Life is journey not a destinantion ...

Dendam Anak Pengemis

INDEX PENDEKAR RAJAWALI SAKTI
Hantu Karang Bolong --oo0oo-- Macan Gunung Sumbing



RANGGA PATI
Pendekar Rajawali Sakti
Karya: Teguh .S
EP:DENDAM ANAK PENGEMIS

Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit


←֍↨↨ [ 1 ] ↨↨֎→

"Gembel kotor! Busuk...! Pergi dari sini!” Terdengar bentakan kasar dari sebuah kedai yang ramai pengunjungnya. Tampak seorang laki-laki bertubuh gemuk, dan perut buncit berdiri bertolak pinggang.
Wajahnya yang berlipat, tampak garang memerah.
Sepasang bola matanya membeliak lebar, hampir mencuat keluar. Tidak jauh di depannya, terlihat seorang laki-laki berusia sekitar dua puluh tiga tahun.
Tubuhnya kurus kering, dan pakaiannya compang-camping penuh tambalan. Rambutnya panjang terurai dan kotor.
Begitu kurusnya, sehingga tulang-tulang pipi dan iganya menyembul, terlihat jelas.
Sepasang bola matanya cekung ke dalam, menatap sendu pada laki-laki gemuk yang menghardiknya dengan kasar.
"Ayo! Cepat pergi...! Atau ingin kulempar ke kandang babi!" bentak laki-laki gemuk itu.
"Beri saya sedikit makanan, Tuan Gemuk," pinta lakilaki muda kurus itu memelas.
"Apa...?! Apa kau bilang tadi?" laki-laki gemuk itu semakin mendelik.
"Sudah dua hari saya belum makan. Tolong..., beri..." Plak! Belum lagi menyelesaikan kata-katanya, satu tamparan keras mendarat di wajah pemuda gembel itu. Dia hanya mampu mengaduh, dan tubuhnya menggeletak di tanah. Tamparan itu demikian keras, sehingga dari mulutnya mengeluarkan darah. Disekanya darah di sudut bibir dengan punggung tangannya. Sorot matanya kini demikian tajam. Sepertinya menyimpan dendam yang sukar untuk dikatakan. Pelahan-lahan dia bangkit berdiri.
"Cepat pergi!" bentak laki-laki gemuk itu lagi.
Pemuda kurus kering itu hanya diam saja, dan tetap berdiri sambil menatap tajam. Darah masih mengalir dari sudut bibirnya. Seluruh tubuhnya agak bergetar.
"Huh! Pelit!" umpat pemuda itu.
"Hey…!” Laki-laki gemuk itu terkejut. Tangannya pun sudah terangkat hendak menampar lagi. Tapi pemuda gembel itu sudah cepat berlalu meninggalkan kedai itu, hanya saja tidak pergi terlalu jauh. Dia berhenti lalu duduk di bawah sebatang pohon yang cukup rindang. Seperti cukup untuk berlindung dari sengatan matahari yang amat terik di siang ini.
Beberapa anak-anak menghampiri, dan mengejeknya dengan kata-kata yang menyakitkan telinga. Bahkan ada beberapa di antaranya yang melempari batu-batu kerikil. Pemuda itu hanya memandangi anak-anak yang mengejek dan menghinanya bagai seoker anjing buduk berpenyakitan.
"Huh! Anak-anak kurang ajar! Apa kalian tidak pernah diajar menghormati orang lebih tua, heh?!" rungut pemuda gembel itu geram.
Pemuda itu bangkit berdiri. Kontan anak-anak yang mengejek dan melemparinya segera berlarian, tapi tidak jauh. Mereka menghampiri kembali sambil melempari kerikil. Anak-anak lain segera berdatangan, sehingga semakin banyak saja. Bahkan ada beberapa orang tua ikut melemparkan kata-kata kotor dan makian. Pemuda gembel itu tampak semakin geram, tapi tidak berbuat apa-apa. Dia hanya berusaha melindungi wajahnya dari timpukan kerikil-kerikil itu.
"Berhenti! Bubar...! Bubar...!"
Tiba-tiba saja terdengar bentakan keras, disusul munculnya seseorang yang menunggang kuda. Orang berkuda itu membubarkan anak-anak yang sedang menimpuki serta melontarkan kata-kata kasar penuh hina an kepada pemuda gembel itu. Anak-anak itu langsung berlarian serabutan sambil bersorak-sorai.
Penunggang kuda putih yang ternyata seorang wanita muda yang cantik itu, melompat turun dari kudanya.
Gerakannya begitu indah dan ringan, pertanda memiliki ilmu olah kanuragan yang tidak rendah. Dengan senyum terkulum di bibir, dilangkahkan kakinya menghampiri pemuda gembel itu
"Maafkan mereka. Yaaah... masih anak-anak," ucap wanita berbaju kuning gading itu setelah dekat di depan pemuda gembel.
"Tidak apa-apa." sahut pemuda gembel itu dingin.
"Aku sering menerima perlakuan begitu. Bahkan yang lebih dari itu pun sering."
"Kenapa tidak kau usir?"
"Untuk apa? Orang tua mereka saja membiarkan, bahkan seperti menganjurkan. Ah, sudahlah! Tidak ada gunanya dibicarakan. Hm... terima kasih atas pertolonganmu" Pemuda gembel itu melangkah pelahan-lahan. Rasanya tidak ingin membicarakan kenakalan anakanak tadi pada dirinya.
Sedangkan wanita penunggang kuda putih itu memandanginya saja. Sebentar kemudian, dia berbalik dan melangkah menuju ke kedai sambil menuntun kudanya.
Laki-laki gemuk pemilik kedai yang tadi mengusir kasar pemuda gembel itu menyambutnya dengan ramah. Pemilik kedai itu mempersilakan wanita berbaju kuning gading itu duduk dekat jendela yang langsung menghadap ke jalan.
"Makan apa, Nisanak?" tanya pemilik kedai itu ramah.
"Hanya tuak, dan sedikit makanan kecil," sahut wanita itu.
"Baik, sebentar kami siapkan."
"Eh, tunggu," cegah wanita itu kepada pemilik kedai yang akan meninggalkannya.
"Ada yang dipesan lagi, Nisanak?"
"Tidak! Aku hanya ingin bertanya."
"Silakan."
"Apa nama desa ini?"
"Desa Watu Gayam." Wanita itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Sedangkan pemilik kedai bertubuh gemuk itu bergegas meninggalkannya untuk menyiapkan pesanan. Sementara itu, wanita berbaju kuning gading yang tampaknya baru pertama kali datang ke desa ini, mengamati suasana di luar. Masih terlihat pemuda gembel itu yang berjalan tertatih-tatih di tepi jalan utama desa ini Beberapa orang yang kebetulan berpapasan, langsung menghindar.
Bahkan ada di antaranya yang menyemburkan ludah sambil melontarkan kata-kata kasar bernada penghinaan.
Walaupun agak jauh dari kedai ini, namun setiap kata yang terlontar dapat didengar. Memang tidak begitu jelas terdengar.
"Ini pesanannya, Nisanak..."
"Oh!" wanita berbaju kuning gading itu langsung memalingkan mukanya dari jendela.
Laki-laki gemuk pemilik kedai ini meletakkan baki pesanan tamunya, kemudian bergegas melangkah pergi setelah semuanya terhidang di atas meja. Laki-laki gemuk itu kini melayani orang-orang yang berdatangan mengunjungi kedainya. Dengan ramah dilayani setiap pengunjung yang datang. Sementara itu wanita berbaju kuning gading, menikmati hidangannya sambil mengamati keadaan sekelilingnya.

*
* *

"Gembel keparat! Busuk...! Kau pasti yang mencuri ayamku! Keparat...! Hih!"
"Aduh, ampun.... Bukan aku yang mencuri.... ampun."
"Tidak ada ampun-ampun! Hih...! Mampus kau, gembel keparat!" Pagi yang harusnya hening dan damai, pecah oleh bentakan dan makian kasar disertai ratapan dan erangan lirih minta belas kasihan. Beberapa orang mulai berdatangan, tapi malah ikut memukuli laki-laki muda berpakaian compang-camping dan kotor berdebu.
Seluruh tubuhnya yang kurus kering, sudah biru lebam.
Darah bercucuran dari kening, hidung, dan mulutnya.
"Bunuh saja dia! Gembel tidak tahu diri!"
"Bikin kotor kampung saja!"
"Buang mayatnya di hutan, biar dimakan anjing liar!"
"Bunuh! Hajar sampai mampus!" Macam-macam makian dan kata-kata kotor terlontar.
Masing-masing orang berusaha untuk memukul atau menendang laki-laki kurus kering yang sudah tidak berdaya lagi. Rasanya tak mungkin untuk menyelamatkan diri. Jangankan untuk berdiri, membuka suara saja sudah tidak mampu lagi.
"Berhenti...!" Tiba-tiba terdengar bentakan keras menggelegar. Seketika itu juga, orang yang tengah mengeroyok gembel itu berhenti. Tampak seorang wanita muda dan cantik menunggang kuda putih, berada tidak jauh dari kerumunan orang yang mengeroyok pemuda gembel tadi.
Wanita cantik berbaju kuning gading itu melompat turun dari kudanya, dan melangkah menghampiri pemuda gembel itu yang tergeletak tak berdaya. Sebentar diperiksa luka-luka di tubuh laki-laki kurus kering itu.
Pandangannya kini merayapi orang yang berkerumun di sekitarnya.
"Kenapa Kisanak semua mengeroyok orang tidak berdaya ini?" tanya wanita cantik itu lantang.
"Gembel itu mencuri ayamku!" sahut seorang laki-laki muda bertubuh kekar. Suaranya cukup lantang juga.
"O... Jadi hanya karena mencuri ayam, lalu kalian akan membunuhnya?" bernada sinis suara wanita itu.
Ditatapnya tajam laki-laki yang menyahuti pertanyaannya tadi.
"Nisanak! Tampaknya kau bukan penduduk desa ini. Sebaiknya tidak usah mencampuri urusan kami." tegas seorang laki-laki tua dengan rambut yang sudah memutih.
"Aku tidak akan mencampuri, jika kalian tidak main keroyok begini!" sahut wanita itu tegas.
"Nisanak...."
"Ada apa ini...?!" tiba-tiba terdengar bentakan yang memotong ucapan laki-laki tua berambut putih itu. Semua orang menatap ke arah datangnya suara bentakan tadi. Mereka serentak bergerak mundur untuk memberi jalan seorang laki-laki berusia setengah baya. Pakaiannya indah, dengan kawalan empat orang lakilaki bertubuh tinggi tegap menyandang golok di pinggang.
Laki-laki setengah baya dan masih kelihatan gagah itu, melangkah mendekati wanita muda cantik berbaju kuning gading. Sebentar dirayapinya orang-orang yang berkerumun di sekitarnya.
"Puspa Ningrum, ada apa ini?" tanya laki-laki setengah baya itu seraya menatap pada pemuda gembel yang masih tergeletak di tanah.
"Mereka mengeroyok orang ini, Kakang Dipa," sahut wanita berbaju kuning gading yang dipanggil Puspa Ningrum.
"Sudahlah, Puspa Ningrum. Dia itu..."
"Tapi, Kakang...! Orang ini sangat lemah, dan bisa mati kalau dipukuli mereka!" potong Puspa Ningrum cepat.
"Hm.... Kau tidak mengerti, Adikku"
"Kakang,..." Dipa Sentana buru-buru mencegah dengan meng goyang-goyangkan kepalanya. Puspa Ningrum segera diam membisu, karena tidak ingin membantah kakaknya yang sangat dihormati di desa ini.
Kakaknya adalah Kepala Desa Watu Gayam. Jelas dapat menjatuhkan kewibawaannya kalau berdebat di depan orang banyak. Puspa Ningrum berbalik, lalu melangkah meninggalkan tempat itu. Dia melompat naik ke punggung kuda putihnya, dan cepat menggebahnya.
Semua orang yang berada di tempat itu jadi bengong, karena kepala desa mereka tampak kenal betul dengan wanita yang kelihatannya asing
"Kalian bawa orang ini, dan rawat luka-lukanya," perintah Dipa Sentana pada empat orang pengawalnya.
"Baik." Empat orang bertubuh tegap itu segera menggotong pemuda gembel yang masih pingsan.
Kemudian Dipa Sentana bergegas melangkah pergi. Semua orang yang berkerumun, segera meninggalkan tempat itu.

*
* *

"Oh..."
"Jangan bergerak dulu." Pemuda berbaju compang-camping itu terkejut, dan berusaha bangkit. Tapi seluruh tubuhnya terasa remuk, dan nyeri sekali. Dia meringis sambil merintih lirih.
Kelopak matanya mengerjap melihat seraut wajah cantik yang duduk di sampingnya.
"Oh..., di mana aku...?" tanya pemuda gembel itu lirih.
"Kau ada di tempat yang aman," sahut wanita itu lembut.
"Siapa kau?" tanya pemuda gembel itu, seperti pernah melihat wajahnya. Tapi pada saat ini, sukar untuk mengingat-ingat, di mana pernah bertemu wanita cantik ini.
"Aku Puspa Ningrum," sahut wanita itu tetap lembut
"Dan kau, siapa?"
"Orang-orang memanggilku si Gembel"
"Kau pasti punya nama, bukan?" desak Puspa Ningrum.
"Untuk apa? Tidak ada yang pernah memanggil namaku."
“Tapi aku lebih suka memanggil namamu daripada si Gembel"
"Percuma! Kau akan bersikap sama seperti mereka kalau tahu siapa aku ini.” Puspa Ningrum hanya tersenyum saja. Begitu manis senyumnya. Dia bangkit berdiri dan melangkah mendekati jendela yang terbuka lebar. Sementara itu pemuda gembel merayapi sekitarnya.
Disadari kalau dirinya kini berada dalam suatu ruangan yang tidak begitu besar.
Seluruh dindingnya terbuat dari anyaman bambu.
Tidak ada apa-apa di sini, kecuali sebuah dipan kayu yang kini ditiduri.
Pemuda itu bangkit dan duduk bersila. Ditatapnya Puspa Ningrum yang berdiri membelakanginya sambil memandang keadaan luar melalui jendela yang terbuka lebar. Cahaya matahari menerobos masuk menerangi seluruh kamar berukuran kecil ini. Banyak rumput kering di lantainya. Sesekali terdengar suara ringkik kuda yang tidak begitu jauh.
"Aku bernama Gota," ujar pemuda gembel itu pelan.
"Nama yang bagus," ucap Puspa Ningrum seraya membalikkan tubuhnya.
"Terima kasih, tapi aku tidak perlu pujianmu. Aku lebih suka kalau kau menghinaku seperti yang mereka lakukan setiap hari," sahut Gota, agak sinis nada suaranya.
"Tapi aku bukan mereka, Gota."
"Hhh! Aku tahu tempat ini. Dan kau berada di sini, tentu salah seorang dari mereka." Puspa Ningrum mengernyitkan keningnya mendengar kata-kata bernada sinis dan tidak bersahabat itu.
Dilangkahkan kakinya menghampiri laki-laki itu.
Pandangannya begitu dalam, seakan-akan hendak menyelidiki kata-kata Gota tadi. Sedangkan yang ditatap malah membalasnya dengan tajam.
"Kau tahu tempat ini. Apakah kau pernah berada di sini sebelumnya? Atau paling tidak, pernah datang ke sini?" tanya Puspa Ningrum bernada menyelidik.
"Hhh! Kau bisa tanyakan pada orang yang menguasai tempat ini!" Jawab Gota ketus.
Puspa Ningrum ingin bertanya lagj, tapi diurungkan niatnya. Pintu kamar ini terkuak, dan muncul seorang laki-laki muda bertubuh tinggi tegap. Sebilah golok terselip di pinggangnya. Pemuda itu membungkuk sedikit pada Puspa Ningrum.
"Maaf, hamba diperintahkan untuk memanggil Gusti Ayu," kata pemuda itu penuh hormat.
"Gusti Ayu.... Heh...!"gumam Gota pelan, namun terdengar begitu sinis.
Puspa Ningrum menatap tajam, namun tetap diliputi rasa penasaran melihat sikap Gota yang begitu tidak bersahabat. Bahkan kata-kata yang diucapkan, selalu bernada sinis.
"Gusti Ayu...."
"Siapa yang memanggilku?" tanya Puspa Ningrum mendengar suara pemuda suruhan kakaknya itu.
"Gusti Dipa." Puspa Ningrum terdiam beberapa saat, lalu memandang ke luar melalui jendela yang terbuka.
Meskipun jendela itu terbuka lebar, tapi memiliki jeruji yang cukup rapat dan terbuat dari kayu keras. Puspa Ningrum memalingkan mukanya kembali dan menatap pada Gota yang masih duduk bersila, bersikap tidak peduli.
"Aku akan datang lagi ke sini, Gota." ujar Puspa Ningrum.
"Kau bebas datang kapan saja," sahut Gota datar.
Puspa Ningrum membalikkan tubuhnya, lalu melangkah menuju pintu. Dia terus melangkah pergi tanpa berpaling lagi. Sementara pintu ditutup dari luar, Gota beringsut dan bangkit dari pembaringan. Bibirnya menyeringai menahan sakit begitu berdiri.
Akibat pukulan dan tendangan orang banyak yang mengeroyoknya, dirasakan seluruh tubuhnya begitu nyeri dan sakit.
"Uh! Sial..!" rungurnya seraya duduk kembali. Mata Gota yang cekung dalam merayapi sekitarnya. Tulang-tulang Jari tangannya bergemeletuk ketika dikepalkan kuat-kuat. Raut wajahnya yang kurus, begitu menegang. Kemudian, dia beringsut ke tengah-tengah ranjang kayu yang hanya beralaskan tikar daun pandan, lalu duduk bersila.
Diletakkan telapak tangannya di lutut, lalu pelahan-lahan matanya terpejam.
"Hsss...!?” Gota mulai mengatur jalan napasnya.
Dadanya yang kerempeng dan terbuka, bergerak teratur turun naik.
Sementara suasana jadi hening, hanya sesekali terdengar ringkik kuda.
Gota tetap duduk bersila sambil terpejam.
Wajah yang memerah, kini berangsur-angsur normal.
Dirinya semakin kelihatan tenang, dan napasnya pun teratur baik.
"Hhh...!" Gota menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya kuat-kuat. Kemudian dibuka matanya, lalu bangkit dari ranjang kayu itu.
Tubuhnya nampak segar, dan tidak lagi merasakan sakit pada sekujur tubuhnya. Sebentar dipandangi sekitarnya. Kakinya melangkah mendekati jendela, dan memandang ke luar.
"Sialan…!" umpatnya begitu melihat dua orang lakilaki bersenjata golok berdiri di depan pintu kamar ini. Gota melangkah menghampiri pembaringan kayu itu, dan kembali duduk bersila, lalu dibaringkan tubuhnya menelentang. Matanya yang cekung, terbuka lebar-lebar menatap langit-langit yang hampir dipenuhi sarang labalaba.
"Aku ttdak suka tempat ini, dan harus keluar dari sini!" dengusnya pelan.
"Hm.... nanti malam…! Ya, nanti malam aku harus keluar dari sini!"

*
* *



←֍↨↨ [ 2 ] ↨↨֎→

Gelap menyelimuti seluruh Desa Watu Gayam. Malam telah begitu larut. Di beranda depan rumah besar yang berdinding batu, tampak Dipa Sentana dan seorang lakilaki tua duduk memandang bulan penuh yang bergelayut di langit hitam. Beberapa orang bersenjata golok di pinggang, hilir mudik di sekitar rumah besar yang memiliki halaman luas itu.
"Kudengar kau membawa si Gembel itu ke sini,” terdengar suara pelan seperti bergumam.
"Benar." sahut Dipa Sentana seraya mendesah.
"Anak itu bisa jadi duri dalam dirimu, Dipa. Mengapa masih juga kau biarkan hidup?" Dipa Sentana hanya mendesah saja.
Dipalingkan wajahnya menatap laki-laki tua berjubah biru tua di sampingnya. Sebatang tongkat berkepala ular kobra tergenggam di tangan kanan. Seluruh rambutnya telah putih, dan tergulung rapi ke atas. Pandangan laki-laki tua itu tetap ke depan, merayapi kegelapan yang menyelimuti sekitarnya. Bukan sekali ini Ki Jayakrama mengatakan demikian, tapi Dipa Sentana selalu tidak bisa menjawab.
Dia memang menghormati laki-laki tua yang menjadi guru, sekaligus orang tua asuhnya ini. Tapi juga tidak harus dituruti keinginan Ki Jayakrama. Sebab, sukar baginya untuk melenyapkan Gota yang selalu disebut si Gembel.
Ada suatu ganjalan bila mendengar nama itu.
"Aku tahu, kau tidak akan tega membunuhnya. Tapi bukankah bisa menyerahkan pada anak buahmu, dan membuang mayatnya ke dalam hutan. Lagi pula, tidak ada yang mempedulikannya lagi. Semua orang membencinya. Tidak ada yang bakal kehilangan kalau dia mati, Dipa," kata Ki Jayakrama lagi.
"Kurasa ada, Ki." sahut Dipa Sentana mendesah.
"Dia pun tidak tahu, dan tidak mengenal Gota.
Sebelum terlambat, Dipa. Aku berkata demikian hanya untukmu, dan demi kelancaran semua cita-citamu.
Ingatlah pesan mendiang ayahmu, Dipa,"
"Aku tidak pernah lupa, Ki."
"Nah! Mengapa tidak kau lenyapkan saja si Gembel itu?" Dipa Sentana tidak menjawab, tapi malah bangkit berdiri dari duduknya. Dilangkahkan kakinya beberapa tindak ke depan, lalu berdiri bersandar pada pilar yang menyangga atap beranda ini. Sementara Ki Jayakrama masih tetap duduk memandang lurus ke depan, tidak sedikit pun menoleh saat berbicara.
"Gusti...! Gusti..!" Dipa Sentana menoleh ketika mendengar suara memanggilnya. Tampak seorang laki-laki muda berlarilari menghampiri. Pemuda dengan golok terselip di pinggang itu langsung membungkuk begitu sampai di depan Dipa Sentana.
"Ada apa?" tanya Dipa Sentana.
"Celaka, Gusti...! Celaka...!"
"Bicara yang jelas! Ada apa?!" bentak Dipa Sentana agak keras.
"Si Gembel, Gusti...! Dia kabur dan membunuh dua orang penjaga," lapor pemuda itu
"Apa...?!" Dipa Sentana kaget setengah mati mendengar laporan itu.
Bergegas Dipa Sentana melompat dan langsung berlari menuju bagian belakang rumah ini. Begitu cepatnya berlari, sehingga dalam waktu singkat sudah tiba di depan pintu kandang kuda. Tampak sepuluh orang laki-laki bertubuh tegap tengah mengerumuni dua orang yang tergeletak dengan kepala pecah. Sepuluh orang itu menyingkir begitu Dipa Sentana datang. Dipa Sentana tidak bisa berkata-kata melihat dua anak buahnya tewas. Darah masih mengalir deras dari kepala yang pecah itu. Sementara sepuluh orang pembantunya hanya bisa menunduk tanpa berkata-kata. Saat itu Ki Jayakrama dan seorang yang melapor tadi telah tiba di tempat itu. Mereka melihat bagian depan pintu kamar yang hancur berantakan.
Kamar itu biasanya digunakan untuk menyimpan barang rongsokan. Hanya baru kemarin digunakan untuk menyekap Gota yang lebih dikenal dengan panggilan si Gembel. Dipa Sentana menatap laki-laki tua yang memakai jubah warna biru gelap di sampingnya.
"Kenapa kalian diam saja?! Ayo, cari sampai dapat gembel itu!" perintah Ki Jayakrama membentak.
Sepuluh orang serentak bergerak menghampiri kuda masing-masing, kemudian segera menggebahnya dengan cepat keluar dari halaman belakang rumah besar itu. Sementara dari arah lain, datang sekitar dua puluh orang lagi dengan senjata golok terselip di pinggang. Ki Jayakrama juga segera memerintahkan mereka untuk mencari Gota. Tapi Dipa Sentana meminta enam orang untuk tetap tinggal di situ. Ki Jayakrama sendiri bergegas menghampiri kudanya yang berwarna coklat, tinggi dan tegap. Dengan gerakan indah, dia melompat naik ke punggung kuda itu.
"Mau ke mana, Ki?" tanya Dipa Sentana.
"Ke rumah pamanmu!" sahut Ki Jayakrama.
"Ki...!" Dipa Sentana ingin mencegah, tapi Ki Jayakrama sudah lebih cepat menggebah kudanya.
Dipa Sentana memandangi kepergian guru yang sekaligus orang tua angkatnya itu, lalu mendesah pelahan. Tubuhnya kemudian berbalik dan melangkah pergi setelah memerintahkan enam orang anak buahnya untuk mengurus mayat dua orang itu. Dipa Sentana melangkah pelan, dan kepalanya tertunduk.

*
* *

Puspa Ningrum menatap tajam wajah kakaknya yang tertunduk sambil duduk diam. Gadis itu baru tahu kalau pagi ini Gota melarikan diri dengan menjebol pintu dan membunuh dua orang penjaga. Dan sekarang hampir semua anak buah Dipa Sentana tengah mencarinya ke seluruh Desa Watu Gayam.
Puspa Ningrum juga menyaksikan sendiri, bagaimana pintu gudang di samping kandang kuda itu jebol berantakan, bagai terlanda amukan seeker banteng.
Wanita itu hampir tak percaya kalau Gota mampu menjebol pintu kayu jati yang begitu tebal. Gota bukan seorang pendekar, tapi hanya seorang gembel.
Tubuhnya pun kurus kering, seperti tanpa tenaga. Mana mungkin bisa menjebol pintu tebal itu?
"Ada apa sebenarnya, Kakang? Mengapa kau begitu membencinya? Bahkan sampai-sampai memerintahkan anak buah untuk membunuhnya," Puspa Ningrum minta penjelasan.
"Aku tidak membencinya, Puspa. Percayalah!" tegas Dipa Sentana meyakinkan. Sudah berapa kali ini dia berkata demikian untuk meyakinkan adik perempuannya ini.
"Kalau tidak membenci, mengapa kau perintahkan anak buahmu untuk mencari dan membunuhnya?! Apa itu namanya...?" agak tinggi nada suara Puspa Ningrum.
Dipa Sentana mengangkat kepalanya, lalu menatap tajam bola mata gadis itu. Sedangkan Puspa Ningrum berdiri berkacak pinggang, dan matanya membeliak tak berkedip. Wajahnya yang cantik terlihat tegang.
"Kau tidak mengerti, Puspa. Sejak kecil kau tidak tinggal di sini, dan hanya menghabiskan seluruh waktumu di padepokan Eyang Lenteng. Kau tidak tahu apa-apa, Puspa...." pelan suara Dipa Sentana.
Puspa Ningrum terdiam. Bisa dirasakan adanya nada tekanan pada nada suara kakaknya. Memang diakui, sejak masih berusia tujuh bulan telah dibawa ibunya ke Padepokan Tapak Wisa di Gunung Ketanggungan. Baru kali ini dia mengunjungi kakaknya di tanah kelahirannya.
Biasanya, memang Dipa Sentana yang selalu berkunjung ke sana. Tapi sekarang Puspa Ningrum yang datang, karena ibunya tujuh hari yang lalu telah meninggal dunia karena tua. Dan itu sudah disampaikan kepada kakaknya ketika baru datang ke desa ini.
Memang tidak ada lagi tempat berpijak bagi Puspa Ningrum selain di tanah kelahirannya ini. Meskipun tahu kalau kakaknya seorang pemimpin di Desa Watu Gayam ini, tapi dia tidak pernah tahu keluarga yang lainnya.
Ibunya tidak pernah bercerita padanya, bahkan selalu menghindar kalau ditanya masalah keluarga.
"Kau menyesal karena harus menanggung semua beban Ayah, Kakang?" pelan suara Puspa Ningrum.
“Tidak," sahut Dipa Sentana seraya menggeleng.
"Sejak kecil kita memang tidak pernah bersamasama. Malah paling tidak hanya bertemu dua atau tiga kali dalam satu tahun. Aku tidak menyesal kalau di antara kita begitu jauh berbeda meskipun masih dalam ikatan sedarah dari orang tua yang sama. Memang baru kali ini aku turun gunung. Maaf kalau terlalu banyak ikut campur persoalanmu." ujar Puspa Ningrum menyesal.
Setelah berkata demikian. Puspa Ningrum berbalik dan terus melangkah pelahan meninggalkan kakaknya yang masih duduk memandanginya. Kata-kata gadis itu membual hati Dipa Sentana tersentuh. Sedikit pun tidak bisa dibantah kebenaran kata-katanya. Tapi untuk sekarang ini sulit untuk menjelaskannya.
"Mau ke mana kau, Puspa?" tanya Dipa Sentana seraya bangkit berdiri.
"Jalan-jalan," sahut Puspa Ningrum tanpa menghentikan langkahnya.
"Hati-hati, penduduk di sini belum mengenalmu," pesan Dipa Sentana.
"Hm.... Apakah penduduk desa ini selalu menyerang orang asing?" Puspa Ningrum langsung berhenti melangkah dan berbalik, tepat di ambang pintu bagian depan ruangan ini.
"Tidak, tapi banyak musuhku di luar sana." Puspa Ningrum hanya tersenyum tipis, kemudian kembali berbalik dan melangkah ke luar. Seorang pembantu rumah bergegas datang sambil menuntun seekor kuda putih berpelana kuning emas. Puspa Ningrum menerima tali kekang kudanya dan langsung melompat naik.
“Puspa...," panggil Dipa Sentana yang tahu-tahu sudah berada di ambang pintu.
Puspa Ningrum tidak jadi menggebah kudanya.
Ditoleh dan dipandanginya kakaknya yang melangkah mendekati. Dipa Sentana berdiri di depan kuda adiknya, dan mengelus-elus leher kuda putih itu. Dari sorot matanya, Puspa Ningrum menduga kalau Dipa Sentana hendak mengatakan sesuatu, tapi berat untuk mengucapkannya.
“Pergi dan carilah Gota," kata Dipa Sentana tiba-tiba. Pelan suaranya, hampir tidak terdengar.
Puspa Ningrum terkejut mendengar ucapan itu. Dikerutkan alisnya, dan ditatapnya dalam-dalam wajah laki-laki berusia setengah baya itu. Jarak usia antara dirinya dengan kakaknya memang begitu jauh, bagaikan anak dan ayah saja. Memang tidak heran, karena mereka satu ayah dan lain ibu. Meskipun usia Dipa Sentana hampir berkepala lima, tapi wajah dan tubuhnya masih kelihatan gagah seperti baru berusia tiga puluhan saja.
"Lindungi dia, jangan sampai terjadi sesuatu terhadapnya," kata Dipa Sentana lagi.
"Kakang...," Puspa Ningrum ingin mengatakan sesuatu, tapi suaranya tercekat di tenggorokan.
"Jangan tanyakan mengapa kau kuminta berbuat demikian. Kau bebas keluar masuk rumah ini, karena ini memang milikmu juga. Tapi, usahakan jangan sampai menimbulan kecurigaan kalau Gota sudah kau temukan. Bawa dia ke tempat yang aman, jauh dari jangkauan orang-orangku," jelas Dipa Sentana cepat.
Puspa Ningrum masih memandangi kakaknya.
“Pergilah." ujar Dipa Sentana sambil menepuk leher kuda putih itu.
Kuda putih itu meringkik, dan berlari cepat sebelum Puspa Ningrum menghentakkan tali kekangnya. Diamdiam, Dipa Sentana menepuk leher kuda itu disertai penyaluran hawa panas pada telapak tangannya. Akibatnya, kuda putih itu langsung melesat kencang. Puspa Ningrum agak tersentak kaget, tapi cepat-cepat mengendalikan kudanya agar berlari tidak terlalu kencang. Sementara Dipa Sentana masih berdiri memandangi adiknya yang sudah berbelok melewati pintu gerbang yang dijaga dua orang bersenjata golok.

*
* *

Puspa Ningrum menghentikan lari kudanya setelah sampal di tepi sungai yang tidak begitu besar. Airnya sangat jernih, sehingga dasarnya terlihat jelas. Gadis itu melompat turun dari punggung kudanya, dan membiarkan kuda putih itu mendekati tepian sungai untuk minum di sana. Puspa Ningrum sendiri juga menghampiri sungai itu, lalu membasuh wajahnya.
Air yang jernih dan sejuk itu membuat wajahnya segar kemerahan, sehingga terlihat semakin cantik. Puspa Ningrum memandangi wajahnya yang terpantul di permukaan air sungai itu. Tiba-tiba keningnya berkerut begitu di permukaan air sungai, samar-samar terpantul wajah seseorang yang berdiri di seberang. Puspa Ningrum mengangkat kepalanya.
"Heh…!" Gadis itu tersentak kaget, begitu mengangkat kepalanya. Tiba-tiba terlihat satu bayangan berkelebat cepat di seberang sungai sana. Begitu cepatnya, sehingga sulit untuk dikenali bayangan itu. Puspa Ningrum mengedarkan pandangannya berkeliling. Tidak ada seorang pun yang terlihat di sekitarnya.
"Hm..., orang itu pakaiannya penuh tambalan. Apakah dia Gota...? Tapi, ah! Bukan...! Wajahnya bukan Gota, dan tampaknya lebih gemuk dan sudah tua...." Puspa Ningrum bergumam sendiri.
Puspa Ningrum kembali terkejut ketika tiba-tiba kudanya meringkik keras. Buru-buru dia bangkit berdiri.
Tapi mendadak saja sebuah bayangan berkelebat cepat menyambarnya. Sejenak gadis itu terperangah, namun cepat-cepat di banting tubuhnya ke samping dan bergulingan sejauh dua batang tombak. Cepat sekali gerakannya ketika melompat bangkit. Matanya membeliak begitu melihat di depannya sudah berdiri seorang laki-laki tua berambut dan berjanggut putih. Laki-laki itulah yang dilihatnya tadi di seberang sungai.
Pakaiannya compang-camping dan penuh tambalan. Di tangannya tergenggam sebatang tongkat hitam pekat yang tidak jelas bentuknya.
"Hhh...!" Puspa Ningrum mendesah pendek.
Kemudian kakinya menggeser ke samping beberapa tindak.
Namun baru empat tindak kakinya digerakkan, mendadak dari balik pohon dan semak belukar bermunculan beberapa orang berpakaian seperti gembel.
Nalurinya langsung mengatakan kalau harus waspada. Tangannya meraba sabuk yang melilit pinggangnya. Sabuk itu berwarna keperakan dan tampaknya terbuat dari bahan logam yang amat tipis dan lentur.
"Siapa kau, Nisanak? Dan apa keperluanmu memasuki wilayahku ini?" tanya laki-laki tua bertongkat hitam itu.
"Namaku Puspa Ningrum." sahut Puspa Ningrum memperkenalkan diri.
"Aku ke sini hanya sebentar, karena kudaku perlu minum."
"Hm.... Nampaknya kau bukan dari Desa Watu Gayam. Apakah kau seorang pengembara?" tanya lakilaki tua itu ramah.
"Benar." sahut Puspa Ningrum tidak punya jawaban lain.
"Kalau begitu, sebaiknya cepatlah tinggalkan tempat ini." “Tunggu dulu!" sentak Puspa Ningrum cepat "Aku kira ini masih termasuk wilayah Desa Watu Gayam.
Mengapa tadi kau katakan ini daerah kekuasaanmu?"
"Kau tidak perlu tahu, Nisanak!" tegas jawaban lakilaki tua itu. Namun masih bernada ramah.
"Baik, aku memang tidak perlu tahu. Lagi pula aku tidak ada hubungannya dengan Desa Watu Gayam," ujar Puspa Ningrum.
Sengaja berkata demikian, karena nalurinya mengatakan dirinya dalam bahaya besar kalau berkata terus terang.
"Dia adik Dipa Sentana, Ki Tunggul!" Puspa Ningrum tersentak kaget begitu tiba-tiba terdengar kata-kata keras dari arah kanan. Lebih terkejut lagi, begitu melihat Gota telah berdiri tegak di antara orang-orang yang berpakaian pengemis.
Sementara laki-laki tua yang be mama Ki Tunggul itu menatap tajam Puspa Ningrum. Gota melangkah beberapa tindak mendekati gadis itu, lalu berdiri tegak sambil menatap tajam.
"Dia ke sini pasti atas perintah kakaknya!" kata Gota ketus. Tatapannya begitu tajam menusuk langsung ke bola mata Puspa Ningrum.
Trek! Dua puluh orang berpakaian pengemis yang sejak tadi mengurung Puspa Ningrum, menghentakkan tongkatnya. Wajah mereka tampak berang, memerah bagai bara api yang tersimpan dalam sekam. Tatapan matanya begitu tajam penuh rasa kebencian melihat Puspa Ningrum. Sementara gadis itu semakin waspada saja.
“Tahan!" bentak Ki Tunggul keras, lalu melangkah tiga tindak mendekati gadis itu.
Sementara Gota bergerak menggeser kakinya ke samping Ki Tunggul. Namun, pandangan matanya tetap tertuju pada gadis cantik di depannya. Ki Tunggul merentangkan tangannya sedikit. Serentak, sekitar dua puluh orang yang mengepung, bergerak mundur teratur.
Kembali dilangkahkan kakinya dua tindak ke depan.
Jarak antara laki-laki tua itu dengan Puspa Ningrum tinggal lima langkah lagi.
"Benar kau adik dari Dipa Sentana?" tanya Ki Tunggul masih bernada ramah.
"Benar," sahut Puspa Ningrum tegas. Tidak ada gunanya lagi berbohong.
"Kau datang ke sini diutus kakakmu?" tanya Ki Tunggul lagi.
“Tidak! Sengaja aku datang ke sini memang untuk mencari Gota, tapi aku tidak tahu kalau dia ada di sini." jawab Puspa Ningrum sambil melemparkan pandangannya pada pemuda kurus kering yang berdiri di samping Ki Tunggul agak ke belakang sedikit.
"Untuk apa kau mencariku? Ingin kau serahkan pada kakakmu? Atau ingin kau hina diriku?" dengus Gota sengit.
"Kau salah, Gota. Sengaja kau kucari karena aku kaget mendengar kau membunuh dua orang penjaga.
Lagi pula aku ingin menjelaskan kalau sekarang ini Kakang Dipa sudah menyebar orang-orangnya untuk menangkapmu kembali." kata Puspa Ningrum tenang.
"Hhh!" Gota mendengus.
"Gota! Bisakah kau pergi dari sini?" ucap Ki Tunggul tiba-tiba.
"Ki...!" Gota terkejut.
"Juga kalian semua!" seru Ki Tunggul tidak mempedulikan keterkejutan pemuda itu Dua puluh orang yang masih muda dan berpakaian compang-camping itu membungkuk sedikit, kemudian berbalik dan melangkah masuk ke dalam hutan di sekitar sungai kecil ini. Gota masih tetap berdiri disertai pandangan tidak mengerti pada Ki Tunggul. Sedangkan orang tua itu menatapnya tajam.
"Baiklah, aku pergi. Tapi tidak akan jauh-jauh dari sini," kata Gota menyerah.
"Kau tidak perlu mencemaskan diriku, Gota," kata Ki Tunggul.
Gota menatap sebentar pada Puspa Ningrum, kemudian berbalik dan melangkah cepat meninggalkan tempat itu. Setelah Gota lenyap ditelan kelebatan pepohonan. Ki Tunggul melangkah menghampiri sebongkah batu ceper, lalu duduk di sana. Puspa Ningrum masih berdiri tegak. Hatinya diliputi ketidakmengertian pada laki-laki tua yang tampaknya begitu dihormati oleh orang-orang berpakaian pengemis tadi.
"Kemari, dan duduklah di sini," kata Ki Tunggul seraya menunjuk sebuah batu tidak jauh di depannya.
Puspa Ningrum melirik batu yang ditunjuk, kemudian melangkah mendekati batu itu. Dia duduk di sana, tapi sikapnya masih penuh kewaspadaan. Disadari kalau di sekitarnya pasti masih banyak orang berpakaian pengemis tadi. Sedikit saja bertindak salah, mereka pasti akan keluar dan mengeroyoknya.
“Terus terang, aku begitu terkejut mendengar kalau kau adalah adik dari Dipa Sentana...," Ki Tunggul mulai membuka suara.
"Memang benar," ujar Puspa Ningrum tegas.
"Aku lahir di sini, dan sampai tua bangka begini pun masih juga berada di sini. Aku kenal betul siapa Dipa Sentana itu, dan seluruh keluarganya. Aku kenal dengan kakeknya, ayahnya...," suara Ki Tunggul terputus.
Ditatapnya dalam-dalam gadis di depannya. Tatapannya mengandung nada penuh selidik.
"Tampaknya kau tidak percaya, Ki Tunggul," agak sinis nada suara Puspa Ningrum.
"Siapa nama ibumu?" tanya Ki Tunggul tidak mempedulikan kesinisan gadis itu.
"Untuk apa kau tanyakan ibuku?" dengus Puspa Ningrum tidak senang.
"Aku harus tahu untuk membuktikan benar tidaknya bahwa kau adik Dipa Sentana!" tegas Ki Tunggul.
"Wulandari!" sahut Puspa Ningrum masih bernada kurang senang.
"Ayahmu?"
"Kau keterlaluan, Orang Tua!"
"Jawab saja pertanyaanku, atau kau tidak ingin melihat matahari lagi...?!" Merah padam muka Puspa Ningrum mendengar ancaman itu, tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Matanya yang tajam melihat salah satu semak bergoyang. Juga di situ terlihat kepala menyembul keluar dari balik pohon.
Dugaannya benar. Dirinya masih dalam keadaan terkepung saat ini. Dan yang pasti bukan hanya dua puluh orang saja yang ada, mungkin dua kali lipat dari yang tadi.
“Paradipa," ujar Puspa Ningrum dongkol.
"He he he...!" Ki Tunggul tertawa terkekeh-kekeh.
"Heh! Kenapa kau tertawa...?!" bentak Puspa Ningrum sengit.
Ki Tunggul bukannya berhenti, tapi malah semakin keras saja tawanya. Hal itu membuat Puspa Ningrum Jadi berang. Tiba-tiba saja dia melompat sambil mengirimkan dua pukulan bertenaga dalam penuh secara beruntun.

*
* *



←֍↨↨ [ 3 ] ↨↨֎→

Masih tertawa terbahak-bahak, Ki Tunggul menghadang serangan itu sambil menyilangkan tongkatnya di depan dada. Dua pukulan bertenaga dalam yang dilepaskan Puspa Ningrum, menghantam tongkat hitam laki-laki tua pengemis itu.
"Akh!" Puspa Ningrum memekik tertahan.
Tubuh ramping gadis itu kembali mencelat ke belakang, dan berputaran beberapa kali di udara.
Berdirinya agak limbung begitu kakinya mendarat lunak di tanah. Dia meringis merasakan kedua tangannya seperti kesemutan. Sungguh tinggi tenaga dalam yang dimlilki Ki Tunggul. Laki-laki tua pengemis itu masih tetap duduk bersila, meskipun tadi menahan dua pukulan beruntun bertenaga dalam cukup tinggi.
Puspa Ningrum sadar, kalau tingkat kepandaiannya masih berada di bawah Ki Tunggul, tapi tidak dipedulikannya. Untuk keluar dari tempat ini, laki-laki tua itu harus bisa dikalahkannya. Gadis itu segera bersiap untuk mengadakan serangan kembali. Dilepaskan sabuk berwarna keperakan.
Dengan sekali kebut saja, sabuk itu menegang kaku, dan menjadi sebilah pedang perak tipis.
"Kau bisa tertawa, Kakek Tua! Tapi sekarang rasakanlah Sabuk Sakti-ku!" dengus Puspa Ningrum dingin.
"He he he...!" Ki Tunggul hanya terkekeh saja.
"Hup! Hiyaaa...!" Puspa Ningrum sudah melompat men ye rang cepat kembali. Sabuk keperakan yang sudah kaku bagai pedang tipis itu, berkelebatan cepat mengarah ke bagSan-bagian tubuh Ki Tunggul yang mematikan. Namun laki-laki tua pengemis itu hanya menggerakkan tongkatnya beberapa kali tanpa beranjak dari duduk-nya di batu pipih.
Trang! Trang! Puspa Ningrum tersentak begitu senjata kebanggaannya bersentuhan keras dengan tongkat hitam Ki Tunggul. Tangannya langsung bergetar kesemutan. Jari-Jari tangannya menegang kaku, dan terasa nyeri seketika. Buru-buru dia melompat mundur sambil meringis kesakitan. Namun tatapan matanya tajam menusuk.
Ki Tunggul bangkit dari duduknya, lalu berdiri dengan ujung tongkat menekan ke tanah. Bibirnya masih menyunggingkan senyuman, namun tidak terdengar lagi suara tawanya. Pelahan dilangkahkan kakinya menghampiri Puspa Ningrum yang masih diliputi berbagai macam perasaan.
"Pergilah! Katakan pada Dipa, bahwa antara Partai Pengemis Tongkat Hitam dan Desa Watu Gayam tidak ada persoalan. Yang kuinginkan hanyalah, agar Ki Jayakrama meninggalkan desa itu untuk selamanya.
Hanya itu! Biarkanlah kami semua hidup bebas seperti dulu lagi," kata Ki Tunggul tenang, namun bernada tegas.
Puspa Ningrum masih tetap berdiri tegak. Pandangan matanya tajam menusuk langsung ke bola mata laki-laki tua pengemis itu. Pada saat itu, Gota muncul kembali dengan langkah ringan. Didekatinya gadis itu, lalu berdiri di depannya, di samping kiri Ki Tunggul.
"Ki Tunggul, boleh aku bicara dengannya sebentar?" pinta Gota penuh nada hormat.
"He he he...," Ki Tunggul tertawa terkekeh.
Tanpa bicara lagi dia berbalik dan melangkah pergi. Gota memandanginya dari sudut matanya. Sedangkan Puspa Ningrum memasukkan kembali sabuk peraknya ke dalam tali ikat pinggangnya. Raut wajahnya masih terlihat kaku, dan sorot matanya tetap tajam menusuk.
"Aku ingin bicara denganmu, bukan sebagai musuh," kata Gota setelah Ki Tunggul tidak terlihat lagi.
Puspa Ningrum tidak menyahuti, tapi malah berjalan menghampiri kudanya yang tengah merumput. Dia melompat naik ke punggung kuda putih itu. Gota melompat dan mencekal tali kekang kuda putih itu dekat mulutnya.
"Tidak ada yang perlu dibicarakan!" dengus Puspa Ningrum ketus.
Setelah berkata demikian, Puspa Ningrum menghentakkan tali kekang kudanya, kemudian menggebahnya keras-keras. Kuda putih itu meringkik keras, kemudian melompat, membuat Gota harus menyingkir cepat-cepat. Kuda putih itu melesat cepat bagaikan anak panah lepas dari busurnya. Gota hanya memandang kepergian gadis itu.
Pemuda kurus kering berpakaian compang-camping itu, masih tetap berdiri meskipun Puspa Ningrum sudah tidak terlihat lagi bayangannya. Pandangannya lurus ke arah kepergian gadis itu, sampai-sampai tidak menyadari kalau Ki Tunggul sudah berada di sampingnya. Laki-laki tua itu mendehem dua kali. Gota tersentak kaget, dan buru-buru menoleh.
"Kasihan dia, Ki. Dia harus tahu siapa dirinya yang sebenarnya," kata Gota pelan.
"Jangan ikuti perasaanmu, Gota," ujar Ki Tunggul menasehati.
"Sejak semula memang sudah kuduga, Ki. Dan sekarang sudah jelas. Dua kali dia menolongku dari kekejaman mereka," masih terdengar pelan suara Gota.
“Tanpa pertolongannya pun kau tidak akan bisa dikalahkan mereka."
"Benar. Tapi aku tidak ingin menunjukkannya, Ki. Aku hanya ingin tahu, apakah penduduk Desa Watu Gayam benar-benar membenci Partai Pengemis Tongkat Hitam atau karena hanya mendapat tekanan saja dari manusia keparat itu," agak tertahan nada suara Gota.
"Bagaimana penilaianmu selama satu bulan berada di tengah-tengah penduduk Desa Watu Gayam?" tanya Ki Tunggul.
"Entahlah...." sahut Gota tidak yakin.
"He he he... kau ingin mencobanya lagi?"
"Kalau Ki Tunggul mengijinkan "
"Aku percaya, kau mampu menjaga dirimu sendiri.
Tapi satu pesanku, jangan biarkan mereka menganiayamu kembali. Kalaupun sampai terjadi, gunakan ilmu 'Raga Baja'. Ini berguna agar dirimu tidak sengsara dan tahan segala macam pukulan atau senjata tajam. Mengerti, Gota?"
"Aku mengerti, Ki."
"Nah, pergilah. Jika ada sesuatu yang berat dan tidak bisa dihadapi sendiri, cepat-cepat hubungi aku." “Baik, Ki."
"Hm." Gota membungkukkan badannya memberi hormat, kemudian melangkah pergi meninggalkan laki-laki tua pemimpin Partai Pengemis Tongkat Hitam itu.
Sementara Ki Tunggul memandanginya sampai punggung pemuda kurus kering itu lenyap dari pandangannya.
"Hhh.... Kasihan kau. Gota. Hidupmu jadi sengsara karena manusia serakah itu,..!" desah Ki Tunggul seraya mengayunkan langkahnya pelahan.

*
* *

Puspa Ningrum menghentikan lari kudanya dengan tiba-tiba. Kuda putih itu meringkik keras sambil mengangkat kaki depannya. Gadis itu langsung melompat turun, tapi tidak jadi bergerak mendekati pertempuran yang berlangsung di depannya. Pertarungan yang berlangsung antara seorang laki-laki muda bertubuh kurus kering melawan empat orang laki laki bertubuh tinggi tegap dan bersenjata golok.
Tampak jelas kalau laki-laki kurus kering berpakaian comping-camping itu kian terdesak. Beberapa pukulan mendarat di tubuhnya. Dia bergulingan di tanah. Namun begitu bangkit, satu pukulan telak menggedor dadanya.
Sementara Puspa Ningrum yang menyaksikan peristiwa itu, sudah bisa menduga kalau laki-laki muda kurus kering itu bakal mati di tangan empat orang yang menghajarnya secara bergantian.
"Hentikan...!" bentak Puspa Ningrum keras.
Seketika itu juga pertarungan berhenti. Empat orang bertubuh tegap, langsung melompat mundur. Mereka membungkukkan badannya sedikit pada Puspa Ningrum. Sedangkan gadis itu tidak mempedulikannya, tapi malah melangkah menghampiri pemuda kurus kering yang sedang berusaha bangkit berdiri.
"Gota, apa yang kau lakukan di sini?" tanya Puspa Ningrum.
"Apa urusanmu? Aku bebas berbuat apa saja di sini!" dengus Gota menolakkan tangan Puspa Ningrum yang ingin membantunya berdiri.
Puspa Ningrum tidak berkecil hati mendapatkan jawaban yang ketus dan tidak bersahabat itu. Dia melangkah mundur satu tindak, membiarkan Gota berdiri. Gadis itu menatap tajam pada empat orang yang jelas-jelas anak buah Dipa Sentana.
"Memalukan! Mengeroyok orang yang tidak berdaya!" dengus Puspa Ningrum ketus.
"Gusti Ayu.... kami hanya menjalankan perintah." kilah salah seorang yang berdiri paling kanan.
"Perintah siapa?" bentak Puspa Ningrum.
Empat orang itu saling berpandangan.
"Jawab! Siapa yang memerintah kalian berbuat pengecut seperti ini?" bentak Puspa Ningrum gusar.
"Aku!" Tiba-tiba saja terdengar jawaban keras bertenaga dalam tinggi. Semua kepala menoleh ke arah datangnya suara itu. Tampak seorang laki-laki tua berjubah biru gelap tahu-tahu sudah berdiri tidak jauh dari mereka.
Laki-laki tua yang menggenggam tongkat itu tidak asing lagi bagi mereka semua. Tongkat yang pada ujung bagian atas berbentuk kepala ular kobra itu dihentakkan ke tanah tiga kali. Serentak empat orang yang mengeroyok Gota tadi, melompat ke belakang Ki Jayakrama.
"Puspa Ningrum, cepatlah pulang! Ini bukan urusanmu." perintah Ki Jayakrama, dingin nada suaranya.
"Kalau aku tidak mau?" tantang Puspa Ningrum. Ki Jayakrama tampak serba salah, namun tidak ditunjukkannya. Malah, ditatapnya tajam-tajam gadis cantik yang berdiri membelakangi Gota. Seolah-olah Puspa Ningrum sengaja melindungi pemuda yang biasa dipanggil si Gembel itu.
"Puspa Ningrum, pulanglah. Tidak ada gunanya membela si Gembel itu. Dia musuh besar kakakmu," tegas Ki Jayakrama, tapi agak melunak suaranya.
"Tapi dia bukan musuhku. Pantang bagiku membiarkan orang tidak berdaya dikeroyok seenak hati! Apa kesalahannya, sehingga kalian begitu ingin membunuhnya!" lantang kata-kata Puspa Ningrum. Merah padam wajah Ki Jayakrama seketika, namun masih bisa ditahan kesabarannya. Dia tidak ingin membuat gadis ini berang. Hal itu harus dijaga, meskipun telinganya sudah sakit mendengar kata-kata bernada menantang itu.
"Baiklah, kali ini aku mengalah. Tapi cepatlah pulang, dan temui kakakmu!" tegas kata-kata Ki Jayakrama.
"O.... Kau ingin mengadukan hal ini pada Kakang Dipa...?! Baik! Adukanlah kalau aku membela Gota, dan tidak peduli pada kalian semua!" ujar Puspa Ningrum tegas. Ki Jayakrama mendengus menahan geram, dan langsung berbalik melangkah cepat meninggalkan tempat itu. Empat orang yang tadi mengeroyok Gota, juga bergegas pergi. Puspa Ningrum baru berbalik setelah lima orang itu tidak terlihat lagi.
“Tidak ada gunanya bersikap begitu, Puspa." kata Gota pelan "Apakah aku tidak boleh melindungi orang yang lemah?" Puspa Ningrum malah memberikan pertanyaan.
Sebenarnya Gota ingin tertawa mendengar pertanyaan gadis itu. Tapi sebisa mungkin, ditahan rasa gelinya. Meskipun tadi dipukuli dan ditendangi empat orang bertenaga besar, namun itu tidak berarti sama sekali pada tubuhnya yang kurus kering. Sebab dia tadi menggunakan ilmu 'Raga Baja', sehingga setiap pukulan dan tendangan empat orang itu tidak terasa sama sekali.
"Terima kasih, Puspa. Aku tahu kau tidak seperti yang lainnya. Tapi pikirkanlah keselamatan dirimu juga.
Mereka orang-orang yang kejam, dan jelas tidak akan memandangmu lagi sebagai adik Dipa, kalau terusterusan membelaku.
Percayalah padaku, Puspa! Jangan libatkan dirimu dalam persoalan ini." pinta Gota, mengharapkan pengertian gadis itu. “Ternyata kau juga keras kepala seperti kakakku, Gota." dingin nada suara Puspa Ningrum.
"Ini demi kebaikanmu juga, Puspa. Pulanglah, sebelum keadaan bertambah parah." Puspa Ningrum memandang lurus ke arah bola mata pemuda itu. Pada saat yang sama, Gota juga menatap pada gadis itu. Sesaat mereka saling tatap tanpa berkata-kata. Pelahan-lahan Puspa Ningrum menunduk.
Entah mengapa, jantungnya jadi berdetak cepat dan wajahnya bersemu merah dadu. Gota sendiri menarik napas dalam-dalam. Juga dirasakan seperti ada yang tak beres dalam dirinya ketika mereka saling pandang tadi.
“Pulanglah, Puspa...,” ucap Gota pelan, hampir tidak terdengar suaranya.
"Gota...," Puspa Ningrum mengangkat kepalanya. Kembali mereka saling tatap.
“Pulanglah " Puspa Ningrum melangkah mundur beberapa tindak ke belakang, kemudian berbalik dan menghampiri kudanya. Dengan gerakan yang indah, dia melompat naik ke punggung kuda putih itu. Tatapannya masih tertuju pada pemuda bertubuh kurus dengan baju compang-camping itu. Kemudian digebahnya kudanya dengan cepat.
Gota menghenyakkan tubuhnya ke tanah berumput.
Terdengar tarikan napas yang panjang dan berat, seolah-olah ingin melonggarkan dadanya yang tiba-tiba saja jadi terasa sesak. Gota yang akan bangkit jadi terkejut setengah mati. Tiba-tiba dari batik pepohonan, bermunculan sekitar enam orang bersenjata golok terhunus. Gota langsung menggerinjang bangkit berdiri.
Belum hilang rasa terkejutnya, muncul Ki Jayakrama yang langsung melompat menerjangnya.
"Hup!"

*
* *

Tidak ada lagi kesempatan buat Gota untuk menghindari serangan yang cepat dan mendadak itu. Hanya ada satu cara, dan itu harus dilakukan dengan cepat. Tangannya terangkat ke depan sambil mengerahkan tenaga dalamnya dengan penuh. Satu benturan keras terjadi disertai suara ledakan menggelegar begitu dua pasang telapak tangan beradu. Gota terpental sejauh tiga batang tombak, sedangkan Ki Jayakrama hanya terdorong beberapa langkah saja. Meskipun Gota masih bisa berdiri, namun tubuhnya limbung juga. Seluruh tangannya seperti tersengat ribuan kala berbisa. Bergetar, dan terasa panas luar biasa.
"He he he... Rupanya kau punya simpanan juga.
Gembel!" dengus Ki Jayakrama seraya terkekeh.
Gota hanya mendengus saja, lalu kembali bersiapsiap menerima serangan laki-laki tua itu. Sebentar kemudian, Ki Jayakrama kembali menyerang menggunakan jurus-jurus yang cepat dan berbahaya. Namun tanpa diduga sama sekali, Gota mampu mengimbanginya dengan gesit pula. Tentu saja hal ini membuat Ki Jayakrama tercengang, sekaligus penasaran. Seorang gembel kotor kurus kering, mampu melayaninya sampai sepuluh jurus lebih. Hal ini tidak pernah terpikirkan olehnya selama ini. Makanya Ki Jayakrama semakin memperhebat serangan-serangannya.
Dan saat mulai dikeluarkan satu jurus andalan, Gota sudah kelihatan kewalahan menghadapinya. Lebihlebih lagi ketika satu pukulan keras bertenaga dalam tinggi bersarang di dada Gota.
Akibatnya, pemuda gembel itu kini tidak bisa lagi mengendalikan dirinya.
"Ha ha ha...! Mampus kau sekarang, Gembel!" Ki Jayakrama tertawa terbahak-bahak kegirangan. Buk! Buk! Dua kali pukulan bersarang di tubuh Gota, dan membuatnya terhuyung-huyung ke belakang.
Pada saat itu, Ki Jayakrama menjentikkan jarinya tiga kali. Seketika empat orang yang menyertainya langsung melompat sambil mengibaskan golok ke arah si Gembel itu. Tapi rupanya Gota masih alot juga, bahkan berhasil menghindari golok-golok yang mengancam tubuhnya.
Namun satu tendangan keras membuat tubuhnya terpental ke belakang sejauh tiga batang tombak.
"Hoek..!" Gota memuntahkan darah segar dari mulutnya. Pemuda gembel itu berusaha bangkit. Namun, satu pukulan bertenaga dalam cukup tinggi kembali menghajar dadanya. Pemuda gembel itu kembali terpental. Punggungnya menghantam sebuah pohon hingga tumbang. Dan pada saat tubuhnya menggeletak, satu kilatan golok berkelebat cepat ke arah lehernya.
"Dewata Yang Agung…., matilah aku kali ini….” keluh Gota seraya memejamkan matanya.
Golok salah seorang anak buah Ki Jayakrama, begitu cepat berkelebat. Dan yang pasti, Gota tidak mampu lagi menghindarinya. Namun pada saat yang kritis itu, mendadak sebuah bayangan putih berkelebat menyambar tubuh pemuda gembel itu, sambil menyentil golok yang hampir menebas leher Gota.
"Akh!" orang itu terpekik tertahan, tubuhnya terdorong beberapa langkah ke belakang.
Semua orang yang berada di tempat itu, jadi tercengang. Seperti hantu saja, bayangan putih itu melesat cepat bagai kilat membawa pergi si Gembel.
Terlebih lagi, Ki Jayakrama yang jadi bengong sehingga tidak bisa berbuat sesuatu. Namun ketika disadari, maka diperintahkanlah seluruh anak buahnya untuk mengejar.
"Kejar! Bunuh mereka...!" seru Ki Jayakrama keras.
Semua anak buahnya segera berlompatan mengejar bayangan putih yang membawa kabur si Gembel. Tapi usaha mereka jelas sia-sia. Bayangan itu sudah lenyap, dan tidak jelas lagi arah kepergiannya. Ki Jayakrama bersungut-sungut kesal. Orang yang selama ini ingin dilenyapkan, masih bisa lolos pada saat kematiannya sudah di ambang pintu.
"Setan keparat! Siapa yang menolongnya...?'' dengus Ki Jayakrama kesal.

*
* *

Kekesalan Ki Jayakrama terbawa sampai ke rumah.
Dipa Sentana benar-benar tidak mengerti terhadap tingkah gurunya itu. Semua anak buahnya kena semprot, meskipun tidak melakukan kesalahan. Ki Jayakrama benar-benar kesal. Orang yang selama ini ingin dimusnahkan, bisa lolos setelah tidak berdaya lagi.
Bahkan tinggal seujung kuku lagi nyawanya pasti terenggut.
"Apa yang membuatmu kesal, Ki?" tanya Dipa Sentana setelah melihat Ki Jayakrama agak tenang, duduk di bangku taman belakang.
"Anak itu!" rungut Ki Jayakrama masih dihinggapi kekesalan.
"Siapa?" tanya Dipa Sentana tidak mengerti "Gembel itu!" Dipa Sentana baru mengerti kalau kekesalan Ki Jayakrama disebabkan gagal membunuh Gota.
Dilangkahkan kakinya menghampiri Ki Jayakrama, lalu duduk di sebelahnya. Matanya terus merayapi wajah tua yang memerah menahan kekesalan hatinya.
'"Kau sudah menemukannya, Ki?" tanya Dipa Sentana lagi.
"Sudah, tapi lolos!" masih bernada sengit jawaban Ki Jayakrama.
"Lolos...?" Dipa Sentana terheran-heran mendengarnya.
Rasanya mustahil kalau si Gembel itu bisa lolos dari tangan laki-laki tua yang memiliki tingkat kepandalan tinggi ini. Dipa Sentana menatap dalam-dalam wajah laki-laki tua di sebelahnya.
"Dipa! Sudah kubilang, jaga anak itu! Dia bisa jadi penghalang semua tujuan kita!" kata Ki Jayakrama seraya memalingkan mukanya menatap pada Dipa Sentana.
"Aku tidak mengerti yang kau maksud, Ki." kata Dipa Sentana dengan alis bertaut menjadi satu.
"Huh! Kau benar-benar bodoh. Dipa! Apa sih untungnya memperhatikan anak itu? Bertindaklah yang tegas, Dipa. Anak itu sudah berani mencampuri urusan kita! Bahkan terang-terangan membela si Gembel itu!" rungut Ki Jayakrama.
"Puspa Ningrum, maksudmu?" tebak Dipa Sentana.
"Siapa lagi yang kau anggap adik, heh?!" Dipa Sentana terdiam. Tidak disangka kalau kekesalan hati Ki Jayakrama juga disebabkan Puspa Ningrum. Memang sudah diduga kalau Puspa Ningrum juga dapat menemukan Gota, dan menghalangi maksud Ki Jayakrama untuk membunuhnya. Tapi Dipa Sentana juga tidak percaya begitu saja. Dia kenal betul Ki Jayakrama, yang merupakan seorang tokoh berilmu tinggi. Sikapnya, tidak pernah memandang saudara atau kerabat untuk meraih semua keinginannya.
Rasanya tidak masuk akal kalau Ki Jayakrama mengalah begitu saja kepada Puspa Ningrum. Terlebih lagi, gadis itu menghalangi maksudnya untuk membunuh Gota. Sejak usia lima belas tahun Dipa Sentana selalu mengikuti Ki Jayakrama, dan tahu betul watak laki-laki tua ini. Baginya membunuh manusia sama saja dengan menyembelih ayam! "Dipa! Kau boleh-boleh saja membalas budi, tapi jangan sampai menyulitkan dirimu sendiri. Sejak semula aku tidak setuju kalau anak itu ada di sini. Sekarang sudah terbukti kalau dia jadi penghalang besar bagimu! Kau harus ingat cita-cita ayahmu, dan janjimu sendiri di hadapan pusara ayahmu!" jelas Ki Jayakrama tanpa memberi kesempatan Dipa Sentana untuk membuka mulut Kepala Desa Watu Gayam itu hanya berdiam diri saja.
Sedikit pun tidak ada keberanian untuk membantah setiap kata yang dikeluarkan laki-laki tua ini. Kalau bukan karena Ki Jayakrama, mungkin dirinya sudah tidak ada lagi di dunia. Kalaupun masih hidup, pasti nasibnya jauh lebih buruk lagi daripada Gota sekarang ini. Di lain pihak, dirinya juga tidak setuju kalau harus menyingkirkan Puspa Ningrum. Biar bagaimanapun dia tetap sayang pada adiknya. Di samping itu pula, dia pun harus selalu patuh pada Ki Jayakrama, meskipun hidup laki-laki tua itu selalu bergelimang noda dan darah. Dipa Sentana tidak akan pernah melupakan jasa baik seseorang yang telah menyelamatkan nyawanya dari maut.
"Apa yang kau pikirkan, Dipa?" tegur Ki Jayakrama melihat Dipa Sentana hanya diam tertunduk.
“Tidak ada," sahut Dipa Sentana mendesah seraya mengangkat kepalanya.
"Dipa, urusan Puspa Ningrum adalah urusanmu. Aku tidak ingin mencampuri, meskipun dia telah lancang mencampuri urusanku. Hanya satu yang kuinginkan, kau harus tegas melarang adikmu keluar rumah sebelum kubereskan si Gembel itu!" tegas kata-kata Ki Jayakrama.
"Tidak mungkin, Ki. Dia juga punya hak di rumah ini.
Bahkan..."
"Dipa!" sentak Ki Jayakrama keras, memotong ucapan Dipa Sentana.
"Ki..., selama ini selalu kuturuti dan kuhormati keberadaanmu. Karena kau adalah guruku, sekaligus ayah angkatku. Tapi untuk yang satu ini.... Rasanya sukar sekali, Ki," kata Dipa Sentana seraya menggelenggelengkan kepalanya.
"Aku tidak peduli dengan segala macam alasanmu, Dipa. Tujuan kita tidak boleh putus di tengah jalan. Kau mengerti itu, Dipa!" agak keras nada suara Ki Jayakrama.
Dipa Sentana terdiam.
Ki Jayakrama bangkit berdiri begitu matanya melihat Puspa Ningrum melangkah menghampiri. Gadis itu menatap tidak senang pada Ki Jayakrama, namun tetap menghampiri tempat itu. Sedangkan tanpa berkata-kata lagi, Ki Jayakrama berlalu meninggalkan taman belakang ini. Puspa Ningrum memandang kepergian laki-laki tua itu, kemudian duduk di samping kakaknya.
"Dari mana kau, Puspa?" tanya Dipa Sentana berusaha tersenyum. Namun senyum itu terasa amat dipaksakan, dan getir sekali.
"Jalan-jalan." sahut Puspa Ningrum menatap wajah laki-laki setengah baya di sampingnya "Ada apa, Kakang? Kelihatannya kusut sekali "
"Tidak ada apa-apa," sahut Dipa Sentana seraya mendesah panjang. Dia bangkit berdiri dan melangkah pelahan-lahan mendekati kolam, di tengah-tengah taman ini. Puspa Ningrum memandangi laki-laki yang selalu dianggap sebagai kakak satu-satunya. Dirasakan kalau ada sesuatu di dalam diri Dipa Sentana. Tadi sempat dilihatnya pandangan mata Ki Jayakrama, yang menyiratkan begitu banyak misteri yang terkandung di dalamnya. Puspa Ningrum ikut bangkit dan melangkah mengikuti Dipa Sentana yang sudah sampai di tepi kolam.

*
* *



←֍↨↨ [ 4 ] ↨↨֎→

Malam ini Puspa Ningrum tampak gelisah di kamarnya yang besar dan cukup indah. Sudah larut malam, tapi gadis itu belum dapat tidur juga.
Memejamkan mata saja rasanya sulit. Dia berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya. Maksudnya datang ke sini sebenarnya untuk mencari ketenangan setelah ibunya meninggal dunia. Semua kenangan di Padepokan Tapak Wisa di Gunung Ketanggungan ingin dilupakannya.
Malam terus merayap semakin larut. Namun Puspa Ningrum masih juga belum bisa tenang. Sejak berada di Desa Watu Gayam ini, sudah beberapa kali ditemukan persoalan yang dirasakan begitu janggal. Dia juga tidak mengerti akan sikap kakaknya yang melarangnya keluar dari rumah dalam beberapa hari ini. Pikirannya terpaut pada pemuda kurus kering yang dijuluki si Gembel.
Entah mengapa, Puspa Ningrum merasakan ada sesuatu setiap kali menatap mata pemuda yang bertubuh kurus kering itu. Puspa Ningrum melangkah menghampiri jendela, dan membukanya lebar-lebar.
Angin malam yang dingin, langsung menerpa wajahnya begitu jendela kamar itu terbuka lebar. Sambil berdiri mematung, dipandanginya bulan penuh yang bergelayut di langit kelam. Pikirannya kembali tertuju pada Gota.
"Gota..." desah Puspa Ningrum tanpa sadar.
Puspa Ningrum menarik napas dalam-dalam, lalu berbalik. Pada saat itu, sebuah bayangan hitam melesat masuk melalui jendela. Puspa Ningrum terkejut setengah mati, sampai-sampai terpekik tertahan. Tapi bayangan hitam itu lebih cepat lagi bergerak menotok jalan darah gadis itu, sebelum Puspa Ningrum sempat melakukan sesuatu.
"Oh...," Puspa Ningrum langsung jatuh lunglai ke lantai kamarnya.
Hanya sesaat dia bisa melihat orang berbaju serba hitam yang wajahnya juga terbungkus kain hitam. Hanya kilatan cahaya matanya saja terlihat. Sesaat kemudian, gadis itu sudah tidak sadarkan diri.
"Puspa...! Puspa Ningrum...!" Tiba-tiba saja terdengar panggilan keras, disertai gedoran pintu. Panggilan itu terdengar berulang-ulang, dan gedoran di pintu juga semakin keras. Orang berbaju serba hitam itu agak kebingungan, namun dengan cepat dipondongnya tubuh Puspa Ningrum. Tepat ketika pintu kamar itu didobrak dari luar, tubuh berbaju hitam itu mencelat lewat jendela membawa gadis itu dalam pondongannya ke luar.
"Puspa...!" Dipa Sentana menerobos masuk dari pintu yang jebol berantakan, dan langsung berlari ke arah jendela. Tapi orang berbaju serba hitam itu sudah lenyap bagai terbenam pekatnya malam. Dipa Sentana segera melompati jendela itu, dan berlari cepat menerobos malam yang pekat dan dingin. Dia berhenti begitu tiba di batas pagar baru yang tinggi.
Dipa Sentana memandangi tembok yang menjulang tinggi, kokoh menantang di depannya. Pada saat itu, Ki Jayakrama dan enam orang anak buahnya datang menghampiri sambil berlari-lari, Ki Jayakrama cepat melentingkan tubuhnya ke atas tembok, dan berdiri tegak di bibir tembok yang tebal itu. Sebentar dilayangkan pandangannya ke sekeliling luar tembok itu, kemudian melompat turun dengan indahnya.
Tanpa bersuara sedikit pun, kakinya menjejak tanah tepat di depan Dipa Sentana.
"Ada yang menculik Puspa Ningrum...," ucap Dipa Sentana pelan.
"Aku dengar ribut-ribut tadi." kata Ki Jayakrama.
"Aku terlambat, Ki."
"Sudahlah! Besok kita cari," kata Ki Jayakrama seraya mengajak Dipa Sentana pergi.
Namun Dipa Sentana menyentakkan tangan laki-laki tua itu. Ki Jayakrama menatap tajam pada muridnya ini, namun dibalas tidak kalah tajam pula oleh Dipa Sentana. Sesaat mereka saling menatap tajam.
"Aku harus mencarinya malam ini juga! Tidak ada seorang pun yang boleh mencelakakannya!" tegas Dipa Sentana. Agak keras suaranya.
"Dipa, ini sudah tengah malam," Ki Jayakrama mencoba mencegah.
"Aku tidak peduli!" seru Dipa Sentana seraya melesat cepat ke atas.
Hanya sekali lompatan saja, laki-laki setengah baya namun masih kelihatan gagah itu, sudah melewati bibir tembok yang tinggi dan tebal. Tubuhnya kemudian meluruk tanpa menyentuh tembok itu. Ki Jayakrama memerintahkan anak buahnya untuk menyusul, sedangkan dia sendiri bergegas kembali ke rumah besar yang sebagian sudah gelap tanpa penerangan sedikit pun. Tampak jendela kamar Puspa Ningrum masih terbuka lebar.
Ki Jayakrama tidak masuk ke dalam rumah itu, tapi segera menyerukan kepada sebagian besar anak buahnya untuk mengejar Dipa Sentana dan membawanya kembali pulang. Sama sekali tidak disinggung-singgung tentang penculikan Puspa Ningrum, tapi hanya ditekankan agar membawa pulang Dipa Sentana saja.
Sekitar dua puluh orang anak buahnya langsung bergerak dengan menggunakan kuda malam itu juga. Ki Jayakrama baru masuk ke dalam rumah setelah dua puluh orang anak buahnya meninggalkan halaman rumah besar itu.

*
* *

Malam yang gelap dan dingin seperti ini, biasanya orang enggan untuk berada di luar rumah. Tapi tidak demikian halnya dengan seorang yang memakai baju serba hitam. Orang itu berlari cepat bagai angin. Di pundaknya tersandang sesosok tubuh ramping yang tidak sadarkan diri. Orang yang seluruh tubuhnya mengenakan baju hitam itu, terus berlari masuk ke dalam hulan.
Orang itu baru berhenti berlari setelah sampai di sebuah pondok kecil beratap daun rumbia. Diturunkan tubuh ramping di pundaknya dengan kasar. Sosok tubuh berbaju biru muda itu menggelimpang jatuh ke tanah.
Tampak wajahnya yang cantik bagai tertidur pulas.
Orang itu membuka kedoknya yang terbuat dari kain hitam. Tampak wajahnya yang kasar dan penuh brewok itu.
"Ha ha ha...! Tidak terlalu sukar membawamu ke sini. Anak Manis," ucap orang yang telah membuka kedoknya itu.
Orang itu, melangkah menghampiri tubuh ramping yang tergeletak di tanah tidak sadarkan diri. Diamati wajah cantik itu dengan bola mala berbinar. Lidahnya menjulur, menjilati bibirnya yang tebal.
“Tidak kusangka, kau begini cantik...," desah laki-laki berwajah kasar itu.
Pelahan-lahan dia berlutut di samping wanita yang ternyata adalah Puspa Ningrum. Tangannya menjulur meraba wajah yang berkulit halus itu. Tangannya agak gemetar begitu menyentuh kulit halus pada leher yang jenjang. Pelahan-lahan jari-jari tangannya merayap menyentuh dada yang membusung indah terbungkus baju biru muda.
"Kau cantik sekali! Sayang sekali jika dilewatkan begitu saja," gumam laki-laki itu. Dengan tangan agak gemetar, dicobanya untuk membuka sabuk perak yang melilit pinggang Puspa Ningrum. Tapi dia terkejut, karena sabuk itu sukar dilepaskan. Wajahnya jadi menegang, dan matanya liar menatap raut wajah cantik yang masih juga belum sadarkan diri.
"Hih!" Laki-laki berwajah penuh brewok itu, menotok bagian leher. Seketika itu juga Puspa Ningrum terbangun dari ketidaksadarannya. Gadis itu terkejut begitu melihat seorang laki-laki berwajah kasar penuh brewok berada di dekatnya. Lebih terkejut lagi saat dikenalinya orang itu.
"Paman Kumbana! Apa yang kau lakukan di sini?" sentak Puspa Ningrum sambil berusaha menggelinjang.
Namun gadis itu jadi terkejut setengah mati. Seluruh tubuhnya terasa kaku, sukar digerakkan. Puspa Ningrum menyadari kalau telah terkena totokan yang melumpuhkan tubuhnya. Masih diingatnya kejadian yang menyebabkannya berada di sini bersama seorang laki-laki yang dikenalnya.
"Kau masih ingat aku rupanya, Puspa Ningrum. Tidak kusangka, kau tumbuh menjadi seorang gadis cantik menggiurkan. He he he...," laki-laki yang dikenali Puspa Ningrum bemama Kumbana itu terkekeh. Matanya liar merayapi wajah gadis itu.
Puspa Ningrum bergidik juga mendengarnya Dia tahu betul siapa Paman Kumbana ini. Seorang laki-laki berwajah menyeramkan, penuh brewok, dan ada luka codet memanjang membelah pipi kanannya. Luka itu yang membuat wajahnya semakin menyeramkan. Gadis itu ingat luka di wajah laki-laki itu dibuat oleh gurunya ketika Kumbana ingin membawa paksa diri Puspa Ningrum dan ibunya dari Padepokan Tapak Wisa.
Sebenarnya dulu Kumbana adalah abdi setia ayah dari Dipa Sentana. Dia memisahkan diri, lalu membentuk kekuatan baru. Setelah kekuatannya kuat dia memberontak, meruntuhkan kekuasaan ayah dari Dipa Sentana di Desa Watu Gayam. Dulu desa itu sebuah kadipaten yang tidak begitu besar. Tapi karena runtuh akibat perang saudara dan banyaknya kekacauan yang terjadi, akibatnya seluruh penduduk meninggalkan tempat itu. Dan sampai sekarang di tempat itu tinggal segelintir orang saja yang masih bertahan. Dipa Sentana kemudian membangun kembali bekas kadipaten itu menjadi sebuah desa. Semua itu diketahui Puspa Ningrum dari cerita guru maupun ibunya yang selalu mendampingi di Padepokan Tapak Wisa.
“'Paman! Apa yang kau lakukan...?" sentak Puspa Ningrum terbangun dari lamunannya.
Gadis itu berusaha menggelinjang ketika tangan Kumbana berusaha menyentuh dadanya, tapi seluruh tubuhnya sudah tidak bisa digerakkan lagi. Jari-jari tangan Kumbana yang kasar, merayapi dada yang membukit indah itu.
"Kurang ajar! Kubunuh kau, Kumbana!" bentak Puspa Ningrum, merah padam wajahnya. Tidak ada lagi rasa hormat pada laki-laki berhati binatang itu.
"He... he... he.... Kau tidak akan bisa membunuhku, Puspa Ningrum. Kau lihat ini...!" Kumbana menunjukkan luka codet di pipi kanannya.
Puspa Ningrum bergidik melihat luka memanjang membelah pipi kanan laki-laki itu.
"Sebentar lagi akan datang seseorang yang sangat membutuhkanmu. Tapi kau pun tak akan kulepaskan begitu saja, tanpa.... He he he..." Kumbana terkekeh menyeringai, menambah seram wajahnya.
"Tidak...! Lepaskan aku!" bentak Puspa Ningrum bergidik ketakutan. Sudah bisa ditebak, apa yang akan dilakukan Kumbana pada dirinya.
Puspa Ningrum berusaha memberontak melepaskan totokan di tubuhnya. Tapi totokan itu demikan kuat. Bahkan hawa murni di dalam tubuhnya juga tidak mampu membebaskannya. Sementara Kumbana dengan leluasa menggerayangi tubuh gadis itu. Napasnya mendengus bagai kuda yang dipacu cepat.
Liurnya hampir menetes, merayapi tubuh gadis itu.
"Bajingan! Keparat...! Kubunuh kau, Kumbana!" maki Puspa Ningrum sambil menghindari serangan ciuman laki-laki itu pada wajahnya. Tapi Kumbana tidak lagi peduli. Dengan kasar direnggutnya baju gadis itu, sehingga bagian tubuh yang berkulit putih menyembul keluar.
"Setan! Keparat...!" maki Puspa Ningrum berang.
"Kau tidak akan bisa lepas dariku malam ini, Manis," desah Kumbana di sela napasnya yang memburu. Hampir serak Puspa Ningrum memaki, tapi Kumbana benar-benar sudah kerasukan setan.
Tidak dipedulikan lagi jeritan dan makian gadis itu. Puspa Ningrum terus memaki dan menjerit-jerit berusaha melepaskan diri dari cengkeraman laki-laki berhati iblis itu.
Tapi usahanya hanya sia-sia saja. Makian dan jeritannya bagaikan satu alunan nyanyian merdu di telinga Kumbana.
Namun ketika seluruh penutup tubuh Puspa Ningrum hampir terbuka, mendadak saja tubuh Kumbana mencelat ke atas, dan jatuh keras ke tanah. Belum sempat disadari apa yang terjadi, Puspa Ningrum merasakan adanya beberapa totokan di tubuhnya. Saat itu juga dirasakan tubuhnya bisa digerakkan lagi dengan bebas. Gadis itu bergegas mengenakan kembali pakaiannya walaupun sudah tidak sempuma lagi. Buruburu dia bangkit berdiri.
"Setan belang! Siapa yang berani mencampuri urusanku, heh?!" bentak Kumbana gerarn, seraya bangkit berdiri.
"Aku!" terdengar sahutan dari belakang Kumbana.
Laki-laki codet itu, langsung berbalik. Dia mendelik melihat seorang pemuda tampan tahu-tahu sudah berdiri tidak jauh darinya. Pemuda itu berbaju rompi putih, tengah berdiri membelakangi Puspa Ningrum, seakan-akan sengaja melindunginya.
"Keparat! Apa kau sudah bosan hidup, bocah?!" bentak Kumbana geram.
"Asal tahu saja, aku paling tidak suka melihat iblis berkedok manusia macam kau!" tajam sekali kata-kata pemuda itu.
"Setan alas! Berani kau berkata begitu, heh?! “Bocah...! Sebutkan namamu sebelum kukirim ke neraka!” "Namaku tidak ada artinya bagimu, Iblis!"
"Babi buntung! Kadal....!" maki Kumbana geram.
Tanpa mempedulikan siapa sesungguhnya pemuda berbaju rompi putih itu, langsung dicabut senjatanya yang mirip golok penjagal hewan. Golok yang kelihatan berat itu, terayun mengarah ke kepala pemuda itu.
Ayunannya begitu kuat, sehingga menimbulkan tiupan angin yang sangat keras.
"Uts!" Pemuda berbaju rompi itu melompat ke belakang dua tindak. Tebasan golok besar Kumbana hanya menyambar angin saja. Dan pada saat itu, kaki kanan pemuda itu melayang menghajar pergelangan tangan Kumbana yang memegang senjata.
"Akh!" Kumbana memekik tertahan.
Buru-buru ditarik mundur tubuhnya beberapa tindak, sambil meringis merasakan sakit pada pergelangan tangannya. Sebentar diurut-urut pergelangan tangan kanannya, kemudian diayun-ayunkan goloknya di atas kepala. Suara angin menderu-deru bagai hendak terjadi badai topan yang sangat dahsyat. Daun-daun berguguran tertiup angin yang ditimbulkan oleh putaran golok besar itu.
"Hebat! Ayam kampung bisa mati kaku melihat golokmu, setan tua!" ejek pemuda itu tersenyum sinis.
"Kadal buduk!" umpat Kumbana marah.

*
* *

Kumbana benar-benar tidak dapat lagi menahan amarahnya. Dengan kekuatan penuh, diserangnya pemuda berbaju rompi putih yang selalu mengejek sehingga darahnya mendidih. Dengan ayunan goloknya yang besar, diserangnya pemuda itu. Namun setiap serangannya selalu dapat dihindari dengan manis.
Bahkan satu dua pukulan bersarang di tubuh laki-laki berwajah codet itu.
Sementara dari jarak yang cukup jauh, Puspa Ningrum memperhatikan saja pertarungan itu. Dia belum ingin terjun dalam pertempuran, meskipun hatinya terbakar amarah akibat kekurangajaran Kumbana padanya. Pantang baginya untuk mengeroyok seseorang dalam pertempuran. Gurunya tidak pernah mengajarkan untuk berlaku curang meskipun dalam keadaan diliputi kemarahan.
Pertempuran antara Kumbana melawan pemuda berbaju rompi putih, masih lerus berlangsung sengit.
Entah sudah berapa puluh jurus dimainkan Kumbana, tapi belum ada satu serangan pun yang berhasil mengenai sasaran. Sementara sudah tidak terhitung lagi pukulan dan tendangan pemuda itu mendarat di tubuhnya. Melihat pemuda berbaju rompi putih itu seakan-akan sengaja memperlambat pertempuran. Puspa Ningrum jadi tidak sabaran.
"Persetan!" geram Puspa Ningrum langsung melompat masuk dalam pertempuran itu.
"Hiyaaat..!" Kumbana jadi kelabakan begitu pukulan Puspa Ningrum hampir bersarang di kepalanya. Laki-laki berwajah kasar itu langsung melompat mundur, tapi Puspa Ningrum terus mendesak sambil mengirimkan pukulanpukulan mautnya yang bertenaga dalam cukup tinggi. Pada saat itu, pemuda berbaju rompi putih tidak lagi bergerak. Sambil berdiri, perhatiannya tak lepas ke arah pertempuran itu dari jarak yang tidak seberapa jauh. Sret! Puspa Ningrum melepas sabuknya yang berwarna keperakan. Dipegangnya sabuk itu pada bagian kepala yang berbentuk kepala seekor macan. Dengan sekali kebut saja, sabuk itu menegang kaku dan berubah jadi sebilah pedang tipis berwarna keperakan. Dengan senjata andalannya ini, Puspa Ningrum semakin dahsyat mencecar Kumbana. Tidak ada lagi kesempatan diberikan pada laki-laki itu untuk mengambil napas dan balas menyerang.
"Mampus kau, hiyaaat...!" Sambil berteriak nyaring melengking, Puspa Ningrum mengibaskan senjatanya ke arah leher. Namun Kumbana gesit sekali menyampok dengan goloknya.
Tring! Begitu dua senjata beradu, Puspa Ningrum menggunakan tenaga lawannya untuk memutar senjatanya. Langsung saja dia berkelebat merobek dada Kumbana. Satu gerakan tipuan yang tidak terduga sama sekali, membuat Kumbana terpekik dan terhuyung. Darah segar mengucur deras dari dadanya yang sobek cukup panjang dan dalam.
"Hiyaaa...!" Puspa Ningrum yang tidak lagi memberi kesempatan, segera melompat sambil berteriak keras.
Senjatanya dikebutkan ke arah leher. Pada saat itu, Kumbana berusaha merunduk. Namun, gerakannya terlambat, karena seketika itu juga senjata Puspa Ningrum lebih dulu menebas lehernya.
"Aaa...!" Kumbana menjerit melengking tinggi.
“Hait'" Puspa Ningrum melayangkan satu tendangan keras mendupak dada Kumbana. Tubuh tinggi besar itu terjungkal ambruk dengan kepala terpisah dari leher.
Hanya sebentar Kumbana mampu berkelojotan, sesaat kemudian diam tidak bergerak-gerak lagi. Darah mengucur deras dari leher yang buntung. Puspa Ningrum melilitkan kembali sabuknya selelah dikebutkan untuk dilemaskan kembali.
"Ck...
ck...
ck..!"
"Eh...!" Puspa Ningrum tersentak kaget. Gadis itu baru sadar kalau di tempat ini masih ada seorang yang telah menyelamatkan kehormatannya dari maksud kotor Kumbana.
Dia segera berbalik dan berdiri terpaku menatap wajah tampan di depannya. Sejenak Puspa Ningrum terpaku, sesaat kemudian dipalingkan wajahnya ke arah lain. “Terima kasih atas pertolonganmu," ucap Puspa Ningrum tanpa memandang pemuda berbaju rompi putih itu.
"Simpan saja rasa terima kasihmu itu, Puspa Ningrum," sahut pemuda itu.
"He...! Kau tahu namaku?" Puspa Ningrum terkejut, sampai-sampai harus menatap pemuda itu kembali.
"Tentu. Karena kau yang kucari, dan kebetulan bertemu di sini," sahut pemuda itu kalem.
"Hhh! Siapa kau?" Puspa Ningrum jadi curiga.
"Namaku Rangga," pemuda itu memperkenalkan diri. Dia memang Rangga yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti.
"Rangga...," Puspa Ningrum bergumam pelan. Dirayapi seluruh tubuh pemuda berbaju rompi putih di depannya, seolah-olah sedang menyelidiki pemuda yang mengaku bemama Rangga itu.
"Kenapa kau menatapku demikian?" tegur Rangga agak risih.
"Sepertinya aku pernah mendengar namamu...," pelan suara Puspa Ningrum, hampir tidak terdengar. Dia seperti bicara dengan dirinya sendiri.
"Mungkin salah dengar. Sebab, baru kali ini aku bertemu denganmu. Dan kau tentunya juga demikian," kata Rangga tetap kalem.
"Memang, kita baru bertemu kali ini. Tapi aku yakin pernah mendengar namamu," sahut Puspa Ningrum tetap pada pendiriannya, tapi juga tengah mengingatingat.
"Ah, sudahlah.
Se...," ucapan Rangga terputus seketika. Pendengaran Pendekar Rajawali Sakti itu tajam luar biasa, karena dapat menangkap adanya satu gerakan halus mendekati tempat ini.
Tanpa berkata-kata lagi, Rangga langsung melompat cepat bagaikan kilat menyambar tubuh gadis itu.
"Hey...!" Puspa Ningrum tersentak kaget. Tapi Rangga cepat menyumpal mulutnya. Pendekar Rajawali Sakti itu menjejakkan kakinya di atas sebatang dahan yang cukup tinggi dan terlindung oleh lebatnya dedaunan pohon itu. Dilepaskan bekapannya pada mulut Puspa Ningrum.
"Kurang ajar...!" umpat Puspa Ningrum.
"Ssst..!" cepat-cepat Rangga memberi isyarat agar diam.
Puspa Ningrum ingin memaki, tapi segera diurungkan.
Memang dia juga mendengar adanya langkah kaki beberapa orang yang mendekati tempat itu. Kedua bola matanya membeliak begitu dari balik semak dan pepohonan yang merapat di sekitar hutan ini, muncul beberapa orang. Dan gadis itu mengenalinya....

*
* *



←֍↨↨ [ 5 ] ↨↨֎→

Rangga mencekal tangan Puspa Ningrum saat melihat gelagat gadis itu akan melompat turun dari dahan pohon ini. Juga, buru-buru disumpal mulut gadis itu dengan menyilangkan jari telunjuk di bibir gadis itu yang mungil memerah. Puspa Ningrum menatap sejenak, lalu perhatiannya kembali beralih pada sebelas orang yang berada di bawahnya.
Tampak salah seorang yang mengenakan jubah biru tua dengan tongkat kepala ular di tangan, berlutut di samping mayat Kumbana. Tongkatnya dihentakkan tiga kali ke tanah. Dia bangkit berdiri dan memandang sekitarnya. Sementara sepuluh orang bersenjata golok terhunus, membentuk lingkaran yang cukup lebar. Sikap mereka berjaga-jaga.
Tidak lama mereka berada di tempat itu, kemudian bergegas pergi terburu-buru. Jelas mereka menggunakan ilmu meringankan tubuh, karena sebentar saja sudah lenyap ditelan lebatnya hutan.
Rangga baru melompat turun disusul Puspa Ningrum, dan mendarat manis di tanah. Puspa Ningrum memandangi arah kepergian sebelas orang tadi.
"Kau kenal mereka, Puspa?" tanya Rangga.
"Tentu," sahut Puspa Ningrum mendesah, seperti tidak percaya dengan apa yang baru saja dilihatnya.
Beberapa kalimat memang terlontar dari mulut lakilaki tua berjubah biru tua tadi. Dan kata-kata itulah yang membuat Puspa Ningrum tidak percaya.
Tapi semuanya dilihat dan didengar jelas. Dia sadar, dan tidak sedang bermimpi saat ini.
"Sebaiknya kita cepat tinggalkan tempat ini, Puspa," ajak Rangga. Puspa Ningrum tidak segera menyahuti, tapi malah menatap dalam-dalam pada Pendekar Rajawali Sakti itu. Sorot matanya seperti sedang meminta penjelasan tentang apa yang baru dilihat dan didengarnya barusan.
Rangga mendekati dan menyentuh lembut pundak gadis itu. Dengan lembut pula diajaknya gadis itu untuk segera pergi.
"Apa artinya semua ini, Rangga?" tanya Puspa Ningrum sambil berjalan pelahan di samping Pendekar Rajawali Sakti itu.
"Kenapa kau tanyakan itu padaku?" Rangga malah balik bertanya.
"Kau tiba-tiba muncul dan menolongku. Mustahil kalau berada di sini hanya secara kebetulan. Lagi pula kau tadi mengatakan memang sengaja mencariku!" kata Puspa Ningrum, jelas bernada curiga.
"Kau cerdik sekali, Puspa," puji Rangga tulus.
"Aku tidak butuh pujian, tapi butuh penjelasan," sentak Puspa Ningrum.
"Penjelasan apa?" tanya Rangga seenaknya.
"Jangan berpura-pura, Rangga. Apa maksudmu mencariku?" desak Puspa Ningrum.
"Ada seseorang yang memintaku untuk membawamu kepadanya," sahut Rangga kalem.
"Seseorang..!? Siapa?"
"Sayang sekali, dia tidak suka kalau aku mengatakannya. Dia ingin agar kau sendiri yang mengetahuinya."
"Sepertinya kau bukan orang bayaran. Dan lagi memang aku tidak percaya kalau kau dibayar seseorang hanya untuk mencariku tanpa alasan pasti!" dengus Puspa Ningrum sambil bergumam.
Rangga tersenyum getir. Benar-benar patut dipuji kecerdikan gadis Ini. Tapi dia sudah janji untuk tidak mengatakan apa pun pada gadis ini, dan hanya untuk membawa Puspa Ningrum dengan selamat. Hanya itu saja! "Di mana dia menungguku?" tanya Puspa Ningrum, merasa tidak mungkin bisa mendesak Pendekar Rajawali Sakti itu.
"Tidak jauh dari sini," sahut Rangga.
"Kau tidak bermaksud buruk padaku, bukan?" selidik Puspa Ningrum.
Rangga hanya tertawa saja, tawanya begitu lepas, dan terdengar renyah di telinga. Namun Puspa Ningrum jadi bersungut. Dirinya merasa dipermainkan, tapi jadi penasaran juga. Ingin diketahui, siapa yang menunggunya, dan apa maksudnya ingin bertemu dengannya.
"Kalau tidak salah, kau katakan tadi pernah mendengar namaku. Kalau tahu siapa aku, pasti kau tidak punya pikiran buruk terhadapku," kata Rangga setelah reda tawanya. Puspa Ningrum terdiam.
Memang pernah didengarnya nama itu. Tapi....
Mendadak gadis itu tersentak. Langsung saja langkahnya terhenti.
Ditatapnya dalamdalam wajah pemuda itu yang ikut berhenti berjalan.
Hampir-hampir tidak percaya kalau sekarang ini dia tengah berjalan dengan seorang tokoh rimba persilatan yang begitu ternama dan menjadi buah bibir di manamana. Gadis itu baru ingat.
Gurunya, yang bernama Eyang Lenteng, sering bercerita tentang sepak terjang orang yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti dan bernama asli Rangga Pati Permadi. Eyang Lenteng sering mengatakan padanya kalau tindakan dan tingkah laku Pendekar Rajawali Sakti patut jadi teladan bagi pendekarpendekar lainnya di muka bumi ini.
Puspa Ningrum hampir tidak percaya, kalau orang yang disegani seluruh tokoh rimba persilatan, ternyata masih muda dan begitu tampan.
"Apa yang kau pikirkan, Puspa?" tegur Rangga lembut "Oh...!" Puspa Ningrum tersentak dari lamunannya.
"Ayo, kita jalan lagi," ajak Rangga. Mereka kembali melangkah menembus hutan yang semakin lebat. Sementara malam terus merambat semakin larut. Kegelapan menyelimuti seluruh hutan ini, sehingga harus hati-hati melangkah agar tidak tersangkut akar yang menyembul keluar dari dalam tanah.
"Maaf, seharusnya aku tidak bersikap ketus padamu." ucap Puspa Ningrum setelah cukup lama terdiam.
"Lupakan saja," sahut Rangga kalem

*
* *

Puspa Ningrum memandangi mulut goa yang terpampang di depannya. Kedua bola matanya tiba-tiba membeliak tak berkedip melihat seorang laki-laki kurus kering telah berdiri di depan mulut goa itu. Sebentar tatapannya terarah ke depan, sebentar kemudian beralih pada Pendekar Rajawali Sakti di sampingnya. Sementara laki-laki bertubuh kurus kering dan berbaju compang-camping itu, menghampiri.
"Terima kasih atas kedatanganmu ke sini, Puspa," ucap laki-laki muda bertubuh kurus kering itu "Gota...," hanya itu yang bisa terucapkan Puspa Ningrum.
"Mungkin kau sangka, aku sudah tewas di tangan Ki Jayakrama dan orang-orangnya. Kalau saja Pendekar Rajawali Sakti ini tidak menyelamatkan nyawaku, entah apa jadinya," kata Gota seraya melirik Rangga.
"Hanya kebetulan saja," ucap Rangga merendah.
"Memang, aku yakin kau bisa selamat, Gota. Kakang Dipa pun mengatakannya padaku," kata Puspa Ningrum.
"Baik sekali dia." agak sinis nada suara Gota.
"Gota, apa maksudmu ingin bertemu denganku?" tanya Puspa Ningrum langsung pada pokok persoalannya.
Gota tidak segera menjawab, tapi malah melirik Rangga yang masih berdiri di samping Puspa Ningrum. Rangga, mengerti, dan segera menyingkir.
"Aku ada di dalam jika kalian membutuhkanku," pesan Rangga sambil terus melangkah mendekati goa.
Gota menggamit lengan gadis itu, kemudian mengajaknya duduk di bawah sebatang pohon kemuning.
Mereka masih berdiam diri dan saling pandang saja, meskipun sudah cukup lama Rangga meninggalkan tempat itu. Masing-masing membisu, tanpa ada yang bicara sedikit pun.
"Kau mengundangku ke sini bukan untuk jadi patung, bukan?" tegur Puspa Ningrum jengah.
"Maaf," ucap Gota buru-buru.
"Apa maksudmu sebenarnya, Gota?" tanya Puspa Ningrum tegas. Dia tidak ingin hanyut oleh perasaan yang tiba-tiba menggayut di hatinya. Perasaan aneh yang belum pernah dirasakan sebelumnya.
"Puspa, sebenarnya hal ini tidak boleh kukatakan padamu. Tapi juga tidak mungkin kupendam terusmenerus, sementara Dipa Sentana dan Ki Jayakrama makin menjadi-jadi saja." kata Gota pelan dan terdengar berat nada suaranya.
"Gota. Aku tidak tahu, persoalan apakah yang terjadi antara kau dengan kakakku. Sebenarnya aku tidak ingin terlibat, tapi...," Puspa Ningrum menghentikan katakatanya, dan langsung teringat ucapan Ki Jayakrama di depan mayat Kumbana.
"Puspa! Ingatkah kau ketika kau sebutkan namamu dan nama kedua orang tuamu pada guruku?" tanya Gota mengingatkan.
"Ki Tunggul, maksudmu? Ya aku ingat," Puspa Ningrum mengangguk pasti.
"Sebenarnya Ki Tunggul tidak bermaksud menghinamu. Dia tertawa karena mendengar keteranganmu yang menyebutkan nama Paradipa dan Wulandari sebagai kedua orang tuamu," kata Gota tanpa bermaksud menyinggung perasaan gadis ini.
"Aku mengatakan yang sebenarnya!" sentak Puspa Ningrum agak tersinggung juga.
"Aku tahu, Puspa. Memang, kau mengatakan yang sebenarnya. Tapi tidak demikian bagi Ki Tunggul. Dan aku sendiri sebenarnya...."
"Kau juga menertawakanku, Gota?" potong Puspa Ningrum cepat.
“Tidak," sahut Gota tegas.
"Justru aku merasa iba padamu."
"Kau jangan main-main, Gota!" sentak Puspa Ningrum. Mendadak perasaannya jadi tidak enak.
"Aku tidak main-main, Puspa. Aku sungguh-sungguh iba padamu, dan ingin mengembalikan dirimu yang sesungguhnya. Tidak ada maksud buruk terselip di hatiku," terdengar serius nada suara Gota kali ini.
Puspa Ningrum terdiam. Perasaannya semakin tidak menentu. Terlebih lagi mendengar nada suara Gota yang begitu serius. Selama ini kehidupannya memang selalu dalam lingkungan padepokan yang tertutup dan terpencil, sehingga yang dikenali hanya wajah ibunya.
Sejak kecil dia tidak pernah melihat wajah ayahnya, meskipun sering mendengar nama ayahnya disebutsebut.
"Puspa, apakah kau tidak pernah mendengar atau meminto ibumu menceritakan perihal ayahmu?" tanya Gota.
"Sering," sahut Puspa Ningrum pelan.
"Kau mempercayai semua ceritanya?" Puspa Ningrum tidak menjawab, tapi hanya menatap tajam pada laki-laki yang kelihatan baru berusia sekitar dua puluh tahun ini. Wajahnya yang kurus dengan mata cekung ke dalam, membuat tampang Gota jauh lebih tua.
"Aku tahu siapa Eyang Lenteng. Kami sering bertemu dan berbicara di luar padepokan. Sebenarnya dia juga iba padamu, tapi tidak bisa berbuat banyak untuk menolongmu. Terpaksa dirimu dijejali dengan ceritacerita palsu," jelas Gota lagi.
"Gota, apa maksudmu sebenarnya? Kau ingin memecah belah diriku dengan Kakang Dipa? Kau pikir aku masih bocah ingusan yang dapat dengan mudah diperdayai? Jangan harap, Gota!" Puspa Ningrum jadi sengit.
Dia menebak ada maksud buruk yang tersembunyi dalam diri laki-laki pengemis ini.
"Jangan berprasangka buruk dulu, Puspa."
"Kalau tidak, lalu untuk apa mengatakan hal itu padaku?"
"Demi kebenaran.
Puspa."
"Kebenaran untuk mempengaruhiku, sehingga harus memusuhi kakakku sendiri. Begitu?" "Puspa..."
"Cukup, Gota!" sentak Puspa Ningrum seraya berdiri.
"Aku tidak suka lagi mendengar segala macam ocehan busukmu!"
"Memang benar apa yang dikatakan Eyang Lenteng.
Sulit menjelaskan hal ini padamu...." desah Gota setengah bergumam.
"Jangan bawa-bawa nama guruku, Gota. Beliau terlalu suci untuk disertakan dalam kebusukan hatimu!" bentak Puspa Ningrum sengit.
"Tidak kusalahkan pendirianmu, Puspa. Kau memang punya hak untuk tidak mempercayaiku. Tapi ketahuilah! Dipa Sentana itu bukan kakakmu. Paradipa juga bukan ayahmu. Ayahmu yang sebenarnya adalah Ki Sawung! Dia tewas karena membela kehormatan ibumu Dipa Sentanalah yang membunuh ayahmu!" agak keras suara Gota.
"Tidak! Kau bohong...! Kau dusta...!" bentak Puspa Ningrum kalap.
"Sayang sekali ibumu sudah meninggal. Kalau saja masih hidup, bisa kau desak agar menceritakan yang sebenarnya. Bagaimana waktu itu hampir diperkosa oleh Paradipa. Kau tahu, siapa bajingan tengik itu? Dia adalah ayah kandung Dipa Sentana. Paradipa tewas di tangan ayahmu, dan secara tidak sengaja Dipa Sentana membunuh ayahmu. Dia menyesal, lalu membawa ibumu yang waktu itu hamil tiga bulan ke Padepokan Tapak Wisa. Bahkan juga berjanji akan mengangkatmu sebagai adik setelah kau lahir. Janji itu dibuktikannya untuk menebus segala dosa dan kesalahan yang dilakukan orang tua serta dirinya!"
"Cukup!" bentak Puspa Ningrum sambil menutup teliganya.
"Tapi turunan bajingan tetap saja bajingan! Ibumu tidak kuasa, dan terpaksa melayani kemauan Dipa Sentana. Kau tahu, apa yang terjadi setelah kau lahir? Setelah kau berusia dua tahun, lahir kembali seorang anak laki-laki dari rahim ibumu, yang kemudian dibuang ke dalam hutan. Dipa Sentana mengira bayi merah itu akan dimakan binatang buas. Tapi Dewata masih melindunginya. Bayi itu ditemukan seorang laki-laki tua yang hidup serba kekurangan. Seorang pengemis, tapi berjiwa luhur dan satria. Kau tahu Puspa, siapa anak laki-laki itu? Aku...!"
"Tidak...! Tidak mungkin...!" Puspa Ningrum menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Kita kakak beradik, Puspa. Meskipun lain ayah. Tapi, sama sekali Dipa Sentana tidak kuakui sebagai ayahku. Dia seorang iblis yang telah membuang darah dagingnya sendiri. Orang macam itukah yang kau hormati, kau sanjung, dan kau anggap sebagai kakak? Buka matamu lebar-lebar, Puspa. Lihatlah perbedaan usiamu dengan Dipa Sentana! Berapa usia ibumu saat meninggal? Berapa sekarang usia Dipa Sentana? Adakah seorang anak yang hanya terpaut tiga tahun dari ibunya? Kau buta, Puspa. Bukan hanya matamu, tapi hatimu pun buta!" “Tidak..." rintih Puspa Ningrum langsung menjatuh kan dirinya di atas rerumputan. Gadis itu tidak kuasa lagi menahan air matanya, dan menangis sambil merintih menggeleng-gelengkan kepalanya.
Sementara Gota hanya berdiri saja sambil memandang lurus pada Puspa Ningrum yang menangis dan merintih.
"Maafkan aku, Puspa Ningrum.
Terpaksa kubuka semua rahasia ini.
Aku..., aku...," tersendat suara Gota. Gota juga tidak kuasa lagi menahan perasaannya. Dia jatuh duduk dan memukuli tanah berumput di depannya. Sementara itu, di depan mulut goa, Rangga hanya memperhatikan saja.
Semua percakapan itu telah didengarnya. Meskipun sebelumnya sudah diberitahu oleh Gota, tapi keharuan masih juga menyelimuti hatinya. Pertemuan yang seharusnya menggembirakan, tapi malah sebaliknya.

*
* *

Seharian penuh Puspa Ningrum duduk memandang matahari yang hampir tenggelam di dalam peraduannya.
Dia duduk sambil melamunkan semua kata-kata yang diucapkan Gota semalam. Memang, semuanya tidak dipercayai begitu saja, tapi hati kecilnya membenarkan juga semua cerita Gota, Puspa Ningrum juga tidak bisa membantah, bahwa ada satu ikatan batin yang begitu kuat antara dirinya dengan pemuda pengemis itu.
Perasaan itu memang sudah dirasakan kerika pertama kali bertemu. Puspa Ningrum tidak tahu, kenapa memiliki perasaan itu pada seorang pemuda yang baru dikenalnya. Seorang pemuda gembel kurus kering yang raut wajahnya lebih tua sepuluh tahun dari usia sebenarnya. Semakin dipikirkan kata-kata Gota semalam, semakin bimbang hatinya. Sampai-sampai tidak diketahui ada seseorang mendekatinya. Gadis itu pun juga tidak menyadari kalau orang itu sudah duduk di sampingnya.
"Puspa...." Puspa Ningrum tersentak bangun dari lamunannya, lalu menoleh. Kepalanya tertunduk ketika mendapati Rangga sudah duduk di sampingnya. Dua kali gadis itu menarik napas panjang dan dihembuskan kuat-kuat, seakan-akan ingin dilonggarkan rongga dadanya yang terasa sesak seketika.
"Boleh kutemani duduk di sini?" pinta Rangga.
"Hhh...!" Puspa Ningrum hanya menghembuskan napasnya saja.
"Aku ikut prihatin dengan ..."
“Terima kasih," potong Puspa Ningrum cepat.
"Aku mendengar semua pembicaraan kalian semalam," kata Rangga lagi. Puspa Ningrum menatap lurus ke bola mata Pendekar Rajawali Sakti itu. Agak terkejut juga mendengarnya, tapi kemudian dipalingkan mukanya. Kembali ditatapnya matahari yang sudah hampir tenggelam.
"Memang berat untuk menghadapi kenyataan pahit ini. Tapi aku yakin kau mampu mengatasinya dengan baik," kata Rangga, berusaha menghibur.
Puspa Ningrum hanya diam saja.
“Tidak mudah untuk menentukan siapa yang salah, dan siapa yang benar. Hanya kau dan Gota yang bisa menentukannya. Aku bisa memahami perasaanmu.
Maaf kalau aku terlalu banyak ikut campur dalam hal ini," kata Rangga pelan. Puspa Ningrum kembali menarik napas dalam-dalam, dan menghembuskannya kuat-kuat. Sebentar ditengadahkan kepalanya menatap langit yang memerah jingga, kemudian ditolehkan kembali wajahnya ke arah Pendekar Rajawali Sakti itu.
"Mungkin saat ini aku membutuhkan seseorang untuk bicara." ujar Puspa Ningrum setengah mendesah.
"Kalau kau percaya padaku...." sambut Rangga dengan hati lapang.
"Kau terlalu baik...," ucapan Puspa Ningrum terputus.
"Bolehkah aku memanggilmu kakang?"
"Dengan senang hati." Puspa Ningrum tersenyum tipis.
"Eyang Lenteng sering bercerita tentang dirimu. Mungkin kau orang yang tepat untuk menyelesaikan masalah ini. Ah.... Aku terlalu berharap padamu, Kakang. Semua ini persoalan pribadi, tidak seharusnya kau kusertakan."
"Ada kalanya persoalan pribadi membutuhkan orang lain untuk menyelesaikannya." kata Rangga bijaksana.
“Terima kasih." ucap Puspa Ningrum.
"Nah, apa yang ingin kau katakan padaku?"
"Entahlah, aku masih bingung. Sepertinya aku kehilangan diriku sendiri. Tidak tahu lagi, apa yang harus kukatakan. Aku seperti orang yang terbuang tanpa cinta," pelan suara Puspa Ningrum. “Tidak seburuk yang dialami Gota," timpal Rangga.
"Gota...?" Puspa Ningrum menatap Rangga.
"Kau masih beruntung, Puspa. Ada orang yang menyayangi, mencintai, mengurus, serta memperhatikanmu.
Tapi Gota...? Sejak bayi sudah dibuang ke tengah hutan, dan hidup bersama pengemis tua yang untuk hidup sendiri saja sudah sulit" Puspa Ningrum terdiam, dan jadi teringat kerika pertama kali bertemu Gota. Terbayang kembali perlakuan penduduk Desa Watu Gayam yang begitu merendahkan dan menghina seperti seonggok sampah busuk.
"Kakang, benarkah yang dikatakan Gota semalam?" tanya Puspa Ningrum.
"Menurutmu bagaimana?" Rangga malah balik bertanya.
"Entahlah! Aku bingung,'' sahut Puspa Ningrum raguragu.
"Cobalah ambil dari kenyataan yang ada, Puspa," usul Rangga.
"Aku tidak tahu, mana yang benar dan mana yang palsu. Sepertinya aku ini hidup di alam lain," keluh Puspa Ningrum.
"Sebenarnya aku tidak memihak pada siapa pun, dan hanya berada di tengah-tengah. Tapi menurut pendapat pribadiku, Gota ada benarnya juga. Dan di pihakmu, juga tidak semuanya salah. Orang yang kau anggap kakak selama ini, telah berbuat baik padamu dengan alasan tertentu. Sedangkan ibumu, kurasa sangat tertekan, sehingga tidak sanggup menceritakan yang sebenarnya padamu.
Demikian pula dengan Eyang Lenteng.
Mungkin ada satu persoalan pada dirinya, sehingga tidak bisa menceritakan yang seharusnya diceritakan. Dan sebenarnya, hanya kau sendirilah yang bisa menilai," jelas Rangga panjang lebar, mencoba membuka jalan pikiran gadis itu.
"Apa yang harus kulakukan, Kakang?" tanya Puspa Ningrum meminta saran.
Rangga hanya mengangkat bahu. Tidak mudah baginya untuk memberi sedikit saran pada Puspa Ningrum. Masalahnya, persoalan yang dihadapi gadis itu sangat pelik, dan terlalu pribadi sifatnya.
Sampai saat ini, belum juga bisa ditentukan, mana yang salah dan mana yang benar.
Persoalan ini sangat peka, dan sukar diselesaikan.

←֍↨↨ [ 6 ] ↨↨֎→

Hampir satu pekan Puspa Ningrum menghilang. Dan selama itu Dipa Sentana seperti tidak bergairah lagi.
Sehari-hari, kerjanya hanya duduk melamun di beranda depan rumahnya. Sedangkan Ki Jayakrama semakin sibuk, karena belakangan ini banyak pengemis bermunculan. Tidak diketahui, dari mana datangnya dan apa maksudnya pengemis-pengemis itu bermunculan di Desa Watu Gayam ini.
"Rasanya bosan melihatmu begitu terus, Dipa!" tibatiba Ki Jayakrama muncul sambil bersungut-sungut.
"Hhh...!" Dipa Sentana mendesah panjang seraya mengangkat kepalanya.
"Sudah berapa kali kukatakan, jangan menyesali diri! Kau sudah cukup menebus kesalahanmu! Biarkan Puspa Ningrum hidup dengan caranya sendiri!" rungut Ki Jayakrama lagi.
Dipa Sentana hanya menarik napas panjang saja.
Sedikit pun tidak disahuti gerutuan itu. Pandangannya lurus menatap ke depan
"Dipa, keadaan kini semakin bertambah parah. Kian hari kian banyak pengemis yang datang ke sini. Mereka berpakaian pengemis, tapi tidak pernah mengemis.
Bahkan untuk makan mereka membeli. Aku jadi curiga.
Perhatikanlah perubahan itu, Dipa!" kata Ki Jayakrama lagi.
"Mungkin mereka teman-temannya Gota," celetuk Dipa Sentana asal saja.
"Itu yang aku khawatirkan, Dipa!" sergah Ki Jayakrama cepat. Dipa Sentana menoleh, langsung menatap bola mata laki-laki tua yang sudah duduk di sampingnya. Hanya sebuah meja bundar yang menghalangi mereka. Tadi sebenarnya dia hanya berkata seenaknya saja, tapi justru perkataannya itu yang terpenting.
"Kau tahu, Dipa. Setiap hari, satu atau dua orang kita lenyap tanpa diketahui jejaknya. Sekarang jumlahnya tidak ada tiga puluh orang lagi. Keyakinanku, pasti ada ancaman serius yang tidak bisa dianggap enteng. Dan ini ada hubungannya dengan kemunculan pengemispengemis itu!" agak keras nada suara Ki Jayakrama.
"Mereka hanya menuntut hak saja, Ki," ujar Dipa Sentana setengah bergumam.
"Bicaramu semakin tidak karuan saja, Dipa!" dengus Ki Jayakrama sengit.
"Terus terang, beberapa hari ini sudah kupikirkan dan kutimbang masak-masak.
Kita memang tidak punya hak di sini. Kita tidak ubahnya gerombolan perampok yang menikmati hidup dari merebut hak orang lain...."
"Dipa! Kau ini bicara apa...?" sentak Ki Jayakrama terkejut.
"Aku bicara yang sebenarnya, Ki Selama ini hidup kita selalu dipenuhi kepalsuan! Kau gembar-gemborkan kalau akulah yang membangun dan menghidupkan kembali desa ini setelah musnah akibat peperangan.
Padahal semua itu palsu! Bukan aku yang telah berbuat banyak begitu, tapi...."
"Dipa...!" bentak Ki Jayakrama gusar.
"Biarkan aku bicara, Ki. Rasanya beban dalam dada akan berkurang kalau sudah kukeluarkan semua yang ada di sini!" Dipa Sentana menepuk dadanya.
"Kau hanya membesar-besarkan perasaan saja, Dipa," agak lunak suara Ki Jayakrama.
"Justru ingin kuperkecil kesalahan ini, Ki. Kau selalu mengatakan kalau aku sudah menebus semua dosa dan kesalahanku dan orang tuaku. Tapi kenyataannya, justru semakin besar dosa-dosaku. Tidak sepatutnya Puspa Ningrum dan ibunya kuperlakukan seperti itu. Dan sekarang dia lenyap. Padahal, aku sudah berjanji pada Eyang Lenteng untuk menjaga dan memberikan haknya kelak!" lantang kata-kata Dipa Sentana.
"Cukup, Dipa! Aku tidak suka mendengar lagi ocehan tololmu!" bentak Ki Jayakrama sengit.
"Tolol...? Heh...! Siapa yang tolol!" terdengar sinis nada suara Dipa Sentana.
"Kau mulai berani padaku, Dipa. Hati-hatilah! Aku tidak segan-segan menghukum muridku sendiri!" ancam Ki Jayakrama.
"Aku memang pantas dihukum, Ki!" tantang Dipa Sentana.
"Setan! Darah pengkhianat rupanya mengalir juga pada dirimu!" dengus Ki Jayakrama seraya bangkit berdiri.
"Ayahku memang pengkhianat! Dan aku tidak ingin meneruskan jejaknya untuk menghancurkan Desa Watu Gayam ini! Aku muak semua ini! Aku muak...!"
"Cukup!" bentak Ki Jayakrama geram. Plak! Satu tamparan keras mendarat di pipi Dipa Sentana. Laki-laki yang usianya hampir berkepala lima itu langsung berdiri. Merah seluruh wajahnya. Kedua bola matanya berapi-api menatap tajam orang tua yang selama ini membimbing dan mendampinginya.
Tamparan itu memang keras, dan sangat menyakitkan.
Tapi yang lebih sakit lagi adalah hatinya! "Dipa, ingatlah pesan mendiang ayahmu. Kau harus meneruskan cita-citanya! Bangunlah desa ini agar menjadi lebih besar. Ubahlah menjadi sebuah kadipaten, bahkan kalau bisa menjadi sebuah kerajaan, dan kau menjadi raja di sini. Itu semua kulakukan untuk meneruskan cita-cita ayahmu, adik kandungku! Mengertikah kau, Dipa Sentana?! Kau dengar itu...?!" agak keras suara Ki Jayakrama.
"Dengan merebut kekuasaan orang lain?! Menghancurkan sebuah kadipaten yang sudah ada, dan membangkitkannya kembali seperti dulu? Tidak, Ki! Kehancuran Kadipaten Watu Gayam disebabkan oleh ayahku, dan saudara-saudaraku sendiri yang haus kekuasaan. Mereka telah membantai semua orang yang menentang, dan membiarkan orang-orang yang patuh pada kita. Tapi coba lihat! Apakah mereka bisa hidup dengan layak!? Apakah mereka bahagia?" Dipa Sentana menggeleng-gelengkan kepalanya beberapa kali.
"Mereka sengsara, Ki! Tidak ubahnya hidup di atas bara api neraka. Sayang, mereka tidak punya kekuatan untuk menentang!"
"Setan mana yang masuk ke dalam dirimu, Dipa?" dengus Ki Jayakrama.
"Kesadaran, Ki. Kesadaran yang terlambat, tapi ingin kuperbaiki!" tegas Dipa Sentana.
"Heh! Percuma saja bicara banyak-banyak padamu, Dipa. Pengawal..!" Empat orang bersenjata golok di pinggang bergegas menghampiri, lalu membungkuk memberi hormat.
"Masukkan anak setan ini ke penjara!" perintah Ki Jayakrama.
Empat orang itu terperangah mendengar perintah Ki Jayakrama. Sedangkan Dipa Sentana hanya tersenyum sinis, dan tanpa berkata apa-apa lagi langsung melangkah pergi.
"Aku akan masuk sendiri, biar kau puas!" lantang suara Dipa Sentana.
"Anak setan!" gerutu Ki Jayakrama sambil mendengus.
Bergegas laki-laki tua itu melangkah menyusul Dipa Sentana, diikuti empat orang yang dipanggil tadi.
Sementara Dipa Sentana terus berjalan menuju ke bangunan penjara yang terletak di belakang rumah besar yang dulunya adalah sebuah kadipaten. Dipa Sentana terus saja melangkah masuk ke dalam bangunan yang terbuat dari baru kali ini tanpa menoleh sedikit pun. Dua orang penjaga tampak kebingungan, tapi langsung membungkuk memberi hormat. Ki Jayakrama berdiri di depan pintu penjara itu, dan menguncinya dengan rantai baja.
"Jangan biarkan seorang pun menengoknya, kecuali aku!" pesan Ki Jayakrama.
"Baik, Gusti"
"Lipat gandakan penjagaan, jangan sampai lolos!" Setelah berkata demikian, Ki Jayakrama berbalik dan melangkah pergi. Kakinya selalu menghentak, pertanda sedang diliputi kekesalan.
Sementara delapan orang penjaga hanya bisa bengong bertanya-tanya, mengapa pemimpin mereka dijebloskan ke dalam tahanan?

*
* *

Ki Jayakrama semakin kewalahan menghadapi serbuan pengemis yang semakin hari semakin bertambah banyak jumlahnya. Tidak sedikit penduduk yang mengadu. Para pengemis itu ternyata semakin berani, bahkan tidak segan-segan merampas dan berlaku kasar. Ki Jayakrama mencoba mengirim anak buahnya untuk mengusir para pengemis itu. Tapi di luar dugaan, lima orang anak buahnya dalam keadaan babak belur begitu mereka kembali.
Mereka mengadu kalau pengemis-pengemis itu memiliki kepandaian yang cukup tinggi. Laki-laki tua yang memegang tongkat berbentuk ular cobra itu, jadi semakin kelabakan. Dilipatgandakan penjagaan di sekitar rumah besar itu. Hal ini dilakukan karena ada lima orang pengemis yang mencoba menembus penjagaan, tapi semuanya tewas di tangan Ki Jayakrama. Laki-laki tua itu berpendapat kalau pengemis-pengemis memang sengaja datang untuk meruntuhkan kekuasaannya di Desa Watu Gayam ini. Siang itu Ki Jayakrama tampak gelisah, berjalan mondar-mandir di beranda depan rumah besar yang dijaga ketat. Dia seperti menunggu seseorang yang akan datang hari ini. Sebentar-sebentar dilayangkan pandangannya ke arah pintu gerbang yang tertutup rapat Ki Jayakrama bergegas turun dari beranda begitu pintu gerbang terbuka.
Terlihat tiga orang penunggang kuda menerobos masuk. Dua penjaga pintu gerbang, bergegas menutup pintu itu kembali. Tiga penunggang kuda itu langsung berlompatan turun dengan gerakan yang indah dan segera menghampiri Ki Jayakrama. Ki Jayakrama tampak gembira menyambut mereka, dan segera membawa masuk ke dalam rumah.
Mereka kemudian duduk menghadapi meja bundar dari batu pualam putih.
"Terima kasih, kalian bersedia datang memenuhi undanganku," ucap Ki Jayakrama. Wajahnya cerah berseri-seri.
"Kita berempat sudah mengikat janji untuk saling membantu. Jangan kau sangsikan kesediaan kami untuk membelamu, Jayakrama," jelas seorang yang kelihatannya berusia sekitar lima puluh tahun. Di tangannya tergenggam tombak panjang bermata tiga.
"Terima kasih, Tombak Iblis," ucap Ki Jayakrama.
"Dan kau juga, Pedang Setan, Cakar Maut"
"Langsung saja, Jayakrama. Apa kesulitanmu sehingga minta bantuan kami?" selak si Pedang Setan.
"Hm..., kalian tentu sudah menyaksikan di luar sana. Tempat ini bagaikan desa pengemis.
Di mana-mana hanya ada pengemis berkeliaran," jelas Ki Jayakrama membuka permasalahannya.
"Hanya karena pengemis kau meminta bantuan, Jayakrama...?" si Cakar Maut setengah tidak percaya.
"Kalau hanya pengemis biasa, tidak perlu meminta bantuan kalian."
"Teruskan, Jayakrama," pinta si Tombak Iblis.
"Pengemis-pengemis itu ada yang memimpin! Mereka adalah Partai Pengemis Tongkat Hitam."
"Tunggul...," desis si Tombak Iblis pelan.
Semua mata memandang si Tombak Iblis. Namun yang dipandang hanya menghentak-hentakkan tombaknya ke lantai.
"Berapa tahun kau menguasai desa ini, Jayakrama?" si Tombak Iblis malah bertanya.
"Sekitar dua puluh dua tahun," sahut Ki Jayakrama.
"Selama itu rupanya kau sudah lupa karena bergelimang kesenangan.
Kau rebut tempat ini dari saudaramu sendiri, dan kau hancurkan mereka.
Dan sekarang, kau bangun kembali desa ini dengan akal licikmu memecah belah semua orang? Kau lupa, Jayakrama! Ki Tunggul adalah pemimpin besar Partai Pengemis Tongkat Hitam!" tenang namun tegas katakata si Tombak Iblis. Ki Jayakrama tersentak mendengar penjelasan itu. Dia seperti baru terbangun dari mimpi panjang yang melenakannya. Sungguh tidak disadari kalau para pengemis itu adalah anak buah Ki Tunggul, bekas adipati di Watu Gayam ini, yang juga adik kandungnya sendiri. Kini baru disadari kalau para pengemis itu menghimpun kekuatan dan ingin meruntuhkannya.
"Tapi kau tidak perlu khawatir, Jayakrama. Besok orang-orangku yang berjumlah tiga puluh orang datang ke sini. Meskipun selama ini kau telah melupakan sahabat, tapi sebagai pribadi aku tidak akan berdiam diri begitu saja melihatmu dalam kesulitan," kata si Pedang Setan.
"Maaf, aku telah buta. Aku tidak lagi memandang kalian sebagai sahabat," sesal Ki Jayakrama.
"Sudahlah, lupakan semua itu. Yang penting sekarang apa keinginanmu?" celetuk si Cakar Maut.
"Terima kasih. Kalian memang sahabat sejati."
"Hm..., sejak tadi aku tidak melihat murid tunggalmu, Jayakrama. Ke mana dia?" selak si Tombak iblis tiba tiba.
Ki Jayakrama terdiam. Dipandangi satu persatu sahabatnya. Perlahan-lahan diceritakannya tentang Dipa Sentana yang telah berubah, dan sekarang mendekam dalam penjara. Semua itu terpaksa dilakukan, karena tidak ingin segala sesuatu yang telah diperjuangkannya selama puluhan tahun berantakan. Tombak Iblis, Pedang Setan, dan si Cakar Maut mendengarkan sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
Ki Jayakrama diam cukup lama setelah selesai menceritakan semuanya. Memang berat, tapi harus dilakukan.
Baginya kehilangan seorang murid tidak ada artinya, jika dibanding dengan segala yang diinginkannya di Watu Gayam ini. Dan itu memang disadari ketiga sahabatnya. Mereka juga tidak memberikan komentar apa-apa, karena itu adalah urusan pribadi Ki Jayakrama sendiri terhadap muridnya. Mereka tahu betul, siapa Ki Jayakrama itu. Dia tidak akan pernah memandang saudara, murid, atau kerabat, untuk mencapai setiap keinginannya. Baginya penghalang harus dilenyapkan untuk selama-lamanya.
"Boleh aku melihatnya, Jayakrama?" pinta si Pedang Setan.
"Silakan. Aku juga ingin minta pendapat kalian, hukuman apa yang pantas bagi murid durhaka itu," sahut Ki Jayakrama, agak tertahan suaranya.
"Kau yang menentukan, Jayakrama," sahut si Tombak Iblis.
"Mari, kuantarkan menengoknya. Setelah itu aku akan memberi hukuman padanya di depan kalian." Mereka bangkit berdiri dan berjalan ke luar. Ki Jayakrama berjalan paling depan. Tiga sahabatnya mengikuti dari belakang setelah saling melempar pandangan. Sepertinya ingin mengatakan sesuatu, tapi tidak pernah terucapkan. Saran apa pun yang dikeluarkan, tidak akan pernah ditanggapi Ki Jayakrama, meskipun laki-laki itu memintanya. Mereka ingin tahu, hukuman apa yang akan diberikan kepada Dipa Sentana.
Mereka terus berjalan tanpa banyak bicara. Dua orang prajurit penjaga pintu penjara segera membungkukkan badan begitu Ki Jayakrama dan ketiga sahabatnya sampai di depan pintu penjara.
Ki Jayakrama memandang ketiga sahabatnya sebentar, kemudian memberi isyarat pada penjaga untuk membuka pintu. Salah seorang penjaga bergegas membuka lebar-lebar pintu yang terbuat dari baja itu. Ki Jayakrama melangkah masuk diikuti ketiga sahabatnya.
Seketika mereka tersentak begitu berada di dalam ruangan tahanan yang tidak begitu besar itu.
"Setan! Terkutuk kau, Dipa Sentana...!" umpat Ki Jayakrama berang. Dengan wajah merah padam, Ki Jayakrama bergegas ke luar.
Ketiga sahabatnya mengikuti sambil saling melempar pandang. Di dalam kamar tahanan itu tidak ada seorang pun yang terlihat. Semuanya kosong, dan dinding bagian belakang jebol berantakan. Ki Jayakrama memanggil semua anak buahnya. Dengan suara lantang menggelegar, diperintahkan anak buahnya untuk mencari Dipa Sentana.
"Biar aku yang mencarinya, Jayakrama." kata si Tombak Iblis. Ki Jayakrama memandang sahabatnya itu.
"Perintahkan keputusanmu," desak Tombak Iblis.
"Bunuh anak keparat itu!" dengus Ki Jayakrama geram.
"Aku akan membawa kepalanya padamu," janji si Tombak Iblis mantap.
"Aku Juga akan mencarinya, Jayakrama,'' selak si Cakar Maut.
"Aku tidak bisa mencegah. Tapi, hati-hatilah pada Partai Pengemis Tongkat Hitam. Aku yakin, anak keparat itu bergabung bersama mereka." Si Tongkat Iblis dan si Cakar Maut bergegas melangkah menghamptri kudanya, kemudian melompat naik dan menggebah cepat kudanya. Sedangkan Ki Jayakrama itu bergegas kembali ke dalam rumah besar itu. Si Pedang Setan mengikutinya. Dia tidak ikut mencari Dipa Sentana, karena harus menunggu anak buahnya dulu.

*
* *



←֍↨↨ [ 7 ] ↨↨֎→

Sementara itu jauh di tengah hutan sebelah Barat Desa Watu Gayam, Rangga tengah berjalan bersama Puspa Ningrum dan Gota. Di belakang, ada dua orang berpakaian compang-camping. Arah yang dituju, jelas Desa Watu Gayam. Mendadak langkah mereka terhenti.
Tampak dari kejauhan, terdengar suara orang tengah bertarung. Pekik melengking bercampur menjadi satu bersama denting senjata.
"Hup!" Rangga langsung melompat cepat bagai kilat. Begitu sempurnanya ilmu meringankan tubuh yang dimiliki, sehingga dalam waktu sekejap saja bayangan tubuhnya sudah tidak terlihat lagi. Gota segera menggamit tangan Puspa Ningrum, dan mengajaknya berlari ke arah suara pertempuran itu.
Sementara Rangga sudah lebih dahulu sampai di tempat pertempuran itu. Agak terkejut juga dia ketika melihat dua orang bertempur sengit menggunakan senjata. Yang seorang memegang pedang panjang berkilat, sedangkan seorang lagi menggunakan tombak panjang bermata tiga.
"Hm...," Rangga bergumam pelan.
Dia hanya berdiri memperhatikan, karena sama sekali tidak mengenali kedua orang itu. Saat Pendekar Rajawali Sakti itu tengah berpikir, muncul Gota dan Puspa Ningrum, yang langsung menghampiri Rangga.
"Kakang..." Puspa Ningrum mendesah begitu mengenali orang yang memegang pedang.
"Dipa Sentana..." Gota juga mendesis tertahan. Gota dan Puspa Ningrum saling berpandangan. Pertentangan batin terjadi di antara mereka berdua. Gota sangat membenci Dipa Sentana, meskipun sejak semula tahu kalau laki-laki itu adalah ayahnya yang telah membuangnya sejak masih bayi.
Sedangkan lain lagi yang dirasakan Puspa Ningrum. Dia masih belum percaya penuh terhadap perbuatan buruk Dipa Sentana pada ayah dan ibunya. Gadis itu masih diliputi kebimbangan. Selama ini yang diketahuinya bahwa Dipa Sentana adalah kakaknya, meskipun hatinya membantah karena perbedaan usia yang begitu menyolok.
"Aku akan membunuhnya, Puspa." kata Gota, agak tersendat suaranya. Puspa Ningrum hanya diam saja, karena tidak tahu harus berkata apa lagi.
Saat ini batinnya juga sedang berperang.
Sementara itu pertarungan masih terus berlangsung, dan jelas terlihat kalau Dipa Sentana terdesak.
Gota yang akan terjun ke dalam pertarungan itu, cepat-cepat dicegah Rangga.
"Siapa pun lawannya, aku tidak peduli! Dia harus mati di tanganku!" sentak Gota menatap tajam Pendekar Rajawali Sakti itu.
"Bukan satria jika mengeroyok orang yang terdesak," kata Rangga memperingatkan.
"Dia juga bukan satria! Dia Iblis!" Pada saat itu, tanpa diduga sama sekali, Puspa Ningrum melompat sambil berteriak keras. Rangga dan Gota tersentak kaget. Gadis itu telah meloloskan sabuk peraknya, dan dikebutkan kuat-kuat. Sabuk yang langsung menegang itu, dikibaskan ke arah leher orang yang bertarung melawan Dipa Sentana.
"Puspa Ningrum...!" sentak Dipa Sentana terkejut.
"Uts!" Orang yang menggunakan tombak bermata tiga, langsung mengegoskan kepalanya, dan buru-buru melompat mundur. Dia mengumpat habis-habisan, tapi Puspa Ningrum terus mencecar tanpa memberi kesempatan orang itu memberikan perlawanan. Sementara Dipa Sentana terpaku sesaat kemudian melompat hendak membantu Puspa Ningrum. Namun pada saat itu, Gota melompat menghadangnya.
"Gota...," desis Dipa Sentana kembali terkejut.
"Lama aku menunggu kesempatan ini, Dipa!" dingin nada suara Gota.
"Gota, aku tahu kau membenciku. Tapi ingatlah, aku ayahmu."
"Ayah...?! Iblis! Tidak pantas rasanya mengaku ayah padaku! Kau sudah membuangku. Kau bukan manusia, Dipa! Kau iblis...!"
"Kuakui kesalahanku, Gota. Sekarang aku tidak akan melawan seandainya kau membunuhku. Hukuman apa pun akan kuterima jika ingin kau limpahkan padaku.
Lakukan, Gota," Dipa Sentana membuang pedangnya.
"Setan! Ambil pedangmu, keparat'" geram Gota.
"Kau tidak akan bisa membunuhku, Gota. Lakukan, dan aku tidak akan melawan. Aku rela mati di tanganmu, Gota. Bunuhlah aku!" tegas kata-kata Dipa Sentana.
Gota mengangkat tongkatnya yang berwarna hitam pekat. Satu ujungnya yang runcing, diarahkan ke dada Dipa Sentana. Namun belum sempat ujung tongkatnya ditusukkan, mendadak terdengar suara pekikan keras.
Dipa dan Gota langsung menoleh, dan kontan terkejut melihat Puspa Ningrum terjajar memegangi dadanya.
Dari sudut bibir gadis itu merembes darah kental.
"Puspa…!” "Puspa Ningrum ..!"
"Ha ha ha...! Bagus! Rupanya kalian sudah kumpul semua! Bagus...! Sekarang bisa kubawa kepala kalian pada Jayakrama!" Gota berlari menghampiri Puspa Ningrum yang tengah berusaha bangkit berdiri, lalu membantu gadis itu berdiri. Puspa Ningrum berdahak, dan memuntahkan kembali darah kental dari mulutnya. Dengan punggung tangan, disekanya darah yang mengotori bibir.
"Kau tidak apa-apa, Puspa?" ada nada kecemasan pada suara Gota.
"Uh, dadaku...." keluh Puspa Ningrum tersendat.
"Duduklah dulu." Gota dan Puspa Ningrum menoleh. Entah kapan datangnya, tahu-tahu Rangga sudah berada di belakang mereka. Pendekar Rajawali Sakti itu menuntun Puspa Ningrum, dan membawanya ke bawah pohon.
Dimintanya gadis itu untuk duduk bersila. Puspa Ningrum tidak membantah, lalu duduk bersila. Kedua telapak tangannya menempel di lutut.
Rangga kemudian duduk bersila di depan Puspa Ningrum. Sebentar dipejamkan matanya, lalu dipusatkan hawa murni pada telapak tangannya. Kemudian pelahan-lahan ditempelkan telapak tangannya di dada gadis itu.
Puspa Ningrum agak tersentak.
Namun begitu merasakan hawa panas mengalir melalui dadanya, dia terdiam dengan mata terpejam.
"Hoek…!" Puspa Ningrum memuntahkan darah kental berwarna merah kekuning-kuningan. Sesaat kemudian, tubuhnya mengejang, lalu roboh lunglai. Gota langsung memburu, tapi buru-buru dicegah Rangga. Pemuda pengemis itu hanya bisa memperhatikan di samping gadis itu.
Sedangkan Rangga menggerakkan jari-jari tangannya di beberapa bagian tubuh Puspa Ningrum.
"Hih!"
"Akh!" Puspa Ningrum terpekik tertahan.
Satu hentakan tangan Rangga menggoncangkan dada gadis itu. Namun Puspa Ningrum hanya merintih lirih, lalu bangkit duduk bersila kembali. Sementara Rangga menarik napas panjang. Dia bangkit berdiri dan membiarkan gadis itu bersemadi.
"“Bagaimana dia?" tanya Gota tidak dapat menyembunyikan kecemasannya.
"Tidak apa-apa, untung belum terlambat." sahut Rangga sedikit mendesah.
"Terkena racun?" tebak Gota.
"Betul. Tapi sekarang tidak lagi. Puspa Ningrum butuh beberapa saat untuk bersemadi. Pasti akan pulih kembali "
"Oh, syukurlah..." desah Gota lega. Gota mengalihkan perhatiannya pada Dipa Sentana dan laki-laki setengah baya bersenjata tombak panjang bermata tiga. Kedua orang itu sudah terlibat kembali dalam pertarungan.
Sementara Puspa Ningrum masih tetap bersemadi memulihkan tenaga dan mengeluarkan sisa-sisa racun yang mengendap di dalam tubuhnya.

*
* *

"Modar! Hiyaaa...!"
"Akh!" Sambil menjerit keras, Dipa Sentana terpental deras ke belakang setelah satu pukulan telak bertenaga dalam penuh mendarat di dadanya. Laki-laki bersenjata tombak mata tiga langsung melompat mengejar sambil menghunjamkan ujung senjatanya ke arah dada Dipa Sentana. Pada saat yang tepat, Rangga sudah melompat cepat, lalu menyentil ujung tombak itu.
"Ikh!” Si Tombak Iblis tersentak kaget. Buru-buru dia menarik pulang senjatanya, dan dilentingkan tubuhnya dua kali ke belakang. Manis sekali sepasang kakinya mendarat di tanah. Sedangkan Rangga telah berdiri tegak membelakangi Dipa Sentana yang tengah berusaha bangkit, namun jatuh kembali sambil memuntahkan darah kental yang berwarna merah ke kuningkuningan "Jangan bergerak! Pusatkan hawa mumi ke jantung dan seluruh aliran darah,” kata Rangga tanpa menoleh.
Dia tahu kalau si Tombak Iblis mendaratkan pukulan beracun yang sangat mematikan. Dipa Sentana segera memusatkan hawa murninya, tapi malah memuntahkan darah kembali. Tubuhnya kini tergeletak dan napasnya terengah-engah.
"Gota, salurkan hawa murni melalui punggungnya!" seru Rangga.
Gota terlihat ragu-ragu. Kebencian dan rasa dendam pada Dipa Sentana menyayat dadanya. Tapi melihat laki-laki yang telah membuang dan menyia-nyiakannya dalam keadaan kritis, hatinya tidak tega juga. Dengan perasaan masih belum menentu, dihampirinya juga.
Gota membantu Dipa Sentana duduk bersila, kemudian ia sendiri duduk bersila di belakang laki-laki yang sebenarnya ayahnya itu. Dengan kedua telapak tangan menempel pada punggung Dipa Sentana, Gota menyalurkan hawa murni untuk mencegah menjalarnya racun ke seluruh tubuh laki-laki setengah baya itu.
"Tutup jalan darahnya, Gota," perintah Rangga seraya menggeser kakinya ke depan beberapa langkah.
"Hup...!" Gota bergegas menutup beberapa jalan darah yang belum dimasuki racun.
Sementara Rangga kembali melangkah ke depan mendekati si Tombak Iblis. Tatapan matanya tajam menusuk, dan bibirnya terkatup rapat. Sedangkan si Tombak Iblis sudah bersiap-siap hendak menyerang kembali.
"Setan keparat! Aku tak peduli siapa dirimu! Yang jelas, kau harus mampus di tanganku! Hiyaaat..!" Si Tombak Iblis melompat menerjang sambil menggeram marah. Senjatanya yang bermata tiga, dikebutkan dan ditusukkan dengan kecepatan tinggi.
Pendekar Rajawali Sakti berlompatan meliuk-liukkan tubuhnya menghindari serangan beruntun itu.
Dikerahkan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib' yang selalu digunakan pada awal-awal pertarungannya.
Dengan jurus itu Rangga dapat mengukur tingkat kepandaian lawan. Si Tombak Iblis sudah mengeluarkan lima Jurus, tapi belum juga dapat menyentuh tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Dan itu sudah dirasakan cukup oleh Rangga untuk mengetahui tingkat kepandaian lawannya. Maka langsung dirubah jurusnya menjadi Jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali’.
"Awas kepala!" teriak Rangga tiba-tiba.
"Uts!" Si Tombak Iblis langsung merunduk begitu satu pukulan keras dan tiba-tiba, melayang ke arah kepalanya. Tapi tanpa diduga sama sekali, satu tendangan melayang mengarah ke pinggang. Si Tombak Iblis merungut kesal. Buru-buru ditarik mundur tubuhnya. Dan pada saat itu, Rangga mengibaskan tangan kiri ke arah dada.
"Hap!" Si Tombak Iblis menangkis menggunakan tombaknya. Betapa terperangahnya dia, karena dengan cepat sekali Rangga memutar tangannya dan langsung menyodok bagian atas perut. Si Tombak Iblis jadi terbeliak mendapat serangan yang begitu cepat dan beruntun.
Buruburu dia melompat mundur beberapa langkah.
Namun pada saat itu Gota melompat cepat sambil mengibaskan tongkatnya ke arah punggung.
"Akh!" si Tombak Iblis memekik tertahan. Tubuhnya langsung terhuyung ke depan. Pada saat yang sama, Rangga yang sudah melompat mengerahkan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa', menjadi terkejut dan tak mungkin lagi menarik pulang serangannya. Maka satu tendangan keras mendarat di kepala si Tombak Iblis.
"Aaa...!" si Tombak Iblis meraung keras sambil memegangi kepalanya.
Darah merembes keluar dari sela-sela jarinya. Selagi si Tombak Iblis meraung sambil terhuyung, Gota kembali melancarkan pukulan dibarengi tendangan. Segera diakhirinya pertarungan itu dengan satu tusukan tepat ke jantung si Tombak Iblis.
"Aaa...!" sekali lagi si Tombak Iblis menjerit melengking tinggi.
"Hih" Bersamaan dengan Gota menarik keluar tongkatnya, tubuh si Tombak iblis terjungkal jatuh. Seketika itu juga nyawanya melayang dari badan. Darah mengucur dari kepala yang retak dan dada berlubang dalam sampai tembus ke punggung. Gota memandangi mayat yang membujur bersimbah darah itu. Tidak jauh di seberangnya berdiri Pendekar Rajawali Sakti.

*
* *

Agak lama juga Rangga bersama Gota menunggu Puspa Ningrum dan Dipa Sentana selesai bersemadi.
Sedangkan dua orang pengemis yang menyertai mereka, sudah menyiapkan ranting kering untuk api unggun. Saat ini senja memang sudah mulai merayap turun. Langit mulai remang-remang bersimbah cahaya merah jingga. Mayat si Tombak Iblis masih menggeletak membujur. Darah di sekujur tubuhnya mulai mengering.
"Tunggu...!" cegah Rangga ketika Gota akan bangkit begitu melihat Dipa Sentana sudah selesai bersemadi.
Gota duduk kembali, namun pandangannya tetap tajam tertuju pada laki-laki setengah baya itu. Sementara Dipa Sentana menggerak-gerakkan tangannya, menyempurnakan keadaan tubuhnya. Dia langsung menatap Gota, lalu bangkit berdiri. Dengan langkah tegap, Dipa Sentana menghampiri pemuda pengemis itu.
"Sebaiknya kau cepat pergi sebelum pikiranku berubah," ujar Gota ketus.
"Kau telah menyelamatkan nyawaku, Gota. Aku harus membalas budimu." ucap Dipa Sentana lembut.
"Aku tidak mengharapkan imbalan darimu!" ketus jawaban Gota.
"Mungkin kau tidak membutuhkan. Tapi, teman- temanmu semua memerlukan, Gota. Aku tahu, kau kini bergabung dengan Partai Pengemis Tongkat Hitam yang sekarang semuanya berada di Watu Gayam. Aku tahu maksudnya, tapi itu akan sia-sia saja. Meskipun kalian berjumlah seribu orang, tidak akan mampu mengalahkan Ki Jayakrama dan teman-temannya." kata Dipa Sentana, tetap tenang suaranya.
"Satu orang sudah mampus!" dengus Gota seraya melirik mayat si Tombak Iblis. Dipa Sentana terdiam. Memang baru satu orang, tapi yang lainnya masih banyak. Dipa Sentana menatap Gota, kemudian berpaling memandang Rangga yang ada di sebelah pemuda pengemis itu.
Pandangan Dipa Sentana kembali beralih ke arah Puspa Ningrum yang sudah bangun dari semadinya. Gadis itu berdiri dan melangkah menghampiri, lalu berhenti di antara Gota dan Dipa Sentana.
"Malapetaka besar akan menimpa Watu Gayam,” desah Dipa Sentana setengah bergumam.
"Ya, seperti yang kau lakukan terhadap ayahnya Puspa Ningrum!" dengus Gota.
Dipa Sentana mendesah panjang, seakan-akan ingin melonggarkan dadanya yang mendadak saja jadi sesak.
Sebentar ditatapnya Puspa Ningrum, kemudian pelahanlahan kepalanya tertunduk.
Saat itu Gota bangkit berdiri diikuti Rangga. Sejak tadi Pendekar Rajawali Sakti itu hanya diam saja. Dia sendiri tidak tahu harus berbuat apa. Terlalu tipis jenjang pemisah antara yang benar dan salah.
"Bertahun-tahun kau selalu meracuni gadis tidak berdosa itu.
Kau menjejalinya dengan cerita-cerita palsu... Dipa, meski pun aku lahir karena perbuatanmu, tapi jangan harap kau kuanggap ayahku. Aku sudah lama menganggap ayahku mati. Sekarang ceritakan pada Puspa Ningrum yang sebenarnya kalau kau ingin menebus semua kesalahanmu!" mantap suara Gota.
"Kakang...," agak bergetar suara Puspa Ningrum.
"Dia bukan kakakmu, Puspa!" sentak Gota sengit.
"Kakang, benarkah itu?" Puspa Ningrum meminta kepastian.
Dipa Sentana menarik napas panjang, dan menghembuskannya kuat-kuat.
Ditatapnya dalam-dalam gadis cantik yang tengah diliputi kebimbangan.
Pelahan kepalanya terangguk lemah.
"Oh...!" Puspa Ningrum menutup bibirnya. Sepasang bola mata yang indah membeliak lebar menatap tidak percaya pada Dipa Sentana.
Pelahanlahan dia melangkah mundur dua tindak.
Tubuhnya agak bergetar bagai terserang demam. Sementara Dipa Sentana hanya bisa menatap dengan sinar mata penuh rasa penyesalan. Sudah bisa diduga hal ini pasti terjadi, tapi perikiraannya tidak akan seburuk ini. Dipa Sentana melangkah hendak mendekati gadis itu.
"Jangan dekat!" sentak Puspa Ningrum tiba-tiba "Puspa.... maafkan aku. Aku..." tersendat suara Dipa Sentana.
"Penipu! Pembohong…! Kau yang selama ini kuhormati, ternyata tidak lebih dari seorang bajingan! "Pengecut..!" pekik Puspa Ningrum, berlinang air matanya.
"Maafkan aku, Puspa...," ucap Dipa Sentana penuh penyesalan.
"Pergi kau! Pergiii...!" jerit Puspa Ningrum histeris.
Puspa Ningrum menangis sesenggukan. Rangga menghampiri dan merengkuh gadis iItu ke dalam pelukannya. Pendekar Rajawali Sakti itu membiarkan Puspa Ningrum menangis di dalam pelukannya. Sementara Gota tampak bergetar menahan marah.
Sedangkan Dipa Sentana tertunduk diam penuh penyesalan.
"Bajingan kau, Dipa...!" geram Gota memuncak amarahnya "Hiyaaat..!"
"Gota...!" sentak Rangga terkejut. Tapi Gota tidak bisa lagi membendung amarah dan dendamnya. Dia sudah melompat dan mengirimkan beberapa pukulan beruntun. Dipa Sentana yang sedang dihinggapi rasa penyesalan, tidak melawan sedikit pun. Dibiarkan saja tubuhnya menjadi sasaran empuk pukulan dan tendangan pemuda pengemis yang lahir dari darah dagingnya sendiri. Pemuda yang sewaktu bayi dibuang karena tidak ingin menimbulkan malapetaka.
"Gota, hentikan...!" teriak Puspa Ningrum langsung melepaskan diri dari pelukan Rangga.
"Biar kubunuh dia! Manusia keparat! Setan...!” Gota seperti kemasukan setan saja. Dia mengamuk dan menghajar Dipa Sentana dengan pukulan-pukulan dan tendangan yang keras. Namun tidak sedikit pun Dipa Sentana melawan. Dia diam saja, jatuh bangun kena amukan pemuda pengemis itu. Darah sudah mengucur dari sudut bibirnya. Tubuhnya babak belur, biru lebam.
"Gota, hentikan!" bentak Rangga langsung melompat, dan mencekal tangan pemuda itu.
"Lepaskan! Biar kubunuh dia…!" jerit Gota berusaha memberontak.
Tapi Rangga mencekalnya kuat-kuat. Sementara Puspa Ningrum jadi termangu. Sebentar ditatapnya Dipa Sentana yang menggeletak mengerang lirih, sebentar kemudian beralih ke arah Gota yang tengah mem berontak mencoba melepaskan diri.
"Kendalikan amarahmu, Gota. Tidak ada gunanya mengumbar amarah..." kata Rangga mencoba menyadarkan pemuda pengemis itu.
"Oh...!" Gota mengeluh. Tubuhnya bergetar menggigil, dan jatuh berlutut.
Dia menangis sesenggukan seperti anak kecil.
Rangga melepaskan cekalannya pada tangan pemuda itu. Dibiarkan saja Gota yang menangis memukuli tanah berumput. Pendekar Rajawali Sakti itu menghampiri Dipa Sentana, dan memeriksa luka-lukanya.
"Kenapa kau mencegahnya? Aku rela mati di tangannya. Hanya itu jalan satu-satunya untuk menebus semua dosa-dosaku padanya.
Aku memang pantas mati...
Aku bukan ayah yang baik.
Aku telah membuangnya hanya untuk kekuasaan. Aku berdosa…" rintih Dipa Sentana lirih. Puspa Ningrum menghampiri dan berlutut di samping Rangga. Dipa Sentana memandang gadis itu. Ada setitik air bening menggulir dari sudut matanya.
"Maafkan aku, Puspa...," lirih suara Dipa Sentana.
"Kakang...," ujar Puspa Ningrum di sela isaknya.
"Tidak pantas aku menerima air matamu, Puspa.
Aku telah membunuh ayahmu, memperkosa ibumu.
Meruntuhkan kejayaan orang tuamu. Kaulah satu-satunya ahli waris Watu Gayam. Aku bukan kakakmu. Aku hanya seorang pembunuh yang haus kekuasaan. Maafkan aku, Puspa...." semakin lirih suara Dipa Sentana.
Puspa Ningrum tidak bisa berkata-kata lagi. Dia hanya menangis, tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Pengakuan Dipa Sentana memang menghancurkan hatinya, tapi juga membahagiakannya. Entah apa lagi yang ada dalam hatinya saat ini. Hanya air mata yang bisa ditumpahkan untuk mengeluarkan perasaannya.
Tangan Dipa Sentana bergetar menggapai menjulur.
Diusapnya air mata yang berlinang membasahi pipi Puspa Ningrum. Bibirnya yang berlumuran darah, bergetar memberikan senyuman. Sesaat kemudian, tubuhnya mengejang, lalu jatuh lunglai.
"Oh! Tidak..!" jerit Puspa Ningrum tersentak.
Rangga cepat-cepat merengkuh bahu gadis itu, dan memeluknya erat-erat. Puspa Ningrum semakin keras tangisnya. Sementara Dipa Sentana sudah terbujur mati, dengan bibir mengulas senyum. Rangga membawa Puspa Ningrum bangkit dan melangkah menjauh. Sempat diliriknya Gota yang menatap terpaku pada tubuh Dipa Sentana.
"Ayah...," bergetar dan pelan sekali suara Gota.
"Ayaaah...!" Tiba-tiba saja Gota melompat dan menubruk tubuh Dipa Sentana yang membujur kaku. Gota terus histeris sambil memeluk memanggil-manggil ayahnya. Sementara Rangga yang menyaksikan itu menjadi serba salah. Dia harus menenangkan Puspa Ningrum, tapi sekarang Gota malah histeris memeluk dan mengguncangguncang tubuh Dipa Sentana.
"Oh, tidak...! Tidak....
Ayah, kau tidak boleh mati. Kau harus hidup...! Kau ayahku!" rintih Gota seraya mengguncang-guncang tubuh yang tak bernyawa lagi itu. Mendadak, Gota terdiam.
Dipandanginya wajah Dipa Sentana yang berada di dalam pelukannya.
Pelahanlahan diturunkan tubuh ayah kandungnya itu, kemudian bangkit berdiri.
Tatapan matanya tetap tertuju pada tubuh Dipa Sentana yang membujur tidak bergerak lagi.
"Aku tidak membunuhmu, Ayah. Mereka yang menyebabkan semua ini!" dengus Gota dingin.
"Jayakrama....
Kau harus membayar mahal nyawa ayahku. Kau harus mampus Jayakrama keparat..!" Suara Gota terdengar keras menggelegar. Tanpa disadari teriakannya disertai pengerahan tenaga dalam, sehingga suaranya bagaikan mengguncangkan bumi, dan menggugurkan daun-daun.
"Kubunuh kau, Jayakrama...!"

*
* *



←֍↨↨ [ 8 ] ↨↨֎→

Lima ekor kuda berpacu cepat membelah fajar yang baru saja menyingsing. Sinar matahari membias di cakrawala Timur. Kabut masih menyelimuti permukaan Desa Watu Gayam. Lima ekor kuda itu terus berpacu meninggalkan debu yang mengepul di udara. Beberapa orang yang kebetulan berada di jalan itu bergegas menyingkir, karena takut terlanda kuda yang dipacu bagai kesetanan.
Lima ekor kuda itu berhenti tepat di depan sebuah pintu gerbang yang tertutup rapat Tembok benteng yang tinggi dan kokoh menghalangi mereka. Lima penunggang kuda itu berlompatan turun. Mereka adalah Rangga, Gota, Puspa Ningrum, dan dua orang lelaki bertongkat hitam yang masih muda dengan baju compangcamping. Semuanya berdiri tegak di depan pintu gerbang itu.
"Jayakrama! Keluar kau...!" teriak Gota lantang. Teriakan yang disertai penyaluran tenaga dalam itu menggema, membuat burung-burung yang tengah berkicau langsung terdiam. Sepertinya gema suara itu dipantulkan oleh bukit yang mengelilingi desa ini.
Namun suasana tetap sepi, tidak ada sahutan dari dalam benteng itu. Rupanya teriakan Gota yang begitu keras, mengejutkan semua orang. Tampak dari berbagai arah, bermunculan orang berpakaian compang-camping.
Tampak di antara mereka ada Ki Tunggul, pemimpin Partai Pengemis Tongkat Hitam. Laki-laki tua bertongkat hitam itu menghampiri Gota.
"Mereka masih di dalam. Sejak kemarin tempat ini kuawasi terus." kata Ki Tunggul memberitahu.
"Awas...!" tiba-tiba Rangga berseru keras. Pada saat itu, dari atas tembok benteng yang tinggi bermunculan beberapa kepala. Dan hampir bersamaan pula, meluruk puluhan anak panah bagai hujan. Rangga dengan sigap merampas tongkat salah seorang pengemis yang berada di dekatnya. Disertai gerakan cepat, diputarnya tongkat itu bagai baling-baling.
Sementara para pengemis yang berkumpul, langsung berlompatan menghindar. Beberapa di antaranya tidak sempat menghindari hujan anak panah itu.
Jerit melengking terdengar saling sahut. Hujan anak panah itu terus berdatangan tanpa henti. Rangga memerintahkan untuk menjauhi benteng ini. Tongkat rampasannya terus berputar melindungi orang-orang yang berada di dekatnya. Dia sendiri bergerak mundur, dan baru berhenti setelah berada dalam jarak yang cukup jauh dari jangkauan anak panah.
"Keparat! Pengecut..!" geram Gota sengit.
Rangga mengembalikan tongkat itu pada pemiliknya. Dipandanginya pintu benteng yang masih tertutup rapat dan kokoh. Terdengar suara gumaman pelan, kemudian pelahan-lahan tangannya bergerak ke atas, meraih tangkai pedangnya.
"Apa yang akan kau lakukan, Kakang?" tanya Puspa Ningrum sebelum Rangga mencabut pedangnya.
"Aku harus menjebol pintu itu," sahut Rangga tanpa berpaling.
"Jangan nekad, Kakang. Anak panah akan menghujanimu!" sentak Puspa Ningrum.
"Tidak ada jalan lain. Bersiap-siaplah," kata Rangga mantap.
Sret!
Cring...!
Cahaya biru berkilau langsung menyeruak begitu pedang Rajawali Sakti keluar dari warangkanya. Semua orang yang melihat, membeliak lebar. Belum pernah disaksikan pamor pedang yang begitu dahsyat. Mata mereka menjadi silau melihat cahaya biru yang memancar dari pedang itu. Rangga melintangkan pedangnya di depan dada. Kemudian diangkatnya tinggi-tinggi sampai di atas kepala.
Dengan kaki terpentang lebar dan agak tertekuk, ditarik pedangnya menyamping. Tangkai pedang digenggam erat dengan kedua tangannya.
Sesaat kemudian...
"Hiyaaat..!" Sambil berteriak keras, Pendekar Rajawali Sakti itu melompat cepat bagaikan kilat. Pada saat yang sama, puluhan anak panah menghujaninya.
Namun Rangga mengibaskan cepat pedangnya menghalau anak panah itu. Dan begitu jaraknya tinggal beberapa langkah lagi di depan pintu, dia melompat cepat sambil berteriak keras menggelegar.
"Hiyaaa..!"
Glarrr...! Begitu pedang Rajawali Sakti menghantam pintu yang terbuat dari kayu jari tebal, terdengar ledakan dahsyat.
Seketika, pintu itu hancur berkeping-keping. Tubuh Pendekar Rajawali Sakti langsung menerobos masuk.
"Seraaang...!" teriak Gota memberi komando.
Tanpa menunggu perintah dua kali, puluhan pengemis berlarian sambil berteriak menyerukan pekik peperangan. Tampak cahaya biru berkilatan di atas tembok benteng. Terdengar suara-suara jeritan melengking tinggi.
Beberapa tubuh terjungkal bersimbah darah jatuh dari atas tembok benteng itu. Puluhan pengemis yang dikomando Gota, menyerbu masuk melalui pintu gerbang yang sudah hancur berantakan.

*
* *

Pertempuran tidak dapat dihindari lagi. Jerit kematian dan pekik pertempuran bercampur-baur dengan denting senjata beradu. Tubuh-tubuh bersimbah darah bergelimpangan.
Sementara Puspa Ningrum dan Gota mengamuk bagai sepasang harimau.
Senjata mereka berkelebatan cepat meminta nyawa dari orang-orang yang mendekatinya. Tidak terhitung lagi nyawa yang melayang tersambar senjata mereka.
"Ha... ha..
ha...! Hayo keluar semua, anjing-anjing keparat! Biar kurobek perut kalian! Ha ha ha...!" di tempat lain, terlihat Ki Tunggul bertarung sambil tertawa-tawa. Meskipun sudah berusia lanjut, namun Pemimpin Partai Pengemis Tongkat Hitam itu masih gesit. Gerakan tubuhnya cepat luar biasa.
Setiap kebutan dan tusukan tongkat hitamnya selalu meminta nyawa lawan. Sementara itu Rangga melompat mendekati Puspa Ningrum yang mengamuk dahsyat bagai singa betina kehilangan anaknya. Rangga hanya sesekali saja mengibaskan pedangnya. Diikutinya setiap gerak langkah kaki gadis itu. Merasa tidak ada gunanya menggunakan pedang, Pendekar Rajawali Sakti itu memasukkan senjata pusaka itu ke dalam warangkanya di balik punggung.
"Kau tidak mengatakan jumlah mereka begini banyak, Puspa Ningrum," kata Rangga sambil melayangkan tangan pada salah seorang yang mencoba menyerangnya. Orang itu kontan terjungkal muntah darah, dan tidak bangun-bangun lagi. Rangga terus mengikuti setiap gerak gadis di depannya. Satu dua orang yang mencoba menyerang, harus melepaskan nyawanya.
"Aku tidak tahu, kemarin jumlah mereka tiga puluh orang," sahut Puspa Ningrum sambil tidak henti-hentinya mengebutkan sabuk peraknya.
"Ini bukan tiga puluh orang, tapi seratus!" dengus Rangga.
"Mereka anak buahnya si Cakar Maut!" tiba-tiba Ki Tunggul menyahuti.
Rangga melirik pada laki-laki tua itu yang jaraknya cukup jauh juga. Pendekar Rajawali Sakti itu kagum juga pada kehebatan Ki Tunggul yang bisa mendengar meskipun sibuk mengatasi lawan-lawannya.
"Aku tak melihat Jayakrama, Puspa?" tanya Rangga.
"Mungkin ada di ruangan depan," sahut Puspa Ningrum.
"Hup!" Tanpa membuang-buang waktu lagi, Rangga melompat melewati beberapa kepala. Dua kali berputaran di udara, kemudian dengan manis tubuhnya malesat, dan mendarat di tangga depan.
Namun pada saat itu enam orang keluar dari dalam, dan langsung menyerang.
"Uts! Hiyaaa...!" Rangga tidak tanggung-tanggung lagi.
Langsung dikeluarkan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'.
Pendekar Rajawali Sakti itu bergerak cepat. Kedua tangannya bergerak bagai kilat menghajar enam orang yang tiba-tiba menyerangnya. Mereka memang bukan tandingan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga dalam waktu singkat sudah menggeletak tak bernyawa lagi.
"Hup!" Rangga langsung melompat ke beranda. Dan begitu kakinya menjejak beranda, melesat seorang laki-laki sambil memegang pedang terhunus. Tanpa berkata-kata lagi, diserangnya Rangga dengan ganas. Pendekar Rajawali Sakti yang memang sudah siap, tidak mengalami kesulitan untuk berkelit menghindari serangan orang itu.
"Hati-hati, Anak Muda! Dia si Pedang Setan…! Pedangnya bisa mengeluarkan uap beracun!" tiba-tiba Ki Tunggul memperingatkan.
"Terima kasih, Ki!" seru Rangga semakin kagum pada laki-laki tua itu. Bagaimana tidak? Dalam keadaan bertarung pun masih sempat memperhatikan ke arah lain, dan memberi peringatan. Hal itu sudah menandakan kalau tingkat kepandaian Ki Tunggul tinggi sekali. Sementara Rangga bukannya meremehkan, tapi memang kebal terhadap segala jenis racun apa pun di dunia ini.
Peringatan Ki Tunggul memang benar. Pedang di tangan si Pedang Setan mulai mengeluarkan asap tipis berwarna hitam kebiru-biruan. Namun Rangga sama sekali tidak terpengaruh, bahkan tetap lincah dan mampu melayani si Pedang Setan meski pun tidak menggunakan senjata.
"Gila! Seharusnya dia mampus oleh uap beracunku!" dengus si Pedang Setan menggerutu dalam hati.
Menghadapi lawan yang ternyata kebal terhadap uap beracunnya, si Pedang Setan mulai tidak percaya diri.
Serangan-serangannya jadi tidak terarah dan sering melakukan kesalahan. Akibatnya memang cukup fatal bagi dirinya sendiri. Sudah tidak terhitung lagi, berapa tendangan dan pukulan bersarang di tubuhnya.
Si Pedang Setan semakin kewalahan. Dia terus terdesak dan tidak mampu lagi membalas seranganserangan Pendekar Rajawali Sakti. Hingga pada satu saat, satu tendangan keras tidak dapat dielakkan lagi. Tendangan bertenaga dalam cukup sempuma itu mendarat di dadanya.
"Akh...!" si Pedang Setan memekik keras. Tubuhnya terlontar jauh, hingga keluar dari beranda.
Pada saat itu, Puspa Ningrum melompat ke arahnya sambil mengebutkan sabuknya hingga menjadi kaku.
Sambil berteriak keras, gadis itu mengibaskan senjatanya ke leher si Pedang Setan.
"Aaa...!" si Pedang Setan menjerit melengking tinggi.
Lehernya hampir putus terpenggal senjata Puspa Ningrum. Tubuhnya ambruk, dan darah memuncrat deras dari lehernya. Hanya sebentar si Pedang Setan mampu bergerak, kemudian diam tidak berkutik lagi.
Puspa Ningrum mengacungkan ibu jarinya pada Rangga yang dibalas kerlingan oleh Pendekar Rajawali Sakti itu.
"Awas di belakangmu, Puspa...!" teriak Rangga.
"Hait….!” Puspa Ningrum memutar tubuhnya setengah merunduk sambil mengibaskan senjatanya. Dan satu orang yang akan membokongnya menjerit melengking.
Dadanya sobek terkena sabetan senjata gadis itu Puspa Nmgrum langsung melompat ke beranda begitu Pendekar Rajawali Sakti menerobos masuk. Pada saat yang sama, Gota juga melesat, langsung menerobos ke dalam bangunan besar bagai istana itu. Rangga, Gota, dan Puspa Ningrum saling berpandangan. Mereka tidak mendapatkan seorang pun di dalam ruangan besar yang tertata indah ini. Mereka bergerak melangkah pelahan-lahan melintasi ruangan depan itu. Pandangan mereka tajam mengedar berkeliling.
"Apa tidak mungkin mereka sudah kabur, Kakang?" Puspa Ningrum menduga-duga.
"Hm..." Rangga menggumam tidak jelas.
"Kau tahu, mungkin ada jalan lain selain dari depan?"
“Tidak. Aku baru beberapa hari di sini." sahut Puspa Ningrum.
"Gota...?" Rangga melirik Gota yang berada di samping kirinya.
"Hanya sekali aku berada di sini. Itu pun karena tertangkap." sahut Gota.
"Bangunan seperti ini biasanya punya jalan rahasia. Hanya orang dalam saja yang mengetahuinya," kata Rangga setengah bergumam.
"Aku tahu...!” Ketiga anak muda itu langsung menoleh terkejut.

*
* *

Ki Tunggul melangkah menghampiri sambil menyunggingkan senyuman.
Dihentak-hentakkan ujung tongkatnya ke lantai.
Sementara Rangga, Gota dan Puspa Ningrum hanya saling pandang saja tidak mengerti.
"Dulu aku sering datang ke sini, ketika Watu Gayam masih menjadi sebuah kadipaten. Aku tahu persis seluk beluk istana ini." kata Ki Tunggul.
"Apakah mereka kabur lewat jalan rahasia, Ki?" tanya Gota.
"Benar," sahut Ki Tunggul kalem.
"Kalau begitu, sebaiknya kita cepat kejar!" seru Gota.
"Tidak ada gunanya mengejar lewat jalan rahasia. Jalan itu penuh jebakan! Hanya mereka yang tahu kuncinya saja yang bisa selamat melewatinya. Hanya dua orang yang tahu. Ayahmu, dan Ki Jayakrama," kata Ki Tunggul seraya melirik Puspa Ningrum.
"Jalan itu tembus ke mana, Ki?" tanya Rangga
"Perbatasan sebelah Utara." Rangga yang seorang raja, mengerti betul seluk-beluk jalan rahasia sebuah bangunan istana. Jalan itu sengaja dibuat untuk menghadapi keadaan darurat. Untuk melewatinya, memang tidak mudah. Memerlukan banyak waktu untuk mencapai pintu tembus, dan diperlukan sikap hati-hati yang seksama.
"Kakang...! Mau ke mana?" seru Puspa Ningrum melihat Rangga berbalik.
"Mencegat mereka!" sahut Rangga sambil terus melangkah cepat.
"Aku ikut'" seru Puspa Ningrum bergegas melangkah.
"Kau Juga, Gota. Biar di sini aku yang tangani," ujar Ki Tunggul.
"Baik, Ki." sahut Gota.
Ketiga anak muda itu bergegas melangkah ke luar. Sementara pertarungan di halaman bangunan besar bagat istana ini masih terus berlangsung. Tapi para pengemis yang tergabung dalam Partai Pengemis Tongkat Hitam tampaknya bisa menguasai keadaan.
Mereka kini berada di atas angin.
Rangga sengaja mengambil jalan lewat samping menuju sebelah Utara, untuk menghlndari mereka yang sedang bertarung.
Pendekar Rajawali Sakti itu segera melesat melewati tembok benteng yang tingginya lebih dari tiga batang tombak. Gota dan Puspa Ningrum mengikuti, dan bersama-sama melompati tembok itu dengan mudah. Dengan mempergunakan ilmu meringankan tubuh, ketiga anak muda itu berlarian cepat menuju ke batas Utara Watu Gayam ini. Ilmu mertngankan tubuh yang dimiliki Pendekar Rajawali Sakti memang sudah mencapai taraf kesempurnaan, sehingga Gota dan Puspa Ningrum agak kewalahan untuk mengejarnya.
Mereka tertinggal jauh di belakang, meskipun sudah mengerahkan ilmu meringankan tubuh sampai batas kemampuan. Dalam waktu yang tidak berapa lama, Rangga sudah sampai di perbatasan Utara. Dia berhenti dan memandang sekitarnya.
Setiap semak menjadi perhatiannya. Dibongkarnya semua semak yang ada, tapi pintu tembus jalan rahasia yang dimaksud tidak juga ditemukan. Sementara itu Gota dan Puspa Ningrum sudah sampai dengan napas terengah-engah.
"Bagaimana, Kakang?" tanya Puspa Ningrum.
"Belum kutemukan," sahut Rangga sambil membongkar sebuah semak belukar.
"Apakah sebaiknya kita tunggu saja sampai mereka keluar, Kakang?" usul Puspa Ningrum.
"Pintu jalan tembus itu harus ditemukan lebih dahulu, Puspa," sahut Rangga seraya mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Sementara itu Gota yang memisahkan diri.
Juga tengah mencari pintu jalan tembus itu. Namun, pada akhirnya tampak kesal juga, karena tidak kunjung menemukannya. Gota berdiri seraya matanya beredar ke sekeliling. Wajahnya memerah bagai kepiting rebus.
Dilampiaskan kekesalannya dengan memukul sebongkah batu besar yang ada di sampingnya. Dan tanpa disadari, batu itu bergeser sedikit.
Rangga yang melihat, segera melompat menghampiri.
Dikerahkan tenaganya untuk menggeser batu itu. Melihat ada sebuah celah di balik batu itu, Gota langsung membantu.
Batu sebesar kerbau itu pun terguling. Tampak sebuah mulut goa yang tidak begitu besar terpampang di depan mereka. Selagi mereka memandangi mulut goa itu, mendadak dua orang melesat dari dalam.
"Awas….!" seru Rangga sambil mendorong Gota ke samping, seraya cepat melentingkan tubuhnya ke udara. Ki Jayakrama….!" desis Gota, begitu mengenali salah seorang yang baru keluar dan dalam goa itu.

*
* *

"Gembel busuk! Rupanya kau tahu juga tempat ini, heh?!" dengus Ki Jayakrama geram.
"Ke mana pun pergi, kau akan kukejar, Jayakrama!" sahut Gota mantap.
"Phuih! Gurumu saja belum tentu mampu menandingiku!" ejek Ki Jayakrama.
"Tongkatku ini yang akan membungkam mulutmu!"
"Bocah setan! Hiyaaa...!" Ki Jayakrama melompat menerjang Gota. Namun pemuda pengemis itu gesit sekali menghindarinya sambil melompat. Sementara si Cakar Maut juga tidak ingin ketinggalan. Dia memilih Puspa Ningrum untuk menjadi lawannya. Sedangkan Rangga hanya jadi penonton. Rasanya tidak mungkin membantu salah seorang karena jiwa kependekarannya tidak mengijinkan untuk main keroyok. Pertarungan berlangsung sengit. Tampak sekali kalau Gota memang bukan tandingan Ki Jayakrama. Baru beberapa jurus saja, pemuda pengemis itu sudah terdesak.
Bahkan ketika pukulan Ki Jayakrama menyodok dadanya, Gota tidak mampu menghindar. Dia memekik keras, dan tubuhnya terjungkal menghantam pohon.
"Mampus kau, gembel busuk! Hiyaaa...!" Ki Jayakrama melompat cepat sambil mengayunkan tongkatnya yang berbentuk ular kobra ke arah Gota. Dan pada saat yang tepat, Rangga melompat cepat menghalau sabetan tongkat laki-laki tua itu. Ki Jayakrama segera melentingkan tubuhnya ke belakang. Dia bersungut-sungut karena serangannya dipatahkan Pendekar Rajawali Sakti.
"Bocah setan! Siapa kau?" bentak Ki Jayakrama jengkel.
"Aku lawanmu, Ki Jayakrama," kata Rangga dingin.
"Phuih! Bocah bau kencur mau melawanku!" dengus Ki Jayakrama meremehkan.
"Kita lihat saja, kau atau aku yang lebih dahulu masuk ke liang kubur "
"Kadal buduk! Terimalah kematianmu! Hiaaat...!" Merah padam muka Ki Jayakrama mendapat tantangan itu. Dia langsung melompat menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Laki-laki bertongkat ular kobra itu segera menggunakan jurus-jurusnya yang dahsyat. Sementara Rangga hanya menggunakan jurus "Sembilan Langkah Ajaib". Meskipun tadi sudah melihat pertarungan Ki Jayakrama melawan Gota, tapi ingin juga dirasakan angin pukulan tenaga dalam lawannya.
"Hm.... Aku tidak mungkin melawannya dengan tangan kosong," gumam Rangga dalam hati.
Setelah mengetahui sampai di mana tingkat kepandaian lawan, Pendekar Rajawali Sakti itu melompat tinggi ke udara seraya mencabut pedang pusakanya. Cahaya biru berkilau langsung menyemburat begitu pedang Rajawali Sakti keluar dari warangkanya. Ki Jayakrama sempat terkesima melihat pamor pedang itu, tapi dengan cepat menyerang kembali begitu Rangga menjejak tanah.
Rangga kini tidak lagi main-main. Disadari betul kalau lawannya memiliki ilmu yang cukup tinggi, maka langsung saja dikeluarkan Jurus 'Pedang Pemecah Sukma'. Gerakan-gerakan Pendekar Rajawafi Sakti itu semakin cepat dan membingungkan. Pedangnya berkelebatan bagai kilat, sehingga yang terlihat hanya gurungan sinar biru yang mengurung tubuh Ki Jayakrama. Beberapa gerakan berlalu, Ki Jayakrama tampak begitu kacau memainkan jurus-jurusnya.
Jurus 'Pedang Pemecah Sukma' mulai mempengaruhi laki-laki tua itu. Perhatiannya jadi terpecah, dan aliran darahnya serasa tidak teratur.
Jantungnya terasa lebih cepat berdetak Ki Jayakrama tidak mengerti, kenapa jadi tidak bisa memusatkan perhatiannya. Sekuat tenaga dicobanya untuk berkonsentrasi. Tapi, semakin keras mencoba, semakin pening terasa kepalanya. Pandangannya pun mulai mengabur.
"Awas kaki..!" seru Rangga tiba-tiba.
"Uts!" Ki Jayakrama buru-buru melompat menghindari sepakan kaki Pendekar Rajawafi Sakti. Tapi tanpa diduga sama sekali, pedang di tangan Rangga berkelebat cepat bagai kilat menyambar leher Ki Jayakrama, buru-buru ditarik kepalanya ke belakang.
Namun gerakannya terlambat. Ujung pedang Rangga lebih cepat membabat lehernya.
"Aaa...!"Ki Jayakrama menjerit keras melengking.
Darah menyembur dari leher yang koyak. Belum lagi laki-laki tua itu bisa menguasai tubuhnya. Rangga sudah mengibaskan pedangnya, langsung merobek dada Ki Jayakrama. Kembali dia menjerit melengking. Tubuhnya limbung beberapa saat, kemudian ambruk menggelepar di tanah. Hanya sebentar menggelepar, kemudian diam tidak bergerak-gerak lagi. Mati.
Jeritan kematian Ki Jayakrama membuat si Cakar Maut jadi kecut hatinya. Buru-buru dia melompat keluar dari pertarungannya melawan Puspa Ningrum. Tapi begitu kakinya menjejak tanah, Gota melompat cepat dan menusukkan ujung pedangnya. Si Cakar Maut tidak bisa menghindar lagi. Ujung tongkat Gota menembus dadanya hingga ke punggung.
Kembali jeritan menyayat terdengar. Begitu Gota menarik keluar tongkatnya, si Cakar Maut ambruk dengan nyawa melayang dari badan. Puspa Ningrum berlari menghampiri Gota. Mereka memandang tubuh lawan-lawannya yang sudah tidak bernyawa lagi, kemudian saling berpandangan.
"Kak Puspa..." desah Gota pelan.
"Gota, adikku...." Sesaat mereka saling berpandangan, kemudian berpelukan hangat. Mereka adalah kakak beradik yang terpisah, meskipun terlahir dari lain ayah. Sementara Rangga yang menyaksikan semua itu, segera melangkah ringan meninggalkannya.
Dan dengan satu lesatan cepat, Pendekar Rajawali Sakti itu menghilang. Agak lama juga kakak beradik itu berpelukan.
Mereka baru melepaskan pelukan itu begitu menyadari ada orang lain yang ikut membantu.
Tapi mereka jadi celingukan, karena tidak lagi melihat Rangga di tempatnya.
"Dia sudah pergi," desah Gota pelan.
"Ya. Kita patut berterima kasih padanya," sahut Puspa Ningrum pelan.
Gota menatap kakaknya. Saat yang sama Puspa Ningrum juga menatap pemuda itu.
"Apa rencanamu selanjutnya, Kak?" tanya Gota.
"Entahlah. Aku merasa Watu Gayam bukan tempat yang tepat untukku," sahut Puspa Ningrum.
"Aku juga tidak akan kembali ke sana. Terlalu pahit bagiku," ujar Gota.
"Gota, sebaiknya kita ke Padepokan Tapak Wisa saja.
Eyang Lenteng pasti menerimamu dengan senang hati," usul Puspa Ningrum.
"Eyang Lenteng memang pernah menawarkan padaku."
"Kalau begitu, kita berangkat sekarang."
"Aku harus pamitan dulu pada Ki Tunggul. Dia begitu mengharapkanku untuk memimpin Partai Pengemis Tongkat Hitam. Aku tidak ingin mengecewakannya."
"Aku akan menunggu sampai kau siap, Gota," tibatiba Ki Tunggul sudah ada di situ.
"Ki...!" Gota terkejut.
"Memang seharusnya kau ke Padepokan Tapak Wisa. Aku sudah bicara kepada Eyang Lenteng. Dia berjanji akan menurunkan ilmunya padamu.
Juga kau, Puspa," jelas Ki Tunggul lagi.
"Terima kasih, Ki," ucap Gota dan Puspa Ningrum bersamaan.
"Pergilah. Aku menunggu di Padepokan Partai Pengemis Tongkat Hitam." Setelah berkata demikian, Ki Tunggul langsung melesat. Begitu cepatnya, sehingga dalam sekejap saja sudah lenyap dari pandangan mata.
"Mari, Kak," ajak Gota.
Puspa Ningrum mengangguk. Mereka kemudian berjalan berdampingan, sambil menceritakan tentang diri masing-masing. Tidak ada lagi perasaan bermusuhan atau saling curiga. Yang ada kini hanya rasa rindu selama dua puluh tahun berpisah.
Mereka berjalan menuju lembaran hidup baru. Lembaran yang begitu banyak menjanjikan bagi masa depan mereka berdua.

SELESAI



INDEX PENDEKAR RAJAWALI SAKTI
Hantu Karang Bolong --oo0oo-- Macan Gunung Sumbing


Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.