebat dengan totokan jari tangannya yang bercuitan.
Wuettt! Wuettt...!
Jari-jari tangan Pendekar Naga Putih yang berbentuk paruh ular meliuk dan meluncur dengan kecepatan sulit ditangkap mata biasa. Sementara itu, si Cambuk Setan tidak tinggal diam. Langsung segenap kemampuannya dikerahkan untuk menghalau serangan lawan. Ujung cambuknya meledak-ledak menggetarkan. Bunga api tampak memercik memeriahkan pertempuran yang tengah berlangsung.
Jtarrr...! Jdarrr...!
"Heaaah...! Pendekar Naga Putih meliukkan tubuhnya menghindari cambuk yang mengincar kepala. Cepat bagaikan kilat, tangan kanannya bergerak mematuk. Maka tanpa dapat dicegah lagi, ujung cambuk lawan langsung tergenggam erat di tangannya.
"Heaaah...!" Si Cambuk Setan membentak keras disertai pengerahan tenaga dalam untuk menarik lepas cambuknya dari jepitan jemari tangan Pendekar Naga Putih. Tapi meskipun wajahnya telah memerah, tetap saja ujung cambuknya tidak tergoyahkan. Padahal, Panji hanya menggunakan ibu jari dan telunjuk untuk menjepit. Tentu saja si Cambuk Setan merasa geram sekali
"Lepasss...!" Untuk kesekian kalinya, si Cambuk Setan mengeluarkan bentakan menggelegar. Seiring dengan itu, cambuknya dibetot dengan sekuat tenaga. Tapi Panji yang mengetahui hal itu, sudah lebih dulu melepaskan jepitannya. Maka akibatnya....
"Akh.?!" Si Cambuk Setan berteriak kaget ketika sewaktu membetot ternyata sama sekali tidak menemui hambatan. Sehingga, tubuhnya kontan terjengkang ke belakang hingga sejauh dua tombak lebih.
Gusrakkk!
Tanpa dapat ditahan lagi, tubuh lelaki brewok itu terus masuk ke dalam semak-semak di tepi jalan. Terdengar suara makian panjang pendek dari dalam semak-semak. Tak berapa lama kemudian, muncullah tubuh si Cambuk Setan dengan wajah hitam. Lelaki brewok itu merasa malu sekali, karena telah dipermainkan Pendekar Naga Putih. Dan ia merasa memang bukan tandingan pemuda sakti itu.
"Pendekar Naga Putih...! Kali ini aku mengaku kalah! Tapi lain kali, semua penghinaan ini akan kubalas sekaligus dengan bunganya...!" Suara penuh dendam itu terdengar bergetar, karena si Cambuk Setan benar-benar tak bisa menahan amarahnya. Namun disadari kalau bukanlah tandingan Pendekar Naga Putih, sehingga membuatnya terpaksa harus menelan semua kejengkelan dan sakit hatinya.
"Cambuk Setan.... Rupanya kau masih belum suka bertobat juga. Tapi, baiklah. Itu memang urusanmu. Sekarang jawab pertanyaanku! Pernahkah kau mendengar tentang seorang tokoh yang berjuluk Malaikat Petir? Jawablah dengan jujur kalau tak ingin kehilangan nyawamu sekarang juga...," ujar Pendekar Naga Putih, dengan sorot mata tajam, tepat di sepasang bola mata si Cambuk Setan.
Mendengar ancaman itu, si Cambuk Setan tergagap. Apalagi saat melihat kilatan mata pemuda itu yang menandakan kalau ancaman itu tidak main-main. Dan hal ini membuat harinya terguncang.
"Mmm..., Malaikat Petir adalah majikanku. Aku adalah orang taklukannya yang kini mengabdi padanya. Kalau ingin bertemu dengannya, datanglah ke Desa Kalang. Dia kini menjadi penguasa di sana..." jawab si Cambuk Setan setelah berulang kali menarik napas untuk menenteramkan hatinya yang bergetar.
"Hm...," gumam Panji. Panji tahu, si Cambuk Setan tidak berdusta. Maka, dia tidak mencegah sewaktu si Cambuk Setan dan kawan-kawannya bergerak meninggalkan tempat itu. Sepertinya, lawan-lawannya memang sengaja dibebaskan.
"Kakang! Mengapa mereka tidak dibunuh saja? Kelak kalau kita yang dicundangi, belum tentu mereka akan membebaskan kita...," tanya Kenanga bernada tak puas. Kelihatannya ia tidak menyetujui tindakan kekasihnya.
"Hhh.... Mereka sudah mengaku kalah, Kenanga. Tidak ada yang bisa dilakukan terhadap orang yang sudah tidak berdaya. Biarkanlah hari ini mereka pergi. Mungkin suatu hari nanti, di antara mereka ada yang menyadari kesalahannya. Kesadaran itu jauh lebih baik daripada kematian sia-sia...," kilah Panji dengan senyum tenang. Jawaban ini membuat Kenanga hanya bisa menghela napas panjang.
Sogar dan Badur yang mengetahui penolongnya adalah Pendekar Naga Putih, langsung saja menyalami disertai ucapan terima kasih tak henti-hentinya. Saat mereka saling bertukar sapa, tiba-tiba terdengar derap kaki kuda mendatangi tempat itu. Tak lama kemudian, muncullah rombongan Ki Kerta Pangat, Murni, dan murid-murid Perguruan Gunung Bakang.
"Guru...!"
Badur dan Sogar segera saja bergerak menyambut kedatangan Ki Kerta Pangat dan saudara-saudara seperguruannya. Meskipun kedatangan orang tua itu agak terlambat, namun Badur dan Sogar tetap gembira menyambutnya.
"Apa yang terjadi...?" tanya Ki Kerta Pangat. Ketua Perguruan Gunung Bakang itu langsung saja meneliti keadaan sekitarnya. Keningnya tampak agak berkerut ketika melihat bekas-bekas pertempuran di tempat itu.
"Guru.... Pemuda ini adalah Pendekar Naga Putih. Dialah yang telah menyelamatkanku dari Kematian. Kalau tidak, mungkin saat ini Guru hanya menemukan mayat kami saja...," lapor Sogar, langsung memperkenalkan Panji kepada Ki Kerta Pangat.
Tentu saja disebutnya nama pendekar besar itu membuat Ketua Perguruan Gunung Bakang terkejut. Tatapan mata yang semula penuh selidik dari orang tua itu, kini berubah menyiratkan kekaguman yang tidak tersembunyikan. Bahkan Ki Kerta Pangat langsung melompat turun dari atas punggung kuda, dan langsung menyalami Panji.
"Ah..., Pendekar Naga Putih. Benar-benar suatu kebahagiaan bisa berjumpa denganmu. Selama ini, hanya sepak terjangmu saja yang membuatku terkagum-kagum. Siapa sangka hari ini aku bisa berjumpa pendekar muda yang telah mendatangkan kekaguman banyak orang...," kata Ki Kerta Pangat tanpa melepaskan genggamannya. Jelas sekali kalau orang tua itu benar-benar gembira berjumpa Panji.
"Ah! Kau terlalu memuji, Orang Tua. Rasanya hari ini kepalaku menjadi bertambah besar. Kalau tidak kutahan-tahan, mungkin bisa jatuh pingsan akibat pujianmu yang memabukkan itu...," sahut Panji sedikit berkelakar. Dan ucapan pemuda itu langsung disambut tawa oleh yang lain.
"Murni...," panggil Ki Kerta Pangat setelah menyalami Kenanga.
"Marilah kuperkenalkan dengan seorang pemuda perkasa yang jarang tandingannya. Apakah ayahmu tidak pernah bercerita tentang Pendekar Naga Putih...?" Ketua Perguruan Gunung Bakang itu membawa gadis cantik keponakannya ke hadapan Panji.
"Pendekar Naga Putih, perkenalkanlah. Ini Murni, putri adikku. Rasanya, dia cukup pantas untuk berkenalan denganmu...," kata Ki Kerta Pangat sambil tersenyum.
Panji menganggukkan kepala dan tersenyum kepada gadis muda yang cantik itu. Sedangkan Murni sendiri hanya menatap kagum akan ketampanan Panji. Padahal, nama besar pemuda itu sendiri sama sekali belum pernah didengarnya. Memang, ayahnya belum pernah bercerita tentang pendekar muda yang menggemparkan itu.
"Kakang! Benarkah yang kudengar dari uwak kalau kepandaianmu belum ada tandingannya sampai saat ini...?" tanya Murni sebelum melepaskan tangannya.
"Kau ini ada-ada saja, Murni. Ketahuilah. Di atas gunung, masih ada langit. Dan di atas langit, masih ada lapisan langit lagi. Jadi, kita tidak boleh takabur...," jawab Panji, merendah.
"Tapi, bukankah selama ini Kakang belum pernah terkalahkan? Dan aku yakin, Uwak Kerta Pangat tidak mungkin akan menyanjungmu kalau Kakang sudah pernah dikalahkan orang...," desak Murni, penasaran.
"Yah.... Sampai saat ini memang belum. Tapi, beberapa kali aku nyaris dikalahkan lawan...," sahut Panji untuk memuaskan hati gadis cantik itu.
"Kalau begitu, Kakang harus menolongku dan warga Desa Kalang, tempat aku tinggal. Kedatangan uwakku pun karena ingin membantuku dalam menghadapi seorang kakek gila yang mengaku berjuluk Malaikat Petir...," jelas Murni tanpa diminta.
"Malaikat Petir...?! Lalu, di mana tokoh itu sekarang?" tanya Panji. Pendekar Naga Putih tentu saja menjadi terkejut sehingga tanpa sadar telah memegang kedua bahu Murni agak kuat. Pemuda itu baru tersadar saat Murni mengerang lirih. Seketika dilepaskannya pegangan itu.
"Malaikat Petir sekarang berada di Desa Kalang! Saat ini desa itu telah dikuasainya. Dan sebaiknya, kita menuju desa itu secepatnya. Mungkin sekarang ini si Cambuk Setan telah melaporkan keberadaanmu, Pendekar Naga Putih...," kali ini Badur yang menjawab pertanyaan Panji. Memang, dia sempat mendengar pembicaraan Panji dengan si Cambuk Setan tadi.
"Kalau begitu, tunggu apa lagi...? Aku memang mempunyai sedikit urusan dengan tokoh aneh itu..." Usai berkata demikian, Panji bersama Kenanga langsung saja bergerak mengikuti rombongan Ki Kerta Pangat. Hadirnya Pendekar Naga Putih di antara mereka, membuat Ki Kerta Pangat mengambil keputusan untuk mendatangi Desa Kalang secara terang-terangan.

* * *




Rombongan Ki Kerta Pangat tiba di Desa Kalang pada saat matahari sudah semakin condong ke arah barat. Ketua Pergurun Gunung Bakang itu langsung menghentikan laju kudanya saat tiba di mulut desa. Di tempat itu, memang terjaga ketat oleh puluhan kawanan kaum sesat yang menjadi sekutu Malaikat Petir.
"Berhenti...!"
Terdengar bentakan keras yang ternyata berasal dari tokoh yang berjuluk si Cambuk Setan. Rupanya tokoh sesat itu sudah menemukan kembali kepercayaan diri, sehingga berani menatap Panji penuh dendam. Sedangkan pemuda itu sama sekali tidak memedulikannya.
"Cambuk Setan! Mana pimpinanmu yang mengaku berjuluk Malaikat Petir? Suruh ia keluar. Jangan bisanya hanya bersembunyi seperti perawan pingitan...!" seru Panji. Rupanya Pendekar Naga Putih sudah tidak sabar untuk segera berjumpa dengan tokoh itu. Ingin segera diketahuinya, apakah tokoh itu benar-benar gurunya, atau orang yang sengaja menyamar demi untuk merusak nama baik Eyang Tirta Yasa.
"He he he.... Kau mencari aku. Cucuku...?" Tiba-tiba terdengar suara yang tidak asing lagi bagi telinga Panji. Dan kemunculan sosok kakek tinggi kurus berpakaian putih itu langsung membuat hati Pendekar Naga Putih berdebar tegang. Nyatanya, kakek itu tak lain dari Eyang Tirta Yasa yang berjuluk Malaikat Petir. Kakek itulah yang telah mendidiknya hingga menjadi pemuda perkasa seperti sekarang ini.
"Eyang...?!" desis Panji yang mendadak jadi gemetar sekujur tubuhnya.
"Kau benar-benar Eyang Tirta Yasa... Tapi, bagai mana mungkin Eyang bisa bangkit dari kematian?"
Panji jadi seperti orang bodoh. Sehingga, kenanga merasa harus mendampingi kekasihnya. Dia memaklumi perasaan pemuda yang dicintainya itu.
"kakang! Ia belum tentu gurumu. Kalau memang benar kakek itu Eyang Tirta Yasa, mengapa tindakannya sesat? Dia telah membunuh orang tak berdosa, memerintah dengan semena-mena, dan masih suka perempuan muda. Aku bisa merasakannya saat menatapku dan menatap murni. Kakek ini pasti menyamar sebagai gurumu, kakang. Meskipun penyamarannya sangat sempurna, tapi kau harus mengungkapkannya, Kakang! Harus...!" tandas Kenanga.
Gadis itu menekankan kata-kata terakhirnya. Dia memang sangat khawatir terhadap keadaan pemuda yang dicintainya. Sudah dirasakannya sendiri kehebatan kakek yang mengaku sebagai Malaikat Petir itu. Dan gadis ini juga sadar kalau hanya kekasihnyalah yang dapat menandingi kesaktian kakek itu.
"Hm... jangan dengarkan wanita bermulut busuk itu, cucuku. Ia sengaja memperalatmu untuk melawanku! Lebih baik, dia kulenyapkan saja dulu, agar tidak bisa mempengaruhimu lagi...," kata Malaikat Petir Gusar.
Usai berkata demikian, kakek itu mengulurkan telapak tangannya, hendak mencengkeram leher kenanga. Namun Panji yang tentu saja sangat menyayangi kekasihnya tidak sudi membiarkan gadis jelita itu terancam bahaya. Maka, cepat tangannya terulur memapaki cengkeraman kakek itu. Dan...
Plakk...!
Terdengar ledakan bagai gemuruh petir, saat lengan mereka saling berbenturan di udara. Sedangkan Panji dan Malaikat Petir sama-sama terkejut, merasakan kekuatan tenaga sakti masing-masing.
"Hmh...!" Malaikat Petir yang merasakan adanya aliran hawa dingin yang meresap melalui tangan Panji, langsung mengerahkan hawa murni untuk mengusirnya. Perbuatan kakek itu sempat dilihat Panji, meskipun hanya sekilas. Hal ini membuatnya berpikir untuk mencari kejelasan kalau kakek itu benar-benar gurunya.
"Hm... Orang tua! Kalau kau benar-benar Eyang guruku, tunjukkan jurus terakhir dari ilmu 'Naga Sakti' yang kau turunkan kepadaku...?" tanya Panji. Rupanya Pendekar Naga Putih sudah menemukan jalan keluar untuk mengetahui, apakah kakek itu benar-benar Eyang Tirta Yasa atau bukan.
Kakek yang mengaku berjuluk Malaikat Petir sejenak bungkam dengan wajah berubah tegang. Jelas hatinya kelihatan gelisah menerima pertanyaan pemuda itu. Sehingga, Pendekar Naga Putih mulai merasa yakin kalau orang tua itu bukan gurunya. Hanya yang membuatnya penasaran, siapa orang di balik sosok Malaikat Petir itu? Dan, mengapa menyamar menjadi gurunya?
Tapi pertanyaan-pertanyaan itu tidak segera dapat ditemukan jawabannya. Apalagi, malaikat petir saat itu sudah langsung menerjang dengan tamparan-tamparan maut. Sehingga Pendekar Naga Puth terpaksa harus melayaninya sungguh-sungguh.
"Haaat...!"
Jletarrr...! Darrr...!
Diiringi ledakan menggelegar dan kilatan cahaya putih yang menyilaukan mata. Malaikat Petir menerjang Pendekar Naga Putih. Sedikit pun pemuda itu tidak diberi kesempatan untuk membalas serangannya. Sehingga dalam jurus-jurus awal, Panji nampak terdesak. Bahkan hanya bisa menghindar tanpa sempat membalas. Meskipun demikian, karena ilmu meringankan tubuhnya sudah mencapai tingkat tinggi, serangan-serangan maut yang dilontarkan lawan masih mampu diatasi.
"Yeaaah...!"
Untuk kesekian kali, kembali terdengar bentakan Malaikat Petir yang menggelegar. Seiring dengan itu, seberkas sinar kilat langsung menyambar ke arah tubuh Pendekar Naga Putih.
Jdarrr...!
"Haiiit.!" Panji berseru keras seraya menjejakkan kakinya ke tanah kuat-kuat. Saat itu juga, tubuh pemuda itu langsung melenting setanggi dua tombak, kemudian mendarat ringan dalam jarak yang cukup jauh, setelah berputaran beberapa kali di udara.
"Hm... siapa sebenarnya kakek gila ini...? Ilmu 'Telapak Tangan Petir'nya benar-benar hebat sekali. Bahkan jauh lebih sempurna daripada yang dimiliki eyang dulu...," desis Panji.
Pendekar Naga Putih menjadi tidak mengerti, dari mana kakek itu bisa mendapatkan ilmu langka yang hanya dimiliki gurunya. Namun panji tidak bisa berpikir lama-lama. Buktinya, Malaikat Petir benar-benar tidak sudi memberi peluang.
Dibarengi sebuah pekikan nyaring, Malaikat Petir kembali meluncur ke arah Pendekar Naga Putih. Sementara, Panji sendiri mulai mengimbangi permainan lawannya. Serangan-serangan yang tidak kalah kuat dan berbahaya, membuat pertarungan menjadi hidup dan semakin menarik. Mereka saling mendesak dengan ilmu andalannya masing-masing. Sampai sejauh ini, belum bisa dipastikan yang bakal keluar sebagai pemenang.
Di lain tempat, Ki Kerta Pangat sudah memimpin murid- muridnya untuk menghadapi si Cambuk Setan dan rekan- rekannya. Kenanga pun tidak tinggal diam begitu saja. Gadis jelita itu langsung turun ke arena, menghadapi si Cambuk Setan. Tentu saja gempuran yang semula ditertawakan itu membuat si Cambuk Setan kelabakan. Apalagi serangan-serangan yang dilontarkannya tidak tanggung-tanggung lagi. Dalam Jua puluh jurus saja, si Cambuk Setan sudah dibuat mati kutu. Bahkan tidak bisa mengembangkan permainan cambuknya.
"Bedebah! Kuntilanak busuk...!" Si Cambuk Setan terpaksa memaki-maki sebisanya. Tokoh sesat itu memang tidak bisa melakukan perbuatan lain, kecuali memaki gadis jelita itu untuk memuaskan kejengkelannya.
Kenanga sendiri sama sekali tidak mempedulikan segala makian yang dilontarkan lawan. Pikirannya tetap dipusatkan untuk melenyapkan lawan secepatnya.
"Haiiit.!"
Ketika pertarungan telah menginjak jurus yang ketiga puluh dua, tiba-tiba Kenanga berseru nyaring mengguncangkan dada lawan. Seiring dengan itu, tubuhnya melesat disertai putaran pedangnya yang menyilaukan mata.
Whukkk! Whukkk...!
Pendaran sinar putih keperakan yang bergulung-gulung, tentu saja membuat si Cambuk Setan sulit melihat ujung pedang lawan. Akhirnya diputuskannya untuk melompat mundur dan melarikan diri dari pertarungan.
Tapi, perbuatan tokoh sesat itu tentu saja tidak dibiarkan begitu saja oleh Kenanga. Begitu melihat tubuh lawan melesat seperti hendak kabur, gadis jelita kembali memekik nyaring! Seketika itu juga tubuhnya langsung meluncur lurus bagaikan sebatang bambu yang dilontarkan!
Blessss...!
"Aaaargh...!" Si Cambuk Setan menjerit ngeri sewaktu ujung pedang lawan tembus dari tubuh bagian belakang hingga ke depan. Darah segar pun langsung menyembur saat Kenanga mencabut pedangnya. Kemudian, masih sempat pula dikirimkannya sebuah tendangan keras. Akibatnya, tubuh tokoh sesat itu terpental sejauh satu tombak lebih, untuk kemudian ambruk mencium tanah dengan napas putus.
Setelah menyelesaikan lawannya. Kenanga segera menggabungkan diri dengan Ki Kerta Pangat dan murid- muridnya. Bersama mereka, Kenanga gempur kawanan pengikut Malaikat Petir yang kebanyakan terdiri dari golongan sesat.
Masuknya Kenanga ke dalam gelanggang pertarungan, tentu saja membuat keadaan lawan semakin berantakan. Setiap kali pedangnya yang bersinar keperakan itu menyambar, selalu saja terdengar jerit kematian yang disusul robohnya tubuh lawan. Akibatnya, sebentar saja para pengikut Malaikat Petir terpaksa melepaskan senjata, langsung menyerah tanpa syarat.
Sebagai orang-orang yang menjunjung kewibawaan, Ki Kerta Pangat beserta murid-muridnya tentu saja tidak ingin mencelakai lawan yang sudah menyerah kalah. Akhirnya, mereka membebaskan siapa saja yang bersedia kembali ke jalan yang benar. Bahkan ketua Perguruan Gunung Bakang berniat menyediakan tempat tinggal dan lahan bagi pengikut Malaikat Petir yang ingin menjadi petani.
Kini tinggallah pertarungan antara Panji dan Malaikat Petir yang masih berlangsung sengit. Puluhan jurus telah dilalui, namun sejauh itu mereka masih terlihat sama-sama kuat. Belum nampak tanda-tanda ada yang kelelahan. Pendekar Naga Putih diam-diam mengagumi kekuatan dan daya tahan lawannya.
Meskipun sudah sangat tua, ternyata Malaikat Petir mampu mengimbangi permainannya. Padahal sudah dicoba untuk mengandalkan kecepatan untuk menghabiskan tenaga lawannya. Dan nyatanya kakek itu sangat kuat, sehingga Panji terpaksa harus merubah kembali cara bertempurnya.
"Heaaah...!"
Sewaktu pertarungan menginjak jurus yang ke seratus sepuluh Panji membentak keras menggetarkan jantung. Kali ini semangatnya dikempos disertai pengerahan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' hingga ke puncaknya. Akibatnya, menyebarlah hawa dingin menggigit tulang hingga sejauh dua tombak. Bagi orang yang memiliki tenaga dalam tanggung, sudah dapat dipastikan akan tewas. Terutama apabila masuk dalam lingkaran pengaruh hawa dingin yang timbul dari tubuh permuda perkasa itu.
Malaikat Petir pun bukannya tidak terkejut dengan apa yang ditunjukkan Panji. Kakek itu sendiri sempat ciut nyalinya, dan mundur merasakan pengaruh hawa dingin yang ditimbul dari kekuatan sakti pendekar Naga Putih. Padahal ia sendiri memiliki inti kekuatan hawa panas. Tapi, ternyata masih juga merasakan pengaruh hawa dingin itu. Melihat kenyataan ini membuat Malaikat Petir berdecak kagum dalam hatinya.
"Benar-benar luar biasa pemuda satu ini. Rasanya memang pantas kalau bisa menjagoi rimba persilatan pada masa sekarang...," gumam Malaikat Petir, penuh kekaguman.
Sementara Pendekar Naga Putih tidak memberi peluang kepada lawan untuk berpikir macam-macam. Saat itu juga, tubuhnya langsung melesat cepat bagal kilat ke arah lawan. Jurus 'Naga Sakti' yang dimainkannya kali ini, tentu saja sudah bukan kepalang hebatnya.
Bettt! Bettt...!
Sambatan hawa dingin yang luar biasa menebar, seiring terlontarnya cakar serta tendangan pemuda itu. Hebatnya, sanggup membuat Malaikat Petir langsung mundur menghindari serangan maut itu.
"Yeaaaah...!"
Dengan mengandalkan 'Ilmu Telapak Tangan Petir', Malaikat Petir masih mencoba membendung serangan lawan. Sayang, ilmu andalannya hampir tidak ada gunanya lagi kali ini. setiap kali sinar kilat yang mengandung hawa panas itu datang menyambar, selalu saja kandas dan musnah tertelan hawa dingin yang luar biasa dari setiap pukulan dan tendangan Pendekar Naga Putih.
Sehingga dalam sepuluh jurus kemudian, Malaikat Petir sudah tidak bisa lagi mengembangkan permainannya. Malah, mulai dirasakannya tekanan berat dari setiap serangan lawan. Daya tahan tubuhnya pun tampak semakin melemah, akibat gempuran hawa dingin yang bagaikan mengurung dan membungkus seluruh tubuhnya. Akibatnya, Malaikat Petir semakin terdesak hebat.
"Yeaaat...!"
Di jurus keseratus tiga puluh, Pendekar Naga Putih kembali memekik keras. Dalam waktu yang bersamaan, telapak tangannya menyambar susul-menyusul dengan kecepatan yang sukar ditangkap mata biasa. Sehingga...
Blaggg! Brettt!
"Aaargh...!" Kakek tinggi kurus yang mengaku berjuluk Malaikat Petir itu meraung begitu hantaman telapak tangan dan sambaran cakar naga Pendekar Naga Putih mulai bersarang telak di tubuhnya. Tanpa ampun lagi, tubuh tinggi kurus itu terlempar disertai semburan darah segar dari mulutnya Kemudian, rubuhnya terbanting jatuh dalam jarak tidak kurang dari tiga tombak.
"Huaaakkkh...!"
Sesaat setelah tubuhnya terbanting di atas tanah. Malaikat Petir tersentak bangkit, langsung muntah darah kental yang berwarna merah tua. Jelas orang tua itu telah mengalami luka dalam yang sangat parah.
Pendekar Naga Putih segera mendekatinya ketika melihat tubuh kakek itu sudah tidak bergerak lagi. Begitu tiba, langsung tangannya terulur meraba wajah kakek itu. Benar saja. Rupanya orang tua itu menggunakan topeng karet yang sangat tipis, sehingga bagaikan menyatu dengan wajahnya.
Kenanga dan yang lain hanya menghela napas menyaksikan hal itu. Wajah Ki Kerta Pangat dan Kenanga tampak agak cerah, karena hanya mereka berdualah yang tahu, siapa itu Malaikat Petir. Malaikat Petir yang asli merupakan seorang tokoh golongan putih. Nama serta kebersihan hatinya sudah tidak bisa diragukan lagi.
"Ki Jawardana...?!" Tiba-tiba Panji berbisik ketika melihat wajah asli dari orang yang menyamar sebagai eyang gurunya. Sejenak wajahnya ditengadahkan, menatap langit yang agak gelap.
"Siapa dia, Kakang? Apakah kau mengenalnya...?" tanya Kenanga. Gadis itu merasa agak heran melihat wajah kekasihnya tampak seperti orang terkejut.
Tapi Panji sama sekali tidak menyahut, dan malah menghela napas panjang. Kemudian, diangkatnya mayat kakek itu ke pundaknya.
"Sahabat sekalian! Karena persoalan ini sudah selesai, kami berdua minta diri untuk menguburkan mayat ini, dan melanjutkan perjalanan...," pamit Panji. Dan tanpa memberi kesempatan kepada yang kesempatan kepada yang lain untuk menjawabnya, tubuh Panji sudah melesat bersama kenangan.
"Mengapa kau tidak menjawab pertanyaanku tadi, Kakang...?"
Setelah agak jauh, dan sudah tidak terlihat lagi oleh Ki Kerta Pangat dan murid-muridnya, Pendekar Naga Putih menghentikan larinya. Kepalanya menoleh sekilas ketika mendengar pertanyaan kekasihnya.
"Kenanga! Orang tua ini adalah Ki Jawardana, adik seperguruan Eyang Tirta Yasa. Dua tahun yang lalu sebelum aku turun gunung, orang tua ini datang meminta ampun kepada guruku. la sebelumnya telah menyimpang dari kebenaran. Kemudian, dia meminta agar Eyang Tirta Yasa menerimanya untuk menyepi di puncak Bukit Gua Harimau. Sikap itu tentu membuat eyang menjadi luluh dan gembira," jelas Panji sambil melangkah lambat-lambat.
Kenanga tidak berusaha memotong, dan tetap sabar menunggu kelanjutan cerita kekasihnya.
"Sayang, sikap itu ternyata hanya tipuan belaka. Setelah cukup lama menyepi di salah satu gua di atas puncak bukit, tiba-tiba saja Ki Jawardana lenyap dengan membawa Kitab Ilmu Pukulan Telapak Tangan Petir. Rupanya, ia berpura-pura sadar agar bisa mengelabui eyang dan mengambil kitab ilmu langka itu...," Panji menutup ceritanya dengan helaan napas panjang, tanda kelegaan hatinya.
"Selama ini, Kakang tidak pernah cerita kalau tengah mencarinya?" tanya Kenanga setengah menuntut.
"Aku tidak ingin menyebarluaskan berita yang memalukan itu, Kenanga. Menurut pikiranku, Ki Jawardana suatu saat pasti akan muncul dengan sendirinya. Tapi sungguh tak kusangka kalau kemunculannya menyamar sebagai Eyang Tirta Yasa. Memang, sejak dulu ia merasa dendam dan sakit hati terhadap Eyang Tirta Yasa yang menjadi kakak seperguruannya.
Rupanya, rasa sakit hati itu tidak juga hilang meskipun eyang telah tiada. Sampai-sampai ia tega melakukan kejahatan atas nama eyang. Mungkin maksudnya agar nama Malaikat Petir cemar dan menjadi bahan cemooh kaum persilatan. Hhh... Untunglah persoalan ini telah selesai sebelum terlalu jauh..," desah Pendekar Naga Putih, menghembuskan napas panjang- panjang.
"Oya, Kakang. Bagaimana dengan jasad Eyang Tirta Yasa yang jelas telah dicuri Ki Jawardana?" tanya Kenanga.
"Mayatnya telah ditemukan seorang perambah hutan, yang kemudian menguburkannya di pemakaman, tak jauh dari Bukit Gua Harimau," jelas Panji singkat
"Lho? Kok aku tidak tahu?"
"Aku pun waktu itu tidak sengaja, Kenanga. Ketika malam telah larut, dan kau sudah tidur, aku iseng-iseng jalan-jalan ke desa terdekat dari Bukit Gua Harimau. Dan ketika di suatu kedai, aku mendengar pembicaraan seseorang yang habis dari hutan. Dia bercerita kalau telah menemukan sesosok mayat, yang ciri-cirinya persis jasad Eyang Tirta Yasa. Lalu, mayat itu kemudian dikuburkan di pemakaman umum, tak jauh dari Bukit Gua Harimau."
"Mungkin mayat itu benar Eyang Tirta Yasa, Kakang," tegas Kenanga.
"Mungkin. Tapi, biarlah. Biarkan Eyang Tirta Yasa istirahat dengan tenang dulu. Suatu saat nanti, mayatnya bisa kita pindahkan ke puncak Bukit Gua Harimau kembali," ujar Panji.
Kenanga langsung merasa lega. Hanya saja, gadis itu tidak berhasrat lagi untuk pergi ke puncak Bukit Gua Harimau. Kejadian itu membuatnya merasa tak enak. Dan kenanga tidak membantah ketika Panji mengajaknya untuk melanjutkan petualangan.

S E L E S A I



INDEX PENDEKAR NAGA PUTIH
Petualangan Di Alam Roh --oo0oo-- Misteri Selendang Biru


Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.