Ladang Pembantaian
tanztj
March 26, 2014
INDEX PENDEKAR RAJAWALI SAKTI | |
Kumbang Bukit Lontar --oo0oo-- Korban Ratu Pelangi |
RANGGA PATI
Pendekar Rajawali Sakti
Karya: Teguh .S
EP:LADANG PEMBANTAIAN
Pendekar Rajawali Sakti
Karya: Teguh .S
EP:LADANG PEMBANTAIAN
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Gambar sampul oleh Soeryadi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
::::↨֍¦ 1 ¦֎↨::::
Sedangkan tidak jauh dari jalan itu, terlihat sebuah sungai berair jernih.
Tak ada seorang pun terlihat.
Baik di desa, maupun di sungai.
Begitu sunyi sekali, sehingga membuat deru angin terdengar ribut mengusik gendang telinga.
"Hm... Mengapa begitu sepi? Apa mungkin ini suatu jebakan...?" gumam gadis itu perlahan, bicara pada diri sendiri.
Sedikit pun gadis itu tidak berkedip, dan berpaling dari desa yang tampak sunyi seperti tidak berpenghuni.
Dan memang, sudah sejak pagi tadi sampai matahari sekarang berada di atas kepala, tak seorang pun yang terlihatnya di sana.
Apalagi terlihat melintas jalan tanah berdebu ini.
Sungguh suatu pemandangan yang tidak menyenangkan, dan mengundang berbagai macam pertanyaan.
"Baik..., boleh jadi ini jebakan. Dan ingin tahu, sampai di mana kemampuan mereka menghadapiku...," kembali mulutnya bergumam pelan, bicara pada diri sendiri.
Kemudian kakinya mulai terayun mendekati desa yang masih tetap kelihatan sunyi. Tatapan matanya masih terlihat begitu tajam, tanpa sedikit pun berkedip.
Dirayapinya keadaan sekitarnya yang begitu sunyi dan lengang.
Bahkan tak satu pun suara yang terdengar.
Hanya desir angin saja yang terdengar mengusik telinga.
Perlahan-lahan namun pasti, gadis itu terus melangkah semakin mendekati desa yang masih sepi itu. Gadis itu baru berhenti melangkah setelah sampai di tengah-tengah desa yang sepi itu.
Seluruh pintu dan jendela rumah yang ada, semuanya dalam keadaan tertutup rapat.
Benar-benar sunyi.
Bahkan seekor binatang pun tak terlihat berkeliaran di jalan ini.
Kembali kakinya diayunkan perlahan.
Namun baru saja berjalan beberapa langkah, mendadak saja.... Wusss! "Uts...?!" Cepat sekali gadis berbaju putih agak ketat itu menarik tubuhnya, hingga miring ke samping, ketika tibatiba saja meluncur sebatang tombak ke arahnya.
Dan belum lagi tombak itu lewat, datang lagi dua batang tombak sekaligus dari arah yang berlawanan.
Tak ada pilihan lain lagi bagi gadis itu. Cepat-cepat dia menjatuhkan diri ke tanah, dan bergulingan beberapa kali.
Tombak-tombak itu menancap di tanah, tidak jauh darinya.
Cepat-cepat tubuhnya melenting bangkit berdiri.
Tapi baru saja kakinya menjejak tanah, dari atas rumah-rumah yang tampak begitu sunyi, tiba-tiba saja bermunculan orang-orang yang langsung menghujani anak panah ke arahnya.
"Hup! Yeaaah...!" Sret!
Bet! Cepat sekali gadis itu memutar tubuhnya, sambil mencabut pedang yang menggantung di pinggang sejak tadi. Dan, secepat itu pula, pedangnya berkelebat menyampok setiap batang anak panah yang mengincar tubuhnya.
Gerakannya begitu cepat, sehingga bentuk tubuhnya seperti lenyap.
Dan yang terlihat kini hanya bayangan putih berkelebat, bercampur kilatan cahaya keperakan dari pedang yang berkelebat menyambar anak-anak panah yang menghujaninya.
"Hup! Yeaaah...!" Tiba-tiba saja gadis itu melentingkan tubuh ke udara. Kemudian, dia langsung meluruk deras ke arah salah satu rumah, yang di atapnya terdapat tiga orang laki-laki yang tengah sibuk dengan busur panahnya.
Begitu cepatnya gerakan gadis berbaju putih itu, sehingga ketiga orang itu tidak sempat menyadari lagi.
Sementara, pedang di tangan gadis itu bergerak cepat bagai kilat.
Seketika itu juga, terdengar jeritan-jeritan panjang melengking tinggi saling susul. Belum lagi jeritan menyayat itu lenyap dari pendengaran, tampak tiga orang yang berada di atas atap rumah itu jatuh terguling dengan dada terbelah mengucurkan darah segar.
Saat itu juga menghentikan hujan panahnya.
Mereka tampak terkejut setengah mati, begitu melihat tiga orang sudah tergeletak tak bernyawa lagi.
Dan tampak di atas atap rumah berdiri seorang gadis cantik berbaju putih, dengan pedang tersilang di depan dada.
"Hup!" Dengan satu gerakan manis sekali, gadis itu melompat turun dari atap. Begitu ringan gerakannya, sehingga, sedikit pun tidak menimbulkan suara saat kedua kakinya menjejak tanah kembali. Dia kini berdiri tidak jauh dari tiga sosok tubuh yang tergeletak berlumuran darah, tak bernyawa lagi. Kini tidak ada satu batang anak panah pun yang menghujaninya lagi. Semua orang yang berada di atas atap, seperti terpana. Mereka bengong, seakan-akan tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.
* * *
Kemudian, disusul berlompatannya orang-orang di atas atap.
Mereka langsung meluruk ke arah gadis cantik berbaju putih itu dengan senjata terhunus yang bentuknya bermacam-macam di tangan. Teriakanteriakan keras menggelegar terdengar bagai hendak memecahkan desa ini. Sementara, gadis berbaju putih itu masih tetap berdiri tegak di tengah-tengah jalan desa ini.
Pedangnya masih tetap bersilang di depan dada. Sedangkan orang-orang yang baru berlompatan turun di atas atap terus meluruk ke arahnya, sambil berteriak-teriak dan mengangkat senjata masing-masing ke atas kepala.
Memang, dari pakaian dan senjata yang digenggam tampaknya mereka bukan penduduk desa biasa. Terlebih lagi, dari cara menggunakan panah tadi, serta dari cara menggenggam senjata sekarang ini, sudah dapat dilihat kalau mereka paling tidak memiliki kepandaian ilmu olah kanuragan.
Tapi, tiba-tiba saja gerakan mereka berhenti. Dan mereka hanya berdiri mengepung rapat gadis itu. Teriakan-teriakan keras pun seketika itu juga tidak terdengar lagi. Suasana mendadak saja jadi begitu hening. Sementara, gadis berbaju putih itu perlahan-lahan memutar tubuhnya, memandangi orang-orang yang mengepungnya begitu rapat, sehingga sedikit pun tak ada celah untuk dapat keluar dari kepungan ini begitu saja.
"Siapa kalian...?!" tanya gadis itu dengan suara yang lantang.
Tak ada seorang pun yang menjawab. Gadis berbaju putih itu langsung mengarahkan tatapan mata pada seorang laki-laki berusia setengah baya, yang tengah melangkah ke depan. Sorot matanya begitu tajam, memancarkan kebencian yang amat sangat. Sementara, laki-laki setengah baya itu berhenti setelah jaraknya tinggal sekitar sepuluh langkah lagi dari gadis berbaju putih itu.
"Seharusnya aku yang bertanya, Nisanak! Untuk apa kau datang ke Desa Jalakari ini?" terasa begitu dingin nada suara laki-laki setengah baya itu.
"Hhh! Kedatanganku untuk menuntut hakku atas desa ini! Aku harus menyelamatkan desa ini dari keserakahan.
Aku tahu, kalian pasti bukan penduduk desa ini," sinis sekali jawaban gadis itu.
"Aku tidak ada waktu untuk bermain-main, Nisanak!" bentak laki-laki setengah baya itu.
Sebilah golok berukuran cukup besar tergenggam di tangan kanan laki-laki berbaju warna biru ini. Goloknya berkilatan tertimpa cahaya matahari yang siang ini bersinar begitu terik.
Kakinya kemudian melangkah tiga tindak ke depan.
Bahkan sorot matanya semakin tajam saja.
Sementara, gadis berbaju putih itu kembali mengedarkan pandangan pada orang-orang mengepungnya.
"Hm..., tidak mungkin mereka semua kuhadapi.
Baiklah. Nanti saja siasat ku akan kujalankan. Lebih baik, aku mencari jalan agar bisa keluar dari kepungan ini dulu," gumam gadis itu berbicara sendiri dalam hati.
"Baiklah. Tadi kau mengatakan tujuanmu datang ke desa ini, adalah untuk meminta hakmu atas desa ini. Pikirlah dulu, Nisanak. Jangan sampai mereka semua membuatmu jadi daging cincang!" desis laki-laki setengah baya itu mengancam. Laki setengah baya itu kemudian mengebutkan tangan kirinya sedikit, maka orang-orang yang berada di belakang gadis itu segera menyingkir.
Mereka membuka jalan bagi gadis itu pergi dari desa yang aneh ini. Sekilas, gadis berbaju putih itu melirik ke arah jalan yang sudah tersedia untuknya.
Kemudian, ditatapnya sebentar pada laki-laki setengah baya di depannya. Rupanya, laki-laki setengah baya itu masih memberi kesempatan pada gadis itu untuk mengurungkan niatnya.
Dia memang sudah bisa menebak, siapa gadis itu.
Diakui, gadis itu memang sudah banyak memakan korban dari murid-muridnya.
Tapi, dia tidak mau bertindak gegabah.
Ada satu hal yang perlu dipikirkannya. Dan hanya dirinya sendiri yang tahu.
"Cepat tinggalkan tempat ini sebelum pikiranku berubah, Nisanak!" sentak laki-laki setengah baya itu lantang.
Sedangkan gadis berbaju putih itu masih tetap diam.
Perlahan pedangnya dimasukkan kembali ke dalam warangka di pinggang. Perlahan tubuhnya berputar, lalu mulai melangkah diiringi puluhan pasang mata yang memandang penuh kebencian padanya. Gadis berbaju serba putih itu terus melangkah melewati orang-orang yang berada di kiri dan kanan jalan tanah berdebu ini. Tak ada seorang pun yang mengeluarkan suara. Mereka semua terdiam, dengan sorot mata yang tajam, mengiringi ayunan langkah kaki gadis ini.
Namun begitu berada di luar kepungan, tiba-tiba saja....
"Berhenti kau!" Gadis itu menghentikan langkahnya seketika, tapi tidak memutar tubuhnya sedikit pun juga. Pada saat itu, melompat seorang pemuda yang menggenggam golok di tangan kanan.
"Kau tidak boleh pergi begitu saja, Perempuan Iblis! Hiyaaat...!"
"Walika, jangan...!" sentak laki-laki setengah baya itu. Laki-laki setengah baya itu begitu terkejut atas tindakan pemuda yang dipanggil Walika itu.
Tapi teriakan mencegah itu sudah terlambat, karena Walika sudah melompat sambil menebaskan cepat sekali goloknya ke arah kepala gadis berbaju putih itu. Wuk! "Uts...!" Hanya sedikit saja gadis cantik itu merunduk, maka tebasan golok Walika hanya lewat sedikit di atas kepala. Dan pada saat itu, cepat sekali tubuhnya berputar, sambil menghentakkan tangan kanan.
Langsung diberinya sodokan yang begitu cepat ke arah perut. Begitu cepatnya sodokan tangan kanan itu, sehingga Walika tidak sempat lagi menghindari.
Dan tahutahu saja tangan kanan gadis itu bersarang telak di perut Walika. Des! "Hegkh...!" Walika melenguh pendek.
Tubuh pemuda itu terbungkuk, akibat tersodok tangan kanan yang cukup keras pada perutnya. Di saat tubuh pemuda itu terbungkuk, cepat sekali gadis berbaju putih itu melepaskan satu pukulan keras ke arah wajah. Begitu cepat serangan susulannya, sehingga Walika yang sedang merasakan sakit pada pe rutnya tidak dapat menghindari lagi.
Diegkh!
"Aaakh...!" Walika terpekik keras sekali.
Kepala pemuda itu langsung terdongak ke atas, dan tubuhnya terhuyung-huyung. Dia lalu terjerembab tergeletak menelentang di tanah. Dua orang pemuda lainnya segera melompat, begitu melihat Walika tergeletak dengan bibir pecah mengeluarkan darah, akibat terkena pukulan keras tadi.
"Tahan...!" sentak laki-laki setengah baya berbaju biru, sambil melompat cepat menghadang dua orang pemuda yang sudah ingin menyerang gadis berbaju putih itu. Dua orang pemuda itu menghentikan langkahnya. Ditatapnya laki-laki setengah baya ini tajam-tajam. Kemudian tatapannya beralih pada gadis cantik berbaju serba putih yang masih berdiri tegak dengan tegar sekali. Sementara, Walika sudah bisa bangkit berdiri.
Disekanya darah yang memenuhi mulutnya dengan punggung tangan.
"Seharusnya kau cepat pergi dari sini, Nisanak.
Dan jangan kembali lagi," kata laki-laki setengah baya itu, agak ditekan perlahan nada suaranya.
Tanpa berbicara apa pun juga, gadis cantik berbaju putih itu memutar tubuhnya. Lalu, dia melangkah pergi dengan ayunan kaki yang mantap.
Sementara, Walika menghampiri laki-laki setengah baya ini, diikuti dua orang pemuda yang tadi hampir ikut menyerang. Sedangkan orang-orang yang memadati jalan itu, sedikit demi sedikit menghampiri mereka. Sementara, gadis berbaju serba putih itu sudah terlihat cukup jauh. Dia terus berjalan tanpa berpaling lagi ke arah Selatan.
Padahal, tadi kedatangannya dari arah Utara. Itu berarti dia tidak kembali lagi ke tempat tadi.
"Seharusnya kau tidak membiarkan perempuan iblis itu pergi, Ki," ujar Walika tampak tidak puas atas sikap laki-laki setengah baya itu.
"Benar, Ki Langgu.
Dia pasti kembali lagi ke sini," sambung pemuda lain.
"Dia sudah terlalu banyak mengambil nyawa teman-teman kami, sambung pemuda satunya lagi.
"Sudah....
Kalian kembali saja ke tempat masingmasing," ujar laki-laki setengah baya yang dipanggil Ki Langgu itu. Memang terlihat jelas, kalau mereka semua merasa tidak puas.
Tapi, tak seorang pun yang berani menentang keputusan laki-laki setengah baya itu.
Mereka semua terdiam.
Bahkan tetap diam, saat laki-laki setengah baya yang ternyata bernama Ki Langgu melangkah pergi.
Sikapnya seperti tidak mempedulikan ketidakpuasan mereka, dengan membiarkan gadis berbaju putih itu pergi. Padahal, mereka semua tadi sudah siap menyabung nyawa, asalkan gadis cantik berbaju putih itu tewas.
Satu hal yang tak terpikirkan mereka, dan tentu saja ini menjadi pikiran Ki Langgu. Membunuh gadis tadi, sama saja menciptakan perang terbuka dengan musuh bebuyutnya. Ini yang harus dihindari. Ki Langgu tidak ingin usahanya yang telah susah payah dibangun, hancur berantakan. Malam sudah cukup jauh menyelimuti seluruh permukaan bumi Desa Jalakan ini. Sedikit pun tak ada cahaya yang terlihat, selain cahaya bulan dan bintang dari kegelapan langit. Awan yang berarak di langit, agak tebal juga malam ini. Sehingga, membuat bulan yang bulat penuh tidak bisa leluasa memancarkan cahayanya yang indah. Hanya sedikit saja yang sampai ke desa bumi ini.
Seluruh rumah yang berdiri di Desa Jalakan ini tampak dalam keadaan gelap. Tapi, ada satu yang tampak terang, meskipun tidak begitu terang keadaannya.
Itu pun hanya pada bagian ruangan depannya saja, karena dipasangi lampu pelita.
Cahaya api pelita itu sangat kecil, sehingga hampir tidak sanggup menerangi seluruh ruangan yang berukuran cukup luas ini. Di dalam ruangan itu, tampak Ki Langgu duduk bersila didampingi Walika.
Sementara di depan mereka, duduk tiga orang laki-laki yang tampaknya sebaya dengan Ki Langgu.
Seorang wanita berusia sekitar empat puluh tahun juga ada di situ.
Namun, wajahnya masih kelihatan cantik.
Malah bentuk tubuhnya yang ramping itu, masih sanggup membuat mata laki-laki tidak berkedip memandangnya.
Dari pakaian dan senjata yang disandang masing-masing, sudah dapat dipastikan kalau mereka bukanlah orang-orang sembarangan.
Dan yang pasti, dari kalangan rimba persilatan.
"Aku gembira sekali kalian sudi memenuhi undanganku untuk datang ke desa ini," ujar Ki Langgu.
"Kau sudah mengundang kami, Langgu.
Tentu ada hal yang sangat penting.
Dengan mengundang kami, pasti kau tidak bisa mengatasi masalahnya," sambut satu-satunya wanita yang mengenakan baju warna hitam pekat.
Pada kedua tangannya tergenggam masing-masing sebatang tongkat pendek. Pada bagian ujungnya, berbentuk bulan sabit yang sangat runcing. Tongkat itu juga berwarna hitam pekat, seperti baju yang dikenakannya. Dan dia dikenal dengan julukan Dewi Bulan Hitam.
"Di dalam surat mu, kau tidak jelas mengatakan persoalan yang sedang kau hadapi, Langgu," sambung seorang laki-laki yang duduk di samping Dewi Bulan Hitam.
Dia seorang laki-laki gagah, meskipun usianya sudah mencapai kepala lima.
Baju warna kuning keemasan, dengan sebuah pedang tersampir di punggung. Seluruh pedang itu berwarna kuning emas.
Di kalangan rimba persilatan, julukannya yang terkenal adalah Dewa Pedang Emas. Sedangkan yang dua orang lagi, hanya diam saja dengan kepala terangguk-angguk.
Yang seorang berbaju warna putih dan membawa sebuah tongkat pendek sepanjang lengan. Dia dikenal sebagai Setan Tongkat Putih.
Sementara yang seorang lagi, tampaknya lebih muda dari yang lain.
Dan mungkin lebih tua lima tahun dari Walika.
Orang itu mengenakan baju warna biru muda yang ketat, sehingga membentuk tubuhnya yang tegap dan berotot. Tangan kanannya tidak pernah diam, memainkan kipas yang terkembang di depan dada, dengan gambar seekor naga. Orang ini yang dikenal dengan julukan si Kipas Naga.
Dari nama-nama yang tersandang, sudah jelas kalau mereka sangat ahli dalam menggunakan senjata yang dibawa.
Dan julukan mereka juga sudah tidak asing lagi di kalangan orang-orang persilatan.
"Kau dijuluki si Golok Setan, Langgu.
Katakan, apa maksudmu mengundang kami semua ke desa ini..?" ujar Dewi Bulan Hitam lagi.
"Aku punya persoalan penting yang tampaknya tidak bisa ku atasi sendiri ," sahut Ki Langgu, agak pelan suaranya terdengar.
"Katakan saja, Langgu. Persoalan apa yang sedang kau hadapi?" desak Setan Tongkat Putih.
"Hhh...!" sebentar Ki Langgu menghembuskan napas panjang.
"Kita semua sudah mempunyai daerah kekuasaan masing-masing.
Dan kita semua sudah bersepakat mengikat janji, untuk saling setia dan saling membantu satu sama lain.
Aku ingin kalian semua menunjukkan rasa kesetiaan dari sumpah kita bersama."
"Apa maksudmu, Langgu?" tanya si Kipas Naga tidak mengerti maksud kata-kata si Golok Setan itu.
"Begini, kalian kuundang ke sini bukan hanya sekadar main-main.
Tapi, untuk menghadapi satu persoalan yang sangat penting sekali.
Dan persoalan ini sudah menggangguku siang dan malam, sehingga benar-benar sulit untuk mengatasinya," jelas Ki Langgu masih terdengar agak pelan suaranya.
"Apa itu, Langgu?" tanya Dewi Bulan Hitam lagi.
"Desa yang memiliki kekayaan yang tak bernilai harganya ini baru ku kuasai satu tahun. Kedatanganku kulakukan dengan kekerasan.
Aku menguasainya, tanpa ada yang bisa menghalangiku.
Kepala desa ini telah kukalahkan lewat suatu pertarungan.
Dia tidak kubunuh, dan hanya kuusir saja.
Ternyata, penduduk desa juga mengikutinya.
Katanya, dia tidak akan mengusik kehidupanku, kalau aku tidak mengganggu anaknya.
Namun, justru anaknya yang mengganggu kehidupanku.
Dia sudah banyak membunuh anak buahku.
Bahkan berhasil menghasut para penduduk desa lainnya, sehingga satu persatu pergi tanpa kuketahui sama sekali. Kalian bisa lihat desa ini sekarang benar-benar sepi. Tak ada seorang pun yang tinggal lagi di sini," Ki Langgu mulai mengisahkan.
"Jadi apa maksudmu yang sebenarnya?" tanya Dewi Bulan Hitam lagi.
"Aku ingin kalian ikut mengamankan desa ini. Te rutama, mengusir pengacau itu," sahut Ki Langgu agak ditekan nada suaranya.
"Untuk apa, Langgu? Jika semua orang sudah meninggalkan desa ini, hancurkan saja sekalian.
Untuk apa diamankan segala...? Buang-buang tenaga saja...!" dengus Dewa Pedang Emas.
"Desa ini sangat penting artinya bagiku, Pedang Emas," sergah Langgu.
"Apa pentingnya...?" desah Dewa Pedang Emas. Ki Langgu tidak langsung bisa menjawab.
Beberapa saat, dipandanginya Dewa Pedang Emas.
Kemudian napasnya dihembuskan panjang-panjang sambil kepalanya didongakkan ke atas, menatap langit-langit yang berukuran cukup luas ini. Sedangkan empat orang yang duduk bersila di depan si Golok Setan itu masih tetap diam menunggu. Tapi tampaknya Ki Langgu tidak mau menjawab pertanyaan Dewa Pedang Emas tadi. Dan sepertinya, dia menyimpan sesuatu yang tidak boleh diketahui orang lain. Meskipun, pada para sahabatnya yang telah mengangkat sumpah untuk selalu setia dan saling membantu. Cukup lama juga Ki Langgu terdiam.
Kemudian....
"Desa ini sangat berarti bagi kehidupanku.
Dan aku tidak akan mungkin meninggalkannya lagi," tegas Ki Langgu terdengar pelan suaranya.
* * *
::::↨֍¦ 2 ¦֎↨::::
Di pinggang masing-masing tampak terselip sebilah golok.
"Aku heran.
Kita sudah hampir menangkap perempuan setan itu, Ki Langgu malah membiarkannya pergi," keluh salah seorang pemuda yang mengenakan baju warna biru tua.
"Benar.
Padahal, rencana kita sudah matang siang tadi itu," sambung pemuda berbaju hitam pekat.
"Aku merasa ada sesuatu yang disembunyikan Ki Langgu."
"Kalian jangan berpikir buruk seperti itu.
Aku tahu betul, siapa Ki Langgu.
Dia pasti punya alasan terpendiri, kenapa bertindak seperti itu," selak pemuda lain, yang sejak tadi diam saja mendengarkan ketiga temannya berbicara.
Bajunya ketat, berwarna merah.
"Bagaimana tidak...? Kita sudah berhasil mengepung, dan sudah tiga orang teman kita yang tewas. Tapi, Ki Langgu tetap saja membiarkan perempuan setan itu pergi!" agak tinggi suara pemuda yang mengenakan baju hitam pekat itu lagi.
"Benar...! Sudah sepantasnya kalau Ki Langgu kita curigai.
Jangan-jangan, dia juga bersekongkol dengan perempuan setan itu," sambung pemuda berbaju biru tua.
"Hm....
Sebaiknya kumpulkan teman-teman yang Iain, lalu kita desak Ki Langgu," cetus pemuda berbaju merah lagi.
Ketiga pemuda itu sudah sepakat. Mereka segera melangkah memasuki desa. Tapi belum juga mereka berjalan jauh, tiba-tiba saja....
Slap!
"Heh...?!" "Hah...?!" Ketiga pemuda itu, mendadak saja jadi tersentak setengah mati. Karena tiba-tiba saja, sebuah bayangan putih berkelebat begitu cepat. Kini, tahu-tahu di depan mereka sudah berdiri seorang gadis berparas cantik, berbaju agak ketat dan berwarna putih bersih. Tubuhnya yang kecil terlihat begitu ramping.
Tampaknya, dia juga seperti gadis-gadis lain yang lemah. Tapi kemunculannya yang begitu tiba-tiba, membuat ketiga pemuda itu jadi terpana setengah mati. Terlebih lagi, mereka mengenali kalau gadis cantik berbaju putih ini yang tengah dibicarakan tadi. Dan semua orang di Desa Jalakan ini selalu menyebutnya Perempuan Setan. Entah kenapa sebutannya begitu.
Mungkin karena memang tidak ada yang kenal, siapa dia sebenarnya. Dan lagi setiap kali muncul, selalu saja tiba-tiba seperti setan.
Bahkan kepergiannya pun selalu mendadak, tanpa dapat diketahui arahnya lagi.
"Serang...! Bunuh perempuan setan itu!" seru pemuda berbaju biru lantang menggelegar.
"Hiyaaat...!" Cepat sekali pemuda itu melompat menerjang gadis berbaju putih, sambil mencabut goloknya yang terselip di pinggang.
Langsung golok itu dikebutkan ke arah kepala.
Namun dengan gerakan manis sekali, gadis itu menarik kepalanya ke belakang sedikit sehingga tebasan golok pemuda berbaju biru itu hanya lewat saja di depan mukanya.
"Yeaaah...!" Sret!
Bet! Pada saat yang hampir bersamaan, pemuda yang berbaju merah sudah menyerang dengan goloknya yang mengarah ke kaki gadis berbaju putih itu.
"Hup!" Manis sekali gadis itu melenting ke udara, sambil berputaran sekali. Dan begitu kepalanya berada di bawah, tiba-tiba dan cepat sekali tangan kanannya dikebutkan ke arah pemuda berbaju merah.
Begitu cepat sekali kebutan tangannya, sehingga tidak sempat lagi dihindari lawan.
Dan.... Desss! "Akh...!" Pemuda berbaju merah itu langsung terpental ke belakang, begitu dadanya terkena pukulan agak keras tadi.
Sementara, gadis berbaju putih itu sudah menjejakkan kakinya di tanah.
Langsung kakinya dihentakkan ke belakang, tepat di saat seorang pemuda lagi sudah menghambur hendak membokong dari belakang dengan golok terhunus di tangan.
Tapi sebelum serangannya sampai, kaki gadis sudah mendarat telak di dadanya.
Diegkh! "Akh...!"
"Yeaaah...!" Cepat sekali gadis berbaju putih itu memutar tubuhnya sambil melepaskan satu pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam tinggi, ke arah penyerangnya.
Gerakan tangan dan tubuhnya begitu cepat, sehingga sulit untuk pandangan mata biasa.
Dan pemuda itu benar-benar tidak dapat lagi menghindarinya. Maka....
Plak!
"Aaa...!" Satu jeritan panjang melengking tinggi terdengar begitu menyayat. Tampak pemuda itu terhuyunghuyung sambil memegangi kepalanya. Darah terlihat merembes keluar dari sela-sela jari tangannya. Tak berapa lama kemudian, tubuhnya ambruk menggelepar di tanah sambil mengerang.
Dia berusaha menahan sakit yang amat sangat pada kepalanya yang pecah, akibat terkena pukulan keras bertenaga dalam tinggi tadi.
Agak lama juga dia menggelepar di tanah, kemudian diam tak berkutik lagi.
Darah terus mengucur deras dari kepalanya yang pecah terkena pukulan bertenaga dalam tinggi tadi.
Sementara, dua orang pemuda lainnya jadi terpana melihat seorang temannya tewas dengan kepala pecah berlumur darah.
Dan keterpanaan mereka langsung berubah menjadi kemarahan yang begitu meluap tak terkendalikan lagi.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaa...!" Secara bersamaan, kedua pemuda itu melompat menyerang. Golok mereka berkelebat cepat, mengarah ke tubuh gadis cantik berbaju putih ini. Namun, gadis itu memang bukanlah tandingan mereka. Gerakangerakan tubuhnya begitu indah dan gesit, sehingga dengan mudah berhasil menghindari setiap serangan dua golok yang datang begitu cepatnya.
Dan pada satu saat...
"Hiyaaa...!" Sambil berteriak keras menggelepar, gadis cantik berbaju putih itu memutar tubuhnya sambil melepaskan beberapa kali pukulan yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Begitu cepatnya serangan balasan itu, sehingga kedua pemuda itu tidak dapat lagi menghindarinya. Maka....
Des! Begkh!
"Aaa...!"
"Aaakh...!" Dua jeritan panjang melengking tinggi, terdengar begitu menyayat saling sambut. Tampak kedua pemuda itu terhuyung-huyung sambil memegangi kepalanya yang tadi terkena pukulan gadis cantik berbaju putih ini.
Kemudian mereka ambruk menggelepar di tanah, dengan darah mengucur deras dari kepalanya yang pecah terkena pukulan bertenaga dalam tinggi tadi.
Sementara, gadis cantik itu berdiri tegak.
Matanya memandangi dengan sinar yang menyorot tajam sekali. Beberapa orang murid Ki Langgu yang dikenal berjuluk Golok Setan seperti biasanya pergi berkeliling.
Mereka memang mendengar jeritan tadi. Dan begitu mereka mendatangi sumber jeritan, langsung terkejut.
Kini mereka mendapati tiga orang tergeletak tewas dengan kepala hancur berlumuran darah. Dua orang di antaranya langsung berlari cepat, untuk memberi tahu hal ini pada Ki Langgu. Sedangkan yang lainnya segera mengurus ketiga mayat ini.
* * *
Entah, sudah berapa lama mereka terdiam, membisu.
Sehingga, membuat keadaan di dalam ruangan itu jadi terasa amat sunyi. Hanya desir angin saja yang terdengar, menggesek dedaunan di depan jendela.
"Apakah selalu begitu kejadiannya, Langgu?" Dewa Pedang Emas memecahkan kesunyian yang terjadi di dalam ruangan itu.
"Ya...," desah Ki Langgu panjang.
Perlahan laki-laki setengah baya itu memutar tu buhnya, dan membelakangi jendela yang masih dibiarkan terbuka lebar.
Pandangannya beredar merayapi wajah empat orang yang duduk di kursi.
Sementara yang dipandangi juga terus membalas pandangan itu. Kejadian semalam yang merenggut tiga orang murid Golok Setan itu, memang bukan baru sekali ini saja terjadi.
Sejak Ki Langgu dan murid-muridnya menguasai desa ini, setiap hari selalu saja ada di antara mereka yang tewas secara mengerikan.
"Sudah berapa banyak muridmu yang tewas?" tanya Dewi Bulan Hitam.
"Aku tidak tahu lagi.
Hampir setiap malam ada saja muridku yang tewas," sahut Ki Langgu. Memang sulit bagi Ki Langgu untuk memastikan, karena sudah begitu banyak muridnya yang tewas di tangan gadis berbaju putih itu.
"Dari keteranganmu sebelumnya, orang yang kau hadapi hanya gadis muda anak bekas kepala desa ini.
Dan kemarin, seharusnya sudah tertangkap. Tapi, kenapa kau malah menyuruhnya pergi begitu saja...," selak Dewa Pedang Emas. Ki Langgu menatap pemuda berbaju berwarna serba keemasan itu.
Sebilah pedang yang juga berwarna emas, tersandang di balik punggungnya.
Semua mata memandang laki-laki tua berjubah biru itu.
Memang, tidak bisa dipungkiri lagi kalau kemarin sebenarnya Ki Langgu dan semua muridnya sudah hampir menangkap gadis berbaju putih itu. Tapi, si Golok Setan itu malah melepaskannya. Bahkan menyuruhnya pergi begitu saja. Tentu hal ini membuat semua orang jadi bertanya-tanya. Padahal tidak sedikit dari murid si Golok Setan ini yang tewas di tangan gadis berbaju putih itu.
"Aku rasa, kita hanya menghadapi seorang lawan saja, Langgu. Itu berarti, kau bisa menghadapinya sendiri. Dan aku yakin, tidak sedikit muridmu yang memiliki kepandaian tinggi. Terlebih lagi keponakanmu ini," kata Dewa Pedang Emas lagi, sambil melirik Walika yang berdiri di dekat pintu.
"Lalu, kenapa kau meminta bantuan kami?" tanya Dewi Bulan Hitam.
"Masalahnya lain," sahut Ki Langgu.
Namun, nada suaranya seperti menyembunyikan sesuatu.
Untung saja, hal itu tidak tertangkap teman-temannya.
"Kau ini aneh, Langgu...," gumam Setan Tongkat Putih, yang sejak tadi terus memperhatikan si Golok Setan. Ki Langgu menatap agak tajam pada Setan Tongkat Putih, kemudian kembali memutar tubuhnya.
Kini matanya memandang keluar dari jendela yang sejak tadi dibiarkan terbuka.
Sementara, matahari sudah merayap naik semakin tinggi. Sinarnya yang begitu terang, terasa sangat terik dan menyengat.
Beberapa orang murid si Golok Setan itu terlihat berkeliaran di sekitar rumah berukuran besar, dan berhalaman luas ini.
Beberapa orang terlihat bergerombol di bawah keteduhan pohon.
"Kalian kuundang ke sini untuk membantuku.
Dan aku juga tidak akan meminta bantuan kalian begitu saja. Imbalannya kalian boleh mengambil sebagian wilayah ku, jika wilayah itu aman dari gangguan siapa pun. Tapi kuminta kalian hanya memberinya sedikit pelajaran dan mengusirnya saja. aku tidak ingin dia sampai terbunuh," kata Ki Langgu, begitu mantap sekali suaranya.
"Tapi dia sudah membunuh begitu banyak muridmu, Langgu...?" selak Dewi Bulan Hitam.
Jelas sekali kalau dari nada wanita setengah baya yang masih kelihatan cantik itu terbersit keheranan atas kata-kata yang diucapkan Ki Langgu barusan.
Sungguh suatu permintaan aneh. Dan keanehan ini juga bukan hanya dirasakan Dewi Bulan Hitam, tapi juga Dewa Pedang Emas, Setan Tongkat Putih, dan si Kipas Naga. Mereka tahu betul, siapa Ki Langgu yang dijuluki si Golok Setan itu. Tapi sekarang ini, mereka merasakan seperti bukan berhadapan dengan si Golok Setan lagi.
"Aku tidak peduli, meskipun seluruh muridku tewas.
Tapi aku tidak ingin salah satu di antara kalian ada yang membunuhnya.
Membuat cedera ringan, dan mengancam agar tidak kembali lagi ke sini padanya, kurasa sudah cukup.
Katakan, kalau kalian semua yang sekarang menguasai seluruh daerah ini," kata Ki Langgu lagi.
Terdengar tegas sekali nada suaranya. Dewi Bulan Hitam, Setan Tongkat Putih, Dewa Pedang Emas, dan si Kipas Naga jadi saling berpandangan satu sama lain.
Mereka benar-benar tidak mengerti oleh sikap laki-laki tua berjubah biru yang berjuluk si Golok Setan itu.
Tapi, tak ada seorang pun yang bertanya, meskipun di dalam benak masing-masing begitu banyak pertanyaan yang mengalir atas sikap si Golok Setan itu.
"Semua muridku yang ada di sini sudah kuperintahkan untuk mematuhi perintah kalian semua.
Juga keponakanku..., Walika akan mematuhi perintah kalian. Dan selama ini, aku tidak ingin ada seorang pun yang menggangguku. Kalian boleh lakukan apa saja, asal jangan sampai membunuh gadis itu," tegas Ki Langgu lagi.
Setelah berkata demikian, Ki Langgu segera bangkit berdiri, dan terus saja melangkah meninggalkan ruangan itu tanpa berkata apa-apa lagi. Sedangkan empat orang sahabatnya hanya bisa diam, memandangi sampai si Golok Setan lenyap ditelan pintu yang langsung menghubungkan ruangan ini dengan ruangan lain di rumah ini.
"Aneh...," desah Dewa Pedang Emas, seraya menggelengkan kepala beberapa kali.
"Ya! Aku merasa ada sesuatu antara Langgu dengan gadis itu," sambung Setan Tongkat Putih.
"Pasti ada sesuatu yang disembunyikannya," ujar Dewa Pedang Emas.
Suaranya masih pelan dan setengah menggumam, seakan bicara untuk diri sendiri.
"Tapi bagaimanapun juga, kalian harus memenuhi keinginannya," selak si Kipas Naga, yang sejak tadi hanya diam saja.
"Benar...," sambut Dewi Bulan Hitam. "Dan sebaiknya kita mulai saja dari sekarang"
* * *
::::↨֍¦ 3 ¦֎↨::::
Entah, sudah berapa lama desa itu dalam keadaan sunyi senyap, tanpa terlihat seorang penduduk pun.
Dan memang, desa itu sudah ditinggalkan seluruh penduduknya, sejak Ki Langgu dan murid-muridnya datang dan langsung menguasainya. Gadis itu memalingkan kepala ke belakang, saat merasakan ada suara-suara langkah kaki yang begitu halus di belakangnya.
Perlahan tubuhnya diputar, saat melihat tiga orang laki-laki dan seorang wanita berjalan menuju ke arahnya. Gadis berbaju putih itu melangkah beberapa tindak ke depan.
Langkahnya berhenti, lalu berdiri tegak di situ. Sikapnya tampak menunggu, sampai empat orang yang menghampirinya dekat di depan-nya. Dan mereka memang berhenti setelah jaraknya tinggal sekitar satu batang tombak lagi di depan gadis cantik berbaju putih itu.
Beberapa saat mereka terdiam dengan sorot mata memancarkan ketajaman.
"Kau yang berjuluk Gadis Baju Putih...?" tegur salah seorang yang mengenakan baju warna kuning keemasan.
Dialah Dewa Pedang Emas, yang pedangnya berwarna emas tampak tersampir di balik punggung.
Mereka berempat memang para sahabat Ki Langgu, yang diberi kekuasaan untuk mengusir gadis berbaju putih yang telah banyak menewaskan murid-murid Ki Langgu. Hanya saja, mereka tidak boleh membunuh gadis ini, dan hanya boleh mencederainya saja. Paling tidak, agar dia tidak kembali lagi ke Desa Jalakan.
"Siapa kalian?" gadis cantik berjuluk si Gadis Baju Putih, namun ada juga yang selalu menyebutnya si Perempuan Setan itu, malah balik bertanya.
Sama sekali pertanyaan Dewa Pedang Emas tadi tidak dihiraukan.
"Kami para sahabat Kepala Desa Jalakan, dan telah mendapat tugas untuk mencari seorang gadis yang selalu mengenakan baju putih. Dan selama ini, baru kaulah yang kami temukan, Nisanak. Dan kau juga memakai baju warna putih. Apa kau benar gadis yang kami cari...?" jelas Dewa Pedang Emas.
"Kalau benar, kalian mau apa...?!" ketus sekali nada suara gadis itu.
"Kami hanya minta, agar kau tinggalkan Desa Jalakan selamanya.
Dan, jangan sekali-kali kembali lagi ke sini, jika kau masih sayang dengan nyawamu sendiri," si Kipas Naga yang menyahuti.
"O..., jadi itu keinginan kalian...? Maaf, aku tidak bisa memenuhi permintaan itu.
Bahkan aku akan merebut kembali desa ini dari tangan si Golok Setan itu. Aku akan mengusirnya, dan mengusir kalian semua dari desa ini!" tegas sekali kata-kata gadis berbaju putih itu. Jawaban yang begitu tegas, membuat empat orang sahabat Ki Langgu itu jadi saling melempar pandangan satu sama lain.
Mereka memang tidak menyangka kalau orang yang selama ini telah menggemparkan, ternyata seorang gadis yang masih muda usianya.
Tubuh yang kecil mungil! dan raut wajah yang cantik, sama sekali tidak memberikan kesan kalau gadis itu mempunyai kepandaian tinggi sekali.
Bahkan bisa mengacau murid-murid Ki Langgu yang dikenal berjuluk si Golok Setan itu.
"Kami hanya bicara sekali saja, Nisanak.
Kalau kau tetap keras kepala, kami tidak segan-segan melakukan kekerasan untuk mengusirmu dari Desa Jalakan," ancam Dewa Pedang Emas.
"Kalian semua hanya pendatang yang merusak desa kami. Seharusnya, kalian yang angkat kaki!" sentak Gadis Baju Putih itu jadi berang.
"Biar aku yang memberinya pelajaran, Pedang Emas," selak Dewi Bulan Hitam setengah berbisik suaranya.
"Hm...," Dewa Pedang Emas menggumam pelan.
Sebentar Dewa Pedang Emas melirik Dewi Bulan Hitam yang berdiri tepat di samping kanannya. Kemudian, kepalanya terangguk sedikit.
Dewi Bulan Hitam tersenyum tipis, lalu kakinya melangkah ke depan beberapa tindak.
Dia mendekati Gadis Baju Putih yang masih tetap berdiri tegak, tak bergeming sedikit pun juga.
Sorot matanya juga masih terasa begitu tajam. Dewi Bulan Hitam baru berhenti melangkah, setelah jaraknya tinggal lima langkah lagi di depan gadis cantik berbaju putih bersih itu. Wuk! Wuk! Wuk...! Dewi Bulan Hitam segera memutar-mutar sepasang tongkat pendeknya yang ujungnya berbentuk bulan sabit berwarna hitam pekat. Putarannya begitu cepat, hingga menimbulkan deru angin keras bagai hendak terjadi badai topan. Kening gadis baju putih jadi berkerut, memperhatikan gerakan sepasang tongkat pendek berujung bulan sabit itu.
"Heh...!" Tiba-tiba saja Dewi Bulan Hitam menghentakkan tangan kanannya ke depan. Dan seketika itu juga, tongkat yang berada di tangan kanannya melesat cepat ke arah Gadis Baju Putih.
Wusss! "Uts!" Cepat sekali gadis cantik berbaju putih itu memiringkan tubuh, sehingga tongkat yang berputar cepat dan melesat ke arahnya jadi lewat di sampingnya.
Namun dia jadi terkejut! Tiba-tiba saja, tongkat pendek yang berputar cepat itu berbalik begitu mendadak, dan langsung meluruk deras ke arahnya.
"Hup...!" Cepat-cepat Gadis Baju Putih melenting dan berputaran beberapa kali. Rupanya, dia berhasil menghindari serangan tongkat yang berputar cepat ke arahnya.
Namun begitu kaki menjejak kembali ke tanah, tongkat pendek berwarna hitam itu sudah kembali berada dalam genggaman tangan Dewi Bulan Hitam.
Wanita yang mengenakan baju ketat serba hitam itu jadi tersenyum, melihat serangannya dapat dihindari gadis cantik yang usianya jauh lebih muda darinya itu.
"Bagus...! Rupanya kau memiliki kepandaian tinggi juga, Nisanak.
Aku ingin tahu, sampai di mana tingkat kepandaianmu," tantang Dewi Bulan Hitam agak mendesis suaranya.
"Hhh...!" Gadis Baju Putih hanya mendengus saja, menghembuskan napasnya. Sementara itu Dewi Bulan Hitam sudah kembali bersiap hendak menyerang kembali.
Dan tiba-tiba saja, sambil berteriak keras menggelegar Dewi Bulan Hitam melompat cepat bagai kilat.
Kedua tongkatnya langsung dikebutkan ke arah tubuh Gadis Baju Putih "Hup! Yeaaah...!" Gadis cantik berbaju putih itu, cepat-cepat melenting ke udara. Namun Dewi Bulan Hitam juga cepat melesat mengejar di udara. Terpaksa Gadis Baju Putih meliuk-liukkan tubuhnya, menghindari setiap kebutan sepasang tongkat berujung bulan sabit hitam itu.
Lalu sambil memutar tubuhnya ke belakang, manis sekali kakinya menjejak tanah.
Dan tepat pada saat itu, Dewi Bulan Hitam juga mendarat begitu ringan dan manis di tanah. Namun, kembali cepat tongkat di tangan kanannya dikebutkan ke arah perut.
"Heh...!"
Bet! "Uts...!" Untung saja gadis itu cepat-cepat menarik perutnya ke belakang, sehingga kebutan pedang berujung bulan sabit itu hanya lewat saja di depan perutnya.
Tapi belum juga tubuhnya bisa ditegakkan kembali, tiba-tiba Dewi Bulan Hitam sudah kembali melakukan serangan cepat.
Langsung dilepaskannya satu tendangan keras menggeledek ke arah dada, sambil memiringkan tubuh ke kanan.
"Yeaaah...!"
"Hait...!" Gadis Baju Putih tidak ada kesempatan lagi untuk menghindar.
Dengan cepat sekali, tangannya dihentakkan untuk menangkis tendangan kaki Dewi Bulan Hitam.
Tak dapat dihindari lagi, tangan dan kaki itu beradu keras di depan dada Gadis Baju Putih.
Lalu, mereka sama-sama melompat mundur beberapa langkah.
"Hup! Yeaaah...!" Sret! Wuk...! Bagaikan kilat, Gadis Baju Putih melompat sambil mencabut pedangnya yang tergantung di pinggang.
Dan secepat kilat pula, pedangnya dikebutkan ke arah dada Dewi Bulan Hitam yang baru saja bisa menjejakkan kakinya di tanah.
"Heh!" Cepat-cepat Dewi Bulan Hitam mengebutkan tongkatnya yang ada di tangan kanan, menangkis tebasan pedang Gadis Baju Putih yang mengarah ke dada. Trang! Bunga api seketika memercik, ketika dua senjata beradu keras di depan dada itu. Dan pada saat yang bersamaan, Dewi Bulan Hitam mengebutkan tongkat yang satu ke arah perut gadis cantik berbaju serba putih itu. Namun belum juga ujung tongkatnya mendekat, tiba-tiba saja tangan kiri gadis itu sudah mengebut cepat sekali untuk menepak pergelangan tangan yang menggenggam senjata tongkat berujung bulan sabit berwarna hitam itu. Begitu cepat tepakannya, sehingga membuat Dewi Bulan Hitam jadi terkejut.
Namun dia terlambat untuk menarik pulang tangannya. Plak! "Ikh...!" Hampir saja tongkat di tangan Dewi Bulan Hitam terlepas, kalau saja tidak buru-buru melenting ke belakang.
Bibirnya sedikit meringis, merasakan pergelangan tangannya jadi nyeri dan berdenyut bagai baru tersengat kala berbisa.
"Hiyaaa...!" Bagaikan kilat, Gadis Baju Putih melompat sambil melepaskan satu tendangan keras menggeledek, sebelum Dewi Bulan Hitam bisa menguasai keseimbangan tubuhnya. Sehingga, tidak ada lagi kesempatan bagi Dewi Bulan Hitam untuk menghindarinya. Tapi sedikit lagi telapak kaki gadis itu mendarat di dada Dewi Bulan Hitam, mendadak saja....
Wusss...!
"Heh...?!" Gadis ,Baju Putih jadi terkejut setengah mati, begitu tiba-tiba berkelebat sebuah bayangan kuning keemasan ke arah kakinya.
Buru-buru kakinya yang sudah terulur lurus ke depan ditariknya.
Dan seketika itu juga tubuhnya melenting ke belakang beberapa kali.
Manis sekali gadis itu menjejakkan kakinya, begitu mendarat di tanah.
Di samping Dewi Bulan Hitam, kini sudah berdiri seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh lima tahun.
Bajunya berwarna kuning keemasan, dengan sebuah pedang yang berwarna emas tersampir di punggung.
Wajahnya terlihat cukup tampan. Namun, sorot matanya memancarkan kebuasan. Terlebih lagi melihat wajah gadis itu yang memang cantik sekali. Sehingga, kedua bola matanya jadi berbinar penuh arti.
"Hhh! Kenapa tidak semuanya saja yang maju...?" dengus Gadis Baju Putih terasa begitu sinis sekali nada suaranya.
Wuk! Langsung saja pedangnya dikebutkan ke depan, dan tersilang di depan dada.
Lalu....
"Hiyaaa...!" Cepat sekali gadis cantik berbaju serba putih itu melesat sambil cepat sekali mengebutkan pedang ke arah Setan Tongkat Putih yang sejak tadi tidak bergeming sedikit pun dari tempatnya.
Serangan Gadis Baju Putih yang begitu cepat dan tidak terduga sama sekali, sungguh sangat mengejutkan.
Sehingga, membuat Setan Tongkat Putih jadi terbeliak.
"Hup!" Namun dengan gerakan cepat sekali, Setan Tongkat Putih meliukkan tubuhnya menghindari tebasan pedang gadis cantik berbaju putih itu. Namun serangan itu tidak berhenti sampai di situ saja.
Dengan cepat sekali gadis itu memutar tubuhnya, dengan pedang terus berkelebat cepat menyerang ke arah si Kipas Naga yang berada tidak jauh dari Setan Tongkat Putih.
Bet! "Uts!" Cepat-cepat si Kipas Naga mengebutkan kipasnya yang bergambar seekor naga hitam, hingga terkembang di depan dada. Sehingga, ujung pedang Gadis Baju Putih itu hanya menghantam kipas bergambar naga hitam yang terkembang di depan dada.
Tring! "Hiyaaa...!" "Hup...!" Gadis Baju Putih cepat-cepat melenting ke atas, ke tika tiba-tiba saja dari arah belakang Dewi Bulan Hitam menyerang cepat dengan kedua tongkat kembarnya, gerakan menggunting ke arah pinggang.
Namun serangan dari belakang itu tidak sampai mengenai sasaran.
Memang, Gadis Baju Putih sudah cepat mengetahui.
Maka tubuhnya segera melenting ke udara, sampai melewati atas kepala wanita berbaju serba hitam itu. Dua kali Gadis Baju Putih melakukan putaran di udara, lalu manis sekali menjejakkan kakinya di tanah.
Tapi baru saja tubuhnya ditegakkan, Dewa Pedang Emas sudah melakukan serangan cepat sekali. Pedangnya yang berwarna kuning keemasan berkelebat bagai kilat ke arah leher gadis cantik bertubuh kecil mungil itu.
"Hiyaaa...!" "Hait...!" Dengan hanya menarik kepala ke belakang, pedang berwarna keemasan itu lewat di depan tenggorokan gadis itu. Dan dengan cepat sekali pedangnya dikebutkan ke depan, membuat Dewa Pedang Emas terpaksa harus bersalto ke belakang. Empat orang tokoh persilatan sahabat Ki Langgu itu, kini memang tidak bisa lagi mencegah pertarungan dengan gadis cantik bertubuh kecil mungil yang selama ini dikenal sebagai Gadis Baju Putih itu.
Karena, gadis itu memang seperti sengaja.
Mereka dipaksa harus bertarung menggeroyoknya. Dia selalu mencuri kesempatan menyerang siapa saja. Padahal, mereka tampaknya enggan mengeroyok. Dan hal ini membuat mereka jadi berang juga. Hingga, tidak lagi mempedulikan pesan Ki Langgu untuk tidak sampai menewaskan gadis ini.
Mereka sekarang melakukan serangan-serangan dahsyat, membuat gadis berbaju putih itu terpaksa harus berjumpalitan menghindarinya.
Hingga, sedikit pun tidak lagi diberi kesempatan untuk bisa membalas serangan.
Dan dia hanya bisa berkelit, menghindari setiap serangan yang datang dari empat penjuru itu.
Beberapa kali pedangnya beradu untuk menangkis serangan masing-masing lawan. Pertarungan sengit pun tidak dapat dihindari lagi. Serangan demi serangan datang silih berganti dengan kecepatan begitu tinggi.
Akibatnya, gadis itu semakin kelihatan kewalahan saja menghadapinya.
Beberapa kali dia terpaksa harus menjatuhkan din dan bergelimpangan di tanah, menghindari serangan-serangan yang datang dari empat penjuru.
Bahkan sudah beberapa kali pula, terpaksa menerima pukulan maupun tendangan keras.
Akibatnya, pertahanannya semakin kelihatan mengendur.
"Hiyaaa...!" Tiba-tiba saja, Dewa Pedang Emas melenting ke udara. Dan secepat itu pula, pedangnya dikebutkan ke arah kepala Gadis Baju Putih ini. Tapi, gadis cantik bertubuh kecil mungil itu cepat merunduk menghindari tebasan pedang berwarna kuning keemasan itu.
Dan pada saat yang bersamaan, si Kipas Naga sudah melepaskan satu pukulan keras yang mengarah ke dada. Begitu cepat pukulannya, sehingga Gadis Baju Putih tidak sempat lagi menghindarinya.
Dan.... Desss! "Akh...!" gadis itu terpekik keras agak tertahan.
Di saat tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang, satu tendangan menggeledek dari Dewi Bulan Hitam kembali mendarat di punggungnya. Tak pelak lagi, gadis itu langsung tersungkur mencium tanah sambil memekik keras sekali. Dan pada saat menggelimpang di tanah, tiba-tiba saja Setan Tongkat Putih sudah melompat cepat sambil berteriak keras menggelegar. Ujung tongkatnya yang runcing, terarah lurus ke dada Gadis Baju Putih itu.
"Hiyaaa...!"
"Oh...?!" Gadis itu hanya bisa ternganga saja.
Dan memang, dia tidak punya kesempatan lagi untuk menghindari. Di samping dadanya masih terasa sesak akibat terkena pukulan si Kipas Naga, juga punggungnya begitu nyeri karena terpaksa harus menerima tendangan Dewi Bulan Hitam tadi.
Dan sekarang, Setan Tongkat Putih sudah meluruk deras dari atas dengan ujung tongkatnya yang runcing tertuju lurus ke arah dada.
Namun.... Wusss...! Trak!
"Heh...?!"
"Ohhh...." Tiba-tiba saja berkelebat sebuah bayangan putih ke arah tongkat yang hampir menghujam ke dada gadis berbaju serba putih itu. Akibatnya, tongkat yang berujung runcing tajam itu jadi terpental ke udara, sehingga mengejutkan pemiliknya.
Cepat-cepat Setan Tongkat Putih melenting ke udara, mengejar tongkatnya yang melayang tinggi ke angkasa.
"Hap!" Begitu berhasil mendapatkan tongkatnya yang terpental kembali, Setan Tongkat Putih kembali menjejakkan kakinya di tanah. Gerakannya begitu manis dilihat. Setan Tongkat Putih langsung jadi terbeliak lebar matanya, dengan mulut ternganga. Demikian pula Dewi Bulan Hitam, si Kipas Naga, dan Dewa Pedang Emas jadi terlongong begitu melihat seorang pemuda tampan berbaju rompi putih tahu-tahu sudah berdiri tegak di samping tubuh Gadis Baju Putih yang tergolek di tanah.
Memang, pemuda itulah yang tadi menggagalkan maksud Setan Tongkat Putih untuk mengakhiri hidup si Gadis Baju Putih ini. Sementara itu, pemuda berbaju rompi putih yang tiba-tiba muncul ringan sekali mengangkat tubuh gadis itu, dan memondongnya.
Sebentar dirayapinya empat wajah yang memandanginya seperti tidak percaya atas kemunculannya yang begitu tiba-tiba bagai setan tadi.
Kemudian....
"Hup...!" Begitu cepat dan ringan sekali gerakannya.
Sehingga hanya sekali lompat saja, pemuda tampan berbaju rompi putih itu sudah lenyap dari pandangan mata.
Tentu saja sambil membawa si Gadis Baju Putih yang berada di dalam pondongannya. Sementara, empat orang tokoh persilatan sahabat Ki Langgu hanya bisa berdiri bengong, saling melemparkan pandangan satu sama lain.
Tidak ada yang bisa mereka lakukan. Bahkan untuk mengejar pun, sudah tidak mungkin lagi dilakukan.
Karena, gerakan pemuda berbaju rompi putih itu demikian cepat sekali.
Bagaikan lenyap ditelan bumi saja kepergiannya.
* * *
::::↨֍¦ 4 ¦֎↨::::
Sementara agak jauh dari Desa Jalakan, tepatnya di tengah sebuah hutan yang cukup lebat, tampak seorang pemuda berwajah tampan melangkah agak tergesa-gesa sambil memondong sesosok tubuh ramping yang kelihatan kecil mungil.
Pemuda itu mengenakan baju rompi putih, dengan pedang bergagang kepala burung tersampir di punggung.
Sementara yang dipondong adalah sosok tubuh mungil yang juga mengenakan baju warna putih ketat. Pemuda itu baru menghentikan ayunan kakinya, setelah sampai di depan sebuah gua yang berlumut cukup besar.
Tanpa menoleh ke kanan dan kiri lagi, bergegas kakinya melangkah masuk ke dalam gua itu. Dan dia terus berjalan tanpa memperlambat ayunan kakinya sedikit pun, walau keadaan di dalam lorong gua itu cukup gelap sekali.
Sehingga, yang terlihat hanya baju-baju putih mereka saja.
Sedangkan seluruhnya tampak hitam kelam, bagai berada di dalam tanah.
"Akan kau bawa ke mana aku?" tanya gadis berbaju putih yang berada dalam pondongan pemuda tampan ini.
"Ke tempat pengasingan ayahmu.
Aku tahu, kau putri Ki Jambak Gora," sahut pemuda itu kalem.
"Siapa kau?" tanya gadis itu lagi. Pemuda tampan berbaju rompi putih itu tidak menjawab pertanyaan itu.
Kalau saja keadaan di dalam lorong gua ini terang, barang kali senyuman tersungging menghiasi bibirnya bisa terlihat. Pemuda tampan berbaju rompi putih itu terus melangkah cepat menyusuri lorong gua yang cukup panjang dan banyak liku-likunya ini.
Hingga akhirnya, mereka sampai di sebuah pintu gua yang memiliki pintu dari belahan papan kayu jati.
Dengan ujung jari kaki kanan, pemuda itu mendorong pintu hingga terbuka. Kemudian terus dilewatinya pintu yang langsung bergerak menutup kembali.
Kakinya terus terayunkan melintasi sebuah padang rumput yang tidak begitu besar.
Sinar rembulan yang memancar dari langit, cukup membuat keadaan di padang rumput ini jadi terang, sehingga gadis berbaju putih itu dapat melihat wajah tampan pemuda penolongnya. Pemuda itu baru berhenti, setelah melewati padang rumput yang tidak terlalu luas ini.
Di depannya, tampak berdiri sebuah pagar tinggi yang terbuat dari balokan kayu besar, yang bagian atasnya meruncing seperti sebuah benteng.
Sebuah pintu yang terbuat dari belahan kayu berukuran tebal, bergerak membuka perlahan-lahan.
Pemuda itu terus mengayunkan kakinya kembali, memasuki pagar tinggi seperti benteng ini. Perlahan gadis ini diturunkan dari pondongannya.
Tampak di dalam benteng itu terlihat puluhan orang yang berdiri berjajar seperti tengah menanti kedatangan mereka, dengan sinar mata dan raut wajah memancarkan kecemasan.
Mereka terdiri dari laki-laki, wanita, tua, muda, dan anak-anak.
Dari pakaian yang dikenakan, mereka seperti orang-orang desa yang sedang mengungsi mencari perlindungan. Tampak berdiri paling depan, dua orang laki-laki dan seorang wanita muda yang cantik berbaju warna biru muda agak ketat.
Di punggungnya terlihat sebuah pedang bergagang kepala naga berwarna hitam. Sedangkan di pinggangnya terselip sebuah kipas berwarna keperakan. Mereka melangkah menghampiri pemuda berbaju rompi putih yang terus mendampingi gadis cantik berbaju putih, yang sekarang sudah tidak berada dalam pondongannya.
Di sebelah kanan gadis itu, berdiri seorang laki-laki tua berjubah putih. Janggutnya panjang, dan semua berwarna putih. Dia juga mengenakan ikat kepala berwarna putih, dengan sebatang tongkat kayu tergenggam di tangan kanannya.
Dan di sebelah kiri gadis cantik itu, berdiri seorang laki-laki muda.
Usianya sekitar dua puluh lima tahun.
Wajah tampan, dan di tunjang bentuk tubuh tegap dan berotot yang terbungkus baju warna merah muda cukup ketat, sehingga tampak gagah.
Sebilah pedang tampak tergantung di pinggangnya.
"Ayah...," desis gadis berbaju putih yang berdiri di samping pemuda berbaju rompi putih itu.
"Sutiningsih, Anakku...," desah laki-laki tua berjubah putih itu. Saat itu juga, mereka saling melangkah cepat.
Gadis berbaju putih itu langsung berlutut di depan kaki laki-laki tua berjubah putih ini. Sementara, gadis yang berbaju biru muda menghampiri pemuda berbaju rompi putih yang sejak tadi berdiri saja memandangi suatu pertemuan yang begitu mengharukan.
Begitu banyak orang berada di dalam benteng ini.
Tapi, tak ada seorang pun yang mengeluarkan suara.
Mereka semua terdiam, menyaksikan lelaki tua berjubah putih itu membangunkan anak gadisnya, lalu memeluknya penuh kasih sayang.
Benar-benar mengharukan! Entah berapa lama mereka semua diselimuti keheningan yang begitu mengharukan.
Perlahan, laki-laki tua berjubah putih itu melepaskan pelukannya pada gadis cantik bertubuh kecil mungil ini. Mereka samasama memandang pemuda berbaju rompi putih yang kini sudah berdiri didampingi seorang gadis cantik berbaju biru muda yang menyandang pedang bergagang kepala naga hitam di punggungnya. Mereka menghampiri pemuda tampan berbaju putih itu.
"Terima kasih atas pertolonganmu yang telah mengembalikan putriku, Pendekar Rajawali Sakti," ucap laki-laki tua berjubah putih itu, sambil menyodorkan tangannya. Sedangkan pemuda berbaju rompi putih yang ternyata Rangga yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti, menyambut hangat uluran tangan itu.
Sedangkan gadis cantik berbaju biru muda yang berada di sampingnya, tak lain adalah Pandan Wangi.
Dan dia lebih dikenal dengan julukan si Kipas Maut.
Tapi terkadang juga, gadis ini di panggil sebagai Pendekar Naga Geni, karena membawa Pedang Naga Geni, dan menguasai seluruh ilmu-ilmu yang ada di dalam Kitab Naga Geni. Sutiningsih memang tahu kalau orang yang menolongnya adalah Pendekar Rajawali Sakti.
Memang sudah lima hari Sutiningsih pergi ke Gunung Rinjani, untuk minta restu pada eyang gurunya di padepokan Naga Ireng, lalu pergi ke Desa Jalakan. Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti dan Pandan Wangi baru dua hari berada di sini untuk suatu keperluan.
"Waktu berkeliling dekat Desa Jalakan, aku kebetulan saja melihat Sutiningsih tengah dikeroyok, Ki Jambak Gora.
Tapi...," Rangga menghentikan ucapannya. Pendekar Rajawali Sakti menatap gadis cantik berbaju putih yang dibawanya tadi ke tempat yang menyerupai benteng ini.
Tampak jelas kalau wajah gadis yang bernama Sutiningsih itu kelihatan agak memucat. Perlahan Rangga menghampiri, dan mengulurkan jari tangannya. Lalu, digenggamnya pergelangan tangan gadis itu.
"Kau terluka, Nisanak," kata Rangga pelan.
"Aku.... Hoek...!" Sutiningsih tidak dapat lagi menyembunyikan luka dalam yang dideritanya. Dari mulut, langsung menyembur segumpal darah kecil berwarna agak kehitaman. Ki Jambak Gora jadi terkejut melihat putrinya langsung jatuh terduduk, dan memuntahkan darah kental dari mulutnya. Tapi belum juga sempat berbuat sesuatu, Rangga sudah begitu cepat memberi beberapa totokan di tubuh gadis itu, lalu cepat memondongnya kembali. Tampak Sutiningsih begitu lemas, lunglai tak berdaya di dalam pondongan Pendekar Rajawali Sakti.
"Apa yang terjadi terhadap anakku, Rangga...?" tanya Ki Jambak Gora cemas.
"Nanti ku jelaskan, Ki," sahut Rangga. "Di mana kamarnya...?"
"Di sana! Ayo kuantarkan," sahut pemuda tampan berbaju merah muda yang sejak tadi diam saja memperhatikan. Rangga bergegas melangkah mengikuti pemuda yang juga anak Ki Jambak Gora ini. Namanya Jaka Umbaran. Dia seorang pemuda tampan dan gagah, seperti seorang pangeran saja kegagahannya.
Sementara itu, gumaman-gumaman mendengung mulai terdengar keluar dari orang-orang yang berkerumun, memadati halaman depan bangunan besar di dalam pagar kayu berbentuk benteng.
* * *
Pendekar Rajawali Sakti meminta Sutiningsih du duk di atas balai- balai. Kemudian, dia sendiri duduk bersila di belakang gadis itu. Sementara Ki Jambak Gora, Pandan Wangi, dan Jaka Umbaran mengambil tempat di depan balai-balai bambu itu. Rangga menatap Pandan Wangi yang duduk di samping Ki Jambak Gora.
"Pandan, tolong buka pakaiannya nanti.
Lalu, kau jaga hawa murniku agar tidak keluar dari dadanya," ujar Rangga terus menatap Pandan Wangi. Sebentar Pandan Wangi kelihatan ragu-ragu.
Kemudian ditatapnya Ki Jambak Gora dan Jaka Umbaran.
Kedua laki-laki itu sama-sama menganggukkan kepala.
Lalu, Pandan Wangi baru beranjak mendekati, dan naik ke atas balai-balai bambu itu.
Si Kipas Maut pun duduk bersila, tepat di depan Sutiningsih yang sudah duduk bersila bersikap bersemadi.
Kelopak mata gadis itu tampak terpejam rapat.
Dengan sikap ragu-ragu, kemudian Pandan Wangi membuka baju yang dikenakan Sutiningsih, setelah dengan sudut ekor mata dia meminta Ki Jambak Gora dan Jaka Umbaran keluar dari kamar ini. Pandan Wangi membuka baju yang dikenakan gadis itu setelah Ki Jambak Gora dan putranya keluar. Kemudian kedua telapak tangannya ditempelkan tepat di dada Sutiningsih yang terbuka lebar.
Sedangkan Rangga sudah membuat beberapa gerakan dengan kedua tangannya di depan dada.
Lalu kedua telapak tangannya ditempelkan di punggung Sutiningsih yang sudah terbuka lebar.
Kedua mata Pendekar Rajawali Sakti terpejam rapat. Sementara, Pandan Wangi yang menempelkan kedua telapak tangannya di dada Sutiningsih merasakan getaran yang semakin lama semakin keras pada telapak tangannya. Lalu dirasakannya aliran hawa panas.
"Gunakan setengah kekuatan hawa murni mu, Pandan," ujar Rangga.
"Baik, Kakang," sahut Pandan Wangi.
Entah berapa lama Rangga dan Pandan Wangi mengobati Sutiningsih dengan kekuatan tenaga dalam murninya. Sementara tidak jauh dari pintu kamar itu, Ki Jambak Gora dan Jaka Umbaran menunggu dengan hati gelisah. Ki Jambak Gora mondar-mandir sambil mengelus-elus janggutnya yang panjang dan sudah memutih semuanya.
"Apa yang dilakukan mereka pada Sutiningsih di dalam, Ayah?" tanya Jaka Umbaran.
Ki Jambak Gora tidak langsung menjawab. Langkah mondar-mandirnya langsung berhenti, dan menatap anak muda yang berwajah cukup tampan itu.
Sedangkan yang dipandangi jadi tertunduk, menyadari kalau pertanyaannya sangat bodoh.
Tapi dari sinar mata dan raut wajahnya, jelas terbersit rasa kecemasan yang teramat sangat melihat keadaan tubuh Sutiningsih tadi.
"Suruh mereka semua bubar, Umbaran," perintah Ki Jambak Gora sambil menunjuk ke arah pintu depan. Memang dari tempat ini, mereka bisa langsung melihat keluar pintu yang terbuka lebar.
Di depan sana, terlihat begitu banyak orang berkumpul.
Seakan-akan mereka ingin tahu, apa yang terjadi pada diri anak gadis Ki Jambak Gora. Sementara, Jaka Umbaran hanya memandangi saja orang-orang yang berkumpul di depan itu.
"Suruh mereka kembali ke barak masing-masing, Umbaran!" perintah Ki Jambak Gora lebih tegas lagi.
Jaka Umbaran agak tersentak mendengar nada suara ayahnya yang agak tinggi. Bergegas kakinya me langkah keluar, lalu berbicara dengan suara agak lantang di beranda depan rumah berukuran cukup besar ini.
Tampak semua orang yang tadi berkumpul langsung bubar meninggalkan halaman depan rumah itu.
Sementara, Jaka Umbaran berbicara bersama beberapa orang laki-laki yang usianya tampak sebaya dengannya.
Tidak lama kemudian, dia sudah kembali menemani ayahnya yang kini sudah duduk di bangku panjang, tidak jauh dari pintu kamar Sutiningsih.
"Hhh...! Kalau saja adikmu mau menuruti nasihatku, tidak akan terjadi hal seperti ini...," desah Ki Jambak Gora.
"Maksud Ayah...?" tanya Jaka Umbaran tidak mengerti.
"Ya! Seharusnya, Sutiningsih tidak perlu membuat perhitungan ke sana.
Apalagi kita semua masih tinggal di tempat pengasingan seperti ini," masih terdengar pelan suara Ki Jambak Gora. "Kau tahu, Umbaran....
Pemilik tempat ini hanya mau meminjamkannya selama mereka pergi.
Dan itu sudah satu tahun, Umbaran. Mereka pasti akan kembali lagi ke sini.
Lalu, kita semua tidak akan punya tempat lagi untuk berlindung. Sadarilah itu, Umbaran.
Sedangkan untuk melawan mereka..., itu tidak mungkin." Jaka Umbaran terdiam dengan kepala tertunduk. Bisa dimengerti perasaan ayahnya sekarang ini.
Memang tidak bisa lagi dipungkiri.
Mereka tidak akan mungkin bisa melawan Ki Langgu dan orang-orangnya.
Terlebih lagi, sekarang ini, Mereka telah mendapat kabar kalau Ki Langgu dibantu empat orang sahabatnya, yang tentu memiliki tingkatan kepandaian sangat tinggi.
Jaka Umbaran jadi menyesal, karena tidak pernah bersungguh-sungguh mempelajari ilmu-ilmu olah ka nuragan dan kesaktian. Sehingga, tingkat kepandaiannya jauh di bawah tingkat kepandaian yang dimiliki adiknya, Sutiningsih.
Dia sendiri merasa malu, karena sudah lima hari ini Sutiningsih mencoba mengusir Ki Langgu dan orang-orangnya dari Desa Jalakan.
Desa yang sangat mereka cintai, dan pada akhirnya harus ditinggalkan.
Mereka memang tidak ingin harga dirinya diinjak-injak Ki Langgu yang dikenal berjuluk si Golok Setan.
"Aku akan mengusir mereka dari desa, Ayah," tegas Jaka Umbaran, namun agak perlahan suaranya.
"Apa yang akan kau lakukan, Umbaran? Kau lihat saja sendiri.
Adikmu saja terluka dalam yang cukup parah.
Sedangkan guru kalian sendiri, tewas di tangan si Golok Setan itu.
Kalau kau ke sana, sama saja menyerahkan nyawa sia-sia.
Kau tahu itu, Umbaran...?" Jaka Umbaran jadi terdiam membisu lagi.
Memang benar, apa yang dikatakan ayahnya barusan. Tidak mungkin Ki Langgu dan orang-orangnya bisa ditandingi.
Apalagi, sekarang ini dibantu empat orang sahabatnya dari rimba persilatan.
Sedangkan guru mereka saja tewas oleh si Golok Setan itu.
Dan dia sendiri, tingkat kepandaiannya belum ada seujung kuku Ki Langgu.
"Lalu, apa kita hanya akan diam saja, Ayah...?" tanya Jaka Umbaran lagi.
"Kan sudah kukatakan, semuanya sudah kuceritakan pada Rangga. Aku yakin, Pendekar Rajawali Sakti bersedia membantu persoalan kita, Umbaran. Aku yakin, dia pasti mampu menandingi si Golok Setan, dan mengusirnya dari Desa Jalakan," sahut Ki Jambak Gora. "Jadi Sutiningsih tidak perlu ke sana lagi. Hhh....
malah memperkeruh suasana." Benarkah Rangga mampu menandingi kesaktian Ki Langgu...? Jaka Umbaran jadi bertanya-tanya sendiri dalam hati. Sedangkan yang dilihatnya, pemuda berbaju rompi putih itu usianya tidak terpaut jauh dengannya.
Tapi keyakinan yang dimiliki hati ayahnya, membuatnya harus percaya kalau Pendekar Rajawali Sakti mampu menyelesaikan persoalan yang sedang dihadapi sekarang ini.
* * *
Dari balik pintu itu, muncul Pendekar Rajawali Sakti yang kelihatan agak lemas, tapi wajahnya memancarkan cahaya kesegaran. Jaka Umbaran juga bergegas menghampiri, dan berdiri di belakang ayahnya.
Mereka memandangi Rangga yang menyeka keringat di leher dengan punggung tangannya "Bagaimana, Rangga...?" tanya Ki Jambak Gora, tidak bisa lagi menyembunyikan kecemasannya.
"Untung daya tahannya begitu tinggi. Lukanya memang cukup parah, tapi akan segera pulih besok," sahut Rangga.
"Oh, syukurlah...," desah Ki Jambak Gora.
Pada saat itu Pandan Wangi juga muncul dari dalam kamar ini.
Sebentar gadis yang berjuluk si Kipas Maut itu memandangi wajah Ki Jambak Gora dan Jaka Umbaran bergantian, kemudian menatap lurus pada Pendekar Rajawali Sakti yang berada di sampingnya.
"Aku menyuruhnya agar bersemadi. Dia akan ku tunggui sampai benar-benar pulih. Boleh...?" ujar Pandan Wangi.
Rangga mengangguk-anggukkan kepala. Pandan Wangi tersenyum. Gadis itu kembali masuk ke dalam kamar, tapi tidak jadi menutup pintunya. Dan hanya kepalanya saja yang masih tersembul keluar dari balik pintu itu.
"Kuharap jangan ada yang masuk dulu. Dia melakukan semadi tanpa pakaian," jelas Pandan Wangi. Gadis itu langsung menutup pintu kamar cepatcepat, sebelum Ki Jambak Gora sempat melontarkan pertanyaan.
Tampak jelas kalau hatinya begitu terkejut sekali mendengar pemberitahuan Pandan Wangi barusan.
Bahkan Jaka Umbaran hendak menerobos masuk, tapi Rangga sudah cepat mencegah pemuda itu.
"Sutiningsih terluka pada bagian dalam.
Bukan hanya di dada, tapi juga di punggung dan pada pusat hawa murninya.
Dan dia harus bersemadi tanpa ada satu pun penghalang yang melekat di tubuhnya," kata Rangga mencoba memberitahu keadaan gadis itu.
"Tapi kenapa harus telanjang...?" tanya Jaka Umbaran tidak mengerti penjelasan Pendekar Rajawali Sakti barusan.
"Sutiningsih mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalam dan hawa murninya di dalam pertarungan. Bahkan menguras habis tenaganya untuk tetap bertahan, setelah mendapat luka dalam yang sangat parah. Hawa murni yang dimilikinya sudah mencapai batas, namun terus memaksakan diri untuk tetap bisa bertahan.
Yaaa..., seperti bayi yang baru dilahirkan kembali, dia harus memulihkan kekuatan hawa murninya yang telah hilang," panjang lebar Rangga memberikan penjelasan.
Ki Jambak Gora mengangguk-anggukkan kepala beberapa kali. Bisa dimengerti penjelasan yang diberikan Pendekar Rajawali Sakti itu. Sedangkan Jaka Umbaran tampaknya masih belum puas, tapi tidak bisa lagi berbuat apa-apa.
Walaupun panjang lebar ayahnya sudah menjelaskan tentang Rangga yang bergelar Pendekar Rajawali Sakti, tapi Jaka Umbaran masih juga menyangsikannya.
Karena bila dibandingkan, usia di antara mereka hanya terpaut satu tahun saja.
Sedangkan penjelasan Rangga tadi sungguh sulit diterima.
Karena, sekarang adiknya sedang melakukan semadi tanpa pakaian selembar pun di dalam kamar. Entah kenapa di hati Jaka Umbaran terbersit rara kecemburuan.
Dalam benaknya langsung terlintas dugaan kalau Rangga, paling tidak sudah melihat tubuh Sutiningsih yang tanpa busana.
Namun perasaan itu ditekan dalam-dalam, mengingat Sutiningsih adalah adiknya dan bukan kekasihnya.
Tidak sepantasnya mempunyai perasaan cemburu.
Terlebih lagi, tampak Rangga memang berniat baik.
Pendekar Rajawali Sakti tampaknya benar-benar ingin menolong menyembuhkan Sutiningsih dari luka dalamnya, akibat pertarungannya dengan empat tokoh persilatan undangan si Golok Setan.
"Mari kita bicara di luar.
Biarkan Sutiningsih melakukan semadi ditunggui Pandan Wangi.
Kalau ada apa-apa, Pandan Wangi akan segera memberi tahu," ajak Rangga, Tanpa membantah sedikit pun juga, Ki Jambak Gora dan Jaka Umbaran mengikuti ajakan Pendekar Rajawali Sakti. Mereka melangkah meninggalkan pintu kamar yang tertutup rapat, dan terus melangkah menuju bagian beranda depan bangunan rumah yang berukuran cukup besar ini. Sementara beberapa orang pemuda yang bersenjatakan golok di pinggang, tampak berjaga-jaga di sekitar benteng ini.
Mereka kemudian duduk di lantai beranda yang beralaskan selembar tikar daun pandan. Sementara malam terus merambat semakin larut saja. Bahkan mungkin sudah menjelang pagi. Tapi suasana di sekitar bangunan berbentuk benteng itu masih terasa begitu sunyi.
Hanya suara gesekan daun-daun yang dipermainkan angin saja yang terdengar mengusik gendang telinga.
Cukup lama juga mereka terdiam membisu, merayapi keadaan sekeliling yang begitu sunyi dan masih terselimuti kegelapan.
"Rangga! Siapa yang bertarung dengan anakku, Sutiningsih...?" tanya Ki Jambak Gora memecah kebisuan yang terjadi di antara mereka bertiga di beranda depan ini.
"Apakah mereka berjumlah empat orang?"
"Ya! Tapi aku tidak mengenal mereka semua," sahut Rangga.
"Hm..., aku tahu.
Mereka pasti para sahabat Ki Langgu.
Hhh...! Itu berarti mereka benar-benar sudah berada di Desa Jalakan," desah Ki Jambak Gora.
"Mereka orang-orang yang kejam. Dan bersama Ki Langgu, mereka dikenal sebagai Lima Iblis dari Utara."
"Mereka pasti orang-orang yang berkepandaian tinggi, karena bisa membuat Sutiningsih seperti bayi yang baru dilahirkan kembali," ujar Rangga juga pelan suaranya.
"Mereka memang orang-orang sakti yang berkepandaian tinggi, Rangga," Ki Jambak Gora membenarkan dugaan Pendekar Rajawali Sakti.
"Ki! Sebenarnya apa yang terjadi di Desa Jalakan, sehingga kau dan seluruh warga desamu sampai mengungsi dan meminjam tempat ini untuk berlindung...?" nada suara Rangga terdengar bertanya ingin tahu.
"Hhh...!" Ki Jambak Gora menarik napas dalamdalam, dan menghembuskannya kuat-kuat.
Raut wajah yang sudah begitu banyak kerutnya, semakin kelihatan bertambah saja. Kepalanya kemu dian didongakkan menatap rembulan yang mengintip dari balik awan. Kembali mereka semua terdiam membisu, tanpa mengeluarkan suara sedikit pun juga.
Sementara, sudah mulai terdengar suara ayam jantan berkokok, menandakan sebentar lagi fajar akan segera menyingsing.
"Setahun yang lalu aku memang telah mengenalnya sejak lama.
Dia seorang tokoh golongan hitam yang telah banyak makan asam garam.
Tentu saja melihat asal-usulnya, aku tidak sudi menerimanya.
Agar rakyat tidak jadi korban kebiadabannya, maka dia ku tantang bertarung dengan suatu perjanjian. Bila aku kalah, aku bersedia meninggalkan desaku. Dan ternyata aku kalah, sehingga bersama rakyat ku desa ini ku tinggalkan.
Aku memang merasa, pasti ada sesuatu yang menjadi tujuannya...."
* * *
::::↨֍¦ 5 ¦֎↨::::
Mereka tampaknya tengah menikmati cerahnya matahari yang bersinar siang ini. Tak terlihat seorang pun di sekitar rumah berukuran besar dan memiliki halaman yang luas bagai alun-alun ini. Dan memang, tidak seorang pun murid si Golok Setan itu yang kelihatan.
Bahkan keponakannya yang bernama Walika tidak kelihatan batang hidungnya.
"Ke mana murid-muridmu, Langgu? Sejak pagi tadi aku tidak melihat seorang pun," tanya Dewa Pedang Emas, sambil merayapi sekitarnya.
"Mereka harus bekerja," sahut Ki Langgu tidak begitu jelas artinya.
"Bekerja...? Bekerja apa, Langgu?" tanya Dewi Bulan Hitam meminta penjelasan. Ki Langgu tidak langsung menjawab.
Dipandanginya empat wajah yang duduk bersila di depannya.
Beberapa kali ditariknya napas panjang, lalu dihembuskannya kuat sekali.
Sementara, mereka semua terus menunggu jawaban Ki Langgu atas pertanyaan Dewi Bulan Hitam. Dan memang, sejak pagi tadi mereka merasakan ada sesuatu yang aneh di desa ini.
Bukan karena desa ini sekarang tidak lagi berpenghuni karena memang ditinggalkan penduduk, tapi keadaan yang begitu sunyi ini membuat empat orang undangan Ki Langgu jadi bertanya-tanya dalam hati.
"Langgu, terus terang saja. Aku merasa ada sesuatu yang aneh di sini. Sesuatu yang kau sembunyikan dari kami semua," desak Dewi Bulan Hitam, memecah kesunyian yang terjadi.
"Benar.
Langgu.
Aku juga merasa kau menyembunyikan sesuatu.
Sejak kami datang ke sini, sikapmu terasa begitu aneh.
Apa yang kau sembunyikan, Langgu...?" sambung Setan Tongkat Putih: "Hhh...!" Ki Langgu hanya menghembuskan napas panjang saja.
Terasa begitu sulit bagi laki-laki tua berjubah biru itu untuk menjawab semua pertanyaan para sahabatnya tadi. Dan sikap itu membuat mereka semua jadi semakin dipenuhi berbagai macam pertanyaan yang sukar dijawab sendiri. Perlahan Ki Langgu melangkah ke tepi beranda depan rumahnya, dengan pandangan lurus tak berkedip ke depan. Sementara empat tokoh rimba persilatan undangan si Golok Setan itu masih tetap duduk memandangi, dengan sinar mata dipenuhi berbagai macam pertanyaan yang belum bisa terjawab semua.
Namun baru saja Ki Langgu membalikkan tubuhnya, mendadak saja terdengar desir angin yang begitu halus sekali dari arah belakangnya.
Cepat-cepat lakilaki setengah baya itu memiringkan tubuhnya ke samping.
Pada saat yang bersamaan, terlihat sebatang anak panah melesat begitu cepat bagai kilat di samping tubuhnya.
Anak panah itu terus menembus ke dalam beranda, dan menuju lurus ke arah Dewi Bulan Hitam.
"Hap!" Tap! Manis sekali Dewi Bulan Hitam mengebutkan tangan kanannya, tanpa sedikit.
pun mengangkat tubuhnya dari tempat duduknya.
Tahu-tahu, anak panah itu sudah berada di dalam genggaman tangan kanannya. Tiga orang lainnya yang duduk di dekat wanita yang masih kelihatan cantik itu jadi terkejut melihat sebatang anak panah itu.
"Hup...!" Tanpa membuang-buang waktu, Ki Langgu langsung melesat keluar dari dalam beranda rumah besar itu. Dewi Bulan Hitam dan yang lain juga bergegas berlompatan mengikuti keluar dari beranda depan berukuran besar ini. Sekejapan mata saja mereka semua sudah berada di halaman depan yang berukuran besar itu.
Tapi tak terlihat seorang pun berada di sekitar halaman yang sangat luas ini. Mereka sama-sama men gedarkan pandangan berkeliling, dan memasang telinga tajam-tajam.
Tapi, ternyata tak terlihat apa-apa. Juga tidak terdengar apa pun, selain desir angin yang berhembus agak kencang siang ini.
Mereka tidak lagi peduli dengan sengatan matahari yang sudah terasa begitu terik.
"Kau kenali panah ini, Langgu?" tanya Dewi Bulan Hitam, seraya menyodorkan anak panah yang berhasil ditangkapnya tadi. Anak panah itu berwarna hitam pekat yang bagian matanya berwarna kuning keemasan.
Pada bagian tengah batangnya, tergambar guratan berbentuk seekor naga yang mengeluarkan api dari mulut.
Ki Langgu agak berkerut juga keningnya saat melihat guratan gambar pada bagian tengah batang anak panah itu. Kelopak matanya juga jadi menyipit.
Sementara, empat orang tokoh persilatan undangannya jadi memandang laki-laki tua berjubah biru ini. Mereka juga melihat guratan gambar berbentuk naga pada batang anak panah yang masih berada di tangan Dewi Bulan Hitam.
"Kau kenali panah ini, Langgu?" Dewi Bulan Hitam melontarkan pertanyaan kembali.
"Ya...," sahut Ki Langgu, terdengar pelan suaranya.
"Siapa pemiliknya?" tanya Dewi Pedang Emas.
"Ki Jambak Gora," sahut Ki Langgu pelan.
Begitu pelan suaranya, sehingga hampir tidak terdengar di telinga empat orang tokoh persilatan undangan si Golok Setan itu. Sementara, mereka tampak terkejut mendengar nama yang baru saja disebutkan Ki Langgu.
Bahkan sampai melempar pandangan, satu sama lain.
Sementara, wajah Ki Langgu seperti terselimut kabut tebal. Beberapa saat lamanya, mereka semua terdiam.
* * *
"Kalian pasti masih ingat, lambang yang selalu digunakan Ki Jambak Gora...," tegas Ki Langgu.
"Dialah Kepala Desa Jalakan ini yang telah kusingkirkan setahun yang lalu.
Dan kini, anaknya menuntut haknya." Dewa Pedang Emas, si Kipas Naga, Dewi Bulan Hitam, dan Setan Tongkat Putih hanya menganggukkan kepala saja. Tentu saja mereka ingat. Tidak ada orang lain lagi di dunia ini yang selalu menggunakan gambar naga sebagai lambang kekuatan dirinya, selain Ki Jambak Gora. Dan mereka jadi ingat. Gambar naga yang tergores pada batang anak panas berwarna hitam itu memang lambang kebanggaan dan kekuatan tokoh kosen yang sudah cukup lama menghilang dari rimba persilatan.
"Sudah lebih dari tiga puluh tahun aku tidak pernah lagi mendengar namanya.
Dan kupikir juga, dia sudah menghilang dan tidak kembali lagi," kata Setan Tongkat Putih.
Suaranya setengah menggumam dan hampir tidak terdengar, seakan-akan bicara dengan diri sendiri.
"Hm....
Jadi dia muncul lagi, dan ada hubungannya dengan semua ini...?" sambung Dewa Pedang Emas.
Sedangkan Ki Langgu hanya diam saja. Perlahan kemudian, kakinya terayun menuju beranda rumah berukuran besar itu. Dia terus melangkah, sementara empat orang sahabatnya masih tetap berdiri dengan benak dipenuhi berbagai macam pertanyaan yang tidak mudah cepat dijawab.
Ki Langgu terus melangkah masuk ke dalam rumah.
Kakinya terus terayun melintasi ruangan depan yang berukuran cukup luas. Laki-laki setengah baya itu tidak berhenti melangkah, begitu sampai di depan sebuah pintu yang tertutup rapat.
Kakinya terus terayun, lalu tangan kanannya mendorong pintu itu.
Ki Langgu baru berhenti setelah berada di dalam sebuah ruangan berukuran cukup besar. Di dalam ruangan itu terdapat sebuah pembaringan besar, dan sebuah lemari kayu jati berukir yang terletak di dekat jendela.
Juga, ada dua buah kursi rotan mengapit sebuah meja kecil berbentuk bulat.
Laki-laki berjubah biru itu berdiri tegak di depan jendela yang terbuka lebar. Pandangannya tertuju lurus ke depan, tanpa berkedip sedikit pun juga. Tapi, mendadak saja dia memutar tubuhnya.
"Heh...?!" Kedua bola mata si Golok Setan jadi terbeliak lebar, begitu tiba-tiba saja di depannya kini ada seorang lakilaki tua yang berbaju putih panjang.
Seluruh rambut dan janggutnya yang panjang juga sudah berwarna putih.
Ki Langgu begitu terkejut, karena tadi sama sekali tidak tahu.
Dan juga dia belum bisa melupakan wajah tua yang bersinar bening di hadapannya ini.
"Ki Jambak Gora...," desis Ki Langgu pelan sekali, sehingga hampir tak terdengar di telinga. Dia terus memandangi laki-laki tua berjubah putih yang berdiri tegak di depannya ini dari ujung kepala hingga ke ujung kakinya. Seakan-akan, Ki Langgu tidak percaya dengan apa yang dilihatnya sekarang. Tapi cepat disadari kalau orang tua berjubah putih itu memang benar-benar ada, dan sekarang ini berdiri tidak jauh di depannya.
"Kau terkejut melihat kedatanganku, Langgu...?" terdengar tenang dan lembut sekali nada suara laki laki tua berjubah putih yang dikenali Ki Langgu bernama Ki Jambak Gora itu.
"Untuk apa lagi kau datang ke sini, Ki Jambak Gora?" dengus Ki Langgu bertanya.
"Ingat janjimu!" Jelas sekali kalau nada suaranya terdengar tidak menyukai kehadiran Ki Jambak Gora di Desa Jalakan ini.
Sedangkan Ki Jambak Gora terlihat menyunggingkan senyuman tipis.
Kakinya melangkah tiga tindak ke depan, namun sorot matanya begitu tajam menusuk langsung ke bola mata si Golok Setan yang sekarang ini berada sekitar lima langkah lagi di depannya.
"Kau benar-benar sudah keterlaluan, Langgu.
Kau rampas desa ini, lalu sekarang mencoba membunuh pewaris sah desa ini pula.
Kau benar-benar manusia serakah...!" desis Ki Jambak Gora, begitu dingin nada suaranya.
"Kau sudah tidak lagi mentaati janjimu sendiri."
"Jangan menuduhku sembarangan, Ki Jambak Gora!" sentak Ki Langgu geram.
"Aku tidak akan datang lagi ke sini, kalau kau tidak menganiaya Sutiningsih."
"Bicara apa kau ini, heh...?!"
"Jangan pura-pura tidak tahu, Langgu...! Sekarang juga kuminta, tinggalkan desa ini.
Aku sudah muak melihat tingkahmu.
Kau benar-benar sudah tak memandang kalau Sutiningsih masih terhitung keponakanmu!"
"Edan...! Berani benar kau berkata begitu Ki Jambak Gora. Biar aku tokoh sesat, tapi aku tidak sudi melukai keponakanku sendiri!" "Tapi pada kenyataannya? Ah, sudahlah. Sekarang kuminta kau tinggalkan desa ini. Biarkan mereka mendapat kembali rumah-rumahnya, dan semua ladang kehidupan yang kau rampas. Kau sudah tidak berhak tinggal di sini, Golok Setan!"
"Phuih!" Ki Langgu menyemburkan ludahnya, sengit sekali.
Sorot mata Ki Langgu begitu tajam, menusuk langsung ke bola mata laki-laki tua berjubah putih yang berdiri tegak di depannya. Sementara itu, Ki Jambak Gora tampak sudah siap menghadapi segala kemungkinan yang bakal terjadi.
Dia tahu, orang yang dihadapinya ini memiliki kepandaian yang tinggi, dan tak bisa dipandang sebelah mata saja.
Terlebih lagi, sekarang ini Ki Langgu didampingi empat orang sahabatnya yang juga memiliki kepandaian tidak rendah. Untuk beberapa saat, mereka terdiam dan hanya saling pandang dengan sorot mata masing-masing terlihat begitu tajam.
Ketegangan tersirat dari sorot mata mereka satu sama lain.
Perlahan Ki Langgu menggeser kakinya ke kanan.
Sementara Ki Jambak Gora masih tetap berdiri tegak memperhatikan setiap gerak kaki si Golok Setan itu. Dan tiba-tiba saja....
"Hih!" "Uts...!" Cepat sekali tangan Ki Langgu bergerak mengibas ke depan. Dan begitu terlihat secercah cahaya berkilat meluncur deras bagai kilat, manis sekali Ki Jambak Gora menarik tubuhnya ke samping. Sehingga, cahaya berkilat yang melesat keluar dari telapak tangan si Golok Setan itu lewat di samping tubuh Ki Jambak Gora.
"Hup! Yeaaah...!" Bagaikan kilat, Ki Langgu tiba-tiba saja melompat menerjang laki-laki tua berjubah putih itu sambil melontarkan satu pukulan keras menggeledek, yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Namun dengan satu gerakan manis dan cepat sekali, Ki Jambak Gora meliukkan tubuhnya. Sehingga serangan yang dile paskan si Golok Setan itu berhasil dielakkan.
"Hiyaaa...!" Tapi, Ki Langgu rupanya tidak berhenti sampai di situ saja. Kembali dilontarkannya serangan dengan pukulan-pukulan beruntun dan sangat cepat ke arah beberapa bagian yang mematikan pada tubuh Ki Jambak Gora.
Dan serangan ini membuat Ki Jambak Gora terpaksa harus berjumpalitan menghindarinya.
Di dalam ruangan yang tidak begitu besar itu, pertarungan sengit pun tidak dapat dihindari lagi. Suara-suara ribut dari pertarungan itu rupanya terdengar empat orang sahabat si Golok Setan.
Dan mereka langsung menerobos masuk dengan menjebol pintu ruangan itu.
Keempat orang itu begitu terkejut melihat Ki Langgu tengah menggempur seorang laki-laki tua berjubah putih, dengan pukulan-pukulan keras menggeledek dan mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi. Pada saat itu, keadaan ruangan ini sudah demikian berantakan. Bahkan beberapa dinding terlihat sudah hancur terkena pukulan Ki Langgu yang teramat keras.
"Hup! Yeaaah...!" Melihat empat orang sahabat Ki Langgu berdatangan, tanpa membuang-buang waktu lagi Ki Jambak Gora segera melesat cepat keluar dari ruangan itu dengan menjebol atap.
Cepat sekali gerakannya, hingga membuat Ki Langgu dan empat orang yang baru saja datang jadi terperangah sesaat. Namun mereka segera berlompatan ke atas, mengikuti Ki Jambak Gora yang sudah menjebol atap ruangan ini.
"Setan keparat...!" desis Ki Langgu begitu kakinya menjejak atap.
Ternyata sama sekali tidak lagi terlihat Ki Jambak Gora berada di atas atap bangunan yang berukuran besar ini. Bahkan bayangannya pun sama sekali tidak terlihat. Sungguh cepat sekali Ki Jambak Gora menghilang, setelah berhasil keluar dari pertarungannya dengan menjebol atap rumah ini.
Sama sekali tidak terlihat ke mana arah perginya.
Dan ini membuat Ki Langgu jadi geram setengah mati. Bahkan empat orang sahabat si Golok Setan itu juga jadi mengedarkan pandangannya berkeliling.
Di saat itu tiba-tiba saja mereka dikejutkan desingan suara yang membuat bola mata jadi terbeliak lebar.
"Hup!"
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!" Lima orang yang berada di atas atap itu langsung berjumpalitan di udara, begitu tiba-tiba saja telah dihujani puluhan batang anak panah berwarna hitam pekat. Bahkan Dewa Pedang Emas dan Setan Tongkat Putih langsung meluruk turun dari atap. Dewi Bulan Hitam dan si Kipas Naga pun segera mengikutinya.
Dengan gerakan manis dan ringan sekali, mereka menjejakkan kaki di bagian samping bangunan rumah ini. Sementara Ki Langgu masih berjumpalitan di udara, menghindari hujan panah yang datang bagai dari segala penjuru itu.
"Hup! Yeaaah...!" Sret!
Bet! Wuk...! Cepat sekali Ki Langgu melenting tinggi-tinggi ke udara, sambil mencabut goloknya yang berukuran besar. Secepat itu pula goloknya dikebutkan, untuk menyampok setiap batang anak panah yang meluruk deras menghujani dirinya. Sambil berjumpalitan di udara, Ki Langgu berusaha keluar dari sebuah anak panah berwarna hitam itu.
"Hiyaaa...!" Sambil cepat memutar goloknya, Ki Langgu meluruk turun dan langsung bergulingan beberapa kali di atas tanah. Dan begitu bisa bangkit berdiri, hujan anak panah itu tidak lagi terlihat menyerang dirinya.
Ki Langgu berdiri tegak dengan goloknya berukuran besar tersilang di depan dada.
Pandangannya sangat tajam, beredar berkeliling untuk mencari arah datangnya panah-panah hitam yang tadi menghujani tubuhnya.
"Jambak Gora, keluar kau...!" sentak Ki Langgu keras menggelegar suaranya. Suara yang dikeluarkan lewat pengerahan tenaga dalam tinggi itu sampai menggema ke sekeliling Bahkan membuat daun-daun berguguran dan tanah yang dipijak jadi bergetar, bagai terlanda gempa. Belum lagi bentakan Ki Langgu menghilang dari pendengaran, tahu-tahu berkelebat sebuah bayangan putih dari atas pohon beringin yang sangat besar. Cepat sekali bayangan putih itu berkelebat, tahu-tahu sekitar dua batang tombak dari Ki Langgu sudah berdiri seorang laki-laki tua berjubah putih yang dikenal bernama Ki Jambak Gora.
Di tangan kanannya kini juga sudah tergenggam sebatang tombak yang berwarna hitam pekat, yang ujungnya berbentuk segitiga berwarna kuning keemasan. Pada saat itu, dari atap rumah-rumah yang berdekatan dengan rumah besar berhalaman cukup luas ini, bermunculan pemuda-pemuda membawa anak panah terpasang di busur. Bahkan dari atas pohon dan gerumbul semak belukar pun bermunculan orang-orang yang masih berusia muda. Sekeliling halaman samping rumah itu kini sudah terkepung puluhan orang pemuda yang sudah siap dengan senjata panah serta tombak terhunus. Dan mereka semua mengenakan baju putih bersih, bagai sudah siap menghadapi pertempuran suci yang pasti tidak sedikit akan mengorbankan nyawa.
"Ha ha ha...! Rupanya kau sudah siap dengan murid-murid tololmu, Jambak Gora!" lantang sekali suara Ki Langgu. Sedikit pun tidak ada rasa gentar di hati Ki Langgu melihat sekelilingnya sudah begitu rapat.
Bahkan kelihatan semakin bertambah pongah saja.
Dia terus tertawa terbahak-bahak dengan suara keras menggelegar. Bahkan terasa mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi.
Dan itu mengakibatkan pemuda-pemuda berbaju serba putih yang mengepung tempat ini jadi merasakan akibatnya. Telinga mereka mendengung sakit, membuat mereka jadi seperti cacing yang kepanasan karena berusaha menahan gempuran suara yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi itu. Beberapa orang pemuda yang berada di atas pohon mulai terlihat berjatuhan, tak sanggup menahan gempuran tenaga dalam yang dikeluarkan lewat suara tawa itu.
Namun tiba-tiba saja....
"Grhaaa...!"
* * *
"Seraaang...!"
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!" Bagaikan guntur di siang bolong, teriakan-teriakan keras terdengar menggetarkan seluruh alam ini. Begitu tiba-tiba pemuda-pemuda berbaju serba putih murid Ki Jambak Gora ini berhamburan meluruk deras menyerang Ki Langgu dan empat orang sahabatnya.
Bahkan puluhan anak panah pun langsung berhamburan mendahului, membuat lawan terpaksa harus berjumpalitan menghindarinya. Tepat di saat anak-anak panah berwarna hitam itu berhenti, puluhan orang anak-anak muda sudah berhamburan menyerang dari segala arah.
Dan kini teriakan-teriakan keras dan jeritan-jeritan panjang melengking tinggi, langsung berbaur menjadi satu dengan denting senjata beradu.
Dalam waktu sebentar saja, sudah tidak terhitung lagi tubuh yang ambruk bergelimpangan bermandikan darah.
Jeritan-jeritan kematian terus terdengar di sekitarnya. Tentu saja membuat Ki Langgu, Dewi Bulan Hitam, Setan Tongkat Putih, Dewa Pedang Emas, dan si Kipas Naga jadi kelabakan juga menghadapinya.
Tapi mereka adalah tokoh-tokoh rimba persilatan yang berjuluk Lima Iblis dari Utara.
Maka, tentu saja sudah berpengalaman menghadapi segala macam bentuk pertarungan. Sehingga, sebentar saja mereka sudah bisa menghadapi penyerangan yang datang begitu cepat dari segala penjuru.
Teriakan-teriakan keras dan jeritan-jeritan panjang melengking tinggi, langsung berbaur menjadi satu dengan denting senjata beradu. Dalam waktu sebentar saja, sudah tidak terhitung lagi tubuh yang ambruk bergelimpangan bermandikan darah. Jeritan-jeritan pan jang berhawa kematian, semakin sering terdengar memenuhi udara sekitarnya.
Sementara bau anyir darah semakin keras tercium menyengat hidung. Tubuh-tubuh berlumur darah terus berjatuhan, diiringi jeritan-jeritan panjang melengking tinggi dan teriakan-teriakan pertempuran, serta denting senjata beradu.
Sementara itu Ki Langgu dan empat orang sahabatnya terus berlompatan sambil mengebutkan senjata masing-masing.
Gerakan-gerakan mereka begitu cepat, sehingga terlalu sulit bagi murid-murid Ki Jambak Gora untuk mendekatinya.
Dan lagi, tingkat kepandaian Lima Iblis dari Utara memang jauh lebih tinggi.
Hingga dalam waktu tidak berapa lama saja, sudah lebih dari setengah yang bergelimpangan tak bernyawa lagi.
"Munduuur...!" Pada saat semua murid-murid Ki Jambak Gora sudah benar-benar tidak mampu lagi berbuat lebih banyak lagi, terdengar teriakan keras menggelegar yang mengalahkan suara-suara pertarungan dan jeritan panjang melengking. Dan pada saat itu, terlihat mereka yang masih bisa bertahan hidup segera berlompatan keluar dari kancah pertempuran. Mereka semua langsung menghilang ke balik rumah-rumah, pepohonan serta gerumbul semak belukar yang banyak terdapat di sekitar Desa Jalakan ini. Sebentar saja, keadaan menjadi sunyi senyap.
Sementara Ki Langgu dan empat orang sahabatnya tetap berdiri tegak, menjaga segala kemungkinan yang mungkin saja terjadi secara tiba-tiba dan tidak terduga. Tak ada seorang pun yang melihat Ki Jambak Gora di sini. Laki-laki tua berjubah putih itu benar-benar sudah lenyap, bersama perginya pemuda-pemuda berbaju putih yang menyerang lima orang tokoh rimba persilatan yang berjuluk Lima Iblis dari Utara.
Sudah cukup lama kesunyian menyelimuti mereka berlima. Tapi, tidak ada serangan yang muncul. Dewi Bulan Hitam melangkah menghampiri Ki Langgu yang masih berdiri tegak dengan golok tersilang di depan dada. Dewa Pedang Emas, Setan Tongkat Putih, dan si Kipas Naga pun menghampiri si Golok Setan. Mereka masih tetap diam, dengan sorot mata tajam beredar berkeliling. Namun, hanya kesunyian mencekam yang dihadapi. Tak terdengar satu suara apa pun. Hanya desir angin saja yang terdengar mengusik gendang telinga, membawa bau anyir darah dari tubuh-tubuh bergelimpangan yang hampir memenuhi halaman samping rumah ini. Di saat kesunyian menyelimuti sekitarnya, tiba-tiba saja....
"Langgu, kau akan menyesal kalau tidak segera angkat kaki dari desa ini...!"
"Hm...," Ki Langgu menggumam kecil, begitu tibatiba terdengar suara keras menggema. Jelas sekali kalau suara itu disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
Sulit mencari arah sumber suara itu, karena terdengar menggema.
Seakan-akan datangnya dari segala penjuru mata angin.
Dan suara bernada ancaman itu tidak lagi terdengar.
Kesunyian kembali menyelimuti seluruh Desa Jalakan ini.
Sementara, Ki Langgu dan empat orang sahabat masih tetap diam, berdiri tegak di antara mayat-mayat yang bergelimpangan di sekitarnya.
* * *
::::↨֍¦ 6 ¦֎↨::::
Di samping Pendekar Rajawali Sakti, duduk bersila seorang pemuda berwajah tampan yang tidak berkedip memandangi gadis cantik berbaju putih di depannya.
Dialah Jaka Umbaran, putra sulung Ki Jambak Gora. Sedangkan gadis berbaju putih itu adalah Sutiningsih, yang telah diselamatkan Pendekar Rajawali Sakti atas keroyokan empat dari Lima Iblis dari Utara.
Sutiningsih memang harus melakukan semadi beberapa kali, agar kesehatannya pulih kembali. Hanya saja, kali ini dia sudah boleh mengenakan baju. Tak ada seorang pun yang mengeluarkan suara.
Di dalam ruangan berukuran tidak begitu besar itu terasa sangat sunyi. Setelah cukup lama Sutiningsih melakukan semadi, lalu perlahan-lahan kemudian membuka kelopak matanya sedikit demi sedikit.
Kemudian matanya dikerjapkan beberapa kali. Pandangannya langsung bertemu tatapan mata Rangga yang duduk di samping Pandan Wangi.
Sementara, Jaka Umbaran langsung merangkak menghampiri adiknya itu.
Beberapa saat mereka saling berpandangan tanpa mengucapkan satu kata pun juga. Rangga dan Pandan Wangi juga mendekati gadis itu. Tampak sekali raut wajah Sutiningsih sudah kelihatan segar.
Bahkan senyuman manis pun tersungging di bibirnya yang selalu memerah.
Namun, kelopak matanya jadi berkerut begitu menatap Rangga dan Pandan Wangi. Dia teringat kalau pemuda berbaju rompi putih itulah yang menyelamatkannya dari keroyokan empat orang tokoh persilatan undangan si Golok Setan.
"Bagaimana...? Sudah membaik?" tanya Rangga, sambil memberikan senyuman.
"Terima kasih atas pertolonganmu," ucap Sutining sih, juga tersenyum.
Gadis itu kemudian menatap Pandan Wangi sebentar, kemudian mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan ini. Lalu, ditatapnya Jaka Umbaran.
"Mana ayah?" tanya Sutiningsih, terus menatap Jaka Umbaran. Sedangkan Jaka Umbaran hanya diam saja, dengan kepala sedikit tertunduk.
Entah kenapa, pemuda itu tidak bisa menjawab pertanyaan adiknya ini.
Dan Rangga juga tidak bisa menjawab.
Demikian pula Pandan Wangi hanya diam saja, sambil memandangi Jaka Umbaran.
Pandan Wangi sendiri tidak tahu, ke mana perginya Ki Jambak Gora setelah Sutiningsih dibawa ke sini oleh Pendekar Rajawali Sakti.
"Kakang Umbaran..., mana ayah?" Sutiningsih mengulangi pertanyaannya yang belum terjawab.
"Pergi," sahut Jaka Umbaran pelan.
Begitu pelannya, hampir saja tidak terdengar suara pemuda itu. Sedangkan Sutiningsih semakin dalam memandanginya. Dan Jaka Umbaran terus tertunduk, lalu perlahan-lahan mengangkat kepalanya. Dibalasnya tatapan adik perempuannya ini. Sebentar kemudian dia bangkit berdiri, dan melangkah mendekati jendela yang sejak tadi tertutup rapat. Begitu tangannya membuka jendela, sinar matahari langsung menerobos masuk menerangi ruangan ini. Pemuda itu terus berdiri di depan jendela memandang keluar. Seakan-akan ada sesuatu yang mengganjal, yang membuat hatinya begitu berat untuk mengatakan tentang perginya Ki Jambak Gora. Sedangkan Sutiningsih, Rangga, dan Pandan Wangi terus memandanginya. Sepertinya, mereka mengharapkan Jaka Umbaran mengatakan ke mana perginya Ki Jambak Gora.
"Ayah pergi ke Desa Jalakan...," jelas Jaka Umbaran pelan sekali, sambil memutar tubuhnya membelakangi jendela yang kini sudah terbuka lebar.
"Ke mana...?!" Sutiningsih tampak begitu terperanjat sekali mendengar kata-kata Jaka Umbaran barusan.
Gadis itu langsung melompat bangkit dari duduknya.
Bergegas dihampirinya Jaka Umbaran yang masih tetap berdiri membelakangi jendela.
Sementara itu, Rangga dan Pandan Wangi juga sudah berdiri.
Mereka melangkah menghampiri Jaka Umbaran.
Beberapa saat mereka semua terdiam.
Sedangkan Jaka Umbaran sendiri kini sudah tertunduk, seakan tidak kuasa menerima tiga pasang sorot mata yang seperti tengah mengadilinya. Dia merasa bersalah karena membiarkan Ki Jambak Gora pergi ke Desa Jalakan, yang sekarang dikuasai si Golok Setan.
Terlebih lagi, sekarang ini di sana ada Dewi Bulan Hitam, Dewa Pedang Emas, Setan Tongkat Putih, dan Kipas Naga.
Empat tokoh persilatan yang sudah ternama, dan tidak bisa dipandang rendah tingkat kepandaiannya.
"Kenapa kau biarkan ayah pergi ke sana, Kakang...?" ujar Sutiningsih bernada menyesal atas kepergian ayahnya ke Desa Jalakan.
"Ayah sendiri yang menginginkannya begitu.
Ayah juga membawa semua muridnya," sahut Jaka Umbaran tidak mau disalahkan.
"Oh, celaka...," desah Sutiningsih.
"Sudah lama perginya?" selak Rangga, bertanya.
Jaka Umbaran hanya mengangguk saja.
"Berapa orang semua muridnya?" tanya Rangga lagi.
"Lima puluh orang," sahut Jaka Umbaran.
Rangga menatap Pandan Wangi sebentar, kemudian melangkah mendekati jendela Jaka Umbaran menggeser ke samping, seakan-akan memberi tempat bagi Pendekar Rajawali Sakti. Sebentar saja Rangga mena tap keluar dari jendela yang dibiarkan terbuka lebar.
Kemudian, pandangannya beredar merayapi wajahwajah yang berada di dekatnya.
"Kalian di sini saja.
Biar aku yang mencari ayahmu," ujar Rangga sambil menatap Sutiningsih dan Jaka Umbaran bergantian.
"Aku ikut, Kakang," selak Pandan Wangi cepat. Tapi pada saat itu, Rangga sudah melompat cepat bagai kilat keluar dan ruangan ini melalui jendela yang terbuka lebar.
Dan tanpa membuang-buang waktu lagi, Pandan Wangi segera mengerahkan seluruh kekuatan ilmu meringankan tubuhnya.
Tubuhnya langsung melesat menyusul Pendekar Rajawali Sakti yang sudah tidak terlihat lagi. Kini di dalam ruangan itu tinggal ada Sutiningsih dan Jaka Umbaran. Mereka sama-sama berdiri di depan jendela, tapi tidak melihat Rangga maupun Pandan Wangi yang sudah begitu cepat sekali menghilang.
Hal itu sudah menandakan kalau ilmu meringankan tubuh yang mereka miliki sudah mencapai tingkat yang tinggi. Terlebih lagi, Pendekar Rajawali Sakti. Ilmu meringankan tubuhnya memang sudah mencapai tingkat kesempurnaan.
* * *
Gadis itu sudah mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuh yang dimiliki, tapi masih terlalu sulit untuk bisa mengejar Pendekar Rajawali Sakti. Memang, ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Pendekar Rajawali Sakti jauh lebih sempurna daripada yang dimilikinya. Melihat Pandang Wangi terus membuntuti dan berusaha mengejar, Rangga memperlambat larinya.
Kemudian, Pendekar Rajawali Sakti berhenti dan menunggu gadis berbaju biru muda yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu.
Hanya sebentar saja menunggu, kini Pandan Wangi sudah sampai di depannya.
Kemudian, mereka berjalan agak cepat menembus lebatnya hutan ini, menuju Desa Jalakan.
"Sebenarnya apa yang terjadi pada Ki Jambak Gora dan desanya, Kakang?" tanya Pandan Wangi sambil terus melangkah mengikuti ayunan kaki Pendekar Rajawali Sakti.
"Persisnya aku sendiri tidak tahu, Pandan. Aku mengajak mu ke desa itu hanya untuk menemaniku dalam menyampaikan amanat dari Ki Lintuk untuk Ki Jambak Gora. Tapi, kau tahu sendiri. Desa itu sekarang sudah dikuasai Ki Langgu.
Aku tidak tahu, apa maksudnya Ki Langgu merebut desa itu dari Ki Jambak Gora.
Bahkan mengusir seluruh penduduknya keluar dari sana," sahut Rangga.
"Kelihatannya desa itu tidak memiliki keistimewaan, Kakang.
Sama seperti desa-desa lain," ujar Pandan Wangi. Mereka memang pernah masuk ke desa itu, sebelum bertemu Ki Jambak Gora di bangunan berbentuk benteng yang sekarang menjadi tempat tinggal Ki Jambak Gora dan seluruh warga desanya. Dan memang, tampaknya Desa Jalakan tidak memiliki satu keistimewaan apa pun juga. Tapi, kenapa Ki Langgu begitu ingin menguasainya...? Bahkan mengusir semua orang dari desa itu, dan tidak seorang pun yang boleh memasukinya. Hal itulah yang membuat Rangga, terlebih Pandan Wangi, jadi bertanya-tanya.
"Aku merasa ada sesuatu yang tersembunyi di sana, Kakang. Rasanya tidak mungkin Ki Langgu mau menguasai desa itu tanpa ada sesuatu yang menarik hatinya," duga Pandan Wangi lagi.
"Apa perkiraanmu, Pandan?" tanya Rangga.
"Entahlah...," desah Pandan Wangi. Mereka terus berjalan tanpa berbicara lagi.
Sementara itu, Desa Jalakan sudah terlihat di depan.
Begitu sunyi kelihatannya.
Dan memang, desa itu sudah ditinggalkan penduduknya, setelah dikuasai Ki Langgu, seorang tokoh persilatan golongan hitam yang berjuluk si Golok Setan. Kedua pendekar muda itu baru berhenti setelah sampai di perbatasan desa.
Tak ada seorang pun yang terlihat di sana.
Keadaan Desa Jalakan begitu sunyi senyap.
Sebentar mereka saling melempar pandang, kemudian perlahan-lahan melangkah memasuki desa yang tampak begitu sunyi. Tanpa seorang pun terlihat.
Benar-benar sebuah desa mati yang tidak berpenghuni lagi. Mereka berjalan perlahan-lahan, bersikap penuh kewaspadaan. Mereka menyadari, memasuki desa ini sama juga menantang maut yang menghadang di depan.
"Hati-hati, Pandan.
Aku mendengar banyak desah napas di sekitar sini," ujar Rangga berbisik, begitu sudah berada di tengah-tengah desa ini.
Di kiri dan kanan mereka memang hanya rumah saja yang terlihat. Dan kedua pendekar muda itu melangkah perlahan-lahan menyusuri jalan tanah berdebu yang membelah desa ini bagai menjadi dua bagian.
Apa yang dirasakan Rangga, juga dirasakan Pandan Wangi. Gadis itu juga mendengar tarikan-tarikan napas halus di sekelilingnya. Dia, tahu kalau di sekeliling mereka sudah banyak terdapat orang-orang yang bersembunyi.
Dan.... Slap! Tiba-tiba saja sebatang tombak panjang meluncur cepat dari arah depan.
Tombak itu tepat menancap di depan kaki Rangga.
Maka seketika itu juga Pendekar Rajawali Sakti berhenti melangkah. Namun belum lagi mereka bisa berpikir lebih jauh, tahu-tahu dari balik dinding rumah dan atap bermunculan puluhan orang yang sudah siap dengan senjata berupa golok terhunus di tangan.
Pada saat itu, dari atas atap sebuah rumah melesat turun seorang laki-laki tua berjubah biru, diikuti empat orang yang semuanya menyandang senjata yang berlainan bentuknya. Mereka tepat mendarat sekitar satu batang tombak di depan Rangga dan Pandan Wangi.
Memang, Pendekar Rajawali Sakti sudah mengenali lima orang yang kini berada di depannya. Mereka adalah Ki Langgu, Dewi Bulan Hitam, Dewa Pedang Emas, Setan Tongkat Putih, dan si Kipas Naga yang semua berjuluk Lima Iblis dari Utara.
"Anak muda itu yang menolong Gadis berbaju Putih, Langgu," bisik Dewi Bulan Hitam, langsung mengenali Rangga.
"Hm...," Ki Langgu hanya menggumam saja. Ki Langgu juga sudah mengenali Rangga dan Pandan Wangi, ketika pertama kali kedua pendekar muda itu datang ke desa ini untuk bertemu Ki Jambak Gora.
Tapi, waktu itu memang tidak terjadi sesuatu. Karena, Rangga dan Pandan Wangi langsung pergi begitu Ki Langgu mengatakan kalau Ki Jambak Gora tidak lagi tinggal di desa ini.
"Mau apa kalian datang lagi ke sini, Anak Muda?" tanya Ki Langgu, langsung menegur dengan nada yang dingin dan datar sekali.
"Kami mencari Ki Jambak Gora," sahut Rangga.
"Bukankah sudah kukatakan, Ki Jambak Gora tidak tinggal di sini...? Kenapa masih juga mencarinya ke sini, Anak Muda?" terasa agak ketus nada suara Ki Langgu. Jelas sekali kalau Ki Langgu tidak menghendaki kehadiran Rangga dan Pandan Wangi di Desa Jalakan ini.
Dan dari sorot matanya.
sudah terlihat jelas kalau dia menginginkan kedua pendekar itu pergi.
Tapi tampaknya, Rangga dan Pandan Wangi tidak mau pergi sebelum bertemu Ki Jambak Gora.
Sementara itu, puluhan orang yang berada di atas atap rumah sudah siap dengan panah terpasang di busur, dan terarah pada kedua pendekar muda itu. Sedangkan mereka yang berada di bawah, sudah siap dengan senjata golok terhunus. Tampak jelas kalau mereka tinggal menunggu perintah saja. Dan itu disadari Rangga maupun Pandan Wangi, yang jelas tadi selalu memperhatikan keadaan sekelilingnya.
"Anak muda! Sebaiknya kau segera angkat kaki dari sini.
Aku tidak mau melihat pertumpahan darah lagi...!" kata Ki Langgu tegas-tegas mengusir.
"Maaf! Aku tidak bisa pergi sebelum bertemu Ki Jambak Gora," Rangga kalem, juga terdengar tegas nada suaranya.
Ki Langgu menggereng tertahan, mendengar jawaban tegas Pendekar Rajawali Sakti itu. Sedangkan Setan Tongkat Putih, si Kipas Naga, Dewa Pedang Emas, dan Dewi Bulan Hitam sudah terlihat tidak sabar lagi.
Mereka memang masih merasa penasaran oleh pemuda berbaju rompi putih itu, ketika berhasil membawa lari Gadis Baju Putih yang sudah tidak berdaya lagi di tangan mereka berempat.
"Biar aku yang mengusirnya, Ki," selak Dewi Bulan Hitam, tidak dapat lagi menahan kesabarannya.
Belum juga Ki Langgu bisa mencegah, tahu-tahu....
"Hiyaaat...!" Cepat sekali Dewi Bulan Hitam melompat sambil berteriak keras menggelegar. Satu pukulan keras yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi, dilepaskan tepat mengarah dada Rangga. Namun hanya menarik sedikit tubuhnya ke samping kanan, pukulan yang dilepaskan Dewi Bulan Hitam manis sekali berhasil dielakkan.
Bahkan tanpa diduga sama sekali, Rangga mengebutkan tangannya ke depan hendak menyodok perut wanita yang mengenakan baju serba hitam itu. Dan serangan ini membuat Dewi Bulan Hitam jadi terperangah setengah mati.
"Setan! Hup...!" Cepat-cepat Dewi Bulan Hitam melenting ke belakang, berputaran dua kali menghindari sodokan yang dilakukan Pendekar Rajawali Sakti.
Dan begitu kakinya menjejak tanah, bagaikan kilat sebuah bayangan putih berkelebat cepat dari arah belakang.
Tahu-tahu, Setan Tongkat Putih sudah melesat cepat bagai kilat menyerang Pendekar Rajawali Sakti.
Laki-laki berbaju putih yang masih muda usianya itu langsung mengebutkan tongkatnya ke arah kepala Rangga.
"Yeaah...!" Wuk! "Uts...!" Kembali Rangga hanya bergerak sedikit, dengan merundukkan kepala. Maka kebutan tongkat itu lewat di atas kepalanya. Namun, Pendekar Rajawali Sakti jadi terkejut. Ternyata dirasakan adanya sambaran angin yang begitu kuat di atas kepalanya. Langsung disadari kalau kebutan tongkat itu mengandung pengerahan tenaga dalam sangat tinggi. Maka cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti melompat ke belakang beberapa tindak.
Namun baru saja kakinya menjejak tanah, Setan Tongkat Putih sudah kembali menyodokkan ujung tongkatnya ke arah dada. Dan ini tidak mungkin lagi dihindari Rangga. Cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti mengatupkan kedua telapak tangannya di depan dada, tepat di saat ujung tongkat itu hampir menyentuh dadanya yang bidang dan terbuka lebar. Tap! "Hih...!" Setan Tongkat Putih jadi terkejut setengah mati. Cepat-cepat tongkatnya dihentakkan.
Tapi, tongkat yang kini terjepit di kedua telapak tangan Rangga sama sekali tidak bergeming sedikit pun.
Bahkan meskipun sudah mengerahkan kekuatan tenaga dalam, tongkatnya tidak bisa dilepaskan dari jepitan tangan Pendekar Rajawali Sakti.
"Hup! Yeaah...!"
* * *
::::↨֍¦ 7 ¦֎↨::::
"Hiyaaa...!" Sambil mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalam yang sudah mencapai tingkat sempurna, Rangga menghentakkan tangannya begitu cepat. Dan tak pelak lagi, tubuh Setan Tongkat Putih malah terangkat tinggi ke udara. Lalu begitu Rangga melepaskan jepitan tangannya, seketika itu juga tubuh Setan Tongkat Putih melayang deras ke udara.
Dan dengan keras sekali, tubuhnya jatuh menghantam atap. Kejadian yang sangat cepat dan tak terduga, tentu saja membuat semua orang yang mengepung tempat itu jadi terlongong bengong. Seakan-akan mereka semua tidak percaya kalau seorang pemuda yang berusia sekitar dua puluh lima tahun itu mampu mengangkat Setan Tongkat Putih, saat tengah melakukan serangan.
Bahkan Setan Tongkat Putih sampai terbanting keras menjebol atap sebuah rumah hingga hancur berantakan.
Brolll...! Semua pandangan mata langsung tertuju ke arah rumah yang tadi tertimpa tubuh Setan Tongkat Putih.
Tampak dinding rumah itu hancur berkeping-keping, bersamaan munculnya Setan Tongkat Putih. Tampak jelas sekali kalau wajahnya menyemburkan rona merah, yang menandakan kalau hatinya begitu berang atas tindakan Rangga padanya tadi.
Dan memang, dia merasa malu karena berhasil dijatuhkan dengan mudahnya.
"Setan keparat! Kubunuh kau...!" geram Setan Tongkat Putih.
"Hiyaaat...!"
Bet! Wuk! Cepat sekali pemuda berbaju serba putih itu me lompat, sambil mengebutkan tongkatnya beberapa kali ke bagian-bagian tubuh Rangga yang mematikan. Namun dengan menggunakan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib', Pendekar Rajawali Sakti berhasil mementahkan semua serangan yang dilakukan Setan Tongkat Putih. Beberapa kali Setan Tongkat Putih mengebutkan tongkatnya disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
Namun, tak satu pun serangannya berhasil mendarat di tubuh Pendekar Rajawali Sakti.
Dan hal itu membuat Setan Tongkat Putih semakin bertambah berang.
"Hiyaaa...!" Tanpa ada rasa sungkan sedikit pun juga, Setan Tongkat Putih langsung mengerahkan jurus-jurus tingkat tingginya yang sangat dahsyat.
Bahkan bentuk tongkatnya sudah tidak dapat dilihat lagi.
Begitu cepatnya berkelebat, sehingga yang terlihat hanya bayangannya saja yang menggulung tubuh Pendekar Rajawali Sakti.
Bahkan pemuda berbaju rompi putih itu pun sudah tidak terlihat lagi bentuk tubuhnya. Yang terlihat hanya bayangan putih berkelebatan di antara kebutankebutan bayangan tongkat Setan Tongkat Putih yang sangat cepat luar biasa.
Sungguh suatu pertarungan tingkat tinggi yang sukar diikuti pandangan mata biasa.
Sementara agak jauh dari pertarungan itu, tampak Pandan Wangi terus memperhatikan sekelilingnya. Dan tampaknya, semua orang begitu terpusat perhatiannya pada pertarungan yang sudah menegangkan itu. Sehingga tak ada seorang pun yang memperhatikan Pandan Wangi. Mereka seperti lupa kalau di situ ada seorang gadis cantik berbaju biru yang datang ke desa ini bersama Pendekar Rajawali Sakti.
"Hiyaaa...!" Tiba-tiba saja terdengar teriakan keras menggelegar.
Dan tahu-tahu, terlihat Rangga melentingkan ke udara.
Lalu dengan kecepatan sangat cepat, Pendekar Rajawali Sakti meluruk deras ke arah kepala Setan Tongkat Putih.
Kedua kaki Pendekar Rajawali Sakti bergerak cepat, bagai membuat lingkaran.
Saat itu, Rangga sudah mengerahkan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa', yang sangat dahsyat dan sangat sukar dicari tandingannya.
"Hait...!" Wuk! Namun Setan Tongkat Putih cepat mengebutkan tongkat ke atas kepala, begitu kaki Rangga hampir menghantam kepalanya.
Dan tepat pada saat itu pula, Pendekar Rajawali Sakti memutar tubuhnya hingga kedua kakinya berada di atas.
Pada saat kepalanya menjuntai ke bawah, tanpa diduga sama sekali dilepaskannya satu pukulan keras menggeledek dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkat terakhir.
"Hiyaaa...!" Begitu cepatnya pukulan yang dilepaskan Rangga, sehingga Setan Tongkat Putih tidak mungkin bisa menghindarinya lagi. Sementara tangan Rangga yang sudah berwarna merah bagai terbakar itu langsung menghantam dada Setan Tongkat Putih yang sudah tidak terlindung lagi. Begkh!
"Aaakh...!" Sambil menjerit melengking tinggi, Setan Tongkat Putih terpental ke belakang sejauh dua batang tombak.
Keras sekali tubuhnya menghantam tanah, lalu bergulingan beberapa kali. Tampak dadanya melesak masuk ke dalam, berwarna merah menyala bagai terbakar.
Dari mulut dan hidung mengeluarkan darah kental agak kehitaman. Hanya sebentar saja pemuda berbaju putih itu masih mampu menggeliat, kemudian diam tak bergerak-gerak lagi.
Sementara Rangga sudah berdiri tegak sambil memandangi Setan Tongkat Putih. Sedikit pun tak ada gerakan pada tubuh Setan Tongkat Putih. Dan itu sudah menandakan kalau pemuda berbaju putih yang tongkat mautnya sudah terkenal itu sudah tidak bernyawa lagi, akibat dadanya terkena pukulan keras dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'.
Beberapa saat semua orang yang ada di sekitar tempat "itu jadi terlongong bengong, seakan-akan tidak percaya kalau Setan Tongkat Putih sudah tergeletak tak bernyawa lagi.
"Seraaang...!" Tiba-tiba saja Ki Langgu berteriak keras menggelegar, memerintahkan semua murid-muridnya menyerang Pendekar Rajawali Sakti.
Kemarahannya langsung meluap, begitu menyadari kalau salah seorang sahabatnya sudah tewas di tangan pemuda berbaju rompi putih itu. Dan belum lagi teriakannya menghilang, tahu-tahu Rangga dan Pandan Wangi sudah sibuk menghindari hujan panah yang menghambur deras dari atas atap rumah-rumah di sekelilingnya. Tampak Pendekar Rajawali Sakti dan Kipas Maut terpaksa berjumpalitan di udara, menghindari setiap serangan panah yang menghujani.
Berpuluh-puluh anak panah berdesingan di sekitar tubuh sepasang pendekar muda itu.
Namun sebatang pun tak ada yang berhasil mengenai tubuhnya. Gerakan-gerakan yang dilakukan mereka memang sungguh cepat luar biasa.
Dan mereka memang bukan orang-orang sembarangan, yang dengan mudah bisa dihalau oleh puluhan batang anak panah.
Bahkan puluhan batang anak panah yang menghujani mereka, tak satu pun yang sampai pada sasaran.
Dan tidak sedikit pula yang berhasil dihalau, hanya dengan kibasan tangan saja. Melihat ketangguhan kedua pendekar muda itu, Ki Langgu jadi berkerut juga keningnya.
Terlebih lagi, Pendekar Rajawali Sakti sudah berhasil menewaskan Setan Tongkat Putih, salah seorang tokoh persilatan sahabatnya.
"Seraaang...!" seru Ki Langgu tiba-tiba, dengan suara keras menggelegar. Dan seketika itu juga, puluhan orang muridnya yang memang sudah sejak tadi menunggu perintah itu, langsung berteriak-teriak sambil menghambur menyerang Rangga dan Pandan Wangi. Bersamaan dengan itu, mereka yang menghujani kedua pendekar muda itu langsung menghentikan panahnya. Tapi hal itu tidak membuat Rangga dan Pandan Wangi bisa menarik napas lega.
Karena bersamaan dengan berhentinya hujan panah, puluhan orang bersenjata golok dan tombak sudah meluruk deras menyerang.
"Pandan, cepat pergi dari sini!" seru Rangga.
Namun Pandan Wangi sudah tidak bisa lagi memperhatikan seruan Pendekar Rajawali Sakti. Kipas Maut itu sudah sibuk menghadapi keroyokan puluhan orang yang semuanya bersenjata golok. Sedangkan Rangga sendiri terpaksa harus berjumpalitan, menghindari setiap serangan yang datang dari segala arah. Puluhan golok yang berkilat, berkelebat di sekitar tubuhnya yang meliuk-liuk menghindari setiap kebutan golok-golok itu.
"Hup! Yeaaah...!" Bagaikan kilat, tiba-tiba saja Rangga melenting ke udara. Namun pada saat yang bersamaan, secercah cahaya kuning keemasan berkelebat mengarah ke kepala Pendekar Rajawali Sakti itu. Dan ini membuat Rangga jadi terperangah juga. Namun dengan gerakan yang sangat manis, Pendekar Rajawali Sakti merundukkan kepala, menghindari sinar kuning keemasan yang datang dari sebuah pedang berwarna kuning emas.
"Hap! Hiyaaa...!" Rangga cepat-cepat melesat ke arah Pandan Wangi yang masih disibuki oleh serangan-serangan puluhan orang yang semuanya menggunakan senjata golok.
Beberapa kali Pendekar Rajawali Sakti melepaskan pukulan keras beruntun, yang disertai pengerahan tenaga dalam tingkat sempurna.
Saat itu juga, terdengar jeritan-jeritan keras melengking tinggi yang kemudian disusul bertumbangannya beberapa orang yang mengeroyok gadis berbaju biru muda yang dikenal berjuluk si Kipas Maut.
"Cepat kau pergi, Pandan...!" seru Rangga begitu berhasil mendekati Pandan Wangi.
"Kau sendiri...?" tanya Pandan Wangi sambil berkelit, meliukkan tubuhnya untuk menghindari satu tebasan golok yang mengarah ke pinggang.
"Aku nanti menyusul.
Cepaaat...!" sahut Rangga agak keras suaranya. Pandan Wangi tidak bisa menjawab lagi.
Dengan cepat sekali senjatanya, yang berupa sebuah kipas dari baja putih dicabut.
Secepat itu pula, kipasnya dikebutkan ke arah sebuah golok yang berkelebat mengarah ke dada.
"Hiyaaa...!"
Bet! Tring!
Cras!
"Aaa...!"
* * *
Darah seketika muncrat keluar dari dada yang terobek ujung kipas Pandan Wangi yang berbentuk runcing seperti anak panah.
Dan pada saat yang bersamaan, Pandan Wangi segera melenting tinggi-tinggi ke udara, sambil mengebutkan kipas baja putihnya beberapa kali. Namun tanpa diduga sama sekali, puluhan golok langsung beterbangan mengejar gadis yang berjuluk si Kipas Maut itu.
Maka Pandan Wangi terpaksa berjumpalitan di udara, sambil mengebutkan kipasnya cepat beberapa kali untuk menyampok setiap golok yang meluruk deras ke arahnya.
Beberapa kali kipas baja putih itu menghantam golok-golok yang beterbangan ke arah si Kipas Maut itu.
Percikan bunga api memijar, setiap kali kipas putih keperakan itu menghantam golokgolok yang berhamburan.
"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!" Sambil berteriak keras beberapa kali, Pandan Wangi cepat-cepat meluruk sambil mengebutkan kipasnya beberapa kali ke arah orang-orang yang masih tetap memburu dan rapat mengepungnya.
Gadis berjuluk si Kipas Maut itu juga melontarkan beberapa pukulan tangan kiri, sambil mengerahkan tenaga dalam yang sudah mencapai tingkat tinggi.
Bahkan sudah hampir mencapai tingkat kesempurnaan. Sehingga, tak seorang pun yang berhasil menahan gempuran si Kipas Maut itu.
"Hup! Yeaaah...!" Setelah berhasil menumbangkan beberapa orang pengeroyoknya, Pandan Wangi langsung melenting, sambil mengebutkan kipas mautnya beberapa kali.
Dan begitu berhasil keluar dari kepungan orang-orang bersenjata golok itu, secepat kilat melesat mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat hampir sempurna.
Cepat sekali gerakannya. Sehingga belum sampai ada yang menyadari, bayangan tubuhnya sudah lenyap tak terlihat lagi bagaikan ditelan bumi. Sementara itu, Rangga masih sibuk menghadapi keroyokan murid-murid Ki Langgu yang semuanya menggenggam senjata berupa golok.
Entah sudah berapa orang yang berhasil ditumbangkan Pendekar Rajawali Sakti.
Tapi mereka tetap saja merangsek maju, seakan-akan tidak memiliki rasa gentar sedikit pun.
Padahal, tidak sedikit dari mereka yang sudah bergelimpangan tak bernyawa lagi, terkena pukulan maupun tendangan menggeledek yang dilepaskannya. Dan memang, setiap pukulan maupun tendangan Rangga selalu mengandung pengerahan tenaga dalam tingkat sempurna. Sehingga, tak ada seorang pun yang bisa menahan lagi.
"Hm..., Pandan Wangi sudah pergi dari sini," gumam Rangga dalam hati.
Pendekar Rajawali Sakti masih juga sempat memperhatikan Pandan Wangi yang sudah berhasil meloloskan diri dari kancah pertarungan.
Dan pada saat itu, Rangga segera merentangkan kedua tangannya lebar-lebar ke samping.
Tetapi ketika tubuhnya melenting ke udara, langsung kedua telapak tangannya dirapatkan di depan dada. Pada saat kakinya kembali menjejak tanah, secepat kilat tangannya direntangkan kembali hingga terpentang lebar seperti sayap seekor burung yang sedang mengembang.
"Aji 'Bayu Bajra'...! Yeaaah...!" Bersamaan terdengarnya teriakan Rangga yang amat keras menggelegar, dan bersamaan dengan merentangkan kedua tangan Pendekar Rajawali Sakti, seketika itu juga bertiup angin badai yang sangat dahsyat luar biasa.
Bahkan awan yang sejak tadi tenang berarak, jadi bergulung-gulung terhempas badai topan yang diciptakan Rangga lewat aji 'Bayu Bajra'nya.
Sebuah aji kesaktian yang kerap kali digunakan Rangga jika menghadapi keroyokan begitu banyak seperti ini. Deru angin berhembus kencang, menggetarkan bumi yang dipijak.
Hempasan angin yang teramat kuat ini tidak dapat lagi ditahan. Seketika itu juga, mereka yang mengepung Rangga jadi berhamburan bagai daun-daun kering yang tertiup angin. Jeritan-jeritan panjang melengking tinggi terdengar menyayat, seakan-akan ingin mengalahkan deru angin topan yang terjadi tiba-tiba.
Tak ada lagi yang bisa bertahan, menghadapi gempuran aji 'Bayu Bajra'. Bahkan pohon-pohon pun bertumbangan, dan rumah-rumah roboh terkena terjangan badai topan ciptaan Pendekar Rajawali Sakti. Awan semakin banyak bergulung-gulung, membuat langit yang semula cerah kini berubah menghitam pekat.
Sehingga, sang mentari tak sanggup lagi memancarkan sinarnya ke atas permukaan bumi ini.
Jeritanjeritan panjang melengking tinggi masih terus terdengar menyayat, bercampur baur deru angin badai topan ciptaan Pendekar Rajawali Sakti.
"Hap!" Dan begitu Rangga merapatkan kedua telapak tangan kembali di depan dada, seketika itu juga badai topan yang terjadi melanda Desa Jalakan ini langsung berhenti mendadak. Bahkan sedikit pun tidak ada lagi hembusan angin. Dan pada saat yang bersamaan, awan hitam yang tadi bergulung-gulung di angkasa, langsung memudar lenyap. Dan kini sang mentari kembali memancarkan sinarnya yang terik membakar kulit. Sementara, Rangga berdiri tegak sambil merayapi sekitarnya yang sudah porak-poranda akibat gempuran dari aji 'Bayu Bajra' yang dikeluarkannya tadi.
"Hm...," Rangga menggumam pelan. Sebentar pandangannya beredar berkeliling, merayapi sekitarnya yang sudah hancur porak-poranda. Ada, terbersit kesenduan pada sinar matanya, melihat akibat aji 'Bayu Bajra' yang dikerahkan tadi.
Ajian itu memang bukan hanya berakibat parah pada lawanlawannya saja, tapi juga terhadap lingkungan sekeliling.
Dan itu membuat Rangga selalu enggan menggunakannya, jika tidak dalam keadaan sangat terpaksa. Perlahan Pendekar Rajawali Sakti mengayunkan kakinya, melangkah meninggalkan Desa Jalakan yang kini sudah hancur porak-poranda akibat serangan badai topan dari aji 'Bayu Bajra' tadi. Tak ada satu rumah pun yang masih kelihatan berdiri tegak.
Bahkan tidak terlihat seorang pun yang ada.
Mayat-mayat bergelimpangan saling tumpang tindih di mana-mana. Bau anyir darah langsung merasuk ke dalam hidung Pendekar Rajawali Sakti.
"Hup!" Begitu menggenjot tubuhnya, seketika itu juga Rangga melesat cepat bagai kilat.
Begitu cepat dan sempurna ilmu meringankan tubuhnya, sehingga dalam sekejapan mata saja sudah lenyap tak terlihat lagi.
Pendekar Rajawali Sakti menghilang bagaikan tertelan bumi. Dan pada saat itu, terlihat Ki Langgu, Dewi Bulan Hitam, Dewa Pedang Emas, dan si Kipas Naga keluar dari balik sebatang pohon besar, yang sudah tumbang akibat gempuran aji 'Bayu Bajra' tadi. Mereka memandang ke arah kepergian Pendekar Rajawali Sak ti tadi. Tak ada seorang pun yang berbicara. Seakanakan mereka masih tercekam oleh peristiwa yang begitu dahsyat dan sangat mengerikan tadi di depan mata mereka.
* * *
::::↨֍¦ 8 ¦֎↨::::
Sedangkan Ki Langgu masih tetap diam, dengan pandangan lurus ke depan. Sementara Dewa Pedang Emas, dan si Kipas Naga mengedarkan pandangannya, merayapi sekelilingnya yang sudah porak-poranda akibat terkena gempuran aji kesaktian yang dikerahkan Pendekar Rajawali Sakti. Memang sungguh dahsyat aji 'Bayu Bajra' dari Pendekar Rajawali Sakti. Dan tentu saja keperkasaan pemuda berbaju rompi putih itu membuat hati mereka jadi agak bergetar juga.
"Sungguh dahsyat ilmu kesaktiannya.
Seumur hidupku, baru kali ini melihat aji kesaktian yang begitu dahsyat luar biasa," desah si Kipas Naga menggumam, seakan bicara untuk diri sendiri.
"Aku seperti pernah melihat pemuda itu...," Dewa Pedang Emas juga menggumam perlahan.
"Hm..., dia seperti.... Pendekar Rajawali Sakti...." Terdengar ragu-ragu nada suara Dewa Pedang Emas dalam gumamnya. Sedangkan pandangannya tertuju lurus tanpa berkedip pada Ki Langgu yang masih tetap diam membisu, menatap lurus ke depan. Sementara Dewi Bulan Hitam dan si Kipas Naga mengalihkan pandangan pada Dewa Pedang Emas. Mereka tampak agak terkejut mendengar gumam yang menyebutkan nama Pendekar Rajawali Sakti.
"Aku juga pernah mendengar ada seorang pendekar muda yang ciri-cirinya sama dengan anak muda itu.
Apa mungkin dia Pendekar Rajawali Sakti...?" sambung Dewi Bulan Hitam juga bernada menggumam. Sepertinya, dia tidak yakin atas ucapannya sendiri.
"Dia memang Pendekar Rajawali Sakti," ujar Ki Langgu pelan. Begitu perlahannya, sehingga hampir tidak terdengar mereka semua.
Tapi gumaman yang sangat perlahan itu sempat mengejutkan tiga tokoh persilatan yang berdiri di samping si Golok Setan.
Mereka benar-benar terkejut, karena sama sekali tidak menyangka kalau pemuda berbaju rompi putih yang tadi sempat membuat hati tercengang, adalah benar-benar Pendekar Rajawali Sakti.
Seorang pendekar muda yang sangat digdaya, dan saat ini sangat sulit dicari tandingannya.
Belum ada seorang pun yang mampu menandingi tingkat kepandaian Pendekar Rajawali Sakti. Kata-kata menggumam yang keluar dari mulut Ki Langgu tadi, tentu saja sangat mengejutkan.
Sehingga mereka semua langsung terdiam membisu.
Tak terdengar lagi pembicaraan sepatah kata pun juga.
Langsung disadari kalau mereka sedang berhadapan dengan seorang pendekar muda yang berkepandaian sangat tinggi.
Bahkan sampai saat ini belum ada tandingannya.
Dan yang barusan mereka lihat tadi, hanya salah satu dari aji kesaktian Pendekar Rajawali Sakti.
Mereka langsung merasa yakin, kalau masih banyak aji kesaktian yang dimilikinya. Dan tentunya, aji-aji kesaktian itu lebih dahsyat lagi daripada yang barusan disaksikan.
Malam sudah datang menyelimuti seluruh wilayah Desa Jalakan. Kesunyian begitu terasa di desa yang sudah hancur porak-poranda itu. Tak ada satu rumah pun yang masih tetap berdiri utuh. Bahkan rumah yang biasanya ditempati Ki Langgu pun sudah porakporanda diterjang badai topan ciptaan Pendekar Rajawali Sakti siang tadi. Di dalam ruangan depan yang berantakan, tampak Ki Langgu berdiri mematung memandang bulan dari jendela yang sengaja dibiarkan terbuka lebar.
Kejadian siang tadi membuat laki-laki tua itu tampak kelihatan gundah sekali.
Ilmu kesaktian yang diperlihatkan Rangga tadi membuatnya harus berpikir banyak untuk menghadapi pemuda berbaju rompi putih yang dikenal berjuluk Pendekar Rajawali Sakti.
Bahkan tiga orang tokoh persilatan undangannya pun tidak lagi banyak bicara.
Mereka sama-sama merasakan kegundahan hati si Golok Setan itu dalam menghadapi Pendekar Rajawali Sakti, yang sudah nyata sekali berpihak pada Ki Jambak Gora, bekas Kepala Desa Jalakan ini. Namun, Ki Jambak Gora sekarang entah berada di mana bersama para pembantunya.
Tak ada seorang pun yang tahu.
"Sebaiknya kita tinggalkan saja desa ini, Langgu. Tidak ada gunanya tetap bertahan di sini, kalau harus menghadapi Pendekar Rajawali Sakti. Pemuda itu bukan tandingan kita semua," ujar Dewa Pedang Emas, memecah kesunyian yang terjadi malam itu di antara mereka berempat.
Dan memang, tinggal mereka berempat saja yang masih tetap hidup, setelah Rangga mengerahkan aji 'Bayu Bajra' yang begitu dahsyat. Semua murid si Golok Setan itu sudah tewas, tidak mampu membendung gempuran dari aji kesaktian yang dikerahkan Pendekar Rajawali Sakti.
"Aku tidak akan meninggalkan desa ini sebelum la dang emas itu berhasil kutemukan," ujar Ki Langgu tegas.
"Tapi tidak mungkin kau bisa menemukannya, Langgu.
Sedangkan, kau tidak punya lagi kekuatan. Semua muridmu sudah tewas.
Tidak ada lagi yang tersisa hidup," kata Dewa Pedang Emas mengingatkan.
"Aku rasa, ladang emas itu tidak ada, Langgu. Aku tidak melihat tanda-tanda adanya sebuah ladang di desa ini, seperti yang kau katakan," sambung si Kipas Naga. Ki Langgu memutar tubuhnya, menghadapi tiga orang sahabatnya. Perlahan saku jubahnya yang panjang dirogoh. Dan dari saku jubah itu dikeluarkan sebuah bungkusan kain hitam. Dari bungkusan itu, tampak sebongkah batu berwarna kuning yang memancarkan cahaya kemilau. Bukan hanya Dewa Pedang Emas saja yang terbeliak setengah tidak percaya.
Tapi juga Dewi Bulan Hitam dan si Kipas Naga jadi terbeliak lebar, melihat bongkahan emas sebesar kepalan tangan di atas telapak tangan Ki Langgu.
Mereka jadi tidak berkedip memandangi bongkahan emas yang berkilauan memancarkan cahaya menakjubkan itu.
"Di mana kau temukan itu, Langgu?" tanya Dewa Pedang Emas, yang memang sangat menyukai benda bernama emas itu.
"Aku tidak akan sampai menjarah ke sini, kalau tidak karena benda berharga ini.
Kalian tahu, aku menemukannya di Desa Jalakan ini. Dan aku yakin, desa ini memiliki ladang emas yang tidak ternilai," tegas Ki Langgu bersemangat.
"Kau yakin itu, Langgu?" tanya Dewa Pedang Emas semakin berbinar bola matanya.
"Ya, aku yakin!" sahut Ki Langgu mantap.
"Tapi, apa kau sudah menemukan ladangnya?" tanya Dewi Bulan Hitam, langsung tertarik akan bongkahan emas yang diperlihatkan Ki Langgu. Ki Langgu hanya menggelengkan kepala saja.
Kembali disimpannya bongkahan emas itu ke dalam saku jubahnya yang panjang dan berwarna biru. Kembali tubuhnya . diputar, memandang keluar melalui jendela yang terbuka lebar. Sementara, Dewa Pedang Emas, Dewi Bulan Hitam, dan si Kipas Naga terus memandangi dengan sinar wajah memancarkan satu harapan setelah melihat bongkahan emas sebesar kepalan tangan itu tadi.
"Sampai saat itu, aku belum berhasil menemukan ladang emas itu.
Padahal, sudah setiap jengkal daerah Desa Jalakan ini diperiksa.
Tapi aku belum juga bisa menemukan ladang emas itu," kata Ki Langgu agak perlahan nada suaranya.
"Tapi aku yakin, pasti berhasil kutemukan...!"
"Kau tidak akan mendapatkannya, Langgu...!"
"Heh...?!" Ki Langgu jadi terkejut setengah mati, begitu tibatiba saja terdengar suara keras menggema. Bahkan tiga orang tokoh persilatan undangannya pun jadi terlonjak kaget.
Seperti ada yang memberi perintah saja, mereka langsung berlompatan keluar melalui jendela juga begitu Ki Langgu cepat melompat keluar melalui jendela itu. Sebentar saja, mereka sudah berada di luar rumah besar yang sudah kelihatan porak-poranda itu.
* * *
Tak lama kemudian, muncul seorang gadis cantik berbaju biru muda.
Mereka langsung mengenali, kalau gadis itulah yang bersama-sama Pendekar Rajawali Sakti tadi. Dan memang, gadis cantik berbaju biru itu adalah Pandan Wangi yang lebih dikenal berjuluk si Kipas Maut.
Pandan Wangi menempatkan diri, begitu dekat di samping kanan Ki Jambak Gora. Pandangannya lurus tak berkedip, pada Ki Langgu yang selalu didampingi tiga orang tokoh persilatan sahabatnya. Mereka samasama menyadari akan tingkat kepandaian masingmasing.
Hingga, mereka harus bertindak hati-hati.
Kesalahan sedikit saja, bisa berakibat parah bagi diri sendiri.
"Masih ada waktu untuk angkat kaki dari desa ini, Golok Setan," terdengar begitu dingin nada suara Ki Jambak Gora.
"Phuih! Kau tidak bisa menggertak ku, Jambak Gora.
Menyesal aku tidak langsung membunuhmu, dan semua penduduk desa ini!" dengus Ki Langgu, sengit.
"Kedatanganmu ke sini hanya sia-sia saja, Langgu. Tidak ada yang bisa kau dapatkan di sini.
Sebaiknya segeralah angkat kaki, sebelum menyesal nantinya," tegas Ki Jambak Gora lagi.
"Hm, kita memang satu darah walaupun lain ibu.
Tapi, itu tidak membuatku harus mundur dari sini.
Kau tahu, desa ini sebenarnya mempunyai ladang emas. Tapi karena kebodohanmu, penduduk desa ini tidak bisa menikmatinya. Jadi, apa salahnya. kalau desa ini kurebut?" kata Ki Langgu, enteng.
"Matamu memang sudah tertutup harta, hingga ber tahun-tahun ayah mendidikmu untuk menjadi kesatria pembela kebenaran, ternyata kau sudah menjadi pencipta keangkaramurkaan.
Aku malu pada penduduk desa ini, sehingga aku terpaksa mengalah dengan terusir dari sini.
Ku relakan desa ini kau kuasai, tapi nyatanya kau tetap mengingkari janji," kata Ki Jambak Gora.
"Dia yang mengganggu kehidupanku!" sergah Ki Langgu.
"Dia tidak akan mengganggu bila kau mau mengembalikan surat wasiat miliknya yang diberikan ayah kita!" sentak Ki Jambak Gora.
"Itu sama saja mengembalikan seluruh tanah desa ini kepadamu, Jambak!"
"Dan itu berarti kita memang harus berperang!" Baru jelas sekarang, mengapa Ki Langgu tidak menginginkan kematian Sutiningsih lebih awal.
Hal ini karena, Sutiningsih masih keponakannya juga. Biar bagaimanapun, dia harus bisa menghindari agar Sutiningsih tidak sampai terbunuh.
Apalagi untuk mengganggunya. Tapi kenyataannya menjadi lain. Sebagai pewaris Desa Jalakan, yang merupakan wasiat orang tua Ki Langgu dan Ki Jambak Naga, Sutiningsih memang berhak atas tanah desa itu. Apalagi, Ki Jambak Gora telah memerintah semuanya pada anak perempuan itu. Jadi, betapa menyesalnya Ki Langgu, karena tidak menangkap dan membunuh gadis itu. Tapi semuanya sudah terlambat. Sutiningsih telah tahu semuanya.
Maka, kemarahan Ki Langgu makin berkobar saja.
"Setan...! Hiyaaat...! Ki Langgu benar-benar berang, karena terusmenerus mendapat tekanan dan ancaman kata-kata Ki Jambak Gora. Maka sambil berteriak keras menggele gar, dia melompat cepat bagai kilat sambil mengebutkan goloknya yang sudah terhunus di tangan kanan.
Cepat sekali kebutan goloknya yang mengarah ke kepala.
Namun hanya sedikit saja Ki Jambak Gora menarik kepala ke belakang, tebasan golok itu hanya lewat sedikit di depan wajahnya.
"Hiyaaa...!" Pada saat yang bersamaan, Dewi Bulan Hitam melompat cepat menyerang Pandang Wangi. Sementara, Dewa Pedang Emas dan si Kipas Naga yang baru saja hendak bergerak membantu Ki Langgu menyerang Ki Jambak Gora, jadi terhalang langkahnya. Karena tibatiba saja, sebuah bayangan putih berkelebat cepat. Dan tahu-tahu, di depan mereka sudah berdiri seorang pemuda tampan berbaju rompi putih. Tampak gagang pedangnya yang berbentuk kepala burung, menyembul dari punggungnya.
"Pendekar Rajawali Sakti...," desis Dewa Pedang Emas dan Kipas Naga berbarengan.
Belum juga hilang rasa keterkejutan mereka atas munculnya Rangga yang begitu tiba-tiba, kembali mereka dikejutkan suara-suara gegap gempita memasuki Desa Jalakan ini.
Teriakan-teriakan yang gegap gempita itu semakin terdengar keras, bagai hendak mengguncangkan bumi Desa Jalakan ini. Bukan hanya Dewa Pedang Emas dan si Kipas Naga saja yang terkejut.
Bahkan Ki Langgu dan Dewi Bulan Hitam hampir terlonjak, begitu mengetahui para penduduk Desa Jalakan yang selama ini menghilang sekarang berdatangan kembali. Mereka dipimpin oleh seorang gadis cantik bertubuh kecil mungil yang mengenakan baju warna putih bersih agak ketat. Gadis itu adalah Sutiningsih, putri Ki Jambak Gora, yang beberapa waktu lalu sempat membuat Ki Langgu jadi kela bakan menghadapinya.
"Bagaimana, Pedang Emas...?" bisik si Kipas Naga
"Aku tidak sudi mati sia-sia di sini," sahut Dewa Pedang Emas juga berbisik.
"Lalu...?" Dewa Pedang Emas tidak menjawab dengan katakata lagi. Dan tanpa mengeluarkan satu patah kata pun, dia langsung melesat cepat meninggalkan tempat itu. Si Kipas Naga pun tidak sudi mati konyol secara sia-sia begitu saja. Tanpa menghiraukan Ki Langgu dan Dewi Bulan Hitam yang masih bertarung dengan lawan masing-masing, dan langsung melesat pergi. Sedangkan Rangga yang menghadang mereka, sama sekali tidak berusaha mengejar.
Pendekar Rajawali Sakti hanya tersenyum saja memandangi kepergian Dewa Pedang Emas dan si Kipas Naga dari Desa Jalakan ini.
"Edan...! Mereka semua pergi...," desis Dewi Bulan Hitam, langsung bisa mengetahui kepergian Dewa Pedang Emas dan si Kipas Naga. Dewi Bulan Hitam sudah begitu kewalahan menghadapi serangan-serangan gencar yang dilancarkan Pandan Wangi.
Beberapa kali ujung kipas yang berbentuk runcing di tangan Pandan Wangi hampir merobek kulit tubuhnya.
Namun sampai saat ini, Dewi Bulan Hitam masih mampu bertahan.
Tubuhnya terpaksa harus berjumpalitan menghindari setiap serangan yang datang dari gadis yang berjuluk si Kipas Maut itu.
Sementara di lain tempat, Ki Jambak Gora masih terus bertarung sengit menghadapi Ki Langgu yang dijuluki si Golok Setan itu. Dan tampaknya, Ki Langgu memang tidak mempunyai pilihan lain lagi. Dia harus bertarung mempertahankan diri menghadapi laki-laki tua berjubah putih yang tadinya menjadi Kepala Desa Jalakan ini. Meskipun tahu kalau sangat kecil ke mungkinannya untuk bisa selamat dan keluar dari tempat ini, namun semua itu harus di hadapinya.
* * *
Tampak Pandan Wangi melenting ke udara sambil mengebutkan kipas mautnya beberapa kali. Dan cepat sekali, gadis itu meluruk deras sambil mencabut pedangnya yang tersampir di punggung. Sret! "Yeaaah.,.!"
Bet! Secepat kilat pula Pandan Wangi mengebutkan pedangnya ke arah dada Dewi Bulan Hitam, begitu kakinya menjejak tanah.
Begitu cepat serangannya, sehingga membuat Dewi Bulan Hitam jadi terperangah dengan kedua mata terbeliak lebar dan mulut ternganga.
Namun, begitu ujung pedang berwarna hitam yang tergenggam erat di tangan Pandan Wangi hampir merobek dada, cepat sekali Dewi Bulan Hitam mengebutkan satu tongkat pendeknya di tangan kiri ke depan dada.
"Hait...!" Trang! Bunga api langsung memercik begitu dua senjata beradu keras di depan dada Dewi Bulan Hitam.
Dan pada saat yang bersamaan, tangan kiri Pandan Wangi bergerak mengibas ke depan, sambil membuka kipas mautnya. Cepat sekali gerakan tangan kiri gadis berbaju biru muda itu, sehingga Dewi Bulan Hitam tidak sempat lagi berkelit. Dan....
Bret!
"Aaakh...!" Dewi Bulan Hitam menjerit keras agak tertahan begitu ujung kipas Pandan Wangi merobek perutnya.
Darah langsung mengucur keluar deras sekali.
Dewi Bulan Hitam terhuyung-huyung sambil mendekap perutnya yang robek mengucurkan darah.
Dan pada saat itu, Pandan Wangi sudah melompat cepat sambil berteriak keras.
Pedangnya langsung dikebutkan ke arah leher wanita berbaju serba hitam yang sedang terhuyung-huyung itu.
"Hiaaat...!"
Bet!
Cras!
"Aaa...!" Satu jeritan panjang melengking tinggi terdengar menyayat sekali, ketika pedang di tangan kanan Pandan Wangi membabat leher Dewi Bulan Hitam.
Dan bersamaan berputarnya tubuh Pandan Wangi ke belakang, tampak Dewi Bulan Hitam jadi limbung. Lalu begitu kaki Pandan Wangi menjejak tanah, Dewi Bulan Hitam langsung ambruk ke tanah dengan kepala terpisah dari leher.
Darah seketika itu juga muncrat keluar dari leher yang buntung.
Hanya sebentar saja Dewi Bulan Hitam masih mampu berkelojot, sesaat kemudian sudah diam tak bergerak-gerak lagi. Sementara itu di tempat lain, pertarungan antara Ki Langgu dan Ki Jambak Gora masih terus berlangsung. Tampak jelas kalau Ki Langgu sudah berhasil mendesak hebat Ki Jambak Gora. Beberapa kali Ki Jambak Gora terpaksa harus membanting tubuhnya, bergulingan di tanah menghindari tebasan-tebasan golok berukuran besar di tangan Ki Langgu.
"Hiyaaa...!"
Bet! Bagaikan kilat, Ki Langgu mengebutkan golok yang berukuran besar itu ke arah dada Ki Jambak Gora.
Namun dengan sedikit menarik tubuhnya ke belakang, tebasan golok itu berhasil dihindari. Dan pada saat yang bersamaan, tanpa diduga sama sekali Ki Langgu melepaskan satu tendangan keras menggeledek ke arah perut Ki Jambak Gora. Begitu cepat tendangannya, sehingga Ki Jambak Gora tidak sempat lagi berkelit menghindar.
Dan.... Des!
"Ugkh...!" Ki Jambak Gora langsung terhuyung-huyung ke belakang, dengan tubuh terbungkuk.
Pada saat itu juga, Ki Langgu melompat cepat sambil menebaskan golok berukuran besar itu ke arah leher yang sudah tidak terlindung.
Tapi sedikit lagi mata golok yang berkilat menyentuh kulit leher Ki Jambak Gora, mendadak saja...
Tring!
"Heh...?!" Ki Langgu jadi terkejut setengah mati, begitu tibatiba sebuah bayangan putih menepak goloknya dengan keras sekali. Hampir saja golok itu terlepas dari genggamannya, kalau saja tubuhnya tidak cepat-cepat melenting ke belakang.
Ki Langgu jadi mendesis geram, begitu melihat Rangga tahu-tahu sudah berdiri melindungi Ki Jambak Gora.
"Setan keparat...! Kubunuh kau, Bocah Edan! Hiyaaat...!" Kemarahan Ki Langgu memang tidak bisa lagi terbendung. Sedangkan Rangga sendiri sudah muak melihat tingkah laki-laki berjubah biru itu. Dia tetap berdiri tegak menanti datangnya serangan si Golok Setan itu. Dan begitu Ki Langgu mengebutkan goloknya cepat ke arah dada, secepat kilat pula Rangga merapatkan kedua telapak tangannya ke depan dada. Hingga....
Tap!
"Ukh...!" Cepat-cepat Ki Langgu menarik goloknya yang tahutahu sudah terjepit di kedua telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti itu. Tapi pada saat itu pula, Rangga menghentakkan tangannya ke depan. Dan sambil membungkukkan tubuhnya sedikit, tangan kanannya dikebutkan ke arah perut si Golok Setan itu. Begitu cepat sekali gerakan yang dilakukan Rangga, sehingga Ki Langgu yang memang sedang terkejut akibat sentakan pada goloknya tadi, tidak sempat lagi menghindari.
"Hiyaaa...!"
Bret!
"Aaa...!" Jeritan panjang melengking tinggi terdengar keras dan menyayat. Jari-jari tangan Rangga yang meregang kaku cepat sekali merobek perut Ki Langgu hingga seluruh isi perutnya terburai.
Memang sungguh dahsyat jurus 'Cakar Rajawali' yang dikeluarkan Rangga barusan. Ki Langgu jadi terhuyung-huyung sambil mendekap perutnya yang robek cukup besar, sampai ususnya terburai.
Darah mengucur deras dari perutnya yang sobek.
Sementara itu, Rangga berdiri tegak dengan sorot mata tajam sekali memandangi Ki Langgu yang masih terhuyung-huyung ke belakang, sambil memegangi perutnya.
"Hiyaaat...!" Tiba-tiba saja terdengar teriakan panjang melengking tinggi. Dan belum lagi teriakan itu menghilang dari pendengaran, tahu-tahu berkelebat sebuah bayangan putih yang begitu cepat melewati atas kepala Pendekar Rajawali Sakti. Bayangan putih itu langsung meluruk deras ke arah Ki Langgu. Begitu cepatnya, sehingga sukar untuk diikuti pandangan mata biasa. Rangga sendiri jadi terkejut, dan tidak sempat lagi bertindak mencegah. Karena....
"Aaa...!" Ki Langgu sudah menjerit keras melengking, lalu ambruk menggelepar di tanah dengan dada sobek dan leher terkoyak hampir buntung. Darah mengucur deras dari dada, perut, dan lehernya yang terkoyak.
Dan tidak jauh dari tubuh Ki Langgu, terlihat Sutiningsih berdiri tegak dengan pedang berlumur darah tergenggam di tangan kanan.
Sementara itu, Ki Langgu hanya sebentar saja menggelepar meregang nyawa, kemudian diam kaku tak bergerak-gerak lagi. Kematian Ki Langgu langsung disambut gegap gempita seluruh penduduk yang sudah memadati tempat ini. Mereka semua memang datang bersama Sutiningsih dan Jaka Umbaran, yang sudah berdiri di samping ayahnya, Ki Jambak Gora. Sementara Sutiningsih menghampiri laki-laki tua berjubah putih itu, Rangga kini melangkah mendekati Pandan Wangi.
"Ayo kita pergi dari sini, Pandan," ajak Rangga.
Pandan Wangi hanya menganggukkan kepala saja.
Kemudian kakinya terayun, mengikuti langkah kaki Pendekar Rajawali Sakti. Tak ada seorang pun yang sempat memperhatikan kepergian kedua pendekar muda itu. Bahkan Ki Jambak Gora dan kedua anaknya juga tidak sempat lagi memperhatikan. Karena terlalu larut dalam kegembiraan, karena berhasil membebaskan Desa Jalakan dari cengkeraman tangan si Golok Setan dan teman-temannya.
Namun di balik itu, Ki Jambak Gora dan kedua anaknya sebenarnya merasa terpukul oleh kematian Ki Langgu. Karena biar seburuk-buruknya Ki Langgu, tetap saja masih ada hubungan darah dengan mereka. Ki Langgu memang adik tiri Ki Jambak Gora, dan berarti paman Sutiningsih dan Jaka Umbaran.
Namun biar bagaimanapun juga, keadilan memang harus ditegakkan, tanpa memandang saudara.
Buat Jaka Umbaran dan Sutiningsih, mereka baru tahu kalau sebenarnya Ki Langgu adalah paman mereka juga.
Hal itu diceritakan Ki Jambak Gora ketika kembali ke pengasingan setelah mengadakan serangan bersama pemudapemuda asuhannya ke rumah Ki Langgu.
Setelah hati anak-anaknya mantap, barulah dia dan Pandan Wangi pergi ke rumah Ki Langgu kembali untuk melaksanakan rencananya.
Merebut kembali Desa Jalakan.
SELESAI
INDEX PENDEKAR RAJAWALI SAKTI | |
Kumbang Bukit Lontar --oo0oo-- Korban Ratu Pelangi |