Life is journey not a destinantion ...

Duel Asmara

INDEX SUTO SINTING
128.Mustika Gerbang Dewa --oo0oo-- 138.Mas Kawin Maut

SUTO SINTING
Pendekar Mabuk
Karya: Suryadi


// 1 \\

KETAMPANAN dan kekonyolan Suto Sinting sering menjadi daya tak tersendiri bagi iawan jenisnya. Bayi baru iahirpun mengakui bahwa Suto Sinting yang bergelar Penekar Mabuk itu memang punya wajah tampan.
Bentuk tubuhnya yang tinggi, tegap, gagah dan berkesan jantan itu sering dijadikan buah khayalan para wanita Hanya wanita buta saja yang tidak pernah berkhayal tentang keperkasaan Pendekar Mabuk. - Meskipun muridnya si Gla Tuak dan Bidadari jalang itu sudah punya calon istri, yaitu dyah Sariningrum alias Gusti Mahkota Sejati, yang menjadi ratu di negeri Puri Gerbang Surgawi, tetapi kenyatannya masih banyak pula para gadis yang nekat jatuh cinta pada bocah sinting tanpa pusar itu.
Suto sendiri memang tergolong pemuda tengil dan suka iseng, tapi tak pernah jajan'. ia gemar membuat hati para gadis menjadi berdebardebar penuh harap kepadanya. Tapi seialu mempertaruhkan nyawanya untuk gadis-gadis yang jatuh hati padanya. Ada yang jatuh hati secara terang-terangan, ada pula yang jatuh hati secara geiap-gelapan alias munafik, ada juga yang jatuh hati secara bertubi-tubi. Salah satu gadis yang jatuh cinta pada Suto Sinting secara terang-terangan adalah murid mendiang Nyai Gagar Mayang, tinggalnya di Lereng Buana. Gadis itu bernama Dariingga Prasti, tapi lebih dikenai dengan panggiian: Perawan Sinting.
walaupun sebenarnya dia bukan gadis panggilan. Sementara itu, gadis yang jatuh hati kepada Sute secara munafik di antaranya adalah murid Eyang Girimaya dari Biara Perak. Gadis itu dikenal Ratu Rimba,
"Perawan Sinting bukan gadis yang lemah. Lembut pun bukan. Dia gadis yang keras, penuh keberanian, dan ilmunya cuk|p tinggi," begitu tutur Mahesa Gibas jika sedang menyombongkan majikan-nya dari kedai ke kedai.
"Pedangnya saja Bisa buat mendatangkan hujan petir, sebab pedang itu adalah pedang pusaka maut. Boleh dibilang, pedang itu adalah pusaka terampuh nomor dua setelah P?dang Kayu Petir. Siapa berani coiek Perawan Sinting, wees, hewees. heewes... babias
nyawanya. "Kudengar, Perawan Sinting itu gadis yang galak gitu .apa benar begitu?"
"Memang. Memang galak dan mernang kasar, tapi sebenarnya dia gadis berhati mesra. Kalau saja di dunia ini tidak ada Pendekar mabuk. pasti akuiah pria yang menjadi idaman Perawan Sinting. Sayangnya di dunia ini ada Pendekar Mabuk yang gantengnya hanya satu tingkat di atas nilai kegantenganku, jadi yaah... aku mengalah saja. Biarlah P?rawan Sinting menaruh hati pada Suto Sinting. Aku sih gampang saja.... Peribahasa mengatakan: tak ada rotar akar pun berguna... tak ada perawan, janda pun boleh juga."
"Haa, haa, haa, haa, h?a...!" Sementara itu, di antara para murid Eyang Girimaya" juga sering terjadi budaya gosip-menggosip, terutama jika mereka sedang ngerumpi.
Belakangan ini yang sering mereka bicarakan adalah si Ratu Rimba, karena diam-diam para murid di kalangan Biara Perak kagum terhadap Ratu Rimba yang dianggap berhasil mendekati Pendekar Mabuk,"Si rambut ungu itu memang hebat. Dala m sekejap saja ia sudah dapat gacoan setampan itu."
"Maklum dia memang cantik sih.pria mana yang . tidak terpikat oleh senyumannya yang dikenal mendatangkan kiamat di hati para pia itu?"
"Ratu Rimba bukan hanya cantik, tapi juga berimu tinggi. Menurutku, iimunya si Ratu Rimba setingkat dengan ilmunya Pendekar Mabuk."
"Aah, terlalu berlebihan bagaimanapun juga si Ratu Rimba tetap tidak lebih tinggi ilmunya dari si Pendekar Mabuk!
"Anggap saja begitu. Tap/menurut penilaianku, dia memang pantas mendapatkah pria setampan Pendekar Mabuk."
"Cuma, sayang sekali Kadang aku kasihan kepada Pendekar Mabuk yang sering dibentak-bentak oleh Ratu R!mba."
"Biarpun dia berwatak keras, kasar, ringan tangan, mudah tersinggung, tapi hatinya peka terhadap kelembutan dan asmara. Sayangnya lagi.... Ratu Rimba tak berani terang-terangan mengharapkan kemesraan dari Pendekar Mabuk. sok berlagak cuek. Padahal butuh banget!" -
"itu memang wataknya. la selaiu menjaga diri agar tidak dianggap gadis murahan oleh setiap lelaki. Makanya jarang ada lelaki yang berani mendekatinya."
"Ooo, berani dekat-dekat dia, telaki itu bisa kehiiangan usus Berani menggoda dia, bisa jebol perut leiaki itu."
"iya. Tentu saja tak semua lelaki berani mendekati Ratu Rimba, sebab Ratu Rimba mempunyai jurus pedang maut yang dinamakan jurus 'Pedang Mata Bima!' itu."
"Hebatnya iagi, dia punya air liur yang bisa jadi obat jika dicampur air iiur lawan jenisnya. Tentu saja kalau Pendekar Mabuk terluka, dapat segera sembuh jika iangsung ciuman dengan Ratu Rimba."
"Aduh, enak sekali tuh si Ratu Rimba."
Memang begitulah Ratu Rimba. Sebagai keturunan Dewi Naga Ayu, nenek buyutnya, gadis itu rnemang mempunyai air iiur mujarab. Mendiang ibunya sendiri, Ratna Umbari aiias si Ratu Merak, juga mempunyai air liur yang bisa dijadikan obat bagi iawan jenisnya. Mendiang nenek buyutnya yang bernama Dewi Naga Ayu itu adalah bidadari asli dari Kahyangan. Karena melakukan kesalahan, bidadari asli itu dibuang kebumi dan belakangan diketahui bahwa Dewi Naga Ayu itu ternyata istri pertamanya si Glia Tuak. Belakangan juga baru diketahui bahwa Ratu Rimba ternyata cucu buyut -.nya si Gila Tuak. Keturunan kelima dari Dewi Naga Ayu baru bisa diizinkan oleh para dewa untuk tinggal di Kahyangan.
Padahal Ratu Rimba itu adaiah keturunan keempat dari Dewi Naga Ayu. Maka anaknya Ratu Rimba itulah yang berhak masuk Kahyangan dan tinggal di sana bersama dewa-dewi, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "MUSTIKA GERBANG DEWA").
Cerita tentang Dewi Naga Ayu baru-baru ini telah menyebar ke mana-mana. Para tokoh rimba persilatan yang semula belum tahu tentang hal itu, sekarang menjadi tahu. Bahkan gosip hubungan gelapnya Ratu Rimba dengan Pendekar Mabuk juga menjadi buah bibir pada penggosip di rimba persilatan.
Gosip itulah yang membuat seorang gadis berpakaian rompi cekak warna ungu berdiri diatas bukit kecil tanpa pohon. Bukit itu hanya ditumbuhi rumput hijau yang mirip lapisan permadani.
Gadis cantik bertubuh tinggi. kekar. seksi dan montok itu tak lain adalah Perawan Sinting. - Di depan Perawan Sinting yang pedangnya ditaruh di punggung itu, ada seorang gadis berusia sebaya dengannya. Gadis itu mengenakan rompi cekak dan rok cekak dari kulit harimau loreng. Ia juga menyelipkan pedang di punggungnya. Gadis berambut ungu itu tak iain adalah Ratu Rimba.
Kedua gadis yang sama-sama memakai rompi tak sampai menutup perut, sama-sama montok, sama-sama cantik dan sama-sama galak itu saling pandang penuh sikap hermusuhan. Mereka beradu pandang dengan tatapan mata sama-sama setajam ujung pedang masing-masing.
Perawan Sinting berhadapan dengan Ratu Rimba. Mereka siap melakukan pertarungan berdarah. Mereka sama-sama siap mati kapan saja.
Tak jauh dari bukit berumput hijau rapi itu, ada sebuah desa yang penduduknya cukup padat. Desa itu bernama Desa Narong, terdiri dari satu keiurahan, lima RW sebelas RT. Kepala desanya bernama Ki Lurah Wirasaba. Desa tersebut masih termasuk wilayah kekuasaan Kadipaten Rangon, yaitu sebuah kadipaten kecil yang pusat pemerintahannya dekat Pantai Lujalang.
Ki Lurah Wirasaba mempunyai seorang putri cantik berkulit hitam manis namun berhidung mancung, berbibir sensuai dan memiiki mata yang indah.
Putri sulungnya itu bernama Murtina. usianya masih tujuh belas tahun kurang tiga bulan. Tubuhnya yang iangsing dan tergolong tinggi untuk ukurangadis desa, membuat Murtina tampak sudah dewasa dan iayak menjadi ibu rumah tangga.
Sekaiipun Murtina menjadi bunga desa, namun ternyata tidak ada satu pun pemuda desa yang berani mendekati Murtina. Para pemuda, bahkan para duda yang gemar berkhayai jorok, hanya bisa menikmati kecantikan Murtina jika gadis itu sedang keluar rumah.
Atau kadang mereka hanya berani mengkhayalkan Murtina agar hadir dalam mimpi. Rasa takut mendekati Murtina itu timbui di hati para pemuda desa, karena mereka tahu bahwa Murtina akan diambii istri oieh Pangeran Moya, putra sang adipati.
Pangeran Moya sudah 'pesan tempat lebih dulu kepada Ki Lurah Wirasaba pada saat Murtina masih berusia dua belas tahun. Pada usia semuda itu, kecantikan Murtina sudah tampak jelas di mata pria mana pun.
"Ki Lurah Wirasaba, kelak jika usia anakmu itu sudah mencapai tujuh belastahun, aku akan datang untuk meminangnya dan membawanya pulang ke istana. Jadi, tolong jaga baik-baik pertumbuhan Murtina, jangan sampai ada pria lain yang berani menyentuhnya. Kalau sampai ada pria lain yang berani macam-macam kepada Murtina, maka pedangku akan memberi teguran lembut di lehernya. Mengerti?"
"Hamba mengerti, Gusti Pangeran!"jawab Ki Lurah Wirasaba penuh rasa hormat dan takut kepada Pangeran Moya yang terkenal mata keranjang dan mata buaya.
Putra sulung sang adipati itu memang brengsek. Dia sudah punya istri, sudah punya deiapan selir, tapi masih rakus perempuan. Melihat ada peremp uan cantik sedikit, kerakusannya segera bangkit untuk ' mencicipi' perempuan itu.
Bagi Pangeran Moya, perempuan itu ibarat sandai jepit. Kaiau setelah dicoba ternyata enak dipakai ya dimiliki dan dijadikan koleksi. Tapi kalau setelah dicoba ternyata sandai itu tidak enak dipakai, ya dipuiangkan kepada pemiliknya dengan diberi ganti rugi sebagai uang uji coba alakadarnya.
Memang brengsek Pangeran Moya itu. Bayangkan saja, dengan adanya pesan tempat sang pangeran, akhirnya Murtina tak bisa bermain dengan bebas.
Apalagi sang pangeran menaruh mata-matanya di Desa Narong untuk mengawasi Murtina, semakin sempit saja pergaulan gadis cantik itu. Ayahnya selaiu melarang Murtina bermain dengan teman-teman ieiaki. Jika ada teman pria yang datang ke rumahnya untuk sekedar bermain saja, Murtina tidak diizihkan menemui pria itu. Hanya pelayannya yang bernama Genduk yang diizinkan menemui teman pria itu.
"Kau hanya boieh bermain dengan sesama perempuan. Kaiau kau kelihatan bicara dengan seorang pemuda, pasti ayahmu ini akan kena teguran. Mungkin juga akan dihukum cambuk oleh Pangeran Moya," ujar sang ayah mewanti-wanti anaknya.
"Sudah bertahun-tahun aku selalu main dengan teman perempuan, Ayah. Alangkah piciknya pergauianku nanti," protes Murtina.
"Jangan bicara tentang pergauian, sebab setelah usia tujuh belas tahun nanti, kau akan digauli sendiri oleh seorang ieiaki berdarah biru, yaitu Pangeran Moya."
Lurah Wirasaba sendiri ternyata seorang ayah yang keterialuan. Terialu patuh, terlalu pengecut, terlaiu hatihati, akhirnya dia jadi orang yang terlaiu picik. Bertahun-tahun putrinya hanya diizinkan bermain dengan sesama perempuan, iama-lama Murtina bisa jadi gadis iesbian. Kalau sudah begitu, siapa yang malu" Kan dia-dia juga yang malu.
Penderitaan batin Murtina agaknya mulai berkurang sejak keda ngan Pendekar Mabuk di desa tersebut.
Kemunculan pemuda tampan itu bukan atas suatu prakarsa seseorang, tapi atas prakarsa para dewa. Artinya, Suto Sinting dalam pengembaraannya memburu Siiuman Tujuh Nyawa tiba di desa itu dan butuh tempat untuk beristirahat.
Bukan saja tempat untuk beristirahat, tapi juga mengisi bumbung tuaknya yang tinggai satu liter kurang itu.
Beberapa penduduk desa tersebut ada yang mengenai ciri-ciri pemuda tampan itu. Berbaju buntung - coklat dan berceiana putih kusam juga bersabuk kain merah. Rambut panjangnya tak mengenakan ikat kepaia dan membawa bumbung tempat tuak.
Mereka langsung tahu bahwa tamu desa mereka itu adalah Pendekar Mabuk. Yang pernah melihat Suto hanya beberapa orang, tapi yang senang mendengarkan cerita kependekaran Suto Sinting, hampir semua orang Desa Narong menyukainya. Suto sendiri kaget dan sama sekali tak menduga kaiau di desa itu ia punya banyak pengagum. Ketenaran Suto itulah yang membuat pihak keluarga Ki Lurah Wirasaba menyambutnya dengan murah
meriah. Ki Lurah Wirasaba berkenan kekali menerima kedatangan Pendekar Mabuk ke rumihnya untuk berbagi cerita dan pengalaman. Bahkan Suto diharapkan mau bermaiam di rumah Ki Lurah unjuk beberapa waktu. Terserah mau berapa lama, asai jangan numpang selamanya.
"Ki Lurah, sepertinya aku tadi melihat seorang gadis cantik yang punya rambut panjang dan senyum menawan hatl, Ki Lurah. Siapa gadis cantik "
"Ooh, itu anu... hmm... itu... calon istri pangeran Moya."
"Odo, calon istri pangeran" Kusangka dia anakmu, Ki Lurah."
"Hmm, anu... iya, dia memang caion menantunya kanjeng adipati. Tapi...." -
"Menawan sekali anak itu tadi, Ki Lurah. Enak dipandang mata. Aku yakin pasti bapaknya tidak enak dipandang mata seperti anaknya. Biasanya kaiau anak gadis punya wajah cantik, bapaknya pasti berwajah berantakan. Betul begitu kan, Ki Lurah?"
"Hmmm, iya, eeh...anu... bukan... bukan iya...." Ki Lurah Wirasaba salah tingkah. Tapi akhirnya Pendekar Mabuk mendapat penjelasan yang sebenarnya, bahwa gadis cantik itu adalah Murtina, anak Ki Lurah sendiri.
"Boieh aku bicara dengan Murtina, Ki Lurah?"
"Hmm, eeh...anu... ya sebetuinya... sebeluinya yaa begitulah...."
- Semakin curiga Suto dengan jawaban Ki Lurah Wirasaba yang serba kikuk itu.
"Ada yang tak beres pada diri Ki Lurah," piki Suto. Gelagat tak beres itulah yang membuat Suto Sihting semakin penasaran, semakin geregetan, dan akhirnya semakin nekat menemui Murtina yang sedang menumbuk padi di lumbung bersama teman-teman wanithnya. Murtina tersenyum malu, menyembunyikan wajah dengan menundukkan kepala.
Tapi jantungnya seperti mengaiami gempa Bumi. Bergemuruh cepat dan rnembuatnya berkeringat dingin.Pasalnya, ia sempat beradu pandangan mata dengan Suto sinting selama tujuh helaan napas.
Hati kecil Murtina menjerit. "Ya, ampuuun... orang kok gantengnya kayak Arjuna"! Hmm, hmm..." Gadis mana yang punya kekasih seganteng itu"! Kenapa bukan aku saja yang memilikin ya" Aduh, Dewa... mengapa nasibku harus dipesan oleh pangeran brengsek itu" Coba kalau ayahku tidak takut dengan pangeran celakaitu, pandangan mataku tadi tak akan kualihkan ke dalam lesung begini."
Teman-teman Murtina justru berani bertegur sapa dan bercanda dengan Pendekar Mabuk. Cuma Murtina sendiri yang diam ditempat dan tak berani mengangkat wajahnya. Tapi ia sempat bisik-bisik kepada Sularti, lalu Sularti tertawa cekikikan.
"Sularti, kenapa kau cekikkan berdua dengan Murtina" Mengapa tak ajak-ajak aku, Sillarti," tegur teman satunya. Sularti yang bermulut cablak dan ceplas-ceplos itu langsung saja berseru kepada tem?nnya itu.
"Kata Murtina. Pendekar Mabuk itu ternyata benarbenar tampan, seperti tokoh Arjun dalam wayang kulit yang kemarin digelar di balai desa itu." - Suto menyahut dengan geli.
"Ah, apa iya wajahku seperti Arjuna dalam wayang kulit" Wayang kulit kan hanya selembar. Apakah wajahku setipis wayang kulit, Sularti?" Canda dan gelak tawa makin berhamburan. Akhirnya Pendekar Mabuk mendengar kasus Murtina yang sebenarnya. Ia menjadi iba hati terhadap nasib Murtina.
"Kau tak perlu sedih, Murtina. Juga, tak perlu takut.
"Kalau memangkau tidak suka kepada Pangeran Moya, biar nanti aku ng akan bicara pada Pangeran Moya."
"Beliau bisa marah besar padamu, Pendekar."
"Aku juga bisa marah lebih besar lagi darinya."
"Keluargaku bisa dijebloskan dalam penjara,Pendekar."
"Aku juga bisa menjebloskan dia dalam kuburan." jawab Suto meyakinkan sekali.
"Pokoknya kau tak perlu temui pangeran itu jika diadatang kemari. Biaraku yang menemuinya."
"Oooh; kau memang pantas jadi pelindungku, Pendekar mabuk tutur Murtina dengan senyum dan lirikan matanya yang menggoda.
kini jantung suo yang dibuat berantakan karena detakannya terlalu keras.
Hubungan jarak dekat itu diketahui oleh mata-matanya Pangeran Moya. Sang mata-mata pun melaporkannya. Maka datanglah Pangeran Moya dengan lima orang pengawal bersenjata tombak.
Sang pangeran berseru kepada Ki Lurah Wirasaba.
"Ki Lurah...1 Kudengar ada seorang pemuda yang berani mendekati Murtina! Mana pemuda itu! Suruh dia menghadapku sekarang juga!"
"Aku di sini!" tiba-tiba terdengar suara Suto me
nyahut dari belakang. Pangeran Moya berbalik ke belakang, demikian puia lima pengawai kini mereka berhadapan dengan Pendekar Mabuk yang tampak tenang
"Nah, sekarang kaiian sendiri yang menghadapku! Bukan aku yang menghadap padamu, Pangeran Moya"
"Keparat buntung!"geram Pangeran Moya.
"Berani beraninya kau mendekati Murtina" Apakah kau belum dengar bahwa Murtina adalah 'Pesanan'-ku sejak dulu"Murtina itu manusia, bukan kursi goyang. Jadi tak ada istilah pesan-pesanan segala"
"Biadab: Bicaramu kelewat iantang di depanku. Apakah kau tidak tahu siapa diriku?"
"Tentu saja aku tahu, kau adalah pangeran brengsek, putra adipati yang tidak pernah makan bangku sekolah! Makanya tingkahmu tak pernah beres di mata rakyat!" '.
"Biadab iagi!" bentak Pangeran Moya.
"Pengawal, hajar dial" - Lima pengawal maju dengan tombak siap dihujamkan ke tubuh Pendekar Mabuk. Namun si pemuda tampan itu menghentakkan kaki ke bumi dan berteriak de ngan suara keras sampai urat lehernya bertonjolan. Bruuuk...!
"Heeeeeaaaaaaaahhh...!!!"
Lima pengawal itu berhamburan ke mana-mana. Ada yang langsung pingsan karena memang punya penyakit jantun yang tak boleh mendengar suara mengagetkan, ada yang langsung menggigil dan kencing di celana karena memang berjiwa pengecut, ada pula yang langsung pingsan karena saat berlari menabrak pohon keras keras, ada juga yang matanya menjadi buta sebelah karena kecolok gagang tombak temannya.
Kini tinggai P ngeran Moya sendirian yang menggigil di depan Suto dengan mata lebar dan mulut terbengong. ia seger? memanggii mata-mata yang memberi pengaduan padanya itu.
"Siapa pemuda itu sebenarnya?"
"Dia adaiah Pendekar Mabuk, Gusti Pangeran."
"Siapa..."!"
"Pendekar Mabuk, Gusti Pangeran!"
plaak sang mata mata ditampar keras oleh Pangeran Moya. Tentu saja orang itu melintir sambil memutar tubuh seperti gangsing, lalu jatuh terpuruk,
dan segera bangkit lagi dengan kaki merapat wajah memandang ke depan.
"Lain kali kalau memberi laporan yang lengkap, ya"!" hardik Pangeran Moya, ialu bicara kepada para pengawal yang beium pingsan.
"Kita kembali ke kadipaten!"
"Bag.-- bag... bagaimana dengan pemuda yang mendekati Murtina itu, Gusti Pang?ran?" Pengawal yang bertanya itu segera dicengkeram bajunya, ditarik mendekatinya dengan kasar
"Bodoh kaul Begitu saja bertanya! Kalau kutahu yang mendekati Murtina Pendekar Mabuk, tak sudiaku datang kemari, Toioi! Nyawaku cuma satu. Tak ada cadangannya!" -
"Ja... jadi kita biarkan Murtiha didekati pemuda itu, Gusti Pangeran?"
"Pendekar Mabuk itu kalau ngamuk bisa meruntuhkan langit, Gobloook...! Begitu saja kok masih ditanyakaaaan...! Hiiiihhh...!" Pangeran Moya meremas mulut pengawai itu dengan jengkel. Jantungnya makin berdetak cepat dan keringat dinginnya bercucuran ketika Pendekar Mabuk mendekatinya.
Akhirnya si pangeran dan pengawalnya cepat-cepat meiompat kepunggung kuda dan memacu kudanya dengan sangat cepat. Pangeran Moya sering mendengar cerita tentang kehebatan dan kedahsyatan ilmu Pendekar Mabuk Karenanya, ia menjadi sangat takut setelah tahu yang mendekati Murtina adaiah pendekar berimu maut itu,
Dan sejak peristiwa itu membuat orang-orang Desa Narong bersorak girang, Pangeran Moya tak pernah mau singgah ke Desa Narong lagi. Bahkan kabarnyalselama empat puluh hari ia seialu mengaiami mimpi buruk, baik tidur di siang hari maupun pada malam hari. | Padahai setelah Pangeran Moya dan pengawalnya iari terbirit-birit, beberapa saat kemudian ada seorang pencari kayu berlari-jari mendekati Pendekar Mabuk. Orang itu berwajah tegang dan bicaranya penuh semangat.
"Pendekar... di... dibukit sana ada orang berkeiahi!"
"Berkelahi"i Jotos-jotosan, maksudmu?"
"Bukan hanya jotos-jotosan, tapi juga pedang-pedangan segaia!" Suto paham dengan maksud orang itu. Ada pertarungan di bukit. Menurut bahasa penduduk desa setempat, bertarung sama dengan berkelahi dan samajuga artinya dengan jotos-jotosan, alias tonjok-tonjokan.
"Siapa yang berkelahi di sana?"
"Entah. Aku tak sempat berkenalan dengan mereka. Tapi mereka cantik-cantik."
Biasss...! Mendengar kata cantik-cantik, Pendekar Mabuk langsung pergi tanpa pamit siapa-siapa lagi. Kecepatannya yang menyamai kecepatan cahaya membuat orang-orang terbengong melompong, merasa seperti sedang mimpi melihat jin ganteng lenyap secara gaib.

// 2 \\

SIAPA lagi yang dimaksud pencari kayu tentang pertarungan dua wajah cantik itu kalau bukan Perawan Sinting dan Ratu Rimba" Kedua gadis itu tadi sudah sempat saling melepaskan pukulanjarak jauh.
Kedua pukulan beradu di pertengahan jarak, menimbulkan gelombang ledakan tanpa bunyi, namun membuat keduanya sama-sama terhempas mundur. Ratu Rimba sempat jatuh berlutut karena kehilangan keseimbangan badan,
Perawan Sinting tak sampai berlutut, namun dadanya terasa seperti ditusuki jarum karena menahan gelombang ledakan tanpa suara tadi. Merasa cukup saling menjajai ilmu masing-masing.
Perawan Sinting segera berseru dengan suara garangnya. "Kau akan mati di sini jika masih mendekati Pendekar Mabuk, Gadis busuk!"
"Kau tak punya hak melarangku, Perempuan binal" balas Ratu Rimba tak kalah ketus.
"Aku berhak melarangmu, karena Pendekar Mabuk adalah kekasihkui Kami sudah merencanakan untuk melangsungkan pernikahan bulan depan. Semua tokoh persilatan sudah banyak yang tahu, bahwa Perawan sinting akan menikah dengan suto Sinting pada malam terang bulan purnama nanti."
"Hmmh...!" Ratu Rimba mencibir.
"Tidakkah kau bayangkan, apa jadinya jika Perawan Sinting menikah dengan Suto Sinting, pasti punya anak sinting semua. Apakah kau berniat membuka usaha petemakan bayi sinting"!" -
"Tutup mulutmu" bentak Perawan Sinting, tapi Ratu Rimba justru membuka mulut dengan tertawa angkuh.
"Haak, haak. haak. haak. haak...i"
"Sekali lagi kau berani berkata begitu, kuhancurkan perguruanmu!"
"Itu hanya sesumbarmu, Perawan Edan! Sesungguhnya nyalimutelah ciut didepanku. Kaumenjadi marah karena pasti kau telah mendengar kabar bahwa Suiosinting telah menitipkan benih dalam rahimku. Kau pasti sudah mendengar kabar bahwa Ratu Rimba sekarang sedang hamil akibat menjalin hubungan dengan Suto Sinting. Bukankah begitu, Perawan Edan"!"
"Apa..."! Kau telah hami"!" Perawan Sinting mendelik kaget. Ratu Rimba semakin tersenyum sinis Merasa senang dapat membuat lawannya terkejut.
Perawan Sinting makin menggeram marah.
"Kalau begitu sudah selayaknya kau kukirim ke neraka sebelum bayi harammu itu lahir!"
"Bayiku menghendaki kau dulu yang ke neraka, Perawan Edan!"
"keparat: Wuuaaaaww..." Perawan Sinting memekik panjang sambil tubuhnya melambung ke atas dan bersalto menyerang Ratu Rimba. Tendangan yang diarahkan kewajah Ratu Rimba berhasil ditahan dengan cara menyentakkan telapak tangan ke depan.
Telapak tangan Ratu Rimba mengeluarkan tenaga dalam cukup besar, sehingga Perawan Sinting seperti menendang dinding dari baja.
Duuurrr...! Ia melambung balik dan buru-buru bersalto lagi. Kejap berikutnya, Perawan Sinting sudah mendaratkan kaki dengan slgap dan tegak.
jleeg...! Diam-diam Perawan sinting membatin,
"Kurang ajar Tulang kakiku seperti dipatah -patah dengan tangan raksasa, Uuht...! Sakitnya bukan main"i Sebaiknya aku jangan bergerak dulu sebelum h awa murniku kusalurkan ke kaki kanan ini!"
Ratu Rimba melihat kaki kanan lawannya bergetar. Ia tahu kaki itu dalam keadaan lemah, maka ia pun maju menyerangnya dengan tendangan samping ke arah dagu lawan, - -
Wuuut...! Plak, plak..,! Perawan Sinting menangkis tendangan beruntun itu dengan kibasan kedua tangannya. Ratu himba cepat melompat mundur dan pasang kuda-kuda kembali.
"Bedebah!" geram Ratu Rimba dalam hati.
"Panas sekali sekujur tubuhku gara-gara tangkisannya tadil Rupanya dia punya kekuatan gelombang hawa panas yang dapat membuat kering darahku. Aku harus segera menyalurkan hawa saljuku sebelum darahku menjadi kering!" Ratu Rimba berusaha untuk tidak kentara dalam menyalurkan hawa saljunya. Tetapi tubuhnya yang bergetar dan mulai berkeringat itu membuat Perawan Sinting tahu bahwa lawannya sedang dalam keadaan lemah. Tak heran jika ia segera melepaskan pukulan jarak jauhnya ke arah Ratu Rimba. Perawan SInting merapatkan kakinya.
Seert...! Kedua tangan segera menyentak ke samping.
Blaab...! Seberkas sinar kuning keluar dari kedua tangan, melengkung ke atas dan menjadi satu. Lalu sinar kuning itu melesat ke dada Ratu Rimba dengan cepat.
Weessss...! Melihat sinar kuning mendekatinya, Ratu Rimba segera meliukkan pergelangan tangan kanannya. Kedua jaritangan kanan itu berdiritegak dan kaku. Tangan kirinya menyangga pergelangan tangan kanan, lalu tangan kanan itu disentakkan kedepan.
Claaap...! Selarik sinar merah keluar dari kedua jari tangan itu, langsung menghantam sinar kuning lawannya. -
Blegaaaarrrrr...!! - Bukit rumput hijau itu bergetar. Rasa-rasanya seperti mau amblas ke bawah. Di beberapa tempat terjadi keretakan tanah, tapi tak sampai membentuk celah lebar. Ledakan dahsyat itu membahara kemana-mana. Daun-daun pohon yang ada di kaki bukit berguguran. Warnanya yang hijau berubah menjadi kuning layu. Bahkan ada beberapa pohon yang menjadi retak garagara dihantam gelombang ledakan yang cukup dahsyat itu. -
Ratu Rimba terkapar dalam jarak sepuluh langkah dari tempatnya. Hidungnya mengeluarkan darah hitam
kental, demikian pula mulutnya. Wajah gadis itu menjadi pucat pasi, seperti mayat. Tapi ia tetap berusaha bangkit wataupun dadanya terasa seperti jebol.
"Jahanam busuk orang itu.. Pedangku harus bicara juga rupanya!" geram Ratu Rimba, ialu mencabut pedangnya yang runcing dan tajam dua sisi itu.
Sraaang...! Ledakan besar itu membuat Perawan Sinting terhempas dan jatuh duduk di rerumputan sejauh lima. langkah. Dadanya terasa sesak, seperti ditekan batu besar. Kulit tubuhnya terasa perih, seperti disilei-silet. Tapi ia dapat aegera menguasai rasa sakit itu, sehingga dalam sekejap sudah berdiri lagi. Ia sempat memandang Ratu Rimba yang kala itu belum bardiri. Baru saja Perawan Sinting mau menerjang lawannya, tahu-tahu lawan sudah mencabut pedang, sehingga niatnya perlu ditahan sebentar.
"haruskah kugunakan pedang pusakaku untuk melawannya?"pikir Perawan sinting penuh pertimbangan.
"Sebaiknya kulihat dulu sejauh mana ilmu pedangnya dapat dipakai melawanku. Kalau memang terpaksa sekali, apa boleh buat, pedang pusakaku pun harus ikut ambil bagian"
Perawan Slnting melangkah maju mendekati lawannya tanpa mencabut pedang. Ratu Riimbapun maju dengan pedang ditebas-tebaskan. Gerakan pedangnya sangat cepat dan mengeluarkan angin tebasan yang cukup berbahaya. Terbukti rumput-rumput di bawah kaklnye menjadi layu dan berhamburan kemana-mana, padahal tak sampai terkena ujung pedang sedikit pun.
"Bersiaplah pergi ke neraka, Jahanam!" teriak Ratu Rimba dengan ganas. Perawan Sinting hanya mencibir dan diam ditempat dengan kedua kaki sedikit merenggang.
"Keluarkan semua ilmu pedangmu. akan kulemparkan pedang itu keakherat bersama nyawamu juga, Ratu Bangkai!"
"Haaaat...!!" "Tahaaaan..." Seruan panjang itu datang bersama berkelebatnya bayangan yang menghadang langkah Ratu Rimba. Pada saat itu, pedang Ratu Rimba berkelebat cepat dan membentur sesuatu yang kerasnya seperti baja.
Traaang...! Sedangkan kaki Perawan Sinting yang tadi bernaksud melepaskan tendangan cepatnya kearah Ratu Rimba, tiba-tiba tersapu sesuatu yang membuatnya jatuh terpeianting.
Beet, bruuuk...! - "Aow..." Perawan Sinting terpekik. Kakinya seperti disambar sebatang kayu balok dengan cepat. Rasa nyeri merayap cepat ke sekujur tubuhnya.
Perawan Sinting dan Ratu Rimba sama-sama pandangi si pendatang yang langsung ikut campur dalam pertarungan itu. Ternyata orang tersebut adalah pemuda tampan yang sedang diperebutkan oleh kedua gadis tersebut.
"Apa-apaan ini"i Mengapa kalian lakukan pertarungan ini?"
"Menyingkirlah, Suto!" sentak Perawan Sinting dengan wajah berang.
"Tidak. Aku tidak ingin kalian saling bermusuhan!" tegas Pendekar Mabuk. Matanya memandang kedua gadis itu secara bergantian. Wajah Suto sendiri sebenarnya ikut tegang juga.
"Beri kesempatan padaku untuk merobek perut si jalang itu, Asmaraku.. kata Ratu Rimba dengan ketus. Perawan Sinting mencibir mendengar Ratu Rimba memanggil Suto dengan panggilan 'Asmaraku'. Makin muak hatinya kepada Ratu Rimba. Namun agaknya ia pandai menyembunyikan perasaannya itu sehinggatak diketahui oleh Pendekar Mabuk.
Suto sendiri jadi tak enak kepada Perawan Sinting atas panggilan Ratu Rimba. Tapi ia tak bisa melarangnya, sebab dari mula pertama si Ratu Rimba memang memanggilnya 'Asmaraku'. Ini gara-gara Ratu Rimba. ditipu oleh Suto, sehingga lahirlah panggilan tengil itu.
"Ratu Rimba, apa persoalan sebenarnya" Jelaskan padaku!" Ratu Rimba melirik Perawan Sinting dengan tajam. Ia mendengus sambil menegakkan bada nnya yang tadi merenggang dalam posisi rendah.
"Perempuan jalang itu memihak orang-orang Danau Getih! Dia pantas untuk dipenggal, Asmaraku!"
"Benarkah begitu, Darling?"tanya Suto kepada Perawan Sinting yang punya panggilan khas 'Darling', yang merupakan kependekan dari Daringga Prasti.
"Aku bukan orang Danau Getih. Dia salah paham. Tapi dia memang tengil dan pantas untuk kubedah perutnya!" Rupanya kedua gadis itu secara tak langsung sama-sama sepakat untuk merahasiakan persoalan yang sebenarnya. Dengan begitu, Pendekar Mabuk tak akan merasa besar kepala, dan tetap menyangka perselisihan itu terjadi hanya karena kesalahpahaman.
"Ratu Rimba, Perawan sinting ini memang bukan Orang Danau Getih, bukan anak buahnya si Barong Geni. Aku kenal baik dengannya. Dia berasal dari Lereng Buana" - -
"Hmmh...!" Ratu Rimba mencibir sinis. Tentu saja kau membelanya, karena dia pandai pamer dada di depanmu!" -
"Hei, tutup bacotmu, Jahanam!" sentak Perawan Sinting dengan nada tinggi. Pendekar Mabuk buru-buru menghadang di tengah sambil merentangkan kedua tangannya.
"Tahan amarahmu, Darling! Ratu Rimba memang bermusuhan dengan pihak perkampungan penyamun, yaitu orang-orang Danau Getih. Kuharap kau tidak memperpanjang perselisihan salah paham ini, Darling"
"Kau memang pengacau, Buaya kampung!" perawan Sinting mendekati Suto dengan wajah bengis dan suara menggeram. Ratu Rimba buru-buru ikut mendekat sambil mengangkat pedangnya.
"Lain kali kau akan menemukan gundik busuk itu dalam keadaan terbelah:
Suara Perawan Sinting itu didengar oleh Ratu Rimba. Maka gadis itu pun ikut menggeram ditelinga Suto.
"Suruh siayam petelur itu untuk belajar membelah langit dulu, baru bisa membelah tubuhku!" Perawan Sinting menyentak sambil tangannya mulai meraih gagang pedangnya.
"Jadi kau ingin kubuktikan sekarang juga, hah?"
"Cabut pedangmu!" teriak Ratu Rimba sambil ingin menyerang. Pendekar Mabuk melepaskan dua sentilan dari tangan kanan-kiri.
Tes, tes...! Sentilan dari jurus 'Jari Guntur'-nya itu membuat kedua gadis itu terpentai berbeda arah. Tentu saja sentilan itu tidak menggunakan tenaga sepenuhnya. Hanya seperempat dari tenaga jurus 'Jari Guntur yang digunakan dalam jarak masingmasing satu langkah. Seandainya kekuatan jurus itu digunakan sepenuhnya, kedua gadisitu dapat kelenger sampai beberapa waktu tak sadarkan diri. Ratu Rimba segera bangkit sambil menyeringai. Perutnya merasa sakit dan sesak napas. Perawan Sinting juga segera bangkit, tapi tidak memakai acara menyeringai segala, karena ia tadi sempat menahan tenaga dalamnya suto dengan menyalurkan hawa saktinya ke perut. Perut itu hanya merasa perih sekali, seperti orang belum sarapan.
"Kalau kaian tak mau berdamai...," seru Suto mulai ingin melontarkan anceman. Tetapi seruan itu tak dilanjutkan, karena tiba-tiba ia merasakan datangnya angin aneh dari selatan. Semilir angin yang datang sepoi-sepoi dari selatan itu terasa mengandung getaran hawa maut. Mau tak mau hawa saktinya pun mulai dikerahkan dan mengalir ke setiap peredaran darahnya.
Perawan Sinting juga tampaknya curiga dengan hembusan angin aneh itu. Dahinya berkerut dan matanya melirik kearah selatan. Kedua tangannya mengeras perlahan-lahan pertanda ia pun sedang mengerahkan hawa saktinya lagi.
Ratu Rimba justru terang-terangan menghadap ke selatan, seolah-olah ia menanti datangnya bahaya dari selatan, Pedang tetap digenggam dan diarahkan ke selatan. Matanya melirik Suto, ternyata Suto juga sedang meliriknya. Suto melirik Perawan Sinting, ternyata Perawan Sinting juga sedang meliriknya. Ketika mereka main lirik-lirikan tanpa suara, bumbung tuak Suto segera diayunkan ke depan secara tba-tiba.
wuuut...! Ratu Rimba dan Perawan Sinting juga melakukan tindakan periawanan, karena mereka merasakan getaran angin semakin kuat. Itu menandakan ada serangan yang diarahkan kepada mereka bertiga.
Wuuubb, ddeeb. deeb, buuubb...!. Perawan Sinting dan Ratu Rimba terjungkal dan berguling-guling menuruni bukit. Mereka merasa diterjang badai panas yang kekuatannya menyamai kekuatan dua ekor banteng. Sementara itu, Pendekar Mabuk memang sempat terpental mundur, namun tak sampai jatuh. Bumbung tuaknya yang diayunkan berhasil mengurangi kekuatan daya terjang angin panas itu.
Namun kejap berikutnya, tubuh Suto memutar cepat bagaikan hanyut dalam pusaran angin.
Wuuurrs...! Ia sempat berseru kepada kedua gadis itu.
"Lari kaliaaan...! Lariiii...!"
"Hahh..."!" Perawan Sinting yang sudah bangkit lebih dulu terkejut sekali melihat Pendekar Mabuk tahu tahu lenyap tanpa bekas. Ratu Rimba yang masih merangkak juga melihat kejadian aneh itu,
"Asmarakuuuu...!!" teriaknya dengan beran g. . Kedua gadis itu segera lari mendekati tempat Suto l enyap. Wajah mereka sangat tegang. Perawan sinting
mencabut pedangnya yang memancarkan cahaya hijau pijar. Namun mereka tetap tak menemukan siapa-siapa ditempat itu. Suara Suto pun tak terdengar lagi.
"Dia hilang!" "Jahanam! Siapa yang mengambilnya"!"geram Perawan Sinting dengan murka.

// 3 \\

JEJAK yang tertinggal di atas rumput hanya garis kuning samar-samar. Garis kuning itu seperti daun-daun rumput yang menjadilayu secara mendadak. Garis itu diikuti oleh Perawan Sinting dan Ratu Rimba. Tapi semakin ke utara semakin tipis warna kuningnya. Bahkan sampai di kaki bukit garis kuning itu hilang sama sekali.
"Mungkin si buaya kampung itu masuk ke alam gaib, sebab dia memang bisa keluar-masuk alam gaib," ujar Perawan Sinting masih dengan nada tak ramah.
"Aku tak melihat dia mengusap keningnya. Setahuku, dia akan lenyap dan akan berada dialam gaib jika mengusap keningnya dengan tangan kanan!" Perawan Sinting menarik napas dalam-dalam dan memandangi sekelilingnya. Kini ia menggunakan kekuatan batin dengan memejamkan mata. Hal itu sudah dilakukan tiga kali, sekarang yang keempat kalinya. Namun ternyata kekuatan batinnya tidak bisa menemukan jejak hilangnya Pendekar Mabuk.
"Seseorang telah menculiknya!" gumam Perawan sinting dengan suara bergetar karena masih diliputi kemarahan besar.
"Pasti penculiknya berilmu inggi Kau tak akan mampu melacaknya dengan kedangkalan Ilmumu!" Pandangan mata Darlingga Prasti mengecil. Tajam dan menampakkan amarah yang ditahan mati-matian. Ketajaman mata itu diarahkan kepada Ratu Rimba atas penghinaannya tadi. Namun gadis berambut ungu itu tidak membalas dengan lirikan tajam, justru berlagak cuek, seolah-olah tak tahukalau lawannya tersinggung.
"Haruskah kita teruskan pertarungan kita sekarang juga"!" geram Perawan Sinting pada akhirnya. Sambil memandang ke sana-sini, Ratu Rimba menjawab dengan sikap seenaknya..
"Nanti saja. Untuk apa kita bertarung jika orang yang kita perebutkan tidak ada"1 Menemukan dia kembali belum tentu semudah mencabut nyawamu!" - -
Wuuut...! Perawan Sinting melepaskan tendangan. menyamping. Tetapi gadis berompi loreng itu cukup awas dan menampakkan kegesitannya. Dengan menyentakkan tubuh.ke belakang, tendangan itu meleset satu jengkal didepan hidungnya. Ia ingin menghantam kaki tersebut, namun Perawan Sinting lebih dulu menarik kaki dengan gerakan sangat cepat.
Seet... Anak rambut Ratu Rimba terhempas karena tarikan kaki berangin kencang itu. Ratu Rimba tak membalas. Hanya sunggingkan senyum sinis, seakan merermehkan serangan tadi. Perawan sinting pun tak mengumbar kemarahannya. la hanya melontarkan ancaman dengan tangan menuding tajam.
"Sekali lagi bicaramu memerahkan telingaku, tak ada ampun lagi bagimu"
"Jangan harap aku mengemis pengampunan darimu!" cibir Ratu Rimba.
"Aku yakin justrukaulah yang...." Tiba-tiba tangan Ratu Rimba mencabut pedang yang sudah telanjur dimasukkan ke dalam sarung pedang. Kecepatan mencabut pedangnya itu sempat membuat Perawan Sinting terperanjat. Ia melompat mundur karena pedang Ratu Rimba berkelebat menebas ke arah pundaknya.
Wilz...! Triing...! Rupanya pedang itu dipakai untuk menangkis datangnya sekeping logam putih. Benda tersebut melesat dari semak-semak yang ada di belakang Perawan Sinting. Benda itu terpental dan menancap pada sebatang pohon. Jruub...! Perawan sinting segera pasang kuda-kuda setelah tahu bahwa Ratu Rimba tidak bermaksud melukainya, namun justru membelokkan arah benda tersebut. Tanpa banyak pertimbangan lagi, Perawan Sinting segera melepaskan pukulan jarak jauhnya ke arah semaksemak tersebut.
Beet...! CIaap...1 Blaarr...! Semak-semak pun hancur menyebar ke mana-mana. Sekelebat bayangan melompat tinggalkan semaksemak itu sebelum cahaya kuning dari tangan Perawan sinting menerjang tempat peraembunyiannya. Melihat ada orang yang keluar dari semak-semak teraebut, Ratu Rimba segera berkelebat dengan cepat.
Baas...! Ia mengejar orang itu dan beberapa saat kemudian berhasil menendangnya dari belakang.
Buuhkk...! "Aaahk..." orang itu terlempar ke depan dan jatuh tersungkur sambil mulutnya menyemburkan darah segar. - Perawan Sinting menyempatkan diri mencabut benda yang menancap dipohon. Ternyata sebilah pisau tanpa gagang. Ia segera mendekati Ratu Rimba yang sedang mengarahkan pedangnya kedada seorang lela
ki berpakaian abu-abu, berusia sekitar tiga puluh tahun. Lelaki itu dalam keadaan terpakar di tanah dan tak berani bergerak karena dadanya terancam pedang. Perawan Sinting berkerut dahi memandangi orang tersebut: ia merasa tak kenal dengan si pelempar pisau tanpa gagang itu. Akhirnya ia berkata kepada Ratu Rimba.
"Aku tak kenal siapa dia! Kau boleh kirim dia ke nerakal Tapi lain kali tak periu menyelamatkan nyawaku, aku dapat rasakan sendiri kedatangan pisau itu!"
Perawan Sinting bergegas meninggalkannya. Tetapi orang itu tiba-tiba memekik.
"Unhk..." Perawan Sinting cepat berpaling kembali dan menghentikan langkahnya. Orang berpakaian abu-abu itu sudah mengejang dengan mata mendelik. Pedang si rambut ungu telah menancap di jantung orang tersebut.
"Keji sekali kau"!" kecam Perawan Sinting.
Ratu Rimba sedikit setakkan kaki menendang tangan orang itu. Ternyata tangan tersebut sudah menggenggam pisau. Rupanya orang itu nekat ingin melawan dengan mencabut pisau yang disimpan di betis nya Namun sebelum ia sempat bergerak lebih cepat lagi, ujung pedang Ratu Rimba terpaksa dibenamkan kuat-kuat. Tentu saja orang itu kehilangan nyawa. Seandainya ia menyerah dan tak senekat itu, mungkin usianya masih panjang. Ratu Rimba tak akan benar-benar membenamkan ujung pedang ke jantung orang tersebut.
Akhirnya Perawan Sinting memakiumi mengapa Ratu Rimba membenamkan pedangnya ke dada lawan.
"Jangan menganggap aku telah menyelamatkan nyawamu, Perawan Edan!"
"Lalu kenapa kau singkirkan senjata rahasia orang itu dari ku?"
"Dia orang Danau Getih, musuhku! Akuiah sasarannya!" - hmmn: Perawan Sinting mendengus kesal. Hatinya pun menggerutu jengkei.
"Siaian! Kukira dia menyelamatkan nyawaku"! Tak ubahnya dia menyelamatkan nyawanya sendiri!" Darlingga Prasti segera melanjutkan langkahnya. Ratu Rimba sempat berserutanpa bergegas menyusuinya.
"Mau ke mana kau?"
"Mencari si buaya kampung itu!"
"Ke mana kau akan mencarinya?"
"Ke ujung dunia!"
Ratu Rimba mendengus kesai, tapi akhirnya ia bergegas menyusul Perawan Sinting dengan gerakan berjungkir baik di udara, iaiu mendarat di jalanan depan Perawan Sinting.
"Kuingatkan padamu, jangan teruskan iangkah!" geram Ratu Rimba dengan suara pelan.
"Kau tak punya alasan melarangku melangkah, Ratu Gendeng!" -
"Ada beberapa orang yang sedang mengintai kitai" bisik Ratu Rimba semakin pelan, tapi nadanya ditegaskan penuh geram.
"Aku tahu Di pohon sebelah kanan ada dua orang yang memperhatikan kita."
"Diatas pohon belakangku juga ada dua orang!" Perawan Sinting sengaja beradu tatapan mata dengan Ratu Rimba, tapi getaran batinnya bekerja dengan cepat memeriksa keadaan sekeiiiingnya. ia kembali menggeram dengan wajah makin mendekati Ratu Rimba.
"Memang. Satu orang iagi ada di pohon sebelah kiri. Dua orang ada di balik pohon belakangku. Tapi aku - yakin, itu bukan urusanku, melainkan urusanmu! Selesaikan sendiri. Tak parlu meminta bantuanku."
"kau akan jadi sasaran mereka juga, karena kau dianggap temankui"
"Slaii"geram Perawan Sinting setelah menurut pertimbangannya, apa yang dikatakan Ratu Rimba itu memang benar, bahwa ia akan ikut diserang oleh para pengepung itu.
"Kau memang biadab, Ratu Rimbal Siapa mereka sebenarnya?"
"Siapa lagi kalau bukan orangnya si Barong Geni dari perkampungan penyamun: Danau Getih"!"
"Keparat! Aku benci dengan urusan inil Tapi jika nyawaku terancam juga, apa boleh buet!" Periarungan tak bisa dihindari. Perawan Sinting terpaksa ikut berjumpalitan menghindari serangan tujuh orang Danau Getih itu. Dalam beberapa gebrakan saja, ia berhasil meiumpuhkan tiga orang lawan yang bersenjata golok. - Ratu Rimba sibuk dengan tebasan pedangnya. Kecepatan jurus pedangnya membuat dua lawannya tak bernyawa dalam waktu singkat. Kini tinggal dua orang lagi yang belum ditumpuhkan oleh kedua gadis itu.
Perawan Sinting tetap belum mau mencabut pedangnya. ia merasa masih mampu menghadapi tawan tanpa menggunakan pedang. Jurus-jurus tendangan mautnya masih bisa diandaikan. Terbukti dalam beberapa kejap saja, satu lawan berhasil dibuat terpuruk tanpa daya dengan memuntahkan darah segar dari mulut dan hidungnya.
Pada dasarnya Ratu Rimba tak mau membuangbuang waktu. Karenanya, ia tetap menggunakan pedang untuk membabat habis lawan terakhirnya. Empat orang Danau Getih terkapar tanpa nyawa, dua lainnya dalam keadaan sekarat, satu orang lagi luka parah walaupun masih punya kesempatan untuk melarikan diri.
Ketika Ratu Rimba berkelebat mengejar orang yang melarikan diri, tiba-tiba dari arah depannya muncul bayangan yang menerjangnya dengan cepat. Bayangan hitam itu berkelebat nekat, bagaikan tak mempedulikan pedang yang siap diayunkan gadis berambut ungu itu.
Weesss...! Kecepatan bayangan hitam itu sungguh luar biasa, sehingga Ratu Rimba tak sempat mengayunkan pedangnya. Tahu-tahu gadis berambut u ngu itu telah teriempar ke belakang dan jatuh terbantin g di samping "
- Perawan Sinting. Bruuuk...! "Aaahkk...!" Ratu Rimba mengerang kesakitan. Kuiit wajahnya menjadi merah matang, dadanya membekas biru seukuran telapak kaki orang dewasa. Darah segar meleleh dari sudut bibirnya. Perawan Sinting terperanjat melihat keadaan Ratu Rimba. Tapi ia tetap mengecam gadis itu dengan katakatanya yang sinis.
"Buta sekali matamu. Buat apa punya wajah cantik kalau matanya buta, tak bisa melihat bayangan datang dari arah depan!"
"Ak... aku melihatnya, Kunyuk Tap...tapi aku gagai membendung terjangannya!"
"Hmhh...! Makanya banyak-banyaklah berpuasa!"
"Maksudmu... maksudmu biar tambah sakti, begitu?" -
"Biar tambah lapar, Gobloki" geram Perawan Sinting, lalu ia buru-buru memandang ke arah datangnya bayangan hitam tadi. - Ternyata di sana sudah berdiri seorang ieiaki berwajah angker dengan rambut panjang meriap-riap berwarna abu-abu. Leiaki itu membungkus tubuhnya yang kurus dengan jubah hitam dan celana hitam. Matanya
cekung, pandangannya dingin sekali, bagaikan ingin membekukan darah iawannya. Sebuah Cambuk warna putih terselip di pinggangnya dalam keadaan melingkar. Namun cambuk itu belum dicabut dari tempatnya. Leiaki berwajah angker itu masih mengandalkan tangan kosongnya, ia mempunyai jari-jari berkuku panjang warna abu-abu.
Ratu Rimba berusaha menyalurkan hawa murninya ke dada, karena bagian dadanya terasa sangat panas dan seperti sedang disayat-sayat dengan pisau tajam. Sementara itu, Perawan Sinting terpaksa maju menghadapi si wajah angker, karena pandangan mata siwajah angker tertuju tajam kepadanya.
"Jangan-jangan dialah orangnya yang membawa pergi si buaya kampung itu"!" geram Perawan Sinting dalam hati. Semangatnya untuk menghadapi orang tersebut semakin besar, kobaran api murka klan membakar jiwanya.
"Edanl Pandangan matanya membuat jantungku menjadi lemah. Simmm, aku harus menghindari tatapan matanya itu!" pikir Perawan Sinting seraya meiangkah ke samping mencari tempat yang iebih lega.
Orang berambut acak-acakan sepanjang punggung itu mulai perdengarkan suaranya yang serak dan bernada datar. Pada saat itu, Perawan Sinting memandang bagian mulut orang itu, dan ternyata kelemahan jantungnya mulai pulih kembaii. Dugaannya memang benar, tatapan mata orang itu mengandung getaran tenaga dalam yang mampu membuat detak jantung iawannya menjadi semakin lemah. Tanpa bergerak pun orang itu lama-iama dapat membuat iawannya jatuh sendiri seperti terkena serangan jantung.
"Setan jalang dari mana kau, sehingga anak buahku bisa kau lumpuhkan dalam waktu singkat"!"
"oo. merekatadianak buahmu" Berarti kau adalah si Barong Geni, ketua perkampungan penyamun itu"!"
"Pandang mataku jelas-jelas jika kau ingin tahu rupa si Barong Geni!"
"Rupamu jelek begitu, buat apa dipandang jelasjelas"!" ejek Perawan Sinting dengan kekonyolan ciri khasnya. Barong Geni menggeram dengan jari-jari tangan mengeras, seperti mau menggenggam, pelacur busuk macam kau memang patut dihancurkan mulutnya!"
Wuuubbb...! Barong Geni menyodokkan tangan kanannya. Dari telapak tangannya tersembur api yang cukup besar ke arah Perawan Sinting. Tanpa berpikir panjang lagi, Perawan Sinting segera memutar tubuh sangat cepat seperti gangsing. Tubuh itu diputar dengan posisi berdiri di atas ibu jari kaki kanannya, sementara kaki kiri sedikit dilipat ke atas.
Wuuuurrs...! Begitu berhenti mendadak, kedua tangannya menyodok ke depan.
Wuuuss...! Angin kencang berbusa saju menghempas dari kedua tangannya. Api yang menuju ke arahnya dari jarak delapan iangkah itu menjadi padam seketika dengan menimbulkan letupan pendek.
Biuubb...! Wuuus...! Asap hitam mengepul ke atas ba- gaikan solar yang terbakar. Barong Geni tampak terkejut melihat pukuian 'Naga Berang"-nya dipadamkan dengan mudah oieh iawan. Geram kemarahannya semakin menyesak didada. Tapi ia tak mau meiakukan tindakan gegabah. ia masih bisa mengekang emosinya untuk melangkah ke samping sambii mempelajari kelemahan iawan. Ratu Rimba sudah bisa berdiri lagi. Hawa murni yang disalurkan di dada membuat dadanya sedikit lega dan bisa bernapas dengan ringan. Tapi memar di kulit dada bawah leher masih beium bisa hilang, rasa sakit seperti ditusuk-tusuk jarum itu masih tetap ada.
Karena kekuatan dan tenaganya mulai pulih, Ratu Rimba segera ambil bagian dalam pertarungan itu. ia melepaskan jurus Pedang Mata Binai'-nya. Pedang itu
disentakkan ke depan, dari ujung pedang keluar sinar hijau seperti mata tombak.
Ciaap...! Barong Geni menyambar cambuknya, langsung dilecutkan ke depan.
Taaar...i Lecutan cambuk mengeluarkan sinar merah seperti cakram. Sinar merah itu menghentam sinar hijau dan terjadilah ledakan besar di pertengahan jarak mereka.
Jegaaaarrrr...! Krraaaakk... bruuukk...! Sebatang pohon patah, iangsung tumbang tanpa mau-malu lagi. Daun dan ranting pohon lainnya berguguran. Gelombang ledakan tadi menyebarkan angin hangat bertenaga besar.
Perawan Sinting dan Ratu Rimba sama-sama terdorong ke beiakang, namun tak sampai jatuh. Sementara itu, Barong Geni sendiri terpelanting menabrak pohon di belakangnya, tapi tak seberapa keras, ia buruburu melompat bagaikan burung gagak menyerang lawan. Cambuknya dilecutkan kembali ke arah dua gadis yang perut dan pusarnya sarna-sama tidak tertutup rompi itu. Wuuut...| Ctaaar...! Cambuk itu seperti terbelah menjadi tiga. Masingmasing ujung cambuk mengeluarkan sinar merah ke langit. Sinar merah itu saling berbenturan dengan suara ledakan tak seberapa keras.
Biaammm...! Tetapi iangit bagaikan terbakar. Hujan api turun ditempat itu dalam radius tertentu.
"Celakai Cepat lari dari tempat ini!" seru Perawan Sinting.
Biaass... ia melesat lebih duiu. Ratu Rimba mengikuti dengangerak cepatnya.
Biaass...! Hutan pun terbakar.
- Barong Geni mengejar dua gadis yang melarikan diri itu. Sesekali cambuknya disabetkan ke depan.
Ctaaarr... Hujan api kembali turun membakar hutan. Tetapi Perawan sinting dan Ratu Rimba masih bisa menghindari hujan api waiau satu- tetesan api sempat menyengat kulit tubuh mereka.
"kenapa tidak kita hadapi saja?" seru Ratu Rimba sambil beriari di samping Perawan Sinting.
"Kita butuh tempat dan waktu untuk menghancurkan cambuknya, Tolol"
"Kau yang toioi!" balas Ratu Rimba membentak.
"Aku bisa menggunakan lapisan hawa salju untuk menahan hujan api itu!"
"Katau begitu, kenapa kau ikut iari"!"
"Brengseki Gara-gara kau lari akujadi panik!" Ratu Rimba berhenti, Perawan Sinting pun ikut berhenti.
"satukan lapisan hawa saljumu dengan pukulan "Gunung Es-ku" ujar Perawan Sinting. Pukulan Gunung Es' adalah pukuian yang dipakai memadamkan semburan api Barong Geni tadi. Perawan sinting dan Ratu Rimba bersiap melepaskan imu salju mereka. Tapi ketika Barong Genitiba di tempat itu, sebelum tangannya yang terangkat ke atas itu melecutkan cambuk iagi, tiba-tiba sekeiebat sinar putih melesat menghantam Berong Geni dari samping.
Wuuutt...! Barong Geni merasa dihampiri hawa aneh, ia tak jadi melecutkan cambuknya kearah kedua gadisitu, melainkan menyentakkan tangan kirinya untuk menghantam sinar putih berbintik-bintik seperti serpihan permata itu. Dari tangan tersebut keluar gumpaian api sebesar boia kasti yang segera menyebar membentengi dirinya.
Ciaaarrip...! - Biaaaaarrr...! Biegaaaaarrr...i
Bumi bergetar bagaikan dilanda gempa. Beberapa tanah menjadi retak panjang membentuk celah selebar dua jengkal. Lebih dari lima pohon patah dan tumbang. Batu-batu besar mengalami keretakan, sebagian ada yang menggelinding dari ketinggian dan pecah menjadi beberapa bongkah. - Ledakan dahsyat itu juga membuat Perawan Sinting dan Ratu Rimba teriempar ke belakang dan jatuh saing tindih dalam jarak jima tombak iebih. Mereka berdua saing maki dan cekcok sendiri.
Tapi suara mereka segera dihentikan karena melihat Barong Geni terlempartak seberapa jauh dari mereka. Barong Geni bangkit setelah Perawan Sinting dan Ratu Rimba berdiri pasang kuda-kuda. Wajah Barong Geni menjadi hitam kemerah-merahan, seperti habis dipanggang api. Sekalipun berdirinya agak limbung, tapi ia tampak masih punya kekuatan untuk melawan kedua gadis itu.
Ciap, ciap...! Tiba-tiba dua berkas sinar muncul iagi dari balik pohon yang akarnya mencuat ke atas namun beium sampai tumbang itu. Dua sinar biru satu di tanah belakang dan satu iagi di depan si Barong Geni. Kedua sinar biru itu bagaikan membakartanah tersebut membentuk tingkaran yang mengurung Barong Geni.
Zuuuubb...! "Bangsaaat...!" geram Barong Geni ketika menyadari telah terkurung sinar biru dalam jarak lima langkah dari tempatnya. Sinar biru itu memancar keatas, seperti dipancarkan dari dalam tanah. Barong Geni mencoba melayangkan cambuknya, namun yang terjadi adalah ietupan kecii yang membuatnya seperti tersengat aliran istrik bertegangan tinggi.
Traaarr. Barong Geni terlonjak mundur dua langkah. ia tak berani menyentuhkan cambuknya lagi pada sinar biru yang mengurungnya. Kini ia kebingungan mencari jalan keiuar dari lingkaran tersebut. Wajahnya tampak gusar sekali.
"Siapa orang yang telah mengurungnya dengan sinar biru itu?" bisik Ratu Rimba.
"Mungkin kau sudah kenal dengan orang yang ada di baik pohon mau tumbang itu!" Ratu Rimba mengarahkan pandangannya ke sana. Kejap berikutnya, orang yang ada di baik pohon mau tumbang itu muncui dengan lompatan cepat. Tahu-tahu sudah berada daiam jarak tujuh langkah dari Barong Geni, lima langkah dari Ratu Rimba dan Perawan sinting. Ternyata dia adaiah tokoh tua berusia sekitar dela
pan puluh tahun, tapi masih bersemangat muda dan gemar cengar-cengir. Tubuhnya yang agak kurus itu dibungkus dengan kain hijau tua model pakaian biksu. Namun kepalanya tidak gundui. ia mempunyai rambut putih yang dikonde dan jenggot serta kumisnya juga berwarna putih. Tangannya menggenggam tongkat kayu coklat dengan ujung tongkat berbentuk tangan menggenggam. Ratu Rimba ingat dengan tokoh tua yang gigi depannya tinggai dua itu, karena ia. pernah bertemu dengan orang tersebut. Perawan Sinting sendiri sangat kenal baik dengan tokoh tua itu, dan ia selaiu memanggil nama asli sang tokoh aliran putih itu dengan sebutan: Eyang Wirambada alias si Raja Mantra dari Muara Angker.
"Heeh, heeeh, heeeh, heeeh... terkurung nih yee...," ledek Raja Mantra yang memang gemar tampil konyoi. Perawan Sinting dan Ratu Rimba memberi hormat sekedarnya. Tapi si Barong Geni mendeiik marah kepada tokoh yang sering bersikap cuek terhadap iawannya itu.
"Bangsat kau, Raja Mantral Kau mulai ikut campur iagi dengan urusanku Mau minta mati sekarang juga kau, hah"!"
"Minta kok minta mati. Mendingan minta duit daripada minta mati. Hee, hee, hee, hee...."
"Eyang Wirambada... dia menculik Suto Sinting, Eyang!" seru Perawan Sinting.
"Bukan dia!" sangkal Ratu Rimba.
"Dia tak akan mampu menyentuh tubuh si pendekar sakti itu!"
Perawan Sinting saling berkasak-kusuk dengan Ratu Rimba, ribut sendiri. Sementara itu, Barong Geni berteriak dengan suaranya yang serak.
"Raja Mantra, singkirkan sinar birumu ini dan hadapiah aku secara jantan!"
"Hee, hee, hee, hee... kau sendiri belum jadi manusia jantan, kenapa aku harus menghadapimu secara jantan" Kalau kau merasa menjadi manusia jantan, mestinya kau tidak menyerang dua gadis cantik ini: Hanya orang-orang pengecut berilmu pas-pasan saja yang keberaniannya hanya bisa dipakai menyerang perempuan!"
"Jahanam busuk kau!"
"Sudah lama aku menjadi jahanam busuk. Kenapa baru sekarang kau ingatkan, Barong Geni" Hee, hee, hee, hee...."
"Eyang...," bisik Perawan Sinting. "Suto hilang secara gaib, Eyang. Tolong cari dia, ada dimana sekarang ini, Eyang."
"Aku sendiri mencari muridku, si Rinayi, sudah tiga hari tidak kutemukan, bagaimana aku bisa mencari bocah sinting itu"i"
Ratu Rimba berbisik pula dari arah kiri Raja Mantra.
"Eyang, singkirkan sinar birumu itu. Biar kuhadapi diai Akulah yang berurusan secara pribadi dengan iblis busuk itu!"
"Wahai murid Girimaya yang cantik...."
Perawan Sinting mencibir sinis mendengar sanjungan Raja Mantra kepada Ratu Rimba.
"... ketahuilah, Anak manis.... Barong Geni itu bukan tandinganmu. Biar aku sendiri yang akan menundukkannya!" Tokoh dari Muara Angker itu menang terkenal dengan ilmu mantra saktinya. la mempunyai seribu macam mantra yang dapat mengatasi dua ribu macam persoalan. Jangankan mantra yang mendatangkan maut, mantra yang mendatangkan nasitumpeng pun dimilikinya. Mantra sakti itu pun segera diucapkan. Bahasanya susah ditulis, karena menggunakan huruf mati semua,
Ratu Rimba dan Perawan Sinting bersungut-sungut heran, mereka juga tak bisa mengartikan ucapan mantra tersebut. Satu-satunya mantra yang bisa didengar dengan enak hanya kaiimat terakhir saja.
"Simulu kutuk kublung...!"
Banyak mantra yeng selaiu ditutup dengan kalimat aneh itu, tapi ada pula yang tidak mernakai kaiimat tersebut. Namun yang jelas, kekuatan mantra itu sungguh luar biasa dan membuat siapa pun orangnya akan terkagum-kagum terhadap kesaktian si Raja Mantra. Sinar biru yang mengelilingi Barong Geni itu pecah menjadi berlarik-larik, menyembur ke arah Barong Geni. Kira-kira satu helaan napas kemudian, sinar itu padam. Barong Geni terpuruk tanpa daya. Sekujurtubishnya menjadi memar. Pakaiannya menjadi rusak, compang-camping seperti pengemis tanpa tempurung. Napasnya pun tersengai-sengal, seakan diganjal oleh batu sebesar kepalanya.
Delapan kaii lebih Barong Geni mencoba bangkit, tapi selalu saja jatuh terpuruk kembali. Cambuknya justru lengket dengan kulit tangannya, sepertiada perekat yang sukar memisahkan cambuk dengan kulit telapak tangan. "Aneh sekali mantra tadi," gumam Ratu Rimba.
"Mantra apa itu tadi, Eyang?" bisiknya kepada Raja Mantra.
"Aku sendiri lupa namanya," jawab Raja Mantra.
"Maksudku ingin menyedot semua kekuatannya, tapi kok malah jadi memar kayak gitu, ya?" Raja Mantra garuk-garuk kepala, bingung sendiri.
"Dasarr si pikun"gumam Perawan Sinting lirih sekali.
"Coo... ya, iya, iyal Sekarang baru kuingat, mantra tadi adalah mantra Hantu Pikun Muara'. Bikin orang pikun dan lupa menggunakan tenaga. Waah... kalaubegitu aku tadi salah ucapkan mantra."
"Tapi biar saja, Eyang. Biar dia tahu rasal" geram Ratu Rimba dengan nada sengit.
"Kalau kehilangan tenaga dan jadi pikun begitu, dia tak mau pergi dari sini!"
"Biar saja mati di sini!"
"Husy, jangan begitu. Nanti anak-istrinya kebingungan kaiau dia tak pulang. Sebaiknya kuberi sedikit tenaga agar dia bisa pulang ke Danau Getih! Kujamin dia tak akan berani mengganggumu lagi, Ratu Rimba!"
Raja Mantra sentakkan tongkatnya ke depan.
Ciaap...! Sinar putih kecil seperti lidi keiuar dari kepaia tongkat yang berbentuk tangan menggenggam itu. Sinar tersebut bagaikan lidi menancap di dada Barong Geni.
Zuubb...! Kejap berikut Barong Geni bisa berdiri dengan terengah-engah, tapi dia tak bisa bicara, Bahkan merasa bingung melihat tiga orang di depannya. Dia sepertinya belum pernah kenal dengan ketiga orang itu. Maka tanpa pamit lagi, Barong Geni pun pergi meninggalkan mereka, tak memberi lambaian tangan atau ucapan kata selamat tinggal'. Kini yang jadi persoaian mereka adaiah hilangnya Pendekar Mabuk yang secara misterius itu. Ratu Rimba yakin bukan Barong Geni yang menculik Pendekar Mabuk, tapi ia tak bisa memperkirakan siapa orang iain yang layak dicurigai.
Raja Mantra pun akhirnya berkata,
"Baik. Kalau begitu coba kita cari dia dengan menggunakan mantra Cermin Udara'. Kuharap kalian berdua ikut membaca mantra cermin Udara' biar keadaan cermin menjadi lebih bening lagi, sehingga kita bisa lebih jelas lagi melihatnya."
"Aku tidek punya bacaan mantra seperti itu, Eyang."
ujar Ratu Rimba. "Kalian berdua ikuti saja apa yang kuucapkan. Mengerti?"
"Mengerti, Eyang...," jawab kedua gadis itu secara tak sengaja bisa kedengaran kompak.
"Dulkopat, dulkapit...."
"Dulkopat, dulkapit...," kedua gadis itu menirukannya.
"Sikopat, sikuput. semaput...."
"Sikopat, sikuput, semaput...."
"Sembur udud kaca perut...."
"Sembur udud kaca perut...," Perawan Sinting melirik perutnya, ternyata tidak ada kacanya. "Bodong molor jelma wujud...."
"Bodong molor jelma wujud...," Ratu Rimba buru buru menutupi pusarnya yang tak kebagian kain penutup itu, karena Perawan Sinting melirik pusar tersebut.
"Wujud sira Suto Sinting...."
"Wujud sira Suto Sinting...."
"Ting, ting melenting, perutnya bunting...."
"Perutnya siapa yang bunting?" Ratu Rimba tersinggung.
Perawan Sinting menyahut,
"Aku belum sempat bunting, Eyang.
"Ini mantra, Tololi Kalian tinggal ikut mengucapkan saja!"
"Ooo, ya, ya. ya...." -
Ratu Rimba dan Perawan Sinting segera mengikuti kata-kata Raja Mantra. Setelah mereka sama-sama mengucapkan,
"Simulu kutuk kublung...," maka Raja Mantra pun melayangkan tangannya, berkelebat pelan di depan mata.
Weess...! Pada saat itu juga, lapisan udara di depan mereka berubah menjadi sebuah cermin besar. Cermin itu bagaikan memantulkan kehidupan di suatu tempat. Dan di dalam cermin tersebut, tampaklah Pendekar Mabuk yang sedang terkapar di atas hatu datar berlapis permadani merah.
"Dia sedang pingsan?" sentak Ratu Rimba dengan wajah tegang. Perawan Sinting menggeram penuh amarah. | Seorang perempuan cantik jelita berdiri disamping batu datar itu. Perempuan cantik tersebut membakar api cemburu Ratu Rimba dan Perawan SInting. Namun kecemburuan itu tidak ditampakkan oleh mereka.
Hanya saja, Perawan sinting segera bertanya kepada Raja Mantra dengan nada menggeram.
"Siapa perempuan itu, Eyang?"
"Hmmm, kalau tak salah lihat dan tidak salah ingat, dia adalah Sri Bagandi Delia, alias Ratu Mahasihir."
"Orang mana dia?" sergah Perawan Sinting.
"Dia putri kaisar negeri Hoazing, letaknya di Pulau Hamzia."
"Kalau begitu aku harus ke sana sekarang juga!"
"Sabar, Darlingga...!" cegah Raja Mantra.
"Delia bukan orang sembarangan. Dia mewarisi segala ilmu sihir dari mendiang neneknya. Kekuatan sihirnya dapat menjerat nyawamu menjadi budakiblisi"
"Aku tak peduli!" sahut Perawan Sinting.
"Berani menahan Pendekar Mabuk sama saja berani bertaruh nyawa denganku."
Ratu Rimba menyahut, "Aku akan menghancurkan Pulau Hamzia"
"Napas kalian menghembuskan hawa panas"I Rupanya kalian sama-sama menaruh rasa cemburu terhadap Sri Bagandi delia itu, ya?" -
Eyang Perawan Sinting buru-buru mengalihkan pembicaraan, agar perasaan hatinya tidak kecolongan
Raja Mantra. ".... Aku pernah mendengar cerita Pendekar Mabuk bentrok dengan tiga orang perwira dari negeri Hoazing. Barangkali karena bentrokan itulah perempuan laknat itu menculik Pendekar Mabuki"
"Hmmm, yaa... aku juga pernah mendengar cerita darinya tentang tiga perwira Hoazing itu," ujar Raja Mantra sambil manggut-inanggut, terngiang ditelinganya saat Suto menceritakan tentang bentrokan yang terjadi antara dirinya dengan tiga perwira Hoazing itu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode:"RAHASIA SENDANG PERAWAN").
Bagaimanapun juga Raja Mantra tetap mengkhawatirkan keselamatan Perawan Sinting dan Ratu Rimba jika mereka berdua nekat menyerang ke negeri Hoazing. Tetapi agaknya kedua gadis itu sudah gelap mata, takpeduli resiko kehilangan nyawa, mereka tetap nekat berangkat ke Pulau Hamzia, untuk melabrak si Ratu Mahasihir itu.
Langit sore menjadi semakin redup. Kepergian dua , gadis cantik yang saling menyimpan rasa cemburu itu membuat Raja Mantra cemas. Akhirnya ia bergegas menyusul mereka.
"Mereka harus kucegah dengan cara apapun juga!" pikir Raja Mantra sambil berkelebat tanpa bisa dilihat mata orang biasa.

// 4 \\

PULAU HAMZIA adalah salah satu nama pulau di antara gugusan kepulauan yang terletak di sebelah utara tanah Jawa. Pulau itu tidak terlalu besar, tapi mempunyai jumlah penduduk yang tergolong padat. Para penduduk pulau tersebut rata-rata tunduk kepada penguasanya. Sebuah istana dibangun di atas bukit yang tak seberapa tinggi. Istana itulah tempat kedudukan sang kalsar dalam memerintah negerinya. Tetapi sekarang kedudukan sang kaisar sudah digantikan oleh putrinya yang bernama si Bagandi Delia. Penggantian kekuasaan itu terjadi sejak beberapa tahun yang lalu, karena sang kaisar tewas dalam pertarungannya melawan pasukan armada dari tanah Tibet.
Beberapa waktu yang lalu, Pendekar Mabuk memang pernah bentrok dengan tiga perwira dari negeri Hoazing itu. Mereka punya maksud tak baik kepada Rara Ayu Kumata, putri Raja Gundalana dari negeri Badanesya. Hubungan suto dengan pihak Raja Gunda tana cukup baik, sehingga rencana tiga perwira itu berhasil digagalkan, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "TANTANGAN ANAK HARAM"). Dengsn alasan itu. Delia memburu Pendekar Mabuk dan bermaksud untuk membalas kakalahan tiga utusannya itu. Tetapi ketika ia melihat sosok pendekar Mabuk secara sembunyi-sembunyi, rencana membalas kekalahan tiga utusan itu menjadi berubah.
"Menurutku kau tak pantas mati di tanganku, Pendekar Mabuk. Sungguh tindakan yang paling bodoh bagikujika aku sampai membunuh pemuda berwajahtampan dan bertubuh kekar seperti dirimu".
Pendekar Mabuk diam saja, duduk di sebuah kursi mewah tanpa pengikat apa pun. ia hanya memperhatikan Delia yang mengenakan jubah jingga transparan dengan kutang dan celana kecilnya berwarna hitam.
Delia memang mempunyai wajah cantik jelita. Rambutnya tak seberapa panjang, diurai lepas dengan penjepit berupa mahkota kecil. Ia bukan saja cantik, namun juga bertubuh sintal, seksi dan berdada montok. Bentuk dadanya itu sekalipun besar dan menonjol sekali, namun mempunyai bentuk yang indah, mendebarkan hati setiap lelaki.
Ratu Mahasihir itu berkulit putih mulus, dengan bulu-bulu kecil lembut tumbuh di lengannya. Ia bermata sedikit lebar tapi indah, bening dan penuh tantangan yang menggairahkan. Bibirnya sendiri juga sedikit tebal, namun sensual. Menggemaskan sekali bagi seOrang pemuda yang berjiwa romantis seperti Suto Sinting.
Tak heran jika Suto merasa betah walaupun statusnya sebagai tawanan bagi perempuan berusia sekitar dua puluh delapan tahun itu. Apalagi perempuan itu jika melangkah selalu membuat jubahnya tersingkap dan pahanya yang putih mulus tampak seperti lambaian tangan pengantin baru, betapa pun juga Suto tetap merasa lebih beruntung menjadi tawanan Ratu Mahasihir itu daripada menjadi tawanan musuh utamanya: Siluman Tujuh Nyawa.
Perlakuan yang diterima Suto juga periakuan yang baik dan manis. Tangan dan kakinya tidak dijerat dengan belenggu apa pun, justru ia lebih sering diusap dengan lembut oleh Delia dan sering menerima tatapan mata penuh pesona. Hanya tatapan mata dan senyum menggoda itulah satu-satunya penjerat bagi Suto sinting.
Delia mengajaknya berkeliling ditaman istana. Bunga-bunga taman mekar berseri menyebarkan wewangian yang menggugah birahi. Mau tak mau Suto nenahan gejolak batinnya itu untuk tidak melepaskan gairah di sembarang tempat. Sayangnya, bumbung tuak Suto ditahan oleh pengawai istana, sehingga ia sering merasa gelisah dan tak bisa menikmati keindahan yang ada dengan sepenuh hati.
"kuharap kau bisa memaafkan caraku membawamu kemari. Terusterang, sudah lama aku mengikutimu. Aku sering mencuri pandang padamu, saat kau berada di kedai, atau sedang berjalan di suatu tempat. Tetapi kau lebih sering menghilang dari pandangan mataku manakala aku sedang mengejar lawanmu. Aku sering merasa kehilangan dirimu, sehingga kuputuskan untuk menculikmu dan membawanya kemari."
"Mengapa kau harus menculikku" Seandainya kau bicara terus terang ingin menikmati wajahku, aku tidak akan melarangmu, Delia."
"Aku ingin memiliki ketampananmu selama-lamanya, Suto Sinting."
Pendekar Mabuk tersenyum kaku.
"Rasa-rasanya itu tak mungkin, Delia."
"Harus mungkin. Segala apa yang kuinginkan harus menjadi kenyataan."
Delia berhenti melangkah di depan serumpun "
bunga warna merah jambu. Ia menatap Pendekar Mabuk dengan senyuman yang mendebarkan hati lawan jenisnya.
"Aku ingin kau tetap tinggal di sini dan menjadi suamiku."
"Bagaimana jika aku menolak?"
"Kau akan kehilangan nyawa."
"Bagaimana jika aku melawanmu?"
"Kau tetap akan kehilangan nyawa. Selama ini tak ada orang yang mampu menahan kekuatan sihirku." - Kata-kata yang diucapkan dengan kalem diiringi senyum menawan, ternyata merupakan pisau bagi hati PendekarMabuk. Hatinya marasa dilukai, merasa dapat tantangan yang tak boleh ditolak begitu saja. Ia paling lak suka dengan perempuan yang berani mengancamnya dengan bersungguh-sungguh. Ancaman dalam bentuk apa pun dapat membuat hati Pendekar Mabuk tertutup dan tak mau mengenai gairah cinta lagi. mereka melangkah lagi menyusuri taman. Pendekar Mabuk hanya menyimpan rasa tak sukanya tadi. Ia tetap tenang dan bersikap ramah. Senyumnya selalu menghiasi bibir walau hanya senyum tipis.
"sejujurnya kukatakan padamu, sudah beberapa kali aku ganti-ganti suami. Tak satu pun suami yang bisa membahagiakan diriku sesuai dengan harapanku.
Pada umumnya mereka hanya bisa memberi keindahan pada malam-malam pertama saja, selebihnya mereka seperti binatang yang bercinta berdasarkan naluri semata."
"Kurasa aku pun demikian, tak jauh berbeda dari mereka. Kau tetap saja akan kecewa jika bersuamikan diriku, Delia." Perempuan itu tertawa kecil, tangannya menggandeng lengan Suto. Hal itu dibiarkan saja oleh Suto. Ia merasa harus bersikap dewasa dan tak menunjukkan kebrutalan. Sikap kasar dan brutal hanya akan membuatnya gagal mempelajari kekuatan Delia, sehingga ia tak dapat mengetahui titik kelemahan wanita itu.
"Kurasa kali ini akutak salah pilih lagi. Aku melihat dengan indera keenamku, kau mempunyai bentuk susunan tulang yang kokoh dan sangat bagus. Kau juga mempunyai aliran darah yang lancar dan setiap gerakan darahmu mengandung gelaran terserdiri. Yang paling utama adalah keistimewaan yang ada pada dirimu, yaitu sebagai lelaki tanpa pusar.'
"Itu cacatku sejak lahir."
"Oo, itu bukan cacat menurutku. Ketiadaanmu memiliki pusar merupakan anugerah yang istimewa dan sangat kuharapkan."
"Aku tak mengerti maksudmu, Delia."
Perempuan itu melirik sambil tersenyum makal,
"Pria tanpa pusar adalah pria yang mampu bertahan dalam amukan badai asmara lawan jenisnya."
"Aah itu anggapan kuno yang tidak benar, Delia."
"Siapa bilang tidak benar" Terbukti kau pernah kulihat mampu berkelebat cepat dan sukar kukejar dengan jurus Sapuan Badai'-ku. Hanya pria tanpa pusar yang mempunyai kekuatan semacam itu."
Sebelum kata-katanya dilanjutkan, seorang pelayan datang menghadap.
"Gusti Bagandi, makanan sudah hamba siapkan dan...."
"Lancang sekali kau. Amaroki" tiba-tiba Delia membentak.
"Apakah kau tak melihat aku sedang bersama calon suamiku"! Akutak mau diganggu oleh siapa pun, tahu"!"
"Ampun, Gusti...," pelayan itu berlutut dan menyembahnya dengan penuh rasa takut.
"Kau patut mendapat hukuman, Amarok!"
Delia mengibaskan langan seperti memercikkan air. Praat...! Wuuuubb...I Terjadi letusan kecil yang mengepulkan asap tebal. Kejap berikut, Amarok lenyap tanpa bekas, terbakar habis tanpa sisa. Yang tertinggal hanya bekas hitam dari telapak kaki Amarok.
"Sadisl"geram Suto daiam hati, tapi wajahnya tetap biasa-biasa saja. Pandangan mata Pendekar Mabuk yang tertuju pada bekas telapak kaki Amarok itu membuat Della menjadi tak enak hati sendiri. Ia buru-buru memberikan alasan atas tindakan kejinya tadi.
"Siapa pun yang membuatku kecewa akan mengalami nasib seperti itu. Karenanya, para pelayanku tak ada yang berani mengecewakan hatiku."
"Memang kau pantas melakukan begitu." Delia tersenyum.
"Kurasa kau perlu melihat ruang kesukaanku. Ruangan itu kunamakan Ladang Asmara."
"Nama yang indah tapi aneh menurutku."
"Ayolah, ikutlah aku...," Delia menarik tangan Suto, dan membawanya pergi dari taman.
Raja Mantra kehilangan jejak Perawan Sinting dan Ratu Rimba. Suasana malam yang gelap membuat pandangan mata tokoh tua itu kurang tajam. Ia menggunakan radar batinnya, tapi tetap tak menemukan siapasiapa di sekitar tempatnya berdiri. Ratu Rimba mengetahui diikuti oleh Raja Mantra. Ia segera menggunakan tipuan yang cukup unik.
Dari tangan kanannya yang disentakkan keluariah hawa padat yang bergulung-gulung. Hawa padat itu meluncur bagaikan bola tanpa wujud. Hawa padat itu menerabas semak dan dedaunan kering, menimbulkan suara gemerusuk seperti orang beriari. Suara gemerusuk itulah yang diikuti oleh Raja Mantra. Pak Tua itu kali ini berhasil dikelabui gadis semuda Ratu Rimba, Langkahnya memburu kearah timur, padahal waktu itu Ratu Rimba dan Perawan Sinting bergerak ke arah barat. Tentu saja jaraknya dengan kedua gadis itu semakin jauh karena berbeda arah.
"Boleh juga tipuanmu! Walau tergolong tipuan murah, tapi kadang-kadang berguna juga untuk mengecohkan lawan," ujar Perawan Sinting. Ratu Rimba menyambar rompi Perawan Sinting.
Breet...! Matanya mendelik berang penuh keberanian.
"Sekali lagi kau bilang tipuankutipuan murah, kurobek mulutmu!"
Plak..! Perawan SInting menepiskan tangan Ratu RImba dengan kibasan tangan kiri. Kini ia ganti mencengkeram rompi Ratu Rimba dan memandang tajam sekali.
"Jangan berlagak di depankul Bisa kurontokkan semua gigimu, tahu"!" Begitulah mereka. Cekcok terus sepanjang perjalanan menuju Pulau Hanzia. Sasaran pertama mereka adalah Pantai Giwang, karena di sana Perawan Sinting mempunyal seorang kenalan. Mereka bermaksud meminjam perahu teman Perawan Sinting itu untuk menuju ke Pulau Hamzia. Tetapi perjalanan ke Pantai Giwang ternyata menemui hambatan. Bukan hambatan cuaca malam saja, tapi ternyata pagi harinya mereka juga dihambat oleh munculnya dua orang yang menghadang langkah mereka Mula-mula langkah mereka terhenti karena Perawan Sinting nyaris celaka.
Sebilah pisau terbang melayang ke leher Perawan Sinting. Pisau itu berasal dari sisi kanan. Ratu Rimba yang berjalan satu langkah di belakang Perawan Sinting itu segera merunduk dan menyapu kaki Perawan Sinting dengan tendangan kaki nya. Weet, brruk... Perawan Sinting terpelanting jatuh tanpa bisa menjaga keseimbangan badannya. Sapuan cepat itu membuat Perawan Sinting berang dan bermaksud menghajar Ratu Rimba.
"Hel, tunggul" sentak Ratu Rimba masih tetap dalam posisi jongkok.
"Lihat pisau yang hampir menembus lehermu itu!" sambil Ratu Rimba menuding pisau yang menancap pada pohon setelah tak berhasil menancap di laher Perawan Sinting. Sadar bahwa dirinya baru saja diselamatkan Ratu Rimba dengan cara kasar, Perawan Sinting tak jadi marah. Kini ia bangkit dengan pandangan mata tajam penuh waspada, demikian pula halnya dengan Ratu Rimba. Pada saat itulah, segera muncul dua orang dari balikpepohonan rindang. Mereka adalah dua lelaki berkepala gundul, badannya kekar tanpa baju, tapi masing masing bercelana merah. Mereka menyilangkan sabuk didada.Sabuk itu penuh dengan pisau yang siap dilemparkan pada lawan mereka.
"Siapa mereka?" bisik Ratu Rimba.
"Aku pernah melihat mereka mengikuti bajingan dari Selat Neraka. Kurasa meraka orangnya si Bandar Santet"
"Aku tak punya masalah dengan Bandar Santet. Kurasa, persoalan Ini persoalanmu. Silakan hadapi mereka" Ratu RImba mundur beberapa langkah.
"Setan juga kau rupanya! Kemarin aku sudah membantumu menyingkirkan orang-orang Danau Getih, sekarang kau menyingkirkan dari masalah ini."
"Aku tak terlibat dalam persoalan ini!"
"Ini bukan persoalanku, Toloi! Ini persoalan sibuaya kampung itu!" Salah satu dari orang gundul bertampang seram itu segera serukan kata.
"Heli, mana si kunyuk Pendekar Mabuk itu, han?" Perawan SInting dan Ratu Rimba memandang kedua orang gundul itu. Ratu RImba baru tahu bahwa persoalan itu sebenarnya persoalan si Pendekar Mabuk.
"Mengapa kau bertanya padaku"I Mengapa kau menyerangku, han?" seru Perawan Sinting dengan pandangan mata memancarkan permusuhan.
"Kau saudaranya, bukan" Kau yang bernama Perawan Sinting, bukan"!"
"Memang benar, aku Perawan Sinting!"
"Bukankah si kunyuk Itu punya nama asli Suto Sinting"! Dia kakakmu, bukan"!"
"Aku tidak punya kakak bertampang buaya kampung macam dia!"
"Haa, haa, haa, haa...! Rupanya kau takut mengaku saudara si kunyuk itu, hah"! Rupanya kau tahu kalau kami utusan dari Bandar Santet yang akan membantai habis seluruh keturunan suto sinting" Ratu Rimba berseru dengan berang,
"Suto Sinting tidak ada di sini! Kalau kalian mau membantainya, temui dia di negeri Hoazing! Dia sedang bercumbu dengan Ratu Mahasihir!"
"Hahh.."! Ratu Mahasihir..."!" kedua orang itu terperanjat dan saling pandang.
Perawan Sinting mencengkeram lengan Ratu Rimba.
"Bodoh! Kenapa kau sebutkan di mana buaya kampung itu berada"!"
"Kau yang bodoh!" balas Ratu Rimba dengan ketus.
"Dengan menyebutkan di mana Pendekar Mabuk berada, maka mereka akan datang ke sana dan mereka akan dihabisi oleh pihak Ratu Mahasihirl Sementara si perempuan bejat itu sibuk menghadapi orang-orang nya Bandar Santet, kita punya kesempatan membebaskan Pendekar Mabuk."
"Hmmm, boleh juga gagasan cetekmu itu," Perawan Sinting manggut-manggut dan melepaskan cengkeramannya.
"Dasar otak dungu!"geram Ratu Rimba sambil melengos, dan segera memandang ke arah dua orang gundul itu.
"Perawan busung!" seru yang sebelah kanan.
"Karena kakakmu tak ada di sini, maka kaulah yang terima giliran mati lebih dulu sebagai wakil dari keluarga Sinting Bersaudara!"
Orang itu segera melemparkan pisaunya dengan gerakan cepat, nyaris tak terlihat.
Wiiz, wiiz...!.Ternyata sekali lempar dua pisau mengarah ke dada Perawan Sinting.
Dengan mengubah posisi ke samping, tangan Perawan Sinting berkelebat menangkap lemparan dua pisatu tersebut.
Zeeb.: Satu pisau tertangkap. satu pisau lagi lolos dan jatuh di semak-semak seberang sana.
- Melihat orang yang satu lagi ingin melemparkan pisau, Ratu Rimba segera melepaskan pukulan beruntun dari jarak jauh.
Baahk, baahk, baahk...! "Huhhkk...!" Orang itu melayang ke belakang sejauh lima tombak. Pukulan beruntun bertenaga dalam tinggi itu tepat mengenal sekitar dada dan perut. Orang itu langsung muntah darah di kejauhan sana. .
Sementara itu, orang yang tadi melemparkan pisau kepada Perawan Sinting segera mengejang, karena pada saat itu Perawan Sinting mengembalikan. pisau yang terjepit di sela jari-jarinya, sambil merendahkan badan.
Wiiz...! Lemparan itu lebih cepat dari lemparan si pemiliknya. Karena sulit dihindari, maka pisau itupun akhirnya menancap di lambung orang tersebut.
Jruub...I "Aahhkk..." - Orang Itu terbungkuk sambil menyeringai. Ratu
Rimba melompat dan kakinya menendang dari bawah ke atas. Beet...! Prook...!
"Ouuht...!" Orangitu terdongak dan menyemburkan darah.
"Badulah... cepat lari!" seru orang yang memuntahkandarah akibat pukulan jarak jauhnya Ratu Rimba itu. Maka dengan terhuyung-huyung, orang yang terkena pisau itu berhasil mencabut pisaunya dan berusaha melarikan diri walau terjatuh berkali-kali. Perawan SInting dan Ratu Rimba sama-sama mencibir sambil memandangi kedua orang tersebut.
Mereka membiarkan lawannya pergi. Tapi di luar dugaan, ada pihak lain yang sengaja ingin menghentikan langkah mereka.

// 5 \\

TIDAK setiap orang bisa memasuki ruangan yang dinamakan ruang Ladang Asmara. Ruangan itu dibangun dengan dinding tebal dan keras, tak mudah digempur, tak mudah dirobohkan. Pendekar Mabuk berkerut dahi, karena merasa heran melihat bangunan tersebut tanpa pintu masuk, tanpa lubang sebesar jarum pun.
Namun bagi Delia, si Ratu Mahasinir, memasuki ruangan tersebut bukan merupakan hal yang sulit. Tangannya berkelebat seperti menaburkan bunga.
Wees...! Gerakannya pun lemah gemulai bak orang menari. Tetapi seketika itu juga dinding ruangan tersebut berkaca-kaca, lalu berubah membentuk jalan masuk selebar satu tombak. Tak ada debu reruntuhan sebutir pun di sekitar jalan masuk tersebut. Pendekar Mabuk yang agak terbengong itu segera dibawa masuk keruangan itu.
Setelah ada di dalam, tangan Delia berkelebat lagi seperti orang menari. Jalan masuk tadi berkaca-kaca kembali, kejap berikut menjadi tertutup rapat sebagai dinding tahan gempuran.
"Menakjubkan sekali"!" gumam Suto lirih. Delia tersenyum bangga.
"sengaja tak kuberi pintu sebagaimana mestinya, biar tidak setiap orang bisa masuk ke Ladang Asmara ini!" -
"Juga tak bisa keluar dari ruangan ini," tambah Suto.
"Kau cerdas sekali, Pendekar Mabuk." sambil dagu Suto dicubitnya pelan. Ladang Asmara adalah sebuah ruangan yang dilengkapi dengan ranjang lebar berkasur empuk. Ranjang itu ada ditengah ruangan, di atas lantai yang tingginya tiga jengkal dari lantai sekelilingnya. - Delia menyentiikan jarinya ke arah langit-langit ruangan. Sentilan itu dilakukan beberapa kali di beberapa tempat.
Tees, tees, tees,tees...! Setiap sentilan memancarkan cahaya putih. Cahaya putih itu mengambang di udara dalam ketinggian tertentu. Cahaya tersebut selain membuat terang suasana dalam ruangan Ladang Asmara, juga menyebarkan angin harum yang dapat menyejukkan seluruh ruangan tersebut.
"Wow...! Udaranya jadi sejuk sekali."
"Blar nyaman dan bikin betah. Aku bisa betah selama tujuh hari berada di Ladang Asmara asal bersamamu, Pendekar Mabuk." Delia melingkarkan tangannya ke pinggang Suto. Rasa risi membuat Suto berusaha melepaskan diri secara halus.
"Bunga apa yang ada di sudut itu, Delia?"tanyanya sambil bergegas ke sudut. Dengan begitu ia bisa melepaskan diri dari rangkulan tangan Ratu Mahasihir. tubunga Rikmala, bunga kesukaanku. Bunga itulah yang menyebarkan aroma wangi inl. Apakah kau Suka, Pendekar Mabuk?"
"Ya, aku suka sekali dengan warnanya yang merah lembayung tapi mampu memberi keharuman pada ruangan selebar ini."
"Aku sengaja membangun tempat ini untuk menikmati kepuasan bercinta. Di sini kita bebas berbuat apa saja, kita bebas berteriak, dan tak perlu takut dilntip orang. Hik, hik, hik, hik...!"
"Aku terkesan sekali dengan tata ruangnya!"
"Ooh, kau pasti akan menjadi semakin terkesan jika dalam keadaan begini...."
Della melayangkan tangannya sejajar dengan dada. Tangan itu berkelebat memutar, memercikkan cahayaputih semacam bintang kecil-kecil. Percikan cahaya itu membentur dinding.
Triiliing...! Dalam sekejap saja dinding seluruh ruangan itu berubah menjadi cermin bening.
"Wow..."I Mengagumkan sekali"!" Suto berseri-seri. Kemanapun arah pandangannya ditujukan, ia dapat melihat bayangan dirinya dalam cermin.
"Kekuatan sihirku dapat menciptakan khayalan menjadi kenyataan," ujar Delia dengan semakin bangga.
"Kau memang hebat," puji Suto sebagai pancingan. - Della tak sadar akan pancingan tersebut.
Ia melangkah mendekati ranjang, lalu melepaskan jubah jingganya. Kini la hanya mengenakan kutang hitam dan kain penutup bagian bawahnya yang seolaholah hanya secuil itu. Pendekar Mabuk memandang kagum melalui pantulan cermin di sampingnya.
"Apakah dengan keadaan begini aku lebih tampak hebat?"
"Luar biasa hebatnya. Aku lebih terkesan."
"Tentu saja, karena kata Delia punya arti tersendiri."
"Apa arti kata Delia?"
"Delia artinya... selalu di hati. Pria mana pun tak
akan bisa melupakan diriku, karena aku selalu di hati mereka."
Ia mengulurkan tangan, "Datanglah kemari, Suto.... Sambutlah tanganku ini, Pendekar...." Dalam hati Suto bergumam,
"Kalau aku nekat menyerangnya, pasti aku akan celaka, karena aku belum menemukan rahasia kelemahannya. Ilmu sihirnya tinggi sekali. Salah-salah aku bisa mampus karena murkanya. Belum tentu sekalipukul dia akan tumbang. Kalau seranganku gagal, dia bisa membuat nasibku seperti Amarok tadi." Pertimbangan itulah yang membuat Pendekar Mabuk melangkah pelan-pelan mendekati ranjang. Wajah cantik Delia sudah semakin sendu. Pandangan matanya menjadi sayu. Bibirnya sedikit merekah bagaikan mengharap kecupan yang paling hangat dari Pendekar Mabuk. Namun sebelum naik ke lantai tinggi. Pendekar Mabuk sengaja menghenuh langkahnya.
"Delia, hmmm... barangkali kau perlu tahu, bahwa aku adalah satu-satunya pria yang paling payah."
"Ooh, Suto... jangan coba-coba membohongiku.
Aku tahu kau bukan pria yang tak sanggup melayani wanita. Kau pria yang penuh kejantanan, Suto. Aku dapat merasakan getaran jiwa asmaramu dari sini."
"Hmm, maksudku... maksudku, gairahku tidak mudah terbakar di depan wanita yang tidak kucintai."
"Kalau begitu aku akan membuat hatimu segera jatuh cinta padaku. Aku bisa menggunakan kekuatan sihirku. Pandanglah mataka. Suto!"
"Tapi Delia... jika kekuatan sihirmu kau gunakan untuk membius asmaraku, sama saja kau mendapat kepalsuan dariku, Delia." Wanita berkulit mulus itu mulai menarik napas. Ia mulai jengkel. tapi rasa jengkel itu berusaha dipendamnya kuat-kuat.
"Suto, apalah arti kepalsuan cinta bagi seorang perempuan sepertiku" Aku hanya membutuhkan kepuasan bercumbu dengan lawan jenisku. Dan aku yakin hanya kaulah yang bisa memuaskan gairah cintaku, Suto."
"Kepuasan batin seperti itu tidak akan membekas ingatanmu. tidak akan berkesan dalam sejarah hidupmu, Della. Hmm, eehh... ada baiknya kalau...."
"Suto...!" suaranya mulai meninggi.
"Apakah kau bermaksud menelantarkan gairahku yang sudah membara ini?" Dengan senyum kalem Suto Sinting menjawab,
"Terus terang saja. akutak punya gairah padamu, Delia.
Aku hanya punya rasa kagum pada kecantikanmu. keelokan tubuhmu dan...."
Pendekar Mabuk tak bisa bicara lagi. Delia melepaskan totokan dari jarak jauh menggunakan pandangan matanya. Totokan itu sama sekali tak disangka-sangka oleh Suto. Tahu-tahu lehernya terasa seperti disengat lebah dan ia menjadi sulit bicara. Deiia segera mengulurkan tangannya ke depan, tangan itu bergerak pelan-pelan keatas, dan tubuh Suto yang kekar itu terangkat melayang sendiri mendekati ranjang. Dengan kekuatan sihirnya, Suto pun dibaringkan pelan-pelan di atas ranjang itu. Pendekar Mabuk bergegas bangkit, tapi ada semacam kekuatan yang mendorongnya untuk tetap berbaring. Kekuatan itu sangat besar. sehingga tenaga dalam Suto tak mampu menyingkirkannya. Ratu Mahasihir naik keranjang dan mendudukiperut Suto dengan kedua kaki di kanan-kiri. Tangannya
mencengkeram baju dan matanya memandang penuh katajaman, namun juga punya getaran lembut yang mendebarkan hati Suto. Saat itu terdengar suaranya berkata dengan nada geram samar-samar.
"Ingat, Suto... aku sudah membebaskan kau dari hukuman atas kelancanganmu yang telah menggagalkan utusanku menculik Rara Ayu Kumala. Semestinya dia menjadi tumbal kekuatan sihirku. Tapi karena kau gagalkan rencana itu, terpaksa aku mengambil tumbal dari tempat lain. Sekarang aku berbaik hati padamu, Suto. Kau kuizinkan tetap hidup asal mau melayani gairahku yang sangat mendambakan pria seperti dirimu, Pendekar Jantan...." Di akhir kata Delia tersenyum nakal. Cengkeraman tangannya mengendur, kini berganti mengusap lembut dada Suto. Merapatkan tangannya di kulit dada yang kekar itu. Sambil meraba pelan, pinggulnya mulai bergeser nakai. Pendekar Mabuk merasakan desiran hatinya menjadi indah. Tapi hati kecilnya menolak keindahan tersebut. Hanya saja, ada semacam kekuatan gaib yang membuat Suto sulit menghindari api gairahnya. Setiap sentuhan tangan nakal Deiia selalu membuat jiwanya bagaikan hanyut di langit-langit kemesraan. Bahkan
ketika perempuan itu menunduk, lalu mencium piplnya,
Suto justru bergeseragar dapat mengecup bibir perempuan itu. Ketika bibir mereka bertemu, seolah-olah bibir Suto bergerak sendiri, lidahnya menari sendiri, dan dilumatnya bibir Delia dengan penuh gairah. Lumatan bibir itu dibalas oleh Delia lebih ganas lagi.
"Uuhk, huuk... een, eehk...!" Suto berusaha bicara tapi suaranya tak bisa keluar selain nada-nada serak. Delia tertawa cekikikan sambil memandangi wajah jantan yang sedang kasmaran itu.
"Aku yakin dia telah menggunakan kekuatan sihirnya untuk membangkitkan gairahkui Och, aku sulit menghindari hal ini," ujar Suto dalam hati.
"Aku harus mencari cara untuk melepaskannya. Tapi... tapi... oh, slall Dia pandai sekali membakar hasratku hingga berapi-api. Padahal sebenarnya aku jijik padanya. Aku tak suka padanya dan... dan... ooooh, kenapa kenikmatan ini kurasakan begitu indah sekali"! Lebih indah dari yang pernah kurasakan sebelumnya." Pertentangan batin dan naluri membuat Suto Sinting akhirnya menemukan langkah. Ia harus bisa bicara. Delia harus melepaskan totokan penyumbat suara
nya. Dengan bahasa Isyarat Suto meminta Delia melepaskan totokan itu. -
"Kau benar. Aku akan semakin bergairah jika mendengar suaramu mengerang, mendesah, dan menjerit. Kulepaskan totokanrnu, tapi berjanjilah akan menjerit jika kau merasakan nikmat. Setuju?" Pendekar Mabuk mengangguk. Kemudian kedua mata Delia menatap dan Suto merasakan sentakan halus di tenggorokannya.
"Ooh... terima kasih. Aku... aku sudah bisa bicara. Aku... oodoh, aku ingin meminum tuakku dulu, Delia."
"Tuakmu..."!"
"Gairahku hanya bisa berkobar dan menjadi ganas jika minum tuak dari bumbungku. Aku butuh tuak itu buat menandingi gairahmu, Delia."
"Oho, itu bagus sekali. Hmm, baikiah. Tunggu sebentar, kuambilkan bumbung tuakmu." Ratu Mahasihir menyentakkan tangan kanannya ke arah cermin dalam posisi kedua jari lurus kedepan. Tiba-tiba dinding cermin itu pecah tanpa suara. Dari dalam dinding cermin itu ada sesuatu yang melesat ke arah wanita itu.
Wuuut...! Dinding cermin itu utuh kembali, tak ada keretakan sedikit pun. Tetapi benda yang
keluar dari sana segera ditangkap oleh Della dengan tangkas. Teeb...!
Suto Sinting tersenyum kagum dan girang. Ternyata benda yang melesat dari dalam dinding cermin itu adalah bumbung tuaknya sendiri. Delia memberikan bumbung itu kepada Suto.
"Minumlah tuakmu, bangkitkan galrahmu sebesarbesarnya!"
Tuak itu tinggal separoh bumbung. Suto buru-buru menenggaknya, sementara Della mulai melepaskan penutup dadanya. Dua pasang bukit yang putih mulus dan menonjol ke depan dengan kencang itu kini bebas dari hambatan. Siap menerima pagutan.
Pengaruh kekuatan sihir yang membuat gairah Suto Sinting meledak-ledak kini menjadi reda setelah meminum tuak saktinya. Kesaktian sihir Delia ternyata dapat dikalahkan dengan kesaktian tuak dari bumbung keramat itu.
"Aku harus segera mencari kesempatan untuk pergi. Kurasa jalan terbaik untuk lolos dari sini bukan dengan mengadu kesaktian, tapi dengan cara menerobos jalur gaib," pikir Pendekar Mabuk sambil berlagak masih tersenyum-senyum di depan Delia, tangannya ma
sih dipaksakan untuk meremas-remas bukit kembar wanita itu.
"O, ooh... tunggu sebentar," sela Delia.
"Aku punya minyak khusus untuk membuat asmara kita lebih indah lagi."
Ia segera menghampiri meja rias yang berada dalam jarak lima langkah dari ranjang. Di sana ada beberapa peralatan rias dan cawan keramik. -
Pada saat Della mengambil cawan keramik itulah Suto merasa punya kesempatan untuk masuk ke alam gaib. la buru-buru mengencangkan ikat plnggangnya yang tadi sudah kendor karena kenakalan Delia. Kemudian dengan masih berlutut di atas ranjang, tangan kanan suto mengusap keningnya satu kali.
Seet...! Noda merah di keningnya yang hanya bisa dilihat oleh orang berilmu tinggi itu telah membuat Suto sinting lenyap dari atas ranjang.
Laaap...! Ia masuk ke alam gaib dan bergegas pergi rneninggalkan Pulau Hamzia.
Sri Bagandi Delia terperanjat bengong melihat Pendekar Mabuk sudah tidak ada ditempat.
"Keparat! Dia melarikan diri"! Tapi... tapi bagaimana mungkin dia bisa keluar dari ruangan ini?"
Delia mencoba mencarinya dengan pandangan mata. Bahkan ia berdiri diatas ranjang dan memandang ke sana-sini. Yang dilihat hanya beberapa sosok dirinya yang memantul melalui dinding kaca.
"Pendekar Mabuk...."! Sutooo..."! Keluarlah dari persembunyianmu! Kau mengecewakan hatiku, Suto! Ayolah, jangan membuat aku benar-benar kecewa karema ulahmu ini. Keluarlah sekarang juga sutooo... Cepat keluar! Aku sudah tidak sabar menunggu kemesraanmu, Kekasihku!" - Setelah beberapa saat Delia mencari, bahkan dengan kekuatan mata batinnya ia mencari Suto tapi ternyata pemuda itu tidak ada di ruangan tersebut, maka mengamuklah wanita itu. Kedua tangannya menyentak ke samping dengan teriakan marahnya. "
"Kuhancurkan kau, Sutooo...! Heeaah...!" Praaaang...! Duuuurrr...! Semua dinding kaca pecah dalam sekejap. Tapi serpihan belingnya lenyap begitu menyentuh lantai. Bangunan itu sendiri bergetar bagaikan akan roboh. Salah satu sisi dinding dijebolnya dengan satu sentakan tangan ke depan.
Bruuuil...! Delia segera ke luar dari ruang Ladang Asmara setelah mengenakan jubahnya.
"Pengawal...! Cari Pendekar Mabuk di sekitar sini dan seret dia ke hadapanku!" perintahnya dengan berseru keras-keras.

// 6 \\

NODA merah di kening Suto adalah tanda kehormatan yang didapat dari Ratu Kartika Wangi, calon ibu mertuanya sendiri. Noda merah itu selaln sebagai tanda bahwa Suto Sinting adalah Manggala Yudha Kinasih dari negeri Puri Gerbang surgawi yang ada di alarn gaib, juga sebagai kunci untuk keluar-masuk ke alam gaib. Dengan mengusap moda merah itu, dalam sekejap saja Suto akan pindah dari alam nyata ke alam gaib. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode MANUSIA SERIBU WAJAH"). Tapi rupanya Sri Bagandi Delia alias si Ratu Mahasihir lambat laun mengetahui ke mana arah kepergian Pendekar Mabuk. Maka dengan kekuatan sihirnya ia mencoba mencarinya ke alam gaib. Delia juga dapat keluar-masuk alam gaib dengan bantuan kekuatan sihirnya.
"Jika dia benar-benar masuk kealam gaib. ini merupakan kesaktian yang tidak kusangka-sangka dimiliki olehnya, pikir Delia.
"Jika kutahu dia mempunyai ke saktian seperti itu, maka jauh-jauh hari sudah kutotok dulu jalur gaibnya itu biar tidak bisa digunakan untuk sementara waktu." - Pendekar Mabuk benar-benar tak pedull lagi dengan perasaan Della. Walaupun ia dapat menduga betapa besar kekecewaan si Ratu Mahasihir itu, betapa sedih hati wanita cantik itu atas kehilangannya, betapa murka sang Sri Bagandi menerima kenyataan sepahit itu, tapi kepedulian Suto sudah tak ada lagi. Kini ia melangkah di alam yang aneh. Hutan yang dilaluinya adalah hutan cemara berdaun putih.
Batang batang pohonnya juga berwarna putih. Cemara-cemara itu menyebarkan aroma wangi segar, seperti wangi minyak kayu putih. Pohon-pohonnya yang tumbuh dalam jarak renggang mempunyai tanah berumput seperti permadani. Rumput itu juga berwarna putih lembut seperti bulu angsa. Tak ada matahari, tak ada rembulan. Tetapi suasananya tetap terang, walau terang-terang redup, seperti cuaca di waktu mendung. Langkah menyusuri alam gaib itu tiba-tiba terhenti oleh kemunculan seraut wajah cantik anggun berjubah tipis warna merah jambu. Wanita berperawakan tinggi, sekal, dan montok itu tiba-tiba saja muncul di depan
Suto sinting seperti keluar dari dalam pohon. Rambutnya yang panjang meriap tanpa ikat kepala itu bergerak- gerak ditlup angin sepoi-sepoi sejuk. Aromawangi cendana bercampur mawar menyebar kuat bagaikan ingin memenuhi seluruh hutan cemara putih itu.
Pendakar Mabuk terperanjat sekali begitu melihat wanita cantik bergiwang putih berlian itu. Rasa kagetnya bukan timbul karena wanita cantik itu tidak mengenakan kain penutup dada, sehingga kedua bukitnya tampak membayang di balik jubah tiplsnya itu, tapi karena ia sangat kenal dengan wanita cantik tersebut. Suto tahu persis, wanita itu mempunyai tato gambar bunga indah di bagian punggungnya. Siapa lagi wanita berlato itu kalau bukan si Bidadari Maut, alias Ramita Mawangi, penjaga petilasan Candi Bismara. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "RATU PAKAR SELINGKUH").
"Ramita..."!" sapa Pendekar Mabuk sambil sunggingkan senyum ceria dan hatipun berdebar-debar. Karena selama ini hanya Ramita Mawangi yang dapat membuat Pendekar Mabuk sering disiksa rasa rindu dengan kemesraan asmara. Baginya, Ramita Mawangi adalah obat penawar rindunya kepada Dyah Sarining rum, karena kecantikan Ramita Mawangi hampir senilai
dengan kecantikan dan daya tarik Dyah Sariningrum.
Tak heran jika Pendekar Mabuk segera memeluk Ramita Mawangi dan mengecup bibir perempuan itu dengan lembut. Suto tak berani membiarkansi Bidadari Maut itu tersenyum lebih lama, sebab iapernah pingsan gara-gara mendapat senyuman Sungging Kahyangan' dari wanita bertubuh menggairahkan itu.
"Mengapa kau ada di sini, Ramita?"
"Aku mendapat kabar dari Perawan Sinting dan Ratu Rimba, tentang si Ratu Mahasihir yang telah menculikmu dan membawamukeistananya. Mereka berdua ingin menyerang ke negeri Hoazing. Kuingatkan pada mereka, bahwa ilmu mereka tak akan cukup buat melawan Ratu Mahasihir, tapi mereka nekat pergi ke sana. Aku terpaksa menotok mereka hinggatak berkutik. Aku pun segera bergegas ke negeri itu dengan menggunakan jalurgaib ini. Tapiternyata kau justruada di sini."
"Aku melarikan diri dari ratu sihir itu."
"Syukurlah jika kau sudah bisa meloloskan diri dari cengkeraman wanita binal itu!"
"Tapi bagaimana dengan Perawan Sinting dan Ratu Rimba?"
"Kutinggalkan di pantai. Sebaiknya kita segera ke sana membebaskan mereka. Tak ada orang yang bisa membebaskan totokan mereka jika bukan diriku sendiri." Tiba-tiba sebuah suara menyahut dari belakang Pendekar Mabuk.
"Lagakmu seperti orang yang hebat saja, Bidadari - Maut!" suara itu membuat Suto sinting tersentak kaget, lalu buru-buru berpaling ke belakang. Ramita Mawangi tetap tenang, tanpa rasa kaget sedikit pun. Pendekar Mabuk memandang dengan dahi berkerut dan suara bergumam pelan. -
"Delia..."!"
"Kalau tahu kau punya kesaktian seperti ini, sudah kulumpuhkan lebih dulu sebelumkau masuk ke Ladang Asmaraku, Pendekar Mabuk!"
'ah, ini hanya kesaktian kecil-kecilan saja, jawab Suto Sinting seenaknya. Senyumnya pun terkesan tenang, tanpa rasa gentar sedikit pun.
"Rupanya kau punya hubungan dekat dengan si keparat Bidadari Maut itu, suto?"
"Oh, iya! Dekat sekali. Aku merasa lebih baik bercinta dengan Bidadari Maut daripada bercumbu denganmu, Wanita kejl!"
Delia semakin menggeram. Wajahnya menjadi merah menahan marah. Sorot matanya penuh kebenclan, sedangkan Suto Sinting justru semakin melebarkan senyum dan kian merapat di samping Bidadari Maut.
"Agaknya kau memang tak pantas diajak menikmati kemesraan, Suto. Kau lebih pantas dikirim ke neraka jahanam, dan bercintalah dengan mayat-mayat terkutuk di sana: Ramita Mawangi segera angkat bicara. Suaranya tetap tenang dan mengandung wibawa tersendiri. -
"Kau tak akan bisa berbuat apa-apa terhadap diri Pendekar Mabuk selama Bidadari Maut masih berdiri di sampingnya, Delial"
"Hmmh...!" Delia mencibir,
"Rupanya kau ingiri membangkitkan borok lama kita, Bidadari Maut. Aku jadi teringat dengan pengkhianatanmu yang memihak orang-orang Tibet dalam penyerangan ke negeriku!"
"Tak ada salahnya jika kita tuntaskan sekarang juga!" tegas Ramila Mawangisambil sedikitmendorong Suto agar menjauhinya.
"Ramita, biar aku yang menanganinya," bisik Suto. .
"Jangan... Aku dan dia masih punya persoalan yang belum selesai." "Sekarang kau tambah dengan persoalan baru!" sahut Delia.
"Kau telah merusak asmaraku, Bidadari busuk! Kita jadikan pertarungan ini sebagai pertarungan asmara. Biar jelas, siapa yang berhak membawa pergi Pendekar Mabuk!"
"Aku keberatan, Delia. Pertarungan ini adalah kelanjutan masa lalu kita. Bukan karena asmara!"
"Terserah apa katamu! Tapi kau memang sudah waktunya kukirim ke neraka!" Delia semakin menggeram penuh dendam.
Delia membelalakkan mata, seperti menyentakkan pandangan. Ramita Mawangi terdorong mundur, tapi hanya dua langkah. Dadanya merasa dihantam dengan palu godam. Untung ia cepat mengendalikan tenaga dalamnya, sehingga yang dirasakan hanya dorongan besar tanpa nyeri. pendekar Mabuk sengaja mundur, memberi kesempatan kepada Ramita Mawangi untuk melakukan pertarungan secara ksatria. Ramita Mawangi justru bangga dan pertarungannya merasa dihargai. sehingga semangatnya untuk menjatuhkan Ratu Mahasihir se
makin besar. Delia menyerang lagi dengan mengayunkan kedua tangannya ke depan seperti orang mengusir ayam.
Wuuut...! Dari dalam tanah timbul letusan beruntun.
Letusan itu merayap cepat dari tempatnya berdiri sambil ke tempat Bidadari Maut berdiri.
Tar, tar, tar, tar, tar. tar, tar, traarr...!
Weerrr...! Bidadari Maut melambung di udara dalam gerakan berjungkir balik cepat. Tak satu pun letusain itu mengenai dirinya.
Ketika mendarat ke tanah berumput putih kedua tangannya menyentak ke samping.
Beet...! Tanah berguncang sesaat. Tiba-tiba pohon cemara yang ada di sekitar Della bergerak-gerak meliuk, dahan-dahannya menyambar cepat ke tubuh Delia.
Wuuurt...! Bruuus...! Delia terkapar ke arah kiri. Dari arah kiri ada lagi dahan cemara yang menyabetnya seperti ekor naga.
Buuhkk...! Suto terperangah kagum melihat ilmu Ramita Mawangi. Delia dibuat bulan-bulanan oleh pohon-pohon cemara yang bisa bergerak seperti manusia. Tentu saja. hal itu terjadi karena Ramita Mawangi menggunakan kekuatan sihirnya pula.
Berkali-kali Delia terlempar ke sana-sini dalam keadaan babak belur, akhirnya ia menghantamkantangan kanannya ke tanah. Buuhk...! /
Tiba-tiba pohon cemara di sekelilingnya itu lenyap tanpa bekas sedikit pun kecuali kerontokan daunnya tadi.
Zaab...! Tanah menjadi lapang. Seolah-olah tak pernah tumbuh pohon di sekeliling Delia. Pohon-pohon yang masih utuh berada dalam jarak sekitar dua puluh langkah dari tempat itu. -
Delia bangkit dengan wajah makin beringas. Memar di kulit tubuhnya bergerak-gerak menipis, lamalama hilang seperti disapu angin. Tangan Delia dikibaskan. jubahnya ikut berkibar.
wuursss...! Hawa panas datang dan berhembus ke arah Bidadar! Maut.
"Jauhi aku!" seru Bidadari Maut kepada Pendekar Mabuk,
"Udara ini beracun!"
Zlaap, zlaap...! Suto bergerak secepat bayangan. Tahu-tahu ia ada di belakang Delia, dengan begitu ia tak terkena hembusan angin beracun.
Bidadari Maut tetap berdiri di tempatnya'la melawan angin beracun itu walau kulit wajahnya mulai tampak merah. Ia tetap merapatkan kedua tangannya di de
pan dada. Rambutnya meriap-riap dihembus angin beracun. Satu demi satu rambut itu pun rontok. - Sebelum kerontokan itu berjumlah banyak, Ramita Mawangi sudah lebih dulu menyentakkan satu tangannya ke langit.
Beet...! seketika itu juga tubuh Delia terlempar melambung ke atas cukup tinggi.
Wuuuuss...!la seperti roket yang diluncurkan dari bumi. Begitu tingginya sampai-sampai yang bisa dilihat Suto hanya satu titik jingga sedang melayang dilangit tinggi. . Namun dari ketinggiannya itu, Della masih bisa mengirimkan sinar merah berlarik-larik. 
Cralaap...! Sinar merah itu menyebar bagaikan kerangka sebuah payung. Setiap larik sinar menyebarkan hawa panas yang membuat pucuk-pucuk cemara menjadi layu. Bahkan beberapa cemara di seberang sana mulai berasap, akhirnya terbakar. . Delia melayang turun. Bidadari Maut kembali mengibaskan tangannya dalam posisi datar, dari kanan ke kiri.
Wuuuurrss...! Angin 'kencang datang. Angin itu mengandung hawa dingin yang amat menggigiilkan badan. Pucuk-pucuk cemara yang terbakar menjadi padam seketika. Cahaya merah dan angin panas lenyap dalam sekejap. Kini yang ada hanya udara dingin serta busa-busa salju yang bertaburan seperti serpihan tepung terigu. Sebelum kedua kaki Delia menyentuh tanah, ia sudah lebih dulu menyentakkan tangannya ke depan, ke arah lawannya. Sentakan tangan itu mengeluarkan puluhan ekor lebah. Lebah-lebah warna merah itu menyebar menyerang Bidadari Maut dengan liar. Suaranya menggaung keras, membuat Pendekar Mabuk semakin terperangah tak berkedip. Tetapi agaknya Bidadari Maut juga tak mau kalah hebat. Kedua tangannya ditarik dari atas ke bawah sampai pundak, mulutnya dilebarkan dengan napas menyentak.
"Hahh...!" Dari dalam rnulut itu tersembur kobaran lidah api yang dengan cepat membakar habis lebah-lebah merah itu. Setiap lebah yang terbakar menimbulkan letusan kecil, sehingga suara yang timbul seperti suara petasan berondong dibakar.
Trarr, taar, taar, toor, taar, toor, tooor, daar. daar. toor...!
"Hmmmrrrhm...!" Delia mengeram iengkel. Setiap serangannya dapat dilumpuhkan lawan.
"Kali ini kau tak akan bisa melawanku lagi, Bidadari Maut Hiaaah...!" Delia merenggangkan kaki dan sedikit membung.
kuk. Tangannya disabetkan seperti kapak membelah tanah. seketika itu juga tanah menjadi retak dan Bidadari Maut terperosok ke dalam celah tanah itu.
Bruus...! Begitu melihat lawannya terperosok, tangan Delia segera disentakkan naik dalam keadaan menggenggam.
Wuuut...! "HIaaahh..." Tanah merapat lagi menggencet tubuh Bidadari Maut.
Zrrek...! - - - "Aahk...!" Bidadari Maut menyeringai. Lambungnya terasa mau pecah. Gencetan itu semakin kuat, seakan ingin memotong tubuhnya menjadi dua bagian. - Delia semakin memperkuat genggaman tangannya. Tangan itu sampai bergetar, giginya menggeletuk kuat-kuat sementara keringatnya mulai bercucuran. Ia mengerahkan kekuatan sihir yang dipadukan dengan kekuatan tenaga dalamnya.
"Celaka Mampus dia sekarang" Aku harus segera bertindak!" pikir Pendekar Mabuk. Namun sebelum murid Gila Tuak itu bertindak. Bidadari Maut menghantam kedua telapak tangannya ketanah. Buuummm...! Tubuhnya terpental ke atas dengan keras.
Bwweerss...! Pada saat Bidadari Maut melambung dengan rambut meriap dan jubah beterbangan, tangan kanannya segera berkelebat ke depan seperti melemparkan pisau dari punggung.
Wuuut...! Empat jari tangannya yang lurus dan kaku itu mengeluarkan sinar hijau kecil sekali, sekecil benang. Empat sinar hijau itu melesat cepat menghantam dada Ratu Mahasihir. Kedua tangan Delia ingin menghadang sinar tersebut, tapi teriambat bergerak.
Blaaaarr...! Delia terkapar sejauh delapan tombak. Tubuhnya berasap, rambutnya terbakar, nyaris bondol. Kulit tubuhnya menjadi merah kehitam-hitaman. Ia terluka parah. Terbukti mulutnya menyemburkan darah kental berwarna hitam.
"Bangsat!" makinya dengan suara berat.
"Tunggu pembalasanku, Jahanam!"
Blaasss...! Delia melompat, tahu-tahu lenyap bagaikan ditelan bumi. Ia melarikan diri, karena merasa berbahaya sekali jika melanjutkan pertarungan dalam keadaan luka parah seperti itu.
Suto ingin mengejarnya, tapi Bidadari Maut melarangnya. Perempuan itu terengah-engah dengan wajah pucat seperti mayat.
"Bagaimana keadaanmu. Ramita?"tanya Suto dengan cemas.
"Aku butuh tuakmu. Racun ini semakin mengganas , dalam darahku?"
"oh, ya... baik. Baik..."
Ramita Mawangi alias si Bidadari Maut itu berhasil menangkal keganasan racun tersebut dengan menenggak tuak sakti Pendekar Mabuk, wajahnya yang pucat mulai tampak segar kembali. Pendekar Mabuk tersenyum lega.
"Mau tuak lagi" Mau kutuangkan dari mulutku ke mulutmu?"
Ramita Mawangi tersenyum anggun.
"Simpan saja acara itu buat nanti. Sekarang kita harus temui Perawan Sinting dan Ratu Rimba, Kalau terlalu lama mereka bisa mati membeku karena totokan 'Gurun Salju'-ku."
Mereka segera keluar dari alam gaib dan menemui Perawan Sinting serta Ratu Rimba. Namun apakah kedua gadis itu akan melanjutkan pertarungan duel asmaranya jika mereka tahu Pendekar Mabuk telah bebas" Ataukah mereka justru akan menyerang Ramita Mawangi, karena Suto tampak akrab sekali dengan Bidadari Maut itu"

// SELESAI \\



INDEX SUTO SINTING
128.Mustika Gerbang Dewa --oo0oo-- 138.Mas Kawin Maut


Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.