Ratu Cinta Dari Dasar Bumi
tanztj
January 29, 2012
INDEX JOKO SABLENG | |
08.Tabir Asmara Hitam --oo0oo-- 10.Jejak Darah Masa Lalu |
JOKO SABLENG
Pendekar Pedang Tumpul 131
Karya: Zhaenal Fanani
Pendekar Pedang Tumpul 131
Karya: Zhaenal Fanani
BAB 1
PEMUDA berpakaian hitam-hitam berkumis tipis itu untuk beberapa lama memandang tak berkesip dengan mulut terkancing rapat pada sosok berjubah abu-abu aneh yang kini tegak di hadapannya. Namun sesaat kemudian raut wajahnya berubah tegang. Tanpa sadar sepasang kakinya tersurut satu tindak. Sepasang matanya makin membeiiak besar. Pakaian yang dlkenakan tidak beda. Tinggi dan tegapnya sama. Apakah memang dia? Tapi... Orang berjubah abu-abu aneh yang tidak lain adalah Tengkorak Berdarah adanya gerakkan kepalanya yang terbungkus terusan jubahnya mandongak keatas."Anak manusia! Aku telah bertanya. Kenapa tidak menjawab, hah?"
Suaranya juga sama! Tapi mengapa tidak..." Pemuda berpakaian hitam-hitam putuskan kata hatinya. Seakan belum percaya pada pandangan matanya, untuk sesaat dia kembai pandangi sosok di depannya.
Seperti dituturkan pada episode sebelumnya Tabir Asmara Hitam, waktu Tengkorak Berdarah hendak menyeruak keluar dari tempat mendekamnya untuk mengorek keterangan dari mulut Pendekar 131 yang dirasa mencurigakan, tiba-tiba Puspa Ratri yang telah jatuh hati pada murid Pendeta Sinting tidak mau mengikuti ucapan ibunya si perempuan berbedak tebal, malah gadis cantik berbaju hijau ini balikkan tubuh dan berkelebat kembali ke tempat Joko berada. Hal inliah yang membuat Tengkorak Berdarah tertahan gerakannya.
Tengkorak Berdarah tidak tahu apa yang diucapkan Pendekar 131 dan Puspa Ratri. Karena kedua muda-mudi ini bicara dengan sang berbisik. Yang dia ketahui selanjutnya adaiah kedua orang muda itu telah tenggelam pada peluk cium mesra. Pada saat itulah dia mendengar gumaman orang yang seolah mengeluh. Tengkorak Berdarah maklum jika di tempat itu ada orang lain. Dia segera berkelebat dan tegak dihadapan pemuda berpakaian hitam-hitam yang bukan lain adalah Raka Pradesa yang sedari tadi dengan secara diam-diam mendekam tidak Jauh dari tempat Pendekar 131 dan Puspa Ratri berada.
Raka Pradesa tampak menyesali sikapnya selama ini pada murid Pendeta Sinting. Pemuda ini didera parasaan tidak karuan meiihat Pendekar 131 sedang berpelukan mesra dengan gadis berbaju hijau yang ditemuinya beberapa hari yang lalu. Karena tidak tahan melihat adegan di depan sana, pemuda berkumis tipis ini hendak berkelebat pargi, tapi mendadak Tengkorak Berdarah sudah tegak di hadapannya.
"Anak manusia!" Tengkorak Berdarah kambali perdengarkan suara. Orang ini sengaja berucap dengan sedikit manahan suara agar tidak terdengar Pendekar 131. "Kau dengar ucapanku? Apakah kau ingin mulutmu benar-benar tak bisa bersuara?!"
Tampang Raka Pradesa menegang kembali. Dia tampak terkesiap mendengar ucapan bernada ancaman dari sosok dihadapannya. "Pakaian, sosok dan suaranya memang sama. Tapi nada ucapannya membuatku ragu-ragu!" membatin Raka Pradesa, lalu buka mulut.
"Aku kebetuian lewat sini... Lalu aku melihat dua orang itu! Suara Raka Pradesa sedikit bergetar dan seolah dia juga menahan suaranya agar tidak terdengar Pendekar 131.
"Aku tak suka melihat orang pandai berdalih! Wajahmu berubah. Tadi kudengar kau juga mengeluh!" kata Tengkorak Berdarah. Diam-diam orang ini menaruh curiga pada pemuda dihadapannya. Dia menduga ada sesuatu yang disembunyikan si pemuda. Paling tidak anak ini ada hubungannya dengan salah satu orang di depan sana itu!
Raka Pradesa sesaat jadi terdiam mendengar kata-kata orang di hadapannya. Lalu dengan suara masih direndahkan dia berkata. "Aku tidak berdalih. Kalau kau meiihatku berubah mungkin karena aku terkejut dengan kemunculanmu!"
Tengkorak Berdarah gerakkan kepalanya menggeleng sambil perdengarkan suara tawa perlahan. "Mulutmu boleh bicara begitu, tapi sikapmu menunjukkan lain dengan ucapanmu! Katakan padaku, siapa yang kau kenal di antara kedua orang di depan sana itu?"
Aku hampir yakin, orang ini bukan dia! Jangan-jangan orang ini yang akhir-akhir ini membuat rebaknya rimba persilatan dengan beberapa pembunuhan. Siapa orang ini sebenarnya? Menilik pakaian yang dikenakannya, jeias orang ini tahu banyak perihal penghuni Istana Hantu..." Raka Pradesa terus menduga siapa orang dihadapannya. Lalu angkat bicara menjawab pertanyaan orang.
"Aku tidak mengenal keduanya. Hanya aku sempat melihat si gadis tempo hari..."
"Hem... Begitu? Lalu kenapa kau mengeluh seakan merasa menyesal? Kau menyukai gadis itu dan cemburu melihatnya berpelukan mesra dengan seorang pemuda?"
Raka Pradesa terkejut, namun yang kemudian terdengar justru suara tawanya yang juga masih ditahan.
"Kau tertawa hanya untuk menutupi parasaanmu saja! Padahal dadamu penuh dengan gejolak!" ujar Tengkorak Berdarah sambil luruskan kepalanya ke arah Raka Pradesa.
Entah kenapa Tengkorak Berdarah kali ini punya perasaan lain terhadap pemuda di hadapannya. Hingga dia lanjutkan ucapannya meski Raka Pradesa belum menjawab pertanyaannya. "Anak muda. Mau dengar saranku?!" Habis berkata begitu, tanpa menunggu jawaban lagi, Tengkorak Berdarah terus berucap. "Kau seorang pemuda berwajah tampan. Tidak seharusnya kau mengeluh hanya gara-gara seorang gadis! Perempuan di mana-mana memang biang melapetaka! Tidak jarang rencana yang disusun bertahun-tahun lenyap berantakan dalam sekejap hanya karena munculnya makhluk perempuan!"
Raka Pradesa pandang sosok berjubah abu-abu dihadapannya berlama-lama, Lalu berkata lirih. "Ucapanmu mengisyaratkan jika kau pernah mengalami sesuatu yang buruk akibat seorang perempuan..."
Tengkorak Berdarah sesaat tidak menyahut. Tapi akhirnya dia berkata juga. "Seorang perempuan telah membuat hidupku berantakan. Perempuan telah membuat orang yang kucintai lupa akan dirinya. Lupa akan segala budi jasa! Lebih dari itu, lupa padaku!"
"Kini aku yakin bahwa orang ini bukan dia..." kata Raka Pradesa dalam hati. "Aku akan berusaha mengorek siapa dia sebenarnya dan mengapa berpakaian seperti itu..."
"Menilik pakaian yang kau kenakan, kalau tak salah bukankah kau tokoh misterius penghuni istana Hantu yang dikenal orang dengan juiukan Tengkorak Berdarah?!"
Tengkorak Berdarah perdengarkan suara tertawa. "Syukur kau telah dapat menebak siapa aku. Kau sendiri siapa?"
"Namaku Raka Pradesa..." Pemuda berpakaian hitam-hitam ini diam sejurus lalu angkat bicara lagi. "Aku senang bisa jumpa dengan tokoh yang selama ini banyak dibicarakan orang. Hem... Akhir-akhir ini banyak sekali kejadian yang selalu dikaitkan dengan namamu. Apakah hal itu masih ada hubungannya dengan ceritamu tadi?!"
"Mungkin saja begitu!"
Raka Pradesa kernyitkan dahi. "Kenapa mungkin? Atau ada hal lain?!"
Tengkorak Berdarah tengadah. "Kau tak akan mendapat jawaban apa-apa dariku! Dan kau adalah anak manusia yang bernasib baik...!"
"Bernasib baik bagaimana maksudmu?!"
"Karena nyawamu tidak kucabut meski kau teiah jumpa denganku!"
"Jadi selama ini..." Ucapan Raka Pradesa belum selesai, Tengkorak Berdarah telah menyahut.
"Tidak ada orang yang selamat dari tangan maut ku!"
Ucapan Tengkorak Berdarah membuat Raka Pradesa bukan saja sedikit heran, namun juga membuatnya tambah berani mengajukan pertanyaan. "Kalau kau selalu bertangan maut pada siapa saja yang kau temui, pasti kau punya tujuan tertentu!".....
"Hanya manusia dungu yang berbuat tanpa punya tujuan!"
"Kalau selama ini urusanmu berhubungan dengan nyawa, tentulah tujuanmu bukan urusan kecil..." Raka Pradesa terus mengejar.
Tengkorak Berdarah tertawa. "Kau telah jawab perkataanmu sendiri. Tapi jangan harap kau akan mangetahui apa tujuanku!"
Meski Tengkorak Berdarah telah berkata begitu, namun Raka Pradesa tampaknya tidak ambil peduli. Dia untuk kesekian kalinya masih bertanya. "Apakah dengan turunkan tangan maut pada setiap orang lalu tujuanmu terlakaana?"
"Daiam segala hal, aku telah berhitung"
"Tetapi adalah hal aneh jika kau juga turunkan tangan maut pada orang yang tidak kau kenal" kata Raka Pradesa.
"Anak muda! Kau jangan mengguruiku! Aku tahu apa yang kulakukan. Dan lekaslah pergi dari sini..." kata Tengkorak Berdarah. Suaranya agak keras. Tanda dia mulai agak jengkel dengan ucapan Raka Pradesa.
"Baiklah. Tapi sebelum aku pergi, maukah kau memenuhi permintaanku?"
"Nyawa yang masih utuh tanpa kau minta adalah merupakan pemberian terbesar dariku!" ujar Tengkorak Berdarah. Namun sesaat kemudian orang ini lanjutkan ucapannya. "Tapi... Coba katakan apa permintaanmu!"
"Kuminta jangan kau usik kedua orang di depan sana itu!" kata Raka Pradesa sambil arahkan tangannya ke tempat di mans Pendekar 131 berada.
Tengkorak Berdarah tertawa. "Seharusnya kau berterima kasih padaku karena orang yang membuatmu sakit heti menemul ajal"
Paras wajah Raka Pradesa tampak berubah membayangkan kecemasan. Tanpa sadar dia ajukan pertanyaan. "Kau hendak membunuh mereka?"
"Parasmu cemas dan gelisah, Anak Muda. Apa sebenarny yang kau cemaskan?"
"Aku tak bisa mengatakan padamu. Hanya kuharap kau urungkan niat jika memang hendak membunuh keduanya!"
Jika aku tak bisa turuti permintaanmu?" tanya Tengkorak Berdarah.
"Ucapanmu sepertinya kau punya silang sengketa dengan salah satu dari kedua orang itu! Benar...?"
Tengkorak Berdarah gelengkan kepala. "Untuk membunuh orang, aku tidak membutuhkan silang sengketa..."
"Kalau kau tidak punya silang sengketa dengan keduanya, apa susahnya bagimu mengampuni nyawa keduanya?"
"Kau ini benar-benar aneh. Tapi itu urusanmu!" ujar Tengkorak Berdarah. Lalu arahkan kepalanya lurus-lurus pada si pemuda seolah sepasang mata di balik kain jubah abu-abu yang menutupi kepalanya memandang tajam dengan pandangan heran.
"Anak bodoh! Bukannya merasa senang dengan mampusnya orang yang menyakiti sebaliknya memintakan ampun nyawanya..."
Mungkin belum mendapat jawaban pasti dari Tengkorak Berdarah, Raka Pradesa maju satu langkah, lalu berkata. "Kau mau turuti permintaanku, bukan?!"
"Aku tidak bisa menjamin! itu semua tergantung nanti"
"Maksudmu...?" tanya Raka Pradesa.
"Jika mereka jawab jujur semua pertanyaanku, maka permintaanmu kupenuhi! Jika sebaliknya, berarti keduanya bernasib buruk! Sekarang tinggalkan segera tempat ini!"
"Meski terus terang aku tidak senang dengan sikapnya, tapi aku tak mau meilhat dia celaka. Apalagi tentu Joko tidak akan mau dengan jujur mengatakan apa yang nanti ditanyakan orang ini. Hem... Aku harus menyelamatkannya..." pikir Raka Pradesa dalam hati. Pemuda ini segera putar otak.
"Anak muda! Jika aku memberi peringatan kedua, berarti niatku berubah! Dan itu berarti takdir jelek untukmu. Kau mengerti?!" kata Tengkorak Berdarah saat dilihatnya Raka Pradesa belum tinggalkan tempat itu malah terlihat tengadahkan kepala.
Tlba-tiba Raka Pradesa tertawa bergelak. Kali ini sengaja dia tertawa lepas tanpa ditahan-tahan lagi, membuat Tengkorak Berdarah merasa heran. Namun sebelum orang berjubah abu-abu aneh ini buka mulut berucap, Raka Pradesa telah putar diri lalu melangkah tinggalkan tempat itu dengan masih tertawa-tawa!
"Jangan-jangan pemuda itu gila. Kasihan... Semuda itu harus mengalami kegilaan gara-gara perempuan..." ujar Tengkorak Berdarah seraya hadapkan kepalanya ke arah perginya si pemuda.
Begitu Raka Pradesa berlalu, Tengkorak Berdarah segera putar diri, lalu menyibak rumpun semak dihadapannya. Sesaat kepala Tengkorak Berdarah terlihat diam tak bergerak. Namun kejap lain kepalanya yang terbungkus kain jubah terusannya bergerak kian kemari. Malah bersamaan itu terdengar dia bergumam tak jelas.
"Keparat!" Tiba-tiba terdengar Tengkorak Berdarah memaki. Lalu sosoknya berkelebat menerabas semak belukar. Saat lain sosoknya telah tegak di mana tadi Pendekar 131 dan Puspa Ratri berada berpelukan.
"Jahanami Gara-gara pemuda tadi aku kehilangan buruan!" teriak Tengkorak Berdarah sambil putar kepalanya.
Setelah agak lama dan Pendekar 131 serta Puspa Ratri tak juga ditemukan, Tengkorak Berdarah tampak hendak berkelebat tinggalkan tempat itu. Namun tiba-tiba dia menahan gerakan tubuhnya. Kepalanya tengadah. Serentak sepasang kakinya menghentak tanah hingga tempat itu bergetar.
"Sialan! Kedua orang itu pasti pergi setelah mendengar suara tawa pemuda berpakaian hitam-hitam tadi Keparat! Aku ditipu mentah-mentah..." seru Tengkorak Berdarah lalu hentakkan kakinya sekali lagi hingga tanah itu muncrat dan membetuk lobang menganga. Kejap lain sosoknya berkelebat tinggalkan tempat itu dengan dada dipenuhi gejolak amarah.
Ke mana Pendekar Pedang Tumpui 131 Joko Sableng dan Puspa Ratri? Sebenarnya karena sama-sama tenggelam dalam peluk mesra, kedua orang ini tidak sadar jika diri mereka sedang diincar dua orang. Bahkan mereka juga tidak mendengar suara perbincangan antara Tengkorak Berdarah dan Raka Pradesa. Namun begitu Raka Pradesa perdengarkan suara tawa bergelak, baik Pendekar 131 maupun Puspa Ratri sama terkesiap kaget.
Buru-buru keduanya lepas tangan masing-masing dari pinggang orang yang dipeluk. Pendekar 131 cepat berpaling ke arah sumber suara tawa. Karena di situ dirangasi semak belukar, murid Pendekar Sinting tidak dapat mengetahui siapa adanya orang yang tertawa.
"Tempat ini tidak aman. Kita harus segera menyingkiri" bisik Joko. Lalu tanpa menunggu jawaban dari Puspa Ratri, dia menarik tangan si gadis dan mengajaknya berkelebat pergi.
BAB 2
PENDEKAR 131 Joko Sableng dan Puspa Ratri terus berkelebat cepat. Pada satu tempat yang dirasa aman, murid Pendeta Sinting hentikan larinya. Lalu kepalanya berpaling pada gadis di sampingnya yang tampak masih mengatur napas. Sebenarnya gadis berparas cantik putri perempuan berbedak tebal ini punya gerakan luar biasa cepat, ini terbukti tatkala dia menyambar tubuh murid Pendeta Sinting saat cedera terkena pukulan dari daiam istana Hantu.Malah saat itu gerakannya dapat mendahului Daeng Upas dan Raka Pradesa yang secara diam-diam juga hendak menyambar tubuh Pendekar 131 (Untuk lebih jelasnya silakan baca Joko Sabieng daiam episode Gerbang istana Hantu).
Namun karena kini dalam tubuh murid Pendeta Sinting telah terpendam tenaga sang kakek yang ditemuinya dalam kuil di sebelah barat Candi Jago, membuat gerakan Joko jadi makin ringan dan cepat. Malah diam-diam murid Pendeta Sinting juga merasa heran dangan dirinya sendiri.
Pendekar 131 memang tidak tahu jika dalam tubuhnya kini terpendam tenaga liar dan dalam si kakek daiam kuil, karena si kakek telah berpesan agar Joko segera tinggalkan bangunan kuil tanpa boleh bertanya dan berpaling lagi, hingga Joko tidak tahu jika begitu dia berlaiu, sang kakek telah, menghembuskan napas terakhir karena kehabisan tenaga.
"Untung suara tawa tadi bukan tawa ibumu! Jika tidak, kita bukan saja akan mendapat maiu, namun tidak tertutup kemungkinan kita akan mengalami celaka!" kata murid Pendeta Sinting seraya menatap pada Puspa Ratri.
Yang dipandang baias memandang. Tapi tak lama kemudian Puspa Ratri palingkan wajahnya yang telah berubah kemerahan. Murid Pendeta Sinting pandangi wajah Puspa Ratri dari arah samping. Lalu berkata sendiri dalam hati.
"Bagaimana sekarang? Aku masih harus menyelidik kitab kedua yang keberadaannya belum jelas benar. Sementara urusan lenyapnya ibiis Ompong dan dua saudara seperguruannya masih simpang siur. Belum lagi munculnya orang yang mengaku sebagai Tengkorak Berdarah. Menghadapi banyak urusan begini tidak mungkin membawa serta gadis ini. Selain aku tidak leluasa bergerak, kalau terjadi apa-apa padanya, pasti ibunya minta pertanggungan jawab padaku! Sedangkan meski ibunya bersikap tidak enak padaku tapi aku berhutang budi padany. Hem..."
Setelah berpikir agak lama, akhirnya Joko berkata. "Kalau boleh tahu, di mana tempat kediamanmu?"
Puspa Ratri berpaiing. Dahi gadis berbaju hijau ini mengernyit. Lalu, dia bertanya. "Mengapa kau tanya itu?"
"Aku masih punya urusan yang harus segera kuselesaikan..."
"Lalu apa hubungannya dengan tempat tinggalku?" sahut Puspa Ratri.
"Meski ibumu tidak tahu ke mana kau pergi, tapi setidaknya dia punya dugaan kau ada bersamaku! Aku tidak mau dikatakan orang tidak bertanggung jawab. Apalagi ibumu pernah menolongku..."
"Hem... Maksudmu kau hendak menemui ibuku..."
Joko menjawab dengan anggukkan kepala. "Aku tidak ingin ada masalah antara kau dengan ibumu gara-gara aku!"
Puspa Ratri tersenyum dingin. "Kau terlambat, Joko! Masalah itu telah ada sebelum kita jumpa tadi. Dan kuharap kau tidak usah mencemaskan urusan itu. Itu urusanku dengan ibuku. Dalam hal ini kau orang luar!"
"Tapi itu akan membuat ibumu semakin tidak enak padaku"
Puspa Ratri terlawa pelan. "Aku lebih tahu siapa ibuku. Dan sepertinya ucapanmu tadi bukan mengarah ke sana. Terus terang saja, Joko. Kau takut jika aku mengikutimu bukan?!"
Walau ucapan Puspa Ratri benar, tapi mungkin karena tidak mau menyinggung perasaan si gadis, murid Pendeta Sinting gelengkan kepalanya perlahan sambil tersenyum dan berkata.
"Ada bersama gadis cantik sepertimu kurasa lebih senang. Joko tidak melanjutkan ucapannya. Sebaliknya memandang lekat-lekat gadis di sampingnya.
"Namun apa?" tanya Puspa Ratri.
"Urusanku mungkin berkaitan dengan nyawa. Dan aku tak ingin sangkut pautkan kau di dalamnya..."
"Kau boleh percaya boleh tidak, Joko! Demi kau apa pun akan kukorbankan. Termasuk nyawku!"
Joko tegak dengan mata terpentang mendengar ucapan Puspa Ratri. Diam-diam murid Pendeta Sinting merasa haru, tapi karena urusan yang hendak dihadapi tidak mungkin dijalani bersama orang lain, maka Joko berujar.
"Aku berterima kasih atas kerelaanmu berkorban hanya demi laki-laki seperti aku. Tapi untuk sekarang ini kurasa aku masih mampu menyelesaikan urusan tanpa bantuanmu..."
"Berart dugaanku benar bukan? Kau takut jika aku mengikutimu"
"Aku tidak takut. Yang kutakutkan jika kau mendapat calaka. Aku tak mau kehilangan sahabat baik sepertimu..."
Puspa Ratri mengeluh sambil arahkan kepalanya ke jurusan lain. "Dia hanya menganggapku sebagai sahabat baik? Apakah memang benar dia telah punya gadis lain?"
"Kuharap kau mau mengerti dan tidak salah duga..." kata Joko pada akhirnya setelah agak lama terdiam. "Sekarang akan kuantar kau sampai bertemu dengan ibumu..."
Puspa Ratri gelengkan kepala. "Aku bisa pulang sendiri. Lebih dari itu, aku ingin melepas kepergianmu tanpa ada orang lain... Pergilah! Jaga dirimu baik-baik"
Suara Puspa Ratri terdengar serak parau, membuat murid Pendeta Sinting jadi serba salah. Tapi karena tugas yang diemban jauh lebih panting, mau tak mau Joko harus tepiskan perasaan. Dia lalu melangkah kehadapan Puspa Ratri. Beberapa saat lamanya murid Pendeta Sinting ini tegak dengan mata memandang tak berkesip pada gadis dihadapannya.
"Aku pergi sekarang..." ujar Pendekar 131 lirih. Kedua tangannya menjulur memegang kedua bahu Puspa Ratri. Lalu kepalanya bergerak ke depan. Diciumnya kening si gadis. Puspa Ratri segera lingkarkan kedua tangannya ke pinggang murid Pendeta Sinting. Lalu kepalanya direbahkan ke dada si pemuda.
"Aku tak tahu harus berkata apa..." bisik Puspa Ratro. "Tapi karena kau tidak ingin aku ikut, aku tidak berhak memaksakan diri... Pergilah..."
Pendekar 131 menarik napas dalam. Setelah mencium kening Puspa Ratri, pelan-pelan tubuhnya ditarik menjauh dari si gadis. Puspa Ratri sendiri renggangkan lalu lepaskan tangannya yang memeluk pinggang murid Pendeta Sinting.
Sepasang mata Puspa Ratri memandang tajam ke arah murid Pendeta Sinting yang saat itu juga memandangnya. Tidak ada kata yang terucap dari keduanya. Hanya pandangan mereka yang sating beradu. Setelah tersenyum, Joko balikkan tubuh lalu berkelebat tinggalkan tempat itu.
Untuk beberapa saat lamanya Puspa Ratri masih tegak dengan mata memandang ke arah berkelebatnya murid Pendeta Sinting. Begitu sosok Pendekar 131 tidak terlihat lagi, gadis berbaju hijau ini tampak tengadah. Dari mulutnya terdengar ucapan
"Mungkinkah aku dapat memilikinya? Rintangan dari ibu mungkin masih dapat kuatasi. Yang kutakutkan jika dia telah memiiiki gadis lain. Sikap dan ucapannya seakan mengisyaratkan bahwa ada orang lain di hatinya. Ah... Haruskah kuingkari apa yang kini ada dalam hatiku? Mungkinkah aku berlaru, sementara hatiku tertinggal? Tidak bolehkah aku mengecap rasa bahagia bersamanya meski hanya..."
Puspa Ratri tidak teruskan ucapannya karena pada saat itu terdengar suara orang mendehem. Gadis ini cepat balikkan tubuh. Lima langkah di hadapannya terlihat tegak seorang perempuan yang bukan saja membuat Puspa Ratri terkesiap kaget namun juga membuatnya jadi tundukkan kepala dengan raut wajah berubah mengelam.
"Jangan-jangan dia mendengar ucapanku tadi... Kenapa aku tidak mendengar kehadirannya...?"
"Anakku..." kata perempuan yang kini tegak dihadapan Puspa Ratri yang ternyata adalah perempuan berbedak tebal dan bukan lain adalah ibu si gadis sendiri.
"Ibu tahu apa yang saat ini kau rasakan. Hal inilah yang selama ini ibu takutkan menimpamu. Ibu pernah mengalami hal yang sama. Menunggu... Menanti yang kita tak tahu entah sampai kapan berujung. Sementara orang yang kita tunggu tidak merasa..."
Puspa Ratri angkat kepalanya. Sejenak dipandangnya sang ibu. Lalu bibirnya tersenyum, "Ibu... Mungkin hal yang kualami sama dengan yang ibu alami. Tapi orang yang kita tunggu berbeda!"
Perempun berbedak tebal tersenyum sambil gelengkan kepala. "Anakku... Semua laki-laki di atas dunia ini sama. Kalau kau saat ini mengatakan berbeda, mungkin karena saat ini kau masih terbuai, cinta kadangkala memang bisa membuat yang sama jadi berbeda, Anakku! Dan justru di sinilah nanti yang membuat semua jadi mengecewakan. Karena kita telanjur memandangnya berbeda!"
"Ibu... Apakah ucapanmu bermaksud menghalang-halangiku?"
Perempuan berbedak tebal tertawa pelan. "Kau jangan salah sangka, Puspa! Aku pernah mengatakan padamu, cinta adalah kodrat alami yang ada pada setiap orang. Siapa pun tak dapat menghalanginya. Namun sebagai ibu, lebih-lebih aku pernah merasakan, tidak ada jeleknya jika kau berkaca agar kau tahu tidak selamanya penantian berujung dengan tercapainya cita-cita..."
'Tapi bukankah ibu akhirnya mengecap bahagia juga?"
Perempuan berbedak tebal arahkan pandangannya ke jurusan lain. "Kebahagiaan itu memang ibu kecap. Namun hanya sekejap dan, rasanya tidak sebanding dengan pengorbanan yang ibu berikan. Lebih dari itu, pada akhirnya timbul urusan yang hingga kini tidak kunjung selesai. Malah pada usia yang seharusnya sudah hidup tenang, aku masih didera urusan yang terkatung-katung"
Perempuan berbedak tebai sejenak hentikan ucapannya. Setelah menghela napas panjang dia melanjutkan. "Puspa Ratri... Aku hanya bisa memberikan gambaran. Selanjutnya terserah padamu! Sekarang kita harus tinggalkan tempat ini. Kau tahu, keadaan saat ini tidak aman lagi. Sewaktu-waktu muncul orang yang tidak kita kenal dan membuat urusan yang kita tidak tahu seluk-beluknya..."
"Ibu... Kau sepertinya talah mengenal orang berjubah abu-abu dan mengaku sebagai Tengkorak Berdarah itu. Apakah memang dia penghuni Istana Hantu yang selama ini banyak dibicarakan orang?"
"Aku hanya menduga. Dan dugaanku sepertinya tidak meleset. Tapi semua itu masih harus dibuktikan!"
"Kenapa Ibu begitu tertarik dengan urusan istana Hantu? Juga orang-orang yang kini banyak berkeliaran di sekitar istana Hantu itu? Apa yang sesungguhnya tersimpan di dalamnya?"
Perempuan berbedak untuk beberapa saat terdiam. Setelah menarik napas dalam dia akhirnya berkata. "Aku harus tahu apa makaud orang-orang yang kini banyak berkeliaran di sekitar Istana Hantu. Yang pasti, aku punya maksud tersendiri. Itu menyangkut kehidupan kita, Anakku... Tapi untuk sementara jangan kau bertanya dahulu. Karena semuanya belum jelas benar!"
Puspa Ratri kerutkan dahi. Gadis cantik ini hendak angkat bicara lagi, namun ibunya telah melangkah, hingga mau tak mau membuatnya urungkan niat dan perlahan-lahan melangkah mengikuti ibunya.
BAB 3
SEBELUM kita mengikuti ke mana perginya Pendekar 131 dan mengetahui apa yang hendak terjadi di Kampung Pandan tempat yang dijanjikan perempuan berbedak tebal ibu Puspa Ratri untuk bertemu dengan Tengkorak Berdarah, kita kembali dahulu pada satu kejadian yang paristiwanya berlangsung pada beberapa ratus tahun silam.Pada satu ruangan goa batu di sebelah timur tempat pemakaman Dusun Gunung Kelop, duduk berlutut seorang kakek berwajah amat cekung dan pucat. Sepasang kelopak matanya menjorok masuk ke dalam cekungan mata yang sangat dalam hingga mata yang sedari tadi terpejam rapat itu tidak jelas terlihat. Yang tampak hanyalah rongga hitam menganga. Rambutnya panjang dan putih serta tampak awut-awutan tidak terawat. Demikian juga jenggot dan kumisnya. Kakek ini mengenakan pakaian lusuh berwarna putih.
Namun pada pakaiannya yang lusuh ini tampak beberapa peniti berwarna kuning dari emas yang digantungkan di dedanya. Pada pingglr pakaiannya pun tampak renda dari benang emas. Pertanda meski pakaian itu terlihat lusuh, namun si pemakai jelas adalah seorang hartawan, setidaknya orang ini pernah bergeimang dengan kekayaan dan derajat tinggi. Hal ini terlihat juga dari sebuah mahkota bersusun tiga terbuat dari emas yang biasa dipakai oleh seorang permaisuri kerajaan yang berada di pangkuannya.
DI hadapan kakek yang duduk berlutut dan di pangkuannya terlihat mahkota bersusun tiga ini duduk bersila seorang gadis muda berparas luar biasa cantik. Rambutnya hitam lebat dan panjang sepunggung. Kulitnya putih bersih. Matanya bulat dan tajam ditingkah bulu mata panjang serta lentik. Hidungnya mancung dan dlhias bibor merah membentuk bagus. Dadanya kencang membusung dipadu dengan pinggul mencuat besar yang membayang jelas dari pakaian ketat dan tipis berwarna merah yang dikenakannya.
Sudah beberapa saat berlalu di antara kedua orang ino tidak ada yang buka mulut. Sepasang mata si kakek terus terpejam rapat sementara sepasang mata si gadis tak berkesip memandang ke arah mahkota yang berada di pangkuan si kakek. Meski dari kedua orang ini tidak ada suara yang terucap, namun dari pandangan mata si gadis jelas menunjukkan jika dia seperti tidak sabaran. Karena seraya terus menatap, beberapa kali gadis cantik berpakaian merah ini menghela napas panjang dan dalam. Malah tak jarang kelihatan jika si gadis hendak buka mulut namun beberapa kali diurungkan.
"Ada apa sebenarnya ini? Guru tidak biasanya berlaku saperti ini. Dan mahkota itu..."
Untuk beberapa saat lemanya kembali sepasang bola mata bundar si gadis memandang tak berkesip ke arah mahkota yang berada di pangkuan kakek. Tiba-tiba si gadis dongakkan kepalanya.
"Hem... Mahkota bersusun tiga... Mudah-mudahan itu adalah pertanda jika kabar yang berhasil kusirap selama ini benar adanya. Dan jika itu jadi kenyataan, aku tahu apa yang harus kulakukan. Tak ada salahnya memang memberi sedikit kepuasan pada orang yang telah berjasa merawat sekaligus menurunkan limu padaku... Meski tentu hal itu tidak membuatku merasa nikmat. Karena itulah satu-satunya jalan. Sebenarnya bisa saja aku bertindak lain, tapi kurasa akan beresiko, malah tak mustahil akan mengalami kegagalan. Dan itu berarti bukan saja membuatku celaka tapi juga kandasnya semua cita-citaku..."
Mungkin karena tenggelam dengan pikirannya sendiri, gadis berpakaian merah ini tidak tahu jika bersamaan dengan bergeraknya kepala yang tengadah, si kakek parlahan-lahan buka kelopak matanya yang berada dalam rongga dalam. Sejurus sepasang mata si kakek menatap pada gadis di hadapannya. Lalu beralih pada jurusan lain. Bersamaan itu, mulutnya yang hampir tertutup sebagian rambut kumisnya bergerak membuka. Kejap lain terdengarlah suaranya.
"Maharani... Rasanya sudah tiba saatnya bagiku membuka sesuatu yang selama ini sengaja kusimpan. Namun sebelum aku mengatakan, aku minta kau untuk bersumpah bahwa kau tidak akan mengingkari perjanjian yang akan kita ucapkan nanti. Kau bersedia?!"
Gadis berpakaian merah tersentak kaget. Buru-buru kepalanya diluruskan menghadap si kakek. Sejenak sepasang mata si gadis yang dipanggil Maharani ini memandang lekat-lekat. Diam-diam dalam hati dia membatin. "Perjanjian... Hem... Perjanjoan apa ini? Mengapa dengan sumpah? Adakah ini masih ada hubungannya dengan apa yang selama ini kudengar...?! Aku tidak boleh gegabah dalam hal ini... Sedapat mungkin aku harus cari jalan selain bersumpah..."
Maharani tarsenyum lalu berkata. "Kakek Guru! Selama ini kau sudah kuanggap sebagai ayahku sendiri. Maski selama ini pula kau masih sembunyikan siapa dirimu sebenarnya! Kalau kau masih memintaku untuk bersumpah, sepertinya kau masih menganggapku orang lain... Padahal aku sudah tidak ingin mengharapkan apa-apa darimu. Harapanku adalah ingin merawatmu hingga di akhir hayatmu..."
Si kakek gelengkan kepalanya sambil tersenyum. "Kau jangan bersalah duga Maharani. Kalau saja aku tidak menganggapmu sebagai anak, tidak mungkin aku turunkan semua ilmu yang kumiiiki padamu. Tapi hal yang hendak kuutarakan nanti mengharuskan kau mengucapkan sumpah!"
"Kakek Guru... Aku telah berjanji pada diriku sendiri untuk merawatmu sampai kapan pun. Aku tidak mengharap apa-apa darimu. Jadi kalau aku harus mengucapkan sumpah untuk sesuatu yang hendak kau utarakan, lebih baik sesuatu itu tidak usah kau katakan... Biarlah semuanya berjalan begini!"
"Maharani... Jika ucapanmu begitu berarti sia-sia aku merawat dan mendidikmu selama ini..."
"Kakek Guru... Bagaimana bisa begitu?"
"Kau tak akan mengetahui jawabannya sebelum kau ucapkan sumpah"
Maharani angkat kepalanya sedikit. "Bagaimana ini? Tampaknya tidak ada cara lain untuk menghindar mengucapkan sumpah. Hem... Jika demikian, apa boleh buat..." kata si gadis dalam hati. Lalu berujar.
"Kakek! Kalau aku boleh bertanya. Tidak adakah cara lain selain harus bersumpah?!"
Si orang tua gelengkan kepalanya. "Untuk hal ini hanya sumpah yang berlaku, Maharani..."
Maharani terdiam untuk beberapa lama. Namun wajahnya jelas masih membayangkan perasaan bimbang dan ragu.
"Ada yang masih membuatmu bimbang? Atau kau masih ingin waktu untuk berpikir?" ujar si kakek begitu dilihatnya raut wajah si gadis menunjukkan perasaan ragu-ragu.
"Terus terang, Kakek Guru... Sebenarnya aku masih ragu-ragu, jangan-jangan aku tidak dapat memenuhi apa yang menjadi sumpahku nanti. Aku takut..."
"Tidak ada yang perlu ditakutkan, Maharani. Kalau aku berani berkata, aku telah dapat mengukur. Dan menurutku, kau kelak dapat melakukan sumpahmu... Yang dibutuhkan sekarang adalah kejujuranmu memegang sumpah!"
"Kakek Guru... Seandainya kelak aku tidak dapat memenuhi apa yang menjadi sumpahku, apakah sesuatu akan terjadi menimpa diriku?"
"Setiap sumpah pasti mengandung resiko! Tapi seperti kataku tadi, di sini yang terpenting adalah kejujuran! Bagaimana? Kau bersedia?!"
Setelah agak lama terdiam, akhirnya Maharani menjawab. "Demi Kakek Guru, aku bersedia!"
Si orang tua tertawa perlahan mendengar ucapan si gadi. "Ini bukan demi aku, Maharani. Tapi juga demi kau! Demi kita berdua!"
Dada Maharani berdebar keras. Gadis ini menduga-duga apa sebenarnya yang hendak diucapkan si orang tua. Namun yang lebih besar sebenarnya adalah harapannya apa yang hendak diutarakan si kakek tepat dengan apa yang selama ini ditunggu-tunggu.
"Kakek Guru... Sekarang katakan sumpah apa yang harus ku ucapkan!" kata Maharani pada akhirnya.
SI kakek menatap sejenak. Lalu berkata. "Mendekatiah kemari! Duduklah bersila tepat dihadapanku!"
Maski dada masih dipenuhi dengan berbagai pertanyaan, Maharani bergerak menggeser tubuhnya ke depan seperti apa yang diucapkan si kakek. Begitu Maharani duduk bersila tepat di hadapan si kakek, kedua mata si kakek perlahan-lahan mengatup. Lalu terdengar ucapannya.
"Ulurkan tangan kananmu ke depan! Dan turuti segala ucapanku! Jangan bertanya!"
Dada gadis cantik ino makin dibuncah dengan berbagai duga dan tanya. Tapi begitu mendengar kata-kata si kakek, dia tidak berani buka mulut. Sebaliknya dia segera ulurkan tangan kanannya. Bersamaan dengan terulurnya tangan kanan si gadis, tangan kiri si kakek bergerak pula menjulur ke depan lalu menangkap tangan kanan si gadis.
"Tadahkan tangan kirimu di bawah tangan kanan mu" perintah si kakek.
Dengan dada makin berdebar, Maharani turuti apa yang diperintahkan.
"Pejamkan matamu!"
Perlahan-lahan Maharani katupkan sepasang matanya. Pada saat yang sama, si orang tua gerakkan tangan kanannya.
Seettt!
Maharani merasakan goresan pada bagian atas pergelangan tangan kanannya. Lalu terasa ada cairan hangat merembes. Sesaat kemudian tangan kirinya yang menadah di bawah tangan kanan terasa tertetesi cairan hangat. Maharani segera dapat menebak jika si kakek telah keluarkan darah dari tangan kanannya. Dan belum sempat Maharani menduga apa yang hendak dliakukan si kakek selanjutnya, gadis ini merasakan pegangan tangan si kakek dilepaskan.
Namun kejap lain terasa pergelangan tangan kanan si kakek menempel ketat pada pergelangan tangan kanannya. Bersamaan itu tetesan darah makin terasa banyak di tangan kirinya yang menadah di bawah. Beberapa saat berlalu. Tiba-tiba si kakek buka kelopak matanya. Memandang sejurus pada pergelangan tangan kanannya yang menyatu dengan pergelangan tangan kanan Maharani, lalu berkata.
"Buka matamu!"
Seolah tak sabar, serentak Maharani buka matanya dan menatap tajam pada tangannya. Darah segar masih tampak menetes dari sela himpitan tangannya dan tangan si kakek. Sebenarnya gadis ini hendak buka mulut untuk bertanya, tapi ingat pesan si kakek, akhirnya dia hanya bisa memandang dengan mulut terkancing rapat.
Anehnya meski darah terus merembes, namun gads ini tidak merasakan perih atau sakit pada pergelangan tangannya. Malah perlahan-lahan ada hawa hangat yang merasuk lewat pergelangan tangan kanannya yang bersatu dengan tangan si kakek.
"Maharani! Hirup darah yang ada di telapak tangan kirimu!" Mendadak si kakek memerintah.
Maharani kerutkan dahi. Untuk sesaat dia tidak segera melakukan apa yang baru saja diucapkan Si kakek. Namun begitu dilihatnya sepasang meta si kakek sedikit melotot, perlahan-lahan gadis cantik ini angkat tangan kirinya yang kini telah dipenuhi dengan tetesan darah segar. Namun begitu tangannya hampir menyentuh bibirnya, Maharani hentikan gerakan tangannya. Matanya kembali menatap ke arah si kakek. Yang ditatap anggukkan kepala dengan memandang tak berkesip.
Dengan kuduk merinding dan tangan gemetar, akhirnya perlahan-lahan Maharani teruskan gerakan tangan kirinya. Lalu dengan mata sedikit terpejam dia menghirup darah yang berada di tangan kirinya. Sejenak mulut gadis itu tampak mengembung dan hendak muntah. Namun bersamaan dengan itu si kakek berkata.
"Sekali kau muntahkan darah itu, berarti kita harus mengulangi dari awal"
Ucapan si kakek membuat Maharani tercekat, hingga mau tak mau akhirnya dia harus kuatkan diri menahan rasa mual. Begitu sebagian darah telah terhirup masuk ke tenggorokan Maharani, si kakek berkata.
"Ikuti ucapan yang kukatakan;
Demi langit dan bumi. Hari ini aku bersumpah. Bahwa aku akan melakukan semua perkataan Pangeran muda Bantaran. Aku bersumpah untuk tidak mngingkari jika semuanya menjadi kenyataan! Jika aku ingkar, biarlah langit dan bumi menghukumku!"
Dengan suara bergetar dan serak, Maharani ucapkan apa yang diucapkan si kakek. Begitu Maharani selesai mengikuti ucapan si kakek, orang tua ini tarik pulang tangan kanannya yang menempel rapat pada tangan kanan Maharani. Ketika gadis ini melirik, dia terkejut. Ternyata pada pergelangan tangan kanannya dari mana tadi terasa goresan dan terlihat merembesnya darah, tidak ada bekas luka sama sekali! Rasa heran Maharani belum lenyap, terdengar si kakek berujar pelan.
"Maharani... Kita telah bersumpah darah! Kuharap kau tidak main-main!"
"Kakek Guru... Aku masih belum mengerti dengan semua ini!"
"Kau akan segera mengerti, Maharani! Sekarang dengarlah baik-baik!" sahut si kakek lalu tengadahkan kepalanya sedikit. Tak lama kemudian dia telah berucap lagi.
"Delapan puluh tahun silam..." kata si kakek memulai. "Bekas Kerajaan Singasari diperintah oleh seorang raja yang masih keturunan Kertanegara. Sribaginda mempunyai seorang permaisuri dan beberapa orang selir. Dari sang permaisuri maupun para selir, sribaginda mempunyai beberapa orang putra-putri. Namun begitu masih ada sesuatu yang mengganjal perasaan sribaginda. Karena dari sang permaisuri, belum juga lahir seorang putra yang kelak menjadi pengganti. Sementara dari para selir telah lahir beberapa orang putra. Hal ini membuat sribaginda mulai khawatir dan cemas.
Sang permaisuri menyadari akan apa yang dirasakan oleh sribaginda. Dia sebenarnya sudah berusaha dengan menemui beberapa orang pandai agar dapat membantu hingga dia bisa melahirkan seorang anak laki-laki. Namun dari beberapa orang pandai, sang permaisuri mendapat keterangan bahwa mungkin dari sribaginda dia tidak akan mendapatkan seorang anak laki-laki. Sang permaisuri tldak begitu saja percaya. Dia terus berusaha. Tapi setelah sekian tahun, yang lahir adalah tetap perempuan.
Ini bukan saja membuat sribaginda tambah gelisah namun juga mulai mengalihkan perhatiannya pada para putra selir. Sebagai seorang permaisuri tentu dia tak rela jika kelak pengganti sribaginda bukan dari keturunannya. Mungkin karena la mulai percaya pada keterangan beberapa orang pandai, sementara di lain pihak dia harus mendapatkan seorang anak laki-laki maka sang permaisuri akhirnya menempuh jalan belakang. Diam-diam dia menjalin hubungan dengan abdi dalem kerajaan. Dari hubungannya ini, tak berapa lama kemudian, sang permaisuri mengandung.
Tepat pada waktunya, akhirnya sang permaisuri melahirkan. Ternyata, yang lahir adalah seorang anak laki-laki. Serentak sribaginda mengadakan upacara mengumumkan pengangkatan si bayi sebagai Putra Mahkota. Hari-hari selanjutnya sribaginda tampak ceria demikian juga sang permaisuri meski diam-diam sang permaisuri masih merasakan ada ganjalan..."
Si kakek sejenak hentikan keterangannya, setelah menarik napas panjang dia melanjutkan. Sementara Maharani terus menyimak dengan seksama.
"Beberapa tahun berlalu... Tiba-tiba entah siapa yang pertama kali mengungkapkan, di dalam keraton mulai terdengar kasak-kusuk tentang hubungan saorang abdi dalem dengan sang permaisuri, padahal sejak kelahiran sang Putra Mahkota, sang permaisuri telah memerintahkan pada abdi dalem yang dari padanya sang permaisuri mengandung, untuk meninggalkan keraton. lni demi agar semua yang telah terjadi tetap tertutup rapat. Kasak-kusuk itu akhirnya terdengar juga oleh sribaginda.
Mula-mula sribaginda tidak percaya, tapi karana berita itu makin santer, demi untuk menjaga kewibawaan kerajaan juga untuk menjaga kesucian, sribaginda mengadakan sidang. Sang permaisuri dipanggil lalu ditanya mengenai kabar yang tersiar dalam Istana. Karena sang permaisuri tidak mengaku, pada akhirnya diambil jalan tengah yakni dengan mengadakan sumpah darah. Resiko dari sumpah itu, jika sang permaisuri memang mengadakan hubungan dengan salah seorang abdi istana dan tidak mengaku, maka dalam waktu tiga purnama seluruh anggota tubuhnya perlahan-lahan akan membusuk..."
Untuk kedua kalinya si kakek menghela napas panjang dengan hentikan penuturannya. Sementara Maharani tampak terkesiap mendengar kata-kata terakhir si kakek. Diam-diam pula gadis cantik ini berkata dalam hati.
"Apakah sumpah darah yang baru saja kulakukan akibatnya akan sama? Celaka..." Mimik wajah gadis ini berubah tegang. Tengkuknya menjadi dingin.
"Kau memikirkan sesuatu, Maharani?" ujar si kakek membuat Maharani melengak kaget. Namun gadis ini buru-buru sembunyikan ketegangan wajahnya dengan tersenyum sambil gelengkan kepalanya. Si orang tua kerutkan kening, namun sejenak kemudian dia telah lanjutkan panuturannya.
"Sang permaisuri tidak mau begitu saja melakukan sumpah. Dia berusaha mencari jalan lain dan minta waktu. Dalam masa tenggang waktu itulah sang permaisuri coba mempengaruhi sang baginda juga beberapa orang penasihat istana. Namun usaha sang permaisuri mengalami jalan buntu. Mungkin karena putus asa dan tak mau mengalami nasib buruk, diam-diam dengan membawa dendam dan kecewa, sang permaisuri meninggalkan istana bersama seorang abdi yang setia serta mau mengerti apa yang selama ini dilakukannya.
Kepergian diam-diam sang permaisuri sudah cukup membuat sribaginda dan para penasihatnya tahu apa sebenarnya yang telah diperbuat sang permaisuri. Dalam keadaan marah dan kecewa, saat itu juga sribaginda mengumumkan pencabutan pernyataan Putra Mahkota pada anak laki-laki sang permaisuri..."
"Bukan hanya itu saja," kata si kakek setelah berhenti sejurus. "Sejak itu juga sang permaisuri dinyatakan buronan kerajaan begitu juga abdi Istana yang setia mengikutinya. Termasuk juga anak laki-laki sang permaisuri yang saat itu berusia tiga tahun."
Si kakek arahkan pandangannya jauh keluar goa batu. Tatapannya kosong. Setelah agak lama terdiam, dia menyambung. "Hidup sebagai buron ternyata telah merubah perangai sang permaisuri, apalagi dia sudah terbiasa hidup enak. Sang permaisuri mulai sering menyendiri dan termenung. Pelan-pelan wajahnya yang cantik mengerut. Bersamaan itu, dia sudah tidak pedulikan lagi anaknya. Dia hanya termenung dan termenung. Hingga pada tuatu hari, sang abdi setia menemukan sang permaisuri telah meninggal dengan cara bunuh diri. Di sisi tubuhnya tergeletak beberapa barang dan sebuah surat wasiat..."
Si kakek ini berhenti agak lama. Pandangannya tetap jauh keluar goa batu. Di hadapannya, Maharani memandangnya lekat-lekat. Namun gadis ini tidak buka mulut untuk bertanya. Sebaliknya dia bergulat dengan batinnya sendiri. Raut wajahnya sulit diterka. Karena sesekali tampak cemas dan kadangkala tampak menarik napas lega dengan raut gembira!
"Menurut surat wasiat yang ditinggalkan sang permaisuri, sang abdi setia lalu merawat sang anak dari hasil hubungan gelap sang permaisuri," kata si kakek lanjutkan keterangannya. "Setelah sang anak besar, sang abdi setia menceritakan apa yang dialami sang permaisuri dan siapa dirinya sebenarnya. Selain itu dia juga menyerahkan barang-barang peninggalan sang permaisuri. Dari sang abdi ini pula sang anak tahu seluk beluk kerajaan.
Setelah mendengar kisah dari sang abdi setia, si anak tampak mulai sering murung. Sang abdi maklum akan apa yang dirasakan anak asuhnya itu. Mungkin karena merasa kasihan atau tidak mau melihat kemurungan si anak, akhirnya sang abdi menuturkan bahwa kesempatan untuk meneruskan cita-cita sang permaisuri yang menginginkan anak dari rahimnya yang kelak memegang tampuk kerajaan belum tertutup sama sekali.
Sebenarnya si anak sudah tidak menginginkan samua itu. Namun semangat yang tiap hari dipompakan sang abdi membuat sang anak perlahan-lahan terhanyut. Di bawah bimbingan sang abdi setia, sang anak mulai belajar dan mendalami Ilmu silat karena tarnyata sang abdi adalah salah seorang tokoh silat kerajaan tingkat pertama yang sangat disegani. Hingga pada suatu malam, sang abdi menerangkan bahwa tampuk kerajaan bisa diambil alih dengan mudah jika telah membekal ilmu yang terdapat pada dua buah kitab pusaka kerajaan yang selama ini tersimpan rahasia didalam ruangan yang siang-malam dijaga ketat oleh beberapa orang ahli silat kerajaan. Karena begitu rahasianya ruangan itu, para abdi istana menamakan ruangan itu istana Hantu!"
Mendengar ucapan terakhir si kakek, wajah Maharani berubah namun jelas membayangkan rasa senang.
"Begitu bekal yang diberikan pada sang anak asuh dirasa cukup, pada suatu malam sang anak dan abdi setia mulai menjalankan rencananya untuk mengambil dua kitab pusaka kerajaan. Karena pernah hidup lama dalam Istana, keduanya tidak menemui kesulitan memasuki istana melawati jalan rahasia. Namun kesulitan baru muncul tatkala sudah mulai mendekati ruangan tempat penyimpanan kitab. Karena selain dijaga ketat, ruangan itu telah mengalami perubahan. Karena tekad sudah bulat, akhirnya kedua orang itu menerobos masuk.
Mengetahui hal ini, para penjaga tidak tinggal diam. Hingga akhirnya terjadilah pertempuran seru. Karena ruangan rahasia itu letaknya terpiah dari Istana utama, pertempuran itu tidak sampai didengar oleh para prajurit, apalagi kedua orang itu langsung melakukan penyerangan dengan jurus-jurus andalan. Rupanya sang abdi benar-benar bukan tokoh sembarangan. Hingga dalam waktu tidak terlalu lama, para penjaga ruangan rahasia tempat penyimpanan kitab dapat dilumpuhkan.
Saat itulah tiba-tiba muncul seorang kakek. Sang abdi tampek terjelut Ketika si anak bertanya siapa gerangan adanya si kakek, sang abdi mengatakan jika kakek itu hanyalah seorang penjaga kandang kuda kerajaan. Dia bernama Gandung Sedayu. Tapi yang membuat sang abdi terkejut dan heran, selain kemunculan si kakek di ruangan rahasia, dia juga tahu siapa adanya sang abdi setia, padahal saat itu sang abdi dan sang anak asuhnya mengenakan topeng penyamaran!"
Untuk kesekian kalinya, si kakek berhenti untuk menarik napas. Lalu melanjutkan. "Sang abdi semakin heran lagi tatkala ternyata si kakek penjaga kandang kuda itu memiliki kepandaian sangat tinggi. Malah meski dikeroyok kakek itu tidak mudah ditaklukkan, bahkan pada akhirnya setelah melewati pertarungan beberapa ratus jurus, sang abdi setia mengalami cedera parah.
Karena keadaan tak memungkinkan, sang anak akhirnya melarikan diri dengan membawa tubuh si abdi. Sang abdi ternyata tidak tertolong lagi nyawanya. Tapi sebelum menghembuskan napas terakhir, dia masih mengatakan bahwa hanya ada seorang yang mungkin dapat mengalahkan dan mengetahui kelemahan si kakek penjaga kandang kuda. Dia bernama Bulak Karewang.
Begitu sang abdi meninggal, sang anak asuh coba mencari orang yang dikatakan si abdi setia. Tapi usahanya sia-sia, karena selain ternyata orang itu adalah orang kepercayaan kerajaan, juga karena sejak peristiwa keributan di ruangan rahasia itu, penjagaan istana makin diperketat. Bertahun-tahun lamanya sang anak masih mencoba. Bahkan dengan nekat dia menerobos penjagaan ruangan rahasia. Namun lagi-lagi dihadang oleh si kakek panjaga kandang kuda. Malah seiring itu, sang kakek selalu membayang-bayangi langkah sang anak, membuat anak bekas permaisuri itu makin sempit. Hingga karena merasa putus asa, akhirnya sang anak pergi menjauh dengan membawa dendam dan kecewa..."
"Apakah anak permaisuri itu masih hidup?" tanya Maharani setelah dilihatnya si kakek tidak lagi teruskan ceritanya. Si kakek berpaling pada si gadis. "Dia memang masih hidup..."
Maharani menatap sejenak pada raut wajah orang tua dihadapannya lalu ke arah mahkota bersusun tiga yang berada di pangkuan si orang tua. "Meski aku telah dapat menebak, tak enak rasanya jika tidak mendengar sendiri..." membatin Maharani. Lalu berkata.
"Lalu apa hubungannya antara ceritamu dengan dirimu sendiri? Dan siapa nama anak permaisuro itu?!"
"Hubungannya erat sekali, karena akulah anak permaisuri itu! Akulah Pangeran Muda Bantaran. Nama yang diberikan sewaktu aku dinobatkan sebagai Putra Mahkota!"
Meski sudah dapat menebak sebelumnya, namun karena merasa girang, tanpa sadar Maharani berseru tertahan. Lalu unjukkan wajah seolah tidak percaya. Hal ini membuat si kakek tertawa perlahan sambil berujar.
"Dendam dan kecewa membuatku berubah jadi begini, Maharani. Malah aku tidak sempat memikirkan mengambir Seorang perempuan sebagai istri. Yang tarpikir olehku adalah bagaimana caranya aku dapat membalaskan dendam dan melampiaskan rasa kecewa! Mekski hal itu tak mungkin lewat tanganku sendiri!"
"Lalu sumpah yang kuucapkan?" kata Maharani dengan suara sedikit pelan. Suaranya terdengar serak dan gemetar.
"Sejak aku hidup sendiri, aku terus merenungkan apa sebab kegagalanku. Hingga pada suatu hari aku mengangkatmu sebagai murid dan anak..."
"Mengapa Kakek Guru memilihku...?"
"Karena kau adalah seorang perempuan!"
Hanya karena itu?!"
Si kakek alias Pangeran Muda Bantaran gelengkan kepala. "Sejak kecil kecantikan telah memancar pada wajahmu. Otakmu pun cerdas. Dan itulah senjata yang tidak pernah terpikir olehku sebelumnya!"
Jadi Kakek Guru mengambilku murid hanya karena ingin..."
Ucapan Maharani belum selesai, Pangeran Muda Bantaran telah menukas. "Kau jangan salah sangka. Aku sudah tua. Singgasana kerajaan sudah tidak lagi mengusik pikiranku!"
"Lalu apa yang kini menjadi keinginan Kakek Guru...?"
Aku hanya ingin lampiaskan dendam dan kecewa! Temuilah seorang bekas kepercayaan kerajaan. Kau harus dapat mengorek keterangan darinya tentang kelemahan si penjaga kandang kuda istana! Taklukkan penjaga itu. Ambil kedua kitab pusaka yang tersimpan dalam Istana Hantu!" suara Pangeran Muda Bantaran mendadak berubah keras dan berapi-api.
"Tapl..."
"Maharani! Seluruh kepandaianku juga warisan kepandaian abdiku telah kuturunkan padamu! Kau bukanlah orang sembarangan! Dan tentunya kau telah buktikan sendiri karena selama ini kau juga kuberi kesempatan untuk menginjak dunia persiiatan di luar sana!"
Maharani terdiam. Dia maklum jika ucapan Pangeran Muda Bantaran ada benarnya, karena selama diberi kesempatan menginjak dunia luar, si gadis memang telah buktikan dirinya sebagai salah seorang tokoh muda yang ilmu kepandaiannya sulit ditandingi Malah namanya mulai banyak dikenal di kalangan rimba persilatan.
"Maharani! Jika kedua kitab pusaka itu berhasil kau ambil, serahkan kedua kitab itu padaku! Dan kau akan kuangkat sebagai pemegang tampuk kerajaan!"
Maharani terkesiap. Dan belum lenyap rasa kesiapnya, Pangeran Muda Bantaran mengambil mahkota bersusun tiga yang berada dipangkuannya.
"Sebagai tanda, mahkota itu kuserahkan padamu!"
Pangeran Muda Bantaran beranjak bangkit. Lalu perlahan melangkah satu tindak. Mahkota bersusun tiga diletakkan di kepala Maharani. Sesaat Maharani tercenung. Namun kejap lain dia menjura beberapa kali.
"Belum saatnya hal itu kau lakukan, Maharanli! Kelak jika kedua kitab itu berhasil kau ambil, saat itulah Wwktunya yang tepat" kata Pangeran Muda Bantaran lalu mundur dan duduk bersila.
"Sekarang kau telah dengar apa yang harus kau lakukan! Itulah sumpah yang harus kau jalani! Dan kau tahu resiko apa jika kau ingkar!"
Maharani angkat kepalanya. Sepasang bola matanya yang bundar dan tajam memandang lekat-lekat pada Pangeran Muda Bantaran. Sekilas tampak pandangan gadis ini terasa aneh.
"Persetan dengan sumpah! Aku memang tahu apa yang harus kulakukan Pangeran Muda!" kata Maharani dalam hati, lalu tersenyum. Mahkota bersusun tiga di kepalanya perlahan-lahan diambil lalu diletakkan di sampingnya.
"Kakek Guru Pangeran Muda Bantaran... Aku adalah abdimu. Telah banyak jasa yang kau berikan padaku. Aku tidak bisa membalas apa-apa. Hanya harap Pangeran Muda tidak menolak pemberian abdimu ini..."
Belum sempat Pangeran Muda Bantaran memikirkan ucapan Maharani, gadis cantik ini telah bergerak bangkit. Bibirnya tersenyum. Sepasang matanya sedikit mengatup!
BAB 3
PANGERAN Muda Bantaran kernyitkan dahi. Sepasang metanya yang menjorok di dalam cekungan dalam tampak menyipit membelalak. Sementara Maharani tetap tegak dengan bibir tersenyum dan mata setengah memejam. Malah gadis ini terlihat geliatkan tubuh bagian atasnya hingga dadanya yang kencang membusung tampak menantang.Dengan dada mulai berdebar, Pangeran Muda Bantaran buka mulut. Suaranya terdengar parau. Maklum selama ini dia tidak pernah melihat muridnya itu bersikap demikian. Lagi pula sikap sang murid perlahan-lahan membuat gejolak nafsunya yang sekian tahun terpendam mulai bangkit. Namun dia coba menahan. Dia khawatir jika dugaannya meleset, hingga akhirnya terdengarlah ucapannya.
"Wlaharani... Gerangan apakah yang hendak kau berikan padaku? Aku tidak mengharapkan apa-apa darimu! Harapanku adalah kau segera laksanakan apa yang telah kuucapkan! Dan itu mudah..." Ucapn Pangeran Muda Bantaran segera diputus oleh suar Maharani.
"Pangeran Muda... Semua ucapanmu tetap akan kulaksanakan! Tapi bagiku, itu belum cukup jika dibanding dengan apa yang telah kau berikan padaku! Untuk itulah aku akan memberikan pada Pangeran Muda sesuatu yang lain... Harap Pangeran tidak menolak. Dan harap Pangeran pejamkan mata... Aku ingin memberikan satu kejutan..."
Pangeran Muda Bantaran gelengkan kepalanya. Debaran dadanya makin keras. "Katakan saja, Maharani..."
Maharani tersenyum. Dia balik gelengkan kepala. "ini adalah permintaanku terakhir, Pangeran Muda... Harap Pangeran turuti... Pejamkanlah mata Pangeran"
Sambil bergumam tak jelas, pada akhirnya Pangeran Muda Bantaran pejamkan juga sepasang matanya. Beberapa saat berlalu. Tiba-tiba Pangeran Muda Bantaran merasakan hembusan napas di dekat wajahnya. Lalu telinganya mendengar suara halus setengah mendesah.
"Pangeran Muda... Bukalah matamu..."
Pangeran Muda Bantaran buka kelopak matanya. Sejenak mata itu terpentang besar. Lalu terdengar mulutnya bergumam. Dahinya mengerut. Namun jelas jika dada laki-laki ini bergetar hebat. Malah kedua tangan dan kakinya yang duduk bersila tampak gemetaran!
Maharani tersenyum. "Harap Pangeran tidak menolak..."
Pangeran Muda Bantaran tersedak. Dia seoah tidak percaya dengan apa yang baru saja didengar dari mulut Maharani. Dia juga hampir tak percaya dengan pandangan matanya. Karena Maharani duduk berlutut tepat di hadapannya dengan tubuh polos tanpa sehelai benang pun! Belum hilang rasa kejut sang Pangeran dan belum sempat dia meredam gejolak yang makin membara.
Maharani telah angkat kedua tangannya. Tubuhnya perlahan digeser ke depan. Kedua tangan gadis berwajah cantik dan bertubuh putih mulus itu bergerak cepat membuka kancing pakaian Pangeran Muda Bantaran. Bersamaan itu, kepalanya bergerak maju dan cepat menciumi wajah sang Pangeran.
"Pangeran Muda... Hari ini adalah hari kita bersama... Marilah kita nikmati. Tentu Pangeran telah lama merindukan kehangatan..." desah Maharani sambil menciumi wajah Pangeran Muda Bantaran. Sementara kedua tangannya terus melepas pakaian yang dikenakan sang Pangeran.
Sebagai laki-laki yang tidak pernah disentuh tangan seorang perempuan, Pangeran Muda Bantaran untlik beberapa saat hanya diam tak tahu harus berbuat apa. Namun begitu Maharani terus menciuminya sementara tangannya terus bergerak, sesaat kemudian tangannya yang tadi diam mulai bergerak. Dadanya makin keras berdebar. Sementara darahnya mulai menggelegak. Dia sebenarnya hendak meronta dan buka mulut menegur. Namun justru yang terjadi adalah tangannya segera menakup tubuh polos Maharani.
Beberapa saat berlalu. Mendadak ruangan goa batu yang sejenak tadi disamaki dengan desahan-desahan panjang terdengar seruan tertahan. Lalu disusul dengan suara tawa panjang. Lalu terdengar suara.
"Pangeran Muda... Harap kau menikmati apa yang baru kau rasakan. Dan tentu aku masih akan memberikannya lagi jika kau mampu dan menghendaki..."
Pangeran Muda Bantaran yang ternyata kini telah menggeletak dengan tubuh berkeringat dan polos perlahan-lahan bergerak hendak bangkit. Namun laki-laki ini terkesiap. Sekujur tubuhnya lunglai lemas. Dia cepat kerahkan tenaga dalam. Namun bayang keterkejutan makin tampak diwajahnya yang masih berkeringat. Karena tenaga dalamnya laksana lenyap. Dia gagal untuk salurkan tenaga dalamnya.
Maharani memandang dengan bibir tersenyum. Lalu bergerak bangkit dan mengenakan pakaiannya yang berserakan. "Pangeran Muda..." ujar Maharani setelah selesai mengenakan pakaian. "Kau telah menggauliku. Dengan begitu seluruh tenagamu tersedot masuk ke dalam tubuhku. Hik Hik Hik...!"
Pangetan Muda Bantaran laksana mendengar sambaran petir. Namun dia tidak begitu percaya. Dia sekali lagi coba kerahkan tenaga dalam. Namun ucapan Maharani benar adanya. Tenaga dalamnya hilang lenyap. Malah untuk menutupi tubuhnya yang terbuka dia tampak gemetaran saat gerakkan tangannya.
"Maharani! Apa yang kau lakukan?! Apa maksudmu dengan semua ini?" bentak Pangeran Muda Bantaran. Namun meski dia membentak, suaranya terdengar tidak begitu keras. Malah terdengar parau dan hampir tersendat.
"Kau telah dengar ucapanku, Pangeran Muda! Karena kau telah menggauliku, maka seluruh tenaga dalammu masuk ke tubuhku! Itulah yang kulakukan! Tentang apa makaudku... itu urusanku! Yang pasti aku membutuhkan banyak tenaga dalam. Dan aku yakin bisa mendapatkannya! Hik Hik Hik...!"
"Murtad! Kau murid murtad! Kau telah melakukan perbuatan tarkutuk! Kau diam-diam telah mempelajari ilmu hitam!" teriak Pangeran Muda Bantaran dengan dada bergerak turun naik.
Maharani tersenyum. "Bukan aku yang melakukah perbuatan terkutuk, Pangeran! Tapi kita berdua! Kau dan aku! Kau dengar? Kita berdua! Dan kau jangan lupa... Kau pun lahir dari rahim orang yang melakukan perbuatan terkutuk!"
Pangeran Muda Bantaran jadi tergagu diam mendengar ucapan Maharani. Wajahnya mengelam dengan dada dipenuhi perasaan tidak karuan. Geram, marah, dan menyesal.
"Tak kusangka jika kau punya niat busuk, Maharani. Tak kuduga jika selama ini aku menanam duri dalam dagingku! Aku menyesai! Menyesal!"
Maarani tersenyum. "Penyesalanmu terlambat, Pangeran Muda. Dan duri itu kini akan menggerogoti tubuhmu Kau hanya akan bertahan hidup selama tiga hari Hik Hik...!"
"Ilmu hitam keparati!" maki Pangeran Muda Bantaran tak dapat menahan amarah. "Kau telah mempelajari ilmu hitam jahanam. Kau mengguntingku dari belakang!"
"Demi cita-cita apa pun harus ditempuh, Pangeran Muda! Bukankah kau dan ibumu juga demikian?!" kata Maharani masih sambil tersenyum. Lalu melangkah ke arah Pangeran Muda Bantaran yang masih setengah telentang sambil menutupkan pakaiannya ke atas tubuhnya.
Begitu dekat, Maharani jongkok. Kedua tangannya mengulur ke depan. Pangeran Muda Bantaran terkesiap. Dia tarik tubuhnya hingga sosoknya telentang. Sementara sepasang matanya yang berkilat merah memperhatikan tajam pada Maharani.
"Jangan takut, Pangeran Muda! Aku hanya membutuhkan ini!" kata Maharani sambil mencopoti peniti emas yang menggantung di pakaian Pangeran Muda.
Setelah menyimpan beberapa peniti emas ke balik pakaian merahnya, Maharani tidak segera bangkit. Sebaiknya duduk berlutut di samping sosok sang Pangeran, Sepasang matanya yang bulat menatap tajam. Bibirnya tersenyum. Namun kali ini senyum itu satu senyum seringai!
"Aku tanya untuk terakhir kali Pangeran. Katakan apa nama kedua kitab pusaka itu!"
Pangeran Muda Bantaran mendengus. "Murid murtad sepertimu tak layak tahu nama kitab pusaka!"
"Hem... Begitu? Baiklah. Aku tidak akan memaksa! Masih banyak orang yang dapat menjawab pertanyaanku tadi..." kata Maharani pada akhirnya meski mula-mula tadi gadis ini tampak sedikit agak berang. Maharani ulurkan kembali tangan kanannya. Dielusnya wajah sang Pangeran sambil berkata.
"Terima kasih atas semua yang kau berikan, Pangeran! Seandainya kau masih mampu... Hik Hik Hik... Sebenarnya aku menginginkan dirimu lagi! Sayang kau talah kehabisan tenaga... Namun kau masih beruntung, karena masih bisa merasakan nikmatnya surga dunia. Hik Hik Hik...! Selamat tinggal, Pangeran..."
Habis berkata begitu, Maharani bergerak bangkit. Lalu mengambil mahkota bersusun tiga yang ada tak jauh dari Pangeran Muda Bantaran. Kemudian dengan tenang melangkah perlahan meninggalkan Pangeran Muda Bantaran.
"Kau saat ini menang, Maharani! Tapi ingat. Kau telah bersumpah darah! Kelak kau akan merasakan akibat sumpahmu itu karena kau telah ingkar!"
Maharani hentikan langkahnya. Tubuhnya bergerak memutar menghadap Pangeran Muda Bantaran. "Peduli setan dengan segala sumpah darah! Aku mengucapkannya karena terpaksa! Sayang kau hanya hidup tiga hari ke muka, Pangeran. Jika tidak, tentu kau akan tahu jika sumpah itu tidak ada artinya bagi Maharani! Calon pemegang tampuk kerajaan dan penguasa tunggal rimba persilatan..."
Tiba-tiba Pangeran Muda Bantaran tertawa pendek. "Kau boleh berkata sesuka mulutmu! Namun langit dan bumi kelak yang akan jadi saksi! Karena atas nama-Nya kau bersumpah..."
Mendengar ucapan sang Pangeran, Maharani tertawa panjang. Lalu gelengkan kepalanya. "Langit dan bumi justru akan menyaksikan Maharani naik takhta dan dimaklumkan sebagai penguasa tunggal rimba persilatan, Pangeran!"
"Cita-citamu hanya akan tinggal cita-cita, Maharan! Kau masih bau kencur! Tak tahu kerasnya kehidupan dan dalamnya lautan..."
"Maharani bukan seperti yang kau duga selama ini, Pangeran Muda! Justru kaulah yang tua tapi bau kencur. Bahkan untuk menikmati surga dunia saja kau harus merasakan setelah dekat masa kematianmu! Hik Hik Hik...!"
Masih terus mengumbar tawa, Maharani balikkan tubuh lalu melangkah dua tindak. Kejap lain sosoknya berkelebat tinggalkan goa batu diiringi pandangan sayu Pangeran Muda Bantaran.
BAB 4
KARENA begitu percaya pada Maharani, Pangeran Muda Bantaran tidak mengetahui jika kesempatan yang selama ini diberikan pada muridnya itu untuk mengenal dunia luar telah dipergunakan oleh si gadlis berguru pada seorang sakti beraliran hitam. Dari orang sakti inilah akhirnya Maharani mendapat ilmu yang dapat mengambil tenaga dalam orang lain dengan cara berhubungan intim. Setelah mendapatkan ilmu itu, Maharani mulai melangkah lebih jauh. Karena selama ini telah mendapatkan Ilmu silat dari Pangeran Muda Bantaran, gadis ini mulal pula merambah dunia persilatan. Dia sengaja mencari tokoh yang telah punya nama basar.Dengan bermodalkan tubuh yang bagus serta rayuan memikat, Maharani telah berhasil mengambil beberapa korban tokoh bernama besar. Namun Maharani sengaja melangkah secara diam-diam. Hingga tidak benyak yang mengenalnya. Namun karena sebagian tokoh yang diincarnya ada juga yang merasa curiga, akhirnya membuat Maharani mau tak mau harus bertindak keras. Dari sinilah perlahan-lahan nama Maharani mulai dikenal dalam kancah rimba persilatan.
Dari petualangannya inilah Maharani akhirnya mendapat kabar tentang selentingan adanya dua kitab pusaka kerajaan. Dia lalu bergerak mendekati Kerajaan Singasari. Dia terus menyelidik, hingga akhirnya dia mendapat keterangan tentang kisah seorang putra mahkota yang selama ini buron. Pada waktu kembali ke tempat kakek gurunya, Maharani sebenarnya secara berhati-hati telah coba bertanya.
Namun kakek gurunya mengatakan tidak tahu apa-apa tentang kisah kerajaan. Malah kakek gurunya tidak mau mengatakan siapa dia sebenarnya meski selama ini Maharani telah bertanya. Otak cerdik Maharani makin merasa curiga, apalagi mengetahui kakek gurunya mengenakan beberapa peniti terbuat dari emas. Ketika diberi kesempatan lagi untuk keluar, Maharani mulai menyelidik tentang ciri-ciri sang putra mahkota yang dinyatakan buron kerajaan.
Namun karena jelang waktunya telah berpuluh tahun, Maharani gagal untuk mengetahui ciri-ciri sang putra mahkota, sebab tidak tertutup kemungkinan wajah maupun bentuk tubuhnya telah mengalami perubahan. Maharani tidak putus asa. Cita-citanya sejak kecil yang ingin menjadi orang besar dan ternama membuat gadis ini pantang menyerah begitu saja. Sambil terus merambah dunia persilatan, dia pasang telinga baik-baik.
Dla sengaja mencari sang putra mahkota karena dia punya firasat bahwa putra mahkota tahu banyak tentang seluk beluk kerajaan. Karena tidak mungkin baginya langsung menyelidik kedua kitab pusaka itu. Apalagi setelah kejadian beberapa puluh tahun itu, penjagaan Istana semakin ketat dan tidak sembarang orang dapat masuk ke dalam istana. Rupanya ketabahan Maharani membawa hasil. Dari seorang bekas abdi istana Maharani mendapat sedikit gambaran tentang sang putra mahkota.
Dari sini pula Maharani dapat memperkirakan kira-kira usia sang putra mahkota jika maaih hidup. Dia lalu menghubung-hubungkan dengan kakek gurunya. Sedikit demi sedikit Maharani mulai hampir yakin bahwa orang yang dicarinya tidak jauh. Tapi selama ini kakek gurunya tetap saja menyembunyikan siapa dia sebenarnya. Maharani terus menunggu dan sejak itu pula dia mulai jarang keluar goa. Dia selalu berada dekat dengan kakek gurunya. Dan sesekali dia coba mengorek keterangan dari mulut kakek gurunya.
Namun sejauh ini dia tidak mendapat keterangan apa-apa, hingga akhirnya tibelah saat yang dinantikan. Dan ternyata dugaan Maharani tidak jauh meleset, karena sang putra mahkota adalah kakek gurunya sendiri. Dalam masa penantian itu, sebenarnya Maharani telah mengatur rencana matang, hingga saat waktu yang dinantikan itu tiba, Maharani tidak canggung lagi menjalankan rencananya.
Hamparan bumi telah dibungkus dengan kegelapan malam. Angkasa raya tertutup arakan awan, hingga cahaya sang rembulan dan taburan bintang lakaana lenyap. Sesaat kemudian hujan rintik-rintik turun membasahi bumi. Satu sosok tubuh tampak berkelebat cepat laksana setan gentayangan. Memasuki sebuah kawasan perkampungan, sosok ini memperlambat kelebatannya. Lalu menyelinap ke balik sebuah pohon. Kepalanya bergerak ke samping kiri kanan, lalu lurus memandang ke arah sebuah rumah kayu yang diterangi lampu dian.
"Dari keterangan orang siang tadi, rumah kayu inliah tempat kediaman Bulak Karewang. Bekas orang kepercayaan istana yang menurut Pangeran Muda Bantaran adalah satu-satunya orang yang dapat mengalahkan si penjaga kandang kuda karena mengetahui kelemahannya.
"Hem... Mudah-mudahan keterangan itu tidak salah dan lebih-iebih si Bulak Karewang masih hidup..." gumam orang di balik pohon.
Orang ini adalah seorang gadis muda berparas cantik Jelita mengenakan pakaian berwarna merah dan bukan lain adalah Maharani. Maharani angkat kepalanya tengadah. Langit masih tertutup awan. Sementara hujan makin deras.
"Hem... Suasana begini akan menambah lancarnya rencanaku. Rasanya aku sudah tak sabar... Kitab pusaka itu harus segera kudapatkan! Lalu orang akan memaklumkan diriku sebagai penguasa rimba persilatan sekaligus pemangku takhta kerajaan! Hem..."
Maharani tersenyum sendiri. Lalu luruskan kepalanya menghadap kembali ke arah rumah kayu di depan sana. Sesaat Maharani tajamkan mata dan telinga. Kejap lain sosoknya berkelebat dan tahu-tahu dia telah tegak berlindung dalam kegelapan di samping rumah kayu. Untuk beberapa saat Maharani tegak diam tanpa keluarkan suara dan membuat gerakan. Tiba-tiba dia dongakkan kepala. Sebagal orang yang kini telah memiliki tenaga dalam tinggi karena berhasil menyedot tenaga dalam para korbannya, sekilas dengar dia telah dapat menentukan bahwa rumah kayu itu berpenghun!
"Mudah-mudahan dialah orang yang kucari..." kata Maharani dalam hati.
Gadis ini lalu berkelebat menuju ke belakang rumah. Namun gerakannya tertahan ketika mendadak terdengar suara teguran dari dalam rumah kayu.
"Orang di luar! Tentu kau punya tujuan hingga malam-malam begini kau datang ke tempatku dengan cara mengendap-endap!"
Sejurus Maharani terkesiap kaget. "Kalau orang yang bersuara bukan seorang yang memiilki kepandaian tinggi, tak mungkin dapat mengetahui keberadaanku di sini. Apalagi keadaan gelap dan suara hujan membuncah! Sebenarnya aku ingin masuk diam-diam, tapi keadaan rupanya memaksaku bertindak lain..."
Habos membatin begitu, Maharani segera berkelebat ke depan. Kini sosoknya telah berada di depan pintu rumah kayu. Cahaya lampu dian yang berada di depan rumah membuat sosok Maharani terlihat agak jelas.
"Masuklah, Anak Cantik! Datang jauh-jauh tentu ada urusan besar!" kata suara dari dalam rumah, membuat Maharani kembali agak terkejut mendapati orang telah mengetahui dirinya seorang anak perempuan. Tanpa menyahut ucapan orang, Maharani gerakkan tangan kanannya mendorong pintu. Ternyata pintu itu tidak terkancing dari dalam. Tapi dalam rumah kayu tidak terdapat penerangan hingga sesaat Maharani disambut dengan kegelapan. Hanya sedikit pantulan lampu di depan rumah yang membantu penglihatan si gadis.
Dengan langkah tenang Maharani memasuki rumah kayu. Namun gadis ini diam-diam telah kerahkan tenaga dalam dan siapkan satu pukulan. Lima langkah dari balik pintu, Maharani berhenti. Dari hembusan napas orang, si gadis telah dapat menentukan dimana adanya orang yang diyakininya telah keluarkan suara tadi. Maharani palingkan kepalanya ke kanan. Pandangan matanya membentur pada satu sosok hitam yang duduk bersandar pada bagian samping rumah kayu.
Maharani memperhatikan dengan mata mendelik tak berkesip. Setelah matanya agak terbiasa dengan gelap, gadis ini melangkah maju ke arah sosok hitam yang duduk bersandar. Sejarak lima langkah dari sosok hitam, Maharani hentikan langkah. Sekaii lagi dia memperhatikan ke arah sosok hitam. Kini dia dapat dengan jelas mengetahui adanya sosok hitam itu.
Sosok itu ternyata adalah seorang laki-iaki berusia amat lanjut berparas sedikit lancip. Rambutnya putih kelimis disanggul ke atas. Meski telah berusia lanjut, namun tanda bekas ketampanan masih membayang diwajahnya. Kumis serta jenggotnya terawat rapi. Dia mengenakan pakaian warna hitam.
"Kuharap kau tidak salah datang ke tempat ini, Anak Gadis!"
Orang yang duduk bersandar perdengarkan suara. Bersamaan itu sepasang matanya membuka dan menatap tajam pada sosok yang tegak lima langkah di hadapannya.
"Benarkah aku sedang berhadapan dengan seorang bekas kepercayaan istana bernama Bulak Karewang?" Maharani ajukan tanya.
"Meski masih muda, ternyata kau telah tahu banyak! Ada urusan apa kau mencariku?!" ujar orang tua yang duduk bersandar masih dengan menatap tak berkesip.
Untuk beberapa saat Maharani tidak segera menjawab. Sebaliknya dia balas memandang tatapan orang seolah ingin meyakinkan.
"Hem... Dari keterangan yang kuperoleh, ciri-ciri orang ini hampir mendekati. Tapi aku belum tenang jika tak mendengar sendiri dia sebutkan diri. Aku tak mau dibodohi orang!" membatin Maharani lalu berkata.
"Aku mencari Bulak Karewang. Adakah kau orangnya?"
"Kaiau dia yang kau cari, kau datang ke tempat yang benar!"
"Orang tua! Aku ingin jawaban pasti. Sebutkan siapa dirimu?" kata Maharani seakan belum yakin akan ucapan orang.
"Aku memang Bulak Karewang. Kau sendiri siapa, Anak Gadis...?"
Maharani menarik napas lega. Gadis ini tidak segera menjawab pertanyaan orang tua yang mengaku bernama Bulak Karawang, sebaliknya dia melangkah lebih mendekat lalu duduk bersila. Maharani sengaja angkat sedikit kedua kakinya hingga betisnya yang putih mulus agak terbuka. Sesaat kemudian gadis bekas murid Pangeran Muda Bantaran ini menjura dengan bungkukkan tubuh. Bersamaan itu tangan kanannya bergerak cepat menyelinap ke bawah tubuhnya yang membungkuk.
"Maaf orang tua! Jika aku berkata agak kurang ajar. Karena aku tidak mau mengatakan urusan pada orang yang salah..." ujar Maharani pelan lalu angkat tubuhnya.
Bulak Karewang sesaat terkeslap dan buru-buru alihkan pandangan. Karena kancing pakaian Maharani bagian dadanya tampak terbuka hingga sembulan payudaranya terlihat jelas. Tapi gadis ini seakan tidak menyadari hal itu. Dia terlihat tenang-tenang saja masih tersenyum dan sedikit redupkan matanya.
"Hem... Seorang gadis muda berparas cantik datang malam-malam dengan sikap menggoda yang seakan tidak disengaja. Pasti di balik semua ini ada sesuatu. Ah... Adakah ini kenyataan dari firasat buruk yang beberapa hari ini menghantuiku?" Diam-diam Bulak Karewang berkata pada dirinya sendiri. Lalu dia buka mulut.
"Anak gadis. Kalau kau tidak mau mengatakan urusan pada orang yang salah, tentunya aku pun tidak ingin berkata pada orang yang belum mengenalkan diri..."
"Aku Maharani... Seorang gadis desa yang merana dan mencari orang tempat bertanya. Harap Kakek mau menunjukkan padaku, karena kaulah satu-satunya orang terakhir yang bisa memberi petunjuk..."
Bulak Karewang kerutkan kening. Sebenarnya orang tua ini ingin berpaling namun khawatir tak kuasa menahan pandangan matanya pada dada gadis di hadapannya yang sekejap tadi membuat dadanya berdebar, dia akhirnya berkata tanpa memandang pada Maharani.
"Ucapanmu menunjukkan kau telah tahu banyak tentang diri tua ini. Namun mungkin kau akan kecewa, karena aku tidaklah seperti yang kau katakan!"
Maharani lirikkan matanya. Lalu menghembuskan napas panjang dengan perdengarkan desahan seakan mengeluh, membuat Bulak Karewang berpaling. Pada saat yang sama, Maharani tersenyum dan berkata.
"Kau terlalu merendah, Orang Tua. Tapi bukan berarti aku akan urungkan niat mengatakan urusanku padamu! Karena aku percaya kaulah satu-satunya orang yang dapat memberi petunjuk yang kuperlukan!"
Selesai berkata, Maharani sedikit turunkan tubuh atasnya hingga Bulak Karewang makin dapat jelas melihat payudara putih kencang si gadis. Meski orang tua ini mencoba menahan pandangannya, namun tak urung dadanya makin berdebar. Setelah agak iama terdiam, Bulak Karewang akhirnya berkata. Suaranya muiai agak bergetar. Hal ini sudah cukup membuat Maharani bernapas lega karena jeratnya mulai mengena.
"Anak gadis. Sebenarnya... Ah. Katakanlah apa urusanmu. Tapi kuharap kau nantinya tidak kecewa jika aku tidak dapat memenuhi keinginanmu..."
Maharani angkat tubuhnya. Kini dadanya dibusungkan dan kakinya makin agak dinaikkan hingga pakaian bawahnya makin menyingkap sampai lutut. Dengan setengah redupkan sepasang matanya, gadis berparas cantik ini berujar.
"Seperti yang kukatakan tadi, aku adalah seorang gadis desa yang merana. Karena aku dilahirkan dari rahim seorang perempuan yang diperkosa. Sejak melahirkan diriku, perempuan itu hilang ingatan! Dia selalu berteriak-teriak sebutkan satu nama. Aku yakin nama itulah yang membuat ibuku jadi gila..."
Maharani sejenak putuskan ucapannya. Bahu gadis ini tampak berguncang. Dan tak lama kemudian terdengar dia sesenggukan.
Bulak Karewang makin kerutkan dahi. "Aneh... Urusan begitu kenapa harus diutarakan padaku? Kenapa dia mengatakan akulah aatu-satunya yang bisa memberi petunjuk?"
Mungkin terhanyut oleh sikap Maharani, Bulak Karewang ajukan tanya. "Maharani. Lalu petunjuk apa yang kau minta dariku?"
"Nama yang disebut ibuku... Kuharap kau mau tunjukkan orangnya" kata Maharani.
°Sepertinya kau tahu jika aku mengenalnya..." ujar Bulak Karewang masih dengan suara bergetar.
"Jika tidak, mustahil aku datang menemuimu..."
"Hem... Bagaimana kau dapat mengetahuinya?" tanya Bulak Karewang.
Maharani menatap tajam. Lalu berkata. "Dia adalah salah seorang abdi istana! Sebagai orang bekas kepercayaan istana, tentu kau mengenalnya"
Buiak Karewang sedikit terkejut. Buru-buru dia berkata. "Coba katakan siapa nama orang itu?"
"Gandung Sedayu!" sahut Maharani cepat dengan suara agak dikeraskan.
Paras wajah Bulak Karewang berubah. Sepasang matanya sedikit menyipit lalu membesar. "Apa mungkin...?" gumamnya pelan seakan tak sabar.
"Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini, Kek! Apalagi dia seorang laki-laki dan ibuku seorang perempuan..." sahut Maharani.
Bulak Karewang gelengkan kepalanya. Mungkin karena sedikit terkejut dengan apa yang baru saja didengar, gejolak nafsu yang tadi mulai membara perlahan meredup. Rupanya hal ini dapat ditangkap oleh Maharani. Karena tak mau jeratnya mengendor, gadis ini perlahan geser pakaian bawahnya lebih ke atas hingga pahanya terlihat. Sikap Maharani tampaknya membawa hasil, karena Bulak Karewang kembali nanarkan sepasang matanya memandang ke paha mulus si gadis.
"Orang tua. Kuharap kau mau tunjukkan padaku laki-laki jahanam itu!"
Bulak Karewang menghela napas panjang. "Maharani. Aku masih sangsi. Jangan-jangan Ibumu hanya mengada-ada! Karena..." Ucapan Bulak Karewang belum selesai, Maharani telah menukas dengan suara agak keras.
"Orang tua! Kalau seorang perempuan sampai gila dan hanya sebutkan satu nama seorang lakl-laki, apakah itu masih disangsikan lagi?!"
"Urusannya bukan itu, Maharani. Gandung Sedayu adalah seorang abdi yang tak mungkin dapat meninggalkan tugasnya! Jadi adalah aneh jika sampai dia melakukan perbuatan keji itu!"
"Boleh aku tahu, apa tugas Gandung Sedayu?" tanya Maharani.
"Dia penjaga kandang kuda Istana. Jadi tak mungkin dia bisa berkeliaran. Karena sewaktu-waktu orang istana bisa memerlukan kuda yang dijaganya!"
"Hem... Keterangan Pangeran Muda Bantaran benar..." kata Maharani dalam hati. "Aku harus segera selesaikan urusan ini"
"Orang tua! Justru tugas Gandung Sedayu yang membuatku makin yakin!"
Belum sampai Bulak Karewang menanyakan alasan Maharani, gadis cantik ini telah menyambung ucapannya.
"Karena tak ada kesempatan untuk berkeliaran, dia akan memanfaatkan sekecil apa pun kesempatan!"
"Tapi..."
"Orang tua!" lagi-lagi Maharani memotong sebelum Bulak Karewang teruskan ucapannya. "Aku telah melakukan perjalanan jauh untuk hal ini. Aku pun sudah bertekad untuk melakukan apa saja asal orang mau menunjukkan laki-laki keparat itu! Kalau kau menginginkan imbalan atas petunjuk itu, katakanlah imbalan apa yang kau minta!"
Sambil berkata begitu, Maharani geser pantatnya ke depan, hingga pakaian bawahnya tertarik lagi ke atas, membuat seluruh pahanya terlihat. Darah Bulak Karewang menggelegak. Laki-laki ini rasakan detakan dadanya begitu keras. Malah jika saja keadaan dalam rumah kayu itu tidak remang-remang akan terlihat jelas mengelamnya paras wajah laki-laki bekas orang kepercayaan Istana ini.
"Maharani... Kau jangan salah terka. Aku tidak ingin imbalan apa-apa. Hanya aku tidak mau orang celaka karena ucapanku!"
"Bukti sudah kuat. Kalau kau masih tidak mau mengatakan, sebagai orang yang membutuhkan, aku maklum. Hanya saja mungkin imbalan yang kuberikan tidak sebanding dengan petunjukmu. Tapi apa hendak dikata. Hanya imbalan tak seberapa yang bisa kuberikan..."
Belum sampai ucapannya selesai, Maharani telah buka kancing pakaian atasnya hingga mata Bulak Karewang jelas melihat payudara kencang membusung didadanya.
"Cukup, Maharani..." ujar Bulak Karewang dengan suara tersendat tertindih deburan napasnya. Tapi Maharani tidak menghiraukan ucapan orang. Gadis ini terus membuka kancing pakaiannya hingga kulit perutnya terlihat. Bukan hanya sampai disitu. Perlahanlahan pula gadis ini gerakkan tangan kiri kanan ke bahu. Kejap lain, tubuh bagian atas hingga perut terbuka polos!
"Kau tak usah malu-malu, Orang Tua! Aku suka rela memberikan padamu..." ujar Maharani dengan sedikit mendesah dan bibir tersenyum. Meski sejak tadi mencoba bertahan, namun begitu dihadapannya benar-benar tampak tubuh mulus dan montok membuat Bulak Karawang jebol pertahanannya. Melihat hal ini, Maharani makin mendekat.
"Aku akan membuatmu terlelap dalam kehangatan, Bulak Karewang! Malah jika kau menginginkan, aku bersedia tinggal di sini selama kau inginkan...!"
Bulak Karewang tidak menyahut ucapan Maharani. Laki-laki tua ini tampaknya sudah tenggelam dalam gejolak nafsu. Namun sejauh ini dia belum berusaha untuk membuat gerakan. Hanya sepasang matanya yang tak berkesip memandang ke tubuh polos dihadapannya.
"Di sini hanya ada kau dan aku... Mengapa kau masih malu-malu?" tanya Maharani lalu gerakkan kedua tangannya memegang paha Bulak Karewang.
"Kau pasti tahu apa yang selanjutnya harus kau lakukan, Orang Tua..." desah Maharani. Kedua tangannya terus berada di atas paha si kakek.
Ucapan Maharani membuat Bulak Karewang yang sebenarnya memang tidak berani bertindak mulai gerakkan kedua tangannya yang sudah gemetar. Perlahan kedua tangan orang tua itu mengelus pundak Maharani lalu turun ke bawah. Maharani pejamkan sepasang matanya sambil hembuskan napas panjang. Tangannya pun berpindah mulai membuka kancing pakaian si kakek.
Mungkin tak sabar, Bulak Karewang segera turunkan kedua tangannya hendak melepas pakaian bagian bawah Maharani. Namun tiba-tiba gerakannya terhenti tatkala dua tangan lentik menahan.
"Keinginanmu pasti terpenuhi... Tapi bukankah imbalan akan diberikan setelah..."
Tak menunggu lanjutan ucapan Maharani, Bulak Karawang telah menyahut. "Aku akan tunjukkan padamu penjaga kandang kuda itu..." sambil menyahut ucapan, kedua tangannya coba bergerak, namun Maharani tetap menahan gerakan tangan si orang tua.
"Aku tidak lagi membutuhkan petunjuk orang itu! Aku bisa mencarinya sendiri!" kata Maharani pelan setelah berbisik, membuat Bulak Karewang merasa heran. Namun keheranannya hanya sekejap, karena dadanya telah dipenuhi dengan gejolak nafsu. Dia lalu bertanya.
"Lalu...?!"
"Katakanlah. Apa kelemahan Gandung Sedayu?!"
BAB 5
BULAK Karewang terkesiap kaget hingga dia hendak tarik pulang kedua tangannya yang tadi akan melepas pakaian bawah Maharani. Tapi karena kedua tangan Maharani menahan, akhirnya orang tua ini hanya bisa memandang dengan mulut terkancing."Ingat, Orang Tua! Gandung Sedayu bukan orang baik-baik. Orang macam dia akan terus membuat malapetaka jika diberi hldup lebih lama!"
Bulak Karewang masih belum buka mulut. Batin orang tua ini sebenarnya dilanda kecamuk. Di satu pihak sebenarnya dia masih sangsi akan keterangan Maharani dan sebagai orang bekas kepercayaan Istana dia tahu siapa sebenarnya Gandung Sedayu. Dia juga tahu apa tugas sebenarnya Gandung Sedayu. Dan karena Gandung Sedayu adalah saudara seperguruannya, dia juga tahu apa kelemahannya!
Namun di lain pihak, sebagai laki-laki melihat tubuh gadis berparas cantik begitu rupa apalagi sejak hidup di luar ilngkungan istana tidak lagi merasakan hangatnya belaian perempuan sebab istrinya telah meninggal beberapa tahun lalu, membuat Bulak Karewang tak dapat lagi menahan dorongan nafsu.
Melihat Bulak Karewang masih diam, Maharani tersenyum. Kedua tangannya yang masih menahan tangan si kakek digerakkan ke bawah. Hingga bersamaan dengan itu pakaian bawahnya terus melorot. Malah kejap itu juga Maharani bergerak bangkit dengan bersitekan pada kedua lututnya. Pakaian bawahnya kini melorot menutupi kakinya, sementara tubuh dari lutut hingga atas terbuka polos!
"Kau tinggal buka mulut satu kali, Orang Tua! Setetah itu kau bisa melakukan apa saja. Aku adalah ratu cinta yang akan membawamu terbang jauh..."
Gemuruh dada Bulak Karewang menggelegar. Pertimbangannya semula mendadak hilang lenyap. Yang ada cuma keinginan untuk meraup tubuh Maharani, hingga dengan gerakkan kedua tangannya memegang pinggang si gadis, Bulak Karewang buka mulut. Namun karena dengusan napasnya lebih keras, membuat suaranya tidak jelas terdengar.
Maharani sunggingkan senyum. Kepalanya disorongkan ke depan. Lalu telinganya didekatkan pada mulut Bulak Karewang. Bulak Karewang kembali buka mulut dan berbisik. Pada saat bersamaan kedua tangannya menarik, hingga tubuh Maharani jatuh dalam pangkuannya.
Bulak Karewang membuka matanya ketika sayup-sayup telinganya mendengar suara tawa mengekeh panjang. Sejenak dia edarkan pandangan ke kanan kiri. Lalu pandangannya terhenti tatkala matanya melihat Maharani telah tegak di ambang pintu dengan tertawa panjang.
"Orang tua malang! Kuharap kau menikmati hal terakhir yang baru saja kau kecap! Selamat tinggal..."
"Tunggu...!" tahan Bulak Karewang dengan suara masih bergetar dan pelan. Tapi Maharani telah balikkan tubuh dan kejap lain berkelebat lenyap keluar rumah.
"Aneh... Apa maksud ucapannya...?" gumam Bulak Karewang lalu menggapai pakaiannya yang berserakan. Mendadak orang tua ini terlengak. Tangannya terasa lemas seakan tak bertenaga. Bulak Karewang segera kerahkan tenaga dalam. Namun laki-laki ini jadi berubah paras. Malah dia buka mulutnya menganga seakan tak percaya. Karena dia gagal salurkan tenaga dalamnya! Bulak Karewang mencoba lagi. Dan begitu maklum bahwa memang tenaga dalamnya seakan lenyap, dia tercekat.
"Jangan-jangan gadis itu..." Bulak Karewang tidak teruskan kata hatinya. Sebaliknya pejamkan sepasang matanya. Kejap lain dia berteriak keras, "Jahanam! Aku tertipu! Tertipu..."
Bulak Karewang terus berteriak keras. Dadanya bergerak turun naik. "Celaka! Gandung Sedayu pasti akan mendapat celaka! Dan kerajaan akan tertimpa malapetaka!" Bulak Karewang yang sudah kalap lupa akan keadaan dirinya yang masih polos. Dia bergerak bangkit. Namun sebelum sosoknya tegak, kedua kakinya melipat dan kejap lain tubuhnya jatuh terjerembab!
Sebenarnya Buiak Karewang bukanlah orang semberangan. Sebagai bekas orang kepercayaan Istana, dia memiliki kepandaian tinggi. Ini terbukti dia dapat mengetahui kehadiran Maharani meski saat itu Maharani telah berusaha agar tidak disiasati kedatangannya. Namun karena seluruh tenaganya telah tersedot masuk ke dalam tubuh Maharani, orang tua ini sampai tidak mengetahui bangkitnya Maharani. Dia baru mendengar suara setelah Maharani berada tegak di ambang pintu sambil tertawa mengekeh panjang.
"Apa yang harus kulakukan sekarang? Tenaga luar dalamku lenyap! Sementara nyawa Gandung Sedayu terancam! Kerajaan pun menghadapi bahaya! Seharusnya aku tidak terbuai nafsu laknat itu! Akulah yang harus bertanggung jawab jika terjadi apa-apa! Aku telah berkhianat! Aku pengkhianat!"
Bulak Karewang ucapkan kata terakhir itu dengan sekuat yang dapat dia suarakan. Namun karena saat itu seluruh tenaganya telah musnah, maka gaung suaranya hanya menggema di dalam rumah kayu! Bulak Karewang pun tidak tahu, jika dirinya hanya akan bertahan paling lama tiga hari!
Bangunan mirip Istana itu letaknya agak jauh dari Istana tempat sribaginda bertempat tinggai. Meski begitu, bangunan yang dtemlilingi tembok tinggi dan di kanan kirinya banyak ditumbuhi pohon-pohon besar berdaun rimbun ini tempak agak istimewa, karena tepat di setiap sudut tembok bangunan terlihat tegak seorang laki-laki bertubuh tegap. Sementara beberapa orang tampak mondar-mandir di depan pintu gerbang.
Anehnya, walau malam telah menjelang, tidak satu pun lampu dalam bangunan yang dihidupkan. Satu-satunya penerangan yang menyala adalah dua obor besar yang tampak ditancapkan di kanan kiri pintu gerbang, membuat bangunan itu terlihat angker!
Satu sosok tubuh tampak mendekam di salah satu cabang pohon berdaun rimbun dekat bengunan. Orang ini mengenakan pakaian merah. Tapi raut wajahnya tidak bisa dikenali karena ditutup dengan kain cadar.
"Hem... Sudah tiga hari aku menyelidiki tempat ini. Tapi batang hidung orang bernama Gandung Sedayu belum juga kelihatan. Atau jangan-jangan orang yang kutanya salah memberi tahu ciri-cirinya. Tapi itu tak mungkin. Apalagi sejak peristiwa penerobosan yang dilakukan Pangeran Muda Bantaran dapat digagalkan oleh Gandung Sedayu, nama orang itu mendadak menjulang dalam kalangan istana! Orang-orang yang selama ini memandang rendah karena dia hanya sebagai penjaga kandang kuda berbalik hormat, meski Gandung Sedayu masih tetap memilih sebagai penjaga kandang kuda. Hem... Ataukah Gandung Sedayu sudah tewas dimakan usia?! Tapi... Bulak Karewang tidak mengatakan hal itu!" kata orang berpakaian merah dalam hati. Sepasang matanya yang tampak dari lobang cadar sejenak mengedarkan ke sekeliling bangunan yang tampak remang-remang karena hanya terkena pantulan cahaya dua obor di bagian gerbang.
"Orang yang tegak di sudut tembok luar bangunan ada empat. Lalu orang yang tampak lalu lalang empat orang. Dua disebelah depan, dua lagi di sebelah belakang. Dengan melumpuhkan dua orang di belakang lalu membekuk dua orang di sudut belakang bangunan, aku akan leluasa masuk lewat belakang. Dengan tidak mengusok orang di depan, maka orang tidak akan curiga..."
Orang berpakaian merah yang bukan lain adalah Maharani terus berkata sendiri dalam hati. Gadis ini sudah tiga hari menyelidik bangunan di luar Istana yang dikenal sebagai tempat penyimpanan batang-barang pusaka kerajaan. Dugaan Maharani selama ini ternyata meleset. Gadis ini mengira bangunan tempat penyimpanan barang pusaka kerajaan itu dijaga sangat ketat. Namun begitu melihat kenyataan, Maharani jadi menarik napas lega. Karena bangunan itu hanya dijaga delapan orang.
Sebenarnya, setelah peristiwa penerobosan Pangeran Muda Bantaran bersama abdi setianya pada beberapa puluh tahun silam, bangunan itu dijaga sangat ketat. Namun seiring berlalunya waktu dan keadaan aman, orang-orang kerajaan mulai melonggarkan penjagaan. Dan setelah beberapa puluh tahun berlalu tidak ada kejadian apa-apa, pihak kerajaan mulai gegabah. Hingga hanya menempatkan delapan orang untuk menjaga bangunan itu, meski para penjaganya tetap dipilih dari orang-orang yang berkepandaian tinggi.
Maharani sesaat perhatikan orang yang tegak di sudut tembok luar bangunan bagian belakang sebelah kanan. Lalu tangan kanannya patahkan sejengkal ranting pohon di mana dia mendekam mengintali. Ranting kecil sepanjang satu jengkal itu sejenak ditimang-timang. Namun kejap lain tangannya bergerak.
Wuuttt!
Karena sentakan tangan itu bukan sentakan biasa, agalagi di dalam dirinya telah mengendap beberapa tenaga dalam milik beberapa orang tokoh berilmu tinggi, laksana pedang ranting kecil itu melesat cepat tanpa keluarkan suara!
Taakkk
Begitu cepatnya lesatan ranting itu, meski orang yang tegak di sudut sebeĺah kanan sempat mencium bahaya, namun sudah terlambat untuk membuat gerakan menangkis, hingga tanpa ampun lagi rinting kecil itu menghantam punggungnya. Orang yang terhantam sesaat melengak. Walau hanya sebuah ranting kecil, namun dia rasakan terhantam benda berat malah dari punggungnya mengucurkan darah!
Orang ini cepat putar tubuh setengah lingkaran. Kepalanya cepat mendongak tembusi kegelapan di rimbun dedaunan. Melihat hal ini, Maharani berlaku cerdik. Dia cepat berkelebat ke arah timur, tempat yang dirasa aman dan tidak banyak orang lalu lalang. Mungkin karena tidak mau kehilangan buruan, orang yang terhantam segera berkelebat mengejar. Maharani sengaja berkelebat dengan memilih jalan yang agak lapang, hingga orang yang mengejar tahu ke mana dia pergi.
Di satu tempat, Maharani berkelebat cepat, lalu menyeiinap. Bersamaan dengan itu orang yang mengejar kehilangan jejak. Orang yang mengejar sesaat memandang berkeliling. 0rang ini ternyata adalah seorang laki-laki berusia setengah baya. Mengenakan pakaian hitam-hitam. Tubuhnya besar tegap. Rambutnya dibiarkan terurai.
"Keadaan gelap sekali. Tapi aku masih yakin orang yang kukejar ada di sekitar sini" kata laki-laki setengah baya dalam hati. "Siapa dia sebenarnya...? Melihat bentuk tubuhnya sepertinya dia seorang..."
"Kau mencariku...?!" satu suara memutuskan kata hati si laki-laki setengah baya.
Lakl-laki ini cepat berpaling. Sejarak tujuh langkah dilihatnya seorang perempuan mengenakan pakaian warna merah bercadar. "Siapa kau?! Mengapa berani..."
Ucapan orang belum selesai, Maharani telah berkelebat ke depan. Kedua tangannya serentak bergerak menghantam ke arah kepala orang. Orang yang diserang tidak tinggal diam. Dia segera pula angkat kedua tangannya menangkis.
Bukkk! Bukkk!
Dua pasang tangan saling berbenturan. Laki-laki bertubuh besar tegap terlihat terhuyung lalu jatuh terduduk. Kedua tangannya tampak bergetar keras.
"Baru kali ini aku menemui orang bertenaga dalam luar biasa kuat..." kata laki-laki setengah baya sambil kerahkan tenaga dalam. Serentak dia bangkit. Namun belum sepenuhnya tegak, sosok Maharani telah melesat. Sejarak empat langkah, Maharani sentakkan kedua tangannya.
Wuutt! Wuuuttt!
Dua gelombang angin luar biasa dahsyat menggebrak. Laki-laki setengah baya itu tercekat. Kedua tangannya baru bergerak hendak memangkas pukulan lawan, tiba-tiba sosoknya telah tersapu gelombang angin hingga terpental satu tombak! Maharani sepertinya ingin segera menyelesaikan urusan. Belum sempat laki-laki setengah baya itu bergerak, dia telah melesat lagi dengan sentakkan kadua tangannya. Terdengar seruan tertahan. Tapi laksana direnggut setan, seruan itu terputus!
Maharani tegak dua langkah di samping sosok laki-laki yang kini terkapar dengan hidung dan mulut keluarkan darah kehitaman. Mulut di balik cadarnya menyeringai. Sesaat kemudian gadis ini putar diri. Lalu berkelebat ke arah barat dari mana dia tadi datang. Namun gerakan Maharani tertahan karena dalam kepekatan malam sepasang matanya menatap gerakan dua sosok menuju ke arahnya.
"Siapa pun adanya dua orang itu, mereka adalah orang bernasib malang!" gumam Maharani lalu tegak dengan sikap menghadang. Baru saja Maharani selesai bergumam, tahu-tahu dua sosok tubuh telah tegak lima langkah di hadapannya!
BAB 6
ORANG di sebelah kanan adalah laki-iaki berusia kira-kira setengah abad. Meski demikian sosoknya masih tampak tegap. Wajahnya bulat dengan kumis tebal. Dia mengenakan pakaian wama putih. Sedangkan orang di sebelah kiri juga adalah seorang laki-laki yang usianya lebih muda. Raut wajahnya lancip rambutnya panjang dikuncir. Orang ini mengenakan pakaian warna gelap."Kebetulan sekali. Tampaknya mereka adalah dua penjaga bagian belakang" kata Maharani dalam hati begitu mengenali siapa adanya dua laki-laki dihadapannya.
Sementara dua laki-laki dihadapan Maharani yang ternyata memang dua orang penjaga bagian belakang bangunan sejenak memandang tak berkesip pada Maharani, lalu sama berpaling dan saling berpandangan. Saat laki-laki setengah baya berpakaian hitam yang tegak di bagian sudut bangunan belakang berkelebat mengejar Maharani yang telah menghantamnya dengan ranting, salah seorang dari dua laki-laki penjaga bagian belakang sempat melihat berkelebatnya laki-laki setengah baya yang mengejar Maharani.
Karena merasa curiga, dia segera mengajak temannya untuk ikut berkelebat mengejar. Entah karena keadaan gelap atau karena masih terkesima, kedua laki-laki di hadapan Maharani belum mengetahui jika di samping bawah Maharani tergeletak sosok laki-laki yang sudah tak bernyawa. Dan begitu mereka memandang lagi ke depan, mereka tercekat ketika mata masing-masing orang melihat sosok yang tergeletak.
"Manusia itu telah membunuh Ramundo!" bisik laki-laki berpakaian putih sebut nama laki-laki yang telah jadi mayat. "Ramundo bukanlah orang yang mudah ditaklukkan. Tapi jika dalam waktu sekejap telah jadi mayat, orang di hadapan kita ini seperti memlliki kepandaian sangat tinggi"
Yang diajak bicara tidak menyahut. Dia hanya memandang silih berganti pada Maharani dan pada Ramundo. Dada orang ini bergerak keras turun naik menahan gejolak amarah.
"Lekas katakan siapa kau sebenarnya!" Tiba-tiba laki-laki berpakaian putih keluarkan bentakan.
Maharani tidak menjawab. Sebaliknya dia perdengarkan suara tawa pendek. Bersamaan terhentinya suara tawa, sosoknya tiba-tiba berkelebat ke depan. Kedua tanganya langsung kirimkan pukulan jarak jauh. Kedua laki-laki di hadapan Maharani yang sudah waspada segera angkat tangan masing-masing lalu disentakkan ke depan.
Wuutt! Wuuuttt!
Terdengar deruan keras. Kejap lain dua gelombang angin melesat dari tangan masing-masing orang menghadang gelombang angin yang telah menghampar dari kedua tangan Maharani.
Wuusssi Wuuuass!
Dua laki-laki itu serentak melengak kaget. Karena gelombang angin serangannya tersapu dan membalik. Malah karena kini dibarengi gelombang pukulan Maharani, lesatan gelombang angin yang membalik semakin cepat! Hingga begitu dahsyat lesatan itu, belum sempat kedua laki-laki itu menyingkir, sosoknya telah mental dan sama-sama terjengkang!
Walau kadua laki-laki ini sudah menduga bahwa orang yang dihadapi memiiiki kepandian tinggi, namun mereka sama sekali tidak mengira jika tenaga dalam yang dimiliki lawan demikian dahsyat. Maklum begitu sadar bahwa maut mengancam diri mereka, tanpa menunggu lama keduanya serentak bergerak bangkit. Namun gerakan kedua orang ini tertahan ketika mendadak dari arah depan terdengar suara deruan luar biasa keras. Di lain kejap dua gelombang angin melabrak angker ke arah keduanya!
Terdengar dua pekikan keras. Sosok kedua laki-laki itu sama terlempar tiga tombak di udara lalu melayang jatuh. Tapi agaknya Maharani tak ingin berlama-lama. Belum sampai sosok kedua laki-laki itu menghempas tanah, kedua tangannya telah kembali bergerak.
Wuuttt! Wuuuttt!
Untuk kedua kannya terdengar dua pekikan tinggi. Sosok kedua laki-laki itu kembali mencelat mental dan jatuh bergedebukan dengan tubuh sudah sama-sama tidak bernyawa. Maharani tidak memerlukan waktu lagi untuk melihat. Dari suara pekikan, gadis bekas murid Pangeran Muda Bantaran ini telah dapat mengetahui apa yang dialami kadua laki-laki penjaga bangunan itu. Tanpa menunggu lama, Maharani segera pula berkelebat. Beberapa saat kemudian sosoknya telah berada kembali di atas sebatang pohon dekat bangunan. Dari tempatnya mendekam kini, dia hanya melihat satu orang di bagian belakang.
"Hem..." Maharani menggumam seraya anggukkan kepala. Saat lain tubuhnya berkelebat lalu tegak empat langkah di samping kiri laki-laki yang tegak di bagian sudut belakang!
Laki-laki penjaga ini sebenarnya sudah merasa gelisah. Ini karena dua temannya penjaga yang mengejar berkelebatnya penjaga bernama Ramundo tidak segera muncul. Hingga begitu tiba-tiba satu sosok tubuh tegak di samping kirinya, dia cepat dapat menduga telah terjadi apa-apa.
Namun sebelum penjaga ini sempat buka mulut, Maharani telah melompat ke depan. Maharani rupanya tidak mau membuat keributan. Hingga sambil melompat la langsung hantamkan kedua tangannya dengan pengerahan tenaga dalam kuat. Karena dalam dirinya talah mengendap tenaga dalam milik beberapa orang tokoh, maka belum sampai hantaman kedua tangannya menggebrak sasaran kepala orang, dua gelombang angin dahsyat melesat terlebih dahulu.
Meski tersentak kaget, karena penjaga bangunan itu termasuk orang pilihan dan memiliki kepandaian, maka serentak orang ini juga angkat kedua tangannya. Tapi bersamaan itu gelombang angin yang mendahului hantaman telah melabrak ganas, membuat penjaga itu sempat terhuyung. Penjaga ini teruskan juga sentakkan kedua tangannya. Namun karena sosoknya terhuyung, angin pukulannya melenceng. Hal ini tidak disia-siakan Maharani. Dia teruskan hantaman kedua tangannya ke arah kepala si penjaga.
Praakkk!
Si penjaga beliakkan sepasang matanya. Mulutnya terbuka namun tanpa sempat keluarkan suara. Kejap lain sosoknya tersurut dua langkah lalu melorot jatuh dengan kepala hampir rengkah. Dari mulutnya yang terbuka menyembur darah kehitaman.
Sesaat Maharani perhatikan sosok si penjaga. Lalu putar diri dan sekali bergerak sosoknya telah melenting ke udara melewati tembok lalu lenyap masuk ke dalam bagian bangunan tembok. Karena telah beberapa hari menyelidk bangunan tempat penyimpanan barang pusaka kerajaan itu, Maharani telah tahu ke mana dia harus bergerak begitu sosoknya telah berada di dalam tembok meski suasana saat itu tampak gelap.
Maharani sesaat menarik napas dalam. Kini sosoknya telah berdiri di depan salah satu pintu bangunan dalam tembok. Setelah yakin suasana aman, kedua tangannya tampak terangkat. Kedua tangannya sejenak bergetar pertanda dia kerahkan tenaga dalam. Kedua tangan itu lalu mendorong ke arah pintu.
Brakkk!
Pintu itu jebol berantakan. Meski keluarkan suara berderak, tapi karena Maharani telah kerahkan tenaga dalam untuk meredam, suara itu tidak sampai ke telinga para penjaga yang ada di bagian depan. Maharani putar kepalanya sekali. Lalu berkelebat masuk. Tiga langkah di balik pintu yang telah jebol dia tegak dengan mata liar mengedar berkeliling. Ternyata dia kini berada pada satu ruangan besar. Anehnya ruangan itu kosong!
"Aneh... Ternyata bangunan ini hanya terdiri dari satu ruangan besar yang tidak ada apa-apanya. Tidak kulihat tempat untuk menyimpan barang pusaka itu. Lalu di mana kedua kitab pusaka itu? Jangan-jangan Pangeran Muda Bantaran memberi keterangan dusta! Atau jangan-jangan barang pusaka itu telah dipindah ke lain tempat..."
Maharani berkata dalam hati dengan mata terus perhatikan seantero ruangan di mana dia berada. Setelah agak lama dan tidak melihat apa-apa, Maharani mulai melangkah mengelilingi ruangan. Pada pojok ruangan sebelah kanan tiba-tiba gadis berpakaian merah ini hentikan langkah. Sepasang matanya membelalak perhatikan lantai ruangan. Meski keadaan gelap, namun dengan salurkan tenaga pada kedua matanya Maharani bisa melihat agak jelas. Di lantai pojok sebelah kanan itu terlihat goresan membentuk persegi empat sepanjang satu tombak.
Maharani jongkok. Kedua tangannya meraba-raba goresan di lantai ruangan. Kepalanya mengangguk. Bibir di balik cadarnya tersenyum. Kejap lain kedua tangannya menekan di bagian tengah goresan yang membentuk segi empat. Lantai di dalam goresan terlihat bergetar. Maharani lipat gandakan tenaga dalamnya. Getaran lantai yang ada dalam goresan segi empat makin bergetar.
Bruullll!
Lantai dalam goresan ambrol berantakan. Namun lagi-lagi suaranya hanya terdengar di seantero ruangan. Bersamaan dengan ambrolnya lantai, Maharani cepat tarik kedua tangannya. Sosoknya melompat kebelakang. Setelah menahan napas, Maharani sorongkan kepalanya ke depan melongok ke bawah. Yang terlihat hanya kepekatan.
"Hem... Meski aku belum tahu, pasti di bawah sana ada ruangan. Runtuhan lantai menunjukkan hal itu..." kata Maharani dalam hati.
Setelah berpikir sejenak, dia kerahkan tenaga dalam pada kedua tangannya. Lalu sosoknya melesat masuk ke bawah lewat lantai yang telah berantakan. Dugaan Maharani tidak meleset Setelah jungkir balik dua kali dengan kedua tangan siap lepaskan pukulan, kakinya mendarat tegak di atas lantai. Maharani kedipkan sepasang matanya beberapa kali. Lalu kepalanya berputar. Begitu matanya agak terbiasa dengan keadaan di sekitarnya, mendadak kakinya bergerak mundur satu tindak. Sementara sepasang matanya mendelik tak berkesip.
Ternyata dia berada pada satu ruangan agak besar. Sejarak delapan langkah dari tempatnya tegak, gadis ini melihat sebuah patung dari batu berbentuk seorang perempuan tegak dengan kedua tangan setengah merentang. Pada kepala patung tampak sebuah mahkota berwarna kuning mengkilat.
Untuk beberapa lama Maharani memandang dengan dada berdebar dan mulut menganga. Bukan pada mahkota di kepala patung yang tampaknya terbuat dari emas tapi pada kedua tangan patung yang setengah merentang. Di masing-masing tangan ini tampak sebuah buku agak tebal. Sadar dari rasa kesimanya, Maharani cepat melompat ke depan. Sepasang matanya dibeliakkan besar-besar dihadapan patung.
"Kitab..." desis Maharani. Dadanya makin berdebar. Sementara kaki dan tangannya gemetar. "Pasti ini kedua kitab yang dimaksud..."
Maharani arahkan pandangannya silih berganti pada kitab yang berada di tangan kiri kanan patung. Kepalanya lalu mendongak.
"Aku berhasil... Aku akan menjadi ratu rimba persilatan! Aku akan memegang tampuk kerajaan!" kata Maharani dengan bibir tersenyum.
Kepalanya lalu diluruskan. Matanya memandang ke arah tangan kiri patung. Di tangan itu tampak sebuah kitab bersampul biru. Maharani makin buka matanya. Lalu membaca tulisan yang tertera pada sampui kitab biru.
"Kitab Serat Biru..." Suara Maharani terdengar bergetar. Dia lantas melangkah ke samping kanan. Matanya dipelototkan pada tangan kanan patung. Di tangan kanan itu tampak sebuah kitab bersampul kuning. Maharani rundukkan sedikit kepalanya untuk membaca tulisan yang tertera pada sampul kitab kuning. Namun beium sampai tulisan itu terbaca, mendadak satu suara terdengar!
"Anak manusia! Kau telah masuk tempat terlarang! Hanya ada satu peraturan di tempat ini. Maut!"
Dengan menindih rasa kagat, Maharani cepat putar tubuh. Pandangannya lalu membentur pada satu sosok putih di pojok ruangan. "Hem... Aku yakin, waktu aku masuk ke sini orang itu tidak ada! Jika kemunculannya tidak dapat kuketahui, jelas dia bukan orang sembarangan. Jangan-jangan orang itu..."
Maharani maju dua langkah lalu perhatikan lekat-lekat pada orang di pojok ruangan. Ternyata orang itu adalah seorang laki-laki berusia lanjut. Rambutnya putih dan jarang serta tampak tidak terawat. Sosoknya tinggi kurus. Mengenakan pakaian warna putih kusam.
"Tampaknya memang dia..." desis Maharani. "Tapi aku harus meyakinkan!"
Maharani hendak buka mulut. Namun sebelum ucapannya terdengar, orang tua di pojok ruangan telah perdengarkan suara.
"Anak manusia! Sebelum kau harus menerima peraturan, kau harus katakan siapa dirimu!"
Maharani angkat tangan kirinya. Cadar yang menutupi wajahnya ditarik lalu dicampakkan ke lantai. Kini tampak jelas raut wajahnya. Bibirnya tersenyum menyeringa. Lalu terdengar suara tawanya pendek. Kejap lain tangan kanannya menyelinap ke balik pakaiannya. Saat ditarik kelar tampaklah sebuah mahkota bersusun tiga terbuat dari emas. Perlahan-lahan mahkota itu dikenakan pada kepalanya.
Sepasang mata orang tua di pojok ruangan menyipit membelalak. Mulutnya komat-kamit perdengarkan suara tak jelas. "Mahkota milik permaisuri..." akhirnya terdengar suara dari si orang tua. "Apa hubunganmu dengan Pangeran Muda Bantaran?!"
Maharani mendelik angker. Lalu berkata. "Kau tak berhak bertanya! Aku pemakai mahkota. Aku kelak pemangku takhta kerajaan! Dan kau Gandung Sedayu. Dengar baik-baik! Aku yang punya peraturan di sini! Dan cepat berlutut dihadapanku!"
Mendapati orang tahu siapa dirinya, orang tua di pojok ruangan terlihat tersentak kaget. Maharani memang berlaku cerdik. Dia sengaja mengeluarkan mahkota pemberian Pangeran Muda Bantaran. Dengan demikian Maharani akan dapat mengetahui reaksi orang. Hal ini membuat dia makin yakin siapa adanya orang yang kini ada di pojok ruangan.
"Kau tidak tuli, Gandung Sedayu! Lekas turuti perintahku!" bentak Maharani tatkala melihat si orang tua yang memang Gandung Sedayu adanya belum membuat gerakan apa-apa.
Setelah dapat menguasai diri, Gandung Sedayu melangkah satu tindak. "Anak manusia! Kau pemimpi seperti halnya Pangeran Muda Bantaran. Tapi demi menghormati mahkota yang ada di kepalamu, hari ini kau kuperbolehkan tinggalkan tempat ini. Tapi dengan satu..."
Maharani mendengus keras membuat Gandung Sedayu putuskan ucapannya. "Gandung Sedayu! Sudah kukatakan, akulah kini yang buat peraturan di sini. Akulah yang kini berkuasa. Cepat berlutut atau nyawamu kutanggalkan!"
Gandung Sedayu tersenyum. "Anak manusia! Kita tidak punya waktu banyak. Sebelum beberapa orang datang, lekaslah tinggalkan tempat ini!"
"Orang ini tampaknya sulit untuk diajak kompromi. Hem... Aku harus cepat menyelesaikannya. Kelemahannya ada di tanganku..." kata Maharani dalam hati. Lalu melangkah satu tindak seraya berkata.
"Orang tua... Baiklah. Aku akan tinggalkan tempat ini, tapi kumohon kau penuhi satu permintaanku!" suara Maharani agak merendah.
Gandung Sedayu kerutkan dahi. "Aku tak dapat memenuhi permintaanmu. Aku tak memiliki apa-apa! Aku hanyalah seorang abdi..."
Maharani tersenyum. "Aku tahu. Tapi yang kuminta ada padamu..."
Gandung Sedayu gelengkan kepala. "Tidak! Aku tak dapat memenuhi permintaanmu. Cepat tinggalkan tempat ini. Kalau sampai ada orang lain datang, aku tak bisa menjamin keselamatanmu! Aku hanya kasihan padamu. Lebih dari itu karena aku masih menghormati bekas sang permaisuri..."
"Kau menolak karena tak tahu apa yang kuminta. Jika kau tahu, pasti kau akan memenuhinya..." ujar Maharani dengan masih tersenyum.
Lalu tanpa menunggu ucapan dari Gandung Sedayu, kedua tangan Maharani dengan cepat telah membuka kancing pakaiannya. Kejap lain tubuh bagian depannya telah terbuka hingga dari tempatnya berdiri Gandung Sedayu dapat melihat mulusnya tubuh Maharani bagian depan. Maharani melangkah lagi satu tindak. Sepasang matanya menyipit. Sementara Gandung Sedayu tampak pelototkan mata. Dahinya mengernyit Mulutnya bergerak komat-kamit.
"Gila...! Apa maunya anak ini? Permintaannya aneh-aneh... Hem... Kalau seorang lawan menawarkan kenikmatan, patut dicurigai" kata si orang tua dalam hati. Lalu diam-diam salurkan hawa murni ke sekujur tubuhnya hingga meski sesaat tadi dadanya sempat berdebar meiihat payudara kencang dan mulus tarbuka, kini perlahan-lahan normal kembali, malah dalam dirinya kini tidak ada gejolak nafsu sama sekali.
"Tanpa kukatakan, kau paasi tahu permintaanku, Orang Tua..." ujar Maharani lalu mendekat ke arah Gandung Sedayu yang terus memandangnya.
Dua langkah di hadapan Gandung Sedayu, Maharani hentikan langkah. Sepasang matanya meredup dengan kepala setengah mendongak. Lalu terdengar ucapannya.
"Rasanya lebih nikmat jika tanganmu yang melepas pakaianku..."
Maharani tampak tersenyum tatkala dia merasakan kedua tangan Gandung Sedayu memegang pakaiannya. Namun senyum gadis ini mendadak putus tatkala merasa kedua tangan si orang tua bukannya melepas pakaiannya sebaliknya mengancingkan pakaian yang terbuka itu!
"Aku sudah tua. Aku tak kuasa lagi memberi yang kau mintai. Di luar tentu banyak yang dapat memberi lebih daripada aku. Nah, cepatlah keluar..." kata Gandung Sedayu membuat Maharani menggeram. Tapi gadis ini masih coba bertahan dengan berkata.
"Orang tua... Yang kuinginkan saat ini adalah dirimu. Bukan orang lain... Aku yakin, kau masih dapat memberi..."
Sambil berkata begitu, kedua tangan Maharani menjulur ke depan. Gandung Sedayu gelengkan kepala lalu mundur dua langkah hingga tubuhnya bersandar pada dinding ruangan.
"Jahanam! Jangan-jangan dia merasa..." kata Maharani dalam hati. "Apa boleh buat, terpaksa harus mengadu jiwa"
Setelah membatin begitu, kedua tangannya yang tadi menjulur ditarik pulang. Namun mendadak disentakkan kembali ke depan.
Wuuutt! Wuuutt!
Dua gelombang angin luar biasa dahayat menggebrak ke arah Gandung Sedayu!
BAB 7
GANDUNG Sedayu segera berkelebat ke samping selamatkan diri Gelombang angin maut lewat menghantam tempat kosong terus menggebrak menghajar dinding ruangan di belakang mana tadi Gandung Sedayu berada. Dinding ruangan itu serta-merta terbongkar berantakan membentuk lobang besar menganga. Sesaat Gandung Sedayu tampak tercekat menyaksikan kedahsyatan pukulan yang baru dilepas Maharani."Heran... Semuda itu sudah memiliki tenaga dalam demikian kuat. Siapa sebenarnya anak ini? Keturunan Pangeran Muda Bantaran..? Tapi yang berhasil kusirap selama ini, Pangeran Muda Bantaran itu hidup menyendiri di sebuah tempat dan belum beristri sampai sekarang. Tapi dari mana anak ini mendapatkan mahkota milik bekas permaisuri...?"
"Gandung Sedayu!" Mendadak Maharani keluarkan bentakan. "Aku masih akan mengampuni nyawamu. Tapi turuti semua perintahku!"
Gandung Sedayu tersenyum meski hatinya sedikit berdebar. "Kalau kau memang penguasa yang sah, tanpa diperintah pun aku akan mengikuti..."
"Hem... Begitu? Berarti nasibmu tak tertolong lagi!" ujar Maharani dengan menyeringai. Sebenarnya diam-diam dalam hati gadis ini membatin. "Tanpa berdekatan, kelemahannya yang berada di tengkuk tak mungkin bisa kudapatkan. Namun dengan tenaga dalam yang kumiiiki apa dia mampu bertahan?"
Kalau diam-diam Maharani membatin begitu, Gandung Sedayu diam-diam juga membatin.
"Kalaupun aku tak mampu bertahan, setidaknya aku harus bisa menyelamatkan kedua kitab pusaka kerajaan! Jika tidak, kerajaan akan ditimpa malapetaka dan tak tertutup kemungkinan akan runtuh..."
Baru saja Gandung Sedayu membatin, tiba-tiba Maharani telah melompat ke arahnya. Lalu tegak dua langkah dan dengan gerakan cepat luar biasa, kaki kanannya terangkat lepaskan satu tendangan.
Bukkk!
Kaki kanan Maharani beradu keras dengan tangan kiri Gandung Sedayu. Sosok Gandung Sedayu tampak bergoyang-goyang. Parasnya berubah pucat. Tangan kirinya terasa ngilu bukan main. Ketika kakek ini memeriksa, dia terkesiap. Tangan kirinya mengembung!
Sementara Maharani tak bergeming sama sekali. Bahkan bersamaan dengan itu dia perdengarkan tawa mengekeh penuh ejekan. Tapi tiba-tiba tawanya putus laksana direnggut setan. Kejap lain aosoknya berputar dua kali. Tubuh gadis ini berubah laksana bayang-bayang.
Wuutti Wuuuttt!
Sekonyong-konyong dari bayang-bayang sosok Maharani melesat dua tangan langsung mengarah pada kepala Gandung Sedayu dari arah kiri kanan. Karena di belakangnya berdiri dinding ruangan, tak ada tempat bagi si kakek untuk bergerak mundur hingga mau tak mau dia harus memangkas pukulan lawan dengan angkat kedua tangannya dan disentakkan ke kanan kiri.
Bukkk! Bukkk!
Gandung Sedayu berseru tertahan. Kedua tangannya yang memangkas tangan Maharani tampak mental balik, malah jika dia tidak segera rundukkan kepala niscaya kedua tangannya akan menghantam kepalanya sendiri. Sedangkan kedua tangan Maharani sesaat tertahan di udara karena terhantam tangan Gandung Sedayu. Tapi begitu kedua tangan si kakek mental balik, Maharani teruskan hantamannya, malah kini dengan lipat gandakan tenaga dalamnya.
Maklum bahaya maut mengincar dirinya serta sadar jika lawan benar-benar memiliki tenaga dalam demiklan tinggi, Gandung Sedayu tak mau bertindak ayal. Dari dua kali bentrokan tadi, sudah cukup bagi si kakek untuk mengetahui bahwa dirinya tidak akan sanggup untuk bertahan jika harus saling mengadu tenaga dalam lewat bentrokan langsung. Berpikir begitu, seiagi Maharani teruskan hantaman kedua tangannya, si kakek cepat lorotkan tubuh. Kedua tangannya serta-merta didorong ke depan.
Wuuutt! Wuuuttt!
Satu gelombang angin dahsyat melesat. Karena jarak antara kedua orang ini sangat dekat, maka tidak ada kesempatan lagi bagi Maharani untuk hindarkan diri dari gebrakan pukulan si kakek. Namun karena dalam dirinya telah tersimpan tenaga dalam beberapa tokoh, meski tubuhnya tak bisa diselamatkan dari pukulan Gandung Sedayu, namun kedua tangannya yang berada di atas sosok si kakek cepat pula berkelebat ke bawah.
Bukkk!
Bersamaan dengan mencelatnya sosok Maharani terhantam pukulan Gandung Sedayu, sosok Gandung Sedayu sendiri tampak tersapu ke depan tarkena sambaran tangan kanan Maharani. Sejenak tubuh si kakek terhuyung namun di lain kejap tersuruk di atas lantai dengan pakaian di bagian bawah robek menganga. Sementara sosok Maharani terpental satu tombak ke belakang lalu terduduk di atas lantai. Namun dengan cepat gadis berpakaian merah ini bergerak bangkit dan tampak tidak mengalami cedera! Malah bersamaan dengan tegaknya tubuh, Maharani tertawa pendek.
Gandung Sedayu angkat kepalanya. Begitu mengetahui si gadis telah tegak kembali, sambil menindih rasa heran Gandung Sedayu cepat pula bangkit. "Hampir tak kupercaya jika pukulanku yang telah menghantam dari jarak dekat sepertinya tidak dirasa. Anak ini benar-benar luar biasa... Hem... Kedua kitab pusaka harus segera kuselamatkan! Tak mungkin aku melawannya. Hanya ada satu jalan untuk menyelamatkan kedua kitab dan kerajaan dari anak manusia ini. Mudah-mudahan tidak gagal..."
Membatin Gandung Sedayu. Sepasang matanya lalu melirik ke arah patung batu. Lalu beralih pada Maharani. Dia sengaja tidak membuat gerakan karena dia sadar tidak akan ada gunanya bahkan bisa membuatnya celaka. Kini dia hanya menunggu sebab itulah satu-satunya jalan untuk menghindarkan diri dari bentrokan dengan si gadis.
Maharani maju satu langkah. Kedua tangannya diangkat di atas kepala. Tangan dan tubuh si gadis terlihat bergetar pertanda Maharani salurkan hampir seluruh tenaga dalamnya. "Gandung Sedayu! Aku masih memberimu kesempatan. Berlututlah! Lalu ikutlah denganku. Kau akan kuberi tempat yang baik!" seru Maharani.
Gadis bekas murid Pangeran Muda Bantaran ini sengaja masih memberi kesempatan hidup pada Gandung Sedayu, karena Maharani berpikir tenaga dan pikiran si kakek kelak dibutuhkan. Sebab, sebagai abdi yang telah lama hidup dalam lingkungan istana pasti tahu betul tentang seluk beluk istana. Selain itu si kakek memiliki ilmu kepandaian tinggi. Kalaupun saat ini tidak mampu menghadapi Maharani, karena Maharani telah menyimpan tenaga dalam banyak tokoh.
Gandung Sedayu gelengkan kepala. "Aku sudah bau tanah. Sia-sia seluruh umur yang telah lewat jika saat tua begini harus berkhianat!"
Maharani mendelik angker. Kesabarannya pupus sudah. Seraya menggereng keras, kedua tangannya yang telah diangkat disentakkan ke arah Gandung Sedayu. Karena kali ini dengan mengerahkan hampir seluruh tenaga dalamnya, maka bersamaan dengan bergeraknya kedua tangan Maharani, ruangan itu bergetar. Lalu terdengar suara deruan luar biasa keras memekak telinga. Di saat lain gelombang angin laksana prahara menghantam cepat ke arah Gandung Sedayu.
Saat inilah yang ditunggu-tunggu si kakek. Karena dia telah waspada, maka begitu kedua tangan si gadis setengah jalan lepaskan pukulan, dia cepat melesat ke samping kanan hindarkan diri. Kakek ini sengaja tidak membuat gerakan untuk menangkis. Dia hanya selamatkan diri dengan berkelebat. Hingga begitu gelombang angin menggebrak, sosok Gandung Sedayu telah pindah dari tempatnya semula. Lalu dengan kerahkan segenap ilmu peringan tubuh yang dimiliki, sang kakek berkelebat ke depan. Bukan lakukan pukulan pada Maharani melainkan menyahut kitab yang berada di tangan patung.
Pukulan Maharani akhirnya menghantam dinding ruangan hingga hancur berkeping-keping. Ruangan itu berguncang keras, kepingan dinding ruangan menyelimuti menambah gelapnya pandangan. Tapi sepasang mata Maharani tampaknya masih menangkap kelebatan sosok si kakek. Hingga begitu pukulannya gagal menghantam sasaran, gadis ini cepat berpaling. Maharani berseru marah tatkala mengetahui Gandung Sedayu menyahut kitab yang berada di tangan patung. Hingga kejap itu juga kembali kedua tangannya lepaskan pukulan.
Gandung Sedayu terkesiap. Saat itu tangan kanannya telah menyahut kitab bersmpul biru yang ada di tangan kiri patung. Tapi begitu tangan kirinya menyentuh kitab bersampul kuning di tangan kanan patung, pukulan Maharani telah melabrak. Hingga mau tak mau membuat si kakek harus segera berkelebat lagi selamat diri.
Meski tubuhnya berhasil hindarkan diri dari pukulan maut Maharani namun kaki kanannya tak urung masih tersambar. Hingga walau masih bisa berkelebat tapi di udara tampak terbanting lalu melayang ke bawah dengan kaki menekuk. Mungkin tak mau kakinya yang tersambar pukulan Maharani akan lebih parah jika menghantam lantai, akhirnya Gandung Sedayu harus merelakan tubuhnya menghajar lantai terlebih dahulu!
Buukkk!
Sosok Gandung Sedayu terkapar di lantai dengan paras pucat pasi. Namun karena khawatir sang gadis akan lancarkan pukulan lagi, kakek ini bergerak bangkit. Tapi kejap lain sosoknya kembali terjatuh karena kakinya yang tersambar pukulan Maharani terasa hilang kekuatannya.
Sementara itu Maharani tak hiraukan keadaan Gandung Sedayu. Perhatiannya dicurahkan pada kitab pusaka. Hingga begitu lepaskan pukulan pada si kakek, tubuhnya segera melompat ke arah patung. Kedua tangannya cepat menjulur mengambil kitab yang kini tinggai satu. Namun Maharani terlengak. Kitab bersampul kuning yang berada di tangan kanan patung tak berhasil diambil. Kitab itu seakan rekat. Maharani tak berani memaksa karena takut kitab pusaka itu akan rusak.
Maharani sesaat tegak memperhatikan ke arah kitab dengan mata tak berkesip. "Aneh... Padahal orang tua itu tadi mengambil kitab yang satunya seperti mudah! Jangan-jangan ada cara tersendiri untuk mengambilnya!" kata Maharani daiam hati.
Tangan Maharani bergerak meraba-raba patung. Sementara Gandung Sedayu duduk mengawasi dengan rasa cemas. "Celaka jika dia mendapatkan rahasia itu! Aku harus cepat lakukan sesuatu! Tapi... Kitab tak mungkin dapat kuselamatkan. Bagaimana ini?"
Sejenak Gandung Sedayu dilanda kebingungan. Sementara Maharani terus meneliti. Otak cerdik gadis ini menduga ada cara sendiri untuk mengambil kitab dari tangan patung. Dia sengaja tidak bertanya pada Gandung Sedayu karena dia khawatir jika si kakek akan bardusta bahkan akan menjerumuskan. Ketika tangan Maharani mendekati bagian payudara patung, sepasang mata Gandung Sedayu mendelik besar. Mulutnya komat-kamit. Sekonyong-konyong orang tua ini berseru. Tangan kirinya segera disentakkan ke depan sengaja diarahkan ke bagian kepala patung.
Maharani terkejut. Mengira orang lakukan pukulan kepadanya, dia segera tarik pulang tangannya yang mulai menyentuh payudara patung. Kejap lain kedua tangannya telah bergerak ke depan lepaskan satu pukulan ke arah Gandung Sedayu. Dan saat itulah pukulan yang dilepas Gandung Sedayu menghantam kepala patung.
Braaakkk!
Kepala patung yang mengenakan mahkota itu patah den mencelat sebelum akhirnya berantakan setelah menghantam dinding ruangan. Anehnya bersamaan dengan patahnya kepala patung, sejarak satu tombak melingkar di sekitar patung lantainya bergetar keras.
Maharani yang masih berada di dekat patung merasakan tubuhnya berguncang. Belum sempat mengetahui apa yang terjadi, tiba-tiba lantai sejarak satu tombak melingkari patung laksana dibetot kekuatan luar biasa hebat dari bawah. Hingga saat itu juga amblas ke bawah. Karena sosok Maharani masih berada di dalam lingkaran, akhirnya sosok gadis ini ikut amblas.
Meski Maharani sekejap tampak terkesiap namun karena perhatiannya lebih tertuju pada kitab, dia tidak hiraukan sekelilingnya. Dia baru tersentak ketika gerakan turun lantai yang melingkari patung itu tiba-tiba berubah lambat. Tapi bersamaan dengan itu lantai melingkar itu bergerak berputar!
Sadar terancam maut, Maharani kerahkan tenaga dalam untuk mengimbangi gerakan berputarnya lantai yang melingkari patung. Anehnya, meski gerakan berputar itu makin kencang, tapi patung yang telah tak berkepala itu tidak bergeming sama sekaii. Meski sosok Maharani dapat bertahan tidak sampai terpental dari lantai yang kini seolah mengapung di udara itu, namun lama-lama gadis ini merasa pusing. Hal ini membuat tenaga dalamnya sedikit demi sedikit berkurang.
"Jahanam! Pekerjaan siapa ini?!" maki Maharani dalam hati. Karena kepalanya makin pusing, sementara di lain pihak harus mendapatkan kitab, maka dengan pejamkan mata dia julurkan tangan untuk mengambil kitab yang masih berada di tangan kanan patung di dekatnya.
Karena kitab itu tidak juga berhasil diambil, Maharani menjadi geram. Tangan kirinya diangkat, lalu tangan kanannya memegang tangan kanan patung. Serta-merta kedua matanya dibuka. Lalu dengan menbentak keras, tangan kirinya menghantam tangan patung di bagian pangkal lengan.
Brakkk!
Tangan kanan patung tanggal sebatas lengan. Maharani cepat menangkap tangan patung yang telah tanggal. Dia sejenak menarik napas lega. Namun saat itu juga gadis ini tersentak. Karena putaran lantai tiba-tiba berputar balik. Sosok Maharani tampak terhuyung kian kemari di atas lantai. Hal ini terjadi karena saat Maharani patahkan tangan patung, tenaga dalam untuk mengimbangi putaran lantai jadi berkurang, apalagi satelah itu putaran lantai bergerak membalik.
Menyadari kesalahannya, sambil jatuhkan diri dan memegang potongan tangan patung yang ada kitab kuning, Maharani kerahkan kembali tenaga dalamnya. Namun tindakannya terlambat. Karena bersamaan dengan gerakannya menjatuhkan diri dan belum sempat kerahkan tenaga dalam, tubuhnya terpental dari lingkaran lantai! Maharani menjerit keras. Kepalanya yang sedikit pusing membuat gadis ini tidak berani membuka sepasang matanya. Hingga dia tak tahu apa yang ada disekitarnya. Dia hanya merasakan tubuhnya melayang-layang.
Kuduk gadis ini jadi dingin. Hal ini membuat dia lupa jika masih punya tenaga dalam. Hingga semakin terus melayang, gadis ini makin didera ketakutan luar biasa, sampai dia tidak ingat sama sekali jika dalam dirinya mengendap tenaga milik beberapa tokoh yang jika digunakan tidak tertutup kemungkinan masih bisa selamatkan jiwanya.
Sementara itu, bersamaan dengan amblasnya lingkaran lantai yang membawa patung tanpa kepala yang di tangan kanannya masih ada kitab bersampul kuning serta sosok Maharani, Gandung Sedayu berseru keras. Sosoknya mental menghantam dinding karena tersambar pukulan yang dilepaskan Maharani. Perlahan-lahan sosok Gandung Sedayu melorot lalu terkulai bersandar pada dinding ruangan. Dari mulut dan hidungnya mengucurkan darah.
Namun dalam keadaan hampir pingsan begitu, kedua tangannya mendekap erat-erat kitab bersampul biru yang berhasil disahutnya dari tangan kiri patung. Saat itulah, sepasang mata Gandung Sedayu yang hampir meredup menangkap berkelebatnya satu sosok putih. Gandung Sedayu tidak dapat mengenali siapa adanya sosok itu. Dia hanya merasakan satu tangan menotok beberapa bagian tubuhnya. Lalu dia tidak ingat apa-apa lagi.
Penjaga bagian depan sebenarnya sejak tadi sudah curiga, namun karena ruangan tempat penyimpanan barang pusaka kerajaan adalah tempat yang terlarang untuk dimasuki, para penjaga itu untuk beberapa lama hanya menunggu sambil menduga-duga. Begitu salah seorang dari para penjaga menangkap berkelebatnya satu sosok putih yang memanggul seseorang yang diyakininya adalah sosok Gandung Sedayu, maka para penjaga pun nekat menerobos masuk bangunan.
Tak lama kemudian, kerajaan menjadi gempar. Beberapa orang diperintahkan untuk mengejar orang yang memanggul Gandung Sedayu. Sementara beberapa orang lagi diperintah untuk menyeiidik ke dalam bawah ruangan yang lantainya jebol membentuk lingkaran, tempat di mana patung dan sosok Maharani terperosok.
Namun sejak saat itu Gandung Sedayu lenyap tidak bisa ditemukan. Sementara beberapa orang yang coba menyelidik masuk ke dalam ruangan juga tidak muncul kembali. Bersamaan dengan lenyapnya kedua kitab pusaka kerajaan, perlahan-lahan pamor kerajaan turun. Dan bangunan bekas tempat penyimpanan benda pusaka kerajaan berubah menjadi tempat angker karena beberapa orang yang masih coba menyelidik tak pernah muncul kembali!
Apalagi sebelum Bulak Karewang meninggal, kakek ini sempat menuliskan apa yang di alaminya, hingga meski Maharani tidak muncul juga dari ruangan bawah tanah, orang-orang istana menyebut gadis cantik itu sebagai Ratu Cinta dari Dasar Bumi
BAB 8
PENDEKAR 131 berkelebat melewati kerapatan pohon sambil sesekali mengawasi keadaan sekitarnya. Murid Pendeta Sinting ini masih khawatir jika Puspa Ratri diam-diam menguntit meski gadis itu telah urungkan niat untuk mengikutinya. Pada satu tempat, murid Pendeta Sinting hentikan larinya. Saat itu suasana agak temaram karena sang matahari sudah hendak tenggelam. Tapi sepasang mata Pendekar 131 masih dengan jelas dapat melihat bangunan di depan sana."Ada hal aneh... Benarkah orang berjubah abu-abu tadi penghuni bangunan istana itu? Tapi pukulan yang dilepaskannya sepertinya lain dangan apa yang pernah kurasakan saat bentrok dengan penghuni istana itu. Atau jangan-jangan dia memang berbuat begitu. Tapi kenapa dia enggan berhadapan dengan perempuan berbedak tebal ibu Puspa Ratri? Perempuan itu sepertinya mengenali orang yang mengaku sebagai Tengkorak Berdarah. Kalau tidak menyelidiki sendiri aku tak mungkin mendapat jawaban pasti. Lebih dari itu aku harus menyelidiki tentang lenyapnya iblis Ompong dan saudara-saudaranya yang menurut dugaan Ratu Malam karena ulah Tengkorak Berdarah..."
Pendekar 131 teruskan larinya. Sejarak beberapa tombak dari istana Hantu dia menyelinap lalu mendekam. Setelah suasana gelap dan yakin tidak ada orang lain di sekitar tempat itu, dia perlahan-lahan bangkit lalu melangkah ke arah halaman istana. Dua tombak di depan pintu gerbang istana yang pintunya terbuka, Pendekar 131 berhenti. Sepasang matanya menatap tak berkesip. Sejurus dia tampak bimbang. Tapi sesaat kemudian dia buka mulut.
"Penghuni istana Hantu! Harap kau keluar! Ada yang harus kita bicarakan!"
Tak ada sahutan. Murid Pendeta Sinting kembali hendak berteriak. Tapi urung ketika dari dalam bangunan yang dikelilingi tembok itu terdengar suara. Tak ada yang perlu dibicarakan!"
"Suaranya sama..." gumam Joko. "Apa benar-benar orang yang berjubah abu-abu tadi...? Aku makin panasaran!"
"Kalau kau tak mau bicara, harap kau sudi unjukkan diri!"
"Aku tuan rumah! Kalau kau ingin tahu, kenapa tidak masuk saja?!" terdengar suara jawaban dari dalam Istana. "Tapi harus kau ketahui. Setiap tamu di sini akan mengalami nasib jelek!"
"Ah, kebetulan! Aku memang ingin mengetahui nasibku jelek apa tidak" ujar murid Pendeta Sinting.
Tanpa buka mulut lagi, dia melangkah mendekati gerbang istana. Tapi diam-diam dia telah kerahkan tenaga dalam pada kedua tangannya. Dia maklum akan arah ucapan orang dari dalam istana. Tepat di ambang pintu gerbang, Joko berhenti. Suasana sunyi dan gelap membuat perasaan Joko mau tak mau dicekam kengerian. Apalagi beberapa hari yang lalu dia mengalami cedera terhantam pukulan dari dalam Istana. Tapi mengingat keselamatan Iblis Ompong dan saudara-saudaranya serta rasa penasarannya akan sang penghuni Istana, membuat murid Pendeta Sinting teruskan langkah.
Tapi begitu kakinya setengah jalan hendak lewat pintu gerbang, tiba-tiba terdengar deruan pelan. Joko tidak mau bertindak ayal. Sebelum satu gelombang menghantam, dia sentakkan kedua tangannya. Terdengar letupan. Tubuh murid Pendeta Sinting sejenak tampak bergetar meski tidak bergeming dari tempatnya. Joko terkejut dengan dirinya sendiri, karena selain tenaga dalamnya seakan berlipat, sosoknya tdak lagi terpental seperti beberapa hari yang lalu saat hendak memasuki Istana itu.
Namun belum lenyap rasa herannya, tliba-tiba tanpa didahului terdengarnya suara deruan, satu gelombang dahsyat menyapu ke arahnya. Murid Pendeta Sinting segera melompat mundur. Bersamaan itu kedua tangannya menyentak ke depan. Karena tahu kekuatan orang, Joko langsung lepaskan pukulan 'Lembur Kuning'. Hingga saat itu juga melesat satu sinar berwarna kuning mencorong disertai suara bergemuruh dan menghamparnya hawa luar biasa panas!
Blaaarr!
Pintu gerbang Istana tampak bergetar. Slnar kuning serta-merta bertabur ke udara sebelum melewati pintu gerbang Istana. Tubuh murid Pendeta Sinting bergetar keras sebelum akhirnya tersurut dua langkah. Maski tidak sampai mencelat, namun paras wajahnya tampak pucat pasi. Saat itulah mendadak sepasang mata Joko membelalak tak berkesip. Dari dalam pintu gerbang tampak menyeruak asap tipis.
"Asap tipis inilah yang mencederaiku..." desisnya. Cepat murid Pendeta Sinting ini salurkan tenaga dalam pada tangan kirinya. Telapak tangan kirinya serentak berubah menjadi biru. Saat kejap lain disentakkan, dart telapak tangan itu melesat serat-serat biru terang laksana benang. Pendekar 131 telah lepaskan pukulan sakti 'Serat Biru'.
Asap tipis yang menyeruak dari balik pintu gerbang laksana tertahan. Lalu serat-serat biru terang laksana benang itu berputar-putar seolah membelit asap tipis. Joko tak buang kesempatan. Dia segera melompat sambil sentakkan kedua tangannya. Untuk kesekian kalinya murid Pendeta Sinting tersentak. Gelombang angin yang kino melesat dari kedua tangannya demikian dahsyat. Hingga sebelum sosoknya mendarat, asap tipis yang kini dilingkari serat-serat biru tersapu masuk ke dalam pintu gerbang. Kejap lain terdengarlah ledakan luar biasa keras.
Joko rasakan kedua kakinya yang baru saja mendarat bergoyang-goyang. Belum sempat dia kuasai kakinya telah melipat dan saat lain sosoknya jatuh terduduk dengan raut pias dan dada bergerak keras turun naik. Sementara itu dari dalam istana tiba-tiba terdengar orang batuk-batuk beberapa kali. Disusul dengan terdengarnya suara.
"Ucapanmu benar. Kita harus bicara! Masuklah!"
Meski masih merasakan nyeri pada dadanya, Joko segera bangkit. Lalu melangkah. Namun Joko tetap waspada. Dia diam-diam telah siapkan pukulan. Saat tepat di depan gerbang, Joko tampak ragu-ragu. Namun akhirnya dia teruskan langkah dengan kedua tangan diangkat. Dadanya berdebar saat kaki kanannya terangkat hendak Melewati pintu gerbang.
Mudd Pendeta Sinting bernapas sedikit lega ketika kakinya melewati pintu gerbang tidak terjadi apa-apa. Bahkan saat tubuhnya telah lewat pintu tidak juga ada serangan dari dalam. Joko terus melangkah. Sementara sepasang matanya tak berkesip mengedar. Namun sejauh ini dia belum menangkap adanya orang, membuat murid Pendeta Sinting berhati-hati dan waspada.
"Masuklah, Anak Muda!" Tlba-tiba terdengar suara.
Joko arahkan pandangannya pada sebuah pintu yang tampak terbuka dan dari dalamnya terlihat cahaya temaram. Tapi cahaya itu sudah cukup membuat tempat di sekitarnya menjadi kelihatan.
"Suara itu datang dari dalam bangunan itu..." gumam murid Pendeta Sinting lalu teruskan langkah ke arah bangunan yang pintunya terbuka.
Dengan langkah hati-hati Joko longokkan kepala ke dalam pintu. Terlihat satu ruangan besar yang diterangi sebuah obor. Ruangan besar itu kosong dan Joko belum juga melihat adanya orang.
"Jangan-jangan aku dijebak orang..." kata Joko dalam hati. Lalu melangkah masuk dengan terus bersikap waspada. Saat itulah kembali terdengar suara.
"Teruslah masuk, Anak Muda!"
Murid Pendeta Sinting kernyitkan kening. Lalu pandangannya tertuju pada salah satu pojok ruangan. Di situ terlihat lantainya terbongkar. Tapi Joko yakin jika suara tadi bersumber pada setiap lantai yang porak-poranda itu. Joko melompat.
"Hem... Ada ruangan lagi di bawah!" desisnya begitu kepalanya melongok. Kali ini Joko tidak segera melompat turun. Namun dia buka mulut. "orang yang bersuara! Di mana kau?!"
"Kau tahu asal sumber suara! Di situlah kau akan menemuiku!" terdengar suara jawaban.
"Suara itu berasal dari ruangan bawah ini..." gumam murid Pendeta Sinting. Pandangannya mengarah pada ruangan di bawahnya yang tampak dari lantai yang terbongkar.
Dengan siapkan pukulan, Joko segera melesat turun ke bawah. Begitu kakinya menginjak lantai ruangan dibawah, Joko cepat edarkan pandangannya. Ternyata dla berada pada ruangan yang tidak begitu besar juga diterangi sebuah obor. Ruangan ini bagian dindingnya tampak berantakan malah disebelah pojok terlihat lobang menganga.
"Hem... Meski sudah lama, namun dinding ruangan ini terbongkar akibat pukulan bertenaga dalam tinggi! Dinding yang begitu tebal bisa hancur porak-poranda... Tapi mana gerangan orang yang bersuara tadi?"
"Kenapa kau masih tegak disitu?!" tiba-tiba terdengar suara.
Joko terkesiap. Dia berpaling kearah sumber suara. "Busyset! Ternyata masih ada lobang lagi" kata murid Pendeta Sinting ketika matanya melihat sebuah lingkaran membentuk lobang di lantai. Dia segera melangkah mendekati lobang yang membentuk lingkaran. Saat kepalanya melongok, dia hanya melihat kegelapan.
"Apakah orang itu ada dibawah? Aneh... Tempat apa sebenarnya ini?"
Pendekar 131 longokkan sekali lagi kepalanya ke dalam lobang didekatnya. Saat itulah sekonyong-konyong satu bayangan berkelebat laksana setan gentayangan langsung mendorong ke arah sosok tubuh murid Pendeta Sinting! Joko terkesiap. Secepat kilat dia balikkan tubuh dengan kedua tangan lepaskan satu jotosan. Namun gerakan si bayangan leboh cepat. Dua tangan telah mendorong sebelum tangan Pendekar 131 menjotos! Murid Pendeta Sinting tercekat. Tubuhnya tersapu ke belakang. Di lain kejap sosoknya amblas masuk ke dalam lobang di belakangnya. Tapi sebelum tubuhnya amblas masuk, Joko masih sempat gerakkan tangan kanannya menyambar ke depan.
Breettt!
Tangan kanan murid Pendeta Sinting sejenak mampu mencekal baju orang, namun karena dorongan orang lebih keras, hingga akhirnya dia tak dapat imbangi tangan kanannya ikut tertarik tubuhnya yang telah terperosok masuk ke dalam lobang. Bersamaan dengan amblasnya sosok Pendekar 131, terdengar suara orang menegur.
"Tahan! Kenapa Ayah lakukan itu?! Kenapa?!" suara itu setengah menjerit. Bayangan yang tadi mendorong tubuh Pendekar 131 putar diri.
BAB 9
0RANG ini ternyata tidak bisa dikenali raut wajahnya. Dari kaki sampai rambut tertutup jubah terusan berwarna abu-abu. Pada bagian dadanya terlihat satu lukisan tengkorak yang berlumur darah. Tapi lukisan itu kini robek menganga tersambar tangan kanan Pendekar 131. Terpisah delapan langkah dari sosok berjubah abu-abu terusan aneh ini terlihat tegak seorang pemuda berwajah tampan berkumis tipis mengenakan pakaian warna hitam-hitam.Si pemuda berbaju hitam memandang tak berkesip pada sosok di hadapannya. Dadanya terlihat berguncang keras. Mulutnya bergetar tanda menahan gejolak yang menyesaki hatinya. Untuk beberapa saat lamanya kedua orang ini sama tegak diam. Tapi sebenarnya doam-diam orang yang berjubah abu-abu terusan aneh membatin dalam hati.
"Aneh... Ada apa dengan Saraswati? Apa dia telah mengenal pemuda itu? Hemm... Paras wajahnya jelas membayangkan kecemasan dan khawatir! Aku juga heran. Anak ini selalu mengenakan kumis laksana seorang pemuda. Apa maksudnya dia selalu menyamar?"
"Ayah!" Mendadak pemuda berkumis tipis yang selama ini memperkenalkan diri dengan nama Raka Pradesa buka mulut. "Kau belum jawab pertanyaanku! Mengapa pemuda itu kau dorong jatuh ke dalam lobang?! Bukankah kau mengatakan bahwa lobang itu laksana penjara maut?"
Sosok berjubah abu-abu yang dipanggil ayah sejenak terdiam. Kepala dibalik jubah terusan itu tampak bergerak tengadah. Lalu terdengar ucapannya.
"Saraswati... Perjalanan waktu kelak yang akan menjawab pertanyaanmu! Sekarang aku tanya padamu. Kau mengenal pemuda itu?"
Mungkin karena masih belum dapat menguasai gejolak hatinya apalagi pertanyaannya tidak mendapat jawaban pasti, si pemuda berpakaian hitam-hitam yang dipanggil Saraswati menjawab.
"Kenal atau tidak kurasa tak perlu Ayah tanyakan. Bukankah jawaban pertanyaanku tidak usah menunggu waktu pun sudah jelas? Pemuda itu pasti mati! Jadi untuk apa menanyakan orang yang telah mati?!"
Orang berjubah abu-abu aneh gelengkan kepala. "Apakah kau telah termakan kabar diluaran sana, Saraswati? Kabar yang membuat banyak orang ingin membunuhku pada beberapa waktu belakangan ini karena menyangka akulah manusia yang akhir-akhir ini banyak turunkan tangan maut pada setiap orang?"
"Mula-mula aku memang tidak percaya dengan kabar yang tersiar! Tapi..." Saraswati sejenak putuskan ucapannya. Sambil tertawa pendek dia melanjutkan. "Kenyataan mau tak mau membuatku harus percaya kabar itu"
Ucapan bernada menuduh bukannya membuat orang berjubah abu-abu menjadi marah. Sebaliknya dia perdengarkan tawa pelan. Lalu berujar.
"Katakan kenyataan apa yang kau tahu!"
"Dia masih juga berpura-pura layaknya orang tak melakukan kesalahan. Padahal dia baru saja jumpa denganku di luar sana. Lalu tindakannya yang mendorong hingga Joko Sableng masuk ke dalam lobang. Hem..."
Diam-dlam Saraswati membatin dalam hati. Lalu berkata. "Ayah! Sekarang jawab dengan jujur! Kenapa Ayah pura-pura tidak mengenalku waktu berjumpa tadi di luaran sana? Sandiwara apa sebenarnya yang sedang Ayah lakukan?!"
Seperti diketahui, saat pemuda berkumis tipis berpakaian hitam-hitam ini hendak berlalu karena tak tahan melihat Pendekar 131 sedang bermesraan dengan Puspa Ratri tiba-tiba muncul satu sosok mengenakan pakaian jubah abu-abu aneh yang juga menutupi sekujur tubuh orang dari kaki sampai kepala. Baik jubah, tegap tinggi serta suara orang itu sama persis dengan orang yang kini ada di hadapan Raka Pradesa alias Saraswati.
Anehnya, saat berjumpa di luar, orang yang berjubah abu-abu aneh itu layaknya orang tidak mengenal si pemuda. Meski saat itu Raka Pradesa alias Saraswati dibuncah berbagai tanya dan duga, namun saat itu dia menjawab semua pertanyaan orang walau dia hampir yakin jika orang itu bukan lain adalah ayahnya sandiri! Untuk beberapa lama orang di hadapan pemuda berkumis tipis tidak perdengarkan suara.
"Ayah! Mengapa Ayah diam?! Terus terang saja. Permainan apa yang sedang Ayah perbuat?" Saraswati buka mulut lagi. Lalu pemuda berkumis tipis ini angkat tangan kirinya. Kumis tipis yang melintang di atas bibirnya ditarik tanggal lalu rambutnya digeraikan sambll menggoyang-goyangkan kepala. Serta-merta wajahnya yang tadi menyerupai seorang pemuda berjubah menjadi paras seorang gadis cantik berambut panjang.
"Saraswati... Aku belum bisa jawab pertanyaanmu. Tapi satu hal yang harus kau ketahui, sudah berapa tahun belakangan ini aku tidak pernah lagi melihat dunia luar!"
"Aku tak mungkin keliru mengenalimu!" sahut Saraswati. "Dan karena kau tahu aku anakmu, kau pura-pura mengampuni nyawaku lalu menyuruhku pergi!"
"Siapa pun bisa mengenakan pakaian seperti yang kupakai, Saraswati"
"Kalau Ayah tidak mengakui, tak apa. Tapi sekarang aku melihat sendiri bagaimana kau membunuh orang dengan mendorongnya masuk ke dalam lobang itu. Apa jawaban Ayah?"
"Aku tidak berniat membunuhnya!"
Saraswati tertawa pendek. Tapi jelas nadanya getir. "Kalau hal yang kau lakukan itu tidak kau sebut satu pembunuhan, lalu apa namanya?"
"Sudah kukatakan tadi, perjalanan waktu yang akan menjawab!"
"Perjalanan waktu?1" ulang Saraswati. "Sampal kapan?! Padahal kita tidak tahu di mana berakhirnya waktu!"
"Ucapanmu benar, Saraswati. Kita tidak tahu di mana berakhirnya waktu. Tapi aku yakin waktu yang kita tunggu tidak lama. Percayalah. Semuanya nanti akan jelas. Termasuk jawaban yang kau katakan sebagai sandiwara..."
Saraswati tampak gelengkan kepalanya sambil bergumam. "Selama ini Ayah banyak menyembunyikan sesuatu padaku. Sampai masalah lbu pun Ayah masih tidak mau berterus terang. Sungguh malang nasibku!"
Saraswati angkat kedua tangannya lalu ditakupkan pada wajahnya. Sejenak kemudian bahu gadis cantik berambut panjang ini tampak berguncang. Lalu terdengar isakannya.
Sosok berjubah abu-abu tampak menghela napas dalam. "Kuharap kau memaafkan ayahmu, Saraswati. Semua ini kulakukan demi kebaikan..."
Saraswati turunkan kedua tangannya. Sepasang matanya terlihat sayu. Dengan suara tersendat dia berucap. "Satu dalih yang enak didengar. Tapi tahukah Ayah. Ucapan itu membuatku makin menyesali nasib..."
Orang berjubah abu-abu kembali terlihat menarik napas dalam. Dadanya turun naik. "Aku tahu bagaimana perasaanmu, Anakku. Tapi jika kau tahu apa yang kurasakan justru lebih dari apa yang saat ini kau rasakan"
"Itu karena Ayah tidak mau berkata jujur. Hingga aku yang tidak tahu apa-apa harus ikut merasakannya. Ayah tahu. Selama ini aku menyamar karena aku ingin menyelidik apa yang selama ini Ayah sembunyikan. Agar aku lebih leluasa bergerak. Tapi sejauh ini yang kudapatkan hanya menambah derita hati. Apalagi tahu apa yang baru saja Ayah perbuat!"
"Saraswati... Kau jangan menduga terlalu jauh. Itu kulakukan juga untuk kebaikan pemuda itu sendiri..."
"Tidak! Ayah sebelumnya telah mengatakan padaku bahwa jika pemuda itu tak mau menjawab dengan jujur apa yang Ayah katakan maka keselamatannya tidak terjamin..."
Kepala di balik jubah abu-abu bergerak menggeleng. "Saraswati... Bukan aku yang mengatakan!"
Saraswati memandang tajam seakan ingin menembusi jubah yang menutupi wajah orang. Namun sejenak kemudian wajah gadis ini tertunduk. "Aku tak habis mengerti akan semua ini"
"Sayang, Anakku. Belum tiba saatnya untuk mangerti semuanya..."
Habis berkata begitu, orang berjubah abu-abu melangkah mendekati si gadis. Tapi akhirnya dia hanya dapat menghela napas panjang, karena bersamaan dengan itu Saraswati balikkan tubuh lalu berkelebat lenyap melewati lantai yang porak-poranda di bagian atas ruangan.
"Mudah-mudahan pemuda itu segera mengerti apa yang harus diperbuat hingga semuanya akan cepat berakhir!" gumam orang berjubah abu-abu lalu sosoknya berkelebat lewat lobang dimana tadi Saraswati lenyap.
Kita kembali dulu pada Pendekar 131 yang tubuhnya amblas masuk ke dalam lobang karena didorong oleh orang berjubah abu-abu. Sebenarnya murid Pendeta Sinting ini masih sempat mencekal jubah orang bagian dadanya. Namun karena sosoknya telah doyong ke belakang sementara yang tergapai hanya jubah orang, maka dia hanya bisa bertahan sejenak. Sesaat kemudian sosoknya amblas masuk. Namun dalam waktu yang sesaat itu, sudah cukup membuat Pendekar 131 tahu siapa adanya orang yang mendorongnya.
Begitu sosoknya amblas masuk, mungkin tak dapat menahan rasa kaget dan geram, murid Pendeta Sinting ini berseru keras. Suaranya menggelegar bergaung di seantero tempat di mana kini dia sedang melayang. Begitu kerasnya seruan yang keluar, membuat Pendekar 131 merasa tercekat dengan suaranya sendiri. Begitu gaung suaranya lenyap, dan tubuhnya masih terasa melayang, sepasang matanya yang sejak tubuhnya masuk tadi terpejam, kini perlahan-lahan dibuka.
Namun dia kembali tersentak. Dia tidak bisa melihat apa-apa karena ternyata tempat di mana dia sedang melayang jatuh sangat gelap! Bahkan hidungnya mulai menghirup bau aneh membuat perutnya agak mual dan napasnya megap-megap. Karena tubuhnya terus melayang dan perutnya bertambah mual, murid Pendeta Sinting pejamkan matanya kembali. Dia tak bisa menghitung sampai berapa lama dia melayang jatuh sebab sejauh ini baik tubuh maupun sepasang kakinya belum juga membentur sesuatu atau menemukan tempat untuk berpijak, meski sambil pejamkan sepasang matanya Pendekar 131 tak henti-hentinya menggerakkan kedua tangan dan kakinya untuk menggapai sesuatu.
Entah karena semakin ngeri atau merasa harus selamatkan diri, sambil pejamkan mata, dia alirkan tenaga dalam pada kedua tangannya. Lalu serta-merta dia lepaskan satu pukulan ke arah depan. Terdengar gaung gelombang angin dahsyat, namun gelombang angin itu seakan menghantam udara kosong, karena sstelah itu tidak terdengar apa-apa. Joko kembali kerahkan tenaga dalam. Lalu memukul ke samping kanan dan kiri. Kembali yang terdengar hanyalah gaung suara lesatan pukulannya. Setelah itu tidak terdengar apa-apa lagi!
Joko tidak putus asa, dia hantamkan kembali kedua tangannya ke bawah. Berpikir untuk mengetahui sampai seberapa jauh dia akan mendapatkan dasar tempat untuk berpojak. Tapi murid Pendeta Sinting ini jadi melengak dan tambah tersirap darahnya. Karena pukulan yang diarahkan ke bawah juga lenyap tak perdengarkan suara jika menghantam sesuatu!
"Celaka! Tempat apa ini. Rasanya aku sedang berada di tempat yang tidak ada batasnya. Mungkin harus beginikah akhir nasibku? Ini gara-gara ulah..."
Gumaman Pendekar 131 mendadak terputus ketika merasakan gerakan tubuhnya lebih deras melayang. Malah ketika dia coba membuat kuda-kuda agar tubuhnya tidak sampai menghempas, murid Pendeta Sinting gagal melakukannya. Tubuhnya kini terbalik kaki di atas kepala di bawah. Keadaan ini membuat Pendekar 131 pening dan tak lama kemudian kesadarannya mulai hilang.
Blukkk!
Kepala dan tubuh Pendekar 131 menumbuk sesuatu. Kesadaran murid Pendeta Sinting yang mulai lenyap mendadak muncul kembali. Namun dia tak segera bangkit. Selain belum normal kesadarannya, dia juga merasakan tubuhnya sakit bukan main. Setelah agak lama, baru dia membuka kelopak matanya seraya geleng-gelengkan kepalanya. Lalu meraba pada pinggangnya, khawatir Pedang Tumpul yang berada di balik pakaiannya ikut jatuh sewaktu tubuhnya terjungkir. Namun murid Pendeta Sinting ini sedikit merasa lega, karena tangannya masih merasakan senjata itu.
Setelah menarik napas panjang, perlahan-lahan Pendekar 131 bergerak duduk. Lalu edarkan pandangannya. Ternyata dia berada pada satu tempat berupa padang luas. Tidak ada pepohonan atau semak belukar. Sejauh mata memandang, yang kelihatan hanyalah hamparan pasir putih serta gugusan batu karang jauh di depan sana. Tempat itu tampak sedikit terang karena seperti ada cahaya masuk dari balik gugusan batu karang.
"Untung kepalaku jatuh di atas pasor, jika sampai menghantam batu karang itu mungkin berakhir riwayatku. Hm... Berada di mana aku saat ini? Kulihat tempat ini terang. Berarti masih ada cahaya yang bisa masuk. Dengan menuruti dari mana cahaya berasal, mungkin aku bisa keluar dari tempat ini. Hem... Tengkorak Berdarah! Kau akan menyesal! Aku tak akan membiarkanmu hidup! Jangan-jangan lbils Ompong dan saudara-saudaranya juga dilemparkan ke tempat ini..."
Pendekar 131 cepat putar tubuh. Seketika sepasang matanya mendelik. Tengkuknya dingin. Di hadapannya di atas hamparan pasir putih, terlihat berserakan beberapa sosok manusia yang telah berubah menjadi jerangkong. Tinggal tulang-belulang putih. Malah sebagian ada yang tanggal dari tubuhnya.
"Ibils Ompong dan saudara-saudaranya belum lama lenyap. Kalaupun mereka telah jadi mayat, tentu masih ada dagingnya! Aku akan mencarinya di antara serakan jerangkong-jerangkong ini..."
Dengan menindih rasa ingin muntah dan ngeri, murid Pendeta Sinting bergerak bangkit. Perlahan-lahan melangkah lalu perhatikan tiap tengkorak manusia yang banyak berserakan.
"Hem... Ada senjata tombak dan golok... Tapi sudah berkarat! Aneh... Padahal tak ada air..." gumam Joko sambil terus melangkah dan meneliti dengan seksama, malah tak jarang harus membalikkan tengkorak yang dalam posisi telungkup. Tapi sekian jauh dia tak menemukan tanda-tanda adanya tengkorak Iblis Ompong dan saudara-saudaranya.
"Jangan-jangan mereka telah menjadi tengkorak hingga tak bisa kukenali..."
Untuk beberapa saat lamanya Pendekar 131 mengitari tempat itu. Begitu yakin tak dapat menemukan Iblis Ompong dan saudara-saudaranya, Joko memutuskan untuk mencari jalan keluar. Joko melangkah ke arah cahaya yang masuk. Joko sejenak jadi heran. Meski tampaknya tempat dari mana cahaya masuk itu tidak jauh, namun begitu dia mendekat, tempat itu belum juga tercapai!
"Busyset! Ternyata yang terlihat hanyalah pantulannya!" gumam Joko begitu menyadari jika cahaya yang tampak masuk itu merupakan pantulan. Pantulan itu menjulur jauh hingga yang tampak adalah satu titik cahaya nun jauh di sana. Joko teruskan langkah. Namun karena tak juga sampai pada titik cahaya, akhirnya dia kerahkan ilmu peringan tubuh. Kejap lain tubuhnya telah melesat.
Sstelah melesat jauh, Joko memperlambat larinya karena dihadapannya kini banyak tonjolan batu-batu karang. Malah kini Joko harus melangkah perlahan-lahan, karena tonjolan batu-batu karang itu hanya menyisakan jalan setapak dan berkelok-kelok mengikuti bentuk batu karang. Pada satu tempat Joko hentikan langkah. Di hadapannya berdiri tonjolan batu karang dan tak menyisakan jalan, hingga mau tak mau murid Pendeta Sinting harus merangkak naik. Tapi Joko terlengak. Ternyata batu karang itu sangat licin.
"Aneh sekali... Di atas batu ditumbuhi lumut tipis. Bagaimana bisa begini? Di sini tidak ada air, hujan pun mungkin tak akan bisa menembus. Hem..."
Joko akhirnya harus merangkak naik. Tiba pada bagian atas batu yang menonjol tinggi dia layangkan pandangannya ke sekeliling. Saat itulah pandangan matanya menangkap sebuah batu yang tegak di antara tonjolan-tonjolan batu karang.
"Mirip sebuah patung..." desis Joko lalu perlahan-lahan melangkah mendekat.
"Benar! Sebuah patung... Tapi tanpa kepala dan tangan kanan... Tapi bagaimana bisa di sini?"
Joko arahkan pandangannya pada tempat sekitar patung. Untuk kedua kalinya murid Pendeta Sinting tersentak. Tak jauh dari patung tak berkepala dan hanya memiliki satu tangan tampak menggeletak sebuah benda berwarna kuning. Joko segera melangkah. Lalu mengambil benda itu. Seraya terus memperhatikan benda yang kini ada di tangannya. Joko membersihkan lumut tipis yang melekat pada benda itu.
"Mirip sebuah.... Ah, betul. Sebuah mahkota bensusun tiga. Pasti benda ini terbuat dari emas... Jangan-jangan ini tempat penyimpanan harta karun..."
Berpikir begitu, Joko segera layangkan pandangannya ke seantero tempat ketinggian itu. Namun dia tidak lagi menangkap apa-apa. Yang tampak hanyalah bagian atas tonjolan batu-batu karang.
"Jangan-jangan di batu paling tinggi itu..." gumam Joko begitu pandangannya melihat satu batu karang paling tinggi daripada tonjolan batu karang lainnya.
Joko segera melompat dari satu batu karang ke batu karang lainnya. Tepat di bibir batu karang paling tinggi, Joko berhenti. Kepala tengadah. Dahinya mangernyit. Sepasang matanya menyipit membesar. Pada bibir batu karang itu terlihat juluran tengkorak sepasang kaki!
"Ada keanehan... Batu karang yang tinggi ini tidak ditumbuhi lumut..."
Karena batu di sampingnya tegak tanpa ada tonjolan, terpaksa Joko memutar langkah untuk mencari jalan agar bisa mencapai bagian atas. Setelah susah payah akhirnya Joko sampai bagian atas batu paling tinggi. Dia cepat melangkah mendekati tempat di mana dia tadi melihat juluran tengkorak sepasang kaki. Ketika sampai, Joko melihat satu tengkorak manusia dalam posisi telungkup. Dia bergerak jongkok. Lalu memperhatikan berlama-lama. Saat itulah matanya melihat beberapa renteng peniti berwarna kuning. Dengan dada sedikit berdebar, Joko mengambil beberapa peniti itu.
"Hem... Melihat mahkota serta peniti ini, kemungkinan besar tengkorak ini seorang perempuan..."
Setelah menyatukan peniti dengan mahkota ke balik pakaiannya, perlahan-lahan murid Pendeta Sinting balikkan tengkorak yang telungkup. Pendekar 131 serentak terkesiap. Matanya terpentang besar. Dadanya berdegup keras. Malah kedua tangannya tampak bergetar!
BAB 10
PADA tempat di mana tadi tengkorak telungkup tampak sebuah buku bersampul kuning. Seakan masih tak percaya dengan pandangan matanya, untuk beberapa saat Pendekar 131 hanya diam memandang dengan mata terpentang tak berkesip."Mellhat bentuknya seperti kitab..." desisnya setalah agak lama terdiam. Pandangannya lalu beralih pada tengkorak di samping kitab.
"Tengkorak seorang perempuan... Hem... Sulit mengetahui siapa dia sebenarnya!"
Pandangannya lalu beralih lagi pada kitab bersampul kuning. Perlahan-lahan tangannya diulurkan mengambll kitab itu. Beberapa lama dia memperhatikan dengan seksama. Pada sampul kitab berwarna kuning itu terlihat tulisan. Namun murid Pendeta Sinting sudah tidak dapat membaca lagi, karena tulisan itu hampir-hampir hilang. Yang terlihat jelas adalah guratan-guratan garis bekas tengkorak bagian dada.
"Mungkinkah kitab ini adalah kitab yang kucari...? Ah. Jangan-jangan Tengkorak Berdarah itu punya tujuan dengan..."
Joko tidak teruskan kata hatinya. Dia lalu ingat akan ucapan Raja Tua Segala Dewa. "Orang sakti itu mengatakan aku tidak boleh berprasangka buruk pada tindakan orang... Berarti tindakan Tengkorak Berdarah agar aku menemukan kitab ini..."
Murid Pendeta Sinting juga teringat pada ucapan perempuan berbedak tebal dan orang tua yang ditemuinya dalam kuil di sebelah barat Candi Jago.
"Orang tua itu mengatakan aku tidak boleh membunuh Tengkorak Berdarah... Mungkin inilah jawabannya..."
Untuk beberapa lama Joko merenung menghubung-hubungkan antara ucapan orang dengan apa yang kini di hadapannya. "Kalau Tengkorak Berdarah orang baik, mengapa sepertinya banyak orang yang menginginkan nyawanya? Lalu ke mana gerangan lenyapnya Iblis Ompong dan saudara-saudaranya? Hem... Dugaan Ratu Malam ternyata juga meleset. Yang benar justru dugaan Gendeng Panuntun..."
Joko lalu perhatikan kitab bersampul kuning di tangannya. "Aku akan memeriksanya..."
Dengan tangan sedikit bergetar, Joko mulai membuka kitab bersampul kuning itu. Namun baru saja halaman pertama terbuka dan belum sempat membaca tulisannya, tiba-tiba terdengar suara bergemuruh. Pada saat bersamaan suasana berubah gelap!
"Apa yang terjadi...? Mungkinkah ini ulah manusia? Tapi suara itu laksana suara ombak..."
Joko cepat tutup kembali kitab di tangannya dan cepat-cepat dimasukkan ke balik pakaiannya. Sepasang matanya dipentangkan besar-besar. Lalu telinganya dihadapkan pada sumber suara gemuruh.
"Suara gemuruh itu datangnya dari titik cahaya tadi..." kata Joko lalu serentak bergerak bangkit.
Dia coba tembusi kegelapan. Namun la tak bisa melihat apa-apa. Malah perlahan-lahan udara berubah menjadi dingin! Joko tajamkan pendengarannya sekali lagi. Mendadak dahinya mengernyit.
"Itu suara air! Astaga! Senjata-senjata di bawah sana itu berkarat. Lalu batu-batu karang itu ditumbuhi lumut! Jadi benar itu adalah suara air... Celaka! Jangan-jangan mayat-mayat itu manusia-manusia yang tidak bisa keluar dari tempat ini! Aku harus lakukan sesuatu. Tapi suasana gelap... Bukan tak mungkin aku akan tambah celaka jika sampai terpeleset jatuh..."
Joko melangkah mondar-mandir. Sementara gemuruh suara air makin keras. Malah kini air itu mulai menghantam lamping batu-batu karang di mana Joko berada hingga keluarkan suara menggaung keras tiada henti, membuat murid Pendeta Sinting makin cemas dan gelisah.
"Apa boleh buat. Aku harus menunggu. Tidak mungkin rasanya dalam keadaan gelap begini melompat-lompat cari perlindungan!" putus Joko setelah agak lama berpikir. Dan akhirnya murid Pendeta Sinting ini hanya mondar-mandir dengan dada dopenuhi berbagai perasaan.
>Kita tinggalkan dahulu murid Pendeta Sinting yang tengah dilanda rasa cemas dan gelisah karena terkurung dalam tempat yang kini tengah dimasuki air. Sementara dia belum mendapatkan jalan keluar, apalagi keadaan telah berubah jadi gelap gulita yang membuatnya tidak bisa bergerak. Kita kembali dahulu pada satu tempat di sebelah timur Kampung Pandan. Tepatnya pada sebuah air pancuran yang di sekitarnya banyak ditumbuhi rumpun bambu.
Saat itu malam telah menjelang. Rembulan di atas sana pancarkan sinarnya membuat hamparan bumi tampak disaput warna kekuningan. Tempat di sekitar pancuran air Kampung Pandan menjadi agak terang. Malah dalam keadaan begitu tampak indah, apalagi ditingkah suara gemericik air pancuran.
Di samping salah satu rumpun bambu, tegak sesosok tubuh menghadap aor pancuran. Meski Jelas orang ini seorang perempuan, tapi wajahnya tidak bisa dikenali karena raut wajahnya diberi bedak tebal. Rambutnya diberi pewarna hitam berkilat. Bibirnya dipoles merah menyala. Kelopak mata bagian atasnya juga diberi warna merah dan hijau.
Mula-mula perempuan berbedak tebal ini tampak tenang-tenang saja seakan menikmati keindahan tempat di sekitarnya. Namun begitu agak lama, dia terlihat mulai gelisah. Kepalanya yang sedari tadi diam menghadap air pancuran kini sesekali berpaling ke samping kiri kanan. Dan tak jarang tengadah memandang sang rembulan seolah menghitung perlalanan waktu.
"Sudah tengah malam..." terdengar gumaman dari mulut perempuan berbedak tebal. "Apakah dia tidak mau menemuiku...? Atau ada sesuatu yang menyebabkan dia tidak datang? Ah... Jika dia tidak muncul disini, maka segala rahasia ini akan tetap jadi teka-teki. Dan itu akan membuat keadaan tambah tak karuan..."
Perempuan berbedak tebal luruskan kepalanya. Kini kepalanya diputar memandang berkeliling. Akhirnya dia hanya menghela napas panjang setelah yakin di sekitar tempat itu tidak ada orang lain. Perempuan berbedak tebal perlahan melangkah mendekati sebatang bambu yang tumbuh sendirian. Punggungnya lalu disandarkannya. Kedua tangannya dirangkapkan di depan dada.
"Meski aku hampir yakin, tapi hatiku belum tenang jika tidak melihat kenyataan atau pengakuannya! Hem... Seandainya tidak demi Puspa Ratri, aku tidak akan peduli dengan semua ini. Yang kuherankan, kenapa Panjer Wengi juga tidak mau berterus terang jika..."
Perempuan berbedak tebal putuskan gumamannya. Kepalanya bergerak sedikit berpaling ke arah kanan. "Belum dapat kupastikan siapa adanya orang. Yang pasti dia berkelebat ke arah sini..."
Perempuan berbedak tebal cepat melompat. Lalu tegak berlindung di balik rimbun bambu. Sepasang matanya memandang tajam ke arah barat. Wajahnya makin membayangkan rasa gelisah. Dia memang tidak menunggu terlalu lama. Dari arah barat di bawah cahaya sang rembulan samar-samar terlihat satu bayangan berlari cepat. Namun sesekali kepala orang yang berlari ini tampak berpaling ke arah kiri kanan.
Sejarak lima tombak dari air pancuran, orang yang berlari berbelok lalu sosoknya lenyap tidak kelihatan terlindung oleh rimbunan bambu. Perempuan berbedak tebal menghela napas dalam. Rona kegelisahan di wajahnya seketika hilang. Setelah menghela napas panjang dia buka mulut.
"Terima kasih kau mau datang menemuiku. Aku sudah cemas menunggu. Khawatir jika kau tak muncul!"
Mungkin merasa kedatangannya sudah diketahui orang, orang yang tadi berlari dan kemudian berlindung di balik rumpun bambu segera melangkah keluar dari tempatnya berlindung. Lalu tegak menghadap ke arah suara yang baru saja didengar. Ternyata orang ini adalah satu sosok yang tidak bisa dikenal baik usia, laki, perempuan maupun raut wajahnya. Seluruh tubuh orang ini ditutup dengan sebuah jubah besar berwarna abu-abu yang dibikin terusan dari kaki sampai kepala. Sosok ini bukan lain adalah seorang yang mengaku sebagai Tengkorak Berdarah.
Bersamaan dengan keluarnya orang berjubah abu-abu, perempuan berbedak tebal unjukkan diri pula. Dia lalu melangkah mendekat. Sejarak sepuluh langkah, perempuan berbedak tebal berhenti. Sejenak sepasang matanya memandang tak berkesip. Tengkorak Berdarah angkat kedua tangannya lalu bersedekap. Kepala lurus menghadap perempuan berbedak tebal.
"Siapa sebenarnya perempuan berdandan menor ini?! Apa maksudnya menyuruhku datang ke tempat ini?! Hem... Seandainya nada ucapannya tidak seperti mengetahui tentang aku, aku tak sudi memenuhi kemauannya. Urusan di depan makin besar dan tambah tak karuan, apalagi dengan munculnya pemuda berpakaian putih itu..."
Setelah membatin demikian, Tengkorak Berdarah perdengarkan suara. "Aku sudah datang. Lekas katakan apa maksudmu menyuruhku menemuimu disini!"
"Sebelum aku mengatakan apa maksudku, bagaimana kalau..."
Belum sampal ucapan perempuan berbedak tebal selesai, Tengkorak Berdarah telah menukas. "Aku tak mau ada syarat!"
"Suaranya masih mirip... Tapi apa memang benar dia tidak mengenailku?" kata perempuan berbedak tebal dalam hati seraya gelengkan kepala. Lalu berkata.
"Ini bukan syarat. Tapi akan membuat kita lebih enak bicara. Urusan pun akan segera selesai..."
Sejenak Tengkorak Berdarah terdiam. Lalu buka suara lagi. "Apa maumu?"
"Di sini tidak ada orang lain selain kita bedua. Sementara kita sama-sama mengenakan penyamaran. Agar kita lebih bersahabat, kita tanggalkan penyamaran kita masing-masing." Baru saja ucapan perempuan berbedak tebal selesai, Tengkorak Berdarah telah menyahut.
"Aku tidak mau turuti ucapanmu! Aku pun tidak merasa rugi tidak bersahabat denganmu. Sekarang katakan saja apa maksudmu tanpa harus mengubah keadaan kita..."
Perempuan berbedak tebal menghela napas panjang. "Jika demikian, urusan akan panjang jika di antara kita tidak berkata Jujur. Padahal kalau kita sama-sama tunjukkan wajah asli, setengah urusan telah selesai..."
"Kau terlalu banyak menuntut. Padahal untuk datang ke sini, aku harus mengesampingkan urusanku...
"Ini urusanmu juga. Bahkan menyangkut masa depanmu!"
Sesaat Tengkorak Berdarah terdiam. Namun tak lama kemudian dia telah bersuara lagi. Malah kini suaranya makin keras karena sudah mulai geram.
"Kau layaknya lebih tahu diriku daripada aku sendiri. Dan ingat, aku tak pernah punya urusan denganmu. Kalaupun ada itu adalah urusan karena kau lancang ikut campur urusanku dengan gadis berbaju hijau dan pemuda berbaju putih itu..."
Perempuan berbedak tebal gelengkan kepala. Lalu tersenyum dan berkata pelan. "Kau keliru. Di antara kita sudah ada urusan sejak lama!"
"Urusan apa, hah?!" bentak Tengkorak Berdarah.
"Kita tujukkan dulu wajah asli kita. Baru kita bicara..."
Tengkorak Berdarah perdengarkan dengusan keras. Tubuhnya bergerak memutar setengah lingkaran. Kepala di balik terusan jubahnya tengadah. "Kalau kau masih tak mau mengatakan urusan tanpa tunjukkan wajah asli, tidak apa-apa. Aku harus pergi. Ada urusan yang lebih penting datipada berbasa-basi begini!"
Habis berkata begitu, Tengkorak Berdarah berkelebat. Namun sebelum sosoknya bergerak, perempuan berbedak tebal telah menahan dengan berseru.
"Tunggu...!"
Tengkorak Berdarah urungkan niat. Tanpa menghadapkan tubuhnya ke arah perempuan berbedak tebal dia berucap. "Lekas katakan atau aku akan tinggalkan tempat ini!"
"Jika kau pergi tanpa urusan ini jelas, kau akan menyesal!"
Tengkorak Berdarah tertawa panjang. "Aku tidak punya urusan yang tidak Jelas. Jangan mengada-ada bicara..."
"Bagaimana ini? Apakah aku harus langsung bicara? Aku hampir yakn memang dia. Tapi kalau dugaanku meleset?" perempuan berbedak tebal sejurus dilanda kebimbangan. Hingga untuk beberapa saat dia terdiam.
"Apa hendak dikata. Aku harus membuka diri dahulu. Jika tidak, akan berlarut-larut..." kata perempuan berbedak tebal dalam hati. Perempuan ini segera bungkukkan tubuhnya hingga melipat. Kedua tangannya mengamblI pakaian bagian bawahnya lalu di usap-usapkan pada wajahnya.
"Kau masih bersikeras dengan syaratmu?" tanya Tengkorak Berdarah setelah agak lama tidak terdengar lagi ucapan dari perempuan berbedak tebal.
Tidak terdengar suara Jawaban. Tengkorak Berdarah segera putar diri lagi menghadap perempuan berbedak tebal. Sejenak sosok Tengkorak Berdarah tegak diam dengan kepala lurus seolah sepasang mata di balik jubah abu-abu terusannya memperhatikan apa yang dilakukan perempuan di hadapannya. Beberapa saat berlalu. Perempuan berbedak tebal perlahan-lahan angkat bagian atas tubuhnya. Ketika telah benar-benar tegak, di bawah siraman cahaya sang rembulan tampaklah satu raut wajah seorang perempuan yang meski sudah tidak muda lagi, tapi bekas tanda-tanda kecantikan masih membayang.
Bibir dan wajah perempuan dihadapan Tengkorak Berdarah yang kini telah bersih dari bedak serta poeesan itu tersenyum. Sepasang matanya memandang sayu. Untuk beberapa lama sosok Tengkorak Berdarah masih diam dan tak perdengarkan Suara. Tapi tiba-tiba dia perdengarkan satu seruan. Sepasang kaki dibalik jubah abu-abu terusan itu serentak tersurut satu tindak...!
JEJAK DARAH MASA LALU
INDEX JOKO SABLENG | |
08.Tabir Asmara Hitam --oo0oo-- 10.Jejak Darah Masa Lalu |