Life is journey not a destinantion ...

Dewa Iblis

INDEX PENDEKAR RAJAWALI SAKTI
Sang Penakluk --oo0oo-- Dendam Rara Anting



RANGGA PATI
Pendekar Rajawali Sakti
Karya: Teguh .S
EP:DEWA IBLIS

Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Gambar sampul oleh Tony G.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa ijin tertulis dari penerbit


::::↨֍¦ ① ¦֎↨::::

Dua ekor kuda berpacu cepat melintasi padang rumput yang sangatluas bagai tak bertepi. Penunggangkuda itu seorang laki-laki muda tampan. Rambutnya panjang meriap agaktergelung ke atas. Bajunya rompiputih, dan pedangnya yang bergagangkepala burung menyembul dari balikpunggungnya. Pemuda itu menunggangkuda berwarna hitam kelam yang tinggi dan tegap berotot.
Sedangkan penunggang kuda satunyalagi adalah seorang gadis cantik, mengenakan baju ketat berwarna birulangit. Begitu ketatnya, sehingga memetakan bentuk tubuhnya yang rampingdan indah. Sebilah pedang bergagangkepala naga tersandang di punggungnya.
Kudanya berwarna putih bersih, tanpabelang sedikit pun. Kedua ekor kudaitu digebah cepat bagai kesetanan melintasi padang rumput luas di KakiGunung Jaran.
Dua ekor kuda itu terus berpacucepat menuju sebuah bukit yangditumbuhi pepohonan cukup lebat. Bukititu sudah terlihat, namun masih cukupjauh untuk mencapainya. Sementara sangsurya semakin terik dengan sinarnyayang panas membakar. Dua penunggang kuda itu berpacu cepat meninggalkankepulan debu yang membumbung tinggi ke udara. Tapi tiba-tiba saja....
Swing...!
“Awas...!” seru penunggang kuda hitam tiba-tiba.
“Hap!”Tring!Tepat ketika sebuah benda sepanjang jengkal tangan meluncur kearah wanita berbaju biru itu, dengancepat dicabut sebuah senjata yangterselip di pinggangnya. Seketikadikebutkannya untuk menyampok bendasepanjang jengkal tangan itu.
“Hup!”
“Yap...!”Kedua penunggang kuda itu berlompatan turun dari punggung kudamasing-masing. Mereka mengedarkanpandangannya ke sekeliling. Memang takada tanda-tanda kehidupan di sekitarpadang rumput ini. Pandangan merekakemudian tertuju pada sebuah bendaseperti ranting berwarna biru tua yangmenancap di tanah. Ada bulu-bulu haluspada ujung yang menyembul ke permukaantanah. Pemuda berbaju rompi putihmenghampiri dan mencabut benda itu.
“Mata sumpit...,” gumamnya pelanseraya memperhatikan benda ditangannya.
Bentuk benda itu hanya sepanjangjengkal tangan, bulat dan panjangdengan bulu-bulu halus pada ujungnya.
Sedangkan satu ujung lainnya begitu runcing berkilat. Benda itu adalahmata sumpit yang biasa digunakan parapemburu kelinci atau binatang-binatangkecil lainnya. Biasanya benda iniberacun, tapi tidak berbahaya bagimanusia.
“Apa itu, Kakang?” tanya gadisberbaju biru seraya menghampiri.
“Mata sumpit,” sahut pemudaberbaju rompi putih seraya memberikanmata sumpit berwarna biru itu.
“Mungkin ada pemburu kelinci disekitar sini, Kakang,” kata gadis itusetengah bergumam.
“Mungkin.... Tapi tidak adaperkampungan di sekitar Gunung Jaran ini.”
“Atau...,” suara gadis itu terputus seketika, dan, ...
“AwasKakang...!”
“Hap!”Cepat sekali pemuda itumengibaskan tangannya ke samping, tepat ketika sebuah benda birumeluncur deras ke arahnya. Ternyatabenda itu sama dengan yang pertama.
Kedua anak muda itu menjadi semakinwaspada. Jelas kalau mata sumpit inibukan dari seorang pemburu yangmeleset sasarannya. Tapi lebih beratditujukan pada mereka berdua.
“Hati-hati, Pandan. Rupanya adaorang yang tidak suka atas kehadiran kita di sini,” bisik pemuda berbaju rompi putih itu.
“Baik,” sahut gadis itu yang dipanggil Pandan. Dia memang PandanWangi, yang berjuluk si Kipas Maut.
Sedangkan pemuda berbaju rompiputih itu tidak lain dari Rangga , Pendekar Rajawali Sakti. Merekakembali mengedarkan pandangannya kesekeliling, menatap tajam tanpaberkedip. Tapi tak ada satu tandatanda adanyakehidupan disekitar tempatini. Bahkan tak terdengar sedikit pun suara-suaramencurigakan. Jugagerakgerakrerumputan begitusempurna tersapuangin.
Tapi tiba-tiba saja....
“Auh...!” Pandan Wangi terpekik.
Sukar dipercaya! Mendadak saja dari dalam tanah menyembul sebuahtangan yang langsung mencekal kakigadis itu, dan berusaha menariknya kedalam. Maka kaki Pandan Wangi langsungmelesak ke dalam tanah sampai kebetis.
“Kakang..., tolong!” seru PandanWangi terkejut.
“Tahan, Pandan! Hup...! Hiyaaa...!” Cepat sekali Rangga bertindak.
Pendekar Rajawali Sakti itu langsungmelompat ke samping Pandan Wangi, lalumenghantamkan satu pukulan keras ke dalam tanah, tepat di depan kaki gadis berbaju biru itu. Kemudian dengancepat pula Rangga melompat sambilmeraih pinggang Pandan Wangi.
Dua kali mereka berputaran diudara sebelum mendarat manis di tanahberumput. Tampak wajah si Kipas Mautbegitu pucat. Sedangkan Rangga mengedarkan pandangannya berkelilingmerayapi rerumputan di sekitarnya.
“Sebaiknya kita segera pergi darisini, Kakang,” usul Pandan Wangi, agakbergetar suaranya.
“Naiklah ke kudamu, Pandan,” ujarRangga pelan.
Tanpa menunggu perintah dua kali, Pandan Wangi langsung melentingkan tubuhnya , dan hinggap di punggungkudanya. Wajahnya masih kelihatanpucat. Sungguh hatinya masih diliputiketerkejutan akibat kakinya tertarikke dalam tanah. Sedangkan Rangga pelahan-lahan menggeser kakinyamendekati Dewa Bayu di samping kudaputih yang ditunggangi si Kipas Maut.
“Cepat, Kakang...,” desis PandanWangi.
“Baik! Hup...!”Begitu Rangga berada di punggungkudanya, langsung menggebah kuda hitamitu agar berlari kencang. Pandan Wangisegera memacu kudanya dengan kecepatantinggi. Dua ekor kuda kembali berpacumendekati Gunung Jaran yang menjulang tinggi tertutup kabut pada bagian puncaknya. Kuda-kuda itu berpacubagaikan berada di atas angin. Jelassekali kalau kuda putih yangditunggangi Pandan Wangi sukar untukmenyusul kuda hitam yang bernama DewaBayu.
“Kakang, tunggu...!” teriakPandan Wangi keras.
Rangga menoleh , dan langsungmemperlambat laju kudanya. Cukup jauhjuga Pandan Wangi tertinggal dibelakang. Maka gadis itu harus memacukudanya dengan kecepatan tinggi agarsampai di samping Pendekar RajawaliSakti. Rangga kembali menggebah DewaBayu setelah Pandan Wangi berada di sampingnya. Mereka berkudaberdampingan. Jelas kalau Rangga mengimbangi lari kuda putih yangtampak kewalahan mengikuti lari kudahitam yang bukan kuda sembarangan itu.

*
* *

“Hooop...!”Rangga menghentikan lari kudanya begitu tiba di tepi hutan Kaki GunungJaran. Pandan Wangi mengikuti, danlangsung melompat turun dari punggungkudanya begitu melihat Rangga sudah turun dari punggung kudanya sendiri.
Mereka berdiri berdampingan memandangke padang rumput yang begitu luas bagai tak bertepi di depan sana.
“Apa sebenarnya yang terjadi, Kakang?” tanya Pandan Wangi.
“Entahlah. Aku hanya melihatsebuah tangan menyembul dari dalamtanah dan menarik kakimu ke dalam,”sahut Rangga tanpa berpaling.
Kalau saja Pendekar RajawaliSakti itu berpaling, tentu akanmelihat perubahan wajah Pandan Wangiyang begitu cepat memerah bagaikepiting rebus. Sebentar kemudianwajah itu berubah memucat. Tampakgadis itu bergidik sedikit, membayangkan sebuah tangan menyembuldari dalam tanah dan mencengkeramkakinya.
“Kau tidak main-main, Kakang...?”terdengar bergetar suara Pandan Wangi.
“Kenapa?” tanya Rangga serayamemalingkan mukanya.
Agak terkejut juga PendekarRajawali Sakti itu saat melihat wajahPandan Wangi begitu pucat dan tubuhnya gemetar seperti menggigil kedinginan.
“Kau kenapa, Pandan?” tanyaRangga .
“Oh...! Ah, tidak. Tidak apaapa,” sahutPandan Wangiburu-buru memalingkan mukanya ke arahlain.
“Wajahmu pucat.
Sakit...?” “Tidak, Kakang.
Aku hanya..., hanya.... Ah, sudah lah,” sahut PandanWangi tidak bisa menyembunyikan kegugupannya.
“Kau takut, Pandan?” tanya Rangga tidak percaya.
Pandan Wangi tidak langsungmenjawab. Memang gadis itu sendiritidak tahu, kenapa tiba-tiba sajamempunyai perasaan yang belum pernahdirasakannya. Dia tidak tahu, apakahtakut atau hanya terkejut saja dengankejadian tadi yang begitu tiba-tibadan sulit dimengerti ini. SementaraRangga terus memperhatikan. PendekarRajawali Sakti itu tidak percaya kalauPandan Wangi jadi ketakutan setelahmenceritakan peristiwanya.
“Sebaiknya kita teruskan sajaperjalanan ini, Kakang,” kata Pandan Wangi pelan.
“sudah sore, Pandan. Sebentar lagi malam akan menjelang. Aku tidaktahu seberapa luasnya hutan ini. Danlagi aku begitu yakin kalau di hutanini tidak ada satu rumah pun yang bisadisinggahi,” jelas Rangga serayamengedarkan pandangannya kesekeliling.
“Jadi..., kita bermalam di sini?”kembali bergetar suara Pandan Wangi.
“Iya, kenapa...?” Rangga semakinheran saja melihat sikap Pandan Wangiyang tidak seperti biasanya.
“Tidak apa-apa, Kakang. Hanyasaja...,” Pandan Wangi tidakmelanjutkan ucapannya.
Rangga ingin bertanya lagi, tapi melihat wajah yang pucat begitu, segera diurungkan niatnya. PendekarRajawali Sakti itu melangkah danmemunguti ranting-ranting kering yangbanyak tersebar di sekitar tempat ini.
Dan tentu saja untuk dijadikan apiunggun. Ditumpuknya ranting itu dibawah pohon dekat sebuah batu besaryang seperti seekor kerbau berkubangdi dalam lumpur. Sedangkan PandanWangi masih berdiri saja memandang kearah padang rumput yang barudilewatinya tadi.
“Pandan, kau punya pemantik api?”tanya Rangga .
“Ada, di pelana kudaku,” sahut Pandan Wangi tanpa berpaling.
Rangga memandangi gadis itu sejenak, kemudian menghampiri kudaputih dan membuka kantung pelana kudaitu. Diambilnya pemantik api yangterbuat dari batu api berwarna putihbagai batu pualam. Kemudian pemudaberbaju rompi putih itu kembali dudukdi dekat tumpukan ranting kering.
Sementara senja semakin merayap turun.
Keadaan di tepian Hutan Gunung Jaranini semakin terasa suram. Angin mulaiberhembus menyebarkan hawa dingin.
Tidak lama lagi malam akanmenggantikan tugas sang mentari yangsepanjang hari telah menyinaripermukaan belahan bumi ini.
Dengan pemantik api itu, Rangga membuat api unggun. Disimpannyakembali pemantik api itu di dalam sakupelana kuda putih milik si Kipas Maut.
Kemudian Pendekar Rajawali Saktimembaringkan tubuhnya tidak jauh dariapi yang berkobar melahap rantingkering. Agar tidak merambat, Rangga menghalanginya dengan batu-batu yangdibuat melingkar seperti cincin.
Diperhatikannya Pandan Wangi yangmasih saja berdiri memandang padangrumput yang mulai kelihatan gelap.
“Kau tidak pegal berdiri terusbegitu, Pandan...?” tegur Rangga seraya beringsut dan duduk bersandarpada batu sebesar badan kerbau.
Pandan Wangi menoleh danmenghampiri, lalu duduk di sampingRangga agak ke depan. Namunpandangannya kembali tertuju ke arahpadang rumput yang terlihat jelas daritempat ini“Ada apa, Pandan? Kau melihatsesuatu di sana?” tanya Rangga serayamenggeser tubuhnya mendekati gadisitu.
“Ah, tidak,” sahut Pandan Wangiagak mendesah.
“Seharusnya tadi tidak perlukuceritakan,” desah Rangga pelanbernada menyesal.
Pandan Wangi memalingkan mukanya, memandang wajah tampan di sampingnya.
Diambilnya tangan Pendekar Rajawali Sakti itu dan didekapnya hangathangat. Rangga juga memandangwajah cantik yang matanya bersinarbening bagai sejutabintang bertaburandi langit kelam. Beberapa saatlamanya mereka terdiam, hanya salingpandang saja.
“Kau cantik sekali, Pandan,” desahRangga .
“Ih genit, ah!” dengus Pandan Wangi serayamendorong dadaRangga yang mulaimendekat. Tapi dengancepat Rangga menangkap tangan gadis itu, lalu menggenggamnyakuat-kuat. Kemudian PendekarRajawali Saktimenariknya, hingga gadis itu jatuh terjerembabdalam pelukannya. Pandan Wangi memekikkecil. Namun belum juga sempatmenolakkan pelukan pemuda tampan itu, bibirnya sudah lebih cepat disumpaloleh bibir Rangga .
“Ebf...! Hm....”Pandan Wangi mencoba merontamelepaskan diri, tapi itu hanyasebentar saja. Kemudian dibalasnyapagutan Rangga dengan hangat dan penuhrasa cinta yang membara. Lenyap sudah semua bayangan peristiwa yang hampirmembuatnya mati kaku sore tadi. Yangada sekarang hanya kehangatan dankemesraan yang menggelora dalam dada.
“Aoh...!” Pandan Wangi menggeliatkan tubuh-nya saat jari-jari tangan Rangga mulainakal menggerayangi tubuhnya . Gadisitu mendorong dada pemuda itu, dancepat-cepat menggeser menjauh. Padasaat itu, tiba-tiba saja sebuah bendabiru melesat ke arah mereka, danmenancap tepat di batu di antara keduaanak muda itu. Rangga dan Pandan Wangiterkejut bukan main, dan langsungmelompat bangkit berdiri. Di batusebesar kerbau itu tertancap sebuahmata sumpit berwarna biru dengan bulubulu halus pada bagianpangkalnya.  

*
* *

Malam ini begitu gelap. Langit menghitam tersaput awan tebal, membuatcahaya bulan sukar menembus untukmenerangi permukaan bumi. Rangga menemui kesulitan untuk mencari sumberdatangnya mata sumpit biru itu, karenasekelilingnya begitu pekat. Hanyakeredupan api unggun saja menerangisekitarnya dalam jangkauan yang tidakseberapa jauh.
Pandan Wangi menggeser kakinyamendekati Rangga . Gadis itu sudah menggenggam kipas baja putih yangmasih tertutup. Itulah salah satusenjata yang menjadikan dirinyaterkenal berjuluk si Kipas Maut. Takada yang membuka suara, masing-masing diliputi suasana tegang. Terlebih lagi Pandan Wangi. Belum pernah dirasakanketegangan seperti ini. Sampai-sampaidadanya terasa sesak, bagai dihimpitsebongkah batu sebesar gunung.
“Kakang...,” belum lagi selesaiucapan Pandan Wangi, mendadak sajakembali melesat sebuah mata sumpitdari arah samping kiri.
Secepat kilat Pandan Wangimengibaskan kipasnya yang langsungterbuka lebar. Kipas itu menyampokmata sumpit berwarna biru tua.
Tring!Pandan Wangi melompat dua tindakke belakang. Bibirnya meringismerasakan getaran pada pergelangan tangannya. Kalau saja tadi tidakdikerahkan tenaga dalam, kipas bajaputihnya pasti terpental jauh ketikaberbenturan dengan mata sumpit biru.
Belum juga Pandan Wangi sempatberpikir jauh, kembali dua buah matasumpit meluncur ke arahnya dari arahyang berlawanan. Si Kipas Maut itucepat-cepat memutar tubuhnya sambilmengebutkan kipas disertai pengerahantenaga dalam penuh. Dua kali terdengardentingan senjata beradu. Dan matasumpit itu terpental menancap cukupdalam di sebuah batang pohon. Buruburu gadisitu melompatmendekati Rangga .
“Kakang..., tampaknya tempatinisudah terkepung,” ujar Pandan Wangi setengah berbisik.
Belum lagi Rangga menyahuti, terdengar suara tawa terbahak-bahak.
Suara tawa itu menggema seolah-olahdatang dari segala penjuru mata angin.
Rangga menggumam, dan langsungmerasakan kalau suara tawa itudikeluarkan lewat pengerahan tenagadalam tinggi, memang sukar untukmencari arahnya.
“Ha ha ha...! Kau cukup cerdikuntuk menebak, Pandan Wangi...!”Belum hilang suara itu, mendadakmuncul seorang laki-laki tua bertubuhbungkuk mengenakan baju panjangberwarna biru gelap yang sudah kusam.
Tangannya menggenggam sebatang tongkatyang ujungnya berbentuk kepalatengkorak manusia. Tongkat ituberkeluk tujuh, dan ujung bagian bawahberbentuk runcing bagai sebuah kerisraksasa. Laki-laki tua itu munculbagaikan dari dalam tanah. Tidak dapatdiketahui, dari mana datangnyaPandan Wangi menggeser kakinyalebih mendekat ke belakang PendekarRajawali Sakti. Sedangkan laki-lakitua bertongkat tengkorak manusia ituterkekeh, sambil menatap tajam ke arahmereka. Begitu tajam tatapan matanya, sehingga seperti sepasang bola apitertuju langsung ke arah Pandan Wangi.
Sedikit pun tidak dipedulikannya keberadaan Rangga di tempat itu.
“sudah cukup lama aku bersabarmenunggumu, Pandan Wangi,” kata lakilaki tuaitu.
“Kisanak, apamaksudmu berkata begitu? Akutidakkenaldenganmu!” bentak Pandan Wangiketus.
“He he he.... sudah kuduga, kau pasti akanberkatabegitu, Pandan. Tapi kau tidakakan bisa larilagi. Kauberadadiwilayahkekuasaanku sekarang.” “Siapa yangpeduli? Aku bebas menentukan tempatku berpijak!”sentak Pandan Wangi masihketus.
“Rupanya kau sudah pandai bersilat lidah, Pandan,” sinisnadasuara laki-laki tua bertongkat kepalatengkorak itu. Diliriknya Rangga dengan pandangan tidak suka.
“Kau pikir aku ini siapa, heh?!Aku tidak kenal denganmu! Dan jangancoba-coba mengusik kehidupanku, OrangTua!” dengus Pandan Wangi dingin.
“Kehidupan...? Ha ha ha...!”Laki-laki tua bertongkat kepalatengkorak itu tertawa terbahak-bahak.
Sementara itu Rangga hanya diamsaja sambil menyimak setiap pembicaraan.
Sebentardipandangnya orangtua bertongkat kepala tengkorak di depannya.
Sebentar kemudianditatapnya Pandan Wangi yang berdiri disampingnya. Terlihat jelas dalam keremangancahaya api unggun, kalau wajah Pandan Wangi selalu berubah pucat dan memerahbagai terbakar. Memang cukup sulitmenebak perasaan si Kipas Maut saatini. Dan perhatian Pendekar RajawaliSakti kembali pada laki-laki tuabertongkat kepala tengkorak.
“Sekarang juga kau harus ikutdenganku, Pandan!” tegas laki-laki tuaitu agak keras.
“Apa...?!” Pandan Wangi tampakterkejut.
“Kau pikir aku ini siapa, heh...? Seenaknya saja inginmembawaku!”
“Aku tidak ingin main-main, Pandan. Ayo, ikut!” bentak orang tuaitu.
“Tidak!” Pandan Wangi balasmembentak.
“Bocah gendeng...!” dengus orangtua itu.
Tiba-tiba saja orang tua itumelesat bagaikan kilat, langsungmengarah ke Pandan Wangi. Tangan kiriyang tidak menggenggam tongkat, terjulur hendak mencengkeram gadisitu. Tapi manis sekali Pandan Wangimengegoskan tubuhnya berkelit, sehingga terkaman orang ituluput dari sasaran. Tapi tanpadiduga samasekali, orang tua itu bisamemutar tubuhnya cepat sambil mengibaskan tangan kiri ke arah dada si KipasMaut.
“Ikh...!” Pandan Wangi terpe-rangah.
Buru-buru si Kipas Maut itu mengebutkan kipas baja putihnya. Kalausaja orang tua itu tidak cepat-cepatmenarik pulang tangannya, pasti ujungujung kipas baja putih itu telah membuattangannya buntungseketika. Tapi dia masih juga bisa memberisatu serangan yangbegitu cepat.
Tongkatnya berkelebat bagaikan kilat menyambarke arah kaki si KipasMaut.
“Hait..!” Cepat sekali PandanWangi melompat memutartubuhnya kebelakang. Maka tongkat berkepala tengkorak itu lewat beberapa jengkal dibawahtelapak kaki Pandan Wangi. Dan belumjuga gadis itu menjejakkan kakinya ditanah, orang tua bertongkat itu sudah menyerang dahsyat kembali. Kali inisasaran yang dipilih adalah dada.
Dengan ujung jari telunjuk, diabermaksud menotok si Kipas Maut.
Pandan Wangi mengetahui hal itu.
Cepat-cepat dikibaskan kipasnya kedepan dada, sambil memutar tubuhnya .
Seketika itu juga, kaki kanannyaberkelebat melepaskan tendanganbertenaga dalam cukup tinggi. Hal inimembuat orang tua itu terperanjat, karena tidak menyangka kalau PandanWangi mampu melindungi diri sambilbalas menyerang dalam waktu yang hampir bersamaan.
“Hup...!”Cepat-cepat laki-laki tua berbaju biru tua dan bertongkat kepalatengkorak itu melompat mundur. Hampirsaja tendangan Pandan Wangi menghantamperutnya. Dengan kedua kaki merentanglebar ke samping, orang tua itumenatap tajam pada si Kipas Maut.
Mulutnya menggeram kecil, dan bibirnyayang hampir tertutup kumis putihbergetar menahan amarah.
“Kau cukup membuat kesulitan, Pandan!” dengus orang tua itumenggeram.
“Hm.... Lalu kau mau apa?”tantang Pandan Wangi sinis.
“Kesabaranku ada batasnya, Pandan! Aku tidak peduli siapa dirimusekarang. Kau sudah membuat banyakkesulitan padaku. Nyawamu tak cukupuntuk membayar penghinaan ini!”Pandan Wangi hanya tersenyumsinis. Gadis itu tahu kalau orang tuabertongkat kepala tengkorak itu sudah sangat marah, tapi tidakdipedulikannya. Dengan adanya Rangga di sini, segala perasaan gentar lenyapdari hatinya. Gadis itu melirikPendekar Rajawali Sakti yang sejaktadi hanya diam saja memperhatikan.
Sedikit pun pemuda berbaju rompi putihitu tidak melakukan tindakan apa-apa.
Sepertinya Pandan Wangi diberi kebebasan untuk menentukan tindakan sendiri.
Pada saat itu, laki-laki tua bertongkat kepala tengkorak manusiasudah kembali menyerang, dan kali initidak main-main. Bahkan tongkatnyayang aneh itu seperti memiliki nyawasaja, berkelebat mengancam bagianbagian tubuhPandan Wangiyang mematikan. Kali ini si Kipas Maut harus mengakuikalau lawannyamemiliki kepandaian sangattinggi. Dalam beberapa jurus saja, sudah terlihat kalauPandan Wangikewalahan menghadapiserangan-serangan orangtua itu. Beberapakali si Kipas Mautharus jatuh bangunmenghindari seranganyangbegitu gencar dan dahsyat luar biasa.
Hingga suatu saat....
“Lepas...!” seru laki-laki tuabertongkat itu tiba-tiba.
Secepat itu pula dikibaskantongkatnya ke arah dada Pandan Wangi.
Cepat sekali si Kipas Maut itumengebutkan kipasnya, melindungidaerah dadanya yang terancam. Namunsungguh di luar dugaan, ternyata orangtua itu memutar tongkatnya ke bawah.
Dan seketika itu juga, tangan kirinyabergerak cepat menotok pergelangantangan kanan si Kipas Maut.
“Akh...!” Pandan Wangi memekikkeras tertahan.
Kipas baja putih yang menjadi senjata khas gadis itu terpental ke udara. Dan belum juga Pandan Wangimenyadari apa yang terjadi, satutendangan keras mendarat telak didadanya yang lowong. Satu tendanganyang tak terbendung lagi.
Bug!
“Akh...!” untuk kedua kalinyaPandan Wangi menjerit keras.
Tubuh si Kipas Maut terjengkangke belakang sejauh beberapa batangtombak. Dan sebelum gadis itu ambruk, laki-laki tua bertongkat kepalatengkorak itu sudah melompat memburu.
Pandan Wangi tak bisa berbuat apa-apalagi. Dadanya seperti remuk, dannapasnya terhambat. Namun belum juga orang tua itu berhasil menerkamnya, mendadak saja sebuah bayangan putihberkelebat cepat dan telah lebihdahulu menyambar gadis itu.
“Heh...!”

*
* *



::::↨֍¦ 2 ¦֎↨::::

Bukan main terperanjatnya orangtua bertongkat kepala tengkorak itu.
Karena, tiba-tiba saja Pandan Wangilenyap dari hadapannya, tepat saatsebuah bayangan putih berkelebatanmenyambar gadis itu. Orang tua itu jadi celingukan, lalu menggeram begitumenyadari kalau pemuda yang bersama Pandan Wangi juga ikut menghilang.
“Bedebah...!” umpatnya geram.
Diedarkan pandangannya berkeli-ling, tapi tak terlihat lagi seorangpun di tempat ini. Cahaya api unggunyang begitu redup tidak mampu menembuspekatnya kegelapan malam. Diamenggerutu dan memaki habis-habisan, tapi tetap saja tidak bisa menemukanyang dicari.
“Phuah! Pasti anak muda itu yangmenyelamatkannya...!” dengusnya geram.
Sambil menghentakkan kakinyapenuh kemarahan, orang tua itu melesatpergi meninggalkan tempat itu. Samasekali tidak diketahuinya kalau ternyata Pandan Wangi bersembunyi dibalik sebongkah batu besar bersamaRangga . Mereka baru keluar dari tempatpersembunyian setelah cukup lama lakilaki tua bertongkat kepalatengkorak itupergi.
“Ughk...!” keluh PandanWangi saat berusaha berdiri hendakkeluar dari tempat persembunyianini.
“Kau terluka, Pandan?” tanya Rangga seraya membantu PandanWangi berdiri.
“He-eh...,”PandanWangihanya menganggukkan kepalanyasaja. Rangga memapah si Kipas Maut keluar daribalik batu.
Mereka menghampiriapiunggun yangmasihmenyala redup. Sebagian ranting sudah hancur jadi debu. Rangga menambahkanranting-ranting yang dikumpulkannyasore tadi. Api kembali membesar, menambah terang sekitarnya. PandanWangi duduk bersandar di bawah pohonyang cukup besar. Napasnya nampakterengah satu-satu. Pendekar RajawaliSakti menghampiri dan duduk di depangadis itu.
“Aku periksa lukamu, Pandan,”kata Rangga lembut.
“Uhk! Dadaku...,” keluh PandanWangi meringis.
Tanpa ragu-ragu lagi, Rangga menekan ujung jari telunjuknya di dadaPandan Wangi. Gadis itu meringis sambil menggeliatkan tubuhnya . Buruburu pemuda berbaju rompi putih itu menarik kembali ujung jarinya. Dipandangi wajah gadis itudalamdalam. PendekarRajawali Saktiitu bangkit berdiridan menghampirikipas baja putih yang tergeletak tidak jauh dari situ. Dipungutnya senjataitu dan diserahkan pada Pandan Wangi.
Gadis itumenyelipkan senjatakesayangannya di balik ikat pinggang. Jelas sekali kalau napasnyamasih tersengal, namun tetapmencoba untuk tersenyum. Mendadak saja, Pandan Wangiterbatuk dan memuntahkan darahkental kehitaman.
“Pandan...!” sentak Rangga ter-kejut.
Buru-buru Pendekar Rajawali Saktiitu memeluk Pandan Wangi, tapi pelukanitu malah dicegahnya. Gadis ituberingsut menjauh, membuat PendekarRajawali Sakti hanya memandanginya.
Sedangkan sinar matanya penuh diliputiberbagai macam pertanyaan. PandanWangi membalas tatapan itu denganpandangan sayu. Bibirnya yang berwarnamerah kehitaman menyunggingkan senyuman tipis dan amatdipaksakan.
“Aku tidakapa-apa, Kakang. Hanya sesak sedikit,”kilah PandanWangi lemah.
“Kau terluka dalam, Pandan. Biar kuperiksa,” desak Rangga serayamenggeser mendekati.
Tapi Pandan Wangi mencegah, lalu menggeleng dan tersenyum tipis. Denganpunggung tangan, diseka darah dimulutnya. Rangga kelihatan cemasmelihat Pandan Wangi begitu lemah danpucat. Dia yakin kalau gadis ituterluka dalam akibat pertarungannyadengan laki-laki tua misterius tadi.
“Tidurlah, Kakang. Besok, pagipagi sekali kita harus keluar dari hutan ini,” kata Pandan Wangi, masih terdengar lemahsuaranya.
“Kau benartidakapa-apa, Pandan?” tanya Rangga cemas.
“Tidak. Aku ingin semadi, mudahmudahanbesoksudah segarlagi,”sahutPandan Wangi meyakinkan.
Rangga memberi senyuman. Tapidari sorot matanya masih menampakkankekhawatiran. Sedangkan Pandan Wangisudah duduk bersila. Ditekan keduatelapak tangannya di lutut yangterlipat. Rangga memperhatikan sebentar, kemudianmenggesertubuhnya menjauh. PendekarRajawali Sakti itu memilihtempat di seberangapi unggun. Direbahkan tubuhnya di atasrerumputan yang basah berembun. Perhatiannya masih tertujupada Pandan Wangi.
Gadis itu sudah tidak bergeraklagi melakukan semadi untuk mengusir rasa sesak yangmenghimpitdadanya.
Melihat Pandan Wangi tampaknyabenar-benar bersemadi, Rangga mulaimemejamkan matanya. Pada saat ituPandan Wangi membuka kelopak matanya.
Diperhatikannya Pendekar RajawaliSakti yang terbaring di seberang apiunggun. Mata pemuda berbaju rompiputih itu terpejam rapat. Napasnyabegitu teratur, menciptakan gerak padadada yang bidang sedikit berbulu. Agaknanar pandangan Pandan Wangi.
Sementara malam terus merambat semakinjauh. Udara dingin begitu terasamenyebar dihembus oleh angin.
Sedangkan api semakin redup cahayanya.
Tak terdengar lagi suara, selaindesiran angin malam dan jeritan binatang malam di hutan ini.

*
* *

Kokok ayam jantan begitu nyaringterdengar menyambut datangnya pagi.
Matahari belum lagi menampakkansinarnya. Namun burung-burung telahramai berkicau di atas pepohonan.
Rangga menggeliatkan tubuhnya , mencobamengurangi rasa penat. Semalaman diatertidur pulas, sehingga tak peduliterhadap nyamuk-nyamuk yang berpestaporamenikmatidarahnya.
“Pandan...!”tiba-tiba Rangga tersentakbegitu teringatPandan Wangi. PendekarRajawali Sakti itubergegas bangkit, dan menjadi terkejutmenyadari Pandan Wangi tidak ada lagidi tempatnya. Sesaat diedarkanpandangannya ke sekeliling, tapi gadisitu tak terlihat lagi. Rangga terpakubegitu matanya tertumbuk pada kudahitam yang tertambat di bawah pohonjati. Di sana seharusnya ada dua ekorkuda, tapi kini hanya tinggal seekor.
“Oh, tidak...!” sentak Rangga mulai dirasuki pikiran buruk.
Bergegas pendekar muda itumelompat ke punggung kuda hitamnya, tapi tidak jadi menggebah. Dipandangitempat Pandan Wangi semalam dudukbersemadi. Pandangannya terpaku takberkedip. Rerumputan di situ masih terlihat ada bekasnya. Juga....
“Oh.... Kenapa Pandan pergibegitu saja?” gumam Rangga dalam hati.
Terlihat jelas jejak-jejak kakidi atas rerumputan, yang berakhir dibawah pohon ini. Kemudian disambungjejak-jejak kaki kuda yang menujutengah Hutan Gunung Jaran ini. Rangga menghentakkan kakinya, menyepak perutkuda hitam itu. Pelahan-lahan DewaBayu melangkah mengikuti jejak yangtertera jelas di tanah berumput.
Pagi masih terlalu gelap, namunjejak itu masih terlihat menuju dalamhutan. Rangga mengendalikan kudanyamengikuti jejak-jejak di tanahberumput yang dibasahi embun. Semakin jauh masuk dalam hutan, semakin banyakjejak yang terlihat. Bukan saja ditanah, tapi juga di ranting-rantingyang patah dan semak yang terkuak. Dansemua itu kelihatan masih baru.
Terbukti, getah pada ranting itu terusmengucur.
“Hm...,” Rangga bergumam pelan.
Hutan di Gunung Jaran inidemikian lebat. Cukup sukar menerobosdengan menunggang kuda. Tapi jejakjejak itu terus semakin jauh masukke dalam hutan.
Rangga turundari kudanya, lalumelanjutkandengan berjalan kaki.
PendekarRajawaliSakti itu membiarkansajakudanyamengikuti, dan terus berjalan sambilmemperha-tikan setiap jejak yang terlihat.
Semakin jauh masuk ke dalam hutan, semakin nyata kalau jejak itu masihbaru.
“Kau ingin ikut denganku terus, Dewa Bayu?” tanya Rangga bertanya padakudanya.
Kuda hitam itu meringkik kecildan mengangguk-anggukkan kepalanya, seakan-akan bisa mengerti ucapanPendekar Rajawali Sakti. Rangga menepuk leher kuda itu dan kembaliberjalan cepat mempergunakan ilmumeringankan tubuh. Sungguh luar biasa.
Dewa Bayu ternyata mampu mengimbangikecepatan pemuda itu. Padahal, jalanyang dilalui cukup sulit, lebat oleh rapatnya pepohonan yang saling berkaitsatu sama lainnya. Tapi kuda hitam itutidak pernah jauh berada di belakangRangga .
Sampai matahari berada di ataskepala, Rangga terus bergerak cepatmempergunakan ilmu meringankan tubuh.
Meskipun kelihatannya berjalan biasa, namun kecepatannya melebihi orangberlari sekuat tenaga. PendekarRajawali Sakti itu baru berhentisetelah tiba di tepi sungai kecilberair jernih. Sedangkan Dewa Bayumenghampiri sungai itu, lalu menjulurkan kepalanya ke dalamsungai.
“Hhh..., putus sampai disini,” keluhRangga .
Jejak-jejak yang diikuti memang tidak tampak lagi di tepi sungai ini.
Rangga memandang ke seberang sungai.
Tidak seberapa lebar, dan hanya sekalilompatan saja bisa sampai ke seberang.
Sungai ini juga dangkal, sehinggadasarnya jelas terlihat. Tanpamembuang-buang waktu lagi, PendekarRajawali Sakti melompat menyeberangisungai kecil itu.
Benar dugaannya. Hanya sekalilompatan saja, Rangga berhasil menyeberangisungaiitu. Begituringan kakinya menjejaktepi seberangsungai. Pendekar RajawaliSakti itumengedarkan pandangannya berkeliling.
Agak berkerut jugakeningnya, karenatidaklagi menemukan satu jejak pun diseberang sungai ini. Tapi mendadaksaja hatinya dikejutkan suara ringkikkuda dari seberang. Saat menoleh ....
“Putih...,” desis Rangga .
Pendekar Rajawali Sakti itukembali melompat menyeberangi sungaibegitu melihat seekor kuda putihberada di samping kuda hitam miliknya.
Rangga mengenali betul kalau kuda itumilik Pandan Wangi, dan masih memakaipelana lengkap. Rangga bergegasmenghampiri begitu tiba di seberang.
“Putih! Di mana Pandan Wangi?”tanya Rangga .
Kuda putih itu seperti mengertipertanyaan Rangga , lalu langsung meringkik sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian diputar tubuhnya dan berlari kencang. Tanpa membuangbuang waktu lagi, Rangga melompat ke punggung DewaBayu dancepat menggebahnya. Kuda hitam itumeringkik keras, lalumelesat bagaisebatang anak panah lepas daribusur. Rangga memacu kuda hitam itu membuntuti kuda putih yang terus berlari cepat. Dua ekor kuda berlari menyusuri tepian sungai yangjarang ditumbuhipepohonan. Kemudianpada belokan sungai, kuda putihitu berhenti, lalu menoleh kebelakang dan kembali berlari lagi mendakitebing batu yangtidakbegitu terjal. Takadakesulitan bagi Rangga untukmengendalikan Dewa Bayu mendaki tebingbatu itu. Dan pada akhirnya PendekarRajawali Sakti sampai di sebuahdataran yang cukup luas. Rangga menghentikan kudanya, tepat saat kudaputih itu berhenti.
“Hup!”Rangga melompat turun daripunggung kudanya.
“Kau yakin Pandan Wangi ke sini, Putih?” tanya Rangga seraya mendekatikuda putih itu.
Kuda putih itu meringkik sambilmengangguk-anggukkan kepalanya, kemudian mengangkat kedua kakidepannya tinggi-tinggi. Rangga memperhatikan tingkah kuda putih itu, kemudian memandang sebuah perkampunganyang terlihat jelas di depan sana.
Sebuah perkampungan kecil yangkelihatan sunyi bagai tak berpenduduk.
“Hm..., aku tidak pernahmendengar ada perkampungan di sekitarGunung Jaran ini,” gumam Rangga berbicara pada dirinya sendiri.
Pendekar Rajawali Sakti itumengamati sekitarnya. Suasana begitusunyi, tak terdengar suara apa-apa.
Hanya desir angin saja yang mengusiktelinga. Sama sekali tidak terdengarsuara binatang. Rangga jadi bersikapwaspada terhadap kesunyian ini.
Dihampirinya kuda-kuda yang tengah merumput.
“Kalian tunggu di sini. Aku akan melihat ke sana,” kata Rangga padakedua ekor kuda itu.
Kedua ekor kuda itu sepertimengerti saja, dan sama-sama teranggukdan kembali merumput. Rangga kemudianmengayunkan kakinya menghampiriperkampungan yang tidak begitu jauh didepan. Hanya melewati sedikit padangrumput kering, Pendekar Rajawali Saktisudah sampai di sana.

*
* *

Rangga merasakan adanya keanehandi perkampungan ini. Begitu sunyi.
Malah sama sekali tidak terlihat seorang pun. Rumah-rumah yang terbuatdari bilik bambu beratapkan rumbia, semuanya kosong tak berpenghuni.
Bahkan tanda-tanda kehidupan pun tidakdijumpai. Tidak begitu banyak rumahyang ada, hanya sekitar dua belas yangberdiri saling berdekatan satu samalain.
“Hm..., apa nama tempat ini?”gumam Rangga bertanya pada dirinyasendiri.
Pendekar Rajawali Sakti sudah mengelilingi tempat ini tiga kali, danmemeriksa setiap rumah. Tapi tetap takdijumpai seorang pun. Bahkan tandatanda bekaskehidupan saja tidakdijumpai. Rumah-rumah ini sepertisengaja dibangun tidak untukditempati. Pendekar Rajawali Sakti itumengamati rumah yang berada palingtengah. Rumah yang paling besar dankelihatan paling mewah.
Pelahan-lahan Rangga menghampirirumah itu. Sepasang matanya yang tajamselalu beredar mengamati sekelilingnya. Langkahnyaberhentitepatdi depan pintu yang terbuka lebar. Dari luarsudah terlihat kalau rumah inikosong tak berpenghuni. Tapi yangmembuat Pendekar Rajawali Sakti itubertanya-tanya, keadaan di sini begitubersih seperti terawat rapi. Baru sajaRangga hendak melangkah memasuki rumah itu, tiba-tiba saja terdengar bentakan dari arah belakang.
“Diam di tempatmu, Anak Muda!”Rangga mengurungkan niatnya hendak memasuki rumah itu. Pelahandiputar tubuhnya berbalik. Tampak didepannya kini sudah berdiri seoranglaki-laki berusia lanjut, dan tubuhnya agak bungkuk. Bajunya bercorak indahdari bahan sutra halus yang cukupmahal harganya. Ikat kepalanya terbuatdari lempengan emas berhiaskan batubatu permata.
Laki-laki tuaitu memegang sebatangtongkat hitam, yang dihiasitiga buah cincin emasmembelit tongkatnya. Rangga benar-benar terpukau, seakan-akan tengahberhadapan dengan seorang raja ataubangsawan kesasar di dalam hutan yangsunyi ini.
“Anak Muda, apa tujuanmu datangke sini?” tanya laki-laki tua itutajam.
“Maaf. Aku tidak sengaja beradadi sini, karena sedang mencari adikkuyang hilang,” sahut Rangga sopanseraya membungkuk sedikit memberihormat.
“Hm.... Siapa namamu?”
“Rangga . Dan adikku yang hilangbernama Pandan Wangi.”
“Rangga ...,” laki-laki tua itubergumam pelan mengulangi nama Rangga .
Sedangkan Rangga sendiri hanya diam saja sambil terus mengawasi seksama. Benaknya masih dipenuhiberbagai macam tanda tanya tentanglaki-laki tua ini. Kehadirannyasungguh mengejutkan dan tidakdiketahui sama sekali. Sehingga bagaimuncul dari dalam tanah saja.
“Kau memasuki daerah yang sangatterlarang, Anak Muda,” jelas laki-lakitua itu. Suaranya serak dan berat.
“Terlarang...? Aku tidak mengertimaksudmu, Ki,” tanya Rangga .
“Tempat ini terlarang bagi siapasaja, tanpa kecuali. Siapa saja yangmelanggar harus mati. Itu sudah menjadi hukum tetap di sini, AnakMuda,” tegas kata-kata laki-laki tua itu.
“Eh, tunggu dulu! Aku tidak mengerti maksudmu. Malah aku tidaktahu siapa dirimu dan apa nama tempatini,” sergah Rangga , terkejut jugamendengar kata-kata orang tua itu.
“Anak Muda, aku bernama KiRatapanca. Aku telah diberi wewenanguntuk merawat dan menjaga tempatpersinggahan ini. sudah menjadikeputusan Gusti Prabu Sumabrata untukmenghukum mati siapa saja yang beranimengotori tempat ini! Jelas, AnakMuda...?” tegas Ki Ratapanca.
“O..., tapi aku tidak mengotoritempat ini. Aku hanya kebetulan lewatsaja dan akan segera pergi kalau tidak menemukan adikku di sini,” sahut Rangga mulai bisa mengerti sedikit.
“Aku tidak mengenal adikmu! Dan dia tidak ada di sini. sudah tigapurnama tempat ini tidak pernahdisinggahi seorang pun.”
“Kalau begitu, aku akan segerapergi,” ujar Rangga seraya mengayunkankakinya hendak meninggalkan tempatyang sangat aneh baginya ini.
“Tunggu dulu...!” bentak KiRatapanca.
Rangga menghentikan langkahnya.
“Kau tidak bisa pergi begitusaja, Anak Muda. Dan kau baru boleh pergi, kalau sudah berhasilmengalahkanku.” “Hm.... Aku tidak kenal siapadirimu, dan kau juga tidak kenal siapadiriku. Kenapa harus bertarung?”Rangga mengerutkan keningnya.
“Kenal atau tidak, suka atautidak suka, kau harus bertarungdenganku. Jika berhasil mengalahkanaku, kau boleh bebas pergi dari sini, Anak Muda!” tegas Ki Ratapanca.
“Aneh...?! Apakah ini jugaperintah dari Gusti Prabumu?”
“Tentu!”
“Hm...,” Rangga bergumam serayamengerutkan keningnya dalam-dalam.
Tapi belum juga Pendekar RajawaliSakti itu bisa berpikir lebih jauhlagi, mendadak Ki Ratapanca sudah melompat sambil berteriak keras menerjangnya. Tongkat hitam dengancincin emas tiga buah berkelebatbagaikan deburan ombak menghantampantai.
Rangga terkejut, dan buru-burumelompat mundur menghindari seranganmendadak ini. Terkesiap juga hatinya, begitu merasakan angin kebutan tongkatyang demikian dahsyat itu. tubuhnya sampai terhuyung bagai selembar daunkering terhempas angin. Namun cepatcepat PendekarRajawali Saktiitu menguasaikeseimbangantubuhnya sebelum Ki Ratapanca menyerang kembali.
“Tahan!Aku....”Belum lagi Rangga selesaiberkata, Ki Ratapanca sudah kembalimenyerang dahsyat. Tongkat yangpanjangnya sama dengan tubuhnya ituberkelebatan di sekitar tubuh Rangga .
Pemuda berbaju rompi putih ituterpaksa berlompatan menghindarisetiap serangan laki-laki tua itu.
Menyadari serangan-serangan yangdatang begitu gencar dan sangatberbahaya, Rangga segera menggunakanjurus ‘Sembilan Langkah Ajaib’.
Gerakan-gerakan kaki dan tubuhnya memang seperti tidak beraturan danbagai orang yang tidak pernah mengertiilmu olah kanuragan. Tapi Ki Ratapancasulit untuk mendesak. Setiap serangan yang dibangun, selalu kandas dan tidak pernah menemui sasaran tepat. Bahkanbeberapa kali ujung tongkatnya hampirmenusuk tubuh Rangga . Namun tinggalbeberapa helai rambut lagi, PendekarRajawali Sakti itu dapat menghindardengan manis.
“Hup...!”Tiba-tiba saja Ki Ratapancamelompat mundur menghentikan seranganserangannya. DitatapnyaRangga , seakan-akan tengah mengukurkemampuan pemuda itu. Sedangkan Rangga sendiri hanya berdiri tegak danbersikap tenang.
“Apa hanyasampai di situ kemampuan yang kau miliki, Anak Muda?”tanya Ki Ratapanca, agak sinissuaranya.
“Persoalan yang kuhadapi sudah cukup banyak, Ki. Dan aku tidak inginmenambah persoalan baru lagidenganmu,” sahut Rangga tenang.
“Hm. Penolakanmu sungguh halus, tapi bukan berarti kau bisa pergi daritempat ini begitu saja.”Rangga hanya diam saja. Bisadimengerti kalau laki-laki tua itutetap akan menyerangnya. Memangdisadari kalau dirinya tidak akanmungkin bisa melayani jika hanyamenggunakan jurus ‘Sembilan LangkahAjaib’. Sementara Ki Ratapanca sudah kembali bersiap hendak menyerang.
Rangga masih berdiri tenang dan terus memperhatikan. Selama laki-laki tuaitu masih menggunakan jurus-jurus olahkanuragan, Pendekar Rajawali Saktiakan melayaninya pula dengan jurus.
Rangga tidak ingin membuat persoalanbaru, dan sedapat mungkin bisameninggalkan tempat ini tanpa membuatKi Ratapanca merasa sakit hati.

*
* *



::::↨֍¦ 3 ¦֎↨::::

Rangga benar-benar tidak bisamengelak lagi dan harus bertarungdengan Ki Ratapanca. Laki-laki tua itu kelihatannya bersungguh-sungguh hendakmerobohkan Pendekar Rajawali Sakti.
Setiap serangan yang dibangun sungguhberbahaya dan sangat mematikan.
Sedikit kelengahan saja akan berakibatparah. Dan Rangga tidak bisa lagibermain-main. Memasuki jurus ke duapuluh, Pendekar Rajawali Sakti itumulai kelihatan hati-hati. Seranganbaliknya selalu membuat Ki Ratapancakelabakan menghindarinya.
Beberapa kali Ki Ratapanca harusjatuh bangun menghindari setiapserangan Pendekar Rajawali Sakti. Tapilaki-laki tua itu masih juga mampumenyerang, meskipun kini sudah tidak sering. Bahkan sekarang lebih banyakbertahan. Hingga pada jurus yang ketiga puluh, terlihat jelas kalau KiRatapanca terdesak hebat. Beberapakali pukulan dan tendangan Rangga mendarat di tubuhnya , sehingga membuatlaki-laki tua itu terguling danterjerembab mencium tanah.
Buk!Satu pukulan keras kembalibersarang di tubuh Ki Ratapanca. Lakilaki tua itu kontan mengeluh pendek. Dan belumlagi dapatmenguasai keseimbangantubuhnya , kembalisatu tendangan kerasbersarang ditubuhnya . Laki-laki tua ituterjerembab ke tanah dengan posisimenelentang.
Rangga cepat memburu. Dan hampir sajakakinyamenjejak dada orang tua itu, tapiRangga cepat melompat mundur danmengulurkan tangannya.
“Ughk! Terima kasih,” ucap KiRatapanca seraya menerima ulurantangan Rangga .
Laki-laki tua itu berdiri.
Dipungut tongkatnya yang tadi sempatterlepas dari genggaman. Sambilmembersihkan debu yang melekat dibaju, dipandanginya Rangga . Pemudaberbaju rompi putih itu hanyamemperhatikan saja, dan bibirnyaterkatup rapat.
“Kau hebat, Anak Muda. Akumengaku kalah,” ujar Ki Ratapancadisertai senyum terkulum di bibir.
Sinar mata laki-laki tua itu tidak lagi tajam, dan kini malahkelihatan cerah dengan wajah berseriseri. Padahal wajahnya agak memar dan sedikit berdarahpada sudutbibirnya. Sikap Ki Ratapanca membuatRangga jadi berpikirlain. Benaknyadiliputi berbagai macampertanyaan tentangdiri laki-laki tua dan juga tempat yang anehini.
“Kau boleh pergi sekarang, Anak Muda,” kata Ki Ratapancaramah. Namun Rangga tetap diamtak bergeming.
“Tunggu apa lagi, Anak Muda?Kau sudah bebas, dan bisameninggalkan tempat ini,” ujar KiRatapanca.
“Ki Ratapanca, di balik sikapmu, bisa kuduga kalau kau menyimpansesuatu,” tebak Rangga pelan, namunterdengar mantap suaranya.
Ki Ratapanca hanya tersenyumsaja, kemudian menghampiri Rangga danmenepuk pundak Pendekar Rajawali Saktiitu. Rangga diajaknya masuk ke dalamrumah yang paling besar di antararumah-rumah lainnya. Rangga tidakmenolak, dan mengikuti saja. Merekakemudian duduk bersila salingberhadapan di ruangan depan yang cukupluas. Hanya selembar permadani tipissebagai alas lantai yang mereka dudukikini.
“sudah lama aku menunggu seseorang yang berkepandaian tinggi sepertimu, Anak Muda,” jelas KiRatapanca setelah cukup lama berdiamdiri.
Rangga hanya diam saja.
“Entah sudah berapa orang yangdatang ke sini, tapi tak seorang punyang bisa kembali lagi...,” lanjut KiRatapanca, agak pelan suaranya.
“Kau membunuh mereka, Ki?” tanyaRangga .
“Dalam suatu pertarungan, hanyaada dua pilihan, Anak Muda. Membunuhatau dibunuh.”
“Tentu yang kau bunuh orang-orangyang tidak bersalah. Mungkin sajamereka hanya sekadar lewat seperti aku ini, Ki. Atau mungkin hanya seorangperambah hutan yang tidak mengertiilmu olah kanuragan.”
“Tidak, Anak Muda...,” KiRatapanca menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Tidak ada satu desapundi sekitar Gunung Jaran ini. Tidak ada perambah hutan yangmemasuki kawasan hutan di sini. Mereka yang datang memang sengajamenguji nasib, tapi ternyata hanya mengantarkannyawa. Kemampuan mereka begitu rendah, tapi bermulut besar.
Mereka tidakpernah mengukur diri sendiri, dan semua itu tidak pernah kusesali.
Tapi....” “Tapi kenapa, Ki?” “Sejak pertamamelihatmu, akumelihat ada sesuatu yang tidak pernah kutemukan selama tiga tahun ini. Kaubegitu lain, tidak seperti mereka yangdatang ke sini terlebih dahulu. Kaubegitu sopan dan selalu merendah.
Bahkan tidak bertarung sepenuh hati.
Kenapa, Anak Muda? Apakah karena kaumenganggapku seorang tua yang sudah tidak waras lagi?”Rangga menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Maaf, Ki. Tidaksedikit pun terbetik di hatikukata-kata seperti itu. Aku hanya tidak ingin membuat persoalandenganmu. Lagi pula, tidak ada gunanyamelenyapkannyawa seseorang sebelum aku tahu pastisegala urusannya. Dan sebenarnya bukannyawa manusia yang kulenyapkan, tapiiblis yang bercokol di hati mereka.
Sama sekali setiap musuhku tidakpernah kubenci. Aku hanya inginmembebaskan mereka dari cengkeramannafsu setannya,” tenang sekali Rangga menjelaskan.
Entah kenapa, tiba-tiba saja KiRatapanca tertawa terbahak-bahakmendengar penjelasan Rangga . SedangkanRangga hanya diam saja. Sedikit pundia tidak merasa tersinggung, bahkanhanya tersenyum saja.
“Aku benar-benar kagum padamu, Anak Muda. Belum pernah kutemui orangsepertimu. Memiliki prinsip hidup yang begitu cemerlang. Apakah itu keluar dari hati nuranimu...?” ujar KiRatapanca setelah reda tawanya.
“Mungkin iya, mungkin jugatidak,” sahut Rangga mantap.
“Bagus! Aku suka jawabanmu, AnakMuda. Jika kau jawab iya, itu berartiberdusta. Dan yang pasti aku akanmenyerangmu kembali sampai salah satudi antara kita ada yang mati!”
“Hm, kenapa begitu?”
“Karena aku tidak sukakemunafikan. Aku lebih suka kepolosandan sikap apa adanya. Itu sebabnyatempat ini kubangun dan kujaga darigangguan manusia-manusia kotor berhatiiblis yang bisanya hanya mengobral mulut besar, tapi tidak ada bukti samasekali.”
“Hm.... Jadi, apa yang kaulakukan ini bukan karena perintahPrabu Sumabrata? Aku tahu kalau GunungJaran ini masih termasuk wilayahKerajaan Kulon. Dan aku tahu namarajanya bukan Prabu Sumabrata. Lalu, siapa yang kau maksudkan, Ki?” Rangga mulai bisa memahami hampir seluruhnya.
“Ha ha ha...!” lagi-lagi KiRatapanca menjawab dengan suaratawanya yang lepas menggelegar.
Meskipun pertanyaannya belumterjawab, tapi Rangga tidak merasakecewa. Ditunggunya tawa Ki Ratapancasampai habis. Laki-laki tua itu menepuk-nepuk pundak Rangga sambil tersenyum lebar. Sepasang bola matanyasemakin berkilat bercahaya. SedangkanRangga hanya diam saja menunggu sabarjawabannya.
“Ternyata bukan hanya kepandaiantinggi saja yang kau miliki, AnakMuda. Kau begitu cerdik dan cepattanggap,” tegas Ki Ratapanca memuji.
“Terima kasih. Tapi, kau belummenjawab pertanyaanku, Ki,” ucapRangga .
“Ha ha ha...!” lagi-lagi KiRatapanca tertawa terbahak-bahak.

*
* *

Pagi-pagi sekali Rangga sudah mempersiapkan kudanya. Dia melompatnaik ke punggung kuda hitam yang sudah berpelana. Tangan kirinya memegangitali kekang kuda putih milik PandanWangi. Pendekar Rajawali Sakti ituberpaling saat mendengar suara pintuterkuak. Tampak Ki Ratapanca keluardari rumah besar yang dikelilingisebelas rumah yang berbentuk samapersis.
“Jadi juga kau pergi hari ini, Rangga ?” tanya Ki Ratapanca setelahdekat di samping Rangga .
“Tentu, Ki,” sahut Rangga mantap.
“Ke mana tujuanmu?”
“Entahlah. Tapi aku yakin kalau Pandan Wangi belum meninggalkan Gunung Jaran ini, apalagi dalam keadaanterluka,” sahut Rangga .
“Kalau bisa kubantu, pasti akuakan membantumu, Rangga ,” ucap KiRatapanca.
“Terima kasih, Ki,” ucap Rangga seraya tersenyum.
“Seharusnya akulah yang berterimakasih, karena kau masih memberikesempatan padaku menikmati udarasegar hari ini,” balas Ki Ratapanca.
“Tapi sayang, Ki. Aku tidak bisamemenuhi keinginanmu untuk tetaptinggal di sini dan membantukeinginanmu,” ujar Rangga pelan.
“Tidak mengapa, Rangga . Aku mengerti, keselamatan adikmu lebihpenting daripada rencana gilaku ini.”
“Mumpung masih pagi, Ki. Akupergi dulu,” pamit Rangga .
“Berangkatlah. Jangan lupa kalausudah ketemu, bawa adikmu ke sini. Akuakan senang bila kau tinggal di sinibeberapa hari.”Rangga hanya tersenyum saja.
Mengangguk pun tidak. Pemuda itumemang tidak pernah melakukan janjiapa pun yang dirinya sendiri belumtahu kepastiannya. Pendekar RajawaliSakti itu menggebah kudanya pelahan.
Dewa Bayu bergerak pelan berjalanmeninggalkan Ki Ratapanca yangmemandanginya. Sedangkan kuda putih mengikuti dari belakang.
Ki Ratapanca masih berdirimemandangi kepergian Rangga sampaipemuda berbaju rompi putih itu lenyapdari pandangan mata. Bibirnyatersenyum, dan senyum itu semakinlebar. Lalu terdengar tawa menggelegarterbahak-bahak. Tiba-tiba saja orangtua itu melesat dan lenyap seketika, bagaikan hilang begitu saja.
Sementara Rangga sudah jauhmeninggalkan rumah-rumah yang kosongtanpa penghuni itu. Dia tidak tahu, arah mana yang hendak dituju. Tidakada lagi petunjuk atau jejak yangditinggalkan Pandan Wangi. HutanGunung Jaran begitu luas, dan tidak mungkin dikelilingi dalam waktusingkat. Meskipun dibantu burungrajawali raksasa, rasanya tidak akancukup mencari satu harian. Itu jugabelum tentu bisa berhasil.
“Hhh...,” desah Rangga pelahan.
Pendekar Rajawali Sakti itumenghentikan langkah kudanya setelahtiba di tepi sungai. Di tempat inijejak Pandan Wangi lenyap. Pemudaberbaju rompi putih itu turun daripunggung kudanya, lalu mendekatitepian sungai.
“Rasanya tidak mungkin kalauPandan Wangi hanyut. Sungai ini sangatdangkal, dan arusnya juga tidakderas,” gumam Rangga berbicara pada dirinya sendiri.
Selagi Rangga merenung berpikir, mendadak saja telinganya mendengardesiran angin kencang dari belakang.
Cepat sekali dimiringkan tubuhnya , dandigerakkan tangannya cepat.
Tap!Rangga membeliak begitu melihatdi antara kedua jarinya terselip matasumpit berwarna biru dengan bulu-buluhalus menghiasi pangkalnya. Buru-buruPendekar Rajawali Sakti itumembalikkan tubuhnya . Pada saat itu, dari balik semak dan pepohonanbermunculan makhluk-makhluk yangsangat ganjil.
Ada sekitar delapan jumlahnya.
Makhluk itu berwujud manusia, tapisikap dan tingkahnya seperti kera.
Seluruh tubuhnya berwarna biru, bahkanrambutnya pun berwarna biru. Merekasemua membawa sumpit berwarna kuningkeemasan. Hanya selembar cawat kulitkayu yang menutupi auratnya. Merekaberjingkrakan membuat lingkaranmengepung Pendekar Rajawali Sakti.
“Hm.... Apakah mereka yangmembawa Pandan Wangi dari sini?” gumamRangga bertanya pada dirinya sendiri.
Rangga memandangi makhluk-makhlukaneh yang mengelilinginya. Baiktingkah maupun suara mereka begitumirip kera. Tapi tubuh dan wajahnyaberwujud manusia biasa. Hanya saja seluruh tubuhnya berwarna biru.
“Khuk khuk khraaaghkkk...!”Salah satu dari makhluk seperti kera itu memperdengarkan suara keras.
Dan tiba-tiba saja makhluk yangberjumlah delapan itu berlompatanmenerkam Rangga . Tentu saja seranganyang secara bersamaan ini tidak bisadihindari dengan cara biasa. PendekarRajawali Sakti itu bergegas melentingkan tubuhnya ke atas, dan hinggap di atas dahanpohon. Belum juga Pendekar Rajawali Sakti itubisa bernapaslega, manusiamanusia keraitu sudah berlompatan menyerang kembali. Tubuh merekabegitu ringan bagai kapas. Dan justru merekasemakin tangkas berada di atas pohon.
Rangga jadi kewalahan menghadapinya.
Hingga....
Bughk!Satu pukulan keras mendarat dipunggung Pendekar Rajawali Sakti itu.
Tak pelak lagi, Rangga jatuh dari ataspohon yang cukup tinggi. PendekarRajawali Sakti kemudian bergulingan ditanah, dan cepat bangkit berdiri. Padasaat itu beberapa mata sumpitbertebaran di sekitar tubuhnya .
“Hiyaaa...!”Tak ada kesempatan lagi bagiRangga untuk mengatur jalan napasnya.
Dia harus jumpalitan menghindaribenda-benda biru yang bertaburan mengancam tubuhnya . Namun begitu benda-benda biru itu habis, Rangga kembali harus menghadapi delapanmanusia setengah kera yang langsungmenyerang setelah lebih dahulu melurukturun dari pohon.
Rangga benar-benar tidakmempunyai kesempatan untuk mengambilnapas, dan tentu saja tidak mau matikonyol di tempat ini. Segera sajaPendekar Rajawali Sakti itumengerahkan jurus ‘Seribu Rajawali’, salah satu dari lima rangkaian jurus‘Rajawali Sakti’ yang sangat ampuh.
Begitu cepatnya Rangga bergerak, sehingga seolah-olah bisa membuatdirinya menjadi seribu orang! Hal ini membuat manusia-manusia setengah keraitu jadi kelabakan. Serangan-seranganmereka berantakan dan tidak beraturanlagi. Tubuh Rangga seperti ada dimana-mana, dan justru sepertimengepung mereka dari segala arah.
Beberapa kali Rangga berhasilmendaratkan pukulan maupun tendangankeras bertenaga dalam sangat tinggi.
Tapi manusia-manusia berwarna biru ituseperti kebal dan tidak merasakansakit sedikit pun. Bahkan tak adapengaruh sama sekali, meskipun Rangga mengerahkan tenaga dalamnya yang sudah mencapai taraf kesempurnaan dalampukulan dan tendangannya.
“Gila! Tubuh mereka seperti karet!” dengus Rangga dalam hati.
Pendekar Rajawali Sakti itumemang merasa seperti memukul segumpalkaret. Setiap pukulan dan tendangannyaselalu berbalik. Kalau saja tenagadalamnya belum sempurna, tentu akanmemakan dirinya sendiri. Rangga jadiberpikir keras sambil terusmempergunakan jurus ‘Seribu Rajawali’.
Memang hanya dengan jurus iniserangan-serangan yang dilancarkanmanusia-manusia aneh itu mampudiimbanginya.
“Hm..., coba akan kugabung denganjurus ‘Pukulan Maut Paruh Rajawali’,”gumam Rangga dalam hati.
Saat itu juga Rangga mengerahkan jurus ‘Pukulan Maut Paruh Rajawali’.
Tepat pada saat itu salah seoranglawan berada dalam jangkauanpukulannya. Secepat kilat Rangga melontarkan satu pukulan keras begitutangannya mulai memerah bagaiterbakar.
“Hiyaaa...!”
“Aaarghk...!”Satu raungan keras terdengarbersamaan terdengarnya bunyi berderakdari tulang-tulang yang patah. PukulanRangga tepat menghantam dada salahseorang lawannya. Sungguh di luardugaan sama sekali ternyata manusiasetengah kera itu kini menggelepar ditanah dengan dada melesak ke dalam.
Sementara dari mulutnya mengeluarkan darah segar.
Robohnya satu orang membuat yang lainnya terkejut. Mereka segeraberlompatan menjauh. Tapi Rangga sudah melepaskan dua pukulan beruntunsekaligus, dan langsung mengenai duaorang manusia setengah kera yangterlambat menghindar. Kembaliterdengar raungan keras. Dua manusiasetengah kera kembali menggelepar.
Salah seorang kepalanya pecah, danseorang lagi perutnya jebolberantakan. Mereka langsung tewasseketika.
“Khraghk...!”Begitu terdengar seruan keras yang serak, lima orang lainnyaberlompatan kabur masuk ke dalamhutan. Rangga tak sempat lagimengejar. Apalagi gerakan merekabegitu cepat, sehingga sebentar sajasudah lenyap dari pandangan mata.
Tinggal tiga makhluk biru yangtergeletak tak bernyawa lagi di tanah.
“Hm..., aku yakin, ada orang laindi belakang mereka,” gumam Rangga pelan.
Belum lagi hilang suara gumamanPendekar Rajawali Sakti, tiba-tibasaja terdengar suara tawa terbahakbahak. Rangga menggerinjang melompat tiga langkah kedepan. Suara tawaitu menggema, seolah-olah datang darisegala penjuru mata angin. Jelas kalau suara tawa itu disertai pengerahantenaga dalam tinggi. Rangga merasakantelinganya mulai sakit. Buru-burudikerahkan kekuatan tenaga dalamnyauntuk mengimbangi suara tawa itu.

*
* *

Rangga menggerak-gerakkan tangannya di depan dada. Ditarik napasnya dalam-dalam, dan dihimpun seluruh tenaga dalamnyadi dada.
Kemudian pelahan-lahantangannya merentang ke samping, lalu....
“Yeaaah...!” Dengan satuteriakan keras, Pendekar Rajawali Sakti mengeluarkanseluruh kekuatan tenaga dalam yangsudah terhimpun di dalam dada. Bumibergetar, dan batu-batu berlompatan.
Pohon-pohon berguncang menggugurkandaun-daunnya. Sungguh dahsyat suarateriakan yang disertai pengerahantenaga dalam sempurna itu. Seluruhalam bagaikan murka. Dan suara tawaitu seketika berhenti, bergantijeritan panjang melengking.
“Hup! Hup! Hiyaaa...!”Rangga menghentakkan tangannya kedepan sambil memutar tubuhnya kekanan. Maka dari kedua telapaktangannya meluncur sinar merah yanglangsung menghantam semak belukar.
Ledakan keras terdengar begitu sinar merah menghantam semak belukar itu.
Pada saat yang sama, tiba-tiba melesatsebuah bayangan biru dari dalam semakyang hancur berantakan. Tahu-tahu didepan Rangga sudah berdiri seoranglaki-laki berbaju biru tua. Tangannyamenggenggam tongkat berbentuk kepalatengkorak manusia pada ujungnya.
“Hhh! Kau lagi, Orang Tua!”dengus Rangga .
“Hebat! Ternyata kau memilikikepandaian tinggi juga, bocah...!”terdengar dingin nada suara laki-lakitua itu.
“Hm...,” Rangga hanya menggumamtidak jelas. Pandangan matanya begitu tajam menusuk langsung bola mata lakilaki tua bertongkat kepala tengkorak didepannya.
“Di mana kausembunyikan Pandan Wangi, bocah!?” bentaklaki-laki tua bertongkat kepala tengkorakitu.
“Seharusnya aku yangbertanya begitu padamu, OrangTua!”sambut Rangga dingin.
“Heh...! Aku tidak ada waktu bermain-main, bocahsetan!” bentaknyagusar.
“Kau pikir aku juga ada waktubermain-main denganmu?! Kenal pun akutidak sudi!” dengus Rangga tidak kalahketusnya.
“Kadal! Mulutmu begitu lancang, bocah! Kau akan berlutut memohon ampun jika tahu siapa diriku!”
“Aku tidak peduli meskipun kau utusan iblis dari neraka sekalipun!”
“Setan...! Dengar, bocah! Kau sekarang ini berhadapan denganpengawal Dewa Iblis, penguasa seluruhdaerah Kulon!” lantang suara laki-lakitua bertongkat kepala tengkorak yangmenyebut dirinya sebagai pengawalpenguasa daerah Kulon.
“Baru pengawal, sudah sok! Bahkanjunjunganmu sendiri, aku tidak akantunduk!” dengus Rangga dingin penuhejekan.
“Beledek bongkrek! Kau menghinaDewa Iblis...!” geram laki-laki tua itu marah.
“Kau harus mampus di tanganBorga si Tongkat Samber Nyawa!”
“Rasanya kau yang lebih dahuluakan terbang ke neraka, Orang Tua,”begitu dingin sambutan Rangga .
“Keparat...! Hiyaaa...!”Rupanya laki-laki tua yangmenyebut dirinya Borga atau si TongkatSamber Nyawa itu sudah tidak bisa lagimembendung amarahnya. Seluruh wajahnyasudah memerah bagai besi terbakar didalam tungku. Dia langsung sajamelompat menerjang Pendekar RajawaliSakti disertai teriakan kerasmenggelegar.
“Uts!”Buru-buru Rangga memiringkan tubuhnya ketika ujung tongkat si Tongkat Samber Nyawa meluruk ke arahdada. Secepat itu pula dikibaskantangannya, menyampok tongkat yanglewat di depan dada. Tapi Borga lebihcepat lagi menarik pulang tongkatnyasambil melayangkan satu tendanganmenyimpang dengan tubuh setengahberputar.
“Hait!”
“Hiya...!”Cepat Rangga menarik mundurkakinya ke belakang sejauh dua tindak.
Dan belum lagi Pendekar Rajawali Saktiitu berbuat sesuatu, Borga sudah menyerang dahsyat kembali. Tongkatberkepala tengkorak itu bagai memiliki mata saja. Meliuk-liuk berkelebatanmengincar setiap bagian tubuh Rangga yang mematikan. Ke mana pun Rangga berkelit, ujung tongkat yang runcingselalu cepat memburunya.
Trak! Trak...!Beberapa kali tangan Rangga berhasil menyampok tongkat itu. Tapisetiap kali tangannya berbenturan, dirasakan adanya sengatan yang membuataliran darahnya seolah-olah membeku.
Bahkan jantungnya bergetar keras bagaihendak pecah. Rangga langsungmenyadari kalau tongkat itu sangatberbahaya dan memiliki suatu kekuatandahsyat. Menyadari akan hal itu, buruburu PendekarRajawali Saktimelompatke belakang begitu si Tongkat Samber Nyawa baru selesai memberikan seranganke arah kaki.
“Kau tidak akan bisa lari, bocah!Dan kali ini harus mampus ditanganku!” dengus Borga menggerung.
“Tidak ada gunanya lari!” sahutRangga dingin.
“Kita tentukan, siapayang mati lebih dulu hari ini, Borga!”Setelah berkata demikian, Rangga mencabut Pedang Pusaka Rajawali Saktidari dalam warangkanya di punggung.
Sret! Cring...!Seketika itu juga cahaya biruberkilau menyemburat keluar dariPedang Pusaka Rajawali Sakti itu. MataBorga langsung terbeliak lebar begitu melihat pamor pedang lawannya.
tubuhnya menggerinjang melangkahmundur tiga tindak. Kedua matanyatidak berkedip memandangi pedang yangmelintang di depan Rangga .
“Kau gentar melihat senjatakuini, Borga...?” ejek Rangga memanasi.
Borga tidak menyahuti, tapikembali menggeser kakinya ke belakangbeberapa langkah. Mata dan mulutnyaternganga lebar, seakan-akan terpanamenyaksikan pedang bercahaya biru ditangan Pendekar Rajawali Sakti.
“Bocah! Siapa kau sebenarnya...?”sentak Borga tiba-tiba.
“Namaku Rangga ! Tapi, orang-orangselalu memanggilku Pendekar Rajawali Sakti. Puas...?” sahut Rangga lantang.
“Hah...?!”Borga kelihatan begitu terkejut mendengar nama Pendekar Rajawali Saktidisebut. Dia kembali melompat kebelakang beberapa langkah. Entahkenapa, tubuhnya seketika itu jugajadi gemetar bagai kedinginan. Padahalsiang ini udara begitu panas, danmatahari bersinar amat terik.
“Kau.... Kau tunggulah di sini, bocah!” kata Borga.
Tanpa menunggu jawaban, laki-lakitua bertongkat kepala tengkorak itulangsung melesat pergi. Begitucepatnya, sehingga dalam sekejap sajasudah lenyap dari pandangan mata.
Rangga memasukkan kembali PedangPusaka Rajawali Sakti ke dalamwarangkanya di punggung. Sama sekalihatinya tidak berminat mengejar lakilaki tua itu.
Langsungdihempaskan tubuhnya ke atasrerumputandan disandarkanpunggungnya padasebongkah batu yang cukup besar. Terdengar hembusan napaspanjang dan cukup berat dirasakan.
“Hhh.... Apa sebenarnya yang terjadi padadiriku...?”keluhRangga lirih.
“Ke mana perginyaPandan Wangi...?Hhh.... Terlalubanyak keanehan yangkujumpai di GunungJaran ini.” Memang semua yang terjadi diGunung Jaran ini belum bisa dimengerti Pendekar Rajawali Sakti. Terlalubanyak peristiwa yang dialami secaraberuntun. Dan kesemuanya itu sukardipahami. Terlebih lagi Rangga tidakbisa menghubungkan antara peristiwayang satu dengan lainnya. Hanya saja, pusat pikirannya kini tertuju penuhpada hilangnya Pandan Wangi.
“Hhh..., Dewa Iblis. Siapa puladia...?” gumam Rangga bertanya-tanyapada dirinya sendiri.

*
* *



::::↨֍¦ 4 ¦֎↨::::

Seperti malam-malam sebelumnya, di sekitar Gunung Jaran suasananyabegitu kelam. Langit tertutup awanhitam, sehingga menghalangi sinarbulan menerangi sekitar gunung itu.
Angin bertiup kencang menyebarkanudara dingin membekukan tulang.
Suasana di sekitar Gunung Jaran begitusunyi, tak terdengar sedikit pun suarabinatang malam. Hanya desiran angindan gemerisik dedaunan yang terdengar.
Namun kesunyian itu mendadakdipecahkan oleh suara genderangditabuh bertalu-talu. Suara-suara itumembangunkan Rangga dari tidurnya ditepi sungai kecil yang berair jernih dan mengalir pelan, Pendekar RajawaliSakti menggerinjang bangun. Dimiring-kan sedikit kepalanya, mencari arahsumber suara genderang itu. Seketikapandangannya tertuju ke satu arah, tempat terlihatnya cahaya terangmenyembul dari puncak pepohonan yangmerapat hitam.
“Hm.... Suara itu dari...,” gumamRangga terputus.
Pendekar Rajawali Sakti itubergegas menghampiri kudanya, tapitidak jadi naik. Ditepuk-tepuknyaleher kuda itu beberapa kali.
“Kau tunggu di sini, jaga siPutih,” kata Rangga .
Kuda hitam itu menganggukanggukkan kepalanya, sepertimengertiucapan Rangga . Bergegas PendekarRajawali Sakti itu berlari cepatmenuju cahaya terang yang terlihatjelas dari tempat ini. Begitu ringandan cepat gerakannya, bagaikan terbangtak menyentuh bumi. Sebentar sajaPendekar Rajawali Sakti sudah tiba diperkampungan yang pernah dimasukinya.
Perkampungan sunyi tanpa seorangpenduduk pun menempatinya.
Rangga berhenti berlari, dan agaktertegun begitu melihat sebuah apiunggun besar menyala di tengah halamanrumah yang paling besar di antararumah-rumah yang ada di situ. Terlihatjelas, di sekitar api unggun ituberkeliling makhluk-makhluk berwarna biru yang bertingkah seperti kera.
Mereka berjingkrakan mengikuti iramatabuhan genderang, bersorak-soraksambil mengelilingi api unggun yangmenyala besar membuat sekitarnya jaditerang.
Rangga bergerak mengendap-endapmendekati tempat itu. Sejak semula diamemang sudah curiga pada Ki Ratapancayang bersikap aneh dan penuh tandatanya. Semakin dekat ke perkampungananeh itu, semakin jelas terlihatsuasananya. Pendekar Rajawali Saktiitu terkesiap saat menatap ke berandadepan rumah besar itu. Tampak di sanaterdapat dua buah kursi berukir indahyang diduduki sepasang manusia. Di samping kanan dan kirinya berdiri duaorang laki-laki tua yang sudah dikenalRangga . Mereka adalah Ki Ratapanca dansi Tongkat Samber Nyawa.
Namun bukan kedua orang tua ituyang menjadi perhatian Rangga . MataPendekar Rajawali Sakti itu sampaitidak berkedip menatap wanita mudaberbaju biru dengan sebentuk mahkotabertengger di kepalanya. Wajah yangcantik semakin terlihat cantik bagaidewi kahyangan. Wanita itu duduk dikursi berdampingan bersama seorangpemuda berwajah tampan mengenakan bajuindah dan bermahkota.
“Pandan Wangi.... Apa yangdilakukannya di sini...?” desis Rangga bergumam.
Memang wanita itu adalah PandanWangi. Wajahnya nampak cerah, namunsorot matanya begitu redup takbercahaya. Tak ada senyum sedikit puntersungging di bibirnya yang merahmenyala. Sedangkan pemuda disampingnya terlihat senyum-senyum, dansepasang bola matanya berbinar sepertibertaburkan bintang.
Baru saja Rangga hendak bergeraklebih mendekat, seketika dibatalkanniatnya. Dari dalam rumah yang berdirimengelilingi rumah besar itu, bermunculan gadis-gadis cantik yanghanya mengenakan cawat dari kulitkayu. Sebagian besar tubuh mereka dibiarkan terbuka lebar. Merekaberjalan beriringan membawa baki yangpenuh makanan dan minuman serta buahbuahan. Sebentar saja di sekitarhalaman rumah itu bagai sedangdiadakan pesta.
Saat itu, di tempat persembunyiannya, Rangga terus mengawasitanpa berkedip. Dia semakin ingin tahu kelanjutannya. Rasa penasarannyabegitu dalam dan tertumpah penuh pada Pandan Wangi yangduduk berdampingan bersamaseorang pemudatampan bermahkota dikepalanya. Kelopakmata Pendekar Rajawali Sakti itu agak menyipit saat melihat seoranglakilaki berjubahbagai pendetatengahmeniti anak-anak tangga beranda depan.
Di belakangnya gadis-gadis yangberjumlah dua belas orang mengiringi.
Suara genderang berhenti ketikalaki-laki tua berjubah bagai pendetaitu tiba di depan dua insan yang dudukberdampingan. Makhluk-makhluk berwarnabiru juga berhenti berjingkrakan.
Semua perhatian tertumpah ke berandadepan rumah besar itu. Rangga tidakberkedip, dan terus memperhatikan daritempat persembunyiannya.
“Paman Pendeta Gorayana, apakahkau sudah siap melaksanakan upacaraperkawinan ini?” tanya pemuda tampanyang duduk di samping Pandan Wangi.
“Semua sudah siap, Gusti Prabu Sumabrata,” sahut laki-laki tuaberjubah kuning gading dan berkepalagundul yang dipanggil Pendeta Gorayanaitu.
“Bagus! Laksanakanlah segera,”sambut Prabu Sumabrata serayatersenyum cerah.
“Tapi, Gusti Prabu....”
“Apa lagi, Paman Pendeta?”
“Apakah mempelai wanita benarbenar sudah sehat? Sebab hamba tidak berani meresmikanperkawinan inijika mempelai wanita masih dalamkeadaan terluka.” “Luka yangdiderita calon istriku benar-benar sudah sembuh, Paman Pendeta. Tidak ada lagi yang perludirisaukan. Kau bisa bertanya pada Paman Ratapanca.”
“Benar, Kakang Gorayana. Pandan Wangi sudah sehat dan pulih sepertisediakala,” jelas Ki Ratapanca yangberdiri di samping Prabu Sumabrata.
“Kalau begitu, upacara bisadilaksanakan, Gusti Prabu,” ujarPendeta Gorayana.
“Laksanakanlah. sudah terlalulama aku menunggu peristiwa ini, PamanPendeta. Aku tidak sudi lagi gagalberantakan seperti dulu.”
“Baiklah, Gusti Prabu.”

*
* *

Rangga benar-benar terkejut bukan main mendengar semua percakapan itu.
sudah dapat ditebak, siapa calonpengantin yang dimaksudkan. Keheranansemakin menyelimuti diri PendekarRajawali Sakti itu saat mendengarkesediaan Pandan Wangi menikah denganPrabu Sumabrata. Ternyata gadis itumengangguk mengiyakan saat ditanyaPendeta Gorayana.
“Gila! Ini tidak boleh dibiarkan!” geram Rangga dalam hati.
Berbagai macam perasaan berkecamuk dalamdada PendekarRajawali Sakti. Marah, geram, dan kecemburuan berkecamuk menjadi satu. Merah padam seluruh wajahRangga .
Jantungnyaberdegup kencang dan napasnya men-dengus memburu.
“Hentikan...!” seru Rangga tiba-tiba sambil melompat keluar daritempat persembunyiannya.
Semua yang ada di tempat ituterkejut melihat kemunculan PendekarRajawali Sakti yang begitu tiba-tiba.
Rangga langsung berdiri tegak di depantangga beranda depan. Sama sekalitidak dipedulikan makhluk-makhlukberwarna biru yang sudah bergerakmengepungnya.
“Heh! Siapa kau, manusia tidaktahu adat?!” bentak Prabu Sumabrata.
“Aku Rangga . Aku tidak mengijinkan kau mengawini PandanWangi!”sahut Rangga dingin.
Sorot mata Pendekar Rajawali Sakti itu sangat tajam dan terasadingin menusuk. Sedangkan Pandan Wangihanya diam duduk seperti patung.
Seakan-akan tidak mempedulikan kehadiran Rangga di tempatini.
“Gusti Prabu, ijinkan hamba memberi pelajarankepada bocahkurang ajar ini,” ujar si Tongkat Samber Nyawa seraya membungkukmemberi hormat.
“Tunggu dulu, Paman. Akuingin tahu, apamaksudkedatangannyake sini,” cegah PrabuSumabrata.
“Gusti, bocahini bisamenjadi sumber bencana bagi kita semua.
Hambasudah pernah bertarung dengannya.
Kepandaiannya sangat tinggi,” sergahBorga.
“Benar, Gusti Prabu,” sergah KiRatapanca.
“Hm..., jadi kalian pernah berhadapandengannya?” “Benar, GustiPrabu,” sahutKi Ratapanca danBorga berbarenganseraya membungkukmemberihormat.
“Kenapa kaliantidakmengatakannya padaku?”tanya PrabuSumabrata menyesalkan.
“Ampun, GustiPrabu. Hamba berdua tidak inginmerusak hariperkawinan ini. Hambaberusaha mengusirnyakeluar dari daerah ini. Segala daya sudah hamba lakukan, tapi...,” kata-kataBorga terputus.
“Tapi kenapa, Paman?” desak PrabuSumabrata.
“Bocah ini tangguh sekali,” jelasBorga tanpa malu-malu lagi mengakui.
“Gusti, bocah itu datang bersamaPandan Wangi. Dan Pandan Wangidiakuinya sebagai adiknya,” celetuk KiRatapanca.
“O..., begitu...?” Prabu Sumabrata tersenyum sinis.
“Sejakkapan Pandan Wangimempunyai seorangkakak? Atau diakekasihnya?” “Hamba pikirmemang demikian, Gusti,” sahut KiRatapanca.
“Kalau begitu, singkirkan dia!”perintah Prabu Sumabrata tegas.
“Hamba, Gusti Prabu,” sahut Borgadan Ki Ratapanca bersamaan.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, kedua laki-laki tua itu berlompatanmenerjang Rangga . Tentu saja Rangga yang sudah siap sejak tadi segeramelompat ke belakang, dan langsungmembalas serangan orang tua itu dengansengitnya.
Tapi baru beberapa gebrakan saja, Borga dan Ki Ratapanca melompat mundurmenghentikan serangan. Merekaberteriak memerintahkan makhlukmakhlukberwarnabiru untukmenyerang Pendekar Rajawali Sakti.
Makhlukmakhluk berwarna birudengan tingkahseperti kera itu langsung berlompatanmerangsek. Jumlah mereka tinggal limaorang. Tapi begitu mereka menyerang, mendadak saja dari dalam tanahbersembulan makhluk serupa yanglangsung mengeroyok pemuda berbajurompi putih itu. Sedangkan Borga danKi Ratapanca menyingkir mendekatitangga beranda rumah.
Semakin lama jumlah makhlukberwarna biru itu semakin banyak saja.
Mereka bersembulan dari dalam tanah.
Rangga benar-benar kewalahan menghadapinya. Ruang geraknya semakinsempit. Beberapa kali pukulan dantendangannya berhasil mengenaisasaran, tapi makhluk-makhluk biru itu seperti tidak merasa sama sekali.
Terus merangsek, tanpa mengenai gentarsedikit pun.
“Huh! Sekarang harus kugunakanjurus ‘Pukulan Maut Paruh Rajawali’,”dengus Rangga yang teringat padapertarungannya melawan makhluk-makhlukini di tepi sungai kecil.
Langsung saja Pendekar RajawaliSakti ini menggunakan jurus yangdahsyat itu. Kedua kepalan tangannyajadi merah membara bagai terbakar.
Tidak ada satu pukulan pun yang luputdari sasaran. Jeritan melengking mulaiterdengar, disusul ambruknya tubuhtubuh berwarna biru. Darah mulai bersimbah membasahi tanah yang telahbasah oleh embun. Namun makhlukmakhluk biruitubenar-benartidak mengenal rasatakut.
Merekaterus merangsekmeskipun sudah banyak yang bergelimpanganberlumuran darahtak bernyawalagi.
“Kalau begini terus, mereka bisa habis, KakangBorga,” kataKi Ratapanca.
“Kau tidak perlu cemas, Adi Ratapanca. Mereka tidak akanhabis. Kau lihat saja,” sahut Borga atau si TongkatSamber Nyawatenang. Memang benar apa yangdikatakan Borga.
Makhluk-makhluk biru ituterus bermunculan daridalam tanah.
Seakanakan kehidupanmereka berasaldarisetitik debu. Dan hal ini tentu saja membuat Rangga semakin kewalahanmenghadapinya. Keringat sudah bercucuranmembasahi sekujurtubuh Pendekar Rajawali Sakti itu.
sudah tidak terhitunglagi, berapayang tewas. Tapi lebih banyak lagi yang bermunculan dari dalam tanah. Rangga jadi tidak habis mengerti. Mereka ini bagai mayat hidup yang tidaktakut mati dan tidak punya perasaan sama sekali. Tak ada pilihan lain bagiRangga , kecuali segeramencabut PedangPusaka Rajawali Saktidari warangkanyadi punggung. Seketika itu jugacahaya terangberkilaumenyemburatdaripedang itu. Dengan senjata andalantergenggam di tangan, Rangga bagaimalaikat maut yang mengamuk danmembantai makhluk-makhluk biru itu.
Tapi mendadak saja keanehan terjadi.
Makhluk-makhluk biru itu berlompatanmundur sambil menutupi mata dengankedua tangannya.
“Gusti, sebaiknya pernikahan iniditunda saja,” usul Pendeta Gorayanayang berdiri di samping PrabuSumabrata.
“Benar, Gusti Prabu. SebaiknyaGusti kembali saja ke istana dulu,”celetuk Borga.
Sebentar pemuda yang dipanggilPrabu Sumabrata itu terdiam sambil memandangi Rangga yang masih mengamuk dengan pedang bersinar biru berkilaudi tangan. Kemudian digamitnya lenganPandan Wangi, lalu melangkah masuk kedalam diikuti Pendeta Gorayana dan KiRatapanca. Sedangkan si Tongkat SamberNyawa tetap tinggal di tempat itu.
Gadis-gadis cantik yang hanyamengenakan cawat dan selembar kainpenutup dada juga bergegas masuk kedalam rumah-rumah lainnya.

*
* *

“Wuih...! Makhluk apa ini.., ?”gumam Rangga keheranan melihatmakhluk-makhluk berwarna biru itu tiba-tiba saja melesak masuk ke dalamtanah.
Semua makhluk aneh berwarna biruitu menghilang, terpendam ke dalamtanah. Hanya si Tongkat Samber Nyawayang masih tinggal. Laki-laki tuabertongkat kepala tengkorak itumenghentakkan ujung tongkatnya ketanah tiga kali. Maka tiba-tiba sajadari dalam tanah bersembulan tigapasang tangan yang langsung mencekalpergelangan kaki Pendekar RajawaliSakti.
“Heh...?!” Rangga tersentakkaget.
Tapi belum juga hilang rasaterkejutnya, tiba-tiba saja Pendekar Rajawali Sakti itu merasakan kakinya ditarik ke dalam tanah. Seketika keduakakinya melesak sampai ke lutut.
Rangga segera mengerahkan tenagadalamnya, mencoba menarik kembalikakinya keluar dari dalam tanah. Tapihasilnya bukannya keluar, melainkanmalah semakin melesak dalam.
sudah hampir sepinggang tubuhPendekar Rajawali Sakti melesak kedalam tanah. Pemuda itu merasakankedua kakinya dicengkeram kuat, danterus ditarik ke dalam tanah. Sekuattenaga berusaha ditahan agar tubuhnya tidak terus melesak masuk ke dalamtanah. Tapi tarikan itu demikian kuat, dan tubuh Pendekar Rajawali Sakti semakin jauh masuk ke dalam.
“Ha ha ha...!” Borga tertawa terbahak-bahak melihat PendekarRajawali Sakti terus amblas ke dalamtanah.
Rangga mengangkat pedangnyatinggi-tinggi di atas kepala denganujung berada di bawah. Digenggamnyagagang pedang dengan kedua tanganerat-erat. Kemudian....
“Hiyaaa...!”Wuk!Crab!Sambil mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalam, Pendekar Rajawali Sakti itu menghunjamkan pedangnya dalam-dalam ke tanah, tepat di depanperutnya. Tepat saat terdengar raungan panjang, Rangga segera mengempostenaganya melenting ke udara.
Tawa si Tongkat Samber Nyawaseketika itu juga lenyap. Dua kaliRangga berjumpalitan di udara, kemudian manis sekali kakinya menjejaktanah tepat sekitar tiga langkah lagidi depan Borga. Secepat kilat Rangga mengibaskan pedangnya ke leher lakilaki tua bertongkat kepalatengkorak itu. Bet! “Uts...!” Buru-buruBorga mengibaskan tongkatnya menyampok pedang itusambil melompat mundur duatindak.
Trak!
“Heh...!”Betapa terkejutnya si Tongkat Samber Nyawa melihat tongkatnyaterpotong menjadi dua bagian. Danbelum lagi hilang rasa terkejutnya, Rangga sudah melayangkan satutendangan menggeledek bertenaga dalamsangat sempurna ke arah Borga.
Des!
“Akh...!” Borga memekik keras.
Tendangan Pendekar Rajawali Saktitepat menghantam dada si TongkatSamber Nyawa. Akibatnya, tubuh lakilaki tua itu terpental jauh ke belakang danmenghantam pilarberanda depan rumah besar itu hingga roboh.
Atap beranda langsung ambruk menimpa tubuh Borga.
Rangga melompat mundur ke belakang beberapa langkah. Bumilaksana bergetar ketika atap berandarumah itu ambruk. Pendekar RajawaliSakti berdiri tegak. Di sampingkakinya menggeletak tongkat berkepalatengkorak manusia. Rangga hendakmemungut tongkat itu, tapi mendadaksaja....
“Jauhkan tongkat itu daritanganmu, Pendekar Rajawali Sakti...!”terdengar bentakan keras mengejutkan.
Rangga yang sudah membungkukhendak mengambil tongkat berkepalatengkorak itu jadi mengurungkan niatnya, dan pelahan berdiri tegakkembali. Pandangannya langsung tertujupada Borga yang sudah berada di atasreruntuhan atap beranda rumah besaritu. Tampak mulutnya dipenuhi darah, dadanya kelihatan melesak ke dalam.
Borga berdiri gontai di atas keduakakinya yang bergetar.
“Kau tidak boleh menjamah tongkatitu, bocah!” dengus Borga serayamelangkah gontai menghampiri.
“Kenapa? Tongkat ini tidak adaartinya lagi bagimu. Aku akanmenggunakannya untuk memanggangtubuhmu!” dingin nada suara Rangga .
“Kau bisa saja membunuhku, AnakMuda. Tapi jangan harap dapat menyentuh tongkat itu!” kata Borga tidak kalah dinginnya.
“Kenapa tidak...?”Rangga kembali membungkuk hendak memungut tongkat di dekat kakinya.
Tapi belum juga tangannya menyentuhtongkat itu, Borga sudah melompatsambil berteriak keras. Langsungdilontarkan dua pukulan sekaligus kearah Pendekar Rajawali Sakti.
“Uts...!”Buru-buru Rangga memiringkantubuhnya ke samping menghindaripukulan laki-laki tua itu. Namunselagi tubuhnya doyong, si TongkatSamber Nyawa mengibaskan kakinyamengarah perut. Terpaksa Rangga melentingkan tubuhnya berputar, makatendangan Borga luput dari sasaran.
Secepat itu pula Borga menyambartongkat yang tergeletak di tanahdengan ujung kakinya. Tongkat itumelayang ke udara.
“Hup! Hiyaaa...!”Bagai kilat, Borga melesat keudara mengejar tongkat berkepalatengkorak itu. Pada saat yang sama, Rangga juga melentingkan tubuhnya keudara mengejar tongkat yang sama. Duatokoh tingkat tinggi melesat cepatmengejar sebuah tongkat berkepalatengkorak manusia.
Tap!Tap! Dalam waktu yang sama, kedua orang itu menangkap tongkat berkepalatengkorak di udara. Tapi tanpa didugasama sekali, Rangga melayangkan satupukulan keras ke bagian dada Borga.
Pukulan yang begitu cepat dan tidakterduga sama sekali itu tak dapatdielakkan lagi.
Dug!
“Akh...!” Borga memekik keras.
Pegangannya pada tongkatberkepala tengkorak langsung terlepas, dan tubuhnya meluruk deras ke bawah.
Seketika itu juga Rangga cepat memburumempergunakan jurus ‘Rajawali MenukikMenyambar Mangsa’. Kedua kakinyabergerak cepat, sedangkan tubuhnya meluruk deras mengejar Borga.
“Hiyaaa...!”Buk! Prakkk...!
“Aaa...!”Satu jeritan melengking tinggi terdengar begitu kaki Rangga menghantam keras kepala si TongkatSamber Nyawa. Laki-laki tua itu jatuh berdebum ke tanah. Kepalanya pecah dandarah bercucuran deras. Tepat padasaat Rangga menjejakkan kakinya ditanah, Borga tak bergerak-gerak lagi.
Dia tewas, dan kepalanya pecahbersimbah darah.
“Hhh...!” Rangga menarik napaspanjang dan agak berat.
Pendekar Rajawali Sakti itu hanya sebentar memastikan kalau lawannya sudah tewas, kemudian langsung melesatke dalam rumah besar. Dia tahu kalauPandan Wangi tadi dibawa pemuda yangdipanggil Prabu Sumabrata ke dalamrumah ini bersama Pendeta Gorayana danKi Ratapanca.

*
* *



::::↨֍¦ 5 ¦֎↨::::

Rangga benar-benar tidak habismengerti, rumah besar ini kosong, takada seorang pun yang dijumpai.
Pendekar Rajawali Sakti itu terusmencari sampai ke belakang. Tetap saja tidak dijumpai seorang pun. Bergegasdia keluar lagi melalui pintubelakang, lalu memutari rumah ini. Diaberdiri tegak di tengah-tengah halamanyang cukup besar dan luas. Api unggunmasih menyala terang membuat malamyang gelap gulita ini jadi terangbenderang.
“Pandan...!” teriak Rangga memanggil. Teriakan yang begitukeras menggematerpantul, danmenyusup terbawa angin malam ke seluruh hutan diGunungJaranini.
Tapi takada sahutan sama sekali. Hanya gema yang menyahutiteriakan itu. Rangga menge-darkan pandangannya ke sekeliling. Takada yang dapat dilihat, kecuali mayat-mayat bertubuh biru dan mayat Borgayang tergeletak hampir memenuhihalaman rumah ini.
Dengan perasaan kesal bercampurkecemasan, Pendekar Rajawali Sakti itumengambil tongkat berkepala tengkorakmanusia milik Borga dan menghentakkanke tanah. Saat itu juga tanah yangdipijak bergetar. Rangga terkejut, lalu berjingkrak ke belakang beberapalangkah. Belum hilang keterkejutannya, mendadak saja dari dalam tanahbersembulan makhluk-makhluk berwarnabiru. Dan anehnya, makhluk biru yangsudah tewas, kembali hidup tanpa adabekas luka sedikit pun! “Edan! Lagi-lagi makhluk keparatini muncul!” dengus Rangga gusar.
Pendekar Rajawali Sakti itulangsung bersiap kalau-kalau makhlukbiru itu menyerangnya. Tapi pemuda itujadi terheran-heran, karena merekahanya berdiri diam memandangnya. Malahsama sekali tidak mengadakan penyerangan. Pendekar RajawaliSakti memandangidengan sinar matapenuh keheranan dansegumpal tandatanya memadatibenaknya.
“Siasat licik macam apa lagi ini...?” Rangga bertanya-tanyasendiri di dalamhati. Sebelumpertanyaan itu bisa terjawab, kembali PendekarRajawaliSakti dibuat keheranan yang amat sangat. Makhluk-makhluk biru itu tibatiba saja berlutut, dan kedua telapak tangannya ditekan ke tanah.
Kepala mereka semua tertunduk dalam. Rangga melangkahmundur, dan seketikamereka yang berada di belakang Pendekar Rajawali Saktiitu bergerakmenyingkir memberi jalan. Hal ini membuat Rangga jadi semakinbertanya-tanya. Makhluk yang semula buas, mendadakjadi seperti hamba sahaya berada di depan majikannya.
“Apa yangkalian lakukan padaku...?” tanya Rangga terheranheran. Tak ada yangmenjawab. Semuanyatertunduk diam, dan sikapnya tetapberlutut. Rangga memandangi makhlukmakhluk berwarna biru yang jumlahnya puluhanitu.
“Kalian punyamulut, tentunya bisa berbicara, bukan?” tanya Rangga lagi. Salah satu makhluk biru yang berada tepat didepan Rangga mengangkat kepalanya, kemudian duduk bersila. Dan yang lainnya segera mengikuti. Serentak merekamenggumamkan suara sambil merapatkan kedua telapak tangan di depan dada. Halini membuat Rangga semakin tidakmengerti.
“Katakan, kenapakaliantiba-tiba berubah sikap padaku?” pintaRangga masih penasaran.
Makhluk biru yang tadi bersilalebih dulu, bangkit berdiri.
Dibungkukkan tubuhnya dengan tanganmasih merapat di depan dada. Rangga mengamati penuh keheranan. Dia tahukalau itu merupakan sikap penghormatan. Tapi baginya sikap itu lebih pantasditujukan buatseorang pemimpin, atau pada seorangraja.
“Kau bisa berbicara sepertiku?” tanyaRangga .
“Hamba, YangMulia,” sahut makhluk biru itu dengansuara berat, tapi nyaring. Lebih miripsuara jeritan seekorkera.
“Hm..., kaumenyebutku YangMulia. Kenapa?” tanya Rangga ingintahu.
“Yang Mulia adalah pemimpin kami.
Kami siap mengabdi dan menjalankansegala perintah yang dititahkan PadukaYang Mulia,” sahut makhluk biru itupenuh hormat.
“Pemimpin...?!” Rangga benarbenar tidakmengerti.
“Benar. Yang Mulia membawa tanda kepemimpinan dantelah memanggilkami yang telah siap menjalankantitah.” Rangga baru tersadar kalausaat ini tengah memegang potongantongkat milikBorga. Potongantongkat berkepalatengkorak. PendekarRajawali Sakti itumemandangitongkatyangtergenggam di tangannya, kemudian beralih pada makhluk biru yang berdiriagak membungkuk di depannya. Sedangkanmakhluk-makhluk biru lainnya masihduduk bersila dengan kepala tertundukdalam.
“Siapa namamu?” tanya Rangga .
“Nama...? Ampun, Yang Mulia.
Hamba tidak mengerti,” sahut makhlukbiru itu.
“Heh...! Apakah kau tidak punyanama?” Rangga terkejut heran.
“Lalu, biasanya dipanggil apa?”
“Kami semua sama, Yang Mulia.
Kami hanya mengabdi dan menjalankantitah pemimpin. Kami tidak pernahberhubungan satu sama lain. Jadi kami tidak memiliki panggilan apa pun,”makhluk biru itu menjelaskan denganhormat.
“Aneh...,” gumam Rangga .
Tapi Pendekar Rajawali Sakti itujadi tersenyum. Memang makhluk-makhlukaneh berwarna biru itu satu sama lainsangat mirip. Jadi, sukar untukmembedakan. Tapi sedikit banyak Rangga sudah bisa mengerti, mengapa sikapmereka langsung berubah padanya.
Rangga tahu kini, siapa saja yangmemegang tongkat berkepala tengkorakini, akan dianggap sebagai pemimpinmereka yang harus ditaati segalaperintahnya.
“Baiklah kalau begitu. Aku akan memanggilmu si Biru saja. Bagaimana?” tanya Rangga meminta pendapat.
“Hamba, Yang Mulia,” makhluk biru itu membungkukkan badannya.
Rangga hanya tersenyum saja.
Tentu saja semua makhluk biru itumenyetujui, karena baginya tidak adamasalah menggunakan nama apa pun juga.
Dan lagi Rangga sendiri tidak akanbisa mengenali lagi jika mereka satusama lain sudah bergabung. PendekarRajawali Sakti itu melangkah menghampiri beranda depan salah satu rumah yang terdekat, kemudian mengambil sebuah tali kulitbinatangyang digunakan untuk mengikattiang. Pendekar RajawaliSakti itumemberikanpada makhluk biru yang masih berdiridi tempatnya.
“Kalungkan ini pada lehermu, danjangan dilepas,” perintah Rangga .
“Hamba, Yang Mulia.”Makhluk berwarna biru itumenerima tali kulit dari tanganPendekar Rajawali Sakti dan mengalungkannya dileher.
Disimpulkannyaujung tali kulitbinatang itumenjadi satu, kemudiandibungkukkan tubuhnya kembali memberi hormat. Rangga tersenyum, karena kini bisa mengenali salah satu makhluk yang sama seluruhnyaitu.
“Nah, kalianboleh kembali. Kecuali kau, Biru,” perintahRangga lagi. Diamemangtidak membutuhkan makhluk-makhluk biru untuk saat ini.
Makhluk-makhluk biru itu memberihormat, kemudian kembali masuk kedalam tanah.
Sungguh menakjubkan! Begitu tubuhmereka lenyap ke dalam tanah, permukaan tanah kembali sepertisemula. Tak ada tanda-tanda kalaumakhluk-makhluk aneh berwarna birukeluar masuk dari dalam tanah ini.
Kini tinggal satu yang masih bersamaRangga di atas permukaan tanah.
“Nah, Biru. Kau kenal orang itu?”tanya Rangga menunjuk mayat Borga yangtergeletak tidak jauh dari situ.
“Dia bernama Borga, Gusti.
Sepuluh tahun lebih bangsa kami dikuasainya. Tapi sekarang Yang Muliaadalah pemimpin kami,” sahut si Biru.
“Apakah sebelum Borga, ada oranglain yang pernah menjadi pemimpinbangsamu?” tanya Rangga menyelidikdisertai perasaan ingin tahu.
“Benar, Gusti. Kami selaluberganti-ganti pemimpin sejak ratusanbahkan ribuan tahun lalu.”
“Hm..., kenapa kalian selalumenganggap orang yang memegang tongkatini sebagai pemimpin? Kenapa tidakmengangkat salah satu dari kalian sajayang menjadi pemimpin?” tanya Rangga .
“Hanya Sang Hyang Wenang yangmengetahui, Yang Mulia. Kami sudah ditakdirkan hidup dengan jumlah tetap sampai dunia ini berakhir. Begitu pula pemimpin kami yang selalu datang daribangsa manusia. Ampun, Yang Mulia.
Hamba tidak tahu, karena semua iniadalah kodrat yang sudah ditentukanSang Hyang Wenang,” sahut si Biru.
“Ya, sudah ,” Rangga tidakmendesak lagi.

*
* *

Pagi sudah menghiasi mayapadaini. Sang surya menampakkan cahayanyamenerangi seluruh permukaan bumi yangindah. Semalaman Rangga tidak bisatidur, dan terus mencari Pandan Wangi.
Tapi sudah setiap jengkal tanah di sekitar tempat ini diteliti, tidakjuga ditemukan tanda-tanda yang bisadijadikan petunjuk untuk menemukanPandan Wangi.
Rangga duduk mencangkung di atasakar pohon yang menyembul dari dalamtanah. Tidak jauh di depannya bersimpuh si Biru. Makhluk aneh bertubuh sepertimanusia, namun berwarna biru dan tingkahnya lebih mirip kera. Rangga memandangisi Birudalam-dalam. Sebenarnya diatidak inginmenggunakan makhluk iniuntukkepentingannya.
Tapi mengingat makhluk ini pernah bersama orang-orang yangkini menculikPandan Wangi, PendekarRajawali Saktiitu jadi punya pertimbanganlain.
“Biru, kau tahu di mana mereka kini berada?” tanya Rangga .
“Ampun, Yang Mulia. Hamba tidak mengerti maksud Yang Mulia,” sahut siBiru seraya memberi hormat.
“Maksudku Prabu Sumabrata danorang-orangnya,” jelas Rangga .
“Yang Mulia, selama hamba hidupribuan tahun di sini, tidak ada yangbernama Prabu Sumabrata. Hamba tahukalau sekitar Gunung Jaran initermasuk wilayah Kerajaan Kulon. Tapiraja sendiri tidak pernah mengijinkanrakyatnya mengusik tempat ini. Dankami semua memang tidak ingindiganggu. Tidak ada seorang pun yangberani mengganggu, kecuali....” “Teruskan, Biru,” pinta Rangga .
“Kecuali Dewa Iblis, Yang Mulia.”
“Dewa Iblis...?!” Rangga ter-henyak mendengar nama itu.
“Benar, Yang Mulia.”Rangga terdiam membisu. Nama itu memang pernah didengarnya saat siTongkat Samber Nyawa dulu pernahmenyebutkan. Cukup lama juga PendekarRajawali Sakti itu terdiam merenung.
Otaknya berputar keras, kemudianRangga tersentak dan bangkit berdiri.
Dipandanginya si Biru dalam-dalam.
“Kau tahu di mana si Dewa Iblisitu tinggal?” tanya Rangga .
“Di Puncak Gunung Jaran ini, YangMulia. Dewa Iblis tinggal di sebuah kuil tua,” sahut makhluk biru itu.
Rangga mengalihkan pandangannyake Puncak Gunung Jaran yang selaluterselimut kabut, baik siang maupunmalam. Sepanjang mata memandang, hanyakehijauan yang tertutup kabut. GunungJaran ini memang tidak pernah dijamahmanusia, dan Rangga sendiri baru kaliini ke sini.
“Biru, mengapa Dewa Iblis selalumengganggu bangsamu?” tanya Rangga ingin tahu.
“Dewa Iblis yang ini adalahketurunan terakhir, Yang Mulia. Sejakjaman nenek moyang, antara kami dandia selalu bermusuhan. Mereka selaluingin menguasai bangsa kami untuk maksud-maksud jahat. Tapi sudah menjadi takdir, kalau kami tidak akanmempunyai pemimpin dari keturunan Dewa Iblis.”
“Kenapa begitu?”
“Karena Sang Hyang Wenang memangsudah menggariskan demikian, YangMulia. Dewa Iblis bukanlah manusiautuh, tapi keturunan darah iblis.
Sedangkan kami sudah ditakdirkan untukmengabdi pada manusia seutuhnya yangbukan keturunan neraka atau nirwana.
Untuk itu, kami membuat tanda yangterbuat dari tulang-tulang pemimpinpertama. Tanda itu kini dipegang YangMulia,” jelas si Biru.
“Hm, jadi siapa saja yang memegang benda ini langsung menjadi pemimpin bangsamu?” Rangga inginmemperjelas.
“Benar, Yang Mulia.”
“Tidak peduli apakah orang itubaik atau jahat?”
“Kami tidak bisa membedakanantara yang baik dan yang jahat. Kamiterlalu patuh pada pemimpin, dan itusudah menjadi sumpah kami di hadapanSang Hyang Wenang.”
“Dewata Yang Agung...,” desahRangga tidak menyangka.
“Tidakseharusnya makhluk sepertimu jatuh ketangan orang berwatak jahat.”Rangga memandangi potongantongkat yang tergenggam di tangannya.
Sungguh, dia tidak tahu lagi harusberbuat apa dengan tongkat ini. Tidakmungkin tongkat ini dibawa terusselama hidup. Makhluk-makhluk biru iniharus mempunyai pegangan hidupsendiri, tapi tidak mudah untukmerubahnya. Dan ini semua ditentukanHyang Widi, penguasa tunggal seluruhjagad raya ini. Rangga tidak mungkinmampu merubah keyakinan mereka.
Tongkat kepala tengkorak ini sudah menjadi lambang kepemimpinan yangtidak bisa dirubah lagi.
“Ayo, Biru. Kita ke Puncak GunungJaran,” ajak Rangga .
“Mau apa ke sana, Yang Mulia?”tanya si Biru sambil berdiri.
“Siapa tahu Pandan Wangi ada di sana. Kalaupun tidak, aku akanmembebaskan bangsamu dari gangguan siDewa Iblis,” tegas Rangga .
“Sebaiknya jangan, Yang Mulia,”cegah si Biru.
“Kenapa?”
“Dewa Iblis sangat kejam. Diatidak segan-segan membunuh siapa sajayang coba-coba mengusik kehidupannya.
sudah banyak orang yang tewas ditangannya, terutama rakyat KerajaanKulon dan desa-desa sekitar kakiGunung Jaran ini. Yang Mulia, pernahsuatu ketika Raja Kerajaan Kulon mintabantuan kami untuk membinasakannya.
Tapi kami sendiri tidak sanggup, meskipun tidak bisa mati oleh apa pun.
Kecuali, bila Sang Hyang Wenangmenghendaki kami mati.”
“Hm...,” gumam Rangga tidakjelas.
Sebenarnya Pendekar RajawaliSakti itu agak terkejut juga, karenatidak menyangka kalau orang-orang diwilayah Kulon ini sudah mengetahuitentang adanya kehidupan suatu makhlukberwarna biru di Gunung Jaran ini.
Bahkan rajanya sendiri mengetahui.
Rangga jadi berpikir juga. Kalau halini sampai diketahui para tokoh rimbapersilatan, tentu kedamaian makhlukmakhlukbiru iniakan terancam. Rangga tahu betulwatakorang-orangrimbapersilatan yang serakah dan tidak pernah puas dengan apa yang sudah dimiliki.
Rangga tidak ingin memikirkantentang hal itu sekarang ini.
Pikirannya masih tertuju padakeselamatan Pandan Wangi yang kinientah di mana. Tanpa berkata apa-apalagi, Pendekar Rajawali Sakti itumengayunkan kakinya melangkah.
“Yang Mulia...,” panggil si Biruseraya mengejar.
“Ada apa, Biru?” tanya Rangga terus saja berjalan tanpa menoleh .
“Apakah Yang Mulia tetap akan kePuncak Gunung Jaran?”
“Tentu,” sahut Rangga mantap.
“Hamba mohon, Yang Muliamengijinkan hamba untuk kembali,”mohon si Biru.
Rangga berhenti melangkah, lalumembalikkan tubuhnya menghadap padamakhluk berwarna biru itu.
Dipandanginya dalam-dalam, kemudianditepuk pundak makhluk itu sambilmengulas senyum.
“Baiklah. Kukabulkan permintaanmuini. Tapi kuminta kau menjaga tongkatini baik-baik,” kata Rangga .
“Apakah Yang Mulia akanmengambilnya lagi nanti?”
“Iya,” hanya itu yang bisadiucapkan Rangga .
“Tapi tongkat ini berguna untuk memanggil, Yang Mulia.” “Lalu, bagaimana cara memanggilmuselain dengan tongkat itu?”
“Hentakkan kaki tiga kali, dansebut namaku. Hanya hamba yang akanmuncul membawa tongkat ini danmenyerahkan kembali pada Yang Muliauntuk memimpin kami.”
“Baiklah. Aku pergi dulu dan jagatongkat ini baik-baik.”
“Akan hamba jaga dengan baik, Yang Mulia.”Rangga tersenyum dan menepukpundak makhluk biru itu. Setelahmembungkuk hormat, makhluk bertubuhbiru itu melesak cepat masuk ke dalamtanah sambil membawa tongkat berkepala tengkorak manusia. Rangga memandangibeberapa saat, kemudian bergegasberbalik dan berlari cepat menujuPuncak Gunung Jaran.

*
* *



::::↨֍¦ 6 ¦֎↨::::

Tidak terlalu sukar bagi Rangga untuk menemukan letak puri yangmerupakan tempat tinggal Dewa Iblis.
Pendekar Rajawali Sakti itu memandangibangunan yang seluruhnya terbuat daribatu itu. Sebuah bangunan puri tuayang kelihatannya tidak terawat baik.
Sekitarnya ditumbuhi rumputan liar.
Seluruh dinding puri berlumut tebal.
Bangunan ini seperti tidak pernahdijamah manusia.
Rangga mengayunkan kakinya lebihmendekat ke puri itu. Sikapnya begituwaspada. Matanya tidak berkedip memandang sekitarnya. PendekarRajawali Sakti itujuga mengerahkanaji ‘Pembeda Gerak dan Suara’, untuk menangkapsuara-suara yangmencurigakan. Tapi sampai sejauh ini, tidak terdengar suara apa pun selain desir angin yangmengganggu gendangtelinga. Tapi ketikatinggal beberapa langkah lagi mencapai bangunan puri itu, mendadaksaja....
“Berhenti...!”terdengar bentakankeras menggelegar.
Rangga langsung menghentikan langkahnya. Dan belum sempat berbalik, tiba-tiba saja sebuah tombak panjangmeluncur deras dari arah belakang.
Cepat sekali Pendekar Rajawali Saktiitu memiringkan tubuh, maka tombak itulewat sedikit di sampingnya. BergegasPendekar Rajawali Sakti memutartubuhnya membelakangi puri. Entah darimana datangnya, tahu-tahu di depannyasudah berdiri seorang wanita mudaberwajah cantik.
Wanita itu hanya mengenakanselembar kain kecil yang menutupiauratnya. Tangannya memegang sebatangtombak panjang bermata tiga pada ujungnya. Wanita itu menghentakkan tombaknya ke tanah tiga kali. Makaseketika itu juga dari dalam semak danbalik pepohonan berlompatan wanitawanita berwajah cantikmenggenggam tombak bermatatiga.
Merekasemua hanya mengenakan cawat danpenutup dada. Sebagianbesar tubuhnya terbuka lebar, memamerkan kulit putihhalus yangmembungkustubuh rampingnan indah. Ada sekitar dua puluh orang yang kinisudah mengepungPendekar RajawaliSakti.
“Hm...,” gumam Rangga pelahan. PendekarRajawali Sakti itu bersikap waspada. Dia tahu kalau wanita-wanita ini pasti bermaksudtidak bersahabat. Dan Rangga pernahmelihat mereka di perkampungan anehyang hanya memiliki dua belas rumahsaja. Dan itu dilihatnya pada saatdiadakan upacara perkawinan yangmembuat darahnya mendidih.
“Ternyata kau cukup punya nyalijuga untuk datang ke sini, PendekarRajawali Sakti!” kata wanita itu, dingin nada suaranya.
“Siapa kau, Nisanak?” tanyaRangga tenang.
“Aku Lara Pandini, penguasa PuriJaran ini,” jawab wanita itu lantang.
Rangga bergumam tidak jelas.
Wanita yang satu ini memang agak laindari yang lainnya. Dia mengenakan ikat kepala berwarna kuning keemasan yang dihiasi sebuah batu merah di tengahtengah keningnya.
Sedangkan yanglain tidak mengenakanapa-apa. Danitu sudah menandakan kalau wanita cantik iniadalah pemimpinnya.
Tapibukandia yangdicari.
“Kautelahmelanggar daerah kekuasaanku, Pendekar RajawaliSakti. Kau tahu, puri ini terlarang bagi laki-laki. Dan siapa saja yang berani melanggar harusmati!” tegaskata-kata LaraPandini.
“Hebat!Mudah sekali kau mengatakan mati padaseseorang. Padahal, kaujuga menyimpanlaki-laki di tempat ini,” sinis nada suaraRangga .
“Tutup mulutmu, keparat!” bentak Lara Pandini memerah wajahnya.
“Kenapa kau kelihatan marah, Nisanak?”
“Mulutmu memang harus dibungkam, Pendekar Rajawali Sakti! Seraaang...!”Seketika itu juga sekitar dua puluh wanita cantik yang bersenjatakantombak bermata tiga, langsung berlompatan menyerang Rangga .
Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti yangmemang sudah siaga sejak tadi, segerabergerak cepat mempergunakan jurus‘Sembilan Langkah Ajaib’ yang sesekalidipadukan dengan jurus ‘Pukulan MautParuh Rajawali’ pada tingkatan pertama.
Dugaan Rangga memang benar.
Wanita-wanita itu bukanlahtandingannya. Tingkat kepandaianmereka masih terlalu jauh biladibandingkan dengannya. Sehingga mudahsekali pemuda berbaju rompi putih itumemporak-porandakan serangan mereka.
Dalam beberapa gebrak saja, mereka sudah berpelantingan memperdengarkan suarajeritankesakitan. Rangga memangsengaja tidakmengerahkantenagadalampenuhdalam melancarkanpukulan-pukulan agartidak membahayakanlawan-lawannya. Satupersatu mereka dibuat roboh tak sadarkan diri tanpa terluka sedikitpun.
Sebentar saja, dua puluh orangwanita cantik itu sudah tergeletaktidak sadarkan diri. Tinggal sangpemimpin yang bernama Lara Pandinimasih berdiri kokoh dengan tombakbermata tiga tergenggam erat di tangankanan.
“Jangan merasa besar kepala duluhanya karena bisa menjatuh kanpengawal-pengawalku, Pendekar RajawaliSakti!” dengus Lara Pandini sengit.
“Aku ingin tahu, apakah kau samatololnya dengan mereka!” ejek Rangga memanasi.
“Bedebah! Pantang aku dihina, Pendekar Rajawali Sakti!” geram LaraPandini gusar.
Setelah berkata demikian, Lara Pandini langsung melompat menerjangRangga yang sudah siap sejak tadi.
Wanita cantik ini ternyata memangtidak seperti yang lain, ilmu olahkanuragannya ternyata cukup tinggijuga. Bahkan serangan-serangannya puncukup berbahaya. Tapi Rangga melayaninya dengan bibir tersunggingsenyuman.

*
* *

Kepandaian yang dimiliki LaraPandini memang cukup tinggi, tapi itubukan berarti dapat mengalahkanPendekar Rajawali Sakti. Kalau boleh dibilang, masih jauh untuk bisamendesak sekali pun! Maka tidakterlalu sukar bagi Rangga menjatuh kanwanita itu. Dalam waktu singkat sajasatu pukulan telak berhasildisarangkan Rangga pada tubuh wanitaitu. Akibatnya Lara Pandini terpekikjatuh tersuruk mencium tanah!Sebelum sempat bangkit berdiri, Rangga sudah menubruknya dan memberisatu totokan halus di dada LaraPandini. Wanita cantik itu langsunglemas tak bertenaga lagi. Jalandarahnya tersumbat akibat totokanPendekar Rajawali Sakti yang tidakdapat terelakkan lagi. Rangga membalikkan tubuh wanita itu hingga menelentang.
“Aku tidak tahu, apa yangmembuatmu jadi liar begini, Nisanak.
Sinar matamu mencerminkan adanyapengaruh kuat di luar akal sehatmusesungguhnya,” kata Rangga datar.
“Huh!” Lara Pandini mendengusberang.
“Baik-baiklah di sini. Akankucoba menghilangkan pengaruh yang adapada dirimu,” kata Rangga lagi.
Setelah berkata demikian, Rangga langsung melompat mendekati puri tuayang tampak tidak terurus itu. Hanyasekali lesatan saja, Rangga sudah mencapai ambang pintu yang tidakmemiliki penutup. Tapi belum juga Pendekar Rajawali Sakti itu bisamelangkah masuk, mendadak dari dalamberkelebat sebuah bayangan biru.
“Uts!”Buru-buru Rangga memiringkantubuhnya , sehingga terjangan bayanganbiru itu lewat di depannya. PendekarRajawali Sakti langsung melompat kebelakang, dan jadi terkejut. Ternyatabayangan biru itu kembali menyeRangga nas. Tapi yang membuat PendekarRajawali Sakti itu terkejut adalahbukan serangannya, melainkan orangnya.
“Pandan, tahan...!” bentak Rangga keras.
Secepat kilat Rangga melompat kebelakang sejauh dua batang tombak.
Serangan wanita berbaju biru yang ternyata memang Pandan Wangi ituterhenti. Sejenak Rangga tertegunmelihat sorot mata Pandan Wangi merahmenyala, bagai sepasang bola api yangsiap membakar. Raut wajahnya begitukaku, dan bibirnya terkatup rapat.
Gadis itu bagai sosok makhluk yangtidak mengenal siapa dirinya sendiri.
“Ha ha ha...!”Belum lagi Rangga sempat berpikirjauh, mendadak saja terdengar tawaterbahak-bahak. Pendekar RajawaliSakti itu menoleh . Tampak di atas purisudah berdiri Prabu Sumabrata yangdidampingi Ki Ratapanca dan PendetaGorayana.
“He he he..., permainan yangpaling mengesankan, Gusti Prabu,” ujarKi Ratapanca diiringi tawanya yangterkekeh.
“Sepasang kekasih salingberhadapan. Sungguh mengesankan. He hehe...!”
“Bedebah...!” desis Rangga menggeram marah.
“Ayo, Pandan. Kau tidak ingin adaduri dalam dirimu, bukan...? Bunuhbocah setan itu!” perintah KiRatapanca keras dan sangat lantang.
Pandan Wangi menoleh , lalumembungkukkan badannya sedikit padatiga laki-laki yang berdiri di ataspuri itu. Rangga jadi menggeram marah.
Gigi-giginya bergemeletuk dan otot-ototnya menegang menahan kemarahan yang memuncak. Kini disadari kalauPandan Wangi dan gadis-gadis cantikyang tergeletak di tanah itu benarbenarterpengaruh jiwanya, sehingga tidak bisa lagimengenali diri dan lingkungannya lagi. Mereka hanyapatuh menjalankanperintah, tidak peduliapakah perintah itu dapat mencelakakandiri sendiri.
“Hiyaaat...!”Sambil berteriak kerasmelengking, Pandan Wangi melompatmenyerang Rangga . Cepat sekaliserangan si Kipas Maut itu, sehinggaRangga sedikit terperangah. Namuncepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti itu melompat ke samping sambil memberisatu pukulan tanpa disertai pengerahantenaga dalam. Namun Pandan Wangi dapatberkelit manis sekali, dan bahkan jugamelepaskan satu pukulan kerasmenggeledek.
“Ufs...!”Rangga benar-benar terkejut.
Meskipun pukulan itu dapat dielakkan, tapi tubuhnya sempat juga terdorong kebelakang oleh hempasan angin pukulanyang bertenaga dalam tinggi itu.
Rangga sadar kalau Pandan Wangibertarung di luar kesadarannyasendiri. Serangan-serangan yangdilakukan demikian dahsyat dan sangatberbahaya.
Rangga jadi kebingungan sendiri, karena tidak ingin melukai gadis ini.
Tapi kalau bertarung seperti initerus, bisa-bisa dia sendiri yang akantewas. Cukup sulit keadaan yangdihadapi Rangga sekarang ini. Duanyawa harus diselamatkan dalam waktubersamaan. Nyawanya sendiri dan nyawaPandan Wangi yang tengah dipengaruhialam pikirannya.
Keragu-raguan memang akan membuatdiri menjadi terpedaya. Demikian jugayang dialami Rangga . Sulit untukmenentukan, harus berbuat apa terhadapPandan Wangi yang sedang kehilangankesadarannya. Keraguan PendekarRajawali Sakti itu menjadi sasaran empuk Pandan Wangi. Beberapa kalipukulan dan tendangan gadis itubersarang di tubuh Rangga .
“Pandan, cukup...!” sentak Rangga hampir kehilangan kesabaran.
Darah sudah menetes di sudutbibir Pendekar Rajawali Sakti itu.
Satu pukulan keras bertenaga dalamtinggi yang bersarang di dadamembuatnya berkunang-kunang, dannapasnya terasa sesak. PendekarRajawali Sakti bergulingan beberapakali di tanah, dan kesempatan inidimanfaatkan untuk melompat tinggi keudara.
“Hiyaaa...!”Dengan mempergunakan jurus ‘Sayap Rajawali Membelah Mega’, Rangga meluruk deras ke atas puri tempat dimana Prabu Sumabrata, Ki Ratapanca, dan Pendeta Gorayana berada di sanasambil memperhatikan sejak tadi.
Mereka jadi terkejut, karena tiba-tibasaja Rangga meluruk ke arah mereka.
“Awas...!” seru Prabu Sumabratamemperingatkan.
Ketiga orang itu buru-buruberlompatan menghindari terjanganRangga yang begitu cepat bagai kilat.
Prabu Sumabrata dan Ki Ratapancaberhasil menghindari terjanganPendekar Rajawali Sakti, tapi PendetaGorayana terlambat bertindak.
Akibatnya kibasan tangan Pendekar Rajawali Sakti tidak bisa dihindarilagi, tepat menghantam dadanya.
Des!
“Akh...” Pendeta Gorayana memekikkeras tertahan.
Darah langsung muncrat darimulutnya. Laki-laki tua berjubahkuning dan berkepala gundul itu kontanterjengkang ke belakang. Punggungnyamenghantam batu puri hingga hancur berantakan. Pendeta Gorayana menggeliat berusaha bangkit berdiri.
Namun belum juga mampu berdiri tegak, Rangga sudah kembali melompat sambilmenyarangkan satu pukulan kerasbertenaga dalam sempurna.
“Hiyaaa...!” Prak! “Aaa...!” jeritan panjangmelengking terdengar.
Sungguh luar biasa pukulanPendekar Rajawali Sakti. Kepala gundulitu bagai buah kelapa yang hancurtertimpa batu. Darah bersimbah membasahibatu-batupuri. Hanyasebentar Pendeta Gorayana berkelojotan, sesaat kemudian diam takbergerak-geraklagi. Laki-laki gundul itu tewasseketika dengan kepalahancur! Rangga berdiri tegak disamping tubuh yangtergeletak takbernyawa lagi itu. Diputar tubuhnya pelahanlahan menghadapi Prabu Sumabrata dan KiRatapancayangsangatterkejutmelihat kematian Pendeta Gorayana yangbegitu tragis.

*
* *

Pelahan-lahan Rangga melangkahmaju mendekati dua orang laki-lakiitu. Pandangan matanya begitu tajammenusuk. Tangannya terkepal erat, pertanda sudah begitu marah. Belumpernah Rangga marah seperti ini.
Dirinya merasa benar-benardipermainkan, ditambah lagi perasaancemburu melihat Pandan Wangi jadisedemikian rupa.
“Kalian harus mampus, iblis-ibliskeparat..!” desis Rangga menggeram marah.
“Hiyaaa...!” Sambil berteriak nyaring, Pendekar Rajawali Sakti melompatmenerjang sambil mencabutpedangnya. Seketikacahaya birumenyemburat terang dariPedang PusakaRajawali Sakti. PrabuSumabrata danKi Ratapanca terperangah sesaat, tapi cepat-cepat berlompatanmenghindari sabetan pedangyang memancarkansinar biru yang menyilaukan mataitu. Glarrr! Ledakankerasterdengar ketika Pedang Rajawali Sakti menghantam batupuri. Rupanya Rangga mengerahkanseluruh tenaga dalamnya sewaktumembabatkan pedang itu. Akibatnya batu bangunan puri yang begitu keras, hancur berkeping-keping terkenatebasan pedang pusaka yang dahsyatitu.
Seluruh bangunan puri bergetarhebat bagai diguncang gempa sangatdahsyat. Rangga terus mengamukmembabatkan pedangnya yang luar biasa.
Sinar biru bergumpal-gumpal di matapedang yang berkelebatan cepatmencecar dua orang laki-laki itu.
Mereka hanya bisa berlompatanmenghindari setiap serangan PendekarRajawali Sakti yang begitu dahsyat danberbahaya sekali. Hampir seluruhbangunan puri berantakan, terkenasabetan pedang Pendekar Rajawali Sakti.
“Mampus kalian, iblis keparat!Hiyaaa...!” teriak Rangga kerasmenggelegar.
Ledakan-ledakan terus menggelegarmembahana. Batu-batu bangunan puriberhamburan terbabat pedang bersinarbiru berkilau itu. Rangga terusmencecar dua orang laki-laki yangtelah membuat kemarahannya memuncaktak terkendali lagi. Tanpa disadari, Pendekar Rajawali Sakti mengeluarkanjurus ‘Pedang Pemecah Sukma’. Satujurus andalan yang jarang sekalidigunakan. Dan akibatnya sungguh luarbiasa! Bangunan puri yang seluruhnyaterbuat dari batu itu jadi hancur berkeping-keping!Rangga seperti tidak mempedulikan lagi dua orang musuhnya. Dia terusmengamuk membabi buta membabatkanpedangnya pada apa saja yang berada didekatnya. Hal ini membuat PrabuSumabrata mengambil kesempatan untukmelarikan diri. Dengan cepat diamelompat kabur pada saat Rangga menyerang Ki Ratapanca.
“Hup...!”Ki Ratapanca melompat menghindaritebasan pedang Pendekar RajawaliSakti. Sigap sekali serangan itudihindari. Pedang yang bersinar biruitu menghantam batu dinding purihingga hancur berantakan. Ki Ratapanca sempat melihat Prabu Sumabrata melarikan diri. Dia juga bermaksudkabur, tapi Rangga tidak memberikesempatan. Pendekar Rajawali Saktiitu terus mencecar menggunakan jurus‘Pedang Pemecah Sukma’ yang sangatdahsyat.
“Gila! Dahsyat sekali pedangnya...!” dengusKi Ratapancamulai gentarhatinya.
“Mau lari ke mana kau, setan!” geram Rangga sengit. Ki Ratapancamenggeser kakinya ke samping dengan tongkat menyilangdi depan dada.
Sedangkan Rangga mengikuti gerakanlaki-laki tua itu dengan tatapan tajam menusuk. Bola mataPendekar Rajawali Sakti itu memerahmembara bagai sepasang bola api yangsiap membakar apa saja. Ki Ratapancaagak bergidik juga saat pandangannyatertumbuk pada tatapan mata Rangga yang begitu tajam.
“Mampus kau! Hiyaaa...!” seruRangga keras dan tiba-tiba sekali.
Sebelum suara teriakannyamenghilang, tubuh Pendekar RajawaliSakti itu melesat cepat bagaikan kilatmenerjang Ki Ratapanca.
Wuk!Bagaikan kilat Rangga mengibaskan pedangnya ke arah leher laki-laki tuaitu. Sesaat Ki Ratapanca terperangah, tapi cepat-cepat mengangkat tongkat-nya. Segera dikibaskan tongkat itu untuk menangkis sabetan pedangbersinar biru itu.
Trang!Trak!
“Heh...!”Ki Ratapanca terkejut bukan main, hingga melompat mundur sejauh duabatang tombak. Kedua matanya terbeliakmelihat tongkatnya buntung jadi duabagian. Dan sebelum keterkejutannyalenyap, mendadak saja Rangga sudah menyerang kembali dengan pedangterhunus mengarah ke dada.
“Hiyaaa...!”
“Uts!”Bergegas Ki Ratapanca membanting tubuhnya ke tanah. Pada saat itu, Rangga cepat menarik pedangnyakembali. Dan secepat itu puladiayunkan kakinya disertai pengerahantenaga dalam yang sudah mencapai tarafkesempurnaan.
Des!Tendangan Pendekar Rajawali Saktiitu tidak dapat dibendung lagi. KiRatapanca menjerit keras merasakaniganya terhantam tendangan kerasbertenaga dalam sempurna itu. Tubuhyang belum juga menyentuh tanah itukembali terpental dan menghantamsebatang pohon besar hingga tumbang!
“Yeaaah...!”Rangga benar-benar seperti kesetanan. Sedikit pun lawannya tidak diberi kesempatan lagi. Langsung sajaPendekar Rajawali Sakti melompatderas, kemudian mengibaskan pedangnyamemenggal leher Ki Ratapanca hinggaterpenggal putus dari badan.
Tak ada suara jeritan yangkeluar, karena Ki Ratapanca sudah tewas sebelum pedang Pendekar RajawaliSakti memenggal lehernya. Tendanganyang dilepaskan Rangga membuat seluruhtulang iganya remuk. Rangga berdiritegak di samping mayat tanpa kepalalagi itu. Sedangkan Pedang RajawaliSakti masih tergenggam erat ditangannya. Pelahan-lahan kakinyamelangkah mundur, lalu dimasukkan pedang pusakanya ke dalam warangka.
Cahaya biru langsung lenyap seketika.
Rangga membalikkan tubuhnya , mengedarkan pandangannya kesekeliling. Gerahamnya bergemeletukbegitu menyadari kalau Prabu Sumabratayang diyakininya sebagai si Dewa Iblissudah lenyap dari tempat ini.
Pandangan Rangga langsung tertuju padasosok tubuh berbaju biru yang tergolekdi tanah, bersama wanita-wanitabercawat dari kulit kayu.
“Pandan...,” desis Rangga bergegas memburu menghampiri.

*
* *



::::↨֍¦ 7 ¦֎↨::::

Rangga mengangkat tubuh PandanWangi yang masih tergeletak danmatanya terpejam rapat. Dengan lembutditepuk-tepuknya pipi gadis itu.
Sebentar kemudian Pandan mulaimengeluh, dan kepalanya bergerakmenggeleng pelahan. Dan kini kelopakmatanya mulai terbuka sedikit demisedikit.
“Pandan...,” panggil Rangga .
“Ohhh...,” lemah sekali suaraPandan Wangi.
Sebentar gadis itu memejamkanmatanya kembali. Dipegangi kepalanya, kemudian dibuka matanya. Begitu melihat Rangga memeluk tubuhnya , gadi situ langsung menggerinjang bangunsambil mendorong Pendekar RajawaliSakti. Hampir saja Rangga tersuruk jatuh kalau saja tidak cepat-cepat menahan dengan tangannya. Bergegaspemuda itu berdiri dan menghampiriPandan Wangi yang tengah mengedarkanpandangannya ke sekeliling sepertiorang kebingungan.
“Pandan...,” panggil Rangga lembut.
“Oh! Apa yang terjadi, Kakang?”tanya Pandan Wangi terkejut. Kembalidiedarkan pandangannya ke sekeliling.
“Justru itu yang hendakkutanyakan padamu,” sahut Rangga .
“Siapa mereka, Kakang?” tanyaPandan Wangi.
“Aku tidak tahu.”Pandan Wangi memandangi Rangga , seperti tidak percaya atas jawabanPendekar Rajawali Sakti barusan.
Pandangan gadis itu kembali tertuju pada gadis-gadis muda yang mulaisiuman. Mereka mulai bangun, dantampak kebingungan. Hampir bersamaan mereka terpekik begitu menyadari hanyamengenakan cawat, dan tubuh hampirseluruhnya terbuka. Mereka jadikelabakan, terlebih lagi di situ juga ada seorang pemuda yang jadi risih sendiri.
“Siapa kalian? Kenapa berada disini?” tanya seorang gadis yangdikenal Rangga bernama Lara Pandini.
“Kau yang menjawab, Pandan,” kataRangga setengah berbisik.
“Aku...? Aku sendiri tidak tahu,”Pandan Wangi juga kebingungan.
“Hhh.... Kenapa jadi begini...?”keluh Rangga .
Pendekar Rajawali Sakti itu belum bisa menjelaskan, karena tiba-tibasaja gadis-gadis cantik bercawat itu jadi ribut melihat puri hancurberantakan tak berbentuk lagi. Gadisgadis itumemandangi bangunanpuri yang hancur, kemudian berpaling pada Rangga , seakan-akan meminta penjelasan. Lara Pandini mendekati Pendekar Rajawali Sakti itu.
“Aku minta, tolong jelaskan semua ini, Kisanak,” ujar Lara Pandini, agaktertekan suaranya.
Rangga mengangkat bahunya. Tanpadiminta dua kali, dijelaskanlah semuayang terjadi di puri ini. Tak ada yangmembuka mulut, semua mendengarkanpenuh perhatian. Rangga menjelaskansampai pada hal-hal yang terkecil.
Keheningan menyelimuti sekitartempat itu. Masih belum ada yangmembuka suara, meskipun PendekarRajawali Sakti telah selesaimenceritakan semua kejadiannya. Tampakwajah gadis-gadis cantik itu seperti mendung. Tanpa berkata apa-apa lagi, mereka melangkah menghampiri puri yangberantakan. Hanya Lara Pandini masihberada di tempatnya, di depan PendekarRajawali Sakti yang berdiri di sampingPandan Wangi.
“Di mana sekarang Dewa Iblisitu?” tanya Lara Pandini, agaktertahan nada suaranya.
“Entahlah. Dia berhasil kabur danmengorbankan orang-orangnya,” sahutRangga .
Lara Pandini menoleh danmenyaksikan dua sosok mayat yangtergeletak mengerikan. Darah masihmengucur dari tubuh mayat itu.
Sedangkan gadis-gadis lainnya mulai memberesi puri yang berantakan. Mereka menyusun kembali batu-batu yang masihbisa ditata. Satu pekerjaan berat. DanRangga sendiri tidak tahu, siapagadis-gadis yang kelihatannya begituberduka melihat kehancuran puri itu.
“Kisanak, sebetulnya puri initerlarang bagi laki-laki. Kami semuasangat mensucikan puri ini. Kamiadalah orang-orang yang terbuang danternoda akibat perbuatan laki-laki.
Itu sebabnya mengapa aku selalu kerasterhadap setiap laki-laki yang mencobamemasuki daerah ini,” jelas LaraPandini setelah lama terdiam.
“Aku mengerti, dan secepatnyaakan pergi dari sini. Maaf, kalau aku telah membuat tempat sucimu jadi kotordan berantakan begini,” ujar Rangga sopan.
“Tidak, Kisanak. Justru aku yangminta maaf karena telah mencurigaimu.
Terus terang, semula aku telahberprasangka buruk padamu. Danternyata kaulah yang membebaskan kamidari jerat manusia iblis yangmenguasai kami dengan ilmunya. Merekamembuat kami tidak sadar dan patuhpada perintah dan keinginannya selamabertahun-tahun,” ada nada penyesalanpada suara Lara Pandini. Tapi sinarmatanya memancarkan dendam membara.
Rangga hanya tersenyum saja.
Diliriknya Pandan Wangi yang berada di sampingnya. Gadis itu tersenyum juga dan menganggukkan kepalanya sedikit, hampir tidak terlihat gerakan kepalaitu.
“Maaf. Aku tidak bisa lama-lamaberada di sini, karena harus mengejarsi Dewa Iblis,” ucap Rangga berpamitan.
“Kisanak, maukah kau membawakankepalanya untukku?” pinta LaraPandini.
“Kepalanya...?! Untuk apa?”Rangga terkejut.
“Untuk peringatan bagiku dansaudara-saudaraku yang lain, agartidak terpedaya rayuan manis lakilaki,” sahut LaraPandini.
Rangga tidak bisa memastikan.
Diliriknya Pandan Wangi sekali lagi.
Yang dilirik hanya mengangkat bahunyasaja, tidak bisa memberikan keputusanapa pun.
“Aku mohon padamu, Kisanak,” ucapLara Pandini lagi.
“Hhh..., baiklah,” sahut Rangga mendesah setelah berpikir beberapasaat lamanya.
“Terima kasih,” ucap Lara Pandiniberseri-seri.
Rangga kemudian mohon diri, dansegera mengajak Pandan Wangimeninggalkan tempat ini sebelum LaraPandini meminta yang macam-macam lagi.
Mereka segera berjalan cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh, sehingga dalam waktu sebentar sajasudah jauh meninggalkan halaman puridi Puncak Gunung Jaran ini. LaraPandini masih berdiri memandangi, sampai kedua pendekar muda itu lenyapdari pandangannya.

*
* *

Rangga dan Pandan Wangi baruberhenti berjalan setelah tiba diperkampungan aneh yang tidak adapenduduknya. Mereka merayapi sekitarnya yang sunyisenyap. Bahkan suara binatang pun tidak terdengar.
Hanya desir angin saja yang terdengar, mengalun bermain di gendang telinga.
Beberapa saat mereka berdiri diamterpaku merayapi kesunyian itu.
Pelahan Rangga berpaling menatapPandan Wangi. Saat itu Pandan Wangijuga berpaling memandang Rangga .
“Kau pernah ke sini, Kakang...?”tanya Pandan Wangi seperti ragu-ragu.
Suaranya pun terdengar pelan sekali.
Rangga memandangi Pandan Wangidalam-dalam. Agak terkejut jugamendengar pertanyaan gadis itu.
Sedangkan Pandan Wangi sendirimerayapi perkampungan yang sunyi tanpaseorang penduduk pun yang menghuni.
Perhatiannya lurus tertuju pada rumahyang paling besar, yang bagian depannya hancur berantakan.
“Semalam kau hampir jadipengantin di sini,” jelas Rangga .
“Ya, aku tahu,” sahut PandanWangi mendesah pelahan.
“Tapi akutidak bisa berbuat apa-apa.”
“Kau tahu...?!” Rangga benarbenar tidak bisamenyembunyikan keterkejutannya kaliini.
“Kau terkejut, Kakang?” Pandan Wangi tersenyumpenuharti.
Tapi entah apa arti senyumansiKipas Mautitu. Rangga hanya diam saja, dan semakintidakmengerti akansikap Pandan Wangi kali ini. Sungguh aneh danpenuh misteri. Rangga tidak mengerti, apa sebenarnya yang tengahterjadi pada diri gadis ini. Sejakberada di Gunung Jaran ini, sikapPandan Wangi sungguh lain. Sepertinyaselalu diliputi perasaan takut, danjadi lebih pendiam tidak sepertibiasanya.
“Sebenarnya ini persoalan lama, Kakang. Aku sendiri tidak tahu, kenapadia masih juga mengharapkanku menjadiistrinya,” kata Pandan Wangi, pelanbernada mengeluh.
“Ceritakan, apa yang terjadi, Pandan,” pinta Rangga .
“Kau tidak marah, Kakang?”
“Aku akan marah jika memangkaulah yang membuat persoalan inisebelumnya,” kata Rangga diiringi senyuman kecil.
“Kalau begitu, marahlah! Karenamemang akulah yang membuat persoalanjadi berlarut-larut ini,” kata PandanWangi.
Rangga menelan ludahnya. Tidakdisangka kalau Pandan Wangi akanberkata seperti itu. Walaupun sudah lama mengenal dan selalu bersama-samagadis ini, tapi belum seluruhnyaRangga mengetahui perihal Pandan Wangisesungguhnya. Bagi pemuda itu, diriPandan Wangi masih terlalu banyakdiselimuti kabut misteri yang tidakmudah diungkapkan sekaligus. Asal-usulPandan Wangi pun masih belum begitujelas, meskipun sebagian sudah diketahuinya. Tapi Rangga tidak pernahambil peduli.
Namun kali ini Pendekar RajawaliSakti itu tidak bisa berdiam dirisaja. Rangga sudah merasakan kalauperistiwa ini bukan main-main dantidak bisa didiamkan. Beberapa kalinyawanya harus dipertahankan, danselama itu pula muncul ketidakmengertiannya.
Kini tanpa didugasama sekali, PandanWangi mengakukalau semuakejadianini adahubungannya dengan dirinya.
Bahkandirinyasendiri yang membuatnya seperti ini. Sungguh sulit dipercaya. Tapi Rangga harus mempercayainya.
“sudah lama aku menyimpan dan ingin melupakannya, tapi ternyata tidak semudah yang kukira. Hidupkuselalu dibayang-bayangi, dan semuanyajadi petaka begitu melihat GunungJaran ini, Kakang...,” jelas PandanWangi pelan.
“Ceritakan apa sesungguhnya yangterjadi, Pandan,” pinta Rangga lembut.
“Aku senang, ternyata kau tidakmarah,” seloroh Pandan Wangi.
Rangga tersenyum tipis. PendekarRajawali Sakti itu kembali melihatPandan Wangi yang dulu lagi. PandanWangi yang dikenalnya selama ini.
Meskipun dalam keadaan genting, selalusaja masih bisa berseloroh. Dan inilahyang hilang selama beberapa waktu di Gunung Jaran.
Sambil berjalan memasuki perkampungan sunyi itu, Pandan Wangiterus menceritakan semua yang pernahterjadi pada dirinya, hingga berbuntutpanjang sampai kini. Persoalan yangtak akan pernah berakhir sebelum Dewa Iblis berhasil dilenyapkan untukselama-lamanya. Sementara Rangga mendengarkan penuh perhatian.
“Jadi masalahnya karena kaupernah menantang Dewa Iblis...?” gumamRangga bertanya seperti untuk dirinyasendiri.
“Ya, dan aku kalah. Sungguh akumenyesal telah membuat perjanjiandengan manusia iblis itu. Jika kalah, aku bersedia menjadi istrinya. Tapi aku tidak sudi apabila harus menjadiistri manusia iblis seperti dia. Lebihbaik mati, daripada harus ikut-ikutanberlumur dosa.”
“Hm..., Pandan. Apakah Dewa Iblismemiliki suatu ilmu yang dapatmempengaruhi jiwa orang lain?” tanyaRangga , teringat akan gadis-gadis diPuri Gunung Jaran. Bahkan Pandan Wangisendiri juga pernah mengalaminya.
“Bukan dia, tapi PendetaGorayana. Ilmunya langsung lenyapbegitu kau membinasakannya, Kakang.
Dia pengikut setia Dewa Iblis.
Demikian juga Ki Ratapanca, dan siTongkat Samber Nyawa,” jelas Pandan Wangi.
Rangga mengangguk-anggukkan kepa-lanya. Kini baru jelas kalau dirinyapernah terjebak oleh Ki Ratapanca diperkampungan ini. Ternyata laki-lakitua itu hanya ingin mengujikemampuannya. Mengusirnya secara halusbegitu mengetahui kemampuan PendekarRajawali Sakti itu. Sungguh cerdik, tapi sangat licik. Sampai-sampaiRangga terpedaya tipu muslihatnya.
Hampir saja Pendekar Rajawali Saktiitu meninggalkan Gunung Jaran ini, kalau saja malam itu tidak mendengarsuara genderang ditabuh.
“Pandan, kau tahu di mana Dewa Iblis kini berada?” tanya Rangga setelah mereka cukup lama berdiam diri.
“Aku tidak tahu. Tempat tinggalnya tidak tetap. Dia selalumengembara dan mencari korban, terutama gadis-gadis muda. Para gadisitu akan dinikmati, lalu dibunuhnyatanpa ada rasa berdosa sedikit pun,”kembali Pandan Wangi menjelaskan.
“Rupanya kau tahu banyak tentangdia, Pandan.”
“Karena aku pernah kehilanganseorang sahabat karib. Itu sebabnyaaku menantangnya bertarung untukmembalas kematian sahabatku, Kakang.”
“Dan kau tidak mengukur kemampuandirimu sendiri...?” Pandan Wangi tidak menyahut.
Mengangguk pun tidak.
“Kau terlalu berani, Pandan,”ucap Rangga seraya menggelenggelengkankepalanya.
“Kakang....” “Hm?” “Dewa Iblis biasanya membawa korbannya kesini.
Tempatini dijadikan sebagai istananya. Tapi kedatangannya ke sini hanyakalau sudah mendapatkankorban seoRangga dis muda,” jelas Pandan Wangilagi.
“Hm..., kalau begitu kita tunggu saja di sini,” gumamRangga .
“Mustahil kalau akan ke sini lagi, Kakang. Dia selalu mencariistana baru jika istana yang satu sudah diketahui orang lain yangdianggap sebagai musuhnya. Dan kauadalah musuh terbesarnya saat ini, Kakang.”Rangga terdiam. Otaknya berputarkeras mencoba mencari cara untukmengejar Dewa Iblis yang kini entahberada di mana. Keterangan PandanWangi barusan membuat PendekarRajawali Sakti itu merasa menemukanjalan buntu. Tapi mendadak saja pemudaitu tersenyum, kemudian berjalan cepatmendahului Pandan Wangi.
“Kau tunggu di situ saja, Pandan!” seru Rangga begitu melihatPandan Wangi hendak mengejar.
Pandan Wangi hendak bertanya, tapi Rangga keburu lenyap di baliklebatnya hutan ini. Terpaksa gadis itumenunggu, duduk di bawah sebatangpohon yang cukup besar dan lebat untukmelindungi dirinya dari sengatan sinarmatahari.

*
* *

Apa yang dilakukan Rangga samasekali tidak diketahui Pandan Wangi.
Meskipun gadis itu sudah mengerahkanilmu ‘Pembeda Gerak dan Suara’, tetapsaja tidak mendengar apa-apa selaindesiran angin dan gemerisik dedaunan.
Pandan Wangi mengernyitkan alisnya saat melihat Rangga muncul lagi disertai senyuman di bibir. Gadis itumenunggu, tapi benaknya dipenuhiberbagai macam pertanyaan. SampaiRangga menggamit tangannya danmengajaknya pergi, Pendekar RajawaliSakti itu belum juga mengatakan apayang telah diperbuatnya di balikpepohonan.
“Sebenarnya aku tidak inginmembalas dendam. Tapi karena aku tidakrela kau jatuh ke tangan manusia iblisitu, maka dia harus kubunuh sekarangjuga,” kata Rangga tanpa menghentikanayunan langkahnya.
“Kau tahu di mana dia, Kakang?”tanya Pandan Wangi ingin tahu.
“Ya. Sekarang ini mungkin diasedang menunggu kita. Tapi yang pasti, menungguku,” sahut Rangga kalem.
Pandan Wangi mengernyitkandahinya. Sulit dimengerti, kenapatiba-tiba saja Rangga bisa mengetahuidi mana Dewa Iblis itu berada. BahkanPendekar Rajawali Sakti juga tahukalau manusia iblis yang memakai namaPrabu Sumabrata itu sedangmenunggunya. Pandan Wangi mencobamenerka-nerka, tapi tidak bisamenemukan jawabannya. Dia tidakmelihat kedatangan Rajawali Putih.
Juga tidak ada yang bisa diketahuiselama Rangga pergi beberapa saatlalu.
“Kakang, dari mana kau tahu dia sedang menunggu kita?” tanya PandanWangi tidak bisa lagi mengekangkeingin-tahuannya.
Rangga tidak menjawab, dan hanyatersenyum saja. Sedikit pun tidakberpaling dan terus berjalan ringanbagai tidak menyentuh tanah. PendekarRajawali Sakti itu menggunakan ilmumeringankan tubuh untuk menghemattenaga. Terpaksa Pandan Wangimengimbanginya juga. Meskipunkelihatannya mereka berjalan biasa, tapi kecepatannya melebihi orangberlari sekuat tenaga.
“Aku tahu, kau ingin membalasku.
Baik.... Aku tidak akan bertanya lagi,” keluh Pandan Wangi serayamengangkat bahunya.
“Ini bukan pembalasan, Pandan. Tapi belum waktunya untuk mengatakannya padamu. Nantipembalasannya,”kata Rangga serayamengerling.
“Aku tunggu,” tantang Pandan Wangitidak mengerti maksud Pendekar Rajawali Saktiitu. Pandan Wangi memangtidak bertanya-tanya lagi.
Diikuti saja ke mana Rangga pergi membawanya.
Sama sekali gadis itutidakmengetahuiarah yang dituju. Hutan Gunung Jaran begitu luas, dan belumterjamahtangan-tangan manusia. MeskipunPandan Wangipernah keGunungJaranini, tapi belumpernahmenjelajah sampai sejauh ini. Jalan yang dilalui memang sukar, tapi itubukanlah halangan yang berarti bagikedua pendekar muda ini.
Pandan Wangi memang tidak pernahtahu kalau Rangga kini mempunyaisahabat makhluk-makhluk aneh berwarnabiru yang hidup dalam tanah. Darisahabatnya itulah dapat diketahui, dimana Dewa Iblis kini berada. Selamamasih berada di lingkungan GunungJaran, makhluk-makhluk berwarna biruitu bisa mengetahui siapa saja dengancepat. Bahkan mereka bisa berada dimana saja. Karena selama masih adadebu di atas muka bumi ini, di situmereka bisa muncul kapan saja bila diperlukan. Mereka memang berasal daridebu-debu halus yang dianggap kotoroleh semua orang.
Dan Rangga tidak mempunyaikesulitan meminta keterangan darimakhluk-makhluk biru itu. Ini karenaPendekar Rajawali Sakti dianggapsebagai pemimpin mereka. Dan Rangga sendiri memang cerdik. Diserahkantongkat kepemimpinan pada salahseorang makhluk yang sudah diberitanda. Dengan demikian, tak ada lagiyang dapat menguasai mereka. Sebabtongkat berkepala tengkorak yangmenjadi lambang pemimpin bagi makhlukmakhlukbiru itukiniada padamakhluk yang diberi tanda. Rangga sudah berjanji dalam hati, akan merahasiakan hal ini tanpa terkecuali.
Kedua pendekar muda itu baru berhenti berjalan setelah tiba disuatu bibir lembah yang tidak begitubesar, namun kelihatan sangat indah.
Di tengah-tengah lembah itu terdapatdanau yang airnya berwarna keperakantertimpa cahaya matahari. Rangga berdiri tegak memandang ke seluruhlembah itu. Sementara Pandan Wangiberdiri di sampingnya tanpa berbicarasedikit pun.
“Kau lihat sesuatu, Pandan?”tanya Rangga tanpa berpaling“Tidak,” sahut Pandan Wangi.
Si Kipas Maut itu memang tidak melihat sesuatu selain pepohonan, rumput ilalang, dan batu-batu sertadanau di dalam lembah itu. Hanyaburung-burung dan binatang lain yangada di sana. Tak ada tanda-tandakehidupan lain lagi. Apalagi manusia.
“Di sanalah Dewa Iblis beradasekarang, Pandan,” kata Rangga memberitahu.
“Kau yakin, Kakang?” tanya PandanWangi memastikan.
“Tentu!” sahut Rangga .
Pendekar Rajawali Sakti ituberpaling memandang si Kipas Maut yangmasih saja mengedarkan pandangannya keseluruh lembah. Tampak jelas kalauraut wajah Pandan Wangi begitu tegang, seperti akan menghadapi sesuatu yang sangat genting dengan mempertaruhkannyawanya. Rangga bisa memahami. Karenajika tidak dihalangi atau didahului, gadis ini pasti akan berhadapankembali dengan lawan tangguh yangmemiliki kepandaian di atasnya.
“Apa yang kau pikirkan, Pandan?”tanya Rangga .
“Tidak ada,” sahut Pandan Wangiagak mendesah.
Rangga tidak bertanya lagi, danmemang tidak ingin mendesak gadis ituuntuk mengungkapkan isi hatinya.
Pendekar Rajawali Sakti itu kembalimemperhatikan lembah yang terbentangdi depan.
“Kakang....,” terdengar pelan danagak ragu-ragu nada suara PandanWangi.
“Ya...?” Rangga memalingkanmukanya menatap gadis di sampingnya.
“Kau harus hati-hati, Kakang. Dialicik sekali. Kau sudah mengalami saatkehilangan aku ketika kau tidur,” kataPandan Wangi.
Rangga hanya tersenyum saja.
Diakui dirinya pernah kecolongan saatPandan Wangi menghilang. Dia tidaktahu kalau di saat tidur, Dewa Iblismembawa si Kipas Maut yang sedangterluka cukup parah. Dewa Iblis jugamengelabui Rangga saat menyangkaPandan Wangi pergi secara diam-diam menggunakan kudanya. Padahal kuda putih itu memang sengaja dilepas dandibawa ke arah berlawanan. Dantentunya, agar Rangga masuk dalamperangkap. Tapi meskipun PendekarRajawali Sakti itu tidak menyadari, ternyata perangkap itu gagal. BahkanKi Ratapanca harus mengakuiketangguhan pendekar muda itu, sehingga mencari jalan halus agarRangga meninggalkan Gunung Jaran ini.
“Ayo kita turun, Pandan,” ajakRangga .
“Hhh,” Pandan Wangi mengangguk.

*
* *



::::↨֍¦ 8 ¦֎↨::::

Tidak terlalu sukar bagi Rangga dan Pandan Wangi untuk menuruni lembahitu. Sebentar saja keduanya sudah sampai di tepi danau kecil di tengahtengah lembah.
Memang tidakada seorangpun disini.
Rangga jadiraguragu juga, apakahmemang benar siDewa Iblis menunggu disini? “Aku tidak yakindia ada di sini, Kakang,” kata PandanWangi.
“Tunggusajasebentar, Pandan. Tidak lama lagi pasti datang,” kata Rangga menyabarkan. Padahalhatinya sendiri jugaragu-ragu.
“Hhh...!” Pandan Wangi menariknapas panjang.
Mereka merayapi sekitar lembahini. Tidak ada tanda-tanda kalau Dewa Iblis akan datang ke tempat ini.
Semakin lama ditunggu, perasaanPendekar Rajawali Sakti semakin raguragu. Tapisebelum keputusandiambil, mendadaksaja....
“Hahaha...!” Terdengar tawamenggelegar bagai hendakmeruntuhkandinding-dinding lembah yangsebagian besarterdiri daribatu-batucadas. PandanWangi langsung melompatmenghampiriPendekar Rajawali Sakti.
Diraba kipasbaja putih dipinggangnya. SedangkanRangga mencobamencari arah sumber tawa yangmenggelegar itu.
Belum sempat Rangga mendapatkan arah sumber suara tawa itu, mendadaksaja seberkas sinar merah membentukbulatan sebesar kepala orang dewasameluncur dari arah utara di ataslembah. Sinar bulat merah bagai bolaapi itu meluruk deras ke arah Rangga dan Pandan Wangi.
“Awas, Pandan...!” seru Rangga keras memperingati.
“Hup! Hiyaaa...!”
“Hap!”Tanpa membuang-buang waktu lagi, Pandan Wangi segera melompat kesamping. Sedangkan Rangga merentangkankakinya ke samping. Dan seketika itu juga kedua tangannya menghantam ke depan dengan jari-jari tangan terbukalebar. Pada saat bola merah itu hampirmenghantamnya, mendadak saja daritelapak tangan Pendekar Rajawali Saktiitu menghentak hembusan angin keras.
Wusss!Bola api itu jadi berbalik arahdan menghantam dinding batu hinggamenimbulkan ledakan dahsyat menggelegar. Akibatnya seluruh lembahini jadi bergetar bagaidiguncanggempa amat dahsyat. Dinding batu lembah itu hancurberkeping-keping, menimbulkan kepulan debu bagai jamurraksasa. Belum lagiRangga berhasil menarik pulang tangannya, kembalidatang satu bola api yang kinimeluncur lebih deras bagai kilat.
Suara menderu terdengar memekakkangendang telinga. Buru-buru keduatangan Pendekar Rajawali Saktidiangkat, dan diturunkan hinggasejajar dada. Kemudian secepat kilatdihentakkannya sambil berteriaknyaring.
“Hiyaaa...!”Wusss!Glarrr!Kembali ledakan keras terdengarbegitu bola api itu berbalik arah. Dankini kembali ke atas, lalu menghantambibir lembah yang lebat ditumbuhipohon cemara. Tepat saat bibir lembah itu hancur, melesat satu bayangan putih ke udara. Rangga tidak menyianyiakan kesempatan ini, karena tidak ingin Dewa Iblis kembalikabur.
“Hiyaaa...!” Sambil berteriakkeras, Pendekar Rajawali Sakti itu melentingkantubuhnya ke udara mempergunakan jurus‘Sayap Rajawali Membelah Mega’ padatingkatan terakhir. Tubuh PendekarRajawali Sakti meluncur deras bagaisebatang anak panah terlepas daribusur. Kedua tangannya merentang kesamping dan bergerak-gerak cepatmembuat lingkaran bagai sayap burung.
Wut! Wut...!Dua kali Rangga mengebutkan tangannya begitu bisa mencapai sosoktubuh berbaju putih ketat yangmelayang di udara. Tapi sosok tubuhputih yang ternyata memang Dewa Iblisatau juga dikenal sebagai PrabuSumabrata itu berhasil mengelak denganmemutar tubuhnya mengikuti arahsabetan tangan itu.
Dan tanpa diduga sama Sekali, Dewa Iblis berhasil memberi seranganbalasan dengan dua pukulan beruntunmengandung kemposan tenaga dalamtinggi. Rangga juga berhasilmengelakkan pukulan itu dengan meliukliukkan tubuhnya . Pertarunganyang sangat ganjil terjadi di udara. Tapi tubuh mereka melorot turunpelahan-lahan tanpa menghentikan pertarungan.
Mereka saling serang dan salingberkelit dengan kecepatan tinggi, sukar diikuti pandangan mata biasa.
Tap!Tap!Hampir bersamaan mereka mendaratdi tanah dengan manis sekali. Padasaat itu, Rangga langsung memberi satupukulan keras menggeledek. Pada saatyang sama, Dewa Iblis juga memberikansatu pukulan bertenaga dalam tinggi.
“Hiyaaa...!”
“Yeaaah...!”Buk!Dug!Pukulan-pukulan itu tidak bisa terbendung lagi. Dan tak mungkinmasing-masing bisa mengelakkannya.
Sehingga mereka sama-sama menerimapukulan pada waktu yang bersamaan.
Tubuh mereka terpental ke belakang danbergulingan di tanah, namun sama-samacepat bangkit kembali dengan sigap.
Langsung masing-masing mempersiapkandiri untuk pertarungan berikutnya.
“He he he...! Bagus! Ternyatanama besarmu tidak kosong, PendekarRajawali Sakti. Hari ini aku sungguhberuntung karena bisa berhadapandengan seorang pendekar yang telahmenggegerkan rimba persilatan,” ungkapDewa Iblis disertai tawanya yangterkekeh.
“Hm...,” Rangga hanya menggumam kecil saja. Namun tatapan matanyasangat tajam menusuk.
“sudah lama kurindukan kesempatanseperti ini, Pendekar Rajawali Sakti.
Ternyata para pembantuku yang goblokmemang benar. Kau benar-benar tangguh.
He he he...!” kembali Dewa Iblisterkekeh di akhir kata-katanya.
“Hm.... Jadi kau sengajamenggiring Pandan Wangi ke sini, heh?!” dingin sekali nada suaraRangga .
“Ternyata kau cukup cerdas juga, Pendekar Rajawali Sakti. Pandan Wangimemang tidak bisa kudapatkan selamakau masih hidup. Dan saat inilah yang tepat untuk memperebutkan gadis itu,”tantang Prabu Sumabrata atau si Dewa Iblis.
“Mungkin kau lebih dahulumengenal Pandan Wangi. Tapi sayang....
aku lebih beruntung daripadamu, Dewa Iblis!” balas Rangga sinis.
“Ha ha ha...! Keberuntungan belumada, Pendekar Rajawali Sakti. Asaltahu saja, Pandan Wangi sudah mempertaruhkan jiwa dan raganyauntukku. Dia ingin membalas kematiankekasihnya, tapi kalah. Maka janjinyaharus ditepati, dengan menyerahkandiri seutuhnya padaku. Sekarang kautidak berhak sama sekali memilikigadis itu!” keras sekali suara Dewa Iblis.
Pandan Wangi yang berada di tepidanau langsung memerah wajahnya.
Ditatapnya Rangga yang pada saat itujuga melirik ke arahnya. PendekarRajawali Sakti itu sungguh terkejut, karena baru kali ini mengetahui kalauPandan Wangi ternyata dulu pernahpunya kekasih. Bahkan rela mempertaruhkan martabat dan kehormatannya untuk membalas dendam ataskematian kekasihnya padalaki-laki mudayang wajahnya cukup tampanitu.
“Hari ini kitatentukan, Pendekar Rajawali Sakti!Bersiaplah! Hiyaaa...!” Rangga tidaksempat lagi berpikirlebih jauh tentang Pandan Wangi dan siDewa Iblis ini. Kini laki-laki mudaberbaju putih ketat itu sudah melompatmenyerang kembali menggunakan jurusjurus dahsyat dan sangatberbahaya. Terpaksa Rangga melayaninya.
Langsung saja dikerahkanseluruh gabungandari rangkaian limajurus ‘RajawaliSakti’. Jurus-juruspertama yangdidapatkan ketika menjadiseorang pendekarmuda, dansampai saatini masih sukardicari tandingannya.  

*
* *

Pertarungan tidak bisa dielakkanlagi. Dewa Iblis langsung mengerahkan jurus-jurus andalannya yang dahsyat dan sangat berbahaya. Seranganserangannyabegitu cepat danmengarah padabagian-bagian tubuh lawanyang mematikan.
Sedangkan PendekarRajawali Sakti juga tidaklagi menganggapmainmain.
Serangan-seranganbalasannya seringkali membuat Dewa Iblisharus jatuh bangunmenghindarinya. Jurus demi jurus berlalucepat. Sementara Pandan Wangi yang berada di tepi danau memperhatikan jalannya pertarungan itutanpa berkedip.
Gadis itu selalu menahan napas jika Rangga terdesak, dan menghembuskan napas panjang kalauPendekar RajawaliSakti itu mendesaklawannya. MeskipunPandanWangi memiliki kepandaian tinggi, tapimenyaksikan pertarungan tingkat tinggiseperti ini, kepalanya jadi peningjuga. Hampir sulit membedakan, manaRangga dan mana Dewa Iblis. Karenamereka berdua sama-sama mengenakanbaju putih. Sedangkan pertarunganberjalan begitu cepat, sehingga yangterlihat hanya dua bayangan putihberkelebat saling sambar.
Mendadak saja Pandan Wangidikejutkan suara jeritan keras setelahsebelumnya terdengar suara pukulankeras bertenaga dalam tinggi yangmenghantam tubuh. Dan si Kipas Mautitu jadi menahan napas manakalaterlihat salah seorang terpental tinggi ke angkasa. Begitu cepat kejadian itu sehingga sukar diikutipandangan mata biasa. Sedangkanseorang lagi langsung melesatmengejar.
“Hiyaaa...!”
“Yeaaah...!”Entah bagaimana kejadiannya, duabayangan tubuh yang berada di udaraitu saling berbenturan keras sekali, sehingga menimbulkan ledakanmenggelegar bagai guntur di siangbolong. Dua orang yang berbenturan diudara itu saling terpental dan jatuh bergelimpangan di atas tanah, namunsama-sama cepat bangkit berdiri.
Tampak yang mengenakan baju rompi putih agak terhuyung. Sedangkan yangseorang lagi agak terbungkuk. Masingmasingmengeluarkan darah pada mulutnya.
“Kita tentukansekarang, Pendekar Rajawali Sakti!”dengus Dewa Iblis di sela dengusan napasnya yangmemburu.
“Silakan,” tantang Rangga sambil mengatur jalannapasnya. Dewa Iblismenggerak-gerakkan tangannya didepan dada.
Jari-jari tangannyamenegang terbuka lebar. Tatapan matanyabegitu tajammenusuk, langsung kebola mataPendekar Rajawali Sakti. Tampak, pelahan-lahan seluruh tubuhlaki-laki muda berbaju putih itu terselimut sinarhijau.
“Hih!” Rangga cepat merentangkan kakinyalebar-lebar ke samping. Dirapatkantangannya di depan dada, lalu menariktubuhnya miring ke kanan, dan pelahanlahan ditarik ke kiri. Dan dengan cepat tubuhnya kembali tegak, namun kakinya tetapterentang lebaragak tertekuk.
Pelahan-lahan sekalitangan kiri PendekarRajawali Sakti naik keatas sejajar wajahnya. Dan begitutangan kirinya kembali cepat ditarikturun ke dada, cahaya biru langsungmenyelimuti kedua telapak tangannyayang berada di depan dada. Rangga kinimengerahkan aji ‘Cakra Buana Sukma’tanpa menggunakan Pedang Pusaka Rajawali Sakti. Memang tidak sedahsyatjika menggunakan pedang, tapi sampaisaat ini hanya satu dua orang yangmampu menandinginya.
“Hup! Hup! Hiyaaa...!”Sambil berteriak nyaringmelengking tinggi, Dewa Iblis berlaricepat ke arah Rangga sambilmerentangkan tangan ke depan. Seluruhtubuh laki-laki muda itu sudah terselubung sinar hijau kekuningkuningan.
“Aji ‘Cakra Buana Sukma’...!Hiyaaa...!” seru Rangga kerasmenggelegar.
Tepat pada saat tangan Dewa Iblisberada dalam jangkauan, seketika Rangga menghentakkan kedua tangannya ke depan. Benturan dua pasang tangantak dapat dihindari lagi. Ledakankeras terdengar dahsyat. Dan pada saatitu, masing-masing terpental kebelakang dan bergulingan di tanah.
“Kakang...!” jerit Pandan Wangicemas.
Tampak Rangga tergeletak sambilmenggeliat-geliat di tanah. SedangkanDewa Iblis langsung bangkit berdirimeskipun tubuhnya sempoyongan dantidak mampu berdiri tegak. Darahsemakin banyak keluar dari mulut danhidungnya.
Pandan Wangi berlari menubruktubuh Rangga . Tapi belum juga gadis itu bisa memeluk, Rangga sudah merentangkan tangannya mencegah.
Sambil menekap dada dengan tangankiri, Pendekar Rajawali Sakti ituberusaha bangkit. Dirasakan kepalanyaberat sekali, dan pandangannyaberkunang-kunang. Darah terus menetesdari mulutnya.
“Kau.... Kau terluka, Kakang,”Pandan Wangi tidak bisa lagimenyembunyikan kecemasannya.
“Menyingkirlah, Pandan. Pertarungan ini belum selesai,” ujarRangga dingin.
“Kakang....”
“Dia benar, Pandan. Kau tidak perlu ikut campur!” celetuk Dewa Iblis lantang.
“Iblis keparat! Kubunuh kau, hiyaaa...!” geram Pandan Wangi tidakbisa menahan kemarahannya.
Seketika itu juga Pandan Wangimelompat bagaikan kilat menerjang Dewa Iblis. Langsung dilepaskan kipas bajaputihnya yang berujung tajam melebihimata pisau. Dengan pedang kipas bajaputih di tangan, Pandan Wangi langsungmerangsek pemuda berbaju putih itu.
Namun sungguh di luar dugaan, ternyata walau pertarungannya melawanRangga banyak menguras tenaga, tapiDewa Iblis itu masih juga tangguh.
Bahkan sukar bagi Pandan Wangi untukmendesaknya. Dan dalam beberapa jurus saja, justru Pandan Wangi yangterdesak.
“Lepas...!” seru Dewa Iblisnyaring.
Bersamaan dengan itu, tangankirinya menyodok ulu hati PandanWangi. Maka gadis itu buru-burumengegoskan tubuhnya ke samping. Tapitanpa diduga sama sekali, satu kibasantangan yang cepat menghantampergelangan tangan kanan si KipasMaut.
“Akh...!” Pandan Wangi terpekikkeras tertahan.
Belum lagi lenyap keterkejutannya, mendadak Pandan Wangimerasakan adanya satu sodokan keras di perut. Mulutnya mengeluh pendek dan tubuhnya terbungkuk. Pada saat ituDewa Iblis menghantamkan satu pukulankeras ke arah dagu.
“Akh!” lagi-lagi Pandan Wangiterpekik.
Kepala gadis itu terdongak. Satutendangan keras bertenaga dalam tinggitelak menghantam dada gadis itu.
Akibatnya dia terpental jauh kebelakang menghantam sebatang pohonbesar di tepi danau lembah ini.
“Oh...,” Pandan Wangi merintihlirih, lalu menggeliat mencoba bangun.
Tapi seluruh tubuhnya seperti remuk.
“Bajingan, keparat...!” geramRangga marah. Wajahnya memerah melihat Pandan Wangi menggeliat-geliat sepertisedang meregang nyawa.
“Mampus kau!Hiyaaa...!”

*
* *

Dengan hati diliputi kemarahanserta kecemasan yang mendalam, Rangga melompat menyerang Dewa Iblis.
Serangan Rangga kali ini sungguhdahsyat luar biasa. Pendekar RajawaliSakti itu bertarung seperti tidakmempunyai aturan sama sekali. Gerakangerakannya sungguh aneh, cepat, dan sukar diterka arahtujuannya. Memang PendekarRajawaliSakti menggunakan seluruhgabungan darirangkaian lima jurus ‘Rajawali Sakti’ yang dirubah-rubah cepat sekali. Tentusaja hal ini membuat Dewa Iblis jadikelabakan menghadapinya. Terlebih lagiPendekar Rajawali Sakti tidak memberikesempatan lawannya untuk balasmenyerang. Pemuda berbaju rompi putihitu selalu mengurung rapat, dansemakin mempersempit ruang gerakpemuda yang juga biasa dipanggil PrabuSumabrata. Padahal dia tidak mempunyaiistana dan wilayah kerajaan.
“Hiyaaa...!”Sret!Kemarahan Rangga semakin memuncakkarena ternyata lawannya alot dansukar ditundukkan. Pendekar Rajawali Sakti itu mencabut pedang pusakanya.
Maka seketika itu juga cahaya terangbiru berkilau memancar dari pedangitu.
“Hiyaaa! Yeaaah...!”Rangga langsung saja mengerahkanjurus ‘Pedang Pemecah Sukma’. Satujurus andalan yang menjadi simpanandan jarang digunakan. Terlebih lagi, ditambah dengan pedang pusaka yangmaha dahsyat ini.
Sinar biru segera menggumpalgumpal bergulungdisertaigumpalan asap memenuhi sekitarpertarungan. Pedang bersinarmenyilaukanitu berkelebatan disekitar tubuhDewa Iblis. Begitucepatnya, sehinggaseluruh tubuh laki-laki muda berbaju putih itu telah terselubung cahayabiru dan asap yang semakin tebalmenggumpal. Rupanya dalam kemarahanyang memuncak, Pendekar Rajawali Saktimengerahkan tahap terakhir jurus‘Pedang Pemecah Sukma’.
“Ughk! Oh...,” Dewa Iblis mulaimengeluh.
Sungguh tidak dimengerti, karenaperhatiannya jadi terpecah belah dantidak terpusat pada pertarungan ini.
Gerakan-gerakan jurusnya juga menjadiberantakan. Dewa Iblis tidak menyadarikalau jiwanya sudah terpengaruh oleh jurus yang dikeluarkan PendekarRajawali Sakti. Laki-laki itu mulai limbung, dan jurus-jurusnya semakinkacau. Dia seperti tidak tahu lagi, dimana musuhnya berada.
“Ucapkan selamat tinggal, Dewa Iblis! Hiyaaa...!” seru Rangga lantang.
Wuk!Bagaikan kilat, Rangga mengebutkanpedangnyakearahleherDewa Iblis yang sudah tidak bisa mengontrol dirinya lagi. Dan memang, tebasan itu tidak dapatterbendung lagi.
Rangga langsung memasukkan pedang dan melompat mundur. Tampak Dewa Iblis berdiri tegak dan terdiam seraya menatap Pendekar Rajawali Sakti yang berdiri sejauh hampir lima langkah didepannya.
Bruk!Tubuh Dewa Iblis tiba-tiba ambruk ke tanah! Belum juga tubuhnya menyentuh tanah, kepala pemuda itu terlepas buntung. Seketika itu jugadarah muncrat keluar dari leher yangtanpa kepala lagi. Dewa Iblis tewasseketika tanpa mengeluarkan suarasedikit pun. Sungguh dahsyat tebasanpedang Pendekar Rajawali Sakti, sehingga mampu menebas leher lawanbagaikan menebas batang pisang saja!
“Hhh...,” Rangga menarik napaspanjang.
“Kakang...!” seru Pandan Wangilemah.
Rangga menoleh , langsungmembalikkan tubuhnya dan berlarimenghampiri Pandan Wangi yang tergolekdi antara reruntuhan pohon. Darahmerembes keluar dari mulut gadis itu.
Rangga membantu si Kipas Maut bangkitduduk, sedangkan dia sendiri duduk didepannya.
“Kau terluka cukup parah, Pandan,” kata Rangga .
“Ya. Tapi, lukamu lebih parahlagi, Kakang,” sahut Pandan Wangilirih.
“sudah tidak lagi, Pandan. Jurus‘Pedang Pemecah Sukma’ membantupenyembuhan lukaku. Tanpa disadarijurus yang mengandung unsur hawa murni itu mengalir ke seluruh tubuh,” jelas Rangga .
Pandan Wangi tersenyum, tapi begitu lemah dan tipis sekali.
“Aku kenal seorang tabib yang sangat ahli. Kau akan kubawa ke sana, Pandan,” kata Rangga lagi.
Pandan Wangi kembali tersenyum.
Setitik air bening menggulir jatuh kepipinya. Hatinya begitu terharu akanketulusan cinta Rangga . Padahalseharusnya pemuda itu membencinyakarena telah tahu dirinya kini.
Seorang gadis yang hampirmenghancurkan martabat dan harga diri, hanya karena hendak membalas dendambuat kekasihnya yang diakui sebagai teman biasa. Tapi Rangga tidakmempedulikan itu semua. Dipondongnyatubuh Pandan Wangi. Pendekar RajawaliSakti kini melangkah pergimeninggalkan lembah ini bersama PandanWangi di pondongannya.

SELESAI



INDEX PENDEKAR RAJAWALI SAKTI
Sang Penakluk --oo0oo-- Dendam Rara Anting


Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.