Perangkap Berdarah
tanztj
March 25, 2014
INDEX PENDEKAR RAJAWALI SAKTI | |
Rahasia Gordapala --oo0oo-- Geger Putri Istana |
RANGGA PATI
Pendekar Rajawali Sakti
Karya: Teguh .S
EP:PERANGKAP BERDARAH
Pendekar Rajawali Sakti
Karya: Teguh .S
EP:PERANGKAP BERDARAH
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Gambar sampul oleh Herros
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
::::↨֍¦ 1 ¦֎↨::::
Sedangkan titik-titik air mulai jatuh menghantam bumi.
Namun, alam yang seakan murka itu tidak membuat seorang pemuda berbaju rompi putih harus menghentikan langkah kaki kudanya.
Pemuda berwajah tampan itu terus mengendalikan kuda hitamnya, mendekati sebuah bangunan batu berbentuk candi.
Dengan gerakan ringan, dia melompat turun dari punggung kudanya.
Pemuda itu berlari-lari kecil meniti anak-anak tangga batu yang mulai dibasahi titik-titik air. Langkahnya terhenti sebentar begitu sampai di depan pintu. Seorang gadis cantik berbaju biru muda tampak sudah menunggu di dalam bangunan berbentuk candi itu.
"Maaf, aku terlambat," ucap pemuda itu seraya melangkah masuk ke dalam.
Saat itu, di luar mulai turun hujan. Bagaikan ditumpahkan dari langit, hujan turun begitu deras.
Sehingga, menimbulkan suara gemuruh yang mengiriskan hati.
Kini di tengah-tengah ruangan yang cukup besar di dalam bangunan berbentuk candi, dua anak muda tadi telah duduk bersila saling berhadapan. Seorang pemuda tampan berbaju rompi putih, dan seorang gadis cantik berbaju biru muda.
"Apa maksudmu meminta ku datang ke pesanggrahan ini, Pandan?" terdengar pelan dan lembut sekali suara pemuda berbaju rompi putih itu.
Sedangkan gadis cantik berbaju biru muda yang ternyata memang Pandan Wangi, hanya diam saja tanpa menjawab pertanyaan itu. Malah, dipandanginya wajah tampan di depannya. Pemuda berbaju rompi putih itu tak lain adalah Rangga, yang di kalangan persilatan lebih dikenal berjuluk Pendekar Rajawali Sakti.
Beberapa saat mereka terdiam, hanya saling pandang saja.
"Kau punya persoalan, Pandan?" tanya Rangga lagi.
"Mungkin...," sahut Pandan Wangi, terdengar agak mendesah suaranya.
"Mungkin...?! Jawabanmu sama sekali tidak ku mengerti, Pandan. Lagi pula, tidak biasanya kau meminta ku datang ke sini.
Kalau ada masalah yang ingin kau katakan, aku bersedia mendengarkannya," kata Rangga jadi heran atas sikap Pandan Wangi yang tidak biasanya ini.
"Aku ingin pamit, Kakang," begitu pelan sekali suara Pandan Wangi, sampai hampir tak terdengar di telinga Rangga.
"Kau jangan macam-macam, Pandan. Ingin pamit ke mana...?" Rangga semakin heran tidak mengerti.
"Aku akan pergi," tetap pelan suara Pandan Wangi.
"Ke mana...?" Pandan Wangi tidak menjawab, tapi malah memandangi wajah tampan Pendekar Rajawali Sakti.
Seakan-akan, ada ganjalan yang begitu berat di dalam dadanya, dan seperti sukar untuk mengatakannya.
Sedangkan Rangga membalas tatapan gadis itu dengan sinar mata penuh rasa keheranan.
Pendekar Rajawali Sakti benar-benar tidak mengerti atas sikap Pandan Wangi yang begitu aneh dan tidak biasanya ini. Rangga menduga, pasti ada sesuatu yang terjadi pada diri gadis itu. Tapi hal itu tidak bisa ditebak sekarang ini. Terlalu cepat kalau menebak sekarang.
Sedangkan Pandan Wangi sendiri seperti berat untuk mengatakan, apa yang menjadi ganjalan dalam hatinya saat ini.
"Sudah begitu lama kita saling mengenal dan selalu bersama-sama.
Dan kau tidak pernah menyembunyikan sesuatu dariku.
Tapi, kenapa sekarang seperti merahasiakan sesuatu padaku, Pandan?" tanya Rangga mendesak.
"Aku tidak ingin kecewa lagi, Kakang. Sudah terlalu banyak kekecewaan yang kuterima selama ini," masih terdengar pelan nada suara Pandan Wangi.
"Kecewa ? Siapa yang membuatmu kecewa, Pandan? Apa kau kecewa padaku? Atau, pada peraturan kerajaan yang tidak mengizinkan kita bersatu sebelum asal-usulmu diketahui...?"
"Bukan.... Bukan itu, Kakang."
"Lalu...?" Pandan Wangi kembali terdiam. Perlahan kepalanya tertunduk, menekuri permadani merah muda yang menjadi alas lantai bangunan pesanggrahan berbentuk candi ini.
"Katakan, Pandan.
Ada persoalan apa sebenarnya?" desak Rangga lagi.
Pandan Wangi tetap terdiam.
Dan Rangga semakin tidak mengerti melihat sikap gadis ini. Duduknya digeser semakin dekat. Lalu, perlahan-lahan diangkatnya wajah gadis itu dengan ujung jarinya. Kini mereka kembali bertatapan.
"Aku ingin kau merelakan aku pergi, Kakang," kata Pandan Wangi, begitu perlahan sekali suaranya.
"Kau ingin meninggalkan ku, Pandan?" suara Rangga juga terdengar pelan.
"Untuk sementara," sahut Pandan Wangi sambil menjauhkan jari tangan Pendekar Rajawali Sakti dari dagunya.
"Lalu, ke mana kau akan pergi?" Pandan Wangi tidak menjawab. Perlahan gadis itu bangkit berdiri dan melangkah mendekati pintu yang terbuka lebar. Suara gemuruh air hujan yang menghantam tanah, terdengar bagai gemuruh hati Pandan Wangi saat ini. Sementara Rangga masih tetap duduk bersila beralaskan permadani tebal berwarna merah muda yang menutupi seluruh lantai ruangan pesanggrahan ini.
"Kau ingin pergi dariku. Maka, tentu ada alasannya, Pandan," desak Rangga, masih tetap duduk bersila pada tempatnya.
"Untuk kali ini aku minta pengertianmu, Kakang. Aku tidak bisa mengatakannya sekarang. Hanya kuminta, kau merelakan kepergianku untuk sementara.
Percayalah..., aku pasti kembali lagi ke sini padamu, Kakang" kata Pandan Wangi seraya memutar tubuhnya berbalik.
Gadis itu melangkah perlahan dan kembali duduk di depan Pendekar Rajawali Sakti.
Untuk beberapa saat mereka kembali terdiam.
Dan Rangga terus memandangi wajah cantik itu.
Sepertinya, dia ingin mencari jawaban dari semua sikap aneh Pandan Wangi sekarang ini. Tapi, sama sekali tidak ditemukan jawaban yang diinginkannya. Wajah Pandan Wangi begitu mendung, semendung langit di luar sana.
"Aku mohon padamu, Kakang...," ujar Pandan Wangi berharap.
"Kau bersungguh-sungguh ingin pergi, Pandan?" tanya Rangga seperti belum percaya pada keinginan gadis ini.
Pandan Wangi hanya mengangguk saja.
"Untuk berapa lama?" tanya Rangga bernada menyerah.
"Aku tidak tahu pasti," sahut Pandan Wangi, masih perlahan suaranya.
Rangga mengangkat bahunya sambil menghembuskan napas panjang. Terlihat, ada kesungguhan dalam sinar mata si Kipas Maut itu. Dan dia tahu, kalau Pandan Wangi menginginkan begitu, tidak akan mungkin bisa menghalangi lagi.
Meskipun dengan hati berat, Rangga harus bisa meluluskan permintaan Pandan Wangi yang tidak pernah diduga selama ini.
Rasanya memang sukar bisa diterima.
Masalahnya, sudah begitu lama mereka bersama-sama dalam mengarungi ganasnya rimba persilatan.
Malah, sudah berbagai macam persoalan dihadapi bersama.
Namun sekarang ini, tiba-riba saja Pandan Wangi hendak meninggalkannya dalam waktu yang tidak bisa dipastikan.
Meskipun tadi si Kipas Maut sudah mengatakan hanya sementara, tapi masih juga Rangga merasakan begitu berat.
Namun, Pendekar Rajawali Sakti memang tidak bisa berkata lain lagi, selain meluluskan permintaan gadis yang sangat dicintainya ini.
Walaupun, dengan hati yang begitu berat.
"Kapan kau akan berangkat?" tanya Rangga, agak mendesah suaranya.
"Setelah hujan berhenti," sahut Pandan Wangi.
"Cepatlah kembali kalau persoalanmu sudah selesai," pinta Rangga.
"Terima kasih, Kakang. Aku berjanji...," ucap Pandan Wangi.
"Aku akan selalu menunggumu di sini. Karang Setra selalu membuka pintu untukmu, Pandan," ujar Rangga.
Pandan Wangi hanya terdiam saja. Tidak ada lagi yang bisa diucapkan. Dan Rangga juga terdiam memandangi wajah cantik yang kelihatan berselimut kabut ini. Tidak ada yang berbicara lagi. Sementara, hujan masih turun deras sekali menyirami seluruh permukaan bumi Karang Setra.
*
* *
Pendekar Rajawali Sakti masih berdiri tegak tanpa berkedip, meskipun Pandan Wangi sudah tidak terlihat lagi, tertelan lebatnya pepohonan.
Perlahan Pendekar Rajawali Sakti baru menuruni anak-anak tangga pesanggrahan ini, setelah tidak lagi mendengar derap kaki kuda yang membawa Pandan Wangi pergi.
Tapi, ayunan langkahnya jadi terhenti begitu telinganya kembali mendengar langkah kaki kuda yang dipacu cepat menuju ke pesanggrahan ini.
Rangga cepat mengalihkan pandangan ke arah bunyi kaki kuda yang didengarnya semakin jelas.
Tak berapa lama kemudian, terlihat seekor kuda yang dipacu cepat oleh seorang gadis cantik mengenakan baju warna merah muda.
Kening Rangga jadi berkerut, melihat Cempaka memacu kuda begitu cepat menuju ke arahnya. Gadis itu langsung melompat turun, begitu sampai di dekat Pendekar Rajawali Sakti.
"Kak Pandan mana, Kakang...?" Cempaka langsung bertanya dengan napas agak tersengal.
"Baru saja pergi," sahut Rangga.
"Aduh! Celaka...!" sentak Cempaka.
"Heh...?! Ada apa ini...?" tanya Rangga jadi kebingungan.
"Kenapa kau biarkan Kak Pandan pergi...?" Cempaka malah bertanya, menyesali Pendekar Rajawali Sakti yang membiarkan si Kipas Maut pergi.
"Dia sudah pamitan denganku.
Dan aku tidak...." "Kenapa diizinkan? Seharusnya kau menahannya supaya tidak pergi, Kakang," potong Cempaka cepat.
"Kenapa kau kelihatan cemas sekali, Cempaka? Ada apa sebenarnya dengan Pandan Wangi?" tanya Rangga tidak mengerti.
Cempaka tidak menjawab.
Dikeluarkannya lipatan daun lontar dari balik kantung bajunya.
Lalu, diserahkannya pada Pendekar Rajawali Sakti.
Dengan masih keheranan, Rangga mengambil lipatan daun lontar itu, lalu membukanya.
"Baca saja, Kakang. Aku menemukannya di kamar Kak Pandan," kata Cempaka.
Kening Rangga jadi berkerut dalam, saat membaca kalimat-kalimat yang tertera pada lembaran daun lontar itu. Sebentar kemudian ditatapnya Cempaka, sambil melipat kembali lembaran daun lontar itu. Lalu, dimasukkannya ke dalam saku ikat pinggangnya.
"Kenapa tidak dari kemarin kau berikan ini padaku, Cempaka?" ujar Rangga seperti menyesali.
"Aku baru menemukannya tadi. Itu sebabnya, aku langsung ke sini," sahut Cempaka tidak mau disalahkan.
"Kau pulang saja, Cempaka," kata Rangga seraya melangkah mendekati kudanya.
Dengan gerakan ringan sekali, Pendekar Rajawali Sakti melompat naik ke punggung kudanya. Seekor kuda hitam yang gagah, dan dikenal bernama Kuda Dewa Bayu.
Sementara Cempaka masih berdiri saja sambil memegangi tali kekang kudanya.
Dan kini Rangga sudah memutar kudanya.
Dia mendecak perlahan, menyuruh kudanya melangkah menghampiri gadis itu.
"Kau langsung kembali ke istana.
Jangan mengikutiku," pesan Rangga tegas.
Dia tahu watak Cempaka yang haus dengan petualangan.
Dan ketegasan Pendekar Rajawali Sakti, membuat Cempaka langsung terdiam.
Memang, tadinya gadis itu bermaksud ingin ikut kakak tirinya ini.
Tapi belum juga dikatakan, Rangga sudah menyuruhnya kembali ke istana dengan tegas.
Dan Cempaka tidak bisa berbuat lain, kecuali mengangguk lesu.
"Hiya...!" Rangga langsung menggebah cepat kudanya.
Maka kuda hitam Dewa Bayu melesat cepat bagai anak panah lepas dari busur. Tanah memang basah habis terguyur hujan, sehingga tidak menimbulkan kepulan debu. Cepat sekali Kuda Dewa Bayu berlari, sehingga dalam waktu sebentar saja sudah lenyap dari pandangan Cempaka.
Sementara, gadis itu masih tetap berdiri mematung sambil memegangi tali kekang kudanya, memandang ke arah kepergian Pendekar Rajawali Sakti.
Sementara Rangga terus memacu cepat kudanya. Dikerahkannya aji "Tatar Netra" untuk mengimbangi lari kudanya, dalam memperhatikan jejak-jejak kaki kuda yang masih tertera begitu jelas di tanah yang basah berlumpur. Dia tahu, itu adalah jejak-jejak tapak kaki kuda yang ditunggangi Pandan Wangi.
"Hooop...!" Tiba-tiba Rangga menarik tali kekang, sehingga membuat kudanya meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depan tinggi-tinggi ke udara.
Seketika, kuda hitam Dewa Bayu berhenti berpacu.
Dengan gerakan begitu ringan, Pendekar Rajawali Sakti melompat turun dari punggung kuda.
Keningnya jadi berkerut memperhatikan jejak-jejak tapak kaki kuda yang berhenti di tempat ini.
Heh...?!" Rangga jadi tersentak kaget ketika tiba-tiba terdengar ringkikan seekor kuda yang begitu keras.
Dan hatinya semakin terkejut saat seekor kuda putih yang amat dikenalinya, tiba-tiba muncul dari dalam semak belukar.
Pendekar Rajawali Sakti langsung melompat menghampiri.
Dikenalinya betul kalau itu kuda Pandan Wangi.
Tapi, kuda itu tidak membawa Pandan Wangi di punggungnya.
"Putih, ke mana Pandan Wangi?" tanya Rangga begitu bisa memegang tali kekang kuda putih ini.
Kuda berbulu putih bersih itu hanya mendengus-dengus sambil menghentakkan kaki depannya ke tanah yang becek dan berlumpur. Rangga mengedarkan pandangan berkeliling.
Tidak ada tanda-tanda kalau Pandan Wangi berada di sekitar tempat ini.
Sejauh mata memandang, hanya pepohonan saja yang terlihat begitu lebat.
Kemudian, dipanggilnya Kuda Dewa Bayu yang langsung menghampiri begitu melihat isyarat tangan Pendekar Rajawali Sakti.
"Kau bawa putih ke istana, Dewa Bayu," pinta Rangga.
Kuda Dewa Bayu mendengus pendek sambil menganggukkan kepala, seakan-akan mengerti apa yang diucapkan Pendekar Rajawali Sakti. Kemudian tanpa diminta dua kali, Kuda Dewa Bayu mengiring kuda putih milik Pandan Wangi meninggalkan tempat itu. Sementara Rangga masih tetap berdiri tegak mengedarkan pandangan berkeliling. Dan kini dua ekor kuda itu sudah jauh meninggalkannya. Arah yang dituju dua ekor kuda itu, jelas menuju Istana Karang Setra.
"Ke manapun perginya, pasti belum jauh dari sini. Aku harus segera mengejar sebelum terlambat," gumam Rangga bicara sendiri.
Tapi belum juga Pendekar Rajawali Sakti bergerak tiba-tiba saja....
Slap! "Heh...?! Uts!" Rangga jadi terbeliak setengah hati, begitu tibatiba dari atas meluncur sebuah bayangan hitam yang begitu cepat.
Untung saja tubuhnya cepat mengegos, sambil menarik kaki ke belakang beberapa tindak.
Sehingga, dia tidak sampai terkena terjangan bayangan hitam yang muncul begitu tiba-tiba dari atas pohon.
"Hap...!" Ringan sekali Pendekar Rajawali Sakti melenting, berputaran beberapa kali ke belakang. Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, kakinya menjejak tanah yang basah oleh air hujan.
Kini, di depan Pendekar Rajawali Sakti sudah berdiri seorang laki-laki berusia muda.
Dia mengenakan baju warna hitam ketat.
Tampak dua buah gagang pedang menyembul tersilang di balik punggungnya.
Sret! Cring...! Slap! Bersamaan tercabutnya dua bilah pedang oleh laki-laki muda berbaju serba hitam itu, tiba-tiba saja dari balik pepohonan dan dari atas dahan pohon di sekitar Pendekar Rajawali Sakti, bermunculan orangorang berpakaian serba hitam. Mereka semua menyandang dua bilah pedang di punggung.
Dan sebentar saja, Rangga sudah terkepung tidak kurang dari delapan orang laki-laki berusia sebaya dengannya.
"Hm...," Rangga menggumam perlahan, sambil merayapi delapan orang yang berdiri mengepungnya dengan rapat sekali.
"Sebaiknya kembali saja ke istanamu, Rangga.
Tidak ada gunanya kau mengikuti Pandan Wangi," ujar pemuda berbaju serba hitam yang muncul pertama kali.
"Siapa kau dan kalian semua?" tanya Rangga, agak dalam nada suaranya.
"Aku Wadagari.
Dan mereka semua saudarasaudaraku," sahut pemuda berbaju serba hitam itu memperkenalkan diri.
"Perlu kau ketahui, Rangga.
Kami semua ditugaskan untuk menghalangimu dalam mengikuti Pandan Wangi. Biarkan dia menyelesaikan urusannya sendiri tanpa campur tanganmu."
"Siapa yang menyuruh kalian?" tanya Rangga.
"Kau tidak perlu tahu, Rangga. Sebaiknya, segeralah kembali ke istanamu.
Tidak ada gunanya ikut campur dalam urusan pribadi Pandan Wangi," tegas Wadagari.
"Mungkin aku akan kembali ke istana, jika kau bersedia menjelaskan persoalannya," pinta Rangga kalem.
"Sayang sekali. Aku tidak bisa menjelaskannya padamu, Rangga," tolak Wadagari tegas.
"Kalau begitu, aku tetap pada pendirianku. Dan kalian tidak bisa menghalangiku," tegas Rangga.
"Itu berarti kau harus melewati kami dulu, Pendekar Rajawali Sakti." Bat! Tring! Wadagari langsung mengebutkan pedang, dan menyilangkan di depan dada. Pada saat itu, tujuh pemuda lain yang juga mengenakan baju ketat serba hitam segera mencabut pedang yang masing-masing menghunus dua bilah.
Pedang yang tergenggam di tangan kanan dan kiri itu disilangkan di depan dada.
Sorot mata mereka begitu tajam, tertuju lurus pada .
Pendekar Rajawali Sakti.
"Kau akan menyesal, Rangga," desis Wadagari memperingatkan.
"Aku khawatir kalian yang akan menyesal telah menghalangiku," balas Rangga tidak kalah dingin.
"Bersiaplah, Pendekar Rajawali Sakti.
Hiyaaat..."’ Bagaikan kilat, Wadagari melompat menerjang Pendekar Rajawali Sakti.
Kedua pedangnya dikebutkan cepat sekali. Gerakannya bergantian, menggunting ke arah beberapa bagian tubuh pemuda berbaju rompi putih itu. Namun dengan gerakan manis sekali, Rangga berhasil mengelakkan setiap serangan yang dilakukan Wadagari.
Pendekar Rajawali Sakti segera mengerahkan jurus "Sembilan Langkah Ajaib".
Satu jurus yang seringkali digunakan untuk menjajaki tingkat kepandaian lawan.
Namun Pendekar Rajawali Sakti tidak bisa bertahan lama dengan jurus "Sembilan Langkah Ajaib", begitu pemuda-pemuda berbaju serba hitam lainnya berlompatan membantu Wadagari menyerangnya. Rangga terpaksa berjumpalitan menghindari setiap serangan yang datang dari delapan arah secara bergantian dan cepat sekali.
Dalam beberapa jurus saja berlalu, Rangga sudah bisa merasakan kehebatan jurus-jurus delapan orang lawannya ini. Setiap kebutan pedang mereka, mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi. Tapi sampai sejauh ini, Rangga belum juga menggunakan pedang pusakanya yang terkenal dahsyat. Pendekar Rajawali Sakti masih menggunakan rangkaian lima jurus "Rajawali Sakti" yang cepat berganti-ganti.
"Uts! Yeaaah...!" Manis sekali Rangga meliukkan tubuhnya, menghindari sabetan satu pedang lawannya.
Dan seketika itu juga, tubuhnya dirundukkan sedikit.
Lalu, dilepaskannya satu pukulan keras dari jurus "Pukulan Maut Paruh Rajawali" dalam tingkatan terakhir.
Begitu cepat serangan balasannya, sehingga satu lawan yang hampir saja membelah tubuhnya dengan pedang, tidak dapat lagi menghindari.
Tangan Rangga yang sudah berubah menjadi merah bagai terbakar itu benar-benar mengancam jiwanya.
Desss! "Aaakh...!" Pukulan yang dilepaskan Rangga memang dahsyat bukan main. Sehingga, pemuda berbaju serba hitam itu tidak dapat lagi bertahan.
Tubuhnya seketika terpental deras ke belakang sambil menjerit nyaring melengking tinggi.
"Hiyaaat...!"
*
* *
::::↨֍¦ 2 ¦֎↨::::
"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!" Kedua tangan Pendekar Rajawali Sakti bergerak demikian cepatnya, sehingga sukar diikuti pandangan mata biasa. Terlebih lagi Rangga berlompatan begitu cepat, langsung menyerang lawan-lawannya secara bergantian. Hal ini semakin membuat lawan kelabakan menghindari serangan balasan Pendekar Rajawali Sakti.
"Jebolll !" teriak Rangga tiba-tiba.
"Yeaaah...!" Bat! Diegkh! "Aaakh...!" Satu orang lagi terpental ke belakang sambil menjerit keras melengking tinggi begitu pukulan yang dilepaskan Rangga berhasil bersarang di dada. Dan sebelum jeritan itu menghilang dari pendengaran, kembali Rangga sudah melesat cepat.
Langsung dilepaskannya satu kebutan yang disertai pengerahan tenaga dalam tingkat sempurna pada salah seorang lawan.
"Yeaaah...!" Bet! Des! "Akh...!" satu orang lagi kembali terguling di tanah yang becek habis tersiram hujan.
"Hup! Yeaaah...!" Tiba-tiba saja Rangga melentingkan tubuh ke udara. Lalu bagaikan kilat, tubuhnya meluruk deras dengan kedua kaki bergerak cepat bagai berputar. Saat itu Rangga mengerahkan jurus "Rajawali Menukik Menyambar Mangsa", yang merupakan satu dari rangkaian lima jurus "Rajawali Sakti" yang tidak kalah dahsyatnya. Begitu cepatnya serangan yang dilakukan Rangga kali ini, sehingga dua orang lawan tidak bisa lagi menghindari. Mereka menjerit, dan bergelimpangan di tanah begitu kedua kaki Rangga menghantam kepala tanpa dapat dicegah.
"Hap!" Manis sekali Rangga menjejakkan kaki kembali di tanah Dia berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang lebar, dan tangan melipat di depan dada.
Pandangannya begitu tajam merayapi Wadagari dan dua orang lagi yang masih bisa bertahan berdiri.
Sedangkan lima orang lainnya sudah tergeletak tak bergerak-gerak lagi.
Tampak jelas sekali di wajah mereka terbersit kegentaran melihat kedigdayaan Pendekar Rajawali Sakti.
Dalam beberapa jurus saja, Rangga sudah berhasil merobohkan lima orang dari mereka. Dan sekarang, tinggal tiga orang lagi.
Perlahan Rangga menggeser kakinya mendekati Wadagari yang didampingi dua orang yang sudah kelihatan gentar menghadapi Pendekar Rajawali Sakti.
*
* *
"Kau memang tangguh, Rangga. Tapi bukan berarti kau bisa lewat begitu saja," desis Wadagari tidak kalah dingin.
"Aku hargai tekadmu, Wadagari. Tapi aku lebih suka kalau kau menyingkir dan tidak mencoba menghalangiku lagi." Bet! Wuk! Wadagari tidak banyak bicara lagi. Cepat kedua pedangnya digerak-gerakkan, lalu berhenti dengan salah satu pedang berada di atas kepala.
Sedangkan pedang yang tergenggam di tangan kanan tertuju lurus ke depan, mengarah ke dada Pendekar Rajawali Sakti.
Dua orang yang berada di kanan kirinya juga segera melakukan gerakan-gerakan yang sama, meskipun dari sinar mata mereka rasa kegentaran masih belum bisa terhapus.
Sedangkan lima orang dari mereka, masih tetap tergeletak di tanah tak bergerak-gerak lagi.
"Hiyaaat...!".
Sambil berteriak keras menggelegar, Wadagari cepat melompat bagai kilat menyerang Pendekar Rajawali Sakti.
Dua orang lain segera berlompatan membantunya.
Pada saat itu, Rangga segera melenting ke udara, menghindari enam bilah pedang yang berkelebatan cepat mengincar tubuhnya.
Pada saat berada di udara, cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti mencabut pedangnya. Lalu, tubuhnya meluruk deras sambil mengebutkan pedang yang memancarkan cahaya biru berkilau menyilaukan mata itu.
"Hiyaaa...!" Bet! Bet...! Trang! Desss! Memang sungguh cepat gerakan Rangga kali ini. Sehingga, sulit diikuti pandangan mata biasa. Dalam berapa gebrakan saja, sudah terlihat dua orang berjumpalitan sambil memekik keras melengking tinggi. Manis sekali Rangga kembali menjejakkan kaki di tanah, sambil memasukkan pedang kembali ke dalam warangka di punggung. Cahaya biru berkilau terang seketika lenyap begitu Pedang Rajawali Sakti kembali berada di dalam warangkanya.
"Bagaimana, Wadagari...?" desis Rangga sambil tersenyum, melihat Wadagari tampak kelabakan melihat tinggal dia seorang yang masih bisa berdiri tegak.
Wadagari tidak bisa lagi berkata-kata.
Dirayapinya teman-temannya yang sudah tergeletak tidak bergerak-gerak lagi.
Tak ada setetes darah pun yang terlihat.
Tapi, tujuh orang pemuda berbaju serba hitam itu sama sekali tidak bergerak di tanah yang basah tersiram hujan tadi.
"Mereka tidak perlu dikhawatirkan, Wadagari.
Hanya pingsan saja," kata Rangga memberi tahu, seakan-akan bisa membaca kecemasan yang tersirat dari sorot mata Wadagari.
Sedangkan Wadagari hanya diam saja.
Ditatapnya Pendekar Rajawali Sakti dengan sinar mata yang begitu sulit diartikan.
Tapi raut wajahnya, seakanakan tidak lagi semangat untuk melanjutkan pertarungan. Baru disadarinya kalau Pendekar Rajawali Sakti memang bukan tandingannya. Terlalu tinggi tingkat kepandaian yang dimiliki pemuda berbaju rompi putih itu.
"Kau harus menjaga mereka, Wadagari. Hutan ini banyak binatang buasnya," ujar Rangga.
"Apa yang kau inginkan dariku, Pendekar Rajawali Sakti?" ujar Wadagari bernada pasrah.
Wadagari benar-benar mengakui tidak akan mampu menandingi Pendekar Rajawali Sakti lagi.
Dengan lemas, pedangnya dimasukkan kembali ke dalam warangka di punggung. Sedangkan Rangga terlihat mengulas senyum sambil melangkah perlahan mendekati pemuda berbaju serba hitam ketat itu.
"Tunjukkan, ke arah mana Pandan Wangi pergi?" pinta Rangga dengan suara sudah berubah lembut kembali.
"Ke sana," sahut Wadagari seraya menunjuk ke arah Selatan.
"Aku percaya padamu, Wadagari. Tapi jika mengelabui ku, tidak akan ada lagi maaf untukmu," ujar Rangga bernada mengancam.
"Kau ikuti saja jalan ke arah Selatan. Di sana, kau akan menemui sungai kecil. Lalu, telusurilah aliran sungai itu.
Maka, kau akan menemui Pandan Wangi di sana," jelas Wadagari.
Sebentar Rangga merayapi wajah Wadagari, kemudian tanpa berbicara lagi, segera melesat meninggalkan tempat itu menuju arah yang ditunjuk Wadagari.
Begitu tingginya ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Pendekar Rajawali Sakti, sehingga dalam sekejapan mata saja bayangan tubuhnya sudah tidak terlihat lagi.
Wadagari bergegas menghampiri tubuh-tubuh yang bergelimpangan di tanah. Diperiksanya satu persatu.
Kemudian napas lega berhembus dari hidungnya setelah mengetahui mereka semua memang hanya pingsan saja.
"Hm....
Kenapa dia tidak membunuh...? Kenapa hanya dibuat pingsan saja...?" desah Wadagari mengumam, bicara pada diri sendiri.
Memang Wadagari tidak mengerti sikap yang dilakukan Rangga.
Tak ada satu pun yang terluka parah.
Mereka semua hanya dibuat pingsan saja.
Padahal, tadi Pendekar Rajawali Sakti bertarung dengan jurusjurus yang begitu dahsyat sekali. Bahkan terlalu sukar diukur tingkatannya. Inilah yang membuat Wadagari jadi tidak mengerti. Tapi, memang tidak mudah baginya untuk bisa mencari jawabannya sekarang ini.
*
* *
Pendekar Rajawali Sakti berhenti sebentar memandangi alur sungai yang tidak begitu besar ini Cukup deras juga alirannya.
Kemudian pandangannya diarahkan ke depan, mengikuti aliran air sungai ini.
"Auuum...!" Tiba-tiba saja Rangga dikejutkan suara mengaum yang begitu keras dari arah belakang.
Pendekar Rajawali Sakti jadi terkesiap, begitu tubuhnya memutar.
Entah dari mana datangnya, tahu-tahu tidak jauh dari tempatnya berdiri sudah ada seekor harimau yang berbadan begitu besar, seperti anak lembu.
"Ghraaau...!" Rangga menggeser kakinya ke belakang beberapa langkah.
Sedangkan harimau itu mendekam sambil terus mengaum, seakan-akan ingin memamerkan baris-baris giginya yang bertaring tajam. Tatapan matanya begitu tajam memerah, menusuk langsung ke bola mata Pendekar Rajawali Sakti. Kemunculan harimau itu memang mengejutkan sekali.
Dan binatang yang selalu disebut Raja Rimba ini, memang mempunyai keistimewaan tersendiri.
Setiap langkahnya begitu ringan, sehingga sulit diketahui kehadirannya.
Buktinya, Rangga sendiri sampai tidak mengetahui kehadirannya.
Mungkin karena seluruh perhatiannya tadi tercurah pada Pandan Wangi yang sampai saat ini belum diketahui keberadaannya.
"Auuum...!" Tiba-tiba saja harimau itu mengaum keras sekali, membuat bumi yang dipijak bagai bergetar. Lalu, mendadak saja Raja Rimba itu melompat cepat. Cakarcakarnya tampak terkembang, siap mencabik seluruh tubuh Pendekar Rajawali Sakti.
"Hup! Yeaaah...!" Rangga cepat-cepat melompat ke samping sambil menjatuhkan tubuhnya ke tanah. Beberapa kali tubuhnya bergulingan di tanah dekat sungai itu, lalu bergegas melompat bangkit berdiri.
Namun, kembali harimau itu melompat hendak menerkamnya dengan kecepatan yang luar biasa sekali.
"Hap! Hiyaaa...!" Rangga segera melentingkan tubuh ke udara.
Tepat ketika harimau besar itu berada di bawahnya, secepat itu pula Pendekar Rajawali Sakti melepaskan satu pukulan keras menggeledek, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Begitu cepatnya pukulan yang dilepaskan, sehingga harimau itu tidak mungkin lagi bergerak menghindar.
Dan....
Begkh! "Ghrauuugkh...! Harimau sebesar anak lembu itu menggerung dahsyat. Si Raja Rimba jatuh bergulingan beberapa kali di tanah yang berbatu dan basah bekas kena air hujan itu. Namun ternyata binatang itu cepat bisa bangkit berdiri sambil menggerung-gerung marah.
Rangga yang sudah menjejakkan kakinya kembali di tanah agak berbatu di tepian sungai ini, jadi tertegun melihatnya. Padahal, tadi tenaga dalam yang dikerahkan dalam pukulannya sudah cukup tinggi.
Dan biasanya, kalau hanya binatang saja yang terkena pukulan seperti itu pasti sudah ambruk tak bisa bangun lagi. Tapi, harimau itu malah bisa cepat bangkit Dan tampaknya, sudah kembali bersiap menyerang.
"Kuat juga kau...," desis Rangga. "Baik! Aku ingin tahu, sampai di mana kekuatanmu." Pendekar Rajawali Sakti kembali bersiap. Sedangkan harimau itu kini mendekam, merapatkan tubuhnya dengan tanah berbatu.
Dia menggereng-gereng sambil menyeringai memperlihatkan taring-taringnya yang tajam, bagai mata pisau.
Seakan-akan, binatang itu ingin membuat hati Pendekar Rajawali Sakti merasa gentar.
Tapi bukan kegentaran yang diperlihatkan Rangga, melainkan malah geseran kakinya yang semakin mendekati.
"Ghrrr...!" Harimau itu kembali menggereng dahsyat.
Kemudian tiba-tiba sekali, dia melompat cepat bagai kilat menerjang Pendekar Rajawali Sakti.
Namun dengan satu gerakan tubuh manis sekali, Rangga berhasil menghindarinya.
Bahkan dengan kecepatan sungguh luar biasa, satu pukulan keras dari jurus ‘Pukulan Maut Paruh Rajawali" yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi, langsung dilepaskan Pendekar Rajawali Sakti.
"Yeaaah...!" Begitu cepatnya pukulan yang dilepaskan Rangga, sehingga harimau besar itu tidak dapat lagi menghindar. Maka pukulan dari jurus "Pukulan Maut Paruh Rajawali" tepat dan telak menghantam tubuhnya.
"Ghraaaugkh...!" Harimau itu menggerung dahsyat sekali.
Tubuhnya jatuh bergulingan di tanah, hingga menghantam sebongkah batu besar. Rangga yang sudah bersiap kembali menyerang, jadi berhenti melihat harimau itu tidak bisa bangkit lagi. Si Raja Rimba itu kini menggeletak di tanah berbatu sambil menggereng-gereng lirih, seakan-akan merasakan kesakitan akibat pukulan yang diterimanya tadi.
Perlahan Rangga melangkah menghampiri harimau yang masih tergeletak bagai tak memiliki daya lagi.
Binatang itu terus menggeram lirih sambil memandang Pendekar Rajawali Sakti.
Sinar matanya tidak lagi terlihat garang.
Bahkan begitu redup sekali, seakanakan ingin meminta pertolongan pada Pendekar Rajawali Sakti.
Sementara, Rangga semakin dekat saja.
Perlahan Pendekar Rajawali Sakti membungkuk begitu dekat, ingin memeriksa keadaan luka yang diderita harimau itu akibat pukulannya tadi.
Tapi, mendadak saja....
Slap! "Heh...?!" Rangga jadi terkejut bukan main.
Cepat-cepat tubuhnya melenting dan berputar ke belakang, begitu tiba-tiba sebuah benda meluncur deras ke arahnya.
Beberapa kali Pendekar Rajawali Sakti melakukan putaran di udara, sebelum menjejakkan kakinya kembali di tanah tepian sungai yang berbatu ini.
Wusss...! "Hap...!" Namun belum juga Rangga bisa menarik napas, kembali terlihat sebuah benda berwarna merah menyala bagai api meluncur deras ke arahnya.
Maka Pendekar Rajawali Sakti kembali melentingkan tubuh dan berputaran di udara, menghindari benda yang berwarna merah bagai berapi itu.
Beberapa kali Rangga berjumpalitan di udara untuk menghindari benda-benda berwarna merah bagai berapi yang berhamburan di sekitar tubuhnya. Entah berapa jumlah benda-benda yang berhamburan mengancam nyawanya. Dan Rangga terpaksa berjumpalitan sambil memperhatikan arah datangnya bendabenda merah bagai bola api itu. Suara-suara ledakan pun terdengar keras menggelegar di sekitarnya, begitu benda-benda berapi itu menghantam pohon dan bebatuan di sekitar sungai ini.
"Edan...! Hiyaaa...!" Rangga merasa jengkel juga menghadapi keadaan seperti ini.
Dan ketika kakinya menjejak tanah kembali, cepat sekali kedua tangannya digerakkan di depan dada. Lalu begitu kedua kakinya ditarik merentang ke samping, kedua tangannya dihentakkan ke depan.
Seketika itu juga, dari kedua telapak tangannya meluncur cahaya merah yang langsung meluruk deras menembus lebatnya pepohonan.
Glarrr...! "Hup! Yeaaah...!" Rangga cepat-cepat melenting ke udara, dan melakukan beberapa kali putaran.
Tepat ketika Pendekar Rajawali Sakti mendarat di tepi sungai itu, dari balik kepulan asap merah yang bercampur debu serta serpihan batu dan pepohonan, melesat sebuah bayangan merah ke angkasa.
Lalu, tahu-tahu pada jarak dua batang tombak di depan Pendekar Rajawali Sakti, sudah berdiri seorang perempuan muda dan cantik.
Dia mengenakan baju ketat warna merah, sehingga membentuk tubuhnya yang ramping dan indah berisi.
*
* *
::::↨֍¦ 3 ¦֎↨::::
Bahkan belahan baju bagian dada begitu rendah dan lebar, seakan-akan ingin memperlihatkan buah dadanya yang begitu indah dipandang mata.
"Siapa kau, Nisanak?" tanya Rangga, agak dalam nada suaranya.
"Biasanya orang-orang memanggilku Nini Belang;" sahut gadis cantik itu, lembut sekali nada suaranya.
"Nini Belang...?" Rangga mengerutkan keningnya.
"Benar.
Dan kau tadi baru saja mengalahkan sahabatku si Belang," sahut gadis cantik berbaju merah yang tadi mengaku bernama Nini Belang.
Rangga berpaling, menatap harimau berukuran besar yang kini sudah mendekam diam dengan kepala berada di ujung kedua kaki depannya.
Sungguh tidak disangka kalau harimau itu peliharaan gadis cantik yang mengaku bernama Nini Belang. Rangga kembali menatap Nini Belang yang berdiri anggun sekitar dua tombak di depannya.
"Aku tahu siapa kau, Pendekar Rajawali Sakti.
Dan aku juga tahu, kenapa kau berada di sini sekarang.
Mengapa kau tidak bisa melepaskan Pandan Wangi dalam waktu sebentar saja? Mengapa kau tidak mempercayainya...?" agak dalam nada suara Nini Belang.
"Maaf.
Aku tidak mengerti pembicaraanmu, Nini Belang," ucap Rangga agak terkejut.
"Seharusnya kau sudah bisa mengetahuinya, Pendekar Rajawali Sakti," desis Nini Belang.
"Kau ingin menghalangiku, Nini Belang...?" tebak Rangga langsung.
"Benar," sahut Nini Belang tegas.
"Kenapa?" tanya Rangga ingin tahu.
Pendekar Rajawali Sakti benar-benar tidak mengerti semua kejadian ini. Sudah dua kali ini ditemuinya orang yang mencoba menghalanginya mengejar Pandan Wangi.
Sungguh dia tidak tahu, ada apa di balik semua ini sebenarnya.
Dan mereka yang mencoba menghalangi, sepertinya memang sudah ditempatkan pada masing-masing tempatnya.
Rangga merasa ada satu permainan di balik semua ini.
Dan dia tidak yakin kalau Pandan Wangi terlibat di dalamnya.
"Sebaiknya kau kembali saja, Pendekar Rajawali Sakti.
Biarkan Pandan Wangi menyelesaikan urusannya sendiri, tanpa campur tanganmu," tegas Nini Belang.
"Persoalan apa yang dihadapi Pandan Wangi?" tanya Rangga menyelidik ingin tahu.
"Kau tidak perlu tahu, Pendekar Rajawali Sakti," sahut Nini Belang, agak ketus nada suaranya.
" Dan, aku tidak bisa mengatakannya padamu, Pendekar Rajawali Sakti.
Tugasku hanya menghalangimu agar tidak terus membuntuti Pandan Wangi."
"Jawabanmu sungguh tidak mengenakkan, Nini Belang.
Dan aku harus menemui Pandan Wangi," desis Rangga, agak dalam nada suaranya.
"Itu berarti kau harus melewati ku dulu, Rangga," sambut Nini Belang tegas.
"Hm...," Rangga hanya menggumam perlahan saja.
"Tidak banyak orang yang dapat mengalahkan harimau peliharaanku. Tapi, itu bukan berarti kau bisa mudah melewati ku begitu saja, Rangga. Dan sebelum segalanya terlanjur, sebaiknya turuti saja katakataku. Tidak akan terjadi apa-apa pada Pandan Wangi. Dan sebaiknya, kau segera tinggalkan tempat ini.
Kembalilah ke istanamu di Karang Setra," ujar Nini Belang, agak mendesis nada suaranya.
"Aku hargai kesetiaanmu dalam bertugas, Nini Belang. Tapi perlu kau ketahui. Aku tetap akan melangkah maju, meskipun ada sepuluh orang sepertimu mencoba menghalangi," tegas Rangga.
"Sudah kuduga! Kau pasti tidak akan menyerah begitu saja, Pendekar Rajawali Sakti," desis Nini Belang, agak sinis nada suaranya.
Setelah berkata demikian, Nini Belang menggeser kakinya ke kanan beberapa langkah. Tatapan matanya menyorot begitu tajam, menusuk langsung ke bola mata Pendekar Rajawali Sakti. Tak ada lagi yang bicara. Mereka saling menatap tajam, seakan-akan sedang mengukur tingkat kepandaian masing-masing.
"Bersiaplah, Pendekar Rajawali Sakti.
Hiyaaat...!" Cepat sekali Nini Belang melompat sambil melepaskan beberapa pukulan beruntun yang begitu keras menggeledek, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Hup! Yeaaah...!" Rangga cepat menggeser kakinya ke kanan dua tindak, lalu meliukkan tubuhnya menghindari setiap pukulan yang dilepaskan gadis cantik itu. Beberapa kali pukulan yang dilepaskan Nini Belang tidak sempat mengenai tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Dan jurus "Sembilan Langkah Ajaib" yang dikeluarkan Rangga, memang sukar bisa ditembus. Gerakan-gerakan tubuh Pendekar Rajawali Sakti demikian cepat, dan sukar diduga arahnya. Akibatnya serangan yang dilakukan Nini Belang jadi mentah, tanpa dapat mencapai sasaran sedikit pun juga.
"Awas kaki...! Yeaaah...!" seru Rangga tiba-tiba.
Dan begitu cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti merendahkan tubuhnya, lalu secepat itu pula tangan kanannya dikibaskan ke arah kaki Nini Belang, dalam jurus "Sayap Rajawali Membelah Mega". Begitu cepat serangan baliknya, sehingga membuat Nini Belang jadi terperangah sesaat. Lalu....
"Hup! Yeaaah...!" Bergegas wanita itu melenting ke udara, menghindari kibasan tangan Rangga yang mengarah ke kakinya.
Tapi mendadak saja Pendekar Rajawali Sakti melenting ke udara, mengikuti gerakan tubuh yang dilakukan gadis cantik berbaju merah itu.
Dan secepat itu pula....
"Hiyaaa...!" Bet! Sukar diikuti pandangan mata biasa! Begitu cepatnya Rangga melepaskan satu pukulan dari jurus "Sayap Rajawali Membelah Mega", sehingga Nini Belang yang masih berada di udara tidak dapat lagi menghindarinya.
Begkh! "Akh...!" Nini Belang terpekik keras agak tertahan.
Begitu kerasnya pukulan yang diberikan Rangga, dan tepat menghantam dada Nini Belang.
Akibatnya wanita itu langsung terpental ke belakang sejauh dua batang tombak.
"Ghraaauk...!" Wusss! "Heh...?!"
*
* *
"Ghrrr...!" Si Belang menggereng dahsyat sambil menggaruk-garuk kaki depannya ke tanah.
Kepalanya bergerak ke kanan dan ke kiri perlahan-lahan.
Bola matanya yang tadi sudah kelihatan redup, kini kembali me-merah membara bagai sepasang bola api.
Sedangkan Rangga sudah bergerak menggeser kakinya beberapa tindak ke kanan.
Sebentar matanya melirik Nini Belang yang kini sudah bisa bangkit lagi, kemudian kembali menatap tajam pada harimau belang sebesar anak lembu itu.
"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"
"Heh...?!" Tiba-tiba saja Nini Belang berlompatan cepat memutari tubuh Rangga sambil melontarkan puluhan senjata rahasia yang begitu kecil seperti jarum berwarna merah.
Akibatnya Rangga jadi tersentak bukan main.
"Hup! Yeaaah...!" Buru-buru Pendekar Rajawali Sakti melenting ke udara, menghindari setiap terjangan senjata-senjata rahasia yang berhamburan di sekitar tubuhnya.
Tepat pada saat itu, si Belang melompat ke belakang.
Seakan-akan dia tahu kalau senjata-senjata rahasia yang dilepaskan gadis cantik berbaju merah itu sangat berbahaya. Begitu cepatnya Nini Belang melontarkan senjata-senjata rahasianya, sehingga sedikit pun tak ada kesempatan bagi Rangga untuk bisa membalas! Bahkan tak ada sedikit pun celah baginya untuk bisa keluar dari serbuan jarum kecil berwarna merah itu.
"Edan! Hih...!" dengus Rangga jadi kesal.
Cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti merentangkan tangannya ke samping. Lalu sambil berjumpalitan, kedua tangannya dirapatkan di depan dada.
Dan secepat itu pula....
"Aji "Bayu Bajra"....
Hiyaaa...!" Bersamaan dengan menjejaknya kaki Pendekar Rajawali Sakti ke tanah, seketika itu juga tangannya merentang lebar ke samping.
Dan seketika itu juga, berhembus angin yang begitu kencang disertai suara menggemuruh.
Rangga memang mengerahkan satu ajiannya yang begitu dahsyat.
Aji "Bayu Bajra" memang bisa membuat keadaan sekitarnya bagai terjadi badai topan yang begitu dahsyat.
Bumi jadi bergetar. Angin menderu-deru menerbangkan apa saja yang ada di sekitar tepian sungai ini.
Bahkan air sungai yang mengalir deras jadi bergolak seperti mendidih. Pepohonan mulai bertumbangan, tercabut sampai ke akar-akarnya. Batu-batu terpecah berhamburan seperti segumpal kapas yang tertiup angin.
Sementara itu Nini Belang berusaha bertahan dengan mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya.
Sedangkan si Belang sendiri meraung-raung, menancapkan kuku-kukunya begitu dalam ke tanah.
Tapi, tetap saja dia terus bergeser terhempas badai topan yang diciptakan Pendekar Rajawali Sakti dari aji "Bayu Bajra" yang begitu dahsyat luar biasa.
"Ghrauuugkh...!"
"Aaa...!" Tiba-tiba saja terdengar raungan yang begitu keras menggelegar, disertai jeritan panjang melengking tinggi. Tampak Nini Belang dan harimau peliharaannya terpental melayang terhempas hembusan angin topan yang begitu dahsyat tercipta dari aji "Bayu Bajra" yang dikeluarkan Pendekar Rajawali Sakti. Tubuh mereka melayang tinggi ke udara, dan terus meluncur deras melewati puncak-puncak pepohonan yang bergoyanggoyang menahan hempasan badai topan ini.
"Hap!" Rangga segera merapatkan kedua telapak tangannya kembali di depan dada.
Bersamaan dengan itu, badai topan yang diciptakannya berhenti seketika.
Pemuda berbaju rompi putih itu jadi menghembuskan napas panjang, melihat keadaan sekitarnya porakporanda.
Aji "Bayu Bajra" yang dikerahkan tadi memang begitu dahsyat.
Akibatnya, hutan yang semula begitu indah kini jadi hancur berantakan, seperti terguncang gempa yang teramat dahsyat.
Memang aji "Bayu Bajra" teramat dahsyat.
Dan Rangga tidak akan mengeluarkannya jika tidak dalam keadaan terpaksa sekali. Tapi, tadi dia benar-benar kesal. Maka terpaksa ajian yang dahsyat ini digunakan.
"Heh...?!" Tiba-tiba Rangga tersentak kaget begitu mendengar rintihan mengerang begitu lirih.
Cepat Pendekar Rajawali Sakti melompat ke arah rintihan lirih itu.
Matanya jadi terbeliak melihat tubuh Nini Belang terhimpit sebatang pohon yang sangat besar sekali.
Tidak jauh darinya, terlihat harimau peliharaan wanita ini menggerung-gerung lirih sambil mengais-ngais tanah di sekitar pohon itu.
"Ghrrr...!" Harimau itu menggerung begitu melihat Rangga menghampiri. Dia seakan marah, karena majikannya sekarang seperti sekarat terhimpit pohon akibat dari aji kesaktian Pendekar Rajawali Sakti yang begitu dahsyat tadi.
"Tenanglah. Aku akan mengeluarkannya dari pohon ini," ujar Rangga menenangkan harimau itu.
Tanpa mempedulikan harimau itu, Rangga segera mendekati pohon yang sangat besar ini. Kemudian ditariknya napas dalam-dalam.
Lalu dengan mengerahkan kekuatan tenaga dalam yang sudah mencapai tingkat sempurna, dicobanya untuk mengangkat pohon itu.
Memang berat sekali, dan Rangga terpaksa harus mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya.
Sedikit demi sedikit, pohon yang begitu besar itu mulai bergerak terangkat.
"Cepat keluar, Nini...!" desis Rangga sambil menahan beban pohon ini.
"Tidak bisa.
Tubuhku tidak bisa bergerak," sahut Nini Belang lirih.
Rangga menatap harimau peliharaan gadis itu.
"Tarik dia, cepat..!" perintah Rangga.
"Ghrrr...!" Seperti mengerti apa yang diinginkan Pendekar Rajawali Sakti, harimau yang dipanggil si Belang ini segera menghampiri majikannya. Kemudian digigitnya baju di bahu kanan Nini Belang. Lalu, wanita itu ditariknya perlahan-lahan keluar dari himpitan pohon yang sudah diangkat Pendekar Rajawali Sakti.
Sedikit demi sedikit, Nini Belang tertarik keluar.
Dan begitu seluruh tubuhnya tidak lagi berada di bawah batang pohon itu, Rangga segera melepaskan pohon itu hingga jatuh kembali menghantam bumi.
Rangga langsung menjatuhkan diri bersandar pada batang pohon itu. Keringat bersimbah di seluruh tubuhnya. Seluruh kekuatan tenaga dalamnya benar-benar dikerahkan untuk mengangkat pohon yang begitu besar ini.
Setelah beristirahat sebentar, Rangga bangkit berdiri dan menghampiri Nini Belang yang masih terbaring tak berdaya, ditunggui harimau peliharaannya.
Harimau sebesar anak lembu itu hanya diam saja, memandangi Rangga yang langsung memeriksa keadaan tubuh gadis cantik berbaju merah ini.
"Kenapa kau menyelamatkan aku, Rangga?" tanya Nini Belang, terdengar lirih suaranya.
"Tidak layak bagi seorang pendekar melihat kematian lawan seperti itu," sahut Rangga seenaknya.
"Tidak seharusnya kau berbuat begitu padaku, Rangga.
Biarkan saja aku mati.
Aku sudah kalah bertarung denganmu," ujar Nini Belang lagi.
Rangga tidak mempedulikan kata-kata Nini Belang.
Terus diperiksanya keadaan tubuh gadis ini.
Memang tidak begitu parah.
Hanya beberapa tulangnya saja yang patah akibat terhimpit pohon tadi.
Tapi, itu sudah membuat Nini Belang harus terbaring sedikitnya dua hari.
Hanya dengan mengerahkan hawa murni dan sedikit perawatan saja, pasti luka-luka yang diderita gadis ini bisa cepat sembuh.
Dan Rangga tidak perlu mengkhawatirkan lagi keadaannya.
"Maaf.
Tidak seharusnya tadi aku mengerahkan ilmu kesaktian, selagi kau tidak siap," ujar Rangga menyesal.
"Di dalam pertarungan, segala cara apa pun harus dilakukan untuk menang, Pendekar Rajawali Sakti.
Dan kau telah memenangkan pertarungan tadi," kata Nini Belang jujur.
"Kau tahu, di mana tabib yang terdekat," Tanya Rangga.
"Tidak ada tabib yang dekat di sini," sahut Nini Belang.
"Lukamu harus segera disembuhkan. Tapi, kurasa kau bisa menyembuhkan sendiri. Hanya patah tulang saja.
Aku yakin kau tahu cara penyembuhannya," kata Rangga sambil berdiri.
"Kau tetap ingin mencari Pandan Wangi, Rangga?" tanya Nini Belang melihat Rangga akan pergi meninggalkannya.
"Benar," sahut Rangga tidak jadi melangkah.
"Berjalanlah menyusuri arus sungai.
Kau akan menemukannya nanti di sana," jelas Nini Belang memberi tahu.
"Kau tahu, apa yang dilakukan Pandan Wangi?" tanya Rangga ingin tahu.
"Sayang.
Aku tidak bisa memberitahumu, Rangga.
Sebaiknya, kau ikuti saja arus sungai.
Tapi jika tidak mau, kau boleh kembali ke Karang Setra," sahut Nini Belang.
Rangga hanya tersenyum saja, kemudian mengayunkan kakinya meninggalkan gadis cantik yang masih ditunggui seekor harimau bertubuh besar peliharaannya.
Rangga terus melangkah tanpa berpaling lagi.
Sementara, Nini Belang mencoba menggerakkan tubuhnya.
Tapi hatinya jadi mengeluh, karena seluruh tubuhnya benar-benar tidak bisa digerakkan lagi.
Memang sulit bergerak jika tulang punggung dan beberapa tulang rusuknya patah.
*
* *
Pendekar Rajawali Sakti merasakan seperti tengah berada dalam suatu permainan yang sulit dimengerti.
Dan rasanya, permainan ini merupakan suatu perangkap baginya.
Sudah dua kali dia dihadang.
Dan Rangga bisa menilai kalau penghadangnya itu seperti hanya ingin menjajal kepandaiannya saja.
Tapi, hatinya tidak yakin kalau Pandan Wangi justru yang dijadikan umpan.
Dan Pendekar Rajawali Sakti juga belum bisa mengetahui maksud sebenarnya dari semua permainan yang tidak mengenakkan ini.
Entah sudah berapa lama Rangga berjalan menyusuri sungai ini.
Dan semakin jauh berjalan, sungai itu semakin melebar saja.
Malah arusnya pun tidak lagi deras seperti tadi.
Bahkan hampir tidak terlihat adanya arus di permukaan sungai yang semakin lebar ini. Tapi sampai matahari berada di ufuk Barat, belum juga tanda-tanda jejak Pandan Wangi ditemukan.
Rangga baru berhenti melangkah saat menemukan sebuah perahu kecil yang ditunggui seorang laki-laki tua bertelanjang dada.
Tubuhnya begitu kurus, sehingga tulang-tulangnya kelihatan jelas bersembulan terbungkus kulit yang hitam legam karena terbakar matahari.
"Ingin menyeberang, Den...?" laki-laki tua tukang perahu itu menegur lebih dahulu.
"Tidak, Ki," sahut Rangga seraya menghampiri lebih dekat lagi.
"Sebentar lagi malam. Hanya di seberang sana yang ada desanya, Den. Kebetulan aku juga akan ke seberang," kata tukang perahu itu lagi. Rangga memandang ke arah Barat. Matahari memang sudah begitu condong, hampir tenggelam di balik peraduannya.
Dan memang desa yang terdekat adanya di seberang sungai ini. Pendekar Rajawali Sakti kembali menatap laki-laki tua tukang perahu itu.
"Baiklah. Antarkan aku ke seberang, Ki," pinta Rangga seraya naik ke atas perahu berukuran kecil itu.
Si tukang perahu hanya tersenyum dan mengangguk saja.
Kemudian diambilnya dayung, lalu duduk di bagian belakang perahu ini.
Sedangkan Rangga duduk di depan menghadap si tukang perahu yang mulai mengayuh.
Perlahan perahu berukuran kecil itu bergerak ke tengah sungai yang hampir tak terasa lagi alirannya.
Perahu itu terus bergerak perlahan-lahan semakin ke tengah.
"Ki, apakah kau melihat seorang gadis lewat sini tadi?" tanya Rangga mengisi kebisuan yang terjadi sejak meninggalkan tepian sungai.
"Sejak tadi banyak orang yang menyeberang, Den. Bahkan ada beberapa gadis menyeberang," sahut si tukang perahu.
"Maksudku gadis yang mengenakan baju biru, dan membawa pedang di punggungnya," kata Rangga menjelaskan ciri-ciri Pandan Wangi.
"Ada, Den. Dia minta diantarkan ke seberang.
Dan...," si tukang perahu tidak meneruskan kalimatnya.
"Dan apa, Ki...?" desak Rangga minta diteruskan.
"Kelihatannya dia sedang terburu-buru, Den.
Seperti mengejar sesuatu," sambung si tukang perahu.
"Lalu, dia pergi ke mana lagi setelah sampai di seberang?" tanya Rangga semakin ingin tahu.
Rangga yakin kalau yang dilihat dan diantarkan ke seberang oleh tukang perahu itu adalah Pandan Wangi. Dan Pendekar Rajawali Sakti semakin ingin tahu saja, apa yang dikerjakan Pandan Wangi sehingga pergi begitu tergesa-gesa bagaikan sedang mengejar sesuatu seperti yang dikatakan si tukang perahu ini.
"Dia sudah ditunggu sebuah kereta kuda yang begitu indah.
Seperti kereta para bangsawan, Den.
Bahkan kereta itu juga dikawal enam orang pemuda gagah.
Semuanya menunggang kuda dan berpakaian seragam seperti prajurit.
Tapi, aku tidak tahu mereka prajurit dari mana.
Masalahnya, aku sering mengantarkan para prajurit dari Kotaraja Karang Setra yang ingin ke seberang," jelas si tukang perahu lagi.
Rangga tersenyum dikulum, dan hampir tidak terlihat.
Untung saja si tukang perahu ini tidak mengenalinya, kalau dia adalah Raja Karang Setra.
Dalam pakaian seperti ini, memang tidak ada seorang pun yang akan mengenalinya.
Dan biasanya orang akan mengenalnya sebagai pendekar, bukan sebagai seorang raja di Karang Setra. Dan memang, ini yang diinginkan Rangga. Sehingga, dia bisa bergerak leluasa sekali.
"Kalau boleh ku tahu, siapa gadis itu, Den?" tanya si tukang perahu.
"Adikku, Ki. Dia lari dari rumah," sahut Rangga seenaknya.
Si tukang perahu hanya menganggukanggukkan kepala saja.
Dan mereka tidak ada yang bicara lagi.
Sementara, perahu yang ditumpangi semakin mendekati tepian seberang sungai. Rangga cepat melompat ke darat begitu perahu sudah menepi. Setelah memberi bayaran yang cukup, Pendekar Rajawali Sakti bergegas berjalan cepat mengikuti arah yang ditunjuk si tukang perahu.
*
* *
::::↨֍¦ 4 ¦֎↨::::
Rangga terpaksa bermalam di sebuah penginapan yang ada di Desa Karanggati.
Memang, tidak mungkin perjalanannya dilanjutkan di malam hari.
Desa Karanggati sendiri merupakan sebuah desa yang cukup besar dan ramai.
Hampir jauh malam, desa ini masih saja kelihatan ramai.
Dan sudah hampir seluruh pelosok desa ini dijelajahi.
Bahkan sudah berpuluh orang ditanya, tapi Rangga belum juga bisa menemukan petunjuk di mana Pandan Wangi sekarang berada.
Tok, tok, tok...! Rangga berpaling sedikit ketika mendengar ketukan di pintu kamar penginapannya.
"Masuk...!" seru Rangga agak keras sambil kembali mengarahkan pandangan ke luar melalui jendela yang terbuka lebar.
Krieeet..! Terdengar suara derit pintu yang terbuka perlahan-lahan. Rangga mendengar suara langkah kaki yang halus memasuki kamarnya, namun tetap tidak berpaling. Kemudian, kembali terdengar derit suara pintu yang tertutup. Dan kini tidak lagi terdengar suara sedikit pun.
Rangga yang hanya bisa mendengar tarikan napas begitu lembut di belakangnya.
"Kakang...," terdengar suara lembut sekali dari belakang Pendekar Rajawali Sakti.
Perlahan Rangga memutar tubuhnya, saat mendengar suara seorang wanita yang begitu lembut dari belakangnya. Dan begitu berbalik, matanya jadi terbeliak. Hampir tidak dipercaya dengan apa yang ada di depannya sekarang ini. Sungguh tidak disangka kalau yang masuk ke kamar penginapannya adalah seorang gadis berwajah begitu cantik. Dia mengenakan baju warna merah menyala yang ketat, sehingga membentuk tubuhnya yang ramping dan indah.
Tapi bukan kecantikan dan keindahan tubuh gadis itu yang membuat Rangga jadi terbeliak.
Justru Pendekar Rajawali Sakti tidak menyangka kalau yang memasuki kamarnya ini adalah Mayang, seorang gadis yang selama ini sudah dilupakan dan tak terdengar lagi kabar beritanya.
"Kenapa kau ada di sini, Mayang...?" agak tersekat nada suara Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti seperti masih belum percaya kalau yang berdiri di depannya ini adalah seorang gadis yang mencintainya.
Hanya saja, gadis itu cintanya tidak terbalas, karena Rangga tidak menyukai wataknya yang dengki dan selalu menyimpan dendam pada Pandan Wangi.
Tapi walaupun demikian, Mayang tidak pernah berputus asa untuk mendapatkan cinta Pendekar Rajawali Sakti. Sudah segala macam cara dilakukan, namun tidak juga mampu meruntuhkan ketegaran hati Rangga yang bagaikan batu karang.
Tak lebur meskipun setiap saat terhantam gelombang laut.
"Kau masih belum sudi menerima kehadiranku, Kakang?" perlahan sekali suara Mayang, seakan-akan mengharapkan sikap yang manis dari Pendekar Rajawali Sakti.
"Duduklah," Rangga mempersilakan.
Memang tidak ada alasan bagi Rangga untuk membenci gadis ini. Meskipun tidak menyukai akan sifat-sifatnya, tapi tidak mungkin bisa membencinya terus-menerus. Dan selama ini, Mayang memang tidak pernah berbuat sesuatu yang secara langsung merugikannya. Sementara Rangga duduk di dekat jendela, Mayang mengambil tempat di tepi pembaringan. Untuk beberapa saat lamanya mereka tidak ada yang bicara.
Kesunyian begitu terasa menyelimuti seluruh kamar penginapan yang tidak besar ukurannya ini.
"Dari mana kau tahu aku ada di sini?" tanya Rangga memecah kebisuan yang terjadi.
"Sore tadi, aku melihatmu masuk ke sini. Aku sengaja menunggu sampai malam, agar tidak ada seorang pun yang melihatku masuk ke sini," sahut Mayang.
"Ada perlu denganku?" tanya Rangga lagi.
"Tidak begitu mendesak," sahut Mayang.
"Katakanlah."
"Aku tahu, kenapa kau berada di sini sendirian dan tidak bersama Pandan Wangi seperti biasanya," kata Mayang, begitu bersungguh-sungguh nada suaranya.
Kening Rangga jadi berkerut mendengar katakata Mayang barusan.
Ditatapnya gadis itu dalamdalam dengan mata agak menyipit Sedangkan Mayang malah bangkit dari duduknya, dan berdiri di depan jendela. Rangga masih tetap duduk memandangi dengan sinar mata tajam dan penuh arti yang mendalam.
Entah apa yang ada di dalam benak Pendekar Rajawali Sakti sekarang ini, sehingga tidak lagi mengucapkan sesuatu.
Dan Mayang sendiri juga terdiam membisu, memandangi rembulan yang bersinar penuh, bergelayut di langit.
"Kalau kau menyangka Pandan Wangi ada di Desa Karanggati ini, kau salah besar, Kakang. Pandan Wangi tidak ada di desa ini. Bahkan sama sekali tidak lewat sini," jelas Mayang mengisi kebisuan yang terjadi untuk beberapa saat lamanya.
"Kau bicara seolah-olah mengetahui apa yang sedang terjadi, Mayang," desis Rangga bernada curiga.
Rangga tahu betul kalau Mayang begitu membenci Pandan Wangi, karena dianggap saingannya dalam merebut cinta Pendekar Rajawali Sakti.
Dan lagi, Mayang memang sudah bertekad untuk menjauhkan Pandan Wangi dari Pendekar Rajawali Sakti dengan cara apa pun juga.
Bahkan tidak segan-segan membunuhnya kalau perlu.
Dan itu pernah diucapkan Mayang beberapa waktu lalu, sebelum menghilang dari Kerajaan Karang Setra.
"Aku sebenarnya sudah tahu kau pasti akan datang ke sini, Kakang.
Itu sebabnya, kenapa aku menunggumu sejak kemarin," jelas Mayang.
"Kau tahu di mana Pandan Wangi, Mayang...?" agak dalam nada suara Rangga.
Mayang tidak menjawab, tapi malah melangkah ke pintu kamar penginapan ini.
Sebentar wajahnya berpaling menatap Pendekar Rajawali Sakti.
Bibirnya yang selalu merah, terlihat mengembangkan senyuman yang begitu manis. Kemudian kakinya melangkah ke luar, menutup pintu kamar ini kembali.
"Mayang, tunggu...!" sentak Rangga berseru.
Bergegas Pendekar Rajawali Sakti mengejar gadis itu.
Tapi begitu sampai di depan pintu kamarnya, Mayang sudah tidak terlihat lagi.
Gadis itu sudah menghilang, entah pergi ke mana.
Rangga mengedarkan pandangan ke lorong rumah penginapan ini.
Tapi tak ada seorang pun yang terlihat.
Perlahan-lahan Pendekar Rajawali Sakti menutup pintu kamar penginapannya kembali.
Sebentar kepala Pendekar Rajawali Sakti berpaling ke kanan dan ke kiri, mengamati lorong yang tampak sepi, tanpa seorang pun terlihat. Dengan langkah bergegas, disusurinya lorong yang di kanan kirinya terdapat pintu-pintu kamar tertutup rapat.
Rangga terus melangkah cepat menuju ke ruangan depan rumah penginapan ini. Di situ, yang ditemuinya hanya seorang perempuan tua yang terduduk di kursi kayu terkantuk-kantuk. Sebentar Pendekar Rajawali Sakti menatap wanita tua itu, kemudian terus bergegas melangkah keluar dari rumah penginapan ini.
*
* *
Tapi, gadis itu tidak juga dijumpai lagi.
Mayang bagaikan lenyap tertelan bumi.
Tak ada seorang pun yang melihat gadis ini ketika ditanya.
Bahkan ketika Rangga bertanya pada wanita tua pemilik rumah penginapan, jawabannya sama saja.
Rangga tidak percaya kalau Mayang bisa tak terlihat oleh siapa pun juga.
Padahal ketika berada di luar rumah penginapan itu, keadaannya masih cukup ramai. Meskipun, sudah tidak begitu banyak orang lagi seperti tadi. Tapi tak ada seorang pun yang melihat gadis cantik berbaju merah yang pedangnya tersampir di punggung itu. Rangga melangkah perlahan-lahan menyusuri jalan tanah yang sudah sepi ini. Tak ada seorang pun yang terlihat lagi. Bahkan lampu-lampu rumah yang berdiri di sepanjang jalan ini pun sudah tidak ada lagi yang menyala. Keadaan begitu sunyi, seperti berada di sebuah desa mati tak berpenghuni.
Begitu cepat sekali penduduk desa ini tenggelam ke dalam rumahnya. Padahal belum lama tadi, masih terlihat cukup ramai.
"Hm...," tiba-tiba Rangga menggumam.
Pendengarannya yang sangat tajam bisa mengetahui ada detak langkah-langkah kaki yang begitu halus mengikutinya dari belakang. Suara langkah kaki itu semakin terdengar dekat dan halus sekali. Rangga tahu, orang yang berjalan di belakangnya memiliki ilmu meringankan tubuh yang tinggi.
Sehingga, suara langkah kakinya hampir tidak terdengar.
"Hup...!" Tiba-tiba saja Rangga melompat ke atas, lalu hinggap di salah satu cabang pohon yang cukup tinggi.
Matanya langsung ditujukan ke arah suara langkah kaki yang tadi didengarnya. Dari kegelapan malam, tampak seseorang tengah melangkah cepat. Namun langkahnya begitu ringan, hingga suara yang ditimbulkannya begitu halus.
Bahkan hampir tak terdengar telinga Pendekar Rajawali Sakti.
Kening Rangga jadi berkerut melihat orang yang mengikutinya adalah seorang laki-laki tua bertubuh kurus yang tidak mengenakan baju.
Pendekar Rajawali Sakti mengenali betul orang tua itu.
Laki-laki berusia sekitar tujuh puluh tahun itu adalah yang mengantarkannya menyeberangi sungai.
Dan kini dia berhenti tepat di bawah pohon yang dinaiki Rangga.
Laki-laki tua itu seperti kebingungan.
Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri, seperti mencari sesuatu.
Dan begitu mendongak ke atas....
"Hup...!" Bagaikan kilat, Rangga melompat turun. Gerakannya begitu cepat dan ringan sekali, hingga membuat laki-laki tua itu jadi terkejut setengah mati.
Cepat-cepat dia melompat ke belakang beberapa tindak.
Gerakannya begitu ringan dan halus, lalu manis sekali menjejakkan kakinya kembali di tanah. Pada saat itu, Rangga sudah mendarat di tempat tadi sebelum melompat ke atas pohon.
"Mau apa kau mengikutiku, Ki...?" desis Rangga langsung bertanya.
"Aku.... Aku tidak bermaksud buruk padamu, Anak Muda. Percayalah. Aku tidak bermaksud apaapa...," sahut laki-laki tua itu sambil melangkah mendekati Pendekar Rajawali Sakti.
"Kalau kau tidak bermaksud buruk, kenapa mengikutiku dengan cara seperti itu?" desak Rangga.
"Aku tahu siapa kau, Anak Muda.
Dan aku juga tahu persoalan yang sedang kau hadapi sekarang ini.
Maka, aku bermaksud ingin membantumu," kata lakilaki tua itu lagi.
"Katakan, siapa kau sebenarnya?" tanya Rangga dengan mata agak menyipit.
"Di desa ini, orang-orang selalu memanggilku Ki Arman.
Tapi, kebanyakan orang memanggilku si Kakek Maut Bertangan Baja.
Namun ada juga yang memanggilku si Tua Tukang Perahu.
Terserah kau ingin memanggilku apa, Pendekar Rajawali Sakti," sahut lakilaki tua itu memperkenalkan dirinya.
"Dari mana kau tahu tentang diriku, Ki?" tanya Rangga agak terkejut juga, karena Ki Arman sudah mengetahui tentang dirinya.
"Tidak ada seorang pun di dunia ini yang mempunyai pedang sakti bergagang kepala burung.
Dan orang yang mengenakan pakaian sepertimu hanya ada satu.
Kau begitu mudah untuk dikenali, Pendekar Rajawali Sakti," sahut Ki Arman yang juga berjuluk si Kakek Maut Bertangan Baja atau juga si Tua Tukang Perahu.
"Lalu, untuk apa kau mengikutiku diam-diam?" tanya Rangga lebih menyelidik lagi.
"Karena aku tidak ingin melihat pendekar muda dan bijak sepertimu dipermainkan orang-orang berhati iblis seperti mereka," sahut Ki Arman.
"Aku tidak mengerti maksudmu, Ki...," ujar Rangga kebingungan.
"Secara tidak sadar, kau telah masuk perangkap mereka, Pendekar Rajawali Sakti. Sebuah perangkap yang akan berlumur darahmu, atau darah mereka sendiri.
Hal itu bisa kuketahui saat kau bertanya tentang Pandan Wangi," jelas Ki Arman lagi.
"Kau juga tahu tentang Pandan Wangi, Ki...?" kali ini Rangga tidak bisa lagi menyembunyikan keterkejutannya.
Sungguh tidak disangka kalau laki-laki tua yang dikenal berjuluk si Kakek Maut Bertangan Baja itu tahu banyak tentang dirinya.
Bahkan juga tahu tentang diri Pandan Wangi.
Rangga jadi semakin ingin tahu, siapa sebenarnya laki-laki tua yang belum dikenalnya sama sekali ini.
Tapi, dia malah sudah mengetahui banyak tentang dirinya.
"Kalau kau tidak keberatan, sebaiknya kita bicarakan hal ini di rumahku," ajak Ki Arman.
Rangga yang memang ingin tahu, apa sebenarnya yang sedang dihadapinya kali ini, tidak bisa lagi menolak ajakan si Kakek Maut Bertangan Baja ini.
Dan Pendekar Rajawali Sakti terus saja melangkah mengikuti ayunan kaki laki-laki tua yang tidak mengenakan baju ini.
Mereka berjalan perlahan-lahan tanpa berbicara sedikit pun.
Sesekali, Rangga melirik memperhatikan laki-laki tua yang berjalan di sampingnya ini.
Entah berapa banyak pertanyaan yang tidak bisa terjawab bergayut di dalam benaknya saat ini. Dan Rangga sendiri tidak tahu, kapan semua pertanyaan itu bisa terjawab.
"Jauh rumahmu, Ki?" tanya Rangga setelah mereka berjalan cukup lama, tapi belum juga sampai di rumah si Kakek Maut Bertangan Baja ini.
"Tidak, sebentar lagi juga sampai. Tidak jauh dari sungai," sahut Ki Arman.
"Dengan siapa kau tinggal?"
"Cucuku. Tapi, mungkin sekarang dia sudah tidur," sahut Ki Arman lagi.
Rangga tidak bertanya lagi. Memang, malam sudah begitu larut. Dan sebentar lagi, pagi pasti akan datang menjelang disertai kehangatan sinar sang mentari.
Sementara mereka terus berjalan tanpa bicara lagi.
Rangga tahu, jalan yang ditempuhnya ini menuju sungai yang secara langsung menjadi pembatas dua buah kerajaan.
Kerajaan Karang Setra dan Kerajaan Watugaru.
Dua kerajaan yang bertetangga dekat dan memiliki hubungan yang begitu erat.
Dan Rangga tahu, sekarang ini berada di wilayah Kerajaan Watugaru.
*
* *
Cahaya pelita dari dalam rumah kecil berdinding anyaman bambu itu menerangi tubuh gadis yang ramping dan sintal ini.
Sejenak Rangga memandanginya.
Sementara, Ki Arman terus melangkah memasuki beranda rumah kecil tidak jauh dari tepi sungai yang dikatakan sebagai tempat tinggalnya.
"Kenapa kau belum tidur, Rinjani...?" tegur Ki Arman.
"Aku menunggumu pulang," sahut gadis yang dipanggil Rinjani itu.
Sementara Rangga sudah sampai di depan tangga beranda rumah berukuran kecil ini. Ki Arman mempersilakan Pendekar Rajawali Sakti masuk. Dengan menganggukkan sedikit kepalanya pada Rinjani, Pendekar Rajawali Sakti melangkah memasuki beranda depan rumah Ki Arman. Kemudian, dia duduk bersila beralaskan tikar lusuh setelah dipersilakan Ki Arman yang sudah lebih dulu duduk di sana.
Sementara, Rinjani masih tetap berdiri di ambang pintu yang tetap terbuka lebar.
"Sebaiknya kau buatkan minuman yang hangat, Rinjani.
Lalu, cepatlah pergi tidur," kata Ki Arman.
"Aku belum mengantuk, Kek," sahut Rinjani, agak memberengut manja.
"Kalau begitu, buatkan minuman hangat untukku dan tamuku," pinta Ki Arman.
Rinjani hanya mengangguk saja, kemudian cepat sekali tenggelam ke dalam rumah.
Rangga hanya melirik sebentar sambil menyunggingkan senyuman tipis.
Entah kenapa dia tersenyum.
Mungkin teringat pertemuan pertamanya dengan Pandan Wangi.
Saat itu, Pandan Wangi memang kelihatan agak liar dan mudah sekali memberengut. Tapi di balik itu semua, di dalam jiwa Pandan Wangi sudah tertanam jiwa seorang pendekar sejati. Meskipun, sampai saat ini segala tindakannya masih juga terburu-buru dan mudah sekali tersambar amarah.
Tapi Rangga menganggapnya wajar, karena sejak kecil Pandan Wangi selalu ditempa oleh kehidupan keras.
"Itu cucuku satu-satunya, Rangga.
Manjanya bukan main...," ujar Ki Arman memperkenalkan cucunya tadi.
Rangga hanya tersenyum saja. Sementara itu Rinjani sudah keluar lagi sambil membawa sebuah baki berisi dua gelas bambu mengepulkan uap hangat, dan sepiring makanan kecil. Dengan sikap lembut sekali, diletakkan bawaannya itu di depan Rangga dan Ki Arman. Kemudian gadis itu duduk tidak jauh dari pintu.
"Tidak ada yang keberatan aku menemani, kan...?" ujar Rinjani sebelum Ki Arman sempat membuka mulutnya.
"Tentu tidak," Rangga cepat menyahuti.
Dan Ki Arman memang tidak bisa berkata lain lagi, meskipun sedikit mendelik pada gadis itu.
Tapi, tampaknya Rinjani tidak mempedulikan.
Gadis itu malah menatap wajah tampan Pendekar Rajawali Sakti, seakan-akan baru kali ini bisa melihat wajah seorang pemuda yang begitu tampan.
Tapi begitu Rangga menatapnya, pandangannya langsung diarahkan ke arah lain.
Rinjani tetap tidak mau memandang Ki Arman yang tampaknya tidak setuju dengan adanya Rinjani bersama mereka sekarang ini.
"Baiklah, Ki.
Katakan..., apa saja yang kau ketahui," ujar Rangga langsung pada pokok persoalannya.
"Kenapa harus terburu-buru, Rangga...? Nikmati dulu minuman buatan cucuku.
Pasti kau tidak akan menyukainya," kata Ki Arman sambil mencibir pada Rinjani.
Dan ejekan bergurau laki-laki tua itu hanya dibalas cibiran saja oleh gadis ini.
Rangga melihat itu jadi tersenyum saja.
Kemudian, dihirupnya sedikit minuman yang berasa rebusan air jahe itu.
Memang terasa hangat dan nikmat sekali, sehingga Rangga menghirupnya lagi sampai tinggal setengah gelas.
"Sungguh nikmat," puji Rangga sambil meletakkan gelas dari bambu yang diserut halus itu.
"Ah...! Minuman seperti itu apa nikmatnya, Rangga. Paling-paling juga hanya bisa menahan rasa kantuk sedikit," dengus Ki Arman seraya melirik Rinjani lagi.
"Tapi aku yakin, tidak akan bisa menemukan minuman senikmat ini lagi," Rangga tetap memuji.
Dan pujian Rangga itu membuat wajah Rinjani jadi memerah. Terlebih lagi, saat melontarkan pujian itu Rangga sempat melirik padanya. Sehingga, Rinjani tidak bisa lagi bertahan lama dan bergegas bangkit berdiri. Tanpa mengucapkan apa pun, gadis itu langsung masuk ke dalam rumah.
Rinjani tidak munculmuncul lagi, sehingga membuat Ki Arman jadi tertawa terbahak-bahak.
Sedangkan Rangga hanya tersenyum saja.
"Kau benar-benar hebat, Pendekar Rajawali Sakti.
Padahal aku sudah mengusirnya.
Tapi dengan sedikit kata-kata saja, kau langsung mengenyahkannya dari sini," ujar Ki Arman memuji cara Rangga menyuruh Rinjani masuk ke dalam rumah.
Sedangkan Rangga hanya tersenyum saja.
Dia memang tahu kalau Ki Arman tidak ingin ada orang lain lagi di antara mereka. Maka Pendekar Rajawali Sakti tahu betul cara menghadapi gadis lugu seperti Rinjani. Terlebih lagi, beberapa kali dia mendapati Rinjani selalu mencuri pandang padanya.
Dan kesempatan itu dipergunakan untuk memenuhi keinginan Ki Arman.
Cara yang dilakukan Rangga memang sangat ampuh.
Rinjani langsung meninggalkan beranda ini tanpa dapat berkata sedikit pun juga.
"Baiklah....
Sampai di mana pembicaraan kita tadi, Rangga?" tanya Ki Arman setelah reda tawanya.
"Tentang perangkap itu, Ki," sahut Rangga.
"Oh, ya.... Perangkap yang ditujukan untukmu, bukan...?" Rangga hanya mengangguk saja.
"Sebenarnya aku sendiri juga kurang begitu paham. Dan aku juga hanya mendengar dari pembicaraan orang-orang yang membutuhkan jasa penyeberangan perahuku," jelas Ki Arman memulai pembicaraan lagi.
Rangga hanya diam saja mendengarkan.
"Kau tahu, Rangga...? Hampir setiap hari aku selalu membawa berbagai macam orang ke seberang sungai.
Baik itu orang biasa maupun dari kalangan persilatan.
Dan apa yang dibicarakan, aku selalu jelas mendengar.
Dan belakangan ini, aku sering mendengar pembicaraan mengenai dirimu, juga Pandan Wangi," Ki Arman kembali berhenti.
"Apa yang mereka bicarakan, Ki?" tanya Rangga jadi tidak sabar lagi.
*
* *
::::↨֍¦ 5 ¦֎↨::::
Tapi naluriku mengatakan, saat ini kau tengah masuk ke dalam perangkap untuk menguji sampai di mana tingkat kedigdayaan yang kau miliki," jelas Ki Arman.
"Hm.... Jadi kau sendiri juga tidak tahu tentang mereka, Ki?" ujar Rangga, agak menggumam suaranya.
"Terlalu sulit untuk memastikannya, Rangga," sahut Ki Arman.
"Tapi kenapa kau mengatakan kalau aku sedang masuk perangkap?" Rangga ingin kepastian.
"Hanya naluriku saja yang mengatakan begitu, Rangga. Dan biasanya, jika naluriku berkata begitu jarang sekali meleset," sahut Ki Arman lagi.
Rangga jadi terdiam, dan teringat kembali beberapa peristiwa yang sampai saat ini belum bisa dimengerti.
Peristiwa yang dirasakan sangat aneh ini, yang berawal dari sikap aneh Pandan Wangi.
Kepergian gadis itu katanya ingin menyelesaikan satu persoalan yang tidak diketahuinya.
Pandan Wangi memang tidak mau mengatakan persoalan yang sedang dihadapinya.
Kemudian setelah Pandan Wangi pergi, muncul Cempaka yang membawa selembar surat daun lontar yang ditemukannya di kamar Pandan Wangi.
Kemudian, muncul beberapa peristiwa yang tidak bisa dimengerti sama sekali.
Sejak pergi mengikuti Pandan Wangi, sudah dua kali Pendekar Rajawali Sakti dihadang tanpa alasan yang pasti.
Dan tampaknya, penghadang-penghadang itu sudah mengetahui kalau dia sedang mengejar Pandan Wangi.
Dari petunjuk merekalah, hingga akhirnya Pendekar Rajawali Sakti sampai di desa ini.
Dan sekarang, seorang laki-laki tua yang mengaku bernama Ki Arman mengatakan kalau Pendekar Rajawali Sakti sedang masuk suatu perangkap, yang kemungkinan besar akan berlumur darah. Mungkin juga berlumur darah si pemasang perangkap itu sendiri, atau juga berlumur darah Pendekar Rajawali Sakti.
Inilah yang membuat Rangga semakin bingung dan terus bertanya-tanya dalam benaknya.
Tapi, pertanyaan itu belum juga bisa terjawab sampai sekarang ini. Dia benar-benar tidak tahu, apa sebenarnya yang sedang terjadi sekarang ini.
Rangga juga jadi teringat dengan munculnya Mayang. Kemunculan gadis itu kembali, memang terasa sangat aneh. Terlebih lagi bila mengingat kata-kata yang diucapkan Mayang di kamar rumah penginapan.
Namun, Rangga belum bisa menarik suatu garis hubungan dari peristiwa yang satu dengan peristiwa lainnya.
Meskipun dari semua peristiwa itu sudah bisa terlihat suatu mata rantai yang saling berkaitan, tapi Rangga belum bisa menghubungkannya satu sama lain.
Rangga jadi teringat baris-baris kalimat yang tertulis di atas selembar daun lontar yang ditemukan Cempaka di dalam kamar Pandan Wangi.
"Ki! Kau tahu, di mana letaknya Lembah Kumala...?" tanya Rangga setelah cukup lama berdiam diri.
"Tahu," sahut Ki Arman.
"Kenapa kau tanyakan lembah itu, Rangga?"
"Aku merasa kalau Pandan Wangi sedang menuju ke sana.
Atau, bahkan mungkin juga sudah ada di sana," kata Rangga, agak perlahan suaranya, seperti ragu-ragu.
"Apa Pandan Wangi mengatakan tempat tujuan perginya?" tanya Ki Arman.
"Tidak," sahut Rangga.
"Lalu, kenapa kau punya pikiran begitu?" Rangga tidak segera menjawab. Hatinya jadi ragu-ragu untuk memberi tahu surat yang ditemukan Cempaka di kamar Pandan Wangi. Karena, dia sendiri tidak tahu dari mana dan kapan surat itu diterima Pandan Wangi. Yang diketahuinya, dua hari sebelum berpamitan hendak pergi, gadis yang berjuluk si Kipas Maut itu selalu termenung sendiri. Dan di dalam surat itu, jelas tertulis Lembah Kumala.
"Tidak ada seorang pun yang mau menginjak lembah itu, Rangga. Dan lagi, letaknya sangat jauh dari sini. Masih memerlukan sedikitnya satu hari penuh menunggang kuda. Itu pun kalau tidak mendapat rintangan di jalan," jelas Ki Arman.
"Apakah lembah itu berbahaya, Ki?" tanya Rangga jadi ingin tahu.
"Sebenarnya Lembah Kumala sangat indah. Tapi, sekarang telah dikuasai seorang tokoh persilatan berilmu tinggi. Entah sudah berapa orang yang secara sengaja atau tidak memasuki lembah itu. Tapi, sampai sekarang tidak lagi terdengar kabar beritanya. Hingga, lembah itu sama sekali tidak lagi didekati," jelas Ki Arman tentang Lembah Kumala.
"Siapa orang itu, Ki?" tanya Rangga semakin ingin tahu.
"Sebenarnya, namanya Ki Badranaya.
Tapi orang-orang rimba persilatan selalu menyebutnya Setan Lembah Kumala," sahut Ki Arman lagi.
"Hm...." Rangga mengangguk-anggukkan kepala.
Sementara itu malam sudah hampir tergeser.
Suara kokok ayam jantan sudah mulai terdengar saling bersahutan. Dan burung-burung pun sudah mulai terdengar berkicau.
Tampak di ufuk Timur rona merah sudah terlihat membias, menandakan fajar sebentar lagi akan muncul ke permukaan bumi ini.
Sementara Rangga dan Ki Arman masih terus berbicara di beranda depan rumah si Tua Tukang Perahu itu.
Seakan-akan mereka tidak mempedulikan waktu yang terus berjalan.
Dan mereka juga seperti tidak peduli kalau semalaman tidak memejamkan mata sekejap pun juga.
*
* *
Rangga terus mengayunkan kakinya menuju Selatan sampai hilang dari pandangan Ki Arman. Sedikit pun ayunan kakinya tidak berhenti.
Benaknya terus mengulang kembali semua pembicaraannya dengan si Tua Tukang Perahu itu.
Dan dia ingat semua yang diucapkan laki-laki tua itu semalaman tadi.
Bahkan sekarang tahu, ke mana tujuan dari perjalanannya ini.
Dia yakin, Pandan Wangi menuju ke Lembah Kumala, seperti yang tertulis di lembaran daun lontar yang ditemukan Cempaka di kamar Pandan Wangi.
"Kakang...." Rangga langsung menghentikan langkahnya ketika tiba-tiba saja terdengar panggilan halus dari arah kanan.
Perlahan tubuhnya berputar ke kanan.
Kening Pendekar Rajawali Sakti jadi berkerut begitu melihat Rinjani tahu-tahu sudah berdiri di bawah sebatang pohon yang cukup rindang, sehingga melindungi kulitnya yang putih halus dari sengatan matahari.
Rangga menghampiri gadis itu.
"Kenapa kau ada di sini, Rinjani?" tegur Rangga langsung.
"Aku mendengar semua yang kau bicarakan dengan kakek semalam," kata Rinjani tidak menghiraukan teguran Rangga.
Kening Rangga semakin dalam berkerut.
Dipandanginya gadis berwajah cantik itu lekat-lekat. Dan ini membuat Rinjani harus menundukkan kepala, tidak sanggup membalas sinar mata Pendekar Rajawali Sakti yang demikian tajam, namun terasa begitu lembut menyentuh halus ke dalam relung hati. Mereka jadi terdiam begitu lama.
Perlahan Rangga menghampiri gadis itu lebih dekat lagi. Lalu, lembut sekali wajah Rinjani diangkat dengan ujung jari tangannya. Sehingga, gadis itu tidak bisa lagi menghindar dari tatapan mata Pendekar Rajawali Sakti yang begitu penuh daya pesona yang kuat tak terkirakan.
Dan Rinjani hanya dapat diam dengan dada menggemuruh.
"Kau menghadangku di sini pasti tanpa setahu kakekmu...," tebak Rangga begitu perlahan suaranya, dan terdengar agak dalam.
Rinjani hanya bisa diam saja tak mampu berkata apa pun juga.
"Sekarang, kembalilah pulang.
Kakekmu pasti bingung mencarimu," kata Rangga tegas.
"Tapi...," suara Rinjani jadi tercekat.
"Tidak ada alasan lagi, Rinjani. Pulanglah...," desis Rangga, tetap tegas nada suaranya.
Rangga tidak ingin lagi berdebat dengan gadis ini. Segera saja tubuhnya berbalik dan melangkah cepat meninggalkan gadis itu.
Sesaat Rinjani berdiri terpaku memandangi Pendekar Rajawali Sakti yang beberapa tombak berjalan di depannya.
Namun tiba-tiba saja....
"Hup!" Bagaikan kilat, tahu-tahu Rinjani melompat begitu cepat.
Dan hanya sekali lompatan saja, gadis itu sudah berdiri menghadang Rangga.
Terpaksa Pendekar Rajawali Sakti menghentikan langkahnya.
Hatinya tidak lagi terkejut melihat ilmu meringankan tubuh yang ditunjukkan Rinjani barusan. Memang pantas jika cucu seorang tokoh persilatan seperti si Tua Tukang Perahu memiliki tingkat kepandaian lumayan tinggi.
"Apa sebenarnya yang kau inginkan, Rinjani?" tanya Rangga tidak ingin bermain-main lagi.
Sudah terlalu berat tekanan yang harus ditanggungnya sekarang ini. Dan Pendekar Rajawali Sakti tidak ingin lagi bertahan hanya untuk mengurusi gadis ini.
Pandan Wangi harus secepatnya ditemukan. Pendekar Rajawali Sakti benar-benar mencemaskan keadaan Pandan Wangi.
Dugaannya, si Kipas Maut itu tanpa disadari telah menjadi umpan di dalam perangkap untuk Pendekar Rajawali Sakti.
"Kau tidak akan bisa bertemu Pandan Wangi tanpa bantuanku, Kakang," kata Rinjani, terdengar agak dalam nada suaranya.
"Apa maksudmu, Rinjani?" tanya Rangga, agak berkerut keningnya.
"Aku tahu, di mana Pandan Wangi.
Dan aku juga tahu, apa yang terjadi pada Pandan Wangi dan pada dirimu," tegas Rinjani.
Rangga benar-benar jadi kebingungan sekarang ini.
Dia merasa semua orang yang ada, bisa mengetahui semua yang sedang terjadi pada dirinya. Juga pada Pandan Wangi. Bahkan banyak orang yang tidak dikenalnya mengetahui persoalan yang sedang dialaminya.
Dan sekarang pun, Rinjani mengetahui persoalan yang dihadapinya.
Dan itu membuat Rangga semakin bertambah bingung saja.
"Apa saja yang kau ketahui, Rinjani?" desak Rangga.
Tatapan matanya begitu tajam menusuk langsung ke bola mata gadis itu.
"Kau sedang mencari Pandan Wangi, bukan...?" Rinjani malah bertanya, seperti ingin memastikan saja.
Rangga hanya mengangguk, menjawab pertanyaan gadis itu.
"Kau tahu, di mana Pandan Wangi sekarang berada?" Kali ini Rangga hanya menggelengkan kepala saja. Sinar matanya masih menatap tajam pada gadis di depannya ini.
"Ayo, kutunjukkan agar kau bisa bertemu Pandan Wangi," ajak Rinjani.
Gadis itu langsung saja menyambar tangan Rangga, dan mengajaknya melangkah meninggalkan tempat itu. Tapi, Rangga tidak segera mengikutinya.
Dia malah terdiam, dan melepaskan genggaman tangan Rinjani pada tangan kirinya.
Sehingga gadis itu kini malah menatap tajam.
"Aku ingin menolongmu, Kakang.
Hanya aku yang bisa menunjukkan di mana Pandan Wangi berada.
Tanpa pertolonganku, kau tidak akan mungkin bisa bertemu kekasihmu itu," kata Rinjani setengah mendesak.
"Katakan saja, di mana Pandan Wangi sekarang berada...?" desak Rangga, agak mendesis nada suaranya.
"Aku tidak bisa mengatakannya. Tempat itu tidak bernama, dan hanya sedikit orang yang mengetahui," sahut Rinjani.
Rangga semakin tajam menatap Rinjani.
Sinar matanya tampak memancarkan ketidakpercayaan.
Dan gadis itu rupanya tahu kalau Rangga tidak percaya atas jawabannya barusan.
Perlahan didekatinya Pendekar Rajawali Sakti, lalu kembali menggenggam tangannya erat-erat.
Seakan-akan dia tidak ingin melepaskannya lagi.
"Aku tahu, dalam keadaan seperti ini kau memang tidak bisa mempercayai siapa pun juga. Tapi aku sungguh-sungguh ingin membantumu," tegas Rinjani.
"Kita baru kenal semalam. Dan itu pun tidak ada kesempatan berbicara. Kenapa kau begitu ingin sekali membantuku, Rinjani?" Rangga tampaknya masih belum bisa mempercayai gadis ini.
Rinjani hanya tersenyum saja. Dilepaskannya genggaman pada tangan Pendekar Rajawali Sakti. Perlahan tubuhnya berputar dan melangkah tanpa berbicara lagi.
Sesaat Rangga hanya diam berdiri memandangi, kemudian mengayunkan kakinya menyusul gadis itu.
Langkah kakinya disejajarkan di samping gadis ini.
*
* *
Rangga dan Rinjani terus berjalan tanpa banyak bicara lagi.
Hanya sesekali saja mereka berbicara.
Dan selama perjalanan ini, Rangga terus mendesak Rinjani yang begitu ingin membantunya mencari Pandan Wangi.
Tapi, gadis itu seperti menyembunyikan sesuatu.
Meskipun Rangga terus mendesak, dia tetap bertahan tidak mau mengatakan alasannya.
Mereka baru berhenti melangkah setelah sampai di bibir sebuah lembah yang terlihat begitu indah.
Semerbak harum wangi bunga-bunga yang bermekaran begitu terasa menyengat hidung.
Rangga sampai berdecak kagum menyaksikan keindahan lembah ini.
Tapi begitu teringat cerita Ki Arman semalam, keningnya jadi berkerut.
Memang sukar bisa dipercaya kalau lembah yang begitu indah memiliki keangkeran yang sukar bisa dimengerti.
"Rinjani, bukankah ini yang disebut Lembah Kumala...?" tanya Rangga ingin memastikan.
"Benar," sahut Rinjani.
"Tadi katamu, kau akan membawaku ke tempat yang tidak bernama?" tanya Rangga teringat ucapan Rinjani sebelum sampai ke lembah yang begitu indah Ini.
"Memang. Dan kita belum sampai di sana, tapi harus melewati lembah ini dulu," kata Rinjani, terdengar agak ditekan nada suaranya.
Rangga memandangi gadis ini.
Dirasakan ada sesuatu di dalam nada suara Rinjani.
Seperti suatu kekhawatiran untuk melewati Lembah Kumala ini.
Dan memang, Rangga sudah mendengar dari Ki Arman kalau tidak ada seorang pun yang bisa selamat keluar jika sudah memasuki lembah ini.
Tapi dia tidak tahu, apa sebabnya sehingga Lembah Kumala begitu ditakuti semua orang.
"Kau takut melewati lembah ini, Rinjani?" tegur Rangga.
Rinjani tidak langsung menjawab.
Wajahnya berpaling dan menatap Pendekar Rajawali Sakti.
Jelas sekali kalau gadis itu berusaha tersenyum untuk menghilangkan kecemasan di hatinya. Tapi bibirnya yang bergerak tersenyum itu tampak bergetar. Rangga tahu, gadis ini berusaha keras untuk bisa tenang dan mencoba memberikan senyum, meskipun teramat dipaksakan.
"Sudah lama sekali aku ingin ke Lembah Kumala.
Tapi kakek tidak pernah mengizinkan ku datang ke sini.
Setiap kali aku pergi, dia selalu mengawasi.
Dia begitu khawatir aku pergi ke lembah ini," jelas Rinjani.
"Aku bisa memaklumi kecemasan kakekmu, Rinjani. Dan memang sebaiknya kau tidak datang ke sini, meskipun bersamaku," sambut Rangga.
"Kecemasannya terlalu berlebihan, Kakang.
Dan itu membuatku semakin ingin ke lembah ini. Dan kesempatan itu datang waktu aku mendengar semua pembicaraanmu semalam dengan kakek," kata Rinjani lagi.
"Boleh aku tahu, kenapa kau begitu ingin datang ke Lembah Kumala ini, Rinjani?" pinta Rangga.
"Ayah dan ibuku adalah sepasang pendekar.
Mereka tewas di lembah ini oleh Ki Badranaya, si Setan Lembah Kumala.
Aku begitu dendam dan ingin membalas kematian kedua orang tuaku.
Tapi, kakek tidak pernah mengizinkan untuk menuntut balas.
Bahkan dengan keras sekali melarangku untuk mendekati lembah ini," tutur Rinjani menceritakan kehidupannya.
"Dan .kau memanfaatkan keberadaanku, begitu...?"
"Lebih tepat kalau dikatakan kerjasama, Kakang."
"Kerjasama apa?"
"Kau ingin menemukan Pandan Wangi kembali, dan aku ingin membalas kematian kedua orang tuaku di lembah ini. Aku sudah begitu banyak mendengar tentang dirimu sebelum kau datang bersama kakek semalam. Dan aku yakin, kau mampu menghadapi Ki Badranaya. Dan sebagai imbalannya, aku akan membawamu menemui Pandan Wangi.
Karena, aku tahu betul tempat Pandan Wangi sekarang berada," jelas Rinjani lagi.
"Cerdik...," desis Rangga seraya tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepala.
"Sudah terlalu lama aku menunggu kesempatan ini, Kakang. Dan aku tidak ingin melewatkannya begitu saja. Rasanya, hanya satu kali ini saja kesempatan itu ku peroleh. Kini aku telah mendapatkan seorang pendekar tangguh dan digdaya yang tingkat kepandaiannya sukar dicari tandingannya," kata Rinjani lagi.
"Bagaimana kalau kakekmu tahu kau ada di sini bersamaku, Rinjani?" tanya Rangga ingin tahu.
"Dia tidak akan tahu. Setiap hari dia sibuk menyeberangkan orang di sungai," sahut Rinjani agak ketus.
"Hari ini dia tidak ke sungai.
Dan...," Rangga tidak meneruskan.
"Aku ada di sini." "Eh...?!" Bukan main terkejutnya Rinjani, begitu tibatiba terdengar suara yang begitu dikenalnya dari arah belakang.
Cepat-cepat tubuhnya berbalik.
Kedua kelopak matanya jadi terbeliak begitu melihat Ki Arman, yang dikenal sebagai si Tua Tukang Perahu sudah ada di bibir Lembah Kumala ini.
Sungguh dia tidak tahu, kapan kakeknya ini datang.
Tahu-tahu sudah berdiri di belakangnya tadi.
"Kakek...," desis Rinjani seperti tidak percaya dengan penglihatannya sendiri.
"Aku tidak mengerti, kenapa kau bisa lakukan ini, Rinjani...? Sudah berulang kali aku melarangmu datang ke lembah ini," tegur Ki Arman menyesali tindakan Rinjani yang nekat datang ke Lembah Kumala ini bersama Pendekar Rajawali Sakti.
"Maaf, Ki.
Aku....."
"Aku tidak menyalahkanmu, Rangga," selak Ki Arman cepat-cepat memutuskan ucapan Pendekar Rajawali Sakti.
"Aku tahu, kau tidak bisa menolak keinginan cucuku ini. Dia memang bandel. Susah diatur!" Rinjani diam saja dengan kepala agak tertunduk. Sebentar-sebentar matanya melirik Rangga yang juga jadi terdiam. Dia tahu, Pendekar Rajawali Sakti merasa tidak enak pada Ki Arman. Rinjani merasa bersalah, karena telah melibatkan Pendekar Rajawali Sakti ke dalam urusan pribadinya. Padahal, dia tahu kalau pemuda berbaju rompi putih itu juga sedang menghadapi suatu persoalan yang begitu pelik.
Di saat mereka semua terdiam, tiba-tiba saja....
Whrrr...!
*
* *
::::↨֍¦ 6 ¦֎↨::::
Bukan hanya Rinjani saja yang terkejut. Bahkan Rangga dan Ki Arman juga jadi terperanjat begitu tiba-tiba saja berhembus angin yang begitu keras, bagai terjadi badai topan dahsyat dan tiba-tiba sekali datangnya.
Suara angin itu teramat keras, terdengar menderu-deru menggetarkan jantung.
Debu dan bebatuan berhamburan ke udara. Beberapa pohon mulai jatuh bertumbangan, membuat bumi yang dipijak jadi bergetar seperti diguncang gempa.
"Hati-hati! Ini bukan badai biasa," desis Rangga memperingatkan.
Rangga yang juga bisa menciptakan badai topan seperti ini, langsung bisa merasakan kalau badai yang terjadi begitu tiba-tiba memang bukan badai biasa.
Dan dia tahu, badai topan ini buatan seseorang yang memiliki tingkat kepandaian tinggi.
"Kalian ke belakangku, cepat...!" seru Rangga, agak keras suaranya.
Pendekar Rajawali Sakti langsung bisa merasakan adanya kekuatan yang begitu besar dari pengerahan tenaga dalam tinggi di balik badai topan ini. Ki Arman yang sudah sering mendengar sepak terjang petualangan Pendekar Rajawali Sakti segera menarik tangan Rinjani dan membawanya ke belakang Pendekar Rajawali Sakti.
"Hep...!" Rangga segera merapatkan kedua telapak tangannya di depan dada.
Sebentar saja ditariknya napas dalam-dalam, lalu ditahannya di dada.
Kemudian matanya sedikit terpejam, memusatkan seluruh perhatian dan inderanya untuk mengerahkan aji "Bayu Bajra".
Pendekar Rajawali Sakti akan mengimbangi badai topan buatan ini.
"Hap...! Aji "Bayu Bajra"....
Hiyaaa...!" Cepat sekali Rangga menghentakkan kedua tangannya ke samping, hingga merentang lebar.
Dan seketika itu juga bertiup angin keras menderu-deru, yang mengimbangi badai topan itu.
Tapi mendadak saja seluruh tubuh Pendekar Rajawali Sakti jadi bergetar dahsyat.
Maka segera dilakukannya beberapa gerakan dengan kedua tangannya.
"Hiyaaa...!" Sambil berteriak keras menggelegar, Rangga menghentakkan kedua tangannya ke depan. Tampak dari kedua telapak tangan yang terbuka lebar itu mengepulkan asap putih yang bergulung-gulung, di-sertai percikan bunga api yang menyebar ke segala arah.
Pada saat itu juga, Ki Arman dan Rinjani yang berada di belakang Rangga tidak lagi merasakan adanya hembusan angin topan yang keras.
Padahal di sekeliling mereka topan itu masih terlihat mengamuk semakin dahsyat.
Suara ledakan-ledakan mulai terdengar menggelegar memekakkan telinga. Tampak batu-batu dan pepohonan hancur berkeping-keping seperti terhantam pukulan keras bertenaga dalam tinggi. Rangga perlahan-lahan segera menarik kedua tangannya ke belakang, hingga sampai sejajar dada. Lalu....
"Hiyaaa...!" Sambil berteriak keras menggelegar, Pendekar Rajawali Sakti menghentakkan kedua tangannya ke depan. Seluruh tenaga dalamnya yang sudah mencapai tingkat kesempurnaan juga dikerahkan. Seketika itu juga terdengar ledakan keras menggelegar begitu dahsyat.
Akibatnya, bumi yang dipijak jadi bergetar hebat.
Pepohonan bertumbangan tercabut sampai ke akarakarnya.
Dan bebatuan pecah berhamburan mengepulkan debu yang membumbung tinggi ke angkasa.
Pada saat itu, tiba-tiba saja badai topan yang mengamuk dahsyat berhenti seketika.
Dan perlahanlahan, Rangga menurunkan kedua tangannya.
Tampak dadanya bergerak turun naik cepat sekali.
Keringat mengucur deras membasahi seluruh tubuhnya.
Jelas sekali kalau Pendekar Rajawali Sakti tadi mengerahkan seluruh kemampuan aji "Bayu Bajra" pada tingkatan yang terakhir.
Dan memang, hasilnya sungguh luar biasa. Hutan di sekitar bibir Lembah Kumala ini jadi porak-poranda.
"Kalian tunggu di sini," ujar Rangga tanpa berpaling sedikit pun.
Perlahan-lahan Pendekar Rajawali Sakti melangkah menuruni Lembah Kumala.
Tebing lembah yang landai, tidak menyulitkan baginya untuk memasuki lembah itu.
Sementara, perlahan-lahan Ki Arman dan Rinjani melangkah mengikuti sampai benar-benar berada di tepi bibir jurang. Mereka berhenti di sana, dan hanya memandangi Rangga yang terus melangkah semakin dalam memasuki Lembah Kumala ini.
Rangga baru berhenti melangkah setelah sampai di tengah-tengah lembah yang terlihat indah itu.
Hamparan rumput yang tergelar bagai permadani, dan dihiasi bunga-bunga yang bermekaran menyebarkan harum wangi, membuat pemandangan di lembah itu terasa begitu indah. Namun di balik keindahan itu, tersirat sesuatu yang begitu mengerikan. Sesuatu yang teramat sukar dibayangkan.
"Hm...," Rangga menggumam perlahan.
Kelopak mata Pendekar Rajawali Sakti jadi sedikit menyipit begitu melihat seonggok tulang-belulang manusia berserakan tidak seberapa jauh di depannya.
Dan tidak jauh di sebelah kanan, juga terlihat beberapa tulang tengkorak manusia berserakan.
Demikian juga di samping kiri.
Entah ada berapa tulang tengkorak kepala manusia di sekitar Rangga berdiri.
Memang tulang-tulang itu tidak akan terlihat dari atas tebing lembah ini, karena tertutup rerumputan yang cukup tinggi hingga hampir sampai ke betis.
Dan tampaknya, di sinilah si Setan Lembah Kumala menghabisi mereka yang mencoba memasuki daerah kekuasaannya di Lembah Kumala ini.
"Kau sungguh berani datang ke tempatku, Anak Muda...!"
"Hm...." Perlahan Rangga memutar tubuhnya berbalik, begitu tiba-tiba terdengar suara yang begitu dalam dari belakang. Kening Pendekar Rajawali Sakti jadi berkerut, dan kelopak matanya menyipit begitu di depannya kini sudah berdiri seorang laki-laki yang sukar untuk diketahui usianya. Dia mengenakan baju warna hitam ketat. Sebilah golok berukuran begitu besar, tersandang di pundaknya. Dan di pinggangnya, menggantung sebilah pedang bergagang kuning keemasan yang bagian ujungnya berbentuk kepala tengkorak manusia.
"Kaukah yang bernama Ki Badranaya...?" tanya Rangga ingin memastikan.
"He he he.... Baru kali ini kudengar ada orang menyebut namaku yang benar. Dan biasanya, mereka selalu menyebutkan Setan Lembah Kumala," ujar lakilaki itu diiringi suara tawanya yang terkekeh mengerikan.
"Hm...," lagi-lagi Rangga menggumam perlahan.
Diamatinya wajah Ki Badranaya yang tampak rusak.
Sebagian pipi kirinya mengelupas, hingga tulang pipinya yang putih agak kemerahan terlihat. Ada segaris luka memanjang membelah wajahnya. Dan sebelah matanya tampak bolong.
Rambutnya yang panjang tak teratur, dibiarkan meriap.
Sehingga tampang si Setan Lembah Kumala itu semakin mengerikan.
Dari luka-luka yang sudah mengering itu, Rangga tahu kalau Ki Badranaya sudah mengalami begitu banyak pertarungan.
Dan luka-luka yang membuat wajahnya jadi rusak begitu pasti akibat dari pertarungannya dengan lawan-lawan tangguh. Bahkan kaki kirinya pada bagian betis disambung dengan besi baja berwarna hitam. Keadaan tubuh si Setan Lembah Kumala ini memang sudah tidak lagi sempurna. Begitu banyak cacat yang tampak pada dirinya, sehingga sukar diketahui berapa usianya.
"Kau lihat tulang-tulang yang berserakan itu, Anak Muda...? Mereka adalah orang-orang yang mencoba mengusik ketenteraman hidupku.
Dan kau pasti sudah tahu, tak ada seorang pun yang bisa keluar dari daerah ku ini dalam keadaan selamat," kata Ki Badranaya, begitu dingin nada suaranya.
"Kau yang membunuh mereka semua?" tanya Rangga ingin tahu.
"Benar," sahut Ki Badranaya cepat.
"Kenapa...?"
"Mereka datang hanya untuk membunuhku. Mereka menganggap, aku orang yang paling berbahaya dan harus dilenyapkan. Kau tahu, Anak Muda. Aku hanya mempertahankan diri, dan sebenarnya pula tidak bermaksud membunuh mereka. Tapi mereka bermaksud membunuhku. Hm.... Kenapa kau datang ke lembah ini, Anak Muda? Dan siapa namamu?"
"Namaku Rangga. Kedatanganku ke sini hanya untuk lewat saja. Sedikit pun tidak ada maksud untuk mengusik kehidupanmu di sini. Kalau tidak keberatan, aku hanya ingin lewat tanpa harus mendapatkan kesulitan darimu," sahut Rangga kalem.
"Kedatanganmu saja sudah merusak keindahan lembah ini, Anak Muda," desis Ki Badranaya.
"Hm..., namamu Rangga.
Kau pasti yang dijuluki Pendekar Rajawali Sakti." Rangga tersenyum.
"Maaf.
Tadi aku hanya mempertahankan diri saja dari serangan badai mu," sahut Rangga sopan.
"He he he...! Ternyata kau bisa cepat tahu kalau badai itu aku yang buat, Anak Muda. Tidak percuma kau dijuluki Pendekar Rajawali Sakti.
Dan tentu kepandaianmu juga sangat tinggi, sehingga bisa mengalahkan aji "Badai Penyapu Bumi".
Kau tahu, Anak Muda.
Baru sekarang aji "Badai Penyapu Bumi" yang kumiliki bisa tertandingi.
Dan aku yakin, kau pasti memiliki ajian-ajian lain yang lebih dahsyat," kata Ki Badranaya mengakui keunggulan Rangga tadi dengan hati tulus.
"Terima kasih," ucap Rangga seraya tersenyum.
Rangga tahu, apa arti kata-kata si Setan Lembah Kumala. Dan sudah barang tentu bila diajak bertarung tidak mungkin bisa ditolak lagi. Meskipun terdengar begitu halus, tapi kata-kata tadi merupakan suatu tantangan. Ki Badranaya sudah menjual terlebih dahulu, dan Rangga tidak bisa mengelak untuk membelinya.
Mereka kini tidak berbicara lagi.
Tapi sinar mata satu sama lain menyorot begitu tajam menusuk.
Sepertinya, mereka sedang mengukur tingkat kepandaian masing-masing yang dimiliki.
Perlahan mereka samasama bergerak ke samping, hingga membentuk lingkaran.
Dan sorot mata mereka masih tetap tajam tanpa berkedip sedikit pun juga.
"Dengar, Anak Muda.
Aku hanya mengenal satu kata dalam pertarungan.
Mati...," desis Ki Badranaya, dingin sekali nada suaranya.
"Jadi, kau tidak perlu sungkan-sungkan lagi.
Kau harus dapat membunuhku kalau tidak ingin mati di sini seperti yang lain." Rangga hanya diam saja, meskipun agak terkejut juga mendengar kata-kata Ki Badranaya barusan.
Kata-kata yang tidak bisa dianggap enteng begitu saja.
Dan tampaknya, Ki Badranaya memang bersungguhsungguh.
Hal itu terbukti dari tengkorak-tengkorak yang berserakan di tengah-tengah lembah ini.
Pendekar Rajawali Sakti melirik sedikit pada Ki Arman dan cucunya yang masih berada di bibir tebing Lembah Kumala ini.
"Bersiaplah kau, Rangga.
Hiyaaat...!" Cepat sekali Ki Badranaya melompat menyerang sambil mengebutkan goloknya yang berukuran sangat besar.
Angin menderu dahsyat begitu golok si Setan Lembah Kumala berkelebat cepat ke arah kepala Pendekar Rajawali Sakti.
Wusss! "Hap!" Hanya sedikit saja Rangga menundukkan kepala, maka golok berukuran sangat besar yang melayang deras itu lewat di atas kepalanya. Rangga segera menarik kakinya ke depan beberapa langkah begitu Ki Badranaya cepat menarik goloknya, dan mengebutkannya kembali ke arah dada.
Kembali ujung golok yang berkilatan tajam itu lewat sedikit saja di depan dada Pendekar Rajawali Sakti.
"Hiyaaa...!" Serangan Ki Badranaya rupanya tidak berhenti sampai di situ saja.
Dua kali serangannya manis sekali dapat dielakkan, membuat si Setan Lembah Kumala itu semakin meningkatkan serangannya.
Rangga cepat mengerahkan jurus "Sembilan Langkah Ajaib", menghadapi serangan-serangan yang dilancarkan laki-laki berwajah rusak dan penuh cacat di seluruh tubuhnya.
Sebentar saja dua orang berkepandaian tinggi itu sudah terlibat ke dalam pertarungan yang begitu dahsyat.
Setelah melewati beberapa jurus, Rangga baru mengeluarkan jurus-jurus dari rangkaian lima jurus "Rajawali Sakti". Namun begitu, hanya sesekali saja melakukan serangan balasan. Tapi itu juga sudah membuat Ki Badranaya harus berjumpalitan menghindarinya.
Dan Rangga sendiri mengakui dalam hati kalau jurus-jurus yang dimiliki Ki Badranaya memang sangat dahsyat dan tidak bisa dianggap enteng.
*
* *
Entah sudah berapa jurus dilewati dalam pertarungan itu.
Namun, tampaknya Rangga belum juga menggunakan pedang pusakanya dalam menghadapi Ki Badranaya yang selama ini selalu dikenal dengan julukan Setan Lembah Kumala. Walaupun Pendekar Rajawali Sakti tidak menggunakan satu senjata pun, tapi masih terlalu sulit bagi Ki Badranaya untuk bisa mendesaknya.
Bahkan setiap kali Rangga melakukan serangan balasan, laki-laki cacat itu jadi kelabakan menghindarinya.
Sepuluh jurus berlalu tanpa terasa, dan Ki Badranaya belum juga dapat mendesak Pendekar Rajawali Sakti.
Terlebih lagi, dia seperti tidak sanggup membuat pemuda berbaju rompi putih itu kerepotan.
"Lepas...!" seru Rangga tiba-tiba.
"Heh...?!" Ki Badranaya jadi tersentak setengah mati, begitu tiba-tiba Rangga melentingkan tubuh ke udara.
Dan bagaikan kilat, tangan Pendekar Rajawali Sakti berkelebat menyampok ke arah golok besar yang tergenggam di tangan kanannya.
"Hait...!" Buru-buru Ki Badranaya menarik goloknya yang tadi sudah terulur.
Tapi, gerakannya sudah terlambat.
Akibatnya kibasan tangan Rangga tepat menghantam pergelangan tangan kanannya yang menggenggam golok berukuran sangat besar.
Plaak! "Akh...!" Ki Badranaya terpekik keras agak tertahan.
Begitu kerasnya kibasan tangan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga Ki Badranaya tidak dapat lagi mempertahankan goloknya yang langsung terpental melayang ke udara.
"Hiya...!"
"Yeaaah...!" Bersamaan melesatnya tubuh Ki Badranaya ke udara, Rangga juga cepat sekali melenting mengejarnya. Lalu secepat kilat pula, dilepaskannya beberapa pukulan beruntun yang disertai pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai tingkat kesempurnaan. Saat itu, Rangga mengerahkan jurus "Sayap Rajawali Membelah Mega". Sehingga, kedua tangannya bergerak begitu cepat.
Mau tak mau Ki Badranaya jadi kelabakan, dan berjumpalitan di udara menghindari setiap sambaran dan pukulan Pendekar Rajawali Sakti yang begitu keras dan cepat luar biasa.
"Hiyaaa...!" Sambil berteriak keras menggelegar, tiba-tiba saja Rangga memutar cepat sekali tubuhnya, sehingga kepalanya berada di bawah.
Dan sebelum Ki Badranaya bisa menyadari apa yang akan dilakukan Pendekar Rajawali Sakti, tiba-tiba saja kedua kaki lawannya sudah bergerak cepat secara bersamaan.
"Heh...?!" Diegkh! "Akh...!" Ki Badranaya memang hanya, mampu terbeliak dan memekik keras agak tertahan begitu kedua kaki Pendekar Rajawali Sakti keras sekali menghantam dadanya.
Begitu kerasnya tendangan itu, sehingga Ki Badranaya tidak bisa menguasai keseimbangan tubuhnya.
Keras sekali laki-laki bermuka cacat itu terbanting ke tanah dan bergulingan beberapa kali di antara tulang-tulang yang berserakan.
Tepat di saat Ki Badranaya bisa berdiri lagi, Rangga sudah menjejakkan kakinya di tanah yang berumput cukup tebal dan tinggi ini.
Sret! Ki Badranaya langsung mencabut pedangnya yang tergantung di pinggang. Matanya yang tinggal sebelah, tampak terbuka lebar menatap tajam pada Pendekar Rajawali Sakti yang berdiri tegak sambil balas menatap tajam pula. Perlahan-lahan kakinya bergeser ke kanan sambil menggerak-gerakkan pedangnya perlahan-lahan di depan dada. Sedangkan Rangga masih tetap diam berdiri tegak, memperhatikan setiap gerak yang dilakukan si Setan Lembah Kumala itu.
"Hiyaaat...!" Sambil berteriak keras menggelegar, bagaikan kilat Ki Badranaya melompat cepat sambil mengebutkan pedangnya.
Gerakan pedangnya begitu cepat sekali, tertuju langsung ke arah beberapa bagian tubuh Rangga yang sangat mematikan.
"Hup! Yeaaah...!" Tapi Rangga yang memang sudah siap sejak tadi, langsung mengegoskan tubuhnya, menghindari setiap serangan yang dilakukan si Setan Lembah Kumala ini.
Bahkan tanpa diduga sama sekali, Rangga melepaskan satu pukulan keras bertenaga dalam tinggi dari jurus "Pukulan Maut Paruh Rajawali" yang begitu dahsyat luar biasa.
Begitu cepatnya pukulan yang dilepaskan, sehingga Ki Badranaya jadi terbeliak sesaat.
"Hap! Yeaaah...!" Memang tak ada lagi yang bisa dilakukan Ki Badranaya untuk menghindari serangan balasan Pendekar Rajawali Sakti, selain melenting ke belakang.
Beberapa kali si Setan Lembah Kumala itu berputaran ke belakang.
Tapi begitu menjejakkan kakinya di tanah, tiba-tiba saja Rangga sudah melepaskan satu tendangan kilat disertai pengerahan tenaga dalam yang begitu sempurna.
"Yeaaah...!" Sulit bagi Ki Badranaya untuk menghindari tendangan menggeledek yang dilepaskan Pendekar Rajawali Sakti. Sehingga....
Desss! "Ugkh...!" Ki Badranaya jadi mengeluh pendek.
Tendangan Rangga tepat menghantam perut si Setan Lembah Kumala. Akibatnya, tubuh laki-laki tua itu terpaksa harus terbungkuk. Pada saat itu juga, Rangga sudah melepaskan satu pukulan yang begitu keras ke arah wajah Ki Badranaya. Begitu cepatnya pukulan yang dilepaskan, membuat Ki Badranaya benar-benar tidak mampu lagi berkelit.
"Akh...!" Di saat kepala ki Badranaya terdongak akibat terkena pukulan yang begitu keras dan mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi, tanpa dapat dicegah lagi Rangga kembali melepaskan satu pukulan dari jurus "Pukulan Maut Paruh Rajawali".
Akibatnya Ki Badranaya terpental ke belakang sejauh tiga batang tombak begitu dadanya terhantam pukulan yang begitu dahsyat.
"Hiyaaa...!" Bagaikan kilat, Rangga melompat mengejar tubuh Ki Badranaya yang melayang deras ke belakang.
Dan sebelum Setan Lembah Kumala itu menghantam tanah, Rangga sudah melepaskan satu kibasan tangan kanannya. Kibasan itu langsung menghantam tangan kanan Ki Badranaya yang menggenggam pedang berwarna kuning keemasan.
Lagi-lagi Ki Badranaya terpekik keras.
Pedangnya yang terpental, tidak bisa lagi dipertahankan begitu tangannya terkena kibasan tangan Pendekar Rajawali Sakti.
Tubuh Ki Badranaya terbanting keras ke tanah, lalu bergulingan beberapa kali. Namun begitu mencoba bangkit berdiri, darah menyembur keluar dari mulutnya. Dan pada saat itu, Rangga sudah berdiri tegak di depannya dengan sebilah pedang berwarna kuning keemasan tergenggam di tangan kanan. Ujung pedang itu menempel erat di leher Ki Badranaya yang terus bergerak bangkit perlahan-lahan. Entah bagaimana caranya, tahu-tahu pedang si Setan Lembah Kumala itu sekarang sudah berada di tangan Pendekar Rajawali Sakti.
"Kau kalah, Ki," ujar Rangga tanpa bermaksud mengejek.
Ki Badranaya hanya terdiam saja. Disekanya darah di bibir dengan punggung tangan. Sementara perlahan-lahan Rangga melangkah mundur menjauh.
Lalu, dibuangnya pedang berwarna kuning keemasan itu ke depan pemiliknya. Pedang itu menancap tepat di ujung jari kaki si Setan Lembah Kumala.
"Kau sudah mengalahkanku, kenapa sekarang tidak membunuhku, Pendekar Rajawali Sakti...?" agak mendesis suara Ki Badranaya.
"Maaf. Aku bukan pembunuh, Ki. Dan antara kita tidak ada permusuhan. Aku terpaksa mengalahkanmu, agar kau mengizinkan aku melewati lembah ini," sahut Rangga sopan.
"Ke mana tujuanmu?" tanya Ki Badranaya.
Rangga tidak langsung menjawab. Wajahnya berpaling, menatap Ki Arman dan cucunya yang masih berdiri di bibir tebing lembah ini. Ki Badranaya juga mengarahkan pandangan pada mereka, kemudian kembali menatap Rangga yang berdiri sekitar satu batang tombak di depannya. Sementara, Ki Arman dan Rinjani sudah melangkah cepat memasuki lembah itu menghampiri Pendekar Rajawali Sakti.
"Kenapa kau tidak membunuhku, Pendekar Rajawali Sakti. Dan, apa yang kau inginkan dariku sekarang?" tanya Ki Badranaya sambil mencabut pedangnya yang tertancap di tanah, lalu menyarungkan kembali ke dalam warangka di pinggang.
Sementara itu, Ki Arman dan Rinjani sudah berada dekat di belakang Pendekar Rajawali Sakti. Tampak sekali kebencian terpancar di mata Rinjani melihat si Setan Lembah Kumala ini.
"Kenapa dia tidak dibunuh saja, Kakang...?" desis Rinjani dengan nada penuh kebencian.
"Tidak ada alasan untukku membunuhnya. Dan lagi, aku bukan pembunuh," jawab Rangga.
"Tapi dia sudah membunuh orang tuaku. Dan kau juga sudah berjanji padaku!" sentak Rinjani.
"Aku tidak berjanji apa-apa padamu, Rinjani," sergah Rangga.
Dan memang, Pendekar Rajawali Sakti tidak pernah mengucapkan janji apa pun pada Rinjani.
Dia hanya mau bertarung dengan Ki Badranaya, tapi bukan untuk membunuhnya.
Rangga hanya ingin mengalahkannya saja untuk bisa melewati lembah ini dengan leluasa.
Dan itu sudah dilaksanakannya.
Tapi, tampaknya Rinjani tidak puas melihat kenyataan ini.
"Kenapa dia menginginkan kematianku, Rangga?" selak Ki Badranaya.
"Dia ingin membalas kematian orang tuanya yang kau bunuh di sini," jelas Rangga, singkat.
"Hm.... Begitu banyak orang yang datang ke lembah ini ingin membunuhku. Siapa orang tuanya?" agak menggumam suara ki Badranaya.
"Sepasang Pendekar Pedang Malaikat," sahut Rinjani, terdengar begitu ketus nada suaranya.
"Hm..., aku tahu," gumam Ki Badranaya.
"Mereka memang datang ke lembah ini dan sempat bertarung denganku. Tapi, pertarungan ku dengannya belum selesai. Lalu, mereka pergi ke arah Selatan. Aku tidak mengejar siapa saja yang ingin pergi dengan selamat dari lembah ini."
"Bohong! Kau pasti sudah membunuhnya! Kalau orang tuaku masih hidup, tentu akan menemuiku. Tapi, sudah lebih dari enam purnama mereka tidak kembali!" sentak Rinjani tampak berang.
"Bukan hanya mereka saja yang bisa keluar dari sini hidup-hidup. Mereka kubiarkan keluar dalam keadaan hidup jika mau mengakui kekalahannya.
Dan mereka yang mati di sini, itu karena terlalu angkuh dan keras kepala. Aku juga terpaksa membunuh mereka. Kalau tidak, aku yang akan mati di tangan mereka," jelas Ki Badranaya.
Rinjani terdiam.
Sepertinya dia masih belum puas atas jawaban Ki Badranaya yang mengatakan orang tuanya masih hidup, dan sekarang berada di daerah Selatan Lembah Kumala ini.
"Belum lama, juga datang seorang gadis ke sini. Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa, karena telah terikat perjanjian. Dan dia kubiarkan lewat," sambung Ki Badranaya lagi.
"Gadis...? Kau tahu siapa dia, Ki?" tanya Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti langsung teringat Pandan Wangi yang sampai saat ini belum juga jelas jejaknya.
Dan hatinya begitu terkejut saat Ki Badranaya mengatakan kalau belum lama ini lewat seorang gadis.
Rangga langsung mengira kalau gadis itu adalah Pandan Wangi.
"Aku tidak kenal. Tapi, aku juga tidak bisa berbuat apa-apa padanya. Karena, orang yang menginginkan gadis itu sudah mengalahkan aku. Dan aku diminta agar tidak mengganggu jika ada seorang gadis berbaju biru muda yang membawa kipas dan pedang bergagang kepala naga hitam lewat lembah ini," jelas Ki Badranaya lagi.
"Pandan Wangi...," desis Rangga langsung mengenali gadis yang dikatakan Ki Badranaya barusan.
*
* *
::::↨֍¦ 7 ¦֎↨::::
"Ke arah Selatan. Dia harus menemui seseorang," sahut Ki Badranaya memberi tahu. "Apa kau ada keperluan dengan gadis itu, Rangga?"
"Maaf, aku tidak bisa mengatakannya, Ki," sahut Rangga.
"Tidak mengapa," ujar Ki Badranaya seraya mengangkat pundaknya.
Kemudian, Ki Badranaya menatap Rinjani yang tampaknya masih belum puas, dan masih menyimpan dendam padanya.
Perlahan-lahan si Setan Lembah Kumala ini menghampiri gadis itu. Rinjani jadi agak bergidik melihat wajah yang begitu menyeramkan. Rasanya memang pantas kalau Ki Badranaya dijuluki Setan Lembah Kumala.
Tapi, Rangga melihat adanya kebersihan di hati laki-laki cacat ini.
Dan juga bisa dilihat kalau apa yang dilakukan Ki Badranaya hanya sekadar mempertahankan diri dari gangguan orangorang yang datang ke lembah ini dan ingin membunuhnya.
Cerita-cerita buruk mengenai Setan Lembah Kumala membuat para pendekar yang sering mengaku berada di jalan lurus jadi merasa terganggu. Bahkan yang datang ke lembah ini bukan hanya para pendekar, tapi juga tokoh-tokoh golongan hitam. Kedatangan mereka juga hanya untuk menguji kepandaian Ki Badranaya saja. Dan Rangga tahu, mereka yang datang ke Lembah Kumala ini dan ingin membunuh Ki Badranaya adalah tokoh-tokoh tanggung, yang hanya sedikit saja memiliki kepandaian. Sedangkan Ki Badranaya sendiri sebenarnya tidaklah setangguh dan sekejam dari apa yang selama ini diceritakan orang.
Dari pertarungan tadi, Rangga sudah bisa menilai seperti apa si Setan Lembah Kumala itu sebenarnya.
"Kau masih belum percaya kalau aku tidak membunuh orang tuamu, Nisanak...?" pelan sekali suara Ki Badranaya.
Dengan mata yang hanya tinggal sebelah, ditatapnya Rinjani tajam-tajam.
Hal ini membuat gadis itu melangkah mundur dengan tubuh sedikit bergidik ngeri.
Dia memang dendam dan tidak percaya.
Tapi melihat keadaan wajah dan tubuh laki-laki yang selalu dijuluki Setan Lembah Kumala ini, hatinya jadi bergetar juga.
Bukan tingkat kepandaiannya yang membuat Rinjani bergetar, tapi sosok yang mengerikan itu yang membuatnya tidak sanggup menatap lama-lama.
"Kalau kau ingin bertemu orang tuamu, pergilah ke arah Selatan. Aku yakin, orang tuamu juga pasti ada di sana seperti gadis yang dicari Pendekar Rajawali Sakti," jelas Ki Badranaya lagi. "Dan aku juga yakin, sebenarnya kau sudah tahu akan hal itu, Nisanak."
"Jangan menuduh sembarangan...!" sentak Rinjani, agak bergetar suaranya.
Sementara itu, Rangga hanya diam saja memperhatikan.
Sebentar ditatapnya Ki Badranaya, lalu beralih menatap Rinjani dan Ki Arman. Otak Pendekar Rajawali Sakti itu langsung berputar keras, mencoba mengerti semua pembicaraan yang didengarnya.
"Rangga! Kalau kau ingin bertemu gadismu itu, dia tahu di mana kau bisa menemukannya," kata Ki Badranaya tegas, seraya berpaling menatap Pendekar Rajawali Sakti.
"Aku memang tahu di mana Pandan Wangi berada!" sentak Rinjani menyelak.
Rangga dan Ki Badranaya menatap tajam gadis cantik ini.
Dan Rangga juga sempat melihat Ki Arman menggeser goloknya yang terselip di pinggang.
Sedangkan raut wajah Rinjani kelihatan begitu berang dan memerah.
Ketegangan begitu terasa menyelimuti mereka semua.
Dan untuk beberapa saat, mereka jadi terdiam dengan sinar mata yang sukar diartikan.
"Aku tahu semua rencana busuk ini, Rinjani.
Dan kau memanfaatkan kehadiran Pendekar Rajawali Sakti untuk membunuhku.
Tapi aku tahu, pendekar yang kau harapkan bisa membunuhku ternyata tidak seperti yang ada di dalam pikiranmu.
Rangga bukanlah pendekar yang ringan tangan dan gampang membunuh.
Dan sekarang, kau bisa lihat sendiri kalau aku masih hidup.
Padahal, tidak sukar bagi Pendekar Rajawali Sakti untuk membunuhku tadi," kata Ki Badranaya, agak dingin nada suaranya.
"Jangan coba-coba memojokkan aku, Setan!" desis Rinjani semakin bertambah berang.
"Aku tahu, semua alasanmu hanya pura-pura saja.
Sebenarnya, kau tahu kalau orang tuamu masih hidup.
Dan kau juga tahu kalau orang tuamu ingin sekali membunuhku.
Benar-benar rencana yang begitu rapi.
Sayang, orang-orang yang kalian rangkul tidak semuanya berhati busuk," kata Ki Badranaya lagi.
"Tutup mulutmu, Keparat!" bentak Rinjani garang.
Sret! Rinjani langsung saja mencabut pedangnya yang tergantung di pinggang. Tepat ketika gadis itu mengebutkan pedangnya ke arah dada Ki Badranaya, Rangga langsung melompat. Segera ditangkapnya pergelangan tangan gadis itu. Dengan sedikit mengerahkan tenaga dalam, Pendekar Rajawali Sakti menyentakkan tangan Rinjani.
Akibatnya, gadis itu jadi terhuyung-huyung ke belakang beberapa tindak.
Kalau saja Ki Arman tidak menahannya, barangkali Rinjani sudah jatuh terjerembab akibat sentakan Rangga yang cukup kuat, dan disertai sedikit pengerahan tenaga dalam.
"Kau menyakiti ku, Kakang...," desis Rinjani seraya meringis, mengurut-urut pergelangan tangannya yang tadi dicengkeram Rangga begitu kuat.
"Aku tidak akan menyakitimu bila kau tidak mempermainkan aku!" sentak Rangga dingin.
"Aku...? Mempermainkan mu...? Ada apa ini, Kakang? Kenapa tiba-tiba saja kau menuduhku mempermainkan mu...?" Rinjani seperti jadi kebingungan.
"Jangan mendustai ku lagi, Rinjani. Aku tahu semua yang kau rencana kan. Kau membuat perangkap padaku, untuk menyingkirkan semua musuhmusuhmu.
Kenapa kau lakukan itu, Rinjani?" desis Rangga, begitu dingin nada suaranya.
"Rencana apa...? Aku..., aku tidak melakukan apa-apa," Rinjani jadi gelagapan.
"Di mana kau sembunyikan Pandan Wangi...?" tanya Rangga mendesis.
Rinjani jadi celingukan seperti kebingungan mendengar pertanyaan Pendekar Rajawali Sakti barusan. Ditatapnya Ki Arman yang kini berada di sebelah kanannya. Sementara perlahan-lahan Rangga melangkah mendekati. Sedangkan Ki Badranaya tetap berdiri tegak memperhatikan dari jarak sekitar dua batang tombak jauhnya dari mereka.
"Katakan, di mana Pandan Wangi berada, Rinjani...? Untuk siapa kau lakukan semua ini?" tanya Rangga lagi, masih terdengar mendesis suaranya.
Rinjani tidak menjawab. Matanya hanya melirik Ki Arman yang berada di sebelahnya. Dan tanpa banyak bicara lagi, tiba-tiba saja....
"Hiyaaat...!" Sret! Bet! "Uts...!"
*
* *
Namun hanya sedikit saja mengegoskan tubuh, Rangga berhasil mengelakkan tebasan golok yang berkilat tajam itu.
Dan tanpa diduga sama sekali, Pendekar Rajawali Sakti menghentakkan tangan kanannya dengan tubuh membungkuk ke arah perut laki-laki tua yang dikenal sebagai si Tua Tukang Perahu.
"Yeaaah...!"
"Hup!" Ki Arman cepat-cepat melenting berputar ke belakang, sehingga sodokan tangan kanan Pendekar Rajawali Sakti tidak sampai mengenai sasarannya.
Namun begitu kaki Ki Arman menjejak tanah yang berumput tebal, tahu-tahu Rangga sudah membungkuk.
Dan secepat dia menjumput sebuah tulang dari ujung kaki, secepat itu pula dilemparkan ke arah si Tua Tukang Perahu.
"Hiyaaa...!" Wusss! "Hait...!" Ki Arman jadi terperanjat setengah mati. Cepatcepat goloknya dikebutkan untuk menyampok tulang yang dilemparkan Pendekar Rajawali Sakti dengan kecepatan begitu tinggi.
Pada saat yang bersamaan, Rangga sudah melenting tinggi-tinggi ke udara.
Lalu tubuhnya meluruk deras disertai gerakan kedua kakinya yang begitu cepat luar biasa.
Saat itu Rangga mengerahkan jurus "Rajawali Menukik Menyambar Mangsa".
Salah satu jurus dahsyat dari rangkaian lima jurus "Rajawali Sakti".
"Hiyaaa...!"
"Heh...!" Ki Arman hanya mampu terbeliak melihat serangan Pendekar Rajawali Sakti yang begitu cepat dan beruntun.
Dan sebelum dia sempat menghindari, mendadak saja....
Plak! "Akh...!" Ki Arman jadi terpekik keras.
Satu tendangan kaki Rangga tepat menghantam kepala laki-laki tua itu. Akibatnya, tubuhnya terpelintir sambil menjerit panjang dan memegangi kepalanya.
Tampak dari sela-sela jari tangan yang memegangi kepala itu, merembes cairan agak kental berwarna merah.
Sementara itu, Rangga sudah kembali menjejakkan kakinya sekitar enam langkah dari Ki Arman yang masih menggerung-gerung memegangi kepalanya yang retak mengucurkan darah.
Bruk! Tiba-tiba saja Ki Arman ambruk menggelepar di tanah. Darah semakin banyak mengucur dari kepalanya yang pecah akibat terkena tendangan dari jurus "Rajawali Menukik Menyambar Mangsa" yang dikerahkan Pendekar Rajawali Sakti tadi. Beberapa saat Ki Arman masih menggelepar meregang nyawa, kemudian mengejang dan diam tak bergerak-gerak lagi. Darah terus mengucur deras dari kepalanya yang pecah.
Sementara Rangga sudah melangkah perlahanlahan mendekati Rinjani yang terus bergerak mundur dengan wajah kelihatan tegang memerah.
Gadis itu tampak kebingungan melihat Ki Arman tewas hanya dalam beberapa gebrakan saja.
Dengan tangan gemetar, gadis itu merogoh lipatan bajunya bagian dalam.
Lalu, dikeluarkannya sebuah peluit kecil terbuat dari perak.
"Swuiiit...!" Nyaring sekali suara peluit perak itu, sehingga membuat telinga Pendekar Rajawali Sakti jadi mendenging.
Bahkan Ki Badranaya yang berada cukup jauh dari Rangga pun terpaksa harus menutup telinganya mendengar suara peluit yang ditiup Rinjani.
Dan belum lagi suara peluit itu menghilang dari pendengaran, tiba-tiba saja....
"Heh...?!" Rangga jadi terkejut setengah mati, karena tibatiba saja tanah yang dipijaknya jadi bergetar seperti diguncang gempa.
Pada saat itu, Ki Badranaya cepat melompat mendekati Pendekar Rajawali Sakti.
Tubuhnya jadi agak limbung begitu kakinya mendarat di samping Rangga.
Dan mereka jadi saling berpandangan, karena getaran di tanah ini semakin bertambah kuat saja.
"Ada apa ini...?" tanya Rangga.
"Hati-hati, mereka datang...," sahut Ki Badranaya, agak bergetar nada suaranya.
"Siapa mereka?" tanya Rangga lagi.
Belum juga pertanyaan Pendekar Rajawali Sakti bisa terjawab, tiba-tiba saja tanah di sekeliling mereka jadi menggerenjul dan bergerak cepat menuju ke arah mereka. Kelihatannya seperti ada sesuatu yang bergerak di dalam tanah itu. Rangga mengedarkan pandangan berkeliling, memperhatikan tanah menggerenjul panjang yang terus bergerak cepat menuju ke arahnya. Dan sebelum bisa berpikir lebih jauh lagi, tiba-tiba saja ujung tanah yang bergerak itu berhamburan di udara.
Lalu dari dalam tanah, bermunculan orang-orang berpakaian serba hitam yang semuanya membawa tombak bercabang tiga pada ujungnya.
Sebentar saja, Rangga dan Ki Badranaya sudah dikepung delapan orang berpakaian serba hitam dan bersenjatakan tombak bermata tiga yang tadi bermunculan dari dalam tanah.
Kini mereka tidak lagi merasakan getaran pada tanah yang dipijak, setelah delapan orang berbaju serba hitam itu muncul.
"Mereka tidak bisa berbicara. Bahkan akan langsung menyerang dan membunuh begitu terdengar suara peluit," jelas Ki Badranaya.
"Hm...." Baru saja Rangga menggumam, terdengar suara peluit yang begitu nyaring melengking tinggi. Dan tiba-tiba saja, delapan orang berpakaian serba hitam itu berlompatan menyerang tanpa ada seorang pun yang memperdengarkan suara. Rangga dan Ki Badranaya cepat melompat menyambut serangan delapan orang berpakaian serba hitam yang muncul dari dalam tanah itu.
*
* *
Beberapa kali Rangga mengumpat, karena ujung-ujung tombak lawan-lawannya hampir saja merobek tubuhnya. Namun belum ada sedikit pun kesempatan bagi Pendekar Rajawali Sakti untuk bisa membalas.
Sementara, Ki Badranaya sudah tampak kewalahan menghadapi empat orang yang menyerangnya.
Dan dia juga hanya bisa berjumpalitan menghindari setiap serangan yang datang begitu cepat dan beruntun.
Memang benar apa yang dikatakan Ki Badranaya.
Tak ada seorang pun dari mereka yang mengeluarkan suara.
Tapi serangan-serangan yang dilancarkan begitu cepat dan dahsyat sekali.
"Uts! Phuih...!" Rangga memaki di dalam hati begitu satu batang tombak hampir saja menembus dadanya.
Lalu, cepat sekali tangannya dikibaskan, hendak menyampok tombak yang lewat di samping tubuhnya.
Tapi orang berbaju hitam itu cepat sekali menarik tombaknya, sehingga kibasan tangan Rangga tidak mengenai sasaran sama sekali.
"Hup! Yeaaah...!" Cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti melenting ke udara. Tapi pada saat yang sama, satu orang penyerangnya juga melesat ke udara sambil menghunjamkan tombak ke arah dada pemuda berbaju rompi putih itu.
"Hait! Yeaaah...!" Rangga cepat-cepat mengegos ke kanan.
Dan secepat kilat pula tangan kanannya dihentakkan, untuk memberikan satu pukulan yang begitu keras disertai pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai tingkat kesempurnaan. Begitu cepatnya pukulan yang dilepaskan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga orang berbaju serba hitam itu tidak dapat lagi menghindar.
Desss! Sedikit pun tak ada jeritan terdengar, meskipun pukulan yang dilepaskan Rangga tepat menghantam dadanya. Seketika orang berbaju serba hitam itu terpental ke belakang sejauh dua batang tombak, lalu keras sekali jatuh bergelimpangan di tanah.
Namun, dia bisa cepat bangkit berdiri.
Sedikit pun pukulan Rangga yang mengandung pengerahan tenaga dalam sempurna itu tidak ada pengaruhnya.
"Edan...! Apakah mereka bukan manusia...?!" desis Rangga merutuk sendiri dalam hati.
Sret! Rangga langsung mencabut pedangnya begitu menjejakkan kakinya kembali di tanah.
Seketika itu juga, cahaya biru terang berkilauan menyemburat begitu Pedang Rajawali Sakti tercabut dari warangkanya.
"Kalian hadapi pedangku ini! Hiyaaat...!" teriak Rangga keras menggelegar.
Wuk! Rangga tidak ingin lagi menyia-nyiakan kesempatan yang dimilikinya.
Dengan cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti berlompatan sambil mengebutkan pedang pusakanya beberapa kali. Pendekar Rajawali Sakti tidak tanggung-tanggung lagi dalam menghadapi lawannya kali ini. Langsung dikeluarkannya jurus "Pedang Pemecah Sukma".
Satu jurus andalannya yang jarang sekali digunakan jika tidak dalam keadaan terpaksa.
"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!" Dahsyat sekali jurus "Pedang Pemecah Sukma" yang dikeluarkan Pendekar Rajawali Sakti. Gerakangerakan yang dilakukan begitu cepat luar biasa, membuat empat orang berbaju hitam yang mengeroyoknya jadi kelabakan setengah mati. Tapi sebelum mereka bisa melakukan sesuatu, tiba-tiba saja sudah dua orang yang terpental dengan leher buntung terbabat pedang pusaka Pendekar Rajawali Sakti.
Dan sebelum ada yang sempat menyadari, Rangga sudah cepat melompat sambil mengebutkan pedangnya dengan kecepatan begitu luar biasa. Kebutan pedang Pendekar Rajawali Sakti menimbulkan deru angin yang demikian dahsyatnya.
Dan kembali serangan Rangga tidak dapat terbendung.
Sekali tebas saja, dua orang lawannya langsung terjungkal dengan dada terbelah menyemburkan darah segar.
"Hiyaaat..!" Rangga cepat melompat ke arah empat orang lain yang masih mengeroyok Ki Badranaya. Secepat kilat pula pedangnya dibabatkan ke arah satu orang berbaju serba hitam itu.
Bet! Cras! Tak ada suara jeritan sedikit pun begitu pedang Pendekar Rajawali Sakti membabat buntung leher orang berbaju serba hitam itu. Dan Pendekar Rajawali Sakti kembali bergerak cepat sambil membabatkan pedangnya beberapa kali ke arah lawan-lawannya.
Trek! Begitu Rangga memasukkan Pedang Rajawali Sakti ke dalam warangka, tak ada lawan seorang pun yang bisa berdiri lagi.
Dan hal ini membuat Ki Badranaya jadi terperangah bengong seperti mimpi.
Sungguh tidak disangka kalau Pendekar Rajawali Sakti bisa bergerak demikian cepat, bagai bayangan saja.
Begitu sukar diikuti pandangan mata biasa. Dan tahutahu, tak ada seorang pun dari lawan yang bisa bangkit lagi. Mereka semua sudah tergeletak berlumuran darah tak bernyawa lagi.
"Oh...! Di mana Rinjani, Rangga...?!" tanya Ki Badranaya langsung teringat gadis cantik yang bernama Rinjani.
"Dia sempat kabur ke arah Selatan," sahut Rangga yang tadi sempat melihat Rinjani melarikan diri ke arah Selatan.
Tapi Pendekar Rajawali Sakti tidak sempat mengejar, karena terlalu sibuk menghadapi empat orang lawan yang muncul dari dalam tanah.
"Dia pasti menemui pimpinannya," ujar Ki Badranaya, agak mendesis suaranya.
"Kau sudah tahu gadis itu, Ki. Tapi kenapa tadi berpura-pura tidak mengenalnya...?" desak Rangga meminta penjelasan.
"Maaf. Aku baru menyadari kalau hanya dijadikan alat permainan. Kusadari kalau sebenarnya aku adalah salah satu umpan dari perangkap mereka," sahut Ki Badranaya.
"Perangkap apa, Ki?" desak Rangga lagi.
"Nanti saja, akan ku jelaskan. Sebaiknya sekarang kita kejar, sebelum Rinjani sampai," ajak Ki Badranaya.
Rangga tidak bisa mendesak lagi, karena Ki Badranaya sudah berlari cepat menuju Selatan. Dan Pendekar Rajawali Sakti segera mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat sempurna untuk mengikuti laki-laki cacat itu. Sehingga, tidak ada kesulitan sedikit pun untuk bisa berada di samping Ki Badranaya yang dikenal berjuluk Setan Lembah Kumala ini.
*
* *
::::↨֍¦ 8 ¦֎↨::::
"Kau yakin ini tempatnya, Ki?" tanya Rangga, agak berbisik suaranya.
"Aku pernah satu kali datang ke sini bersama yang lain," sahut Ki Badranaya.
"Waktu itu, aku masih bergabung dengan mereka. Aku dulu memang seorang tokoh hitam, Rangga. Penggabungan ku dengan mereka karena aku telah dikalahkan. Maka, aku, Rinjani, dan Ki Arman berupaya memancing mu ke sini. Jadi, waktu itu kami hanya bersandiwara saja. Dan begitu aku berhasil kau kalahkan, aku baru yakin kalau kau memang pendekar sejati. Itulah sebabnya, aku langsung memilih menjadi orang yang lurus. Aku telah banyak berdosa, Rangga." Pendekar Rajawali Sakti hanya menganggukangguk mendengar penuturan Ki Badranaya.
Sungguh hatinya merasa terharu mendengar penuturan yang polos dari laki-laki tua berwajah cacat itu.
"Apakah mereka semua orang persilatan sepertimu?" Rangga mengalihkan pembicaraan.
"Benar. Tapi, tidak semua sepertiku. Kebanyakan dari mereka memang ingin melenyapkanmu. Dan mereka bergabung merencanakan sebuah perangkap untuk menjebakmu. Waktu itu aku benar-benar terpaksa. Mereka telah mengalahkanku," jelas ki Badranaya.
"Berapa jumlah mereka?" tanya Rangga lagi.
"Aku tidak tahu pasti. Tapi sebagian pasti sudah kau hadapi," sahut Ki Badranaya.
Rangga tidak bertanya lagi. Memang selama pergi mengejar Pandan Wangi, sudah beberapa orang yang bentrok dengannya. Dan tampaknya mereka memang sudah mengetahui kalau Pendekar Rajawali Sakti sedang mencari Pandan Wangi.
Saat itu, Rangga sama sekali tidak tahu kalau dirinya sedang masuk suatu perangkap.
Dia kembali teringat kata-kata Ki Arman, yang sama sekali tidak diduga kalau laki-laki tua itu justru salah satu dari orang-orang yang menginginkan kematiannya.
Benar-benar suatu perangkap berdarah.
Persis seperti yang dikatakan si Tua Tukang Perahu itu.
"Kau yakin Pandan Wangi disekap di sini?" tanya Rangga lagi.
"Ya! Mereka menjadikan Pandan Wangi umpan untukmu," sahut Ki Badranaya lagi.
"Hm.... Bagaimana mereka bisa menangkap Pandan Wangi...?" Rangga menggumam seperti bertanya pada diri sendiri.
"Mereka tahu kalau Pandan Wangi sedang mencari sanak keluarganya.
Dan kesempatan itu dimanfaatkan.
Begitu bertemu Pandan Wangi, mereka mencampur pembius pada minumannya.
Jadi tidak perlu mengeluarkan tenaga untuk menangkapnya," jelas Ki Badranaya kembali.
"Di mana mereka lakukan itu?" tanya Rangga lagi.
"Di dalam candi itu."
"Hm.... Kau tahu siapa otak dari semua rencana ini, Ki?" tanya Rangga lagi dengan suara terdengar agak menggumam.
Belum juga Ki Badranaya menjawab, tiba-tiba saja....
"Aku...!"
"Heh...?!" Mereka jadi terkejut begitu tiba-tiba terdengar suara yang begitu lantang menggema. Dan tampak pada bagian tingkat kedua dari candi itu, berdiri tegak seorang gadis berwajah cantik.
Tubuhnya yang ramping dan indah, terbungkus baju warna merah muda.
Sebilah pedang tersampir di punggungnya.
"Mayang...," desis Rangga hampir tidak percaya dengan penglihatannya.
Bersamaan dengan itu, dari setiap pintu candi bermunculan orang-orang dari kaum persilatan.
Dari pakaian yang dikenakan dan senjata yang disandang, sudah dapat dipastikan kalau mereka semua dari kalangan persilatan.
Dan beberapa di antara mereka sudah dikenal Rangga, karena pernah berurusan dengannya.
Kini Rangga baru benar-benar mengerti kalau mereka bergabung untuk membalas dendam.
Tapi, beberapa dari mereka yang belum dikenal Pendekar Rajawali Sakti sama sekali tidak diketahui tujuannya.
Hanya dari keterangan Ki Badranaya saja yang mengatakan kalau mereka merasa terusik atas kemunculan Pendekar Rajawali Sakti.
Sedangkan tujuan gadis cantik berbaju merah muda yang dikenali Rangga bernama Mayang, tidak bisa dijelaskan lagi. Dan yang pasti, Mayang juga ingin Pendekar Rajawali Sakti lenyap, karena cintanya tidak pernah terbalaskan. Dan Rangga sudah menjatuhkan pilihan, serta menumpahkan cintanya pada Pandan Wangi. Lagi pula, Mayang sudah bersumpah untuk melakukan apa saja agar Rangga bisa terpisah dari Pandan Wangi.
"Kau bisa menghadapi mereka semua, Rangga?" tanya Ki Badranaya, seakan-akan meragukan kemampuan Rangga dalam menghadapi orang-orang persilatan yang berada di atas candi itu.
"Entahlah. Jumlah mereka terlalu banyak," sahut Rangga, agak mendesah nada suaranya.
Rangga memang jadi tidak yakin bisa menghadapi orang-orang berkepandaian tinggi yang berjumlah cukup besar itu.
Terlebih lagi, sebagian dari mereka sudah diketahui tingkat kepandaiannya. Dan Rangga tidak bisa menganggap enteng. Apalagi kalau bersatu seperti ini. Rasanya, memang kecil sekali baginya untuk bisa mengalahkan mereka semua. Tapi, Rangga tidak ingin mengatakan kalau hari ini adalah akhir dari segalanya.
Walaupun disadari, kematian bukanlah sesuatu yang buruk bagi seorang pendekar. Dan juga disadari kalau kehadirannya di kalangan rimba persilatan, membuat banyak orang tidak menyenanginya. Terutama mereka dari kalangan persilatan golongan hitam. Sudah barang tentu mereka merasa terusik atas kehadiran seorang pendekar muda digdaya yang berkepandaian sangat tinggi dan sukar dicari tandingannya.
*
* *
"Di mana kau sembunyikan Pandan Wangi, Mayang...?" tanya Rangga, keras suaranya.
"Sayang sekali! Dia tidak bisa menemuimu lagi, Kakang," sahut Mayang.
"Jangan katakan kau telah membunuhnya! Aku tidak akan berdiam diri kalau kau sampai berani mencelakakannya!" ancam Rangga tidak main-main lagi.
"Lupakanlah, Kakang. Pandan Wangi tidak pantas mendampingimu. Dia bukan siapa-siapa, dan hanya anak gelandangan yang dipungut dan bernasib baik hingga kau mengenalnya sebagai pendekar wanita yang tangguh. Tapi bagaimanapun juga, dia tetap anak gelandangan yang bodoh! Dia benar-benar tidak pantas berdampingan denganmu, Kakang. Dan aku tidak Ingin kau dipermalukan di depan...."
"Cukup...!" sentak Rangga keras menggelegar, membuat Mayang tidak bisa melanjutkan ucapannya.
Begitu kerasnya suara Pendekar Rajawali Sakti, sehingga bumi jadi bergetar seperti diguncang gempa.
Di dalam kemarahan yang tiba-tiba saja menggelegak, tanpa disadari Rangga mengeluarkan seluruh kekuatan tenaga dalam pada suaranya tadi.
Dan itu membuat mereka semua jadi tersentak setengah mati.
"Kau sudah keterlaluan, Mayang. Rasanya sulit bagiku untuk memaafkanmu lagi," desis Rangga, hampir tidak dapat lagi menahan kemarahannya.
"Aku memang tidak lagi membutuhkan maafmu, Kakang. Dan aku tahu, tidak mungkin bisa memiliki mu lagi. Tapi tidak ada seorang pun yang bisa berdampingan denganmu. Tidak seorang pun...! Juga Pandan Wangi!" keras sekali suara Mayang.
"Hatimu benar-benar sudah dikuasai iblis, Mayang...," desis Rangga menggeram.
"Aku lebih suka melihatmu mati, daripada harus merelakan mu berdua dengan gadis lain. Maafkan aku, Kakang...," ujar Mayang, agak perlahan suaranya.
Selesai berkata-kata, Mayang langsung melompat ringan dari atas candi itu. Gerakannya ringan sekali.
Lalu, manis sekali kakinya mendarat sekitar dua batang tombak di depan Pendekar Rajawali Sakti.
Pada saat itu, mereka yang berada di atas candi juga berlompatan turun.
Tidak kurang dari lima puluh orang, kini sudah berdiri di depan Pendekar Rajawali Sakti yang hanya ditemani Ki Badranaya.
Dari jumlah yang tidak berimbang ini, memang kecil sekali kemungkinannya bagi Rangga dan Ki Badranaya untuk bisa keluar dari tempat ini dalam keadaan hidup.
Dan di antara mereka itu, terlihat Rinjani yang berdiri tepat di belakang Mayang.
Dari Ki Badranaya, Rangga tahu kalau semua yang terjadi di Lembah Kumala adalah hanya kepura-puraan saja.
Tapi, Ki Badranaya cepat menyadari kalau dirinya hanya diperalat.
Sehingga, membuat Rinjani berang setengah mati.
"Ketahuilah, Kakang. Apa yang kulakukan ini tidak akan bisa menyembuhkan luka di hatiku. Bagaimanapun juga, aku tetap mencintaimu," tegas Mayang, begitu perlahan suaranya.
Hampir tidak terdengar di telinga.
"Maafkan aku, Kakang. Aku terpaksa melakukan semua ini karena mencintaimu. Aku tidak rela kau berdampingan dengan gadis lain." Sret! Mayang langsung mencabut pedangnya, dan diangkat tinggi-tinggi ke atas kepala. Pada saat itu, semua orang yang berada di pihaknya langsung berhamburan. Mereka berlompatan menyerang Pendekar Rajawali Sakti sambil berteriak-teriak keras menggelegar, seakan-akan ingin meruntuhkan semua yang ada di sekitar candi ini. Namun belum juga sampai, tiba-tiba saja....
Wsss...! Gerakan mereka seketika jadi tertahan, begitu tiba-tiba saja berhamburan puluhan anak panah dari atas pepohonan yang berada di belakang Pendekar Rajawali Sakti.
Tentu saja mereka cepat-cepat berlompatan ke belakang, menghindari hujan anak panah itu.
Kejadian ini bukan hanya mengejutkan mereka, tapi juga membuat Rangga jadi terlongong tidak mengerti.
Dan sebelum ada yang bisa menyadari, tahutahu dari balik pepohonan bermunculan orang-orang bersenjata terhunus. Dan dari atas pepohonan, juga berlompatan puluhan orang yang membawa panah serta senjata lain yang beraneka ragam bentuk dan ukurannya.
Sebentar saja, di belakang Pendekar Rajawali Sakti sudah berjajar ratusan orang yang menyandang senjata lengkap dari berbagai macam bentuk dan ukuran. Di antara mereka, juga terlihat orang-orang tua berjubah yang sudah dikenal baik oleh Rangga. Pendekar Rajawali Sakti langsung tahu, orang-orang yang tiba-tiba saja bermunculan itu gabungan dari beberapa padepokan beraliran putih.
Enam orang laki-laki berusia lanjut yang semuanya mengenakan jubah putih segera menghampiri Pendekar Rajawali Sakti.
Dan memang, mereka adalah para ketua padepokan yang pernah dikunjungi Rangga selama dalam pengembaraannya di rimba persilatan.
Dan di belakang mereka, tidak kurang dari lima puluh orang para pendekar golongan putih yang sudah ternama di kalangan rimba persilatan. Tingkat kepandaian mereka pun tidak bisa dikatakan rendah.
"Kau selamatkan saja Pandan Wangi. Biar kami yang mengurus mereka," kata salah seorang laki-laki tua berjubah putih.
Rangga tidak bisa lagi berkata apa-apa. Sungguh Pendekar Rajawali Sakti tidak tahu kalau sahabatsahabatnya berdatangan membantunya, dan sudah ada di sini tanpa diketahui sama sekali.
Terselip rasa keharuan di dalam hatinya.
Dan Pendekar Rajawali Sakti hanya bisa mengucapkan terima kasih di dalam hati.
Dia tak mampu lagi mengucapkan sesuatu melalui bibirnya yang jadi bergetar karena haru melihat rasa persahabatan yang ditunjukkan secara tiba-tiba ini.
"Wadyabala...! Serang mereka...!" seru laki-laki tua berjubah putih itu dengan suara lantang menggelegar.
Seketika itu juga terdengar teriakan-teriakan keras menggelegar, bagai hendak meruntuhkan apa saja yang ada di sekitar candi ini.
Bumi bagai bergetar terguncang gempa begitu ratusan orang di belakang Rangga berhamburan, meluruk ke arah Mayang dan teman-temannya.
Sementara Rangga hanya bisa terpaku memandangi, tak tahu harus berbuat apa lagi. Tidak mungkin pertempuran yang langsung terjadi ini bisa dicegah.
Teriakan-teriakan keras dan jerit pekik melengking tinggi serta denting senjata beradu, langsung terdengar dari pertempuran yang sudah berlangsung begitu sengit.
"Ayo, Rangga. Kita cepat selamatkan Pandan Wangi," ujar Ki Badranaya sambil menepuk pundak Pendekar Rajawali Sakti.
"Oh...?!" Rangga jadi tersentak.
Sebentar wajahnya berpaling menatap Ki Badranaya.
"Tidak ada waktu lagi, Rangga. Kita harus cepat, sebelum ada di antara mereka yang mencelakakan Pandan Wangi," ujar Ki Badranaya lagi.
"Kau tahu, di mana mereka menyembunyikan Pandan Wangi?" tanya Rangga.
"Ikuti saja aku," sahut Ki Badranaya langsung melompat dan berlari cepat ke arah candi berukuran besar itu.
"Hup!" Rangga juga segera melompat cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat kesempurnaan.
Hanya beberapa kali lompatan saja, Pendekar Rajawali Sakti sudah sampai di pintu pertama candi itu.
Bahkan langsung mendahului Ki Badranaya yang sudah lebih dulu melesat tadi.
"Di mana...?" tanya Rangga langsung, begitu Ki Badranaya sudah sampai di depannya.
"Di pintu paling atas," sahut Ki Badranaya.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Rangga langsung melenting ke atas.
Sekali lompatan saja, dilewatinya beberapa tingkat dari candi ini Hingga sebentar saja, Pendekar Rajawali Sakti sudah sampai di depan pintu pada tingkat paling atas.
Tapi begitu kakinya menjejak di depan pintu itu, mendadak saja....
Wusss! "Ufs...!" Rangga cepat memiringkan tubuh, ketika tibatiba dari dalam pintu yang tidak memiliki penutup meluncur sebatang tombak.
Dan sebelum Pendekar Rajawali Sakti bisa mengembalikan sikap tubuhnya, tahutahu dari dalam melesat sebuah bayangan merah yang langsung menerjangnya.
"Hup...!" Rangga cepat-cepat melenting, berputaran ke belakang beberapa kali. Dan begitu menjejakkan kakinya kembali di baru candi ini, di depannya sudah berdiri seorang laki-laki berusia setengah baya yang mengenakan jubah warna merah menyala.
"Iblis Merah...," desis Rangga langsung mengenali.
*
* *
"Hm...," Rangga hanya menggumam saja perlahan, "Hadapi aku dulu, Pendekar Rajawali Sakti.
Hiyaaat ..!"
"Hap!" Cepat-cepat Rangga menarik tubuhnya ke kanan begitu Iblis Merah melepaskan satu pukulan keras bertenaga dalam tinggi.
Dan sebelum laki-laki berjubah merah itu bisa menarik kembali pukulannya, cepat sekali Rangga melepaskan satu sodokan tangan kiri disertai pengerahan tenaga dalam sempurna ke arah belakang.
"Hait...!" Tapi Iblis Merah masih bisa mengelakkannya, dengan menarik tubuhnya cepat ke belakang.
Pada saat itu, tampak Ki Badranaya menerobos masuk ke dalam bangunan candi tingkat teratas melalui pintu yang sudah tidak terjaga lagi. Dan tindakan laki-laki cacat itu bisa diketahui Pendekar Rajawali Sakti.
"Hiyaaa...!" Rangga segera melenting ke udara, lalu cepat sekali meluruk deras dengan kedua kaki bergerak bagai kilat. Rangga langsung mengeluarkan jurus "Rajawali Menukik Menyambar Mangsa".
"Hep...!" Iblis Merah segera menjatuhkan tubuhnya, dan bergulingan beberapa kali menghindari serangan Rangga yang begitu cepat luar biasa. Namun baru saja bisa bangkit berdiri, tahu-tahu Rangga sudah melepaskan satu pukulan keras menggeledek dari jurus "Pukulan Maut Panah Rajawali".
Begitu cepatnya serangan yang dilakukan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga Iblis Merah tidak dapat lagi menghindarinya.
Dan....
Begkh! "Aaakh...!" Iblis Merah menjerit keras melengking tinggi.
Begitu keras dan sempurnanya tenaga dalam yang dikerahkan Pendekar Rajawali Sakti.
Sehingga, Iblis Merah langsung terpental jatuh ke belakang deras sekali, begitu dadanya terkena pukulan dari jurus "Pukulan Maut Paruh Rajawali".
Iblis Merah tidak bisa lagi mengendalikan keseimbangan tubuhnya, lalu keras sekali tubuhnya terbanting langsung ke tanah., Hanya sebentar saja tubuhnya mampu menggeliat, kemudian diam tak bergerak-gerak lagi.
Darah tampak mengucur deras dari mulutnya yang terbuka lebar.
"Kakang...!"
"Oh...?!" Rangga tidak dapat lagi menguasai diri begitu melihat Pandan Wangi berdiri di depan pintu.
Pendekar Rajawali Sakti langsung menghambur, dan memeluk gadis itu. Tidak dipedulikan kalau di sana ada Ki Badranaya yang jadi tersipu sendiri melihat Rangga memeluk Pandan Wangi begitu erat, membuat gadis itu jadi sesak bernapas.
"Maafkan aku, Kakang," ucap Pandan Wangi lirih.
Sementara itu, pertarungan di bawah tampaknya sudah berhenti. Rangga baru melepaskan pelukan setelah diingatkan Pandan Wangi kalau ada Ki Badranaya.
Segera dihampirinya si Setan Lembah Kumala itu dengan tangan tidak terlepas menggenggam tangan Si Kipas Maut ini.
"Terima kasih, kau telah menyelamatkan Pandan Wangi," ucap Rangga sambil menyalami tangan Ki Badranaya.
"Jangan berterima kasih padaku, Rangga. Tapi pada mereka yang ada di bawah sana," sahut Ki Badranaya.
Rangga berpaling menatap orang-orang yang berada di bagian depan candi ini. Bibir Pendekar Rajawali Sakti jadi menyunggingkan senyuman.
Sebuah senyuman haru dan ucapan rasa terima kasih, karena telah dibantu menghadapi lawan-lawannya pada saat yang sangat tepat.
"Bagaimana mereka bisa tahu, Ki?" tanya Rangga sambil melangkah menuruni candi ini di samping Pandan Wangi.
Sedangkan Ki Badranaya berjalan di depan kedua pendekar muda dari Karang Setra ini.
"Kabar tentang perangkap untukmu ini sudah tersebar luas, Rangga. Dan bukannya tidak mungkin mereka sudah mendengar kabar itu," sahut Ki Badranaya.
"Tapi, mereka harus melewati lembah untuk sampai ke sini, bukan...?"
"Memang benar," Sahut Ki Badranaya.
"Lalu, bagaimana mungkin mereka bisa sampai lebih dulu?" Ki Badranaya tidak menjawab, dan hanya tersenyum saja sambil terus melangkah. Tentu saja Rangga tidak bisa melihat senyum si Setan Lembah Kumala itu, karena berjalan di belakangnya. Dan mereka baru berhenti setelah menjejakkan kakinya di tanah kembali, tepat di depan pintu pertama dari candi yang berukuran sangat besar ini.
"Aku tidak melihat Mayang dan Rinjani. Di mana mereka...?" tanya Rangga sambil mengedarkan pandangan, merayapi mayat-mayat yang bergelimpangan.
"Dia kabur bersama yang lainnya," sahut salah seorang laki-laki tua berjubah putih.
"Hm.... Lagi-lagi dia bisa melarikan diri," gumam Rangga perlahan, untuk dirinya sendiri.
Rangga kembali merayapi mayat-mayat yang bergelimpangan. Hanya sepuluh orang lawan saja yang terlihat tewas. Sedangkan dari pihak orang-orang yang membantu Rangga, lebih dari lima puluh orang yang tergeletak tak bernyawa lagi. Dan Rangga bisa memaklumi, kalau lawan yang dihadapi memang bukan tandingan. Tapi bagaimanapun juga, Rangga tidak bisa mengabaikan pengorbanan yang begitu besar ini.
"Rasanya, tidak ada lagi yang bisa kami lakukan di sini. Kami mohon diri," ujar laki-laki tua berjubah putih yang rupanya menjadi pemimpin dan rombongan dari gabungan beberapa padepokan.
"Terima kasih atas bantuan dan pengorbanan kalian semua," ucap Rangga tulus.
Setelah berbasa-basi sebentar, mereka semua bergerak meninggalkan candi ini.
Rangga dan Pandan Wangi memandangi penuh haru dan ucapan terima kasih yang terpancar dari sinar mata mereka. Sementara itu Ki Badranaya masih tetap bersama kedua pendekar muda ini. Dan mereka masih belum berbicara, meskipun orang-orang dari gabungan beberapa padepokan itu sudah tidak terlihat lagi.
Pendekar Rajawali Sakti teringat surat buat Pandan Wangi yang isinya memberitahukan keberadaan sanak keluarganya. Sebuah surat yang isinya ternyata hanya kabar bohong belaka. Rangga kemudian mengambil surat itu dari dalam saku ikat pinggangnya.
Tanpa setahu Pandan Wangi, surat itu dilumat dalam genggaman, lalu dibuang jauh-jauh.
"Surat keparat!" dengus Rangga dalam hati.
* * * * *
SELESAI
INDEX PENDEKAR RAJAWALI SAKTI | |
Rahasia Gordapala --oo0oo-- Geger Putri Istana |