Life is journey not a destinantion ...

Rahasia Patung Kencana

INDEX PENDEKAR RAJAWALI SAKTI
Prahara Mahkota Berdarah --oo0oo-- Sepasang Pendekar Bertopeng



RANGGA PATI
Pendekar Rajawali Sakti
Karya: Teguh .S
EP:RAHASIA PATUNG KENCANA

Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit


---[[[| SATU |]]]---

Cahaya matahari pagi bersinar cerah dan burung-burung yang baru keluar dari sarangnya bersiul saling bersahutan. Sesekali terlihat angin semilir menggoyang-goyang ranting dan dedaunan di sebuah lembah yang subur.
Seorang penunggang kuda tampak di kejauhan. Lari kudanya tak terlalu kencang. Bah-kan bila diperhatikan dengan seksama terlihat bahwa kuda berbulu putih itu berjalan dengan santai. Penunggangnya adalah seorang gadis ber-paras jelita mengenakan baju biru muda. Di ping-gangnya terselip sebuah kipas putih keperakan dan sebatang pedang. Pandangannya menyapu ke sekeliling lembah ini ketika sebelah tangannya menarik tali kekang.
"Kita berhenti dulu di sini, Sobat. Sudah seharian kau tak beristirahat. Kau pasti lelah. Nah, makanlah rumput di sini sepuasmu setelah itu ki-ta akan mencari mata air untuk pelepas dahaga," kata gadis itu.
Kuda itu seperti mengerti apa yang dikatakan majikannya. Dia meringkik kecil sambil meng-ayun-ayunkan kepalanya.
Gadis itu menghela nafas sambil menyandar-kan punggung pada sebatang pohon. Wajahnya terlihat muram dan sorot matanya sayu. Bibirnya yang indah terlihat mendesah lembut.
"Kakang Rangga, di mana kau sekarang..." Telah sekian lama tak kudengar khabarmu...."
Lama gadis itu termangu dan melamun sen-diri, sampai dia dikejutkan oleh ringkik kudanya yang keras.
"Heh!"
Mendadak di tempat itu berkelebat tiga sosok tubuh di dekat kudanya. Wajah mereka terlihat kasar dan seram. Yang bertindak sebagai pemim-pin agaknya seorang yang bertubuh tinggi mema-kai kalung di lehernya, yang tersusun dari un-taian tulang-tulang. Ketiganya membawa golok berukuran agak panjang yang terselip di ping-gangnya.
"Hm, kuda bagus! Sama dengan pemiliknya. He, Mantingan, menurutmu bagaimana"!" terde-ngar suara si tinggi kurus yang serak dan berat kepada salah seorang kawannya yang memakai baju hitam.
"Betul, Kertapati. Aku setuju dengan pen-dapatmu. Tapi bila dibandingkan dengan pe-miliknya, aku setuju sepuluh kali lipat bahwa pemiliknya lebih berharga dan menggairahkan!"
"Benar yang kalian katakan. Tapi apakah tu-juan utama kita lebih utama dari semua ini?" sahut si baju merah yang berdiri di sebelah orang yang dipanggil Kertapati itu.
"Gondewa, kau ini terlalu serius makanya raut mukamu cepat tua. Coba sekali-sekali kau santai dan mencari hiburan!" kata Mantingan.
"Ha ha ha...! Betul, Gondewa. Urusan bisa di-kesampingkan dulu, tapi makanan empuk di de-pan mata masak harus kita lewatkan begitu saja" Ayolah, sekali-sekali kau boleh menghibur dirimu
agar tak cepat tua!" timpal Kertapati.
Gondewa tersenyum kecil. Meskipun dia tak begitu setuju dengan niat kedua orang kawannya itu, namun dia tak bisa berkata apa-apa.
Sementara gadis berbaju biru muda yang tadi bersandar, kini berjalan pelan mendekati kuda-nya. Kemudian memandang mereka satu persatu.
"Siapa kalian dan ada keperluan apa ke sini?" tanyanya datar.
"Ha ha ha...! Aku Kertapati, dan kedua ka-wanku ini Mantingan dan Gondewa. Siapakah kau Ni sanak dan kenapa bersunyi-sunyi di tempat begini?"
Ketiga orang itu cengar-cengir dengan sorot mata liar menyapu seluruh bagian tubuh gadis itu. Tentu saja hal itu membuat si gadis merasa tak enak dan sudah menduga bahwa ketiga orang di depannya bukanlah orang baik-baik. Ditambah lagi dengan penampilan mereka yang mengesan-kan demikian.
"Namaku Pandan Wangi. Aku kebetulan 1ewat di tempat ini dan sedang menunggu kawan. Tapi agaknya dia tak memenuhi janjinya, maka aku bermaksud hendak berlalu dari sini. Maaf Ki sa-nak, aku harus buru-buru!" Gadis itu melompat ke punggung kudanya.
Namun sebelum gadis itu menghela kudanya, Mantingan telah lebih dulu bertindak setelah di-beri isyarat oleh Kertapati. Dia melompat dan memegangi tali kekang di leher kuda si gadis. Se-nyumnya terlihat lebar dengan wajah me-nyiratkan kelicikan.
"Maaf Ni sanak, kau telah melanggar per-aturan. Dan mau tak mau kau harus membayar denda!"
"Apa maksudmu?"
"Kau telah memasuki tanah majikan kami tanpa ijin, sedangkan kami diperintahkan untuk menangkap siapa saja yang memasuki daerah ini dan menyerahkannya kepada beliau untuk mem-bayar denda."
"Ki sanak, jangan bermain-main! Siapa yang mengaku memiliki lembah ini" Tempat ini milik semua orang karena kalau pun ada yang menga-ku memilikinya, pastilah itu pihak kerajaan!" sa-hut gadis itu sengit.
"He he he...! Kau boleh saja berkata begitu, ta-pi nyatanya majikan kamilah yang memiliki lem-bah ini. Sudahlah, Ni sanak. Kalau memang kau tak punya uang barangkali majikan kami bisa bermurah hati mengampuni asalkan kau mau minta maaf dan menghadap kepadanya."
"Maaf Ki sanak semua. Kulihat kalian begitu bermurah hati. Kalau demikian kalian tolonglah aku dan sampaikan pada majikan kalian permin-taan maafku sebab aku tak ada waktu untuk ikut dengan kalian. Sekali lagi maaf...!" sahut gadis bernama Pandan Wangi itu tegas.
Setelah berkata demikian dia menghela ku-danya sambil mengayunkan sebelah kaki menen-dang tangan Mantingan yang masih memegangi tali kekang kudanya.
"Hup!"
"Tap!"
"Hiiih!"
Plak!

* * * * *

Dengan cepat Mantingan menarik tangannya menghindari tendangan gadis itu. Namun mendadak tubuhnya melompat dan bermaksud hing-gap di belakang Pandan Wangi dengan sebelah tangan menyerang ke pundaknya. Tapi gadis itu agaknya bukan sembarangan. Dia langsung men-gerti gelagat dan sudah mengayunkan kepalan ki-rinya menghantam dada. Mantingan tak mau me-nanggung akibatnya sehingga dia menangkis se-rangan gadis itu. Tapi alangkah terkejutnya dia manakala merasakan tangannya terasa nyeri aki-bat beradu tadi. Wajahnya berkerut menahan sa-kit.
Bukan saja niatnya untuk mengerjai gadis itu dengan menotoknya gagal, tapi dia sendiri harus menanggung akibat yang mulanya tak diduga sama sekali.
"Ki sanak, jangan coba-coba berbuat kurang ajar terhadapku. Aku tak segan-segan mengambil tindakan keras kepada kalian!" kata Pandan Wangi tegas.
"Ha ha ha...! Hebat sungguh hebat kau, Ni sa-nak. Pernah kudengar seorang gadis berparas jeli-ta yang memiliki kepandaian tinggi. Dan me-lihat kepada dua buah senjata yang kau miliki, baru-lah ingatanku pulih. Kalau tak salah, bukankah kau si Kipas Maut?" tanya Kertapati sambil terkekeh kecil. "Hm, kau sungguh bermata jeli. Nah, setelah mengetahui siapa aku apakah kalian bermaksud hendak mengeroyokku?" sahut Pandan Wangi cu-riga sambil memandang mereka satu persatu.
Gadis itu memang Pandan Wangi alias si Kipas Maut yang selama ini dikenal sebagai kekasih Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti. Ke-curigaannya memang beralasan. Setelah menge-tahui siapa dia yang sebenarnya, tak sedikit pun terlihat keterkejutan di wajah mereka. Bahkan la-ki-laki tinggi kurus yang bernama Kertapati itu malah seperti menganggapnya remeh. Terbukti ketika dia kemudian berkata.
"Kenapa kami musti mengeroyokmu" Nama Kipas Maut memang mampu membuat tikus-ti-kus sawah menggigil ketakutan. Tapi bagiku hal itu cuma nama kosong belaka. Bagaimanapun kau harus ikut dengan kami dan mempertang-gung jawabkan perbuatanmu!"
"Huh, pintar kau bicara mengatasnamakan kesalahanku yang kalian buat-buat! Ki sanak, di antara kita tak ada saling permusuhan dan tak ada yang dirugikan. Lebih dari itu aku tak ingin membuat permusuhan dengan kalian. Maka seka-li lagi kuminta, biarkan aku pergi dengan tenang dari sini," sahut Pandan Wangi dengan wajah si-nis.
Setelah berkata begitu dan tanpa mendengar jawaban ketiganya, si Kipas Maut langsung me-narik tali kekang kudanya sambil menyentak ke-ras.
"Pergi dari sini tak semudah apa yang kau kira, Kipas Maut!"
"Yeaaaah...!"
Trang! "Heh"!"
"Kejar dia!" teriak Mantingan sambil melompat dari situ dan berlari ke satu arah. Tak berapa lama terlihat dia kembali menaiki seekor kuda sambil membawa dua ekor kuda lainnya.
Kertapati bersungut-sungut dan langsung me-lompat ke salah satu punggung kuda berwarna coklat. Bukan main gusar hatinya saat itu. Den-gan satu kelebatan kecil tahu-tahu golok yang di-tebaskannya ke leher kuda Pandan Wangi ditangkis dengan cepat dan kuat oleh pedang lawan.
Bukan saja dia terkejut karena merasakan telapak tangannya terasa kesemutan akibat himpitan tenaga dalam gadis itu yang kuat luar biasa, tapi juga saat itu Pandan Wangi telah melesat cepat meninggalkan mereka.
"Cepat! Kita harus mendapatkannya!" bentak Kertapati geram.
"Heaaah...!"
Namun meskipun ketiga pengejarnya itu berusaha memacu kudanya agar lebih kencang, mereka tak juga bisa menyusul gadis itu. Malah ter-lihat semakin lama kuda berbulu putih milik si Kipas Maut terus melesat kencang meninggalkan mereka. Sehingga di suatu tempat mereka kehilangan buruannya itu.
Kertapati mencak-mencak tak karuan sambil mendengus geram.
"Kurang ajar! Ke mana perginya kuntilanak itu"!"
"Bagaimana kalau kita berpencar saja?" usul Mantingan.
"Hm, begitu lebih baik. Kira-kira sepe-minuman teh kita berkumpul lagi di sini!" sahut Kertapati.
Tanpa meminta persetujuan Gondewa, mereka terus memacu kudanya ke arah yang berlawanan. Kertapati ke kanan dan Mantingan ke kiri. Gondewa yang menggelengkan kepala dengan wajah kesal. Sambil bersungut-sungut dia memacu kudanya ke arah depan.
Gondewa memacu kudanya lambat-lambat dan tak bersemangat. Dia memang tak seperti kedua kawannya itu. Baginya urusan satu ini hanya membuang-buang waktu belaka. Itulah sebabnya dia tak terlalu bernafsu untuk menemukan gadis itu.
"Heh"!" Mendadak dia melompat dari pung-gung kuda dan menjatuhkan diri ke tanah berumput ketika sebuah bayangan melesat cepat me-nyambar ke arahnya.
"Hup!"
"Yeaaah!"
Baru saja dia bermaksud bangkit, bayangan itu telah kembali menyerangnya. Terpaksa Gon-dewa bergulingan untuk menyelamatkan diri. Namun gerakan bayangan itu cepat luar biasa dan sulit diimbanginya. Dia menyadari hal itu, dan pada satu kesempatan tangan kanannya te-rayun untuk memapaki serangan lawan. Bersamaan dengan itu sebelah kakinya menyapu sam-bil mengerahkan tenaga sekuat-kuatnya.
Plak! Bletak! "Akh...!" Gondewa menjerit keras. Pergelangan tangannya terasa sakit bukan main. Lebih-lebih dengan tulang kering di kakinya. Saat tadi me-nendang kakinya seperti menghantam benda keras. Belum lagi dia menyadari keadaan, satu to-tokan bersarang di bawah lehernya, dan mem-buatnya tak mampu bergerak juga mengeluarkan suara. Sepasang matanya melotot garang ketika mengetahui siapa yang melakukan semua itu.
"Nah, diam-diamlah kau di sini. Sebentar lagi kawanmu akan ada yang membereskan. Setelah itu giliran si Kertapati!" ujar Pandan Wangi alias si Kipas Maut.
Gadis itu bersiul pelan, dan tak berapa lama terlihat seekor kuda berbulu putih menghampiri. Diangkatnya tubuh Gondewa, kemudian diteng-kurapkannya di atas punggung kuda. Pandan Wangi sendiri naik ke punggung kudanya dan di-am beberapa saat seperti menunggu seseorang. Tak berapa lama kemudian muncul seorang pe-muda berwajah tampan dengan rambut panjang terurai serta mengenakan baju rompi putih. Pe-muda yang tak lain dari Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti itu berada di punggung kuda ber-bulu hitam yang tak lain dari Dewa Bayu, kuda kesayangannya. Berjalan pelan di sampingnya seekor kuda berbulu kelabu membawa sesosok tubuh yang tengah tak sadarkan diri di punggungnya. "Kau telah berhasil membuatnya tertidur, Kakang?"
"Seperti yang kau lihat...."
"Hm, mari kita ke sana menunggu si keparat itu. Kemudian baru kita selesaikan urusan kita!" sahut si gadis tegas.
Rangga mendecah kecil sambil menggeleng-gelengkan kepala. Wajahnya tampak muram mengikuti langkah kuda Pandan Wangi.

* * * * *

Kertapati bersungut-sungut kesal. Dia sudah mencari ke pelosok tempat pada arah yang di tu-junya, namun gadis itu sama sekali tak terlihat jejaknya. Dengan putus asa dia kembali ke tem-pat semula. Mendadak wajahnya tampak cerah ketika melihat orang yang diburunya duduk den-gan tenang sambil tersenyum kecil di punggung kudanya. Persis di tempat mereka tadi berpencar!
Dengan cepat dia memacu kuda dan berhenti di depan Pandan Wangi yang tersenyum-senyum kecil.
"Apa kataku, kau tak akan pergi ke mana-mana...."
"Tentu saja. Mana mungkin aku bisa tenang pergi ke mana-mana sebelum kalian enyah dari hadapanku," sahut Pandan Wangi.
"He he he...! Hayalanmu terlalu muluk. Jan-gan harap aku akan membiarkan kau pergi begitu
saja. Sekarang juga kau akan mengetahuinya!" dengus Kertapati geram.
Dia kemudian bersuit nyaring memanggil ke-duanya. Pandan Wangi tersenyum kecil. Ke-mudian terdengar dia bersiul kecil. Dari balik se-mak-semak di belakangnya, terlihat Rangga ke-luar menuntun dua ekor kuda yang masing-masing memanggul dua sosok tubuh.
"Kedua orang inikah yang kau cari?"
"He, kurang ajar! Kalian apakan mereka"!" bentaknya dengan wajah terbelalak menahan ge-ram.
"Kau pikir hukuman apa yang pantas bagi manusia usil semacam kalian?" Pandan Wangi balik bertanya dengan santai.
"Hu! Sehelai rambut mereka putus maka nya-wa kalian jadi taruhannya!"
"Ha ha ha...! Gertakanmu boleh juga, Ki sa-nak. Nah, aku telah memutuskan beberapa helai rambut mereka. Dan sekarang akan kutambah lagi dihadapanmu!" sahut Rangga tenang.
Pemuda itu meminjam pedang Pandan Wangi, kemudian dengan cepat memapas ujung-ujung rambut kedua orang yang tak berdaya di pung-gung kuda itu.
Cras! "Keparat! Mampuslah kau!" bentak Kertapati sambil mencabut golok dan menyerang Pendekar Rajawali Sakti dengan gerakan cepat.
"Uts... sabar, Sobat! Kau hanya membuang-buang tenaga. Dan salah serangan malah bisa mencelakakan kawanmu sendiri," sahut Pendekar
Rajawali Sakti sambil melompat turun dari ku-danya.
Dengan ringan dia memiringkan kepala, ke-mudian bergerak cepat ke depan untuk meng-hadapi serangan lawan. Kertapati tak mampu mengikuti dengan pandangan matanya. Tahu-tahu goloknya terpental dan lepas dari geng-gamannya. Belum lagi habis rasa terkejutnya, saat itu juga terasa sesuatu menghantam ulu ha-ti. Kertapati terpekik. Tubuhnya limbung ke bela-kang.
"Pilihlah cara kematiaamu sendiri. Kukorek jantungmu atau kutebas kepalamu?" Tanya pen-dekar Rajawali Sakti sambil menyorongkan ujung pedang Pandan Wangi yang masih digenggamnya dan di arahkan ke dada lawan.
Kertapati gelagapan. Mukanya pucat dan jan-tungnya seperti hendak berhenti berdetak. Kerin-gat sebesar butiran jagung mulai keluar dari pori-porinya. Tak terasa kedua lututnya tertekuk dan tubuhnya ambruk. Kepalanya tertunduk me-nekuri tanah.
"Huh! Hari ini biarlah nyawa busukmu kuampuni. Tapi sekali lagi bertemu muka denganku kau tak akan selamat!" dengus Rangga sambil melempar pedang Pandan Wangi.
Gadis itu menangkapnya dengan wajah cem-berut kesal. Lebih-lebih ketika melihat pemuda itu meninggalkannya dan berjalan pelan menaiki kudanya. Pandan Wangi terpaksa menyusul dari belakang.
"Kenapa tak kau habisi saja orang itu?"
"Untuk apa?"
"Dia hendak mempermalukan aku, tahu"!"
Rangga terkekeh kecil.
"Kakang, urusan kita belum selesai. Kau jangan coba-coba mengalihkan perhatian!"
"Siapa yang hendak mengalihkan perhatian" Bukankah kau yang mulai tadinya?"
"Eh, enak saja melimpahkan kesalahanmu! Ke mana saja Kakang selama ini dan kenapa tak mau mengajakku" Takut kuikuti, atau takut ku-awasi kau menggoda gadis-gadis cantik?"
"Lho, kenapa menuduh begitu" Aku sudah katakan padamu bahwa kepergianku ke daerah Uta-ra dalam rangka suatu tugas tertentu. Bukankah kau pun mengetahuinya?"
"Kau selalu berdalih tugas, urusan, persoal-an. Apa semua itu lebih menyita waktumu ketim-bang aku" Coba sadari, telah berapa lama kau pergi meninggalkan Karang Setra" Dan mungkin selama itu pun telah lupa padaku...," sahut Pan-dan Wangi dengan wajah cemberut.
"Wah, pantas! Apakah kau tak tahu" Aku baru saja dari Karang Setra. Dan mengetahui kau tak ada di sana, itulah sebabnya aku kembali me- ngembara untuk mencarimu. Dasar jodoh, ter-nyata tak usah bersusah payah akhirnya kau kutemukan!" Rangga berusaha tersenyum lebar, namun Pandan Wangi sama sekali tak terpengaruh.
Pada saat dia memacu kudanya dengan kencang, saat itulah Rangga muncul. Agaknya pemu-da itu telah mengetahui apa yang sedang menimpa kekasihnya. Dialah yang mengatur rencana tadi. Pandan Wangi hanya menyetujuinya saja, dan pemuda itu cepat berlalu menghajar Mantin-gan. Dia tak sempat menumpahkan kesal. Dan setelah segalanya beres barulah dia keluarkan se-gala keluh kesal di hatinya yang telah tertanam beberapa bulan ini.
Keduanya kembali terdiam. Rangga hanya mendiamkan saja sikap Pandan Wangi yang te-rus-menerus mengomel tak karuan sepanjang perjalanan. Melihat sikap pemuda itu yang demikian, lama kelamaan habis juga uneg-uneg di ha-tinya tak berbuntut lagi. Rangga mengetahui ka-lau dia terus-menerus menggoda gadis itu, bisa jadi Pandan Wangi akan mengomel seharian pe-nuh. Dengan berdiam diri seperti ini agaknya memang" cara yang jitu.
"Ayo bicara! Apa pembelaan dirimu"!" sentak Pandan Wangi dengan suara yang masih kesal.
"Baiklah, aku tak akan berusaha membela diri. Aku salah dan minta maaf yang sebesar-be-sarnya...."
"Tidak cukup begitu!"
"Lalu bagaimana...?"
"Kau harus berjanji tak akan mengulanginya lagi!"
"Ya, aku berjanji...."
"Kalau ternyata kau mengulanginya lagi, dan kemudian kabur dengan diam-diam untuk me-nemui kekasih gelapmu, hukuman apa yang pan-tas untukmu"!"
"Duh, berapa kali aku musti menjelaskan agar
kau percaya?"
"Huh, mempercayaimu tak main gila di bela-kangku" Siapa yang bisa percaya hal itu" Kau pergi begitu lama tanpa khabar berita!" dengus Pandan Wangi.
Rangga cengar-cengir sambil menghela nafas berkali-kali. Dia menggeleng-gelengkan kepala he-ran.
"Pandan, apakah pertemuan ini harus kita isi dengan sikap marah dan kekesalanmu" Padahal kalau kau tahu, betapa selama ini aku memen-dam rindu kepadamu. Tidakkah kau bisa merasakan bahwa di dunia ini tak ada seorang gadis pun yang bisa memikat hatiku selain dirimu...," ucap Rangga lirih.
"Jangan merayu, Kakang! Kalau berharap aku akan tenang dalam waktu singkat, jangan harap!" sahut Pandan Wangi masih bernada kesal.
"Baiklah. Kalau memang dalam waktu singkat kau tak bisa tenang dan memaafkanku, maka akan kutunggu sampai kapan pun!"
"Huh!" Pandan Wangi cuma mendengus pelan. Kemudian memacu kudanya dengan kencang.
Kembali Rangga menghela nafas pendek sebelum menepuk leher Dewa Bayu, kuda tung-gangannya, agar merendengi lari kuda Pandan Wangi.

* * *



---[[[| 2 |]]]---

Kertapati bersungut-sungut kesal. Sejak per-pisahan dengan Mantingan dan Gondewa pun dia masih bersikap begitu. Gondewa berharap bahwa Kertapati tak akan melupakan rencana mereka semula. Tapi jawaban Kertapati sungguh mem-buatnya kesal.
"Untuk apa aku mengajak kalian" Tak becus dan tak punya kemampuan apa-apa buat dian-dalkan. Cuma menghadapi perempuan dan pe-muda yang masih bocah saja kalian tak mampu!"
"Kertapati, mereka bukan orang sembaran-gan...," Gondewa coba mengalihkan.
"Lalu bagaimana cara kita menghadapi tokoh-tokoh persilatan lain yang akan memperebutkan benda itu" Apa kalian kira mereka cuma kantong-kantong nasi saja"! Barangkali belum sampai ke tujuan kita sudah keburu mampus!"
"Lalu sekarang bagaimana...?"
"Terserah kalian sajalah! Aku mau pulang dan tidur yang pulas! Kalau kalian merasa mampu, carilah sendiri!"
"Tapi tanpamu, mana kami tahu harus menca-ri ke mana...?" tanya Mantingan lesu.
"Betul Kertapati. Ada baiknya kau pertim-bangkan dulu. Kalau kau hendak mengurungkan niat mencari benda itu, siapa tahu orang lain bakal menemukannya. Kau pernah katakan bah-wa tak semua orang mengetahui di mana benda itu berada, dan kau sendiri bilang bahwa kau
mengetahui benda itu. Apakah kau tak tergiur untuk memiliki benda itu dan kemudian menjadi seorang pendekar ternama yang tiada bandingan-nya?" bujuk Gondewa.
"Aaah, sudah kukatakan tidak, ya tidak! Aku mau pulang! Terserah kalian sekarang. Kalau mau mencari benda itu, carilah sampai ketemu. Aku tidak perduli lagi!"
Setelah berkata begitu Kertapati langsung memacu kudanya kencang-kencang meninggal-kan kedua kawannya yang termangu tak tahu apa yang harus mereka kerjakan.
"Bagaimana Mantingan" Apakah kau setuju kalau kita berdua mencari benda itu?" tanya Gon-dewa sepeninggal Kertapati.
"Aku setuju saja, tapi di mana kita akan men-carinya" Rasanya secara diam-diam kini semua orang sudah mengetahui prihal Patung Kencana yang menghebohkan itu. Siapa yang tak bernafsu untuk memiliki benda yang berisi pelajaran ilmu silat tingkat tinggi itu. Dan apa kau pikir Kertapa-ti akan rela melepaskan begitu saja patung yang telah lama diincar-incarnya itu?"
"Jadi kau beranggapan bahwa Kertapati se-ngaja bekerja sendiri tanpa mengikut sertakan ki-ta?"
"Begitulah kira-kira...."
"Tapi apa kau yakin bahwa dia mengetahui di mana letak patung itu berada?"
"Dia cuma banyak bicara! Aku tak yakin dia mengetahuinya. Barangkali dia hanya tahu pe-tunjuknya belaka."
"Petunjuk bagaimana?"
"Ya, barangkali mencari orang yang mengeta-hui di mana letak patung itu, atau mencuri de-ngar dari orang lain!"
"Hm, dia bisa berbuat begitu, kenapa kita ti-dak?"
"Kalau sudah keras kemauanmu untuk men-dapatkan patung itu, kenapa tidak lekas men-carinya saja?"
"Apakah kau setuju?"
"Kau sudah siap menghadapi segala rin-tangannya?"
"Aku tak perduli!"
"Bagus! Kalau demikian kita harus saling ba-hu membahu. Kau adalah sahabatku, demikian pula sebaliknya. Apa yang kau punya adalah mi-likku dan apa yang ku punya adalah milikmu. Demikian juga bila aku dalam bahaya hendaknya kau membantuku, begitu pula bila kau dalam ba-haya sudah pasti aku akan membantumu. Dan berjanjilah bila patung itu kita temukan maka tak boleh ada pertengkaran di antara kita. Kalau be-nar apa yang dikatakan Kertapati bahwa patung itu mempunyai petunjuk untuk mendapatkan il-mu silat yang amat tinggi, kita harus mempelaja-rinya bersama kemudian memusnahkannya. Ba-gaimana, kau setuju?"
"Aku setuju! Kita akan menjadi sepasang pen-dekar yang tak terkalahkan. Dan akan ku-balaskan sakit hatimu kepada pemuda berbaju rompi putih itu!" sahut Gondewa cepat.
"Hus, jangan ngaco! Kalau kemampuanmu
sama denganku untuk apa aku meminta ban-tuanmu menghajarnya" Kau boleh menonton sa-ja, dan keduanya akan kulumpuhkan. Lalu sete-lah itu si gadis yang berwajah cantik itu akan ku-sekap sehari semalam!" teriak Mantingan sambil ter-tawa lebar.
Mendengar itu Gondewa ikut-ikutan tertawa dengan suara keras.
"Ayo, mari kita berangkat segera. Jangan sam-pai didahului oleh si Kertapati. Dia telah mengu-sir kita dan tak akan ada urusan lagi de-ngannya!" ajak Gondewa.
"Betul katamu, Gondewa. Si Kertapati memang sial! Mau enaknya tapi tak mau susahnya. Mu-dah-mudahan kita lebih beruntung dan dia akan menyembah-nyembah ke kaki kita untuk minta belas kasihan agar diikut sertakan mempelajari ilmu silat yang ada dalam patung yang telah kita dapatkan! Ha ha ha...!"
"Ha ha ha....!"
Kedua orang itu kemudian memacu kuda-kudanya dengan kencang menuju satu arah. De-bu mengepul di udara dan tanah yang kering se-ketika berubah kelabu. Diiringi derap kaki kuda yang semakin menjauh, tempat itu perlahan-la-han kembali senyap. Debu-debu kembali ber-jatuhan, sementara sebagian lainnya di sapu an-gin yang berhembus pelan.

* * * * *

Dugaan Mantingan memang tak salah. Kerta-pati bukannya pulang ke rumahnya melainkan te-rus memacu kudanya menuju suatu kaki bukit. Hatinya masih terus mengumpat kedua kawannya yang dinilainya tak becus apa-apa. Marah dan kesal serta dendam, berbaur menjadi satu. Kalau terus mengajak mereka, rencananya hanya akan menjadi berantakan saja. Tapi kalau melakukan-nya sendiri, dia ragu. Sekian banyak tokoh persi-latan yang pasti mendengar berita itu, pasti tak akan menyia-nyiakan kesempatan. Dan diantara mereka sudah pasti banyak yang memiliki kepan-daian tinggi. Hm, bagaimana dia bisa memper-oleh benda yang diidam-idamkannya bila salah seorang tokoh berkepandaian tinggi merebut dari tangannya" Akan sia-sialah perjuangannya. Se-dangkan menghadapi dua muda-mudi saja dia jungkir-balik tak berdaya. Dia harus mencari ban-tuan dari orang yang berilmu tinggi dan sekaligus bisa dipercaya. Siapa lagi kalau bukan Paman Durgandana, adik Ibunya yang berjuluk Tupai Maut Tongkat Sakti.
Setelah berkuda setengah harian, Kertapati ti-ba di tempat pamannya itu menjelang sore hari. Saat itu Durgandana yang berusia sekitar empat puluh tahun itu sedang membelah kayu dan baru saja selesai ketika Kertapati persis berada di de-katnya.
"Kertapati, he apa khabarmu" Sudah lama kau tak ke sini. Pastilah ada urusan yang amat penting!" teriak pamannya itu sambil memanggul kapaknya ke pundak.
Kertapati turun dari kudanya dan menambat-kannya ke salah satu tiang penyangga rumah yang berada di beranda depan. Kemudian setelah memberi penghormatan kepada pamannya itu, mereka duduk di bale-bale depan.
Laki-laki berperawakan besar itu mengipas-ngipas tubuhnya yang basah oleh keringat. Ke-mudian berteriak keras dengan suara meng-geledak. Kertapati sedikit tersentak. Sudah lama dia tak berkunjung ke tempat pamannya itu, dan mulai melupakan adat pamannya yang buruk itu, yaitu selalu berteriak bila memanggil seseorang.
"Sebentar lho, Kang! Eh, Kertapati..., kapan datang?"
Seorang perempuan setengah baya keluar dari dalam. Rambutnya yang panjang belum lagi dis-anggul dan bajunya masih tak beraturan. Da-rah Kertapati tersirap ketika matanya sempat me-nangkap pemandangan indah di balik kutang pe-rempuan itu yang sedikit tersibak. Buru-buru dia menyalami perempuan itu dengan jantung berde-bar kencang.
Istri pamannya ini memang cantik dan bertu-buh sintal. Meskipun dia hanya perempuan desa, tapi pamannya sangat pemilih. Lima tahun lalu keadaannya masih seperti sekarang dan seperti tak berubah sedikitpun. Kulitnya mulus dan tu-buhnya terawat baik. Padahal mereka telah dika-runiai dua orang bocah.
"He, ceritakan apa maumu ke sini!" sentak Durgandana.
Kertapati sedikit gugup. Tapi dia cepat menguasai diri. Sambil tersenyum lebar dia mende-kati pamannya itu sambil menggeser duduknya.
"Ada berita bagus buat, Paman...."
"Hm, berita apa?" tanya Durgandana dengan suara di hidung.
"Itulah salahnya. Paman terlalu banyak me-ngurung diri di tempat terpencil begini. Bagaima-na bisa mengetahui keadaan dunia luar. Banyak sudah...."
"He, Kertapati! Bicara jangan berbelit-belit! Apa yang hendak kau katakan kepadaku"!" po-tong Durgandana dengan suara keras.
Kertapati diam beberapa saat ketika istri pa-mannya datang dan menyuguhkan dua cangkir kopi serta singkong rebus. Perempuan itu kemu-dian masuk ke dalam. Dia amat patuh pada Dur-gandana dan tabu tugasnya untuk tidak men-dengarkan dan hadir diantara tamu-tamu suami-nya. Sebab Durgandana paling tidak suka istrinya keluar bila dia sedang menerima tamu, meskipun itu keponakannya sendiri!
"Apakah Paman masih berniat menambah ke-pandaian ilmu olah kanuragan...?"
"Apa kau pikir aku begitu lemah sekarang ini, he"!"
"Bukan begitu. Paman cukup hebat dan memi-liki ilmu olah kanuragan yang tiada tandingan-nya. Tapi tahukah Paman bahwa belakangan ini banyak tokoh-tokoh sakti bermunculan" Juga pendekar-pendekar sakti berusia muda. Orang-orang itu sering bertindak semaunya dan me-nonjolkan diri. Lama-kelamaan orang seperti Paman tak akan dipandang sebelah mata oleh me-reka...."
"Setan! Siapa yang berani memandang sebelah mata kepadaku"!" geram Durgandana.
"Aku tak bisa menyebutkan satu persatu, tapi yang jelas hal itu akan semakin memuncak kalau didiamkan terus. Paman harus bertindak dan ke-luar dari persembunyian."
"Bangsat! He, kau ikut aku Kertapati dan tun-jukkan kepadaku, siapa saja orang yang berani meremehkanku!" sentak Durgandana sambil be-ranjak ke dalam.
Kertapati mengikuti dari belakang sambil terus menyulut pamannya yang memang penaik darah dan tak mau ada orang lain menyaingi ke-hebatannya.
"Paman betul-betul ingin menemui mereka?"
"Tentu saja! Akan kuhajar mereka biar melek matanya dan tak menganggap rendah padaku."
"Kalau Paman mencari mereka satu persatu akan memakan waktu lama. Sebaliknya sekaligus saja."
"Sekaligus bagaimana?" Durgandana menga-lihkan perhatian sambil mengenakan baju yang baru saja diambilnya dari lemari.
"Begini. Saat ini ada suatu benda yang banyak diminati oleh banyak kalangan persilatan. Benda itu adalah Patung Kencana. Konon menurut beri-ta, patung itu menyimpan rahasia tentang pelaja-ran ilmu silat langka yang tiada bandingan. Nah, kalau kita mengetahui di mana benda itu berada, tentu banyak tokoh persilatan yang akan menuju
ke sana. Hanya sayang, aku belum mengetahui tempatnya sebab banyak diantara mereka yang mengetahui kemudian menyembunyikannya seca-ra diam-diam untuk dirinya sendiri. Tapi aku ya-kin banyak yang telah mengetahuinya. Selain bisa menghajar mereka, paman juga bisa menda-patkan patung itu dan mempelajari ilmu silat yang terdapat di dalamnya. Tapi... tentu saja akupun akan minta sedikit bagian," jelas Kertapa-ti sambil cengar-cengir.
Durgandana meraih tongkat hitam yang ben-tuknya seperti batang kayu yang berusia ratusan tahun. Penuh dengan urat-urat yang menonjol dan berkilat. Panjangnya sekitar serentengan dua buah tangan orang dewasa, dan besarnya sema-kin mengecil dari atas ke bawah. Dimulai dari ujung yang berbentuk sedikit bulat sebesar kepa-lan tangan, terus turun ke bawah berbentuk lan-cip.
Brak!!! Sebuah meja kayu hancur ketika ujung tong-kat itu dihantamkan Durgandana. Kertapati sem-pat terkejut dan mengusap-usap dada. Dua orang bocah yang berada di dalam pelukan isteri Dur-gandana menyembunyikan wajah mereka di perut Ibunya.
"Kurang ajar! Kau hendak mempermainkan aku, he Kertapati"!"
"Mempermainkan bagaimana?"
"Kau memperalatku untuk mencapai ke-inginanmu"!"
"Ya, ampun. Mana aku berani berbuat demikian. Yang kukatakan adalah hal yang sebenar-nya, Paman!"
Durgandana memperhatikan untuk beberapa saat wajah keponakannya itu. Ketika merasa ya-kin bahwa Kertapati memperlihatkan muka yang bersungguh-sungguh, dia segera melangkah lebar ke luar rumah.
"Ayo kita berangkat, dan cari tahu di mana tempat patung itu berada!"
Kertapati bersorak dalam hatinya dan buru-buru mengikuti dari belakang.

* * * * *

Pedati yang ditarik dua ekor kerbau itu berja-lan dengan cepat. Terlihat sesekali miring ke kiri dan kanan ketika melewati jalan yang berbatu dan tak rata. Namun seorang laki-laki tua yang duduk sebagai kusirnya terus menghela kedua kerbau itu agar berjalan lebih cepat.
"Ayah, hentikan! Kalau sampai kedua kerbau itu mengamuk pedati ini akan terbalik dan kita bisa celaka!" jerit seorang gadis belia dengan sua-ra cemas.
Namun laki-laki bertubuh kurus dengan kulit hitam kecoklatan itu seperti tak memperdulikan teriakan putrinya itu. Dia terus menyabet ker-bau-kerbau itu dan membuat kedua hewan itu la-ri terpontang-panting.
"Ayah, kedua roda pedati telah berderit-derit! Lebih baik kita jalan kaki saja! Aku tak mau tersungkur di sini!" teriak gadis belia itu sekali lagi.
"Tenanglah Ningsih. Kita tak bisa berhenti se-lagi keparat-keparat itu mengejar kita terus!"
"Tapi kedua hewan itu bukan kuda yang biasa berlari kencang. Mereka hanya dua ekor kerbau yang terbiasa membajak sawah. Mereka tak ter-biasa digunakan untuk berlari kencang. Mereka akan...."
"Ningsih, cepatlah melompat!"
"Yeaaah...!"
Ucapan gadis itu terputus ketika dengan tiba-tiba Ayahnya berteriak. Dengan gerakan ringan dia menembus tirai pedati yang terbuat dari any-aman bambu. Pedati itu miring ke kiri dan terus terjungkal ketika dua ekor kerbau itu saling me-misahkan diri. Agaknya kedua hewan itu tak bisa mengendalikan diri ketika laki-laki tadi terus memukul mereka semakin keras. Tali pengikat mereka putus, dan pedati itu sendiri terus tergu-ling-guling menuruni tanah yang rendah.
"Hup!"
"Ha ha ha...! Tua bangka sial! Kau pikir bisa lari ke mana dari kejaranku" Larilah sesuka hati-mu tapi kau tak akan bisa ke mana-mana. Lebih baik kau beritahu di mana Patung Kencana di sembunyikan atau kau dan putrimu akan mam-pus seperti anjing kudisan!"
Kedua orang itu memandang ke sekeliling. Tempat itu telah dipenuhi oleh beberapa orang penunggang kuda. Berada di dekat mereka wa-jahnya terlihat seram dengan rambut kaku diikat oleh sehelai kain lebar berbunga-bunga warna
kuning dan biru. Sebelah matanya lebar dan ber-air. Terlihat bagian putih matanya kini berubah merah dan membuat wajahnya menjadi semakin menakutkan. Di tangannya tergenggam sebuah cambuk.
"Layang Seta, keparat kau!" geram kusir pedati tadi sambil mendekap putrinya erat-erat.
"Sudahlah, Karta. Untuk apa kau pertahan-kan benda itu" Serahkan pada kami peta yang menunjukkan di mana Patung Kencana itu bera-da."
"Huh, Patung Kencana tak berhak dimiliki oleh orang-orang seperti kalian!"
"Hm, keras kepala juga rupanya kau. Tapi in-gin kulihat sampai di mana keras kepalamu kalau ternyata melihat putrimu celaka!" dengus orang yang dipanggil Layang Seta sambil memberi isya-rat pada salah seorang anak buahnya.
Karta bersiap ketika salah seorang melompat ke arahnya.
"Yeaaah...!"
"Hup!"
Plak! "Ayaaaah...!"
"Ningsih"!"
"Ha ha ha...! Putrimu kini berada di dalam genggaman tanganku, Nah, kau boleh menen-tukan sendiri lewat sikapmu, apa kira-kira yang akan kami perbuat terhadap putrimu yang cantik rupawan ini," sahut Layang Seta tersenyum sinis.
Karta menggeram hebat. Pada saat dia tengah memapaki serangan orang tadi, seorang lagi anak
buah Layang Seta bergerak amat cepat dan me-misahkan Karta dengan putrinya, lalu me-nelikung kedua tangan gadis itu. Ningsih bukan-lah gadis desa biasa, tapi Karta mengetahui bah-wa orang-orang ini memiliki kepandaian tinggi dan sama sekali bukan tandingan mereka. Tak heran bila dia menyadari bahwa Ningsih tak mampu berbuat apa-apa untuk melepaskan diri. Lebih dari itu, dia tahu betul bahwa Layang Seta bukanlah manusia baik. Orang itu tak lebih dari seorang kepala perampok yang bengis dan tak kenal betas kasihan. Siapa yang tak mengenal Begal Mata Setan, gerombolan perampok yang di-takuti oleh kalangan persilatan" Dan hari ini me-reka telah berurusan dengan orang-orang itu!
"Bagaimana Karta" kuberi kau waktu sampai hitungan ketiga. Kalau tidak..., he he he!" Layang Seta tertawa terkekeh dengan wajah penuh kelici-kan.
"Keparat kau, Layang Seta! Kau tak akan mendapatkan apa-apa dariku!"
"Hm, kita lihat saja nanti. Satu...!"
Breet! "Aouw...!"
"Ningsih...!"
"Dua!" Kembali Layang Seta menghitung den-gan suara keras dan wajah menyeringai lebar. Karta terpaku dengan kedua mata melotot nya-lang. Wajahnya berkerut menahan geram. Salah seorang anak buah Layang Seta merobek baju ba-gian depan putrinya. Ningsih menjerit keras den-gan muka pucat ketakutan. Dan ketika pada hitungan kedua juga tak terlihat reaksi, anak buah Layang Seta kembali berbuat kasar. Di ca-biknya baju bagian depan gadis itu dari atas ke bawah hingga terlihat dada, perut dan pangkal kedua be-lah paha. Tubuh Ningsih sebagaimana layaknya seorang perawan yang baru mekar di pertonton-kan di depan orang ramai itu membuat para anak buah Layang Seta menelan ludah dengan wajah penuh nafsu. Mata mereka tiada henti menatap setiap sudut di tubuh gadis itu.
"Keparat kau Layang Seta!"
"Huh!"
Plak! Des! "Aaaakh...!"
"Ayaaah...! Ayaaah...!"

*
* *



---[[[| TIGA |]]]---

"Apakah sekumpulan anjing liar tak beradab akan dibiarkan begitu saja merajalela di muka bumi ini tanpa seorang pun yang menghalau me-reka dan menempatkannya di tempat yang se-suai?"
"Tentu saja ada!"
"Heh"!"
Plak! Des! "Aaakh"!"
Salah seorang anak buah Layang Seta yang menelikung Ningsih menjerit keras. Dan seorang lagi yang tadi mencabik baju gadis itu mengalami hal yang sama. Tubuh mereka terjengkang. Pa-dahal baru saja Layang Seta menghajar Karta yang melihat putrinya diperlakukan demikian su-dah langsung kalap dan menerjang. Tapi apalah artinya tenaganya dibandingkan dengan kepan-daian Layang Seta. Dengan sekali kibas tubuhnya terjungkal sambil menjerit keras. Ningsih cuma berteriak-teriak keras tanpa tahu harus berbuat apa lagi. Dia menyadari betul, bahwa keadaan mereka sangat buruk. Bukan saja dirinya yang akan mengalami bencana mengerikan bagi seo-rang gadis, tapi nyawa ayahnya pun bisa jadi akan melayang setiap saat. Mendadak muncul dua suara yang saling bersahutan. Layang Seta terkejut, dan ketawa mereka yang keras langsung berhenti. Tahu-tahu Ningsih telah terbebas dan disambar seseorang. Begitu juga halnya dengan Karta. Di depan Layang Seta berdiri gagah sepa-sang muda-mudi. Yang pemuda berwajah tampan dengan rambut panjang terurai dan memakai ba-ju rompi putih, dan yang wanita adalah gadis berwajah cantik sekali memakai baju biru muda.
"Kurang ajar! Dua keledai dungu hendak un-juk kepandaian di depan hidungku! He, bocah! Apa kau sudah bosan hidup"!" bentak Layang Se-ta geram.
"Siapakah orangnya yang sudah bosan hidup" Kalau kami tentu saja tidak. Tapi biasanya orang
yang berkata begitulah yang sebenarnya meng-inginkan apa yang diucapkannya," sahut pemuda berbaju rompi putih yang tak lain dari Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti.
Mendengar hal itu bukan main geramnya Layang Seta. Kedua bola matanya terbelalak lebar dan gerahamnya berkerokotan dengan wajah ber-kerut-kerut. Selama ini siapa yang tak mengenal dirinya" Nama Begal Mata Setan sudah dikenal seantero tempat dan merupakan sebuah nama yang membuat ciut banyak tokoh persilatan. Tapi hari ini dua orang muda-mudi yang tak dikenal-nya sama sekali enak saja petantang-petenteng seolah tak menganggap sebelah mata sedikit pun kepadanya. Bahkan berani meng-ucapkan kata-kata yang baginya sangat merendahkan dirinya.
Ctaaaar...! Cambuk Layang Seta mengeluarkan suara ke-ras seperti hendak membelah angkasa ketika dengan geram diayunkannya ke atas. Kemudian disusul dengan suara yang keras mengguntur.
"Bocah-bocah busuk, kalian pikir siapa yang berani bicara begitu di hadapan Begal Mata Se-tan"!"
"Oh, inikah orangnya yang bernama Begal Ma-ta Setan" Aduhai, kenapa tiba-tiba aku hendak tertawa karena merasa lucu?" sahut si gadis ber-baju biru yang tak lain dari Pandan Wangi.
Gadis itu memang sudah jengkel dan geram melihat sikap dan perlakuan orang-orang ini se-hingga ucapannya tak ada berbasa-basi lagi. Den-gan jawaban seperti itu sama artinya dia merendahkan Layang Seta secara langsung.
"Gadis tak tahu diri, mampuslah kau!"
"Ctaaar...!"
"Hup!"
Ctaaaat...! Dengan kalap Layang Seta menghajar Pandan Wangi dengan cambuknya. Udara seketika terasa hangat dan daun-daunan berguguran ketika ujung senjatanya itu melecut-lecut dan mengejar lawan ke mana saja bergerak, Agaknya dalam puncak kejengkelannya itu Layang Seta begitu bernafsu untuk menghabisi gadis itu secepatnya. Kalau gadis itu mampus, barulah dia bisa ber-nafas lega dan tinggal menggertak si pemuda.
"Ki sanak, kami sangat berterima kasih atas pertolongan yang kau berikan ini. Tapi Layang Se-ta adalah perampok ganas dan berkepandaian tinggi. Kawanmu itu tentu akan binasa dihajar-nya. Sebaiknya kalian cepat tinggalkan tempat ini kalau ingin selamat," kata Karta dengan suara cemas kepada Pendekar Rajawali Sakti.
Tapi pemuda itu hanya tenang-tenang saja memperhatikan sambil tersenyum kecil. Dipan-danginya laki-laki itu dan putrinya bergantian. Kemudian ka tanya pelan.
"Terima kasih, Ki sanak. Tapi kurasa kawan-ku itu bisa menjaga dirinya. O, ya. Kenapa kau tak membantu putrimu untuk mencarikan pe-nutup tubuhnya lebih dulu" Biarlah mereka akan kami urus."
"Oh iya. Sekali lagi terima kasih atas bantuan kalian berdua," sahut Karta sambil membalikkan
tubuh dan mengajak putrinya menuju pedati me-reka yang tadi terjungkal.
"Berhenti! Selangkah lagi kalian maju, jangan harap kepala kalian masih utuh di tempatnya!" bentak salah seorang anak buah Layang Seta sambil mengayunkan goloknya yang tajam berki-lat.
Beberapa orang kawannya lagi langsung me-lompat dari punggung kuda dan menghadang Karta dan putrinya. Keduanya terkejut dan wajah mereka seketika pucat. Tapi saat itu juga Rangga melompat dan berdiri di depan mereka sambil memandang orang-orang itu dengan sorot mata tajam.
"Siapa saja yang mencoba mengganggu mere-ka boleh berhadapan denganku!"
"Setan keparat! Kau boleh tahan ini!" Bentak salah seorang anak buah Layang Seta yang ber-diri paling depan dan langsung menyerang Pen-dekar Rajawali Sakti.
"Hup!"
Dengan cepat Rangga memiringkan tubuhnya sambil mengibaskan sebelah tangannya. Orang itu memutar tubuhnya dan kembali menebas pinggang lawan setelah serangan pertama-nya dapat dihindari dengan mudah. Pendekar Rajawa-li melompat ke atas dengan kaki kanan menyam-bar pergelangan tangan lawan, sementara tangan kirinya menghajar ke arah tengkuk.
Plak! "Ugkh...!"
Orang itu mengeluh kesakitan ketika tubuhnya ambruk ke tanah dan tak bangkit lagi. Entah pingsan atau tewas. Goloknya telah terpental se-jak tadi.
Melihat itu kawan-kawannya bukan merasa takut melainkan bernafsu untuk menghabisi la-wan secepatnya sambil menggeram hebat.
"Bocah keparat! Mampuslah kau!"
"Yeaaah...!"
Pendekar Rajawali Sakti bersiap. Lebih dari tu-juh orang lawan melompat ke arahnya sambil mengayunkan golok mereka yang tajam berkilat. Wajah mereka menyeringai sadis dengan nafsu membunuh.
"Hiyaaat...!"
Plak! Duk! "Hup!"
Dengan bergerak gesit Pendekar Rajawali Sakti menghindari setiap serangan lawan dengan ma-nis. Tubuhnya menyelip ke sana ke mari diantara golok-golok tajam yang bersiuran. Sesekali dia menangkis pergelangan tangan lawan, kemudian dengan satu tendangan bertenaga kuat terdengar beberapa orang memekik nyaring dengan tubuh terjungkal kesakitan.
Anak buah Layang Seta memang memiliki ke-pandaian yang tinggi, namun yang mereka hadapi kali ini bukanlah orang sembarangan. Sehingga dalam beberapa saat saja mereka dibuat tak ber-kutik.
"Siapa yang sudah bosan hidup, boleh maju kesini!" kata Pendekar Rajawali Sakti dengan suara dingin. Sorot matanya tajam memandang lawan-la-wannya satu persatu. Wajah mereka kelihatan meringis dan memandang kawannya satu sama lain. Kelihatannya mereka jerih dan ciut nyalinya melihat gebrakan pemuda itu. Tapi siapa yang be-rani melarikan diri dari tempat itu" Kalau Layang Seta sampai mengetahui, kematian mereka cuma menunggu waktunya saja. Orang-orang itu bang-kit dengan takut-takut. Namun sebelum mereka melakukan sesuatu, mendadak Pendekar Rajawali Sakti tersentak kaget.
Cambuk Layang Seta yang melecut-lecut seo-lah membelah angkasa dan tempat di situ meng-iris-iris hatinya. Meskipun sampai saat ini Pan-dan Wangi belum terdesak oleh lawan, namun dia sangat mengkhawatirkan keselamatan kekasih-nya itu. Maka sambil membentak keras tubuhnya melompat menghadapi Layang Seta.
"Pandan Wangi, berilah kesempatan padaku untuk bermain-main barang sebentar kepada-nya!"
"Kakang Rangga, aku belum puas kalau belum menghajar si keparat ini!"
"Cukuplah kau telah membuka matanya yang selama ini tertutup kepicikannya. Nah, uruslah orang-orang itu sementara aku akan mengurus-nya!"
Sambil bersungut-sungut kesal gadis itu ter-paksa mengikuti apa yang dikatakan Rangga. Ta-pi dia cepat berbalik dengan mata melotot garang ketika Layang Seta mengejek dengan suara sinis.
"Dasar bocah-bocah tak tahu diri! Apa kalian pikir dengan seorang diri mampu menjatuhkan-ku" Huh, sepuluh orang seperti kalian dengan mudah akan kubabat!"
"Keparat busuk! Kau pikir siapa dirimu berani bicara begitu" He, apakah kau punya derajat ber-hadapan dengan Pendekar Rajawali Sakti"!" ben-tak Pandan Wangi garang.
"Pendekar Rajawali Sakti" Kau maksudkan kekasihmu yang geblek ini Pendekar Rajawali Sakti" He he he...! Ingin kulihat bagaimana ke-hebatan leluconmu itu!" ejek Layang Seta sambil terkekeh geli.
Mendengar nada mengejek begitu, panas juga hati Rangga. Sambil menggeram kesal dia melom-pat menghindari serangan cambuk lawan, dan mengerahkan tenaga dalam hebat pada kedua be-lah tangannya.
"Ctaaar...!"
"Hup!"
"Hiyaaa...!"
Prrrrt! "Heh"!"
Bukan main terkejutnya Layang Seta melihat apa yang dilakukan oleh lawannya itu. Ketika ujung cambuknya menghajar Rangga, pemuda itu melenting ke atas, kemudian bagai anak panah lepas dari busurnya dia melesat cepat dan me-nangkap bagian tengah cambuk lawan kemudian menyentak dengan kuatnya. Layang Seta tak ku-asa menahan. Tubuhnya terangkat tinggi tanpa keseimbangan. Saat itu pula tubuh Rangga mencelat ke atas mengikuti lawan sambil mengirim serangan.
"Yeaaah...!"
Plak!' Des! "Akh...!"
Layang Seta berusaha untuk menangkis den-gan sebelah tangan, namun kepalan tangan Pen-dekar Rajawali Sakti yang lain menghajar dada-nya. Orang itu menjerit keras sambil memuntah-kan darah segar. Ketika tubuhnya menyentuh ta-nah dengan keadaan limbung, barulah disadari-nya bahwa cambuknya telah berpindah tangan. Dan pemuda berbaju rompi putih di depannya siap mengayunkan cambuk itu kepadanya.
"Jangan katakan aku tak mampu mengguna-kan senjata ini. Tapi kalau hendak meneruskan urusan, kau boleh merasakan kehebatan senja-tamu sendiri!" kata Pendekar Rajawali Sakti din-gin.
Layang Seta diam tak menjawab. Sorot ma-tanya tajam menusuk. Perlahan-lahan dia bangkit dan berkata dengan suara datar.
"Ki sanak, biarlah hari ini aku mengalah pa-damu. Tapi urusan ini tak akan selesai begitu sa-ja. Sebutkan kau punya nama agar suatu saat nanti aku mudah menagih hutang ini."
"Kau telah mengetahuinya...," sahut Rangga sinis.
"He, jadi benar kau Pendekar Rajawali Sakti" Baiklah, suatu saat nanti aku akan datang men-carimu!"
"Kapan saja kau siap boleh mencariku. Aku tak akan mundur!"
Layang Seta mengumpulkan anak buahnya dan berlalu dari tempat itu.
Karta dan putrinya menghampiri kedua muda-mudi itu. Kemudian sambil memberi hormat, Kar-ta kembali berkata dengan wajah cerah dan pe-nuh puji syukur.
"Ki sanak, terima kasih sekali lagi kami ucap-kan atas pertolongan kalian yang tiada ter-hingga...!"
"Sudahlah, tak perlu dibesar-besarkan hal itu. Kalau kalian hendak melanjutkan perjalanan, si-lahkan!" sahut Rangga dengan suara rendah.
"Ki sanak, kalau tak salah, bukankah kau yang sering disebut orang sebagai Pendekar Raja-wali Sakti?" lanjut Karta dengan wajah penuh ha-rap.

* * * * *

Rangga tak langsung menjawab. Dahinya se-dikit berkerut dan mencoba mencerna apa kira-kira yang diinginkan laki-laki ini darinya" Namun melihat paras wajahnya yang manis dan penuh harap, bahkan sama sekali tak mengandung mak-sud-maksud tertentu yang akan menjebaknya, Rangga menjawab pendek.
"Betul, Ki sanak...."
"Oh, syukurlah!"
"Lho, kenapa?"
"Ki sanak, maukah kau membantuku untuk kedua kalinya?"
"Bantuan apa yang kau kehendaki?"
"Soal Patung Kencana."
"Patung Kencana" Kenapa dengan patung itu?"
"Apakah Ki sanak tak mendengar berita itu?"
Rangga menggeleng. Sebaliknya Pandan Wangi ikut mendengarkan dengan serius.
Orang itu menghela nafas pendek, kemudian memeluk pundak putrinya. Dia mengajak kedua muda-mudi itu duduk di sebuah batang kayu yang telah rubuh.
"Tahukah Ki sanak tentang seorang tokoh yang bernama Ronggo Lawe?" tanya laki-laki itu pelan.
"Hm, siapa yang tak kenal dengan tokoh sakti itu" Hanya sayang aku tak sempat bertemu de-ngan beliau, sebab aku hanya mendengar cerita-nya saja. Konon khabarnya beliau hidup berpu-luh-puluh tahun lalu?"
"Benar. Beliau mempunyai beberapa orang murid, namun tak satu pun dari murid-muridnya yang mewariskan seluruh kepandaiannya. Menu-rut apa yang kudengar, beliau belum menemu-kan seorang murid yang pantas mewariskan selu-ruh kepandaiannya. Namun beliau menyadari bahwa usianya tak akan cukup untuk menemu-kan orang yang dicarinya. Oleh sebab itu beliau menuangkan seluruh kepandaiannya dalam se-buah patung yang konon khabarnya berwarna kuning keemasan. Patung itulah yang dinamakan Patung Kencana," jelas Karta.
Rangga mendengarkan dengan seksama sam-bil mengangguk-anggukkan kepala.
"Lalu pertolongan apakah yang bisa kuberi-kan kepadamu?"
"Ronggo Lawe mempunyai murid enam orang dan semuanya mendapat pesan untuk menjaga pusaka yang ditinggalkannya itu. Mereka menda-pat kewajiban agar kelak bila menemukan seseo-rang yang pantas dengan ciri-ciri yang di-tentukannya, harus menyerahkan Patung Ken-cana kepada orang itu. Patung itu tidak boleh ja-tuh ke tangan yang salah sebab kelak akan me-nimbulkan kekacauan dan malapetaka. Keenam murid Ronggo Lawe itu sedikit pun tak me-ngetahui di mana letak patung itu berada. Mereka hanya dibekali masing-masing sebuah peta yang menunjukkan di mana tempat patung itu disembunyikan. Namun sepeninggal Ronggo Lawe ter-nyata empat orang muridnya berkhianat dan hendak menyerakahi pusaka yang bukan hak me-reka. Syukur yang dua orang lagi cepat bertindak dan mendahului mereka untuk memindahkan tempat patung itu berada. Mereka lalu membuat peta yang baru lagi. Perbuatan mereka diketahui oleh empat saudara seperguruannya yang akhir-nya menimbulkan perkelahian diantara mereka. Kedua orang itu tewas, namun peta itu tak mereka temukan juga...," lanjut Karta dengan wajah lesu.
Rangga mengerutkan dahinya. Dia masih be-lum mengerti apa yang diinginkan laki-laki ini da-rinya.
"Ki sanak, salah seorang dari dua murid Rong-go Lawe itu adalah majikanku. Aku meng-ikutinya sejak kecil. Kepadakulah dia menyam-paikan amanat yang kuanggap di mana Patung Kencana itu berada dan memberikannya kepada orang yang tepat sesuai dengan amanat guru beliau. Ketika beliau tewas, banyak murid-muridnya yang kabur. Namun sebagian yang lain berkhia-nat dan menuding bahwa akulah yang mengeta-hui di mana letak peta itu berada. Itulah sebab-nya aku dikejar dan diburu-buru di mana pun aku berada. Ki sanak, namamu telah lama dikenal dan orang sepertimulah yang diinginkan oleh Eyang Ronggo Lawe. Oleh sebab itu tolonglah aku untuk mencari Patung Kencana, kemudian jagalah dengan baik sambil mempelajari pelajaran yang terkandung di dalamnya, kemudian amalkan untuk kebaikan dengan menegakkan kebenaran dan membela keadilan," kata Karta sambil menye-rahkan selembar kulit kijang yang berisi petunjuk ke suatu tempat di mana letak Patung Kencana itu berada.
"Ki sanak, aku..., aku tak bisa menerima anu-gerah yang begitu besar ini...," tolak Rangga ha-lus.
"Duhai Ki sanak, kalau bukan kepadamu lalu kepada siapakah lagi yang pantas menerimanya" Jalan hidupmu telah jelas diketahui orang ba-nyak. Apakah itu belum pantas" Lagipula kalau patung itu jatuh ke tangan orang yang salah, du-nia akan ditimpa malapetaka karena pusaka itu disalahgunakan..."
Pada mulanya Rangga menolak, namun ketika orang itu memaksanya terus akhirnya dia tak punya pilihan selain menerimanya.
"Entahlah, apakah aku bisa menerima amanat ini atau tidak, tapi jelas aku akan berusaha men-jaga dan mengerjakannya sekuat ke-mampuanku," kata Rangga.
"Terima kasih, Ki sanak. Sebaiknya kau harus cepat-cepat mencari patung itu. Berita yang ter-akhir kudengar adalah banyak orang yang telah mengetahui tempat itu...."
"Lho"!" Rangga tersentak kaget.
"Tak perlu kaget. Peta itu selain dimiliki maji-kanku, juga dimiliki oleh seorang saudara seper-guruannya yang lain. Bisa jadi murid-muridnya menyelewengkan kepercayaan yang diberikan oleh gurunya. Tapi yang jelas, dari pihakku peta ini belum jatuh ke tangan siapapun!" jelas Karta.
Rangga mengangguk-angguk mendengar pen-jelasan itu. Tak berapa lama kemudian kedua orang itu melanjutkan perjalanan mereka tanpa menggunakan pedati. Rangga memandang me-reka sampai keduanya hilang di tikungan jalan.

*
* *



---[[[| 4 |]]]---

Pandan Wangi mencubit pinggang pemuda itu dan membuat Rangga terkejut sambil mengaduh kesakitan.
"Ada apa sih main cubit segala?"
"Matamu itu!"
"Lho, kenapa dengan mataku?"
"Jelalatan lihat gadis tadi!" kata Pandan Wangi ketus.
"Aduuuh...!" keluh Rangga sambil mengge-lengkan kepala dan tersenyum kecil.
"Aduh, aduh kenapa" Memang betul, kan"!" tuduh Pandan Wangi.
"Kenapa kamu selalu menuduh begitu?"
"Karena kulihat matamu tak berkedip meman-dang perempuan tadi!"
"Pandan, coba dengar. Jangan terlalu curiga. Untuk apa aku musti melirik gadis itu" Kalaupun memang betul, bukan berarti aku suka atau nak-sir dengannya. Mestikah aku menutup mata saat bicara dengan mereka" Kenapa kamu selalu ber-pikir bahwa aku naksir dengan setiap gadis yang kutemui" Apakah kau tak percaya, jika kukata-kan bahwa aku belum perlu mereka" Aku masih punyai kau, yang tak kalah cantik, tak kalah pin-tar dan yang lebih penting adalah mencintaiku dan kucintai."
Pandan Wangi memandang wajah pemuda itu untuk beberapa saat. Untuk kemudian diam sambil menundukkan kepala. Kata-kata Rangga yang dikeluarkan dengan suara keras dan tegas menyadarkan dirinya, bahwa pemuda itu memang mencintainya dan tak berubah sedikitpun sejak semula.
"Nah, masihkah kau tak percaya padaku?"
tanya Rangga dengan suara lunak.
"Kakang, maafkan kecurigaanku yang terlalu berlebihan...."
Rangga tersenyum tulus, kemudian merang-kul pinggang ramping gadis itu hingga mereka saling berhadapan.
"Maaf itu belum cukup bila tak dibuktikan dengan perbuatan...."
"Maksudmu?"
"Maksudku begini...."
Pemuda itu bergerak cepat. Ditariknya tubuh Pandan Wangi hingga tubuh mereka saling ber-himpitan. Kemudian dengan cepat disambarnya bibir gadis itu dan dikecupnya dengan gemas, sampai Pandan Wangi gelagapan sendiri. Tapi akhirnya gadis itu ikut-ikutan membalas perbuatan Rangga.
"Nah, itu sedikit dari banyak yang kumaksud-kan," kata Rangga kesudahannya.
"Dasar genit! Kau memang mau mencari ke-sempatan saja!" sahut Pandan Wangi sambil mencubit pinggang pemuda itu sekali lagi.
Rangga tertawa lebar, dan Pandan Wangi me-mukulnya pelan berkali-kali. Tapi tidak lagi dengan perasaan kesal, melainkan bahagia yang tiada terkira.
"Bagaimana tentang peta ini?" tanya Rangga ketika keduanya telah berada di punggung kuda masing-masing.
"Kenapa" Apakah Kakang tak bermaksud mencari Patung Kencana itu?"
"Aku hanya tak ingin dianggap serakah..." sahut Rangga masghul.
"Kakang, itu bukan serakah namanya melainkan menjalankan amanat seseorang! Kenapa Kakang malah memikirkan perasaan orang yang sama sekali tak berkepentingan dengan urusan itu?"
"Aku tak bisa mengabaikan begitu saja, Pandan. Aku yakin bahwa bukan hanya kita saja yang akan mencari patung itu, tapi banyak tokoh-tokoh lain yang menginginkannya. Kau ingat cerita orang itu" Murid Ronggo Lawe ada enam orang. Empat orang berkhianat dan ingin memiliki patung itu, sedangkan dua orang mengamankannya. Kita mendapat peta ini secara tak langsung dari salah seorang murid Ronggo Lawe, dan orang tadi mengatakan kemungkinan bahwa murid Ronggo Lawe yang seorang lagi peta pada orang yang salah sehingga berita itu tersebar keluar. Siapa tahu murid-murid dari keempat murid Ronggo Lawe itupun menginginkan patung itu pula," kata Rangga kembali menjelaskan.
"Lalu apa urusannya dengan mereka" Toh, Kakang telah mendapatkan amanat dari orang yang sah."
"Benar. Tapi kebanyakan dari manusia itu se-lalu serakah, dan aku mendapat firasat bahwa benda itu akan membuat bencana bagi tokoh-tokoh persilatan sebab banyak yang akan mem-perebutkannya."
"Lalu, bagaimana kehendak Kakang selanjutnya?"
"Entahlah, aku sendiri bingung..." sahut Rangga ragu.
"Tapi Kakang telah berjanji pada orang itu, dan janji seorang pendekar tak boleh ditarik kem-bali. Lagipula Kakang punya kewajiban untuk merebut patung itu agar tak jatuh ke tangan orang yang salah. Dan kalau benar dugaan Ka-kang bahwa saat ini banyak orang yang mencari patung itu, maka seyogyanya Kakang harus ber-tindak cepat agar tak didahului mereka," kata Pandan Wangi.
Rangga menganggukkan kepala setelah berpikir beberapa saat.
"Kurasa persoalan ini akan ricuh dan menimbulkan keributan. Apakah ada baiknya kau tak ikut serta dulu dan menungguku di Karang Setra?" tanya Rangga.
"Hm, kau ingin membuatku marah lagi, Kakang"!"
"Ini untuk keselamatanmu sendiri. Pandan...."
"Tidak. Apapun yang terjadi aku akan me-nyertaimu! Apa Kakang pikir aku tak bisa menja-ga diriku sendiri!" sahut Pandan Wangi tegas.
Rangga menarik nafas dalam-dalam. Pandan Wangi memang agak keras kepala kalau me-nyangkut keinginannya. Dan kalau dia sudah berkata demikian, rasanya kecil kemungkinan Rangga bisa membujuk selain memenuhi keingi-nannya.
"Baiklah kalau memang kau memaksa. Tapi jangan menyalahkan kalau ternyata aku bertemu dengan gadis cantik yang naksir aku!" goda Rangga sambil ketawa kecil.
"Tidak. Tapi kalau kau yang naksir, awas saja!" sahut gadis itu kesal.
Rangga tertawa terkekeh sambil menyentak-kan kudanya. Pandan Wangi mengikuti di sebelahnya.

* * * * *

Kertapati diam memperhatikan pertunjukan yang berada di depan mereka. Tapi Durgandana telah gatal tangannya untuk menghajar mereka. Kedua orang yang sedang bertarung itu seperti menyombongkan diri sendiri dan menganggap bahwa merekalah yang paling tangguh. Mereka sendiri tak mengetahui apa sebabnya kedua orang yang masih berusia muda itu berkelahi. Ketika ti-ba di desa ini, keduanya memang telah bertarung dan ditonton banyak orang. Mulanya memang Kertapati yang mengajak pamannya untuk me-nonton sebab dari keterangan beberapa orang yang ditanya, keduanya bertarung karena me-nyangkut benda yang sedang diincarnya, yaitu Patung Kencana.
"Kenapa kau selalu menahanku" Bukankah kau sendiri yang mengatakan bahwa semua orang harus dibuka matanya terhadap Tupai Maut Tongkat Sakti!'" Dengus Durgandana gusar ketika Kertapati selalu menghalangi keinginannya untuk menghajar kedua orang yang sedang bertarung itu.
"Sebab mereka bukanlah tandingan, Paman. Mereka cuma keroco-keroco yang tak berguna. Untuk apa Paman meladeni mereka" Kalaupun menang bukan kebanggaan yang akan diperoleh, melainkan olok-olok!"
Durgandana terdiam sesaat mendengar penjelasan keponakannya itu.
"Lalu apa yang akan kita lakukan di sini?"
"Tunggu dan lihat, lalu coba dengar apa yang menyebabkan mereka berselisih," kata Kertapati sambil tersenyum kecil.
Durgandana diam memperhatikan dan kemudian mendengarkan dengan seksama.
"Soal Patung Kencana itu?"
"Nah, ternyata paman cukup mengerti kini. Coba dengarkan. Pemuda yang memakai ikat ke-pala kuning itu terlihat ngotot dan menyalahkan pemuda yang bersenjata pedang soal tempat Pa-tung Kencana berada...."
"Apa urusannya dengan patung itu" Aku perlu mengajar siapa saja yang meremehkanku!" sahut Durgandana kesal.
"Betul! Tapi apakah paman tak ingat kata-kataku" Kalau Paman mendatangi mereka satu persatu, itu akan banyak menguras tenaga dan waktu. Tapi, he! Kalau dengan cara begini tentu banyak orang mengetahui di mana letak patung itu sebenarnya dan sudah pasti akan mengun-dang tokoh-tokoh persilatan ke tempat itu. Nah, di sanalah Paman bisa bertindak," jelas Kertapati.
Durgandana mengangguk dan membenarkan kata-kata Kertapati. Mereka kembali menyaksikan pertarungan itu dengan seksama.
Dua orang yang sedang berkelahi itu terlihat sama-sama ngotot. Usia mereka hampir sebaya, dan demikian pula kepandaian masing-masing. Sampai sejauh itu belum ada seorang pun yang celaka atau terkena senjata lawan. Pemuda yang berikat kepala kuning dan bersenjatakan sepa-sang trisula terlihat begitu bernafsu untuk segera menghabisi lawannya.
"Sekali ini kau tak akan kuampuni lagi, Su-griwa!" desisnya sambil melompat dan melakukan serangan hebat.
"Kau pikir aku akan menyerah begitu saja" Huh, sedikitpun aku tak takut denganmu, Praboko! Kalau kau hendak menghajarku sampai te-was, tentu saja aku tak akan berdiam diri. Jaga-lah dirimu jangan sampai pedangku ini merobek jantungmu!" sahut orang yang dipanggil Sugriwa itu tak kalah sengitnya.
"Setan! Kaulah yang bakal mampus karena berani menipuku!"
"Huh, siapa yang menipumu" Kaulah yang memaksaku berbuat begitu. Padahal sudah jelas kau ketahui bahwa hal itu dipercayakan kepada-ku masih juga kau memaksa."
"Pfuiiih! Kau pikir aku tak tahu dimana letak patung itu" Aku telah mengetahuinya dari orang lain. Tapi karena kau telah menipuku ke tempat yang salah sehingga nyaris nyawaku tak akan se-lamat, maka kaulah yang harus menanggung akibatnya!"
Praboko terus mendesak Sugriwa habishabisan. Tapi agaknya kepandaian Sugriwa tak berada di bawah kepandaiannya, sehingga dia sedikit mengalami kesulitan untuk mendesak la-wan. Namun pada saat berikutnya terdengar dia membentak nyaring.
"Yeaaah...!"
"Hup!"
Trak! Wuuut! "Aaaah!"
Sugriwa mengeluh ketika salah satu trisula Praboko menangkis pedang dan langsung me-nguncinya. Dia berusaha menahan sentakan la-wan, namun saat itu juga dengan cerdiknya Pra-boko terus menyerangnya dengan trisula di tan-gannya yang lain ke arah leher lawan. Terpaksa Sugriwa membagi perhatiannya menjadi dua ba-gian kalau tak ingin nyawanya melayang. Justru hal itulah yang diharapkan Praboko sebab dengan cara itu berarti dia lebih mudah mendesak lawan. Dan itu terbukti sebab dengan tiba-tiba kembali dia menyentak keras, dan membuat pedang lawan terlepas dari genggaman. Kemudian dengan suatu serangan yang tiada terduga, kedua senjatanya menyambar ke arah jantung dan perut.
"Yeaaah...!"
Sugriwa terkejut sekali dan coba membuang diri sambil bersalto ke belakang sehingga lawan luput dari sasarannya. Namun ternyata serangan itu cuma tipuan belaka, sebab dengan cepat sebe-lah kaki Praboko menyambar pinggang bagian be-lakang dan tak dapat tertahan oleh lawan.
Bes! "Aaaaakh...!"
"Yeaaah...!"
"Mampus!"
Tubuh Sugriwa terjungkal sambil menjerit ke-sakitan. Tulang pinggangnya terasa hendak pa-tah menerima hantaman yang keras itu. Masih untung dia memiliki tenaga dalam yang cukup hebat, tapi jelas hal itu mengurangi kegesitannya bergerak. Dan ketika Praboko mengirim serangan susulan, Sugriwa berusaha menyelamatkan se-lembar nyawanya sambil berguling-gulingan. Na-mun hal itu cukup merepotkan baginya. Apalagi ketika tubuhnya tersandung sebuah batu yang cukup besar. Pemuda itu cuma bisa menutup ma-ta ketika kedua senjata lawan mengarah ke arah-nya dengan cepat.
Crep! Jresss! "Aaaa...!"
Sugriwa menjerit setinggi langit. Bagian jan-tung dan ulu hatinya ditikam berkali-kali oleh la-wan. Seluruh tubuhnya bersimbah darah. Dan nyawanya lepas beberapa saat saja. Orang-orang yang menonton pertarungan itu sebagian me-malingkan muka melihat kesadisan Praboko.
"Huh, mampuslah bagian orang yang berani menipuku!" dengus Praboko sambil membersih-kan senjatanya dari noda darah.
Sambil melangkah gusar dia memandang orang-orang yang berada di sekeliling tempat itu dengan tatapan sinis. Namun baru saja berjalan kira-kira tujuh langkah, berdiri dua sosok tubuh
menghadangnya. Praboko cepat menghentikan langkah dan sambil menyipitkan mata dia membentak kedua orang yang tak dikenalnya itu.
"Keledai dungu mana lagi yang berani meng-hadang langkahku"!"

* * * * *

"Bocah keparat! Kau pikir dirimu sudah paling jago di kolong langit ini, he"!" sahut salah seorang dari dua penghadangnya itu dengan suara keras dan lancang, penuh dengan nada geram.
Mendengar itu bukan main geramnya Praboko. Ditatapnya orang bertubuh tinggi besar dengan muka penuh brewok itu dengan seksama. Dia mengenakan destar hitam di kepalanya dan me-megang sebuah tongkat hitam pula. Di sebelahnya terlihat seorang laki-laki tinggi, mema-kai kalung yang terbuat dari tulang-belulang. Di pinggangnya terselip sebatang golok. Orang ini tak lain dari Kertapati, dan yang menyahut tadi adalah pamannya, yaitu Durgandana.
"Sial! Sudah bosan hidup rupanya kau, he"!"
"Jahanam! Berani kau bicara begitu terhadap Tupai Maut Tongkat Sakti"! Mampuslah bagianmu!"
"Paman, tahan dulu!"
"Yeaaah...!"
Kertapati berteriak dan bermaksud men-cegah pamannya, tapi si Tupai Maut Tongkat Sakti ma-na mau mendengar teriakannya itu. Hatinya sudah panas betul melihat dan mendengar tingkah polah pemuda yang dianggapnya sok jago itu. Maka dengan sekali lompat, tubuhnya yang besar itu melesat lincah dan begitu ringan-nya menye-rang lawan.
Praboko sendiri tercekat kaget dan baru me-nyadari dengan siapa saat ini dia tengah ber-hadapan. Nama Tupai Maut Tongkat Sakti me-mang tak begitu menghebohkan dunia persilatan karena kemunculannya yang jarang terjadi. Na-mun bukan berarti nama itu tak membuat gentar beberapa tokoh persilatan kelas atas, sebab sekali dia muncul maka boleh dibilang akan terjadi ke-gemparan karena sepak terjangnya. Dan tak ja-rang kebanyakan tokoh persilatan enggan beru-rusan dengannya itu. Bukan saja orangnya yang terkenal galak dan berangasan, tapi juga karena kelihaian dan kepandaian ilmu silatnya yang ting-gi.
Hal itu terlihat ketika dia menyerang Praboko tanpa kenal ampun. Tak peduli lawannya siap atau tidak. Dia akan terus merangseknya dengan ganas. Sehingga terlihat dalam beberapa gebra-kan saja lawan telah terdesak hebat. Praboko co-ba menahan serangan tongkat lawan yang lihai dan dengan cepat bukan main dengan sepasang trisulanya.
"Yeaaah...!"
"Kutu busuk! Segala mainan anak kecil begini akan kau pamerkan kepadaku! Hiiih!"
Trak! Breeet! "Aaakh...!"
Praboko menjerit kesakitan ketika ujung tong-kat lawan yang runcing itu dengan cepat me-nyambar bagian perut dan membuatnya robek sehingga menimbulkan luka yang cukup parah. Padahal tadi dia berusaha untuk menangkisnya dengan kedua senjatanya. Namun dengan sekali bantam terlihat tenaga dalam lawan berada di atasnya. Kedua senjatanya dengan mudah dihan-tam dan dibuat terpental.
"Yeaaah...!"
Beghkh! "Aaakh...!"
Dalam keadaan tak siap dan terhuyung-huyung begitu, Praboko kembali merasakan ha-jaran keras dan melanda dadanya. Orang itu memekik kesakitan. Tubuhnya terjungkal beberapa langkah sambil memuntahkan darah segar.
"Mampuslah kau, bocah sombong!"
"Paman, tahan!"
Trak! Sebelum tubuh Praboko menyentuh tanah, Durgandana telah melesat cepat. Tubuhnya yang besar seolah bagai seekor tupai yang sedang melompat saja. Ujung tongkatnya siap menghunjam ke jantung lawan. Dan dalam keadaan tak ber-daya begitu bisa dipastikan Praboko tak akan mampu menghindari serangan lawan. Tongkat lawan sebentar lagi akan merenggut nyawanya. Namun pada saat yang kritis itu Kertapati cepat melompat dan menghantam ujung tongkat pa-mannya dengan golok.
"Kurang ajar! Apa maumu Kertapati"!" geram
Durgandana kesal ketika ujung tongkatnya menancap ke tanah.
"Kita harus tahu dimana letak patung itu dulu, Paman...."
Setelah berkata begitu Kertapati sengaja tak mengacuhkan pamannya dan langsung berpaling pada Praboko yang terengah-engah dengan muka pucat.
"Katakan, di mana letak Patung Kencana itu kalau kau ingin selamat"!" bentaknya.
"Aaa... aku tak tahu...."
"Hiiiih!"
"Aaaakh...!"
"Sekali tekan maka lehermu akan patah dan nyawamu putus seketika. Ayo, katakan di mana letak Patung Kencana itu berada!" ancam Kertapati sambil menjejakkan sebelah telapak kaki-nya keleher Praboko.
"Ba... baiklah. Tapi lepaskan dulu himpitan kakimu ini. Ohh... patung itu berada di sebuah goa yang berada di lereng Gunung Watu Mungkur.
Ta...." "Dusta!" potong Kertapati.
"Aaaa... aku berkata yang se... sebenarnya...."
Krek! Tanpa banyak bicara lagi Kertapati langsung menekan kakinya. Sesaat terdengar tulang leher Praboko patah seiring lenguhnya pelan. Nyawanya melayang saat itu juga. Kertapati mengajak Dur-gandana berlalu dari tempat itu sambil bergumam pelan.
"Begitu lebih baik, Paman. Usaha kita berarti tak sia-sia...."

*
* *



---[[[| LIMA |]]]---

Rahwana berdiri tegak sambil memandang murid-muridnya dengan sorot mata yang tajam. Kulit wajahnya yang kuning penuh kerut-merut di makan usia tua tampak lebih menyeramkan di-banding biasanya. Bola matanya agak menyipit, dan beberapa helai rambut panjangnya yang telah memutih, menghalangi pemandangannya. Orang tua berusia sekitar delapan puluh tahun itu tam-pak masih terlihat segar bugar dengan tubuh te-gap. Meskipun kulit di seluruh tubuhnya mulai keriput dimakan usia tua, namun otot-ototnya terlihat masih kencang menandakan bahwa tena-ganya belumlah berkurang. Apalagi ketika dia mulai berjalan sambil melangkah kecil mendekati seseorang yang berlutut pada jarak sepuluh lang-kah di depannya, terlihat gagah dan mantap.
"Siapa dia?" tanyanya pelan, namun terdengar menusuk dan nyaring.
"Eyang, dia adalah salah seorang murid Eyang Tarsiwan...," sahut salah seorang muridnya.
"Hmm...," Rahwana bergumam pelan. Kemu-dian dipandanginya laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun lebih itu. Wajahnya terlihat meringis
kecil dan takut-takut. Beberapa orang muridnya tadi memang terlihat perkelahian dengannya se-belum menghadap kepadanya.
"Siapa namamu?"
"Hamba bernama Katakili, Eyang...."
"Hm, Katakili..., ada urusan apa kau ingin ber-temu denganku?"
"So..., soal Patung Kencana itu, Eyang...."
"Katakanlah."
Katakili menelan ludah sambil memandang ke sekeliling pada murid-murid Eyang Rahwana. Dia berharap setelah menjelaskan maksudnya maka orang tua itu akan mengajaknya ke dalam dan membicarakan persoalan yang tengah dibawanya secara empat mata. Namun dia boleh kecewa se-bab orang tua itu sama sekali tak menganggap bahwa berita yang dibawanya itu penting. Bahkan sebaliknya, menganggap remeh dan biasa saja.
"Ng..., anu..., bukankah Eyang ingin sekali mengetahui di mana benda itu berada?"
"Apakah kau menginginkan imbalan atas ke-teranganmu itu?"
Kembali Katakili menelan ludah mendengar pertanyaan yang terus terang tanpa basa-basi itu. Dia tak bisa menjawab selain menganggukkan kepala sebab memang itulah tujuannya ke sini.
"Hm, imbalan apa yang kau inginkan?"
"Hamba tak minta imbalan apa-apa, tapi kalau diperkenankan sudilah Eyang menerima hamba menjadi muridmu...."
"Begitukah?"
"Hanya itu, Eyang!" sahut Katakili cepat.
"Nah, tunjukkan di mana patung itu berada."
"Apa..., apakah Eyang mau mengabulkan permintaanku ini?"
"Kau katakan dulu di mana benda itu berada, kemudian setelah itu kuuji kebenaranmu, baru-lah setelah itu akan kupertimbangkan keinginan-mu," sahut Eyang Rahwana tegas.
"Ba..., baiklah. Patung itu disembunyikan di sebuah goa yang berada di lereng Gunung Watu Mungkur...."
"Dari mana kau mengetahuinya?"
"Eyang Tarsiwan telah mempercayakan peta penunjuk itu pada salah seorang kawan hamba. Namun dia tak bisa memegang amanat dan men-ceritakannya pada beberapa orang kawannya yang dianggap bisa dipercaya. Tapi kawan-ka-wanku yang lain ternyata membocorkannya pula kepada yang lain. Kemudian kupikir apa salahnya bila aku pun memberitahukannya pada Eyang yang kuanggap masih berhak atas patung itu...."
"Tahukah kau bahwa hal itu berarti melanggar amanat gurumu sendiri?"
"Hamba tak merasa mendapat amanat itu dari beliau...."
"Hm, wibawa seorang guru ditentukan oleh ke-patuhan dan tingkah laku murid-muridnya. Apa-kah kau tak mengakui bahwa kau murid Tarsi-wan?"
"Hamba memang bekas murid beliau, tapi...."
"Apakah karena gurumu tewas oleh kami lalu kau beranggapan bahwa dengan sikapmu ini aku merasa gembira?"
"Bu..., bukankah Eyang membenci Eyang Tar-siwan?"
Mendengar jawaban itu terlihat si orang tua tersenyum kecil. Kemudian dia memberi isyarat pada murid-muridnya. Beberapa saat saja dua orang muridnya segera menangkap Katakili dan membawanya ke belakang.
"Eyang! Mau kau apakan aku"! Eyang, apakah kau tak tahu berterima kasih atas berita yang kubawa untukmu"! Eyang, lepaskan aku! Le-paskan aku...!"
Katakili berteriak-teriak dan berusaha be-rontak dengan sekuat tenaganya. Tapi orang tua itu tak bodoh untuk memberi perintah pada ke-dua orang muridnya itu. Mereka bukan murid tingkat rendahan, oleh sebab itu percuma saja Katakili berusaha untuk berontak.
Tak berapa lama kemudian terdengar leng-kingan Katakili yang menyayat hati, dan kemu-dian disusul datangnya kembali dua orang murid yang membawanya ke belakang. Keduanya mem-beri hormat, kemudian mengikuti gurunya itu ke dalam sebuah ruangan yang cukup besar. Si orang tua duduk bersila di bawah dinding yang memiliki jendela, sementara sepuluh orang mu-ridnya duduk bersila di depannya dengan kea-daan miring sehingga diantara mereka saling ber-hadapan lima-lima orang.
"Tahukah kalian kenapa orang itu harus di-bunuh" Dia pengkhianat, dan itulah sejahat-jahat-nya orang. Pada saat gurunya terbunuh, mereka lari tunggang langgang menyelamatkan
diri. Kemudian datang dan tiba-tiba menawarkan apa yang dulu ingin kucari. Tapi semuanya telah terlambat, sebab aku telah mengetahuinya lebih dulu. Dan tak ada ampunan bagi manusia yang amat kubenci selain kematian. Sekarang bersiap-lah. Kita akan menuju Gunung Watu Mungkur sekarang juga, sebab Patung Kencana harus jatuh ke tanganku!"
Rahwana baru saja selesai berkata demikian ketika salah seorang muridnya yang berjaga di luar melaporkan bahwa ada seseorang yang ingin bertemu dengannya.
"Siapa?"
"Seorang perempuan tua dan menamakan di-rinya sebagai Roro Ayu...."
"He, sial!"

* * * * *

"Hi hi hi...! Tidak sukakah kau didatangi oleh saudara sendiri, Rahwana?" terdengar suara ke-tawa mengikik ketika Rahwana beserta murid-muridnya tiba di halaman depan.
Di depan berdiri dengan lemah gemulai seso-sok tubuh ramping dengan rambut panjang teru-rai sebatas lutut. Sebagian wajahnya ditutupi oleh rambutnya yang telah memutih. Ketawanya nyar-ing, dan kedua tangannya bertolak pinggang.
"Ada keperluan apa kau datang ke tempatku, Roro Ayu?" tanya Rahwana datar.
"Hi hi hi...! Semakin bertambah umurmu ternyata sikapmu semakin tak sopan saja, Rahwana. Begitukah penyambutanmu terhadap adik seper-guruan sendiri" Apakah tak ada basa-basimu me-nyuruhku masuk?"
"Roro Ayu, tak usah berbasa-basi segala. Kau tahu bagaimana sikapku dari dulu. Katakanlah, apa keperluanmu datang ke tempatku ini?"
Perempuan itu kembali ketawa nyaring. Na-mun tak berapa lama kemudian terlihat dia me-nyibakkan rambutnya, maka terlihat kulit wajah-nya yang telah keriput itu. Hidungnya kecil dan agak lancip, dan bentuk mukanya lonjong dengan bagian dagu runcing. Dahinya lebar dan sepasang alls matanya yang tebal namun telah memutih. Perempuan tua yang berusia sekitar delapan pu-luh tahun itu masih meninggalkan sisa-sisa ke-cantikan usia mudanya. Seperti halnya dengan Rahwana, dia masih berdiri tegak dan sama sekali tak menunjukkan kerawanan usia tuanya.
Sepasang matanya berkilat tajam dan menatap Rahwana dengan sorotan penuh dakwaan.
Kemudian terdengar suaranya yang nyaring.
"Rahwana, akupun punya hak atas Patung Kencana dan kau tahu itu. Apakah setelah kini kau mengetahui letak benda itu kau ingin me-nyerakahinya sendiri?"
"Hm, sudah kuduga kau datang karena per-soalan itu...."
"Persoalan apa lagi yang membuat aku ke tempatmu ini kalau bukan persoalan itu!"
"Lalu apa yang kau inginkan?"
"Sedikit bagian seperti yang telah kita sepakati dahulu!" sahut perempuan tua itu tegas.
"Kita pernah berjanji, barang siapa yang me-nemukan benda itu lebih dulu, maka dia berhak mendapat bagian yang banyak. Kau masih ingat, bukan" Nah, akulah yang menemukan letak ben-da itu lebih dulu!"
"Kau memang licik, Rahwana. Sekarang aku mulai mengerti bahwa kau ingin menyerakahi benda itu seorang diri!" tuduh Roro Ayu dengan nada geram.
Seperti yang telah mereka sepakati bersama, maka bila patung itu diketemukan maka pe-lajaran ilmu silat yang berada di dalamnya akan mereka bagi menjadi empat bagian yang sama. Pengecualian bagi yang menemukannya lebih du-lu, akan mendapat sedikit tambahan. Rahwana belum menemukannya, melainkan baru menda-pat petunjuk tentang letak benda itu. Dan dia mengungkit-ungkit soal janji mereka dahulu. Pa-dahal dengan kata sedikit yang diucapkan Roro Ayu tadi mengisyaratkan basa-basinya bahwa dia harus mendapatkan bagiannya. Tapi Rahwana malah menyahut seolah menegaskan pengertian yang sebenarnya. Sudah barang tentu membuat. perempuan tua itu geram bukan main.
"Kenapa tidak" Aku telah banyak bersusah payah dan kalian ingin mendapat bagian yang sama. Kalaupun aku mau membagi sedikit itu sudah lebih baik," sahut Rahwana enteng.
"Rahwana, begitukah sikapmu sekarang?" Ro-ro Ayu menegaskan dengan suara menuduh.
"Ya," sahut Rahwana mantap.
"Baiklah. Kalau memang kau sudah berkeras menganggap bahwa benda itu milikmu, tak perlu lagi kita bicara di sini. Akan kita tentukan siapa yang berhak memperoleh benda itu!"
"Ha ha ha...! Apakah kau pikir tempat benda itu disembunyikan telah kau ketahui"!" ejek Rah-wana sinis.
"Kenapa tidak"! Semua orang kini telah men-getahuinya. Lereng Gunung Watu Mungkur akan dibanjiri oleh tokoh-tokoh persilatan dari berbagai kalangan. Kakang Yatmika telah tiada, dan Ka-kang Setya Durna raib entah kemana sejak terak-hir kali kita menewaskan Kakang Kuntala dan Kakang Tarsiwan. Kau tak punya siapa-siapa lagi sebagai sekutumu. Bagus, Kakang Rahwana. Biar nanti kita tentukan siapa yang paling berhak memiliki benda itu!" kata Roro Ayu sambil berlalu dari tempat itu.
Rahwana termenung beberapa saat lamanya. Dia sama sekali tak mengkhawatirkan adik seper-guruannya itu, tapi..., he, apa benar tempat itu bukan lagi rahasia dan telah banyak diketahui oleh umum" Dengan begitu, pastilah akan terjadi saling rebutan yang akan menimbulkan banyak korban. Berpikir begitu, dia mendecah pelan sambil tersenyum sinis. Ronggo Lawe terkenal se-bagai tokoh sakti yang sulit dicari tandingannya. Meski mereka tak menuruni seluruh kepandaian yang dimiliki, tapi selama ini siapa yang pernah menjatuhkan mereka" Murid-murid Ronggo Lawe selamanya disegani oleh setiap kalangan persila-tan karena ketinggian ilmu silat yang mereka miliki, dan tak sembarang orang yang mencari gara-gara dengan mereka. Apalagi coba-coba beruru-san. Rahwana kembali tersenyum sinis mengingat hal itu. Kemudian mengajak beberapa orang mu-ridnya untuk segera pergi dari padepokan. Tujuan mereka sudah jelas, yaitu Gunung Watu Mung-kur!

* * * * *

Kuda coklat yang berbulu kasar itu terus membawa majikannya berlari dengan kencang se-perti tiada hendak berhenti. Seorang gadis dengan rambut sepanjang punggung diikat pita hijau dan memakai baju serba putih. Di punggungnya ter-sandang sebatang pedang. Wajahnya yang manis dengan kulit kuning langsat, terlihat gusar dan cemas sekali. Ada sesuatu yang bergayut dalam benaknya sehingga dia memacu kudanya dan memaksa hewan itu untuk berlari sekencang-kencangnya.
Tujuan mereka terlihat mendekati Gunung Watu Mungkur yang berdiri gagah perkasa nun jauh di depan sana. Melewati sebuah pinggiran hutan, gadis itu tersentak kaget dan buru-buru menarik tali kekang ketika lima sosok tubuh me-lompat dari sebuah cabang pohon dan mengha-dang perjalanannya. Wajah mereka terlihat kasar dan tak bersahabat sambil memegang senjata masing-masing seperti hendak menakut-nakuti gadis itu.
"Siapakah kalian dan apa maksudnya meng-halangi perjalananku?" tanya si gadis dengan na-da tak senang.
Yang berperut gendut dan bertubuh besar me-nyahut sambil menyeringai lebar.
"Siapa kami, itu tak perlu kau tahu. Tapi siapa adanya kau itulah yang paling perlu. Cah Ayu, apakah kau murid si tua Bhairawa?"
Gadis itu tak langsung menjawab melainkan memandang orang-orang itu dengan seksama, se-olah ingin meyakinkan kebenaran prasangkanya bahwa mereka punya maksud buruk mencegat-nya di sini. Tapi Ki Bhairawa bukanlah orang sembarangan. Gurunya itu memang bukan tokoh terkenal, namun siapapun akan segan kepadanya karena menurut apa yang banyak didengar orang, dia memiliki kepandaian yang cukup hebat.
"Betul, apa yang kalian inginkan dari beliau?"
"Ha ha ha...! Bagus, ternyata usahaku tak sia-sia. He, Cah Ayu turunlah kau dari atas kudamu dan antarkan kami pada gurumu itu!"
"Maaf, Ki sanak. Aku sedang terburu-buru dan tak bisa mengantarkan kalian kepada beliau. Tapi kalau ada pesan bisa disampaikan kepadaku nan-ti akan kuberitahukan kepada beliau."
"Tidak bisa! Justru kaulah yang harus ikut kami!"
"Gondewa, kenapa kau malah berurat leher segala dengan gadis itu" Sudah, sergap dan tang-kap saja agar si tua bangka itu mau menunjuk-kan di mana benda itu berada!" teriak salah seo-rang kawannya.
"Sabarlah, Mantingan! Kita toh tak bisa lang-sung main keras saja. Siapa tahu gadis itu mau diajak bekerja sama," sahut orang yang dipanggil Gondewa itu.
Mendengar kata-kata orang itu, semakin ter-kejutlah hati gadis itu. Dia baru saja pulang ke-kampungnya mengunjungi orang tuanya, dan bu-ru-buru kembali ke Gunung Watu Mungkur un-tuk memperingatkan gurunya karena belakangan ini banyak tokoh-tokoh persilatan akan menuju tempat ini. Meskipun mereka tak tahu-menahu soal patung yang dicari banyak tokoh persilatan itu, namun karena gurunya adalah satu-satunya orang yang berdiam di lereng gunung itu, mau tak mau dia akan terkena getahnya pula.
"Bagaimana, Cah Ayu" Kau tentu mau bekerja sama dengan kami, bukan?" tanya Gondewa den-gan wajah dibuat semanis mungkin.
"Aku tak mengerti maksud kalian...."
"Kau pasti tahu dan mengerti!" potong Gonde-wa cepat.
"Huh, siapa yang peduli dengan apa yang ka-lian mau! Menyingkirlah dan jangan menghalangi jalanku!" sahut gadis itu ketus.
Gadis berbaju putih itu agaknya berangasan dan tak bisa terlalu bersabar. Melihat bahwa ke-lima orang itu sudah terang-terangan akan me-maksanya, dia langsung bersiap-siap dan menarik tali kekangnya kuat-kuat hingga kuda itu me-ringkik sambil mengangkat kedua kaki depannya ke atas.
"Heaaah!"
"Bandel!"
"Hup!"
Melihat itu Gondewa bertindak cepat. Tubuh-nya melompat sambil mencabut golok dan men-gayunkannya ke leher hewan itu. Kuda itu tak sempat meringkik ketika tubuhnya itu ambruk dengan leher tergantung nyaris putus. Masih un-tung gadis itu cepat melompat dengan sigap dan langsung mencabut pedangnya dengan sigap.
"Kurang ajar! Kalian sengaja mencari gara-gara denganku. Huh, terimalah ini pembalasan-ku!"
"Hup!"
Trang! Ujung pedang gadis itu langsung menyambar ke leher, jantung dan pinggang Gondewa. Namun laki-laki itu dengan tangkas menyambutnya den-gan permainan goloknya yang lincah dan ber-hasil menangkis semua serangan lawan tanpa mengalami kesulitan yang berarti. Bahkan ketika gadis itu dengan kalap meningkatkan serangan-nya, Gondewa masih mampu untuk meladeninya dengan menganggap enteng.
"Gondewa, apakah kau masih ingin bermain-main dengan mereka" Cepat bereskan gadis itu atau kau tak mampu melakukannya?" teriak sa-lah seorang kawannya dengan kesal.
"Kau sama saja dengan si Mantingan. Serba tak sabar. Apa kau pikir aku tak mampu me-ringkus bocah ini, he"!"
"Kalau begitu lekas lakukan! Tanganku sudah gatal untuk mendapatkan benda itu!"
"Barangkali memang kau tak mampu mering-kusnya seorang diri. Biarlah kubantu agar cepat selesai!" sahut salah seorang kawannya yang lain sudah langsung melompat dan menyerang gadis itu dengan senjata kapaknya yang berukuran be-sar.
Gondewa tak sempat mencegah. Tapi kalau-pun hal itu dilakukannya, percuma saja. Dia tahu betul kelakuan kawannya yang satu ini. Orangnya memang tak sabaran, namun dia tak cerewet se-perti yang lainnya, melainkan langsung turun tangan untuk menyelesaikan masalah dengan ca-ranya. Contohnya seperti yang dilakukannya se-karang ini.
"Yeaaa...!"
Trak! Ahhh...!" Tuk! "Beres...!" kata kawannya itu sambil menen-teng kapak di pundaknya.
Gadis itu melotot garang sambil memaki-maki tak karuan. Menghadapi Gondewa dia belum ten-tu bisa mengalahkannya, bahkan bisa jadi kalau Gondewa bersungguh-sungguh, dia akan dapat dijatuhkan dengan waktu singkat. Hal itu keliha-tan jelas sekali. Tenaga dalam yang dimiliki Gon-dewa jauh berada di atasnya. Terbukti saat mere-ka beradu senjata, selalu saja gadis itu mengeluh kesakitan karena tangannya yang kesemutan dan telapak tangannya yang terasa perih. Lalu ketika dengan tiba-tiba seorang kawannya membantu, gadis itu tak mampu lagi untuk bertahan lebih
dari dua jurus. Dalam satu kesempatan pedang-nya kena dihajar kapak lawannya hingga terpen-tal, dan saat itulah Gondewa dengan cepat me-nyambar ke arahnya lalu menotoknya hingga le-mas tak bertenaga.
"Keparat-keparat busuk! Lepaskan aku! Aku masih mampu bertarung seribu jurus lagi dengan kalian semua!"
"Ya, kami percaya itu. Tapi saat ini bukan itu yang penting melainkan memaksa si tua bangka Bhairawa itu menunjukkan pada kami di mana letak Patung Kencana itu berada," sahut Gon-dewa tenang.
"Kalian salah alamat! Guruku sama sekali tak tahu menahu soal benda yang kalian inginkan itu!" sentak si gadis itu.
"Kalau begitu dia harus menunjukkan pada kami seluruh tempat di lereng Gunung Watu Mungkur sampai patung itu ketemu."
"Bangsat keparat! Guruku tak sudi menjadi budak kalian!"
"Hm, jadi dia lebih senang melihat muridnya mampus di depan matanya?"
"Jahanam, lepaskan aku! Lepaskaaan...!" te-riak gadis itu terus memaki-maki tak karuan.
Namun dengan tenangnya Gondewa menyam-bar tubuh gadis itu dan membopongnya di pun-dak. Kemudian tanpa banyak bicara mereka sege-ra berlalu dari tempat itu menuju Gunung Watu Mungkur. Namun baru saja berjalan kurang lebih sepuluh langkah, mendadak dua orang penung-gang kuda menghadang di depan mereka. Gondewa dan Mantingan terbelalak karena tahu betul, siapa kedua orang itu.
"Ka..., kau..."!"

* * * * *



---[[[| 6 |]]]---

"Senang bertemu kembali denganmu, Sobat!" sahut salah seorang penunggang kuda itu. Se-orang pemuda tampan berambut panjang terurai dan berompi putih. Di punggungnya terlihat se-buah pedang yang berhulu kepala burung. Pemu-da itu tak lain dari Rangga, alias Pendekar Raja-wali Sakti.
Di sebelahnya yang menunggang kuda berbulu putih adalah seorang berwajah amat cantik me-makai baju biru muda, dengan pedang dan kipas terselip di pinggangnya. Gadis ini tak lain dari Pandan Wangi, atau lebih dikenal dengan julukan si Kipas Maut.
Gondewa dan Mantingan diam dan tak mampu menjawab untuk beberapa saat. Bagaimana pun pengalaman pahit beberapa hari yang lalu amat membekas dalam benak mereka. Betapa dengan mudah kedua orang ini meringkus mereka tanpa bisa mengadakan perlawanan yang berarti.
Namun tidak demikian halnya dengan ketiga orang kawannya itu. Lebih-lebih bagi si gemuk-pendek berbadan kekar yang bersenjatakan kapak itu. Sambil melangkah gusar dia mendekati kedua orang itu dan sudah menyerang dengan senjatanya ke arah leher kuda si Pendekar Raja-wali Sakti.
"Segala bocah bau kencur mau menghalangi langkahku ini! Minggirlah kalian!"
"Wendo, jangan!" Gondewa memperingatkan, namun terlambat sebab kawannya itu telah me-lompat cepat sambil mengayunkan kapaknya.
Namun sebelum serangan itu mendekat, Rangga telah melompat dari punggung kudanya dan menyambar pergelangan tangan lawan den-gan satu tendangan keras.
Tak! "Aouwww...!"
Si gemuk pendek bernama Wendo itu menjerit kesakitan sambil memegangi pergelangan tan-gannya yang patah. Kapaknya telah terpental en-tah ke mana. Sementara pada saat yang bersa-maan, tubuh Rangga telah berada kembali di punggung kudanya.
"Tak seorang pun kuijinkan mengganggu ku-daku selagi aku masih berada di punggungnya!" dengus Pendekar Rajawali Sakti dingin.
"Setan!" Wendo memaki dan kembali melom-pat sambil mengirimkan serangan bertenaga kuat ke arah Rangga.
"Hm, bandel juga rupanya kau ini?"
"Hup!"
Plak! Des! "Aaaakh...!"
Untuk kedua kalinya dia kembali menjerit kesakitan. Kali ini diiringi tubuhnya yang terjungkal sambil mendekap dadanya yang terasa nyeri. Be-berapa tetes darah tampak meleleh dari sudut bi-birnya.
Ketika tadi dia menghantam dengan sebelah tangannya, dengan tangkas Rangga menangkap. Namun agaknya Wendo telah menyiapkan seran-gan selanjutnya melalui tendangan kakinya yang menyapu pinggang lawan. Namun tanpa beranjak dari punggung kudanya, Rangga menangkis ten-dangan lawan dengan tangannya yang satu lagi, persis di tulang kering lawan. Kemudian dengan satu ayunan kuat, ujung kakinya menghantam dada laki-laki bertubuh gempal itu.
"Keparat! Bocah, sayang kau harus mampus di usiamu yang masih muda ini karena keusilan-mu mengganggu urusan orang!"
"Yeaaa...!"
"Gudira! Bebengan! Hentikan...!" teriak Gon-dewa kembali memperingatkan kedua kawannya yang lain agar tidak meneruskan niat mereka me-nyerang pemuda itu.
Tapi peringatan itu sama sekali tak dihirau-kan keduanya. Dengan kalap mereka bermaksud hendak menghabisi nyawa pemuda itu dalam be-berapa saat saja.
Trang! Trak! Cras! Breeeet! "Aaaakh...!"
Kedua orang itu memekik kesakitan ketika
dengan tiba-tiba senjata mereka seperti tersentak dan terlepas dari genggaman. Saat itu pula terasa perih dan nyeri di telinga mereka, diiringi darah yang mengucur deras.
"Hah, telingaku"!" desis mereka bersamaan sambil memandang dua buah daun telinga yang tergeletak di tanah. Tak terasa mereka meraba te-linganya yang telah putus, masing-masing sebe-lah.
Pandan Wangi berdiri tegak sambil meman-dang sinis dengan kedua tangannya masing-masing memegang kipas dan pedang.
"Kalian boleh pilih, tinggalkan gadis itu dan pergi dari sini atau mampus di tanganku..."!"
"Huh, jangan coba-coba! Gudira, Bebengan, dan kau Wendo! Kemari cepat!" teriak Gondewa sambil mencabut golok dan menempelkannya ke leher gadis yang tadi dibopongnya.
"He, jangan main-main denganku kau!" gertak Pandan Wangi mengancam.
"Eeee, jangan bergerak! Sekali kau melangkah, leher gadis ini akan putus!" ancam Gondewa sambil menekankan golok di tangannya ke leher gadis itu.
Bukan main geramnya Pandan Wangi melihat siasat licik yang dilakukan orang itu. Kalau saja tak dilihatnya wajah gadis itu yang pucat pasi ke-takutan, ingin rasanya dia melompat dan me-nebas leher orang itu.
Rangga turun dari kudanya lalu dipinjamnya pedang Pandan Wangi. Namun baru saja dia hen-dak mencoba melangkah, kembali Gondewa
memperingatkan.
"Berhenti! Jangan coba berbuat yang macam-macam atau nyawa gadis ini akan melayang di tanganku"! Kuhitung sampai tiga, dan kalian ha-rus pergi dari sini! Satu...!"
"Lepaskan gadis itu, kalau tidak kau akan ce-laka sendiri. Kuperingatkan kepadamu, bahwa aku mampu bergerak secepat matamu berkedip!" sahut Rangga tenang.
"Dua...!" Gondewa tak memperdulikan dan te-tap menghitung sambil menekankan goloknya di leher gadis itu.
Kali ini bukan saja gadis di dekatnya itu yang bertambah pucat mukanya, Pandan Wangi pun sudah mulai merasa cemas. Dia berusaha untuk membujuk Rangga untuk mengikuti saja keingin-an orang itu. Namun jangankan menyahut, untuk berpaling pun dia tak mau. Matanya menyorot ta-jam ke arah Gondewa.
"Kuperingatkan sekali lagi, lepaskan gadis itu dan kalian bisa pergi dari sini secara baik-baik...."
"Ti...!"
Ctak!!! "Hiiieeeh...!!!!"
"Heh"!"
"Yeaaah...!"

* * * * *

Tap! "Aaakh...!" Gondewa menjerit kesakitan ketika
pergelangan tangannya ditancap pedang di tangan Rangga yang menderu kencang.
Kejadian itu begitu cepat sekali terjadi dan sama sekali tak diduganya. Rangga menjentikkan tangannya dan tiba-tiba kudanya meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi. Perhatian Gondewa sedikit berpaling kare-na keterkejutannya itu, namun waktu yang sing-kat telah cukup bagi Pendekar Rajawali Sakti un-tuk melemparkan pedang Pandan Wangi yang be-rada di tangannya dan menancap tepat di perge-langan tangan Gondewa yang sedang meng-genggam golok. Dia memekik kesakitan, dan go-loknya terlepas dari genggamannya. Rangga tak menyia-nyiakan kesempatan ini. Tubuhnya me-lompat cepat menyambar gadis itu yang berada di dekat lawannya, kemudian dengan cepat berdiri tegak pada jarak tujuh langkah dari Gondewa sambil membebaskan gadis itu dari totokan.
"Aku telah memperingatkan kepadamu, tapi kau masih juga membandel. Sekarang pilihlah hukumanmu, kukorek jantungmu atau kutebas lehermu?" tanya Rangga dengan suara dingin dan sorot mata tajam menusuk.
Paras Gondewa mulai pucat ketakutan. Ba-gaimana mungkin ada manusia yang bisa berge-rak secepat itu" Pikirnya. Melempar pedang, me-nyelamatkan gadis itu, dan mencabut kembali pedang yang menancap di pergelangan tangan-nya, lalu melompat dengan ringan dan tahu-tahu telah berada di depannya sambil menjulurkan ujung pedang yang masih berdarah.
"Eh, aku..., aku...."
"Jawab! Atau semua kawanmu bakal mampus di tanganku juga!" bentak Rangga keras sambil melangkah perlahan-lahan mendekati.
Gondewa melirik kepada kawan-kawannya. Mereka terlihat sama ketakutan seperti dirinya, dan tak mampu untuk berbuat apapun. Apalagi ketika Pandan Wangi bersama gadis yang mereka tolong mulai melangkah mendekati. Seolah men-gisyaratkan bahwa tak ada jalan kabur bagi me-reka.
"Am..., ampunkan kami, Tuan Pendekar...," terdengar suara Gondewa bergetar.
"Hm, apakah kau pikir aku akan mengampuni kalian begitu saja" Kau dan kawanmu itu telah melakukan yang salah lagi, terhadap seorang pe-rempuan. Dan itu sangat aku benci. Kalian sudah sepatutnya mampus!" dengus Rangga.
Ujung pedangnya telah menyentuh leher Gon-dewa. Wajah orang itu terlihat semakin pucat dan keringat sebesar butiran jagung mulai mengucur di wajah dan tubuhnya. Apalagi ketika ujung pe-dang di tangan Rangga mulai menekan di leher-nya.
"Bagaimana rasanya kalau kau yang merasa-kan bahwa kematianmu cuma menunggu waktu saja?"
Gondewa tak mampu untuk menjawabnya. Bahkan untuk menelan ludahpun dia sangat ta-kut sekali. Bola matanya terbelalak lebar, dan jantungnya seperti berhenti berdetak saking ce-masnya.
"Pergilah sebelum hilang kesabaranku...," lan-jut Rangga sambil menarik pedang dan me-langkah meninggalkan mereka.
Gondewa terduduk lemas dengan nafas mem-buru lega. Mantingan buru-buru menghampiri dan membantunya untuk berdiri. Sementara keti-ga kawannya yang lain telah lari terbirit-birit begi-tu mendengar ucapan Rangga tadi.
"Ingat! Jangan sampai kutemukan lagi kalian pada peristiwa yang sama, sebab saat itu sudah tak ada lagi ampunan bagi kalian!" lanjut Rangga dingin.
Gondewa dan Mantingan mengangguk bersa-ma. Mereka berlalu dari tempat itu dengan ter-buru-buru.
"Ki sanak berdua, terima kasih atas pertolon-gan kalian. Namaku Puspa Rini, murid Eyang Bhairawa. Tempat kami tak berapa jauh lagi dari sini. Jika kalian sudi, guruku tentu akan senang sekali menerima kedatangan kalian berdua...," ka-ta gadis berbaju putih itu sambil memberikan sa-lam penghormatan.
"Sudahlah. Hal itu persoalan biasa antar ma-nusia untuk saling tolong menolong. Aku Pandan Wangi dan dia Rangga. Hm, kulihat kau me-nunjuk ke arah lereng Gunung Watu Mungkur. Apakah gurumu tinggal di sana?"
"Betul...."
"Baiklah. Kalau memang kau tak keberatan, kami senang sekali menerima tawaranmu itu. Bu-kan begitu, Kakang?"
"Ya...," sahut Rangga mengangguk pelan.
"Eh, ng..., maaf. Apakah kehadiran kalian di tempat ini karena ada keperluan khusus?"
"Maksudmu?" tanya Pandan Wangi.
"Soal.... Patung Kencana...?" pelan terdengar suara gadis itu.
Pandan Wangi dan Rangga saling pandang un-tuk beberapa saat, kemudian berpaling kembali pada Puspa Rini.
"Apakah kau tahu banyak soal benda itu?" tanya Rangga.
"Aku, eh..., aku sama sekali tak tahu menahu soal benda itu. Bahkan mendengarnya pun baru kemarin...."
"Lalu kenapa kau menduga bahwa kehadiran kami di sini karena benda itu?" desak Rangga.
"Maaf, Ki sanak berdua. Aku sama sekali tak bermaksud buruk pada kalian. Tapi kudengar bahwa akan banyak tokoh persilatan yang akan menuju lereng Watu Mungkur untuk mempe-rebutkan patung itu. Aku sama sekali tak ber-minat. Kukira begitu juga halnya dengan guruku. Tapi karena beliau berada di sana, aku hanya khawatir akan menjadi sasaran tokoh-tokoh per-silatan dan menganggap bahwa guruku menyem-bunyikan benda itu. Padahal setahuku, beliau sama sekali tak mengetahui adanya benda itu di lereng Gunung Watu Mungkur," jelas Puspa Rini.
"Hm, begitu...," gumam Rangga.
Mereka kemudian menceritakan maksudnya datang ke tempat ini sesuai dengan amanat yang diterima Rangga.
"Oh, jadi..., jadi Ki sanak ini adalah Pendekar
Rajawali Sakti yang termashur itu"! Dan..., dan Ni sanak ini pastilah si Kipas Maut yang amat ter-kenal"! Oh, sungguh suatu kehormatan bagi-ku bisa bertemu dengan kalian berdua, dan guruku pasti akan senang menerima tamu seperti kalian!" Silahkan!" sahut Puspa Rini dengan wajah takjub dan girang begitu mendengar siapa kedua muda-mudi itu.
Karena kudanya telah mati dibunuh oleh ka-wanan tadi, Pandan Wangi mengajaknya untuk naik ke punggung kudanya. Dan tak berapa lama mereka telah melanjutkan perjalanan mendaki le-reng Gunung Watu Mungkur.

* * * * *

Apa yang diduga oleh mereka tak salah. Le-reng Gunung Watu Mungkur yang tadinya sunyi dan sepi kini telah dipenuhi oleh banyak orang. Tempat itu tak ubahnya bagai sebuah per-kampungan yang ramai. Padahal tadinya jarang sekali ada orang yang mau menginjakkan kakinya di tempat ini. Selain keadaan alamnya yang ger-sang, di tempat itupun banyak terdapat jebakan-jebakan maut yang mematikan. Yaitu berupa ju-rang-jurang terselubung ranting dan batu-batu-an, serta perangkap-perangkap alam berupa ko-lam-kolam lahar yang terus menggelegak setiap saat. Berbeda dengan gunung berapi lainnya, ma-ka Gunung Watu Mungkur banyak memiliki ko-lam-kolam lahar pada lereng-lerengnya yang memiliki tebing curam dan terjal.
"Eyang...!" Puspa Rini tersentak kaget ketika mendengar suara teriakan di kejauhan ketika me-reka menuju tempat kediaman gurunya.
"Ayo, cepat kita lihat!" sentak Rangga sambil memacu kudanya lebih kencang.
Namun jalan yang mereka lalui semakin me-nanjak sehingga sulit bagi kuda-kuda itu untuk berlari cepat. Bahkan untuk berjalan dengan membawa beban di punggungnya saja mereka se-ring tergelincir. Rangga menyadari hal itu dan menuntun kudanya mendaki. Demikian pula hal-nya dengan Pandan Wangi.
Kecemasan Puspa Rini terbukti ketika melihat seorang laki-laki tua berusia sekitar enam puluh tahun berbadan tinggi langsing, sedang di-kerubuti oleh beberapa orang tokoh persilatan. Kepandaian orang tua itu terlihat hebat dan lihai sekali. Namun para pengeroyok pun agaknya bu-kan orang sembarangan pula.
"Eyang...!" Puspa Rini berteriak nyaring sambil melompat cepat hendak membantu gurunya itu. Namun dua orang dari para pengeroyok itu lang-sung mengalihkan perhatiannya dan segera me-mapaki serangannya sehingga gadis itu terlihat gelagapan.
"Yeaaaah...!"
Plak! Trang! Des! "Aaaakh...!"
Pada saat yang kritis itu, Rangga dan Pandan
Wangi bergerak cepat menghalau serangan ke-dua lawannya itu. Terdengar suara senjata ber-dentang ketika pedang di tangan Pandan Wangi menghantam senjata lawan. Rangga sendiri me-nundukkan kepala sambil mengibaskan tangan-nya menghantam pergelangan tangan lawan. Ke-mudian pada saat yang hampir bersamaan kepa-lan tangan yang satu lagi menyodok perut la-wan. Begitu pula halnya dengan si Kipas Maut. Ujung kaki kirinya menghantam telak pinggang kiri la-wan. Kedua orang itu menjerit kesakitan dengan tubuh terjungkal.
"Setan! Siapa yang berani kurang ajar, he"!" bentak salah seorang pengeroyok si orang tua dengan suara nyaring.
Melihat kedua kawannya berteriak kesakitan, hal itu sudah mengejutkan yang lainnya. Mereka menghentikan pertarungan dan melihat sepasang muda-mudi telah berada di tempat itu. Salah seo-rang yang berkulit hitam dan kasar dengan ram-but panjang yang kotor menatap tajam ke arah kedua muda-mudi itu dengan wajah sinis.
"Ki sanak, kulihat pertarungan itu tak jujur. Bagaimana mungkin kau bisa melakukannya" Hal itu adalah perbuatan rendah dan tak terpuji," sahut Rangga santai.
"Hm, aku kenal siapa kau, Bocah. Kaukah yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti?" dengus orang itu penuh selidik.
"Agaknya akalmu sejeli matamu. Benar apa yang kau duga itu, Ki sanak...."
"Ha ha ha...!"
Tiba-tiba orang itu tertawa terbahak-bahak seolah ada sesuatu yang dianggapnya lucu. Entah itu dari sikap Rangga atau kata-katanya barusan. Tentu saja hal itu membuat si Pendekar Rajawali Sakti menjadi heran.
"Ki sanak, kalau bukan seorang periang pasti-lah kau seorang yang kurang waras. Kenapa kau tertawa tanpa sebab?"
"Setan! Apa kau bilang, aku gila" Phuiih! Apa kau pikir dirimu sudah kelewat jago berani bicara begitu terhadap si Bayangan Maut"!" dengus orang itu sambil menunjukkan muka dengan ga-rang.
"Hm, kau rupanya si Bayangan Maut yang su-dah kesohor itu. Lalu kenapa kau ketawa tanpa sebab?"
"He, siapa bilang aku ketawa tanpa sebab"! Justru karena ada sebab makanya aku ketawa. Coba pikir! Bukan rahasia lagi, kalau siapapun yang datang ke tempat ini menginginkan Patung Kencana. Untukku yang bejad dan busuk sudah sewajarnya memperebutkan benda itu, tapi bagi seorang Pendekar yang selalu sok bersikap adil, bijaksana, dan sok bersikap baik seperti Pende- kar Rajawali Sakti, ternyata tak lebih dari seekor anjing yang rakus pula! He he he...!"
"Bayangan Maut, jaga mulutmu!" bentak Rangga berang mendengar kata-kata menghina itu.
"Kenapa" Kau menolak tuduhan itu" Lalu apa urusannya kau ke sini kalau bukan karena pa-tung itu"!"
"Memang aku ke sini karena patung itu, tapi bukan kemauanku sendiri, melainkan karena mendapat amanat dari seseorang!"
"Alaaah! Tak usah berpura-pura dan mencari kambing hitam! Katakan saja kau pun mengin-ginkan pelajaran ilmu silat yang berada di dalam patung itu. Apakah kau merasa malu namamu bakal jatuh kalau kau berterus terang begitu, he"!" ejek si Bayangan Maut kembali.
"Setaaan...!" Pendekar Rajawali Sakti memaki.
"Ha ha ha...! Kau marah-marah karena tak mampu menghindari dari tuduhanku yang benar itu, bukan" Nah, untuk apa banyak berdalih se-gala macam?"
Kalau saja menurutkan perasaan hati, ingin rasanya saat itu juga dia melompat dan menam-par mulut si Bayangan Maut yang pedas itu dan membuatnya hancur. Tapi Rangga menyabarkan hatinya. Orang itu terlihat pandai bersilat lidah dan pandai pula membuatnya marah. Tapi men-dadak pada saat itu terdengar suara riuh dari tempat yang tak begitu jauh dari situ. Salah seo-rang berteriak diikuti oleh yang lainnya.
"Patung Kencana telah ditemukan" Patung Kencana telah ditemukan...!!!"
"Heh"!"

* * * * *



---[[[| TUJUH |]]]---

Pada saat Rangga sedang bertarung itu, Puspa Rini buru-buru menghampiri gurunya dan me-numpahkan kekhawatirannya terhadap orang tua itu. Syukur bahwa Ki Bhairawa tak kurang suatu apapun. Padahal dia sudah begitu khawatir. Bu-kan saja para pengeroyok itu berkepandaian ting-gi, tapi juga karena beberapa orang tokoh persila-tan banyak menonton pertarungan itu. Agaknya mereka siap mencuri kesempatan disaat kedua belah pihak sedang bertarung. Hal itulah yang amat menggelisahkannya. Namun dengan adanya keributan kecil di lereng sebelah atas, orang-orang yang berada di tempat ini langsung ber-hamburan menuju ke atas. Begitu juga halnya dengan si Bayangan Maut beserta anak buahnya.
"Pendekar Rajawali Sakti, kalau kau mau me-lanjutkan urusan kita ini kau boleh menunggu setelah urusanku beres!" kata si Bayangan Maut sambil mengajak anak buahnya untuk segera ber-lalu dari tempat ini dengan bergegas.
"Maaf, Bayangan Maut. Mungkin kita tak akan lama berpisah...," sahut Rangga sambil tersenyum kecil.
Si Bayangan Maut tak sempat lagi mengacuh-kan kata-kata pemuda itu. Dalam benaknya su-dah terbayang benda yang selama ini diimpi-impikannya itu. Sehingga dia sepertinya lupa bahwa kedatangan Pendekar Rajawali Sakti ke tempat ini juga atas benda itu.
"Bagaimana Kakang" Apakah kita akan ke sa-na juga untuk merebut benda itu?" tanya Pandan Wangi sudah tak sabar.
Rangga tersenyum kecil sambil menyahut pe-lan. Bahkan terdengar sayup-sayup di telinga ga-dis itu.
"Hm, apakah kau ingin mandi keringat dan bau amis diantara sekelompok orang-orang yang tengah berebutan itu?"
"Apa maksudmu, Kakang...?" Pandan Wangi bertanya-tanya dengan wajah bingung.
Namun Rangga tak sempat menjawab ketika Ki Bhairawa dan Puspa Rini mendekat ke arah mereka.
"Pendekar Rajawali Sakti dan Kipas Maut, ah sungguh suatu kehormatan besar bisa bertemu dengan kalian berdua. Terima kasih atas perto-longan kalian," ujar Ki Bhairawa memberi salam penghormatan.
Rangga dan Pandan Wangi segera membalas salam penghormatan itu.
"Ah, lupakanlah, Ki sanak. Kalau tak salah bukankah Ki sanak ini adalah Ki Bhairawa?" tanya Rangga.
"Benar, Ki sanak. Akulah Ki Bhairawa. Aku-akan merasa dihormati kalau kalian berdua sudi" mampir ke tempat gubukku yang reot...."
"Terima kasih, Ki. Kami senang sekali...," sa-hut Rangga.
Keduanya segera mengikuti orang tua itu ber-sama muridnya ke sebuah pondok yang tak jauh dari situ.
Ki Bhairawa memang seorang yang sabar lagi bijaksana, disamping seorang tuan rumah yang baik. Dia sama sekali tak menunjukkan kekhawa-tirannya atas peristiwa yang baru saja terjadi itu. Juga tak terbesit kegelisahannya melihat begitu banyak tokoh persilatan hadir di sekeliling-nya. Mereka saling memperkenalkan diri, berbincang-bincang hingga kedua tamunya itu meng-utarakan maksud kedatangan mereka ke tempat ini.
"Hm, hal itu memang sudah kuduga...," sahut Ki Bhairawa halus sambil tersenyum pahit.
"Maaf, Ki. Ki sanak jangan salah paham. Aku sama sekali tak bermaksud menyerakahi benda itu, namun sekedar menjalankan amanat orang itu. Lagipula jika ada seseorang yang bisa diper- caya, tentu saja aku rela benda itu dimiliki oleh- nya. Namun seperti Ki sanak ketahui, kepan- daian Ki Ronggo Lawe yang dituangkannya ke da-lam coretan dan guratan yang terdapat dalam pa-tung itu sungguh hebat dan tiada bandingan-nya. Kalau sampai jatuh ke tangan orang yang salah, maka kekacauan dan malapetaka akan terjadi di mana-mana...," jelas Rangga.
"Ya, aku mengerti hal itu. Aku juga percaya akan apa yang kau katakan tadi, Ki sanak. Juga percaya bahwa kau adalah orang yang tepat un-tuk menyimpannya...."
"Terima kasih, Ki. Kalau demikian kami akan melihat keadaan di atas sebelah sana, tempat orang-orang itu sedang memperebutkan benda itu," kata Rangga sambil beranjak dan bermaksud
meninggalkan tempat itu.
"Tunggu dulu, Ki. Apakah kau tak mengingin-kan patung itu?" tanya Ki Bhairawa.
"Tentu saja!"
"Duduklah dahulu...," lanjut Ki Bhairawa.
Rangga memandang orang tua itu dengan wa-jah heran. Ki Bhairawa kelihatan serius sekali. Apalagi ketika dia menarik nafas panjang, dan terdiam beberapa saat lamanya. Rangga dengan sabar menunggu orang tua itu melanjutkan uca-pannya.
"Patung Kencana telah kusembunyikan di tempat aman...."
"Apa"!"
Rangga dan Pandan Wangi terkejut mendengar kata-kata orang tua itu. Demikian juga dengan Puspa Rini. Selama ini dia sama sekali tak menge-tahui bahwa gurunya tahu menahu soal benda yang dicari tokoh persilatan itu.
"Harap jangan salah sangka dulu. Beberapa hari yang lalu aku pergi ke kota dan sempat men-curi dengar pembicaraan beberapa orang yang, mengatakan bahwa Patung Kencana peninggalan Ki Ronggo Lawe berada di kawasan Watu Mung- kur. Sepulangnya dari sana aku mencari benda itu disekeliling tempat ini dan akhirnya menemu-kannya. Tapi percayalah, aku sama sekali tak bermaksud menyerakahinya. Aku mengerti bahwa benda itu bukan milikku, jadi aku menyimpannya di tempat lain agar dapat kuberikan kepada orang yang berhak di kemudian hari," kata Ki Bhairawa menjelaskan.
"Tapi, kenapa Ki sanak kelihatan tenang-tenang saja, padahal benda itu telah ditemukan oleh orang-orang"!" tanya Rangga bingung.
"Benda itu palsu. Aku membuat patung yang serupa dengan sepuhan keemasan untuk me- ngecoh mereka...."
"Hm, sungguh cerdik sekali! Tapi apakah Ki- sanak yakin bahwa benda itu telah betul-betul aman disembunyikan...?"
Ki Bhairawa belum sempat menjawab ketika mendadak terdengar suara bentakan dari luar.
"Tua bangka busuk, keluar kau cepaaaat...!"
"Heh"!"

* * * * *

Ki Bhairawa serta muridnya dan kedua ta-munya itu tersentak kaget dan bergegas menuju keluar. Mereka lebih terkejut lagi ketika tempat itu telah dikepung dari segala penjuru oleh berba-gai tokoh persilatan. Namun dengan langkah mantap dan wajah tak gentar, Ki Bhairawa perla-han-lahan melangkah ke halaman depan rumah-nya. Kemudian berhenti setelah tujuh langkah, la-lu memandang mereka berkeliling.
"Ki sanak semua, ada keperluan apa kalian memanggilku keluar dari pondokku"!" teriak Ki Bhairawa dengan suara lantang dan tegar.
"Setan busuk! Kami tak mau debat omong se-gala denganmu. Mana Patung Kencana yang kau sembunyikan itu"!" bentak salah seorang yang
bertubuh besar dengan dahi lebar. Sepasang ma-tanya bulat dengan hidung bulat dan besar. Gi-ginya terlihat hitam kekuning-kuningan ketika menyeringai lebar. Di tangannya tergenggam se-buah gada berduri.
"Hm, kalau tak salah kau adalah si Bandul Kematian, bukan" Kenapa kau menuduhku me-nyembunyikan benda yang sama sekali tak ku-ketahui?" sahut Ki Bhairawa setenang mungkin.
"Tua bangka, jangan coba bersandiwara di de-pan kami. Kau sengaja telah mengecoh dengan membuat patung palsu sementara yang aslinya kau sembunyikan! Kau kira kami dapat kau ki-buli, he" Patung palsumu itu telah hancur dan terbukti bukan terbuat dari emas. Sedangkan pa-tung yang asli konon terbuat dari emas murni. Apalagi jawaban yang akan kau berikan"!" ben-tak si Bandul Kematian dengan wajah semakin berang.
"Ki Bhairawa, lebih baik kau berikan patung itu kepadaku. Aku lebih berhak darimu sebab akulah murid Eyang Ronggo Lawe!" timpal salah seorang perempuan tua berambut panjang ter-urai yang tak lain dari Roro Ayu.
"Kisanak, akulah yang berhak atas benda itu! Aku murid nomor dua dan lebih berhak dari se-galanya atas peninggalan Eyang Ronggo Lawe!" sahut seseorang yang tak lain dari Rahwana.
"Rahwana, dan kau Roro Ayu! Huh, seenak-nya kalian bicara tentang milik dan hak. Patung itu kini telah menjadi milik semua orang yang menemukannya. Kalian adalah manusia serakah,
dan guru kalian mengetahui hal itu hingga tak mewariskannya kepada kalian. Kalau memang Ronggo Lawe merestui, dia pasti tak usah bersu-sah payah membuat guratan dipatung itu tapi mengajarkannya langsung kepada kalian. Bukan begitu, kawan-kawan"!!" teriak seseorang bertu-buh kurus dan tinggi bagai jerapah.
"Betul! Apa yang dikatakan si Setan Jerang- kong memang benar. Si Rahwana dan Roro Ayu sama sekali tak berhak memiliki benda itu. Ki Ronggo Lawe sendiri telah mengisyaratkannya dengan membuat patung itu!" teriak yang lainnya menimpali.
Dan untuk beberapa saat tempat itu gemuruh oleh caci-maki dan hinaan terhadap kedua orang itu. Namun Rahwana dan Roro Ayu terlihat te-nang-tenang saja.
"Diam kalian semua...!!"
"Heh"!"
"Aaakh...!"
Dengan tiba-tiba Rahwana membentak keras dengan suara menggelegar seperti guntur dan mengejutkan mereka yang berada di tempat itu. Beberapa orang yang memiliki tenaga rendah su-dah menjerit kesakitan sambil mendekap kedua daun telinganya rapat-rapat. Dari situ keluar cai-ran darah. Begitu juga halnya dari lobang hidung dan kedua kelopak mata. Bahkan beberapa orang tampak bergulingan sambil menjerit kesakitan dan tewas beberapa saat kemudian.
"Setan! Kau pikir dirimu sudah terlalu hebat dengan pamer tenaga dalam begitu, heh"!" maki
si Setan Jerangkong geram.
"Huh! Kalian bisa berbuat apa kepadaku" Aku yang berhak atas patung itu dan siapapun yang keberatan boleh berhadapan dan terima ke-matiannya"!" teriak Rahwana jumawa.
"Coba lihat! Agaknya si Rahwana telah men-ganggap dirinya sebagai jago yang tak terkalah-kan. Bukankah dengan kata-katanya itu berarti dia memandang rendah pada kita semua"! Bah-kan secara tak langsung dia menantang kita se-mua yang berada di sini. Ayo, apa lagi yang di-tunggu"! Kita hajar dia beramai-ramai!!!" teriak seorang bertubuh kecil dan kurus dengan suara lantang dan nyaring.
Selama ini Rahwana memang tokoh yang dis-egani. Selain murid Ki Ronggo Lawe yang sudah kesohor memiliki kepandaian setinggi langit, se-pak terjangnya pun sangat mengejutkan dan membuat takut banyak kalangan persilatan. Be-lum ada seorang tokoh pun yang selama ini bisa selamat dari hajarannya. Kebanyakan dari mere-ka tewas sebab Rahwana tak pernah membiarkan musuhnya hidup lebih lama. Dia selalu mengha-jar lawan sampai mati.
Tapi kali ini keadaan terbalik. Rahwana cu- ma ditemani lima orang muridnya, sedangkan tempat ini dipenuhi oleh tokoh-tokoh persilatan berilmu tinggi dari berbagai macam aliran. Di an-tara mereka pun banyak yang menaruh dendam terhadapnya. Maka melihat jumlah mereka yang banyak, keberanian mereka menyala-nyala. Apa-lagi ketika tokoh bertubuh kecil dan kurus tadi
membakar semangat mereka terus-menerus. Ma-ka bagai minyak lampu disiram api, kebencian dan rasa seram mereka semakin morak saja.
"Betul! Lebih baik kita hajar saja dia!"
"Serbu, Rahwana!"
"Cincang tubuhnya...!!!"
"Pegang lehernya dan bunuh dia...!!!"
Maka bagai tanggul bendungan yang jebol, le-bih dari lima puluh tokoh-tokoh persilatan me-nyerbu ke arah Rahwana dan murid-muridnya. Rahwana sama sekali tak menyangka hal itu akan terjadi. Dia bahkan memperkirakan mereka tak akan berani menantangnya. Kalaupun ada satu dua orang yang mempunyai adat yang keras dan pantang dihina. Namun dengan penuh keyakinan dia merasa mampu mengalahkan siapa pun yang ada di sini. Tapi sekian banyak tokoh persilatan yang berada di tempat ini menyerbu ke arahnya, sama sekali tak pernah diduganya!
"Orang itu memakan buah dari kesombong-annya sendiri...," gumam Ki Bhairawa pelan.
"Apakah kira-kira mereka mampu mengalah-kannya, Eyang...?" tanya Puspa Rini polos.
Orang tua itu tersenyum kecil, kemudian me-mandang kepada Rangga.
"Bagaimana menurutmu pertanyaan muridku itu, Ki sanak?"
Rangga hanya tersenyum kecil.
"Sepotong lidi mungkin akan patah begitu menghantam sebatang ranting. Tapi apakah rant-ing akan tahan menahan hantaman batang lidi yang terikat menjadi satu?"
Jawaban bijak yang dikeluarkan Rangga cepat dimengerti oleh Puspa Rini. Gadis itu meng-angguk pelan. Mendadak terdengar satu suara menyahuti.
"Tapi tak semua orang setolol itu mengga-bungkan diri sementara ada urusan yang lebih penting!"
"Heh"!"
Yang mengeluarkan suara itu adalah perem-puan tua berambut panjang yang terurai sambil tersenyum sinis. Perempuan itu tak lain dari Roro Ayu. Bersama dengannya juga terlihat beberapa tokoh persilatan yang agaknya tak mem-perdulikan pertarungan itu. Mereka melangkah mendekati Ki Bhairawa dengan sikap mengan-cam.
"Ki Bhairawa, berikan patung itu maka ku-jamin kau akan selamat!" lanjut Roro Ayu dengan suara mengancam.

* * * * *

"Nyi Roro Ayu, kau termasuk orang yang sera-kah. Meski aku tahu dimana benda itu berada, jangan harap akan kuberikan kepadamu," sahut Ki Bhairawa dingin.
"Keparat! Kalau begitu terimalah kematian-mu!" bentak perempuan tua itu sambil melompat cepat dan menyerang Ki Bhairawa.
"Hup!"
Ki Bhairawa tersentak kaget. Kehebatan murid-murid Ki Ronggo Lawe telah kesohor ke mana-mana, namun baru kali ini dia membuktikannya sendiri dengan bertarung langsung atas murid termudanya. Padahal menilik usia jelas Nyi Roro Ayu lebih tua beberapa puluh tahun di banding Ki Bhairawa. Tapi gerakannya gesit bukan main ba-gai seekor burung walet. Dan angin serangannya bagai topan prahara yang mampu membuat jan-tungnya berdebar-debar dan tubuhnya tersentak kaget sekali. Orang tua itu tak yakin apakah dia mampu mengimbangi lebih dari tujuh jurus se-rangan lawan. Diam-diam dia mengeluh sendiri.
Sementara itu Rangga, Pandan Wangi, dan Puspa Rini tak sempat bertindak apa-apa. Be-berapa tokoh persilatan yang tadi berdiri di situ telah menyerang mereka untuk melampiaskan kekesalannya terhadap Ki Bhairawa.
"Huh, cecunguk-cecunguk busuk! Lebih baik kalian mampus dari pada nantinya membuat su-sah!"
"Yeaaah...!"
"Setan keparat! Mampus rupanya kalian, he"!" maki Pandan Wangi geram sambil mencabut ki-pas mautnya dan menghadapi mereka dengan amarah yang meluap.
Rangga sendiri tak kalah geramnya melihat si-kap mereka. Tubuhnya melompat dengan ringan untuk menghindari serangan-serangan mereka. Kemudian sesekali hantaman kepalan tangan dan tendangan kakinya menyodok dada dan perut la-wan membuat mereka terjungkal sambil menjerit kesakitan.
Plak! Begkh! "Aaakh...!"
Lain halnya dengan Pandan Wangi. Dia ber-tindak telengas terhadap para pengeroyoknya dan ujung kipasnya yang tajam dan kuat bagai malai-kat maut pencabut nyawa. Dalam waktu singkat habislah mereka semua tewas di tangannya. Be-berapa orang lagi kabur terbirit-birit menyela-matkan diri. Namun mana mau gadis itu mem-biarkannya saja. Tubuhnya bergerak cepat sambil menyambar pedang di pinggang. Sambil bersalto indah.
"Yeaaah...!"
Cras! Crab! "Aaa...!"
Dua orang yang terdekat memekik sesaat se-belum roboh dengan nyawa putus ketika ujung kipas Pandan Wangi menyambar leher. Sedang-kan seorang lagi yang berjarak agak jauh, men-jerit kesakitan ketika pedang yang dilemparkan gadis itu menancap di punggung kiri dan terus menembus ke jantung. Dia menggelepar-gelepar sesaat, kemudian diam tak bergerak.
Sedangkan Rangga terlihat lebih bijaksana. Dia mendiamkan saja ketika lawan-lawannya ka-bur dengan membawa luka-luka dalam yang cu-kup parah akibat hajaran dan. tendangannya. Orang terakhir yang sedang bertarung dengan Puspa Rini ciut nyalinya begitu melihat kedua muda-mudi itu melangkah mendekatinya. Tanpa
diperintah lagi dia segera angkat kaki dari tempat itu menyusul kawan-kawannya.
Mendadak terdengar pekik kesakitan Ki Bhai-rawa yang disusul tubuhnya yang terjungkal di dekat ketiga orang itu. Puspa Rini cepat memburu dengan wajah cemas ketika melihat darah men-gucur deras dari mulut gurunya itu.
"Puspa, awaaas...!"
"Yeaaah...!"
"Hiyaaa...!"
Glaaaar! Pada saat yang bersamaan, tubuh Nyi Roro Ayu mencelat dan bermaksud mengirim serangan susulan. Kedua telapak tangannya merah mem-bara bagai nyala api. Pandan Wangi mencoba memperingatkan, namun agaknya Puspa Rini akan terlambat menghindar, kalau saja saat itu Rangga tak langsung bertindak, niscaya kedua orang itu, guru dan murid akan binasa ber-samaan.
Nyi Roro Ayu tersentak kaget. Dipandanginya pemuda itu beberapa saat lamanya seolah tak percaya bahwa ada orang yang mampu menahan pukulan mautnya.
"Siapa kau, Bocah dan siapa gurumu" Jawab, sebelum kupatahkan lehermu!" bentaknya men-gancam.
Rangga tersenyum sinis mendengar kata-kata perempuan tua itu. Dia mengetahui bahwa mu-rid-murid Ki Ronggo Lawe memiliki kemampuan yang hebat. Itulah sebabnya yang membuat dia tak mau gegabah saat menangkis pukulan lawan
tadi. Sambil mengerahkan tenaga dalam yang kuat, Pendekar Rajawali Sakti memapaki dengan mengeluarkan jurus Pukulan Maut Paruh Raja-wali. Akibatnya yang dirasakannya sungguh lu-mayan hebat. Jantungnya berdegup lebih ken-cang saat kedua telapak tangan mereka bertemu. Dan nafasnya kelihatan tak beraturan menahan himpitan pukulan lawan. Namun sebisa mungkin dia berusaha menenangkan diri dan tak memper-lihatkan keterkejutannya itu.
"Nyi sanak, nenekku seorang cerewet yang se-lalu memerintahku dan menakut-nakutiku. Tapi semakin dia berbuat begitu semakin senang aku melawannya. Bahkan kalau tak ingat dia nenek-ku, ingin rasanya kutampar mulutnya yang cere-wet itu. He, kau persis nenekku, tapi kau bukan dia. Nah, bisa kau duga apa yang ingin kulaku-kan dengan mulutmu yang ceriwis itu," sahut Rangga sambil tersenyum kecil mengejek.

* * * * *



---[[[| 8 |]]]---

Bukan main geramnya Nyi Roro Ayu menden-gar jawaban pemuda itu. Sepasang kelopak ma-tanya terbuka lebar dan raut wajahnya me-nampakkan kebengisan hatinya. Dalam pikiran-nya itu, pemuda ini adalah seorang yang baru tu-run gunung dan percaya betul akan kehebatan
ilmu silat serta kepandaian yang dimilikinya. Ma-ka dengan mengkertak rahangnya dia bergerak cepat sekali menghajar pemuda itu. Dalam per-hitungannya lawan tak akan sempat mengelak dan binasa dalam sekali pukul saja. Tak heran bi-la dia mengerahkan tenaga dalam kuat-kuat. Dan dia mempersiapkan pukulan mautnya yang berli-pat ganda. Kedua tangannya mengeluarkan bara api yang menyala-nyala dan menimbulkan hawa panas pada radius lima tombak dari tubuhnya.
"Heaaah...!"
"Heh!"
Rangga tersentak dan cepat mundur. Sejak tadi dia memang telah bersiap diri menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi. Namun dia tak menyangka bahwa lawan bermksud menghabisinya secepat mungkin sehingga me-ngeluarkan seluruh kemampuannya yang dimili-ki. Tubuhnya melinting ke atas sambil mencabut pedang pusaka. Dia tahu betul bahwa tenaga da-lam lawannya hebat luar biasa, dan belum tentu berada di bawahnya. Demikian pula dengan pu-kulan maut yang akan dihajarkannya kepada di-rinya. Dia langsung mempersiapkan jurus am-puhnya yaitu Pedang Pecah Sukma.
"Hiyaaa...!"
Wuuut! Seberkas sinar biru menerangi tempat itu un-tuk beberapa saat ketika batang pedang itu ke-luar dari warangkanya. Lalu dengan cepat pula dia menyambar tubuh lawan yang meliuk-liuk menghindari. Kedua orang itu bertarung dengan
tempo cepat sehingga yang terlihat hanya sinar biru bergulung-gulung dan lesus angin kencang dan batu-batu yang berjatuhan.
"Kakang Rangga...!?" desis Pandan Wangi" ter-kejut. Dia belum pernah melihat Rangga ber-' ta-rung sehebat ini sebelumnya.
Pandan Wangi memiliki tenaga bathin yang cukup hebat sehingga dia mampu mengikuti ja-lannya pertarungan antara keduanya. Hal itulah yang membuatnya sedikit khawatir. Meski Rangga berusaha mendesak dengan permainan jurus-jurus pedangnya yang hebat, namun lawanpun masih sempat mengirim serangan gencar. Dia pun bisa menduga bahwa hanya ilmu peringan tubuh yang dimiliki perempuan tua itu yang amat sem-purna, mampu menghindari dirinya dari sam-baran pedang lawan dan berbalik menyerang. Ge-rakannya pun cukup gesit. Dan bila dibanding-bandingkan akan terlihat bahwa Nyi Roro Ayu memiliki sedikit kelebihan dibanding Pendekar Rajawali Sakti. Namun karena ditangan Rangga terdapat sebuah pedang pusaka yang menghalan-gi serangannya, sehingga terlihat Nyi Roro Ayu tak mampu berbuat banyak terhadapnya.
"Tenanglah, Nduk! Kawanmu itu orang hebat. Dia pasti mampu mengatasi perempuan tua itu...," hibur Ki Bhairawa sambil mendekap da-danya yang masih terasa nyeri.
Pandan Wangi memandang orang tua itu se-kilas, kemudian kembali memalingkan perhatian-nya ke arah pertarungan.
"Yakinlah, kawanmu itu bukan orang sembarangan. Aku bisa melihat kehebatannya... lanjut Ki Bhairawa?"
"Terima kasih, Ki. Mudah-mudahan apa yang kau katakan itu benar...," sahut Pandan Wangi li-rih.
Bukan hanya Pandan Wangi yang mencemas-kan hal itu, tapi Rangga pun merasakan hal yang sama. Kecepatan bergerak lawannya sungguh he-bat dan tiada bandingannya. Tak percuma Ki Ronggo Lawe memiliki nama yang berpengaruh dan disegani kalau ternyata muridnya yang memi-liki seluruh kepandaiannya, mampu mewariskan kepandaian yang luar biasa ini. Pendekar Rajawa-li Sakti mengkertak rahang. Nyi Roro Ayu mencuri kesempatan ketika tubuhnya berputar dan posisi tangannya diatas. Padahal saat itu dia sedang merapal aji saktinya. Demikian pula halnya den-gan perempuan tua itu. Dengan seluruh tenaga dalam yang dimilikinya dia menghantam dada la-wan.
"Yeeaaah...!"
"Hiyaaa...! Aji Cakra Buana Sukma...!"
Glaaaar...! Terdengar ledakan keras ketika kedua puku-lan mereka bertemu. Bersamaan dengan itu terli-hat sesosok tubuh terlempar dari arena per-tarungan itu. Debu masih mengepul di tempat itu akibat pertarungan keduanya, dan menghalangi pemandangan. Tapi Pandan Wangi yang begitu cemas akan keselamatan kekasihnya, sudah lang- sung menyerbu ke tempat arena pertarungan.
"Kakang Ranggaaa...!!!"
Ketika mengetahui bahwa Rangga masih te-gak berdiri dengan nafas terengah-engah dan ba-tang pedang yang masih digenggamnya, Pandan Wangi tak tahu harus bagaimana mengucapkan perasaan syukurnya. Dipeluknya pemuda itu dengan suka cita.
"Kakang Rangga, oh syukurlah kau selamat. Aku cemas sekali memikirkanmu. Oh bibirmu..." Bibirmu berdarah, Kakang. Kau..., kau terluka dalam..."!" seru Pandan Wangi terkejut sambil menyeka darah yang menetes di sudut bibirnya.
Rangga mengusap rambut gadis itu pelan. Sementara tangannya yang sebelah lagi me-nyarungkan pedang. Ditatapnya Pandan Wangi dengan penuh kasih.
"Tak apa-apa. Aku tak apa-apa...."
Mendadak saat itu terdengar pekikan nyaring yang disusul ambruknya sesosok tubuh sambil bermandikan darah. Serentak mereka berpaling. Ki Bhairawa lebih dulu mendesis seperti tak per-caya.
"Astaga...!"

* * * * *

Rahwana tewas dan para pengeroyoknya tak lebih dari tujuh orang. Harga yang pantas mereka bayar untuk itu. Mayat-mayat bergelimpangan di tempat itu akibat amukan Rahwana yang luar bi-asa. Diantaranya terlihat hangus tak berbentuk, hancur menjadi beberapa bagian. Dan sebagian terlempar ke dalam kolam-kolam lahar yang banyak terdapat di sekitar situ.
"Habislah sudah murid-murid Ki Ronggo Lawe...," lanjut Ki Bhairawa.
Pandan Wangi baru menyadari hal itu dan buru-buru berpaling untuk melihat lawan Rangga tadi. Namun tak terlihat tubuh utuh dari perempuan tua itu. Dia hancur berkeping-keping dalam kea-daan rusak dan sulit untuk dikenali lagi. Agaknya pukulan Nyi Roro Ayu tak mampu menandingi aji Cakra Buana Sukma yang dilepas-kan Pendekar Rajawali Sakti.
Gadis itu dikejutkan ketika ketujuh tokoh per-silatan yang tersisa dengan perlahan-lahan men-dekati mereka. Sorot mata mereka garang dan mengancam dengan pasti dengan langkah gagah seperti pasukan yang menang perang. Penuh per-caya diri.
"Ki Bhairawa, serahkan Patung Kencana itu padaku kalau kau ingin selamat!" kata salah se-orang diantara mereka.
Sebelum orang tua itu menyahut, Pendekar Rajawali Sakti lebih dulu melangkah maju dan menghentikan langkah saat jarak mereka terpaut lima langkah lagi dan memandang mereka satu persatu dengan tajam.
"Ki sanak, bicaramu sungguh hebat seolah ba-gai malaikat maut yang mencabut nyawa. Benda itu bukan hakmu kenapa kau begitu bernafsu in-gin memilikinya?"
"Diam kau! Aku tahu siapa kau. Siapa yang tak kenal dengan Pendekar Rajawali Sakti, he" Tapi jangan kira mengandalkan nama besarmu
kami akan menjadi takut. Kau telah lihat sendiri. Murid Ronggo Lawe yang termasyur itu telah te-was di tangan kami. Jangan sampai kau menjadi giliran yang kedua kali!" sahut orang itu garang.
Rangga memandang sinis kepada orang berwa-jah kasar dengan gigi-gigi hitam dan kotor itu. Kemudian menyahut dengan suara dingin.
"Hm, kalian memang hebat mampu membu-nuh murid Ronggo Lawe. Tapi ke manakah mu-ridnya yang seorang lagi itu" Ah, ternyata dia te-lah tewas disana...," tunjuk Pendekar Rajawali Sakti kepada sosok mayat perempuan tua yang tak lain dari Nyi Roro Ayu.
Sikap dan kata-katanya terlihat sombong, tapi dia tak tahu lagi bagaimana caranya menahan di-ri melihat keangkuhan mereka dengan mengata-kan telah menewaskan Rahwana. Padahal itu membutuhkan pengorbanan yang banyak terha-dap mereka. Dengan caranya itu Rangga sengaja ingin menunjukkan bahwa dengan seorang diri dia mampu menewaskan Nyi Roro Ayu, murid Ronggo Lawe pula!
Ketujuh orang itu memandang sinis kepa-danya. Kelihatannya mereka sama sekali tak ter-pengaruh oleh apa yang dikatakannya. Bahkan terlihat kesan mereka yang bersungguh-sungguh ingin menghajarnya. Terbukti beberapa orang mu-lai gatal memegang-megang senjatanya dengan wajah garang.
Agaknya tak ada lagi yang bisa dilakukan oleh Pendekar Rajawali Sakti selain meladeni kemauan mereka. Mau tak mau dia harus bertarung.
Dan..., he, menghadapi tujuh orang tokoh persila-tan yang memiliki kepandaian tak rendah bukan-lah persoalan enteng. Apalagi dalam keadaan ter-luka dalam begini. Hal itu pula yang dicemaskan oleh Pandan Wangi. Sehingga terlihat dia bersiap-siap di samping pemuda itu untuk membantunya.
Mendadak terlihat dua orang saling berkejar-an dari salah satu lereng gunung di sebelah kiri orang-orang itu. Serentak semuanya berpaling.
"Keparat! Paman, jangan serakah kau! Benda itu milikku. Akulah yang mengajakmu ke sini! Ayo kembali dan serahkan kepadaku!" teriak orang yang berada di belakang.
"He he he...! Dasar sial kau! Mana mungkin aku mau menyerahkan Patung Kencana ini ke-padamu!" sahut orang yang di depan sambil ter-kekeh dan melompat dari satu tempat ke tempat lain.
"Celaka! Patung Kencana yang kusembunyi-kan ditemukan oleh mereka!!" desis Ki Bhairawa tersentak kaget.
"Patung Kencana yang asli?" tanya Pendekar Rajawali Sakti.
Ki Bhairawa cepat mengangguk.
Ketujuh tokoh persilatan itu agaknya tak perlu menimbang kata-kata orang tua itu untuk mem-percayainya. Melihat kedua orang yang saling be-rebutan benda yang mereka inginkan, sudah membuat ketujuhnya langsung melompat dan mencegat keduanya. Pendekar Rajawali Sakti dan Pandan Wangi serta Ki Bhairawa dan muridnya menyusul dari belakang.
"Berhenti! Serahkan Patung Kencana itu ke-padaku!" bentak salah seorang dari ketujuh tokoh persilatan yang mencegat kedua orang yang saling berkejaran itu.
"Apa, berhenti"! Setan kurap! Kalian pikir sia-pa dirimu berani bicara begitu kepada Tupai Maut Tongkat Sakti. Huh, mampuslah bagian kalian semua!"
Tanpa banyak bicara lagi orang itu langsung melompat dan menyerang ketujuh penghadang-nya sambil mengayunkan tongkatnya. Tentu saja hal itu membuat orang-orang itu tak tinggal diam begitu saja. Kekesalan mereka terhadap Ki Bhai-rawa, kini ditumpahkan kepada orang yang berju-luk Tupai Maut Tongkat Sakti yang begitu men-ganggap enteng mereka. Dengan geram mereka mencabut senjata dan mulai menyerang dengan gencar.
Sementara itu Pendekar Rajawali Sakti dan si Kipas Maut serta Ki Bhairawa dan Puspa Rini te-lah berada di situ pula. Mereka menghentikan langkah dan tak tahu harus berbuat apa. Namun begitu melihat salah seorang dari dua orang yang tadi saling kejar-mengejar itu, timbul geram di ha-ti Pandan Wangi begitu mengenali siapa orang itu.
"Kakang, kau lihat orang itu" Dialah yang du-lu hendak menggangguku. Hm, kebetulan sekali dia berada di sini. Aku akan membuat per-hitungan dengannya!" katanya sambil mendengus dan langsung melompat mendekati orang itu.
"Hati-hati, Pandan...!" teriak Rangga mempe-ringatkan.

* * * * *

Sebenarnya kata-katanya hanya basa-basi sa-ja. Dia tahu betul siapa orang itu dan sampai di mana kemampuannya. Orang itu tak lain dari Kertapati yang pernah dihajarnya beberapa hari yang lalu. Pandan Wangi pasti mampu meng-atasinya. Itulah sebabnya Rangga tak terlalu me-risaukannya. Dia lebih memusatkan perhatiannya kepada orang yang membawa Patung Kencana yang tengah bertarung dengan ketujuh orang pengeroyok itu.
"Apakah Ki sanak yakin bahwa patung yang tengah dipegang orang itu adalah yang asli?" tanya Rangga meyakinkan.
"Tak salah lagi, Ki sanak. Mereka berasal dari lereng sebelah sana, dimana aku menyembunyi-kan patung itu. Aku tak tahu bagaimana mereka sampai menemukan tempat itu. Padahal aku te-lah menyembunyikan secara rahasia," sahut Ki Bhairawa tak habis pikir.
"Aaaa...!"
"Modaaar...!" ,
Breeet! "Aaakh...!"
Keduanya tersentak ketika tiga orang para pengeroyok itu menjerit kesakitan dengan tubuh terjengkang. Satu orang lehernya putus disambar ujung tongkat yang runcing. Sementara dua orang lagi batok kepalanya pecah dihantam ujung
tongkat yang lainnya. Namun orang itu sendiri tak luput dari serangan lawannya. Salah satu ujung pedang berhasil merobek dada si Tupai Maut Tongkat Sakti dan membuatnya terhuyung-huyung kesakitan. Pada saat yang hampir bersa-maan sebuah golok lawan berhasil merobek ping-gangnya. Tapi agaknya orang yang bertubuh ting-gi besar itu memiliki daya tahan tubuh yang kuat. Sambil membentak nyaring, tubuhnya melam-bung tinggi. Namun para pengeroyoknya yang tinggal empat orang itu tak menyia-nyiakan ke-sempatan itu. Mereka mengejarnya dengan senja-ta terhunus.
"Yeaa...!"
Trak! Praaaak! Cras! "Aaah!"
Tubuh si Tupai Maut Tongkat Sakti alias Dur-gandana menukik sambil mengayunkan tongkat-nya secara tiba-tiba. Dua orang lawannya coba menangkisnya. Namun ujung tongkat itu lebih cepat menyambar batok kepala mereka. Keduanya memekik kesakitan dengan kepala pecah. Namun yang seorang lagi berhasil menyambar sebelah kaki Durgandana hingga puntung sebatas lutut. Orang itu menahan sakit yang bukan kepalang. Begitu tubuhnya meluncur ke bawah, lawan yang seorang lagi telah menyambutnya dengan satu sambaran pedang yang sangat ber-bahaya.
Trak! Breeet! "Aaa...!"
"Yeaaah...!"
Sambil bergulingan tongkat Durgandana ber-hasil menangkis senjata lawan. Lalu dengan se-ngit dia memutarnya hingga bagian yang runcing-di tingkatnya itu menyambar leher lawan. Orang itu cuma sempat menjerit tertahan. Tubuhnya sempoyongan dan ambruk beberapa saat kemu-dian. Namun belum lagi Durgandana sempat memperbaiki posisinya, lawan yang tinggal seo-rang lagi telah menyerangnya dengan sengit.
Trak! Bles...! "Hugh!"
Sambil bergulingan menghindari serangan la- wan, tubuh Durgandana melenting dan dengan cepat menghunjam tongkatnya ke jantung lawan. Orang itu tersentak dengan tubuh kaku dan mata melotot. Durgandana menarik tongkatnya sehing-ga lawannya ambruk tanpa perlawanan dengan tubuh menggelepar. Tak lama kemudian diam tak berkutik.
"Siapa lagi yang berani menghalangiku..."!" ucapnya sombong sambil memandang nanar pada pemuda berambut panjang dan memakai baju rompi yang berdiri tegak di depannya.
"Ki sanak, berikan patung itu kepadaku. Kau tak berhak memilikinya...," kata pemuda itu, yang tak lain dari Rangga.
"Aaa...!"
"Heh"!"
Pada saat itu juga terdengar jerit kesakitan yang disusul ambruknya sesosok tubuh. Keduanya terkejut, namun cepat memalingkan perha-tian. Pandan Wangi agaknya telah berhasil men-gatasi lawannya.
"Jangan coba-coba!" sentak Durgandana cepat ketika dilihatnya pemuda itu bermaksud mencuri kesempatan dan akan menyambar patung yang berada di dalam dekapannya.
Pendekar Rajawali Sakti tak meneruskan niat-nya. Dia tersenyum kecil meremehkan lawan. Be-tapa tidak" Dalam keadaan terluka dan kakinya tinggal sebelah, sulit bagi orang itu untuk mem-pertahankan dirinya dari serangan. Tapi hal yang dikhawatirkan Rangga, karena tak jauh di bela-kang Durgandana menganga sebuah kolam lahar yang cukup besar dan curam. Sedangkan orang itu perlahan-lahan mundur sambil meren-tangkan tongkatnya di tangan.dan mata yang tak lekang dari Rangga.
Breeet! Pendekar Rajawali Sakti mencabut pedang se-hingga sinar biru menerangi tempat itu untuk be-berapa saat kemudian. Diacungkannya pedang itu ke atas sehingga terlihat wajah pemuda itu yang tampak menyeramkan.
"Ki sanak, kau tahu siapa pemilik pedang ini, bukan" Nah, serahkanlah patung itu secara baik-baik atau harus kupaksa dengan kekerasan" Aku mendapat amanat dari orang yang berhak untuk menyelamatkan patung itu!" gertak Rangga den-gan suara dingin.
"He, Pendekar Rajawali Sakti..."!" Durgandana terkejut kaget ketika melihat pedang itu.
Dia segera menyadari bahwa keadaannya saat ini sangat terjepit sekali. Dalam keadaan begini, tak mungkin dia mampu menghadapi pemuda itu. Namun sesaat kemudian dia mendekap patung itu di tangannya erat-erat.
"Huh, kau tak akan memperoleh patung ini walau bagaimana pun caranya! Tidak akan! Tidak akan...! Yeaaah...!"
"Ki sanak, jangaaan...!"
"Aaa...!"
Terdengar gema panjang Durgandana ketika tubuhnya melompat dan menceburkan dirinya ke dalam kolam lahar yang dalam dan teramat panas itu. Pendekar Rajawali Sakti coba menangkap. Namun orang itu lebih cepat bertindak. Sehingga dia cuma sempat melihat tubuhnya terbenam per-lahan-lahan ditelan lahar panas yang membara.
"Sudahlah barangkali hal itu lebih baik dari cara apapun. Dia tewas bersama dengan pusaka Ronggo Lawe. Dan tak seorang pun yang berhak mewarisinya..." hibur Ki Bhairawa pelan ketika melihat pemuda itu masih terdiam mematung di bibir kolam lahar itu.
Pendekar Rajawali Sakti mengangguk lirih membenarkan kata-kata orang tua itu.
Tak berapa lama kemudian mereka mening-galkan tempat itu seiring dengan bau amis darah yang membasahi gunung yang tadinya tandus dan gersang itu. Di ufuk Barat mentari mulai tenggelam meninggalkan cahaya menguning ke-merahan. Ada burung malam yang mulai terbang meninggalkan sarangnya!

TAMAT



INDEX PENDEKAR RAJAWALI SAKTI
Prahara Mahkota Berdarah --oo0oo-- Sepasang Pendekar Bertopeng


Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.