Life is journey not a destinantion ...

Sumpah Sepasang Harimau

INDEX AJI SAKA
55.Perintah Maut --oo0oo-- 57.Perguruan Kera Emas

AJI SAKA
DEWA ARAK
Penerbit Cintamedia, Jakarta

1

Srakkk...! "Keparat!" Bunyi berkerosakan yang disusul dengan suara makian keras penuh kejengkelan, merob ek keh eningan suasana yang masih diselimuti kegelap an.
Sebenarnya, saat itu malam telah berlalu. Tugas rembulan, telah hampir usai.
Hanya saja sang Surya belum menampakkan diri di ufuk timur. Meskipun demikian, kicau burung sudah mulai terdengar. Kokok ayam jantan pun sesekali bersuara, seakan hendak menyambut pagi.
Di tengah suasana sep erti itulah suara maki an tadi terdeng ar dari mulut sesosok tubuh berpakaian hitam. Wajahnya tak tampak karena tertutup kain hitam dari bawah mata sampai ke leher. Kain itu diikatkan ke belakang kepala. Hal itu sebagai pertanda kalau dirinya tak ingin dikenal.
"Hih!" Dengan menggeram, sosok berpakai an hitam itu menarik kuat-kuat kakinya. Ternyata salah satu kakinya terperosok ke dalam sebuah lubang yang tak terlihat karena tertutup semak -semak dan rerumputan. Lubang itu kecil tapi cukup dalam. Sosok berpakaian hitam itu tampak merasa kesakitan, mungkin kalau tak tertutup kain, mulutnya meringis-ringis menahan nyeri di kaki yang terjepit lubang itu. Hanya matany a yang tajam tampak jelalatan ke sana kemari, seperti ada yang tengah diawasi.
Namun sosok berpakaian hitam itu tidak mempedulikan rasa sakit yang mendera. Begitu terbebas d ari lubang, kakinya kemb ali metanjutkan perjalanan. Langkahny a terburu-bu ru sekali. Sehingga tampak agak terpincang -pincang. Karena k aki sebelah kan an yang terperosok di lubang tadi, dirasakan masih sangat sakit ketika dijejakkan ke tanah.
Srak! Srak! Srak! Bunyi berkerosakan dari semak-semak dan rerumputan yang dilewati sosok berpakaian hitam itu terdengar, hampir tiada henti.
Terlihat jelas, sosok berpakai an hitam itu tengah tergesa-g esa.
Setelah cukup lama men erobos semak -semak d an rerumputan, akhirnya sosok berpakaian hitam itu sampai di sebuah tanah lapang yang membentang luas. Tak satu pun pohon besar yang m enghalangi tempat itu, kecuali rumput-rumput pendek dan kering......
Sosok berpakaian hitam itu menghentikan langk ah dan mengedark an pand angan. Namun, hal itu hanya dilakukannya sebentar.
Sesaat kemudian, kakinya kembali diayunkan. Kali ini lebih cepat dari sebelumnya. Rupanya ras a sakit yang melanda k aki telah mulai berkurang. Ternyata sosok berpakaian hitam itu bukan orang sembarang an.
Setidak-tidaknya, memiliki ilmu yang cukup tinggi. Hal itu dapat dibuktikan dari larinya yang cepat dan gesit Tak berapa lama kemudian, dalam jarak belasan tombak di hadapan sosok berpakai an hitam, samar-sam ar tampak s ebuah b angunan. Ke tempat itulah kakinya diayunkan. Hanya dal am beberapa k ali lesatan, tubuhnya telah berad a tepat di depan bangun an itu. Sebuah bangunan yang tampak menyeramkan. Apalagi dalam suasana pagi yang masih gelap dan sunyi seperti ini.
Setelah berhenti di depan bangunan itu diedarkan matanya, mengawasi ke sekitar pekarang an yang luas. Bangunan tua itu tampaknya sudah tak berpenghuni. Hal itu bisa dibuktikan dari keadaannya yang terbengk alai seperti tak terawat. Pepohonan kecil tampak meranggas di tengah halaman luas yang kotor.
Setelah puas memperhatikan, sosok berpakaian hitam itu lalu melangkah menuju bagian kiri bangunan. Ada suatu yang aneh di bagian itu. Di sana tampak tertancap seb atang tombak berwarna mengkilat.
Setengah dari tombak itu menancap di tanah. Hal itu membuktikan betapa kuat tenaga dal am yang telah menghunjamkannya.
Begitu berada di dek at tombak, sosok berpakaian hitam itu menghentikan langkah. Ditolehkan kepalanya ke sana kemari. Seakan-akan tak ingin ada orang lain melihat tindakan yang akan dilakukanya. Setelah merasa yakin tidak ada orang melihat, sosok berpakaian hitam itu memasukkan tangan kanannya ke balik baju. Sesaat kemudian tangan nya telah keluar dengan menggenggam segulungan surat dan sebuah kantung kain seb esar k epalan b ayi. Kantung yang tampak menggembung itu mengeluarkan bunyi berdencing nyaring ketika dikeluarkan Setelah kembali menoleh ke sana kemari, sosok berpakaian hitam itu buru-buru menggantungkan gulungan surat dan kantung kain ke gagang tombak.
"Hhh...! Akhirnya selesai juga tugasku. Kini tinggal menunggu hasilnya. Ha ha ha...! Tunggulah kematianmu, Bima Seta! Ha ha ha...!" ujarnya seray a tertawa terbah ak-bah ak, merasa puas dan bangga. Rasa gembira itu pun tampak tersirat dari sepasang matanya yang tak tertutup kain.
Masih dengan tawa yang belum putus, sosok berpakaian hitam segera meninggalkan tempat itu. Hanya dalam beberapa kali lesatan, tubuhnya telah menjauh, dan akhirnya lenyap ditelan kegelapan pagi

***

"Aneh...! Aku tak mengerti arti semua itu, Kang." Sebuah pertanyaan dengan suara lembut terdengar, ketika tubuh sosok berpakaian hitam telah jauh meninggalkan bangunan itu. Suara itu beras al dari salah satu pohon yang berada tak jauh dari bangunan tua.
Ternyata pada sal ah satu cab ang pohon besar di sebel ah kanan bangunan itu, tampak dua sosok tubuh yang duduk berdampingan.
Rimbunnya dedaunan pohon ditambah suasana pagi yang masih gelap, membuat keberad aan mereka sulit untuk diketahui.
"Aku juga tidak mengerti, Melati," timpal sosok lainnya.
"Tapi jelas..., ada seseorang yang tengah terancam jiwanya! Dan orang itu bernama Bima Seta.
Sementara orang yang mengincar nyawanya, kuduga orang berpakaian hitam tadi. Tapi..., mengapa tindakan yang dilakukannya seperti itu?" Terdengar jelas perb edaan kedu a suara itu. Yang pertama lembut, dan agak melengking. Sedangkan yang belakangan suaranya mantap, dan agak berat. Jelas, suara pertama keluar dari mulut seorang wanita.
"Mungkin ada hubungannya dengan benda-b enda yang digantungkan pada gagang tombak itu, Kang," ujar wanita yang dipanggil Melati.
"Mungkin kau benar," sahut pemilik suara l elaki.
"Tidak ada salahnya kalau kita memeriksanya. Toh, ini semua demi kebaikan." Belum juga lenyap ucapan pemilik suara kedua itu, dari atas pohon melesat turun dua sosok bayangan, putih dan ungu! Dan....
Jliggg! Seringan kapas, dua sosok yang t adi berada di atas pohon menjejakkan kaki di tanah. Jelas, keduany a mempunyai ilmu meringankan tubuh yang telah sempurna.
Kedua sosok itu segera menghampiri tempat sosok berpakaian hitam menaruh benda-b enda yang dibawanya. Terlihat tindakan mereka tidak begitu tergesa-gesa. Dalam jilatan sinar bulan yang remang-remang, terlihat cukup jelas ciri-ciri merek a. Sosok pertama seorang gadis berwajah cantik jelita.
Rambutnya panjang tergerai. Sehelai pakaian putih membungkus tubuhnya yang ramping.
Sedangkan sosok kedua, ternyata seorang pemuda tampan berusia sekitar dua puluh satu tahun. Wajahnya memperlihatkan kejantananny a.
Tubuhnya yang kekar dan berotot, dibungkus pakaian ungu.
Ada sebuah keanehan p ada pemuda berpakaian ungu itu. Rambutnya yang panjang b erwarna putih kep erak an. Warna rambut yang biasanya hanya dimiliki orang-orang berusia lanjut.
Kini bisa ditebak siapa sebenarnya pemuda berambut putih keperakan itu. Ya! Arya Buana. Lelaki muda yang lebih terkenal dengan julukan Dewa Arak ! Dengan pandang an tertuju pada benda-benda yang tergantung di batang tombak, Arya d an Melati terus melangk ah mend ekat. Namun, ketika jarak ant ara pas angan muda-mudi itu dengan sasaran tinggal tiga tombak lagi, tibatiba berkeleb at sesosok bayang an hitam yang melesat begitu cepat. Dan....
Brettt! Dalam sekejap gulungan surat dan kantung kecil itu telah lenyap dari tempatnya. Sosok bayangan hitam itulah yang menyambarnya! Kemudian dengan kecep atan luar biasa, sosok bayangan itu melesat meninggalkan tempat Dewa Arak dan Melati berada.
Kejadian itu berlangsung demikian cepat sehingg a sulit untuk dirinci rentetanny a. Yang jelas, baik Dewa Arak maupun Melati baru menyadari ketika sosok bayangan hitam itu telah melesat jauh.
Meskipun demikian, sepasang pendek ar ini sempat melihat kalau sosok bayangan hitam itu bukan manusia. Ya, bukan! Melainkan seekor burung.
Sepasang pendek ar muda itu hanya bisa memperh atikan burung itu melayang di bawah cahaya bulan yang temaram. Semakin lama semakin jauh, sampai akhirnya lenyap dari pandangan mata. Ditelan kejauhan dan suasana rem ang-malang malam menjelang pagi.
Melihat kejadian barusan, Dewa Arak dan M elati hanya s aling pandang. Ada sorot keheran an dan rasa pen asaran meman car di mata mereka.
"Aku jadi semakin tidak mengerti, Kang," ujar Melati, lirih tak ubahnya mirip bisikan. Kepalanya menggel eng-gel eng perlahan.
"Hhh...!" Dewa Arak pun hanya menyahut dengan hel aan nap as panjang.
Sedangkan tatap annya diarahkan k e langit, seperti tengah men cari jawaban atas pertanyaan kekasihnya di sana.
"Bukan kau saja yang tak mengerti, Melati. Aku pun merasa heran.
Apa arti semua kejadian an eh ini"! Hanya satu yang berhasil kusimpulkan. Dan kurasa kau pun mengetahuinya...." Dewa Arak menghentikan ucap annya. Ditatapnya sejen ak wajah Melati. Sikap dan pandangan matanya s eakan -ak an tengah menunggu jawaban dari gadis berpakaian putih itu.
"Apa itu, Kang?" Ternyata bukan jawaban yang diberikan Melati, melainkan pertanyaan bern ada penuh ras a ingin tahu.
"Ada seseorang yang tengah teran cam kesel amatanny a! Kau tahu kan siapa yang kumaksudkan?" "Maksudmu..., Bima Seta"!" tanya Melati, ragu-ragu.
"Tepat!" sahut Dewa Arak sambil mengacungkan ibu jari.
"Dialah yang kumaksudkan.
Ada bahaya besar yang tengah mengancam keselamatan Bima Seta. Kita harus menyelamatkannya, Melati!" "Aku setuju saja, Kang! Tapi.., ke mana kita harus mencari Bima Seta" Kita belum tahu di mana tempat kediamannya. Dan yang lebih repot lagi, kita belum pernah melihat orang itu. Jelas, kita belum pernah mengenal nama Bima Seta. Lalu..., bagaimana cara kita mencegah pembantaian itu?" tanya Melati, seakan-akan meragukan tindakan penceg ahan itu.
"Hanya ad a dua cara, Melati," sahut Dewa Arak cepat.
"Pertama, kita cari orang yang tadi datang kemari." "Lalu..., apa cara yang satunya lagi, Kang?" desak Melati tidak sabar menunggu.
"Mengejar burung yang telah mendahului kita, menyambar barang -barang di tombak tadi. Memang, hal ini lebih sulit. Tapi yang jelas, kita tahu arah yang ditempuh binatang itu. Kita ikuti dan selidiki.
Mudah-mudahan saja, belum terlambat!" "Kalau begitu maksudmu, kita harus cep at bertindak, Kang ! O, ya.
Apa tindakan kita sekarang?" tanya M elati seray a menatap wajah kekasihnya.
"Mengejar orang berp akai an serba hitam tadi!" jawab Ary a dengan suara tegas dan mantap. Usai berkata demikian, Dewa Arak langsung mengayunkan kaki dengan gerakan luar bias a. Hanya dengan sek ali lesatan, tubuhnya telah berada dalam jarak belas an tombak dari tempat semula.
Melihat hal ini, Melati tak mau kalah. Gadis itu pun segera mengayunkan kaki. Hanya dalam sekejap mata, tubuhnya juga telah melesat belasan tombak. Sesaat kemudian, pasangan pendek ar muda ini telah samasam a melesat menuju arah yang di tempuh sosok berpakaian hitam.

***

"Tuan...! Tuan Besar...! Aku datang, Tuan Besar...!" Suara teriak an keras dan parau deng an logat yang aneh lerdeng ar beberapa kali. Sesosok tubuh yanq tengah terbaring di atas balai-balai bambu terbangun.
Perlahan-lah an kelopak matanya membuka "Ah...! Kau rupanya, Raja," gumam sosok yang terbaring di atas balai-balai bambu, setelah terlebih dulu menggeliatkan tubuh.
"Sepagi ini kau sudah membangunkanku. Apa ada pekerjaan yang harus kulakukan?" "Benar, Tuan...! Benar! Dan aku telah membawany a...!" sahut pemilik suara serak dengan logat aneh itu.
"Ya. Aku telah melihatnya. Sini, berikan padaku...!" pinta sosok yang tergolek di balai-balai seraya bangkit dari berbaring, lalu perlahan -lahan duduk.
Pemilik suara serak dan berlog at aneh itu pun langsung meluncur menuju balaibalai bambu. Ternyata suara parau dan berlogat aneh itu keluar dari mulut seekor burung cukup bes ar. Sayapnya yang leb ar terkepak.
Wrettt! Jrabbb! Dalam sekejap burung itu telah hinggap di bahu kanan sosok lelaki yang dipanggil Tuan Besar. Sosok lelaki setengah baya, berkumis tebal yang duduk di pembaringan segera mengelus burung berbulu hitam itu. Kemudian tangannya diulurkan untuk mengambil gulungan surat dan buntalan kecil yang tergeletak di balai-balai. Tampaknya burung besar yang dipanggil Raja telah menjatuhkan kedua b enda itu di balai-balai bambu sebelum hinggap di bahu pemiliknya. Perlahan-l ahan dibukanya tali pengikat gulungan surat yang terbuat dari kulit binatang itu. Pada lembaran yang tampak halus tertera sed eret tulisan hitam.
Lelaki berkumis tebal itu segera membacany a dalam hati.
Utusan dari Akhirat.
Lewat surat ini aku mengutusmu untuk menghabisi nyawa Bima Seta. Kau tahu kan, siapa Bima Seta itu" Ya. Dia adalah Kepala Desa Jarak. Siang ini dia akan pergi berburu ke Hutan Saragan. Kau bisa menghabisi nyawanya di sana. O, ya. Di dalam buntalan kecil itu telah kusediakan uang imbalannya. Hitunglah! Aku rasa jumlahnya cukup.
Sampai di sini, lelaki bertubuh tinggi dan berkumis tebal menggulung kembali surat itu. Ada seulas senyum tersungging di bibirnya. Lalu, setelah meletakkan gulungan kulit binatang itu di balai-balai bambu, segera diambilnya kantung kecil dari kain hitam itu.
Setelah tali pengikat dilepas, segera dikeluark an isinya.
Cring! Cring! Bunyi berdencing nyaring terdengar ketika ben da-bend a logam yang ternyata uang itu berjatuhan di telapak tangannya.
"Ha ha ha...!" Lelaki berkumis tebal itu tertawa terbahak-bah ak. Sebuah tawa yang menyiratkan kegembiraan.
"Kau tahu isi surat itu, Raja"!" tanya lelaki berkumis tebal itu pada burung hitam yang masih bertengger di pundaknya.
"Tahu, Tuan Besar! Sebuah tugas, bukan"!" sambut burung berbulu hitam itu dengan suara serak dan logat yang aneh.
"Ha ha ha...!" Ledakan tawa lelaki berkumis tebal yang ternyata berjuluk Utusan dari Akherat itu pun semakin keras menggelegar, sehingga membuat seisi ruangan berg etar h ebat. Hal itu pertanda kal au dia mengerahkan tenaga dalam ketika mengumbar tawa yang bern ada penuh kegembiraan itu.
Masih dengan suara tawa yang belum putus, Utusan dari Akherat menimang-nimang kepingan-kepingan uang di tangannya. Namun tiba-tiba tawanya terh enti ketika burung hitam itu menyelak.
"Tuan...! Tuan Besar...! Aku sudah tidak tahan lagi...! Seluruh tubuhku terasa gatal! Aku ingin kembali ke warna asliku...!" "Oh, iya! Aku sampai lupa Ayo, Raja! Aku pun harus segera mempersiapkan diri untuk melaksanakan tugasku!" Usai berkata demikian, Utusan dari Akherat langsung bangkit dari duduknya. Lalu melangkahkan kaki meninggalkan kamar tidurnya.

2

Derap k aki kuda yang beradu dengan bumi menambah hiruk-pikuk keadaan di dalam Hutan Saragan. Kalau semula yang terdengar hanya kicau burung dan teriakan-teri akan binatang penghuni hutan, kini gemuruh langkah kaki kuda seakan-akan hend ak memecahk an suasan a.
Namun kemudian kuda coklat bertubuh kekar itu tampak melangkah perl ahan, karen a penunggangny a tidak memacu cep at.
Bahkan seperti memang disengaj a agar binatang tunggangannya tidak berjalan cepat. Dia sibuk memperhatikan keadaan sekitar tempat itu.
Penunggang kuda itu ternyat a seorang lelaki seteng ah bay a, berpak aian coklat muda. Kepalany a menoleh ke sana kem ari, seakan -akan ad a sesuatu yang tengah dicariny a. Bahkan beberap a kali tali kekang kudanya ditarik dengan maksud agar berhenti. Sesekali langkah binatang tunggangannya berh enti. Mata lelaki itu jelalatan mengawasi tempat di sekitarnya yang tampak sepi dan sunyi.
Lelaki berpakai an coklat muda itu ternyata tidak sendirian. Di belakangny a, berjajar dua ekor kuda hitam yang masing-masing ditunggangi lelaki bertubuh kekar dan berwajah sangar. Gagang pedang tampak menyembul dari balik punggung mereka. Berbeda deng an lelaki berpak aian cokl at muda, dua lelaki bertubuh k ekar itu tampak b egitu waspada.
Ketiga lelaki penunggang kuda itu semakin jauh memasuki Hutan Saragan. Namun lelaki berpakai an coklat muda yang berada di depan, tampaknya tak mempedulikan keadaan hutan itu.
Lelaki berpak aian coklat muda menghentikan langkah kudanya ketika tiba di dekat hamparan padang rumput yang luas. Dengan sebuah gerak an indah tubuhnya melompat turun dari punggung kuda.
Jliggg! Dengan mantap dan kokoh kedua kakinya hinggap di tanah.
Kemudian pandang annya dialihkan ke arah dua lelaki kekar yang masih duduk di punggung kuda masing-masing. Mereka segera melompat turun.
"Ambilkan busur itu, Birawa!" pinta lelaki berpakaian coklat muda.
Salah seorang dari dua penunggang kuda hitam itu segera mengambil busur yang tergantung di punggung. Lalu diberikannya pada lelaki berpakaian coklat muda.
"Ini, Ki," ucap lelaki yang berbibir teb al dan hitam itu, penuh hormat.
Lelaki berpak aian coklat muda hanya menganggukkan kepala perlahan s eray a menerima busur b esar itu. Lalu, tanpa mempedulikan kudanya, segera melangkah menuju hamparan rerumputan yang ada di sebelah kiri mereka.
Sambil melangkah perlahan, tangan lelaki berpakaian coklat muda itu melolos anak panah dari kantung panjang y ang terg antung di punggungnya.
Ternyata bukan hanya s ebatang, melainkan du a batang anak pan ah. Kemudian yang lebih mengherankan, keduany a dipasang pada tali busur.
Dan kini, dengan sikap siap meluncurkan anak panahnya, lelaki berpak aian coklat muda itu berjalan mengendap-end ap menyibak rerumputan. Namun tentu saja bukan karen a rerumputan yang telah menghalangi langkahnya, hingga langkahnya tampak berhati-hati sekali.
Ternyata puluhan tombak di hadapannya ad a beberapa eko r kijang yang tengah merumput. Rupanya binatang-binatang itulah yang telah menarik perhatianny a.
Lelaki berpak aian coklat muda bertindak hati-hati sekali. Seolah-olah khawatir kalau kelompok binatang itu mengetahui kehadiranny a. Sehingga dengan perlahan-lahan kakinya mendekat sampai pada jarak jangk auan panah. Sesekali tubuhnya menyelinap di balik pohon besar yang rumbuh di sekitar tempat itu.
Sementara itu, dua lelaki berwajah kasar yang rup anya peng awal lelaki berpak aian cokl at muda itu, hanya mengawasi dari kejauh an.
Kuda mereka, seperti juga milik lelaki berpak aian coklat muda, telah ditambatkan di bawah pohon.
"Bagaimana kalau kita bertaruh, Sempani"!" tanya Birawa setengah mengajak.
Lelaki yang dipanggil Sempani tak langsung memberikan jawaban.
Wajahnya tampak tercenung sambil menatap tajam mata Birawa.
"Bertaruh apa, Birawa"!" "Begini. Ki Bima Seta hendak memanah kijang-kijang itu. Nah! Itulah yang akan kita pertaruhkan. Apakah Ki Bima Seta akan berhasil atau tidak"!" jawab Birawa seray a mengangguk-anggukkan kep ala.
"Baik. Kuterima ajakanmu," sambut Sempani.
"Kutebak, beliau akan berh asil memanah salah satu di antara kijang-kijang itu." Birawa tersenyum. Kepalany a kembali mengangguk-angguk.
"Kau cerdik, Sempani! Kau tak memberiku kesempatan lain! Apa boleh buat, meskipun aku tahu pasti kalau majikan kita itu mempunyai kemampuan memanah yang luar biasa, terpaks a kuterima pilihan lainnya. Asal kau tahu saja, kita bertaruh dengan sebulan penghasilan kita!" "Ya, aku setuju!" sahut Sempani cepat, sambil melepas senyum gembira. Wajahnya menggambarkan key akinan bahwa dia bakal memenangkan taruh an itu.
Kini, Birawa dan Sempani mengalihkan pan dangan, memperhatikan lelaki berpakai an coklat muda yang ternyata bernama Ki Bima Seta.
Tampak di sela-sela rerumputan yang agak tinggi, Ki Bima Seta tengah berjalan mengend ap-endap. Busur panahnya yang besar telah siap direntang di depan wajah.
Rupanya Sempani yang akan memenangkan pertaruh an. Masalahnya, sampai Ki Bima Seta berada para jarak jangkauan anak panahnya, kijang-kijang itu tampak masih sibuk merumput. Mereka tampaknya tidak menyadari akan adanya ancam an maut yang tengah mengintai. Ki Bima Seta merasakan jantungnya berd ebar teg ang. Apalagi ketika mulai membidikkan panah nya. Sudah terbayang di ben aknya betapa kedua an ak panah itu akan melesat cepat dan menembus tubuh salah satu kijang itu. Tentu saja kijang paling gemuk dan besar yang menjadi sasaranny a. Namun tiba-tiba....
Srakkk! Blukkk! Sebuah batu sebesar k epalan meluncu r dan jatuh di dekat sekawan an kijang itu. Tentu saja kejadian itu membuat binatang-binatang itu terkejut bukan kepalang, dan langsung berhamburan melarikan diri.
Kejadian yang sama sekali tak terduga dan tiba-tiba ini membuat Ki Bima Seta terkejut dan marah bukan kepalang. Padahal, sudah terbayang di benaknya bet apa seekor kijang yang paling bes ar dan g emuk akan menggelepar tertembus anak panahnya. Maka secara untung-untungan, dilepaskan anak panah dari busurnya. Trakkk! Swing...! Dengan kecepatan tinggi, kedua anak panah melesat ke arah sekawan an kijang yang tengah b erlari an dari tempat itu. Hasilnya memang seperti yang diduga Ki Bima Seta. Kedua anak panah itu hanya menyambar angin! "Keparat!" maki Ki Bima Seta geram. Disadari kalau kegagalan usahanya itu disebabkan ad anya ganggu an yang tidak terduga.
"Monyet gila dari mana yang telah menggangguku hari ini, heh..."! Keluar kau, Pengecut! Jangan bersembunyi! Tampakkan dirimu!" Sambil mengeluarkan teri akan-t eriak an geram bernad a tantang an, Ki Bima Seta mengedarkan p andang an mengawasi sekelilingnya.
Hatinya merasa penas aran ingin segera melihat orang yang telah berbuat usil tadi.
"Siapa yang bersembunyi, Bima Seta"! Sejak tadi aku di sini!" sahut sebuah suara. Ki Bima Seta terjingkat kaget bagai disengat ular berbisa, masalahnya, suara itu berasal dari atas kepalanya. Langsung saja kepalany a didongakkan. Untuk kedua kalinya, lelaki berpakaian coklat muda itu terjingkat kaget. Bahkan kali ini sampai tersurut mundur. Tepat di atas kepalanya, pada salah satu cabang pohon, duduk mencangkung sesosok tubuh berpak aian hitam.
Dan belum sempat Ki Bima Seta berbuat sesuatu, sosok berpakaian hitam itu telah melesat meninggalkan tempat duduknya. Gerakan yang dilakukannya begitu cepat dan tampak indah.
Jliggg! Dengan begitu ringan sosok berpakaian hitam itu mendaratkan kedua kakinya di tanah. Ini menjadi pertanda kalau ilmu meringankan tubuhnya amat tinggi.
"Siapa kau"!" tanya Ki Bima Seta seraya menudingkan jari telunjuknya. Matanya yang tajam merayapi sosok yang berdiri sekitar tiga tombak di depannya. Sesosok berpakaian serba hitam itu bertubuh tinggi dan kurus. Sebuah selubung hitam yang dikenakan membuat wajahnya tidak terlihat. Hanya sepasang matanya yang tampak karena tepat pada bagian mata, terdapat dua buah lubang.
"Siapa diriku sebenarny a, nanti kujelaskan belak angan. Yang lebih penting lagi kau, Bima Seta! Apa kau terkejut karena tindakan yang kulakukan itu, Bima Seta"!" tanya sosok berselubung hitam bernada tak acuh.
"Dari mana kau tahu namaku, Keparat"!" tanya Ki Bima Seta, tak dapat menyembunyikan peras aan kag etnya.
"Dan siapa s ebenarnya dirimu" Aku belum pernah mengenalmu! Mengapa kau mencampuri urusanku"!" "He he he...! Tidak usah kaget, Bima Seta! Aku hanya ingin memastikan saja kalau kau orang yang kucari," sosok berselubung hitam itu tertawa terkekeh, menyad ari pancinganny a berhasil.
Ki Bima Seta kontan terdiam. Sama sekali tidak disangka kalau dirinya telah masuk perangkap sosok berselubung hitam itu.
"Hm..., ada apa kau mencariku"! Aku merasa tidak pernah punya urusan denganmu," ujar Ki Bima Seta, agak terbata-bata.
Sebenarny a laki-laki berpak aian coklat muda ini bukan o rang sembarang an. Namun, penampilan dan sikap sosok berselubung hitam itu membuatnya harus bersikap hati-hati. Apalagi tadi telah disaksikan sendiri kemampuan sosok tidak dikenal itu. Ilmu meringankan tubuhnya jelas telah mencapai tingkat tinggi. Meskipun, tingkat kepandaian dan tenaga dalam sosok ini belum dilihat, Ki Bima Seta bisa memperkirak annya.
"Semula memang tidak, Bima Seta," masih tetap tenang ucapan sosok berselubung hitam.
"Tapi, sekarang di antara kita ada urusan.
Seseorang telah menyewaku untuk melenyapkanmu dari muka bumi." Ki Bima Seta tersentak kaget. Kakinya serta-merta mundur selangkah ketika menyadari ada bahaya mengancam. Di samping dirinya tahu kalau sosok berselubung hitam itu akan membunuhnya, juga karena ada sebuah dugaan yang menyelinap di benaknya begitu mendapat jawaban itu.

***

Ki Bima Seta teringat akan seorang tokoh misterius dalam dunia persilatan. Seorang tokoh sakti yang mempunyai pekerjaan sebagai pembunuh bayaran. Tidak seorang pun yang meng etahui siapa sebenarnya, karen a tokoh itu selalu menyembunyikan wajah. Yang diketahui, tokoh ini mempunyai julukan Utusan dari Akherat! Hhh...! Orang inikah si pembunuh bayaran yang berjuluk Utusan dari Akherat itu"! Tanya Ki Bima Seta dalam hati.
Rasanya memang tidak keliru. Karena, menurut kabar, pembunuh bayaran yang berjuluk Utusan dari Akherat itu mengenakan pakaian serba hitam.
"Siapa kau, Kisanak"!" tanya Ki Bima Seta, ingin memasrikan kebenaran dugaanny a, setelah termenung beberap a saat.
"Mengenai namaku, sayang sekali tidak bisa kujelaskan. Tapi, kau boleh menyebutku sebagai Utusan dari Akherat," jawab sosok berselubung hitam yang ternyata memang Utusan dari Akherat.
"Ah...!" Meskipun sudah menduga sebelumnya, Ki Bima Seta tak urung terkejut juga.
"Kau pernah mendengar julukan itu"!" tanya Utusan dari Akherat, masih tetap bersikap tenang.
"Ya," Ki Bima Seta menganggukkan kepala.
"Bukankah kau pembunuh bayaran?" "He he he...!" Utusan dari Akherat menganggukk an kepal a seraya tert awa terkekeh -kek eh.
"Utusan dari Akherat," ucap Ki Bima Seta dengan raut wajah sungguh-sungguh.
"Aku berani membayarmu beberapa kali lipat dari orang yang telah meny ewamu.
Syaratnya, batalk an maksudmu. Dan bunuh orang yang menyuruh membunuhku!" "Sayang sekali, Bima Seta! Aku tak dapat melakukannya. Ini menyangkut kehormatanku. Kau tahu, perintah yang diberikan padaku, tak dapat dibatalkan lagi. Sekalipun permintaan itu datang dari penyewaku. Setiap perintah berl aku mutlak! Tidak dapat ditawar-tawar lagi!" jawab Utusan dari Akherat dengan tegas.
Melihat sikap keras Utusan dari Akherat, Ki Bima Seta jengkel.
"Jangan kaukira aku takut padamu, Utusan dari Akherat! Orang lain boleh takut mendengar julukanmu. Tapi, aku tidak!" "Bagus, Bima Seta! Jawaban seperti itulah yang kutunggu-tunggu sejak tadi. Kau tahu, aku tak ingin orang yang akan kubunuh menyerah begitu saja. Nah, bersiaplah kau!" "Kaulah yang akan kami lenyapkan !" Seruan keras itu keluar dari mulut Sempani dan Birawa hampir berbarengan. Ternyata dua lel aki bertubuh kekar ini telah berada di situ sejak tadi. Mereka ikut mend engark an percak apan antara Ki Bima Seta dengan Utusan dari Akherat. Keduanya tidak langsung bertindak karena melihat majikan merek a masih terlibat percak apan d engan pembu nuh bayaran itu.
Usai berkata demikian, Sempani dan Birawa langsung bertindak.
Srat! Srat! Cahaya berkilauan langsung mencuat ketika Sempani Dan Birawa mencabut pedang yang tersandang di punggung. Lalu, bagai telah saling sepakat mereka b erg erak mengh ampiri Utusan dari Akherat dari arah berlawanan. Sempani dari kiri, dan Birawa sebaliknya. Lalu....
"Hiyaaat..!" Diiringi teriakan keras yang membuat suasan a di sekitar tempat itu tergetar hebat, Sempani dan Birawa melancark an serang an.
Baik Birawa maupun Sempani menggerakk an pedang berputar laksana baling-baling, sebelum akhirnya dibabatkan ke tubuh Utusan dari Akherat.
Sempani melancarkan tusukan lurus ke dada. Sedangkan Birawa mengirimkan babatan ke leh er. Bunyi menderu yang mengiringi tibanya serang an itu menjadi pertanda kuatnya tenaga dalam yang mereka kerahk an.
"Hmh...!" Utusan dari Akherat mengelu arkan d engusan bernada m engejek melihat serangan-s erang an itu. Dia tetap bersikap tenang meskipun bahaya maut tengah meluncur mengancam jiwanya. Sama sekali tak ada tanda-tand a akan dilakukanny a tindakan pembelaan diri, baik mengelak ataupun menangkis.
Bukan hanya Sempani dan Birawa yang merasa terkejut melihat tindakan Utusan dari Akherat, Ki Bima Seta pun demikian. Apakah Utusan dari Akherat akan membiarkan kedua serangan itu mendarat pada sasaranny a" Kalau benar demikian, berarti tokoh misterius ini telah memiliki kekuatan tenaga dalam yang sulit untuk diukur. Atau dia memiliki ilmu yang membuat tubuhnya tak dapat ditembus senjata tajam" Peratanyan -pertanyaan ini merasuk di benak Sempani, Birawa, serta Ki Bima Seta.
Dan mereka tak perlu menunggu terl alu lama untuk mendapatkan jawabanny a.
Tak! Takkk! Bunyi berdetak keras seperti benturan logam keras terdeng ar ketika pedang Sempani dan Birawa mendarat pada sasarannya.
"Hah..."!" "Akh..."!" Sempani dan Birawa terpekik keras, ketika merasak an tangan mereka seketika terasa panas. Keduanya tampak menghentikan serangan terhadap l awan. Mulut merek a meringis menah an rasa sakit yang mendera di tangan.
"He he he...! Mengapa berhenti"!" ejek Utusan dari Akherat melihat kedua lawan menyering ai kesakitan, seray a menatap diriny a dengan pandangan takjub.
"Pilihlah bagian yang empuk!" Usai berk ata demikian, sosok berselubung hi tam itu melipat kedua tangannya di depan dada. Sikapnya menunjukkan kalau dirinya siap menerima serang an Sempani dan Birawa tanpa memberikan perlawan an.
Sempani dan Birawa saling pandang sebentar. Karen a sesaat kemudian, keduanya telah kembali melancarkan serangan.
Ternyata Utusan dari Akherat benar-b enar menepati janjinya. Dia tak memberikan perlawan an sama sekali. Dibiarkan saja semua serangan kedua lawannya. Tak pelak lagi, dua batang ped ang yang dikerahkan dengan tenaga dal am, bertubi-tubi menghantam sekujur tubuhnya.
Tak! Tak! Tak! Namun, seperti juga kejadian sebelumnya, Utusan dari Akherat tak terpengaruh sama sek ali. Jangankan terluka, tergores pun tidak! Karena Sempani dan Birawa mengerahkan seluruh tenag a dalam untuk melancarkan serangan secara terus-m enerus, tak aneh kal au akibatnya mereka kel elahan bag ai kehilangan daya.
"Sudah puas"! Ha ha ha...!" Lagi-lagi Utusan dari Akherat tertawa terbahak -bah ak mengejek.
Hal itu dilakukan tanpa merubah sikap semula. Tubuhnya tetap berdiri tegak dengan kedu a tangan terlipat di depan dad a. Tampak pa-kaiannya terkoyak-koy ak akibat rusuk an, sabetan, dan bacok an kedua p edang lawan.
Sesaat baik Sempani maupun Birawa menatap n anar Utusan dari Akherat. Keduany a seak an-ak an tak mampu melakukan serang an.
Rupanya kedua pengawal Ki Bima Seta ini telah menyadari kalau lawan terlalu tangguh. Di samping itu mereka seperti telah kehabisan tenaga untuk memberi jawaban. Cara berdiri Sempani dan Briawa yang tidak tegak lagi telah menjadi bukti nyata kelelahan yang diderita.
"He he he...!" Utusan dari Akherat tertawa terkekeh. Kemu dian dengan tawa yang belum putus, pandangannya diarahk an ke arah Ki Bima Seta.
Ki Bima Seta yang masih berada di situ, tentu saja menyaksikan semua kejadian itu.
"Sekarang giliranmu, Bima Seta! Ket ahuilah, he he he...! Nasibmu tak sama dengan mereka," ujar Utusan dari Akherat seraya menuding Sempani dan Birawa.
"Aku hanya diperintah agar membunuhmu! Bersiaplah, Bima Seta! Padamu aku tidak bisa bersikap lunak!" Srat! Srat! Ki Bima Seta mencabut sepasang goloknya sebagai tanggap an atas peringatan yang diberikan Utusan dari Akherat. Jelas, lelaki berpakaian coklat muda itu bermaksud untuk mengadakan perlawan an.
"Jangan kau kira mudah untuk membunuhku, Bangsat!" dengus Ki Bima Seta sengit.
Seiring dengan makian itu, Ki Bima Seta memutar-mutarkan sepasang goloknya di depan dada.
Wunggg! Wunggg...! Bunyi mengaung keras seperti segerombolan lebah mengamuk kontan terdengar. Hal itu menandakan kalau Ki Bima Seta mempunyai tenaga dalam yang amat kuat.
Dengan sepasang golok yang diputar-putarkan, Ki Bima Seta menghampiri Utusan dari Akherat. Terlihat hati-hati sekali tindakannya.
Kakinya melangkah perlahan -lahan, dengan pandangan terus tertuju pada lawannya.
Ki Bima Seta tampaknya tengah men cari bagian dari tubuh lawan yang akan dijadikan sasaran serangan Hal yang sama pun dilakuk an Utusan d ari Akherat. Pembunuh bayaran itu tampaknya tahu kalau yang dihadapi kali ini tak bisa disamakan dengan lawan-lawan sebelumnya. Itulah sebabnya, meskipun kelihatannya sosok berselubung hitam ini bersikap tenang, sebenarnya kewaspad aan telah dipasang secara penuh. Utusan dari Akherat mengawasi setiap langkah Ki Bima Seta dengan seksam a. Memang, kedudukannya t etap tidak berub ah. Namun, sepasang matanya beredar mengikuti setiap tindakan kaki Ki Bima Seta.
"Haaat..!" Sing! Sing! Sepasang golok Ki Bima beta bergerak cepat seperti menggunting leher Utusan dari Akherat.
Melihat serangan yang berbahaya ini, sosok berselubung hitam segera menarik kaki kanannya mundur, dan mencondongkan tubuhnya ke belakang! Beberap a saat lamanya, keadaan berlangsung seperti itu. Utusan dari Akherat tetap b erdiri diam di tempatnya. Sedangkan Ki Bima Seta terus melangkah menghampirinya deng an sepas ang senjata siap untuk disarangkan pad a sasaran. Keadaan jadi terlihat menegangkan hati.
Perasaan itu pun melanda Sempani dan Birawa yang kini hanya bertindak sebagai penonton.
"Haaat...!" Teriakan keras menggelegar Ki Bima Seta memecahkan ketegangan yang melingkupi tempat itu. Lelaki berpakaian cokl at itu membuka serang an dengan sebu ah jurus mematikan. Sepasang goloknya bergerak cepat seperti menggunting leher Utusan dari Akherat.
Serangan Ki Bima Seta yang begitu cepat sulit untuk diduga. Hal itu karen a lelaki setengah baya itu melakukan gerakan yang sedemikian rupa. Sehingga golok yang berada di tang an kan an membabat d ari kiri, sedangkan golok di tangan kiri membabat dari kanan.
Sing! Sing! Bunyi berdesing nyaring yang memekakkan telinga terdengar, ketika sepasang golok itu saling berkelebat memburu sasaran.
Utusan dari Akherat menyadari adanya maut yang mengancam jiwanya. Namun anehnya, tak tampak sedikit pun kegugupan atau peras aan gentar di mata lelaki berselubung kain hitam itu. Meskipun serang an lawan meluncur demikian cepat, gerakan yang dilakukannya ternyata jauh lebih cepat. Kaki kan annya seg era ditarik mundur, sambil tak lupa mencondongkan tubuh ke belakang.
Wuttt! Wuttt! Hasil tindakan Utusan dari Akherat memang tidak percum a.
Serangan Ki Bima Seta lewat beberapa jari di depan, dan membabat tempat kosong.
Angin kencang dari serangan itu menerpa kepalanya yang tertutup selubung kain hitam. Melihat hal ini, Ki Bima Seta tidak putus asa. Begitu serangan pertama berhasil dielakkan lawan, langsung saja dilakukan serangan susulan.
Sambil melangkah maju, sepasang goloknya diputar sedikit.
Lalu, kembali melesat. Sasarannya kali ini tak lain kedua pinggang lawan.
"Hebat...!" Tanpa sadar dari mulut Utusan dari Akherat terlontar kata pujian.
Bukan sebuah pujian kosong. Rupanya sosok berselubung hitam ini memang meras a kagum melihat keh ebatan p erk embangan ilmu golok lawannya.
Meskipun demikian, bukan berarti Utusan d ari Akhirat tak mampu mematahkan serang an dahsyat itu. Sama sekali tidak! Meskipun serang an lanjutan itu berlangsung begitu cepat, dan hampir tidak terduga.
"Hiyaaa...!" Wut! Wut! "Hih...!" Dengan cep at Utusan dari Akherat melemparkan tubuh ke belakang, sehingga serang an Ki Bima Seta kembali kandas.
Namun, Ki Bima Seta benar-benar tak ingin memberi kesempatan sedikit pun kepada lawan untuk memperbaiki kedudukan. Tepat ketika tubuh Utusan dari Akherat tengah b erad a di udara, kakinya digenjotkan untuk memburu lawan seraya melancark an serang an bertubi-tubi.
Pemandangan yang menarik pun terjadi. Keadaan yang kurang pantas disebut sebagai sebuah pertarung an. Masalahnya, Utusan dari Akherat terus-m enerus berg erak menjauh, sementara Ki Bima Seta memburunya seray a tanpa henti menghujani serangan secara beruntun.
Selama hampir sepuluh jurus Ki Bima Seta melancarkan serangan dahsyat dan bertubi-tubi. Namun selama itu, tak satu pun yang mengenai sasaran.
Semua berhasil dielakkan Utusan dari Ak herat. Karuan saja hal ini membuat lelaki berpakaian coklat muda itu merasa p enasaran bukan kepalang. Sehingga, serangan-s erangannya pun semakin dahsyat dan susul-menyusul laksana gelombang laut. Sebenarny a, kalau saja Ki Bima Seta mau membuka mata dan tidak menuruti rasa penasaran, dia tak harus terlalu bemafsu. Kegagal an demi kegagal an serangan yang dilakukan dalam belasan jurus, telah membuktikan kalau tingkat kepandaian lawan berada jauh di atasny a.
Setidak-tidaknya dalam hal ilmu meringankan tubuh.
Namun tampaknya Ki Bima Seta mempunyai watak keras kepala.
Rasa penasaran yang berkecamuk di hati, membuat hal itu tidak terpikirkan. Bukan menghentikan serang an dan mencari cara ag ar dapat meloloskan diri, lelaki berpakaian coklat itu justru semakin gencar melancarkan serangan. Kembali lima jurus terlewati! Dengan begitu pertarungan itu hampir mencap ai dua puluh jurus. Namun Ki Bima Seta tak berhasil menyarangk an satu pun serangannya.
"Sekarang giliranku, Bima Seta!"Terdengar seruan Utusan dari Akherat di antara deru hujan serangan sepasang golok Ki Bima Seta.
Seketika itu pula jantung Ki Bima Seta berdetak lebih cepat mendengar ucapan itu. Namun, hal itu tetap tak membuat serangannya semakin mengendur. Hany a saja kali ini kewasp adaanny a ditingkatkan.
Disadari kalau ucap an itu mengandung pengertian kalau lawan akan mulai melancarkan serangan bal asan.
Ternyata benar, Utusan dari Akh erat langsung m emenuhi janjinya.
Hal itu terbukti pada jurus kesembilan bel as, tepat ketika Ki Bima Seta menusukkan sepasang goloknya ke dada lawan. Sosok berselubung hitam cepat mengulurkan kedua tangan nya.
Seketika wajah Ki Bima Seta berubah, melihat gerakan lawan.
Meskipun belum tahu pasti bentuk serangan itu, pikirannya sudah dapat menduga tindakan yang akan dilakukan Utusan dari Akherat. Apa lagi kalau bukan hend ak menangk ap mata go loknya" Sudah gilakah Utusan dari Akherat"! Atau memang dirinya mempunyai tenaga dalam yang amat kuat sehingga dapat menangkap sepas ang goloknya tanpa terluka! Ki Bima Seta merasakan betap a jantungnya berdeb ar-d ebar. Hal itu karen a hatinya yakin Utus an dari Akh erat akan meng alami akibat yang tidak menyenangkan ap abila tetap menerusk an maksudnya. Setidak-tidaknya tangan si pembunuh bayaran itu akan terluka.
Ki Bima Seta yakin kalau lawannya telah salah perhitungan. Utusan dari Akherat terlalu yakin d engan keku atan ten aga dal am yang dimiliki dan terlalu mengangg ap rem eh kemampuan l awan. Padahal, Ki Bima Seta tahu pasti bahwa kemampu an dan tenag a dalamnya tak bisa disamakan dengan Sempani atau Birawa, kedua pengawalnya. Jangankan hany a dua orang, biar ada sepuluh Sem pani atau Birawa pun tak dapat disamakan dengan dirinya! Karen a keyakinan itulah Ki Bima Seta mengambil keputusan untuk meneruskan serang annya. Bahkan lelaki berpakai an coklat muda itu menggertakk an gigi, seakan-akan berus aha meningkatkan kekuatan serang an sampai batasbatas tertinggi kemampuan yang dimilikinya.
Dugaan Ki Bima Seta tidak salah! Utusan dari Akherat ternyata memang bermaksud mem apak serang an itu dengan kedu a tanganny a! Dan.... Kreppp! "Heh..."!" Pekikan kaget keluar dari mulit Ki Bima Seta, ketika melihat kejadian yang sama sekali tak diduga. Sepasang goloknya berhasil direnggut cengkeraman Utusan dari Akherat ! Dan jari-jari tangan sosok berselubung hitam itu tampak tetap utuh! Jang ankan putus, terluka pun tidak! Hal ini benar-ben ar di luar dugaan Ki Bima Seta. Matanya terbelalak kag et bercampur heran.
Ki Bima Seta langsung menyadari akan kead aan yang kurang menguntungkan baginya. Lelaki seteng ah bay a itu tidak ingin senjata andalan itu dirampas. Maka, dengan cepat ditariknya agar lepas dari cengkeraman tang an lawan. Lelaki berpak aian coklat muda itu tahu kalau hal itu dilakukan, setidaktidaknya tangan Utusan dari Akherat akan terluka! Untuk yang kedua kalinya hasil yang diharapkan Ki Bima Seta tidak sesuai dengan kenyataan. Sepasang golok itu sedikit pun tak bergeming.
Seakan-akan bukan tangan manusia yang mencengkeramnya, melainkan sebuah jepit baja. Betapapun Ki Bima Seta mengerahk an tenaga sampai terdengar suara ah -uh ah-uh dari mulutnya, tetap saja sia-sia! Tiba-tiba saja, ketika Ki Bima Seta tengah bersitegang dengan tarikannya, tanpa diduga Utus an dari Akh erat melep askan cengkeramanny a. Akibatnya pun dapat diduga! Tubuh Ki Bima Seta terjengkang ke belak ang terbawa tenaga tarikannya sendiri.
"Aaah...!" Tanpa sadar Ki Bima Seta mengeluark an jeritan yang s ebagian besar karena rasa kaget.
Di saat tubuh Ki Bima Seta berada dalam keadaan terhuyung-huyung, Utusan dari Akherat memasukkkan tangan kanannya ke balik baju.
Hanya sekejap saja, tangan itu telah keluar dengan menggenggam seb atang pisau kecil bergag ang ukiran k epala tengko rak manusia.
Secepat pisau kecil itu berada di genggaman tangan, secepat itu pula Utusan dari Akherat mengibaskanny a.
Singgg! Bunyi berdesing nyaring mengiringi lesatan pisau kecil itu ke tubuh Ki Bima Seta yang belum sempat memperbaiki kedudukannya.
Ki Bima Seta terkejut bukan kepalang, melihat serangan itu.
Masalahnya, pisau itu meluncur ketika tubuhnya masih terhuyung-huyung. Sedapat mungkin sepasang goloknya digerakkan untuk mematahkan serangan itu. Tapi....
Crap! "Aaakh...!" Jeritan panjang menyay at hati keluar dari mulut Ki Bima Seta, ketika pisau bergagang kepala tengkorak menghunjam di ubun-ubunnya.
Usahanya untuk memapak pisau itu gagal total! Brukkk! Tubuh Ki Bima Seta ambruk di tanah, menggelepar-gelep ar sejenak, sebelum akhirnya diam tidak berg erak lagi untuk selamany a.
Mati! "Ki...!" Hampir bersamaan Sempani dan Birawa menjerit kaget. Bagai diperintah, keduanya segera melesat menghampiri mayat Ki Bima Seta yang terkapar berlumur darah.
"Ha ha ha...!" Berbeda deng an Sempani dan Birawa y ang tampak sangat terpukul atas kematian Ki Bima Seta, Utusan dari Akherat malah gembira. Sambil memperhatikan mayat korbanny a, dia tertawa terbah ak-b ahak.
Dan masih dengan tawa yang belum putus, pembunuh bayaran itu melesat meninggalkan tempat itu. Luar biasa! Hanya dengan beberapa kali lesatan, tubuhnya sudah tak terlihat lagi. Hanya sebuah titik hitam kecil tampak di kejauhan, yang akhirnya lenyap.
Kini, suasana di Hutan Saragan kembali sunyi. Tidak terdengar lagi gemuruh pertarung an dan teriakan -teriak an keras. Kead aan pulih seperti sedia kala.

3

Hari sudah ag ak siang. Sang Surya telah cukup jauh meninggalkan tempat terbitnya, memancarkan sinar yang tidak lagi nikmat di kulit.
Dalam suasana sep erti itulah tampak sepasang muda-mudi melangkah cepat memasuki tapal batas sebuah desa. Mereka mengenak an pakaian berwarna ungu dan putih. Siapa lagi kalau bukan Dewa Arak dan Melati"! Di ambang tembok batas desa, pasangan pendekar berwajah elok ini menghentikan langkah. Pandangan mereka diedarkan ke depan. Sejauh mata memandang, yang terlihat hanya jajaran tanam an singkong.
Meskipun demikian bukan berarti tidak terlihat pemandangan lainnya. Di beberapa tempat tampak sosok-sosok tubuh bertelanjang dada yang tengah sibuk mencabuti pohon-pohon singkong. Memang, sudah waktunya tanaman itu untuk diambil hasilnya.
Hanya seb entar saja Dewa Arak dan Mel ati bersikap demikian.
Kemudian dengan gerak isyarat, Dewa Arak mengajak kekasihnya untuk menuju para petani itu. Tanpa membantah sedikit pun, gadis berpakaian putih itu mengikuti.
Tanpa mempergunakan ilmu meringankan tubuh, Dewa Arak dan Melati menghampiri salah seorang penduduk desa yang tengah sibuk dengan pekerjaanny a Kedu anya melangk ah di atas jalan setapak yang membelah jajaran pepohon an.
"Maaf, Kisanak ! bisa kami mengganggu s ebentar"! Kami ingin menanyak an sesuatu," tanya Arya sopan.
Lelaki bertubuh kekar dan berkulit hitam kecoklatan karena sering terbakar matahari itu, menghentikan kesibukannya. Matanya s ejenak menatap kedu a mudamudi di hadapanny a. Sekilas tampak sorot keterkejutan pad a wajahnya. Namun hal itu hanya berlangsung sebentar.
Karen a segera ditutupinya dengan secercah senyum ramah.
"Silakan, Kisanak! Katakanlah, barangkali saja aku bisa membantu," sahut lelaki kekar itu ramah.
"Begini, Kisanak. Kami tengah mencari ses eorang yang bernama Bima Seta.
Apakah kau bisa menunjukkan pada kami tempat tinggalnya"!" Arya mulai mengutarakan pertanyaan yang sejak tadi berkecamuk di hati. Seketika, senyum yang menghias wajah lelaki kekar itu lenyap.
Jelas, yang menjadi penyebabnya tak lain pertanyaan Ary a.
Tentu saja perubahan air muka lelaki kekar itu tak luput dari perhatian Arya dan Melati. Dan tentu saja kejadian itu membuat keduanya h eran. Namun, baik Dewa Arak maupun Mel ati tak memperlihatkan perasaan itu.
"Ada urusan ap a mencarinya, Kisanak"!" tany a lelaki kekar itu dengan nada suara kurang ram ah.
Arya mengembangk an senyum lebar.
"Sebenarny a kami tidak mempunyai urusan apa pun dengannya.
Hanya saj a, di tengah perj alanan, kami mendeng ar ada orang yang bermaksud membunuhnya. Sayang, sebelum kami sempat mengetahuinya, dia telah keburu kabur," jelas Arya, tetap bersikap tenang.
"Jadi..., kau menanyakan tempat tinggalnya untuk memberitahukan adanya usah a pembunuhan itu, Kisanak"!" tukas lelaki kekar itu, cepat.
"Benar, Kisanak," Arya menganggukkan kep ala.
Secercah senyum sinis langsung terpampang di bibir lelaki kekar itu.
"Urungkan saja ni atmu, Kisanak!" tandas lelaki kek ar itu dengan nada semakin tidak ramah.
"Percayal ah! Usah a pembunuhan itu tidak akan berhasil! Nah! Sekarang, pergilah!" Wajah Arya berubah. Hatinya merasa tersinggung sekali mendapat perlakuan sep erti itu. Namun, karena sadar kalau lelaki kekar itu pasti mempunyai alasan sehingg a bersikap d emikian, Dewa Arak men ahan diri.
Ditahannya amarah yang berkob ar-kob ar di dalam dada.
Arya berh asil menekan kemarahanny a. Akan tetapi, tidak demikian halnya dengan Mel ati. Gadis berpakaian putih ini merasa tersinggung bukan kepalang melihat perlakuan lelaki kas ar itu pada kek asihnya.
Arya telah bertany a baik-baik, mengapa mendapat sambutan seperti itu" Hatinya tak menerima.
"Apakah kau tidak bisa sopan sedikit, Kisanak"! Kawanku bertanya baik-baik, mengapa kau memperlakukanny a seperti terhad ap anjing kudisan"!" Suara Melati terdengar bergetar, sebagai pertanda kalau sewaktu-waktu amarahny a dapat meledak.
Hal ini pun diketahui secara pasti oleh Arya. Maka, pemuda berambut putih keperakan ini buru-buru menyentuh lengan Melati untuk meredak an amarah yang melanda hati kekasihnya. Arya tak ingin Melati turun tangan terhadap lelaki bertubuh kekar itu.
Memang, lelaki kekar itu rupanya mempunyai sikap keras kepala.
Meskipun tahu kalau Melati tengah marah, dia bersikap tidak peduli.
"Sopan katamu"! Dengan terus meladeni kalian berdua saja aku sudah bersikap sangat sopan! Kalau tidak, kalian telah kutinggalkan sejak tadi" "Keparat! Menghad api orang sepertimu memang harus menggunakan kekeras an!" Usai berkata demikian, Melati mengibaskan tangan kanannya.
Kelihatannya pel an saja dan tanpa p engerahan ten aga. Tapi akibatnya benarbenar menakjubkan! Tubuh lelaki bertubuh kekar itu melayang ke belakang, seperti dihembus angin badai! "Aaa...!" Lelaki kekar itu menjerit ketakutan ketika mengetahui tubuhnya melayang deras ke belakang. Dan sebelum jeritannya habis....
Srakkk! Brukkk! Tubuh lelaki kekar itu jatuh di tanah. Beberapa batang pohon singkong langsung patah karena tertimpa.
"Uh...!" Lelaki kekar itu mengeluh kesakitan ketika berusaha untuk bangkit.
Meskipun demikian, tindakan itu terus dipaksakannya. Akhirnya tubuhnya berhasil melakukan hal itu, meskipun dengan susah payah.
"Sudah kuduga..., kalian berdua tak ubahnya deng an orang-o rang yang telah lebih dulu tiba! Pura-pura menany akan sesuatu, lalu akhirnya menyebar maut di desa ini!" rutuk lelaki kekar itu, geram.
Melati tersenyum sinis.
"Bisa kumaklumi kalau orang-orang yang lebih dulu datang dari kami melakukan tindakan demikian! Merek a tidak salah! Kaulah yang menjadi penyebabny a! Orang mana pun tentu akan marah apabila mendapat perlaku an seperti yang kami terima!" Melihat keadaan yang sudah mulai memanas itu, Arya tidak bisa tinggal diam. Buru-buru dia menyelak di antara Melati dan lelaki kek ar itu.
Pemuda berambut putih keperakan itu bermaksud melerai.
"Tenang. Aku yakin ada kesalahpahaman di sini," ujar Arya buru-buru karen a takut didahului.
"Percayalah, Kisan ak! Kami tidaklah sejahat yang kau sangka.
Dan...." "Asal kau tahu saja, Petani Busuk! Kawanku ini jauh lebih mulia daripada dirimu! Apakah kau pern ah menyelamatk an nyawa orang lain" Tidak, kan" Nah! Dengar baik-b aik, kawanku itu telah meyelamatkan nyawa puluhan ribu orang! Pernah kau deng an julukan Dewa Arak"!" selak Melati, berapi-api.
Wajah lelaki kasar itu langsung berubah pucat. Julukan Dewa Arak yang disebutkan Melati-lah yang menjadi penyebabnya. Memang, meskipun hanya seorang petani, dia pernah mendengar julukan itu.
Menurut kabar yang sampai ke telinganya, Dewa Arak seorang pendekar pembela keben aran. Benarkah pemuda yang berdiri di hadapannya ini tokoh yang mempunyai julukan demikian" Rasanya sulit untuk dipercay a! "Benarkah k au tokoh yang berjuluk Dewa Arak"!" tanya lelaki kekar tak yakin.
Nada suarany a pelan, tidak kasar seperti sebelumnya.
Tidak ada pilihan lagi bagi Arya kecuali memben arkan p ertany aan itu. Dengan senyum terkembang kepalanya mengangguk.
"Benar, Kisanak. Itulah julukan yang diberikan dunia persilatan padaku.
Sedangkan namaku Ary a Buana. Panggil saja Arya. Sedangkan kawanku ini Melati." "Ah...! Kalau begitu, maafkan kelaku anku, Dewa Arak! Aku telah salah menduga.
Biasanya setiap orang yang menanyakan nama Bima Seta, pasti merupakan konco-kon conya," jelas lelaki kekar itu, membela diri.
"Lupakanlah, Kisanak! Aku bisa memakluminya," jawab Arya, bijaksana.
"Bukan begitu, Melati"!" Terpaksa Melati menganggukkan kepala, menyetujui pendapat kekasihnya. Padahal, hatinya masih jengkel. Walaupun memang tidak sebesar seb elumnya. Permintaan maaf lelaki kekar itu telah cukup meredak an amarahnya.
"O, ya. Atas nama seluruh penduduk Des a Kalisari, aku, Saraka, mengucapk an selamat datang di desa ini," lanjut lelaki kekar itu agak terbata-bata.
"Terima kasih atas sambutanmu, Kang Saraka!" Arya merubah panggilannya.
"O, ya.
Kurasa lebih baik kau panggil namaku saja.
Rasanya telingaku menjadi gatal mendengarny a." Lelaki kekar yang bernama Saraka itu tersenyum mendengar ucapan Arya, yang dikeluarkan sambil bergurau itu.
"Bagaimana, Kang Saraka"! Bisakah kau mem-eri keterang an atas sikap bencimu terhadap Bima Seta"!" tanya Arya, mengalihkan percakap an pada pokok permasalah an.
"Hhh...!" Saraka menghembuskan napas berat.
"Ceritanya panj ang, Arya. Aku khawatir kau tidak sabar mendengarkanny a...." "Ceritakanlah, Kang! Percayalah, aku akan sabar mendengark annya!" terd engar p enuh keyakin an Arya memb erikan jawabanny a.
"Baiklah kalau memang itu yang kau inginkan, Arya," Saraka terpaksa mengal ah.
"Sekarang dengarkan baik-b aik." Sampai dl sini, Saraka menghentikan ucapanny a. Dan termenung, memikirkan kata-kat a yang tepat untuk memulai keterang annya. Arya dan Melati menggunakan kesempatan itu untuk memusatkan perhatian pada cerita Saraka.

***

"Sebenarny a Bima Seta bukan penduduk asli desa ini. Dia merupakan pendat ang dari tempat yang tidak kami ketahui secara jelas di mana.
Meskipun demikian, hal itu tidak kami permasalahkan.
Kehadiran Bima Seta dan maksudnya untuk tinggal di desa ini kami sambut dengan tangan terbuka," ujar Saraka memulai ceritany a.
Dewa Arak dan Melati saling pandang sejenak. Meskipun demikian, tidak ada ucapan yang mereka keluarkan.
"Rasa suka kami terhadap Bima Seta semakin mendalam karena dia pandai berg aul.
Hanya d alam waktu beb erap a hari saja, seisi desa telah menyukainya," Saraka kembali melanjutkan ceritanya.
"Sekitar satu minggu setelah kedatangan Bima Seta di desa kami, mulai bermunculan beberapa orang yang menilik gerak-gerikny a adalah tokoh-tokoh persilatan. Baik secara berkelompok maupun perorang an mereka berdatang an kemari." Saraka mengh entikan ket erang annya untuk meng ambil napas.
Ditelan air liur untuk membasahi tenggorokannya yang kering.
"Sejak saat itu, kami mulai merasa tidak enak. Sebuah pertanyaan pun muncul di benak para warga desa. Mengapa orang-o rang kasar itu berdatang an kem ari. Saat itu kami belum merasa curiga terhadap Bima Seta." Untuk kesekian kalinya, Saraka menghentikan keteranganny a.
"Perasaan curiga terhad ap Bima Seta mulai muncul ketika kami melihat adanya perubah an pada sikapnya. Bima Seta mulai memasang jarak deng an penduduk des a.
Sampai akhirnya, dia melakukan tindak kekerasan. Merampok, membunuh, dan memperkosa para wanita. Yang lebih gila lagi, tidak hanya gadis yang menjadi korbannya. Tapi juga para wanita yang telah bersuami!" "Apakah tidak ada perl awan an dari para pen duduk desa ini, Kang"! Guru silat desa ini, misalnya" Atau..., kepala desa?" tanya Ary a, menyelak.
"Tentu saja ada, Arya," jawab Saraka dengan suara mendesah.
"Guru silat desa ini bersama beberap a orang muridnya melakukan perlawanan." "Lalu..., hasilnya"!" kejar Ary a lagi. Meskipun dari jawab an dan sikap Saraka, bisa diperkirak an hasil perlawan an yang dilakukan terhadap Bima Seta.
"Merek a semua tewas!" teras a jelas nada keluhan dalam ucapan Saraka.
"Bima Seta bukan orang sembarangan. Dia memiliki kepandaian amat tinggi. Apalagi, dia tidak bertindak sendiri. Orang-orang k asar yang berdatang an ke desa ini ternyata anak buahny a!" "Heh..."! Mengapa bisa demikian, Kang"!" tanya Arya, tanpa menyembunyikan peras aan terk ejutnya.
"Merek a satu gerombolan, Arya. Menurut kabar yang kami dengar, Bima Seta dan pengikut-pengikutnya merup akan sisa-sisa p erampok yang telah dihancurk an pasukan kerajaan. Yang kusay angkan, mengapa mereka memilih desa ini sebagai tempat pelarian...." "Sekarang aku bisa mengerti mengap a kau bersikap kasar pada kami," ujar Arya sambil mengangguk-anggukkan kepala.
"Terima kasih atas pengertianmu, Arya," ucap Saraka penuh peras aan syukur.
"Dan..., kalau kau tidak keberatan..., atas nama seluruh penduduk Desa Jarak, kumohon kau bersedia melenyapkan kedurjan aan Bima Seta dan kelompoknya.
Bagaimana, Arya"! Mauk ah kau memenuhi permohonan kami?" "Tentu saja, Kang. Aku akan berusaha seku at tenag a untuk melenyapkan keangkaramurkaan ini," janji Arya, mantap.
"Kang...," Melati yang sejak tadi berdiam diri, angkat bicara.
"Ada apa, Melati?" tanya Arya sambil menolehkan kepala.
"Bukankah ada o rang yang b ermaksud membunuh Bima Seta"! Apakah kau lupa"!" "Aku yakin usaha itu akan gagal, Melati," dengan nada yakin Saraka mendahului memberikan jawab an.
"Telah banyak usaha seperti itu dilakukan. Tapi hasilnya, sia-sia! Aku yakin, usaha pembunuhan itu pasti gagal!" "Kita lihat saja hasilnya, Kang," sambut Arya tak berani memastikan.
"Tidak baik berputus asa. Karena hal itu hanya akan melenyapkan semang at. Dan...." Ucap an Arya terhenti ketika mendengar langkah kaki kuda.
Ditolehkan kepalany a untuk melihat tapal batas desa, tempat asal bunyi itu.
Melati dan Saraka pun melakukan tindakan serupa.
Tampak tiga ekor kuda tengah berjalan pelan mem asuki jalan desa.
Masing-masing binatang itu membawa penunggang. Hanya saj a ada perbed aan yang mencolok di sana. Di punggung kuda coklat yang diiringi dua pengawal tampak sesosok tubuh terkulai lemas dalam keadaan tertelungkup.
Dewa Arak dan M elati yang memiliki pandangan tajam, sepintas saja dapat meng etahui kalau sosok di punggung kuda coklat itu telah tewas.
"Dua penunggang kuda hitam itu adalah anak-an ak buah Bima Seta, Arya," ujar Saraka dengan suara bergetar.
"Birawa dan Sempani nama mereka." Arya dan Melati saling pandang.
"Lalu..., siapa orang yang tertelungkup di punggung kuda coklat itu, Kang"!" tanya Arya.
"Sepertinya dia telah tewas...." "Benarkah itu, Arya"!" tanya Saraka seteng ah tak percay a "Kalau melihat pakaian yang dikenakan dan kuda tunggang annya, pasti Bima Seta! Hanya Bima Seta yang mengenakan pakaian dan kuda berwarna coklat." "Berarti..., pembunuh itu telah berhasil melaksan akan tugasny a," tukas Melati.
"Benarkah itu"!" tanya Saraka masih tak percay a "Mari kita buktikan kebenaranny a!" Setelah berkata demikian, Arya segera mengayunkan kaki, menghampiri. Mau tidak mau, meskipun merasa gentar, Saraka ikut serta. Itu pun setelah dilihatnya Melati melangk ah mengikuti Dewa Arak.
Tentu saja, kedatangan Dewa Arak bers ama Melati dan Saraka segera diketahui Birawa dan Sempani. Namun keduanya tak peduli, terus menjalankan kuda mereka. Bahkan senyum mengejek tampak tersungging di bibir mereka. Jelas, kedua orang kasar ini menganggap rendah tiga sosok yang menghampiri mereka.
Karen a kedua belah pihak sama-sam a bergerak menghampiri, dalam waktu singkat jarak mereka telah demikian dekat, sekitar tiga tombak.
Sampai di sini kedua belah pihak sama-sama menghentikan langkah.

***

"Hih!" Sempani melompat dari punggung kuda. Lalu....
Srattt! Sinar terang mencuat ketika pedangny a dicabut.
"Rupanya kalian ingin mencari penyakit, heh..."! Berani mencegat perjalan an kami!" seru Sempani mengancam.
Dan sebelum gema ucapannya lenyap, Sempani langsung melancarkan serangan. Saat itu hatinya masih dalam keadaan gusar dan marah akibat amuk an Utusan dari Akherat. Maka langsung saja dilampiaskannya pada para penghad angnya.
Wuttt! Sempani tidak bertindak setengah -seteng ah. Dalam serangan pertama saja langsung dikirimkan serangan mematikan. Pedangnya diluncurkan membabat tenggorokan! Dan yang menjadi sasaran pertama adalah Dewa Arak ! Dewa Arak tetap bersikap ten ang, meskipun melihat jelas adanya ancam an maut terhadap diri nya. Tidak terlihat adanya gelagat kalau pemuda berambut putih keperakan ini akan melakukan g erak an untuk mengatasi serang an lawan. Namun ketika ujung pedang Sempani hampir mengenai sasaran, tiba-tiba Dewa Arak mengulurkan tang an. Sebuah gerakan y ang sangat cepat.
Orang kasar sep erti Sempani mana mampu melihat jelas tangan Dewa Arak" Yang sempat dilihatnya hanya sekel ebatan bay angan tak jelas. Dan tahu-tahu .
Kreppp! Batang pedang Sempani telah tercek al. Dan sebelum anak buah Bima Seta itu sempat berbuat sesuatu, Dewa Arak telah lebih dulu bertindak.
Pemuda berambut putih keperakan itu memutarkan tangannya. Sempani kaget bukan kepalang ketika merasakan tubuhnya terb awa putaran tangan lawan. Buru-buru dikerahkannya ten aga dalam untuk melawan. Namun ternyata tenaga Dewa Arak terlalu kuat untuk bisa ditahan. Karena Sempani tak mau melep askan cek alan pad a gagang pedang hingga tubuhnya terbawa putaran tangan Dewa Arak.
Wuk! Wuk! Wuk! Tubuh Sempani terputar di atas kepala Dewa Arak laks ana baling-baling.
"Aaah...!" Tanpa sadar mulut Sempani mengeluarkan jeritan panjang. Teriakan yang keluar karena p eras aan ngeri dan kag et. Tubuhnya terputar-put ar di udara dengan kecep atan tinggi.

4

Sempani merasa tersiksa bukan k epalang. Apalagi ketika diras akan putaran itu semakin lama semakin cepat. Kepala mulai terasa pusing, pandanganny a pun berkunang-kunang. Karena semua yang dilihatnya berputaran secara cepat.
Mula-mula hanya rasa pusing yang diderita Sempani. Namun sesaat kemudian, rasa mual timbul. Semakin lama dirasakan perutnya bagaikan dikocokkocok dengan kuat. Sempani yakin sebentar lagi pasti akan muntah-muntah.
Rupanya Dewa Arak pun menyad ari kemungkinan terjadinya hal seperti itu. Terbukti sebelum Sempani muntah-muntah, tangannya telah lebih melepaskan cek alan pada mata pedang lawan.
Tubuh Sempani seketika terlontar dan melayang jauh. Jeritan tertahan anak buah Bima Seta itu pertanda kengerian hatinya yang mencek am di saat tubuhnya meluncur.
Entah di mana tubuh Sempani jatuh, Dewa Arak tak mempedulikan lagi. Begitu tubuh anak buah Bima Seta itu dilepaskan, diayunkan kakinya mendekati Birawa.
Karuan saja hal itu membuat Birawa merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. Dia sadar pemud a berambut putih keperakan itu memiliki kemampuan luar biasa. Keberhasilannya merobohkan Sempani dalam waktu yang demikian singkat dan dengan amat mudah itu, sebagai bukti nyata yang tak dapat dibantah lagi! Birawa buru-bu ru melompat dari punggung ku da. Lalu, tanpa malu-malu lagi berlutut di depan Dewa Arak. Pedang yang tergantung di punggung langsung dilemparkan begitu saja ke tanah.
"Ampun, Tuan Pendekar! Tobat...!" ucap Birawa memohon belas kasihan.
Dewa Arak tidak menyahuti. Ditatapnya sekujur tubuh Birawa yang berlutut tepat di depannya. Entah apa yang terkandung dalam benak pendekar muda ini. Dan sebelum Dewa Arak berhasil menemukan kat a-kat a yang akan dikeluarkan, Saraka telah menyelak. Lelaki kekar itu langsung mendekati Birawa.
"Manusia keji sepertimu tak layak dibiarkan hidup! Hih!" Saraka mengayunk an goloknya yang terselip di pinggang, ke arah leher Birawa. Nasib rek an Sem pani ini sudah bisa diperkirakan apabila golok itu mendarat di sasarannya.
Wuttt! Takkk! "Akh!" Singgg! Renteten kejadiannya berl angsung demikian cepat sehingga sulit untuk diikuti mata. Tahu-tahu, golok di tangan Saraka telah terlempar jauh.
Hal itu terjadi karena campur tangan Dewa Arak. Di saat mata golok hampir memenggal leher, Dewa Arak meng ayunkan kaki kan an, memapak mata golok Sarak a. Dengan peng erah an tenag a dalam yang dimiliki, kakinya tak kalah kuat dengan batang baja. Itulah sebabnya benturan yang terjadi, menimbulkan bunyi seperti dua logam keras berada "Mengapa, Arya"! Mengap a kau menceg ahku membunuhnya..."!" tanya Saraka terbata-bata seraya menatap tajam wajah Dewa Arak.
Tarikan wajah dan sorot mata lelaki kekar ini menyiratkan ketidakpercay aan yang dalam.
"Bukan merupakan tindak an ksatria membunuh lawan yang tak mengadak an perlawanan, Kang!" sahut Dewa Arak deng an suara pel an, tapi mengandung ketegasan. Seketika wajah Saraka merah padam karen a malu. Padahal, Dewa Arak telah memilih kalimat yang halus! "Lalu..., apakah kita harus mengampuninya, Arya"!" tanya Saraka lagi tanpa menyembunyikan rasa penas aran yang bergolak.
Dewa Arak tersenyum lebar.
"Semua itu kuserahkan pada kebijaksanaanmu, Kang. Kau dan penduduk Desa Jarak yang lebih berhak untuk memutuskannya," jawab Arya, bijaksana. Saraka langsung diam. Jawab an Dewa Arak membuatnya merasa puas. Perasaan kagum yang sudah bersemi terhadap pemuda berambut putih keperakan itu pun semakin tumbuh subur.
"Berita itu memang tidak berlebihan. Dewa Arak terny ata seo rang p endekar besar yang dapat bertindak bijaksana," gumam lelaki kekar ini dalam hati.
"Kalau begitu..., atas nama penduduk Desa Jarak, kuucapkan terima kasih atas bantuan yang kau berikan, Arya," ucap Saraka penuh rasa syukur.
"Lupakanlah ! O ya, Kang. Ada sesuatu yang ingin kutanyakan padanya." "Silakan, Arya!" Dewa Arak pun mengalihkan perhatianny a pada Birawa.
"Siapa yang telah membunuh Ki Bima Seta, Birawa"!" tanya Arya penuh wibawa.
"Seorang tokoh yang berjuluk Utusan dari Akherat, Tuan Pendekar," jawab lelaki berbibir tebal itu sambil mengangkat wajahnya.
"Utusan dari Akherat..."!" Arya mengulang julukan y ang disebutkan Birawa. Dahinya berkernyit seakan-ak an tengah memutar pikiran. Hal yang sama pun dilakukan Melati. Keduanya merasa pernah mendengar julukan itu.
Namun tidak ingat kapan dan di mana mereka menget ahuinya.
"Dia seorang pembunuh bay aran, Tuan Pendekar," lanjut Birawa, seakan -akan meng etahui apa yang dipikirkan Dewa Arak.
"Ah...! Sekarang aku ingat! Ya! Aku juga pernah mendeng arny a.
Seorang pembunuh bayaran! Kau tidak tahu siapa yang telah menyewany a"!" tanya Arya, ingin tahu.
"Tidak, Tuan Pendekar," Birawa menggelengk an kepala.
"Utusan dari Akherat tak memberitahuk annya." Dewa Arak mengangguk -anggukkan k epala. Jawab an seperti itu memang sudah diduganya. Karena meskipun tak pernah berhubungan dengan urusan sep erti itu, dia tahu tak mungkin seorang pembunuh bayaran memberitahukan siapa yang telah menyewany a.
"Cukup, Kang! Sekarang kuserahkan dia pad amu." "Terima kasih, Arya. Aku akan membawanya ke balai desa. Seperti katamu tadi, biar para penduduk yang akan menentukan hukuman terhadapny a." "Itu bagus," puji Arya, bernada gembira mendengar Saraka menyetujui usulnya.

***

Penduduk Desa Jarak gempar mendeng ar kematian Ki Bima Seta.
Merek a langsung merayakannya. Mulai dari mulut desa, sampai di depan setiap rumah terp asang hiasan dan umbul-umbul. Julukan Utusan dari Akherat pun menjadi buah bibir. Setiap penduduk memuji-mujinya setinggi langit.
Di sana-sini orang membicarak an kehebat an tokoh itu.
Tentu saja Dewa Arak pun mendapat pujian pula. Karena dialah yang telah melumpuhkan perlawan an Birawa dan Sempani, dua orang anak buah Ki Bima Seta. Sepasang pendekar muda berwajah elok ini pun mendapat jamuan dan penghormatan dengan ditemani para sesepuh Desa Jarak.
"Terima kasih atas bantuanmu, Dewa Arak. Bantuan yang kau berikan tidak kecil artinya bagi kami. Tanpa bantuanmu, orang-orang desa ini tidak akan hidup tenang. Aku sebagai Kepala Desa Jarak mengucapk an terima kasih yang sebesar-besarnya atas semua pertolonganmu," ucap seorang laki-laki setengah baya berpakai an putih.
Jenggot pendek yang telah memutih menghias bawah dagunya. Ki Barjanala, namanya.
"Ah! Kau terlalu melebih-lebihk an, Ki. Tanpa bantuanku pun sebenarnya Sempani dan Birawa akan dap at kalian lumpuhkan. Kepada Utusan dari Akherat -lah seharusny a kalian berterima kasih," sahut Arya merendah.
"Kau terlalu meng ecilkan arti bantuanmu, Dewa Arak. Kalau tidak karen a mendengar julukanmu, tak akan mungkin sisa gerombolan Bima Seta kabur dari sini," sebuah suara yang keluar dengan susah payah, ikut campur. Pemilik suara itu seorang kakek kecil kurus berpakaian hijau.
Inilah sesepuh Desa Jarak, yang bernama Ki Kuncara.
"Apa yang dikatakan Ki Kuncara dan Ki Barjanala memang tidak salah, Dewa Arak," tukas seorang lelaki bertubuh tegap, kekar, dan bercambang lebat.
"Apa pun alasanmu, tetap jasa yang kau sumbangkan berarti besar. Memang, kelihatannya jasa yang dibuat Utusan dari Akherat jauh lebih bes ar. Karena dia y ang telah berhasil membunuh Ki Bima Seta. Tapi ada yang kau lupakan, Utusan dari Akherat membunuh Ki Bima Seta bukan karena keinginan menolong para penduduk Desa Jarak.
Pembunuhan yang dilakukannya karena suruh an seseorang." "Kau benar, Sembada!" ujar Ki Barjanal a setengah terpekik.
"Berarti, orang yang menyuruh Utusan dari Akherat pun perlu mendapatkan u cap an terima kasih. Sayang, kita tidak tahu di mana mereka bertempat tinggal!" "Kau benar, Ki Barjanala," puji Ki Kuncara dengan suara khasny a.
"Seharusnya merek a pun kita jamu di sini sebagai tanda terima kasih atas tindakan yang telah mereka lakukan." "Apa yang dikat akan Ki Kun cara, tepat sekali!" M elati ikut pula menimpali karena merasa tidak enak berdiam diri terus.
"Seharusnya Utusan dari Akherat dan orang y ang menyewanya bisa berada di sini untuk merayakan pesta han curnya kedu rjanaan Bima Seta." "Tidak mengapa, Nisanak. Keberad aan kalian untuk menemani kami pun sudah cukup untuk membuat hati gembira. Siapa yang belum pernah mendeng ar julukan Dewa Arak yang telah menggemparkan dunia persilatan"! Eh, silakan dicicipi hidangannya. Jangan malu-malu...!" Sambil berkata demikian, Kepala Desa Jarak itu mendahului mengulurkan tangan, mengambil sepotong singkong goreng dan memasukkan ke dalam mulutnya.
Tindakan Ki Barjanala langsung diikuti yang lainnya. Sehingga sejenak pembicaraan terputus. Yang terdeng ar hanyalah suara kunyahan mereka.

***

Hembusan angin sejuk menyibakk an rambut Arya d an Melati, tapi mereka tampak tak mempedulikan. Bahkan mereka seperti menikmatinya. Beberap a kali mereka menarik napas dalam-dalam sambil mengembangkan dada seak an ingin memasukkan udara segar itu sebanyak -banyakny a. Bumi persada makin diliputi suasana pagi ketika Dewa Arak dan Melati meninggalkan Desa Jarak. Sang Surya yang muncul di ufuk timur masih berupa bola raksasa merah menyala. Hembusan angin semilir menghembuskan hawa sejuk, terasa nikmat di kulit.
"Mengapa h arus sepagi ini kita meninggalkan Desa J arak, Kang"!" tanya Melati, seraya menarik tali kekang kuda. Wajahnya diarahkan pada kekasihnya. Terpaksa, Arya menghentikan langkah kudanya pula. Memang, kedua pendek ar muda itu kini sama-sama menunggangi kuda. Kuda hitam yang sebenarnya dimiliki Sempani dan Birawa. Ki Barjanala yang memberikannya. Padahal Dewa Arak dan Melati bersikeras untuk menolak. Namun, Kepala Des a Jarak itu tetap tak berubah dengan keputusannya. Terpaksa pasangan pend ekar muda ini menerima. Kuda-kuda hitam itu pun berganti pemilik. Sedangkan pemilik mereka sebelumnya, Sempani dan Birawa telah tewas di tangan penduduk Desa Jarak.
Kedua anak buah Bima Seta itu tewas secara mengerikan. Betapa tidak" Mereka digantung! Lalu, setiap penduduk melempari tubuh mereka deng an batu. Masing-masing orang sekali! Dewa Arak dan Melati tidak sampai hati melihatnya. Namun, mereka tak mencampuriny a, karena hukuman demikian sudah menjadi adat di tempat itu. Birawa dan Sempani memang pantas untuk mendapat hukuman. Tindak kekejian yang mereka lakukan telah melampaui batas.
Melati mengerutkan alis ketika melihat Dewa Arak tidak menjawab pertanyaannya. Pemuda berambut putih keperakan itu hanya diam termenung.
"Kang...!" sapa Melati lagi dengan nada sedikit disentakkan.
"Eh, apa.... Nggg... ya..., bukankah kau menanyakan sebab kepergian kita yang demikian cepat"!" sahut Dewa Arak menggeragap.
"Benar, Kang," Melati menganggukkan kepala.
"Apakah ini ada hubungannya dengan Utusan dari Akherat"!" "Hhh...!" Arya menghela napas seraya mengg eleng-g elengkan kepala.
"Kau terlalu cerdik, Melati. Tidak ada satu rahasia pun yang dapat kusembunyikan apabila kau berada di dekatku." "Gombal!" sergah Melati, berpura-pura tak senang dengan memasang muka merengut. Namun, sepasang matanya yang berbinar-binar telah menjadi bukti nyata kalau gadis berpakaian putih itu merasa gembira. Siapa sih yang tidak senang mendapat pujian dari orang yang dicintainya" "Ha ha ha...!" Dewa Arak tertawa bergel ak, melihat sikap kekasihnya. Tapi hanya sebentar s aja hal itu dilakukannya. Sesaat kemudian, raut wajahnya menyiratkan kesungguhan.
"Memang, aku mempunyai sebuah dugaan. Seperti yang kau terk a, ini ada hubungannya d engan Utusan d ari Akh erat. Hhh..., aku belum yakin akan kebenaranny a!" ujar Arya, tanpa menoleh pada wajah Melati.
"Katakanl ah, Kang! Aku ingin mendengarnya," sambut Melati tak sabar.
Dewa Arak hany a menggeleng -gelengk an kepala melihat ketidaksabaran kekasihnya. Telah diketahuinya betul kalau Melati memang memiliki watak keras.
"Begini, Melati," Arya mulai memberi penjelasan.
"Ada beberapa hal yang membuatku menaruh curiga sehubungan dengan kematian Bima Seta di tangan Utusan dari Akherat. Kau tahu kan mengapa Utusan dari Akherat membunuh Bima Seta"!" "Hm...," Melati menganggukkan kepala seray a menatap wajah Dewa Arak.
"Menurut pendap atku orang itu tidak punya tujuan, kecuali imbalan yang didapatnya." "Tepat! Sekarang menurut dugaanmu siapa at au pihak manakah yang telah menyewa Utusan dari Akherat"!" tanya Dewa Arak, kali ini wajahnya menoleh ke waj ah kekasihnya.
Melati tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Wajahnya tampak tercenung. Otaknya diputar berusah a mencari jawaban atas pertany aan itu.
"Kalau kau tanyak an orangny a..., rasanya sulit bagiku untuk menduganya, Kang.
Tapi, kalau pihak mana, aku bisa menjawabnya.
Dugaanku kuat, bahwa pihak itu berasal dari Desa Jarak." "Hhh...! Aku pun menduga demikian. Tapi, mengapa tak satu pun di antara merek a yang mengakui seb agai penyewa Utusan dari Akherat"!" untuk yang kesekian kalinya Dewa Arak melontarkan pertany aan itu.
"Malah sepertinya tidak ada satu pun yang teringat pada si penyewa itu, Kang.
Semua puji-pujian dan ucapan terima kasih ditujukan pada Utusan dari Akherat. Ki Barjanala dan Ki Kuncara pun berpendapat demikian," sambung Melati.
"Tapi ada satu orang yang mengingatnya, Melati," timpal Arya lagi.
"Dan orang itu Sembada. Kau ingat"!" "Ya. Aku ingat, Kang! Dia menyebut-nyebut mengen ai orang yang menyewa Utusan dari Akherat. Jadi..., diakah orang yang telah menyewa Utusan dari Akherat, Kang"!" "Aku belum berani memastikan, Melati. Ada hal-hal yang mencurigak an di sini. Sekarang mari kita membahasnya sambil meneruskan perj alanan !" ajak Arya sambil menghentakkan tali kekang kudanya perlah an. Seketika pula kuda hitam itu melangkah. Melihat hal ini Melati pun melakukan tindakan yang sama.
"Menurut akal seh at," ujar Arya lagi menyambung ucapan sebelumnya.
"Penyewa Utusan dari Akherat tak lain orang dari Desa Jarak. Kita kesampingkan dulu dugaan kita terhad ap penyewa yang beras a dari luar. Kurasa, kemungkinannya kecil sekali." Melati mengangguk-anggukkan kep ala. Tampaknya hatinya menerima pendap at Dewa Arak.
"Nah! Sekarang pert anyaannya adalah, mengapa si penyewa Utusan dari Akherat itu tak mau mcnonjolkan diri. Aku yakin, dia tahu penghormatan yang akan diterima, kalau orang itu mau menonjolkan dirinya.
Masalahnya, lupanya semua penduduk Desa Jarak atas jasa yang diberikan penyewa itu, tak dapat disalahkan. Mereka semua terlalu gembira, sehingga belum sempat terpikir k alau sebenarny a yang mempunyai jasa besar atas tewasny a Bima Seta adalah si penyewa. Hal itu terjadi karena kesal ahan si penyewa sendi ri yang tak memberitahukanny a." Dewa Arak menghentikan ucapanny a sebentar untuk menarik napas dan mencari kata-kata yang tepat sebag ai pelanjut uraiannya.
"Bisa dimaklumi kalau penduduk Desa Jarak lupa akan jasa penyewa. Aku sendiri sama sekali tidak ingat akan h al itu. Yang ada di benakku bahwa Utusan dari Akherat pembunuh Bima Seta. Tidak terpikirkan ak an hal lainnya. Aku baru tering at ketika Sembada mengatakanny a.
Dan saat itu pula aku merasakan ad anya kej anggalan dalam masalah ini. Itulah sebabnya, kuputuskan untuk berpu ra-pu ra meninggalkan Desa Jarak." "Jadi..., kau tidak sungguh-sungguh bermaksud meninggalkan Desa Jarak, Kang"!" tanya Melati, setengah tak percay a.
Arya menganggukk an kepala.
"Ah...! Aku mengerti, Kang...! Kau bertindak demikian, pasti karen a ingin menimbulkan kesan pada penyewa Utusan dari Akherat bahwa kau telah meninggalkan Desa Jarak. Dengan demikian, terbuka kesempatan bagi peny ewa Utusan d ari Akherat untuk melanjutkan tindakannya ap abila hal itu memang akan dilakukan. Bukan begitu, Kang"!" terka Melati.
"Tepat, Melati. Memang demikian, maksudku," 'sahut Arya, membenark an.
"Aku yakin, apabila kita tetap berada di sana, penyewa Utusan dari Akherat merasa akan terg anggu untuk melakukan tindakan.
Tentu saja, kalau orang itu hendak melakukan tindakan lanjutan." "Dengan k ata lain, penyewa Utusan dari Akherat itu mempunyai maksud tidak baik, Kang"!" celetuk Melati mencari kepastian.
"Aku tak mengatakan demikian, Melati," sahut Arya.
"Hanya saja tindakan yang dilakukan menumbuhkan rasa curigaku. Yang jelas, kalau tidak ada sebab atau akibatnya, hhh... kurasa janggal harus menyembunyikan tindak kebaikannya." "Bagaimana kalau penyewa Utusan dari Akherat itu tidak mempunyai pamrih apa pun dalam perbuatannya, Kang"!" Melati mengajukan dugaan la-innya.
"Yah..., anggaplah seperti yang kita lakukan selama ini...!" "Apa yang kau katakan memang tidak bisa kusangkal, Melati. Terus terang, aku pun berharap demikian. Tapi, tidak ada salahnya toh, kalau kita bersikap waspad a.
Entah mengapa, aku tetap merasa ada sesuatu di balik ini. Setidak-tidaknya ada maksud terselubung. Kalau tidak, untuk apa penyewa Utusan dari Akherat itu menyembunyikan diri"!" Melati kontan terdiam. Disadari ada kebenaran dalam ucapan kekasihnya. Demikian pula deng an Dewa Arak. Matanya men atap jauh ke depan, seperti ada sesuatu yang tengah dipikirkan dalam benaknya.
"Apakah kau mempunyai dugaan, siapa orangnya yang telah menyewa Utusan dari Akherat, Kang"!" tanya Melati kemudian, setelah keduanya diam sesaat "Hhh...!" Arya menghela napas dalam-dalam lalu dihembuskannya.
"Sebenarny a memang su dah. Tapi, aku masih belum yakin. Bila dipikir dari satu sisi, rasanya dugaanku tidak salah. Tapi bila diperhitungkan dari sisi lainnya, aku merasa tidak yakin dengan dugaanku...." Melati mengerutkan sepasang alisnya yang berb entuk indah.
"Mengapa k au masih ragu, Kang"! Aku y akin dugaanmu tidak salah!" "Mengapa kau d emikian yakin, Melati" Kau tahu orang yang kucurigai"!" tanya Arya. Ada senyum dingin tersunggjng di bibirnya yang tipis itu.
"Tentu saja!" jawab Melati, yakin.
"Bukankah orang yang kau curigai adalah Sembad a"!" Dewa Arak menganggukk an kepala pertanda membenarkan tebakan Melati. Meskipun demikian tak tampak ada keterkejutan pada wajahnya.
Memang, Arya sudah dapat memperkirakan jawaban yang akan diberikan kekasihnya.
"Nah! Kalau begitu..., apa lagi yang membuatmu ragu..."!" kejar Melati, penasaran.
"Kau yakin kalau orang yang menyewa Utusan dari Akherat adalah Sembada, Melati?" Arya malah balas mengajukan pertanyaan.
"Tentu saja!" sahut Melati tegas.
"Dari mana kau meng ambil kesimpulan seperti itu"i Atas dasar ucapanny a"!" "Benar, Kang!" jawab Melati sambil menganggukkan kepal a.
"Kalau kau sendiri, bagaimana?" Dewa Arak tak segera menjawab pertany aan itu. Pemuda berambut putih keperakan itu hanya termenung. Dahinya berkernyit dalam seakan -akan teng ah ada yang dipikirkan.
"Aku juga menaruh kecurig aan pada Sembad a, Melati. Dan dasar kecurigaanku pun sama denganmu. Yaitu berdasarkan ucap annya. Tapi, justru itulah yang membuatku merasa tak yakin dengan dugaan semula.
"Aku tak mengerti maksudmu, Kang"! Katakan saja dengan jelas, jangan berput arputar sepert itu!" sergah M elati, karen a bingung mendengar penj elasan Dewa Arak yang diangg apnya kurang gambling.
"Bagini, Melati," ucap Arya setelah tercenung s ejenak.
"Menurut perhitungan, rasanya aneh kalau Sambad a pelakunya, ucap an seperti itu dikeluarkanny a.
Padahal, bukankah penyewa itu bermaksud menyembunyikan diri" Mengapa mengeluarkan perny ataan seperti itu.
Aku rasa Sembada tak terlalu bodoh untuk mengetahui kalau ucapan yang dlkeluarkannya bisa mengundang kecurig aan orang lain terhadap dirinya." Melati tercenung dengan dahi berkernyit dalam. Gadis berpakaian putih ini merasakan adanya keb enaran yang tidak bisa dibantah dalam pernyataan Dewa Arak. Ya! Meng apa Sembada mengelu arkan ucapan seperti itu, kalau dia penyewa Utusan dari Akherat" Bukankah perbuatanny a tidak ingin diketahui orang" Cukup lama Melati bersikap seperti itu. Terlihat Jelas kalau dia telah berpikir.
Tentu saja, semua tindak tanduk gadis itu tak lepas dari pandangan Dewa Arak.
Namun, pemuda berambut putih keperakan itu membiarkan saja. Dia ingin melihat kelanjutan tanggapan kekasihnya.
"Itukah yang menyebabk anmu merasa ragu menuduh Sembada sebagai penyewa Utusan dari Akherat, Kang"!" tanya Melati.
Dewa Arak tersenyum simpul dan menganggukkan kepala.
"Lalu..., kalau kau berpendapat demikian, mengapa tetap mencurigainya sebag ai penyewa Utusan dari Akherat, Kang"!" desak Melati, penuh semangat.
"Ada alasan lainnya, Melati," jawab Arya.
"Aku mempunyai dugaan kalau Sembada mengeluarkan perny ataan itu tanpa sengaja. Atas dasar itulah kecurigaanku terh adapny a tidak kuhilangkan." Melati mengangguk-anggukkan kepal a. Tak ada senyum tersungging di wajahnya. Namun, tampaknya gadis cantik itu memaklumi kebenaran Dewa Arak.
"Hanya usah a dan waktu yang dap at menjawabny a, Melati," ujar Arya kemudian.
Melati kembali mengangguk-anggukkan kep ala.
"Kapan kau akan mulai menyelidikinya, Kang"!" "Nanti malam, Melati Kita selidiki Desa Jarak secara sembunyi-sembunyi. Kau siap"!" "Tak usah menanyakan hal itu, Kang!" jawab Melati penuh semangat "Ha ha ha...!" Dewa Arak hanya tertawa mendeng ar jawab an itu.

5

Wusss! Angin malam berhembus kencang meniup hawa dingin. Keadaan cuaca tampak kurang menguntungkan. Di langit awan hitam berarak-arak membuat sinar sang Dewi Malam terhalang. Bumi persada pun tampak redup tanpa cahay a.
Semakin lama angin yang berhembus semakin keras dan dingin.
Hujan pun tampaknya akan segera turun. Suasana malam yang telah larut, kian sunyi dan sepi.
Di tengah suasana malam yang dingin dan tanpa cahay a bulan itu, tampak sesosok bayangan hitam meles at cepat memasuki Des a Jarak.
Laksana h antu jahat yang sed ang memburu mangsa, gerak-g eriknya tampak begitu terburu-buru. Namun, bayangan hitam itu ternyata sosok seorang manusia.
Terbukti kedua kakinya menapak di tanah ketika menghentikan gerakan di balik pagar tembok sebuah b angunan cukup meg ah yang memiliki halaman luas.
Hanya sebentar saja sosok berpakaian hitam itu berdiam diri. Sesaat kemudian kakinya digenjotkan. Seketika itu pula tubuhnya melenting ke atas, melompati batas atas tembok. Lalu....
Jliggg! Hampir tak terdengar di telinga, ketika sepasang kaki sosok berpak aian hitam itu mendarat di tanah.
Sekilas sosok berpakaian hitam itu menoleh ke kanan dan ke kiri.
Seakan-akan khawatir kalau kehadirannya akan diketahui orang lain.
Setelah merasa yakin tak ada yang melihat, sosok berpakaian hitam itu melesat cepat, menuju bangunan megah di hadapannya. Hanya dengan beb erap a kali lesat an, tubuhnya telah berada di dek at pintu bangunan.
Untuk yang kedua kalinya sosok berpakaian hitam itu menghentikan gerak an. Api obor yang terpancang pada dinding depan rumah itu menerpa tubuhmu yang berpakaian serb a hitam.
Sosok berpakaian hitam itu memiliki tubuh tinggi kurus. Wajahnya tampak kurang jel as, karen a tertutup selubung kain hitam. Hanya sepasang matanya yang tampak dari dua lubang pada kain selubung kepala. Sosok lelaki itu ternyata Utusan dari Akherat Sejenak sepasang matany a menatap tajam daun pintu. Seperti ada sesuatu yang tengah dipikirkan. Namun sesaat kemudian Utusan dari Akherat menghent akkan keras telapak tangan kanannya ke depan.
Wusss! .Segulung angin dahsyat keluar dari telapak tangan kanan Utusan dari Akherat, meluncur menu ju daun pintu. Dan....
Brakkk! Suara berd erak keras terd engar memek akkan telinga. Angin pukulan Utusan dari Akherat ternyata mampu mengh ancurk an daun pintu yang terbuat dari kayu jari tebal itu.
Tanpa membuang-buang waktu Utusan dari Akherat langsung melesat ke dalam. Pada saat yang bers amaan, dari dalam sebuah k amar muncul sesosok tubuh berpakaian putih, yang ternyata Ki Barjanala.
Kepala Desa Jarak itu tampaknya terjag a dari tidurnya karena mendengar dobrakan pintu rumah.
Saat itu, Ki Barjanala memang telah mulai men empati bangunan yang semula ditempari Ki Bima Seta dan gerombolannya. Hanya saja malam itu Ki Barjanala masih menempari sendiri. Kedua orang anaknya, belum ikut pindah ke tempat tinggal yang baru itu.
Dapat dibayangkan betap a kagetnya Ki Barjanala ketika melihat sosok berpakaian hitam telah berdiri tegak di hadapannya.
"Siapa kau"!" Sambil mengajukan pertanyaan, Ki Barjanala langsung memasang sikap waspada Di a sudah dapat menduga kalau sosok yang berdiri di hadap annya ini, tidak bermaksud baik! Cara datang dan pakaian yanag dikenakanny a menggambark an bagaiman a jiwanya saat itu.
"Kudengar kau ingin memberikan penghormatan p adaku atas pembunuhan terhadap Ki Bima Seta, Barjanala"!" tanya Utusan dari Akherat tanpa mempedulikan pertanyaan yang ditujukan terhadap dirinya.
"Penghormatan..." Membunuh Ki Bima Seta..."! Jadi..., maksudmu.... Kau adalah...," sahut Ki Barjanala dengan suara menggerag ap karena perasaan takut, terkejut, dan keheran an.
"Benar," sambung Utusan dari Akherat, seperti tahu ucapan Kepala Desa Jarak itu selanjutnya.
"Hhh..., akulah Utusan dari Akherat!" Ki Barjanala menelan ludah untuk membasahi tenggorokannya yang mendadak k ering dan terasa g etir. Sama sekali tak disangka kalau sosok yang berjuluk Utusan dari Akherat demikian angk er seperti julukannya.
Tapi yang membuat Ki Barjanala merasa tegang, bukan penampilan pembunuh bayaran itu. Sikap Utusan dari Akherat yang menyebabk annya merasa ngeri! Utusan dari Akherat sedikit pun tak mau menunjukkan perasaan bers ahab at. Ataukah si pembunuh bayaran itu hendak membantai k epala d esa itu, seperti yang dilakukanny a terh adap Ki Bima Seta"! Meskipun telah menduga demikian, Ki Barjanala tak ingin bertindak gegabah. Hal itu karena dirinya belum mengetahui secara pasti maksud kedatangan Utusan d ari Akherat. Oleh karen a itu, diputuskan untuk berpura-pura tidak tahu.
"Ah...! Kalau demikian, atas nama seluruh penduduk Desa Jarak, kuucapkan terima kasih yang tidak terhingga. Silakan duduk, Utusan dari Akherat !" ujar Ki Barjanala, berusah a bersikap ramah "Simpan saja semua keram ahtamahanmu, Barjanala!" sergah Utusan dari Akherat, keras.
"Aku datang bukan untuk berbincang -bincang denganmu! Lebih baik kau bersiap-siap, agar tak mati siasia!" "Ap..., apa maksudmu, Utusan dari Akherat"!" Ki Barjanala m asih mencoba untuk berpura-pura.
"Aku datang untuk membunuhmu, Barjanala! Baik kau melawan atau tidak, bagiku sama saja. Karena tetap akan kubunuh! Bersiapl ah, Barjanala! Aku akan memulainya!"

***

Kini Ki Barjanala sadar, tak ada gunanya lagi berpura-pura. Maka diputuskan untuk melakukan perlawan an. Dia tak ingin mati percuma! maka.... Srattt! Ki Barjanala m enghunus keris yang terselip di pinggang belak ang.
Sebuah keris berkeluk tujuh, berwarna hitam pekat! "Ha ha ha...! Begitu lebih baik, Barjanala!" ujar Utusan dari Akherat, seray a tertawa mengej ek.
"Dengan demikian kau tak akan mati penasaran!" "Tutup mulutmu, Manusia Busuk!" bentak Ki Barjanala keras.
Lalu....
"Hih!" Didahului gertakan gigi, Ki Barjanala langsung melancarkan serang an dengan kerisnya. Senjata yang sarat deng an pamor itu, ditusukkan lurus ke perut Utusan dari Akherari! Wuttt! Deru angin keras terdeng ar, seiring dengan meluncurnya serangan itu.
Namun, Utusan dari Akherat tampak tetap bersikap tenang. Tak tampak adanya gelagat kalau dia akan melakukan tindakan penyelamat an diri, baik mengelak ataupun menangkis! Melihat sikap Utusan dari Akherat, Ki Barjanala merasa terkejut, sekaligus gembira. Apa pembunuh bayaran itu sudah gila" Kalau tidak mengapa dibiarkanny a serang an dahsyat itu.
Pertanyaan -pertanyaan itu muncul di benak Ki Barjanala. Meskipun demikian, tak menghambat seranganny a. Bahkan kepala d esa itu langsung mengerahkan seluruh tenaganya. Hal itu karena dia ingin urusannya cep at selesai. Ternyata Utusan dari Akh erat benar-ben ar tak melakuk an tindakan apa pun terhadap serangan Ki Barjanal a.
"Hiaaa...!" Tukkk! Keris di tangan Ki Barjanala mendarat telak di perut lawan. Namun kepala des a itu tersentak kaget Matany a terbelal ak, seakan-akan tak percaya dengan ap a yang dilihatnya. Keris itu patah! Belum hilang rasa heran dan keterkejutan Ki Barjanal a, tiba-tiba....
Cappp! "Aaakh...!" Pekik kematian dari mulut Ki Barjanala terdeng ar memecah kesunyian malam itu. Tubuh Kepala Desa Jarak itu terhuyung-huyung ke belakang.
Pada ubun-ubunnya tertancap sebilah pisau bergagang ukiran kepala tengkorak.
Dalam kecepatan yang sulit dilihat mata biasa, Utusan dari Akherat berhasil menancapkan senjat a khasnya. Darah segar mengalir deras dari kepala Ki Barjanala yang tert ancap pisau.
Brukkk! Setelah terhuyung-huyung beb erap a saat lamany a, tubuh Ki Barjanala ambruk. Tanpa menggelepar-gelep ar lelaki berp akaian putih yang telah berlumuran darah itu tewas.
"Hmh!" dengus Utusan dari Akherat penuh hinaan. Ditatapnya tubuh Ki Barjanala yang t erkap ar di at as lantai tempat tinggal baruny a.
Sesaat kemudian lelaki berselubung kepala itu membalikkan tubuhnya.
Namun dengan cepat Utusan dari Akherat langsung memasang kuda-kuda. Sikapnya tampak penuh kewaspad aan. Jelas, ada sesuatu yang telah membuat hatinya curiga, hingga harus bersikap seperti itu.
Matanya yang tajam jelalatan ke sana kemari, mengawasi sekitar ruangan bangun an itu.
Dugaan itu ternyata tidak salah! Sesosok bayangan putih tiba-tiba telah berdiri menghadang di ambang pintu. Dengan sendirinya, jalan kabur pembunuh bayaran ini telah tertutup.
"Mau ke mana kau, Pembunuh Terkutuk"! Jangan harap dapat lolos dari tanganku!" tanya sosok bayangan putih yang ternyata seorang gadis.
Tubuhnya yang ramping terbalut pakaian putih. Gadis berambut panjang tergerai itu ternyata Melati.
Utusan dari Akherat tak langsung menjawab pertany aan Melati.
Matanya yang tajam menat api tubuh gadis berpakaian putih itu.
Diam-diam hatinya menyadari kalau calon lawan kali ini tak bisa dianggap remeh. Gadis cantik itu tak dapat disamakan dengan Ki Barjanala. Hal ini bisa diketahuinya d ari tindakan kaki lawan yang demikian halus. Bahkan hampir tak tertangkap oleh pendengaran yang telah terlatih baik sekalipun! "Lebih baik, urungkan niatmu, Nisanak! Kukatakan, aku tak punya urusan denganmu! Jangan kau membuatku harus membunuh seorang gadis cantik seperti kau! Menyingkirlah cepat! Beri aku jalan!" "Jangan banyak bicara, Utusan dari Akherat !" sahut Melati sengit "Aku tak akan menyingkir dari sini. Kecuali kalau kau telah menjadi mayat! Hih!" Seraya menggertakk an gigi, Melati melompat, menerjang Utusan dari Akherat Gadis berp akaian putih ini membuka serang an dengan sebuah kibasan kaki kanan yang dilakukan sambil membalikkan tubuh.
Wuttt! Deru angin keras yang mengiringi tibanya serang an Melati membuktikan betapa kuat tenaga yang dikerahk annya.
Hal itu pun diketahui lawan. Namun tampaknya sedikit pun Utusan dari Akherat tak merasa g entar Kemudian tanpa ragu -ragu dip apakinya serang an Melati, juga dengan tendangan yang sama. Sehingga...
Plakkk! Bunyi keras terdeng ar, ketika kedu a kaki yang sam a-sama di aliri tenaga dal am kuat itu saling mem-bentur Melati terdo rong ke b elakang dengan tubuh berputar. Kemudian, tampak terhuyung-huyung b eberapa langkah. Dirasakan sakit yang hebat melanda kakinya yang berbenturan.
Di saat Melati belum sempat memperbaiki kedudukan, tiba-tiba Utusan dari Akherat melancarkan serangan balasan. Tangannya dikibaskan! Singgg! Diiringi bunyi berdesing nyaring, sebatang pisau kecil berg agang kepala tengkorak melesat memburu Melati.
Melati sadar ak an adany a maut yang mengan cam jiwany a. Gadis berpak aian putih itu segera melakukan tindakan untuk mengatasi serang an maut itu. Dengan gerak an yang hanya dapat dilakukan tokoh berilmu meringankan tubuh tinggi, Melati menjejakkan kaki.
Dan, tindakan itulah yang menyelamatkan nyawa Melati. Jejakan itu membuat tubuhnya melesat ke atas. Sehingga pisau yang dilemparkan Utusan dari Akherat hanya mengen ai angin.
Utusan dari Akherat menggeram murka melihat kegagalan serang annya. Tanpa memberi kesempatan pada Melati untuk memperbaiki kedudukan, segera dikirimkan serangan susulan. Tentu saja dengan kedahsy atan melebihi serangan seb elumnya.
Serbuan Utusan dari Akh erat disambut baik oleh Melati. Pertarungan sengit pun tak dapat dielakkan lagi. Baik Utusan dari Akherat maupun Melati tak ragu-ragu untuk mengerahkan seluruh kemampuan yang dimiliki.
Keduany a langsung mengeluark an ilmu andalan masing-masing.
Melati mengeluark an ilmu 'Cakar Nag a Merah' andalanny a. Sedangkan Utusan dari Akherat menggunak an ilmu 'Jari Sakti'.
Ternyata ilmu 'Jari Sakti' milik Utusan dari Akherat tidak kalah dahsyat dibandingkan 'Cakar Naga Merah' yang dikuas ai Melati. Bunyi berdesingan nyaring selalu terdengar, setiap kali kedua tangan pembunuh misterius itu bergerak.
Memang tak berlebihan kalau ilmu andalan milik Utusan dari Akherat itu bernama 'Jari Sakti' Ilmu itu sangat dahsyat dan menggiriskan. Dalam pengerahan ilmunya, Utusan dari Akh erat kadang-k adang hanya menggunak an satu jari. Tapi tak jarang dua, erripat, atau semua jari tangannya.
Yang sangat men akjubkan, jangankan samp ai terken a langsung, angin serangannya saja sudah cukup mengoyak pakaian sekaligus kulit tubuh.
Betapa dahsyat ilmu 'Jari Sakti' milik Utusan dari Akherat.
Akibat dari penggunaan ilmu yang sama-sama heb at ini memang luar biasa. Bunyi berdesing, mengaung dan mend eru sel alu terdeng ar setiap kali kedua belah pihak menggerakkan tang an atau kaki Jurus demi jurus berlangsung cep at. Tak terasa pertarungan telah berlangsung dua puluh lima jurus. Dan selama itu, Melati tampak terus-menerus terdesak. Kenyataan itu tak mengherankan, karena tampaknya Utusan dari Akherat memiliki keunggulan-keunggulan dibanding Melati. Tidak hanya di bidang tenaga dalam, tapi juga ilmu meringankan tubuh. Dengan dua k eunggulan inilah, pembunuh bayaran itu mampu menekan serang an lawan. Semakin lama kead aan Melati semakin mengkh awatirk an.
Beberap a kali tubuhnya terhuyung-huyung, ketika harus menangkis serang an dahsyat lawan. Namun tampakny a gadis cantik berp akaian putih itu tak ingin mati percuma. Sehingga dengan seluruh kemampuan yang dimiliki, dirinya tetap mengadakan perlawan an.
Menginjak jurus keempat puluh tiga, keadaan Mel ati semakin gawat. Serangan-s ereangan yang dilakukanny a semakin mengendur.
Menangkis pun hanya dapat sesekali dilakukannya. Gadis itu lebih sering banyak b ergerak untuk meng elak. Tindakan inilah yang menyebabk an dirinya semakin terdesak hebat.
Kalau kead aan tidak berub ah, Utusan dari Akherat jelas akan mampu keluar sebagai pemenang. Karena Melati sama sekali tak mampu lagi melancark an serang an yang berarti.
Prattt! "Hih...!" Untuk yang kesekian k alinya, Melati terpaksa m enangkis serangan lawan. Seperti pada kejadian sebelumnya, gadis berpakaian putih itu sangat kewalah an. Malah kali ini lebih parah dari sebelum nya. Tubuh Melati terjengkang, karena saat itu Melati berada dalam kedudukan yang tidak menguntungkan.
Ketika itulah, Utusan dari Akherat langsung melan cark an serangan susulan.
Bagai harimau lapar menerkam mangsa, lelaki berpakaian serba hitam itu melesat menerjang Melati. Jemari tangannya terkembang membentuk cakar. Keduany a mengincar dada Melati.
"Ah!" Jeritan karena perasaan kag et, keluar dari mulut Melati. Matanya yang tajam menatap nanar cakar Utusan dari Akherat yang siap merenggutnya. Kegentaran menyelimuti perasaan gadis itu, karena disadarinya malaikat maut seakan-ak an telah berada di depannya.
Apalagi tubuhnya kini tengah berada di udara, mengelak dari serangan lawan.
Jalan satu-satunya untuk meny elamatk an diri hanyalah m enangkis.
Namun, rasanya tindakan itu sangat sulit dilakukan. Hal itu karena kedua tangannya masih dirasakan sakit akibat menangkis serangan Utusan dari Akherat.
Namun ketika keadaan g awat teng ah mengan cam kes elamatan Melati, tiba-tiba sesosok bayangan ungu melesat ke tempat pertarungan.
Begitu cepat sosok bayangan itu memapak serangan Utusan dari Akherat. Karuan saja hal itu membuat Utusan dari Akhriat terkejut.
Meskipun demikian tetap diteruskan serangannya. Maka....
Prattt! Prattt! Bunyi keras terdeng ar sep erti logam-logam keras dibenturk an.
Sesaat kemudian tubuh Utusan dari Akherat dan sosok bayangan ungu itu langsung terlempar ke belakang. Namun, dengan gerakan yang indah dan ringan, kedua bel ah pihak berh asil mengatasinya. Lalu mendarat di tanah.
"Kau tidak apa-apa, Melati?" tanya sosok bayangan ungu itu pada Melati yang telah berhasil berdiri dengan kedua kakinya.
"Tidak, Kang." Sambil tersenyum manis, Melati menjawab pertanyaan sosok bayangan ungu yang ternyata Arya alias Dewa Arak.
Hanya ses aat Dewa Arak memperhatikan k eadaan kek asihnya.
Namun kesempatan pend ek itu dimanfaatkan seb aik-baiknya oleh Utusan dari Akherat.
"Hey! Jangan lari...!" seru Dewa Arak seraya mengejar, ketika dilihatnya lelaki berpakaian dan berselubung kepal a hitam itu melesat meninggalkan tempat pertarung an. Tentu saja tindakan Dewa Arak membuat Utusan dari Akherat merasa khawatir. Buru-buru tangannya dimasukkan ke balik baju, kemudian di keluarkannya kembali. Semua itu dilakukannya tanpa mengendurkan kecep atan lari.
"Aku tak punya urusan denganmu, selamat tinggal...! Hih!" Sambil berkata begitu, Utusan dari Akherat melemparkan benda bulat sebesar ibu jari kaki ke arah Dewa Arak. Melihat hal itu, Dewa Arak mengh en tikan pengejaranny a. Tubuhnya dilempar ke belakang untuk menghindar. Arya khawatir benda bulat kecil itu mengandung racun yang mematikan Darrr! Ledakan k eras sek etika terdeng ar begitu benda bulat kecil itu berbenturan deng an tanah. Seketika itu pula muncul asap teb al hitam yang menghalangi pemandangan ke depan. Hal ini membuat Dewa Arak tak dapat meneruskan peng ejarannya terhadap Utusan dari Akherat.
Dan seperti yang sudah diduga Dewa Arak, begitu asap itu lenyap dari pandangan, Utusan dari Akherat sudah tidak terlihat lagi.

6

"Sayang sekali.... Keparat itu berhasil meloloskan diri...," ujar Melati menyesal. Dewa Arak mengalihkan pandangan menatap kekasihnya yang telah berad a di sisinya.
"Tak perlu kau sesali hal itu, Melati," ujar Dewa Arak menghibur.
"Masih banyak kesempatan untuk bertemu dengannya. Yang penting kau selamat." Wajah Melati langsung berubah. Sepasang matanya yang bening dan indah menyiratkan ketidakpuasan.
"Mengapa kau d atang terlamb at, Kang"! Kalau tidak..., kita telah berhasil membekuknya!" "Ya..., aku terlambat karena menunggu munculnya orang yang telah menyewa Utus an dari Akh erat, di bangunan tua itu, Melati. Aku berharap, dia akan datang, tapi, setelah kesal menunggu, dia tetap tak muncul.
Kuputuskan untuk menyusulmu kemari. Untung aku datang pada saat yang tepat...!" Melati terdiam. Memang, semula telah diadakan kesepakatan. Dewa Arak menyelidiki bangunan kuno, tempat pertama kali mereka melihat sosok bayangan hitam. Sedangkan Melati mengawasi tempat tinggal Ki Barjanala.
Penyelidikan terhad ap tempat tinggal Ki Barjanala, berdasarkan kecurigaan Dewa Arak. Dia menduga, bahwa tindakan rahasia peny ewa Utusan dari Akherat pasti ada hubungannya dengan kedudukan kepala desa. Ternyata dugaan itu tidak meleset! "Apakah tokoh yang b ertarung denganmu itu Utusan dari Akherat, Melati?" tanya Arya, mulai mengalihkan pokok persoalan.
"Kurasa ben ar dia, Kang," jawab Melati tidak berani memastikan.
"Lalu... bagaimana dengan Ki Barjan ala" Apakah dia baik-baik saja"!" Seketika itu pula wajah Melati berubah. Tentu saja hal ini terlihat jelas di mata Dewa Arak. Karena pemud a berambut putih keperakan itu memang tengah memperh atikan wajah k ekasihnya. Perasaan tidak enak pun melanda batin Dewa Arak. Namun, sebelum Dewa Arak sempat mengajukan pertanyaan, Melati telah menyahut.
"Aku terlambat datang, Kang," ujarny a dengan suara lirih, seakan -akan merasa sang at menyesal.
"Maksudmu...?" Arya tidak berani melanjutkan ucapannya.
"Dia telah tewas, Kang." "Hah...!" Dewa Arak tersentak kag et mendengar jawaban Melati. Hatinya sama sekali tak mendug a kalau h al itu akan terj adi. Matanya terb elalak diliputi rasa kesal dan penasaran. Lalu, tanpa menunggu lebih lama lagi, Dewa Arak meles at ke dalam rumah. Tampak tubuh Kepala Desa Jarak itu terbujur di lantai berlumuran darah.
Memperhatikan sekilas saj a, Dewa Arak mengetahui kalau Ki Barjanala memang telah tewas. Sebuah pisau bergagang ukiran kepala tengkorak yang menancap di dahinya telah meyakinkan hati Dewa Arak.
"Tanda seperti ini pun ada pada mayat Ki Bima Seta," ujar Dewa Arak dengan suara pelan.
"Berarti pelaku pembunuhan ini Utusan dari Akherat pula, Kang," timpal Melati memberikan kesimpulan.
"Yahhh...," sahut Arya dengan suara mendesah.
Kemudian membalikkan tubuh dan melangkah ke luar.
Hal yang sama dilakukan Melati.
"Aku yakin hal ini berhubungan erat deng an kedudukan k epala desa, Melati," tukas Arya pelan.
"Hhh...!Tidak kusangka kalau penyewa Utusan dan Akherat bertindak demikian cep at." "Kejadian ini semakin memperkuat dugaanku, Kang," ujar Melati.
"Memang. Semua kejadian ini menjurus pada satu orang. Sembada.
Masalahnya, siapa lagi yang akan menggantikan kedudukan kepala desa setelah Ki Barjanala tidak ada selain Sembada?" "Tapi..., masih ada satu orang lagi yang bisa menghalangi Sembada menduduki jabatan kepala desa itu, Kang," ujar Melati tiba-tiba.
"Kau benar," sambut Arya setengah terp ekik.
"Orang itu tak lain Ki Kuncara! Kita harus berbuat sesuatu untuk menyelamatkanny a." "Apa yang harus kita lakukan, Kang?" tanya Melati, setengah bingung.
Dewa Arak tak seg era m enjawab. Dahiny a berk ernyit, pertanda tengah ada yang dipikirkan.
"Jalan satu-satunya untuk mencegahny a hanya dengan mengam ati bangunan tua itu, Melati. Ternyata tempat itulah yang dijadikan penghubung antara Utusan dari Akherat dengan penyewany a," ujar Arya menjelaskan.
"Bagaimana kalau kita kecolongan lagi, Kang"!" tanya Melati, mengajukan kemungkinan yang tidak terduga.
"Kurasa tidak. Kita awasi tempat itu terus-menerus. Pagi, siang, sore, dan malam. Mustahil penyewa itu lolos dari pengamatan." "Kapan kita memulainya, Kang"!" "Sekarang juga!" tandas Arya teg as.
"Aku khawatir, penyewa itu telah meletakkan perintah kejinya di sana." "Tapi, Kang...," Melati menggantung ucapannya di tengah jalan.
"Ada ap a, Melati"! Katakan saj a!" sahut Ary a ketika melihat kekasihnya meras a ragu untuk meneruskan ucapannya.
"Mengapa mesti bersusah pay ah mengawasi bangunan tua itu, Kang"! Menurut pendapatku, lebih baik kita langsung saja pada sasaran berikutnya. Kita awasi rumah Ki Kuncara. Dengan sendirinya, apabila ada bahay a mengan camnya, kita dapat memberik an pertolongan sesegera mungkin." Dewa Arak mengangguk-anggukk an kepala mendengar pendapat kekasihnya.
"Pada dasarny a aku setuju dengan usulmu, Melati. Karena memang sebenarnya merup akan cara yang paling baik. Tapi ingat, Melati, ada satu hal yang kau lupakan.
Orang yang telah menyewa Utusan dari Akherat belum tentu Sembada. Mes kipun, kemungkinannya sangat besar." Dewa Arak mengh entikan ucapanny a sejen ak untuk mengambil napas.
"Itulah sebabny a, kuputuskan untuk mengawasi bangun an itu. Kau mengerti, Melati"!" Melati terpaksa menganggukkan kep ala walaupun seb enarny a tidak merasa puas deng an keputusan yang diambil.
"Lalu..., bagaimana dengan Utusan d ari Ak herat, Kang"! Apakah dia harus dibiarkan saja"!" "Dia akan menerima ganjaranny a pula, Melati. Utusan dari Akherat termasuk orang yang berbahaya. Kemampuannya dapat dipergunakan orang lain untuk menimbulkan malapetaka. Tokoh itu harus dilenyapkan!" "Aku pun berpend apat demikian, Kang. Utusan dari Akherat tokoh yang amat berbah aya," ujar Melati memberikan dukungan "Sekarang, mari kita tuntaskan persoalan ini, Melati!" ajak Arya seray a melesat meninggalkan tempat itu.
Tanpa menunggu lebih lama lagi, Melati pun segera m enyusulnya.
Sesaat kemudian, sepasang muda-mudi berwaj ah elok ini telah saling berkejaran menuju bangunan tua.

***

Hari sudah agak siang. Sang Surya telah cukup jauh bergeser dari tempat terbitnya. Bentuknya sudah mengecil dan menyilaukan mata, memancarkan cah aya yang mulai menggigit kulit.
Namun keadaan itu tak dihiraukan Dewa Arak yang tengah memusatkan perhatian mengawasi bangunan tua, tempat pertama kalinya bertemu sosok berpakaian hitam.
Arya duduk di salah satu cabang pohon yang tertutup rimbun dedaunan sehingga k eberadaannya sulit diketahui. Dari semalam, Dewa Arak berada di situ. Pandangannya tak lep as terus mengawasi bagian bangunan tempat sebatang tombak tertan cap.
Di tempat itulah pernah dilihatnya sesosok bay angan hitam yang sekarang diketahui sebagai penyewa Utusan dari Akherat, menaruh surat yang berisi perintah maut.
Dewa Arak mengalihkan pandangan ke sekitarnya. Dan seperti telah diatur saja, dari kejauhan melesat cepat sesosok tubuh.
Meskipun jaraknya masih cukup jauh, pemuda berambut putih keperakan itu bisa mengenali sosok yang tengah melesat cepat menuju tempat dirinya berada. Ciri-ciri sosok yang mengenakan pakaian putih itu amat dikenalnya Hanya dalam beberapa kali lesatan, sosok yang tak lain Melati telah sampai di bawah pohon tempat Dewa Aiak berada. Gadis itu langsung menggenjotkan kaki.
Dan.... Jliggg! Tanpa menimbulkan getaran sedikit pun, Melati hinggap di cabang pohon tempat Dewa Arak berada "Kita kecolongan lagi, Kang," ujar Melati, buru-buru.
"Kecolongan"!" Arya mengernyitkan dahi.
"Aku belum mengerti apa yang kau maksudkan, Melati?" "Ki Kuncara telah tewas!" "Apa"!" tanya Arya tersentak kag et "Bagaimana hal itu dapat terjadi, Melati"!" "Seperti juga Ki Barjanala, Ki Kuncara pun tewas semalam, Kang," jelas Melati. Dewa Arak tidak menyahut. Dia terdiam dengan mata menatap ke depan, seperti ada sesuatu yang tengah disesali.
"Berarti, setelah membunuh Ki Barjanala, Utusan dari Akherat langsung menyatroni Ki Kuncara dan membunuhnya pula," lanjut Melati lagi.
"Hm..., berarti kali ini penyewa Utusan dari Akherat langsung meminta dua orang sebagai korbannya. Dia tak mau bertindak setengah-s etengah rupanya," gumam Arya p elan, seperti berbicara pada dirinya sendiri.
"Kead aan di Desa Jarak kacau, Kang! Sekarang semua penduduk mengutuk Utusan dari Akherat seb agai pembunuh keji! Padahal, baru dua hari yang lalu mereka memuji-mujinya setinggi langit!" Melati menceritak an peristiwa y ang diketahuinya. Memang, begitu pagi menjelang, Melati langsung pergi ke Desa Jarak untuk melihat keadaan. Tentu saja itu dilakukan secara sembunyi-sembunyi.
"Kacau"!" Arya mengerutk an alis penuh perasaan heran.
"Mengapa bisa demikian, Melati"! Meskipun memang kematian dua orang sesepuh desa itu cukup mengejutkan, tidak perlu menyebabkan terjadinya kekacauan." "Putra Ki Barjanala tidak menerima kejadian ini. Dia bertekad menuntut balas." "Itu wajar, Melati. Siapa yang tidak merasa dendam jika orangtuanya dibunuh orang"!" sambut Arya.
"Tapi, bagaimana dia dapat memenuhi keinginannya itu" Di samping untuk mengetahui keberad aan Utusan dari Akherat sangat sulit, apakah putra Ki Barjanala itu akan sanggup menghadapinya?" "Itulah masalah yang menyebabkan terjadinya kekacau an, Kang" lanjut Melati.
"Bukan terhadap Utusan dari Akherat, putra Ki Barjanala bermaksud melampiaskan dend amnya!" "Heh"! Aneh...! Lalu..., kepada siapa dendam itu akan dilampiaskan"!" "Pada Sembada, Kang! Dia mengangg ap, bahwa Sembada yang telah memerintahkan Utusan dari Akherat untuk melakukan semua kekejian itu!" "Ah!" untuk yang kesekian kalinya Arya tersentak kaget.
"Mengapa dia dapat mengambil kesimpulan seperti itu"!" "Entahlah, Kang!" Melati menggelengkan kepala.
"Menurut berita yang kudengar, dia menghubung-hubungkan semua kejadian yang secara beruntun dilakukan Utusan dari Akherat. Semua peristiwa mengenaskan itu menu rut berita yang kud apat, ada k aitannya d engan jabatan kepala des a." "Hhh...!" Arya menghembuskan napas b erat.
"Kesimpulan yang didapat putra Ki Barjanala itu ternyata sama deng an kita, Melati. Tak bisa kusalahkan tindakan yang diambil putra Ki Barjanala. Memang, semua kejadian ini menunjuk Sembada sebagai pelakunya." Melati mengangguk-anggukkan kepal a pertanda menyetujui ucapan kekasihnya. Seakan-akan gadis itu membenarkan ucap an kekasihnya.
"Bagaimana denganmu sendiri, Kang" Apakah kau masih ragu kalau pelaku semua kek ejian itu Sambada"!" tanya Melati, ingin tahu pendapat Ary a secara pasti.
Bukan tanpa alasan g adis berpak aian putih ini menanyakanny a.
Hatinya menyadari kalau dugaan Dewa Arak tidak pernah meles et.
"Entah mengapa, aku tetap kurang yakin kalau orang yang berada di balik semua kekejian ini Sembada. Padahal, akal sehatku mengatakan kalau Sembada-l ah yang telah memberik an perintah-p erintah terh adap Utusan dari Akherat. Tapi, entah mengapa aku merasa ragu ! Atau..., ini disebabkan karena belum kudapatkan bukti nyatanya...?" Jawaban yang diterima Melati tetap tidak jelas. Meskipun demikian gadis berpakaian putih itu tidak mendesak lebih jauh. Disadari kalau Arya telah berus aha untuk memberikan jawab an yang memuaskan.
"Apakah putra Ki Barjanala telah melakuk an penyerbu an secara terbuka pada Sembad a"!" tanya Arya mengalihkan pembicaraan.
"Tidak, Kang," Melati menggelengkan kepala.
"Hanya perang dingin. Tapi aku yakin, bentrokan pasti bakal terjadi antara merek a.
Tinggal menunggu waktunya saja. Sekarang, di desa itu telah terbentuk dua kelompok. Kelompok anak Ki Barjanala dan kelompok Sembada.
Tapi, jumlah pengikut Sembada jauh lebih sedikit. Andaikata terjadi bentrokan, dengan mudah merek a akan dihancurk an." "Patut kuacungkan jempol tindakan putra Ki Barjanala. Dia tidak hanya menuruti kemarah annya saja," ujar Arya merasa kagum.
"Pada putra Ki Barjanala yang mana kau tujukan pujian itu, Kang"!" tanya Melati tiba-tiba, yang membuat Dewa Arak terperanjat.
"Apa maksudmu, Melati"! Apakah Ki Barjanala mempunyai banyak anak"!" "Banyak sih, tidak. Tapi hanya dua orang. Kedua-duanya lelaki.
Yang tua bernam a Jagap aksi. Sedangkan adiknya bern ama Suraga. Dan yang menyebabkan tercegahny a pertempuran itu adalah Jagapaksi. Dia menyuruh Suraga yang sudah kalap itu untuk bersabar sebentar dan menunggu perkembang an selanjutnya," jelas Melati panjang lebar.
Suasana berubah hening ketika Melati menghentikan ucapannya.
Dewa Arak terdiam, tak memberikan tangg apan. Mereka berdua tenggelam dalam alam pikiran masing-masing.
"Kang..," sapa Melati memecahkan keh eningan yang menyelimuti.
"Hm...!" sahut Dewa Arak hany a deng an gumaman pel an sambil menoleh.
"Untuk apa lagi kita berad a di sini" Kurasa lebih baik kita pergi ke Desa Jarak. Sudah jelas kalau Sembada orang yang berdiri di belakang layar. Dan..." Ucap an Melati terh enti di tengah jalan secara mendad ak. Hal itu karen a Arya tiba-tiba memberikan isyarat padanya agar diam. Kemudian jari telunjuknya ditudingkan ke satu arah. Tempat asal kedatangan Melati tadi.
Dengan perasaan heran, Melati mengalihkan pandang an ke arah yang ditunjukkan kekasihnya. Dan....
"Ah!" Melati tersentak kaget, ketika dari kejauhan matanya melihat sesosok tubuh tengah melesat menuju tempat mereka berad a.
Gerak an sosok tubuh mengenak an pakaian ku ning itu cukup cepat.
Sayang, sepasang muda-mudi ini tidak bisa mengenali karena wajahnya tertutup selembar kain hitam.
"Meskipun warna pakai annya berb eda, aku yakin kalau dialah yang kita lihat beberapa malam yang lalu. Bagaimana menurutmu, Melati?" bisik Arya.
"Aku pun menduga demikian, Kang. Aku yakin orang inilah yang kita lihat waktu itu. Menurutmu..., apakah dia Sembada"!" Melati balas bertanya deng an suara berbisik.
"Entahlah," Arya mengangk at bahu.
"Tapi..., sosok tubuhnya memang mirip dia." "Sebentar lagi akan kita saksikan kebenaranny a, Kang! Aku yakin kalau dia Sembada." "Kalau begitu..., aku memilih sebaliknya," ujar Arya kalem.
Sampai di sini, percak apan sep asang pend ekar muda ini terhenti.
Keduany a tak ingin keberadaan mereka di situ diketahui.
Sementara itu sosok berpak aian kuning terus melanjutkan langk ah.
Tapi beberapa tombak seb elum mencapai bangun an tua dan tak terawat itu, langkahnya berhenti. Kepal anya ditolehkan ke s ana d an kemari seperti tengah memastikan tak ada orang lain di tempat itu.
Sesaat kemudian, sosok berpakaian kuning itu melesat menuju tembok bangunan megah tempat tombak putih mengkilat terhunjam.
Sampai di situ, tangan kanannya seg era dimasukkan ke balik baju. Dan begitu keluar lagi, tampak segulungan surat terbuat dari kulit binatang.
Kemudian digantungkannya gulungan surat itu, berikut satu buntalan kecil yang berisi uang. Saat itulah Dewa Arak dan Mel ati langsung bertindak. Keduanya dengan cepat melompat dari atas pohon, dan melesat menuju tempat sosok berpakaian kuning berada.

7

Sesuai kesepak atan, Dewa Arak menujukan sas aran pada gulungan surat dan buntalan uang. Sedangkan Melati mengincar sosok berpakaian kuning.
Karuan s aja, kemunculan Dewa Arak dan Melati membuat terkejut bukan kepalang. Meny adari ad anya b ahaya m engancam, orang itu segera melesat kabur. Namun dengan kemampuannya yang hanya seperti itu, mana mampu dia meloloskan diri dari Melati" Setelah bersalto beberapa kali di udara, Melati mendaratkan kaki di depan sosok berpakaian kuning itu.
Tentu saja, sosok berpakaian kuning itu semakin kalap karenanya.
Buru-buru tubuhnya dibalikkan dan langsung berlari menuju arah lainnya. Seperti juga kejadian sebelumnya, baru beberapa langkah berlari terpaksa dihentikan, ketika tiba-tiba M elati telah menghad ang di depannya.
Meskipun demikian, sosok berpakaian kuning itu tak putus asa.
Lagi-lagi tubuhnya dibalikkan ke arah lain. Kemudian berlari.
Namun, untuk yang kesekian kalinya sosok berpakaian kuning gagal dengan usah anya. Melati telah berad a di depannya kembali.
Kenyataan ini membuatnya sadar, kalau dirinya tak akan mungkin dapat meloloskan diri. Hal itu membuatnya nekat. Sebagai akibatnya....
Srattt! Sinar terang berkilat ketika sosok berpakaian kuning itu mencabut golok yang terselip di pinggang. Dan dengan senjata terhunus di tangan, d-serangny a Melati. Golok itu ditusukkan ke arah perut gadis itu.
"Hmh!" Melati mengeluark an dengusan meng ejek seraya dengan cepat mendoyongkan tubuh ke kanan. Ketika golok itu menyambar. Hebatnya, hal itu dilakukannya tanpa melangkahkan kaki. Hanya tampak tubuh berpak aian putih itu meliuk mengelakkan serangan lawan.
Wuttt! Golok lawan menyambar tempat kosong, hanya beberapa jari dari pinggang Melati.
Saat itulah Melati melancarkan serangan bal asan. Dengan cep at sisi tangan kanannya bergerak seperti membacok tubuh lawan.
Wuttt! Orang berp akaian kuning itu terperanjat bukan kepal ang, menyaksikan serang an balasan lawan yang mengancam dirinya. Dari deru angin yang terdengar, bisa diketahui kalau serangan itu mengandung tenaga d alam kuat. Dengan kemampuan yang dimiliki, dicobanya untuk mengelakkan serangan itu. Tapi....
Bukkk! "Uh..,!" Menyadari dirinya tak mungkin meloloskan diri, lelaki berpakaian kuning itu menjadi nekat...
Srat! Tangannya mencabut golok yang terselip di pinggang, dan langsung menusukkannya ke arah perut Melati.
Ketika golok itu sudah sangat dekat, Melati segera mendoyongkan tubuhnya ke kanan! Sosok berpakaian kuning itu mengeluarkan keluh an tertah an dari mulut ketika tangan Melati mendarat telak pada sasaran yang dituju.
Seiring dengan suara keluhanny a, tubuh sosok berpakaian kuning itu ambruk di tanah. Diam tidak bergerak lagi. Pingsan!

***

"Kau tidak membunuhnya kan, Melati"!" tanya Ary a seraya menghampiri kekasihnya.
"Tentu saja tidak, Kang," sahut Melati, cepat bernada bangga.
"Aku pun tahu, ada pihak yang lebih berkepentingan terhad apnya." "Syukur kalau kau menyad arinya," ujar Ary a lega.
"Ini surat dan uang yang diletakkan di gagang tombak itu. Bacalah! Agak keras sedikit agar aku mendeng arny a." Melati menerima gulungan surat itu. Dengan ag ak terbu ru-buru dibuka gulungannya. Kemudian dibacanya dengan suara agak keras.
Utusan dari Akherat, Kali ini kuminta kau membunuh Jagapaksi. Kalau bisa malam ini juga. Aku ingin masalah ini cepat selesai. Setelah ini semua masalah akan beres.
"Hanya itu yang ditulisnya dalam surat itu, Melati?" tanya Arya ingin tahu.
Melati menganggukkan kepala.
"Perintah ini semakin menambah bukti kalau dalang pembunuhan gelap ini Sembada, Kang," ujar Melati, menarik kesimpulan.
Sambutan atas ucapan itu hanya senyum lebar di mulut Dewa Arak.
"Akan kubuktikan kebenaran ucap anku, Kang," ucap Melati lagi penuh semangat.
Usai berkata demikian, tubuhnya dibungkukkan. Lalu tangannya diulurkan untuk meraih kain yang menutup wajah sosok berpakaian kuning. Hanya dengan sekali sentak, lepaslah kain itu. Dan....
"Ah...!" Melati terpekik kaget. Matanya terb elalak hampir tak percaya melihat sosok berpakai an kuning itu bukan Sembada. Yang terlihat ternyata wajah seo rang pemuda berwajah buruk.
Kulit wajahnya hitam, dengan bibir tebal yang hitam pula.
Hidungnya besar, sedangkan kedu a matanya seperti selalu terbelalak.
"Ketidakyakinanku terny ata beralasan. Bukan Sembada pelakunya," ujar Ary a, tanpa menunjukkan rasa gembira atas kemenang annya bertaruh dengan Melati.
Sementara Melati terdiam seperti patung. Untuk yang kesekian kalinya harus diakui kalau dugaan kekasihnya tak pern ah meleset.
"Kau mengenalny a, Melati?" tanya Arya ingin tahu.
Melati hanya menggelengkan kep ala.
"Lebih baik kita bawa ke Desa Jarak. Aku yakin, ada penduduk yang mengenalny a.
Kalau tidak mempunyai hubung an di sana, untuk apa membuat onar desa itu?" ujar Arya meyakinkan.
"Aku pun bermaksud mengusulkan demikian, Kang," tukas Melati.
Secercah senyum lebar tersungging di bibir Dewa Arak.
"Kurasa lebih baik kau pergi lebih dulu, Melati. Beritahukan pada para penduduk kalau orang yang berdiri di belakang peristiwa pembunuhan terhad ap Kepal a dan Calon Kepala Desa jarak, telah berhasil kita tangkap. Aku yakin, semua penduduk akan berdatang an.
Dengan cara itu, masalah ini akan seles ai dan ket egangan antara dua kelompok dapat teratasi." "Sebuah usul yang bagus, Kang," puji Melati sambil mengacungkan ibu jarinya.
"Kau memang pandai memuji, Melati," ujar Arya sambil menggeleng-g elengkan kep ala.
"Sudahlah! Lebih baik kau berangkat!" "Baik, Tuan Besar! Perintah Tuan akan segera hamba laks anak an," ucap Melati sambil membungkukkan tubuh. Tak lupa dipasang sikap sungguh-sungguh pada wajahnya.
Kemudian, tanpa menunggu sambutan Dewa Arak, Melati melesat cepat meninggalk an tempat itu. Hanya dalam beberapa k ali lesatan, tubuhnya telah berada jauh. Semakin lama semakin mengecil hingga berbentuk titik kecil hitam yang akhirnya lenyap.
Dewa Arak hanya dapat menggeleng-g eleng kan kepala melihat kelakuan Melati. Ditunggunya beberapa saat. Baru kemudian diangkatnya tubuh sosok berpakaian kuning, dan diletakkan di bahunya.
Lalu kakinya melangk ah meninggalkan tempat itu. Tujuannya jelas, Desa Jarak.
Karen a ingin memberikan kesempatan pada Melati memberi tahu seluruh penduduk Desa Jarak, Dewa Arak tak mengerahk an seluruh ilmu meringankan tubuhnya.
Kesempatan y ang diberikan Dewa Arak terny ata tidak sia-sia.
Beberap a puluh tombak sebelum mencapai tapal batas Desa Jarak, dilihatnya kerumunan orang menyongsong di mulut desa.
Melihat hal ini, Dewa Arak tidak mau membuang-buang waktu lagi.
Segera dikerahk an seluruh ilmu meringankan tubuhnya. Sepasang kaki pemuda berambut putih keperak an itu seperti tak menginjak tanah, karen a kecep atan gerakanny a. Hanya dalam beberap a kali lesatan, Dewa Arak sampai sekitar lima tombak dari kerumunan penduduk Desa Jarak.
Di sini Dewa Arak menghentikan larinya. Kemudian pandangannya diedarkan. Hany a dalam sesaat saja, telah disaksikan keben aran cerita Melati.
Kerumunan penduduk itu terdiri dari dua kelompok. Yang satu dalam jumlah besar, sedangkan lainnya sedikit.
Pada bagian kelompok kecil tampak Sembada. Dia berdiri paling depan.
"Hhh...!" Dewa Arak menghembuskan nap as berat dalam hati. Sama sekali tidak disangka kalau pihak Sembada dan pihak keturunan Ki Barjanala masih bersitegang. Padahal, bukankah M elati telah memberitahukan kalau penyewa Utusan dari Akherat telah berhasil ditangkap" Dari kenyataan ini saja dapat diketahui kalau Desa Jarak belum mempunyai kepala desa! Baru saja Arya memutuskan untuk berbicara, melesat sesosok bayangan putih. Dan tahu-tahu, di dekatnya telah berdiri Melati.
"Sekarang tiba giliranmu, Kang," ujar Melati, mempersilakan.
"Bagianku telah berhasil kuselesaikan.
Dewa Arak hanya menganggukk an kepala sebagai jawabanny a.
Kemudian pandangannya diedarkan kembali, memperhatikan para penduduk Desa Jarak yang seperti tak sabar menunggu berita darinya.
"Wahai, penduduk Desa Jarak..., dengarkan ucap anku...!" seru Dewa Arak dengan mengerahkan tenag a dalam agar terd engar di telinga semua orang yang b erad a di situ.
"Aku mempunyai berita baik untuk kalian." Sampai di sini Dewa Arak menghentikan ucap annya sebent ar untuk melihat tanggapan dari para warga Des a Jarak.
"Kupinta kau tidak bertele-tele, Dewa Arak," selak Sembada.
"Kami telah tahu berita yang kau bawa. Kawanmu telah mengatakan. Bukankah kau telah berhasil menangkap orang yang berada di balik semua pembunuhan di Desa Jarak"! Katakanlah cepat. Aku sudah tak sabar lagi untuk membuktikan ketidakbersalahanku!" Sambil berkata demikian, Sembada mengerling ke tempat Jagapaksi berad a. Tapi, putra tertua Ki Barjanala sama sekali tak memberi sambutan.
Lelaki gagah itu tetap berdiam diri dengan pandangan tertuju lurus ke wajah Dewa Arak.
"Baiklah, kalau memang itu yang kau mau, Sembada. Aku pun tak mau membiarkan persoalan ini berlarut-larut. Sayang sekali aku dan kawanku tidak mengenalinya.
Barangk ali saja kalian kenal. Nih! Kalian perhatikan baik-b aik!" Usai berkata d emikian, Dewa Arak segera menurunk an tubuh yang terpanggul di pundaknya. Kemudian dilemparkannya ke depan.
Wuttt! Tubuh sosok berpakaian kuning itu pun melayang. Seketika itu pula semua mata kecu ali Dewa Arak dan Melati, tertuju ke tubuh sosok berpak aian kuning itu.
Brukkk! Bunyi berdebuk keras terdengar ketika tubuh lelaki berpakaian kuning itu terbanting di tanah.
Tubuh lelaki berpakaian kuning itu jatuh telentang. Sehingga semua penduduk dapat melihat jelas wajahnya. Tubuhnya terkulai lemas, tanpa gerak. Karena Dewa Arak telah menotok sebelum membawa k e Desa Jarak. Wajah semua orang yang ada di situ tampak memanearkan peras aan kaget dan heran yang tidak terhingga. Sorot mata mereka pun memanearkan kerid akpercay aan yang mendalam.
"Hah..."!" "Heh..."!" "Astaga...!" Jeritan-jeritan bernad a kaget dan tak percaya keluar dari mulut para penduduk Desa Jarak. Sebagian besar tampak menggeleng -geleng kepala keheran an.

8

Namun di antara sekian banyaknya penduduk Desa Jarak, ada seorang yang dilanda perasaan kaget dan heran paling besar. Orang itu adalah...
Jagapaksi! Sepas ang bola mata putra tertua Ki Barjanal a itu seperti hendak keluar ketika menat ap sosok berpakaian kuning yang tergolek di tanah.
"Suraga...!" gumamnya lirih dengan kepala tergel eng-gel eng.
Pemuda berpakai an kuning itu ternyata Suraga, adiknya.
Cukup lama juga Jagapaksi bersikap seperti itu sebelum akhirnya secara mendad ak pandang annya dialihkan kepad a Dewa Arak. Matanya yang tajam menatap wajah pemuda berambut putih keperakan itu.
"Apa yang membu atmu menarik kesimpulan sempit seperti ini, Dewa Arak"!" tanya Jagap aksi dengan suara keras.
"Kesimpulan sempit"!" ulang Arya dengan kening berkernyit.
Perasaan kaget yang tadi melanda ketika mengetahui dalang semua ini ternyata Suraga, putra kedua Ki Barjanala telah berhasil ditekannya.
"Maksudmu..., penangkapan yang kulakuk an atas diri adikmu ini kau katakan kesimpulan sempit"!" "Benar! Kau hany a mengada-ad a, Dewa Arak! Aku yakin kau telah bersekongkol dengan Sembada! Tapi sayang kau keliru! Hany a orang gila yang mempercayai lelucon ini! Mana mungkin Suraga membunuh ayahnya sendiri ! Tipu muslihatmu tak masuk akal, Dewa Arak !" seru Jagapaksi berapi-api.
"Kaulah yang mengambil kesimpulan sempit!" selak Melati, karena tak kuat menahan amarah mend engar hinaan terh adap kek asihnya.
"Dengar baik-baik, Kambing Dungu! Adikmu yang kau agung-agungk an itu tak lebih dari iblis berwajah manusia! Dia kami pergoki ketika hendak mengirimkan perintah mautnya lagi pada Utusan dari Akherat!" "Bohong! Kau bohong, Perempuan Liar! Kau akan mendapat balasan yang setimpal atas fitnah keji yang kau ajukan ini!" seru Jagapaksi dengan suara berg etar karena amarah yang meland a.
"Bohong"!" Melati tersenyum mengejek.
"Ini bukti-buktinya, Kambing Dungu! Periksalah! Benarkah ini tulisan adikmu" Dan ini uang yang seharusnya jatuh ke tangah Utusan dari Akherat sebagai imbalan." Sambil berkata demikian, Melati melemparkan gulungan surat dan buntalan kecil berisi uang.
Plukkk! Surat dan buntalan kecil berisi uang itu jatuh dekat tubuh Suraga.
Jagapaksi bergerak menghampiri, dan kemu dian mengambil kedua benda itu, lalu memeriksanya.
"Tak mungkin!" desis Jagapaksi penuh rasa tidak percay a, setelah memeriksa surat dan uang itu.
"Tidak ada yang tak mungkin di dunia ini, Jagapaksi. Segala sesuatu dapat saja terjadi. Dan itu yang perlu kau sadari!" Terdengar sebu ah suara menyambut ucapan k etidakpercay aan Jagapaksi. Jagapaksi menoleh ke arah Sembada. Karena memang dari mulut lelaki itulah suara tadi berasal. Dirayapinya wajah Sembada sejenak.
Namun, sebelum dia sempat mengatak an sesuatu, Dewa Arak telah mendahuluinya.
"Apa yang dikatakan Sembada tidak salah. Di dunia ini perisriwa apa pun dapat saja terjadi. Daripada kau bersikeras tak mempercayainy a, lebih baik kau korek keterang an dari mulutnya! Tentu saja kalau kau ingin masalahnya menjadi jelas." Jagapaksi tercenung s eperti teng ah memikirkan usul Dewa Arak.
Kemudian, dengan langkah pasti ditatapnya wajah Suraga.
"Bagaimana mungkin aku bisa menanyainya kalau dia dalam keadaan pingsan seperti ini?" tanya Jagapaksi kebingungan.
"Ah, maaf!" Seraya berk ata demikian, Dewa Arak meng hampiri tubuh Suraga.
Diurutnya tengkuk putra bungsu Ki Barjanala itu. Hanya sekali saja.
Namun tampak tubuh pemuda itu telah menggeliat.
"Uhhh...!" Suraga mengeluarkan keluhan tert ahan. Perlahan-l ahan kelopak matanya terbuka.
"Kang Jagap aksi...!" ucap Suraga seteng ah terpekik, karena peras aan kaget yang melanda. Pemuda berpak aian kuning ini bergegas bangkit seraya mengedark an pandang an ke sekeliling tempat itu.
"Aku bukan saudaramu!" sentak Jagapaksi, keras.
"Aku tidak sudi mempunyai seorang adik yang menjadi pembunuh keji!" "Kang!" seru Suraga, tak kalah keras.
"Kau mempercayai tuduhan itu"! Itu fitnah, Kang! Apakah masuk akalmu aku bertindak demikian keji, membunuh ayah kandung sendiri"!" "Kau tidak usah mungkir, Suraga! Tak kusangk a kau memiliki watak yang sekeji ini! Tidak hanya ayah yang kau bunuh, kau pun bermaksud membunuhku pula!" seru Jagapaksi berapi-api.
"Fitnah!" bantah Suraga keras.
"Dari mana kau mend engar tuduhan gila seperti itu, Kang! Mungkinkah aku bermaksud membunuh kakakku sendiri"!" "Ini bukti-buktinya! Kau masih mau berdusta"!" Sambil berkata demikian, Jagapaksi melemparkan gulungan surat dan pundi-pundi berisi uang ke tubuh Surga. Dengan sigap, pemuda berpak aian kuning ini menangkapnya. Lalu memeriksa isinya.
"Fitnah!" lagi-lagi Suraga melontarkan ucapan yang sam a setelah membaca surat itu.
"Aku tidak pernah membuat surat seperti ini! Aku yakin ada yang telah melakukan fitnahan terh adapku!" Usai berkata demikian, Suraga melayangk an pandang an ke wajah Sembada.
"Kau...! Manusia keji! Rupanya kau tidak puas dengan hanya membunuh ayahku. Aku pun kau fitnah pula! Orang s epertimu layak mati! Hiyaaat...!" Suraga meluruk ke tubuh Sembada. Tangan kananny a siap untuk dipukulkan ke dada laki-laki yang juga sesepuh desa itu. Tentu saja Sembada tak tinqqal diam. Dia bersiap-siap untuk menyambutnya Namun, sebelum hal itu terjadi, Dewa Arak tel ah lebih dulu bertindak. Secara perlahan dan sembarangan tanganny a dikibaskan.
Mendadak tu buh Suraga ambruk sebelum berhasil menyarangkan pukulannya.
"Keparat!" Jagapaksi menggeram murka melihat hal ini. Secepat kilat tangannya digerakkan ke pinggang. Tapi....
"Apakah kau tidak menginginkan masalah ini cepat tuntas, Jagapaksi"!" tanya Ary a dengan suara datar.
"Asal kau tahu saja, aku terpaksa b ertindak sep erti ini agar m asalah y ang tengah kita b ahas bisa selesai!" Tangan Jagapaksi yang sudah menggengg am gagang golok pun mengendur kemb ali. Apalagi ketika dilihatnya Suraga tidak terluk a, meskipun roboh secara mendad ak karena lutut belak angnya dihantam pukulan jarak jauh Dewa Arak.
"Rasanya alasan yang dikemukak an adikku masuk akal, Dewa Arak," ujar Jagapaksi yang mulai terpengaruh karena merasakan ad anya kebenaran dalam ucapan Suraga.
"Mana mungkin dia pelakunya" Sangat tak masuk akal adikku menjadi dalang atas semua kek ejian yang terjadi di desa ini. Kau tahu, salah seorang di antara korb an itu ayahku sendiri.
Dan surat ini pun berisikan perintah yang tidak masuk akal! Mungkinkah dia sampai hati menyuruh orang untuk membunuh kakaknya sendiri"!" "Benar! Meng apa aku harus memerintahkan orang untuk membunuh kakakku sendiri. Padahal, semua penduduk t ahu kalau kebenci anku tertuju pada Sembada! Kalau memang benar aku pelakunya, tentu kuperintahkan Utusan dari Akherat untuk membunuh Sembada, dan bukan kakakku!" timpal Suraga sambil berusaha bangkit.
Bukan hanya Jagapaksi yang terp engaruh. Semua penduduk yang mendengarny a pun, dapat menerima kebenaran ucap an itu. Dewa Arak dan Melati pun diam-diam memuji kecerdikan Suraga. Namun, bukan Dewa Arak namany a kalau menghadapi alasan seperti itu saja sudah gugup. Tidak! Pemuda berambut putih keperak an itu tetap dapat bersikap tenang.
"Bisa kuterima ucapanmu, Jagapaksi. Tapi tidak demikian halnya dengan ucap an Suraga," ujar Dewa Arak dengan senyum terk embang di bibir.
"Aku tahu, mengapa Suraga memerintahkan Utus an dari Akh erat untuk membunuhmu! Kau tahu sebabnya" Ada beberapa hal yang menjadi penyebabnya! Dan aku yakin dugaanku ini tidak salah!" Dewa Arak mengh entikan ucapanny a sejen ak untuk mengambil napas.
"Pertama, kaulah yang menjadi penyebab tercegahnya penyerbuan terhadap k elompok Sembada. Kedua, kalau Suraga memerintahkan Utusan dari Akherat membunuh Smebad a, sama saja deng an membuka kedok sendiri." Lagi-lagi Dewa Arak menghentikan penjel asannya.
"Lain halnya apabila kau yang dijadikan sasaran, Suraga akan mendapat keuntungan ganda. Di samping tidak ada penghalang penyerbu an atas diri Sembada. Semua penduduk akan menuduh Sembada sebagai pelakunya. Dan tanpa diperintahkan lagi pun mereka akan membunuh Sembada. Hasilnya. Jalan untuk menjadi kepala desa akan terbent ang luas bagi Suraga!" "Fitnah!" teriak Suraga dan Jagapaksi hampir berbareng an.
Kakak b eradik putra Ki Barjan ala itu tampak geram bukan kepalang. Hal yang sama pun menimpa penduduk des a para p engikut mereka.
Kecuali Sembada dan pengikut-pengikutnya. Hanya saja mereka memilih sikap berdiam diri.
"Baiklah, kalau kau tidak mempercayainya, Jagapaksi. Sekarang kuminta Suraga menjelaskan, keperluannya mendatangi bangunan tua di dalam hutan, dan meletakkan gulungan surat serta buntalan uang itu.
Asal kau tahu saja, Jagap aksi. Aku telah melihat hal ini sebelumnya, menjelang terjadinya pembunuhan terh adap Bima Seta. Bukan kah demikian, Kang Saraka"!" "Benar, Arya," jawab Saraka sambil menganggukkan kepala. Lelaki bertubuh kekar ini berada pad a kelompok Jagapaksi.
"Dia bohong, Kang! Aku tidak pernah ke sana! Bahkan aku tak pernah tahu sama sekali semua yang dikatak annya. Yang kutahu, saat aku sadar tahu-tahu berada di sini!" bantah Suraga mencoba berhohong.
Jagapaksi menatap Dewa Arak dengan sorot mata memancarkan kemenang an.
"Sayang sekali, Dewa Arak! Fitnahan kejimu tidak memberikan hasil sama sekali.
Hhh...! Sama sekali tak kusangka kalau kau memiliki watak serend ah ini! Entah bagaimana kalau dunia persilatan mendengarny a!" Dewa Arak dan Melati saling pandang. Keduanya sadar kalau kedudukan mereka sek arang tidak menguntungkan. Ternyata Suraga seorang yang berwatak licik. Sehingga dalam keadaan terjepit seperti itu masih mampu menemukan alasan untuk menyelamatkan diri.
Tapi lagi-lagi sebuah pikiran cem erlang timbul di benak Dewa Arak.
"Kuakui kalau alas an bohongmu telah mem buat kami habis daya untuk membuktikan, bahwa kau yang telah mengirimkan perintah-p erintah maut pada Utusan dari Akherat. Tapi, aku yakin ada penduduk yang melihatmu menuju ke hutan. Merekalah yang akan membuktikan kebohongan ceritamu. Nah! Wajah para penduduk Desa Jarak yang merasa melihat kepeigian Suraga ke hutan, silakan memberikan kesaksian. Apak ah kalian rela melihat Sembada yang tidak bersalah menjadi korban! Ingat, korban kekejian Suraga akan terus berlangsung! Dan kalianl ah yang akan meras akan akibatnya" Kegaduh an langsung melanda p enduduk Des a Jarak. Mas alahnya sebagian besar dari mereka memang melihat Suraga pergi ke hutan, dengan memakai pakaian kuning. Bukan hanya dari kelompok Sembada, tapi juga para pengikut Jagapaksi Kesaksian pert ama kali diberikan Sarak a. Lelaki bertubuh kekar itu mengacungk an tangan tinggi-tinggi. Berturut-turut para penduduk lainnya mengacungkan tang an. Dewa Arak tersenyum lega. Di lain pihak, wajah Suraga berubah pucat pasi.
"Apa lagi alasan yang kau berikan, Suraga"!" tanya Melati penuh bernad a ejekan.
Suraga diam. Dia tidak memberikan tanggapan sedikit pun atas ejekan Melati. Tanggapan yang jauh berbeda diberikan Jagapaksi. Tarikan wajah putra tertua Ki Barjanal a ini, tampak beringas. Kilatan sinar sepasang matanya pun memancarkan kemarahan. Tapi itu semua bukan ditujukan pada Melati, melainkan pada Suraga.
"Manusia berhati binatang !" desis Jagapaksi, penuh geram.
"Malah binatang lebih baik daripada dirimu. Merek a tahu mengenal budi.
Binatang tak akan mencelakai orang yang telah menolong dan merawatnya! Tidak seperti kau, Iblis Berwajah Manusia!" Semua orang yang b erada di situ, tak terkecu ali Dewa Arak dan Melati, merasa heran dan tidak mengerti mendengar ucapan Jagapaksi.
Merek a sama sekali tidak mengerti maksud ucapan itu.
Sementara itu Suraga tetap belum memberikan tanggapan. Dia terdiam dengan raut wajah berubah-ub ah. Sebentar pu cat seb entar merah.
"Rupanya kau lupa siapa dirimu sebenarnya, Iblis"! Dulu kau seorang gembel kecil yang tidak berarti, tapi ayahku memungut, dan menjadikanmu anak angkat! Kau hidup enak! Tapi apa balasanmu sekarang, Iblis"!" lanjut Jagapaksi, dengan suara semakin meninggi.
'Tutup mulutmu, Jagapaksi!" setelah sekian lamanya berdiam diri, Suraga balas mem aki.
"Kau terlalu melebih-l ebihkannya! Selama aku dipungut menjadi anak, tak sekali pun kurasakan adanya kasih sayang!" Suraga menghentikan ucap annya untuk mengambil napas. Perasaan marah yang menggeleg ak, membuat napasnya tereng ah-eng ah.
"Dulu aku selalu bertanya-tany a, mengapa Ki Barjanala yang semula kuanggap ayah, membeda-b edakan kita. Dalam setiap perselisihan yang terjadi, selalu aku yang disalahkan. Betapapun sebenarnya aku berada di pihak yang benar." Suraga kembali mengh entikan ucap annya. Deru nap asnya semakin memburu seperti orang y ang habis berlari jauh. Diaturnya napas ag ar bisa melanjutkan ucapannya. Sementara semua orang yang berada di situ, sekarang mulai mengetahui pokok permasalah an yang tengah terjadi.
"Salah besar, baru kuketahui kalau di riku hanyalah s eorang anak angkat. Dan seiring dengan timbulnya kesadaran itu, dendamku pun berkobar. Harus kubalas tindak ketidakadilan atas diriku. Untuk itulah aku pergi meninggalkan k alian selam a beberap a bulan. Aku terjun di dunia orang-o rang golongan hitam. Sampai akhirnya kud apatkan b eri ta adanya seorang tokoh yang berjuluk Utusan dari Akherat " Kembali Suraga memutus ceritanya. Ditelannya liur untuk membasahi tenggorokannya yang kering dan terasa getir.
"Akhirnya aku tahu, kalau Utusan dari Akherat tengah berad a tak jauh dari Desa Jarak. Segera kususun rencana ini. Dan semuanya terjadi, persis seperti yang kurencanak an. Sayang, di saat terakhir usahaku gagal. Dan...!" "Mampuslah kau, Iblis!" Sebelum Suraga sempat mengakhiri ceritanya, Jagapaksi telah meluruk ke arahny a sambil menu-sukkan golok. Hal itu membuat Suraga kaget bukan k epalang Sedap at mungkin dia berusaha mengel ak.
Jreppp! Golok Jagapaksi dengan cepat dan keras sekali menghunjam perut Suraga hingga tembus ke punggung! Seketika itu pula tubuh putra angkat Ki Barjanala itu terbungkuk. Sepasang matanya m embelalak lebar.
Dan ketika Jagapaksi mencabut goloknya, tubuh Suraga pun ambruk ke tanah. Darah segar berhamburan dari bagian perutnya yang tersobek lebar. Sesaat Suraga menggelepar-gelep ar di tanah sebelum akhirnya diam tidak bergerak lagi.
"Hhh...!" Jagapaksi menghela napas. Sukar diketahui perasaannya saat itu.
Kemudian sambil menyarungkan golok, kembali dilayangkan pandanganny a ke tempat Dewa Arak dan Melati berada. Betapa terk ejut ketika dilihatnya sepasang pendekar muda itu tidak berada lagi di situ.
Bukan hanya Jagapaksi yang meras a kaget. Semua penduduk pun dilanda perasaan y ang sama. Mereka t ak tahu kap an Dewa Arak dan Melati pergi.
Tak seorang pun yang mengetahui kalau Dewa Arak dan Melati melesat meninggalkan tempat itu ketika melihat Jagapaksi menyarangk an goloknya di perut Suraga.
Tentu saja bukan tanpa alasan Dewa Arak dan Melati pergi. Di samping penyewa Utusan dari Akherat telah berh asil dilenyapkan, mereka pun ingin segera menuju ke bangunan tua di dalam hutan.
Tujuan sepasang pendekar muda ini untuk melenyapkan Utusan dari Akherat. Untuk melaksanakan maksud itu hanya s atu hal yang sapat mereka lakukan, memberikan sebu ah tugas kep ada pembunuh bay aran itu. Dan hal itu tidak perlu dibuat dengan susah payah lagi. Dewa Arak menggunakan surat dan uang yang semula digunak an Suraga. Memang, dia telah mengambilnya, tanpa seorang pun yang tahu.

***

Malam itu langit tampak agak cerah. Meskipun tak terlihat adanya bintang, sinar bulan yang hampir bulat, memancar ke bumi tanpa terhalang s edikit pun. Di angkasa tidak terd apat awan sama s ekali.
Semua ini membuat keadaan bumi persada terlihat cukup tenang.
Di saat seperti itulah, Dewa Arak dan Melati telah siap dengan tugasnya masing-masing. Mengintai rumah Jagapaksi dari cabang pohon yang tersembunyi kerimbunan daun-daun.
Dewa Arak bersembunyi di pohon yang berada di depan, sementara Melati di pohon belakang rumah. Cara itu dilakukan agar dapat menceg ah hal-hal yang tidak diinginkan.
Entah berapa lama sudah menunggu di sana, baik Dewa Arak maupun Melati tidak mengetahuinya. Yang jelas, sepasang muda-mudi itu merasa sangat lama. Memang, menunggu adalah suatu pekerjaan yang paling menyebalkan.
Dan rupanya Melati, yang memiliki watak tidak sabaran, kurang kuat bertahan. Dan ini terbukti beberapa saat kemudian.
"Jangan-jang an Utusan dari Akherat tak datang, Kang. Barangkali saja dia tahu kalau kita berniat menjebaknya"!" ucap Melati dengan menggunakan ilmu pengirim suara dari jauh.
"Bersabarlah, Melati!" hibur Dewa Arak untuk menenangk an hati gadis berpak aian putih itu.
"Aku yakin, Utusan dari Akherat itu akan datang. Mungkin..., ah! Benar, Melati. Aku melihat sesosok bayangan hitam di kejauhan. Dia menuju ke tempat ini! Dia pasti Utusan dari Akherat !" "Kalau begitu..., aku akan ke sana, Kang !" sambut Melati penuh gairah.
"Sabar sebentar, Melati! Dia masih cukup jauh. Lebih baik kau tetap di tempatmu!" cegah Arya.
Tanpa banyak membantah M elati mematuhinya. Keny ataan d emi kenyataan menunjukkan padanya kalau keputusan yang diambil Dewa Arak selalu benar. Itulah sebabnya, sekarang pun dia segera menurutinya. Sementara itu, Dewa Arak terus memusatkan perh atian pad a sosok hitam yang tengah melesat cepat ke tempat tinggal Jagapaksi. Dari balik kerimbunan dedaun an, pemuda berambut putih keperakan itu memperhatikanny a.
Dugaan Dewa Arak terny ata tidak salah. Sosok hitam itu ternyata orang yang pern ah bertarung denganny a meski hanya sebentar.
Potongan tubuhnya masih dikenali betul! Ya, sosok itu adalah Utusan dari Akherat ! Tampak di mata Dewa Arak, Utusan dari Akh erat menolehkan kepalany a ke sana kemari sebentar. Jelas dia tengah mengawasi keadaan.
Baru setelah itu, pembunuh bayaran yang tidak meng enal ampun itu, melesat memasuki halaman rumah Jagapaksi Saat itulah, Dewa Arak melompat turun dari pohon tempatnya bersembunyi. Patut dipuji pendengaran Utusan dari Akherat. Sebelum Dewa Arak sempat hinggap di tanah, sosok berpakaian hitam itu telah lebih dulu menolehkan kep alanya. Tampaknya, pembunuh bay aran ini mendeng ar desir angin! "Uh," Utusan dari Akherat mengeluarkan keluhan tertahan dari kerongkonganny a begitu melihat sosok yang tengah melayang turun itu.
Dikenalinya sosok itu sebagai orang yang bertempur dengannya kemarin malam.
Jliggg! Begitu kedua kakinya menjejak tanah, sekitar dua tombak di hadapan Utusan dari Akh erat, Dewa Arak langsung b ersikap siag a.
Pemuda berambut putih keperakan itu tahu kalau lawan kali ini memiliki tingkat kepandaian yang tidak bisa diremehkan.
"Beri aku jalan, Anak Muda! Dan jangan coba-coba menghalangi pekerjaanku kalau ingin selamat!" ancam Utusan dari Akherat dengan suara pelan.
"Sayang sekali, Kisanak! Justru keberadaanku di sini untuk menghalangi angkara murkamu! Orang seperti dirimu memang harus dilenyapkan dari muka bumi!" tandas Arya, tegas.
"Keparat!" desis Utusan dari Akherat bern ada tajam.
"Terpaksa aku harus membunuhmu, Anak Muda! Terlalu berani kau menghalangi tindakanku. Bersiap-siaplah untuk menerima kematian! Heaaat...!" Usai berkata demikian, Utusan dari Akherat segera melesat menerjang Dewa Arak. Kedua tang annya yang terkembang membentuk cakar, diluncurkan cepat ke dada Dewa Arak. Melihat gerakan yang dilakukan, lelaki berpakaian serb a hitam ini seakan-akan ingin merobek dada lawan dan mengambil isinya.
Wuttt! Deru angin keras yang mengiringi tibanya serangan itu, membuktikan kalau serangan itu didukung pengerahan tenaga dalam tinggi. Dewa Arak pun mengetahuinya. Hal itu karena dia pernah bertarung deng an lelaki berpakai an hitam itu meski hanya dalam satu, atau dua jurus. Itulah sebabnya, Dewa Arak seg era menj ejakkan k aki. Tubuhnya melayang ke atas melewati kepala lawanny a. Dan ketika telah berad a di atas Utusan dari Akherat, tanpa ragu-ragu lagi pemuda berambut putih keperakan ini mengayunkan kedua tangannya ke belakang kepala lawannya. Apabila mengen ai sasaran, cukup untuk mengirim nyawa pembunuh bayaran itu ke nerak a.
Namun, Utusan dari Akherat pun bukan tokoh sembarangan. Begitu merasak an desir angin di belakang, dia langsung tahu ad anya bah aya mengancam.
Maka, sambil membalikkan tubuh, kedua tangannya disampokkan ke belakang.
Prattt! Benturan keras dua tangan yang dialiri tenaga dalam tinggi, tak dapat dielakkan. Akibatny a tubuh kedua bel ah pihak sama-sama terhuyung ke arah yang berl awan an "Hup!" Pada saat kedua k aki Dewa Arak mend arat di tanah, Utusan dari Akherat pun berhasil memperbaiki kedudukanny a. Sesaat mereka saling pandang, tidak langsung menyerang seperti sebelumnya. Baik Dewa Arak maupun Utusan dari Akln'int, merasakan betapa tangan mereka sakit-sakit akibat benturan yang terjadi. Tampaknya tenaga dalam mereka berimbang.
Utusan dari Akherat ternyat a tak mau membuang-bu ang waktu.
Setelah bentrok untuk kedua kalinya, telah dirasakan sendiri kehebatan lawan, dia tak ragu-ragu lagi untuk mengeluarkan ilmu andalan.
Wuk! Wuk! Wuk! Bunyi menderu terdengar ketika Utusan dari Akherat mencabut dan memainkan ganco yang menjadi senjata andalannya. Karena begitu cepat gerak an yang dilakukan, bentuk senjata itu sampai lenyap! Yang terlihat hanyalah sinar putih membungkus tubuhnya. Memang, ganco Utusan dari Akherat berwarn a putih mengkilat! Melihat hal ini, Dewa Arak tak berani bertindak kepalang tanggung.
Disadari kalau lawan telah menggunak an ilmu andalan. Kalau tak diladeni secara sungguh-sungguh, bukan tidak mungkin nyawanya yang akan lebih dulu melayang. Maka buru-bu ru gucinya diambil. Kemudian dituangkan ke mulutnya. Gluk.... Gluk.... Gluk...! Bunyi tegukan terdengar ketika arak itu melewati tenggorokan Dewa Arak dalam perjal ananny a menuju ke perut. Seketika itu pula ada hawa hang at berputar di dalam perutny a, yang kemudian meray ap ke atas. Sesaat kemudian, kedua kaki Dewa Arak pun seperti tak mampu menapak secara tetap lagi di tanah.
Oleng k e sana k emari. Hal itu sebagai pert anda kalau ilmu 'Belalang Sakti' nya telah siap untuk dipergunakan.
"Haaat...!" Seraya mengeluarkan teriak an keras yang membuat suasana di sekitar tempat itu tergetar hebat, Utusan dari Akherat meluruk menerjang Dewa Arak. Ganco yang terg enggam di tangan, diayunkan untuk membabat kepala. Wukkk! Desau angin yang k eras terdeng ar mengiringi tibanya serangan itu.
Dari sini saja bisa diperkirakan kedahsy atan serangan itu. Dewa Arak pun mengetahuinya. Meskipun demikian, dia tak merasa ragu-ragu untuk memapaknya dengan ayunan guci.
Klanggg! Bunga-bunga api bepercikan ke sana kemari, ketika ganco dan guci berbenturan secara k eras hingga memek akkan telinga. Baik Dewa Arak maupun Utusan dari Akherat sama-sama terhuyung ke bel akang. Hanya saja Utusan dari Akherat terdo rong lebih jauh.
Namun, dengan sebuah g erakan sed erhan a, kedua tokoh yang sama-sama memiliki kepandaian tinggi ini berhasil mematahkan kekuatan yang membuat tubuh mereka terhuyung. Lalu, keduanya saling terjang kembali. Pertarungan sengit pun berlangsung lagi.
Pertarungan itu berlangsung kian hebat. Bunyi menderu, mengaung, dan berdecit menyemaraki jalannya pertarungan. Di sana-sini tanah terbongkar, disertai debu mengepul tinggi ke udara. Tanpa terasa pertarung an telah berges er jauh dari tempat semula. Pada jurus-jurus awal, pertarungan berlangsung imbang. Namun, menginjak jurus keseratus, Utusan dari Akherat mulai tampak terdes ak.
Memang, tangan, kaki, guci, dan semburan arak dari Dewa Arak merupakan padu an kekuatan yang mampu menggilas habis pertahanan lawan.
Perlahan-l ahan Utusan d ari Akh erat sem akin terjepit. Serangan -seranganny a tampak semakin berku rang. Dia lebih banyak mengelak dan m enangkis. Tentu saja hal itu membuat kedudukannya semakin terdesak.
Melihat hal itu, Utusan dari Akherat sadar, cepat atau lambat akan roboh di tangan Dewa Arak. Disadari pula bahwa kepandaian pemuda itu berada di atasnya.
Kemenangan tak mungkin akan diraihnya. Maka diputuskan kalau harus mati, maka matilah bersama lawannya.
Setelah mantap dengan keputusan ini, Utusan dari Akherat bertindak nekat. Cara bertarungny a pun dirubah. Sekarang dipusatkan perhatianny a untuk melancark an serang an. Tidak dipedulikan lagi pertahan annya yang terbuka di sana-sini. Yang dilakukannya terus bergerak melancark an serang an.
Ternyata hasil dari cara ini langsung terlihat, keadaan Utusan dari Akherat langsung berub ah. Kedudukannya tak lagi terdes ak. Hal itu mungkin karena Dewa Arak lebih banyak mengalah. Tampaknya pemuda berambut putih keperakan itu melihat jelas, tindakan Utusan dari Akherat yang sengaj a hendak mengadu nyawa.
Betapa tidak" Begitu Dewa Arak melancark an serang an, tak dipedulikannya sama sek ali. Bahkan ikut melancarkan serang an pula.
Tentu saja Dewa Arak tidak mau melad eni tindakan gila itu. Pemuda berambut putih keperakan itu meng alah sambil mencari celah-celah yang dapat dimanfaatk an. Pada jurus keseratus dua puluh tiga, Utusan dari Akherat membabatkan gan conya secara mendatar ke pinggang Dewa Arak.
Dengan perhitungan yang matang, pemuda berambut putih keperakan itu melompat ke depan. Dan ketika berada di atas kepala lawan, tubuhnya bersalto seray a mengayunkan guci ke kepal a Utusan dari Akherat.
Utusan dari Akherat terkejut bukan kepalang melihat bahaya maut yang mengancamnya. Dengan semampunya lel aki berpak aian hitam itu mencoba mengelak. Prakkk! Bunyi berderak keras terdengar ketika kepala Utusan dari Akherat pecah. Darah meny embur deras dari bagian y ang terh antam guci.
Pembunuh bayaran ini pun langsung tewas.
Begitu mendaratkan kedu a kakinya di tanah, Dewa Arak menghembuskan napas berat. Ada sedikit peras aan menyes al di hatinya melihat lawannya tewas dalam keadaan seperti itu. Tapi, apa boleh buat"! Dewa Arak meng alihkan pand anganny a. Tampak Melati dan Jagapaksi tersenyum lega. Kedua orang ini ternyata sudah sejak tadi menyaksikan jalanny a pertarungan. Jagap aksi keluar rum ah karena mendengar suara gaduh perk elahian. Dewa Arak menyunggingkan senyum lebar. Kemudian kakinya melangkah menghampiri Melati dan Jagapaksi.

SELESAI



INDEX AJI SAKA
55.Perintah Maut --oo0oo-- 57.Perguruan Kera Emas

Berita Top News - ANTARA News

Suara.com - Informasi Berita Terkini dan Terbaru Hari Ini

Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.

Followers