Pesanggrahan Keramat
tanztj
January 29, 2012
INDEX JOKO SABLENG | |
Cerita Silat Joko Sableng --oo0oo-- 02.Ratu Pemikat |
JOKO SABLENG
Pendekar Pedang Tumpul 131
Karya: Zhaenal Fanani
Pendekar Pedang Tumpul 131
Karya: Zhaenal Fanani
BAB 1
Di bawah jilatan sang rembulan dua penunggang kuda terlihat meluncur deras menuju rimba belantara sepi di kaki gunung. Untuk beberapa lama hentakan-hentakan ladam kaki kuda menyentak memecah kesenyapan kawasan yang menuju kaki gunung. Tapi kesunyian kembali membungkus tak kala kedua penunggang kuda ini hentikan kuda tunggangan masing-masing di tepi bagian timur rimba belantara.
Sejurus kedua penunggang ini sama-sama diam di atas punggung kuda masing-masing. Mulut masing-masing orang terlihat terkancing rapat. Hanya sepasang mata mereka yang tak berkedip menyapu ke sekitar tempat itu. Tak berselang lama, penunggang kuda sebelah kanan membuat gerakan dengan memalingkan wajahnya pada penunggang kuda di sebelah kirinya. Sejenak keduanya saling berpandangan.
"Kita hampir sampai ditujuan..." bisik penunggang kuda sebelah kanan seraya usap-usap wajahnya yang keringatan.
Dia adalah seorang laki-laki setengah baya. Mengenakan pakaian warna biru gelap dengan ikat kepala warna merah. Rambutnya panjang sebahu dan telah berwarna dua. Sepasang matanya tajam. Kumis dan jenggotnya lebat, hingga yang tampak di bawah hidung hanyalah jutaian rambut sampai di depan leher.
Sedangkan penunggang kuda sebelah kiri adalah juga seorang laki-laki yang usianya kira-kira enam puluh tahun. Mengenakan pakaian warna merah dengan ikat kepala hitam. Kepalanya gundul. Wajahnya juga bersih dari rambut. Sepasang matanya melotot besar dan menjorok keluar. Pada telinga kanannya terlihat sebuah anting-anting besar dari akar laut berwarna hitam.
"Aku juga telah membaui tubuh manusia. Berarti sasaran kita memang berada di kawasan ini dan tak jauh dari tempat kita!" laki-laki berkepala botak menyahut dengan suara ditahan. Lalu kedua tangannya diangkat diusap-usapkan pada kepalanya yang plontos. Bibirnya sunggingkan senyum seringai.
Laki-laki yang di sebelah kanan menghela napas dalam-dalam. Lalu mendongak memandangi rembulan. "Randu Sabrang..." katanya memanggil nama laki-laki berkepala botak. "Sebenarnya aku masih kurang percaya dengan kabar yang berhasil kita sirap ini. Mengingat saat ini rimba persilatan dalam keadaan keruh. Fitnah dan kabar bohong merebak di mana-mana. Aku khawatir, jangan-jangan apa yang kita lakukan adalah sebagian kabar bohong itu! Kabar yang mengantarkan kita terjebak dan menemul ajal seperti beberapa orang yang akhir-akhir ini tewas secara bergelombang..."
Laki-laki berkepala botak yang dipanggil Randu Sabrang berpaling. Sepasang matanya yang melotot besar memandang tak berkedip. Namun sesaat kemudian bibirnya sunggingkan senyum sinis. "Uli Santang! Aku menangkap keragu-raguan dalam ucapanmu. Kau tampaknya takut menghadapi orang yang akan kita temui!"
Laki-laki setengah baya yang berambut panjang dan dipanggil dengan nama Uli Santang keluarkan dengusan pelan tanpa berpaling. Setelah tertawa pendek dia berkata. "Randu Sabrang. Harap kau jaga kata-katamu! Aku tak pernah gentar berhadapan dengan siapa saja. Aku hanya khawatir jika masuk perangkap kabar dusta, hingga penyelidikan kita hanya akan berakhir dengan kesia-siaan! Apalagi yang sedang kita cari dan kita selidiki adalah sesuatu yang saat ini menjadi pembicaraan banyak orang."
Meski agak jengkel dengan ucapan Uli Santang, namun si gundul Randu Sabrang coba menindihnya. Tapi dagunya yang masih tampak kokoh terlihat terangkat sedikit, sementara sepasang matanya yang menjorok keluar berputar liar, memandangi laki-laki di sebelahnya yang masih tengadah.
"Lantas apakah kita akan balik jalan?!" tanya Randu Sabrang dengan suara datar.
..... Untuk kesekian kalinya si gondrong Uli Santang keluarkan suara tawa pendek. Kepala bergerak lurus, lalu menggeleng perlahan. "Kita telah melakukan perjalanan jauh. Malah untuk mendapatkan keterangan, beberapa kali kita hams membunuh orang. Perbuatan konyol jika kita balik jalan sebelum membuktikan dengan mata kepala sendiri!"
"Hm... Bagus. Jika demikian kita harus bergerak sekarang!" ujar Randu Sabrang seraya meloncat turun dari kuda tunggangannya. Lalu menyambung ucapannya. "Sebaiknya kita tinggalkan kuda kita di sini. Selain gerakan kita lebih bebas, kedatangan kita juga tak akan dicurigai..."
Mungkin merasa kata-kata Randu Sabrang ada benarnya, tanpa keluarkan kata-kata lagi, Uli Santang meloncat turun. Keduanya lantas menambatkan kuda masing-masing pada sebatang pohon. Tiba-tiba Randu Sabrang takupkan tangan sejejar dada. Sementara hidungnya kembang kempis mengendus.
Uli Santang tegak diam memperhatikan. Dia tahu betul apa yang sedang dilakukan oleh Randu Sabrang, kakak seperguruannya yang memang punya keahlian untuk dapat menentukan sasaran dengan penciumannya. Setelah beberapa saat, dan Randu Sabrang telah tak lagi mengendus, Uli Santang ajukan pertanyaan.
"Bagaimana?!"
"Tak jauh dari sini. Tapi aku tak dapat menentukan arahnya. Karena ada hawa yang rupanya sengaja dihembuskan untuk menangkal keberadaannya! Kita harus hati-hati. Menilik hawa penangkalnya, orang yang akan kita hadapi bukan orang sembarangan!" jawab Randu Sabrang mengingatkan.
Uli Santang gerakkan mulutnya membuat senyum dingin dan sinis. "Nyatanya kau yang kecut. Dengan menebarkan hawa penangkal belum tentu menunjukkan bahwa dia berilmu tinggi! Mungkin saja hawa itu hanya untuk melindungi dirinya serta menutupi kelemahan ilmunya!"
"Terserah kau mau bilang apa. Yang pasti, dengan mampu menebarkan hawa penangkal dia berilmu tinggi. Karena hawa itu memerlukan pengerahan tenaga dalam yang kuat!" sungut Randu Sabrang dengan wajah merah padam. Laki-laki botak ini lantas putar tubuhnya setengah lingkaran. "Kita bergerak sekarang!"
Habis berkata begitu, si gundul Randu Sabrang berkelebat. Uli Santang sesaat masih tegak mengawasi sekeliling. Lalu sekejap kemudian berkelebat mengikuti Randu Sabrang. Pada suatu tempat yang terlindung beberapa pohon besar hingga cahaya sang rembulan tak dapat menembus, Randu Sabrang hentikan larinya. Kedua tangannya dirangkapkan didepan dada. Mulutnya komat-kamit. Bersamaan dengan itu tiba-tiba menebar hawa dingin sejuk.
Beberapa saat berlalu. Tiba-tiba Randu Sabrang menoleh ke belakang, ke arah Uli Santang yang memang telah berada di belakangnya. Bibirnya sunggingkan senyum. Namun laki-laki botak ini segera beri isyarat agar Uli Santang tak buka mulut ketika dilihatnya laki-laki berambut panjang itu hendak berkata. Randu Sabrang lantas angkat tangan kanannya dan menunjuk pada suatu arah. Seakan tahu isyarat, Uli Santang anggukkan kepalanya. Sejenak kemudian kedua orang ini berkelebat ke arah yang baru saja ditunjuk Randu Sabrang.
Pada suatu tempat agak landai yang hanya ditumbuhi semak belukar Randu Sabrang dan Uli Santang hentikan larinya. Keduanya lantas merunduk dan mendekam di balik sebatang pohon besar. Kedua bola mata masing-masing memandang liar ke depan dengan tak berkedip. Dada mereka masing-masing tampak bergetar karena terkejut. Namun untung mereka masih bisa menahan mulut, hingga meski keduanya terkejut besar, tapi tak ada suara yang keluar dari mulut masing-masing.
Dari tempatnya mendekam, Randu Sabrang dan Uli Santang dapat melihat dengan jelas seseorang sedang duduk bersandar pada sebuah batu besar. Orang ini duduk bersila dengan kedua tangan merangkap di depan dada. Rambutnya panjang sepunggung. Mengenakan pakaian warna putih diselempangkan di bahu kanan kirinya mirip pakaian seorang resi. Raut muka orang ini tak terlihat jelas, karena kepalanya mengenakan caping lebar dan dalam, hingga dari wajahnya hanya dagunya saja yang kelihatan.
Untuk beberapa lama Randu Sabrang dan Uli Santang memperhatikan dengan seksama tanpa keluarkan suara. Sesaat kemudian Uli Santang berpaling pada si gundul Randu Sabrang.
"Apakah dia orangnya?!" bisiknya dengan suara bergetar.
Randu Sabrang menggeleng perlahan. "Aku belum bisa memastikan..."
Uli Santang kernyitkan kening lalu berpaling lagi ke depan dan berucap lirih. "Bukankah kau pernah beberapa kali bertemu dengannya sebelum berita ini menyebar?!"
"Benar. Tapi dia tak mengenakan pakaian seperti itu. Juga tidak mengenakan caping! Rambutnya pun biasanya disanggul ke atas."
"Hmmm... Mungkin dia sekarang menyamar karena merasa dikejar-kejar orang. Sayang aku tak pernah bertemu sebelumnya..." kata si gondrong Uli Santang dalam hati. Lalu bertanya. "Kau ingat ciri-cirinya?!"
Randu Sabrang kerutkan dahi seakan mengingat-ingat. Lalu sorongkan wajahnya dan berbisik. "Yang membedakan dia dari laki-laki lain adalah sebuah tahi lalat tepat di tengah-tengah antara kedua matanya!"
"Hmm... Aku dapat menebak sekarang kenapa dia mengenakan caping lebar dan dalam. Dia sengaja menutupi tanda khusus di tengah antara kedua matanya itu! Aku makin yakin bahwa dia adalah orang yang kita cari," ujar Uli Santang dengan senyum mengulas di bibir.
"Mari kita buktikan, apakah dia benar-benar orang yang kita cari!" sambung Uli Santang lalu memberi isyarat pada Randu Sabrang untuk segera keluar dari tempat mendekamnya.
Namun gerakan kedua orang ini tertahan, karena bersamaan dengan itu sesosok bayangan hitam berkelebat dan tahu-tahu telah berdiri tegak sepuluh langkah di hadapan orang yang duduk bersila. Randu Sabrang dan Uli Santang urungkan niatnya untuk keluar. Mata mereka masing-masing memandang nanar ke depan, pada orang yang kini berdiri di hadapan orang yang duduk bersila.
Tiba-tiba Uli Santang surutkan pundaknya ke belakang pertanda terkejut. Matanya dia buka lebih lebar lagi memperhatikan orang di depan sana! Sementara Randu Sabrang tampak tenang-tenang saja walau matanya juga tak berkedip mengawasi.
"Air mukamu berubah! Apakah kau mengenal manusia yang baru datang itu?!" tegur Randu Sabrang dengan berbisik.
Uli Santang tidak segera memberi jawaban. Randu Sabrang menunggu. Karena ditunggu agak lama Uli Santang tidak juga buka mulut, Randu Sabrang ulangi lagi pertanyaannya dengan sedikit kasar.
"Kau dengar ucapanku, Uli Santang. Apakah kau kenal dengan manusia itu?!"
Dengan wajah kaku dan mendengus Uli Santang berpaling. Sejenak ditatapinya saudara seperguruannya itu dengan pandangan geram. "Percuma kau malang melintang dalam rimba persilatan jika tidak dapat mengenal tokoh-tokohnya! Buka matamu lebar-lebar. Dia adalah manusia yang bergelar Setan Neraka! Salah satu tokoh yang akhir-akhir ini banyak menelan korban!"
Si gundul Randu Sabrang tak sedikit pun menampakkan perasaan terkejut mendengar Uli Santang sebutkan siapa adanya orang di depan sana. Malah sambil menyeringai dia menyambuti ucapan si gondrong Uli Santang. "Aku memang tidak berniat mengenal siapa-siapa saja orang rimba persilatan. Yang penting bagiku menghabisi siapa saja yang coba menghadang langkahku!"
Uli Santang buka mulut tertawa tanpa keluarkan suara. Namun tiba-tiba dia katupkan kembali mulutnya. Dan serentak kepalanya berpaling ke depan, demikian juga Randu Sabrang karena saat itu dari arah depan terdengar suara bentakan.
"Bandung Bandawangsa, manusia yang bergelar Malaikat Lembah Hijau! Kau bisa menipu orang dengan menyamar sebagai apa saja, tapi di hadapanku kau tak akan bisa berbuat banyak! Kau tak dapat menipu penglihatanku!" yang keluarkan bentakan adalah orang yang baru datang dan kini tegak memperhatikan orang yang duduk bersila.
Mendapati bentakan orang, orang yang duduk bersila terlihat sedikit terkejut. Bukan karena kedatangannya, melainkan karena orang sudah tahu siapa dirinya. Namun keterkejutannya segera disembunyikan dengan keluarkan tawa pendek. Tangannya yang merangkap di depan dada diluruhkan. Tangan kanannya lalu bergerak menyodok ujung caping lebarnya, hingga caping itu bergerak ke atas, membuat sebagian wajahnya yang tak kelihatan dapat terlihat sesaat.
Namun sekejap kemudian tangannya luruh kembali, hingga wajahnya kembali tak terlihat. Tapi waktu yang sesaat itu sudah cukup baginya untuk mengetahui siapa adanya orang yang berdiri di hadapannya. Dia adalah seorang laki-laki berusia lanjut. Mengenakan pakaian rombeng dan sudah robek di sana-sini. Rambutnya sangat tipis dan telah memutih. Raut wajahnya lonjong dengan mata besar dan hidung sangat kecil.
Kulitnya berwarna hitam dan tipis, hingga yang terlihat jelas adalah tonjolan tulang-tulang wajahnya. Inilah seorang tokoh yang dalam rimba persilatan namanya sudah tidak asing lagi. Karena selain mempunyai ilmu tinggi, juga dikenal sebagai tokoh yang ganas dan mudah menurunkan tangan maut, hingga dia digelari dengan Setan Neraka.
"Setan Neraka... Hmm... Rupanya dia telah mengetahui siapa diriku. Apakah kedatangannya juga bermaksud seperti beberapa orang sebelumnya? Heran, Apa tujuan sebenarnya orang-orang selalu memburuku dan meminta dariku sesuatu yang aku sendiri tak tahu. Pedang Tumpul. Mereka kebanyakan membicarakan Pedang Tumpul. Apa hubungannya pedang itu dengan diriku? Aku benar-benar ditimpa sial! Harus berpindah-pindah tempat hanya untuk menghindari kejaran orang-orang yang maksudnya tak kumengerti!"
Orang yang duduk bersila dan tadi disebut dengan Bandung Bandawangsa alias Malaikat Lembah Hijau membatin seraya usap-usap dadanya seolah ingin meredakan gejolak yang akhir-akhir ini selalu melanda hatinya karena dipenuhi dengan beberapa pertanyaan yang sampai sekarang tidak bisa ditemukan jawabnya. Selagi Malaikat Lembah Hijau berkata dengan dirinya sendiri.
Setan Neraka maju satu tindak. Kedua tangannya bergerak sedekap. Sesaat kemudian laki-laki berpakaian rombeng ini berkata. "Malaikat Lembah Hijau. Meski kita lain golongan, namun di antara kita tidak pernah terjadi silang sengketa. Dan kedatanganku kali ini dengan harapan tidak akan terjadi silang sengketa meski aku membutuhkan sesuatu darimu!"
"Hm... Begitu?!" Malaikat Lembah Hijau buka mulut. "Harap kau segera mengatakan apa maksud kedatanganmu. Namun aku juga berharap, agar tidak ada silang sengketa jika nantinya aku tidak dapat membantumu!"
Setan Neraka tersenyum menyeringai, hingga tulang pipinya sedikit terangkat. Sepasang matanya yang besar menyorot tajam memandangi Malaikat Lembah Hijau.
Sementara itu, di balik pohon Randu Sabrang dan Uli Santang sama tersentak begitu Malaikat Lembah Hijau keluarkan suara. Namun wajah masing-masing orang ini tampak berseri. Malah Uli Santang terlihat tersenyum lebar. Karena dengan terdengarnya suara jawaban Malaikat Lembah Hijau, mereka tanpa membuktikan lagi siapa adanya orang yang duduk, mereka telah dapat mengetahuinya!
"Rupanya perjalanan kita tidak sia-sia..." gumam Uli Santang dengan mata lurus ke arah Setan Neraka dan Malaikat Lembah Hijau.
"Benar. Sasaran telah di depan mata. Lantas apa yang harus kita perbuat sekarang?!" tanya Randu Sabrang. "Sebaiknya kita menunggu sambil melihat apa yang hendak dilakukan si Setan Neraka itu! Sekaligus untuk menjajaki sampai di mana kehebatan ilmu Setan Neraka serta Malaikat Lembah Hijau!"
"Malaikat Lembah Hijau..." kata Setan Neraka sambil usap-usapkan kedua tangannya satu sama lain. "Kau tentunya telah tahu dan dengar, bahwa rimba persilatan saat ini sedang dilanda kemelut yang tiada hentinya. Tokoh-tokoh rimba persilatan saling bunuh tanpa maksud yang jelas. Lalu beberapa tokoh yang telah lama tiada kabar beritanya tiba-tiba muncul lagi dan membuat keributan di sana-sini. Belum lagi..."
Setan Neraka tak melanjutkan ucapannya karena Malaikat Lembah Hijau telah menukas. "Setan Neraka! Aku tak punya waktu banyak. Bicaralah terus terang saja. Katakan apa hubungannya semua yang kau katakan tadi dengan diriku!"
Setan Neraka mendengus dan memaki dalam hati. Walau ucapan Malaikat Lembah Hijau membuatnya geram, namun kakek ini menindihnya. Setelah menahan dadanya yang bergetar, dia berkata. "Sebenarnya pangkal dari segala kemelut yang terjadi saat ini adalah dirimu!"
Malaikat Lembah Hijau melengak kaget hingga bahunya terlihat berguncang. Mulutnya komat-kamit. Lalu terdengar ucapannya. Suaranya parau dan bergetar. "Kau jangan seenaknya menuduh orang Setan Neraka! Atau mulutmu akan kutampar!"
Setan Neraka mendongak. Lalu dari mulutnya terdengar suara tawa keras dan panjang hingga sesaat kemudian tempat itu seakan tersentak dari kesunyian. Setelah puas tertawa, kakek ini luruskan kepalanya memandang tajam pada Malaikat Lembah Hijau.
"Dengar baik-baik Malaikat Lembah Hijau! Selain saling membunuh dengan tujuan ingin menjadi orang tanpa tanding tokoh-tokoh itu juga memburu senjata mustika yang kehebatannya luar biasa!"
"Hmm... Rupanya dia juga ingin membicarakan tentang Pedang Tumpul itu. Aku makin tak mengerti dengan semua ini..." ucap Malaikat Lembah Hijau dalam hati, lalu berkata dengan suara agak keras. "Setan Neraka! Kukatakan sekali lagi, bicaralah terus terang atau aku akan meninggalkanmu!"
"Boleh-boleh saja kau meninggalkan aku, namun kau harus serahkan dulu petunjuk tentang beradanya pedang mustika itu!" ujar Setan Neraka dengan tertawa ngakak.
Malaikat Lembah Hijau menyeringai dengan mata di balik caping mendelik besar. "Kau rupanya tak beda dengan beberapa orang yang datang sebelumnya! Meminta sesuatu yang tidak kupunyai!"
Setan Neraka makin keraskan suara tawanya mendengar kata-kata Malaikat Lembah Hijau, membuat laki-laki bercaping ini jengkel.
"Setan Neraka. Aku ada perlu lain. Aku tak dapat membantumu jika urusan yang tak kumengerti itu tujuanmu!" habis berkata begitu Malaikat Lembah Hijau bergerak bangkit.
Namun sebelum benar-benar bergerak, Setan Neraka telah melompat maju, membuat Malaikat Lembah Hijau urungkan niatnya untuk bangkit. "Kau tak mau membantuku, berarti kau menciptakan silang sengketa. Dan itu adalah nasib buruk buatmu!"
"Ah... Ternyata kau punya niat busuk terhadapku! Tak kusangka sama sekali..." desis Malaikat Lembah Hijau dengan sinis. Dia tak bergerak dari tempatnya, namun diam-diam dia kerahkan tenaga dalamnya pada kedua tangannya.
"Terserah kau bilang apa. Namun satu hal yang perlu kau cam-kan, kalau kau tetap tak mau memberikan apa yang kuminta selagi kau masih bernapas, aku tak keberatan mengambilnya saat nyawamu telah melayang!"
"Begitu?! Sayang sekali. Kau bukannya akan mendapatkan apa yang kau pinta, namun akan kehilangan nyawa satu-satunya jika terus memaksaku! Namun aku masih memberimu kesempatan hidup jika kau lekas meninggalkan tempat ini!"
"Jahanam!" teriak Setan Neraka marah. Kedua tangannya segera melesat ke depan, mengarah pada kepala Malaikat Lembah Hijau. Serangkum angin dahsyat melabrak mendahului kedua tangan, menandakan bahwa hantaman tangan itu dialiri tenaga dalam sangat kuat.
Malaikat Lembah Hijau yang sedari tadi telah waspada, segera angkat kedua tangannya, sementara kepalanya dirundukkan kembali, membuat caping lebar di kepalanya makin melesak ke dalam, menutup seluruh wajahnya.
Prakkk! Prakkk!
Terdengar benturan keras ketika dua pasang tangan itu bentrok. Setan Neraka berseru tegang dan langsung melompat mundur. Parasnya berubah dengan mata mendelik memperhatikan kedua tangannya. Ternyata kedua tangannya telah berubah kemerah-merahan dan bergetar. Sementara dadanya berdenyut nyeri. Dari sini Setan Neraka telah dapat mengetahui bahwa orang yang dihadapi kali ini bukanlah orang sembarangan.
"Hmm... Nyatanya kabar tentang ketinggian ilmunya bukan berita bohong. Tak heran jika banyak orang menemui ajal saat memburunya..." ucap Setan Neraka dalam hati.
Di hadapannya, Malaikat Lembah Hijau tampak mengusap-usap kedua tangannya seraya bergumam tak jelas. Namun dari bahunya yang sedikit berguncang, membuktikan jika orang ini juga menahan rasa sakit dan panas pada kedua tangannya yang baru saja bentrok.
"Setan Neraka! Sebaiknya urusan ini kita selesaikan sampai di sini saja. Karena hanya kekecewaan yang nanti akan kau peroleh!" ujar Malaikat Lembah Hijau sambil bergerak bangkit. Lalu merapikan pakaiannya dan hendak melangkah meninggalkan tempat itu.
"Jangan mimpi bisa meninggalkan tempat ini sebelum kau serahkan apa yang kuminta!" bentak Setan Neraka sambil hantamkan kedua tangannya.
Wuuuttt! Wuuuttt!
Dua gelombang angin dahsyat yang keluarkan suara menggemuruh melesat cepat ke arah Malaikat Lembah Hijau. Bersamaan itu, suasana berubah panas! Malaikat Lembah Hijau segera menyingkir dengan melompat ke samping. Lalu dari tempatnya kini, laki-laki bercaping ini lepaskan pukulan dengan dorong kedua tangannya yang dikembangkan.
Wuuusss! Wuuusss! Asap putih bergulung-gulung menggebrak memapak serangan Setan Neraka.
Blaaarrr! Terdengar ledakan dahsyat. Rimba belantara itu laksana dilanda gempa hebat. Daun-daun luruh dengan hangus, semak belukar bercerabut dan membubung ke angkasa. Tanah muncrat menutupi pemandangan!
Tubuh Setan Neraka tampak mencelat sampai beberapa tombak ke belakang, lalu jatuh terduduk bersandar pada sebatang pohon. Darah tampak mengalir dari sudut bibirnya. Kulit wajahnya yang berwarna hitam berubah agak memutih. Sementara dari mulutnya terdengar erangan dan makian panjang pendek.
Di lain pihak, Malaikat Lembah Hijau tampak berlutut di atas tanah. Caping yang dikenakannya mencelat entah ke mana. Sementara tubuhnya terlihat bergetar keras. Ketika laki-laki ini hendak bergerak bangkit, tiba-tiba bersiur angin deras dari belakangnya. Merasa ada bahaya, Malaikat Lembah Hijau segera rebahkan tubuh sejajar tanah. Tubuhnya dengan gerakan kilat bergerak membalik dan sepasang kakinya melayang ke belakang!
Bukkk! Setan Neraka yang ternyata telah melakukan serangan lagi dari arah belakang tercekat kaget. Dia sama sekali tidak menyangka jika gerakan tangannya yang menghantam ke arah kepala Malaikat Lembah Hijau dapat dielakkan malah karena begitu bernafsunya ingin menghantam, tubuhnya terhuyung ke depan karena hantamannya tak mengenai sasaran, dan pada saat itulah sepasang kaki Malaikat Lembah Hijau menghajar dadanya! Tubuhnya terseret ke belakang sebelum akhirnya jatuh terhempas dengan punggung sejajar tanah! Darah hitam makin banyak keluar dari mulut dan hidungnya!
Melihat Setan Neraka roboh, Malaikat Lembah Hijau bergerak bangkit. Lalu melangkah menghampiri. Namun baru dua langkah dia berhenti. Sepasang matanya memperhatikan sosok Setan Neraka. Dari tempat mendekamnya, Randu Sabrang dan Uli Santang sama pelototkan mata masing-masing. Lalu sama-sama berpaling dan saling pandang sejenak. Meski kedua orang ini tidak ada yang keluarkan ucapan, namun dari paras keduanya mudah ditebak jika keduanya tampak sedikit kecut. Mereka telah tahu bagaimana orang yang akan dihadapi. Namun sesaat kemudian, Uli Santang berbisik.
"Kita tak perlu takut! Setan Neraka dapat dirobohkan karena manusia itu hanya besar di mulut cekak di ilmu! Lagi pula kita kan berdua!"
Randu Sabrang hanya mengangguk perlahan tanpa keluarkan kata-kata. Keduanya lantas alihkan pandangannya ke depan lagi. Di sana terlihat Malaikat Lembah Hijau tegak mengawasi Setan Neraka. Lalu terdengar dia berkata.
"Menuruti kemarahan, ingin rasanya aku menghabisimu saat ini juga. Namun tak pantas rasanya bertindak pada orang yang tak berdaya!" habis berkata begitu, Malaikat Lembah Hijau balikkan tubuh lalu melangkah.
"Saatnya kita bergerak!" seru Uli Santang dengan berbisik.
Randu Sabrang anggukkan kepalanya. Kedua orang ini bangkit dan hendak berkelebat. Namun lagi-lagi gerakannya tertahan, karena di seberang depan sana Setan Neraka tiba-tiba keluarkan bentakan keras. Bersamaan dengan itu tubuhnya melesat. Kedua tangannya membuat gerakan menghantam beberapa kali. Saat itu juga gelombang angin dahsyat yang melesat susul menyusul bergemuruh menggebrak ke arah Malaikat Lembah Hijau!
Malaikat Lembah Hijau berpaling dan serta-merta tersentak. Namun laki-laki ini segera sadar dan kejap itu juga kedua kakinya ditekuk, kedua tangannya dibuka mengembang. Lalu dengan tenaga dalam penuh, kedua tangannya didorong ke depan. Untuk kedua kalinya tempat itu bergetar keras. Tanah terbongkar dan berhamburan ke udara.
Ketika tanah telah sirap, Malaikat Lembah Hijau tampak menggelosoh bersandar pada batu yang telah pecan berantakan. Mukanya pias. Laki-laki ini segera meneliti. Pakaian yang dikenakannya ternyata telah berubah hangus. Namun tubuhnya tidak ada yang mengalami cidera meski aliran darahnya terasa tersumbat dan dadanya sakit jika dibuat bernapas!
Di seberang, Setan Neraka tampak telentang dengan muka mengelam hitam. Darah masih mengucur dari hidung dan mulutnya. Sesaat laki-laki ini masih bergerak-gerak dengan keluarkan erangan menyayat. Namun sesaat kemudian erangannya terputus laksana direnggut setan. Bersamaan dengan itu tubuhnya diam kaku tak bergerak-gerak lagi!
Malaikat Lembah Hijau menghela napas dalam-dalam, lalu menggelengkan kepalanya. "Kutuk apa yang sebenarnya sedang menimpaku saat ini. Aku dikejar-kejar orang yang tak kumengerti maksud tujuannya! Meminta sesuatu dariku yang aku sendiri tak merasa memiliki! Ah..." Malaikat Lembah Hijau bergerak bangkit.
Sementara itu, di atas sebuah dahan pohon yang ranting dan dahannya amat rapat sesosok tubuh samar-samar terlihat berpaling sebentar ke arah sosok Setan Neraka yang telah tak bernyawa lagi. Sosok ini lantas sunggingkan senyum sinis dan bergumam sendiri.
"Manusia serakah yang tak pandai memperhitungkan diri. Ilmu masih sebatas mata kaki, mulut sudah menggelembung berkoar setinggi langit! Hm... Aku akan menunggu. Kedua manusia di balik pohon itu pasti akan segera keluar dari persembunyiannya..." kepala sosok ini lantas bergerak ke arah pohon di mana Randu Sabrang dan Uli Santang berada.
Apa yang diduga sosok di atas dahan ternyata tak meleset. Karena begitu Malaikat Lembah Hijau hendak melangkah meninggalkan tempat itu, dua sosok bayangan berkelebat keluar dari balik pohon dan langsung menghadang di depan Malaikat Lembah Hijau. Malaikat Lembah Hijau terperangah. Seketika kakinya tersurut satu tindak. Sepasang matanya segera memperhatikan dua manusia yang kini menghadang di depannya. Di lain pihak, dua manusia yang ada dihadapannya dan bukan lain adalah Randu Sabrang dan Uli Santang sama-sama mendongak!
BAB 2
Si gundul Randu Sabrang dan si gondrong Uli Santang menjawab teguran dengan suara tawa mengekeh. Tiba-tiba Uli Santang sentakkan kepalanya lurus ke depan. Lalu berpaling pada sosok Setan Neraka yang membujur kaku. Bibirnya tersenyum sinis.
"Kalian tak mau jawab pertanyaan, namun kalian menghadang. Pasti kalian punya maksud tidak baik!" ujar Malaikat Lembah Hijau seraya memperhatikan lebih seksama satu persatu tampang dua orang dihadapannya.
Ketika memandang Randu Sabrang, Malaikat Lembah Hijau terlihat mengernyit seakan berpikir. "Aku rasa-rasanya pernah bertemu dengan si botak ini. Tapi aku lupa di mana dan kapan. Hmm... Melihat sikap mereka, hampir kupastikan mereka punya niat seperti beberapa orang sebelumnya. Meminta sesuatu yang tak kumiliki! Aneh. Siapa sebenarnya yang menyebar berita konyol ini? Sialan benar! Gara-gara berita konyol ini hidupku tak bisa tenang, bahkan harus berurusan dengan nyawa manusia!" batinnya seraya gerakkan kepala menggeleng.
"Bandung Bandawangsa!" ucap Randu Sabrang tanpa memandang. "Kami tak akan panjang lebar bicara. Serahkan saja petunjuk itu pada kami! Dan kau boleh pergi dengan leluasa!"
Malaikat Lembah Hijau menatap tajam pada si gundul Randu Sabrang yang telah memanggilnya dengan nama asli. "Dengar baik-baik! Kalau kalian meminta petunjuk yang sebenarnya tak kumengerti, kalian boleh lihat-lihat dulu apa akibatnya!" seraya berkata begitu, Malaikat Lembah Hijau mengarahkan pandangannya pada sosok Setan Neraka. Dia sengaja menggertak agar dua orang di hadapannya tidak meneruskan niat.
Namun Randu Sabrang dan Uli Santang bukannya takut, malah sebaliknya kedua orang ini sama-sama keluarkan tawa pendek dengan nada mengejek. "Kami bukan Setan Neraka! Jangan dikira kami takut dengan gertak sambalmu!" bentak si gondrong Uli Santang dengan mata berkilat merah.
"Bandung Bandawangsa!" sambung Uli Santang masih dengan suara keras. "Jangan tunggu sampai kesabaran kami pupus. Cepat serahkan apa yang kami minta!"
Bandung Bandawangsa alias Malaikat Lembah Hijau kembangkan kedua telapak tangannya hingga keluarkan suara gemeretakan. Laki-laki ini tampaknya sudah merasa geram, karena selalu dimintai sesuatu yang dia sendiri merasa tak mempunyai. Di lain pihak, orang tak percaya dengan kata-katanya.
Sementara itu, di atas dahan sesosok tubuh yang sedari tadi memperhatikan keadaan di bawahnya menggumam perlahan. "Muka Iblis dan Datuk Darah! Dua bangsat yang sejak lama ingin menguasai jagat persilatan. Hmm... Ketidakmunculannya selama ini mungkin karena melakukan penyelidikan ini. Apakah mereka akan mampu merobohkan Malaikat itu?! Aku tidak yakin... Biar pun mereka maju bersamaan. Bandung Bandawangsa demikian pesat kemajuannya. Aku sendiri merasa heran, kenapa Bandung Bandawangsa demikian gigih mempertahankan petunjuk itu? Padahal dia sendiri sepertinya tidak tertarik dengan Pedang Tumpul itu. Buktinya dia tidak melakukan sesuatu untuk mencarinya, sedangkan petunjuk itu ada pada dirinya! Apakah... Ah, tidak mungkin. Semua orang kini telah tahu, bahwa dialah yang punya petunjuk itu! Mungkin dia ingin memberikan petunjuk itu pada seseorang. Atau menginginkan pedang mustika itu tidak dimiliki oleh siapa pun!" sosok di atas dahan ini arahkan kembali pandangannya ke bawah.
Di bawah, Malaikat Lembah Hijau tak segera menyambuti ucapan Uli Santang, membuat Randu Sabrang habis kesabarannya. Laki-laki berkepala botak ini maju dua langkah. Namun sebelum terdengar ucapannya, Malaikat Lembah Hijau telah mendahului.
"Kalian minta sesuatu dari dariku, namun kalian tak mau sebutkan siapa kalian sebenarnya!"
Randu Sabrang rangkapkan kedua tangan di depan dada. Sepasang matanya yang melotot ke luar nanar memandangi Malaikat Lembah Hijau. "Hmm... Itu maumu. Kuturuti permintaanmu! Pasang telinga baik-baik! Aku Muka Iblis, sedangkan dia adik seperguruanku yang bergelar Datuk Darah!"
Malaikat Lembah Hijau sembunyikan perubahan wajahnya dengan memandang pada jurusan lain. Diam-diam laki-laki ini enggan berhadapan dengan mereka. "Muka Iblis dan Datuk Darah... Gelar mereka telah kudengar selama ini. Bahkan dengan si Muka Iblis ini rasanya aku pernah jumpa. Hmm... Mereka katanya orang-orang yang berilmu tinggi dan amat kejam. Aku harus berhati-hati. Ah, aku tak habis pikir tentang semua ini..."
"Bandung Bandawangsa. Kami telah turuti permintaanmu. Sekarang giliranmu memberikan apa yang kami minta!" hardik si gundul Randu Sabrang ketika mendapati Malaikat Lembah Hijau tercenung diam.
Malaikat Lembah Hijau gelengkan kepalanya sambil menghela napas dalam-dalam. "Dengarlah. Sebenarnya kalian meminta pada orang yang salah! Aku tidak memiliki apa yang kalian minta!"
Randu Sabrang keluarkan dengusan keras dan hentakan kedua kakinya ke atas tanah, membuat tanah itu bergetar! Dan sepasang kakinya segera digeser ke samping, karena bekas hentakannya telah membentuk lubang! Dari sini Malaikat Lembah Hijau telah maklum jika dua orang di hadapannya memang tidak bisa dipandang enteng.
"Bandung Bandawangsa! Apa sebenarnya yang membuatmu begitu bertahan untuk tidak menyerahkan petunjuk itu?! Apakah kau ingin memiliki senjata itu?!" yang keluarkan suara kali ini adalah Uli Santang alias Datuk Darah. Seraya berkata, Datuk Darah maju dua langkah menjajari Randu Sabrang alias Muka Iblis.
Malaikat Lembah Hijau tertawa perlahan. Seraya menggeleng dia berucap. "Dalam hidup, aku tidak memperturutkan nafsu yang ingin minta dan memburu sesuatu yang berlebihan. Karena nafsu selalu menyatu dengan kesenangan. Padahal kesenangan seringkali membuat orang lupa! Lupa akan siapa dirinya. Malah lupa bahwa dia dicipta dan telah ditentukan apa yang kelak diperoleh!"
Mendengar ucapan Malaikat Lembah Hijau, Randu Sabrang tertawa bergelak, hingga sepasang matanya yang menjorok ke luar seolah-olah hendak jatuh bergelindingan di tanah. "Tapi apakah kau telah tahu bahwa apa yang kami minta darimu adalah sesuatu yang memang ditentukan untuk kami miliki?!"
"Manusia berhak bicara. Namun jangan mendahului kehendak Yang Mencipta! Itu telah melangkahi kodrat dan akan berakibat fatal!"
"Keparat!" teriak Muka Iblis geram. "Akan kubuktikan bahwa ucapanmu tidak masuk akal, Bandung Bandawangsa!"
Habis berucap begitu, si gundul Muka iblis segera melompat. Tangan kanannya melesat, bersamaan dengan itu, kaki kanannya diangkat dan segera pula bergerak menendang. Angin deras segera melesat mendahului sebelum tangan dan kaki itu menghajar sasaran! Pertanda jika Muka Iblis langsung membuka serangan dengan pengerahan tenaga dalam kuat. Hal ini bisa dimengerti, karena Muka Iblis telah tahu sampai di mana kehebatan lawan.
Mengetahui Muka Iblis telah melakukan serangan, Datuk Darah tak tinggal diam. Laki-laki berambut panjang ini segera pula melompat ke depan. Dan dari arah samping Malaikat Lembah Hijau, dia pukulkan kedua tangannya sekaligus ke arah kepala lawan!
Mendapati serangan yang begitu gencar, Malaikat Lembah Hijau tampak sedikit terkesiap kaget. Darahnya seakan sirap sejenak. Sosok laki-laki berpakaian seperti resi ini tampak terdorong satu tindak ke belakang. Namun ia segera genjot tubuhnya ke udara. Tangan kanan kirinya bergerak merentang, sementara kakinya melayang ke depan memapak tendangan Muka Iblis.
Prakkk! Prakkk! Prakkk!
Terdengar benturan keras tiga kali berturut-turut. Muka Iblis mencelat sampai beberapa tombak ke belakang. Lalu jatuh terduduk seraya keluarkan makian tak karuan. Datuk Darah sendiri tersurut dua langkah ke belakang, tubuhnya terhuyung-huyung dengan paras muka berubah pucat. Namun dia segera bisa kuasai diri walau tangannya terasa seakan hendak penggal.
Sementara Malaikat Lembah Hijau tubuhnya berputar lalu jatuh bergulingan di atas tanah! Hal ini terjadi karena Malaikat Lembah Hijau harus menghadapi dua kekuatan tenaga dalam. Namun dari bentrok tadi, Malaikat Lembah Hijau segera putar otak.
"Aku harus sedapat mungkin menghindari bentrok langsung, karena tenaga dalamku tak akan kuasa jika terus-terusan menghadapi dua tenaga dalam. Aku akan menjaga jarak dan akan memaksa mereka lakukan pukulan jarak jauh! Ah... Urusan edan ini sampai kapan akan terhenti?!" batin Malaikat Lembah Hijau seraya bergerak bangkit.
Di seberang sana, baik Muka Iblis maupun Datuk Darah telah sama-sama siap lakukan serangan lagi. Kedua orang ini telah takupkan masing-masing tangannya di depan dada. Tak lama kemudian, Datuk Darah berpaling pada Muka Iblis dan memberi isyarat dengan anggukan kepala. Kedua orang ini langsung bergerak. Muka Iblis berkelebat ke samping kanan, sedangkan Datuk Darah berkelebat ke samping kiri. Dari arah samping kanan kiri ini, serentak keduanya lepaskan pukulan!
Wuuuttt! Wuuuttt!
Udara dingin hutan belantara itu mendadak berubah panas. Bersamaan dengan itu, gelombang angin berkekuatan laksana ombak menggebrak! Keluarkan suara menggidikkan. Tanah muncrat laksana air dan berhamburan ke udara.
"Dasar bodoh! Kenapa melakukan serangan dari arah samping? Jika dia bisa menyelamatkan diri, dua bangsat itu akan menerima akibat kebodohannya!" umpat sosok yang di atas dahan demi melihat Muka Iblis dan Datuk Darah lancarkan serangan dari arah samping kiri kanan Malaikat Lembah Hijau.
Malaikat Lembah Hijau sendiri segera kerahkan tenaga dalam, lalu dia menggerakkan bahunya, sosoknya mencuat ke udara. Bersamaan dengan itu terdengar debuman menggelegar akibat bentroknya pukulan Muka Iblis dan Datuk Darah. Meski Malaikat Lembah Hijau sempat mencuat ke udara, namun tak urung juga bias bentroknya dua pukulan itu menghajar tubuhnya di udara. Hingga sosoknya makin melambung tinggi.
Meski sekujur tubuhnya terasa ngilu bukan alang kepalang, namun tat kala sosoknya menukik turun, laki-laki ini masih sempat menangkap sosok Datuk Darah yang terseret dan terhuyung-huyung hendak terjerembab. Saat itulah tanpa membuang kesempatan lagi, Malaikat Lembah Hijau hantamkan kedua tangannya!
Wuuusss! Wuuusss!
Angin yang menderu dahsyat melesat keluar dari kedua tangan Malaikat Lembah Hijau. Datuk Darah yang coba menguasai diri dari huyungan tubuhnya yang hendak jatuh tersentak kaget. Dia kerahkan segenap tenaga untuk menghindar dengan bergerak melompat ke samping. Namun serangan Malaikat Lembah Hijau lebih cepat datangnya hingga tanpa ampun lagi tubuhnya terpelanting ke belakang dengan kepala terlebih dahulu menghempas tanah!
Datuk Darah meraung keras. Laki-laki ini coba bergerak bangkit meski sadar jika tubuhnya cidera dalam. Tapi sebelum sosoknya benar-benar tegak, laki-laki ini telah terjerembab kembali! Darah hitam telah mengucur dari mulut dan hidungnya. Sementara pakaian bagian dadanya telah robek besar! Kulit di balik robekan pakaian itu tampak biru kehitaman.
Muka Iblis yang juga jatuh telentang akibat pukulannya bentrok dengan pukulan Datuk Darah cepat bangkit. Dan demi melihat keadaan Datuk Darah, laki-laki berkepala botak ini keluarkan gerengan keras, Wajahnya keras membatu, pelipis kiri kanannya bergerak-bergerak.
"Bandung Bandawangsa! Kau telah menciderai saudaraku. Nyawamu adalah imbalan yang pantas!" bentak Muka Iblis. Serta merta kedua tangannya dihantamkan ke arah Malaikat Lembah Hijau.
Malaikat Lembah Hijau tak tinggal diam. Begitu gelombang angin melesat keluar dari kedua tangan lawan, dia cepat berkelebat hampir tak dapat diikuti mata telanjang. Muka Iblis ternganga lebar ketika mendapati pukulannya hanya menghajar tempat kosong. Dan laki-laki ini makin tercekat tatkala sepasang matanya yang melotot besar tak menangkap lagi sosok Malaikat Lembah Hijau. Selagi laki-laki botak ini tercenung, dari arah belakangnya terdengar langkah-langkah mendekatinya. Sigap, Muka Iblis segera putar tubuhnya. Namun belum sampai setengah putaran, dua tangan telah menyergapnya.
Seeettt! Seeettt!
Muka Iblis meraung ketika kedua tangan itu telah menjapit lehernya. Laki-laki ini keluarkan bentakan beberapa kali dengan menghantamkan tangannya kearah tangan yang menjapit lehernya. Namun gerakannya terlambat. Kedua tangan yang menjapit telah bergerak memutar, lalu mengangkat dan menyentak ke bawah. Akibatnya sosok Muka Iblis terpuntir lalu terangkat ke atas sebelum akhirnya jatuh terbanting dengan deras!
Sejenak tubuh Muka Iblis bergerak menggeliat. Namun sesaat kemudian telentang tak bergerak-gerak lagi dengan leher terpuntir dan mulut berdarah! Malaikat Lembah Hijau menghela napas panjang. Sepasang matanya sejenak memandangi sosok Muka Iblis yang sudah tak bernyawa lagi di bawahnya.
"Hm... Aku terpaksa harus melakukan ini. Jika tidak, nyawaku sendiri yang akan melayang... Sungguh amat disayangkan, harus banyak korban yang jatuh karena meminta sesuatu yang lebih dari apa yang telah ditentukan..."
Malaikat Lembah Hijau lalu memandang kearah Datuk Darah. Datuk Darah yang telah duduk dan cidera terlihat berubah parasnya. Sebenarnya laki-laki ini marah besar melihat saudara seperguruannya tewas begitu rupa. Namun menyadari dirinya terluka parah dan tak mungkin mengadakan perlawanan, dia akhirnya hanya menyumpah-nyumpah dalam hati. Malah dia sempat merinding ketika mendapati Malaikat Lembah Hijau memandang ke arahnya. Dia khawatir jika Malaikat Lembah Hijau akan menurunkan tangan maut terhadapnya.
Namun laki-laki ini segera menghela napas lega tatkala dilihatnya Malaikat Lembah Hijau alihkan pandangannya dan perlahan-lahan pula melangkah meninggalkan tempat itu. Tapi baru saja Malaikat Lembah Hijau melangkah dua tindak, sesosok bayangan turun dari sebuah pohon. Dan tahu-tahu telah berdiri tegak di hadapan Malaikat Lembah Hijau!
BAB 3
Sementara sosok yang baru datang segera memperdengarkan suara tawa pelan dan alihkan pandangannya ke arah dua sosok yang sudah jadi mayat, lalu ke arah Datuk Darah yang duduk seraya usap-usap dadanya. Datuk Darah membelalakkan sepasang matanya dan tubuhnya digeser ke belakang. Paras wajahnya berubah dan jelas menunjukkan rasa takut.
"Hantu Makam Setan..." gumam Datuk Darah pelan seraya alihkan padangannya. Dadanya makin bergetar. Mungkin menangkap gelagat tidak baik dari pandangan orang, diam-diam dia kerahkan tenaga dalamnya. Namun laki-laki ini tiba-tiba pucat pasi. Ternyata dadanya amat sakit ketika coba kerahkan tenaga dalam. Hingga seraya memaki panjang pendek dalam hati dia geser lagi tubuhnya ke belakang.
"Setan alas! Kalau dia menyerangku, habislah riwayatku..." keluhnya dalam hati.
Sosok orang yang baru datang yang ternyata adalah seorang laki-laki berusia agak lanjut tersenyum sinis penuh ejekan. Orang ini mengenakan jubah besar berwarna merah. Sosoknya tinggi besar dengan rambut disanggul ke atas. Paras wajahnya bulat besar, namun wajah itu hampir-hampir tak ditutupi lapisan kulit!
Yang jelas tampak adalah guratan tonjolan tulang-tulangnya. Sepasang matanya besar dan menjorok dalam cekungan tulang yang dalam. Kedua alis matanya tebal dan bertautan. Hidungnya besar, namun hidung itu hanya separo, sebelahnya hanya merupakan cekungan!
Meski manusia ini hanya mempunyai satu lubang hidung, namun sewaktu menarik napas tak kelihatan sulit, malah dari hembusan napasnya terdengar siuran angin keras!
Dalam jagat persilatan, manusia ini dikenal orang dengan gelar Hantu Makam Setan. Seorang tokoh rimba persilatan yang paling ditakuti dan diduga berat dialah si pembuat kemelut akhir-akhir ini. Orang di belakang pembunuhan yang bergelombang!
Mendapati tingkah Datuk Darah yang tak dapat menyembunyikan rasa takutnya, Hantu Makam Setan mendongak. Sambil tertawa pelan dia berujar. Suaranya sengau. "Datuk Darah! Kau tak usah khawatir, kita satu golongan!"
Datuk Darah menghela napas lega mendengar ucapan Hantu Makam Setan. Namun cuma sesaat, karena sesaat kemudian Hantu Makam Setan telah menyambung ucapannya. "Kau tunggulah di situ. Setelah aku menyelesaikan urusanku, kau pasti akan mendapat giliran!"
"Giliran? Giliran apa maksudmu?!" tanya Datuk Darah tak mengerti ucapan Hantu Makam Setan. Suaranya pelan dan bergetar.
"Manusia kerbau!" seru Hantu Makam Setan geram karena Datuk Darah tak mengerti arah bicaranya. Seraya putar tubuhnya menghadap Datuk Darah, Hantu Makam Setan melanjutkan. "Kau lihat apa di sekitarmu? Itulah giliran yang harus kau tunggu!"
Habis berkata begitu, Hantu Makam Setan putar kembali tubuhnya menghadap Malaikat Lembah Hijau dengan tertawa mengekeh. Sementara Datuk Darah makin merinding dan tubuhnya semakin berguncang. Laki-laki ini geser lagi tubuhnya ke belakang dengan sepasang mata melirik kesana kemari.
"Datuk Darah! Sekali lagi kau bergerak, giliranmu akan datang terlebih dahulu! Kau dengar itu?!" hardik Hantu Makam Setan seakan tahu apa yang ada di benak Datuk Darah.
Datuk Darah menyeringai dengan menyumpah-nyumpah dalam hati. Laki-laki ini memang telah merencanakan untuk melarikan diri. Dia sadar, apa yang dikatakan Hantu Makam Setan bukanlah omong kosong.
"Jahanam terkutuk! Manusia ini tahu apa yang hendak kulakukan. Hm... Sebaiknya aku pura-pura menuruti saja perintahnya. Dan begitu dia lengah..." Datuk Darah tak melanjutkan kata hatinya, dia hanya anggukkan kepala. Lalu memandang ke depan, ke arah Hantu Makam Setan dan Malaikat Lembah Hijau yang kini telah saling berhadapan kembali.
"Bandung Bandawangsa..." Hantu Makam Setan buka mulut memecah kebisuan di antara keduanya. "Aku tak akan bicara panjang lebar. Kau tentunya telah tahu siapa aku dan bagaimana sifatku. Aku sengaja mencarimu dengan satu tujuan. Di hadapanmu tujuan berubah menjadi permintaan! Lekas serahkan petunjuk tentang pedang mustika itu, atau aku akan mengambilnya begitu kau tak bernyawa lagi!"
Malaikat Lembah Hijau tersenyum tipis meski dalam hatinya diam-diam berkata. "Aku pernah melihat bagaimana manusia satu ini menghabisi lawan-lawannya. Ilmunya sangat tinggi. Tapi aku tak akan mundur, permintaan gilanya itu tak mungkin kuturuti karena aku sendiri tak tahu segala macam petunjuk tentang apa yang dikatakannya!" laki-laki berpakaian selempang putih ini lantas berkata.
"Hantu Makam Setan... Ternyata kedatanganmu tidak beda dengan beberapa orang sebelumnya. Dengarlah. Kau salah alamat jika minta petunjuk itu padaku, karena aku sendiri tak tahu-menahu tentang segala macam pedang mustika!"
Tiba-tiba Hantu Makam Setan tertawa bergelak. Puas tertawa laki-laki berhidung sebelah ini memandang nyalang pada Malaikat Lembah Hijau. Didahului henbusan napas berat, dia berujar sengau. "Mulutmu boleh berdalih dengan segala macam alasan. Namun kau harus tahu, hal itu akan membawamu berkalang tanah sebelum waktunya!"
"Hmm... Begitu? Sayang sekali..." gumam Malaikat Lembah Hijau, membuat Hantu Makam Setan kernyitkan tulang dahinya.
"Apanya yang sayang?!" tanya Hantu Makam Setan minta penjelasan.
Malaikat Lembah Hijau mendehem beberapa kali. Lalu memandang jauh seraya berkata datar. "Aku tak pernah memikirkan kapan aku akan mati. Karena hal itu pasti akan datang dan terjadi padaku, juga padamu! Juga aku tak pernah menduga-duga apa yang akan menyebabkan aku mati, juga lantaran siapa aku akan mati!" Malaikat Lembah Hijau sejenak hentikan ucapannya. Setelah sesaat menarik napas dalam-dalam dia melanjutkan ucapannya. "Jadi kau salah ucap jika mengancamku dengan segala macam kematian! Karena aku telah siap menghadapi hal itu!"
"Keparat!" maki Hantu Makam Setan dengan tulang-tulang wajah bergerak-gerak. Kedua tangannya bergerak mengembang keluarkan suara gemeretakan. "Bandung Bandawangsa! Sekali lagi kuperingatkan. Cepat serahkan apa yang kuminta atau guratan hidupmu akan selesai malam ini!"
"Sudah kukatakan, kau salah alamat Hantu Makam Setan! Aku tak memiliki apa yang kau minta! Dan jangan memaksaku!"
Batas kesabaran Hantu Makam Setan telah pupus. Kedua tangannya diangkat ke atas kepala. "Rupanya kau lebih suka jalan kekerasan. Terimalah kemauanmu.
Wuuuttt! Wuuuttt!
Kedua tangan Hantu Makam Setan bergerak menghantam ke depan dengan telapak mengembang. Gelombang angin segera menderu kencang dengan keluarkan suara laksana topan. Di seberang, Malaikat Lembah Hijau cepat menyingkir dengan melompat ke samping, membuat serangan pembuka itu lewat sejengkal di samping bahunya.
Hantu Makam Setan tidak membutuhkan tempo lagi. Laki-laki ini tampaknya tak mau memberi kesempatan. Begitu tahu serangan awalnya dapat dielakkan, dia segera berkelebat dengan berputar-putar. Tubuhnya mendadak berubah menjadi bayang-bayang.
Malaikat Lembah Hijau tak mau ambil resiko. Dia maklum orang yang dihadapi kali ini tidak bisa dianggap main-main. Laki-laki ini segera putar-putar kedua tangannya, hingga saat itu juga tubuhnya seakan terlindungi oleh deru angin yang keluar dari dua tangannya. Tiba-tiba bayang-bayang Hantu Makam Setan merangsek dan serta-merta kedua tangannya berkelebat menghantam ke arah pinggang dan dada Malaikat Lembah Hijau.
Prakkk! Prakkk!
Terdengar dua kali benturan keras. Disusul dengan terdengar seruan tertahan dua kali berbarengan. Malaikat Lembah Hijau terlihat terseret satu langkah ke belakang, sementara Hantu Makam Setan melompat mundur. Namun tiba-tiba saja Hantu Makam Setan telah sentakkan kembali bahunya, hingga tubuhnya kembali melesat ke depan.
Malaikat Lembah Hijau segera lintangkan kedua tangannya di depan dada untuk menangkis serangan lawan. Namun baru saja tangannya melintang, tendangan Hantu Makam Setan telah menggebrak deras! Bersamaan dengan itu kedua tangannya lepaskan pukulan tangan kosong bertenaga dalam kuat!
Malaikat Lembah Hijau yang mengira hanya akan menerima serangan tendangan terkejut besar. Dia tak menduga sama sekali jika lawan juga akan lancarkan pukulan dengan kedua tangannya. Namun kesadarannya telah terlambat. Hingga meski dia mampu menahan tendangan malah sempat menghantam salah satu kaki lawan, namun serangan tangan kosong lawan tak bisa dipapak. Hingga kejap itu juga tubuhnya terpelanting sampai dua tombak ke belakang dan terjerembab!
Di lain pihak, Hantu Makam Setan mengeluh tinggi karena kaki kanannya seakan dihantam batu besar. Tubuhnya terseret ke samping dan terbanting di atas tanah! Laki-laki berparas menyeramkan ini segera bangkit dan langsung meneliti kaki kanannya. Bola matanya seketika liar dan berkilat-kilat. Kaki kanannya ternyata telah bengkak besar dan kemerah-merahan. Dia segera salurkan hawa murninya pada kaki kanannya, karena selain bengkak, terasa panas bukan alang kepalang!
Di depan sana, Malaikat Lembah Hijau terlihat mengerang. Dan perlahan-lahan merambat bangkit. Paras mukanya berubah pucat pasi. Tubuhnya bergetar keras. Keringat telah membasahi sekujur tubuhnya, karena sebelum bergerak bangkit, laki-laki ini telah kerahkan tenaga dalamnya untuk mengatasi denyutan nyeri pada ulu hatinya dan pangkal bahunya yang terasa hendak lepas akibat pukulan tangan Hantu Makam Setan.
Melihat lawan terkena hantamannya dan kini telah bangkit lagi, Hantu Makam Setan segera kerahkan kembali tenaga dalamnya. Dan sekonyong-konyong kedua tangannya ditarik ke belakang. Didahului bentakan keras dan sengau, kedua tangannya dihantamkan ke depan. Sinar hitam pekat melesat cepat dari kedua tangan Hantu Makam Setan. Bersamaan dengan itu sinar cahaya rembulan seakan tertutup, hingga untuk beberapa saat lamanya tempat itu gelap gulita! Inilah pukulan sakti andalan Hantu Makam setan, yakni pukulan 'Bara Hitam'.
Mendapati lawan lancarkan pukulan yang membahayakan, Malaikat Lembah Hijau segera takupkan kedua tangannya, lalu diangkat di depan kepala. Sesaat kemudian kedua tangannya dibuka dan langsung didorong dengan tarik sebelah kakinya sedikit ke belakang. Dua berkas sinar hijau segera menyambar keluar dari kedua tangan Malaikat Lembah Hijau. Bersamaan dengan itu cahaya hijau juga melingkupi tempat itu. Hingga untuk sesaat lamanya tempat itu dihiasi warna hitam dan hijau!
Bummm! Terdengar ledakan dahsyat tatkala sinar hitam dan hijau itu bentrok di udara. Tempat itu berkelap-kelip diterangi pijar api hitam dan hijau. Tanah terlihat terbongkar dan muncrat di udara.
Sosok Muka Iblis dan Setan Neraka yang telah kaku jadi mayat terpental dan jatuh terhumbalang sampai beberapa tombak! Datuk Darah sendiri mencelat ke samping dan jatuh telungkup. Seraya mengerang dan memaki, laki-laki ini segera merangkak mendekat pada sebuah pohon. Dengan bantuan akar-akar pohon, laki-laki ini akhirnya bisa bergerak bangkit dan bersandar dengan napas megap-megap dan meringis, karena dadanya terasa sangat sakit!
Begitu pemandangan terang kembali, Hantu Makam Setan tampak tertatih-tatih bangun. Dia terhuyung-huyung sejenak, namun segera dapat diatasi. Tangannya lalu mengusap dadanya dan mulutnya yang tampak keluarkan darah. Setelah dapat menguasai peredaran darahnya, Hantu Makam Setan arahkan pandangannya pada Malaikat Lembah Hijau.
Malaikat Lembah Hijau sendiri tampak berdiri dengan kaki agak goyah. Dari mulut dan hidungnya mengucur darah. Kedua tangannya bergemetaran hebat. Sementara sepasang matanya tampak menyipit.
"Hmm... Aku tak mungkin meneruskan pertarungan ini. Bukannya aku takut. Namun aku mau menyelidiki dahulu tentang diriku. Kalau orang-orang rimba persilatan selalu mengejar-ngejar diriku dan menanyakan tentang senjata mustika, bukan tak mungkin semua itu benar adanya. Tapi... Herannya aku sendiri tak merasa menyimpan petunjuk itu. Hmm... Aku harus menemui seseorang yang dapat membuka tabir ini!" Berpikir demikian, tanpa membuang tempo lagi, Malaikat Lembah Hijau segera putar tubuhnya dan berkelebat meninggalkan tempat itu.
"Haram jadah! Hendak lari ke mana kau bangsat!" teriak Hantu Makam Setan. Tanpa pikir panjang lagi dia cepat berkelebat mengejar Malaikat Lembah Hijau, hingga dia lupa akan urusannya dengan Datuk Darah. Membuat Datuk Darah menghela napas panjang lega. Datuk Darah segera bergerak bangkit, memandang sejurus pada sosok mayat Muka Iblis, saudara seperguruannya. Dadanya makin sesak. Namun pelipisnya bergerak-gerak menahan gejolak amarah. Dengan langkah gontai dia akhirnya meninggalkan tempat itu. Namun dapat sepuluh langkah dia balikkan tubuh lagi. Memandang kembali ke arah mayat Muka Iblis. Tanpa sadar terlontar lepas ucapannya.
"Saudaraku Muka Iblis... Segala kejadian ini tak akan pernah selesai sebelum aku dapat melunasi orang yang menewaskanmu" lalu kepalanya tengadah. Sepasang matanya menatap bundaran bulan di langit. "Malaikat Lembah Hijau! Malam ini kau berhutang satu nyawa padaku! Saatnya kelak akan kutagih nyawa kematian itu!"
BAB 4
Baru saja Malaikat Lembah Hijau berlalu, Hantu Makam Setan telah pula sampai di mana ada kuda tertambat. Sejenak dia mengarahkan pandangannya lurus ke depan. Lamat-lamat dia masih dapat mendengar hentakan-hentakan kuda yang berlari ke arah timur.
"Hmm... Pasti dia yang menghela kuda itu!" gumamnya seraya lepaskan ikatan kuda. Seraya memaki panjang pendek laki-laki berhidung sebelah ini segera pula memacu kuda menuju arah timur. Tangan kirinya memegang tali kuda sementara tangan kanannya memukul punggung sang kuda, hingga binatang itu melesat kencang dengan sesekali keluarkan ringkikan keras.
Karena malam semakin larut dan makin sepi, membuat hentakan ladam kuda Malaikat Lembah Hijau dapat dengan jelas ditangkap telinga Hantu Makam Setan, ini mengakibatkan tak ada kesulitan bagi laki-laki berhidung sebelah ini untuk mengetahui arah yang diambil Malaikat Lembah Hijau.
Hal ini rupanya segera disadari oleh Malaikat Lembah Hijau, karena meski dia mencoba jalan berputar, dibelakangnya masih terdengar ladam kuda yang terus mengikutinya. Meski Malaikat Lembah Hijau belum tahu siapa adanya orang yang di belakangnya, tapi dia yakin orang yang mengejarnya adalah Hantu Makam Setan.
"Sebaiknya kutinggalkan tempat ini!" batin Malaikat Lembah Hijau seraya terus memandang ke depan. Ketika sampai pada suatu tempat yang banyak ditumbuhi pohon-pohon besar yang berjajar, serta merta Malaikat Lembah Hijau hentakkan kedua tangannya ke punggung kuda dengan keras, bersamaan dengan itu tubuhnya melesat dan menyelinap.
Kuda tunggangannya meringkik keras karena kaget. Karena hentakan kedua tangan Malaikat Lembah Hijau bukan hentakan biasa, maka rasa sakit pada punggungnya, membuat binatang itu terus meringkik keras-keras, namun bersamaan dengan itu kuda itu melesat lebih kencang tanpa penunggang!
Di belakang, Hantu Makam Setan terus memacu kuda tunggangannya. Tangan kanannya tak henti-hentinya memukul, sementara dari mulutnya terdengar makian dan sumpah serapah. "Binatang keparat! Apa kau tak bisa berlari lebih kencang lagi? Binatang jahanam! Larimu seperti kuda bunting saja! Ayo... Heyaaa...!"
Menduga kuda di depannya masih dengan penunggang, Hantu Makam Setan terus memacu ke mana suara kuda di depannya berlari. Sepasang matanya juga tak lepas memperhatikan jejak-jejak kaki kuda di tanah untuk memperkuat arah larinya kuda yang dikejar.
Begitu Hantu Makam Setan telah lewat dan suara ladam-ladam kuda semakin sayup-sayup menjauh, Malaikat Lembah Hijau menarik napas lega. Lalu melangkah keluar dari tempat persembunyiannya. Sejenak dia memandang ke arah jurusan berlarinya kuda tunggangan Hantu Makam Setan. Setelah kembali menarik napas dalam-dalam dan mengurut dadanya, laki-laki berpakaian selempang putih ini putar tubuhnya hendak berkelebat. Namun langkahnya tertahan, karena bersamaan dengan itu terdengar suara orang menegur seraya tertawa perlahan namun merdu.
"Bandung Bandawangsa... Kau rupanya cerdik juga mengelabui orang!"
Darah Malaikat Lembah Hijau serentak seakan tersirap. Dengan dada makin berdebar menindih rasa terkejut, dia segera berpaling ke arah datangnya suara teguran. Kedua kaki Malaikat Lembah Hijau tanpa sadar surut dua tindak ke belakang. Sepasang matanya menyipit dan membelalak. Dahinya mengernyit dengan mulut terkancing rapat.
Lima belas langkah di hadapannya terlihat seorang perempuan tegak berdiri dengan tangan kiri memegang tali kekang kuda. Sementara kepala kudanya dielus-elus dengan tangan kanannya. Sesaat kemudian, si perempuan berpaling memandang ke arah Malaikat Lembah Hijau.
Dia adalah seorang perempuan berusia kira-kira tiga puluh lima tahun. Parasnya cantik dengan kulit putih. Sepasang matanya bulat dengan bulu mata lentik. Rambutnya panjang dan dibiarkan bergerai. Mengenakan pakaian warna biru tipis dengan bagian dada dibuat rendah, hingga setengah dari payudaranya jelas terlihat menyembul menantang.
Sejurus Malaikat Lembah Hijau menghela napas melihat lembah buah dada perempuan cantik itu. Namun dia segera mengalihkan pandangannya, membuat si perempuan tertawa perlahan. Lalu melepaskan tali kekang kudanya dan melangkah mendekat ke arah Malaikat Lembah Hijau. Malaikat Lembah Hijau surutkan lagi langkahnya ke belakang, membuat si perempuan tertawa makin panjang dan agak keras.
"Dewi Asmara..." desis Malaikat Lembah Hijau. "Apakah... Apakah dia juga mempunyai tujuan seperti orang-orang yang mengejarku saat ini?! Hmm... Tak kusangka. Pasti dia sengaja menghadang di sini. Dia mendengar kuda yang kutunggangi, lalu menyelinap bersembunyi..."
"Bandung Bandawangsa... Lama kita tak bersua. Bagaimana keadaanmu...?" si perempuan menyapa berbasa-basi. Dia terus melangkah pelan-pelan mendekat.
Malaikat Lembah Hijau tidak segera menyambuti sapaan si perempuan. Dia hanya tegak mematung dengan mata kembali memandang ke arah si perempuan.
"Aha... Apa yang terjadi dengan dirimu? Apakah kau terkejut dengan pertemuan tak disengaja ini? Atau kau telah kurang pendengaran?!" ujar si perempuan dengan bibir sunggingkan senyum.
Sadar akan teguran orang, Malaikat Lembah Hijau segera sunggingkan senyum, meski dalam hati masih bertanya-tanya dan tak mempercayai jika pertemuan ini tak disengaja. "Dewi Asmara..." ujar Malaikat Lembah Hijau. "Aku senang bisa bertemu denganmu. Hendak ke manakah kau sebenarnya malam-malam begini?!"
Si perempuan yang dipanggil dengan Dewi Asmara sunggingkan senyum lagi. Langkahnya dia hentikan lima tindak di hadapan Malaikat Lembah Hijau. Sepasang matanya yang bulat memperhatikan laki-laki di hadapannya dari atas hingga bawah. "Dia tampaknya sudah terluka cukup parah. Pasti akibat bentrok dengan Hantu Makam Setan yang berhasil dikelabuinya tadi... Hm... Ini kesempatan baik buatku. Kalau dia melawan, tenaganya pasti tidak utuh lagi."
Setelah membatin begitu, Dewi Asmara buka mulut. "Bandung Bandawangsa... Kulihat kau terluka. Apa sebenarnya yang terjadi dengan dirimu?!"
Malaikat Lembah Hijau gelengkan kepalanya perlahan. Diam-diam dalam hati dia berkata. "Dia mengalihkan pembicaraan. Aku tak akan berterus terang dengan apa yang baru saja terjadi. Aku secepatnya harus tinggalkan tempat ini. Bukan mustahil Hantu Makam Setan akan kembali lagi..."
"Dewi Asmara... Terima kasih kau memperhatikan keadaan diriku. Namun aku tak bisa mengatakan apa yang kau tanyakan, dan karena masih ada yang harus kuselesaikan, maka aku harus segera pergi. Semoga suatu hari nanti kita bisa bertemu lagi dan bisa ngobrol banyak."
Habis berkata begitu, Malaikat Lembah Hijau putar tubuhnya dan hendak tinggalkan tempat itu. Namun niatnya tertahan ketika tiba-tiba saja Dewi Asmara keluarkan suara tawa dan berkata agak keras.
"Bandung Bandawangsa... Aku telah melakukan perjalanan panjang untuk mencarimu. Kalau kau punya sesuatu yang harus kau selesaikan silakan saja, tapi kuharap kau mau berbaik hati menyerahkan apa yang kuminta!"
"Hm... Jadi dia juga punya maksud seperti orang-orang itu..." desis Malaikat Lembah Hijau dengan tangan gemetar dan segera putar lagi tubuhnya menghadap Dewi Asmara. "Sialan benar. Berarti berita tentang diriku ini bukan rahasia lagi. Hidupku benar-benar di ujung tanduk. Aku harus secepatnya menemui seseorang yang kukira dapat membuka tabir rahasia ini, dan untuk sementara harus mengurung diri... Ah, betapa sialnya diriku..."
"Bandung Bandawangsa..." kata Dewi Asmara dengan busungkan dadanya, membuat Malaikat Lembah Hijau cepat-cepat alihkan pandangan. Karena perempuan di hadapannya tampaknya sengaja memancing gejolaknya, selain itu Bandung Bandawangsa sendiri telah tahu bahwa Dewi Asmara adalah seorang perempuan yang suka bermain cinta dengan siapa saja meski tak dapat disangkal jika perempuan yang masih tampak cantik dan bertubuh mempesona itu memiliki tingkat ketinggian ilmu yang sukar dicari tandingnya, hingga tak heran jika kalangan rimba persilatan menggelarinya dengan Dewi Asmara.
"Bagaimana? Kau tak keberatan dengan permintaanku bukan?! Atau kau ingin imbalan?! Katakan terus terang... Aku siap melayanimu bahkan hingga beberapa malam. Hik Hik Hik...!"
Habis tertawa, Dewi Asmara tampak tengadahkan kepala seolah ingin menunjukkan kejenjangan lehernya. Mulutnya dibuka setengah menganga sementara sepasang matanya dipejamkan. Lidahnya dikeluarkan dijilatkan berputar di bibirnya.
Malaikat Lembah Hijau yang kini telah memandang lagi ke arah Dewi Asmara mau tak mau bergetar juga hatinya. Jakunnya bergerak turun naik sementara sepasang matanya mulai merah pertanda gejolak mulai menjalari tubuhnya. Namun mendadak saja laki-laki ini sadar dan buru-buru alihkan pandangan.
"Astaga! Seperti kukatakan pada orang-orang sebelumnya yang juga meminta sesuatu dariku, sebenarnya kau dan juga orang-orang itu termakan kabar dusta. Aku tak memiliki petunjuk apa-apa tentang adanya pedang mustika itu!"
"Begitu?! Boleh aku membuktikan ucapanmu?!" tanya Dewi Asmara masih dengan senyum menggoda. Malah dia sengaja menarik napas dalam dan panjang, hingga dadanya yang membusung menantang itu bergerak-gerak menggemaskan.
Malaikat Lembah Hijau sedikit terkejut mendengar pertanyaan Dewi Asmara. Dengan dahi mengernyit laki-laki ini balik ajukan tanya. "Bagaimana kau akan membuktikannya?!"
Dewi Asmara melangkah satu tindak. Sepasang matanya menatapi sekujur tubuh Malaikat Lembah Hijau, membuat laki-laki ini makin mengernyit tak mengerti. Tiba-tiba Dewi Asmara tertawa pendek dan berkata. "Lepas seluruh pakaian yang kau kenakan!" sejenak Dewi Asmara hentikan ucapannya, lalu menyambung. "Kau tak usah khawatir. Di sini hanya kita berdua!"
Paras muka Malaikat Lembah Hijau berubah merah padam dan panas. Mulutnya komat-kamit namun tak ada suara yang terdengar jelas. "Gila. Perempuan ini benar-benar tak tahu peradatan. Tak mungkin aku menuruti permintaan gila ini!"
"Dewi Asmara. Kau jangan bercanda. Aku tak bisa memenuhi permintaanmu itu!" kata Malaikat Lembah Hijau seraya rapikan pakaiannya.
Air muka Dewi Asmara berubah seketika. Sepasang matanya mendelik, dari hidungnya terdengar dengusan. "Jika begitu berarti kau dusta dengan ucapanmu!" kali ini suara Dewi Asmara terdengar keras.
"Terserah kau mau bilang apa. Yang pasti aku tak dapat menuruti permintaan gila itu! Aku harus pergi sekarang!"
Namun sebelum Malaikat Lembah Hijau sempat bergerak, Dewi Asmara telah melompat ke depan. Dan tahu-tahu kedua tangannya telah melesat, satu mengarah pada bahunya, satunya lagi menyergap ke arah perut.
Malaikat Lembah Hijau yang sedari tadi telah menangkap gelagat tidak baik yang membuatnya bertindak waspada, segera mundur dua langkah, hingga lesatan kedua tangan Dewi Asmara hanya membabat tempat kosong. Namun demikian, angin sambaran tangannya mampu membuat tubuh Malaikat Lembah Hijau terdorong ke belakang. Hal ini makin menyadarkan Malaikat Lembah Hijau jika perempuan di hadapannya mempunyai tenaga dalam sangat tinggi!
Mendapati orang bisa mengelak dari lesatan tangannya Dewi Asmara marah besar. Kedua tangannya segera disatukan di depan dada, sepasang kakinya sedikit menekuk dan perlahan-lahan kaki kanannya ditarik kebelakang. Sekonyong-konyong, perempuan ini dorong kedua tangannya ke depan.
"Beeettt! Beeettt! Dua berkas sinar melesat ke luar. Di tengah jalan sinar itu mengembang lalu menyergap Malaikat Lembah Hijau dari segala jurusan!
Malaikat Lembah Hijau sedikit terkesiap juga meski sesaat. Dan buru-buru melompat mundur, lalu hantamkan kedua tangannya.
Wuuuttt! Wuuuttt! Dua berkas sinar hijau membersit. Suasana mendadak berubah menjadi kehijauan.
Bummm! Sinar yang mengembang dan menyergap ke arah Malaikat Lembah Hijau ambyar berhamburan begitu terpapak sinar hijau.
Baik Dewi Asmara maupun Malaikat Lembah Hijau sama-sama perdengarkan suara tegang. Sosok keduanya terlihat tersurut ke belakang hingga beberapa langkah. Malah mungkin karena sudah terluka, Malaikat Lembah Hijau tampak terhuyung-huyung sebelum akhirnya jatuh berlutut dengan bahu berguncang dan kedua tangan bergemetaran keras!
Di seberang, Dewi Asmara bisa segera kuasai tubuh, hingga meski sempat terseret, namun tak sampai terjatuh. Meski demikian, paras mukanya tampak berubah. Dadanya bergetar hingga buah dadanya berguncang-guncang. Dan ketika matanya memperhatikan, perempuan cantik ini membelalak. Pakaian yang dikenakannya robek dan hangus di bagian lengan.
"Jahanam! Terimalah kematianmu, Bandung Bandawangsa!" teriak Dewi Asmara lantang. Tubuhnya lantas berkelebat.
Malaikat Lembah Hijau segera bergerak bangkit. Belum sampai tubuhnya benar-benar tegak, tendangan kaki Dewi Asmara telah melabrak mengarah pada kepalanya. Dengan menindih rasa sakit pada sekujur tubuh, Malaikat Lembah Hijau segera rebahkan tubuh dengan punggung sejajar tanah. Tendangan kaki Dewi Asmara lewat sejari telunjuk di depan kepalanya dan menghajar angin. Saat Itulah Malaikat Lembah Hijau gaetkan kaki kanannya pada kaki kiri Dewi Asmara yang dipakai untuk tumpuan kekuatan tubuhnya.
Seeettt! Bukkk!
Dewi Asmara menjerit tinggi, tubuhnya terbanting deras ke atas tanah! Malaikat Lembah Hijau tak sia-siakan kesempatan. Dia segera bergerak bangkit. Namun tanpa diduga sama sekali, Dewi Asmara gulingkan tubuhnya dua kali, dan serta-merta kedua tangannya segera dihantamkan!
Sinar yang mengembang kembali melabrak kearah Malaikat Lembah Hijau. Begitu cepatnya lesatan serangan itu serta karena jaraknya sudah dekat, maka tak ada jalan lain bagi Malaikat Lembah Hijau selain menangkis serangan, meski hal itu amat beresiko bagi dirinya, karena tenaganya sudah terkuras juga tubuhnya telah cidera bagian dalam. Tapi kalau tidak ditangkis, maka tubuhnya akan terhantam telak dan tidak mustahil akan membuat nyawanya putus. Sadar akan keadaan demikian, Malaikat Lembah Hijau cepat pukulkan kedua tangannya.
Untuk kedua kalinya terdengar ledakan dahsyat. Sosok Dewi Asmara mencelat mental dan terkapar lagi di atas tanah. Parasnya makin pias. Tapi perempuan ini segera katupkan sepasang matanya, alihkan tenaga murni pada sekujur tubuhnya yang terasa ngilu.
Di seberang, Malaikat Lembah Hijau terpelanting. Karena sudah tak bisa kuasai gerak tubuhnya, dan menduga tubuhnya akan menghantam jajaran pohon yang ada di belakangnya, Malaikat Lembah Hijau pejamkan sepasang matanya. Namun bersamaan dengan itu telinganya menangkap ringkihan kuda. Dan tiba-tiba tubuhnya menumbuk benda keras namun empuk.
Begitu tubuhnya tersuruk, Malaikat Lembah Hijau segera buka kelopak matanya. Tak jauh di sebelahnya terlihat kuda tunggangan Dewi Asmara berputar-putar. Selain kaget karena bentroknya dua pukulan juga terkejut karena tertumbuk tubuh Malaikat Lembah Hijau yang terpelanting. Tanpa membuang kesempatan, Malaikat Lembah Hijau segera tertatih-tatih bangkit. Dengan sisa-sisa tenaganya laki-laki ini segera melangkah cepat ke arah kuda Dewi Asmara. Tanpa menoleh lagi, Malaikat Lembah Hijau melesat naik dan berpacu meninggalkan tempat itu.
Bersamaan dengan itu, Malaikat Lembah Hijau sayup-sayup mendengar hentakan ladam langkah-langkah kaki kuda menuju ke arahnya. Menduga bahwa kuda itu ditunggangi Hantu Makam Setan, laki-laki ini segera pukul punggung kuda tunggangannya dengan keras hingga kuda tunggangannya berlari kencang.
Di lain pihak, begitu mendengar langkah-langkah kaki kuda, Dewi Asmara buka kelopak matanya. Dari mulutnya segera terdengar makian panjang pendek. "Keparat! Hendak lari ke mana kau bangsat?!" bersamaan itu kepalanya berpaling, ekor matanya masih dapat menangkap kudanya yang membawa lari Malaikat Lembah Hijau. Serta-merta kedua tangannya segera dipukulkan.
Seberkas sinar menggebrak dengan keluarkan deru dahsyat. Namun terlambat, karena Malaikat Lembah Hijau telah lebih dahulu berkelebat bersama kuda tunggangannya. Pukulan Dewi Asmara terus melesat sebelum akhirnya menghantam sebuah pohon. Pohon itu langsung berderak tumbang!
"Setan alas! Jangan kira kau bisa lolos dari tanganku, Bandung Bandawangsa!" teriak Dewi Asmara seraya bergerak bangkit dan berkelebat ke arah berpacunya Malaikat Lembah Hijau.
Tapi gerakannya tertahan, karena dari arah samping terdengar ringkihan kuda yang dihentikan mendadak. Secepat kilat Dewi Asmara berpaling. Sepasang matanya mendelik besar dengan langkah kaki tersurut ke belakang. Dadanya yang membusung dan tampak turun naik karena geram melihat lawan melarikan diri, terlihat makin bergerak-gerak.
"Hantu Makam Setan..." desis Dewi Asmara begitu mengenali siapa adanya si penunggang kuda.
Sang penunggang yang bukan lain memang Hantu Makam Setan adanya sejurus menatap tajam pada Dewi Asmara. Lalu memandang berkeliling. Dari sekilas memandang, laki-laki berhidung sebelah ini sudah dapat menduga jika baru saja terjadi pertempuran di tempat itu.
"Waktu aku lewat tadi tak ada orang lain di sini. Pasti keparat itu bersembunyi di sini lalu membiarkan kudanya berlari sendirian untuk mengelabuiku. Lantas datang perempuan ini. Dan terjadi bentrok... Lamat-lamat aku menangkap hentakan kaki kuda, apakah keparat itu berhasil melarikan diri lagi...?!" Hantu Makam Setan menduga-duga dalam hati. Lalu berkata dengan suara agak keras.
"Mana dia?!"
"Siapa yang kau maksud dengan dia?!" Dewi Asmara balik bertanya dengan suara tak kalah kerasnya, membuat Hantu Makam Setan membeliak dengan mulut komat-kamit.
Seraya menahan rasa marah, laki-laki ini menghardik. "Setan! Kau masih saja berpura-pura. Mana keparat si Bandung Bandawangsa itu?!"
Meski tahu bahwa laki-laki dihadapannya adalah seorang tokoh yang tidak asing lagi dalam rimba persilatan, namun dibentak demikian rupa mau tak mau membuat Dewi Asmara naik pitam. Seraya tersenyum sinis, perempuan berparas cantik ini alihkan pandangannya sambil keluarkan suara garang.
"Kau punya mata, apakah kau lihat di sini?!" Tulang-rulang rahang Hantu Makam Setan terangkat. Gerahamnya saling beradu keluarkan suara menggidikkan. Namun mungkin terpancang pada Malaikat Lembah Hijau, dan khawatir jika orang yang lama dicarinya itu akan lolos begitu saja, yang berarti perjalanan dan pencariannya akan sia-sia, laki-laki ini segera putar kudanya setengah lingkaran.
"Melihat jejak-jejak kaki kuda, pasti perempuan ini datang dengan membawa kuda. Dan dia berhasil dikelabui keparat itu. Hmm... Aku harus segera mengejarnya!" Tanpa menoleh lagi pada Dewi Asmara, Hantu Makam Setan segera tarik kekang kuda tunggangannya. Namun gerakan tangannya tertahan ketika didengarnya Dewi Asmara berseru.
"Tunggu!" Dewi Asmara langsung berkelebat dan berdiri tegak di samping Hantu Makam Setan. Perempuan ini tampak ragu-ragu sebentar. Memandang lekat-lekat pada Hantu Makam Setan.
"Manusia ini mukanya sangat menjijikkan. Namun apa boleh buat. Untuk sementara aku harus dapat merangkulnya. Jika tidak buruan itu pasti akan lenyap! Akan kubohongi dia, bahwa sebenarnya aku tidak tertarik dengan kabar senjata pedang mustika yang kini petunjuknya ada di tangan Bandung Bandawangsa. Tapi punya urusan lain..."
Berpikir begitu, Dewi Asmara lantas angkat bicara. Sementara Hantu Makam Setan menunggu di atas kudanya tanpa berpaling.
"Sobatku, Hantu Makam Setan... Harap kau suka memaafkan sikapku yang kasar tadi. Karena saat itu aku masih geram dengan laki-laki keparat itu!"
Hantu Makam Setan menyambuti ucapan Dewi Asmara dengan dengusan sengau. Tanpa berpaling dia berucap. "Aku tak punya waktu banyak. Katakan apa maksudmu sebenarnya menahanku!"
"Kau mencari Bandung Bandawangsa bukan?!"
"Pertanyaan itu tak pada tempatnya kau ucapkan! Kau membuang-buang waktu saja!"
Meski dalam hati mengumpat habis-habisan, namun perempuan cantik ini masih bisa menahannya. Seraya tersenyum dan berujar. "Aku tahu ke mana Bandung Bandawangsa pergi!"
"Kau baru saja bentrok dengannya bukan?!" dengus Hantu Makam Setan masih tanpa berpaling ke arah Dewi Asmara.
"Betul. Tapi urusanku adalah persoalan dendam!" jawab Dewi Asmara dengan langsung katakan alasannya.
Hantu Makam Setan menoleh kearah Dewi Asmara. Karena Dewi Asmara berada di bawahnya, maka dari punggung kudanya sepasang mata Hantu Makam Setan dengan jelas dapat menangkap busungan buah dada yang menyembul putih menantang milik Dewi Asmara, membuat laki-laki ini sejenak menghela napas panjang dan membelalak tak berkedip. Dadanya berdebar keras. Namun wajahnya buru-buru dipalingkan ketika Dewi Asmara mendongak menatap ke arahnya.
"Aku tahu. Kau juga punya urusan dengan Bandung Bandawangsa. Bagaimana kalau kita mengejarnya bersama-sama?!"
Hantu Makam Setan tidak segera menjawab. Dalam hati diam-diam laki-laki ini berkata. "Ucapan perempuan ini tidak sepenuhnya bisa dipercaya. Namun kalau dia memang benar-benar tahu ke mana arah perginya keparat itu, tidak ada salahnya jika aku bekerja sama."
"Hantu Makam Setan..." kata Dewi Asmara menyambungi ucapannya karena Hantu Makam Setan tidak menjawab pertanyaannya. "Seperti ucapanmu, waktu kita tidak banyak. Sebelum orang yang kita kejar lenyap tiada rimbanya kau harus cepat ambil keputusan!"
"Tapi..." Hantu Makam Setan terlihat ragu-ragu.
Dewi Asmara tersenyum melihat kebimbangan di wajah Hantu Makam Setan. Rupanya perempuan ini dapat menebak apa yang menjadikan laki-laki itu bimbang. Masih dengan tersenyum, perempuan ini berkata. "Kau tak keberatan bukan kalau kudamu itu kita tunggangi berdua?!"
Mungkin masih terkejut dengan ucapan Dewi Asmara, lagi-lagi Hantu Makam Setan tidak segera menjawab. Di pihak lain, Dewi Asmara segera saja lesatkan dirinya ke atas. Dan dengan sigap, dia segera duduk di belakang Hantu Makam Setan.
Hantu Makam Setan terkejut. Namun keterkejutannya segera berubah tatkala tanpa disengaja Dewi Asmara rapatkan dadanya ke punggungnya. Lalu terdengar bisikannya. "Kita tak punya waktu banyak. Kita berangkat sekarang!"
Hantu Makam Setan masih coba menguasai gejolak yang perlahan-lahan merayapi tubuhnya. Tiba-tiba laki-laki berhidung sebelah ini meloncat turun, membuat Dewi Asmara terperangah. Dan sebelum lenyap keterperangahan Dewi Asmara, Hantu Makam Setan telah berkata.
"Kau yang dimuka. Bukankah kau yang tahu kemana keparat itu pergi?!" Habis berkata demikian, Hantu Makam Setan melompat, sementara Dewi Asmara geser sedikit tubuhnya ke depan. "Bagaimana kau bisa mengetahui ke mana bangsat itu pergi?!" tanya Hantu Makam Setan begitu telah berada di belakang Dewi Asmara.
"Selain kita ikuti jejak-jejak kaki kuda tunggangannya, kuda yang ditunggangi adalah kudaku. Aku hapal betul baunya! Lagi pula kukira dia belum terlalu jauh!"
"Hmm..." Hantu Makam Setan hanya menyambuti dengan helaan napas panjang dan dalam. Bukan karena mengerti ucapan Dewi Asmara melainkan karena menahan gejolak yang semakin membara akibat tubuh depannya bersentuhan langsung dengan pinggul Dewi Asmara yang besar dan menggairahkan.
"Agar kuda ini tak merasakan beban terlalu berat, kita harus kerahkan ilmu peringan tubuh..." ujar Dewi Asmara seraya tarik kekang tali kuda.
Sejenak kemudian kuda tunggangan yang dinaiki dua orang itu telah berlari kencang. Karena kedua penunggangnya telah sama-sama kerahkan Ilmu peringan tubuh masing-masing, membuat kuda itu tak mengalami beban berat. Bersamaan dengan melesatnya kuda, samar-samar dari ufuk sebelah timur cahaya kuning kemerah-merahan telah menerangi jagat raya, pertanda sebentar lagi sang mentari akan segera menampakkan diri.
BAB 5
Beberapa orang keluar rumah masing-masing. Sebagian ada yang pergi ke sawah, sebagian lagi ada yang bergerombol menuju hutan untuk mencari kayu bakar. Anak-anak berusia belasan tahun pun tampak keluar rumah masing-masing. Ada yang sekadar main-main dan ada pula yang membantu kedua orangtua mereka.
Di sudut dusun Kampung Anyar, tepatnya pada sebuah rumah dari kayu yang terletak berbatasan dengan jalan menuju hutan, tampak dua orang sedang duduk berhadap-hadapan di ruangan yang tidak terlihat satu pun perabot rumah tangga. Ruangan itu hanya dihiasi sebuah tikar lusuh yang alasnya dari jerami kering.
Duduk di sebelah kanan menghadap ke kiri adalah seorang laki-laki berusia agak lanjut. Mengenakan pakaian warna putih kusam dan lusuh. Rambutnya panjang dan putih. Sepasang matanya telah sayu karena digerogoti usia. Kulit sekujur tubuhnya pun telah mengeriput.
Beberapa kali orang tua ini menghela napas panjang seraya memandang seorang anak laki-laki berusia kira-kira sepuluh tahun yang duduk dihadapannya. Anak ini berparas tampan, kulitnya kuning dengan rambut hitam dan tebal. Kedua alis matanya membentuk bagus. Sepasang matanya tajam dengan dada bidang. Setelah berdiam diri agak lama, si orang tua batuk batuk beberapa kali, lalu membuka mulut. Suaranya pelan namun tegas.
"Joko... Sebenarnya Paman tidak perlu mengulang-ulang lagi apa yang pernah Paman katakan padamu. Tapi karena kau belum bisa memahami apa yang dikatakan Paman, terpaksa Paman mengulanginya lagi."
Sejenak orang tua hentikan ucapannya. Pandangannya matanya yang sayu tak lepas memandang lekat-lekat pada anak yang dipanggilnya dengan sebutan Joko. Sementara Joko sendiri hanya menundukkan kepala. Hanya sesekali anak ini melirik dan begitu ekor matanya menumbuk pada mata orang yang menyebutkan diri Paman, Joko segera tundukkan wajahnya lagi.
"Joko... Paman sudah sering bilang. Kau jangan berbuat yang tidak-tidak. Apa jadinya jika anak-anak yang kau pukuli itu orangtuanya tidak terima? Paman tahu, dalam hal ini sebenarnya kau berada di pihak yang benar, tapi setidak-tidaknya kau memikirkan akibatnya..."
Tiba-tiba Joko gerakkan kepalanya tengadah. Sepasang matanya yang tajam menatap lurus ke mata pamannya. "Paman... Paman pernah bilang, kebenaran harus dibela meski akibatnya berat. Apakah aku salah jika melawan anak-anak itu demi mempertahankan milikku yang hendak mereka rampas? Aku telah bersusah payah mencari kayu bakar dan rumput. Tiba-tiba mereka menghadang dan seenaknya saja hendak mengambilnya."
Mendengar ucapan Joko, si orang tua menghela napas panjang. Dalam hati diam-diam orang tua ini berkata. "Kau tak beda dengan mendiang ayahmu. Selalu teguh pada pendirian. Sayang... Ayah ibumu telah meninggal dan tidak sempat melihatmu tumbuh besar... Ah..."
"Paman..." sambung Joko ketika dilihatnya sang paman tidak menyambuti kata-katanya. "Apakah tindakanku salah?!"
Sang paman tidak segera menjawab. Orang tua ini tampaknya masih kebingungan untuk mencari kata yang tepat bagaimana mengatakan apa yang ada dalam benaknya agar dimengerti anak sekecil Joko.
"Paman... Paman sering cerita tentang seorang tokoh silat hebat yang berani mengadu nyawa demi me-bela kebenaran. Apakah aku salah mengikuti orang-orang yang sering Paman ceritakan itu?!"
Sang paman tertawa perlahan mendengar ucapan Joko. "Joko... Kau tak salah mengikuti perbuatan tokoh-tokoh hebat itu. Tapi kau harus tahu, siapa kau dan siapa mereka! Mereka adalah orang-orang berilmu tinggi yang sanggup menghadapi akibat! Sedangkan kita...?"
"Aku akan belajar ilmu silat!" tiba-tiba Joko menyahut. Nada suaranya berapi-api, membuat sang paman kembali tertawa. Tapi dalam hati kecilnya si paman ini kagum akan semangat anak di hadapannya ini.
"Paman. Apakah tokoh yang sering Paman ceritakan itu masih hidup?!"
"Maksudmu tokoh yang mana? Paman sering cerita tentang banyak tokoh padamu."
Sejenak Joko kernyitkan dahi seolah berpikir. Setelah agak lama anak ini angkat bicara lagi. "Yang paling sering Paman ceritakan. Yang Paman sebut dengan nama Pendeta Sinting."
Sang paman terdiam. Pandangannya beralih ke luar ruangan, Memandang jauh. Lalu berkata dengan suara pelan. "Joko... Sebenarnya apa yang Paman ceritakan padamu itu juga di peroleh dari cerita ayah Paman. Namun cerita itu sudah begitu melekat di hati setiap orang. Karena Pendeta Sinting selain memiliki ilmu tinggi juga berbudi luhur meski kadang-kadang sifatnya mirip seperti orang tak waras. Makanya dia disebut orang Pendeta Sinting. Soal sampai sekarang masih hidup atau sudah meninggal, aku sendiri tak tahu."
Joko tampak menarik napas dalam-dalam. Paras wajahnya jelas menunjukkan rasa kecewa. Tanpa sadar dari mulut anak ini terlontar gumaman. "Seandainya pendeta itu masih hidup, aku ingin berguru padanya..."
"Semangat anak ini begitu tinggi... Sayang aku tak memiliki ilmu silat..." keluh sang paman dalam hati dengan alihkan pandangannya kembali pada Joko. Untuk beberapa saat anak itu dipandanginya lekat-lekat dari ujung rambut sampai kaki. Tiba-tiba sepasang matanya yang sayu terhenti pada telapak tangan Joko sebelah kiri yang saat itu dibuka dan dibuat main-main dengan digosok-gosokkan pada telapak tangan satunya.
"Anak ini memiliki telapak tangan lain dari yang lain. Samar-samar di telapak tangan kirinya terdapat gambar seorang laki-laki tua bersorban. Aku tak tahu, apa maknanya itu..."
Tiba-tiba sepasang mata sang paman menangkap beberapa orang yang melangkah menuju arah rumahnya. Orang tua ini menghela napas panjang, lalu memandang pada Joko dan berkata pelan. "Apa yang kita khawatirkan akhirnya terjadi juga, Joko. Seperti beberapa waktu yang lalu, mereka pastilah orang-orang tua anak yang kau pukuli. Untuk menghindari hal-hal yang tidak kita inginkan, sebaiknya kau segera menuju hutan. Carilah kayu bakar. Biar mereka Paman hadapi!"
"Tidak Paman. Mereka yang salah, kenapa harus takut?!" sahut Joko seraya berpaling. Dari jauh memang tampak beberapa orang mendatangi kearah rumahnya.
"Joko. Bukan masalah takut atau tidak. Tapi ini demi keselamatanmu juga demi nama baik Paman. Kau tak ingin nama baik Paman rusak, bukan?!"
Joko tidak menyahut. Dia berpaling lagi dan menatap paras pamannya dengan tatapan tajam. Meski tidak berkata sepatah kata pun, namun sang paman jelas dapat melihat ketidaksetujuan pada wajah anak itu.
"Joko... Aku tahu, kau tidak setuju dengan apa yang Paman katakan. Namun untuk sementara ini kau harus dapat menerimanya. Cepatlah keluar lewat belakang!"
Dengan agak berat, akhirnya Joko menuruti perkataan pamannya. Perlahan-lahan anak ini bergerak bangkit dan melangkah menuju ke belakang. Namun sebelum ia keluar, anak ini masih sempat berkata lantang. "Paman, kejadian ini adalah yang terakhir. Pada waktu mendatang, aku tak akan mau seperti ini. Aku akan hadapi mereka! Aku tak takut! Karena aku benar!"
Sang paman hanya dapat menghela napas panjang. Lalu anggukkan kepalanya. "Anak ini benar-benar teguh. Tapi kadang-kadang sifatnya bandel. Hingga tak salah jika teman-temannya memanggil dengan Joko Sableng..."
"Rajek Wesi! Suruh keluar anak kurang ajar itu!" tiba-tiba terdengar teriakan dari luar.
Paman Joko yang bernama Rajek Wesi ini bergerak bangkit. Seakan terkejut, laki-laki yang telah berumur ini melangkah ke arah pintu depan. Dari pintu, orang tua ini dapat melihat beberapa orang berdiri tegak dengan mata nyalang memandang ke dalam rumahnya.
"Ada apa?" Rajek Wesi ajukan tanya dengan memandang satu persatu orang yang berdiri di depan rumahnya. "Silakan masuk. Mari kita bicara! Ada apa sebenarnya?!"
"Kami tak perlu masuk. Kami hanya ingin anak itu!" salah seorang menjawab dengan suara keras.
"Yang kau maksud siapa?!" Rajek Wesi masih coba bertanya, membuat orang yang tadi menjawab agak geram. Seraya maju satu tindak dan dengan mata menyelidik ke dalam rumah, orang ini berujar.
"Rajek Wesi. Dengar balik-baik. Kami inginkan Joko Sableng!"
Rajek Wesi batuk-batuk beberapa kali. Setelah menghela napas panjang orang tua ini berkata periahan. "Ada apa? Apa sebenarnya yang terjadi hingga kalian mencari Joko Sableng?!"
"Anak sableng itu telah memukuli anak kami! Lekas suruh keluar anak itu!" Rajek Wesi pura-pura terkejut, lalu dari mulutnya terdengar omelan memaki pada Joko Sableng.
"Aku sebagai orangtua yang mengasuh Joko Sableng minta maaf jika anak itu melakukan perbuatan yang tidak berkenan di hati kalian semua, termasuk padamu, Samparan. Aku berjanji akan mendidik dan memarahi anak itu!"
Orang yang dipanggil Samparan dan yang tadi menjawab, kembali keluarkan sahutan keras. "Sudah beberapa kali ucapan itu kau katakan pada kami! Tapi tak ada buktinya! Anak sableng itu pantas mendapat hajaran!"
Rajek Wesi gelengkan kepalanya. Seraya melangkah keluar orang tua ini berujar datar. "Sebenarnya sudah tak kurang-kurang aku mengingatkannya. Namun kuharap kalian mau memaafkannya untuk yang terakhir ini. Dan aku berjanji akan menghajarnya jika dia berani berbuat yang tidak-tidak!"
Samparan berpaling pada beberapa orang yang datang bersamanya. Mereka sama mengangguk. Samparan lalu berpaling lagi dan memandang pada orang tua di hadapannya. "Rajek Wesi... Untung kami masih memandangmu sebagai orang tua yang patut dihormati. Namun hal ini untuk yang terakhir kali. Sekali lagi Joko Sableng mencederai anak-anak kami, kami tak akan memandangmu lagi!"
Habis berkata begitu, Samparan putar tubuh lalu mengangguk pada beberapa orang yang datang bersamanya. Mereka pun lantas melangkah meninggalkan halaman rumah Rajek Wesi dengan mulut merendeng tak karuan.
Rajek Wesi memandangi kepergian orang-orang itu dengan angkat bahunya dan menarik napas dalam-dalam. "Hmm... Orang-orang yang terlalu memperturutkan hawa marah. Hingga tak tahu siapa sebenarnya yang salah! Ah, Joko Sableng... Selalu bikin orang tua harus berhadapan dengan orang-orang yang tak mau mengerti..."
Joko Sableng terus melangkah cepat menuju arah hutan lereng Gunung Kinibalu. Seraya melangkah anak ini bersiul-siul seakan tak ada persoalan. Malah tak jarang dia bernyanyi-nyanyi dengan suara keras. Namun baru saja masuk hutan dan hendak mulai mencari kayu bakar, telinganya menangkap derap langkah kaki kuda. Merasa bahwa orang berkuda akan melewati jalan di mana kini dia sedang melangkah, Joko Sableng segera menepi. Baru saja Joko Sableng melangkah menepi, seakan memberi jalan pada penunggang kuda, dari arah belakangnya sang binatang itu sudah berderap kencang.
"Sontoloyo! Untung aku cepat minggir, jika tidak, mungkin kuda itu telah menabrak tubuhku. Apa penunggangnya sudah tidak bisa melihat lagi?!" seraya memaki Joko Sableng palingkan wajahnya pada kuda yang berlari dari arah belakangnya.
Tiba-tiba sepasang mata tajam anak ini membelalak besar, dahinya mengernyit. Dan seakan tak percaya dengan pandangan matanya, untuk sesaat anak ini tertegun, lalu usap-usap matanya. Dan sekali lagi memperhatikan kuda yang kini telah melewatinya.
"Aneh. Penunggang kuda itu tertidur apa gimana? Kalau tertidur kenapa tangannya terus menarik-narik tali kekang kudanya? Kalau tidak tertidur kenapa menunggang kuda dengan sikap begitu?!"
Joko Sableng coba menduga-duga apa yang sedang dilakukan oleh penunggang kuda yang baru saja lewat. Memang, sang penunggang kuda yang baru saja lewat menunggang kuda dengan sikap aneh. Tubuhnya seakan ditekuk sedemikian rupa hingga kepalanya sejajar dengan punggung kuda tunggangannya. Sementara tangan kiri kanannya tak henti-hentinya menarik tali kekang kuda tunggangannya, hingga binatang itu terus berlari kencang.
Melihat sikapnya, dapat segera ditebak jika sang penunggang seakan diburu waktu, setidak-tidaknya ada sesuatu yang harus diselesaikan dengan cepat. Namun tiba-tiba sepasang mata Joko Sableng membelalak lebih besar lagi tatkala bola matanya melihat ceceran darah di sepanjang jalan yang baru saja dilewati oleh si penunggang kuda. Dengan agak heran, Joko Sableng melangkah mendekati ceceran darah yang ada di bekas jejak-jejak kaki kuda. Dia seakan ingin meyakinkan bahwa darah itu darah yang baru keluar. Sambil jongkok memperhatikan hidung anak ini mengembang dan mengempis.
"Kulihat tak ada binatang yang terluka lewat sini. Pasti darah ini berasal dari penunggang kuda tadi. Hm... Berarti orang itu tidak tidur, mungkin dia terluka..." Memikir sampai di situ, Joko segera bergerak bangkit. Matanya nyalang ke arah mana kuda tadi berlari. Telinganya pun dipasang baik-baik.
"Kuda itu tidak terlihat lagi. Langkahnya pun tidak terdengar. Padahal masih beberapa saat berlalu dari sini. Jangan-jangan..."
Joko tidak meneruskan dugaannya. Anak ini segera berlari ke arah mana kuda tadi berlari. Dengan menelusuri jejak-jejak kaki kuda, tak sulit bagi anak ini untuk mengikuti ke mana kuda itu mengarah. Dan anak ini semakin yakin jika sang penunggang mengalami cidera tatkala sepanjang jejak-jejak yang diikutinya, darah itu semakin banyak!
Pada suatu tempat, Joko Sableng hentikan langkahnya. Karena jejak yang diikutinya lenyap. Sepasang matanya lantas menyapu berkeliling. Dan dia tercenung tatkala melihat kuda yang tadi lewat dan diikutinya melangkah berputar-putar tanpa penunggang. Keyakinan Joko makin jelas tatkala matanya melihat lelehan darah pada punggung kuda itu.
"Ke mana penunggang kuda itu? Kalau terjatuh di jalan, pasti aku telah melihatnya. Atau..."
Joko putuskan gumamannya ketika sepasang telinganya mendengar erangan perlahan dari balik pohon yang di sekitarnya ditumbuhi semak belukar merangas tinggi. Tanpa pikir panjang lagi, Joko Sableng segera berlari ke arah datangnya suara erangan. Semak belukar tinggi itu disibakkannya dengan mata nanar mencari-cari. Anak ini segera melompat sigap tatkala matanya dapat menangkap sesosok tubuh yang melingkar di tengah semak belukar dengan memperdengarkan erangan kecil.
Sejurus Joko memperhatikan sosok orang di sebelahnya. Dengan tangan agak gemetar dan mata tak berkedip, anak ini bergerak jongkok. Lalu tangannya meraba orang yang melingkar disebelahnya. Orang itu mengenakan pakaian selempang putih yang telah hangus, sementara kedua tangannya tampak mengembung merah. Dari mulut dan hidungnya mengalir darah merah kehitaman. Sepasang matanya terpejam rapat. Dari mulutnya yang berdarah, keluar erangan pelan.
Begitu dirasa ada tangan menyentuh, sosok yang tersuruk di atas semak belukar dan bukan lain adalah Bandung Bandawangsa alias Malaikat Lembah Hijau buka kelopak matanya dengan air muka terkejut besar. Hingga untuk beberapa lama sepasang matanya memandang liar tak berkedip. Namun keterkejutannya segera hilang tatkala dilihatnya yang menyentuh adalah tangan seorang anak kecil.
"Kek..." kata Joko setelah terdiam agak lama dan hanya memperhatikan keadaan orang di sampingnya. "Kau terluka. Bagaimana kalau Kakek kuajak ke rumahku?!"
"Terima kasih, Nak!" sambut Malaikat Lembah Hijau dengan suara bergetar dan tersendat. "Kalau mau menolong, tolong dekatkan kuda itu kemari! Aku harus segera pergi dari sini!"
"Tapi kau masih terluka..."
Malaikat Lembah Hijau pejamkan kedua matanya menindih rasa sakit yang mendera sekujur tubuhnya. Setelah sedikit dapat mengatasi rasa nyeri pada dadanya, Malaikat Lembah Hijau berujar lirih. "Nak. Aku punya urusan yang harus segera kuselesaikan. Sekali lagi aku ucapkan terima kasih atas bantuan yang hendak kau berikan. Namun untuk sementara ini tolong dekatkan kuda itu kemari!"
Dengan benak dipenuhi rasa heran, akhirnya Joko Sableng bergerak bangkit dan melangkah ke arah kuda. Dan perlahan-lahan pula kuda tunggangan itu dituntunnya ke arah Malaikat Lembah Hijau. Malaikat Lembah Hijau kerahkan segenap tenaganya untuk dapat bergerak bangkit. Melihat hal ini, Joko segera menolong orang tua itu untuk berdiri. Dan perlahan-lahan pula dibimbingnya Malaikat Lembah Hijau untuk mendekati kuda tunggangannya. Bukan hanya itu saja, dengan segenap tenaganya pula anak ini membantu Malaikat Lembah Hijau untuk naik ke atas punggung kudanya.
"Nak. Terima kasih atas budimu. Siapa namamu?!" tanya Malaikat Lembah Hijau begitu tubuhnya telah berada di atas punggung kuda.
Joko Sableng tengadahkan kepalanya memperhatikan lekat-lekat. Dengan tersenyum ramah dia menjawab. "Aku Joko Sableng. Kakek sendiri siapa...? Dan hendak ke manakah sebenarnya?!"
Belum sampai Malaikat Lembah Hijau menjawab pertanyaan Joko, terdengar hentakan ladam kaki-kaki kuda menuju ke arahnya. Paras muka Malaikat Lembah Hijau berubah seketika. Sepasang matanya membesar mengikuti gerak bahunya yang menegang. Dari mulutnya terlontar gumaman pelan.
"Pasti mereka! Celaka...!" Malaikat Lembah Hijau bimbang. Apakah akan segera keluar dari tempat itu dan meneruskan perjalanan, atau tetap di situ dan bersembunyi. Selagi laki-laki ini dilanda kebimbangan dan belum dapat memutuskan apa yang akan dilakukan, terdengar kekehan tawa bersahutan.
Baik Malaikat Lembah Hijau maupun Joko sama-sama palingkan wajah. Muka Malaikat Lembah Hijau tambah pucat, kedua tangannya gemetar dengan kuduk merinding. Dan keringat dingin pun keluar membasahi dahi dan lehernya. Sementara Joko sempat tersedak dan melongo dengan paras ngeri. Tanpa sadar kakinya bergeser ke belakang, mendekat ke arah kuda tunggangan Malaikat Lembah Hijau!
BAB 6
"Bandung Bandawangsa! Kau bisa lari dari pandangan mataku, tapi jangan mimpi bisa lepas dari tanganku! Aku masih memberimu kesempatan. Serahkan petunjuk itu atau serahkan nyawamu!" yang keluarkan suara adalah Hantu Makam Setan.
Sementara Dewi Asmara hanya tegak mematung, namun diam-diam dalam hati perempuan cantik ini membatin. "Hantu Makam Setan. Kau boleh mengambil petunjuk itu dari tangan Bandung Bandawangsa, namun untuk diriku! Hik Hik Hik... Aku tahu bagaimana menghadapimu nanti..."
"Sialan benar! Tak mungkin aku menghadapi mereka berdua dengan keadaan demikian. Bagaimana kedua orang ini bisa bersatu? Hmm... Mendengar kekejian mereka, pasti anak ini nanti juga akan mereka hajar. Anak malang... Ah, bagaimanapun juga aku harus menyelamatkan diri, juga menyelamatkan anak ini!"
Mendapati Malaikat Lembah Hijau tak menyambuti ucapan Hantu Makam Setan, Dewi Asmara sorongkan wajahnya mendekat Hantu Makam Setan, lalu berbisik. "Hantu Makam Setan. Serahkan dia padaku! Rupanya dia tak bergeming dengan ancamanmu! Orang macam dia tak akan bisa ditekan dengan kata-kata. Dia hanya bisa ditaklukkan dengan tangan!"
Hantu Makam Setan gelengkan kepala. Rupanya laki-laki berhidung sebelah ini bertindak hati-hati sekali. Dia masih khawatir jika Malaikat Lembah Hijau tidak membawa petunjuk itu, tapi menyimpannya pada suatu tempat. Hingga jika kekhawatirannya benar, maka dengan tewasnya Malaikat Lembah Hijau, bukan hanya perjalanannya saja yang sia-sia, lebih dari itu pedang mustika itu tak akan jatuh ke tangannya!
"Dewi Asmara! Kau boleh punya dendam setinggi langit pada keparat itu, tapi sebelum urusanku selesai jangan coba-coba mendahului!"
Sungut Hantu Makam Setan, membuat Dewi Asmara mendelik dan katupkan bibir rapat-rapat. Namun dalam hati perempuan cantik ini sebenarnya merasa lega. Karena dia pikir lebih mudah menghadapi Hantu Makam Setan daripada menghadapi Malaikat Lembah Hijau. Hantu Makam Setan masih bisa dibujuk dengan tubuh, tapi tidak demikian halnya dengan Malaikat Lembah Hijau. Memikir sampai di situ, meski dengan menunjukkan wajah tak senang, akhirnya Dewi Asmara berbisik lagi.
"Kalau itu maumu, baiklah! Tapi jangan lupa, nyawanya adalah untukku!"
Hantu Makam Setan menyeringai buruk. Sementara Malaikat Lembah Hijau berpikir mencari jalan bagaimana bisa menyelamatkan diri dan menyelamatkan anak di bawahnya. Sebab tak mungkin meninggalkan anak itu sendirian bersama dua tokoh biang sesat yang kejam itu. Selagi Malaikat Lembah Hijau tercenung mencari jalan keluar, Joko Sableng tengadahkan kepala memandang Malaikat Lembah Hijau. Lalu berkata polos.
"Kek. Apakah mereka itu mencideraimu? Tampaknya mereka bukan orang baik-baik. Seandainya Kakek mengikuti aku ke rumah, tak mungkin mereka dapat menemukanmu!"
"Hmm... Anak ini perasaannya peka sekali. Dari tampang dan nada bicara orang, dia telah dapat menduga..." batin Malaikat Lembah Hijau.
Namun dia tak menyahut ucapan Joko. Sebaliknya dengan mengerahkan sisa-sisa tenaga sebelah tangannya bergerak mengayun. Dan tahu-tahu tubuh Joko telah melesat ke atas. Dan belum sempat Joko keluarkan kata-kata, Malaikat Lembah Hijau telah mendudukkannya di punggung kuda di sebelah depannya. Serta-merta tali kekang kuda dihela dengan keras. Kuda tunggangan itu meringkik kaget, tapi bersamaan dengan itu tubuhnya menghentak dan kakinya bergerak berlari meninggalkan tempat itu.
"Keparat busuk!" umpat Hantu Makam Setan. Sekonyong-konyong kedua tangannya bergerak menghantam. Mungkin karena marah, hingga tujuannya semula yang tidak akan membuat Malaikat Lembah Hijau tewas sebelum memberikan apa yang diminta jadi terlupa. Serangannya kini ditujukan langsung ke arah Malaikat Lembah Hijau!
Wuuuttt! Wuuuttt!
Keadaan sekitar tempat itu mendadak pekat. Bersamaan dengan itu dua berkas sinar hitam melesat dengan keluarkan suara menderu dahsyat. Di lain pihak, Dewi Asmara tak tinggal diam. Begitu tahu Hantu Makam Setan telah mengarahkan langsung pukulannya pada sosok Malaikat Lembah Hijau, perempuan ini pukulkan kedua tangannya dan diarahkan pada kuda yang ditunggangi. Hingga di kepekatan suasana itu melesat pula angin gelombang dahsyat yang mengembang dan menyergap dari empat jurusan ke arah kuda tunggangan Malaikat Lembah Hijau!
Namun serangan dua orang ini terlambat datangnya. Sebab Malaikat Lembah Hijau telah menyentakkan lagi tali kekang kudanya dengan lebih keras. Lalu membelokkan kuda tunggangannya ke arah selatan. Hingga dua serangan maut itu hanya menghajar tempat kosong. Lalu menghantam pohon dan somak belukar di sekitar tempat itu. Pohon-pohon itu berderak tumbang, sementara semak belukar tercerabut dari tanah dan berhamburan ke udara, membuat suasana makin pekat hitam!
Mendapati lawan bisa lolos, Hantu Makam Setan mendengus keras. Dadanya bergemuruh marah. Dan dengan berteriak meradang, laki-laki itu berkelebat lalu hantamkan kembali kedua tangannya ke arah mana kuda tunggangan Malaikat Lembah Hijau berlari. Sekali lagi sinar hitam melesat, karena kali ini Hantu Makam Setan dengan pengerahan tenaga dalam penuh, maka lesatan sinar hitam itu laksana bersitan cahaya dan melabrak dengan kecepatan yang suiit diikuti pandangan mata telanjang.
Malaikat Lembah Hijau yang merasa mendapati gelagat tidak baik segera saja berpaling. Dan mendadak paras muka laki-laki ini bertambah pias. Darahnya seakan sirap! Betap tidak. Tiga depa di belakangnya sinar hitam itu menderu cepat ke arahnya. Tapi untung laki-laki ini bisa berpikir cepat. Karena bukan saja dia harus menyelamatkan dirinya saja, tapi juga anak yang ada di depannya.
Memikir demikian, tali kekang kuda diserahkan pada anak di depannya. Joko sendiri yang meski terlihat heran bercampur takut, segera mengambil alih tali kekang kuda. Lalu menghelanya dengan keras-keras. Di belakangnya, Malaikat Lembah Hijau segera sentakkan kedua tangannya ke arah belakang.
Wuuuttt! Wuuuttt!
Sinar hijau segera melesat dan langsung memapak serangan Hantu Makam Setan. Terdengar dentuman menggelegar tatkala kedua pukulan sakti itu bentrok di udara. Namun karena tenaga yang dikeluarkan Malaikat Lembah Hijau tidak penuh, maka sebagian sinar hitam yang ambyar terkena papasan sinar hijau terus melesat dan menyambar deras ke punggung Malaikat Lembah Hijau!
Tubuh Malaikat Lembah Hijau bergetar. Untung laki-laki ini masih sempat menyambut tali kekang kuda hingga meski tubuhnya sempat oleng dan kuda tunggangannya doyong hendak terjerembab, namun segera bisa dikuasai.
"Kek..." ucap Joko di sela rasa takut dan ngeri, karena kuda itu kini berlari dengan kencang dan tak tentu tujuan.
"Nak!" sahut Malaikat Lembah Hijau dengan suara sendat dan pelan. "Kau tak usah takut! Dan jangan banyak bicara dulu."
Habis berkata begitu, Malaikat Lembah Hijau terlihat batuk-batuk, lalu mulutnya mengembung besar. Sebentar kemudian dari mulutnya keluar menyembur darah kehitaman!
Jauh di belakangnya, Hantu Makam Setan dan Dewi Asmara segera berkelebat ke arah kuda tunggangannya yang disimpan agak jauh dari tempatnya kini. Dan tanpa membuang tempo lagi, kedua orang ini segera naik punggung kudanya dan berlari mengejar.
"Setan keparat!" maki Hantu Makam Setan di sela hentakan kuda tunggannya yang berpacu kencang. Dan seakan tak sabar dengan lari kuda tunggangannya laki-laki ini segera membentak garang.
"Dewi. Pukul binatang jahanam ini. Aku yang mengendalikan!" seraya berkata tali kekang kuda diambil dari tangan Dewi Asmara.
Sementara Dewi Asmara sendiri meski dengan geram diperintah dengan bentakan demikian rupa segera pukulkan kedua tangannya ke dada kiri kanan binatang tunggangannya! Hingga binatang itu menghentak dan berpacu makin kencang.
Baik Joko Sableng maupun Malaikat Lembah Hijau tak tahu ke mana kuda tunggangannya mengarah. Yang ada di benak orang tua ini hanya bisa selamat dari kejaran Hantu Makam Setan dan Dewi Asmara. Karena sayup-sayup dia bisa mendengar hentakan kuda yang terus mengikutinya ke mana kuda tunggangannya berlari.
Karena Hantu Makam Setan dan Dewi Asmara menunggang dengan pengerahan ilmu peringan tubuh, lagi pula tak henti-hentinya Dewi Asmara memukul dada kudanya sementara Hantu Makam Setan tarik-tarik tali kekang kudanya, maka dalam beberapa saat kemudian, kedua orang ini telah berada beberapa tombak di belakang Malaikat Lembah Hijau dan Joko Sableng!
Di depan sana, Malaikat Lembah Hijau makin bergetar tubuhnya, selain merasakan sakit pada punggungnya, juga dadanya seakan pecah, apalagi terus-menerus diguncang kuda tunggangannya. Tapi laki-laki ini tak mau menyerah begitu saja. Dia terus memacu dan memacu tanpa mempedulikan ke mana langkah kudanya mengarah! Hal ini berakibat fatal bagi Malaikat Lembah Hijau dan Joko Sableng, karena ternyata kuda tunggangannya mengarah pada sebuah tebing jurang!
Malaikat Lembah Hijau dan Joko Sableng sama-sama tertegun, mata masing-masing sama membeliak besar. Bahkan dari mulut Joko terdengar jeritan tinggi melengking. Malaikat Lembah Hijau terkesima dan segera mencoba hentikan lari kudanya. Namun terlambat, karena begitu kuda berhenti, kaki depannya sudah tidak menginjak tanah, melainkan mengambang di tepi bibir jurang! Melihat situasi demikian, Hantu Makam Setan dan Dewi Asmara tercengang.
"Dewi. Kita harus cepat lakukan sesuatu untuk mencegahnya!" Habis berkata demikian, Hantu Makam Setan segera melesat dari punggung kudanya, begitu pula Dewi Asmara.
Beeettt! Beeettt!
Gerakan kedua orang ini mampu menahan kuda tunggangan Malaikat Lembah Hijau, namun karena yang tersahut tangan kedua orang ini adalah kaki belakang kuda Malaikat Lembah Hijau, membuat kuda tunggangan itu tertekuk ke belakang, sementara tubuh bagian depannya tertekuk turun ke jurang. Hal ini membuat sosok Malaikat Lembah Hijau dan Joko Sableng melesat ke depan dan tak ampun lagi melayang masuk ke dalam jurang!
"Ah..." Dewi Asmara mengeluh kecewa, sementara Hantu Makam Setan memandangi dengan wajah merah padam.
"Kita terlambat!" gumamnya parau. Mungkin merasa geram, kaki kuda yang masih mereka pegang sama-sama mereka sentakkan, hingga kuda itu tepelanting kelamping jurang dengan keluarkan ringkikan keras sebelum akhirnya melayang masuk ke jurang!
Hantu Makam Setan dan Dewi Asmara sama-sama bergerak bangkit. Masih dengan muka sulit diartikan Hantu Makam Setan melangkah ke bibir jurang. Demikian pula Dewi Asmara. Keduanya melongok ke bawah. Meski saat itu matahari memancarkan sinar terang tanpa awan, namun yang tampak oleh sepasang mata Hantu Makam Setan dan Dewi Asmara hanyalah pucuk warna hijau rimbun dedaunan pohon yang banyak merayap di lamping jurang, dan selebihnya adalah warna hitam pekat! Pertanda bahwa jurang itu sangat dalam!
"Bagaimana sekarang?!" tiba-tiba Dewi Asmara ajukan pertanyaan.
Hantu Makam Setan tidak menyahut, menoleh pun tidak. Dia masih memandang ke bawah dan sesekali memutar keliling dengan harapan tubuh Malaikat Lembah Hijau tersangkut sebagian pohon di lamping jurang. Namun harapan laki-laki berhidung sebelah ini tak menjadi kenyataan. Laki-laki ini rupanya masih tak putus asa. Dia melangkah menyusuri bibir jurang dengan sepasang mata tak berkedip! Sepasang telinganya pun dipasang baik-baik.
Di lain pihak, meski merasa kecewa yang amat sangat, Dewi Asmara segera sadar. Walau hatinya seakan menangis namun kenyataan ini diterimanya. Dan melihat Hantu Makam Setan masih saja tak mempercayai kenyataan dan melangkah mondar-mandir di bibir jurang, perempuan berwajah cantik ini putar tubuhnya dan melangkah menjauh. Kira-kira lima belas langkah, dia berpaling, Hantu Makam Setan masih mondar-mandir.
"Manusia dungu! Sampai kakimu tanggal kau tak akan menemukannya!" dengus Dewi Asmara perlahan lalu tubuhnya berkelebat meninggalkan tempat itu.
Hantu Makam Setan untuk beberapa lama masih berjalan di bibir jurang, dan begitu menyadari bahwa pencariannya sia-sia, dia kembangkan telaapak tangannya. Lalu berteriak histeris. Kedua tangan dan kakinya bergerak bersama-sama menghantam bibir jurang.
"Bummm!" Lamping jurang itu bergetar hebat. Sebagian tanah di bibir jurang kontan rengkah lalu terbongkar! Tanahnya berhamburan masuk ke dalam jurang. Kuda tunggangannya meringkik kaget dan sempat terangkat setengah tombak sebelum akhirnya jatuh tumbang di atas tanah. Binatang itu segera bangkit, lalu menghambur lenyap.
Hantu Makam Setan tengadah memandang langit. Tulang-tulang wajahnya bergerak gerak. Mulutnya komat-kamit namun tiada suara yang jelas terdengar. Sesaat kemudian, dia luruskan lagi kepalanya dan memandang berkeliling.
"Perempuan setan! Ternyata dia sudah minggat!" gumamnya pelan. Laki-laki ini lantas melangkah ke arah sebuah pohon besar. Pantatnya dihempaskan lalu duduk bersandar. Kedua tangannya bergerak mengusap wajahnya yang dipenuhi keringat.
"Akan kutunggu sampai matahari tenggelam. Siapa tahu..." desisnya lirih dengan memandang jauh.
BAB 7
Namun keriputan kulit wajahnya hanya merupakan garis-garis yang samar-samar sebab kulit wajah itu demikian tipisnya. Rambutnya telah putih dan dibiarkan menjulai hingga sebagian menutupi wajah dan lehernya. Kumis dan jenggotnya juga putih dan lebat. Kakek ini mengenakan jubah panjang yang ketika dibuat duduk demikian rupa, sebagian kain jubahnya berserakan di samping kanan kirinya. Jubah itu telah kusam dan bertambal-tambal dari beberapa kain dan warna.
Pada beberapa tahun yang silam, jagat rimba persilatan pernah diguncang dan disentak oleh munculnya seorang tokoh berilmu tinggi yang malang melintang tanpa tanding. Beberapa tokoh golongan hitam yang coba-coba menjajal kesaktiannya, harus rela roboh dan yang memaksanya harus rela menyerahkan selembar nyawanya. Hingga ketika tokoh ini malang melintang, dunia persilatan menjadi tenteram damai.
Dan satu persatu tokoh golongan hitam pergi menyingkir. Tokoh ini namanya lantas harum dan dikenal sampai di kalangan rakyat biasa. Tokoh ini sebenarnya adalah seorang pendeta. Namun karena melihat rimba persilatan banyak dikotori oleh tangan-tangan yang serakah dan merajalelanya kebusukan, tokoh ini menanggalkan kependetaannya. Lalu turun ke gelanggang persilatan.
Karena tokoh ini selalu mengenakan pakaian tambal sulam dan sifatnya yang kadang-kadang mirip seperti seorang tak waras, orang-orang menyebutnya dengan gelar Pendeta Sinting. Tapi beberapa tahun kemudian Pendeta Sinting hilang lenyap tiada berita. Beberapa orang coba menyelidiki ke mana lenyapnya Pendeta Sinting.
Namun hingga beberapa lama, tak seorang pun yang dapat membuka tabir lenyapnya Pendeta Sinting. Bersamaan dengan itu, tokoh-tokoh golongan hitam pun mulai lagi merajalela. Dan kekejian serta kemelut pun mulai muncul di mana-mana. Kemelut itu makin keruh dengan tersebarnya berita tentang pusaka pedang mustika yang dikabarkan berada di tangan seseorang.
Sebenarnya Pendeta Sinting saat itu masih ingin terjun dalam rimba persilatan. Namun karena merasa usia telah menggerogoti dirinya, dia mulai berkeinginan untuk hidup tanpa bising segala macam ilmu silat. Dan secara diam-diam dia pergi ke sebuah jurang yang dikenal orang dengan nama jurang Tlatah Perak. Sebuah jurang yang sangat dalam dan tidak pernah didiami seorang manusia.
Beberapa puluh tahun telah berlalu, Pendeta Sinting tetap berdiam diri di dalam jurang Tlatah Perak. Selain menyendiri untuk menenangkan diri, tokoh ini juga memperdalam ilmu silat. Saat itu Pendeta Sinting sedang bersemadi dengan duduk bersila. Wajahnya telah mengeriput dimakan usia. Rambutnya pun telah memutih. Jubahnya yang bertambal-tambal berserakan di samping kanan kirinya.
Namun semadinya saat itu tidak begitu khusuk. Karena sayup-sayup sepasang telinganya yang tajam menangkap hentakan ladam kaki-kaki kuda. Hal ini tidak biasa. Karena selama berpuluh-puluh tahun berdiam diri di dalam jurang, baru kali ini ada kuda yang lan-kah-langkahnya seperti mendekati ke arah jurang dimana dia berada. Dan semadinya jadi kacau tak kala dengan jelas sepasang telinganya menangkap jeritan.
Jeritan itu menggema dan memantul ke lamping bibr jurang. Dari suara pantulan jeritan, dengan cepat Pendeta Sinting segera dapat menduga jika orang yang keluarkan jeritan pasti masuk ke dalam jurang. Keyakinannya makin tebal tatkala bersamaan dengan itu terdengar suara makian, lalu bergetarnya lamping jurang serta berhamburannya tanah dari atas jurang.
Merasa ada yang tidak beres, Pendeta Sinting buka kelopak matanya. Kepalanya bergerak mendongak. Saat itulah sepasang matanya yang kelabu menangkap tiga bayangan hitam melayang-layang. Pendeta Sinting komat-kamitkan mulutnya. Tak lama kemudian dari mulutnya terdengar kekehan tawa panjang. Namun cuma sesaat, sekejap kemudian tubuhnya telah melesat, dan tahu-tahu telah tegak sambil mendongak tak berkedip.
"Gila! Benda apa itu?!" ujarnya dengan tertawa mengekeh. Lalu berkelebat karena salah satu bayangan hitam itu telah hampir menghempas ke bawah. Kedua tangannya bergerak ke depan dengan tubuh sedikit ditarik ke belakang.
"Tabbb! Tabbb!" Benda yang melayang hampir terhempas itu tertangkap kedua tangan Pendeta Sinting. Orang ini segera saja tertawa terkekeh demi mengetahut bahwa yang ditangkapnya adalah seekor kuda yang tubuhnya hampir hancur.
"Sialan! Binatang sudah tewas masih juga dilemparkan ke dalam jurang! Sungguh tak tahu peradatan manusia yang melakukan hal ini..." gumam Pendeta Sinting, lalu meletakkan bangkai kuda itu di atas tanah.
Mungkin karena bobot kuda itu lebih berat dari tubuh Malaikat Lembah Hijau dan Joko Sableng maka binatang itu lebih dahulu sampai di bawah meski ketiganya hampir bersamaan saat terjatuh ke dalam jurang. Sesaat setelah kuda itu ditangkap dan diletakkan di atas tanah, dua bayangan yang melayang segera menyusul.
Sepasang mata Pendeta Sinting membeliak untuk meyakinkan. Begitu matanya yakin jika dua bayangan yang menyusul bayangan kuda adalah sosok manusia, kakek ini segera lesatkan tubuhnya ke udara dan dengan gerakan sigap dua bayangan itu ditangkapnya. Lalu dengan gerakan ringan sosoknya melayang turun ke tempatnya semula. Dua sosok manusia itu segera diletakkan di atas tanah. Sepasang matanya memandangi dua tubuh yang sama-sama pingsan itu seraya menghela napas panjang.
"Seorang tua dan seorang anak kecil... Mungkin mereka adalah kakek dan cucunya. Hmm... Yang tua tampaknya mengalami cidera dalam yang cukup parah. Sepertinya baru saja mengalami bentrok dengan seorang berilmu tinggi. Hm... Rimba persilatan tak habis-habisnya menelan korban. Dunia edan!"
Pendeta Sinting lantas arahkan pandangannya pada sosok Joko Sableng. Memandang sebentar lalu bergumam. "Anak ini tak mengalami cidera. Dia pingsan mungkin karena terangas pohon dan akar-akar berduri di lamping jurang. Tubuhnya penuh barutan merah dan berdarah, tapi tak mengalami cidera dalam. Ah... Anak-anak tak berdosa pun harus jadi korban rimba persilatan! Benar-benar jagat gila!"
Pendeta Sinting alihkan lagi pandangannya pada sosok Malaikat Lembah Hijau. Setelah menarik napas panjang orang tua ini jongkok di samping tubuh Malaikat Lembah Hijau. "Aku akan memeriksa tubuhnya. Kalau Tuhan masih menentukan baik, jiwanya akan tertolong..."
Kakek yang dulu pernah menggegerkan rimba persilatan ini gerakkan kedua tangannya dan ditempelkan pada dada Malaikat Lembah Hijau. "Masih ada denyutan meski pelan..." desisnya.
Kakek ini lantas kerahkan tenaga dalamnya. Tubuh Malaikat Lembah Hijau yang tadi diam tak bergerak-gerak mulai menampakkan gerakan pelan. Perlahan-lahan pula dari kedua tangan Pendeta Sinting.yang menempel di dada Malaikat Lembah Hijau mulai mengepulkan asap. Bersamaan dengan itu gerakan Malaikat Lembah Hijau makin kelihatan.
Pendeta Sinting lipat gandakan alirkan hawa murninya, hingga tak lama kemudian mulut Malaikat Lembah Hijau terbuka dan bergetar. Bersamaan dengan terbukanya mulut, dari sudut mulut itu meleleh darah hitam. Melihat hal ini Pendeta Sinting pejamkan matanya. Tangannya makin menekan pada dada Malaikat Lembah Hijau. Darah hitam makin banyak mengalir, namun perlahan-lahan darah itu berubah warna.
Begitu Pendeta Sinting buka kelopak matanya, darah yang mengalir telah berubah jadi merah. Pendeta Sinting menghela napas lega. Dan bersamaan dengan berubahnya darah, yang berarti racun akibat cidera telah lenyap, perlahan-lahan paras Malaikat Lembah Hijau berubah agak cerah. Dan kedua kakinya mulai bergerak-gerak. Kelopak matanya pun mulai bergerak mengerjap dan tak lama kemudian kelopak mata itu terbuka.
Begitu melihat paras wajah Pendeta Sinting, sepasang mata Malaikat Lembah Hijau membesar. Mulutnya dibuka namun suaranya seakan tersekat di tenggorokan, hingga yang terdengar adalah gerengan pelan. Setelah agak lama dan merasa dapat menguasai keterkejutannya, Malaikat Lembah Hijau keluarkan suara. Agak parau dan tersendat.
"Kau... Kau... siapa...?! Apakah aku tidak sedang mim... Mimpi?"
Keterkejutan Malaikat Lembah Hijau makin besar hingga matanya makin melotot, karena jawaban dari Pendeta Sinting adalah tawa mengekeh! Namun ketika menyadari bahwa orang tua di hadapannya telah menolong dirinya, Malaikat Lembah Hijau kembali ajukan pertanyaan.
"Orang tua. Siapakah... kau?" Namun lagi-lagi Malaikat Lembah Hijau hanya mendapat jawaban kekehan tawa, membuat Malaikat Lembah Hijau memperhatikan lebih seksama pada orang tua di sampingnya itu. Tiba-tiba sepasang matanya mendelik dengan dahi berkerut. Mulutnya bergerak komat-kamit. Dalam hati Malaikat Lembah Hijau bertanya-tanya sendiri.
"Apakah aku tidak mimpi? Melihat ciri-cirinya, meski aku belum pernah bertemu, bukankah orang tua ini seorang tokoh berilmu tinggi yang sejak beberapa tahun belakangan ini menjadi teka-teki besar karena kepergiannya yang begitu tiba-tiba dan tanpa kabar berita? Ah, apakah benar dia tokoh yang bergelar Pendeta Sinting?"
Meski masih menduga-duga, Malaikat Lembah Hijau segera bergerak bangkit untuk duduk. Lalu akan menjura, namun sebelum hal itu sempat dilakukan, tubuhnya telah oleng ke belakang dan jatuh lagi telentang.
"Kau memang telah selamat dan cidera dalammu telah berkurang, namun aliran darahmu masih kocar-kacir..." ujar Pendeta Sinting. "Kerahkan sedikit tenaga dalammu untuk mengatasi aliran darahmu!"
Malaikat Lembah Hijau segera turuti ucapan Pendeta Sinting. Kedua tangannya segera ditakupkan di depan dada. Sepasang matanya dipejamkan. Lalu perlahan-lahan dia menarik napas untuk mengatasi aliran darahnya. Setelah merasa aliran darahnya berfungsi dengan normal, perlahan-lahan Malaikat Lembah Hijau buka kelopak matanya, kedua tangannya digerakkan ke samping kanan dan kiri. Dengan bertumpu pada kedua tangannya, Malaikat Lembah Hijau bergerak bangkit. Lalu membungkuk dalam-dalam. Pendeta Sinting tertawa mengekeh seraya mendongak.
"Kau tak perlu berbuat dengan segala macam peradatan begitu rupa! Lebih baik kau ceritakan apa yang baru saja menimpamu!"
Malaikat Lembah Hijau luruskan tubuh. Memandang lekat-lekat pada orang tua di hadapannya. Dan mendengar apa yang baru saja diucapkan Pendeta Sinting, Malaikat Lembah Hijau semakin yakin jika orang tua di hadapannya adalah orang yang diduganya. Karena menurut apa yang pernah didengar, Pendeta Sinting adalah seorang tokoh yang tak gila hormat dan tak mau dihormati dengan segala peradatan yang berlaku dalam rimba persilatan.
"Orang tua, kalau tak salah apakah aku tengah berhadapan dengan tokoh yang bergelar Pendeta Sinting?"
Pendeta Sinting tertawa dahulu sebelum buka suara. "Ternyata kau telah mengenaliku. Namun rasanya aku merasa kesulitan untuk mengenalimu. Siapa kau?!"
"Ah. Ternyata dugaanku tidak meleset. Sungguh satu kebahagiaan besar bagiku bisa bertemu dengan tokoh yang bernama harum sepertimu, Pendeta Sinting. Aku adalah Bandung Bandawangsa. Berasal dari Lembah Hijau..."
"Ha Ha Ha...! Jika demikian, bukankah kau manusia yang bergelar Malaikat Lembah Hijau?"
"Ah, itu hanya nama sebutan yang diberikan orang-orang, Pendeta..."
"Hmm... Begitu? Sekarang ceritakan bagaimana kau bisa sampai jatuh ke tempatku ini dan mengganggu kesendirianku!"
"Maafkan jika aku mengganggu, Pendeta..." ujar Malaikat Lembah Hijau pelan. Lalu dia segera menceritakan apa yang dialaminya hingga sampai masuk ke dalam jurang Tlatah Perak.
"Hmm... Rimba persilatan memang tak akan dikatakan arena rimba jika tak selalu diselimuti kegegeran. Dan masalah Pedang Malaikat itu, sebenarnya telah lama juga kudengar. Namun baru kali ini aku mendengarnya jika kau yang dikejar-kejar orang dan diduga memiliki petunjuk tentang pedang mustika itu. Boleh aku tahu, siapa gurumu?!"
Sejenak Malaikat Lembah Hijau terdiam, membuat Pendeta Sinting tertawa seakan mengejek. "Kau tak usah khawatir. Aku tak akan menyelidik. Aku juga tak tertarik dengan pedang itu!"
Paras muka Malaikat Lembah Hijau berubah merah padam. Laki-laki ini buru-buru menjawab pertanyaan Pendeta Sinting. "Guruku adalah Ki Buyut Mangun Raksa..."
Untuk pertama kalinya Pendeta Sinting terperangah kaget. Sepasang matanya yang kelabu mendelik memperhatikan lekat-lekat Malaikat Lembah Hijau. Orang tua ini telah tahu siapa sebenarnya manusia yang bernama Ki Buyut Mangun Raksa. Dia adalah seorang tokoh berilmu tinggi juga seorang tokoh yang bisa menembus hal secara gaib!
Melihat sampai di situ, Pendeta Sinting lantas berkesimpulan jadi tak salah apabila beberapa tokoh mengejar-ngejar Malaikat Lembah Hijau. Mereka menduga, Malaikat Lembah Hijau pasti tahu petunjuk tentang beradanya pusaka Pedang Malaikat itu dari mendiang gurunya yang punya kesaktian dapat melihat hal-hal yang gaib itu.
"Bandung Bandawangsa. Ingat, aku tidak menyelidik, hanya sekadar ingin tahu. Apakah mendiang gurumu pernah bercerita tentang senjata pedang mustika itu? Setidak-tidaknya pernah menyinggungnya?!" tanya Pendeta Sinting setelah agak lama berdiam diri.
"Tak pernah, Pendeta..."
"Aneh..." gumam Pendeta Sinting heran.
"Apanya yang aneh, Pendeta...?!"
"Gurumu itu. Juga kau! Bagaimana mungkin orang lain bisa tahu, tapi kau sendiri sebagai muridnya tak diberitahu! Mustahil jika manusia macam Hantu Makam Setan dan Dewi Asmara juga tokoh-tokoh geblek lainnya bersusah payah mengejar-ngejarmu jika tak yakin gurumu telah memberikan petunjuk tentang beradanya pedang mustika itu padamu! Entah dari siapa, mereka pasti sudah tahu bahwa gurumu telah memberitahukan tentang beradanya pedang itu!"
"Tapi, Pendeta. Guru memang tidak pernah memberitahukan padaku! Maka dari itu aku sendiri heran, orang-orang itu tiba-tiba mengusikku dan meminta sesuatu yang tak pernah kumiliki!"
Pendeta Sinting manggut-manggut meski dalam hatinya tak mengerti. "Hal-hal seperti inilah yang membuat rimba persilatan lain dari pada yang lain. Dan hal-hal seperti ini juga yang membuat rimba persilatan penuh dengan selimut fitnah dan bara dalam sekam! Jika hal seperti ini tidak segera terbuka, rimba persilatan akan terus guncang dan umat manusia tidak akan aman tenteram. Sayang, aku telah undur diri..." gumam Pendeta Sinting seakan mengeluh. Wajahnya berubah jadi murung. Namun cuma sesaat. Tak lama kemudian bibirnya telah membuka dan keluarkan tawa mengekeh, membuat Malaikat Lembah Hijau geleng-geleng kepala.
"Hmm... Biarlah itu menjadi urusan orang-orang di luar sana. Jikalau Yang Kuasa menghendaki, cepat atau lambat misteri ini akan juga terbuka. Hanya saja kalau segera terbuka, dan orang yang ditakdirkan memiliki senjata itu orang baik-baik, maka rimba persilatan akan menjadi tenang. Setidak-tidaknya segala fitnah untuk sementara akan reda..."
Pendeta Sinting lantas berpaling. Dia terkejut. "Astaga! Kenapa kita asyik ngomong melulu. Bukankah anak itu juga perlu pertolongan."
Pendeta Sinting lantas geser tubuhnya ke arah Joko Sableng. Kedua tangannya pun segera meneliti tubuh Joko. Karena anak ini tak mengalami cidera dalam, Pendeta Sinting hanya memijit-mijit jidat dan dada Joko.
Dan orang tua ini tak menunggu lama. Tubuh Joko mulai bergerak-gerak. Lalu sepasang matanya terbuka. Bola mata tajam dan bening itu sesaat mengerjap, lalu memandang lurus ke atas. Setelah agak terbiasa, sepasang mata itu melirik ke samping. Sepasang alis matanya naik ke atas. Keningnya berkerut dengan mulut bergumam tak jelas. Namun wajahnya jelas mengisyaratkan rasa terkejut bukannya takut!
"Hmm... Nyalinya besar juga ini anak. Anak lain mungkin sudah terkencing-kencing melihat tampangku. Ha Ha Ha...!" Pendeta Sinting membatin dalam hati dan tertawa sendiri.
"Orang tua... Kek... Siapakah kau?!" tiba-tiba Joko Sableng ajukan pertanyaan seraya bangkit duduk. Sepasang matanya tak berkedip memperhatikan raut wajah Pendeta Sinting. Lalu berpaling ke samping. Ketika melihat Malaikat Lembah Hijau, Joko sedikit terkejut dan langsung menyapa.
"Kek..."
Malaikat Lembah Hijau tersenyum seraya anggukkan kepalanya. "Bocah. Siapa namamu?!" Pendeta Sinting balik ajukan tanya.
"Joko. Tapi teman-teman biasa memanggilku Joko Sableng," jawab Joko sambii berpaling lagi pada Pendeta Sinting.
Mendengar ucapan Joko, Pendeta Sinting tertawa ngakak. "Sinting bertemu sableng... Ha Ha Ha...! Mana yang lebih geger dari hal ini?! Bagaimana menurutmu, Bandung Bandawangsa?!"
Bandung Bandawangsa alias Malaikat Lembah Hijau menjawab dengan senyum.
"Kek..." ujar Joko sambil berpaling pada Malaikat Lembah Hijau. "Bukankah kita tadi, atau kemarin jatuh dan masuk ke dalam jurang?"
Malaikat Lembah Hijau anggukkan kepalanya. Memandang lama pada Joko, lalu berkata pelan. "Benar, Nak! Tapi kita diselamatkan oleh kakek ini! Dia adalah tokoh rimba persilatan yang digelari orang Pendeta Sinting. Kau harus berterima kasih padanya."
Mungkin karena terkesima dengan ucapan Malaikat Lembah Hijau untuk beberapa, lama Joko terdiam kaku. Hanya sepasang matanya yang memandang tajam memperhatikan pada Pendeta Sinting. "Pendeta Sinting...? Jadi... Apa yang pernah diceritakan Paman padaku itu benar adanya...!" gumam Joko lirih.
"Cerita? Cerita apa?!" sahut Malaikat Lembah Hijau.
"Paman sering cerita, bahwa pada puluhan tahun yang silam, hidup seorang tokoh sakti yang berbudi luhur namun juga seperti..." Joko tak meneruskan ucapannya. Matanya meneliti pakaian juga wajah Pendeta Sinting.
Pendeta Sinting tertawa mengekeh. "Hai... Kenapa kau putuskan ucapanmu? Teruskan! Ayo katakan apa lanjutan ucapanmu!"
Joko tersedak. Dia rupanya sadar bahwa dia keceplosan omong. Hingga meski Pendeta Sinting memerintah untuk melanjutkan ucapannya, Joko masih diam.
"Bocah! Kau dengar kata-kataku. Teruskan ucapanmu!"
"Paman bilang kadang-kadang seperti orang tak waras..." ujar Joko dengan suara dipelankan.
Malaikat Lembah Hijau menghela napas panjang. Namun dia maklum, anak sekecil Joko masih belum bisa mengerti perasaan orang. Namun sebaliknya Pendeta Sinting bukannya marah mendengar ucapan Joko. Orang tua ini malah tertawa terbahak-bahak. Membuat Malaikat Lembah Hijau menggeleng tak habis pikir. Joko pun yang tadinya agak takut-takut meneruskan ucapannya jadi tersenyum dan garuk-garuk kepala.
Tiba-tiba sepasang mata kelabu Pendeta Sinting membeliak besar. Tawanya putus mendadak seakan direnggut setan. Membuat Malaikat Lembah Hijau kerutkan dahi. Sementara Joko hentikan tangannya yang menggaruk. Tangan itu tetap di kepalanya. Diam tak bergerak-gerak. Kedua orang ini menunggu dengan dada berdebar. Malaikat Lembah Hijau khawatir jika Pendeta Sinting marah dibilang seperti orang tak waras oleh Joko.
"Celaka. Jangan-jangan orang tua ini tersinggung. Menghadapi orang tua begini memang susah-susah gampang..."
"Pendeta..." kata Malaikat Lembah Hijau akan memintakan maaf jika ucapan Joko tadi memang menyinggung perasaannya.
Namun sebelum Malaikat Lembah Hijau meneruskan ucapannya, Pendeta Sinting angkat tangannya memberi isyarat padanya untuk tidak teruskan ucapan, membuat Malaikat Lembah Hijau memandang lekat-lekat pada orang tua di hadapannya. Saat itulah Malaikat Lembah Hijau baru tahu jika sepasang mata orang tua itu menatap bukan pada wajah Joko, melainkan pada telapak tangan kirinya yang diam di atas kepalanya.
Dan serta-merta sepasang mata Malaikat Lembah Hijau ikut-ikutan membelalak. Malah mungkin merasa kurang yakin, dia condongkan tubuhnya ke depan, membuka lebar-lebar sepasang matanya. Dan lukisan itu memang benar-benar terlihat meski samar-samar. Melihat dirinya dipandangi oleh dua orang tua di hadapannya demikian rupa, membuat Joko Sableng salah tingkah. Buru-buru anak ini turunkan tangannya, lalu menunduk.
"Bandung Bandawangsa. Kau melihatnya bukan?!" tiba-tiba Pendeta Sinting ajukan pertanyaan.
"Benar, Pendeta. Aku melihatnya!" jawab Malaikat Lembah Hijau seraya menatap sekujur tubuh Joko.
Sebenarnya kedua orang tua itu secara tak sengaja telah dapat melihat sebuah lukisan bergambar seorang tua bersorban pada telapak tangan kiri Joko sewaktu anak itu menggaruk kepalanya.
"Joko. Siapa orangtuamu?!" Pendeta Sinting angkat bicara setelah agak lama terdiam.
Joko angkat kepalanya. Memandang sejenak pada Pendeta Sinting lalu pada Malaikat Lembah Hijau. "Aku tak tahu. Karena keduanya telah meninggal saat aku masih kecil. Aku hidup bersama Paman, adik ayahku..."
"Apakah kau masih ingin kembali pulang?!"
Joko Sableng diam sesaat. Anak ini terlihat ragu-ragu. Sebenarnya dalam hatinya sangat gembira dan hampir tak percaya jika dia dapat bertemu dengan orang yang selama ini hanya didengarnya lewat cerita-cerita pamannya. Keinginan hatinya yang besar untuk belajar silat muncul. Namun di lain pihak dia khawatir dengan pamannya. Karena kepergiannya tanpa pamit terlebih dahulu.
"Joko. Kalau kau ingin di sini bersamaku, aku senang sekali! Soal kepergianmu, biarlah nanti Bandung Bandawangsa yang mengatakan pada pamanmu!" kata Pendeta Sinting.
"Hmm... Rupanya pendeta ini ingin mengambil anak ini sebagai murid! Ah, sungguh sangat beruntung anak ini..." batin Malaikat Lembah Hijau begitu mendengar ucapan Pendeta Sinting.
Laki-laki berpakaian selempang resi ini anggukkan kepalanya dan berkata. "Benar, Joko. Masalah dengan pamanmu, biar nanti aku yang menceritakannya. Kurasa dia tak akan keberatan."
"Apakah... Apakah kalau aku di sini Eyang mau mengajari ilmu silat?!" tanya Joko sambil arahkan pandangannya pada tempat sekitarnya.
Pendeta Sinting tertawa mengekeh. "Masalah ini belum bisa kuputuskan. Kita lihat saja nanti! Kalau kau kuat dan berbakat, hal ini tak akan sulit."
"Aku kuat, Eyang!" sahut Joko cepat, membuat Malaikat Lembah Hijau dan Pendeta Sinting tertawa berbarengan. "Dan aku mau tinggal di sini asalkan Eyang mau mengajariku ilmu silat!"
"Baiklah. Itu urusan nanti. Yang penting kau mau tinggal di sini menemaniku!" ujar Pendeta Sinting.
Saat itulah tiba-tiba Malaikat Lembah Hijau mengerang. Wajahnya mendadak pucat pasi. Tubuhnya gemetar dengan bahu berguncang. "Punggungku..." hanya itu ucapan yang terlontar dari mulutnya. Bersamaan dengan itu laki-laki ini terhumbalang jatuh menelentang.
"Edan! Kenapa lagi orang ini? Punggung...? Sialan. Jangan-jangan punggungnya cidera. Bodohnya aku, kenapa tadi punggungnya tak kuperiksa?!" gumam Pendeta Sinting, lalu buru-buru mendekat. Dengan cepat tangannya bergerak membalikkan tubuh Malaikat Lembah Hijau.
Sementara Joko hanya memandang tak tahu apa yang harus diperbuat. Pendeta Sinting cepat memeriksa punggung Malaikat Lembah Hijau. Mungkin karena terhalang pakaiannya, orang tua ini segera menyibakkan pakaian Malaikat Lembah Hijau. Begitu punggung Malaikat Lembah Hijau tersingkap, Pendeta Sinting terkesiap kaget. Dia tersentak.
BAB 8
Setelah dapat mengatasi ketersimaannya, Pendeta Sinting condongkan tubuhnya ke depan. Lalu membaca tulisan itu. Pedang Tumpul 131. Pesanggrahan Keramat. Puncak Bukit Sono Keling. Bulan Sepenggal.. Meski tulisan itu samar-samar dan buruk, namun Pendeta Sinting masih dapat membacanya. Bahkan orang tua ini membacanya beberapa kali.
"Hm... Tak salah jika beberapa tokoh edan itu mengejar-ngejarnya. Ternyata dia memang membawa petunjuk tentang pedang mustika itu! Pasti tulisan ini dibuat oleh mendiang Ki Buyut Mangun Raksa tanpa sepengetahuan Bandung Bandawangsa..." Pendeta Sinting menghela napas panjang. Lalu melirik sekilas pada Joko Sableng yang kini asyik mengorek-ngorek lumut tebal hijau di sampingnya.
Tiba-tiba kening Pendeta Sinting mengernyit. Dia teringat sesuatu. "Astaga! Bukankah hal yang kutemui saat ini hampir sama dengan mimpiku? Aku bermimpi didatangi seorang laki-laki dan seorang anak kecil. Si anak datang sambil mengacungkan tangan kirinya ke atas dengan telapak tangan terbuka, sementara si laki-laki datang dengan membawa sebuah pedang. Dan masih kuingat sebuah suara yang tiba-tiba menyeruak bersama kedatangan kedua orang itu. 'Anak ini yang kelak ditentukan untuk memiliki pedang itu. Rawat dan jagalah!' Hm... Sepertinya sebuah perintah. Ah... Mimpiku benar-benar jadi kenyataan. Jadi aku harus merawat dan menjaga anak ini. Dan menuntunnya untuk mendapatkan pedang itu jika sampai saatnya. Hmm..."
Tiba-tiba Malaikat Lembah Hijau kembali perdengarkan erangan, membuat Pendeta Sinting terjaga dari lamunannya. Cepat, kakek ini tempelkan kedua tangannya pada punggung Malaikat Lembah Hijau yang memang berwarna biru akibat pukulan Hantu Makam Setan. Setelah agak lama Pendeta Sinting kerahkan tenaga dalam dan disalurkan pada punggung Malaikat Lembah Hijau, perlahan-lahan warna biru akibat pukulan Hantu Makam Setan sirna, dan bersamaan itu Malaikat Lembah Hijau kembali bergerak-gerak. Anehnya, bersamaan dengan sirnanya warna biru, tulisan di punggung Malaikat Lembah Hijau juga lenyap!
"Aneh... Kalau bukan seseorang yang memiliki ilmu tinggi, tak mungkin bisa melakukan hal seperti ini..." desis Pendeta Sinting, lalu tarik kedua tangannya.
Malaikat Lembah Hijau perlahan-lahan bergerak bangkit. Lalu duduk seperti semula. "Terima kasih, Pendeta... Ini pasti akibat pukulan Hantu Makam Setan yang kuceritakan padamu itu, Pendeta!"
Pendeta Sinting tidak menanggapi ucapan Malaikat Lembah Hijau. Malah dia balik ajukan tanya. "Bandung Bandawangsa. Kutanya padamu. Tapi ingat, jangan kau berkata dusta padaku. Kau dengar?"
Meski dengan wajah heran, Malaikat Lembah Hijau anggukkan kepalanya. "Tak ada untungnya aku bicara dusta padamu, Pendeta. Katakanlah!"
"Apakah mendiang gurumu memang tak pernah cerita tentang pedang mustika itu?!"
"Seperti yang tadi kukatakan. Guru Ki Buyut Mangun Raksa memang tak pernah cerita apa-apa tentang pedang itu, Pendeta. Kenapa pendeta menanyakan hal itu lagi?!"
Pendeta Sinting tidak segera berkata. Memandang sejenak pada Malaikat-Lembah Hijau lalu tengadah. "Dengar. Aku telah menemukan petunjuk tentang pedang mustika itu pada dirimu!"
Malaikat Lembah Hijau tercengang. Mungkin takut kalau disangka dia berkata dusta, laki-laki ini segera berkata. "Tapi, Pendeta. Guru memang benar-benar tak pernah memberikan petunjuk itu padaku. Dan aku pun tak tahu! Kalau tak keberatan, boleh aku tahu di mana dan bagaimana petunjuknya?!"
"Sebelum kukatakan, jawab lagi pertanyaanku. Apakah gurumu pernah menulis sesuatu pada tubuhmu?!"
Malaikat Lembah Hijau terdiam. Keningnya berkerut seakan mengingat. Lalu kepalanya menggeleng perlahan. "Rasa-rasanya tak pernah. Hanya saja..."
"Hanya saja apa?!" tukas Pendeta Sinting.
"Sewaktu latihan, aku pernah cidera di bagian punggung. Waktu itu Guru mengobati. Namun waktu itu aku merasa aneh, karena cara mengobatinya dengan menggunakan ijuk keras yang ditoreh-torehkan di punggungku. Padahal biasanya Guru mengobatiku dengan salurkan tenaganya lewat telapak tangan. Namun aku waktu itu diam saja."
"Hm... Jika demikian, tulisan itu bisa dipercaya!" gumam Pendeta Sinting, membuat Malaikat Lembah Hijau makin penasaran.
"Tulisan, Pendeta maksud tulisan mana?!"
"Dengar, Bandung Bandawangsa. Di punggungmu aku melihat tulisan yang memberi petunjuk tentang beradanya Pedang Tumpul yang kini diperebutkan oleh orang-orang rimba persilatan. Dan mendengar ceritamu, aku yakin bahwa yang menulis itu adalah gurumu"
Malaikat Lembah Hijau terperangah. Dia hampir tak percaya dengan apa yang didengarnya. Namun sebelum laki-laki ini hilang rasa terkejutnya, Pendeta Sinting telah ajukan pertanyaan.
"Apakah kau berniat memiliki senjata itu?!"
"Pendeta... Kalau mendiang Guru tidak pernah mengatakan padaku, dan hanya menuliskan di punggungku, aku bisa menebak jika pedang itu tidak ditentukan untukku! Jadi percuma aku memburu atau berniat memilikinya! Biarlah pedang itu dimiliki oleh orang yang ditentukan untuk memilikinya!"
"Hmm... Bagus. Orang sadar diri seperti kau sulit ditemui saat ini. Kebanyakan orang, mereka tak sadar dan terus memburu sesuatu yang di luar jangkauannya. Hingga mereka terperosok! Anehnya, dalam keterperosokannya itu mereka bangga! Gila..."
Pendeta Sinting lantas melirik ke samping. Dilihatnya Joko telah tertidur di atas lumut hijau! Orang tua ini menggeleng, lalu berpaling pada Malaikat Lembah Hijau. Setelah batuk-batuk beberapa kali orang tua ini menceritakan mimpinya pada Malaikat Lembah Hijau.
"Bagaimana menurutmu?!" tanyanya setelah menceritakan mimpinya.
Malaikat Lembah Hijau coba menguasai diri dari rasa terkejutnya dahulu setelah mendengar cerita mimpi orang tua di hadapannya. Lalu berkata. "Menilik mimpimu, aku beranggapan bahwa memang anak ini yang ditentukan untuk memiliki pedang itu!"
"Hmm... Dugaanmu sama dengan perkiraanku. Namun seperti suara yang kudengar, untuk sementara waktu anak ini akan kurawat, hingga tiba saatnya nanti. Lagi pula sambil jalan aku akan menyelidik apa makna tulisan di telapak tangan anak ini. Tentunya menyimpan sesuatu!"
Beberapa saat berlalu, kedua orang ini lantas saling diam, seakan berpikir dengan perasaan masing-masing. Namun tak lama kemudian Malaikat Lembah Hijau angkat bicara.
"Pendeta... Rasanya aku sudah agak baik. Perkenankan aku pamit."
"Hmm... Begitu? Baik. Tapi kau harus tetap berhati-hati. Jiwamu masih menjadi incaran banyak orang. Apalagi jika berita itu telah menyebar kemana-mana."
"Segala ucapanmu akan kuperhatikan, Pendeta!" ujar Malaikat Lembah Hijau pelan, lalu menyambung. "Untuk menghindarkan hal-hal yang tidak kuinginkan, bisakah Pendeta menolong menghilangkan tulisan pada punggungku ini?!"
Penghuni jurang Tlatah Perak ini tertawa mengekeh. "Kau ternyata belum kenal betul dengan gurumu!"
"Maksud Pendeta...?!"
"Bukan Ki Buyut Mangun Raksa jika bertindak bodoh. Tulisan itu telah lenyap begitu aku salurkan tenaga dalam lewat punggungmu!"
"Ah..." hanya keluhan itu yang terdengar dari mulut Malaikat Lembah Hijau. Setelah terdiam beberapa saat, laki-laki ini menjura hormat, lalu berkata. "Jika demikian, aku pamit sekarang, Pendeta..."
Pendeta Sinting anggukkan kepala. "Jangan lupa, temui pamannya Joko. Dan ceritakan apa adanya!"
"Akan kulakukan, Pendeta... Aku mohon diri..." Malaikat Lembah Hijau bergerak bangkit. Merapikan pakaiannya sebentar, lalu tengadah. Tiba-tiba dia seakan baru sadar jika saat itu dirinya ada di dalam jurang yang dalam.
"Astaga! Tak mungkin bagiku melewati tebing yang demikian dalam..."
"Bandung Bandawangsa. Turutlah jalan setapak ini. Pada sebuah pohon beringin kembar kau belok ke kanan. Jalan terus melewati jalan setapak. Hingga kau menemukan aliran sungai. Dari sana kau bisa mendaki!" berkata Pendeta Sinting seolah mengerti apa yang ada dalam benak Malaikat Lembah Hijau.
Malaikat Lembah Hijau mengangguk, lalu putar tubuhnya dan melangkah menapaki jalan yang telah disebutkan penghuni jurang Tlatah Perak itu. Sejak hari itulah Joko Sableng hidup di dalam jurang Tlatah Perak bersama Pendeta Sinting.
BAB 9
Wuuuttt! Wuuuttt!
Dua gelombang angin dahsyat segera melesat dengan diiringi suara menggemuruh. Di atas sana, sang pemuda ikut-ikutan tertawa, namun sebentar kemudian telah melesat bersamaan dengan sampainya pukulan si kakek. Suara berderak segera menyeruak. Lamping jurang itu hancur berantakan dan meninggalkan lubang sedalam setengah depa!
Sang kakek melirik ke samping kanan, di mana si pemuda kini berada. Kedua tangannya lantas diangkat ke atas kepala. Serta-merta kedua tangannya dikembangkan dan disentakkan ke arah si pemuda. Dua berkas sinar melesat lalu mengembang dan serta-merta berhamburan membentuk beberapa pijaran. Pijaran itu lantas melesat dari segala arah menuju ke arah si pemuda!
Sang pemuda tak tinggal diam. Kedua tangannya segera pula mengembang, lalu disentakkan. Dari kedua tangan si pemuda segera pula melesat dua sinar kuning keperakan. Bersamaan dengan itu, suasana berubah menjadi semburat warna kuning. Tak lama kemudian terdengar beberapa kali letupan keras tatkala bersitan sinar kuning tadi menghantam beberapa pijaran. Setiap kali letupan, tanah di tempat itu bergetar keras. Hingga di tempat itu laksana dilanda gempa beberapa kali.
Tanah pun berhamburan, semak belukar tercerabut sampai akar-akarnya. Begitu tanah surut, si pemuda terlihat terhuyuhg-huyung, namun segera dapat kuasai diri. Sedangkan sang kakek tubuhnya bergoyang-goyang sebentar. Namun cuma sesaat. Sekejap kemudian tubuhnya telah diam seperti sediakala. Malah bersamaan dengan itu dari mulutnya terdengar suara tawa mengekeh panjang.
Tiba-tiba si kakek putuskan tawanya. Kaki bergerak ke depan lalu ditekuk, hingga kakek ini duduk bersimpuh. Sepasang matanya yang kelabu sedikit memejam. Mulut berkemik. Tiba-tiba saja kedua tangan orang ini berubah menjadi kuning bercahaya. Sang pemuda terperangah. Sepasang matanya yang tajam memandang tak berkedip.
"Busyet! Dia hendak lepaskan pukulan 'Lembur Kuning'..." sungut si pemuda dengan dada berdebar.
Dan tanpa menunggu si orang tua menggerakkan kedua tangannya, pemuda ini cepat pula mengambil sikap seperti si orang tua. Kedua tangan merangkap sejajar dada, sepasang mata sedikit terpejam dengan mulut komat-kamit. Seperti yang terjadi pada si orang tua, kedua tangan pemuda ini sekejap kemudian telah berubah menjadi kuning bercahaya!
Wuuuttt! Wuuuttt!
Di depan sana, sekonyong-konyong si orang tua buka rangkapan kedua tangannya. Dan serta-merta kedua tangannya dikembangkan dan disentakkan ke arah si pemuda! Tangan bergetar keras. Dua sinar kuning keperakan melesat keluar. Pada saat bersamaan, suasana ditempat itu berubah menjadi semburat warna kuning. Inilah pukulan sakti yang beberapa puluh tahun silam pernah menggemparkan rimba persilatan, yakni pukulan 'Lembur Kuning'!
Di seberang sana, mendapati si orang tua telah lepaskan pukulan, sang pemuda tak tinggal diam. Kedua tangannya pun dikembangkan dan segera dihantamkan memapak pukulan si orang tua.
Wuuuttt! Wuuuttt!
Dua sinar kuning melesat dari kedua telapak tangan si pemuda lalu mengembang dan menggebrak memapak pukulan yang datang. Dua pukulan sakti 'Lembur Kuning' bentrok di udara. Hingga sekejap itu juga terdengar ledakan dahsyat, membuat semak belukar di sekitar tempata itu porak-poranda, tanah di sana-sini membentuk kubangan. Ranting dan dahan-dahan pohon berpatahan, rimbun dedaunan di atas sana langsung mengering hangus sebelum akhirnya gugur berhamburan.
Ketika suasana terang kembali, si orang tua terlihat mengurut dada seraya batuk-batuk kecil, tubuhnya bergeser hingga beberapa langkah ke belakang. Dahi dan lehernya tampak dilelehi keringat. Di seberang, si pemuda terjajar hingga dua tombak dan terduduk di atas tanah. Wajahnya pucat pasi, kedua tangannya bergetar dengan sekujur tubuh telah basah kuyup oleh keringat.
"Sontoloyo! Sini kau!" tiba-tiba si kakek memanggil dengan anggukkan kepalanya pada sang pemuda.
Sang pemuda masukkan jari kelingkingnya pada lubang telinganya hingga wajahnya meringis. Lalu bangkit dan melangkah ke arah si kakek.
"Duduk!" perintah si kakek.
Sang pemuda menuruti perintah. Dia duduk namun tak henti-hentinya wajahnya meringis, karena jari kelingkingnya masih masuk ke dalam lubang telinganya, malah seolah disengaja, jari kelingking dimasukkan semakin dalam, hingga tubuhnya terangkat dengan cengengesan!
Anehnya, sang kakek tidak marah, sebaliknya malah ikut-ikutan tertawa! Setelah puas tertawa, kakek ini memandang tajam pada sang pemuda. Lalu berkata. "Joko. Aku ingin bicara denganmu!"
"Aha... Ingin bicara kenapa berkata dulu, Eyang...?"
"Sontoloyo, Ini soal sungguhan! Tidak bercanda!" tukas si kakek dengan suara agak keras. Namun wajahnya tak menunjukkan perasaan marah.
"Hmm... Soal apa Eyang?" tanya sang pemuda begitu melihat kesungguhaan pada wajah orang tua di hadapannya.
"Joko. Tuhan menciptakan sesuatu berpasang-pasangan. Ada laki-laki ada perempuan. Ada siang ada malam. Ada luar ada dalam. Ada pertemuan ada perpisahan..." sejenak si kakek menghentikan ucapannya. Sementara sang pemuda terpekur, seakan masih tak mengerti dengan arah pembicaraan orang tua di hadapannya.
"Hari ini, kita harus menjalani pasangan dari pertemuan!"
"Maksud Eyang..."
"Kurasa apa yang kuberikan padamu selama kau disini, sudah cukup. Pukulan 'Lebur Kuning' telah kau kuasai dengan baik, demikian pula jurus-jurus yang telah kuajarkan padamu! Tapi ingat. Apa yang sekarang telah kau miliki, tidak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan apa yang dimiliki Tuhan. Ilmu yang kau miliki, hanya sebagian kecil dari ilmunya Tuhan. Maka dari itu jangan kau bersifat sombong. Meremehkan orang lain!"
"Saya mengerti, Eyang..."
"Kembali pada ucapanku tadi, hari ini sudah saatnya kita harus berpisah! Sudah waktunya kau mengamalkan apa yang telah kau miiiki untuk ketenangan dan kedamaian umat manusia."
"Tapi, Eyang..."
"Tak ada tapi. Harus! Kau dengar? Harus!" sahut sang kakek tandas.
Sang pemuda yang bukan lain adalah Joko Sableng, memandang lekat-lekat pada orang tua di hadapannya yang bukan lain adalah Pendeta Sinting. Memang, tanpa terasa, delapan tahun sudah Joko berdiam diri bersama Pendeta Sinting di dalam jurang Tlatah Perak. Selama itu pula, siang malam Joko mendapat gembelengan ilmu silat dari orang tua yang pada beberapa puluh tahun silam pernah menggegerkan rimba persilatan itu. Tubuh Joko pun kini telah berubah. Sosoknya kini tegap. Kedua tangannya berotot dengan kaki kokoh.
"Joko. Ada satu hal yang harus kau kerjakan begitu kau menginjak tanah di luar sana. Ingat. Hal ini harus kau kerjakan! Tanpa berpaling pada masalah lain!"
"Apa hal itu, Eyang...?!" sahut Joko dengan suara agak parau, karena pemuda ini sebenarnya tidak menyangka jika hari ini adalah hari terakhir baginya berada di dalam jurang Tlatah Perak. Dia seakan masih tak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan oleh gurunya itu.
"Seperti yang sering kukatakan padamu, saat ini rimba persilatan sedang diguncang dengan berita tentang Pedang Tumpul yang dari dahulu hingga kini belum juga terbuka misterinya! Kau kutugaskan untuk melacak pedang mustika itu!"
Joko Sableng manggut-manggut. Pendeta Sinting tengadahkan kepalanya. Lalu melanjutkan. "Kau masih ingat dengan Bandung Bandawangsa? Orang tua yang terjun ke jurang ini bersamamu dahulu?!"
Joko mengangguk. Sementara Pendeta Sinting terus tengadah. "Orang itu membawa petunjuk tentang di mana beradanya pedang mustika itu!"
Joko Sableng tersentak kaget. Matanya membesar. Namun sebentar kemudian wajahnya berubah. Dia tampak ragu-ragu. Lalu mengutarakan apa yang diragukannya pada Pendeta Sinting.
"Eyang, apakah petunjuk dari Bandung Bandawangsa bisa dipercaya?!"
Penghuni jurang Tlatah Perak itu tertawa, lalu luruskan kepalanya. "Jangan tanyakan hal itu padaku. Aku tak dapat memastikannya. Hanya saja kelak kau akan mendapatkan jawaban dari pertanyaan itu setelah kau menyelidik!"
Joko terdiam. Dia lantas teringat sewaktu menolong Bandung Bandawangsa yang waktu itu dikejar-kejar oleh Hantu Makam Setan dan Dewi Asmara. Dia juga masih ingat, Hantu Makam Setan meminta sesuatu tentang petunjuk pedang mustika. "Kalau tokoh-tokoh hebat mengejar dia, rasa-rasanya tidak mustahil jika dia memang mempunyai petunjuk itu..." memikir sampai di situ keragu-raguan Joko sedikit hilang. Pemuda murid Pendeta Sinting ini lantas bertanya.
"Katakanlah, Eyang. Di mana beradanya pedang mustika itu?"
"Kau dengar baik-baik petunjuk yang pernah kubaca Itu. Pedang Tumpul 131. Pesanggrahan Keramat. Puncak Bukit Sono Keling. Bulan Sepenggal. Nah, kau jabarkan sendiri petunjuk itu!"
Joko Sableng mengulangi petunjuk yang diucapkan Pendeta Sinting. Dahinya berkerut seakan mencari arti dari petunjuk itu. "Pedang Tumpul 131. Hm... Ini pasti nama pedang mustika itu. Pesanggrahan Keramat. Hmm... Pesanggrahan... Adalah tempat dimakamkannya seseorang yang dianggap sakti. Puncak bukit Sono Keling. Ini pasti tempat makam orang sakti itu. Bulan Sepenggal... Apa artinya ini?!" Belum sempat Joko menemukan arti kata-kata pada petunjuk terakhir itu Pendeta Sinting telah buka suara lagi.
"Joko. Kau sudah siap berangkat?!"
Joko anggukkan kepala meski hatinya masih ada beberapa pertanyaan. Dia sebenarnya hendak menanyakan hal itu pada gurunya namun dia batalkan. Karena dia tak mau dianggap manusia yang tak mau berpikir. Setelah memandang sejenak pada gurunya, Joko menjura dalam-dalam. Lalu bergerak bangkit.
"Joko... Hari-hari di depanmu sangat berat dan sudah pasti sarat dengan berbagai cobaan dan tantangan karena rimba persilatan selalu dan selalu dihiasai dengan segala macam fitnah, kelicikan, dendam juga hasutan! Pergunakan otak bersih dan kepala dingin dalam menghadapi segala masalah! Segala masalah tujukan hanya demi untuk kedamaian dan ketenteraman umat manusia!"
"Segala ucapan Eyang sedapat mungkin akan murid lakukan! Aku mohon pamit, Eyang..."
Pendeta Sinting anggukkan kepalanya, lalu memandang tajam pada Joko Sableng. Joko Sableng menjura sekali lagi, lalu putar tubuhnya dan melangkah melewati jalan setapak. Kira-kira dapat lima belas langkah, kepalanya tengadah. Lalu berpaling sebentar pada Pendeta Sinting, namun ternyata orang tua itu sudah tidak ada lagi di tempatnya semula!
Joko menggumam tak jelas, lalu tengadah lagi. Sekejap kemudian tubuhnya melesat ke atas, menjejak tonjolan batu di lamping jurang lalu mental lagi ke atas, menjejak lagi tonjolan pada lamping jurang sampai akhirnya menginjak tanah di bibir jurang. Masa delapan tahun di dalam jurang Tlatah Perak telah membuat pemuda itu hapal tonjolan-tonjolan tebing yang dapat dipijaknya. Sehingga Joko mampu mendaki tebing jurang yang dalam itu. Sejenak sepasang matanya memandang berkeliling. Lalu berpaling ke bawah. Hanya kegelapan yang terlihat.
"Hm... Delapan tahun Paman kutinggalkan. Sebelum menjalankan tugas Guru, aku akan menemui Paman terlebih dahulu. Selain melepas rasa rindu, siapa tahu Paman tahu tempat yang hendak kutuju..." Setelah menghela napas panjang dan dalam pemuda ini berkelebat meninggalkan tempat itu.
"Hmm... Kulihat telah banyak perubahan dengan kampung ini. Delapan tahun ternyata telah mampu membuatku hampir lupa karena begitu banyaknya perubahan... Kalau saja masa kecilku tidak di daerah sekitar sini, mungkin aku tidak akan bisa mengenali lagi kampung ini. Apakah Paman masih ingat dengan diriku?" Joko berkata sendiri dalam hati serayaa terus melangkah menyusuri Kampung Anyar dengan sepasang mata tak hentinya memperhatikan tempat-tempat yang dilewati. Sampai pada sudut kampung, tepatnya di depan sebuah rumah kayu yang letaknya berbatasan dengan jalan menuju hutan, Joko hentikan langkahnya sejenak. Sepasang matanya memandang tajam pada rumah kayu terpencil itu.
"Rumah itu, masih tetap seperti delapan tahun yang lalu... Tak ada perubahan di sini..." gumam Joko lalu meneruskan langkah menuju rumah kayu yang pintunya tampak tertutup.
"Paman...!" seru Joko begitu telah berada di depan pintu.
Tak ada sahutan dari dalam rumah, namun sepasang telinga Joko yang telah terlatih dapat menangkap langkah-langkah kaki menuju ke pintu. Dada pemuda ini berdebar. Mungkin tak sabar, kedua tangannya segera bergerak ke depan mendorong pintu.
Bersamaan dengan itu, dari dalam rumah, pintu itu ditarik membuka. Debaran dada Joko makin keras, sepasang matanya tak berkedip dengan mulut komat-kamit ketika di balik pintu yang telah terbuka, tampak berdiri seorang laki-laki berusia lanjut. Rambutnya telah putih dengan mata sayu.
Di balik pintu, si orang tua sejurus memandangi pemuda di hadapannya dengan mata menyipit dan membesar. Dahinya yang telah mengeriput makin berkerut. Sebelum orang tua ini keluarkan suara untuk menanyakan siapa adanya sang tamu, Joko telah melangkah masuk dan serta-merta menubruk orang tua itu.
"Paman... Aku Joko..." desis Joko dengan suara parau dan tersendat.
Entah karena terkesima atau terkejut, si orang tua hanya diam saja.
"Paman... Aku Joko Sableng..." ulang Joko tatkala dilihatnya si orang tua hanya diam.
"Joko Sableng..." gumam si orang tua mengulangi ucapan Joko. Serta-merta orang tua ini merangkul Joko dengan mulut komat-kamit tapi tak jelas apa yang diucapkan. Namun dari wajahnya jelas jika orang tua ini sangat gembira dan terharu. Hingga untuk beberapa lamanya, orang tua ini tak mau melepaskan rangkulan tangannya. Kedua orang ini sama melepaskan kerinduan.
"Paman... Bagaimana keadaanmu selama ini?"
"Aku baik-baik saja dan aku senang melihat kau segar bugar. Aku bahkan hampir tak mengenalimu lagi, karena kau telah berubah..."
Paman Joko melepaskan rangkulannya. Lalu menarik sedikit tubuhnya ke belakang. Sepasang matanya yang sayu memandangi Joko dari atas hingga bawah. "Joko... Aku tak menduga jika semua ini terjadi..." ucap pamannya masih dengan mata tak berkedip seolah tak mempercayai penglihatannya.
Joko tersenyum. Lalu menebarkan pandangannya ke seluruh ruangan. "Paman. Maafkan aku. Karena saat itu aku tak pamit padamu..."
Sang paman menarik napas panjang seraya gelengkan kepala. "Tak ada yang perlu dimaafkan. Aku telah mendengar semuanya dari Pendekar Malaikat Lembah Hijau. Kau sungguh beruntung, Joko. Hanya pesanku. Kuharap kau tak berubah meski aku yakin, kau sekarang bukan lagi Joko yang delapan tahun lalu. Jangan kau bersifat jumawa walau kau sekarang telah diangkat murid oleh seorang tokoh silat yang kesohor!"
"Segala nasihatmu akan terus kuingat, Paman..."
"Bagus... Aku sangat gembira mendengarnya..."
"Paman. Sebenarnya aku masih punya sesuatu yang harus kuselesaikan..."
Sang paman menarik napas. Wajahnya sedikit murung. "Joko. Aku tahu. Tapi untuk menghilangkan rindu ini, kuharap kau malam ini mau menginap di sini. Meski aku telah mendengar ceritamu dari Pendekar Malaikat Lembah Hijau, aku masih ingin mendengar dari dirimu sendiri. Sekarang kau mungkin masih lelah. Beristirahatlah dulu. Nanti malam kita teruskan obrolan kita. Setelah itu kau boleh meneruskan perjalanan jika memang ada yang harus kau selesaikan."
Karena tak mau mengecewakan orang tua yang telah merawat dan mendidiknya sejak kecil, murid Pendeta Sinting ini akhirnya anggukkan kepalanya dengan tersenyum. "Aku akan ke pancuran dulu, Paman. Aku kangen dengan situasi di situ!"
Sang paman hanya tersenyum dan memandangi Joko yang telah putar tubuhnya dan melangkah menuju pancuran di dekat hutan. "Benar-benar tidak disangka... Hm... Semoga anak ini bisa membawa diri dan menjadi seorang pendekar muda yang berbudi..." ujar sang paman dengan memandangi langkah-langkah Joko sampai pemuda ini menghilang di tikungan jalan setapak menuju pancuran.
BAB 10
Dari arah barat kedai, seorang pemuda terlihat melangkah pelan seraya memperhatikan keadaan sekitar yang dilewatinya. Beberapa kali kepalanya berpaling ke kanan kiri dengan mata sedikit dilebarkan, sementara mulutnya tak henti-hentinya bergumam tak jelas, seakan menunjukkan bahwa sang pemuda adalah bukan penduduk asli kampung itu.
Pemuda ini mengenakan pakaian putih dengan ikat kepala berwarna putih juga. Rambutnya panjang sedikit acak-acakan, sepasang matanya tajam dengan alis mata tebal dan hitam. Dagunya kokoh dengan hidung sedikit mancung. Sosoknya tegap dengan dada bidang. Begitu sampai di halaman kedai, pemuda itu hentikan langkahnya. Sepasang matanya jelalatan ke sana kemari, lalu memandang lurus ke dalam kedai.
Sejurus pemuda ini menghela napas panjang. Wajahnya jelas menampakkan keragu-raguan di hatinya, antara meneruskan langkah dan masuk kedai, karena beberapa kali pemuda ini melangkah mondar-mandir dengan mata memandang ke sebelah timur lalu berpaling ke arah kedai. Setelah berpikir agak lama, akhirnya pemuda ini melangkah ke arah kedai. Di pintu masuk, dia hentikan langkah. Sepasang matanya menyapu ke ruangan di mana banyak para pengunjung sedang menikmati hidangannya.
Bibir si pemuda mengulas senyum, namun sesaat kemudian berubah menjadi ringisan. Puas memandang ke seluruh ruangan, dia meneruskan langkah masuk ke dalam kedai. Anehnya, dia tak segera mencari tempat duduk yang kosong, melainkan terus melangkah ke arah dalam, di mana banyak pelayan kedai sedang menyiapkan makanan pesanan pengunjung.
Merasa ada orang tak dikenal melangkah hendak masuk ke dalam, pemiiik kedai buru-buru menyongsong dengan senyum tipis. Dahinya berkerut dan memperhatikan pada sang pemuda dengan mata penuh selidik. Karena selain celingak-celinguk seakan mencari sesuatu, pemuda ini cengengesan sendiri.
Sang pemiiik kedai segera maklum, namun mau tak mau kepalanya menggeleng dengan mulut komat-kamit memperdengarkan ucapan tak jelas. Ternyata jari kelingking sang pemuda masuk ke dalam lubang telinganya. Hingga meski sendirian tak ada yang mengajak bicara, pemuda ini meringis dengan tubuh sedikit berjingkat.
"Mau pesan apa, Den...?" sapa sang pemiiik masih dengan mata tak berkedip memperhatikan pemuda di hadapannya dari bawah hingga atas.
Sang pemuda menggelinjang sebentar, lalu tarik jari kelingkingnya dari lubang telinganya. Setelah memandang sepintas lalu, dia angkat bicara. "Bapak pemiiik kedai ini?!"
"Hmm... Pemuda ini tuli apa kurang waras? Ditanya mau pesan apa jawabnya malah tanya balik!" batin sang pemilik. Namun karena ingin segera menyambut beberapa pengunjung, sang pemilik anggukkan kepalanya.
"Melihat banyaknya pengunjung, pasti pemilik ini sudah beberapa puluh tahun berjualan, dan bukan mustahil dia dilahirkan di sini, yang berarti hapal betul dengan daerah di sekitar tempat ini!" si pemuda berkata dalam hati, lalu hadapkan wajahnya pada sang pemiiik kedai dan berkata. "Bapak tak keberatan menjawab jika aku tanya sesuatu?!"
Mendengar ucapan si pemuda, pemilik kedai kembali kernyitkan kening, namun wajahnya menunjukkan rasa tak senang. Tapi entah karena tak ingin membuat keributan atau agar si pemuda segera enyah dari hadapannya, pemilik kedai ini segera berujar. "Sebenarnya ini kedai bukan tempat untuk bertanya, tapi untukmu, aku masih dapat mengerti, karena kulihat kau bukan penduduk daerah sini. Lekas katakan apa yang ingin kau tanyakan!"
Meski kata-kata sang pemilik kedai sedikit tak enak di telinga, si pemuda tak menampakkan raut wajah berubah. Sebaliknya makin tersenyum lebar dan balik menatap pemilik kedai yang saat itu tak lepas memandanginya. "Di mana letak bukit Sono Keling?!"
Mendengar pertanyaan sang pemuda, paras muka sang pemilik kedai berubah seketika. Kedua matanya membelalak, mulutnya terkancing rapat. Tubuhnya sedikit berguncang. Rasa takut tak dapat disembunyikan dari wajahnya meski sesaat kemudian, pemilik kedai itu sunggingkan senyum dan membuka mulut. "Kau berniat menuju ke sana?!"
Si pemuda tidak segera menjawab. Dia masih menduga-duga dalam hati apa yang membuat perubahan pada paras orang di hadapannya. Namun tak dapat menemukan dugaan yang pasti, akhirnya pemuda ini anggukkan kepala, membuat sang pemilik makin dibuat heran bercampur takut.
Tiba-tiba si pemilik kedai melangkah maju. Serta-merta tangan kanan si pemuda digaetnya dan diajaknya ke dalam. Di pojok ruangan dalam, sang pemilik berhenti dan langsung ajukan pertanyaan. "Anak muda. Apa maksudmu hendak ke bukit Sono Keling?!"
"Hmm... Aku tak boleh berterus terang pada siapa pun juga tentang apa tujuanku ke bukit Sono Keling," batin si pemuda lalu berkata. "Ayahku sedang sakit. Aku disuruh mencari daun-daunan di bukit itu! Di mana letaknya bukit itu?"
Sejurus pemilik kedai memperhatikan seakan ragu-ragu dengan ucapan pemuda di hadapannya. "Kau tak berkata bohong?!"
"Heran. Ada apa sebenarnya di bukit itu? Bukan hanya rasa takut yang tampak pada air muka orang ini, tapi juga banyak pertanyaan yang seharusnya tak ditanyakan..." si pemuda kembali menyimpulkan apa yang dilihatnya, lalu menjawab pertanyaan orang dengan gelengan kepala.
Si pemilik kedai manggut-manggut. "Anak muda. Kalau mau kuingatkan, sebaiknya urungkan saja niatmu menuju bukit itu. Lebih baik kau cari di tempat lain saja apa yang kau butuhkan!"
"Wah, hal itu tak dapat dilakukan. Karena aku telah mencobanya ke tempat lain, namun yang kucari tak kutemukan. Hanya di bukit Sono Keling adanya daun-daunan yang kubutuhkan itu!" Si pemuda hentikan ucapannya sejenak. Ketika ditunggu tak ada sambutan dari orang di hadapannya, si pemuda menyambung kata katanya. "Wajah Bapak berubah seolah takut. Ada apa sebenarnya di bukit itu?!"
Si pemilik kedai terdiam. Setelah menghela napas panjang dia berujar. "Kau adalah salah satu dari beberapa orang yang menanyakan letak bukti itu padaku. Namun kau tahu, apa yang terjadi setelah mereka menuju ke bukit itu?!"
Sekarang si pemuda yang balik jadi terdiam. Bukan karena ingin menduga apa yang terjadi dengan beberapa orang sebelumnya, namun karena khawatir jika ada orang yang telah mendahului. Melihat si pemuda tidak menjawab, si pemilik kedai menjawab pertanyaannya sendiri dengan suara sedikit bergetar.
"Mereka tak ada yang pulang kembali! Padahal mereka bukan orang sembarangan, karena beberapa di antaranya pernah terlibat bentrok di sini. Mereka semua rata-rata memiliki ilmu silat hebat!"
"Bagaimana kau tahu mereka tidak pernah kembali?!"
"Di sebelah timur itu adalah satu-satunya jalan menuju ke bukit Sono Keling..." kata si pemiiik kedai seraya angkat tangannya dan menunjuk ke sebelah timur. "Kalau mereka pulang kembali, pasti aku mengetahuinya, setidak-tidaknya salah seorang pelayanku tahu, karena kedai ini buka sehari semalam. Sementara jalan satu-satunya adalah jalan itu!"
Mendengar keterangan demikian, mau tak mau merinding juga kuduk si pemuda, malah mukanya berubah. Namun karena tekadnya telah bulat, keterangan si pemiiik kedai hanya sebentar saja membuatnya dihantui rasa takut. Sesaat kemudian yang terlihat adalah semangatnya yang besar. Apalagi mendengar beberapa orang yang menuju ke sana belum ada yang pernah kembali, yang berarti mereka gagal mendapatkan apa yang dicari!
"Bapak tahu, apa yang mereka cari di bukit itu?" Si pemiiik kedai gelengkan kepalanya.
"Mereka tak mau mengatakan. Tapi dari sikap mereka, aku dapat menduga mereka mempunyai keperluan yang sangat penting sekali. Aku sendiri heran, apa yang mereka cari di sana? Padahal yang ada di sana hanyalah sebuah makam tua. Yang oleh orang-orang di sekitar sini dinamakan Pesanggrahan Keramat! Aku tak tahu, kenapa makam itu dinamakan demikian. Hanya menurut orang-orang tua, makam itu adalah makam seorang sakti yang telah meninggal pada beberapa ratus tahun yang silam..."
"Terima kasih atas keteranganmu. Aku harus segera pergi!" kata si pemuda, lalu putar tubuh dan hendak melangkah meninggalkan ruangan itu. Namun langkahnya tertahan karena si pemilik kedai berseru.
"Tunggu! Apakah kau akan melanjutkan niatmu?"
Si pemuda palingkan wajahnya ke belakang. Bibirnya mengulas senyum. Kepalanya bergerak menggeleng. "Sebenarnya aku ingin sekali ke sana, namun mendengar keteranganmu, aku jadi berpikir dua kali untuk meneruskan niatku. Apalagi aku hanya seorang yang tidak memiliki ilmu silat. Aku belum merasakan enaknya hidup, juga belum menikmati bagaimana rasanya berdampingan dengan seorang gadis cantik. Terlalu sayang jika harus mati sebelum menikmati semua itu. Bukankan begitu?"
Kali ini si pemiiik kedai tersenyum lebar, senang karena keterangannya dituruti orang. Dia lantas melangkah menghampiri si pemuda dan berbisik. "Apakah kau juga tak ingin menikmati makanan kedaiku?!"
Si pemuda menyeringai. Tangan kanannya bergerak merogoh bagian dalam pakaiannya seakan hendak mengambil sesuatu. Namun diam-diam dalam hatinya berkata. "Sialan. Sebenarnya aku juga sudah lapar, tapi apa yang akan kubuat untuk membayar makananmu?"
Mungkin menduga si pemuda sedang menghitung uang di balik pakaiannya, si pemiiik kedai segera menyambung ucapannya. "Ayolah duduk di sana. Kau akan menyesal pergi ke daerah sini jika tidak mencicipi makanan kedaiku! Harganya juga tidak mahal..."
Tiba-tiba sang pemuda bungkukkan tubuhnya dengan tangan kiri merangkap di depan perut. Wajahnya meringis kesakitan.
"Apa yang terjadi dengan dirimu?!" tanya si pemilik kedai dengan terkejut.
"Di mana tempatnya membuang hajat?! Perutku mulas sekali! Biasa penyakit lamaku kumat lagi! Murus-murus..."
Dengan memaki panjang pendek dalam hati si pemilik kedai angkat tangannya ke sebelah timur, jalan setapak yang menuju bukit Sono Keling. "Di situ kau akan menemukan sebuah parit kecil! Tumpahkan semuanya di situ!" habis berkata demikian, pemilik kedai putar tubuh dan melangkah ke ruangan dalam seraya mengomel.
"Dasar pemuda geblek! Aku tahu, dia pura-pura. Padahal sebenarnya dia tak punya uang!"
Si pemuda hendak mengucapkan terima kasih, namun begitu berpaling dan dilihatnya si pemilik kedai telah ngeloyor ke belakang, pemuda ini meneruskan langkah dengan terbungkuk-bungkuk dan sebelah tangannya mendekap perutnya dengan wajah meringis.
Beberapa orang pengunjung kedai memandang ke arah si pemuda dengan pandangan heran bercampur geli. Karena meringisnya wajah si pemuda bukan karena perutnya yang sakit, namun karena jari kelingkingnya ditusuk-tusukkan pada lubang telinganya!
BAB 11
"Sialan benar, punggungku serasa hendak putus saja! Tapi apa hendak dikata. Daripada harus malu di depan orang banyak. Makan tapi tak punya uang... He He He...!" gumam sang pemuda seraya tertawa cengengesan. Tangannya bergerak merentang ke samping kanan kiri dengan tubuh dipuntir. Terdengar keretekan tulang beberapa kali.
"Hmm... Untung pemilik kedai itu menunjuk arah sini, jadi aku tak usah mencari jalan berputar untuk mengelabuinya..." desis sang pemuda seraya arahkan pandangannya ke sebelah timur. Samar-samar di sela kerapatan pohon sepasang matanya dapat menangkap julangan sebuah bukit.
"Semoga keterangan pemilik kedai itu benar adanya. Belum ada orang yang pulang kembali dari bukit itu, yang berarti barang yang kucari belum tersentuh orang lain..." ujar si pemuda yang bukan lain adalah Joko Sableng, murid Pendeta Sinting dari jurang Tlatah Perak.
"Aku harus segera mencapai puncak bukit itu mumpung hari belum gelap!" desisnya seraya mulai berlari menuju arah timur di mana tampak menjulang puncak bukit Sono Keling.
Karena Joko Sableng berlari dengan mengerahkan ilmu peringan tubuh, bersamaan dengan tenggelamnya sang matahari di ujung langit sebelah barat, pemuda ini telah menginjakkan sepasang kakinya di puncak bukit Sono keling. Joko hanya memerlukan melangkah mengikuti jalan setapak satu kali putaran.
Begitu menghentikan langkah, dia sampai pada sebuah tanah datar yang luasnya kira-kira dua puluh lima tombak berkeliling tanpa penghalang apa pun sebagai latar depan yang berhadapan dengan tebing bukit di bawahnya. Sebagai latar belakang, terlihat bentangan langit yang jauh di ufuk sana.
Sejenak Joko Sableng tertegun seakan menikmati keindahan alam yang ada di hadapannya. Lalu sepasang matanya menangkap gundukan tanah memanjang yang di sebelah ujung-ujungnya terpancang sebuah batu pipih yang tingginya satu depa dengan lebar satu setengah jengkal.
Tiba-tiba sepasang matanya membelalak dengan langkah surut satu tindak ke belakang. Dari mulutnya hampir saja terlontar seruan tertahan. Bukan karena melihat makam dengan batu nisan hitam yang ada di puncak bukit itu, tapi karena matanya melihat beberapa orang yang tergeletak di sekitar makam itu! Melihat keadaan serta sikapnya orang mudah ditebak jika beberapa orang itu telah tewas!
Dan Joko Sableng baru saja menyadari ketika saat itu juga hidungnya mencium bau yang membuat perutnya mual dan ingin muntah. Dengan menggerendeng panjang pendek, Joko buru-buru tekap hidungnya. Lalu seraya bergidik. Sepasang kakinya bergerak melangkah ke arah makam yang di sekitarnya bergeletakan beberapa orang yang telah jadi mayat dan menebarkan bau busuk yang amat menyengat.
Dibantu pantulan cahaya sinar matahari yang berwarna kuning kemerahan di langit sebelah barat, Joko dengan jelas dapat melihat, bahwa beberapa orang yang tewas itu mengalami luka-luka yang cukup parah. Beberapa senjata pedang dan tombak terlihat berserakan. Tanahnya pun terbongkar di sana sini.
"Rupanya mereka terlibat dalam bentrok..." duga Joko seraya memperhatikan satu persatu mayat yang tergeletak itu. Pemuda ini lantas kerahkan tenaga dalamnya untuk mengatasi hawa busuk yang makin menyengat. Sepasang matanya nyalang jelalatan mengawasi sekitar puncak bukit.
"Melihat petunjuk yang diberikan Guru, aku berada pada tempat yang tidak salah. Ini adalah Pesanggrahan Keramat yang terletak di puncak bukit Sono Keling. Tapi di mana pedang itu berada? Jangan-jangan seseorang telah mendahuluiku. Karena aku yakin, beberapa orang ini tujuannya pasti ingin mendapatkan senjata itu! Hmm..."
Joko melangkah berkeliling dengan mata nyalang mengawasi setiap sudut. Karena malam telah menjelang, Joko terpaksa harus membeliakkan matanya. Namun hingga matanya basah dan pedih, dia tak menemukan apa yang dicari! Mungkin karena lelah, Joko lantas duduk menggelosoh dengan mengambil tempat agak jauh dari tergeletaknya beberapa mayat.
"Apa petunjuk itu bukan petunjuk yang menyesatan? Dan orang-orang ini, dari mana mereka mendapatkan petunjuk? Apa juga dari Bandung Bandawangsa? Atau..."
Joko tak meneruskan kata hatinya, karena saat itu suasana yang gelap samar-samar agak terang. Joko segera tengadahkan kepalanya. Di atas langit sana, sang rembulan tampak melintas dari kurungan awan hitam. Hingga untuk beberapa saat lamanya keadaan dl buml sedikit terang. Tiba-tiba Joko teringat akan petunjuk yang diberikan Pendeta Sinting.
"Pedang Tumpul 131. Pesanggrahan Keramat. Puncak bukit Sono Keling. Bulan Sepenggal. Hmm... Bulan Sepenggal..." gumam Joko mengulangi.
Kepalanya terus mendongak memperhatikan bulan. Mendadak kepala pemuda ini bergerak manggut-manggut. "Bulan Sepenggal berarti bulan separo! Hmm... Padahal bulan itu masih belum mencapai separo. Mungkin masih sehari atau dua hari lagi. Terpaksa aku harus menunggu. Sambil menunggu lebih baik aku tiduran saja. Besok pagi mencari kelinci untuk mengisi perut. Waktu aku melintas tadi, banyak kelinci di bawah sana..."
Berpikir sampai di situ, Joko lantas bergerak bangkit. Mencari tempat yang agak rata dan jauh dari mayat, lalu merebahkan diri. Mungkin karena lelah, sebentar kemudian terdengar dengkurnya seakan memecah kesunyian bukit Sono Keling!
Malam telah mulai menjelang. Dua hari sudah Joko Sableng berada di puncak bukit Sono Keling. Dia telah menyelidik di puncak bukit itu tanpa sejengkal pun tanah yang lolos dari matanya. Namun sejauh ini dia belum menemukan tanda-tanda akan mendapatkan barang yang dicari.
Hingga mungkin khawatir jika pedang itu telah ditemuikan oleh beberapa mayat yang berada di situ, dengan menekan perasaan bergidik, Joko membalik dan meraba-raba beberapa mayat itu, lalu mengumpulkannya di suatu tempat, hingga tempat di sekitar makam itu telah bersih dari mayat yang berserakan.
"Hm... Jika malam ini belum juga kutemukan pedang itu, berarti petunjuk itu tidak benar. Atau mungkin sudah ada orang lain yang mendahuluiku..." gumam Joko seraya memandang ke bawah. Yang tampak hanyalah rindangi pohon-pohon yang saling merapat di lereng bukit dan samar-samar berubah warna menjadi hijau kehitaman, karena malam telah turun melingkupi bumi.
Sambil menarik napas dalam dan panjang, Joko balikkan tubuh, lalu melangkah ke arah makam. Tiga langkah dari gundukan tanah yang ujung-ujungnya terpancang batu nisan hitam itu, pemuda murid Pendeta Sinting ini hentikan langkah. Memandang lekat-lekat pada nisan makam yang tak bertuliskan. Lalu tengadahkan kepala. Sepasang matanya tiba-tiba sedikit membelalak.
Di atas sana, langit tampak cerah. Awan tak secuil pun mengambang. Hingga bulan sepenggal yang mulai memanjat ke atas segera dapat memancarkan cahayanya. Namun bukan hal itu yang membuat mata Joko membelalak dan tubuh berguncang. Ternyata bulan itu tidak berwarna seperti biasanya, melainkan berwarna merah darah! Dan ada seberkas cahaya yang keluar dan langsung menyorot ke makam bernisan batu hitam!
Bersamaan dengan itu angin berhembus kencang, makin lama makin keras, dan mengejuarkan suara menderu-deru dahsyat. Joko segera kerahkan tenaga dalam untuk mengatasi tubuhnya agar tak terhempas. Dan perlahan-lahan pula ia duduk di depan makam dengan kedua tangan merangkap di depan dada.
Angin berhembus makin kencang, beberapa sosok mayat yang dikumpulkan Joko satu persatu terhempas dan melayang turun ke bawah bukit. Tanah di puncak bukit itu pun mulai berhamburan ke udara! Joko menambah tenaga dalamnya karena tubuhnya mulai bergoyang-goyang tersapu hembusan angin.
"Sialan. Angin apa ini?" bisik Joko dalam hati seraya pejamkan sepasang matanya. Pemuda ini lipat gandakan tenaga dalamnya, karena hembusan angin makin kencang, namun hembusan angin itu ternyata sukar untuk ditaklukkan meski murid Pendeta Sinting telah kerahkan segenap tenaga dalamnya, hingga tak lama kemudian tubuhnya mulai bergeser, sesaat kemudian terseret ke samping makam dan jatuh bergulingan!
"Sialan! Angin keparat!" maki Joko Sableng seraya bergerak bangkit. Namun lagi-lagi tubuhnya terseret dan kali ini bahkan hampir saja terhempas melayang ke bawah bukit. Untung murid Pendeta Sinting segera hujamkan kedua tangannya ke atas tanah hingga tanah Itu terbongkar dan kedua tangannya menancap amblas ke depan, membuat tubuhnya terhenti.
Dengan kerahkan segenap tenaganya, baru murid Pendeta Sinting dari jurang Tlatah Perak ini bisa bergerak bangkit. Dan mungkin takut tubuhnya akan kembali terseret, dia mendekat kembali ke arah makam dengan jalan menyeret tubuhnya dengan perut sejajar tanah.
Saat itulah tiba-tiba tanah berhamburan ke udara dengan derasnya. Joko Sableng cepat-cepat menutup kedua matanya, namun sebelum kedua kelopak matanya menutup, sepasang matanya masih bisa menangkap berkelebatnya dua benda hitam. Joko tak tahu benda apa itu, namun melihat desingannya yang lewat di sampingnya, murid Pendeta Sinting ini bisa menduga jika benda itu adalah benda keras.
Beberapa saat berlalu. Angin terus berhembus namun makin lama makin berkurang. Dan begitu angin tak lagi berhernbus, Joko segera buka kelopak matanya. Tanah yang berhamburan telah surut. Sementara cahaya bulan terus memancarkan sinar kemerah merahan.
Sepasang mata Joko mendadak terpentang lebar. Memperhatikan ke arah makam yang lima tombak di hadapannya. Ternyata gundukan tanah makam itu telah rata. Dua nisan batu hitam telah pula lenyap! Dan samar-samar murid Pendeta Sinting ini melihat lubang di bawah bekas gundukan tanah makam!
"Benda hitam tadi pasti batu nisan yang ikut terhempas angin..." duga Joko seraya bergerak bangkit dan langsung meloncat ke arah makam yang kini telah terbongkar.
Dengan bantuan cahaya rembulan yang memancarkan sinar kemerah-merahan, murid Pendeta Sinting dengan jelas dapat melihat lubang menganga di hadapannya. Sepasang mata pemuda ini mendelik besar dengan mulut menganga. Ternyata lubang bekas gundukan makam itu terbuat dari batu yang membentuk persegi panjang. Tapi yang membuat sepasang mata Joko terpentang tak berkedip, adalah memancarnya sinar kuning berkilau dari sisi samping batu persegi panjang itu. Dan mungkin masih tak percaya dengan pandangan matanya, murid Pendeta Sinting mengusap-usap kedua matanya, lalu dilebarkan dan memandang sekali lagi ke arah cahaya kuning berkilau.
"Tidak bermimpikah aku...?!" gumamnya seakan tak percaya. Perlahan-lahan dia melangkah maju dan membungkuk. “Ternyata petunjuk itu benar adanya. Benda itu ada! Dan kini ada dihadapanku!" desis Joko seraya memperhatikan lebih seksama.
Di salah satu sisi batu persegi panjang itu terlihat cahaya kuning berkilau memancar dari sebuah sarung pedang bergagang warna hijau masuk ke dalam batu. Dengan tubuh agak gemetar, Joko segera melangkah satu tindak, dan perlahan-lahan pula masuk ke dalam batu persegi panjang. Matanya tak berkedip memperhatikan, sementara kedua tangannya bergetar dan dada berdebar keras.
Untuk beberapa saat lamanya murid Pendeta Sinting ini diam tak bergerak seakan masih menindih perasaan tak percaya dan terkesima. Setelah dapat menguasai perasaan yang menggelayut dadanya, pemuda ini gerakkan tangannya hendak mengambil pedang yang memancarkan sinar kuning berkilau itu.
"Semoga Tuhan memberiku kekuatan..." bisiknya dalam hati. Kedua tangannya terus bergerak.
Namunm sejengkal lagi kedua tangannya menyentuh pedang, tiba-tiba terdengar desiran angin dahsyat yang menusuk gendang telinga. Bersamaan dengan itu, batu persegi di mana Joko berada berguncang keras. Dan belum sempat murid Pendeta Sinting mengetahui apa yang terjadi, tubuhnya telah terhumbalang dan jatuh bergedebukan di dalam batu persegi panjang!
Dengan kuduk merinding dan tubuh terguncang, Joko segera takupkan kedua tangannya untuk kerahkan tenaga dalam. Bersamaan dengan itu, guncangan di batu persegi panjang perlahan-lahan mereda. Murid Pendeta Sinting segera bergerak bangkit duduk. Kepalanya lantas tengadah. Bulan sepenggai tepat berada di atasnya. Dan sorotan cahayanya memancar ke lubang batu persegi panjang.
Joko kembali luruskan kepalanya dan memperhatikan pedang yang kini ada di hadapannya. Dengan tangan masih gemetar dan dada berdebar, Joko segera geser duduknya perlahan-lahan ke depan, mendekat ke arah pedang. Kedua tangannya kembali bergerak hendak mengambil pedang berwarna kekuningan itu. Mungkin takut akan terjadi sesuatu yang tidak diduganya, pemuda ini kerahkan segenap tenaganya.
Ternyata apa yang diduga tidak terjadi. Tidak ada desiran angin menggemuruh yang menusuk gendang telinga, juga tidak ada guncangan! Hingga meski dengan tubuh dan tangan gemetar, Joko teruskan niatnya untuk mengambil pedang. Kedua tangannya telah menyentuh pedang. Sejenak murid Pendeta Sinting ini menghela napas dalam-dalam. Sepasang matanya mengerjap, lantas dibuka kembali. Kedua tangannya pun menarik pedang yang terletak menjorok ke dalam batu.
Namun pemuda ini melengak terkesiap. Kedua tangannya tak mampu menarik keluar pedang dari tempatnya! Joko lipat gandakan tenaga dalam dan disalurkan pada kedua tangannya, hingga tangannya berwarna kuning. Namun kedua tangannya masih juga tidak mampu membuat pedang itu lepas dari tempatnya!
Murid Pendeta Sinting ini tak putus asa, dia terus berupaya kerahkan tenaga dalam dan mencoba menarik pedang dari tempatnya. Tubuh pemuda itu telah basah kuyup oleh keringat, namun usahanya belum juga menampakkan hasil. Malah goyang pun tidak! Padahal Joko telah kerahkan segala kemampuannya yang telah diwariskan Pendeta Sinting.
"Hmm... Kalau pedang ini tak dapat ditarik, terpaksa aku akan menghantam tempat sekitar pedang ini! Hanya itu satu-satunya jalan!" pikir Joko seraya tarik kedua tangannya. Kedua tangannya lantas memukul-mukul tempat di sekitar pedang. Kepala pemuda ini mengangguk-angguk. Kedua tangannya lantas diangkat tinggi-tinggi di atas kepala. Serta-merta kedua tangannya dihantamkan ke batu yang ada disekitar pedang.
Bukkk! Dukkk!
Murid Pendeta Sinting ini berteriak keras. Kedua tangannya yang menghantam batu mental ke belakang. Pemuda ini segera memeriksa dengan paras meringis kesakitan. Kedua tangannya berubah merah dan sedikit menggembung!
"Edan!" maki Joko dalam hati seraya memperhatikan batu yang baru saja dihantam. Jangankan retak, membekas pun tidak! Padahal hantaman Joko tadi biasanya mampu menghancurkan batu sebesar satu rangkulan tangan manusia.
Merasa masih penasaran, Joko geser duduknya ke belakang. Kedua tangannya diangkat di depan dada. Lalu dikembangkan dan perlahan-lahan didorong ke arah batu di sekitar pedang. "Wuuuttt! Wuuuttt!" Dari kedua tangan Joko melesat sinar kuning keperakan.
"Duuukkk! Duuukkk!"
Pukulan 'Lembur Kuning' yang dllepaskan Joko menghantam batu di sekitar pedang dan keluarkan suara keras dua kali berturut-turut. Namun murid Pendeta Sinting tersirap darahnya. Mulutnya keluarkan seruan tertahan. Karena pukulannya membalik kearahnya! Hingga dengan menahan rasa tak percaya, pemuda ini segera membuat gerakan melesatkan tubuhnya ke udara.
Namun angin yang membalik lebih cepat datangnya, hingga tanpa ampun lagi tubuhnya terjengkang ke belakang dan menghantam batu di belakangnya! Untuk beberapa lama dia tersandar di batu dengan mata berkunang-kunang. Tubuhnya bagian belakang serasa remuk. Dadanya pun berdenyut sakit. Perlahan-lahan dia geser tubuhnya agar bisa sedikit tegak bersandar. Saat itulah terdengar angin berdesir dari atas.
Joko cepat mendongak. Kuduk pemuda ini makin merinding dan keringat makin membasahi sekujur tubuhnya, karena di atas sana Joko melihat asap putih mengurung lubang di mana dia berada! Dan sepasang mata Joko terpentang besar tatkala samar-samar dari sisi bagian depan di atas sana, asap putih itu menipis, lalu muncul sesosok tubuh!
Mungkin karena terkejut, Joko serentak geser tubuhnya ke belakang. Namun karena di belakangnya adalah sisi batu yang persegi panjang, maka membuat pemuda ini terantuk sisi batu dibelakangnya! Belum hilang rasa terkejut murid Pendeta Sinting, sosok di atas Joko telah keluarkan suara, membuat Joko tersentak.
"Siapa namamu, Anak Muda??!"
Karena masih kaget, Joko tidak segera menjawab pertanyaan orang. Sebaliknya sepasang matanya menatap lurus pada sosok yang duduk di atas sana. Dia adalah seorang laki-laki berusia lanjut. Jenggotnya panjang menjulai sampai dada. Meski paras wajahnya samar-samar, namun Joko masih bisa menangkap jika wajah itu cerah berseri.
Kakek ini mengenakan pakaian jubah putih dengan kepala memakai sorban juga berwarna putih. Anehnya, meski tampak duduk bersila, Namun kakinya tidak menyentuh tanah! Kakek ini duduk mengambang di udara dengan kedua tangan merangkap sejajar dada! Joko memperhatikan lebih seksama. Mulutnya bergerak komat-kamit namun tak ada suara yang terdengar. Sementara sepasang matanya tak berkedip!
Keterkejutannya perlahan-lahan berubah menjadi rasa heran, karena Joko sepertinya tidak asing lagi dengan wajah orang tua di atasnya itu! Namun Joko tidak mengetahui di mana dia bertemu. Joko coba mengingat-ingat. Tiba-tiba matanya beralih pada telapak tangan kirinya.
"Hm... Wajah orang tua di atas itu mirip dengan lukisan yang ada di telapak tangan kiriku... Hampir tak kupercaya...!" gumam Joko Sableng tak mengerti.
"Anak Muda! Kau belum jawab pertanyaanku!" orang tua bersorban kembali keluarkan suara.
Dengan mulut bergetar dan suara tersendat, Joko menjawab. "Namaku Joko..."
Sebenarnya Joko ingin menanyakan siapa sebenarnya orang tua yang paras wajahnya mirip dengan lukisan yang ada di telapak tangan kirinya. Namun sebelum ucapannya terdengar, si orang tua telah kembali keluarkan suara.
"Joko. Apa yang kau lihat di telapak tangan kirimu?!"
Sejenak Joko tak memberi jawaban. Dia memandang silih berganti pada telapak tangan kirinya lalu pada orang tua yang duduk bersila di atas lubang. "Lukisan di telapak tanganku mirip sekali dengan wajahmu..." gumam Joko pada akhirnya.
Si orang tua tersenyum. Lalu mengangguk-angguk. "Dengar baik-baik, Joko! Beratus-ratus tahun aku menunggu orang yang memiliki tanda seperti yang kau punyai. Dan dengan kedatanganmu, berarti masa penantianku malam ini akan segera berakhir. Kaulah manusia yang telah ditentukan untuk memiliki pedang itu!" orang tua itu hentikan ucapannya sejenak. Lalu melanjutkan. "Peganglah gagang pedang itu dengan telapak tangan kirimu. Jangan bernapas tatkala menyentuhnya!"
Mungkin karena masih tertegun, Joko masih diam meski si orang tua telah memberi perintah. "Joko. Waktuku tidak banyak. Lekas lakukan apa yang kukatakan!" ujar si orang tua dengan naga tegas.
Seakan baru tersadar, Joko buru-buru geser tubuhnya ke dekat pedang. Tangan kirinya bergerak dan langsung menempel pada gagang pedang, sementara napasnya ditahan. Joko tersedak. Begitu tangan kirinya menyentuh gagang pedang, terasa ada hawa dingin yang masuk melalui telapak tangannya. Anehnya bersamaan dengan itu rasa sakit di sekujur tubuhnya akibat benturan dengan batu persegi itu seketika lenyap. Pandangannya makin tajam. Sementara tenaga dalamnya seakan berlipat ganda!
Keterkejutan Joko tidak hanya sampai di situ. Begitu telapak tangan kirinya menyentuh pedang, pedang itu bergerak-gerak! Masih dengan menahan napas, Joko segera mencabut pedang dari tempatnya. Kali ini dengan mudah pedang itu dapat ditarik dari tempatnya. Dengan tubuh bergetar dan dada berdebar, Joko tarik tangan kirinya yang telah menggenggam gagang pedang.
Begitu pedang lepas dari tempatnya, seberkas sinar kuning berkilau memancar ke udara, hingga saat itu juga suasana di tempat itu berubah menjadi merah kekuningan. Pedang di tangannya dldekatkan. Perlahan-lahan pedang itu ditarik dari sarungnya. Sepasang matanya memperhatikan dengan seksama.
Ternyata pedang itu berwarna kuning keemasan. Panjangnya cuma setengah depa. Lebarnya kira-kira dua pertiga jengkal. Ujung dan pangkal pedang sama besarnya. Sedangkan gagang pedang berwarna hijau terbuat dari batu giok. Pada tubuh pedang itu tergurat dengan jelas angka 131!
"Joko. Yang berada di tanganmu itu adalah senjata mustika yang sulit dicari tandingannya. Sebuah pedang bernama Pedang Tumpul 131. Senjata itu tidak dapat digunakan oleh sembarang orang, karena untuk mempergunakannya diperlukan tenaga dalam yang kuat. Tanpa disertai tenaga dalam, senjata itu hanya akan seperti pedang biasa..." si orang tua hentikan sejenak penuturannya.
Sepasang matanya memandang lekat-lekat pada murid Pendeta Sinting yang mendengarkan penuturannya dengan seksama. "Joko. Sebagai salah seorang pewaris yang ditentukan memiliki Pedang Tumpul 131, kau harus mengerti satu hal. Yakni pedang itu diciptakan dengan satu tujuan, yaitu untuk menegakkan kebenaran dan menghancurkan kejahatan! Pedang Tumpul 131 harus kau jaga dan kau rawat baik-baik layaknya kau menjaga dan merawat dirimu! Dan jangan coba-coba mempergunakannya di jalan yang tidak semestinya, karena kau akan menerima akibat yang mengenaskan!"
"Eyang..." Joko tidak meneruskan ucapannya, karena saat itu dilihatnya si orang tua melintangkan telunjuk tangannya pada mulutnya, memberi isyarat agar Joko tak meneruskan kata-katanya.
"Joko. Seperti kata-kataku tadi, waktuku tidak banyak. Sebelum aku pergi aku akan menjelaskan padamu dahulu apa yang ada di tubuh Pedang Tumpul 131 itu. Pedang Tumpul 131 dibuat lurus dengan pangkal dan ujung sama besar memberi isyarat bahwa kebenaran harus kau tegakkan semenjak kau lahir sampai kau menutup mata tanpa sedikit pun mengendor atau mengecil! Angka 131 menunjukkan bahwa menegakkan kebenaran itu sebenarnya tugas yang amat mulia yang datang dari Tuhan Yang Maha Esa. Itulah yang diisyaratkan dengan angka satu yang pertama. Namun ketahuilah, segala sesuatu pasti ada rintangannya. Apalagi jika sesuatu itu bernama kebenaran. Ketahuilah olehmu, ada tiga hal yang jika kau tidak berhati-hati hal tersebut akan mendatangkan bencana besar dalam hidupmu. Yang pertama adalah harta. Kedua tahta dan ketiga wanita! Tiga hal tersebut adalah pangkal bencana yang bisa membenamkan kebenaran jika dipergunakan secara salah! Itulah yang diisyaratkan dengan angka tiga. Sementara angka satu yang terakhir memberi isyarat pada diri manusia. Maksudnya, manusia akan terpisah dengan Tuhannya jika manusia itu membenamkan dirinya dalam-dalam pada tiga hal tersebut di atas! Jika kau ingin angka satu bersanding dengan angka satu lainnya, yang berarti kau ingin selalu dekat dengan Tuhan, hindarilah tiga hal itu! Sedangkan inti dari semuanya itu adalah setiap kebenaran pasti akan mendapat tantangan! Dan tantangan itu bisa diredam jika manusia itu selalu mendekatkan diri pada Tuhannya! Jadi pedang ini hanyalah alat, sementara akar dari semuanya adalah tergantung manusia yang menggunakan pedang ini! Harapanku, sebagai manusia yang ditentukan memegang alat, kau harus dapat menggunakannya sebagaimana mestinya!"
Joko mendengarkan penuturan orang tua dengan seksama. Memasukkannya dalam otak dan mengingatnya baik-baik.b"Joko. Kuharap kau melakukan apa yang telah kukatakan. Sekarang aku harus pergi..."
"Eyang..." ujar Joko dengan suara bergetar parau.
Namun kata-katanya terputus, karena sosok orang tua itu samar-samar telah lenyap dari pandangannya! Asap yang melingkupi bagian atas lubang di mana Joko berada pun perlahan-lahan menipis sebelum akhirnya sirna.
"Eyang... Segala petunjukmu akan kulaksanakan..." desis Joko seraya menjura dalam-dalam.
Selagi murid Pendeta Sinting ini menjura, tiba-tiba telinganya mendengar deru angin, disusul kemudian dengan bergetarnya lubang di mana ia berada. Deru dan getaran tempat itu makin lama makin keras. Merasa ada gelagat tidak baik, pemuda murid dari jurang Tlatah ini cepat masukkan Pedang Tumpul 131 pada sarungnya lalu disimpan ke dalam balik pakaiannya.
Baru saja pedang itu tersimpan, Joko terkesiap lalu memandang lekat-lekat pada telapak tangan kirinya. Ditelapak tangan itu kini selain samar-samar terlihat gambar orang tua bersorban juga menggurat angka 131! Namun keterkejutan Joko tidak berlangsung lama, karena pada saat bersamaan, batu persegi panjang di mana dia berada makin bergetar, dan dari atas tanah bukit berhamburan masuk ke dalam lubang.
Sebelum tubuhnya terbenam dalam lubang yang perlahan-lahan ditimbuni tanah, Joko Sableng segera lesatkan dirinya ke atas. Murid Pendeta Sinting ini tersentak. Angin berhembus demikian kencang, hingga tubuhnya hampir saja terseret jika dia tak segera kerahkan tenaga dalam untuk mengatasi tubuhnya.
Angin terus berhembus menghamburkan tanah di puncak bukit. Dan perlahan-lahan lubang bekas makam tadi tertimbun tanah. Begitu angin berhenti berhembus, tanah berlubang bekas makam di mana tadi tersimpan Pedang Tumpul 131 telah rata dengan tanah layaknya seperti tidak pernah ada makam!
"Luar biasa..." desis Joko seraya tak berkedip memandangi bekas makam. Selagi murid Pendeta Sinting mengagumi apa yang baru saja terjadi, terdengar suara.
"Pendekar Pedang Tumpul 131! Sejak malam ini, kau mempunyi tugas. Menegakkan kebenaran dan menghancurkan keangkaramurkaan! Tujuan hidupmu adalah mendamaikan umat manusia dan menumpas manusia yang membuat malapetaka di bumi!"
Dengan menindih rasa terkejut, murid dari jurang Tlatah Perak ini arahkan pandangannya berkeliling. Tapi matanya tak dapat menangkap adanya seseorang! "Hmm... Pasti Eyang tadi... Suaranya masih kuingat betul..." gumam Joko dengan tengadahkan kepala memandang bulan.
"Eyang... Segala ucapanmu akan kuingat dan kulakukan!" teriak Joko memecah kesunyian Pesanggrahan Keramat di puncak bukit Sono Keling.
Namun kesunyian tidak lagi melingkupi, karena bersamaan dengan lenyapnya teriakan Joko, dari arah bawah terdengar derap langkah kaki-kaki kuda menuju ke atas bukit. Siapakah penungang kuda yang menuju Puncak Bukit Sono Keling?
Untuk mengetahuinya, ikuti petualangan Joko Sableng Yang seru dan menggemparkan dalam episode selanjutnya:
INDEX JOKO SABLENG | |
Cerita Silat Joko Sableng --oo0oo-- 02.Ratu Pemikat |