Rahasia Kalung Keramat
tanztj
March 20, 2014
INDEX PENDEKAR RAJAWALI SAKTI | |
Durjana Pemetik Bunga --oo0oo-- Perawan Rimba Tengkorak |
RANGGA PATI
Pendekar Rajawali Sakti
Karya: Teguh .S
EP:RAHASIA KALUNG KERAMAT
Pendekar Rajawali Sakti
Karya: Teguh .S
EP:RAHASIA KALUNG KERAMAT
Gambar sampul oleh Tony G.
PenerbitCintamedia, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
::≡:: [ 1 ] ::≡::
Tiba-tiba saja sebongkah batu sebesar kerbau hancur berantakan! Suaranya yang keras bergemuruh dan menggema ke segala arah, membuat suasana pagi yang sunyi dan tenang itu menjadi ribut. Tampak debu-debu di sekitarnya segera mengepul dan membumbung tinggi ke angkasa.
Sementara keping-keping batu yang berloncatan ke sana kemari, langsung mengusir burung-burung yang sedang berkicau menyambut pagi.
Beberapa saat kemudian, begitu kabut debu itu mulai menipis, tampaklah seorang pemuda tampan yang berdiri tegak sambil memandang reruntuhan batu cadas tadi. Pemuda yang mengenakan baju warna hitam dan ketat itu segera tersenyum lebar penuh kepuasan. Dia begitu bangga, karena apa yang telah diajarkan oleh gurunya selama ini, telah mendapatkan hasil yang cemerlang. Sejenak ia masih tertegun memandangi reruntuhan batu itu sambil menata kembali rambutnya yang digelung di atas kepalanya. Tampak keringatnya bercucuran membasahi kulitnya yang putih bersih bagaikan kulit wanita.
“Bagus..!" puji suara kecil kering terdengar. Pemuda tampan itu segera menoleh dan berlutut di hadapan seorang kakek berbaju putih yang berdiri di dekatnya. Laki-laki yang berambut putih itu segera menganggukanggukkan kepalanya, dengan senyum yang hampir tertutup kumis dan jenggot.
"Mohon petunjuk bila ada kekurangan, Eyang Resi Wanapati," kata pemuda itu sopan, sikapnya masih tetap berlutut.
"Berdirilah Angger Danupaksi," kata Eyang Resi Wanapati sambil memegang pundak pemuda itu.
Pemuda yang bernama Danupaksi itu segera bangkit. Tubuhnya masih tetap membungkuk dengan tangan bersilang di atas lututnya.
"Semua ilmu yang ada padaku telah kau kuasai semua dengan baik, Angger Danupaksi," kata Eyang Resi Wanapati.
"Tadi aku lihat kau telah mempergunakan aji 'Pukulan Karang Baja'. Sungguh dahsyat, hampir menyamai dengan apa yang aku miliki."
"Maaf, Eyang Resi. Tadi aku hanya ingin mempraktekkan saja," kata Danupaksi merendah.
"Tidak ada yang perlu dimaafkan, Angger. Aku sangat senang kau sudah bisa menguasai aji 'Pukulan Karang Baja' dengan sempuma sekali. Perlu kau ketahui, bahwa tidak sembarang orang bias menguasai ajian tersebut. Aku sangat bangga padamu, Angger Danupaksi."
"Terima kasih, Eyang Resi."
*
* *
Resi Wanapati tampak sedang duduk bersila dialas rerumputan tebal di bawah pohon rindang. Di bibirnya tersungging senyuman khasnya yang selalu membawa kedamaian bagi siapa saja yang melihatnya. Sementara di depannya tampak Danupaksi duduk dengan kepala tertunduk. Lama mereka masih saling terdiam. Di hati Resi Wanapati masih ada keraguan untuk mengatakan sesuatu hal yang ia rahasiakan selama ini. Sementara di benak Danupaksi diliputi pertanyaan, ada apa gerangan Eyang Resi memanggilnya dengan begitu resmi, hingga mereka harus berhadaphadapan seperti sekarang ini.
"Ada sesuatu hal yang ingin aku katakan padamu, Angger," kata Resi Wanapati menguatkan hatinya.
"Apakah ada hubungannya dengan diriku, Eyang Resi?" tebak Danupaksi langsung.
"Benar," Resi Wanapati mengangguk-angguk kan kepalanya.
"Katakanlah, Eyang Resi."
"Sebenarnya aku berat untuk mengatakannya, Angger Danupaksi. Tapi aku sudah berjanji, bahwa aku akan membuka semuanya setelah kau berhasil menguasai seluruh ilmu yang aku miliki. Dan aku merasa, sekarang telah tiba saatnya yang tepat," kata Resi Wanapati pelan.
Danupaksi segera menganggukanggukkan kepalanya dan menunggu dengan sabar kelanjutannya. Dia sama sekali tidak tahu, kalau selama ini Eyang Resi menyimpan rahasia tentang dirinya.
"Dua puluh tahun yang lalu, aku telah menolong seorang laki-laki yang berseragam seorang punggawa kadipaten. Laki-laki itu dalam keadaan terluka parah, dan dia kemudian berpesan agar aku harus menyelamatkan seorang bayi laki-laki di istana Kadipaten Karang Setra. Tapi sesudah dia menyebutkan nama bayi laki-laki itu, dia langsung me-ninggal," lanjut Eyang Resi Wanapati sendu. Tampak di wajahnya bahwa ia masih menyimpan sesuatu rahasia yang sulit untuk diungkapkannya pada Danupaksi.
"Bayi laki-laki itu adalah aku, Eyang Resi?" tebak Danupaksi langsung.
"Benar, Angger. Bayi itu adalah kau...," Resi Wanapati mengamati Danupaksi yang kini telah menjadi seorang pendekar muda dan tampan. Danupaksi menggeleng-gelengkan kepalanya seolah-olah ia tidak percaya dengan pendengarannya.
"Lalu punggawa itu siapa namanya?" tanya Danupaksi ingin mengetahui semuanya.
"Sayang sekali, dia tidak sempat menyebutkan namanya," jawab Resi Wanapati menyesalkan.
Danupaksi segera merenung. Dia memang tidak tahu, siapa dirinya sebenarnya, juga siapa dan di mana orang tuanya. Selama ini dia hanya hidup bersama seorang laki-laki tua yang bernama Eyang Resi Wanapati. Dan dia telah menganggap bahwa laki-Iaki tua itu adalah orang tuanya sendiri. Meskipun kadang-kadang selalu timbul hasrat untuk menanyakan pada Resi Wanapati, namun selalu diurungkan. Dia tidak ingin melukai hati orang tua yang telah mengasuhnya sejak bayi dan juga telah mendidiknya sehingga ia kini memiliki ilmu silat yang cukup tinggi.
Tapi kini semua telah dibuka sendiri oleh Eyang Resi Wanapati. Dan kata-kata gurunya itu dicerna kembali dalam benak Danupaksi. Dia kemudian mencoba untuk memahami, siapa dirinya sebenarnya? Kalau dia masih mempunyai keluarga, dia harus mengetahui, siapa dan di mana keluarganya berada kini? "Satu-satunya tanda yang ada padamu, hanya ini," kata Resi Wanapati sambil menunjukkan seuntai kalung yang berbentuk segitiga dengan beberapa lingkaran di tengah-tengahnya.
Danupaksi segera menerima kalung itu. Sebuah kalung dari emas murni.
Sejenak kedua matanya sedikit menyipit, begitu melihat ada tulisan di bagian belakang kalung itu.
"Aku mendapatkan kalung itu dari punggawa yang tidak sempat kuketahui namanya itu, Angger Danupaksi. Sebelum ia meninggal dunia ia berpesan bahwa aku harus memberikan kalung itu kepadamu. Setelah melihat kalung itu, aku yakin, kalau kau adalah salah seorang putra Adipati Karang Setra, yang kini kadipaten itu telah menjadi sebuah kerajaan," sambung Resi Wanapati menjelaskan.
"Siapa Raja Karang Setra sekarang?" tanya Danupaksi sambil melingkarkan kalung itu di lehernya.
"Dari kabar yang aku dapat, rajanya bernama Gusti Prabu Rangga Pati Permadi. Beliau juga pernah hilang selama dua puluh tahun," sahut Resi Wanapati lagi.
"Kenapa bisa begitu?" tanya Danupaksi keheranan.
"Dua puluh tahun yang lalu, Adipati Karang Setra yang bernama Gusti Adipati Arya Permadi pergi untuk mengunjungi mertuanya bersama keluarga dan beberapa punggawa serta dikawal satu pasukan prajurit. Di tengah perjalanan, tepatnya di Danau Cubung dekat Lembah Bangkai, rombongan itu mendapat musibah. Semuanya tewas, kecuali Gusti Prabu Rangga Pati Permadi dan seorang punggawa. Aku yakin, punggawa yang menjadi tanda tanya itu, adalah yang dulu telah kutemukan dalam keadaan teriuka parah, Angger Danupaksi," panjang lebar Resi Wanapati menceritakan.
"Tapi kenapa kalung ini diberikan padaku melalui punggawa itu, Eyang?" tanya Danupaksi penasaran.
"Itulah yang aku tidak mengerti. Setahuku, Gusti Arya Permadi hanya memiliki seorang putra yang berusia lima tahun yang kini menjadi Raja Kerajaan Karang Setra. yaitu Gusti Prabu Rangga Pati Permadi."
"Jadi, siapa aku sebenarnya?"
"Itu yang harus kau ketahui, Ngger."
"Setelah dua puluh tahun...? Mustahil, Eyang!" suara Danupaksi agak keras.
"Tidak ada sesuatu yang mustahil. Semua yang terjadi di mayapada ini adalah kehendak Yang Maha Kuasa. Dan apa yang akan terjadi, juga sudah menjadi kehendakNya pula. Itulah yang dinamakan takdir, 'Ngger. Manusia tidak bisa menolak, apa yang sudah digariskanNya." Danupaksi hanya diam merenung.
Dia sudah bisa menebak, ke arah mana pembicaraan itu dimaksudkan. Berat rasanya jika dia harus meninggalkan tempat ini. Tempat yang sudah ditinggali selama dua puluh tahun lamanya. Dan yang paling utama sekali, dia tidak akan tega meninggalkan Eyang Resi Wanapati seorang diri.
"Besok pagi kau harus berangkat, 'Ngger," kata Eyang Resi Wanapati lagi.
"Eyang...," mata Danupaksi membelalak penuh tanda tanya.
"Jangan membantah!" sergah Resi Wanapati berwibawa.
"Baiklah," desah Danupaksi mengangguk berat.
"Nah, sekarang istirahatlah dulu. Aku akan menyuruh Pangkeng untuk segera menyiapkan segala keperluan perjalananmu. Dia juga akan kusuruh untuk menyertaimu," kata Eyang Wanapati.
"Aku tidak tahu, apa yang harus aku katakan, Eyang," Danupaksi matanya memerah berkaca-kaca.
"Aku akan sangat senang kalau kau berhasil menemukan keluargamu lagi. Hanya itu yang aku harapkan sebagai balas jasamu," Eyang Resi Wanapati memberi semangat.
"Eyang...."
*
* *
Pagi-pagi sekali, Di saat matahari belum menampakkan dirinya, tampak dua ekor kuda berjalan pelan menembus kabut tebal dan menuruni tebing Gunung Puting. Penunggang kuda itu tak lain adalah Danupaksi dan Pangkeng, seorang laki-laki bertubuh gemuk dengan kepala gundul licin dan mengenakan baju rompi dari bahan bujal kasar.
Danupaksi kelihatan makin gagah dengan mengenakan baju putih putih ketat, dengan ikat kepala yang berwarna putih juga dan bersenjata pedang yang bergagang gading di punggung. Sedangkan kuda yang ditungganginya adalah juga seekor kuda putih yang tinggi dan gagah.
"Pangkeng...," panggil Danupaksi.
"Ya, Den," sahut Pangkeng sambil mendekatkan kudanya ke samping kuda Danupaksi.
"Apakah nama desa yang ada di depan itu?" tanya Danupaksi.
"O..., itu namanya Desa Salapan, Den. Aku sudah sering ke desa itu kalau disuruh membeli bahan makanan atau keperluan lain oleh Eyang Resi Wanapati," sahut Pangkeng menjelaskan.
"Apa masih ada desa lain di sekitar Gunung Puting ini?"
"Ada, Den. Tapi jauh, harus memutar ke arah Selatan dulu. Itu pun masih harus melewati sungai dan melintasi padang rumput yang luas."
"Tampaknya kau hapal sekali daerah ini, Pangkeng," puji Danupakasi.
"Iya, Den. Soalnya sering disuruh sih. Lha, Den sendiri kenapa justru tidak tahu?"
"Aku tidak pernah ke luar dari padepokan, Pangkeng. Baru kali ini aku pergi."
"O..., terus tujuan kita sekarang ini ke mana. Den?"
"Kerajaan Karang Setra "
"Wah!" Pangkeng agak terkejut juga
"Kenapa, Pangkeng?"
"Kerajaan Karang Setra cukup jauh dari sini, Den. Itu kan kerajaan yang baru berdiri, sebelumnya hanya sebuah kadipaten kecil," Pangkeng menjelaskan.
"Rupanya kau tahu betul, ya," puji Danupaksi untuk kesekian kalinya.
"Yaaah..., soalnya dulu kan aku pernah tinggal di sana. Walaupun tidak lama, kira-kira tiga bulanlah," Pangkeng cengar-cengir.
"Hm...," Danupaksi mengangguk-angguk
"Dan waktu itu masih berbentuk kadipaten. Dan Adipati yang memerintah di sana waktu itu sangat kejam!" Pangkeng agak sendu mengingat masa lalunya.
"Kejam...?" tanya Danupaksi langsung menoleh ke arah Pangkeng.
"Pokoknya tidak bisa dibilang, Den. Tapi setelah berubah jadi kerajaan, barulah yang memerintah diganti seorang raja yang sangat adil dan selalu dekat dengan rakyat. Raja itu seorang pendekar yang berilmu tinggi, hingga kini tidak ada yang bisa menandingi kesaktiannya."
"Apakah kau pernah bertemu dengan raja itu?" tanya Danupaksi penasaran.
"Belum, Den. Tapi menurut cerita orang-orang, Gusti Prabu Rangga sangat dicintai rakyatnya, meskipun beliau sering bepergian mengembara.
Maklum sifat-sifat pendekar memang begitu. Tidak betah terusterusan di istana," ujar Pangkeng sok tahu. Tampak Danupaksi tersenyum saja mendengar ucapan Pangkeng itu.
Memang tidak ada ruginya pergi bersama Pangkeng. Selain punya ilmu yang cukup tinggi, dia juga mempunyai pengetahuan yang cukup luas. Dan Danupaksi bisa bertanya apa saja yang belum diketahuinya, terutama tentang Kerajaan Karang Setra yang kini menjadi tujuannya. Danupaksi sendiri sebenarnya masih ragu dengan tujuannya itu. Dia belum yakin benar, kalau masih mempunyai keluarga di Kerajaan Karang Setra itu. Tapi dia juga harus mengetahui tentang kalung segitiga yang menjadi identitas keluarga Adipati Karang Setra.
"Kita istirahat sebentar di desa itu, Pangkeng," ajak Danupaksi begitu mereka memasuki perbatasan desa.
"lya, Den. Perut saya juga sudah minta diisi, nih!" sambut Pangkeng gembira.
Kembali Danupaksi tersenyum mendengar keluhan temannya yang konyol ini.
*
* *
Kedai yang dipilih Danupaksi adalah sebuah kedai yang tidak terlalu besar, tapi kelihatan bersih dan nyaman. Kedai itu nampak sepi dari pengunjung, di dalamnya hanya ada empat tamu selain mereka. Itu pun kelihatannya mereka juga pendatang yang kebetulan singgah di desa itu.
Kalau dilihat dari pakaian serta senjata yang tersandang, mereka adalah orang-orang rimba persilatan.
Tampak mereka sedang begitu asyik menikmati hidangan yang tersedia di hadapannya. Beberapa saat kemudian, tampak satu orang pergi setelah selesai makan, lalu disusul dengan yang satu lagi. Dan yang terakhir, dua orang yang masih tertinggal segera menyusul bersama.
"Siapa mereka, ya..., tampaknya kok misterius sekali?" gumam Danupaksi seperti bertanya pada diri sendiri.
"Mereka orang-orang rimba persilatan, Den," celetuk laki-laki tua pemilik kedai sambil membereskan meja bekas orang-orang itu tadi makan.
Danupaksi segera menoleh ke arah suara yang menyahutinya tadi. Sedang Ki Sarumpit, pemilik kedai itu, segera menghampiri tamunya yang tampak penasaran. Kemudian ia duduk di samping Pangkeng.
"Kenapa mereka pergi satu-satu, padahal arah tujuannya sama. Apakah ada sesuatu yang sedang terjadi di Utara sana?" tanya Danupaksi terlanjur.
"Memang mereka mau ke Utara, Den. Di sana ada sayembara yang diadakan oleh Padepokan Baja Hitam," sahut Ki Sarumpit menjelaskan.
"Sayembara...?" Danupaksi mengerutkan kening.
"Memangnya Aden ini tidak tahu?" heran juga pemilik kedai itu, melihat tamunya yang bertampang seorang pendekar tapi tidak tahu tentang sayembara itu. Sedangkan Danupaksi hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Ketua Padepokan Baja Hitam mengadakan sayembara besar. Siapa saja boleh ikut, asal mempunyai ilmu olah kanuragan. Tampaknya sayembara itu akan ramai, karena hadiahnya bikin penasaran orang-orang berilmu tinggi dari rimba persilatan," jelas Ki Sarumpit.
"Hadiahnya apa, Ki?" celetuk Pangkeng yang sejak tadi hanya mendengarkan saja pembicaraan itu.
"Kalau yang memenangkan sayembara itu seorang laki-laki, maka hadiahnya adalah putri ketua Padepokan Baja Hitam, tapi kalau perempuan yang memenangkan, akan memperoleh hadiah besar di samping diangkat sebagai anak oleh Resi Balung Gading, ketua padepokan itu. Dan juga masih banyak hadiah-hadiah lain yang.... Pokoknya menarik untuk diikuti!" lanjut Ki Sarumpit.
"Siapa nama putri ketua padepokan itu, Ki?" tanya Pangkeng lagi seolaholah dialah yang akan memboyong putri itu.
"Dewi Cempaka! Orangnya cantik bagai bidadari, juga ilmu olah kanuragannya sangat tinggi dan sukar dicari tandingannya. Konon, Dewi Cempaka menginginkan seorang calon suami yang ilmunya lebih tinggi dari dirinya. Dia tak peduli, apakah orang itu miskin atau kaya, jelek atau tampan, pokoknya harus bisa mengalahkannya, itu syarat utamanya!"
"Syarat lainnya lagi?" desak Pangkeng tambah sok jago.
Tampak Danupaksi yang duduk di samping kanannya, kembali tersenyum melihat tingkah Pangkeng itu.
"Juga harus mengalahkan ayahnya, Ketua Padepokan Baja Hitam," Ki Sarumpit agak kesal juga menjawab pertanyaan yang bertubi-tubi dari Pangkeng itu.
"Edan!" dengus Pangkeng.
"Mana ada yang mampu menandingi Resi Balung Gading selain dari Eyang Resi Wanapati? Itu pun paling-paling juga seimbang."
"Benar, Den. Semua orang juga bilang begitu. Tapi anehnya, ada saja yang datang untuk mengadu nasib, walaupun sudah banyak peserta yang gagal!"
"Gimana, Den...?" Pangkeng mencolek pinggang Danupaksi.
"Malas, ah!" desah Danupaksi.
"Wah..., Den Paksi ini gimana sih? Itu kan kesempatan baik buat men...." Danupaksi segera menginjak kaki Pangkeng, sehingga laki-laki gemuk dan botak itu meringis dan tidak jadi melanjutkan kalimatnya. Sementara itu Ki Sarumpit segera bangkit dan melangkah masuk ke belakang.
"Kalau ngomong dijaga tuh mulut!" gerutu Danupaksi.
"Maaf, Den. Hampir saja...," Pangkeng cengar-cengir.
"Ayo, kita jalan lagi!" ajak Danupaksi tanpa mempedulikan Pangkeng yang masih saja cengar-cengir.
Pangkeng segera memanggil pemilik kedai dan membayar semua yang mereka makan. Beberapa saat kemudian mereka segera menggebah kudanya dan pergi meninggalkan kedai itu.
*
* *
"Sebaiknya kita ke Padepokan Baja Hitam dulu, Den," usul Pangkeng raguragu.
"Mau apa kita ke sana?" Danupaksi malah ogah-ogahan.
"Siapa tahu nasib kita mujur, Den. Kalau Den Paksi tidak mau sama putrinya, buat aku saja. Pasti tidak akan kutolak," tambah Pangkeng sambil tertawa kecil.
"Gundulmu!" umpat Danupaksi sambil tertawa
"He he he..., jadi mau ke sana, Den?" Danupaksi tidak menjawab. Tapi tanpa disadarinya, dia mengarahkan kudanya menuju ke Utara.
Pangkeng yang tahu hal itu hanya senyum-senyum saja, bahkan dia bersiul-siul dengan irama tak beraturan. Sedangkan Danupaksi baru menyadari kalau dia menuju ke Utara setelah sampai di perbatasan desa bagian Utara. Danupaksi segera menghentikan langkah kudanya. Tampak di hadap-an mereka terhampar sebuah padang rumput yang luas dan dikelilingi oleh pohon cempaka yang tumbuh rapat. Sedangkan di tengah-tengah padang rumput itu, tampak berdiri beberapa bangunan yang dikelilingi oleh pagar kayu yang tinggi dan runcing-runcing ujungnya. Pandangan Danupaksi segera beralih ke sebuah bendera yang terpancang dan berkibar di atap rumah yang paling besar. Bendera itu berwarna kuning gading dengan gambar lingkaran rantai yang berwarna hitam dan di tengahtengahnya terdapat gambar dua pedang bersilang.
"Itu dia Padepokan Baja Hitam, Den!" seru Pangkeng memberitahu tanpa diminta.
"Bagaimana kau tahu?" Danupaksi keheranan.
"Ketua Padepokan Baja Hitam dan Eyang Resi Wanapati bersahabat karib. Tapi mereka saling merahasiakan muridmuridnya."
"Kenapa?" Danupaksi makin keheranan.
"Aku tidak tahu, Den. Mungkin perjanjiannya memang sudah begitu."
"Pantas saja aku tidak pernah tahu, kalau di lereng Gunung Puting ini masih ada padepokan lain selain milik Eyang Resi," gumam Danupaksi sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Bukan Den Paksi saja, semua murid Eyang Resi Wanapati juga tidak ada yang tahu," sahut Pangkeng.
"Aneh...," desah Danupaksi.
"Tidak aneh, Den. Orang-orang rimba persilatan memang kadang-kadang berbuat sesuatu yang sulit dimengerti."
"Hm...," Danupaksi hanya mengangguk-anggukkan kepalanya pelahan.
"Jadi kita ke sana, Den?" Pangkeng mulai memancing lagi.
"Baiklah, tapi kau jangan mengatakan kalau kita murid Eyang Resi Wanapati!" Danupaksi mengajukan syarat.
"Walaupun kita tidak bilang, mereka juga pasti akan tahu, Den. Apalagi Ki Balung Gading, pasti dia segera mengenali jurus-jurus Aden nanti."
"Kalau mereka tahu sendiri sih, tidak apa-apa. Asal kau jangan ngomong dulu!"
"Beres, Den. Tapi kalau menang, hadiahnya bagi-bagi, ya?"
"Hadiah yang mana?"
"Tentu saja bukan hadiah utamanya, he...”
"Kunyuk!"
*
* *
::≡:: [ 2 ] ::≡::
"Ada keperluan apa Kisanak datang ke Padepokan Baja Hitam?" tanya pemuda itu sopan.
"Ah, ah..., kami mendengar bahwa padepokan ini mengadakan sayembara. Apa betul?" Pangkeng yang menyahut lebih dulu.
"Benar," pemuda itu menjawab dengan singkat dan tegas.
"Junjunganku ini ingin mencoba mengikuti sayembara itu," kata Pangkeng lagi sambil melirik Danupaksi yang berada di sampingnya.
Pemuda itu segera mengamati Danupaksi sebentar, lalu menjentikkan dua ujung jarinya. Seketika itu juga, dua orang bersenjata tombak yang menghadang tadi langsung menerjang sambil mengibaskan tombaknya ke arah Danupaksi. Mendapat serangan yang begitu mendadak, Danupaksi buru-buru menggeser tubuhnya sedikit ke samping kanannya. Kemudian tangannya berkelebat cepat menyambar salah satu tombak yang mengarah ke tubuhnya.
"Tahan...!" bentak Danupaksi ketika pemuda itu menjentikkan jarinya lagi, dan dua orang pengawalnya melompat maju.
Mendengar bentakan itu, dua orang yang sudah melompat maju langsung mengurungkan niatnya untuk menyerang Danupaksi kembali.
"Kenapa kalian menyerangku?" tanya Danupaksi keras.
"Jangan hiraukan omongan dia, ayo serang!" sergah pemuda itu.
Danupaksi teipaksa harus melayani empat orang yang langsung menerjangnya dengan tombak, walaupun masih berada di atas kudanya. Tapi empat orang yang menyerangnya itu bukanlah lawannya, hingga hanya dalam beberapa saat saja, keempat orang itu dibikin tak berkutik, bahkan tombak-tombak mereka pun dibikin patah-patah jadi tiga bagian.
"Bagus!" seru pemuda itu.
"Namaku Parahan. Kau sudah lulus dari ujianku.
Silakan masuk." Pemuda yang mengaku bernama Parahan itu segera menggeser tubuhnya ke samping untuk memberi jalan.
"Mari, aku antarkan Tuan menemui Resi Balung Gading," sambut Parahan mempersilakan.
"Terima kasih," ucap Danupaksi seraya melangkah memasuki pintu gerbang.
Danupaksi segera mengedarkan pandangannya begitu berada di dalam lingkungan Padepokan Baja Hitam.
Tampak suasananya sepi dan lengang, tidak seperti sedang diadakan suatu sayembara besar. Hanya ada beberapa orang saja yang sedang duduk-duduk menikmati semilirnya angin di bawah pohon rindang.
Parahan membawa tamunya ke salah satu rumah yang cukup besar dan kokoh.
Rumah itu terdiri dari kayu yang dihiasi dengan ukir-ukiran yang halus dan indah. Setelah mencapai depan pintu, Parahan mempersilakan tamunya untuk menunggu sebentar. Kemudian dia langsung masuk ke dalam untuk melapor.
Tak berapa lama dia sudah kembali lagi dengan didampingi seorang laki-laki tua, namun masih kelihatan gagah.
Danupaksi langsung menjura diikuti oleh Pangkeng. Sementara laki- laki tua yang mengenakan baju kuning gading berhiaskan sulaman gambar rantai hitam dan dua pedang bersilang itu, segera membalas penghormatan Danupaksi dan Pangkeng.
"Siapa namamu, Anak Muda?" tanya laki-laki tua yang bernama Balung Gading itu. Suaranya lembut namun terdengar penuh wibawa.
"Danupaksi, Resi. Dan ini temanku, Pangkeng," Danupaksi memperkenaikan din.
"Ah, saya cuma pembantunya, Resi," celetuk Pangkeng cengar-cengir.
"Lalu, apa maksud kalian datang ke sini?" tanya Resi Balung Gading lagi.
"Kami mendengar bahwa padepokan ini mengadakan sayembara, dan temanku ini menyarankan agar aku ikut mencobanya," sahut Danupaksi tersipu malu.
"Kau tahu apa syaratnya?" tanya Resi Balung Gading sambil mengernyitkan keningnya.
Danupaksi hanya mengangguk saja.
"Dengar, Anak Muda. Aku tidak bermaksud meremehkan siapa saja untuk mencoba sayembara ini. Hanya perlu kau ketahui, sudah puluhan pendekar yang mencoba, tapi semuanya gagal. Bahkan baru saja ada empat orang yang mengadu nasib, tapi semuanya tidak ada yang berhasil," Resi Balung Gading memberikan keterangan. Danupaksi tidak segera menjawab.
Dia lalu menoleh ke arah Pangkeng seolah ingin minta pertimbangan teman seperjalanannya itu.
"Parahan, tunjukkan tempat peristirahatan tamu kita ini," perintah Resi Balung Gading kepada Parahan yang sejak tadi berdiri di sampingnya.
"Baik, Resi," sahut Parahan menjura hormat.
"Anak muda, aku menunggu jawabanmu setelah kau cukup beristirahat," kata Resi Balung Gading seraya berbalik dan melangkah masuk kembali.
"Mari," ajak Parahan ramah.
Danupaksi dan Pangkeng segera mengikuti ke mana Parahan akan membawanya. Tak berapa lama kemudian, Parahan membuka pintu salah satu ruangan dan mempersilakan tamunya untuk beristirahat.
"Terima kasih," ucap Danupaksi seraya masuk ke dalam ruangan itu.
Parahan hanya mengangguk dan berlalu.
Danupaksi dan Pangkeng langsung saja merebahkan dirinya di dipan.
"Sebaiknya kita urungkan saja niat kita ini, Pangkeng," kata Danupaksi setengah bergumam.
"Sudah tanggung, Den," sahut Pangkeng santai.
"Bukan masalah tanggungnya!" rungut Danu paksi.
"Lantas, apa? Syaratnya terlalu berat?"
"Bukan itu."
"Den...."
"Dengar, Pangkeng. Aku baru saja turun gunung, dan aku belum pernah sekali pun bertarung secara sungguhsungguh. Aku sama sekali tidak tahu, ilmu apa yang akan mereka gunakan nanti Di samping itu, aku tidak ingin mereka tahu, darimana kita berasal!"
"Jangan pikirkan itu, Den. Nanti Aden juga bisa tahu sendiri, jurus mana yang akan mereka gunakan. Nah, kalau masalah Resi Balung Gading nanti akan tahu asal kita, itu sih persoalan kecil," Pangkeng menenangkan.
Kau selalu menganggap enteng persoalan, Pangkeng," Danupaksi belum yakin.
"Den, ini kan kesempatan untuk mengukur kemampuan ilmu yang Aden peroleh selama ini. Yah..., itung-itung buat pengalaman pertamalah," enteng sekali Pangkeng berkata.
'Terserah kaulah," desah Danupaksi menyerah.
"Memang seharusnya begitu, Den," sambut Pangkeng tersenyum cerah, merasa bujukannya berhasil.
"Kapan kita akan menemui Resi Balung Gading kembali?" tanya Danupaksi.
"Sekarang sudah sore, Den. Sebaiknya besok pagi saja," sahut Pangkeng.
Beberapa saat kemudian, tampak kedua pemuda itu sudah memejamkan matanya. Hanya saja kalau Danupaksi tidak tidur, tapi dia hanya beristirahat dengan cara bersemadi.
Jadi kesadarannya masih penuh total.
Danupaksi tidak menyangka sama sekali, kalau yang mengikuti sayembara untuk hari ini bukan dia sendiri.
Tampak masih ada empat orang laki-laki dan dua orang perempuan lagi. Dan yang menarik perhatiannya adalah seorang peserta yang mengenakan baju rompi dan bersenjata pedang yang gagangnya berbentuk kepala burung rajawali di punggungnya. Pemuda tampan yang tidak lain adalah Pendekar Rajawali Sakti itu kelihatan tidak menonjol, bahkan terkesan pendiam.
"Tuan-tuan dan Nona-nona sekalian, kami persilakan siapa yang ingin tampil lebih dulu!" kata Resi Balung Gading mempersilakan. Ketua Padepokan Baja Hitam itu duduk di kursi dengan didampingi seorang wanita cantik yang mengenakan pakaian pendekar.
Gadis itu tak lain adalah Dewi Cempaka. Dia benar-benar tampil bagaikan seorang bidadari yang turun dari kahyangan. Semua mata para peserta, tak terkecuali Danupaksi sendiri, sampai tak berkedip memandang penampilan gadis cantik jelita itu.
Apa lagi Pangkeng yang berdiri di deretan para penonton.
"Aku yang tampil lebih dulu!" seru seorang laki-laki yang kelihatan agak tua.
"Siapa nama atau julukan Tuan?" tanya Resi Balung Gading.
"Namaku tak perlu kau ketahui, Resi. Sedangkan julukanku adalah Jalak Putih! Aku datang kesini untuk membawa putrimu, Resi Balung Gading!" sahut Jalak Putih pongah.
"Perlu kau ketahui, Jalak Putih. Sebelum kau bertanding melawan putriku, kau harus bisa mengalahkan salah satu muridku dulu. Dan apabila kau berhasil mengalahkan putriku, maka kau harus ber-hadapan denganku. Itu syarat mutlak untuk memboyong putriku!" kata Resi Balung Gading lagi.
"He he he..., siapa muridmu? Cepat hadapkan padaku!" sahut Jalak Putih sambil memasang kuda-kuda.
"Resi, ijinkan aku mengusir manusia yang pongah ini," kata salah seorang murid yang berdiri di samping Resi Balung Gading.
"Silahkan," sahut Resi Balung Gading. Laki-laki berkulit hitam itu langsung melompat ke depan. Tampak senjatanya yang berupa tongkat kecil terselip di pinggangnya.
"Siapa namamu, Anak Muda? Kalau belum kawin kuharap kau segera mundur!" Jalak Putih setelah pemuda itu berdiri di hadapannya.
"Aku Sarmapala. Aku ingin mohon sedikit pelajaran darimu, Jalak Putih," sahut Sarmapala tenang.
"He he he..., ayo! Serang aku, Bocah!" kata Jalak Putih yang menganggap enteng lawannya yang masih muda itu.
"Tamu dipersilakan menyerang lebih dulu."
"Hm..., kalau begitu, baiklah. Tahanlah seranganku ini, hiyaaa...!" Jalak Putih langsung melompat sambil mengebutkan kedua tangannya dengan cepat secara bergantian.
Sementara Sarmapala segera mengimbanginya dengan jurus-jurus pendek tangan kosong yang cepat dan lincah. Dalam waktu yang tidak berapa lama kedua orang itu sudah terlibat dalam pertempuran yang cepat dan rapat. Begitu cepatnya pertarungan itu berlangsung, sehingga dalam waktu singkat saja mereka sudah menghabiskan tidak kurang dari sepuluh jurus.
Jalak Putih tampak mendengus kesal, karena sudah sepuluh jurus terlewati dia belum juga bisa menjatuhkan lawan. Wajahnya sudah merah-padam menahan gemas dan malu.
Sementara suara-suara ejekan dan cemoohan sudah terdengar saling sambut dari murid-murid Padepokan Baja Hitam lainnya.
"Setan!" dengus Jalak Putih ketika satu pukulan telak Sarmapala berhasil bersarang di pundaknya, hingga membuat dia terjajar ke belakang dan jatuh tersuruk di tanah.
Sorak-sorai makin riuh saja mengejek Jalak Putih. Tapi tak berapa lama kemudian Jalak Putih segera bangkit lagi. Sementara Sarmapala masih berdiri saja dan tidak melancarkan serangan, dia sengaja memberi kesempatan pada lawannya untuk bersiap kembali.
"Bagaimana, Tuan? Apa bisa dilanjutkan?" Sarmapala memberi pilihan. Sama sekali tidak ada nada sombong dalam suaranya.
"Phuih...!" Jalak Putih menyemburkan ludahnya.
Sret! Tiba-tiba saja Jalak Putih mengeluarkan senjatanya berupa sepasang trisula dari balik ikat pinggangnya. Dengan segera dia menerjang lawannya tanpa memberi kesempatan untuk mengeluarkan senjatanya. Tapi meskipun murid Padepokan Baja Hitam itu tidak menggunakan senjata, dia masih bisa mengimbangi jurus-jurus Jalak Putih, bahkan tiba-tiba satu tendangan telaknya berhasil bersarang di perut lawan yang pongah itu.
"Ughk!" keluh Jalak Putih pendek.
Belum lagi dia dapat menguasai dirinya, mendadak...
"Lepas...!" bentak Sarmapala keras.
Seketika itu juga senjata Jalak Putih langsung terpental! Dan bagaikan seekor burung, Sarmapala segera menangkap senjata yang masih berada di udara itu. Kemudian dia kembali menukik dan men-jejakkan kakinya tepat di depan Jalak Putih. Dan Jalak Putih makin merah saja mukanya, karena Sarmapala menempelkan senjatanya yang terpental tadi ke lehernya.
"Cukup!" seru Resi Balung Gading. Sarmapala segera meiangkah mundur dan me-lemparkan senjata itu ke depan kaki Jalak Putih. Pemuda itu segera menjura hormat dan kembali ke tempatnya.
Sementara Jalak Putih, dengan perasaan malu yang amat sangat langsung memungut senjatanya dan melompat pergi tanpa berkata apa-apa lagi.
Sorak-sorai langsung terdengar menyambut kemenangan Sarmapala.
*
* *
"Silakan, siapa yang berikutnya” seru Resi Balung Gading.
"Aku...!" Tiba-tiba seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun langsung melompat ke tengah-tengah arena. Laki-laki itu mengenakan baju biru dan celana hitam. Sedangkan di pinggangnya tampak ter-gantung sebilah pedang panjang sampai melewati lututnya. Dia berdiri tegak dengan tatapan mata lurus ke arah Dewi Cempaka yang duduk di samping ayahnya.
"Siapa namamu, Tuan," tanya Resi Balung Gading ramah.
"Orang-orang biasa memanggilku si Pedang Maut," sahut laki-laki itu memperkenalkan diri.
"Apakah kau sudah siap?" tanya Resi Balung Gading.
"Aku minta putrimu sendiri yang langsung menghadapiku!" sahut lakilaki itu tak kalah pongahnya dengan yang pertama tadi.
"Sayang sekali, kau harus melewati tahap yang pertama dulu," tolak Resi Balung Gading tetap ramah.
"Kau merendahkan si Pedang Maut, Resi!" serunya sinis.
"Sama sekali tidak, soalnya itu memang sudah menjadi ketentuan sayembara ini," sahut Resi Balung Gading tetap kalem.
"Baiklah! Suruh semua muridmu maju!" seru si Pedang Maut dengan pongahnya.
"Resi...!" salah seorang murid padepokan bangkit.
"Silakan, Ramapati," kata Resi Balung Gading mempersilakan muridnya itu untuk menghadapi si Pedang Maut.
Laki-laki yang bernama Ramapati itu langsung melompat ke depan setelah memberi hormat terlebih dahulu kepada Resi Balung Gading.
"Mundurlah, Bocah. Aku tidak sampai hati menjatuhkanmu di depan gurumu sendiri," kata si Pedang Maut meremehkan, calon lawannya yang masih muda sekali.
"Jika Tuan berkenan, ijinkan aku menerima sedikit pelajaran darimu," kata Ramapati sopan.
"Kau akan menyesal, Anak Muda."
"Tidak ada yang perlu disesalkan." jawab Ramapati masih tetap sopan.
"Baiklah, cabut senjatamu." Tapi Ramapati tidak akan mencabut senjatanya sebelum lawannya menggunakan senjata terlebih dahulu.
Hal itu dianggap penghinaan oleh si Pedang Maut. Maka dengan menggeram hebat, si Pedang Maut langsung melompat dengan jurus-jurus pendek tangan kosong yang dahsyat. Tidak diduga sama sekali olehnya, kalau Ramapati sanggup mengimbanginya dengan manis sekali. Semakin geram saja dia menghadapi anak muda yang dianggapnya masih bau kencur itu.
"Cabut pedangmu, Bocah!" geram si Pedang Maut tak sabar.
"Silakan Tuan lebih dahulu," sambut Rarnapati tersenyum ramah.
"Setan! Kutebas lehermu!" geram si Pedang Maut makin menjadi-jadi. Sret! Tanpa mempedulikan rasa malu lagi, si Pedang Maut langsung mencabut senjatanya. Seketika itu juga dia langsung merangsek Ramapati dengan jurus-jurus pedangnya yang cepat dan mematikan. Sedangkan Ramapati yang tidak sempat mencabut pedangnya, hanya melayaninya dengan tangan kosong. Tapi karena dia terus terdesak, maka pada suatu kesempatan, dia segera mencabut senjatanya juga.
Tring! Satu benturan keras terjadi, dan si Pedang Maut langsung memerah wajahnya. Dia merasakan tangannya jadi kesemutan begitu pedangnya beradu dengan pedang Ramapati. Lain halnya dengan Ramapati, dia kelihatan tenang dan tidak terpengaruh sedikit pun, bahkan dia membalas dengan serangan balik yang gencar dan berbahaya. Hingga beberapa kali si Pedang Maut harus berjumpalitan jatuh bangun nienghindari serangannya. Pada suatu kesempatan....
"Hiya.... Lepas!" bentak Ramapati tiba-tiba.
Seketika itu juga pedang Ramapati berkelebat cepat dan langsung menyampok mata pedang lawannya.
Sungguh di luar dugaannya sama sekali, begitu dua pedang beradu, Ramapati telah meng-hantam pergelangan tangan Pedang Maut dengan kakinya.
"Akh!" si Pedang Maut memekik tertahan.
Bersamaan dengan itu senjatanya terlontar ke udara. Melihat keadaan itu, Ramapati segera memburu dan menyambar pedang lawannya sebelum Pedang Maut menyadarinya. Dan tibatiba saja Ramapati sudah berdiri lagi dengan senjata lawan di tangan.
"Bagaimana, Tuan?" tanya Ramapati sambil melemparkan pedang lawannya pada pemiliknya
"Phuih!" si Pedang Maut menyemburkan ludahnya.
Jelas sekali wajahnya merah padam menahan rasa malu yang amat sangat.
Tanpa berkata apa-apa lagi, si Pedang Maut langsung meloncat ke luar arena setelah mengambil senjatanya kembali. Sedangkan Ramapati segera menjura hormat pada Resi Balung Gading, sebelum kembali ke tempatnya. Sementara suara sorak-sorai masih terdengar bergemuruh menyambut kemenangan Ramapati.
"Silakan, siapa berikutnya," kata Resi Balung Gading memberikan kesempatan.
Dan siang itu pun di halaman Padepokan Baja Hitam sangat ramai oleh beberapa pertarungan, untuk memenangkan sayembara yang berhadiah sangat menarik itu. Dan dan beberapa kali pertarungan itu, yang berhasil lolos dari rintangan pertama hanya dua orang saja. Itu pun mereka langsung kalah lagi setelah menghadapi rintangan kedua dengan menghadapi Dewi Cempaka.
Sementara itu matahari terus bergulir dan makin condong ke arah Barat. Dan para peserta sayembara kini hanya tinggal Danupaksi dan Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti.
Sedangkan peserta lainnya sudah meninggalkan Padepokan Baja Hitam dengan membawa sejuta malu, tanpa memperoleh apa-apa. Sejenak Danupaksi memandang ke arah Rangga yang duduk tidak begitu jauh darinya. Dan pada saat yang bersamaan, Rangga juga mengarahkan pandangannya ke arah Danupaksi. Tapi tiba tiba tampak Pendekar Rajawali Sakti itu terkejut melihat kalung yang dipakai Danupaksi. Dia segera bangkit dari duduknya. Sedangkan tatapannya tetap saja pada kalung yang dipakai Danupaksi.
Kemudian seperti ada yang mengomandoi saja, kedua pemuda itu langsung melangkah bersamaan ke tengah lapangan arena pertarungan. Sedangkan pandangan mereka tertuju ke satu titik. Titik yang ada pada bola mata mereka masingmasing.
"Sebentar, Tuan-tuan tidak boleh maju dengan bersamaan," kata Resi Balung Gading begitu melihat peserta yang terakhir maju bersamaan. Rangga dan Danupaksi langsung menolehkan kepalanya dan menatap ke arah Resi Balung Gading.
"Salah satu dari Tuan harus bisa bersabar," kata Resi Balung Gading sambil mengangkat tangannya.
"Aku yang mengalah."
"Aku yang belakangan." Resi Balung Gading terkejut mendengar kata-kata kedua pemuda di depannya serara bersamaan. Tadinya dia mengira, bahwa mereka ingin saling mendahului. Keterkejutan itu juga menghinggapi Rangga dan Danupaksi.
Mereka langsung saling pandang kembali. Entah kenapa sepertinya ada sesuatu yang sedang terjadi pada batin mereka masing-masing.
"Ayah...," Dewi Cempaka berbisik.
Resi Balung Gading segera mendekatkan kepalanya pada putrinya.
"Sudah sore, Ayah. Sebaiknya sayembara ini dilanjutkan besok pagi saja," kata Dewi Cempaka berbisik.
"Baiklah," sahut Resi Balung Gading sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
Sementara itu dua pemuda yang tengah menanti di arena pertarungan masih saling bertatapan dengan berbagai perasaan yang berkecamuk didalam dada.
"Putriku meminta, agar pertarungan ini dilanjutkan besok pagi. Untuk itu, Tuan-tuan kami persilakan beristirahat dulu, silakan," kata Resi Balung Gading kemudian.
Lalu Resi Balung Gading segera bangkit dan melangkah masuk diikuti Dewi Cempaka. Sedangkan Danupaksi dan Rangga pun segera melangkah bersamaan menuju kamar yang telah disediakan untuk beristirahat.
*
* *
::≡:: [ 3 ] ::≡::
Dan siapa tahu Pandan Wangi ada di Padepokan Baja Hitam? Tapi ternyata harapannya sia-sia.
Malahan yang didapatkan justru sesuatu yang membuat dirinya jadi semakin gelisah. Ya.... Kalung itu amat dikenalnya. Sebuah kalung segitiga dengan lingkaran di dalamnya dan merupakan perlambang bahwa pemiliknya masih keturunan Adipati Karang Setra. Sejenak Rangga kembali memperhatikan kalung kepunyaannya.
"Miliknya benar-benar persis dengan kalung ini. Siapa dia sebenarnya...?" Rangga bertanya-tanya dalam hati.
Beberapa saat dia tercenung mengamati kalung itu. Tapi tiba-tiba dia tersentak ketika matanya menangkap kelebatan seseorang yang mengintip dari balik jendela. Buru-buru dia memasukkan kembali kalung itu ke dalam kantung celananya. Dan dengan gerakan yang cepat, dia langsung melompat ke luar kamar.
"Hey...!" seru Rangga begitu melihat sebuah bayangan berkelebat cepat ke arah rumah yang paling besar.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, dia langsung mencelat dan mengejar bayangan itu. Hanya dengan dua kali lompatan saja, dia sudah dapat melewati bayangan itu dan mencegatnya.
Betapa terkejutnya Rangga begitu mengetahui bahwa bayangan itu adalah Dewi Cempaka, putri ketua Padepokan Baja Hitam.
"Oh, maaf. Aku tidak tahu kalau…,’’ Rangga buru-buru meminta maaf dengan tersipu-sipu.
"Hm..., ilmu meringankan tubuhmu hebat sekali. Belum pernah aku dikalahkan dalam ilmu meringankan tubuh, kecuali olehmu barusan," puji Dewi Cempaka sambil menganggukanggukkan kepalanya.
"Ah, maaf.
Kenapa Tuan Putri tadi mengintaiku?" tanya Rangga tidak peduli dengan pujian tersebut.
"Siapa sebenarnya kamu?" tanya Dewi Cempaka tanpa menghiraukan pertanyaan Rangga.
"Aku cuma seorang pengembara miskin yang ingin mengadu nasib," jawab Rangga sambil menundukkan kepala.
"Sikap dan tutur katamu mencerminkan kalau kau bukan seorang pengembara biasa," kata Dewi Cempaka meraba-raba dengan dugaan.
Rangga hanya diam. Dalam hatinya terbersit rasa kagum dengan wawasan gadis cantik ini, hingga dapat menilai seseorang tanpa menyelidiki lebih dulu.
"Baiklah kalau kau tak mau berterus terang. Tapi aku yakin, kalau kau datang ke sini bukan untuk sayembara ini," tebak Dewi Cempaka menyempurnakan dugaannya.
"Apa sebenarnya maksudmu, Tuan Putri?" tanya Rangga sedikit terkejut.
"Anda tidak pantas menyebutku demikian, Gusti Prabu Rangga Pati Permadi," kata Dewi Cempaka kalem.
"Kau.... Kau tahu siapa aku...?" Rangga semakin terkejut saja. Dia benar-benar kaget kalau Dewi Cempaka mengetahui siapa dia sebenarnya.
"Sejak pertama kau datang kemari, aku sudah tahu siapa kau sebenarnya, meskipun kau merahasiakannya. Maaf, kalau penyambutan kami kurang berkenan di hati Gusti Prabu," kata Dewi Cempaka sambil menjura hormat.
"Hey...!" Rangga jadi serba salah melihat gadis itu berlutut dengan kedua tangan merapat di depan hidung.
Pendekar Rajawali Sakti itu buruburu menghampiri dan membangunkan Dewi Cempaka, namun gadis itu tetap menunduk penuh hormat.
Pendekar Rajawali Sakti jadi semakin tidak enak saja perasaannya.
"Apakah sebenarnya yang Gusti Prabu cari di padepokan hina ini?" tanya Dewi Cempaka hormat.
"Tunggu dulu, Dewi Cempaka.
Apakah kau yakin kalau diriku seorang raja?" tanya Rangga tidak menjawab pertanyaan Dewi Cempaka.
"Semua orang di sekitar lereng Gunung Puting ini sudah tahu, siapa sebenarnya Gusti Prabu," jawab Dewi Cempaka.
"Siapa yang mengatakan begitu padamu?" tanya Rangga penasaran.
"Seorang murid Padepokan Baja Hitam yang sering berkelana di rimba persilatan "
"Lalu, apa hubungannya dengan pengintaianmu tadi?" tanya Rangga lagi. Ia masih penasaran dengan tindakan gadis itu yang mengintainya malam-malam begini.
"Terus terang, hamba hanya ingin memastikan dugaan hamba. Dan sekarang hamba sudah yakin, setelah tadi hamba melihat Gusti Prabu sedang mengamati kalung itu. Sekali lagi hamba mohon ampun," Dewi Cempaka menjelaskan.
Rangga terdiam beberapa saat. Dia jadi teringat dengan Danupaksi yang juga memiliki kalung yang sama persis dengan yang ia miliki. Kalau Dewi Cempaka mengetahui hal itu, dia tentu juga memperhatikan kalung yang dikenakan Danupaksi.
"Kalung seperti ini juga dimiliki oleh Danupaksi, apakah kau melihatnya juga?" tanya Rangga penasaran.
"Benar, Gusti. Tapi ada perbedaannya. Dan hamba yakin, kalung Gusti Prabu-lah yang asli," jelas Dewi Cempaka lagi.
"Apa maksudmu?" tanya Rangga tidak mengerti.
"Kalung yang asli lingkarannya dapat menyala pada malam hari, dan itu sudah hamba lihat waktu Gusti Prabu mengeluarkannya di kamar."
"Hm..., jadi kau mengintai setiap peserta sayembara?" Rangga menduga.
"Benar, tapi itu hamba lakukan hanya untuk mengetahui kelemahan calon lawan hamba. Lain tidak"
"Jadi, kau sudah tahu kelemahanku, begitu?"
"Maaf, Gusti. Hamba belum bisa mengetahuinya."
"Ah, sudahlah. Aku mau istirahat.
Besok pagi aku harus meneruskan perjalanan," kata Rangga seraya berbalik.
"Maaf, Gusti. Ayahanda sudah menyiapkan kamar khusus untuk Gusti Prabu tempati malam ini," cegah Dewi Cempaka.
Rangga sampai berhenti melangkah mendengarnya. Belum lagi dia sempat mengatakan sesuatu, tampak beberapa murid padepokan datang menghampiri.
Ternyata mereka mengawal Resi Balung Gading. Begitu mereka sampai di depan Rangga, serentak semuanya menjura hormat, tak terkecuali Resi Balung Gading sendiri. Rangga jadi salah lingkah. Dia juga tidak dapat menolak lagi, ketika Resi Balung Gading mengundangnya untuk makan malam.
*
* *
"Kami semua mohon maaf atas kelancangan dan penyambutan yang tidak berkenan di hati Gusti Prabu," kata Resi Balung Gading setelah mereka menikmati santapan malam.
"Sudahlah, tidak perlu Resi bersikap begitu padaku," kata Rangga merendah.
"Maaf, Gusti Prabu. Ada maksud apa sebenarnya hingga Gusti Prabu berkenan mengunjungi padepokan hamba ini?" tanya Resi Balung Gading.
"Aku cuma kebetulan lewat," sahut Rangga kalem.
"Kalau Gusti Prabu memang berniat mengikuti sayembara ini, hamba akan segera menutupnya, dan dengan senang hati hamba akan menyerahkan Dewi Cempaka untuk diboyong ke istana Karang Setra," kata Resi Balung Gading lagi.
Sementara itu Dewi Cempaka yang duduk di samping ayahnya hanya terduduk tersipu. Tentu saja Rangga dapat melihat paras cantik yang bersemu kemerahan itu. Dewi Cempaka memang cantik, tapi bukan itu tujuan Rangga datang ke Padepokan Baja Hitam. Bagaimanapun juga, Pendekar Rajawali Sakti itu tidak bisa melupakan cinta pertamanya pada Pandan Wangi, yang kini entah berada di mana.
"Masih ada satu peserta lagi, Resi," Rangga mengingatkan.
"Ah, hamba yakin. Kalau Gusti pasti mampu membuatnya angkat kaki dari sini," jawab Resi Balung Gading sopan.
"Maaf, Resi. Hamba sudah memutuskan untuk melanjutkan perjalanan besok pagi," kata Rangga.
"Oh...," Resi Balung Gading melongo.
Sedangkan Dewi Cempaka langsung mengangkat kepalanya. Dia seperti tidak percaya dengan pendengarannya.
Gadis itu memang sudah tertarik dengan Rangga sejak pertama kali melihat, dan dia sudah merencanakan untuk mengalah dalam pertarungan nanti. Tapi kini rencananya langsung lenyap setelah mendengar kata-kata Rangga barusan.
Harapannya yang telah timbul, langsung sirna seketika.
"Gusti, apakah putri hamba terlalu hina untuk..." 'Tidak, Resi," cepat-cepat Rangga memotong.
"Dewi Cempaka sangat cantik, pandai dan sangat tinggi ilmunya. Aku senang dapat berkenalan dengan putrimu, Resi."
"Tapi..., kenapa Gusti me...."
"Aku tidak menolak. Sebenarnya aku datang ke sini ada maksud yang sangat pribadi sifatnya. Maaf, mungkin aku telah mengecewakan Resi dan Dewi Cempaka."
"Oh, tidak.... Tidak, sama sekali tidak mengecewakan. Bahkan kami merasa mendapat kehormatan dengan kunjungan Gusti ke sini," buru-buru Resi Balung Gading menyahuti.
"Kalau begitu lanjutkan saja sayembara ini, aku ingin melihat peserta yang sudah menunggu sejak kemarin," kata Rangga.
"Baiklah, Gusti. Hamba akan melanjutkan sayembara ini," sahut Resi Balung Gading.
Setelah berbasa-basi sebentar, Rangga segera mohon diri untuk istirahat. Sedangkan Resi Balung Gading memerintahkan pada salah seorang muridnya untuk menunjukkan kamar Rangga. Kamar khusus yang disediakan untuk tamu kehormatan.
"Ayah...," bisik Dewi Cempaka setelah Rangga tidak ada lagi di ruangan itu.
"Ada yang ingin kau katakan, Anakku?" sahut Resi Balung Gading.
"Bagaimana kalau Danupaksi yang memenangkan sayembara ini?" ada nada kekhawatiran pada suara Dewi Cempaka.
"Siapa saja yang memenangkan sayembara ini, pantas menjadi suamimu," jawab Resi Balung Gading tegas.
"Tapi, Ayah...."
"Danupaksi tidaklah jelek. Dia pemuda tampan dan kelihatannya tidak sombong dan angkuh. Ayah yakin, kalau Danupaksi seorang pendekar beraliran putih. Kita lihat saja besok."
"Kalau aku berhasil mengalahkan Danupaksi, mau kan Ayah meminta Gusti Prabu untuk mengikuti sayembara ini?" pinta Dewi Cempaka ragu-ragu.
"Ha ha ha..., rupanya kau sudah...," tebak Resi Balung Gading.
"Ayah!"
"Baik, baiklah. Semoga saja Gusti Prabu berkenan. Tapi aku juga harus menyarankanmu, jangan bersikap mengalah. Itu bukan sikap seorang pendekar. Ayah yakin, kalau kau bersikap mengalah, Gusti Prabu tidak akan mau menerimamu, mengerti?"
"Aku usahakan, Ayah."
"Tidurlah, kau harus mempersiapkan diri untuk besok."
"Selamat malam, Ayah."
"Ya." Pagi-pagi sekali, di depan rumah besar tempat kediaman Resi Balung Gading, sudah berkumpul murid-murid Padepokan Baja Hitam. Mereka semua menunggu dimulainya lagi sayembara yang sangat menarik itu. Tampak di tengah-tengah arena, Danupaksi berdiri tegak dengan tatapan lurus ke arah tempat duduk Resi Balung Gading.
Sementara Pendekar Rajawali Sakti sudah mengundurkan diri dari sayembara itu setelah penyamarannya diketahui oleh seluruh penghuni padepokan.
"Kau adalah satu-satunya peserta sayembara untuk hari ini, Tuan Danupaksi. Untuk itulah aku memberimu kelonggaran. Kau bisa langsung berhadapan dengan putriku tanpa melewati rintangan pertama dulu," kata Resi Balung Gading.
"Maaf, Resi. Sebaiknya gunakan saja peraturan yang sudah ada," tolak Danupaksi merendah.
"Maaf, aku memang sengaja merubah, karena sudah lelah menghadapi sayembara ini," kata Resi Balung Gading lagi.
"Baiklah, kalau itu keinginanmu, Resi," kata Danupaksi akhirnya.
"Nah, mulailah!" Dewi Cempaka langsung melompat ke tengah tengah arena dengan gerakan yang ringan.
"Aku persilakan kau menyerang dulu, Tuan Danupaksi," kata Dewi Cempaka datar suaranya.
"Baiklah," Danupaksi segera memasang kuda kuda untuk menyerang walaupun agak ragu-ragu.
"Tidak perlu sungkan, ayo serang aku!' Danupaksi segera melompat seraya mengirimkan pukulan yang cepat dan beruntun.
"Hait...!" Des.... Des! Dua tangan langsung beradu dengan keras beberapa kali. Sejenak Danupaksi melompat mundur tiga langkah untuk memasang jurus berikutnya. Sedangkan Dewi Cempaka masih tetap berdiri tegak dengan pandangan mata yang tajam.
Danupaksi tak menduga sama sekali kalau tangannya sampai bergetar begitu beradu dengan tangan Dewi Cempaka.
Rupanya kabar tentang gadis itu bukan omong kosong belaka. Terbukti dari tenaga dalamnya cukup tinggi, bahkan hampir mencapai taraf kesempurnaan.
Danupaksi tak bisa menganggap remeh gadis itu. Maka dia segera menyerang kembali dengan jurus-jurus tangan kosong yang pendek dan cepat.
Sedangkan Dewi Cempaka pun langsung mengimbanginya dengan cepat dan tepat.
Pertarungan terus berlangsung dengan seru dan sengit, walau sudah tampak kecenderungan kalau Danupaksi terdesak.
Pada suatu saat yang tepat, Dewi Cempaka berhasil menyarangkan pukulan telaknya ke dada Danupaksi.
"Ugh?!" keluh Danupaksi pendek.
Tubuhnya langsung tersuruk ke tanah dengan keras. Tapi tak berapa lama dia bangkit lagi seraya menyeka darah yang ke luar dari bibirnya.
"Bagaimana, Tuan Danupaksi. Apa masih bisa dilanjutkan?" kata Dewi Cempaka.
"Sudah, sudah cukup," sahut Danupaksi pelan.
"Den...!" seru Pangkeng terkejut mendengar keputusan Danupaksi.
"Tunggu dulu!" sentak Resi Balung Gading begitu melihat Danupaksi mau pergi.
"Maaf, Resi. Aku mengaku kalah dan tidak berhak mendapat hadiah darimu," kata Danupaksi me-rendah.
"Kau belum kalah, aku tahu kau sengaja mengalah. Kenapa?" Resi Balung Gading tidak mengerti.
"Putrimu jauh lebih tinggi ilmunya dariku," sahut Danupaksi.
"Sungguh tidak kusangka, seorang pendekar sepertimu begitu lemah dan kerdil jiwanya!" gumam Resi Galung Gading.
Kata-kata yang pelan itu sangat menusuk hati Danupaksi. Seketika mukanya merah menahan marah.
"Resi, kuakui. Aku memang sengaja mengalah. Karena aku mempunyai persoalan yang lebih penting daripada persoalan sepele ini!" geram Danupaksi.
Kau sudah mengikuti sayembaraku, maka kau harus mematuhi syaratnya!" tegas kata-kata Resi Balung Gading karena kesal melihat Danupaksi mengalah.
"Aku sudah mengikuti syaratsyaratmu, Resi dan aku kalah.
Bila kau belum puas, aku akan datang lagi setelah urusanku selesai!" Setelah berkata begitu, Danupaksi segera melompat ke punggung kudanya yang tertambat di pohon.
Sedangkan Pangkeng langsung mengikuti dari belakang. Kemudian dua kuda itu langsung melesat cepat meninggalkan Padepokan Baja Hitam.
Sementara Resi Balung Gading masih terhenyak memandang kepergian anak muda itu. Dia begitu terpukul mendengar kata-katanya tadi.
Tapi yang lebih terpukul lagi adalah Dewi Cempaka. Kata-kata itu seperti merendahkan harga dirinya sebagai seorang wanita. Bagaimana tidak, Danupaksi telah mengatakan bahwa dia sengaja mengalah. Bukankah hal itu bisa diartikan bahwa dia tidak butuh hadiah pertama? Sementara Dewi Cempaka dengan rela dijadikan hadiah pertama.
"Cempaka...!" seru Resi Balung Gading terkejut.
Tapi Dewi Cempaka terus berlari dan tidak menghiraukan lagi panggilan ayahnya. Mendadak saja dia jadi malu, tidak sanggup lagi bertemu muka dengan para murid padepokan. Dia baru menyadari bahwa sikap mereka yang begitu menghormatinya mungkin hanya di luarnya saja, karena dirinya putri guru mereka. Pantas saja Rangga menolak mentah-mentah tanpa memberikan alasan yang tepat. Sungguh memalukan!
*
* *
"Cempaka..., Cempaka...!" panggil Resi Balung Gading seraya mengetukngetuk pintu kamar putrinya. Tidak ada sahutan dari dalam. Pintu kamar itu tetap saja tertutup rapat. Dia kembali mengetuk dan memanggil. Tapi tetap saja tidak ada jawaban sedikit pun dari dalam. Tidak sabar dan penasaran oleh keadaan itu, Resi Balung Gading segera mencoba membuka pintu. Ternyata pintu itu tidak terkunci! Maka dengan pelanlahan dia mendorongnya..., segera tampak Dewi Cempaka menelungkupkan diri di atas pembaringan.
"Cempaka...," panggil Resi Balung Gading berbisik.
"Untuk apa Ayah kemari! Mau membujukku?" sentak Dewi Cempaka seraya membalikkan tubuhnya. Tampak di kedua matanya yang merah, telah dipenuhi dengan air bening.
"Kau menangis, Anakku? Kau menangis...?" Resi Balung Gading bagai tak percaya melihat putrinya menangis. Entah kenapa, Dewi Cempaka segera menghentikan tangisnya begitu Resi Balung Gading memeluk tubuhnya.
Sungguh Resi Balung Gading begitu gembiranya melihat putrinya menangis.
Tidak pernah selama ini dia melihat putrinya menangis. Begitu bahagianya dia, sampai-sampai tak menyadari kalau ada setitik air bening yang bergulir di pipinya.
"Ayah.... Ayah menangis...?" Dewi Cempaka terheran-heran melihat ayahnya menangis begitu dia melepaskan pelukannya.
"Ayah begitu bahagia, Anakku...," tersendat suara Resi Balung Gading.
"Ayah gembira melihat aku kehilangan muka?" Dewi Cempaka makin tidak mengerti.
"Bukan..., bukan itu, Cempaka.
Ayah gembira karena kau benar-benar seorang wanita."
"Jadi, selama ini Ayah menganggapku apa?"
"Sembilan belas tahun aku belum pernah melihatmu menangis. Aku gembira, Anakku. Bahagia melihatmu bisa menangis." Betapa terharunya Dewi Cempaka.
Dia langsung memeluk ayahnya kembali.
"Kalau saja ibumu masih hidup...," suara Resi Balung Gading masih tersendat setelah melepaskan pelukannya.
"Ayah...," Dewi Cempaka segera memutuskan kata-kata ayahnya.
"Kau sangat mirip dengan ibumu, Anakku. Bedanya dia tidak memiliki kekuatan apa pun. Seandainya dia sepertimu, mungkin nasibnya tidak akan seburuk itu. Kalau saja tidak ada Wanapati, mungkin kau juga akan binasa di tangan mereka. Wanapati.... Heh!" tiba-tiba Resi Balung Gading tersentak.
"Ada apa, Ayah?" Dewi Cempaka terkejut.
"Danupaksi...," gumam Resi Balung Gading.
"Ayah...," Dewi Cempaka makin tak mengerti.
"Ya, Danupaksi itu adalah muridnya Wanapati. Aku kenal betul dengan jurus-jurusnya," Resi Balung Gading tidak mengindahkan keheranan putrinya.
Dewi Cempaka geleng-geleng kepala. Dia jadi tidak mengerti dengan sikap ayahnya itu. Dan ayahnya pun tidak memberikan penjelasan....
Tiba-tiba dia teringat dengan kalung segitiga yang dipakai Danupaksi. Sebuah kalung yang sama persis dengan milik Rangga, Raja Karang Setra.
"Mustahil kalau Wanapati mengutus muridnya untuk mengikuti sayembara. Ini tidak mungkin terjadi!" gumam Resi Balung Gading masih belum menyadari kalau gumamannya didengar putrinya.
"Ada apa sebenarnya, Ayah?" Dewi Cempaka makin penasaran.
"Danupaksi..., mengapa dia sampai ikut sayembara?"
"Ayah, bukankah itu sudah berlalu? Danupaksi sudah pergi dan aku...." Resi Balung Gading langsung menatap putrinya dalam-dalam.
"Aku harus menyelidikinya, Ayah," kata Dewi Cempaka.
"Cempaka, apa maksudmu?" Resi Balung Gading agak kaget juga.
"Danupaksi mempunyai tanda Kerajaan Karang Setra!"
"Tanda...!? Maksudmu?"
"Dia memiliki kalung yang sama persis dengan milik Gusti Prabu Rangga. Bukankah Ayah pernah menceritakan tentang keluarga Adipati Karang Setra, sebelum menjadi kerajaan?" Resi Balung Gading menganggukangguk.
"Kalung segitiga dengan beberapa lingkaran di dalamnya hanya ada satu."
"Benar."
"Tapi mengapa Danupaksi juga memilikinya?"
"Dewi Cempaka! Dari mana kau tahu semua itu?" Resi Balung Gading tersentak.
"Aku melihatnya sendiri, Danupaksi memang memakai kalung seperti itu!"
"Astaga...!!!" Resi Balung Gading menepuk keningnya sendiri.
"Di mana Gusti Rangga sekarang?" tanya Dewi Cempaka.
"Dia sudah pergi," sahut Resi Balung Gading.
"Cempaka, aku akan pergi ke Gunung Puting. Kau jangan ke mana-mana sampai aku kembali!"
"Aku ikut!"
"Jangan! Kau harus tetap di sini sebelum aku kembali!" Dewi Cempaka jadi diam. Dia tahu kalau ayahnya memang terikat janji aneh dengan Resi Wanapati di Gunung Puting. Meskipun dia tidak mengerti isinya.
Kini dia hanya diam merenungkan sejuta pertanyaan yang berkecamuk di benaknya!
*
* *
::≡:: [ 4 ] ::≡::
"Ada apa gerangan, sehingga kau menyempatkan datang sendiri ke tempatku, Balung Gading?" tanya Resi Wanapati ramah.
"Apakah kau telah mengirim muridmu mengikuti sayembaraku, Wanapati?" tanya Resi. Balung Gading langsung pada pokok persoalannya.
Tentu saja Resi Wanapati terkejut bukan main dengan pertanyaan itu! Dia sama sekali tidak mengirimkan muridnya seorang pun! "Dia memang tidak menyebutkan berasal dari mana, tapi aku sangat hapal dengan jurus jurus yang digunakannya," kata Resi Balung Gading lagi.
"Siapa namanya?" tanya Resi Wanapati ingin tahu.
"Danupaksi! Dan dia datang bersama pembantunya yang bernama Pangkeng. Apa benar ada muridmu yang bernama Danupaksi?" tanya Resi Balung Gading lagi.
"Benar," sahut Resi Wanapati pelan. Dia sangat menyesali tindakan muridnya yang dianggapnya begitu lancang.
"Wanapati! Sudah lupakah kau dengan perjanjian kita?" sentak Resi Balung Gading marah.
"Tenang dulu, Balung Gading. Akan aku jelaskan dulu persoalannya," kata Resi Wanapati tidak terpancing emosi.
"Danupaksi memang muridku, bahkan lebih dari itu, dia sudah kuanggap sebagai anakku sendiri. Dan dia baru saja turun gunung setelah menyelesaikan pelajaran terakhir yang kuberikan. Tapi aku sama sekali tidak pernah menyuruhnya untuk ke padepokanmu, apalagi mengikuti sayembara," ujar Resi Wanapati berusaha menjelaskan.
"Sebenarnya ke mana tujuannya?" tanya Resi Balung Gading, sedikit reda amarahnya.
"Kerajaan Karang Setra," jawab Resi Wanapati singkat.
"Sudah kuduga...," gumam Resi Balung Gading sambil menganggukanggukkan kepalanya.
"Balung Gading, aku terpaksa menceritakan apa yang hanya menjadi dugaanku. Soalnya aku sendiri belum mengetahui dengan jelas. Aku hanya mengatakan, mungkin dia berasal dari Karang Setra dan.
"
"Kau berikan kalung itu?" Resi Balung Gading memotong cepat.
"Dia sudah berumur dua puluh tahun. Aku rasa, kau masih ingat butir-butir perjanjian kita, Balung Gading."
"Tapi kau terlalu cepat, Wanapati. Huh...! Kalau saja kemarin sampai terjadi..., entah kutukan apa yang akan menimpa kita," keluh Resi Balung Gading.
"Danupaksi berhasil mengalahkan putrimu?" tanya Resi Wanapati.
"Dia mengalah."
"Maksudmu?"
"Aku sendiri tidak tahu. Bahkan semula aku telah mengira, bahwa kau sengaja mengutusnya mengikuti sayembara untuk menghinaku," kata Resi Balung Gading jujur.
"Ha ha ha..., ada-ada saja kau ini, Balung Gading," Resi Wanapati menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Maafkan aku, Wanapati. Aku terlalu dibawa emosi," sesal Resi Balung Gading.
"Ah, sudahlah. Yang penting semuanya sudah terhindar. Bagaimana dengan Dewi Cempaka?"
"Dia merasa terhina. Lebih-lebih setelah Resi Balung Gading tidak melanjutkan kata-katanya.
"Boleh aku tahu?" Resi Wanapati penasaran.
"Gusti Prabu Rangga! Dia juga datang ke padepokanku," ujar Resi Balung Gading terus terang.
"Apakah kau tidak salah lihat?" Resi Wanapati sedikit ragu.
"Dewi Cempaka sendiri yang melihat tandanya," Resi Balung Gading tetap kalem.
"Maksudmu?" tanya Resi Wanapati tak sabaran.
"Ia mengenakan kalung segitiga dengan beberapa lingkaran di tengahnya," jawab Resi Balung Gading.
"Apa...?" Resi Wanapati terlonjak dari duduknya.
"Itulah persoalannya. Aku sendiri tidak mengerti, kenapa kalung itu bisa ada dua!"
"Apa sekarang Gusti Prabu Rangga masih ada di padepokanmu?" tanya Resi Wanapati.
"Tidak, dia sudah pergi." Resi Wanapati tampak mengerutkan keningnya dalam dalam. Apa yang selama ini mereka khawatirkan, akhirnya akan terjadi juga. Dua puluh tahun mereka selalu mentaati janji, tidak saling berkunjung dan tidak saling mengenalkan muridnya masing-masing.
Tapi semua jadi berantakan dengan datangnya Danupaksi ke Padepokan Baja Hitam. Dan dia tidak menyalahkan Danupaksi secara total. Semua itu juga akibat dari ketertutupan mereka.
"Mungkin sudah saatnya kita saling membuka diri, Wanapati," kata Resi Balung Gading pelan.
"Ya, aku juga sedang berpikir demikian," sahut Resi Wanapati.
"Dan kita harus membuka rahasia ini pada Gusti Prabu Rangga dan Danupaksi."
"Juga Dewi Cempaka," usul Wanapati.
"Yah.... Itu memang satu-satunya jalan. Bagaimanapun juga, akhirnya kita memang harus kehilangan orangorang yang kita cintai," keluh Resi Balung Gading.
"Kau menyesal?"
"Buat apa? Kehidupan kan memang begitu!"
*
* *
Dewi Cempaka menggeleng-gelengkan kepalanya beberapa kali. Dia sangat tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Bagaimana mungkin dia mau percaya? Selama ini yang dia tahu Resi Balung Gading adalah ayahnya, sedangkan ibunya telah meninggal waktu dia masih bayi. Tapi mengapa tiba-tiba justru ayahnya yang mengatakan bahwa dia sebenarnya bukan anaknya? Bahkan kata-kata ayahnya diperkuat oleh Resi Wanapati, seorang yang tahu betul riwayat hidupnya Bukankah hal itu memaksa dia harus percaya, bahwa dia memang bukan anak Resi Balung Gading? Sungguh! Dewi Cempaka benar-benar bingung menghadapi dilema macam itu! "Tidak...! Tidak mungkin," Dewi Cempaka kembali menggeleng-gelengkan kepalanya untuk kesekian kalinya.
"Aku mengatakan yang sebenarnya, Dewi Cempaka. Maafkan kalau selama ini aku telah mendustaimu dengan ceritacerita kosong tentang ibumu.
Tapi percayalah, Cempaka. Itu semua aku lakukan demi kebaikan kita semua," kata Resi Balung Gading bergetar suaranya.
"Tidak, Ayah.
Tidak... Katakan kalau Ayah berdusta.
Katakan kalau itu tidak benar!" rintih Dewi Cempaka.
"Dewi Cempaka, hadapilah semua kenyataan ini dengar. hati lapang.
Semua yang terjadi di dunia ini sudah kehendak Yang Maha Kuasa," kata Resi Wanapati lembut.
"Tapi mengapa baru sekarang menceritakannya? Kenapa?" tinggi suara Dewi Cempaka. Tangis-nya tidak bisa dibendung lagi.
Kedua laki-laki tua itu tidak mampu menjawabnya. Mereka hanya saling pandang dan tertegun saja. Mereka benar-benar baru menyadari, kalau tindakannya selama ini adalah salah.
Tapi, apa yang mereka alami dulu benar-benar telah memaksa mereka untuk melakukan hal seperti itu. Kini, untuk membuktikan semuanya juga tidak mudah.
Tidak ada lagi saksi yang hidup! Semua telah tewas dalam peristiwa tersebut.
Peristiwa yang terjadi di dekat Danau Cubung.
"Siapa orang tuaku sebenarnya, Ayah. Katakan, siapa?" desak Dewi Cempaka masih bercucuran air mata.
"Sebenarnya aku sendiri juga tidak tahu," sahut Resi Balung Gading pelan. Dia ikut terbawa emosi-nya dalam keharuan itu.
"Bohong! Ayah pasti tahu, siapa orang tuaku!" makin keras saja suara tangis Dewi Cempaka.
"Benar, Cempaka. Kami benar-benar tidak tahu, siapa sebenarnya orang tua kalian," sambung Resi Wanapati.
"Kalian...?" Dewi Cempaka langsung menoleh ke arah Resi Wanapati Dia benar-benar terkejut dan ingin tahu, apa sebenarnya yang terjadi selama ini. 'Ya, kau dan Danupaksi," lanjut Resi Wanapati menguatkan diri.
"Jadi...?" rasa kebahagiaan dan kekecewaan bercampur jadi satu di dada Dewi Cempaka.
"Kami tidak tahu, apakah kau bersaudara dengan Danupaksi atau tidak. Yang jelas, pada saat itu kami telah menolong seorang bocah laki-laki yang ibunya telah meninggal dan seorang wanita yang sedang hamil tua.
Hal itu kami lakukan karena mendapat amanat dari seorang laki-laki yang kemudian meninggal dunia karena lukalukanya yang parah," Resi Wanapati menjelaskan.
"Siapa laki-laki tersebut?" Dewi Cempaka agak susut air matanya.
"Sayang aku tidak kenal namanya.
Tapi aku kenal pakaiannya. Dia seorang punggawa dari Kadipaten Karang Setra." Dewi Cempaka tampak terdiam beberapa saat.
"Aku harus menyusul Danupaksi!" kata Dewi Cempaka tiba-tiba.
"Cempaka...!" sentak Resi Balung Gading.
Tapi Dewi Cempaka sudah keburu lari ke luar. Sedangkan Resi Balung Gading yang ingin mengejarnya, langsung dicegah oleh Resi Wanapati.
"Biarkan dia pergi, Balung Gading," bujuk Resi Wanapati.
"Tapi...."
"Ingat kesepakatan kita, Balung Gading," Resi Wanapati mengingatkan.
Resi Balung Gading kembali terduduk lesu.
*
* *
Sementara itu tampak Dewi Cempaka sedang memacu kudanya dengan cepat meninggalkan Padepokan Baja Hitam.
Jiwanya benar-benar guncang menghadapi kenyataan yang tidak pernah diimpikannya selama ini. Dan dia harus pergi! Harus membuktikan kata-kita kedua orang tua itu! "Hoooh...!" Dewi Cempaka tibatiba menghentikan lari kudanya.
Di depannya tampak seorang pemuda yang sudah dia kenal, walau hanya beberapa saat. Tidak jauh dari tempat duduk pemuda itu, ada seekor kuda hitam yang tinggi dan kekar sedang merumput. Pemuda yang tak lain adalah Pendekar Rajawali Sakti itu, segera menoleh begitu merasa ada orang yang menghampirinya. Kemudian dia langsung tersenyum begitu melihat Dewi Cempaka menghampirinya setelah turun dari kudanya.
"Kau tampak tergesa-gesa sekali, ada apa?" sapa Rangga lebih dulu.
"Ah tidak. Apakah Gusti Prabu melihat Danupaksi lewat sini?" Dewi Cempaka segera menjura hormat.
"Janganlah bersikap begitu, Cempaka. Marilah kita ngobrol seperti seorang teman saja," ajak Rangga ramah.
Dewi Cempaka hanya diam.
"Panggil saja aku dengan sebutan kakang," saran Rangga.
"Baiklah, Kakang," Dewi Cempaka menurut.
"Apakah yang ingin kau tanyakan tadi?"
"Kakang tidak melihat Danupaksi," Dewi Cempaka mengulangi pertanyaannya.
"Tidak, memangnya kenapa?"
"Ada yang ingin aku tanyakan padanya."
"Kalau boleh aku tahu, tentang apa?" tanya Rangga penasaran. Tanpa ragu-ragu lagi Dewi Cempaka segera menceritakan semuanya dengan singkat dan jelas. Sedangkan Rangga mendengarkannya dengan penuh perhatian. Sejenak dia agak kaget, setelah mendengar cerita itu. Dia segera mengolah kata-kata yang diucapkan Dewi Cempaka. Di benaknya segera timbul macam-macam dugaan yang selama ini juga dia pikirkan.
"Jadi, mereka belum yakin kalau kalian bersaudara?" tanya Rangga setelah Dewi Cempaka selesai bercerita.
"Itulah yang ingin kuketahui, Kakang," sahut Dewi Cempaka.
"Lalu, kenapa kau ingin menanyakan hal itu pada Danupaksi?" tanya Rangga penasaran.
"Kata Eyang Resi Wanapati, Danupaksi umurnya lebih tua satu tahun dariku. Siapa tahu dia bisa mengingat sesuatu," sahut Dewi Cempaka memberikan alasan.
"Umur satu tahun belum bisa mengingat apa-apa, Cempaka."
"Lalu, aku harus bagaimana?" keluh Dewi Cempaka kebingungan.
Rangga pun jadi bingung untuk menjawab. Dia hanya bisa menarik napas panjang, mendesah! Da lam hatinya dia sudah merasakan bahwa perjalanannya bakal tertunda lagi. Dia jadi tertarik untuk mengetahui permasalahan ini sampai tuntas dan jelas. Apalagi dia tahu, bahwa Danupaksi juga memiliki kalung segitiga dengan beberapa lingkaran di tengahnya. Sebuah kalung yang menjadi tanda, bahwa pemiliknya masih keturunan Adipati Arya Permadi.
Dan berarti saudaranya satu ayah.
Kalung itu juga dimiliki Wira Permadi yang sudah tewas karena tabiatnya yang kurang baik dan mementingkan diri sendiri. Rangga menyadari, bahwa ayahnya bukannya tidak mungkin mempunyai anak lain yang diperoleh dari selir-selirnya, dan membekali dengan satu benda sebagai tanda persaudaraan.
"Apakah kau pernah mendengar cerita tentang rombongan Adipati Karang Setra yang dibegal?" tanya Rangga.
"Ya, Ayahanda Resi Balung Gading pernah menceritakan hal itu semuanya padaku," sahut Dewi Cempaka.
"Semuanya...?!" Rangga mengerutkan keningnya.
"Iya, bahkan tentang dirimu."
"Hm..., dari mana dia tahu semua itu?" gumam Rangga.
"Aku juga tidak tahu. Ayahanda Balung Gading tidak pernah menceritakan asal-usulnya."
Beberapa saat kemudian Pendekar Rajawali Sakti itu bangkit dari duduknya.
"Kakang Rangga mau ke mana?" tanya Dewi Cempaka begitu melihat Rangga naik ke punggung kuda hitamnya.
"Makan. Mau ikut?"
"Boleh."
"Ayo, cepat!"
*
* *
::≡:: [ 5 ] ::≡::
Mereka langsung dihadang oleh dua orang prajurit yang menjaga pintu gerbang kerajaan. Tapi belum sempat dua prajurit itu menanyakan perihalnya, mereka langsung terkejut begitu melihat kalung yang dipakai Danupaksi. Kemudian tanpa berkata apaapa, salah seorang prajurit itu langsung membawa tamunya untuk menghadap pembesar kerajaan, yaitu Ki Lintuk dan Bayan Sudira. Danupaksi sendiri jadi keheranan, kenapa dia dihadapkan pada pembesar kerajaan yang sangat dihormati itu. Dia juga tidak mengerti, bahwa kalung yang dikenakannya bakal menjadi persoalan.
"Siapa namamu, Anak Muda?" tanya Ki Lintuk.
"Hamba bernama Danupaksi, Gusti.
Dan ini teman hamba, namanya Pangkeng," Danupaksi memperkenalkan diri dengan hormat.
"Dari mana kalian berasal?" tanya Bayan Sudira.
"Hamba berasal dari Gunung Puting, Gusti," jawab Danupaksi.
"Lalu apa maksud kedatangan kalian di Karang Setra ini?" tanya Ki Lintuk lagi.
"Hamba hanya menjalankan perintah guru hamba, Eyang Resi Wanapati.
Beliau mengatakan, bahwa di Kerajaan Karang Setra ini hamba bisa menemukan orang tua hamba, Gusti." Ki Lintuk segera menoleh ke arah Bayan Sudira. Sejenak mereka saling berpandangan.
"Bagaimana ceritanya, sehingga kau ingin mencari orang tuamu di sini?" tanya Bayan Sudira.
Tanpa diminta dua kali, Danupaksi segera menceritakan semua yang didengarnya dari Resi Wanapati.
"Ketahuilah, Danupaksi. Bahwa kalung yang kau pakai itu merupakan tanda pengenal dari keturunan Adipati Arya Permadi. Tapi kami belum bisa begitu saja percaya, bahwa kau masih keturunan beliau, sebelum membuktikan dulu kebenarannya," kata Ki Lintuk.
"Maaf, Gusti. Hamba sama sekali tidak tahu menahu tentang masalah itu.
Lebih-lebih tentang kalung ini. Hamba baru mengenakan setelah Eyang Resi Wanapati memberikannya beberapa hari yang lalu. Dan kata beliau, bahwa kalung ini milik hamba. Hanya itu, Gusti," kata Danupaksi.
"Kau tidak perlu khawatir, Danupaksi. Para pembesar kerajaan di sini memang sedang berusaha mengumpulkan kembali keluarga kerajaan yang terpisah-pisah," kata Ki Lintuk lagi.
"Bukan itu saja, Danupaksi. Saat ini pun raja kami sedang mengembara juga untuk tujuan itu," sambung Bayan Sudira.
"Ya, bahkan sampai sekarang Gusti Prabu Rangga Pati Permadi belum juga kembali," Ki Lintuk menimpali.
"Rangga...?" Danupaksi terkejut mendengar nama itu.
"Iya, kenapa?"
"Sebentar, Gusti. Apakah beliau seorang pemuda yang mengenakan baju rompi putih dan bersenjata pedang yang gagangnya berbentuk kepala burung? Dan bergelar Pendekar Rajawali Sakti?" tanya Danupaksi ingin memastikan.
"Benar, dari mana kau tahu?" tanya Ki Lintuk penasaran.
"Hamba pernah bertemu dengan beliau, Gusti."
"Di mana?" Bayan Sudira tak sabar.
"Di Padepokan Baja Hitam."
"Kakang, sebaiknya kita kirimkan satu pasukan untuk menjemputnya," kata Bayan Sudira.
"Benar, Adi Bayan Sudira. Pencarian beliau akan sia-sia," sambung Ki Lintuk.
"Cepat kita siapkan segalanya."
"Tunggu!" cegah Danupaksi begitu melihat Bayan Sudira bangkit.
"Ada apa?"
"Sebaiknya hamba ikut, Gusti. Kalau memang beliau saudara hamba, maka dengan senang hati hamba akan mengabdikan diri pada Kerajaan Karang Setra," kata Danupaksi.
"Bagaimana, Kakang?" tanya Bayan Sudira.
"Baiklah, sekalian kau selidiki siapa sebenarnya Eyang Resi Wanapati," sahut Ki Lintuk.
"Aku curiga, janganjangan dia adalah punggawa yang berhasil lolos."
"Baik, Kakang. Aku akan berangkat"
*
* *
Tampak Ki Lintuk sedang memacu kudanya dengan cepat menuju ke Utara.
Dia sungguh-sungguh penasaran dengan kalung yang ada pada Danupaksi, hingga semalaman dia tidak dapat tidur lantaran begitu gelisahnya. Bagaimana mungkin kalung seperti itu lebih dari satu? Untunglah dia segera sadar dan ingat pada seseorang yang mungkin bisa menjawab segala pertanyaan yang berkecamuk di dalam benaknya. Tidak berapa lama kemudian sampailah dia pada sebuah pondok kecil dan kumuh yang berdiri di antara
Belum juga Ki Lintuk sampai di pintu pondok, tampak seorang nenek tua dengan tongkat berlekuk-lekuk seperti ular telah berdiri menyongsongnya.
"Hik hik hik... Pasti ada persoalan penting sehingga kau sudi datang kemari, Lintuk," Nyai Pirih terkikik.
"Soal kalung itu lagi, ya?!" kerimbunan pohon. Sebuah pondok kecil milik Nyai Pirih! Setelah turun dari kudanya, tampak Ki Lintuk segera mempercepat langkah kakinya menuju pintu pondok Nyai Pirih. Tapi belum juga dia mencapai pintu pondok, seorang perempuan tua bungkuk dan kurus sudah ke luar dari dalam pondok.
Dia segera berdiri di depan pondok dibantu tongkat yang berkeluk-keluk seperti ular.
"Sudah lama sekali kau tidak datang ke sini lagi, Lintuk," kata perempuan itu sebelum Ki Lintuk sempat permisi. Suaranya terdengar serak dan pa-rau.
"Maaf, Nyai. Aku sibuk sekali, lebih-lebih sekarang ini tampuk pemerintahan berada di pundakku. Bagaimana kabarmu, Nyai Pirih?"
"Aku baik-baik saja, ayo masuk."
"Terima kasih, Nyai. Aku hanya ada keperluan sebentar kok."
"Kelihatannya ada sesuatu yang penting...," gumam Nyai Pirih.
"Benar, dan ini menyangkut keluarga Gusti Adipati Arya Permadi."
"Aaah..., ada persoalan apa lagi?"
"Tentang kalung itu, Nyai," Ki Lintuk langsung pada tujuannya.
"Hik hik hik... Sudah kuduga, kalung itu pasti akan membawa persoalan baru lagi," Nyai Pirih terkikik.
"Ini persoalan penting, Nyai. Dan rasanya hanya kau saja yang mampu mengatasinya," kata Ki Lintuk.
"Kenapa aku?" tanya Nyai Pirih dengan me-ngerutkan keningnya.
"Karena Nyai-lah pembuat kalung itu," jawab Ki Lintuk tegas.
Lagi-lagi Nyai Pirih tertawa terkikik.
"Nyai membuat kalung seperti itu berapa?" tanya Ki Lintuk lagi tanpa mempedulikan ketawa Nyi Pirih.
"Dulu, sebenarnya Gusti Arya Permadi memesan empat. Tapi baru tiga yang aku berikan. Dari ketiga kalung itu hanya satu yang asli. Dan orang yang memegang yang aslilah yang berhak atas Karang Setra, sedangkan yang tiga lagi hanya berhak sebagai pendamping," jelas Nyai Pirih.
"Untuk apa beliau memesan empat?" Ki Lintuk tidak mengerti.
"Beliau mempunyai tiga putra, tapi yang syah hanya satu, Gusti Rangga Pati Permadi! Sedangkan yang lainnya, yaitu putra-putra yang diperoleh dari selir-selirnya, tanpa sepengetahuan istri beliau, Tunjung Melur."
"Hm..„ jadi beliau juga memberikan kalung yang sama kepada putra-putranya itu," gumam Ki Lintuk.
"Benar! Tapi sayang, ada satu kalung yang belum sempat aku berikan, karena waktu itu bayi tersebut belum lahir."
Ki Lintuk lantas termenung beberapa saat.
"Ada apa, Lintuk? Apakah ada yang mengenakan kalung itu selain Gusti Prabu Rangga dan si anak durhaka, Wira Permadi?" tanya Nyai Pirih.
"Benar, Nyai. Orang itu bernama Danupaksi," sahut Ki Lintuk.
"Tidak salah!" seru Nyai Pirih.
"Maksud Nyai!" Ki Lintuk heran juga.
"Dialah putra Gusti Arya Permadi yang diperoleh dari salah seorang dayang. Bagaimana yang satunya lagi?"
"Aku tidak tahu. Hanya Danupaksi yang aku tahu. Dia baru saja datang ke istana," sahut Ki Lintuk "Hm..., apakah saat itu ada dayang yang sedang hamil ketika terjadi perebutan kekuasaan di Istana Karang Setra?" tanya Nyi Pirih.
"Mengenai hal itu saya tidak tahu pasti, tapi menurut saksi mata, ada yang melihat dua orang lelaki membawa seorang wanita hamil dan seorang bocah ke luar dari istana!"
"Hm, mungkin wanita tersebut selirnya Gusti Arya Permadi, sedangkan bocah itu adalah anaknya dari selir yang lain. Sekarang, kau harus mencari yang satunya lagi. Kalau sudah ketemu, berikan kalung ini padanya," kata Nyi Pirih sambil menyerahkan seuntai kalung segitiga dengan beberapa lingkaran di tengahnya.
*
* *
Ki Lintuk tidak langsung kembali ke istana. Dia memacu kudanya dengan cepat menyusul Bayan Sudira dan Danupaksi beserta satu regu pasukan pilihan yang sedang menuju Gunung Puting. Dia yakin, kalau rombongan itu belum begitu jauh meninggalkan Karang Setra.
Dugaan Ki Lintuk memang benar.
Tak lama kemudian, dia menemukan rombongan itu sedang bermalam di sebuah hutan. Tampak tenda-tenda untuk bermalam telah didirikan, sedangkan obor-obor pun telah memancarkan sinarnya. Kedatangan Ki Lintuk yang mendadak itu, tentu saja mengejut-kan Bayan Sudira. Maka dengan segera dia langsung membawa Ki Lintuk masuk ke dalam tenda yang paling besar.
"Ada apa, Kakang. Kelihatannya kau begitu tergesa-gesa. Apa ada sesuatu yang sangat penting," tanya Bayan Sudira agak tegang.
"Benar, Adi Bayan Sudira. Ada sesuatu yang sangat penting yang ingin kusampaikan padamu," sahut Ki Lintuk setelah mengatur napasnya seben-tar.
"Tentang apa?" Bayan Sudira penasaran.
"Aku baru saja menemui Nyai Pirih."
"Ya..., ya..., terus?"
"Menurut dia, dulu Gusti Arya Permadi memesan empat buah kalung dalam bentuk dan ukuran yang sama.
Tapi hanya satu yang asli, dan yang memegangnya pertanda bahwa dia pewaris syah Karang Setra."
"Terus?" Bayan Sudira mengerutkan keningnya dalam-dalam.
"Tapi dia baru sempat memberikan tiga kalung, karena calon putra yang ke empat belum lahir. Dan dia minta padaku untuk memberikan kalung ini, kalau aku menemukan putra yang ke empat Gusti Arya Permadi," Ki Lintuk memberikan kalung yang diberikan Nyai Pirih.
Bayan Sudira segera mengamari kalung itu.
"Jadi kalau begitu, Danupaksi jelas-jelas putra Gusti Arya Permadi yang diperoleh dari seorang dayang," gumam Bayan Sudira sambil menganggukanggukkan kepalanya.
"Begitulah yang dikatakan Nyai Pirih," sahut Ki Lintuk.
"Kau harus menemukannya, Bayan Sudira. Aku yakin, kedua resi itu adalah dua orang lelaki yang telah menyelamatkan seorang wanita hamil dan seorang bocah dari Istana Karang Setra. Mereka pasti mengetahui semua persoalannya." Bayan Sudira tercenung beberapa saat.
"Terserah kau, bagaimana caranya memberi tahukan hal ini pada Danupaksi," kata Ki Lintuk lagi.
Bayan Sudira mendesah panjang.
"Rasanya tidak ada lagi yang perlu aku sampaikan. Malam ini juga aku akan kembali ke istana," kata Ki Lintuk berpamitan.
"Malam sudah terlalu larut, Kakang. Sebaiknya menginap saja di sini dulu," cegah Bayan Sudira.
"Terima kasih, aku harus kembali sekarang," tolak Ki Lintuk.
Bayan Sudira tidak dapat mencegah lagi. Dia segera memerintahkan dua orang prajurit untuk mengawal Ki Lintuk.
Setelah kepergian Ki Lintuk, tampak Bayan Sudira masih saja termenung di luar tenda. Berbagai macam pikiran sedang berkecamuk di benaknya.
"Gusti...."
"Oh...," Bayan Sudira langsung tersentak mendengar panggilan dari belakangnya.
"Maaf kalau hamba mengagetkan," kata Danupaksi.
"Oh, tidak Tidak apa-apa," sahut Bayan Sudira masih gelagapan.
"Tadi hamba lihat Gusti Lintuk datang Ada apa?" tanya Danupaksi.
"Tidak apa-apa. Beliau hanya menyampaikan pesan saja," sahut Bayan Sudira.
Laki-laki tua itu segera mengajak Danupaksi untuk berjalan-jalan menghirup udara malam di sekitar perkemahan. Dan dia bercerita perihal asal-usul kadipaten dan peristiwaperistiwa yang terjadi hingga menjadi sebuah kerajaan seperti sekarang ini. Sedangkan Danupaksi mendengarkannya dengan penuh perhatian. Sampai sejauh itu Bayan Sudira belum menceritakan perihal Danupaksi sebenarnya. Dia masih menunggu saatsaat yang tepat!
*
* *
Pagi-pagi sekali Bayan Sudira sudah memerintahkan pada para prajuritnya untuk membongkar tenda, dan bersiap-siap melanjutkan perjalanannya. Tidak banyak mengalami kesukaran untuk membongkar tenda-tenda yang jumlahnya tidak banyak tersebut.
Hanya beberapa saat saja semuanya telah beres dan sudah siap kembali untuk melanjutkan perjalanan.
"Kira-kira berapa lama kita akan sampai di Gunung Puting?" tanya Bayan Sudira.
Kalau tidak ada hambatan, mungkin dua atau tiga pekan lagi baru sampai, Gusti," sahut Danupaksi.
"Ah, kau lupa lagi, jangan panggil aku Gusti. Panggil saja Paman," pinta Bayan Sudira. Dia jadi merasa jengah dipanggil dengan Gusti setelah mendengar penuturan Ki Lintuk semalam.
"Kalau itu yang Gusti inginkan, baiklah. Mulai saat ini, aku akan memanggil Gusti dengan sebutan Paman," gumam Danupaksi.
Beberapa saat mereka hanya terdiam. Sementara kuda-kuda yang mereka tunggangi terus berjalan cepat melintasi hutan yang tidak begitu lebat.
"Apa tujuanmu setelah mengetahui siapa orang tuamu?" pancing Bayan Sudira.
"Kalau aku memang berasal dari Karang Setra, aku berjanji akan membaktikan diri pada Gusti Prabu, Paman," sahut Danupaksi.
"Kau kan sudah tahu, kalau pemilik kalung segitiga dengan beberapa lingkaran di tengahnya adalah keturunan dari Gusti Arya Permadi. Dan itu berarti ada kemungkinan, bahwa kau adalah adik dari Gusti Prabu Rangga Pati Permadi," kata Bayan Sudira lagi.
"Ah, Paman jangan berolok-olok Mana mungkin aku yang hina ini adik dari Gusti Prabu," sergah Danupaksi tidak percaya.
"Sesuatu yang tidak mungkin, bisa saja terjadi bila Tuhan menghendaki."
"Tapi...," Danupaksi jadi tidak menentu perasaannya.
"Semalam kau kan lihat sendiri, ketika Ki Lintuk datang dengan tergesa-gesa," kata Bayan Sudira.
"Ya," Danupaksi semakin tidak menentu pe-rasaannya.
"Kau tahu? Bahwa pembuat kalung itu hanya satu orang. Dan dia tahu betul riwayat Gusti Adipati Arya Permadi, sampai masalah pribadinya yang tidak diketahui oleh orang lain. Dulu, Gusti Arya Permadi telah memesan empat kalung dengan bentuk dan ukuran yang sama. Dan kalung yang pertama dibuat, beliau berikan pada putranya yang pertama, yaitu Gusti Prabu Rangga Pati Permadi. Dan yang kedua diberikan pada putranya yang dari selir, yaitu Gusti Wira Permadi yang sudah tewas karena ingin menguasai apa yang bukan haknya. Sedangkan yang dua lagi, belum diketahui diberikan pada siapa. Tapi kini setelah kau datang dengan membawa kalung itu, kami semua berpendapat, bahwa kau adalah salah satu putra dari Gusti Arya Permadi dari salah satu selirnya." Danupaksi rasanya bagai disambar petir di siang hari kerika mendengar penuturan itu. Dia sampai menghentikan langkah kaki kudanya dan menoleh ke arah Bayan Sudira dengan tak berkedip.
"Tapi semua itu masih perlu dibuktikan lagi, karena pembuat kalung itu belum sempat memberikan kalung yang keempat. Dan satu-satunya bukti yang akan memperjelas kalau kau adalah putra beliau adalah menemui dua orang lelaki yang telah menyelamatkan seorang wanita hamil dan seorang bocah dari Istana Karang Setra. Itu pun kalau kedua orang lelaki itu masih hidup. Tapi kalau sudah meninggal, harapan hanya ada pada pembuat kalung itu, karena dialah satu-satunya saksi hidup yang akan mengenalimu."
"Rasanya mustahil, Paman. Eyang Resi Wanapati mengatakan, kalau kalung itu diserahkan pada beliau oleh seorang yang terluka parah. Tapi...."
"Teruskan," pinta Bayan Sudira.
"Katanya laki-laki itu mengenakan seragam seorang punggawa dari Kadipaten Karang Setra," lanjut Danupaksi pelan.
"Kalau memang benar demikian, pastilah dia punggawa yang berhasil menyelamatkan diri dari keganasan Iblis Lembah Tengkorak," sentak Bayan Sudira.
Danupaksi terdiam. Dia mencoba untuk mengkait-kaitkan semua cerita dan keterangan yang diperolehnya selama ini. Dari apa yang sudah dia dapatkan, rasanya memang ada kemungkinan kalau dia masih bersaudara dengan Pendekar Rajawali Sakti, meskipun lain ibu. Namun dia masih belum percaya kalau belum mendapatkan bukti yang lebih nyata lagi!
*
* *
::≡:: [ 6 ] ::≡::
Tapi yang diperoleh Rangga hanya kekecewaan belaka, sebab ahli pengobatan itu ternyata orang tua yang tubuhnya kecil, mirip tubuh seorang bocah.
"Bagaimana, Kakang?" tanya Dewi Cempaka setelah meninggalkan pondok tempat tinggal tabib kerdil itu.
"Entahlah," desah Rangga lesu.
"Apa tidak sebaiknya kalau kita ke Karang Setra saja?" usul Dewi Cempaka.
"Siapa tahu Kak Pandan ada di sana, sekalian kita bisa menemui Danupaksi yang katanya pergi ke sana."
"Aku juga sedang berpikir ke sana, Cempaka. Rasanya sudah terlalu lama aku meninggalkan istana," sahut Rangga pelan.
"Jarak dari sini ke Karang Setra cukup jauh, dan di perjalanan nanti kita bisa meminta keterangan dari siapa saja tentang keberadaan Kak Pandan. Aku yakin, Kak Pandan pasti sudah mendengar tentang penobatan Kakang jadi raja di Karang Setra. Dan kalau dia mencintai Kakang, pasti dia akan segera menyusul ke sana," Dewi Cempaka membesarkan hati Rangga.
Rangga hanya mendesah. Dia memang sudah menceritakan segalanya pada Dewi Cempaka, dan rupanya gadis itu mau mengerti pada kesulitan yang sedang dihadapinya. Terlihat dari bersedianya dia mengikuti Rangga dalam mencari kekasihnya yang hilang itu.
Tiba-tiba dari tempat mereka, terlihat asap hitam mengepul bergulung-gulung di udara. Rangga yang melihat itu sangat kaget, karena asap itu muncul dari arah Padepokan Baja Hitam.
"Cempaka, bukankah Padepokan Baja Hitam ada di sana?"
"Benar," sahut Dewi Cempaka segera mengarahkan pandangannya ke arah Padepokan Baja Hitam. Seketika itu juga dia terkesiap!
"Ayah...!"
*
* *
Suara jeritan dan teriakan terdengar saling bersahutan dengan suara senjata beradu. Tampak beberapa pondok yang berdiri di dalam pagar Padepokan Baja Hitam sudah terbakar hebat! Sementara mayat-mayat banyak bergelimpangan di halaman padepokan itu. Sedangkan para murid padepokan yang masih bisa bertahan, sedang menghadapi serbuan tokoh-tokoh rimba persilatan dan beberapa partai yang bergabung jadi satu. Pada saat itu, Dewi Cempaka melompat masuk dan langsung terjun ke dalam kancah pertempuran. Tidak lama setelah itu, Rangga pun menyusul, dan langsung mendekati Resi Balung Gading yang sedang menghadapi empat orang.
Dengan menggunakan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali', Pendekar Rajawali Sakti segera menggebrak empat orang itu!
"Gusti Prabu...," Resi Balung Gading tampak terkejut melihat kedatangan Rangga.
"Siapa mereka, Resi?" tanya Rangga sambil tetap bertarung.
"Orang-orang yang sakit hati padaku," sahut Resi Balung Gading.
"Mereka sakit hati karena gagal memenangkan sayembaraku." , Rangga segera tersenyum getir mendengar penjelasan itu. Satu resiko yang harus dihadapi jika mengadakan sayembara yang melibatkan tokoh-tokoh rimba persilatan. Sangat mudah membedakan antara lawan dan kawan. Murid-murid Padepokan Baja Hitam semuanya memakai seragam.
Sedangkan mereka yang menggempur, mengenakan pakaian macam-macam bentuk dan warnanya.
Kedatangan Rangga dan Dewi Cempaka langsung menumbuhkan semangat murid-murid padepokan yang semula sudah mulai kendor. Keadaan yang semula terdesak, kini berbalik! Tampak orang-orang rimba persilatan golongan hitam itu terus terdesak.
"Mundur...!" tiba-tiba satu teriakan keras terdengar.
Seketika itu juga orang-orang yang menggempur padepokan segera bergerak mundur.
"Cukup!" Resi Balung Gading segera mencegah murid-muridnya yang mau mengejar.
"Ayah...!" Dewi Cempaka langsung menghampiri Resi Balung Gading.
"Ayah tidak apa-apa?"
"Tidak. Syukurlah kalian datang tepat pada waktunya," sahut Resi Balung Gading bersyukur.
"Kenapa mereka menyerang padepokan ini, Ayah?" tanya Dewi Cempaka.
"Mereka ingin merampasmu, Anakku. Mereka sakit hati karena gagal dalam sayembara."
"Huh! Pengecut!" dengus Dewi Cempaka menggeram.
"Itu memang sudah watak dari orang-orang golongan hitam."
"Mereka ternyata juga mengepung sekitar padepokan, Resi," kata Rangga memberitahu.
"Sudah kuduga," dengus Resi Balung Gading.
Sementara itu para murid yang masih hidup, segera menguburkan mayatmayat yang bergelimpangan.
Sedangkan yang lainnya berusaha memadamkan api serta menyelamatkan barang-barang yang belum tersentuh api. Resi Balung Gading segera mengajak Rangga dan Dewi Cempaka duduk di beranda depan bangunan utama yang belum dilalap api.
"Kekuatan mereka sangat banyak, Resi. Bahkan ada kemungkinan bertambah lagi. Sebaiknya Resi mengutus salah seorang untuk minta bantuan pada Resi Wanapati," Rangga mengusulkan
"Tidak! Apa pun yang terjadi aku tidak akan meminta bantuan kepada Wanapati," tolak Resi Balung Gading.
"Aku mengerti perasaanmu, Resi. Cempaka telah menceritakan semuanya padaku. Rasanya kalau Resi terus mempertahankan sikap itu, Padepokan Baja Hitam akan hancur," desak Rangga.
"Tidak ada gunanya, Gusti. Muridmurid Wanapati tidak ada sepertiganya dari murid-muridku," sahut Resi Balung Gading tetap tegas pendiriannya.
"Ayah...."
"Jangan memaksa, Cempaka. Sebaiknya kau tinggalkan saja padepokan ini," potong Resi Balung Gading cepat. Rangga dan Dewi Cempaka makin tidak mengerti dengan sikap Resi Balung Gading.
Tapi Pendekar Rajawali Sakti itu tidak akan membiarkan padepokan ini hancur begitu saja. Apa pun yang akan terjadi, dia harus membela padepokan yang beraliran putih ini.
Saat ini Resi Balung Gading tidak lagi memiliki murid yang patut diandalkan. Semua yang ada rata-rata baru belajar tiga atau empat tahun.
Jadi kepandaian mereka masih terlalu rendah untuk menghadapi tokoh-tokoh rimba persilatan golongan hitam yang sudah berpengalaman dalam pertempuran.
*
* *
Suasana pagi yang seharusnya masih sepi dan tenang, mendadak jadi hingar-bingar oleh pekik dan teriakan serta dentingan senjata yang berbaur jadi satu di luar pagar Padepokan Baja Hitam. Sementara Rangga yang sejak semalam tidak memicingkan mata sedikit pun, langsung ke luar dan melompat ke atas pagar. Betapa terkejutnya dia, begitu melihat orang-orang rimba persilatan yang kemarin mengepung Padepokan Baja Hitam ini, tengah bertempur melawan satu regu pasukan prajurit. Dia makin terkejut manakala mengetahui, bahwa pasukan itu berasal dari Kerajaan Karang Setra.
"Ada apa, Kakang," tanya Dewi Cempaka yang tahu-tahu sudah berada di samping Rangga.
"Prajurit Karang Setra...," jawab Rangga singkat.
"Hah!" Rangga tidak sempat Iagi menjelaskan, karena Resi Balung Gading sudah memerintahkan murid-muridnya ke luar. Saat itu juga Rangga langsung melompat seraya mengerahkan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'. Matanya yang tajam, segera dapat melihat Bayan Sudira sedang bertarung dengan didampingi Danupaksi dan Pangkeng.
Pendekar Rajawali Sakti itu langsung meluruk mendekati pembesar Kerajaan Karang Setra itu.
"Gusti Prabu...!" seru Bayan Sudira begitu melihat Rangga.
"Kenapa Paman ke sini?" tanya Rangga sambil terus bertarung.
"Ada persoalan yang harus segera saya selesaikan," jawab Bayan Sudira. Rangga tidak sempat lagi mendengar jawaban itu. Dia keburu sibuk menghadapi serangan yang bertubi-tubi dan sangat berbahaya. Dia yang tidak mau mengulur-ulur waktu lagi menghadapi orang-orang tersebut, segera mencabut pedang pusakanya Dan dengan pedang Rajawali Sakti ditangan, Rangga langsung mengamuk bagai banteng yang terluka.
Setiap kibasan pedang yang memancarkan warna biru itu, selalu meminta korban paling sedikit tiga nyawa. Sementara itu para prajurit Karang Setra jadi bertambah semangatnya melihat raja mereka bertarung bagai malaikat pencabut nyawa! Dalam waktu yang tidak begitu lama, Rangga sudah menewaskan lebih dari separuh gerombolan lawannya.
Belum lagi matahari sampai di atas kepala, seluruh orang-orang yang mengepung Padepokan Baja Hitam tersebut, tewas semua tanpa terkecuali! Bau anyir darah segera menyebar dari tubuh mayat-mayat" yang bergelimpangan saling tumpang tindih tersebut.
Beberapa saat kemudian, setelah semuanya beres, Bayan Sudira dan para prajuritnya segera mendekati Rangga dan memberi hormat "Jelaskan, kenapa Paman sampai ke sini?" tanya Rangga.
"Ampunkan hamba, Gusti Prabu. Hamba datang membawa persoalan yang sangat pribadi sifatnya, menyangkut keluarga Gusti Prabu sendiri." sahut Bayan Sudira.
"Hm..., sebaiknya kita bicarakan di dalam saja," kata Rangga bijaksana.
"Paman Bayan Sudira," kata Rangga penuh wibawa.
"Hamba, Gusti Prabu," sahut Bayan Sudira memberi hormat.
"Jelaskan maksud kedatanganmu ke sini," kata Rangga tanpa basa-basi lagi.
"Ampun, Gusti Prabu. Hamba datang ke sini karena ada suatu persoalan yang menyangkut Ananda Danupaksi."
"Hm...," Rangga bergumam tidak jelas. Sudut ekor matanya melirik Danupaksi yang duduk di samping Bayan Sudira.
"Beberapa hari yang lalu, Ananda Danupaksi datang ke Kerajaan Karang Setra dengan membawa kalung pertanda keluarga kerajaan, Gusti. Itulah sebabnya hamba datang ke sini, tidak lain hanya untuk mencari kepastian, karena Ananda Danupaksi mengatakan berasal dari Gunung Puting," Bayan Sudira mencoba menjelaskan.
"Coba kulihat kalungmu," pinta Rangga pada Danupaksi "Silakan, Gusti Prabu," kata Danupaksi seraya menyerahkan kalungnya.
Rangga segera mengamati seuntai kalung yang sangat dikenalnya itu.
Beberapa saat kemudian, dia juga mengeluarkan kalungnya sendiri dari balik ikat pinggangnya. Pelan-pelan dia menyatukan kedua benda tersebut.
Sejenak bibirnya tersenyum, sebelum mengembalikan kalung itu pada Danupaksi.
"Dari mana kau dapatkan kalung itu?" tanya Rangga.
"Hamba mendapatkan kalung ini dari Eyang Resi Wanapati, Gusti Prabu," sahut Danupaksi hormat.
"Gurumu?"
"Benar, Gusti Prabu."
"Pernahkah dia bercerita tentang kalung itu padamu?" Danupaksi mengangguk, kemudian dia segera menceritakan apa yang pernah dia dengar dari Resi Wanapati.
Dan apa yang diceritakan sekarang, sama persis dengan yang diceritakannya pada Bayan Sudira dan Ki Lintuk ketika di Kerajaan Karang Setra. Tidak dilebihkan atau dikurangi sedikit pun! Rangga sempat melirik sejenak pada Dewi Cempaka yang duduk di sebelahnya. Gadis itu tampak menggigit-gigit bibirnya sendiri.
Rangga juga sempat memperhatikan Resi Balung Gading yang menundukkan kepala dengan wajah dan leher berkeringat, padahal udara di Gunung Puting ini sangat sejuk.
"Paman Bayan Sudira..., kau dan Pangkeng jemput Resi Wanapati sekarang juga," perintah Rangga.
"Segala titah Gusti Prabu, segera hamba laksanakan," sahut Bayan Sudira dan Pangkeng hampir bersamaan.
Kemudian mereka berdua segera bangkit dan memberi hormat.
Setelah kedua orang itu pergi meninggalkan tempat itu, Rangga kembali memandangi wajah-wajah di sekelilingnya.
"Perlu kalian ketahui, aku sendiri tidak akan memungkiri kalau Ayahanda Arya Permadi mempunyai putra lagi selain diriku. Dan aku akan sangat bahagia sekali, seandainya dapat berkumpul dengan saudarasaudaraku, meskipun lain Ibu," kata Rangga penuh wibawa. Danupaksi dan Dewi Cempaka segera memberi hormat dengan merapatkan kedua telapak tangannya di depan hidung.
"Danupaksi..., dan kau, Cempaka...."
"Hamba, Gusti Prabu," sahut Danupaksi dan Dewi Cempaka berbarengan.
"Jika kalian terbukti adalah saudara-saudaraku, aku berharap kalian tidak melupakan asal-usul kalian dibesarkan. Terutama sekali pada orang yang telah membesarkan, mendidik, dan merawat kalian sejak dari kecil."
"Hamba mengerti, Gusti Prabu," kembali Danupaksi dan Dewi Cempaka menjawab bersamaan.
"Bagus, aku senang jika kalian mau mengerti," sambung Rangga tersenyum.
"Mohon ampun, Gusti Prabu. Sebaiknya Gusti Prabu istirahat dulu," usul Resi Balung Gading menyela pembicaraan.
"Terima kasih," ucap Rangga.
"Mari hamba antarkan, Gusti Prabu," kata Dewi Cempaka seraya bangkit dari duduknya.
*
* *
::≡:: [ 7 ] ::≡::
Pangkeng begitu terpukul melihat mayatmayat yang sangat dikenalnya itu.
"Gusti...!" teriak Pangkeng memanggil. Begitu melihat Pangkeng sedang berjongkok di samping sesosok tubuh, Bayan Sudira langsung melompat menghampiri.
"Eyang Resi..., Gusti," rintih Pangkeng tidak dapat menahan tangisnya.
Bayan Sudira segera memeriksa keadaan tubuh laki-laki tua yang ternyata Resi Wanapati. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya begitu melihat keadaan tubuh Resi Wanapati yang sangat menyedihkan! "Masih hidup...," desah Bayan Sudira.
"Oh...," Resi Wanapati mengeluh lirih.
"Eyang..., Eyang Resi," panggil Pangkeng agak tersendat.
"Kau..., kau kembali, Pang... keng," ucap Resi Wanapati terbatabata.
"Iya, Eyang. Bersama Gusti Bayan Sudira," sahut Pangkeng.
"Mereka terlalu tangguh, Pangkeng. Mereka menginginkan kalung itu," semakin lemah suara Resi Wanapati,
"Gusti...."
"Iya, Eyang," sahut Bayan Sudira.
"Terimalah Danupaksi, dia putra dari Gusti Arya Permadi dari Ibu Dayang Endang Witarsih. Sedangkan Dewi Cempaka dari Ibu Dayang Kunti Sulistya. Mereka masih satu ayah dengan Gusti Rangga..."
"Eyang...," panggil Bayan Sudira ketika melihat Resi Wanapati terbatuk-batuk
"Mereka... berhasil ku... selamatkan bersama Bal..."
"Eyang...," panggil Bayan Sudira lagi. Dia mendekatkan telinganya ke mulut Resi Wanapati, tapi orang tua itu telah tak bernapas lagi! Melihat itu, Pangkeng langsung meraung-raung bagai anak kecil yang kehilangan mainan kesayangannya. Lama dia menangis seperti itu, sedangkan Bayan Sudira mendiamkan saja. Dia memaklumi, betapa terpukulnya jiwa Pangkeng.
Beberapa saat kemudian, Pangkeng mengha-pus air mata dengan punggung tangannya, tapi isaknya yang pelan masih tetap terdengar.
“Tahukah kau, siapa yang melakukan semua ini, Pangkeng?" tanya Bayan Sudira setelah menarik napas panjang.
Belum lagi Pangkeng menjawab, tiba-tiba....
"Tolong...," terdengar suara rintihan lirih.
Bayan Sudira segera memburu dan mengeluarkan sesosok tubuh dari semak-semak dengan dibantu oleh Pangkeng. Dia terkejut melihat kedua tangan orang itu telah buntung dari pangkal lengannya. Sedangkan di dadanya tertancap sebatang anak panah yang hampir tembus ke punggungnya.
"Gandul...," panggil Pangkeng yang mengenali orang itu.
"Kau..., kau, Pangkeng...?!" lemah suara Gandul terdengar.
"Iya, ini aku. Apa yang telah terjadi di sini?"
"Mereka..., mereka datang lagi. Mereka ingin merebut kalung itu, Pangkeng," sahut Gandul lirih.
Bibirnya meringis menahan sakit.
"Siapa mereka?" tanya Pangkeng.
"Partai Tengkorak.... Mereka dibantu oleh...."
"Gandul.... Gandul...!" Bayan Sudira segera menepuk pundak Pangkeng, setelah yakin bahwa Gandul telah tak bernya-wa lagi.
"Partai Tengkorak.... Kubunuh kalian semua!" teriak Pangkeng keras seraya bangkit.
"Pangkeng...," panggil Bayan Sudira lembut.
"Sudah lama mereka menginginkan kalung itu, Gusti. Partai Tengkorak harus kubasmi, Gusti. Harus...!"
“Tenanglah, Pangkeng. Tenangkan dirimu, jangan menuruti hawa nafsu," Bayan Sudira mencoba menenangkan Pangkeng.
"Gusti...," rintih Pangkeng langsung menjatuhkan diri memeluk lutut Bayan Sudira.
"Bangunlah, Pangkeng. Tidak patut kau berlaku seperti itu padaku. Bangunlah, tegarlah sebagai murid Eyang Resi Wanapati!" Bayan Sudira membangkitkan semangat laki-laki gundul dan gemuk itu.
"Maafkan hamba, Gusti. Hamba..., hamba...," suara Pangkeng tersekat di tenggorokan.
"Sudahlah, Pangkeng. Sebaiknya kita segera kembali ke Padepokan Baja Hitam. Kita harus melaporkan semua ini pada Gusti Prabu Rangga." Pangkeng menuruti kata-kata Bayan Sudira, walaupun di hatinya dia berat meninggalkan tempat itu.
"Pangkeng...," Bayan Sudira memanggil pelan di tengah-tengah perjalanan.
"Hamba, Gusti," sahut Pangkeng.
"Siapa Partai Tengkorak itu?" tanya Bayan Sudira ketika melihat Pangkeng sudah agak tenang.
"Gerombolan yang tinggal di Rimba Tengkorak, Gusti. Mereka sangat kejam dan selalu meresahkan masyarakat."
"Kalung apa yang mereka inginkan?" tanya Bayan Sudira ingin tahu.
"Kalung segitiga dengan beberapa Iingkaran di tengahnya."
"Maksudmu kalung kebesaran Kerajaan Karang Setra?" tanya Bayan Sudira terkejut.
"Benar, Gusti. Ketua partai mereka tahu, kalau Eyang Resi menyimpan kalung itu, dan mereka juga tahu kalau Danupaksi putra dari selir Gusti Arya Permadi."
"Untuk apa mereka menginginkan kalung itu?"
"Ketua partai itu mempunyai anak yang usianya sama dengan Den Danupaksi, Gusti. Dia ingin putranya menyamar sebagai putra Gusti Arya Permadi. Hanya itu yang hamba ketahui," jelas Pangkeng Bayan Sudira hanya mengangguk-anggukkan kepalanya.
*
* *
Kebahagiaan yang sudah hampir mendatangi mereka, tiba-tiba pupus oleh berita yang dibawa Bayan Sudira dan Pangkeng. Suasana yang seharusnya penuh kebahagiaan, kini berubah jadi rasa duka dan marah.
"Maafkan hamba, Gusti Prabu. Seharusnya hamba tidak menyampaikan berita ini sekarang," sesal Bayan Sudira.
"Tidak apa-apa, Paman," sahut Rangga mendesah panjang.
"Apa yang harus kita lakukan sekarang, Gusti Prabu? Mereka pasti sudah tahu kalau Danupaksi berada di sini," Resi Balung Gading meminta pendapat.
Rangga tidak segera menjawab. Dia malah bangkit dan berjalan ke luar dengan kening berkerut dalam. Semua yang ada di ruangan utama itu memandang dengan tidak mengerti.
Pangkeng yang berada di ujung tangga samping, langsung memberi hormat begitu Rangga lewat.
"Pangkeng, sini," panggil Rangga.
"Ada apa, Gusti Prabu," Pangkeng segera mendekat.
"Kau tahu di mana Rimba Tengkorak itu?" tanya Rangga setengah berbisik.
“Tidak, Gusti Prabu," sahut Pangkeng dengan suara bergetar.
"Aku hanya tanya, bukan memintamu untuk mengantar!" Rangga langsung tahu kalau Pangkeng berbohong.
"Hamba..., hamba.... Jangan Gusti Prabu, jangan ke sana. Terlalu berbahaya. Jangan, Gusti Prabu," rintih Pangkeng memohon.
"Kau tahu Rimba Tengkorak, Pangkeng?" desak Rangga.
"Di..., di sebelah Selatan Desa Batu Ceper, Gusti," sahut Pangkeng takut-takut.
"Hm..., bukankah itu dekat Hutan Jati Jarak?" tanya Rangga meyakinkan ucapannya.
"Benar, Gusti. Di hutan itulah mereka bersarang. Tepatnya di dalam Lembah Kemukus."
"Baiklah, aku akan menyelidiki ke sana!"
"Gusti Prabu...." Pangkeng tidak bisa mencegah lagi. Dia langsung berlari masuk ke ruangan utama.
Laki-laki gemuk berkepala gundul itu langsung menjatuhkan diri di depan kaki Bayan Sudira.
"Ampun, Gusti.... Ampunkan hamba, Gusti," kata Pangkeng.
"Pangkeng, ada apa?" tanya Bayan Sudira terkejut.
"Hamba terpaksa, Gusti. Ampunkan hamba...," rintih Pangkeng.
"Pangkeng, katakan! Ada apa?" sergah Danupaksi tak sabar.
"Hamba..., hamba telah mengatakan letak Rimba Tengkorak pada Gusti Prabu. Dan.., dan...."
"Celaka! Aku harus segera menyusul ke sana!" sentak Danupaksi langsung bangkit.
"Kakang, tunggu!" teriak Dewi Cempaka.
"Kau di sini saja, Dinda Cempaka. Aku akan segera kembali!" kata Danupaksi terus saja me-langkah ke luar.
"Gusti...!" Bayan Sudira segera mengejar.
"Maaf, Paman. Tidak ada waktu lagi, aku harus segera mencegah Kakang Prabu pergi ke sana. Mereka sangat kejam dan mempunyai kepandaian yang sangat tinggi." Danupaksi segera melompat ke punggung kudanya dan langsung pergi!
Tiba-tiba Dewi Cempaka juga langsung melompat ke punggung kudanya diikuti Pangkeng. Sedangkan Resi Balung Gading tampak berdiri tertegun menyaksikan kejadian yang begitu cepat tersebut.
"Apakah Gusti Bayan Sudira juga akan meninggalkan padepokan ini juga?" tanya Resi Balung Gading pada Bayan Sudira.
Bayan Sudira tidak langsung menjawab. Dia hanya mengedarkan pandangannya berkeliling. Tampak murid-murid Padepokan Baja Hitam sudah berkurang hampir setengahnya. Bisa dibayangkan kalau Partai Tengkorak menyerangnya pasti tidak akan bisa lagi bertahan.
"Prajurit...!" panggil Bayan Sudira.
"Hamba, Gusti," salah seorang prajurit menghampiri.
"Kembalilah kau ke Karang Setra.
Katakan pada Gusti Lintuk, bahwa aku membutuhkan dua regu pasukan pilihan di sini," perintah Bayan Sudira.
"Hamba laksanakan, Gusti," prajurit itu langsung pergi.
Sedangkan Bayan Sudira segera berbalik lagi menghadapi Resi Balung Gading.
"Aku dan para prajuritku akan menjaga padepokan ini, Resi," kata Bayan Sudira.
"Ah, terima kasih, Gusti."
*
* *
Bagaikan seekor burung, Pendekar Rajawali Sakti melentingkan tubuhnya dari cabang pohon yang satu ke cabang pohon lainnya. Begitu ringan dan indah sekali gerakannya, sehingga pohon yang dihinggapi, tidak sedikit pun mengeluarkan bunyi.
"Heh...! Hup!" Tiba-tiba matanya yang setajam mata elang melihat secercah sinar yang meluruk deras ke arahnya. Secepat kilat dia menggenjot tubuhnya bersalto beberapa kali di udara. Sinar itu langsung lewat di dalam putaran tubuhnya! Dan Rangga kemudian hinggap di pucuk pohon yang paling tinggi.
Sejenak dia mengedarkan pandangannya berkeliling. Tidak ada gerak yang mencurigakan sedikit pun! Tapi belum lagi dia sempat berpikir banyak, mendadak terlihat lagi secercah sinar meluruk kearahnya.
Secepat kilat dia melenting ke atas.
Dan segera terdengar suara ledakan keras bersamaan dengan hancurnya pohon yang tadi diduduki Rangga. Merasa terus-menerus terdesak, tiba-tiba...,
"Hiya...!" Seketika itu juga tangan Pendekar Rajawali Sakti meluncurkan beberapa sinar merah untuk menangkis sinar-sinar kekuningan yang mengincar tubuhnya.
Suara-suara ledakan terjadi secara beruntun!
"Hup!"
Rangga segera turun dengan manis di tanah.
"Hm..., apakah mereka orang-orang dari Partai Tengkorak?" gumamnya dalam hati. Belum sempat dia menjawab pertanyaannya sendiri, mendadak dari arah depan kembali meluncur secercah sinar kekuningan ke arahnya. Secepat kilat Pendekar Rajawali Sakti itu meloncat ke udara, dan pada saat yang bersamaan, dia juga melontarkan pukulan dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' yang dahsyat.
"Hiyaaa...!" Tiba-tiba sinar merah yang ke luar dari telapak tangan Rangga menghantam semak, seketika itu juga muncul seorang laki-laki bertubuh tinggi tegap tanpa pakaian atas. Dia hanya mengenakan celana sebatas lutut saja! Tampak rantai berwarna keperak an terlilit di tubuhnya. Sedangkan wajahnya penuh dengan cambang dan kumis.
"Grrr...!" orang itu menggeram.
"Phuih! Ini manusia apa gorilla...?" dengus Rangga setengah bergumam.
"Siapa kau, Monyet Cilik?" tanya orang itu. Suaranya berat dan besar sekali.
"Kau sendiri siapa, Monyet Besar?" Rangga balik bertanya.
"Grrr! Edan! Aku bertanya padamu, goblok!"
"Aku juga bertanya padamu," balas Rangga kalem.
"Nyalimu besar juga, Monyet Cilik!"
"Mana yang lainnya? Kenapa temanmu yang dua lagi, tidak muncul? Takut?" ejek Rangga memanasi.
Belum lagi kering kata-kata Rangga, tiba-tiba dari kanan kirinya muncul dua orang yang sama persis dengan yang pertama tadi.
"Monyet ini sudah melanggar daerah kita, hukuman apa yang pantas untuknya?" kata salah seorang dari mereka.
"Mati!" sahut yang lainnya Bersamaan.
"Grrr.... Bagus! Monyet kecil ini memang harus mati!" Hampir bersamaan mereka langsung melepaskan rantai yang melilit di tubuh mereka masing-masing. Rantai itu panjangnya kira-kira tiga kali lipat dari panjang tubuh mereka. Tampak pada ujungnya terdapat bandulan bola besi sebesar kepala manusia dewasa dan penuh dengan duri-duri tajam.
"Hup...!" Dua orang yang berada di kanan kiri, langsung melompat dan melebar ke samping. Tidak berapa lama kemudian, tahu-tahu mereka sudah mengurung Rangga dari tiga jurusan. Tampak Pendekar Rajawali Sakti sedikit menyipitkan matanya, memperhatikan gerak-gerik mereka.
Wut, wut, wut!
Tiba-tiba terdengar suara angin yang menderu-deru begitu secara bersamaan ketiga orang itu memutarmutarkan rantainya. Mendadak Pendekar Rajawali Sakti itu merasakan udara di sekitarnya jadi panas, dan semakin lama rasa panas itu semakin menyengat!
"Hait!" Pendekar Rajawali Sakti langsung melompat ketika salah satu rantai meluruk ke arahnya. Dan belum lagi tubuhnya menjejak tanah, satu rantai lagi sudah menyambar ke arah kepala.
Secepat kilat Rangga menunduk, tapi satu rantai lagi segera meluruk ke arah perutnya. Posisi Pendekar Rajawali Sakti itu benar-benar dalam keadaan yang terjepit sekali! Tap! Dengan nekat dia segera menangkap rantai yang mengarah ke perut, lalu tubuhnya melenting kembali ke udara, dan segera menangkap rantai yang satu lagi. Setelah itu Rangga segera meluruk ke bawah dengan tiga rantai di tangan. Tentu saja gerakan tarik menarik antara mereka terjadi dengan sengitnya.
"Graaagh...!"
Tiba-tiba saja salah seorang melompat cepat ke udara. Kemudian disusul kedua temannya secara bergantian. Terus-menerus mereka melakukan hal seperti itu. Sementara Rangga yang sudah biasa menghadapi taktik semacam itu, langsung melentingkan tubuh dan berputar beberapa kali di udara. Cepat sekali tangannya bergerak melepaskan rantai yang berada di tangannya. Begitu cepat dan kuatnya dia menghentakkan tangannya, sehingga ketiga orang yang berlompatan itu tersentak kaget. Dan pada saat itu Rangga langsung mengeluarkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'
Des! Des! Des...!
"Aaargh...!"
*
* *
"Cukup!" tiba-tiba terdengar suara yang nada-nya berat.
Rangga yang sudah akan meneruskan serangannya, langsung berhenti dan membalikkan tubuhnya menghadap ke arah datangnya suara itu. Tiba-tiba di depannya telah berdiri seorang lakilaki tua mengenakan jubah hitam yang bergambar kepala tengkorak berwarna putih di dadanya.
Laki-laki itu juga mengenakan tongkat yang pada ujung gagangnya berbentuk kepala tengkorak.
Sejenak Rangga menoleh ke arah musuhmusuhnya yang kini tergeletak tak sadarkan diri.
"Kau telah melumpuhkan tiga orang pembantuku, hebat...," kata laki-laki tua itu sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Mereka yang menyerangku lebih dulu," sahut Rangga.
"Siapa kau, Anak Muda?" tanya laki-laki tua itu.
"Aku Rangga. Kau sendiri, siapa?"
"Aku Tengkorak Putih. Mau apa kau datang ke tempatku?"
"Aku datang untuk mencari Partai Tengkorak!" jawab Rangga tegas.
"Untuk apa kau mencari partai itu?" tanya Tengkorak Putih.
"Mereka harus mempertanggungjawabkan perbuatannya!" sahut Rangga.
"Mereka telah menghancurkan Padepokan Gunung Puting pimpinan Resi Wanapati!"
"Ha ha ha...! Rupanya si Wanapati mengkambinghitamkan Partai Tengkorak yang kupimpin! Huh! Dasar laki-laki tak tahu diri, sudah ditolong malah berlaku licik!"
"Jangan coba-coba mencuci tangan, Tengkorak Putih!"
"Anak muda, ada hubungan apa sehingga kau membela si Tua Bangka licik itu?"
"Kau tidak perlu tahu!" bentak Rangga.
"Baiklah, tapi perlu kau ketahui, bahwa Partai Tengkorak tidak pernah menghancurkan Padepokan Gunung Puting," kata Tengkorak Putih.
"Bisa kupercaya kata-katamu?" tanya Rangga memastikan.
"Kau bisa menanyakan pada sahabatnya yang aneh," ada nada sinis pada suara Tengkorak Putih.
"Maksudmu, Resi Balung Gading?"
"Benar. Dia pasti tahu, siapa yang telah menghancurkan padepokan itu. Hm..., tapi aku yakin, dia pun akan menuduh Partai Tengkorak yang menghancurkannya...."
"Untuk kali ini aku bisa mempercayaimu, Tengkorak Putih. Tapi kalau ternyata partaimu yang melakukannya, kau akan berhadapan dengan Pendekar Rajawali Sakti.'" kata Rangga tegas.
"Ha ha ha.... Aku akan mempertanggungjawabkan, bila memang partaiku yang telah berbuat," sahut Tengkorak Putih.
Sejenak Rangga memandangi tiga orang yang tergeletak tak sadarkan diri itu.
"Sudahlah, jangan kau hiraukan manusia-manusia goblok itu!" kata Tengkorak Putih.
"Jika kau tidak senang...," kata Rangga tak diteruskan.
"Aku tahu, kau melakukannya karena untuk membela diri," potong Tengkorak Putih.
"Rupanya watakmu sangat berbeda dengan namamu serta nama partaimu," Rangga tersenyum kecut.
"He he he...," Tengkorak Putih hanya terkekeh.
"Maaf, aku telah melumpuhkan mereka, tapi urusan kita belum selesai," kata Rangga. Setelah berkata begitu, Pendekar Rajawali Sakti segera melangkah meninggalkan tempat tersebut.
*
* *
::≡:: [ 8 ] ::≡::
Mendengar suara panggilan yang keras tersebut, Rangga langsung menoleh dan menghentikan larinya. Agak kaget juga dia, begitu melihat Danupaksi berlari-lari menghampirinya.
"Kenapa kau menyusulku?" tanya Rangga.
"Aku cemas, Partai Tengkorak sangat tangguh!" sahut Danupaksi setelah mengatur napasnya.
"Kau sendirian?"
"Iya." Rangga segera mengedarkan pandangannya melewati bahu Danupaksi.
Memang tidak ada seorang pun yang mengikuti. Hanya tampak seekor kuda putih yang sedang merumput di kejauhan.
"Kelihatannya kau mau kembali, Kakang. Apa sarang mereka sudah kau temui?" tanya Danupaksi.
Rangga hanya tersenyum, kemudian melangkah pergi.
"Kakang hendak ke mana?" tanya Danupaksi sambil berjalan mengejar Rangga.
"Ke Padepokan Baja Hitam," jawab Rangga singkat.
Danupaksi segera memanggil kudanya dengan siulan. Kuda itu langsung meringkik dan menghampiri.
Beberapa saat kemudian Danupaksi telah berjalan di samping kakaknya, sedangkan kuda itu membuntuti dari belakang.
"Kakang Rangga sudah menemukan mereka?" tanya Danupaksi mengulang.
"Sudah," sahut Rangga sambil terus berjalan pelan.
"Lalu?"
"Aku tidak dapat memutuskan, apakah mereka bersalah atau tidak?"
"Kenapa begitu?"
"Mereka sendiri terkejut mendengar padepokan milik Resi Wanapati hancur."
"Mereka menyangkal?"
" Tidak." Danupaksi tidak mengerti.
Dia jadi bingung dengan jawaban Rangga.
"Kau murid Resi Wanapati, pasti tahu.
Ada hubungan apa antara gurumu dengan Partai Tengkorak," kata Rangga bernada menyelidik.
"Selama di padepokan, aku tidak diijinkan ke luar. Eyang Resi Wanapati tidak memperbolehkan muridnya ke luar dari padepokan sebelum menamatkan pelajarannya."
"Apa Resi Wanapati tidak pernah bercerita tentang Partai Tengkorak?"
"Tidak."
*
* *
Dalam perjalanan kembali ke Padepokan Baja Hitam, Rangga dan Danupaksi bertemu dengan Dewi Cempaka serta Pangkeng yang juga sedang menyusul Rangga. Gadis itu tidak mengerti, kenapa Rangga tidak menjawab setiap pertanyaannya. Bahkan Rangga malah mengajukan pertanyaan yang nadanya menyelidik. Begitu sampai di Padepokan Baja Hitam, Rangga langsung mencari Resi Balung Gading. Tak berapa lama kemudian dia menemukannya di dalam kamar khusus untuk bersemadi. Rangga segera masuk dan menemui Resi Balung Gading.
"Tundalah semedimu, Resi," kata Rangga segera duduk bersila di depan laki-laki tua itu.
"Oh, Gusti Prabu...!" Resi Balung Gading buru-buru menghormat.
"Sudahlah, aku tahu kalau kau tidak bersemadi," kata Rangga datar suaranya.
Resi Balung Gading hanya menundukkan kepalanya.
"Aku minta Resi menjawab dengan jujur pertanyaanku," kata Rangga menatap tajam.
"Apa yang harus hamba katakan, Gusli Prabu?"
"Siapa sebenarnya kau dan Wanapati?" tanya Rangga langsung.
"Hamba dan Wanapati sebenarnya bersaudara, Gusti Prabu," jawab Resi Balung Gading membuka rahasia dirinya.
"Hm.... Kau tahu apa yang terjadi di Danau Cubung dua puluh tahun yang lalu?" tanya Rangga lagi.
"Benar, Gusti. Hamba menyaksikannya sendiri bersama Kakang Wanapati. Saat itu hamba dan Wanapati sedang mencari kayu bakar. Dan hamba menyaksikan pembantaian yang dilakukan oleh gerombolan perampok pada rombongan Gusti Arya Permadi. Saat itu kami belum memiliki tingkai kepandaian yang tinggi."
"Hm..., teruskan."
"Kami melihat prajurit Kadipaten Karang Setra dibunuh. Juga Gusti Adipati dan keluarganya. Dan kami lihat Gusti terlempar di jurang Lembah Bangkai."
"Apakah kau melihat seorang punggawa melarikan diri?"
"Ya, Gusti Prabu. Punggawa itu dalam keadaan terluka parah. Kemudian setelah orang-orang yang membantai keluarga Gusti itu pergi, kami menolongnya. Tapi karena keadaan lukanya yang parah, ia tidak dapat bertahan hidup lebih lama."
"Apakah ia sempat berbicara kepada kalian berdua?" tanya Rangga lagi.
"Sempat, Gusti Prabu. Bahkan dia memberikan seuntai kalung kepada Kakang Wanapati untuk kemudian harus diberikan kepada seorang bocah yang bernama Danupaksi di Istana Kadipaten Karang Setra. Kemudian kami berdua segera berangkat menuju ke kadipaten itu. Tapi sesampainya di sana, kami mendapatkan kadipaten itu sedang dalam keadaan kacau-balau, di sana sedang terjadi perebutan kekuasaan antara adik tiri Gusti Adipati Arya Permadi dengan Ratih Komala, selir Gusti Adipati yang menginginkan anaknya Wira Permadi kelak menjadi adipati di Karang Setra."
"Lalu apa yang kalian lakukan?" tanya Rangga yang sudah tahu tentang perebutan kekuasaan itu.
"Kemudian kami berdua segera menyusup ke dalam istana kadipaten dengan menyamar menjadi tukang merawat kuda. Di sana akhirnya kami menemui anak bernama Danupaksi itu, tepat ketika ibunya yang bernama Endang Witarsih dibunuh oleh orang-orangnya Ratih Komala. Untung kami sempat menolong anak itu bersama seorang selir Gusti Adipati lainnya yang sedang mengandung, namanya Kunti Sulistya."
"Hm, kemudian kalian membawa anak itu beserta Ibu Kunti Sulistya ke Gunung Puting?" tebak Rangga.
"Benar, Gusti. Tapi dalam perjalanan menuju ke Gunung Puting, Ibu Kunti Sulistya meninggal dunia setelah melahirkan seorang bocah perempuan. Anak itu kemudian kami beri nama Dewi Cempaka," ucap Resi Balung Gading dengan mimik sedih, karena ia teringat akan nasib Dewi Cempaka yang sangat menyedihkan.
"Kemudian kalian bersepakat untuk mendidik kedua anak itu?" tanya Rangga lagi.
"Iya, Gusti. Dan sejak saat itulah kami berdua bersepakat untuk menjadi resi dan membangun padepokan," jelas Resi Balung Gading.
"Lalu kenapa, kalian sampai mempunyai perjanjian aneh?"
"Satu bulan setelah kami merawat anak-anak tersebut, datang gerombolan yang menamakan dirinya Partai Tengkorak. Mereka datang untuk merebut anak yang kami asuh, Gusti Prabu. Sejak itu kami berpisah untuk menyelamatkan kedua bocah itu. Karena kami merasa berkewajiban untuk merawat dan membesarkan mereka."
"Teruskan," pinta Rangga lagi.
"Demi keselamatan Gusti Danupaksi, Kakang Wanapati mengadakan perjanjian dengan ketua Partai Tengkorak. Isi perjanjian itu, Danupaksi harus turun gunung setelah usianya dua puluh tahun, dan Kakang Wanapati harus menyerahkan kalung tanda kebesaran Karang Setra. Tapi rupanya Kakang Wanapati mengingkari janjinya, dan hamba tahu maksud dari Kakang Wanapati, dia tidak ingin Karang Setra jatuh ke tangan mereka."
"Kau berkata sebenarnya Resi Balung Gading?" tanya Rangga yang belum mau percaya begitu saja.
"Hamba masih menyimpan barangbarang temuan dua puluh tahun yang lalu Gusti," Resi Balung Gading mencoba meyakinkan Rangga.
Resi Balung Gading segera bangkit dan menghampiri sebuah lemari yang ada di pojok kamar itu. Kemudian dia membuka pintunya dan mengambil sebuah kotak kayu berukir. Setelah menutup pintu lemari itu, Resi Balung Gading segera menyerahkan barang itu kepada Rangga.
Rangga langsung membuka kotak itu. Segera tampak satu perangkat pakaian seorang punggawa dengan tanda pangkat dan tanda-tanda jasa yang masih lengkap. Selain itu masih ada selembar kain sutra biru muda dengan sulaman segitiga dengan beberapa lingkaran di tengahnya. Juga terdapat barang-barang lain yang menunjukkan semuanya berasal dari Karang Setra dua puluh tahun yang lalu.
"Aku merasa, barang-barang itu nantinya pasti akan ada gunanya, jadi aku menyimpannya dengan rapi. Tak ada seorang pun yang tahu. Bahkan Dewi Cempaka sendiri pun tidak tahu tentang ini," kata Resi Balung Gading.
"Jadi siapa sebenarnya yang menghancurkan Padepokan Resi Wanapati?" gumam Rangga seolah bertanya pada dirinya sendiri.
"Hamba sendiri tidak bisa memastikan, Gusti. Kalau memang Partai Tengkorak yang melakukannya, mereka pasti juga mencari Gusti Danupaksi untuk merebut kalung itu," sahut Resi Balung Gading.
"Kenapa mereka menginginkan kalung itu?" tanya Rangga ingin tahu.
"Mereka ingin menyusupkan salah seorang anggotanya ke Kerajaan Karang Setra, tapi hamba cenderung berpendapat, bahwa putra si Tengkorak Putihlah yang akan disusupkan, karena usianya sama dengan Gusti Danupaksi.
Dan kemungkinan mereka akan menghancurkan Kerajaan Karang Setra dari dalam." Padepokan Baja Hitam bisa luput dari incaran Partai Tengkorak karena mereka tahu, bahwa Resi Balung Gading tidak memiliki kalung itu. Hal itu bisa saja terjadi, karena Dewi Cempaka tidak mempunyai bukti kuat untuk masuk dalam keluarga Kerajaan Karang Setra.
Dan bagi Rangga, barang-barang yang ditunjukkan oleh Resi Balung Gading sudah cukup kuat untuk mempercayai, kalau Dewi Cempaka adalah adiknya dari lain ibu. Dalam satu sisi, Rangga begitu bahagia karena bisa berkumpul dengan saudaranya, tapi dalam sisi lainnya, dia masih memikirkan rencana Partai Tengkorak yang ingin menghancurkan Karang Setra.
"Resi Balung Gading, Karang Setra masih membutuhkan seorang yang berilmu tinggi untuk memperkuat barisan keamanan. Aku menawarkan padamu untuk pindah ke Karang Setra, dan melatih prajurit agar lebih tangguh dalam ilmu olah kanuragan," kata Rangga saat semuanya berkumpul di ruangan utama Padepokan Baja Hitam.
"Ah, suatu anugerah yang begitu besar bagi hamba," desah Resi Balung Gading.
"Dan semua murid-muridmu bisa menjadi prajurit pilihan di Karang Setra," lanjut Rangga.
Resi Balung Gading memandang Dewi Cempaka yang duduk di samping Rangga.
Gadis itu segera tersenyum manis dan mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kemudian pandangan Resi Balung Gading beralih kepada Danupaksi, pemuda itu juga menganggukkan kepalanya.
"Baiklah, hamba terima tawaran Gusti Prabu," kata Resi Balung Gading akhirnya.
"Terima kasih, Resi," ucap Rangga tersenyum.
"Tapi, bagaimana dengan padepokan ini?" tanya Resi Balung Gading.
"Tempat ini sudah tidak aman lagi, Resi. Suatu saat Partai Tengkorak pasti mengalihkan perhatiannya ke sini," sahut Rangga.
"Ya, mereka juga tahu tentang diriku. 1ebih-lebih tentang Gusti Ayu Dewi Cempaka," desah Resi Balung Gading yang kini memanggil Dewi Cempaka dengan sebutan Gusti Ayu.
"Nah! Kalau begitu, besok pagi kita bisa langsung berangkat," kata Rangga menyambung.
"Gusti Prabu...."
"Ada apa, Paman Bayan Sudira?"
"Maaf, Gusti Prabu. Hamba telah lancang mendahului. Hamba telah mengutus lima orang prajurit untuk meminta bantuan ke Kerajaan Karang Setra. Tadinya hamba menilai...."
"Sudahlah, Paman Bayan Sudira.
Aku tahu apa yang menjadi keputusanmu.
Kalaulah mereka datang kemari, nanti bisa ketemu di perjalanan," sela Rangga cepat.
"Terima kasih, Gusti. Maafkan atas kelancangan hamba."
"Tidak apa-apa." Beberapa saat kemudian, Rangga beranjak ke luar. Dia melangkah pelanpelan melintasi halaman depan padepokan. Tampak beberapa prajurit dan juga murid-murid padepokan itu masih terlihat berjaga-jaga secara bergiliran "Kakang...."
"Oh!" Rangga tersentak ketika mendengar suara halus dari belakang.
"Kakang melamun?" tanya Dewi Cempaka yang tahu-tahu sudah berada di sampingnya.
"Tidak," sahut Rangga seraya menghenyakkan tubuhnya di balai-balai yang terletak di bawah pohon yang rindang.
"Kakang masih memikirkan Kak Pandan Wangi?" tebak Dewi Cempaka.
Rangga hanya tersenyum.
"Tadinya aku cemburu ketika Kakang menceritakan tentang Kak Pandan," kata Dewi Cempaka pelan.
"Kenapa?"
"Tidak apa-apa. Cuma merasa kalah cantik saja," gurau Dewi Cempaka manja.
"Kau cantik, kok. Malah tadinya aku sempat lupa," Rangga menimpali gurauan itu.
"Wah...! Kakakku mata keranjang juga rupanya."
"Tidak juga, buktinya aku tidak ikut sayembara itu kan?" Dewi Cempaka tersenyum getir.
"Kakang tetap mau mencari Kak Pandan?"
"Ya," sahut Rangga mendesah.
"Tidak kembali dulu ke kerajaan?"
"Mungkin tidak."
"Aku ikut, ya?"
"Jangan, kau lebih dibutuhkan di sana "
"Tapi...."
"Cempaka..,, perjalananku tidak menentu. Dan aku sendiri belum yakin akan bertemu dengan Pandan Wangi lagi!" ucap Rangga ragu-ragu.
*
* *
Pagi-pagi sekali seluruh murid Padepokan Baja Hitam sudah bergerak pelahan meninggalkan padepokan itu.
Mereka semua berkuda menuju Kerajaan Karang Setra. Tampak Bayan Sudira dan Resi Balung Gading berada di jajaran paling depan. Sedangkan di belakangnya Danupaksi dan Pangkeng membuntuti.
Urutan berikutnya adalah murid-murid Padepokan Baja Hitam, yang disusul oleh satu regu pasukan prajurit yang dipimpin oleh seorang punggawa menengah. Sedangkan yang paling belakang sekali adalah Rangga dan Dewi Cempaka.
"Aku sampai di sini saja, Cempaka," kata Rangga setelah rombongan itu sudah sampai di perbatasan Desa Salapan.
"Kenapa tidak sampai di perbatasan Karang Setra?" tanya Dewi Cempaka.
"Tidak, aku telah mendengar kabar, bahwa ada seorang tabib kecil bersama seorang gadis di pesisir Selatan. Dari sini tidak terlalu jauh jaraknya," tolak Rangga.
"Kau yakin, kalau mereka adalah Kak Pandan dan anak yang ahli pengobatan itu?"
"Entahlah."
"Kenapa tidak ke Utara saja? Aku dengar di sana ada seorang pendekar wanita yang tengah menghadapi para bajak sungai."
"Mungkin setelah dari pesisir Selatan, aku langsung ke Utara. Yang jelas, seriap ada berita, aku pasti akan ke sana."
"Tapi ingat, Kakang. Kerajaan Karang Setra sangat membutuhkanmu, kau tidak boleh larut terus-menerus."
"Aku tahu, Cempaka. Aku tidak mungkin melupakan kewajiban utamaku.
Aku janji, satu purnama tidak juga berhasil, aku pasti kembali ke Karang Setra.”
"Kau akan tinggalkan dunia persilatan?"
"Tidak semuanya." Dewi Cempaka hanya diam.
"Pergilah, sampai ketemu lagi di Karang Setra," kata Rangga sedikit mendesah.
"Aku harap, kau berhasil menemukan Kak Pandan," kata Dewi Cempaka.
"Kau baik sekali, Cempaka."
"Kakang...."
"Ada apa?"
"Sebenarnya aku ingin ikut bersamamu...."
"Suatu saat nanti, aku akan mengajakmu berkelana," janji Rangga.
"Sungguh?"
"Percayalah, Cempaka. Tugasku sebagai pendekar belum selesai. Dan aku tidak akan meninggalkannya sebelum dunia ini benar-benar bersih dari orang-orang yang berhati iblis!" Sebelum Dewi Cempaka membuka mulutnya, Rangga sudah menggebah kuda hitamnya dengan kencang. Dalam sekejap mata saja Pendekar Rajawali Sakti itu sudah hilang di balik kerimbunan pepohonan.
"Cempaka...!" Dewi Cempaka tersentak! Tampak Danupaksi melambaikan tangannya jauh di depan. Tanpa membuang-buang waktu lagi, gadis itu langsung menggebah kudanya dan menyusul rombongan yang sudah berada jauh di depannya. Hanya beberapa saat, dia sudah mensejajarkan langkah kaki kudanya dengan kuda Danupaksi. Wajahnya tampak sedikit murung, meskipun sinar matanya bercahaya. Ada rasa haru, senang, sedih dan berbagai macam perasaan lain berkecamuk di dalam dadanya.
"Kakang Rangga pasti segera kembali lagi, Dinda Cempaka," kata Danupaksi seperti mengetahui jalan pikiran Dewi Cempaka.
"Ya," desah Dewi Cempaka.
Kemudian mereka saling berdiam diri. Mereka terus saja berjalan bersama rombongan Padepokan Baja Hitam dan prajurit Kerajaan Karang Setra yang telah bergabung menjadi satu. Sebenarnya kapan Rangga akan kembali lagi? Kalau dia akan kembali lagi setelah menemukan Pandan Wangi, lalu kapan dia akan menemukannya? Ikutilah kisah petualangan Pendekar Rajawali Sakti berikutnya, dalam serial PERAWAN RIMBA TENGKORAK.
SELESAI
INDEX PENDEKAR RAJAWALI SAKTI | |
Durjana Pemetik Bunga --oo0oo-- Perawan Rimba Tengkorak |