Life is journey not a destinantion ...

Bunuh Pendekar Rajawali Sakti

INDEX PENDEKAR RAJAWALI SAKTI
Sengketa Tiga Potong Peta --oo0oo-- Tongkat Sihir Dewa Api



RANGGA PATI
Pendekar Rajawali Sakti
Karya: Teguh .S
EP:BUNUH PENDEKAR RAJAWALI SAKTI

Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit



֍֍֍[ SATU ]֎֎֎

Suatu pagi Desa Tandes, para penduduk maupun pendatang kelihatan hilir-mudik Hari ini di setiap sudut desa ini kelihatan ramai. Seperti biasa, saat akhir pekan sekarang ini, digunakan para pedagang un-tuk berjual beli. Tidak hanya dilakukan oleh penduduk desa ini saja, tapi juga dari desa desa di sekitarnya.
Bahkan biasanya dari kerajaan yang lain pun suka berdatangan.
Dan biasanya para pedagang atau pembeli yang berdatangan dari tempat yang jauh, membawa keun-tungan pula bagi pemilik kedai makan serta pemilik rumah penginapan. Sebab biasa-nya, mereka jauh-jauh hari telah menunggu hari pasar ini. Di samping itu, tidak kurang pula yang berdatangan sekadar un-tuk melancong.
Di antara lalu lalang orang yang tengah mengadu nasib, tampak seorang pemuda berbaju rompi putih.
Dengan tenang kudanya dikendalikan sambil meman-dang ke sekeliling tempat. Pemuda berwajah tampan dan berambut panjang ini tidak lain dari Rangga yang di kalangan rimba persilatan dikenal sebagai si Pende-kar Rajawali Sakti. Matanya tidak lepas memandangi seorang laki-laki berusia lanjut berpakaian penuh tambalan. Pada punggung orang tua itu tampak se-buah keranjang berisi penuh kayu bakar. Tubuhnya agak kurus. Rambutnya yang sebagian telah memutih, kelihatan awut-awutan tidak terurus. Wajahnya sese-kali berkerut menahan lelah. Keringat mengucur deras membasahi sekujur tubuhnya.
"Kek, lebih baik istirahat saja dulu," pinta seo-rang gadis belia di sebelah orang tua itu.
"Ah! Bagaimana mungkin bisa istirahat" Kita ha-rus menjual kayu bakar ini secukupnya untuk ditukar beras. Kalau tidak, kita tidak akan makan hari ini," de-sah kakek berpakaian tambalan.
"Tapi, kakek kelihatan lelah sekali," ujar gadis belia yang berpakaian kumal itu dengan wajah tampak khawatir. Orang tua itu menghela napas panjang. Kemu-dian dibetulkannya letak keranjangnya. Namun saat itu juga, tubuhnya tersungkur persis di hadapan kuda tunggangan Rangga yang bernama Dewa Bayu.
"Kakek! Kau tidak apa-apa"!" seru gadis itu cemas. Langsung dia memburu si kakek, setelah meletakkan seikat kayu bakar yang tadi dijinjingnya.
Sementara Rangga melompat turun dari kudanya. Segera dipapahnya orang tua itu.
"Kisanak, kau tidak apa-apa?"
"Oh! Aku..., aku tidak apa-apa," keluh orang tua ini, terduduk lesu dengan napas memburu.
"Ke mana tujuan kalian?" Tanya Rangga pada gadis itu.
"Kami hendak menjual kayu bakar ini. Sebab, persediaan beras di rumah sudah habis."
"Hm," Rangga segera merogoh kantong di balik pinggangnya. Lalu dikeluarkannya beberapa keping uang perak dan segera diangsurkan pada gadis itu.
"Hari ini biarlah kalian tidak usah menjualnya.
Terimalah pemberianku ini. Dan, belikanlah beras untuk keperluan kalian." Gadis itu terdiam seraya memandang Rangga.
Kemudian kepalanya berpaling pada kakeknya.
"Maaf, kami tidak biasa menerima pemberian tanpa imbalan apa pun. Kakek selalu mengajarkan be-gitu," tolak gadis itu, halus.
Sementara orang tua itu kembali berusaha mengangkat keranjang berisi kayu bakar. Namun, kembali kepalanya terduduk lesu. Tenaganya seperti terkuras habis.
"Kisanak, sekarang begini saja. Bukankah kalian hendak menjual kayu bakar ini?" Orang tua itu mengangguk lemah.
"Nah! Terimalah uang ini Biar kubeli kayu bakar kalian." Orang tua itu memandangnya seraya tersenyum kecil.
"Kau hendak membeli kayu bakar kami?" Tanya orang tua itu meyakinkan. Rangga mengangguk.
"Tapi, harganya tidak begitu mahal, Ki-sanak.
Kami tetap tidak bisa menerima kebaikanmu," to-lak kakek itu "Kalau begitu, berapa harga kayu bakar kalian semua?" "Hanya dua setengah kepeng," sebut orang tua itu.
"Nah, terimalah!" ujar Rangga seraya mengu-rangi jumlah uang yang disodorkannya, sehingga se-suai jumlah yang disebutkan orang tua itu.
Keduanya tidak segera menerima pembayaran itu, tapi saling berpandang sejenak. Kemudian tatapan mereka beralih kepada Rangga.
"Ayo, ambillah. Bukankah aku akan membeli kayu bakar kalian" Kenapa kalian ragu" Apakah tidak jadi menjualnya?" Tanya Rangga, sambil tersenyum.
"Kisanak, kulihat kau bukan penduduk sini. Dan melihat pakaianmu yang penuh debu serta kudamu yang kelelahan, tentu kau telah me-lakukan perjala-nan cukup jauh. Dan, pastilah kau seorang pengembara. Lalu, apa gunanya kayu bakar itu untukmu?" Tanya orang tua itu, dengan wajah heran.
Rangga tersenyum.
"Untuk apa kayu bakar ini sebenarnya dibeli orang" Tentu untuk digunakan sebagai pembakar, bukan" Nah, Kisanak. Ternyata kau cukup jeli juga. Aku memang seorang pengembara. Tapi, pengembara yang malas. Sebab bila kemalaman di tengah jalan dan aku membutuhkan api, maka aku malah mencarinya. Makanya, aku membelinya dari orang-orang seperti kalian sebagai persediaan," sahut Pendekar Rajawali Sakti memberi alasan.
Orang tua itu tersenyum. Dan tidak punya kata-kata lagi untuk menolak "Nah, Sarti. Bagaimana menurutmu" Bukankah kita tidak bisa menolaknya?" Tanya orang tua itu.
Gadis yang dipanggil Sarti tersenyum seraya me-nundukkan kepala.
"Itu terserah kakek saja." Setelah membayar harga kayu bakar itu, Rangga menaikkannya ke punggung kuda. Sementara orang tua dan gadis ini berdiri di dekatnya.
"Kisanak, apakah tujuanmu ke desa ini atau ke tempat lain?" Tanya orang tua itu.
"Hm, sebenarnya aku tidak punya tujuan tetap.
Hanya mengikuti langkah kaki saja."
"Kau membawa-bawa pedang. Pastilah seorang pendekar ternama," Rangga tersenyum.
"Pedang ini sekadar melindungi diri dari orang orang yang hendak menganiaya ku, Kisanak. Dan aku sendiri bukanlah seorang pen-dekar ternama," sahut Rangga merendah.
"Namaku, Ki Gandi. Dan ini, cucuku Sarti Bolehkah kami tahu namamu, Nak?"
"Namaku, Rangga."
"Rangga" Hm. Sebuah nama yang bagus. Bila kau tidak punya tujuan dan tidak terburu-buru, sudikah mampir ke gubuk kami" Aku telah terbiasa meng-hormati orang-orang yang berbuat baik padaku."
"Eh, Aku."
"Ayolah, Kakang Rangga. Kami akan sangat dihormati kalau kau sudi mampir sekadar melepaskan dahaga," ajak Sarti, sedikit mendesak.
Rangga berpikir sejenak.
"Rumah kami tidak jauh dari sini," lanjut gadis itu.
"Baiklah."
"Terima kasih, Kakang Rangga. Dan kalau tidak keberatan, biarlah Kakek dan Kakang pergi dahulu.
Maka, aku akan membeli beras lebih dahulu," kata ga-dis itu tanpa meminta persetujuan si pemuda dan te-rus berlalu ke pasar terdekat.
"Mari, Rangga!" ajak Ki Gandi.
Pendekar Rajawali Sakti mengikuti langkah Ki Gandi seraya membimbing kudanya.

* * * * *



Apa yang dikatakan Ki Gandi memang benar.
Rumah mereka tidak jauh dari desa itu. Rangga terse-nyum dan dalam hari sedikit merasa kasihan melihat kehidupan mereka. Apa yang dikatakan orang tua itu sebagai gubuk, ternyata bukan-lah ucapan merendah belaka. Sebab apa Kenyataannya, tempat tinggal mereka demikian sederhana. Beberapa bagian dinding kamar kelihatan bolong bolong. Begitu juga bagian atapnya. Sementara perabotan di dalam-nya pun amat memprihatinkan. Gubuk terlalu kecil ini hanya memiliki dua buah dipan reot, serta sebuah le-mari kayu berukuran kecil yang sudah keropos. Ba-gian belakang terlihat dapur yang amat sederhana. Be-gitu juga peralatan memasaknya.
"Beginilah keadaan kami. Harap maklum ada-nya. Silakan duduk," kata orang tua itu, seraya menga-jak Rangga duduk di dipan.
"Apakah kalian hanya tinggal berdua?" Tanya Rangga.
"Orang tua Sarti telah meninggal dunia sejak dia berusia setahun. Sejak itu, akulah yang merawatnya sampai sekarang," jelas Ki Gandi seraya menyediakan dua cangkir minuman pada pemuda itu.
"Silakan diminum, Rangga. Apa adanya sekedar pelepas dahaga. Maaf, kami tidak bisa menyediakan makanan ala kadarnya."
"Ah, tidak apa." Rangga meraih segelas cangkir yang disodorkan kepadanya, lalu menenggaknya hingga tinggal seten-gah.
Ki Gandi tersenyum.
"Bagaimana" Segar, bukan?"
"Ah! Setelah melakukan perjalanan panjang, ten-tu saja amat menyegarkan meski hanya men-dapat air putih." "Nah! Untuk air, kami tidak kekurangan. Kau bo-leh tambah lagi," kata orang tua itu, langsung mengisi cangkir Rangga sampai penuh.
"Oh, ya. Rangga, aku hendak ke kamarku dulu. Aku ingin istirahat. Kau isti-rahatlah dulu di sini, sekalian menunggu Sarti dari pa-sar."
"Silakan, Ki," sahut Rangga. Ki Gandi beranjak dari dipan. Dengan langkah perlahan, dia memasuki kamarnya. Sementara, Rangga melepas pedangnya, dan mulai merebahkan diri. Entah kenapa, begitu tu-buhnya rebah, Rangga merasakan matanya mengan-tuk sekali. Dan samar-samar, hidungnya mulai men-gendus bau wewangian bunga-bungaan. Belum sempat Rangga menduga apa yang membuat kepala dan tu-buhnya terasa berat, tahu-tahu dia sudah tak ingat apa-apa lagi. Entah tertidur entah pingsan.
?

* * * * *



? "Bagaimana keadaannya?" tanya seorang gadis cantik, begitu memasuki gubuk sangat sederhana mi-lik Ki Gandi.
"Dia terlelap seperti bayi kekenyangan. Ha ha ha...! Tidak ada seorang pun di dunia ini yang mampu bertahan dari sirep 'Pelumpuh Sukma'. Apa lagi terha-dap seorang bocah bau kencur yang menamakan diri Pendekar Rajawali Sakti ini! Hua ha ha...!" kata orang tua yang tak lain Ki Gandi tertawa kegirangan.
"Lalu kapan dia akan melaksanakan tugas-nya?" Tanya gadis itu.
"He he he...! Sabarlah, Sarti. Dia harus ku isi du-lu dengan berbagai macam perintah. Sehingga, dia mengerti apa yang akan dikerjakannya," jelas Ki Gandi.
"Apakah yakin berhasil?" Tanya gadis yang tak lain Sarti itu lagi.
"He" Kau meragukan kemampuanku"!" Bola ma-ta orang tua itu mendelik garang. Sarti tersenyum.
"Apakah ada orang lain yang menyamai keheba-tan si Tongkat Sihir Dewa Api?" kata Sarti, seperti ber-tanya pada diri sendiri.
"Nah, bagus! Sekarang bawa dia ke tempat kita!"
"Baik, Ki!" Sarti segera mengangkat sosok pemuda yang memang Rangga. Dalam keadaan tak sadarkan diri se-telah terkena aji sirep 'Pelumpuh Sukma', pemuda itu dibawa ke belakang gubuk ini. Dan disana telah me-nunggu sebuah kereta kuda. Sarti segera memasukkan Pendekar Raja-wali Sakti ke dalam kereta kuda itu.
Sementara Ki Gandi yang ternyata berjuluk Tongkat Sihir Dewa Api berusaha menaiki kuda Rang-ga. Namun Dewa Bayu meringkik keras. Ke-dua kaki depannya diangkat tinggi-tinggi. Sedangkan kaki bela-kangnya menendang-nendang orang tua itu, ketika mencoba memaksa.
"Kuda keparat!" maki Tongkat Sihir Dewa Api ge-ram.
"Lebih baik jangan dipaksa, Ki. Kita ikat saja dia di belakang kereta. Dengan mengendus bau majikan-nya, dia tidak akan berontak," kata Sarti memberi usul.
"Hm, mungkin kau benar. Kadang-kadang hewan lebih pintar dan waspada ketimbang majikannya," sa-hut orang tua itu seraya mengikat tali kekang hewan itu di belakang kereta kuda. Apa yang dikatakan gadis itu memang benar. Kuda hitam itu kini tidak berontak lagi, dan menurut saja mengikuti ketika kereta kuda di depannya mulai bergerak.
?

* * * * *



? Entah berapa lamanya Pendekar Rajawali Sakti terbaring. Namun ketika terjaga, kepalanya masih te-rasa sakit bukan main. Tubuhnya masih lemah seperti tidak bertulang.
"Oh.... Di mana aku?" keluh Rangga tertahan se-raya memandang ke sekeliling.
Sekeliling ruangan itu gelap, seperti berkabut Rangga duduk bersila ketika pandangan-nya terbentur sepasang cahaya kecil yang bersilau tajam, laksana mata seekor kucing di kegelapan.
"Si..., siapa kau?" Tanya Rangga.
"Aku adalah majikanmu," sahut sosok yang me-miliki mata berkilatan itu.
"Majikanku?" Tanya Rangga lagi, tercenung. Pan-dangan matanya seperti tidak ingin berpaling.
"Tahukah kau, siapa dirimu?"
"Diriku?" Wajah pemuda itu kembali tampak bingung.
"Namamu Rangga. Dan, julukanmu Pendekar Ra-jawali Sakti," kata sosok itu.
"Rangga" Pendekar Rajawali Sakti...?"
"Ya. Tahukah kau, siapa sebenarnya hal yang le-bih penting?" Kembali terdengar orang itu bertanya. Nada sua-ranya lirih, mendayu. Terasa datar tanpa tekanan, ser-ta bergaung-gaung di dalam ruangan ini.
Pendekar Rajawali Sakti terdiam memperhatikan dengan wajah bingung. Dan memang, sejak terkena aji sirep 'Pelumpuh Sukma' Rangga seperti kehilangan ke-sadaran. Bahkan dia tidak tahu, siapa dirinya yang se-benarnya.
"Kau adalah budakku!"
"Budakmu?"
"Ya. Dan sebagai seorang budak, kau wajib men-gikuti segala perintahku!" tandas sosok itu, penuh te-kanan.
"Begitukah?"
"Ya. Dan kau wajib menghormatiku. Maka, beri-lah hormat pada majikanmu!" perintah suara itu. Kali ini nadanya terdengar agak keras.
Pemuda itu bangkit berdiri, kemudian menundukkan tubuhnya.
"Ha ha ha...! Bagus! Kini, siapkah kau menerima perintah-perintahku?"
"Perintah apakah itu?"
"Kau harus membunuh orang-orang yang kuin-ginkan."
"Membunuh" Siapa yang harus kubunuh?" Sosok itu bangkit dari duduknya. Kemudian ber-jalan ke satu ruangan.
"Ikuti aku!" ujar Tongkat Sihir Dewa Api.
Rangga mengikuti dengan patuh.
Ruangan yang mereka masuki tidak terlalu be-sar. Dan di dalamnya tidak terdapat apa-apa, selain kumpulan patung manusia yang ter-buat dari kayu.
"Tahukah kau, patung-patung siapa semua ini?" Pemuda itu memperhatikan dengan seksama.
Keningnya berkerut berusaha mengenali. Kemudian, kepalanya menggeleng lemah.
"Bagus! Perhatikan patung yang berada di se-belah kiri. Nah, orang ini yang pertama harus kau le-nyapkan."
"Orang ini" Di mana aku bisa menemuinya?" tunjuk Rangga meyakinkan.
"Kau nanti akan ditemani seorang kawanmu."
"Siapa?"
"Nanti kau akan mengenalinya," kata Tongkat Si-hir Dewa Api seraya bertepuk tangan sekali.
Tak lama masuk seorang gadis belia berwajah cantik memakai baju merah muda. Rambutnya yang panjang, dikuncir agak ke atas. Dan di punggungnya tersandang sebilah pedang.
Rangga memperhatikan gadis itu dengan seksa-ma. Sepertinya, dia mengenalnya. Namun, tidak tahu entah di mana.
"Namanya Sarti. Dia yang akan menemanimu dan memberitahukan, apa yang harus kau laku-kan Kau pun harus tunduk pada perintahnya!"
"Sarti?"
"Sarti! Katakan padanya, bahwa dia harus patuh pada perintahmu!" Gadis yang memang Sarti itu mengulurkan tan-gan seraya tersenyum memandang Rangga. Keti-ka berjabatan tangan, sepasang matanya seperti menghu-jam dalam ke sanubari pemuda ini.
"Rangga. Tahukah bahwa kau harus patuh pa-daku" Ingat! Kau harus patuh pada segala perintah-ku!" "
"Aku harus patuh pada perintahmu." Pendekar Rajawali Sakti mengulang kata-kata Sarti.
"Bagus, Rangga! Kau cepat mengerti dengan se-gala perintah majikanmu. Ha ha ha...!" timpal Tongkat Sihir Dewa Api seraya tertawa lebar.
Rangga hanya memandang sayu pada Tongkat Sihir Dewa Api dan Sarti secara bergantian.
"Nah, kau ingat baik-baik wajah semua patung yang ada dalam ruangan ini. Perhatikan baik-baik! Me-reka semua harus mati di tangan-mu!" tunjuk Ki Gandi alias Tongkat Sihir Dewa Api.
Rangga memperhatikan seksama. Lalu, dima-sukkannya wajah patung-patung itu ke dalam inga-tannya.
"Di mana mereka harus kutemui?"
"Sarti akan memberitahukannya padamu."
"Kenapa mereka harus kubunuh?"
"Kalau kau tidak membunuh mereka, maka kau sendiri yang akan dibunuh."
"Mereka hendak membunuhku?" Tanya pemuda itu, dengan wajah bodoh.
"Betul. Maka kau harus membunuh mereka ter-lebih dulu!" Pemuda itu mengangguk.
"Dan ingat lagi." Rangga mengalihkan pandang dan memandang Tongkat Sihir Dewa Api.
"Siapa pun yang coba menghalangi niatmu, maka mereka adalah musuhmu!"
"Musuhku?"
"Ya. Berarti mereka menginginkan kematian-mu!"

* * * * *



֍֍֍[ 2 ]֎֎֎

"Hyaaat!" Sebuah suara seperti suatu pertarungan, terden-gar menggelegar membelah angkasa yang masih tertu-tup kabut di pagi yang indah ini. Teriakan itu datang-nya dari seorang pemuda bertubuh tegap. Setelah ber-diri berhadapan beberapa saat, tubuhnya mencelat ke arah laki-laki tua dengan ikat kepala warna merah.
Kepalan tangan kanannya menyodok ke arah dada kiri orang tua berambut pendek yang telah memutih itu.
"Hup!" Namun, orang tua itu cepat menekuk pergelan-gan tangan kirinya untuk menangkis. Dan ketika kepa-lan tangan kiri pemuda itu hendak menghantam mu-ka, tangan kanannya segera menangkis.
Plak! Bersamaan dengan itu, kaki kanan orang tua itu terangkat dengan tubuh sedikit membungkuk. Keliha-tannya, dia hendak menahan tendangan yang dilancarkan pemuda lawannya. Tapi mendadak saja, jurus-nya dirubah. Bahkan cepat sekali sikut tangan kanan-nya bergeser sedikit ke bawah menghantam dada pe-muda itu.
Duk! "Akh!" Pemuda itu mengeluh tertahan. Tubuhnya kon-tan terhuyung-huyung beberapa langkah ke belakang sambil mendekap dadanya yang terasa nyeri akibat terhantam sodokan sikut.
"Awasss!" teriak orang tua itu.
Belum sempat pemuda itu bersiaga, tiba-tiba orang tua itu cepat berputar. Bahkan langsung mengi-rimkan satu tendangan keras yang tertuju ke ping-gang.
Begkh! "Ugkh!" Tubuh pemuda itu terjerembab mencium tanah, dan langsung mengeluh kesakitan.
"Nah! Itulah akibatnya kalau tidak waspada," ujar orang tua itu sambil memandangi lawannya diser-tai senyum-senyum kecil.
Rupanya, mereka bukannya bertarung, tapi se-kadar berlatih di sebuah halaman padepokan. Tampak mengelilingi mereka beberapa murid yang nantinya akan mendapat giliran.
"Aduh...! Pinggangku sakit sekali. Eyang terlalu keras menendang? ku," keluh pemuda itu berusaha bangkit sambil bersungut-sungut.
"Bila musuh yang sesungguhnya, tentu tak akan membiarkan mu dalam keadaan begitu! Kau akan se-gera dihabisinya, Wongso! Dan tentu saja, pukulan serta hantamannya lebih keras daripada yang kulaku-kan tadi," tandas orang tua itu.
"Tapi, Eyang kan bisa memukul perlahan-lahan," keluh pemuda yang dipanggil Wongso.
"Sudah! Sudah...! Aku tidak mau dengar alasan-mu. Ayo, ambil golokmu! Jangan membuat malu Pade-pokan Mega Mendung, Wongso! Aku, Pindih Daksa, tak suka ditertawakan padepokan-padepokan lain, hanya karena nyalimu sekeras tempe!"
"Eh, golok" Golok, Eyang...?" Tanya pemuda itu sedikit takut.
"Iya! Apa telingamu tuli, he"!" hardik orang tua bernama Pindih Daksa, Ketua Padepokan Mega Men-dung ini.
"Eh! Ti..., tidak, Eyang!" sahut Wongso, tergagap.
"Nah! Tunggu apa lagi" Ayo, lekas ambil!"
"Ba..., baik, Eyang!" sahut Wongso seraya me-nerima sebilah golok yang diangsurkan se-orang murid lain. Lalu dia kembali berhadapan dengan orang tua itu dengan wajah takut-takut.
"Kenapa kau, Wongso"!" Tanya Eyang Pindih Daksa.
"Eh! Tidak apa-apa, Eyang."
"Kalau begitu, berdiri yang tegak dan mantap.
Lalu, buat kuda-kuda kokoh. Baru setelah itu, serang aku dengan senjatamu!" perintah si orang tua.
Wongso menuruti apa yang dikatakan orang tua itu, meski hatinya amat takut dan sedikit ngeri.
Namun baru saja Wongso membuat kuda-kuda, seorang murid yang bertugas menjaga pintu gerbang datang memberitahukan pada Eyang Pindih Daksa.
Dia memberitahu kalau ada dua orang tamu menung-gu di depan pintu gerbang.
Eyang Pindih Daksa segera berpaling. Dan tam-paklah seorang pemuda tampan berbaju rompi putih dan seorang gadis berbaju merah muda. Mereka kini mendatangi orang tua itu dari arah pintu gerbang. Ke-mudian mereka berhenti di hadapannya pada jarak li-ma langkah.
"Adakah sesuatu yang bisa kubantu pada ka-lian?" Tanya Eyang Pindih Daksa dengan suara halus sambil tersenyum kecil.
?

* * * * *



? "Kaukah yang bernama Pindih Daksa, Ketua Pa-depokan Mega Mendung ini?" Tanya gadis merah jam-bu itu meyakinkan.
"Betul, akulah orangnya. Siapakah kalian ber-dua" Dan, ada keperluan apa mencariku?" sahut Eyang Pindih Daksa balik bertanya dengan nada ha-lus.
Sementara murid-murid Padepokan Mega Men-dung sejak tadi sudah memperlihatkan sikap tidak se-nangnya. Karena, sikap gadis itu terlihat congkak dan menganggap rendah. Apalagi ketika menyebutkan na-ma guru mereka begitu saja. Padahal melihat wajah-nya, usia gadis itu masih amat belia. Sekitar enam atau tujuh belas tahun.
Gadis itu tersenyum sinis.
"Ingatkah peristiwa pada sebelas tahun lalu di Lembah Panca Satya?" Tanya gadis itu.
"Hm.... Bagaimana mungkin aku melupakan pe-ristiwa itu" Tapi, apa hubungan kalian dengan Ki Netra Buana?" Tanya Eyang Pindih Daksa mulai sedikit mengerti tujuan sepasang anak muda itu ke sini.
"Kedatangan kami menagih kekalahan Ki Netra Buana dengan kepalamu!" Desis gadis itu sinis tanpa basa-basi lagi.
Mendengar itu Eyang Pindih Daksa tersenyum.
"Sudah kuduga. Tapi kenapa bukan dia sendiri yang datang" Hm.... Orang itu memang tidak pernah insaf dan sadar atas perbuatan jahat-nya. Kini, apa la-gi yang akan direncanakannya" Apakah dengan mengi-rim kalian maka persoalan-nya akan selesai?"
"Tidak usah banyak mulut! Lebih baik, bersiap-lah menghadapi kematianmu!" Mendengar kata-kata gadis ini, semua murid Eyang Pindih Daksa segera bersiaga, mengepung ke-dua orang itu dengan wajah tidak senang.
Eyang Pindih Daksa mengangkat sebelah tangan, sebagai isyarat agar muridnya tidak ke-buru nafsu dan bertindak ceroboh. Dipandangi-nya kedua orang muda itu sambil tersenyum dan berusaha bersikap tenang.
"Nisanak dan Kisanak, lebih baik kalian kembali.
Dan, katakan pada Ki Netra Buana, segala niat buruk-nya harap segera dihentikan. Kalau tidak, maka semua tokoh persilatan yang dulu memberi pelajaran pa-danya, tidak akan memaafkannya lagi!"
"Hi hi hi...! Kau kira semudah itu, he"! Mulai hari ini nasib kalian telah ditentukan. Dan, kaulah orang pertama yang akan mendapat kehormatan untuk di-pancung. Kau lihat, siapa pemuda di sampingku ini" Dia telah berpihak pada Ki Netra Buana. Bahkan siap mengorbankan nyawa untuk mencabut nyawa kalian semua." "Eyang! Untuk apa ditunda-tunda lagi" Jelas ke-dua orang ini ingin mengacau. Serahkan saja pada kami, biar mereka tahu adat!" Desis salah seorang mu-rid Eyang Pindih Daksa dengan amarah seperti tidak bisa ditahan lagi.
"Sabarlah, Darmaji. Kita harus memberi kesem-patan pada mereka berdua untuk menyadari kekeli-ruannya," ujar Eyang Pindih Daksa.
"Hei, Orang Tua! Tidak ada gunanya berharap seperti itu. Lebih baik, serahkan kepalamu. Dan kami akan mengampuni semua jiwa murid-muridmu!"
"Nisanak! Kenapa kau begitu terburu nafsu" Di antara kita tidak ada persoalan apa-apa, bukan" Ka-laupun kau murid atau cucunya, maka harus mengerti dulu duduk persoalannya sebelum bertindak. Sadar-kah, siapa yang kau bela itu?"
"Tidak usah mencoba menerangkan karena tidak ada gunanya sama sekali!" sentak gadis itu kemudian berpaling pada pemuda di sebelahnya.
"Rangga! Orang ini bagianmu! Dia bukan saja musuh majikanmu, tapi juga musuhmu. Kau lihat di sekeliling mu" Mereka siap akan membunuh kita. Dan kalau tidak mendahu-lui, maka kita akan binasa di tangan mereka." Mendengar kata-kata gadis itu maka wajah pe-muda yang tak lain Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti langsung berubah garang. Matanya memandang tajam pada Eyang Pindih Daksa. Lalu tanpa berkata apa-apa lagi, dia melompat menyerang. Sungguh suatu tindakan aneh, di mana seharusnya Pendekar Rajawali Sakti adalah pendekar berjiwa bersih kini seperti terse-limuti hawa membunuh.
"Yeaaa!"
"He, sial!" Eyang Pindih Daksa mengumpat kesal seraya menghindar dari serangan Rangga. Tapi gerakan pe-muda itu cepat sekali. Sehingga, membuat Ketua Pa-depokan Mega Mendung terkesiap. Dan tiba-tiba saja, sabetan kaki Pendekar Rajawali Sakti menyambar ke arah pinggang. Eyang Pindih Daksa mencelat ke atas. Namun pemuda itu cepat mengejar. Dan meski orang tua itu berjumpalitan ke belakang, Rangga terus mencecarnya. Eyang Pindih Daksa berusaha menangkis kepa-lan kiri Rangga.
Plak! Namun tiba-tiba saja, tendangan kaki kanan Pendekar Rajawali Sakti menghantam ke dada tanpa diduganya sama sekali. Begitu cepat tendangan Pen-dekar Rajawali Sakti, sehingga Eyang Pindih Daksa tak mampu menghindarinya. Dan....
Begkh! "Aaakh...!" Orang tua itu terhuyung-huyung disertai keluh kesakitan.
"Eyaaang!" Beberapa murid Padepokan Mega Mendung lang-sung menghampiri dengan wajah cemas.
Sementara Pendekar Rajawali Sakti tidak mem-pedulikan keadaan lawan yang tubuhnya sudah berke-lebat melepaskan serangan.
"Hiyaaa!"
"Kurang ajar!" Tiga orang murid padepokan ini langsung meng-geram. Mereka bermaksud memapaki serangan pemu-da itu sekaligus menghajarnya.
Melihat tiga lawan menyerang, Rangga mengalih-kan perhatian. Sambil sedikit membungkuk untuk menghindari serangan, tubuhnya berputar. Dan tiba-tiba saja kepalan dan tendangannya menghantam keti-ga lawan dengan telak.
Plak! Duk! "Aaa!" Murid-murid Eyang Pindih Daksa kontan meme-kik setinggi langit. Tubuh mereka terjungkal disertai muntahan darah segar.
"Astaga! Eyang! Mereka tewas dengan dada re-muk!" seru seorang murid ketika melihat keadaan keti-ga kawannya.
Eyang Pindih Daksa buru-buru menghampiri.
Dan dia segera memeriksa ketiga muridnya yang tewas dengan keadaan yang menyedihkan. Perlahan-lahan tubuhnya bangkit dan memandang kedua anak muda itu dengan wajah kelam.
Sementara, seluruh murid Padepokan Mega Mendung telah mencabut senjata masing-masing dan mengurung keduanya dengan ketat. Wajah-wajah me-reka penuh amarah. Sikap mereka bagai air bah yang siap menjebol bendungan, bila sekali saja guru pade-pokan ini memberi perintah.
"Kalian memang sama kejamnya dengan Ki Netra Buana. Dan aku tidak bisa membiarkannya begitu sa-ja...!" desis Ketua Padepokan Mega Mendung itu.

* * * * *



"Hi hi hi...! Tua bangka tidak tahu malu. Kau ki-ra dirimu siapa berani bicara seperti itu" Tidak ta-hukah kau, siapa pemuda yang tengah berhadapan denganmu?" ejek gadis itu dengan tawa sinis.
"Huh! Meski kalian dedemit sekalipun, jangan harap bisa membuatku gentar!"
"Hi hi hi...! Ketahuilah, pemuda ini adalah Pen-dekar Rajawali Sakti. Nah! Setelah mengetahui siapa dia, apakah kau dan murid-muridmu berani berting-kah?"
"Pendekar Rajawali Sakti" Mustahil!" desis orang tua itu dengan wajah tidak percaya.
"Hm.... Kau boleh tidak percaya. Tapi, perhatikan baik-baik. Apakah sebelumnya kau pernah? melihat atau mendengar tentang si Pendekar Rajawali Sakti" Nah pemuda inilah sesungguhnya Pendekar Rajawali Sakti." Eyang Pindih Daksa memperhatikan dengan sek-sama. Dia memang pernah mendengar nama dan ciri-ciri Pendekar Rajawali Sakti. Tapi yang diketahuinya, Pendekar Rajawali Sakti tidak gampang memberi ban-tuan, apalagi terhadap orang yang bermaksud buruk.
Tapi kini" Setahu-nya, Pendekar Rajawali Sakti adalah tokoh persilatan golongan putih. Bahkan dia sempat menduga kalau pemuda ini sekadar meniru-niru pe-nampilan si Pendekar Rajawali Sakti. Namun mengin-gat ciri-cirinya, dia tidak habis pikir. Terutama, pedang yang tersampir di punggung pemuda itu.
"Mustahil!? Padepokan kami tidak ada urusan yang membawa kepada perselisihan dengan Pendekar Rajawali Sakti. Kau pasti penipu! Kalian hendak men-gecoh kami dengan membawa-bawa nama Pendekar Rajawali Sakti. Hm.... Mudah-mudahan Pendekar Ra-jawali Sakti yang asli akan bertemu kalian. Dan saat itu, baru kalian tahu bagai-mana rasanya mencatut nama orang lain!"
"Hi hi hi...! Kau boleh percaya atau tidak, itu ter-serahmu. Tapi bukan berarti kau dan murid-muridmu bakal selamat. Kalian semua akan mampus di tangan-nya!" sahut gadis itu seraya tertawa nyaring.
"Ayo, Ka-kang Rangga! Tunggu apa lagi" Habisi mereka semua!" Tanpa basa-basi seperti tadi, Pendekar Rajawali Sakti kembali melompat menyerang.
"Hiyaaa!"
"Persetan! Kau Pendekar Rajawali Sakti gadun-gan! Aku akan mengadu jiwa denganmu. Anak-anak, ringkus gadis liar itu!" teriak Eyang Pindih Daksa, memberi perintah pada murid-muridnya. Dia sendiri kemudian mencelat memapak serangan Rangga den-gan mengerahkan segenap kemampuannya.
Plak! Wut! Ketua Padepokan Mega Mendung mengeluh ter-tahan ketika coba menangkis sodokan yang di-lancarkan Rangga. Dan sambil menundukkan kepala menghindari tendangan, dengan cepat dan tidak ter-duga sama sekali, Eyang Pindih Daksa mencabut go-loknya dan memapas kaki Rangga.
"Hiiih!"
"Uts!" Pemuda itu menarik pulang tendangannya. Ke-mudian tubuhnya berputar dua kali seraya meng-hantam bagian perut Namun, Eyang Pindih Daksa ti-dak kalah gesit. Dengan geram goloknya dikibaskan ke arah batok kepala lawannya. Gera-kan yang dilakukan Pendekar Rajawali Sakti ternyata tipuan belaka. Sebab tiba-tiba saja, tubuhnya mencelat ke samping. Lang-sung dihantamnya pinggang orang tua itu dengan satu tendangan keras.
Karena untuk menghindar tak mungkin, maka Eyang Pindih Daksa segera menangkis.
Plak! Terjadi benturan hebat, yang membuat tulang lengan Eyang Pindih Daksa terasa mau patah. Dan be-lum lagi rasa sakitnya hilang, cepat se-kali kaki pemu-da itu menghantam rahangnya.
Dugkh! "Ukh!" Orang tua itu? mengeluh kesakitan. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang. Sementara pemuda itu telah mengejarnya dengan serangan susulan. Sepertinya, dia tidak akan membiarkan orang tua itu untuk bernapas barang sekejap.
Sring!
"Heh"!" Bukan main terkejutnya Eyang Pindih Daksa ke-tika melihat pemuda itu mencabut pedangnya.
"Astaga! Jadi dia benar-benar Pendekar rajawali Sakti. Pedang pusaka itu benar-benar miliknya! Apa yang telah terja-di sehingga dia berpihak pada si Netra Buana?" keluh orang tua itu dengan wajah terkesiap.
"Eyang, awaaas...!" Beberapa orang murid Padepokan Mega Mendung yang melihat kejadian itu terkejut. Mereka langsung melompat hendak melindungi gurunya yang sedang lengah. Tapi....
Bruesss! "Aaa!" Tiga orang memekik setinggi langit dan ter-jungkal roboh bermandikan darah, tersambar Pedang Pusaka Rajawali Sakti yang memancarkan sinar biru berkilauan.
"Astaga!" Melihat kejadian ini, murid-murid lain yang ber-tarung dengan gadis itu jadi terkejut. Namun mereka akhirnya menjadi makanan empuk lawannya.
Sing! "Mampuslah kalian semua...! Yeaaa!" Bret! Jerit berkumandang kembali menyusul, bersama tewasnya beberapa murid yang lain. Eyang Pindih Daksa jadi trenyuh. Namun, dia tidak bisa berbuat apa-apa, karena Pendekar Rajawali Sakti telah menye-rangnya lebih hebat lagi.
"Ayo, pergilah kalian dari sini! Selamatkan diri kalian! Pemuda ini adalah Pendekar Raja-wali Sakti.
Entah, apa yang menyebabkannya berbuat segila ini.
Tapi, kalian tidak akan unggul menghadapinya!" teriak orang tua itu pada murid-muridnya.
"Tidak, Eyang! Kami akan tetap di sini bersama mu!" teriak beberapa orang muridnya dengan sikap ga-gah.
Namun murid-murid yang berjiwa pengecut, sudah langsung mengambil kesempatan itu untuk mela-rikan diri. Apalagi, ketika melihat kawan-kawannya berjatuhan satu persatu dalam keadaan mengenaskan.
Siapa saja yang dekat dengan gadis berbaju merah muda itu, akan tewas disambar ujung pedangnya. Dan hal yang lebih gila lagi adalah, kedahsyatan pedang di tangan Pen-dekar Raja wali Sakti. Tidak ada seorang pun yang mampu menahannya, meski dalam tiga ge-rakan. Semua yang berusaha menolong gurunya, bisa dipastikan tewas tersambar pedang pemuda itu.
"Hiyaaa!" Pendekar Rajawali Sakti menggeram dan men-gamuk hebat. Pedangnya menebas dua orang yang kembali mencoba menghalangi niatnya, hendak men-gejar Eyang Pindih Daksa. Kemudian tubuhnya me-lompat ringan dan langsung membabatkan pedangnya dengan dahsyat Tras!
Wuk! Eyang Pindih Daksa terkesiap, segera mencoba menangkis. Namun, goloknya putus dibabat pedang Pusaka Rajawali Sakti. Seketika tubuhnya segera ber-gulingan menghindari hantaman yang menyusul sece-pat kilat.
"Hiiih!" Crab!
"Aaa...!"

* * * * *



֍֍֍[ TIG@ ]֎֎֎

Pindih Daksa terpekik nyaring ketika pedang Pendekar Rajawali Sakti menghujam jantungnya.
Rangga menarik pedangnya dengan keras, dengan wajah berkerut geram. Eyang Pindih Daksa tewas, karena tidak mampu mengimbangi kecepatan gerak Pendekar Rajawali Sakti. Pada saat tubuhnya bergulingan tadi.
Rangga telah membayanginya dari atas, seperti tidak memberi ruang gerak lagi padanya.
"Eyaaang"!" Beberapa murid padepokan ini terkesiap. Mereka langsung memburu tubuh gurunya yang berlumuran darah.
"Bagus, Kakang Rangga! Nah! Kecoa-kecoa ini bi-ar menjadi bagianku!" puji gadis berbaju merah muda itu.
"Yeaaa!" Pedang gadis itu berkelebat bagaikan kilat. Seba-gian lawan-lawannya berhasil menangkis.
Trang!
Bret! "Aaa!" Namun empat orang tewas seketika dengan perut koyak dirobek pedang gadis berbaju merah muda ini.
"Keparat! Kalian harus membayar kematian guru kami, yeaaa!" Murid-murid Eyang Pindih Daksa yang tersisa, seketika mengamuk dahsyat. Di hati mereka hanya ada amarah meluap untuk membalas kematian gu-runya. Namun kedua lawan yang dihadapi bukanlah orang sembarangan. Maka mereka hanya mengantar nyawa secara percuma. Rangga dan gadis berbaju me-rah muda itu tidak memberi am-pun. Pedang mereka terus mencari korban dengan ganas. Pekik kematian saling susul terdengar, ditingkahi ambruknya tubuh-tubuh dalam keadaan mengenaskan. Dalam waktu singkat, tidak ada seorang pun dari mereka yang tersi-sa. Kecuali, beberapa murid yang tadi sempat melari-kan diri.
Trek! Kedua anak muda itu menyarungkan pedang dengan mata memandang mayat-mayat yang bergelim-pangan.
"Huh! Can penyakit saja! Mereka kira bisa meng-halangi kita berdua!" dengus gadis itu dingin.
"Sekarang? ke mana tujuan kita, Sarti?" Tanya Rangga.
"Kita akan segera mencari yang lainnya, sesuai perintah Ki Netra Buana," sahut gadis berbaju merah muda yang memang Sarti.
"Kalau begitu buat apa buang-buang waktu" Ayo, kita tinggalkan tempat ini untuk mencari mereka. Le-bih cepat selesai, maka akan lebih baik," ujar Rangga.
"Dan lebih cepat pula kita bersenang-senang!" timpal Sarti sambil tertawa kecil.
"Bukankah begitu, Kakang?" Pemuda itu tidak menyahut, dan hanya terse-nyum kecil.
Tanpa malu-malu, Sarti menggandeng lengan pemuda itu. Dan mereka segera melenggang dari ha-laman padepokan ini. Tapi baru beberapa langkah ber-jalan....
"Astaga! Apa yang telah terjadi di sini"!" Mendadak terdengar seruan seseorang di pintu gerbang Padepokan Mega Mendung, ketika melihat mayat-mayat bergelimpangan berlumur darah. Dia adalah laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun Ram-butnya panjang digelung ke atas. Tubuhnya tidak begi-tu besar, namun otot-otot-nya menonjol. Seketika wa-jahnya berpaling pada Rangga dan Sarti dengan sorot mata garang.
"Pasti kalian yang telah melakukan perbuatan terkutuk ini! He, jangan harap bisa meninggal-kan tempat ini sebelum membayar kematian mereka!" den-gus laki-laki itu geram.
"Siapa kau"!" bentak Sarti.
"Aku Saduki, putra Eyang Pindih Daksa."
"Hm.... Kebetulan sekali kau berada di sini. Men-cabut pohon harus sampai ke akar-akarnya. Heh! Orang tua itu mampus di tangan kami. Lalu kau mau apa"!" sahut Sarti berkacak pinggang sambil terse-nyum mengejek "Keparat! Kalian akan bayar hutang nyawa ini...!" dengus Saduki langsung mencabut golok di pinggang, segera dia melompat menerjang Sarti.
"Hup!" Sring!
Gadis itu melompat sambil mencabut pedang.
Saduki terus menyerangnya dengan kalap.
Tring! "Hiiih!" Sarti langsung memapak dengan senjatanya.
Kemudian pedangnya terus membabat ke arah le-her.
Laki-laki itu terkejut, namun cepat mengegos ke kiri.
Kaki kanan gadis itu membabat dadanya. Untung saja Saduki segera melompat ke belakang. Namun Sarti ti-dak memberi kesempatan. Langsung dikejarnya laki-laki itu dengan gerakan ringan mengandung tenaga dalam tinggi.
"Yeaaa!" Dengan tubuh berputaran indah, pedang gadis itu berkelebat menyambar leher. Tapi Saduki cepat memapaknya. Trang!
Satu benturan yang mengandung tenaga dalam tinggi terjadi. Dan ini membuat laki-laki itu bergetar tubuhnya. Kesempatan ini tidak disia-siakan Sarti.
"Hiiih!" Gadis itu cepat membabatkan pedangnya Dan....
Crasss! "Aaa!" Terdengar pekikan tertahan. Tampak Saduki ro-boh dengan pinggang robek tersambar senjata mende-lik lebar.
"Huh!" Trek! Sarti? mendengus dingin seraya menyarungkan kembali pedangnya.
"Mari, Kakang. Kita tinggalkan tempat ini. Masih banyak yang harus dikerjakan!" ujar gadis itu seraya menggamit lengan Rangga.
Rangga yang sejak tadi diam saja memperhatikan pertarungan, menurut saja seperti kerbau yang dicu-cuk hidungnya.
?

* * * * *



Di sebuah pinggiran sungai, tampak dua sosok dengan penuh perhatian tengah menunggui kailnya disambar ikan. Yang seorang berbaju hitam. Dia du-duk dengan mata tidak berkedip. Sesekali tangannya menggaruk rambut di kepala yang kusut masai seperti tidak pernah dibersihkan beberapa bulan. Berkali-kali dia menggerutu kesal ketika melihat kawannya yang sebentar-sebentar menarik kail, dan memperoleh ikan cukup banyak. Sedang dia, sejak pagi tadi belum juga mendapatkan seekor ikan pun.
"He he he...! Nasibmu sedang apes, Dulaksa. Co-ba lihat! Aku dapat lagi!" seru laki-laki yang berbaju merah sambil terkekeh girang menarik kailnya. Seekor ikan sebesar telapak tangan tampak menggelepar di ujung kail.
"Jangan sombong kau, Dulaksi! Boleh jadi hari ini nasibmu mujur. Tapi, ikan-ikan yang kau peroleh semuanya kecil-kecil. Kau lihat nanti. Meski hanya mendapat seekor, tapi paling besar!"
"He he he...! Ikan sebesar apa yang terdampar di muara ini. Dulaksa" Kau boleh bermimpi sampai otakmu pikun!" ejek laki-laki yang di-panggil Dulaksi.
"Sudah! Tutup mulutmu...!" bentak laki-laki ber-nama Dulaksa kesal. Sementara, Dulaksi ma-sih ter-kekeh kecil dengan nada mengejek. Tapi Dulaksa tidak mempedulikannya.
Tiba-tiba tali kail Dulaksa terasa disentak. Dia berdiri dan siap menarik Wajahnya tampak girang.
"Ha ha ha...! Kau lihat" Pasti ikan besar yang menarik kailku. Ha ha ha...! Sekarang kau boleh ter-tawa sepuasmu!" seru Dulaksa kegirangan. Wajahnya tampak bersemangat dan buru-buru menarik kailnya.
Namun wajah Dulaksa kembali kesal sambil menggerutu tidak habis-habisnya. Ternyata yang me-nyangkut di mata kailnya bukan ikan besar, tapi sepo-tong kayu sebesar betis.
"Setan!" maki Dulaksa geram seraya melempar kayu itu dengan kesal.
Melihat itu, tawa Dulaksi semakin terpingkal-pingkal saja.
"Ha ha ha...! Itukah ikan besar yang kau kata-kan" Kenapa kau buang" Itu perolehan mu yang seha-rusnya disimpan!" ejek Dulaksi.
"Sudah! Sudah, hentikan ocehanmu. Kau kira lucu, he"!" geram Dulaksa kesal.
Dulaksi masih terkekeh seraya melempar kailnya kembali ke sungai, setelah tadi seekor ikan terlepas karena kaget saat Dulaksa me-lempar kayu.
Sebenarnya kedua orang ini bukanlah nelayan biasa. Kehidupan mereka tidak hanya sekadar me-mancing. Melihat sebuah tongkat besi yang berujung melengkung tajam seperti clurit di punggung mereka, agaknya dunia persilatan akan segera mengenal. Dan mereka memang dua orang saudara kembar. Dan sia-pa pun tahu tidak ada orang lain yang tinggal di seki-tar muara sungai ini, selain dua orang itu yang berju-luk si Kembar Muara Gamping.
Si Kembar Muara Gamping yang berusia sekitar empat puluh tahun ini dikenal sebagai tokoh persila-tan yang disegani. Kepandaian mereka cukup hebat, dan jarang ada tandingannya. Apa-bila keduanya maju bersama menghadapi lawan, maka akan sukar dika-lahkan. Sebab, mereka memiliki gerakan kompak yang saling sambung menyambung bagai aliran sungai.
Selama sepuluh tahun belakangan ini, si Kembar Muara Gamping jarang muncul di dunia persilatan.
Banyak yang mengira kalau mereka se-dang mempela-jari sebuah ilmu sakti yang amat langka. Agaknya, hal itu memang tidak terlalu salah. Sebelum guru mereka meninggal dunia, sempat mewariskan sebuah kitab il-mu silat yang merupakan ciptaannya sendiri. Dan se-lama ini amat dirahasiakannya. Jurus-jurus ciptaan guru mereka ini memang dirahasiakan, sebab bila sampai terdengar tokoh-tokoh persilatan lain-nya, akan menimbulkan malapetaka. Memang, siapa pun tahu kalau Ki Sapu Jagad yang menjadi guru kedua saudara kembar itu, terkenal sebagai tokoh sakti ber-kepandaian amat tinggi. Se-orang tokoh yang disegani semua kalangan persilatan. Dan bila peninggalannya tersebar ke dunia luar, maka akan banyak tokoh ber-duyun-duyun ke sini untuk memiliki kitab pusaka itu.
Namun setelah kitab ini berada di tangan, me-reka tetap merahasiakan dan mempelajarinya secara diam-diam. Sehingga meski semua kalangan persilatan menduga kalau mereka sedang mempelajari suatu il-mu sakti, namun tidak ada seorang pun yang bisa membuktikannya. Itulah sebabnya, kenapa keduanya jarang muncul di dunia luar.
"Hm.... Matahari telah tergelincir ke barat! Sudah waktunya kita makan siang...," ajak Dulaksi sambil membenahi alat-alat pancingnya.
"Kau sajalah! Aku belum mendapat bagian...," sahut Dulaksa lesu.
"Alaaah! Kenapa kau malu-malu" Ikan perole-hanku ini cukup untuk kita berdua. Sudahlah.... Nanti sore kita mancing lagi. Siapa tahu, nanti malah kau yang mujur!" bujuk Dulaksi seraya menghampiri.
Dulaksa masih tetap diam, dan berharap kail-nya mengena. Sementara Dulaksi duduk di samping seraya menepuk-nepuk bahunya dan tersenyum kecil.
"Ayolah. Kau tidak pernah pelit padaku, maka kenapa aku musti pelit padamu" Ikan perolehan-ku ini lebih dari cukup untuk kita berdua. Perutku terlalu kecil untuk menghabiskannya sendiri. Bagaimana ka-lau kita gulai" Atau, barangkali kita goreng" Kau suka ikan goreng, kan"! Atau..., yang sederhana saja! Kita bakar...!" bujuk Dulaksi kembali.
Dulaksa memandang sejenak pada saudaranya, kemudian mengangguk sambil menghela napas pan-jang dan membereskan kailnya.
"Yaaah! Mungkin kau benar. Hari ini nasibku apes. Kalau memang kau mau berbagi, apa lagi yang bisa kujawab," desah Dulaksa.
"Ha ha ha...! Begitu lebih baik Nah, akan kita apakan ikan-ikan ini?"
"Lebih baik dipanggang saja. Aku masih punya persediaan dua guci arak. Makan ikan panggang san-gat nikmat sambil minum arak "
"He, usul yang baik! Ayo...!"
"Kenapa tidak kalian saja yang dipanggang, se-hingga kami bisa menikmatinya?"
"Heh"!" ?

* * * * *



Si Kembar Muara Gamping terkesiap ketika se-seorang menimpali kata-kata mereka. Ketika berbalik, Dulaksa dan Dulaksi melihat seorang gadis berbaju merah berwajah cantik membawa pedang di pung-gungnya. Dia didampingi seorang pemuda tampan memakai baju rompi putih dan membawa pedang di punggungnya. Dulaksa dan Dulaksi tersenyum melihat kehadi-ran mereka.
"Aduhai, Anak-anak Manis. Apakah kalian hen-dak ikut berpesta makan ikan bakar bersama kami" Masih ada bagian untuk kalian berdua!" seru Dulaksi.
"Kedatangan kami bukan hendak berpesta ikan bakar," sahut gadis itu sambil tersenyum sinis.
"Lalu?"
"Ingin berpesta dengan kepala kalian!" jawab ga-dis itu dengan nada dingin.
"Dengan kepala kami?" Dulaksi terkesiap. Dulak-si memandang wajah saudaranya. Kemudian mereka bersama-sama memandang kedua anak muda itu, lalu terkekeh-kekeh.
"Kau dengar, Dulaksi" Mereka hendak bermain-main dengan kepala kita"!" kata Dulaksa.
"Ya! Aku dengar. Dan ini amat menggelikan! He he he...!"
"Tutup mulut kalian!" hardik gadis itu garang.
"Kami membawa pesan dari Ki Netra Buana. Beliau mengatakan, ajal kalian telah sampai hari ini!"
"Heh"!" Seketika si Kembar Muara Gamping terkejut dan terdiam. Bukan oleh bentakan gadis itu, melainkan nama seseorang yang diucapkannya.
"Netra Buana" Hm.... Rupanya jahanam itu be-lum juga kapok, he"!" dengus Dulaksa geram.
"Bagus. Kalian telah sadar. Kini, terimalah ke-matian!" dengus gadis itu geram seraya berpaling pada pemuda di sebelahnya.
"Kakang Rangga, salah seorang menjadi bagianmu. Sedang aku yang satunya. Jangan beri ampun mereka." Setelah berkata begitu, gadis yang tak lain Sarti langsung melompat menyerang.
"Bocah kurang ajar! Dia kira bisa seenaknya membuktikan ocehan gilanya. Huh! Kalian akan men-dapat pelajaran pahit dari kami!" desis Dulaksa kalap, langsung memapak serangan gadis itu.
Sementara itu, pemuda yang? memang Rangga sudah mengikuti apa yang diperintahkan sakti. Lang-sung diserangnya lawan yang seorang lagi.
"Dulaksi, jangan beri hati lawanmu! Bocah-bocah edan ini harus diberi pelajaran!" teriak Dulaksa.
"Jangan khawatir Dulaksa! Mereka akan tahu siapa kita!" desis Dulaksi.
Ucapan si Kembar Muara Gamping terdengar bernada sombong. Hal itu memang tidak mengheran-kan. Sebab di mata mereka, kedua anak muda itu bu-kanlah tokoh hebat. Dugaan mereka, dengan beberapa kali gebrakan, keduanya pasti bisa ditaklukkan. Na-mun bukan main geramnya si Kembar Muara Gamping ketika merasakan kalau kedua lawannya mampu menghindar dari tekanan jurus-jurus serangan. Bah-kan bisa membalas dengan sengit. Terutama, yang di-alami Dulaksi.
"Setan!" Berkali-kali Dulaksi memaki ketika tangannya berbenturan dengan Pendekar Rajawali Sakti. Terasa isi tulangnya nyeri dan sampai ke jantung. Pemuda ini memiliki tenaga dalam hebat, dan tidak berada di ba-wahnya. Bahkan bisa jadi beberapa tingkat di atasnya! Thak! Wut! "Sial!" Dulaksi berusaha menghantam dada Rangga dengan satu tendangan tidak terduga. Namun dengan gesit pemuda itu berkelebat ke bawah, dan balas menghantam perutnya. Cepat-cepat Dulaksi menarik kakinya, dan langsung ditekuk. Ini dilakukan sebagai tameng terhadap pukulan yang meluncur ke perut.
Begitu habis memapak, Dulaksi terus melompat ke belakang. Namun Rangga terus mengejarnya den-gan serangan susulan. Cepat-cepat Dulaksi mencabut senjata. Langsung dibabatnya kaki pemuda itu yang hendak menghantam punggungnya. Di luar dugaan, Pendekar Rajawali Sakti lebih dulu menekuk kakinya menghindari tebasan senjata Dulaksi. Kemudian tu-buhnya berputar dan balas menyambar setelah men-cabut pedangnya.
"Heh"!" Dulaksi terkesiap kaget, ketika melihat pancaran cahaya biru dari batang pedang Pendekar Rajawali Sakti. Untuk sesaat wajahnya terkesima, sehingga mengurangi kewaspadaan. Pada-hal, saat itu senjata Rangga berkelebat bagai cahaya kilat menyambarnya.
Dan.... Bruesss! "Aaa...!" Dulaksi kontan terpekik Tubuhnya nyaris ter-belah dua ketika senjata Pendekar Rajawali Sakti bu-kan saja membuat putus tombak di tangannya, tapi juga merobek tulang rusuknya.
"Dulaksi...!" Dulaksa yang saat itu tengah mendesak lawan habis-habisan, terkejut melihat nasib saudara-nya yang bergelimang darah. Bahkan sudah tidak berkutik lagi begitu tersungkur ke tanah.
"Kubunuh kau, Keparat! Kurobek tubuhmu se-perti apa yang telah kau lakukan terhadap saudaraku! Yeaaa...!" Dengan teriakan menggelegar, Dulaksa melompat meninggalkan lawannya. Langsung diterjang-nya Rangga sambil mengayunkan tombaknya.
Wut! Wuk! "Hiiih!" Ujung tombak Dulaksa yang berbentuk clurit, menyambar pinggang. Namun pemuda itu melompat ringan ke atas. Dan tubuhnya segera berjumpalitan ke samping, saat senjata lawan hendak menebas leher-nya. Dulaksa tidak mau memberi kesempatan. Senja-tanya kembali menyambar ke pinggang, sebelum kaki pemuda itu menyentuh tanah.
Sementara Rangga sama sekali tidak melihat ancaman dari serangan satu dari si Kembar Muara Gamping. Pedangnya terus berkelebat memapak senja-ta Dulaksa hingga putus. Tapi saat itu juga, Dulaksa menghentakkan kedua tangannya. Maka seketika mendesir cahaya panas dari telapak tangannya. Lang-sung menghantam ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
Pukulan itu terasa dan terlihat aneh, melesat ribuan pasir-pasir halus yang bergerak saling susul-menyusul ke arah Rangga.
"Kakang Rangga, awas! Dia mempergunakan pu-kulan mautnya...!" teriak Sarti memperingatkan.
Rangga membentak nyaring. Tubuhnya langsung mencelat ke atas sambil bersalto beberapa kali. Kemu-dian tangan kirinya menghentak ke depan. Maka seke-tika dari telapak tangan kiri-nya melesat selarik ca-haya merah menghantam Dulaksa.
Pyarrr! Werrr! Pukulan Dulaksa kontan buyar, ketika berbentu-ran dengan pukulan Pendekar Rajawali Sakti. Namun dia terus bertahan ketika pemuda itu telah mencelat menyerangnya. Dulaksa menyadari, kalau pukulannya ditarik, maka pukulan pemuda itu langsung akan menghantamnya. Namun dengan bertahan seperti ini, pemuda yang ter-nyata memiliki tenaga dalam lebih kuat dari-nya, masih mampu mengadakan serangan.
Orang tua itu bingung setengah mati, memikirkan cara untuk menyelamatkan diri. Dan belum lagi dia mene-mukannya, pedang Rangga telah berkelebat. Dulaksa terkesiap. Cepat dia menjatuhkan diri, untuk menge-lak.
Tapi bersamaan dengan itu, Rangga telah mele-paskan pukulan jarak jauh. Sehingga....
Des! "Aaa...!" Dulaksa terpekik. Tubuhnya kontan terjerembab, seperti diseret seekor kuda liar sejauh beberapa tom-bak. Tubuhnya remuk dan rusak hebat, sehingga sulit dikenali. Tampak darah berceceran ke mana-mana.
Dan nyawanya pun melayang sebelum tubuhnya ber-henti bergulingan! "Bagus, Kakang! Hari ini tugas kita telah selesai, Sebaiknya, kita cepat kembali dan beristirahat!" seru Sarti girang seraya menghampiri Rangga.
Rangga segera menyarungkan pedang. Dan dia diam saja, ketika Sarti menggamit lengannya dan men-gajaknya berlalu dari situ.

* * * * *



֍֍֍[ 4 ]֎֎֎

Satu sosok bertubuh ramping tengah menghela kudanya perlahan-lahan memasuki halaman sebuah rumah. Sosok yang kira-kira berusia sekitar enam pu-luhan itu langsung turun dari kudanya, begitu dari da-lam rumah terlihat seorang laki-laki berusia sekitar li-ma puluh tahun. Laki-laki setengah baya tergopoh-gopoh keluar di-ikuti dua orang laki-laki berusia seki-tar tiga puluh tahun.
"Sudah siapkah kau, Pintur Gumelar?" Tanya wanita tua itu.
"Hm.... Sekarang juga aku siap, Nyai Koneng!" Sahut orang tua itu seraya melompat ke punggung ku-da yang memang telah disediakan di depan rumah.
"Nah, kalau begitu mari kita berangkat seka-rang!" Ujar wanita yang dipanggil Nyai Koneng, seraya menaiki kudanya kembali.
"Sebentar, Nyai Koneng!" Tahan orang tua ber-nama Pintur Gumelar, ketika Nyai Koneng akan meng-gebah kudanya. Wajah laki-laki setengah baya itu ke-mudian berpaling pada dua orang yang tadi mengiku-tinya.
"Kalian jaga tempat ini baik-baik. Dan, ingat pe-sanku tadi!" tandas Ki Pintur Gumelar.
"Kami akan selalu mengingatnya, Den...!" Sahut keduanya serempak dengan wajah tertunduk.
"Sudah. Hapus semua kesedihan kalian. Aku pergi tidak lama. Doakan aku kembali selamat!" Keduanya kembali mengangguk.
Ki Pintur Gumelar segera menggebah kudanya.
Dan bersama Nyai Koneng, dia menjalankan kudanya pelan-pelan.
"Hm.... Kedua abdi mu itu tampaknya sangat se-tia, sehingga mengkhawatirkan keselamatan-mu," gu-mam wanita tua berbaju serba kuning dengan sepa-sang pedang bergagang perak yang terselip di pinggang itu. Nada suaranya datar tanpa memalingkan muka, saat mereka telah berjalan berdampingan.
"Ya...," sahut Ki Pintur Gumelar singkat.
Nyai Koneng melirik, kemudian tersenyum kecil.
"Kenapa" Kelihatannya hatimu susah. Apakah kau takut?" Tanya Nyai Koneng.
Ki Pintur Gumelar balas memandangnya dengan wajah heran.
"Benarkah apa yang kau katakan?" Ki Pintur Gumelar balik bertanya.
"Apa" Soal kematian Eyang Pindih Daksa...?" Laki-laki setengah baya itu terdiam sesaat.
"Soal Pendekar Rajawali Sakti.... Benarkah dia yang berbuat?" tanya Ki Pintur Gumelar.
"Kenapa" Apakah kau tidak percaya dengan apa yang telah disampaikan anak buahku?" kata Nyai Ko-neng, penuh tekanan.
"Bukan itu."
"Lalu apa?"
"Selama ini, kudengar si Pendekar Rajawali Sakti adalah pendekar aliran lurus. Rasanya tidak mungkin dia berbuat seperti itu," desah Ki Pintur Gumelar.
"Murid Eyang Pindih Daksa yang mengadukan hal ini padaku. Guru mereka yakin kalau pemuda yang dihadapinya adalah Pendekar Rajawali Sakti yang asli.
Apakah itu tidak cukup bukti?" jelas Nyai Koneng.
"Apakah Eyang Pindih Daksa telah memeriksa secara benar?"
"Apakah dengan bukti sebilah pedang bergagang kepala burung yang memancarkan sinar biru berkilau tidak cukup. Dalam dunia persilatan, hanya seorang pendekar yang memilikinya. Ya, si Pendekar Rajawali Sakti itu Jadi mana mungkin salah" Bahkan aku sen-diri pernah melihat bocah itu!" rungut Nyai Koneng.
"Apakah tidak mungkin ada orang yang memakai namanya untuk menjatuhkan pendekar itu?"
"Hm, rasa-rasanya kau ragu dengan apa yang kukatakan. Tahukah kau, apa yang dilakukannya be-lakangan ini?" Ki Pintur Gumelar menggeleng lemah.
"Dia telah membunuh si Kembar Muara Gam-ping, serta beberapa tokoh lainnya! Dan tahukah kau, bagaimana kelakuannya saat ini" Siapa pun orangnya yang tidak disukainya, maka bisa dipastikan binasa di tangannya. Pemuda itu telah sinting dan sifatnya be-jad. Dia mulai diburu banyak orang. Dan, tidak sedikit yang menginginkan kematiannya. Jumlah itu akan bertambah terus bila perbuatannya tidak dicegah!" Jelas Nyai Koneng dengan perasaan geram.
"Tapi, bagaimana itu bisa terjadi padanya" Apa yang menyebabkannya berbuat seliar itu?" Tanya Ki Pintur Gumelar.
"Mungkin juga karena wanita!" Cibir Nyai Koneng sinis.
"Wanita?" Tanya Ki Pintur Gumelar tidak me-ngerti.
"Belakangan ini dia selalu bersama seorang wani-ta belia berwajah cantik. Dan bocah itu kelihatannya patuh betul dengan segala perintahnya."
"Dari mana kau ketahui semua ini?"
"Kau kira, untuk apa aku punya banyak murid" Mereka ku sebar untuk mencari tahu sepak terjang bocah itu, setelah aku mendapat laporan dari mu rid-murid Pindih Daksa." Ki Pintur Gumelar menghela napas panjang "Aneh.... Sungguh sangat aneh..," desah laki-laki setengah baya itu.
"Jangan persoalkan aneh atau tidak. Bocah itu jelas berbahaya. Dia menjadi kaki tangan si Netra Bu-ana, Maka cepat atau lambat, dia akan memburu kita.
Maka sebelum menemui kita, bocah itu harus dihajar adat dulu agar tidak besar kepala!" Dengus Nyai Ko-neng.
"Nyai Koneng, ku? ingatkan padamu. Pendekar Rajawali Sakti bukanlah tokoh sembarangan. Telah puluhan tokoh sesat berkepandaian tinggi yang binasa di tangannya."
"Lalu, apa hubungannya" Apakah kau takut" Kemudian kita membiarkan saja dia berbuat se-maunya, termasuk menggorok leher kita sendiri"!" sa-hut wanita itu dengan nada geram dan wajah kesal.
"Ingatkah kau ketika sebelas tahun lalu kita menjatuhkan si Netra Buana" Dibutuhkan banyak orang untuk menjatuhkannya. Dan kepandaian Pen-dekar Rajawali Sakti bisa disamakan dengan si Netra Buana. Maka kita berdua, belumlah cukup untuk memberi pelajaran pada pemuda itu," jelas Ki Pintur Gumelar bernada khawatir.
Nyai Koneng memandang sinis setelah men-dengar kata-kata Ki Pintur Gumelar.
"Huh! Tidak kusangka bahwa kau kini hanyalah seorang pengecut! Menyesal aku telah mengajakmu.
Baiklah. Kau boleh tidak ikut. Jangan kira aku takut menghadapi pemuda itu seorang diri!" Setelah berkata demikian, Nyai Koneng mengge-bah kudanya dengan kencang.
"Nyai Koneng, tunggu! Bukan begitu maksud-ku!" teriak Ki Pintur Gumelar berusaha mengejar wani-ta itu.
Tapi, Nyai Koneng sama sekali tidak mau men-gindahkannya. Wanita tua itu terus saja menggebah kencang kudanya. Ki Pintur Gumelar yang tahu betul watak wanita itu hanya menghela napas. Dia tidak me-lanjutkan pengejaran-nya. Percuma saja. Sekali wanita itu telah membuat keputusan, maka tidak ada seorang pun yang boleh membantah. Kini, perlahan-lahan Ki Pintur Gumelar memutar haluan dan menggebah ku-danya perlahan-lahan kembali ke tempatnya semula.
?

* * * * *



Matahari baru saja muncul di uruk timur, na-mun semua murid Padepokan Tapak Merah telah ban-gun dan mengerjakan tugas yang dibebankan seperti biasa. Beberapa orang berkebun. Yang lainnya mengisi kolam air berukuran besar. Lalu, ada yang mencari kayu bakar, membersih-kan halaman padepokan ini yang begitu luas, serta pekerjaan-pekerjaan lainnya.
Termasuk, untuk urusan masak memasak.
Tidak seperti padepokan silat pada umumnya.
Padepokan Tapak Merah hanya diperuntukkan bagi para wanita saja. Ketuanya yang merangkap guru be-sar, bernama Nyai Darmi Putri. Dia adalah se-orang tokoh persilatan ternama yang terkenal berjuluk si Bayangan Merah. Nyai Darmi Putri sendirilah yang mendirikan padepokan ini sebelas tahun lalu. Dan dia menetapkan cita-cita-nya untuk hanya menerima mu-rid-murid dari kaum wanita.
Dan seperti biasa pula, setelah mengerjakan tu-gas masing-masing, murid-murid padepokan ini mulai berlatih di bawah bimbingan beberapa murid utama.
Namun sebelum mereka membentuk baris-baris untuk memulai latihan, salah seorang memberitahu akan ke-datangan dua orang tamu.
Di ambang pintu gerbang memang telah berdiri seorang gadis belia berwajah cantik memakai baju me-rah muda. Dia didampingi seorang pemuda tampan be-rambut panjang berbaju rompi putih. Keduanya sama-sama membawa pedang yang tersandang di punggung.
"Kisanak... Siapakah kalian" Dan, ada keperluan apa berkunjung ke padepokan kami?" Tanya seorang murid utama yang bernama Kembang Ma-yang.
Beberapa orang murid yang lain, tersenyum-senyum. Sikap mereka tampak genit saat melirik pe-muda berbaju rompi putih ini.
"Namaku Sarti. Dan, pemuda ini kekasihku, Pendekar Rajawali Sakti. Kami ingin bertemu gurumu!" sahut gadis berbaju merah muda yang tak Iain Sarti "Oh, benarkah"!" Tanya Kembang Mayang seraya memperhatikan pemuda berbaju rompi putih yang memang Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti dengan seksama.
"Heh"! Apa kau kira aku berdusta?" Dengus Sarti mulai gusar.
"Bukan. Maksudku, apakah Kisanak ini adalah Pendekar Rajawali Sakti yang telah kesohor itu" Ah! Suatu kehormatan bagi kami karena mendapat kun-jungannya. Guru kami tentu akan senang halt mene-rimanya!" Kata Kembang Mayang dengan wajah cerah.
"Maka dari itu, cepat panggil gurumu!" dengus Sarti sinis. Dalam hati, Kembang Mayang begitu gembira akan kedatangan seorang pendekar yang selama ini namanya amat dikenal dalam dunia persilatan. Dan bi-la dia sudi datang ke tempat ini, tentu hendak menja-lin persaudaraan dengan gurunya. Sebab Nyai Darmi Putri sendiri adalah seorang tokoh golongan lurus se-perti pemuda ini. Tidak dirasakan olehnya sikap Sarti yang begitu sinis. Dan gadis itu langsung menyuruh seorang murid untuk memanggil guru mereka.
"Pendekar Rajawali Sakti. Dan kau, Ni Sarti Sila-kan masuk ke dalam. Sebentar lagi guru kami akan menemui kalian berdua."
"Tidak perlu. Kedatangan kami bukan untuk be-ramah-tamah dengannya!"
"Tidak beramah-tamah" Apa maksudnya?" Wajah Kembang Mayang tampak bingung.
"Tentu kau sedang bergurau, bukan?" Tanya ga-dis itu berusaha meyakinkan sambil tersenyum.
"Tidak usah banyak bicara! Dan aku tidak se-dang bergurau!" Dengus Sarti tandas.
Mendengar ucapan gadis itu, membuat Kembang Mayang tidak habis pikir. Dia menduga, gadis ini ber-watak sombong dan merendahkan lawan bi-caranya.
Tapi kenapa Pendekar Rajawali Sakti mendiamkannya saja" Apakah berarti sama sekali tidak mempedulikan sikap kekasihnya" Atau barangkali malah menyetujui sikap angkuhnya"
"Lalu, apa maksud kedatangan kalian yang se-benarnya?" Tanya Kembang Mayang ragu.
Sebenarnya gadis ini mulai sedikit ragu kalau Sarti dan Pendekar Rajawali Sakti bermaksud buruk Karena selama ini siapa yang tidak mengenal Pendekar Rajawali Sakti yang merupakan seorang pendekar ali-ran lurus. Dan rasanya, di antara mereka tidak pernah terjadi perselisihan. Dan tidak habis pikir, kenapa si-kap gadis berbaju merah muda ini sangat tidak bersa-habat.
"Kembang Mayang, menepilah. Aku tahu maksud mereka yang sebenarnya," sahut suara dari belakang, sebelum Sarti sempat menjawab.
Kembang Mayang berbalik, kemudian menjura hormat. Demikian juga murid-murid yang lain. Se-orang wanita berusia sekitar lima puluh tahun lebih memakai baju hitam berjubah merah, berjalan pelan mendekati kedua tamunya.
"Guru...."
"Sudahlah. Biarkan mereka menjadi urusanku," sahut wanita tua yang tidak lain Nyai Darmi Putri.
Ketua Padepokan Tapak Merah kemudian me-mandang Sarti dan Rangga bergantian.
"Hm, cepat sekali kalian tiba di tempatku ini. Ja-di benarkah berita yang kudengar?" Sapa Nyai Darmi Putri halus.
"Berita apa yang kau dengar?" Tanya Sarti.
"Pendekar Rajawali Sakti bersekutu dengan iblis sesat yang menamakan dirinya Netra Buana?"
"Apa"!" Kembang Mayang terkejut. Langsung ditatapnya Pendekar Rajawali Sakti dan gurunya bergantian. Ra-sanya sulit dipercaya. Apalagi, gadis ini tahu betul, siapa Ki Netra Buana. Gurunya sering bercerita men-genai tokoh sesat itu. Mungkin Pendekar Rajawali Sak-ti bersekutu dengannya" Tapi, tadi gurunya berkata dengan suara meyakinkan. Dan agaknya, bukan dia saja yang terkejut. Tapi juga murid-murid lain yang mengenal siapa sesungguhnya Ki Netra Buana.
?

* * * * *



"Hi hi hi...! Bagus! Agaknya tidak sulit lagi kami menjelaskan tujuan!" sahut Sarti sambil ketawa nyar-ing.
Nyai Darmi Putri memandang tajam kepada pe-muda berbaju rompi putih itu.
"Benarkah begitu, Pendekar Rajawali Sakti?"
"Aku ditugaskan membunuhmu!" sahut pemuda itu tandas. Wanita tua ini tersenyum kecil. Semua murid-nya yang tadi tertarik pada pemuda itu, kini terkejut dan merasa marah karena mendengar sendiri ucapan yang keluar dari mulut Pendekar Rajawali Sakti.
"Nah! Kau dengar sendiri kata-katanya, bukan?" Nyai Darmi Putri tidak mempedulikan ucapan si-nis gadis itu. Dan dia tetap memandang pemuda itu dengan tajam.
"Kenapa" Di antara kita tidak ada saling permu-suhan. Lalu, apa sebabnya kau menjadi kaki tangan si Netra Buana" Apakah kau? telah termakan bujuk rayunya" Atau, barangkali kau sama sekali tidak men-genalnya" Atau mungkin, matamu buta disilaukan oleh gadis ini?" kata Nyai Darmi Putri tajam.
"Tutup mulutmu, Tua Bangka! Percuma kau mengoceh membujuknya! Dia hanya menurut pada ka-ta-kataku!" hardik Sarti garang Gadis itu langsung menoleh pada Rangga.
"Kakang, musuh ada di hada-panmu! Apa lagi yang kau tunggu" Bunuh dia sebelum kau terbunuh olehnya!" Begitu Sarti selesai berucap, secepat itu pula Rangga mencelat menyerang Nyai Darmi Putri.
"Hiyaaa!"
"Hup!" Wanita tua itu cepat mencelat ke atas. Dan tu-buhnya terus berputar ke samping, menghindari se-rangan Pendekar Rajawali Sakti. Dia tahu betul, lawan yang sedang dihadapinya bukan-lah tokoh sembaran-gan. Bahkan dia sendiri tidak yakin, apakah mampu mengatasi pemuda ini.
"Kembang Mayang! Bawa kawan-kawanmu, dan ringkus gadis sombong itu!" teriak Nyai Damn Putri memberi perintah.
"Baik, Guru!" sahut gadis itu seraya mengajak murid-murid utama lainnya untuk meringkus Sarti.
"Hi hi hi...! Kalian kira semudah itu menang-kap ku" Ayo, majulah. Siapa yang ingin binasa lebih dulu, silakan!" teriak Sarti sambil tertawa nyaring seraya mencabut pedang.
Sring!
"Yeaaa!" Tujuh orang murid utama Padepokan Tapak Me-rah serentak bergerak menyerang Sarti. Tiga orang di antaranya menghindar dari serangan gadis itu, semen-tara empat orang menyerang dari samping kiri dan ka-nan.
Padepokan Tapak Merah terkenal karena ilmu pedangnya. Namun, mereka juga mahir menggunakan senjata sejenis tambang untuk meringkus lawan. Dan agaknya, hal itulah yang saat ini hendak dilakukan.
Sarti begitu jumawa dan merasa yakin akan ke-mampuan yang dimilikinya untuk menjatuhkan dan sekaligus membunuh lawan-lawannya. Namun akhir-nya, dia tersentak sendiri. Sebab serangan ke-tujuh lawannya tidaklah enteng seperti yang diduga. Dalam waktu singkat, mereka berhasil mendesaknya.
"Heaaat!" Dengan nekat gadis itu mencelat ke atas untuk menghindari kepungan ketujuh lawannya.
Set!
Rrrt! Sarti memaki ketika seutas tambang melesat ce-pat menggulung pergelangan kakinya. Dia hendak memapas tambang itu, namun seutas tambang lainnya telah melibat pinggangnya. Tubuh gadis itu tersentak deras ke bawah, ketika lawan menariknya dengan ke-ras.
"Setan...!" maki Sarti kembali? ketika tubuhnya terjerembab keras.
"Jangan coba-coba bangkit kalau kau masih in-gin hidup!" desis Kembang Mayang seraya menu-ding ujung pedangnya, persis di leher lawan. Sementara yang lainnya berbuat sama mengurung gadis itu den-gan pedang terhunus.
"Buang pedangmu!" bentak seorang murid den-gan nada jengkel.
Sarti terpaksa menurut, meski hatinya mengge-rutu geram.
"Huh! Percuma saja kalian mengalahkanku.
Guru mu akan binasa di tangan Pendekar Rajawali Sakti!" "Begitu?" cibir Kembang Mayang, sinis, "Mungkin guru kami akan tewas. Tapi, kau akan menyusul sekejap kemudian kalau kau tidak menghentikan pemuda itu!" Kembang Mayang langsung menekan ujung pe-dang-nya lebih kuat, membuat Sarti tergagap. Di sada-ri kalau lawan tidak main-main dengan ancamannya.
Sepasang matanya terbelalak, dan mukanya mulai pu-cat.
"Cepat perintahkan dia untuk menghentikan se-rangannya. Atau, kau akan mampus lebih dulu!" sen-tak Kembang Mayang geram, ketika melihat gurunya mulai terdesak hebat oleh serangan si Pen-dekar Raja-wali Sakti.
"Kakang Rangga, hentikan seranganmu! Henti-kan...!" teriak Sarti.
"Huh!" dengus Rangga sinis. Sekilas dipandang-nya gadis itu. Kemudian seperti tak mempedulikannya, dia terus menyerang Nyai Darmi Putri.
"Kakang, kau harus mendengar kata-kataku! Hentikan seranganmu...!" teriak Sarti lebih keras.
Kali ini kata-kata gadis itu mengena. Pendekar Rajawali Sakti segera menghentikan serangan, dan memandang gadis itu yang kini terikat dan dipegangi dua orang murid padepokan ini.
"Kenapa aku harus menghentikan serangan" Apakah kau hendak menghalangi tugasku?"? Tanya pemuda itu, datar.
"Tidakkah kau lihat keadaanku" Bila kau te-ruskan, maka mereka akan membunuhku. Kakang, kau harus turuti kata-kataku!" Rangga terdiam dengan sikap serba salah.
"Lepaskan aku! Bukankah sudah ku turuti ke-hendak kalian"!" Teriak Sarti sengit Nyai Darmi Putri tersenyum, seraya menghampiri gadis itu. Dan dia berpaling sejenak pada muridnya.
"Kembang Mayang, tindakanmu sungguh tepat..."
"Terima kasih, Guru."
"Wanita busuk! Apa lagi yang kau tunggu..! Lepaskan aku...!" hardik Sarti, geram.
"Apakah kau kira kami begitu bodoh melepaskanmu" Begitu lepas, maka kau akan melanjutkan niatmu. Kalian akan ku hukum, setelah aku meme-rintahkan pemuda itu untuk diikat!" sahut Nyai Darmi Putri.
"Mengikatnya" Hi hi hi...! Apakah kau kira mudah?" cibir Sarti, sinis.
"Tentu saja atas perintahmu. Kulihat, dia begitu patuh padamu. Maka, kau pasti bisa mengatakannya.
Kalau tidak, jangan harap kau akan lolos dari tangan kami! Ancam Kembang Mayang.
"Perempuan licik!" Umpat Sarti geram.
Nyai Darmi Putri tertawa kecil "Itu masih baik ketimbang kami membunuh kalian di sini. Nah, tidak usah banyak bicara! Lekas perintah-kan dia agar jan-gan melawan, saat murid muridku mengikatnya!" Sambil bersungut-sungut kesal, saat memerin-tahkan? agar pemuda itu tidak melawan, saat dua orang murid padepokan ini hendak mengikatnya "Sarti, apa yang kau lakukan" Kau menyalahi aturan," kata Rangga dengan wajah heran.
"Aku tidak punya pilihan, Kakang Rangga. Turuti saja keinginan mereka...," sahut gadis itu lesu. Maka meski dalam hati tidak setuju, tapi Rangga tidak dapat berbuat apa-apa. Dia diam saja ketika mereka mengikatnya kuat-kuat.
Saat itu, mendadak dari arah pintu gerbang terdengar derap langkah kuda menuju ke arah mereka.
Semua murid berpaling. Dan Nyai Darmi Putri terke-siap ketika menyadari bahwa mereka telah lengah. Karena meski hanya sekejap, kesempatan itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh Sarti. Gadis itu cepat menyen-takkan diri. Dan dalam keadaan terikat, tubuhnya ber-gulingan mendekati Pendekar Rajawali Sakti.
"Kakang Rangga, sudah saatnya kau bertindak! Bunuh mereka semua!" teriak Sarti.

* * * * *



֍֍֍[ 5 ]֎֎֎

Pendekar Rajawali Sakti terkesiap, namun cepat bertindak. Dengan mengerahkan tenaga dalam yang telah mencapai tingkat kesempurnaan, tambang yang mengikat kedua tangan dan kaki disentaknya.
"Yeaaa!" Tes! "Kakang Rangga, bebaskan aku!" teriak Sarti, putus asa. Dia berusaha melepaskan diri, namun tidak juga mampu. Tambang yang digunakan untuk mengikat me-reka berdua, memang bukan dari jenis biasa. Tambang itu terbuat dari jalinan sebuah kulit pohon yang amat langka. Meskipun hanya sebesar jari, namun kealotannya sangat hebat Jika Pendekar Rajawali Sakti tidak mengerahkan tenaga dalam tinggi, belum tentu tambang yang mengikatnya putus. Hal itu terbukti pada Sarti. Gadis ini memiliki tenaga dalam cukup hebat.
Namun begitu, dia tidak mampu memutuskan tali yang mengikat kedua tangan dan kakinya.
"Yeaaa!" Nyai Darmi Putri melompat hendak menggagalkan niat Rangga yang akan menolong Sarti Namun, serangkum angin kencang laksana badai topan me-nyambar ke arahnya.
Werrr! "Uhhh, gila...!" Wanita itu mendesis kaget Dan dia cepat mence-lat ke samping, menghindari terjangan pukulan jarak jauh yang dilepaskan Rangga. Sehingga, pemuda itu dengan leluasa membuka ikatan Sarti.
"Huh! Sekarang kau rasakan balasan kami!" den-gus gadis itu seraya bangkit dan memungut pedang-nya.
Namun sebelum Sarti bergerak menyerang, pe-nunggang kuda yang tadi mengalihkan perhatian me-reka, telah melompat dari tunggangannya.
"Hm, bagus! Ternyata dugaanku tidak salah Ak-hirnya kujumpai juga kalian di sini!" dengus penung-gang kuda yang ternyata seorang wanita tua.
"Nyai Koneng! Apakah kau tidak punya tata kra-ma" Tiba-tiba saja kau muncul dan menggagalkan se-gala apa yang telah terjadi," tegur Nyai Darmi Putri, bernada sedikit kurang senang.
Orang yang baru muncul memang Nyai Koneng.
Setelah berpisah dengan Ki Pintur Gumelar, dia senga-ja datang ke Padepokan Tapak Merah. Dia memang menduga, bahwa Pendekar Rajawali Sakti akan datang ke sini. Hal itu tidak heran, mengingat berita yang di-dengarnya, bahwa Pendekar Rajawali Sakti akan mem-bunuh mereka yang sepuluh tahun lalu telah menja-tuhkan Ki Netra Buana. Dan, Nyai Darmi Putri adalah seorang di antaranya.
"Apa maksudmu" Kedatanganku ke sini untuk membantumu? menghajar kedua bocah kurang ajar ini!" sahut Nyai Koneng gusar.
"Tahukah kau, bahwa sebelum kedatanganmu, kami telah meringkus mereka" Dan kini, kau malah mengacaukan segalanya!" rungut Nyai Darmi Putri.
"Meringkus mereka katamu" Untuk apa" Mereka harus dibunuh setelah apa yang mereka lakukan ter-hadap sahabat-sahabat kita!" sahut Nyai Koneng.
Nyai Darmi Putri bermaksud menyahut kembali.
Namun Nyai Koneng yang memang adatnya keras, su-dah langsung memotong.
"Sudahlah! Kalau memang kau tidak senang, biar aku yang akan menghajar mereka!"
"Tapi, Nyai Koneng." Wanita berbaju serba kuning itu tidak mempedu-likan ocehan Nyai Darmi Putri. Dan dia langsung me-lompat, menyerang Pendekar Rajawali Sakti.
"Yeaaat!" Melihat lawan menyerangnya, Rangga tidak ting-gal diam dan langsung menyamburnya. Pertarungan tidak dapat dihindari lagi. Nyai Koneng menyerang pe-nuh semangat, karena hatinya diliputi kemarahan. Se-dangkan pemuda itu agaknya mengikuti irama seran-gan lawan. Melihat wanita tua itu begitu bernafsu un-tuk membunuhnya, Pendekar Rajawali Sakti merasa dirinya terancam. Sehingga, dia melawan dengan sen-git.
Sementara itu, Nyai Darmi Putri tidak punya pi-lihan. Kalau dia membantu Nyai Koneng, maka wanita itu akan marah karena merasa tersinggung. Seolah-olah, Nyai Koneng merasa direndahkan karena tak mampu menundukkan. Maka, ketua padepokan itu menyuruh murid-muridnya kembali meringkus Sarti.
Tapi, kali ini Sarti cukup cerdik. Disadari kalau tidak akan unggul menghadapi lawan-lawan-nya gadis itu bergerak mendekati Pendekar Rajawali Sakti.
"Kakang! Kau harus menghadapi mereka juga! Lihat, mereka hendak membunuhku, dan juga akan membunuhmu!" teriak Sarti.
Rangga cepat menghantam murid-murid Nyai Darmi Putri dengan satu pukulan jarak jauh.
"Heaaa!"
"Awaaas...!" teriak Kembang Mayang pada ka-wan-kawannya, seraya melompat menghindar.
"Yeaaa!" Nyai Koneng mempergunakan kesempatan itu untuk menghantam Pendekar Rajawali Sakti dengan mengerahkan tenaga dalam sepenuhnya. Namun Rangga agaknya telah memperhitungkan nya. Tubuh-nya cepat berkelit gesit sambil membungkuk. Lalu di-balasnya serangan itu dengan hantaman pukulan ja-rak jauh dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'.
"Hiiih!" Selarik cahaya merah menyambar Nyai Koneng, begitu Rangga menghentakkan? tangan kanannya ke depan. Wanita itu terkejut. Segera dia mencelat ke samping sambil mencabut sepasang pedang bergagang perak. Sring!
Begitu berhasil menghindari cahaya merah itu, Nyai Koneng langsung meluruk menerjang Pendekar Rajawali Sakti.
"Hiyaaa!" Si Pendekar Rajawali Sakti agaknya tidak me-ngurungkan niat membunuh, melihat apa yang hen-dak dilakukan wanita itu. Tanpa membuang waktu, pedang pusakanya dicabut. Langsung dipapaknya ke-lebatan pedang Nyai Koneng.
Tras!
"Heh"!"

* * * * *



? Nyai Koneng terkejut bukan main. Ternyata se-rangannya berakibat parah. Akibatnya sungguh fatal, pedangnya terbabat putus. Kalau saja tubuhnya tak langsung mencelat ke samping, niscaya ujung pedang Rangga akan merobek dadanya.
"Heaaa!" Rangga bertindak tidak kepalang tanggung. Dan dia sudah terus mengejar dengan kecepatan sulit di-ikuti pandangan mata biasa. Meski Nyai Koneng menghantam dengan pukulan jarak jauh bertenaga penuh, namun dengan mudah Pendekar Rajawali Sakti mengegoskan tubuh menghindarinya. Malah tubuhnya terus meluruk dengan kelebatan pedangnya yang amat dahsyat. Nyai Koneng terdesak, tidak bisa menghindarkan diri dari serangan Rangga yang bertubi-tubi. Dan jalan terakhir adalah memapaki senjata Pendekar Rajawali Sakti dengan pedangnya yang tinggal satu. Dan....
Tras!
Seperti? bisa diperhitungkan, pedang bergagang perak itu putus dibabat senjata Pendekar Raja-wali Sakti. Nyai Koneng bermaksud menjatuhkan diri, un-tuk menghindari sambaran pedang Rangga. Namun saat itu juga, satu tendangan keras menghantam ke arah perut. DukK! "Aaakh...!" Nyai Koneng melenguh tertahan. Dan belum lagi wanita itu sempat bersiaga, tebasan pedang Pen-dekar Rajawali Sakti telah berkelebat bagaikan kilat, sehing-ga tidak mampu dihindarinya. Sehingga...
Cras!
Nyai Koneng bahkan tidak sempat berteriak ketika kepalanya menggelinding! "Heh!" Semua yang melihat kejadian itu berseru kaget.
"Sadis! Biadab!" maki Nyai Darmi Putri dengan wajah merah menahan amarah.
"Kakang! Tidak usah banyak bicara lagi Habisi mereka semua!" teriak Sarti memberi perintah disertai senyum liciknya.
Rangga langsung melompat menyerang Nyai Darmi Putri beserta murid-muridnya.
"Heaaat..!" Dhesss! "Aaa...!" Tiga orang murid Padepokan Tapak Merah me-mekik setinggi langit, langsung terjungkal bersimbah darah ketika mencoba memapak serangan Pendekar Rajawali Sakti. Pedang di tangan pemuda itu agaknya tidak mengenal ampun. Sehingga, membabat siapa sa-ja yang mendekatinya. Hal ini menimbulkan rasa resah di antara murid-murid itu.
Meski Nyai Darmi Putri berusaha menahan se-rangan pemuda itu, tetap saja sepak terjangnya tidak dapat dihalangi. Dan kali ini, mereka tidak bisa men-gulangi siasat seperti tadi. Sebab, Pendekar Rajawali Sakti tidak memberi kesempatan pada murid-murid Padepokan Tapak Merah untuk meringkus Sarti. Nya-tanya pemuda itu selalu melindunginya dari serangan.
"Kembang Mayang! Bawa yang lainnya menying-kir! Percuma saja kalian menahan mereka Ayo, bawa mereka menyingkir. Biar ku tahan pemuda ini!" teriak Nyai Darmi Putri memperingatkan murid-muridnya.
"Tidak, Guru! Kami akan tetap bersamamu sam-pai tetes darah yang penghabisan!"
"Jangan membantah, Bodoh! Ayo, masih banyak yang harus kalian lakukan. Cepat pergi kataku! Ce-paaat...!" bentak wanita itu geram, seraya mencabut pedang dan memperhebat serangan.
Kembang Mayang untuk? sesaat menjadi ragu.
Namun, Sarti tidak memberi kesempatan dan sudah langsung menerjangnya.
"Kalian kira bisa lolos begitu saja" Terimalah kematianmu. Yeaaa!"
"Hup!" Kembang Mayang melompat menghindar. Kemu-dian, dia balas menyerang bersama kawan-kawannya.
"Kembang Mayang! Jangan hiraukan dia! Pergi-lah kalian secepatnya dari sini!" teriak Nyai Darmi Pu-tri.
Baru saja wanita itu menyelesaikan kata-kata-nya Pendekar Rajawali Sakti mengibaskan pedang Nyai Darmi Putri terkejut, dan nyaris kepalanya mengge-linding. Untung dia cepat menjatuhkan diri. Namun, pemuda itu tidak memberi hati. Bahkan langsung mengayunkan satu tendangan keras.
Duk! "Aaakh!" Nyai Darmi Putri menjerit kesakitan. Tubuhnya kontan terjungkal ke belakang dengan darah segar menyembur dari mulut. Pada saat itu juga, pedang di tangan Rangga menyambar pinggangnya.
Cras!
"Aaakh!" Wanita tua itu memekik tertahan. Dan tubuhnya langsung bersimbah darah dengan pinggang nyaris pu-tus! "Guru...!" Kembang Mayang terkejut melihat kejadian itu.
Sehingga, dia melupakan Sarti. Kembang Mayang langsung melompat menyerang Pendekar Rajawali Sak-ti dengan amarah meluap.
"Jahanam keparat, kubunuh kau! Yeaaa...!" Melihat itu, Sarti tidak tinggal diam. Dan pe-dangnya cepat berkelebat mengejar. Kembang Mayang terkesiap. Dan meski kakinya mampu di-tekuk untuk menghindari tebasan, namun pedang Sarti langsung berbalik dengan gerakan meliuk menyambar ping-gangnya.
Cras!
"Aaa...!" Gadis itu terpekik, dan roboh bermandikan da-rah.
"Heh"!" Murid-murid Padepokan Tapak Merah yang lan terkejut melihat kejadian itu. Mereka bermaksud me-nuntut balas, namun teringat pesan guru mere-ka.
Maka dengan segera, mereka berkelebat meninggalkan tempat itu secara bersamaan.
"Hi hi hi...! Ayo, larilah sekencang-kencang-nya selagi kalian masih mampu! Hi hi hi...! Pengecut pe-ngecut hina! Kalian tidak ada guna-nya hidup, setelah guru kalian mampus!" Teriak Sarti sambil tertawa nyaring dan membiarkan saja mereka yang kabur dari tempat ini. Lalu setelah tidak ada yang tersisa, Sarti segera mengajak Rangga untuk meninggalkan tempat itu.

* * * * *



? Sosok tubuh mengendalikan kudanya pelan-pelan, dengan wajah tertunduk lesu. Udara yang panas menyengat, seperti tidak dirasakan oleh-nya Lebih ku-rang dua puluh tombak di depannya, terdapat sebuah pintu gerbang yang terbuat dari barisan kayu jati sebe-sar betis kaki orang dewasa, setinggi satu tombak. Di atasnya terdapat sebilah papan panjang dua kali ren-tangan orang dewasa bertuliskan Padepokan Kalong Wetan. Perlahan sosok itu turun dari kudanya, setelah tiba di muka pintu gerbang.
"Sampurasun...," ucap sosok itu, memberi salam.
"Siapa gerangan Kisanak" Dan, hendak bertemu siapa?" Tanya satu suara dari dalam setelah membalas salam hormat orang itu.
"Aku Ki Pintur Gumelar, hendak bertemu guru-mu, Ki Polong." Beberapa saat kemudian pintu terbuka. Dan dua orang murid padepokan yang menjaga pintu gerbang menyilakannya masuk. Seorang dari mereka segera membawakan kudanya ke istal.
Orang tua yang ternyata Ki Pintur Gumelar itu menunggu barang sesaat di beranda depan, sebelum muncul seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun memakai baju loreng. Kepalanya hanya sedikit ditumbuhi rambut yang telah memutih. Tubuhnya agak pendek, dengan perut besar serta memakai baju loreng. Wajahnya tampak cerah menyambut tamunya.
"Sahabatku Ki Pintur Gumelar! Ah! Angin apakah gerangan yang membawamu ke tempatku ini" Ayo, si-lakan masuk ke dalam!" sambut laki-laki berbaju lo-reng itu.
Mereka berpelukan sesaat. Kemudian Ki Pintur Gumelar mengikuti langkah laki-laki tua itu ke dalam.
Dan kini mereka sampai di sebuah ruangan yang tidak begitu besar, namun memiliki jendela banyak dan ter-buka lebar. Sehingga, udara sejuk terasa menerpa ku-lit.
"Ki Polong, apakah kedatanganku menggang-gumu...?" Tanya Ki Pintur Gumelar.
"Mengganggu" Ah, sama sekali tidak! Bahkan aku merasa senang mendapat kunjungan seorang sa-habat lama sepertimu. Nah, silakan dinikmati hidan-gan yang kusediakan. Lalu, ceritakanlah kabarmu se-karang?" sahut laki-laki berbaju loreng yang bernama Ki Polong. Ki Pintur Gumelar meneguk minuman yang dis-ediakan. Lalu ditariknya napas panjang. Kemudian perlahan-lahan diceritakannya kunjungannya ke sini.
"Astaga! Jadi benar berita yang kudengar itu"!" Wajah Ki Polong tampak terkejut ketika Ki Pintur Gumelar selesai bercerita.
"Begitulah, Sobat. Dua hari lalu, Nyai Koneng mengajakku untuk menghadapi Pendekar Rajawali Sakti. Namun, dia salah menduga. Bahkan aku di-tuduh pengecut. Dan...." Wajah Ki Pintur Gumelar tampak lesu sebelum melanjutkan kata-katanya.
"Ada apa, Sobat?"
"Kemarin, kudengar dia tewas secara menyedih-kan."
"Astaga" Betulkah itu?" Ki Pintur Gumelar mengangguk.
"Juga Nyai Darmi Putri...," lanjut Ki Pintur Gu-melar semakin lesu.
Kali ini, Ki Polong tidak bisa menyembunyikan amarahnya mendengar berita yang dibawa kawan-nya.
Kedua tangannya terkepal, dan wajahnya berkerut sambil mendengus tajam.
"Kurang ajar! Anak itu agaknya tidak bisa di-diamkan begitu saja. Kita harus menuntut balas atas kematian mereka!" Desis Ki Polong geram.
"Kita tidak bisa bertindak gegabah, Sobat! Pen-dekar Rajawali Sakti bukanlah tokoh sembarangan!" desah Ki Pintur Gumelar.
"Maksudmu?" Ki Pintur Gumelar menarik napas panjang sebelum menjawab.
"Dua orang murid Nyai Darmi Putri datang ke tempatku. Mereka menceritakan kejadian ini. Mes-tinya, mereka telah berhasil meringkus si Pendekar Ra-jawali Sakti dengan tipu muslihat. Namun, Nyai Ko-neng muncul dan menggagalkan semuanya. Waktu yang singkat sekali, dipergunakan Pendekar Rajawali Sakti sebaik-baiknya. Dan berhasil melepaskan ikatan tambang dari Padepokan Tapak Merah yang terkenal alot dengan sangat mudah. Lalu dia mengobrak-abrik mereka, sehingga Nyai Koneng terbunuh dengan kepa-la putus. Sedang Nyai Darmi Putri dengan pinggang nyaris putus."
"Biadab...!" maki Ki Polong geram.
"Tenanglah, Sobat. Kita tidak bisa bersikap sem-brono. Aku telah memperingatkan, namun Nyai Ko-neng terlalu keras kepala. Kukatakan padanya bahwa kepandaian Pendekar Rajawali Sakti amat hebat. Dan kita bukanlah lawan sepadan bagi-nya."
"Lalu, bagaimana rencanamu?"
"Kita harus bersama-sama meringkusnya Kemu-dian memberi hukuman setimpal baginya!" jelas Ki Pintur Gumelar tandas.
Bersama-sama siapa, jika sebagian besar ka-wan-kawan kita telah binasa?"
"Kau lupa, Sobat" Kita masih mempunyai tiga orang kawan yang memiliki kepandaian hebat. Mereka memiliki kepandaian dua tingkat di atas kita. Jika me-reka bersatu dengan kita serta yang lain, apa yang bisa diperbuat Pendekar Rajawali Sakti" Kita pasti berhasil meringkus-nya!"
"Ya, ya, aku ingat. Bukankah yang kau maksud-kan adalah Ki Walang Ijo alias si Belalang Sakti, dan Ki Gempar Persada alias si Tangan Geledek, serta Nyai Kami yang berjuluk si Sakit Perak?"
"Benar sekali, Sobat!"
"Tapi apakah mereka mau" Kita sudah lama se-kali tidak bertemu. Dan kudengar, mereka kini men-jauhi dunia ramai dan hidup sebagai per-tapa?" Tanya Ki Polong ragu.
"Percayalah, Sobat. Mereka pasti mau!"
"Bagaimana kau bisa yakin?"
"Bagaimana tidak" Mereka akan mendengar ke-kejaman yang dilakukan si Pendekar Rajawali Sakti.
Lalu mereka menyadari bahwa kepandaian sepuluh orang seperti kita, belum tentu bisa menandingi pe-muda itu. Apakah itu tidak cukup menjadi alasan un-tuk membantu kita" Lagi pula, bukan hanya kita yang meminta," kata Ki Pintur Gumelar menjelaskan.
"Maksudmu?"
"Pendekar Rajawali Sakti agaknya bukan hanya ingin membalas kita yang dulu pernah menjatuhkan si Netra Buana, tapi lebih dari itu. Dia bisa dipergunakan si Netra Buana untuk membunuh para tokoh silat go-longan lurus yang lain. Dia ancaman bagi mereka. Dan itu, akan kita beritahukan pada tokoh-tokoh silat lain-nya.
"Hm, aku mengerti. Dengan begitu, Pendekar Ra-jawali Sakti akan terjepit dan menjadi incaran setiap tokoh-tokoh persilatan."
"Ki Polong. Sebenarnya, aku tidak tega melaku-kan hal ini padanya. Pendekar Rajawali Sakti adalah tokoh ternama. Dan selama ini, sepak terjangnya selalu di jalan lurus. Tapi entah apa sebabnya, kini dia be-rubah. Dan jelas, itu merupakan ancaman bagi tokoh-tokoh silat golongan lurus. Kita tidak punya pilihan lain. Dan barangkali pun tidak punya kesempatan ba-ginya untuk menjelaskan duduk persoalan. Aku telah banyak mendengar bahwa sebagian tokoh silat, amat membencinya. Dan mereka telah mendengung-dengungkan pada yang lain untuk bersatu, guna menghancurkan Pendekar Rajawali Sakti."
"Akhir kehidupan menggiriskan dari seorang pendekar yang begitu termashur dan disegani semua kalangan," gumam Ki Polong.
"Yaaah! Kedengarannya memang begitu. Tapi te-lah kukatakan tadi, bahwa kita tidak punya pilihan lain." Mereka terdiam beberapa saat, seperti mem-bayangkan apa yang akan terjadi pada Pendekar Raja-wali Sakti. Sepertinya nasibnya telah di-tentukan. Bib semua tokoh persilatan golongan lurus yang selama ini amat dihormati, lalu berniat hendak membunuhnya, siapa yang mampu menahan amukan mereka?"

* * * * *



֍֍֍[ 6 ]֎֎֎

Seorang gadis cantik berbaju biru duduk tenang di pojok sebuah kedai di Desa Sampit. Sesekali mulutnya mengunyah makanan di depan mejanya. Wajahnya tampak murung. Dan meski perhatiannya kelihatan terpusat pada makanannya, sesungguhnya telinganya sedang dipasang lebar-lebar mendengar semua perca-kapan orang-orang di kedai ini. Dan itu semakin membuat hatinya resah bercampur sedih. Bahkan tidak percaya dan terasa amat menyakitkan! "Rasanya sulit dipercaya kalau Pendekar Rajawali Sakti sampai melakukan perbuatan biadab itu!" kata seorang laki-laki? gemuk bermuka bundar. Dia duduk tidak jauh dari meja gadis itu. Sejak tadi mu-lutnya terlihat tidak henti-hentinya mengunyah. Se-mentara pandangannya secara seksama tertuju pada dua orang kawannya.
"He, apa yang kau tahu, Bodong"! Kerjamu ha-nya makan dan tidur!" ejek kawannya yang bertubuh ceking. Dia memakai ikat kepala berbunga-bunga. Di desa ini laki-laki berusia sekitar dua puluh enam ta-hun ini dikenal bernama Sumanta.
Mendengar ejekan Sumanta, kawan mereka yang seorang lagi tampak sedikit tersenyum. Sejak tadi, wa-jah orang itu amat menggebu-gebu menceritakan beri-ta yang belakangan ini amat menghebohkan. Yaitu, Pendekar Rajawali Sakti yang mengadakan pembunu-han di mana-mana secara biadab.
"Dasar si Bodong...!"
"Kalian berdua hanya bisa mengejek. Aku ber-sungguh-sungguh dan sama sekali tidak mengerti. Ke-napa Pendekar Rajawali Sakti yang selama ini dikenal sebagai tokoh yang sering memerangi kejahatan, kok malah membunuh tokoh-tokoh silat golongan lurus?" sahut si Bodong sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Wajahnya kelihatan bingung.
"Kenapa musti heran. Segala sesuatu di dunia ini bisa berubah ya, Min?" sahut Sumanta.
"Iya! Apalagi, kalau telah terpengaruh harta atau wanita." "Jadi, kalian mengira Pendekar Rajawali Sakti terpengaruh harta atau wanita, sehingga mau berbuat sekeji itu?" Tanya si Bodong lagi, dengan wajah sema-kin bodoh.
"Yaaah, mungkin dua-duanya," sahut laki-laki yang bernama Samin tidak acuh.
Si Bodong terdiam, memikirkan kata-kata Samin.
Sementara itu, dari pintu kedai berdiri seorang laki-laki kurus bermata cekung. Tangannya menggeng-gam sebatang tongkat yang pangkalnya terdapat se-buah rantai besi sepanjang lima jengkal. Di ujung ran-tai besi, tergantung tiga bilah pisau. Bajunya lusuh.
Bahkan mirip gem-bel. Tubuhnya bau, sehingga mem-buat sebagian pengunjung yang tidak tahan oleh aro-ma itu segera menutup hidungnya. Namun laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun itu sama sekali ti-dak mempedulikan pandangan seluruh orang yang be-rada di kedai ini. Dengan tenang, dia mengambil tem-pat agak di tengah. Lalu pandangannya beredar ke se-keliling ruangan, sehingga bertumpu agak lama pada gadis berbaju biru itu.
"Eh, Kisanak akan pesan apa?" Tanya seorang pelayan menghampiri laki-laki mirip gembel itu dengan wajah takut-takut.
Laki-laki ini melirik sekilas dengan tatapan ta-jam. Dan si pelayan yang sejak tadi memang sudah ngeri melihat wajah pengunjungnya yang berkesan menggiriskan, sudah semakin bergidik saja bulu ku-duknya.
"Makanan apa saja yang kalian miliki...?" Tanya laki-laki itu dengan suara serak Si pelayan menyebutnya satu persatu dengan suara sedikit gemetar.
"Hm.... Ternyata makanan di kedai ini kurang lengkap," sahut laki-laki itu setengah bergumam.
"Kisanak! Kedai kami merupakan yang terbesar dan terlengkap hidangannya di seluruh kadipaten ini.
Karena, kami ingin memberi kepuasan pada pengun-jung. Bila ada sesuatu yang kau sukai, boleh katakan.
Dan, kami akan berusaha menghidangkannya."
"Hm.... Kalau begitu, tolong sediakan daging se-gar Pendekar Rajawali Sakti serta seguci besar darah-nya!" sahut laki-laki itu bernada dingin.
Si pelayan tersedak dan wajahnya tampak kaget.
"Kenapa" Apakah kau tidak mampu menyedia-kan-nya" Bukankah kau katakan tadi, kedai ini beru-saha memberi kepuasan pada pengunjung" Atau, ba-rangkali aku sendiri yang harus menyediakan-nya?" Tanya laki-laki itu dengan senyum mengejek.
"Kisanak.... Permintaanmu tidak lumrah. Mana mungkin kami bisa menyediakannya?"
"Kalau begitu, sediakan yang lainnya."
"Apakah gerangan yang Kisanak inginkan?"
"Kalau kau tidak bisa menyediakan daging segar Pendekar Rajawali Sakti, maka kau boleh menyediakan kekasihnya sebagai pengganti!" Kembali wajah si pelayan semakin bingung tidak mengerti. Dan semua pengunjung yang dan pertama memandang aneh pada laki-laki ini, sema kin tertarik saja.
"Kisanak...!"
"Hm.... Kau tidak perlu repot-repot Kalau me-mang tidak mampu menyediakannya, setidaknya kau telah cukup membantu. Sebab, dia berada di ruangan kedaimu ini." Kata-kata si pelayan terhenti ketika laki-laki itu langsung memotongnya.
"Eh, apa maksudmu, Kisanak?" "Maksudku ke-kasih si Pendekar Rajawali Sakti ada dalam ruangan kedai ini. Dan, biarlah aku yang akan menangkapnya.
Lalu, setelah itu kau masaklah buatku." Baru saja kata-kata itu selesai, mendadak men-celat sebuah cangkir ke arah gadis berbaju biru yang sejak tadi sama sekali tidak mempedulikan laki-laki itu. Namun mendapat serangan mendadak seperti itu, terkejut juga hati gadis itu. Tubuhnya cepat sedikit bergeser, sehingga cangkir itu hancur berantakan membentur tembok. Sementara tubuh laki-laki kumal itu telah mencelat ke arahnya sambil menghantamkan telapak tangan kanannya.
"Hiiih!" Namun, gadis itu telah lebih dulu melompat, menghindar. Bruak! "Setan buduk!"

* * * * *



? Meja serta kursi tempat gadis berbaju biru tadi berada, hancur berantakan. Sementara laki-laki berba-ju gembel itu sama sekali tidak mempedulikan. Dan dia sudah langsung mengayunkan tongkat menyerang gadis berbaju biru sambil terkekeh-kekeh.
"He he he...! Tidak bertemu Pendekar Rajawali Sakti kekasihmu, maka kau pun bisa kujadikan tum-bal. Berhati-hatilah kau. Sebab, bukan aku saja yang hendak mencincangmu. Tapi semua tokoh persilatan pun ingin berebut membunuhmu!" Gadis berbaju biru yang tidak lain Pandan Wangi alias si Kipas Maut, cepat mencelat untuk menghindari keributan yang mulai terjadi di dalam kedai. Bersa-maan dengan itu, beberapa tokoh persilatan yang tadi berada di kedai, ikut keluar di belakang laki-laki berbaju kumal itu. Bahkan mereka sudah mengepung Pandan Wangi dengan sikap bermusuhan.
"Si Kelelawar Buduk! Jangan serakah kau! Aku pun punya kepentingan dengannya!" teriak seorang la-ki-laki bertubuh kekar pada lelaki berbaju gembel itu.
Cambang bauk tebal tampak menghiasi wajahnya.
"Ha ha ha...! Kau dengar itu, Kipas Maut" Betul kataku, bukan?" Ujar laki-laki yang sesungguhnya di-kenal sebagai si Kelelawar Buduk "Kipas Maut! Kau harus tunjukkan pada kami, di mana Pendekar Rajawali Sakti"!" teriak seorang yang lain dengan wajah garang.
"Huh! Kalian salah alamat! Kalau memang kalian berurusan dengan Pendekar Rajawali Sakti, seharus-nya cari sendirilah. Aku tidak tahu me-nahu di mana dia berada!" sentak Pandan Wangi.
"Ha ha ha...! Mustahil kau tidak tahu di mana dia berada. Jangan coba-coba membohongi kami!" sa-hut satu suara gusar.
"Sebaiknya katakan saja, di mana dia? berada.
Maka kau bisa lepas dari tanggung jawab atas perbua-tan biadab yang telah dilakukannya!" timpal si Kelela-war Buduk.
"Kalian boleh percaya atau tidak Yang jelas, aku tidak tahu di mana dia berada saat ini. Kemunculanku pun untuk mencarinya!"
"Hm, kasihan sekali," desah si Kelelawar Buduk sambil tertawa sinis.
Namun paras wajah si Kelelawar Buduk cepat berubah bengis.
Tapi jangan harap kami bisa percaya begitu saja! Kau hams memberitahukannya! Atau, kau yang akan menggantikannya untuk menerima pembalasan kami!" lanjut si Kelelawar Buduk.
"Si Kelelawar Buduk! Selamanya aku tidak per-nah gentar terhadap orang-orang sepertimu! Kalau kau memaksa, maka aku terpaksa membela diri!" sahut Pandan Wangi, tegas.
"Bagus! Nah, kau boleh terima kematianmu!" Si Kelelawar Buduk langsung mencelat menyerang Pan-dan Wangi dengan mengibaskan tongkatnya. Namun, tokoh-tokoh silat lainnya agaknya tidak mau ketingga-lan. Dengan dipenuhi amarah dan rasa dendam, lima orang dari mereka langsung ikut menyerang si Kipas Maut.
"Si Kelelawar Buduk! Jangan serakah kau! Bu-kan hanya kau yang punya urusan dengannya!" Teriak seseorang. Si Kelelawar Buduk agaknya tidak begitu mem-pedulikannya, apakah mereka mau mengeroyok Pan-dan Wangi atau tidak. Dia tetap menyerang gadis itu dengan hebat.
"Setan alas!" maki Pandan Wangi dengan wajah geram. Gadis itu cepat melompat ke belakang, lalu membuat beberapa kali putaran. Dan langsung kedua senjata andalannya dicabut.
Sret! "Majulah kalian semua kalau hendak memaksa-ku!" desis si Kipas Maut dengan isi? dada dipenuhi amarah. Kejadian ini bukan sekali atau dua kali ditemui Pandan Wangi dalam waktu belakangan ini. Sehingga, tidak membuatnya kaget. Dan dengan tenang, dia be-rusaha menahan serangan-serangan lawan.
Berita buruk yang didengarnya tentang Pen-dekar Rajawali Sakti terasa amat menyakitkan. Semu-la, Pandan Wangi menganggap bahwa itu se-kadar be-rita burung dari orang-orang yang tidak menyukai kekasihnya. Dugaannya, berita itu tidak akan bertahan lama dan akhirnya hilang be-gitu saja. Namun, ternya-ta dari hari ke hari, malah semakin santer. Bahkan membuatnya terpaksa harus menyelidiki sendiri kebe-narannya. Dan hatinya semakin perih ketika mengeta-hui Kenyataan kalau berita yang didengarnya hampir benar. Semua orang menuduh begitu. Dalam hatinya, gadis itu masih tetap tidak percaya kalau Rangga tega berbuat telengas. Itulah sebabnya, dia berusaha men-carinya. Dan hal ini yang membuatnya sedikit banyak sering menemui kesulitan dari tokoh-tokoh persilatan yang mengetahui kalau dirinya memiliki hubungan de-kat dengan Pendekar Rajawali Sakti.
Sementara itu, pertarungan berlangsung seru dan alot. Enam orang pengeroyok Pandan Wangi beru-saha meringkusnya dengan menyerang sangat gencar.
Namun berkat kelincahan serta kepandaian yang dimi-liki si Kipas Maut, agaknya tidak begitu mudah bagi mereka untuk meringkusnya dalam waktu singkat.
Pandan Wangi bukannya tidak menyadari kea-daannya yang terjepit. Meski saat ini masih mampu bertahan, namun gadis itu sendiri tidak yakin berapa lama mampu bertahan. Kalau hal ini berlangsung be-berapa jurus lagi, bukan tidak mungkin dia bisa dija-tuhkan. Berpikir begitu, si Kipas Maut berusaha men-cari kesempatan untuk kabur. Dan ketika kesempatan itu diperoleh, tubuhnya langsung digenjot dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah sangat tinggi. Sebentar saja tubuhnya telah melesat cepat, kabur dari tempat ini.
"Setan betina! Kau kira bisa kabur seenaknya" Huh! Ke mana pun kau pergi, tidak akan selamat dari-ku!" teriak si Kelelawar Buduk seraya terus mengejar-nya diikuti yang lainnya.
?

* * * * *



Pandan Wangi memiliki ilmu meringankan tubuh sudah cukup tinggi. Namun si Kelelawar Buduk pun ternyata tidak kalah hebat. Dan dia mampu menyusul gadis itu pada jarak cukup dekat di belakangnya. Na-mun begitu, Pandan Wangi tidak ingin berhenti. Dia te-rus berlari kencang ke arah selatan. Lima orang penge-jarnya yang lain kehilangan jejak ketika telah terpaut beberapa puluh tombak.
Setelah menyadari bahwa mereka tidak mampu mengejar dan menghilang entah ke mana, Pandan Wangi menghentikan larinya. Ditunggunya si Kelelawar Buduk di bawah sebatang pohon rindang.
"Ha ha ha...! Akhirnya kau menyerah juga, he"!" Kata si Kelelawar Buduk, begitu tiba di depan Pandan Wangi.
"Huh! Kau kira begitu" Aku justru menunggu ke-sempatan seperti ini. Hanya kita berdua di sini. Dan dengan begitu aku leluasa merobek mulutmu yang sombong!" dengus Pandan Wangi berkacak pinggang.
"Ha ha ha...! Mulutmu memang sudah terkenal gegabah, Kipas Maut. Tapi berhadapan denganku, kau harus tahu diri!"
"Chuih, tutup mulutmu! Kau boleh buktikan ka-ta-katamu!" sindir gadis itu, seraya melompat menye-rang laki-laki itu dengan kedua senjata terhunus.
Srak! "Yeaaa!" Si Kelelawar Buduk tidak kalah sigap. Tongkat-nya cepat dikibaskan, menyapu serangan senjata Pan-dan Wangi. Begitu pedangnya membentur tongkat si Kelelawar Buduk, gadis itu menunduk-kan kepala.
Sementara senjata di tangan kirinya yang berupa se-buah kipas baja yang selama ini membuat namanya terkenal, menyambar ke arah dada dengan kecepatan sulit diikuti mata. Si Kelelawar Buduk terkejut dan me-lompat ke belakang.
"Uhhh...!"
"Hiiih!" Pandan Wangi terns melompat, kini dengan sabe-tan pedangnya. Si Kelelawar Buduk tidak tinggal diam.
Langsung ditangkisnya serangan itu dengan tongkat-nya. Cepat sekali tongkatnya berbalik, sehingga tiga bi-lah pisau yang berada di ujung rantai, mencelat me-nyambar tiga titik kematian di tubuh Pandan Wangi.
Wut! Trak!
Pandan Wangi cepat meliukkan tubuh se hingga, sebilah pisau yang menyambar pinggang luput dari sa-saran. Sementara sebuah lagi yang menyambar ke arah jantung, kena ditangkis kipas-nya. Sedangkan pi-sau terakhir dihantam pedangnya, yang terus melibat ke rantai. Gadis itu bermaksud membetotnya.
Trang!
"Heh"!" Bukan main kagetnya si Kelelawar Buduk. Sebi-lah pisaunya rontok dipapas senjata gadis itu. Bahkan kipas maut Pandan Wangi cepat menyambar ke arah leher dan nyaris merobek kulitnya, untung saja dia mencelat ke belakang dengan membuat beberapa kali gerakan jungkir balik "Betina liar! Agaknya hebat juga kepandaian-mu, he"!" dengus si Kelelawar Buduk.
"Itu belum seberapa. Kau akan melihat lebih dari itu, setelah kedua tangan dan kakimu ku-buat putus!" cibir Pandan Wangi kembali melompat menyerang.
"He he he...! Kau kira semudah itu" Coba tahan pukulanku ini!" si Kelelawar Buduk menyodokkan telapak tangan kanannya ke muka. Dan bersamaan dengan itu, me-lesat sekelebatan cahaya ungu menyambar Pandan Wangi.
"Uts, sial!" Sebuah pohon hancur berantakan terkena han-taman pukulan si Kelelawar Buduk Dan kalau Pandan Wangi tidak merunduk, nasibnya sama seperti pohon itu. Pandan Wangi memaki geram dengan hati mang-kel. Dan disertai kemarahan meluap dia kembali me-nyerang laki-laki itu dengan kekuatan penuh.
"Heaaa...!" Si Kelelawar Buduk terkesiap. Pedang di tangan gadis itu seperti memancarkan percik-percik bunga api dalam kelebatan yang sulit diikuti pandangan mata.
Kemudian pedang itu mendekat bagai kilat, dan men-gurungnya dari segala arah.
"Setan!" Si Kelelawar Buduk seraya melompat kesana kemari dengan mengerahkan segenap ilmu meringan-kan tubuhnya. Tongkatnya berusaha menangkis senja-ta Pandan Wangi.
Kali ini terlihat bahwa si Kipas Maut berusaha menghindar dari benturan kedua senjata. Dan dia hanya mengelak, lalu menyerang secara tidak terduga.
Kalaupun kedua senjata mereka beradu, agaknya hal itu hanya membuat si Kelelawar Buduk repot saja.
Trak!
Bet! "Uhhh...!" Tongkat si Kelelawar Buduk baru saja menang-kis. Namun Pedang Naga Geni milik si Kipas Maut ber-gerak cepat ke pangkal lengan. Karuan saja, dia cepatcepat menarik lengannya. Tubuhnya langsung berge-rak ke samping, dengan kepala menunduk ketika pe-dang gadis itu berkelebat menyambar leher. Tubuhnya terus mencelat ke belakang, ketika ujung kipas Pandan Wangi menyambar ke arah dada. Tapi si Kipas Maut tidak menyia-nyiakan kesempatan pada jarak dekat itu. Sambil berbalik mengejar, ujung kaki kirinya menghantam ke arah pinggang belakang si Kelelawar Buduk. Duk! "Aduuuh...!" Si Kelelawar Buduk mengeluh kesakitan, dan nyaris terjerembab. Untung saja dia bisa menguasai di-ri. Namun Pandan Wangi tidak memberi kesempatan padanya barang sekejap. Satu sodokan maut cepat di-lepaskannya ke arah dada. si Kelelawar Buduk mengi-baskan tongkat dengan untung-untungan, karena keadaannya belum siaga betul. Di luar dugaan, gadis itu bergerak ke samping bawah. Lalu tiba-tiba saja ki-pas di tangannya menyambar ke arah perut.
Bret! "Aaakh!" Si Kelelawar Buduk menjerit kesakitan, lebih ke-ras ketimbang tadi. Telapak kirinya langsung mende-kap perut yang terluka parah dan terus mengucurkan darah. Wajahnya berkerut menahan sakit bercampur dendam.
"Hm.... Itulah pelajaran pahit yang kujanjikan padamu...!" Dengus Pandan Wangi dengan mata me-mandang tajam si Kelelawar Buduk.
"Sial! Huh! Kau kira dengan begini, sudah me-ngalahkanku" Phuih! Jangan harap!"
"Siapa yang inginkan kekalahanmu" Dengan ca-ramu ini, aku malah ingin membunuhmu!" sahut gadis itu dingin.
"Majulah! Kau akan dapat balasan yang setim-pal...!" dengus si Kelelawar Buduk mengancam.
"Chuih! Orang sepertimu memang tidak patut di-kasihani. Kau boleh mampus sekarang juga!" Pandan Wangi mulai geram dan naik pitam. Na-mun sebelum dia melompat menyerang, mendadak muncul dua sosok tubuh akan melewati mereka.
Pandan Wangi terkesiap dan si Kelelawar Buduk pun terkejut begitu melihat seorang gadis belia berwa-jah cantik berbaju merah muda. Dia membawa pedang di punggungnya. Tapi bukan gadis itu yang menarik perhatiannya. Melainkan, pemuda tampan berbaju rompi putih yang berjalan di sebelahnya. Dia tidak bisa menahan gembira. Dan dengan wajah cerah, Pandan Wangi berlari kecil menghampiri.
"Kakang Rangga...!" Pemuda tampan berbaju rompi putih yang me-mang Rangga terkesiap dan menoleh. Demikian juga gadis berbaju merah muda itu. Bedanya, pemuda itu memandang Pandan Wangi dengan aneh dan asing, seperti baru pertama kali bertemu. Sedang gadis di se-belahnya sudah langsung bertindak, langsung melom-pat menghalangi Pandan Wangi.
"Perempuan rendah! Enyahlah kau...!" Mendengar itu Pandan Wangi terkejut. Kontan langkahnya dihentikan. Dia seperti menyadari kalau gadis berbaju merah muda ini dekat dengan pemuda itu. Padahal dalam kegembiraan hatinya, gadis yang tak lain Sarti itu seolah-olah tidak terlihat dalam pan-dangannya. Wajahnya tampak bingung bercampur ma-rah. Matanya bergantian memandang mereka berdua.
"Siapa kau..."!" Bentak Pandan Wangi kesal.

* * * * *



֍֍֍[ 7 ]֎֎֎

Dibentak begitu, bukan membuat Sarti kaget atau takut. Dia malah tersenyum mengejek sambil berkacak pinggang.
"Heh! Apakah kau tidak tahu malu" Pemuda itu adalah Pendekar Rajawali Sakti yang kesohor. Dan aku adalah kekasihnya. Nah, tidak usah cari penyakit!"
"Hm, begitu?" Sahut Pandan Wangi tidak kalah sinis.
"Coba kau tanya padanya, siapa aku ini."
"Untuk apa aku musti tanya-tanya segala" Dia tidak berbohong. Kalau dia pernah kenal denganmu sebelumnya, maka sudah pasti tidak memandangmu seperti orang asing!" Balas gadis berbaju merah muda itu dengan sengit.
Mendengar pembicaraan mereka berdua, pemuda berbaju rompi putih yang memang Pendekar Rajawali Sakti semakin bingung dengan wajah bodoh.
"Sarti, apa yang terjadi?" Tanya Rangga.
"Kakang Rangga, gadis ini berkata kalau kau pernah mengenalnya. Betulkah itu?" Tanya Sarti se-raya menggamit lengan pemuda itu dengan nada man-ja.
Bukan main jengkelnya Pandan Wangi melihat sikap gadis itu. Matanya melotot garang, lalu sambil berkacak pinggang telunjuknya menuding pemuda itu.
"Kakang Rangga, jadi benar apa yang kudengar selama ini" Tiba-tiba saja kau menjadi manusia be-jad"! Kini, mulai aneh dan mencoba untuk tidak men-gingat ku. Bagus betul perbuatanmu?" Rangga memandang Pandan Wangi dengan mata seperti tidak berkedip. Namun, raut wajahnya tetap sa-ja bingung dengan dahi berkerut seperti berpikir keras.
Di mana dia pernah mengenal gadis itu"
"Nisanak, si..., siapakah kau sebenarnya" Apakah aku pernah mengenalmu sebelumnya...?" Tanya Rangga, seperti tak mengenali Pandan Wangi.
Bukan main terkesiapnya Pandan Wangi men-dengar sahutan Rangga. Dia memandang dengan wa-jah tidak percaya. Sementara, Sarti tersenyum menge-jek.
"Kau dengar" Dia tidak mengenalmu. Lebih baik, lekas enyah dari mukaku sebelum aku naik darah.
Kau akan celaka, Nisanak. Apalagi bila berani menga-ku kalau kau adalah kekasihnya!" Namun, Pandan Wangi tidak menghiraukan kata-kata gadis itu. Kakinya lantas melangkah lebih dekat untuk meyakinkan pemuda itu.
"Kakang! Aku Pandan Wangi. Tidak ingatkah kau padaku" Atau kau benar-benar telah kepincut gadis ini" Katakanlah, Kakang. Aku rela mendengarnya meski menyakitkan. Kau tidak seperti yang kukenal.
Apakah gadis ini begitu hebat mempengaruhimu se-hingga kau sampai berbuat telengas" Jawablah, Ka-kang. Ada apa semua ini" Kenapa kau berpura-pura tidak mengenalku?" cecar Pandan Wangi.
"Eh! Aku..., aku." Rangga tampak bingung. Hatinya seperti bergon-cang ketika mendengar kata-kata gadis itu. Pancaran matanya menusuk tajam, dan berusaha keras menge-tahui siapa gadis berbaju biru ini. Seolah olah, hatinya begitu dekat dengan gadis itu. Namun, dia tidak tahu kapan dan di mana pernah bertemu. Melihat gelagat itu, bukan main kesalnya Sarti. Digamitnya lengan pemuda itu.
"Kakang Rangga, jangan dengarkan ocehannya! Gadis ini coba mempengaruhi mu. Dan jangan-jangan, dia malah hendak menjebakmu. Lebih baik bereskan saja dia!" bentak Sarti.
"Aku..., aku...," kata Rangga tergagap.
"Apalagi yang kau tunggu" Ayo, bunuh dia! Dia berusaha menipu dan membuatmu lengah. Baru sete-lah itu, dia akan membunuhmu. Dia adalah musuh-mu, Kakang. Ayo, lekas bunuh dia!" hardik Sarti me-merintah.
"Sarti.... Aku tidak bisa membunuhnya."
"Tolol! Kau harus mengikuti apa kataku. Ayo, bunuh dia...!" ulang gadis itu, membentak keras.
Kali ini tidak seperti sebelumnya, Rangga diam saja. Wajahnya tampak bimbang, dan sama sekali ti-dak beringsut dari tempatnya.
"Huh! Kalau begitu, biar kubereskan dia. Agar ti-dak menjadi penghalang!" dengus Sarti. Segera gadis itu melompat mencabut pedangnya dan menyerang Pandan Wangi. Sring!
"Kau telah kuperingatkan, namun keras kepala.
Maka kini kau boleh mampus di tanganku!" desis Sar-ti.
"Huh!" dengus Pandan Wangi, sinis.
Perasaan kesal serta sedih di hati gadis itu ber-baur menjadi satu. Dan melihat Sarti menyerangnya, dia seperti menemukan tempat untuk melampiaskannya. Maka dengan cepat, Pandan Wangi mencabut kipasnya untuk meladeni serangan.
Pertarungan kedua gadis itu tidak dapat dielak-kan lagi. Rangga diam saja memperhatikan dengan wa-jah makin bingung. Sementara, si Kelelawar Buduk yang sejak kehadiran si Pendekar Rajawali Sakti di tempat ini, lebih banyak diam sambil memperhatikan perkembangan. Niat si Kelelawar Buduk yang semula untuk menghajar si Pendekar Rajawali Sakti, kini berubah setelah dilukai Pandan Wangi.
Selama ini yang diketahuinya, kepandaian si Ki-pas Maut berada di bawah si Pendekar Rajawali Sakti.
Kalau saja dia dapat dikalahkan gadis itu, mana mungkin punya harapan untuk menjatuhkan Pende-kar Rajawali Sakti" Apalagi dalam keadaan terluka se-perti saat ini. Lebih dari itu, hatinya sedikit trenyuh melihat apa yang terjadi di depan matanya Si Kelelawar Buduk sudah sering melihat bahwa si Kipas Maut ada-lah kekasih si Pendekar Rajawali Sakti. Dan mereka suka mengembara bersama-sama. Dan dia juga bisa menilai, bahwa Pendekar Rajawali Sakti bukanlah pe-muda mata ke ranjang, sehingga mudah kepincut ga-dis lain. Tapi, Pendekar Rajawali Sakti kelihatan betul-betul sulit mengingat di mana pernah mengenal Pan-dan Wangi. Hal itu membuat-nya menjadi aneh dan menimbulkan tanda tanya besar.

* * * * *



Sementara itu pertarungan antara Pandan Wangi dan Sarti semakin seru. Sarti menyerang dengan ka-lap. Namun sejauh ini, dia belum mampu menunduk-kan Pandan Wangi. Bahkan perlahan-lahan,? terlihat dia mulai terdesak hebat oleh serangan balasan yang dilancarkan si Kipas Maut Apalagi, Pandan Wangi me-mang sedang kalap. Dan di samping itu, kepandaian-nya sangat tinggi. Sehingga ketika Pandan Wangi mulai mengerahkan jurus-jurus mautnya, Sarti dibuat tidak berkutik. Gadis itu hanya mampu melompat menghin-dar kesana kemari.
"Hiiih!" Kipas Maut di tangan Pandan Wangi menyambar ke arah perut, ketika baru saja menangkis. Sarti terkejut Dan dia cepat mengelak dengan melompat ke bela-kang. Masih terasa desir angin tajam dari senjata Pan-dan Wangi, sehingga membuat jantungnya berdetak kencang. Apalagi ketika mengetahui kalau gerakan Pandan Wangi cepat bukan main.
Baru saja Sarti mendaratkan kakinya di tanah, Pandan Wangi sudah berkelebat cepat, dengan ka-ki terangkat Begitu cepat gerakannya, sehingga....
Desss! "Aaakh!" Sarti menjerit keras. Tubuhnya kontan terbant-ing saat dadanya terhantam tendangan keras.
"Huh! Kau boleh mampus sekarang juga!" desis Pandan Wangi dengan amarah meluap, siap melompat menerjang Sarti. Tapi...
Werrr! "Heh"!" Pandan Wangi terkesiap. Mendadak saja, serang-kum angin kencang menghalangi niatnya. Dan ketika mengetahui kalau penyerangnya adalah Pendekar Ra-jawali Sakti, gadis itu semakin terkejut saja.
"Kakang! Apa yang kau lakukan" Kau membela gadis ini" Apakah dia telah menjadi gendakmu?" Den-gus Pandan Wangi, terkejut setengah mati.
"Eh! Bukan maksudku begitu. Tapi..., kau hen-dak membunuhnya," sahut Rangga merasa bersalah.
"Kakang Rangga! Kau lihat, gadis ini hendak membunuhku. Ayo, lekas kau hajar dia! Bunuh dia se-belum melukaimu!" Hardik Sarti geram.
"Sarti! Tujuan kita bukan di sini. Lebih baik, kita lanjutkan perjalanan. Dan, lupakan saja dia."
"Huh! Seenakmu saja bicara! Tidakkah kau lihat dia berusaha membunuhku" Ayo, hajar dia! Bunuh gadis tidak tahu diri ini!" Bentak Sarti garang.
Rangga sama sekali tidak bergerak. Wajahnya semakin bingung saja dengan pikiran bercabang-cabang. Ada niat di hatinya untuk menuruti perintah Sarti. Namun di sisi lain, hatinya tidak menyetujui. Ka-rena dia merasakan sesuatu yang amat dekat dengan gadis berbaju biru ini. Hal inilah yang membuatnya kesal. Maka tanpa mempedulikan keduanya, Pendekar Rajawali Sakti langsung berbalik dan berkelebat dari tempat ini.
"Kakang, ke mana kau"! He, tunggu! Tunggu...!" teriak Sarti, langsung mengejar dari belakang.
Sementara, Pandan Wangi mematung dengan ha-ti kosong. Pandangan matanya sayu. Kelopak matanya terasa hangat dan paras ketika bola matanya berair.
Gadis itu tidak kuat menahan perasaan hatinya yang tidak menentu. Dan dia hanya bisa mematung tanpa berbuat apa pun.
"Kakang Rangga, kenapa kau...?" keluh si Kipas Maut, kecil setengah bergumam.
Lama gadis itu mematung sampai si Kelelawar Buduk mendekati.
"Memang menyakitkan sekali. Tapi, hal itu agak-nya terjadi dengan tidak wajar," tegur si Kelelawar Bu-duk, turut merasakan apa yang dirasakan gadis itu.
"Apa maksudmu?" Tanya Pandan Wangi, sambil menyeka air mata. Disadari kalau si Kelelawar Buduk masih ada di tempat ini.
"Kekasihmu itu.... Pandangan matanya tidak bisa menipu. Dia dipengaruhi sesuatu," jelas si Kelelawar Buduk.
"Gadis itukah maksudmu?"
"Dengan tingkat kepandaiannya seperti itu, mana mungkin dia mampu menguasai kekasihmu."
"Lalu?"
"Seseorang yang begitu hebat tentunya."
"Siapa orang itu?"
"Hm.... Aku tidak bisa menduga secara pasti.
Orang-orang yang terbunuh olehnya, mempunyai sangkut-paut dengan si Netra Buana. Dan berita yang kudengar adalah, Pendekar Rajawali Sakti menuntut balas atas kekalahan si Netra Buana sebelas tahun la-lu oleh tokoh-tokoh yang telah dan akan dibunuhnya," jelas si Kelelawar Buduk lagi.
"Netra Buana" Di mana bisa kutemui orang itu?" Si Kelelawar Buduk tersenyum kecil.
"Tidak mudah menemukannya. Sebab, tidak ada seorang pun yang tahu di mana dia berada. Kalaupun bertemu dengannya, apa yang bisa kau lakukan" Me-maksanya untuk mengobati Pendekar Rajawali Sakti
" Hm.... Tidak mungkin, Nisanak. Dan kepandaiannya belum tentu bisa diimbangi, meski oleh si Pendekar Rajawali Sakti sekali-pun."
"Huh! Aku tidak peduli meski kepandaiannya laksana dewa! Dia harus menjelaskan apa yang telah diperbuatnya terhadap Pendekar Rajawali Sakti. Kalau benar dia mempengaruhinya, maka harus mengemba-likannya seperti semula!" Sentak Pandan Wangi ga-rang.
"Hm.... Kurasa itu belum perlu. Kalaupun niatmu hendak menolong kekasihmu, maka kau harus pergi ke Padepokan Kalong Wetan."
"Padepokan Kalong Wetan" Ada apa di sana?"
"Ketua padepokan itu adalah saudara seperguru-anku yang tertua. Dan dia salah seorang yang dulu pernah? menjatuhkan si Netra Buana. Setelah yang lainnya tewas atau sulit ditemui, maka pilihan Pende-kar Rajawali Sakti pasti jatuh padanya. Dia pasti ke sana!" jelas si Kelelawar Buduk yakin.
"Percuma saja. Kakang Rangga akan...."
"Nisanak! Kekasihmu dalam bahaya. Tiga orang tokoh sakti kawan Ki Polong yang menjadi Ketua Pade-pokan Kalong Wetan, telah menantinya di sana. Dan kudengar, lebih dari tiga belas pendekar telah menan-tinya pula. Pendekar Rajawali Sakti memang tokoh he-bat Namun kecil kemungkinan bisa lolos. Mereka ma-rah dan penuh dendam.? Dan sudah pasti, mereka akan membunuhnya. Di sinilah kesempatanmu untuk menolongnya," jelas si Kelelawar Buduk.
Pandan Wangi terdiam. Kemudian kepalanya mengangguk kecil, membenarkan kata-kata laki-laki itu. Tapi kemudian dipandangnya si Kelelawar Buduk sambil tersenyum kecil.
"Hm.... Aku tidak kenal baik denganmu. Dan ba-rusan pun, kau hendak membunuhku. Lalu, Ki Polong itu adalah saudaramu. Untuk apa kau katakan semua ini, kalau bukan untuk menjebakku" Huh! Jangan co-ba-coba mengelabui ku!" Desis gadis itu sengit "Nisanak! Aku memang bukan orang baik. Tapi, aku bisa membedakan mana yang benar dan buruk.
Kulihat, sikap si Pendekar Rajawali Sakti tidak semes-tinya. Dan itu membuatku percaya kalau dia tengah dipengaruhi seseorang. Aku menyesal telah menuduh-nya. Juga, menyesal telah berlaku kasar padamu. Dan untuk menebusnya, maka ku-beritahu keadaan yang membahayakan kekasihmu. Kalau kau tidak percaya, itu hakmu. Aku tidak peduli kau mau menolongnya atau tidak. Selamat tinggal, Nisanak!" sahut si Kelela-war Buduk, langsung berkelebat dari tempat ini.
Pandan Wangi tercenung. Meski tidak yakin, na-mun hari kecilnya mengatakan kalau si Kelelawar Bu-duk berkata jujur. Dia sedikit bimbang, namun kemu-dian perlahan-lahan meninggalkan tem-pat ini. Yang dituju adalah arah selatan. Arah yang ditempuhnya je-las menuju ke wilayah Padepokan Kalong Wetan!

* * * * *



Bila melihat dari luar, suasana di Padepokan Ka-long Wetan tampak sepi. Hanya ada beberapa murid yang beristirahat melepas lelah. Pintu gerbang sedikit terbuka. Dan dari situ, orang luar bisa melihat bangu-nan utama padepokan yang bertingkat tiga, serta ba-rak-barak yang berbaris rapi mengelilingi, membentuk setengah lingkaran yang kesemuanya menghadap pin-tu gerbang utama. Seluruh bangunan dan halaman depan yang luas, dipagar deretan kayu jati berukuran besar dan tinggi.
Keadaan seperti ini sudah biasa. Murid-murid te-lah selesai mengerjakan tugas siang hari. Dan mereka diperbolehkan istirahat, selama beberapa waktu. Dan menjelang sore, mereka berlatih kembali.
Dari jauh, terlihat dua orang menghampiri pade-pokan itu. Seorang gadis belia berwajah cantik berbaju merah muda dan seorang pemuda tampan berbaju rompi putih. Mereka tidak lain Rangga alias si Pende-kar Rajawali Sakti dan Sarti.
Seorang murid yang menjaga pintu gerbang ter-senyum kecil, manakala mereka telah berada di am-bang pintu.
"Kisanak berdua, ada keperluan apakah sehingga dengan bersusah payah kalian mendekati Bukit Gem-bang dan mendatangi padepokan kami?" Tanya penja-ga pintu gerbang dengan nada ramah.
"Aku ingin bertemu guru kalian," sahut Sarti.
"Oh! Beliau ada di dalam. Silakan masuk."
"Hm...." Gadis itu mendengus sinis seraya melangkah ke dalam, diikuti oleh Rangga.
"Maaf, Bolehkah aku tahu, siapa gerangan Ki-sanak berdua" Agar guruku bisa tahu siapa gerangan tamu-tamunya?" Tanya murid itu lagi, saat mereka te-lah berada di tengah-tengah hala-man depan.
"Cerewet! Suruh saja dia keluar!" sentak Sarti kesal.
"Eh! Baiklah kalau begitu. Silakan menunggu di beranda depan."
"Tidak perlu!" Murid padepokan itu ke dalam, sementara Rang-ga dan Sarti berdiri tegak sambil memperhatikan ke sekeliling tempat. Dan pertama-tama yang diperhati-kan adalah pintu gerbang yang ditutup.
Sarti mendengus sinis, manakala tujuh orang te-lah berjaga di pintu gerbang depan. Kemudian satu persatu, terlihat murid-murid padepokan ini keluar da-ri barak masing-masing. Mereka langsung berdiri men-gelilingi sisi pagar, membentuk setengah lingkaran. La-lu lebih dari tiga puluh murid Iain melompat ke atas pagar, membawa senjata panah serta jala.
"Hm, bagus. Agaknya mereka telah bersiap me-nyambut kita," dengus Sarti melihat gelagat itu.
Rangga terdiam. Namun, pandangan matanya te-rus waspada memperhatikan ke sekelilingnya. Ki-ni kedua anak muda itu telah terkepung oleh se-luruh murid padepokan ini. Dan agaknya, jumlah murid yang banyak itu tidak hanya berasal dari padepokan ini belaka. Tapi, juga dari beberapa padepokan lain.
Sebab, jumlah mereka terus bertambah. Dan masing-masing, siap dengan senjata berbeda. Tidak kurang dari seratus orang telah mengepung Rangga dan Sarti dengan rapat. Sarti mulai tertegun. Dan nyalinya sedikit ciut, melihat jumlah lawan-lawan mereka yang terus ber-tambah.
"Kakang! Aku mencium gejala yang kurang baik," kata gadis itu khawatir.
"Tenanglah."
"Oh! Bagaimana aku bisa tenang" Jumlah me-reka terus bertambah. Tempat ini telah menjadi lautan manusia. Dan kita terkurung di tengah-tengahnya."
"Kenapa" Apakah kau takut?"
"Siapa yang mampu keluar dari kepungan ini" Meski seorang yang memiliki kepandaian hebat, belum tentu bisa keluar dengan selamat" Rangga tidak menjawab lagi. Dan meski nyalinya terus menciut, namun melihat sikap si Pendekar Raja-wali Sakti tetap tenang, hatinya sedikit terhibur.
Seorang laki-laki tampak keluar dari pintu depan bangunan utama padepokan ini. Perutnya gendut dan kepalanya ditumbuhi sedikit rambut. Orang ini tidak lain dari Ki Polong, Ketua Padepokan Kalong Wetan.
Berada di sebelah kiri-nya adalah dua orang laki-laki berusia sekitar tujuh puluh tahun. Yang berpakaian hijau, bernama Ki Walang Ijo. Dia bergelar si Belalang Sakti. Di sampingnya, adalah seorang tokoh tua lain yang namanya pernah menggetarkan dunia persilatan karena kehebatan ilmu silatnya. Namanya, Ki Gempar Persada atau dikenal sebagai si Tangan Geledek. Se-dang di sebelahnya lagi, adalah seorang wanita berusia sekitar enam puluh tahun. Tangannya memegang se-batang tongkat pendek dari rotan. Kalangan persilatan mengenalnya sebagai si Sabit Perak, sebenarnya, nama aslinya adalah Nyai Kami. Senjata khasnya adalah se-buah sabit berwarna keperakan yang terselip di ping-gangnya.
Sementara di sebelah kanan Ki Polong tampak seorang laki-laki setengah baya yang tak lain Ki Pintu Gumelar. Sedangkan di belakang mereka, terlihat tidak kurang dari lima belas tokoh persilatan ternama.
"Hm.... Pendekar Rajawali Sakti sungguh tepat kedatanganmu di sini. Nah! Apakah kau hendak me-mulainya sekarang?" sapa Ki Polong sambil tersenyum kecil.
"Kaukah yang bernama Ki Polong?" Tanya Rang-ga.
"Benar, akulah orangnya."
"Bagus! Kau hams mati di tanganku!" Desis pe-muda itu. Tanpa basa-basi, Rangga langsung me-lompat menyerang Ki Polong.
Orang tua itu tidak tinggal diam. Dengan satu isyarat tangan, maka regu pemanah langsung menghu-jani pemuda itu dengan puluhan anak panah.
Pendekar Rajawali Sakti cepat membuat gerakan salto yang indah untuk menghindari hujan anak pa-nah itu. Dan begitu mendarat, kedua kakinya langsung ditentang lebar. Kedua tangannya cepat terangkut ke atas kepala, lalu bergerak ke pinggang. Dan....
"Aji "Bayu Bajra'!"

* * * * *



֍֍֍[ DEL@PAN ]֎֎֎

Maka bersamaan teriakan Rangga, melesat be-berapa buah jala yang terbuat dari bahan yang alot Tapi saat itu juga bertiup angin kencang laksana badai topan, menerbangkan jala-jala yang akan meringkus Rangga dan Sarti. Dan baru saja serangan melalui jalajala itu gagal, kembali melesat puluhan batang anak panah ke arah Pendekar Rajawali Sakti dan Sarti.
"Hup! Heaaa...!" Pendekar Rajawali Sakti melompat kesana kema-ri menghindarinya dengan gerakan gesit Dengan ting-kat kepandaian yang telah tinggi, mudah bagi Rangga untuk menghindarinya. Tapi tidak bagi gadis berke-pandaian tanggung seperti Sarti. Maka....
Crab!
"Aaakh...!" Sarti menjerit keras. Tiga batang anak panah menancap di betis, paha kiri dan punggungnya.
"Sarti..."!" Rangga terkejut, buru-buru hendak memburu gadis itu. Namun saat itu juga, sepuluh orang tokoh persilatan yang berada di belakang Ki Po-long bergerak menyerangnya. Pendekar Rajawali Sakti terpaksa men-gurungkan niatnya, langsung meladeni mereka. Se-dangkan Sarti yang terluka parah, kena diringkus mu-rid-murid padepokan ini.
"Pendekar Rajawali Sakti, kau lihat! Kawanmu te-lah kena ringkus! Maka sebaiknya menyerah-lah!" te-riak Ki Polong memperingatkan.
Pendekar Rajawali Sakti mundur dua langkah dengan wajah bingung.
"Tidak, Kakang! Jangan menyerah. Kau harus membunuh mereka semua! Bunuh mereka semua. Dan, jangan pedulikan aku...!" Teriak gadis itu lantang.
Wajah si Pendekar Rajawali Sakti tampak be-rubah geram seraya memandang ke arah lawan lawan-nya. Lalu dengan bengis Pedang Pusaka Rajawali Sakti dicabut dari warangkanya.
Sring!
"Siapa yang ingin mati lebih dulu, majulah kalian!" Desis Pendekar Rajawali Sakti garang.
Tantangan Rangga langsung disambut tiga orang tokoh tua yang berada di samping Ki Polong.
"Pendekar Rajawali Sakti, kami terima tantan-ganmu! Yeaaa...!" teriak Ki Walang Ijo, sambil menca-but pedang pusaka yang terselip di pinggangnya Ki Gempar Persada pun tidak kalah gesit. Tong-kat baja yang tadi tersembunyi di balik biru dicabut-nya. Tongkat sepanjang lima jengkal itu sesungguhnya bukan senjata biasa, tapi sebuah warangka pedang ti-pis yang terbuat dari bahan amat kuat.
Sementara itu, Nyai Kami dengan sabit perak-nya yang membuat namanya tersohor sampai ke delapan penjuru angin, tak mau ketinggalan.
Bukan tanpa sebab mereka langsung mencabut senjata. Tapi karena tahu kalau senjata Pendekar Ra-jawali Sakti memiliki pamor hebat. Batang pedang yang memancarkan cahaya kebiruan, sudah cukup membuktikan kalau bukan saja pedang itu yang hebat.
Tapi juga tenaga dalam Pendekar Rajawali Sakti yang sudah sangat tinggi.
"Heaaa...!" Trang!
Benturan hebat terjadi, menimbulkan percikan bunga api ke segala arah. Rangga melompat ke atas.
Pedangnya dikibaskan, hendak memancing ketiga ke-pala lawannya. Namun sekali lagi, ketiga orang tua itu dengan gesit mengelak dan memapak senjatanya.
Trang!
"Uhhh...!" Pendekar Rajawali Sakti terhuyung-huyung ke belakang. Benturan senjata yang berisi tenaga dalam kuat, sempat membuatnya sempoyongan ke belakang.
Masing-masing lawan memiliki tenaga dalam kuat. Sehingga bila digabung menjadi satu dan menyerang ber-samaan, akan terciptalah tenaga amat dahsyat. Hal itulah yang dirasakan si Pendekar Rajawali Sakti.
Namun, pemuda itu tidak kalah cerdik Satu-satunya jalan untuk menjatuhkan lawan-lawannya adalah memisahkan dan membuyarkan kerjasama se-rangan mereka. Namun ketika hal itu coba dilakukan, ternyata bukanlah pekerjaan yang mudah. Bukan saja karena ketiganya amat kompak, tetapi juga gangguan yang sengaja diciptakan murid-murid Padepokan Ka-long Wetan.
Ketika Pendekar Rajawali Sakti mengeluarkan senjata, maka itu dipandang amat berbahaya. Se-hingga, beberapa orang tokoh persilatan lain yang akan menghadapi pemuda itu langsung digantikan ke-tiga tokoh utama ini. Sedangkan, mereka menyingkir membuat arena cukup luas dan berjaga-jaga si segala sudut agar Pendekar Raja-wali Sakti tidak bisa kabur.
Sementara itu, barisan pemanah sesekali melepaskan anak panah untuk mengacaukan serangan Pendekar Rajawali Sakti.
"Hiyaaa...!" Pendekar Rajawali Sakti menghentakkan kedua tangannya ke depan melepaskan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' untuk membuyarkan pertahanan keti-ga lawannya. Namun ketiga tokoh tua itu langsung menggabungkan tenaga, guna memapaki pukulan.
Jderrr!
"Aaakh!" Pendekar Rajawali Sakti memekik keras. Tubuh-nya terjungkal beberapa langkah sambil memuntahkan darah segar. Namun begitu, dia masih mampu berdiri tegak di atas kedua kakinya. Se-pasang matanya tam-pak nyalang, memandang ketiga lawannya. Meski dadanya terasa sakit akibat hantaman pukulan yang kuat luar biasa, namun tidak dirasakannya. Bahkan bersiaga kembali untuk mengadakan serangan beri-kutnya.
Set!
Set...! Kali ini datang serangan anak-anak panah yang meluruk deras ke arah Rangga.
"Huh!" Pendekar Rajawali Sakti menggeram. Langsung pusakanya dikibaskan untuk menghalau puluhan anak panah yang mengurungnya.
"Yeaaa...!"
"Uhhh...!" ?

* * * * *



Baru saja hujan anak panah berhasil dihalau, maka saat itu juga serangan ketiga tokoh tua itu telah cepat datang. Pendekar Rajawali Sakti tercekat Keleba-tan pedang Ki Walang Ijo berhasil ditangkisnya. Se-mentara tongkat Ki Gempar Persada berhasil dielakkan sambil menundukkan kepala. Kemudian tubuhnya mencelat ke samping, untuk menangkis senjata Nyai Kami. Tapi kali ini Ki Walang Ijo telah mengirim seran-gan susu-lan. Dan bersamaan dengan itu, datang se-rangan Ki Gempar Persada melalui satu tendangan ke-ras.
Wuuut! Bet! Rangga cepat menjatuhkan diri dan bergulingan, sehingga kedua serangan luput dari sasaran. Namun, Nyai Kami agaknya mengambil kesempatan emas itu.
Senjatanya cepat disambarkan ke punggung Rangga.
Cras!
"Aaakh!" Kembali Pendekar Rajawali Sakti menjerit ke-ras.
Punggungnya kontan robek dan mengucurkan darah.
Dengan sebisanya dia melompat ke belakang. Tapi, ke-tiga tokoh tua itu tidak mengejar. Karena saat itu juga, menderu hujan anak panah menyambar Pendekar Ra-jawali Sakti.
Set!
Set!
"Hiiih!" Tras!
Kembali Rangga mengibaskan pedang sambil bergerak gesit menghindari hujan anak panah itu. Na-mun, luka dalam yang diderita, serta rasa nyeri di punggung, membuat gerakannya terganggu. Dan....
Crab!
Crab!
"Aaakh!" Pendekar Rajawali Sakti mengeluh tertahan be gitu pinggang kirinya tertancap anak panah. Se-mentara sebatang anak panah lainnya menancap di betis kanan.
"Hiiih!" Sambil berkerut menahan rasa sakit, Rangga mencabut kedua batang anak panah itu. Darah men-gucur deras dari kedua lukanya. Namun dengan tegar, Pendekar Rajawali Sakti berdiri tegak sambil meman-dang ketiga tokoh lawannya dengan sorot mata tajam.
"Huh! Kalian kira mudah menjatuhkan aku de-ngan cara seperti ini"!"
"Pendekar Rajawali Sakti! Kau tidak perlu som-bong. Kematianmu hanya soal waktu. Tidak ada yang bisa kau lakukan saat ini. Kini, kami tahu bagaimana harus menaklukkan mu," sahut Ki Walang Ijo tenang.
Apa yang dikatakan Ki Walang Ijo memang be-nar. Cara mereka menghadapi Pendekar Rajawali Sak-ti, kalau diperhatikan secara teliti, memang berbeda seperti biasanya. Mereka lebih mengutamakan kekom-pakan penyerangan, dan tidak pernah berusaha saling menonjolkan diri dalam menjatuhkan si Pendekar Ra-jawali Sakti. Sebab, hal itu hanya akan merusak per-tahanan mereka. Sebelum Pendekar Rajawali Sakti ti-ba, itu memang telah disepakati bersama. Bila salah seorang di antara mereka ada yang ceroboh dan ber-nafsu, maka pertahanan akan rusak. Maka, bisa di-perkirakan korban akan banyak, meskipun akhirnya si Pendekar Rajawali Sakti masih bisa diringkus.
Ketiga tokoh tua itu juga tidak begitu diburu naf-su dalam menjatuhkan Pendekar Rajawali Sakti sece-patnya, meski melihat ada peluang. Dan kalau diper-hatikan seksama, justru mereka tidak memulai suatu serangan. Melainkan, menunggu pemuda itu untuk menyerang lebih dulu. Mereka terus memberi kesem-patan, jika pemuda itu terlihat mulai keteter.
"Ketahuilah, Pendekar Rajawali Sakti. Di atas langit masih ada langit Begitu juga dengan kehebatan.
Tidak ada sesuatu yang hebat di kolong jagad ini. Jika mereka berbuat kejahatan dan menyebar malapetaka, maka mereka akan hancur dengan sendirinya," timpal Ki Gempar Persada.
"Sayang sekali. Seorang pendekar hebat yang namanya selalu disamakan dengan malaikat kebena-ran, bisa berbuat telengas. Apa yang kau tuju dan apa yang kau inginkan" Apakah kau terperosok dalam ke-kayaan atau wanita" Huh! Segalanya sudah terlambat Kini kau akan mengalami hukuman seumur hidup-mu!" Desis Nyai Kami.
"Huh! Apa pun yang kalian ocehkan, jangan ha-rap akan menyurutkan niatku! Kalian harus mati!" Ujar pemuda itu menggeram.
Kemudian terlihat Pendekar Rajawali Sakti memusatkan pikiran dengan batang pedang melintang ke wajah sampai dada. Kemudian tubuhnya berputar ce-pat bagai gasing. Dan....
"Hiyaaa!" Tubuh Rangga mencelat ringan bagaikan kilat menyambar ketiga lawan. Agaknya, pemuda itu tengah mengerahkan jurus 'Pedang Pemecah Sukma' pada tingkat tertinggi untuk membuyarkan pertahanan la-wan.
"Awas! Jangan sampai terpecah! Ingat! Apa pun yang terjadi, kita tidak boleh berpencar!" teriak Ki Wa-lang Ijo, memperingatkan kedua kawan-nya.
Trang!
"Heaaa!" Pedang Pendekar Rajawali Sakti menyambar ke arah Ki Walang Ijo sambil menghindari kedua senjata Nyai Kami dan Ki Gempar Persada. Serangan Rangga terpusat pada orang tua itu. Dan ketika melihat Ki Wa-lang Ijo mulai terdesak, mendadak dia merubah seran-gan. Dan kali ini, sasarannya pada Nyai Kami. Wanita itu menjadi kaget, sungguh tidak disangka kalau di-rinya akan diserang secara bertubi-tubi. Bahkan le-hernya nyaris putus dibabat pedang pemuda itu, kalau saja tidak mencelat jauh ke belakang. Namun, Pende-kar Rajawali Sakti terus mengejarnya.
Apa yang dilakukan Rangga memang suatu ge-brakan hebat. Serangannya dipusatkan pada satu orang, tanpa melupakan untuk menghindari serangan kedua lawannya. Lalu ketika lawan mulai terdesak, ti-ba-tiba lawan yang lain diserang. Begitu seterusnya, tanpa beraturan. Sehingga, ketiga lawannya menjadi bingung. Dan mereka takut-takut untuk balas menye-rang, karena tidak tahu siapa berikutnya yang akan diserang Pendekar Rajawali Sakti. Gerakan pemuda itu masih terlihat gesit. Dan salah sedikit saja mengelak, maka ujung pedangnya akan menyambar tanpa am-pun. Sehingga, terlihat dalam beberapa jurus saja, ke-tiganya mulai keteter.
"Munduuur...!" teriak Ki Walang Ijo memberi pe-rintah pada kedua kawannya.
Dengan gerakan gesit, ketiga tokoh tua itu men-celat bersamaan ke belakang untuk mengatur jarak, sekaligus memberi kesempatan pada barisan pemanah untuk melepaskan anak panahnya.
"Seraaang!" teriak Ki Polong memberi perintah.
"Yeaaa!" Set!
Set!
Trak!
Tras!
"Kurang ajar!" Pendekar Rajawali Sakti menggeram hebat, se-raya menghindari hujan anak panah.
"Aaa...!" Pendekar Rajawali Sakti menjerit keras. Tubuh-nya langsung tersungkur ketika beberapa batang anak panah menancap di tubuhnya. Pada saat itu juga, ke-tiga tokoh tua yang menjadi lawannya telah mencelat dan siap menghabisinya.
"Yeaaa...!" ?

* * * * *



"Kebakaran...! Kebakaran...!" Terdengar teriakan beberapa orang ketika terlihat kobaran api tiba-tiba sa-ja menyala dan menjalar cepat, membakar barak-barak tempat tinggal para murid. Dan api pun menjalar cepat ke bangunan utama.
Semua orang yang berada di tempat itu terkejut.
Dan yang lainnya langsung bergerak hendak memadamkan api, meski belum ada perintah dari Ki Polong.
Sementara yang lain sibuk mengamankan barang-barangnya.
Set!
Pada saat itu sekelebat benda-benda tajam me-nyambar ke arah Ki Walang Ijo, Ki Gempar Persada dan Nyai Kami. Dengan kalang kabut ketiga tokoh tua itu berusaha menghindarinya dengan bergulingan di tanah. Sesosok bayangan itu menyerang dengan hebat.
Dan baru saja mereka bangkit bayangan itu telah le-nyap bersama tubuh si Pendekar Rajawali Sakti! Maka kekagetan me-reka pun semakin bertambah.
"Kurang ajar! Siapa yang melakukan perbuatan ini"!" desis Ki Walang Ijo geram.
Dua orang Ki Walang Ijo segera melompat keluar dari halaman padepokan. Dan mereka melihat dari ke-jauhan, seseorang berlari kencang ke barat sambil membopong tubuh Pendekar Rajawali Sakti.
"Siapa orang itu?" Tanya Ki Walang Ijo, ketika kedua kawannya telah melompat ke dekatnya.
"Entahlah. Dia telah berlari jauh. Percuma bila kita mengejarnya," sahut Ki Gempar Persada.
"Kepandaiannya tidak terlalu hebat. Namun, dia cukup cerdik untuk membuat kekacauan," timpal Nyai Kami. Ki Polong dan Ki Pintur Gumelar serta yang lain mendekati ketiga tokoh itu.
"Bagaimana...?" Tanya Ki Polong.
"Seseorang telah menyelamatkan Pendekar Raja-wali Sakti," sahut Ki Walang Ijo.
"Siapa" Apakah Kisanak bertiga mengetahui-nya?"
"Entahlah.... Kami tidak sempat memperhati-kan."
"Apakah si Netra Buana sendiri yang menyela-matkannya?" kata Ki Pintur Gumelar, seperti bertanya pada diri sendiri.
"Mungkin saja," sahut Nyai Kami.
"Lalu, apa yang akan kita lakukan sekarang?" Tanya Ki Polong.
"Bila si Netra Buana yang menyelamatkannya, maka bencana ini belum berakhir. Sewaktu-waktu, dia akan muncul kembali dan membuat bencana yang le-bih hebat," gumam Ki Pintur Gumelar.
"Hm, kenapa musti khawatir" Kita segera menye-lesaikannya," sahut Ki Walang Ijo.
"Bagaimana caranya, Ki?" tanya Ki Polong "Gadis yang bersama si Pendekar Rajawali Sakti itu kuncinya. Dia harus membawa kita pada si Netra Buana. Bagaimanapun caranya!"
"Betul! Kali ini si Netra Buana jangan lagi diberi ampun. Orang itu harus binasa!" desis Ki Gempar Per-sada geram, "Kapan kita melakukannya?" Tanya Ki Pintur Gumelar.
"Jangan terburu nafsu, Ki Pintur. Kita selesaikan dulu urusan di sini. Kemudian, kita susun rencana yang matang," sahut Ki Walang Ijo.
"Betul. Kini ada baiknya kita bantu mereka me-madamkam api," timpal Ki Gempar Persada, seraya mengajak yang lainnya bubar.

Siapakah yang menyelamatkan Pendekar Raja-wali Sakti? Apakah Pendekar Rajawali Sakti akan men-jadi ancaman kembali, bila si Netra Buana yang me-nyelamatkannya? Di manakah si Netra Buana itu. Sia-pa dia sesungguhnya? Akankah aji sirep 'Pelumpuh Sukma' yang merasuki jiwa dan pikiran Pendekar Rajawali Sakti akan lenyap?
Bagaimana Rangga menyele-saikan persoalan ini" Untuk jawabannya, silakan tunggu episode berikutnya: TONGKAT SIHIR DEWA API

SELESAI



INDEX PENDEKAR RAJAWALI SAKTI
Sengketa Tiga Potong Peta --oo0oo-- Tongkat Sihir Dewa Api


Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.