Life is journey not a destinantion ...

Tumbal Penguasa Samudra

INDEX PENDEKAR RAJAWALI SAKTI
Gerhana Kembang Kedaton --oo0oo-- Mustika Kuburan Tua



RANGGA PATI
Pendekar Rajawali Sakti
Karya: Teguh .S
EP:TUMBAL PENGUASA SAMUDERA

Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit



֍↨::::↨֍¦ 1 ¦֎↨::::↨֎

Tidak ada suara yang lebih indah daripada suara alam. Terlebih lagi suara deburan ombak yang menghantam batu-batu "karang di pantai. Begitu indahnya, hingga membuat seorang pemuda berbaju rompi putih termangu. Dia berctiri di atas sebuah batu karang yang cukup tinggi, dan menjorok ke tengah laut.
Tanpa berkedip, kedua matanya memandang lurus ke arah sepasang burung camar putih yang bermainmain lincah. Di antara gulungan ombak. Suara jerit sepasang burung camar itu bagaikan nyanyian alam sehingga menambah indahnya suasana siang hari yang panas ini.
Seringkali pemuda itu tersenyum manakala melihat sepasang burung camar itu sating memperebutkan ikan yang berhasil diperoleh salah se-ekor pasangannya.
"Hhh.... Seandainya setiap manusia bisa bebas seperti camar itu...," terdengar desahan halus, hampir tidak terdengar di telinga.
Pemuda tampan berbaju rompi putih itu memalingkan mukanya ketika mendengar ayunan kaki yang ringan dari arah belakang. Tampak seorang gadis bertubuh ramping tengah berjalan menghampirinya.
Ayunan langkahnya begitu ringan, dan tidak tergesagesa. Wajahnya cantik sekali. Kulitnya putih, dan begitu pas dengan baju ketat berwarna biru langit yang dipakainya.
Sehelai sabuk kuning keemasan melilit pinggangnya. Sedangkan sebuah kipas putih keperakan terselip di sabuk itu. Gadis itu berhenti berjalan tepat di dekat batu karang yang sangat Jjesar menjorok ke tengah laut.
"Sampai kapan kau akan tetap di sana, Kakang?" tanya gadis itu agak berteriak. Bahkan membuat sepasang burung camar yang tengah bercanda jadi terkejut.
"Hup!" Ringan sekali gerakan pemuda berbaju rompi putih itu saat melompat dari atas batu karang. Dua kali tubuhnya berputaran di udara, lalu mendarat manis sekali di depan gadis berbaju biru. Sedikit pun tidak terdengar suara saat sepasang kakinya menjejak pasir .pantai yang putih dan basah. Dia tersenyum, lalu mengayunkan kakinya tanpa berkata-kata lagi.
Gadis cantik berbaju biru itu mengikuti. Langkahnya langsung disejajarkan di samping kanan pemuda berbaju rompi putih ini.
"Kapan kita sampai di Karang Setra, Kakang?" Tanya gadis cantik berbaju biru itu.
"Tidak lama lagi," sahut pemuda berbaju rompi putih.
"Rasanya aku sudah kangen, ingin berkumpul lagi bersama Cempaka dan Danupaksi." Pemuda berbaju rompi putih yang tak lain adalah Rangga, hanya tersenyum saja. Sedangkan gadis di sampingnya yang dikenal bernama Pandan Wangi atau berjuluk si Kipas Maut, terus berjalan.
Pandangannya nampak lurus ke depan. Mereka berjalan berdampingan menyusuri pantai berpasir putih yang selalu dibasahi air laut Beberapa kali lidah ombak menjilati kaki mereka.
"Kakang...," terdengar manja suara Pandan Wang}.
Gadis itu memeluk lengan Rangga. Sikapnya memang manja sekali. Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti hanya mendiamkan saja. Dia bergumam sedikit dan terus melangkah tanpa memalingkan muka sedikit pun juga. Dalam beberapa hari ini, gadis itu sudah merasa kalau sikap Rangga agak lain.
Pendekar Rajawali Sakti lebih sering murung, dan tidak lagi banyak bicara. Dari sikapnya itu, Pandan Wangi sudah bisa meraba kalau ada sesuatu yang sedang mengganggu pikiran Rangga.
"Ada apa, Pandan?" Tanya Rangga yang menunggu lama.
Tapi, Pandan Wangi masih diam saja memandangi wajah tampan di sampingnya ini.
"Kenapa Kakang seperti tidak ingin kembali ke Karang Setra?" tanya Pandan Wangi, bernada raguragu.
Rangga hanya tersenyum saja. Pendekar Rajawali Sakti bukan tidak ingin kembali ke Karang Setra.
Tanah kelahirannya memang selalu ditinggalkan, karena itu adalah tuntutan jiwa kependekarannya.
Hanya saja, semakin dekat dengan Kerajaan Karang Setra, hatinya semakin gelisah saja. Dia sendiri tidak tahu, apa penyebab semua itu. Tidak biasanya Rangga mempunyai perasaan begini. Biasanya, setiap tempat yang akan disinggahinya selalu dianggap sama. Dan tentu saja memiliki persoalan yang menuntutnya untuk diselesaikan. Dan memang selama ini, tidak pernah ada keluhan. Tugasnya sebagai seorang pendekar, memang harus mem- bantu siapa saja yang membutuhkan pertolongan.
Tidak peduli, apakah itu orang berpangkat, atau rakyat jelata.
Ayunan langkah mereka terhenti ketika dari arah depan teriihat debu mengepul, membumbung tinggi ke angkasa. Sementara bumi yang dipijak terasa bergetar bagai terjadi gempa. Suara gemuruh deburan ombak, mulai terganggu oleh deru angin kencang disertai menggemuruhnya suara bagaikan bebatuan berjatuhan dari atas bukit. Belum lagi ada yang sempat berpikir lebih jauh, mendadak saja....
"Pandan, awas...!" seru Rangga keras dan tiba-tiba sekali.

*
* *

"Hup! Yeaaah...!" Tubuh Rangga cepat melenting sambil memberi perintah pada Pandan Wangi, tepat di saat gumpalan debu bersama tiupan angin badai melanda ke arah mereka. Pandan Wangi yang tidak cepat menyadari terlambat untuk menghindar.
"Aaa. .!"
"Pandan...!" Rangga terkejut bukan main, melihat Pandan Wangi tergulung gumpalan debu yang terus bergerak cepat disertai hembusan angin kencang dan suara gemuruh. Tubuh Pandan Wangi kini seperti lenyap tertelan gumpalan debu bagai bola raksasa itu.
"Hap! Hiya! Hiyaaa...!" Cepat Rangga berlompatan mempergunakan ilmu meringankan tubuh untuk mengejar Pandan Wangi yang lenyap tergulung gumpalan debu itu. Namun belum jauh Rangga bertindak mengejar, mendadak saja gumpalan debu bagai bola raksasa itu menghilang. Dan ternyata, Pandan Wangi juga turut lenyap bersamaan dengan lenyapnya gumpalan debu itu.
Rangga menghentikan pengejarannya, tepat di tempat gumpalan bola debu raksasa tadi menghilang.
"Heh...! Ke mana dia...?" Rangga jadi kebingungan sendiri. Pandangannya beredar ke sekeliling, namun tidak ada yang dapat dilihat lagi. Keadaan di tepian pantai ini kembali tenang. Hanya deburan ombak dan teriakan burung camar saja yang terdengar saling bersahutan. Tidak ada lagi suara bergemuruh bagai badai. Tidak ada lagi gulungan debu serta angin topan yang menjalar.
Bahkan Pandan Wangi juga tidak nampak di sekitar tepian pantai ini.
Rangga benar-benar tidak bisa memahami kejadian yang baru saja dialaminya ini. Dia tidak tahu, dari mana datangnya, dan kemana lenyapnya gumpalan debu yang membawa Pandan Wangi pergi.
"Heh...?!" Rangga tersentak kaget ketika tiba-tiba tempat yang dipijaknya bergetar hebat Dan belum lagi bisa melakukan sesuatu, mendadak....
Glarr...! "Hiyaaa...!" Cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti melenting- kan tubuhnya ke udara, ketika tiba-tiba saja tempat yang dipijaknya terbongkar bersama ledakan dahsyat menggelegar. Debu dan pasir berhamburan ke udara, membentuk jamur raksasa. Beberapa kali Rangga ber-jumpalitan di udara, sebelum mendarat manis sekali di tempat yang cukup jauh dan aman.
Debu masih teriihat mengepul, membumbung tinggi ke angkasa. Rangga sampai terpana menyak- sikan debu dan pasir membentuk jamur raksasa.
Begitu indah, namun tersembunyi kedahsyatan yang mengerikan. Kalau saja Pendekar Rajawali Sakti tidak cepat melompat ke udara, pasti tubuhnya bakal hancur bersama debu dan pasir itu tadi. Perlahan namun pasti, debu dan pasir itu menyebar tertiup angin. Tampak sebuah lubang yang sangat besar menganga sekitar tiga batang tombak didepan Rangga.
"Hm...." Rangga mengerutkan kening ketika melihat ke dalam lubang yang menganga lebar di depannya. Di dalam lubang itu terdapat undakan tangga yang menuju ke dalam tanah. Yang membuat kening Pendekar Rajawali Sakti semakin dalam berkerut, undakan tanah itu seperti terbuat dari batangan emas. Kuning berkilat tertimpa teriknya cahaya matahari.
Perlahan Rangga mendekati lubang itu. Dan keningnya semakin berkerut dalam. Ternyata undakan tangga kuning keemasan itu menuju sebuah pintu yang sangat besar, dan berdaun pintu dari besi.baja putih berkiat Pintu itu terbuka lebar, seakan-akan memperilakan Pendekar Rajawali Sakti untuk masuk kesana. Sebentar pemuda berbaju rompi putih itu tertegun memandangi ke arah pintu di dalam lubang besar di depannya ini.
"Masuklah, tidak ada yang perlu dikhawatirkan."
"Heh...?!" Rangga terlonjak kaget begitu tiba-tiba terdengar suara menggema. Suara itu demikian jelas, seakanakan berada dekat di telinganya.
Rangga terlompat mundur dua tindak.
Pandangannya beredar ke sekeliling. Tapi, tidak ada seorang pun yang terlihat di sekitar tepian pantai ini. Kembali Pendekar Rajawali Sakti mengarahkan pandangan ke dalam lubang.
Pintu di dalam lubang itu masih tetap terbuka lebar.
"Masuklah, Pendekar Rajawali Sakti," kembali terdengar suara menggema.
"Hm..., siapa kau?" Tanya Rangga. Sikapnya pe-nuh kewaspadaan.
"Kau akan tahu jika sudah berada di dalam istanaku," sahut suara itu lagi.
Rangga terdiam. Sebentar otaknya berputar untuk menuruti suara yang terdengar tanpa ujud itu.
Perlahan kakinya melangkah mendekati lubang itu.
Satu undakan tangga kuning keemasan dipijaknya.
Perlahan kakinya bergerak menuruni undakan tangga berjumlah tujuh buah itu satu persatu. Rangga berhenti sebentar setelah sampai didepan pintu besi baja putih berkilat.
Keadaan di balik pintu ini begitu gelap, tanpa ada cahaya sedikit pun yang menerangi. Perlahan Rangga melangkahkan kakinya memasuki pintu yang sangat besar ini. Kembali Pendekar Rajawali Sakti terkejut.
Karena begitu berada di dalam, mendadak saja pintu itu cepat bergerak menutup. Suasana di dalam begitu gelap, sampai-sampai untuk melihat tangan sendiri tidak bisa.
"Aku harus menggunakan aji 'Tatar Netra'," gumam Rangga dalam hati.
Namun belum juga Pendekar Rajawali Sakti me- ngerahkan aji 'Tatar Netra', terdengar derit daun pintu yang bergerak membuka. Tampak seberkas cahaya menyilaukan bergerak perlahan dari arah depan.
Cahaya yang begitu terang dan semakin membesar itu sangat menyilaukan mata. Rangga menyipitkan matanya sedikit. Sebentar diamati sekitarnya. Ter- nyata dia berada dalam sebuah gua yang berlorong amat panjang. Namun gua ini sekarang begitu terang, seperti berada di luar sana.
"Berjalanlah terus mengikuti lorong ini, Pendekar Rajawali Sakti," kembali terdengar suara menggema bernada berat.
"Hm...," Rangga bergumam.
Perlahan Pendekar Rajawali Sakti mengayunkan langkahnya menyusuri lorong yang cukup besar dan panjang ini. Sebuah lorong lurus, tanpa ada belokan sedikit pun. Rangga merasa kalau lorong ini terus menurun. Jalan yang dilalui tidak bisa terlihat, karena tertutup kabut tebal hingga sebatas lutut Perlahan lahan Pendekar Rajawali Sakti berjalan dengan mata tajam mengamati sekelilingnya.
"Hm.... Sepertinya, lorong ini tidak pernah ada habisnya," gumam Rangga dalam hati.
Pendekar Rajawali Sakti terus berjalan perlahanlahan. Dan memang, lorong ini seperti tidak berujung.
Pemuda berbaju rompi putih itu menoleh ke belakang.
Agak terkejut juga dia.
Karena setiap tempat yang dilewati, selalu tertutup kabut tebal, sehingga tidak bisa lagi melihat tempat asal masuk tadi. Namun anehnya, hawa di sini begitu hangat Padahal tidak ada sinar matahari. Dan cahaya yang menerangi juga berasal dari batu-batu dinding, dan langit-langit lorong ini.
"Tempat apa ini..?" Rangga bertanya-tanya dalam hati.

*
* *

Entah sudah berapa lama Rangga berjalan, tapi belum juga menemukan ujung lorong yang berkabut tebal ini. Semakin jauh berjalan, semakin terasa kalau jalan yang dilaluinya terus menurun. Namun Pendekar Rajawali Sakti terus saja mengayunkan kakinya. Setiap tempat yang dilangkahi selalu diamatinya. Tidak ada yang bisa dijadikan petunjuk menarik. Yang teriihat hanya gumpalan kabut tebal, dengan bebatuan memancarkan sinar terang bagai matahari.
"Berbeloklah ke kanan, Pendekar Rajawali Sakti," terdengar lagi suara berat menggema dekat telinga Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti menghentikan ayunan langkahnya. Tubuhnya diputar ke arah kanan, lalu kembali berjalan perlahan-Iahan mengikuti petunjuk suara yang didengarnya. Rasa penasaran semakin menebal menguasai dirinya untuk mengetahui sumber suara itu. Pendekar Rajawali Sakti jadi melupakan Pandan Wangi yang menghilang terbawa gumpalan debu yang datang tiba-tiba di tepi pantai tadi. Entah kenapa, suara dan tempat ini seakanakan menguasai seluruh alam jiwa dan raga Pendekar Rajawali Sakti. Namun demikian, Rangga masih merasakan kalau kesadarannya tetap seperti biasa, tak terganggu sedikit pun.
"Masuklah ke pintu yang berada di tengah." Rangga menatap pintu paling tengah di depannya.
Ada lima buah pintu yang bentuk dan ukurannya sama persis. Sebentar Pendekar Rajawali Sakti terdiam, kemudian langkahnya terayun menuju pintu paling tengah.
Ayunan langkahnya kembali terhenti di depan pintu. Sebentar diamatinya bagian dalam pintu di depannya. Begitu gelap, .seperti pertama kali masuk ke dalam lorong ini. Kemudian Rangga mengamati pintu-pintu lain yang bentuk dan ukurannya sama persis. Perlahan kakinya kembali terayun memasuki pintu itu.
Aneh...! Begitu kakinya melewati pintu, keadaan di dalam menjadi terang benderang. Rangga berdecak, seakanakan tidak percaya dengan apa yang disaksikannya.
Dia seperti berada dalam sebuah taman surga yang begitu indah tak ada bandingnya. Pendekar Rajawali Sakti berdiri terpaku memandangi "sekitamya sambil beberapa kali berdecak kagum.
Sungguh....! Belum pernah Pendekar Rajawali Sakti melihat alam begitu indah, bagai taman Swargaloka yang khusus diperuntukkan bagi dewa. Begitu mudahnya, sehingga sukar dilukiskan dengan kata-kata seindah apa pun juga.
Pandangan Pendekar Rajawali Sakti kemudian tertuju pada sebuah bangunan berbentuk istana kecil yang memancarkan cahaya kuning keemasan.
"Selamat datang di taman istanaku, Pendekar Rajawali Sakti...."
"Oh...?!" Rangga terkejut.
Pendekar Rajawali Sakti langsung memutar tubuhnya. Dia semakin terkejut begitu melihat seorang laki-laki yang sebaya dengannya tahu-tahu sudah berdiri tidak jauh darinya. Di belakang laki-laki berwajah tampan dan berkulit putih halus bagai kulit seorang gadis remaja itu berdiri berjajar gadis-gadis cantik mengenakan kemben sebatas dada. Mereka seperti sengaja memperlihatkan bagian kulit bahu dan sebagian dada atas yang putih mulus tanpa cacat sedikit pun.
Di samping kanan dan kiri pemuda tampan ber- pakaian indah itu, berdiri dua orang laki-laki tua oerjubah putih dan dua orang perempuan tua yang juga mengenakan jubah putih. Mereka semua memegang tongkat kayu hitam berlekuk yang pada bagian kepala berbentuk bulat seperti telur angsa. Pemuda itu melangkah perlahan mendekati Rangga.
"Maaf, jika cara mengundang kami kurang berkenan di hatimu, Pendekar Rajawali Sakti," ucap pemuda tampan itu.
Suaranya terdengar lembut, namun sangat besar dan berat Bahkan mengandung kewibawaan yang sangat besar. Rangga hanya tersenyum saja.
Hatinya masih diliputi kekaguman yang amat sangat terhadap keadaan di tempat ini.
Demikian pula orang-orangnya, serta pakaian yang dikenakan.
Bagi Pendekar Rajawali Sakti hal ini sangat aneh. Mereka berpakaian seperti layaknya para dewa dan dewi di kahyangan. Apakah dia berada di Swargaloka....? Rangga cepat menghilangkan pikiran seperti itu.
Pendekar Rajawali Sakti tidak ingin berpikir terlalu jauh dulu.
"Mari..., sebaiknya kita bicara di dalam," ajak pemuda itu ramah.
Rangga tak dapat menolak ajakan yang ramah ini, meskipun hati dan pikirannya saat ini dipenuhi segudang pertanyaan dan keheranan tentang semua yang dialaminya. Dia belum mengerti, untuk apa manusia-manusia aneh ini mengundangnya ke sini? Dan lagi..... Dimana sekarang Pandan Wangi berada? Rangga jadi teringat Pandan Wangi. Dan baru kali ini dia teringat kekasihnya itu. Tapi pada saat seperti ini, rasanya tidak layak bertanya. Terlebih lagi, sikap orang-orang di sini begitu ramah, seperti menyambut seorang tamu agung yang sudah lama dinantinantikan.
Rangga terpaksa memendam rasa keingintahuannya yang mulai menggejolak dalam dada.
Diikutinya saja pemuda tampan berpakaian indah dan aneh ini, menuju ke bangunan istana kecil yang seluruh dindingnya berwarna kuning keemasan. Di belatang mereka, tampak mengikuti dua orang laki-laki tua dan dua orang perempuan tua berjubah putih, serta dua puluh gadis cantik berkemben sebatas dada.

*
* *

֍↨::::↨֍¦ 2 ¦֎↨::::↨֎

Kekaguman Rangga semakin bertambah setelah berada, di dalam bangunan istana kecil. Dari luar, bangunan itu memang teriihat sederhana. Tapi begitu berada di dalamnya, seluruh istana yang ada di mayapada ini pasti tidak bisa menandingi.
Bahkan Rangga yakin kalau istananya sendiri di Karang Setra juga tidak bisa membandingi. Begitu indah! Bahkan seluruh dinding, lantai, dan langit-langitnya seperti terbuat dari emas murni berhiaskan manik-manik batu permata.
Mereka kini berkumpul di sebuah ruangan yang cukup besar dan duduk di lantai beralaskan permadani tebal yang empuk, menghadapi sebuah meja rendah yang lebar berbentuk bulat. Meja besar berkilat itu penuh segala macam makanan yang mengundang sclera siapa saja yang melihat. Tapi tidak buat Rangga. Selera makannya hilang seketika teringat Pandan Wangi. Apalagj, dia tidak tahu maksud undangan orang-orang ini padanya, dengan cara yang aneh dan sukar dimengerti.
"Maaf, kalau boleh tahu, apa nama tempat ini.
Dan, siapa Kisanak serta Nisanak semua...," ujar Rangga mendahului.
"Aku Pangeran Argabaja. Dan mereka ini adalah para pengawal serta dayang-dayangku," pemuda tarapan itu memperkenalkan diri, serta semua orang yang berada dalam ruangan ini.
Dua orang laki-laki tua yang duduk di sebelah kanan Pangeran Argabaja bernama Ki Sundrata. Dia mengenakan kalung bermata satu buaji. Sedangkan seorang lagi bernama Ki Pulung. Dia mengenakan kalung bermata dua. Sementara dua wanita tua yang duduk di sebelah kiri Pangeran Argabaja masingmasing adalah Nyai Amoksa dan Nyai Sutirani.
Masing-masing juga mengenakan kalung bermata tiga dan empat Pangeran Argabaja sendiri menjelaskan kalau jumlah mata kalung yang dikenakan keempat pengawal pribadinya sekaligus merupakan tanda tingkat kepandaian. Yang memiliki jumlah mata kalung sedikit, tingkatannya semakin tinggi dari yang lainnya.
Sedangkan di belakang mereka, duduk berjajar jadis-gadis cantik yang hanya mengenakan kemben sebatas dada. Namun pada punggung mereka tersampir sebilah pedang bergagang hitam berhiaskan batu permata merah, bagai batu merah delima yang cukup besar ukurannya.
"Kami sudah memperkenalkan diri. Dan kami sudah tahu, siapa Kisanak sesungguhnya," kata Pangeran Argabaja. Nada suaranya masih terdengar lembut.
"Dari mana Pangeran mengetahui tentang diriku?" Tanya Rangga ingin tahu.
"Namamu sudah terkenal sampai ke negeri kami, Pendekar Rajawali Sakti," jelas Pangeran Argabaja.
"Di mana negeri Pangeran?" Tanya Rangga lagi.
"Sukar untuk dikatakan, Pendekar Rajawali Sakti.
Karena, saat ini kami sendiri tidak tahu, di mana sekarang negeri kami berada. Kami masih beruntung, karena taman kecil ini tidak ikut lenyap bersama yang lainnya," kali ini nada suara Pangeran Argabaja terdengar agak sendu.
"Lenyap...?!" Rangga terkejut tidak mengerti. Sukar dipercaya kalau sebuah negeri bisa lenyap tanpa diketahui. Sebuah negeri bukanlah seorang manusia yang bisa pergi ke mana saja yang sesuka kakinya melangkah. Rangga memandangi Pangeran Argabaja dalam-dalam, seakan-akan tengah mencari kebenaran kata-kata pemuda itu. Namun dari raut wajah dan sinar mata Pangeran Argabaja, tercermin kesungguhan. Bahkan sinar mata yang merembang sendu itu seperti menyimpan kedukaan yang amat dalam.
"Bagaimana kejadiannya sehingga sebuah negeri bisa hilang?" Tanya Rangga mencoba bisa memahami.
"Itulah yang sulit kukatakan, Pendekar Rajawali Sakti. Kami semua sedang berada di dalam taman kecil ini. Tapi begitu tiba-tiba saja, kami tidak bisa keluar karena seluruh taman ini terkurung bebatuan.
Sepertinya kami berada di dalam sebuah lubang yang tiba-tiba saja mengurung kami hidup-hidup. Kami tidak tahu lagi, kemana harus keluar dari tempat ini," Pangeran Argabaja mencoba mengisahkan.
"Aneh...," desis Rangga seraya menggelengkan kepalanya beberapa kali.
Cerita yang dikisahkan Pangeran Argabaja memang sangat aneh dirasakan Pendekar Rajawali Sakti. Bagaimana mungkin sebuah taman yang cukup luas bisa terkubur dalam waktu sekejap saja? Bahkan tanpa diketahui sama sekali. Lebih parah lagi, ternyata juga tidak ada jalan keluar. Padahal, Rangga sendiri bisa datang ke tempat ini. Dan itu berarti ada jalan yang bisa ditempuh. Kembali Rangga meng- amati Pangeran Argabaja dan semua orang yang ada di ruangan ini dalam-dalam. Namun yang didapatinya hanya kesenduan dan sinar mata penuh harap akan pertolongan dari pemuda berbaju rompi putih ini.
"Hhh.... Apa yang harus kulakukan...?" desah Rangga perlahan, seakan-akan bicara pada diri sendiri.
"Kami hanya meminta agar kau membebaskan kami dari keterkurungan ini," pinta Pangeran Argabaja.

*
* *

Di dalam taman kecil ini, sukar diketahui siang dan malam. Keadaannya selalu saja sama. Ini karena cahaya yang berasal dari batu-batuan yang menerangi sekitamya tersebar pada sekeliling dinding taman kecil ini. Apa yang menjadi keraguan serta pertanyaan Pendekar Rajawali Sakti, kini hampir terjawab sudah.
Tempat ini memang terkubur rapat. Orang lain bisa masuk ke taman kecil ini, tapi tidak ada celah sedikit pun untuk bisa keluar.
Dan itu merupakan salah satu dari sekian banyak pertanyaan yang belum terjawab. Bagaimana mungkin jalan masuk bisa tertutup dan tidak bisa lagi diketahui asalnya...? Lalu, siapa yang menuntun Rangga hingga sampai ke tempat asing terpencil ini? Apakah Pangeran Argabaja sendiri, atau salah seorang pengawalnya yang sudah berusia lanjut itu? Atau mereka semua yang menuntunnya ke tempat ini? Semua pertanyaan itu sukar sekali dijawab. Dan memang, Rangga tidak punya kesempatan bertanya lagi pada Pangeran Argabaja.
Sementara itu, Pangeran Argabaja dan semua orang yang beberapa waktu lalu dilihatnya, kini sirna begitu saja bagai tertelan bumi. Sudah tiga kali Rangga mengelilingi taman kecil ini, tapi tidak se- orang pun dijumpai. Dan seakan-akan terasakan kalau taman kecil ini terasa semakin mengecil, karena tiba-tiba saja dinding-dindingnya bergerak mendekati Rangga.
"Sial...!" umpat Rangga seraya menghantamkan tinjunya ke sebuah batu yang cukup besar di depannya.
Batu yang memancarkan cahaya terang itu hancur berkeping-keping, memperdengarkan suara bergemuruh bagai terjadi gempa. Pandangan Rangga beredar ke sekeliling dengan mata memerah, bagai mata elang.
Gerahamnya bergemeletuk.
Sepertinya Pendekar Rajawali Sakti tengah menahan kemarahan yang amat sangat. Tak terlihat seorang pun di sekitar taman ini.
Rangga sekarang yakin betul kalau dirinya tertipu.
Dicobanya untuk mencari jalan keluar dari taman ini.
Tapi setelah berputar-putar beberapa kali mengelilingi taman kecil itu, belum juga ditemukan. Seluruh dinding yang terbuat dari batu bercahaya terang, bagaikan tembok penjara yang rapat dan sangat kokoh. Dan itu terus bergerak merapat.
Sementara, taman itu semakin mengecil saja. Dan jika Pendekar Rajawali Sakti tidak juga bisa mencari jalan keluar, berarti tubuhnya akan terjepit hingga jadi dendeng. Dan itu berarti pula, tamatiah riwayat Pendekar Rajawali Sakti.
"Akan kucoba menghancurkan dinding batu ini," gumam Rangga seraya menatap salah satu sisi dinding.
Pendekar Rajawali Sakti merenggangkan kakinya, laIu menarik napas dalam-dalam seraya meletakkan kedua tangan di pinggang. Sebentar perhatiannya dipusatkan pada satu titik, untuk mengumpulkan kekuatan tenaga dalam pada kepalan tangan. Sesaat kemudian....
"Hiyaaa...!" Glarrr! Ledakan keras terdengar menggelegar seperti hendak memecahkan gendang telinga, begitu satu pukulan bertenaga dalam sempurna sekali dilepaskan Pendekar Rajawali Sakti.
Namun apa yang terjadi....
"Keparat..!" umpat Rangga melihat dinding yang habis dihantamnya masih tetap utuh.
Dinding itu tidak berubah sama sekali, bahkan terus bergerak hendak melumatkan tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Rangga memandangi kepalan tangannya yang memerah, karena pengerahan tenaga dalam penuh. Kembali Pendekar Rajawali Sakti bersiap melakukan pukulan kembali. Kali ini kekuatan tenaga dalamnya ditingkatkan penuh. Seluruh wajahnya jadi lemerah bagai terbakar sinar matahari. Tatapan matanya begitu tajam, seakan-akan hendak menembus dinding batu di depannya.
Glarrr...! Kembali terdengar ledakan keras menggelegar.
Rangga cepat melompat ke belakang tiga langkah begitu dinding yang dihantamnya benjetar. Ledakan itu benar-benar keras, seakan-akan hendak meruntuhkan seluruh dinding serta langit-langit batu yang menimbun taman kecil ini.
"Bedebah...!" lagi-lagi Rangga mengumpat geram.
Meskipun dinding yang terkena pukulannya tadi sempat bergetar, namun tetap tidak berubah sama sekali. Rangga memandangi dinding itu dengan mata tajam menusuk. Sulit dipercaya apa yang baru saja di saksikannya. Pukulan maut yang dilepaskannya tidak berarti sama sekali. Padahal pukulan itu dikeluarkan lewat jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkat terakhir. Selama ini, tidak seorang pun yang bisa menahan jurus maut itu. Bahkan batu karang yang paling keras sekalipun akan hancur berkeping-keping bila terkena pukulannya. Tapi batu dinding ini....
Sama sekali tidak berubah bentuknya, dan terus bergerak perlahan memperdengarkan suara gemuruh.
Sepertinya, kematian Rangga tinggal menunggu waktu saja.
"Apa yang harus kulakukan sekarang...?" gumam Rangga bertanya sendiri.
Sedangkan hatinya mulai guncang, melihat dinding-dinding Itu terus bergerak hendak melumat dirinya.

*
* *

Beberapa kali Rangga mencoba menghancurkan dinding-dinding yang mengelilinginya. Dan setiap kali dicoba, sama sekali tidak berubah. Keringat sudah membasahi seluruh wajah dan tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Namun demikian, dia belum berputus asa.
Kekuatan dinding batu itu membuatnya jadi penasaran "Sepertinya harus dicoba dengan jurus 'Pedang Pemecah Sukma'," gumam Rangga dalam hati.
Sret! Sinar biru berkilau seketika menyemburat begitu Pedang Pusaka Rajawali Sakti tercabut dari warangkanya. Sebentar Rangga memandangi mata pedang yang memancarkan sinar biru itu, kemudian membawanya ke depan dada. Dengan kedua tangan menggenggam erat tangkai pedang, Pendekar Rajawali Sakti bersikap mengerahkan jurus 'Pedang Pemecah Sukma'. Satu jurus simpanan yang yang sangat dahsyat dan jarang dikeluarkan dalam pertarungan, kecuali terpaksa sekali.
"Hup...!" Rangga menarik pedangnya ke samping sehingga ujungnya tegak lurus. Pandangan matanya begitu lajam, menembus dinding batu di depannya. Seluruh tubuhnya bergetar, dan wajahnya memerah bagai bara. Rangga mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalam yang disalurkan ke dalam pedang di tangan.
"Hiyaaa....!" Sambil berteriak keras menggelegar, Pendekar Rajawali Sakti melompat sambil mengayunkan pedang ke depan. Begitu dahsyatnya jurus 'Pedang Pemecah Sukma'! Akibatnya ketika mata pedang menghantam dinding batu bercahaya terang, terjadi ledakan dahsyat menggelegar, disertai percikan api yang berkobar bagai hendak menghanguskan seluruh isi taman ini. "Yeaaah...!" Cepat Rangga melompat mundur sambil menarik kembali pedangnya. Seluruh taman kecil yang kian menyempit ini bergetar, memperdengarkan suara bergemuruh. Rangga memasukkan kembali pedangnya ke dalam warangka di punggung.
Asap tebal masih berkepul dari batu yang terkena babatan pedang sakti itu. Perlahan-lahan asap itu menyebar, tepat saat getaran itu mereda.
"Berhasil...," desis Rangga begitu melihat lubang pada dinding batu.
Cepat Pendekar Rajawali Sakti itu melompat, menerobos lubang menganga di dinding batu ber- cahaya terang itu. Setelah berapa kali berjumpalitan di udara, maka dengan manis sekali kakinya men- darat Dan pada saat itu pula, dinding-dinding berwarna keemasan tadi telah benar-benar rapat.
"Heh...?" Bukan main terkejutnya Pendekar Rajawali Sakti itu, karena dirinya kini telah berada di tepi pantai.
Suara deburan ombak terdengar jelas mengusik telinga.
Sedangkan matahari bersinar terang di atas kepala. Keadaannya persis seperti ketika masuk ke dalam lubang yang ternyata sebuah taman kecil yang terpendam.
"Apakah aku bermimpi...?" Rangga bertanya-tanya sendiri dalam hati.
Pendekar Rajawali Sakti mengedarkan pandangan ke sekeliling. Namun sejauh mata memandang, hanya pantai yang teriihat. Tidak ada dinding yang mengurung dirinya, dan hampir melumat tubuhnya tadi. Tidak ada lubang di pasir yang dimasukinya.
Juga, tidak ada taman yang indah bagai taman Swargaloka milik para dewa di kahyangan. Segalanya seperti sediakala. Tapi, Pendekar Rajawali Sakti merasakan ada yang kurang. Ya..., tidak ada lagi Pandan Wangi di sampingnya.
"Heh...?! Di mana Pandan Wangi...?" Rangga celingukan mencari-cari kekasihnya itu.
Tapi memang, Pandan Wangi tidak ada lagi di tempat Ini. Rangga melompat ke atas sebuah batu karang vang cukup tinggi. Dari puncak batu karang ini, bisa terlihat jelas ke seluruh pantai. Namun tidak seorang pun yang terlihat Keadaan pantai ini begitu sepi, kecuali debur ombak dan jerit burung camar saja yang terdengar.
"Pandan...!" teriak Rangga sekuat-kuatnya. Suara teriakan Pendekar Rajawali Sakti menggema jauh terbawa angin. Namun tak ada sahutan sama sekali.
Panggilan Rangga hanya disahuti burung camar.
Beberapa kali Pendekar Rajawali Sakti berteriak memanggil Pandan wangi, tapi gadis yang dicintainya itu tetap tidak ada. Malah menyahut pun tidak. Ada kecemasan terselip di hatinya. Dia kembali teringat peristiwa yang baru saja dialami. Waktu itu, Pandan Wangi menghilang setelah tergulung gumpalan debu.
Dan dia sendiri terkurung di dalam sebuah taman yang sangat aneh.
"Hm.... Siapa itu yang datang...?" gumam Rangga ketika matanya menangkap sebuah gerak yang cukup jauh dan hampir tidak teriihat.
Semakin lama apa yang dilihat Pendekar Rajawali Sakti, semakin terlihat jelas. Hampir saja jantung Rangga berhenti befdetak begitu dapat melihat jelas apa yang ada di sana. Di antara kepulan debu dan derap langkah kaki yang membuat bumi bergetar, teriihat serombongan orang berpakaian seragam bagai prajurit. Lima orang tampak berada paling depan menunggang kuda. Mereka menggiring seorang wanita cantik dan masih muda serta berbaju biru. Dia terpancang di tiang kayu, di atas sebuah gerobak yang ditarik empat ekor kuda.
"Pandan Wangi...," desis Rangga ketika mengenali gadis yang terikat di tiang itu.
Tanpa berpikir panjang lagi, Pendekar Rajawali Sakti melompat turun dari atas batu.
Sungguh ringan gerakannya, karena ilmu meringankan tubuhnya sudah mencapai taraf sempuna. Bagaikan segumpal kapas, Rangga mendarat manis sekali di depan rombongan itu.
"Berhenti...!" bentak Rangga keras.
Namun rombongan itu seperti tidak mendengar suaranya. Mereka terus saja bergerak perlahan dengan irama tetap. Suara genderang yang ditabuh dua orang bertelanjang dada, seakan-akan hendak menggetarkan jantung siapa saja yang mendengarnya.
Rangga berdiri agak menghadang di depan.
Matanya tajam menatap laki-laki muda yang berada paling depan. Dikenalnya betul siapa pemuda tampan itu.
"Pangeran Argabaja...! Kuminta kalian berhenti!" bentak Rangga lagi dengan suara lebih keras.
Rombongan yang dipimpin Pangeran Argabaja itu tetap bergerak tanpa menghiraukan bentakan Rangga.
Mereka semakin mendekati Pendekar Rajawali Sakti. Hal ini membuat Rangga benar-benar geram.
Dia sudah merasa tertipu, dan sekarang pangeran tampan itu membawa Pandan Wangi dalam keadaan terikat di tiang kayu.
"Bedebah...! Kalian memaksaku melakukan ke- kerasan, heh...?!" geram Rangga sengit.
Pendekar Rajawali Sakti segera menarik kaki kanannya ke belakang satu tindak. Sementara kedua tangannya terkepal erat berada di samping pinggang.
Dan kini rombongan itu semakin dekat saja.
"Kalian yang memaksa...! Hiyaaa...!" Wus...! Begitu Rangga menghentakkan kedua tangannya ke depan dengan jari-jari terbuka lebar, seketika itu juga berhembus angin topan dahsyat. Rupanya Pendekar Rajawali Sakti mengerahkan aji 'Bayu Bajra' untuk menghentikan rombongan itu. Namun apa yang terjadi...? Rombongan kecil itu terus bergerak dengan irama tetap, seakan tidak terpengaruh sama sekali oleh ajian yang dikerahkan Rangga.
"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!" Rangga semakin memperhebat ajiannya. Pasir di pantai ini berhamburan ke udara, tersapu badai yang diciptakan Pendekar Rajawali Sakti. Batu-batu karang mulai berhamburan, beterbangan ke arah rombongan kecil itu. Namun tetap saja mereka bergerak dengan irama tetap. Rangga jadi tertegun, karena tak satu pun batu-batu karang yang beterbangan itu mengenai mereka. Bahkan seperti lewat begitu saja, meskipun jelas sekali Rangga melihat kalau ada beberapa di antaranya yang terkena hempasan batu.
Pendekar Rajawali Sakti memang tak tahu kalau rombongan Pangeran Argabaja mempergunakan aji 'Tinggal Raga'. Ajian ini memang harus digunakan bila mereka berada di luar laut. Tanpa menggunakan ajian ini, jasad mereka akan terbakar matahari.
Namun bila malam hari, ajian ini memang bisa ditanggalkan.
Jadi sekarang tidak heran bila mereka bagaikan sebuah bayangan saja. Dan kini Rangga telah mencabut ajiannya. Sejenak dia tertegun, lalu melangkah mundur beberapa tindak.
Sedangkan rombongan kecil itu terus bergerak maju.
Perlahan, namun pasti mereka semakin mendekati lautan.
Sementara deburan ombak semakin terdengar keras.
Sedikit Rangga berpaling ke belakang.
"He...?!" Mata Pendekar Rajawali Sakti jadi terbeliak.
Laut yang semula tenang, kini seperti mengamuk.
Ombak berrgulung-gulung setinggi gunung. Sedangkan langit menjadi kelam tersaput awan hitam. Angin pun terasa semakin kencang, dengan suaranya yang mengguruh.
Alam seakan-akan hendak murka. Rangga kembali berpaling memandang rombongan kecil yang sudah demikian dekat dengan dirinya.
"Pandan! Kau dengar aku...?!" seru Rangga men- coba memanggil Pandan Wangi.
Namun si Kipas Maut itu tetap diam dengan kepala terkulai, tertunduk lemah. Seluruh tubuhnya terikat tambang yang menyatu dengan tiang di atas gerobak kayu. Sebenamya yang disapa Rangga adalah sukma Pandan Wangi. Sedangkan jasadnya ada di dalam lautan. Si Kipas Maut itu memang telah dimasuki ajian ‘tinggal Raga'. Ajian ini memang bisa diberikan pada orang lain. Hanya saja, orang yang diberikan akan menjadi tak berdaya, dan tak tahu walau sukmanya telah terpisah dari jasadnya.
Rangga menggeser kakinya ke samping. Pikirannya terasa buntu. Pendekar Rajawali Sakti tidak tahu, makhluk apa yang sedang dihadapinya ini.
"Aku harus menangkap salah seorang dari mereka," desis Rangga dalam hati.
Cepat Pendekar Rajawali Sakti melompat me- nerjang salah seorang dayang yang berjalan di belakang Pangeran Argabaja dan empat orang tua pengawalnya. Namun.... "Heh....?!" Pendekar Rajawali Sakti itu terkejut bukan main.
Ternyata dia seperti menerjang sebuah bayangan saja. Jelas-jelas tangannya menyentuh tubuh salah seorang dayang. Tapi, ternyata tidak terasakan apaapa, selain hawa dingin yang menyentuh kulit tengannya.
Rangga jadi penasaran.
Didekatinya salah seorang yang berpakaian seragam prajurit, dan mencoba mencekal tangannya. Lagi-lagi Pendekar Rajawali Sakti terkejut, karena prajurit itu tidak bisa tertangkap. Padahal, tidak ada gerakan berkelit sedikit pun.
"Makhluk silumankah mereka...?" pildr Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti semakin heran dan penasaran. Tangannya dijulurkan hendak menyentuh tubuh salah seorang prajurit Tapi..., tangan Pendekar Rajawali Sakti malah menembus tubuh prajurit itu.
Cepat-cepat Rangga menarik kembali tangannya. Dia benar-benar tidak mengerti akan semua ini.
Sementara Pangeran Argabaja yang berada didepan bersama empat pengawal tuanya, mulai memasuki laut yang mengamuk bergelombang setinggi gunung.
"Hei! Berhenti...!" bentak Rangga sekuat-kuatnya.
Namun rombongan itu tetap saja bergerak. Perlahanlahan namun pasti, mereka mulai memasuki lautan.
Sedikit pun mereka tidak mempedulikan Rangga yang jadi kebingu-ngan. Tidak mungkin Pendekar Rajawali Sakti bisa ikut menceburkan diri ke dalam laut yang tengah murka begini.
Rangga hanya bisa memperhatikan disertai pikiran kalut.
Sedikit demi sedikit, mereka mulai menghilang ditelan gelombang laut. Dan begitu tidak terlihat lagi, mendadak saja alam kembali cerah. Matahari bersinar terang, dan langit pun nampak cerah kembali.
Laut kembali tenang, dan angin bertiup lembut perlahan.
"Oh.... Apa yang terjadi...? Apakah aku akan kehilangan Pandan wangi...?" rintih Rangga dalam hati.
Pendekar Rajawali Sakti jatuh terduduk lemas.
Pandangannya nanar tertuju ke tengah lautan.
Dia begitu yakin kalau gadis yang dibawa tadi adalah Pandan wangi. Tapi, untuk apa mereka membawa Pandan Wangi? Juga, untuk apa mereka mengurung Pendekar Rajawali Sakti di dalam tanah, di sebuah taman indah bagai taman Swargaloka? Siapa mereka sebenarnya...? Pertanyaan yang sangat sukar di- jawab.
"Dewi Penguasa Samudera...," desis Rangga perlahan. "Oh, apakah mereka orang-orangnya Dewi Penguasa Samudera...?" Rangga tersentak mendapat pikiran demikian.
Tubuhnya menggerinjang bangkit berdiri. Ditatapnya ombak di lautan yang bergulung indah dan teratur.
Kepalanya menggeleng perlahan, seakan-akan mencoba menghilangkan pikiran yang tiba-tiba saja timbul di kepalanya. Dia tidak percaya kalau Dewi Penguasa Samudera memerintahkan prajuritnya untuk menculik seorang gadis. Untuk apa...? "Tidak...! Pandan Wangi harus kembali! Dia tidak boleh jadi tumbal! Apa pun yang terjadi, aku harus menyelamatkannya! Hmm…..
Dewi Penguasa Samudera….."

*
* *

֍↨::::↨֍¦ 3 ¦֎↨::::↨֎

Sampai hari menjelang tengah maiam, Rangga masih berada di tepi pantai. Dia duduk bersila, bersikap semadi. Pandangannya lurus ke depan, menatap tajam ke tengah laut yang kini nampak menghitam.
Udara pun semakin dingin terasa menusuk kulit.
Namun Pendekar Rajawali Sakti tetap duduk bersila, tak bergeming sedikit pun juga. Seluruh jiwa dan raganya dipasrahkan pada sang Pencipta. Dan Rangga memohon agar dipertemukan dengan Dewi Penguasa Samudera.
Pada tengah malam, saat itu bulan hanya bersinar separuhnya saja Namun keinginan Pendekar Rajawali Sakti belum juga terkabulkan. Seakan-akan per- mohonan Rangga tidak ditanggapi para dewa yang bersemayam di kahyangan. Namun Pendekar Rajawali Sakti itu tetap duduk diam. Hatinya sudah bertekad, tidak akan bangun sebelum permohonannya dikabulkan. Dia ingin bertemu Dewi Penguasa Samudera, dan meminta kembali kekasihnya.
"Cras!" Tiba-tiba saja kilat menyambar, membelah langit.
Cahayanya yang terang dan hanya sesaat itu, membuat Rangga sedikit terkejut.
Dan belum lagi hilang rasa terkejutnya, mendadak saja di depannya muncul segumpal asap tebal! Perlahan-lahan, asap itu menghilang bersama tiupan angin. Dari gumpalan asap itu muncul seorang wanita berparas cantik bagai dewi.
Pakaiannya indah berwarna biru.
Bahunya yang putih, tertutup selendang tipis ber- warna biru juga. Pada kepalanya terdapat sebentuk mahkota kecil. Di tangan kanannya tertenggam sebatang tongkat pendek berwama kuning keemasan berbentuk seekor ular. Begitu cantiknya, sampaisampai Rangga terpana memandangnya.
"Untuk apa kau memanggilku, Rangga?" lembut sekali suara wanita itu bertanya.
"Siapa kau?" suara Rangga terdengar agak tertahan.
"Aku Dewi Penguasa Samudera," sahut wanita itu memperkenalkan diri.
Senyumnya terkembang, begitu menawan sekali.
"Kau..., Dewi Penguasa Samudera...?" Rangga seakan-akan ingin memastikan.
Wanita itu tidak menjawab, dan hanya tersenyum saja. Begitu manis, membuat parasnya yang cantik semakin bertambah cantik. Entah kenapa, Rangga sampai terpana, dan sempat menelan ludah untuk membasahi tenggorokannya yang mendadak saja jadi terasa kering.
"Kau sudah memanggilku, dan aku kini berada di sini. Katakan, apa yang kau inginkan, Rangga?" ujar Dewi Penguasa Samudera. Suaranya masih tetap terdengar lembut menggelitik telinga.
Rangga tidak perlu bertanya lagi, dari mana wanita cantik penguasa lautan di jagat raya ini bisa tahu namanya. Dari banyak cerita yang telah didengarnya selama ini, Dewi Penguasa Samudera memang bukan manusia. Bisa dikatakan, dia jelmaan Dewi yang ditugaskan melindungi lautan. Dan dia bisa mengetahui nama seseorang tanpa bertanya lebih dahulu.
"Aku ingin kau mengembalikan kekasihku," sahut Rangga seraya bangkit berdiri.
"Kekasihmu...? Siapa kekasihmu?" Tanya Dewi Penguasa Samudera.
"Jangan berpura-pura, Nyai Dewi. Siang tadi orang- orangmu telah menculik Pandan Wangi. Bahkan mereka sempat mengurungku di taman kecil bawah tanah. Pasti mereka membawanya masuk ke dalam laut," Rangga menunjuk ke tengah lautan.
"Sekarang bukan bulan purnama pertama untuk tahun ini, Rangga. Tidak ada pengawalku yang mencari korban. Lagi pula, di istanaku tidak ada gadis yang bernama Pandan Wangi.
Kau boleh lihat ke sana, kalau tidak percaya," tenang sekali jawaban Dewi Penguasa Samudera.
Rangga tersenyum tipis.
Pendekar Rajawali Sakti tahu, seandainya masuk ke dalam istana wanita ini, sangat kecil kemungkinannya bisa kembali lagi.
Kalau pun kembali, pasti sudah jadi mayat.
Dia tahu, siapa wanita cantik penguasa lautan ini.
Dia adalah seorang wanita yang sepanjang zaman selalu tampak cantik.
Bahkan selalu menginginkan pemuda-pemuda tampan untuk dijadikan teman hidup sementara. Di samping itu, Dewi Penguasa Samudera juga mencari gadis-gadis cantik untuk dijadikan tumbal bagi kelangsungan hidup kerajaannya di dasar lautan.
Dan yang pasti, pemuda-pemuda yang sudah tidak diinginkan Dewi Penguasa Samudera lagi akan dikembalikan ke permukaan, namun sudah menjadi mayat.
Sedangkan rohnya tetap hidup, namun men- jadi budak di kerajaan dasar laut Rangga memang belum pernah mengalami sendiri. Tapi cerita-cerita seperti itu sangat melekat dan dipercayai orang-orang yang hidup di pesisir pantai. Bahkan mereka yang tinggal jauh dari pantai pun mempercayainya. Setiap tahun, Dewi Penguasa Samudera ini mencari gadis muda dan seorang pemuda tampan.
"Bagaimana...? Masih belum percaya?" "Aku tidak percaya," sahut Rangga agak men- dengus.
Dewi Penguasa Samudera tertawa renyah. Begitu merdu suara tawanya, bagaikan sebuah kidung yang dinyanyikan pesinden temama. Rangga sempat menelan ludahnya, tapi tetap bertahan untuk tidak tergoda. Wanita ini memang penuh daya pesona, dan sanggup melemahkan hati siapa saja yang berhadapan dengannya.
"Silakan datang ke istanaku, Rangga. Pintu istanaku selalu terbuka lebar untukmu," ujar Dewi Penguasa Samudera lagi.
"Aku akan datang saat fajar menyingsing nanti.
Dan kalau ternyata Pandan Wangi ada di sana, aku tidak segan-segan menghancurkan kerajaanmu!" terdengar nada ancaman dalam suara Rangga.
"Silakan, Rangga. Aku yakin, kau pasti tidak ingin kembali lagi setelah berada di istanaku." "Persetan...!" dengus Rangga dalam hati.
"Ha ha ha...!" Rangga kembali duduk bersemadi. Saat itu seluruh tubuh Dewi Penguasa Samudera tertutup asap tebal yang muncul dari sela-sela pasir. Dan begitu asap menghilang, tubuh wanita itu juga ikut lenyap dari pandangan mata. Rangga memejamkan matanya, untuk kembali melakukan semadi. Kini Pendekar Rajawali Sakti meminta kekuatan dan perlindungan dari sang Pencipta jagat raya ini.
"Apa pun yang akan terjadi, Pandan Wangi harus kudapatkan kembali," tekad Rangga dalam hati.

*
* *

Perlahan Rangga membuka matanya saat merasakan hangatnya sinar sang mentari. Dari balik cakrawala di tengah lautan, nampak menyemburat rona merah yang berasal dari bola api raksasa yang siap menghangatkan sebagian permukaan bumi ini.
Perlahan Pendekar Rajawali Sakti bangkit berdiri.
Pandangannya begitu tajam tidak berkedip, menatap lurus ke tengah lautan.
Baru saja kakinya hendak terayun, mendadak saja telinganya mendengar suara ribut-ribut dari arah belakang. Pendekar Rajawali Sakti berpaling ke belakang. Tampak puluhan orang berjalan beriringan sambil menabuh berbagai macam gamelan. Bukan hanya orang tua dan orang-orang dewasa saja, bahkan anak-anak pun ikut serta dalam iring-iringan itu.
Beberapa di antaranya menggotong tandu ber- bentuk perahu yang dihiasi bermacam-macam bunga dan buah-buahan. Para wanita terlihat membawa baki-baki yang penuh segala macam makanan dan rangkaian bunga. Sejenak Rangga tertegun menyaksikannya.
Iring-iringan itu nampak berjalan cepat melewatinya.
"Maaf, Kisanak. Boleh aku bertanya...?" Rangga mencegat salah seorang laki-laki setengah baya yang berjalan paling belakang.
Laki-laki setengah baya itu memandangi Rangga dari ujung kepala hingga ujung kaki. Sementara iringiringan itu terus bergerak mendekati pantai.
Rangga terpaksa mengayunkan kaki karena laki-laki setengah baya yang dicegatnya sudah kembali berjalan menyusul rombongannya.
"Kenapa mereka seperti membawa sesaji, Paman?" Ranya Rangga tanpa peduli, karena sikap orang yang ditanya kelihatan tidak menanggapi.
"Dua hari lagi bulan purnama pertama tahun ini," sahut laki-laki setengah baya itu tanpa menghentikan ayunan langkahnya.
"Purnama awal tahun...?" Rangga tersentak, seakan-akan tidak percaya.
“Iya. Kenapa...?" laki-laki setengah baya itu memandangi Rangga dalam-dalam. "Kau pasti bukan penduduk sini."
"Benar, Paman Aku kebetulan saja lewat, dan bermalam di sini," Rangga membenarkan.
Kembali laki-laki setengah baya itu memandang Rangga, seakan-akan tidak percaya kalau pemuda berbaju rompi putih ini tadi bermalam di pantai ini.
Kemudian perhatiannya dialihkan ke arah orangorang yang mulai melakukan upacara sesaji.
Secara beramai-ramai bawaan masing-masing dilemparkan dan dihanyutkan oleh perahu yang dihiasi beraneka macam bunga dan buah-buahan ke tengah laut Mereka menggiring dengan perahu yang banyak tertambat di pantai ini.
"Kenapa Paman memandangku seperti melihat hantu...?" tegur Rangga merasa jengah.
"Siapa namamu, Anak Muda?" Tanya laki-laki setengah baya itu.
"Rangga," sahut Rangga.
"Aku Balek. Orang-orang biasa memanggilku Paman Balek. Hm.... Apa benar kau semalam telah berada di sini?" Rangga mengangguk.
"Kau tidak menemui peristiwa apa-apa semalam?" Tanya Paman Balek lagi.
Rangga tidak segera menjawab. Sekarang malah terbalik. Pendekar Rajawali Sakti yang memandangi laki-laki setengah baya ini dalam-dalam. Agak terkejut juga hatinya mendengar pertanyaan Paman Balek barusan.
"Aku melihat serombongan prajurit membawa seorang tawanan melintasi tempat ini," jelas Rangga tanpa mengatakan yang sebenarnya.
"Apa yang kau lakukan?" Tanya Paman Balek lagi.
"Tidak ada," sahut Rangga, berbohong.
"Syukurlah kau tidak mendapatkan suatu apa pun, Anak Muda. Dan sebaiknya, segeralah pergi sebelum senja datang. Kau sangat tampan dan gagah seperti putra bangsawan. Jika Dewi Penguasa Samudera melihatmu, pasti kau akan dijadikan pengantinnya untuk satu tahun." Rangga terdiam mendengar penjelasan Paman balek barusan. Tapi dia tetap tidak ingin mengatakan semua peristiwa yang dialaminya semalam, sehingga harus kehilangan Pandan Wangi.
"Bulan purnama tinggal dua hari lagi. Tapi Dewi Penguasa Samudera belum juga memilih calon tumbalnya," jelas Paman Balek setengah bergumam, seakan berbicara pada dirinya sendiri.
Hampir saja Rangga keterlepasan bicara untuk mengatakan kalau perempuan itu sudah mendapatkan lumbal.
Tapi mulutnya masih bisa ditahan untuk mengeluarkan kata-kata.
Dia tahu kalau Pandan Wangi semalam ditangkap pesuruh Dewi Penguasa Samudera untuk dijadikan tumbal tahunan. Dan sebelum bulan purnama datang, semua penduduk yang bermukim lekat pantai akan mempersembahkan sesaji untuk memohon keselamatan, agar terhindar dari bencana. Di samping itu, mereka juga meminta agar hasil tangkapan di laut selalu berlimpah. Itu memang sudah menjadi suatu adat turun-temurun dari nenek moyang mereka.
Rangga baru tersadar dari lamunannya setelah Paman Balek tidak ada lagi di sampingnya. Laki-laki setengah baya itu sudah bergabung bersama rombongannya untuk melakukan upacara sesaji. Untuk beberapa saat lamanya Rangga hanya memperhatikan saja dari tempatnya berdiri.
"Aku harus menyelamatkan Pandan Wangi....
Harus!" Lagi-lagi Rangga bertekad dalam hati.
Tapi tekadnya tidak mungkin dilaksanakan hari ini, karena upacara sesaji ini akan berlangsung sampai senja nanti. Dan yang pasti, malam ini di laut akan ramai oleh para nelayan yang menangkap ikan. Dan biasanya, setelah upacara seperti ini, malamnya mereka akan mendapatkan hasil tangkapan yang berilmpah dari biasanya. Jadi tidak mungkin Rangga terjun ke laut hari ini.
"Aku pasti akan datang ke istanamu, Dewi Penguasa Samudera," desis Rangga dalam hati.

*
* *

Tidak semua rencana bisa terlaksana. Rangga sudah merencanakan kalau malam ini hendak ke Istana Penguasa Samudera. Tapi semua rencananya terpaksa dibatalkan. Dan memang, tidak mungkin menyelam ke dasar laut dalam keadaan begini ramai.
Penduduk sekitar pesisir pantai malam ini mengadakan suatu pesta pantai yang begitu meriah.
Malam yang seharusnya gelap pekat, menjadi terang benderang oleh cahaya obor yang terpancang di sepanjang pantai. Sedangkan di lautan sana, tampak perahu-perahu nelayan hilir mudik. Semua orang yang tinggal di sekitar pesisir pantai ini tumpah ruah. Maka, pantai yang semula tenang dan damai, kini jadi padat oleh segala macam tingkah polah para penduduk. Semua ini merupakan bagian dari upacara persembahan yang dilakukan penduduk sekitar pantai, yang kehidupannya sangat ditunjang oleh hasil laut "Hhh.... Apa yang harus kulakukan sekarang...?" kehih Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti kini duduk bertopang dagu di atas batu karang, memandangi keramaian yang terjadi di pantai ini. Bisa saja dia tidak peduli dengan keramaian ini. Tapi Rangga tidak mau membuat penduduk yang sedang melaksanakan upacara persembahan jadi terganggu.
"Kau tidak ikut bergembira bersama mereka, Anak Muda...?"
"Oh...!" Rangga agak tersentak kaget ketika tiba- tiba terdengar suara dari arah belakang.
Pendekar Rajawali Sakti berpaling. Sungguh dia tidak tahu kalau di belakangnya sudah berada seorang laki-laki setengah baya. Bergegas Rangga berdiri dan mengang-gukkan kepalanya. Ternyata dia laki-laki yang siang tadi ditemuinya. Rangga mencoba bersikap ramah, meskipun di dalam hatinya begitu gelisah, memikirkan Pandan Wangi.
"Saat seperti ini, biasanya dimanfaatkan anakanak muda untuk mencari jodoh. Kau tidak ber- gabung dengan mereka, Anak Muda?" kata laki-laki setengah baya itu lagi yang siang tadi mengenalkan diri Pendekar Rajawali Sakti sebagai Paman Balek.
"Terima kasih," ucap Rangga diiringi senyuman yang dibuat seramah mungkin.
"Sejak tadi, kau kuperhatikan selalu saja merenung.
Ada sesuatu yang mengganjal pikiranmu, Anak Muda?" Tanya Paman Balek.
Rangga tidak langsung menjawab, dan hanya tersenyum saja. Sungguh dia tidak tahu kalau laki-laki setengah baya ini memperhatikannya sejak tadi. Dan memang diakui, kalau pengamatan Paman Balek tidak meleset sedikit pun. Hatinya memang sedang gefisah, memikirkan nasib Pandan Wangi yang belum jelas sampai saat ini.
"Paman, berapa lama pesta seperti ini berlangsung?" tanya Rangga.
"Tidak tentu, Anak Muda. Biasanya upacara seperti ini berlangsung sampai Dewi Penguasa Samudera memilih seorang gadis untuk tumbalnya," jelas Paman Balek.
"Apakah sudah ada yang dipilih?" Tanya Rangga lagi.
"Sampai saat ini, belum ada satu keluarga pun yang melaporkan kehilangan anak gadisnya. Yaaah..., memang tidak seperti biasanya...."
"Maksud, Paman?"
"Biasanya kalau sudah malam begini, sudah ada keluarga yang melaporkan kehilangan anak gadisnya.
Tapi sampai jauh malam begini, belum juga ada yang melaporkan. Aku tidak tahu, apakah Dewi Penguasa Samudera sudah mendapatkannya atau belum."
"Kalau sudah ada, apa tanda-tandanya, Paman?"
"Sulit dikatakan, Anak Muda. Tapi biasanya, kalau dewi Penguasa Samudera sudah mendapatkan gadis tumbalnya, akan muncul sinar terang dari tengah lautan. Dan itulah tenda yang sudah ada sejak nenek moyang dulu, sehingga upacara pun akan berakhir.
Maka, para nelayan bisa bebas mencari ikan di lautan."
"Apakah maksud Paman sinar terang itu...?" Kangga menunjuk ke tengah laut sebelah Timur.
"Oh...!" Paman Balek tersentak begitu memandang ke arah yang ditunjuk Pendekar Rajawali Sakti.
Pada saat itu, semua orang yang memadati pantai juga melihat sinar terang yang menyemburat di tengah lautan sebelah Timur. Suasana gaduh mendadak lenyap, dan hening sunyi.
Tapi itu hanya sebentar saja. Begitu sinar terang lenyap, kembali mereka ribut.
Rangga tidak mengerti, apa yang diributkan. Dan ini langsung ditanyakan pada Paman Balek.
"Apa yang mereka ributkan, Paman?" tanya Kangga.
"Mereka ingin tahu, anak gadis siapa yang dijadikan tumbal tahun ini," sahut Paman Balek.
Rangga terdiam tidak bertanya lagi.
Diperhatikannya orang-orang yang terus saling bertanya. Dan satu demi satu, mereka mulai meninggalkan pantai ini.
Orang-orang tua mereka membawa keluarganya pergi. Dan mereka yang mempunyai anak gadis dan ternyata masih berada di sampingnya, merasa gembira. Bukan hanya Rangga, tapi juga Paman Balek memperhatikan dengan penuh perhatian. Tidak berapa lama, suasana di pantai ini jadi sunyi. Tampak perahu-perahu nelayan mulai menjauh ke tengah.

*
* *

Malam terus merayap semakin jauh. Rangga dan Paman Balek masih tetap berada di pantai.
Sementara keramaian yang terjadi tadi, kini telah benar-benar lenyap. Nyala api obor sudah dipadam- kan. Dan kini keadaan pantai kembali gelap dan sunyi. Hanya deru angin saja yang terdengar, ditingkahi deburan ombak menjilat batu karang.
"Aneh...," desah Paman Balek perlahan, seaka bicara pada dirinya sendiri.
"Apanya yang aneh, Paman?" tanya Rangga seraya berpaling menatap laki-laki setengah baya sampingnya "Ya..., aneh. Tidak ada seorang pun yang melaporkan padaku kalau telah kehilangan anak gadisnya. Padahal Dewi Penguasa Samudera sudah memberi tanda, kalau sudah mendapatkan gadis tumbalnya,” pelan sekali nada suara Paman Balek.
Rangga menelan ludahnya mendengar keterangan laki-laki tua setengah baya ini. Dia langsung teringat Pandan Wangi.
Disadari kalau Dewi Penguasa Samudera sudah mendapatkan Pandan Wangi untuk dijadikan tumbal. Dan itu berarti, untuk selamanya Rangga tidak akan bisa bertemu Pandan Wangi lagi.
"Oh, tidak...!" desis Rangga dalam hati. "Aku harus menyelamatkan Pandan Wangi." Tanpa berpikir panjang lagi, Pendekar Rajawali Sakti berlari cepat menuju ke laut Paman Balek terkejut melihat anak muda berbaju rompi putih itu berlari cepat seperti hendak menceburkan diri ke lautan.
"Hei..! Mau apa kau ke sana...?!" teriak Paman Balek.
Namun Rangga tidak mempedulikan teriakan itu.
Dia terus berlari kencang, lalu melompat terjun ke dalam laut Melihat kenekatan pemuda itu, Paman Balek jadi tersentak kaget. Cepat laki-laki setengah baya itu berlari ke tepi pantai yang agak tinggi dan curam. Di sana, Rangga melompat menceburkan diri ke dalam laut.
"Gila...! Apa yang dilakukannya...?" Paman Balek tidak dapat lagi melihat Pendekar Rajawali Sakti yang sudah tenggelam ke dalam laut.
Dia hanya bisa berdiri di tepi batu karang.
Pandangannya tak berkedip, mencari-cari. Tapi, Rangga tidak terlihat lagi di laut. Pemuda berbaju rompi putih itu benar-benar sudah tenggelam.
"Dewata Yang Agung.... Pertanda apa semua ini...? Jangan kau limpahkan musibah pada kami," desah Paman Balek seraya menengadahkan kepalanya ke atas, memandang langit yang menghitam kelam.
Laki-laki setengah baya itu bergegas berbalik, lalu berjalan setengah berlari meninggalkan tepian pantai ini. Wajahnya kelihatan begitu menegang dan agak pucat. Sungguh tidak dimengerti sikap pemuda yang dikenalnya siang tadi Dia telah menceburkan diri ke tengah laut, pada saat malam seperti ini? Padahal, semua penduduk di sekitar pantai ini baru saja selesai melakukan upacara, persembahan pada Dewi Penguasa Samudera.
Sementara itu Rangga yang menceburkan diri ke ialam laut, terus berenang semakin dalam. Dipergunakannya ilmu yang didapat dari Satria Naga Emas, sehingga dapat leluasa bergerak di dalam air. Bahkan bisa bernapas bebas seperti ikan. Keadaan malam yang begitu pekat, membuat keadaan di dalam laut begitu gelap. Rangga terpaksa menggunakan aji ‘Tatar Netra’. Dengan ajian itu, semuanya dapat ter- lihat jelas, meskipun keadaan sekitarnya begitu gelap.
"Hm...," Rangga menggumam dalam hati ketika matanya melihat sebuah titik cahaya, jauh di depannya.
Pendekar Rajawali Sakti mempercepat gerakannya menuju ke arah cahaya yang dilihatnya itu. Matanya tidak berkedip sedikit pun memperhatikan cahaya di depannya yang semakin terlihat jelas. Semakin dekat, Pendekar Rajawali Sakti memperlambat berenangnya.
Keningnya jadi berkerut, karena cahaya itu datang dari sebuah lubang yang cukup besar di dasar laut Lubang itu berada di tengah-tengah tumpukan batu karang yang membentuk seperti bukit di dasar lautan ini Pendekar Rajawali Sakti berhenti tepat di depan lubang yang memancarkan sinar terang menyilaukan itu.
Diperhatikannya lubang itu dengan seksama.
Tapil sinar terang itu menyulitkannya untuk bisa menembus ke dalam lubang.
Perlahan-lahan Rangga mendekati, dan perlahan-lahan pula masuk ke dalam lubang itu.
"Hei...!" Wusss!

*
* *

֍↨::::↨֍¦ 4 ¦֎↨::::↨֎

Rangga terkejut bukan main, ketika tiba-tiba dirinya terasa seperti terkena terpaan angin yang begitu kuat. Dan sebelum sempat menyadari apa yang bakal terjadi, mendadak saja tubuhnya seperti tersedot sesuatu dengan kuat sekali. Keseimbangan tubuhnya tidak dapat lagi dipertahankan, dan terus meluncur tanpa dapat terkendali lagi. Tubuhnya berputar-putar tersedot suatu tenaga yang begitu kuat Pendekar Rajawali Sakti meluncur deras bagai berada di sebuah lorong bercahaya menyilaukan yang penuh kabut tebal.
Begitu kuatnya tarikan itu, membuat seluruh otot dan tulang-tulang Rangga seperti tercabut dari tubuhnya. Pendekar Rajawali Sakti itu merasa kepalanya mulai pening, dan pandangannya jadi berkunang-kunang. Keseimbangan tubuhnya benarbenar tidak dapat dikendalikan lagi. Seluruh kekuatan tenaga dalamnya sudah dikerahkan, tapi tetap saja tidak mampu menahan tarikan kuat ini.
"Aaakh...!" Rangga menjerit sekuat-kuatnya. Seluruh kekuatan tenaganya yang terakhir sudah dikerahkan, namun usaha ini malah mengakibatkan kesadarannya menghilang.
Dan Pendekar Rajawali Sakti itu benar-benar tidak berdaya lagi. Dia jatuh pingsan, terbawa arus yang begitu kuat menariknya Tubuhnya berputar, melayang-layang bagai di udara.

*
* *

Entah berapa lama Rangga tidak sadarkan Begitu matanya terbuka, terasa ada hembusan angin sejuk yang membawa aroma harum menyengat hidung.
Pendekar Rajawali Sakti bergegas menggerim jang hendak bangkit, namun terpekik. Ternyata seluruh tubuhnya terasa begitu nyeri. Otot dan tulang tubuhnya seperti terputus.
Mata Rangga terpejam kembali, dan sebentar kemudian terbuka perlahan-lahan. Sebentar matanya dibiasakan melihat pada keadaan terang, setelah beberapa waktu tidak sadarkan diri dalam kegelapan.
"Oh.... Di mana aku...?" desah Rangga perlahan.
Pendekar Rajawali Sakti mengedarkan pandangan berkeliling. Dicobanya untuk mengingat-ingat peristiwa yang baru saja dialami, hingga tidak sadarkan diri. Dan sekarang, tahu-tahu dirinya sudah berada di sebuah kamar yang sangat indah berukuran besar.
Kembali pandangan Rangga beredar ke sekeliling.
Benar...! Dia berada dalam sebuah kamar yang ruangannya ditata indah sekali. Bagaikan berada di dalam kamar seorang raja. Perlahan Rangga menggeliatkan tubuhnya.
Mulutnya meringis, menahan nyeri pada persendian tubuhnya. Namun dengan memaksakan diri, akhirnya pemuda berbaju rompi putih itu bisa duduk di tepi pembaringan.
"Kau sudah bangun rupanya, Rangga...."
"Eh...?!" Rangga tersentak kaget begitu tiba-tiba sja terdengar suara lembut tidak jauh di samping kanannya.
Pendekar Rajawali Sakti menoleh. Sungguh dia tidak tahu kalau dirinya tidak sendirian di kamar ini.
Ternyata ada seorang wanita berparas cantik bagai bidadari di kamar ini. Dia duduk di sebuah kursi yang sangat besar, terbuat dari kayu berukir dan ber- alaskan beludru halus berwarna biru laut.
"Dewi Penguasa Samudera...," desis Rangga mengenali wanita cantik itu.
Wanita yang dikenal bernama Dewi Penguasa Samudera itu tersenyum manis sekali. Rangga cepat memalingkan wajah ketika wanita itu menggerakkan tubuhnya. Baru disadari, kalau pakaian yang dikenakan Dewi Penguasa Samudera ini begitu tipis.
Bahkan terlalu banyak belahannya, sehingga beberapa bagian tubuhnya menyembul keluar.
"Kau benar-benar menepati janjimu, Rangga. Aku sungguh kagum. Karena belum ada seorang pun yang hasil melewati lorong cahaya dengan selamat," jelas Dewi Penguasa Samudera.
Suaranya terdengar lembut "Aku datang bukan untukmu, Dewi Penguasa Samudera," sahut Rangga tanpa berpaling sedikit pun.
Rangga tahu, sekali saja terperangkap, sukar untuknya melepaskan diri. Wanita ini memiliki daya yang begitu kuat dalam melemahkan hati laki-laki.
Selama ini, tak seorang pun yang sanggup menolak bila Dewi Penguasa Samudera melemparkan jerat yang dikenal dengan 'Jerat Penyebar Asmara'. Dan Rangga juga tahu, kalau kekuatan dari jerat itu bersumber di matanya!
"Kembalikan Pandan Wangi, atau terpaksa istana- mu ini kuobrak-abrik!" ancam Rangga.
"Ah! Kau tidak perlu mengancam seperti itu, Rangga. Periksalah seluruh istanaku ini. Tidak ada yang bernama Pandan Wangi di sini," tetap lembut nada suara Dewi Penguasa Samudera.
"Kau pikir aku percaya pada omonganmu...?' dengus Rangga ketus seraya turun dari pembaringan.
Kemudian, dia bangkit berdiri.
Dewi Penguasa Samudera hanya tersenyum saja.
Dia juga bangkit dari duduknya, lalu berjalan genit menghampiri Pendekar Rajawali Sakti. Langkahnya berhenti tepat sekitar dua tombak didepan Rangga.
Senyumnya tetap mengembang, dan matanya memancarkan kekuatan dahsyat yang menggoda.
Rangga mulai merasakan adanya tarikan kuat yang mengganggu lubuk hatinya. Namun Pendekar Rajawali Sakti tetap berusaha bertahan agar tidak tergoda. Sedapat mungkin, Pendekar Rajawali Sakti berusaha mengalihkan pandangan dari mata wanita cantik ini. Dia cepat melangkah mundur saat tangan Dewi Penguasa Samudera menjulur ke arah dadanya.
"Ternyata kau lebih sulit dari dugaanku, Rangga," ujar Dewi Penguasa Samudera.
"Jangan paksa aku untuk bertindak kasar padamu, Nisanak!" dengus Rangga.
Dewi Penguasa Samudera tertawa renyah. Begitu merdu suara tawanya, membuat jantung Rangga sempat tergelitik. Entah bagaimana, Pendekar Rajawali Sakti menatap tajam ke arah bola mata Dewi Penguasa Samudera. Namun cepat wajahnya dipalingkan, begitu terasa dadanya berdebar kencang.
"Setan...!" dengus Rangga dalam hati. "Sampai kapan aku dapat bertahan...? Wanita ini benar-benar cantik. Tapi aku tidak boleh tergoda! Sekuat apa pun daya tarikmu. Aku tidak boleh tergoda!" Sambil mendengus, Pendekar Rajawali Sakti melangkah mendekati pintu yang tertutup rapat Sedangkan Dewi Penguasa Samudera hanya me- mandangi saja. Bibirnya tetap menyunggingkan senyuman yang manis sekali. Rangga mencoba membuka pintu. Tapi begitu menyentuh gagang pintu, mendadak saja....
"Akh...!" Cepat Rangga menarik tangannya. Pendekar Rajawali Sakti seperti tersengat ribuan lebah, saat tangannya menyentuh gagang pintu. Rangga melangkah mundur beberapa tindak, tidak mempedulikan Dewi Penguasa Samudera yang tertawa melihat tingkahnya.
"Hup...!" Rangga mengerahkan tenaga dalamnya.
Tangannya diletakkan di samping dada, dengan jari-jari tangan terkembang merapat Kedua kakinya ditarik terbuka cukup lebar.
Tatapan matanya tajam, harus ke pintu.
Sebentar napasnya ditahan, lalu dalamnya disalurkan ke telapak tangan.
"Apa yang kau lakukan, Rangga?" Tanya Penguasa Samudera.
Nada suaranya terdengar meremehkan.
"Persetan dengan kau...! Hiyaaa...!" Sambil berteriak nyaring, Rangga melompat seraya menghentakkan kedua tangannya ke depan. Tepat begitu kedua telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti menghan-tam daun pintu, terdengar ledakan dahsyat menggelegar.
"Akh...!" Rangga terpekik tertahan.
Tubuhnya kembali terpental balik ke belakang, jatuh bergulingan di lantai yang dingin dan licin berkilat Namun, Pendekar Rajawali Sakti cepat bangkit berdiri. Kedua matanya agak terbeliak tidak percaya melihat daun pintu itu tetap kokoh, sedikit pun mengalami kerusakan.
"Ha ha ha...!" Dewi Penguasa Samudera tertawa terbahak-bahak.
"Huh!" dengus Rangga kesal.
"Kau tidak akan bisa keluar dari sini tanpa seizinku, Rangga." Rangga tidak mempedulikan kata-kata bemada ejekan itu. Kembali didekatinya pintu yang masih kokoh tertutup rapat Dia sadar, kalau saat ini berada di dunia lain. Bukan dunia nyata, tempat makhluk liidup bertubuh kasar dan memiliki roh hidup. Tapi berada di dunia halus. Dan mereka yang tinggal di sini hanya merupakan roh, tanpa jasad kasar.
"Akan kucoba dengan aji 'Batara Naga'," gumam Kangga dalam hati.
Pendekar Rajawali Sakti segera mempersiapkan aji 'Batara Naga' yang didapat dari Satria Naga Emas.
Kedua tangannya dikepal erat, sejajar pinggang.
Perlahan kaki kanannya ditarik ke belakang. Lalu kaki kiri tertekuk, hingga tubuhnya sedikit rendah. Tatapan matanya tertuju lurus ke arah pintu.
"Hup!" Cepat sekali Rangga menjulurkan tangan kiri ke lepan, lalu cepat memutarnya bagai baling-baling.
Dan begitu kakinya ditarik hingga merapat kembali, dengan cepat tangan kanannya menghentak ke depan seraya menarik tangan kiri kembali sejajar pinggang. "Hiyaaat...!" Bagaikan kilat, Rangga melompat begitu tangan kanannya kembali ditarik sejajar pinggang. Lalu, kedua tangannya yang terkepal, cepat dihentakkan menghantam daun pintu yang kokoh tertutup rapat itu.
Glarrr...! Kembali terdengar ledakan dahsyat saat Rangga menghantamkan pukulan yang mengandung ajian 'Batara Naga' ke pintu itu. Seluruh dinding kamar ini jadi bergetar, bagaikan diguncang gempa. Rangga melentingkan tubuh ke belakang, saat mendengar suara berderak.
"Yeaaah...!" Begitu melihat pintu itu roboh, Rangga cepat melesat keluar. Hal ini membuat Dewi Penguasa Samudera, terkejut. Sama sekali tidak disangka kalau Ranga dapat menjebol pintu.
"Hei! Kembali...!" teriak Dewi Penguasa Samu dera.
Tapi terlambat Rangga sudah cepat menghilang.
Dewi Penguasa Samudera mendengus sambil menghentakkan kakinya ke lantai.
Bergegas didekatinya meja kecil yang berada di sudut ruangan ini.
Sambil mendengus kesal, digebraknya meja kecil itu dengan keras.
Brak!
"Kemari kalian...!" bentak Dewi Penguasa Samudera.
Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di tengah ruangan ini muncul seorang pemuda berwajah cukup tampan, bersama empat orang tua. Mereka membungkuk, merapatkan satu tangan kanan di dada untuk memberi hormat pada Dewi Penguasa Samudera.
Mereka adalah Pangeran Argabaja dan empat orang pengawalnya yang sudah berusia lanjut.
"Kalian tangkap anak itu, tapi jangan sampai terluka," perintah Dewi Penguasa Samudera.
"Hamba laksanakan, Kanjeng Dewi," sahut Pangeran Argabaja.
Tanpa menunggu perintah dua kali, mereka bergas meninggalkan ruangan itu. Sementara Dewi Penguasa Samudera menghempaskan diri di atas pembaringan dengan kesal.
"Rangga.... Huh! Kau akan berlutut di kakiku!" lengus Dewi Penguasa Samudera. "Tidak mungkin ada yang menolak keinginanku! Kau harus menyerah dan berlutut di kakiku, Rangga. Harus...!"

*
* *

Sementara itu, Rangga sudah sampai di luar bangunan istana yang megah. Dia tidak tahu kalau sekarang ini berada di bagian belakang istana yang merupakan sebuah dataran luas berbatu-batu.
Rangga menghentikan larinya. Dia tertegun sejenak, memandangi sekitarnya. Di tempat ini, begitu banyak orang. Semuanya laki-laki muda, dan hanya mengenakan cawat dari rerumputan.
Para laki-laki-muda itu tampak tengah sibuk bekerja menghancurkan batu dan mengangkutnya ke tempat yang cukup jauh. Tampaknya mereka tengah membangun sebuah benteng batu yang sangat luas.
Tidak nampak ada matahari, tapi keadaan di tempat ini sangat terang bagaikan siang hari. Tak ada seorang pun dari mereka yang memperhatikan kedatangan Pendekar Rajawali Sakti. Seakan-akan, mereka tidak telihat ada orang lain di dekatnya.
Rangga mendekati salah seorang yang sedang mengumpulkan bongkahan batu.
"Kisanak...," tegur Rangga.
Tapi orang itu tidak mempedulikan teguran Ranga.
Malah terus saja sibuk bekerja, mengumpulkan bongkahan batu. Seakan-akan dia tidak mendengar teguran itu. Rangga menjulurkan tangannya, hendak menyentuh pundak orang itu. Tapi....
"Heh...?!" Pendekar Rajawali Sakti terkejut bukan main.
Sama sekali dia tidak merasakan menyentuh sesuatu. Padahal, tangannya jelas-jelas memegang pundak laki-laki muda yang berusia sebaya dengan- nya. Sepertinya tangan Rangga menyentuh bayangan saja. Begitu hampa, bagai angin. Rangga menarik kakinya ke belakang satu tindak. Diperhatikannya orang itu beberapa saat.
"Kisanak...," kembali Rangga menegur serai menyentuh pundak orang itu.
Tetap saja orang itu tidak memperhatikan, dan terus sibuk bekerja mengumpulkan batu, lalu memasukkannya ke dalam keranjang bambu. Rangga jadi kebingungan. Didekatinya seorang lagi, dan mencoba menegumya.
Namun tetap saja tidak mendapatkan sambutan.
Beberapa orang sudah didekati.
Mereka semua sama saja. Seperti bayangan hidup!
"Apakah mereka bukan manusia? Kenapa tubuhnya tidak tersentuh olehku...?" Rangga jadi bertanyatanya sendiri di dalam hati.
Memang, sebenamya mereka adalah pemuda- pemuda yang pernah menjadi suami Dewi Penguasa Samudera selama satu tahun. Begitu sudah tidak terpakai lagi, mereka dibunuh. Lalu, mayatnya dilempar ke dunia fana lagi, di pinggir pantai.
Sedangkan rohnya harus menjadi budak Dewi Penguasa Samudera untuk selama-lamanya.
Perhatian Pendekar Rajawali Sakti kini beralih ke sebuah bangunan batu yang tidak jauh dari tempatnya berdiri.
Bangunan batu itu hanya memiliki satu pintu pada bagian depan, dan di sekelilingnya terdapat banyak jendela kecil berjeruji besi.
Bangunan itu lebih tepat bila dikatakan sebuah bangunan penjara. Rangga jadi tertarik untuk mengetahui lebih jelas lagi. Bergegas kakinya diayunkan mendekati bangunan batu yang lebih mirip penjara itu.
Timbul rasa keheranannya, karena tidak teriihat ada seorang pun yang menjaga pintu bangunan ini.
Dan memang tidak terlihat adanya penjaga di sekitar tempat ini, seperti layaknya sebuah istana yang dikelilingi para prajurit penjaga. Dan orang-orang aneh itu.... Tidak satu pun dari mereka yang memperhatikan Pendekar Rajawali Sakti.
Perlahan Rangga membuka pintu bangunan itu.
Suara berderit dari engsel pintu yang terbuat dari lempengan besi baja itu terbuka perlahan-lahan.
Keadaan di dalam bangunan itu sangat terang, meskipun tidak satu pun terlihat adanya penerang disana. "Kosong...," desis Rangga bergumam.
"Apa yang kau cari di sini, Rangga...?"
"Heh...?!" Rangga tersentak kaget ketika tiba-tiba saja dengar teguran dari arah belakang. Dan belum Pendekar Rajawali Sakti sempat berpaling, mendadak punggungnya terasa dihantam keras.
Diegkh!
"Akh...!" Rangga terpekik tertahan.
Pendekar Rajawali Sakti terjajar ke dinding bangunan batu ini, namun cepat menguasai diri dan berbalik. Di depannya kini berdiri seorang pemuda tampan mengenakan baju indah dari sutra. Di kang pemuda itu berdiri dua orang wanita tua dan orang laki-laki lanjut usia. Rangga mengenali mereka, karena memang sudah pernah bertemu sebelumnya.
"Pangeran Argabaja...," desis Rangga seraya natap tajam pemuda yang berusia sebaya dengannya, Pemuda berwajah tampan berpakaian indah hanya tersenyum saja. Sementara Rangga menggeser kaki- nya sedikit ke kanan. Diperhatikannya empat orang tua di belakang Pangeran Argabaja yang sudah mulai bergerak menyebar.
"Di mana kau sembunyikan Pandan Wangi?" Tanya Rangga langsung, dengan suara keras.
"Tidak ada yang bernama Pandan Wangi di sini Rangga," sahut Pangeran Argabaja.
"Kau pikir aku percaya...?" dengus Rangga sengit "Kau bisa lihat sendiri di sini. Tidak ada satu wanita yang bernama Pandan Wangi. Sebaiknya jangan mencari kesulitan, Rangga. Kanjeng Ratu cukup senang padamu. Kau bisa hidup senang di sini.
Apa saja yang kau inginkan, bisa mudah terlaksana," bujuk Pangeran Argabaja.
"Jangan coba-coba membujukku, Argabaja."
"Sayang..., sikapmu itu akan menyulitkan dirimu sendiri, Rangga."
"Aku tidak punya waktu meladenimu! Serahkan saja Pandan Wangi!" bentak Rangga semakin gusar.
Pangeran Argabaja tersenyum lebar. Kepalanya mengegos sedikit ke kanan. Maka dua orang wanita iua yang selalu mendampinginya, melompat maju.
mendekati Rangga. Tongkat kayu hitam yang berada di dalam genggaman tangan mereka, tersilang di depan dada. Sedangkan Rangga sudah bisa menyadari, apa yang bakal terjadi terhadap dirinya.
"Masih ada kesempatan untuk merubah sikap, Rangga. Kanjeng Ratu pasti akan memaafkan sikapmu," bujuk Pangeran Argabaja lagi. Nada suaranya tetap terdengar lunak dan lembut.
"Majulah kalian. Aku ingin tahu, sampai di mana kehebatan makhluk-makhluk dasar samudera!" tantang Rangga langsung.
Memang tidak ada pilihan lain lagi bagi Pendekar Rajawali Sakti itu. Disadari, sikap yang lemah akan membuat dirinya semakin tidak berdaya. Dan semua inii memang sudah diperhitungkan sejak semula.
Yang jelas, segala rintangan harus dihadapi. Hanya satu yang menjadi tujuannya, mendapatkan kembali Pandan Wangi dalam keadaan selamat.
"Kau memilih jalan yang terburuk, Rangga. Kau akan menyesal telah menantang kami," ancam Pangeran Argabaja.
Setelah berkata demikain, Pangeran Argabaja menepuk tangannya dua kali. Maka dua orang wanita tua bersenjata tongkat kayu hitam, berlompatan menyebar ke samping kanan dan kiri Pendekar Rajawali Sakti. Mereka memutar-mutar tongkatnya dengan cepat hingga menimbulkan suara angin yang menderu bagai topan. Rangga cepat menggeser kaki belakang dua tindak. Dirasakan putaran tongkat itu mengandung hawa panas yang semakin lama semakin terasa menyengat kulit "Hep...!" Cepat Pendekar Rajawali Sakti menahan napas lalu memindahkan jalan pernapasan dari hidung pusar di perutnya. Langsung terasa kalau putaran tongkat berhawa panas itu mengandung racun yang dapat membuat kesadarannya menghilang. Racun itu memang tidak berbahaya, tapi dapat membuat daya pikirnya hilang. Dengan cara memindahkan pernapasan, sangat kecil kemungkinan bisa terpengaruh racun itu.
Trak! Tiba-tiba saja kedua wanita tua yang dikenal Rangga bernama 'Nyai Amoksa dan Nyai Sutirani menghentakkan tongkat secara bersamaan ke tanah berbatu. Tampak asap kebiru-biruan mengepul pada ujung tongkat kayu berwarna hitam itu. Dan secepat kilat, secara bersamaan mereka beriompatan menye- rang.
Rangga cepat menarik tubuh ke belakang. Dan secepat itu pula, kedua tangannya dihentakkan hingga terentang lebar ke samping dengan lebar.
Kedua kakinya ditekuk kedepan, hingga lututnya hampir menyentuh tanah. Begitu Nyai Amoksa dan Nyai Sutirani berada di udara, Rangga cepat sekali melesat ke udara dengan tangan mengembang lebar.
Pendekar Rajawali Sakti mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega', salah satu jurus ampuh dari rangkaian lima lurus rajawali.
Bet! Bet! Cepat sekali kedua tangan Rangga bergerak mengebut ke arah dua batang tongkat yang melayang deras mengancam kepalanya. Tak pelak lagi, benturan keras pun terjadi. Akibatnya, terjadilah ledakan dahsyat lenggelegar. Rangga melentingkan tubuhnya lebih tinggi ke udara. Setelah berputaran beberapa kali, kemudian jurusnya cepat dirubah menjadi 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa.
"Hiyaaa...!" Jurus ini memang tidak mungkin digunakan untuk menyerang dua lawan sekaligus. Dan Rangga memilih Nyai Sutirani yang berada paling dekat dengannya.
Kedua kaki Pendekar Rajawali Sakti bergerak cepat bagai berputar, mengincar kepala Nyai Sutirani namun wanita tua itu cepat sekali mengegoskan kepalanya, menghindari incaran kaki pemuda berbaju rompi putih ini. Dan tanpa diduga sama sekali, tongkatnya dikebutkan ke atas.
Bet' "Uts! Yeaaah...!" Rangga cepat melentingkan tubuh, lalu berputaran di udara. Tindakan ini diambil untuk menghindari sabetan tongkat wanita tua itu. Ringan sekali kakinya mendarat kembali di tanah berbatu, sekitar dua tombak jauhnya dari Nyai Sutirani. Namun belum juga Pendekar Rajawali Sakti bisa menarik napas lega, Nyai Amoksa sudah kembali menyerang cepat luar biasa.
"Hiyaaat..!"
"Hup! Yeaaah...!"

*
* *

Rangga cepat mengegoskan tubuh, menghindari tusukan ujung tongkat kayu hitam yang runcing itu.
Dan begitu terhindar dari ancaman maut itu, dengan cepat sekali tangan kanannya bergerak mengibas ke lambung Nyai Amoksa. Begitu cepatnya serangan balasan yang dilakukarmya, sehingga Nyai Amoksa tidak sempat lagi menghindar.
Begkh!
"Akh...!" Nyai Amoksa memekik tertahan. Wanita tua itu terhuyung-huyung ke belakang sambil mendekap lambungnya yang terkena sodokan tangan Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan Rangga cepat melompat ke belakang sejauh tiga tindak, Hatinya agak terkejut juga melihat Nyai Amoksa bisa cepat menguasai diri, dan kembali berdiri tegak. Padahal tadi todokannya mengandung pengerahan tenaga dalam penuh. Dan biasanya, jika orang yang terkena sodokannya, perut lawan akan terburai pecah. Tapi Nyai Amoksa sama sekali tidak mengalami luka sedikit pun luga. Bahkan malah tersenyum dengan mata berbinar.
Belum lagi hilang rasa keterkejutan Pendekar Rajawali Sakti, mendadak saja dari arah lain datang serangan yang dilancarkan Nyai Sutirani. Wanita tua ini melompat cepat bagai kilat seraya mengibaskan tongkat ke arah dada Rangga. Namun pemuda berbaju rompi putih itu manis sekali dapat menghindarinya. Tubuhnya ditarik sedikit ke samping, dan tangannya cepat bergerak menangkis tongkat itu. Tak! Rangga cepat melompat mundur begitu dapat menghindari serangan yang begitu cepat dan tidak terduga sama sekali.
Namun hatinya jadi terkejut, karena Nyai Sutirani bisa berbalik cepat tanpa menyentuh tanah sedikit pun.
Wanita tua itu kembali melakukan serangan gencar. Sabetan dan tusukan tongkatnya Segitu cepat dan keras. Dan setiap gerakan tongkatnya, mengandung hawa panas menyengat kulit.
Rangga agak kewalahan juga menghadapi serangan-serangan yang dilancarkan Nyai Sutirani.
Dan Pendekar Rajawali Sakti semakin kelabakan, begitu Nyai Amoksa ikut menyerang. Hal ini membuatnya harus berjumpalitan menghindari seranganserangan yang datang bagai gelombang itu.
"Hhh! Aku tidak mungkin menghadapi mereka dengan tangan kosong.
Terlalu berbahaya...," Rangga dalam hati.
Menyadari kalau jurus-jurus yang dimiliki wanita tua itu sangat dahsyat, Rangga cepat melentingkan tubuh ke udara. Setelah beberapa kali berputaran, lalu manis sekali kakinya mendarat di atas se- bongkah batu yang cukup besar. Cepat-cepat pedangnya yang tersampir di punggung ditarik.
Sret! Cring...!

*
* *

֍↨::::↨֍¦ 5 ¦֎↨::::↨֎

Seketika itu juga, cahaya biru terang menyemburat menyilaukan mata ketika Rangga mencabut pedangnya. Nyai Amoksa dan Nyai Sutirani seketika melompat mundur. Mata mereka terbeliak, dan mulut ternganga melihat pamor pedang di tangan Rangga yang begitu luar biasa dahsyatnya. Bukan hanya kedua wanita tua itu saja yang terkejut melihat pedang di tangan Kangga. Bahkan Pangeran Argabaja dan dua orang laki-laki tua yang masih mendampingi di sampingnya ikut ternganga melihat pamor pedang itu. Mereka seakan-akan tidak percaya dengan apa yang disaksikannya. Mereka bagaikan melihat sosok dewa yang baru turun dari kahyangan.
"Ayo! Maju kalian semua jika ingin merasakan tajamnya pedangku!" bentak Rangga menantang.
Pendekar Rajawali Sakti sudah tidak dapat lagi menahan kesabarannya, karena benar-benar merasa dipermainkan dan dianggap rendah. Sebenarnya bukan itu saja persoalannya. Kemarahannya timbul karena mereka sama sekali tidak mau mengakui kalau telah menculik Pandan Wangi. Padahal Rangga melihat dengan mata kepala sendiri kalau mereka telah membawa Pandan Wangi, masuk ke dalam laut setelah mengurung dirinya di sebuah tempat di dalam tanah.
Dan kini, lima orang itu malah melangkah mundur perlahan. Empat orang tua itu berdiri berjajar mengapit Pangeran Argabaja. Sikap mereka benar- benar seperti melindungi pemuda tampan ini.
Sementara Rangga sudah menyilangkan pedang di depan dada. Pandangan matanya menyorot tajam, seakan-akan hendak menelan kelima orang yang berdiri di depannya bulat-bulat.
"Kanjeng Pangeran, sebaiknya hal ini diberitahukan pada Kanjeng Ratu," bisik Ki Sundrata pelan.
"Benar, Kanjeng Pangeran. Tidak mungkin kita bisa menangkapnya. Pedang pusaka itu berbahaya sekali," sambung Ki Pulung.
"Baiklah, akan kuberitahukan pada Kanjeng Ratu.
Dan sementara aku pergi, kalian tetap berusaha menahannya di sini," ujar Pangeran Argabaja.
"Akan kami usahakan, Kanjeng Pangeran," jawab Ki Sundrata.
Pangeran Argabaja bergegas memutar tubuhnya, lalu berlari kencang meninggalkan tempat itu.
Rangga yang melihat pangeran muda itu hendak pergi, tidak ingin membiarkan begitu saja. Karena Pendekar Rajawali Sakti telah memastikan kalau Pangeran Argabajalah yang harus bertanggung jawab atas hilangnya Pandan Wangi.
"Jangan lari kau! Hiyaaa...!" Begitu Rangga melompat hendak mengejar Pangeran Argabaja, secepat kilat empat orang tua Ianjut usia melesat menghadang Pendekar Rajawali Sakti. Hampir bersamaan, mereka mengibaskan tongkat ke arah Pendekar Rajawali Sakti yang melayang di udara "Pengecut..! Uts!" Rangga jadi geram setengah mati atas sikap empat orang tua yang menghadangnya. Kalau saja Pendekar Rajawali Sakti tidak segera melentingkan tubuh ke belakang, pasti ujung-ujung tongkat runcing itu merobek tubuhnya. Dua kali pemuda berbaju rompi putih itu berputaran di udara, lalu manis sekali mendarat di tanah berbatu, sejauh tiga batang tombak dari empat orang tua itu.
"Jangan biarkan dia keluar dari sini...!" seru Ki Sundrata.
Belum lagi hilang suara laki-laki tua itu, tiga orang tua lainnya segera berlompatan mengepung Rangga.
Mereka bergerak berputar sambil mengayun-ayunkan tongkat, mengelilingi Pendekar Rajawali Sakti.
Mereka seakan-akan membentuk rantai hidup yang mengurung pemuda berbaju rompi putih ini.
"Kalian pikir bisa mencegahku dengan cara begitu, heh?!" dengus Rangga sengit. "Tahan ini...! Hiyaaat..!" Bagaikan kilat, Pendekar Rajawali Sakti melesat ke depan. Seketika pedangnya dikebutkan kuat-kuat disertai pengerahan tenaga dalam sempurna. Begitu sempurnanya tenaga dalam yang dikeluarkan Pendekar Rajawali Sakti, sampai-sampai membuat deru angin bagaikan topan yang siap menghancurkan daerah berbatu ini.
Glarrr...! Ledakan keras terdengar menggelegar begitu mata pedang Rangga menghantam sebongkah batu yang sangat besar. Seketika bayangan lingkaran yang mengelilingi Pendekar Rajawali Sakti mendadak saja lenyap. Tampak empat orang tua yang berputaran megelilingi pemuda itu berpentalan ke belakang sambil memekik keras tertahan. "Hiyaaa...!" Tiba-tiba saja Rangga melesat cepat meninggalkan tempat itu. Pada saat yang sama, keempat orang tua yang bergelimpangan telah bisa bangkit berdiri.
Mereka bergegas hendak mengejar. Namun men- dadak saja....
"Tahan...!" Empat orang lanjut usia itu tidak jadi mengejar.
Tubuh mereka diputar, dan langsung berlutut begitu melihat seorang wanita cantik berbaju biru muda tahu-tahu sudah berada di tempat berbatu ini. Di samping wanita cantik itu berdiri Pangeran Argabaja.
"Bangunlah kalian," ujar wanita cantik yang ternyata Dewi Penguasa Samudera.
"Maafkan kami, Kanjeng Ratu. Kami tidak sanggup menahan pemuda itu lebih lama lagi," ucap Ki Sundrata mewakili yang lainnya.
"Dia memang bukan lawan kalian. Berdirilah," ujar Dewi Penguasa Samudera, lembut.
Keempat orang tua itu bangkit berdiri. Kembali nereka memberi sembah dengan merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung, kemudian menyingkir agak ke tepi. Sementara Dewi Penguasa Sam memandang lurus ke arah kepergian Rangga tadi.
"Pergilah. Masih banyak yang harus kalian kerjakan," ujar Dewi Penguasa Samudera lagi.
Tanpa membantah sedikit pun, keempat orang itu segera meninggalkan tempat berbatu ini, memberi sembah penghormatan sekali lagi. Sementara Pangeran Argabaja masih tetap mendampingi cantik itu di sampingnya.
"Bagaimana, Kanjeng Ratu...? Apakah Kanjeng Ratu tetap tidak ingin melenyapkannya?" Tanya Pangeran Argabaja setelah empat orang tua pengawal tidak terlihat lagi.
"Apa kau tidak bisa menghilangkan sebutan itu, Argabaja?!" dengus Dewi Penguasa Samudera tanpa menjawab pertanyaan pemuda di sampingnya.
"Maaf, Kanda Dewi," ucap Pangeran Argabaja.
"Itu lebih baik, Argabaja. Bagaimanapun juga, kau adalah adikku. Dan aku tidak suka kalau kau tetap memanggilku Kanjeng Ratu. Aku masih bisa menerima jika di depan orang lain."
"Akan kuingat, Kanda Dewi." Dewi Penguasa Samudera diam membisu.
Pandangannya tetap tidak beralih ke arah kepergian Rangga. Sedangkan Pangeran Argabaja ikut terdiam.
Dia menyesal, karena lupa menyebut wanita cantik ini dengan panggilan Kanjeng Ratu.
Dan memang, Dewi Penguasa Samudera selalu menganggap Argabaja adiknya. Padahal di antara mereka tidak ada turunan darah sama sekali. Hanya saja Argabaja tidak ingin mengecewakan wanita cantik ini. Dan dia tahu, apa akibatnya jika menolak.
Keinginan wanita ini. Baginya, tidak ada persoalan sama sekali bila dianggap adik. Malahan, dia memiliki kekuasaan di daerah ini, meskipun segala yang dilakukannya harus setahu dan disetujui Dewi Penguasa Samudera. Namun dalam beberapa hal, wanita ini membebaskan Argabaja bertindak, sebatas tidak merugikan dan mengancam keutuhan kerajaan dasar samudera ini.
"Hm... Dia memang membawa pedang pusaka itu," nada suara Dewi Penguasa Samudera terdengar bergumam, seakan-akan bicara pada dirinya sendiri.
Tapi apakah mungkin dia jelmaan Pendekar Rajawali? Rasanya tidak mungkin dia itu...., ah! Meskipun Rangga berjuluk Pendekar Rajawali Sakti, dan sekarang sudah berada di sini, rasanya tidak mirip dengan...."
"Kanda Dewi masih saja suka mengenang masa lalu. Apakah masa lalu tidak bisa dilupakan?" potong Argabaja cepat Dewi Penguasa Samudera hanya tersenyum saja.
Dia tahu kalau adiknya ini tidak pernah menyukai kenangan masa lalu. Sering Argabaja menasihatkan agar dia melupakan masa lalu. Tapi bagi Dewi Penguasa Samudera, masa lalu merupakan kenangan yang tidak bisa dilupakan. Memang mudah untuk bicara, tapi rasanya sukar melupakan kenangannya bersama Pendekar Rajawali.
Kenangan yang begitu berkesan dan manis, tapi juga menyakitkan hati. Hingga kini, rasa sakit itu masih tetap membekas. Bahkan berkembang menjadi sebuah dendam yang tidak pernah pupus selama jiwanya masih hidup. Hal ini sudah berlangsung puluhan tahun lamanya. Bahkan sudah mencapai seratus tahun lebih namun tetap saja tidak bisa terlupakan begitu saja. Dan di hatinya telah timbul suatu tekad yang berasal dari rasa sakit hati.
Kemudian rasa sakit hati berkembang menjadi dendam yang hanya dirinya saja yang tahu. Bahkan Argabaja sendiri tidak tahu, apa yang terkandung di balik dinding hati wanita cantik ini.
"Ayo kita ke sana, Argabaja," ajak Dewi Penguasa Samudera, setelah bisa melupakan kenangan lalunya.
"Ke mana?" Tanya Argabaja.
"Kita temui Pendekar Rajawali Sakti. Aku tahu di mana dia sekarang berada," sahut Dewi Penguasa Samudera.
Argabaja tidak bisa membantah. Diturutinya saja keinginan wanita cantik yang entah sudah berapa puluh tahun usianya, tapi masih saja kelihatan cantik bagai gadis remaja berusia tujuh belasan tahun.
Mereka kemudian berjalan bersisian, namun tapak kaki sama sekali tidak menyentuh tanah. Mereka bagaikan berjalan di atas angin saja.

*
* *

Sementara itu, Rangga kini sudah berada di sebuah hutan yang tidak begitu lebat Dia berhenti berlari di bawah sebatang pohon yang sangat besar dan rimbun daunnya. Pendekar Rajawali Sakti menghempaskan tubuhnya di atas akar yang menyembul keluar dari dalam tanah.
Disekanya keringat yang membanjiri wajah dan leher.
Entah sudah berapa lama dia berlari, tapi tidak juga menemukan apa yang dicarinya.
"Hhh..., daerah ini begitu luas.
Aku tidak tahu lagi, ke mana harus mencari Pandan Wangi. Apakah aku harus kembali ke istana itu lagi...?" Rangga berbicara pada dirinya sendiri.
Pandangan Pendekar Rajawali Sakti beredar ke sekeliling. Dan mendadak saja dirasakan ada sesuatu yang janggal di hutan ini. Tidak ada suara sama sekali. Bahkan suara burung atau serangga pun tidak terdengar. Udara di hutan ini begitu sejuk, tapi sama sekali tidak terasa adanya hembusan angin.
Perlahan-lahan Kangga bangkit berdiri. Sikapnya langsung waspada. Perasaannya mengatakan, kalau ada bahaya yang ngancam dirinya.
Dan belum lagi dapat berpikir panjang, mendadak saja....
"Heh...?!" Akar pohon yang tadi didudukinya tiba-tiba menjadi hidup, dan langsung menjalar cepat membelit kakinya.
Rangga tersentak kaget.
Cepat dia mencoba melepaskan belitan akar itu.
Namun belum juga berhasil melepaskan belitan akar itu, pohon-pohon disekitarnya mendadak saja bergerak hidup. Ranting ranting pohon menjulur hendak menangkap Pendel Rajawali Sakti.
"Apa ini...? Kenapa mereka jadi hidup...?" Rangga tidak sempat lagi berpikir terlalu jauh.
Cepat-cepat kekuatan tenaga dalamnya dipusatka Lalu dengan keras sekali akar yang membelit kakinya dihantam. Seketika akar itu hancur remuk. Cepatcepat Pendekar Rajawali Sakti melompat mundur.
Namun belum juga sempat menarik napas lega, belakangnya menjulur sebatang pohon bambu.
Langsung dibelitnya pinggang pemuda itu.
"Hih! Yeaaah...!" Cepat Rangga memberikan tebasan tangan kiri pada pohon bambu yang hidup dan membelit pinggangnya. Batang pohon bambu itu patah, bagaikan ditebas sebilah golok tajam.
Rangga bergegas melompat kembali, dan cepat berlari menjauhi tempat itu.
Namun belum juga berlari jauh, pepohonan di sekitarnya bergerak merapat, seperti hendak mengurungnya hutan ini. Rangga semakin kebingungan dan tidak mengerti. Dia berhenti berlari.
Dipandanginya pohon pohon yang terus bergerak perlahan mendekati.
"Benar-benar tempat siluman...! Hhh.... Apa yang harus kulakukan sekarang...?" Rangga terus memutar otaknya, mencari keluar dari kepungan pepohonan yang bergerak hidup ini.
Rasanya memang tidak ada jalan untuk bisa meloloskan diri, kecuali.... Pendekar Rajawali Sakti men-dongakkan kepala ke atas.
"Oh! Kalau saja Rajawali Putih bisa mendengarku...," bisik Rangga dalam hati.
Namun Pendekar Rajawali Sakti itu tidak ingin banyak berharap dapat pertolongan dari burung rajawali raksasa sahabatnya. Disadari kalau saat ini berada di alam lain daerah siluman, di dasar laut Tidak mungkin Rajawali Putih bisa mendengar, meskipun memanggilnya dengan siulan sakti. Rangga terus berpikir keras, mencari jalan keluar. Sementara pohon-pohon di sekitarnya terus bergerak semakin dekat.
"Khraaaghk...!"
"Heh...?!" Hampir saja jantung Pendekar Rajawali Sakti copot, ketika tiba-tiba saja terdengar suara nyaring begitu keras dan agak serak. Suara itu demikian jelas terdengar memecah angkasa, dan sangat dikenali Rangga. Hampir dia tidak percaya terhadap pendengarannya, dan menganggap itu hanya khayalannya saja.
Tapi ketika melihat ada bayangan besar di atas kepalanya, hatinya langsung gembira. Kepalanya didongakkan ke atas, dan melihat Rajawali Putih melayang-layang di atas kepalanya. Begitu besar dan gagah sekali.
"Khraghk...!"
"Rajawali Putih! Cepat ke sini...!" teriak Rangga kencang.
"Khraaaghk...!" Tapi burung raksasa itu seperti tidak mendengar seruannya. Burung itu tetap melayang-layang berputaran di atas kepala pemuda itu.
Hal ini membuat Rangga jadi keheranan atas sikap Rajawali Putih Kembali Pendekar Rajawali Sakti memanggil dan meminta Rajawali Putih turun mengambilnya. Namun tetap saja burung rajawali raksasa itu, tidak mendengarkan.
"Hm.... Kenapa dia tidak mau turun? Apa Karena po…” Gumaman Rangga terhenti mendadak. Hatinya terkejut, karena di sekitarnya tidak ada lagi pepohonan yang hidup mengepungnya. Semua pohon di sekelilingnya tampak diam tak bergerak sedikit pun. Rangga jadi tertegun, semakin tidak mengerti atas semua kejadian yang dialaminya. Begitu aneh dan sukar diterima akal sehat manusia. Pendekar Rajawali Sakti kembali mendongak ke atas. Tampak Rajawali Putih masih tetap melayang-layang di atas kepalanya.
"Ha ha ha...!"
"Hei...?!" Lagi-lagi Rangga tersentak kaget ketika tiba-tiba saja terdengar tawa keras menggelegar dan menggema.
Seakan-akan suara itu datang dari segala penjuru mata angin.
Dari suaranya, Rangga sudah dapat memastikan kalau pemilik suara itu adalah wanita.
Tapi siapa...? Dan di mana pemilik suara tawa yang menggema itu? Belum juga Rangga mendapatkan jawabannya, mendadak saja....
Slap...!

*
* *

֍↨::::↨֍¦ 6 ¦֎↨::::↨֎

"Uts! Yeaaah...!" Cepat sekali Rangga melompat ke samping begitu tiba-tiba dari depannya meluncur sebuah bayangan biru muda. Dua kali Pendekar Rajawali Sakti berjumpalitan di udara, lalu manis sekali menjejakkan kakinya di tanah. Dan kini, hampir dia tidak percaya dengan apa yang disaksikannya.
Di depannya kini berdiri seorang gadis cantik, mengenakan baju ketat berwarna biru muda.
Di punggungnya tersembul sebuah gagang pedang berbentuk kepala naga berwama hitam. Pada sabuk kuning keemasan yang melingkar di pinggangnya, terselip sebuah kipas keperakan yang ujung-ujungnya runcing bagai mata anak panah.
"Pandan Wangi...," desis Rangga dengan nada suara setengah tidak percaya.
Wajah gadis berbaju biru itu memang Pandan Wangi. Baik bentuk tubuh, pakaian, maupun senjatanya sdalah milik Pandan Wangi. Hanya saja, gadis itu seperti tidak mengenali Pendekar Rajawali Sakti. Tatapan matanya kosong dan tajam sekali, menusuk langsung ke bola mata pemuda tampan di depannya. Bibirnya yang merah berbentuk indah itu, terkatup rapat Menyiratkan sikap permusuhan.
"Pandan... Kaukah Pandan Wangi...?" Tanya Rangga ragu-ragu.
Dari pengalamannya selama berada di dalam kekuasaan Dewi Penguasa Samudera ini, Pendekar Rajawali Sakti jadi tidak mudah percaya begitu saja.
Dan kini, Rangga mendongakkan kepala ke atas.
udara sana, masih terlihat Rajawali Putih yang melayang berputaran tepat di angkasa. Burung rajawali raksasa itu seakan-akan ingin menyaksikan sepasang kekasih yang kini berhadapan dengan sikap bermusuhan dan saling tidak percaya. Perhatian Ranga kembali terpusat pada Pandan Wangi.
"Pandan, jawablah. Apakah kau benar-benar Padan Wangi...?" Tanya Rangga ingin meyakinkan kalau yang ada di depannya adalah Pandan Wangi Atau mungkin hanya khayalannya saja.
Pertanyaan Pendekar Rajawali Sakti sama sekali tidak dijawab dengan kata-kata, tapi malah dijawab dengan serangan cepat dan dahsyat. Rangga tersentak sesaat Bergegas tubuhnya dimiringkan ke kanan, menghindari pukulan keras bertenaga dalam tinggi yang dilepaskan Pandan Wangi.
"Pandan, tunggu...!" seru Rangga seraya melompat menjauh.
Namun Pandan Wangi tidak mempedulikan.
Kembali diserangnya Pendekar Rajawali Sakti itu dengan jurus-jurus cepat dan mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi.
Rangga terpaksa harus berjumpalitan, menghindari serangan-serangan seraya mempergunakan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'.
Satu jurus yai hanya digunakan untuk menghindar, tanpa melakukan serangan balasan sedikit pun. Kalau ada serangan balasan, itu hanya bersifat mencari jarak saja. Namun, sama sekali tidak membahayakan lawan. .
Dan rupanya Pandan Wangi mengetahui jurus yang digunakan Rangga. Gadis itu terus mendesak.
Meskipun beberapa kali Rangga melakakan serangan balasan, namun sedikit pun Pandan Wangi tidak peduli. Tentu saja hal ini membuat Pendekar Rajawali Sakti jadi semakin ragu-ragu. Dia menyadari kalau Pandan Wangi tahu persis semua jurus-jurus yang dimilikinya. Dan setiap melakukan serangan balasan lewat jurus 'Sembilan Langkah Ajaib', cepat ditarik kembali serangannya. Pendekar Rajawali Sakti tidak ingin melukai, sebelum yakin benar tentang gadis ini.
"Pandan, hentikan...!" sentak Rangga seraya melompat cepat ke belakang sejauh dua batang tombak.
Namun Pandan Wangi benar-benar tidak mempedulikan peringatan itu. Bahkan gadis itu kembali melompat menerjang seraya mencabut senjata yang terselip di pinggang.
Sebuah senjata berbentuk kipas berwarna keperakan.
"Hiyaaat..!" Bet!
"Uts!" Hampir saja ujung kipas yang berbentuk bagai mata anak panah itu merobek kulit dada Rangga.
Untung saja Pendekar Rajawali Sakti cepat menarik tubuhnya ke belakang. Dan belum lagi keseimbangan tubuhnya sempat dikuasai, Pandan Wangi sudah melepaskan satu tendangan lurus yang keras, bertenaga dalam tinggi. Yang dituju adalah perut pemuda berbaju rompi putih itu.
"Hup! Yeaaah...!" Cepat Rangga melentingkan tubuhnya ke belakang, sehingga tendangan Pandan Wangi tidak mengenai sasaran. Dua kali Pendekar Rajawali Sakti berputar udara, lalu manis sekali mendarat di tanah, sejauh dua batang tombak dari Pandan Wangi.
"Hhh! Jurus-jurusnya sama persis dengan ya dimiliki Pandan Wangi. Dia benar-benar ingin mem- bunuhku...," keluh Rangga dalam hati.
Saat itu Pandan Wangi sudah kembali bersiap hendak melakukan serangan. Dibukanya kembangan jurus yang digunakan untuk menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Maka pemuda berbaju rompi putih itu langsung menyadari, kalau jurus yang dibuka Pandan Wangi merupakan jurus dahsyat dan tidak bisa dianggap main-main lagi.
"Apa yang harus kulakukan sekarang...?" keluh Rangga dalam hati.

*
* *

"Hiyaaat..!" Bagai seekor sengala lapar, Pandan Wangi melompat cepat menyerang Rangga.
Senjatanya yang berupa kipas berwama keperakan, berkelebat cepat mengincar bagian-bagian tubuh yang peka dan mematikan. Rangga yang tahu kalau jurus itu sangat dahsyat dan tidak bisa dianggap remeh, tidak akan bermain-main lagi.
"Hiyaaa...!" Pendekar Rajawali Sakti cepat melesat tinggi ke udara. Dan secepat itu pula, tubuhnya menukik deras hendak menyambar Pandan Wangi. Gerakannya persis seperti seekor burung rajawali menyambar mangsanya. Dan memang, Rangga tengah mengerah- kan lurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'.
Tapi begitu sasarannya hampir mengena, mendadak saja Rangga cepat membelokkan sasaran. Pendekar Rajawali Sakti hanya mengibaskan tangannya ke arah dada gadis itu.
Perubahan yang dilakukan begitu cepat, membuat Pandan Wangi tampak kelabakan. Dan gadis itu terlambat untuk menghindari sodokan tangan kanan Pendekar Rajawali Sakti itu. Memang pada saat itu dia sibuk mempertahankan kepalanya yang semula menjadi incaran serangan Rangga.
Dieghk!
"Akh...!" Pandan Wangi terpekik tertahan.
Gadis itu terhuyung-huyung ke belakang sambil memegangi dadanya yang terkena sodokan tangan kanan Pendekar Rajawali Sakti. Dan belum juga Pandan Wangi bisa menguasai keseimbangan tubuhnya, nendadak saja Rangga sudah melompat cepat Langung dilepaskannya satu totokan tajam ke arah dada dekat tenggorokan gadis itu. Pandan Wangi benar-benar tidak dapat lagi menghindar, sehingga....
"Ah...!" Gadis cantik berbaju biru itu langsung jatuh lemas ke tanah berumput ketika tertotok di bagian dada dekat tenggorokan. Bergegas Rangga menghampiri.
Namun sebelum sempat menyentuh tubuh gadis itu, mendadak saja sebuah bayangan hijau berkelebat cepat menyambar tubuh Pandan Wangi.
"Hei..?!" Rangga tersentak kaget.
Dan belum lagi hilang rasa keterkejutannya, mendadak saja dari balik pepohonan bermunculan gadis-gadis muda yang cantik. Mereka semua mengenakan kemben warna hijau muda sehingga bagian dada dan pundaknya terlihat jelas. Jumlah mereka cukup banyak. Entah berapa puluh banyaknya. Dan mereka semua membawa senjata berupa tombak serta pedang di punggung.
Sementara itu Pandan Wangi sudah lenyap setelah disambar bayangan hijau tadi. Rangga memutar tubuhnya periahan-lahan, merayapi gadis-gadis cantik yang kini mengelilinginya. Seluruh hutan ini jadi penuh oleh gadis cantik berkemben hijau. Mereka bergerak lahan, semakin rapat mengurung Pendekar Rajawali Sakti. Tak ada celah sedikit pun yang bisa digunan untuk keluar dari kepungan ini.
Rangga mendongakkan kepala ke atas. Tampak di atas sana seekor burung rajawali putih raksasa berputar-putar, seakan-akan ingin menjadi saksi atas nasib Pendekar Rajawali Sakti di sarang Dewi Penguasa Samudera ini. Rangga mengalihkan perhatiannya pada gadis-gadis cantik yang semakin dekat rapat mengepungnya. Mereka semua menghunus senjata yang ditujukan ke arah pemuda itu.
"Sebaiknya menyerah saja, Rangga. Tidak ada gunanya melawan," tiba-tiba terdengar suara keras dan lantang.
Suara itu jelas datang dari atas kepalanya.
Pendekar Rajawali Sakti mendongakkan kepala ke atas. Tapi yang ada di sana hanyalah seekor burung rajawali aksasa yang sejak, tadi melayang-layang mengitari tempat ini. Namun begitu mengarahkan pandangan ke ebelah kanan, tampak di atas sebatang pohon yang cukup tinggi berdiri seorang pemuda berwajah tampan dan berpakaian sangat indah. Rangga mengenali pemuda itu sebagai Pangeran Argabaja.
Yang membuat mata Pendekar Rajawali Sakti jadi terbeliak, Pangeran Argabaja kini tengah memegangi tangan seorang gadis cantik berbaju biru. Dia adalah Pandan Wangi. Kepala gadis itu nampak terkulai lemas bagai tak memiliki tenaga.
"Ini peringatan terakhir, Rangga. Jika kau memang mencintai gadis ini, sebaiknya menyerah!" suara Pangeran Argabaja terdengar lantang.
"Pengecut..!" dengus Rangga menggeram.
"Ha ha ha...!" Pangeran Argabaja tertawa terbahakbahak.
"Turun kau, Iblis! Aku siap mengadu nyawa denganmu!" teriak Rangga tidak kalah lantangnya.
Pangeran Argabaja terus tertawa terbahak-bahak, sehingga membuat Rangga semakin geram. Pendekar Rajawali Sakti melihat Pandan Wangi sama sekali tidak berdaya. Bahkan tidak ada satu senjata pun yang melekat di tubuhnya.
"Kau akan menyesal bermain-main Argabaja!" teriak Rangga lantang.
Setelah berkata demikian, Rangga cepat melompat bagai kilat hendak menerjang Pangeran Argabaja yang berada di atas pohon.
Namun sebelum mencapai pemuda itu, mendadak saja beberapa batang tombak meluncur deras ke arahnya.
Rangga terpaksa memutar tubuh, berjumpalitan menghindari serbuan puluhan tombak itu. Dan kakinya kemudian mendarat di termpatnya semula.
"Ha ha ha...! Sudah kukatakan, tidak ada gunanya melawan, Rangga!" seru Pangeran Argabaja mengejek. "Kesaktianmu tidak ada artinya di sini...! Ha ha...!"
"Iblis...!" desis Rangga menggeram.
Pangeran Argabaja menjentikkan ujung jarinyal Maka seketika itu juga, gadis-gadis berkemben hijau meluruk deras menyerang Pendekar Rajawali Sakti dari segala penjuru. Tak ada lagi kesempatan bagi Rangga untuk menghalau mereka dengan aji 'Bayu Bajra'. Maka cepat Pendekar Rajawali Sakti mengeluarkan arkan jurus pertama dari rangkaian lima jurus ' Rajawali Sakti'.
Semua jari tangan Rangga mengembang kaku bagai cakar burung. Tubuhnya meliuk-liuk indah menghindari setiap serangan yang datang. Dan setiap kali mendapatkan kesempatan, dengan cepat tangannya dikibaskan ke arah lawan yang terdekat Pekik pertempuran dan jerit kesakitan berbaur menjadi satu.
Tubuh-tubuh gadis muda teriihat mulai bergelimpangan terkena sambaran jari-jari tangan Rangga yang mengeras kaku.
Bahkan tidak sedikit tombak dan pedang yang patah.
Dalam waktu tidak berapa lama saja, sudah lebih dari sepuluh orang yang tergeletak tak bergerak lagi.
Namun, tak ada tanda luka sedikit pun pada tubuh mereka.
Dan memang, Rangga sengaja tidak membunuh mereka, dan hanya membuat lumpuh.
"Tahaan..!" Mendadak saja terdengar seruan keras menggelegar.
Seketika itu juga gadis-gadis cantik yang mengeroyok Rangga, berlompatan mundur.
Cepat sekali gerakan mereka, hingga sebentar saja pertarungan telah berhenti mendadak. Rangga langsung mengarahkan pandangan pada suara bentakan keras tadi.

*
* *

"Dewi Penguasa Samudera...," desis Rangga begitu melihat seorang wanita cantik tahu-tahu sudah berada di dalam hutan ini.
Wanita cantik yang mengenakan baju warna biru tipis itu melangkah gemulai menghampiri Rangga.
Sementara itu gadis-gadis muda yang tadi menyerang Pendekar Rajawali Sakti, segera berlutut dengan kepala tertunduk. Dari atas pohon, tampak meluncur turun Pangeran Argabaja. Tangannya masih memegangi lengan Pandan Wangi yang tetap lemah tak berdaya. Manis sekali pemuda itu mendarat di samping kanan Dewi Penguasa Samudera. Kemudian diserahkannya Pandan Wangi pada dua orang gadis muda berkemben hijau. Kini Pandan Wangi dipegangi orang gadis pada tangan kanan dan kirinya.
"Seharusnya kau tidak perlu keras kepala ini, Rangga. Kita bisa membicarakannya baik-baik,” ujar Dewi Penguasa Samudera lembut Senyumnya terkembang begitu manis dan menawan. Namun sinar matanya memancarkan sesuatu yang aneh, dan sangat kuat daya pancarnya.
Perhatian Rangga cepat dialihkan dari bola mata yang indah. Pendekar Rajawali Sakti tahu kalau pusat kekuatan yang dimiliki Dewi Penguasa Samudera berada pada matanya. Dan ini tidak bisa dilawan dengan tatapan mata juga.
"Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi. Sudah jelas kau menculik Pandan Wangi. Dan sekarang, aku minta dia dikembalikan padaku!" agak ketus nada suara Rangga.
"Gadis itukah yang kau maksud?" Dewi Penguasa Samudera menunjuk Pandan Wangi yang masih tetap lemah tak berdaya.
"Kau sudah tahu siapa dia."
"Kalau gadis itu yang kau maksud, sama sekali aku tidak menculiknya. Lagi pula, sudah banyak gadis cantik di sini. Dan kini aku sama sekali tidak memerlukan gadis-gadis lagi," masih tetap lembut suara Penguasa Samudera.
"Kalau tidak menculik, lalu untuk apa kau bawa Pandan Wangi ke sini?" Tanya Rangga sengit "Terpaksa," sahut Dewi Penguasa Samudera kalem.
"Terpaksa...? Heh...! Hanya itukah alasanmu? Terpaksa menculik Pandan Wangi dan gadis-gadis lain hanya untuk dijadikan tumbal! Ketahuilah, Dewi Peguasa Samudera. Apa pun alasan yang kau kemukakan, aku tidak akan menerima perbuatanmu.
Teriebih lagi, kau mengambil anak gadis orang dan menjadikannya tumbal," lantang suara Rangga.
"Kau sama saja dengan orang-orang dungu di pantai sana yang menuduhku menculik anak gadis mereka. Tapi, mereka selalu memohon padaku agar hasil tangkapan ikan berlimpah!" dengus Dewi Penguasa Samudera.
"Kau memang tidak pernah mengambil secara langsung. Tapi, kau perintahkan orang-orangmu untuk menculik mereka. Bagiku itu sama saja, Dewi Penguasa Samudera. Kau tetap harus bertanggung jawab atas semua perbuatanmu selama ini."
"Jangan mengadiliku, Rangga. Sama sekali aku tidak pernah menculik gadis-gadis. Apalagi menjadikan tumbal. Kau bisa lihat sendiri, begitu banyak gadis di sini. Jadi, untuk apa harus mencari gadisgadis lagi.
Dan lagi, aku tidak pernah melakukan tumbal apa pun iuga. Tuduhanmu sama sekali tidak beralasan, Rangga."
"Apa pun yang kau katakan, aku tidak peduli.
Sekarang juga aku minta, kembalikan Pandan Wangi!" desak Rangga.
"Tentu saja, Rangga. Kau pasti akan mendapatkan Pandan Wangi kembali. Aku hanya meminjamnya sebentar," ujar Dewi Penguasa Samudera lembut.
"Apa lagi alasan yang akan kau kemukakan?' Dengus Rangga semakin sinis.
Pendekar Rajawali Sakti benar-benar sudah muak terhadap wanita ini Sikap dan lagaknya sangat menjengkelkan sekali. Terlebih, dia sering mendengar kalau wanita ini selalu mencari gadis-gadis muda untuk dijadikan tumbal. Walaupun hal itu sudah berjalan ratusan tahun, dan sudah menjadi kebiasaan yang diterima penduduk sekitar pantai, tapi Rangga tidak pernah mau menerima adanya tumbal persembahan yang mengorbankan nyawa manusia.
Segala macam bentuk tumbal, merupakan wujud dari persekutuan dengan iblis.
Plok! Plok! Plok! Dewi Penguasa Samudera menepuk tangan tiga kali. Maka seketika gadis-gadis yang berada memadati tempat ini membungkukkan badan memberi hormat. Kemudian mereka bergerak meninggalkan tempat ini.
Pangeran Argabaja pun bergegas meninggalkan tempat ini. Dan kini tinggal Rangga dan Dewi Penguasa Samudera saja yang tetap di tempat ini. Bahkan burung rajawali raksasa yang sejak tadi berputar-putar di angkasa pun, kini sudah tidak terlihat lagi. Entah pergi ke mana burung raksasa itu.
Sebentar saja hutan ini menjadi sunyi.
Namun sikap Rangga semakin waspada saja. Hatinya tidak ingin terjerat oleh wanita cantik yang selalu haus cinta ini.
Pendekar Rajawali Sakti bisa merasakan dari sinar mata wanita itu, ketika sejak pertama kali bertemu.
Sinar mata itu memancarkan hasrat yang kuat untuk menaklukkan Pendekar Rajawali Sakti.

*
* *

Perlahan-lahan Dewi Penguasa Samudera meng- hampiri Rangga. Senyumnya masih tetap mengem- bang manis. Sementara Rangga hanya berdiri tegak, bersikap penuh waspada. Dia tahu kalau wanita cantik penguasa lautan ini punya banyak cara licik untuk menjatuhkan lawan. Terlebih lagi menaklukkan laki-laki muda gagah dan tampan. Segala cara akan ditempuh untuk mendapatkan yang diinginkannya.
"Kau tidak akan berhasil membujukku, Nisanak.
Lebih baik bebaskan Pandan Wangi. Maka aku tidak akan mengusik kehidupanmu," kata Rangga mendahului.
"Aku senang mendengar ancamanmu, Rangga.
Begitu menggairahkan dan membuat semangat hidupku semakin menyala," lembut sekali suara Dewi Penguasa Samudera.
Rangga hanya mendengus saja. Bau harum yang memancar dari tubuh Dewi Penguasa Samudera begitu menusuk cuping hidung Rangga. Begitu keras, sehingga membuat kepala Pendekar Rajawali Sakti terasa pening. Namun cepat disadarinya, kalau aroma harum yang tercium ini merupakan salah satu cara untuk melemahkannya. Maka Rangga cepat menggeser kakinya dua langkah ke belakang.
"Siasat licik apa lagi yang kau gunakan untuk menaklukkanku, Dewi Penguasa Samudera...?" Dengus Rangga, sinis. Dewi Penguasa Samudera malah tersenyum makin manis.
Dalam hatinya, diakui kalau pemuda tampan ini begitu hebat.
Pendekar Rajawali Sakti bisa tahu kalau wanita itu mengenakan sesuatu yang dapat membuat laki-laki jadi terangsang. Tapi pemuda tampan berbaju rompi putih ini malah mengetahuinya, dan langsung cepat mencegahnya. Hal ini semakin membuat wanita itu bertambah penasaran ingin menaklukkannya.
Dan mendadak saja....
Bet!
"Heh...?!" Rangga tersentak kaget begitu tiba-tiba tangan kanan Dewi Penguasa Samudera bergerak cepat mengibas ke kanan. Dan sebelum Pendekar Rajawali Sakti sempat menyadari, sebuah benda halus seperti jarum berwama kuning keemasan meluncur deras ke arahnya. Cepat-cepat Rangga memiringkan tubuh hendak menghindari benda yang dilontarkan Dewi Penguasa Samudera. Namun gerakannya terlambat sedikit. Terlebih lagi, jarak mereka memang terlalu dekat Sehingga....
"Akh...!" Rangga memekik tertahan saat benda kecil berbentuk jarum keemasan itu menembus kulit dadanya.
Pendekar Rajawali Sakti seketika terhuyunghuyung ke belakang.
Dicabutnya benda kecil yang menancap cukup dalam di dadanya. Saat itu juga kepalanya terasa jadi pening, dan matanya ber- kunang-unang. Pemuda itu menggeleng-gelengkan kepala, namun rasa pening yang dirasakan semakin kuat menguasai seluruh kepalanya. "Kau.... Kau, Iblis...." Begitu selesai berkata, Rangga langsung ambruk ke tanah. Sebentar Pendekar Rajawali Sakti masih bisa mendengar suara tawa Dewi Penguasa Samudera, untuk kemudian kesadarannya benarbenar lenyap. Seluruh alam dirasakan begitu gelap, sunyi tanpa kehidupan.
"Kau tahu, Rangga. Tak ada seorang pun yang dapat melepaskan diri dariku," ujar Dewi Penguasa Samudera seraya tertawa terbahak-bahak.
Pada saat itu muncul Pangeran Argabaja. Pemuda ini tersenyum-senyum melihat Rangga tergeletak tak sadarkan diri di depan ujung jari kaki Dewi Penguasa Samudera. Dibalikannya tubuh Rangga hingga ter- lentang. Kemudian matanya menatap wanita cantik yang tertawa kecil mengikik.
"Kau hebat, Kanda Dewi," puji Argabaja.
"Bawa dia, dan kurung bersama kekasihnya," perintah Dewi Penguasa Samudera.
"Baik," sahut Argabaja.
'Tapi ingat, jangan kau sakiti mereka." Argabaja hanya meringis saja. Kemudian diangkatnya tubuh Rangga, dan dipanggul di pundak.
Dewi Penguasa Samudera meiepaskan pedang yang berada di punggung Pendekar Rajawali Sakti.
Dipandanginya pedang itu dengan sinar mata berbinar.
Sementara Argabaja sudah beranjak pergi membawa Rangga yang sudah tidak sadarkan diri.
"Pendekar Rajawali.... Semoga kau dapat melihat kalau aku bisa menguasai pedang pusaka ini.
Dengan pedang ini, aku dapat menguasai seluruh dunia. ha ha...!" Suara tawa Dewi Penguasa Samudera menggema keras ke seluruh hutan. Dan suara tawa itu terus terdengar, meskipun wanita cantik itu sudah melesat bagaikan kilat meninggalkan hutan itu.

*
* *

֍↨::::↨֍¦ 7 ¦֎↨::::↨֎

"Ohhh...." Rangga menggeleng-gelengkan kepala sambil merintih lirih. Perlahan matanya terbuka, lalu mencoba bangkit berdiri.
Namun sebuah tangan halus telah menahan dadanya.
Kepalanya masih terasa pening, dan berkunang-kunang.
Matanya disipitkan mencoba nelihat jelas.
Samar-samar terlihat seraut wajah dekat di atas wajahnya.
Perlahan-lahan, penglihatan Pendekar Rajawali Sakti semakin terang dan jelas. Seraut wajah itu tersenyum tipis, namun sorot matanya begitu redup menyiratkan kelesuan yang amat sangat Rangga sangat mengenali wajah cantik yang tampak lesu ini.
"Pandan...," desis Rangga seraya mencoba bangkit Gadis berbaju biru itu membantu Rangga duduk.
Perlahan Pendekar Rajawali Sakti bisa duduk dengan punggung bersandar pada dinding batu yang keras dan dingin berlumut. Sebentar dipandanginya wajah cantik di depannya, kemudian matanya beredar ke sekeliling. Kesadarannya langsung mengatakan kalau dirinya berada di dalam ruangan penjara batu yang tidak begitu besar dan kotor.
"Pandan.... di mana ini?" Tanya Rangga seraya memandangi wajah gadis di depannya.
Gadis itu memang Pandan Wangi. Meskipun wajahnya tampak kusut dan lesu dengan rambut acak- acakan, tapi kecantikannya tidak pudar. Baju yang dikenakannya koyak di beberapa tempat. Rangga cepat mengalihkan perhatiannya dari pemandangan indah itu, lalu kembali mengamati wajah Pandan Wangi.
"Kakang...," desis Pandan Wangi. Mendadak saja gadis itu menangis dan memeluk Pendekar Rajawali Sakti. Rangga jadi kebingungan tidak mengerti.
Pandan Wangi menangis semakin keras. Pelukannya juga begitu kuat, seakan-akan tidak ingin melepaskan pemuda ini kembali. Rangga menepuk-nepuk lembut punggung gadis itu.
"Hsss.... Sudah, Pandan. Hentikan tangismu.
Ceritakan apa yang terjadi, dan kenapa sampai begini...?" pelan dan lembut sekali suara Rangga.
Agak lama juga Pandan Wangi bisa menguasai dirinya. Perlahan pelukannya dilepaskan. Dipandanginya wajah Pendekar Rajawali Sakti, seakan-akan ingin memastikan kalau yang berada di depannya kini benar-benar kekasihnya. Sesekali masih terdengar isaknya.
"Kita harus segera keluar dari sini, Kakang.
Mereka tahu kalau kau murid Pendekar Rajawali yang sudah meninggal seratus tahun lalu. Mereka menyanderaku, untuk memancing kau ke sini, Kakang.
Mereka akan membunuhmu kalau terbukti kau murid Pendekar Rajawali," jelas Pandan Wangi dengan suara terisak.
"Lalu, kenapa kau jadi begini? Apa yang mereka lakukan padamu?" Tanya Rangga tanpa mempedulikan peringatan Pandan Wangi.
Pandan Wangi tidak segera menjawab, tapi malah kembali menangis .terisak. Sukar bagi Rangga untuk menenteramkan gadis ini. Dia hanya dapat menunggu sampai tangis Pandan Wangi mereda.
"Laki-laki itu.... Dia mencoba menodaiku...!" jelas Pandan Wangi masih terisak.
"Argabaja, maksudmu...?" Pandan Wangi mengangguk. "Keparat..!" desis Rangga menggeram.
Dipandanginya Pandan Wangi dalam-dalam.
"Dia menodaimu, Pandan?" Tanya Rangga hati- hati. Dadanya seketika bergemuruh, berharap hal itu tidak sampai terjadi pada diri kekasihnya.
Pandan Wangi menggeleng perlahan. Isak tangisnya sudah kembali mereda. Bahkan hanya sesekali saja ter-dengar.
Sementara Rangga menghembuskan napas lega, begitu mengetahui kalau hal itu belum sampai menimpa Pandan Wangi. Kalaupun sampai terjadi, tidak ada ampun lagi bagi Argabaja. Dan ini pun sudah membuat hati Pendekar Rajawali Sakti panas seperti terbakar.
Melihat keadaan pakaian yang koyak, pastilah Pandan Wangi berusaha mempertahankan diri. Tapi, kenapa Pandan Wangi kelihatan lemah...? Biasanya kalau ada laki-laki yang bermaksud kurang ajar padanya, gadis itu tidak segan-segan menghajar.
Bahkan kalau hampir sampai menodai, dia tidak segan-segan membunuh. Atau paling tidak membuat laki-laki itu jadi tidak berdaya, dan tak mungkin mengganggu wanita lagi.
Sebenarnya, Pandan Wangi kelihatan lemah disebabkan oleh pengaruh aji 'Tinggal Raga' yang disalurkan ke tubuhnya oleh Pangeran Argabaja. Hal ini dilakukan agar Pandan Wangi bisa dibawa ke dasar lautan. Kemudian jasadnya yang tertinggal di tepi pantai diseret ombak, untuk kemudian dibawa ke dasar lautan juga. Itulah sebabnya mengapa waktu Pendekar Rajawali Sakti bertemu Pandan Wangi di tepi pantai dan tengah ditawan, gadis itu tidak bisa berbuat apa-apa Karena saat itu hanya sukmanya.
"Dia seperti binatang, Kakang. Aku diikat, dan...
Untung Dewi Penguasa Samudera datang dan membatalkan niat pemuda keparat itu. Oh...," Pandan Wangi tidak sanggup lagi meneruskan kata-katanya.
"Sudahlah, Pandan. Akan kubalas kekurangajaran ini. Yang penting sekarang, aku bisa bertemu denganmu dalam keadaan selamat Itu saja yang terpenting bagiku.
Tentang cara bagaimana kita bisa keluar dari tempat ini, nanti dipikirkan bersama," ujar Rangga lembut.
"Akan kubunuh iblis keparat itu, Kakang," desis Pandan Wangi menggeram.
Rangga tersenyum kecut. Dia tahu watak gadis ini Kalau sudah berkata demikian, sukar dicegah lagi.
Kalau Pandan Wangi sudah bilang akan membunuh, pastl dilaksanakan.
Apalagi ini menyangkut harga dirinya sebagai seorang wanita yang juga seorang pendekar. Peristiwa yang dialaminya memang dapat membuat aib yang sangat besar. Apalagi kalau sampai tersebar ke seluruh rimba persilatan.
Semua orang di dalam rimba persilatan akan mengejeknya. Dan yang lebih menyakitkan lagi, tokoh-tokoh hitam rimba persilatan tidak akan lagi menghor-matinya. Mereka akan menganggap Pandan Wangi sebagai wanita rendah yang murahan. Dan lebih gila lagi, mereka akan berlomba-lomba untuk dapat tidur bersama gadis ini. Sungguh menyakitkan.
Dan ini sangat dirasakan Rangga, sehingga tidak mungkin dapat mencegah apabila Pandan Wangi benar-benar ingin membunuh Pangeran Argabaja.

*
* *

Cukup lama juga Rangga bersemadi memulihkan tenaganya. Sementara Pandan Wangi yang telah pulih setelah diberi hawa murni oleh Pendekar Rajawali Sakti, hanya diam saja, namun otaknya terus bekerja keras. Dia berusaha mencari jalan untuk dapat meloloskan diri dari tempat kotor yang pengap ini.
Selagi gadis itu menatap ke arah pintu besi, Rangga bangun dari semadinya. Kemudian dihampirinya gadis itu. Pandangannya juga tertuju ke arah pintu yang tampak kokoh dan sukar ditembus.
"Kau bisa menjebol pintu itu, Kakang?" tanyi Pandan Wangi seraya berpafing sedikit pada Pendekar Rajawali Sakti.
Rangga tidak langsung menjawab. Dihampirinya daun pintu besi yang hitam itu, kemudian diamatinya pintu itu beberapa saat Perlahan-lahan Pendekar Rajawali Sakti melangkah mundur menjauhi pintu itu.
Rangga kembali teringat pengalamannya di dalam kamar Dewi Penguasa Samudera. Pintu kamar yang tampaknya begitu mudah dijebol, ternyata begitu kuat hingga harus menggunakan aji 'Batara Naga' untuk menjebolnya.
Sedangkan pintu yang kini dihadapinya terbuat dari besi yang sangat tebal dan tampak kokoh.
Namun memang hanya dari pintu itu saja jalan keluar dari ruangan sempit, kotor, dan pengap ini. Tajam sekali Rangga memandangi pintu itu, seakan-akan sedang mengukur kekuatan pintu besi di depannya ini.
"Hap...!" Sambil menarik tangan agar sejajar dada, Pende kar Rajawali Sakti menahan napas. Perlahan napas- nya dihembuskan, lalu tangannya bergerak turun hingga sejajar pinggang. Kemudian kaki kanannya ditarik sedikit ke belakang. Perlahan-lahan tangan kanannya menjulur kedepan, lalu bergerak berputar dua kali.
"Hup! Yeaaah...!" Sambil berteriak keras menggelegar, Pendekar Rajawali Sakti melompat Langsung dilepaskan pukulan keras disertai pengerahan aji 'Batara Naga’.
Glarrr...! Satu ledakan keras terdengar menggelegar begitu pukulan Rangga menghantam pintu besi itu. Tampak Pendekar Rajawali Sakti terpental batik ke belakang.
Tubuhnya segera berputaran dua kali, sebelum kembali mendarat di lantai kotor dan dingin ini.
"Gila...!" desis Rangga hampir tidak percaya melihat pintu besi itu masih tetap kokoh.
"Kalau saja pedangmu ada, pasti mudah untuk mendobraknya, Kakang," keluh Pandan Wangi.
Rangga tersentak, dan langsung berpaling pada gadis itu. Baru disadari kalau pedangnya tidak ada lagi di punggungnya. Dan dia tahu, siapa yang mengambil senjata pusakanya itu.
"Keparat..!" dengus Rangga.
Namun semuanya sudah terjadi, dan tidak perlu lagi disesali.
"Pandan, kerahkan aji Tapak Geni'. Dan aku akan mengerahkan aji 'Batara Naga' sekali lagi," ujar Rangga.
"Kenapa tidak kau gunakan aji 'Cakra Buana Sukma' saja, Kakang?"
"Sifat aji 'Cakra Buana Sukma' sangat lunak, Pandan. Aku tidak yakin akan bisa digunakan untuk mendobrak pintu besi ini," sahut Rangga.
"Tapi ajian itu bisa menghancurkan batu, bukan?" Rangga tidak langsung menjawab. Aji 'Cakra Buana Sukma' memang bersifat sangat lunak, dan hampir tidak berwujud hasilnya. Tapi pada tingkatan terakhir, ajian itu bisa jadi sangat ganas. Bahkan sebongkah batu cadas yang besar dan keras sekalipun, mampu dihancurkannya. Tapi apakah ajian itu mampu mendobrak sebuah pintu besi yang begitu kokoh? Dan ini belum pernah dilakukan Rangga.
"Aku belum pernah menggunakan ajian itu untuk menghancurkan besi, Pandan," jelas Rangga.
"Aku rasa ini kesempatan baik untuk mencobanya Kakang. Aku yakin, aji 'Cakra Buana Sukma' mampu menjebol pintu itu," ujar Pandan Wangi memberi semangat.
"Baiklah, akan kucoba," akhimya Rangga menyerah juga.
Pandan Wangi melangkah mundur ketika Rangga mulai memusatkan perhatian untuk mengerahkan ajian yang sangat dahsyat itu. Tampak Rangga merentangkan kedua kakinya, lalu merapatkan telapak tangan di depan dada. Tatapan matanya begitu tajam, tertuju lurus ke arah pintu besi yang masih tampak kokoh itu.
Perlahan sekali, tubuh Pendekar Rajawali Sakti bergetar. Lalu tubuhnya bergerak miring ke kanan, dan sebentar kemudian ditarik miring ke kiri. Kembali Rangga menegakkan tubuhnya. Begitu kakinya dirapatkan, tampak cahaya biru menyemburat keluar dari kedua telapak tangannya yang merapat didepan dada. Cahaya biru itu semakin memendar begitu Rangga merenggangkan tangannya.
"Aji 'Cakra Buana Sukma'...! Yeaaah...!" Bagaikan kilat, Pendekar Rajawali Sakti melompat sambil menghentakkan kedua tangan ke depan. Sinar biru yang memancar dari kedua telapak tangannya nembentuk bulatan sebesar kepala. Keras sekali Rangga menggedor daun pintu besi itu dengan kedua telapak tangan yang terkembang berselimut cahaya biru.
Gbrrr...! Kembali terdengar ledakan dahsyat menggelegar begitu kedua telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti menghantam pintu, Dan untuk kedua kalinya pula, Rangga terpental ke belakang, lalu berputaran beberapa kali di udara. Namun manis sekali Pendekar Rajawali Sakti bisa mendarat di lantai.
Tampak debu mengepul disertai asap kebiruan pada daun pintu itu. Dan ketika asap kebiruan itu memudar, tampak pintu yang terbuat dari besi tebal dan kokoh itu jebol berantakan. Pandan Wangi bergegas menghampiri pemuda berbaju rompi putih itu, lalu memeluknya dengan perasaan bahagia.
"Ayo kita keluar, Pandan," ajak Rangga seraya melepaskan pelukan gadis itu.
Mereka kemudian bergegas berlari keluar dari ruangan yang pengap ini sambil bergandengan tangan. Tak tampak seorang penjaga pun di tempat ini. Mereka terus berlari menyusuri lorong batu, yang lebih mirip sebuah lorong gua yang panjang dan beriiku. Mereka terus berlari, mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Maka sebentar saja mereka sudah begitu jauh meninggalkan ruangan pengap itu.

*
* *

Rangga maupun Pandan Wangi terkejut bukan main begitu keluar dari lorong gua batu yang sangat panjang dan berliku. Temyata didepan mulut gua ini sudah menunggu Pangeran Argabaja dan empat orang tua pengawalnya. Bahkan mulut gua ini sudah dikepung puluhan gadis cantik yang hanya berkemben hijau. Mereka semua membawa tombak dan pedang.
"Mau coba lari? Tidak semudah itu, Pendekar Rajawali Sakti," terdengar sinis nada suara Pangeran Argabaja.
Rangga menatap tajam penuh kebencian pada pemuda tampan itu.
Kakinya melangkah maju dua tindak, lalu menarik tangan Pandan Wangi agar tetap berada di belakangnya.
"Bagus sekali kau sudah berada di sini, Argabaja.
Aku memang akan mencarimu, dan akan membuat perhitungan denganmu," dengus Rangga tidak kalah sinisnya.
"Ha ha ha..." Pangeran Argabaja tertawa terbahakbahak.
Sebentar kemudian, ujung jarinya dijentikkan tiga kali. Maka sekitar dua puluh orang gadis bersenjata tombak segera melangkah maju mendekati Rangga dan Pandan Wangi dari segala penjuru. Mereka siap menyerang, dan tinggal menunggu perintah saja.
"Kau tetap berada di belakangku, Pandan," Rangga berbisik.
"Baik," sahut Pandan Wangi.
"Hep...!" Rangga cepat mengatupkan kedua telapak tangan- nya di depan dada. Lalu kedua tangannya cepat diangkat ke atas, dan bergerak turun hingga merentang lebar ke samping. Bersamaan dengan bergeraknya tangan itu kembali menyatu di depan dada, Pendekar Rajawali Sakti berseru nyaring.
"Aji 'Bayu Bajra'...! Hiyaaa...!" Bersamaan dengan merentangnya kedua telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti, mendadak saja bertiup angin kencang bagai badai topan.
Begitu kencangnya, sehingga membuat suara menderu-deru memekakakkan telinga. Gadis-gadis yang mengepung tempat itu jadi terkejut setengah mati.
Mereka mencoba menghindar, namun terlambat, karena badai topan yang diciptakan Pendekar Rajawali Sakti sudah mengantam mereka.
Jerit dan teriakan melengking tinggi terdengar saling sambut Tubuh-tubuh gadis muda itu beterbangan bagai daun kering yang tertiup angin. Bahkan pepohonan dan bebatuan juga ikut berhamburan, karena tak sanggup menahan gempuran badai yang semakin dahsyat.
Sementara Pangeran Argabaja dan empat orang tua pengawalnya jadi sibuk bertahan agar tidak ikut terlempar.
Mereka juga tidak punya kesempatan menghindar lagi, dan terpaksa mengadu kekuatan dengan Pendekar Rajawali Sakti. Macam-macam yang dilakukan untuk menjaga agar tidak terlempar.
Bahkan mereka juga sibuk menghindari batu-batu dan pepohonan yang berhamburan bagai tercabut dari tanah.
"Hiyaaa...!" Mendadak saja, Pangeran Argabaja mengibaskan tangan kanan ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
Seketika dari telapak tangannya meluncur deras seberkas sinar merah.
"Awas, Kakang...!" seru Pandan Wangi memper- ingatkan.
"Hup! Yeaaah...!" Cepat Rangga menghentakkan kedua tangannya ke depan. Maka seketika itu juga badai yang mengamuk langsung terkumpul, menyambut sinar merah yang memancar dari tangan kanan Pangeran Argabaja.
"Awas...!" seru Pangeran Argabaja.
Pemuda itu cepat melompat ke samping begitu serangannya berbalik terkena hempasan badai aji 'Bayu Bajra' yang dilepaskan Pendekar Rajawali Sakti.
Empat orang tua yang berada di samping pemuda itu juga cepat berlompatan menghindar. Saat itu Rangga sudah menarik kembali ajiannya.
"Hiyaaa...!"
"Pandan, tahan...!" seru Rangga, terkejut melihat Pandan Wangi melesat cepat menerjang Pangeran Argabaja.
Namun peringatan Pendekar Rajawali Sakti sudah terlambat Kini Pandan Wangi sudah menyerang Pangeran Argabaja dengan jurus-jurus maut. Meskipun hanya tangan kosong saja, Pandan Wangi tidak bisa dianggap enteng. Ini terbukti, Pangeran Argabaja begitu kelabakan menghindari setiap serangan yang datang beruntun bagai hujan itu. Terpaksa tubuhnya berjumpalitan, dan membanting diri ke tanah untuk menghindari serangan Pandan Wangi. Sementara tangannya sendiri sudah sibuk menghadapi keroyokan empat orang tua yang rata-rata memiliki tingkat kepandaian tinggi Hanya dengan tangan kosong saja, tampaknya Rangga agak kerepotan juga menghadapi empat orang berkemampuan tinggi ini. Terlebih lagi, mereka nenggunakah senjata berupa tongkat yang runcing.
Namun Pendekar Rajawali Sakti masih mampu menghadapi dengan cepat merubah-rubah jurusnya.
Bahkan selalu menggabung-gabungkan lima jurus dari lima ingkaian jurus 'Rajawali Sakti' yang sangat ampuh.
Dengan jurus-jurus itu, terlalu sukar bagi empat rang tua itu untuk mendesak Rangga. Bahkan kini tampak kerepotan menghindari serangan balasan Pendekar Rajawali Sakti. Beberapa kali pukulan dan tendangan Rangga hampir bersarang di tubuh mereka.
Sementara itu di tempat lain, tampak Pandan Wangi masih terus mendesak Pangeran Argabaja.
"Hiyaaa...!" Tiba-tiba saja Pandan Wangi melompat ke atas, lalu cepat menjatuhkan diri dan bergelimpangan di tanah. Dan begitu melompat bangkit, di tangannya tergenggam sebilah pedang yang dipungutnya dari tanah. Bagaikan Kilat, si Kipas Maut kembali menyerang angeran Argabaja. Dengan sebilah pedang di tangan, Pandan Wangi semakin terlihat ganas.
"Mampus kau! Hiyaaat..!" Cepat sekali Pandan Wangi mengibaskan ke arah dada pemuda tampan itu. Namun pada itu, Pangeran Argabaja mencabut pedang yang tergantung di pinggang. Lansung pedangnya dikibaskan untuk menangkis serangan pedang Pandan Wangi.
Trang!
"Hup! Yeaaah...!" Begitu serangan bisa tertangkis, cepat sekafi Pandan Wangi memiringkan tubuhnya ke kiri. Lalu bagaikan kilat, kaki kanannya melayang ke depan Pangeran Argabaja tersentak, tidak mengira kalau gadis ini akan berbuat seperti itu. Dia cepat melompat mundur ki belakang dua tindak.
Tapi sungguh tidak diduga sama sekali, ternyata tendangan Pandan Wangi hanya merupakan tipuan saja. Dan gadis itu memang sudah memperkirakan kalau Pangeran Argabaja akan melakukan penye- lamatan diri dengan mundur ke belakang. Dan pada saat itu, Pandan Wangi meluruk deras sam menusukkan pedang ke arah dada.
"Hiyaaa...!"
"Heh...?! Halt..!" Untuk kedua kalinya Pangeran Argabaja terkejut Cepat-cepat pedangnya dikibaskan untuk menangkis tusukan pedang si Kipas Maut itu. Seketika bunga api pun berpijar saat dua pedang itu kembali beradu keras. Kali ini Pangeran Argabaja kembali terkejut amat sangat Jari-jari tangannya terasa kaku dan tergetar begitu pedangnya berbenturan dengan pedang Pandan Wangi.
Belum lagi hilang rasa keterkejutannya, mendadak saja Pandan Wangi sudah memberi satu pukulan keras bertenaga dalam tinggi ke dada pemuda itu.
Dan teryata serangan kilat ini sama sekali tidak diduga Pangeran Argabaja, sehingga terlambat untuk menghindar.
Begkh!
"Akh...!" Pangeran Argabaja memekik tertahan.
Tubuh pemuda tampan perlente itu terpenral sekitar setengah batang tombak ke belakang. Keras sekali tubuhnya ambruk menghantam tanah. Pandan. Wangi tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Cepat tubuhnya melompat, meluruk deras sambil menghunus pedang tertuju langsung ke dada Pangeran Argabaja.
"Mampus kau, Keparat..! Hiyaaat..!" Bres!
"Aaa...!" Satu jeritan panjang melengking terdengar menyayat begitu pedang Pandan Wangi menghunjam dalam di dada Pangeran Argabaja. Cepat Pandan Wangi mencabut pedangnya kembali. Seketika itu juga, darah muncrat keluar dari dada yang berlubang tertembus pedang.
"Binatang sepertimu tidak pantas hidup! Hih...!" Cras...! Pangeran Argabaja tidak bisa lagi bersuara ketika Pandan Wangi menebas lehernya hingga hampir buntung. Seketika itu juga, pemuda itu tewas disertai semburan darah segar dari leher. Pandan Wangi melompat mundur. Ada kepuasan di hatinya setelah mcnewaskan laki-laki yang hampir membuat dirinya temoda.
Gadis itu berpaling ke arah Rangga yang masih bertarung sengit menghadapi empat orang tua pengawal Pangeran Argabaja. Tanpa berpikir panjang lagi, Pandan Wangi cepat melompat masuk dalam kancah pertempuran.
"Hiyaaat..!"

*
* *

֍↨::::↨֍¦ 8 ¦֎↨::::↨֎

Bagaikan kilat, Pandan Wangi menebaskan pedangnya ke arah Nyai Sutirani. Serangan si Kipas Maut yang begitu cepat dan mendadak sekali itu, tidak sempat disadari. Akibatnya wanita tua itu tak mampu lagi menghindar. Cras!
"Aaa...!" jerit Nyai Sutirani melengking tinggi.
Pedang Pandan Wangi merobek dada wanita tua itu.
Seketika darah muncrat keluar dengan deras sekali.
Nyai Sutirani terhuyung-huyung ke belakang sambil iendekap dadanya yang berlumuran darah.
Dan sebeum sempat menyadari apa yang terjadi, Pandan Wangi sudah cepat kembali membabatkan pedang, langsung diarahkan ke leher wanita tua bertongkat hitam itu.
"Hiyaaat..!" Bret!
"Aaa...!" untuk kedua kalinya Nyai Sutirani menjerit panjang melengking tinggi.
Wanita tua itu langsung ambruk ke tanah.
Sebentar tubuhnya menggelepar meregang nyawa, kemudian diam tak bergerak-gerak lagi. Kehadiran Pandan Wangi yang langsung menewaskan Nyai Sutirani begitu cepat, membuat tiga orang tua lainnya jadi terperanjat Mereka segera berlompatan mundur, dan langsung berpaling ke arah Pangeran Argabaja.
Bukan main terkejutnya mereka begitu melihat Pangeran Argabaja sudah tergeletak tidak bernyawa lagi. Darah masih mengucur deras. Dari dada dan lehernya. Sementara itu Pandan Wangi sudah menghampiri Rangga.
"Keparat..! Kau harus membayar nyawa Pangeran Argabaja!" geram Ki Sundrata seraya menatap tajam Pandan Wangi.
"Dia sudah pantas menerima kematiannya," sambut Pandan Wangi dingin.
"Bocah keparat..! Mampus kau! Hiyaaa...!" Ki Sundrata tidak dapat lagi menahan kemarahannya begitu mengetahui junjungannya tewas.
Tubuhnya cepat melompat menerjang Pandan Wangi.
Namun belum juga sampai pada gadis itu, mendadak saja Pandan Wangi melemparkan pedang disertai pengerahan tenaga dalam ke arah laki-laki tua bertongkat hitai itu.
"Yeaaah...!"
"Wus...!" Bles!
"Aaakh..!" Akibat terlalu dipenuhi amarah yang meluap-luap Ki Sundrata tidak bisa menguasai diri. Dan inilah yang mengakibatkannya lengah. Pedang yang dilemparkan Pandan Wangi tepat menancap di dada laki-laki usia lanjut itu, hingga tembus ke punggung.
Keras sekali Ki Sundrata jatuh ke tanah. Tubuhnya nenggelepar sebentar, kemudian diam tak bergerakgerak lagi Pandan Wangi menghampiri mayat Ki Sundrata, lalu mencabut pedang dari dada laki-laki tua itu. Saat ini, Pandan Wangi merasa dirinya telanjang. Tapi dengan pedang yang ditemukan tergeletak di tanah tadi, kini dia tidak lagi merasa terlalu telanjang. Baginya yang terpenting sekarang, memegang senjata. Dan pedang ini sudah meminta tiga nyawa. Gadis itu kemudian kembali menghampiri Rangga.
Sementara Ki Pulung dan Nyai Amoksa nampak pucat melihat tinggal mereka berdua saja yang masih hidup. Sementara di sekitamya banyak bergelimpangan gadis yang sudah tidak bernyawa lagi.
Beberapa nasih terlihat hidup, namun keadaannya tidak lagi memungkinkan bisa berdiri. Yang terdengar hanya rintihan halus mereka.
"Aku akan mengampuni, jika kalian mau menunjukkan di mana senjata kami tersimpan," kata Rangga, tajam nada suaranya.
Ki Puking dan Nyai Amoksa tidak segera menjawab. Mereka saling berpandangan sebentar, lalu memandangi mayat-mayat yang bergelimpangan di sekitarnya.
Mereka sadar, kalau tidak mungkin melawan Rangga dan Pandan Wangi hanya berdua saja. Sedangkan berempat saja, sukar mendesak Pendekar Rajawai Sakti tadi. Mereka menyadari kalau kemamuannya masih berada di bawah pemuda tampan berbaju rompi putih itu.
"Kami tidak tahu, di mana senjata-senjata itu.
Senjata kalian disimpan Kanjeng Ratu. Jadi hanya Kanjeng Ratu sendiri yang tahu," ujar Ki setelah berpandangan sebentar pada Nyai Amoksa.
"Benar! Kami tidak berdusta. Hanya Kanjeng yang tahu, di mana senjata itu disimpan," saml Nyai Amoksa.
"Di mana ratu kalian?" Ranya Rangga.
"Di dalam istana," sahut Nyai Amoksa seraya menunjuk ke arah sebuah bangunan yang megah dan tampak anggun.
Rangga dan Pandan Wangi mengarahkan pandangan ke bangunan yang ditunjuk Nyai Amoksa sebentar. Kemudian, mereka kembali memusatkan perhatian pada dua orang tua ini.
"Kalian harus mengantarkan kami ke sana," perintah Rangga.
"Tapi...," Nyai Amoksa ingin menolak.
"Tidak ada tapi-tapian!" bentak Rangga memotong.
Tak ada pilihan lain lagi bagi kedua orang itu.
Rasanya mereka benar-benar terpojok sekarang ini.
Pilihan apa pun yang dijatuhkan, akan berakibat sama. Apalagi mereka sudah yakin tidak akan mampu menandingi Pendekar Rajawali Sakti. Dan mereka tidak ingin mati seperti kedua temannya. Tapi jika menuruti permintaan pemuda ini, mereka past! Dan kalau menuruti pun juga akan mati. Sebab, Penguasa Samudera sudah pasti akan membunuh mereka karena dianggap berkhianat. Satu pilihan yang sulit, tapi itu harus.
"Kalau kami tunjukkan, apakah kalian akan men- jamin keselamatan kami berdua?" Tanya Ki Pulung.
"Itu urusanmu sendiri!" dengus Pandan Wangi ketus.
"Kalau begitu...." Belum lagi Ki Pulung selesai berkata-kata, men- dadak saja secercah cahaya merah meluruk deras ke arah laki-laki tua itu. Begitu cepatnya, sehingga Ki Pulung tidak sempat lagi berkelit menghindar. Dan...
"Aaakh...!" Ki Pulung menjerit kencang begitu cahaya merah itu menghantam tubuhnya.
Seketika Ki Pulung terjatuh ke tanah, lalu menggelepar seperti ayam disembelih.
Tampak dadanya menghitam hangus bagai terbakar.
Perlahan-lahan tubuh laki-laki tua itu meleleh hancur disertai kepulan asap tipis berwarnah merah.
Melihat kemarian Ki Pulung yang begitu mengerikan, Nyai Amoksa jadi gemetar.
Lalu, dia cepat berbalik dan berlari kencang. Tapi belum juga berlari jauh, mendadak saja sebuah bayangan biru muda berkelebat cepat bagaikan kilat menghadang perempuan tua itu.
Tahu-tahu di depan Nyai Amoksa sudah berdiri Dewi Penguasa Samudera. Maka Nyai Amoksa langsung berlutut di depan wanita cantik itu.
Dipandanginya Rangga dan Pandan Wangi yang berdiri agak jauh. Waniita cantik itu melangkah dua tindak ke depan. Tampak di kanan dan kiri pinggangnya tergantung dua pedang, yang sudah pasti milik Rangga dan Pandan Wangi.
Sementara di tangan kanannya tergenggam sebuah kipas baja putih keperakan yang terkembang.
Itu pun juga milik Pandan Wangi Seakan-akan wanita ini ingin menunjukkan kalau sudah bisa menguasai senjata itu, dan kini tinggal menguasai pemiliknya.

*
* *

"Perempuan setan...! Kembalikan milik kami!' bentak Pandan Wangi menggeram sengit.
"Aku rasa kekasihmu tidak menginginkan benda benda ini kembali. Dia sudah mengatakan, hanya meminta kau saja, dan bukan benda-benda ini," ujar Dewi Penguasa Samudera lembut dan terdengar tenang sekali.
'Perempuan keparat..! Kau selalu saja mencari gara-gara!" geram Pandan Wangi semakin sengit.
"Ha ha ha...! Kau salah kalau menuduhku Pandan Wangi. Seharusnya tuduhlah kekasihmu. Dia yang membuat semua ini terjadi," Dewi Penj Samudera menunjuk Rangga.
"Kau jangan memutarbalikkan kenyataan, Penguasa Samudera!" dengus Rangga.
"Kau murid Pendekar Rajawali, bukan...?" Dewi Penguasa Samudera bernada ingin meyakinkan dirinya sendiri.
"Benar! Dan pedang itu warisan dari mendiang guruku," sahut Rangga agak terkejut juga mendengar pertanyaan itu.
"Bagus! Itu berarti kau harus tinggal di sini menggantikan gurumu."
"Kalau hanya aku yang diinginkan, kenapa kau melibatkan Pandan Wangi? Dia tidak tahu apa-apa, dan kau tidak berhak melibatkannya!" sentak Rangga lantang.
"Sudah kukatakan padamu, aku terpaksa menggunakan Pandan Wangi agar kau datang ke sini," masih tetap tenang nada suara Dewi Penguasa Samudera.
"Apa sebenamya yang kau inginkan dariku?" Tanya Rangga.
"Karena kau murid Pendekar Rajawali, maka kau harus menggantikan gurumu yang telah mati. Dia sudah berjanji akan menjadi pendampingku yang setia, tapi dia ingkar janji. Dan sampai sekarang dia tidak pernah muncul. Malah ilmu-ilmunya diturunkan padamu. Dan sekarang kau yang harus menggantikannya, Rangga.
Kau lihat..!" Dewi Penguasa Samudera menunjuk ke atas.
Rangga dan Pandan Wangi mendongak, dan melihat ke atas kepala mereka. Tampak di atas sana terlihat seekor burung rajawali putih raksasa. Burung itu terbang melayang berputar-putar di atas kepala mereka. Sebagai bangsa siluman, tentunya Dewi Penguasa samudera memiliki ilmu sihir. Maka tak heran kalau dia bisa menyihir sesuatu menjadi benda yang diinginkan. Itu pun juga dialami Pendekar Rajawali Sakti ketika harus menghadapi pohon-pohon yang hidup. Dan kini Dewi Penguasa Samudera juga menyihir sebongkah batu karang besar menjadi Rajawali Putih, mirip tunggangan Pendekar Rajawali Sakti.
"Aku sudah ciptakan Rajawali Putih untuk pengganti Rajawali Putih mirik gurumu. Dia bisa kau perintah apa saja, setelah aku mengizinkan dan menyerahkannya padamu, Rangga. Nah! Sekarang, sebaiknya kau ikut denganku ke istana. Kita akan menikah dan hidup abadi di Kerajaan Dasar Samudera ini," lanjut Dewi Penguasa Samudera.
"Perjanjian itu antara kau dan guruku, Dewi Penguasa Samudera. Jadi tidak ada alasan menuntut sesuatu dariku. Kalau merasa guruku ingkar janji, pasti ada alasannya. Tidak mungkin guruku ingkar janji kalau bukan karena kau sendiri yang membuatnya begitu," Rangga membela gurunya.
"Huh! Dia hanya cemburu! Dia tidak berhak melarangku berhubungan dengan laki-laki lain. Itu sudah menjadi bagian dari hidupku. Seharusnya dia bisa mengerti, kalau memang ingin hidup bersamaku sini. Tapi rupanya dia tidak mau memahami, sehingga mengingkari janjinya. Dan sekarang, kau sebagai muridnya harus bertanggung jawab. Aku sudah bersumpah! Jika Pendekar Rajawali mempunyai murid, muridnyalah yang harus menggantikan kedudukannya," agak keras suara Dewi Penguasa Samudera.
"Jika aku menolak keinginanmu?" Tanya Ranga memancing.
"Mati di tanganku!" sahut Dewi Penguasa Samudera, singkat.
"Aku memilih yang kedua." "Setan...! Ternyata kau sama saja dengan gurumu! Kau memang harus mati, Rangga...!" Setelah berkata demikian, Dewi Penguasa Samudera langsung melompat menerjang Pendekar Rajawali Sakti. Kipas milik Pandan Wangi yang berada di dalam kekuasannya dikebutkan. Rangga cepat melompat mundur sambil mendorong tubuh Pandan Wangi. Serangan Dewi Penguasa Samudera tidak mengenai sasaran sama sekali.
Tentu saja hal ini membuat wanita cantik itu jadi geram. Kembali diserangnya Rangga dengan jurusjurus cepat dan dahsyat luar biasa.
Rangga terpaksa berpelantingan menghindari serangan-serangan yang dilakukan wanita ini.
Sementara Pandan Wangi tidak bisa berbuat apa-apa, dan hanya dapat menyaksikan perrtarungan itu. Demikian pula Nyai Amoksa.
Wanita tua itu hanya dapat menyaksikan tanpa dapat berbuat sesuatu.
Sementara pertarungan terus berjalan semakin sengit.
Jurus demi jurus berlalu cepat Tanpa terasa, pertarungan sudah berjalan lebih dari sepuluh jurus.
Namun, tampaknya pertarungan itu akan berlangsung lebih lama lagi.
"Modar...! Yeaaah...!" Sret! Bet! Cepat sekali Dewi Penguasa Samudera mencabut pedang bergagang kepala naga, dan langsung dikebutkan ke arah dada Pendekar Rajawali Sakti.
Namun dengan gerakan manis sekali, pemuda ber- baju rompi putih ini menghindari tebasan pedang itu.
Tubuhnya segera merunduk, hingga sejajar pinggang Dewi nguasa Samudera. Pedang itu pun lewat tanpa mengenai sasaran.
Cepat Rangga menggeser kakinya kedepan, lalu tangannya bergerak cepat ke arah pinggang wanita itu. Dan sebelum Dewi Penguasa Samudera sempat menyadari, tahu-tahu Rangga sudah mencekal pedangnya sendiri yang berada di pinggang cantik penguasa lautan ini.
Tap! Cring...!
"Heh...?!" Dewi Penguasa Samudera terkejut bukan main.
Tapi sebelum sempat menyadari, Rangga sudah melompat mundur sambil membawa Pedang Pusaka Rajawali Sakti yang berhasil diambil dari warangkanya pinggang wanita itu. Sinar biru berkilauan seketika menyemburat terang memancar dari pedang itu.
"Keparat..!" geram Dewi Penguasa Samudera merasa kecolongan.
"Bagus, Kakang! Sekarang hantam wanita itu...!" seru Pandan Wangi girang melihat sudah menguasai kembali pedangnya.
"Phuih!" Dewi Penguasa Samudera begitu sengit mendengar kata-kata Pandan Wangi.
Sayang, jaraknya dengan si Kipas Maut itu jauh.
Jadi, dia tidak mungkin melampiaskan kekesalannya pada gadis itu. Apalagi, kini perhatiannya kemudian tercurah pada Pendekar Rajawali Sakti. Wanita itu membuang kipas baja putih begitu saja, lalu mencabut pedang bergagang kepala naga. Sret!
"Hiyaaa...!" Bet' 'Bet' Dengan pedang di tangan, Dewi Penguasa Samudera kembali menyerang Rangga. Kali ini serangannya semakin dahsyat Malah setiap kebutan pedang itu menimbulkan hawa panas menyengat Namun dengan Pedang Rajawali Sakti berada di tangan, Rangga mudah sekali menandingi permainan pedang wanita cantik ini. Dan kini Pendekar Rajawali Sakti tidak tanggung-tanggung lagi. Segera dikerahkannya jurus 'Pedang Pemecah Sukma'. Satu jurus yang sangat dahsyat dan biasa dikeluarkan jika menghadapi lawan tangguh.
Dan Rangga menganggap Dewi Penguasa Samudera adalah lawan yang paling tangguh yang pernah dihadapinya.
Buktinya, dia belum pernah mengeluarkan seluruh kemampuan, kecuali pada lawannya kali ini.
Dan Rangga merasa benar-benar terkuras kemampuannya.
Pertarungan ini pun berjalan lama. Entah sudah berapa puluh jurus, tapi pertarungan masih ber- langsung sengit Sedangkan Rangga belum mau mengerahkan ilmu kesaktian, sebelum lawannya mengeluarkan lebih dahulu. Dan ini memang sudah menjadi kebiasaannya jika bertarung satu lawan satu.
"Hup!" Tiba-tiba saja Dewi Penguasa Samudera melompat mundur.
"Kau memang tangguh, Rangga. Tapi cobalah tahan ajianku ini," dengus Dewi Penguasa Samudera.
Kening Rangga sedikit berkernyit melihat wanita cantik itu mulai mempersiapkan ilmu kesaktian. Dan Pendekar Rajawali Sakti tidak ingin menandinginya dengan ilmu kesaktian tingkat rendah. Dia tahu, ilmu yang akan dikeluarkan wanita ini pasti sangat dahsyat dan berbahaya.
Cepat Pendekar Rajawali Sakti melintangkan pedang di depan dada, lalu menggosok mata senjata itu dengan telapak tangannya. Sebentar saja, cahaya biru yang memancar dari mata pedang menggumpal membentuk bulatan. Pada saat itu, Dewi Penguasa Samudera sudah siap melakukan serangan.
"Hiyaaat..!"
"Aji 'Cakra Buana Sukma'...! Yeaaah...!" Cepat Rangga memindahkan pedang ke tangan kiri, lalu tangan kanannya menghentak ke depan. Itu dilakukan tepat ketika Dewi Penguasa Samudera mengibaskan tangan ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Tak pelak lagi, dua telapak tangan beradu keras dl udara.
"Heh...?! Hih...!" Dewi Penguasa Samudera sangat terkejut ketika melihat Rangga menggunakan aji 'Cakra Buana Sukma'. Perempuan cantik ini tidak menduga kalau lawannya memiliki ajian yang sangat ampuh itu. Ajian yang menjadi andalan Pendekar Rajawali yang hidup seratus tahun lalu. Dewi Penguasa Samudera segera mencoba menarik tangannya, tapi terlambat Ternyata aji 'Cakra Buana Sukma' sudah bekerja cepat, sehingga tangan wanita itu tidak dapat dilepaskan lagi. Dewi Penguasa Samudera langsung merasa tenaganya mulai tersedot tanpa dapat dikendalikan lagi.
Sia-sia saja mencoba melepaskan diri. Semakin keras berusaha, semakin kuat saja daya tarik yang menyedot tenaga keluar. Tubuh Dewi Penguasa Samudera mulai terasa lemas. Bahkan kesaktian dan segala kemampuannya ikut tersedot. Tubuhnya semakin lemas, dan wajahnya kian pucat. Per- lawanannya pun semakin mengendur saja, hingga akhirnya terhenti sama sekali.
"Yeaaah...!" Rangga menghentakkan tangan kuat-kuat Seketika itu juga tubuh Dewi Penguasa Samudera terlempar keras, hingga punggungnya menghantam sebongkah batu yang cukup besar. Dewi Penguasa Samudera kini tergeletak lemas. Napasnya tersengal, dan tubuhnya bagai tidak memiliki tenaga lagi.
Kini Pendekar Rajawali Sakti melangkah menghampiri.
Sebentar dipandanginya wanita itu.
Lalu, dilepaskannya sarung pedang yang berada di pinggang wanita ini.
Pendekar Rajawali Sakti memungut pedang bergagang kepala naga hitam, dan memasukkan ke dalam warangkanya. Dia kemudian juga memungut kipas baja putih.
Senjata-senjata itu diberikan pada Pandan Wangi, sedangkan dirinya sendiri mengenakan kembali pedangnya di punggung.
"Kita apakan dia, Kakang?" Tanya Pandan Wangi seraya menatap tajam pada Dewi Penguasa Samudera.
"Tinggalkan saja. Dia perlu waktu cukup lama utuk memulihkan kekuatannya kembali," sahut Rangga sambil mengajak Pandan Wangi meninggalkan daerah kekuasan Dewi Penguasa Samudera ini.
Dengan petunjuk Nyai Amoksa, mereka dapat kembali ke dunia nyata kembali. Sementara Dewi Penguasa Samudera hanya bisa menggerutu dan mendendam dalam hati.

SELESAI



INDEX PENDEKAR RAJAWALI SAKTI
Gerhana Kembang Kedaton --oo0oo-- Mustika Kuburan Tua


Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.