Pasukan Alis Kuning
tanztj
April 20, 2014
INDEX PENDEKAR RAJAWALI SAKTI | |
Dendam Pendekar Pendekar Gila --oo0oo-- Neraka Kematian |
RANGGA PATI
Pendekar Rajawali Sakti
Karya: Teguh .S
EP:PASUKAN ALIS KUNING
Pendekar Rajawali Sakti
Karya: Teguh .S
EP:PASUKAN ALIS KUNING
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
##[ SATU ]##
Tiga orang yang berkuda paling depan ini memakai baju indah, juga berwarna kuning. Pakaian mereka pun terbuat dari sutera halus yang mahal harganya. Di antara ketiga orang itu, agaknya pemuda yang berada di tengah sebagai pemimpin gerombolan. Wajahnya tampan dengan rambut tidak begitu panjang diikat pita kuning. Kelihatan ramah ketika mengumbar senyum kepada penduduk desa yang keluar rumah memperhatikan mereka. Anehnya, sepasang alisnya tebal. Dan..., berwarna kuning!
Sementara itu di belakang mereka, terlihat orang-orang berseragam prajurit warna kuning dengan senjata berbeda. Mereka seperti prajurit suatu kerajaan. Itu terlihat dari umbul-umbul bergambar lambang kerajaan.
"Apa nama desa ini, Kakang Joko Dentam" " tanya pemuda beralis kuning dengan nada halus pada pemuda tegap di sampingnya.
"Desa Ketakus, Kanjeng Gusti Bre Redana!" jawab pemuda tegap yang dipanggil Joko Dentam.
"Desa Ketakus...?" gumam pemuda yang dipanggil Kanjeng Gusti, seraya mengangguk.
"Kakang! Kulihat desa ini amat terbelakang. Penduduknya miskin. Tubuh mereka pun kurus-kurus," ujar gadis yang ada di sebelah kiri pemuda yang ternyata Bre Redana.
"Kau benar, Ayu Larasati. Aku berniat untuk bertemu kepala desanya," sahut Bre Redana.
"Biar kutanyakan pada seorang penduduk!" ujar gadis yang dipanggil Ayu Larasati.
Gadis itu kemudian turun dari kudanya. Dihampirinya penduduk yang berdiri di pinggir jalan. Seorang kakek dengan bocah laki-laki usia sekitar tujuh tahun dalam gendongannya. Melihat Ayu Larasati mendekat, wajahnya yang semula memelas semakin memelas lagi.
"Sedekah, Den Ayu...! Berilah hamba sedekah...!" pinta orang tua itu, memelas .
Ayu Larasati tersenyum. Dan tangannya berusaha menepis halus saat tangan orang tua itu mengusik-usik pinggangnya. Perbuatan kakek itu tentu saja menimbulkan ketidaksenangan orang-orang yang berseragam kuning. Seketika salah seorang segera menghampiri kakek itu.
"Orang tua! Jangan kurang ajar pada junjungan kami! Tidak seorang pun boleh mengganggunya seperti itu!" bentak orang berpakaian kuning seraya mengangkat tangannya.
"Jangan bersikap kasar seperB itu, Birawa...," cegah Ayu Larasati.
Kalau saja gadis itu tidak mencegah, pasti si kakek sudah terkena hajaran tangan prajurit ini.
"Tapi, Kanjeng Gusti! Dia telah berbuat kurang ajar padamu...," kilah prajurit bernama Birawa. Ayu Larasati tersenyum.
"Aku yakin, dia tidak bermaksud begitu. Sudahlah, tidak usah diambil hati. Kau boleh kembali ke tempatmu," ujar Ayu Larasati lembut.
Dengan hati mangkel, Birawa kembali ke tempatnya. Sementara Ayu Larasati mengeluarkan beberapa keping uang perak, lalu memberikannya pada orang tua itu.
"Oh, terima kasih! Terima kasih, Den Ayu...!" seru si kakek dengan wajah sukacita.
"Sudahlah.... Aku ingin tanya padamu. Tahukah kau, di mana kami harus menemui kepala desa" "
Sebelum pertanyaan Ayu Larasati terjawab, bebeapa orang desa lain telah berkerumun. Mereka menadahkan tangan, berusaha mendesak gadis itu untuk memberi sedekah pula.
Ayu Larasati tersenyum. Dan tahu-tahu tubuh-nya mencelat ke atas dengan ringan sekali, lalu kembali ke punggung kudanya.
"Hei..."!"
"Astaga...!"
Para penduduk terkejut. Mereka memandang dengan mata melotot lebar, tidak percaya dengan apa yang terlihat tadi. Semuanya mengeluarkan seruan takjub, sekaligus heran. Dan benak mereka pun mulai menduga. Siapa gerangan wanita ini"
"Tidak usah berprasangka buruk. Kami akan memberi sedekah secara adil, bila cara kalian baik dan tertib. Tidak seperti tadi, saling berebutan serta bersikut-sikutan...!" lanjut Ayu Larasati mengumbar senyum.
"Siapa kalian sebenarnya...?" tanya salah seorang penduduk.
Orang itu berusia sekitar empat puluh tahun. Perawakannya sedang, bermuka agak lebar. Dia maju ke depan memberanikan diri, sedang yang lainnya bergerombol di belakang.
"Kami orang-orang dari Kerajaan Pagar Ageung...."
"Kerajaan Pagar Ageung" Di mana itu...?"
* * * * *
Laki-laki bermuka lebar yang bertanya tadi mengernyitkan dahi mendengar nama kerajaan asing di telinganya.
"Tidakkah kalian tahu" Padahal kerajaan itu semula amat terkenal di seantero negeri!" sahut Ayu Larasati dengan wajah tidak kalah heran.
"Desa ini terpencil dan jauh dari keramaian. Penduduknya pun jarang bepergian. Kami memang tidak tahu perkembangan dunia luar. Maafkan kebodohan kami, Nisanak...," sahut laki-laki itu.
"Tidak apa, Paman. Kami bisa memakluminya" balas gadis itu.
"Lalu, dalam rangka apa kalian mengunjungi desa kami ini...?"
"Itulah yang menjadi penyebabnya. Kerajaan kami diserang sebuah kerajaan besar yang dipimpin raja yang amat lalim. Pasukan mereka demikian kuat, sehingga kami tidak mampu bertahan. Kanjeng Gusti Prabu tewas beserta beberapa punggawa kerajaan. Hanya kami yang berhasil selamat...," jelas Ayu Larasati, masghul.
"Apakah pasukan mereka mengejar kalian?"
Ayu Larasati tidak langsung menjawab. Diperhatikannya raut wajah lawan bicaranya yang terlihat khawatir serta waswas. Dia kembali tersenyum.
"Mungkin juga. Tapi, kalian tidak perlu takut. Mereka tidak akan mengejar ke sini, sebab menyangka kalau kami semua telah mati," jelas Ayu Larasati menenteramkan hati lawan bicaranya.
Orang itu terdiam, kemudian memandang para penduduk yang ada di belakang. Meski demikian, tetap saja terlihat wajah mereka masih khawatir.
"Paman, bolehkah kami tahu namamu?" tanya Ayu Larasati.
"Eh! Aku..., Samin...," sahut laki-laki berwajah lebar yang mengaku bernama Samin.
"Oh, Paman Samin.... Kami ingin bertemu kepala desa. Dapatkah kau mengantarkan kami?" lanjut gadis itu.
"Kepala desa..." Ng.. Saat ini, desa ini tidak memiliki kepala desa...," jelas Ki Samin, takut-takut
"Kenapa bisa begitu?" desak Ayu Larasati.
"Kepala desa yang lama mati karena usia tua. Tapi banyak yang berpendapat, kalau dia mati dibunuh Sangkil Bawen...," jelas Ki Samin.
"Sangkil Bawen" Siapa dia?"
"Dia bersama anak buahnya serine, ke sini. Mengambil apa saja yang diperlukan. Bahkan tidak jarang membawa, serta memperkosa para wanita," jelas Ki Samin.
"Hm. Sungguh biadab orang itu!" rutuk Ayu Larasati.
"Apakah kalian tidak berusaha melawan?" Kali ini yang bicara adalah pemuda tampan bernama Bre Redana yang sudah berada di sebelah gadis cantik itu. Sementara Ki Samin menoleh.
"Tidak. Kami tidak berdaya melawan mereka...," sahut orang tua itu, menggeleng lemah.
"Setelah kepala desa wafat, apakah kalian tidak menunjuk penggantinya" Seseorang yang cakap lagi disegani, serta bisa diandalkan untuk membawa para penduduk melawan Sakil Bawen?" tanya Bre Redana lagi.
"Tidak mungkin...," desah Ki Samin dengan kepala menunduk dan menggeleng agak kencang.
"Kenapa tidak mungkin, Paman?" Desak Bre Redana dengan dahi berkerut.
"Sangkil Bawen akan membunuh siapa saja yang berani menjadi kepala desa. Sebab, dia telah menetapkan dirinya sebagai penguasa desa ini. Siapa saja melawan. Dia akan membunuh kami satu persatu!"
Pemuda berpakaian indah mendecah seraya ini menggeleng lemah.
"Hm.... Sungguh biadab perbuatannya! Orang seperti itu sudah semestinya dilawan...," dengus Bre Redana geram.
Kemudian pemuda itu menatap Ki Samin seraya menunjukkan wajah manis.
"Apa pendapatmu jika aku menangkap orang Itu. dan menghukumnya bagi kalian...?" tanya Bre Redana.
"Tidak mungkin, Anak Muda. Sangkil Bawen memiliki kepandaian hebat. Dan di samping itu, anak buahnya banyak. Meski kau dan kawan-kawanmu berani memerangi mereka, pasti akan di tumpas!"
Beberapa orang prajurit yang ada di belakang Bre Redana menggeram marah karena merasa disepelekan. Bila saja pemuda itu tidak memberi isyarat agar mereka tidak macam-macam, niscaya para prajurit itu segera melompat menghampiri Ki Samin.
"Maafkan kelakuan para prajuritku, Paman. Mereka merasa tersinggung, karena kau tidak memandang sebelah mata. Tapi aku sama sekali tidak berkecil hati bila kau menduga seperti itu. Hanya saja ingin kuketahui jawaban kalian, bila orang bernama Sangkil Bawen itu berhasil kusingkirkan?"
"Kami akan sangat berterima kasih...," sahut Ki Samin.
Yang lain menyahut dengan nada bersemangat. Pemuda itu tersenyum, dan kembali melanjutkan ucapannya setelah suara ribut-ribut berhenti.
"Hanya itu saja...?" tanya Bre Redana.
"Apa yang kau inginkan?" tanya Ki Samin, mewakili para penduduk.
"Hm.... Seperti yang telah diceritakan adikku, kami adalah pelarian. Kami butuh tempat tinggal untuk membangun kekuatan. Apakah kalian menginginkan kami tinggal di desa ini sebagai imbalannya?" lanjut pemuda itu.
"Kenapa tidak" Kami bahkan senang sekali! Kalau bisa membereskan Sangkil Bawen, sudah tenru keberadaan kalian di desa ini bisa melindungi kami semua!" sahut Ki Samin cepat.
"Ya! Kami akan senang sekali menerimanya...!" timpal yang lain.
Sementara para penduduk desa ini juga memberi jawaban sama. Mereka bersemangat sampai beberapa kali mengacungkan kepalan ke atas.
"Baiklah.... Kami berterima kasih sekali atas sambutan ini. Sekarang juga tunjukkan, di mana Sangkil Bawen dan anak buahnya berada"!" tanya Bre Redana.
"Kunyuk busuk! Tidak usah kau banyak mulut dan repot-repot mencariku! Aku di sini dan siap merobek mulutmu yang sombong itu...!"
Mendadak saja, terdengar bentakan keras menggelegar, yang mengejutkan semua orang.
"Ohhh!"
* * * * *
Wajah penduduk Desa Ketakus seketika pucat ketakutan. Mereka cepat berkumpul di dekat Ki Sain. Memang, setelah kepala desa mati, tumpuan mereka satu-satunya hanya Ki Samin. Apalagi orang tua itu dipandang bijaksana, serta sedikit memiliki kepandaian.
Sementara sebaliknya, Bre Redana beserta anak buahnya tenang-tenang saja. Mereka segera berpaling ke arah asal suara tadi. Tampak seseorang menghampiri di antara kerumunan penduduk tadi, lalu berhenti di hadapan Bre Redana.
Kini mereka bisa melihat seraut wajah bulat dipenuhi cambang bauk tebal dan nyaris menutupi bibirnya. Tubuhnya besar lagi gemuk. Sepasang matanya liar. Pada bagian yang berwarna putih, berubah merah bagai saga.
"Hei, Samin! Sudah kau katakan pada mereka, apa akibatnya jika berani melawanku..."!" bentak laki-laki bercambang bauk yang baru datang ini.
Mendengar suara besar dan menggelegar, Ki Samin kelihatan tidak berdaya. Dia bahkan tidak berani membalas tatapan mata orang yang kelihatan garang dan ganas ini.
"Ayo, katakan cepaaat..! Atau barangkali kau bisu, he"! Biar kupotong lidahmu sekalian...!" dengus laki-laki seram itu.
Srang! Begitu teriakannya selesai, orang ini mengeluarkan sebilah pedang besi berukuran besar. Tanpa basa-basi lagi, langsung diayunkannya pedang itu ke leher Ki Samin.
Wajah orang tua itu sendiri kelihatan pucat, tidak tahu harus berbuat apa. Menghindar pun tak ada gunanya. Sebab cepat atau lambat, laki-laki bercambang bauk itu akan mampu membunuhnya. Dan sebelum pedang menemui sasaran, tiba-tiba berkelebat satu bayangan kuning, langsung memapak.
Plak! Laki-laki bercambang bauk kontan terjajar beberapa langkah, begitu tangannya seperti ada yang menyambar. Setelah mampu menjaga keseimbangan, dia berdiri tegak dengan wajah garang. Matanya melotot pada pemuda berbaju kuning yang tak lain dari Bre Redana.
"Keparat! Sudah bulat tekadmu untuk mampus, he"!" geram lelaki bercambang bauk pada pemuda berbaju kuning.
"Mampus" Hm, siapa yang sudi. Barangkali kau yang paling diharapkan mampus lebih dahulu..." sahut Bre Redana.
"Setan alas!"
Laki-laki bercambang bauk itu menggeram, lalu mengayunkan pedang besarnya.
Wuk! Untung saja Bre Redana cepat melenting ke belakang. Setelah berputaran beberapa kali, kakinya mendarat di tanah.
"Hop, tunggu dulu! Aku tengah berhadapan dengan orang yang bukan kuharapkan. Kalau kau bukan Sangkil Bawen, sebaiknya menyingkir saja!" teriak Bre Redana.
"Keparat busuk! Kau tengah berhadapan dengannya!" sahut laki-laki berkumis tebal itu.
"Hm.... Jadi, kau yang bemama Sangkil Bawen" Tidak kusangka kalau aku harus menghadapi seorang banci. Padahal, kukira aku akan berhadapan dengan seorang tokoh hebat berkepandaian tinggi...," ujar pemuda itu sambil tertawa.
Tampang laki-laki berkumis tebal yang ternyata Sangkil Bawen amat garang. Sama sekali tidak terlihat kalau kebanci-bancian. Kalau Bre Redana mengatakan begitu, sudah barang tentu agar Sangkil Bawen menjadi semakin marah. Dan agaknya, pancingannya mengena. Tampang Sangkil Bawen yang penuh amarah, semakin menggeram saja. "Keparat..!"
Sangkil Bawen langsung melompat menerjang. Pedangnya berkelebat menyambar. Sementara Bre Redana bergerak amat lincah dengan meliukkan tubuhnya untuk menghindar. Dan sedikit pun senjata Sangkil Bawen tidak mampu menyentuhnya. Sehingga, membuat laki-laki seram itu berang bukan main.
"Cukup! Sekarang giliranku yang menyerang...!" bentak Bre Redana.
Sangkil Bawen terkesiap. Mendadak, pemuda itu berkelebat cepat saking cepatnya, dia seperti hilang dari pandangannya. Dan tahu-tahu....
Duk! "Akh...!"
Satu hantaman keras menghajar dada Sangkil Bawen. Tubuhnya kontan terlempar ke belakang sambil menjerit kesakitan.
Dengan wajah gusar, Sangkil Bawen cepat bangkit. Lalu dia bersuit nyaring. Seketika itu juga berlompatan lebih dari empat puluh orang berkuda dari balik pepohonan di sekitarnya. Mereka bergerak cepat, membuat penduduk desa ini semakin ketakutan saja. Seperti malaikat maut yang telah biasa menakut-nakuti mereka. Bahkan tidak segan-segan mencabut nyawa.
"Bereskan kawanan rakus itu! Sapu bersih dan jangan ada yang tersisa!" teriak Bre Redana.
"Heaaa...!"
Sring! Seketika pasukan berseragam kuning serentak menjura hormat. Lalu disertai bentakan keras serempak mencabut senjata masing-masing, mereka membuat serangan. Jumlah para prajurit kelihatan tidak seimbang.
Anak buah Sangkil Bawen yang datang kelihatan garang dengan teriakan gegap gempita sambil mengacung-acungkan senjata. Sebaliknya pasukan berseragam kuning itu hanya berteriak sesekali. Lalu....
"Yeaaa...!"
Trang! Bret! Bras!
"Aaa...!"
Pertempuran sengit tidak dapat dielakkan lagi. Suara beradunya senjata serta jerit kematian mulai mewarnai. Sementara teriakan pembangkit semangat bertarung terus mengiringi.
Sangkil Bawen terkesiap. Aliran darahnya seperti tersirap menyaksikan pertempuran. Ternyata orang-orang berseragam kuning mampu membantai anak buahnya dengan mudah. Setiap senjata mereka melayang, maka satu atau dua jiwa ikut melayang. Anak buahnya tidak mampu menahan amukan para prajurit yang semakin ganas saja.
Pertarungan berjalan singkat. Dalam beberapa saat saja, jumlah anak buah Sangkil Bawen berkurang banyak. Dan yang ada saat ini hanya tinggal setengahnya saja. Sehingga keadaan sekarang menjadi terbalik. Pertarungan mereka pun dengan semangat yang sudah patah.
"Hentikan! Hentikan mereka...!" teriak Sangkil Bawen tiba-tiba.
"Mereka tidak akan berhenti sebelum tujuannya tercapai...," sahut Bre Redana tenang.
"Apa maumu"!"
"Kalian harus mati. Atau tunduk pada perintahku!" desis pemuda itu.
Wajah Sangkil Bawen menggeram mendengar kata-kata Bre Redana. Namun telinganya perih mendengar teriakan-teriakan anak buahnya yang amat menderita.
"Baiklah, aku menyerah...," desah Sangkil Bawen lemah.
Begitu selesai ucapannya, maka saat itu juga Bre Redana bersuit nyaring. Pasukannya langsung menghentikan pertarungan, lalu menggiring lawannya.
* * * * *
##[ 2 ]##
"Ki Samin, kami sangat berterima kasih atas kemurahan hati kalian...," ucap Bre Redana menyalami Ki Samin, setelah rumah itu selesai diperbaiki.
"Kalian telah menolong kami Dan sebagai imbalannya, sudah patut kami menolong kalian pula!" kilah Ki Samin.
"Anak buahku akan memberi semua penduduk desa ini sedikit bantuan. Tiap kepala, akan mendapat dua keping uang emas. Katakanlah pada yang lain...," sahut pemuda itu sambil tersenyum.
"Oh! Mereka akan sangat berterima kasih! Kalian begitu murah hati...!" seru Ki Samin. "Kalau begitu, sekarang juga aku akan memanggil para penduduk."
Seketika itu juga Ki Samin berbalik dan melangkah keluar rumah besar ini. Dikumpulkannya para penduduk di halaman depan, terutama mereka yang ikut membantu pekerjaan memperbaiki rumah Itu.
Setelah para penduduk berkumpul, Bre Redana keluar bersama salah seorang pembantunya yang telah membawakan sekantung uang emas. Kemudian disuruhnya orang itu membagi-bagikan kepada penduduk desa yang menyambut dengan wajah gembira.
"Nah Bre Redana, sekali lagi kami mengucapkan terima kasih atas kebaikan hatimu. Jumlah itu amat besar bagi kami...," ucap Ki Samin.
"Aku bisa merasakan kalau selama ini kalian hidup sengsara. Selain karena tekanan Sangkil Bawen, kalian juga kesulitan untuk mencari mata pencaharian. Tak ada sawah dan ladang untuk digarap. Tidak ada ternak untuk dimanfaatkan. Oleh sebab itu jika suka, aku menawarkan pekerjaan pada kalian," kata Bre Redana.
"Oh! Kami akan suka sekali! Pekerjaan apa gerangan yang akan kau tawarkan pada kami"!" sam-but Ki Samin.
"Kalian telah mengetahui siapa kami. Dan tekad kami telah bulat. Para penjahat itu harus disingkirkan! Namun kami tidak memiliki jumlah prajurit. Oleh sebab itu jika suka, aku bermaksud mengajak kalian bergabung. Anak buahku akan memberi latihan ilmu olah kanuragan, serta memberi kalian imbalan yang pantas. Sedang yang kuminta adalah kesetiaan. Dan bila telah bergabung lalu berani mengkhianatiku, aku tidak akan segan-segan memancung kepala. Pikirkanlah baik-baik!" jelas Bre Redana.
"Aku setuju! Kurasa mereka pun setuju," sahut Ki Samin.
Setelah Ki Samin memberitahu penjelasan Bre Redana, para penduduk menyambutnya dengan gembira. Ada beberapa hal yang membuat mereka merasa tidak ragu. Yaitu, Bre Redana bersama para prajuritnya terusir karena teraniaya kawanan penjahat. Lalu, mereka kelihatannya bukan orang jahat. Terbukti, telah membebaskan dari pengaruh Sangkil Bawen. Dan tidak kalah pentingnya, orang-orang ini membawa rezeki bagi mereka. Bila bekerja, tentu saja kesejahteraan mereka terjamin.
Mendengar jawaban bersemangat itu, Bre Redana tersenyum dan mengangguk-anggukkan kepala.
"Nah! Kau dengar sendiri, bukan" Mereka senang sekali bila bekerja dengan kalian...," ujar Ki Samin.
"Ya, aku bisa melihatnya...."
* * * * *
Kini Sangkil Bawen tidak akan mengusik penduduk Desa Ketakus lagi. Dia dan anak buahnya lelah ditundukkan oleh pemuda yang kini dipanggil para penduduk sebagai Kanjeng Gusti Prabu Bre Redana dan pasukannya. Namun begitu penduduk desa masih waswas. Sebab, mereka tahu watak gembong penjahat itu. Licik dan tidak mudah ditaklukkan. Hatinya akan berontak bila harus tunduk pada seseorang!
Dan malam ini, Sangkil Bawen dan para pengikutnya sepakat ikut bermain di rumah ini. Ketika malam semakin larut, perlahan-lahan laki-laki itu bangkit. Segera dibangunkannya anak buahnya. Beberapa orang terkejut, namun dia cepat memberi isyarat agar tidak menimbulkan suara berisik.
"Ada apa...?" tanya salah seorang anak buah Sangkil Bawen.
"Tenanglah, Sangkot!" ujar Sangkil Bawen, pelan.
Sangkot yang merupakan salah seorang anak buah paling dekat Sangkil Bawen mengkerut, tap0ak mimiknya heran. Sebab malam-malam begini tidak biasanyanya Sangkil Bawen membangunkannya. Namun ketika melirik kawan-kawannya yang lain, kecurigaannya seperti menemukan jawaban. Meskipun, masih samar.
"Kau membangunkan yang lain, apa mau kabur dari sini?" lanjut Sangkot berbisik.
"Kabur" Huh! Aku tidak akan kabur dari tempat ini!" dengus Sangkil Bawen geram.
"Lalu...?" tanya Sangkot, makin heran.
"Apakah kau tidak tahu kalau kita sekarang menjadi budak mereka?" dengus Sangkil Bawen, tetap berbisik.
"Bukankah itu kemauanmu?"
"Tolol! Kulakukan itu untuk menyelamatkan kalian...!"
"Lalu apa rencanamu sekarang?"
"Kita harus membunuh orang orang itu sekarang juga!" desis Sangkil Bawen, seraya mengepalkan buku-buku jarinya.
"Membunuh mereka" Apakah sudah kau perhitungkan baik-buruknya?"
"Apa maksudmu"!"
"Coba dengarkan baik-baik! Mereka memiliki anak buah yang hebat dan tangkas. Majikannya tentu lebih hebat pula. Kita akan celaka bila mereka tahu! Lagi pula, toh tidak ada ruginya kita bekerja dengan mereka. Kita diberi gaji, dan mereka menjamin hidup kita."
"Dasar tolol! Kau kira enak hidup di bawah perintah orang lain"!"
"Sangkil! Kami terbiasa hidup di bawah perintahmu. Lalu, kini berpindah di bawah perintah mereka. Lantas apa bedanya?" kata Sangkot.
Mendengar jawaban itu, Sangkil Bawen menggeram.
"Sudahlah! Sekarang kau putuskan saja. Ikut denganku untuk membunuh keparat-keparat itu, atau hubungan di antara kita putus!"
Sangkot menghela napas panjang. Terasa berat apa yang dirasakan saat ini. Dipandangnya sahabatnya itu lekat-Iekat.
"Sobat! Persahabatan kita telah demikian erat. Dan rasanya, seperti saudara saja. Tapi kau membawa kami ke jurang kematian. Apakah itu masih dinamakan sahabat lagi?"
"Bicara apa kau" Siapa yang akan membawa kalian ke jurang kematian"!" desis Sangkil.
"Membunuh mereka adalah pekerjaan sia-sia. Bahkan sama saja bunuh diri. Kita telah melihat kehebatan mereka. Dan, masih tegakah kau membiarkan kawan-kawanmu, sementara mereka masih ingin mengecap kenikmatan hidup?" kilah Sangkot.
"Hm.... Sekarang aku tahu keputusanmu. Baiklah. Hari ini juga hubungan kita putus! Kau boleh menentukan langkah hidupmu sendiri!" sentak Sangkil Bawen.
Sangkot mendesah pelan.
"Sobat! Kau terburu-buru mengambil keputusan. Tapi aku tahu, keputusanmu tidak bisa ditarik lagi. Hanya aku ingin, agar kau pun memberi kebebasan pada yang lain untuk menentukan pilihan hidup mereka...," pinta Sangkot.
"Huh! Kurasa mereka akan mengikutiku! Bukankah begitu"!" tanya Sangkil Bawen pada yang lain.
Sebagian mengangkat tangan tanda setuju dengan wajah bersemangat. Namun sebagian lain terdiam dengan menundukkan kepala. Sangkil Bawen mengulang pertanyaannya, namun sikap anak buahnya tetap seperti tadi.
"Aku tidak memaksakan keputusan kalian. Siapa yang ikut denganku, maka berada di pihakku. Siapa yang tidak setuju, boleh tinggal dan memilih hidup diperbudak!" tegas Sangkil Bawen.
Setelah berkata begitu, laki-laki bercambang bauk ini melangkah ke kanan. Sementara sekitar sepuluh orang sudah mengikutinya. Sedangkan sisanya sekitar delapan orang, tetap tegak berdiri di tempatnya. Mereka menunduk, dan tidak berani memandang pemimpinnya.
"Nah! Sekarang, aku tahu siapa yang setia padaku dan siapa yang tidak! Itu lebih baik ketimbang kalian kelak menjadi duri dalam daging!" dengus Sangkil Bawen kesal seraya mengajak pergi anak buahnya yang setia.
Delapan orang yang tak satu pun melirik sekilas, kemudian menghampiri Sangkot.
"Sudahlah, tidak usah menyesal. Apa pun yang kalian putuskan, adalah benar. Kalian punya hak untuk menentukan jalan hidup sendiri...," kata Sangkot berusaha menentramkan hati mereka. Orang-orang itu mengangguk pelan.
* * * * *
Beberapa sosok tubuh mengendap-endap mendekati kamar Bre Redana dengan golok dan pedang terhunus. Salah seorang memberi isyarat. Lalu dengan sigap, dua orang dari mereka menerobos masuk setelah menjebol jendela. Bersamaan dengan itu, pintu masuk pun dibobol. Kemudian secepat kilat, mereka menerjang ke arah tempat tidur sambil mengayunkan senjata.
Bak! Crok! Crak...!
Dalam sekejap mata, tempat tidur Bre Redana hancur berantakan. Namun mereka sangat kecewa, Tidak ada seorang pun di tempat itu. Sebaliknya mereka terkejut ketika kamar ini telah dikepung sepuluh orang bersenjata pedang.
Tanpa banyak bicara, kesepuluh orang berseragam kuning itu langsung menghajar sosok-sosok tubuh itu.
Trang! Bret..! "Aaa...!"
Seketika terdengar denting senjata beradu serta jeritan yang saling susul-menyusul, mulai mengisi suasana malam yang semula sepi dan tenang. Beberapa sosok tubuh terlempar keluar kamar dalam keadaan mengenaskan. Mereka bersimbah darah oleh bacokan yang terlihat memenuhi sekujur tubuh.
Ber! Ber...! Beberapa buah obor seketika menyala. Dan mereka yang bertarung tersentak kaget Ternyata tempat ini memang telah terkepung. Tampak Bre Redana didampingi Ayu Larasati serta Panglima Joko Dentam, mendekati kamar. Mereka pun menghampiri salah seorang yang amat dikenalinya.
"Kau ternyata tidak dapat dipercaya, Sangkil. Aku bermurah hati memberimu kesempatan hidup. Tapi, kali ini tidak! Siapa yang mengkhianatiku harus mati!" desis Bre Redana.
Sangkil Bawen terkejut Seketika darahnya menggelegak. Wajahnya berkerut menahan geram. Rencananya gagal, karena pemuda itu telah mengetahui rencananya. Bahkan kini sepuluh anak buah yang tadi dibawa, kini tinggal dua orang lagi.
Tidak ada jalan selamat baginya. Apalagi, pemuda itu telah bertekad hendak membunuhnya. Maka dengan nekat, pedangnya diayunkan untuk memenggal kepala Bre Redana.
"Keparat! Aku tidak sudi berada di bawah perintahmu! Kau harus mampus sekarang juga!" desis Sangkil Bawen, langsung menerjang.
"Heaaat..!"
Bre Redana tenang-tenang saja. Namun begitu senjata Sangkil Bawen menyambar, tubuhnya membungkuk. Lalu dengan kecepatan tinggi dia meninju dengan duah buah tangan kanan disorongkan kedepan. Dan....
Crok! Des! "Aaa...!"
Sangkil Bawen kontan memekik setinggi langit, beqitu dahi tertembus dua jari Bre Redana. Tampak dua buah lubang sebesar jari di dahi mengucurkan darah segar. Tubuhnya langsung terjungkal ke belakang dan menghajar dinding. Kemudian dia ambruk dengan nyawa melayang dari raga.
"Bunuh mereka...!" tuding Bre Redana kepada dua orang anak buah Sangkil Bawen yang tersisa. Nada bicaranya dingin. Sikapnya tenang saat membersihkan kedua jarinya dengan baju yang dikenakan Sangkil Bawen.
"Ohhh...!"
Dua anak buah Sangkil Bawen terkesiap. Wajah mereka pucat dengan tubuh gemetar. Keduanya melempar senjata, lalu berlutut di depan Bre Redana.
"Kanjeng Gusti Prabu, maafkan kami...! Kami bertobat dan berjanji akan menjadi abdimu yang setia! Ampuni kami...! Tolong ampuni kami...!" ratap keduanya, lirih.
"Aku tidak pernah mengampuni seorang pengkhianat. Meski kalian menangis darah, tidak nantinya aku kasihan. Bunuh mereka!" dengus Bre Redana tegas.
Srang! Salah seorang prajurit langsung mencabut pedang. Lalu....
"Kanjeng Gusti Prabu, ka...!"
Bret! "Aaa...!"
Teriakan mereka berhenti, berganti pekik kematian. Kedua orang itu roboh dengan leher nyaris putus tersambar pedang salah seorang prajurit Bre Redana.
"Panggil yang lain ke sini!" lanjut Bre Redana memberi perintah.
Lima orang prajurit segera beranjak. Tidak berapa lama, mereka kembali bersama sisa-sisa anak buah Sangkil Bawen yang langsung terkejut melihat Sangkil Bawen serta kawan-kawannya telah binasa.
"Siapa di antara kalian yang sekarang menjadi wakil yang lain?" tanya Bre Redana.
"Hamba, Kanjeng Gusti Prabu...," sahut salah seorang.
"Siapa namamu?"
"Sangkot..."
"Kau lihat, Sangkot! Sangkil Bawen kini telah binasa. Dia telah membayar mahal atas pengkhianatannya. Tidak seorang pun boleh menghianatiku, kecuali sudah bosan hidup. Sekarang, bagaimana keputusanmu?" kata Bre Redana.
"Kanjeng Gusti Prabu, hamba dan yang lain telah berikrar untuk tetap setia...!"
"Aku tahu, Sangkot dan tetaplah begitu. Bila kuketahui akan berkhianat, nasib kalian sama dengan Sangkil Bawen. Mengerti"!"
"Kami mengerti, Kanjeng Gusli Prabu! Tekad kami telah bulat untuk mengabdi padamu...!"
"Bagus! Akan kuingat itu. Perlu kalian ketahui, aku telah mengetahui recana Sangkil Bawen sejak semula. Setelah kupasang beberapa mata-mata di sekitar kalian. Maka tak heran bila aku juga tahu pertentangan kalian. Dan aku percaya padamu, Sangkot. Juga pada kawan-kawanmu ini. Tetaplah begitu. Dan, jangan dirubah kalau kalian ingin selamat..!" tandas Bre Redana.
Sangkot mengangguk. Demikian juga kawan-kawannya.
"Kembalilah ke tempat kalian. Dan esok pagi-pagi sekali, kalian akan ku beri tugas bersama yang lain!"
"Terima kasih Kanjeng Gusti Prabu"..! Kalau begitu kami mohon pamit"
Bre Redana mengangguk, kemudian member isyarat pada yang lain untuk bubar.
* * * * *
"Kalian telah menolong kami Dan sebagai imbalannya, sudah patut kami menolong kalian pula!" kilah Ki Samin.
"Anak buahku akan memberi semua penduduk desa ini sedikit bantuan. Tiap kepala, akan mendapat dua keping uang emas. Katakanlah pada yang lain...," sahut pemuda itu sambil tersenyum.
"Oh! Mereka akan sangat berterima kasih! Kalian begitu murah hati...!" seru Ki Samin. "Kalau begitu, sekarang juga aku akan memanggil para penduduk."
Seketika itu juga Ki Samin berbalik dan melangkah keluar rumah besar ini. Dikumpulkannya para penduduk di halaman depan, terutama mereka yang ikut membantu pekerjaan memperbaiki rumah Itu.
Setelah para penduduk berkumpul, Bre Redana keluar bersama salah seorang pembantunya yang telah membawakan sekantung uang emas. Kemudian disuruhnya orang itu membagi-bagikan kepada penduduk desa yang menyambut dengan wajah gembira.
"Nah Bre Redana, sekali lagi kami mengucapkan terima kasih atas kebaikan hatimu. Jumlah itu amat besar bagi kami...," ucap Ki Samin.
"Aku bisa merasakan kalau selama ini kalian hidup sengsara. Selain karena tekanan Sangkil Bawen, kalian juga kesulitan untuk mencari mata pencaharian. Tak ada sawah dan ladang untuk digarap. Tidak ada ternak untuk dimanfaatkan. Oleh sebab itu jika suka, aku menawarkan pekerjaan pada kalian," kata Bre Redana.
"Oh! Kami akan suka sekali! Pekerjaan apa gerangan yang akan kau tawarkan pada kami"!" sam-but Ki Samin.
"Kalian telah mengetahui siapa kami. Dan tekad kami telah bulat. Para penjahat itu harus disingkirkan! Namun kami tidak memiliki jumlah prajurit. Oleh sebab itu jika suka, aku bermaksud mengajak kalian bergabung. Anak buahku akan memberi latihan ilmu olah kanuragan, serta memberi kalian imbalan yang pantas. Sedang yang kuminta adalah kesetiaan. Dan bila telah bergabung lalu berani mengkhianatiku, aku tidak akan segan-segan memancung kepala. Pikirkanlah baik-baik!" jelas Bre Redana.
"Aku setuju! Kurasa mereka pun setuju," sahut Ki Samin.
Setelah Ki Samin memberitahu penjelasan Bre Redana, para penduduk menyambutnya dengan gembira. Ada beberapa hal yang membuat mereka merasa tidak ragu. Yaitu, Bre Redana bersama para prajuritnya terusir karena teraniaya kawanan penjahat. Lalu, mereka kelihatannya bukan orang jahat. Terbukti, telah membebaskan dari pengaruh Sangkil Bawen. Dan tidak kalah pentingnya, orang-orang ini membawa rezeki bagi mereka. Bila bekerja, tentu saja kesejahteraan mereka terjamin.
Mendengar jawaban bersemangat itu, Bre Redana tersenyum dan mengangguk-anggukkan kepala.
"Nah! Kau dengar sendiri, bukan" Mereka senang sekali bila bekerja dengan kalian...," ujar Ki Samin.
"Ya, aku bisa melihatnya...."
* * * * *
Kini Sangkil Bawen tidak akan mengusik penduduk Desa Ketakus lagi. Dia dan anak buahnya lelah ditundukkan oleh pemuda yang kini dipanggil para penduduk sebagai Kanjeng Gusti Prabu Bre Redana dan pasukannya. Namun begitu penduduk desa masih waswas. Sebab, mereka tahu watak gembong penjahat itu. Licik dan tidak mudah ditaklukkan. Hatinya akan berontak bila harus tunduk pada seseorang!
Dan malam ini, Sangkil Bawen dan para pengikutnya sepakat ikut bermain di rumah ini. Ketika malam semakin larut, perlahan-lahan laki-laki itu bangkit. Segera dibangunkannya anak buahnya. Beberapa orang terkejut, namun dia cepat memberi isyarat agar tidak menimbulkan suara berisik.
"Ada apa...?" tanya salah seorang anak buah Sangkil Bawen.
"Tenanglah, Sangkot!" ujar Sangkil Bawen, pelan.
Sangkot yang merupakan salah seorang anak buah paling dekat Sangkil Bawen mengkerut, tap0ak mimiknya heran. Sebab malam-malam begini tidak biasanyanya Sangkil Bawen membangunkannya. Namun ketika melirik kawan-kawannya yang lain, kecurigaannya seperti menemukan jawaban. Meskipun, masih samar.
"Kau membangunkan yang lain, apa mau kabur dari sini?" lanjut Sangkot berbisik.
"Kabur" Huh! Aku tidak akan kabur dari tempat ini!" dengus Sangkil Bawen geram.
"Lalu...?" tanya Sangkot, makin heran.
"Apakah kau tidak tahu kalau kita sekarang menjadi budak mereka?" dengus Sangkil Bawen, tetap berbisik.
"Bukankah itu kemauanmu?"
"Tolol! Kulakukan itu untuk menyelamatkan kalian...!"
"Lalu apa rencanamu sekarang?"
"Kita harus membunuh orang orang itu sekarang juga!" desis Sangkil Bawen, seraya mengepalkan buku-buku jarinya.
"Membunuh mereka" Apakah sudah kau perhitungkan baik-buruknya?"
"Apa maksudmu"!"
"Coba dengarkan baik-baik! Mereka memiliki anak buah yang hebat dan tangkas. Majikannya tentu lebih hebat pula. Kita akan celaka bila mereka tahu! Lagi pula, toh tidak ada ruginya kita bekerja dengan mereka. Kita diberi gaji, dan mereka menjamin hidup kita."
"Dasar tolol! Kau kira enak hidup di bawah perintah orang lain"!"
"Sangkil! Kami terbiasa hidup di bawah perintahmu. Lalu, kini berpindah di bawah perintah mereka. Lantas apa bedanya?" kata Sangkot.
Mendengar jawaban itu, Sangkil Bawen menggeram.
"Sudahlah! Sekarang kau putuskan saja. Ikut denganku untuk membunuh keparat-keparat itu, atau hubungan di antara kita putus!"
Sangkot menghela napas panjang. Terasa berat apa yang dirasakan saat ini. Dipandangnya sahabatnya itu lekat-Iekat.
"Sobat! Persahabatan kita telah demikian erat. Dan rasanya, seperti saudara saja. Tapi kau membawa kami ke jurang kematian. Apakah itu masih dinamakan sahabat lagi?"
"Bicara apa kau" Siapa yang akan membawa kalian ke jurang kematian"!" desis Sangkil.
"Membunuh mereka adalah pekerjaan sia-sia. Bahkan sama saja bunuh diri. Kita telah melihat kehebatan mereka. Dan, masih tegakah kau membiarkan kawan-kawanmu, sementara mereka masih ingin mengecap kenikmatan hidup?" kilah Sangkot.
"Hm.... Sekarang aku tahu keputusanmu. Baiklah. Hari ini juga hubungan kita putus! Kau boleh menentukan langkah hidupmu sendiri!" sentak Sangkil Bawen.
Sangkot mendesah pelan.
"Sobat! Kau terburu-buru mengambil keputusan. Tapi aku tahu, keputusanmu tidak bisa ditarik lagi. Hanya aku ingin, agar kau pun memberi kebebasan pada yang lain untuk menentukan pilihan hidup mereka...," pinta Sangkot.
"Huh! Kurasa mereka akan mengikutiku! Bukankah begitu"!" tanya Sangkil Bawen pada yang lain.
Sebagian mengangkat tangan tanda setuju dengan wajah bersemangat. Namun sebagian lain terdiam dengan menundukkan kepala. Sangkil Bawen mengulang pertanyaannya, namun sikap anak buahnya tetap seperti tadi.
"Aku tidak memaksakan keputusan kalian. Siapa yang ikut denganku, maka berada di pihakku. Siapa yang tidak setuju, boleh tinggal dan memilih hidup diperbudak!" tegas Sangkil Bawen.
Setelah berkata begitu, laki-laki bercambang bauk ini melangkah ke kanan. Sementara sekitar sepuluh orang sudah mengikutinya. Sedangkan sisanya sekitar delapan orang, tetap tegak berdiri di tempatnya. Mereka menunduk, dan tidak berani memandang pemimpinnya.
"Nah! Sekarang, aku tahu siapa yang setia padaku dan siapa yang tidak! Itu lebih baik ketimbang kalian kelak menjadi duri dalam daging!" dengus Sangkil Bawen kesal seraya mengajak pergi anak buahnya yang setia.
Delapan orang yang tak satu pun melirik sekilas, kemudian menghampiri Sangkot.
"Sudahlah, tidak usah menyesal. Apa pun yang kalian putuskan, adalah benar. Kalian punya hak untuk menentukan jalan hidup sendiri...," kata Sangkot berusaha menentramkan hati mereka. Orang-orang itu mengangguk pelan.
* * * * *
Beberapa sosok tubuh mengendap-endap mendekati kamar Bre Redana dengan golok dan pedang terhunus. Salah seorang memberi isyarat. Lalu dengan sigap, dua orang dari mereka menerobos masuk setelah menjebol jendela. Bersamaan dengan itu, pintu masuk pun dibobol. Kemudian secepat kilat, mereka menerjang ke arah tempat tidur sambil mengayunkan senjata.
Bak! Crok! Crak...!
Dalam sekejap mata, tempat tidur Bre Redana hancur berantakan. Namun mereka sangat kecewa, Tidak ada seorang pun di tempat itu. Sebaliknya mereka terkejut ketika kamar ini telah dikepung sepuluh orang bersenjata pedang.
Tanpa banyak bicara, kesepuluh orang berseragam kuning itu langsung menghajar sosok-sosok tubuh itu.
Trang! Bret..! "Aaa...!"
Seketika terdengar denting senjata beradu serta jeritan yang saling susul-menyusul, mulai mengisi suasana malam yang semula sepi dan tenang. Beberapa sosok tubuh terlempar keluar kamar dalam keadaan mengenaskan. Mereka bersimbah darah oleh bacokan yang terlihat memenuhi sekujur tubuh.
Ber! Ber...! Beberapa buah obor seketika menyala. Dan mereka yang bertarung tersentak kaget Ternyata tempat ini memang telah terkepung. Tampak Bre Redana didampingi Ayu Larasati serta Panglima Joko Dentam, mendekati kamar. Mereka pun menghampiri salah seorang yang amat dikenalinya.
"Kau ternyata tidak dapat dipercaya, Sangkil. Aku bermurah hati memberimu kesempatan hidup. Tapi, kali ini tidak! Siapa yang mengkhianatiku harus mati!" desis Bre Redana.
Sangkil Bawen terkejut Seketika darahnya menggelegak. Wajahnya berkerut menahan geram. Rencananya gagal, karena pemuda itu telah mengetahui rencananya. Bahkan kini sepuluh anak buah yang tadi dibawa, kini tinggal dua orang lagi.
Tidak ada jalan selamat baginya. Apalagi, pemuda itu telah bertekad hendak membunuhnya. Maka dengan nekat, pedangnya diayunkan untuk memenggal kepala Bre Redana.
"Keparat! Aku tidak sudi berada di bawah perintahmu! Kau harus mampus sekarang juga!" desis Sangkil Bawen, langsung menerjang.
"Heaaat..!"
Bre Redana tenang-tenang saja. Namun begitu senjata Sangkil Bawen menyambar, tubuhnya membungkuk. Lalu dengan kecepatan tinggi dia meninju dengan duah buah tangan kanan disorongkan kedepan. Dan....
Crok! Des! "Aaa...!"
Sangkil Bawen kontan memekik setinggi langit, beqitu dahi tertembus dua jari Bre Redana. Tampak dua buah lubang sebesar jari di dahi mengucurkan darah segar. Tubuhnya langsung terjungkal ke belakang dan menghajar dinding. Kemudian dia ambruk dengan nyawa melayang dari raga.
"Bunuh mereka...!" tuding Bre Redana kepada dua orang anak buah Sangkil Bawen yang tersisa. Nada bicaranya dingin. Sikapnya tenang saat membersihkan kedua jarinya dengan baju yang dikenakan Sangkil Bawen.
"Ohhh...!"
Dua anak buah Sangkil Bawen terkesiap. Wajah mereka pucat dengan tubuh gemetar. Keduanya melempar senjata, lalu berlutut di depan Bre Redana.
"Kanjeng Gusti Prabu, maafkan kami...! Kami bertobat dan berjanji akan menjadi abdimu yang setia! Ampuni kami...! Tolong ampuni kami...!" ratap keduanya, lirih.
"Aku tidak pernah mengampuni seorang pengkhianat. Meski kalian menangis darah, tidak nantinya aku kasihan. Bunuh mereka!" dengus Bre Redana tegas.
Srang! Salah seorang prajurit langsung mencabut pedang. Lalu....
"Kanjeng Gusti Prabu, ka...!"
Bret! "Aaa...!"
Teriakan mereka berhenti, berganti pekik kematian. Kedua orang itu roboh dengan leher nyaris putus tersambar pedang salah seorang prajurit Bre Redana.
"Panggil yang lain ke sini!" lanjut Bre Redana memberi perintah.
Lima orang prajurit segera beranjak. Tidak berapa lama, mereka kembali bersama sisa-sisa anak buah Sangkil Bawen yang langsung terkejut melihat Sangkil Bawen serta kawan-kawannya telah binasa.
"Siapa di antara kalian yang sekarang menjadi wakil yang lain?" tanya Bre Redana.
"Hamba, Kanjeng Gusti Prabu...," sahut salah seorang.
"Siapa namamu?"
"Sangkot..."
"Kau lihat, Sangkot! Sangkil Bawen kini telah binasa. Dia telah membayar mahal atas pengkhianatannya. Tidak seorang pun boleh menghianatiku, kecuali sudah bosan hidup. Sekarang, bagaimana keputusanmu?" kata Bre Redana.
"Kanjeng Gusti Prabu, hamba dan yang lain telah berikrar untuk tetap setia...!"
"Aku tahu, Sangkot dan tetaplah begitu. Bila kuketahui akan berkhianat, nasib kalian sama dengan Sangkil Bawen. Mengerti"!"
"Kami mengerti, Kanjeng Gusli Prabu! Tekad kami telah bulat untuk mengabdi padamu...!"
"Bagus! Akan kuingat itu. Perlu kalian ketahui, aku telah mengetahui recana Sangkil Bawen sejak semula. Setelah kupasang beberapa mata-mata di sekitar kalian. Maka tak heran bila aku juga tahu pertentangan kalian. Dan aku percaya padamu, Sangkot. Juga pada kawan-kawanmu ini. Tetaplah begitu. Dan, jangan dirubah kalau kalian ingin selamat..!" tandas Bre Redana.
Sangkot mengangguk. Demikian juga kawan-kawannya.
"Kembalilah ke tempat kalian. Dan esok pagi-pagi sekali, kalian akan ku beri tugas bersama yang lain!"
"Terima kasih Kanjeng Gusti Prabu"..! Kalau begitu kami mohon pamit"
Bre Redana mengangguk, kemudian member isyarat pada yang lain untuk bubar.
* * * * *
##[ TIGA ]##
Setelah menyelesaikan santapannya, gadis cantik berbaju biru itu bangkit. Kakinya segera melangkah mendekati laki-laki setengah baya pemilik kedai.
"Ki, apa kau pernah melihat seorang pemuda berbaju rompi putih dengan pedang bergagang kepala burung di punggung?" tanya gadis itu.
"Hm.... Rasanya... tidak," sahut pemilik kedai.
"Hm," suara laki-laki setengah baya itu seperti tersendat. Sebentar-sebentar matanya melirik ke arah seorang wanita cantik berpakaian merah muda yang duduk di pojokan kiri ruangan. Dia duduk dalam satu meja bersama seorang pemuda bertampang tolol dan bermuka lebar. Tubuhnya tinggi dan besar. Bahkan melebihi ukuran yang sewajarnya. Sehingga, tidak heran bila dia menarik perhatian
orang lain. Dan di sebelahnya pun, terdapat seorang pemuda tampan berpakaian rapi. Tangan kanannya yang diletakkan di meja, menggenggam sebuah suling berwarna keemasan. Mereka inilah yang tadi berbisik-bisik sambil memperhatikan gadis berbaju biru itu.
Sementara, setelah membayar makanan, gadis berbaju biru keluar dari kedai. Tapi baru melangkah beberapa tindak, pendengarannya yang tajam merasakan kalau ketiga orang tadi mengikutinya. Gadis berbaju biru tidak mempedulikannya. Begitu tiba di luar, dia menghampiri kudanya yang berbulu putih. Dan bergegas dia melompat ke atas punggungnya.
"Heaaa...!"
* * * * *
Setiba di luar desa gadis berbaju biru yang tadi berada di kedai, kini menghentikan lari kudanya, ketika di depan telah berdiri tiga sosok tubuh menghalangi jalan. Mereka adalah gadis berpakaian merah muda, pemuda bertubuh raksasa, dan pemuda berpakaian perlente dengan sebuah suling di tangan.
"Hm.... Sudah kuduga, kalian akan mencegatku," gumam gadis berbaju ketat warna biru. Tampak sebilah pedang bergagang kepala naga bertengger di punggungnya. Sementara di pinggangnya terselip sebuah kipas terbuat dari baja. Melihat dri-cirinya dia pasti Pandan Wangi yang berjuluk si Klpas Maut.
"Turunlah dari kudamu. Dan kita akan bicara baik-baik," ujar pemuda yang menggenggam suling.
"Aku tidak kenal dan tak punya urusan dengan kalian. Menepilah. Dan, jangan halangi jalanku!" tandas Pandan Wangi.
"Hm.... Kata-katamu ketus sekali, Nisanak. Bila kau tidak ada urusan, maka sebaliknya kami yang akan berurusan denganmu!" balas pemuda itu.
"Hebat sekali! Kalian memaksakan kehendak pada orang lain...!" cibir Pandan Wangi, segera turun dari punggung kudanya.
"Kudengar kau bertanya tentang pemuda berbaju rompi putih dengan pedang bergagang kepala burung, pada pemilik kedai tadi. Hm.... Apa hubunganmu dengan Pendekar Rajawali Sakti?" tanya pemuda itu tidak mempedulikan ocehan si Kipas Maut.
"Telinga kalian memang tuli. Itu urusanku. Dan itu tidak ada urusannya dengan kalian!" bentak Pandan Wangi.
"Tentu saja ada! Setiap orang yang berhubungan dengan Pendekar Rajawali Sakti, harus berurusan dengan kami!"
Mendengar nada bicara pemuda itu yang sinis, Pandan Wangi malah tersenyum mengejek.
"Begitukah" Aku jadi ingin tahu, siapa kau sebenarnya hingga punya urusan dengan Pendekar Rajawali Sakti...?"
"Namaku Kamajaya. Dan orang mengenalku sebagai Pendekar Suling Emas. Dan wanita ini adalah Bidadari Tangan Api. Sedangkan si raksasa ini bernama Darmo Angkor...," jelas pemuda yang memang Kamajaya itu (Baca serial Pendekar Rajawali Sakti dalam kisah : "Dendam Pendekar-Pendekar Gila").
"Pantas saja. Nama kalian memang tercatat sebagai tokoh terkenal dalam biang mesum!" sahut Pandan Wangi, enteng.
"Kurang ajar! Hati-hati kau bicara, Kunyuk!" bentak gadis yang tadi diperkenalkan sebagai Bidadari Tangan Api.
"Apakah bicaraku salah" Kukira semua orang telah tahu. Dan kau berusaha menutupinya setengah mati!" sahut Pandan Wangi disertai tawa sinis.
"Kakak! Apakah dia menyakiti hatimu" Biar akan kuhajar dia!" desis pemuda bertubuh raksasa yang bemama Darmo Angkor.
Wajah Darmo Angkor berubah. Kakinya langsung melangkah lebar Begitu dekat Pandan Wangi, dilayangkannya kepalan tangan kanan.
Wut! "Uts!"
Cepat bagai kilat, Pandan Wangi melenting ringan ke belakang. Setelah jungkir balik beberapa kali, kakinya berdiri tegak sambil tersenyum sinis. "Buto Ijo keparat! Ke sinilah kalau ingin kupecahkan!"
"Grr...! Huh! Akan kucabik-cabik kau...!" eram Darmo Angkor.
Pemuda bertubuh raksasa segera menerjang Pandan Wangi. Namun si Kipas Maut cepat melompat ke atas. Begitu berada di udara, tahu-tahu kedua kakinya menendang punggung Darmo Angkor.
Des! "Aaah...!"
Darmo Angkor kontan terjerembab ke depan sambil mengeluh kesakitan. Dia cepat bangkit, dengan wajah kelihatan semakin gusar.
"Kupatahkan kakimu! Kuremukkan tubuhmu..!" teriak pemuda raksasa ini berulang-ulang seraya menerkam dengan penuh nafsu.
Pandan Wangi cepat menggeser tubuhnya ke kanan menghindar dengan gesit. Dan seketika sikut kanannya menghantam dada.
Duk! "Hem...!"
Darmo Angkor seperti tidak merasakan pukulan gadis berbaju biru tadi. Bahkan sebelah tangann cepat dikibaskan, menghantam kepala Pandan Wangi. Namun Pandan Wangi cepat membungkuk, lalu melompat ke belakang. Sementara, Darmo Angkor terus mengejar.
"Heaaat...!"
Maka disertai bentakan keras, si Kipas Maut yang baru saja mendarat di tanah melesat menyerang. Seketika dilepaskannya satu tendangan kilat ke dada. Begitu cepat gerakannya, sehingga Darmo Angkor tak kuasa menghindarinya. Des!
"Aaakh...!"
* * * * *
Darmo Angkor langsung menjerit keras begitu tendangan Pandan Wangi mendarat di dadanya. Tubuhnya yang besar kontan terjungkal ke belakang dan jatuh berdebum di tanah.
"Huh! Sungguh memalukan! Apakah kalian akan menggunakan tunggul kayu itu untuk menghadapiku"!" dengus Pandan Wangi sinis.
Mendengar ejekan si Kipas Maut, Bidadari Tangan Api maju ke depan.
"Hm.... Baru kuingat. Bukankah kau si Kipas Maut, gendaknya Pendekar Rajawali Sakti"!" cibir Bidadari Tangan Api seperti meremehkan.
"Mulutmu kotor sekali, Nisanak. Lidah tidak bertulang, tapi bisa membawa kematian bagi pemiliknya!" bentak si Kipas Maut.
Dugaan Bidadari Tangan Api agaknya tidak keliru. Sejak tadi, dia berusaha mengenali gadis berbaju biru muda itu. Dengan kipas baja putih yang terselip di pinggang dia yakin kalau gadis berbaju biru ini adalah si Kipas Maut alias Pandan Wangi. Apalagi, gadis berbaju biru itu mencari-cari Pendekar Rajawali Sakti. Maka dugaan itu rasanya tidak meleset.
"Hm.... Apa hebatnya kau, sehingga mesti takut denganmu" Atau barangkali karena orang memandang nama Pendekar Rajawali Sakti"!" cibir Bidadari Tangan Apa yang bernama asli Dewi Tanjung Putih sinis.
"Mulutmu semakin lancang saja! Apa maumu sebenarnya"!" dengus si Kipas Maut
"Meringkusmu untuk mengundang Pendekar Rajawali Sakti ke sini!"
"Meringkusku" Kenapa tidak kau lakukan sejak tadi" Atau barangkali kau takut, sehingga harus membawa dua orang gendakmu itu, he"! Majulah. I Dan, buktikan keinginanmu. Kau sendiri atau bertiga sekaligus!" tantang Pandan Wangi, semakin berkobar dadanya. Apalagi, dikatakan sebagai gendak Pendekar Rajawali Sakti.
"Huh! Sebentar lagi kau akan tahu, bagai nasibmu!" dengus Bidadari Tangan Api.
"Dewi Tanjung Putih! Lebih baik kau tunggu saja di sini. Biarkan aku yang akan meringkusnya!" sahut Kamajaya alias Pendekar Suling Emas seraya tersenyum tipis.
"Huh! Kalau lihat gadis cantik, matamu selalu hijau!" dengus Bidadari Tangan Api.
Kamajaya hanya tertawa kecil tanpa menghiraukan ejekan Dewi Tanjung Putih. Pemuda berjuluk Pendekar Suling Emas mendekati Pandan Wangi. Dan bibirnya kembali tersenyum sambil menyeringai lebar.
"Kipas maut! Setelah aku meringkusmu, akan kulihat apa yang bisa dilakukan kekasihmu! Apalagi, setelah kita bersenang-senang lebih dulu...!" ejek Pendekar Suling Emas.
"Bangsat cabul! Tutup mulutmu! Lebih baik jaga kepalamu, karena kipasku akan kucabut sekarang juga!" dengus Pandan Wangi, geram.
Si Kipas Maut langsung mencabut senjata kipasnya. Dan seketika itu pula, dia melompat menerjang.
"Hih!"
"Uts! Boleh juga...!" puji Kamajaya sambil mengelak ke samping ketika ujung kipas itu mengembang dan menyambar ke leher.
Pandan Wangi semakin kalap. Dan dia terus menyerang gencar.
"Mampus...!" desis Pandan Wangi geram. Ujung senjata si Kipas Maut menyambar ke arah perut. Begitu Kamajaya mencelat ke atas, si Kipas Maut mengebutkannya ke kaki. Dan bersamaan dengan itu, Pandan Wangi mencelat ke atas sambil menyambarkan kipasnya ke pinggang.
Wut! "Hebat, hebat...!" puji Kamajaya lagi, langsung menghindar dengan berjungkir balik.
Tubuh Pendekar Suling Emas terus mencelat lu belakang, lalu berdiri tegak dengan mantap di tanah. Lalu seketika itu pula langsung ditangkis senjata si Kipas Maut dengan sulingnya.
Trang..! Senjata Kamajaya terus bergerak bagai kilat menyambar ke arah dada Pandan Wangi yang baru saja mendarat di tanah. Begitu serangannya gagal karena Pandan Wangi telah mendoyongkan tubuhnya ke belakang, dia mengayunkan tendangan setengah lingkaran. Pandan Wangi menangkis.
Plak! Pada saat tubuh Pandan Wangi terhuyung-huyung ke belakang, Darmo Angkor bergerak cepat. 1angsung dipeluknya gadis berbaju biru itu dari belakang.
"Hup!"
"Uhhh...!"
Pandan Wangi mengeluh tertahan menahan jepitan kedua tangan pemuda raksasa yang kuat bukan main. Badannya terasa mau remuk. Pada saat itu, Kamajaya menggunakan kesempatan sebaiki baiknya. Dia segera melesat bermaksud menotok dada Pandan Wangi dengan sulingnya.
"Hih!"
Tapi mendadak, si Kipas Maut mengayunkan sebelah kakinya menangkis senjata Kamajaya. Sementara, kaki yang sebelah lagi menghantam ke arah dada.
Plak! Duk! Kamajaya mengeluh tertahan sambil memaki-maki tak karuan.
Sementara itu, Pandan Wangi langsung mengayunkan kakinya ke belakang sekuat tenaga. Sehingga, keseimbangan Darmo Angkor menjadi goyah. Seketika itu pula keduanya jatuh ke belakang. Namun, Pandan Wangi cepat bergulingan ketika terlepas dari cengkeraman. Dan dia langsung melenting, bangkit berdiri.
"Hiyaaat...!"
Sementara Kamajaya langsung menyerang kalap. Suling di tangannya bergerak menyambar-nyambar si Kipas Maut yang menghindari sambil sesekali menangkis.
Wut! Tak! Dalam satu kesempatan, si Kipas Maut mencelat ke belakang. Sedangkan Kamajaya telah siap menyerangnya. Namun, gadis itu pun dengan sigap menangkis. Bahkan balas menyerang!
"Kau terlalu lambat membereskannya! Biar kubantu untuk meringkusnya!"
Terdengar bentakan Bidadari Tangan Api tak sabar melihat Kamajaya seperti kewalahan. Segera dia melompat dan ikut menyerang Pandan Wangi. Dan bersamaan dengan itu pula, Darmo Angkor yang telah dua kali dikerjai, ikut menyerang dengan amarah meluap-luap.
"Huh, bagus! Kini kalian main keroyok. Tapi jangan kira aku takut..."!" dengus si Kipas Maut.
Pandan Wangi kembali melompat ke belakang, dan langsung mencabut pedangnya yang berwarna hitam. Dengan Pedang Naga Geni di tangan kanan dan Kipas Maut di tangan kiri, Pandan Wangi kembali melompat ke depan memapaki serangan lawan-lawannya.
"Yeaaat...!"
Sepasang pedang Bidadari Tangan Api berusaha mencecarnya lewat serangan-serangan gencar. Sementara si Pendekar Suling Emas berusaha mencari titik kelemahan untuk menyerang tiba-tiba.
Sedangkan si raksasa Darmo Angkor tidak mempedulikan apapun. Dalam benaknya hanya ada satu tujuan. Meringkus serta melumatkan gadis ini.
Pendekar Suling Emas dan Bidadari Tang Api bukanlah tokoh sembarangan. Mereka sebenarnya punya kemampuan hebat. Tidak heran bila dalam waktu singkat Pandan Wangi terdesak hebat Meski telah mengerahkan segala kemampuan, tidak juga cukup mempertahankan diri.
Pada saat-saat terdesak seperti ini mendadak berkelebat satu bayangan putih. Begitu dekat bayangan putih itu cepat menggerakkan tangan dan kakinya, langsung membuyarkan keroyokan itu.
Begkh! "Aaakh...!"
Tahu-tahu tubuh si raksasa Darmo Angk terjungkal, dan jatuh berdebum sambil meringis kesakitan.
* * * * *
Kamajaya dan Bidadari Tangan Api terkejut ketika tangan dan kaki sosok tubuh berbaju putih itu bergerak cepat sekali. Mereka berusaha memapak, namun tetap saja serangan itu bersarang di dada masing-masing.
Des! Begkh! "Aaakh...!"
Kamajaya dan Dewi Tanjung Putih terjungkal kesakitan. Namun begitu, keduanya cepat bangkit dan berseru kaget ketika melihat siapa yang melakukan serangan.
"Pendekar Rajawali Sakti...!"
"Kakang Rangga...!"
Sebaliknya Pandan Wangi berseru girang melihat siapa yang menolong.
"Pandan! Kau tidak apa-apa?" tanya pemuda yang tak lain Pendekar Rajawali Sakti, langsung menghampiri Pandan Wangi.
"Tidak."
"Syukurlah. Telah lama mereka kucari. Dan tidak tahunya, malah bertemu di sini. Sungguh keterlaluan!"
"Kakang, apakah kau mengenal mereka?"
"Mereka adalah para durjana yang banyak diburu orang. Aku berjanji tidak akan mengampuni mereka lagi, bila berani bertemu denganku saat berbuat kejahatan. Dan saat ini, adalah tepat waktunya!" dengus Pendekar Rajawali Sakti geram.
"Kakang! Aku punya urusan dengan perempuan cabul itu. Dia telah menghinaku. Kau uruslah dua orang yang lain. Biar dia bagianku!" seru Pandan Wangi, geram.
aSementara itu Kamajaya dan Dewi Tanjung Putih agak ketakutan ketika mengetahui kehadiran Pendekar Rajawali Sakti. Dengan adanya si Kipas Maut di tempat ini, maka mereka tidak punya kesempatan menyerang Pendekar Rajawali Sakti bersama-sama. Padahal itu telah direncanakan sejak lama.
"Pendekar Suling Emas, bersiaplah! Janga harap aku akan mengampunimu lagi saat ini. Telah cukup kalian kuberi peringatan, namun tetap juga membandel!" dengus Rangga.
"Huh! Kau kira dirimu malaikat pencabut nyawa"! Kau tidak lebih dari kutu busuk yang menjijikkan. Jangan dikira aku takut padamu!" balas Kamajaya dengan sikap tidak kalah garang.
Rangga tersenyum dingin. Dan seketika, dia melompat menyerang. Kamajaya yang telah bersiap, langsung menghindar. Sementara Pendekar Rajawali Sakti terus mengejarnya, dan tidak memberi kesempatan sedikit pun bagi Pendekar Suling Emas untuk balas menyerang.
"Hiyaaat..!"
"Uhhh...!"
Kamajaya tahu betul kalau tidak akan bisa menang melawan Pendekar Rajawali Sakti. Apalagi, pemuda itu pernah menjatuhkannya. Sehingga, meski berani menghadapi, namun tetap saja semangatnya kendor. Sementara rasa was-was masih menghantuinya. Tak heran kalau ini mempengaruhi gerakan-gerakannya.
Suling di tangan Pendekar Suling Emas berusaha memapaki serangan-serangan. Namun dengan lincah Pendekar Rajawali Sakti berhasil menghindarinya, lalu menyerang dengan cara tidak terduga. Hal itu sering membuat Kamajaya terkejut, Langsung menghindar sebisa-bisanya.
Kini Kamajaya berusaha balas menyerang. Suling di tangannya berkelebat menyambar ke muka, dada, serta perut. Tapi, gerakan Pendekar Rajawali Sakti tidak mampu diikutinya. Dan tahu-tahu, Rangga melompat ke samping sambil bergulingan. Dan saat itu pula dilepaskannya satu tendangan keras ke pinggang. Begitu cepat gerakannya, sehingga....
Des! "Akh...!"
Kamajaya kontan menjerit keras dan jatuh bergulingan. Begitu bangkit, Pendekar Rajawali Sakti tidak langsung mengejarnya. Kini dia menghalau Darmo Angkor yang saat itu ikut mengeroyok Pandan Wangi.
Pemuda raksasa itu agaknya tidak mau mengerti kalau si Kipas Maut hanya mau berhadapan satu lawan satu dengan Bidadari Tangan Api. Dia merasa, kakak angkatnya dalam bahaya dan memerlukan pertolongan.
"Hup!"
Plak! Darmo Angkor berhasil menangkis tendangan Rangga. Namun, secepat itu pula kaki Pendekan Rajawali Sakti yang sebelah lagi menghantam tengkuk.
Des! Si raksasa itu jatuh tersungkur ke depan. Dia cepat bangkit, dan mengejar Rangga.
"Graungrrr...!" Darmo Angkor menggeram laksana seekor harimau yang tengah murka.
Dan bersama Kamajaya, pemuda bertubuh raksasa itu menyerang Pendekar Rajawali Sakti.
"Yeaaat...!"
"Uts! Haaa...!"
Pendekar Rajawali Sakti mencelat ke atas. mentara Kamajaya mengejar dengan gesit. Namun tiba-tiba Rangga memutar tubuhnya bagai gasing, sehingga, sulit bagi Pendekar Suling Emas untuk menyerang. Bahkan tiba-tiba pemuda itu menukik deras ke bawah dengan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'.
Kamajaya cepat mengibaskan senjata, namun Rangga cepat menarik kakinya. Belum sempat Kamajaya mengebutkan senjatanya lagi, satu tendangan Pendekar Rajawali Sakti mendarat telak di dadanya.
Des! "Aaakh...!"
Kembali Pendekar Suling Emas menjerit kesakitan, dan jatuh terjungkal. Sementara Darmo Angkor coba meringkus Rangga yang telah mendarat dari belakang. Namun, Pendekar Rajawali Sakti berbalik seraya mengayunkan tendangan keras ke wajah.
Pak! "Aaakh...!"
* * * * *
##[ 4 ]##
"Yeaaa...!"
Plak! Begkh...!
"Aaakh...!"
Sementara, Pendekar Rajawali Sakti memang tengah bergerak menerjang. Kedua kakinya bergerak lincah, menghantam dada dan perut Darmo Angkor. Pemuda bertubuh raksasa itu kembali tersungkur. Jeritannya lebih keras terdengar. Dari sudut bibirnya tampak meleleh darah segar. Tendangan Pendekar Rajawali Sakti agaknya demikian keras dan disertai tenaga dalam tinggi. Sehingga tidak mungkin Darmo Angkor menahannya. Wajahnya berkerut menahan sakit. Sedangkan telapak tangannya mendekap dada dan perut.
"Heaaat..!"
Rangga mendengus, menyadari ada satu sosok yang membokong dari belakang dengan melepaskan pukulan jarak jauh. Dengan gesit Pendekar Rajawali Sakti mencelat ke atas, sehingga serangan gelap itu luput. Lalu tubuh Rangga meluruk ke arah pembokong yang tak lain adalah Kamajaya.
Wut! "Uts...!"
Pendekar Suling Emas cepat menyambut dengan mengayunkan sulingnya. Namun Pendekar Rajawali Sakti menghindari dengan berjungkir balik sambil menekuk tubuhnya. Bahkan tahu-tahu sebelah kakinya menerjang dada Pendekar Suling Emas. Kamajaya berusaha melompat ke belakang, sementara Rangga terus mengejar dengan serangan gencar.
"Hiyaaat..!"
Kali ini Pendekar Rajawali Sakti yang masih berada di udara dengan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega' melewati kepala Kamajaya. Meski Pendekar Suling Emas berusaha memapasnya dengan cepat, tetap saja tidak mampu mengimbangi gerakan Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan satu hantaman lagi tahu-tahu menghajar pinggangnya.
Des! "Aaakh...!"
Kamajaya tersungkur ke samping. Sementara begitu mendarat di tanah, Pendekar Rajawali Sakti telah menyiapkan serangan susulan, sambil menunggu Pendekar Suling Emas bangkit berdiri.
"Yeaaat..!"
Begitu melihat Pendekar Suling Emas bangkit, Pendekar Rajawali Sakti mencelat ke arahnya. Agaknya tak ada harapan lagi bagi Kamajaya untuk berkelit, atau coba menangkis. Keadaannya sudah tidak memungkinkan lagi. Beberapa kali hajaran Rangga terasa meremukkan tulang-belulang serta isi tubuhnya. Dan hal itu membuat gerakannya semakin lambat, serta tenaganya terkuras banyak.
"Berdoalah untuk kematianmu, Pendekar Suling Emas!" dengus Pendekar Rajawali Sakti.
"Uhhh,..!"
Pada saat yang gawat, Kamajaya mengumpulkan seluruh tenaga yang dimiliki. Lalu begitu serangan mendekat, dia bergulingan menghindari. Tapi tak terduga Pendekar Rajawali Sakti memutar tubuhnya. Lalu dengan gerak langkah kakinya yang demikian lebar, tahu-tahu satu tendangan keras Pendekar Rajawali Sakti menghajar perut Kamajaya.
Begkh! "Aaakh...!"
Kembali Kamajaya menjerit keras. Tubuhnya terpental beberapa langkah. Sementara dari mulutnya menyembur darah segar. Tendangan yang berisi tenaga dalam tingkat tinggi terasa memporak-porandakan isi ?perutnya. Napasnya megap-megap dan mukanya pucat. Kalau saja Pendekar Suling Emas adalah pendekar kemarin sore, pasti telah mati sejak tadi.
"Kamajaya...!" seru Bidadari Tangan Api kaget, ketika sempat melirik keadaan Kamajaya.
Keadaan Dewi Tanjung Putih sendiri saat itu tidak menguntungkan. Karena, Pandan Wangi terus mendesaknya dengan gencar. Namun melihat kekasihnya dalam keadaan bahaya, dia tidak bisa berdiam diri. Maka dengan nekat tubuhnya melompat untuk memapak serangan Pendekar Rajawali Sakti. Tapi, tentu saja Pandan Wangi tidak mendiamkannya begitu saja.
"Huh! Kau kira bisa lari dariku"!" dengus si Kipas Maut.
Begitu kata-katanya selesai, Pandan Wangi segera melesat mengejar sambil mengibaskan Pedang Naga Geni.
Wut! Bidadari Tangan Api masih sempat menangkis pedang di tangan Pandan Wangi dengah sepasang pedangnya.
Trang! Tapi dengan cepat, kipas baja putih yang berada di tangan kiri Pandan Wangi menyambar sebelah kakinya
Bret! "Aaakh...!"
Bidadari Tangan Api menjerit tertahan. Betisnya terluka. Dan sebelum sempat menghindar dari serangan Pandan Wangi berikutnya, satu tendangan menggeledek telah menghantam dadanya.
Des...! "Ugkh...!"
Dewi Tanjung Putih kontan menjerit keras dan jatuh terbanting lebih kurang tujuh langkah ke belakang.
"Kau boleh mampus sekarang, Perempuan Cabul!" desis Pandan Wangi, langsung melompat menyerang Bidadari Tangan Api yang belum sempat bangkit.
Pada saat yang sama, Pendekar Rajawali Sakti pun telah bersiap menghabisi Kamajaya. Agaknya tak ada jalan selamat lagi bagi keduanya selain pasrah menerima nasib. Namun. ..
Set! Set! Mendadak, melesat beberapa benda ke arah Pendekar Rajawali Sakti dan Pandan Wangi.
"Pandan, awaaas...!" teriak Rangga memperingatkan.
Belasan benda yang ternyata batang anak panah itu melesat menerjang. Seketika itu pula Pendekar Rajawali Sakti dan si Kipas Maut terpaksa menangkis dengan susah payah.
"Hup!"
"Pandan, awas! Tahan mereka...!" teriak Rangga ketika melihat beberapa sosok berbaju kuning berlompatan menyerang.
Trang! Wut! "Hih!"
* * * * *
Pendekar Rajawali Sakti dan Pandan Wangi sibuk meladeni sosok-sosok berbaju kuning yang datang tiba-tiba dan langsung menyerang ganas. Jumlah mereka sekitar sepuluh orang dengan seragam kuning. Dan mereka agaknya berbagi tugas dengan rapi. Lima orang menyerang Pandan Wangi dan Pendekar Rajawali Sakti, sementara lima lainnya menyelamatkan Kamajaya, Bidadari Tangan Api, dan Darmo Angkor.
Tentu saja hal itu membuat geram Rangga dan Pandan Wangi. Mereka berusaha mencegah, namun orang berbaju kuning yang dihadapi ternyata cukup hebat dengan senjata yang beraneka ragam.
"Kurang ajar!" desis Rangga geram.
Srang! Mau tak mau Pendekar Rajawali Sakti mencabut Pedang Pusaka Rajawali Sakti yang langsung memancarkan sinar biru berkilauan. Seketika dipapasnya senjata orang-orang berbaju kuning. Bahkan, pedang pusaka milik Rangga terus bergerak cepat. Dan....
Brues! "Aaa...!"
Dua dari tiga orang berbaju kuning yang hadapan dengan Pendekar Rajawali Sakti kontan memekik setinggi langit, begitu terbabat Pedang Pusaka Rajawali Sakti.
"Heh"!"
Melihat keadaan itu, yang lain berseru kaget. Namun agaknya mereka cukup terlatih dan cekatan. Sehingga secepat kilat tiga orang yang tersisa segera melemparkan sebuah benda sebesar kelereng ke arah Pendekar Rajawali Sakti dan Pandan Wangi.
Bus...! "Kurang ajar...!" maki Rangga ketika benda sebesar kelereng yang dilemparkan orang berbaju kuning meledak dan mengeluarkan asap kuning, sehingga menghalangi pandangan.
Saat itu juga, Pendekar Rajawali Sakti menghentakkan kedua tangannya ke depan.
"Aji 'Bayu Bajra' Heaaa...!" bentak Pendekar Rajawali Sakti.
Saat itu juga serangkum angin kencang menderu-deru, langsung menghalau asap kuning. Dalam sekejap mata, asap kuning itu sirna. Namun, orang-orang berbaju kuning ternyata telah menghilang.
"Ke mana larinya mereka, Kakang?" tanya Pandan Wangi, seraya menghampiri Rangga.
"Entahlah...," desah Rangga.
"Huh! Menyesal aku tidak cepat-cepat membunuhnya!" dengus Pandan Wangi menahan geram.
"Di lain kesempatan, kita pasti akan menemukan mereka lagi. Sudahlah, tidak usah terlalu dipikirkan...," hibur Pendekar Rajawali Sakti.
"Dia telah menghinaku, Kakang! Perempuan cabul itu harus mati di tanganku!" kata Pandan Wangi, bernada kecewa.
Rangga diam, tidak menanggapi kata-kata Pandan Wangi. Dan dia malah bersuit pelan. Tak lama, seekor kuda hitam terkilat berlari pelan mendekatinya. Dielus-elusnya leher kuda bernama Dewa Bayu untuk beberapa saat.
"Bagaimana Kakang sampai berurusan dengan mereka?" tanya Pandan Wangi.
"Ceritanya panjang...," sahut Rangga. Langsung diceritakannya awal mula dirinya berurusan dengan Bidadari Tangan Api dan Kamajaya tadi (Untuk lebih jelasnya baca serial Pendekar Rajawali Sakti, dalam episode : "Dendam Pendekar-Pendekar Gila").
Pandan Wangi manggut-manggut.
"Pantas saja mereka begitu mendendam padamu. Tapi yang seorang lagi, siapa dia...?"
"Entahlah. Aku sama sekali tidak mengenalnya...."
"Sungguh disayangkan. Orang itu memiliki kemampuan hebat. ?Namun, tidak memiliki ilmu olah kanuragan serta tenaga dalam cukup. Dia hanya mengandalkan tenaga kasarnya saja. Bila kelak memiliki ilmu olah kanuragan tinggi, maka akan sulit dicari tandingannya...," desah Pandan Wangi pelan.
"Ya, aku pun berpikir begitu...."
Mereka terdiam untuk beberapa saat. Pandan Wangi memandang Rangga dengan wajah berkerut.
"Ke mana saja selama ini, Kakang" Aku mencari-cari kabar berita tentangmu, namun tidak juga kunjung dapat. Sehingga terpaksa aku sendiri turun tangan...!"
"Maaf, Pandan. Ceritanya agak panjang. Dan seperti yang kau lihat sekarang, aku toh tengah melakukan perjalanan pulang, bukan?" kilah Pendekar Rajawali Sakti.
"Kau harus ceritakan semua, atau aku akan marah besar!" ancam Pandan Wangi, merajuk.
"Eee, jangan begitu! Tanpa diancam pun, aku akan menceritakannya padamu. Nah! Lebih baik kita berkuda. Selama dalam perjalanan pulang aku akan menceritakannya padamu...," ?cegah Rangga, menggoda.
"Huh...!" dengus Pandan Wangi, seraya menunjukkan wajahnya yang masih cemberut.
Rangga hanya tersenyum. Disadari betul akan watak gadis ini. Meski tengah marah, tapi masih nurut untuk dinasihati.
* * * * *
Kamajaya dan Dewi Tanjung Putih tidak tahu siapa orang-orang berseragam kuning ini. ?Setelah tadi terluka akibat bertarung dengan sepasang pendekar dari Karang Setra, mereka kini ditawan orang-orang ini. Tak ada cara melepaskan diri dalam keadaan tertotok seperti sekarang. Percuma mereka berteriak-teriak sebab orang-orang berseragam kuning ini sama sekali tidak menghiraukan. Bahkan semakin kencang menggebah kudanya. Kalaupun ada yang aneh, mereka ternyata agak kesulitan menggotong si raksasa Darmo Angkor. Terpaksa digunakan dua ekor kuda untuk menariknya. Dan Kamajaya serta Bidadari Tangan Api tidak tahu, mau di bawa ke mana.
"Hei, apakah kalian tuli"! Turunkan kami! Kurang ajar...! Kau kira kami apa, he"!" teriak Bidadari Tangan Api.
Tak ada sahutan selain teriakan-teriakan yang menggebah laju kuda lebih kencang. Gadis itu putus asa. Sehingga terpaksa mendiamkan saja.
Sementara orang-orang berbaju serba kuning ini telah melintasi padang rumput yang agak luas, kemudian memasuki sebuah dataran tandus yang berada di bawah jajaran pebukitan. Tidak berapa lama, mereka memasuki sebuah desa. Penduduknya cukup ramai berlalu-lalang. Namun yang mengherankan adalah, tidak seorang pun yang merasa terkejut oleh kehadiran orang-orang berbaju kuning ini. Bahkan kegiatan mereka sama sekali tidak terusik.
Tiba di depan sebuah bangunan besar yang memiliki pekarangan luas, rombongan ini berhenti. Mereka turun dari kuda dan langsung membopong ketiga orang itu ke dalam Mereka langsung memasuki bangunan besar di depan tadi. Beberapa orang mereka saling bertegur sapa dengan beberapa penjaga yang berjaga-jaga. Keadaan di tempat ini mirip sebuah istana yang dipenuhi para prajurit. Semuanya berseragam serba kuning!
Bruk! "Setan...!" maki Bidadari Tangan Api ketika dilempar seenaknya sampai membentur dinding sebuah kamar.
Salah seorang segera membebaskan totokan.
Kini Kamajaya, Bidadari Tangan Api, dan Darmo Angkor menggeliat langsung berdiri. Kini mereka berhadapan dengan seorang pemuda bertubuh kekar dengan alis kuning. Di sekelilingnya tampak para prajurit bersenjata lengkap menjaganya dengan ketat.
Ketiga orang yang kini seperti tawanan ini mengernyitkan dahi Orang-orang di sekeliling mereka berpakaian serba kuning. Dan yang lebih aneh, mereka memiliki alis-alis berbulu kuning. Wajah-wajah ini kelihatan tidak memiliki kesan galak, sehingga ketiganya sedikit kebingungan. Sebab bila mereka kawanan rampok tentu penampilannya tidak seperti ini.
"Kisanak dan Nisanak maafkan kelakuan anak buahku. Mereka memang sangat kasar. Tapi tentu saja hal itu punya alasan kuat. Selamat datang di Kerajaan Alas Karang!" sambut pemuda bertubuh kekar yang berada di depan mereka.
"Siapa kalian" Dan, di mana kami sekarang?" tanya Pendekar Suling Emas.
"Bukankah telah kami katakan, bahwa kalian berada di Istana Alas Karang" Namaku, Panglima Joko Dentam. Aku salah seorang pembantu Kanjeng Gusti Prabu tak lain Panglima Joko Dentam.
"Kerajaan Alas Karang" Baru kudengar nama kerajaan itu!" sahut Kamajaya masih mengernyitkan dahi.
"Kerajaan ini memang masih baru. Namun, bentar lagi seantero orang akan mengenalnya. Kerajaan ini berkembang pesat, dan membutuh orang-orang yang trampil. Oleh karena itulah, kalian berada di sini.. "
"Kisanak, bicaralah yang jelas. Apa maksud kalian membawa kami ke sini?" desah Kamajaya.
Panglima Joko Dentam tidak langsung menjawab. Salah seorang anak buahnya yang tadi ikut dalam rombongan yang membawa ketiga orang itu ke sini, berbisik di telinganya. Sebentar saja, pemuda berusia sekitar dua puluh delapan tahun ini| mengangguk.
"Kami ingin mengajak kalian bergabung dalam kerajaan ini...," jelas Panglima Joko Dentam.
Bidadari Tangan Api tertawa.
"Lucu! Apa kau kira sedemikian mudah membujuk orang, he"! Kami orang-orang bebas dan tidak sudi terikat oleh apapun!"
"Nisanak.... Kami telah menolong kalian. Ingat itu baik-baik! Kalian berhutang budi pada kami." |
"Siapa yang minta ditolong"! Kami bisa menolong diri sendiri!" sahut Bidadari Tangan Api, angkuh.
"Kalau kami tidak menolong, maka nyawa kalian telah melayang oleh kedua orang itu. Anggaplah bahwa kalian tidak berhutang budi. Namun, tawaran itu tetap kami ajukan. Bagaimana?"
Mereka berpikir sejurus lamanya. Terutama, Kamajaya dan Dewi Tanjung Putih.
"Apa untungnya bagi kami jika bergabung dengan kalian?" tanya Kamajaya.
"Apa yang kalian inginkan?"
"He he he...! Ini sungguh menarik. Kau bersungguh-sungguh dengan kata-katamu tadi, Kalau aku meminta sesuatu yang besar sebagai imbalan, apakah kalian juga bersedia mengabulkannya?" tanya Pandekar Suling Emas sambil ketawa lebar.
Panglima Joko Dentam tersenyum menanggapi ucapan pemuda itu.
"Kisanak! Di sini ada aturan. Bagi mereka yang bekerja dengan kami, akan diberikan imbalan sesuai nama besar yang dimiliki. Sebab bukan hanya kalian bertiga bisa. Nanti, kalian akan tahu bahwa tokoh-tokoh lain yang setingkat dengan kalian banyak yang bekerja pada kami. Rata-rata mereka cukup puas dengan imbalan yang diberikan. Kanjeng Gusti Prabu Bre Redana selalu memperhatikan kesejahteraan..," jelas Panglima Joko Dentam.
"Kami tidak ada urusan dengan yang lain. Jawablah pertanyaan tadi. Apakah kalian mampu mengabulkan permintaan kami?" sahut Dewi Tanjung Putih, tandas.
"Katakan apa yang kalian inginkan. Dan setelah itu, akan kami pertimbangkan apakah sesuai dengan harga kalian," balas Panglima Joko Dentam.
"Berapa banyak jumlah para prajurit kalian. Dan di antara mereka, apakah ada yang bisa diandalkan?" lanjut Dewi Tanjung Putih.
"Maaf, jumlah prajurit yang kami miliki tidak bisa dikatakan. Sebab hal itu termasuk rahasia. Tapi kau harus percaya bahwa kami memiliki prajurit-prajurit dalam jumlah cukup banyak. Dan kepandaian mereka patut dibanggakan dan bisa diandalkan."
"Apakah cukup mampu membunuh kedua musuh kami?"
"Yang kalian maksud kedua lawan kalian tadi?"
"Ya!" sahut Dewi Tanjung Putih mantap.
"Itu permintaan mudah."
"Jangan gegabah! Kalian boleh berbangga dengan jumlah prajurit yang banyak serta trampil. Tapi, mereka tidak bisa dianggap enteng. Terlebih lagi, pemuda berbaju rompi putih itu."
"Huh! Apa kehebatannya, sehingga kami harus takut?"
"Yang pemuda bergelar Pendekar Rajawali Sakti. Dan yang gadis berjuluk si Kipas Maut. Mereka tokoh terkenal di kalangan persilatan!"
"Pendekar Rajawali Sakti" Hm, menarik sekali" seru Panglima Joko Dentam sambil tersenyum.
"Apa maksudmu?" tanya Kamajaya.
"Kalian berdua tidak usah khawatir. Dengan senang hati kami akan membereskan mereka berdua!" sahut Panglima Joko Dentam, mantap.
"Bagus! Kami inginkan kepala mereka. Sebelum kepala mereka dihadapkan, jangan harap kami mau bersekutu!" desis Dewi Tanjung Putih menegaskan.
Panglima Joko Dentam hanya tersenyum, namun tidak menjawab apa-apa. Sebaliknya, dia memberi isyarat pada dua orang anak buahnya.
"Kisanak, silakan beristirahat. Anak buahku akan menunjukkan kamar kalian masing-masing!" ujar Panglima Joko Dentam.
"Aku belum puas, sebab kau belum menjawab pertanyaanku tadi!" dengus Bidadari Tangan Api mengingatkan.
"Kenapa mesti ragu" Kalian adalah calon keluarga besar kami. Dan tentu saja semua keinginan kalian akan berusaha dipenuhi. Apalagi, soal kepala si Pendekar Rajawali Sakti. Jangan khawatir. Dalam waktu singkat, kami akan membawa kepalanya dan mempersembahkannya pada kalian."
Jawaban itu melegakan Dewi Tanjung Putih dan Kamajaya. Setelah itu, barulah mereka mau berlalu dari ruangan ini mengikuti dua orang prajurit Kerajaan Alas Karang.
* * * * *
##[ LIMA ]##
"Baik-baik saja, Kakang...."
"Aku sadar, kau tentu kesepian," desah Pendekar Rajawali Sakti.
Pandan Wangi tidak menjawab. Matanya melirik pemuda itu sekilas, lalu tersenyum.
"Hm.... Aku masih heran, Siapa orang-orang berbaju kuning itu sebenarnya...!" gumam Rangga.
"Mungkin mereka punya hubungan erat dengan ketiga durjana itu...," sahut Pandan Wangi sekenanya.
"Orang-orang itu tangkas dan terlatih...," gumam Pendekar Rajawali Sakti.
"Ya."
"Aku curiga...."
"Curiga kenapa, Kakang?" tanya Pandan Wangi, memandang heran pada wajah kekasihnya.
"Apakah kau tidak dengar berita-berita belakangan ini?"
"Berita apa?"
"Sekawanan tokoh persilatan bersekutu dengan seseorang yang kini bermukim di Desa Ketakus. Tempat itu gersang, dan jarang dikunjungi orang luar. Tapi belakangan ini banyak orang berduyun-duyun ke sana. Entah untuk apa...," sahut Rangga dengan suara menggantung dan dahi sedikit berkerut.
"Lalu, apa hubungannya dengan orang-orang berseragam kuning tadi?" tanya Pandan Wangi dengan kening berkerut.
"Entahlah. Aku hanya tidak percaya bila di sana tidak ada daya tarik yang membuat banyak orang mengunjunginya...," desah Pendekar Rajawali Sakti.
"Maksud, Kakang...?" wajah Pandan Wangi semakin bingung saja mendengar cerita Pendekar Rajawali Sakti.
"Mereka berkumpul, pasti dengan suatu rencana yang tersusun. Suatu kekuatan akan timbul. Kita tidak tahu untuk apa. Tapi, desas-desus yang kudengar jumlah mereka cukup banyak. Dan bertambah tiap hari. Orang-orang itu mempunyai ciri khas berpakaian serba kuning. Bahkan memiliki alis kuning. Persis seperti para penyerang kita tadi," jelas Rangga.
"Kalau begitu, lebih baik kita ke sana untuk menemukan tiga keparat itu!" desis Pandan Wangi semangat.
"Eee, tenang dulu! Sabar...."
"Tenang bagaimana" Kakang, perempuan cabul itu telah menghinaku. Dan sebelum dia mati di tanganku, rasanya belum tenang hatiku!"
"Bila mereka menyelamatkannya, maka bisa dipastikan ketiga orang itu akan bersekutu pula. Bila kita mencari mereka, dan akan berurusan, maka yang lainnya akan ikut bertanggung jawab. Apakah kau sanggup melawan mereka semua?"
"Huh, peduli amat! Siapa yang takut pada mereka"!" dengus Pandan Wangi dengan wajah cemberut.
"Jangan terburu nafsu, Pandan. Tidakkah kau merasakan kalau orang-orang berbaju kuning itu memiliki kemampuan hebat" Bila jumlah mereka seratus orang, apakah kita akan sanggup menahannya?"
"Apakah Kakang takut menghadapinya?"
"Bukan persoalan takut. Tapi kita harus mampu berpikir jernih. Menyerang ke sana bukanlah rencana bagus. Bagaimanapun, amarah di hati harus bisa ditahan dan tetap bersabar. Suatu saat mereka akan keluar dan pasti mencari kita untuk membalaskan dendamnya. Dan lagi, kita hanya butuh kedua orang itu, bukan yang lain."
"Bagaimana mungkin Kakang mengatakan kalau kita akan berurusan dengan yang lain?" desah Pandan Wangi sinis.
"Mereka tidak mengganggu kita. Lalu, untu apa kita mesti berurusan?"
"Kakang lupa" Mereka menyelamatkan keparat-keparat itu. Jadi, sudah cukup alasan bagi kita untuk berurusan dengan orang-orang berseragam kuning itu. Yang kedua, bila betul mereka bersembunyi di Desa Ketakus, maka ini suatu ancaman Kakang! Desa itu berbatasan langsung dengan wilayah Karang Setra. Apakah Kakang tidak memperhitungkan bila jumlah mereka semakin banyak maka bisa saja menyerang Karang Setra!" kata Pandan Wangi bersemangat.
Rangga tercenung memikirkannya. Kata-kata Pandan Wangi memang masuk di akal. Bila persoalan ini tidak cepat diatasi, maka seperti yang dikatakan gadis ini, bisa saja mereka menyerang Karang Setra. Atau barangkali itu rencana mereka yang sesungguhnya"
"Betulkan kataku?" usik Pandan Wangi.
"Mungkin saja...," desah Rangga.
"Jadi?"
"Kita akan berjaga-jaga. Dan aku akan menyiapkan beberapa pasukan untuk memantau gerakan mereka...."
"Bukan begitu maksudku! Apakah tidak sebaiknya kita ke sana langsung" Tangkap ketiga orang itu, dan hajar saja kalau yang lainnya ikut campur!"
Rangga tersenyum. Pikiran gadis ini begitu polos, dan tidak memperhitungkan akibatnya.
"Kau setuju kan, Kakang"!" desak Pandan Wangi bersemangat.
Belum juga Rangga sempat menjawab, mendadak...
Set! Set! Tiba-tiba belasan anak panah melesat menghujani Pandan Wangi dan Pendekar Rajawali Sakti. "Heh?"
* * * * *
"Hup!"
Sring! Pendekar Rajawali Sakti melenting ke atas. Sedang Pandan Wangi begitu melompat langsung mencabut Pedang Naga Geni dan menghalau serangan itu. Baru saja hujan anak panah berhasil dihalau, mendadak belasan sosok tubuh berlompatan mengurung mereka.
"Huh, coba lihat! Betul kataku, bukan" Mereka memang sengaja cari gara-gara dengan kita!" dengus Pandan Wangi, langsung menghampiri Rangga. Dan kini punggungnya dirapatkan dengan punggung Rangga, paling bertolak belakang.
Rangga terdiam. Matanya tajam mengawosi orang-orang ini. Dia tahu, ke mana arah pembicaraan Pandan Wangi melihat seragam kuning yang dikenakan mereka. Dan saat menegaskan lebih lanjut, pemuda itu menemukan kalau orang-orang itu semua memiliki alis kuning.
"Apa lagi yang kau pikirkan, Kakang" Sudah jelas mereka memusuhi kita!"
"Nisanak! Jangan salah sangka. Kami sama sekali tidak bermaksud jahat pada kalian...," ujari salah seorang bernada ramah.
Yang bicara tadi agaknya merupakan pemimpin orang-orang berbaju kuning itu. Usianya muda, sekitar tiga puluh tahun. Tubuhnya sedang. Tangan kanannya menggenggam sebatang tombak pendek yang kedua ujungnya runcing.
"Kalau benar kalian tidak bermaksud jahat, apa hubungannya dengan hujan anak panah tadi?" sahut Rangga, sinis.
"Kisanak, maafkan sikap kami tadi. Kami harus tahu berhadapan dengan siapa. Dan ternyata kalian cukup tangguh. Orang-orang seperti kalian yang kami perlukan...," sahut orang tadi.
"Aku tidak mengerti. Coba jelaskan, siapa kalian danada apa sebenarnya. Dan siapa pula adanya kau?"
"Namaku, Tunggul Saka. Dan aku pemimpin mereka. Kami berasal dari Kerajaan Alas Karang yang berpusat di Desa Ketakus!" sahut pemuda yang mengaku bernama Tunggul Saka.
"Aku tahu tempat itu. Lalu apa yang kalian inginkan dari kami?" tanya Rangga.
"Pemimpin kami ingin bertemu kalian berdua...," sahut Tunggul Saka.
"Siapa pemimpin kalian?"
"Kami tidak bisa menyebutkan namanya. Tapi, beliau kenal baik denganmu. Beliau katakan, kau kawan akrabnya," jelas Tunggul Saka.
"Kawan akrabku selalu menyebutkan namanya. Dan lagi pula, aku tidak pernah punya kenalan dari desa itu. Dari mana kalian bisa memastikan begitu?"
"Bukankah kalian Pendekar Rajawali Sakti dan si Kipas Maut?"
"Itu tidak menjadi jaminan kalau kami kenal pemimpin kalian!"
"Maaf, Kisanak. Kami hanya menjalankan tugas. Tidak lebih dari itu."
"Aku tidak kenal pemimpinmu. Dan kau pun tidak memberitahukan namanya. Maka aku tidak bisa menemuinya. Katakan saja, kalau dia ingin bertemu denganku, temui di desa berikutnya. Akan kutunggu selama sehari semalam. Bila dia tidak muncul, maka kami akan melanjutkan perialanan," sahut Rangga enteng.
"Menyesal sekali, pemimpin kami ingin bertemu kalian sekarang juga...."
"Dan kau telah tahu jawabanku, bukan?" tegas Rangga.
"Kalau begitu tidak ada jalan lain...." Suara Tunggul Saka terdengar lemah. Kemudian dia memberi isyarat. Maka serentak anak buahnya bergerak semakin dekat seraya mempermainkan senjata masing-masing.
"Huh! Dasar musang berbulu domba! Setelah gagal membujuk, kini kalian hendak menggunakan kekerasan" Hei, jangan kira kami takut menghadapi kunyuk-kunyuk seperti kalian!" umpat Pandan Wangi geram.
"Ikutlah. Dan kami akan memperlakukan kalian dengan baik!" desak Tunggul Saka. Nada suaranya masih datar. Bahkan terasa menyesal. "Kami berjumlah banyak. Dan kalian bisa terluka. Pemimpin kami akan menyalahkan bila kalian terluka...."
"Tidak usah berbasa-basi! Kalian mau tangkap kami, tangkaplah! Tidak usah sungkan. Sebab kami tidak akan segan-segan memenggal kepala kalian!" bentak Pandan Wangi.
"Kalau begitu, maaf. Kami terpaksa menggunakan kekerasan untuk membujuk kalian...."
Begitu selesai berkata begitu, Tunggul Saka memberi isyarat. Maka seketika melompat tujuh orang regu pemanah dari balik semak-semak. Lima orang membentuk lingkaran yang berada dekat dengan Pendekar Rajawali Sakti dan Pandan Wangi. Sementara tujuh orang berjaga, membuat lingkaran di luar lingkaran yang pertama.
"Tangkap mereka!" teriak Tunggul Saka.
"Yeaaa...!"
Lima orang pada lingkaran pertama bergerak lebih dulu. Tiga orang menghadapi Pendekar Rajawali Sakti, sedang dua lainnya mengurus Pandan Wangi.
Wut! Bet! Sring! Trang! Pendekar Rajawali Sakti berkelit gesit. Sebaliknya, Pandan Wangi seketika menangkis lewat permainan pedangnya. Orang-orang berseragam kuning ini agaknya tidak bisa dipandang enteng. Selain memiliki kepandaian rata-rata cukup hebat, mereka juga melakukan serangan secara teratur dan kompak. Tujuh orang yang tadi berada di lingkaran luar, membantu serangan sesekali. Namun, cukup merepotkan Rangga dan Pandan Wangi.
"Yeaaa...!"
Wut! Bet! Tiga orang mendesak dengan gencar. Sedang empat lainnya membantu dengan mencuri-curi untuk melakukan serangan. Dan tanpa ragu Pendekar Rajawali Sakti harus memainkan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib' guna menghindari serangan-serangan. Namun tanpa terasa, orang-orang berseragam kuning berhasil memisahkan Rangga dari Pandan Wangi. Jelas sudah pembagian tujuan serangan itu. Lima orang mengerubuti Pandan Wangi Sedang Rangga harus menghadapi tujuh lawan lainnya.
* * * * *
"Heaaat...!"
Tiga lawan utama Pendekar Rajawali Sakti begitu bernafsu untuk mendesaknya. Bahkan terang sekali kalau mereka bukan sekadar ingin meringkusnya, tapi hendak membunuhnya.
Semula, Rangga tidak begitu memandang pada mereka. Namun semakin lama disadari kalau tidak bisa hanya sekadar menghindar. Padahal, orang-orang itu berusaha mati-matian untuk membunuhnya. Dan tiap saat, dia semakin terdesak saja. Apalagi ketika Pandan Wangi beberapa kali mengeluh tertahan. Agaknya, orang-orang itu berhasil mendesaknya habis-habisan.
"Yeaaa...!"
Sring! Disertai bentakan keras, Pendekar Raja Sakti mulai balas menyerang setelah mencabut pedangnya.
Senjata Pendekar Rajawali Sakti yang memancarkan cahaya biru berkelebatan menyambar orang-orang berbaju kuning.
Bres! "Aaa...!"
Dua orang memekik diterjang pedang itu. Mereka binasa ketika tersungkur menyentuh tanah. Kekagetan mereka hanya sebentar, karena saat itu juga regu pemanah menghujani serangan kepada Pendekar Rajawali Sakti.
Set! Set! "Huh...!"
Rangga menggeram. Pedangnya langsung berkelebat mematahkan semua anak panah yang menghujaninya. Namun yang terjadi agaknya bukan hanya itu. Karena saat itu juga berhamburan benda-benda bulat sebesar kepalan tangan yang meledak dan mengeluarkan asap kuning tebal menghalangi pandangan.
"Aouw...! Kakang Rangga...!"
Tiba-tiba terdengar teriakan Pandan Wangi.
"Pandan..."!"
Rangga terkesiap mendengar Pandan Wangi menjerit ketakutan. Perasaannya cemas tidak menentu. Saat itu juga tubuhnya mencelat ke atas. Seketika kedua tangannya dihentakkan!
"Aji 'Bayu Bajra'! Heaaa...!"
Seketika bertiup angin topan dahsyat menghalau asap kuning yang menghalangi pandangan Rangga.
"Hup!"
Begitu angin topan yang melanda tempat itu sirna, kembali belasan anak panah menerjangnya.
Set! Set! "Keparat! Bila terjadi apa-apa dengan Pandan Wangi, kuhancurkan kalian semua...!" bentak Pendekar Rajawali Sakti garang seraya mengibaskan pedang.
Tak! Tras! Anak panah-anak panah itu berpatahan terhantam Pedang Pusaka Rajawali Sakti dan tidak satu pun yang berhasil melukainya. Pemuda itu terus melompat, menerjang ke arah datangnya hujan anak panah tadi sambil mengebutkan pedangnya.
"Yeaaa...!"
Senjata di tangan Pendekar Rajawali Sakti bukan hanya menyambar orang-orang berbaju kuning, tapi juga menebas semak-semak tempat mereka berlindung.
Bres! Cras! "Aaa...!"
Terdengar pekik kematian. Tiga sosok tubuh tampak berkelojotan bermandikan darah.
Set! "Hup!"
Pendengaran Pendekar Rajawali Sakti yang tajam menangkap gerakan halus. Cepat dia melompat, mencengkeram tengkuk salah seorang yang berusaha melarikan diri.
"Jangan coba-coba! Atau, kau akan mampus diujung pedangku!" desis Rangga geram.
"Heh"!"
Rangga cepat menjauhkan pedang dari leher orang berbaju kuning yang sama sekali tidak menghiraukan ancamannya. Dia malah bermaksud bunuh diri dengan mengayunkan lehernya ke dekat mata pedang Rangga.
Tuk! Gusrak! Rangga jadi gemas sendiri. Ditotoknya orang itu, lalu dihempaskannya begitu saja. Sejenak dia termenung memandang kosong ke sekitar tempat Ini. Pandan Wangi telah lenyap. Juga, yang lain. Mereka tentu berhasil membawa Pandan Wangi kabur.
"Siapa majikanmu"!" bentak Rangga bertanya pada orang itu.
"Huh! Kau tanyakan sendiri padanya!" sahut orang itu, mendengus sinis.
Rangga menarik napas dalam-dalam. Amarahnya berkobar, namun berusaha ditahan.
"Baiklah, kalian berhasil menculik gadis itu...," lanjut Rangga lirih.
"Kau kira aku takut kau bunuh" Bunuhlah. Itu lebih baik bagiku!"
Rangga kembali memandang tajam.
"Kau akan pulang dengan selamat...," kata Rangga.
"Aku tidak butuh belas kasihanmu!" Rangga tidak menghiraukan kata-kata tawanannya. Dan....
Tuk! Pendekar Rajawali Sakti segera melepaskan totokannya. Maka orang itu cepat bangkit, namun sikapnya masih garang dan menantang.
"Kembalilah ke tempatmu. Dan katakan pada pemimpinmu! Bila nanti sore gadis itu tidak dibebaskan, maka harus bersiap-siap menerima serbuan dariku!" desis Pendekar Rajawali Sakti garang.
"Kau boleh bermimpi! Majikanku tidak pernah melepaskan tawanan yang berhasil ditangkap!"
"Katakan saja. Dan kalian akan tahu akibatnya!"
Orang itu tidak berkata-kata lagi. Langsung menghampiri kudanya, dan melompat ke punggungnya. Lalu kudanya digebah kencang, meninggalkan tempat ini.
Rangga memandangnya sampai orang itu hilang dari pandangan. Dia menghela napas panjang. pandangannya masih kosong, menatap ke depan.
"Awas kalian! Selembar saja rambut Pandan Wangi terlepas, aku bersumpah, akan meratakan Desa Ketakus!" desis Pendekar Rajawali Sakti geram.
* * * * *
##[ 6 ]##
Semula Desa Ketakus merupakan suatu wilayah tak bertuan. Letaknya antara perbatasan Kerajaan Karang Setra dengan Kerajaan Swandana. Setelah Bre Redana menobatkan diri sebagai raja, sekaligus membuat desa itu menjadi pusat kerajaan, sudah barang tentu membuat dua kerajaan tetangga menjadi waswas. Kerajaan baru itu dianggap jelas-jelas hendak menghalangi, bahkan menyerang dua kerajaan itu. Hal ini tidak mengherankan. Bre Redana memang telah meluaskan pengaruhnya. Entah dari mana harta berlimpah yang dimiliki Bre Redana. Bahkan jumlah prajurit semakin banyak dari hari ke hari. Dari sini, dia mulai menancapkan kukunya ke daerah-daerah di sekitar desa. Padahal jelas sekali kalau daerah di sekitarnya adalah wilayah kedua kerajaan di dekatnya. Mereka memberi bantuan bukan saja harta, tapi juga perlindungan dari para perampok yang memang beberapa kali sering berkeliaran menyatroni rumah-rumah penduduk. Para prajurit kerajaan yang dinamakan Alas Karang itu bermukim di desa-desa, dan membangun kekuatan serta benteng-benteng di sana. Hal itu semakin membuat marah, terutama Kerajaan Swandana yang merasa wilayahnya dikangkangi begitu saja. Memang kerajaan itulah yang paling banyak dirugikan. Selama ini, Kerajaan Karang Setra belum tahu kalau ada beberapa wilayah telah dikuasai Kerajaan Alas Karang.
Maka pada awal bulan kedua, sering terjadi pertempuran-pertempuran kecil antara Kerajaan Alas Karang melawan Kerajaan Swandana. Namun, pertempuran itu sering dimenangkan Kerajaan Alas Karang!
Seperti saat ini, tengah terjadi pertempuran di luar Kerajaan Alas Karang. Pasukan Kerajaan Alas Karang yang berjumlah sekitar lima puluh prajurit, melawan pasukan Kerajaan Swandana yang berjumlah dua kali lipat. Namun begitu, mereka sama sekali tidak mampu mengimbangi pasukan Kerajaan Alas Karang yang dipimpin Panglima Joko Dentam. Pemuda itu bukan saja berani, tapi juga cerdik. Dalam Kerajaan Alas Karang, dia menjabat berbagai jabatan penting. Selain panglima, juga penasihat dan patih.
Lebih parah lagi, pasukan Kerajaan Swandana telah berkurang. Mereka harus menghadapi hujan anak panah yang datangnya seperti dari segala penjuru. Korban yang jatuh di pihak mereka sudah banyak. Dan yang tinggal saat ini hanya sekitar empat puluh prajurit saja!
Siasat yang dipakai Panglima Joko Dentam yang untuk menghadapi musuh memang cukup jitu. Dia menguasai betul medan yang dihadapinya di sekitar daerah ini. Pasukan yang dikerahkannya untuk menghadapi hanya dua puluh lima orang! Sementara dua puluh lima lainnya yang tediri dari pasukan pemanah, ditempatkan pada tempat-tempat tersembunyi yang cukup terlindung. Maka dengan bebas mereka mengarahkan anak panah pada prajurit musuh. Sehingga ketika musuh mulai kalang kabut, maka dua puluh lima pasukan yang berhadapan langsung menggempur dengan dahsyat.
"Hentikan...!" teriak salah seorang panglima pasukan Kerajaan Swandana.
Seketika itu pula prajurit kerajaan itu yang tersisa meletakkan senjata sebagai isyarat menyerah. Maka para pemanah dari Kerajaan Alas Karang menghentikan serangan. Demikian pula para prajurit yang terlibat langsung dalam pertempuran.
"Kami menyerah...!" lanjut panglima pasukan Kerajaan Swandana.
Panglima Joko Dentam yang memimpin pasukan Kerajaan Alas Karang, menghampiri dengan menjalankan kudanya pelan-pelan
"Siapa namamu?" tanya Panglima Joko Dentam dingin.
"Sangkura Padmi!"
"Dengarkan baik-baik! Kerajaan Alas Karang tidak bermusuhan dengan kalian. Dan kami menjunjung tinggi perdamaian. Namun pihak kalian lebih dulu menyerang. Dan selama beberapa kali, kami terus mengalah serta tidak bermaksud menyerang. Namun, kali ini kalian sungguh keterlaluan. Bila selama ini kami tidak pernah menahan, maka sekarang kesabaran kami telah habis! Kalian adalah tawanan Kerajaan Alas Karang!" tegas Panglima Joko Dentam
"Kau merebut wilayah kami! Mana mungkin hal itu bisa didiamkan begitu saja!" dengus Panglima Sangkura Padmi.
"Kau salah, Kisanak. Kami tidak merebutnya. Tapi, merekalah yang dengan sukarela bergabung dengan Kerajaan Alas Karang. Nah! Tidak usah dipersoalkan hal itu!" kata Panglima Joko Dentam. Setelah itu Panglima Joko Dentam memerintahkan para prajurit untuk menggiring tawanan perang ke Kerajaan Alas Karang.
"Lepaskan seorang prajurit. Biar dia memberitahu hal ini pada rajanya. Katakan, Kerajaan Alas Karang akan menyerang dalam waktu singkat!" perintah Panglima Joko Dentam pada salah seorang bawahannya.
"Baik, Kanjeng Panglima!"
* * * * *
Laporan Panglima Joko Dentam diterima Bre Redana dengan anggukan serta senyum puas.
"Duduklah di sini, Kakang! Kerjamu sungguh bagus dan amat terpuji!" kata pemuda yang memiliki sepasang alis kuning itu sambil tersenyum lebar. Diajaknya Panglima Joko Dentam duduk di sebelah kanannya.
"Terima kasih...," ucap Panglima Joko Dentam.
"Apakah kau yakin kalau kini tiba saatnya menyerang Kerajaan Swandana?"
Panglima Joko Dentam tidak langsung menjawab. Dan matanya melirik para pengawal yang berada dalam ruangan ini. Bre Redana yang di sebelahnya itu mengerti. Seketika dia menepuk tangan dua kali. Maka para pengawal segera berlalu setelah menjura hormat.
"Ke mana adik Ayu Larasati...?" tanya Panglima Joko Dentam.
"Dia tengah bermain...!"
"Ke mana?"
"Hei, ada apa" Tidak biasa-biasanya kau menanyakannya dengan nada khawatir begitu?"
"Dengar, Bre Redana! Saat ini lata tak boleh lengah barang sedikit pun. Dua kerajaan terdekat telah menjadi musuh kita! Mereka akan menggunakan cara apa pun untuk mendesak dan menyingkirkan kita. Jangan berikan peluang sedikit pun, kalau kita ingin terus jaya!" tandas Panglima Joko Dentam.
"Apa maksudmu?" tanya Bre Redana.
"Kenapa kau malah bertanya" Tentu saja tentang adikmu!"
"Ada apa rupanya dengan dia?"
"Mereka bisa menangkap dan menyanderanya!"
Bre Redana tertawa mendengar kecurigaan Panglima Joko Dentam.
"Kakang! Jangan curiga yang berlebihan. Siapa yang bisa menghadapi adikku itu" Lagi pula, dia bersama orang-orang pilihan kita!" jelas Bre Redana.
"Ayu Larasati memang hebat dan dijaga ketat. Tapi bukan berarti tidak bisa dicelakakan...," kata Panglima Joko Dentam, mengingatkan.
"Kau katakan kekuatan Kerajaan Swandana tidak berarti lagi. Dan baru saja, panglima tertingginya berhasil kita tawan. Sementara Kerajaan Karang Setra sepertinya tidak bertaring. Bahkan tampaknya lemah, karena tahta kerajaan selalu kosong. Lalu siapa yang berani mengancam kita?"' tanya Bre Redana.
"Dua hari lalu, kami berhasil meringkus seorang tokoh silat yang cukup penting. Julukannya si Kipas Maut. Dia adalah kekasih Pendekar Rajawali Sakti. Dan pemuda itu pasti akan berusaha membebaskan kekasihnya dengan segala cara...." jelas Joko Dentam.
"Kau kira dia akan menculik adikku?"
"Bisa saja!"
"Dia tak akan mampu! Kepandaian Ayu Larasati cukup hebat. Siapa yang bisa menandinginya" Dan orang-orang yang bersamanya adalah para prajurit pilihan!" Bre Redana memberi alasan kuat
"Pendekar Rajawali Sakti bukan tokoh sembarangan. Semua orang mengakui kehebatannya. Kita tidak bisa menganggap enteng. Sebaiknya kau ingatkan Ayu Larasati agar tidak bermain terlalu jauh dari wilayah ini!"
"Sudahlah, jangan khawatir itu. Akan kuurus dia secepatnya...," sahut Bre Redana seraya bertepuk dua kali.
Tak lama, seorang prajurit masuk ke dalam, lalu menyembah hormat.
"Pergi, dan temui Kanjeng Gusti Ayu Larasati! Katakan aku ada urusan penting dengannya!" ujar Bre Redana.
"Baik, Kanjeng Gusti Prabu!"
Prajurit itu menjura hormat, lalu berlalu dari ruangan.
"Nah, apa selanjutnya yang akan Kakang sampaikan padaku?" lanjut Bre Redana, ketika prajuritnya sudah tak terlihat lagi.
"Aku bermaksud mengerahkan para prajurit pilihan. Malam ini juga akan kita serang Kerajaan Swandana!" jelas Panglima Joko Dentam.
"Kakang yakin akan berhasil?" tanya Bre Redana seperti kurang yakin.
"Ya! Kekuatan mereka lemah. Dan kita tidak boleh memberi kesempatan sedikit pun untuk membangun kekuatannya kembali!"
"Berapa prajurit yang Kakang butuhkan?"
"Seratus orang! Dua puluh lima di antaranya adalah regu pemanah yang tangguh!"
"Apakah jumlah itu tidak membahayakan keadaan di sini" Bila ada serangan mendadak dari Karang Setra, bagaimana kita mempertahankan diri?" tanya Bre Redana, bernada khawatir.
"Karang Setra tidak akan menyerang ke sini. Aku yakin selama ini mereka belum tahu kalau beberapa wilayahnya berada dalam kekuasaanku."
"Semoga perhitunganmu benar, Kakang."
"Jangan khawatir! Aku berbuat sepenuh hati untuk kejayaan kita. Aku berangkat sekarang untuk mempersiapkan segala sesuatunya," pamit Panglima Joko Dentam.
"Baiklah. Semoga berhasil, Kakang!"
Panglima Joko Dentam mengangguk, lalu berlalu meninggalkan ruangan ini.
* * * * *
Satu rombongan berjumlah sekitar dua puluh orang tampak tengah bergerak menuju Kerajaan Karang Alas. Pasukan itu dipimpin baju rompi putih yang tak lain si Pendekar Rajawali Sakti.
Sejak kehilangan Pandan Wangi, Rangga langsung ke Karang Setra. Dan dia menerima banyak laporan tentang perkembangan kerajaan sepeninggalannya. Juga, tentang sebuah kerajaan kecil yang berada di perbatasan wilayah Karang Setra. Hal itulah yang menarik perhatiannya. Dan dengan membawa dua puluh prajurit pilihan, Rangga memimpin sendiri rombongan itu menuju ke sana. Sengaja para prajurit diperintahkan untuk memakai baju biasa agar tidak kelihatan terlalu menyolok di depan orang banyak.
Dan kini, mereka telah tiba di perbatasan wilayah Karang Setra. Dari sini, pebukitan yang menutupi Desa Ketakus telah terlihat. Bila ke sana, maka mereka harus melewati padang rumput yang terbuka luas. Dan jelas, hal itu amat menyolok bagi orang-orang desa. Pasti mereka segera mengetahui kedatangan tamu-tamu yang tak diundang.
"Apa yang harus kita lakukan sekarang, Kanjeng Gusti Prabu?" tanya salah seorang prajurit.
"Aku ingin empat belas orang menyusuri sepanjang perbatasan ini, lalu menyebar. Kalian harus jalan berdua, sehingga menjadi tujuh kelompok. Beritahu padaku apa saja yang kira-kira mencurigakan. Ingat baik-baik! Jangan bertindak sembrono, dan mencari gara-gara. Aku hanya perintahkan agar kalian mengintai!" tegas Rangga.
Setelah itu, Pendekar Rajawali Sakti?sendiri yang memilih keempat belas prajurit. Segera diperintahkannya mereka untuk menuju arah yang berbeda. Sementara, sisa prajurit lain menunggu di tempat ini bersamanya.
"Kanjeng Gusti Prabu, apakah kita tidak langsung menyerang mereka saja?" tanya salah seorang prajurit, setelah keempat belas prajurit yang lain berangkat ke tujuan masing-masing.
"Itu bukan usul yang baik," sahut Rangga terus terang, dan berwibawa.
"Perkembangan mereka selama ini membuktikan kalau orang-orang itu merencanakan sesuatu. Apalagi mereka telah berulang kali terlibat pertempuran melawan Kerajaan Swandana...! Bahkan jangan-jangan wilayah kita telah direbutnya...!"
"Mereka memiliki prajurit-prajurit yang terlatih, dan menguasai medannya. Menyerang mereka tanpa perhitungan yang matang, sama artinya bunuh diri," jelas Rangga.
"Lalu apa yang akan kita lakukan, Kanjeng Gusti Prabu?"
"Tenanglah. Dan kita tunggu berita yang mereka bawa. Saat ini aku belum bisa memastikan langkah apa yang sebaiknya harus dilakukan"
Prajurit itu terdiam. Juga yang lainnya. Mereka menunggu agak lama sebelum para prajurit yang tadi pergi kembali lagi ke tempat ini.
* * * * *
"Apa yang kalian bawa?" tanya Rangga, ketika melihat prajuritnya telah kembali.
"Ampun, Kanjeng Gusti Prabu. Kami melihat para prajurit mereka menguasai beberapa desa di wilayah kita. Penduduk desa kelihatan senang karena mereka begitu dermawan dan tidak segan-segan membantu penduduk yang kesusahan..!" lapor salah seorang prajurit setelah menjura hormat.
"Hm...!" gumam Rangga tak jelas. "Ampun, Kanjeng Gusti Prabu. Demikian juga yang kami lihat di desa-desa sepanjang perbatasan! Mereka sama sekali jauh dari kesan kawanan penjahat. Bahkan orang-orang desa senang dengan kehadiran mereka!" lapor yang lain.
"Dan kau?" tanya Rangga pada rombongan yang lain.
"Hamba melihat di desa sebelah timur, para pemuda mulai dibujuk untuk bergabung dalam pasukan itu. Para prajurit membuat benteng pertahanan. Dan di sana, mereka menggembleng para pemuda. Hamba kira para pemuda itu tidak hanya berasal dari satu desa, sebab jumlah mereka cukup banyak. Sekitar seratus orang!"
Rangga kembali bergumam. Dahinya sedikit berkerut, memikirkan.
"Dan kau.... Apa yang kau bawa?" lanjut Pendekar Rajawali Sakti setelah yang lain melaporkan hal-hal serupa.
"Hamba melihat beberapa orang dari mereka berjaga-jaga di sekitar Hutan Kembang Mekar...," sahut salah satu dari dua urusan yang terakhir, mendapat pertanyaan Pendekar Rajawali Sakti.
"Hm.... Apa yang mereka kerjakan di sana?"
"Hamba tidak bisa melihat dari dekat, Gusti Prabu. Mereka berjaga kelewat ketat!"
"Apakah telah kau perhartikan betul keadaan di sekelilingnya?"
"Sudah, Kanjeng Gusti Prabu. Tidak ada kawanan yang lain."
"Kalau begitu, sekarang juga kita berangkat ke sana. Siapkan pasukan!"
"Baik, Kanjeng Gusti Prabu!" sahut para prajurit segera berbaris rapi dan berjalan di belakang Rangga.
* * * * *
Dalam waktu singkat, rombongan yang dipimpin Rangga telah sampai di tujuan. Apa yang di katakan prajurit tadi, memang benar. Tidak jauh di tepi Hutan Kembang Mekar terlihat beberapa orang berseragam kuning. Mereka tampak bersiaga dan terus mondar-mandir mengawasi keadaan sekelilingnya. Rangga dan para prajuritnya mengambil jarak. Segera dia mengatur rencana singkat, lalu para prajuritnya berpencar. Pemuda itu bersama lima prajurit lain segera mendatangi terang-terangan ke arah orang-orang berseragam kuning.
Melihat beberapa orang menghampiri, lima orang berseragam kuning telah bersiap menyambutnya. Sikap mereka tidak tampak garang. Bahkan amat menghormat. Terbukti, mereka memberi salam hormat lebih dulu.
"Siapakah kalian" Dan, apa yang dilakukan di sini?" tanya Rangga setelah membalas salam mereka.
"Maafkan kami, Kisanak. Kami hanya sekadar mengagumi panorama indah di tempat int..."
"Kalian belum menjawab pertanyaanku yang pertama...," kata Rangga, mengingatkan.
"Eh, kami berasal dari timur...."
"Dari Kerajaan Alas Karang?"
"Dari mana kalian bisa menduga demikian?"
"Hm.... Siapa yang tidak kenal" Semua orang di perbatasan ini mengenalnya. Rajanya seorang dermawan dan juga amat bijaksana. Bukankah demikian?" kata Rangga.
Orang itu tidak menjawab, tapi malah tersenyum.
Pada saat itu, seorang berbaju kuning juga mendatangi mereka. Di tangannya tergenggam beberapa tangkai kembang berwarna-warni. Gadis itu cantik dengan kulit putih. Kedua pipinya sedikit berona merah. Rambutnya panjang dan dikepang dua agak tinggi ke atas, dihiasi pita kecil warna merah muda.
"Apakah kami mengganggu kalian di sini?" tanya gadis itu sopan.
Rangga tidak buru-buru menjawab. Diperhatikannya mereka sekilas sambil tersenyum. "Tentu saja tidak. Tapi tahukah kalian, tengah berada di wilayah siapa" Aku khawatir bila prajurit-prajurit Karang Setra tahu mereka tentu tidak suka...," Rangga coba memancing.
"Kami tidak berbuat sesuatu yang merugikan, kenapa mereka mesti tidak suka?" sahut gadis itu.
"Nisanak.... Setahuku ada peraturan di Karang Setra, bahwa prajurit asing dilarang berada di wilayah ini tanpa izin!" sahut Rangga menegaskan.
"Kami bukan para prajurit, tapi hanya pengembara biasa," tangkis gadis itu halus.
"Kenapa berkilah" Bukankah semua orang di perbatasan tahu kalau kalian berasal dari Kerajaan Alas Karang. Kalian adalah prajurit-prajurit kerajaan itu!"
"Hm.... Kalau begitu, maafkan. Kami tidak mengetahui peraturan itu. Biarlah kami akan meninggalkan tempat ini secepatnya!" seru gadis ini seraya mengajak yang lain untuk pergi.
Namun sebelum mereka berlalu...
"Nisanak! Tidak semudah itu pergi. Kalian adalah para prajurit asing. Kehadiran kalian di sini secara liar, maka kami harus memeriksanya!" sergah Rangga, cepat.
"Siapakah kau" Dan, punya hak apa untuk melakukannya?" wajah gadis itu tampak kurang senang.
"Aku orang terdekat raja dari Kerajaan Karang Setra. Apakah hal itu mengurangi wewenangku?" kata Rangga, agak berdusta.
"Heh"!"
Mendengar itu, orang-orang berseragam kuning terkejut Mereka langsung memperhatikan pemuda ini dengan seksama. Rasanya sulit dipercaya tampang demikian ternyata orang terdekat dari raja di wilayah ini. Pakaiannya sama sekali tidak mencerminkan jabatannya. Namun gerak-geriknya yang sopan, serta tutur katanya yang halus, bisa jadi membuktikan kata-katanya.
Mendadak dua orang berseragam kuning yang berada di depan langsung melemparkan pisau-pisau kecil ke arah Rangga.
"Yeaaat!"
* * * * *
##[ 7 ]##
Tap! Tap! Dan dengan gesit, Pendekar Rajawali Sakti melemparkan pisau-pisau kembali pada pemiliknya.
Siut! Yang seorang berhasil menghindar dengan sigap. Tap...
Crap! "Aaa...!"
Seorang lagi kontan memekik kesakitan begitu pisau itu menyambar tepat di dada kirinya. Tubuhnya limbung ke belakang, lalu ambruk. Dan dia masih menggelepar-gelepar meregang nyawa.
Wajah gadis berbaju kuning yang semula datar, kini berkerut menahan geram. Sedang yang lainnya tanpa banyak bicara langsung melompat menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Lima orang bergerak maju. Maka lima prajurit Karang Setra yang bersama Rangga tidak mau tinggal diam. Mereka langsung bergerak menghadapi. Sementara, sisa prajurit berseragam kuning yang tiga orang lagi bermaksud menyerang Rangga. Namun saat itu juga, mereka dikejutkan beberapa orang yang tiba-tiba muncul dari belakang dengan senjata terhunus.
"Perintahkan mereka untuk berhenti dan menyerah. Aku yakin kau mampu melakukan itu!" kata Rangga pada gadis berbaju kuning.
"Huh! Aku tak punya hak memerintah mereka! Kau boleh hentikan sendiri!" dengus gadis itu.
"Baiklah kalau itu maumu!"
Rangga bersikap lebih tegas lagi. Dia cepat memberi isyarat. Maka lima belas prajuritnya yang baru muncul langsung bergerak meringkus kawan-kawannya. Orang-orang berseragam kuning itu bukannya takut, tapi malah melawan dengan ganas.
"Yeaaat!"
Hak! Wut! Des! "Aaakh...!"
Begitu mereka bergerak, maka gadis berbaju kuning melompat lebih dulu untuk menyambutnya. Gerakannya gesit dan cepat sekali. Beberapa prajurit berusaha menangkis, namun terpental dihajarnya.
Melihat itu, Rangga tidak bisa tinggal diam. Selintas saja bisa diperhitungkan kalau gadis berbaju kuning ini memiliki ilmu olah kanuragan hebat. Dan pasti para prajuritnya tidak akan mampu menahannya.
"Nisanak! Kau tidak perlu repot-repot mengurus mereka! Hadapilah aku!"
Tanpa menoleh lagi, gadis itu langsung berbalik dan mengayunkan tendangan pada Pendekar Rajawali Sakti yang bergerak menghampiri.
Plak! Wut! "Uts!"
Gerakan gadis yang sebenarnya Ayu Larasati memang gesit. Dan Rangga menyadarinya. Baru saja menangkis tendangan, maka kepalan gadis itu telah melesat menyodok ke dada. Pendekar Rajawali Sakti bergerak ke samping, namun kepalan itu mengikuti. Maka cepat tubuhnya melejit ke belakang, namun Ayu Larasati terus mengejar lewat tendangan geledek.
"Hih!"
Pendekar Rajawali Sakti memapak dengan telapak tangan kiri.
Plak! Lalu Rangga bergerak ke bawah, dan balas menyerang dengan mengayunkan tendangan ke perut. Ayu Larasati cepat bergerak ke samping, membuat jungkir balik dua kali. Begitu mendarat di tanah langsung dihantamnya Pendekar Rajawali Sakti lewat pukulan jarak jauh.
"Hiyaaa...!"
Deb! Deb! Rangga cepat merasakan adanya terpaan angin kencang bagai dinding baja yang bergerak saling susul-menyusul. Cepat bagai kilat tubuhnya mencelat ke atas menghindari. Namun, Ayu Larasati mengikuti dan terus mencecarnya.
"Hiyaaat...!"
Begitu berada di udara, Pendekar Rajawali Sakfi yang tengah menggunakan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega', cepat menghentakkan tangan kanannya, melepaskan pukulan dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'
Wur...! Seketika melesat sinar merah membara dari telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti yang juga telah berubah merah. Sinar itu melesat, berusaha mengimbangi pukulan Ayu Larasati. Dan....
Glar...! Di sekitar pertarungan jadi porak-poranda manakala kedua pukulan beradu. Untungnya Ayu Larasati cepat melompat menghindari, sehingga tak terhantam pukulan yang dilepaskan Pendekar Rajawali Sakti. Begitu mendarat, dia melejit secepat kilat melakukan serangan mendadak.
Ayu Larasati agaknya memandang rendah. Sama sekali tidak diperhitungkan, siapa lawan yang dihadapinya. Sehingga tak heran kalau serangannya tanpa perhitungan. Akibatnya, harus dihadapinya sendiri!
Pukulan Ayu Larasati berhasil ditangkis Pendekar Rajawali Sakti dengan mantap.
Plak! Bahkan saat gadis itu melanjutkan serangan, Rangga malah melihat titik kelemahannya. Maka langsung dilayangkannya tendangan ke arah dada.
Gadis itu terkesiap dan berusaha menghindar dengan melompat ke belakang. Namun yang terjadi, justru panggulnya yang jadi sasaran.
Des! "Aaakh. .!"
Ayu Larasati menjerit kesakitan. Begitu jatuh di tanah, dia cepat bangkit. Namun satu tendangan kilat yang dilancarkan Rangga lebih cepat menghajar pinggangnya.
Begkh! "Akh...!"
Untuk kedua kalinya, gadis itu tersungkur. Dan seperti tadi, Rangga sama sekali tidak memberi kesempatan. Baru saja gadis itu bangkit, dia telah menyerang dengan totokan kilat.
Tuk! "Ohhh...!"
* * * * *
"Huh, Pengecut Hina! Apakah kau tidak berani menghadapiku dengan cara ksatria"!" desis Ayu Larasati memaki, begitu mendapati tubuhnya telah lemas tak dapat digerakkan lagi.
"Aku tidak ada waktu meladenimu, Nisanak. Maaf...!" sahut Rangga, singkat.
Pendekar Rajawali Sakti kemudian berpaling.
"Hentikan pertarungan kalian! Gadis ini ada dalam genggamanku!" teriak Rangga, lantang.
"Heh"!"
Orang-orang berseragam kuning itu kontan terkejut. Dan mereka serentak menghentikan perlawanan. Apalagi jumlah mereka tinggal lima orang, karena yang lain tewas di tangan prajurit Karang Setra.
"Ringkus mereka. Dan, lucuti senjatanya!" perintah Rangga pada para prajuritnya.
Ayu Larasati berteriak untuk mengobarkan semangat agar prajuritnya tidak menyerah begitu saja. Namun, prajurit Karang Setra lebih sigap lagi bertindak meringkus musuh. Tampak wajah gadis itu kecewa ketika kelima orang berseragam kuning itu dihadapkan pada Rangga.
"Mereka telah kami ringkus!" lapor seorang prajurit, yang berusaha memanggil rajanya, dengan nama biasa. Dan Rangga memang telah berpesan demikian, jika mereka berada di luar istana.
"Bagus! Sekarang juga, bawa mereka ke istana untuk diperiksa!" titah Pendekar Rajawali Sakti.
"Baik, Rangga!"
Namun sebelum mereka meninggalkan tempat itu, dengan membawa tawanan yang terikat kuda, salah seorang prajurit berseru lantang.
"Rangga.... Di kejauhan terlihat beberapa orang menuju ke sini!"
Pendekar Rajawali Sakti berpaling. Seketika dikerahkannya aji 'Tatar Netra'. Dan dia mengetahui kalau jumlah orang yang bergerak ke sini sekitar dua puluh, dan berseragam serba kuning.
"Pergilah tujuh orang dari kalian. Dan, bawa para tawanan ke istana! Sampaikan perintahku pada panglima agar menyiagakan pasukan untuk menahan serangan mereka!" ujar Rangga.
"Tapi, Rangga...," para prajurit Karang Setra tampak cemas mendengar perintah itu.
Mereka bisa menduga kalau orang-orang yang datang adalah pasukan berbaju kuning, yang berarti kawan dari tawanan yang didapatkan tadi. Dengan jumlah begitu besar, mereka khawatir Rangga akan celaka.
"Laksanakan perintahku. Dan, jangan membantah!" tegas Rangga seraya memilih tujuh orang, setelah tak seorang pun yang mau mengajukan diri.
Mereka yang terpilih kembali ke istana terlihat kecewa. sebab berperang bersama Rangga yang memang raja mereka, adalah suatu kebanggaan tersendiri.
"Tidak perlu kalian kecewa. Dan bila cepat, maka kalian akan ke sini lagi. Mintalah dua puluh prajurit lagi. Dan, jangan lupa! Perintahkan Danupaksi untuk tetap menjaga istana kerajaan. Aku sendiri yang akan memimpin para prajurit itu!" lanjut Pendekar Rajawali Sakti.
Tanpa bisa membantah lagi, ketujuh prajurit kerajaan itu segera melaksanakan titah. Kini bersama tiga belas prajurit lain, Pendekar Rajawali Sakti menunggu orang-orang berbaju kuning datang. Mereka berbaris rapi. Dua orang di kanan kiri, serta lima orang di belakangnya. Sementara barisan ketiga berjumlah enam orang.
Apa yang diduga Pendekar Rajawali Sakti memang benar. Yang datang adalah orang-orang berseragam kuning. Dia yakin, mereka adalah para prajurit dari kerajaan baru yang bernama Alas Karang.
Pada jarak sepuluh langkah, prajurit berseragam kuning itu berhenti, membentuk barisan panjang berbentuk setengah lingkaran. Tampak seorang pemuda gagah berambut pendek dan berkumis tebal berada di tengah. Dia agaknya pemimpin mereka. Tampak pula sebilah pedang tersandang di punggungnya.
"Kisanak! Kami mencari beberapa orang kawan kami yang tersesat di tempat ini. Apakah kalian melihatnya?" tanya pemuda berkumis tebal.
"Siapa mereka" Dan, bagaimana ciri-cirinya?" sahut Rangga, pura-pura tidak tahu.
"Mereka berjumlah sepuluh orang. Dan salah satunya gadis muda. Mudah dikenali, karena mereka berpakaian serba kuning," jelas laki-laki itu.
"Hm.... Rasanya aku pernah melihat. Kalau tidak salah, mereka pergi ke istana Karang Setra bersama para prajurit kerajaan itu," sahut Rangga singkat.
"Terima kasih. Kalau begitu, kami permisi dulu...," ucap laki-laki berkumis tebal ini.
"Tunggu dulu, Kisanak! Kenapa terburu-buru" Tidakkah kalian ingin tahu lebih lanjut keadaan kawan-kawan kalian itu?" seru Rangga mencegah.
"Apa lagi yang kalian ketahui tentang mereka?" tanya kepala rombongan ini.
"Mungkin banyak. Tapi, tergantung apakah kalian punya maksud baik atau tidak...."
"Kisanak.... Kami tidak bermaksud jahat. Lagi pula, apa yang kami kerjakan sehingga kalian mengira demikian?" tanya pemuda berkumis itu
"Bukankah kalian berasal dari Kerajaan Alas Karang?" tanya Rangga, pura-pura tidak tahu.
"Apakah kau menduga dari seragam yang kami kenakan?"
"Ya!"
"Memang benar...!"
"Lalu, urusan apa sehingga orang-orang Alas Karang berada di wilayah ini" Tidakkah kalian tahu, kalau ini wilayah Karang Setra?" kata Rangga langsung.
"Kisanak! Kami tak bermaksud membuat onar, dan tidak pula mengutak-atik Kerajaan Karang Setra. Dan kehadiran kami ke sini untuk mencari kawan-kawan yang tersesat. Menurut beberapa orang, mereka tersesat di daerah ini...."
"Kenapa mereka bisa tersesat di sini" Jalan menuju tempat ini ke Alas Karang, bukanlah jalan sulit. Bahkan semua orang mengetahuinya. Tidak pernah seorang pun yang tersesat, sekalipun orang asing. Kisanak! Kalian hanya mencari-cari alasan. Kehadiran kawan-kawan kalian ke sini, pasti sebagai mata-mata. Dan Karang Setra tidak bisa menerimanya, sehingga kalian harus ditangkap!" tandas Pendekar Rajawali Sakti langsung.
Pemuda berkumis tebal itu terhenyak. Dan dia diam untuk sejurus lamanya. Dipandanginya pemuda berbaju rompi putih itu. Meski demikian, masih terlihat wajahnya yang biasa. Bahkan sedikit menyungging senyum.
"Kisanak! Kata-katamu tajam dan kelewat bijak. Siapakah kau sebenarnya" Apakah kau abdi kerajaan di wilayah ini?"
"Ketahuilah! Aku adalah rakyat yang setia pada Kerajaan Karang Setra. Aku tidak suka kalian memata-matai kami. Apalagi, sampai menghasut rakyat kami!" tandas Rangga.
"Kisanak! Kami tak berniat memata-matai, Apalagi menghasut rakyat negeri ini...."
"Kata-katamu tidak bisa dipercaya! Aku banyak melihat bukti yang tidak dapat kalian ingkari!" potong Rangga cepat.
"Hm.... Bukti apakah gerangan yang kau maksudkan?" sahut orang itu dengan wajah kaget.
"Kalian menempatkan banyak prajurit di wilayah perbatasan yang masih termasuk wilayah kami. Kalian menghasut dan membujuk rakyat Karang Setra agar berpihak pada Alas Karang! Perbuatan apa itu" itukah yang disebut sebagai orang-orang yang tersesat jalan"!" sindir Rangga tajam.
* * * * *
Pemuda berkumis tebal itu kembali terdiam. Wajah ramahnya telah hilang. Dan kini dipandanginya Rangga dengan sorot mata tajam penuh kecurigaan.
"Sebagai rakyat biasa, kau terlalu pintar. Siapa kau sebenarnya" Apa yang kau inginkan?"
"Kau telah tahu siapa aku. Dan keinginanku tidak banyak. Pergilah. Dan, bawa semua prajurit kalian yang berada di wilayah Karang Setra. Ingat! Jangan coba-coba mengusik kami lagi!" sahut Pendekar Rajawali Sakti menegaskan.
"Dan kalau permintaanmu tidak bisa dikabulkan..?"
"Rakyat Karang Setra akan memerangi kalian. Dan sebagai langkah pertama kami yang akan maju lebih dulu!"
Mendengar ancaman itu, pemuda berkumis tebal ini tertawa kecil.
"He he he...! Bicaramu boleh juga, Kisanak. Namun bicara besar tanpa mengetahui kelemahan sendiri, adalah sia-sia. Tahukah kau, siapa kami" Raja kami memberi nama pada para prajuritnya sebagai Pasukan Alis Kuning. Bukan sekadar kami memiliki alis serta seragam kuning, tapi juga sebuah tekad bahwa semua wilayah di sekitamya kelak akan berada di bawah telapak Pasukan Alis Kuning!" tegas pemuda berbaju kuning dan berkumis tebal.
Setelah berkata begitu, pemuda berkumis tebal ini memberi isyarat. Maka dua prajuritnya mendekat ketika dibisikkan sesuatu ke telinga. Tidak berapa lama, keduanya mengangguk. Lalu mereka melarikan kudanya dengan kencang menuju Alas Karang.
"Habisi mereka...!" teriak pemuda berkumis tebal, menunjuk pada pasukan prajurit Karang Setra yang dipimpin Rangga.
Bersamaan dengan itu orang-orang berseragam kuning bergerak cepat menyerang. Siasat serangan mereka amat rapi. Beberapa orang bertindak sebagai regu pemanah, serta yang lain menyerang dengan mengepung.
"Heaaat...!"
Pemuda berkumis tebal itu mencabut pedang, langsung melompat menyerang Pendekar Rajawali Sakti.
Namun Pendekar Rajawali Sakti tak kalah sigap. Saat itu juga Pedang Pusaka Rajawali Sakti dicabut. Maka saat itu juga berkelebat sinar biru berkilau, memapak pedang milik pemuda berkumis tebal itu.
Tras! "Heh"!"
Pemuda berkumis tebal itu terperangah. Pedangnya putus. Bahkan nyaris ujung senjata Rangga menyambar leher, bila tak sempat menjatuhkan diri ke bawah. Hawa panas dari pedang memancarkan cahaya biru itu masih terasa menyengat dan mengejutkannya.
"Pergi dua orang dari kalian. Dan, kejar dua orang dari mereka yang tadi meninggalkan tempat ini!" perintah Rangga pada prajuritnya.
Dua orang yang ditunjuk Pendekar Rajawali Sakti langsung berkelebat cepat keluar dari pertarungan. Beberapa prajurit berseragam kuning berusaha menghalangi. Namun dengan tangkas, Rangga bergerak meiindungi. Pada saat yang sama, mendadak....
Set! Set! "Kurang ajar!" dengus Pendekar Rajawali Sakti geram, melihat prajuritnya dihujani anak panah. Namun dengan tangkas, Pendekar Rajawali Sakti mematahkan serangan dengan mengebutkan pedangnya. Seketika seluruh anak panah rontok di tengah jalan.
"Biarkan mereka! Serang yang lain!" teriak pemuda berkumis tebal.
Regu pemanah segera mengalihkan perhatian. Kini, serangan mereka ditujukan pada prajurit Karang Setra yang tengah bertarung.
Set! Set! Cras! Creb...!"
"Aaa...!"
Rangga terkesiap. Dua orang prajuritnya tewas tersambar anak panah.
"Keparat...!" desis Rangga geram.
Seketika, Pendekar Rajawali Sakti membentak nyaring. Langsung tubuhnya berkelebat cepat mengerahkan jurus 'Seribu Rajawali'. Jurus ini memang mengandalkan kecepatan bergerak. Sehingga tubuh Rangga jadi seperti berubah banyak. Hanya tokoh-tokoh kalangan atas yang memiliki penglihatan tajam saja yang mampu melihat gerakan Pendekar Rajawali Sakti. Termasuk, pemimpin pasukan orang-orang berseragam kuning yang kini menjadi lawannya.
"Hiyaaa...!"
"Uhhh...!"
Pemuda berkumis tebal itu kelihatan mulai kerepotan. Dia berusaha menghindar dengan mengerahkan seluruh kemampuannya. Namun begitu dia semakin keteter. Sebab, beberapa kali serangan Pendekar Rajawali Sakti semakin sulit dihindari.
Bila saja yang dihadapi Rangga tokoh biasa, mungkin akan binasa dalam waktu singkat. Sementara lawannya sekarang terhitung hebat dan memiliki ilmu meringankan tubuh yang mengagumkan.
Namun menghadapi jurus 'Seribu Rajawali' memang membingungkan. Pemuda berkumis tebal itu tidak tahu, ke mana pukulannya harus dilepaskan. Karena setiap pukulannya, selalu menyentuh bayangan semu.
Sebaliknya, Pendekar Rajawali Sakti yang terus bergerak mengitari lawannya, mampu melepaskan pukulan untuk mengganggu perhatian. Bahkan suatu ketika, tubuhnya berkelebat lebih cepat lagi sambil mengibaskan pedangnya. Maka....
Bret! "Akh!"
Pemuda berkumis tebal itu menjerit tertahan. Ujung pedang Pendekar Rajawali Sakti telah menyerempet punggungnya. Namun luka kecil yang diderita terasa perih luar biasa. Malah tiba-tiba sebelah kakinya langsung menghantam, sambil terus mengitari lawannya.
Des! Begkh! "Aaa...!"
* * * * *
##[ DEL@PAN ]##
Des! "Aaakh...!"
Orang itu menjerit kesakitan, langsung terjaga ke belakang sambil menyemburkan darah segar. Sebelum tubuhnya jatuh ke tanah, Rangga telah melompat. Kembali diterjangnya dengan tendangan kedua kakinya.
Begkh! "Ugkh...!"
Pemuda berkumis tebal itu terjungkal roboh. Dia menggeliat sebentar, kemudian tubuhnya kejang. Tampak darah meleleh keluar dari sudut bibirnya. Lalu, tubuhnya diam tak berkutik!
"Heaaa...!"
Pendekar Rajawali Sakti sudah tidak mempedulikannya lagi. Tubuhnya langsung melompat, membantu para prajuritnya yang terdesak hebat.
Brues! Bret! "Aaa...!"
Pekik kematian kembali mewamai tempat itu. Dua orang berseragam kuning tewas seketika disambar pedangnya. Pendekar Rajawali Sakti terus bergerak gesit, menyambar lawan yang lain. Mereka berusaha menangkis, namun senjata yang ada di tangan patah terbabat Pedang Pusaka Rajawali Sakti. Dan senjata pemuda itu terus menyambar, membuat beberapa orang lagi memekik dan ambruk tak bernyawa!
Pendekar Rajawali Sakti benar-benar bagai sosok malaikat pencabut nyawa. Sehingga dalam waktu singkat, jumlah orang-orang berbaju kuning hampir berimbang dengan prajuritnya. Namun begitu, dia tidak juga terbendung lagi Sehingga membuat para prajuritnya yang terluka mendadak bangkit semangatnya, dan kembali menerjang dengan semangat menyala-nyala.
Pasukan Kerajaan Alas Karang yang semakin menipis jumlahnya, agaknya memiliki mental baja. Meski pemimpin mereka tewas dan kini jumlah mereka semakin sedikit, namun tidak pernah kendor semangatnya. Kendati saat ini jumlah mereka hanya tersisa lima orang!
Di saat-saat yang mengkhawarirkan bagi lima orang dari Kerajaan Alas Karang, mendadak...
"Hiaaa.... Hiaaa...!"
Tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan yang saliing bersahutan memenuhi tempat itu. Rangga dan para prajuritnya terkesiap. Lebih dari lima puluh prajurit, berseragam kuning menuju ke arah mereka dengan kuda-kudanya yang berlari kencang.
"Rangga.... Apa yang harus kita lakukan"!" tanya seorang prajurit.
"Tinggalkan tempat ini, cepaaat...!" teriak Pendekar Rajawali Sakti memberi perintah.
Rangga dan para prajurit Karang Setra segera melompat ke punggung kuda masing-masing. Kemudian mereka memutar tubuhnya, untuk segera meninggalkan tempat itu. Namun baru saja kuda-kuda itu bergerak kurang dari sepuluh tombak, mendadak sekitar belasan pasukan berseragam kuning menghadang dengan anak panah siap menghujani. Sebenarnya Rangga bukannya takut. Tapi, dia lebih memilih menyelamatkan prajuritnya.
"Celaka...!" keluh pemuda itu.
"Rangga, kita terkepung! Apa yang harus kita lakukan..."!"
Belum lagi Rangga menjawab, mereka telah dihujani anak panah. Sehingga para prajurit Karang Setra terpaksa mengangkat pedang dan sibuk menangkis. Baru saja mereka mematahkan serangan dari depan, mendadak kembali hujan panah dating dari belakang.
"Heaaat..!"
Rangga cepat melompat dari punggung kudanya. Begitu mendarat di tanah, kedua tangannya langsung dihentakkan ke depan.
"Aji 'Bayu Bajra'! Heaaa...!"
Wur...! Saat itu juga dari telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti meluncur angin kencang yang menderu-deru. Bukan saja anak panah itu berhamburan kembali ke arah datangnya, tapi juga membuat orang-orang berpakaian kuning yang melepaskannya kalang kabut.
"Selamatkan diri kalian! Terobos celah-celah di antara mereka yang lemah! Ikuti aku...!" teriak Rangga, langsung melompat ke punggung kudanya kembali dan melarikannya ke sebelah kanan.
Rangga dan prajuritnya memang telah dikepung oleh musuh dari segala arah. Selain hujan anak panah dari regu pemanah, maka pasukan lain mengejar sambil mengacung-acungkan senjata. Rangga sengaja mengajak pasukannya ke tempat yang menurut perhitungan bisa diterobos. Arah yang dituju, sebenarnya tempat regu pemanah prajurit Kerajaan Alas Karang berada.
"Heaaa...!"
Srang! Saat itu juga Pendekar Rajawali Sakti mencabut pedangnya kembali yang tadi sudah tersimpan dalam warangka di punggung dan berada paling depan. Pedang bersinar biru berkilau itu diputarnya sedemikian rupa, untuk mematahkan anak panah yang menerpa. Pada saat yang sama, telapak tangan kiri menghentak ke depan melepaskan pukulan dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'!
Desss! "Aaa...!"
Beberapa orang regu pemanah Pasukan Alis Kuning terjungkal ke belakang disertai jerit kesakitan.
"Ayo, selamatkan diri kalian! Cepaaat! Jangan hiraukan aku! Cepat larikan kuda kalian sekencang kencangnya...!" teriak Rangga.
"Tapi..., kami tidak bisa membiarkan Kanjeng Gusti Prabu seorang diri di sini..," sahut para prajurit Karang Setra dengan nada ragu.
"Jangan banyak omong! Lakukan apa yang kukatakan! Ini perintah! Ayo, selamatkan diri kalian! Cepaaat..!" bentak Rangga gusar ketika melihat ada celah lowong bagi para prajuritnya untuk meloloskan diri.
Namun mendadak, Rangga melihat suatu bayangan berkelebat ke arahnya. Pendengarannya yang tajam merasakan serangan gelap dari belakang. Pemuda itu melejit ke atas, setelah menepuk pantat kudanya agar terus berlari. Dan pada saat yang bersamaan, regu pemanah menghujaninya. Cepat bagai kilat Pendekar Rajawali Sakti memutar pedang untuk menangkis.
"Yeaaa...!"
Pada saat tubuh Pendekar Rajawali Sakti masih melayang di udara, terasa ada sambaran satu pukulan jarak jauh ke arahnya. Dalam keadaan begini, mana mungkin Rangga bisa menghindar. Sehingga...
Deb...! "Aaakh...!"
Tak ayal lagi, Pendekar Rajawali Sakti terpental beberapa tombak sambil mengeluh tertahan. Dan baru saja dia bangkit...
"Heaaat...!"
Terdengar teriakan seseorang. Selanjutnya, kembali terlihat hujan anak panah menerpa Pendekar Rajawali Sakti.
"Huh!"
Pendekar Rajawali Sakti mendengus geram, memompa seluruh semangat dan kekuatannya. Dan dia masih sempat melihat para prajurit Karang Setra yang berhasil lolos dari kepungan.
Tapi ada yang aneh. Ternyata para prajurit Kerajaan Alas Karang sama sekali tidak berusa mengejar para prajurit Karang Setra yang melarikan diri. Mereka malah mengurung Pendekar Rajawali Sakti, dan membuat lingkaran berpalis-lapis. Sehingga, pemuda itu sulit meloloskan diri.
Mata Pendekar Rajawali Sakti tajam mengawasi orang-orang berseragam kuning yang semakin lama semakin merapat jaraknya. Namun belum juga dikenali, siapa yang telah melepaskan pukulan tadi.
Seperti ada isyarat dari seseorang, regu pemanah kembali menghujani Rangga dengan anak panah. Namun, mendadak saja Pendekar Rajawali Sakti berkelebat cepat menggunakan jurus 'Seribu Rajawali'. Saat itu juga orang-orang yang mengepung jadi bingung sendiri. Mereka melihat pemuda itu jadi berubah banyak. Tapi kebingungan mereka hanya sebentar saja, ketika tiba-nba Pendekar Rajawali Sakti mengibaskan pedangnya memapak seluruh anak panah.
Siut! Trak! Trak! Begitu selesai memusnahkan anak panah, Pendekar Rajawali Sakti terus mengebutkan pedangnya ke arah para pemanah.
Bret! "Aaa...!"
Dua orang dari regu pemanah tewas tersambar Pedang Pusaka Rajawali Sakti. Sehingga tubuh Rangga berbalik. Lalu dia mencelat ke kiri sambil membabatkan pedangnya. Maka tiga orang lain menyusul tewas!
"Yeaaa...!"
Pada saat hujan panah belum reda, sesosok tubuh tegap mencelat ke arah Rangga disertai serangan gelap. Namun, kali ini Pendekar Rajawali Sakti tidak mau kecolongan lagi. Maka tanpa menoleh lagi, tubuhnya melompat ke samping menghindari serangan. Begitu mendarat di tanah, Rangga langsung menghentakkan tangannya ke depan melepaskan pukulan dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'.
"Heaaat..!'
Seketika meluruk selarik sinar merah dari telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti yang juga telah berubah merah bagai bara.
Sosok yang tak lain Panglima Joko Dentam ini melesat ke atas menghindari serangan. Pukulan itu memang sengaja dilepaskan, karena sekadar untuk memancing. Maka melihat tubuh Panglima Joko Dentam beijumpalitan, Pendekar Rajawali Sakti langsung merubah jurus menjadi 'Sayap Rajawali Membdah Mega'.
"Yeaaa...!"
Dengan satu kibasan tangan yang bagai sayap, Rangga menyambar kepala Panglima Joko Dentam disertai tenaga dalam tinggi. Sehingga....
Prak! "Aaa...!"
Disertai jerit melengking tinggi, tubuh Panglima Joko Dentam meluncur ke tanah dengan kepala pecah. Darah terus memancur sepanjang luncuran tubuhnya. Dan begitu ambruk di tanah, dia tak bergerak lagi.
"Heh"!"
Prajurit Pasukan Alis Kuning terkejut, melihat sosok yang yang jatuh di tanah berlumur darah.
"Panglima Joko Dentam tewas!"
Terdengar teriakan orang berbaju kuning memberitahu.
"Apa"! Panglima tewas..."!" "Panglima tewas...!"
Mendengar teriakan itu Rangga ikut termangu barang sekejap. Jadi yang binasa di tangannya ternyata adalah panglima pasukan orang-orang berbaju kuning ini.
Dalam keadaan demikian, berarti Rangga harus menanggung kesalahan. Karena pada saat itu, regu pemanah telah melepaskan anak panahnya.
Creb! Creb! "Aaa...!"
Dua batang anak panah menancap di tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Satu di punggung kanan, dan sebatang lagi di betis kirinya. Dengan mengeluh tertahan Rangga mencabut kedua anak panah.
"Uhhh...!"
"Yeaaa...!"
Baru saja kedua anak panah tercabut bersamaan, serangan berikutnya kembali mendera Rangga.
Set! Set! "Yeaaat...!"
Disertai dengusan geram, Pendekar Rajawali Sakti mengibaskan pedangnya mematahkan semua anak panah yang menderu ke arahnya. Anehnya, pasukan lain belum juga bergerak menyerangnya. Agaknya, mereka sengaja menggunakan siasat seperti itu untuk menekan jumlah korban.
Sementara itu pasukan pemanah terus menghujaninya dengan anak panah seperri tak ada henti.
"Sial...!" dengus Rangga dengan rahang bergemelutuk.
* * * * *
Dengan tekad membaja Pendekar Rajawali Sakti mendekati pasukan pemanah di depannya perlahan-lahan. Namun melihat gelagat itu, pasukan lain yang berada di belakang langsung menyerang ganas.
"Yeaaa...!"
Melihat hal ini, Pendekar Rajawali Sakti langsung menyambut dengan ayunan pedangnya. Beberapa senjata orang-orang berbaju kuning seketika patah disambar pedangnya. Sementara senjata di tangan Pendekar Rajawali Sakti langsung mencari korban.
Trang! Bret! "Aaa...!"
Tiga orang prajurit Kerajaan Alas Karang seketika binasa dengan leher putus!
Sementara, Pendekar Rajawali Sakti terus bergerak dengan pedang berkelebat cepat.
"Heaaa...!"
Brues! "Aaa...!"
Empat Prajurit Kerajaan Alas Karang kembali menjadi korban. Namun begitu yang lain seperti tidak merasa gentar dan terus maju mendesaknya. Padahal, beberapa orang lagi kembali menjadi korban pedang Pendekar Rajawali Sakti. Dan usaha mereka tak sia-sia. Karena....
Cras! "Uhhh...!"
Rangga mengeluh tertahan ketika sengaja salah seorang prajurit melukai pundak kirinya. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang.
"Sial! Kurang ajar...!" desis Pendekar Rajawali Sakti.
Pedang Pendekar Rajawali Sakti kembali berkelebat cepat, menyambar lawan-lawan yang berada di dekatnya.
Brues! Cras! "Aaa...!"
Kembali terdengar pekik kematian yang disusul ambruknya beberapa sosok tubuh prajurit kerajaan.
"Heaaat..!"
Rangga terus melompat, tidak memberi kesempatan sedikit pun. Sehingga....
Bras! Bret! "Aaa...!"
Korban kembali berjatuhan saat pedang Rangga berkelebat secepat kilat, tidak mampu ditahan Pasukan Alis Kuning.
Dalam waktu singkat, jumlah Pasukan Alis Kuning berkurang cepat. Sementara pemuda itu tidak juga menghentikan serangannya. Malah ketika kesempatan itu ada, dia melompat dan menyerang pasukan pemanah.
Orang-orang berbaju kuning itu terkejut. Meski beberapa kawannya masih mampu melepaskan anak panah, namun berhasil ditangkis Rangga. Bahkan pemuda itu terus mengamuk menyerang yang lainnya.
Trak! Trak! Pasukan Alis Kuning berusaha menghalau serangan, namun pedang Pendekar Rajawali Sakti mematahkan busur-busur mereka. Bahkan pedang itu terus menyambar, meminta korban.
Bret! "Aaa...!"
Empat orang memekik kesakitan dan tewas disambar pedang Pendekar Rajawali Sakti. Dan saat Rangga kembali mencelat ke kanan, beberapa orang lagi menyusul ambruk dengan luka mengerikan.
"Heaaat...!"
Tiba-tiba Rangga melompat tinggi, menjauhi mereka. Pasukan pemanah yang telah dibuat kocar-kacir, menciptakan jalan keluar. Namun, bukan berarti Rangga akan selamat begitu saja. Sebab, bila pemuda itu tidak buru-buru menjauhi, niscaya pasukan pemanah yang lain akan mengancam jiwanya.
Begitu ada kesempatan, Rangga bersuit nyaring.
"Hieee...!"
Sebentar saja, Dewa Bayu yang sejak tadi menunggu tak jauh dari tempatnya, meringkik keras sambil menghampiri. Seketika Rangga melompat secepat kilat, dan menggebah kudanya dengan kencang menjauhi tempat ini.
"Heaaa...!"
Pasukan Alis Kuning termangu memandangnya. Namun mereka tidak berusaha mengejar. Malahan, mereka mengangkat mayat-mayat kawan-kawannya yang menjadi korban, lalu meninggalkan tempat itu dengan langkah lunglai.
Dan Rangga hanya memperhatikan dari kejauhan, setelah menghentikan lari Dewa Bayu.
"Ampun Kanjeng Gusti Prabu...!" Terdengar sebuah suara yang membuat Pen menoleh. Ternyata, prajurit-prajuritnya yang tadi disuruh pergi masih berada di sekitar tempat ini. Kepala mereka tertunduk, tak kuasa membalas tatapan Pendekar Rajawali Sakti.
"Kenapa kalian seperti merasa bersalah?" tegur Rangga.
"Kami tidak tega melihat keadaanmu Kanjeng Gusti Prabu. Kami bermaksud menolong, namun Kanjeng Gusti Prabu malah menyuruh pergi. Dan kini, Kanjeng Gusti Prabu terluka parah. Padahal, meski mati di tangan musuh, kami rela asal bisa melindungi Kanjeng Gusti Prabu...," ujar seorang prajurit mewakili kawan-kawannya.
"Aku tidak apa-apa. Seperti yang kalian lihat saat ini. Luka-luka seperti ini sudah biasa dalam pertempuran. Bila kalian tewas, aku lebih sedih. Sebab, tidak mampu menyelamatkan kalian. Prajurit bukanlah tumbal yang harus dikorbankan untuk keselamatan seorang raja!" jelas Rangga bijaksana.
Para prajurit Karang Setra terdiam mendengar wejangan rajanya.
"Sudahlah, tidak usah terlalu banyak dipikirkan. Kita kembali ke istana sekarang juga...," lanjut Rangga.
"Apakah kita tidak mengadakan serangan balas, Kanjeng Gusti Prabu?" tanya prajurit tadi.
"Ya! Akan kita balas mereka dengan setimpal!" tegas Rangga.
"Bagaimana kalau mereka menyandera, Gusti Pandan Wangi?"
Rangga terdiam, tidak langsung menjawab. Kekhawatiran prajuritnya beralasan.
"Aku punya balasan setimpal untuknya, bila mereka berani mengusik-usik Pandan Wangi!" sahut Pendekar Rajawali Sakti dingin.
Berhasilkah Pendekar Rajawali Sakti menemukan Pandan Wangi" Untuk mengetahui jawab-annya....
Ikuti kelanjutan kisah ini dalam episode :NERAKA KEMATIAN
SELESAI
INDEX PENDEKAR RAJAWALI SAKTI | |
Dendam Pendekar Pendekar Gila --oo0oo-- Neraka Kematian |