Life is journey not a destinantion ...

Puteri Teratai Merah

INDEX AJI SAKA
87.Setan Bongkok --oo0oo-- 89.Tombak Panca Warna

AJI SAKA
DEWA ARAK
Penerbit Cintamedia, Jakarta



Cetakan pertama, Penerbit Cintamedia, Jakarta, Penyunting :Tuti S. Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak, sebagian atau seluruh isi buku ini, tanpa izin tertulis dari penerbit



1
Bunyi kukuk burung hantu terdengar memecah kesunyian malam. Langit tampak bersih. Hanya ada sedikit awan yang menggantung di sana. Itu pun tipis saja. Hingga, meskipun bulan hanya sepotong namun suasana terlihat cukup terang.
Dalam suasana seperti itulah tampak sesosok bayangan berkelebat cepat. Karena suasana cukup terang, sosok bayangan itu terlihat agak jelas. Sosok itu bertubuh tinggi kurus dan berpakaian serba hitam. Wajahnya putih pucat seperti orang berpenyakitan sepasang matanya yang besar berwarna merah.
Lelaki berusia sekitar empat puluh lima tahun ini berlari cepat menuju sebuah bangunan besar yang terlihat menjulang kokoh di kejauhan. Larinya cepat bukan main hingga dua kakinya bagai tak menginjak tanah!
Berkat ilmu larinya yang luar biasa, lelaki berpakaian serba hitam ini dalam waktu yang tidak terlalu lama tiba di tempat yang dituju. Tanpa mengendurkan kecepatan larinya, lelaki ini melompat ke atas pagar tembok yang mengurung bangunanbangunan di da-lamnya. Tinggi pagar ini tidak kurang dari tiga tombak!
"Hey! Siapa kau...?!"
Teguran keras terdengar tiba-tiba menyambut jejak kedua lelaki tinggi kurus itu di atas pagar tembok.
Lelaki tinggi kurus hanya mendengus. Dia tidak kaget mendengar teguran yang ditujukan terhadapnya. Teguran yang dikeluarkan seorang lelaki berpakaian seragam kerajaan. Tembok tempat lelaki berpakaian hitam menjejakkan kaki memang tembok yang mengelilingi istana kerajaan.
Nampak dua prajurit kerajaan menjadi marah ketika lelaki berpakaian hitam tidak memberikan jawaban. Hampir berbarengan kedua prajurit yang berada di bagian dalam tembok itu mengayunkan tombaknya.
Suasana malam yang hening langsung dipecahkan oleh bunyi mendesing dua batang tombak yang meluncur ke arah lelaki tinggi kurus. Tapi lelaki ini hanya mendengus penuh ejekan. Tidak terlihat kakinya diinjakkan, tubuhnya sudah melayang ke atas hingga dua batang tombak itu meluncur di bawahnya!
Kedua prajurit kerajaan terkejut bukan main melihat lelaki berpakaian hitam menjejakkan kaki di kedua batang tombak. Keterkejutan mereka semakin bertambah ketika tombak-tombak berbalik dan meluncur kembali ke arah pemiliknya dengan membawa tubuh lelaki itu di atasnya. Tombak-tombak itu meluncur mengancam dada! Bergegas keduanya merendahkan diri. Tapi tombak-tombak itu ikut menukik ke bawah.
Dua jeritan menyayat hati pun dikeluarkan kedua prajurit yang malang itu. Tombak-tombak menembus hingga ke punggung! Darah muncrat-muncrat. Sedangkan lelaki tinggi kurus melompat melewati kepala mereka di saat tombak-tombak mendarat di sasaran. Tanpa mengeluarkan bunyi lelaki itu menjejakkan tanah
Keributan yang timbul membuat belasan prajurit berlarian menuju tempat itu. Lelaki berpakaian hitam langsung dikepung rapat-rapat. Namun dia tetap terlihat tenang, meski belasan prajurit yang mengurung-nya telah menghunus senjata dengan sikap mengan-cam. Mereka tidak segera menyerang karena menyem-patkan diri melihat rekan-rekan mereka yang tergolek di tanah bermandikan darah.
Sesaat kemudian, hujan senjata meluruk ke berbagai bagian tubuh lelaki tinggi kurus! Kembali dia mendengus pelan. Kedua tangannya bergerak cepat menangkis serangan-serangan yang datang.
Tak tak...!
Bunyi berdentang keras seperti beradunya logam-logam keras terdengar ketika tangan lelaki tinggi kurus berbenturan dengan senjata para pengeroyoknya. Seketika terdengar seruan keterkejutan. Mereka merasa-kan tangan-tangannya bagai lumpuh. Apalagi ketika melihat senjata-senjata mereka berpatahan!
Belum sempat para prajurit itu berbuat sesuatu. Tangan lelaki tinggi kurus bergerak mengibas cepat bukan main. Para prajurit pun berpentalan kesana kemari susul-menyusul dengan jerit kematian yang mendirikan bulu roma.
..... Meskipun tahu betapa lihainya lawan. Namun para prajurit lain tak menjadi gentar karenanya. Mereka melakukan perlawanan dengan semangat tinggi! Gugur satu kembali datang penggantinya. Keributan yang terjadi memang telah menarik perhatian para prajurit lainnya untuk datang. Pembantaian besarbesaran pun terjadi. Para prajurit ini seperti semut-semut yang menerjang api. Mereka berguguran sebelum sempat me-lukai sang pengacau yang luar biasa ini!
"Mundur semua...!"
Bentakan keras mengatasi riuh rendahnya perta-rungan. Disusul dengan munculnya dua sosok tubuh berpakaian panglima.
Mendengar bentakan keras menggelegar itu, ber-gegas belasan orang prajurit yang tersisa berlompatan mundur. Mereka mengenali pemilik suara itu. Lelaki berpakaian hitam tidak berusaha mengejar. Dia hanya berdiri menanti. Tatapannya ditujukan pada dua orang panglima yang tengah melangkah menghampirinya dengan tatapan penuh selidik,
"Kau... Panglima Nambi?!" seru dua panglima kerajaan itu kemudian, kaget dan tidak percaya. Seruan ini mereka keluarkan hampir berbarengan.
"Syukurlah, kalian masih ingat padaku!" dengus lelaki tinggi kurus penuh ejekan. Meski demikian, raut wajahnya tetap dingin. "Bukankah kalian berdua Sora dan Wardana? Dua di antara anakanak buahku yang berkhianat. Nasib kalian rupanya sungguh baik. Kalian telah menjadi panglima-panglima kerajaan. Waktu dua puluh tahun lebih rupanya telah membuat nasib kalian lebih beruntung!"
"Mau apa kau kemari, Nambi?!" sentak Panglima Sora, yang bertubuh tinggi besar dan kekar laksana batu karang. Panglima ini tidak tampak terkejut lagi. Guncangan perasaan itu telah berhasil diredamnya.
"Benar. Mau apa kau kemari? Kau bukan panglima kerajaan ini lagi. Kau tak lebih dari seorang pengkhianat kerajaan!" sambung Panglima Wardana yang bertubuh sedang tapi tegap.
Para prajurit kerajaan yang mendengarkan perca-kapan itu berdebar tegang. Mereka adalah prajurit ba-ru yang belum dua puluh tahun mengabdi di kerajaan. Sehingga, mereka tak mengenal Panglima Nambi. Ken-dati demikian, cerita-cerita mengenai tokoh itu telah mereka dengar. Dengan perasaan tertarik mereka mengikuti percakapan yang terjadi di depan mata. Senjata-senjata di tangan tetap terhunus agar dapat dipergunakan secara cepat apabila Panglima Sora dan Pan-glima Wardana terancam.
Nambi terdengar mendengus keras. Sikapnya te-tap kelihatan tenang
"Meski menjadi panglima, otak kalian berdua rupanya masih otak tamtama! Tidak bisakah kalian mengira-ngira maksud kedatanganku kemari? Tentu saja untuk merampungkan maksudku yang dulu belum terlaksana. Bukankah Putri Teratai Putih masih sendiri? Cepat panggil dia! Katakan, Nambi telah datang untuk mempersuntingnya!"
"Keparat!" Panglima Sora yang berwatak beranga-san, menggeram. "Sungguh lancang kau berani menyebut Yang Mulia Gusti Ratu Teratai Putih begitu saja. Nyawamu tak cukup untuk kelancangan yang kau lakukan itu, Nambi!"
Panglima yang tidak bisa menahan kemarahannya ini segera melompat menerjang. Jari-jari tangannya mengembang membentuk cakar. Yang kanan mengarah ubun-ubun, sedangkan yang kiri mengancam peli-pis.
Prattt!
Tubuh Panglima Sora terpental balik ke alas kembali begitu Nambi memapaki serangannya. Sekujur tangannya terasa sakit bukan main. Dadanya pun sangat sesak.
"Jadi..., Putri Teratai Putih sekarang telah menjadi ratu!?" ujar Nambi selesai menangkis serangan. "Sungguh kebetulan
sekali! Berarti aku sekarang bisa menjadi raja!"
"Hal itu tak akan terjadi selama kami mash hidup, Keparat!" Panglima Wardana menyambuti.
Kemudian, panglima ini menerjang Nambi. Pan-glima Sora segera membantu. Lelaki tinggi besar ini tahu kalau Panglima Wardana bukan tandingan Nambi yang sekarang telah memiliki kepandaian mengiriskan.
Dalam sekejap saja Nambi dikeroyok Panglima Sora dan Panglima Wardana. Tapi, bekas panglima kerajaan ini memang luar biasa. Dia tidak terdesak sama sekali. Malah, dua lawannya yang kewalahan.

Panglima Sora dan Panglima Wardana penasaran bukan main. Nambi tidak mampu mereka desak. Padahal, dulu bekas panglima itu dilatih oleh mereka! Jangankan menghadapi pengeroyokan, seorang di antara mereka saja telah cukup untuk membuat Nambi roboh dengan mudah. Sekarang keadaannya telah jauh berbalik! Nambi menghadapi mereka tanpa bergeming sedikit pun dari tempatnya.
"Kurasa sudah saatnya kalian pergi ke neraka...!"
Setelah berkata demikian, Nambi menjulurkan kedua tangannya. Jari-jarinya ditujukan lurus ke depan. Dari ujungujung jari itu melesat sepuluh larik sinar kemerahan yang meluncur deras ke arah Panglima Sora dan Panglima Wardana.
Dua panglima gagah berani ini tidak sempat mengelak. Keduanya menjerit ketika sinar-sinar merah mengenai tubuh mereka. Bagian yang terkena langsung hangus. Dagingnya gosong dengan disertai asap mengepul. Yang lebih mengerikan lagi, luka yang semula kecil itu membesar dengan cepat, membawa kehancuran daging seperti lilin terkena api!
Para prajurit kerajaan menatap dengan ngeri. Bulu kuduk mereka berdiri. Lidahnya terasa kelu tidak bisa digerakkan. Kejadian yang terpampang terlalu mengejutkan sehingga mereka terkesima. Yang dilaku-kan hanya menatap Panglima Sora dan Panglima Wardana. Mereka meregang maut tanpa sanggup bertindak apa-apa!
Geliatan tubuh kedua panglima kerajaan itu terhenti ketika nyawa mereka melayang. Raungan kesakitan mereka pun tidak terdengar lagi. Nambi yang sejak tadi memperhatikan semuanya dengan wajah dingin sekarang mengalihkan perhatian pada para prajurit. Wajah mereka tampak memucat. Ngeri membayangkan kematian yang akan mereka alami!
"Kalau kalian tidak ingin mengalami nasib yang sama, cepat bawa aku menghadap Putri Teratai Putih!" hardik Nambi
Belasan prajurit itu saling berpandangan satu sama lain. Mereka tampak bingung. Keberanian mereka mencair seperti es yang disorot sinar matahari. Kema-tian Panglima Sora dan Panglima Wardana secara mengerikan telah membuat nyali mereka ciut!
"Maafkan kami, Tuan," ujar seorang prajurit yang masih memiliki keberanian untuk berbicara. "Gusti Ratu tengah tidak berada di istana...."
"Apa katamu...?!" dengus Nambi marah. Telunjuknya segera ditudingkan. Selarik sinar merah menyambar. Dan, prajurit yang malang itu pun mengunjungi akhirat dengan cara yang sama seperti Panglima Sora dan Panglima Wardana.
Prajurit-prajurit yang tersisa semakin ngeri. Mereka tanpa sadar melangkah mundur. Semangat mereka melayang entah ke mana melihat rekannya mengalami nasib yang sial.
"Mengapa itu bisa terjadi, hah?!" tanya Nambi lagi.
Tapi, tak ada yang berani menjawab. Bagaikan telah disepakati sebelumnya, semua prajurit itu menundukkan wajah. Nambi semakin murka. Telunjuknya kembali ditudingkan. Kali ini malah berkali-kali. Jeritan-jeritan menyayat hati disertai geliatan tubuh yang merasakan siksaan menjelang ajal pun terjadi saling susul-menyusul.
Prajurit-prajurit yang tersisa semakin terpuruk dalam ketakutan. Jangankan mengangkat wajah, bernapas pun hampirhampir ditahan!
"Barang siapa yang tidak memberikan jawaban, akan menjadi korban selanjutnya!" desis Nambi "Katakan cepat di mana Putri Teratai Putih?!"
Peringatan Nambi membuat para prajurit yang tersisa berlomba-lomba memberikan jawaban. Riuh rendah kedengarannya. Tapi, Nambi dapat mendengar jelas. Lelaki ini baru percaya ketika mendengar adanya kesamaan dalam jawaban mereka.
"Gusti Ratu tengah mengunjungi makam ayahnya. Telah dua hari beliau pergi. Rencananya, seminggu kemudian baru kembali."
Nambi tidak puas mendengar jawaban itu. Dia ti-dak tahan lagi untuk bertemu dengan pimpinan ter-tinggi kerajaan itu. Tapi, disadarinya kalau sekarang hal itu tidak mungkin.
"Apakah Putri Teratai Putih pergi bersama Pendekar Naga Emas?!" tanya Nambi lagi
"Tidak, Tuan. Pendekar Naga Emas sudah lama tidak terdengar beritanya. Bahkan, Gusti Ratu telah mengirim banyak prajurit untuk mencarinya. Tapi usahanya sia-sia."
Nambi tersenyum puas. Senyum yang mengeri-kan. Lebih mirip seringai karena wajah dan matanya tidak ikut tersenyum.
"Ini hadiahku untuk kalian...!"
Nambi menudingkan telunjuknya berkali-kali, mengirimkan sinar-sinar merah pada prajurit-prajurit yang tersisa. Jerit kematian kembali berkumandang. Kali ini lebih gaduh dari sebelumnya.
***
Sang surya telah bergeser jauh dari tempat terbit-nya. Meskipun demikian, belum mencapai titik tengah ketika iringiringan sebuah kereta kuda memasuki hutan kecil di lereng gunung.
Iring-iringan itu terdiri dari sebuah kereta dan delapan ekor kuda. Kedudukan binatang yang berpenunggang sosok-sosok gagah itu melindungi kereta. Tiga di bagian belakang dan depan, serta satu pada masing-masing sisi kereta.
Seperti juga binatang tunggangannya yang semua berwarna hitam, sosok-sosok gagah di atas punggung kuda itu pun mengenakan pakaian yang sama. Sera-gam pasukan kerajaan.
Menilik sikap sosok-sosok berpakaian seragam ke-rajaan itu, bisa diperkirakan kalau yang berada di da-lam kereta adalah orang penting. Kereta itu sendiri be-gitu indah dan mewah!
"Hooop...!"
Tiba-tiba salah satu dari tiga penunggang kuda terdepan mengangkat tangannya ke atas seraya menarik tali kekang binatang tunggangannya.
Seketika itu pula rombongan yang berada di belakang ketiga prajurit itu menghentikan langkah kuda mereka. Seiring dengan itu masing-masing prajurit bersikap waspada. Mereka melihat ada sosok tubuh berpakaian kulit harimau terbaring dengan posisi menutupi jalan. Sosok itu tidur telentang di atas sehelai tambang yang direntangkan pada dua batang pohon yang mengapit jalan selebar empat tombak. Tinggi tambang itu satu tombak dari atas tanah.
"Harap kalian semua berwaspada. Aku yakin hal-hal yang tidak kita inginkan kemungkinan besar akan terjadi. Perketat penjagaan terhadap kereta," beritahu salah seorang dari tiga prajurit penunggang kuda terdepan.
Prajurit berkumis tebal itu lalu melompat turun. Ringan sekali gerakannya. Ketika kedua kakinya men-jejak tanah, tidak terdengar bunyi sedikit pun. Dengan sikap tenang prajurit berkumis tebal menghampiri tempat sosok berpakaian kulit harimau terbaring. Tin-dakan prajurit yang menjadi pimpinan iring-iringan itu tidak luput dari perhatian rekannya.
Baru saja prajurit itu melangkah tiga tindak, padahal jarak sosok berpakaian kulit harimau sekitar lima tombak, terdengar bunyi yang cukup keras. Bunyi dengkur orang tidur. Hanya saja bunyinya tak pantas keluar dari manusia karena lebih mirip dengan dengkur seekor babi!
Bukan dengkur itu yang menyebabkan prajurit berkumis tebal terperanjat lalu menghentikan langkah. Tapi, tarikan napas sosok berpakaian kulit harimau membuat cabang-cabang pohon seperti ditarik dan di-lepaskan! Saat sosok berkulit harimau itu menarik nafas, cabang-cabang pohon tertarik ke bawah. Sedangkan di saat napasnya dihembuskan, cabang pohon itu tersentak ke atas dengan memperdengarkan bunyi berkerosokan nyaring!
Prajurit berkumis tebal tahu kalau hal demikian hanya dapat dilakukan oleh orang yang memiliki tenaga dalam amat kuat!
Prajurit itu lalu memberi isyarat pada ketujuh rekannya untuk lebih meningkatkan kewaspadaan. Dia sendiri segera melanjutkan langkahnya dengan sekujur urat-urat syaraf menegang. Praju-rit ini telah bersiap siaga untuk menghadapi segala kemungkinan yang tidak diharapkan.
Begitu berada dekat diperhatikannya sosok berpa-kaian kulit harimau lebih jelas. Dia ternyata seorang kakek kecil kurus bermuka merah. Kumis dan jeng-gotnya pendek serta kasar. Sepasang mata kakek ini terpejam.
"Maafkan kalau aku mengganggu istirahatmu, Kek," ucap prajurit itu kemudian dengan sopan. "Tapi, aku dan kawankawanku hendak lewat Bisakah kau menyingkir sebentar?"
Si kakek menggeliat dan menggulingkan tubuhnya ke kiri. Tindakan ini membuat tubuhnya tidak berada di atas tambang lagi. Kendati demikian, tubuhnya te-tap mengambang di udara seakan-akan tidur di tanah biasa!
"Demi segala setan penghuni neraka!" tanpa membuka mata, si kakek mengomel, "Baru saja memejamkan mata sudah didatangi seekor anjing buduk yang tak henti-hentinya menggonggong. Nasibku memang benar-benar jelek!"
Wajah prajurit berkumis tebal langsung berubah merah padam. Dia tahu kalau dirinya yang dimaksud dengan seekor anjing. Penghinaan itu membuat amarahnya bergolak. Dan, kemarahan membuat prajurit itu melupakan kalau kakek bermuka merah memiliki kepandaian tinggi.
"Keparat! Rupanya kau memang hendak menghalangi perjalanan kami, Kakek Iblis! Ingin kulihat apakah kau mampu melaksanakan maksud jahatmu itu!"
Prajurit berkumis tebal yang telah murka mencabut pedang yang tergantung di pinggang. Kemudian, secepat kilat dibabatkannya ke tubuh si kakek
"Anjing buduk ini benar-benar tidak tahu diri. Kiranya tak puas hanya menggangguku dengan hanya menggonggong. Sekarang dia malah hendak menggigit. Sungguh celaka!"
Sambil mengomel panjang pendek, kakek bermuka merah menggulingkan tubuh kembali ke tempat semula. Sehingga, tubuhnya kembali terbaring di atas tambang. Berbarengan dengan itu dia mendengus. Cairan kental tampak meluncur keluar dari salah satu lubang hidungnya. Cairan menjijikkan itu meluncur dengan mengeluarkan bunyi berdesing nyaring mema-paki pedang si prajurit!
Trakkk!
Tubuh prajurit berkumis tebal terjengkang ke belakang. Pedangnya hampir terlepas dari pegangan. Begitu berhasil memperbaiki kedudukan dan memperha-tikan senjatanya, wajahnya langsung memucat. Batang pedangnya berlubang!
"Setan penggoda seisi bumi, kali ini nasibku sungguh mujur. Tak perlu bercapek lelah mencari telah bertemu sendiri!" ujar kakek bermuka merah tiba-tiba dengan gembira.
Kakek ini sekarang telah berdiri tegak di tanah. Sepasang matanya yang hampir berupa satu garis menatap pedang yang tergenggam di tangan prajurit berkumis tebal.
"Kiranya kau mempunyai hubungan dengan Perkumpulan Sepasang Malaikat, Anjing Buduk? Kulihat batang pedangmu berwarna merah dan putih. Senjata berciri demikian hanya dimiliki Perkumpulan Sepasang Malaikat!"
"Kalau kau telah tahu mengapa tidak buru-buru menyingkir, Kakek Iblis? Apakah kau menunggu kami mengusir dengan kekerasan?!" prajurit berkumis tebal mempunyai alasan untuk menggertak
"Setan belang! Kau kira aku takut pada Perkumpulan Sepasang Malaikat?! Andaikata dua kakek jompo itu masih hidup pun aku tidak takut! Akan kubuktikan pada dunia persilatan kalau aku lebih lihai dari mereka!" sambut kakek bermuka merah, tak mau kalah mengeluarkan ancaman.
Jawaban kakek bermuka merah membuat amarah prajurit berkumis tebal meluap. Dia kembali menyerang. Tiga orang rekannya meninggalkan kereta dan membantu prajurit itu menghadapi kakek bermuka merah.
Pertarungan yang kelihatannya tidak adilpun berlangsung. Seorang kakek yang bertubuh kecil dikeroyok oleh empat lelaki gagah dan kekar. Sang kakek tidak bersenjata, sedangkan lawanlawannya semua menggunakan pedang.
Meski demikian, kakek bermuka merah tetap be-rada di atas angin. Dua tangan telanjangnya enak saja menyampoki setiap serangan yang meluncur. Padahal setiap serangan pedang prajurit-prajurit itu mengeluarkan bunyi mendesing nyaring pertanda ditopang oleh tenaga dalam yang amat kuat!
Tak sampai tiga jurus empat prajurit itu jatuh satu persatu. Mereka semua terbanting keras di tanah setelah terjengkang. Empat prajurit itu pun tidak bangkit lagi. Bahkan, tidak sempat berteriak sama se-kali. Di dada mereka tampak tertera telapak tangan berwarna merah!
"Demi segala Iblis! Hanya sampai di sini sajakah kemampuan orang-orang Perkumpulan Sepasang Malaikat?
Tidakkah ada yang sedikit lebih pandai?!"
Empat prajurit yang tersisa tersinggung mendengar ucapan penuh ejekan itu. Mereka juga sakit hati melihat kematian rekanrekannya secara mengenaskan. Kalau saja tak mengingat penumpang di dalam kereta, sudah mereka terjang kakek bermuka merah itu walau nyawa taruhannya.
Empat prajurit itu hanya menggertakkan gigi penuh kegeraman. Mereka ingin menyambuti ucapan ka-kek bermuka merah, tapi tak tahu harus berkata apa. Dan rupanya mereka memang tak perlu memberikan tanggapan. Karena sesaat kemudian, terdengar sambu-tan atas ucapan kakek bermuka merah dengan nada dingin dan penuh ancaman!
"Orang gila dari mana yang berani mati menghina Perkumpulan Sepasang Malaikat?!"

––––––––

2

Brakkk!
Atap kereta yang indah dan mewah itu hancur berantakan menimbulkan bunyi gaduh ketika sesosok bayangan putih melesat dari dalam kereta. Di udara sosok ini bersalto beberapa kali sebelum menjejak tanah dengan ringannya. Tiga tombak dari kakek bermuka merah berdiri.
"Demi segala roh jahat yang bergentayangan! Akhirnya, muncul juga tokoh Perkumpulan Sepasang Malaikat yang memiliki sedikit kepandaian!" seru kakek bermuka merah, gembira.
Empat prajurit yang sejak tadi menjaga kereta segera memberi hormat kepada sosok berpakaian putih. Meski sosok itu tidak melihat karena ia berdiri membelakangi. Setelah itu, empat prajurit ini bergegas menghampiri sosok berpakaian putih.
Sosok itu ternyata seorang wanita berusia sekitar empat puluh lima tahun, Wajahnya yang masih terlihat cantik tampak agung berwibawa. Rambutnya digelung ke atas. Sorot wajah dan sinar matanya yang dingin memperlihatkan keangkeran!
"Siapa kau, Kek? Sungguh berani membunuh anggota Perkumpulan Sepasang Malaikat yang juga menjadi prajurit kerajaan. Untuk kesalahan itu saja kau sudah patut dihukum mati! Apalagi setelah berani menghina Perkumpulan Sepasang Malaikat. Andaikata kau mempunyai nyawa sepuluh pun tidak cukup un-tuk menebus kesalahan itu!" Datar dan dingin, tapi penuh ancaman kata-kata yang keluar dari mulut wa-nita berpakaian putih.
"Kau sendiri siapa, Wanita Galak? Mengapa kau yang marah? Aku tidak menyinggung mu! Aku sedang membicarakan tentang Perkumpulan Sepasang Malai-kat!" Kakek bermuka merah berpura-pura tak mengerti. Kendati dia sudah bisa menduga kalau wanita itu mempunyai hubungan dengan Perkumpulan Sepasang Malaikat "Aku tengah menyepi untuk memperdalam kepandaian ketika kudengar bekas kakak seperguruanku tewas di tangan tokoh Perkumpulan Sepasang Malaikat. Mengenai siapa aku, sayang aku tidak ingat namaku. Julukan pun aku tak punya. Tapi, tak ada salahnya kalau ku perkenalkan julukan baruku. Dengar baik-baik, Wanita Liar! Julukanku adalah Dewa Tapak Darah!"
Wajah wanita berpakaian putih tetap dingin. Tidak tampak beriak sedikit pun. Tapi, sepasang matanya yang menyambar ke arah Dewa Tapak Darah sarat dengan ancaman!
"Dengar baik-baik, Dewa Tapak Darah! Pasang kuping tuamu itu dengan benar. Aku adalah ahli waris tunggal Perkumpulan Sepasang Malaikat. Salah seorang dari Sepasang Malaikat itu adalah ayahku. Aku masih ingat namaku, tidak pikun seperti kau. Namaku adalah Teratai Putih?"
"Kebetulan sekali kalau begitu. Kudengar, pimpinanpimpinan Perkumpulan Sepasang Malaikat sudah pergi ke akhirat, Biarlah kau yang menjadi pengganti nyawa kakak seperguruanku yang tewas!"
"Siapa kakak seperguruanmu itu, Kakek Lancang?!" kejar Putri Teratai Putih.
"Pengemis Iblis Tanpa Tanding julukannya sebelum tewas!" jawab Dewa Tapak Darah, mantap. "Berkat bantuan Pendekar Naga Emas, ayah dan pamanmu itu berhasil membunuh kakak seperguruanku pada dua puluh tahun yang lalu. Pendekar keparat itu pun akan menerima balasannya dariku!"
"Kau boleh bawa dendammu itu ke neraka, Dewa Tapak Darah!" sentak Putri Teratai Putih keras. "Karena, kau akan mati di tanganku sebelum maksudmu itu terlaksana!"
Putri Teratai Putih menutup ucapannya dengan tendangan bertubi-tubi yang dahsyat. Sekali menye-rang, ahli waris Perkumpulan Sepasang Malaikat yang sekaligus ratu kerajaan ini menyerang tiga anggota tu-buh berbahaya. Pusar, ulu hati, dan leher!
Dewa Tapak Darah mendengus penuh ejekan. Da-ri deru serangan bisa diperkirakannya kekuatan tena-ga dalam Putri Teratai Putih. Maka, tanpa ragu-ragu lagi serangan beruntun itu ditangkisnya dengan kedua tangan.
Plakkk, plakkk!
Tubuh Putri Teratai Putih terjengkang ke belakang akibat benturan itu. Sedangkan Dewa Tapak Darah hanya terhuyung selangkah! Dengan demikian, kakek ini memiliki kesempatan lebih dulu untuk mengirim-kan serangan. Putri Teratai Putih tidak berani menangkis setelah mengetahui tenaga lawan ternyata lebih kuat. Wanita ini mengelak kemudian mengirimkan serangan balasan. Pertarungan pun tak bisa dihindar-kan lagi!
Pertarungan berjalan cepat. Hanya dalam waktu sebentar saja tujuh belas jurus telah terlewatkan. Putri Teratai Putih terus didesak! Wanita ini yang semula gencar melakukan penyerangan sekarang lebih banyak mengelak. Padahal, Putri Teratai Putih telah mengelua-rkan senjata andalannya. Kipas Baja Putih!
Sementara Dewa Tapak Darah masih bertangan kosong. Malah, kakek itu belum menggunakan ilmu andalannya!
Desss!
Sebuah tendangan Dewa Tapak Darah yang mengenai sambungan lutut Putri Teratai Putih membuat Wanita itu terjengkang ke belakang dan terguling-guling di tanah. Sambungan tulang lututnya langsung lepas!
Si Dewa Tapak Darah benar-benar memenuhi janjinya untuk membunuh Putri Teratai Putih. Dia meluruk mengejar Putri Teratai Putih untuk mengirimkan serangan mematikan. Empat prajurit yang melihat adanya ancaman maut atas ratu mereka secepat kilat melompat memapaki dengan tusukan-tusukan pedang. Dewa Tapak Darah tampak marah mendapat serangan ini. Dia mendengus seraya mengibaskan kedua tan-gannya. Angin keras langsung berhembus ke arah em-pat prajurit yang setia itu. Mereka kaget bukan main! Angin yang luar biasa itu hanya menyerbu tangan mereka yang menggenggam pedang.
Serbuan angin itu demikian dahsyatnya. Sehing-ga, mampu membuat mata pedang empat prajurit itu berbalik arah. Lalu dengan derasnya menghunjam perut mereka sampai tembus ke punggung. Empat pasang mata prajurit itu membelalak lebar seakan tak percaya akan apa yang mereka alami. Tubuh mereka ambruk di tanah dan menggelepar-gelepar sebentar sebelum akhirnya diam tidak bergerak lagi.
Putri Teratai Putih meraung penuh kemarahan melihat nasib keempat prajuritnya. Dia menerjang dengan kedua tangan terkembang membentuk cakar. Kipasnya tidak dipergunakan lagi karena telah terlempar jauh begitu tubuhnya terguling-guling tadi.
Sayang, maksud Putri Teratai Putih untuk membalaskan kematian keempat prajuritnya tidak berhasil. Dengan kibasan kedua tangannya, Dewa Tapak Darah membuat tubuh lawan terlempar deras ke belakang dan menubruk kereta hingga dindingnya jebol! Putri Teratai Putih tidak mampu menahan serangan lawan karena keadaannya yang sudah tidak sekuat semula.
Benturan kali ini rupanya lebih dahsyat. Bukan karena berbenturan dengan kereta. Tapi karena sambaran angin kibasan Dewa Tapak Darah. Putri Teratai Putih tidak dapat segera bangkit. Dia tergolek di tanah telentang tak berdaya. Benturan yang luar biasa keras membuat tubuh Putri Teratai Putih menjebol dua dind-ing kereta dengan melewati bagian dalamnya!
Dewa Tapak Darah menyeringai puas. Dengan langkah lambat-lambat dihampirinya Putri Teratai Pu-tih. Kakek ini tidak buru-buru melancarkan serangan susulan karena tahu luka yang diderita Putri Teratai Putih cukup parah.
Putri Teratai Putih menyadari akan adanya ancaman maut. Dia belum ingin mati. Maka dicobanya sekuat tenaga untuk bangkit berdiri. Tapi hanya keinginan saja yang besar, sedangkan kemampuannya tidak menunjang. Putri Teratai Putih tidak berhasil bangkit. Tubuhnya terkulai kembali ke tanah setelah menegang beberapa saat lamanya.
Putri Teratai Putih pun pasrah. Disadarinya kalau dirinya memang tidak berdaya lagi. Kendati demikian, dengan berani ditatapnya Dewa Tapak Darah yang telah bersiap untuk mengirimkan serangan mematikan.
"Hanya seorang pengecut dan tidak mempunyai rasa malu akan membunuh lawan yang telah tidak berdaya! Apalagi jika lawan itu seorang wanita!"
Suara itu tidak keras. Tapi anehnya, bergema ke sekitar tempat itu dan mampu menggetarkan semua benda yang ada di situ. Seakan-akan ada gempa kecil. Putri Teratai Putih dan Dewa Tapak Darah pun merasakan dada mereka bergetar.
Dewa Tapak Darah tahu kalau pemilik suara itu seorang tokoh berkepandaian tinggi. Setidak-tidaknya memiliki tenaga dalam yang amat kuat. Maka, dia tidak berani memandang rendah. Buru-buru tubuhnya dibalikkan karena dari arah belakang seruan itu berasal.
Dewa Tapak Darah kecelik! Tak ada seorang pun di belakangnya. Kecurigaan membuatnya cepat membalikkan tubuh lagi. Dan.... Kejadian itu berlangsung demikian cepat. Kakek ini hanya sempat melihat berkelebatnya sesosok bayangan ungu berhenti di antara dia dan Putri Teratai Putih. Sosok ungu itu berdiri membelakangi ahli waris Perkumpulan Sepasang
Malaikat!
Dewa Tapak Darah memperhatikan sosok ungu itu dengan hati panas. Kakek ini merasa dipermainkan. Tamu tak diundang itu rupanya telah menggunakan ilmu memindahkan suara untuk mengecohnya. Sehingga, meski sebenarnya berada di depan namun sosok ungu itu mampu membuat suaranya seperti berasal dari belakang.
Tapi, kejadian itu tidak membuat Dewa Tapak Darah menjadi gentar. Menurutnya, hal ini tidak mengisyaratkan kepandaian sosok berpakaian ungu berada di atasnya. Kalau saja suara itu tidak terdengar sekali saja dan Dewa Tapak Darah memperhatikan dengan seksama, tak mungkin sosok ungu itu berhasil mengecohnya! Begitu kata hati Dewa Tapak Darah.
Sosok ungu itu bertubuh tegap dan kekar terbungkus pakaian serba ungu. Wajahnya tampan, terlihat tenang dan matang. Rambutnya yang putih tergerai panjang hingga ke punggung. Sosok yang berusia dua puluh tahun lebih itu tampak kelihatan lebih tua dari usia sebenarnya. Meskipun demikian, Dewa Tapak Darah tetap tidak percaya kalau orang semuda itu memiliki kepandaian tinggi.
Dewa Tapak Darah memang baru keluar dari tempat pertapaannya. Dia tidak tahu kalau di dunia persilatan telah muncul seorang pendekar muda bernama Arya Buana yang berjuluk Dewa Arak. Dan, pemuda yang tengah berdiri dihadapannya itu tidak lain dari Dewa Arak
"Sungguh besar nyalimu, Bocah! Berani-beraninya kau mencampuri urusanku. Tahukah kau siapa aku? Aku adalah tokoh yang akan menggantikan kedudukan Pengemis Iblis Tanpa Tanding untuk menjadi tokoh nomor satu dalam rimba persilatan! Aku adik seperguruan Pengemis Iblis Tanpa Tanding. Julukanku adalah Dewa Tapak Darah! Atas kelancanganmu mencampuri urusanku ini kau akan mendapat hukuman yang se-timpal, Bocah!" Dewa Tapak Darah menyapa Arya dengan panggilan yang merendahkan.
"Sayang sekali aku tidak takut dengan ancamanmu, Kek! Aku lebih suka mati daripada membiarkan adanya ketidakadilan di depanku!" tandas Arya mantap tanpa bermaksud menyombongkan diri.
"Sombong!" Dewa Tapak Darah setengah menjerit karena murkanya. "Orang seperti kau kalau tidak segera diberikan pelajaran akan semakin kurang ajar. Bocah! Sekarang, terimalah hukumanmu!"
Belum lagi gema teriakan itu hilang, Dewa Tapak Darah telah melesat ke arah Dewa Arak. Kedua tan-gannya yang mengepal dihantamkan ke arah Arya dalam sebuah pukulan lurus ke dada. Bunyi meledak-ledak seperti suara petir menggelegar terdengar mengi-ringi serangan itu. Hawa panas terasa menyambar sebelum pukulan itu sendiri tiba dekat.
Dewa Arak tidak terkejut. Dia sudah menyangka Dewa Tapak Darah memiliki kepandaian tinggi. Tak aneh kalau kakek itu memiliki pukulan yang demikian mengerikan! Jangankan terkena langsung, angin serangannya saja sudah, cukup untuk membuat sebatang pohon besar hancur lebur.
Dewa Arak yang selalu bersikap hati-hati dan tidak pernah memandang rendah lawan segera saja mengeluarkan 'Delapan Langkah Belalang'nya.
Brakkk!
Sebatang pohon sebesar pelukan dua orang dewasa hancur terkena angin pukulan yang tidak mengenai sasaran. Tubuh Dewa Arak sudah melesat dari tem-patnya.
"Demi segala setan penghuni neraka!" maki Dewa Tapak Darah melihat lawannya tiba-tiba lenyap dari hadapan. Untuk sesaat dia kebingungan. Tapi begitu merasa ada angin mendesir di belakangnya, segera saja diketahui kalau lawan ada di sana.
Lawannya ternyata memiliki ilmu langkah ajaib yang dapat membuat pemuda itu mengelakkan serangan tanpa diketahui kapan bergerak dan ke mana arah gerakannya. Tanpa membuangbuang waktu lagi, ka-kek ini melempar tubuhnya ke depan kemudian bergu-lingan di tanah.
Dewa Arak tidak memberi kesempatan pada kakek bermuka merah untuk memperbaiki kedudukan. Segera diburunya tubuh yang tengah bergulingan itu. Serangan dahsyat langsung dikirimkannya. Tapi, Dewa Tapak Darah mampu menangkalnya. Bahkan mengi-rimkan serangan yang tak kalah dahsyat!
Pertarungan pun berlangsung mengiriskan hati Putri Teratai Putih sebagai penonton satu-satunya. Agaknya tokoh-tokoh yang bertarung memiliki tingkat kepandaian di atasnya. Kenyataan ini membuat pera-saan kagumnya timbul pada Arya. Pemuda itu masih amat muda tapi telah memiliki kepandaian tinggi.
Di samping perasaan kagum, rupanya timbul pula rasa khawatir terhadap keselamatan Dewa Arak. Memang julukan Dewa Arak telah sampai ke telinga Putri Teratai Putih. Pemuda itu hampir belum pernah gagal menumpas angkara murka yang ditimbulkan tokoh-tokoh sesat dunia persilatan. Tapi melihat betapa belianya Dewa Arak, perasaan tidak yakin mulai bergayut di hati wanita ini.
Dewa Arak sendiri harus mengakui kalau Dewa Tapak Darah memiliki kepandaian dahsyat! Seluruh kemampuannya telah dikerahkan. Namun belum juga mampu mendesak lawannya. Pertarungan masih berlangsung seimbang!
Pertarungan yang berlangsung alot membuat dua tokoh yang tengah bertarung kehilangan kesabaran. Ketika Dewa Tapak Darah menerjang ke arahnya dengan menghentakkan kedua tangan, Dewa Arak tak ragu-ragu untuk memapakinya!
Blarrr!
Dua pasang tangan yang sama-sama mengandung kekuatan dahsyat bertemu di udara. Ledakan keras luar biasa terjadi bagaikan gunung runtuh! Keadaan di sekitar tempat itu bergetar hebat. Pepohonan tampak bergoyangan keras.
Tapi yang lebih hebat lagi adalah apa yang dialami kedua tokoh yang tengah bertarung. Dewa Arak maupun Dewa Tapak Darah terjengkang ke belakang. Serentetan hawa panas merayap di sekujur tubuh mereka. Keduanya segera menyadari kalau diri mereka telah terluka dalam yang cukup parah. Apabila pertarungan diteruskan, bukan tidak mungkin mereka akan mati bersama-sama. Sesaat kedua tokoh ini saling bertatapan.
"Kalau saja aku tidak mempunyai urusan lain yang lebih penting daripada mengurusi bocah macam kau, sudah kuselesaikan riwayat hidupmu sampai di sini! Kelak apabila urusanku telah selesai, akan kucari kau, Bocah! Kita tentukan siapa yang lebih unggul di antara kita berdua!"
Usai berkata demikian, Dewa Tapak Darah mem-balikkan tubuh dan melangkah terhuyung-huyung meninggalkan tempat itu. Dewa Arak tak berusaha mengejar. Pemuda ini hanya menatap kepergian lawannya.
Setelah tubuh Dewa Tapak Darah semakin mengecil di kejauhan, Arya menghela napas berat. Dia telah menanam bibit permusuhan dengan seorang tokoh yang amat tangguh. Kemudian, Arya membalikkan tubuh dan menghampiri Putri
Teratai Putih.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Arya," ucap Putri Teratai Putih seraya menatap pemuda berambut putih keperakan itu dengan penuh rasa kagum. "Telah lama kudengar nama besarmu. Tapi aku tidak pernah bermimpi bisa bertemu. Aku, Teratai Putih, tidak akan melupakan pertolongan yang kau berikan. Suatu saat kelak aku ingin membalas budi ini."
"Teratai Putih?!" ulang Arya agak kaget. Dia pernah mendengar nama itu. "Jadi.., kau kiranya tokoh yang menggemparkan dunia persilatan sekitar dua puluh tahun lalu? Berita mengenai dirimu banyak ku-dengar. Kau, Putri Teratai Putih, putri dari pimpinan Perkumpulan Sepasang Malaikat?"
"Sebuah julukan yang tidak berisi sama sekali," timpal Putri Teratai Putih seraya tersenyum pahit. Ia tidak tampak gembira mendengar pujian Dewa Arak. "Kenyataannya hanya menghadapi Dewa Tapak Darah aku hampir melawat ke akhirat kalau kau tidak segera datang, Dewa Arak!"
"Kakek itu memang memiliki kepandaian luar biasa, Putri," ujar Arya menghibur. "Kurasa tidak perlu berkecil hati kalah di tangan Dewa Tapak Darah. Apa-lagi kudengar dia kakak seperguruan Pengemis Iblis Tanpa Tanding."
Putri Teratai Putih menatap Arya lekat-lekat "Kiranya kau mengetahui tentang datuk sesat itu, Arya?"
"Hanya mendengar sedikit tentangnya, Putri. Ten-tu saja tidak setahu kau yang telah mengalaminya sendiri," jawab Arya merendah.
"Seberapa banyak pengetahuan yang kau dapat?" tanya Putri Teratai Putih ingin tahu.
"Kudengar sekitar dua puluh tahun lalu di dunia persilatan terdapat empat datuk kaum sesat. Mereka memiliki kepandaian luar biasa tinggi. Di samping itu juga berwatak kejam. Salah satu di antara mereka adalah Pengemis Iblis Tanpa Tanding. Datukdatuk sesat itu tewas di tangan Pimpinan Perguruan Sepasang Malaikat yang dibantu oleh seorang pendekar sakti yang berjuluk Pendekar Naga Emas. Setelah itu Perguruan Sepasang Malaikat lenyap dari dunia persilatan. Demikian pula dengan Pendekar Naga Emas."
"Aku, Ayah, dan seluruh murid Perkumpulan Sepasang Malaikat memutuskan untuk mengabdi pada kerajaan di mana salah seorang adik seperguruan Ayah menjadi raja," Putri Teratai Putih memberikan jawaban.
"Lalu, Pendekar Naga Emas?"
"Entahlah," Putri Teratai Putih menggelengkan kepala seraya menghela napas berat. Dia kelihatan sedih sekali. Wajahnya semakin bertambah suram.
Arya tidak berani mengajukan pertanyaan lagi. Melihat sikap Putri Teratai Putih, dia yakin ada sesuatu di antara Pendekar Naga Emas dengan wanita itu.
"Ayahku kemudian meninggalkan istana setelah adik seperguruannya meninggal karena sakit. Sebelum wafat adik seperguruan Ayah mengangkat ku menjadi penggantinya. Sampai sekarang aku menjadi ratu di kerajaan itu," lanjut Putri Teratai Putih, mengalihkan perbincangan mengenai Pendekar Naga Emas.
"Maaf, bukan bermaksud untuk mengguruimu, Putri. Adalah lebih tepat kalau kau memberitahukan ayahmu mengenai munculnya Dewa Tapak Darah. Aku yakin kakak seperguruan Pengemis Iblis Tanpa Tand-ing itu akan membalaskan sakit hatinya terhadap ayahmu. Bukankah beliau ikut andil dalam tewasnya Pengemis Iblis Tanpa Tanding?" ujar Arya hati-hati.
"Aku pun berpikir demikian, Arya," sahut Putri Teratai Putih. "Aku sendiri sebenarnya tengah bermaksud untuk mengunjungi ayahku. Dengan kejadian ini, aku harus lebih cepat tiba di sana sebelum hal-hal yang lebih buruk terjadi"
"Boleh aku menyertai perjalananmu, Putri?" Arya mengajukan diri. "Kurasa dengan keadaanmu sekarang ini kau tidak akan dapat membela diri dengan baik. Lagi pula aku tidak yakin Dewa Tapak Darah akan berdiam diri saja. Kakek itu pasti menunggu kesempatan untuk melenyapkanmu."

Putri Teratai Putih terdiam. Wanita ini tidak langsung segera memberikan jawaban.
"Sebuah usul yang baik, Arya," jawab Putri Teratai Putih kemudian setelah termenung sebentar. "Kau baik sekali. Sikap dan tindak-tandukmu mengingatkan ku akan Pendekar Naga Emas. Dia seorang pendekar yang luar biasa."
"Aku yakin betul akan hal itu, Putri. Karena itu, aku ingin sekali berkenalan dengannya. Tidak hanya dengannya, tapi juga dengan ayahmu, Putri. Barangkali saja banyak petunjuk yang berharga yang akan diberikannya padaku nanti."
Putri Teratai Putih tersenyum. Sejenak senyuman itu mengusir kabut kedukaan yang melapisi wajah dan sepasang matanya
"Kau pandai merendah, Arya. Dengan kepandaian yang kau miliki sekarang, bagaimana mungkin ayahku bisa memberi petunjuk? Malah, bisa jadi kaulah yang akan memberi petunjuk pada ayahku."
"Kau terlalu tinggi memujiku, Putri," Arya tersenyum malu. "Jangankan menghadapi ayahmu, bertempur dengan Dewa Tapak Darah saja nyawaku hampir melayang...."
"Kau melupakan satu hal, Arya. Dewa Tapak Darah adalah kakak seperguruan Pengemis Iblis Tanding. Sebagai kakak seperguruan kepandaiannya tentu lebih tinggi dari si pengemis jahat itu. Padahal, menghadapi Pengemis Iblis Tanpa Tanding saja ayahku harus dirawat berminggu-minggu karena luka berat yang dideritanya."
"Kau sudah cukup kuat untuk melakukan perjalanan, Putri?" Arya segera mengalihkan pembicaraan.
Putri Teratai Putih mengangguk Pembicaraan mengenai hal itu pun dihentikan. Wanita ini tahu Arya merasa risih mendengar pujian yang dilontarkan terhadapnya. Sikap Arya itu menimbulkan kekaguman besar dalam hati Putri Teratai Putih.

––––––––

3

Bunyi kecapi dilantunkan dalam nada sedih dan memilukan hati berkumandang mengiringi langkah kaki kuda coklat. Langkah binatang kurus itu pun lesu seperti nada yang keluar dari kecapi.
Keadaan pemetik kecapi tak kalah lesunya. Dia duduk di atas punggung kuda dengan wajah ditun-dukkan. Wajahnya kumal penuh debu. Kumis, jenggot, dan cambangnya tak terurus menghias wajah. Pakaian lelaki ini kotor serta lusuh.
Tiba-tiba saja lelaki kumal ini menghentikan permainan kecapinya. Sesaat kemudian mulutnya berdecak pelan. Dan, kuda coklat pun melesat ke depan ba-gai anak panah lepas dari busur. Kelihatan tak sesuai sekali dengan tubuhnya yang kurus.
Hanya dalam waktu sebentar saja kuda coklat itu telah melampaui ratusan tombak. Medan yang semula berupa tanah gersang ditumbuhi sedikit rumput kering kini berganti dengan tanah berbatu-batu.
Kuda coklat itu baru menghentikan larinya ketika mendengar bunyi decak dari mulut penunggangnya. Binatang itu telah berada di pinggir tebing. Di depannya terdapat medan menurun yang terjal. Di bagian yang rata tampak lima sosok tubuh tengah terlibat dalam pertarungan.
Lelaki kumal yang berusia sekitar lima puluh tahun ini mengarahkan pandangan ke bawah, ke tempat pertarungan tengah berlangsung sengit
"Ti... tidak mungkin..." desis lelaki itu terbata-bata.
Wajah lelaki kumal ini terlihat tegang bukan main. Sepasang matanya membelalak lebar seperti orang melihat hantu. Mulutnya pun terbuka. Hingga, andal kata ada lalat masuk mungkin lelaki ini tidak mengetahuinya.
Sepasang mata lelaki kumal yang mencorong kehijauan bak mata seekor harimau dalam gelap menatap hampir tak berkedip. Bukan pada jalannya pertarungan, melainkan pada salah satu dari orang-orang yang tengah bertarung.
Di kancah pertarungan, dalam jarak sekitar sepuluh tombak, seorang wanita muda berpakaian merah menyala tengah berhadapan dengan empat orang lelaki kasar bersenjata golok. Wanita itu sendiri hanya bersenjatakan sebatang pedang pendek.
Yang menjadi pusat perhatian lelaki kumal adalah si wanita muda. Lelaki ini memperhatikan bagai orang terkena sihir!
"Ya Tuhan...! Apakah aku tengah bermimpi?! Bu-kankah gerakan yang dimainkan oleh wanita itu ada-lah ilmu Pedang Sepasang Malaikat? Ilmu yang menja-di andalan pimpinanpimpinan Perkumpulan Sepasang Malaikat. Dan, wajah itu... benarkah dia Putri Teratai Putih? kalau benar dia, mengapa pakaiannya merah?!" gumam lelaki kumal dengan bibir bergetar.
Sementara di kancah pertarungan pertempuran terjadi semakin sengit. Wanita berpakaian merah kelihatan terdesak. Lawan-lawannya terlalu lihai dan banyak. Andaikata seorang demi seorang mungkin dia akan keluar sebagai pemenang. Kemampuan wanita itu di atas kepandaian lawan-lawannya.
"Haaat..!"
Salah seorang pengeroyok yang bertubuh tinggi kurus berteriak nyaring sambil melompat menerjang lawannya. Golok di tangannya dibabatkan ke arah leher.
Wanita muda berpakaian merah menarik tubuhnya ke belakang sehingga serangan itu kandas. Na-mun, pengeroyok yang bertubuh pendek menusukkan golok dari samping kanan. Sementara dari sebelah kiri pengeroyok lainnya membabatkan golok ke arah teng-kuk. Dan, golok yang meluncur dari sebelah kanan mengancam pelipis!
Wanita perkasa itu bertindak cepat dengan me-rendahkan tubuhnya. Sehingga, semua serangan itu meluncur di atas kepala. Berbarengan dengan itu pe-dang pendeknya ditusukkan ke arah pengeroyok yang berada di kanan.
Crasss...!
Ujung pedang si wanita berhasil menyerempet perut lelaki berkulit hitam yang menjadi sasaran serangan. Padahal lelaki itu telah berusaha sebisa-bisanya untuk mengelak.
Tapi sebelum si wanita sempat melancarkan serangan susulan pada lelaki hitam yang tengah terhuyung-huyung, lelaki tinggi besar telah menggulingkan tubuh. Kaki kanannya diayunkan menyapu kaki wanita berpakaian merah.
Bukkk!
Telak dan keras sekali sapuan lelaki itu menghantam sasaran. Seketika itu juga tubuh wanita berpakaian merah terpelanting jatuh.
Melihat kesempatan yang menguntungkan itu, pa-ra pengeroyoknya tidak mau membiarkan. Bagai berlomba mereka saling mendahului melancarkan serangan.
Wanita berpakaian merah mengeluh di dalam hati. Jalan untuk mengelak sudah tidak ada lagi. Maka, dia hanya mampu berdiam diri menanti datangnya maut.
Bahaya yang mengancam keselamatan wanita muda itu tak luput dari perhatian lelaki kumal yang sejak tadi menyaksikan jalannya pertarungan. Jari-jari tangannya dengan tangkas memetik dawai-dawai kecapi.
Tung, tung, tung..!
Bunyi-bunyi yang nikmat untuk didengar telinga pun terdengar menghentak. Akibatnya sungguh mengiriskan hati! Empat lelaki kasar yang tengah melancarkan serangan bagai ditubruk gajah liar! Tubuh mereka terpental balik ke belakang dan melayang di udara dengan derasnya.
Wanita muda berpakaian merah tampak terkejut melihat keadaan keempat lawannya. Tapi, wanita itu tidak merasa heran. Kejadian yang menimpa lawan-lawannya terjadi karena bunyi kecapi. Wanita itu melihat keberadaan lelaki kumal yang duduk di atas punggung kuda ketika mengedarkan pandangan. Dia segera tahu kalau lelaki kumal itu memiliki kepandaian ting-gi. Hanya orang yang bertenaga dalam luar biasa kuat saja yang mampu melakukan hal seperti tadi.
Lelaki kumal itu sendiri bergegas melompat dari punggung binatang tunggangannya dan melesat ke arah wanita berpakaian merah berada. Wanita itu membelalakkan mata melihat tindakan lelaki kumal. Jelas-jelas dilihatnya lelaki itu tidak menggerakkan tubuh bagian bawah. Tubuhnya tampak melayang! Ternyata kepandaian lelaki itu tidak hanya tenaga dalamnya saja tetapi juga ilmu meringankan tubuhnya!
"Kau tidak apa-apa, Nona?" tanya lelaki kumal ke-tika telah berada di depan wanita berpakaian merah yang telah berdiri. Sementara keempat lawannya sudah melesat meninggalkan tempat itu dengan langkah terhuyung-huyung. Mereka kabur karena tahu lawannya mendapat pertolongan.
"Tidak apa-apa, Paman," jawab wanita itu sambil tersenyum. "Terima kasih atas pertolongan yang kau berikan. Kalau tidak ada kau mungkin nyawaku telah melayang ke alam baka!"
"Syukurlah kalau demikian," sambut lelaki kumal, gembira. Lelaki ini telah berhasil menekan guncangan perasaan yang tadi melanda sehingga wajah maupun sikapnya terlihat biasa. "Boleh ku tahu mengapa kau bentrok dengan mereka. Nona? Maaf, bukan maksudku untuk mengetahui urusanmu. Tapi, gerakangerakanmu mengingatkan ku pada seorang tokoh. Bahkan wajahmu pun mirip dengan orang yang pernah kukenal itu," lanjutnya kemudian.
Wanita muda itu menatap wajah lelaki kumal penuh selidik. Rupanya, dia tidak mau percaya saja pada ucapan penolongnya.
"Boleh ku tahu tokoh yang kau maksudkan itu Paman? Bukannya aku tak mempercayaimu, tapi kejadian yang ku alami membuatku tidak berani memperkenalkan diri pada sembarang orang. Bahkan, aku diberitahu kalau sembarangan membuka mulut akan membahayakan diriku. Banyak musuh yang akan mencelakai ku. Sekali lagi maafkan aku, Paman."
"Suatu tindakan yang bagus sekali, Nona," lelaki kumal malah memuji. Ia tidak tersinggung atas tanggapan yang diperolehnya. "Kau tak perlu meminta maaf. Memang seharusnya demikian tindakan yang kau lakukan. Tokoh yang kumaksudkan itu adalah pimpinan Perkumpulan Sepasang Malaikat. Aku yakin kau mempunyai hubungan dengannya, Nona. Kulihat kau menggunakan senjata berciri khas perkumpulan itu."
"Ini tidak menjadi jaminan untuk mempercayai kalau kau bukan termasuk musuh, Paman," kilah wanita muda itu belum mau percaya. "Memang kuakui kalau aku mempunyai hubungan dengan orang yang kau maksudkan. Tapi, seorang musuh bisa saja mengenal setiap anggota Perkumpulan Sepasang Malaikat dengan hanya melihat gerakan-gerakannya. Ada hal lebih penting yang hanya diketahui oleh sahabat-sahabat tokoh yang kau maksudkan itu. Sekali lagi maaf, bukannya aku tak mau memperkenalkan diri. Aku hanya khawatir kalau-kalau kejadian yang sama terulang. Aku banyak dipesan agar berhati-hati terhadap orang yang tidak kukenal. Kendati orang itu telah menolongku siapa tahu ia mempunyai maksud-maksud tertentu"
Lelaki kumal tertawa terbahak-bahak. Di dalam hatinya lelaki ini merasa heran. Telah bertahun-tahun lamanya dia tidak tersenyum. Namun, sekarang dia tertawa! Wanita di hadapannya ini rupanya telah menimbulkan rasa gembira yang besar di hatinya.
"Kau seorang gadis yang cantik sekali, Nona. Memang apa yang kau katakan itu benar. Tidak sembarang orang mengenal secara dekat pimpinan-pimpinan Perkumpulan Sepasang Malaikat. Mereka amat merahasiakan nama! Hanya sahabatsahabat yang dipercaya saja mendapat kehormatan untuk mengetahui nama mereka. Itu pun dengan pesan keras agar tidak memberitahukannya pada orang lain. Dan, sahabat-sahabat baik itu pun berjanji memenuhinya. Sebagai seseorang yang mendapat kehormatan untuk bersahabat dengan mereka, tentu saja aku tahu nama-nama pemimpin Perkumpulan Sepasang Malaikat itu!" tandas lelaki kumal.
Wanita muda berpakaian merah membisu menunggu kelanjutan ucapan lelaki kumal. Sorot kecurigaan pada sepasang matanya tampak sudah jauh ber-kurang. Apa yang dikatakan lelaki itu diakui kebena-rannya. Pimpinan-pimpinan Perkumpulan Sepasang Malaikat memang amat merahasiakan nama mereka.
"Dengar baik-baik, Nona. Katakan kalau aku tidak benar menyebutkan nama mereka. Orang yang tertua bernama Banyak Ngampar. Sedangkan yang lebih muda bernama Banyak Catra. Ada satu lagi adik seperguruan mereka yang tidak ikut dalam kepengurusan perguruan. Jarang orang yang tahu karena tokoh ini menjadi raja pada sebuah kerajaan. Nama tokoh ini adalah Banyak Santang. Sedangkan wajahmu yang kukatakan tadi mirip seseorang adalah putri dari Banyak Catra. Namanya Teratai Putih. Orang-orang lebih mengenal-nya sebagai Putri Teratai Putih," jelas lelaki kumal panjang lebar.
Wanita berpakaian merah tersenyum. Lelaki kumal harus mengakui kalau senyum itu membuat wajahnya menjadi berlipat kali lebih cantik.
"Kau benar-benar salah seorang sahabat, Paman," ujar wanita itu dengan penuh perasaan lega. "Bahkan, lebih dari seorang sahabat. Apa yang kau ketahui demikian banyak. Namaku Teratai Merah, Putri Teratai Merah. Memang mirip dengan nama Putri Teratai Putih. Tapi, tidak berarti ada hubungan antara aku dengan Putri Teratai Putih. Hubungan yang ada hanyalah karena aku menjadi murid ayahnya."
"Sudah kuduga kalau kau murid dari Banyak Catra, Teratai Merah," ujar lelaki kumal menyebut wanita itu dengan namanya. "Kau sendiri siapa, Paman? Mendengar pengetahuanmu yang banyak itu aku yakin kau merupakan sahabat yang paling dipercaya. Siapakah kau Paman?"
Tanggapan dari pertanyaan Putri Teratai Merah adalah tundukan kepala lelaki kumal. Terdengar helaan napas berat dari mulutnya. Kentara jelas kalau pertanyaan itu menimbulkan kenangan yang tak menggembirakan hatinya.
Putri Teratai Merah yang tak menyangka hal itu menjadi tidak enak karenanya.
"Maafkan kalau pertanyaanku menyusahkan hatimu, Paman. Kurasa lebih baik kau tidak usah menjawabnya. Lagipula, aku sudah merasa yakin kalau kau adalah salah seorang sahabat terbaik guruku."
Lelaki kumal itu tersenyum. Sikap Putri Teratai Merah yang tahu diri amat menyenangkan hatinya. Diakuinya kalau dekat dengan wanita muda yang umurnya tak lebih dari dua puluh tahun itu susah untuk berlama-lama sedih. Tentu saja ini juga karena ke-mampuannya mengendalikan perasaan.
"Tidak apa-apa, Teratai Merah. Aku tidak apa-apa. Hanya..., memang ada sesuatu yang mengganggu pikiranku. Tapi itu tak berarti harus merahasiakan hal ini terhadapmu. Namaku Kamandaka. Aku hanya seorang pengelana yang mengikuti ke mana kakiku ini melangkah."
"Kasihan sekali kau, Paman," desah Putri Teratai Merah. Sepasang matanya yang bening indah memperhatikan sekujur tubuh lelaki kumal "Kau tidak mengurus dirimu sehingga seperti... maaf, Paman seperti gembel. Apakah kau tidak mempunyai keluarga? Aku yakin kau dulunya seorang pemuda yang gagah dan tampan. Rasanya tidak mungkin kalau tidak ada wanita yang tertarik padamu...."
Putri Teratai Merah menghentikan ucapannya di tengah jalan. Dia sadar telah keterlepasan bicara. Percakapan itu membawa mereka ke masa silam lelaki kumal yang tidak menggembirakan. Dan, dia merasa menyesal telah kembali menyinggungnya.
Tapi, penyesalan itu pupus ketika dilihatnya tang-gapan Kamandaka. Lelaki kumal ini tertawa geli. Dia tidak tampak bersedih seperti perkiraan Putri Teratai Merah.
"Kau ini bisa saja, Teratai Merah. Kalau ada wanita yang menyukaiku, mana mungkin sampai sekarang aku masih sendiri? Aku tak menarik wanita mana pun Teratai. Mana ada wanita yang tertarik pada gembel sepertiku?" ujar Kamandaka.
Putri Teratai Merah ikut tertawa. Kamandaka harus mengakui kalau gadis ini benar-benar mirip dengan Putri Teratai Putih yang dikenalnya. Tidak hanya wajah, tapi juga caranya tertawa! Putri Teratai Merah pun memiliki kecantikan yang tak kalah dengan Putri Teratai Putih. Kecantikan kedua wanita, itu hampir sama!
Putri Teratai Merah memang memiliki kecantikan luar biasa. Kulitnya putih halus. Hidungnya yang mancung serta sepasang bibir merah tipisnya mengundang orang untuk menciumnya. Kecantikan itu masih ditunjang lagi dengan bentuk tubuhnya yang indah dan padat berisi.
"Kau hendak ke mana, Teratai?" tanya Kamandaka setelah tawa mereka reda. "Bukankah tempat tinggal gurumu jauh dari sini? Kudengar mereka semua tinggal di istana kerajaan."
Putri Teratai Merah menghela napas berat "Aku sendiri tidak tahu mengapa, Paman. Guru pindah dari istana dengan membawaku setahun setelah tinggal di sana. Paman Guru Banyak Santang telah meninggal dunia karena sakit-sakitan. Aku sekarang tinggal bersama kakek guru."
"Lalu, Putri Teratai Putih?" desak Kamandaka in-gin tahu.
"Putri Teratai Putih tetap tinggal di istana. Tapi, setahun sekali beliau berkunjung ke tempat kami. Beliau amat baik hati. Dia sangat memperhatikan ku, Paman. Malah, sejak sepuluh tahun lalu setiap tiga purnama sekali beliau datang berkunjung. Putri Teratai Putih cantik sekali, Paman," tutur Putri Teratai Merah.
"Dia memang cantik sekali, Teratai," jawab Kamandaka. "Tapi, kau pun tidak kalah cantiknya. Kau memiliki wajah dan potongan tubuh yang mirip sekali dengannya. Di waktu muda dulu aku pernah melihatnya. Tidak ada bedanya sedikit pun denganmu! Hanya warna pakaian saja kalian berdua memiliki perbedaan yang menyolok! Putri Teratai Putih menyukai warnawarna putih. Sedangkan kau warna merah. Sepertinya kalian berdua hampir tidak mempunyai perbedaan sama sekali. Malah, aku menduga kau adalah putrinya!"
"Hi hi hi...!" Putri Teratai Merah tertawa geli seakan-akan ada sesuatu yang lucu.
"Mengapa kau tertawa, Teratai? Ada yang lucu?" tanya Kamandaka dengan mulut menyunggingkan senyum. Tawa geli Putri Teratai Merah mendorongnya untuk ikut merasa geli.
"Bagaimana aku tidak tertawa, Paman," celetuk Putri Teratai Merah dengan setengah tertawa. "Kau menyangka aku putri dari orang yang belum menikah. Bagaimana Putri Teratai Putih bisa mempunyai anak kalau suami saja dia tidak punya?"
"Jadi..., Putri Teratai Putih belum bersuami sampai sekarang?!" tanya Kamandaka terkejut dan setengah tak percaya.
Putri Teratai Merah mengangguk. "Aku pun merasa heran, Paman," gadis cantik ini mendesah. "Orang secantik beliau mana mungkin tidak disukai laki-laki? Bahkan, semasa dia menjadi putri angkat Paman Banyak Santang tak terhitung pangeranpangeran dan raja-raja yang melamarnya. Aneh memang!"
"Sama sekali tidak kusangka," gumam Kamandaka pelan seperti pada dirinya sendiri.
"Apa yang tidak Paman sangka?"
"Putri Teratai Putih..." jawab Kamandaka. "Mengapa tidak bersuami?"
"Menurut cerita Guru..., Putri Teratai Putih tidak bisa menerima orang lain untuk menjadi suaminya kecuali Pendekar Naga Emas. Mengingat pendekar itu aku menjadi gemas, Paman. Ingin ku jewer telinganya. Bahkan, ingin sekali ku tuding-tuding dia. Sungguh tak pantas perbuatannya meninggalkan Putri Teratai Putih yang demikian cantik dan berbudi. Wanita bagaimana lagi yang ingin dicarinya? Betapa pun Guru memuji-mujinya setinggi langit, aku tidak kagum padanya. Lelaki macam apa dia? Kudengar dia dan Putri Teratai telah saling mencinta, tapi mengapa dia pergi begitu saja?"
Putri Teratai Merah berbicara dengan penuh semangat. Wanita itu kelihatan penasaran sekali. Wajahnya merah padam. Kedua tangannya yang berjari-jari lunak serta halus dikepalkan. Andaikata Pendekar Naga Emas ada di depannya, mungkin saat itu juga akan terjangnya!
Kamandaka hanya membisu. Putri Teratai Merah tak berbicara lagi. Keheningan pun tercipta.
"Jadi..., kau meninggalkan gurumu untuk mencari Pendekar Naga Emas, Teratai?" Kamandaka memecahkan keheningan. "Sekalian, Paman. Aku bermaksud hendak mengunjungi Putri Teratai Putih. Tentu saja mengenai niat untuk membuat perhitungan dengan pendekar penge-cut itu tidak kukatakan pada Guru. Aku bisa dimara-hinya habis-habisan. Entah apa yang membuat Guru demikian menghormati pendekar pengecut itu. Apakah karena pertolongannya di waktu menghadapi penyerbuan iblis-iblis yang merajai kaum sesat?"
"Mungkin sekali, Teratai," sahut Kamandaka me-nanggapi dugaan Putri Teratai Merah, "Padahal, kalau menurut pendapatku orang yang berjuluk Pendekar Naga Emas itu memang tidak patut mendapatkan penghormatan demikian besar."
"Bagus sekali, Paman. Kalau demikian kita sepaham. Dengan adanya dirimu mungkin aku bisa memenuhi keinginanku itu. Masalahnya, menurut Guru, kepandaian Pendekar Naga Emas itu amat tinggi! Bahkan, katanya lebih tinggi dari kepandaian Guru. Bagaimana mungkin aku bisa menjewer telinganya? Tapi dengan adanya kau, Guru tidak akan berani memarahiku. Tentu saja kalau kau membelaku, Paman. Bukankah kau sahabat baik Guru? Bagaimana, Paman. Apakah kau mau membantuku?"
"Dengan segala senang hati, Teratai!" Kamanda mengangguk, mantap.
"Ah...! Terima kasih, Paman. Kau baik sekali! Aku yakin Paman akan memenuhi permintaanku. Bahkan aku yakin Paman akan membuat pendekar pengecut itu terkentut-kentut melarikan diri. Paman kan mempunyai kepandaian tinggi!" seru Putri Teratai Merah, gembira.
Kamandaka tak tahan untuk tidak tertawa mendengar perkataan terakhir Putri Teratai Merah. Perkataan gadis itu memang lucu untuk didengar. Membuat Pendekar Naga Emas jadi terkentut-kentut.
Gelak tawa kembali terdengar. Kamandaka dan Putri Teratai Merah tertawa geli.
"Kau bilang tadi semasa Putri Teratai Putih menjadi putri angkat Prabu Banyak Santang dia mendapat banyak lamaran, Teratai?" tanya Kamandaka ketika te-ringat ucapan Putri Teratai Merah tadi. "Lalu, sekarang Putri Teratai Putih menjadi apa di istana?"
"Beliau menjadi ratu, Paman! Sebelum meninggal Paman Banyak Santang mengangkat Putri Teratai Putih menjadi penggantinya memimpin kerajaan."
"Ah...! Kiranya demikian?" Kamandaka menganggukanggukkan kepala.
"Kau kelihatannya tertarik sekali dengan keadaan Putri Teratai Putih, Paman. Apakah kau mempunyai maksud-maksud tertentu terhadapnya?" tanya Putri Teratai Merah seraya menatap Kamandaka penuh selidik.
"Tidak ada maksud apa-apa, Teratai," jawab Kamandaka sedikit kikuk melihat sikap Putri Teratai Merah yang menyelidikinya. "Aku hanya merasa heran saja. Tapi, aku pun kagum atas keteguhan cinta kasihnya pada Pendekar Naga Emas."
"Apakah kau termasuk orang yang menyukai Putri Teratai Putih, Paman?" desak Putri Teratai Merah, tak puas dengan jawaban yang diberikan Kamandaka.
Kamandaka lebih dulu menghela napas berat sebelum menganggukkan kepala.
"Tapi, aku bagaikan pungguk merindukan bulan, Teratai. Mana mungkin Putri Teratai Putih yang memiliki kedudukan demikian tinggi akan sudi berjodoh denganku?"
Putri Teratai Merah dapat menangkap kepedihan dalam keluhan Kamandaka. Rasa iba tiba-tiba terpatri di hatinya.
"Apakah penyebab kau tidak mengurus dirimu adalah Putri Teratai Putih yang tidak bisa kau persunting. Paman?"
Kamandaka tidak segera menjawab pertanyaan itu. Ditatapnya wajah Putri Teratai Merah lekat-lekat. Bulu kuduk gadis itu jadi merinding melihat sepasang mata yang mencorong kehijauan tertuju lurus ke arahnya. Sinar mata yang seakan mampu membaca isi hati dan pikirannya.
"Hanya kepadamu aku membuka rahasia ini, Te-ratai. Mungkin karena sikapmu dan keberadaanmu yang mengingatkan aku akan dia, aku sendiri tidak tahu pasti. Yang jelas, sejujurnya kukatakan, iya!"
Putri Teratai Merah serta Kamandaka lalu membisu. Suasana menjadi hening. Tapi, keheningan itu tidak berlangsung lama. Kamandaka segera memecahkannya.
"Mengapa kita menjadi cengeng begini, Teratai. Kalau terus menuruti perasaan, kapan urusan yang ingin kita selesaikan bisa beres?"
"Kau benar, Paman!" Putri Teratai Merah bagai digugah dari lamunannya. "Aku memang sudah tidak sabar untuk berjumpa dengan pendekar pengecut itu!"
"Kalau demikian, mari kita berangkat!" ajak Kamandaka.
Putri Teratai Merah segera menganggukkan kepa-la. Mereka berdua pun kemudian bergegas mengayuhkan langkah meninggalkan tempat itu.

––––––––

4

"Ha ha ha...!"
Terdengar suara tawa keras memecah kesunyian. Tampak sesosok tubuh berpakaian serba merah yang tengah bersemadi membuka matanya dan memandang ke arah asal suara tawa menggelegar yang membuat isi dadanya tergetar. Enam tombak di hadapan kakek berpakaian merah itu terlihat berdiri seorang pemuda berwajah tampan. Bibirnya tersenyum sinis. Dan, sepasang matanya berkilat-kilat tajam!
Pemuda itu berusia sekitar dua puluh tahun. Kulitnya kekuningan seperti juga warna pakaiannya. Di kiri pinggangnya terselip sebatang pedang
"Kaget, Malaikat Merah?!" tanya pemuda itu mengejek. Sikapnya terlihat memandang rendah kepada orang di depannya.
Kakek yang berjuluk Malaikat Merah adalah salah seorang dari pimpinan Perkumpulan Sepasang Malaikat. Kakek itu kini bangkit berdiri dengan sikap waspada. Pameran tenaga dalam yang disalurkan lewat suara tadi menyebabkannya berhati-hati.
"Siapa kau, Anak Muda?" tanya Malaikat Merah tanpa mempedulikan pertanyaan pemuda itu. Sepasang mata kakek ini menelusuri sekujur tubuh pemuda di depannya dengan perasaan kaget yang tidak dapat disembunyikan.
"Kau kenal Hantu Rambut Emas?" tanya pemuda itu.
Terdengar dingin dan datar suaranya.
"Apa hubunganmu dengannya?"
Malaikat Merah malah balas mengajukan pertanyaan. Ia merasakan tiba-tiba jantungnya berdebar-debar keras. Wajah kakek berpakaian merah ini seketika berubah. Dia kenal betul siapa Hantu Rambut Emas. Tokoh itu adalah salah satu dari tiga datuk kaum sesat yang tewas di tangannya.
"Aku masih terhitung adik seperguruannya...," lanjut pemuda itu.
"Apa?!" Sepasang mata Malaikat Merah terbelalak bagaikan melihat hantu.
"Kau terkejut, Malaikat Merah? Sekarang kau tentu sudah tahu maksud kedatanganku kemari, bukan?"
Belum juga gema ucapannya habis, adik seperguruan Hantu Rambut Emas telah melesat menerjang Malaikat Merah. Jari-jari kedua tangannya terbentang lurus. Tangan kanannya ditusukkan ke arah leher, sedangkan tangan kiri terpalang di depan dada.
Angin berdesir tajam, seakan-akan yang meluncur sebatang pedang yang amat tajam. Malaikat Merah mengenal serangan berbahaya. Maka, buru-buru di geser kakinya ke samping sehingga serangan itu mele-set beberapa jari di samping tubuhnya.
Brettt!
Malaikat Merah terkejut bukan main. Pakaian pada bahu bagian kanan robek memanjang seperti tersayat pedang!
Malaikat Merah yang telah kenyang pengalaman segera tahu kalau hal itu terjadi akibat angin serangan lawan yang menyerempet pakaiannya.
"Ilmu Tangan Sakti Pedang Dan Golok?!" kakek berpakaian merah itu tampak terkejut bukan main.
Ilmu Tangan Sakti Pedang Dan Golok amat dikenal oleh
Malaikat Merah. Karena, kakek itu pernah me-lihat seorang tokoh menggunakannya. Sebuah ilmu yang mempunyai keistimewaan membuat tangan pemiliknya tak ubahnya pedang dan golok. Malah bagi yang memiliki tenaga dalam amat kuat, angin serangannya saja tak kalah dahsyatnya dengan tusukan atau babatan pedang! Ilmu itu diketahui secara pasti oleh Malai-kat Merah, dan dimiliki oleh seseorang yang amat di-kaguminya. Pendekar Naga Emas! Tapi, mengapa pe-muda berpakaian kuning ini memilikinya? Dari mana ilmu itu didapatkannya?
Malaikat Merah menggeram. Terdengar bunyi berkerotokan keras dari sekujur tubuhnya seakan tulang belulangnya berpatahan. Padahal, kakek ini tidak menggerakkan tangan atau kaki. Uap tipis tampak mengepul dari sekujur tubuhnya.
Diawali teriakan melengking nyaring, Malaikat Merah menerjang pemuda berpakaian kuning. Pemuda itu tidak tinggal diam. Langsung dibalasnya serangan itu dengan tak kalah dahsyat.
Dalam waktu sebentar saja pertarungan telah ber-langsung puluhan jurus. Selama itu Malaikat Merah senantiasa berada di pihak yang terdesak. Malah, sering kakek ini hanya mampu bermain mundur.
Malaikat Merah sadar kalau pemuda yang menga-ku adik seperguruan Hantu Rambut Emas ini tak akan mungkin dikalahkannya. Ingin rasanya mengadu nyawa. Tapi, ada sesuatu yang membuatnya tidak ingin melakukan hal itu. Kakek ini tidak ingin pemuda yang menjadi lawannya itu mati konyol!
"Ayah...!"
Sesosok tubuh berpakaian putih yang melesat dari arah lereng berteriak keras. Nada suaranya menyiratkan keterkejutan dan kekhawatiran.
"Akh!"
Malaikat Merah tak kuasa untuk menahan jeritan. Jari-jari tangan lawan menusuk bahu kanannya hingga tembus. Darah muncrat-muncrat. Untungnya kakek ini masih sempat melempar tubuhnya ke belakang.
Hanya saja, karena keadaannya yang tidak menguntungkan, tubuhnya jatuh terguling-guling.
Malaikat Merah benar-benar memiliki kekerasan hati yang luar biasa. Dengan sigap dia kembali bangkit dan bersiaga untuk menghadapi segala kemungkinan yang terjadi.
Keadaan kakek ini benar-benar mengenaskan! Seluruh pakaiannya koyak-koyak bagai tersayat-sayat senjata tajam. Bahkan, pada beberapa bagian tubuh-nya terdapat garis kemerahan memanjang. Meskipun demikian, teriakan yang amat dikenalnya membuat Malaikat Merah menyempatkan diri untuk mengalih-kan perhatian ke arah asal suara.
"Putih! Cepat pergi dari sini! Cepat!" teriak Malaikat Merah, kalap.
Tapi sosok yang dipanggil Malaikat Merah dengan nama Putih, yang bukan lain adalah Putri Teratai Putih, tidak memenuhi perintah itu. Dia malah mene-ruskan langkahnya dan berhenti di sebelah kakek berpakaian merah.
Sementara itu pemuda berpakaian kuning rupanya yakin sekali akan kemenangannya. Dia tidak segera melancarkan serangan. Yang dilakukannya adalah berdiri tegak dengan kedua tangan di depan dada. Sepasang matanya menatap Putri Teratai Putih dengan sorot meremehkan!
Di saat yang bersamaan Putri Teratai Putih pun menatap si pemuda. Dan, wanita ini langsung melon-go. Sepasang matanya membelalak lebar bagaikan melihat hantu. Mulutnya ternganga.
Wajah wanita ini pucat pasi dan kedua kakinya menggigil. "Ayah...," rintih Putri Teratai Putih dengan suara pelan. "Apakah aku tidak tengah bermimpi? Katakan kalau aku tengah bermimpi. Ayah. Katakan!"
Malaikat Merah menggenggam tangan Putri Teratai Putih. Kakek ini tahu perasaan yang tengah bergolak di hati putri satusatunya itu. Hal ini membuatnya merasa terharu.
"Tidak, Putih," Malaikat Merah menggeleng. "Kau tidak tengah bermimpi. Apa yang kau lihat ini adalah kenyataan sesungguhnya!"
Kedua kaki Putri Teratai Putih semakin menggigil. Kalau saja Malaikat Merah tidak memegang tangannya dan mengerahkan tenaga untuk membantu, mungkin wanita itu telah jatuh di tanah. Putri Teratai Putih akan berdiri dengan mempergunakan lututnya.
"Apakah ini akhir dari penantianku. Ayah?" keluh Putri Teratai Putih lagi. Suaranya gemetar hendak menangis. Kelihatan jelas kalau wanita ini menderita guncangan batin yang hebat "Mungkinkah pemuda itu putra dia. Ayah?"
Malaikat Merah mengepalkan tangan kirinya. Kakek ini kelihatan geram. Putrinya tengah menderita tekanan batin yang hebat. Tapi, rasa iba yang besar juga melanda hati kakek ini. Malaikat Merah tiba-tiba merasa marah sekali. Entah kepada siapa kemarahan itu di tujukannya.
"Aku yakin demikian, Putih," jawab Malaikat Merah sejujurnya. Untuk mengatakan pendapat yang diyakininya menghancurkan hati Putri Teratai Putih
Malaikat Merah beberapa kali menelan ludah membasahi tenggorokannya yang mendadak kering. "Kalau tidak demikian, mana mungkin ada seorang pemuda yang demikian mirip dengannya, bak pinang dibelah dua? Melihat pemuda itu tak ubahnya melihat... kekasihmu itu di waktu muda. Tidak ada bedanya sekali pun!"
"Ayah...," keluh Putri Teratai Putih tertahan, sebelum akhirnya roboh pingsan. Rupanya, guncangan batin yang diterimanya terlampau besar.
"Putih?" seru Malaikat Merah dengan suara bergetar karena rasa iba dan haru yang melanda.
Kakek ini bertindak cepat sehingga tubuh Teratai Putih tidak merosot jatuh. Dengan hati-hati Malaikat Merah menggeletakkan tubuh putrinya di tanah.
"Kurasa aku sudah cukup berbuat baik, Malaikat Merah! Sekarang saatnya bagimu untuk menerima kematian!" Pemuda berpakaian kuning tiba-tiba berkata setelah sejak tadi berdiam diri memperhatikan ayah dan anak di depannya. "Sebelum kau tewas di tanganku, kuberikan padamu kesempatan untuk mengenaliku. Namaku adalah Reksanata! Jelas?!"
Malaikat Merah tersenyum getir. Disadarinya kalau tak mungkin lolos dari tangan Reksanata. Hal ini menyebabkan hatinya gundah. Kakek ini benar-benar rela mati di tangan pemuda tangguh itu.
"Tunggu dulu, Anak Muda!" selak Malaikat Merah, sebelum Reksanata melancarkan serangan.
"Ada apa lagi, Malaikat Merah?!" Reksanata menghentikan gerakannya. "Kesempatan yang kuberikan untukmu bukan berarti kau bisa memohon ampunan!"
"Aku tidak ingin meminta ampunan darimu, Reksanata!" sentak Malaikat Merah. Kakek ini merasa tersinggung dengan ucapan lawannya. "Aku bukan orang yang takut menghadapi kematian! Aku hanya ingin tahu dari mana kau dapatkan ilmu Tangan Sakti Pedang dan Golok. Setahuku ilmu itu hanya dimiliki oleh seorang kawan baikku. Pendekar Naga Emas julukannya. Apakah kau menerima ilmu itu darinya?!"
"Kau ngawur, Malaikat Merah!" Reksanata berseru keras. "Ilmu ini tidak kudapatkan dari sahabatmu. Bahkan, aku sama sekali tak mengenalnya. Aku mendapatkannya dari guruku sendiri. Orang yang pernah menjadi guru dari Hantu Rambut Emas!"
Malaikat Merah mengernyitkan kening. "Kau tidak mengenal tokoh yang kusebutkan tadi?"
"Mendengar namanya aku pernah. Guruku sering menyebutkannya dan menyuruhku untuk membina-sakannya. Tapi, melihatnya aku belum. Apalagi sampai mengenal dan menerima ilmu darinya. Pendekar Naga Emas adalah termasuk musuhku! Aku akan membuat perhitungan dengannya!"
Malaikat Merah semakin bingung. Kalau tidak ada hubungan antara Reksanata dengan Pendekar Naga Emas, mengapa mereka berdua mempunyai cirri-ciri yang demikian serupa?
"Tak usah mengulur waktu lebih lama, Malaikat Merah! Kurasa sudah tiba saatnya bagimu untuk menemui malaikat dalam kubur!" potong Raksanata tak sabar.
Malaikat Merah menghembuskan napas berat. Kakek ini tampaknya sudah pasrah. Meski demikian, melihat sekujur tubuhnya yang menegang, Malaikat Merah rupanya termasuk orang yang tak akan mem-biarkan nyawanya dicabut orang begitu saja.
"Hanya seorang berwatak pengecut saja yang akan membunuh lawan yang sudah tak berdaya...!"
Seruan yang diucapkan tidak terlalu keras tapi bernada tajam itu membuat Malaikat Merah, terutama sekali Reksanata, menoleh ke arah asal suara. Reksanata merasa geram bukan main mendengar makian itu. Ia adalah seorang yang berwatak sombong. Tidak ada hal yang paling menyakitkan hatinya kecuali ang-gapan kalau dirinya seorang pengecut!
Reksanata dan Malaikat Merah agak terperanjat ketika melihat seorang pemuda berambut putih keperakan melangkah tenang mendekati tempat mereka berdua. Pemuda yang bukan lain Arya Buana atau yang lebih dikenal dengan julukan Dewa Arak!
Kedua tokoh ini sempat merasa heran melihat rambut Arya. Melihat dari rambutnya, menurut kedua orang itu pemiliknya seharusnya seorang yang telah berusia lanjut. Tapi kenyataannya rambut itu berada di kepala seorang pemuda berusia dua puluhan tahun.
"Siapa kau, Rambut Putih?!" bentak Reksanata keras setelah berhasil menguasai perasaan kagetnya. "Sungguh lancang kau bersikap seperti itu padaku! Apakah kau hendak buru-buru pergi ke alam kubur? Kalau kau tidak segera minta ampun dan meninggal-kan tempat ini, rambut setanmu itu akan ku babat habis!"
"Aku hanya akan pergi dari tempat ini apabila kau sudah pergi dan tidak melanjutkan tindakan pengecut mu terhadap orang tua yang sudah tidak berdaya itu," jawab Arya seraya menunjukkan jarinya ke arah Malaikat Merah.
"Keparat! Rupanya kau ingin berlagak menjadi pendekar sejati, Rambut Aneh! Cepat pergi sebelum kesabaranku hilang dan kujatuhkan hukuman terhadapmu. Kau harus menjilat telapak kakiku tujuh kali, dan nyawamu yang tidak berharga itu kuampuni. Pantang bagiku Reksanata, tokoh yang akan menggemparkan dunia persilatan, bertarung dengan orang tidak wajar seperti kau!"
"Benar, Anak Muda," Malaikat Merah yang tidak ingin ada orang lain terluka atau mati karena membelanya, ikut memberi nasihat pada Arya.
Malaikat Merah bukannya tidak tahu kalau Arya mempunyai kepandaian tinggi. Sikap pemuda itu yang tenang dan sorot sepasang matanya yang tajam mencorong kehijauan telah menjadi bukti nyata. Kendati demikian, Malaikat Merah tidak yakin Arya akan mampu menandingi Reksanata. Pemuda berpakaian kuning itu memiliki kepandaian yang demikian dahsyat. Bahkan, mungkin tidak kalah dengan Pendekar Naga Emas! Padahal, pendekar itu merupakan jago nomor satu pada masanya.
Arya sendiri hanya tersenyum dan menganggukkan kepala sedikit pada Malaikat Merah. Pemuda itu tahu kakek itu tidak bermaksud meremehkannya. Hanya khawatir kalau dia akan mengalami celaka di tangan Reksanata.
"Sayang sekali, Reksanata," ujar Arya tenang seraya menatap pemuda sombong itu tepat pada bola matanya. "Aku tidak bisa memenuhi permintaanmu! Aku bukan seorang pengecut. Dan...."
Arya terpaksa menghentikan ucapannya. Reksanata telah menerjangnya lebih dulu. Teriakan keras menggelegar yang mampu menggetarkan sekitar tem-pat itu dikeluarkan Reksanata bersamaan dengan melesatnya tubuh pemuda itu ke arah Dewa Arak.
Reksanata mengawali serangannya dengan sebuah tendangan kaki kanan ke pelipis. Angin menderu keras mengiringi meluncurnya serangan itu. Sungguh dahsyat serangan Reksanata. Batu karang yang paling keras pun akan hancur lebur jika terhantam. Maka, buru-buru Arya menarik kaki kanannya ke belakang seraya mencondongkan tubuh ke belakang. Serangan Reksanata pun kandas!
Melihat serangan pertamanya mengalami kegagalan dengan cara yang demikian mudah, Reksanata menjadi penasaran bukan main. Rasa penasaran yang bercampur kegeraman. Serangan susulan yang tidak kalah dahsyatnya pun segera dilancarkan. Sesaat kemudian, kedua jago muda itu telah terlibat dalam pertarungan sengit! Reksanata benar-benar sudah kehilangan kesabaran. Serangan-serangan yang dilancarkannya selalu mengarah bagian-bagian yang mematikan. Pemuda itu agaknya mengerahkan seluruh kemampuan yang dimilikinya. Sehingga, tiap kali serangannya meluncur datang maut pun siap merenggut nyawa Dewa Arak!
Prat, prat, pratt!
Untuk pertama kalinya benturan keras dan bertubi-tubi terjadi. Dua pasang lengan yang mengandung tenaga dalam kuat saling beradu. Akibatnya, Dewa Arak dan Reksanata terhuyunghuyung empat langkah ke belakang.
Reksanata kelihatan terkejut. Semula pemuda sombong ini menyangka kalau di dunia persilatan hanya dirinya saja yang memiliki kepandaian tinggi, terutama di kalangan tokoh-tokoh muda. Dia menganggap dirinya tak terlawan lagi. Tapi, kenyataan yang menjadi membuatnya sangat terpukul dan kecewa. Serangan-serangannya kemudian pun dilancarkan semakin dahsyat. Jurus demi jurus berlangsung cepat. Se-bentar saja lima puluh jurus telah terlewat. Keadaan masih berimbang. Kenyataan ini semakin membuat Reksanata murka. Serangan-serangannya kini lebih banyak ditujukan pada penyerangan, dan hampirhampir tidak mempedulikan pertahanan sama sekali. Rasa kecewa dan terpukul mengingat ada pemuda lain yang memiliki kepandaian tak kalah dengannya mem-buat Reksanata nekat! Yang ada di benak pemuda ini adalah mengalahkan Dewa Arak! Akibat apa pun tidak dipikirkannya sama sekali.
Dukkk, plakkk.
Desss!
Tubuh Dewa Arak dan Reksanata sama-sama terjengkang ke belakang. Dewa Arak masih sanggup menjejak tanah dengan kedua kakinya kendati terhuyung-huyung. Reksanata mengalami nasib yang lebih buruk. Pemuda ini terbanting keras di tanah. Memang dia masih mampu bangkit, tapi dari sudut mulutnya mengalir cairan merah kental.
Reksanata terluka dalam yang cukup parah karena tamparan Arya mengenai pangkal tangan kanannya. Sedangkan Arya sendiri hanya terkena sapuan pada kakinya. Pertarungan langsung terhenti. Reksanata menatap Dewa Arak dengan sinar merah penuh dendam.
"Kali ini aku mengaku kalah, Rambut Setan! Tapi ingat, kekalahan ini tidak untuk selamanya. Kelak aku akan datang untuk menebusnya kembali. Ingat baik-baik kataku ini!"
Usai berkata demikian, dengan dada dibusungkan dan dagu diangkat tinggi-tinggi Reksanata membalikkan tubuh. Kemudian, dengan agak terhuyung-huyung ia berlari meninggalkan tempat itu.
Arya tidak mengejar. Pemuda ini malah memperhatikan kepergian pemuda berpakaian kuning itu. Kemudian napas berat keluar dari mulutnya. Dia kembali telah menanamkan bibit permusuhan dengan lawan yang teramat tangguh. Kalau Reksanata saja sudah memiliki kepandaian demikian tinggi, bagaimana pula orang yang menjadi gurunya? Batin Dewa Arak "Terima kasih atas pertolonganmu, Anak Muda. Kalau tidak ada kau mungkin aku dan anakku hanya tinggal nama sekarang."
Lamunan Arya buyar oleh suara itu. Pemuda be-rambut putih keperakan ini membalikkan tubuh untuk menghadap Malaikat Merah.
"Tak ada yang perlu diucapkan mengenai pertolonganku ini, Kek. Hanya suatu kebetulan aku berada di sini. Maaf, apakah Putri Teratai Putih telah menceritakan pada Kakek mengenai diriku?"
"Tidak, Anak Muda!" Malaikat Merah menggeleng. Meski sebenarnya merasa kaget mendengar Arya mengenal Putri Teratai Putih, kakek ini dengan pandai menyembunyikan perasaan itu. "Jadi, kau telah mengenal anakku, Anak Muda?"
"Kami bertemu di perjalanan secara tidak sengaja. Dan begitu mendengar tentang dirimu, aku meminta pada Putri Teratai Putih untuk bisa bertemu denganmu. Aku sudah lama mengagumimu."
"Kau bercanda, Anak Muda," Malaikat Merah tersenyum getir, "Apa yang bisa dibanggakan dari orang tua sepertiku? Menghadapi seorang pemuda saja aku hampir tewas kalau kau tidak segera datang menolong. Boleh ku tahu bagaimana kau bisa bertemu dan berkenalan dengan putri ku?"
Sebelum Arya sempat memberikan jawaban, ter-dengar Putri Teratai Putih mengeluh. Rupanya, wanita ini telah tersadar dari pingsannya.
Arya dan Malaikat Merah segera mengalihkan perhatiannya pada Putri Teratai Putih. Wanita itu sendiri tidak mempedulikan pandangan mereka. Tatapan-nya diedarkan ke sekitar tempat itu.
Terutama ke tempat di mana Reksanata tadi berada.
Malaikat Merah mengeluh dalam hati melihat kelakuan putrinya. Sedangkan Arya yang tidak tahu pokok
permasalahannya berdiam diri saja,
"Mana dia, Ayah?" tanya Putri Teratai Putih setelah tak menemukan orang yang dicarinya.
"Dia telah pergi, Putih," jawab Malaikat Merah dengan hati berat. "Kawan seperjalanan mu yang telah mengusirnya sebelum dia berhasil membunuhku."
"Oooh..." keluh Putri Teratai Putih. Lalu, dia bangkit berdiri. Kelihatan sekali wanita ini merasa kecewa.
"Hentikan kecengenganmu, Putih! Tidak pantas orang keturunan Perkumpulan Sepasang Malaikat bersikap lemah seperti itu! Tak malu terhadap kawan se-perjalanan mu yang melihat tingkahmu ini?!" tegur Malaikat Merah, karena tidak senang melihat sikap Putri Teratai Putih!
Kakek ini sebenarnya tidak sampai hati berkata seperti itu. Dia tahu mengapa putrinya demikian ter-pukul. Tapi, keberadaan Dewa Arak membuatnya malu atas sikap yang diperlihatkan putrinya.
Teguran Malaikat Merah membuat Putri Teratai Putih tersadar. Meski rasa kecewa dan terpukul masih melanda hati, dia mampu menekannya dengan menggertakkan gigi. Disadarinya kebenaran ucapan ayahnya. Seorang pendekar tidak pantas untuk menuruti kelemahan hati!
"Maafkan atas sikapku yang tak pantas, Arya," ujar Putri
Teratai Putih dengan suara serak. "Aku terlalu terbawa perasaan. O ya, ini ayahku, Arya. Malaikat Merah, pimpinan kedua Perkumpulan Sepasang Malaikat yang ingin kau temui. Ayah, ini kawan seperjalanan ku yang telah menyelamatkan diriku dari maut. Namanya Arya."
Arya dan Malaikat Merah saling menganggukkan kepala seraya tersenyum lebar. Putri Teratai Putih lalu menceritakan semua kejadian yang dialaminya sampai bertemu Dewa Arak.
Malaikat Merah mendengarkan dengan penuh perhatian.
Beberapa kali kakek ini mengeluarkan seruan kaget.
"Sungguh tak kusangka kalau Pengemis Iblis Tanpa Tanding mempunyai seorang kakak seperguruan. Dewa Tapak Darah julukannya. Sebagai seorang kakak seperguruan, Dewa Tapak Darah pasti tak kalah lihai dengan Pengemis Iblis Tanpa Tanding. Sungguh berbahaya!" Malaikat Merah menggeleng-geleng dengan sikap prihatin.
"Itulah sebabnya aku datang kemari untuk memberitahukan mu, Ayah. Aku yakin cepat atau lambat Dewa Tapak Darah akan menyatroni tempat ini. Meski letaknya tersembunyi, tapi dia pasti akan dapat menemukannya," ujar Putri Teratai Putih.
Malaikat Merah mengangguk-angukkan kepala menanggapi ucapan putrinya.
"Sebenarnya aku sangat senang dengan kedatanganmu kemari, Putih. Apalagi dengan membawa kawan perjalanan yang memiliki kepandaian demikian tinggi. Sayang, kau datang terlambat"
Putri Teratai Putih mengernyitkan kening. Dia berpikir sejenak untuk mencerna kata-kata ayahnya. Sebentar kemudian, wanita ini merasakan ada sesuatu yang tak beres telah terjadi.

––––––––



5

"Sejak tadi aku tidak melihat Teratai Merah. Ke mana dia. Ayah?" tanya Putri Teratai Putih. Dia baru menyadari keanehan ini karena kesibukannya meng-hadapi Reksanata.
Biasanya, setiap kali Putri Teratai Putih datang, Putri Teratai Merah yang paling gembira menyambut-nya. Gadis yang menjadi murid Malaikat Merah itu memang telah menganggap Putri
Teratai Putih sebagai Ibunya sendiri.
"Itulah sebabnya kukatakan kalau kedatanganmu terlambat, Putih. Teratai Merah telah lebih dulu pergi sebelum kau tiba. Apakah kau tak menjumpainya di-perjalanan?" Malaikat Merah balas mengajukan perta-nyaan.
"Jadi... Teratai Merah telah pergi, Ayah?" Terasa jelas nada kekecewaan yang besar dalam suara Putri Teratai Putih. "Mengapa dia pergi? Dan, hendak ke mana? Aku tidak menjumpainya di perjalanan."
Malaikat Merah menghela napas berat "Berarti Teratai Merah mengambil jalan memutar, Putih. Sayang sekali! Padahal, dia ingin menjumpai mu di istana. Dia ingin sekali-kali memberi kejutan. Karena sebelum kau datang dia berangkat lebih dulu. Katanya, sekalian melihat-lihat pemandangan di jalan." "Oooh...!" Putri Teratai Putih mengeluh kecewa.
Wajahnya ditekapkan dengan kedua tangan. Ke-palanya pun ditundukkan dalam-dalam. "Kalau ku tahu akan begini, pasti jauh-jauh hari aku telah pergi ke mari Ayah. Aku khawatir dia mendapat bahaya di jalan. Dunia persilatan amat keras. Teratai Merah terlalu polos. Aku khawatir terjadi apa-apa terhadapnya." "Jangan khawatir, Putih," hibur Malaikat Merah. "Sebelum Teratai Merah pergi, telah kuberikan nasihat padanya. Bahkan kuberitahukan padanya untuk bersikap hati-hati meski menghadapi orang yang kelihatannya baik."
"Aku mengerti. Ayah. Tapi, tipu daya orang persilatan terlalu banyak."
"Aku bisa memaklumi kekhawatiranmu," timpal Malaikat Merah bijaksana, karena mengetahui alasan yang menyebabkan Putri Teratai Putih demikian khawatir. "Tapi cobalah kau bertindak sedikit bijaksana. Bukankah kau dulu pun begitu? Betapa pun keras kau buang keinginan hatimu tetap tidak bisa ku bendung. Kenyataannya, kau selamat sampai hari ini. Lagipula mana mungkin Teratai Merah akan mendapat pengalaman kalau terus-menerus tinggal di tempat ini?"
Putri Teratai Putih pun terdiam. Disadari ada kebenaran yang tak bisa dibantah dalam penjelasan ayahnya. Kendati demikian, perasaan khawatir yang melanda tetap tak mau sirna.
"Aku masih belum bisa mengerti dengan maksudmu, Putih," kali ini Malaikat Merah yang mengajukan keheranan. "Mengapa kau mesti menyuruh Arya menunggu dan tidak langsung menemui Ayah di sini. Kalau saja Arya terus menuruti permintaanmu, mungkin kau dan Ayah telah tewas di tangan Reksanata."
"Aku khawatir Ayah akan marah. Biar bagaimana pun Arya orang luar. Padahal Ayah tidak suka jika tempat tinggal Ayah diketahui orang. Karena itu, ku putuskan untuk menyuruh Arya menunggu sedangkan aku memberitahukan hal ini pada Ayah. Bukankah pengawal-pengawalku pun demikian jika aku tengah menemui Ayah?" jawab Putri Teratai Putih memberikan alasan.
Permintaan Putri Teratai Putih ini yang menyebabkan Arya datang lebih lambat. Arya menunggu sampai Putri Teratai Putih kembali dan memberikan jawaban. Tapi ketika pemuda ini mendengar bunyi-bunyi gaduh, dengan perasaan tak enak diputuskannya untuk meninggalkan tempat persembunyian di balik dinding batu yang menjulang tinggi, lima puluh tombak dari tempat tinggal Malaikat Merah.
Tindakan yang diambil Arya ternyata tepat. Keda-tangannya menyebabkan bahaya maut yang mengancam Malaikat Merah dan juga Putri Teratai Putih ber-hasil dihindarkan.
"Itu memang benar, Putih. Tapi Arya kan lain. Dia seorang penolongmu. Jadi merupakan tamu kehormatan. Mana mungkin aku tidak menyukai nya?" bantah Malaikat Merah membela diri.
Putri Teratai Putih ingin mengajukan bantahan lagi. Wanita yang ternyata berhati keras ini tidak mau dipersalahkan. Tapi sebelum hal itu dilakukannya, Arya telah buru-buru menengahi. Rupanya ia merasa bertanggung jawab atas terjadinya perdebatan antara ayah dan anak itu
"Maafkan kalau aku bertindak lancang, Kek, Putri. Tapi menurut hematku sebaiknya masalah ini diselesaikan saja. Bagiku hal ini tidak merupakan masalah. Tindakan yang diambil Putri tidak salah, dan peraturan Kakek juga benar. Aku bisa memakluminya."
"Syukurlah kalau kau berpikir demikian, Arya" timpal Malaikat Merah dengan hati lega. "Aku memang khawatir kau merasa dicurigai. Sekarang dengan adanya jawabanmu seperti itu, aku merasa lega. Sekali lagi kuucapkan banyak-banyak terima kasih atas pertolonganmu."
"Bukankah itu merupakan kewajiban kita selaku pembelapembela keadilan, Kek?" kilah Arya setengah mengingatkan.
Malaikat Merah tidak memberikan tanggapan. Jawaban Arya mengingatkannya kalau pertolongan yang diberikan pemuda itu bukan merupakan hal yang luar biasa. Menolong orang yang tertindas memang sudah merupakan kewajiban setiap tokoh golongan putih!
"Sekarang apa yang hendak kau lakukan, Putih?" tanya Malaikat Merah pada putrinya.
"Aku akan kembali ke dunia persilatan, Ayah! Hatiku tidak merasa tenang kalau belum melihat Teratai Merah selamat. Peristiwa seperti dua puluh tahun lalu aku yakin akan terulang kembali. Bukan tidak mung-kin tokoh-tokoh golongan hitam selihai datuk-datuk sesat dulu akan keluar lagi. Kenyataannya, Dewa Ta-pak Darah telah muncul."
Malaikat Merah menghela napas berat. Kakek ini terlihat begitu gusar.
"Aku pun tidak mungkin tenang lagi tinggal di sini, Putih. Munculnya tokoh seperti Dewa Tapak Darah, apalagi Reksanata yang menyimpan rahasia besar dengan kesamaan ilmunya seperti Pendekar Naga Emas, membuatku ingin segera tahu keanehan ini"
"Kalau begitu, kita bersama-sama menyingkapkan rahasia itu. Ayah?" Putri Teratai Putih mengajukan usul.
"Mungkin sebaiknya kita berpisah, Putih. Kau bersama Arya dan aku akan menyusul belakangan. Butuh waktu beberapa hari bagiku untuk meninggalkan tempat yang kucintai ini."
"Kalau demikian, biar aku berangkat lebih dulu," ujar Putri Teratai Putih.
"Begitu pun bagus!" sahut Malaikat Merah me-nyambuti usul putrinya.
***
Sesosok bayangan hitam berkelebat di bawah terangnya cahaya bulan purnama. Gerakannya cepat bukan main sehingga yang terlihat hanya kelebatan bayangan hitam saja. Sosok bayangan ini ternyata Nambi yang dulu menjabat sebagai panglima kerajaan.
Nambi terus berlari cepat. Langkahnya baru diperlambat ketika mendekati bangunan besar berhalaman luas. Sebuah bangunan megah yang dikelilingi pagar kayu bulat tinggi. Sepasang mata Nambi berbinar-binar begitu menatap bagian atas pintu gerbang utama tergantung sebuah papan tebal berukir yang tuliskan huruf-huruf indah berbunyi 'Perkumpulan Pengemis Baju Merah'.
Sekali melompat tubuh lelaki itu telah berada tepat di depan pintu gerbang Perkumpulan Pengemis Baju Merah. Kemudian, Nambi menghantamkan kedua tangannya ke daun pintu.
Brakkk!
Daun pintu gerbang hancur berkeping-keping. Bunyi gaduh yang timbul mengejutkan orang-orang yang berada di bagian dalam pintu gerbang.
"Ha ha ha....'"
Nambi memperdengarkan tawa aneh. Suaranya pelan dan berat, tapi bergaung. Tawa yang tidak pantas keluar dari mulut manusia. Lelaki ini menatap puluhan sosok berpakaian merah yang berdiri sekitar lima tombak di depannya.
"Rupanya kalian sudah siap menyambut kedatan-ganku," dengus Nambi tanpa rasa gentar sedikit pun, kendati di tangan sosok-sosok berpakaian merah pe-nuh tambalan tergenggam tongkat berujung runcing. Sikap sosok-sosok yang bukan lain anggota Perkumpu-lan Pengemis Baju Merah tampaknya sudah siap ta-rung.
"Tidak usah banyak basa-basi, Nambi! Telah ku dengar kalau kau membasmi seluruh isi Perguruan Hutan Larangan dengan kejam! Kami, Perkumpulan Pengemis Baju Merah, akan membalaskan kematian mereka!" bentak seorang pengemis kurus kering yang berdiri paling depan. Pengemis yang telah berusia lan-jut ini adalah pimpinan Perkumpulan Pengemis Baju Merah. Pengemis Tongkat Badai, julukannya!
"Aku memang tak ingin berbasa-basi," rungut Nambi tak senang. "Kedatanganku kemari adalah untuk membasmi kalian semua seperti halnya Perkumpulan Hutan Larangan! Kalian yang telah menyebabkan usahaku untuk menjadi raja dan mempersunting Putri Teratai Putih gagal. Bersiaplah untuk menghadap Malaikat maut!"
Nambi melesat menerjang Pengemis Tongkat Badai. Kedua tangannya secara berbarengan disampok-kan ke arah dada dan ulu hati lawan. Bunyi berkero-takan nyaring terdengar sebelum serangan bekas panglima kerajaan itu tiba.
Pengemis Tongkat Badai tidak berani bersikap main-main. Segera saja tongkatnya diputar bagal kitiran. Kemudian, dikelebatkan menangkis serangan yang mengancam dada dan ulu hatinya.
Brakkk!
Benturan antara tongkat dan sepasang tangan pun tak terelakkan lagi. Tubuh Pengemis Tongkat Badai terhuyunghuyung empat langkah ke belakang. Sekujur tangannya yang memegang tongkat dirasakan lumpuh seketika. Bahkan, dadanya pun terasa sesak bukan main!
Nambi yang sedikit pun tidak terpengaruh oleh tangkisan tongkat Pengemis Tongkat Badai kembali mendengus. Kini dia sudah memburu tubuh yang ten-gah terhuyung-huyung itu.
Melihat nyawa Pengemis Tongkat Badai terancam, muridmuridnya tak tinggal diam. Mereka bergegas melompat menjegal serangan Nambi. Seketika ujung belasan tongkat mengarah ke berbagai bagian tubuh bekas panglima kerajaan itu.
Bukkk! Takk! Dukk!
Telak dan keras bukan main belasan tongkat itu menghantam sasaran. Tapi Nambi tidak terpengaruh sama sekali. Memang, sebelum membiarkan serangan-serangan itu mengancam tubuhnya, Nambi telah mengerahkan tenaga dalam untuk melindungi tubuhnya.
Nambi tidak bertindak lembut. Segera dicabutnya senjata andalannya. Serangan balasan berupa samba-ran sepasang senjatanya pun meluncur ke arah para pengeroyok itu. Seketika tubuh murid-murid Perkumpulan Pengemis Baju Merah berpentalan bak dilanda angin topan! Setiap kali tangan Nambi bergerak, satu tubuh terbanting di tanah dan tak bangkit lagi untuk selamanya.
Tapi, pengemis-pengemis baju merah bukan orang yang berwatak pengecut. Meski hanya dalam waktu singkat kawankawan mereka telah tewas, tapi dengan semangat tinggi di bawah pimpinan Pengemis Tongkat Badai mereka melakukan perlawanan mati-matian!
Pertarungan seru pun terjadi. Nambi mengamuk. Jerit kematian terdengar silih berganti setiap kali tan-gan Nambi bergerak. Hanya dalam beberapa gebrakan saja halaman markas Perkumpulan Pengemis Baju Me-rah telah dipenuhi oleh mayatmayat yang bergelim-pangan. Darah tampak membanjiri tempat itu.
"Ha ha ha...!"
Nambi kembali tertawa terbahak-bahak. Lelaki itu kelihatan gembira bukan main.
"Kematianmu sudah di ambang pintu, Pengemis busuk! Setelah kau, baru giliran Pendekar Naga Emas. Pendekar yang terkenal itu akan tewas di tanganku. Dan aku, Nambi, akan menjadi tokoh tak terkalahkan dunia persilatan! Ha ha ha...!"
Pengemis Tongkat Badai hanya dapat menggertakkan gigi untuk mengusir kegeraman hatinya. Sekarang dia tinggal sendiri. Disadarinya tak akan mungkin dapat mengalahkan Nambi. Tadi saja sewaktu anak buahnya masih ada tokoh itu tak bisa dikalahkannya, apalagi sekarang?
Hampir berbarengan dengan usainya gelak tawa Nambi, terdengar suara tawa nyaring yang menggetarkan sekitar tempat itu! Pengemis Tongkat Badai sampai mengerahkan seluruh tenaga dalamnya untuk melawan pengaruh suara tawa yang membuat isi dadanya bergetar hebat!
"Besar sekali sesumbar mu, Sobat! Kau kira hanya dirimu seorang yang memiliki kepandaian? Selama ada aku jangan harap maksudmu itu akan terlaksana! Akulah yang akan menjadi jago tak terkalahkan di dunia persilatan!"
Nambi mendengus marah mendengar ucapan itu ditujukan terhadapnya. Tubuhnya lalu dibalikkan dengan cepat. Dia tahu pemilik suara itu ada di belakangnya.
Dugaan Nambi memang tidak keliru. Dari balik pintu gerbang yang sudah tak berdaun lagi melesat sesosok bayangan yang tak terlihat jelas bentuknya karena cepatnya gerakan yang dilakukannya. Sosok itu berhenti melesat pada jarak tiga tombak dari Nambi.
"Siapa kau, Mulut Lancang?!" tanya Nambi keras. Setelah memperhatikan beberapa saat lamanya dia tak juga mengenal siapa pendatang baru ini
Dia adalah seorang kakek bermuka merah. Sepasang matanya hampir tak terlihat karena hanya berupa garis memanjang.
"Kau benar-benar memiliki keberanian dan kesombongan yang melewati batas. Sobat! Rupanya kau belum mengenal siapa adanya aku?!" gertak kakek bermuka merah. "Pernahkah kau mendengar julukan Pengemis Iblis Tanpa Tanding?"
"Tentu saja." dengus Nambi penuh ejekan. "Seorang tokoh yang katanya memiliki kepandaian amat tinggi sehingga mampu menjadi salah seorang datuk persilatan. Tapi kenyataannya? Tak lebih dari seorang jago di kalangan sendiri. Bayangkan, menghadapi Pendekar Naga Emas saja kalah dan akhirnya tewas! Da-tuk macam apa itu? Sungguh menyesal sekali aku bekerja sama dengannya. Kalau tidak, mungkin sekarang aku telah menjadi raja!"
"Hantu Belang! Jin Hutan! Kau benar-benar memiliki mulut yang besar, Anjing Hitam! Aku Dewa Tapak Darah, selaku orang yang pernah menjadi kakak seperguruan Pengemis Iblis Tanpa Tanding, takkan membiarkan mu seenaknya saja membuka mulut! Akan kubuktikan kalau akulah yang lebih pantas menjadi tokoh tak terkalahkan dunia persilatan!" tandas Dewa Tapak Darah, mantap.
"Keparat!"
Nambi berteriak marah mendengar makian yang ditujukan kepadanya. Berbarengan dengan dikelua-rkannya teriakan, bekas panglima kerajaan ini melu-ruk ke arah Dewa Tapak Darah. Serangan bertubi-tubi berupa tendangan kaki kanan menuju ulu hati, dada dan leher dikirimkannya.
Meski terkejut melihat kedahsyatan serangan Nambi, Dewa Tapak Darah mengeluarkan dengusan mengejek. Perasaan tak mau kalah mendorongnya untuk memapaki serangan-serangan itu.
Plak, plak, plak!
Dewa Tapak Darah terperanjat ketika mendapati kedua tangannya terasa sakit. Tubuhnya terhuyung-huyung dua langkah ke belakang. Sementara Nambi hanya terhuyung satu langkah!
Nambi tertawa mengejek melihat keterkejutan lawannya. Sambil mengeluarkan tawa tak putus, dikirimkannya serangan susulan. Dewa Tapak Darah me-nyambutinya. Pertarungan sengit pun berlangsung.
Di jurus-jurus awal pertarungan kelihatan seim-bang. Tapi begitu memasuki jurus kedua puluh lima, Dewa Tapak Darah mulai kewalahan. Kakek bermuka merah ini lebih banyak mengelak dan menangkis dari-pada menyerang.
***
"Mengapa kita harus berdiam diri saja di sini Pa-man?"
Ucapan itu keluar dari mulut seorang gadis berpakaian merah. Sepasang matanya yang bening indah menatap lelaki kumal di sebelahnya dengan tanpa me-nyembunyikan rasa penasaran. Saat itu dua sosok yang bukan lain Kamandaka dan Putri Teratai Merah itu memang tengah berada di atas genteng salah bangunan.
"Maksudmu bagaimana, Teratai?" Kamanda malah balas bertanya. Seperti juga Putri Teratai Merah. Kamandaka berbicara hampir berbisik karena tak ingin ucapannya didengar oleh kedua tokoh sesat yang tengah bertarung.
"Kita turun dan memberikan hajaran pada mereka yang telah begitu kejam membasmi orang-orang Perkumpulan Pengemis Baju Merah. Menurut Guru, Perkumpulan Pengemis Baju Merah mempunyai hubungan yang baik dengan Perkumpulan Sepasang Malaikat. Berarti sudah kewajibanku dan juga kau untuk membalaskan kekejian ini. Bukankah kau termasuk sahabat Guru, Paman? Aku yakin kau pun merupakan sahabat orang-orang Perkumpulan Pengemis Baju Merah. Benarkah dugaanku ini?" Kamandaka menganggukkan kepala.
"Apa yang kau katakan itu benar, Teratai. Tapi kita pun harus menggunakan akal jika hendak melaku-kan suatu tindakan. Dua tokoh sesat yang sedang bertarung itu memiliki kepandaian amat tinggi. Mungkin kalau hanya salah seorang dari mereka, aku bisa menghadapinya. Tapi dua orang? Hal lain yang memberatkan ku untuk bertindak adalah ketidaktahuan kita mengenai orang yang melakukan pembantaian itu. Bukankah kita datang saat mereka berdua tengah bertarung? Barangkali saja bukan mereka yang melaku-kannya," Kamandaka mengajukan alasan.
"Kau mengenal mereka, Paman?" Putri Teratai Merah mengajukan permasalahan lain.
"Salah satu dari mereka, Teratai. Kakek yang berpakaian hitam," terdengar nada keluhan dalam ucapan Kamandaka. "Sungguh tidak kusangka kalau waktu dua puluh tahun telah mengubahnya menjadi seorang tokoh yang memiliki kepandaian demikian tinggi. Mestinya kepandaian yang dimilikinya biasa saja. Dia adalah seorang panglima kerajaan dulunya, di masa kerajaan masih dipimpin oleh Prabu Banyak Santang. Mungkin kau bisa menduganya sekarang, Teratai. Setidak-tidaknya gurumu pernah bercerita tentang seorang panglima kerajaan yang berkhianat dan membe-rontak. Dedengkot-dedengkot dunia persilatan dari kaum sesat berdiri di belakangnya. Untung Pendekar Naga Emas cepat datang. Karena bantuannya kerajaan dapat diselamatkan...."
"Jangan sebut-sebut tentang pendekar pengecut itu lagi, Paman." sentak Putri Teratai Merah, tak senang.
"Sekarang aku tahu siapa adanya kakek itu, Panglima Nambi bukan?" Kamandaka mengangguk.
"Kakek yang satu lagi kau tidak bisa menduganya, Paman?"
"Memang ada sedikit dugaan muncul dalam piki-ranku," Kamandaka mengakui. "Beberapa gerakan kakek itu mirip dengan gerakan-gerakan Pengemis Iblis Tanpa Tanding.
Mungkinkah ada hubungannya antara mereka berdua?"
"Datuk sesat itu, Paman?"
Kamandaka kembali mengangguk. Entah untuk ke berapa kalinya lelaki kumal itu berlaku demikian.
Kali ini Putri Teratai Merah tak mengajukan pertanyaan lagi. Kamandaka pun tidak. Mereka berdua memusatkan seluruh perhatian ke arah pertarungan yang tengah berlangsung
"Ih..!"
Putri Teratai Merah tak kuasa untuk menahan pekikan kagetnya. Tampak di arena pertarungan Nambi melancarkan serangan yang menimbulkan bola-bola api bernyala meluncur ke arah Dewa Tapak Darah!
Kamandaka kaget bukan main. Dia tahu dua tokoh yang tengah bertarung itu akan segera menyadari adanya pengintaipengintai setelah mendengar teria-kan kaget Putri Teratai Merah. Maka, tanpa mem-buang-buang waktu lebih lama, dicekalnya pergelan-gan tangan Putri Teratai Merah. Gadis itu kelihatan kaget dan berusaha meronta. Tapi, Kamandaka telah lebih dulu bertindak. Dia melesat meninggalkan tempat itu sambil membawa tubuh Putri Teratai Merah!
Tindakan Kamandaka memang tidak keliru! Begitu mendengar suara jeritan, Nambi dan Dewa Tapak Darah segera tahu kalau mereka tengah diintai orang. Bagai telah disepakati sebelumnya, keduanya melancarkan pukulan jarak jauh ke arah suara jeritan berasal!
Brakkk!
Atap tempat Kamandaka dan Putri Teratai merah tadi berada hancur berantakan. Tapi, Kamandaka dan Putri Teratai Merah berhasil selamat karena saat itu telah berada di udara. Putri Teratai Merah yang melihat kejadian ini baru mengerti dengan tindakan yang diambil Kamandaka.
Nambi dan Dewa Tapak Darah menggeram melihat pengintai-pengintai itu lolos dari serangan. Seakan tengah berlomba keduanya bergegas melesat mengejar. Dan ketika Kamandaka menjejakkan kedua kakinya di tanah, Nambi yang didampingi Dewa Tapak Darah te-lah berada di depannya. Jarak antara mereka terpisah tiga tombak. Bagaikan telah diatur sebelumnya, Nambi berada di kanan dan di kiri berdiri Dewa Tapak Darah!
Kamandaka langsung menyadari kalau melarikan diri merupakan tindakan yang sulit dilakukan. Karena apabila jalan itu yang diambilnya, Putri Teratai Merah harus dibopongnya. Kalau tidak, Nambi dan Dewa Tapak Darah akan dengan mudah menangkapnya. Padahal, jika Putri Teratai Merah dipanggulnya akan mengurangi kecepatan larinya. Di pihak lain Nambi dan Dewa Tapak Darah memiliki kepandaian luar biasa. Bukan tak mungkin mereka akan mampu menyusulnya!
"Menyingkirlah, Teratai," ujar Kamandaka seraya melangkah maju, sehingga Putri Teratai Merah yang semula berada di sisinya jadi berada di belakang. Putri Teratai Merah tak berani membantah sedikit pun. Gadis ini tahu kalau dua kakek yang berada depannya memiliki kepandaian jauh di atasnya. Tanpa bicara apa pun dilangkahkan kakinya untuk menyingkir dari situ.
"Teratai,..?!" Nambi mengulang nama itu dengan mata membelalak lebar.
Lelaki berpakaian hitam ini memang sudah terkejut ketika melihat wajah dan perawakan tubuh Putri Teratai Merah. Semula dikiranya sosok itu adalah Putri Teratai Putih. Tapi, dugaan ini langsung pupus ketika melihat pakaiannya yang merah. Sekarang keterkeju-tan Nambi semakin bertambah saat mendengar sapaan yang diberikan Kamandaka.
"Apa hubunganmu dengan Putri Teratai Putih?" tanya Nambi seraya melangkah untuk menghampiri Putri Teratai Merah. Tapi, maksudnya terhalang den-gan keberadaan Kamandaka. Lelaki kumal itu melang-kah menghadang jalan Nambi.
"Keparat!"
Nambi menggeram marah sambil melotot. Tapi pandang matanya yang semula penuh kemarahan tiba-tiba meredup berganti dengan keheranan.
"Siapa kau, Monyet Jelek?! Rasa-rasanya aku mengenalmu."
"Untuk apa banyak berbasa-basi, Nambi! Serang saja! Aku tak suka dengan tindakanmu yang berbelit!" cela Dewa Tapak Darah tak sabar.
"Tutup mulutmu, Monyet Merah!" sentak Nambi.
Rupanya dia merasa terhina mendengar ocehan Dewa Tapak Darah. "Atau, kau ingin kubereskan lebih dulu?!"
"Ho ho ho...! Setan Belang! Kau sombong sekali, Nambi. Kau belum tentu menang menghadapiku. Apalagi kalau aku bersekutu dengan orang yang kau maki-maki itu. Kau akan menderita rugi besar. Ho ho ho...!"
Nambi tidak berani menanggapi lagi. Meski hatinya menuntutnya untuk mencerca, tapi hal itu ditahannya. Nambi tahu ancaman Dewa Tapak Darah bukan omongan kosong belaka. Bagi tokoh seperti kakek bermuka merah itu yang diperhitungkan adalah keuntungan bagi dirinya sendiri. Karena itu, Nambi tidak berani bicara sembarangan lagi.
Sementara itu Kamandaka menatap lekat-tekat wajah Nambi. Tindakannya menunjukkan kalau dia pun tengah memperhatikan bekas panglima kerajaan itu.
"Kau tanya siapa aku, Sobat? Rasanya biar kusebutkan pun kau tidak akan mengenalku. Aku bukan orang yang terkenal atau patut dikenal. Aku tak mengenalmu. Maka, aku yakin kau pun tak mengenal diriku," sahut Kamandaka kemudian dengan tenangnya.
"Kalau begitu, kau harus menebus kelancanganmu mengintai pertarungan kami! Kau harus mati di tanganku, Gembel Busuk!" bentak Nambi keras "Tapi sebelum itu aku ingin tahu gadis yang bersamamu itu. Siapa dia?!"

––––––––

6

Kamandaka tersenyum tenang.
"Sayang sekali, Sobat. Aku tidak bisa memenuhi permintaanmu. Aku bukan orang yang senang memperkenalkan
diri orang lain. Jadi, sekali lagi maaf,"
Nambi menggeram. Lelaki ini tidak bisa lagi menahan sabar mendengar jawaban Kamandaka. Dianggapnya tindakan Kamandaka itu suatu tantangan. Maka, dia pun menerjang Kamandaka!
Nambi membuka serangannya dengan sampokan tangan kanan ke arah pelipis. Tangan kirinya disilang-kan di dada untuk berjaga-jaga terhadap serangan la-wan.
Kamandaka bertindak cepat dengan menarik tubuhnya ke belakang. Pada saat yang bersamaan, kaki kanannya diluncurkan ke arah perut lawan. Nambi tentu saja tidak ingin perutnya tertendang. Dia pun tak mau mengelak. Lelaki ini terlalu percaya dengan kepandaiannya sendiri Kendati dari bunyi serangan Kamandaka bisa diketahui besarnya kekuatan tenaga dalam yang terkandung dalam serangan itu.
Karena kepercayaannya yang besar akan kepan-daiannya, Nambi meletakkan tangan kirinya yang dis-ilangkan di depan dada.
Takkk!
Benturan antara tangan dan kaki yang sama-sama mengandung tenaga dalam tinggi tak bisa dielakkan lagi. Tubuh Kamandaka dan Nambi sama-sama terhuyung satu langkah ke belakang. Mereka kelihatan terkejut melihat hasil benturan yang terjadi. Sungguh tidak disangka kalau lawan ternyata memiliki tenaga dalam yang demikian kuat. Tapi kalau Kamandaka hanya kaget, Nambi yang terlalu percaya akan kemampuannya sendiri tampak kaget bercampur geram! Nambi menggeram keras bak seekor binatang buas terluka. Sepasang tangannya dibentuk cakar ke-mudian digerakkan dengan cepat menyambar-nyambar mencari sasaran.
Kamandaka tak mempunyai pilihan lain kecuali bertarung dengan mengerahkan seluruh kemampuannya. Disadarinya lawan yang akan dihadapi tidak hanya seorang. Masih ada seorang lawan lagi yang tak kalah tangguh menunggunya. Kalau mengulur-ulur waktu, dia khawatir Dewa Tapak Darah akan keburu turun tangan. Dan bila itu terjadi keadaannya akan sangat berbahaya! Di luar kancah pertarungan, Putri Teratai Merah dan Dewa Tapak Darah menyaksikan jalannya pertempuran dengan masing-masing kepala dibelit pertanyaan yang tidak terjawab! Putri Teratai Merah dipusingkan oleh ucapan Kamandaka yang mengatakan kalau lelaki kumal itu tak mengenal Nambi. Padahal, tadi Kamandaka yang memberitahukan pada dirinya mengenal tokoh itu. Mengapa Kamandaka bersikap demikian? Tanya Putri Teratai Merah dalam hati. Lelaki kumal itu kelihatannya takut dikenali Nambi
Sedangkan Dewa Tapak Darah direpotkan dengan masalah Putri Teratai Merah. Kakek bermuka merah ini telah melihat Putri Teratai Putih. Kini gadis yang sekarang ditemuinya ini amat mirip segalagalanya dengan ratu kerajaan itu. Apa hubungan antara mereka?
Pertanyaan-pertanyaan itu bergayut di benak kendati pandangan mereka tak melewatkan pertarungan yang berlangsung di depan mata.
"Hey...!"
Terdengar seruan kaget Nambi. Lelaki itu melempar tubuhnya ke belakang dan bersalto beberapa untuk menjauh, membuat Putri Teratai Merah dan Dewa Tapak Darah merasa heran. Mereka merasa ada nya keterkejutan dalam seruan Nambi "Tahan...!" seru Nambi ketika kakinya menjejak tanah dan dilihatnya Kamandaka terus meluncur ke arahnya dengan serangan yang siap untuk disarangkan.
Seruan Nambi membuat Kamandaka menghentikan tindakannya. Sebagai seorang gagah lelaki kumal ini tak mau menyerang lawan yang tak siap untuk menerima serangannya.
"Ada apa, Sobat?" tanya Kamandaka tenang. Tapi, sepasang matanya menyorotkan kegelisahan berusaha untuk disembunyikan. "Apakah kau berubah pikiran dan membiarkan kami pergi dari sini dengan aman?" Nambi tertawa mengejek.
"Kau tidak bisa mengakaliku lagi, Pendekar Naga Emas! Kau boleh menyembunyikan wajah dan ciri-cirimu dengan menyamar sebagai gembel. Tapi aku bukan anak kecil yang bisa kau kelabui, meski samaran mu hampir-hampir saja membuatku terkecoh. Kau tak bisa menyembunyikan ilmu-ilmu khasmu. Kalau kau bukan seorang pengecut hina, pasti kau akan membenarkan dugaanku! Ayo, kalau kau ingin menjadi seorang pengecut hina, katakan kau bukan Pendekar Naga Emas!" Kamandaka terdiam. Dia tidak memberikan jawaban kecuali menundukkan kepala. Sesaat kemudian dia mengangkatnya lagi dan menghela napas berat.
Putri Teratai Merah dan Dewa Tapak Darah terkejut bukan main mendengar ucapan Nambi. Mata kedua orang ini tertuju pada Kamandaka. Telinganya dipa-sang setajam mungkin. Napas mereka bahkan hampir ditahan karena khawatir jawaban yang diberikan Ka-mandaka tak terdengar.
"Kau keliru, Nambi!" Putri Teratai Merah akhirnya yang tak tahan karena Kamandaka tidak juga memberikan jawaban. "Dia bukan pendekar pengecut itu! Malahan, dia dan aku hendak mencari pendekar pengecut itu untuk membuat perhitungan!" "Benarkah demikian, Nona Cantik?!" ejek Nambi sambil tersenyum sinis. "Sekarang kita tunggu saja jawaban dari orang yang ingin membantumu mencari pendekar pengecut itu."
"Ayo, Paman Kamandaka! Katakan kalau kau bukan Pendekar Naga Emas si pengecut itu!" seru Putri Teratai Merah tak sabar.
Suara gadis berpakaian merah ini terdengar berge-tar karena menahan guncangan perasaan. Putri Tera-tai Merah merasa tegang menanti jawaban Kamandaka. Malah, karena tak sabarnya gadis ini melangkah menghampiri Kamandaka. Sementara tawa Nambi meledak mendengar ucapan Putri Teratai Merah.
"Kau benar-benar dibohongi habis-habisan, Nona Dungu! Kau tahu nama asli pendekar pengecut yang berjuluk Pendekar Naga Emas itu? Aku yakin kau tidak tahu! Karena itu akan kuberitahukan padamu! Dengan baik-baik, Nona cantik yang dungu...."
"Cukup, Nambi!" potong Kamandaka dengan suara keras dan sikap garang. "Kuakui kalau aku adalah Pendekar Naga Emas!"
"Kau dengar itu, Nona yang goblok?!" ejek Nambi. "Kamandaka adalah nama asli dari pendekar pengecut itu. Kau ditipunya mentah-mentah! Ha ha ha...!"
Putri Teratai Merah terdiam bagai patung. Gadis ini terpukul bukan main mengetahui kenyataan itu. Apalagi karena hal itu dia menjadi korban ejekan Nambi.
Kamandaka alias Pendekar Naga Emas mengeta-hui perasaan yang berkecamuk di hati Putri Teratai Merah. Dia merasa menyesal sekali. Lelaki kumal ini merasa bersalah karena telah menyimpan rahasia. Ta-pi, apa boleh buat? Kamandaka mempunyai alasan yang amat kuat untuk itu.
"Maafkan aku, Teratai. Bukan maksudku untuk menipumu.
Aku...."
"Diam kau...!" potong Putri Teratai Merah dengan penuh kemarahan. Gadis ini menatap Pendekar Naga Emas dan Nambi berganti-ganti, sebelum akhirnya berhenti pada Kamandaka. "Aku benci kau! Kau tidak hanya pengecut, tapi juga penipu. Aku benci kau! Benci...!"
"Teratai,.!" panggil Kamandaka ketika melihat Putri Teratai Merah membalikkan tubuh dan berlari meninggalkan tempat itu.
Tapi, Putri Teratai Merah tidak mempedulikan panggilan Kamandaka. Dia terus berlari cepat tanpa menoleh lagi. Kamandaka hanya bisa menghela napas berat. Sedangkan Nambi tertawa bergelak-gelak meli-hat hasil ucapannya.
Kamandaka mengalihkan perhatiannya dari Putri Teratai Merah ketika tubuh gadis itu lenyap ditelan ke-gelapan malam. Pandangannya kini beralih pada Nam-bi.
"Kau boleh tertawa sepuasmu, Nambi. Sebentar lagi nyawamu akan kukirim ke neraka. Orang seperti kau tak layak dibiarkan hidup terus. Dunia akan menjadi kacau balau!"
Nambi menghentikan tawanya. Dia mendengus keras.
Pandangan matanya seakan hendak menelan Pendekar Naga
Emas bulat-bulat.
"Kau keliru, Pendekar Pengecut. Kaulah yang akan kukirim ke neraka. Dirimulah yang menjadi penyebab berantakannya semua cita-citaku. Kau akan mem-bayar mahal semuanya malam ini!"
Pendekar Naga Emas melangkah maju. Nambi pun demikian.
Mata mereka saling memperhatikan calon lawannya. Pertarungan yang sempat terhenti tampak-nya beberapa saat lagi akan pecah kembali.
"Demi segala roh penasaran! Kau jangan serakah Nambi. Pendekar Naga Emas bukan hanya mempunyai hutang padamu. Dia pun harus membayar atas keke-jian yang dilakukannya terhadap adik seperguruanku!"
Seruan yang diikuti dengan melangkah majunya Dewa Tapak Darah membuat Pendekar Naga Emas dan Nambi yang telah siap untuk saling gebrak menunda maksud mereka.
"Siapa kau, Kakek Aneh? Dan, siapa pula adik seperguruanmu yang kau katakan tewas di tanganku ku?" tanya Pendekar Naga Emas tanpa mengalihkan perhatian dari sosok Nambi.
Pendekar Naga Emas tahu pasti betapa liciknya bekas panglima kerajaan itu. Maka, dia tak mau me-ninggalkan kewaspadaan sedikit pun. Karena bagi Nambi cara apa pun akan dipergunakan asalkan sakit hatinya terbalaskan. Membokong pun tak menjadi per-soalan baginya!
"Buka telingamu lebar-lebar, Naga Emas!" teriak Dewa Tapak Darah. "Aku Dewa Tapak Darah. Dan adik seperguruanku yang kau bunuh secara kejam itu ber-juluk Pengemis Iblis Tanpa Tanding!"
"Adik seperguruannya bejat, kakak seperguruannya pun pasti bukan orang baik-baik! Kalian berdua memang sangat layak dikirim ke akhirat untuk menja-di teman setan-setan penghuni neraka!" sahut Pendekar Naga Emas dengan suara lantang.
"Kaulah yang akan menjadi penghuni neraka, Keparat!" bentak Dewa Tapak Darah yang sudah tidak bi-sa mengekang kemarahannya.
Kakek bermuka merah ini tanpa tanggung-tanggung lagi mengeluarkan ilmu andalan. Kedua tan-gannya jadi merah laksana besi dibakar! Hawa panas pun menyebar dari kedua tangannya!
Pendekar Naga Emas bergegas melompat ke bela-kang untuk mengelakkan serangan itu. Nambi tidak tinggal diam. Lelaki berpakaian hitam ini pun ikut me-lancarkan serangan. Pertarungan satu melawan dua pun langsung pecah!
Pendekar Naga Emas alias Kamandaka mengeluarkan Ilmu Tangan Pedang Dan Golok yang menjadi ciri khasnya. Sebuah ilmu tangan kosong yang amat am-puh. Tapi, Nambi dan juga Dewa Tapak Darah memiliki ilmu tangan kosong yang tak kalah ampuh pula. Se-telah pertarungan berlangsung lima belas jurus, Pendekar Naga Emas harus mengakui keunggulan lawanlawannya. Pengeroyokan Dewa Tapak Darah dan Nam-bi terlalu berat untuknya. Meskipun demikian, Ka-mandaka yakin andaikata kedua musuhnya itu meng-hadapinya satu persatu, dia akan dapat mengalahkan mereka. Kendati memang tidak dengan mudah hal itu dilakukan.
Semakin lama keadaan Pendekar Naga Emas semakin mengkhawatirkan. Serangan-serangannya sudah tidak terlihat lagi. Pendekar ini sekarang lebih sering mengelak. Dia tidak sempat mengirimkan serangan balasan karena terlalu bertubitubinya serangan dari kedua lawannya.
Pendekar Naga Emas bukan orang bodoh. Dia tahu kalau keadaan seperti ini berlangsung tanpa ada perubahan, dia akan roboh di tangan keduanya. Itu berarti nyawanya akan melayang ke alam baka! Pa-dahal, Kamandaka belum ingin tewas. Lelaki ini masih mempunyai ganjalan di hatinya karena permasalahannya dengan Putri Teratai Merah.
Di samping itu, ada hal lain yang ingin diketahui pendekar Naga Emas. Hal itu adalah mengenai Putri Teratai Merah. Adakah hubungan antara gadis berpakaian merah itu dengan Putri Teratai Putih? Tentu saja yang dimaksudkan Pendekar Naga Emas adalah hu-bungan keluarga. Rasanya tak mungkin jika ciri dan nama mereka yang demikian mirip kalau tidak ada

hubungan apa-apa
Dalam suatu kesempatan Pendekar Naga Emas membanting tubuhnya ke tanah untuk mengelakkan serangan Nambi dan Dewa Tapak Darah bergegas memburu untuk melancarkan serangan lanjutan. Kedua tokoh sesat ini berlomba ingin lebih dulu menya-rangkan serangan.
Brrr!
Namun, Nambi dan Dewa Tapak Darah secepat kilat menghentikan serangannya lalu melempar tubuh ke belakang. Penyebabnya adalah serangan serangkum debu dari Pendekar Naga Emas! Pendekar yang mempunyai kecerdikan cukup itu rupanya telah memperhitungkan tindakan lawannya. Maka begitu tubuhnya menyentuh tanah, tangannya langsung meraup debu dan melontarkannya pada kedua lawannya.
Kesempatan yang tercipta dari urungnya serangan Nambi dan Dewa Tapak Darah tidak disia-siakan oleh Kamandaka. Lelaki kumal itu melentingkan tubuhnya. Dan sesaat setelah kedua kakinya menjejak tanah dia langsung melesat cepat dengan pengerahan seluruh ilmu larinya.
"Kamandaka...! Pengecut! Jangan lari kau...!" seru Nambi marah bercampur kaget
"Pendekar Naga Emas...! Ke mana pun kau pergi jangan harap dapat lolos dari tanganku!" Dewa Tapak Darah pun berseru pula.
Dua tokoh sesat ini bergegas melesat untuk men-gejar. Sayangnya pengejaran yang mereka lakukan agak terlambat. Pendekar Naga Emas telah berada be-lasan tombak di depan. Namun meski demikian, Nambi dan Dewa Tapak Darah tetap melakukan pengejaran.
Pendekar Naga Emas tentu saja mendengar se-ruan kedua lawannya. Tapi, lelaki ini pura-pura tidak mendengar dan terus berlari cepat sekali. Sehingga Nambi yang telah mengerahkan seluruh kemampuan-nya tetap tak mampu menyusul. Malah, untuk sekadar memperpendek jarak saja dia tak mampu.
Dewa Tapak Darah lebih parah lagi. Kakek ber-muka merah ini malah tak bisa mempertahankan jarak semula. Semakin lama jarak antara dia dan Pendekar Naga Emas semakin jauh. Sampai akhirnya kakek itu malah kehilangan jejak.
Nambi pun demikian. Meski jaraknya tak berubah tapi kegelapan malam dan dengan adanya semak-semak serta pepohonan membuatnya mengalami kesulitan untuk dapat terus melihat buruannya. Apa yang dikhawatirkan lelaki ini akhirnya menjadi kenyataan. Ketika melewati kerimbunan semak-semak, Pendekar Naga Emas lenyap tak berbekas. Nambi mencari dengan sia-sia sambil memaki-maki panjang pendek.
***
Arya dan Putri Teratai Putih duduk berhadapan dalam jarak satu tombak. Kedua orang ini meletak pantatnya pada sebatang pohon yang melintang tanah.
"Sejak kau meninggalkan pertapaan ayahmu kelihatan terus gelisah, Putri. Boleh ku tahu penyebabnya? Apakah karena kepergian Putri Teratai Merah?" Arya membuka percakapan dengan pertanyaan yang sejak beberapa hari ini selalu menggayuti benaknya. Pertanyaan itu dikeluarkan Arya dengan hati-hati sete-lah dilihatnya sejak tadi Putri Teratai Putih duduk dengan pandangan menerawang ke langit
Putri Teratai Putih tidak memberikan jawaban se-patah pun. Malah, terusik pun tidak Wanita ini tidak, dengan keasyikannya sendiri seakan-akan pertanyaan Arya tidak didengarnya.
Arya menghela napas berat setelah menunggu be-rapa saat lamanya tak juga mendapatkan jawaban.
"Aku sebenarnya tak ingin mencampuri urusanmu, Putri." ujar Arya lagi. "Tapi, sebagai sahabat aku tak rela melihat kau senantiasa dilanda kesedihan seperti ini. Aku ingin ikut membantu masalah mu. Tentu saja kalau kau tak mau dengan senang hati aku akan menutup mulut"
Lagi-lagi hanya kesunyian yang menyambuti uca-pan Arya. Pemuda berambut putih keperakan ini menunggu beberapa saat sebelum akhirnya bangkit dari duduknya.
"Kalau kau ingin sendiri, aku pergi dulu, Putri. Barangkali saja tindakanku ini akan membuatmu lebih tenang."
Arya lalu membalikkan tubuhnya dan melangkah meninggalkan tempat itu. Tapi baru juga beberapa langkah, ayunan kakinya dihentikan. Arya mendengar Putri Teratai Putih menyerukan namanya.
"Kau memanggilku, Putri?" tanya Arya setelah membalikkan tubuhnya kembali.
Putri Teratai Putih yang sekarang sudah tak me-natap langit lagi tampak menganggukkan kepala.
"Aku ingin berbincang-bincang denganmu, Arya. Kau bersedia?"
"Dengan segala senang hati, Putri," jawab Arya sambil melangkah kembali ke tempat semula dia du-duk.
"Boleh aku mengajukan pertanyaan yang bersifat agak pribadi?"
"Boleh saja, Putri. Tapi aku tak menjamin akan menjawabnya. Itu tergantung dari pertanyaan yang akan kau ajukan," jawab Arya setelah tercenung sebentar.
"Jawaban yang bijaksana. Kau benar-benar seorang pemuda gemblengan, Arya," puji Putri Teratai Putih sehingga wajah Arya memerah karena malu. "Kau pernah jatuh cinta?"
Arya kelabakan. Andaikata pertanyaan Putri Teratai Putih diumpamakan serangan, mungkin pertanyaan itu merupakan serangan maut di saat Dewa Arak belum bersiap. Bahkan mungkin lebih dari itu. Karena, pertanyaan Putri Teratai Putih membuat Arya terdiam dengan wajah berubah-ubah.
Arya tidak menyangka akan ditanya seperti itu. Sebagai seorang pemuda, apalagi yang menanyakannya adalah wanita, Arya merasa risih. Tapi setelah beberapa saat lamanya kebingungan akhirnya Arya mampu berpikir jernih. Putri Teratai Putih rupanya ta-hu perasaan yang berkecamuk di hati Arya. Wanita ini dengan sabar menunggu.
"Pernah, Putri," jawab Arya kemudian dengan wajah memerah.
Pemuda berambut putih keperakan itu memu-tuskan untuk menjawabnya, karena Arya menduga masalah yang tengah membelit Putri Teratai Putih ke-mungkinan besar adalah masalah asmara. Tak ada sa-lahnya malu sedikit tapi dapat memecahkan masalah orang lain, pikir Arya.
"Syukurlah kalau demikian," desah Putri Teratai Putih lega. "Sekarang, bagaimana perasaanmu kalau orang yang kau cintai itu pergi. Padahal kau dan dia sama-sama saling cinta. Bertahuntahun orang yang kau cintai itu pergi dan kau mengharapharapkan ke-pulangannya. Hingga dua puluh tahun lebih keinginan hatimu itu tak terwujud. Kemudian, tahu-tahu kau bertemu dengan orang yang amat mirip dengannya. Anggap saja orang yang mirip itu adalah keturunan dari orang yang kau cintai. Bagaimana perasaanmu, Arya?"
"Tentu saja sangat kecewa, Putri. Mungkin bercampur dengan kesal karena merasa ditipu," jawab Arya setelah berpikir beberapa saat
"Nah, perasaan itulah yang tengah melanda ku, Arya. Perasaan dikhianati! Padahal..., dengar baik-baik, Arya. Hanya kau seoranglah yang akan mengetahui rahasia ini. Aku tak tahan menyimpannya terus-menerus. Kau telah kuanggap sebagai adikku sendiri. Maka, padamulah kuberitahukan," ucap Putri Teratai Putih dengan suara bergetar karena guncangan pera-saan.
"Terima kasih atas kepercayaan yang kau berikan padaku,
Putri."
"Aku dan kekasihku telah mempunyai seorang anak perempuan. Tapi sayangnya kekasihku tak mengetahui hal ini. Bahkan mungkin tak akan pernah tahu. Menyedihkan sekali, bukan?" suara Putri Teratai Putih tersendat menahan tangis. Sepasang mata wanita ini tampak berkaca-kaca.
Arya merasa terharu sekali melihatnya. Pemuda ini bisa merasakan kesedihan yang melanda Putri Teratai Putih. "Mengapa itu bisa terjadi, Putri? Maksudku, kenapa kekasihmu tak tahu kalau dia telah meninggalkan seorang anak di dalam rahimmu?"
"Sayang sekali, Arya. Aku tidak bisa menjawab pertanyaan itu! Maafkan aku."
"Tidak apa-apa, Putri," jawab Arya bijaksana. "Anakmu itu pasti Putri Teratai Merah, bukan?" tebak Arya kemudian.
Putri Teratai Putih hanya bisa mengangguk. Kesedihan yang melandanya terlalu besar. Kedua bahunya tampak sampai terguncang-guncang karena isak tan-gis yang ditahan. Agaknya wanita ini benar-benar di-landa kekecewaan yang sangat.

––––––––

7

"Kau tahu, Arya," lanjut Putri Teratai Putih setelah bisa menguasai perasaannya. "Kelahiran Putri Teratai Merah membuat penyesalan yang besar di hatiku."
"Mengapa demikian, Putri?"
"Ayah angkatku, Prabu Banyak Santang, sakit-sakitan dan akhirnya meninggal karena batinnya terguncang melihat aku melahirkan anak tanpa suami. Aku tak pernah menikah. Aku malu sekali, Arya. Se-hingga meski tak ada orang lain yang tahu kecuali ayahku dan ayah angkatku, aku didera penyesalan yang besar."
Arya terdiam. Pemuda ini menunggu cerita Putri Teratai Putih selanjutnya.
"Seperti juga ayah angkatku, ayahku juga merasa terpukul sekali. Beliau malu karena aku, keturunan satu-satunya dari Sepasang Malaikat, melahirkan anak tanpa nikah. Tapi beliau lebih kuat batinnya daripada ayah angkatku. Untuk menutupi rasa maluku, beliau membawa Putri Teratai Merah ke tempat gurunya. Be-liaulah yang mendidiknya di sana. Dan..., sampai Putri Teratai Merah besar tak juga rahasia ini dibeberkan. Baik aku maupun Ayah tak berani mengutarakannya. Kecuali... kalau ayah dari Putri Teratai Merah, Pendekar Naga Emas, kutemukan dan kuceritakan hal yang telah terjadi. Tapi sekarang keinginan itu rasanya telah tidak ada lagi..."
Sampai di sini Putri Teratai Putih tak sanggup membendung kesedihannya. Dia menangis dengan tanpa suara. Air matanya yang sekian puluh tahun di-tahannya sekarang mengalir deras bak air sungai.
Arya terpaku bagai patung. Rasa iba yang melan-da hati pemuda berambut putih keperakan itu. Bisa dirasakannya kesedihan yang sangat melanda Putri Teratai Putih
"Sudahlah, Putri," hibur Arya sambil menyentuh tangan Putri Teratai Putih. "Percayalah, aku akan membantumu untuk mencari Pendekar Naga Emas. Akan kuberitahukan semua hal yang telah kau alami ini padanya."
Hiburan Arya membuat guncangan pada kedua bahu Putri Teratai Putih semakin menjadi-jadi. Wanita ini menjatuhkan kepalanya di dada Arya yang bidang. Hampir saja pemuda berambut putih keperakan ini terlonjak. Tapi, untungnya dia segera sadar. Dibiarkan saja tingkah Putri Teratai Putih.
Arya tetap diam kendati dadanya dirasakan basah oleh air mata. Bahkan tanpa sadar tangan kanannya mengelus-elus rambut Putri Teratai Putih. Tindakan ini membuat kesedihan wanita itu semakin menjadi-jadi.
Dan... bunyi dengusan keras membuat Arya serta Putri Teratai Putih sadar akan adanya orang lain di sekeliling mereka. Cepat-cepat kedua orang itu melepas pelukannya. Wajah Putri Teratai Putih tampak merah seperti udang direbus.
"Hey...! Berhenti kau, Pengintai Hina...?" seru Arya ketika dilihatnya sesosok tubuh berpakaian lusuh membalikkan tubuh dan melangkah meninggalkan kerimbunan semak-semak. Jarak semak-semak itu dengan tempat Arya dan Putri Teratai Putih berada sekitar lima tombak. Dan di antara kedua tempat itu tak ada apa pun yang menghalangi.
Seruan Arya terdengar kasar karena pemuda berambut putih keperakan itu merasa malu mengingat perbuatannya bersama
Putri Teratai Putih dilihat orang.
Sang pengintai itu tampak menghentikan langkah. Kendati demikian, tubuhnya tidak dibalikkan. Sosok itu berdiri membelakangi Arya. Arya sendiri berbaren-gan dengan seruannya telah melesat ke arah si pengin-tai. Dia kemudian bersalto melewati atas kepalanya. Dan dengan tanpa menimbulkan bunyi sedikit pun menjejakkan kaki di tanah. Padahal, tanah tempat pemuda berambut putih keperakan itu menjejakkan kaki dipenuhi dengan semak-semak kering!
"Sungguh tercela sekali perbuatanmu Sobat, mengintai orang yang tengah membicarakan masalah," tegur Arya seraya mengamati si pengintai yang berjarak dua tombak di depannya.
Sang pengintai, seorang lelaki berusia lima puluh lima tahun yang berpakaian lusuh, berkumis, jenggot, dan cambang tak teratur terlihat tersenyum mengejek. "Membicarakan masalah? Apakah aku tak salah dengar, Sobat? Kau ini tengah membicarakan masalah atau berbuat mesum?" sahutnya dengan nada sinis.
"Mulutmu kotor sekali, Sobat!" sentak Arya dengan wajah memerah karena malu. "Andaikata pun benar kami tengah melakukan hal yang kau tuduhkan itu, tidak pantas kau mengintainya!"
"Siapa yang mengintai? Kalianlah yang tak tahu diri. Mengapa berbuat mesum di tempat seperti ini? Aku tidak mengintai! Aku kebetulan lewat dan melihat perbuatan kalian yang menjijikkan!"
"Tarik kembali ucapanmu itu, Sobat!" ujar Arya dengan suara semakin meninggi. "Kau telah keliru menilai orang. Wanita yang kau anggap berbuat mesum itu adalah kakakku. Dia tengah mendapat musibah! Aku sebagai adiknya berusaha untuk menghiburnya! Dan...."
"Ucapan apa ini?! Tak lebih dari bunyi yang keluar dari lubang dubur manusia yang paling kotor! Belum pernah kudengar putri dari Banyak Catra, salah seorang pimpinan Perkumpulan Sepasang Malaikat, mempunyai seorang saudara kandung. Sepengetahuanku dia anak tunggal!" dengus lelaki lusuh itu tetap dengan nada sinis.
Kalau saja ada halilintar menggelegar di dekat tempat itu, Arya belum tentu sekaget ini. Dari mana le-laki lusuh itu tahu rahasia ini?
"Siapa kau sebenarnya, Sobat?" tanya Arya. Suaranya mulai melunak
Lelaki lusuh kembali mendengus penuh ejekan. "Betapa enaknya memutar lidah! Tadi seenaknya memaki-makiku dengan segala macam cercaan. Begitu melihat gelagat yang kurang menguntungkan, lalu menanyakan nama. Tak perlu, Sobat. Panggil saja aku dengan sebutan yang semula kau berikan padaku"
Wajah Arya merah padam. Di samping karena pe-rasaan tersinggung, dia juga merasa malu. Disadarinya kalau tadi dia telah bersikap agak berangasan. Meski demikian, Arya tak merasa bersalah. Toh sikap itu muncul karena perbuatan lelaki lusuh pula. Kalau memang lelaki itu tak mau menimbulkan keributan tentu begitu melihat adegan yang terjadi antara Dewa Arak dengan Putri Teratai Putih, dia segera meninggal-kan tempat itu tanpa perlu mendengus.
"Lalu... apa kehendakmu sekarang, Sobat?" tanya Arya ingin tahu.
"Tidak ada keinginan apa pun," jawab lelaki lusuh dingin. "Tapi perlu kuberitahukan padamu, Anak Muda. Kalau kau hendak berbuat mesum, pilihlah tempat yang sepi. Di sini terhitung ramai. Nanti tak ada orang lain lagi yang melihat kemesuman kalian!"
"Sebenarnya... apa yang kau kehendaki, Sobat? Kalau tak ada apa-apa mustahil kau bersikap demikian sinis. Sepertinya kau benci sekali padaku. Kuberi-tahukan sekali lagi, aku bukan orang yang gemar berbuat seperti yang kau tuduhkan. Bahkan, apa yang kau tuduhkan pun sama sekali tidak benar! Kuharap kau mau mencabut ucapanmu yang kelewatan itu."
"Kalau aku tidak mau, kau mau apa?" tantang le-laki lusuh tanpa merasa gentar sedikit pun.
"Akan ku paksa agar kau mau melakukan apa yang kuinginkan!" tandas Arya, mantap. "Kalau perlu dengan memberikan sedikit hajaran pada mulutmu yang kotor. Barangkali saja setelah itu kau tak akan sembarangan lagi mengeluarkan perkataan."
"Kau boleh coba laksanakan keinginanmu, Sobat!" timpal lelaki lusuh tak mau kalah. "Kebetulan jadi aku bisa mengetahui apakah kemampuan bela dirimu sebesar kemampuanmu bermain mesum!"
"Tutup mulutmu yang kotor, Sobat!"
Arya tak bisa menahan sabar lagi mendengar tanggapan lelaki lusuh yang tetap kasar. Pemuda be-rambut putih keperakan ini segera menerjang dengan pukulan kanan dan kiri lurus ke arah dada.
Arya sengaja mengirimkan serangan seperti itu karena tak ingin membuat lelaki lusuh celaka. Biar ba-gaimana pun juga lelaki ini bukan orang jahat. Maka serangan yang dilakukan Dewa Arak menggunakan gerakan yang sederhana dan tenaga dalam yang sekadarnya saja.
Lelaki lusuh mendengus. Dia tidak mengelak se-rangan yang dikirimkan Arya. Pemuda berambut putih keperakan ini menjadi kaget dan mengurangi lagi tena-ganya agar lawan tidak terluka berat.
Buk, buk, bukkk!
Benturan yang terjadi antara dada lelaki lusuh dengan kepalan-kepalan Arya membuat pemuda be-rambut putih keperakan itu menyeringai. Jari-jari tan-gannya bagai menumbuk besi baja, bukan tubuh ma-nusia yang terdiri dari daging dan tulang!
"Mengapa kau sungkan-sungkan, Sobat? Tadi kulihat di waktu berbuat mesum kau tak ragu-ragu. Bahkan, segenap kemampuan yang kau miliki dikeluarkan semuanya. Apakah tenagamu telah habis untuk bermesum ria?!" sembur lelaki lusuh, tak pernah kehi-langan ejekan yang berpokok pangkal dari persoalan itu.
"Kalau itu yang kau inginkan. ku penuhi Sobat!" desis Arya sambil menggertakkan gigi. Pemuda itu geram bukan main melihat lelaki lusuh semakin keterlaluan dengan ejekannya. Rupanya sikap welas asih Arya dijadikan bahan untuk membuat ejekan.
Dewa Arak segera melompat menerjang lawannya. Kali ini pemuda berambut putih keperakan itu menge-luarkan seluruh kemampuan yang dimiliki. Bukan hanya karena ucapan dan sikap lelaki lusuh yang me-lampaui batas, tapi juga karena telah mengetahui ka-lau lawannya itu memiliki kepandaian tinggi.
Dewa Arak mengirimkan tendangan terbang. Kaki kanannya meluncur ke arah leher. Sementara kaki ki-rinya yang tertekuk, kendati terlihat tenang, menyembunyikan bahaya yang tak kalah besar. Kaki kiri itu bisa menyusul kaki yang kanan dan mengancam keselamatan lawan!
Serangan Dewa Arak kali ini berlipat kali lebih dahsyat dari sebelumnya. Tapi, lelaki lusuh tetap terli-hat tenang. Tak kelihatan kalau dia merasa gelisah. Malah lelaki itu berdiri di tempatnya.
Tappp! Kreppp!
Tangkisan sekaligus tangkapan tangan lelaki lusuh membuat Dewa Arak terkejut bukan main. Kakinya dirasakan tergetar hebat. Tapi, hal itu belum terlalu mengejutkan. Yang membuat jantung pemuda berpakaian ungu ini bagai terhenti berdetak adalah keberhasilan tangan lelaki lusuh menangkap pergelan-gan kakinya
Meskipun demikian, Dewa Arak mampu bertindak cepat. Maka ketika kaki kanannya ditangkap, kaki ki-rinya segera disarangkan ke arah dada lelaki lusuh untuk memaksa dia melepaskan cekalannya.
Lelaki lusuh itu mengetahui akan adanya anca-man besar. Disadarinya tendangan lawan mampu membuat batu karang yang paling keras sekalipun hancur berantakan. Maka cekalannya dilepaskan, dan bersamaan dengan itu dia melompat jauh ke belakang.
"Kau hebat, Anak Muda," untuk pertama kalinya lelaki lusuh memuji. "Tapi, kehebatanmu ini belum sehebat ilmu mesummu!"
"Mungkin yang kali ini akan lebih hebat dari gencarnya mulutmu mengeluarkan ucapan kotor!" sahut Arya cepat
Arya yang semakin menjadi-Jadi kemarahannya mendengar makian lelaki lusuh lalu secepat kilat me-nerjang. Kedua tangannya didorongkan dengan jari-jari tangan terkembang. Pemuda berambut putih kepera-kan ini dalam cekaman rasa marah yang sangat setelah mengerahkan tenaga dalam inti matahari yang menjadi andalannya.
Angin yang luar biasa panas berhembus dari ke-dua tangan Arya yang didorongkan. Seketika semak-semak yang berada di sekitar tempat itu layu! Bebera-pa di antaranya langsung rontok ke tanah dalam kea-daan gosong!
"Sebuah Ilmu pukulan yang hebat..!" Lelaki lusuh berseru memuji. Kedua tangannya dikembangkan membentuk cakar naga lalu ditarik ke depan dada dengan cepat. Dan, perlahan kedua tangan itu dihen-takkan ke depan.
Tidak terdengar deru angin sedikit pun. Tapi Dewa Arak melihat sekujur tangan, bahkan sebagian besar tubuh lelaki lusuh, diselimuti sinar kuning keemasan.
Bunyi meletup pelan terdengar kemudian. Tubuh Dewa Arak dan lelaki lusuh sama-sama terjengkang ke belakang. Masingmasing merasakan dadanya sesak bukan main. Dan begitu berhasil memperbaiki kedudukan baik Arya maupun lelaki lusuh saling berpandangan dengan sinar mata kagum. Mereka tampaknya kini lebih yakin akan kelihaian lawan yang dihadapinya
Dewa Arak mulai menurunkan guci arak dari punggungnya. Pemuda berambut putih keperakan itu mengambil keputusan demikian karena tahu lawan yang akan dihadapinya sangat lihai.
"Tunggu, Arya...!"
Guci yang telah diangkat di atas kepala dan siap untuk dituangkan ke mulut, urung dilakukan Arya. Dengan sinar mata penuh pertanyaan pemuda berambut putih keperakan itu menatap ke arah Putri Teratai Putih yang berlari ke tempatnya dan lelaki lusuh berada.
Putri Teratai Putih menghentikan larinya ketika jarak dengan lelaki lusuh tinggal dua tombak. Pandang wanita ini terpaku pada ke arah punggung lelaki lusuh. Arya jadi heran melihatnya. Apalagi ketika melihat sinar mata Putri Teratai Putih yang demikian pe-nuh dengan berbagai perasaan.
"Siapa kau sebenarnya, Sobat?" tanya Putri Teratai Putih dengan suara menggigil. "Ilmu yang kau gu-nakan ketika menangkis serangan kawanku mengin-gatkan aku pada seseorang. Sepengetahuanku hanya dialah yang memiliki ilmu seperti itu, Ilmu Emas."
Lelaki lusuh tetap tak bergeming. Tawa ejekan yang didahului dengan dengusan keras segera diper-dengarkannya.
"Hai, Anak Muda! Jawab yang benar siapa di antara kalian berdua yang berbohong? Kulihat kau dan wanita itu berbuat mesum. Kau katakan padaku wani-ta itu adalah kakakmu. Sedangkan wanita itu sendiri memberitahukan kalau kau adalah kawannya. Mana di antara kalian yang benar?!"
"Dia yang benar, Sobat," jawab Arya dengan wajah merah. "Tapi, aku pun tak salah. Aku memang sahabatnya. Tapi...."
"Karena persahabatan terlalu erat lalu kalian buat mesum dengan alasan telah seperti saudara diri. Begi-tu bukan?!" potong lelaki lusuh.
"Kamandaka, kau terlalu?" bentak Putri Teratai Putih, keras melengking.
Lelaki lusuh sedikit pun tidak kelihatan terkejut mendengar panggilan itu. Yang kaget justru Arya. Pemuda berambut putih keperakan ini sekarang mengerti mengapa lelaki lusuh ini kelihatan demikian memusingkan perbuatannya dengan Putri Teratai Putih. Pan-tas. Lelaki ini bukan lain dari Pendekar Naga Emas!
Sekarang Arya juga mengerti mengapa lelaki itu memiliki kemampuan demikian dahsyat. Hal itu tidak aneh kalau mengingat lelaki ini adalah Pendekar Naga Emas. Pendekar itu terkenal memiliki kepandaian yang amat tinggi.
"Siapa yang terlalu, Teratai? Kau atau aku...?!" balas lelaki lusuh. Suaranya tidak penuh ejekan dan ke-seriusan seperti tadi. Suara Pendekar Naga Emas kali ini dikenal baik oleh Putri Teratai Putih sebagai milik Pendekar Naga Emas yang dikenalnya dulu.
"Tentu saja kau!" bentak Putri Teratai Putih sambil menudingkan tangan.
Pendekar Naga Emas membalikkan tubuh dengan cepat. Kelihatan jelas kalau lelaki ini tak puas dengan jawaban yang diberikan Putri Teratai Putih.
"Tidak salahkah apa yang kudengar ini, Teratai?" bantah
Pendekar Naga Emas tak mau kalah. "Kaulah yang keterlaluan!
Kau yang ku pikirkan bertahun-tahun dengan hati berdarah ternyata sedang enak-enak berbuat mesum."
Tutup mulutmu, Kamandaka...!" jerit Putri Teratai Putih dengan nada suara lebih tinggi. "Berkacalah ada dirimu sendiri! Kau yang ku pikirkan siang malam selama dua puluh tahun lebih dan kucari-cari tanpa hasil ternyata enak-enakan menikah dengan wanita lain dan mempunyai anak!"
"Apa kau bilang?!" Kamandaka membentak tak kalah keras. Tapi, kali ini bercampur dengan rasa kaget yang besar. Sepasang mata pendekar ini membelalak lebar. "Siapa yang menyebar fitnah keji seperti itu padamu, Teratai? Pemuda yang menjadi temanmu buat mesum inikah?!"
Arya yang sejak tadi mendengarkan pertengkaran antara Kamandaka dengan Putri Teratai Putih sangat kaget mendengar tuduhan itu. Arya yang semula ingin mencampuri urusan sepasang kekasih itu, setelah di-rinya dibawa-bawa merasa tak bisa berdiam diri lagi. Meski demikian, pemuda berambut putih keperakan ini tak mempunyai kesempatan untuk membela diri, Putri Teratai Putih telah mendahuluinya.
"Kau keliru, Kamandaka! Aku tak mengetahui dari siapa pun, melainkan bukti yang kulihat jelas dengan mata kepalaku sendiri. Baru beberapa hari lalu hal ini kuketahui" "Bukti apa?!" Kamandaka menantang.
"Anakmu datang menyatroni tempat kediaman ayahku. Kalau saja tak ada seorang pemuda yang kau maki-maki berbuat mesum ini, aku dan ayahku telah menjadi mayat di tangannya. Pemuda yang kau anggap orang mesum inilah yang telah menolong nyawa aku dan ayahku. Pemuda itu adalah seorang pendekar besar yang memiliki nama tak kalah harum dengan namamu, Kamandaka! Dia Dewa Arak!"
"Aku tak peduli siapa adanya dia! Aku memang bukan apaapa. Aku hanya seorang gembel hina. Tapi dari mana kau bisa tahu kalau orang yang hendak membunuh kau dan ayahmu adalah keturunan ku. Perlu kuberitahukan, Teratai, tuduhanmu itu sama kali tak benar! Aku tak pernah menikah dengan wanita lain. Apalagi sampai mempunyai anak. Aku tak pernah berhubungan dengan wanita mana pun. Aku malah menyiksa diri setelah pergi jauh darimu. Kau lihat keadaanku? Tak terurus, bukan? Itu karena aku selalu tak bisa melupakanmu!"
"Kau kira aku enak-enak saja, Kamandaka?" timpal Putri Teratai Putih dengan suara yang mulai mele-mah.
Wanita ini sejak tadi sebenarnya telah melihat perbedaan yang menyolok dalam diri pendekar di hadapannya ini.
Pendekar Naga Emas dulu seorang pemuda tampan dan selalu rapi. Tapi sekarang? Tak ubahnya gembel! Pemuda itu kelihatan kotor dan tak terawat.
"Tapi..., mengapa ada orang yang demikian mirip denganmu bagai pinang dibelah dua," semakin melemah suara Putri Teratai Putih. "Malah pemuda itu pun mempunyai ilmu yang sama denganmu. Kalau bukan keturunanmu, mengapa dia bisa demikian mirip denganmu? Lagi pula, dari mana ilmu-ilmu khasmu didapatkannya?"
Pendekar Naga Emas tercenung. Rupanya kata-kata Putri Teratai Putih mulai membuatnya bimbang. "Mungkinkah ada orang yang hendak memecah belah kita? Hendak mengadu domba antara kita, Teratai?" ucap Pendekar Naga Emas setelah berpikir beberapa saat lamanya. "Aku pun telah bertemu dengan orang wanita muda yang amat mirip denganmu. Bahkan dia memiliki ilmu-ilmu khas Perkumpulan Sepasang Malaikat. Tapi ketika kutanyakan mengenai hubungannya denganmu, dia tidak tahu-menahu."
"Apakah gadis itu memperkenalkan diri padamu? Pakaiannya serba merah?" terka Putri Teratai Putih. Kamandaka mengangguk.
"Putri Teratai Merah namanya. Nah, bukankah aneh ada seseorang yang bisa mirip segala-galanya denganmu tapi tak ada hubungan apa pun? Maksudku hubungan keturunan."
"Siapa bilang tak ada hubungan apa pun, Kamandaka. Gadis itu adalah anakmu. Anak kita!" tandas Pu-tri Teratai Putih
"Apa?!"
Pendekar Naga Emas terjingkat bagai disengat ular berbisa. Kelihatan jelas keterkejutan melandanya.
"Apakah kamu masih waras, Teratai?! Anak kita? Bagaimana mungkin hal itu terjadi? Kita kan tak pernah... Bagaimana mungkin bisa terjadi seorang anak?!"
Putri Teratai Putih menghela napas berat. Hal seperti ini sudah diduga sebelumnya.
"Oleh karena itulah Kak Kamandaka, sejak dua puluh tahun lalu aku mencari-carimu. Aku ingin menceritakan semuanya. Aku juga semula tak mengerti. Tapi ketika Paman
memberitahukannya, juga Ayah, aku mulai mengerti..."
"Apa yang mereka katakan?" sambut Pendekar Naga Emas cepat, penuh rasa ingin tahu.
Suasana jadi hening. Putri Teratai Putih belum memberikan jawaban. Wanita ini tengah mencari kata-kata yang tepat untuk memulai ceritanya.
"Ha ha ha...!"
Tawa keras menggelegar membuat Putri Teratai Putih yang hendak memberikan jawaban jadi urung mengatakannya. Wanita ini menolehkan kepala ke arah asal suara.
Hal yang sama dilakukan oleh Dewa Arak dan Pendekar Naga Emas. Seketika jantung mereka berde-tak jauh lebih cepat. Di tempat itu telah hadir sosok-sosok yang sangat mengejutkan mereka. Nambi dan Dewa Tapak Darah!
"Sama sekali tak kusangka kalau di tempat ini akan bisa menemukan orang-orang yang kucari sekali-gus! Pendekar pengecut yang dulu berjuluk Pendekar Naga Emas dan Putri Teratai Putih!"
Nambi yang pertama kali membuka suara. Lelaki ini kelihatan gembira bukan main.
"Tapi kau harus ingat, Nambi. Pendekar Naga Emas adalah bagianku. Akulah yang akan memenggal kepalanya!" timpal Dewa Tapak Darah tak mau kalah.
"Jangan khawatir, Tapak Darah! Setelah kita menjadi sobat baik, aku tak pelit untuk memberikan ke-sempatan padamu membalaskan sakit hati. Tapi, kau harus ingat kalau Putri Teratai Putih adalah bagianku!" tandas Nambi
"Aku tak akan mencampuri urusanmu, Nambi. Yang penting bagiku adalah Pendekar Naga Emas. Dan, setelah itu semuanya tak akan ku pikirkan lagi!"
"Ha ha ha...!" Tawa Nambi terdengar semakin keras membahana.

––––––––

8

"Bukankah itu si keparat Nambi, Kak," ujar Putri Teratai Putih setelah memperhatikan bekas panglima kerajaan itu beberapa saat lamanya.
"Benar, Teratai," Pendekar Naga Emas mengangguk. Dia tidak ingat lagi kalau Putri Teratai Putih telah mengubah panggilan terhadap dirinya.
"Hati-hati terhadap kakek muka merah itu, Kak," ucap Putri Teratai Putih lagi. "Dia berjuluk Dewa Tapak Darah, kakak seperguruan Pengemis Iblis Tanpa Tanding. Kepandaiannya luar biasa. Aku saja mungkin telah tewas di tangannya kalau tidak keburu ditolong Dewa Arak "
"Aku tahu, Teratai. Aku telah bertarung dengannya. Dia tidak terlalu berbahaya. Nambi masih lebih lihai dari padanya," jelas Pendekar Naga Emas.
Putri Teratai Putih melongo. Kalau saja bukan Pendekar Naga Emas yang bicara, dia tak akan per-caya. Mungkinkah Nambi yang dulu berkepandaian ala kadarnya itu sekarang memiliki tingkat kepandaian di atas Dewa Tapak Darah? Padahal, kakek bermuka merah itu saja sudah memiliki kepandaian tak terukur!
"Menyingkirlah, Teratai," ujar Pendekar Naga Emas sambil melangkah maju.
Pendekar yang pernah menjadi jago nomor satu pada jamannya itu tahu kalau Putri Teratai Putih bu-kan tandingan dua lawan yang amat tangguh itu. Perasaan khawatir pun bersemayam di hati Kamandaka.
Pendekar Naga Emas tidak mengkhawatirkan keselamatan dirinya, Yang menjadi pikirannya adalah Putri Teratai Putih! Karena, kalau Nambi dan Dewa Tapak Darah bisa berlaku cerdik, keadaan akan menguntungkan mereka.
Apa yang dikhawatirkan Pendekar Naga Emas ternyata beralasan! Nambi dan Dewa Tapak Darah telah cepat membaca kedudukan Pendekar Naga Emas dan Putri Teratai Putih.
"Kau tangkap Putri Teratai Putih, Tapak Darah," beritahu Nambi "Sementara aku yang akan mengurus pendekar pengecut ini. Tapi ingat, jangan buat putri itu terluka berat. Aku masih membutuhkannya. Sete-lah kau lumpuhkan dia, kau masih mempunyai ke-sempatan membantuku menghadapi Pendekar Naga Emas."
"Aku pun berpikir demikian, Nambi. Sebuah usul yang bagus sekali!" sambut Dewa Tapak Darah.
Pendekar Naga Emas menggertakkan gigi. Di dalam hati dia memaki-maki kelicikan kedua lawannya. Tapi menyadari waktu yang amat sempit, lelaki ini se-gera mendahului menyerang!
Pendekar Naga Emas yang telah tahu kalau lawan yang lebih ringan adalah Dewa Tapak Darah, segera menyerang kakek itu. Tak tanggung-tanggung lagi, Ilmu Tangan Sakti Pedang Dan Golok yang menjadi an-dalannya dipergunakan.
Bunyi berdesing tajam seakan-akan ada beberapa pedang dan golok berkelebatan mencari mangsa terdengar ketika Pendekar Naga Emas melancarkan serangan. Sinar kekuningannya menyelimuti sekujur ke-dua tangan Kamandaka.
Dewa Tapak Darah tidak berani menangkis seran-gan Pendekar Naga Emas yang berupa tusukan dan bacokan. Dia melompat ke belakang untuk mengelak-kannya. Kakek ini tahu betul kedahsyatan serangan itu. Jangankan terkena langsung, angin serangannya saja sudah cukup untuk membuat lawan yang memili-ki tenaga dalam kurang kuat putus anggota tubuhnya.
Pendekar Naga Emas tak tinggal diam. Pendekar ini segera memburu untuk melancarkan serangan susulan. Tapi, Nambi bertindak cepat. Lelaki ini melompat menjegal gerakan Pendekar Naga Emas!
Plak, plakkk!
Bunyi berdetak keras terdengar ketika dua pasang tangan berbenturan. Nambi berbeda dengan Dewa Tapak Darah. Bekas panglima kerajaan ini tak sungkan-sungkan memapaki serangan Pendekar Naga Emas. Tak ada akibat apa pun atas kedua tangannya, kecuali pada lengan-lengan bajunya yang robek memanjang. Nambi memang memiliki tangan sekuat baja!
Saat Pendekar Naga Emas terhuyung ke belakang seperti halnya Nambi akibat benturan keras itu, Dewa Tapak Darah melompat melewati kepala sang pendekar dan menyerang Putri Teratai Putih.
Pendekar Naga Emas tak ingin hal itu terjadi. Kedua cakarnya diayunkan memapaki melesatnya tubuh Dewa Tapak Darah. Tapi, baru setengah jalan langsung diurungkan. Tubuhnya lalu dibanting ke tanah dan digulingkan menjauh karena Nambi telah mengirimkan tendangan bertubi-tubi!
Nambi benar-benar memenuhi janjinya untuk membuat Dewa Tapak Darah bisa berurusan dengan Putri Teratai Putih. Bekas panglima kerajaan ini meluruk menyerbu Pendekar Naga Emas dan menghuja-ninya dengan serangan-serangan dahsyat
Pendekar Naga Emas tak mempunyai pilihan lain kecuali memberikan perlawanan. Pertarungan yang kedua kali antara kedua musuh bebuyutan itu ber-langsung.
Keberhasilan Nambi membuat Pendekar Naga Emas kerepotan hingga Dewa Tapak Darah dapat den-gan leluasa berurusan dengan Putri Teratai Putih. Sang Putrilah yang kewalahan. Dia pontang-panting ke sana kemari untuk menyelamatkan diri. Pertarungan tak seimbang pun terpampang di depan mata,
Ternyata bukan hanya Pendekar Naga Emas dan Putri Teratai Putih yang terlibat dalam pertarungan. Dewa Arak pun demikian. Malah, pemuda berambut putih keperakan itu menghadapi seorang lawan yang amat tangguh!
Lawan Dewa Arak adalah seorang pemuda berpa-kaian kuning yang bukan lain Reksanata. Pertarungan telah berlangsung sengit. Jarak pertempuran dua orang muda ini dengan pertarungan Pendekar Naga Emas serta Putri Teratai Putih tak lebih dari lima belas tombak
Pertarungan mereka kini sudah mencapai puncaknya, Dewa Arak menggunakan jurus 'Belalang Sak-ti'nya. Sementara Reksanata telah menggunakan ilmu Tangan Sakti Pedang Dan Golok serta Naga Emas!
Di luar kancah pertarungan tampak berdiri seo-rang gadis berpakaian merah yang bukan lain dari Putri Teratai Merah. Wajah gadis ini kelihatan agak pucat.
Terbayang kembali di benak gadis ini kejadian yang dialaminya. Putri Teratai Merah tengah tercenung dengan pikiran kusut setelah pusing memikirkan masalah Pendekar Naga Emas. Kenyataan betapa Kamandaka yang dikaguminya dan diharapkan dapat menjadi kawan tarung melawan Pendekar Naga Emas ternyata si pendekar itu sendiri.
Berbagai macam perasaan berkecamuk di benak Putri Teratai Merah. Rasa marah, malu, dan sedih dan merasa dipermainkan.
Perasaan-perasaan itu mem-buat Putri Teratai Merah terguncang batinnya. Selama berhari-hari dia melanjutkan perjalanan dengan benak kusut
Sesampainya di tempat ini Putri Teratai Merah bertemu dengan Reksanata. Pemuda sombong ini ru-panya tertarik melihat gadis cantik duduk termenung seorang diri, Putri Teratai Merah digodanya!
Putri Teratai Merah yang memang sedang tidak tenang hati segera menimpalinya dengan marah. Bahkan, pertarungan antara mereka pun terjadi.
Tapi, Putri Teratai Merah hanya besar marahnya saja. Kemampuan yang dimilikinya tak sebesar kemarahannya. Dengan mudah Reksanata menangkap setiap serangannya. Serangan-serangan Putri Teratai Merah tanpa menemui kesulitan sama sekali berhasil dielakkan Reksanata.
Sebaliknya, setiap serangan sembarangan Reksa-nata membuat Putri Teratai Merah pontang-panting menyelamatkan diri. Benturan tangan antara mereka membuat tubuh gadis itu terhuyung-huyung dengan tangan sakit. Malah, beberapa kali tubuh Putri Teratai Merah terguling-guling ketika Reksanata mengibaskan tangan.
Di saat itulah Dewa Arak muncul. Tanpa pikir panjang lagi pemuda berambut putih keperakan itu segera menerjang Reksanata. Telah diketahuinya kalau Reksanata, meski tak jahat, tapi tidak berdiri di pihak yang benar. Maka, Arya berpihak pada Putri Teratai Merah. Arya menduga gadis itu adalah putri dari Putri Teratai Putih, kendati dia belum pernah melihatnya.
Reksanata yang memang mendendam pada Dewa Arak menyambutinya dengan penuh semangat. Pemu-da sombong yang telah sembuh dari luka parahnya itu mengerahkan seluruh kemampuannya. Reksanata be-lum yakin kalau dirinya kalah oleh Dewa Arak. Pertarungan pun berlangsung hebat
Jalannya pertarungan tidak diam di tempat. Sedi-kit demi sedikit bergeser ke tempat Pendekar Naga Emas dan Putri Teratai Putih. Dilain pihak, pertarun-gan Pendekar Naga Emas dan Putri Teratai Putih pun bergeser ke tempat di mana Dewa Arak bertarung.
Putri Teratai Merah yang merasa tertarik dengan pertarungan itu tanpa sadar mengikuti bergesernya arena pertarungan. Dan gadis ini terkejut bukan main ketika melihat Putri Teratai Putih tengah didesak hebat oleh Dewa Tapak Darah.
Kakek bermuka merah ini memang memiliki wa-tak licik!
Kalau dikerahkan seluruh kemampuannya sebenarnya Putri Teratai Putih telah roboh sejak tadi. Tapi bila hal itu terjadi Nambi yang akan beruntung. Bekas panglima kerajaan itu akan segera terbantu da-lam menghadapi Pendekar Naga Emas.
Dewa Tapak Darah sengaja membiarkan Nambi berjuang keras menghadapi Pendekar Naga Emas. Nambi yang cerdik tentu saja tahu hal itu. Tapi dia ti-dak berkata apa-apa. Di samping karena memang tak sempat, dia juga tak mau.
Meski mulutnya diam, tapi hati Nambi mengutuk Dewa Tapak Darah habis-habisan. Bahkan, bekas panglima kerajaan ini berjanji akan membalas perbuatan Dewa Tapak Darah.
Sementara itu Putri Teratai Merah yang melihat Putri Teratai Putih tengah didesak hebat tanpa banyak pikir lagi segera mencabut pedang pendeknya dan ikut terjun dalam kancah pertarungan. Ikut campurnya Pu-tri Teratai Merah membuat keadaan Putri Teratai Putih tidak terlalu mengkhawatirkan. "Jangan takut Putri, aku membantu...!" seru Putri Teratai Merah seraya menghujani Dewa Tapak Darah dengan seranganserangan mematikan.
"Bagus, Teratai Merah," puji Putri Teratai Putih dengan penuh semangat dan gembira. "Kita habisi kakek bermuka aneh ini!"
Dewa Tapak Darah sekarang terpaksa harus me-nyesali tindakannya yang main-main. Munculnya Putri Teratai Merah membuat kedudukan kedua lawannya itu luar biasa kuat. Kakek ini tak tahu kalau ini meru-pakan keistimewaan ilmu yang dimiliki Sepasang Malaikat! Putri Teratai Putih mendapatkan ilmu-ilmu yang bersifat lembut. Sedangkan Putri Teratai Merah sebaliknya. Bila hanya dihadapi seorang saja, ilmu-ilmu itu tak terlalu dahsyat. Tapi bila sudah bersatu, menjadi satu kekuatan yang besar.
Putri Teratai Putih dan Putri Teratai Merah mampu bekerja sama dengan baik. Mereka berdua bisa sal-ing melengkapi. Saling menutupi kelemahan masing-masing. Sebaliknya, serangan-serangan yang dilancarkan semakin bertambah kedahsyatannya!
Dewa Tapak Darah harus menelan kenyataan pa-hit kalau dirinya tak mampu berbuat banyak. Serangan-serangannya kandas. Sebaliknya, serangan-serangan balasan lawan membuatnya kelabakan.
Tidak hanya Dewa Tapak Darah, Nambi pun demikian.
Setelah bertarung puluhan jurus dia harus mengakui keunggulan Pendekar Naga Emas. Lelaki ini terus terdesak secara hebat
Hal yang sama pun dialami pula oleh Reksanata! Pemuda sombong ini harus mengakui kenyataan kalau Dewa Arak terlalu tangguh untuknya. Semula, beberapa kali Dewa Arak harus mengeluarkan seruan kaget karena serangan-serangannya menyeleweng sebelum mencapai sasaran. Ada daya tolak yang luar biasa kuat berasal dari sinar kuning keemasan di sekujur tubuh Reksanata.
Tapi seiring dengan semakin lemahnya tenaga karena terlalu lama bertarung, sinar kuning keemasan yang memancar dari sekujur tubuh Reksanata memu-dar. Hal itu membuat tenaga tolakannya tidak terasa lagi oleh Dewa Arak.
Kelelahan yang dialami Reksanata tidak diderita Dewa Arak. Pemuda berambut putih keperakan masih tetap seperti sedia kala. Serangan-serangan yang di-lancarkannya masih mengandung tenaga dalam pe-nuh. Itu karena pengaruh arak yang ditenggaknya dalam pertarungan. Arak yang berasal dari yang tersam-pir di punggungnya itu mampu membuat tenaga Arya yang susut pulih kembali.
Karena itu, menginjak pada jurus ketujuh puluh lima, perlahan-lahan Dewa Arak mulai bisa mengendalikan jalannya pertarungan. Lambat tapi pasti dia mulai berada di atas angin. Dan sekarang Reksanata tam-pak lebih banyak mengelak daripada melancarkan se-rangan.
Bukkk!
Reksanata memekik tertahan ketika pukulan tangan kanan Dewa Arak menghantam bahu kanannya. Tubuh Reksanata langsung terhuyung-huyung. Dari mulutnya mengalir darah segar. Pemuda sombong itu agaknya terluka dalam.
"Jangan bunuh dia...!" .
Dua buah suara yang dikeluarkan hampir berbarengan membuat Dewa Arak menghentikan gerakannya. Pemuda berambut putih keperakan ini bermaksud ingin melumpuhkan Reksanata agar pemuda sombong itu tidak terus mengajaknya bertarung.
Arya mengalihkan pandangan ke arah asal suara. Dilihatnya dua orang kakek, salah satu di antaranya telah dikenalnya sebagai Malaikat Merah dan seorang kakek lain berpakaian putih yang diduga Arya sebagai Malaikat Putih, berdiri tak jauh darinya.
Bertepatan dengan munculnya pimpinan Perkum-pulan Sepasang Malaikat itu terdengar dua jeritan me-nyayat hati yang disusul dengan melayangnya dua sosok tubuh.
Sosok yang pertama kali menjerit adalah Nambi. Tubuh lelaki ini melayang keras ke belakang karena tendangan Pendekar Naga Emas menghantam dadanya secara telak. Darah menyembur deras dari mulutnya akibat tulang-tulang dadanya yang hancur berantakan! Nyawa bekas panglima kerajaan ini melayang saat itu juga sebelum tubuhnya ambruk ke tanah.
Jeritan kedua berasal dari mulut Dewa Tapak Darah. Itu terjadi akibat serangan-serangan Putri Teratai Putih dan Putri Teratai Merah. Pedang Putri Teratai Putih menembus perut hingga ke punggung Dewa Tapak Darah. Sedangkan pedang Putri Teratai Merah merobek punggungnya mendatar dan lebar.
Dewa Tapak Darah menggelepar meregang maut sebelum akhirnya ambruk ke tanah. Hampir bersamaan Putri Teratai Putih dan Putri Teratai Merah menghela napas lega. Mereka lalu menyarungkan pe-dangnya kembali ke dalam warangkanya di punggung.
Senyum Putri Teratai Merah memudar ketika beradu pandang dengan Pendekar Naga Emas. Pendekar yang dicapnya pengecut itu menyunggingkan senyum. Putri Teratai Merah malah membuang muka. Karuan saja Putri Teratai Putih yang melihat hal itu menjadi heran. Tapi, tidak diutarakannya. "Ayah...! Paman...! Terimalah hormatku...," ucap Putri Teratai Putih memberi hormat
"Guru...!" Putri Teratai Merah tak ketinggalan.
"Selamat berjumpa lagi, Paman Banyak Catra, Paman Banyak Ngampar," Kamandaka ikut serta memberi salam.
Banyak Catra dan Banyak Ngampar tersenyum dan menganggukkan kepala "Selamat berjumpa lagi, Kamandaka," Banyak Catra yang mewakili memberikan sambutan. "Kulihat kau banyak mengalami perubahan. Pasti karena peristiwa di masa lalu."
Kamandaka tersenyum pahit
"Semula kukira kau telah beristri dan melahirkan seorang anak yang bernama Reksanata. Tapi ternyata tidak. Kakang Banyak Ngampar yang membuat sega-lanya menjadi jelas," Banyak Catra melanjutkan ucapannya sambil menoleh ke arah kakak seperguruannya. Kakek berpakaian putih itu hanya tersenyum sa-ja.
"Kalau tak ada Kakang Banyak Ngampar, mungkin kita akan terus terlibat dalam salah paham. Kau, Reksanata! Kau patut mendengar cerita ini karena ini ada hubungannya dengan riwayat hidupmu."
Reksanata hanya membisu. Pemuda ini masih terpukul karena kekalahannya dengan Dewa Arak. Dan, kekalahan yang kedua kali itu membuat kesombongannya berkurang banyak
"Apa yang akan kuceritakan ini tak ada orang yang tahu," ujar Banyak Catra pada putrinya.
Putri Teratai Putih dengan perasaan tegang menunggu cerita ayahnya. Sempat dilihatnya Kamandaka sekilas. Wajah lelaki itu pun tampak tegang. Rupanya, apa yang akan diceritakan Banyak Catra amat mende-barkan hatinya.
"Dua puluh tahun lebih yang lalu Putri Teratai Putih melahirkan. Anak itu kemudian aku yang mengasuhnya untuk menjaga nama baik Putri Teratai Putih."
Sesampainya Banyak Catra bercerita pada bagian ini, Putri Teratai Merah yang semula kurang tertarik merasakan dadanya bagai di tumbuk pohon besar. Dia mulai menduga-duga hal yang terjadi selanjutnya.
Dengan jantung berdetak kencang Putri Teratai Merah mendengarkan penuturan Banyak Catra.
"Anak yang ternyata perempuan itu akhirnya besar dalam asuhanku. Ibunya, Putri Teratai Putih sering menjenguknya. Bahkan Ibunya yang memberi nama Putri Teratai Merah. Nah, Teratai Merah, Putri Teratai Putih itu adalah Ibu kandungmu sendiri. Berilah hormat padanya."
"Ibu...!" Putri Teratai Merah, gembira bercampur kaget. Gadis ini terharu dan gembira mendengar berita kalau Putri Teratai Putih adalah ibunya.
"Teratai Merah, Anakku," sambut Putri Teratai Pu-tih dengan suara terisak. Wanita ini merasa terharu karena akhirnya dia dapat memanggil anaknya sebagaimana layaknya seorang ibu.
Ibu dan anak ini pun berpelukan erat dalam kerinduan yang besar.
Putri Teratai Merah menatap Kamandaka dengan mata membelalak. Masalahnya, dia telah bertekad untuk menghukum sang pendekar! Tapi apa lacur pendekar itu ternyata ayahnya.
"Reksanata pun tak bersalah! Dia korban siasatku dan Naga Emas guru dari Pendekar Naga Emas. Kami berdua tahu kalau Pendekar Naga Emas dan Putri Te-ratai Putih saling mencintai. Maka, kami mengatur sia-sat untuk menyatukan mereka,"
Banyak Ngampar menelan air liur untuk membasahi tenggorokannya yang kering.
"Kebetulan Naga Emas, sahabat akrabku itu, mempunyai murid. Bersama-sama kami bentuk dia mirip dengan Pendekar Naga Emas. Ini kami lakukan agar Pendekar Naga Emas muncul. Kami berikan keterangan-keterangan palsu tanpa setahunya. Ini jelas Reksanata tak bersalah!"
Reksanata merasa terpukul bukan main. Dia malu atas tindakannya. Sambil menggeleng-gelengkan kepala dia membalikkan tubuh dan berlari meninggalkan tempat itu. Putri Teratai Merah ikut berlari meninggalkan tempat itu pula.
"Teratai...!" panggil Putri Teratai Putih seraya bergerak untuk mengejar putrinya yang memberontak dari pelukannya dan kabur. Tapi, tindakan itu segera ditahannya ketika mendengar ucapan Banyak Catra,
"Tak usah dikejar, Putih. Batin mereka masih terguncang. Beri mereka kesempatan untuk berpikir dan menenangkan hati."
"Tapi, Paman Banyak Catra," kesempatan itu dipergunakan oleh Kamandaka untuk mengajukan per-tanyaan. "Bagaimana mungkin kami bisa mempunyai anak. Aku... maksudku.... Aku tak akan bisa mendapatkan keturunan. Ilmu Naga Emas membuat cairan kejantananku tidak subur. Dan...."
Banyak Catra tersenyum bijaksana. Kesempatan itu dipergunakan Arya untuk minta izin meninggalkan tempat itu. Disadarinya kalau dirinya sudah tidak diperlukan lagi kehadirannya.
Banyak Catra, Pendekar Naga Emas, Banyak Ngampar, dan terutama sekali Putri Teratai Putih, melepas kepergian Dewa Arak dengan ucapan maaf dan berterima kasih yang sebesarbesarnya atas pertolon-gan yang telah diberikan.
"Aku tahu hal itu, Kamandaka. Aku mengenal ilmumu sebagai ilmu sesat yang mampu membuat pemiliknya kehilangan kesuburan pada cairan kejanta-nannya alias mandul. Oleh karena itu, kau kujamu sehabis kita tewaskan datuk-datuk sesat itu. Kuberikan kau ramu-ramuan yang membuat cairan kejantananmu subur kembali. Kau tak tahu itu karena tak berbau, berasa, atau berwarna. Selama seminggu kau ku-cekoki minuman itu," lanjut Banyak Catra meneruskan keterangannya yang tadi terputus oleh permintaan mohon diri Dewa Arak.
Kamandaka menghela napas berat. Tidak dipung-kirinya kejadian itu. Keterangan Banyak Catra memang masuk akal.
"Sekarang," tambah Banyak Catra lagi "Sudah me-rupakan kewajiban kalian untuk menikah. Adi Banyak Santang sudah tak ada. Jadi, orang yang menentang hubungan kalian tak ada. Jangan lupa dengan anak kalian. Nah! Kami pergi!"
Kamandaka dan Putri Teratai Putih hanya sempat mengangguk ketika Banyak Catra dan Banyak Ngampar melesat meninggalkan tempat itu. Keduanya berpandangan dengan hati gembira. Penghalang cinta kasih mereka memang sudah tak ada. Penghalang yang menyebabkan Pendekar Naga Emas meninggalkan kekasihnya tanpa pamit Prabu Banyak Santang menen-tang hubungan cinta mereka karena hendak menjo-dohkan Putri Teratai Putih dengan seorang pangeran.
Entah siapa yang lebih dulu bergerak. Yang jelas, tahu-tahu tubuh Pendekar Naga Emas dan Putri Teratai Putih telah saling berpelukan. Kerinduan yang terpendam puluhan tahun dilampiaskan saat itu. Mereka tak ingat lagi pada Reksanata dan Putri Teratai Merah. Lagi pula, mereka yakin tak lama lagi kedua orang muda itu akan kembali.

––––GS––––

SELESAI


INDEX AJI SAKA
87.Setan Bongkok --oo0oo-- 89.Tombak Panca Warna
Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.