Kemelut Cinta Berdarah
INDEX PENDEKAR RAJAWALI SAKTI | |
Dukun Dari Tibet --oo0oo-- Prahara Mahkota Berdarah |
Pendekar Rajawali Sakti
Karya: Teguh .S
EP:KEMELUT CINTA BERDARAH
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
---[[[| SATU |]]]---
Alunan suara tembang lagu mengalun merdu, menyambut datangnya sang mentari di pagi ini. Alunan suara tembang seorang gadis yang tengah sibuk mencuci di pinggir kali. Tak ada seorangpun yang terlihat di sana, kecuali gadis muda berkulit kuning langsat, yang membiarkan rambutnya teriap panjang hingga menyentuh pinggulnya yang padat berisi.
"Sari...!"
Tiba-tiba terdengar suara teriakan orang me-manggil. Gadis itu menghentikan pekerjaannya. Kepalanya terangkat naik, dan berpaling ke belakang. Tangannya langsung melambai begitu melihat di atas tebing berdiri seorang pemuda bertelanjang dada melambai-lambaikan tangannya. Sebuah cangkul terpanggul di pundaknya. Pemuda itu berlari-lari kecil menuruni tebing menuju ke sungai kecil ini.
"Pagi sekali kau sudah ke sungai, Sari," kata pemuda itu setelah dekat dengan gadis di tepian sungai ini.
"Sengaja," sahut gadis cantik yang dipanggil dengan nama Sari.
Senyumnya terkembang merekah begitu ma-nis sekali. Dan pemuda yang berwajah cukup tampan dengan tubuh tegap berotot ini mem-balas senyuman gadis itu dengan manis pula. Dia kemudian duduk di atas batu, menenggelamkan kedua kakinya di air sungai yang jernih ini. Sari kembali meneruskan pekerjaannya mencuci pa-kaian yang tadi sempat tertunda sebentar.
"Kalau aku tidak pagi-pagi ke sungai, mana sempat bertemu denganmu, Kakang," kata Sari agak tersipu.
"Yaaaaah..., kita memang hanya bisa bertemu sembunyi-sembunyi begini," desah pemuda ini perlahan. Seakan ada sesuatu yang disesalkan.
"Sudan nasib. Kakang," balas Sari juga men-desah.
Mereka terdiam beberapa saat. Kabut masih terlihat cukup tebal menyelimuti sekitar sungai ini. Belum ada seorangpun yang datang ke sungai ini selain mereka berdua. Karena memang masih terlalu pagi sekali. Mataharipun belum terlihat menampakkan diri. Hanya cahayanya saja yang membersit di ufuk timur.
"Kakang Jaka...," lembut sekali suara Sari.
"Hmmm...." pemuda yang bernama Jaka ini hanya menggumam saja perlahan.
Dia berpaling sedikit menatap wajah cantik gadis itu. Sedangkan yang ditatap malah menundukan kepalanya, menyembunyikan wajahnya yang mendadak saja jadi bersemu merah dadu. Jaka menggeser duduknya lebih mendekat lagi. Ragu-ragu dia ingin mengulurkan tangannya. Tapi akhirnya terulur juga, dan menyentuh pun-dak yang berkulit kuning halus dan terbuka ini. Ada getaran halus saat kulit mereka bersen-tuhan.
"Sampai kapan kita akan terus sembunyi-sembunyi begini, Kakang?" terdengar pelan sekali suara Sari.
"Hhhh, entahlah...." Sahut Jaka mendesah.
"Kenapa kau tidak langsung saja menemui orang tuaku, Kakang?"
"Tidak mungkin, Sari. Kau tahu sendiri, aku ini apa...?" hanya petani kecil yang tidak punya apa-apa. Sedangkan kau, putri seorang saudagar kaya."
"Kau selalu saja berkata begitu, Kakang. Sudah berapa kali aku katakan, aku tidak me-mandang harta dan kedudukan. Aku hanya ingin-kan kau, Kakang. Bukan yang lain-lainnya," tegas Sari sambil memberengut manja.
Jaka hanya diam saja. Memang terlalu besar dan dalam jurang pemisah diantara mereka berdua. Dan jalinan cinta mereka terlalu sulit untuk bisa bersatu. Meskipun hubungan cinta mereka sudah diketahui semua orang di Desa Galagang, tapi memang mereka menyadari akan kesulitan yang harus di hadapi untuk menyatukan cinta mereka kejenjang yang lebih jauh lagi.
Sudah barang tentu halangan terbesar yang harus dihadapi Jaka adalah orang tua gadis ini. Dia merasa tidak ada apa-apanya bila dibanding-kan dengan keadaan Sari. Orang tuanya adalah orang terkaya di Desa Galagang. Sedangkan dia sendiri, hanya petani kecil yang sudah tidak lagi memiliki orang tua. Dan hanya sepetak ladang kecil saja yang dimiliki. Itupun tidak mencukupi kebutuhannya sehari-hari, walaupun hanya seorang diri.
"Kakang, apa sebaiknya kita lari saja...?" usul Sari tiba-tiba.
"Edan...?" sentak Jaka terkejut. Ditatapnya gadis itu dalam-dalam. Dan Sari membalasnya dengan tajam pula. Perlahan kepala Jaka bergerak menggeleng beberapa kali. Kata-kata Sari barusan seakan sebuah ledakan guntur di pagi hari ini. Begitu dahsyat, hingga napasnya jadi tersengal karena terkejut. Sukar untuk dipercaya kalau gadis cantik dan selembut ini bisa berkata begitu.
"Kau jangan main-main, Sari. Kita mau lari kemana..." orang tuamu pasti tidak akan mem-biarkan begitu saja," ujar Jaka seraya meng-gelengkan kepalanya beberapa kali.
"Kemana saja. Asal bisa bersama dengamu, Kakang," sahut Sari bersungguh-sungguh.
"Tidak, Sari. Itu bukan jalan yang terbaik," tegas jaka menolak.
"Tapi, Kakang...."
"Aku akan datang melamarmu," kata Jaka tegas.
"Ayah pasti tidak akan menerimamu, Kakang."
"Apapun yang akan terjadi, aku akan me-minangmu."
"Kakang..."
Tidak ada lagi yang bisa diucapkan Sari. Dia begitu terharu sekali mendengar tekad kekasih-nya ini. Walaupun mereka berdua menyadari, tidak akan mungkin bisa terlaksana. Tanpa di-sadari, setetes air bening mengalir di pipi yang putih kemerahan itu. Lembut sekali Jaka meng-usapnya sambil menatap lurus ke bola mata gadis ini.
"Aku akan datang malam ini. Percayalah, aku pasti akan melamarmu," ujar Jaka lembut.
"Kakang...," hanya itu yang bisa keluar dari bibir Sari.
Sulit bagi Sari untuk bisa meredam pe-rasaanya. Dia langsung menghambur, dan men-jatuhkan diri ke dalam pelukan kekasihnya ini. Sesaat Jaka tergagap. Tapi kemudian dia mera-balas pelukan ini dengan penuh cinta yang mera-bara di dada. Mereka berpelukan cukup lama.
"Sariii...!"
"Oh..?"
Sari buru-buru melepaskan pelukannya, begitu terdengar suara keras memanggilnya. DanJaka cepat melompat berdiri sambil menyambar cangkulnya. Sebentar mereka tampak kebi-ngungan. Tapi belum terlihat seorangpun dari tepian sungai ini.
"Aku pergi dulu, Sari," pamit Jaka.
"Itu Ibu, Kakang," kata Sari mencoba men-cegah.
"Nanti malam saja kita bertemu lagi," kata Jaka.
Sari tidak dapat lagi mencegah kepergian pemuda itu. Dan pada saat Jaka menghilang dari pandangannya, muncul seorang perempuan hampir separuh baya yang masih kelihatan cantik menghampiri gadis ini. Sari langsung berpura-pura sibuk dengan pekerjaannya. Seakan dia tidak mengetahui kedatangan wanita separuh baya yang ternyata adalah ibunya ini.
*
* *
Matanya langsung tertuju ke pintu yang sejak tadi tertutup rapat itu. Terdengar suara tarikan napas yang panjang dan berat. Suara ketukan di pintu kembali terdengar beberapa kali. Sari masih tetap diam memandangi pintu kamarnya ini. Beberapa kali ketukan itu terdengar, tapi dia tetap saja diam memandangi, dengan dada berdebar menggemuruh.
"Tok! Tok! Tok!
"Sari...!"
Seluruh tubuh gadis itu jadi menggeletar ketika terdengar suara memanggilnya. Suara yang sudah teramat dikenal. Suara wanita yang me-ngandung dan melahirkannya. Bergegas gadis itu melangkah menghampiri pintu, kemudian mem-bukanya dengan tangan masih bergetar. Dia me-narik napas panjang, dan menghembuskannya dengan kuat, begitu melihat seorang wanita ber-usia hampir separuh baya berdiri di depan pintu.
"Ibu...," desah Sari hampir tertelan suaranya.
Wanita separuh baya yang selalu di panggil dengan sebutan Nyai Ranta ini tersenyum. Dia dipanggil dengan nama itu, karena suaminya ber-nama Ki Ranta. Hingga tak ada lagi seorangpun yang mengingat nama sebenarnya. Kakinya ter-ayun melangkah masuk, begitu Sari menyingkir ke tepi. Walaupun usianya sudah berkepala em-pat, tapi wajahnya masih tetap kelihatan cantik. Dan bentuk tubuhnya juga masih bisa membuat mata laki-laki tak berkedip memandangnya. Nyai Ranta duduk di tepi pembaringan. Sementara Sari tetap berdiri di samping pintu yang masih dibiarkan tetap terbuka setengah.
"Sejak sore tadi kau mengurung diri terus di kamar. Kenapa...?" terdengar lembut sekali suara Nyai Ranta.
"Tidak apa-apa," sahut Sari pelan.
Kepala gadis itu jadi tertunduk dipandangi dengan lembut. Dia jadi serba salah. Sesekali ma-tanya melirik ke arah ibunya yang terus memandangi dengan bibir menyunggingkan senyuman lembut, penuh cinta kasih. Perlahan dia bangkit berdiri dan melangkah menghampiri anak gadis tunggalnya ini. Lembut sekali tangannya menyentuh pundak Sari. Membuat gadis itu semakin tidak menentu hatinya. Entah kenapa, Sari me-rasakan seakan-akan dirinya tengah ditelanjangi.
"Ada yang ingin bertemu denganmu, Sari," kata Nyai Ranta memberi tahu.
"Siapa...?" tanya Sari terperanjat.
Seketika jantungnya berdetak kencang, bagai gunung yang hendak memuntahkan seluruh isi perutnya. Dia langsung menatap ke bola mata ibunya ini. Tapi cepat dia tertunduk kembali. Tak sanggup menentahg sorot matanya yang begitu lembut, seakan hendak menembus langsung ke relung hatinya yang paling dalam.
"Kau lihat saja sendiri," sahut Nyai Ranta tetap terdengar lembut suaranya.
Perlahan Sari mengangkat kepalanya. Tatap-annya langsung bertemu dengan sorot mata lembut ibunya. Kemudian dia melangkah mundur satu tindak, dan memutar tubuhnya berbalik.
Tapi kakinya tidak jadi terayun melangkah ke luar. Dia kembali memutar tubuhnya, dan memandangi wajah ibunya masih terlihat lembut, dengan senyumannya yang selalu manis penuh kasih dan cinta.
"Siapa, Bu?" tanya Sari agak bergetar suaranya.
"Sutawijaya," sahut Nyai Ranta.
Kali ini senyuman di bibirnya menghilang, saat menyebutkan nama itu. Dan Sari pun men-desah panjang. Sinar matanya langsung meredup. Semula dia berharap kalau Jaka yang datang dan hendak bertemu dengannya. Tapi ternyata bukan pemuda yang dicintainya. Dia tahu siapa itu Sutawijaya. Seorang pemuda, putra seorang saudagar kaya dari kota.
Memang sudah lama Ki Ranta ingin men-jodohkan Sari dengan Sutawijaya. Tapi tidak per-nah Sari mau menuruti kehendak ayahnya. Dia tahu kalau perangai Sutawijaya yang congkak dan angkuh. Selalu memanfaatkan kekayaan dan kedudukan ayahnya yang saudagar, juga mem-punyai hubungan cukup erat dengan kalangan pembesar istana kerajaan. Ini yang membuat Sari tidak pernah mau memenuhi keinginan ayahnya.
"Sudah temui dulu sana. Jangan sampai ayah-mu marah lagi, kata Nyai Ranta.
"Tapi, Bu...." Sari ingin menolak. Tapi lidah-nya mendadak jadi terasa begitu kelu.
Dia jadi bimbang. Dia tahu kalau tidak mung-kin untuk tidak menemui Sutawijaya. Ayahnya pasti akan memarahinya habis-habisan. Sari jadi kebingungan sendiri. Dia benar-benar tidak tahu lagi, apa yang harus diperbuat. Sedangkan malam ini Jaka juga akan datang untuk melamarnya. Dan sekarang di rumah ini sudah menunggu Sutawijaya. Pemuda pilihan Ki Ranta untuk anak gadisnya ini.
"Temui dulu sana," bujuk Nyai Ranta lagi.
Sari tidak bisa lagi menolak. Meskipun hatinya tidak ingin, tapi kakinya terayun juga melangkah keluar. Tapi baru saja dia berada tiga langkah di depan pintu kamarnya, ayunan kakinya terhenti. Kepalanya berpaling menatap ibunya yang masih tetap berdiri di dalam kamar itu.
"Bu...," terdengar tersekat suara Sari.
"Jangan sampai ayahmu menunggu, Sari," kata Nyai Ranta memaksa.
Sari tidak bisa lagi berkata. Kebimbangan se-makin jelas membayang di wajahnya. Beberapa saat lamanya dia hanya berdiri diam saja me-matung. Beberapa kali pula dia melirik pada ibunya. Kemudian kakinya terayun juga melangkah menuju ke ruangan depan. Sedangkan Nyai Ranta masih tetap berada di dalam kamar itu, memandangi putrinya dengan sinar mata yang sukar untuk diartikan saat ini.
Sedangkan Sari sudah menghilang di balik sekat dinding yang menuju langsung ke ruangan depan rumah yang berukuran sangat besar ini. Nyai Ranta baru ke luar dari kamar itu setelah
Sari benar-benar tidak terlihat lagi. Dia langsung menuju ke bagian belakang. Sebentar dia berhenti dan berpaling, kemudian terus melangkah sambil menghembuskan napas panjang.
*
* *
Jelas sekali terlihat salam hormat Jaka tidak dibalas sedikitpun juga. Bahkan Ki Ranta ber-kacak pinggang di depan pemuda ini. Cukup sulit bagi Sari untuk bisa mendengar semua yang di-bicarakan mereka. Karena memang jaraknya terlalu jauh. Namun dia bisa melihat dengan jelas raut wajah Jaka yang kelihatan kecewa dengan pcnerimaan Ki Ranta.
Tidak lama terlihat Jaka memutar tubuhnya dan melangkah pergi dengan gontai. Hampir saja Sari menitikkan air matanya, kalau saja tidak ce-pat menahan. Dipalingkan mukanya ke arah lain, tidak sanggup dia melihat kepergian kekasihnya yang tidak sempat lagi menemuinya.
"Kepalaku pening. Maaf...," ujar Sari langsung bangkit berdiri.
"Sari...."
Sutawijaya ingin mencegah, tapi Sari sudah keburu menghilang di balik dinding yang mem-batasi ruangan depan ini dengan ruangan tengah. Walaupun dia juga sudah bangkit berdiri, tapi tidak mungkin mengejar. Pemuda yang berwajah cukup tampan itu hanya bisa berdiri terpaku.
Saat itu Ki Ranta masuk. Dia jadi tertegun melihat Sutawijaya berada sendirian di dalam ruangan ini. Sutawijaya cepat-cepat memutar tubuhnya dan membungkuk sedikit begitu mengetahui ada Ki Ranta.
"Mana Sari?" tanya Ki Ranta langsung.
"Sakit katanya, Paman," sahut Sutawijaya.
Ki Ranta mendengus keras. Dia hendak me-nyusul Sari yang entah berada dimana sekarang ini. Tapi Sutawijaya sudah keburu mencegah laki-laki berusia separuh baya ini, tapi masih kelihatan gagah dan tegap tubuhnya.
"Biarkan saja, Paman. Aku mohon pamit dulu," kata Sutawijaya.
"Baiklah, Nak. Besok kau bisa datang lagi ke sini," kata Ki Ranta merasa tidak enak.
Terima kasih, Paman," ucap Sutawijaya se-raya membungkukkan badannya sedikit memberi hormat.
Ki Ranta mengantarkan pemuda itu sampai ke halaman. Dan dia baru masuk kembali ke dalam rumahnya setelah Sutawijaya tidak terlihat lagi, pergi dengan dikawal empat orang tukang pukulnya. Laki-laki tua itu langsung menuju ke kamar Sari yang tertutup rapat pintunya. Dengan kasar sekali dia menggedor pintu kamar anak gadisnya ini. Saat itu muncul Nyai Ranta dengan langkah yang tergesa-gesa.
"Ada apa ini...?" tanya Nyai Ranta sambil memandangi suaminya dengan tajam.
"Anak kurang ajar itu telah meninggalkan Sutawijaya!" sahut Ki Ranta mendengus berang.
"Sari sakit. Kepalanya pening," kata Nyai Ranta membela anak gadisnya.
"Huh! Alasan...!" dengus Ki Ranta. "Aku tahu, kenapa dia tiba-tiba sakit!"
"Memangnya kenapa?" tanya Nyai Ranta ingin tahu,
"Tadi anak muda gembel itu datang. Aku ya-kin kalau Sari melihatnya," kata Ki Ranta masih dengan nada suara berang.
"Pemuda siapa?" tanya Nyai Ranta seperti tidak tahu.
"Jaka."
"Oooo... lalu?"
"Aku usir dia."
"Kenapa...?" tanya Nyai Ranta agak tersentak kaget.
"Berani-beraninya dia mau melamar anak kita! Huh..." punya apa dia mau melamar Sari."
"Kenapa kau tidak rundingkan dulu" Se-harusnya kau jangan langsung mengusirnya," kata Nyai Ranta menyesali perbuatan suaminya.
"Ah, sudah...!" sentak Ki Ranta kesal. "Kau katakan pada anakmu. Jangan coba-coba menemui anak gembel itu lagi. Hari perkawinannya sudah kutentukan!"
Nyai Ranta tidak bisa lagi berkata-kata. Ki Ranta sudah langsung meninggalkannya dengan cepat. Membuat perempuan yang hampir separuh baya usianya itu hanya bisa terlongong bengong memandangi. Saat itu pintu kamar terbuka. Nyai Ranta langsung memutar tubuhnya berbalik. Dari dalam kamar, Sari menerobos ke luar. Dia langsung menghambur ke dalam pelukan ibunya, dan menangis di dadanya.
"Sudahlah, Sari. Ayo masuk...," ajak Nyai Ranta lembut.
Sambil berpelukan, mereka masuk ke dalam kamar. Nyai Ranta langsung menutup pintunya, dan mengunci dari dalam. Tak ada lagi suara yang terdengar. Hanya isakan kecil dan tertahan saja yang terdengar dari dalam kamar itu. Sementara malam terus merambat semakin larut. Anginpun berhembus kencang menyebarkan udara yang dingin menggigilkan tubuh. Suasana di dalam rumah besar itu pun jadi sunyi. Hanya gerit binatang malam saja yang terdengar.
* * *
---[[[| DUA |]]]---
Entah sudah berapa lama pemuda itu berdiri mematung di sana. Pandangannya lurus, tak ber-kedip sedikitpun menatap ke seberang sungai. Hanya pepohonan saja yang terlihat di seberang sana. Sesekali terlihat binatang yang hendak me-lepas dahaga di tepi sungai ini. Pemuda berwajah cukup tampan yang tak lain adalah Jaka ini, tidak menyadari kalau beberapa pasang mata mengawasinya sejak tadi dari balik semak dan pepohonan.
"Trek!"
"Eh..."!"
Belum juga hilang rasa terkejutnya saat terdengar suara ranting kering terinjak, tiba-tiba saja Jaka kembali dikejutkan dengan bermun-culannya orang-orang bertampang kasar dari balik semak dan pepohonan. Dari pakaian yang mereka kenakan, sudah bisa dipastikan kalau mereka bukanlah orang-orang sembarangan. Sebentar saja dia sudah terkepung tidak kurang dari sepuluh orang, yang semuanya menghunus golok.
"Siapa kalian" Mau apa...?"
Belum juga pertanyaan Jaka selesai, tiba-tiba saja salah seorang dari mereka sudah melompat menyerang sambil membabatkan goloknya ke-arah leher pemuda ini.
"Hait!"
Cepat-cepat Jaka merundukkan kepalanya menghindari tebasan golok yang berkilat tajam itu. Hanya sedikit saja golok itu berlalu di atas kepalanya. Jaka jadi tersentak kaget, dan cepat-cepat dia melompat ke belakang begitu merasa-kan angin tebasan golok itu demikian kuat, hing-ga menerbangkan ikat kepalanya.
"Hap!"
"Yeaaaah...!"
Tapi baru saja kakinya menjejak tanah, satu orang lagi sudah melepaskan sebuah pukulan ke-ras yang menggeledek dari arah kanan. Bergegas Jaka menarik tubuhnya ke belakang, menghindari pukulan keras yang mengandung pengerah-an tenaga dalam tinggi itu. Satu langkah dia menarik kakinya ke belakang. Demikian kerasnya pukulan orang itu, hingga angin pukulannya saja sudah membuat tubuh pemuda desa ini jadi sedikit terhuyung.
"Hiyaaaa...!"
"Hah..."!"
Bukan main terkejutnya pemuda desa ini, ke-tika dengan cepat sekali empat orang langsung berlompatan menyerang dari empat penjuru mata angin. Dan bersamaan dengan itu empat buah golok berkelebatan dengan kecepatan sangat tinggi kearah bagian-bagian tubuhnya yang nangat rawan dan mematikan.
"Hap! Hiyaaa...!"
Sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuh, Jaka cepat-cepat melentingkan tubuhnya ke udara, mengindari serangan serentak dari empat jurusan itu. Tapi begitu dia berada di udara, salah seorang pengeroyoknya sudah melenting dengan kecepatan bagai kilat sambil melepaskan satu tendangan keras menggeledek, yang mengandung pengerahan tenaga dalam cukup tinggi.
"Yeaaaa...!"
Begitu cepatnya serangan orang itu, hingga Jaka tidak sempat lagi berkelit menghindar. Ter-lebih lagi saat itu dia sedang berada di udara. Dan....
"Plak!"
"Akh...!"
Seketika Jaka terpental, dan jatuh dengan keras sekali ke tanah. Beberapa kali dia bergelim-pangan di atas tanah berumput basah ini. Dan saat itu beberapa golok berhamburan menghan-tam ke arah tubuhnya. Membuat pemuda desa itu terpaksa harus bergelimpangan menghindarinya.
"Hap!"
Begitu ada kesempatan, cepat-cepat dia; bangkit berdiri. Namun belum juga dia bisa menjejakkan kakinya dengan sempurna, satu sambar-an golok sudah melayang ke arah dadanya.
"Hait!"
"Cras!"
"Akh!"
Meskipun sudah berusaha menghindar, tapi gerakannya masih juga terlambat, sehingga ujung golok yang berkilat tajam itu sempat merobek bahu kanannya. Jaka terhuyung-huyung ke be-lakang sambil mendekap bahu kanannya yang ro-bek mengucurkan darah.
"Ugkh! Setan...!" umpat Jaka geram.
Cepat dia melakukan beberapa gerakan dengan kedua tangannya. Kemudian menotok beberapa kali di sekitar luka. Saat itu juga darah berhenti mengalir dari bahunya yang sobek ter-kena sabetan golok tadi.
"Suiiiit...!"
Tiba-tiba saja terdengar suara siulan yang sa-ngat nyaring melengking tinggi. Membuat telinga siapa saja yang mendengar jadi berdenging sakit. Saat itu juga sepuluh orang yang mengeroyok
Jaka langsung berlompatan mundur. Tapi mereka masih tetap mengepung dengan sikap siap untuk menyerang.
"Hmmm..." Jaka menggumam perlahan.
"Wusss!"
Sebuah bayangan terlihat berkelebat begitu cepat sekali di depan pemuda desa ini. Dan tahu-tahu sudah berdiri seorang pemuda berwajah tampan, dengan sorot mata yang tajam dan bengis sekitar enam langkah lagi di depan pemuda desa ini.
"Hmmmm...," kembali Jaka menggumam per-lahan.
* * *
"Kau yang bernama Jaka?" tanya pemuda tampan berpakaian sangat mewah itu.
Suaranya terdengar sangat dingin dan datar sekali. Tak terdengar sedikitpun tekanan pada nada suaranya. Dan sorot matanya juga begitu tajam, menusuk langsung ke bola mata pemuda desa di depannya ini. Sedangkan yang dipandangi membalasnya dengan tidak kalah tajamnya.
Jaka sendiri memandangi dari ujung kepala hingga ke ujung kaki. Seakan dia tengah meng-amati pemuda tampan berwajah bengis di depannya ini. Memang sangat mewah sekali pakaiannya. Bahkan gagang pedang yang menyembul keluar dari balik punggungnyapun seperti terbuat dari emas. Tapi sama sekali Jaka belum pernah mengenalnya. Bahkan baru kali ini dia melihatnya. Dan dia tidak tahu siapa pemuda ini. Tapi yang jelas pemuda itu pemimpin dari sepuluh orang yang mengeroyoknya tadi.
"Aku bertanya padamu, Gembel!" bentak pemuda itu kasar, karena pertanyaannya tidak di-jawab sedikitpun juga.
"Benar," sahut Jaka sedikit mendengus.
Dia benar-benar tidak suka dengan sikap pemuda angkuh berwajah bengis ini. Namun semua itu tetap saja tersimpan di dalam hati. Walaupunsorot matanya memancar begitu tajam sekali, menusuk langsung ke bola mata pemuda di depannya ini.
"Aku peringatkan padamu. Jangan coba-coba mendekati Sari lagi," kata pemuda itu masih tetap dengan suaranya yang dingin dan datar mengge-tarkan hati.
"Hh!"
Jaka malah tersenyum sinis mendengar per-ingatan yang bernada mengancam itu. Kini dia tahu siapa pemuda berpakaian mewah di depannya ini. Dari kata-kata peringatan bernada mengancam tadi, dia langsung bisa menebak kalau pemuda ini tentu Sutawijaya. Pemuda pilihan Ki Ranta, yang akan dijodohkan pada Sari. Tapi Jaka begitu yakin kalau Sari tidak mungkin mengkhianati cintanya. Dia tahu kalau Sari tidak mau menerima pemuda ini. Dan cintanya sudah tertumpah pada pemuda desa yang tidak disetujui ayahnya.
"Ada hak apa kau melarangku berhubungan dengan Sari?" desis Jaka dingin.
"Dia calon istriku!" sahut pemuda itu agak menyentak.
"Oooo..., begitukah" Tapi rasanya Sari tidak menyukaimu," sinis sekali nada suara Jaka.
"Setan!" geram pemuda tampan berpakaian mewah yang ternyata memang Sutawijaya marah, mendengar kata-kata bernada sinis itu.
Dia melangkah dua tindak mendekati Jaka. Sorot matanya begitu tajam, menentang sorot mata Jaka yang tidak kalah tajamnya. Beberapa saat mereka saling bertatapan dengan tajam. Seakan tengah mengukur tingkat kepandaian ma-ling-masing. Tampak Sutawijaya menarik napas dalam-dalam, dan menghembuskannya dengan kuat. Seakan dia tidak menyangka kalau pemuda desa yang di anggapnya tidak memiliki kepandaian apa-apa ini, ternyata mampu menghadapi sepuluh orang tukang pukulnya, walaupun men-dapat cedera di bahu kanan.
Tapi cedera yang diderita Jaka tidaklah ber-arti. Hanya luka luar yang tidak berpengaruh apa-apa bagi seorang yang memiliki kepandaian ilmu olah kanuragan. Terlebih, luka di bahu kanan itu kini sudah tersumbat aliran darahnya.
"Dengar, Anak Gembel! Aku tidak mau lagimelihat kau bertemu dengan Sari. Kalau sampa aku sempat melihat atau mendengar, aku tidak akan segan-segan memenggal kepalamu!" desis Sutawijaya dingin mengancam.
"Kau juga harus dengar, Sutawijaya. Tidak ada seorangpun yang bisa menghalangiku. Dan kau tidak akan bisa memiliki Sari," balas Jaka tidak kalah dinginnya.
"Setan keparat..! Kau mau mampus rupanya heh...?" bentak Sutawijaya semakin bertambal geram.
"Kau bisa coba. Siapa diantara kita yang lebih dulu masuk ke lubang kubur," tantang Jaka langsung.
"Keparat...!" geram Sutawijaya tidak dapat lagi menahan kemarahannya.
"Trek!"
Begitu jari tangannya beradu, seketika itu juga empat orang yang sejak tadi mengepung tempat ini langsung berlompatan sambil berteriak keras menggelegar. Golok mereka pun begitu cepat sekali berkelebatan membabat ke arah tubuh Jaka.
"Haiiiit....!"
Cepat sekali Jaka melentingkan tubuhnya ke udara, dan berputaran beberapa kali menghindari serangan cepat dari empat arah ini. Dan begitu kakinya kembali menjejak tanah, tiba-tiba saja Sutawijaya sudah melepaskan satu pukulan keras menggeledek yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi, tepat ke arah dada pemuda desa ini.
"Hiyaaa...!"
"Hap!"
Tidak ada lagi kesempatan bagi Jaka untuk menghindari serangan yang begitu cepat dan dah-syat ini. Dia langsung menghentakkan tangan ki-rinya ke samping, menangkis pukulan yang di-lepaskan Sutawijaya. Hingga benturan dua tangan yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi itu pun tidak dapat lagi dielakkan.
"Plak!"
"Ikh"
"Hup!"
Kedua pemuda ini sama-sama berlompatan mundur begitu tangan mereka saling beradu. Tampak Sutawijaya meringis sambil memegangi pergelangan tangan kanannya. Sedangkan Jaka langsung mengurut tangan kirinya. Wajah pemuda desa itu pun kelihatan merah, menahan rasa sakit pada pergelangan tangan kirinya.
"Hiyaaaat...!"
"Wuk!"
Saat itu salah seorang tukang pukul Sutawijaya yang berada di belakang, cepat sekali melompat membokong Jaka dari belakang. Golok-nya yang tajam berkilat, langsung dibabatkan ke arah kepala pemuda desa ini.
"Hih...!"
Cepat-cepat Jaka merundukkan tubuhnya ke depan. Dan begitu golok pembokongnya lewat di atas kepalanya, dengan cepat sekali dia menghentakkan sebelah kaki kirinya ke belakang. Tepat disaat pembokongnya baru saja menarik kembali goloknya. Dan dia tidak dapat lagi menghindari sepakan kaki pemuda desa ini.
"Begkh!"
"Ugkh!"
"Hiyaaaat...!"
Jaka langsung memutar tubuhnya dengan cepat sekali, setelah kakinya berhasil mendarat di dada pembokong itu. Dan begitu cepat sekali dia menghentakkan kaki kanannya, dengan tubuh setengah berputar dengan kecepatan yang sungguh luar biasa sekali. Begitu cepatnya, hingga orang itu tidak dapat lagi menghindar. Terlebih lagi dia baru saja mendapat dupakan yang keras pada dadanya. Dan...
"Plak! "Akh...!"
Satu pekikan keras agak tertahan terdengar begitu sepakan kaki Jaka menghantam kepala orang itu. Membuatnya terpental beberapa langkah ke samping. Dan dia terhuyung-huyung sambil memegangi kepalanya. Tampak darah meng-alir ke luar dari sela-sela jari tangannya. Sedangkan goloknya terpental cukup tinggi ke udara.
"Hiyaaaat..!"
Sambil berteriak keras, Jaka melompat tinggi ke udara mengejar golok penyerangnya yang terpental tadi. Dan begitu dia berhasil menyambar golok itu, langsung saja dilemparkan ke arah pe-miliknya, disertai dengan pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai tingkatan cukup tinggi.
"Yeaaaah...!"
"Wut!"
Bagaikan kilat, golok itu meluncur deras ke arah pemiliknya. Dan tepat menancap di dadanya yang sudah tidak terlindungi lagi. Jeritan panjang melengkingpun terdengar nyaring menyayat. Hanya sebentar saja orang itu masih mampu berdiri limbung. Kemudian ambruk menggelepar di tanah dengan kepala retak dan goloknya sendiri tertancap di dada. Darah bercucuran deras mem-basahi rerumputan yang masih basah oleh embun ini. Sementara Jaka sudah kembali menjejakkan kakinya di tanah dengan manis dan ringan sekali. Sedangkan pembokongnya itu sudah menggele-tak kaku tak bernyawa lagi.
"Phuih!"
* * *
"Setan...!" geram Sutawijaya melihat salah seorang tukang pukulnya tewas tertikam goloknya sendiri.
Dengan kemarahan yang meluap, dia langsung melompat menerjang Jaka yang baru saja menjejakkan kakinya kembali di tanah. Beberapa pukulan keras disertai dengan pengerahan tenaga dalam tinggi dilepaskan secara beruntun. Membuat Jaka terpaksa harus berjumpalitan menghindarinya. Dan tampaknya Sutawijaya benar-benar ingin mengirim pemuda desa ini ke-liang kubur.
"Suiiit...!"
Sambil mencecar lawannya, Sutawijaya masih Sempat memberikan siulan yang panjang. Hingga seketika itu juga, sembilan orang tukang pukul-nya berlompatan mengeroyok pemuda dari Desa Galagang ini.
"Hiyaaaat...!"
"Yeaaah...!"
"Shaaaat...!"
Serangan-serangan cepat dan dahsyatpun berdatangan dari segala arah. Membuat Jaka se-makin kerepotan saja menghindarinya. Beberapa kali tebasan golok dan pukulan bertenaga dalam cukup tinggi berhasil dihindarinya. Tapi meng-hadapi keroyokan seperti ini, Jaka kelihatan mulai kewalahan juga.
Setelah beberapa jurus berlalu, pemuda dari Desa Galagang itu mulai kelihatan kewalahan. Dan beberapa kali dia harus menerima pukulan serta tendangan yang sangat keras, dan mengandung pengerahan tenaga dalam yang cukup tinggi. Hingga pertahanannyapun semakin goyah saja.
"Hiyaaat....!"
Begitu cepat sekali Sutawijaya melompat sambil melepaskan satu pukulan keras, yang disertai dengan pengerahan tenaga dalam yang cukup tinggi. Tepat disaat Jaka baru saja menghindari sabetan golok salah seorang pemuda berpakaian mewah itu. Hingga serangan Sutawijaya yang begitu cepat, tidak dapat lagi dihindari. Dan...
"Des!"
"Akh...!"
Jaka terpekik begitu pukulan yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi itu men-darat telak di dadanya. Begitu kerasnya pukulan yang dilepaskan Sutawijaya, sehingga membuat tubuh pemuda desa itu terpental sejauh dua ba-tang tombak ke belakang. Dan belum juga tubuhnya bisa menyentuh tanah, satu tendangan keras menggeledek sudah mendarat lagi di tubuhnya.
"Begkh!"
"Aaaakh...!"
Kembali Jaka terpekik keras. Dan tubuhnya kembali terpental ke depan dengan keras sekali, setelah menerima tendangan keras yang mengandung pengerahan tenaga dalam itu. Kali ini dia jatuh dengan keras sekali ke tanah, dan bergulingan beberapa kali menghindari hujaman golok yang datang begitu cepat sekali, begitu tubuhnya menghantam tanah.
"Hiyaaat...!"
Namun disaat Jaka tengah kewalahan menghadapi serangan beruntun itu, tiba-tiba saja terdengar suara teriakan keras menggelegar bagai guntur di siang hari. Dan tahu-tahu orang-orang yang tengah membabatkan goloknya ke tubuh Jaka sudah berpentalan ke belakang sambil men-jerit kesakitan.
Hal ini tentu saja membuat Jaka jadi terlo-ngong bengong. Apalagi saat itu dia benar-benar sudah tidak mampu lagi untuk menghindar terus. Namun menyadari kalau ini merupakan kesem-patan yang sangat baik, cepat-cepat dia melompat bangkit berdiri. Namun kakinya tidak lagi mantap menjejak tanah. Dan tubuhnyapun sedikit limbung. Tapi pemuda itu bisa dengan cepat menguasai keseimbangan tubuhnya, walaupun terasa seluruh tulangnya bagai berpatahan di dalam tubuh.
Walau dengan mata sedikit berkunang-ku-nang, dia masih sempat melihat bayangan merah berkelebatan begitu cepat sekali menghajar sem-bilan orang tukang pukul Sutawijaya, hingga mereka berpelantingan tidak mampu lagi bertahan. Jeritan-jeritan panjang kesakitan terus terdengar saling susul. Sementara Sutawijaya juga jadi terlongong bengong melihat orang-orangnya berpelantingan dihajar bayangan merah yang berkelebatan begitu cepat sekali bagai kilat itu.
Hingga dalam waktu yang sangat singkat sekali, tidak ada seorangpun dari sembilan tukang pukul Sutawijaya itu yang bisa bangkit lagi. Mereka semua bergelimpangan sambil merintih kesakitan. Wajah mereka babak belur dan biru lebam. Serta golok-golok mereka berpatahan tidak berbentuk lagi, walaupun dari rintihannya sudah bisa dipastikan kalau tak ada seorangpun yang tewas.
Sementara bayangan merah yang muncul begitu tiba-tiba itu, kini lenyap tak terlihat lagi. Entah kemana perginya. Bagaikan hilang ditelan bumi saja. Sedangkan Sutawijaya masih terlo-ngong bengong tidak mengerti dengan kejadian yang begitu cepat tadi. Dan dia hanya bisa memandangi orang-orangnya yang mulai bergerak bangkit sambil merintih kesakitan.
Sedangkan Jaka masih tetap berdiri pada tempatnya, memandangi Sutawijaya dan sembilan orang tukang pukulnya yang mulai bangkit berdiri lagi. Rasanya sudah tidak mungkin lagi mereka bisa meneruskan pertarungannya menge-royok Jaka. Keadaan mereka kelihatan payah sekali, setelah dihajar bayangan merah misterius tadi.
"Hm, Siapa dia..." kenapa menolongku...?" gumam Jaka bertanya sendiri di dalam hati.
Saat itu Sutawijaya melangkah menghampiri pemuda Desa Galagang ini. Dia kemudian berdiri sekitar tujuh langkah lagi di depan Jaka. Walaupun masih diliputi rasa heran bercampur ketidak mengertian, tapi sorot matanya memancar begitu tajam sekali, menusuk langsung ke bola mata Jaka.
"Urusan ini belum selesai, Jaka. Satu saat aku pasti akan memenggal lehermu!?" desis Sutawijaya dingin.
Dia langsung memutar tubuhnya berbalik, dan melangkah pergi dengan ayunan kaki yang cepat dan lebar-lebar. Sementara Jaka masih tetap berdiri memandangi tak berkedip sedikitpun juga. Sementara sembilan orang tukang pukul itu mengikuti Sutawijaya, pergi meninggalkan tempat ini. Tak ada seorangpun lagi yang mengeluarkan suara. Mereka terus berjalan pergi dengan langkah yang cepat. Hingga sebentar saja mereka semua sudah tidak terlihat lagi, setelah melewati tikungan jalan setapak yang langsung menuju ke Desa Galagang.
"Hmmm..., dia pasti tidak akan bisa diam se-belum membunuhku," gumam Jaka perlahan.
Tatapan matanya masih tetap tertuju ke arah tikungan jalan. Meskipun Sutawijaya dan sembilan orang tukang pukulnya sudah tidak terlihat lagi di sana.
"Tapi, siapa orang yang telah menolongku tadi...?" gumam Jaka lagi, bertanya pada dirinya sendiri.
Memang begitu cepat sekali kejadiannya, hingga tak ada seorangpun yang bisa mengetahui, siapa orang yang ada di balik bayangan merah itu tadi. Dan pertanyaan itu terus menggelantung di dalam benak Jaka. Namun begitu, dia masih bisa bersyukur, karena masih ada orang yang mau menolongnya disaat sedang terdesak tadi. Kalau saja tidak ditolong orang misterius itu tadi, mungkin saat ini nyawanya sudah tidak melekat lagi di badan.
"Siapapun dia, aku harus mengucapkan te-rima kasih," desah Jaka perlahan.
Dan perlahan pula dia mengayunkan kakinya meninggalkan tempat ini.
* * *
---[[[| TIGA |]]]---
Begitu hanyak orang berkerumun disekitar rumah itu, tapi tak ada seorangpun yang men-dekatinya. Apalagi menegurnya. Mereka seakan takut untuk mendekati pemuda ini. Sedangkan Jaka seperti tidak peduli. Dia melangkah menghampiri puing-puing rumahnya yang hangus bekas terbakar.
"Ohhh..."
Tiba-tiba saja pandangannya jadi mengabur berkunang-kunang. Kepalanya terasa begitu be-rat, bagai dibebani sebongkah batu yang teramat besar dan berat. Langkahnyapun jadi gontai. Dia cepat-cepat menyandarkan punggungnya ke pohon yang sudah kering seluruh daunnya. Seben-tar matanya terpejam, lalu perlahan terbuka lagi. Semua orang yang berada di sekitarnya hanya bisa memandangi dengan sorot mata yang begitu sukar untuk bisa diartikan.
"Jaka..."
"Oh..."!"
Jaka tersentak kaget, begitu tiba-tiba mendengar suara memanggil namanya, disusul dengan tepukan halus dipundaknya. Cepat dia me-malingkan mukanya, dan langsung berputar membungkukkan tubuhnya, begitu melihat seorang laki-laki tua berjubah putih sudah berada didekatnya.
"Eyang Waskita...," desah Jaka perlahan me-nyebut nama orang tua itu.
"Kapan semua ini terjadi?" tanya Eyang Waskita dengan suara yang sedikit bergetar termakan usia.
"Aku tidak tahu, Eyang," sahut Jaka seraya menarik tubuhnya tegak kembali. "Mungkin se-malam."
Dipandanginya laki-laki berusia lanjut yang mengenakan baju jubah putih panjang dan long-gar ini. Dari kerut-kerut diwajahnya, mungkin usianya sudah mencapai lebih dari tujuh puluh tahun. Tapi sorot matanya masih terlihat meman-car tajam. Meskipun rambutnya sudah berwarna putih semua. Sepotong tongkat kayu berwarna hitam tergenggam di tangan kanan, menyanggatubuhnya yang sedikit bungkuk.
Semua orang di Desa Galagang ini tahu siapa Eyang Waskita. Seorang tua yang paling disegani dan ditakuti. Bukan hanya dia seorang guru besar pada padepokan yang ada disebelah selatan pinggiran Desa Galagang ini. Tapi juga dia bekas kepala desa, dan juga orang tertua di Desa Galagang. Bahkan pengaruhnya sampai melebihi dari kepala desa yang sekarang. Dari Eyang Waskita ini Jaka mempelajari ilmu-ilmu olah kanuragan, walaupun belum sampai pada tahap ilmu kedigdayaan. Tapi apa yang dimiliki sudah cukup untuk membela diri.
"Kau tahu siapa yang membakar rumahmu?" tanya Eyang Waskita lagi.
Jaka hanya menggeleng saja. Dipandanginya kedua bola mata laki-laki tua ini, yang juga menatapnya. dengan sorot mata penuh selidik. Seakan dia tidak percaya kalau Jaka tidak tahu, ?kenapa rumahnya sampai bisa habis terbakar. Bahkan semua binatang peliharaannya ikut mati tak tersisa lagi.
"Semalaman aku tidak ada dirumah, Eyang," kata Jaka memberitahu tanpa diminta lagi.
"Hm, jadi kau benar-benar tidak tahu?"
Jaka menggelengkan kepalanya.
"Ayo ikut aku," ajak Eyang Waskita.
"Kemana, Eyang?" tanya Jaka.
Tapi Eyang Waskita tidak menjawab. Dia sudah memutar tubuhnya dan berjalan dengan langkah agak terseret, dibantu tongkat kayunya. Jaka bergegas mengikuti dari belakang. Beberapa orang yang berkerumun, segera menyingkir mem-beri jalan. Mereka hanya bisa memandangi, tanpa membuka suara sedikitpun juga.
Sementara Jaka terus melangkah mengikuti laki-laki tua ini. Dia juga tidak peduli dengan pandangan orang-orang disekitarnya. Tapi di-dalam hatinya, terus bertanya-tanya dengan sikap mereka semua. Seakan ada sesuatu yang mereka sembunyikan. Sedangkan sikap Eyang Waskita sendiri membuat pemuda itu jadi bertanya-tanya di dalam hatinya. Dia tidak mengerti, untuk apa Eyang Waskita mengajaknya pergi. Tapi Jaka tidak berani banyak bertanya. Dan dia terus saja mengikuti ayunan kaki orang tua yang sangat di-segani dan merupakan gurunya ini.
* * *
Jaka duduk bersimpuh di beranda depan rumah Eyang Waskita. Kepalanya tertunduk me-rayapi tikar daun pandan yang sudah agak lusuh. Sedangkan didepannya, duduk Eyang Waskita yang terus memandanginya dengan sinar mata yang begitu sukar untuk bisa diartikan. Entah sudah berapa lama mereka duduk berhadapan, dan tidak berbicara sedikitpun juga.
"Jaka"," terdengar pelan sekali suara EyangWaskita.
Perlahan Jaka mengangkat kepalanya. Dan pandangannya langsung bertemu dengan pandangan mata laki-laki tua berjubah putih yang duduk bersila juga didepannya ini. Beberapa saat mereka saling berpandangan. Tampak Eyang Waskita menarik napas panjang, lalu menghembuskannya dengan perlahan. Begitu halus sekali hembusan napasnya, hingga tidak terdengar sedikitpun ditelinga pemuda didepannya ini.
"Sudah berapa lama kau menuntut ilmu di-sini," tanya Eyang Waskita dengan suara yang terdengar datar sekali.
"Sepuluh tahun," sahut Jaka agak heran mendengar pertanyaan orang tua itu. ?
"Kau masih ingat dengan nasihat-nasihatku?"
Jaka hanya mengangguk saja.
"Rasanya sudah terlalu sering aku melarang-mu mencari-perkara. Dan aku lebih senang jika kau tidak menunjukkan kepandaianmu," kata Eyang Waskita terdengar terputus nada suaranya.
"Selama ini aku selalu mematuhi nasihatmu, Eyang," selak Jaka membela diri.
"Tapi kenapa sampai ada orang yang tega membakar rumahmu?"
Kali ini Jaka tidak bisa menjawab. Kembali dia tertunduk menekuri anyaman tikar yang menjadi alas duduknya. Memang selama sepuluh tahun dia menuntut ilmu dari Eyang Waskita, tidak pernah satu kalipun dia menunjukkan kepandaianya. Dan baru pagi tadi dia terpaksa dan hanya untuk membela diri.
"Kau habis bertarung?" tanya Eyang Waskita lagi.
Jaka tersentak kaget. Langsung dia menya-dari kalau bahu kanannya masih terluka. Dan dia tidak bisa berbuat apa-apa lagi, selain mengangguk membenarkan. Kemudian dia menceritakan semua peristiwanya tanpa diminta lagi. Sedangkan Eyang Waskita mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Sungguh, Eyang. Aku hanya membela diri saja. Mereka tiba-tiba saja menyerangku dengan curang," kata Jaka mencoba meyakinkan, setelah dia menceritakan seluruh pertarungannya.
"Kau tahu siapa Sutawijaya itu, Jaka?" tanya Eyang Waskita dengan suara yang terdengar begitu perlahan sekali.
Seakan dia menyesali perselisihan muridnya ini dengan Sutawijaya. Sedangkan Jaka hanya menggelengkan kepalanya saja. Dia memang tidak begitu banyak mengetahui tentang diri Sutawijaya. Dan dia hanya tahu sedikit. Itupun diperoleh dari Sari. Dia hanya tahu Sutawijaya putra seorang saudagar kaya dan berpengaruh dari kota. Dan ayahnya memiliki hubungan luas dengan para pembesar kerajaan serta memiliki darah keturunan dari adipati. Hingga dia bisa bertindak sewenang-wenang. Bahkan segala tindakannya melebihi dari kekuasaan seorang adi pati. Hanya itu saja yang diketahui Jaka tentan diri Sutawijaya. Dan selebihnya, dia sama sekali tidak tahu.
"Terus terang, aku lebih senang kalau kau menghindar dan mengalah saja, Jaka. Dan jangan kau teruskan perselisihanmu dengan Sutawijaya," kata Eyang Waskita menasihatkan.
Jaka hanya diam saja, tidak menjawab sedikitpun juga.
"Tanpa kau ceritakan, aku sudah tahu. Apa saja yang menjadi penyebab perselisihanmu dengan Sutawijaya," kata Eyang Waskita lagi.
"Eyang..."
"Tidak perlu kau jelaskan, Jaka," potong Eyang Waskita cepat.
Jaka langsung terdiam, tidak jadi menerus-kan ucapannya. Dia hanya memandangi saja ke-dua bola mata tua didepannya ini.
"Aku percaya kau hanya membela diri saja. Tapi sebaiknya kau menghindar. Dan lebih baik lagi kalau untuk sementara waktu ini kau ting-galkan Desa Galagang," kata Eyang Waskita lagi.
"Kenapa aku harus pergi, Eyang?" tanya Jaka bernada tidak menerima saran gurunya ini.
"Demi keselamatanmu sendiri, Jaka. Juga untuk ketentraman desa ini," sahut Eyang Waskita lembut.
Jaka kembali terdiam. Entah apa yang ada didalam kepalanya sekarang ini. Sedangkan sorot matanya terlihat begitu datar sekali, hingga Eyang Waskita sendiri sulit untuk bisa menerka, semua yang ada didalam bola mata pemuda itu. Cukup lama juga Jaka terdiam membisu. Entah apa yang ada didalam kepalanya saat ini. Begitu sukar sekali untuk diterka dengan sorot mata yang begitu datar.
"Eyang, boleh aku bertanya sedikit...?" pinta Jaka.
"Katakan, apa saja yang ingin kau tanyakan," tahut Eyang Waskita.
"Kenapa Eyang begitu takut pada Sutawijaya?" tanya Jaka langsung.
"Dia memiliki pengaruh dan kekuatan yang sangat besar, Jaka. Terlebih lagi ayahnya. Tidak ada seorangpun yang mau berurusan dengannya. Dan tidak ada seorangpun yang bisa menentang kehendaknya, kecuali Gusti Prabu sendiri," Sahut Eyang Waskita menjelaskan.
"Bagaimana kalau aku tetap berada disini, Eyang?" tanya Jaka lagi.
"Kau ingin Desa Galagang hancur, Jaka...?"
Jaka terdiam. Sungguh dia tidak menyangka kalau akibatnya akan sebesar itu. Dan dia benar-benar tidak tahu kalau telah membuka perkara dengan orang kuat yang memiliki pengaruh besar di Desa Galagang ini. Bahkan sampai keseluruh kadipaten dan kota raja. Eyang Waskita sendiri merasa tidak ada artinya sama sekali. Dan me-minta muridnya ini untuk mencari selamat.
"Aku minta dengan sangat padamu, Jaka. Se. lamatkan dirimu, juga seluruh penduduk Desa Galagang ini dari kemurkaan Sutawijaya," kata Eyang Waskita lagi.
"Kemana aku harus pergi, Eyang?" tanya Jaka.
"Kemana saja, asal kau tidak terlihat lagi di desa ini," sahut Eyang Waskita.
Kembali Jaka terdiam dengan kepala tertunduk. Terasa begitu berat sekali harus meninggalkan tanah kelahirannya. Dan semua ini memang harus dilakukan demi keselamatan seluruh penduduk Desa Galagang dari kemurkaan Sutawijaya. Memang tidak ada pilihan lain lagi bagi Jaka.
Namun tiba-tiba saja terlintas bayangan wajah Sari. Darahnya seketika bergolak mendidih. Hatinya tidak rela kalau sampai gadis itu jatuh ke tangan Sutawijaya. Perlahan dia mengangkat kepalanya, dan menatap lurus kebola mata Eyang Waskita. Kemudian dia bangkit berdiri dan mem-bungkuk sedikit memberi hormat pada orang tua itu.
"Aku akan pergi, Eyang. Tapi tidak sekarang," kata Jaka mantap nada suaranya.
"Kenapa?" tanya Eyang Waskita agak terpe-ranjat. "Lebih cepat kau pergi, itu akan lebih baik lagi, Jaka. Sebaiknya kau pergi sekarang juga."
"Tidak, Eyang. Sebelum...," Jaka tidak me-neruskan.
"Sebelum apa, Jaka?" desak Eyang Waskita seraya bangkit bediri.
"Aku akan pergi bersama Sari," kata Jaka mantap.
"Jaka...!"
Eyang Waskita tersentak kaget setengah mati. Sungguh dia tidak menyangka kalau pemuda ini bisa berkata begitu. Sedangkan semua orang di Desa Galagang sudah tahu kalau Sari akan dijodohkan dengan Sutawijaya. Dan memang semua orang sudah tahu kalau antara Jaka dan Sari menjalin hubungan asmara. Dan itu bukan menjadi rahasia lagi. Tapi sungguh Eyang Waskita tidak menduga sama sekali kalau ada keinginan di hati Jaka untuk membawa Sari pergi.
"Maafkan aku, Eyang. Ini sudah menjadi keputusanku. Biar aku yang akan menghadapi scmuanya sendiri," kata Jaka mantap.
Sebelum Eyang Waskita bisa berkata, Jaka sudah menjura memberi hormat. Kemudian dia bergegas pergi meninggalkan beranda depan rumah orang tua itu. Sedangkan Eyang Waskita hanya bisa memandangi, tanpa dapat berkata-kata lagi sedikitpun, untuk mencegah keinginan Jaka membawa Sari dalam kepergiannya mening-galkan Desa Galagang ini.
"Dewata Yang Agung...beri dia perlindungan," desah Eyang Waskita pelan.
Sementara Jaka sudah jauh meninggalkan rumah Eyang Waskita yang juga dijadikan pade pokan. Beberapa pemuda yang menjadi murid orang tua itu juga hanya dapat memandangi ke pergian Jaka. Tidak ada seorangpun yang bisa berbuat sesuatu. Sedangkan Eyang Waskita sendiri hanya bisa memandangi sampai pemuda itu lenyap di tikungan jalan.
"Malapetaka apa yang akan terjadi kalau Jaka sampai melakukan perbuatan nekad itu...?" desah Eyang Waskita lagi.
Memang sulit untuk bisa diterka. Sedangkan tak ada seorangpun yang bisa membaca isi hati orang lain. Namun Eyang Waskita hanya bisa ber-harap muridnya itu tidak meneruskan keinginannya membawa Sari pergi dari Desa Galagang ini. Dia tidak bisa membayangkan, apa yang akan terjadi kalau Jaka benar-benar melaksanakan tekadnya.
* * *
Malam sudah demikian larut menyelimuti seluruh Desa Galagang. Kesunyian begitu terasa sekali. Tak terlihat seorangpun di jalan-jalan desa yang sunyi dan lenggang ini. Sesekali terdengar suara lolongan anjing hutan yang panjang dan memilukan. Bagai jeritan hati yang sedang dirundung duka.
Malam itu langit tampak kelam. Tak terlihat sedikitpun cahaya bintang maupun bulan. Begitu gelapnya, hingga hampir tidak menampakkan se-sosok tubuh yang berdiri di bawah pohon beri-ngin yang sangat besar. Seseorang yang sejak tadi mengamati rumah Ki Ranta. Entah sudah berapa lama dia berdiri di sana. Dan pandangannya tidak pcrnah berkedip sedikitpun dari para penjaga yang ada disekitar rumah besar berhalaman sangat luas itu.
"Hmmm...."
Terdengar suara gumam kecil dan perlahan. Kemudian dia mulai bergerak meninggalkan pohon beringin itu. Pandangannya tidak terlepas dari para penjaga disekitar rumah besar itu. Dia terus melangkah perlahan menuju kesamping rumah. Dan baru berhenti setelah berada tidak jauh dari sebuah jendela yang tertutup rapat. Dari sela-sela celah jendela, membersit cahaya pelita"
"Hup!"
Dengan gerakan yang begitu ringan sekali, dia melompat mendekati jendela itu. Tubuhnya langsung merunduk, merapat di bawah jendela begitu kakinya kembali menjejak tanah. Matanya beredar ke kanan dan ke kiri. Tak ada seorangpun dari para penjaga yang melihatnya. Perlahan dia menjulurkan kepalanya ke dekat jendela, dan menempelkan telinganya. Seperti ingin mencuri dengar sesuatu dari balik jendela ini.
"Sari..."
Pelan sekali dia memanggil sebuah nama. Se-bentar dia menunggu. Kemudian kembali memanggil dengan suara yang terdengar pelan dan hati-hati sekali. Tapi tak ada jawaban sedikitpun dari balik jendela yang tampak terang ini. Hati-hati sekali kemudian dia mengetuk jendela itu, sambil terus memanggil-manggil dengan suara yang begitu hati-hati sekali.
"Siapa...?"
Setelah cukup lama, baru terdengar suara dari dalam. Suara seorang wanita yang nadanya seperti agak tertahan.
"Ini aku, Sari. Jaka...."
Dari balik jendela itu terdengar suara langkah kaki terseret yang tergesa-gesa. Tak berapa lama kemudian jendela itu terbuka sedikit. Orang yang berada di bawah jendela itu menjulurkan kepalanya. Cahaya pelita langsung menyorot wa-jahnya. Ternyata memang benar, dia adalah Jaka. Dari balik jendela menyembul wajah cantik se-orang gadis muda. Jelas sekali terlihat kalau dia begitu terkejut sekali melihat Jaka berada di de-kat jendela kamarnya.
"Oh..." Mau apa kau datang kesini?" tanya Sari terkejut.
"Aku ingin membawamu pergi dari sini," kata Jaka dengan suara yang setengah berbisik.
"Pergi..."!"
"Iya," mantap sekali jawaban Jaka.
Sari tampak kebingungan. Dia mengedarkanpandangannya berkeliling. Seakan dia takut ?penjaga yang melihat kehadiran kekasihnya disini malam-malam. Tapi tak ada seorangpun penjaga yang tahu. Sedangkan Jaka memang terlindung dari pepohonan yang tumbuh menyema di bawah jendela kamar gadis itu. Sari kembali menatap begitu dalam pada kekasihnya ini. Sedangkan sejak tadi Jaka terus memandanginya. Hingga pandangan mata mereka bertemu pada satu titik. Beberapa saat mereka saling berpandangan, berbicara dengan hati masing-masing.
"Cepatlah kau berkemas. Ini saat yang tepat Sari," kata Jaka setengah memaksa.
"Tapi,"
Sari tampak ragu-ragu.
"Apa lagi yang kau ragukan, Sari" Bukankah kau juga pernah memintaku untuk membawamu pergi...?" selak Jaka cepat.
Sari terdiam, Tampak dia sedang memper-timbangkan ajakan kekasihnya ini. Memang benar dia pernah mengajak Jaka untuk lari. Tapi sekarang ini dia seperti bimbang, dan harus berpikir dua kali untuk pergi bersama pemuda desa ini. Entah apa yang membuat gadis itu jadi ragu-ragu.
"Ayolah, Sari. Tidak ada waktu lagi untuk berpikir. Kita akan hadapi semuanya bersama-sama. Aku rela mati demi kau. Sari," kata Jaka mendesak.
"Kita akan kemana?" tanya Sari.
"Kemana saja, asal jauh dari desa ini," sahutJaka tegas.
Beberapa saat Sari berpikir. Kemudian dia mengangguk sambil memberikan senyuman yang manis sekali. Jaka membalasnya dengan senyuman gembira. Cepat dia mengulurkan tangannya, dan membantu gadis ini keluar. Setelah itu dia menutup jendela itu hingga rapat kembali.
"Aku gendong, ya...?" ujar Jaka.
Sari hanya mengangguk saja sambil ter-senyum.
"Hup!"
Tanpa menunggu lagi, Jaka langsung memon-dong tubuh ramping gadis itu. Kemudian cepat dia melompat dengan mempergunakan ilmu me-ringankan tubuh yang sudah mencapai tingkatan yang cukup tinggi. Sebentar saja dia sudah jauh meninggalkan rumah besar itu. Dia terus berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh sambil memondong kekasihnya. Dan terus berlari tanpa menghiraukan keadaan sekelilingnya.
Hingga dia tidak tahu kalau sejak tadi selalu diikuti oleh sepasang mata yang bersembunyi. Sepasang mata yang terus mengikuti kemana dia pasangan kekasih itu pergi. Jaka baru me-nurunkan Sari setelah sampai di tepi hutan yang membatasi Desa Galagang ini. Mereka berhenti sebentar, kemudian berjalan beriringan sambil bergandengan tangan. Tak ada seorangpun yang berbicara. Hanya hati mereka saja yang terus berbicara.
"Kemana, Kakang?" tanya Sari, setelah cukup lama berdiam diri.
Ketakutan mulai menghinggapi dirinya. Jelas sekali terlihat dari nada suara yang bergetar. Matanya terus menatap berkeliling. Tapi hanya kegelapan dan pepohonan yang menghitam saja terlihat disekitarnya. Sesekali terdengar lolongan anjing hutan dikejauhan. Membuat seluruh bulubulu halus ditubuhnya meremang berdiri.
"Ada pondok kecil tidak jauh dari sini," kata Jaka memberitahu.
"Punyamu?" tanya Sari.
"Bukan. Pondok itu sering digunakan para pemburu yang kemalaman dihutan. Siapa saja boleh menggunakan pondok itu," sahut Jaka memberitahu.
"Kalau ada orang di sana?" tanya Sari khawatir.
"Jangan cemas, Sari. Kebanyakan dari pemburu itu datang dari luar Desa Galagang. Kalau-pun ada orang, tidak mungkin mereka mengenali kita," kata Jaka menenangkan.
Sari terdiam. Walaupun kecemasan masih menyelimuti hatinya, tapi dia begitu percaya pada kekasihnya ini. Dan dia tidak mau bertanya lagi. Dia mengikuti saja, kemana Jaka membawanya pergi. Dan dari kejauhan, sudah terlihat sebuah pondok yang tidak begitu besar. Kerlip cahaya pelita sudah terlihat menggantung di beranda pondok itu. Mereka langsung menuju ke sana.
Dan memang hanya ada dua orang pemburu saja yang bermalam di pondok itu. Mereka dengan ramah mempersilahkan Jaka dan Sari masuk, lalu menyediakan sebuah kamar untuk pa-sangan muda ini. Sedangkan kedua pemburu itu tetap bermalam di ruangan depan. Tapi Jaka jus-tru bergabung dengan mereka. Meninggalkan Sari beristirahat didalam kamar.
* * *
---[[[| EMPAT |]]]---
Sutawijaya yang tahu kalau Jaka mempelajari ilmu olah kanuragan pada Eyang? Waskita, langsung menemui orang tua itu. Bahkan dia membawa serta empat orang pengawal utamanya, ditambah dengan tiga puluh orang tukang pukulnya. Kedatangan Sutawijaya dan tukang-tukang pukulnya, tidak lagi membuat Eyang Waskita ter-kejut. Dia memang sudah menduga kalau hal ini bakal terjadi, setelah Jaka menyatakan tekadnya untuk membawa lari Sari padanya. Namun tetap saja orang tua itu menyambutnya dengan ramah. Walaupun dia sempat berpesan pada murid-muridnya untuk berwaspada jika terjadi sesuatu.
"Aku minta kau kembalikan Sari sekarang juga, Eyang Waskita," desis Sutawijaya dingin.
Tatapan matanya begitu tajam, bersorot langsung pada kedua bola mata orang tua yang berada sekitar enam langkah didepannya. Sedangkan yang dipandanginya kelihatan tenang sekali. Bahkan senyumannya tersungging meng-hiasi bibir yang hampir tertutup oleh kumis putih.
"Sari tidak ada disini," sahut Eyang Waskita kalem.
"Bohong!" bentak Sutawijaya kasar.
"Sejak kapan kau tidak lagi percaya kata-kataku, Sutawijaya?"
"Huh! Aku memang pernah menjadi murid-mu, Eyang. Tapi aku tahu kalau kau lebih me-nyayangi Jaka dari padaku. Sekarang dia telah melarikan calon istriku. Dan kau jangan coba-coba melindunginya, Eyang. Aku bisa tidak lagi memandangmu guru!" tegas Sutawijaya. Suaranya terdengar lantang bercampur berang.
"Calon istrimu...?" terdengar agak sinis nada suara Eyang Waskita.
"Sari calon istriku, Eyang!" bentak Sutawijaya tidak bisa menahan berangnya.
"Apakah Sari mencintaimu?" tanya Eyang Waskita seperti menguji.
"Itu bukan urusanmu, Eyang!" bentak Sutawijaya kasar. "Cepat, katakan! Dimana Sari...?"
"Sudah aku katakan, Sari tidak ada disini.
Kenapa kau masih juga menyangka aku menyemibunyikan gadis itu...?"
"Jangan paksa aku bertindak kasar, Eyang" ancam Sutawijaya mendesis dingin."
"Hmmm...."
Eyang Waskita jadi menyipit kelopak matanya, begitu mendengar ancaman pemuda yang pernah menjadi muridnya ini. Sungguh dia tidak menyangka kalau Sutawijaya bisa menjadi congkak begitu. Bahkan sama sekali tidak memandang kalau yang ada didepannya ini dulu adalah gurunya.
Dan memang sudah lama Sutawijaya tidak lagi belajar ilmu olah kanuragan pada Eyang Waskita, setelah mendapatkan seorang guru yang dipandang ilmunya lebih tinggi dari orang tua ini. Perlahan laki-laki tua berjubah putih itu menarik kakinya ke belakang dua langkah. Sorot matanya terlihat begitu tajam, menusuk langsung kebola mata pemuda didepannya ini. Seakan dia tidak percaya kalau bekas muridnya ini bisa bersikap kasar begitu. Walaupun selama ini dia sudah ba-nyak mendengar tentang sepak terjang Sutawijaya yang tidak patut diteladani.
"Trek!"
Sutawijaya menjentikkan dua ujung jari ta-ngannya. Seketika itu juga, orang-orang yang di-bawanya langsung bergerak berlompatan hendak mengepung orang tua itu. Namun belum juga mereka bisa mengepung, semua murid-murid Eyang Waskita yang memang sejak tadi sudah bersiaga, langsung berlompatan menghadang. Kini dua kelompok kekuatan sudah saling ber-hadapan dengan sikap yang sudah siap bertarung. Dan mereka tinggal menunggu perintah saja.
"Ini peringatanku yang terakhir, Eyang. Aku harap kau tidak membuat kesulitan bagi dirimu sendiri," desis Sutawijaya dingin bernada mengancam.
"Jangan turuti bisikan setan, Sutawijaya. Kendalikan hatimu," ujar Eyang Waskita, masih mencoba menyabarkan pemuda itu.
"Aku datang bukan untuk meminta nasihat-mu, Eyang!" bentak Sutawijaya kasar. "Aku datang untuk membawa Sari pulang!"
Eyang Waskita menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia tahu kalau marah Sutawijaya tidak bisa lagi dibendung. Dan dia sudah bisa membaca apa yang bakal terjadi. Memang semua ini sudah menjadi perhitungannya, sejak Jaka mengatakan padanya ingin membawa Sari pergi dari Desa Galagang ini.
"Dimana kau sembunyikan Sari, Eyang Waskita...?" desis Sutawijaya. bertanya dingin.
"Dia tidak ada disini," sahut Eyang Waskita tegas.
"Phuih! Kau memaksaku bertindak keras, Eyang!" dengus Sutawijaya langsung kalap.
"Hmmm...," Eyang Waskita hanya menggumam saja perlahan.
"Beri dia pelajaran! Supaya tahu siapa aku...!" bentak Sutawijaya memberi perintah.
Suaranya yang lantang menggelegar, langsung menggerakkan orang-orangnya yang memang sejak tadi sudah siap menerima perintah, Tanpa menunggu diperintah dua kali lagi, tiga puluh orang yang menyertainya langsung berlompatan menyerang Eyang Waskita.
"Hiyaaaa...!"
"Yeaaaah...!"
Tapi belum juga mereka sampai, sekitar lima belas orang murid laki-laki tua itu sudah berlompatan menghadang. Hingga pertarunganpun tidak dapat lagi dihindarkan. Seketika itu juga, jeritan-jeritan panjang dan teriakan-teriakan pertempuran membahana menjadi satu dengan dentingan senjata beradu. Memang tidak mungkin lagi untuk bisa mencegah pertarungan ini.
Sementara Eyang Waskita jadi gemas juga melihat murid-muridnya yang berjumlah sedikit itu langsung terdesak. Dan mereka memang bu-kan tandingan orang-orangnya Sutawijaya yang sudah lebih berpengalaman didalam medan pertempuran. Bahkan tingkat kepandaiannyapun lebih tinggi dari murid-murid Eyang Waskita. Di-samping jumlah mereka juga lebih banyak.
Hingga tidak heran lagi, kalau dalam waktu sebentar saja, tidak ada lagi murid-murid Eyang Waskita yang masih mampu bertahan. Jeritan-jeritan panjang melengking yang memilukan se-makin terdengar. Satu per satu murid-murid Eyang Waskita terjungkal berlumuran darah. Dan orang-orangnya Sutawijaya semakin bernapsu melihat darah berhamburan dan tubuh-tubuh mulai bergelimpangan dimana-mana. Seperti ke-sctanan, mereka membantai murid-murid Eyang Waskita yang sudah tidak mampu lagi bertahan.
"Hentikan pertarungan ini...!" seru Eyang Waskita lantang.
Namun begitu pertarungan berhenti, tinggal lima orang lagi muridnya yang tersisa. Dan ini membuat wajah Eyang Waskita jadi merah pa-dam. Kedua bola matanya berputaran liar me-rayapi murid-muridnya yang bergelimpangan berlumuran darah tak bernyawa lagi. Kemudian dia menatap tajam Sutawijaya yang tersenyum-se-nyum penuh kemenangan.
"Aku sudah memperingatkanmu, Eyang. Ka-lau-kalau kehilangan banyak murid-muridmu, itu kesalahanmu sendiri," kata Sutawijaya sinis.
"Hh!" Eyang Waskita mendengus geram.
Dia melangkah beberapa tindak mendekati Sutawijaya yang masih didampingi empat orang pengawalnya. Empat orang laki-laki bertubuh tinggi besar, dengan tampang-tampang yang kasar dan sorot mata memancarkan kebengisan. Gagang golok berwarna hitam legam, terlihat me-nyembul keluar di pinggang masing-masing. Dan begitu Eyang Waskita sudah tinggal beberapa langkah lagi jaraknya, mereka secara bersamaan memegang gagang goloknya masing-masing. Wa-lau belum ada seorangpun yang mencabutnya.
*
* *
Sutawijaya hanya tersenyum sinis. Kemudian dia menggerakkan tangan kanannya sedikit. Saat itu juga, empat orang pengawalnya langsung bergerak ke depan, menghadang laki-laki tua yang mengenakan baju jubah putih ini.
"Hh! Iblis benar-benar telah menguasai diri mu, Sutawijaya," dengus Eyang Waskita.
"Habisi orang tua itu!" perintah Sutawijaya lantang.
"Hiyaaaaa..!"
"Yeaaah...!"
Seketika itu juga empat orang yang mengawal Sutawijaya langsung berlompatan menyerang Eyang Waskita. Mereka bersamaan menyerang dari empat jurusan. Tapi hanya dengan meliukkan tubuhnya saja, pukulan-pukulan yang dilepaskan empat orang berwajah bengis itu berhasil dielakkan dengan manis sekali.
"Hup!"
Cepat-cepat Eyang Waskita melompat ke belakang, begitu dia berhasil mengelakkan serangan pertama keempat orang itu. Tapi begitu kakinya menjejakkan tanah, salah seorang sudah me-nyerangnya kembali. Begitu cepat sekali dia melompat, langsung mencabut goloknya yang di-kebutkan kearah kaki orang tua ini.
"Wuk!"
"Hat!"
Hanya dengan sedikit melompat saja, tebasan golok itu lewat di bawah telapak kaki orang tua ini. Dan pada saat itu, satu orang lagi sudah melompat keatas sambil membabatkan goloknya ke arah kepala.
"Hih!"
Kali ini Eyang Waskita tidak berusaha menghindar sedikitpun juga. Dan begitu golok penyerangnya sudah dekat, dengan cepat sekali dia me-rapatkan kedua tangannya. Dan....
"Hap"!"
"Tap!"
"Ikh...!"
Orang itu terpekik kecil. Dia langsung mem-betot goloknya yang terjepit kedua telapak tangan laki-laki tua ini. Tapi begitu kuat sekali jepitan tangan Eyang Waskita, hingga sukar bagi orang itu untuk melepaskan goloknya.
"Hiyaaat...!"
Pada saat itu juga, salah seorang yang berada disebelah kanan, melakukan serangan dengan membabatkan goloknya ke tangan Eyang Waskita yang menjepit golok lawannya ini.
"Hih!"
Cepat sekali Eyang Waskita menghentakkan tangannya sambil melepaskan jepitannya pada golok itu. Hingga orangyang memegang golok itu terpental jauh kebelakang. Dan bersamaan de-ngan itu, dia memutar tubuhnya dengan cepat, sambil melepaskan satu tendangan keras menggeledek yang disertai dengan pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai tingkat tinggi. Tepat terarah ke perut penyerangnya.
Namun belum juga tendangan orang tua itu sampai pada sasaran, mendadak saja....
"Hiyaaat...!"
"Bet!"
"Heh..."
Eyang Waskita jadi terperanjat setengah matibegitu tiba-tiba Sutawijaya mengebutkan tangan kanannya dengan cepat sekali. Dan dari telapak tangannya, meluncur beberapa buah benda halus berwarna hitam. Benda-benda itu meluncur bagai kilat menuju laki-laki tua ini. Begitu cepatnya, hingga Eyang Waskita yang sedang melakukan serangan balik tidak sempat lagi menghindar. Dan....
"Crab!"
"Jleb!"
"Akh...!"
"Bruk!"
Seketika tubuh Eyang Waskita jatuh terje-rembab ke tanah, setelah beberapa benda kecil berwarna hitam menembus bagian dadanya. Laki-laki tua berjubah putih itu menggelepar sambil mengerang. Dari mulutnya terlihat darah kental kehitaman mengalir ke luar. Bahkan seluruh pori-pori tubuhnya mengeluarkan cairan merah agak kehitaman.
Sebentar kemudian, orang tua itu meng-geletak kaku tak bergerak-gerak lagi. Darah keluar dari setiap lubang yang ada di tubuhnya. Darah yang berwarna agak kehitaman, menan-dakan kalau benda-benda kecil berwarna hitam yang menembus dadanya itu mengandung racun yang sangat mematikan.
"Ha ha ha ha...!" Sutawijaya tertawa terba-hak-bahak melihat orang tua itu tergeletak tak bernyawa lagi.
Suara tawanya langsung berhenti, begitu melihat lima orang murid Eyang Waskita yang berdiri terpaku melihat gurunya tewas, setelah dadanya tertembus senjata rahasia yang mengandung racun dahsyat dan mematikan itu.
"Bunuh mereka semua!" perintah Sutawijaya lantang.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaaah..!"
Empat orang pengawal pemuda itu langsung berlompatan. Mereka membabatkan golok-go-loknya kearah lima orang murid Eyang Waskita yangtersisa. Seketika itu juga jeritan-jeritan panjang melengking tinggi terdengar, memancarkan hawa kematian dari lima orang itu. Dalam waktu sebentar saja, sudah tidak ada lagi yang tersisa. Mereka tewas dengan darah berhamburanmem-basahi tanah.
"Ha ha ha ha...!" Sutawijaya kembali tertawa terbahak-bahak.
Suara tawanya yang keras menggelegar, di sambut para pengikutnya dengan tawa yang terbahak-bahak pula. Kemudian mereka semua terdiam. Sutawijaya memandangi bangunan besa yang merupakan bangunan padepokan yang di dirikan Eyang Waskita.
"Bakar!" perintah Sutawijaya.
Tanpa diperintah dua kali, empat orang pengikutnya langsung menyalakan obor. Dan melemparkannya ke atap bangunan itu. Api langsung berkobar membakar bangunan padepokan ini. Kembali terdengar suara tawa Sutawijaya yang keras menggelegar. Sementara api semakin membesar menghanguskan bangunan berukuran besar itu.
"Ayo, kita pergi," ajak Sutawijaya.
Sebentar kemudian mereka sudah bergerak meninggalkan padepokan silat itu. Mereka terus bergerak cepat dengan menunggang kuda menuju ke Desa Galagang.
* * *
Siang terus merayap berganti dengan senja. Matahari yang semula bersinar terik, kini terasa begitu lembut sekali. Angin yang berhembus perlahan, menyebarkan bau anyir darah dari per-guruan silat Eyang Waskita. Tampak dari arah timur, terlihat dua orang penunggang kuda menuju ke arah perguruan silat itu.
Seorang pemuda tampan yang menunggang kuda hitam, mengenakan baju rompi berwarna putih. Sebuah gagang pedang berbentuk kepala burung bertengger di pinggangnya. Di sebelah kirinya adalah seorang gadis cantik yang mengenakan baju warna biru ketat. Dia menunggang kuda berkulit putih bersih yang tinggi dan tegap. Mereka begitu terkejut sekali setelah sampai di-depan perguruan silat Eyang Waskita itu. Ter-lebih lagi setelah mengetahui disana banyak bergelimpangan mayat-mayat. Bau anyir darah begitu menyengat, menusuk hidung.
"Hup!"
"Hap!"
Kedua anak muda itu langsung berlompatan turun dari punggung kudanya masing-masing. Dan bergegas melangkah mendekati mayat-mayat yang bergelimpangan itu. Mereka memeriksa mayat-mayat itu satu per satu.
"Kakang, ini Eyang Waskita...!" teriak gadis cantik berbaju biru keras suaranya.
Pemuda tampan yang mengenakan baju rompi putih, cepat melompat menghampiri. Kedua kelopak matanya langsung menyipit, begitu melihat keadaan Eyang Waskita yang menggeletak tak bernyawa lagi. Seluruh tubuhnya bersimbah darah. Tapi hanya luka-luka kecil saja yang terlihat didadanya.
"Racun...," desis pemuda itu setengah menggumam.
"Siapa yang melakukan semua ini, Kakang?" tanya gadis cantik berbaju biru yang berdiri di-sebelah kiri pemuda tampan berbaju rompi putih itu. Seakan pertanyaannya ditujukan pada diri-nya sendiri.
"Siapa orangnya, dia pasti melakukan cara licik," desis pemuda itu bernada geram.
Mereka terdiam dan memandangi mayat-mayat yang bergelimpangan disekitarnya. Tak ada lagi seorangpun yang kelihatan masih hidup. Bau anyir darah begitu terasa sekali menusuk hidung. Terbawa oleh hembusan angin senja yang lembut mengusap kulit. Saat itu, tiba-tiba saja....
"Keparat...!"
"Heh...?"
"Hah...?"
Kedua anak muda itu jadi terkejut, begitu tiba-tiba terdengar suara bentakan keras yang bernada geram. Cepat mereka memutar tubuhnya berbalik. Dan sekitar tiga batang tombak di depan mereka sekarang, sudah berdiri seorang pemuda berwajah cukup tampan, mengenakan baju warna putih yang agak ketat. Sehingga hampir membentuk tubuhnya yang tegap dan berotot.
Namun ketampanannya hampir lenyap dengan raut wajah yang memerah tegang. Kedua bola matanya berapi-api, menatap tajam pada dua orang yang kini berdiri membelakangi jasad Eyang Waskita. Pemuda yang tak lain adalah Jaka itu melangkah perlahan mendekati. Terdengar gerahamnya bergemeletuk menahan? amarah yang meluap, melihat gurunya dan semua saudara-saudara seperguruannya sudah tewas. Bahkan bangunan padepokan ini juga hancur terbakar. Tinggal puing-puing saja yang teronggok hitam mengepulkan asap.
"Iblis, kalian! Hiyaaat...!"
Jaka tidak bisa lagi membendung kemarahan-nya yang meluap bagai gunung hendak meletus memuntahkan laharnya. Tanpa bertanya lagi, dia langsung melompat kesamping menyerang pemuda berbaju rompi putih. Saat itu juga gadis cantik berbaju biru yang berada disebelahnya langsung melompat kesamping. Sedangkan pemuda tampan berbaju rompi putih itu bergegas melompat ke belakang, menghindari serangan Jaka yang begitu cepat bagai kilat.
"Tunggu....!"
"Hiyaaaat...!"
Tapi Jaka tidak mendengarkan cegahan pemuda itu. Dia kembali melompat menyerang, melepaskan pukulan-pukulan keras yang disertai dengan pengerahan tenaga dalam cukup tinggi. Hingga membuat pemuda berbaju rompi putih itu harus berjumpalitan menghindarinya. Gerakan tubuhnya juga begitu indah dan lentur sekali bagai karet. Meliuk-liuk menghindari setiap pukulan yang datang terarah padanya.
"Hup! Yeaaaah...!"
Hingga satu saat, begitu ada kesempatan. Dengan cepat sekali pemuda berbaju rompi putih itu melentingkan tubuhnya ke belakang. Dan saat itu juga dia menghentakkan kakinya dengan cepat sekali, hingga dada Jaka yang lowong tidak bisa lagi terlindungi. Dan...
"Duk!"
"Akh...!" Jaka terpekik tertahan.
Dia langsung terpental kebelakang, begitu menerima tendangan yang cukup keras dari pemuda berbaju rompi putih itu. Meskipun tidak disertai dengan pengerahan tenaga dalam, tapi tendangan itu sudah membuat Jaka terbanting cukup keras ke tanah. Namun dia cepat bisa bangkit berdiri lagi. Dan bersiap hendak melakukan serangan kembali. Tapi pemuda tampan berbaju rompi putih itu sudah lebih cepat mencegah.
"Tunggu...!" sentaknya sambil menghentakkan tangan kanan ke depan. "Kenapa kau me-nyerangku?"
"Phuih! Jangan berlagak kau, iblis keparat! Berapa kau dibayar Sutawijaya untuk membantai padepokan ini?" dengus Jaka masih berang.
"Kau salah paham, Kisanak. Justru kami datang semuanya sudah begini," kata pemuda itu lagi.
"Hmmm...," Jaka menggumam kecil.
Dia mengamati pemuda berwajah tampan yang berdiri sekitar sepuluh langkah didepannya. Kemudian pandangannya beralih pada gadis cantik yang kini sudah berada di sebelah kanan pemuda berbaju rompi putih itu. Dari pakaian dan senjata yang disandang, jelas kalau mereka bukan orang sembarangan.
"Siapa kalian?" tanya Jaka dengan nada suara yang tidak bersahabat.
"Aku Rangga, dan ini Pandan Wangi," sahut pemuda berbaju rompi putih itu memperkenal-kan diri.
Memang dia adalah Rangga yang dikalangan kaum persilatan dikenal dengan julukan Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan gadis cantik berbaju biru yang sejak tadi mendampinginya memang Pandan Wangi. Gadis itu yang dikenal dengan julukan si Kipas Maut. Karena senjata yang sering digunakan didalam pertarungan berupa sebuah kipas baja putih yang berwarna keperakan. Sebuah kipas maut yang sulit dicari tandingannya.
"Benar bukan kalian yang melakukan semua ini?" tanya Jaka ingin memastikan.
Rangga tersenyum dan melangkah menghampiri. Dia berhenti setelah jaraknya tinggal sekitar tiga langkah lagi didepan pemuda dari Desa Galagang itu.
"Bukan," sahut Jaka diiringi dengan senyuman yang lembut penuh persahabatan.
* * *
---[[[| LIMA |]]]---
"Kau tahu siapa pelaku dari semua ini, Jaka?" tanya Pandan Wangi setelah suasana mereda.
"Pasti Sutawijaya," sahut Jaka agak mendengus nada suaranya.
"Siapa itu Sutawijaya?" tanya Rangga ingin tahu.
Kali ini Jaka tidak langsung menjawab. Dipan-danginya Rangga dan Pandan Wangi bergantian. Rasanya memang berat untuk mengatakan per-soalan yang sesungguhnya. Yang sebenarnya adalah persoalan pribadinya sendiri, tapi kini guru dan saudara-saudara seperguruannya telah tewas akibat perbuatannya, membawa lari Sari dari rumahnya.
Di dalam hati, Jaka benar-benar menyesal. Kalau saja dia mau menuruti nasehat Eyang Waskita, tentu hal ini tidak akan terjadi. Tapi se-muanya sudah terlambat. Sutawijaya benar-benar tidak bisa dipandang dengan sebelah mata. Dan semua itu memang sudah ada dalam perhitungan Eyang Waskita. Tapi Jaka tidak pernah mau mempedulikan, walaupun dia sudah diberitahu akibatnya kalau tetap bertekad melaksanakan keinginannya. Dan sekarang semua sudah terjadi. Kini Sari berada di suatu tempat yang hanya dia sendiri yang tahu.
Sementara Rangga dan Pandan Wangi saling melemparkan pandangan. Mereka sama-sama menduga kalau Jaka memiliki persoalan yang tidak kecil. Hingga Eyang Waskita dan semua murid-muridnya tewas, sampai tak ada seorangpun yang tersisa hidup. Tapi mereka tidak mau mendesak. Terlebih lagi melihat Jaka yang tampaknya tidak ingin persoalannya diketahui orang lain.
"Sebaiknya kita urus dulu mereka," kata Rangga mengalihkan perhatian.
"Ya, mereka harus segera dikuburkan. Sebelum hari gelap," sambut Jaka langsung.
Tanpa banyak bicara lagi, mereka segera membuat lubang dan menguburkan mayat-mayat itu satu per satu. Hingga hari benar-benar menjadi gelap, mereka baru selesai menguburkan semua mayat yang ada di padepokan itu. Sementara Jaka masih saja terdiam di depan kuburan Eyang Waskita. Sedangkan Rangga dan Pandan Wangi hanya memandangi saja dari kejauhan. Mereka tidak mau mengusik pemuda itu.
* * *
"Aku yakin ada sesuatu yang disembunyikan Jaka, Kakang," kata Pandan Wangi berbisik pelan. Seperti takut terdengar orang lain. "Kau lihat saja sendiri. Sejak tadi dia berdiri saja di sana."
Rangga hanya diam saja. Seperti tidak men-dengar kata-kata si Kipas Maut itu barusan. Namun matanya tidak berkedip memandang lurus pada Jaka yang masih saja berdiri mematung di samping makam Eyang Waskita. Sedangkan malam sudah merayap cukup larut. Bulanpun sudah berada tepat di atas kepala.
"Sebaiknya kau tanyakan saja padanya, Kakang. Tidak mungkin Eyang Waskita mengirim surat padamu, dan memintamu datang menemui-nya kalau tidak ada persoalan," kata Pandan Wangi lagi.
"Waktunya belum tepat, Pandan," halus sekali Rangga menolak saran si Kipas Maut itu.
Memang benar apa yang dikatakan Pendekar Rajawali Sakti itu barusan. Waktunya memang belum tepat untuk mengajak bicara Jaka saat ini. Pemuda itu tengah dirundung duka yang teramat dalam, dengan kematian Eyang Waskita yang juga gurunya. Hingga kedua pendekar muda dari Karang Setra itu harus menunggu sampai Jaka bisa menghilangkan dukanya.
Namun belum juga Rangga dan Pandan Wangi bisa berbuat sesuatu yang bisa menghibur pemuda itu, mendadak saja...
"Slap!"
"Heh..."!"
"Dia lari, Kakang...!" seru Pandan Wangi sambil menunjuk ke arah kuburan Eyang Waskita.
"Jangan dikejar," kata Rangga cepat mencekal tangan Pandan Wangi yang sudah mau me-ngejar.
Pandan Wangi tidak jadi melompat mengejar. Dia hanya bisa memandangi Pendekar Rajawali Sakti itu dengan sinar mata penuh ketidak-mengertian. Sudah jelas Jaka lari begitu saja dengan kecepatan tinggi. Tapi Rangga malah tidak mau mencegahnya.
"Kenapa kau biarkan saja dia pergi, Kakang?" tanya Pandan Wangi meminta penjelasan.
"Tidak perlu kau kejar, Pandan. Biarkan saja dia menuruti keinginan hatinya," kata Rangga kalem.
"Tapi...."
"Ayo, sebaiknya kita cari rumah penginapan di Desa Galagang," ajak Rangga tidak meng-hiraukan gadis itu.
Pendekar Rajawali Sakti itu langsung saja melangkah pergi, menuju ke Desa Galagang. Sedangkan Pandan Wangi hanya memandangi saja beberapa saat. Dia benar-benar tidak mengerti dengan sikap Rangga yang membiarkan Jaka pergi begitu saja. Sedangkan saat ini mereka begitu memerlukan keterangan dari pemuda itu. Pandan Wangi terpaksa menyusul Rangga yang sudah berjalan cukup jauh meninggalkannya. Sebentar saja dia sudah mensejajarkan langkahnya di samping Pendekar Rajawali Sakti itu. Dan mereka terus berjalan memasuki Desa Galagang tanpa ada yang bicara sedikitpun juga.
*
* *
"Apa itu, Kakang?" tanya Pandan Wangi.
"Hup!"
Rangga tidak menjawab. Dia langsung melompat dengan mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkatan sempurna. Begitu sempurnanya ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Pendekar Rajawali Sakti itu, hingga dalam satu kali lompatan saja dia bisa melewati tiga atap rumah sekaligus. Pandan Wangi pun tidak mau ketinggalan. Dengan cepat sekali dia melesat mengikuti Pendekar Rajawali Sakti itu.
"Berhenti...!"
Bentakan Rangga yang begitu keras dan menggelegar, langsung menghentikan empat orang laki-laki bertubuh kekar, yang tengah menganiaya seorang laki-laki tua. Sedangkan seorang pemuda tampan tampak memeluk pinggang seorang gadis muda yang memberontak mencoba melepaskan diri. Gadis itu langsung berlari menghambur pada laki-laki tua yang menggeletak di tanah sambil merintih kesakitan, begitu pelukan pemuda tampan berpakaian mewah itu jadi longgar karena bentakan Rangga yang begitu keras dan menggelegar tadi.
Saat itu Pandan Wangi sudah sampai di sana. Dia langsung menghampiri Rangga, dan berdiri di sebelah kanannya. Dan tanpa diminta lagi, Pandan Wangi segera menghampiri laki-laki tua yang ditangisi anak gadisnya. Hanya sebentar saja si Kipas Maut itu memeriksa luka-luka di tubuh laki-laki tua itu. Kemudian dia menghampiri Rangga kembali, dan berdiri di sebelah kanannya.
"Bagaimana keadaannya?" tanya? Rangga langsung.
"Hanya luka luar," sahut Pandan Wangi.
"Kau bawa mereka ke tempat yang lebih aman, Pandan," pinta Rangga.
Pandan Wangi mengangguk, dan kembali dia menghampiri laki-laki tua itu. Dibantu dengan anak gadisnya, laki-laki tua yang tidak mengenakan baju itu dipapah Pandan Wangi ke tempat yang lebih aman. Mereka menuju ke beranda belakang sebuah rumah yang kelihatannya sudah reyot. Pandan Wangi merebahkan laki-laki tua itu di atas balai bambu yang hanya beralaskan selembar tikar daun pandan lusuh. Sementara itu empat orang yang menganiaya laki-laki tua itu sudah menghampiri Rangga.
Dan mereka menyingkir sedikit begitu pemuda tampan berpakaian mewah yang tak lain adalah Sutawijaya juga melangkah mendekati Pendekar Rajawali Sakti itu. Kini Rangga berhadapan dengan lima orang yang menatapnya dengan sorot mata sangat tajam penuh amarah.
"Kisanak, siapa kau?" Beraninya kau meng-usikku!" bentak Sutawijaya dingin.
"Aku tidak akan mengganggu kalau kalian tidak menganiaya orang tua yang lemah," tidak kalah dinginnya sambutan Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti itu memang paling tidak suka jika melihat ada orang yang lemah teraniaya. Terlebih lagi penganiayaan itu terjadi di depan matanya. Dia tidak akan begitu saja tinggal diam, berpangku tangan melihatnya. Apa pun alasannya, Rangga tidak pernah menyukai adanya penganiayaannya pada yang lemah.
"Phuih! Apanya dia kau heh...?" dengus Sutawijaya sinis, seraya melirik pada laki-laki tua yang berbaring di balai, didampingi Pandan Wangi dan anak gadisnya.
"Aku memang bukan apa-apanya. Tapi aku tidak akan membiarkan kau dan begundal-begun-dalmu itu menganiaya orang tua itu," tegas Rangga.
"Bedebah...! Mau berlagak didepanku, heh"!"
Rangga jadi berkerut keningnya dengan sikap pemuda congkak ini. Sementara itu empat orang pengawal Sutawijaya sudah mulai bergerak menyebar, hendak mengurung Pendekar Rajawali Sakti ini. Mereka langsung saja mencabut goloknya masing-masing yang bergagang hitam pekat, bagai terbuat dari tanduk kerbau. Golok-golok itu berkilatan tertimpa cahaya bulan yang menggantung di langit.
"Hmmm...."
Rangga mengamati empat orang yang me-main-mainkan goloknya di depan sana. Seakan mereka hendak menakut-nakuti Pendekar Rajawali Sakti ini dengan kilatan cahaya goloknya. Tapi pemuda tampan berbaju rompi putih itu hanya tersenyum saja. Sedikitpun dia tidak ter-pengaruh oleh kilatan cahaya golok yang ber-gerak-gerak membentuk kembangan jurus itu.
"Hajar dia sampai mampus!" perintah Sutawijaya lantang menggelegar.
"Hiyaaaat...!"
"Hiyaaaa...!"
Tanpa menunggu perintah dua kali, empat orang bertubuh tinggi tegap dan berotot kuat itu langsung? berlompatan? menyerang? Pendekar Rajawali Sakti. Namun hanya dengan mengegoskan tubuhnya saja Rangga berhasil menghindar serangan dari empat jurusan itu. Indah sekal gerakan-gerakan yang dilakukan Rangga. Sehingga tidak mudah bagi keempat orang itu untuk mengalahkannya. Bahkan untuk mendesak saja terasa begitu sulit sekali.
Menghadapi empat orang lawan bersenjata golok seperti ini, Rangga hanya menggunakan jurus Sembilan Langkah Ajaib. Sebuah jurus yang memang hanya digunakan untuk menghindari serangan-serangan lawan. Dan bukan meru-pakan jurus menyerang. Tapi memang tidak mudah bagi lawan untuk memecahkan jurus itu.
"Hup! Yeaaaah...!"
Tiba-tiba saja Pendekar Rajawali Sakti me-lesat tinggi ke udara. Begitu cepat sekali hingga sukar sekali diikuti dengan pandangan mata biasa. Tahu-tahu dia sudah menukik begitu cepat sekali bagai kilat. Dan kedua kakinya bergerak sangat cepat terarah langsung ke kepala empat orang itu. Saat itu Rangga mengerahkan jurus. Rajawali Menukik Menyambar Mangsa. Namun belum juga serangan itu sampai pada sasaran, mendadak saja Sutawijaya sudah menghentakkan tangan kanannya ke arah Pendekar Rajawali Sakti itu.
"Hiyaaaa...!"
"Wussss!"
"Utfs!"
*
* *
"Curang...!" dengus Rangga mendesis geram.
Tapi justru Sutawijaya malah tertawa ter-bahak-bahak. Dan tiba-tiba saja dia melompat secepat kilat, lalu berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkatan yang cukup tinggi. Dan pada saat itu juga, terlihat benda-benda hitam yang halus berbentuk jarum, bertebaran dari segala arah, meluruk deras mengancam nyawaPendekar Rajawali Sakti.
"Hup! Hiyaaa...!"
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Rangga cepat-cepat melentingkan tubuhnya ke udara. Lalu berputaran menghindari serangan jarum-jarum beracun itu. Sementara Sutawijaya terus berlarian mengelilingi dengan kecepatan yang begitu tinggi sekali, sambil melontarkan senjata-senjata mautnya itu. Hawa beracun langsung terasa mengelilingi Pendekar Rajawali Sakti, me-nyebar dari jarum-jarum halus berwarna hitam yang menyebar disekitarnya.
Entah berapa ribu jarum-jarum beracun yang ditebarkan Sutawijaya. Tapi belum ada satupun yang berhasil menyentuh tubuh Pendekar Rajawali Sakti itu. Dan ini membuat Sutawijaya jadi geram setengah mati. Dia juga penasaran, karena sudah mengeluarkan jurus mautnya dalam menyebarkan jarum-jarum beracun itu. Tapi tidak juga berhasil melumpuhkan pemuda asing yang belum dikenalnya ini.
"Hap!"
Tiba-tiba saja Sutawijaya melompat ke belakang, dan menghentikan serangannya. Sementara itu Rangga dengan manis sekali menjejakkan kakinya kembali ke tanah, saat merasakan tidak lagi mendapatkan serangan jarum-jarum beracun secara beruntun. Tatapan matanya langsung ber-sorot tajam, tertuju lurus pada kedua bola mata Sutawijaya.
"Hup! Yeaaah...!"
Mendadak Sutawijaya melompat cepat bagai kilat, lalu berlari secepat angin meninggalkan tempat itu. Empat orang pengawalnya langsung berlarian mengikuti dengan mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkatan yang cukup tinggi. Sementara Rangga hanya berdiri tegak memandangi, tanpa bermaksud mengejar sedikitpun juga.
Setelah Sutawijaya dan empat orang pengawalnya tidak terlihat lagi, Pendekar Rajawali Sakti itu baru melangkah menghampiri Pandan Wangi yang masih mengurus laki-laki tua yang tadi dianiaya empat orang pengawal Sutawijaya. Sedangkan anak gadis orang tua itu hanya bisa diam memandangi dengan air mata bercucuran membasahi pipinya.
Rangga berdiri di belakang Pandan Wangi. Pandangan matanya langsung merayapi seluruh tubuh laki-laki tua yang tidak mengenakan baju itu. Celana hitam sebatas lutut yang dikenakan-nya tampak kotor, berlumur debu dan darah. Dari gerakan halus didadanya, bisa menandakan kalau orang tua yang usianya sudah mencapai kepala tujuh itu masih hidup.
"Bagaimana keadaannya?" tanya Rangga halus.
"Tidak terlalu parah. Hanya luka luar saja," sahut Pandan Wangi seraya berpaling menatap wajah tampan Pendekar Rajawali Sakti itu. "Be-sok pagi, mungkin baru bisa sadar dari pingsan-nya. Aku sudah memberikan sedikit pertolongan untuk mengurangi rasa sakitnya saja."
Rangga tersenyum, kemudian dia duduk sebelah anak gadis orang tua itu. Dia menepuk pundaknya dengan lembut, mencoba memberi ketenangan. Sementara malam terus merayap semakin bertambah larut. Rumah-rumah yang ada disekitar rumah ini tidak ada satupun yang menyalakan lampu. Apa lagi membuka pintu. Semua penghuni rumah itu seakan tidak ingin terlibat dengan urusan ini. Dan Rangga tahu kalau dari balik pintu dan jendela rumah-rumah di sekitar-nya, bersembunyi orang-orang yang mengintipnya. Tapi tak ada seorangpun yang keluar.
"Dia ayahmu?" tanya Rangga lembut, pada gadis manis berusia sekitar delapan belas tahun yang duduk disebelahnya.
Gadis itu hanya mengangguk saja, sambil menyusut air matanya.
"Namamu siapa?" tanya Rangga tetap dengan suara yang lembut.
"Arini," sahut gadis itu memperkenalkan diri. "Ayahku biasanya dipanggil Ki Langkap."
"Kenapa orang-orang itu menganiaya ayahmu?" tanya Rangga lagi.
"Mereka menuduh kalau ayah menyem-bunyikan Sari dan melindungi Jaka," sahut Arini dengan suara yang tersendat, diselingi suara isak-nya yang tertahan.
Rangga sedikit melirik pada Pandan Wangi.
Saat itu Pandan Wangi juga tengah menatapnya. Mereka tahu siapa itu Jaka. Tapi mereka tidak tahu persoalan apa yang tengah melanda diri anak muda itu. Dan sekarang Arini menyebut satu nama lagi. Nama yang tidak mereka kenal. Tapi kedua pendekar dari Karang Setra itu sudah menduga kalau semua ini tentu ada hubungannya dengan Jaka. Anak muda menyerang Rangga dengan tiba-tiba karena kesalah pahaman di padepokan yang dipimpin Ki Waskita. Tapi memang sangat disayangkan, Jaka tidak bercerita banyak.
"Jaka itu kakak sepupuku. Dan Sari adalah kekasihnya. Tapi orang tua Sari telah menjodoh-kannya pada Sutawijaya..." kata Arini memberi-tahu dengan suara yang terputus. Tapi nadanya kelihatan sudah lebih tenang.
"Hm, lalu...?" selak Pandan Wangi ingin tahu lebih jauh lagi.
"Jaka membawa lari Sari," sambung Arini.
Saat itu juga Rangga dan Pandan Wangi langsung bisa menangkap semua yang terjadi. Dan mereka juga tahu, kenapa Sutawijaya sampai bisa berbuat sekejam itu. Tentu saja Sutawijaya tidak akan tinggal diam begitu saja. Dan. yang pasti Jaka juga tidak akan rela melepaskan kekasihnya jatuh ke dalam pelukan pemuda lain. Satu per-soalan yang sangat sulit, dan tidak mudah untuk berdiri pada satu pihak. Beberapa kali Rangga dan Pandan Wangi saling melemparkan pandang.
Seakan mereka sama-sama bertanya tentang persoalan itu. Tapi tampaknya kedua pendekar muda itu tidak bisa menentukan sikap saat ini juga. Dan pada akhirnya mereka sama-sama saling mengangkat bahu.
* * *
---[[[| ENAM |]]]---
"Heh..."!"
Rangga langsung terlompat bangun dari tidurnya. Dan saat itu terlihat sebuah bayangan berkelebat begitu cepat sekali bagai kilat, me-nerobos masuk dari pintu yang terdobrak hancur. Dan belum juga Pendekar Rajawali Sakti itu bisa berbuat sesuatu, dia sudah merasakan sebuah benda dingin, tepat pada tenggorokannya. Dan seorang laki-laki tua mengenakan baju dari kulit binatang sudah berdiri tegak di depannya.
Pandan Wangi yang tidur di kamar lain ber-sama Arini juga terkejut. Tapi begitu keluar, mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Di rumah kecil dan reyot itu sudah penuh oleh orang-orang yang menghunus senjata. Dan tiga orang menempelkan ujung senjata di leher Rangga. Di ambang pintu yang sudah hancur, tampak berdiri angkuh Sutawijaya. Dari pintu lain, muncul Ki Langkap. Orang tua itu juga terkejut, karena begitu keluar dari dalam kamar, dua orang langsung menem-pelkan golok di leher. Dan enam orang juga menghunuskan goloknya pada Pandan Wangi dan Arini. Hingga kedua gadis itu benar-benar tidak dapat berbuat sesuatu.
"Sutawijaya.... Sudah aku katakan, aku tidak tahu dimana Jaka dan Sari. Kenapa kau masih saja memaksaku?" desis Ki Langkap ketus.
"Diam kau, Tua Bangka!" bentak Sutawijaya garang.
Ki Langkap langsung terdiam. Sementara Su-tawijaya sudah melangkah menghampiri Rangga yang tidak berdaya dengan ujung golok menem-pel di tenggorokanya. Dan dua orang juga me-nempelkan goloknya dari belakang. Empat orang lagi mengepung dengan golok terhunus. Rangga merasakan keadaannya benar-benar tidak meng-untungkan. Dan dia tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Tapi otaknya terus bekerja mencari jalan untuk melepaskan diri. Namun menyadari keadaan Pandan Wangi, Ki Langkap dan Arini juga tidak jauh berbeda, tidak mungkin bagi Rangga untuk bertindak. Dia harus memikirkan keselamatan mereka juga.
"Sret!"
"Cring!"
Sutawijaya mencabut pedangnya, begitu dekat dengan Rangga. Langsung dia menempelkan ujung pedangnya di tenggorokan Pendekar Rajawali Sakti itu, menggantikan golok yang kini sudah tertarik menjauh. Dan orang yang memegang golokpun menggeser kakinya menyingkir dengan sikap yang hormat walaupun usianya jauh lebih tua dari pemuda kota yang congkak ini.
"Siapa kau sebenarnya" Kenapa kau men-campuri urusanku?" dingin sekali nada suara Sutawijaya.
"Aku Rangga. Hanya kebetulan saja semalam aku lewat, dan melihat kau menganiaya orang tua itu," kalem sekali jawaban Rangga.
"Kau mau jadi pahlawan di desa ini, heh...?" desis Sutawijaya dingin.
"Tidak," sahut Rangga tetap tenang.
"O... lalu apa maumu?"
Rangga tidak langsung menjawab. Sambil ter-senyum, dia menarik kakinya ke belakang dua langkah. Lalu dengan ujung jari tangannya dia. menjentik ujung pedang Sutawijaya yang kini sudah agak longgar dari tenggorokannya. Tapi jentikan ujung jari yang disertai dengan pengerahan tenaga dalam tingkat sempurna itu, membuat pedang Sutawijaya jadi terpental.
"Utfs...!"
Cepat-cepat Sutawijaya memutar pedangnya. Bukan main terkejutnya dia, karena tidak me-nyangka kalau pemuda berbaju rompi putih itu bertindak demikian cepat, tanpa dapat disadari lebih dahulu. Dan belum juga ada yang sempat menyadari tindakan Pendekar Rajawali Sakti itu barusan, mendadak saja pemuda berbaju rompi putih itu sudah melesat cepat bagai kilat.
"Hiyaaa...!"
"Bet!"
Satu pukulan yang keras dan mengandung pengerahan tenaga dalam tingkat sempurna, dilepaskan tepat pada orang yang menghunuskan goloknya ke tubuh Pandan Wangi. Dan orang itu tidak dapat lagi menyadari apa yang terjadi. Hing-ga tahu-tahu dia sudah melayang sambil menjerit panjang dan melengking tinggi.
"Hup! Yeaaah...!"
Mendapat kesempatan yang begitu baik, Pandan Wangi tidak mau menyia-nyiakan begitu saja. Dengan cepat sekali dia memutar tubuhnya sambil melepaskan beberapa kali pukulan keras dan beruntun, disertai dengan pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai tingkatan sangat tinggi sekali.
Pukulan-pukulan yang dilepaskan si Kipas Maut itu langsung menghantam orang-orang yang berada di dekatnya. Dan beberapa orang yang menghunuskan senjatanya ke tubuh Arini. Mereka langsung berpentalan sambil mengeluar-kan jeritan panjang melengking tinggi.
"Hiyaaaa..!"
Sementara itu Rangga sudah melesat begitu cepat sekali bagai kilat. Pendekar Rajawali Sakti itu langsung meluruk deras ke arah Ki Langkap. Mereka yang menghunuskan goloknya ke tubuh laki-laki tua itu, seketika berpentalan menjebol dinding anyaman bambu rumah ini, hingga tembus ke luar begitu terkena pukulan-pukulan keras dan beruntun yang dilepaskan Pendekar Rajawali Sakti itu.
"Hup! Hiyaaaa...!'
"Yeaaaah...!"
Hampir bersamaan, Rangga dan Pandan Wangi berlompatan sambil menyambar Ki Lang-kap dan Arini. Dan begitu cepatnya, hingga Suta wijaya yang didampingi para pengikutnya jadi terpana bengong. Seakan mereka tengah berhadapan dengan dua siluman yang bergerak begitu cepat sekali bagai angin. Kedua pendekar muda dari Karang Setra itu melesat ke luar dari rumah itu dengan menjebol atap sambil membawa Ki Langkap dan Arini.
"Setan keparat! Kejar mereka...!" perintah Sutawijaya dengan kemarahan yang langsung me-muncak.
Empat orang pengawal utama pemuda itu langsung berlompatan mengejar dengan menjebol atap, mengikuti Rangga dan Pandan Wangi. Sedangkan yang lainya bergegas berlompatan keluar dari rumah itu, tanpa menunggu perintah lagi. Sementara Sutawijaya bergegas berlari-lari keluar melalui pintu yang sudah hancur berkeping-keping. Tapi begitu sampai diluar, tidak ada seorangpun yang melihat Rangga dan Pandan Wangi lagi. Kedua pendekar muda itu benar-benar lenyap bagai ditelan bumi dengan membawa Ki Langkap dan anak gadisnya.
"Keparat...!" dengus Sutawijaya menggeram berang.
Semua pengikutnya juga jadi kebingungan. Tidak tahu lagi kemana perginya kedua pendekar muda itu yang membawa Ki Langkap dan anak gadisnya. Sementara Sutawijaya terus mengedar-kan pandangannya berkeliling sambil menyum-pah serapah tidak ada hentinya. Sedangkan Rangga dan Pandan Wangi benar-benar lenyap tak meninggalkan bekas sedikitpun juga. Begitu sempurnanya ilmu meringankan tubuh yang mereka miliki, hingga sulit sekali untuk diikuti dengan pandangan mata biasa. Dan itu sudah membuktikan kalau tingkat kepandaian yang dimiliki kedua pendekar muda itu sangat tinggi sekali, sukar untuk dicari tandingannya.
"Phuih! Cari keparat-keparat itu sampai dapat! Penggal kepala mereka semua...!" perintah Sutawijaya dengan suara yang lantang menggelegar.
Mereka semua yang ada di halaman rumah itu langsung berhamburan ke segala arah, mencari Rangga dan Pandan Wangi yang menghilang entah kemana, membawa Ki Langkap dan anak gadisnya. Sementara Sutawijaya masih tetap berdiri di tengah-tengah halaman rumah Ki Langkap yang tidak begitu besar itu. Dia masih meng-edarkan pandangannya berkeliling. Seakan tidak percaya kalau Rangga dan Pandan Wangi sudahpergi jauh. Pada saat itu, tiba-tiba saja....
"Sutawijaya...."
"Okh...?"
*
* *
"Jaka..." desis Sutawijaya hampir tidak terdengar suaranya.
"Iblis kau, Sutawijaya. Kau berurusan denganku. Kenapa kau bawa-bawa orang lain yang tidak tahu apa-apa...?" terdengar dingin dan lan-tang sekali suara Jaka.
"Akhirnya kau muncul juga, setan keparat!" desis Sutawijaya, langsung diiringi dengan tawa-nya yang keras menggelegar dan terbahak-bahak.
Sedangkan Jaka hanya mendesis kecil dengan geraham bergemeletuk menahan geram. Dia benar-benar sudah muak dengan perbuatan pemuda kota itu. Yang semena-mena memper-lakukan orang lemah, hanya untuk memuaskan napsu dan kehendak hatinya saja. Perlahan Jaka mengayunkan kakinya mendekati Sutawijaya yang masih tertawa terbahak-bahak, dengan sikap meremehkan pemuda desa ini. Sedikitpun dia tidak memandang sebelah mata, walaupun wajah Jaka sudah menegang memerah menahan kemarahan yang sudah memuncak bagai tak ter-tahankan lagi.
"Suiiiit...!" tiba-tiba saja Sutawijaya bersiul nyaring.
Dan belum lagi suara siulan itu menghilang dari pendengaran, mendadak bermunculan orang-orang yang menghunus senjata golok dari balik semak dan pepohonan. Sebentar saja tempat itu sudah kembali terkepung tidak kurang tiga puluh orang yang semuanya menghunus golok di tangan kanan.
"Iblis....!" desis Jaka semakin bertambah geram dengan kelicikan pemuda kota itu.
"Ha ha ha ha...!" Sutawijaya terbahak-bahak, melihat musuh utamanya sudah terkepung, dan tak mungkin bisa lolos lagi. "Habisi monyet busuk itu!"
"Hiyaaaa...!"
"Yeaaaah...!"
Belum juga hilang teriakan perintah Sutawijaya dari pendengaran, orang-orang yang mengepung Jaka sudah berlompatan sambil ber-teriak keras menggetarkan jantung. Kilatan-ki-latan cahaya golok langsung berkelebatan disekitar tubuh pemuda desa itu. Tapi dengan gerakan yang sangat cepat dan gesit sekali, Jaka masih bisa mengelakkan tebasan-tebasan golok yang mengarah ke tubuhnya.
Hap! Yeah...!"
Namun serangan yang datang dari segala arah itu demikian beruntun sekali. Membuat Jaka terpaksa harus berjumpalitan menghindarinya. Dan dia benar-benar tidak diberi kesempatan sedikitpun untuk balas menyerang. Serangan-serangan golok itu terus berkelebatan disekitar tubuhnya dengan cepat dan beruntun.
"Mampus kau! Hih...!"
"Bet!"
"Utfs!"
Jaka cepat memiringkan tubuhnya, ketika sebuah golok melayang deras dari arah kanan. Tapi belum sempat dia menarik tubuhnya tegak kembali, sebuah tendangan yang begitu keras dan menggeledek sudah melayang deras dari arah be-lakang. Dibarengi dengan satu sabetan golok yang datang dari sebelah kirinya. Dan kali ini Jaka benar-benar kelabakan setengah mati.
"Hup!"
Cepat-cepat dia mengegoskan tubuhnya, menghindari tebasan golok dari sebelah kirinya. Tapi dia tidak dapat lagi menghindari tendangan yang datang dari arah belakang. Dan tendangan keras bertenaga dalam cukup tinggi itu tepat menghantam punggungnya dengan telak sekali.
"Dugkh!"
"Akh....!"
Jaka terpelanting dan tersuruk mencium tanah. Saat itu juga dua orang sudah melompat sambil membabatkan goloknya dengan kecepatan yang sangat tinggi sekali ke arah tubuh pemuda itu. Namun dengan sisa kegesitan yang masih ada, Jaka cepat-cepat menggulingkan tubuhnya, menghindari hunjaman dua buah golok yang datang secara bersamaan itu.
"Crab!"
"Jleb!"
"Hap!"
Begitu bisa menghindari babatan golok-golok itu, Jaka cepat-cepat melompat bangkit berdiri. Dan kedua golok itu hanya bisa menghantam tanah yang kosong. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Jaka langsung melepaskan satu tendangan kilat sambil memutar tubuhnya, disertai dengan pengerahan tenaga dalam yang cukup tinggi tingkatannya.
"Hiyaaaa...!"
Begitu cepatnya tendangan berputar yang dilakukan Jaka, sehingga salah seorang dari pe-nyerangnya tadi tidak dapat lagi berkelit menghindarinya. Dan....
"Des!"
"Akh...!"
Orang itu langsung terpental begitu dadanya terkena tendangan keras bertenaga dalam cukup tinggi itu. Sementara Jaka tidak mau lagi membuang-buang kesempatan ini. Begitu cepat sekali dia mencabut pedangnya yang tergantung di pinggang. Dan dengan kecepatan bagai kilat pula di melompat sambil membabatkan pedangnya ke arah salah seorang pengeroyoknya yang berada di sebelah kanan.
"Yeaaaaah...!"
"Wuk!"
"Cras!"
"Aaaaakh...!"
* * *
Begitu cepat sekali tebasan pedang Jaka, se-hingga orang itu tidak dapat lagi menghindar. Dan lehernya hampir buntung terbabat pedang yang tajam berkilatan itu. Hanya sebentar saja orang itu masih mampu berdiri. Kemudian tubuhnya limbung, lalu ambruk menggelepar dengan darah bercucuran deras dari lehernya yang hampir buntung terbabat pedang tadi. Sesaat kemudian dia mengejang, lalu diam kaku tak bernyawa lagi.
"Hap! Hiyaaaa!"
Sambil berteriak keras menggelegar, Jaka kembali melentingkan tubuhnya sambil membabatkan pedangnya ke arah orang-orang yang me-ngeroyoknya ini. Namun kali ini mereka berhasil ?menghindari tebasan pedang pemuda itu. Bahkan beberapa diantaranya berhasil menangkis tebasan pedang Jaka dengan goloknya. Suara denting senjata beradupun langsung terdengar beberapa kali secara beruntun.
"Hiyaaaaa...!"
Saat itu tampak Sutawijaya mengebutkan tangan kanannya ke arah Jaka. Dan dari telapak tangan kanan itu meluncur jarum-jarum halus berwarna hitam dengan deras sekali.
"Setan! Hiyaaa...!"
Jaka yang mengetahui senjata rahasia Sutawijaya, langsung melentingkan tubuhnya ke udara, dan melakukan beberapa kali putaran dengan kecepatan yang tinggi, sambil memutar pedang melindungi dirinya dari serangan jarum-jarum hitam beracun itu. Jarum-jarum hitam beracun itu berpentalan balik terkena putaran pedang Jaka yang begitu cepat bagai kincir tertiup angin.
Lontaran jarum-jarum itu tentu saja membuat orang-orangnya Sutawijaya jadi kalang kabut. Dan mereka segera berlompatan menyelamatkan diri. Namun ada beberapa orang yang terlambat menghindar, hingga tubuh mereka menjadi sasaran empuk dari jarum-jarum hitam beracun itu.
Jeritan-jeritan panjang melengking tinggipun seketika terdengar saling susul dan menyayat. Tampak beberapa tubuh langsung bergelimpangan dan menggelepar terkena jarum-jarum beracun yang berhamburan terkena tangkisan pedang Jaka yang berputar cepat bagai kincir angin itu.
"Hap!"
Sutawijaya yang melihat beberapa orangnya jadi terkena sasaran senjata mautnya itu, langsung menghentikan serangannya. Dan dia cepat-cepat melompat ke belakang sejauh satu batang tombak. Saat itu juga Jaka menjejakkan kakinya kembali di tanah dengan manis sekali. Dan dia berdiri tegak dengan pedang tersilang di depan dada. Sorot matanya begitu tajam sekali, menembus langsung ke bola mata Sutawijaya. Terdengar gerahamnya bergemeletuk menahan kebencian yang amat sangat pada pemuda kota itu. Sementara Sutawijaya seakan tidak percaya kalau Jaka mampu menghalau jarum-jarum beracunnya.
"Suiiiit...!"
Sutawijaya kembali membunyikan siulannya yang nyaring melengking tinggi. Saat itu juga ber-munculan dua puluh orang yang semuanya me-megang tambang kulit berwarna hitam pekat, dengan ujungnya berbandul sebuah bola besi baja berwarna putih keperakan. Mereka langsung berlompatan mengurung Jaka. Sementara mereka yang tadi bertarung dengan pemuda desa itu, segera menyingkir ke luar dari arena pertarungan itu. Sedangkan Sutawijaya tetap berdiri pada tempatnya,?? memperhatikan?? gerakan-gerakan kaki Jaka, mengimbangi gerakan berputar dari orang-orang yang mengepungnya dengan tambang berputar-putar memperdengarkan suara deru angin yang menggetarkan jantung.
"Seraaang...!" seru Sutawijaya memberi perintah dengan suara yang lantang menggelegar.
"Hiyaaaa...!"
"Yeaaaaah...!"
"Wut!"
"Wusss!"
Dua puluh orang itu langsung berlompatan saling menyilang melewati atas kepala Jaka. Dan saat itu juga mereka saling melemparkan tam-bang-tambang kulitnya yang berbandul bola besi baja putih itu. Secara bersamaan pula, mereka menangkap ujung-ujung tambang yang berbandul bola besi baja itu dengan tangkas sekali. Lalu hampir bersamaan mereka meluruk turun dengan posisi yang sudah bergantian.
"Rrrrrt!"
"Heh..."!" Jaka jadi terperanjat setengah mati.
Dan belum juga dia bisa berbuat sesuatu, kedua puluh orang itu sudah berlarian cepat me-mutari tubuhnya. Lalu dengan cepat sekali mereka menyebar sambil menarik ujung tambangnya masing-masing. Sehingga tambang-tambang yang sudah membuat simpul bagai jala itu jadi mengecil. Dan tak pelak lagi, tubuh Jaka langsung terjerat tambang-tambang itu, tanpa dia dapat menyadarinya lebih dahulu.
"Bruk!"
"Ugkh!"
Pemuda desa itu seketika jatuh terguling dengan tubuh terikat tambang yang sudah memben-tuk simpul bagai jala yang sangat kuat itu. Sedangkan dua puluh orang tetap memegangi ujung-ujung tambangnya dengan erat, membuat tambang-tambang itu terus meregang, dan tidak-memberikan kesempatan bagi Jaka untuk bisa melepaskan diri dari jeratan ini.
"Ha ha ha ha...!"
Sutawijaya tertawa terbahak-bahak melihat Jaka menggeliat-geliat, berusaha melepaskan diri dari jeratan tambang-tambang kulit yang sangat cukup kuat ini. Sedangkan pedangnya sudah terpental cukup jauh darinya. Memang tidak mungkin lagi bagi Jaka untuk bisa melepaskan diri. Dan saat dia menyadari itu, tidak lagi mencoba melepaskan diri. Kini dia diam, dan hanya bisa memandang tajam pada Sutawijaya yang kini sudah dekat sekali dengannya.
"Seret dia. Bawa ke rumah Ki Ranta!" perintah Sutawijaya.
Tanpa membantah sedikitpun juga, dua puluh orang yang memegangi tambang kulit itu langsung bergerak menyeret Jaka. Sementara Sutawijaya terus terbahak-bahak sambil mengikuti dari belakang. Dan para pengikutnya segera mengikuti pemuda itu. Sementara Jaka terombang-ambing diseret sepanjang jalan tanah berdebu dan berbatu menuju ke rumah Ki Ranta. Sebentar saja baju yang dikenakannya sudah koyak. Dan kulitnyapun mulai mengelupas mengeluarkan darah, terantuk batu-batu kerikil tajam yang banyak tersebar disepanjang jalan desa ini. Tapi tak ada sedikitpun terdengar suara keluhan dari bibir pemuda itu. Walaupun saat itu dia merasakan seluruh tulangnya bagai remuk terantuk batu-batu kerikil. Sedangkan mereka terus saja menyeretnya tanpa ampun.
Beberapa orang penduduk yang kebetulan berada di luar rumahnya, hanya dapat melihat saja dengan pandangan iba. Tapi tak ada seorangpun yang berani berbuat sesuatu untuk me-nolong Jaka. Karena mereka tahu, siapa pemuda yang berjalan mengikuti dari belakang sambil ter-tawa-tawa itu. Dan semakin dekat ke rumah Ki Ranta, semakin banyak pula orang-orang yang melihatnya. Tapi tak satupun dari mereka yang bertindak. Sedangkan Sutawijaya semakin po-ngah saja, melihat para penduduk desa hanya bisa memandangi tanpa dapat berbuat sesuatu untuk menolong Jaka.
"Gantung dia di sana!" perintah Sutawijaya, setelah sampai di depan rumah Ki Ranta yang cukup luas ini sambil menunjuk ke arah pohon yang cukup besar.
* * *
---[[[| TUJUH |]]]---
Namun Jaka hanya dapat merintih lirih. Dia benar-benar tidak punya daya lagi untuk dapat membebaskan diri dari belenggu ini. Seluruh tenaga yang dimilikinya benar-benar terkuras habis, dengan siksaan yang tidak pernah terbayangkan selama hidupnya. Siang tadi, entah sudah berapa cambukan diterimanya. Sutawijaya benarbenar melampiaskan kemarahannya, karena Jaka tetap bungkam tidak mau memberitahu dimana kini Sari berada. Walaupun dia harus menerimasiksaan yang begitu pedih.
"Tuk!"
Ugkh!" Tiba-tiba Saja Jaka merasakan ada sesuatu yang menghantam pelipisnya. Dan belum lagi dia bisa mengetahui benda apa yang menghantam pelipisnya, kembali dia merasakan hantaman yang serupa secara beruntun pada beberapa bagian tubuhnya yang tertentu. Dan seketika itu juga, Jaka merasakan tubuhnya jadi lemas, benar-benar tidak dapat digerakan lagi. Tapi saat itu juga dia tidak lagi merasakan perih pada luka-lukanya. Seakan tubuhnya tidak mendapat luka sedikitpun juga.
"Jaka...!"
"Eh..."!"
Jaka tersentak kaget ketika tiba-tiba dia mendengar bisikan yang sangat halus sekali, tapi terdengar begitu dekat ditelinganya. Dia mencoba menggerakkan kepalanya. Perlahan kepalanya bisa bergerak ke kiri, lalu kembali bergerak ke kanan. Tapi tak ada seorangpun yaug dilihatnya, kecuali para penjaga yang duduk melingkari api unggun agak jauh darinya.
"Jaka..."
Suara bisikan itu kembali terdengar. Tepat dari sebelah kiri. Jaka kembali berpaling ke kiri. Tapi tetap saja dia tidak melihat ada orang lain didekatnya. Padahal suara bisikan itu demikian jelas sekali terdengar. Suara bisikan yang sangat halus sekali, namun sangat jelas terdengar di telinganya.
"Siapa itu?" tanya Jaka dengan suara yang berbisik perlahan. Tidak ingin didengar para penjaga yang duduk melingkari api unggun.
"Bertahanlah sebentar. Aku akan membebaskanmu," kata suara itu lagi, masih terdengar sa-ngat halus sekali.
Belum juga Jaka membuka suara lagi, tiba-tiba saja terdengar suara seperti benda-benda yang sangat berat berjatuhan. Suara itu datang dari arah api unggun. Dan begitu Jaka memalingkan mukanya, dia jadi terperanjat setengah mati. Karena para penjaga yang tadi duduk me-lingkari api unggun, kini sudah bergelimpangan berlumuran darah tak bernyawa lagi.
Dan belum lagi hilang keterkejutan pemuda itu, kembali dia dikejutkan dengan berdesirnya hembusan angin dingin di tubuhnya. saat itu juga terlihat sebuah bayangan merah berkelebatan sangat cepat sekali memutari tubuh pemuda ini. Tahu-tahu semua ikatan tangan dan kaki Jaka pada tonggak kayu, sudah terlepas semua. Cepat-cepat Jaka menggerakkan tubuhnya. Lalu dia bergegas bangkit berdiri. Tapi baru saja dia melangkah beberapa tindak hendak pergi, men-dadak saja....
"Mau kemana kau, monyet busuk!"
"Oh...?"
Jaka jadi tersentak kaget, begitu mendengar suara bentakan yang sangat keras sekali dari belakang. Namun belum juga dia bisa memutar tubuhnya berbalik, pemuda itu merasakan desiran angin yang halus dari arah belakangnya. Tapi pada saat itu juga....
"Dugkh!"
"Ugkh...!"
"Heh..."!"
Kembali Jaka terkejut, dan cepat-cepat memutar tubuhnya berbalik. Kedua bola matanya jadi terbeliak lebar, begitu melihat Sutawijaya menggeletak di tanah sambil mengerang memegangi kepalan tangannya. Dan tidak jauh di depan pemuda itu, berdiri sesosok tubuh ramping, mengenakan baju berwarna merah menyala yang sangat ketat.
"Hup!"
Dengan gerakan yang sangat indah sekali, Sutawijaya melenting bangkit berdiri. Langsung dia melakukan beberapa gerakan cepat dengan kedua tangannya di depan dada. Dan kakinya menggeser ke belakang beberapa langkah. Sorot matanya terlihat begitu tajam sekali, tertuju lurus ke wajah sosok tubuh ramping berbaju merah menyala yang sangat ketat itu. Sebilah pedang dengan ujung gagangnya berbentuk bunga melati tersampir di pinggangnya yang kecil dan ramping. Sosok tubuh berbaju merah menyala itu tetap berdiri tegak, tak bergeming sedikitpun. Sedangkan tepat di belakangnya Jaka berdiri mematung.
Seakan dia tengah bermimpi saat ini.
"Siapa kau...?" bentak Sutawijaya dengan suara yang terdengar agak bergetar.
"Tidak perlu kau tahu siapa aku, Sutawijaya! Hanya satu yang perlu kau ketahui..." terdengar sangat dingin dan datar sekali nada suara sosok tubuh berbaju merah itu. "Kau tidak pantas lagi ?hidup di Mayapada ini, Sutawijaya. Bersiaplah menerima kematianmu!"
"Keparat...!" desis Sutawijaya jadi geram.
"Sret!"???????
Sutawijaya langsung mencabut pedangnya yang tergantung di pinggang. Tapi baru saja pedang itu tercabut dari warangkanya, mendadak saja...
"Cring!"
"Bet!"
"Heh..."!"
"Trang!"
Bukan main terkejutnya pemuda itu. Karena begitu cepat sekali sosok tubuh berbaju serba merah itu mencabut pedangnya, dan dengan kecepatan bagai kilat pula dia mengebutkan pedang itu ke arah leher Sutawijaya. Namun dengan gerakan yang cepat pula Sutawijaya segera mengebutkan pedangnya, melindungi lehernya dari tebasan pedang itu.
"Hap!"
Bergegas Sutawijaya melompat ke belakang beberapa langkah. Sungguh dia sangat terkejutsekali merasakan tangannya bergetar karena ber-adu pedang tadi. Dan kedua bola matanya jadi terbeliak lebar, saat melihat ujung pedangnya gompal. Namun rasa keterkejutannya langsung lenyap. Dan dia menatap tajam pada sosok tubuh ramping berbaju serba merah itu.
"Setan keparat...! Kubunuh kau! Hiyaaaat...!"
"Bet!"
"Haiiiit...!"
* * *
Hanya dengan sedikit saja mengegoskan tubuhnya, wanita berbaju serba merah yang me-nyelubungi seluruh kepalanya dengan kain merah itu berhasil menghindari tebasan pedang Sutawijaya. Bahkan dengan kecepatan yang begitu tinggi sekali, dia membalas serangan pemuda itu dengan sabetan pedangnya pula.
"Ikh!"
"Tring!"
Namun Sutawijaya masih bisa menangkis serangan balik itu dengan pedangnya, walaupun dia harus terpekik kecil, dan hampir saja pedangnya terpental lepas dari genggaman tangannya. Saat itu juga Sutawijaya menyadari kalau kekuatan tenaga dalam yang dimilikinya masih kalah tinggi dibandingkan lawannya ini. Cepat-cepat dia melompat ke belakang sejauh beberapa langkah.
Tapi baru saja Sutawijaya menjejakkan kakinya kembali di tanah, wanita berbaju serba merah itu sudah melesat cepat bagai kilat, dan langsung melepaskan satu pukulan keras yang disertai dengan pengerahan tenaga dalam yang tinggi sekali. Begitu cepatnya serangan yang dilakukan wanita misterius itu, hingga Sutawijaya tidak sempat lagi berkelit menghindari. Terlebih lagi saat itu keseimbangan tubuhnya memang belum semipurna. Hingga....
"Hiyaaaa!"
"Begkh!"
"Akh...!"
Sutawijaya terpental ke belakang sambil menjerit, begitu dadanya terkena pukulan keras menggeledek yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi dari wanita misterius berbaju merah menyala itu.
"Saat kematianmu sudah tiba, Sutawijaya! Hiyaaat...!"
Bagaikan kilat wanita itu meluruk deras tanpa memberi kesempatan sedikitpun pada Sutawijaya untuk bangkit berdiri kembali. Pedangnya yang berkilatan tajam, diarahkan langsung ke leher pemuda itu. Namun begitu pedang itu terayun hendak memenggal leher Sutawijaya, mendadak saja sebuah bayangan hitam berkelebat sangat cepat sekali memotong arus wanita misterius berbaju merah menyala itu.
"Ikh...!"
Cepat-cepat wanita bertubuh ramping yang mengenakan baju warna merah menyala itu memutar tubuhnya ke belakang, menghindari ter-jangan bayangan hitam. Beberapa kali dia ber-jumpalitan di udara. Kemudian dengan manis sekali dia menjejakkan kakinya kembali di tanah. Dan pada saat matanya menatap ke arah Sutawijaya, tahu-tahu di depan pemuda yang masih terlentang itu sudah berdiri seorang laki-laki tua yang mengenakan baju jubah panjang berwarna hitam pekat. Di tangan kanannya tergenggam sebuah tongkat yang juga berwarna hitam.
"Ki Jarak..." desis wanita itu pelan, hampir tidak terdengar suaranya.
"He he he he...! Tidak perlu kau menutupi wajahmu di depanku, Ritani," ujar laki-laki tua berjubah hitam itu diiringi suara tawanya yang terkekeh serak.
"Heh...?" Bagaimana kau tahu...?" wanita itu tampak terkejut.
"Tidak ada seorangpun yang bisa mengguna-kan jurus Pukulan kelelawar Hitam selain murid Eyang Waskita," sahut Ki Jarak terus diikuti dengan suara tawanya yang terkekeh kering.
Sementara Jaka yang mendengar semua per-cakapan itu jadi terlongong bengong. Dia benarbenar tidak menyangka kalau orang misterius yang selama ini selalu menolongnya ternyata Ritani. Dia tahu kalau gadis itu bukan hanya murid
Eyang Waskita yang juga gurunya. Tapi Ritani adalah putri tunggal Eyang Waskita. Dan selama ini semua orang tahu kalau Ritani sedang pergi mencari bibinya. Dan itu juga atas perintah Eyang Waskita sendiri. Tapi siapa yang akan me-nyangka kalau Ritani ada di desa ini.
Jaka bergegas menghampiri Ritani yang kini sudah membuka kain merah yang menyelubungi kepala dan wajahnya, bersamaan dengan ber-dirinya Sutawijaya. Pemuda itu mengambil tempat di samping sebelah kanan Ki Jarak. Dan semua orang tahu kalau Ki Jarak adalah guru Sutawijaya, setelah pemuda itu mempelajari ilmu-ilmu olah kanuragan dari Eyang Waskita juga. Tapi memang tidak terlalu lama Sutawijaya ber-guru pada Eyang Waskita. Karena dia mendapat-kan guru yang dianggapnya lebih tinggi ilmunya dari Eyang Waskita. Dan memang tingkat kepandaian yang dimiliki Ki Jarak berada dua tingkat di atas Eyang Waskita.
"Bunuh saja mereka berdua, Ki!" dengus Sutawijaya dengan napas memburu menahan berang.
"Kalian dengar permintaan muridku ini..." Sudah lama aku ingin melihat kematian ayahmu, Ritani. Dan ternyata muridku ini sudah melak-sanakannya lebih dulu. Dan sekarang dia memin-taku untuk melenyapkan kalian juga. He he he he... pekerjaan yang sangat mudah," ujar Ki Jarak memandang remeh. ?
"Bet!"
"Awas....!" Seru Ritani.
"Hup! Yeaaaah...!"
"Hap!"
Ritani dan Jaka langsung berlompatan me-nyebar ke samping, begitu Ki Jarak mengebutkan tongkatnya ke depan. Tepat disaat dari ujung tongkat itu meluncur secercah cahaya kuning ke-emasan yang meluruk deras bagai kilat. Tapi cahaya kuning keemasan itu hanya mengenai tempat yang kosong, dan menyambar sebuah pohon beringin hingga hancur berkeping-keping, mem-perdengarkan suara ledakan yang sangat dahsyat menggelegar memekakkan telinga.
"Hiyaaat...!"
Ki Jarak tidak mau memberi kesempatan lagi. Dengan kecepatan yang sangat luar biasa sekali, dia melompat menerjang Ritani yang baru saja menjejakkan kakinya di tanah. Laki-laki tua yang menjadi musuh bebuyutan ayahnya itu langsung melepaskan pukulan-pukulan dahsyat bertenaga dalam tinggi secara beruntun dengan kecepatan yang sangat dahsyat luar biasa.
"Haiiiit...!"
Tapi Ritani memang bukan gadis sembarang-an. Gerakan-gerakannya sungguh indah dan cepat sekali. Tubuhnya meliuk-liuk bagai ular, menghindari serangan beruntun yang dilancar-kan musuh ayahnya ini. Hingga pertarungan tidak dapat dihindarkan lagi. Pertarungan yang sangat cepat dan dahsyat sekali.
Sementara Sutawijaya juga sudah mendesak Jaka. Hingga di halaman depan rumah Ki Ranta menjadi ajang pertarungan, dan membuat tempat itu bagai diamuk puluhan banteng liar. Sebentar saja sudah tidak terhitung lagi, berapa pohon yang tumbang dan hancur terkena pukulan-pukulan dahsyat bertenaga dalam tinggi. Semen-tara debu mengepul membumbung tinggi ke ang-kasa. Teriakan-teriakan pertarungan yang di-iringi denting suara senjata beradu, membuat penduduk Desa Galagang ke luar dari rumahnya. Tapi tak ada seorangpun yang berani mendekat. Apa lagi ikut campur dalam persoalan itu. Mereka hanya bisa menyaksikan dari jarak jauh. Dan dari dalam rumahpun Ki Ranta bersama istrinya ke luar dari dalam rumahnya. Mereka tampak cemas melihat pertarungan dalam tingkat tinggi itu.
*
* *
"Yeaaah...!"
Begitu cepat sekali Ki Jarak melesat ke udara. Dan langsung dia menukik dengan kecepatan tinggi, sambil melepaskan satu pukulan menggeledek yang disertai dengan pengerahan tenaga dalam tinggi. Tepat mengarah ke kepala Ritani.
"Hap!"
Namun dengan gerakan yang sangat manis sekali, Ritani berhasil menghindari serangan itu. Tapi tanpa diduga sama sekali, Ki Jarak memutar tubuhnya di udara dengan kecepatan yang sulit sekali diikuti dengan pandangan mata biasa. Dan tahu-tahu laki-laki tua berjubah hitam itu sudah melepaskan satu tendangan keras menggeledek. Begitu cepatnya serangan susulan yang dilakukan Ki Jarak, sehingga Ritani tidak sempat lagi menghindarinya. Dan....
"Begkh!"
"Akh...!"
Ritani menjerit keras, begitu dadanya terkena tendangan dahsyat bertenaga dalam tinggi yang dilepaskan Ki Jarak. Gadis itu seketika terpental ke belakang tanpa dapat dikuasai lagi ke-seimbangan tubuhnya. Dan baru berhenti setelah menghantam sebuah pohon berukuran cukup besar. "Hoeeeeekh...!"
Darah kental berwarna merah agak kehitaman, langsung muncrat ke luar dari mulut gadis itu. Dia berusaha bangkit berdiri. Tapi tendangan yang mendarat di dadanya, membuat napasnya jadi sesak dan terasa nyeri sekali. Pandangannyapun jadi mengabur berkunang-kunang,
Saat itu Ki Jarak sudah melangkah menghampiri. Ujung tongkatnya yang runcing, tertuju lurus ke arah gadis itu. Dan pandangannyapun tidak berkedip, bersorot tajam mengamati Ritani yang masih berusaha untuk bangkit berdiri, walaupun napasnya semakin sesak. Bahkan seluruh rongga dadanya bagaikan hancur, akibat terkena tendangan dahsyat bertenaga dalam sangat tinggi tadi.
"Bersiaplah menerima kematianmu, Ritani," desis Ki Jarak dingin menggetarkan.
"Ugkh!"
Ritani hanya bisa mengeluh pendek. Dia benar-benar sudah tidak memiliki daya lagi. Bahkan untuk mengangkat tubuhnya saja, terasa sudah tidak mampu lagi.
"Oh, matilah aku...." desah Ritani mengeluh dalam hati.
Sementara itu, di lain tempat, pertarungan antara Sutawijaya dan Jaka masih berlangsung dengan sengit. Dan tampaknya kedua pemuda itu memiliki tingkat kepandaian yang cukup seim-bang. Sehingga pertarungan mereka masih terus berlangsung. Belum ada tanda-tanda sedikitpun kalau pertarungan akan berakhir. Meskipun mereka sudah sama-sama mengeluarkan jurus-jurus andalannya yang cukup dahsyat. Tapi mereka masih terus saling menyerang dengan sengit.
Sedangkan Ki Jarak sendiri melangkah per-lahan-lahan menghampiri Ritani yang kelihatan-nya sudah pasrah menerima kematiannya di tangan laki-laki tua musuh bebuyutan ayahnya ini. Gadis itu sudah tidak mampu lagi berbuat sesuatu.
"Mampus kau, Ritani! Hiyaaat...!"
Sambil berteriak lantang menggelegar, bagaikan kilat Ki Jarak melompat sambil mengebut-kan tongkatnya ke arah leher Ritani. Sedangkan gadis itu hanya bisa terbeliak dengan mulut ter-nganga, tak mampu lagi bergerak untuk menghindari serangan laki-laki tua berjubah hitam itu.
Tapi, tepat ketika ujung tombak yang runcing itu hampir memenggal leher Ritani, mendadak saja....
"Slap!"
"Wus!"
"Tak!"
"Heh...?"
* * *
---[[[| DELAPAN |]]]---
Kedua bola matanya jadi terbeliak lebar, begitu kakinya menjejak tanah sekitar tiga batang tombak jauhnya dari Ritani. Tepat di sebelah gadis cantik berbaju merah menyala yang masih terduduk lemah diantara pecahan pohon itu, berdiri seorang pemuda tampan, mengenakan baju tanpa lengan berwarna putih. Sebuah gagang pedang berbentuk kepala burung, terlihat menyembul dari balik punggungnya. Dia berdiri tegak dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Sorot matanya begitu tajam sekali, tertuju lurus ke bola mata Ki Jarak yang berada sekitar tiga batang tombak di depannya.
"Pendekar Rajawali Sakti..." desis Ki Jarakdengan nada suara seakan tidak percaya dengan penglihatannya.
Saat itu muncul dua orang gadis cantik yang langsung menghampiri pemuda tampan berbaju rompi putih yang ternyata memang Pendekar Rajawali Sakti, yang nama sebenarnya adalah Rangga. Dan tak lama kemudian, datang pula Ki Langkap dan anak gadisnya. Gadis cantik yang mengenakan baju biru ketat dengan sebuah kipas berwarna putih keperakan di depan perutnya, langsung menghampiri Ritani. Dan tanpa berkata sedikitpun juga, dia segera memeriksa keadaan gadis itu. Sedangkan gadis satunya lagi yang tak lain adalah Sari, mengambil tempat di sebelah kanan Pendekar Rajawali Sakti.
Pada saat itu juga, pertarungan antara Jaka dan Sutawijaya seketika terhenti, begitu Sari muncul bersama gadis cantik berbaju biru yang tak lain adalah Pandan Wangi, yang lebih dikenal dengan julukan si Kipas Maut. Jaka yang melihat Sari muncul bergegas melompat menghampiri. Sedangkan Sutawijaya yang juga hendak mendekati gadis itu, jadi menghentikan keinginannya, karena Ki Jarak sudah keburu mencegah dengan merentangkan sebelah tangannya. Pemuda itu pun hanya menggeser kakinya ke sebelah kiri gurunya ini.
"Mau apa kau ke sini, Pendekar Rajawali Sakti?" desis Ki Jarak dingin.
Jelas sekali kalau nada suaranya terdengar tidak menyukai kehadiran Rangga di Desa Galagang ini. Tapi Pendekar Rajawali Sakti itu hanya menatapnya saja dengan sorot mata yang begitu tajam sekali. Dia melangkah mendekati dan baru berhenti setelah jaraknya tinggal sekitar satu batang tombak lagi dari laki-laki tua ber-jubah hitam itu.
"Hanya kebetulan saja aku lewat di desa ini, Ki Jarak. Dan aku tidak tahu kalau kau ada di sini. Hhhh...! Dimana kau tinggal, selalu saja terjadi kekacauan. Aku benar-benar tidak mengerti, apa tujuanmu sebenarnya selalu membuat kekacauan...?" terdengar tenang sekali suara Rangga.
"Itu bukan urusanmu, Pendekar Rajawali Sakti!" bentak Ki Jarak ketus.
"Seharusnya kau tahu, Ki Jarak. Aku tidak pernah menyukai adanya kekacauan. Terlebih lagi kalau terjadi di dalam wilayah kerajaan-kerajaan sahabatku. Dan kau selalu saja muncul hanya untuk membuat keributan," tegas Rangga. "Aku ingin tahu, apa tujuanmu sebenarnya, Ki Jarak?"
Ki Jarak tidak menjawab sedikitpun juga. Hanya gerahamnya saja yang terdengar bergeme-letuk menahan geram. Perlahan kakinya bergerak terayun beberapa langkah. Dan sorot matanya begitu tajam sekali, menembus langsung ke bola mata Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan yang ditatap, membalasnya dengan sinar mata yang tidak kalah tajamnya. Beberapa saat mereka terdiam, dan hanya saling tatap saja dengan sorot mata yang sangat tajam sekali. Saat itu tak ada seorangpun yang mengeluarkan suara. Mereka yang ada di sekitar halaman rumah Ki Ranta itu pandangannya tertuju pada Pendekar Rajawali Sakti dan Ki Jarak yang berdiri saling ber-hadapan, dan bertatapan dengan tajam.
"Hiyaaaat...!"
Tiba-tiba saja Ki Jarak berteriak lantang menggelegar. Dan seketika itu juga dia melompat cepat bagai kilat sambil mengebutkan tongkat ke arah kepala Pendekar Rajawali Sakti.
"Bet!"
"Haiiiit...!"
Namun dengan gerakan yang sangat indah sekali, Rangga berhasil menghindari sabetan tongkat berujung runcing itu. Tapi belum juga Pendekar Rajawali Sakti itu menarik kepalanya tegak kembali, Ki Jarak sudah melancarkan satu tendangan keras yang sangat cepat sekali, tanpa menarik lagi tongkatnya yang tidak mengenai sasaran itu.
"Hih!"
"Hap!"
Rangga segera menarik kakinya ke belakang satu langkah. Dan tendangan Ki Jarak bisa dihin-dari dengan mudah. Dua kali Ki Jarak melakukan serangan dengan cepat. Tapi dengan mudah sekali Rangga berhasil menghindari serangan itu.
Ki Jarak jadi tersentak kaget setengah mati begitu tongkatnya beradu dengan pedang Rajawali Sakti yang memancarkan sinar biru berkilauan menyilaukan mata itu. Cepat-cepat dia melompat mundur beberapa langkah. Dan kedua bola matanya jadi terbeliak lebar, begitu melihat tongkatnya sudah terpenggal buntung jadi dua bagian. Lebih terkejut lagi, karena potongan tongkatnya kini berada di dalam genggaman tangan kiri Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan tangan kanannya tetap memegang pedang yang bersinar biru menyilaukan mata itu.
"Cring!"
Dengan gerakan yang sangat indah sekali, Rangga menyarungkan kembali pedang pusaka-nya ke dalam warangkanya di punggung. Dan seketika itu juga, cahaya terang yang memancar dari pedang itu lenyap. Kini keadaan kembali menjadi gelap. Sedangkan Ki Jarak masih berdiri terpaku, seakan tidak percaya kalau tongkat yang selalu dibanggakannya dengan mudah sekali terpenggal buntung menjadi dua bagian. Hanya dengan satu benturan saja dengan pedang pusaka Pendekar Rajawali Sakti.
"Keparat...!" geram Ki Jarak berang.
"Hih! Yeaaah...!"
Sambil membuang potongan tongkatnya, Ki Jarak menghentakkan kedua tangannya ke depan. Dan seketika itu juga, dari kedua telapak tangannya meluncur segumpal asap hitam ke arah Pendekar Rajawali Sakti.???
"Aji Cakra Buana Sukma! Yeaaaah...!"
Rangga yang mengetahui kalau serangan Ki Jarak kali ini tidak bisa dianggap main-main, langsung saja mengerahkan aji kesaktiannya yang sangat dahsyat, dan belum ada tandingannya sampai saat ini. Begitu dia mendorongkan kedua tangannya ke depan, dari kedua telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti itu meluncur sinar biru yang menyilaukan mata. Hingga tak dapat dihin-darkan lagi, asap hitam beradu tepat di tengah-tengah dengan sinar biru yang memancar dari kedua telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti.
"Glaaar...!"
Suara ledakan dahsyat terdengar menggelegar seketika itu juga. Tampak Ki Jarak terpental ke belakang sambil mengeluarkan suara jeritan yang panjang melengking. Sedangkan sinar biru yang memancar dari kedua telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti, terus meluncur memburu tubuh Ki Jarak.
"Aaaaakh...!"
Jeritan melengking tinggi kembali terdengar begitu tubuh. Ki Jarak terbungkus sinar biru itu. Tampak Ki Jarak menggeliat-geliat terbungkus sinar biru yang semakin banyak memancar dari kedua telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti. Namun tak berapa lama kemudian, tiba-tiba saja terdengar suara ledakan yang sangat dahsyat se-kali, membuat bumi jadi bergetar bagai diguncang gempa. Tampak tubuh Ki Jarak berserakan ?hancur jadi debu.
"Hap!"
Rangga langsung mencabut Aji Cakra Buana ?Sukma, setelah tubuh Ki Jarak benar-benar hancur jadi tepung. Pendekar Rajawali Sakti itu me-lompat ke belakang beberapa langkah.
Sementara Sutawijaya yang melihat gurunya hancur jadi debu, hanya bisa terlongong diam dengan mata terbeliak lebar dan mulut ternga-nga. Belum pernah dia melihat sebuah aji kesak-tian yang begitu dahsyat, menjadikan tubuh la-wannya hancur tak berbentuk lagi. Seluruh tubuhnya jadi bergetar. Keringat sebesar-besar butiran jagung menitik deras membasahi wajahnya. Hatinya langsung bergetar melihat kedigdayaan Pendekar Rajawali Sakti. Perlahan-lahan dia beringsut mundur. Dan begitu memutar tubuhnya berbalik hendak pergi, Jaka sudah melompat cepat menghadang.
"Mau kemana kau keparat!" bentak Jaka langsung menghunuskan pedangnya ke tenggorokan Sutawijaya.
"Okh...?"
Sutawijaya jadi melenguh tersekat. Wajahnya seketika memucat melihat ujung pedang sudah menempel di tenggorokannya. Seluruh tubuhnya bergetaran bagai terserang demam. Di depan matanya, kali ini Jaka bagaikan malaikat maut yang hendak mencabut nyawanya.
"Saat kematianmu sudah tiba, Sutawijaya. Kau tidak pantas lagi hidup di dunia ini," terasa sangat dingin sekali nada suara Jaka.
Sutawijaya tidak dapat lagi berbuat apa-apa. Bahkan untuk mengangkat tangannya saja, dia merasakan sudah tidak mampu lagi. Hanya kedua bola matanya saja yang bergerak ke kanan dan ke kiri. Dia melihat orang-orang yang sejak tadi me-nyaksikan kejadian itu sudah mulai bergerak berdatangan. Sorot mata mereka jelas sekali memancarkan kebencian yang amat sangat pada pemuda ini. Dan Sutawijaya merasa dirinya bagaikan sudah mati saat ini. Seluruh kekuatan dan keangkuhannya seketika lenyap. Hingga yang tersisa sekarang hanya rasa takut menghadapi kematian.
"Kakang...."
Jaka berpaling sedikit saat mendengar suara halus memanggilnya. Sutawijaya juga berpaling. Dan kedua anak muda itu melihat Sari datang menghampiri. Gadis cantik itu mendekati Jaka, dan berdiri di sebelah kanannya. Pandangannya langsung tertuju pada bola mata Sutawijaya yang sudah redup bagai tak memiliki lagi gairah ke-hidupan. Kemudian pandangannya berpindah pada Jaka, lalu pada kedua orang tuanya yang masih tetap berada di depan rumahnya.
"Kakang, aku minta kau jangan mengotori tanganmu dengan darahnya. Biarkan dia pergi," kata Sari memohon.
"Si bangsat keparat ini bukan saja menyusah-kanmu, Sari. Tapi semua orang di desa ini ikut merasakan kebiadabannya," tolak Jaka tegas.
"Dewata pasti akan memberikan hukuman yang setimpal dengan perbuatannya, Kakang. Aku tidak ingin kau mengotori tanganmu dengan darahnya. Biarkan dia pergi," kata Sari lagi, tetap meminta kekasihnya membebaskan Sutawijaya pergi.
"Kau dengar apa katanya, Sutawijaya," dingin sekali nada suara Jaka. "Kalau bukan Sari yang meminta, sudah kupenggal kepalamu."
"Ohhh..." Sutawijaya mendesah panjang.
Mungkin dia merasa lega, karena nyawanya masih bisa terselamatkan. Pandangan matanyalangsung tertuju pada wajah cantik yang selama ini selalu dirindukannya. Tapi Sari malah me-malingkan mukanya dan menatap pada kedua orang tuanya yang masih tetap saja berada di depan rumahnya, tanpa mampu lagi berbuat sesuatu.
"Pergilah kau, dan jangan coba-coba kembali lagi ke sini," usir Jaka agak kasar suaranya.
Tanpa menunggu waktu lagi, Sutawijaya langsung mengambil langkah cepat hendak meninggalkan tempat itu. Sedikitpun dia tidak berpaling ke kanan atau ke kiri. Dia berjalan cepat menghampiri kudanya yang tertambat di pohon kenanga. Dengan tergesa-gesa, pemuda itu melompat naik ke punggung kudanya, langsung menggebahnya hingga kuda itu meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi ke udara. Lalu dengan cepat sekali kuda itu melesat bagai anak panah terlepas dari busurnya.
Kepergian Sutawijaya yang sudah jadi pecun-dang itu, langsung disambut sorak-sorai yang gegap gempita oleh seluruh penduduk Desa Galagang ini. Dan mereka memang tertekan sekali, sejak Sutawijaya berada di desa ini. Tindakan Sutawijaya sudah membuat mereka begitu menderita. Dan kini semuanya sudah berakhir, walaupun Sutawijaya dibiarkan pergi dari desa ini.
"Heh...?" Mana mereka...?" sentak Jaka tiba-tiba.
"Mereka siapa, Kakang?" tanya Sari, juga mengedarkan pandangannya mengikuti kekasihnya itu.
"Mereka.... Pendekar-pendekar itu...." kata Jaka dengan suara terputus.
"Oh..."
Sari baru tersadar. Tapi mereka memang tidak lagi melihat Rangga, Pandan Wangi dan Ritani yang entah pergi sejak kapan. Mereka benar-benar telah pergi entah kemana. Tak ada seorangpun yang mengetahuinya. Bahkan baik Jaka maupun Sari tidak menyadari sedikitpun dengan kepergian pendekar-pendekar muda yang digdaya itu.
"Mereka benar-benar pendekar sejati, Kakang," ujar Sari mendesah perlahan.
"Ya... tapi seharusnya Ritani tidak pergi," sahut Jaka juga mendesah pelan.
"Siapa Ritani?" tanya Sari.
"Putri Eyang Waskita," sahut Jaka pelan.
"Hhhh.... mungkin dia memburu Sutawijaya, karena telah membunuh ayahnya dan menghancurkan padepokannya hingga tak ada seorangpun yang tersisa hidup."
"Oh..." Sari mendesah panjang.
Saat itu terdengar suara jeritan yang sangat panjang melengking dan menyayat dari kejauhan. Tepat dari arah mana Sutawijaya pergi. Jeritan panjang dan melengking itu sangat mengejutkan semua orang yang malam ini jadi berada di luar rumahnya, dan berkumpul di halaman depan ru-mah Ki Ranta yang luas. Dan mereka semua tahu kalau itu suara jeritan Sutawijaya.
"Hhhh...!" Jaka menghembuskan napas panjang.
Dugaannya ternyata langsung terbukti. Ritani tidak mau melepaskan pembunuh ayahnya begitu saja. Dan dia menghabisi Sutawijaya di luar Desa Galagang ini. Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti dan si Kipas Maut sudah pergi entah kemana. Jaka menggamit tangan Sari, dan mengajaknya melangkah menghampiri kedua orang tuanya yang masih menunggu di depan rumahnya. Mereka berjalan berdampingan dengan ayunan langkah yang mantap. Semantap hati mereka untuk menyongsong lembaran hidup baru.
TAMAT
INDEX PENDEKAR RAJAWALI SAKTI | |
Dukun Dari Tibet --oo0oo-- Prahara Mahkota Berdarah |