Life is journey not a destinantion ...

Asmara Maut

INDEX PENDEKAR RAJAWALI SAKTI
Rahasia Puri Merah --oo0oo-- Api Di Karang Setra



RANGGA PATI
Pendekar Rajawali Sakti
Karya: Teguh .S
EP:ASMARA MAUT

Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Gambar sampul oleh Arie
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit


:::↨֍↨: ( 1 ) :↨֎↨:::

Seekor kuda hitam legam dan kekar berjalan lambat-lambat mendekati sebuahpondok kecil beratapkan rumbia ditengah-tengah Hutan Ganda Mayit. Saatitu matahari belum lagi menampakkansinarnya. namun burung-burung sudahberkicau riuh disambut kokok ayam hutan.
Sebentar lagi sang surya akan muncul,kabut masih kelihatan tebal menyelimutiseluruh hutan ini.
Kuda hitam itu berhenti tepat didepan pondok. Kaki depannyamenggaruk-garuk tanah dengan kepalaterangguk-angguk. Di atas punggungnya yang kekar berotot, terkulai seseorangmengenakan baju warna biru yang sudahcompang-camping di beberapa tempat.
Rambutnya yang panjang hitam, tergeraimenutupi wajahnya. Darah masih menitikdari luka-luka di tubuhnya.
Kreeekkk....
Pintu pondok itu terkuakperlahan-lahan. Dari dalam munculseorang wanita tua bungkuk mengenakanpakaian kumal yang sudah pudar warnanya.
Wanita tua itu kelihatan terkejutmelihat ada kuda di depan pondoknya.
Lebih terkejut lagi dia manakala melihatada seseorang terkulai di punggung kudaitu. Dengan langkah terseret, perempuanitu bergegas menghampiri. Tangan yang kecil keriput itu, ternyata dengan mudahbisa menurunkan penunggang kuda itu.
Tubuh terbalut baju biru dengan banyakluka, dikepit di ketiaknya. Kembali diamenyeret kakinya masuk ke dalam pondok.
Bagaikan mengangkat sekarung kapassaja layaknya, dan ringan sekali diameletakkan tubuh itu di balai-balaibambu yang beralaskan tikar pandan.
"Ah, cantik sekali.... Kenapa bisaterluka...?" desahnya bergumam pada dirisendiri.
Tubuh ramping yang tergolek di atasbalai-balai bambu itu memang seorangwanita muda yang cantik berkulit putihbersih. Dari senjata yang terselip di perutnya, dan pedang yang tersampir dipunggung, sudah dapat dipastikan kalauwanita itu adalah Pandan Wangi.
"Kajar...!" teriak perempuan tuabungkuk itu memanggil seseorang.
"Ya, Nek...!" sebuah suara kecilmenyahuti, disusul munculnya seoranganak laki-laki berusia sekitar sebelastahun.
"Nek Ringgih memanggilku?"
"Iya! Cepat ke sini!"
"Lho! Siapa itu, Nek?" Kajar kagetmelihat ada orang tcrbaring dibalai-balai.
"Jangan banyak tanya, cepat siapkanramuan luka luar!" sentak Nek Ringgih.
Kajar bergegas kembali ke belakang. Sementara Nek Ringgih mencopot seluruh pakaian Pandan Wangi. Dia mengambil kainlusuh dan menutupi tubuh polos itu. NekRinggih memandangi dua senjata ditangannya, lalu meletakkannya di ataskepala Pandan Wangi. Dua buah senjatayang berlainan bentuknya. Satu bentuknyapedang biasa, satunya lagi berupa kipasdari baja putih. Senjata kipas itulahyang membuat nama Pandan Wangi terkenalsebagai si Kipas Maut.
Nek Ringgih memeriksa tubuh yangpenuh luka itu. Kebanyakan luka-lukanyahanya goresan-goresan. Memang adabeberapa yang cukup dalam. Kepala perempuan tuaitutergeleng-geleng beberapa kali.
Bibirnya yang keriputkempot, berdecak-decak bagai cicak.
"Sudah, Nek," Kajar muncul lagi membawa sebaskom air dan beberapa ramuanterbungkus kain putih.
"Taruh di situ," kata Nek Ringgihmenunjuk meja kecil dekat balai-balaibambu ini.
Kajar memperhatikan Nek Ringgihmengobati luka-luka di tubuh Pandan.
Setiap jenis ramuan dan keadaan lukadiperhatikan dengan seksama. Otaknyaberputar mengingat-ingat semua yangdilakukan Nek Ringgih.
"Bagaimana, Nek?" tanya Kajarsetelah Nek Ringgih membasuh tangannyadi baskom.
"Siang nanti juga sudah sadar,"sahut Nek Ringgih seraya bangkitberdiri.
"Tunggui dia, aku mau caridaun-daunan dulu."
"Iya, Nek."
"Oh...," Pandan Wangi merintihlirih.
Kajar menatap Pandan Wangi yangmulai sadarkan diri. Dia segeramenghampiri dan mengambil kain basah,lalu diletakkan di kening gadis itu.
Sedikit demi sedikit Pandan Wangimembuka kelopak matanya. Diamemijat-mijat keningnya yang terasa maupecah berdenyut-denyut Pandangannya masih kabur berkunang-kunang. Kepalanyabagai terbelenggu ribuan kati besi.
"Nek...! Dia sudah sadar!" teriakKajar keras.
Nek Ringgih tergopoh-gopoh datangmenghampiri. Langkahnya terseret dengantubuh bungkuk. Tapi dia tidakmenggunakan tongkat untuk membantuberjalan.
"Ohhh..., di mana aku...?" rintihPandan Wangi lirih.
"Tenanglah, anak manis," bujuk NekRinggih.
"Ah!" Pandan Wangi terkejutmendapati dirinya berada di sebuahpondok ditunggui seorang perempuan tuadan seorang anak laki-laki kecil. Pandan Wangi berusaha bangkit, tapi dicegah NekRinggih.
"Jangan bergerak dulu. Kau masihlemah."
"Siapa kalian?" tanya Pandan Wangi.
"Di mana aku?"
"Kau di gubukku, anak manis. Aku NekRinggih, dan ini cucuku, Kajar."
"Oh, kepalaku...," lagi-lagi PandanWangi merintih.
Tanpa diperintah lagi, Kajarburu-buru memijat-mijat kepala PandanWangi. Ada seulas senyum di bibir gadisitu, tapi tipis sekali sehingga hampirtidak terlihat.
"Terima kasih," ucap Pandan Wangi pelan.
"Sudahlah, kau istirahat dulu. Jangan berpikir yang macam-macam, kaumasih terlalu lemah," kata Nek Ringgih.
"Hhh...," Pandan Wangi mendesahpanjang Dia memejamkan matanya kembali.
Lama juga Pandan Wangi tidakmembuka-buka matanya. Gerak napas didadanya kelihatan teratur lembut. Ronamerah segar kembali menjalari wajahnyayang pucat pasi. Tubuhnya yang dingin,kini sudah terasa hangat kembali.
"Apakah dia pingsan lagi, Nek?"tanya Kajar.
"Tidak, dia sedang bersamadi,"sahut Nek Ringgih.
"Apa itu samadi?" tanya Kajar.
"Seperti yang sering aku lakukan." "Tapi, kenapa tidak di dalam kamarkhusus?"
"Bersamadi bisa dilakukan di manasaja, apalagi bagi seorang pendekar...."
"Dia pendekar, Nek?" pelan sekalisuara Kajar, seperti takut terdengarPandan Wangi.
"Mungkin, nanti kita juga tahu.
Sudahlah, jangan banyak tanya!"Kajar langsung terdiam. Matanyamemandangi wajah Pandan Wangi yang sudahkelihatan segar kembali. Perlahan-lahankelopak mata gadis itu terbuka kembali.
Bibirnya langsung menyunggingkansenyum. Nek Ringgih tidak mencegah lagiketika Pandan Wangi beringsut duduk. Gadis itu membetulkan letak kain yangmembelit tubuhnya. Dia duduk bersilasambil mengatur jalan napasnya, danmenormalkan kembali jalan darahnya.
"Minumlah ini," Nek Ringgihmenyodorkan cawan berisi ramuanobat-obatan.
"Apa ini?" tanya Pandan Wangi serayamenerima cawan itu.
"Obat."Tanpa ragu-ragu lagi, Pandan Wangimeneguk habis cairan hitam kecoklatan didalam cawan itu. Memang tidak enakrasanya, tapi dihabiskan juga. Kajarmengambil cawan kosong itu dari tanganPandan Wangi dan meletakkannya di atasmeja. Dia kembali duduk di tepi pembaringan.
"Bagaimana rasanya?" tanya NekRinggih.
"Mendingan, Nek," sahut PandanWangi.
"Terima kasih, kau telahmenolongku."
"Ah, sudahlah. Sesama manusia sudahseharusnya saling tolong menolong. Ohya, siapa namamu?"
"Pandan Wangi."
"Boleh aku memanggilmu Kak Pandan?"celetuk Kajar.
"Tentu saja."Kajar berseri-seri wajahnya.
"Senang sekali, aku punya temansekarang."
"Hush! Kajar!" sentak Nek Ringgih.
"Habis aku selalu bermain sendiri,tidak punya teman satupun juga.
Paling-paling temanku hanya si Gembel!"rungut Kajar.
"Siapa itu Gembel?" tanya PandanWangi.
"Itu..., kambing yang bulunyaacak-acakan."
"Ooo...," Pandan Wangi tersenyumdikulum.
"Sudahlah, jangan banyak bicaradulu. Kau masih perlu istirahat," NekRinggih menengahi.
"Tidak apa, Nek. Aku senang kok,"sahut Pandan Wangi tersenyum manis.
"Bagaimana juga, kau masih perluistirahat. Lagi pula Kajar masih punya tugas yang belum diselesaikan." "Oh, iya! Huh, kenapa jadi pelupabegini?!" Kajar menggedik kepalanyasendiri.
"Aku tinggal dulu, Kak Pandan.
Nanti kita ngobrol lagi, ya?"Pandan Wangi hanya tersenyum sajamelihat tingkah bocah itu. Kajarberjingkat-jingkat menuju ke bagianbelakang pondok ini.
"Anak itu nakalnya bukan main, tapidia sangat cerdas dan penurut. Aku sangatsayang padanya. Dialah satu-satunyapenghiburku di masa senja ini," kata NekRinggih.
"Namanya juga anak-anak, Nek. Akujuga suka pada anak-anak," Pandan Wangimenimpali.
"Oh, ya. Bajumu rusak berat, akuterpaksa menggantinya dengan yang baru.
Mudah-mudahan saja cocok untuk tubuhmu,"Nek Ringgih mengalihkan pembicaraan.
"Ah, merepotkan sekali. Terimakasih, Nek."Nek Ringgih menyerahkan bungkusanke pangkuan Pandan Wangi. Gadis itumembukanya. Betapa terharunya diamelihat pakaian berwarna biru yang bagusdan indah. Bahannya memang bukan darikain yang mahal, tapi ukurannya tentusangat pas untuknya. Pandan Wangilangsung memeluk perempuan tua itu, danmengucapkan terima kasih beberapa kali.
"Aku mau membuat ramuan dulu. Gantibajumu, lalu istirahat lagi," kata Nek Ringgih seraya melepaskan pelukan PandanWangi. Dia kemudian bangkit berdiri.
"Terima kasih, Nek," ucap PandanWangi terharu.
Nek Ringgih hanya tersenyum saja,kemudian melangkah pergi ke ruanganbelakang pondok ini. Pandan Wangimemandangi pakaian baru pemberian NekRinggih. Kemudian dia mengenakannya.
Benar-benar cocok dengan ukurantubuhnya. Gadis itu memandangi duasenjata pusakanya yang teronggok dikepala dipan bambu ini. Dia hanyamemandangi saja tanpa menyentuhnya. Lalukembali membaringkan tubuhnya. PandanWangi melakukan samadi lagi untuk mengembalikan tenaga dan kesehatannya.
Tanpa terasa Pandan Wangi sudah satu pekan berada di rumah Nek Ringgih.
Kondisi tubuhnya juga sudah kembaliseperti semula. Bahkan dia sudah mulaimelakukan latihan-latihan ringan untukmelemaskan otot-ototnya. Tapi PandanWangi sering menyendiri melamun.
Seringkali Nek Ringgih memergokinya padasaat dia menyendiri melamun, dan setiapkali ditanyakan, selalu dijawab dengansenyum.
Pandan Wangi tidak ingin membebaniperempuan baik hati itu dengan persoalanyang sedang dihadapinya. Dia selalumenyimpannya di dalam hati. Memang tidakmudah untuk mengatakan semua yang tengah mengaluti hatinya saat ini. Persoalanyang sangat pribadi sekali sifatnya.
"Melamun lagi...?" tegur NekRinggih sore itu.
"Oh, Nek...!" Pandan Wangitersentak kaget.
"Setiap hari kau selalu menyendiridan melamun. Katakan apa yang kaupikirkan, mungkin aku bisa membantu,"pinta Nek Ringgih mendesak. Sudah seringkali dia menanyakan halitu. Pandan Wangihanya tersenyumsaja. Nek Ringgih bisa merasakankepahitan dalam senyum itu.
Pandangan Pandan Wangi lurus dan kosong kedepan.
"Aku bisamerasakan, kaumenyembunyikan sesuatu," desak NekRinggih.
"Ah, tidak...," desah Pandan Wangiberusaha menyembunyikan perasaanhatinya yang semakin galau tidakmenentu.
"Baiklah kalau kau tidak maumengatakannya. Tapi aku ingin tahu,kenapa kau sampai terluka?" Nek Ringgihsedikit mengalah.
"Aku bertarung dan kalah," sahutPandan Wangi berdusta.
"Puluhan tahun aku menjadi ahlipengobatan. Mestinya aku tahujenis-jenis luka...," gumam Nek Ringgih.
Pandan Wangi terdiam. Gumaman NekRinggih merupakan sindiran baginya. Sudah pasti perempuan tua itu tahu kalau luka yang diderita Pandan Wangi bukandari pertarungan. Pandan Wangi tidakingin mendustai perempuan tua baik hatiini, tapi dia tidak tahu harus berkataapa lagi? Dia tidak ingin orang lainmengetahui persoalannya. Dia malu,karena ini menyangkut...
"Kajar sangat suka padamu. Dia telahmenganggapmu sebagai kakaknya sendiri,dan aku juga menganggapmu sebagai cucukusendiri. Mungkin aku terlalu banyakberharap..., ah, sudahlah! Aku memangtidak perlu mengetahui semuapersoalanmu," kata Nek Ringgih pelan.
"Nek...!" Pandan Wangi mencegah NekRinggih yang mau meninggalkannya.
"Kau tidak ingin mengatakan padaku,kan?"Pandan Wangi terdiam. Hatinyabertambah kacau. Dia tidak bisamelakukan yang terbaik. Persoalannyamemang sepele, tapi menyangkut hargadirinya sebagai seorang pendekar wanita.
Menyangkut perasaannya yang paling dalamdan sukar dimengerti. Dia sendiri tidaktahu, apakah....
"Aku..., aku bingung, Nek...,"lirih suara Pandan Wangi.
"Apa yang membuatmu bingung?" tanyaNek Ringgih seraya duduk di akar yangmenyembul ke luar dari dalam tanah.
"Entahlah, aku sendiri tidak tahu.
Sepertinya aku tidak lagi mengenal siapa diriku sebenarnya. Rasanya aku sudah mati.... Yah... seharusnya aku memangsudah mati...," suara Pandan Wangisemakin pelan.
"Ceritakan, apa yang terjadisebenarnya?" pinta Nek Ringgih.
"Aku malu, Nek. Aku...."
"Kenapa harus malu? Tidak semuaorang bisa memecahkan persoalannya tanpabantuan orang lain. Dan tidak semuapersoalan bisa terpendam lama di dalamhati."Lagi-lagi Pandan Wangi terdiam.
Rasanya masih berat untuk mengatakanperasaan hatinya pada perempuan tua ini.
Beberapa kali dia mendesah panjang,mencoba melonggarkan rongga dadanya yang terasa sesak.
"Nek Ringgih mau berjanji untukku?"
"Janji apa?"
"Tidak mengatakannya pada orang lain "Nek Ringgih mengangguk.
"Terima kasih, Nek."
"Nah, ceritakanlah."Sebentar Pandan Wangi terdiam, mengumpulkan kata-kata yang tepat untukdikeluarkan. Nek Ringgih menunggu dengansabar. Hatinya yang tua dan kenyang makanasam garamnya kehidupan dunia bisamerasakan kegundahan hati gadis itu.
"Aku memang tidak kalah dalambertarung, Nek. Tapi aku kalah daripadabertarung yang sesungguhnya. Rasanya lebih baik aku kalah bertarung daripada kalah seperti ini. Terlalu menyakitkansekali. Aku malu..., malu sekali, Nek,"Pandan Wangi memulai.
"Teruskan," pinta Nek Ringgih,"Aku gagal melaksanakannya, Nek.
Jurang itu terlalu lebar dan..., oh,"Pandan Wangi menutup mukanya.
Nek Ringgih membiarkan saja PandanWangi menguras air matanya. Dia masihbelum begitu mengerti dengan cerita itu.
Namun masih juga bersabar menunggusampai tuntas.
"Aku meluncur masuk ke dalam jurang.
Padahal dia sudah berusaha menolongku,tapi tubuhku terlalu berat, dan cepatsekali turun ke bawah. Rasanya waktu itu aku sudah mati, Nek. Tubuhku terbantingkeras di dalam jurang. Untunglah...."
"Kenapa?"
"Aku jatuh tepat di tengah sungaiyang berair deras. Aku hanyut dan tidaksadarkan diri. Saat aku sadar, sudahberada di dalam kurungan sepertibinatang. Yah..., aku ditawan olehgerombolan Dewi Sri Tungga Buana. Saatitu aku masih bisa bersyukur karena belummati, tapi...," lagi-lagi Pandan Wangiterputus ceritanya.
"Apa lagi yang terjadi?" tanya NekRinggih.
"Mereka menyeretku kembali ke atasjurang itu. Aku sempat melihat dia masihada di seberang. Aku berusaha meminta tolong, tapi mereka kembali menjerumuskan aku ke jurang itu. Akuberusaha untuk mengerahkan ilmumeringankan tubuh dan menggenjot tubuhkuke tepi. Tapi sebatang pohon menghalangiusahaku. Tubuhku terbentur keras sekali,kembali aku tidak sadarkan diri dantersangkut pada akar pohon yang keluardari tanah."
"Bagaimana kau bisa ke luar darijurang itu?" tanya Nek Ringgih.
"Entah berapa lama aku tidaksadarkan diri. Setelah aku sadar,berusaha merayap naik ke atas. Tapi disana tidak ada lagi siapa-siapa. Akutidak lagi peduli dengan ranting tajamdan duri yang mengoyak tubuhku."
"Dan kuda itu, punya siapa?" tanyaNek Ringgih menunjuk seekor kuda hitam didalam kandang samping pondok.
"Aku tidak tahu, aku menemukannya ditepi jurang sedang merumput"
"Sejak tadi kau menyebut-nyebutdia. Siapa dia?" tanya Nek Ringgih lagi.
Pandan Wangi tidak langsungmenjawab.
"Dia yang menyuruhmu melompatijurang?" kejar Nek Ringgih lagi.
"Nek...," tatapan mata Pandan Wangiseperti meminta pengertian perempuan tuaitu.
"Dia kekasihmu?" tebak Nek Ringgihtidak peduli.
Pandan Wangi tidak menjawab sama sekali. Masih sulit baginya untuk mengatakan hal itu. Dia sendiri tidakmengerti, kenapa rasanya sulit untukmenyebutkan namanya. Dan hatinya jugasangat malu sekali bila mengingatnya.
Pandan Wangi tidak mengerti, perasaanapa yang tengah dia rasakan sekarang.
Tapi setiap kali dia mengingat peristiwamemalukan itu, setiap kali pula wajahtampan itu selalu menggoda. Ada setitikkerinduan di dalam hatinya, tapi PandanWangi tak kuasa untuk bertemu mukakembali.
"Puluhan tahun aku hidup, Pandan.
Aku bisa merasakan apa yang kau rasakansekarang. Setiap manusia pasti akanmengalaminya. Bukan manusia normal namanya kalau tidak mengenal cinta,"kata Nek Ringgih penuh kasih.
"Cinta...?!" Pandan Wangitersentak.
"Tidak perlu malu mengakui kalau kausedang jatuh cinta. Aku juga pernahmengalaminya, tapi itu sudah lamaberlalu dan kini hanya tinggal kenangansaja."
"Tapi, Nek...."
"Tidak perlu menyangkal, Pandan.
Sorot matamu tidak bisa menipu. Kau malubertemu lagi dengannya, karena kau tidakbisa menunjukkan kedigdayaanmu. Kautidak perlu merasa malu atau rendah dirikalau tidak ada perasaan apa-apapadanya. Lagipula, cinta bukanlah sesuatu yang harus ditutupi, sejak lahir manusia sudah merasakan itu, dan akanterus merasakannya sampai ke liangkubur. Kalau kau merasa dirimu makhlukmulia, kau tidak bisa menolak kehadiranperasaan itu di hatimu. Bahkan malahsebaliknya, kau harus bangga karenamasih punya rasa cinta di balikkehidupanmu yang keras penuh tantangan."
"Oh, Nek...."
"Cinta itu suatu kodrat yang harusdinikmati dan disyukuri. Cinta bukanlahsesuatu yang buruk, yang harus ditutupidan dipendam dalam-dalam. Cinta itu sucidan indah bila dihayati arti sucinyakarena cinta adalah suatu anugrah yangtertinggi nilainya. Tapi tidak sedikit manusia yang menyalahgunakan arti cintayang sesungguhnya," panjang lebar NekRinggih menjabarkan arti cinta padagadis itu.
"Nek...," Pandan Wangi tidak bisaberkata-kata lagi.
Nek Ringgih membiarkan saja PandanWangi menangis di pangkuannya.
Bagaimanapun juga, Pandan Wangi adalahwanita, meskipun dia seorang pendekaryang tangguh dan selalu bergelimangdarah serta tantangan hidup dalammengarungi rimba yang luas ini.
Bagaimanapun kerasnya hati seseorang,suatu saat pasti akan luruh juga. Dan itudialami Pandan Wangi saat ini.

*
* *



:::↨֍↨: ( 2 ) :↨֎↨:::

"Suiiit..!"Satu siulan panjang melengking tinggi menggema memecah kesunyian tepianjurang Bukit Arang Lawu. Suara itu jelasmengandung tenaga dalam yang sempurnadan bernada aneh. Siulan itu datang dariseorang laki-laki muda berwajah tampandengan pedang bergagang kepala burung dipunggung. Baju rompi putihberkibar-kibar dipermainkan angin.
"Khraghk!"Terdengar suara nyaring serak dari angkasa. Pemuda yang tidak lain adalahPendekar Rajawali Sakti itumenengadahkan kepalanya memandang titikdi angkasa. Semakin lama titik itusemakin kelihatan jelas bentuk danrupanya. Itulah burung rajawali raksasatunggangan sekaligus guru dari Rangga siPendekar Rajawali Sakti. Burung rajawaliraksasa itu mendarat tepat di depanRangga.
"Aku perlu bantuanmu untuk menurunijurang ini, Rajawali Sakti," kataRangga.
"Khraghk!"Rangga melompat naik ke punggungburung raksasa itu. Tanpa diperintah lagi, burung rajawali sakti itumengepakkan sayap-sayapnya yang lebar. Tubuhnya melayang dan berputar beberapakali di atas jurang yang besar dan dalam.
Begitu dalamnya jurang ini, sehinggadasarnya tidak kelihatan. Hanya kabuttebal yang menutupi jurang itu.
"Turun sampai ke dasar, Sahabat!"kata Rangga.
Rangga merasakan udara di dalamjurang ini begitu lembab dan dingin.
Semakin masuk ke dalam, semakin gelap danberkabut tebal. Rangga mengerahkan aji'Tatar Netra' yang diperolehnya daribuku peninggalan Pendekar Rajawali yanghidup ratusan tahun yang lalu. Denganajian tersebut dia bisa melihat jelasbagaikan melihat di bawah cahaya matahari.
"Hup!"Rangga segera melompat turun dari punggung rajawali raksasa begitu sampaidi dasar jurang. Sebentar dia mengamatikeadaan. Rongga dasar jurang ini sangatluas, dan di tengah-tengahnya mengalirsungai yang sangat deras. Airnyaberwarna merah bagai darah.
Tulang-tulang tengkorak manusia danbinatang berserakan.
"Terima kasih, Rajawali Sakti. Kaubisa kembali sekarang," kata Ranggaseraya menepuk-nepuk leher burungraksasa itu.
"Khraghk!"Burung rajawali raksasa itu mengepakkan sayapnya, dan kembali membumbung tinggi meninggalkan dasarjurang ini. Rangga kemudian mengedarkanpandangannya berkeliling. Hidungnyakembang kempis mencium bau busuk yangsangat menyengat. Bau busuk itu datangdari mayat-mayat yang bergelimpangan disekitar dasar jurang ini. Ranggamemperhatikan mayat-mayat itu.
"Hm..., semuanya perempuan," gumamRangga mendesah.
Rangga meneliti satu per satumayat-mayat itu. Dia berusaha kerasuntuk menahan bau busuk yang semakinmenyengat memualkan. Sudah semua mayatdia periksa, dan desahnya terdengarpanjang.
"Ada beberapa yang berbaju biru,tapi tidak ada satu pun dari merekaPandan Wangi. Ah..., di manakah kausekarang, Pandan...," desah Ranggabergumam.
Jelas sekali dia melihat PandanWangi masuk ke dalam jurang ini dua kali.
Yang pertama karena kesalahannyamenyuruh gadis itu menyeberang lebih dulu, dan yang kedua Pandan Wangisengaja diceburkan olehorang-orang PuriMerah atas perintah Dewi Sri Tungga Buana. Tapi, diantaramayat-mayat ini..., tidak satu pun ada Pandan Wangi.
"Hsss...!" Rangga tersentak kagetketika mendengar suara mendesis yang keras dariarah belakang. Begitu dia berbalik, kedua matanya terbelalak dan mulutnyaternganga lebar. Hampir dia tidakpercaya dengan apa yang dilihatnya.
"Oh...."

*
* *


"Ya, Tuhan..., apakah aku sedangberhadapan dengan penguasa dasar jurangini?" desah Rangga pelan.
Di hadapan Rangga menjulur seekorular yang besar sekali. Lingkar tubuhnyalebih besar dari pohon beringin tua.
Kepalanya bertanduk dengan mahkota ditengah-tengahnya. Lidahnya yangbercabang menjulur-julur ke luar. Matanya bagai bola api menatap tajam padaRangga. Sebagian tubuhnya terendam airsungai berwarna merah. Tampak sepasangkaki menyembul ke luar ketika kepala ularbesar itu terangkat naik.
"Hosss...!"
"Heh! Hooop.,.!"Rangga kaget bukan main ketikatiba-tiba ular raksasa itu menyerangnya.
Secepat kilat Rangga menghindar denganmelompat ke belakang. Moncong sebesargentong itu menyeruduk tanah yangdipijak Rangga tadi. Ular raksasa itumendesis marah melihat calon mangsanyaluput dari terkaman.
Byar!"Hih!" Rangga. membanting dirinya ke tanahdan bergulingan menghindari semburan apiyang ke luar dari mulut ular raksasa itu.
Bukan alang kepalang kagetnya diamelihat batu sebesar kerbau hancur jadidebu kena semburan api itu. Ranggabergegas bangun, dan langsung siap untukmenerima serangan yang berikutnya.
Dan ketika kepala ular raksasa itumenyerang dengan cepat, seketika itupula tubuh Rangga melenting ke udara,lalu bagaikan kilat dia menukik serayame-ngerahkan jurus 'Rajawali MenyambarMangsa'. Pukulan dan tendangan PendekarRajawali Sakti itu telak dan beruntunmenghantam kepala ular raksasa itu.
"Edan!" rungut Rangga.
Ular raksasa itu hanya menggeram sedikit, dan langsung berbalik menyeranglagi. Rangga mengubah jurusnya jadijurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'.
Kedua tangannya terentang bagai sepasangsayap, dan kakinya bergerak lincahmenghindari setiap serangan ular raksasaitu. Beberapa kali tangannya menyambarmenghantam tubuh dan kepala ular itu,namun sama sekali tidak berpengaruh.
Bahkan binatang raksasa itu semakin buassaja.
'"Pukulan Maut Paruh Rajawali',"desis Rangga. Seketika itu juga keduatangan Rangga jadi merah membara. Dandengan kecepatan bagai kilat, dia menghantamkan pukulannya ke tubuh ularraksasa itu.
"Yeaaah...!"Glarrr!Suara ledakan keras terdengarbegitu kedua tangan Rangga mendarattelak di bawah kepala ular raksasa itu.
"Akh!" Rangga memekik tertahan.
Seluruh tubuhnya bergetar habat,dan dia terpental beberapa depa jauhnya.
Ular raksasa itu tetap tidak kurang suatuapapun. Pendekar Rajawali Sakti ituterperangah hampir tidak percaya. Batucadas sebesar bukit bisa hancur olehpukulan mautnya itu, tapi ular raksasaini... terluka saja dia tidak.
"Huh! Terpaksa...," desah Ranggamendengus.
Sret!Cahaya biru menyebar terang ketikaPendekar Rajawali Sakti itu mencabutpedang dari warangkanya. Rangga berdiritegak dengan pedang Rajawali Saktimenyilang di depan dada. Matanya sedikitmenyipit melihat ular raksasa itubergerak mundur. Kepalanya miring kekiri dan ke kanan beberapa kali.
Sepertinya dia silau melihat cahaya yangterpancar dari pedang itu.
"Anak muda, siapa kau? Dari mana kauperoleh Pedang Rajawali Sakti itu?"
"Heh! Kau...."

*
* *


Bukan main terkejutnya Rangga mendengar ular raksasa itu bisaberbicara seperti manusia. PendekarRajawali Sakti itu sampai terlonjak kebelakang sejauh dua batang tombak. Paraswajahnya diliputi keheranan bercampurketidakpercayaan.
"Kau.... Kau bisa bicara?" tanyaRangga tidak percaya denganpendengarannya sendiri.
"Apa telingamu sudah tuli, heh?!"bentak ular raksasa itu.
"Tidak..., aku tidak bermimpi. Dia benar-benar bicara," Rangga sepertiorang tolol.
"Jangan berlagak bodoh, anak muda!Dari mana kau peroleh pedang pusakakeramat itu?"Rangga memandang pedang ditangannya. Kemudian dia memasukkankembali ke warangkanya di punggung.
Cahaya biru langsung lenyap takberbekas. Tapi sikapnya masih tetapwaspada, meskipun diliputi rasa tidakpercaya dan keheranan yang amat sangat.
Baru kali ini dia bertemu dengan seekorular raksasa aneh yang bisa bicara.
Rangga baru menyadari kalau binatang ituadalah seekor naga bermahkota.
Sungguh sulit dipercaya. Rangga sering mendengar cerita tentang naga, dan dia tidak pernah mau percaya dengancerita dongeng rakyat itu. Tapi sekarang..., nagadalam dongeng itukiniada di depannya. Dan semua itu bukanlah mimpi, tapi kenyataan yang di luar kemampuanakalnya.
"Kenapabengong?Apa kau mendadak jadidungu?!" bentak naga raksasaitu.
"Heh...!"Rangga masih juga tersentak kaget.
"Kau..., kau mengetahui pedangku...?" "Dari mana kau peroleh?Kau mencuri?" "Dariguruku," sahut Ranggasetelah menenangkandirinya.
"Janganmain-main, anakmuda!Pemilik pedang itu sudah muksa sebelumnenek moyangmu lahir!"
"Mau percaya atau tidak, terserah!Aku bicara benar."
"Kau memang menguasai jurus-jurusRajawali Sakti, tapi aku belum maupercaya sebelum kau perlihatkanpenguasaan pedang pusaka itu."
"Untuk apa? Kau tidak akan percaya."
"Cabut pedang itu! Tunjukkanpadaku," perintah naga raksasa itu.
Kaget juga Rangga dibuatnya. Suarabentakan itu keras dan menggelegar,namun terdengar sangat berwibawa.
Perlahan-lahan Rangga mencabut pedangRajawali Sakti dari warangkanya. Dia punsegera membuka jurus 'Pedang Pemecah Sukma'.
"Hm, rupanya kau juga telahmempelajari jurus 'Pedang PemecahSukma'. Bagus! Serang aku!" kata nagaraksasa itu.
"Hey! Kau tahu jurus itu?" Ranggatersentak kaget.
"Jangan banyak bacot! Serang aku!"bentak naga raksasa itu.
"Baik, demi kebenaran, aku tidakakan sungkan-sungkan," Rangga menjawabtantangan itu.
Tanpa banyak bicara lagi, PendekarRajawali Sakti itu segera melancarkanserangan-serangan ke tubuh naga raksasaitu. Beberapa kali pedangnya menyabettubuh naga itu, tapi setiap kali mata pedangnya membentur tubuh naga itu,Rangga merasakan tangannya jadi bergetarkesemutan.
"Huh! Cuma sampai di situ kaumencuri ilmu warisan keramat!" dengusnaga itu.
"Aku bukan pencuri! Terimalah ilmupamungkasku!" rungut Rangga panasdikatakan pencuri.
Rangga melintangkan pedangnya didepan dada. Dia menempelkan telapaktangan kirinya ke mata pedang.
Perlahan-lahan dia menggosok mata pedangitu. Cahaya biru bergumpal-gumpal diujung pedang.
"Aji 'Cakra Buana Sukma'...!"teriak Rangga menggelegar.
"Hiyaaa...!" Glarrr...! Suara ledakan dahsyat terdengarbagai guntur di angkasa. Rangga hampirsaja menarik kembali ajiannya melihatnaga raksasa itu diam saja, tapiterlambat. Aji 'Cakra Buana Sukma' sudahlebih dulu menghantam naga itu.
"Hah..!"Rangga melongo melihat naga itutetap utuh. Hampir dia tidak percayakalau aji pamungkasnya tidak berartisama sekali pada binatang melata raksasaitu.
"Gila! Apakah dia dewa yang turun kemayapada ini...?" gumam Rangga setengahtidak percaya.
"Kau tidak sepenuh hati melepaskan aji 'Cakra Buana Sukma', Anak Muda," katanaga itu.
Rangga tidak menyahuti. Dia memangtidak mengerahkan tenaga penuh, tapiwalaupun begitu, belum ada yang bisamenandingi aji 'Cakra Buana Sukma'.
Rangga seperti pasrah jika dia harus matidi dasar jurang ini. Dia yakin kalau nagaini bukanlah sembarangan ular. Tidak adalagi yang dia miliki, semuanya sudahterkuras, dan naga itu masih tetap segartanpa cidera sedikit pun.
"Mau coba lagi, Anak Muda?" naga itumenawarkan.
'Tidak!" sahut Rangga tegas.
"Ha ha ha...!"Begitu banyak yang ditanyakan naga raksasa itu, dan Rangga menjawabnya dengan gamblang tanpa ada yang ditutupiatau ditambahkan. Semakin banyak Ranggamembuka diri, semakin yakin naga itukalau Rangga adalah pewaris tunggal yangsyah ilmu-ilmu Pendekar Rajawali yanghidup ratusan tahun lalu.
"Hm..., jadi yang mengajarkanmujurus-jurus Rajawali Sakti itu adalahburung rajawali raksasa?" gumam nagaraksasa itu seperti bertanya untukdirinya sendiri.
"Benar, dan aku memperdalamnya darimembaca buku peninggalan Guru PendekarRajawali" sahut Rangga.
"Ratusan tahun aku hidup di dasarjurang ini. Belum ada satu pun manusia yang bisa keluar hidup-hidup dari sini.
Aku percaya kau murid tunggal sahabatku.
Hanya burung rajawali raksasa sajalahyang mampu ke luar masuk jurang ini,"kata naga raksasa itu.
"Kau sahabat guruku...?" Ranggaseperti tidak percaya.
"Benar! Ratusan tahun yang lalu akudikenal dengan nama Satria Naga Emas. Akudan Pendekar Rajawali adalah dua sahabatyang tidak terkalahkan. Kami jadi jemudan mengasingkan diri hingga muksa."Rangga mengangguk-anggukkankepalanya. Dia memang pernah membacadalam satu buku tentang Satria Naga Emasyang menjadi sahabat kental PendekarRajawali. Tidak diduga sama sekali, sekarang dia berhadapan muka dengan sahabat gurunya yang hidup ratusan tahunlalu. Sesaat Rangga mengernyitkankeningnya ketika tubuh naga raksasa itumengepulkan asap tipis.
Asap itu semakin lama semakinmenebal dan menyelimuti tubuh nagaraksasa itu hingga lenyap daripandangan. Rangga melompat mundur ketikaair sungai berwarna merah darah itubergolak mendidih memperdengarkan suaragemuruh yang amat dahsyat. Dan bersamaandengan lenyapnya asap yang menyelimutitubuh naga raksasa itu, di tengah-tengahsungai muncul sebuah bangunan megahbagai istana. Bangunan itu seluruhnyaberwarna merah darah, dan atapnya berkilau bagai bermandikan mutiara.
"Heh...!"Rangga tersentak ketika tubuh naga itu berubah wujud jadi seorang manusiatampan mengenakan pakaian indahbersulamkan benang-benang emasberkilauan. Wajahnya yang putih bersihbercahaya. Sinar matanya tajam, namunmengandung kewibawaan dan kearifan.
Rambutnya yang panjang lebat tergelungke atas kepala.
Pendekar Rajawali Sakti itu makinternganga saat melihat pintu istanamerah itu terbuka. Dari dalam munculbeberapa orang laki-laki dan perempuan.
Semuanya mengenakan pakaian indahbersulam benang emas. Tampan-tampan dan cantik-cantik paras wajahnya. Kulitnya juga putih bersih bagai orang-orang darikeluarga bangsawan. Orang-orang itulangsung membentuk lingkaran danberlutut di depan laki-laki tampanjelmaan ular naga raksasa.
"Si..., siapa kau...?" tanya Ranggatergagap.
"Akulah Satria Naga Emas, raja darisegala ular-ular di dunia ini," sahutSatria Naga Emas. Suaranya dalam danberwibawa.
"Oh...!" Rangga langsung berlututmemberi hormat.
"Bangunlah, kau tamu kehormatanku.
tidak sepantasnya kau berlaku sungkanbegitu," kata Satria Naga Emas. Rangga bangkit dari berlutut.
Kepalanya tetap tertunduk. Sepertinyadia tidak sanggup membalas tatapan mataraja ular itu. Tatapan matanya begitu dalam, dan memilikidaya kekuatan yangamat dahsyat.
"Kau muridtunggal sahabatku, Rangga, Akusenang bertemudenganmu, dan itu berarti aku bisamemenuhi janjiku pada Pendekar Rajawali sebelumkami berpisah untuk mempersiapkan diridalam pemuksaan darimayapada ini,"kata Satria Naga Emas itu lagi.
"Janji...? Janjiapa?" tanya Rangga.
"Aku dan Pendekar Rajawali punya satu janji. Jikasalah satu diantarakamimemperoleh pewaris lebih dulu, maka ia akan menjadi pewaris tunggal dua aliranilmu. Yaitu ilmu-ilmu Rajawali Sakti danilmu-ilmu Naga Emas. Itu berarti kau jugaadalah muridku," Satria Naga Emasmenjelaskan.
Betapa gembiranya hati Ranggamendengar kata-kata itu. Tapi dia tidakmau menunjukkan dirinya senang akanmendapatkan ilmu kepandaian lagi. Diateringat dengan salah satu kalimat yangpernah dibacanya dalam buku gurunya. Disitu tertera bahwa dirinya tidakdiperkenankan mempelajari ilmukesaktian lain selain ilmu-ilmu RajawaliSakti. Kalau hal ini sampai dilanggar,maka dia harus berhadapan dengan burung rajawali raksasa bukan sebagai sahabat,tapi sebagai musuh yang harusdibinasakan.
Teringat dengan kata-kata yangtertulis di dalam buku gurunya itu,Rangga buru-buru menjura memberi hormat.
Kemudian tangan kanannya menyilang didada dengan sikap tegak dan mata tajammemandang Satria Naga Emas.
"Maaf, bukannya aku menolak. Akubukan seorang murid yang haus akan ilmukesaktian. Aku tidak mau jadipengkhianat dengan mencampur dua aliranilmu," kata Rangga tegas.
"Ha ha ha...," Satria Naga Emastertawa terbahak-bahak.
"Apa lagi yangdikatakan Pendekar Rajawali padamu?"
"Tidak ada," sahut Rangga.
"Suiiit...!" tiba-tiba Satria NagaEmas bersiul nyaring melengking.
Rangga terkejut mendengar suarasiulan itu. Belum lagi hilang rasaterkejutnya, dari atas muncul seekorburung rajawali raksasa. Tentu sajaRangga mengenali burung itu. Cepatsekali burung rajawali raksasa itumendarat dan langsung hinggap di sampingSatria Naga Emas.
"Tanyakan sendiri pada wakil gurumuini, apakah aku pantas menjadi PamanGurumu atau tidak," kata Satria NagaEmas.
Rangga memandang burung rajawaliraksasa itu. Kepala burung itu terangguk-angguk beberapa kali,sepertinya dia mengerti kata-kata yangdiucapkan Satria Naga Emas dan pandanganmata Rangga. Burung Rajawali Raksasa itumenjulurkan kepalanya ke arah Rangga,dan mendesak-desakkan kepalanya ke dadapemuda itu.
"Baiklah," desah Rangga.
"Aku harusmemanggilmu apa?"
"Paman Guru."Rangga kembali menjura hormat.
"Ha ha ha..., hebat! TernyataPendekar Rajawali juga mengajarkan tatasopan santun padamu. Bagus aku suka, kaumemang pantas menjadi pewaris tunggaldari dua pendekar digdaya tanpatanding," Satria Naga Emas tertawa terbahak-bahak kesenangan.
"Mari, selama kau mempelajari ilmu-ilmu NagaEmas, kau tinggal di istanaku. Jugasahabatmu ini tinggal bersamaku disini."
"Terima kasih," ucap Rangga.
"Mari...."

*
* *


Rangga tidak ingat, berapa lama diaberada di istana Satria Naga Emas. Selamaitu pula dia selalu digembleng dalambeberapa jurus dan ilmu kesaktian.
Burung rajawali raksasa selalu menungguidan memberi petunjuk pada PendekarRajawali Sakti itu. Satria Naga Emas juga gembira, karena Rangga cepat sekalimenangkap maksud-maksudnya.
Selama berada di istana Satria NagaEmas di dasar jurang ini, Rangga selalusaja teringat dengan Pandan Wangi.
Perasaan bersalah masih menyelimutidirinya yang telah menyuruh gadis itumelompati jurang besar ini. Seharusnyadia tahu kalau gadis itu belum mencapaitahap kesempurnaan dalam ilmumeringankan tubuh. Setiap kali adakesempatan sendiri, Rangga selalumerenung memikirkan Pandan Wangi, danrupanya ini diperhatikan oleh SatriaNaga Emas maupun burung rajawaliraksasa.
"Kau melamun lagi, Rangga," tegurSatria Naga Emas ketika memergoki Ranggatengah melamun seorang diri.
"Oh!" Rangga buru-buru menjuramemberi hormat.
"Apa yang membuatmu melamun?" tanyaSatria Naga Emas berwibawa suaranya.
"Tidak apa-apa, Paman Guru," sahutRangga.
"Hm, sejak pertama kali kau turun kedasar jurang istanaku, aku sudah mendugakalau kau sengaja turun dengan satutujuan. Kau mencari seseorang?" tebakSatria Naga Emas.
Rangga terkejut bukan mainmendengar tebakan yang tepat itu. Tanpa disadari kepalanya teranggukmembenarkan.
"Tentunya sangat istimewa sekali,sehingga kau tidak bisa melupakannya,"sindir Satria Naga Emas.
"Maaf, Paman Guru. Bukannyaisrimewa, tapi aku merasa bersalahkarena menyuruhnya melompati jurang ini.
Padahal aku tahu kalau ilmu meringankantubuhnya belum mencapai taraf sempurna.
Aku tetap merasa bersalah kalau belummenemukannya dalam keadaan hidup ataumati."
"Bagaimana ciri-cirinya?" tanyaSatria Naga Emas.
"Wanita, berkulit kuning langsat,mengenakan baju biru dengan senjata pedang dan kipas," Rangga menyebutkan ciri-ciri Pandan Wangi atau si KipasMaut.
"Memang banyak wanita-wanita yangterjun ke jurang ini. Kalau tidaktersangkut akar pohon, bisa jugalangsung ke dasar. Itu juga ada yangjatuh di tepian sungai, dan ada juga yangtercebur ke sungai," Satria Naga Emasmenjelaskan. Rangga diam termenung.
"Aku tidak pernah peduli denganmereka yang jatuh ke jurang ini, dansemuanya pasti sudah tewas. Rakyatkusaja yang senang, karena mereka tidakperlu susah-susah lagi mencari makanan.
Di sekitar jurang sudah banyak makananyang tersedia," sambung Satria Naga Emas lagi.
Rangga tetap diam. Dia bisa memaklumi, karena rakyat Satria NagaEmas semuanya terdiri dari bangsa ular.
Dan kebanyakan dari mereka adalahular-ular siluman yang bisa merubah ujudjadi manusia. Itu pun hanya bisa terlihatoleh orang-orang tertentu saja yangmemang diperlihatkan, atau punyakemampuan untuk berhubungan denganbangsa siluman.
"Mungkin temanmu itu jatuh dantercebur ke Sungai Merah. Kalau memangjatuh ke sungai, pasti dia hanyut," kataSatria Naga Emas lagi.
"Ke mana Sungai Merah bermuara?"tanya Rangga "Sebelah Timur Hutan Ganda Mayit,tepatnya di sebuah lembah yang diberinama Lembah Ular. Di sana rakyatkutinggal," Satria Naga Emas menceritakan.
"Aku harus ke sana...," gumam Ranggamendesah tanpa sadar.
"Percuma saja, Rangga. Di sanasungai itu bercabang dan terus mengalirjauh ke seluruh penjuru daerah Timur ini.
Sudah banyak mayat-mayat yang jatuh kejurang ini ditemukan di sebuah desa yangjauh letaknya dari tempat ini. Mungkintemanmu terbawa arus sungai ini,Rangga."Pendekar Rajawali Sakti itu kembaliterdiam. Dia juga pernah mendengar tentang orang-orang yang dijatuhkan kedalam jurang ini, dan kembali ditemukanterapung di sungai yang cukup jauhletaknya dari jurang Hutan Ganda Mayitini.
"Rangga, bagaimana dengan ilmupamungkas yang kau pelajari terakhirini?" tanya Satria Naga Emas mengalihkanpembicaraan.
"Aku sudah menyempurnakannya, PamanGuru. Juga ilmu 'Sembilan Langkah ajaib'dan ilmu-ilmu lainnya," sahut Rangga.
"Bagus! Aji 'Batara Naga' adalahilmu pamungkas pertama yang harus kaukuasai penuh, dan itu berarti kau telahmenguasai sepertiga dari ilmu Naga Emas.
Tapi ingat, ilmu pamungkas aji 'Batara Naga' itu hanya boleh kau pergunakan dalam keadaan terdesak saja, samaseperti halnya kau menggunakan aji'Cakra Buana Sukma'," pesan Satria NagaEmas. 'Terima kasih, Paman Guru."
"Besok, saat matahari terbit, kaubisa meninggalkan istanaku ini. Rajawaliraksasa akan membawamu kembali ke luardari jurang ini," kata Satria Naga Emas.
Rangga menjura memberi hormat.
"Dengan sepertiga ilmu Naga Emas,kau sudah sulit mencari lawan yangseimbang. Aku tidak tahu, apakah dengansedikit ilmu dari Rajawali Sakti kausudah menjadi seorang yang digdaya ataubelum. Mudah-mudahan sedikit ilmuku bisa membuatmu jadi seorang pendekar yangtangguh dan digdaya," Satria Naga Emasmemberi wejangan lagi.
"Aku akan mempergunakansebaik-baiknya, Paman Guru," janjiRangga.
"Bagus! Jika kau memerlukansesuatu, dimanapun kau berada rakyatkuakan senang membantumu."
"Terima kasih."
"Nah! Sekarang beristirahatlah,besok pagi kau boleh meninggalkan tempatini. Mudah-mudahan kau bisa menemukankembali temanmu itu."Rangga kembali menjura hormat.

*
* *



:::↨֍↨: ( 3 ) :↨֎↨:::

Siang ini matahari bersinar sangatterik. Rerumputan kering kerontang, danpepohonan menggugurkan daunnya. Mata airpun mengering. Kemarau mulai datangmenyiksa seluruh penghuni jagat rayaini. Namun kesengsaraan alam tidakmembuat empat orang laki-laki bertubuhtinggi besar dengan wajah yang kasarmenghentikan ulahnya.
Empat orang laki-laki itutertawa-tawa kesenangan mempermainkan seorang wanita muda berkulit kuninglangsat. Pakaian wanita itu cabik-cabikmemperlihatkan beberapa bagian tubuhnyayang mengundang liur bagi para lelakiyang melihatnya. Paras wajahnya yangcantik, memucat ketakutan. Seluruhtubuhnya menggigil. Air bening tidakpernah berhenti mengalir membasahipipinya yang ranum.
"He he he..., mau lari ke mana kaumanis?" kata salah seorang menyeringailiar.
"Oh, jangan..., tolong. Kasihaniaku...," rintih wanita itu memelas.
"Hanya sebentar..., tidak lama."
"Tidak! Oh, tolooong...!" jerit wanita itu ketakutan.
"He he he...!" Empat orang itu berlompatanmenyergap wanita yang ketakutan setengahmati itu. Salah seorang langsungmeringkus tangannya ke belakang. Tigaorang lainnya dengan liar menggerayangitubuh wanita itu Jerit dan rintihan yangmemelas tidak dihiraukan lagi. Merekabagaikan binatang-binatang buas yangkelaparan mendapatkan segumpal dagingsegar.
"Akh!" wanita itu memekik kerasketika salah seorang merenggut bajunyadengan paksa.
"He he he...."Bola mata mereka semakin liar denganbibir menyeringai buas melihat sebentuk tubuh indah tanpa penutup lagi. Air matasemakin deras membasahi pipi wanita itu.
Dia merintih memohon belas kasihan. Kedua tangannya berusaha menutupi bagiantubuhnya yang terbuka lebar.
"Auh! Tidak...! Jangan...!" teriakwanita itu ketika orang yang membelenggutangannya mendorong ke depan.
Salah seorang menyongsong, langsungmemeluknya dengan erat. Wanita itumeronta-ronta sambil menjerit-jerit.
Tubuh mereka jatuh bergulingan ke tanah.
Tiga orang lainnya tertawa-tawa sepertimelihat pertunjukan yang menyenangkan.
Wanita itu semakin tidak berdayaketika yang lainnya ikut menggumuli.
Sia-sia saja dia meronta dan menjerit-jerit minta tolong sampai suaranya serak. Empat orang itu malahsemakin liar. Perih dan sakit seluruhtubuhnya direjam tangan-tangan kasar.
"Biadab! Binatang...!"Tiba-tiba terdengar bentakan kerasmenggelegar. Empat orang itu terkejut,dan ketika mereka menoleh, tahu-tahusebuah bayangan putih berkelebat cepatmenghajar mereka. Tak ampun lagi, tubuhmereka berpelantingan tanpa biasmelakukan gerakan apa-apa. Merekacepat-cepat bangkit.
Sret!Hampir bersamaanmereka mencabut golokyang terselip di pinggang. Kini di depanmereka sudah berdiriseorang pemuda tampanberkulit putih bersihmengenakan baju rompi putih dengan gagang pedang berkepalaburung di punggung. Tidak salah lagi,pemuda tampan itu adalah Rangga siPendekar Rajawali Sakti.
Rupanya Rangga telah ke luar daridasar jurang setelah beberapa lama diatinggal di istana Satria Naga Emas didasar jurang Hutan Ganda Mayit. Hanyasekilas Rangga melirik wanita yangtengah merapikan dirinya mengenakanpakaian kembali. Namun beberapa bagiantubuhnya masih kelihatan, karena pakaiannya sudah koyak dicabik-cabikempat orang itu.
"Siapa kau? Berani benar mencampuriurusan kami!" bentak salah seorang.
"Aku Pendekar Rajawali Sakti!"sahut Rangga dingin.
Seketika itu juga wajah mereka pucatpasi mendengar nama Pendekar RajawaliSakti disebut. Empat orang itu melangkahmundur beberapa tindak. Mereka salingberpandangan satu sama lainnya. NamaPendekar Rajawali Sakti sungguhmenggetarkan hati mereka. Betapa tidak?Nama Pendekar Rajawali Sakti sudahmelambung tinggi sebagai pendekar pilihtanding yang sulit dicari bandingannya.
"Enyahlah kalian, sebelum pikirankuberubah!" dengus Rangga.
Tanpa membuang-buang waktu lagi,keempat orang itu langsung berlarikencang meninggalkan tempat itu. Ranggaberbalik menghadap wanita yang kinisudah berdiri dengan wajah masih pucatketakutan. Kepalanya tertunduk, danbibimya bergetar seperti inginmengucapkan sesuatu.
"Sebaiknya kau cepat pulang," kataRangga.
"Terima kasih, Gusti...," lirihsekali suara wanita itu.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Rangga.
Wanita itu menggeleng lemah.
"Di mana rumahmu?" tanya Rangga lagi "Tidak jauh dari Hutan Ganda Mayitini, di Desa Watu Ampar," sahut wanitaitu.
"Hm...," Rangga bergumam pelan.
Kemudian dia berbalik dan melangkahpergi.
"Gusti...."Rangga menghentikan langkahnyatanpa menoleh sedikitpun. Wanita itubergegas menghampiri dan berdiri disamping Pendekar Rajawali Sakti itu.
"Bisakah Tuan mengantarkan sayapulang? Aku takut, mereka akan kembalilagi," wanita itu memohon.
Rangga tidak menjawab. Dia kembalimelanjutkan langkahnya. Desa Watu Ampar memang tidak jauh dari Hutan Ganda Mayitini, dan letaknya juga masih di KakiBukit Lawu. Melihat arah yang ditempuhRangga menuju ke Desa Watu Ampar, wanitaitu bergegas mengikutinya. Diamensejajarkan langkahnya di sampingRangga.

*
* *


Tidak lama Rangga singgah di rumahwanita yang ditolongnya. Orang tuawanita yang bernama Seruni itu sangatberterima kasih dengan pertolonganRangga, tapi di balik sinar matanya,Pendekar Rajawali Sakti itu bisamendapatkan sesuatu kejanggalan. Sinar mata itu tampak menyimpan kegelisahan dan perasaan takut yang amat sangatketika Seruni mengatakan empat orangyang hampir memperkosanya di bebaskanpergi.
Dalam perjalanan meninggalkan rumahSeruni, Rangga masih memikirkan sikapkedua orang tua gadis itu, juga sikapSeruni yang kelihatan aneh. Bahkansepanjang jalan desa ini, Rangga tidakmelihat adanya kecerahan pada wajah parapenduduknya.
"Hhh..., setiap kali masuk ke sebuahdesa, ada saja yang tidak enak dilihat,"desah Rangga.
Rangga masuk ke dalam sebuah kedaikecil yang pertama ditemuinya di Desa Watu Ampar ini. Dia hanya memesan seguciarak. Tadi di Hutan Ganda Mayit dia telahmakan banyak dari daging kelincipanggang, sekarang tinggal hausnya saja.
Lagi pula, sudah lama dia tidak lagimencicipi manisnya arak.
Baru saja Rangga menghabiskansecangkir arak, ketika beberapa orangdatang dengan suara ribut menggotongseorang laki-laki muda dengan tubuhpenuh luka. Laki-laki yang digotong itukelihatannya sudah mati, tapi dadanyayang bergerak menandakan dia masihhidup. Orang-orang yang membawanyameletakkan pemuda itu di bangku panjang.
Tampak pemilik kedai ini sibuk memeriksaluka di tubuh pemuda itu.
"Panggil Nek Ringgih, dia bisa matikalau tidak segera diobati!" katapemilik kedai ini.
"Tapi, Ki.... Tempat Nek Ringgihsangat jauh, harus masuk ke tengah HutanGanda Mayit," celetuk salah seorang.
"Kalau begitu, biar aku saja yang kesana! Huh, dasar pengecut!" denguslaki-laki tua pemilik kedai itu.
"Ayah...! Biar aku saja yang kesana," salah seorang lagi mencegahpemilik kedai itu.
"Cepatlah, Sarman. Pakai sajakudaku!" kata pemilik kedai yang bernamaKi Dandung itu.
Tanpa banyak bicara lagi, pemuda yang bemama Sarrnan itu langsung berlarike luar. Tampak sekali kalau dia memilikikepandaian ketika dengan manis melompatke punggung kuda coklat yang tertambat dibawah pohon. Kuda coklat itu langsungmelesat kencang begitu digebah.
Kedai yang semula hanya didatangiempat orang itu, kini jadi ramai.
Sepertinya hampir seluruh penduduk. DesaWatu Ampar tumpah ke kedai ini. Di sudutkedai, tampak Rangga tidak lepasmemperhatikan wajah-wajah yang memadatikedai ini, terutama wajah Ki Dandung yangsibuk membersihkan luka-luka di tubuhpemuda itu dengan air dingin yang bersih.
"Kasihan...," terdengar suaradesahan pelan di belakang Rangga. Pendekar Rajawali Sakti itumemiringkan kepalanya sedikit. Darisudut ekor matanya, dia melihat beberapawanita menyembulkan kepalanya dijendela.
"Benar-benar kejam dia," terdengarlagi sebuah gumaman.
"Mau jadi apa desa kita ini, ya...?"
"Neraka, barangkali."Celoteh-celotehan bergumam terusterdengar. Diam-diam Ranggamemperhatikan setiap celotehan yang keluar dari mulut para penduduk yngmemadati kedai Ki Dandung. Semakinbanyak yang didengar, semakin pusingrasanya kepala Rangga. Dia tidak tahu, apa yang sedang terjadi di Desa WatuAmpar ini? Dan siapa pula laki-laki mudayang terluka itu? Tapi melihat dariluka-lukanya, Rangga sudah dapatmemastikan kalau pemuda itu habisdianiaya. Luka-luka di tubuhnya, jelasdari goresan senjata tajam dan cambukan.
Memar pada wajah dan tubuhnya menandakanbekas pukulan"Kalian sebaiknya bubar! Janganmembuat perhatian mereka!" seru KiDandung seraya memandangi orang-orangyang memadati kedainya.
"Ayo..., ayo bubar! Bubar semua!"seru beberapa orang.
Para penduduk yang memadati kedaisegera angkat kaki, kembali ke rumahnya masing-masing. Sebentar saja tinggal empat orang yang membantu Ki Dandungmerawat luka-luka pemuda itu. Ranggasempat memperhatikan kalau tiga tamukedai juga angkat kaki bersama perginyapara penduduk Desa Watu Ampar ini. Merekarupanya mengambil kesempatan tidak bayardisaat pemilik kedai sedang lengah.
"Kenapa bisa sampai begini?" tanyaKi Dandung.
"Dia berusaha melawan ketika merekamau membawa adiknya," sahut salahseorang.
"Lalu, orang tuanya?"
"Tewas terbunuh."
"Terlalu!" desah Ki Dandungmenggeram.
"Mereka merrang sudah keterlaluan,Ki. Kita tidak bisa diam terus melihatkekejaman yang semakin merajalela disini," celetuk seorang lagi.
"Kalian mau memberontak?" Empat orang laki-laki yang masihmuda itu hanya diam dengan kepalatertunduk. Dari gagang golok yangtersembul di pinggang, menandakan kalauempat orang pemuda itu memilikikepandaian. Dan melihat dari cara bicaraserta sikap Ki Dandung, tampaknyalaki-laki itu bukan hanya sekedarpemilik kedai minuman, tapi juga punyapengaruh pada penduduk Desa Watu Ampar.
Sorot mata yang tajam dan suarategas berwibawa membuat Rangga menilai kalau Ki Dandung bukan orang sembarangan. Tentulah dia memilikisimpanan jurus-jurus silat yang tidakbisa dianggap enteng. Sekilas sajaRangga sudah melihat jari-jari bukutangan Ki Dandung. Sungguh sangatberbeda antara orang biasa dengan orangyang memiliki kepandaian silat.
"Sebaiknya kalian tetap menahandiri dulu. Belum waktunya untukmelakukan sesuatu," kata Ki Dandungsetelah lama terdiam.
"Baik, Ki," sahut keempat pemuda ituserentak. Hampir bersamaan merekaberbalik dan melangkah ke luar kedaisetelah Ki Dandung memerintahnya pergi.
Laki-laki tua itu kembali sibuk membereskan kedainya yang sedikitberantakan. Dia sempat melirik Ranggayang masih tetap duduk tenang di sudut.
Rangga pura-pura tidak memperharikansama sekali. Padahal dari sudut ekormatanya dia memperhatikan Ki Dandungyang juga sedang memperhatikan dirinyapula. Ada kilatan kecurigaan pada sorotmata Ki Dandung.
Rangga bangkit berdiri setelahmeneguk habis araknya. Dia meletakkanbeberapa keping uang di atas meja, lalumelangkah ke luar tanpa berkata sedikitpun. Tapi langkah Pendekar RajawaliSakti itu terhenti ketika Ki Dandungmemanggilnya.
"Tuan..." Rangga tidak menoleh sedikit pun.
"Harga satu guci arak tidakseberapa, terlalu banyak pembayarannya,Tuan," kata Ki Dandung.
"Tidak mengapa, Ki. Anggap saja itusebagai pengganti gucimu yang retak,"kata Rangga kembali melangkah pergi.
Ki Dandung tidak mencegah lagi. Diabergegas menghampiri meja dimana Ranggatadi menempatinya. Beberapa kali matanyamemandang ke arah guci dan Ranggabergantian. Guci arak itu memang retak,bahkan bisa dikatakan sudah pecah. Tapimasih tetap utuh seperti semula. KiDandung menyentuh guci arak itu, dan guciitu langsung berantakan di meja.
"Hhh..., siapa dia...?" desah Ki Dandung bergumam sendiri.
Ki Dandung kembali mengarahkan pandangannya ke jalan. Tampak Ranggamasih terlihat punggungnya yang semakinjauh melangkah pergi ke arah Utara. KiDandung mengambil lima keping uangperunggu yang ditinggalkan Rangga. Limakeping uang perunggu bisa membelisepuluh guci arak manis, tapi ini hanyauntuk mcmbayar satu guci arak saja.
"Tingkat kepandaiannya tentu sangattinggi sekali, bisa mcmecahkan gucitanpa harus terlihat pecah. Ah, siapadia, ya...?" lagi-lagi Ki Dandungbergumam.

*
* *


Rangga memang sengaja memecahkan guci arak dengan menggunakan ilmu 'JariMalaikat’ yang dipelajarinya dari SatriaNaga Emas. Remasan jari-jari tangannyaseperti tidak memiliki tenaga, dan tidakakan tampak kehebatannya. Jika saja itudilakukan pada tubuh seseorang,tulang-tulangnya bisa remuk, atau orangitu bisa lumpuh seketika.
Ilmu 'Jari Malaikaf memang sangatkejam. Dan Rangga memutuskan untuk tidakmenggunakannya kalau tidak perlu sekali.
Rangga duduk mencangkung di atas batumemandang ke arah Desa Watu Ampar. Diaberharap Ki Dandung akan mencarinya setelah dia memperlihatkan kehebatanilmunya. Lama juga Rangga menunggu, tapilaki-laki tua pemilik kedai itu tidakjuga muncul.
"Kau menungguku, Kisanak?"
"Heh!" Rangga tersentak kagetketika mendengar suara dari belakang.
Bibirnya langsung tersenyum ketikadia melihat Ki Dandung sudah berdiri dibelakangnya. Rangga sudah menduga kalaulaki-laki tua pemilik kedai itu memilikikepandaian yang tidak rendah. Ki Dandungbisa berada di belakangnya tanpa bisadiketahui sama sekali kedatangannya. Inimembuktikan betapa tingginya ilmumeringankan tubuh yang dimilikinya.
"Maaf, aku mengundangmu dengan carayang tidak lazim," kata Rangga serayamenjura memberi hormat.
"Apa yang kau inginkan dariku?"tanya Ki Dandung langsung.
"Entahlah," desah Rangga.
Ki Dandung mengernyitkan keningnya.
Rangga sendiri tidak tahu, kenapa diamelakukan itu. Mengundang laki-laki tuaini dengan cara memecahkan gucinya. Caraseperti itu memang sudah seringdigunakan oleh orang-orang kalanganrimba persilatan. Dan Ki Dandungmengerti maksudnya. Tapi dia jadi heranjuga mendengar jawaban Rangga yangdirasakan aneh.
"Aku tahu, kau bukan dari Desa WatuAmpar. Aku juga tahu kau seorang pemudayang memiliki tingkat kepandaian tinggi.
Apa maksudmu mengundangku dengan carabegitu?" kata Ki Dandung.
"Mungkin aku ingin mengujipenilaian mataku," sahut Rangga asaljadi saja.
"Bukan karena peristiwa tadi?"
"Mungkin juga."
"Hm, rupanya kau tertarik denganpersoalan di Desa Watu Ampar juga.
Kisanak, sebaiknya kauurungkan sajaniatmu...," kata Ki Dandung langsungbisa menangkap maksud Rangga yangsebenarnya.
"Kenapa?" tanya Rangga keheranan.
"Lupakan saja," sahut Ki Dandung.
"Kalau kau hanya sekedar lewat,sebaiknya lanjutkan saja perjalananmu."
"Tunggu!" cegah Rangga ketikamelihat Ki Dandung hendak pergi.
"Tidak ada yang menarik di desaini," kata Ki Dandung"Peristiwa di kedaimu tadi sangatmenarik hatiku," Rangga mengakui.
"Buang jauh-jauh rasa tertarikmu,Kisanak. Kau akan mengorbankan dirimusendiri. Mereka bukan orang-orangsembarangan yang dapat dijadikanpercobaan menguji ilmu. Maaf, bukannyaaku hendak merendahkan atau meremehkankemampuanmu," kata Ki Dandung.
"Baiklah," Rangga menyerah.
"Tapi,ada apa sebenarnya di Desa Watu Amparini?"
"Hanya persoalan biasa dariorang-orang yang haus kedudukan dankekuasaan. Desa Watu Ampar hanya sebuahajang, dan nanti juga akan hilangsendiri," sahut Ki Dandung masihmerahasiakan.
Rangga mengangkat bahunya.
"Aku harus segera kembali, mungkinNek Ringgih sudah datang," kata KiDandung minta diri.
"Siapa Nek Ringgih?" tanya Rangga.
"Seorang tabib yang sangat ahli,"sahut Ki Dandung.
Laki-laki pemilik kedai itu segera melangkah menuju ke Desa Watu Ampar. Rangga tidak mencegah lagi. Dia hanyamemandangi saja kepergian laki-laki tuaitu. Rasa ingin tahunya mengenai DesaWatu Ampar yang penuh rahasia itumembuatnya jadi berpikir. Dia kembaliduduk di batu tidak jauh dari perbatasandesa.
"Apa sebenarnya yang terjadi...?"

*
* *


Ki Dandung menyambut kedatangan NekRinggih yang ditemani cucunya yangramah. Perempuan tua ahli pengobatan itusegera memeriksa tubuh pemuda yang penuhluka, terbaring di bangku panjang. Kepalanya menggeleng-geleng beberapakali, dan bibirnya berdecak-decakseperti seekor cicak.
"Kajar, siapkan ramuan luka luar,"kata Nek Ringgih dengan suaranya yangagak kering.
"Baik, Nek," sahut Kajar segeramembuka bungkusan kain lusuh yangdisandangnya di pundak.
Anak laki-laki kecil itu segeramenyiapkan ramuan yang diinginkan NekRinggih. Cekatan sekali dia bekerja,ketrampilannya meramu obat-obatanseperti seorang tabib ahli saja, padahalusianya baru sebelas tahun.
Nenek dan cucu itu bekerja mengobatilaki-laki muda dan tampan itu tanpa banyak bicara. Sementara Ki Dandung memperhatikan dari sudut kedainya yangditutup. Di samping Ki Dandung berdirianak tunggalnya yang menjemput NekRinggih tadi.
"Kenapa dia bisa terluka begiturupa?" tanya Nek Ringgih setelah selesaimengobati luka-luka di tubuh pemuda itu.
"Dikeroyok," sahut Sarman sebelumayahnya mendahului.
Nek Ringgih tidak bertanya lagi. Diasudah tahu dengan jawaban Sarman yanglangsung dan tegas. Perempuan tua ahlipengobatan itu melirik Kajar yang tengahmembalut luka-luka di tubuh pemuda itu.
"Seharusnya kau bisa bertindak,Dandung. Kau kan bekas kepala desa. Apa kau tidak iba melihat penderitaanpenduduk di sekitarmu?" Nek Ringgihmenatap tajam pada Ki Dandung.
"Aku bukan siapa-siapa lagi, NyiRinggih. Aku tidak bisa berbuatapa-apa?" ada nada putus asa di dalamsuara Ki Dandung.
"Seluruh penduduk Desa Watu Amparberada di belakangmu, Dandung. Merekapasti tidak akan berpangku tangan sajakalau kau menggerakkannya!"
"Dengan mengorbankan banyak nyawa?Tidak, Nyi."
"Huh! Dengan berdiam diri begitusaja juga sudah banyak nyawa yang hilang.
Aku yakin, tidak berapa lama lagi,seluruh penduduk Desa Watu Ampar akan habis ludes!" dengus Nek Ringgih kesal.
"Hhh...," Ki Dandung mendesahpanjang dan berat"Kalau saja Nyi Sirah masihhidup...," gumam Nek Ringgih pelan.
"Jangan bawa-bawa istriku, Nyi!"sentak Ki Dandung.
"Aku tidak mengerti, kenapa kau jaditerbalik jauh, Dandung. Di manakeperkasaanmu? Ke mana kegagahanmu? Namabesarmu, Dandung? Kau seperti singaompong yang tinggal menunggu ajal saja!Aku tidak percaya kalau semangatmu matihanya karena kematian istrimu!" NekRinggih membakar api semangat Ki Dandungkembali.
"Sudah, Nyi! Aku tidak mau dengar khotbahmu lagi. Aku memanggilmu ke sinihanya untuk mengobati Gantar, bukanuntuk mendengar celotehmu!" sentak KiDandung kesal.
"Baik..., baik, kalau itu maumu,Dandung. Aku tidak akan mau lagi pedulidengan nasib sekian puluh penduduk DesaWatu Ampar. Tapi ingat, Dandung. Kau akanmenyesal di hari senjamu kalau terusbersikap begitu. Ingat kematianistrimu!"Nek Ringgih langsung menarik tanganKajar, dan membawanya pergi. Ki Dandungmenarik napas panjang dan berat. Dadanyaseolah mau meledak mendengar kata-kataNek Ringgih. Sementara Sarman hanyamenatap kepergian perempuan tua ahli pengobatan itu. Dia tidak mengerti dengan apa yang dibicarakan barusan.
Pandangannya beralih pada ayahnya yanghanya duduk lesu tanpa gairah. Wajah KiDandung sebentar pucat, sebentarkemudian memerah saga.
Memang, sejak kematian istrinya, KiDandung jadi patah semangat. Diameletakkan jabatannya sebagai kepaladesa. Saat itu Sarman baru berusiasekitar tiga belas tahun. Sarman tidaktahu, kenapa ibunya meninggal mendadak,dan dia juga tidak melihat mayat ibunya.
Sarman hanya tahu ibunya sudahterbungkus kain putih dan dikuburkan.
Ayahnya tidak pernah mengatakan tentangkematiannya. Sarman merasakan ada sesuatu yang disembunyikan ayahnyatentang kematian ibunya.
"Ayah...," pelan suara Sarman.
"Jangan tanya aku, sebaiknya kaubawa pulang temanmu itu," kata Ki Dandungseraya bangkit berdiri.
Sarman langsung bungkam. Dia tidakmencegah ayahnya yang melangkah masuk kekamarnya di bagian belakang kedai ini.
Setelah menghembuskan napas panjang,Sarman segera menghampiri Gantar yangmasih belum sadarkan diri juga. Hampirseluruh iubuh Gantar terbalut Sarmanmemondong tubuh temannya itu, lalumembawanya ke luar. Seorang anak mudasegera menghampiri begitu melihat Sarmanmembawa Gantar ke luar. Dengan kereta kuda, Sarman dantemannya membawa Gantar kembali pulang.
Anak bekas kepala desa itu tidak sedikitpun berkata-kata. Pikirannya masihkalut, mencoba untuk mereka-rekakata-kata yang tadi didengarnya. Jugadengan sikap ayahnya yang seperti tidakpunya gairah hidup lagi. Sejak kematianistrinya, dan meletakkan jabatan sebagaikepala desa, Ki Dandung seperti hendakmelupakan semua masa lalunya. Diamenyibukkan diri mengurus kedainya yangkecil. Sejak itulah keadaan Desa WatuAmpar jadi berubah. Tidak ada lagiketentraman, penduduk pun selalu diliputi kegelisahan. Kepaladesapengganti Ki Dandung tidak bisa bersikaptegas, sepertinya dia juga tidak pedulidengan keadaan desanya.
"Hhh...," Sarman menarik napaspanjang dan berat.

*
* *



:::↨֍↨: ( 4 ) :↨֎↨:::

Nek Ringgih melangkah cepat dengan mulut terkunci rapat. Kajar mengikutinyasetengah berlari. Meskipun perempuan tuaitu sudah tua, dan berjalan harus dibantutongkat, tapi langkahnya ringan dan cepat seperti tidak menapak pada tanah.
Kajar yang mengikuti terengah-engah mengimbangi langkah perempuan tua itu.
Tapi tidak satu patah kata pun ke luardari mulutnya.
Tiba-tiba langkah perempuan tua ituterhenti. Dia menarik tangan Kajar kebelakang. Telinganya yang tajam dapatmendengar suara ranting patah terinjak.
Kepalanya sedikit dimiringkan.
Tangannya menggenggam tongkaterat-erat.
"Cepat pulang, beritahu PandanWangi," kata Nek Ringgih berbisik pelan.
"Ada apa, Nek?" tanya Kajar tidakmengerti.
"Jangan banyak tanya! Cepat,sebelum mereka datang!" Kajar yang tidak mengerti apa-apa,langsung saja berlari kencang menembusHutan Ganda Mayit yang lebat. Bersamaandengan lenyapnya tubuh kecil itu ditelankerimbunan hutan, muncul empat oranglaki-laki. Dua di antaranya sudah tua,dan dua lagi masih muda-muda dan tampan.
Namun sinar mata mereka menunjukkankekejaman.
"Ki Japalu, mau apa kau mencegatku?"tanya Nek Ringgih ketus.
"Kau memang tidak bisa dikasih enak,nenek peyot!" dengus laki-laki tuaberbaju kuning gading. Laki-laki tuayang menyandang pedang itulah bernama KiJapalu.
Nek Ringgih sudah bisa meraba gelagat kurang baik. Dia memandangi Ki Sampar Bayu yang berdiri di samping KiJapalu. Sedangkan dua orang pemuda,berada di belakang dua laki-laki tua itu.
Mereka adalah Segara dan Pantula. Keduapemuda itu anak dari Ki Japalu. NekRinggih menyadari kalau empat orang ituadalah orang-orang yang memiliki tingkatkepandaian tidak rendah.
"Aku dipanggil untuk menolong salahseorang penduduk Desa Watu Ampar. Apakahaku harus me-nolak? Sedangkanpekerjaanku memang harus menolong orangsakit!" kata Nek Ringgih tetap ketus.
"Kau boleh saja menolong orangsakit, Nek Ringgih. Tapi janganorang-orang dari Desa Watu Ampar! Aku sudah memperingatkanmu beberapa kali,tapi kau masih juga bandel!" dengus KiJapalu.
"Selama hidupku menjadi tabib, barukali ini dilarang mengobati orang...,"gumam Nek Ringgih mencibir.
"Sebaiknya perempuan tua itu jangandikasih hati, Kakang Japalu. Dia bisamembahayakan kita semua nantinya!" bisikKi Sampar Bayu pelan dekat telingakakaknya.
Nek Ringgih yang mendengarkata-kata bisikan itu, langsung waspada.
Lebih-lebih melihat Segara dan Pantulabergerak ke arah kiri dan kanannya.
Tangan mereka sudah memegang kepalagagang pedang yang masih tergantung di pinggang.
"Aku beri kesempatan padamu sekalilagi untuk hidup, Nek Ringgih," kata KiJapalu.
"Hidup dan matiku bukan ditanganmu!" sahut Nek Ringgih tetapketus.
"Kau memang tidak bisa dikasihuntung, perempuan peyot!" bentak Segarageram.
"Heh! Manis sekali mulutmu bocah,apa ayahmu tidak pernah mengajarkansantun pada orang tua?" sinis suara NekRinggih.
"Setan! Kubunuh kau!" geram Segarakalap.
"Segara!" bentak Ki Japalu. Tapi terlambat, Segara yang cepatmarah sudah menerjang Nek Ringgih serayamencabut pedangnya. Perempuan tua ahlipengobatan itu hanya memiringkan sedikittubuhnya ke kanan. Kibasan pedang Segarahanya lewat beberapa helai rambut di bahuNek Ringgih. Bahkan tanpa diduga samasekali, kaki Nek Ringgih melayang cepatmenghantam perut pemuda itu.
"Hugh!" Segara mengeluh pendekseraya membungkukkan badannya. Belumlagi Segara dapat menghilangkan rasamual di perutnya, satu sampokan tangankiri Nek Ringgih membuat pemuda ituterjungkal ke belakang. Merah padam mukaSegara dipermalukan di depan ayahnya.
Dia menggeram keras, dan langsung menyerang kembali dengan ganas.
"Segara, hentikan! Dia bukanlawanmu!" seru Ki Sampar Bayu kerasmenggelegar.
Tapi Segara sudah menulikantelinganya. Dia tidak dapat lagimengukur tingginya langit dan dalamnyalautan. Darah mudanya menggelegak panasmendengar kata-kata Nek Ringgih yanghalus namun bernada menghina ayahnya.
Segara menghujani perempuan tua itudengan sabetan-sabetan pedangnya yangcepat dan dahsyat Namun seperti yangdikatakan Ki Sampar Bayu, Nek Ringgihmemang bukan tandingan pemuda itu.
Beberapa kali serangan Segara dapatdipatahkan dengan mudah. Bahkan tidak jarang pemuda itu harus jatuh bangunterkena hantaman tongkat Nek Ringgih.
Dalam sebentar saja, darah sudahmengucur dari sudut bibir pemuda itu.
Wajah dan tubuhnya sudah biru lebam, danbajunya kotor oleh tanah merah.
"Hhh, dia bisa mati di tanganperempuan tua itu," desah Ki Japalumemperhatikan anaknya semakin kewalahanmenghadapi Nek Ringgih.
"Hiyaaat...!"Tiba-tiba saja Ki Sampar Bayumelenting deras menerjang Nek Ringgih.
Pada saat itu, ujung tongkat Nek Ringgihsudah mengarah ke dada Segara.
Plak!Telapak tangan Ki Sampar Bayu memapag tongkat Nek Ringgih. Perempuan tua itu melompat ke belakang beberapatindak. Dia mendengus jengkel melihatkecurangan Ki Sampar Bayu. SedangkanSegara segera mundur dan ditolongadiknya. Ki Japalu memeriksa keadaantubuh anaknya. Segara membaringkantubuhnya di bawah pohon. Napasnyatersengal-sengal memburu, seluruhtubuhnya terasa sakit seakan seluruhtulang-tulangnya remuk.
Sementara itu Ki Sampar Bayu berdiritegak dengan sikap menantang. NekRinggih hanya memandangi saja dengansikap tenang. Namun sinar matanyamemancarkan kebencian yang amat sangat.
Ketenangan Nek Ringgih juga diimbangi dengan sikap waspada. Dia tahu siapa KiSampar Bayu. Seorang tokoh tua yangsangat tinggi tingkat kepandaiannya.
Tidak mudah untuk menandingikesaktiannya.
"Kau tidak apa-apa, Segara?" tanyaKi Japalu khawatir melihat keadaananaknya.
"Dadaku, Ayah...," rintih Segara.
Dua kali Segara terbatuk, darahsegar muncrat ke luar dari mulutnya. KiJapalu terbeliak melihat ada gumpalanhitam di dalam darah itu. Dia segeramerobek baju di bagian dada anaknya.
Tampak gambar lima jari tangan hitamtertera di dada Segara.
"Aji 'Cakar Beracun'...," desis Ki Japalu. Laki-laki tua itu menggeram hebat.
Matanya langsung merah membara nyalang.
Rupanya Nek Ringgih mengeluarkan aji'Cakar Beracun' ketika menghadapiSegara. Ajian yang sangat dahsyat. Orangyang terkena ajian itu akan matiperlahan-lahan dengan tubuh hangus bagaiarang. Dan bagian dada Segara juga mulaimenghitam. Warna hitam itu terus merayapperlahan-lahan ke seluruh tubuhnya.
"Keparat...!" geram Ki Japalu.
Laki-laki tua itu langsung melompatdengan amarah memuncak. Tanpa banyakbicara lagi, dia segera menyerang NekRinggih dengan jurus-jurus andalannya.
Bahkan Ki Japalu langsung mengerahkan aji 'Pukulan Karang Hitam'. Suatu ilmupamungkas yang jarang digunakan KiJapalu. Seluruh jari-jari tangan danpergelangannya jadi berwarna hitampekat. Batu-batu dan pepohonan yangterkena pukulannya langsung hancur jadidebu.
Nek Ringgih yang sudah kerepotanmenghadapi Ki Japalu, semakin dibuatkewalahan dengan ikut campurnya KiSampar Bayu dan Pantula. Perempuan tuaitu semakin terdesak dikeroyok tiga.
Beberapa kali pukulan dan tendangan KiSampar Bayu dan Pantula mendarat ditubuhnya. Sedangkan Nek Ringgih tetapmenghindari bentrokan langsung dengan KiJapalu. Dia tahu kedahsyatan aji 'Pukulan Karang Hitam' itu. Tidak mungkin dia menandinginya dengan aji'Cakar Beracun'.
"Mampus kau, perempuan peyot!Hiyaaa...!" teriak Ki Japalumenggelegar.
Seketika itu juga dia mendorongkedua tangannya ke depan. Dan pada saaatitu pula kaki Pantula berhasil menggebukpunggung Nek Ringgih. Tak dapatdihindarkan lagi, kedua tangan hitam KiJapalu mendarat telak di dada NekRinggih.
"Aaakh...!" Nek Ringgih menjeritmelengking.
Darah hitam kental menyembur darimulutnya. Seluruh dadanya melesak masuk ke dalam. Nek Ringgih masih mencoba untukkabur. Tapi Ki Sampar Bayu lebih cepatlagi melepaskan jarum-jarum beracunnya.
Kembali Nek Ringgih memekik nyaringketika jarum-jarum beracun menembustubuhnya.
Bruk!Tubuh perempuan tua ahli pengobatanitu ambruk ke tanah. Diamenggeliat-geliat sambil meraung-raungkesakitan. Seluruh punggungnya bolongoleh jarum-jarum beracun, dan dadanyamelesak dalam dengan tulang-tulangremuk.
"Kau harus mampus, perempuan tua.
Hih...!"Ki Japalu merampas pedang Pantula, dan mencincang tubuh Nek Ringgih. Ki Japalu bagai kesetanan, amarahnya takdapat lagi terkendalikan. Hancur sudahtubuh Nek Ringgih dicincang bagaidendeng sapi.
"Kakang...!" Ki Sampar Bayu menahanayunan pedang di tangan Ki Japalu.
"Dia telah membunuh anakku! Biarkucincang dia!" geram Ki Japalumemberontak.
"Dia sudah mati, Kakang!" seru KiSampar Bayu seraya merampas pedang KiJapalu.
Pantula menerima pedangnya daritangan Ki Sampar Bayu, dan memasukkankembali ke sarungnya. Pantula segeramenghampiri mayat kakaknya yang sudah hangus seluruh tubuhnya. Segara tewasdengan tubuh hitam terkena ajian 'CakarBeracun'. Pantula memandangi tubuhkakaknya yang perlahan-lahan terkikisjadi tepung hitam.
"Kakang...," suara Pantula tersekatdi tenggorokan.
Pantula menoleh ketika pundaknyaditepuk. Ki Sampar Bayu dan Ki Japulasudah berdiri di belakangnya.
"Ayo kita pergi," ajak Ki SamparBayu.
"Tapi, Kakang..., Paman."
"Debu-debu jasad Segara akan hilangtersapu angin," kata Ki Sampar Bayu.
Pantula berat sekali meninggalkanHutan Ganda Mayit ini. Sebentar dia menoleh ke arah Segara yang sudah menjadi debu. Sedikit demi sedikit tubuh tepungitu mulai tersapu angin. Dengan perasaanberat, pemuda itu melangkah mengikutikedua laki-laki tua yang sudah berjalanlebih dulu.

*
* *


"Nek...!" jerit Kajar langsungberlutut di samping mayat Nek Ringgihyang hancur tercincang.
Pandan Wangi memandangi sepertitidak percaya dengan penglihatannyasendiri. Sungguh tragis kematianperempuan tua itu. Mati dengan tubuhhabis tercincang. Hanya bagian kepalanya saja yang masih utuh, sedangkan seluruhtubuhnya sudah tidak berbentuk lagi.
Kajar menangis sesenggukan meratapikemarian neneknya. Sementara PandanWangi hanya bisa diam dengan matamemandang tidak berkedip. Kajarmengangkat kepalanya dan menoleh menatapPandan Wangi yang berdiri di sampingnya.
Anak laki-laki berusia sebelas tahun ituberdiri dengan mata tetap memandangPandan Wangi.
"Siapa yang melakukan ini?" tanyaPandan Wangi.
"Ki Japalu...," sahut Kajartersedak.
"Siapa dia?" tanya Pandan Wangi.
"Kepala Desa Watu Ampar." "Hm...," Pandan Wangi menggumampelan.
Tadi Nek Ringgih ke Desa Watu Amparbersama Kajar. Mereka dijemput seseorangyang mengaku pemuda dari desa itu. Dankelihatannya Nek Ringgih kenal denganpemuda itu. Tapi sekarang, perempuan tuaitu mati tercincang oleh Kepala Desa WatuAmpar. Ada apa di balik semua peristiwaini? Apakah panggilan pemuda itu hanyajebakan saja?Pandan Wangi ingin menanyakan halitu pada Kajar, tapi melihat anak itumurung dalam kesedihan, niatnyadiurungkan. Pandan Wangi melepaskanselendangnya. Dia kemudian mengumpulkan tubuh Nek Ringgih yang tercincang bagaidendeng. Tubuh hancur itu dibungkusdengan selendang biru. Sedangkan Kajarhanya memandangi saja dengan mata sayu.
"Ayo, kita kembali ke pondok," ajakPandan Wangi.
Kajar melangkah tanpa mengeluarkansedikit suara pun. Pandan Wangi jadikasihan juga melihat anak itu lesu takbergairah lagi. Hilang semuakeceriaannya. Kajar melangkah pelan-pelan dengan kepala tertunduk.
"Kalau saja aku langsung pulang,mungkin Nenek tidak sampai terbunuh,"gumam Kajar mendesah pelan.
Pandan Wangi memandangi anak ituyang melangkah pelan di sampingnya. Banyak yang ingin dia tanyakan, tapi semuanya hanya dipendam saja di dalamhati.
"Aku sempat mengintip. Merekamemang kejam. Nenek dikeroyok tigaorang, tapi Nenek berhasil menewaskansatu orang," kata Kajar memberitahutanpa diminta.
"Jadi, mereka tinggal dua oranglagi?" tanya Pandan Wangi.
"Tiga."Pandan Wangi mengerutkan keningnya.
"Semuanya ada empat. Ki Japaludengan dua anaknya, Segara dan Pantulaserta Ki Sampar Bayu."
"Siapa Ki Sampar Bayu?"
"Adik Ki Japula. Dia sangat kejam, dia juga yang menguasai Desa Watu Amparmeskipun bukan kepala desa. Banyak sudahnyawa yang hilang. Nenek seringmenceritakan hal itu padaku," ceritaKajar.
"Lalu, kenapa mereka membunuh NekRinggih?"
"Mereka menginginkan agar NekRinggih tidak mengobati penduduk DesaWatu Ampar. Antara mereka dan Nenekmemang sudah lama saling bermusuhan.
Tapi Nenek tidak peduli, tetap sajamenolong para penduduk yang membutuhkanpengobatan darinya. Mungkin mereka marahdan membunuh Nenek," kata Kajar semakinlirih suaranya.
"Aneh...," gumam Pandan Wangi.
"Kalau Kak Pandan mau tahu semuanya,temui saja Ki Dandung. Dia sahabat lamaNek Ringgih, pasti Ki Dandung mengetahuisebab-sebab kenapa mereka salingbermusuhan," kata Kajar.
"Ki Dandung penduduk Desa Watu Amparjuga?"
"Bekas kepala desa itu. Sekarang KiDandung membuka kedai kecil di depanrumahnya."
"Hm, baiklah. Nanti aku akan menemuiKi Dandung. Sekarang sebaiknya kitasegera menguburkan jenazah Nek Ringgih,"kata Pandan Wangi.
Kajar tidak menjawab. Dia membisusaja sambil terus melangkah menguak kelebatan Hutan Ganda Mayit. SementaraPandan Wangi terus berpikir mencernasetiap kata yang diucapkan Kajar. Diabelum sempat membalas budi baik NekRinggih. Sekarang perempuan tua itutewas dibunuh. Haruskah dia diam saja,membiarkan pembunuhnya bebas? Tidak!Pandan Wangi sudah bertekad untukmembalas kematian perempuan tua ahlipengobatan itu.
"Ki Japalu...," gumam Pandan Wangimendesah.

*
* *


Malam semakin bertambah larut.
Seekor kuda hitam berpacu cepat bagai angin membelah rimba belantara Hutan Ganda Mayit. Penunggang kuda itu seorangwanita cantik mengenakan baju birudengan pedang tersampir di punggung.
Pada pinggangnya terselip sebuah kipasbaja putih. Jelas kalau penunggang kudahitam itu adalah Pandan Wangi si KipasMaut.
"Hiya! Hiyaaa...!"Pandan Wangi menggebah kuda hitamitu semakin kencang. Dalam waktu tidakberapa lama, kuda hitam itu sudahmelewati batas Hutan Ganda Mayit denganDesa Watu Ampar. Pandan Wangi terusmemacu kudanya dengan cepat memasukijalan utama desa itu. Beberapa kepalabersembulan ke luar dari jendela.
"Hooop...!"Pandan Wangi langsung melompat turun begitu sampai di depan kedai KiDandung. Sebentar dia memandangi kedaiyang sudah tutup itu. Pandangannya jugaberedar berkeliling. Beberapa jendelarumah langsung ditutup oleh pemiliknya.
Tapi Pandan Wangi tahu kalau parapenduduk desa itu mengintip dari balikjendela.
Dengan langkah tegap, Pandan Wangimendekati kedai itu. Matanya tajammenatap pintu kedai yang tertutup rapatDia berhenti di depan pintu kedai itu.
Tiga kali dia mengetuk pintu. Setelahmenunggu beberapa saat, pintu kedai ituterbuka. Ki Dandung melangkah ke luar.
"Maaf, kedaiku sudah tutup," kata KiDandung ramah.
"Aku bukan mau makan, Ki. Aku datangkhusus untuk bertemu denganmu," kataPandan Wangi juga ramah.
Ki Dadung menatap Pandan Wangidengan segudang tanda tanya dikepalanya. Baru kali ini dia melihatgadis itu. Ada urusan apa dia datangmalam-malam begini? Siapa gadis ini?"Rasanya kita belum pernah bertemusebelumnya," kata Ki Dandung.
"Benar, Ki. Namaku Pandan Wangi.
Boleh aku masuk?" Pandan Wangimemperkenalkan diri.
"Oh, silakan." Pandan Wangi melangkah masuk kedalam kedai itu. Ki Dandung barumelangkah masuk setelah Pandan Wangiberada di dalam. Sengaja dia tidakmenutup pintu kedainya agar tidakmenyolok dipandang umum. Ki Dandungmempersilakan Pandan Wangi duduk,kemudian dia mengambil seguci arak danmenyediakannya untuk gadis itu.
"Silakan diminum," Ki Dandungmempersilakan.
"Terima kasih."Pandan Wangi menuangkan arak kedalam gelasnya, kemudian meminumnyasedikit. Minuman itu menghangatkantubuhnya. Dia tahu kalau Ki Dandungmenyediakan arak wangi yang mahal harganya. Arak pilihan dari Desa WatuAmpar memang sangat terkenal.
"Ada perlu apa kau mencariku?" tanyaKi Dandung membuka suara kembali.
"Masalah, Nek Ringgih," sahutPandan Wangi langsung.
"Nek Ringgih...?!" Ki Dandungmengerutkan keningnya.
"Nek Ringgih tewas siang tadi...."
"Apa...?!" bagai disambar petir, KiDandung terlonjak kaget mendengarnya.
Mata tua laki-laki pemilik kedai ituberputar-putar setengah tidak percayamendengar berita kemarian Nek Ringgih.
Dia kembali duduk di depan Pandan Wangi.
Matanya tajam menatap lurus ke bola mata gadis itu.
"Siang tadi dia baru mengobati salah seorang penduduk di sini. Apa aku bisapercaya dengan beritamu?" kata KiDandung ragu-ragu.
"Makamnya ada di depan pondoknya.
Dia tewas dibunuh oleh Ki Japalu," kataPandan Wangi lagi.
"Bedebah! Benar-benar binatang siJapalu!" geram Ki Dandung mendengarnya.
"Lalu, kenapa kau menemuiku?"
"Kajar yang menyuruhku ke sini.
Katanya kau bias memberiku banyakketerangan mengenai Ki Japalu. Terusterang, aku sendiri tidak mengerti,kenapa Ki Japalu membunuh wanita tua baikhati itu," Pandan Wangi berkata terus terang.
"Kau tahu siapa Ki Japalu?" tanya KiDandung.
"Hanya sedikit," Pandan Wangimengakui.
"Dia Kepala Desa Watu Amparini. Kepemimpinannya dikendalikan olehadiknya yang bernama Ki Sampar Bayu.
Hanya itu yang aku ketahui."
"Lalu, apa yang akan kau lakukansetelah tahu kenapa Ki Japalu membunuhNek Ringgih?"
"Membalaskan kematiannya. Inipermintaan Kajar sendiri," sahut PandanWangi tegas.
Ki Dandung menggeleng-gelengkankepalanya beberapa kali. Dia tahu,kenapa Ki Japalu membunuh Nek Ringgih. Dia juga menyesal karena kematian perempuantua itukarena diajuga.
Kalau saja dia tidak menyuruhanaknya memanggil NekRinggih untukmengobati luka-lukaGantar, mungkin hal itu tidak akan pernahterjadi.
"Sebaiknya kau tidak perluikut campur dalampersoalan ini.
Mereka bukanlahorang-orangsembarangan. Jangansia-siakan nyawa yang hanya satu terbuang percuma," kata KiDandung berusaha mencegah niat PandanWangi.
"Kenapa?"Pandan Wangi semakin penasaran. KiDandung tidakmenjawab. Dia bangkit berdiri dan melangkah ke luar. Pandan Wangijuga ikut berdiridan melangkah keluar kedai ini. Beberapakepala tampak menyembul dari rumahnya masing-masing. Sepertinya mereka ingintahu kedatangan Pandan Wangi tengahmalam begini ke rumah bekas kepala desaitu.
"Bawa Kajar ke sini, biar aku yangmengurusnya," kata Ki Dandung tanpamenoleh pada Pandan Wangi.
"Kau belum menjawab pertanyaanku,Ki," desak Pandan Wangi.
"Aku akan jelaskan semuanya kalaukau mau membawa Kajar ke sini," tegasjawaban Ki Dandung.
"Baiklah, aku penuhi permintaanmu.
Tapi kau harus menjelaskan semuanyasetelah Kajar kubawa ke sini."Ki Dandung tidak menjawab. Dia berbalik dan kembali masuk ke dalamkedainya. Pintu kedai dibiarkan terbukalebar. Sebentar Pandan Wangi memandangike dalam kedai itu. Tampak Ki Dandungduduk menghadap ke pintu yang terbukalebar.
"Hup!"Pandan Wangi melompat naik kepunggung kuda hitam itu. Bagaikan anakpanah lepas dari busurnya, kuda hitam itulangsung melesat pergi begitu digebahpenunggangnya. Dalam waktu singkat sajaPandan Wangi sudah menghilang bersamakudanya ditelan ke-gelapan malam.

*
* *



:::↨֍↨: ( 5 ) :↨֎↨:::

Malam ini langit kelihatan mendung. Angin bertiup kencang menaburkan udaradingin menggigit kulit. Titik-titik airmulai berjatuhan menimpa bumi. Sudahdapat dipastikan kalau hujan akan segeraturun membasahi bumi yang keringkerontang setelah beberapa lama dilandakekeringan.
Di malam yang pekat ini, tampak tigasosok tubuh mengenakan baju serba hitamberkelebatan mendekati pondok kecil ditengah Hutan Ganda Mayit. Hanya sebuahpelita kecil yang menerangi pondok itu.
Tampak di ambang pintu yang terbuka, duduk seorang bocah laki-laki berusiasebelas tahunan. Matanya yang bulatberair, menatap kosong ke arah gundukantanah di bawah pohon kamboja.
"Nek...," rintihnya lirih terbawaangin malam.
Bocah laki-laki yang tidak lainadalah Kajar itu tidak tahu kalau adatiga sosok tubuh menghampirinya dariarah samping kanan dan kirinya. Bibirnyayang mungil kecil terus menerusmendesahkan suara-suara rintihan lirihmengenang Nek Ringgih yang tewasmenyedihkan siang tadi.
"Akh!" Kajar memekik kaget ketikadia merasakan sesuatu yang dingin menempel di lehernya. Perlahan-lahan bocah laki-laki itumenoleh. Matanya langsung membeliakmelihat Ki Japalu dan Pantula berada disamping kanannya. Sebilah pedang tajammenempel di lehernya dari tanganPantula. Belum juga hilang rasakagetnya, mendadak kedua tangannyadiringkus dari belakang.
Kajar kaget setengah mati, diaberusaha memberontak, tapi ujung pedangPantula malah membenam di lehernya.
Terpaksa Kajar diam tak berkutik. KiSampar Bayu yang meringkus anaklaki-laki kecil itu mengikat tangannyadengan kuat dengan tambang. Kajardiangkat berdiri, dan didorong jatuh ke pelataran pondok itu.
"Bakar rumah ini, biar Ienyap semuanya!" perintah Ki Japalu.
Pantula mengambil pelita yang tergantung di tengah-tengah ruangandepan pondok. Pelita itu dia banting kelantai yang beralaskan papan. Apilangsung berkobar besar melahap pondokkayu itu.
"Kejam! Kalian kejam...!" teriakKajar berusaha bangkit.
"Hih!" Ki Sampar Bayu menekan tubuhanak itu dengan kakinya.
Kajar meringis kesakitan. Dadanyaterasa sesak ditekan kuat oleh Ki SamparBayu. Rasa benci, dendam dan amarahmeluap-luap di dalam dadanya. Tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa. Orang-orang yang ada bukanlah orang-orangsembarangan. Mereka memiliki tingkatkepandaian yang cukup tinggi. SedangkanKajar..., baru mempelajaridasar-dasarnya saja.
Sementara api terus melahap pondokkayu itu tanpa mengenal ampun. Tanpadisadari, air mata menitik di pipi yangmerah montok itu. Kajar tidak kuasa lagimelihat pondoknya hancur terbakar dalambeberapa saat lagi. Sejak bayi diatinggal di sini bersama neneknya, dansekarang pondok itu hancur terbakar.
Hancur sudah seluruh jiwa anak itu. Kinidia benar-benar seorang yang papa, tidakmemiliki apapun di dunia ini.
"Bawa anak ini!" perintah Ki Japalu.
Pantula segera mengangkat tubuh Kajar dan mengempitnya di ketiak. Kajarberusaha meronta sambil menjerit-jerit,namun kempitan Pantula sangat kuat,tidak sebanding dengan Kajar yangbertubuh kecil dan lemah itu.
Pada saat ketiga laki-lakiberpakaian serba hitam itu hendakmelangkah, terdengar ringkik kudadisusul derap lari kuda yang cepat. Suaraderap kaki kuda itu semakin terdengardekat. Kajar langsung tahu kalau PandanWangi yang datang bersama kuda hitamnya.
"Kak Pandan, tolong...!" jeritKajar keras.
"Diam! Hih...!" Pantula menotok beberapa jalandarah di tubuh Kajar. Seketika itu jugaKajar langsung diam tak berkutik.
Sementara suara derap kaki kuda semakinjelas terdengar dekat. Dan sebagianpondok sudah rubuh jadi arang. Api terusmembesar melahap kayu-kayu pondok kecilitu.
"Cepat, tinggalkan tempat ini!"perintah Ki Japalu.
"Biar aku hadapi dia, Kakang," kataKi Sampar Bayu.
"Tidak perlu! Yang penting anakini," sahut Ki Japalu.
Ketiga laki-laki berbaju serbahitam itu segera melompat cepat meninggalkan tempat itu. Pada saatitulah, Pandan Wangi muncul dengan kudahitamnya.
Gadis pendekar berjuluk si KipasMaut itu langsung melompat dari punggungkudanya.
"Kajar...!" teriak Pandan Wangimemanggil. Tak ada sahutan sama sekali,hanya suara percikan api membakar kayusaja yang terdengar. Sementaratitik-titik air hujan sudah semakinsering datang. Seluruh langit diselimutiawan tebal menghitam. Pandan Wangi berlarian mengelilingipondok sambil berteriak-teriakmemanggil Kajar. Tapi anak laki-laki itutidak menyahut Pandan Wangi semakin cemas. Ragu-ragu dia masuk menerobospondok yang dilahap api.
"Kajar, kau di dalam?" tanya PandanWangi keras. Tetap tidak ada sahutan.
"Apa boleh buat. Hiyaaa...!" PandanWangi melompat menerobos pondok yanghampir habis dilahap api. Hanya sebentargadis pendekar berjuluk si Kipas Maut ituberada di dalam, sebentar kemudian diasudah muncul lagi ke luar dari kepunganapi. Pada saat yang bersamaan, pondok ituroboh menimbulkan suara gemuruh danpercikan bunga api.
"Kajar...," rintih Pandan Wangilirih.
"Di mana kau...!"Pandan Wangi jatuh terduduk lemas di tanah. Matanya nanar memandangi pondokyang sudah roboh terbakar. Api mulaimengecil karena tidak ada lagi yang bisadilahap. Sementara titik-titik air hujansemakin sering datang. Asap hitammengepul tinggi ke udara. Sebentarkemudian, hujan pun turun denganderasnya, bersamaan dengan jatuhnyasetitik air bening dari sudut mata PandanWangi.

*
* *


Saat itu Ki Japalu, Ki Sampar Bayudan Pantula sudah berada di tepi HutanGanda Mayit. Sedangkan Kajar masih belumsadarkan diri terkepit di ketiak Pantula. Ketiga orang itu berjalan cepat ke luar hutan itu. Mereka berbelok arahsetelah sampai di perbatasan Desa WatuAmpar.
"Berhenti!" tiba-tiba terdengarsuara bentakan keras.
Ketiga orang yang membawa Kajarlangsung berhenti. Mereka terkejutmelihat seorang pemuda tampan tahu-tahusudah mencegat di depan. Pemuda yangmemakai baju rompi putih dengan pedangkepala burung di punggung itu berdiritegak dengan tangan terlipat di dada.
Dialah Rangga si Pendekar RajawaliSakti.
"Lepaskan anak itu, Ki Japalu!"bentak Rangga kasar.
"Heh! Siapa kau? Berani-beraninyakau mencampuri urusanku!" dengus KiJapalu terkejut.
"Aku sudah lama menyelidiki tingkahlakumu, Ki Japalu. Kau tidak perlu heran,dari mana aku tahu namamu. Lepaskan anakitu!" ucap Rangga dengan tenang.
Ki Japalu dan Ki Sampar Bayutersentak kaget. Lebih terkejut lagimereka begitu kilat menyambar menerangidalam sesaat. Dalam cahaya kilat itu,jelas sekali rupa Rangga. Sementarahujan tetap deras bagai tertumpah darilangit.
"Pendekar Rajawali Sakti..,," desisKi Sampat Bayu mengenal pedang dipunggung Rangga. Ki Sampar Bayu memandang kakaknyadan keponakannya yang masih mengempitKajar di ketiaknya. Sedangkan Ranggatetap berdiri tegak dalam siraman curahhujan. Beberapa saat mereka semuaterdiam membisu.
"Sebaiknya kita lepaskan saja anakitu, Kakang," kata Ki Sampar Bayu pelan.
"Baiklah, kita harus hindaribentrok dengan Pendekar Rajawali Sakti,"sahut Ki Japalu.
Ki Japalu mengambil Kajar daritangan anaknya. Dia melangkah beberapatindak ke depan, lalu melemparkan tubuhKajar begitu saja ke tanah yang becektergenang air. Rangga tetap berdiri tegak memandang tajam. Ki Japalu segeraberbalik dan melangkah pergi, diikutioleh Ki Sampar Bayu dan Pantula.
Rangga bergegas menghampiri Kajaryang tergolek pingsan dengan beberapajalan darah tertotok. Sebentar sajaPendekar Rajawali Sakti itu memeriksa,kemudian membebaskan totokan di tubuhKajar. Sebelum anak laki-laki itu bisasadar penuh, dengan cepat Ranggamengangkatnya dan langsung melompatcepat bagai kilat.
Ilmu meringankan tubuh yangdimiliki Pendekar Rajawali Sakti itusungguh sangat sempurna sekali. Dalamcurahan hujan lebat, dia masih mampuberlari cepat bagai angin. Kedua kakinya bagaikan tidak menapak tanah. Rangga terus berlari memasuki Desa Watu Ampar.
Dia baru berhenti berlari setelah sampaidi depan kedai Ki Dandung.
Pendekar Rajawali Sakti itumeletakkan Kajar di depan pintu kedai KiDandung yang terbuka lebar. Pada saat ituKi Dandung masih duduk menunggukedatangan Pandan Wangi yang berjanjiakan membawa Kajar malam ini juga.
Laki-laki tua itu terkejut melihatkemunculan Rangga membawa Kajar dalamkeadaan setengah sadar.
"Kenapa dia?" tanya Ki Dandungsambil mengambil tubuh Kajar danmembawanya masuk ke dalam. Diameletakkan tubuh anak laki-laki berusia sebelas tahun itu di bangku panjang.
"Dia tidak apa-apa, hanya bekas totokan saja belum hilang penuh," kataRangga tetap berdiri di ambang pintu.
Ki Dandung memandang pemuda tampanyang sempat ditemuinya, dan sempat puladiperingatinya agar tidak ikut campurdalam masalah di Desa Watu Ampar ini.
"Maaf, aku tidak menurutinasehatmu, Ki," kata Rangga mendahului.
"Masuklah," kata Ki Dandung.
"Terima kasih, " ucap Rangga serayamelangkah masuk ke dalam kedai itu.
Ki Dandung memeriksa keadaan tubuhKajar sebentar, lalu dia melangkah masukke bagian belakang kedai. Tidak lamakemudian, laki-laki tua pemilik kedai bekas kepala desa itu muncul lagi bersama Sarman, anaknya. Sebentar Sarmanmemandang Rangga, lata perhatiannyaberalih pada Kajar yang masih tergoleksetengah sadar di bangku panjang.
"Bawa dia masuk, usahakan agar cepatsadar," kata Ki Dandung memerintah.
"Baik, Ayah," sahut Sarman.
Sarman segera mengangkat tubuhKajar dan membawanya masuk ke dalamruangan belakang kedai ini. Sementara KiDandung mengambil seguci arak danmembawanya ke meja Rangga. Dua buah gelastersedia juga di meja itu. Ki Dandungmengisi dua gelas itu dengan arak manissampai penuh. Tak lama kemudian merekaminum berdua tanpa berkata apa-apa.
"Kenapa kau tidak meninggalkan desaini?" tanya Ki Dandung setelahmenghabiskan dua gelas arak manis.
"Hatiku yang menyuruhku untukmenyelidiki keadaan Desa Watu Amparini," sahut Rangga.
"Apa yang telah kau ketahui tentangkeadaan Desa Watu Ampar ini?" tanya KiDandung.
"Cukup banyak juga, dan aku semakiningin mengungkapnya lebih jelas. Terusterang, semakin aku tahu banyak, semakinheran.... Seorang kepala desa yangsangat disegani tiba-tiba sajamengundurkan diri hanya karena kematianistrinya. Dan muncul seseorang yangmengangkat dirinya sebagai kepala desa baru tanpa pemilihan lebih dahulu. Sungguh aneh...," Rangga sepertibergumam saja layaknya.
Ki Dandung langsung terdiam.
Kata-kata Rangga yang pelan dan lemahlembut bernada sindiran tajam untukdirinya. Jelas sekali kalau ucapanRangga tadi ditujukan langsung padanya.
Ki Dandung menatap tajam pada pemuda yangduduk di depannya. Dia mengangkat gelasdan meneguk arak hingga tandas. Tarikannapasnya panjang dan berat.
"Mungkin kehadiranku di sini tidakmenyenangkan hatimu. Maaf, aku hanyatidak bisa melihat penderitaan di depanmataku." Setelah berkata begitu, Ranggalangsung melompat tanpa bangun dulu dari duduknya. Ki Dandung sampai tersentakkaget. Dalam sekejap saja PendekarRajawali Sakti itu sudah lenyap tanpaterlihat lagi bayangannya.
Baru saja Ki Dandung bangkitberdiri, terdengar suara derap kaki kudayang dipacu cepat menembus rinai hujanlebat di tengah malam buta ini. KiDandung segera melangkah ke pintu. Padasaat itu, kuda hitam yang ditunggangiPandan Wangi sudah berhenti di depanpintu. Pandan Wangi langsung melompatdari punggung kudanya. Hanya sekalilompatan saja, gadis itu sudah mencapaiambang pintu kedai itu. Seluruh bajunyabasah kuyup sehingga memetakan bentuktubuhnya yang indah dan ramping. Ki Dandung langsung memberi minuman hangatpada pendekar wanita itu.
"Celaka, Ki..., benar-benarcelaka!" agak tergagap suara PandanWangi.
"Tenang, minum dulu," Ki Dandungmenenangkan.
Pandan Wangi menerima gelas berisiminuman hangat. Dia meneguknya sampaihabis, lalu menaruh gelas kosong itu kemeja di depannya. Sebentar Pandan Wangimengatur jalan napasnya. Dia mulaisedikit tenang setelah jalan napasnyakembali teratur.
"Aku tahu apa yang akan kaukatakan," kata Ki Dandung.
"Ki Dandung tahu...?!" Pandan Wangiterkejut.
"Ya, Kajar ada di dalam sedangistirahat ditemani Sarman."
"Apa...?!"

*
* *


"Bagaimana Kajar bisa sampai kesini, Ki?" tanya Pandan Wangi.
"Dia dibawa seorang pemuda yangsangat tinggi ilmunya," sahut KiDandung.
"Pendekar maksudmu, Ki?" PandanWangi ingin menegaskan.
"Mungkin, tapi tampaknya diaberbudi luhur. Aku tidak tahu bagaimana caranya dia bisa membawa Kajar ke sini." "Ki Dandung tidak menanyakannya?"Ki Dandung hanya menggeleng. Dia memang lupa menanyakan bagaimana pemudaitu membawa Kajar ke rumahnya ini.
Pembicaraannya dengan pemuda pendekaritu sampai membuat dirinya lupa. Ki Dandung juga jadi lupa tidak menanyakan namanya atau punjulukannya.
"Siapa dia, Ki?" tanya PandanWangi. Entah kenapa, dada gadis itujadi bergemuruhtanpasebab.
Mendadaksaja bayangan Ranggamemenuhi benaknya.
Ada satu harapanyang sulituntuk diungkapkan didalam hatinya.
Tapi harapan itu juga tertindas oleh perasaan lain yang sangat sukar untuk dicampakkanjauh-jauh. Ada kerinduan untuk bertemu,tapi juga ada rasa malu dan rendah diridi hatinya. Yang paling kuat membelengguhatinya adalah perasaan cinta. Ya...,perasaan itulah yang paling sulit untukdienyahkan dalam hatinya. Pandan Wangitidak mengerti, kenapa perasaan itutiba-tiba saja muncul pada dirinya?Dan semua isi hatinya sudahdiungkapkannya pada Nek ringgih. Adasedikit ketenangan bila Pandan Wangiteringat dengan kata-kata sejukmenyegarkan dari Nek Ringgih yangmenjabarkan arti cinta suci. PandanWangi memang tidak menyangkal kalau didalam hatinya telah tumbuh benih-benihcinta pada Pendekar Rajawali Sakti itu. Dan benih itu semakin hari semakinberkembang subur.
"Aku lupa menanyakannya," sahut KiDandung.
"Tapi dia masih muda, tampan dangagah."
"Ah...," Pandan Wangi mendesahlirih.
Semula dia berharap Ki Dandung tahunamanya. Harapannya kini pupus setelahmendengar jawaban tanpa kepastian itu.
Tidak sedikit pendekar-pendekar mudabermunculan di jaman ini. Mungkin jugapendekar itu adalah Rangga, tapi adakemungkinan juga bukan dia. Harapan yangtadinya tumbuh, langsung padam seketika.
"Aku mendapatkan pondok Nek Ringgih sudah terbakar, dan Kajar hilang...,"kata Pandan Wangi bercerita tanpadiminta.
"Jangan dipikirkan, Kajar sudahaman berada di sini. Siapapun dia yangmembawanya, maksudnya tentu baik," kataKi Dandung membesarkan hati PandanWangi.
"Ki, apakah mungkin Ki Japalu yangmembakar rumah Nek Ringgih?" tanyaPandan Wangi hati-hati.
"Ya," desah Ki Dandung menjawab.
"Kenapa dia tega berbuat sepertiitu?"Ki Dandung tidak langsung menjawab.
"Kau sudah berjanji untukmengatakan semuanya padaku, Ki," Pandan Wangi mengingatkan.
"Apa lagi yang harus aku katakan?Kau sudah tahu siapa itu Ki Japalu, KiSampar Bayu dan Pantula. Merekalah yangsekarang menguasai Desa Watu Ampar,"kata Ki Dandung.
"Kenapa mereka membunuh NekRinggih?" tanya Pandan Wangi.
"Persoalan lama yang dicari-cari,"sahut Ki Dandung.
"Maksudmu, Ki?"
"Mereka memang sudah lama inginmelenyapkan Nek Ringgih. Baru kali inimereka punya kesempatan. Kasihanperempuan malang itu..., hidupnya tidakpernah merasa bahagia. Selalu saja adagangguan. Sampai mati pun masih juga diganggu."Pandan Wangi mengerutkan keningnya melihat raut wajah Ki Dandung jadiberubah murung. Tatapan matanya sayubagai tak memiliki gairah hidup lagi.
Pandan Wangi mengangkat kepalanya ketikaSarman masuk. Pemuda itu langsung dudukdi samping ayahnya.
"Bagaimana Kajar?" tanya Ki Dandungtanpa menoleh.
"Sudah tidur, kelihatan dia lelahsekali," sahut Sarman sambil melirikPandan Wangi.
Sarman melemparkan senyum yangtermanis. Lirikannya terpaku lama padaseraut wajah cantik dengan bibirmengulas senyum manis itu. Sarman baru mengalihkan perhatiannya ketika PandanWangi terbatuk tiga kali.
"Kasihan sekali Nek Ringgih...,"gumam Pandan Wangi pelan.
"Aku juga semula tidak percaya kalauancaman Ki Japalu tidak main-main.
Rupanya dia melaksanakan juga ancamannyamembunuh Nek Ringgih. Menyesal sekaliaku memanggilnya ke sini. Kalau saja akutidak memintanya datang, tentu dia masihhidup," suara Ki Dandung semakin pelandan lirih.
Mereka terus saja membicarakantentang kematian Nek Ringgih. Sampaimenjelang pagi mereka baru beranjakmeninggalkan kedai itu. Ki Dandung menyediakan kamar sendiri untuk PandanWangi. Rumah di belakang kedai ternyatasangat luas dan banyak terdapatkamar-kamar yang kosong. Pandan Wangimenyempatkan pula menengok Kajar yanglelap tertidur.

*
* *



:::↨֍↨: ( 6 ) :↨֎↨:::

Ki Japalu berjalan mondar-mandir didalam ruangan tengah yang luas dirumahnya. Tampak Ki Sampar Bayu danPantula duduk dengan wajah murung. Sejakkejadian malam itu, pikiran mereka jadi tidak bisa tenang. Terutama Ki Japalu.
Kemunculan Pendekar Rajawali Sakti di Desa Watu Ampar ini membuat hatinyagundah tidak menentu.
"Diamlah, Kakang. Aku jadi pusingmelihatmu mondar-mandir begitu...!"rungut Ki Sampar Bayu kesal.
"Ini semua gara-garamu, SamparBayu!" dengus Ki Japalu menatap tajampada adiknya.
"Kenapa aku? Kau sendiri yang datangpadaku agar bisa menguasai desa ini. Nah!Sekarang semua keinginanmu sudahtercapai, bahkan sakit hatimu padaperempuan tua bangka Ringgih itu sudahterbalaskan. Lalu, apa salahku? Akuhanya membantumu saja!" Ki Sampar Bayutidak terima disalahkan sepihak.
"Ah! Sudahlah...!" Ki Japalu tidakmau berdebat dengan adiknya itu.
Kata-kata yang terlontar dari mulutKi Sampar Bayu memang tidak bisadibantah. Ki Japalu mengakui semuanya.
Dia memang datang ke Gunung Kanjaranuntuk meminta bantuan adiknya dalammencapai cita-citanya menjadi kepaladesa, di samping untuk membalas dendampada Nek Ringgih, perempuan tua ahlipengobatan itu. Kini dendam yang.
dipendamnya puluhan tahun itu sudahterbalaskan, dan sekarang dia juga sudahmenduduki jabatan sebagai kepala desa diWatu Ampar ini.
Ki Japalu membanting tubuhnya dikursi rotan. Dia jadi teringat dengan istrinya yang meninggal saat melahirkan anak keduanya. Istrinya yang lembut dantidak pernah menuntut banyak darinya.
Dia meninggal karena melahirkan, danyang membantu melahirkan adalah NekRinggih. Sejak itu Ki Japalu menyimpandendam pada Nek Ringgih. Dia selalumenyangka kalau Nek Ringgih tidak pantasmenjadi tabib. Sampai sekarang ini KiJapalu selalu membenci tabib di manapunjuga. Lebih-lebih pada Nek Ringgih yangdianggapnya menjadi penyebab kematianistrinya.
"Kau menyesal, Kakang Japalu?"tanya Ki Sampar Bayu memandangikakaknya.
"Tidak!" sahut Ki Japalu tegas.
"Kenapa kau gelisah?"'Pendekar Rajawali Sakti itu...."
"Ha ha ha...!" Ki Sampar Bayu tertawa terbahak-bahak.
"Huh! Dalam keadaan kacau begini, kau masih juga tertawa," rungut Ki Japalumemberengut.
"Apakah dia tangguh, Ayah?" tanyaPantula yang sejak tadi diam saja.
"Sepuluh orang sepertimu tidak akansanggup melawan dia!" sahut Ki Japalutanpa senyum.
"Dia penduduk Desa Watu Ampar?"tanya Pantula lagi.
"Dia pendekar kelana, Pantula.
Namanya sudah tersohor sampai ke penjurumayapada ini," Ki Sampar Bayu yang menjawab.
"Hm..., apa perlunya dia datang kesini...?" gumam Pantula.
"Jelas kalau dia penghalang palingberat buat kita!" dengus Ki Sampar Bayu.
"Sampar Bayu, sebaiknya kau carisaja cucu Nek Ringgih. Bunuh dia, akutidak mau melihat lagi keturunanperempuan tua itu! Dua nyawa diabunuh...," kata Ki Japalu memerintah.
"Dicari ke mana?" tanya Ki SamparBayu.
"Pasti ada di Desa Watu Ampar ini,aku melihat dia membawa anak itu kedesa."
"Anak itu ada di rumah Ki Dandung,"celetuk Pantula. Ki Japalu dan Ki Sampar Bayu menatapanak muda itu.
"Kau yakin?" tanya Ki Sampar Bayu.
"Aku lihat anak itu tadi pagi ke luardari rumah Ki Dandung. Di sana juga adaseorang gadis lain. Kelihatannya diajuga dari kalangan rimba persilatan,"sahut Pantula pasti.
"Hm..., rupanya Ki Dandungdiam-diam bikin ulah juga," gumam KiSampar Bayu.
"Itu urusanmu, Sampar Bayu," sergahKi Japalu.
"Baik, itu memang urusanku. Tapi kaujuga tidak bisa cuci tangan begitu saja.
Kau juga terlibat, Kakang."
"Huh! Kau selatu memojokkan aku!" dengus Ki Japalu.
"Ayah, aku mau ke luar sebentar,"kata Pantula menyelak. Dia segerabangkit berdiri dan melangkah ke luar.
Ki Japalu hanya memandangi sajaanaknya yang sudah lenyap di balik pintu.
Terdengar desahan napasnya yang berat.
Laki-laki itu menuang arak ke dalamgelas, dan meneguknya sampai tandas.
'Tidak seharusnya kau berkatabegitu di depan anakku," kata Ki Japaludingin.
"Sudah saatnya dia tahu siapadirinya, Kakang."
"Tidak! Sampai kapan pun dia tidakboleh tahu. Aku sangat mencintainya, diapengganti anakku yang mati karena ulah perempuan tua keparat itu!"
"Aku tidak menyangka, temyata hatimu lebih kejam daripada aku. Tidakseharusnya kau memperalat dia yang tidaktahu apa-apa. Kau terlalu menurutiambisimu, Kakang. Kau sudah memperolehsemuanya, kau juga telah membalaskankematian istrimu. Seharusnya kau tinggalmenikmati hasilnya saja. Tapi malahmembuat persoalan baru lagi. Kenapa kautidak katakan saja pada Pantula kalaudia...."
"Cukup!" sentak Ki Japalu cepat.
"Kakang.... Aku memang ditakdirkanuntuk bergelimang darah dan dosa. Tapiaku selalu melakukannya dengan caraterang-terangan, jantan dan tidak bersembunyi di balik kelemahan orang lain. Terus terang, kalau tidak karenakau saudaraku satu-satunya, tidak akanmungkin aku mau mengikuti semua rencanagilamu ini."
"Kau menyesal?"
"Heh! Untuk apa aku menyesal?"
"Lupakan saja aku, Sampar Bayu.
Lupakan bocah cucu Nyi Ringgih itu. Biaraku yang menghadapi mereka semuasendiri. Kau sudah cukup banyakmembantuku. Terima kasih, Sampar Bayu."Ki Japalu langsung bangkit dan melangkahpergi.
"Kakang...!"
"Kembali saja ke tempatmu, adikku."Ki Sampar Bayu hanya mendesah mengangkat pundaknya melihat kakaknyamasuk ke dalam kamarnya. Sebentar KiSampar Bayu masih berada di ruangan besaritu, kemudian kakinya terayun menuju keluar. Laki-laki tua tokoh persilatan itulangsung melompat naik ke kudanya begitusampai di luar. Dengan cepat diamenggebah kudanya meninggalkan rumahbesar Ki Japalu.

*
* *


Ki Japalu berdiri mematung di depanjendela besar kamarnya. Pandangannyakosong tertuju ke depan menatap tanamanbunga yang mekar menyebarkan harum wangidi bagian belakang rumahnya. Tidak ada seorang pun yang terlihat di halamanbelakang yang tertata indah itu.
Dulu rumah ini begitu ramai. Banyakpekerja yang hilir mudik ke luar masuksekitar rumah ini. Tapi sekarang....
Semua pekerja meninggalkannya tanpapamit. Tidak ada seorang pun yang mauberhubungan lagi dengannya. Semuameninggalkannya begitu saja. PandanganKi Japalu tertumbuk pada sangkar burungyang berada di tengah-tengah halamanbelakang. Tidak ada seekor pun burung disana. Semuanya mati tak terurus lagi.
"Hhh...," untuk kesekian kalinya KiJapalu menarik napas panjang dan berat.
"Indah sekali taman itu...."
"Heh!" Ki Japalu terkejut.
Seketika itu juga dia berbalik. Kedua bola matanya membeliak lebarketika tahu-tahu di dekat pintu kamar inisudah berdiri seorang laki-laki mudaberwajah tampan. Laki-laki muda itumengenakan baju rompi putih dengangagang pedang berkepala burung tersembuldi punggung.
"Pendekar Rajawali Sakti...," desisKi Japalu.
"Ya, aku Pendekar Rajawali Sakti,"kata Rangga menyebut dirinya dengan namajulukan.
"Bagaimana kau bisa masuk kekamarku?" tanya Ki Japalu membentak.
"Mudah saja, tidak ada seorang pun yang kutemui di sini. Hm..., sungguh mengherankan. Rumah seorang kepala desayang besar dan indah, tapi tidak adaseorang pun yang ada."
"Mau apa kau ke sini?" tanya KiJapalu tidak peduli dengan gumamanRangga.
"Menyadarkanmu," sahut Rangga.-"Aku bukan orang gila!" bentak KiJapalu tersinggung.
"Menyadarkan kekeliruanmu, KiJapalu."
"Aku tidak kenal kau! Aku juga tidakpunya urusan denganmu. Kenapa kau mauikut campur dalam urusanku, heh?"
"Mungkin kita bisa bicara baik-baikkalau kau bisa mendinginkan kepalamu," kata Rangga kalem.
Tanpa menghiraukan sikap Ki Japalu, Pendekar Rajawali Sakti menghenyakkantubuhnya di kursi dekat pintu. Bibirnyayang tipis menyunggingkan senyum.
Matanya teduh dan lembut memancarkan sinar kejantanan dankearifan.
"Namamu memang bisamembuatjantung orang copot mendengarnya,Pendekar Rajawali Sakti.
Tapi jangancoba-coba kau menghalangi langkahku!"ancam Ki Japalu. Rangga hanya tersenyum saja. Dia mengambilguci arak yang ada di atasmeja di sampingnya. Cairan hangat itu dituangkan kedalamgelas dari perunggu. Hanya dengansekali teguk saja,arakdidalam gelas sudah berpindah ke perutnya.
"Enak sekali, pasti arak mahal,"puji Rangga.
"Sebaiknya kau cepat enyah darisini!" usir Ki Japalu sengit.
"Baik, aku memang akan pergi. Tapisebaiknya kau pikirkan kata-kata adikmu.
Aku rasa dia ada benarnya juga, meskipuntindakannya tidak pernah menyenangkanhati siapapun," kata. Rangga serayabangkit berdiri. 'Tunggu!" cegah Ki Japalu.
"Jangan tanyakan dari mana akutahu," potong Rangga cepat.
"Kau pasti menguping semuapembicaraanku!" tebak Ki Japalu.
Rangga hanya mengangkat bahunya saja.
"Apa saja yang telah kau ketahui?" tanya Ki Japalu mau tahu.
"Tidak banyak, tapi aku rasa Ki Dandung bisa mengerti dan maumemaafkanmu," sahut Rangga.
"Maaf, akutidak bisa lama di sini."
"Hey!"Bagaikan kilat saja, Ranggalangsung lenyap begitu tangannya membukapintu kamar ini. Ki Japalu segeramengejar, tapi bayangan PendekarRajawali Sakti itu sudah tidak kelihatanlagi. Dia kembali masuk ke kamarnyadengan kepala dipenuhi berbagai macampikiran. Kini rahasia yang sudahdipendamnya puluhan tahun sudah diketahui orang lain selain dirinya danadiknya.
"Tidak! Tidak boleh ada orang lainyang tahu. Aku sangat mencintainya, diatidak boleh lepas dari tanganku! Diasatu-satunya penggantiku yang masihhidup," desah Ki Japalu pelan.
"Hm....
Pendekar Rajawali Sakti itu harusmampus! Dia sudah tahu semuanya, diaharus mampus...!"

*
* *


Rangga memandangi kuda yang dipacucepat ke luar dari Desa Watu Ampar. Bisasaja dia mengejar kuda itu dengan ilmu lari cepat, tapi hal itu akanmembuang-buang tenaga dengan percuma.
Saat kepalanya sedang mencari jalan keluar yang terbaik, mendadak matanyamelihat Kajar sedang membersihkan kudadi halaman kedai Ki Dandung. Ranggabergegas menghampiri anak itu.
"Oh! Paman...," Kajar segeramenghentikan ke-giatannya.
"Ki Dandung ada, Jar?" tanya Rangga.
"Sedang ke luar, Paman" sahut Kajar.
"Hm, ke mana?"
"Mungkin ke pasar, Paman," jawabKajar santai.
Rangga jadi tersenyum. Matanyamelirik ke arah perbatasan Utara DesaWatu Ampar ini. Penunggang kuda yang sedang diawasinya tadi sudah tidak terlihat lagi bayangannya. Hanya debusaja yang masih tampak mengepul tipis diudara.
"Kudamu bagus," puji Rangga.
"Bukan kudaku, ini kuda kakakku,"sahut Kajar.
"Hm, boleh aku pinjam sebentar?"Kajar tampak ragu-ragu, tapiakhirnya dia berikan juga kuda itu.
Rangga segera melompat ke atas punggungkuda hitam itu.
"Jangan lama-lama, Paman...!" pesanKajar.
"Bilang sama kakakmu, kudanyakupinjam," sahut Rangga.
Kajar belum sempat menyahut, Rangga sudah menggebah kuda hitam itu dengancepat menuju ke arah Utara. Debu mengepulterhempas kaki-kaki kuda yang berpacucepat bagaikan angin. Sementara Kajarhanya memandanginya saja dari tempatnyaberdiri.
Rangga terus memacu kudanya dengancepat. Dia kagum juga dengan kuda ini.
Larinya bagaikan angin saja, dansepertinya kaki-kaki kuda ini tidakmenapak tanah. Pendekar Rajawali Saktiitu terus memacu kuda hitam itu semakincepat. Dalam waktu tidak berapa lama sajapenunggang kuda yang diawasinya sejaktadi sudah kelihatan lagi.
"Hiya, hiya...!"Penunggang kuda yang dikejar Rangga menoleh ke belakang. Tampak sekati katau dia terkejut. Seketika itu juga diamenggebah kudanya dengan keras. Suararingkikan kuda terdengar nyaring. Kudaitu pun semakin cepat larinya.
"Hup, hiyaaa...!"Rangga melompat dari punggungkudanya ketika jaraknya sudah demikiandekat dengan penunggang kuda didepannya. Hanya dengan sekali putaran diudara saja, Pendekar Rajawali Sakti itusudah berhasil mencegat. Tangannyalangsung menyambar tali kekang kuda itu,dan menghentikan larinya.
Kuda putih belang hitam itumeringkik keras sambil mengangkat kakidepannya tinggi-tinggi. Rangga melepaskan pegangannya pada tali kekangkuda itu, ketika penunggangnya melompatturun dengan cepat. Kuda itu langsungberhenti mendadak.
"Siapa kau? Mau apa kaumenghadangku?"
"Tenang, Pantula. Kau pemah bertemudenganku sekali," sahut Rangga kalem.
Pantula mengamati pemuda didepannya dengan seksama. Benar! Diamemang pernah bertemu sekali. Ya...,malam itu, ketika dia bersama ayah danpamannya berusaha menculik Kajar. Pemudainilah yang menolong Kajar.
"O..., rupanya kau yang dijulukiPendekar Rajawali Sakti. Hm..., pendekartangguh dengan nama besar berlagak seperti perampok jalanan," cibirPantula.
"Maaf, kalau aku menggangguperjalananmu," ucap Rangga tetap ramah.
"Kau memang sudah menggangguperjalananku!" dengus Pantula ketus.
"Terpaksa aku lakukan, karena adahal penting yang harus aku katakanpadamu," Rangga mulai serius.
"Kau ingin merampokku?" Pantulamasih bersikap sinis.
Rangga hanya tersenyum danmenggelengkan kepalanya beberapa kali.
Dia bisa memaklumi sikap Pantula yangketus dan tidak ramah ini. Tentu KiJapula sudah menjejalinya dengan cerita-cerita kosong yang buruk. Samasekali Rangga tidak menyalahkan Pantuladengan sikapnya ini.
"Aku hanya ingin mengembalikanmupada keluargamu," kata Rangga kelem.
"Heh! Apa yang kau katakan...?!"Pantula mendelik tidak mengerti.
"Nasibmu sama denganku, Pantula.
Hanya aku lebih buruk lagi darimu, dantak mungkin bisa bertemu lagi denganorang yang paling kukasihi," pelan danngambang suara Rangga.
"Kau bicara apa, Pendekar RajawaliSakti?" Pantula kelihatan mulaiterpengaruh. Kegalakannya mulai sirna.
"Temuilah Pamanmu, dia tahu banyaktentang dirimu sesungguhnya. Desak dia agar mengakui semuanya," kata Rangga.
"Hey, tunggu...!"Namun Rangga sudah cepat melompat ke punggung kuda hitamnya dan seketika itujuga kuda hitamnya itu melesat cepatbagaikan angin. Pantula hanya memandangidengan kepala dipenuhi berbagai macampikiran. Apakah dia bukan anak Ki Japalu?Kalau memang benar, lalu siapa orangtuanya?Pantula tidak jadi meneruskanperjalanannya ke Desa Halimun untukmenemui saudara seperguruannya. Diakembali lagi ke Desa Watu Ampar. Kudanyadipacu cepat bagai kesetanan. Debumengepul tinggi ke udara tersepakkaki-kaki kuda yang dipacu cepat. Pantula terus mengarahkan kudanyake rumah. Beberapa penduduk yang beradadi sepanjang jalan utama desa itulangsung menyingkir, takut tertabrakkuda yang dilarikan bagai setan olehpenunggangnya. Mereka menyumpah serapahmerasa terganggu dengan ulah anak kepaladesa itu.
"Hooop...!"Pantula menarik tali kekang kudanyabegitu sampai di depan rumahnya.
Bergegas dia melompat turun, danlangsung berlari menerjang pintu depanrumah itu. Ki Sampar Bayu yang sedangberada di ruangan depan, terkejutmelihat kedatangan Pantula dengan mukamerah padam. Ki Sampar Bayu langsung beranjak bangun dari kursinya.
"Mana Ayah?" tanya Pantula kasar.
"Pantula, ada apa kau ini?" Ki Sampar Bayu mengerutkan keningnya.
Pantula hanya menggeleng saja, dia langsung mengayunkan kakinya melewatiruangan depan itu. Ki Sampar Bayumengikuti dari belakang. Dia heran melihat sikap Pantula demikian. Pemuda itu langsung sajamenuju kekamar peristirahatan ayahnya. Dengankasar dia membuka pintu kamar itu. Matanya nyalang merayapi kamar yangkosongtak berpenghuni. Diasegera berbalik,tapi langkahnya tertahan oleh Ki SamparBayu.
"Pantula,ada apa? Kenapa kaumarah-marah begini?" tanya Ki Sampar Bayu.
"Di mana Ayah?" Pantula tidak menggubris pertanyaan pamannya, diamalah balik bertanya.
"Pergi," sahut Ki Sampar Bayu.
"Ke mana?"
"Aku tidak tahu, dia tidak bilangapa-apa padaku."Pantula menggeretakkan rahangnya.
Matanya yang memerah menatap tajam padapamannya ini. Kemudian dia melayangkanpandangannya berkeliling, seolah-olahtidak mempercayai jawaban laki-laki tuaitu.
"Ada apa kau, Pantula? Apa yangterjadi?" Ki Sampar Bayu memberondongpertanyaan-pertanyaan. Pantula tidak menjawab sedikit pun.
Dia hanya menatap tajam pada laki-lakitua adik ayahnya ini. Ayahnya...?Benarkah Ki Japalu itu ayahnya? Lalu, apamaksudnya Pendekar Rajawali Saktiberkata demikian tadi? Pantulamenghenyakkan tubuhnya di kursi. Diajadi lemas memikirkan dirinya bukanlahanak Ki Japalu. Kalau memang dia bukananaknya Ki Japalu, lalu siapa orangtuanya? Apakah Ki Sampar Bayu benarpamannya? Pantula memandang laki-lakiyang duduk di depannya dan tengahmemandang dirinya pula.
"Siapa Ayahku sebenarnya, Paman?"tanya Pantula tajam. Ki Sampar Bayu tersentak kagetmendengar pertanyaan itu. Mulutnyalangsung terkunci rapat. Pandangannyatajam menatap lurus ke bola mata pemudaitu. Sungguh dia tidak pernah berpikirkalau Pantula akan bertanya seperti itu.
"Jawab sejujumya, Ki Sampar Bayu.
Siapa ayahku sebenarnya?" Makin dinginsuara Pantula.
"Tentu saja ayahmu Ki Japalu, KepalaDesa Watu Ampar ini. Dan aku pamanmu,Pantula...," agak tertahan suara KiSampar Bayu menjawab.
"Kau tidak berdusta, Ki SamparBayu?" Pantula tetap tidak memanggillaki-laki tua itu dengan sebutan pamanlagi. Ki Sampar Bayu tidak menjawab. Diajadi kebingungan menjawab pertanyaanpemuda itu. Entah kenapa, duduknya jadigelisah, seperti berada di atas bara apiyang siap menghanguskannya.
Ki Sampar Bayu dan Pantulamengangkat kepalanya secara bersamaanketika mendengar langkah kaki memasukiruangan ini. Tampak Ki Japalu terhentilangkahnya di depan pintu begitu melihatPantula dan Ki Sampar Bayu dudukberhadapan dengan wajah mendung tidakbiasanya.
Ki Japalu mengurungkan membukasuara ketika Ki Sampar Bayu mengerdipkanmatanya sebelah kiri. Ki Sampar Bayu bangkit berdiri dan menghampiri kakaknyayang tetap berdiri di ambang pintu.
Sementara Pantula memandangi dengan matatidak berkedip. Kedua laki-laki tua ituberbicara pelan berbisik. Tampak wajahKi Japalu berubah merah seketika. Dia menatap Pantula denganmatasulit diartikan.

*
* *



:::↨֍↨: ( 7 ) :↨֎↨:::

Keringat mengucur deras membasahi wajah dan tubuh Pantula. Namun pemuda ituterus saja menggali sebuah makam tanpa mengenal lelah. Sementara mataharibersinar terik, tepat di atas kepala. Tidak sedikitpun Pantula menghiraukansengatan matahari yang amat terik itu.
Dia terus menggali kuburan itu.
"Hey...!"Pantula seketika berhenti menggaliketika mendengar satu bentakan keras.
Dia mengangkat kepalanya yang basah olehkeringat. Tampak Sarman, Pandan Wangidan Kajar berdiri tidak jauh darinya.
Sarman membeliak lebar melihat kuburanyang amat dikenalinya sudah terbongkarhampir setengah.
"Pantula...! Apa yang kau lakukan dikuburan ibuku?" keras suara Sarmanmenahan amarah.
Pantula langsung melompat naik. Sebentar dia memandang Sarman, sebentarkemudian matanya berpindah menataplubang kuburan yang sudah tergali cukupdalam. Hampir dia tidak bisa mempercayaipendengarannya. Matanya beralih menatapsebuah batu nisan bertuliskan sebarisnama. Tidak! Dia tidak salah memilihmakam ini. Tapi....
"Biadab! Binatang kau,Pantula!" geram Sarman meluapkanamarahnya.
"Heh...!"Pantula tidak bisa lagi berbuatbanyak. Sarman sudah melompat cepat danlangsung menyerangnya dengan sengit.
Terpaksa pemuda itu berkelit berlompatanmenghindari serangan-serangan Sarmanyang beruntun dan dahsyat. Namun jelas sekali terlihat kalau Pantula ragu-ragu melayani Sarman yang hanyut terbawaamarah melihat kuburan ibunyadiacak-acak.
"Berhenti!" terdengar suarabentakan tiba-tiba.
Sebuah bayangan biru berkelebatcepat ke tengah-tengah pertarungan itu.
Duk, duk...!Pantula dan Sarman terpentalbeberapa langkah ke belakang. TampakPandan Wangi berdiri di tengah-tengahdengan tangan terentang lebar. Pantuladan Sarman meringis merasakan sesak padadadanya, kena dupakan tangan pendekarwanita si Kipas Maut itu.
"Minggir, Pandan! Biar kuhabisi binatang keparat ini!" geram Sarmangusar.
Pandan Wangi tidak mempedulikanperingatan Sarman. Dia berbalikmenghadap pada Pantula. Sebentar gadisitu mengamati wajah dan tubuh yang kotorberkeringat kena tanah merah. Pantulajuga membalas tatapan itu dengan tajam.
"Kenapa kau merusak pusara itu?"tanya Pandan Wangi.
"Aku hanya ingin membuktikan,apakah itu benar-benar makam ataubukan," sahut Pantula sambil melirikSarman.
"Kau hanya mencari-cari alasansaja, Pantula. Sudah jelas itu makamibuku!" sergah Sarman gusar. Pantula memandang penuh arti dansegudang tanda tanya pada Sarman.
Pandangannya kemudian berubah-ubah,dari makam yang sudah terbongkar kepadaSarman secara bergantian. Sepertinya diaingin meyakinkan kalau itu benar-benarmakam ibunya Sarman. Tapi.... Tidakmungkin, dia tidak salah dengar. Ayahnyabilang kalau ini makam ibunya yang telahmeninggal ketika melahirkannya dulu.
"Pantula, kau tahu itu makam siapa?"tanya Pandan Wangi.
"Jelas aku tahu!" sahut Pantula.
"Kenapa kau membongkarnya?"
"Aku sudah katakan, kalau hanyaingin membuktikan kalau makam itu benar atau cuma seonggok tanah diberi batunisan!" tegas jawaban Pantula.
Pandan Wangi jadi berkernyit jugakeningnya. Dia sudah menduga ada yangtidak beres di antara Pantula dan Sarman,juga makam ini.
"Pantula, kenapa kau begitu yakinkalau makam ini hanya palsu belaka?"tanya Pandan Wangi berusaha menjadipenengah yang adil.
"Aku tidak percaya kalau ibukumeninggal karena melahirkanku. Ki Japaluyang kukenal selama ini sebagai ayahkumengatakan kalau di makam inilah ibukuberistirahat," sahui Pantula terusterang.
"Dusta!" sentak Sarman berang.
"Kaumau coba-coba cari perkara denganku,heh!"
"Tenang, Sarman!" bentak PandanWangi kesal melihat sikap Sarman yangsukar mengendalikan diri.
"Huh!" Sarman mendengus kesal.
"Sejak aku lahir, aku memang tidakpernah me-ngenal wajah ibuku. Dan sejakusiaku lima tahun, Ayah mengirimku kePadepokan Wulung. Belum berapa lama akuberada kembali di Desa Watu Ampar ini.
Terus terang, sebenarnya aku tidak sukadengan sikap dan tindakan Ayah dan PamanSampar Bayu, dan aku tidak percaya ketikamereka mengatakan ibuku meninggal dan dikuburkan di sini," Pantula menjelaskanpanjang lebar.
"Kau belum pernah mengunjungi makamibumu sejak kecil?" tanya Pandan Wangisemakin yakin adanya ketidakberesan.
"Tidak, dan aku memang tidak pemahmenanyakan kenapa Ibu meninggal dan dimana makamnya? Ayah selalu mengelakkalau aku membicarakan tentang Ibu,"Pantula mengakui.
"Jangan percaya kata-katanya,Pandan! Dia itu ular," sergah Sarman.
Pandan Wangi menatap Sarman tajam.
Agak dongkol juga gadis itu dengan sikapSarman yang cepat marah. Sangat jauhberbeda dengan watak ayahnya yang arifbijaksana dan sabar dalam menghadapi sesuatu perkara.
"Aku sudah berumur sekitar tigabelas tahun ketika Ibu dikuburkan disini, jelas sekali aku melihat," sambungSarman.
"Kau tidak melihat jenazah ibumu,kan?" selidik Pandan Wangi.
"Dari mana kau tahu...?" Sarmanterkejut.
"Ayahmu sendiri," sahut PandanWangi.
"Hampir semua penduduk Desa WatuAmpar juga tidak pemah tahu tentangmeninggalnya ibumu. Kematian ibumumerupakan misteri yang tidak terpecahkansampai sekarang.
"Sarman langsung bungkam. Kata-kataPandan Wangi memang ada benarnya. Dia sendiri tidak tahu, bagaimana ibunyameninggal, dan dia juga tidak melihatjenazah ibunya lagi. Yang dia tahu,banyak orang mengantarkan sampai kekuburan ini, dan sebentuk tubuhterbungkus kain putih dimasukkan kedalam lubang, lalu ditimbuni dengantanah. Hanya itu yang diketahui Sarman.
Ayahnya tidak pernah berkata banyaktentang kematian ibunya.
Sejak itu Ki Dandung mengundurkandiri jadi Kepala Desa Watu Ampar, dankedudukannya langsung digantikan oleh KiJapalu yang mengangkat dirinya sendirijadi kepala desa dengan persetujuan KiDandung. Dan sejak itu pula kehidupan diDesa Watu Ampar berubah drastis. Kesengsaraan dan malapetaka silih berganti tanpa henti. Lebih-lebihsetelah kemunculan seorang tokoh tuasakti yang amat ditakuti membantu KiJapalu dalam mengendalikan Desa WatuAmpar ini. Tokoh tua itulah Ki SamparBayu.
"Nah, Sarman. Apakah kau ingin tahu,yang dikubur di sini ibumu atau bukan?"Pandan Wangi menawarkan pilihan.
Sarman tidak segera menjawab.
Kelihatan dari raut wajahnya kalau diaragu-ragu untuk menentukan pilihan itu.
Bola matanya berputar antara PandanWangi, Pantula dan kuburan yang sudahberlubang besar cukup dalam. Tinggalsedikit lagi, pasti sudah bisa kelihatan isi makam ini.
"Baik, kau boleh meneruskan pekerjaan, Pantula. Tapi kalau temyatayang dikuburkan benar ibuku, kau harusmati di tanganku!" kata Sarmanmengancam.
Tanpa membuang waktu lagi, Pantulasegera melompat masuk ke dalam lubangkuburan itu. Dia langsung saja menggalikuburan yang sudah sedikit lagi bisaterlihat isinya. Sementara Sarmanmenyaksikan dengan mata kosong dan dadabergemuruh.
Pantula menengok ke atas ketikapaculnya membentur dinding kayu. PandanWangi menatap Sarman yang menengadahkankepalanya ke atas. Perlahan-lahan Pantula mulai membuka papan-papan yang menutupi dasar kuburan ini. Satu persatudia mengangkat papan itu. Tampaksebentuk tubuh terbungkus kain putihkotor tergolek di dasar makam.
Suara desah dan pekikan terdengarketika Pantula membuka kain yangmenyelubungi bentuk tubuh itu. Sarmanlangsung memejamkan matanya dengan kepala tengadah ke atas. SementaraPantula kembali melompat naik keatas. Perlahan-lahan tubuh Sarmanambruk berlutut di pinggir kuburan yang berlubangitu.
"Oh..., tidaaak...!" rintih Sarman sambilmemukul-mukul tanah merahbekas galianitu.
Pandan Wangi menarik napas panjang.
Dia menatap Sarman dan Pantulabergantian. Kedua pemuda itu hanyamenunduk saja dengan raut wajah sukardilukiskan. Betapa tidak...? Bentuktubuh yang terbungkus kain kafan ituternyata hanya seonggok gedebok pisang.
Tidak ada mayat di sana....
"Tidak, oh...! Ibu..." rintihSarman seperti bocah ditinggalkan pergiibunya.
Tak ada lagi yang bisa mengeluarkansuara. Sementara Pandan Wangimengayunkan langkahnya mendekati Kajaryang hanya berdiri saja agak jauh dibawah pohon kamboja. Sementara duapemuda tetap berlutut di pinggir kuburan itu. Suasana haru meliputi sekitar kuburan itu. Pada saat itu terdengarderap langkah kuda dari kejauhan.
"Kak! Itu dia yang meminjam kudakita!" seru Kajar keras sambil menunjukke arah penunggang kuda hitam yangbergerak cepat melintas menuju ke arahBarat.
"Rangga...," desis Pandan Wangibegitu mengenali penunggang kuda hitamitu.
Secepat kilat Pandan Wangimelenting mengejar penunggang kuda hitamyang diyakininya adalah Rangga.
"Kakang...!"Sarman dan Pantula yang sedangdirundung kegalauan, terkejut melihat kejadian yang begitu cepat. Merekalangsung menoleh ke arah Pandan Wangiyang berlari cepat mengejar kuda hitamitu. Sementara Kajar berteriak-teriakmemanggil sambil berlari.
Pandan Wangi mengerahkan ilmu laricepat sekuat-kuatnya. Tapi bagaimanapunjuga, kuda hitam yang dikendaraiPendekar Rajawali Sakti itu lebih cepatlagi. Kuda hitam itu berpacu bagaikanterbang saja layaknya, sulit untukdikejar meskipun menggunakan ilmu laricepat.
Pandan Wangi menghentikan larinya.
Napasnya tersengal-sengal memandangipunggung penunggang kuda hitam yangsemakin jauh meninggalkannya. Sekejap kemudian, bayangan kuda hitam itu sudah tidak kelihatan lagi. Lenyap ditelanlebatnya Hutan Ganda Mayit.
"Kak...! Kak Pandan...!" teriakKajar memanggil dengan suara serak.
Pandan Wangi menoleh, tampak Kajardigendong Sarman yang berlari cepat.
dibuntuti oleh Pantula. Sebentar sajamereka sudah di samping Pandan Wangi.
Mereka semua sama-sama memandang ke arahHutan Ganda Mayit sebelah Barat.
"Dia yang memberitahu aku kalau akubukan anak Ki Japalu," kata Pantulabergumam.
Sarman memandang pada Pantula yangberdiri di sampingnya. Pandan Wangitidak mempedulikan, dia tetap memandang ke arah Hutan Ganda Mayit sebelah Barat.
Pikirannya masih dipenuhi dengankemunculan Rangga. Kerinduannya padapendekar muda itu sudah tidak dapattertahan lagi.
"Ki Japalu tetap mengakuiku sebagaianaknya, meskipun aku terus bertahanminta dia berterus-terang," sambungPantula.
"Dan dia menunjukkan kuburan itusebagai kuburan ibumu?" tebak Sarman.
"Ya, dan aku tidak mau percayabegitu saja. Aku harus membuktikannyadengan mata kepalaku sendiri."
"Perbuatan konyol! Kalau memangkuburan itu ada isinya, bagaimana?"dengus Sarman. Wajah Sarman langsung berubah begitu teringat kembali dengan kuburan yang berisi gedebok pisang itu.
Sepuluh tahun lebih dia selalu percayakalau ibunya sudah meninggal, dan ituadalah pusaranya. Tapi sekarang....
"Aku harus tanyakan ini pada Ayah!Harus...!" seru Sarman agak tertahan.
Sarman langsung melompatmeninggalkan tempat itu, kembali menujuke Desa Watu Ampar. Sementara PandanWangi masih tetap berdiri terpaku tidakpeduli. Gadis itu baru tersadar saattangannya ditarik Kajar.
"Oh...!"
"Kak, mereka mau menemui KiDandung," kata Kajar.
"Mereka...? Mereka siapa?" tanya Pandan Wangi seperti bermimpi.
"Kakang Sarman dan Kakang Pantula."
"Ah...!"Pandan Wangi baru tersadar penuh dengan apa yang baru terjadi. Tapikebimbangan kembali melanda dirinya.
Sesaat gadis itu menimbang-nimbang, laludengan cepat dia menarik tangan Kajar,dan membawanya kembali ke Desa WatuAmpar.

*
* *


"Ayah...!" seru Sarman begitumenerobos masuk ke dalam rumahnya dibelakang kedai.
Ki Dandung yang sedang menyiapkan minuman untuk tamu di kedainya menoleh. Dia terkejut melihat Sarman dan Pantuladatang bersama-sama. Di belakang merekajuga ada Pandan Wangi dan Kajar. PandanWangi menyuruh Kajar menggantikan tugasKi Dandung, kemudian dia membawalaki-laki tua pemilik kedai itu duduk dikursi. Sarman dan Pantula berdiri sajamembelakangi pintu.
"Aku sudah tahu apa yang akan kaliantuntut dariku. Memang semua ini harusterjadi, dan aku sudah lamamemperkirakannya," kata Ki Dandungpelan.
"Di mana Ibu?" tanya Sarmanlangsung.
"Pantula, di mana ayahmu?" Ki Dandung tidak mempedulikan pertanyaananaknya.
Pantula hanya menggeleng saja. Diamemang tidak tahu di mana ayahnya beradasekarang. Yang pasti tidak ada dirumahnya, karena Ki Japalu langsungpergi setelah menceritakan perihalibunya. Dan cerita Ki Japalu juga masihmembingungkan Pantula sampai sekarang,lebih-lebih setelah mengetahui kalaukuburan itu ternyata hanya berisigedebok pisang.
"Sebaiknya kalian segera ke GunungKanjaran," kata Ki Dandung.
"Mau apa ke sana?" tanya Pantulatidak mengerti.
"Ibu kalian ada di sana." Sarman dan Pantula terlonjak kaget.
Mereka saling berpandangan satu samalainnya. Tidakkah mereka salah dengar?Sementara Pandan Wangi memandangi wajahkedua pemuda tampan itu. Baru diamenyadari kalau wajah mereka memangmirip sekali.
"Aku..., aku tidak mengertimaksudmu, Ki?" kata Pantula tergagap.
"Ayah...," suara Sarman tersekat ditenggorokan.
"Kalian sebenarnya saudara satuibu...," kata Ki Dandung terputus.
Sesaat keheningan melanda ruanganitu. Semua menunggu dengan tidak sabarlanjutan kata-kata Ki Dandung. Sementara laki-laki tua itu seakan berat untukmengeluarkan kata-katanya. Sepasangbola matanya berkaca-kaca.
"Ketika aku masih muda...," KiDandung memulai ceritanva.
"Aku tinggaldi sebuah padepokan. Salah satu saudaraseperguruanku adalah Japalu. Diantarakami sering terjadi percekcokan, dan ituterus berlanjut semakin menegang saatkami sama-sama mencintai seorang wanitaputri tunggal guru kami...."
"Teruskan, Ayah," pinta Sarmantidak sabar.
"Guru kami mengetahui hal itu, danmembuat keputusan yang sangat berat,tapi sangat disukai Japalu. Kamidiharuskan bertanding, siapa yang menang, bisa mendapatkan putrinya dan tetap tinggal di padepokan. Sedangkanyang kalah harus segera meninggalkan padepokan," lanjut KiDandung.
"Terus?" "Aku terpaksamelayani Japalu dengan hatitertekan. Tapirupanya dia bersungguh-sungguh,bahkanbeberapa kali hampir membunuhku. Gurumengetahui hal itu dan memerintahkan aku untuk bersungguh-sungguh bertarung.
Aku terpaksa menurutketika perutkukoyak oleh serangancurangJapalu. Akutidak tahu lagi,bagaimana bisamengalahkan Japalu yang padasaat itu tingkat kepandaiannya setarafdenganku." Sebentar Ki Dandung berhentimengambil napas. Dia meminum secangkirarak yang diambilkan Pandan Wangi.
"Rupanya dendam terus terbawa dihati Japalu. Dan itu dia laksanakansetelah berhasil menemukan adikkandungnya, Ki Sampar Bayu yang sudahpengalaman malang melintang dalamganasnya rimba persilatan. Saat itu akusudah menjadi Kepala Desa Watu Ampar iniatas permintaan seluruh penduduk, karenaaku berhasil membinasakan pembunuhkepala desa yang lama dan membebaskanpenduduk dari penderitaan gerombolanliar...," kembali Ki Dandungmenghentikan ceritanya.
"Cukup, Ki. Jangar. teruskan,"cegah Pantula. Sarman menatap Pantula tajam.
"Aku bisa menebak kelanjutannya,Ki. Hanya satu pertanyaanku, siapaayahku sebenarnya?" Pantula tidakmempedulikan tatapan tajam dari Sarman.
"Ki Japalu," sahut Ki Dandung.
"Tidak...," desis Pantula tidakpercaya.
"Aku terpaksa menutupi aib denganmengatakan istriku meninggal terjatuh dipancuran. Padahal sesungguhnya diadiculik Japalu dan disembunyikan diGunung Kanjaran," kata Ki Dandung.
"Ayah tahu semua itu, kenapa diamsaja?" Sarman menyesalkan.
"Aku sangat mencintai ibumu,Sarman. Apalagi aku tahunya setelah Japalu menodainya, dan dia tidak mau lagimenemuiku. Perbuatan Japalu yang menodainya hingga hamil dan melahirkan seorang anaklaki-laki, membuatnya merasa tertekan dan malu untuk bertemu siapa saja. Ibumu wanita yang suci, anakku. Itulah sebabnya aku tidak ingin namanya tercemar buruk dan membuatmakampalsu dengan namaibumu agar semua penduduk desa tidaktahu persoalanyang sebenarnya." "Jahanam Japalu...!" geram Sarman.
"Sarman...!" seru Ki Dandungketika tiba-tibaSarmanberbalik danberlari cepat keluar. Sementara Pantula tidak bisa berbuatapa-apa. Batinnya amattersiksadengan semua yang telah terjadi pada dirinya dan orang tuanya. Dia tidak tahulagi, apa yang harus dilakukan. Adakebencian di hatinya dengan kelakuanayahnya, tapi dia juga sangat mencintaiorang tua itu yang telah merawat danmendidiknya, meskipun sejak kecil diatinggal di sebuah padepokan. Pantulabisa mengerti maksudnya, tentu agar diajadi seorang pemuda yang tangguh danberilmu tinggi.
"Kau harus cegah saudaramu,Pantula. Bagaimanapun juga dia ayahmu,dan Sarman tidak boleh membunuhnya!"kata Ki Dandung.
Pantula ragu-ragu sebentar,kemudian dia berbalik dan melangkah ke luar. Sementara Pandan Wangi masihterpaku berdiri tidak jauh di samping KiDandung. Gadis itu juga jadi bingung.
Memang menurutnya, kesalahan ada dipihak Ki Japalu, tapi urusannya sangatpribadi, rasanya sungkan kalau diasampai ikut campur di dalam urusan ini.
"Kenapa kau tidak ikut mereka?"tanya Ki Dandung melihat Pandan Wangimasih berada di sini.
"Untuk apa? Aku orang luar yangtidak berhak ikut campur masalahkeluarga ini," sahut Pandan Wangi.
"Bukankah kau mencari kekasihmu?"Pandan Wangi menatap lurus pada KiDandung. Dia memang sudah menceritakansemua yang dialaminya dan tujuannya untuk mencari Pendekar Rajawali Sakti, tapi tidak pemah mengakui kalau Ranggaitu adalah kekasihnya.
"Aku bisa merasakan nada suaramu,dan sinar matamu yang penuh kerinduan.
Pergilah bersama mereka, aku yakinPendekar Rajawali Sakti ada di GunungKanjaran. Dia sudah berjanji akanmembawa kembali istriku ke sini,meskipun aku tidak pemah mengharapkannyakembali lagi," kata Ki Dandung lagi.
"Jadi, selama ini ini ada di sini?"tanya Pandan Wangi ingin memastikan.
"Benar, tapi dia datang dan pergibagai angin. Hanya sesekali sajamenemuiku dengan singkat. Dia banyaktahu tentang masalah ini, dan ingin menyadarkan Ki Japalu kalau bisa."
"Kenapa Ki Dandung tidak mengatakan padaku?"
"Bana tadi aku tahu namanya."'Tadi...?"
"Ya."Pandan Wangi tertegun sesaat. Jadi yang dilihatnya di kuburan itu memangbenar Pendekar Rajawali Sakti. Tapi,kenapa dia menuju ke arah Barat HutanGanda Mayit? Apakah.... Pandan Wangitersentak. Dari sebelah Barat HutanGanda Mayit memang bisa lebih cepatmencapai Gunung Kanjaran. Jalannya memang sulit, tapitidak terlalusulitbagi seorang pendekar sepertiRangga.
"Aku pergi dulu, Ki. TitipKajar,"kata Pandan Wangi.
"Ya. Mudah-mudahan kalian bisaberkumpul kembali."
"Terima kasih, Ki."
"Jangan khawatir tentang Kajar. Diapasti akan senang berada di sini."Pandan Wangi tersenyum dan bergegasmeninggalkan laki-laki tua bekas kepaladesa pemilik kedai itu. Pandan Wangisengaja memilih jalan belakang agartidak kelihatan oleh Kajar yang berada dikedai depan rumah ini. Sementara KiDandung masih duduk di kursinya denganwajah murung dan gelisah.
Mata tua itu menatap lurus padasebilah pedang yang tergantung didinding. Perlahan-lahan dia bangkit berdiri dan melangkah menghampiri pedangitu. Tangannya terulur meraih pedangbersarung hitam dengan tangkai terbuatdari lapisan emas berbentuk bunga melatidi ujungnya.
"Ki Sampar Bayu..., tidak ada yangbisa mengalahkan dia tanpa pedang emasini," gumam Ki Dandung.
Ki Dandung memasang pedang itu dipinggangnya. Sebentar dia berdirimematung memandang ke luar. Setelahmemantapkan hati, kemudian kakinyaterayun tegap ke luar dari ruangan itu.
Ki Dandung berhenti melangkah ketikaKajar muncul. Bocah laki-laki itumemandangi dengan mata keheranan. Belumpernah dia melihat Ki Dandung menyandang pedang di pinggang.
"Kajar, tolong jaga kedaiku. Layanisetiap tamu yang datang dengan baik,"kata Ki Dandung.
"Aki mau ke mana?" tanya Kajarpolos.
"Ada urusan yang harus akuselesaikan. Sudah, aku pergi dulu."Ki Dandung bergegas melangkah kesamping rumah. Sebentar kemudian diasudah kembali menuntun seekor kuda.
Kajar masih berdiri memandangi dengankepala dipenuhi tanda tanya.
"Ki...!"Namun Ki Dandung tidak lagimendengarkan. Dia segera naik kepunggung kudanya, dan dengan cepat menggebah kuda itu agar berlari cepat.
Debu mengepul tersapu derap langkah kakikuda yang dipacu cepat. Kajar masihberdiri memandangi kepergian laki-lakitua itu.
"Ada apa sih...?" desahnya polos.

*
* *



:::↨֍↨: ( 8 ) :↨֎↨:::

Rangga menghentikan laju kudanyatepat di depan sebuah pondok kecil dilereng Gunung Kanjaran. PendekarRajawali Sakti itu melompat turun dari punggung kuda hitam itu. Matanya tidakberkedip menatap pondok kecil di depannya. Keadaan sekitar pondok inisangat sepi, sepertinya tidak pernah adakehidupan di sini. Tapi keadaan yangbersih dan terawat, menandakan adanyakehidupan.
Singgg...!"Uts!"Rangga memiringkan tubuhnya sedikitke kanan ketika tiba-tiba sebuah bendakecil meluncur deras ke arahnya. Bendaitu lewat beberapa rambut di dekatpundaknya. Belum lagi Pendekar RajawaliSakti itu merubah posisinya, meluncurlagi beberapa benda kecil menghujanidirinya.
"Hup!" Rangga segera mengerahkan jurus'Sembilan Langkah Ajaib'. Sepasangkakinya lincah bergerak dan tubuhnyameliuk-liuk bagai karet menghindarihujan senjata rahasia yang mengancamtubuhnya. Senjata-senjata kecil ituberseliweran di sekitar tubuhnya. Namunsampai sejauh ini, tidak satu pun yangberhasil mengenainya.
"Hup, hiyaaa...!"Cepat sekali jari tangan PendekarRajawali Sakti bergerak menangkap salahsatu senjata rahasia itu, lalu secepatkilat melontarkannya kembali ke arahyang beriawanan.
Srak!Sesosok tubuh melenting ke udara bersamaan dengan meluncurnya satu senjata rahasia. yang berhasil ditangkapRangga ke dalam semak belukar di sampingpondok kecil itu. Bagaikan seekor burungrajawali, tubuh Pendekar Rajawali Saktiitu ikut melenting ke atas, dan dengankecepatan luar biasa, tangannya bergerakmendepak dada orang itu.
"Hugh!"Satu keluhan pendek terdengar. Dantubuh orang itu meluncur deras ke bawah.
Tapi sebelum mencapai tanah, dia sempatberputar dua kali. Dengan manis kakinyamendarat di tanah, bersamaan denganhinggapnya Pendekar Rajawali Sakti ditanah pula.
Rangga mengamati laki-laki tua di depannya. Laki-laki yang sudah menghunustongkat ke depan menyilang di dada ituternyata Ki Sampar Bayu. Rangga langsungbersikap hati-hati dengan orang tua itu.
Tadi dia mengerahkan jurus 'SayapRajawali Membelah Mega' dan telakmenghantam dadanya. Tapi Ki Sampar Bayutidak cidera sedikitpun. Itu menandakankalau Ki Sampar Bayu memiliki tingkatkepandaian yang tidak bisa dianggapremeh.
"Di mana istri Ki Dandung, RatihKencana kau sembunyikan?" tanya Ranggatajam.
"Hhh, rupanya kau sudah tahu banyakurusan ini, Pendekar Rajawali Sakti. Akutidak suka ada orang luar ikut campur dalam urusan keluarga!" dengus Ki SamparBayu.
"Mataku tidak akan tertutup melihatkezaliman tumbuh di muka bumi i«i!" sahutRangga tidak kalah dinginnya.
"Phuih! Kau boleh bangga denganjulukanmu. Orang lain boleh kau gertakseenak perutmu, tapi aku..., tidak!" KiSampar Bayu menggeleng-gelengkankepalanya dengan bibir tersenyum sinis.
"Aku sengaja mengalah malam itu agar kauenyah dari Desa Watu Ampar. Tapi rupanyakau masih membandel juga, Bocah!"
"Jangan banyak omong, Ki SamparBayu! Di mana Nyi Ratih Kencana kausembunyikan?"
"Di dalam kubur!"
"Keparat!" geram Rangga sengit.
"Ha ha ha...!" Ki Sampar Bayu tergelak.
Rangga melihat ke pondok kecil itu ketika tiba-tiba muncul Ki Japalu yangmemiting seorang wanita setengah bayayang lusuh. Sebilah pisau menempel dilehernya.
"Berani bergerak, nyawa perempuanini melayang ke neraka!" gertak KiJapalu.
"Pengecut!" geram Rangga mendesis.
"Kakang Japalu, tinggalkantempat ini. Cepat..!" seru Ki SamparBayu.
"Biar bocah gendeng ini akuyang urus." Ki Japalu menyeret perempuan itumendekan sebuah kereta kuda yang sudahsiap terpancang dekat samping pondok.
Rangga menggeram marah melihatkepengecutan laki-laki itu. Menyanderaseorang wanita tak berdaya. Ki Japalumendorong Ratih Kencana agar naik kekereta kuda itu. Kemudian dia sendirimelompat naik setelah Ratih Kencanaberada di dalam kereta.
"Hiya..., hiya!"Ki Japalu menggebah tali kekangkuda. Kereta kecil itu segera bergerakcepat. Rangga yang menyaksikan semuaitu, semakin berang saja. Dengan sekaligenjot saja, tubuhnya melayang mengejar kereta kuda itu.
"Hih!"Rangga terpaksa menghentikan usahanya ketika Ki Sampar Bayu kembalimemberondongnya dengan senjata-senjatarahasia. Pendekar Rajawali Sakti itusegera turun dan bergulingan di tanahmenghindari serangan senjata rahasiayang gencar itu.
"Hup!"Kembali tubuh Rangga melenting keudara, kali ini dia meluruk deras ke arahKi Sampar Bayu.
"Uts!"Ki Sampar Bayu memiringkan tubuhnyasedikit ke kanan. Dan tongkatnya dikibaskan ke atas menahan terjangan kaki Rangga yang mengerahkan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'. Namun tanpadiduga sama sekali, ujung jari kakiPendekar Rajawali Sakti itu menotokujung tongkat Ki Sampar Bayu, dan kembalitubuhnya berputar di udara.
Buk!Ki Sampar Bayu tersentak kagetketika tanpa didugasama sekali kakikanan Ranggaberhasil mendepakpunggungnya.
Laki-laki tua itubergulingan ditanah, tapi dia cepatbisa bangun lagi. Sementara Ranggasudah siap denyankedua kaki tegak berpijak di tanah.
Trek! Sret...!Rangga melangkah mundur satu rindak ketika Ki Sampar Bayu memotongtongkatnya jadi dua bagian. Ternyatatongkat itu menyimpan dua belah pisaukecil tipis yang sangat tajam berkilatpada ujung-ujungnya yang terpotong jadidua bagian.
Sambil menggeram dahsyat, Ki SamparBayu kembali menyerang dengan duatongkat bermata pisau di tangannya.
Rangga terpaksa melayaninya denganhati-hati. Setiap kebutan dan tusukan senjata Ki Sampar Bayu menimbulkan suara angin menderu yang mengandung hawa panasmenyengat.
Diam-diam dalam hati, Rangga memujikedahsyatan senjata kembar lawannya ini.
Juga jurus-jurusnya yang sangat cepatdan mematikan. Rangga harus lebihhati-hati menghadapinya. Diamengeluarkan semua jurus-jurusandalannya, tapi nampaknya Ki SamparBayu bisa menandinginya dengan mudah.
"Hm..., aku harus mencobanya denganjurus 'Ekor Naga Melibat Gunung'," gumamRangga dalam hati.
Rangga segera merubah jurusnyadengan cepat. Kali ini tubuhnya jadilentur bagai karet, dan tangannya bergerak-gerak meliuk-liuk bagai ular.
Ki Sampar Bayu kelihatannya kebingunganjuga menghadapi jurus ini. Beberapa kalidia harus terdepak ke belakang terkenasampokan tangan Rangga yang kelihatannyalentur itu tapi mengandung tenaga dalamluar biasa.
Tapi hal itu hanya sebentar saja,karena Ki Sampar Bayu cepat tanggap danlangsung menguasai dirinya. Kali iniRangga yang kelihatan kebingungan,karena setiap serangannya dapatdihindarkan dengan mudah oleh lawannya.
"Cabut senjatamu, Bocah!" seru KiSampar Bayu.
"Baik, kalau itu maumu!" sambutRangga. Sret! Cahaya biru berkilau langsungmemancar terang ketika Rangga mencabutPedang Rajawali Sakti dari warangkanya.
Ki Sampar Bayu terbeliak melihat pedangdi tangan Rangga memancarkan cahayaterang menyilaukan mata.
"Tahan jurus 'Pedang PemecahSukma'!" seru Rangga.
"Eits!"Pertarungan kembali berlangsungsengit. Rangga dengan jurus 'PedangPemecah Sukma' kelihatan lebih ungguldibandingkan lawannya. Ki Sampar Bayuharus jatuh bangun menghindari setiapserangan Pendekar Rajawali Sakti.
Tapi sesaat kemudian, laki-laki tua itu sudah bisa menguasai keadaan yangtidak menguntungkan bagi-nya tadi.
Namun.... Hanya sebentar saja Ki SamparBayu bisa bertahan. Detik berikutnya diajadi putus asa, karenagerakan-gerakannya kacau tidak menentu,dan jiwanya juga seperti dirobek-robektak dapat dikendalikan lagi. Seluruhurat-urat syarafnya sepertiterputus-putus tak berfungsi.
"Edan! Kenapa aku jadi begini...?"dengus Ki Sampar Bayu tidak mengerti.
"Terimalah ajalmu, Ki Sampar Bayu!"seru Rangga keras.
Sambil berteriak nyaring, Ranggamelompat sambil menusukkan pedangnya kearah dada Ki Sampar Bayu. Hanya sebentar laki-laki tua itu bisa menatap lebar, detik berikutnya mulutnya menyemburkandarah segar. Pedang Rajawali Saktiamblas ke dada Ki Sampar Bayu sampaisetengahnya.
"Hih!" Rangga menarik kembalipedangnya, dan kakinya melayang derasmenghantam perut Ki Sampar Bayu.
Bug!Ki Sampar Bayu tidak bisa bersuaralagi. Tubuhnya langsung ambruk dengandarah menyembur deras dari dadanya yangbolong tertembus pedang tadi.
Cring!Rangga memasukkan pedang RajawaliSakti ke warangkanya. Sebentar diamenarik napas panjang melihat tubuh Ki Sampar Bayu yang sudah tidak bernyawalagi. Sebenarnya dia tidak inginmembunuh laki-laki tua itu, tapi diaterpaksa melakukannya. Kalau bukan diayang membunuh, tentu Ki Sampar Bayu yangakan membunuhnya.
Sementara itu Ki Japalu yangmengendalikan kereta kuda terus memecutikudanya agar tetap berlari cepatmenuruni lereng Gunung Kanjaran. Disampingnya duduk Ratih Kencana.
"Ki Japalu, berhenti!" tiba-tibaterdengar bentakan keras.
Seketika itu juga Ki Japalumenghentikan lari kudanya. Tampak dariarah samping berlari dua ekor kudamenghampirinya. Ki Japalu langsung mengenali kalau dua penunggang kuda ituadalah Sarman dan Pantula.
"Ibu...," desis Sarman pelan begitusampai di depan kereta kuda yangditumpangi Ki Japalu dan Ratih Kencana.
Sarman turun dari kudanya.
Langkahnya pelan mendekati kereta kudaitu. Matanya tidak berkedip memandangperempuan setengah baya yang duduk disamping Ki Japalu. Keadaannya sangatlusuh dan tubuhnya kurus serta matanyacekung ke dalam.
"Anakku...," desah Ratih Kencanalirih.
"Oh! Tidak...!"Ratih Kencana melompat turun darikereta, dan berlari kencang masuk ke dalam hutan.
"Ibuuu...!"Sarman langsung melompat mengejar, dan Ki Japalu bergegas turun dari keretakudanya. Sementara Ratih terus berlarikencang menerobos lebatnya hutan. Diatidak menyadari kalau arah larinyajustru mendekati bibir jurang.
"Ratih, awas jurang...!" teriak KiJapalu.
"Hiya...!"Sarman melentingkan tubuhnya ketikadi depan Ratih Kencana menganga mulutjurang yang lebar dan cukup dalam. Danbegitu kaki Sarman menjejak tanah di tepijurang itu, mendadak Ratih Kencanamelompat dan....
"Aaa...!" "Ratih!"
"Ibuuu...!"Sarman menjerit sekuat-kuatnya ketika melihat tubuh ibunya meluncurmasuk ke dalam jurang. Dia sudah berusahauntuk menjambret tangan ibunya, tapitidak berhasil. Tubuh Ratih Kencanameluruk deras dan jatuh membentur batu didasar jurang itu.
"Ibu...," rintih Sarman terjatuhlemas di tepi jurang.
Sementara Ki Japalu hanya bisamemandangi dengan mata nanar berair.
Pantula yang masih ragu-ragu kalau ituibunya hanya bisa berdiri menyaksikandengan hati bimbang dan pikiran penuh digeluti bermacam-macam prasangka.
Sarman langsung berdiri tegak. Rintihannya seketika lenyap. Diaberbalik, dan menatap tajam pada KiJapalu. Yang dipandang membalasnyadengan sayu tanpa gairah.
"Pembunuh...!" geram Sarman.
"Kaumembunuh ibuku!"Ki Japalu tidak menyahuti.
"Kubunuh kau, keparat...!Hiyaaa...!"Sarman menjerit melengking serayamenghentak-kan kakinya ke tanah. Begitutubuhnya melayang di udara, dengan cepatdia mencabut pedangnya. Tapi ketikaujung pedangnya hampir saja memenggalleher Ki Japalu yang hanya diam saja, mendadak satu bayangan berkelebatmenahan serangan Sarman.
"Ayah...," desah Sarman melihat KiDandung tiba-tiba muncul.
"Jangan mata gelap, Sarman!" bentakKi Dandung.
"Dia membunuh Ibu, Ayah. Dia harusmati!"Ki Dandung menatap ke dalam jurang.
Darahnya langsung menggelegak melihatmayat istrinya tergeletak di dasarjurang dengan kepala pecah membenturbaru. Pandangannya beralih pada KiJapalu dan Pantula berganrjan.
"Aku tidak tahu, hukuman apa yangsetimpal buatmu, Japalu," kata Ki Dandung tertahan suaranya.
''Bunuh aku," sahut Ki Japalu lirih.
"Tidak...," Ki Dandung menggeleng-gelengkan kepalanya.-"Bunuh aku, Dandung," Ki Japalu memandang Ki Dandung dengan penuh harap.
"Sarman, Pantula, ayo bunuh aku!"Tidak ada yang bergerak memenuhipermintaan Ki Japalu. Semuanya jadi diamterpaku. Lebih-lebih Pantula yangdiliputi kebimbangan dan ketidakpastiandalam dirinya. Peristiwa beruntun yangmenggoncang hatinya membuat Pantulaseperti kehilangan dirinya. Dia tidaktahu lagi siapa dirinya yang sebenarnya,dan untuk apa dia hidup di dunia ini?Sementara Ki Japalu terus meratap meminta dibunuh.
"Ayo kita pulang, Sarman," ajak KiDandung pada anaknya.
Sarman tidak menjawab, dia menurutisaja langkah ayahnya meninggalkan tempatitu tanpa menghiraukan rengekan KiJapalu. Baru saja mereka melangkahbeberapa tindak, mendadak wajah KiJapalu berubah garang, dan dengan cepattangannya merogoh ke balik baju.
Kejadian berikutnya....
"Awas...!" teriak Pantulatiba-tiba.
Ki Dandung dan Sarman langsungberbalik. Mereka terkejut, dan tidakmemiliki kesempatan lagi untuk mengelak.
Jarak mereka begitu dekat, dan Ki Japalu melepaskan dua pisau kecil dengankecepatan tinggi disertai pengerahantenaga dalam yang sangat tinggi.
"Ah...!" Ki Dandung hanya bisamendesah.

*
* *


Pada saat kritis itu, sebuahbayangan putih berkelebat cepatmenangkap dua buah pisau yang meluncurderas ke arah Ki Dandung dan Sarman.
Tap, tap!"Pendekar Rajawali Sakti...," desahKi Japalu kaget setengah mati begitubayangan putih itu berhasil menangkapdua pisau kecilnya.
"Hm..., kau licik sekali, KiJapalu...," gumam Rangga sinis.
"lblis! Binatang...!" geram Sarmanlangsung meluap amarahnya.
Seketika itu juga Sarman melompatseraya mengirimkan beberapa pukulanmautnya. Ki Japalu yang sudah nekad,segera menggeser kakinya sedikitmenghindari pukulan-pukulan itu. Dantanpa diduga sama sekali, dengan cepattangan kanannya menyampok perut Sarman.
"Hugh!" Sarman mengeluh pendek.
Ketika tubuh Sarman membungkuk, KiJapalu mengangkat kakinya dengan kuat,dan tubuh Sarman terpental ke belakangdengan dada sesak terkena hantaman kaki orang tua itu. Ki Japalu memanglah bukantandingan Sarman. Ki Dandung sendirisaat ini harus berpikir dua kalimenghadapi Kepala Desa Watu Ampar itu.
"Japalu, selama ini aku selalumengalah padamu. Sampai perintah guruuntuk menghukummu tidak aku turuti.
Sekarang apa boleh buat, aku harusmenghukummu!" kata Ki Dandung yang sudahhilang kesabarannya.
"Ha ha ha...! Bagus..., bagus,Dandung! Kita memang harus bertarungsampai mati!" sambut Ki Japalu.
Ki Dandung melangkah tiga tindak kedepan. Tatapan matanya tajam dan lurus.
Perlahan-lahan dia menarik pedang yangtergantung di pinggangnya. Pedang pusaka pemberian gurunya yang belum pernah digunakan selama hidupnya. Pedang inimemang khusus diberikan untuk menghukumKi Japalu yang dianggapnya sebagai muridmurtad bertindak di luar batasperikemanusiaan.
"Pedang Karang Melati...," desah KiJapalu.
Wajah laki-laki tua itu seketikaberubah melihat pedang di tangan KiDandung tarhunus. Buru-buru dia merogohke balik bajunya, dan mengeluarkansebuah senjata berupa keris berwarnahitam pekat. Keris itu menyebarkan baubusuk yang tidak sedap.
"Hhh..., rupanya kau juga mencurikeris pusaka Karang Mayit, Japalu," dengus Ki Dandung kaget melihat senjatapusaka itu.
"Aku mau tahu, sampai di manakehebatan pedang Karang Melati melawanKeris Karang Mayit," kata Ki Japalu pelandan datar.
Ki Dandung jadi lebih waspada lagi.
Dia ingat kata-kata gurunya untukwaspada jika berhadapan dengan kerisKarang Mayit. Pedang Karang Melati belumpemah bisa menandingi kehebatan kerisitu. Keris yang mengandung hawa jahat dannafsu membunuh. Pamor yang tidak baikitulah yang membuat senjata itu selalutersimpan di dalam gudang penyimpanansenjata pusaka. Rupanya Ki Japalumencuri senjata itu untuk memperkuat dirinya.
"Tahan seranganku, Dandung...!Hiyaaa...!"Ki Japalu segera menerjang denganjurus-jurus mautnya. Ki Dandungmelayaninya dengan sikap hati-hati danwaspada. Dia selalu berusaha menghindariujung keris Karang Mayit itu darihidungnya. Sekali saja ujung keris ituberada di bawah hidung, akibatnya akanfatal. Aroma busuk yang mengandung racununtuk melemahkan otot-otot dan syarafbisa melumpuhkan seseorang seketika. Danitu sangat diketahui oleh Ki Dandungmaupun Ki Japalu.
Pertarungan berjalan semakinsengit. Beberapa kali Ki Japalu hampir bisa menyorongkan ujung kerisnya kedepan hidung Ki Dandung, tapi dengancepat Ki Dandung menepiskannya denganmengibaskan pedangnya. Dan anehnya,mereka seperti sama-sama tidak inginmembenturkan senjata masing-masing.
"Ugh! Aku tidak bisa bertahan lama.
Bau itu semakin menusuk.... Kepalakupening...," desah Ki Dandung dalam hati.
"Ha ha ha...!" Ki Japalu tertawaterbahak-bahak begitu melihat lawannyamulai tidak menentu jurus-jurusnya.
Sementara Rangga yang memperhatikanjalannya pertarungan itu sudah dapatmenduga kalau beberapa jurus lagi, KiDandung pasti akan tewas di ujung kerishitam itu. Dan dugaan Rangga memang menjadi kenyataan. Ki Dandung sempoyongan ketika satu tendangan telakberhasil disarangkan Ki Japalu kedadanya.
"Mampus kau, Dandung. Hiyaaa...!"Ki Japalu berteriak lantang serayamelesat dengan ujung keris terhunus kedepan. Pada saat itu Ki Dandung tengahberusaha menguasai keseimbangan tubuhnya.
Dan padasaatyang kritisitu, tiba-tiba Pantula melesatcepat menerjang ke arah KiJapalu.
"Pantula...!"sentak Ki Japalu kaget. Buru-buru orang tua itumenarik kembali senjatanya.
"Tapi...."
"Aaakh...!"
"Pantula...!"Ki Japalu terkejut setengah mati. Pantula seperti sengaja menghujamkantubuhnya ke ujung keris di tanganayahnya. Ki Japalu segera menarikkembali kerisnya yang tertanam di dadaPantula. Pemuda itu langsung roboh ketanah mengerang lirih
"Pantula...," pelan dan tertahansuara Ki Japalu.
Bibir Pantula bergerak-gerakbergetar.
Ki Japalu berlutut dan mengangkattubuh Pantula ke dalam pelukannya. Dadaberlubang yang bekas tusukan keris itumenghitam pekat. Darah yang ke luar jugaberwarna kehitaman dan berbau tidak sedap.
"Pantula, anakku...," rintih KiJapalu.
"Jangan panggil aku anakmu, KiJapalu. Kau bukan ayahku," lirih suaraPantula.
"Pantula...."
"Sudah seharusnya aku mati ditanganmu. Ibu..., maafkan aku.... Akh!"
"Pantula...!" jerit Ki Japalu.
Pantula terkulai lemas dengan nyawamelayang dari tubuhnya. Ki Japalumenangis tersedu-sedu memeluk anaknya.
Pantula adalah darah dagingnya sendiridari rahim Ratih Kencana. Ki Japalusangat mencintainya karena Pantula lahirdari rahim wanita yang sangat dicintai dan dipuja-pujanya. Dia rela melakukanapa saja demi mencapai harapannyamemiliki Ratih Kencana. Tapi sekarangsemuanya telah tiada. Tak ada sesal yangdatang lebih dahulu.
Kasih sayang yang diberikan KiJapalu terhadap Pantula dan Segaramemang sangat berbeda. Dia tidak begitumencintai Segara, karena lahir dariwanita yang tidak dicintainya, meskipunSegara anak syah. Ki Japalumenggerung-gerung menangisi putrakesayangannya. Perlahan-lahan kepalanyaterangkat naik menatap Ki Dandung.
"Kau menang, Dandung. Kau selalumenang dariku...," lirih suara KiJapalu. Ki Japalu mengangkat tubuh anaknya.
Dia tidak peduli lagi dengan orang-orangdi sekitarnya. Dengan langkah lesu, diamembawa mayat Pantula. Di juga tidakpeduli dengan keris Karang Mayit yangmenggeletak di tanah. Ki Japalu terusmelangkah pelan-pelan membawa mayatanaknya meninggalkan tempat itu.
Rangga memungut keris Karang Mayityang ditinggalkan Ki Japalu. Diamenghampiri Ki Dandung dan menyerahkansenjata keramat itu. Ki Dandungmenerimanya dengan mata nanarberkaca-kaca. Betapapun dia tidakmenyukai tindakan saudaraseperguruannya itu, tapi melihat begitu besarnya cinta dan kasih sayangnya padaPantula, luruh juga hatinya.
"Sebenarnya dia mempunyai hati yangbaik. Sayang, pengaruh adiknya begitukuat sehingga terperosok ke dalam jurangsesat," kata Ki Dandung lirih.
"Mudah-mudahan dia menyadarikekeliruannya," desah Rangga.
"Ya, itu yang aku harapkan."Rangga melangkah mundur.
"Rasanya aku tidak bisa lama disini. Aku harus pergi," kata Ranggapamitan.
"Heh, tunggu...!" sentak KiDandung.
Tapi Rangga sudah beranjak pergi.
Bersamaan dengan itu muncul kuda hitam yang ditinggalkannya tadi. Kuda itu berlari mengikuti kepergian Rangga.
Tampaknya dia sangat nurut pada PendekarRajawali Sakti. Melihat demikian, Ranggapun langsung.meloncat ke punggung kudaitu. Bagaikan angin saja, kuda hitam ituberpacu cepat menembus lebatnya HutanGanda Mayit.
"Ayah, kenapa tidak mengatakankalau Pandan Wangi mencarinya?" tegurSarman.
"Dia pergi seperti angin saja...,"keluh Ki Dandung.
Rangga memang cepat sekalimenghilang. Bayangannya sudah tidakkelihatan lagi dalam sekejap.
"Bagaimana kalau Pandan Wangi menanyakannya, Ayah?" tanya Sarman.
"Aku harus mengatakannya terus terang," sahut Ki Dandung.
"Ayo kitapulang."Sarman tidak membantah. Diamengikuti saja langkah ayahnya yangsudah lebih dulu meninggalkan tempatini. Tapi baru beberapa tombak merekaberjalan, tiba-tiba Pandan Wangi muncul.
"Maaf, aku kesasar," kata PandanWangi mengakui.
"Aku tidak tahu daerahini...."Ki Dandung dan Sarman salingberpandangan. Pandan Wangi memandangberkeliling. Dia sedikit heran karenatidak ada satu mayat pun menggeletak. Apayang terjadi sebenarnya...?
"Aku tidak bisa mencegah. Dia sudahpergi," kata Ki Dandung pelan.
"Siapa?"
"Orang yang kau cari."
"Rangga...? Ke mana perginya?"
"Ke arah Utara."Tanpa berkata apa-apa lagi, PandanWangi langsung melesat pergi ke arahUtara yang ditunjuk Ki Dandung.
Laki-laki tua itu hanya mendesah panjangmemandangi tubuh gadis itu yang segeralenyap di balik rimbunnya pepohonan.
"Ayo," ajak Ki Dandung pada anaknya.
"Ayah...," Sarman menarik tanganayahnya.
"Ada apa lagi?"
"Ibu...."
"Oh!"Mereka bergegas ke jurang. Tanpa banyak bicara lagi, Ki Dandung segeramenuruni jurang yang cukup dalam itu.
Sementara Sarman menunggunya di bibirjurang. Tidak sulit bagi Ki Dandung yangmemiliki ilmu cecak untuk menurunijurang itu. Telapak kakinya sepertinyamerekat di bebatuan yang banyakberserakan sepanjang jurang.
Sebentar saja laki-laki tua itusudah bisa mencapai tempat di mana RatihKencana tergeletak tak bernyawa di atasbebatuan. Ki Dandung mengangkat tubuhistrinya itu, dan membawanya naik keatas. Tubuhnya ringan bagai kapas berlompatan dari satu batu ke batu lainnya. Sebentar saja dia sudah sampaidi tepi jurang. Sarman menggantikanayahnya membawa Ratih Kencana.
"Kita harus menguburkan sebelumpara penduduk desa tahu," kata KiDandung.
"Ya, Ayah," sahut Sarman tersedak.
Mereka kembali melangkahmeninggalkan tempat itu. Arah yangditempuh bukannya menuju ke Desa WatuAmpar, tapi menuju ke tampat pemakamanyang berada di pinggiran Hutan GandaMayit. Sementara matahari sudah condongke arah Barat. Sinarnya tidak lagi terikmenyengat. Dua laki-laki itu terusberjalan tanpa berkata-kata. Hutan Ganda Mayit jadi saksi bisu perselisihan satukeluarga itu, juga jadi saksi cintaantara dua pendekar tangguh yang belumsempat dipertemukan kembali. Apakahkedua pendekar itu akan berkumpulkembali...?

SELESAI



INDEX PENDEKAR RAJAWALI SAKTI
Rahasia Puri Merah --oo0oo-- Api Di Karang Setra


Berita Top News - ANTARA News

Suara.com - Informasi Berita Terkini dan Terbaru Hari Ini

Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.

Followers