Peti Bertuah
tanztj
January 27, 2013
INDEX AJI SAKA | |
68.Biang-biang Iblis --oo0oo-- 70.Pulau Setan |
AJI SAKA
DEWA ARAK
Penerbit Cintamedia, Jakarta
DEWA ARAK
Penerbit Cintamedia, Jakarta
1
"Hhh...!" Satu helaan berat keluar dari mulut sesosok bertubuh sedang, di sebuah ruangan luas dalam sebuah goa. Dengan langkah tertatih-tatih karena memang telah termakan usia, sosok itu mondar-mandir di ruangan yang cukup pengap ini. Wajahnya menunduk dengan tangan kiri mengelus-elus dagu.Agaknya, dia tengah berpikir keras.
"Aku yakin ada sesuatu yang aneh.... Sesuatu mengerikan, yang mungkin akan terjadi. Benar! Aku yakin...," desah sosok yang ternyata seorang laki-laki tua berjubah putih.
Kini kakek itu berdiri diam dengan sikap tubuh agak miring.
Memang kaki kirinya sampai sebatas pangkal paha sudah tidak ada lagi, dan diganti sebatang tongkat besi yang ditekankan ke tanah dengan tangan kiri.
Usia kakek ini tidak kurang dari tujuh puluh lima lahun. Meski tidak memiliki kumis atau jenggot, tapi semua rambutnya yang panjang terurai telah berwarna putih laksana benang-benang perak.
Kini kakek berk aki buntung ini kembali melangkah tertatih-tatih.
Langkahnya yang berg elombang seperti berjalan di dataran tidak rata, tertuju pada mulut goa yang hanya satu-satunya terlihat di sini. Bagian lainnya merupakan dinding gua dari batu cad as yang tidak memiliki lubang sama sekali.
Lorong yang dimasuki kakek berkaki tunggal itu ternyata cukup panjang. Tapi, langkahnya tidak diteruskan sampai akhir lorong goa. Pada salah satu dinding di lorong terdapat mulut goa yang lebih kecil, langkahnya berbelok.
Dan ternyata lorong ini menembus ke sebuah ruangan berbentuk segi empat yang jauh lebih kecil dari ruangan sebelumnya. Tidak ada apa-apa di ruangan itu, kecuali sebuah danau kecil berbentuk lingkaran, bergaris tengah seteng ah tombak. Airnya yang jernih membuat dasar danau k ecil ini terlihat jelas. Di dalamnya banyak terdapat bend a seb esar ibu jari kaki yang berkilauan. Mungkin intan berlian. Tapi kakek berkaki tunggal itu tidak mempedulikannya. Dia hanya berdiri dengan kepala tertunduk, menatap permukaan air dan au kecil sesaat.
"Cermin Ajaib...! Cermin Sakti...! Beberapa hari ini hatiku tidak tenang. Aku tidak bisa bersemadi seperti sebelumnya. Jantungku terasa berdebar-debar....
Tidurku pun gelisah. Aku yakin ada sesuatu yang akan terjadi. Tolonglah tunjukkan padaku, apa yang menjadi penyebab semua ini, wahai Cermin Sakti...!" pinta kakek berjubah putih itu dengan suara pelan dan bergetar, penuh kekuatan Sekejap setelah ucap an kakek berkaki tunggal ini lenyap, permukaan air di dalam danau kecil bergolak hebat, seakan-akan ada sesuatu yang akan timbul ke permukaan. Air berbuncah-buncah, menimbulkan gelembung-gelembung udara. Permukaan air seperti mendidih! Dan ketika semua keaneh an itu lenyap, pada permukaan air tampak bayang an gambar sebuah pulau berwarn a hitam kelam, penuh diliputi kabut. Tak lama kemudian berganti sebuah peti kecil berwarna hitam mengkilat dengan panjang sekitar dua jengkal dan lebar satu setengah jengkal.
..... Bayangan gambar ini pun tidak lama karena segera berg anti bayangan may at-mayat berg eletakan berkubang darah ! Kemudian, permukaan air dalam danau kecil itu bergolak dahsyat kembali, sebelum akhirnya tenang seperti sedia kala. Jernih dengan batu-batu berkilauan di dasarnya.
Kakek berk aki sebelah mengernyitkan dahinya seperti tengah berpikir keras. Beberapa saat lamanya dia bertindak demikian.
"Cermin Sakti...! Cermin Ajaib.... Aku belum jelas dengan semua keterang anmu.
Tunjukkanlah padaku penjelasan yang dapat kumengerti...!" Permintaan kakek berkaki tunggal langsung mendapatkan sambutan seperti sebelumnya. Tapi, bayangan gambar-g ambar yang ditunjukkan danau kecil yang disebut Cermin Ajaib itu tidak berubah. Tetap seperti yang pertama kali.
Kenyataan ini membuat kerut-merut di dahi kakek b erkaki tunggal semakin bertambah. Kemudian kakek berkaki tunggal ini kembali melangkah tert atih-tatih meninggalkan tempat itu dengan sep asang mata yang disipitkan, dan pandangan yang tertunduk ke bawah.
"Aneh sekali..,! Mengapa Cermin Ajaib tidak mampu memberi keterang an yang jelas" Apakah yang tersembunyi di balik pulau dan peti itu, sehingga Cermin Sakti tidak mampu mengungkapnya sama sekali! Gila! Ini benarbenar gila! Aku yakin, apa pun ini, merupakan an caman b esar bagi kelangsungan dunia persilatan! Aku harus bertindak...!" desis kakek ini.
* * *
"Kau harus menjelask an maksud tindakanmu ini, Penjaga Alam Gaib"! Kalau tidak, aku akan segera pergi dari sini! Kau tahu, aku telah keras an hidup menyepi seperti ini. Bersatu dengan alam dan jauh dari kekerasan dunia persilatan!" tegur seorang laki-laki tua bertubuh kerdil dan bulat.
Pendek dan gemuk kak ek ini lebih mirip bola daripada manusia.
Apalagi, pakaiannya yang sempit. Sehingga semakin memperjelas bentuk tubuhnya.
"Apa yang dikatakan Guraksa tepat sekali, Penjaga Alam Gaib! Aku pun telah merasakan nikmatnya hidup menyendiri di tempat sunyi seperti ini.
Ilmu-ilmu racunku telah lama kulupakan. Dan malah, aku berusaha menciptakan ilmu-ilmu pengobatan. Itu sebabnya, aku meras a penasaran sekali atas panggilanmu untuk berkumpul di tempat ini!" timpal laki-laki tua yang bertubuh kurus kering seperti orang kel aparan, mendukung ucapan kakek pendek gemuk yang dipanggil Guraksa.
Kakek b ertubuh kurus kering itu wajahnya b erbentuk tirus dan meruncing laksana muka seekor tikus. Jelek. Bisa dibayangkan kalau budi pekertinya tidak baik. Apalagi ditambah sepasang mata sipit yang selalu berputaran liar, pertanda memiliki sifat licik.
Dan sekarang, sepasang mata kakek kurus kering yang panjang ke samping, dan sepasang mata kakek pendek gemuk yang bulat besar sama-sama tertuju lurus pada sosok yang duduk di depan, mengandung rasa penasaran. Sosok yang dipanggil Penjaga Alam Gaib menatap wajah-wajah penasaran di depannya berganti-g anti. Kakinya yang sebelah, ditekuk seperti duduk bersila.
"Kalian ini kan sahabat-sah abatku terbaik. Mengapa berlaku sungkan-sungkan dengan memanggilku seperti orang-orang bodoh dari dunia persilatan"! Penjaga Alam Gaib. Sungguh sebuah julukan luar biasa! Padahal, apa sih yang kuket ahui tentang alam gaib"!" rungut kakek b erkaki tunggal dan berpakai an jubah putih longgar disertai senyum pahit.
"Hm.... Kalian sepertinya tidak sab ar untuk mendengarkan penjel asan yang bertele-tele. Maka, terp aksa aku langsung p ada pokok perm asalah an.
Begini...." Sebentar Penjaga Alam Gaib terdiam, dengan mata menerawang jauh. Sepertinya, dia tengah mengumpulkan kata-kata yang tepat, untuk kemudian dituturkannya kembali.
"Beberap a hari ini, secara berturut-rurut aku mend apatkan mimpi mengerikan. Dalam tidurku, kulihat dunia persilatan dibanjiri darah! Semula, aku tidak ambil pusing. Karena begitu bangun, aku telah lupa dengan mimpiku. Tapi perasaan tidak nyam an dan rasa g elisah yang an eh, membuatku berpikir. Sehingga aku teringat kembali pada mimpi yang kualami. Maka segera kutanyakan mas alah ini pada Cermin Ajaibku. Dan ternyata, jawaban yang kudap at amat aneh, Cermin Ajaib-ku tidak mampu mencari jawab annya. Bahkan seperti mendapat halangan. Jawaban yang kudapat lama sekali, jauh lebih lama dari biasanya. Seakan -akan pertanyaan itu amat sukar, sampai-sampai tak terjawab. Aku merasa aneh. Makanya kuputuskan untuk mencari jawaban bagi masalah aneh ini."
"Kau tidak tengah bergurau, Penjaga Alam Gaib"!" celetuk kakek kurus kering, setengah tidak percaya, "Cermin Ajaib-mu tidak dapat menemukan jawabnya" Pasti ini sebuah persoalan luar biasa. Maksudku... tokoh yang berdiri di balik pulau dan peti ini memiliki ilmu-ilmu gaib luar biasa!"
"Ha ha ha...!" kakek yang bertubuh mirip gentong air tertawa, terkekeh.
"Andaikat a demikian pun, mengapa" Toh, tidak akan merubah arti apa pun.
Maksudku..., kau tidak berubah pikiran dan meninggalkan tempat ini kan, Penjaga Alam Gaib"!"
"Justru sebaliknya, Guraksa," jawab Penjaga Alam Gaib, setelah tercenung beberap a saat.
"Aku malah berkeinginan untuk meninggalkan tempat ini, dan mencoba menyelidiki rahasia aneh ini. Aku merasa tertantang untuk memecahkannya." Guraksa menat ap kakek kurus kering. Dan yang ditatap juga tengah memandangnya. Ada sorot ketidakpercay aan meman car dari masing-masing pemilik mata.
"Kalau tidak mendengar sendiri, mungkin aku tidak akan percay a, Penjaga Alam Gaib," ujar kakek kurus kering, mendesah.
"Kaulah yang dulu mengajak kami berdua untuk menyasingkan diri dari dunia persilatan ke lereng gunung ini. Sekarang setelah kami finggal di sini selama belasan tahun dan kami mulai kerasan, malah kau juga yang hend ak meninggalkan tempat ini untuk mencampuri kerasnya dunia persi latan. Kau membuatku kecewa, Penjaga Alam Gaib!"
"Apa yang dikatakan Kuru Sanca tidak berlebihan, Penjaga Alam Gaib. Terus terang saja, aku merasa kecewa mendengar keputusanmu. Kau tahu, keputusan ini dapat menyebabkan semuanya berubah. Maksudku, aku dan Kuru Sanca akan terdorong untuk bertindak serupa. Kau tahu, dunia kami sebelumnya penuh kekerasan. Dan keberhasilan kami menahan diri untuk tidak terjun kembali ke dunia seperti itu, adalah karena keb eradaanmu di sini. Kau tahu, tidak gampang melawan peng aruh kuat untuk terjun ke dunia persilatan kembali. Dan apabila kau meninggalkan tempat ini, maka kami tidak memiliki patokan lagi," urai Guraksa panjang lebar.
"Hhh...!" Penjaga Alam Gaib menghela napas berat "Bisa kumaklumi keberatan kalian. Dan asal kalian tahu saja, aku pun merasa demikian.
Tapi entah mengapa..., aku yakin kalau berdiam diri saja, dunia persilatan akan dibanjiri darah. Kalian kan tahu, aku memiliki banyak ilmu gaib yang tidak masuk akal. Dengan Cermin Ajaib-ku, aku bisa tahu sesuatu yang ingin kuketahui. Itu biasanya. Tapi kenyataannya, kali ini cermin itu tidak berdaya. Inilah yang membuatku jadi penasaran. Aku jadi ingin tahu, benark ah sesuatu yang kuhadapi akan sedahsyat ini! Aku yakin petunjuk yang kudapat satu dengan yang lain berhubungan. Maka kuputuskan untuk menyelidikinya tanpa harus ikut campur dalam k erasnya dunia persilatan.
Aku hanya ingin mengetahuinya saja. Setelah itu, aku bisa mewakilkannya pada orang lain yang lebih berk epentingan. Batas campur tang anku hanya sampai pada menyingkap masalah yang tersembunyi. Lain tidak! Urusan selanjutnya, kuserahkan pad a tokoh yang memang bertugas untuk menegakk an kebenaran."
"Bisa kau katakan padaku tokoh itu, Penjaga Alam Gaib"!"
"Tentu saja, Guraksa!" jawab Penjaga Alam Gaib, cepat.
"Tokoh itu masih sangat muda. Tapi, telah membuat dunia persilatan gempar karena tindakannya.
Julukannya, Dewa Arak !"
"Dewa Arak"!" Hampir berbareng seruan itu keluar dari mulut Guraksa dan laki-laki kurus bernama Kuru Sanca. Bahkan di saat yang hampir bersamaan, kedua kakek ini saling berpandangan. Dan dalam pertemuan pandang yang hanya sebentar itu, mereka seperti telah mengambil kesepak atan.
"Aku tidak pernah mendengar julukan seperti itu, Penjaga Alam Gaib," kata Guraksa yang lebih gemar berbicara daripad a Kuru Sanca.
"Itu sudah pasti, Guraksa. Tokoh muda itu belum lama menggempark an dunia persilatan. Sedangkan kalian telah belasan tahun mengundurkan diri. Menyepi di sini menjauhi dunia ramai. Bagaimana mungkin bisa mendengar julukannya"! Aku sendiri, kalau tidak karena keisenganku menanyakannya pad a Cermin Ajaib, tidak akan tahu. Jelas"!" Guraksa dan Kuru Sanca diam. Keduanya tidak membantah sama sekali. Sekarang, kedua kakek itu telah bisa mengerti akan tugas yang diemban Penjaga Alam Gaib.
* * *
"Dasar nasib sial! Enak-enakan menyepi di tempat tenang, eh mendapat tugas keluar k embali ke dunia persilatan. Penjaga Alam Gaib memang selalu membuat jalan hidupku terombang-ambing. Mudah-mudahan saja tidak terjadi hal-hal yang membuat penyakit lamaku kumat!" Gerutuan -gerutu an itu keluar dari mulut sesosok tubuh pendek gemuk, dan gendut. Kaki dan tangannya juga pendek-pendek dan bulat-bulat.
Sehingga ketika berjalan, sosok yang lebih mirip gentong air ketimbang manusia ini bagaikan menggelinding! Siapa lagi kalau bukan Guraksa! Meskipun bentuk tubuhnya aneh dan kelihatan menggelikan, namun Guraksa memiliki ilmu aneh. Walau kedua kakinya pendek-p endek, tapi ketika berlari tak kalah dibanding orang-orang yang memiliki kaki sewajarnya. Bahkan boleh dibilang lebih cepat. Sampai-sampai bentuk tubuhnya lenyap ketika berlari. Dan yang terlihat, hanya sekelebatan bayangan dalam ben tuk tidak jelas.
Guraksa baru memperl ambat larinya dan menggantinya dengan berjalan biasa, ketika telah berada di sebu ah jalan tan ah yang k anan kirinya diapit hamparan rerumputan menjulang tinggi. Sejauh mata meman-dang yang terlihat hanya rumput di sana-sini.
Sosok pendek gemuk itu, menekankan caping bambu yang menutup kepalanya. Tindakan yang dilakukan seperti hendak menyembunyikan wajah. Baru beberapa tombak Guraksa berj alan biasa, mendadak terdeng ar bunyi gemerisik nyaring. Dan di depannya, berjarak tiga tombak, tahu-tahu telah berjaj ar beb erapa sosok tubuh bers enjata di tang an. Sikap mereka mengisyaratkan siap untuk tarung.
Guraksa menggumam pelan, melihat hambatan di perjalanannya.
Dengan gerak tidak kent ara, ekor m atanya memp erhatikan b elakangnya.
Ternyata dalam jarak yang s ama di belakangnya, telah berjajar sosok-sosok tubuh yang bersenjata di tangan. Jelas, sosok pendek gemuk ini merasa kalau dirinya telah terkurung. Tidak ada lagi jalan keluar, kecuali menerobos kerimbunan rerumputan yang tinggi dan luas itu.
Walaupun keadaannya tel ah terkurung, sosok mirip gentong air itu tidak kelihatan gugup. Guraksa b erdiri diam di tempatnya, tidak melangkah maju atau mundur. Kepalanya malah semakin diben amkan dalam kungkungan caping bambunya yang terus ditekan kan.
"He he he...!" Sambil mengumbar tawa terkekeh, tiga lelaki kekar berkulit hitam legam di depan Guraksa melangkah maju.
"Tidak ada gunanya meny embunyikan waj ah di balik caping itu, Guraksa! Meski tubuhmu kau bungkus dengan gundukan kotoran manusia pun, kami akan tahu! Tubuhmu yang bulat seperti babi buntinglah yang membuat kami gampang menebak, siapa dirimu. He he he...!" Salah satu lelaki kekar berkulit hitam bertahi lalat besar yang ditumbuhi berambut di pipi berkata sombong sambil menudingkan pisau di tangannya pada sosok pendek gemuk di hadapannya.
"Ha ha ha...!" Guraksa tertawa bergelak. Caping bambu yang menutup wajah ditengadahkan, sehingga sekarang wajahnya yang bulat, terlihat jelas.
"Rupanya matamu masih tajam, Tompel! Bahkan sepertinya lebih tajam lagi. Apakah tuanmu yang sekarang memberi lebih banyak tulang"! Kudengar gonggonganmu lebih berisi daripada dulu!" ejek Guraksa.
"Keparat!" geram lelaki hitam bertompel, penuh kemarahan.
Hatinya kontan terb akar mend engar ejek an Guraks a.
"Rupanya kau sudah kepingin mati, Babi Gemuk!" Belum lenyap gema ucapan itu, serangan -serangan l elaki hitam bertompel ini telah lebih dulu menyambar. Sepasang tangannya bergerak cepat mengibas. Maka seketika beb erap a batang pisau tajam mengkilat yang berada di balik pakaiannya meluncu r ke arah Gu raks a, diiringi bunyi berdesing nyaring.
Guraksa meski bertubuh gemuk dan gendut, ternyata memiliki gerakan gesit. Sebelum sambaran pisau-pisau itu mendekat, tangan kanannya bergerak meraih camping di kepalanya. Langsung dilemparkannya caping itu untuk memapak pisau-pisau yang meluncur ke arahnya. Deng an didahului bunyi mengaung nyaring laksana puluhan ekor lebah mengamuk, caping bambu itu meluncur ke arah tujuan.
Bahkan sebelum masing-masing benda yang dilepaskan berbenturan di tengah jalan, dua orang yang bertikai ini melesat dari tempatnya. Begitu tubuhnya bergerak, lelaki hitam bertompel itu mengeluark an perintah pada rekan-rek annya untuk menyerbu. Dan ketika beberapa orang kek ar menyerbu, Guraksa pun meluruk dari tempatnya.
Guraksa memang memiliki watakaneh. Dia terlalu gemar tertawa.
Sehingga selalu saja mampu tertawa di saat tengah dilanda kemurk aan yang amat sangat. Seperti kali ini. Sebenarnya begitu mendeng ar makian lelaki bertompel, hatinya marah bukan kep alang. Tapi ternyata dia tetap mampu tertawa. Dan b ahkan b alas mengej ek, sehingga membuat lelaki bertompel hilang sabar dan marah. Sebenarnya, Guraksa pantas untuk amarah. Betapa tidak" Lelaki bertompel bersam a rek an-rekan yang dibawa itu seben arnya adalah murid-murid Guraksa, meski bukan dalam arti penuh. Merek a menjadi anak buah kakek p endek g emuk ini setelah mendirikan s ebuah perkumpulan.
Sebagai anak buah, mereka semuanya dididik Guraksa, meski tidak secara sungguhsungguh. Puluhan tahun lalu, Guraksa merupakan tokoh hitam. Bahkan termasuk datuk yang sangat ditakuti karena kesaktian dan kekejamannya.
Namun sebuah peristiwa membuatnya bertobat dan meninggalkan perkumpulan. Kini sama sekali Guraksa tidak pernah mimpi, betapa anak buahnya sendiri berani menghadang perjalanannya. Dan bahkan mengeluarkan makian kotor! Karu an saja dia menjadi naik darah. Kemarahan ini membuat Guraksa memutuskan untuk memberi haj aran keras pad a bekas anak-anak buahnya! Pyarrr! Sebelum kedua belah pihak saling terjun dalam pertarungan, caping dan pisau-pisau yang meluncur telah lebih dulu berbenruran. Namun, rupanya Guraksa telah memperhitungkannya. Sehingga capingnya tidak berbenturan secara penuh. Dengan tingkat kepandaiannya yang sudah amat tinggi dan tenaga dalam tinggi. Capingnya telah diatur agar membentur pisau dengan serempet an keras, tapi tepat. Sehingga senjata-senjata itu jadi berbalik ke arah p emiliknya dengan kecep atan berlipat ganda! Sed angkan camping itu sendiri meluncur balik ke arah Guraksa. Luncurannya pun sudah diperhitungkan, sehingga bisa ditangkap Guraksa. Dan seketika itu pula, capingnya dilemparkan nya kembali ke arah para pengepung. Sementara pisau-pisau yang meluncur balik, juga mengancam mereka.
Trang, trang, trang! "Uh...!" Seruan-seruan itu keluar dari penyerang Guraksa yang berada di depan, begitu berhasil menghalau pisau-pisau itu dengan pisau yang tergenggam di tangan. Tapi kesudahannya tangan mereka bergetar hebat.
Sementara serang an caping yang berput ar an eh mem buat mereka kag et.
Maka terpaks a merek a berlompatan mundur.
Kesempatan itu dipergun akan Guraksa s ebaik-b aiknya. Tanpa menemui kesulitan sama sekali, caping bambunya yang berbalik ditangkap.
Kemudian dengan gerakan cepat tubuhnya berbalik, berhadap an dengan para penyerangnya yang meluncur dari belakang. Secepat kilat laksana bola, tubuh Guraksa menggelinding ke arah lawan -lawannya. Akibatnya pun hebat, seketika terdengar teriakan-teri akan kesakitan di sana-sini, disusul berpental annya tubuh-tubuh para peng eroyok. Mereka semu anya roboh pingsan, tergolek di tanah dengan senjata berp entalan entah ke mana.
Hanya dalam segeb rakan saja, para pengeroyok yang berjumlah tak kurang dari delapan orang itu sudah tidak ada yang berdiri tegak. Guraksa yang berp engalaman, tidak terp aku di situ. Langsung tubuhnya berbalik menghadapi serang an berikut yang berasal dari lelaki hitam bertompel, bersama an ak buahnya. Sepasang alis Guraksa berkerut dal am ketika melihat kenyataan aneh. Lelaki bertompel dan anak buahnya ternyata tidak melakukan tindakan apaapa. Mereka semuanya berdiam diri, tidak melakukan serang an.
Sebaliknya mereka berdi ri sambil tersenyum gembira. Terutama sekali, lelaki hitam bertompel.
2
Guraksa bukan tokoh kemarin sore. Sebagai bekas datum kaum sesat, kakek pendek gemuk ini langsung dapat merasakan ada hal-hal yang mencurigakan di sini. Kalau tidak ada apa-apa, mustahil lawan-lawannya berhenti menyerang. Apal agi tersenyum-s enyum gembira b ernad a penuh kemenang an.Namun sebelum Guraksa berhasil menemukan jawabannya, kedua tangannya telah terasa ngilu dan sakit. Itulah jawabannya, dan dia merasa kaget bukan kepalang. Sekilas dia memperhatikan kedua tangannya. Dan seketika, matanya langsung terbelal ak kaget. kedua tangannya sampai sebatas siku kini telah berwarn a kelabu! Yang lebih hebat lagi, pada telapak tangannya telah berub ah hitam pekat laksana arang ! Dalam waktu singkat, Guraksa telah tahu kalau dirinya keracunan.
Suatu racun yang amat gan as! Dan itu bisa diketahuinya dari day a kerjanya yang demikian cepat.
Namun kakek pendek gemuk ini tidak kalang kabut melihat kenyataan ini. Memang bagi tokoh seperti Guraksa, kematian bukan sesuatu yang menakutkan. Namun tentu saja Guraksa tidak ingin mati konyol seperti ini. Mau ditaruh mana mukanya apabila dunia persilatan tahu kalau dirinya tewas di tangan bekas anak buahnya"! Perasaan tenang itulah yang membuat Guraksa dapat berpikir jernih.
Segera kedua tangannya digerakk an untuk mendesak pengaruh racun, mempergunakan tenaga dal amnya. Guraksa yakin, hawa b eracun itu dapat diusir dengan tenaga dalamnya.
Sayang, keyakinan Guraksa langsung membuyar. Ternyata, kedua tangannya tidak mampu digerakkan sama sekali! Lumpuh! Dan yang lebih gila lagi, hawa murninya tidak bisa di arahkan ke kedua tangannya.
"He he he...!" Tawa yang bergelak bernada penuh kemenangan, membuat Guraksa menoleh. Sinar matanya nampak berkilat. Kendati demikian, secara luar biasa Guraksa masih mampu tertawa bergelak ! Padahal, sorot sepasang matanya terlihat jelas menyiratkan hawa maut pada lelaki hitam bertompel, yang mengeluark an tawa mengejek itu.
"Bagaimana, Babi Gemuk"! Sekarang kau baru tahu kehebatan anggota Gerombolan Setan Hitam, heh..."! Nyawamu hanya tinggal menunggu perginya saja, Babi Gemuk! He he he...!"
"Ha ha ha...!" Guraksa ikut tertawa bergelak. Bahkan jauh lebih keras. Sepasang matanya pun menyambar lebih tajam, menyapu sekujur tubuh lelaki bertompel. Andaikata, sinar matanya diangg ap seb agai sebuah serang an, maka lelaki bertompel itu sudah menghadapi serangan mematikan! "Kau kira mudah membunuhku, Tompel Pengkhianat! Aku memang tidak akan lolos dari maut. Tapi, kau pun tidak akan selamat!" desis laki-laki pendek gemuk ini.
Menyadari akan keadaannya yang sudah mengkh awatirk an, Guraksa bertindak tidak kepalang tanggung lagi. Segera dia berlari mendekati lawan untuk persiap an melakukan tend angan kedua kakinya. Hanya itu yang dapat dilakukan Guraksa, karena kedua tangan telah tidak berguna.
Namun lelaki bertompel benar-b enar mengagumkan. Rupanya dia telah membuat persiapan matang untuk merobohkan Guraksa. Baru saja, beberapa langk ah Guraksa bertindak terd engar bunyi berkeros akan nyaring.
Kemudian disusul amblasnya tanah yang diinjak Guraksa. Dan seketika tubuh kakek pendek gemuk ini langsung meluncur ke dalam lubang di bawahnya. Tanah yang dipijak Guraksa ternyata hanya selapis saja. Di bawahnya telah menganga sebuah lubang cukup dalam, dasarnya dipasangi besi-besi runcing, siap menyate yang terjatuh ke dalamnya.
Tetapi kali ini yang terjatuh ke dalam lubang maut ini adalah Guraksa bek as datuk kaum sesat. Maka meski agak gugup, dia langsung bisa bertindak tepat untuk menyelamatkan diri. Dengan mempergurtakan ilmu meringankan tubuhnya yang menakjubk an, kakinya menjejak p ada ujung-ujung besi runcing dengan ringan tanpa terluka sedikit pun.
Gerakan luar bi asa Guiaks a tidak hanya s ampai di situ. Hanya sedikit menekuk lututnya kakek ini kembali melayang ke atas lubang.
Guraksa memperhitungkan kalau lawan -lawannya tidak akan tinggal diam, dan akan menunggunya di atas sana. Dia yakin, saat ini lawanlawannya yang hanya tinggal tujuh orang itu tengah bersiap mengirimkan serangan pisau-pisau terb ang.
Walaupun keadaannya mengkhawatirkan k aren a kedua tang annya tak berguna, tapi Guraks a masih tidak kehilangan ak al. Dia akan menggunakan mulutnya yang disertai pengerahan tenag a dalam tinggi untuk meniup serangan -serangan pisau terb ang. Dengan demikian semua serangan akan dapat dipudark an. Tapi kenyataannya....
Wirrr, wirrr, wrttt! "Akh...!" Guraksa memekik kag et, dan persiapannya buyar. Serangan -serangan pisau terbang yang diharapkan ternyata tidak muncul.
Dan yang membuatnya terkejut adalah serangan -serangan berup a tali-tali hitam alot yang meluncur dari kerimbunan rerumputan di kanan kirinya.
Kejadian yang demikian cepat, di saat tubuh Guraksa tengah berada di udara, membuat serangan-s erang an tali itu berhasil membelit pergelangan kaki Guraksa.
Dan begitu berhasil melilit, tali-tali hitam itu langsung menegang kuat, mengikat kaki Guraksa. Tubuh Guraksa pun kini terentang ke kanan dan ke kiri.
"Hih!" Sekali Guraksa mengerahk an tenaga dan merapatkan kedua kaki secara mendad ak, tubuh-tubuh para p emilik tali cepat tertarik ke arahnya.
Kedua kaki Guraksa langsung dipentangkan ke kanan dan ke kiri. Maka seketika jeritan menyayat pun terdengar berturut-tu rut, ketika kaki Guraksa mendarat di dada para pemilik tali yang sial itu. Mereka kontan ambruk di tanah, dan tewas seketika.
Tapi tindakan ini harus ditebus mahal oleh Guraksa. Seketika tubuhnya melayang kembali ke bawah, karena tidak ada landasan berpijak.
Dan kali ini, kakek pendek gemuk ini pasrah. Dia tidak berusaha melaku kan tindakan apa pun, karena kedua kakinya pun langsung lumpuh seperti kedua tangannya. Ternyata, tali-tali hitam yang melilit kakinya telah ditaburi racun yang sama.
"Ha ha ha...!" Tawa tergelak lelaki hitam bertompel mengiringi melayangnya tubuh Guraksa yang telah tidak berday a ke dal am lubang. Merek a semua yakin, kalau kali ini kakek pendek gemuk yang sakti itu akan tewas di dasar lubang.
Tapi meskipun nyawa telah berada di ujung tanduk, kalau Allah belum berken an, ada saja jal an untuk selamat. Dan hal ini dialami Guraks a.
Di saat tubuhnya hampir masuk ke dalam lubang, tiba-tiba sesosok bayangan meleset cep at. Langsung disambarnya tubuh sep erti gentong itu dan dibawanya meles at meninggalkan lubang maut.
* * *
Begitu menjejak tanah, sosok penolong Guraksa langsung melepaskan leher baju kakek pendek gemuk yang tadi dicekalnya. Dan tubuh Guraksa pun kini tergolek di tanah.
"Keparat..!" Lelaki hitam bertompel memaki penuh geram ketika melihat Guraksa yang diyakininya tewas, berhasil lolos dari maut. Sepasang matanya hampir keluar ketika menatap penolong Guraksa.
"Anjing kurap dari man a berani ikut campur urusan Gerombolan Setan Hitam"! Atau kau telah mempunyai nyawa rangkap"!" dengus laki-laki itu.
Sang Penolong Guraksa, ternyata seorang pemuda berpakai an ungu.
Rambutnya yang panjang berwarna putih keperakan, berkibar diriup angin.
Wajahnya yang tampan dan jantan, tersenyum mendengar makian laki-laki bertompel itu.
"Aku tidak perlu nyawa rangkap, kalau hanya untuk menantang Gerombolan Setan Hitam. Dan justru, aku telah lama mencari-cari kalian untuk kumusnahkan, kareka terlalu banyak mengotori dunia dengan perbuatan -perbuatan keji!" Jawaban p emuda berp akaian ungu ini membuat kemarahan lelaki bertompel semakin berkobar. Tangan kanannya langsung digerakkan memberi isyarat pad a rek an-rekannya untuk menyerbu pemuda itu. Lelaki bertompel ini tahu, pemuda ini tidak bisa dipandang remeh. Itulah sebabnya, langsung diputuskan untuk menyerbu secara serent ak.
"Anak Muda.... Apakah kau yang berjuluk Dewa Arak..."! Pesanku, jangan sampai tangan at au kakimu bersentuh an dengan anggot a tubuh mereka, karena telah dibaluri racun m ematikan. Aku sendiri terjeb ak! Hati-haulah, Dewa Arak...!" Hanya sampai di sini pesan Guraksa. Sebentar pemud a berambut putih keperakan yang tak lain dari Dewa Arak menoleh d engan kening berkernyit.
Namun cepat dimengerti pesan itu. Maka seb elum serang an-serangan tujuh orang lawannya menyambar lebih dekat lagi, Dewa Arak atau Ary a Buana telah lebih dulu mengeluarkan lengking an nyaring.
Sebentar saja, tapi cukup membuat tubuh tujuh orang itu seketika lemas ambruk ke tanah. Memang mendadak saja kedua kaki mereka teras a lemas! Sayangnya pengaruh teriakan Dewa Arak tidak berlangsung lama, karena tujuh orang itu termasuk tokoh bertenaga dalam tinggi. Mereka serentak bangkit. Dan setengah melempar pandangan, mereka melesat meninggalkan tempat itu. Rupanya cukup disadari kalau pemuda berbaju ungu ini merupakan suatu ancam an.
Sementara Dewa Arak tidak melakukan pengejaran sama sekali.
Ditatapnya tujuh lawannya yang telah melarik an diri sejenak, sebelum mengalihkan perh atian pada Guraksa. Kemudian dia berjongkok memeriksa keadaan kakek bertubuh mirip gentong ini.
"Sayang sekali, Kakek Yang Baik. Aku tidak bisa menolongmu," ucap pemuda b erambut putih keperakan itu. Pemuda berwaj ah tampan ini pun bangkit berdiri.
"Racunnya telah hampir mencapai jantung. Dan lagi, jenis racun ini tidak bisa disembuhkan oleh arak dalam guciku. Kalau saja tidak, mungkin aku akan dapat menyelamatkan nyawamu."
"Tidak usah kau pedulikan itu, Dewa Arak. O ya. Kau orang yang berjuluk Dewa Arak, bukan"! Ciri-cirimu mirip dengan berita yang kudapatkan dari salah seorang kawan terb aikku." Guraksa mengh entikan ucapannya s ejenak ditatapnya pemuda berpak aian ungu dengan sinar mata menyiratkan pertanyaan besar. Sedang pemuda tam pan berwaj ah jantan itu pun menganggukk an kep ala pertanda membenark an "Aku sudah merasa b ahagia sek ali meninggalkan dunia ini, apabila telah berhasil menyelesaikan aman at yang ditujukan padaku," lanjut Guraksa.
Sampai di sini Guraksa terpaksa menghentikan ucapannya. Napasnya tereng ah-eng ah hebat, bagai orang tengah berlari jauh. Padahal, racun itu belum lama merasuk ke dalam tubuhnya.
"Seorang kawan baikku..., ahli dalam ilmu gaib..., bermimpi dan mendapat firas at kalau dunia persilatan akan dibanjiri darah.... Makanya, dia menyuruhku untuk menemuimu. Dia tahu kalau kau akan melalui tempat ini, Dewa Arak. Tapi, sayang.
Orang-orang licik itu lebih dulu tiba. Hhh...! Entah setan mana yang membawa mereka ke tempat ini. Ha ha ha...!" jelas Guraksa, malah ditambah dengan tawanya.
"Lebih baik segera kau katakan, apa yang ingin kau sampaikan, Kek," selak Arya.
Dewa Arak tidak sabar melihat Guraks a masih sempat tertawa, padahal kead aannya sudah amat payah.
"Ha ha ha...! Tidak usah khawatir, Dewa Arak. Aku yakin akan mampu menyampaikan am anat ini padamu, sebelum nyawaku melayang ke alam baka. Penjaga Alam Gaib ternyata tidak berlebihan. Kau memang masih sangat muda, Dewa Arak. Ha ha ha...! Dalam usia semuda ini kau telah memiliki nama besar dan kepandaian tinggi! Menakjubkan!" Kakek pend ek gemuk ini menghentikan ucap an nya dengan napas tersengal-s engal. Tertawa di saat nyawa di ujung tanduk itu, sebenarnya memang membutuhkan tenaga besar. Dan Guraksa tahu. Tapi sikapnya benar-benar tidak peduli.
"Dewa Arak.... Kau harus menyusul kawanku ke Pulau Setan. Aku yakin, dia akan mendapat masalah di sana. Sesuatu yang mengerikan tengah menunggunya. Selamat bertugas, Dewa Arak. Ha ha ha...!"
"Hhh...!" Arya menghela napas berat. Sebentar kepalanya tertunduk untuk memberi penghormatan terakhi r pada Guraksa. Kakek pend ek gemuk itu meninggal dengan mulut tersenyum lebar. Tewas di saat tertawa.
* * *
Dengan kecepatan tinggi, Arya berlari meninggalkan tempat Guraksa tewas. Seiring kakinya terayun, otaknya pun bekerja keras memikirkan semua pesan kak ek pendek g emuk yang tidak sempat diketahui jati dirinya. Siapa sahabat yang dimaksud Guraksa" Penjaga Alam Gaibkah" Rasanya tidak mungkin! Pemuda berambut putih keperakan itu membantah dalam hati.
Karena, julukan Penjaga Alam Gaib lebih mendekati dongeng, daripada k enyataan sesungguhnya. Apalagi sejak ratus an tahun lalu, julukan itu telah ada dan menggetarkan dunia persilatan. Berarti kalau yang dimaksud adalah tokoh itu saat ini usianya telah ratusan tahun! Sebuah hal yang mustahil untuk bisa dipercaya! karena tidak berh asil menemukan jawabannya, Dewa Arak memutuskan untuk mencari jawaban b agi pertanyaan k edua. Tentang Pulau Setan.
Namun pulau itu pun merupakan teka-teki bagi dunia persilatan.
karena hanya pern ah terdeng ar, tapi tak seorang pun yang berh asil menemukannya. Benarkah ucapan Guraksa" Atau hanya sekad ar ucapan orang yang ingin meninggal, dan berkata ngawur" Entah sudah berapa lama Arya berlari dengan benak diganggu pernyataan Guraksa tentang Pulau Setan. Sampai akhirnya, Dewa Arak mencoba menyelidiki kebenarannya. Toh, hanya titik terang ini satu-satunya yang didapatkan. Tidak ada celah lain yang dap at dijadikannya patokan untuk mengusut persoalan ini, kecuali Pulau Setan dan Penjaga Al am Gaib, serta Gerombolan Setan Hitam. Hal lain yang menjadi bahan pemikiran Dewa Arak, ternyata walaupun Gerombolan Setan Hitam terkenal dalam dunia persilatan, namnun tidak jelas di mana markasnya. Maka satu-satunya jalan, Arya memutuskan untuk menyelidiki Pulau Setan! Arya berlari disertai p engerahan seluruh ilmu lari cepatnya. Dalam waktu seperempat hari, jarak yang ditempuh tel ah demikian jauh. Beberapa medan telah dilalui. Jalan turun naik, setapak, berb atu-batu, dan hutan lebat telah dilampaui. Dan Dewa Arak mendadak saj a memperlambat larinya, begitu melihat adanya sekeleb atan bayang an di depannya yang terus berlari ke arah kanannya. Gerakannya gesit bukan kepalang. Meskipun demikian, pandang mata Arya yang tajam dapat mengetahui kalau sosok yang melesat di depannya berpakai an co klat Belum sempat Arya berpikir apa-apa, tiba-tiba berkelebat lagi tiga sosok lain melewati depannya d an terus menempuh arah yang sama d engan sosok berpakaian coklat tadi.
Sementara sosok berp akaian coklat maupun tiga sosok yang mengejar, tidak melihat keberadaan Dewa Arak. karena di samping tengah sibuk dengan urusannya, keadaan merek a memang menyulitkan untuk melihat Arya. Kecuali kalau mereka menoleh ke kanan. Tapi, agaknya sosok-sosok itu tidak mempedulikannya.
Dengan kecep atan lari yang semakin diperlamb at, Arya memutar benaknya. Apakah sosok-sosok yang tengah berkejaran itu harus diikuti, atau bersikap tidak peduli, dan terus melanjutkan perjalanan ke Pulau Setan" Sebentar Arya berpikir untuk mengambil keputusan. Dan mendadak saja, arah larinya dibelokkan, dan melesat cepat mengejar sosok-sosok coklat yang tengah saling berkejaran. Naluri kepend ekaran Aryalah yang menyebabk an keputusan itu diambil. Barangkali saja, sosok yang dikejar itu membutuhkan pertolongan.
Tanpa menemui kesulitan sama sek ali, Arya membayangi sosok-sosok yang tengah kejar-kejaran ini. Dengan keunggulan ilmu meringankan tubuhnya, Arya hampir mendekati mereka. Bahkan pemuda berambut keperakan ini melihat sosok yang berlari paling depan tampak seperti kalap. Srakkk! "Akh...!" Begitu telah memasuki hutan lebat, sosok coklat yang dikejar itu menjerit tertahan, ketika kakinya menginjak jebakan binatang. Seketika itu pula tubuhnya langsung terangkat ke atas, bagian pergelangan kaki kirinya terjerat tali yang sengaja dipasang. Kejar-kej aran itu memang telah masuk dalam sebuah hutan yang cukup lebat Dalam keadaan gawat itu, ternyata sosok yang dikejar mampu bertindak sigap. Begitu tubuhnya melayang ke atas dengan kepal a di bawah, secep at kilat tangannya meraih gagang pedang di punggung. Sehingga, senjata tajam itu tidak keburu jatuh ke tan ah. Dan seketika, ped angnya diayunkan ke arah tali.
Tasss! Begitu tali putus, dengan gerakan manis sosok itu bersalto dan menjejak di tanah secara mantap dengan pedang telanjang tercekal di tangan.
Namun, sebelum berlari kembali, tiga sosok coklat yang mengejarnya telah bergerak cepat. Sehingga, dia terkurung dari tiga jurusan. Kini tidak mungkin dia bisa melarikan diri lagi.
"Mau kabur ke man a lagi, Manusia Tak Kenal Budi...!" desis salah satu dari tiga sosok coklat yang bertubuh kekar. Sehelai ikat kepala berwarna coklat membelit dahinya. Seruan lelaki ini terdengar angker. Dan keangk eran itu semakin terasa ketika melihat wajahnya yang berahang kokoh dengan alis tebal dan hitam.
Kumis dan jenggotnya pun hitam dan tebal.
"Jangan harap akan dap at lolos dari tangan k ami, Karpala!" timpal pengejar lainnya tak kalah geram sambil menudingkan ujung pedangnya.
Tubuh laki-laki ini tinggi besar dengan bahu lebar. Tidak berkumis atau jenggot, tapi cambangnya yang lebat cukup membuat angker waj ahnya.
"Kau akan kami bawa ke had apan gu ru. Hidup atau mati, Manusia Terkutuk!" seru lelaki tinggi kurus berkulit kuning dan bermata redup seperti orang me-ngantuk.
"Bersiaplah untuk menerima hukumanmu, Karpala." Sosok yang dipanggil Karpala ternyat a seorang pemuda sep erti tiga pengejarnya. Dan dia hanya tersenyum sinis. Tubuh Karpala tegap dan kekar, menunjukkan ketegarannya. Wajahnya tampan dan gagah. Sebaris kumis tipis yang menghias bawah hidung semakin men ambah ket ampanannya.
Karpal a memperhatikan tiga pengepungnya dengan sinar mata tajam.
"Jangan harap aku akan sudi kembali dalam keadaan hidup! Kalian hanya akan dap at membawa mayatku ke sana!" dengus Karpal a.
Usai berkata d emikian, Karpala mengirimkan tusukan ke arah pemuda tinggi kurus di depannya.
Trangngng! Bunga api berpijar ketika pemuda tinggi kurus itu menangkis serang an. Seketika tubuh masing-masing terhuyung sejauh dua langkah. Tapi sebelum Karpala memperb aiki kedudukan, datang dua serangan dari pemuda beralis tebal dan pemuda bercambang.
"Jangan dipikir kami pengecut dengan melakukan pengeroyokan atas dirimu, Manusia Tidak Berjantung! Tapi, guru menyuruh kami membawamu ke sana secep atnya untuk dijatuhi hukuman!" seru pemuda beralis tebal, dibarengi dengan serang annya.
Tidak ada sahutan sama sekali dari Karpala. Hujan serangan yang silih berganti datang, membuatnya tidak mendapatkan kesempatan untuk memberi tanggapan. Seluruh perhatian harus dipusatkan pada pertarung an, kalau ingin selamat
3
Karpal a berju ang keras untuk mempertah ankan sel embar nyawanya. Tapi, tingkat kepandaiannya bol eh dibilang setingkat dengan lawanlawannya. Sedangkan sekarang, yang dihadapi tiga orang sekaligus.Padahal, menghadapi satu orang saja, dia belum tentu menang. Maka, tak heran kalau tak sampai lima jurus, pemuda berkumis tipis ini sudah terdesak.
Menginjak jurus ke enam, serangan -serangan Karpal a sudah tidak terlihat lagi.
Dia sudah terlalu repot untuk menghalau hujan serangan yang muncul bertubi-tubi, sehingga tidak kebagian kes empatan untuk mengirimkan serang an. Crttt! Karpal a menggigit bibirnya sendiri ketika ujung pedang pemuda berkumis tebal menggurat bahu kirinya cukup dalam. Dan s eketika darah mengalir keluar. Tubuh pemuda berkumis tipis itu pun terhuyung.
Desss! Kembali sebuah tendang an dari pemud a bercambang leb at secara telak mendarat di perut Karpala yang belum sempat memperbaiki keseimbangannya. Akibat serangan ini, tubuh pemuda berkumis tipis itu pun terhempas ke bel akang. Sedangkan ped ang di tangan yang tadi masih tergenggam, terlepas dari pegangan.
"Hiyattt..!" Sementara itu pemuda yang bertubuh tinggi kurus tidak mau ketinggalan. Dia langsung melompat me-nyusul tubuh Karpala yang terhuyung-huyung, dengan sebuah tusukan ke arah leher. Dan pemuda berkumis tipis ini hanya bisa terbelalak melihat serangan maut itu. Tidak ada yang bisa dilakukannya untuk menyela-matkan diri dengan keadaan yang tidak menguntungkan seperti ini.
Dalam kead aan yang gawat ini, mendadak saja berkel ebat sebuah bayangan hitam sebesar ibu jari yang demikian cepat. Lalu....
Trikkk! "Akh...!!" Jeritan tertahan yang penuh nada kaget itu terdengar bukan dari mulut Karpala, melainkan dari p emuda tinggi kurus. Pedang yang semula ditusukkan ke arah leher Karpala langsung menyeleweng jauh, karena sudah terlepas dari pegang an ketika sebuah k erikil sebesar ibu jari kaki menghantamnya dari arah samping.
"Orang usilan! Harap keluar dari persembunyianmu! Jangan bertindak pengecut, hanya berani main sembunyi!" teriak pemuda beralis tebal yang bersikap tangg ap, langsung mengajukan tantangan, Dia tahu, apa yang terjadi dengan serang an kawannya.
Pemuda beralis tebal dan dua rekannya yang sekarang sudah tidak mempedulikan Karpala lagi, mengalihkan perhatian ke arah asalnya baru kerikil tadi. Sikap mereka jelas penuh ancaman.
Tiga pemuda gagah berpakaian coklat ini tidak perlu menunggu lama, karana dari atas sebatang pohon berdaun rimbun di depan mereka melayang turun sesosok bayangan ungu. Kemudian, bayangan itu menjejak mantap tanah.
"Aku bukan pengecut atau orang usilan, Kisanak semua! Hanya saja, aku paling tidak suka melihat adanya tindak ketidakadilan di depan mataku.
Kalianlah yang bersikap pengecut dengan melakukan pengeroyok an!" kilah sosok yang baru saja turun dari atas pohon, penuh ketegasan. Dia adalah seorang pemuda berambut putih keperakan. Siapa lagi dia kalau bukan Arya Buana alias Dewa Arak.
Sementara tiga pemuda berpakaian coklat itu saling berpandangan dengan wajah merah pad am. Agaknya, ucapan balik Dewa Arak mengenai sasaran.
"Apa pun katamu, Hei Orang Asing! Semua ini adalah urusan kami.
Urusan pergu ruan yang tidak ada sangkut -pautnya deng an dirimu...!" timpal lelaki beralis tebal, yang lebih banyak bicara. Maka kuperingatkan, pergilah dari sini. Dan, jangan campuri urusan kami kalau tidak ingin lerlibat keributan!" Pemuda beralis tebal ini memang bukan orang bodoh. Dia tahu, pemuda berambut putih keperakan itu bukan orang sembarangan. Malah, pasti kepandaiannya di atas tingkat merek a. Buktinya, dia mampu menjatuhkan pedang pemuda kawannya yang dicekal kuat hanya dengan sebutir baru kecil. Dan ini membuktikan kalau dia memiliki tenaga dalam tinggi.
Bahkan jauh lebih kuat daripada tenaga dalam mereka. Itulah sebabnya, pemuda beralis tebal memberi kesempatan p ada Ary a untuk pergi tanpa harus terjadi keributan.
"Sayang sekali, Kisanak. Aku bukan orang semacam itu. Sekali telah mencampuri sebuah urusan, aku tidak akan pergi sebelum selesai! Aku hanya akan pergi, apabila kalian bersedia menyud ahi urusan deng an dia!" tuding Arya pada Karpal a.
"Aku pun tidak mau mencampuri, apahila kalian bertindak kesatri a. Bertarunglah satu lawan satu. Kalau tidak, silakan kalian pergi dari sini! Yang jelas, aku tidak akan pernah mau pergi!"
"Keparat!" dengus pemuda bercambang leb at itu penuh kegeraman.
"Kau sudah merasa jago, ya"! Keberhasilan lemparanmu menjatuhkan senjata kawan kami, rupanya telah membuatmu besar kepala! Baik! Sebelum kami singkirkan buruan kami, kau lebih dulu yang akan mendapatkan balasan setimpal atas perbuatanmu!" Cit, cit, cittt..! Tappp! Dengan kecepatan gerak ya gsukar diikuti mata, Dewa Arak telah bisa menangkap mata pedang lawan dengan tangan kanannya. Kemudian secepat kilat langsung ditekukunya batang pedang itu hingga patah dua! Trakkk! Bunyi bercicitan nyaring seketika terdeng ar menusuk telinga ketika pemuda bercambang l ebat itu mengirimkan serangan p edang. Senjata tajam itu menusuk-nusuk berkali-kali ke arah leher, ulu hati, pusar, dan dada! Kecepatan gerakannya membuat batang pedang itu jadi berjumlah banyak! "Ilmu pedang yang b agus...!" puji Arya, tanpa maksud merendahk an atau menunjukkan kelebihan tingkat kepandai annya.
Tapi rupanya, pujian Arya disalah artikan oleh pemuda bercambang lebat dan rekan-rekannya. Dan Arya dianggap hendak menunjukkan kelebihan tingkat kepandaiannya dengan pujian itu.
Sementara, meski memuji bagus, tidak berarti Arya kebingungan menghadapi serang an lawannya. Memang bagi pandangan mata orang lain, batang pedang pemuda bercambang lebat yang sudah berjumlah banyak itu bakal menyulitkan Dewa Arak. Tapi, sebenarnya pand angan mata pemuda berambut putih keperakan itu jauh lebih tajam daripada pemuda-pemuda berpak aian coklat itu. Dengan jelas, dia melihat kalau batang pedang itu hanya satu. Bahkan tahu, bagian mana yang lebih dulu menjadi sasaran serang an.
Tappp! Dengan kecepatan gerakan yang sukar diikuti mata, Dewa Arak telah bisa menangkap mata pedang la-wan deng an tangan kanannya.
Kemudian secep at kilat langsung ditekuknya batang pedang itu hingga patah dua! Trakkk! Wajah pemuda bercambang leb at itu sampai menjadi pucat pasi saking kagetnya. Ket erkejutan yang sama mel anda du a rek annya. Mereka sadar kalau lawan merek a memiliki kepandaian tinggi. Namun, sungguh tidak disangka akan seperti ini, sehingga mampu membuat pemuda bercambang lebat itu tidak berdaya hanya dalam segebrakan.
Baik pemuda bercambang lebat, maupun dua rekannya tidak bisa menerima kenyataan ini Mereka benar-b enar tidak percaya. Bahkan guru mereka s aja, rasanya tidak akan mampu melakukannya. Mungkinkah pemuda seusia dia mampu bertindak seperti itu. Ketiga orang ini, terutama sekali pemuda bercamb ang lebat, lebih yakin kalau kejadian itu hanya kebetulan belaka! Rasa penasaran membuat tiga orang itu maju serentak, menghampiri Dewa Arak deng an senjata terhunus. Dan pemuda b ercambang lebat telah mengganti pedangnya dengan pedang milik pemuda berkumis tipis yang tadi terpental.
Sedangkan pemuda tinggi kurus telah mengambil pedangnya yang tadi terjatuh.
Dan diawali teriakan keras sebagai isyarat menyerang, ketiga pemuda berpak aian coklat ini meluruk menerjang Dewa Arak. Kilatan-kilatan menyilaukan mata langsung membeset udara, ketika pedang-p edang itu meluncur ke arah sasaran.
Gerakan merek a cepat bukan main. Namun tanpa menemui kesulitan sama sekali, Dewa Arak mengelakkannya. Selama beberapa gebrakan, pemuda berambut putih keperakan ini hanya mengelak. Tapi ketika mulai balas menyerang, kead aan langsung berubah heb at! Seketika terdengar pekikan -pekikan kes akitan ketika tubuh tiga pemuda berp akaian coklat itu satu persatu berpentalan keluar arena pert arungan. Dari mulut mereka masing-masing terdeng ar suara rintihan kesakitan dengan senjata terpental entah ke mana.
"Bagaimana" Masih ingin diteruskan"!" fanya Arya, tenang tanpa nada mengejek.
Lalu ditatap wajah-wajah lawannya satu persatu. Wajah-wajah yang dihiasi seringai kesakitan, karena masing-masing tel ah terluka. Meskipun, hanya tulang-tulang tangan dan kaki yang terlepas dari sambungannya. Arya tidak ingin bertindak keras terhadap tiga orang yang diyakininya berasal dari perguru an golongan putih. Sikap mereka yang sombong dan berk esan mengagungkan diri sendiri, membuat Ary a menjatuh kan hajaran kep ada mereka.
Pemuda beralis tebal itu menggertakkan gigi. Sepasang matanya menatap Ary a dengan sorot mengan cam. Sorot yang sama memancar dari mata-mata dua pemuda lainnya.
"Kali ini kami mengaku kalah, Orang Asing!Tapi, ingat! Urusan ini tidak berhenti sampai di sini! Kami akan membuat perhitungan ! Camkan, Perguruan Pedang Halilintar pantang dihina orang!" Setelah mengucapk an kata-k ata ancaman, pemuda beralis tebal dan kedua kawannya melangkah tertatih-tatih meninggalkan tempat ini. Sedangkan Ary a hanya memand angi saja, tanpa perasaan ap a-apa. Dia tahu, tiga orang itu berasal dari Perguruan Pedang Halilintar, ketika melihat serang an pemuda bercambang lebat pertama kali. Itulah sebabnya, dia tidak menjatuhkan tangan jahat pada mereka.
Sambil menghela napas berat karena disadari kalau sebuah bibit permusuhan telah tertanam dengan Pergu ruan Pedang Halilintar, pemuda berambut putih keperakan ini mengalihkan p andangan k e arah Karpala di belakangnya.
Arya ingin menanyakan sebab musabab keributan ini. Padahal, diyakini pula kalau pemuda berkumis tipis itu termasuk murid Perguruan Pedang Halilintar.
Arya tanp a sadar t erjingkat dari tempatnya, ketika melihat belakangnya telah kosong, tanpa seorang pun terlihat Yang ada hanya kerimbunan semak dan pepohonan di sekitarnya.
"Hhh...!" Arya menghembuskan napas berat Sekali lihat saja, bisa diketahui kalau pemuda berkumis tipis itu sudah tidak ada lagi. Kabur. Tak jelas, kapan Karpal a kabur. Yang jelas, kepergiannya menyeb abkan masalah yang dihadapi Arya kali ini, jadi gelap! Rasa penasaran untuk mengetahui masalah yang menyeb abkan pemuda-pemud a berp akai an coklat itu terlibat keributan, membuat Arya memutuskan mengejar Karp ala untuk mencari jawab annya.
* * *
Sebuah perahu kecil melaju, di permukaan laut luas yang bergelombang kecil. Gerak perahu itu cepat meskipun melawan arus air.
Bahkan kelihatan bagaikan melesat membelah permukaan air. Yang mengejutkan, orang yang mendayungnya adalah seorang wanita muda berwaj ah cantik jelita, berpak aian kuning cerah. Rambutnya yang terg erai lepas tampak berkibar-kibar dihembus angin yang bertentang an dengan arah yang ditempuhnya. Tangannya kecil dan halus. Dan meski mengayuhkan dayungnya secara perlahan saja, tapi perahu itu mampu melaju cepat Di sebelah gadis berp akaian kuning itu duduk seorang kakek kurus laksana tengkorak, bertelanjang dad a. Dan dia hanya mengenakan celana panjang hitam sebatas bawah lutut. Tampak serat-serat celananya terjutai seperti akar gantung.
"Rasanya sudah tiba waktunya kau kembali pada orangtuamu, dan terjun ke dunia persilatan m engamalkan ilmu-ilmu yang dipelajari d ariku, Tungga Dewi," ucap kakek kurus berpipi cekung dan berambut tipis ini.
"Tapi, Guru," gadis berpakaian kuning yang dipanggil Tungga Dewi mencoba membantah, menandakan ketidaksetujuannya atas usul kakek kurus laksana tengkorak "Aku lebih suka tinggal bersama Guru. Guru sekarang sudah tua, lalu siapa yang akan merawat Guru apabila aku pergi"!"
"Ha ha ha...!" kakek kurus laksana tengkorak itu malah tertawa bergelak. Seakanakan hatinya meras a geli mendengar ucapan Tungga Dewi.
"Kau ini lucu, Tungga Dewi. Aku tidak perlu diurus. Apakah kau ingin sampai tua tinggal bersamaku. Menghabiskan umur di tempat yang jauh dari keramai an" Jangan bertindak bodoh, Tungga Dewi!"
"Tapi... aku tidak mau pergi, Guru!" Tungga Dewi berkeras dengan keputusannya.
"Tidak ada tapi-tapian, Tungga Dewi! Andaikata tidak mau, berarti kau tidak menjadi murid yang berbakti. Kau telah membantah perintah gurumu. Apakah kau ingin menjadi murid yang murtad"!" Dengan cerdiknya, kakek kurus laksan a tengkorak ini membuka sebuah masalah.
"Tentu saja tidak, Guru. Aku tidak ingin menjadi murid murtad.
Tapi...."
"Kalau begitu, pergilah. Dan, terjunlah ke dunia persilatan!" Tungga Dewi terdiam. Kakek laksan a tengkorak itu demikian pandai membuatnya tersudut. Dan mau tidak mau, peimintaan itu harus dipenuhi. Dengan pandang mata resah karena ras a berat untuk meninggalkan kakek laksana tengkorak ini, Tungga Dewi mengarahkan pandang an ke depan, ke hamparan di laut luas yang membentang di depan. Dan, seketika Tungga Dewi tersentak kaget.
"Guru...! Lihat...! Apakah yang mengapung di sana itu"!" hiding Tungga Dewi.
Ucap an Tungga Dewi memaksa kak ek kurus lak sana tengkorak yang sejak tadi duduk bermalas-malasan, melenggut di lantai perahu, mengarahk an pandangan ke arah yang ditunjuk muridnya. Sepasang matanya yang sejak tadi terpejam, terbuka. Luar biasa! Kakek yang k elihatannya seperti orang lemah itu, ternyata memiliki sepasang mata yang mendebarkan jantung. Mencorong tajam berwarna kehijauan seperti mata seekor harimau dalam gelap! "Sebuah peti...," kata kakek kurus laksana tengkorak dengan alis berkerut dalam.
"Tapi, mengapa tidak tenggelam ke das ar laut"! Mengapa bisa mengapung di permukaan air"! Aneh...!"
"Kita ambil ya, Guru"!" pinta Tungga Dewi, dengan sorot mata memancarkan keinginan besar.
Sepasang mata gadis itu seperti lekat dengan peti berwarna hitam mengkilat, tapi berukir indah ini. Dan peti itu terus mengapung di permukaan air, terbawa arus laut menghatnpiri perahu yang ditumpangi Tungga Dewi dan gurunya.
"Jangan sembrono, Tungga Dewi!" cegah kakek kurus laksana tengkorak, cepat "Aku meras akan ad a hal-hal yang aneh pada peti itu."
"Hal aneh apa, Guru"!" bantah Tungga Dewi.
"Aku yakin, tidak ada yang aneh deng an peti itu. Malah aku menduga keras kalau pen itu berisi harta karun atau kitab pusaka ilmu-ilmu silat tinggi!"
"Kau masih belum berpengal aman, Tungga Dewi!" tegur kakek kurus laksana tengkorak, bernad a halus.
"Kau tidak melihat kean ehannya, bisa kumaklumi. Ada dua keanehan peti itu, kalau kau ingin tahu."
"Apa saja kean ehan yang kau maksudkan, Gu ru"!" desak Tungga Dewi.
Tungga Dewi memang kelewat dimanja oleh gurunya. Sehingga gadis ini tidak sungkan-sungkan lagi untuk mengemukakan pend apatnya terhadap guru nya.
"Aku tidak melihat keanehannya sama sekali," gumam Tungga Dewi.
"Kau bukannya tidak melihat keaneh an itu, Dewi. Tapi benakmu telah tertutup keinginan untuk memperoleh peti itu. Bukankah demikian"!" Kakek kurus laksana tengkorak menatap wajah muridnya penuh selidik. Tapi Tungga Dewi tidak memberi sambutan sam a sekali. Meskipun demikian, di dalam hatinya menyadari keben aran ucapan gurunya. Diakui, memang ada dorongan kuat untuk segera mengambil peti itu.
"Kau tidak perlu heran, Dewi. Karena aku pun dilanda perasaan yang sama. Hanya peng alamanlah yang membuatku tidak langsung menurutinya. Tapi, memikirkan keaneh annya. Pertama, peti itu tidak tenggelam di dalam air. Padahal sepatutnya tenggelam. Kedua, ada dorongan kuat untuk segera mengambil peti itu. Dorongan yang mengingatkan aku pada keaneh an-k eaneh an ilmu gaib. Kalau pada manusia, ilmu itu dinamakan ilmu 'pelet'!"
"Lalu..., apa yang akan Guru lakuk an?" tanya Tungga Dewi. Dia telah pasrah, pada keputusan guru nya meski sepasang matanya tetap menyiratkan kei nginan berkobar-kob ar.
"Mengambil peti itu, tapi tidak dengan cara sembrono, Tungga Dewi," jawab kakek kurus laksana tengkorak setelah tercenung sejenak "Bagaimana menurutmu. Kau setuju"!" Cepat-cepat Tungga Dewi mengangguk Kakek kurus laksana tengkorak tersenyum lebar melihat kegembiraan Tungga Dewi.
"Kau tunggu di sini, Dewi. Aku akan mengambilnya. Ingat, hati-hati!" Byurrr! Belum juga pesan itu lenyap, air telah muncrat tinggi karena tubuh kakek kurus laksana tengkorak itu telah menusuk permukaan air laut.
"Guru...! Lihat..!" Tungga Dewi berseru keras, ketika melihat sebuah perahu yang lebih besar daripad a miliknya melaju cepat menuju arahnya. Sebuah dugaan bermain di benak Tungga Dewi. Jangan-jang an orang -orang yang berada di dalam perahu besar itu mempunyai maksud sama. Mengambil peti itu.
Kakek kurus laksana tengkorak itu tentu saja mendengar seruan muridnya. Meski tengah sibuk mengarungi lautan, melawan arus gelombang dengan beren ang, pendengarannya yang tajam menangkap seruan Tungga Dewi. Dan seben arnya s eruan itu tidak perlu, karena kakek ku rus laksana tengkorak ini pun sudah melihat adanya sebuah perahu yang lebih besar meluncur cepat ke arah peti! Kekhawatiran kalau pemilik perahu yang hadir itu mempunyai maksud sama, kakek kurus itu semakin mempercep at laju berenangnya. Dan ternyata, guru Tungga Dewi ini memiliki kemampuan renang luar bi asa, tak kalah dengan seekor ikan hiu. Tubuhnya begitu gesit menyibak permukaan air laut.
Kreppp! Begitu peti hitam berukir indah telah terpegang di tangan, secepat kilat kakek kurus laksana tengkorak itu kembali! Berenang dengan cepat menuju perahu yang ditinggalkan "Keparat! Pencuri Hina! Jang an lari kau...!" Sebuah seruan keras langsung terdengar ketika guru Tungga Dewi itu berenang secara cep at menuju perahu tempat muridnya berada. Dan sesaat kemudian, dari atas perahu-perahu yang baru tiba, meluncur tiga sosok tubuh yang langsung terjun ke dalam permukaan air laut.
Semula, kakek kurus laksana tengkorak tidak ambit peduli. Bahkan berkes an meremehkan, ketika melihat tiga sosok itu mengejarnya dengan beren ang. Namun keterkejutan langsung muncul, ketika melihat tiga sosok itu memiliki kemampuan renang yang mengejutkan! Kakek kurus laksana tengkorak menggerutukk an rahang ketika melihat jarakantara dirinya dengan tiga orang pengejarnya semakin dekat.
Hatinya merasa penasaran diyakini melihat kenyataan ini. Padahal ilmu renangny a tidak akan kal ah dibanding tiga orang pengejarnya. Tapi saat ini, dia berad a dalam keadaan tidak menguntungkan. Karena s ebelah tang annya digunakan untuk memegang peri hitam yang cukup besar, dengan panjang kurang lebih dari satu tombak. Sedangkan lebarnya kurang lebih setengah tombak. Dengan sebelah tangan yang hampir tidak berguna, kecepatan luncurannya j adi merosot jauh. Tak heran kalau tiga sosok pengej ar yang memiliki ilmu renang mengagumkan itu, mampu mengejarnya!
4
Ketika jarak para peng ejarnya semakin dek at, kakek kurus laks ana tengkorak itu tahu kalau tak akan lama lagi akan tersusul. Dan dia tidak menginginkan hal itu terjadi. Maka...."Dewi...! Tangkap ini...!" Seiring seruan itu, guru Tungga Dewi ini mengayunkan tangan yang memegang peti ke arah muridnya yang b erad a di perahu dengan p engerahan tenaga dalam. Tappp! Setelah beberapa saat peti hitam itu melayang-layang di angkas a, dengan pengerahan ten aga dalam, kedua tangan Tungga Dewi berhasil menangkapnya. Pada saat yang bersamaan, kakek kurus laksana tengkorak berbalik menghadapi para pengejarnya.
"Hey...!" Kakek kurus laksan a tengkorak ini berseru kaget ketika salah seorang pengej ar menjauhinya. Dan orang itu langsung berenang cepat menuju perahu Tungga Dewi. Kakek kurus ini berusaha menghadang, tapi maksudnya dihalangi dua sosok pengejar lainnya.
"Dewi...! Cepat pergi ke pantai...!" seru kakek itu sambil menghentakkan kedua tangannya yang terk epal ke arah dua pengejarnya yang menghadang maksudnya. Dua kali kedua tangan itu dihentakkan ke arah dua lawannya, maka seketika terdeng ar bunyi berkesiutan nyaring yang diikuti beberapa tetes air menuju sasaran. Kakek ini memang tengah melepaskan pukulan jarak jauh.
Pyarrr! Blarrr! Salah seorang pengejar rupanya tidak bersiap dalam menghadapi serang an. Namun dia segera menyelam, sehingga pukulan jarak jauh itu menghantam permukaan air. Seketika benda-benda cair itu pun bermuncratan ke udara. Sementara sosok yang satu lagi menangkis serangan itu dengan pukulan jarak jauh.
Blarrr...! Udara langsung berget ar hebat, akibat benturan dua pukulan jarak jauh. Tubuh kedua belah pihak pun terjengkang k e belakang, dan agak terbenam ke dalam air. Namun kakek kurus itu lebih beruntung. Dengan mudah, kekuatan yang membu at tubuhnya terlempar, berhasil dipatahk an.
Lalu, dia segera menyel am dan mendekati kedua p engejarnya. Dan kini pertarung an pun berlangsung semakin sengit.
Sementara itu, Tungga Dewi benar-benar dipaksa mengerahkan seluruh tenaga d alamnya untuk memacu laju perahunya secepat mungkin.
Untungnya, perahu itu sekarang dikemudikan pada tempat yang searah dengan arus angin dan g elombang laut. Sehingga, kayuhan tenag anya mendapat tambahan kekuatan yang tidak sedikit. Namun, pengejarnya benar-benar seo rang perenang luar biasa! Tubuhnya laksana ikan, cepat dan lincah bukan kepalang menyelinap di celah-celah gelombang air.
Tungga Dewi agak jadi kalap ketika melihat jaraknya dengan orang yang mengejarnya semakin dekat. Memang, kecep atan berenang orang itu jauh lebih cepat daripada laju perahu. Untungnya pantai sudah tidak begitu jauh.
Sosok pengejar Tungga Dewi menyad ari kead aan nya. Maka ketika timbul di dalam air, kedua tangannya langsung dihend akkan mel ancarkan pukulan jarak jauh! Tungga Dewi sejak tadi memang bersikap waspada. Dan dia juga mendengar bunyi mengaung dari belakangnya. Dia tahu, orang itu telah mengirimkan pukulan jarak jauh yang memiliki kekuatan tinggi. Maka segera diambil keputusan cepat, setelah melihat pantai sudah tidak jauh lagi.
Begitu pukulan jarak jauh hampir menghantam perahu, tubuhnya langsung melesat ke atas dan berputaran beberapa kali.
Brakkk! Perahu kecil itu langsung hancur berantakan, ketika pukulan jarak jauh pengejar Tungga Dewi telak menghantamnya. Tapi, Tungga Dewi sendiri sudah mendarat mantap di pasir pantai.
Tapi belum sempat Tungga Dewi berbuat sesuatu, mendadak terdengar bunyi berdesing nyaring. Tungga Dewi kaget bukan kepalang.
Namun di saat yang amat gawat itu, dia masih sempat menyelamatkan nyawa. Buru-buru kakinya digeser ke samping.
Takkk! "Akh...!" Tungga Dewi terpekik kaget ketika sebatang pisau merah darah yang meluncur ke arahnya, menghantam peti yang berada di atas kepalanya.
Keras bukan kepalang, sehingga peti itu sampai terlepas dari pegangan dan terbawa melayang ke belakang. Lalu, peti itu meluncur, jatuh berdebuk keras di pasir. Tungga Dewi tidak mau membiarkan peti jatuh ke tangan pengejarnya yang diyakini telah melep askan pisau mengan camnya. Maka, buruburu tubuhnya meluruk untuk mengambil peti yang sekarang telah tergolek di tanah.
Lagi-lagi Tungga Dewi harus membatalk an maksudnya. Karena sebelum berhasil mencapai tujuan, beberap a benda berkilat telah meluncur memotong jalannya. Apabila Tungga Dewi nekat meneruskan maksudnya, pasti benda-benda berkilat yang terdiri dan beberap a batang pisau merah darah itu lebih dulu menembus tubuhnya. Maka mau tidak mau g erakannya dihentikan.
Dan seketika kakinya melangkah ke belakang.
Sementara itu sesosok bayangan telah melesat ke arah peti yang masih tergolek di pasir pantai. Dan Tungga Dewi pun tidak membiarkannya.
Langsung diserangnya sosok bayangan yang tak lain pengeja-nya. Maka kini kedua orang ini terlibat dalam pertarungan sengit Maka kini di tempat itu terjadi dua kancah pertarung an. Hanya saja, yang satu berada di laut. Dan ternyata baik pertarung an antara Tungga Dewi maupun kakek kurus laksana tengkorak, berlangsung seimbang.
Kakek guru Tungga Dewi itu sebenarnya memiliki kepandaian lebih tinggi. Namun, karena dikeroyok, pertarungan jadi berjalan imbang. Namun, tingkat kepandaian k edua lawannya tidak setingkat. Yang b erkulit hijau memiliki kemampuan di bawah berkulit kuning.
Memang tiga orang pengej ar peti hitam mengkilat itu memiliki warna kulit aneh, tidak seperti umumnya manusia. Bahkan lawan yang dihadapi Tungga Dewi memiliki warna kulit merah! Pertarungan yang berlangsung di laut benar-ben ar membu at tenaga terkuras d an jantung berdet ak lebih cep at. Beberap a kali di saat tengah sibuk-sibuknya, muncul gelombang setinggi rumah yang membuat tubuh tiga orang sakti itu terbenam dan terbawa arus air beberap a saat. Hanya berkat tingginya kepandaian merekalah yang membuat selembar nyawa mereka selamat. Sementara itu pertarung an yang berlangsung antara Tungga Dewi melawan orang berkulit merah, berlangsung seru.
Apalagi, seperti kawan-k awannya, wajah dan sikapnya kas ar. Laki-laki berbaju rompi dan celan a pendek abu-abu itu, memiliki ilmu-ilmu aneh, tapi dahsyat. Dan Tungga Dewi pun harus berjuang keras untuk menghadapinya.
Yang lebih menggiriskan lawan Tungga Dewi ini memiliki senjata mengerikan ! Sebuah belincong. Namun Tungga Dewi juga menggunakan senjata yang tidak kalah anehnya, yakni sebatang dayung dari besi baja! Bunyi mengaung selalu mengiringi ayunan dayung yang berat itu.
Cringngng! Untuk yang kesekian kalinya, benturan antara senjata berat itu terjadi. Dan akibatnya Tungga Dewi kontan meny eringai. Tangannya terasa bergetar hebat dan terasa agak nyeri. Tungga Dewi sadar, tenaga dalam lelaki berkulit merah ini sedikit lebih besar. Untungnya, gadis berkulit kuning ini memiliki gerakan lebih cepat. Dan deng an kelebih an ilmu meringankan tubuh mili-nyalah membuat pertarungan seimbang.
Di lain pihak, karena senantias a dipukul gelombang menuju ke pantai, pertarungan yang terjadi di laut pun mulai bergeser ke pantai. Apalagi kakek kurus laksana tengkorak yang merasa khawatir akan nasib muridnya ini juga berusaha k eras untuk membuat p ertarungan berlangsung di dekat Tungga Dewi. Dan setelah berlangsung beberapa lam a, pertarung an kini benar-b enar tiba di pantai!
* * *
"Ha ha ha...!" Di saat dua kancah pertarungan tengah berlang sung sengit, meledak tawa keras membahan a, sarat dengan rasa gembira. Tapi, ternyata di dalamnya terkandung sesuatu yang mengerikan! Seakan-akan tawa itu keluar dari mulut makhluk halus, sehingga terdengar begitu aneh! Bagai ada kata sepakat sebelumnya, pertarungan yang tengah berlangsung kontan terhenti. Dan mereka sama-sama menoleh ke arah asal suara tawa. Bukan hanya pengaruh menyeramkan yang menyeb ar dari suara tawa, tapi juga karena getaran suara itu pula yang membuat seluruh tenaga dalam mereka lenyap.
Bahkan tulang-tulang dan otot-otot tubuh mereka terasa lumpuh, bagaikan dilolosi! Beberap a tombak dari tempat mereka berdiri, tampak seorang pemuda berwajah tampan berpak aian coklat. Dia tengah berdiri dengan kedua tangan berkacak pinggang. Tampakangkuh sekali. Wajah tampannya semakin menyolok dengan adanya sebaris bulu-bulu tipis halus di bawah hidungnya. Ketampanannya semakin memikat dengan tubuhnya yang kekar, berisi, dan padat! Seharusnya, Tungga Dewi, gurunya, dan tiga lelaki berkulit aneh tidak merasa takut sama sekali terhadap seorang secakap pemuda berkumis tipis itu. Tapi kenyataan mengatakan lain. Seketika bulu tengkuk mereka semua terasa meremang. Entah kenapa, mereka semua tidak tahu. Yang jelas, ada sorot mengerikan yang terpancar dari pemuda berkumis tipis itu. Tidak hanya dari sepasang m atanya yang menco rong kemerahan d an membiaskan sinar aneh, tapi juga pancaran aneh p ada sekujur tubuhnya. Sehingga menimbulkan kesan menyeramkan.
"Ha ha ha...!" Pemuda berkumis tipis kembali tertawa bergel ak.
"Mengapa kalian semu a terbengong bengong"! Ayo! Teruskan pertarungan kalian!" Suara itu membuat lima orang yang tadi bertarung sadar dari keterpaku annya. Merek a saling berpandang sejenak, dengan wajah merah padam.
Jelas perasaan mereka tersinggung. Memang, ucapan pemuda berku mis tipis itu kelewatan! "Begitukah anggapanmu, Pemuda Sombong"!" dengus kakek kurus laksana tengkorak ini "Sekarang, coba sambut serang anku!" Kakek kurus guru Tungga Dewi ini langsung menghentakkan kedua tangannya yang terbuka ke depan secara berb areng an. Maka seketika angin keras berhembus ke arah p emuda berkumis tipis. Kekuatan kakek ini memang telah pulih kembali. Demikian juga Tungga Dewi dan tiga lelaki yang memburu peti. Pemuda berkumis tipis menyeringai. Sebuah seringai mengandung sesuatu yang mengerikan. Kemudian, tangan kanannya dilonjorkan ke depan, dan digoyang-goyangkan. Lalu....
Blarrr! Seketika terdeng ar led akan k eras yang disusul terpelantingnya tubuh kurus itu ke belakang dan jatuh terduduk di tanah. Dadanya kontan terasa ses ak bukan kepalang. Bahkan sakit yang amat sangat meland a kedua tangannya, Kakek kurus guru Tungga Dewi ini bangkit dengan pand angan nanar. Dengan hati kaget dia melihat pemuda berkumis tipis itu tidak bergeming sama sekali. Dan ini membuatnya terkejut setengah mati. Selama malang melintang belasan tahun, dalam dunia persilatan, belum pernah dia mengalami kejadian seperti ini! Sungguh sukar dipercaya ad a orang semuda itu, mampu membuatnya terbanting dalam adu pukulan jarak jauh. Bahkan pemuda itu tidak bergeming sama sekali. Padahal, terlihat jelas kalau pemuda berkumis tipis itu seperti tidak mengerahk an tenaga sama sekali. Andaikata mengerahk an pun, hanya sekadarnya! "Ha ha ha...! Bagaimana, Nelayan Tenaga Gajah"! Masih mau melanjutkan pertarungan"!" ejek p emuda berkumis tipis sambil menatap kakek kurus laksana tengkorak dengan pandang mata penuh ejek an.
"Aku belum kalah!" jawab kakek kurus laksana tengkorak yang berjuluk Nelayan Tenaga Gajah, setengah berteriak.
Julukan itu melekat karena tinggalnya seb agian besar memang di air. Gerakannya pun bagai ikan saja. Dan sekarang tokoh yang merupakan salah satu datuk besar persilatan golongan putih ini marah bukan kepalang mendapat ejek an seperti itu. Dan kemarahan yang am at sangat membuatnya menerjang pemuda berkumis tipis dengan ilmu andalan. Tubuhnya langsung menggelinding ke tanah, dan langsung melenting seraya mengirimkan serang an dahsyat berupa pukulan kedua tang annya yang bertubi-tubi.
Namun pemuda berkumis tipis hanya tersenyum mengejek. Dengan masih bersikap memandang remeh, tangan kanannya dijulurkan dengan tapak menghadap ke depan, tepat ketika serangan Nelayan Tenaga Gajah hampir menyentuh tubuhnya.
"Hukh!" Nelayan Tenaga Gajah mengeluark an keluhan tertahan. Serangannya tertahan seb elum mencap ai sasaran. Bahkan tubuhnya berb alik kembali ke belakang, bagaikan membentur dinding yang tidak tampak.
Dengan keras datuk golongan putih ini jatuh di tanah dan terguling-guling ke belakang.
"He he he...!" Pemuda berkumis tipis hanya tertawa tawa melihat papakannya membawa hasil.
"Guru...!" seru Tungga Dewi penuh rasa kaget dan khawatir. Dan dengan rasa cemas akan kesel ama-an gurunya, gadis berpakaian kuning ini menghambur ke arah Nelayan Tenaga Gaj ah.
"He he he...!" Sementara pemuda berkumis tipis itu hanya tertawa terkekeh -kek eh. Sama sekali tidak dipedulikannya tiga lelaki berkulit warnawarni yang menatap ke arahnya dengan sinar mata ngeri. Sebagai tokoh silat berpengalaman, ketiga orang ini tahu kalau bukan tandingan pemuda berkumis tipis yang demikian sakti! Melihat betapa mudahnya Nelayan Tenaga Gaj ah dirobohkan, sudah bisa diperikirakan kalau mereka pun akan dapat dibuat serupa.
Sayangnya, tiga lelaki berkulit aneh ini tidak sigap segera bertindak.
Merek a baru merasa cemas ketika melihat tawa pemuda berkumis tipis mendadak terhenti, dan sekarang menat ap ke arah merek a dengan sorot mata penuh ancaman.
"Kalian membuat perutku mual!" Pemuda berkumis tipis lalu melambaikan tangannya dengan gerakan terlihat perlahan. Namun, mendadak saja tubuh ketiga lelaki berkulit aneh itu tertarik ke arah pemuda berpakaian coklat tanpa mampu menahan.
Karuan saja hal ini membuat tiga lelaki itu kaget bukan kepalang.
Dan sebelum tiga lelaki berkulit aneh ini sempat bertindak sesuatu, tangan pemuda b erkumis tipis bergerak m engibas. Maka sek etika tubuh ketiga lelaki yang sial itu terlempar ke belakang, melayang bag aikan sehelai daun kering yang terhembus angin keras! Rasa ngeri membuat mereka mengeluark an jeritan tertahan.
Di saat tubuh tiga lelaki berkulit warna-warni itu melayang, tangan pemuda berkumis tipis ini kembali bergerak melambai. Kali ini, giliran tubuh Tungga Dewi tertarik ke arahnya! Karu an saja, gadis yang telah tiba di dekat gurunya itu terkejut bukan kepalang! "Guru...! Tolong...!" teriak Tungga Dewi, keras.
Nelayan Tenaga Gajah yang baru saja berhasil bangkit menggeram keras melihat keadaan muridnya.
Maka tanpa mempedulikan keselamatan dirinya lagi, Nelayan Tenaga Gajah melompat menerkam pemuda berkumis tipis itu. Tindakannya mirip seekor garuda yang hendak menerkam mangsanya.
Tapi, lagi-lagi maksud kakek kurus laksana tengkorak ini kandas.
Hanya dengan mengibaskan tangan kiri, tanpa menurunkan tangan kanan yang tengah melamb ai-lambai menarik tubuh Tungga Dewi, pemuda berkumis tipis ini telah membuat tubuh Nelayan Tenaga Gajah kemb ali terlempar ke b elakang. Bahkan kali ini lebih jauh, laksana sehelai daun kering diterbangkan angin.
Tappp! Tubuh Tungga Dewi telah berhasil ditangkap pemuda berkumis tipis. Tanpa menunggu lebih lama lagi, tubuh gadis berpakaian kuning diletakkan di bahu kanannya. Sama sekali tidak dipedulikan jeritan Tungga Dewi.
"Lepaskan aku, Manusia Terkutuk...! Lepaskan...! Tolooong...! Guru..,! Tolong aku...!" Rontaan Tungga Dewi langsung mengendur ketika tangan lari pemuda berkumis tipis ini menotok bahu kanannya. Dan gadis ini hanya dapat berteriak minta tolong. Tapi, siapa yang akan menolong Tungga Dewi" Sementara, tubuh gurunya sendiri Nelayan Tenaga Gajah tengah melayang-layang di udara, tanpa mampu berbuat sesuatu untuk menghentikannya.
* * *
"Tolooong...! Lepaskan aku...! Manusia Keji...! Manusia Jahat...! Lepaskan aku...!" Sepanjang perjal anan saat dibawa lari pemud a berkumis tipis, Tungga Dewi tak henti-hentinya berteriak. Padahal, sekarang dia telah berad a jauh dari tempat semula.
"He he he...! Berteriaklah, Manis. Ingin kulihat, siapa yang dapat membebaskanmu dari tanganku, Karpala...! He he he...!" sambut pemuda berkumis tipis yang ternyata Karp ala ini, penuh kegembiraan.
"Aku yang akan membebaskannya...!" Dan mendadak saja terdengar suara keras menggelegar. Belum lagi gema suara itu lenyap, mendadak sesosok bayang an berk elebat. Sekejap kemudian, di depan pemuda bern ama Karpal a berdiri teg ak seorang pemuda berambut putih keperakan.
Sikap pemuda yang tak lain Arya alis Dewa Arak ini terlihat angker.
"He he he...!" Pemuda berkumis tipis tertawa bergelak. Kemudian tawanya berh enti mendadak sambil mendengus.
"Kau..."! Kau yang akan membebaskan nya"!"
"Benar! Aku yang akan membeb askannya!" tandas Ary a, tegas.
"Ternyata kau benar-benar manusia terkutuk! Menyesal dulu aku telah menolongmu dari tangan tiga orang pengejarmu! Kau ternyata orang yang memiliki watak hina!"
"He he he...!" Karpal a hanya tertawa terkekeh, kemudian menatap Arya penuh selidik dari ujung rambut sampai ujung kaki. Sepasang matanya yang berwarna merah darah tampak agak menyipit. Dahinya pun berkernyit dalam.
"Jadi..., rupanya kau tokoh yang berjuluk Dewa Arak..."! Tidak berlebihan julukan itu! Kau memang memiliki kepandaian tinggi, Arya Buana! Namamu, Arya Buana, kan"! Dan gurumu..., Ki Gering Langit"! Ayahmu, Tri Buana. Dan ibumu, Sani..."! Kau mempunyai kekasih putri angkat Raja Nalanda di Kerajaan Bojong Gading. Melati kan, namanya" Tapi, aku tahu kalau nama itu bukan nama aslinya. Bukankah dia bernama Seruni?" Sepasang mata Arya kontan terbelalak lebar. Mulutnya terbuka.
Andaikata saat itu ada lalat, mungkin tanpa sadar pemuda b erambut putih keperakan ini akan menelannya! Untuk pertama kalinya, Arya tidak bisa menyembunyikan gejolak perasaan yang mel anda hati, sehingga tampak pada wajahnya.
"Kau..., siapa kau..."! Dan dari mana kau tahu semua itu..."!" desak Arya dengan suara terb ata-b ata. Perasaan kaget telah membuat suara pemuda beram but putih keperakan ini bergetar.
Wajar saja kalau Arya terk ejut. Kalau orang tahu siapa dirinya, gurunya, dan ayahnya, dia tidak akan merasa heran. karena hampir semua tokoh persilatan yang telah cukup mengenalnya, tahu mengenai hal itu. Tapi asal-usul Melati, siapa Melati sebenarnya, dan nama ibunya Arya, tidak seorang pun yang tahu kecuali beberap a orang. Itu pun hanya orang-orang terdekat. Tapi, pemuda berkumis tipis ini ternyata mengetahuinya. Siapa sebenarnya pemuda ini" Paling tidak, dari mana dia tahu akan hal itu"! "Kau kaget, Dewa Arak..."!" tanya Karpala bern ada mengejek "Kau akan lebih terkejut lagi kalau aku menyebutk an secara jel as, siapa guru Melati. Bahkan asal-usulmu"!"
5
"Kau.... Kau pasti mengada-ad a...!" seru Arya, hampir berteriak karena peras aan kag et dan tidak percaya."He he he...! Karp ala tidak pern ah omong besar t anpa bukti, Dewa Arak! Kal au ingin bukti, baik segera kujelaskan! Guru Melati adalah Ki Julaga, dan tewas di tangan Ruksamu rka. Sedangkan k akek gurumu, Eyang Tapakjati, tewas di tangan Tiga Macan Lembah Neraka di Gunung Jawi. Kau sendiri merupakan keturun an terakhir dari Keraj aan Pulau Es. Kau cucu dari Sangga Buana. Sedangkan ayahmu, Tri Buana, tewas di tangan Siluman Tengkorak Putih! He he he...! Apa lagi yang ingin kau ketahui, Dewa Arak"! He he he...!"
"Ti... ti... tidak mungkin...! Tidak mungkin...! Mustahil...! Dari mana kau tahu semua itu, Keparat! Dari mana kau mengorek keterangan itu"!" desak Arya, dengan suara makin bergetar.
Beberap a kali pemuda berambut putih keperakan itu hanya mengulang-ulang perk ataannya. Dia terlampau kag et melihat kenyataan betapa Karpala tahu secara jelas semua riwayat keluarganya. Bahkan juga Melati.
Mungkin ada orang yang memberitahukannya. Kalau tidak demikian, dari mana"
"Aku..." Dari mana aku tahu semua itu..." Ha ha ha... Dewa Arak, bagi Karpala tidak ada perkara yang tertutup. Sekali lihat seseorang, aku tahu riwayat hidupnya! He he he...!" pemuda berpak aian coklat itu tertawa bergelak.
Sebuah tawa kemen angan melihat Arya dicek am kebingungan.
Cukup keras Karpala meng atakannya. Tapi, bagi Arya suara itu bagaikan berasal dari jauh hingga terdeng ar samar-sam ar sekali. Terlalu halus.
Bahkan sama sekali tidak tertangk ap otaknya. Ary a bag ai kehilangan akal melihat Karpala berhasil menelanjangi masa lalunya.
"Hey...! Pemuda berambut putih...! Bukankah kau ingin menolongku..."! Mengapa malah termenung seperti ayam tert elen telurnya sendiri..."!" tiba-tiba Tungga Dewi berteriak keras, membuat Arya tersadar dari ketermenung annya.
"Lepaskan gadis itu, Karpala! Kau tidak lebih dari seorang pengecut yang hanya berani menghadapi seorang wanita tidak berday a! Lep askan dia.
Dan, kita bertarung secara jantan! Ingin kubuktikan keheb atan tokoh yang telah bersesumbar demikian heb at!" tantang Arya, menyanjung sekaligus membanting "He he he...!" Karpala tertawa berg elak.
"Kau cerdik, Dewa Arak.
Kau pura-pura memuji dan mengangkat-angkat kebangg aan pada diriku untuk mengambil keuntungan. Aku tahu, kau bermain-main akal-akal an.
Tapi, sudah telanjur! Untuk membuktikan kalau aku bukan orang yang hanya berani terh adap wanita, dan juga untuk menghadapi tantang anmu secara jantan, biarlah aku rela ditipu!" Karpal a mengulurkan tangan, menepuk-nepuk tubuh Tungga Dewi.
Kelihatan sembarangan saja, tapi gadis berpakaian kuning itu merasakan tenagany a kembali pulih. Jalan darahnya mengalir lancar, setelah totokan atas dirinya telah punah! Kelegaan hati Tungga Dewi semakin berkobar ketika Karpala melemparkan tubuhnya, untuk memenuhi janji pada Dewa Arak. Tungga Dewi yang telah bebas dari totokan, tidak ingin tubuhnya terbanting di tanah.
Maka dengan menggunakan kelihaiannya, kedua kakinya mendarat di tanah.
Tanpa diberi penntah, Tungga Dewi menyingkir. Gadis ini telah bisa mengetahui kalau pertarung an antara kedua tokoh akan berlangsung. Dia tidak ingin terkena serangan nyasar.
Tungga Dewi sendiri telah lama mendengar nama besar Dewa Arak yang menggemparkan. Bahkan menurut gurunya, kepandaian pemuda itu lebih tinggi daripada gurunya. Maka gadis berpak aian kuning ini bisa membayangkan kalau pertarung an akan berjalan lebih menarik daripada ketika pertarung an antara Karp ala menghadapi gurunya.
Sementara, Dewa Arak langsung bersikap waspada, ketika melihat Karpal a telah membebaskan Tungga Dewi. Pemuda berambut putih keperakan ini langsung terkejut, saat melihat gerakan Karpal a yang jauh berbed a dengan s aat Ary a menyel amatkannya d ari kepung an tiga pemuda murid Perguruan Pedang Halilintar! Pandang mata Dewa Arak yang tajam segera dapat mengetahui kalau pemud a berkumis tipis yang berdiri di hadapannya memiliki kepandaian tinggi. Meskipun demikian, Dewa Arak belum yakin kalau belum membuktikannya sendiri "Lihat serangan...!" Arya memperingatkan untuk menunjukkan kalau p ertarung an telah siap dimulai. Sesaat kemudian, pemuda berambut putih keperakan ini telah melancarkan tusukan bertubi-tubi ke arah dada, ulu hati, dan pusar, menggunakan ujung-ujung jarinya.
"Hmh...!" Pemuda berkumis tipis mendengus dengan tarik an wajah d an sinar mata memancarkan kemarahan. Dan seketika tangan kanannya dikibaskan.
Akibatnya, tubuh Dewa Arak terjengk ang ke belakang, seperti menabrak sebuah dinding kasatmata. Hanya berkat kemampuannya yang tinggi, kekuatan yang membuat tubuhnya membalik berhasil dipatahkan.
Dewa Arak menatap wajah Karpala dari ujung rambut sampai ujung kaki. Pendekar muda ini tidak tergesa-g esa melakukan serangan susulan.
Sebagai tokoh besar dunia persilatan, dia tahu ada hal-h al aneh ters embunyi di sini. Memang agaknya Karpala b ertindak tidak jantan. Pemuda berkumis tipis itu tidak menghadapi serangannya secara langsung, tapi menggunakan ilmu gaib! Dan karena pernah mengalaminya sendiri, Arya jadi langsung mengetahuinya. (Untuk jelasnya silakan baca seri al Dewa Arak dalam episode: "Penganut Ilmu Hitam").
"Rupanya kau mahir menggunakan ilmu-ilmu gaib, Karpala!" tebak Arya dengan suara serak Diam-diam pemuda berpakaian ungu ini merasa bersyukur kalau tadi tidak menggunakan tenaga sepenuhnya dalam melancarkan serangan pertama. Dan itu didasari oleh ketidakyakinannya kalau pemuda berkumis tipis ini memiliki kepandaian tinggi. Bahkan, dia hanya menggunakan jurus yang ada dalam ilmu 'Sepasang Tangan Penakluk Naga'! "Kau ingin tahu lebih banyak, Dewa Arak!" balas Karp ala.
"Akan kutunjukkan yang lebih banyak. Tapi sayang, kemampuanku masih terbatas.
Tapi, tak lama lagi kau akan melihat kemampuanku yang sebenarnya! Dan kau akan terkejut karenanya. Karena, tidak ada seorang pun yang akan dapat mengalahkanku ! Apalagi, seorang tokoh hijau sepertimu! Ha ha ha...! Dan sedikit tambahan, kau jangan merasa bangga dengan bisa menebak kalau aku menggunakan kemampuan gaib, Dewa Arak. Itu hanya sebagian kecil saja! Lihat...! Aku menyerangmu...!" Kini sepasang mata Tungga Dewi pun terbelalak lebar ketika melihat pemandangan yang terlihat di depannya. Tampak Dewa Arak tengah sibuk sekali bergerak ke sana kemari. Beberapa kali, gerakannya seperti orang menangkis ataupun meng elak. Tapi, tak jarang pula seperti orang tengah melakukan s erang an. Yang membuat Tungga Dewi kaget adalah karena tidak ada lawan yang dihadapi Arya! Karpal a sama sekali tidak melakukan serangan. Dia hanya berseru keras seperti memberi peringatan, kalau sedang menyerang. Padahal, sejak tadi hanya berdi ri diam di tempatnya. Bahkan, pemuda berkumis tipis itu sempatsempatnya mengedipk an sebelah mata pada Tungga Dewi sambil menyeringai lebar! Semen tara b eberapa tombak di dep annya, tampak Dewa Arak yang tengah sibuk bertarung.
"He he he...! Apa yang tengah kau lakukan, Dewa Arak"! Siapa yang kau hadapi"!" Karpal a mengeluarkan seru an demikian, ketika Dewa Arak telah bertarung hampir dua puluh jurus menghadapi lawan yang tak terlihat. Napas pemuda berambut putih keperakan itu agak memburu karena, lawan semua yang dihadapi mengajaknya bertarung cepat dan dengan pengerahan tenaga dalam penuh.
Ucap an Karp ala membuat lawan semu yang dihadapi Dewa Arak mendadak lenyap. Maka seketika Dewa Arak mengh entikan perl awan annya dengan mata t ampak terb elalak seb entar. Dia m elihat, Karpal a berdiri seenaknya beberapa tombak darinya. Padahal, pemuda berkumis tipis itu tidak terlihat berpindah dari tempatnya bertarung. Tapi ketika melihat wajah Karpala yang tidak berpeluh seperti bayangan Karpala yang jadi lawannya langsung bisa disadari kalau untuk kedua k alinya berh asil dipengaruhi ilmu gaib.
Dua kali terkena pengaruh ilmu gaib Karpala, membuat Dewa Arak mulai was-was. Dia tidak yakin akan d apat menandingi, apalagi mengalahkan pemuda berkumis tipis ini. Dan apabila kalah, itu berarti keselamatan Tungga Dewi teran cam! "Lebih baik kau pergi dari tempat ini, Nisanak. Dia terlalu lihai.
Bukan tidak mungkin aku akan kalah di tangannya. Mumpung itu belum terjadi, lebih baik segera pergi tinggalkan tempat ini!" Tungga Dewi hampir terlonjak kaget mendeng ar pering atan seperti itu di telinganya. Dia tahu, suara itu milik Dewa Arak. Dari suara itu memang telah dikenalnya sewaktu pemuda berambut putih keperakan ini terlibat percakap an dengan Karp ala. Tapi, mungkinkah itu" Padahal, jelas-jelas terlihat kalau bibir pemuda berp akaian ungu itu tidak bergerak sama s ekali.
Bukankah orang yang mengirimkan suara dari jauh, mulutnya akan berkemak -kemik"! Tapi, mengapa Arya tidak sama sekali"
"Tunggu apa lagi, Nisanak"!" Kembali suara Dewa Arak mengaung di pinggir telinga Tungga Dewi.
"Apakah kau ingin tertangkap olehnya lagi" Ingat! Apabila itu terjadi, aku tidak akan sanggup untuk membebaskanmu. Carilah kesempatan di saat aku akan membuatnya sibuk!"
"Hih...!" Tungga Dewi melihat Dewa Arak menghentakk an kedua tangannya ke arah Karp ala. Meski jaraknya agak jauh, gadis berpakaian kuning ini merasak an ada-nya hembusan angin panas menyebar ke tempatnya berdiri.
Dan gadis ini jadi takjub bukan kepalang, melihat kedahsyatan serangan jarak jauh Dewa Arak. Hanya saja, dia tidak tahu kalau sebenarnya Dewa Arak telah menggunakan ilmu 'Belalang Sakti', dalam jurus 'Pukulan Belalang'! Dengan sikap tenang, Karpala menjulurkan tangan kananya ke depan, sedikit lebih tinggi dari kepala. Kemudian, tangan itu digerakkan mendatar ke kiri sejauh setengah tombak. Lalu, digerakkan ke bawah, mendatar lagi k e kanan, dan n aik ke atas. Pemuda berkumis tipis ini seperti tengah membuat empat persegi panjang di depan tubuhnya. Kemudian....
Blammm! Dewa Arak kontan terperanjat ketika melihat pukulan jarak jauhnya meluncur kembali ke arahnya. Deru angin keras berhawa panas menyengat langsung mendahului menyambar, sebelum serangan itu sendiri tiba. Ya! Pukulan jarak jauh Dewa Arak berb alik seperti menghantam dinding karet yang kasat mata! Dewa Arak telah tahu kedahsyatan pukulan jarak jauhnya, dan tentu saja tidak ingin jadi korban. Maka Arya segera melompat ke atas, sehingga pukulan jarak jauhnya yang berbalik meluncu r lewat di bawah kakinya, langsung menghantam sebatang pohon besar hingga tumbang dan hangus seperti tersambar petir! "He he he...! Sebuah ilmu pukulan jarak jauh yang hebat, Dewa Arak! Akan berakibat menggiriskan. Bahkan menjadi pembicaraan hangat di dunia persilatan, apalagi yang menj adi korban ad alah tuannya sendi ri!" ejek Karpal a. Dewa Arak tersenyum pahit. Sama sekali tidak dipedulikannya ejekan lawannya, sungguhpun terasa panas hatinya.
"Kau telah meny erang s ebanyak dua kali, Dewa Arak. Tapi, aku baru sekali.
Maka aku masih mempunyai kesempatan untuk menyerangmu sekali. Bersiaplah, Dewa Arak!" Dewa Arak merasakan detak jantungnya memukul lebih cepat.
Hatinya terasa tegang bukan kepalang. Pemuda berambut putih keperakan ini sudah bisa memperkirakan kedahsyatan serangan yang akan dikirimkan Karpal a! Tapi belum juga pemuda berpakaian coklat itu menyerang....
Cring, cring, cring! Mendadak terdengar bunyi bergem erincing nyaring. Tidak terlalu keras. Tapi karena saat itu tengah dilingkupi kesunyian, bunyi itu jadi terdengar jelas.
Dan Arya s ama sekali tidak mempedulikan bunyi itu. Perhatiannya tengah terpusat pada serang an yang akan dilancark an Karpala. Dan memang, Dewa Arak tidak berani berl aku sembrono terhad ap seorang lawan seperti Karpal a yang diketahuinya banyak memiliki ilmu gaib.
Namun, tidak demikian halnya Karpal a. Begitu mendengar bunyi berkerincingan tadi, wajahnya kontan berubah hebat. Dan Arya yang bermata tajam langsung melihatnya. Ternyata wajah Karpala berubah pucat pasi! Sinar matanya pun meliar, menampakkan kegelisahan yang sangat.
"Rupanya kau masih beruntung, Dewa Arak! Nyawamu tidak jadi melayang hari ini! Aku masih mempunyai urusan yang jauh lebih penting daripada ini!" Setelah berkata demikian, Karpala melesat meninggalkan tempat itu. Hanya dalam beberapa kali lesatan, tubuhnya telah begitu jauh dan lamakelam aan lenyap ditelan keremangan hutan.
"Hhh...!" Arya menghembuskan nap as antara lega dan kecewa. Di satu sisi dia merasa berp antang untuk memaksa seorang lawan yang tidak mau bertarung. Dan di sisi lain ada perasaan bersyukur di hati Arya, melihat Karpal a pergi. karena Dewa Arak sendiri memang tidak yakin akan mampu menghadapi tokoh yang menggiriskan itu.
* * *
"Mengapa kau masih di sini, Nisanak"! Apakah kau tidak tahu betapa berbah ayanya" Kalau aku kalah, apalagi tewas oleh Karpala, kau akan kembali menjadi tawanan!" tegur Arya, ketika melihat Tungga Dewi masih berdiri di situ.
"Aku bukan seorang pengecut yang tega meninggalkan penolongku menghadapi bahay a sendirian! Ap abila kau mati, aku tidak ingin hidup! Pantaskah aku melarikan diri, padahal orang yang menolongku berjuang matimatian! Bagi guruku, dia akan marah besar padaku !" sambut Tungga Dewi, mantap.
Perasaan mendongkol di hati Arya yang tadi sempat timbul meski hanya sedikit, langsung menguap. Sikap Tungga Dewi yang ksatna itulah yang menyebabkannya demikian. Ternyata, Tungga Dewi adalah seorang gadis yang tahu berterima kasih! Seorang gadis berjiwa ksatna yang sudah pasti merupakan seorang murid tokoh besar persilatan! "Kurasa tidak demikian, Nisanak. Aku tidak yakin kalau gurumu akan marah. Sebagai seo rang tokoh besar, beliau pasti berpikir panjang.
Tidak ada gunanya terus melawan, kalau kenyataan musuh jauh lebih kuat.
Itu bukan pengecut namanya, Nisanak. Tapi, bijaksana! Justru kalau melawan terus, akan meng akibatkan kem atian sia-sia!" kilah Ary a sambil tersenyum lebar. Sikap Tungga Dewi yang keras hati, mengingatkannya akan sikap Melati, kekasihnya.
"Namaku Tungga Dewi, Dewa Arak. Kurasa lebih baik kau panggil namaku saja," pinta Tungga Dewi sambil menyebutkan namanya.
"Dan..., dari mana kau bisa tahu kalau guruku seorang tokoh besar"!"
"Melihat sikapmu, Ni... eh! Dewi. Kalau muridnya bersikap demikian ksatria, tentu mempunyai seorang guru yang ksatria pula. Boleh kutahu nama atau ju lukan beliau" Namaku sendiri, Arya. Ary a Buana. Jadi, kau tidak perlu memanggilku Dewa Arak lagi."
"Nah! Begini kan lebih baik, Dewa... eh! Arya," celetuk Tungga Dewi gembira.
"Oh ya, guruku sering membicarakan dirimu dengan penuh kebanggaan. Beliau mengagumimu. Bahkan beliau menyuruhku agar bersikap sepertimu. O ya, beliau berjuluk Nelayan Tenaga Gajah."
"Ah...! Kiranya kau murid tokoh sakti yang pandai renang itu, Dewi"!" desah Arya kag et "Kau mengenal guruku, Arya?" tanya Tungga Dewi, gembira melihat tanggapan pemuda berambut putih keperakan itu.
"Mengenalnya sih, tidak. Tapi, nama besar gurumu telah lama kudengar. Bukankah beliau, merupakan salah satu di antara datuk-datuk dunia persilatan waktu itu" Maksudku, puluhan tahun lalu" Kalau tidak salah, dua puluh tahun yang lalu gurumu telah mengukir nama besar dalam dunia persilatan. Bahkan sampai sekarang, julukannya masih berg aung. Beliau ditakuti dan disegani tokohtokoh dunia persilatan, terutama dari golongan hitam," kilah Arya.
"Julukan beliau masih terkenal. Padahal, tokoh-tokoh besar dua puluh tahun yang lalu, sebagian besar tidak terdeng ar n amanya lagi. Ng..., Guraksa dan Kuru San ca.
Mereka ad alah dua di antara datuk-datuk yang telah tidak terdengar nam anya lagi."
"Guruku juga pernah b ercerita tentang dua tokoh itu, Arya. Tapi, menurut cerita beliau, Guraksa dan Kuru Sanca adalah tokoh..., maksudku datuk golongan hitam," bantah Tungga Dewi, bermaksud memperbaiki.
"Apa yang dikatakan gurumu memang benar, Dewi. Aku juga mendengarnya demikian," sahut Arya menganggukkan kepala.
Tapi, mendadak pemuda itu tersentak kag et, sehingga membuat Tungga Dewi merasa heran karenanya. Dan sebelum, gadis berpakaian kuning ini berkata apa-apa, Dewa Arak telah lebih dulu menatapnya.
"Mengapa aku demikian pelupa"!"
"Ada apa, Dewa Arak"!" tanya Tungga Dewi melihat sikap Arya, membuat gadis itu lupa, sehingga menyapa Arya deng an julukan.
"Bunyi kerincingan itu," jawab Arya sambil meng arahkan pandangan ke sekitarnya.
Tapi, di sekitar tempat itu tidak terlihat apa-apa. Bahkan bunyi kerincingan itu sudah tidak terdengar lagi. Percakap an dengan Tungga Dewi membuatnya tidak ingat akan bunyi kerincingan.
"Kau tadi mendengar bunyi itu, Dewi"!" tanya Dewa Arak.
Tungga Dewi mengangguk.
"Memang kenapa, Arya?"
"Kau tidak tahu"!" tanya Arya setengah tidak percaya.
"Bunyi kerincingan itulah yang membuat Karpala melarikan diri! Dia takut pada bunyi kerincingan itu!"
"Ah..., begitukah"!" Tungga Dewi kaget "Kalau begitu..., kita berpisah di sini, Dewi. Aku ingin mencari pemilik kerincingan itu. Ingin kusingkap mengapa Karpala yang demikian sakti, kelihatannya memendam rasa takut terhadap bunyi itu. Siapa gerangan tokoh yang memakainya."
"Aku ikut, Arya," celetuk Tungga Dewi cepat.
"Tapi...," Arya mencoba menolak.
"Jangan khawatir, Arya!" selak Tungga Dewi.
"Aku bisa menjadi diri! Percayalah.
Aku tidak akan merepotkanmu! Lagi pula, siapa tahu dalam perjalan anku bertemu guruku. O, ya. Kau belum tahukan kenapa aku bisa ditangkap Karpal a"!" Terpaksa Arya menggel eng.
"Kalau begitu, aku akan menceritakannya sambil kita mencari pemilik kerincingan itu. Bagaimana" Kalau kau tidak sudi melakukan perialan an bersamaku sih tidak apa-ap a."
"Tapi, Dewi... Mungkin arah kita akan berlawan an. Dan...."
"Kau menempuh arah mana, Arya"!" selak Tungga Dewi, cepat.
Sama sekali tak dipedulikannya ucapan pemud a berp akaian ungu itu yang belum selesai.
"Utara...," jawab Arya, setelah tercenung sejenak "Kalau begitu kita sama!" sambut Tungga Dewi, dengan wajah berseri.
"Tentu saja aku tidak akan memaksamu untuk terus bersama, Ary a.
Begitu bertemu pemilik kerincingan yang kau maksud, dan jika nanti arah yang kita tuju berbeda, kita berpisah. Bagaimana"!" Arya mengeluh dalam hati. Gadis berpakai an kuning ini memang terlalu pintar untuk membuat orang terpojok. Tentu saja sekarang, Arya tidak mempunyai alasan untuk menolak. Toh, kebetulan mereka menempuh arah perjalan an yang sama.
"Kalau begitu, mari kita bergegas, Dewi. Aku khawatir, pemilik kerincingan itu telah pergi jauh," ujar Arya.
Sesaat kemudian, Arya dan Tungga Dewi telah melesat meninggalkan tempat itu. Dewa Arak yang semula merasa khawatir kalau dengan adanya murid Nelayan Tenaga Gajah itu perjalanannya akan terhambat, menjadi besar hatinya ketika mengetahui Tungga Dewi benar-benar membuktikan tekadnya. Gadis ini ternyata memiliki ilmu meringankan tubuh yang telah tinggi, sehingga Arya tidak terlalu banyak mengurangi kecepatan larinya.
6
Arya memang seorang pendek ar muda berpengalam an. Maka meski hanya mendengar sebent ar, dia bisa memperkirakan asal bunyi kerincingan tadi.Dan, ke arah mana menghilangnya. Tak heran kalau tak lama kemudian, bunyi kerincingan itu kini sudah terdengar lagi di depannya. Memang masih samar. Tapi telah cukup membesarkan hati kalau arah yang ditujunya sudah benar.
"Kita berhasil, Arya," ujar Tungga Dewi yang berlari di sebelah kiri Arya.
Nada suara gadis itu menyiratkan kegembiraan besar, tapi mengundang iba pemuda berpakaian ungu itu. Deru napas yang hebat, menjadi pertanda k alau sejak tadi Tungga Dewi berlari sampai di batas terakhir kemampuannya. Hal ini membuatnya cepat lelah. Tapi yang membuat hati Arya kagum, tidak sedikit pun Tungga Dewi menampakkan kelelahannya. Apalagi sampai mengeluh! Murid Nelayan Tenaga Gajah ini memang membuktikan ucapannya, kalau tidak akan merepotkan Dewa Arak.
Rasa iba itulah yang membuat Arya mengendurk an kecepatan larinya sedikit agar Tungga Dewi tidak mengerahkan kemampuannya. Toh sampai habis, bunyi kerincingan itu sudah terdengar, bahkan semakin jelas.
Dan berarti, jejak pemilik kerincingan itu sudah diketahui.
Namun, kini bunyi kerincingan itu sekarang sudah tidak terdengar lagi. Sehingga membuat Arya ag ak gelisah. Meski demikian, kecepatan larinya tetap tidak ditambah. Arah yang dituju adalah tempat yang tadi terdengar bunyi kerincingan terakhir kali.
Di saat Arya hampir putus asa, bunyi kerincingan itu terdengar lagi.
Bahkan jauh lebih nyaring, pertanda jaraknya telah dekat Arya dan Tungga Dewi sampai berpandang an saking gembiranya. Dengan semangat baru yang kembali muncul, sepasang anak muda ini mengayunkan k aki ke arah asal bunyi kerincingan tadi. Lagi-Iagi bunyi kerincing an itu lenyap. Tapi, Arya dan Tungga Dewi tidak kebingungan lagi, karena tel ah mempunyai patokan untuk mengejar. Dan sebent ar kemudian, sepasang an ak muda berwajah elok ini telah melihat sesosok tubuh di kejauhan, berjarak tidak kurang dari dua puluh tombak Meski jarak masih cukup jauh dan sosok itu berdiri memunggungi, Dewa Arak dapat memperkirakan kalau sosok itu ternyata seorang perempuan tua. Pakaiannya sederh ana bercorak kembang-kemb ang.
Rambutnya yang putih campur hitam tampak digelung ke atas. Dan kini jelas terlihat oleh Arya.
Sosok berpakaian kembang-k embang yang diduga Ary a seorang perempuan tua itu, tengah berdiri di depan sekumpulan tan aman sambil bersen andung. Kedua tang annya yang k eriput dan kecil, memetiki beberapa tumbuh tumbuhan di depannya dan dimasukkan ke dalam keranjang kecil di pergelang an tangan kirinya. Terkadang yang diambil pucuk daunnya, buahnya, dan tidak jarang kulit pohonnya.
Hanya sek ali lihat Dewa Arak bisa menduga kalau sosok yang diduga seorang perempuan tua itu tengah mencari tumbuh-tumbuhan yang dapat dijadikan sebagai ramuan pengob atan.
Beberap a tombak sebelum Arya dan Tungga Dewi tiba di dekatnya, sosok berpakaian k embang-k embang itu berbalik. Kedatangan Dewa Arak dan murid Nelayan Tenaga Gajah itu rupanya telah didengarnya.
Sosok berpakaian kembang-k embang yang ternyata benar seorang nenek itu, tersenyum. Sehingga mulutnya yang keriput memperlihatkan barisan gigi yang sudah tidak bergigi lagi.
"Maafk an kalau kami mengganggumu, Nek," Arya buru-buru angkat bicara sambil tersenyum lebar.
Pemuda berambut putih keperakan itu khawatir kal au nenek berpak aian kembang itu menduga yang tidak-tidak. Maka buru-buru mendahului.
"Tapi, percayalah. Kami tidak memiliki maksud jelek," sambung Dewa Arak.
"Benar, Nek," timpal Tungga Dewi.
"Kami tidak bermaksud jelek.
Namaku Tungga Dewi. Dan ini kawanku, Arya. Tapi, julukannya di dunia persilatan tidak main-main lho, Nek"!"
"Ah...! Kawanku ini memang gemar becanda, Nek," potong Arya buru-buru.
Dewa Arak khawatir, Tungga Dewi akan segera memperk enalkan julukannya. Tungga Dewi memang mirip Melati, gemar bertindak gegabah dan suka menonjolkan diri. Tapi anehnya, Arya yang selalu ditonjolkan! Bukan diri gadis itu sendiri. Padahal, bukan tidak mungkin kalau sikap gegabahny a akan membawa Arya pad a permusuhan yang tidak diinginkan.
Siapa tahu, nenek berpakaian kembang -kembang itu mempunyai hubungan dengan tokoh sesat yang pernah tewas di tangan Arya. Misalnya! "Hi hi hi...!" Nenek berpak aian kemb ang-kemb ang itu tertawa. Terlihat lucu, karena sudah tidak memiliki gigi lagi. Bahkan suaranya terdeng ar an eh di telinga.
"Kawanmu itu tidak bercanda, Nak Ary a. Siapa sih, yang tidak kenal Dewa Arak yang telah membuat kolong langit geger"! Hi hi hi...! Selamat bertemu deng anku, Dewa Arak. Kau m emang telah kutunggu-tunggu," kata nenek itu.
Arya kontan melongo. Sambutan nenek berpakai an kembang-kemb ang itu sama sekali tidak disangka-sangka. Sehingga, membuatnya kebingungan. Bahkan Tungga Dewi pun agak heran. Hanya saja karena sikap lincahnya, perasaan itu cepat terusir.
"Agar kedudukan kita sama lebih baik kuperken alkan diri. Namaku Lestari, Arya.
O, ya. Berbicara sam bil berdiri tidak enak. Lebih baik kita berbicara di sana saja. Tanpa memberi kesempatan pada Ary a atau Tungga Dewi untuk memberikan tanggapan, nenek yang mengaku bernama Lestari mengayunkan kakinya menuju sebatang pohon besar. Dan kebetulan, pohon itu mempunyai akar yang menonjol keluar dari dalam tanah. Tempat yang dipilih Nenek Lestari ini ternyata cocok untuk duduk sambil berbincang-bincang.
Arya dan Tungga Dewi saling berpand angan, sebelum akhirnya mengikuti kemauan Nenek Lestari. Sebentar kemudian, ketiga orang ini telah duduk bersama di atas akar pohon itu.
"Aku belum mengerti maksud ucapanmu tadi, Nek. Bisakah kau menjelaskannya"!" pinta Arya, setelah memberi kesempata nenek berpakaian kembang itu untuk beristirahat sejenak.
"Masalah penjel asan urusan gamp ang, Arya!" jawab Nen ek Lestari bernad a merem ehkan.
"Yang penting sek arang, katakana maksud tujuanmu, Arya. Apalagi bersama Tungga Dewi ini. Aku yakin, kau tidak kebetulan saja berad a di sini. Apakah kau memang bermaksud menemuiku"! "
"Memang begitu, Nek," sahut Arya mengangguk.
Lalau Dewa Arak menceritakan semua kej adian yang dial ami bersama Tungga Dewi. Tentu saja, tentang cerita mengen ai Tungga Dewi yang dilarikan Karpala sejak bers ama Nelay an Tenaga Gajah tidak diceritakan. karena, gadis berpakaian kuning itu sendiri baru saja menceri akannya pada Ary a.
Dan lagi, Arya meras a tidak berhak menceritakannya.
"Seorang pemuda berkumis tipis"!" ulang Nenek Lestari, ketika Arya telah meny elesaik an ceritanya.
"Dia takut mend engar k erincinganku"! Aneh! Kau tahu, mengapa Arya?"
"Tidak , Nek!" sahut Arya, menggelengkan kepala.
"Karena ingin tahu jawab annya itulah aku ingin menemuimu, Nek. Kupikir, kau mengetahuinya. Dia sakti bukan kepalang, Nek. Maksudku, ilmu-ilmu gaibnya. karena, ilmu silatnya kulihat belum digunakannya"
"Kau membuatku pusing,Arya, " gumam Nenek Lestari bernada mengomel, tapi tidak marah.
"Mana mungkin ada seroang tokoh muda takut hanya karena mend engar bunyi kerincinganku" Padah al, aku tidak pernah mengukir nama besar dal am dunia persilatan dengan sep ak terjangku seperti yang kau lakukan misalnya. Dan lagi..., sepengeetahu anku kerincingan ini..., maksudku... memang untuk menakut-nakuti seseorang. karena, kerincingan ini telah dikelilingi pamor sedemikian rupa, sehingga membuat seorang tokoh akan lemah tenaganya. Hilang kemampuannya.
"
"Jangan-jang an, karena itulah pemuda berpak aian coklat itu melarikan diri.... Namanya... ah! Mengap a mendadak aku lupan namanya"! " Arya menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
"Kau ingat nama pemuda berkumis tipi situ, Dewi! " Tungga Dewi melengak. Sepasang alisnya dikerutkan dalam-dalam, dalam upayanya berpikir keras untuk mengingat-ingat nama itu. tapi, seperti juga Arya, di tidak ingat sama sekali.
"Entahlah, Arya. Tadi, aku memang ingat betul. Dan entah mengapa mendadak lupa.
Padahal, aku bukan sejenis orang pelupa lho"!" sahut Tungga Dewi tampak kebingungan sekali.
"Sudahlah! Kalau tidak ingat, tidak usah terlalu dipikirkan. Lagi pula, siapa yang ingin mengetahui namanya" Hanya saja, perlu kutekankan sekali lagi, Arya.
Kerincingan ini ialah benda peninggalan leluhurku yang kudapat dari ayahku.
Kalau tidak salah, kerincingan ini sudah berumur hampir lima ratus tahun. Dan kerincingan ini dibuat memang untuk melumpuhkan seseorang yang memiliki ilmu-ilmu menggiriskan. Tidak ada suatu kekuatan pun yang dapat membunuh atau melumpuhkannya, kecuali kerincingan ini. Tapi benda ini pun hanya mampu melumpuhkannya seb entar. Jadi, singkatnya orang itu tidak bisa dibunuh!" jelas Nenek Lestari.
Pandangan Arya dan Tungga Dewi tanpa sadar beralih ke kerincingan yang melilit pergelangan tangan dan kaki Lestari. Kerincingan itu mirip gelang tangan dan gelang kaki. Hanya saja tersusun dari logam kosong sebesar mata, di dalamnya berisi baja bulat kecil padat. Setiap kali tangan dan kaki itu bergerak, kerincingan pun berbunyi nyaring. Dan sepasang anak muda ini jadi takjub, setelah mengetahui kerincingan itu telah berumur lima ratus tahun.
"Bisa kau ceritakan tokoh yang luar biasa itu, Nek"!" tanya Arya, makin tertarik. Sementara dal am hati, Dewa Arak tidak percaya kal au ada seo rang manusia yang tidak bisa dibunuh. Mustahil! Arya yakin, setiap ilmu ada kelemahannya.
"Baiklah. Kalau tidak kuceritakan, kalian akan t erus penasaran.
Sekarang, dengark an baik-baik." Nenek Lestari termenung sejen ak. Diingat-ingatnya cerita yang akan diuraikan pad a Arya dan Tungga Dewi.
Cerita yang didengar dari mulut leluhurnya.
"Sekitar lima ratus tahun yang lalu, di dunia persilatan merajalela seorang tokoh hitam yang keji dan ganas. Setiap hari, selalu jatuh korban pembunuhan, tidak peduli laki atau perempuan. Kalau tidak salah, malah jumlahnya lebih dari lima puluh orang. Yang jelas, dia membutuhkan sepuluh tong besar darah yang segar untuk dituangkan ke dalam lubang di sebuah gunung. Sayang aku lupa nama gunung itu." Arya dan Tungga Dewi saling berpandang dengan tengkuk meremang. Tokoh hitam itu pasti tidak waras! Nenek Lestari tidak mempedulikan kedua anak muda itu. Setelah menelan ludah untuk membasahi tenggorok an yang kering, ceritanya dilanjutkan.
"Dunia persilatan g eger. Para tokoh golongan pu tih angkat senjata, bersep akat untuk melenyapkan sumber kek ejian itu. Tapi, tokoh keji itu ternyata memiliki kepandaian luar biasa. Banyak tokoh pendekar yang bermaksud baik itu roboh di tangannya. Tewas, dan kemudian menjadi tambahan darah yang dibutuhkan. Bisa kau perkirakan, Arya, Tungga Dewi.
Sekali tokoh keji itu turun tangan, penduduk satu desa langsung lenyap.
karena, merek a semua dibantai dan darahnya ditampung dalam sepuluh tong.
Hanya dalam beberapa minggu, ribuan orang telah menjadi korban tindakan kejinya.
Tapi tokoh-tokoh pendekar ini tidak membuat putus asa.
Merek a mencari tahu, mengapa tokoh keji itu melakukan tindak kebiadaban demikian. Kemudian Nenek Lestari menghentikan ceritanya sejen ak suasana jadi hening. Sepertinya, Dewa Arak dan Tungga Dewi tengah membayangkan, betapa menggiriskan tokoh keji itu.
"Ternyata tokoh keji itu seorang pengabdi dan pemuja s etan! Penguasa gunung yang tadi aku lupa nam anya. Dan korb an-ko rban darah sepuluh tong itu diperuntukkan sebagai persembahan, agar dia diberikan ilmu kepandai an tinggi. Dan kenyataannya, tokoh itu memang memiliki kepandai an tinggi! Dan tidak masuk akal! Dia mampu menget ahui segala sesuatu mengenai seseorang, hanya sekali lihat saja. Tahu keluarganya, asal-usulnya, guru, ilmu-ilmu yang dimiliki, dan kelemahannya! Di samping itu, dia memiliki banyak ilmu gaib dan kesaktian lain. Bahkan juga tidak mempan segala macam senjata, walau senjat a itu terkenal ampuh menangkal ilmu-ilmu hitam! Pokoknya, tokoh keji itu merajalela tanpa tertandingi," 'Tunggu sebentar, Nek!" selak Arya ketika Nenek Lestari menghentikan cerita.
"Hmmm...!" Nenek berpak aian kembang-k embang itu hanya bergumam pelan sebagai sambutannya.
"Pemuda berpakai an coklat yang kuceritakan tadi juga memiliki kemampuan seperti yang kau utarakan itu, Nek. Dan mampu menebak asal-usulku. Bahkan semua yang berhubungan denganku!" tutur Arya, dengan jantung berdetak ken cang.
"Benar, Nek!" ucap Tungga Dewi membenark an.
"Aku mendengarnya!" Raut wajah nenek berpak aian kembang-k embang berub ah hebat.
Terlihat jelas adanya kekhawatiran di sana.
"Sampingkan dulu masalah itu! Kita teruskan cerita sebelum aku lupa!" ujar Nenek Lestari. Terdengar agak bergetar suaranya. Bahkan bibirnya pun bergetar.
"Beberapa tokoh golongan putih yang terkenal di masa itu, tanpa mengenal lelah berusaha men cari cara melenyapkan tokoh keji itu.
Perguruan-p ergu ruan besar mengutus muridnya untuk mencari pertapa-pertapa sakti yang memiliki ilmu gaib, untuk dapat digunakan menghadapi ilmu gaib tokoh keji itu. Tapi, semuanya hancur berantakan.
Merek a semuanya tewas. Bahkan dukun-dukun ahli kebatinan diminta bantuannya mencari ilham, untuk mengetahui kelemahan ilmu tokoh keji itu.
Tapi, sekali lagi mereka semuanya tewas secara mengerikan!" Arya mengerling Tungga Dewi. Tampak wajah gadis berpakaian kuning itu menyiratkan kengerian. Sementara pemuda berambut putih keperakan ini pun merasakan betap a dahsyatnya kepandai an tokoh keji itu, meski hanya dari cerita Nen ek Lestari.
"Akhirnya, di sebuah masjid, seorang tokoh persilatan golongan putih yang baru selesai bershalat tahajud untuk meminta petunjuk, bertemu seorang kak ek yang wajahnya tidak tampak jel as. Tapi kakek itu mengenakan pakaian panjang serb a putih sampai hampir ke lutut. Kepalanya tertutup lilitan-lilitan kain. Kakek yang sekujur tubuhnya seperti bersinar itu memberi petunjuk padanya, untuk menemui orang-orang yang akan ditunjukkannya. Sementara, orang-orang yang dipilih kakek aneh itu sendiri, malam itu juga langsung bermimpi. Dalam mimpi, mereka bertemu kakek yang sama dan diberi petunjuk bagaimana cara mengal ahkan tokoh keji yang merajalel a itu."
"Dan tokoh yang dipilih kakek aneh itu adalah leluhurmu.
Bukankah begitu, Nek"!" tebak Tungga Dewi, tidak sabar.
"Tidak tepat benar. Meskipun, memang tidak salah!" jawab Nenek Lestari.
"Lho..."!" Tungga Dewi melongo.
"Bukankah leluhurmu yang telah mengalahkan tokoh keji itu"!" Ada nada penasaran dalam pertanyaan Tungga Dewi yang lebih cocok berup a kecam an ini. Arya hanya berdiam diri. Tapi sepasang matanya menyiratkan tuntutan. Pemuda berambut putih keperakan ini memang menduga sama seperti Tungga Dewi.
"Tidak hanya leluhurku!" jawab Nenek Lestari.
"Masih ada dua tokoh lain yang juga mendapat petunjuk kakek aneh itu. Berkat petunjuk kakek an eh itu pula mereka bisa bert emu, berkumpul. Bahkan ketiga kakek, yang salah satunya adalah leluhurku, berhasil membunuh tokoh keji itu. Tapi, sebuah kenyataan tidak terduga terjadi. Ternyata tokoh keji itu meski mati, tapi tetap hidup! Mungkin karena dia telah menjadi pengabdi setan, sehingga meski mati, sewaktu-waktu bisa bangkit kembali. Rohnya dapat masuk ke dalam diri seseorang. Dan.... Astaga...! Mengapa aku demikian pelupa"!"
"Ada apa, Nek"!" Arya dan Tungga Dewi yang sempat terjingkat ke belakang ketika melihat nenek berpakaian kembang -kembang ini terjingkat seperti disengat ular berbisa.
"Pemuda yang kalian had api itu pasti titisan tokoh keji itu. Dan ini berarti roh tokoh keji itu telah masuk ke dalam diri pemuda berpakaian coklat! Ya, tidak salah lagi!" seru Nenek Lestari keras sambil bangkit dari duduknya "Celaka...! Celaka...! Malapetaka besar pasti akan terjadi kembali.
Dan aku tidak mampu berbuat sesuatu. Dengan mudah tokoh keji itu dapat membunuhku!"
"Jangan khawatir, Nek. Percayalah. Tokoh keji itu tidak akan dapat bertindak semaunya. Bukankah Nen ek telah mendapat bek al kerincingan sakti ini"!" hibur Arya menenangkan hati Nenek Lestari.
"Kau tidak tahu kedahsyatan tokoh keji itu, Arya!" keluh Nenek Lestari.
"Kalau mend engar cerita ayahku, yang jauh lebih pintar b ercerita daripada aku, kau akan merasa ngeri. Kau tahu, dari jarak jauh, tokoh keji itu mampu membunuhku.
Dia dapat memerintahkan orang untuk membunuh orang lain, hanya deng an pikiran! Bahk an dari jarak jauh. Asal syaratnya orang yang diberi perintah dikenali wajah dan namanya. Misalnya, kau ini.
Bisa saja diperintahkan tokoh keji itu untuk membunuhku! Kau tidak akan bisa melawan pengarah perintah itu, Arya!" Arya yang baru hendak membant ah jadi mengurungkan niatnya begitu mendengar peneg asan Nen ek Lestari yang terakhir.
"Tapi, kan dia tidak tahu kalau kau bersamaku saat ini Mengapa harus khawatir, Nek"!" bantah Arya.
"Kau terlalu meremehk an kemampuannya, Arya!" omel Nenek Lestari. Dia bisa tahu berada di mana orang yang dicarinya, hanya dengan melihat sebuah tong berisi air d an beberap a jenis kembang. Di situ, akan terpampang orang yang dicarinya. Di mana adanya. Dan, bersama siapa.
Jelas?"
"Hehkh...!" Arya meras akan kerongkongannya sep erti tercekik mendeng ar penjelasan panj ang lebar Nenek Lestari. Kalau ben ar demikian, benar-ben ar berbah aya tokoh keji itu. Pantas kalau ratusan tahun yang lalu, dunia persilatan bisa geger.
"Menurut leluhurku, tokoh keji itu tewas untuk selama-lamanya, apabila keturunan dari tokoh-tokoh yang dulu melenyapkannya bers atu. Dan itu pun harus dibantu oleh seorang pendekar muda yang telah muncul dalam dunia persilatan. Seorang pendek ar yang b erjuluk Dewa Arak. Tapi, bagaimana mungkin hal itu terlaksana, Arya" Aku tidak tahu, di mana keturunan pemusnah tokoh keji itu" Dan apakah merek a benar-b enar ad a" Waktu lima ratus tahun sudah cukup untuk melenyapkan silsilah seseorang! Dan bila itu terjadi, bagaimana mungkin tokoh keji itu bisa dilenyapkan. Lagi pula, andaikata dua keturunan dari tokoh-tokoh yang menewaskannya masih ada, tokoh keji yang telah menitis kembali itu tidak akan tinggal diam. Dia akan mencari cara untuk membinasakan! Aku yakin itu. Dengan kemampuan yang dimilikinya, dia akan lebih beruntung dibanding kami!" Arya dan Tungga Dewi saling berpandangan. Dalam sorot mata gadis berpakai an kuning itu terlihat kengerian yang menggeleg ak. Dan Arya pun memakluminya. Karena dia sendiri juga merasa tegang bukan kepal ang.
Dewa Arak yakin cerita iiu ada benarnya. Dan ini terbukti ketika bertarung dengan pemuda berkumis tipis itu.
"Apakah..., roh tokoh keji itu akan berdiam selamanya di dalam raga pemuda berkumis tipis itu, Nek"!" tanya Arya, setelah tercenung beberapa saat.
"Ah...! Hampir saja aku lupa! Untung kau mengajukan pertanyaan amat bagus, Arya!" puji Nenek Lestari, gembira.
"Begini, Arya. Meski roh tokoh keji itu mampu berbuat banyak dalam raga yang disusupinya, tapi tetap saja mempunyai keterbatasan. Jelasnya, di dalam raga yang baru itu kemampuannya bisa b erkurang jauh. Bila di dalam raga aslinya dia dapat melakukan banyak hal, tapi di dalam raga yang baru akan sulit dikerjakan.
Menurut perhitunganku, roh tokoh keji itu akan mencari raganya yang asli.
Dan ap abila telah diketemukan, aku yakin raganya yang baru akan ditinggalkan. Makanya mumpung sekarang kemampuannya belum penuh, lebih baik dibinasakan. Dan harus cepat-cepat berg abung dengan dua keturunan pembasmi tokoh keji itu. Lalu bersamamu, kita harus mencari cara yang tepat untuk mengirim tokoh pemuja setan itu ke alam baka untuk selamanya! Hanya saja, sekarang aku tidak mampu berbuat banyak. Mungkin bila bersama du a keturunan p embasmi tokoh keji lainnya, aku bisa melakukan hal-h al yang lebih berarti. Hhh...! Sama sekali tidak kusangka kalau tokoh keji itu akan dapat turun ke dunia ramai lagi. Ternyata, kekhawatiran leluhurku beral asan!" Suasana langsung hening ketika Nenek Lestari menghentikan ucapannya. Tidak ada yang bersuara. Masing-masing terlibat dalam alun pikiran.
"Tunggu sebentar, Nek!" celetuk Arya tiba-tiba, dengan suara keras.
Sehingga membuat Nenek Lestari, dan Tungga Dewi, tersentak kaget.
"Hmmm...! Ada apa, Arya"! Tampaknya kau bersemangat sekali..."!" sindir Nenek Lestari.
"Sebelum ke sini, aku bertemu seseorang tokoh yang sudah hampir mati, karena dikeroyok tokoh-tokoh jahat dari Gerombolan Setan Hitam.
Sebelum tewas, tokoh itu mengatakan kalau keberadaanku di tempat itu sudah diketahui. Dan bahkan keberadaannya di tempat itu untuk mencegat perjalan anku.
Tapi sayang. Sebelum aku tiba, orang-orang Gerombolan Setan Hitam lebih dulu mengeroyoknya hingga hampir tewas. Untungnya dia sempat menyampaikan pesan dari seorang tokoh yang berjuluk Penjaga Alam Gaib. Katanya, aku diminta pergi menyusul Penjaga Alam Gaib ke Pulau Setan, untuk mencegah terjadinya banjir darah di dunia persilatan!"
"Pulau Setan"!" Nenek berp akai an kembang-kemb ang itu terpekik dengan sepasang mata terbelalak lebar, menampakkan keterkejutan yang sangat.
"Kau tidak salah dengar, Arya"!" lanjut Nenek Lestari.
"Tidak, Nek! Aku yakin sekali!" tegas Arya, mantap.
"Mengapa kau tampaknya terkejut sewaktu Ary a menyebut Pulau Setan, Nek"! Apakah ada yang aneh dengan pulau itu" Menurut cerita guruku, Pulau Setan merupakan sebuah pulau yang penuh teka-teki. Bahkan guruku belum pernah berhasil menemukannya. Menurut guru, pulau itu letaknya tidak tetap. Selalu berpindah-pindah," urai Tungga Dewi.
"Gurumu benar, Tungga Dewi. Pulau Setan tidak pernah mempunyai tempat yang tetap. Tapi yang jelas, pulau itu selalu berada di tengah lautan. Dan let aknya sel alu tersembunyi. Pulau itu merupakan pulau yang terapung -apung di atas permuk aan air laut !" jelas Nenek Lestari.
"Dan asal kalian tahu saja, di Pulau Setanlah jasad tokoh keji itu dibuang!"
"Ah...!" desah Arya kaget, tapi mulai mengerti masalah yang dihadapi.
"Berarti sejak semula, sebenarnya aku telah terlibat dengan masalah roh dari masa lampau ini. Sebelum dan di saat roh itu baru melakukan sepak terj angnya, seseorang yang tahu hal itu berusaha menceg ahnya. Dan dia kemungkinan bes ar si Penjaga Al am Gaib yang menyuruh kawannya untuk meminta bantuanku. Kemungkinan besar, karena Penjaga Alam Gaib tahu pula tentang sepak terjang roh tokoh keji itu. Aku menduga, kalau dia merupakan k eturunan s atu dari dua tokoh putih yang membuat tokoh keji itu tidak berdaya!"
"Kau benar, Arya!" sahut Nenek Lestari mengangguk.
"Sekarang, satu titik terang telah kita dapat Penjaga Alam Gaib pergi ke Pulau Setan.
Dan kemungkinan besar, dia yang pertama kali tahu mengenai berhasilnya jasad tokoh keji itu lolos. Kalau begitu, roh tokoh keji itu belum lama masuk ke dalam raga pemuda berpak aian coklat... Bisa kau terima dugaanku ini, Arya"!"
"Bukan hanya bisa, Nek. Tapi, memang demikian. Beberapa hari yang lalu, pemuda berpakaian coklat itu hampir tewas di tangan saudara-saud ara sepergu-ru annya. Entah karena apa, aku menolongnya hingga dia tidak jadi tewas. Celakanya, sewaktu aku sibuk bertarung, dia langsung kabur.
Aku mengejarnya, karena ingin mengorek rahasia meng apa dia bentrok dengan saudara-saudara sepergu ruannya. Sialnya aku kehilangan jejak. Untungnya di tengah jalan, aku berhasil bertemu dengannya di saat dia tengah menculik Tungga Dewi!" tutur Arya terpaks a mengulang ceritanya lagi dengan lebih teliti. Karena dia mulai melihat adanya titik terang.
"Jadi waktu yang beberapa hari itu, dia telah dimasuki roh tokoh keji! Karena dipertemuan kedua ini, dia memiliki kepandaian puluhan kali lipat daripada semula! Tak heran kalau dia jadi lihai bukan kepalang! Nah! Sekarang kau ceritakan pengalamanmu, Tungga Dewi!" Tanpa ragu-ragu Tungga Dewi pun menceritakan semu a kejadian yang dialaminya sejak men emukan peti hitam sampai terlibat pertarungan dan muncul pemuda berpakaian cokl at "Astaga...!" Nenek Lestari menep ak dahinya keras-k eras sambil berseru keras.
Sehingga membuat Arya dan Tungga Dewi menoleh kaget. Diam-diam sepasang an ak muda ini agak geli melihat tingkah nenek berpakaian kembangkembang yang selalu bertingkah mengejutkan ketika tering at pada satu masalah.
"Mengapa aku demikian pelupa"! Ah! Rupanya aku telah pikun...! Mengapa sejak tadi aku tidak mengatakan pada kalian"! Dengar baik-baik.
Terutama kau, Tungga Dewi. Peti yang menarik perhatianmu itu, sebenarnya berisi..., jasad tokoh keji di masa lalu!"
"Kalau saja tahu, tak akan bakal aku sudi membukanya. Ternyata peti yang kelihatan men arik berisikan sesuatu yang meng erikan. Ben ar, apa yang dikatakan guruku!" Tungga Dewi langsung mengelus tengkuknya yang bulu-bulunya berdiri semua, karena rasa ngeri yang mencekam.
"Kalau begitu..., kita harus secepatnya pergi ke Pulau Setan, Nek"!" Arya mengingatkan karena khawatir Nenek Lestari yang rupanya telah pikun itu lupa lagi.
"Tentu saja, Arya!" tegas Nenek Lestari mantap.
"Kita cari Penjaga Alam Gaib.
Mudah-mudahan saja dia tahu, di mana keturunan tokoh pembasmi tokoh jahat yang satunya lagi berad a. Dan setelah itu, kami akan rundingkan untuk menemukan cara, agar tokoh keji yang telah bangkit kembali itu tidak berhasil menemukan raganya dulu. Dengan demikian, kemampuannya tidak akan sampai pada puncaknya. Baru setelah itu, dicari cara untuk membuatnya tidak kembali lagi untuk selamanya. Dan aku yakin, kuncinya ada p ada dirimu, Dewa Arak. Kalau tidak, leluhurku tidak akan mengatakan demikian.
Apalagi, pemberitahuan ini datangnya langsung dari kakek aneh itu. Sudah! Ayo, kita segera pergi ke Pulau Setan!"
7
"Aha...! Sebentar lagi percobaan rampung...! Tak lama lagi, sebuah kejutan akan kubuat. Penjaga Alam Gaib dan Guraksa akan terkagum-kagum melihat hasil percobaanku ini! Pasti mereka akan mengatakan, mana mungkin orang yang sudah mati bisa hidup kembali"! Si Kerdil Guraksa akan keheranan. Matanya yang bulat besar akan semakin terb elalak lebar!" seru seorang kakek kurus mirip cecak kelaparan.Tarikan wajahnya menyiratkan keg embiraan. Mulutnya menyunggingkan senyum. Tapi karena wajahnya yang tirus mirip wajah tikus, dan sinar matanya liar selalu berputaran, membuat senyum yang tampak lebih cocok seringai.
"Sekarang pergilah kau, Manis! Kabark an berita gembira ini pada keluargamu !" ujar kakek itu kembali. Maksudnya bernada gembira. Tapi, raut wajahnya yang seperti ini tidak menampakkan kegembiraan sama sekali! Belum lenyap gema suara kakek kurus kering itu, seekor kelinci melesat cepat dari depannya. Beberapa saat sebelumnya, kelinci itu telah tewas, karena kakek kurus kering telah membunuhnya. Hal itu dilakukan untuk membuktikan kebenaran percobaan yang telah ditekuninya selama bertahun-t ahun. Dan ternyata diaberhasil! Binatang yang lucu itu berhasil bangkit dari kematian! Kakek kurus kering bangkit dari bersilanya. Sejenak pandang annya bered ar ke sekitar. Tapi yang tampak hanya gundukan batu, dan tebing di sanasini. Kakek berwaj ah tirus ini berada di sebu ah tempat berbatu-b atu di lereng gunung, yang mempunyai dataran tidak rata. Pada beberapa tempat tampak gundukan batu-batu sebesar kerbau.
Plok, plok, plokkk! Sebuah tepuk tangan yang terd engar nyaring, membuat kakek berwaj ah tirus itu menoleh ke arah asal suara deng an sikap kaget. Sepanjang pengetahu annya, tempat di mana dia berada tidak pernah dikunjungi orang! "Sebuah percobaan yang baik. Tapi, sayang tidak akan pernah ada orang yang menyaksikannya!" ujar sosok yang tadi bertepuk tangan. Dengan sikap pongah, dia berdiri di atas sebuah gundukan batu sebesar kerb au, yang berad a di sebelah kanan kakek kurus kering ini "Kau..."!" Wajah kakek kurus kering itu berubah.
"Mengap a kau bisa datang kemari" Dan..., apa maumu, Setan Hitam Tak Berjantung..."!"
"Ha ha ha...! Tidak usah begitu tegang, Kuru Sanca! Tenang saja! Nikmatilah saat-saat terakhirmu. Jangan bersikap seperti itu!" timpal sosok yang disebut Setan Hitam Tak Berjantung.
Sementara sosok bertubuh kurus kering yang memang Kuru Sanca, sahabat Penjag a Alam Gaib. Seperti juga Guraksa, Ku ru Sanca m endapat tugas dari Penjaga Alam Gaib. Bila Guraksa bertugas mencari Dewa Arak, maka Kuru Sanca bertugas menjaga tempat tinggal mereka bertjga. Terutama sekali, tempat tinggal Penjaga Alam Gaib. Ketiga sahabat ini tinggal di sebuah goa besar yang mempunyai banyak cabang dan goa-go a kecil! "Jadi maksud kedatanganmu kemari untuk membunuhku, Setan Hitam"!" sambut Kuru Sanca dengan sebuah seringai di bibir.
"Kuusulkan, lebih baik urungkan niatmu. Percuma saja, karena tidak akan berh asil! Sejak dulu kau tidak pernah berhasil. Pergilah! Cepat, sebelum pikiranku berubah!" Setan Hitam Tak Berjantung. Memang pas sekali dia mendapat julukan seperti itu. Kulit tubuhnya hitam legam laksana arang. Rambutnya keriting. Dan dia hanya mengenakan sehelai cawat sebagai penutup tubuh.
Dengan tampang yang menyeramkan, dia tertawa mengejek "Luar biasa! Meski sudah ompong, kau masih saja berusaha menggonggong, Kuru Sanca! Kau tidak usah galak-galak, karena sekarang sudah tidak mempunyai gigi lagi! Setan Hitam yang sekarang, tidak bisa disamakan dengan Setan Hitam Tak Berjantung puluhan tahun lalu. Aku masih mempunyai gigi. Malah, lebih runcing. Sedangkan kulihat, kau tidak memiliki gigi sebuah pun, kecuali yang telah keropos. Gigi-gigi yang tidak bisa digunakan untuk menggigit! Ha ha ha...!" Wajah Kuru Sanca merah padam karena amarah yang bergolak.
Meski demikian, dalam hati dibenarkannya kata-k ata Setan Hitam Tak Berjantung. Selama belasan tahun mengasingkan diri, bisa dihitung beberapa kali dia berlatih. Semadi pun jarang dilakukan. Perhatiannya terlalu dipusatkan pada p enemuan p engobatan terhad ap penyakit. Jadi setelah belasan tahun, kemungkinan besar tingkat kepandaian Kuru Sanca tidak akan berubah ! Malah bisa jadi turun! Lain halnya dengan Setan Hitam Tak Berjantung, dia selalu memusatkan ilmu kedigdayaan! "O, ya! Hampir aku lupa...! Aku mempunyai oleh-oleh untukmu! Kuharap kau mau menerimanya!" Setelah berkat a demikian, Setan Hitam Tak Berjantung menggerakk an kakinya, mencongk el. Maka sebuah peti kayu kecil yang sejak tadi di depan ujung kaki kanannya, terlempar deras ke arah Kuru Sanca.
Kuru Sanca memperhatikan peti butut itu sejenak, sebelum akhirnya yakin kalau Setan Hitam Tak Berjantung tidak berm aksud curang. Kakek kurus kering ini melihat adanya sorot kejujuran dalam sinar mata dan tarikan wajah Setan Hitam Tak Berjantung. Dan lagi, bukankah tokoh sesat berkulit hitam legam itu yakin akan keunggulan dirinya" Lantas, untuk apa lagi bertindak curang" karena keyakin an atas dugaannya, Kuru Sanca tidak ragu-ragu lagi mengulurkan tangan kanan, menerima peti itu. Tentu saja kakek berwajah tirus ini mengerahkan tenag a dalam sepenuhnya saat menangkap. Ingin ditunjukkan kalau dirinya masih belum terlalu ompong seperti yang dikatakan Setan Hitam Tak Berjantung.
Tappp! "Hukh...!" Kuru Sanca sampai berseru kaget, ketika peti kumal itu berhasil ditangkapnya. Tangannya yang men angkap kontan tergetar hebat. Dan bahkan tubuhnya terhuyung dua langkah ke belakang. Kenyat aan ini membuat Kuru Sanca menatap wajah Setan Hitam Tak Berjantung dengan raut wajah berubah hebat. Sama sekali tidak disangka kalau kakek berkulit hitam legam ini memiliki tenaga dalam demikian kuat! Sungguh melebihi perkiraannya! Ataukah tenag a dalamnya yang telah menurun"! "He he h e...! Kaget, Macan Ompong"!" ejek Setan Hitam Tak Berjantung melihat perubahan pada wajah kak ek kurus kering itu.
"Tapi..., kujamin kalau keterk ejutanmu sekarang ini masih tidak seberap a, bila dibandingkan keterk ejutan yang akan kau terima apabila mengetahui isi peti itu. He he he...!" Kuru Sanca menatap wajah Setan Hitam Tak Berjantung beberapa saat, untuk membaca maksud perkataan lawannya meiaiui wajahnya. Tapi, tidak ada yang dapat diketemukannya. Ditatapnya lagi peti yang telah berada di tangannya dengan sorot mata curiga. Ucapan Setan Hitam Tak Berjantung yang belakang an inilah yang menyeb abkan keragu annya timbul kembali untuk membuka peti! Tapi, akhirnya Kuru Sanca memutuskan untuk membukanya.
Meskipun demikian, perhatiannya terh adap Setan Hitam Tak Berjantung tidak kendur. Dia tahu, bila melihat sikapnya, kakek berambut pendek dan keriting itu tidak akan bertindak curang. Tapi tentu saja Kuru Sanca tidak berani bertindak gegabah. Orang seperti Setan Hitam Tak Berjantung memang sulit diduga. Bisa saja dia melakukan hal yang tak dikira.
Krittt! "Ah..."!"
Brakkk! Peti kecil itu terjatuh ke tanah, ketika Ku ru Sanca tidak dapat menahan diri begitu melihat isi kotaknya. Di dalam peti itu ternyata terdapat..., kepala Guraksa! Kenyataan yang tidak ters angka-s angka ini sungguh mengejutkan hati Kuru Sanca. Kedua tang annya yang menggigil hebat, dan disertai rasa terk ejut yang amat sangat, membuat peti itu jatuh ke tanah dan isinya bergelinding keluar.
"He he he...! Bagaimana, Macan Ompong"! Sebuah oleh-oleh yang menarik dan mengejutkan bu kan"!" kata Setan Hitam Tak Berjantung, tanpa peduli pada Kuru Sanca yang masih terbelalak kaget.
"Kau... kau.... Biadab...! Kubunuh kau...!" Dengan suara berg etar hebat karena cekam an perasaan marah, Kuru Sanca menub ruk maju. Kedua tangannya yang terkepal kuat segera dihentakkan ke arah batu sebesar kerbau yang menjadi tempat berdiri Setan Hitam Tak Berjantung.
Blarrr! Diiringi bunyi memekakan telinga, baru bes ar yang terlihat amat keras itu hancur b erantakan. Pecah -pecahannya terp entalan ke s egala arah saking kerasnya pukulan jarak jauh yang dilepaskan Kuru Sanca. Seketika debu pun mengepul tinggi di udara.
Dengan peras aan geram yang masih berkobar-kobar, Kuru San ca menunggu. Dia tadi tidak melihat adanya keleb atan bayang an yang menjadi pertanda kalau Setan Hitam Tak Berjantung meninggalkan tempatnya. Dan ketika debu tebal mulai menipis, tampak Setan Hitam Tak Berjantung berdiri di tempat semula, tepat di atas batu besar yang hancur tadi. Bahkan tidak terlihat adanya tanda-tanda kalau kak ek berambut keriting ini terluka! "He he he...! Ternyata kau masih besar kep ala seperti dulu, Kuru Sanca..."!" Tapi, percayal ah. Kau tidak akan unggul melawanku! Kau akan kukirim ke neraka seperti halnya Guraksa! Tapi perlu kau tahu, Guraksa Gendut Pendek itu tewas tidak di tanganku. Tapi, di tangan bekas anak buahnya sendiri. Dan kau pun demikian nantinya! Rasakanl ah sakitnya mati di tangan orang asuhanmu sendiri! He he he...!" Setan Hitam Tak Berjantung menutup ucapannya dengan sebuah tepuk tangan tiga kali. Meski kelihatannya pelan saj a, bunyi menggelegar seperti ada halilintar menggema di sekitar penjuru pegunungan itu. Kemudian disusul bunyi yang gema tepukan itu sendiri! Kuru Sanca yang sudah bermaksud melancark an serang an lagi, jadi mengurungkan gerakannya. Dia mengerti maksud ucapan Setan Hitam Tak Berjan tung. Tapi di sisi lain ada satu hal yang masih tidak dimengerti.
Bukankah gerombolannya dulu, seperti juga gerombolan Guraksa, dibubarkan karena mereka berdu a ingin mengundurkan diri" Kuru Sanca tidak perlu menunggu lama untuk mendapatkan jawabannya. Sesaat kemudian, pendeng arannya yang tajam men angkap bunyi banyak langkah kaki mendekati tempatnya. Begitu pandangannya menyapu ke sekitar, tampak belasan sosok tubuh telah berdiri di belakang Setan Hitam Tak Berjantung. Hati Kuru Sanca kontan geram. Dia melihat sebagian bes ar ternyata memang bek as anak buahnya! Bahkan b eberapa orang di antaranya adalah orang kepercayaannya. Bahkan murid andalannya sendiri! Setan Hitam Tak Berjantung benar-ben ar tidak berdusta.
"Kau... kau..., Keparat...!" maki Kuru Sanca penuh kemarahan.
Andaikata bisa, kakek b erwajah tirus itu ingin membunuh Setan Hitam Tak Berjantung dengan sinar matanya.
"Tenanglah, Kuru Sanca," ujar Setan Hitam Tak Berjantung langsung menatap wajah Kuru San ca. Terutama sek ali, kedua tangan k akek kurus kering itu yang terkepal ken cang! "Seb elum mati, apakah kau tidak ingin tahu masalahnya" Apakah kau ingin seperti Guraksa yang mati tanpa tahu apa-ap a" Guraksa Gendut Pendek itu mati penasaran! Dia hanya tahu kalau akulah yang menyebabkan kematiannya. Tapi, dia tidak pernah tahu, mengapa hal ini kulakukan! Mungkin kau juga mempunyai dugaan sepertinya. Ingatkah kau pada persoalan dua puluh tahun lalu"!" Kuru Sanca tidak memberi tanggapan sama sekali.
Padahal dia tahu, Setan Hitam Tak Berjantung menghentikan ucapannya karena s engaja memb erikan kes empatan untuk menangg api.
Keinginan itu menyala-nyala di dalam hati Kuru Sanca. Hanya saja, kakek berwaj ah tirus ini berusaha menah annya.
"Kau seperti juga Guraks a akan k eliru bila mengira k alau semua tindakanku melenyapkan kalian ad alah untuk memuaskan dendamku puluhan tahun yang lalu, karena kalian telah berhasil mematahkan keinginanku untuk menjadi salah seorang datuk! Kalian telah mengalahkanku ! Tidak! Bukan karena itu! Itu hanya sebuah persoal an kecil.
Yang jelas aku punya sebuah cita-cita b esar. Dan ini ada hubung annya dengan tugas kau dan Guraksa emban !" Wajah Kuru Sanca kontan berubah, walau hanya sesaat saja.
Dengan pandainya, kakek berwajah tirus ini mengendalikan perasaannya.
Sehingga, wajahnya tampak sep erti semula, penuh peras aan marah terh adap sosok yang berdiri di hadapannya.
"Aku tidak mengerti maksud ucapanmu yang ngawur itu, Setan Hitam! Kalau mau bunuh silakan bunuh. Kau kira aku takut mati"! Dan dikira semudah itu membunuhku"!" jawab Kuru Sanca.
Kata-k ata itu terlontar untuk meng alihkan pembicaraan yang membuat jantung Kuru Sanca berd ebar tidak en ak. Diam-diam, kakek kurus kering ini mengkhawatirkan keselamat an Penjaga Alam Gaib! Dia yakin, Setan Hitam Tak Berjantung telah mengetahui persoalan ini. Tapi hatinya berusah a dihibur dengan keyakinan kalau Penjaga Alam Gaib belum berhasil dibunuh. Kalau sudah dibunuh, tentu Setan Hitam Tak Berjantung akan mengunjukkannya pula seperti mengunjukkan mayat kepala Guraksa.
"He he he...!" Setan Hitam Tak Berjantung yang merasa menang, tertawa gembira penuh ejekan. Tawa untuk menyindir lawan yang menyembunyikan sesuatu, tapi telah diketahuinya. Kuru Sanca adalah bekas datuk kaum sesat yang penuh pengalaman.
Makanya, dia bisa tahu kalau tawa Setan Hitam Tak Berjantung ini memang bermaksud mengejek jawabannya.
"Aku tidak peduli kau hendak bicara apa, Macan Ompong! Kau boleh berpura-pu ra tidak tahu masalahnya. Tapi, aku tidak ambil pusing.
karena aku telah mengetahui semuanya. Bahkan aku jauh lebih tahu daripada Penjaga Alam Gaib mengenai masalah yang hendak dicari di Pulau Setan! Ha ha ha...! Aku tahu, kau ditugaskan menjaga tempat ini. Terutama sekali, karena adanya Cermin Ajaib milik kawanmu itu. Dan karena itulah aku datang kemari.
Penjaga Alam Gaib bermaksud menceg ah terjadinya banjir darah di dunia persilatan, kan?" Setan Hitam Tak Berjantung menghentikan ucap annya langsung menatap wajah Ku ru Sanca yang tidak bisa lagi menyembunyikan kegelisahannya mendeng ar perkataan Setan Hitam Tak Berjantung yang benar-benar tepat. Tokoh sesat ini juga melihat jawaban yang diberikan Kuru Sanca. Tapi ternyata Kuru Sanca diam saja.
"Asal kau tahu saja, Macan Ompong! Penjaga Alam Gaib tidak tahu apa yang teng ah dihadapinya. Tapi, aku tahu! Aku yakin kau pernah mendengar s eo rang tokoh keji yang hidup lima ratus tahun lalu, dan membantai puluhan orang setiap hari" Nah! Tokoh itulah yang akan dihadapi Penjaga Alam Gaib. Dia telah menitis dalam diri seorang manusia! Dan aku akan menguasai dunia persilatan, dengan menjadikan titisan tokoh keji itu sebagai budak yang sen antiasa melaks anakan segala p erintahku! Tentu saja, untuk itu aku membutuhkan Cermin Ajaib!"
"Biadab kau, Setan Hitam!" Kuru Sanca tidak kuasa menahan marahnya. Seketika dia menubruk maju dengan kedua tangannya yang terbuka digedor ke arah dua bagian dada lawan.
"Sayang kau harus mati di tangan anak buahmu sendiri. Kalau tidak, kau akan kubinasakan sendiri, Macan Ompong!" Setan Hitam Tak Berjantung juga menghentakkan kedua tangannya ke depan sep erti yang dilakuk an Ku ru Sanca. Tak pelak lagi benturan k eras yang sama-sama mengandung tenaga dalam tinggi pun terjadi. Maka seketika tubuh mereka terdorong ke belakang.
Setan Hitam Tak Berjantung hanya terhuyung dua langkah, tapi Kuru Sanca terjengkang ke belakang dan terbanting di tanah. Sebentar kemudian dia berhasil bangkit dengan wajah pucat pasi. Bahkan ada darah segar menetes dari sudut bibirnya.
"Bereskan dia...!" ujar Setan Hitam Tak Berjantung bernada kesal sambil mengibaskan tangan kanan ke depan.
Benturan keras akibat hentakan tangan Setan Hitam Tak Berjantung dan Kuru Sanca pun terjadi. Seketika tubuh mereka terdorong mundur ke belakang. Setan Hitam Tak Berjantung terhuyung dua langkah, sedangkan Kuru Sanca terjengkang ke belakang dan terbanting di tanah! Tanpa menunggu perintah dua kali, belasan sosok yang berada di belakang kakek berambut keriting ini berlompatan turun dari puncak gundukan-gundukan batu dengan senjat a terhunus.
Kuru Sanca menatap empat sosok berpakaian hitam yang berlompatan lebih dulu. Tampak rasa sakit hati yang terpancar dari sepasang mata kakek kurus kering ini. Karena empat sosok itu adalah orang-orang kepercay aannya. Bahkan seorang pemuda yang berwajah dingin dengan bentuk wajah mirip singa itu bekas muridnya! Padahal, kepad a pemuda berwaj ah singa ini seluruh kemampu annya telah diwariskan ! Dan sek arang, mereka hend ak membunuhnya untuk memenuhi perintah Setan Hitam Tak Berjantung yang merupakan musuh besarnya! Kuru Sanca tahu kalau keadaan tidak memungkinkan lagi untuk melakukan perl awan an. Dan benturan ten aga dalam secara langsung dengan Setan Hitam Tak Berjantung, dia telah terluka parah. Dan bila melawan terus, hanya akan men cari kematian sia-sia. Akibatnya Cermin Ajaib tetap tidak bisa dipertahank an. Tidak! Kuru Sanca tidak ingin mati sekarang! Dia ingin membalas dendam lebih dulu terhadap orang-o rang kepercay aannya yang telah menyakiti hatinya. Perasaan dend am, kekejaman, dan kekerasan yang sudah sejak lama ditahan tanpa dapat dicegah Kuru Sanca lagi. Dan perasaan inilah yang mendorongnya untuk tetap hidup.
Kuru Sanca mengg ertakk an gigi. Dengan menguatkan perasaan, diambilnya beberap a benda kecil berbentuk bulat dari kantung kain hitam di pinggang. Kemudian tanpa ragu-ragu lagi dilemparkan ke depan lawan-lawannya.
Melihat benda-benda kecil itu, empat orang bekas kepercay aan Kuru Sanca yang berada paling depan kaget bukan kepalang. Mereka tahu, benda-b enda bulat kecil itu adalah mengandung racun yang tidak memiliki penawar.
Dengan kalap merek a berlompatan mundur, membatalkan penyerbu an terhadap Kuru Sanca. Tindakan serupa dilakukan oleh yang lain.
Blup, bluppp, tusss! Letupan-letup an kecil terdengar ketika benda-ben da bulat kecil itu menyentuh tanah. Seketika asap tebal berwarna putih dan pekat pun membumbung ke angkasa. Setan Hitam Tak Berjantung dan semua anak buahnya berl arian meny elamatkan diri. Terisap sedikit saja, berarti nyawa mereka berad a di ujung tanduk! Setan Hitam Tak Berjantung dengan rombongannya baru kembali ke tempat semula ketika melihat asap putih tebal itu telah benar-ben ar bersih.
Dan seperti yang diduga, Kuru Sanca sudah tidak berada di situ lagi.
"Keparat!" maki Setan Hitam Tak Berjantung kalang kabut. Dia tampak penasaran dan meras a menyesal.
"Kalau tahu begini akhirnya, sudah kuberesk an saja sejak tadi Macan Ompong itu! Sekarang dia merupakan orang yang amat berbahay a, karena telah tahu rahasia kita! Sama sekali tidak kusangka kalau dia masih menyimpan senjata-s enjata mautnya. Bukankah dia telah menyucikan diri dan tidak ingin terlibat kekerasan lagi! Sial! Keparat!"
"Kurasa dia tidak akan berb ahaya, Setan Hitam!" sahut pemuda berwaj ah singa.
Ucapannya terd engar yakin.
"Racun yang terkandung dalam benda-b enda bulat k ecil itu sama sekali tidak ad a obatnya. Bahkan, dia pun tidak memilikinya. Tak heran kalau dia hampir tidak pernah menggunakannya. Jadi, aku yakin kalau dia tewas terkena asap dari senjatanya sendiri!" Tiga orang kepercay aan Kuru Sanca yang kini telah membalik mengabdi Setan Hitam Tak Berjantung mengangguk. Mereka terdiri dari lelaki-lelaki bertampang seram berusia sekitar empat puluh lima tahun.
Tampaknya merek a mendukung pernyataan p emuda berwaj ah mirip singa ini! "Walaupun demikian, jangan bertindak ceroboh! Cari dia...! Temukan mayatnya! Kal au saja tadi Bongsang ada, tidak akan b egini repot.
Dengan kemampu annya, tidak sulit untuk menemukan Macan Ompong itu!" ujar Setan Hitam Tak Berjantung, tetap uring-uringan.
"Baik, Setan Hitam! Akan kami cari mayat Keparat Kuru Sanca itu sampai dapat!" tegas pemuda berwajah mirip singa.
"Jangan semuanya! Empat di antara kalian suruh tinggal di sini, untuk memeriksa goa."
"Baik, Setan Hitam!"
8
"Berhenti...! Siapa kau..."! Tidak boleh sembarangan orang masuk ke perguruan ini tanpa izin!" Dua orang pemuda berp akaian coklat berwajah dan bersikap gag ah, segera menggeser kaki menutupi pintu gerbang yang pintunya agak terbuka sedikit. Sosok yang hendak melangkah masuk ke dalam langsung berhenti.Dia adalah seorang kakek kurus laksana tengko rak, bertelanjang dad a. Siapa lagi kalau bukan Nelayan Tenaga Gajah. Hanya s aja saat ini, kakek yang biasanya berg erak loyo seperti orang lemah itu tampak beringas. Sepasang matanya yang lebih banyak terpej am, kali ini terbelalak lebar mem ancarkan kemarah an menggeleg ak.
"Aku tidak berurusan dengan kalian ! Menyingkirlah! Aku ingin bertemu ketua kalian, Si Pedang Halilintar Sakti!" ujar Nelayan Tenaga Gajah dengan suara berg etar menah an amarah.
"Tidak bisa!" sanggah pemuda bertahi lalat kecil di dahi, sambil menggelengkan k epala.
"Saat ini beliau tidak ingin diganggu. Beliau tengah ada suatu urusan! Lebih baik, kau pergi! Siapa pun juga, tidak boleh menghadapnya! Begitu pesan beliau!"
"Kalau begitu, aku harus memaksa masuk!" Setelah berkat a demikian, Nelayan Tenag a Gajah meng ayunkan kaki untuk meneruskan maksudnya yang tertunda. Tindakannya tentu saja tidak bisa dibiarkan oleh dua pemuda murid Perguruan Pedang Halilintar itu.
Seketika keduanya mencabut pedang dan memalangk annya di depan dada.
"Orang Tua Gila! Apakah kau tidak tahu, dengan perguruan apa berhad apan"! Perguruan Pedang Halilintar sangat ditakuti kawan dan lawan! Menyingkirlah sebelum kau terluka oleh p edang kami!" ancam pemuda bermata sipit, penjaga pintu gerbang Perguruan Pedang Halilintar yang satunya lagi.
Nadanya terdengar angkuh sambil menegakkan kepal a.
"Ketua yang tidak b aik, mana mungkin menelurkan murid-murid yang benar"!" sentak Nelay an Tenaga Gajah.
Ucap an penuh kemarah an dari Nelayan Tenag a Gajah, dan sikap yang terus memaks a masuk, membuat dua orang p emuda berpak aian coklat itu terpaksa melayangk an pedang yang telah terhunus dari kanan dan kiri.
Yang satu menusuk perut. Sedangkan yang lain membabat leher. Terdengar bunyi cukup nyaring mengisyaratkan tenaga orang yang menggerakk annya tidak rendah.
"Hmh...!" Nelayan Tenag a Gajah h anya mendengus melihat serang an-serangan seperti itu. Tanpa mempedulikan sama sekali, kakinya terus terayun. Sehingga, dua batang pedang itu dengan telak mengenai sasaran.
Tak, takkk! "Aaakh...!" Bukannya Nelayan Tenaga Gajah yang mengelu arkan jeritan, tapi pemuda-pemud a penjaga pintu gerbang Perguruan Pedang Halilintar itulah yang bersuara. Merek a merasakan pedang -ped ang tadi seperti membentur karet keras, sehingga berb alik. Bahkan tangan mereka pun sakit-sakit.
Sebelum mereka b erbuat sesu atu, tangan Nelay an Tenaga Gajah telah bergerak cep at bukan main. Sehingga, dua pemuda murid Perguruan Pedang Halilintar yang sial itu hanya melihat sekelebatan bayang an menyambar. Dan tahu-tahu, tubuh mereka terlempar ke bel akang dan jatuh terbanting di tanah dengan luka dalam cukup parah. Nelayan Tenaga Gajah memang telah menghantam perut mereka dengan pengerahan tenag a sekadarnya. karena jika dikerahkan seluruhnya, bukan mustahil kedua pemuda murid Perguruan Pedang Halilintar ini akan tewas dengan isi perut hancur! Tanpa mempedulikan dua orang penjaga pintu gerbang yang sial itu, Nelayan Tenaga Gaj ah melangkah lebar ke dal am.
"Pedang Halilintar Sakti yang sombong! Keluar kau...! Atau... aku akan mengobrak -abrik tempat tinggalmu...!" Seruan yang dikeluark an Nelayan Tenaga Gajah dalam kead aan marah, mernbuat semua bangunan berget ar, seakan-akan terland a gempa.
Nelayan Tenaga Gajah dal am puncak kek esalannya, mengerahkan seluruh tenaga yang dimiliki dalam teriakannya.
Akibat ucapan k eras itu, murid-murid Perguruan Pedang Halilintar yang tengah berad a di dalam bangunan berkelebatan. Tak terkecuali, murid-murid yang tengah berlatih.
Dalam herannya, Nelay an Tenaga Gajah masih bersikap tidak peduli. Dia berdiri tegah di tengah-tengah halaman sambil berteriak-teri ak.
Sehingga dalam sekejap saja, tempatnya b erdiri telah dikurung tidak kurang dari dua puluh lima orang murid Perguruan Pedang Halilintar.
"Siapa kau, Orang Tua"! Mengapa mulutmu lancang memanggil-manggil ketua kami secara sembarang an seperti itu"! Tidak tahukah kau, kalau beliau merupakan tokoh tingkat tinggi golongan putih"!" ujar seorang pemuda berkumis melintang. Dan melihat gelagatnya, dia adalah pimpinan dari para pengepung Nelayan Tenaga Gajah. Seperti juga sikapsikap yang lainnya, ucapan pemuda berkumis melintang menyiratkan kesombongan yang sangat.
"Aku tidak sudi berurusan dengan anjing kurap seperti kau! Panggil si Pedang Halilintar Sakti untuk menemui aku, dan meminta maaf atas perbuatan muridnya yang demikian kurang ajar menculik muridku. Dan aku ingin, dia mengembalikan muridku tanpa terluka sedikit pun. Apabila tidak, seluruh isi perguruan ini akan kuhan curleburk an rata deng an tanah !" tandas Nelayan Tenaga Gaj ah keras.
Tentu saja orang seaneh k akek kurus laks ana tengkorak ini tidak bermain-main deng an ucapannya. Bukan tidak mungkin hal itu akan dilakukannya ap a bila permintaannya tidak dituruti. Demi keselamatan muridnya yang bernama Tungga Dewi, apa pun akan dilakukan Nelayan Tenaga Gajah! Dan kak ek kurus ini pergi ke Perguruan Pedang Halilintar, setelah kehabisan k esabaran untuk mencari Karp ala. Dia tahu kalau pemuda berkumis tipis itu merupakan murid Perguruan Pedang Halilintar. Makanya, dia pergi ke tempat ini. Kekhawatiran akan nasib Tungga Dewi, membuatnya tidak memikirkan kemungkinan-kemungkinan lainnya.
"Kakek Kurus! Rupanya kau sudah bosan hidup"! Berani kau menghina seperti itu"! Apakah...." Belum sempat pemuda berkumis melintang ini meneruskan ucapannya, Nelayan Tenaga Gajah yang sudah tidak bisa menahan kesabarannya l agi. Langsung mengibaskan tang annya. Maka s eketika angin keras keluar dari kibasan tangannya, membuat tubuh pemuda berkumis melintang itu terlempar jauh ke belakang sep erti daun kering dihembus angin! Kejadian terhad ap pemuda berkumis melintang, yang demikian mudah dirobohkan, membuat puluhan murid Perguruan Pedang Halilintar lainnya terkejut bercampu r marah. Mereka m emang tidak menyangk a kalau Nelayan Tenaga Gajah selihai itu sampai-sampai seperguruan merek a yang merupakan orang terlihai setelah guru merek a, bisa dirobohkan hanya dalam sekali kibasan tangan. Tanpa menunggu lebih lama lagi, mereka mencabut pedang masing-masing dan menyerbu secara berbareng.
Seketika bunyi berdesing nyaring menyertai sinar-sinar berkilatan dari batang-bat ang pedang yang berk elebat an mencari sasaran. Namun, itu tidak membuat kakek kurus laksana tengkorak ini gugup. Sikapnya tetap tenang. Bahkan seperti tidak memandang pusing serang an itu. Sebagian besar serangan dibiarkan saja mengen ai tubuhnya. Hanya serangan -serangan yang meluncur ke arah mata, yang ditangkis dengan kedua tangannya secara sembarang an. Dengan pengerahan tenag a dalamnya yang tinggi kedua tangannya jadi tak kalah keras dibanding besi baja! Bunyi berdetak keras seperti logam-logam keras beradu terdengar, ketika pedang-ped ang murid-murid Perguruan Pedang Halilintar berbenruran dengan tubuh, tangan, atau kaki Nelayan Tenaga Gajah. Akibatnya, tubuh pemuda-pemud a berpakai an coklat itu berpentalan ke belakang. Bahkan ketika Nelayan Tenaga Gajah balas menyerang, hanya dalam beberapa gebrakan saja tubuh murid-murid Perguruan Pedang Halilintar berpentalan ke belakang sambil mengeluarkan seru an-seruan kesakitan. Merek a tidak mampu bangkit lagi, meskipun hanya pingsan. Dan selama melakukan perlawanan, Nelayan Tenaga Gajah tidak henti-hentinya mengeluarkan panggilan terhadap Ketua Pergu ruan Pedang Halilintar.
"Pedang Halilintar! Keluar kau. Cepat! Atau murid-muridmu ini kuhabisi!" Tak sampai lima jurus, sebagian besar murid Perguruan Pedang Halilintar telah bergeletakan di tanah.
"Luar biasa! Tidak kusangka Nelayan Tenag a Gajah yang terkenal berad a di golongan putih, sampai hati bertindak demikian kejam terhadap orang-orang yang tidak berdaya dan bukan tandingannya! Kalau berani lawan aku, Nelayan Sombong!" Nelayan Tenaga Gajah langsung menghentikan perlawanannya, ketika mendengar suara yang sang at dikenalnya. Tampak sesosok bayangan berkeleb at, dan tahu-tahu berdiri seorang lelaki bertubuh tegap. Wajahnya gagah, berikat kepala coklat dan berb adan lebar.
"Aku sebenarnya tak ingin bertarung! Cep at kembalikan muridku yang telah diculik oleh muridmu. Dan aku akan pergi dari sini!" ujar Nelayan Tenaga Gajah set elah menat ap laki-laki gag ah yang memang si Pedang Halilintar Sakti sesaat. Terdengar kaku nada suaranya.
"Enak saja kau bicara, Nelayan Tenaga Gajah ! Tidak ada seorang pun muridku yang telah menculik muridmu! Dan kau, telah lancang melukai banyak muridku. Majulah! Aku akan memberi hajaran pad amu!" tandas si Pedang Halilintar Sakti, penuh wibawa.
"Apa boleh buat" Ternyata kau keras kepala, Pedang Halilintar Sakti! Pantang bagi Nelayan Tenaga Gajah untuk mundur dan menolak tantangan! Apal agi, untuk membela seorang murid. Biarlah aku menerima pelajaran berharg a darimu!" sambut Nelayan Tenaga Gajah tak mau kalah, meski dalam ucapannya terk andung nada merend ah.
Dia memang telah lama tidak suka terhadap Pedang Halilintar Sakti.
Meski termasuk datuk golongan putih seperti dirinya, tapi wataknya sombong dan merendahkan o rang lain. Sungguhpun harus diakui, kesombongan itu mungkin tercipta karena memang sejak kecil Pedang Halilintar Sakti hidup dalam dunia yang serba mewah! Datuk golongan putih yang berwat ak agung ini merupakan keturunan seorang raja.
"Lihat serangan !" Dengan nad a angkuh, Pendek ar Pedang Halilintar Sakti yang lebih dulu membuka serangan, memberi peringatan seperti layaknya seorang tokoh lebih tinggi memperingatkan tokoh yang lebih rendah. Kedua tangannya yang terkep al seperti berub ah menjadi banyak, ketika meluncur ke arah Nelayan Tenaga Gajah.
Namun, kakek kurus laksana tengkorak itu tidak kebingungan. Tanpa menemui kesulitan dipapaki serangan itu. Sehingga, terdengar bunyi berdetak keras berkali-k ali ketika dua pasang tangan yang sama-sama tel ah berub ah menjadi banyak itu berb enturan di tengah jalan.
Akibatnya tubuh kedua belah pihak sama-sama terdorong ke belakang. Tapi, si Pedang Halilintar Sakti terhuyung selangkah lebih jauh. Bahkan dengan mulut menyeringai kesakitan.
Si Pedang Halilintar Sakti jadi berubah wajahnya karena rasa terkejut dan penasaran melihat keunggulan lawannya.
Srattt! Tidak kelihatan kakek bersikap agung ini menggerakkan tangan, tapi tahu-tahu di dalam genggaman tangan kanannya tercekal sebatang pedang terhunus. Namun sebelum Ketua Perguruan Pedang Halilintar ini melancarkan serangan....
Brakkk! Tiba-tiba bunyi berderak keras membuat si Pedang Halilintar Sakti dan Nelayan Tenaga Gajah tanpa disepak ati lebih dulu, menoleh ke arah asal suara. Tampak daun pintu gerbang yang tebal dan kokoh kuat itu hancur berantak an, seperti didobrak seekor gaj ah besar dari luar. Pecahan -pecahannya berhamburan, bahkan beberap a di antaranya ada yang hampir mengenai kedua datuk golongan putih itu. Namun hanya dengan mengibaskan tangan, baik Nelayan Tenaga Gajah maupun Pedang Halilintar Sakti telah membuat pecahan -pecahan kayu itu berp entalan kemb ali ke arah semula.
Dan kini di belakang pecahan daun pintu gerbang itu berjalan sesospk tubuh dengan sikap angker. Sehingga membuat mata Nelayan Tenaga Gajah dan si Pedang Halilintar Sakti terbelalak "Kau..."!" Hampir berbarengan dua datuk golongan putih itu mengucapk an perkataan seperti itu.
"Itukah orang yang kau katakan menculik muridmu itu, Nelayan Tenaga Gajah"!" Si Pedang Halilintar Sakti langsung cepat sadar dari keterkejutannya. Dan sekarang dia bisa meng erti duduk masalah yang sebenarnya.
Makanya pertanyaan itu langsung diajukan pada Nelayan Tenaga Gajah. Dan ketika mendapat anggukan dari kakek kurus laksana tengkorak itu, Ketua Perguruan Pedang Halilintar ini makin yakin.
"Ketahuilah, aku pun telah lama m enyuruh tiga orang muridku untuk membunuhnya, karena telah melakukan tindakan tercela. Dengan berani, dia mencoba merayu dan mempengaruhi putriku, agar menolak lamaran calon suaminya. Bahkan murid keparat itu mngajak putriku bertindak tak senonoh, dengan menggunakan obat perangsang. Dan sekarang karena perasaan malunya, putriku kabur dari sini! Maka aku pun telah mengutus orangorang untuk mencarinya! Sekarang, kuserahkan murid murtad itu padamu, Nelayan Tenaga Gajah !" Nelayan Tenaga Gajah hanya meng angguk pelan, menyambuti ucapan di Pedang Halilintar Sakti. Kakek kurus ini masih terlalu kaget dan menyesal, ketika melihat orang yang menculik muridnya ternyata mempunyai urusan pula deng an Perguru an Pedang Halilintar! Hati Nelayan Tenaga Gajah jadi tidak karuan rasanya.
Sementara sosok yang telah menghancurk an daun pintu gerbang itu ternyata seo rang p emuda berkumis tipis. Pemuda bernama Karpala itu terus melangkah dengan sikap tenang. Dan ayunan kakinya baru terhenti, ketika telah berad a beberapa tombak di depan kedua datuk sakti itu.
"Kedatang anku kemari untuk membuat perhitungan, Pedang Halilintar Sakti! Cepat! Serahkan Dara pad aku! Ayah macam apa kau ini, sehingga begitu tega menjerumuskan anaknya sendiri ke dalam kesengsaraan. Kau tahu, Dara cinta padaku ! Tapi, kenapa kau serahkan juga pada lelaki mata keranjang yang melamarnya! Ked atanganku kemari untuk membahagiakannya, tahu"! Ha ha ha...!" Karpala tertawa berg elak.
"Tutup mulutmu, Murid Murtad!" maki si Pedang Halilintar Sakti sambil menuding jari telunjuk kirinya.
Wajah Ketua Perguruan Pedang Halilintar ini me-rah padam pertanda teng ah dibalur kemarah an yang sangat.
"Nelayan Tenag a Gajah ! Kau tidak cepat bertindak!" Atau kau berikan kep arat ini kepad aku"!" lanjut Ketua Perguru an Pedang Halilintar ini.
"Kaulah yang akan menerima pemb alasan dan sakit hatiku, Pedang Halilintar! Kau lihat..!" Karpal a langsung mengalihkan pandangan ke arah sekumpulan murid Perguruan Pedang Halilintar yang sejak tadi masih berdiri di sekitar tempat itu. Sekarang mereka juga menatap Karpala deng an sorot mata ngeri! Sebagai kawan seperguru an, mereka tahu kalau Karpala telah mengalami perubah an. Pemuda berku mis tipis itu kelihatan demikian mengerikan! Sepasang matanya merah, seperti orang sakit mata! Bahkan ada sorot yang membuat tengkuk mereka meremang, ketika menatap pemuda berkumis tipis itu.
Dan hal itu sebenarnya dirasakan pula oleh si Pedang Halilintar Sakti. Dan datuk yang telah kenyang p engalam an ini segera meras akan adanya sesu atu yang tidak beres. Hanya saja, perasaan angkuhnya membuat dia sikapnya seakan-akan tidak ada kelainan.
"Pergilah kalian ke neraka!" desis Karpal a dengan suara berg etar ke arah murid-murid itu. Sepasang matanya yang merah tampak seperti memancarkan api ketika mengucapk an kata-k ata seperti itu.
Nelayan Tenag a Gajah dan di Pedang Halilintar Sakti merasakan adanya get aran kuat dalam perk ataan itu. Sebuah kekuatan yang memaksa alam bawah sad ar seseo rang untuk mengikuti perintahnya. Dan kedua datuk golongan putih ini terutama sekali, si Pedang Halilintar Sakti yang belum merasakan kelihaian Karpala, merasa terkejut. Apalagi ketika melihat tubuh sisa muridnya yang masih berdiri tegak, melayang dengan kep ala lebih dulu menuju pagar yang mengelilingi perguruan! Si Pedang Halilintar Sakti hanya bisa mengelus dada melihat kepala murid-muridnya hancu r berantakan k etika berb enturan deng an pag ar yang mengelilingi areal perguruan. Darah bercampur otak tampak muncrat-muncrat, ketika kepala itu hancur! Ketua Perguru an Pedang Halilintar ini tidak bisa berbuat apa-apa untuk mencegah. Karena, dia pun tengah berad a dalam kungkungan pengaruh suara Karp ala! Padah al, ucapan itu tidak ditujukan kepadanya! "Ha ha ha...!" Karpal a tertawa bergel ak penuh kepuasan ketika melihat belasan murid Perguruan Pedang Halilintar pergi ke alam baka dengan kepala pecah.
Gemuruh suara tawanya mengiringi bunyi berderak keras kepala-kep ala yang pecah ! "Keparat! Kubunuh kau...!" Si Pedang Halilintar Sakti yang baru sadar dari keterpakuan, menggeram keras dengan sekujur tubuh menggigil karena murka. Dia telah siap melancark an serangan, tapi kalah cep at dengan Nelayan Tenaga Gajah! Kakek kurus laksana tengkorak itu telah lebih dulu menerjang.
Sementara Karp ala hanya mendengus, seperti meremehkan serang an itu. Namun tangan kanannya cepat ditudingkan ke arah tubuh yang tengah meluncur ke arahnya. Dan Pedang Halilintar Sakti jadi tak kuasa untuk membelalakkan matanya. Dia melihat dari jari telunjuk yang ditudingkan, meluncur seleret sinar. Dan tahu-tahu, tubuh Nelayan Tenaga Gajah yang masih berada di udara telah terbungkus api yang berkobar-kobar.
Tubuh Nelayan Tenaga Gajah kontan ambruk ke tanah, dan langsung menggelepar-g elepar seperti ikan dilempar ke darat. Sementara, Karpal a tertawa bergelak penuh kegembiraan seperti melihat sebuah pemandang an menyenangkan. Di lain pihak, si Pedang Halilintar Sakti dan muridmuridnya yang tengah terg eletak tak berd aya di tanah, menatap dengan sorot mata ngeri! Ilmu apa yang dipergunakan Karpal a yang mendadak jadi memiliki kesaktian demikian" Di saat, Nelayan Tenaga Gajah tengah meregang nyawa, tangan Karpal a kembali menuding. Dan kali ini, murid-murid Perguruan Pedang Halilintar yang tergolek tanpa daya menjadi sasaran. Tubuh mereka kontan terbungkus api yang berkob ar-kob ar. Dan rasa pan as itu membuat tubuh-tubuh yang tadi tidak mampu berbuat apa-apa, kini menggeliat-geliat di ambang maut! "Keparat! Keji...!" si Pedang Halilintar Sakti hanya bisa mengeluark an makian. Kengerian yang mencekam dan keterkejutan yang melihat keperkasaan Karpala, membuatnya tidak mampu bertindak apa-apa selain memaki. Sekujur tenaganya s eperti lenyap ol eh kengerian yang memancar dari tubuh Karpala! Kini Karpala menatap Pedang Halilintar Sakti lekat-lekat.
"Aku sengaja tidak mau m embunuhmu sekarang. Biar kau ras akan melihat semua orang yang kau cintai tewas! Kalau meras a memiliki kemampuan, boleh kau cari aku nanti! Selam at tinggal, Pedang Halilintar Sakti! Aku akan pergi mencari Dara! Aku tahu, dia telah pergi dari sini!"
"Jangan pergi kau, Murid Jahanam!" Si Pedang Halilintar Sakti bergegas melesat, mengejar Karpal a yang telah melesat meninggalkan tempat itu sambil melepas tawa gembira bernada penuh kemenang an. Tapi hanya dalam beb erap a kali lesatan, tubuh pemuda berkumis tipis itu telah lenyap dari pandangan. Yang tinggal hanya si Pedang Halilintar Sakti dengan hati hancur, menatap semua yang terpampang di hadapannya! Dia bertekad dalam hati, akan membuat perhitungan atas semua kejadian ini! Benarkah roh di dalam tubuh Karpala akan men cari raganya yang asli" Dan berhasilkah dia" Bagaimana pula tugas Penjaga Alam Gaib ke Pulau Setan" Apa yang terjadi terhadap Dewa Arak bersama rombongan yang menyusul Penjaga Alam Gaib ke Pulau Setan" Ke mana pula perginya Dara, putri Pedang Halilintar Sakti" Dan berhasilkah Karp ala menyeb ar maut di dunia persilatan"
SELESAI
INDEX AJI SAKA | |
68.Biang-biang Iblis --oo0oo-- 70.Pulau Setan |