INDEX MAHESA EDAN | |
Rahasia Si Bungkuk Berjubah Putih --oo0oo-- Cerita Silat Mahesa Edan |
MAHESA EDAN
Pendekar Dari Liang Kubur
Karya: Bastian Tito
Pendekar Dari Liang Kubur
Karya: Bastian Tito
SATU
KEMATIAN MISTERIUS DI RUMAH PERKEBUNAN TEHDUA penunggang kuda itu memacu kuda masing-masing laksana dikejar setan. Dalam waktu singkat keduanya telah meninggalkan daerah berbukit-bukit yang penuh dengan pohon-pohon teh. Selewatnya sebuah jembatan kayu di atas sungai barair kuning mereka membelok ke arah utara, memasuki hutan kecil, terus mengambil jalan ke timur hingga akhirnya memasuki sebuah desa di pinggiran Wonosobo. Saat itu sang surya baru saja muncul di ufuk timur. Udara masih terasa dingin dan embun masih bartengger di atas dedaunan. Kedua penunggang kuda tadi berhenti di halaman sebuah rumah besar mentereng yang atapnya berbentuk joglo.
"Kau saja yang memberi tahu pada Jeng Jumilah," kata salah seorang dari penunggang kuda pada kawannya. Ketika temannya sudah turun dari kuda, dia tetap saja duduk di atas kudanya. Sang teman gelengkan kepala. "Tak berani aku. Lebih baik kau saja. Gila! Kenapa bisa jadi begini urusannya!"
"Kau hanya bisa merocos! Tapi bicara saja takut! Sudah pergi sana. Laporkan apa yang terjadi pada Kepala Desa. Tapi ingat, kejadian ini harus dirahasiakan..."
"Gila! Mana bisa urusan ini dirahasiakan? Orang mati mau dirahasiakan?!"
"Sudah! Pokoknya jangan terlalu banyak mulut! Lekas kau temui Kepala Desa!" Lelaki berkumis kecil, bernama Paiman turun dari kuda, setengah berlari menaiki tangga rumah besar lalu mengetuk pintu depan. Setelah beberapa kali mengetuk pintu terbuka dan muncul seorang pelayan perempuan.
"Hai kau Paiman…" Pelayan itu menegur. Dia memandang ke halaman. "Kau sendirian? Mana majikanmu?
Rupanya kalian bermalam di kebun. Jeng Jumilah semalaman tak bisa tidur…."
"Jeng Jumilah sudah bangun?" tanya Paiman.
"Baru selesai mandi…"
"Katakan padanya aku mau ketemu."
"Akan kukatakan. Tapi kau harus sabar. Perempuan itu kalau dandan kan lama… "
Paiman tidak tersenyum mendengar kata-kata pelayan itu. Sang pelayan tampak agak heran melihat sikap Paiman yang tak seperti biasanya.
"Ada apa sebenarnya Paiman? Kulihat kau seperti tidak sabaran. Wajahmu gelisah…"
"Ah sudah! Lekas temui Jeng Jumilah!" ujar Paiman pula. Cukup lama menunggu pelayan itu muncul kembali dan memberi tahu agar Paiman masuk karena Jeng Jumilah sudah selesai dandan dan menunggunya di ruangan makan. Jeng Jumilah duduk di belakang meja. Di hadapannya ada secangkir teh panas. Perempuan ini berwajah lebar. Kulitnya yang sangat putih membuat garis-garis ketuaan cepat kentara di kedua sudut matanya.
"Kalian pasti menginap di kebun teh malam tadi…" Kata-kata itu diucapkan Jumilah begitu melihat Paiman datang.
"Be ... benar sekali Jeng…"
"Kalau memang mau menginap karena banyak pekerjaan, mengapa tidak diberi tahu padaku? Semalaman aku tak bisa tidur. Memikirkan suami. Apakah dia mendadak sakit atau mengalami celaka. Diserang harimau yang kabarnya banyak berkeliaran di kebun teh akhir-akhir ini…."
Dalam hatinya Paiman berkata, "Akan kukatakan saja bahwa suaminya memang telah diserang harimau…!
Mustahil harimau bisa menjerat leher manusia tanpa melukainya…"
"Kau tak menjawab ucapanku Paiman..."
Paiman terkejut. "Maaf Jeng Jumilah. Saya dan Rawi tak sempat memberi tahu. Malam tadi hujan Iebat sekali turun di bukit teh. Kedatangan saya pa… pa ... pagi ini…"
Jeng Jumilah tiba-tiba memotong.
"Kulihat kau gugup. Bicaramu gagap. Ada apa ini Paiman? Mana suamiku? Apakah dia masih di rumah di kebun teh itu .... Keterlaluan!"
"Kedatangan saya pagi-pagi ke mari..,." Paiman menyeka keringat yang mengucur di keningnya. Lalu dia mengulang ucapannya tadi. "Kedatangan saya pagi-pagi ke mari justru hendak memberi tahu,.. Memberi tahu kalau... kalau…"
"Kalau apa?!" sentak Jumilah sangat tidak sabar sambil membantingkan cangkir teh ke atas tatakannya di meja.
"Kalau Raden Bondo, suami Jeng Jumilah meninggal dunia pagi tadi!" Akhirnya lepas juga penjelasan itu dari mulut Paiman. Dia merasa lega telah memberi tahu tapi rasa takut tetap berkepanjangan dalam dadanya.
"Suamiku meninggal? Oh Gusti Allah!" Jumilah terpekik. Lantai di atas kursi di mana dia duduk tiba-tiba terasa seperti bergoyang. Ruangan makan itu seolah-olah berputar. Sebelum tubuhnya jatuh, seorang pelayan cepat menopang. Dan perempuan berusia lebih dari 42 tahun itu mulai menangis. Mula-mula perlahan, kemudian tangisnya berubah menjadi ratapan panjang. Sesaat Jumilah hentikan ratapnya, memandang dengan mata basah pada Paiman, lelaki yang sehari-hari menjadi penjaga rumah merangkap pengawal suaminya. "Ketika pergi mas Bondo sehat-sehat saja. Apa… apa yang terjadi? Mana Remo...
Mana anakku? Beri tahu dia. Aku harus ke rumah di kebun teh saat ini juga. Antarkan aku ke sana Paiman ..."
Remo adalah putera tunggal Raden Bondo yang berusia 23 tahun. Mendengar kata-kata istri majikannya tadi, kembali Paiman tampak gugup.
"Sebaiknya... sebaiknya Jeng Jumilah tak usah ke kebun. Jenazah Raden Bondo akan kami bawa ke mari. Kami sudah melaporkan pada Kepala Desa..."
Dua bola mata Jumilah membesar. Dia berdiri sambil berpegang pada tepi meja sementara pelayan perempuan masih memegangi bahunya.
"Paiman!"sentak perempuan isteri pemilik kebun teh yang kaya raya itu. "Kau menyembunyikan sesuatu padaku. Aku tahu kau menyembunyikan seasuatu! Katakan apa yang terjadi di rumah di kebun teh itu...!"
"Maafkan Jeng Jumilah," jawab Paiman agak ketakutan.
"Sebenarnya kami sendiri tidak jelas apa yang terjadi. Kapan sebenarnya Raden Bondo meninggal. Atau apa yang menyebabkan kematiannya. Hanya saja pagi tadi saya dan Rawi menemukannya tewas dalam kamar. Di atas ranjang.
"Tewas?! Tewas katamu Paiman?!" ujar Jumilah hampir berteriak. "Berarti dia dibunuh! Benar dia dibunuh Paiman? Bilang! Katakan!"
"Saya tak berani mengatakan beliau dibunuh. Kepalanya teklok! Lehernya dijerat…"
"Jelas dia dibunuh! Jelas...!" pekik Jumilah. Perempuan ini menggerung lalu hempaskan tubuhnya ke atas kursi. Matanya mendelik-delik seperti orang kemasukan lalu tubuhnya mendadak menjadi kuyu dan tak ingat apa-apa lagi.
Dalam waktu singkat, pagi itu seluruh desa Watu Limo boleh dikatakan telah mengetahui peristiwa kematian Raden Bondo pemilik kebun teh yang sangat luas dan sangat kaya di timur Wonosobo. Bagaimana pun, kematian yang mendadak itu dan di rumah di kebun teh pula menimbulkan tanda tanya di kalangan penduduk. Banyak di antara mereka yang ingin tahu. Akibatnya tanpa dapat dicegah penduduk desa beramai-ramai pergi ke kebun teh. Kebun yang biasanya sunyi itu kini menjadi ramai. Mereka berkerumun di luar rumah di puncak bukit karena tak diperbolehkan masuk ke dalam. Rumah di puncak bukit itu hanya memiliki sebuah kamar. Di dalam kamar di atas ranjang besi yang besar tampak terbujur sesosok tubuh tertutup selimut. Sosok tubuh Raden Bondo. Di dalam kamar itu hanya ada tiga orang yakni Paiman, Kepala Desa dan Remo. Atas isyarat Kepala Desa Paiman menyingkapkan selimut di bagian kepala. Maka kelihatanlah satu pemandangan yang menggidikkan.
Raden Bondo mati dengan mata membeliak. Lidahnya terjulur. Di lehernya yang patah masih tergelung seutas tambang kuning besar. Remo, putera Raden Bondo palingkan muka dan bersandar ke dinding ketika melihat keadaan ayahnya itu. Kedua matanya dipejamkan dan air mata ke luar membasahi pipinya. Kepala Desa mendekati Paiman dan berkata perlahan.
"Majikanmu ini jelas mati dibunuh orang. Hanya kau dan Rawi yang ada di tempat ini malam tadi. Jadi hanya kalian yang tahu apa sebenarnya terjadi. Dengar Paiman, jika kau tidak mau memberi keterangan yang benar, kau dan Rawi akan kutuduh sebagai pembunuh Raden Bondo!"
..... Pucatlah paras Paiman. Dia melirik sekilas ke arah Remo.
"Bukan kami yang melakukannya! Kami tidak bersalah apa-apa!"
"Jangan berdusta Paiman!"
"Saya tidak berdusta. Kepala Desa, saya mau mengatakan sesuatu. Kalau bisa jangan sampai didengar oleh putera Raden Bondo. Ini menyangkut kehormatannya…"
Kepala Desa gelengkan kepala. "Tidak bisa! Justru kau harus bicara di hadapan puteranya agar tak ada yang disembunyikan!"
"Kalau begitu baiklah…"
Maka Paiman lalu menuturkan bahwa majikan mereka Raden Bondo sehari yang lalu telah melangsungkan pernikahan dengan seorang perempuan muda cantik yang dikenal dengan nama Surti. Pernikahan dilakukan secara sembunyi-sembunyi di Kaliangki. Untuk istri mudanya ini Raden Bondo telah membuat sebuah rumah di desa Surowangi. Karena belum salesai untuk sementara isteri mudanya itu diminta tinggal di rumah di bukit teh tersebut. Malam tadi adalah malam pertama atau malam pengantin mereka. Menjelang pagi Paiman melihat ada seeorang meninggalkan rumah. Karena masih gelap dia tak dapat mengenali siapa adanya orang itu. Karena curiga dia membangunkan Rawi. Bersama kawannya itu dia memeriksa ke dalam rumah. Di dalam satu-satunya kamar, mereka menemukan Raden Bondo telah jadi mayat di atas ranjang tanpa pakaian. Lehernya patah dan ada tambang kuning besar menjirat leher itu. Mata mencelat, lidah terjulur. Setelah menutupi tubuh Raden Bondo dengan sehelai selimut, kedua orang itu segera menuju Watu Limo guna memberi tahu apa yang terjadi pada isteri majikan mereka.
"Begitu kejadiannya, Kepala Desa…" kata Paiman. "Saya ataupun Rawi sama sekali tidak tahu apa-apa. Apalagi kalau dituduh membunuh Raden Bondo."
"Ada satu hal yang tidak kau katakan," ujar Kepala Desas. "Di mana isteri muda majikanmu sekarang…"
"Itu yang membuat saya dan Rawi heran. Ketika mayat Raden Bondo kami temui, di dalam kamar tak ada siapa-siapa. Perempuan bernama Surti itu lenyap!"
Kepala Desa Watu Limo memandang sejurus pada Remo. Terdengar kembali suara Paiman. "Saya harap soal perkawinan Raden Bondo dengan perempuan itu hanya kita saja yang tahu. Mendiang memesan benar agar merahasiakan hal itu…"
"Ayah sangat mengasihi ibu. Sulit dapatkan percaya kalau ayah kawin lagi…" kata Remo.
"Paiman," kata Kepala Desa, "karena kau dan Rawi orang yang paling dekat dengan ayah Remo, Kau pasti tahu darimana perempuan bernama Surti itu berasal. Di mana Raden Bondo menemui atau mengenalnya pertama kali. Atau di mana rumah orang tuanya. Kita harus menyelidik sampai ke sana...."
"Harap dimaafkan Kepala Desa," kata Paiman pula.
"Soal asal muasal perempuan itu atau di mana rumahnya sebelum Raden Bondo mengawininya, saya atau pun Rawi tidak tahu. Kami baru melihatnya pertama kali pada hari pernikahan di Kaliangki. Raden Bondo tidak pernah menceritakan apa-apa tentang isteri mudanya itu. Dan kami mana berani bertanya-tanya…"
Kepala Desa terdiam sesaat lalu berkata, "Kejadian ini hampir sama dengan malapetaka yang menimpa seorang sahabatku di Kendal. Dia ditemui mati di rumah isteri muda yang baru dikawininya dua bulan lalu. Sang isteri sendiri lenyap..."
Seseorang masuk memberi tahu bahwa kereta kuda pembawa jenazah ke Watu Limo telah datang. Setelah tali yang menjirat leher ditanggalkan, maka jenazah Raden Bondo yang dibungkus dengan selimut lalu dinaikkan ke atas kereta. Ketika orang-orang, itu siap naik ke atas kuda masing-masing untuk mengiringkan kereta pambawa jenazah, Paiman mendekati Kepala Desa dan berbisik, "Ada orang asing di antara orang banyak yang mengundang kecurigaan. Dia tegak di bawah cucuran atap sambil merokok. Jangan-jangan dia ada sangkut paut dengan kematian Raden Bondo…"
DUA
PEMUDA ASING MEROKOK MENYANKEPALA DESA Watu Limo memutar kepalanya ke arah yang dikatakan Paiman. Di sana, di bawah cucuran atap rumah memang tampak berdiri seorang pemuda berambut gondrong, berpakaian dan berikat kepala putih. Sikapnya tenang santai bersidekap lengan di muka dada. Di sela bibirnya terselip sebatang rokok yang asapnya menabur bau menyan yang sangat menusuk.
Sejak tadi sebenarnya orang banyak yang berkerumun di depan rumah itu merasa terganggu oleh rokok yang dihisap pemuda itu. Bukan saja karena bau menyan yang ditebarnya tetapi juga mendatangkan rasa mengkirik. Kematian dan bau menyan merupakan gabungan dua hal yang membuat orang merasa angker.
"Gila! Dia rupanya yang menghisap rokok itu! Siang-siang begini menghisap rokok klobot!" kata Kepala Desa dalam hati. Seperti orang-orang lainnya di tempat itu dia memang tidak mengenali siapa adanya pemuda tersebut. Jelas dia bukan orang Watu Limo atau diam di sekitar bukit teh.
Mendadak air muka Kepala Desa berubah. Dia ingat kembali pada kematian sahabatnya di Kendal tempo hari. Di rumah duka saat itu telah terjadi satu kegaduhan karena munculnya seorang pemuda asing menghisap rokok menyan yang kemudian dituduh sebagai pembunuh sahabatnya itu. Apa pemuda yang tegak di bawah cucuran atap itu bukan orang yang sama?
"Paiman, kau dan yang lain-lain terus iringi kereta jenazah. Aku akan menanyai pemuda itu…" kata Kepala Desa.
Ketika kereta pembawa jenazah bergerak diikuti oleh orang banyak, pemuda yang merokok di bawah atap segera pula melangkahkan kakinya.
"Saudara... Tunggu dulu!" seru Kepala Desa. Pemuda yang menghisap rokok menyan hentikan langkahnya.
"Aku Wenang Kulo, Kepala Desa Watu Limo," memperkenalkan diri sang Kepala Desa. "Aku kenal semua panduduk desa Watu Limo. Juga orang-orang yang tinggal sekitar perkebunan dan bukit teh ini. Kau bukan salah satu dari mereka. Apa kepentinganmu berada di tempat ini…?"
"Tak ada kepentingan apa-apa," sahut si pemuda tanpa mencabut rokok menyan di mulutnya hingga suaranya terdengar somber tidak enak. Melihat sikap menjawab seperti itu Wenang Kulo merasa dipandang rendah. Maka dia pun berkata dengan nada ketus.
"Jika tidak ada kepentingan mengapa datang ke mari?!"
"Aku hanya kebetulan lewat. Rumah ini satu-satunya bangunan di daerah kebun teh. Kulihat banyak orang di depan rumah. Lalu kulihat pula ada kereta membawa usungan jenazah tanda ada orang yang meninggal…"
"Jelas kau ke mari karena ingin tahu!"
"Lalu apakah itu salah?"
"Memang tak ada salahnya orang muda! Tapi jika aku menaruh curiga padamu, sebagai Kepala Desa aku bisa menangkapmu! Lekas katakan siapa namamu dan kau datang dari mana!"
"Soal dari mana aku datang, bisa saja kukatakan. Aku barusan dari daerah utara. Hanya siapa namaku kurasa tidak penting bagimu." Habis berkata begitu si pemuda menyeringai lalu hisap rokok klobotnya dalam-dalam. Mendengar jawab orang seperti itu Wenang Kulo menjadi jengkel. "Jika kau merahasiakan namamu berarti kau menyembunyikan maksud tak baik..."
Si pemuda kembali menyeringai. Dia cabut rokoknya dari sela bibir lalu menguap lebar-lebar.
"Jangan-jangan aku berhadapan dengan orang sinting!" kata Wenang Kulo dalam hati. Matanya memandangi pemuda di hadapannya dari rambut sampai ke kaki. Lalu dia cepat-cepat melompat ke atas punggung kuda untuk tinggalkan tempat itu menyusul rombongan pembawa jenazah yang saat itu sudah mencapai pertengahan lereng bukit teh.
"Kepala desa, kenapa buru-buru pergi. Aku melihat ada sesuatu yang tak wajar terjadi di rumah itu. Jenazah siapa yang tadi diangkut dengan kereta...?"
"Nah! Jadi kedatanganmu ke mari memang sengaja hendak menyelidik!" ujar Kepala Desa pula.
"Terserah kau mau menduga apa. Apakah orang yang meninggal itu mati dibunuh...?"
"Orang muda. Jika kau ingin tahu lebih banyak ikut aku ke Watu Limo!"
"Kita sudah bertemu di sini. Kenapa aku mesti susah-susah ikut ke Watu Limo?!" tukas si pemuda.
"Kalau begitu tak usah kau banyak mulut!" Kata Wenang Kulo jadi jengkel. Dia sentakkan tali kekang kudanya. Tapi binatang itu tak mau bergerak. Apalagi melompat dan kabur. Memandang ke depan dilihatnya pemuda yang merokok menyan tengah memegangi salah satu bagian dari leher kudanya.
"Menyingkirlah!" hardik Kepala Desa. "Atau kusuruh binatang ini menendangmu!"
"Sabar Kepala Desa. Jangan cepat-cepat marah. Aku ingin sedikit keterangan lagi. Katakan, apakah orang-orang yang meninggal itu mati dengan seutas tali kuning menjirat lehernya?"
Kepala Desa Watu Limo terkejut mendengar pertanyaan si pemuda. "Bagaimana kau bisa tahu hal itu?!" tanyanya heran.
Pertanyaan itu sudah cukup merupakan satu jawaban yang membenarkan bagi si pemuda. Maka dia pun berkata sambil geleng-geleng kepala. "Ah, anak setan itu telah gentayangan lagi mencari korban!"
"Anak setan siapa maksudmu?I" tanya Kepala Desa. Dia jadi curiga. Jangan-jangan pemuda yang dianggapnya tidak waras ini tahu siapa yang telah membunuh Raden Bondo. Berarti ada sangkut paut dengsn peristiwa pembunuhan itu! Wenang Kulo merasa berkewajiban untuk menangkap pemuda ini.
"Anak muda! Ulurkan kedua tanganmu!" Kepala Desa itu memerintah sambil tanggalkan ikat kepalanya yang terbuat dari kain hitam.
"Eh, kenapa aku harus mengulurkan tangan ...?" tanya si pemuda terheran-heran dan tanpa mau melakukan apa yang diperintahkan.
"Aku harus mengikat kedua tanganmu! Kau kutangkap!" Pemuda itu keluarkan suara tawa bergelak.
"Apa salahku sampai ditangkap?!"
"Aku menaruh curiga! Kau tersangkut dalam peristiwa pembunuhan Raden Bondo!"
"Tuduhan edan!" kata si pemuda pula.
Saat itu Wenang Kulo telah turun dari kudanya. Dengan kain hitam ikat kepalanya dia berusaha mengikat kedua pergelangan tangan pemuda itu. Tapi si pemuda tanpa bergerak dari tempatnya hembuskan asap rokok menyannya ke wajah si Kepala Desa. Bau menyan menebar tajam, menusuk pernafasan. Wenang Kulo yang memang mengidap penyakit bengek terbatuk-batuk berulang kali sampai mukanya menjadi merah. Di kibas-kibaskannya kain hitamnya sambil berteriak, "Rokok jahanam! Lekas kau matikan dan campakkan benda celaka itu ke tanah!"
Namun setelah batuknya reda dan asap rokok sirna dari hadapannya, Kepala Desa ini jadi heran bercampur kaget. Pemuda yang tadi berada di depannya tahu-tahu tak ada lagi di situ. Lenyap! Wenang Kulo memandang berkeliling, meneliti ke lereng bukit. Pemuda itu sama sekali tak tampak.
"Jangan-jangan aku tadi berhadapan dengan setan bukit teh!" pikir Wenang Kulo. Tengkuknya menjadi dingin. Ditariknya tali kekang kudanya, Binatang itu dibedalnya sekencang-kencangnya menuruni bukit.
Pemuda tadi yang ternyata sudah menyelinap masuk ke dalam rumah memperhatikan kepergian Wenang Kulo sambil menyeringai. Di dalam kamar di mana mayat Raden Bondo ditemukan, dia membungkuk mengambil tali besar berwarna kuning yang tercampak di lantai. Tali inilah yang telah menjirat patah leher pemilik perkebunan teh itu. Beberapa lamanya dia menimang-nimang tali itu. Dari balik pakaiannya, sesaat kemudian dia keluarkan dua helai tambang. Dua helai tambang ini bentuknya, warna dan panjangnya persis sama dengan tambang yang menjirat leher Raden Bondo. Ketiga utas tali itu kemudian dimasukkannya ke balik pakaiannya. Setelah meneliti isi kamar itu sesaat akhirnya pemuda yang menghisap rokok klobot ini tinggalkan rumah tersebut.
TIGA
SI CANTIK DI PASAR WLINGIGENDU membanting topi hitamnya ke atas meja, mengejutkan Komang yang asyik mencabuti bulu-bulu kasar di dagunya sambil terpejam-pejam.
"Masih pagi lagakmu sudah seperti orang kegerahan!" kata Komang.
"Aku barusan dari pasar Wlingi..." kata Gendu tanpa perdulikan rasa kesal kawannya.
"Ya... ya! Seperti biasa mampir di warungnya mbok Suket, minum kopi, makan pagi dan tidak bayar…"
"Semula memang itu yang hendak kulakukan. Tapi ketika melewati pasar sayur, sesuatu menarik perhatianku. Ada seorang pedagang baru. Penjual rempah-rempah. . . ."
"Kalau cuma itu apa perlunya kau ceritakan padaku!" ujar Komang tak perduli lalu bangkit dari kursinya dan hendak pergi.
"Eh, tunggu dulu Mang!" kata Gendu seraya memegangi bahu kawannya, menekannya dengan kuat hingga Komang kembali duduk di kursinya. "Kalau cuma penjual rempah biasa, tentu tak perlu kuceritakan padamu. Justru penjual satu ini benar-benar luar biasa. Masih sangat muda, berkulit kuning langsat, berbadan montok tapi tinggi semampai. Dan ini yang paling penting. Berwajah cantik selangit tembus!"
Mendengar kata-kata Gendu itu kini Komang berubah sikap dan menunjukkan perhatian penuh. Dia memutar duduk dan menghadapi kawannya, langsung berkata:
"Kalau perempuan itu benar-benar cantik, aku pun ingin melihat dengan mata kepala sendiri. Bagaimana kalau kita pergi ke pasar Wlingi sekarang juga?!"
"Aku saja! Aku pun belum puas melihat kecantikan dan kesintalan tubuh yang terbungkus kulit kuning langsat bersih itu!" sahut Gendu menyetujui.
Maka dengan menunggang kuda kedua orang lelaki yang sehari-harinya menjadi petugas dan pengawal gedung Kadipaten Tumenggung itu berangkat menuju pasar Wlingi.
Saat itu pasar sedang ramai-ramainya dipadati oleh orang-orang yang berbelanja. Sebagian besar mereka adalah kaum ibu. Meskipun jalan sempit dan orang yang berbelanja padat namun begitu Gendu dan Komang muncul memasuki pasar, orang banyak segera menyingkir memberi jalan. Siapa yang tidak kenal dengan dua petugas Kadipaten itu? Yang kadang-kadang tak segan-segan bertindak kasar dan suka memungut pajak lebih tinggi dari yang sudah ditentukan.
Gendu hentikan kudanya di samping penjual sayur mayur lalu menunjuk ke depan seraya berkata, "Pasang matamu baik-baik Komang. Itu penjual rempah yang kuceritakan…"
Komang memandang ke jurusan yang ditunjuk kawannya. Dan lelaki yang sudah beranak tiga ini mau tak mau harus mengakui, belum pernah dia melihat perempuan secantik penjual rempah-rempah itu.
"Cantik sekali. Masih sangat muda. Kurasa dia masih gadis..." bisik Komang. Lalu dia menggerakkan kudanya mendekati gubuk kecil pedagang rempah. Gendu mengikuti dari belakang.
Tahu kalau ada yang mendatangi dan memperhatikan, perempuan pedagang rempah itu mengangkat wajahnya dan tersenyum. Gendu dan Komang seperti terpantek di atas punggung kuda masing-masing saking terpesonanya.
Komang berbisik pada Gendu, "Perempuan ini benar-benar tak pantas menjadi tukang jual rempah-rempah begini..."
Komang yang sudah gatal hendak menegur, sesaat bingung. Bagaimana dia akan memanggil si cantik penjual rempah itu. Dengan sebutan jeng pasti tidak pantas. Tapi kalau dipanggil mbok wah, malah sangat tidak pantas. Lebih baik dipanggil dengan sebutan adik saja. Maka menegurlah Komang.
"Adik, kulihat kau pedagang baru di sini..."
"Betul sekali. Saya memang baru hari ini mulai berdagang. Apakah di situ hendak membeli dagangan saya?
Semua rempah-rempah yang saya jual masih baru, asli tidak dicampur…"
"Hem .... Aku dan kawanku ini petugas-petugas dari Kadipaten," kata Komang pula.
"Harap maafkan kalau saya tidak berlaku hormat," kata penjual rempah itu.
"Sebelum mulai berjualan, apakah sudah melapor kepada Kepala Pasar ....?" Gendu ajukan pertanyaan.
"Saya .... saya memang belum melapor. Saya tidak tahu di mana harus menemui Kepala Pasar. Juga tidak tahu yang mana orangnya ...."
"Aku Komang, petugas Kadipaten Temanggung, sekaligus merangkap Kepala Pasar Wlingi!"
"Aduh, benar-benar tidak disangka kalau saya berhadapan dengan Kepala Pasar Wlingi. Jadi saya telah berbuat kesalahan karena tidak melapor ....?" Si jelita pedagang rempah-rempah bertanya sambil menatap dengan sepasang matanya yang bagus pada Komang
"Tidak .... Tidak begitu. . . ." Komang jadi salah tingkah dipandang seperti itu. "Kau boleh melapor kemudian. Tapi untuk catatanku, aku harus tahu namamu. Lalu di mana tempat kediamanmu. Nanti kami berdua akan mendatangi rumahmu untuk urusan laporan itu…"
"Bapak-bapak ini petugas yang baik. Tapi nama saya jelek. Saya malu mengatakannya..."
"Jangan begitu…" membujuk Gendu. "Cantik orangnya pasti bagus namanya... Katakan namamu dan di mana tempat tinggalmu...."
"Orang tua saya memberi name jelek pada saya. Randini…"
"Ah, betul kan? Itu nama yang amat bagus!" ujar Gendu memuji.
"Tempat tinggalmu .... ?" tanya Komang pula.
"Saya tinggal di rumah pak tua Tukiman, pembuat kendi di pinggir timur Temanggung...."
"Apa hubungan adik dengan orang tua itu. Anaknya atau cucunya... ?"
"Tidak ada hubungan apa-apa. Saya menyewa satu bilik di rumah orang tua itu. Rumahnya cukup besar dan dia hanya tinggal bersama isterinya ..,."
Saat itu orang-orang yang berada di pasar mulai memperhatikan ke arah mereka hingga kedua petugas Kadipaten ini diam-diam merasa malu berada lebih lama di tempat itu. Maka Komang cepat berkata, "Kami akan datang ke tempat tinggalmu begitu pasar usai…"
"Tapi siang nanti saya tidak ada di rumah, " menjelaskan Randini.
"Kalau begitu kami datang menjelang sore," yang berkata Gendu. Lalu dia memberi isyarat pada Komang. Keduanya segera meninggalkan pasar Wlingi. Ketika Gendu dan Komang sampai di gedung Kadipaten, Adipati Suryo Maget menyambut keduanya dengan semprotan.
"Bogus sekali tingkah kalian! Sudah siang begini baru muncul! Apa kalian lupa kalau pagi ini kalian harus mengantar aku ke Bandongan?!"
Melihat sang Adipati marah tentu saja kedua petugas Kadipaten itu menjadi ketakutan. Sesaat mereka saling pandang dan baru menyadari kalau pagi itu memang mereka mempunyai tugas untuk mengawal Suryo Maget ke selatan.
"Mohon maafmu, Adipati. Kami mengaku salah. Kami memang lupa kalau pagi ini harus mengantar Adipati ke Bandongan." Yang berkata adalah Gendu. Lalu dia menyambung. "Kami barusan dari pasar Wlingi…"
"Hemmm ... Begitu? Kalian lebih mementingkan perut kalian dari pada tugas! Apa sudah tak ingin lagi bekerja di sini?!"
Paras Gendu dan Komang menjadi pucat.
"Kami... kami bukan pergi makan atau minum ke Wlingi. Ada suatu urusan…" jawab Gendu sementara Komang tertunduk kecut.
"Ada urusan! Hebat benar kalian! Urusan apa? Lekas katakan. Aku mau tahu…!"
Gendu memandang pada kawannya. Komang Iantas berbisik, "Katakan saja apa adanya, nDu..."
"Sialan! Aku bertanya kalian malah kasak-kusuk!" Adipati Suryo Maget menjadi sangat jengkel melihat tingkah laku kedua bawahannya itu.
"Be ... begini Adipati," lagi-lagi Gendu yang bicara. "Di pasar Wilingi pagi ini kami melihat ada seorang pedagang rempah-rempah. Karena dia orang baru maka kami menanyakan apakah dia sudah melapor dan mendapat izin berdagang ..."
"Lalu apa yang kau dapati?!"
"Pedagang baru ini memang belum melapor. Karenanya nanti sore kami akan ke rumahnya menyelesaikan urusan ini…"
"Goblok!" sentak Suryo Maget. "Dasar goblok! Urusan itu seharusnya sudah kalian selesaikan di pasar! Bukan menunggu sampai sore dan mengurusnya di rumah orang! Kembali ke pasar dan minta pedagang itu membayar pajak bulan pertama ditambah denda!"
"Tapi Adipati…" Komang membuka mulut untuk pertama kalinya. "Perempuan muda itu sudah mengakui kesalahannya."
'Perempuan muda! Perempuan muda siapa maksudmu?!"
"Maksud saya pedagang rempah-rempah itu. Kami telah ketelanjuran mengatakan akan menyelesaikan urusan di rumahnya nanti petang. Kami... Terus terang kami agak rikuh. Soalnya pedagang rempah itu seorang gadis yang cantik sekali..."
"Apa katamu Komang? Coba ulangi!" ujar Suryo Maget sambil melangkah mendekati Komang dan betulkan letak sabuk besar yang melilit di pinggangnya.
"Pedagang rempah itu seorang gadis sangat cantik Adipati," kata Komang pula. "Tidak pantas dia menjadi pedagang di pasar yang kotor itu. Belum pernah saya melihat perempuan secantik itu..."
Sepasang mata Suryo Maget menyipit dan keningnya mengerenyit.
"Apakah dia lebih cantik dari isteriku yang paling muda?!" Adipati bertanya blak-blakan.
Ini membuat Komang maupun Gendu menjadi sulit menjawab. Jika mereka katakan bahwa memang benar isteri paling muda sang Adipati itu tidak secantik si penjual rempah-rempah bernama Randini mungkin mereka bakal kena tempeleng. Kalau mereka mengatakan bahwa isteri muda atasannya itu lebih cantik, jelas tidak begitu kenyataannya.
Karena kedua pembantunya tidak menjawab Suryo Maget cukup memaklumi bahwa gadis pedagang rempah-rempah itu pastilah lebih cantik dari pada isteri ketiganya, yakni isterinya paling muda. Sesaat Suryo Maget berpaling ke dalam gedung lalu bertanya dengan suara perlahan, "Gendu, Komang! Katakan apakah perempuan itu juga lebih cantik dari Naimah, janda muda yang jadi peliharaanku…"
"Maafkan kami Adipati," akhirnya Gendu menjawab.
"Kami berdua tak mungkin membanding-bandingkan. Harap Adipati maklum kalau tadi Komang mengatakan bahwa dia belum pernah melihat perempuan secantik penjual rempah-rempah itu...."
"Kalau begitu, aku ingin melihatnya sendiri!'' kata Suryo Maget pula.
Lelaki, bilamana sudah mempunyai kedudukan atau pangkat tinggi serta memiliki harta dan uang berlimpah, biasanya cenderung akan muncul salah satu sifat jeleknya, yakni rakus pada perempuan-perempuan cantik. Hal inilah yang terjadi dengan Adipati Temanggung itu. Secara resmi Suryo Maget telah mempunyai tiga orang isteri. Lalu ditambah lagi dengan beberapa orang perempuan muda dan cantik yang diam-diam dipeliharanya tanpa setahu ketiga isterinya itu. Kini mendengar keterangan kedua anak buahnya maka sifat rakus perempuan itu berkobar kembali. Daun muda itu harus dibabat sebelum disambar orang lain. Bunga indah sekuntum itu harus diambil sebelum dipetik orang lain. Begitu yang ada dalam hati dan jalan pikiran sang Adipati.
"Jika Adipati menghendaki demikian, kami siap mengantar ke pasar Wlingi saat ini juga..." kata Gendu.
"Tidak, pagi ini kalian tetap harus mengantar aku ke Bandongari!" sahut Adipati pula. "Satu hal harus kalian ingat! Cara kumbang bernama Suryo Maget menghisap bunga tidak sama dengan cara kerkelak atau kecoak macam kalian! Nanti sore kau antar aku ke tempat kediaman gadis itu!"
"Kami siap melakukannya Adipati," jawab Gendu.
"Sekarang izinkan kami menemui kusir, melihat apakah dia sudah menyiapkan kuda dan kereta."
Kedua petugas itu pergi ke bagian belakang gedung. Sambil berjalan Komang berkata, "Aku punya firasat jelek, Gendu. Bahkan sangat jelek!"
"Aku sudah tahu apa firasatmu itu, Mang. Kau tak akan mendapatkan penjual rempah-rempah itu. Adipati pasti akan mengambilnya sebagai tambahan perbendaharaan ranjang tidurnya. Entah sebagai isteri ke empat. Atau dipelihara seperti dua perempuan lainnya itu…"
EMPAT
ISTERI KE EMPATTIGA penunggang kuda itu berhenti di depan sebuah rumah besar berdinding gedek beratap rumbia yang terletak di pinggir timur Temanggung. Di halaman depan dan samping rumah terdapat ratusan kendi berbagai bentuk dan ukuran. Inilah rumah Tukiman, orang tua pembuat dan pedagang kendi yang terkenal itu.
"Kalian berdua turun dan periksa ke dalam apa perempuan itu ada di rumah," penunggang kuda berpakaian bagus berkata. Dia bukan lain adalah Suryo Maget, Adipati Tumenggung.
Komang dan Gendu cepat turun dari kuda masing-masing. Di pintu depan seorang tua berpakaian putih model gunting Cina dan berkain sarung tampak muncul. Dia segera mengenali orang berpakaian bagus yang duduk di punggung kuda dan cepat-cepat memberi salam serta hormat. Dalam hatinya dia membatin ada apakah Adipati Tumengung tiba-tiba saja datang ke rumahnya? Jelas tidak membeli atau memesan kendi. Lalu orang tua ini berpaling pada dua petugas Kadipaten yang menghampirinya.
"Kami mencari seorang gadis bernama Randini. Benarkah dia tinggal di sini?" tanya Gendu.
"Ah, gadis itu rupanya yang mereka cari ..." ujar Tukiman pak tua ahli kendi dalam hati. Diapun menjawab, "Memang benar. Dia menyewa satu kamar di sini. Adipati, apakah sudi masuk ke rumah saya yang buruk ini...?"
Karena Suryo Maget hanya menggoyangkan kepala saja sedikit dan tak menjawab maka Komang berkata, "Panggil saja gadis itu pak tua. Kalau dia sudah datang Adipati akan bicara padanya…"
Maka Tukiman tua pun masuk ke dalam rumahnya. Tak selang berapa lama orang tua ini keluar kembali diiringi oleh seorang gadis yang memang Randini adanya, penjual rempah-rempah di pasar Wlingi itu.
Kedua mata Adipati Suryo Maget tampak membesar. Pandangannya tak berkedip dan tubuhnya seperti dipantek di atas punggung kudanya. Tidak salah kalau kedua anak buahnya pagi-pagi sudah nyasar ke pasar. Ternyata gadis itu benar-benar cantik. Tak pernah sang Adipati melihat dara yang begini molek sebelumnya. Rambutnya hitam pekat tersisir ke belakang dan membentuk sebuah sanggul besar. Alisnya juga hitam laksana sepasang bulan sabit bertengger di atas kedua matanya yang indah bening. Kedua pipinya tampak ke merah-merahan mengapit hidung yang mancung. Wajah yang dihias bibir merah merekah dan dagu laksana lebah bergantung itu tampak tersenyum. Lalu tubuh yang mulus montok itu merunduk memberi hormat pada Suryo Maget.
"Nama saya Randini. Ada apakah sampai Adipati Temanggung datang berkunjung ke mari…?"
Si gadis berpaling pada Gendu dan Komang. Segera dia ingat dan mengenali. "Bukankah bapak berdua yang pagi tadi datang ke pasar Wlingi?" Ketika dilihatnya kedua orang itu mengangguk maka Randini bertanya, "Jadi... bapak berdua hendak membicarakan soal laporan berjualan itu?
Saya memang bersalah, berdagang tapi tidak melapor. Apakah Adipati hendak menangkap saya saat ini...?"
Saat itu Suryo Maget sudah turun dari kudanya. Sementara Komang berbisik pada si gadis. "Lupakan soal lapor melapor itu. Kami datang ke mari bukan untuk menangkapmu. Adipati Suryo Maget kepingin melihat wajahmu!"
Merahlah paras Randini.
"Bolehkah aku masuk dan bicara di dalam...?" Suryo Maget bertanya.
"Tentu saja. Tentu saja Adipati," menyahut Tukiman tua.
"Hanya mohon dimaafkan, rumah saya buruk sekali, atap rumbia, dinding gedek dan lantai tanah. Tak pantas Adipati berada di dalamnya."
Suryo Maget tertawa kecil. Pada kedua pembantunya dia berkata, "Kalian berdua tunggu di sini ...." Lalu Adipati masuk ke dalam rumah. Ketika pemilik rumah hendak menyusul masuk, Gendu cepat memegang tangan orang tua itu dan berkata, "Kita di sini saja pak tua. Biarkan Adipati dan gadis itu bicara berdua di dalam..." Lalu Gendu berpaling pada Randini. "Masuklah. Jika Adipati ingin menemuimu tentu ada sesuatu yang ingin dibicarakannya…"
Randini, perempuan muda bertubuh molek dan berparas jelita itu tampak ragu-ragu sesaat? Namun akhirnya dia masuk juga ke dalam rumah. Sampai di dalam rumah dilihatnya Adipati Suryo Maget tegak memandang dengan tersenyum padanya.
"Mohon maaf, tak ada kursi yang layak untuk duduk Adipati…" kata Randini.
"Tidak apa. Aku biasa berdiri kalau bicara," jawab Suryo Maget. "Benarkah kau berjualan rempah-rempah di pasar Wlingi?"
"Benar sekali Adipati. Baru pagi tadi saya mulai berjualan. Dan saya telah membuat kesalahan. Tidak melapor lebih dulu pada petugas-petugas Kadipaten…"
"Lupakan hal itu. Aku melihat, kau sangat tidak pantas menjadi penjual rempah-rempah. Tidak pantas berjualan apa pun di pasar yang kotor itu…"
"Tapi saya harus melakukan sesuatu untuk dapat hidup... Saya sebatang kara di Temanggung ini…"
Suryo Maget memperhatikan kedua tangan dan kaki Randini. Halus sekali. Menandakan meskipun dara ini berdagang di pasar tapi jelas dia tidak terbiasa melakukan pekerjaan kasar atau berat.
"Di mana kedua orang tuamu?" tanya Suryo Maget.
"Ibu meninggal waktu saya masih kecil. Ayah tewas waktu terjadi banjir bandang beberapa tahun lalu di Ambarawa . . . ."
"Jadi di situ berasal dari Ambarawa?"
"Bukan. Kedua orang tua saya berasal dari Jepara," jawab Randini.
"Lalu bagaimana sampai terpesat di Temanggung?"
"Panjang ceritanya Adipati. Tak mungkin saya ceritakan karena Adipati akan bosan mendengarnya. Apakah saya boleh terus berjualan di pasar Wlingi. Hanya itu tumpuan dan mata pencaharian saya..."
"Aku tidak mangizinkanmu berdagang lagi di Wlingi…" kata Suryo Maget.
Ucapan ini membuat Randini terkejut. Parasnya berubah dan wajahnya seperti hendak menangis. Tapi di hadapannya dilihatnya Adipati Temanggung itu tersenyum.
"Sukakah kau menjadi teman hidupku?" tiba-tiba sang Adipati bertanya.
Ini tambah mengejutkan Randini.
"Saya... saya tidak mengerti maksud Adipati…" katanya terbata-bata.
"Maksudku apakah kau suka kalau kuperisterikan?"
Kedua mata sang dara terbelalak. Lalu dia cepat-cepat tundukkan kepala. Karena menunduk tengkuknya yang putih tampak menyembul di bawah sanggulnya yang besar.
"Ada keringat di kudukmu! Kau tentu terkejut bukan?" ujar Suryo Maget seraya menghampiri lebih dekat. Lalu dengan jari-jari tangannya disekanya percikan keringat di tengkuk Randini. Si gadis menggelinjang karena kegelian. Suryo Maget tertawa perlahan. Tangannya yang basah oleh keringat diciumnya beberapa kali. Lalu jari-jari yang basah itu dihisapnya. Rupanya sudah demikian besarnya daya tarik si gadis di hati sang Adipati hingga keringatnya pun dinikmatinya.
"Kau belum menjawab pertanyaanku tadi…" kata Suryo Maget pula.
"Saya tak bisa menjawab. Saya tak berani memberikan jawaban…" kata Randini.
"Kenapa tak bisa? Kenapa tak berani?"
Lama gadis itu terdiam. Akhirnya dia berkata, "Saya seorang miskin yang tidak sebanding dengan Adipati. Jika Adipati menginginkan, bukankah bisa mendapatkan seorang gadis lain yang lebih segala-galanya dari saya…?"
"Justru saat ini aku sudah menemukan gadis yang iebih dari segala-galanya itu. Yaitu kau sendiri. Aku memang sudah punya tiga isteri. Tapi jika kubandingkan dirimu dengan ketiganya... Mereka seperti buIan redup tertutup awan sedang kau seolah-olah buIan purnama yang me-
mancarkan sinarnya yang indah. Nah, apakah kau sudi kujadikan isteriku yang keempat?"
"Apakah Adipati tidak merasa malu dan turun derajat nanti karena mengambil saya gadis yang tidak ketahuan asal usulnya sebagai isteri...?" bertanya Randini.
Suryo Maget tertawa lebar. "Ucapanmu itu menandakan bahwa kau bisa menjadi seorang isteri yang baik. Karena itulah sejak pertama kali tadi aku melihatmu di pintu rumah, aku yakin bahwa aku harus memperisterikan dirimu. Aku menunggu jawabanmu saat ini…"
"Jika... jika niat Adipati memang sebaik itu, apa yang harus saya katakan selain bersedia mengabdi pada Adipati…"
Saking gembiranya, Suryo Maget sampai lupa diri. Sambil tertawa dirangkulnya tubuh Randini dan diciumnya wajah gadis itu berulang-ulang, membuat sang dara menggeliat coba melepaskan diri.
"Mulai besok kau tak boleh berjualan lagi di pasar," kata Suryo Maget. "Untuk beberapa hari tetap saja tinggal di sini. Orang-orangku akan mengatur segala sesuatunya untukmu. Pesta perkawinan, rumah... dan sebagainya... dan sebagainya."
"Kalau saya boleh meminta, tak usahlah diadakan pesta segala."
"Hemm... Kalau begitu kehendakmu aku pun setuju," ujar Suryo Maget. Memang mana ada orang yang mau mengadakan pesta untuk perkawinannya yang ke empat, padahal tiga isterinya masih ada.
Dari balik pakaian bagusnya Adipati Tumenggung itu mengeluarkn sebuah kotak kecil berwarna merah. Kotak itu diulurkannya pada Randini seraya berkata. "Ambil dan bukalah..."
Si gadis mengambil kotak itu. Lalu membukanya. Ternyata di dalam kotak terdapat sebentuk cincin emas bermata berlian yang besar sekali.
"Itu untukmu!" kata sang Adipati pula.
"Saya tak berani menerimanya, Adipati..."
"Jangan menampik. Itu pemberian seorang calon suami pada bakal isterinya. Kau harus mau menerimanya!"
Suryo Maget mengeluarkan cincin itu dari dalam kotak lalu memasangkannya ke jari manis tangan kiri Randini. Ternyata cincin itu pas betul di jari sang dara. Sambil memegangi jari-jari tangan Randini Suryo Maget berkata:
"Aku harus pergi sekarang. Segala sesuatunya akan segera diatur. Aku akan menempatkan seorang pengawal di sini. Bila kau memerlukan apa-apa tinggal memberitahu padanya…"
"Saya sangat berterima kasih Adipati. Benar-benar berterima kasih ...." kata Randini pula. Lalu dia menundukkan tubuh memberi hormat, sekaligus menghindarkan sang Adipati yang hendak mencium wajahnya.
LIMA
AJAL Dl MALAM PENGANTINRUMAH ITU terletak di aliran Kali Progo, di sebelah tenggara Temanggung, pada sebuah daerah yang subur. Di dalam rumah Adipati Suryo Maget duduk di meja makan berhadap-hadapan dengan istri barunya, istri paling muda atau istri ke empat yaitu Randini. Sang Adipati hanya sedikit saja menyentuh makanan yang terhidang. Seleranya sama sekali tidak ada karena dikalahkan oleh kobaran hasrat yang ingin cepat-cepat masuk ke dalam kamar, menjalani malam pertama bersama Randini.
Sore tadi, menjelang magrib dengan disaksikan oleh dua orang petugas Kadipaten Temanggung yakni Gendu dan Komang, seorang penghulu telah datang ke tempat itu, menikahkan Suryo Maget yang berusia 53 tahun dengan Randini yang berumur 21 tahun. Berarti malam ini adalah malam pengantin yang berbahagia bagi keduanya. Di luar rumah Komang dan Gendu berjaga-jaga sambil bercakap-cakap.
"Nasib kita memang sial Gendu. Gadis cantik itu tidak jatuh ke tangan kita..." kata Komang.
"Kalau kupikir-pikir, seandainya Adipati tidak memperistrikannya, belum tentu dia mau padaku atau padamu…" menyahuti Gendu.
"Sedang apa mereka sekarang? Mungkin sudah masuk ke dalam kamar…"
"Tadi kulihat masih di meja makan. Kalau mereka masuk ke kamar apa kau mau mengintip...?"
Komang menyeringai. "Tak ada salahnya. Dari pada tak dapat sama sekali mencuri intip pun…"
"Ya, sekali ketahuan oleh Adipati kita berdua bisa celaka!"
Di dalam rumah Adipati Suryo Maget meneguk kopi hangat yang barusan diantar seorang pelayan lalu menyalakan sebatang rokok. Setelah beberapa kali menghisapnya dia memandang pada Randini dan berkata, "Mata tua ini cepat sekali mengantuk. Tubuh lanjut ini terasa letih. Bagaimana kalau kita masuk saja ke kamar untuk beristirahat...?"
Randini yang maklum apa maksud kata-kata Adipati yang kini telah menjadi suaminya itu menganggukkan kepala lalu berdiri. Dia merapikan pakaiannya sebentar kemudian melangkah menuju ke kamar. Tidak menunggu lebih lama Suryo Maget cepat berdiri dan menyusul masuk.
Kamar itu besar sekali, dilengkapi dengan perabotan yang serba baru dan bagus, termasuk sebuah ranjang besar terbuat dari besi berlapis kuningan.
"Tidak disangka di usia yang begini lanjut aku mendapat seorang isteri pendamping yang kuidam-idamkan..." kata Suryo Maget seraya melepas sandalnya lalu naik ke atas ranjang.
"Setelah mendapatkan saya, apakah kakanda akan mencari istri baru lagi...?" bertanya Randini. Dia duduk di tepi tempat tidur, dekat kaki Suryo Maget. Adipati itu tertawa.
"Kukira tidak. Cukup kau yang terakhir. Soalnya kini aku sudah mendapatkan segala-galanya..."
"Mudah-mudahan saya bisa menjadi isteri yang baik. Saya merasa bersyukur dari hidup terlunta-lunta sebatang kara hari ini saya menemui kebahagiaan, menjadi isteri Adipati Tumenggung."
"Kau pasti akan menjadi isteri yang baik. Aku sudah melihat dari raut wajahmu yang cantik, tutur katamu yang halus dan sikapmu yang lemah lembut. ..." kata Suryo Maget memuji isterinya.
"Berbaringlah di sampingku. Ini malam pertama kita Randini. Malam pengantin yang tidak akan kita lupakan selama hidup…"
"Pernahkah kakanda mendengar cerita tentang lelaki-lelaki yang mati pada malam pengantinnya…"
Suryo Maget menggeleng. "Tak pernah kudengar. Pengantin lelakinya pasti mengidap penyakit jantung!" ujar sang Adipati pula. "Mengapa kau bertanya begitu...? Kalaupun aku mati setelah bersenang-senang denganmu rasanya aku akan puas..."
"Tak baik berkata begitu. Saya tak ingin kehilangan kakanda. Apalagi di malam pengantin ini..."
"Kalau begitu menggeserlah ke mari. Berbaringlah di sampingku…"
"Aneh malam ini terasa panas. Tidakkah kakanda ingin membuka pakaian?" tanya Randini.
Pertanyaan isterinya itu merangsang darah sang Adipati. Cepat-cepat dia membuka pakaiannya hingga hanya tinggal pakaian dalam saja.
"Giliranmu sekarang Randini…"
Randini menggerakkan tangannya ke pinggang hendak membuka gulungan angkinnya. Tapi kemudian hal itu tak jadi dilakukannya dan berkata, "Kakanda, saya tak mau membuka pakaian kalau kakanda memperhatikan. Malu... Berpalinglah menghadap ke dinding…"
Suryo Maget tertawa lebar. "Isteriku ini benar-benar gadis tulen. Masih malu-malu ...." katanya dalam hati. Lalu seperti yang dikehendaki Randini dia pun memutar tubuhnya membelakangi sang isteri, menghadap ke dinding dengan dada yang bergemuruh karena membayangkan apa sebentar lagi yang akan dilihat dan dinikmatinya.
Setelah Suryo Maget membelakanginya, baru Randini kembali menggerakkan tangannya ke pinggang. Namun apa yang dilakukannya bukanlah membuka angkin atau setagennya, Dari balik angkin itu dia justru mengeluarkan seutas tali berwarna kuning sepanjang empat jengkal, memegangnya pada masing-masing ujungnya. Dengan gerakan yang luar biasa cepatnya gadis ini menjiratkan tali itu ke leher Suryo Maget hingga sang Adipati terkejut. Sebelum dia sempat berbuat sesuatu nafasnya telah sesak, lidah menjulur. Kedua tangan coba menggapai dan kedua kaki melejang-lejang.
Kreeek…!
Terdengar suara patahnya tulang leher ketika Randini membuat satu sentakan yang kuat. Tubuh Adipati Suryo Maget tak bergerak lagi. Nyawanya putus sudah!
Dari mulut Randini keluar suara tertawa aneh. Hampir seperti kuda meringkik.
"Lelaki keparat! Hidung belang busuk macammu pantas menerima mampus seperti ini! Kau tunggulah ayahku! Kau tunggulah guruku! Juga semua lelaki-lelaki bejat itu! Kalian semua pantas berkumpul di liang neraka!"
Habis berkata begitu Randini membuka jendela kamar. Sesaat kemudian dia pun lenyap dalam kegelapan malam. Hanya angin malam yang berdesir menyaksikan kepergiannya. Di luar rumah Komang berbisik pada kawannya.
"Hai… Kau dengar suara tawa gadis itu... Cekikikan!
Tubuhku jadi panas. Bagaimana kalau kita mengintip…''
Memang Gendu-pun tadi sempat mendengar suara tawa Randini. Rupanya malam pengantin sudah dimulai. Kalau tadi dia menolak ajakan kawannya, kini dia pun tertarik. Keduanya lalu mengendap-endap mendekati rumah di bagian mana kamar tidur terletak. Namun sebelum sampai di dinding bangunan, sebuah perahu kecil merapat di tepi. Kali Progo. Dari atas perahu melompat turun seorang pemuda yang langsung lari ke arah rumah. "Hai! Siapa di sana?!" bentak Gendu ketika melihat ada orang yang datang dengan sikap mencurigakan.
ENAM
SAKIT HATI YANG KETIGA KALISIANG ITU Tumbal Sakti menemui ibunya yang masih berbaring di atas tempat tidur. Dia adalah putera tertua Adipati Suryo Maget dari istri pertamanya yaitu Siti Resmi.
"Sesiang ini ibu masih belum bangun. Apakah ibu sakit?" tanya Tumbal Sakti.
Siti Resmi tidak menjawab. Dia memandang ke langit-langit kamar.
"Ibu tak mau menjawab. Ibu seperti merahasiakan sesuatu.."
Perempuan itu coba tersenyum. "Apa pula yang harus kurahasiakan, Tumbal?"
"Saya tahu ibu memang merahasiakan sesuatu. Hanya saja rahasia itu sudah saya ketahui. Dan saya berniat melakukan sesuatu!" kata Tumbal Sakti pula.
Hal ini mengejutkan ibunya yang langsung bangkit dan duduk di ujung tempat tidur.
"Apa maksud Tumbal?!" tanya perempuan itu.
"Ayah hendak kawin lagi! Itu yang menimbulkan pikiran hingga ibu hanya berdiam diri dalam sakit hati yang mendalam. Betul kan begitu, bu…?"
Siti Resmi terdiam. Kini dia merasa tak ada gunanya merahasiakan hal itu lagi. Puteranya ternyata sudah tahu.
"Dari mana kau tahu hal itu Tumbal?"
"Seseorang menceritakannya pada saya…"
"Seseorang siapa?"
"Ibu tak usah tahu. Yang jelas perbuatan busuk seperti itu mana bisa ditutup-tutupi?!"
"Itu sudah nasib kita, Tumbal. Kita tak bisa merubah sifat ayahmu…"
"Sudah tiga kali dengan ini dia menyakiti ibu... Apakah tiga orang istri dan sekian banyak peliharaan masih tidak cukup bagi ayah?"
"Jangan berkata begitu Tumbal"
"Tidak ibu. Saya harus melakukan sesuatu. Saya tahu di mana mereka berada malam nanti!"
Tumbal Sakti menyibakkan pakaian luarnya yang menyerupai jas pendek tanpa lengan.
"Lihat, apa yang saya bawa ini, bu!"
Ketika melihat keris yang tersisip di pinggang puteranya terkejutlah Siti Resmi.
"Tumbal! Apa yang hendak kau lakukan?!"
"Saya akan membunuh perempuan itu, bu!"
"Kau gila!"
"Bukan saya yang gila! Tapi perempuan itu! Juga ayah!"
"Perempuan itu, siapa pun dia adanya tidak bersalah.
Ayahmu yang salah. Tidak pernah puas dengen apa yang ada...!"
"Kalau begitu ayah juga akan saya bunuh!" kata Tumbal Sakti pula dengan mata berapi-api. Sebaliknya sepasang mata sang ibu tampak berkaca-caca.
"Jangan kau lakukan itu, anakku! Jangan kau tambah derita ibu…"
"Ini derita ibu yang terakhir! Kalau kita tidak melakukan sesuatu ayah tak akan pernah bisa berubah! Lagi pula dua ibu yang lain merestui tindakan saya…"
"Jadi... jadi kau sudah mengatakan maksudmu pada dua istri ayahmu yang lain...?"
Tumbal Sakti mengangguk.
"Tidak Tumbal! Jangan kau lakukan itu! Jangan senekad itu. Berikan padaku keris ayahmu itu. Kau tak pantas membawanya. Serahkan padaku cepat...!"
"Saya akan menyerahkannya bu. Tapi nanti. Kalau senjata ini sudah berlumuran darah!"
Lalu pemuda itu membalikkan tubuh, melangkah cepat menuju ke pintu. Siti Resmi turun dari tempat tidur, berusaha mengejar anaknya namun sia-sia saja. Akhirnya perempuan ini menggulingkan diri di lantai kamar dan hanya bisa menangis.
Dengan sebuah perahu Tumbal Sakti mengarungi Kali Progo menu ju arah tenggara. Dia tahu di mana ayahnya berada. Kesitulah dia menuju. Dia sampai di tempat itu pada malam hari, ketika Gendu dan Komang mengendap-endap hendak mengintip kamar pengantin. Begitu melihat ada orang yang datang dengan sikap mencurigakan maka Gendu langsung membentak.
"Hai Siapa di sana?!"
Orang yang dibentak hentikan langkah dan bertolak pinggang.
"Aku Tumbal Sakti!" katanya menyebutkan nama.
Terkejutlah kedua petugas Kadipaten yang berjaga-jaga itu.
"Raden kiranya!" kata Gendu lalu saling pandang dengan Komang dengan perasaan sama tidak enak.
'"Ada apakah Raden malam-malam datang ke mari?" tanya Komang.
"Kalian sendiri mengapa berada di sini?!" membentak Tumbal Sakti hingga kedua orang itu tercekat diam.
"Ayahku ada di dalam?!"
Gendu dan Komang tak berani berdusta. "Ada Raden…"
"Aku akan menemuinya…!"
"Raden…" Komang berusaha menghalangi.
"Sebaiknya Raden jangan masuk. Nanti kami berdua bisa mendapat hajaran…"
"Memangnya mengapa aku tak boleh masuk?!" tanya Tumbal Sekti melotot.
"Kami berdua hanya bertugas di sini, Raden. Mendapat perintah tak boleh satu orang pun masuk ke rumah. Ayah Raden tak mau diganggu."
Tumbal Sakti menyeringai.
"Tak boleh masuk, tak mau diganggu. Karena dia sedang bersenang-senang dengan istri mudanya bukan?!
Minggir kalian berdua!"
"Maafkan kami Raden. Kami hanya menjalankan tugas!"
"Jadi kalian berdua berani menghalangiku?!" sentak Tumbal Sakti.
"Sabar Raden. Sebaiknya kembali saja ke Temanggung. Kalau ayah Raden pulang ke sana nanti, tentu persoalan ini bisa diselesaikan..." kata Gendu.
"Justru persoalan ini harus diselesaikan di sini, saat ini juga!"
"Tenang Raden. Pikirkan buruk baiknya…"
"Gendu keparat kau! Apakah kau ada memikirkan buruk baiknya ayahku kawin lagi? Kau dan kawanmu ini mau melakukan apa saja karena dijejali uang! Bukan begitu?! Menyingkir kataku!"
"Apa pun yang terjadi kami tetap menjalankan perintah!"
Naiklah amarah Tumbal Sakti. Pemuda ini hunus keris di pinggangnya. "Kalau kalian tetap bersikeras, terpaksa aku menghabisi kalian berdua lebih dulu!"
Sebagai seorang putera Adipati, selain mendapat pendidikan tulis baca Tumbal Sekti juga mendapat pelajaran ilmu silat dari jago-jago silat ternama. Karenanya meskipun dua petugas Kadipaten itu memiliki kepandaian, namun dibanding dengan Tumbal Sakti keduanya ketinggalan jauh. Ditambah pula dalam keadaan nekad maka serangan-serangan si pemuda benar-benar membahayakan jiwa Gendu dan Komang. Gendu adalah yang pertama terluka tangannya ketika menangkis satu tusukan deras keris putera Adipati itu. Hendak mecabut senjata baik Gendu maupun Komang tak mau melakukan karena takut akan mencelakai putera Adipati itu. Tidak mengeluarkan senjata berarti sebentar lagi mereka akan jadi bulan-bulan keris di tangan Tumbal Sakti!
TUJUH
SAKIT HATI MASA LAMPAU DANTUDUHAN KELIRU KAKEK MATA BIRU
PADA SAAT Tumbal Sekti dan dua anak buah Suryo Maget mulai bertengkar, dari kegelapan tanpa mereka ketahui muncul sesosok bayangan putih yang langsung masuk ke dalam rumah lewat jendela kamar yang terbuka. Bersamaan dengan kemunculannya menyeruaklah bau kemenyan di tempat itu.
Begitu masuk ke kamar ditemuinya Adipati Tumenggung Suryo Maget telah jadi mayat. Menggeletak di atas ranjang, hanya mengenakan pakaian dalam. Matanya membeliak, lidah terjulur dan dilehernya ada tali kuning menjirat!
"Lagi-lagi aku terlambat! Anak setan itu selalu lebih cepat!" Orang yang barusan masuk menggerendeng kesal. Dia melangkah mendekati ranjang lalu tangannya bergerak membuka jeratan tali di leher Suryo Maget.
Sambil memutar-mutar tali itu dengan tangan kanannya orang ini membatin. "Mungkinkah dia ....?" Memandang pada tubuh Suryo Maget hati kecilnya menolak dugaan itu. "Jika memang dia, kebiasaannya adalah bersenang-senang dulu baru membunuh. Lelaki yang mati ini tampaknya belum sempat melakukan hal itu... Lagi pula jika memang dia, mengapa harus susah-susah membunuh mempergunakan tali segala? Aku tak yakin dia telah menjelma menjadi Ratu Mesum kembali. Menebar nafsu dan maut!"
Baru saja orang ini merenung seperti itu mendadak melesat masuk lewat jendela yang terbuka sesosok tubuh. Di hadapannya kini tegak seorang kakek berpakaian compang camping. Sepasang matanya berwarna bru dan memancarkan sinar dingin yang angker.
"Ha... ha... ha! Bertahun-tahun kucari kini tertangkap basah berbuat kejahatan!" Kakek aneh itu umbar suara tawa yang disusul dengan bentakan. Si pemuda tersentak kaget. Dia pandangi orang tua di depannya dari atas sampai ke bawah.
"Kakek Mata Biru!" seru pemuda itu ketika dia akhirnya mengenali siapa adanya orang tua itu. Kakek Mata Biru adalah salah seorang dari beberapa tokoh langka dunia persilatan yang merupakan adik kandung Gembel Cengeng Sakti Mata Buta, seorang kakek berkepandaian tinggi yang telah mengajarkan Tujuh Jurus Ilmu Silat Orang Buta kepadanya. (Baca Pendekar Dari Liang Kubur).
"Hemm... Bagus! Kau masih mengenai diriku! Apakah juga masih ingat campur tanganmu yang menyakitkan hati sewaktu aku bertanding catur dengan Gembel Cengeng...?"
"Ah, tentu saja aku ingat kek. Tapi itu sudah lama sekali. Mengapa harus diingat-ingat lagi…" sebut si pemuda pula. Si kakek menyeringai jengkel. "Kau tidak merasa sakit hati memang tak perlu mengingat-ingat. Tapi aku yang kau beri malu mana mungkin melupakan! Waktu itu aku ingin menggebukmu, tapi kau lolos karena ditolong oleh kakakku. Aku mau lihat apakah malam ini kau masih bisa meloloskan diri?!"
"Persoalan lama urusan mainan anak-anak kenapa mau diperpanjang. Jika kau anggap aku menyakiti hatimu, aku tidak sungkan minta maaf saat ini juga. Nah kau maafkanlah diriku yang ceroboh!"
"Enak saja kau minta maaf. Sebelum kugebuk kau mana senang hatiku!" kata Kakek Mata Biru. "Lagi pula saat ini aku berhasil menangkapmu basah! Membunuh Adipati Suryo Maget dari Temanggung!"
"Bukan aku yang membunuhnya!" kata pemuda itu dengan suara keras dan berang. "Jangan menuduh sembarangan! "
Kembali si kakek umbar suara tawa bergelak.
"Aku sudah lama mengintai gerak gerikmu, anak muda! Beberapa kali terjadi pembunuhan yang korbannya tewas dijerat dengan tali kuning, kau selalu ada di situ. Dan saat ini aku lihat sendiri kau masih memegang tali kuning itu! Sudah terbukti jelas masih hendak mungkir?!"
"Aku datang ke mari justru hendak menyelidiki. Tetapi terlambat! Si pembunuh keburu kabur…!"
"Mahesa... Eh, Mahesa bukan...?" kata kakek Mata Biru.
"Pada orang lain kau boleh berdusta. Tapi padaku jangan coba-coba!"
"Anak setan!" maki si pemuda dalam hati yang memang Mahesa adanya. "Apa perlunya aku membunuh Adipati itu?!"
"Soal apa perlumu itu bukan urusanku. Yang jadi urusanku ialah melenyapkan manusia-manusia jahat sepertimu saat ini juga!"
"Edan!" maki Mahesa.
"Kau yang edan!" balas memaki Kakek Mata Biru.
Tangan kanannya bergerak. Gerakan ini perlahan saja. Namun seperti mulur tahu-tahu tangan kanan itu sudah berada dekat sekali dengan tubuh Mahesa dan menghantam ke arah dada!
Mahesa yang sebelumnya pernah berhadapan dengan kakek sakti ini, sudah tahu kelihayannya maka pagi-pagi sudah berjaga-jaga. Begitu si kakek terlihat gerakkan tangan kanannya, pemuda ini tiupkan asap rokok klobot yang dihisapnya kuat-kuat ke depan. Asap rokok yang disertai tenaga dalam tinggi itu menerpa menghadang jotosan Kakek Mata Biru, sebagiannya lagi menderu ke arah kedua matanya. Si kakek merasakan tangan kanannya seperti masuk ke dalam satu gelombang dahsyat yang membuat tangan itu bergetar keras serta panas dan sakit.
Sementara itu asap yang menyerbu ke arah kedua matanya membuat mata itu terasa perih sekali. Mau tak mau Kakek Mate Biru cepat melompat mundur.
"Pemuda edan ini ternyata memiliki tenaga dalam tinggi sekali," kata Kakek Mata Biru dalam hati.
"Apakah kakakku juga menghadiahkan sebagian tenaga dalamnya? Lalu membuat asap rokok menjadi senjata ampuh dari mana pula dia mempelajarinya...!" Setelah menatap sejenak pada Mahesa, Kakek Mate Biru kembali lancarkan serangan. Mahesa menyambut dengan balas menghantam. Maka perkelahian seru pun berkecamuk dalam kamar besar itu.
Seperti diketahui dari gurunya Kunti Kendil di puncak pegunungan lyang Mahesa telah mendapat gemblengan ilmu kesaktian dan ilmu silat tingkat tinggi. Selama malang melintang dalam dunia persilatan pemuda ini telah menimbulkan hal-hal yang menggegerkan hingga disegani kawan ditakuti lawan dan mendapat julukan Mahesa Edan Pendekar Dari Liang Kubur.
Namun sejak sang guru telah menjatuhkan hukuman yang sangat menyakiti hati bahkan sempat menggantungnya kaki ke atas kepala ke bawah, Mahesa mengambil keputusan, apa pun yang terjadi dia tidak akan mau mempergunakan lagi semua ilmu kepandaian yang diberikan Kunti Kendil kepadanya.
Mahesa tahu betul ini merupakan satu hal yang membuat lebih dari setengah kepandaiannya akan lenyap. Dia tak akan lagi mau mempergunakan pukulan Sakti bernama pukulan Api Gledek Menggusur Makam atau Kincir Air Melabrak Kuburan atau Makam Sakti Maletus, dan sebagainya. Dia juga tidak akan mau mengeluarkan lagi jurus-jurus silat dahsyat seperti Macan Gila Keluar Dari Kuburan, Batu Karang Menghimpit Kuburan, Di atas Kubur Badai Mengamuk atau Tombak Sakti Menembus Liang Kubur dan yang lain-lainnya. Dia sudah bersumpah untuk tidak lagi mempergunakan semua kesaktian dan ilmu silat warisan gurunya itu. Bahkan senjata mustika ampuh tapi aneh berupa papan berbentuk nisan pemberian Kunti Kendil telah dikuburnya di satu tempat!
Kini menghadapi kakek lihay seperti Kakek Mata Biru, Mahesa harus mengerahkan seluruh kepandaiannya yang ada. Dengan hembusan asap rokok klobot yang disemburkannya berulang-ulang ke arah lawan Mahesa berhasil membendung serangan-serangan maut, Kakek Mata Biru.
Namun ketika rokok yang dihisapnya habis dan dia tak berkesempatan lagi untuk menyalakan sebatang rokok baru maka gempuran Kakek Mata Biru mulai membuatnya terdesak. Kakek Mata Biru tertawa mengejek.
"Bukankah kau anak murid Kunti Kendil yang kesohor itu? Mana ilmu silat dan pukulan sakti yang kau pelajari dari dia? Dari tadi kau hanya melenggang lenggok seperti wayang banci!"
Dihina seperti wayang bahkan disebut wayang banci Mahesa jadi penasaran. Setelah mengelakkan dua jurus serangan deras berupa pukulan-pukulan dahsyat yang sempat menyerempet pipinya hingga merah membengkak, Mahesa keluarkan jurus-jurus silat orang buta yang diajarkan Gembel Cengeng Sakti Mata Buta. Kini pemuda itu pergunakan ilmu silat si kakek buta untuk menghadapi adik kandungnya sendiri!
Ketika gempuran-gempurannya selama dua jurus kemudian tidak membawa hasil apa-apa sementara lawan dilihatnya membuat gerakan-gerakan aneh gerabak-gerubuk tak karuan, Kakek Mata Biru selain heran juga menjadi jengkel.
"Heh! Jadi sontoloyo mata buta itu mengajarkan ilmu silatnya padamu!" bentak Kakek Mata Biru ketika dia mulai mengenali jurus-jurus silat yang dimainkan Mahesa. Pendekar kita ganda tertawa. "Setahuku dari dulu kau tak pernah menang menghadapi kakakmu. Apa kau sekarang takut meneruskan perkelahian ....?"
"Keparat bermulut sombong!" teriak Kakek Mata Biru marah. "Siapa takut menghadapi kecoak macammu! Kau terima kematianmu!" Kakek Mata Biru angkat tangan kanannya. Mahesa melihat bagaimana tangan itu menjadi berwarna biru. Tanda si kakek hendak lepaskan satu pukulan sakti yang benar-benar sangat berbahaya!
"Celaka! Kalau saja aku mau mengeluarkan pukulan api geledek, pasti aku bisa melayani pukulan saktinya itu. Tapi sekarang bagaimana ini..." Sesaat Mahesa merasa bingung.
Pada saat itu tiba-tiba ada tiga orang melompat masuk lewat jendela. Mereka adalah Tumbal Sekti, Gendu dan Komang.
"Ada apa di sini?!" membentak Tumbal Sakti seraya melintangkan keris di depan dada. Matanya memandang cepat ke arah Mahesa dan Kakek Mata Biru, dua manusia yang tak pernah dikenal atau dilihatnya sebelumnya. Kemudian matanya bergerak ke arah ranjang besar dan langsung pemuda ini tereskik. "Ayah!"
Tumbal Sakti molompat ke atas ranjang, menggoyang tubuh Suryo Maget. Namun dia segera sadar kalau ayahnya sudah jadi mayat.
"Raden Tumbal Sakti ...." kata Kakek Mata Biru. "Jika kau ingin tahu siapa pembunuh ayahmu, dialah orangnya!"
Dan Kakek Mata Biru itu menunjuk ke arah Mahesa.
DELAPAN
TERTUDUH PEMBUNUH LOLOS ISTRI MUDA LENYAP
TUMBAL SEKTI heran, dia tak pernah kenal kakek bermata aneh itu tetapi mengapa tahu namanya. Sebaliknya rasa heran itu serta merta lenyap begitu dia mendengar ucapan si kakek bahwa pemuda berbaju putih di dalam kamar itu adalah orang yang telah membunuh ayahnya. Sekali lompat saja Tumbal Sekti sudah berdiri di hadapan Mahesa dengan keris terhunus.
"Kakek busuk itu dusta! Tuduhannya palsu!" teriak Mahesa. "Ketika aku datang ayahmu sudah tewas!
Seseorang telah menjirat lehernya dengan tali kuning sampai patah lalu melarikan diri!"
"Jangan percaya mulutnya Raden. Dia pandai bicara. Raden menyingkirlah, biar aku yang menamatkan riwayatnya…" kata Kakek Mata Biru.
"Tidak, keparat ini harus mampus di tanganku!" sahut Tumbal Sakti.
"Hentikan niatmu Raden. Dia bukan tandinganmu!" Memperingatkan Kakek Mata Biru.
Tapi Tumbal Sakti yang sudah mata gelap tak perdulikan lagi ucapan si kakek. Kalau sebelumnya dia bertekad hendak membunuh sang ayah atau istri mudanya, kini yang ingin dibunuhnya pertama sekali adalah Mahesa.
Putera Adipati Suryo Maget itu memulai serangan dengan kirimkan satu tusukan ke arah dada Mahesa sementara Gendu dan Komang tampak tertegak kaget dan bingung. Kaget karena melihat Adipati mereka telah jadi mayat di atas ranjang. Bingung sebab tidak melihat Randini, istri ke empat yang baru dinikahi Suryo Maget sore tadi. Keduanya juga merasa takut karena sebagai pengawal mereka telah kebobolan. Adipati dibunuh orang tanpa setahu mereka.
Seperti dituturkan sebelumnya ketiga orang itu terlibat dalam perkelahian. Gendu dan Komang menderita luka-luka terutama di bagian kedua tangan masing-masing. Meskipun tidak membahayakan jiwa mereka tetapi luka-luka teriris yang cukup banyak itu terasa amat sakit. Masih untung sewaktu keduanya hampir menerima tusukan-tusukan keris yang mematikan, dari dalam rumah, terdengar suara bentakan-bentakan dan suara seperti orang berkelahi. Tumbal Sakti hentikan serangannya lalu masuk ke dalam rumah lewat jendela yang terbuka. Gendu dan Komang ikut menyusul.
Dua serangan Tumbal Sakti dapat dielakkan Mahesa dengan mudah. Tapi dari samping datang tendangan Kakek Mata Biru. Si kakek yang tadi sebenarnya siap melepaskan pukulan sakti kini tak berani melakukan hal itu karena takut akan menghantam Tumbal Sekti. Karenanya dia masuk ke dalam kalangan perkelahian dengan Menjotos dan menendang. Justru ini adalah satu
keuntungan bagi Mahesa. Dia mainkan jurus-jurus silat orang buta. Dimulai dengan Si Buta Terjatuh Menggapai Karang. Tubuhnya condong ke depan, kedua tangannya menggapai-gapai seperti hendak jatuh. Tendangan Kakek Mata Biru lewat di atas punggungnya. Serentak dengan itu dia susul dengan jurus Si Buta Mencengkeram Langit.
Bret!
Pakaian compang camping si kakek robek besar ketika kena dijambret. Tubuh si kakek ikut tertarik ke depan. Di saat yang tepat Mahesa menunggu dengan dua jari menusuk ke arah dada lawan. Sadar dadanya hendak ditotok lawan, Kakek Mata Biru membuat gerakan jungkir balik di
atas tubuh Mahesa. Bersamaan dengan itu lututnya dihantamkan ke kepala pemuda itu sedang tangan kanannya ikut mengemplang ke arah punggung.
Mahesa cepat rundukkan kepala. Kepalanya selamat dari hantaman lutut si kakek tetapi dia tak dapat lolos dari gebukan pada punggungnya. Mahesa terbanting tertelungkup di lantai kamar. Punggungnya serasa remuk. Untuk sesaat dia terkapar tak berdaya. Di sudut kamar dekat kaki ranjang Kakek Mata Biru tergelimpang, cepat berusaha bangkit untuk kembali menyerang Mahesa.
Namun disadarinya dia tak dapat menggerakkan kaki atau tangannya lagi. Ternyata totokan lawan berhasil bersarang di dadanya. Orang tua ini memaki habis-habisan lalu berteriak pada Tumbal Sakti.
"Raden Tumbal! Lekas habisi pemuda keprat itu."
Mendengar ini dan melihat memang Mahesa seperti lumpuh menggeletak di lantai, Tumbal Sekti memburu dan tusukkan kerisnya ke punggung Mahesa. Namun dalam kalapnya putera Adipati Tumenggung ini menyerbu tanpa perhitungan lagi. Tubuhnya terbanting ke lantai ketika kaki kanan Mahesa menebas betisnya dengan keras. Terdengar suara kraak. Tulang kering Tumbal Sakti patah. Pemuda ini roboh dan memekik kesakitan. Dia berusaha berdiri tapi roboh lagi.
"Gendu! Komang! Bunuh orang itu!" teriak Tumbal Sekti.
Yang diperintah tampak ragu-ragu sementara Mahesa saat itu sudah mampu berdiri kembali meskipun agak terhuyung-huyung. Ketika akhirnya Gendu dan Komang mencabut senjata masing-masing Mahesa sudah melompat ke jendela dan lenyap.
"Kejar!" teriak Tumbal Sakti.
Gendu dan Komang memburu. Tapi di luar hanya kegelapan malam yang mereka lihat. Mahesa lari ke arah kali. Di sini ditemuinya perahu milik Tumbal Sakti. Dia segera masuk ke dalam perahu dan mendayung mengikuti arus menuju ke hilir.
Gendu dan Komang kembali ke dalam rumah, memberitahu kalau pemuda yang disuruh kejar berhasil meloloskan diri.
"Kalian petugas-petugas tolol! Kalian akan menerima hukuman berat atas apa yang terjadi di sini! Sekarang lekas cari kain. Topang kakiku dengan bambu atau kayu atau apa saja! Lalu balut dengan kain!"
Setelah melakukan apa yang diperintahkan putera Adipati itu Koman dan Gendu mendudukkan Tumbal Sakti di sebuah kursi kayu:
"Sialan! Apa tak ada yang berusaha menolongku!" terdengar Kekek Mate Biru menggerutu.
Tumbal Sakti memberi isyarat pada kedua petugas. Gendu don Komang lalu menggotong orang tua itu dan mendudukkannya di atas kursi di samping Tumbal Sakti.
"Bisakah kau melepaskan totokan di dadaku...?" tanya Kakek Mata Biru.
Tumbal Sakti ulurkan tangan kanannya. Memijit dan meraba-raba dada si kakek. Tapi sampai berulang kali dia melakukan hal itu totokan di dada si kakek yang melumpuhkan kedua tangan dan kakinya tak bisa dimusnahkan.
"Sudahlah! Nanti, pun akan lepas sendiri!" kata Kakek Mata Biru jengkel.
"Orang tua bermata biru, siapakah kau sebenarnya? Apa yang telah terjadi di tempat ini. Siapa pula pemuda yang kabur dan menurutmu adalah pembunuh ayahku… ''
Sampai di situ Tumbal Sakti baru ingat akan keadaan ayahnya. Maka dia memberi perintah pada Komang agar kembali ke Temanggung. "Datangkan beberapa petugas dan jangan lupa membawa kereta jenazah! Ayahku harus dibawa dari rumah celaka ini secepatnya!"
Setelah Komang pergi Tumbal Sekti mengulangi pertanyaannya.
"Siapa aku tidak penting," menyahut Kakek Mata Biru. "Aku memang sudah sejak lama menyelidiki kematian-kematian aneh yang terjadi belakangan ini. Termasuk kematian ayahmu. Dan selalu saja aku menemui pemuda itu. Tadi aku berhasil menangkap basahnya ketika baru saja membunuh Adipati dengan seutas tambang kuning
"Mengapa dia membunuh ayah? Dan kau belum menerangkan siapa pemuda itu sebenarnya . . . . "
"Mengapa dia membunuh ayahmu, ini satu hal yang masih kabur bagiku. Pemuda itu bernama Mahesa. Murid seorang tokoh silat sinting dari pegunungan lyang. Dia berjuluk Pendekar Dari Liang Kubur. Setiap muncul selalu membekal rokok menyan, menebar bau yang menusuk hidung ke mana-mana..."
"Jauh-jauh dari Temanggung aku kemari sengaja hendak membuat perhitungan dengan ayah dan istri mudanya. Aku yakin ayah tidak sendirian di rumah ini. Ada istri mudanya bernama Randini. Tapi ternyata perempuan itu tak ada di sini. Gendu! Kau pasti bisa menerangkan ke mana perempuan itu?!"
Dengan ketakutan Gendu menjawab.
"Itulah yang membuat saya heran dan bingung Raden. Ketika saya dan Komang berjaga-jaga kami dengar Adipati bercakap-cakap dengan istri mudanya dalam kamar. Tetapi setelah masuk kemari kami temui Adipati telah tewas dan perempuan itu lenyap…! Saya tidak tahu di mana dia berada. Benar-benar tidak tahu…"
"Kalau memang begitu ini adalah satu keanehan yang harus dipecahkan!" kata Tumbal Sekti pula Ialu mengeluh karena kakinya yang patah terasa sakit sekali.
"Tak ada yang aneh!" berkata Kakek Mata Biru. "Berat dugaanku istri ayahmu bersekongkol dengan pemuda itu. Dia pasti menunggu pemuda itu di satu tempat…"
Kakek Mata Biru coba kerahkan tenaga dalamnya lalu perlahan-lahan dialirkan ke arah dada guna memperlancar aliran darah. Bila aliran darah di bagian itu bisa pulih, maka totokan di dadanya akan musnah dengan sendirinya.
Dia mencoba berulang kali. Pada kali yang ke delapan baru berhasil. Begitu dirinya terlepas dari totokan, orang tua ini cepat duduk bersila di lantai, atur jalan napas dan jalan darah lalu melompat tegak.
"Malam telah larut Aku harus pergi sekarang." Tanpa menunggu jawaban Tumbal Sakti dia berkelebat ke arah jendela dan lenyap.
SEMBILAN
SI BUTA SAKTI MEMBERI PETUNJUKMENJELANG pagi perahu yang ditumpangi Mahesa meluncur sepembawa arus Kali Progo, Di sebuah tikungan akhirnya tersekat pada akar-akar pepohonan yang menjorok ke dalam kali dan terhenti di sana. Mahesa sendiri saat itu masih terbaring tidur di dalam perahu. Dia baru bangun, ketika sinar matahari membuat matanya menjadi silau. Memandang berkeliling pemuda ini dapatkan dirinya terpesat di tepi kali. Di sebelah kanan berjejer pohon-pohon besar berdaun lebat berusia ratusan tahun dan rata-rata tertutup lumut mulai dari akar sampai ke batang dan cabang-cabangnya.
"Di mana aku ini…" bertanya Mahesa pada diri sendiri. Dia membungkuk untuk menyiduk air dan membasahi mukanya. Saat itu dirasakannya punggungnya yang kena dihantam Kakek Mata Biru mendenyut sakit. Selesai mencuci muka Mahesa tinggalkan perahu, naik ke darat.
Semula dia bermaksud hendak meneruskan perjalanan dengan jalan kaki. Namun melihat hutan belantara begitu lebat hatinya merasa tak enak. Mahesa memutuskan untuk kembali ke perahu, mengarungi sungai ke arah selatan. Namun baru saja dia menuruni tebing sungai, belum sempat menjejakkan kaki kanannya di atas lantai perahu tiba-tiba di belakangnya terdengar suara berdesing.
Mahesa cepat jatuhkan diri. Sebuah benda melesat di atas kepalanya dan menancap di badan perahu. Ketika memperhatikan benda yang menancap itu kagetlah pendekar kita. Benda yang menancap di badan perahu yang terbuat dari kayu keras itu teryata adalah sehelai daun sebesar telapak tangan!
"Anak setan! Daun itu bisa mencelakaiku kalau sampai menancap di kepala atau di badan!" memaki Mahesa. Dia menoleh ke belakang. Tak seorang pun tampak. Keadaan di tempat itu sangat sunyi. Bahkan arus Kali Progo pun tidak terdengar. Kicau burung pagi tiba-tiba saja lenyap. Desir angin dan gemeresik daun-daun pepohonan juga tidak terdengar. Mahesa mendongak ke atas. Memperhatikan setiap cabang pohon satu per satu, meneliti bagian pohon di balik dedaunan yang lebat. Namun tetap dia tidak melihat seorang pun.
"Pembokong pengecut!" teriak Mahesa. "Perlihatkan tampangmu!"
Baru saja Mahesa berteriak, mendadak terdengar suara berdesing keras. Dari arah depan tampak lima buah daun melesat ke arahnya. Bersamaan dengan itu terdengar suara mengiang di kedua telinganya.
"Ayo tunjukkan kepandaianmu Perlihatkan ilmu silat yang kau dapat dari nenek butut Kunti Kendil! Keluarkan jurus silat tujuh orang katai!"
Mahesa menghantam ke depan. Tiga daun yang datang menyerang hancur dan luruh ke tanah. Sebuah dielakkannya. Yang kelima menyusup di kaki celananya!
"Anak setan keparat! Siapa orang ini! Dia kenal Kunti Kendil. Tahu ilmu silat tujuh orang katai…" Mahesa sulit menerka siapa adanya pembokongnya. Karena sudah bersumpah tidak mau mengeluarkan pukulan sakti yang didapatnya dari Kunti Kendil maka Mahesa berkelebat ke arah pohon besar dari mana tadi keluarnya lima helai daun yang menyerang itu.
Tapi selagi tubuhnya melayang di udara mendadak lima helai daun lagi tampak menderu bersiuran ke arahnya. Agak gugup Mahesa keluarkan jurus-jurus silat orang buta sambil tangannya menghantam ke depan. Kali ini dua helai daun berhasil dielakkan, dua lainnya hancur oleh hantaman tangan kosongnya. Namun lagi-lagi daun kelima sempat menyelusup. Kali ini menancap di bahu kanan baju putihnya!
Bersamaan dengan itu kembali terdengar suara mengiang.
"Cuma ilmu silat orang buta, buruk, itukah yang kau andalkan dalam hidupmu?!'
Mahesa benar-benar dibikin kaget kini. Siapa pun orang yang menyerangnya pasti tahu banyak tentang dirinya. Apakah orang ini pembunuh Adipati Suryo Maget yang tengah dikejarnya? Atau mungkin juga Pendekar Muka Tengkorak, kakek sakti yang memang suka jahil itu hendak mengujinya? Atau mungkin gurunya sendiri Kunti Kendil?
Tapi setahunya orang-orang itu tidak memiliki kepandaian mengirim suara dari jauh. Lalu siapa adanya pembokong ini? Main-main atau sungguhan hendak mencelakainya?!
"Pembokong pengecut! Jangan kira aku tidak tahu kau sembunyi di mana!" Habis berteriak begitu Mahesa lepaskan dua pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi. Yang satu menghantam pohon besar di sebelah kanan, lainnya merobohkon pohon besar di depan sebelah kiri.
Ketika pohon-pohon besar itu bertumbangan ke tanah, tubuh Mahesa telah berkelebat lenyap dari tebing sungai. Kembali keadaan di tempat itu menjadi sunyi senyap. Saat itu Mahesa sudah berada di atas sebuah cabang pohon berdaun rimbun. Dengan sangat hati-hati dia menyalakan sebatang rokok menyan. Rokok yang menyala ini diselipkannya pada ranting pohon. Lalu tanpa mengeluarkan suara sedikit pun dia beranjak ke cabang pohon sebelah kanan, berpindah lagi ke sebelah kanan hingga akhirnya dia berada di atas pohon yang terpisah jauh dari pohon di mana tadi dia meninggalkan rokok klobotnya. Bau menyan serta merta menghampar di dalam rimba belantara itu.
Tiba-tiba terdengar lagi suara mengiang di telinga Mahesa.
"Pemuda tolol! Jangan kira aku tidak tahu kau bersembunyi di mana!"
Mahesa menjadi tegang dan bersiap waspada. Apakah si pembokong benar-benar tahu di pohon mana dia berada saat itu? Dengan siapkan tenaga dalam terpusat di tangan kanan pemuda ini menunggu. Dari balik semak belukar yang merambat lebat pada kaki-kaki pohon-pohon besar yang ada di bawahnya dilihatnya melesat keluar sepuluh lembar daun, menggebubu ke arah pohon besar dimana Mahesa tadi menyelipkan rokok klobotnya.
Pemuda ini tersenyum. "Kali ini kau tertipu pembokong!" lalu secepat kilat Mahesa terjun ke bawah, jungkir balik dua kali berturut-turut. Di lain kejap dia sudah berada di balik rerumpunan semak belukar lebat. Sambil berlutut pemuda ini lepaskan pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi.
Wuutt!
Semak belukar musnah bertebaran. Di kaki pepohonan yang kini menjadi rata itu tampak duduk bersila seorang kakek berpakaian rombeng dekil penuh tambalan. Kedua matanya buta dan dia duduk sambil tersenyum-senyum. Jika pukulan maut Mahesa tadi sampai menghancurkan semak-belukar bagaimana mungkin si kakek yang tadi bersembunyi di dalam semak belukar itu kini kedapatan masih hidup tanpa cidera suatu apa, malah sambil senyum-senyum!
"Anak muda! Apakah kau masih mengenaliku?!" kakek buta itu menegur.
"Astaga! Kau rupanya kek! Tentu saja aku mengenalimu!" sahut Mahesa. Dia buru-buru mendatangi.
"Kek, mohon maafmu. Aku tadi telah menyerangmu. Aku benar-benar tidak tahu kalau kau yang ada di sini…"
Si kakek kembali tersenyum. Namun sesaat kemudian wajahnya tampak murung. Dan orang tua ini mulai menangis sesenggukan! Inilah dia manusia nomor satu dalam dunia persilatan yang dikenal dengan julukan Gembel Cengeng Sakti Mata Buta. Kakek aneh yang pernah memberikan pelajaran tujuh jurus ilmu silat orang buta pada Mahesa.
"Kek, kalau saja tadi kau tidak menyerangku, aku pun tak akan membalas. Apakah kau terluka...?" tanya Mahesa.
"Aku segar-bugar. Hanya aku mendadak menjadi sedih setelah menyirap kabar tentang apa yang terjadi dengan dirimu malam tadi.
Mahesa jadi kaget. "Hai, secepat itukah kau mengetahui kek?!" tanyanya.
Si kakek mengangguk dan usut air matanya.
"Benarkah kau yang membunuh Adipati Suryo Maget?"
"Itu tuduhan dusta! Aku datang ke sana justru untuk menyelidik. Beberapa kali terjadi pembunuhan dengan cara yang sama…"
"Lalu apakah hasil penyelidikanmu?"
"Aku belum mendapatkan hasil kek. Pembunuh itu berlaku cerdik. Selalu lenyap sebelum aku sempat memergoki."
"Menurutmu si pembunuh laki-laki atau perempuan?"
"Dugaanku berat bahwa dia adalah seorang perempuan…"
"Aku sependapat denganmu anak muda. Aku sudah punya prasangka. Bagaimana dengan kau…"
Mahesa terdiam sejenak lalu gelengkan kepala. "Sulit kalau hanya menduga tanpa bukti-bukti. Kalau aku boleh tanya siapa orang yang kau curigai itu kek?"
"Aku tak akan menjawab. Sebaliknya mau bertanya dulu. Terakhir sekali ketika peresmian Partai Merapi Perkasa tempo hari kulihat kau berjalan seiring dengan seorang perempuan cantik luar biasa bernama Sari. Tanpa kau menerangkan aku sudah tahu bahwa perempuan itu bukan lain adalah betina iblis yang dikenal dengan julukan Ratu Mesum. Perbuatannya menebar nafsu dan membunuh di delapan penjuru angin membuat dunia persilatan bergidik.
Di mane perempuan itu sekarang?"
"Kami berpisah beberapa bulan yang lalu. Berjanji akan bertemu lagi pada hari ke tujuh bulan dua belas. Kek, apakah kau mencurigai kawanku itu... ?"
"Sampai aku mendapatkan kenyataan bahwa bukan dia yang melakukan pembunuhan-pembunuhan aneh serta keji belakangan ini, dia adalah manusia yang kucurigai pada urutan pertama…" Si kakek aneh kembali terdengar menangis sesenggukan.
"Di masa lalu dia memang iblis perempuan yang gentayangan mengumbar nafsu dan membunuh setiap laki-laki yang tidur dengannya. Tetapi ketika aku mengenalnya, dia sudah berubah sama sekali. Seperti malam dengan siang. Tak mungkin dia yang melakukannya kek. Cara tewasnya para korban tidak seperti cara-cara pembunuhan yang dilakukan kawanku itu. Jika dia memang ingin membunuh, kenapa susah payah menjirat dengan tali kuning segala? Sekali dia menghantamkan tangan seorang laki-laki pasti mati dibuatnya!"
Gembel Cengeng Sakti Mata Buta termenung dengan wajah menunjukkan kesedihan. Sesaat kemudian dia berkata, "Ada petunjuk yang bisa dijadikan pegangan."
"Petunjuk apakah itu kek?' bertanya Mahesa.
"Setiap korban yang terbunuh rata-rata sudah beristri. Bahkan lebih dari satu. Aku berkesimpulan bahwa yang menjadi sasaran adalah lelaki-lelaki hidung belang, yang tak pernah puas diri…"
Apa yang dikatakan si kakek memang benar. Tetapi Mahesa masih meragukan apakah hal itu memang dapat dijadikan petunjuk untuk menangkap si pembunuh. Dia yakin ada satu rahasia terkandung dalam semua kejadian ini. Meskipun demikian petunjuk seorang pandai seperti Gembel Cengeng Sakti Mata Buta ini tidak boleh diabaikan begitu saja.
"Turut hematku si pembunuh masih berkeliaran di daerah ini. Paling jauh sampai di Ungaran di sebelah Utara atau Salatiga di sebelah Timur. Banjar negara di sebelah Barat dan Bantul di sebelah Selatan. Tapi bukan mustahil sewaktu-waktu dia muncul di Kotaraja..."
"Siapa pun pembunuh itu dia pasti bukan sahabatku yang pernah menyandang galar Ratu Mesum itu," kata Mahesa pula.
"Sekarang ke manakah tujuanmu?" tanya kakek buta.
"Turut petunjukmu aku lebih suka menyirap kabar ke Kotaraja," sahut Mahesa.
"Bagus. Cobalah kau sirap kabar tentang seorang Pangeran hidung belang bemama Kuncoro Ageng. Dia lebih dikenal dengan nama Pangeran Ageng. Istrinya banyak. Gundik dan peliharaannya tidak terhitung. Namun selalu saja masih mencari daun-daun muda. Jika kau mau berlaku sabar dan berada di sekitarnya beberapa lama, cepat atau lambat kurasa dia akan menjadi sasaran pembunuh aneh itu..."
"Aku akan perhatikan petunjukmu itu kek..."
"Sekarang ada pertanyanku. Waktu kau kuserang dengan daun-daun itu kau sama sekali tidak, mengeluarkan kepandaian silat yang kau dapat dari gurumu Kunti Kendil. Hal ini sudah kuperhatikan sejak kejadian di Merapi dulu. Apa jawabmu anak muda...?"
"Aku segan mengatakannya kek. Tapi karena kau yang bertanya tak apalah kuceritakan. Sampai saat ini aku tetap menghormati nenek itu. Namun sejak dia menggantungku di puncak lyang, aku sudah bersumpah tidak akan mempergunakan ilmu kepandaian darinya, apa pun yang terjadi. Bahkan senjata ampuh papan nisan hitam yang diberikannya telah kukubur di satu tempat…"
"Ah, berat nian sumpahmu!" si kakek langsung saja unjuk tampang sedih dan kembali sesenggukan menangis!
"Kau tahu anak muda. Orang yang hidupnya bertualang dalam rimba persilatan sepertimu perlu kepandaian banyak…"
"Ilmu silat yang kau ajarkan padaku sangat dapat diandalkan kek. Yang penting aku harus lebih banyak melatih diri..."
Si kakek gelengkan kepala. "Ilmu silat butut itu..." katanya mengejek ilmu silatnya sendiri. "Masih kurang, anak muda. Masih kurang. Kau tetap memerlukan pukulan-pukulan sakti. Tanpa itu dirimu akan mengalami kesusahan…"
"Aku ada membawa Keris Naga Biru yang hebat itu!" ujar Mahesa.
"Senjata itu memang hebat. Namun itu hanya senjata titipan. Kelak jika kau menemukan siapa pemilik sebenarnya kau harus mengembalikannya!"
Mahesa terdiam.
"Kau mendapat Kitab Tujuh Jurus Ilmu Silat Orang Katai. Apakah sudah kau pelajari?"
"Masih belum kek. Untuk mempelajarinya tidak bisa asal-asalan. Membutuhkan tempat dan waktu…"
"Benar, kau harus menyediakan semua itu. Aku belum pernah melihat kitab silat itu. Juga belum pernah menyaksikan orang memainkannya. Tapi aku yakin itu adalah ilmu silat paling langka, sulit dicari tandingannya. Dan aku juga yakin di dalam jurus-jurus silat itu jika kau mau menggali
Iebih dalam, kau bisa menemukan cara tertentu untuk menciptakan sendiri pukulan-pukulan sakti. Bukankah kau sudah memiliki modal tenaga dalam yang luar biasa...?"
"Terima kasih atas petunjukmu itu kek. Aku memang mempunyai rencana seperti yang kau katakan itu..."
"Apakah kau memang tak ingin lagi bertemu dengan gurumu si nenek perot Kunti Kendil itu...?" bertanya Gembel Cengeng.
"Sebaiknya memang begitu kek…"
"Ah, dunia ini memang sangat luas," si kakek seperti biasanya kembali mulai menangis sedih. "Tetapi terkadang sangat sempit hingga tak muat untuk dua orang. Pertemuan bisa saja terjadi setiap saat tanpa terduga. Kau tahu setelah peristiwa berdarah di puncak Merapi, Kunti Kendil membawa suaminya yang terluka parah Lembu Surah memang manusia kuat luar biasa! Orang lain mungkin sudah mati mendapat hantaman para jago begitu rupa. Tapi kusirap kabar ternyata dia masih hidup. Cuma keadaannya sangat menyedihkan. Lumpuh sekujur badannya. Kunti Kendil menemaninya dengan setia. Seperti merawat seorang bayi besar. Kabarnya mereka memencilkan diri di satu tempat. Walau demikian, seperti kataku tadi, pertemuan bisa saja terjadi tanpa diduga…"
"Kek, jika pertemuan itu memang terjadi, lalu apakah yang akan kulakukan?' tanya Mahesa pula.
"Kali ini aku tak bisa memberi petunjuk. Soal hubungan guru dan murid, kau dan Kunti Kendil hanya kalian berdua yang bisa menentukan sendiri. Nah, hari sudah tinggi. Tua bangka buruk dan buta ini harus melanjutkan perjalanan!"
Orang tua buta itu lalu bangkit dari duduknya.
"Kek, apakah kau tidak ingin mencoba rokokku? Rokok klobot rokok enak..."
Gembel Cengeng Sakti Mata Buta tertawa. "Tentu saja aku mau. Tapi kau tak usah susah-susah menyalakannya. Aku mengambil yang sudah ada saja!"
"Maksudmu kek?" tanya Mahesa tak mengerti. Sebagai jawaban orang tua sakti itu melompat. Tubuhnya melesat ke pohon besar di mana tadi Mahesa bersembunyi dan menyalakan sebatang rokok menyan. Saat itu rokok tersebut masih terjepit di sela ranting dan masih menyala. Rokok inilah yang disambar si kakek. Tubuhnya lenyap di balik kerapatan daun-daun pohon-pohon besar.
Yang tinggal kini hanya tebaran bau menyan yang menusuk hidung. Mahesa geleng-geleng kepala. "Anak setan itu benar-benar luar biasa! Jadi sebenarnya tadi dia tahu kalau aku menipunya!"
SEPULUH
SI CANTIK DI TENGAH RIMBA JUWIRINGTIGA ORANG berpakaian prajurit keraton itu datang menemui lelaki muda yang duduk terkantuk-kantuk di bawah pohon bambu. "Pangeran, kuda telah kami siapkan. Peralatan untuk berburu sudah tersedia. Apakah Pangeran siap untuk berangkat sekarang?" tanya salah seorang dari tiga perajurit.
Orang yang ditanya—sang Pangeran—melunjurkan kedua kakinya lalu menguap lebar-lebar.
"Aku tahu kalau kalian sudah menyiapkan segala sesuatunya. Apakah juga bekal makanan sudah kalian siapkan? Perburuan ini mungkin memakan waktu seminggu, mungkin pula sebulan!"
"Jangan kawatir Pangeran Ageng. Bekal makanan sengaja kami sediakan untuk keperluan dua bulan!" jawab perajurit tadi.
"Bagus! Yang paling penting apakah kalian sudah menyebar kabar bahwa aku Pangeran Ageng akan berburu rusa di hutan Juwiring?!"
"Sudah Pangeran. Hal itu sudah kami lakukan!" jawab si perajurit.
"Dan bahwa selama aku berburu tidak satu orang pun boleh memasuki hutan itu! Apalagi kalau sampai mengganggu perburuanku di sana!"
"Itu pun sudah kami lakukan Pangeran."
"Semua beres. Pangeran tinggal berangkat dan berburu sepuasnya…!" kata perajurit satunya.
"Rumah peristirahatan di dalam rimba, apakah juga sudah dibersihkan?" tanya Pangeran Ageng !agi.
"Sudah dibersihkan luar dalam. Rumput-rumput sudah dibabat. Bunga-bungaan sudah ditanam. Bukankah Pangeran suka akan bunga-bunga..."
"Bagus! Lalu apakah kalian sudah pula menyiapkan bunga harum teman tidurku di atas ranjang?!"
"Ah, kalau yang satu, ini memang belum kami siapkan Pangeran. Mana berani kami mengatur Pangeran untuk urusan ini. Pangeran tentu lebih tahu akan selera Pangeran sendiri. Pangeran tinggal memberi tahu namanya, tinggal di mana. Kami akan datang menjemput…"
Pangeran Ageng tertawa gelak-gelak.
"Sebelum berangkat aku ingin meneguk tuak dulu puas-puas. Ambilkan bumbung tuak itu!"
Seorang perajurit kemudian mengambil sebuah bumbung bambu berisi tuak. Pangeran Ageng meneguk minuman itu sepuasnya lalu berdiri dengan terhuyung-huyung dan menyerahkan bumbung pada perajurit yang tadi menyerahkan.
"Kita berangkat sekarang!" kata sang Pangeran pula.
"Bagaimana dengan bunga peneman ranjang itu, Pangeran?" tanya perajurit yang di sebelah kanan.
"Tak usah dirisaukan. Kita akan menemukannya dalam perjalanan!"
Maka ke-empat orang itu naik ke atas kuda masing-masing. Seekor kuda yang khusus membawa perbekalan mengikuti dari belakang.
Setelah setengah hari menempuh perjalanan rombongan akhirnya sampai ke hutan Juwiring yang memang terkenal sebagai padang perburuan orang-orang Keraton karena di sini terdapat banyak rusanya.
"Apakah kita akan langsung berburu atau beristirahat dulu di rumah kecil dalam rimba?" tanya seorang perajurit.
"Kita menuju rumah peristirahatan itu. Tapi jika di tengah jalan ada binatang perburuan, kenapa harus dibiarkan?" sahut Pangeran Ageng. Lalu setelah menguap dua kali berturut-turut dia minta busur dan kantong panah. Busur dipegangnya di tangan kiri, kantong panah digantungkannya di punggung. Sebilah pedang kemudian disisipkannya di pinggang.
Dalam perjalanan menuju rumah peristirahatan di tengah rimba rombongan menemui tiga ekor rusa. Tanpa menyia-nyiakan kesempatan Pangeran Ageng dan anggota rombongannya segera memburu ketiga binatang ini. Dua ekor rusa berhasil dipanah dan ditangkap. Rusa ke tiga sempat meloloskan diri.
"Rejeki besar Pangeran! Belum setengah hari di dalam hutan sudah dapat dua ekor rusa..."
Pangeran Ageng menyeringai senang. Bersama rombongan dia masuk lebih jauh ke dalam rimba belantara. Menjelang matahari tenggelam mereka sampai di rumah kecil itu. Di sini rombongan berhenti untuk istirahat. Perburuan akan dilanjutkan besok pagi.
Kicau burung terdengar bersahut-sahutan menyambut terbitnya sang surya. Begitu matahari menyembul di sebelah timur dan rimba belantara itu mulai terang, Pangeran Ageng dan tiga perajurit pengawalnya sudah berada di atas kuda masing-masing menuju bagian rimba sebelah timur di mana terdapat sebuah mata air. Biasanya rusa dan binatang hutan lainnya suka berkumpul di sekitar mata air ini.
"Pangeran, apakah tidur Pangeran nyenyak malam tadi?" tanya seorang perajurit.
"Ah, mana bisa nyenyak kalau tak ada selimut yang pandai bernafas...!" sahut Pangeran Ageng lalu tertawa gelak-gelak. "Jauhkah mata air itu dari sini?" tanyanya kemudian.
"Cukup jauh. Sekitar seperempat hari perjalanan. Itu kalau kita mengikuti jalan yang biasa ditempuh para pemburu. Jika mengambil jalan memintas akan lebih cepat lagi."
"Kau tahu jalan memintas itu?"
"Cukup hafal Pangeran."
"Bagus. Kalau begitu kita tempuh jalan memintas. Kau jalan duluan…"
Maka rombongan pun menuju mata air di tengah rimba melewati jalan melintas yang lebih pendek dan cepat. Jauh sebelum tengah hari mereka telah sampai di mata air itu. Namun tak seekor rusa pun yang tampak di tempat itu. Sesekali tampak tupai melompat turun dari pohon untuk minum air telaga kecil atau bengkarung muncul di balik daun-daun atau sela-sela batu, lalu menyelinap lenyap.
"Bagaimana ini! Kalian bilang di mata air ini banyak rusa berkumpul! Seekor pun tak kulihat!" kata Pangeran Ageng sambil memandang berkeliling dan timang-timang busur di tangan kanannya. Tiba-tiba seekor tupai tampak di cabang tinggi sebuah pohon di sebelah kanan. Sesaat binatang ini memandang ke kiri dan ke kanan. Lalu melayang turun menuju mata air. Namun nasibnya malang. Selagi tubuhnya melayang di udara, Pangeran Ageng dengan sigap mengambil sebatang anak panah, merentangkan busur. Panah dilepas. Melesat di udara lalu menancap tepat di dada tupai. Binatang ini mencicit pendek lalu jatuh ke tanah bersama-sama anak panah yang masih menancap di tubuhnya.
"Tupai masih lebih baik dari pada tak ada buruan sama sekali!" ujar Pangeran Ageng sementara seorang perajurit turun dari kuda, memungut tupai itu dan membawanya ke hadapan sang pangeran.
"Jika kau suka kau boleh panggang dan makan sepuasmu!" kata Pangeran Ageng.
"Terima kasih Pangeran. Tapi saya belum lapar," jawab si perajurit.
"Berapa lama kita menunggu di sini sampai rusa-rusa itu muncul...?" Sang Pangeran rupanya masih kesal dengan binatang buruan yang masih belum kelihatan itu.
"Sabar saja Pangeran. Hari masih pagi. Tentunya rusa-rusa itu masih berkeliaran di tempat lain mencari makanan. Siang hari, bila mereka sudah letih dan kehausan, tentu binatang-binatang itu akan datang ke telaga kecil ini."
"Apakah tak ada ikan di dalam telaga itu?" bertanya Pangeran Ageng.
"Rasa-rasanya tak pernah ada Pangeran."
"Kalau begitu kita berlindung di balik jejeran pohon-pohon besar sebelah sana. Menunggu sampai rusa-rusa itu muncul…"
Menjelang tengah hari, ketika rimba belantara Juwirang itu mulai terasa panas oleh terpaan sinar matahari, seperti yang dikatakan oleh perajurit pengawal Pangeran Ageng, beberapa binatang hutan mulai menampakkan diri berdatangan ke mata air yang membentuk telaga kecil di tengah rimba. Mula-mula tampak dua ekor burung belibis hutan. Pangeran Ageng tidak begitu terlalu berminat untuk memanah burung-burung ini. Karena itu dia membiarkannya saja. Kemudian muncul dua rusa betina. Sang pangeran segera menyiapkan panah dan busurnya namun entah mengapa—seperti dikejutkan oleh sesuatu—kedua binatang itu memanjangkan leher masing-masing, berpaling ke kiri dan ke kanan lalu melarikan diri dari tepi telaga.
"Sialan! Ada yang tidak beres di sekitar telaga itu. Kedua rusa itu seperti terkejut!" kata Pangeran Ageng kesal.
"Mungkin ada binatang hutan lainnya yang mengusik hingga dua rusa tadi kaget dan melarikan diri..." ujar perajurit yang tegak sambil memegang bumbung bambu berisi tuak. "Tunggu saja. Pasti dua rusa betina tadi muncul lagi. Mungkin juga bersama kawan-kawannya…"
Baru saja perajurit ini berkata demikian, mendadak dari balik sebatang pohor besar muncul dua tanduk runcing. Perajurit yang memegang bumbung bambu cepat memberi isyarat pada Pangeran Ageng. Sang Pangeran pun rupanya sudah melihat karena saat itu busur sudah direntang dan anak panah siap dilepaskan.
Dua tanduk runcing bergerak. Kini tampak moncong seekor rusa, menyusul leher lalu seluruh tubuhnya. Binatang ini muncul seorang diri dan luar biasa besarnya. Pangeran Ageng tarik tali busurnya lebih ke belakang. Mata kirinya menyipit. Bidikannya adalah leher rusa jantan. Sesaat sebelum dia melepaskan anak panah mendadak dari sudut lain telah lebih dahulu melesat sebuah anak panah berwarna kuning. Panah ini menancap tepat di leher rusa jantan di dekat pohon. Binatang itu berjingkrak lalu roboh ke tanah.
Dalam terkejutnya Pangeran Ageng saja melepas anak panahnya. Anak panah ini hanya sempat menghantam salah satu tanduk rusa sebelum binatang ini roboh ke tanah akibat hantaman anak panah pertama!
"Ada seorang lain melepas panah!" seru Pangeran Ageng marah. "Kurang ajar! Lekas kalian cari dan tangkap orang itu!"
Tiga pengawal Pangeran Ageng segera melompat dari balik jejeran pohon, lari ke arah telaga. Seorang di antaranya berteriak, "Siapa yang berani memasuki hutan Juwiring ketika Pangeran Ageng melakukan perburuan?!"
Tak ada yang menjawab. Namun dari balik batang keladi hutan yang besar keluar seorang berpakaian kuning, mengenakan caping lebar terbuat dari anyaman bambu hingga kepala dan wajahnya tidak kelihatan. Orang ini lari menghampiri rusa yang menggeletak mati. Namun sebelum dia sempat menyentuh tubuh binatang itu, tiga perajurit tadi sudah berada di sampingnya. Salah seorang langsung mendorongnya hingga terduduk di tanah.
"Manusia edan! Apa kau minta mati berani mengganggu Pangeran Kuncoro Ageng yang sedang berburu? Siapa yang memberi izin memasuki rimba belantara Juwiring? Apa tidak tahu kalau sebelum Pangeran Ageng berburu sudah lebih dulu diumumkan tidak seorang pun boleh masuk ke rimba ini! Dan kau bukan saja masuk tanpa izin dan mengganggu Pangeran Ageng, malah berani memanah rusa sasaran sang pangeran! Bersiaplah untuk menerima hukuman!"
Saat itu Pangeran Ageng sudah berada di tempat itu. Dengan sebal dia menarik lepas caping bambu yang menutupi kepala serta wajahnya. Begitu caping diangkat, kagetlah ke empat orang itu, terutama sang pangeran. Yang terduduk di tanah itu ternyata adalah seorang dara berwajah sangat cantik, berambut hitam yang disanggul di belakang kepala. Matanya yang bening dan raut wajahnya yang jelita jelas menunjukkan rasa takut.
"Sa... saya tidak tahu kalau ada larangan memasuki rimba ini." kata dara itu gagap. Suaranya meskipun bernada ketakutan tapi tetap saja merdu terdengar di telinga tiga perajurit dan Pangeran Ageng. "Saya tidak... tidak tahu kalau Pangeran Ageng tengah berburu di rimba ini." Sang gadis memandang sesaat pada Pangeran Ageng, lalu letakkan busur dan sisa anak panahnya di tanah dan bersujud seraya berkata, "Jelas saya telah berbuat kesalahan. Saya bersedia menerima hukuman ....!"
Waktu bersujud di hadapan Pangeran Ageng, sanggul rambutnya terlepas hingga kini tampaklah rambutnya yang hitam panjang tergerai sampai ke punggung. Pangeran Ageng dan tiga pengawalnya sesaat saling pandang.
"Berdirilah! Tak perlu bersujud! Bagus kalau kau sudah mengaku bersalah dan siap menerima hukuman!" kata Pangeran Ageng.
Perlahan-lahan tubuh yang bersujud itu berdiri, Berhadap-hadapan sedekat itu Pangeran Ageng dapat melihat jelas paras yang begitu cantik, kulit yang sangat halus serta sepasang payudara yang turun naik karena ketakutan.
"Aku mengagumi kepandaianmu memanah. Siapa namamu dan kau datang dari mana ,...?"
"Kepandaian saya bukan apa-apa dibanding dengan kepandaian Pangeran…" sahut sang dara. "Tadi hanya kebetulan saja saya dapat memanah leher rusa itu. Saya bernama Pinindi, berasal dari desa Torongrejo…"
"Mengapa berani masuk ke dalam rimba Juwiring ini seorang diri?" tanya Pangeran Ageng.
"Tadinya hanya main-main saja di pinggiran hutan sebelah timur. Tahu-tahu keterusan ...."
"Tahukah kau apa hukuman seseorang yang berani mengusik ketenteraman seorang Pangeran?"
"Sa… saya menerima salah. Saya siap menerima hukuman. Hanya saja, sebelum saya dihukum apakah bisa menemui ayah dulu. Kalau saya tidak kembali beliau pasti akan khawatir…"
"Siapakah ayahmu?"
"Hanya seorang petani miskin, Pangeran…"
"Baik dan dengarlah Pinindi, hari ini kuampuni kesalahanmu...''
Paras gadis berpakaian kuning itu yang tadi pucat kini tampak berdarah kembali.
"Kuampuni tetapi dengan satu syarat," berkata lagi Pangeran Ageng.
"Saya harap saja syarat itu tidak berat Pangeran…" kata Pinindi.
"Tidak, tidak berat. Malah kehidupan masa depanmu akan penuh keberuntungan!"
"Apakah syarat yang Pangeran maksudkan itu?" tanya Pinindi pula.
"Aku datang ke rimba Juwiring ini hanya ditemani tiga pengawal. Malam pertama tadi kulewati dengan tidur seorang diri berselimut udara dingin dan kesepian. Apakah malam nanti kau bersedia menemaniku di rumah kecil di tengah rimba. Lalu malam-malam selanjutnya sampai aku selesai berburu..."
Sang dara tampak berubah wajahnya dan tundukkan kepala. Untuk beberapa lamanya dia tegak dengan mulut terkancing. Akhirnya mulut itu terbuka juga memberi jawaban.
"Jika itu kehendak Pangeran, dan jika hal itu dijadikan sebagai penebus dosa serta kesalahan saya, perempuan desa seperti saya mana berani menolak…"
Tiga perajurit di samping sang pangeran tampak saling pandang dan sama tersenyum. Pangeran Ageng sendiri tertawa lebar.
"Tetapi Pangeran," terdengar suara Pinindi kembali.
"Setelah Pangeran selesai berburu di rimba Juwiring ini, apakah Pangeran akan melupakan saya, lalu meninggalkan saya begitu saja...?"
Pangeran Ageng berpaling pada ketiga pengawalnya. Seorang di antara mereka membisikkan sesuatu. Sang Pangeran mengangguk-angguk lalu pada gadis itu dia berkata, "Tidak aku tidak akan melupakanmu. Apalagi meninggalkanmu. Gadis cantik sepertimu sangat pantas menjadi pendampingku di Kotaraja…"
"Mohon maafmu Pangeran. Bukankah Pangeran sudah mempunyai beberapa orang istri dan... dan selir..."
"Hemm... Memang betul. Tapi setelah aku melihat kecantikan paras wajahmu serta keelokan raut tubuhmu, mereka semua bukan apa-apa..."
"Kalau begitu saya menurut apa mau Pangeran saja…"
"Bagus... bagus!" kata Pangeran Ageng gembira sekali.
"Perburuan hari ini cukup sampai di sini. Kita, kembali ke rumah peristirahatan itu.." Lalu Pangeran Ageng menolong Pinindi naik ke atas kudanya. Berdua mereka menunggangi kuda meninggalkan telaga di tengah rimba itu.
SEBELAS
TERJEBAK DI ATAS RANJANGPANGERAN KUNCORO AGENG meneguk tuak di dalam kendi tanah sampai sepertiga isinya lalu menyeka bibir dengan balik telapak tangan. Dia tersenyum pada Pinindi yang duduk di depannya.
"Enak sekali panggang daging rusa yang kau panah itu."
"Sebenarnya anak buah Pangeran yang pandai membuat bumbu masakah..." jawab Pinindi.
Sambil tak puas-puasnya memandangi wajah cantik jelita itu Pangeran Ageng berkata, "Tak pernah aku bermimpi. Tak ada tanda-tanda kalau hari ini aku akan bertemu dengan seorang gadis secantik bidadari. Jika kita sampai di Kotaraja nanti akan kuberikan pakaian bagus, lengkap dengan perhiasan. Akan kusuruh para dayang memandikanmu di kolam air bunga dan akan kuminta para juru rias mendandanimu. Kau akan menjelma benar-benar seperti bidadari. Tidak seorang pun dapat menyaingi kecantikanmu. tidak permaisuri atau istri muda atau selir dan peliharaan Sri Baginda!"
"Pangeran terlalu memuji saya," kata Pinindi tersipu-sipu.
"Aku tidak mengada-ada," kata Pangeran Ageng. “Terus terang saya pun tidak menyangka kalau Pangeran ternyata masih begini muda dan sangat gagah. Tadinya saya mengira yang namanya Pangeran Kuncoro Ageng itu adalah seorang berusia lanjut dengan kumis dan janggut yang sudah putih…"
Pangeran Ageng tertawa gelak-gelak. Dia meneguk lagi tuak dalam kendi tanah lalu tegak di depan jendela rumah, memandang ke luar. Malam telah tiba dan segala sesuatunya di luar sana mulai diselimuti kegelapan. Berbagai suara binatang hutan terdengar di kejauhan.
"Saatnya bagi kita untuk masuk ke dalam Pinindi," bisik Pangeran Ageng. Kendi diletakkannya di atas meja. Dia tegak di belakang kursi yang diduduki gadis itu lalu membungkuk menciumi tengkuk Pinindi.
"Mari kudukung kau..." bisik sang pangeran dengan nafas panas memburu. Lalu tubuh yang montok dibalut kulit putih halus itu didukungnya, dibawa masuk ke dalam kamar dan dibaringkannya di atas ranjang empuk.
"Berapa lamakah kita akan bermalam di sini, Pangeran?" tanya Pinindi.
"Jika kau suka lebih lama, aku akan mengikuti. Tapi jika kau ingin lekas-lekas kubawa ke Kotaraja, besok pun kita bisa berangkat. Mengapa kau bertanya begitu...?"
"Saya ingin mengenakan pakaian-pakaian bagus dan perhiasan yang Pangeran janjikan itu," jawab Pinindi.
Pangeran Ageng tertawa. "Hal itu kau tak usah kawatir. Apa yang kujanjikan akan kupenuhi. Kau ingin aku mematikan lampu minyak di kamar ini atau lebih suka berterang-terang?"
"Kalau boleh saya ingin berterang-terang saja Pangeran."
Sang Pangeran tersenyum. Hidungnya kembang kempis. Memang itu yang diingin-inginkannya. Di bawah penerangan dua buah lampu yang ada dalam kamar itu dia akan dapat melihat dan menikmati keindahan tubuh dan segala sesuatu yang dimiliki Pinindi.
Baru saja dia berbaring di sebelah si gadis terdengar Pinindi berkata. "Aneh, di dalam rimba yang dingin ini saya merasa kegerahan. Bolehkah saya membuka pakaian Pangeran...?"
Pucuk dicinta ulam tiba! Pikir Pangeran Ageng.
"Tentu saja Pinindi. Biar kubantu membuka pakaianmu."
"Tidak usah. Pangeran berbaring saja. Biar saya sendiri yang melakukannya. Tapi saya tak ingin Pangeran memperhatikan. Membaliklah ke arah dinding. Saya tak akan lama. Saya akan segera berada dalam pelukan Pangeran…"
Bergetar tubuh Pangeran Ageng mendengar kata-kata yang serba merangsang itu. Maka tanpa banyak cerita lagi dia pun balikkan badan menghadap ke dinding kamar.
"Apakah Pangeran sendiri tidak membuka pakaian..." terdengar oleh sang pangeran suara Pinindi bertanya justru di saat dia membayangkan bahwa gadis itu telah mulai membuka pakalan luarnya.
"Tentu... tentu Pinindi. Tapi aku ingin kau nanti yang melakukannya. Kau nanti yang membukakan pakaianku. Kau mau... Kau mau bukan, Pinindi?"
"Apa pun yang Pangeran pinta akan saya lakukan. Bukankah saya ini milik Pangeran?"
"Ah, aku benar-benar berbahagia menemukan seorang gadis secantik dan sebaikmu. Kau perempuan paling penuh pengertian akan hasrat mendalam dari seorang laki-laki…"
"Betulkah begitu Pangeran…?"
"Ya... ya…" Dan sang pangeran mendengar suara tubuh Pinindi membalik. "Ah, kini dia tentu sudah tak berpakaian lagi," membayangkan Pangeran Ageng. Lalu cepat-cepat dia membalikkan tubuh, siap untuk memeluk tubuh polos mulus Pinindi dengan kedua tangannya.
Tapi di saat itu—sebelum dia sempat membalik—sang pangeran merasa ada sesuatu menyelusup melewati kepalanya, lalu terhenti di leher. Menyusul ada satu kekuatan laksana setan menjerat lehernya!
"Ranjang setan adalah yang paling bagus untuk manusia budak nafsu semacammu Pangeran Kuncoro Ageng!" terdengar suara Pinindi.
Tali kuning yang dipakainya menjerat leher sang pangeran dibetot dan ditariknya kuat-kuat.
"Mampus... mampus kau Pangeran! Mampus!"
Tali itu ditariknya lagi kuat-kuat. Tapi tak ada terdengar suara kraak! Tak ada terdengar suara patahnya tulang leher sang pangeran. Tak ada suara tercekik hek! Juga tidak ada geleparan tangan atau lejangan kaki! Apa yang terjadi?
Tiba-tiba bukk!
Siku kiri Pangeran Ageng menghantam pinggul Pinindi dengan keras hingga gadis ini terpental dan menjerit saking kaget tak mengira dan juga karena sakit yang amat sangat. Tubuhnya terkapar di lantai. Di saat yang sama Pangeran Ageng melompat turun dari atas ranjang. Tali kuning besar masih menjirat lehernya. Lengan kanannya yang tadi disusupkan di bawah dagu dan melintang sepanjang leher masih menempel di leher itu. Gerakannya melindungi leher dengan lengan kanan inilah tadi yang menyelamatkannya dari jerat maut tali kuning Pinindi!
Di atas lantai gadis itu dilihatnya masih mengenakan pakaian kuning lengkap. Tak satu bagian pun yang terbuka atau tersingkap.
"Siapa kau sebenarnya?!" bertanya Pinindi lalu melompat dan tegak sejauh delapan langkah dari Pangeran Ageng. Sang pangeran lepaskan tali kuning yang mengikat leher dan lengan kanannya lalu sambil putar-putar tali itu di tangan kanan dia balas bertanya, "Kau sendiri siapa?
Namamu bukan Pinindi. Juga bukan Surti atau Randini atau segala macam nama yang ternyata palsu semua...?!"
Berubahlah paras Pinindi. Tapi dia cepat berusaha menguasai diri sambil berkata, "Saya tidak mengerti maksud kata-katamu!"
"Apa kau juga tidak mengerti dengan maksud benda-benda ini?" ujar Pangeran Ageng seraya mengeluarkan empat utas tali kuning yang membuat mata Pinindi jadi terbeliak. "Itu tali maut yang bisa kukumpulkan. Masih banyak lainnya yang tidak kudapatkan! Apakah kau hendak ber-
kata bahwa tali-tali itu bukan milikmu? Bahwa selama ini bukan kau yang malang melintang melakukan pembunuhan-pembunuhan di atas ranjang? Ranjang yang seperti kau sebut tadi ranjang setan?!"
Hari ini aku Pangeran Ageng membongkar rahasia perbuatan biadabmu!"
"Kau bukan Pangeran Ageng!" teriak Pinindi.
"Ha... ha... Kau memang benar. Aku bukan Pangeran Kuncoro Ageng...!" sahut orang di hadapan Pinindi. Lalu dibukanya pakaian bagus dan mewah yang dikenakannya. Di balik pakaian itu ternyata dia mengenakan sehelai baju dan celana putih. Dari balik pakaian putihnya dia mengeluarkan sebatang rokok. Dalam hati orang ini memaki. "Anak setan! Mulutku sampai asam satu harian tidak merokok!" Lalu rokok itu dinyalakannya. Bau menyan serta merta menebar di dalam kamar.
"Pendekar Dari Liang Kubur!" teriak Pinindi dengan wajah pucat pasi.
Mahesa tersenyum dan hembuskan asap rokoknya ke atas.
"Bagus, kau sudah tahu siapa aku. Sekarang katakan siapa dirimu. Mengapa kau melakukan pembunuhan-pembunuhan itu? Dan mengapa korban-korbanmu kau habisi di atas ranjang! Lekas katakan!"
"Aku sudah lama mendengar nama besarmu. Tapi kau tidak bisa memerintahku."
"Kenapa begitu?!" tanya Mahesa.
"Karena jangan kira aku takut padamu!"
"Bagus! Berani berbuat berani bertanggung jawab…" gertak Mahesa.
Tiba-tiba di depannya dilihatnya Pinindi mengeluarkan seutas tali kuning sepanjang satu tombak. Tali ini diputar-putarnya di atas kepala hingga mengeluarkan suara seperti petir. Ujung tali itu tiba-tiba melesat menghantam ke arah kepala Mahesa. Pemuda ini cepat merunduk. Tetapi tak terduga ujung tali menyambar ke arah kaki kirinya. Sebelum dia sempat berbuat sesuatu ujung tali telah menjirat pergelangan kaki kirinya. Sekali Pinindi menyentakkan tali itu tak ampun Mahesa jatuh terjengkang. Belum Iagi dia sempat bangkit kaki kanan si gadis sudah menderu ke arah kepalanya!
"Anak setan keparat!" maki Mahesa. Ternyata gadis cantik bertubuh molek dengan sikap lemah lembut penuh daya tarik ini memiliki kepandaian luar biasa. Untung saja tadi waktu membentengi lehernya dengan lengan dia telah mengerahkan tenaga dalam. Kalau hanya mengandalkan tenaga luar tidak mustahil tulang lengannya akan patah dan lehernya langsung terjirat! Nasibnya akan sama dengan Adipati Suryo Maget atau Raden Bondo atau semua laki-laki lain yang telah jadi korban keganasan perempuan aneh itu!
Semula Mahesa hendak lepaskan pukulan untuk memukul hancur paha Pinindi. Namun tendangan datang begitu cepat hingga terpaksa pemuda ini keluarkan Jurus Si Buta Terjatuh Menggapai Karang. Tubuhnya dibantingkan ke belakang. Kedua tangannya menggapai ke atas dan terdengar pekik Pinindi ketika dapatkan betis kanannya tertangkap dua tangan lawan!
Gadis ini tak kurang akal. Dia putar tangannya yang memegang tali kuning, yang ujungnya saat itu masih melingkar di kaki kiri Mahesa. Tali ini diputarnya demikian rupa, maksudnya untuk menjerat kedua tangan lawan. Tapi Mahesa berlaku lebih cerdik. Sambil lepaskan cekalannya di betis Pinindi pemuda ini lebih cepat menarik lepas ujung tali pada kaki kirinya lalu melompat melewati kepala Pinindi dan dari atas dia putar tali kuning itu sebat sekali. Di lain kejap Pinindi tegak mernatung tak bisa bergerak. Sekujur tubuhnya, mulai dari paha sampai ke bahu telah dililit tali besar miliknya sendiri!
"Aku sudah siap mati! Bunuhlah!" teriak Pinindi. Dia tidak berusaha meronta. Sepasang matanya yang bagus memandang galak pada Mahesa. Si pemuda justru sunggingkan senyum dan hisap rokoknya dalam-dalam. Dia ambil potongan tali yang tadi dipakai Pinindi untuk menjerat lehernya dan putar-putar di depan hidung si gadis.
"Tadi tali ini kau pakai untuk membunuhku, dengan tali ini pula sebentar lagi aku akan menjerat batang lehermu.
Mudah saja memenuhi permintaanmu bukan...?"
"Jangan banyak bicara! Kalau mau bunuh lakukan cepat!"
"Tenang Pinindi. Pangeranmu ini hendak bertanya lebih dulu. Jika jawabanmu cukup masuk akal, mungkin hukumanmu bisa kuperingan!"
"Pangeran keparat! Apa yang hendak kau tanya?!" bentak Pinindi alias Randini alias Surti dan banyak alias lainnya.
"Mengapa kau membunuhi orang-orang itu. Aku tahu mereka memang lelaki-lelaki budak nafsu. Tetapi mereka tidak punya kesalahan apa-apa terhadapmu... Usiamu masih begini muda. Mengapa menjadi setan di atas ranjang?!"
"Kau sendiri mengapa menyaru menjadi Pangeran Ageng? Bukankah tujuanmu juga untuk memuaskan nafsu terkutukmu?!"
"Jangan salah sangka! Aku berbuat begitu justru untuk menjebakmu lalu menangkapmu basah!" sahut Mahesa pula.
"Semua lelaki memang pandai memutar lidah..."
"Apakah kau tidak mau mengatakan mengapa kau membunuhi orang-orang itu...?" kembali Mahesa bertanya.
"Itu bukan urusanmu! Kalau kau mau bunuh aku, bunuh saja! Jangan banyak cerita, jangan banyak tanya!"
Tiba-tiba pintu kamar dibuka orang dari luar dengan paksa. Sesosok tubuh masuk ke dalam sambil mengeluarkan seruan.
"Memang benar itu bukan urusannya. Tapi urusanmu dengan aku, anakku!"
DUA BELAS
AKHIR DARI KEBEJATANMahesa dan Pinindi sama palingkan kepala. Di dalam kamar itu kini tegak seorang lelaki berusia sekitar setengah abad, berpakaian sangat lusuh. Rambut, janggut serta kumisnya sudah memutih. Dia memandang pada Pinindi dengan mata berkaca-kaca.
"Sumini anakku…" kata orang tua itu. "Lebih dari empat tahun mencarimu. Jika aku ingat perbuatan terkutukku dulu, ah sungguh aku menyesal. Ingin aku bunuh diri menebus dosa dan aib besar itu. Tapi kemudian kusadari hanya satu orang yang patut mencabut nyawaku. Yaitu kau sendiri anakku. Kau... yang telah kurusak karena terhasut oleh nafsu bejat. Karena... karena kau sama benar dengan mendiang ibumu. Oh Gusti Allah... Hukumlah aku seberat-beratnya...."
"Ayah!" seru Pinindi yang ternyata nama sebenarnya adalah Sumini. Suaranya tercekik dan bergetar tanda dia berusaha menahan luapan perasaannya. "Tak patut aku memanggilmu sebagai ayah. Pergi dari sini. Aku tak ingin melihatmu lebih lama... !"
"Kau memang tak akan melihatku lebih lama Sumini..."
Lelaki berambut putih yang mengaku ayah Sumini keluarkan sebuah clurit besar lalu dia melangkah mendekati gadis yang terikat gelungan tali kuning itu. Mahesa cepat menangkap bahu orang ini.
"Apa yang hendak kau lakukan? Apa dia anakmu....?"
"Dia memang anakku. Jangan kau halangi maksudku. Lepaskan tali yang mengikat tubuhnya. Akan kuberikan clurit ini padanya. Biar dengan senjata ini ditebasnya leherku…"
"Braaak!
Tiba-tiba jendela kamar hancur berantakan. Seorang berpakaian hitam molompat masuk. Gerakannya gesit dan pandangan matanya liar. Tetapi ketika matanya membentur Sumini, pandangannya menjadi redup. Dia berpaling pada lelaki berambut putih dan berkata "Akik Demang, jika ada yang akan dibunuh oleh puterimu ini saat ini, akulah orangnya!"
Akik Demang, ayah Sumini tampak melengak kaget.
"Guru silat Bindi Rejo apa maksudmu?" tanyanya menyentak.
"Akik Demang, maafkan aku. Budi perangai kita ternyata sama. Kebejatan kita ternyata tidak berbeda. Apa yang kau lakukan terhadap anak kandungmu, telah kulakukan pula terhadapnya ketika dia kuambil jadi murid setelah melarikan diri dari rumah akibat perbuatanmu…"
Akik Demang tampak menggeletar sekujur tubuhnya.
"Jadi… jadi…! Manusia keparat! Kucincang badanmu!" teriak Akik Demang. Sekali lompat saja dia sudah berada di hadapan Bindi Rejo. Clurit besar di tangannya membabat. Guru silat itu terdengar mengeluh pendek. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang. Kedua tangannya menekap perutnya yang robek besar dimakan clurit. Darah menyembur. Ketika tubuh itu terjatuh dan kedua tangannya tak lagi dapat menekap perut, maka dari perut yang robek keluar
membusai usus besarnya.
"Seharusnya... seharusnya dia yang membunuhku. Bukan... bukan…" Kata-kata Bindi Rejo hanya sampai di situ karena nyawanya keburu meninggalkan tubuh.
Sumini tegak dengan wajah mendongak. Kedua matanya terpejam. Tampak air mata membasahi pipinya. Dadanya turun naik menahan gelora. Tiba-tiba dari mulutnya keluar satu teriakan dahsyat. Bersamaan dengan itu dia jatuhkan tubuhnya ke lantai lalu bergulingan. Gulingan ini membuat tali yang menggulung tubuhnya terlepas. Selagi Akik Demang tertegun memegangi clurit berdarah, senjata ini tiba-tiba dirampas oleh Sumini lalu dibabatkannya ke lehernya sendiri!
"Sumini!" pekik Akik Demang. .
Tapi terlambat. Tak satu orang pun yang sempat menahan dan menghalangi perbuatan Sumini. Lehernya hampir putus. Sesaat dia tersandar ke dinding kamar lalu melosoh ke lantai. Dari leher yang hampir putus itu terdengar suara menggeros beberapa kali lalu diam. Seperti gila Akik Demang menubruk mayat anaknya. Merampas clurit yang masih tergenggam di tangan Sumini
lalu menikamkannya dalam-dalam ke perutnya.
Mahesa bantingkan rokoknya ke lantai. Semua terjadi serba tak terduga dan sangat cepat hingga tak satu pun yang bisa dilakukannya. Selain itu apa yang saling diucapkan oleh orang-orang itu membuat pemuda ini tertegun terkesiap. Sudah begini bejatkah dunia? Sang ayah merusak kehormatan anak kandungnya sendiri? Lalu seseorang mengambil gadis yang malang itu menjadi muridnya. Untuk kemudian digagahi pula?!
"Pangeran… Apa yang harus kita lakukan sekarang...?" Satu suara bertanya.
Mahesa berpaling ke pintu. Di situ tegak tiga orang perajurit yang selama ini bertindak menjadi pengawalnya.
"Kentut busuk! Aku sudah bukan Pangeran lagi. Kalian bukan perajurit lagi. Sandiwara kita tamat sampai di sini. Besok pagi urus ketiga jenazah ini. Setelah itu kalian boleh pergi. Ini bayaran kalian... bagilah bertiga!" Dan balik pakaiannya Mahesa mengeluarkan sebuah kantong kecil berisi potongan-potongan perak dan melemparkannya pada orang di hadapannya. Lalu dia melangkah ke pintu.
"Pangeran... eh sahabat muda, kau mau ke mana?" tanya orang yang menangkap kantong berisi perak.
"Aku mau pergi tidur di luar. Siapa sudi tidur dengan mayat!" sahut Mahesa pula.
"Kalau begitu kami ikut bersamamu. Bangunan ini bisa menjadi rumah setan! Pangeran Kuncoro Ageng yang sebenarnya pasti akan mati ketakutan diganggu tiga setan penasaran....!"
Tiba-tiba bau menyan menebar di udara. Lelaki yang tadi bicara kembali membuka mulut. "Ah! Anak muda itu! Mengapa dia merokok menyan pula! Membuat suasana jadi semakin mengerikan!" Lalu dia mengajak kedua temannya meninggalkan kamar itu sebelum tengkuk mereka terasa tambah dingin dan merinding.
T A M A T
Dengan berakhirnya episode Rahasia Ranjang Setan, maka berakhir pula kisah MAHESA EDAN PENDEKAR DARI LIANG KUBUR.
INDEX MAHESA EDAN | |
Rahasia Si Bungkuk Berjubah Putih --oo0oo-- Cerita Silat Mahesa Edan |