Life is journey not a destinantion ...

Pertarungan Raja-Raja Arak

INDEX AJI SAKA
23.Setan Mabuk --oo0oo-- 25.Penghuni Lembah Malaikat

AJI SAKA
DEWA ARAK
Penerbit Cintamedia, Jakarta


1

Matahari belum bergulir jauh ketika sosok tubuh berpakaian ungu dan berambut putih keperakan keluar dari mulut sebuah hutan kecil. Wajahnya tampan, dan bentuk badannya tegap berisi. Melihat sebuah guci arak yang tersampir di pinggang, bisa ditebak kalau pemuda itu adalah peminum kelas kakap. Namun dari ciri-cirinya, tak salah lagi. Dia adalah Arya Buana, yang berjuluk Dewa Arak!
Dewa Arak kini melesat cepat meninggalkan Hutan Koneng. Tujuannya adalah Pulau Selaksa Setan! Mau tak mau, dia harus kembali ke Desa Koneng, lalu terus berjalan ke Utara.
Berkat ilmu meringankan tubuhnya yang sudah mencapai tingkat tinggi, dalam waktu sebentar saja pemuda berambut putih keperakan itu telah tiba di tembok batas Desa Koneng.
Sesampainya di sini, Arya menghentikan larinya. Pandangannya tertumbuk pada carikan kain yang menempel di tembok. Surat tantangan yang ditulis di atas sehelai kain, dan diajukan oleh Setan Mabuk. Beberapa saat lamanya pemuda berambut putih keperakan itu memperhatikan, lalu mencabutnya. Dewa Arak merobek-robek carikan kain itu, lalu membuangnya. Kemudian, kakinya melangkah memasuki mulut desa (Agar jelas, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode "Setan Mabuk").
Arya sama sekali tidak merasa heran melihat suasana sepi yang melingkupi sekeliling Desa Koneng. Jalan utama desa begitu lengang. Rumah-rumah penduduk tampak menyedihkan. Sebagian besar telah porak-poranda. Daun-daun pintu telah copot dari ambangnya. Begitu pula daun jendela yang pergi entah ke mana.
Sambil terus menoleh ke sana kemari, pemuda berpakaian ungu itu terus melangkah masuk ke dalam desa. Seperti juga sebelumnya, hanya kesunyianlah yang dijumpainya. Desa Koneng benar-benar telah menjadi desa mati.
Secara sambil lalu, Arya melangkah menghampiri sebuah rumah yang sudah tidak memiliki daun pintu lagi. Tapi begitu melongok ke dalam, secepat itu pula kepalanya ditolehkan keluar. Ada suara menggeretak keras keluar dari mulutnya ketika kepalanya berpaling. Jelas kalau Dewa Arak dilanda kemarahan hebat.
Betapa tidak? Di ruang tengah rumah itu nampak empat sosok tubuh tengah tergolek mengerikan! Sekali lihat saja, bisa diketahui kalau semuanya telah tewas.
Dua di antara empat mayat itu adalah anak-anak. Sementara yang dua orang lagi adalah laki-laki dan wanita, berusia sekitar tiga puluh tahunan. Yang laki-laki tewas dengan kepala terpisah dari tubuhnya. Sedangkan yang wanita lebih mengerikan lagi keadaannya. Dia tewas dalam keadaan pakaian tidak karuan. Dapat diduga sebelum dibunuh, lebih dulu diperkosa!
Dengan dada terasa sesak oleh amarah bergelora, Arya melangkah meninggalkan rumah itu. Dan kini perjalanannya dilanjutkan kembali.
Kini Dewa Arak tidak melangkah lambat-lambat seperti sebelumnya, tapi melesat cepat mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuhnya yang telah mencapai taraf kesempurnaan. Sehingga yang terlihat kini hanyalah sekelebatan bayangan ungu yang melesat cepat keluar desa!
Entah berapa lama berlari, Arya sama sekali tidak menghitungnya. Yang ada di benaknya hanya berlari sejauh-jauhnya dari tempat yang membuat hatinya terguncang.
Pemuda berpakaian ungu itu baru melambatkan larinya begitu melihat tembok batas sebuah desa, tak jauh di hadapannya.
Mendadak pandang mata Arya terbelalak begitu melihat sesosok tubuh tengah berlari tersaruk-saruk dari dalam desa. Menilik dari gerak-gerik orang itu, seperti ada sesuatu yang ditakutinya. Hal ini membuat Dewa Arak semakin mempercepat larinya. Dia ingin tahu, apa yang membuat orang itu bertindak demikian.
Tapi selagi jarak di antara mereka masih terpisah tak kurang dari tujuh tombak, tubuh orang yang berlari-lari itu jatuh tersungkur. Bahkan langsung diam tak bergerak lagi.
Gigi Arya bergemeletuk keras menahan kegeraman yang amat sangat. Pandangan matanya yang tajam, tadi melihat sekelebatan benda berkilauan menyambar punggung orang itu. Dan benda itulah yang menyebabkan orang tadi roboh tersungkur.
Bertepatan robohnya orang yang berlari-lari itu, muncul sesosok tubuh tinggi besar dan bercambang bauk lebat. Sambil tertawa terbahak-bahak, kakinya menjejak tubuh orang yang tersungkur tadi. Maka akibatnya sudah bisa diduga. Terdengar suara berderak keras dari tulang-belulang yang berpatahan.
Terdengar geram kemarahan dari mulut Dewa Arak melihat kekejaman yang berlangsung di depan matanya. Meskipun berada dalam jarak sekitar dua batang tombak, tangan kanannya segera dikibaskan ke depan.
Hebat luar biasa kibasan Dewa Arak. Apalagi dilakukan dalam keadaan murka. Angin yang menderu hebat menyambar ke arah laki-laki pemimpin perampok, yang dikenal bernama Jagar (Untuk jelasnya, baca serial Dewa Arak dalam episode "Setan Mabuk").
.....Laki-laki tinggi besar itu terkejut bukan kepalang tatkala mengetahui serangan mendadak itu. Dia tadi memang telah melihat kedatangan Dewa Arak, tapi sama sekali memandang remeh. Bahkan tak memperdulikannya. Jagar baru terperanjat begitu merasakan angin keras yang menyambar ke arahnya.
Dan belum sempat berbuat sesuatu, tubuh Jagar sudah terlempar ke belakang. Dan jatuh bergulingan di tanah. Rasa sesak yang amat sangat seketika mendera dadanya. Sehingga untuk beberapa saat lamanya, laki-laki bercambang bauk lebat ini tidak segera bangkit berdiri. Dicobanya untuk
bangkit tapi tetap tidak mampu. Yang dapat dilakukannya hanya merangkak bangun. Itu pun sambil menyeringai kesakitan.
Tapi belum juga berhasil bangkit berdiri, pandangan matanya sudah tertumbuk pada sepasang kaki kokoh yang berdiri di hadapannya. Tanpa mendongakkan kepala lagi pun, Jagar sudah bisa memperkirakan orang yang berdiri itu. Siapa lagi kalau bukan pemuda berambut putih keperakan itu?
Pemuda berambut putih keperakan? Mendadak laki-laki tinggi besar itu teringat. Bukankah Setan Mabuk mencari seorang pemuda yang berambut putih keperakan dan berjuluk Dewa Arak? Dan memang, salah satu ciri-ciri tokoh muda yang menggemparkan itu adalah warna rambutnya yang putih keperakan, di samping pakaiannya yang berwarna ungu dan sebuah guci arak terbuat dari perak yang selalu tersandang di punggung.
Keinginan untuk membuktikan kebenaran dugaan yang tiba-tiba muncul membuat Jagar mendongakkan kepala untuk meneliti lebih lanjut.
Wajah laki-laki bertubuh tinggi besar ini kontan memucat ketika ciri-ciri itu ada pada pemuda yang berdiri di hadapannya adalah benar-benar sosok Dewa Arak! Maka dia harus cepat memberitahukannya kepada Setan Mabuk.
Sementara itu, Arya yang telah dilanda amarah menggelegak, telah mengambil keputusan untuk melenyapkan orang di hadapannya. Telah dilihatnya sendiri bukti kekejaman laki-laki tinggi besar ini.
Meskipun kemarahan melandanya, namun Dewa Arak tidak mau bertindak saat lawan tengah berada dalam keadaan tidak siap. Maka kakinya hanya melangkah ke belakang, memberi kesempatan pada lawan untuk mempersiapkan diri.
Jagar menarik dan menghembuskan napas berulang-ulang untuk menghilangkan rasa sesak yang melanda dada. Baru ketika rasa sesak itu sudah tidak terasa lagi, dia bangkit berdiri dan langsung mencabut goloknya. Laki-laki bercambang bauk lebat ini tahu kalau lawan adalah tokoh berkepandaian luar biasa. Itulah sebabnya, tanpa ragu-ragu lagi senjata andalannya langsung dicabut.
Dan begitu golok itu telah tercabut, Jagar langsung menerjang sambil berteriak melengking nyaring. Golok di tangannya disabetkan ke arah kepala Dewa Arak, dengan arah gerakan dari atas ke bawah. Rupanya laki-laki tinggi besar ini ingin membelah tubuh Arya menjadi dua bagian.
Namun Arya segera mengulurkan tangan kanannya ke depan. Dan....
Tappp...!
Mata golok Jagar kini sudah terjepit di antara telunjuk dan jari tengah Arya.
"Uh... uh...!"
Jagar berusaha keras menarik kembali senjatanya. Tapi golok itu tetap tak bisa ditariknya kembali. Bahkan wajahnya sampai merah padam, dan napasnya terengah-engah. Seolah-olah, bukan dua buah jari tangan yang menjepitnya, tapi jepitan baja yang amat kuat.
Dan begitu kedua jari tangan Dewa Arak bergerak menekuk, terdengar suara berderak keras disusul patahnya mata golok Jagar.
Akibatnya, Jagar yang pada saat itu tengah berjuang keras menarik pulang senjatanya, langsung terjengkang ke belakang terbawa tenaga tarikannya sendiri. Goloknya yang kini tinggal sepotong ikut terbawa tubuhnya yang terjengkang.
Di saat itulah, Dewa Arak mengibaskan tangan kanannya. Maka, patahan mata golok yang berada dalam jepitan kedua jarinya melesat cepat ke arah Jagar.
Sepasang mata laki-laki tinggi besar ini terbelalak lebar karena perasaan kaget melihat ancaman maut yang menuju ke arahnya. Serangan itu ingin dielakkan, tapi apa daya? Jangankan mengelakkan serangan itu, untuk mematahkan kekuatan yang membuat tubuhnya terhuyung-huyung saja tidak mampu! Maka....
Cappp...!
Jagar menjerit ngeri ketika mata golok itu menancap di dahinya, sampai tidak nampak lagi. Semua patahan senjata itu amblas ke dalam kepala laki-laki tinggi besar itu.
Berbarengan habisnya kekuatan yang membuat Jagar terjengkang, tubuhnya pun ambruk ke tanah. Nyawanya kini telah melayang meninggalkan raganya.
Dewa Arak menoleh begitu mendengar langkah kaki mendekati tempatnya berada. Berkat pendengarannya yang tajam luar biasa, bisa diperkirakan jumlah orang yang melangkah itu. Enam orang!
Memang, dugaan pemuda berambut putih keperakan itu tidak salah. Beberapa saat kemudian, muncul enam sosok tubuh yang menatap ke arahnya dengan sorot mata penuh ancaman. Mereka kini telah berdiri di hadapan Dewa Arak, dalam jarak sekitar empat tombak.
Arya memperhatikan enam sosok tubuh itu. Yang berdiri paling depan adalah seorang laki-laki bertubuh kecil kurus berkumis sedikit dan berompi hitam. Di tangannya tergenggam sebatang cambuk yang juga berwarna hitam. Dialah yang berjuluk Kera Bukit Setan. Di belakangnya,
berdiri lima sosok tubuh berwajah dan bersikap kasar. Rata-rata mereka me-ngenakan rompi.
"Diakah orang yang kau beritahukan pada Setan Mabuk?" tanya Kera Bukit Setan seraya menolehkan kepala, menatap salah satu dari lima orang yang berdiri di belakangnya, yang berkulit kemerahan.
"Benar, Kera Bukit Setan," sahut laki-laki berkulit kemerahan itu sambil menganggukkan kepala.
"Hm...!" gumam Kera Bukit Setan pelan. Kepalanya dipalingkan kembali ke arah Arya. "Jadi kau rupanya yang berjuluk Dewa Arak? Memang, orang usil sepertimu sudah lama ingin kulenyapkan. Apalagi kau telah membinasakan kawan kami!"
Usai berkata demikian, laki-laki kecil kurus ini melecutkan cambuknya ke udara.
Ctarrr...!
Arya diam saja, dan sama sekali tidak kaget atau terkejut ketika cambuk itu meledak. Wajah pemuda berpakaian ungu ini tetap saja tenang.
Namun sebenarnya, hati Arya sama sekali tidak tenang. Bahkan sebaliknya, hatinya malah hampir hangus terbakar amarah. Hanya berkat kemampuan menyimpan perasaan, semua itu tidak tampak di wajahnya. Yang jelas, pemuda berambut putih keperakan ini telah mengambil keputusan melenyapkan para penjahat itu selama-lamanya. Bayangan sosok tubuh anak-anak dan wanita kembali terbayang di benaknya. Dan inilah yang menyebabkan dia mengambil keputusan demikian.
Kera Bukit Setan menjadi geram melihat Dewa Arak sama sekali tidak menanggapi pertanyaannya. Tidak tampak kalau pemuda berambut putih keperakan itu kaget mendengar lecutan cambuknya. Bahkan sepasang matanya sama sekali tidak berkedip!
"Bunuh dia...!"
Kera Bukit Setan menudingkan telunjuk tangan kirinya ke arah Dewa Arak. Sengaja disuruhnya lima orang kasar itu bergerak menyerang lebih dulu. Ingin diketahuinya lebih dulu kelihaian lawan. Lebih bagus lagi, kalau sampai bisa mengetahui perkembangan ilmunya. Dengan begitu akan mudah diukur, bagaimana harus menghadapi pemuda berambut putih ke-perakan itu.
Tanpa menunggu perintah dua kali, lima orang kasar itu mencabut senjata masing-masing.
Begitu senjata itu terhunus di tangan, mereka segera bergerak mengurung Dewa Arak. Lima orang itu tahu kalau lawan amat tangguh. Maka mereka harus bersikap hati-hati. Mereka tidak langsung menyerang, melainkan bergerak menghampiri dalam sikap mengurung.
Tapi, orang yang mereka kurung sama sekali tidak memberi tanggapan apa-apa. Dewa Arak tetap diam saja, seolah-olah tidak mempedulikan adanya ancaman bahaya.
"Seraaang...!"
Laki-laki berkulit kemerahan memberi aba-aba begitu kurungan mereka terhadap Arya semakin mengecil.
Seiring dengan keluar teriakannya, laki-laki berkulit kemerahan itu melompat menerjang. Golok di tangannya membabat kepala dari atas ke bawah. Maksudnya, ingin membelah tubuh Dewa Arak menjadi dua bagian!
Pada saat yang sama, dari berbagai penjuru meluncur serangan empat orang lainnya. Senjata-senjata di tangan mereka yang berupa pedang dan golok berhamburan ke arah berbagai bagian tubuh pemuda berambut putih keperakan itu.
Dewa Arak bersikap tenang, tidak nampak adanya tanda-tanda kalau akan melakukan tindakan menghadapi serangan lawan-lawannya. Baru ketika serangan-serangan menyambar dekat dan hampir mengenai sasaran, kedua tangannya bergerak cepat. Seolah-olah, tangannya tidak lagi dua buah, tapi puluhan banyaknya.
Terdengar suara berdebuk keras disusul berpentalannya tubuh lima orang kasar itu. Senjata-senjata yang semula tergenggam di tangan, berpentalan entah ke mana.
Berbarengan jatuhnya senjata-senjata itu di tanah, tubuh lima orang itu pun jatuh berdebuk keras dan tak mampu bangkit lagi. Mereka semua tewas seketika. Darah segar langsung mengalir keluar dari mulut dan hidung mereka.
Kera Bukit Setan terperanjat melihat hal ini. Sungguh di luar dugaan kalau lima orang itu akan roboh tewas dalam segebrakan. Begitu tinggikah kepandaian pemuda itu? Ataukah lima orang itu yang terlalu ceroboh? Rasanya mustahil kalau lawan yang semuda itu memiliki kepandaian yang begitu tinggi.
Perasaan penasaran membuat Kera Bukit Setan cepat melupakan keterkejutannya. Tanpa membuang-buang waktu lagi, tangan kanannya digerakkan. Cambuk hitam di tangannya segera meluncur deras ke arah ubun-ubun Dewa Arak. Angin berkesiutan nyaring menjadi pertanda kuatnya tenaga dalam yang terkandung dalam serangannya.
Tappp!
Ujung cambuk itu berhasil ditangkap Arya. Kera Bukit Setan terperanjat bukan main. Dia tidak menyangka kalau Dewa Arak berani menangkap cambuknya! Bahkan tanpa terluka sama sekali. Dari sini saja sudah bisa diperkirakan kekuatan tenaga dalam yang dimiliki Dewa Arak.
Dewa Arak kali ini benar-benar tidak main-main lagi. Segera seluruh tenaga dalamnya dikerahkan pada tangan kanan. Dan begitu ujung cambuk itu hampir mengenai sasaran, tangannya bergerak cepat me-nyambar. Dan....
Tappp!
Ujung cambuk itu berhasil ditangkap Dewa Arak.
Untuk yang kedua kalinya, Kera Bukit Setan terperanjat. Tapi kekagetan kali ini jauh lebih besar daripada sebelumnya. Memang tidak disangka kalau pemuda berpakaian ungu itu berani menangkap cambuknya. Bahkan tanpa terluka sama sekali. Dari sini saja sudah bisa diperkirakan kekuatan tenaga dalam yang dimiliki Dewa Arak.
Tapi Kera Bukit Setan memang terlalu keras kepala. Meskipun sudah bisa menerka kalau tenaga dalam lawan berada di atas tenaga dalamnya, tapi tetap saja tidak mau melepaskan cambuknya. Bahkan sebaliknya malah membetot. Maksudnya sudah jelas. Dia ingin menarik kembali senjatanya.
Selebar wajah laki-laki berompi hitam ini sampai merah padam. Dari mulutnya pun keluar suara keluhan pertanda telah mengeluarkan tenaga melewati batas dalam usaha menarik pulang senjatanya. Tapi, usaha-nya tetap saja sia-sia. Padahal, Dewa Arak sepertinya tidak mengeluarkan tenaga sama sekali. Wajah pemuda berpakaian ungu itu biasa-biasa saja.
Setelah membiarkan Kera Bukit Setan sibuk dengan usahanya beberapa saat mendadak Arya melepaskan cekalannya. Tak pelak lagi, tubuh laki-laki berompi hitam itu terjengkang ke belakang terbawa tenaga tarikannya sendiri.
Tindakan Arya tidak berhenti sampai di situ saja. Kaki kanannya langsung menendang sebuah batu sebesar jempol kaki yang tergolek di tanah. Pelan saja kelihatannya, tapi kenyataan yang terlihat tidak sesederhana itu.
Singgg...!
Diiringi suara mendesing nyaring yang menyakitkan telinga, batu itu meluncur deras ke arah Kera Bukit Setan laksana anak panah lepas dari busur.
Laki-laki bertubuh kecil kurus itu terkejut bukan main melihat adanya bahaya maut yang mengancamnya. Dia ingin mengelak, tapi terlambat. Apalagi keadaannya saat itu sama sekali tidak menguntungkan. Maka....
Takkk!
"Aaakh!"
Tubuh Kera Bukit Setan kontan terjengkang. Seketika, nyawanya melayang meninggalkan raga. Ubun-ubunnya pecah seketika terkena sambaran batu itu.
Tapi Arya sama sekali tidak mempedulikannya lagi. Pemuda berambut putih keperakan itu langsung melesat meninggalkan tempat itu. Dia ingin buru-buru tiba di Pulau Selaksa Setan.
Hanya dalam beberapa kali melangkah, tubuh Arya sudah terlihat sebesar telapak kaki di kejauhan. Semakin lama, tubuh pemuda berpakaian ungu itu semakin mengecil. Dan akhirnya lenyap di kejauhan.

2

Kicau burung sudah tidak terdengar lagi. Sinar sang mentari sudah tidak begitu nikmat lagi di kulit. Memang, hari sudah mulai beranjak siang.
Dalam suasana seperti itu, sebuah perahu yang ditumpangi dua sosok tubuh meluncur ke tengah laut. Menilik dari laju perahu, bisa diperkirakan kalau mereka tengah terburu-buru.
"Sudah bisa kuperkirakan kalau pertarungan kali ini jauh lebih ramai daripada sebelumnya, Malaikat Jari Besi," kata salah seorang dari mereka yang tengah duduk di lantai perahu seraya terus mengayuhkan dayung.
Dia adalah seorang laki-laki bertubuh sedang. Rambutnya panjang melewati bahu. Wajahnya dipenuhi bintik hitam, bekas jerawat.
"Aku pun berpikiran demikian, Saratoga," sahut orang yang dipanggil Malaikat Jari Besi.
Malaikat Jari Besi bertubuh kekar berotot. Jari-jari tangannya terlihat keras bukan kepalang. Laki-laki kekar ini juga terus mengayuh dayungnya.
Perahu itu meluncur cepat sekali, mantap dan tanpa hambatan. Gelombang yang terkadang membuat perahu mereka terombang-ambing, kontan hancur terbelah diterjang moncong perahu. Sesekali mereka berada di puncak gelombang, tepi tak jarang seperti terbenam. Dan nampaknya, mereka bukan orang sembarangan.
Malaikat Jari Besi adalah tokoh persilatan aliran putih yang cukup ternama. Disegani kawan dan ditakuti lawan. Telah tidak terhitung lagi, tokoh persilatan aliran hitam yang tewas di tangannya. Dan berkat keberadaannya, Desa Ampel dan desa-desa sekitarnya aman dari gangguan orang jahat.
Tokoh yang bernama Saratoga pun bukan orang sembarangan. Memang diakui, dia tidak setenar Malaikat Jari Besi, rekannya. Tapi, kelihaiannya mungkin tidak di bawah laki-laki bertubuh kekar berotot itu.
Malaikat Jari Besi dan Saratoga terus saja mengayuh dayungnya. Dan tentu saja kayuhan itu disertai pengerahan tenaga dalam, karena mereka tengah tergesa-gesa.
"Bisa kuperkirakan, sekarang Pulau Selaksa Setan telah dipenuhi tokoh persilatan," Saratoga kembali membuka percakapan.
"Sudah pasti," sahut Malaikat Jari Besi. "Tahun-tahun sebelumnya saja, ramai. Apalagi sekarang? Kudengar, Dewa Arak tokoh yang menggemparkan itu akan ikut dalam pertarungan kali ini."
"Kudengar juga begitu, Malaikat Jari Besi."
"Makanya kita harus bergegas, agar tidak bingung memilih tempat," tandas Malaikat Jari Besi seraya menambah tenaga kayuhan pada dayungannya.
"Kau benar."
Setelah berkata demikian, Saratoga menambah tenaga kayuhan pada dayungannya pula, sehingga perahu itu meluncur laksana anak panah melesat dari busur.
Saratoga dan Malaikat Jari Besi terus saja mengayuh disertai pengerahan tenaga dalam. Sehingga, ketika matahari hampir berada di atas kepala, pulau yang dimaksud telah tampak. Sebuah pulau yang berbentuk tengkorak kepala manusia.
"Itu Pulau Selaksa Setan, Saratoga...!" seru Malaikat Jari Besi seraya menudingkan telunjuk ke arah pulau yang dimaksud.
Laki-laki berwajah penuh bintik mengangguk pertanda membenarkan. Memang, dia juga telah melihat pulau yang begitu menyeramkan itu.
"Mengapa pulau itu mempunyai nama yang begitu seram, Malaikat Jari Besi?" tanya Saratoga sambil menatap wajah laki-laki bertubuh kekar berotot itu.
"Cerita sebenarnya aku pun tidak tahu, Saratoga," sahut Malaikat Jari Besi setelah beberapa saat lamanya tercenung. "Tapi menurut berita yang terdengar, dulu tempat ini didiami makhluk-makhluk pemakan manusia."
"Makhluk pemakan manusia?" selak Saratoga setengah tidak percaya. "Bagaimana bentuk mereka?"
Malaikat Jari Besi menggeleng.
"Aku pun tidak tahu karena hanya bersumber dari berita saja. Dan menurut berita yang kudengar pula, makhluk-makhluk itu lenyap dua tahun yang lalu ketika badai mengamuk. Rupanya, mereka semua hanyut dilanda badai. Dan sejak itu, mereka tidak ketahuan lagi beritanya," jelas laki-laki bertubuh kekar berotot itu mengakhiri ceritanya.
"Ahhh...! Syukurlah...!" desah Saratoga. Ada nada kelegaan dalam suaranya begitu mendengar akhir cerita tentang makhluk-makhluk itu.
Suasana menjadi hening sejenak ketika Malaikat Jari Besi tidak malanjutkan ucapan. Sementara Saratoga pun tidak menanggapi lagi. Sekarang yang terdengar hanyalah suara riak air yang terbelah oleh dayung-dayung mereka, dan suara gelombang laut.
Kini kedua tokoh aliran putih itu mulai mengarahkan perahu mereka ke tepi Pulau Selaksa Setan. Dan dengan tenaga dalam yang dimiliki, Malaikat Jari Besi dan Saratoga tidak mengalami kesulitan untuk
melawan arah gelombang laut, dan mengarahkan perahu ke Pulau Selaksa Setan.
Begitu perahu mereka menepi, Saratoga dan Malaikat Jari Besi melompat ke pantai. Seperti sudah disepakati dari semula, begitu mendarat Saratoga langsung menarik perahu ke tepi dan menambatkannya. Sedangkan Malaikat Jari Besi langsung saja mengedarkan pandangan ke sekeliling.
"Aneh...," gumam laki-laki kekar berotot itu pelan. Dahinya pun berkernyit. Jelas ada sesuatu yang membuatnya bersikap seperti itu.
"Ada apa, Malaikat Jari Besi?" tanya Saratoga.
Dia kini telah selesai menambatkan perahunya pada sebuah batu karang di pinggir laut. Rupanya, laki-laki berwajah penuh bintik hitam ini mendengar adanya nada keheranan dalam ucapan rekan seperjalanannya.
Malaikat Jari Besi merayapi selebar wajah Saratoga dengan sorot mata sungguh-sungguh.
"Kau tidak melihat adanya keanehan di sini, Saratoga?" Malaikat Jari Besi malah balik bertanya. Nada suaranya menyiratkan keheranan dan juga tuntutan jawaban.
Laki-laki yang berwajah penuh bintik-bintik hitam itu tidak langsung menjawab pertanyaan rekannya. Tapi malah mengedarkan pandangan ke sekeliling. Dia ingin mengetahui keanehan yang dimaksud kawannya.
"Bagaimana, Saratoga?" desak Malaikat Jari Besi, tidak sabar.
Saratoga menggelengkan kepala.
"Aku tidak melihat adanya keanehan yang kau maksudkan itu, Malaikat Jari Besi," sahut Saratoga seraya menatap wajah laki-laki kekar berotot itu lekat-lekat "Kecuali, yahhh.... Suasana sepi yang melingkupi tempat ini..."
"Justru itulah keanehan yang kumaksudkan!" tandas Malaikat Jari Besi cepat.
"Maksudmu...?" Saratoga kini mulai mengerti maksud pembicaraan rekannya. Dan ini kontan membuat jantungnya berdebar tegang.
"Kau tahu, Saratoga," laki-laki kekar berotot itu memulai penjelasannya, dengan perasaan tegang. "Tahun-tahun sebelumnya, suasana pertemuan ini ramai bukan main. Padahal, pertarungan masih lima hari lagi. Tapi sekarang...? Apa yang kau lihat Saratoga?"
Malaikat Jari Besi menghentikan ucapannya sejenak, seraya mengedarkan pandangan ke sekeliling. Memang hanya kesunyian dan suasana lengang yang melingkupi sekeliling tempat itu. Sejauh mata
memandang, yang terlihat hanyalah tanah lapangan luas dan bukit-bukit batu terjal. Tidak tampak adanya tanda-tanda kehidupan.
Laki-laki berwajah penuh bintik hitam itu menggelengkan kepala.
"Sepi...," jawab Saratoga serak "Tapi, barangkali saja banyak orang persilatan yang tidak mengetahui tempat ini...."
Malaikat Jari Besi menggelengkan kepala.
"Pulau Selaksa Setan amat terkenal, Saratoga. Hampir tidak ada tokoh persilatan yang belum mendengar namanya. Jadi, dugaanmu sama sekali tidak masuk akal."
Saratoga terdiam. Memang diakui, bantahan Malaikat Jari Besi mengandung kebenaran yang tidak bisa diganggu gugat lagi.
"Lalu..., bagaimana kesimpulanmu, Malaikat Jari Besi?" tanya Saratoga.
Suara laki-laki berwajah penuh bintik hitam itu tercekat di tenggorokan. Hatinya berdebar tegang. Meskipun telah mempunyai dugaan sendiri, tapi dia ingin mendengar dugaan laki-laki kekar berotot itu. Ingin diketahuinya, apakah dugaan mereka sama.
Malaikat Jari Besi tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Ditariknya napas dalam-dalam, lalu dihembuskannya kuat-kuat. Seolah-olah dengan bertindak seperti itu, semua ketegangan yang melanda ingin dibuangnya.
Betapa tidak tegang? Biasanya lima hari menjelang pertarungan, belasan tokoh persilatan telah bermunculan di tempat pertarungan. Tapi sekarang? Tidak datangkah mereka? Rasanya mustahil! Berita tentang akan ikut sertanya Dewa Arak dalam pertarungan kali ini, telah membuat dunia persilatan gempar. Mustahil kalau sampai dua hari menjelang pertarungan, tak ada seorang pun yang datang? Tapi kalau benar mereka datang, ke manakah lenyapnya? Ngeri hati kedua tokoh itu membayangkan belasan tokoh persilatan yang lenyap begitu saja. Lenyap tanpa jejak.
"Aku tidak berani menyimpulkan apa-apa, Saratoga," kata Malaikat Jari Besi akhirnya. "Hanya saja..., aku mempunyai firasat buruk..."
Jantung dalam dada Saratoga semakin berderak tegang. Dia kenal betul siapa rekannya. Malaikat Jari Besi memang mempunyai firasat yang amat peka. Sepertinya, dia memiliki indera keenam sehingga dapat mengetahui bahaya yang akan terjadi. Mungkin firasatnya yang tajam karena kebiasaannya bergaul dengan binatang-binatang peliharaannya. Bahkan sepertinya dia telah paham bahasa-bahasa binatang.
"Bulu tengkukku berdiri semua, Saratoga...," sambung Malaikat Jari Besi dengan suara semakin bergetar. "Aku yakin, bahaya yang kali ini mengancam tidak main-main lagi. Hatiku gelisah bukan main."
"Kalau begitu..., bagaimana kalau kita kembali saja?" usul Saratoga tiba-tiba. "Kau setuju?"
Malaikat Jari Besi tercenung sejenak. Rupanya, usul rekannya itu tengah dipertimbangkannya.
"Sebuah usul yang baik," sambut laki-laki kekar berotot itu.
Setelah mendengar persetujuan Malaikat Jari Besi, Saratoga langsung bergerak kembali ke pinggir laut, tempat perahunya ditambatkan. Sedangkan di belakang, rekannya bergerak mengikuti.
"Celaka...!"
Mendadak Saratoga berteriak keras. Wajah laki berwajah penuh bintik hitam ini pucat pasi menatap ke arah tempat perahu ditambatkan. Tempat kini kosong, tidak tampak ada sepotong papan pun di sana. Apalagi perahu! Bukan hanya Saratoga saja yang terperanjat. Malaikat Jari Besi pun dilanda perasaan yang sama. Sesaat lamanya mereka menatap penuh perasaan tak percaya pada tempat perahu ditambatkan yang kini telah kosong melompong.
"Firasatku ternyata benar...," tegas Malaikat Jari Besi dengan suara kering. "Bersiap-siaplah, Saratoga! Aku yakin bahaya yang akan menimpa kita akan sangat mengerikan! Hanya saja, aku tidak tahu, bahaya apa itu. Tapi yang jelas, naluriku telah memperingatkan demikian."
Setelah berkata demikian, tangan laki-laki kekar rotot itu segera bergerak ke arah punggung. Sesaat kemudian, tangannya bergerak ke depan. Seketika sinar terang berkeredep begitu Malaikat Jari Besi mencabut senjatanya. Kini di tangan laki-laki kekar berotot itu telah tergenggam sebatang golok besar!
Saratoga tidak mau ketinggalan. Seketika senjata andalannya dikeluarkan. Sebatang pedang yang berwarna putih berkilat.
"Tidak ada jalan lain. Kita harus terus masuk ke dalam pulau."
Meskipun agak bergetar, tapi ucapan yang keluar dari mulut Malaikat Jari Besi terdengar mantap.
"Aku belum pernah merasa setakut ini, Malaikat Jari Besi," Saratoga berbisik pelan.
"Mengapa merasa takut, Saratoga?" tanya laki-laki kekar berotot seraya menatap rekannya lekat-lekat.
Laki-laki berwajah penuh bintik-bintik itu menarik napas panjang-panjang dan menghembuskannya kuat-kuat sebelum menjawab pertanyaan rekannya tadi.
"Karena melihat rasa takut yang melandamu, Malaikat Jari Besi," jawab Saratoga. "Aku tahu, siapa dirimu sebenarnya. Kau adalah seorang manusia yang mempunyai naluri binatang. Dan dari rasa takut luar biasa
yang melandamu, aku sudah bisa memperkirakan kalau bahaya yang mengancam akan sangat mengerikan."
Laki-laki bertubuh kekar berotot itu tidak menyahuti ucapan Saratoga, karena memang semua ucapan Saratoga itu benar belaka. Indera keenamnya sering memperingatkan adanya bahaya yang mengancam. Tapi, rasanya belum pernah seperti ini, sehingga membuatnya gelisah bukan kepalang. Bahaya seperti apakah yang akan mengancam?
Malaikat Jari Besi dan Saratoga melangkah perlahan-lahan, kian memasuki pulau. Sepasang mata mereka menatap ke sekeliling, bersikap waspada.
Senjata-senjata yang tergenggam erat di tangan, menjadi pertanda betapa besar perasaan tegang yang melanda hati mereka.
Kalau tidak mengalami sendiri, baik Malaikat Jari Besi maupun Saratoga tentu tidak akan percaya. Mereka benar-benar dicekam rasa takut yang menggelegak, padahal bahaya yang diduga belum tentu ada.
"Saratoga...! Lihat..!"
Dengan pandangan mata masih tetap mengawasi sekeliling, Malaikat Jari Besi menudingkan telunjuk tangan kiri ke tanah. Sementara tangan kanan tetap menggenggam golok andalannya erat-erat.
Laki-laki berwajah bintik-bintik hitam itu mengalihkan pandang ke arah yang ditunjuk rekannya.
"Apa dugaanmu, Saratoga?" tanya Malaikat Jari Besi setelah laki-laki berwajah penuh bintik hitam itu selesai memperhatikan tanah yang ditunjukkannya. Keadaan tanah di situ tampak porak poranda.
"Sepertinya telah terjadi sebuah pertarungan di sini, Malaikat Jari Besi," sahut Saratoga mengajukan dugaan. "Melihat keadaan tanah di sini, aku yakin telah terjadi sebuah pertarungan besar-besaran."
Laki-laki kekar berotot itu menganggukkan kepala, pertanda membenarkan dugaan rekannya.
"Tingkatkan kewaspadaan, Saratoga. Kekhawatiran kita nampaknya beralasan...."
Ucapan Malaikat Jari Besi terpaksa dihentikan karena Saratoga memberi isyarat pada laki-laki bertubuh kekar itu untuk menghentikan ucapannya.
"Aku mendengar langkah-langkah kaki yang menuju kemari, Malaikat Jari Besi...," jelas laki-laki berwajah penuh bintik-bintik hitam itu, sebelum rekannya sempat mengajukan pertanyaan. Nada suaranya terdengar pelan, dan lebih mirip bisikan.
Malaikat Jari Besi pun memusatkan perhatian pada kedua telinganya. Memang, ucapan rekannya sama sekali tidak keliru. Ada banyak langkah kaki yang bergerak mendekati mereka.
"Arahnya dari sana...," tunjuk laki-laki bertubuh kekar berotot itu. Tangannya menuding ke tempat yang penuh gundukan batu-batu besar.
Saratoga menganggukkan kepala pertanda membenarkan, karena memang telah menduga demikian.
"Langkah-langkah kaki yang ringan," sambung Malaikat Jari Besi lagi. "Mengingatkanku pada binatang-binatang yang tengah memburu mangsa."
Saratoga mengernyitkan dahinya.
"Aku belum mengerti maksudmu, Malaikat Jari Besi."
"Langkah-langkah kaki yang tidak begitu jelas menapak di tanah. Padahal, jumlah mereka cukup banyak ini membuktikan kalau gerombolan itu sudah terbiasa dengan pekerjaan seperti ini. Dugaanku lebih condong ke situ daripada kalau gerombolan itu rata-rata memiliki tingkat kepandaian tinggi," jawab Malaikat Jari Besi memberi penjelasan.
"Maksudmu...?"
Meskipun sudah cukup mengerti maksud pembicaraan rekannya, Saratoga tetap mengajukan pertanyaan. Ingin dipastikannya ucapan yang keluar dari mulut laki-laki kekar berotot itu. Jantung laki-laki berwajah penuh bintik hitam ini berdebar tegang ketika mendengar penjelasan panjang lebar rekannya.
"Kita berhadapan dengan sekelompok orang yang telah biasa berburu.... Dan menilik kegelisahanku..., aku khawatir kita berhadapan dengan para pemburu manusia."
Saratoga menelan air liur untuk membasahi tenggorokannya yang mendadak kering.
"M…, ma..., maksudmu.... Kita berhadapan dengan manusia yang doyan makan daging manusia...?" terdengar suara serak ketika Saratoga mengajukan pertanyaan itu.
Belum sempat Malaikat Jari Besi menjawab pertanyaan itu, dari balik gundukan batu-batu bermunculan sosok-sosok tubuh kekar berkulit coklat gelap.
Dan secepat mereka bermunculan, secepat itu pula bergerak mengurung Malaikat Jari Besi dan Saratoga. Jelas, kalau mereka sudah terbiasa dengan perbuatan seperti itu.
"Ambil posisi saling melindungi, Saratoga," bisik Malaikat Jari Besi.
Saratoga mengerti maksud ucapan rekannya. Maka, dia pun bergerak ke belakang Malaikat Jari Besi. Kini, kedua orang itu mengambil posisi saling membelakangi. Punggung Malaikat Jari Besi dan Saratoga saling beradu satu sama lain.
"Dugaanku ternyata benar, Saratoga. Kita berhadapan dengan orang-orang yang terbiasa makan daging manusia...," jelas Malaikat Jari Besi sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling.
Di sekeliling Malaikat Jari Besi dan Saratoga, tampak belasan orang yang bertubuh rata-rata kekar dan bertelanjang dada. Wajah dan sekujur tubuh mereka penuh coreng-moreng. Penutup tubuh berbentuk rumbai-rumbai bertengger di bagian bawah tubuh mereka. Jelas kalau mereka adalah kelompok manusia terasing yang terpisah dari manusia umumnya.
"Kenapa mereka tidak langsung menyerang kita, Malaikat Jari Besi?" tanya Saratoga ketika melihat gerombolan orang berpakaian seadanya itu hanya mengurung seraya mengamang-amangkan senjata di ta-ngan.
Senjata-senjata gerombolan itu aneh dan mengerikan sekali. Kapak-kapaknya terbuat dari batu-batu cadas yang keras, dan agak diruncingi pada bagian ujungnya.
"Kurasa menunggu pimpinan mereka dulu, Saratoga," jawab Malaikat Jari Besi mengajukan dugaan.
Laki-laki berwajah penuh bintik-bintik hitam terdiam. Jawaban Malaikat Jari Besi rasanya tidak mungkin salah lagi. Memang, sejak tadi Saratoga telah mengedarkan pandangan untuk menerka pimpinan gerombolan itu. Tapi sampai lelah menolehkan lehernya, tetap saja tidak melihat sosok yang pantas menjadi pemimpin. Semua anggota gerombolan yang mengurung mereka mempunyai penutup tubuh yang hampir sama satu sama lain. Sang pemimpin pasti akan berbeda dengan anak buahnya.
"Sang pemimpin telah datang, Saratoga...," kata Malaikat Jari Besi ketika melihat dua sosok tubuh yang berjalan tenang mendekati tempat mereka.

3

Saratoga segera membalikkan tubuh. Hatinya kini tidak merasa khawatir lagi. Laki-laki berwajah bintik-bintik hitam ini yakin, gerombolan itu tidak akan menyerang sebelum ada perintah dari sang pemimpin.
Gerombolan pengepung yang berada di depan Malaikat Jari Besi menyibak, memberi jalan ketika pemimpin mereka muncul. Padahal, kedua sosok itu masih berjarak lebih dari dua tombak.
Mata Saratoga dan Malaikat Jari Besi terbelalak memandang dua sosok tubuh yang bergerak mendatangi. Dua sosok yang sudah pasti adalah sang pemimpin.
Sosok pertama adalah seorang laki-laki bertubuh tinggi besar, dan berotot kekar. Kulit tubuhnya berwarna hitam kecoklatan, sehingga semakin menambah keangkerannya. Apalagi dengan adanya bulu-bulu kasar yang tumbuh di sekujur wajahnya. Sehingga membuat laki-laki ini kian terlihat garang.
Tapi yang membuatnya kelihatan lebih garang lagi adalah topi bulu burung garuda di kepalanya. Hal ini membuktikan kalau laki-laki ini adalah pemimpin gerombolan itu.
Baik Saratoga maupun Malaikat Jari Besi sama sekali tidak merasa kaget melihat penampilan pemimkn gerombolan itu. Mereka memang sudah menduganya. Tapi, sosok kedua yang berada di sebelah siang ketua itulah yang membuat mereka terperanjat. Betapa tidak? Sosok kedua adalah seorang gadis yang wajahnya tidak jelas terlihat. Memang, di bagian dahinya terlilit akar bahar yang dihiasi tirai penutup wajah, dari rumbai-rumbai. Tapi meskipun begitu bisa ditebak kalau gadis itu memiliki wajah yang cantik biar biasa.
Tubuh gadis itu tidak tertutup rapat. Memang, tubuhnya hanya ditutupi ala kadarnya. Sehingga, terlihat putih, halus, dan mulus. Bentuk tubuhnya pun menggiurkan. Sehingga Malaikat Jari Besi dan Saratoga yang sudah tidak terbilang muda lagi, mau tak mau menelan air liur melihat pemandangan yang terpampang di hadapan mereka.
"Bagaimana, Dewi?" tanya pemimpin gerombolan sambil menoleh ke arah gadis cantik yang berada di sebelahnya. "Apakah kedua orang ini harus menerima nasib yang sama dengan orang-orang sebelumnya?"
Wanita cantik jelita yang dipanggil Dewi itu menatap Malaikat Jari Besi dan Saratoga dari balik rumbai-rumbai yang menutupi wajahnya.
"Mereka bukan orang yang kucari, Dedemit Alam Akhirat" tegas wanita cantik itu.
Laki-laki berwajah kasar yang ternyata berjuluk Dedemit Alam Akhirat itu mendengus. "Bunuh mereka!"
Setelah berkata demikian, pemimpin gerombolan itu lalu melingkarkan tangannya ke bahu Dewi.
"Mari, Dewi! Kita saksikan tontonan menarik ini dari tempat yang teduh."
Wanita berkulit putih itu sama sekali tidak membantah. Kakinya kemudian melangkah mengikuti Dedemit Alam Akhirat yang telah meninggalkan tempat itu lebih dulu.
Saratoga, terutama sekali Malaikat Jari Besi terkejut bukan kepalang tatkala mendengar Dewi memanggil pemimpin gerombolan pemakan manusia itu dengan julukan Dedemit Alam Akhirat. Jelas, kalau panggilan itu mempunyai arti luar biasa bagi kedua tokoh itu.
Dan memang, dua tokoh aliran putih itu tahu, siapa Dedemit Alam Akhirat. Dia adalah seorang tokoh sesat yang mengerikan. Julukannya saja sudah membuat nyali semua orang ciut. Tokoh itu memang terkenal memiliki kekejaman yang tidak ada taranya. Dan lagi, kepandaiannya pun sulit diukur.
Yang lebih mengerikan lagi, adalah kekejamannya! Dedemit Alam Akhirat ini gemar makan daging manusia hidup-hidup begitu saja. Lalu, mengapa tahu-tahu tokoh itu berada di sini? Itulah pertanyaan yang bergayut di benak Malaikat Jari Besi dan Saratoga.
Tapi kedua orang itu tidak bisa terlalu lama disibuki pikiran-pikiran semacam itu. Karena, gerombolan pemakan manusia itu sudah mendapat perintah untuk menyerang.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Saratoga segera bergerak ke belakang Malaikat Jari Besi. Maksudnya sudah bisa diterka. Apa lagi kalau bukan untuk membuat posisi saling melindungi? Sesaat kemudian, kedua sahabat ini telah saling mengadu punggung
"Hati-hati, Saratoga," Malaikat Jari Besi memberi nasihat "Tampaknya mereka bukan lawan ringan...."
Peringatan Malaikat Jari Besi sama sekali tidak mendapat tanggapan. Dan memang, Saratoga tidak sempat lagi menanggapinya. Bahkan ucapan laki-laki kekar berotot itu pun terhenti secara mendadak, karena gerombolan pemakan manusia itu sudah bergerak menyerang dengan senjata-senjata yang berbentuk aneh.
Sambil mengeluarkan pekik melengking nyaring yang mendirikan bulu kuduk, gerombolan orang kasar itu maju menyerang. Senjata-senjata
mereka terayun deras ke berbagai bagian tubuh kedua tokoh aliran putih yang terjebak itu.
Malaikat Jari Besi dan Saratoga tentu saja tidak tinggal diam, dan segera melakukan perlawanan. Senjata yang sejak tadi tergenggam di tangan digerakkan, untuk menyambut serangan yang menyambar.
Sesaat kemudian dentang senjata beradu terdengar menyemaraki pertarungan. Bunga-bunga api pun memercik ke udara, ikut menyemaraki pertarungan.
Malaikat Jari Besi dan Saratoga bertarung mengerahkan seluruh kemampuan yang dimiliki. Mereka tahu kalau hasil pertarungan ini menentukan hidup dan mati. Baik Malaikat Jari Besi maupun Saratoga ter-nyata memiliki tingkat kepandaian yang berada jauh di atas lawan-lawannya. Tenaga dalam, ilmu meringankan tubuh, maupun mutu ilmu silat kedua orang tokoh persilatan aliran putih itu ternyata jauh lebih unggul.
Kalau saja pertarungan itu berlangsung satu lawan satu, sudah dapat dipastikan kalau Malaikat Jari Besi dan Saratoga akan dapat merobohkan lawan-lawannya.
Tapi karena gerombolan pemakan mausia itu menyerang secara keroyokan, pertarungan jadi berlangsung sengit. Apalagi, anak buah Dedemit Alam Akhirat itu bertarung secara membabi buta.
Meskipun terlihat serampangan, tapi serangan gerombolan pemakan manusia itu tampak saling susul seperti gelombang laut. Sehingga untuk beberapa jurus lamanya, Malaikat Jari Besi dan Saratoga tidak mampu balas menyerang. Mereka hanya mampu menghindar, dan menangkis hujan serangan itu.
Setiap kali kedua tokoh itu melakukan tangkisan, tubuh anak buah Dedemit Alam Akhirat terlempar balik ke belakang. Tak terdengar jerit tertahan keluar dari mulut, meskipun tangan mereka terasa bergetar hebat ketika senjatanya tertangkis.
Selama beberapa jurus, Malaikat Jari Besi dan Saratoga hanya menangkis saja. Baru menjelang jurus kesepuluh mereka mulai menyerang.
"Hih...!"
Sambil menggertakkan gigi, Malaikat Jari Besi menusukkan golok besarnya ke arah perut seorang anak buah Dedemit Alam Akhirat.
Takkk!
Hampir saja laki-laki bertubuh kekar berotot ini menjerit ketika goloknya terpental balik sewaktu mengenai sasaran. Seakan-akan, yang ditusuk bukan perut manusia, tapi gumpalan karet keras dan kenyal.
Keterkejutan ini hampir saja mencelakakan laki-laki bertubuh kekar berotot ini. Karena pada saat itu, serangan kapak lawan meluncur
deras ke arah kepala. Untung pada saat terakhir kepalanya mampu dimi-ringkan.
Wusss...!
Serangan kapak itu lewat sekitar sejari di samping kepalanya. Rambut kepalanya yang berkibar keras menjadi petunjuk, betapa kuatnya tenaga yang terkandung dalam ayunan kapak tadi.
Malaikat Jari Besi merasa penasaran bukan kepalang. Dalam benaknya berkecamuk berbagai macam dugaan. Benarkah gerombolan pemakan manusia ini memiliki kulit tubuh yang kenyal? Atau tadi ada sebuah kekeliruan?
Banyaknya pertanyaan yang bergayut di benak Malaikat Jari Besi, sehingga membuatnya ingin membuktikan sekali lagi.
Jerit kekagetan Malaikat Jari Besi tadi, tentu saja terdengar Saratoga. Laki-laki berwajah bintik-bintik hitam ini seketika khawatir akan nasib rekannya. Maka begitu mendapat kesempatan, Saratoga menoleh.
Hati laki-laki berwajah bintik-bintik hitam ini lega ketika melihat Malaikat Jari Besi tidak menderita apa-apa. Tapi, mengapa dia tadi menjerit?
"Ada apa, Malaikat Jari Besi?" tanya Saratoga menyempatkan diri begitu kembali mendapat kesempatan.
"Mereka memiliki tubuh kebal, Saratoga," jelas Malaikat Jari Besi seraya menangkis serangan lawan.
"Benarkah itu?" tanya Saratoga seraya menangkis serangan beruntun yang mengancam berbagai bagian tubuhnya.
Ada nada keterkejutan dalam suara Saratoga!
Memang sejak tadi, dia belum berhasil menyarangkan satu serangan pun. Hujan serangan yang mengancamnya terlalu bertubi-tubi, sehingga tidak ada kesempatan untuk melancarkan serangan balasan.
Tapi berapa jurus kemudian, baik Malaikat Jari Besi maupun Saratoga sudah mulai leluasa melancarkan serangan balasan. Dan perasaan terkejut yang amat sangat pun mulai melanda, tatkala menghadapi kenyataan kalau para pengeroyok memang memiliki tubuh kebal.
Berkali-kali golok Malaikat Jari Besi maupun pedang Saratoga mengenai berbagai bagian tubuh anak buah Dedemit Alam Akhirat. Tapi akibatnya, senjata-senjata itu malah terpental balik seperti menghantam gumpalan karet kenyal.
Setelah berkali-kali menghantamkan senjata ke berbagai bagian tubuh para pengeroyoknya tanpa hasil, baru kedua tokoh aliran putih ini yakin akan dugaan mereka. Para pengeroyok ternyata memang benar-benar memiliki kekebalan kulit tubuh.
Meskipun begitu, Malaikat Jari Besi dan Saratoga sama sekali tidak putus asa. Mereka berdua tetap saja melancarkan serangan bertubi-tubi, selama mendapat kesempatan. Hanya saja, sasaran yang dituju selalu berganti-ganti. Bila sebelumnya bahu, kemudian ganti leher. Begitu seterusnya. Yang jelas, mereka mencoba setiap bagian tubuh lawan. Sebagai tokoh berpengalaman, kedua orang ini tahu kalau setiap ilmu memiliki kelemahan. Dan mereka berusaha menemukannya.
Entah sudah beberapa bagian tubuh yang dibacok, tusuk, tetak, maupun babat. Tapi tetap saja tidak ada hasil seperti yang diharapkan. Senjata-senjata Malaikat Jati Besi dan Saratoga sama sekali tidak mampu berbuat apa-apa.
Keuntungan yang ada di pihak Malaikat Jari Besi dan Saratoga adalah tingkat ilmu meringankan tubuh yang dimiliki jauh berada di atas tawan. Sehingga, tidak terlalu sulit untuk mengelakkan serangan balasan yang dilancarkan lawan. Tambahan lagi, tenaga dalam mereka juga jauh di atas lawan. Sehingga setiap kali menangkis, cukup untuk membuat orang yang ditangkis tidak mampu menyerang lagi beberapa saat.
Tapi kalau keadaan ini berlangsung terus-menerus, tentu akan menguras seluruh kemampuan mereka. Maka tidak aneh ketika pertarungan menginjak seratus jurus, kedua orang itu mulai merasa lelah.
Seiring perasaan lelah yang mendera, tenaga kedua tokoh yang terjebak itu semakin berkurang. Dan dengan sendirinya, kegesitan mereka berkurang pula. Akibatnya sudah bisa diduga. Perlawanan Malaikat Jari Besi dan Saratoga pun mulai mengendur.
Baik Malaikat Jari Besi maupun Saratoga menyadari kalau lambat laun akan roboh di tangan para pengeroyok Dan itu sudah pasti. Betapa tidak? Setiap serangan yang dilancarkan sama sekali tidak berarti apa-apa. Sedangkan serangan para pengeroyok, setiap saat dapat merenggut nyawa! Di atas kertas, gerombolan pemakan manusia jelas lebih unggul!
"Ha ha ha...! Kau lihat Dewi? Tidak lama lagi kita akan melihat sebuah tontonan menarik. Ha ha ha...!"
Dedemit Alam Akhirat tertawa terbahak-bahak sambil menudingkan telunjuk tangan kirinya ke arah pertarungan berlangsung. Sementara tangan kanannya yang sejak tadi melingkar di bahu yang putih, halus, dan mulus milik Dewi, perlahan mulai merayap turun. Persis seekor ular merayap turun dari pohon.
Dewi diam saja. Sama sekali tidak diberikan tanggapan atas perbuatan Dedemit Alam Akhirat. Karuan saja hal ini membuat tindakan
pemimpin gerombolan pemakan manusia ini semakin liar. Tangan itu pun semakin merayap turun.
Telapak tangan yang semula berada di bahu kanan Dewi, kini sudah mulai berpindah tempat. Tangan itu sudah berada di bagian dada atas. Sehingga, laki-laki berwajah kasar itu tentu saja harus menggeser duduknya agar lebih dekat dengan Dewi. Memang, Dedemit Alam Akhirat dan Dewi duduk di atas sebuah batu besar yang terletak agak tinggi. Dan itu memang disengaja pemimpin gerombolan pemakan daging manusia itu.
Dan ketika jari-jari tangan Dedemit Alam mulai menyentuh payudara kanan, Dewi buru menepiskannya dan beranjak bangkit.
"Mengapa, Dewi?" tanya Dedemit Alam seraya bangkit berdiri pula. Ucapannya terdengar agak terengah-engah, pertanda mulai diamuk nafsu.
"Aku belum menemukan orang yang kucari, tapi kau sudah hendak menagih upahnya," kata ketus.
"Tapi sampai kapan aku harus menunggu ora yang kau inginkan, Dewi? Iya, kalau orang itu datang kemari.... Kalau tidak?!" Suara Dedemit Alam Akhirat semakin lama semakin meninggi. Jelas kalau amarah nya mulai bangkit. "Ingat, Dewi! Kesabaran ada batasnya. Jangan membuat aku terpaksa bertindak kasar, Dewi. Kau tahu, akibatnya akan sangat mengerikan bagimu!"
Suasana menjadi hening sejenak begitu Dedemit Alam Akhirat menghentikan ancamannya. Meskipun perubahan wajah Dewi sulit diketahui karena terlindung uraian jerami, tapi menilik dari kedua kakinya yang menggigil keras, sudah dapat diterka kalau di tengah dilanda rasa takut yang hebat mendengar ancaman itu.
Dewi telah melihat sendiri bukti kekejaman Dedemit Alam Akhirat beberapa hari yang lalu. Saat itu, laki-laki berwajah kasar ini memperkosa seorang pendekar wanita, sambil memakan tubuh wanita malang yang berhasil ditaklukkannya.
Itulah sebabnya, hatinya merasa takut dan ngeri bukan main begitu mendengar ancaman itu. Dewi memerlukan waktu beberapa saat untuk menenangkan hatinya. Ditarik napasnya dalam-dalam, lalu dihembus-kannya kuat-kuat. Dan memang, setelah berbuat demikian, perasaan hatinya mulai tenang kembali.
"Aku tidak bohong, Dedemit Alam Akhirat. Telah kudengar sendiri pembicaraan mereka. Kedua orang itu berjanji akan bertemu di sini untuk mengadu ilmu.... Percayalah! Bila orang-orang yang kucari itu telah berhasil kau tangkap, dengan sukarela akan kuserahkan diriku padamu...."
"Sebenarnya, siapa orang yang kau cari itu, Dewi?" tanya Dedemit Alam Akhirat.
Suara laki-laki berwajah keras itu masih agak keras, meskipun tidak sekeras sebelumnya. Kalimat terakhir yang diucapkan gadis itulah yang telah meredakan amarahnya yang menggelegak. Tanpa sadar, laki-laki berwajah keras ini menelan air liurnya ketika membayangkan kemolekan tubuh gadis ini bila menyerahkan diri kepadanya.
"Dewa Arak dan Setan Mabuk!" tegas dan mantap sekali, ucapan yang keluar dari mulut Dewi.
Dedemit Alam Akhirat mengernyitkan dahinya jenak.
"Nama Dewa Arak sama sekali belum pernah kudengar. Tapi Setan Mabuk, sejak dulu telah kudengar. Hanya sayangnya, aku belum mempunyai kesempatan untuk bertarung dengannya. Padahal, sudah lama aku ingin menjajal kepandaiannya."
"Tapi Dewa Arak justru tidak kalah lihai dibanding Setan Mabuk, Dedemit Alam Akhirat," tegas Dewi seperti memberi nasihat.
"Kalau dia adalah seorang tokoh tangguh, mengapa aku belum pernah mendengar nama besarnya?!" sergah laki-laki berwajah kasar itu. Nada suaranya terdengar penuh ketidakpuasan, karena mendengar gadis yang diinginkannya justru memuji-muji lawan.
"Dia baru muncul beberapa bulan belakangan ini," jelas Dewi. "Sedangkan kau mengurung diri tempat terpencil selama hampir dua tahun. Jadi bagaimana mungkin bisa mendengar nama besarnya yang telah menggegerkan dunia persilatan?"
Dedemit Alam Akhirat mengangguk-anggukkan kepala.
"Kau boleh memuji-muji Dewa Arak setinggi langit Dewi. Tapi, satu hal yang perlu kau ketahui Dedemit Alam Akhirat tidak mungkin bisa dikalahkan oleh siapa pun! Belasan, bahkan mungkin puluhan tahun lamanya aku malang-melintang dalam dunia persilatan. Tapi, tak ada seorang pun yang sanggup menghalangi tindakanku. Bahkan puluhan orang pendekar telah mengeroyokku, tapi aku berhasil membantai mereka semua," tandas Dedemit Alam Akhirat, jumawa.
Laki-laki berwajah kasar itu menghentikan ucapannya sejenak. Rupanya karena terlalu berapi-api dalam berbicara, napasnya jadi terengah-engah.
"Bahkan tanpa ada seorang pun yang tahu, kalau aku telah melanglang buana terlampau jauh. Bahkan sampai ke daerah kekuasaan Iblis Hitam. Kami kemudian bertarung. Kalau saja dia tidak memiliki ke-unggulan dalam hal senjata kapaknya yang amat beracun, dan keistimewaan jubah pusakanya, aku pasti berhasil mengalahkannya," sambung Dedemit Alam Akhirat penuh amarah (Untuk jelasnya mengenai tokoh Iblis Hitam, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode "Peninggalan Iblis Hitam">Peninggalan Iblis Hitam").
"Jadi..., Iblis Hitam berhasil mengalahkanmu, Dedemit Alam Akhirat?"
Meskipun tidak tahu-menahu mengenai tokoh yang disebutkan pemimpin gerombolan pemakan manusia itu, tapi Dewi memaksakan diri untuk menanyakannya. Mungkin hanya sekadar basa-basi. Suatu hal yang wajar kalau gadis bertubuh molek ini tidak mengetahuinya, karena tempat tinggal Iblis Hitam amat jauh dari situ. Paling tidak harus melewati beberapa hutan, sungai, dan puluhan desa untuk bisa tiba di sana.
"Ha ha ha...! Mana mungkin Dedemit Alam Akhirat bisa dikalahkan?! Pertarungan antara kami berlangsung seimbang. Kau tahu, Dewi. Iblis Hitam di daerah sana telah menjadi legenda. Tak ada seorang pun yang pernah mengalahkannya. Dia bercokol dan merajalela sampai seratus tahun bahkan mungkin lebih."
Suasana menjadi hening sejenak ketika Dedemit Alam Akhirat menghentikan ucapannya. Sementara, Dewi sama sekali tidak bertanya lagi. Kini mereka berdua mengalihkan pandangan kembali ke arah pertarungan yang tengah berlangsung.

4

Sementara itu, pertarungan antara Malaikat Jari Besi dan Saratoga dalam menghadapi gerombolan pemakan manusia telah semakin mendekati penyelesaian. Keadaan kedua tokoh aliran putih itu sudah semakin payah dan mengkhawatirkan.
Pertarungan memang sudah berlangsung hampir seratus lima puluh jurus. Bukan merupakan hal yang aneh kalau kedua tokoh aliran putih ini merasa lelah bukan main.
Sebenarnya, bukan hanya kedua orang tokoh itu saja yang merasa lelah. Para pengeroyoknya pun demikian pula. Tapi, rasa lelah yang melanda gerombolan pemakan manusia itu tidak seperti yang dialami Malaikat Jari Besi dan Saratoga.
"Akh...!"
Saratoga menjerit keras ketika tiba-tiba kapak batu lawan keras sekali menghantam bahunya. Kontan sambungan tulang bahunya terlepas. Darah pun mengalir dari bagian yang terluka. Akibatnya, pedang di tangan kanan laki-laki berwajah penuh bintik hitam ini terlepas dari pegangan. Tubuhnya pun terhuyung ke belakang.
Belum sempat Saratoga berbuat sesuatu, kapak di tangan pengeroyok yang lain telah menghantam pahanya. Suara berderak keras terdengar mengiringi hantaman itu.
Seketika itu juga tubuh laki-laki berwajah penuh bintik hitam ini terguling. Dan secepat itu pula, berbondong-bondong gerombolan pemakan manusia menyergapnya.
"Saratoga...!"
Malaikat Jari Besi menjerit keras melihat peristiwa yang menimpa rekannya. Tapi apa daya? Dia sendiri pun tengah berada dalam keadaan terhimpit-himpit. Maka, laki-laki bertubuh kekar berotot ini hanya sempat melihat sekilas keadaan rekannya.
Meskipun hanya sekilas, tapi tak urung semua bulu kuduk Malaikat Jari Besi berdiri. Bahkan perutnya kontan mual! Betapa tidak? Gerombolan pemakan manusia menghujani sekujur tubuh Saratoga dengan senjata, tapi tidak untuk membunuhnya. Hanya membuatnya tidak berdaya lagi.
Kemudian, setelah itu mereka mengeluarkan pisau. Namun, sebenarnya tidak pantas bila disebut pisau, karena matanya tumpul. Dan dengan pisau itu, anak buah Dedemit Alam Akhirat menyayat daging Saratoga, kemudian memakannya mentah-mentah! Darah yang memancur deras dari tubuh rekannya pun dihirup dan dijilati dengan rakusnya.
Saratoga melolong-lolong karena rasa sakit tak terkira pada sekujur tubuhnya. Rasanya, tak tahan Malaikat Jari Besi mendengar jeritan itu. Kalau saja bisa, sudah diterobosnya kumpulan orang-orang biadab itu. Sayangnya, dia sendiri tidak berdaya.
Cukup lama juga Saratoga melolong-lolong menjelang maut. Dan bertepatan dengan lenyapnya jeritan laki-laki berwajah penuh bintik hitam itu, Malaikat Jari Besi mengalami nasib yang sama. Tanpa dapat dicegah lagi, tubuhnya terhantam sebuah kapak batu. Keras sekali!
Seketika Malaikat Jari Besi terhuyung-huyung ke depan. Dan sebelum sadar apa yang telah terjadi, kembali sebuah palu batu besar menghantam dadanya. Seketika, Malaikat Jari Besi jatuh terjungkal ke belakang. Dan di saat itulah dia disambut terkaman beberapa orang pengeroyoknya.
Seperti juga Saratoga, laki-laki bertubuh kekar berotot itu pun menjerit-jerit menahan rasa sakit yang tidak terhingga ketika sedikit demi sedikit daging tubuhnya dipreteli dengan pisau tumpul. Maka, akhirnya dia tewas secara menyedihkan.
Kini gerombolan pemakan manusia bangkit berdiri dengan perasaan puas. Mulut mereka masih mendecap-decap menikmati santapan yang menurut mereka lezat bukan main.
"Ha ha ha...!"
Dedemit Alam Akhirat tertawa terbahak-bahak. Tampak jelas sekali kegembiraan di wajahnya. Sepasang matanya menatap penuh rasa puas pada tubuh Malaikat Jari Besi dan Saratoga yang kini tinggal tulang-belulang saja. Bahkan tidak ada darah setitik pun pada kedua tengkorak itu. Semuanya habis dilahap.
Masih dengan suara tawa yang belum juga lenyap, Dedemit Alam Akhirat melangkah meninggalkan tempat itu. Tangan kanannya kini melingkar di bahu Dewi yang merasa perutnya mual dan ingin muntah menyaksikan pemandangan di hadapannya. Kalau saja tidak ada Dedemit Alam Akhirat yang memaksanya untuk menyaksikan, sudah sejak tadi tempat itu ditinggalkannya.
Dengan gereng penuh kepuasan, gerombolan pemakan manusia itu pun bergerak mengikuti. Beberapa di antara mereka membawa tulang-belulang Malaikat Jari Besi dan Saratoga. Memang, masih ada yang belum sempat mereka nikmati. Sumsum yang terletak di dalam tulang!
Dewa Arak menatap ke arah pulau berbentuk tengkorak kepala manusia yang tampak di hadapannya. Perlahan dayungnya dikayuh dan perahunya diarahkan ke pulau, yang tidak lain Pulau Selaksa Setan.
Tak lama kemudian, pemuda berambut putih keperakan itu telah mulai mendekati tepi pulau. Air pun memercik pelan begitu sepasang kaki Dewa Arak menyentuh pinggir pantai.
Arya mengedarkan pandangan sebentar ke sekeliling pulau, baru kemudian menyeret perahu agak ke darat. Lalu, diambilnya sebuah kayu yang panjangnya tak kurang dari dua jengkal, dan dihunjamkannya ke dalam tanah hingga lebih dari setengahnya. Pada patok yang dibuat tadi, tali perahunya ditambatkan. Memang, pemuda berambut putih keperakan itu masih membutuhkan perahu untuk meninggalkan Pulau Selaksa Setan nanti.
Arya mengedarkan pandangannya berkeliling.
"Aneh.... Apakah belum ada orang yang datang?" gumam Dewa Arak pelan. Dahinya pun berkernyit dalam, pertanda tengah berpikir keras.
Dengan kepala masih tetap memperhatikan sekeliling, Dewa Arak terus melangkah. Meskipun kewaspadaan tidak tampak pada sikapnya, tapi sebenarnya sikapnya begitu waspada saat melihat suasana yang hening. Seluruh urat syaraf dan otot tubuhnya menegang kaku, bersiap menghadapi serangan mendadak.
Dan baru beberapa tombak melangkah, Dewa Arak mendengar adanya bunyi air beriak. Memang pelan saja kedengarannya, tapi karena tengah waspada penuh, bisa tertangkap oleh pendengarannya. Dan seketika itu pula kepalanya menoleh ke belakang.
"Hey...!"
Pemuda berambut putih keperakan ini berseru kaget ketika melihat beberapa sosok tubuh coklat kehitaman berpakaian ala kadarnya, telah memotong tali perahunya.
Arya tentu saja tidak sudi membiarkan hal itu begitu saja. Tapi sebelum dia bergerak mengejar, terdengar banyak sekali suara mendesing nyaring disusul berkelebatannya benda-benda berkilat ke arah berbagai bagian tubuhnya.
Dewa Arak langsung mengerutkan keningnya. Menilik suara desingan yang begitu tajam, jelas kalau benda-benda berkilat yang meluncur itu adalah anak panah.
Dengan pikiran masih diliputi teka-teki tentang orang-orang berpakaian seadanya itu, Dewa Arak memutarkan kedua tangannya.
Luar biasa! Belasan anak panah yang meluncur ke arahnya semua tertangkis. Suara berderak keras akibat beradunya kedua tangan Dewa Arak dengan anak-anak panah, seketika terdengar. Sebagian besar runtuh ke
tanah, dalam keadaan patah-patah. Sedangkan sisanya terpental balik kembali ke arah semula.
Baru saja pemuda berambut putih keperakan itu ingin kembali mencegah perahunya yang dibawa kabur, terdengar suara langkah kaki ribut, disusul bermunculannya belasan sosok tubuh seperti yang semula dilihatnya.
Arya terperanjat melihat hal ini. Meskipun belum pernah mendengar, tapi sudah bisa memperkirakan keganasan orang-orang yang mengurungnya. Apalagi kalau bukan penghuni Pulau Selaksa Setan yang terasing dan biadab! Apakah Setan Mabuk mendustainya mengenai akan diadakannya pertarungan antara raja-raja arak. Kalau iya, untuk apa menjebaknya? Bukankah kakek yang menggiriskan itu belum tentu kalah olehnya?
Tapi kalau Setan Mabuk tidak menipunya, mengapa tempat ini penuh orang yang menilik dari pakaian yang dikenakan adalah orang-orang biadab? Bukankah syarat utama tempat pertarungan, seperti yang dikatakan kakek berkepala botak itu, adalah tempat sepi? Tapi mengapa kini ramai? Dan mengapa tidak tampak adanya seorang pun di sini? Baik orang-orang yang ingin menonton, juri, maupun tokoh-tokoh yang hendak bertarung?
Ataukah Dewa Arak telah salah mendarat? Mungkinkah ini bukan Pulau Selaksa Setan? Ah! Tidak mungkin! Arya tahu betul, perjalanannya tidak salah! Pulau tempatnya mendarat ini memang benar-benar Pulau Selaksa Setan!
Dan Arya kini tidak bisa berpikir lebih lama lagi, karena sosok yang mengurung sudah bergerak mengelilinginya.
Dewa Arak memperhatikan belasan orang yang berpakaian sekadarnya itu. Ada perasaan kaget di hati tatkala melihat ada taring yang tersembul di sudut-sudut mulut para pengeroyoknya.
Melihat keadaan para pengepungnya, Arya jadi bersikap hati-hati. Kelainan pada diri merekalah yang membuatnya jadi lebih bersikap waspada. Sepasang mata Arya berputar, memperhatikan semua tindak-tan-duk anak buah Dedemit Alam Akhirat.
Agak heran juga hati Dewa Arak tatkala melihat para pengeroyoknya sama sekali tidak bergerak menyerang, tapi hanya mengurung saja. Melihat hal ini, Arya bisa menebak kalau ada sesuatu yang tengah ditunggu gerombolan itu.
Dugaan Dewa Arak tidak keliru! Dari balik gundukan batu besar, melesat sesosok tubuh ramping yang kemudian hinggap dalam jarak sekitar satu batang tombak dari kepungan gerombolan pemakan manusia itu.
Sepasang mata Dewa Arak terbelalak lebar ketika sosok bayangan itu telah berdiri tegak. Betapa tidak? Sosok yang baru muncul ini, amat
berbeda dengan para pengepungnya. Dia adalah seorang wanita yang begitu cantik. Kulitnya putih, halus, dan mulus. Bahkan bentuk tubuhnya sangat menggiurkan. Raut wajah gadis itu tidak terlihat, karena tertutup rumbai-rumbai yang agak rapat.
"Tangkap pemuda itu...!"
Gadis cantik yang tak lain Dewi itu memberi perintah dengan suara keras. Seketika itu juga, gerombolan pemakan manusia yang mengepung Arya mulai bergerak.
Berbeda dengan sebelumnya, kali ini mereka tidak menggunakan kapak, melainkan tambang panjang berwarna putih. Melihat dari keadaannya, bisa diperkirakan kalau tambang itu ulet dan alot bukan ke-palang.
Dewa Arak langsung mengernyitkan alisnya. Meskipun bisa memperkirakan kalau lawan akan menangkapnya hidup-hidup, menggunakan tambang, tapi belum bisa diketahui apa yang akan dilakukan mereka.
Itulah sebabnya, Dewa Arak hanya bisa memperhatikan sambil memasang sikap waspada. Seluruh urat-urat dan otot-otot tubuhnya menegang, bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan.
Mendadak gerombolan pemakan manusia itu berputar mengelilingi Dewa Arak dengan arah masing-masing tidak seragam. Mereka berlari ke sana kemari tidak beraturan.
Tentu saja hal ini membuat Dewa Arak kebingungan. Biji matanya berkeliaran mengikuti gerakan berputar lawan-lawannya. Tapi karena tubuh-tubuh yang berputar sama sekali tidak beraturan, sehingga pemuda berambut putih keperakan itu jadi pusing sendiri. Apalagi, ketika tubuhnya beberapa saat ikut pula berputar. Maka, kepalanya malah jadi pening.
Arya memang belum pernah mengalami peristiwa seperti ini. Jadi, tidak aneh kalau jadi bingung karenanya. Dan tahu-tahu tubuhnya telah terbelit tambang-tambang berwarna putih itu. Baru setelah tubuh Arya terbelit, gerakan berputar para pengeroyoknya pun terhenti.
Karuan saja hal ini membuat Dewa Arak terkejut bukan kepalang. Buru-buru tenaga dalamnya dikerahkan untuk memutuskan tambang-tambang yang menjeratnya. Tapi, tambang-tambang itu ternyata alot bukan main. Entah terbuat dari bahan apa, tidak diketahuinya sama sekali.
Meskipun gagal dengan usaha pertamanya, Dewa Arak tidak putus asa. Segera tenaga dalam simpanannya dikeluarkan. 'Tenaga Sakti Inti Matahari'.
Seketika itu juga, ada hawa panas yang menjalar sekujur tubuhnya. Meskipun begitu, tetap saja tambang-tambang itu tidak bisa diputuskan.
Arya sama sekali tidak putus asa. Tetap saja 'Tenaga Sakti Inti Matahari' dikerahkan terus. Tujuannya adalah untuk membuat para pengeroyok melepaskan pegangan pada tambang, karena tidak kuat menahan serangan hawa panas 'Tenaga Sakti Inti Matahari' yang merayap.
Dugaan Dewa Arak memang tepat. Belasan orang yang memegang tambang mulai menggeram-geram, begitu tangan mereka terasa panas bukan kepalang. Tapi, rupanya anak buah Dedemit Alam Akhirat terhitung orang-orang yang keras hati. Betapapun menyengatnya panas yang melanda telapak tangan, tetap saja genggaman itu tidak dilepaskan.
Dewi rupanya melihat hal itu. Hatinya khawatir juga bila lawan tangguhnya akan berhasil lolos. Maka dia pun cepat melesat ke depan. Dan dengan jari telunjuk menegang kaku, ditotoknya punggung Dewa Arak!
Tukkk..!
"Akh...!"
Dewi menjerit keras ketika ujung jari telunjuknya terasa patah-patah dan panas bukan kepalang ketika menyentuh punggung Dewa Arak. Seolah-olah, yang ditotoknya tadi bukan kulit manusia, melainkan lempengan baja tebal yang panas membara!
"Hmh...!"
Terdengar suara mendengus keras disusul melesatnya sesosok bayangan ke arah Dewa Arak. Dan sekali sosok bayangan itu mengulurkan jari menotok, tubuh Dewa Arak terkulai lemas.
Di sebelah Dewi, kini berdiri sesosok tubuh berwajah kasar. Kepalanya memakai topi terbuat dari bulu burung garuda. Siapa lagi kalau bukan Dedemit Alam Akhirat?
"Inikah orang yang kau cari itu, Dewi?" tanya laki-laki berwajah kasar itu.
Ada kilatan rasa gembira di wajah Dedemit Akhirat ketika mengajukan pertanyaan itu. Terbayang di benaknya, betapa gadis yang bertubuh molek itu akan sukarela menyerahkan diri kepadanya.
Dewi mengangguk lesu. Memang, hatinya masih merasa terkejut manakala totokannya ternyata sama sekali tidak berarti apa-apa. Apalagi ketika teringat akan janjinya pada Dedemit Alam Akhirat. Rasanya jijik bila membayangkan laki-laki yang berwajah kasar dan berbau busuk itu akan menggelutinya.
"Ha ha ha...! Kalau begitu, sudah tiba saatnya bagiku untuk menerima upahnya...!" tagih laki-laki berwajah kasar itu keras. Sepasang matanya merayapi sekujur tubuh Dewi.
"Berikan kesempatan padaku untuk membalas dendam pada pemuda ini, Dedemit Alam Akhirat. Aku tidak sudi diganggu sewaktu
menyiksanya," pinta wanita bertubuh molek itu seraya menatap wajah De-demit Alam Akhirat dengan sepasang mata penuh permohonan.
"Hm...!" pemimpin gerombolan pemakan manusia itu menggumam. Dahinya berkemyit dalam. Tampak jelas kalau tengah mempertimbangkan permintaan Dewi.
"Setelah puas melampiaskan dendamku padanya, aku akan sukarela menyerahkan diri kepadamu. Terserah apa yang akan kau lakukan pada diriku...," sambung wanita berkulit putih itu buru-buru. "Bagaimana, Dedemit Alam Akhirat?"
Dengan susah payah laki-laki berwajah kasar itu menelan ludah ketika di benaknya terbayang betapa nikmatnya menggeluti tubuh molek yang memiliki kulit putih, halus, mulus, dan menggiurkan itu.
"Baiklah. Kukabulkan permintaanmu," jawab tokoh sesat yang menggiriskan itu dengan suara yang mendadak serak.
Seketika wajah Dewi berseri.
"Terima kasih, Dedemit Alam Akhirat!"
Setelah berkata demikian, gadis bertubuh menggiurkan ini melangkah menghampiri Dedemit Alam Akhirat. Dan....
Cuppp!
Pipi laki-laki berwajah kasar itu langsung dikecupnya.
Dedemit Alam Akhirat tidak tahan lagi menahan nafsunya. Dengan kasar ditahannya kepala Dewi yang akan ditarik kembali. Kemudian, dengan buas dilumatnya sepasang bibir yang merah, ranum, menggiurkan, dan bagus bentuknya itu.
Dewi meronta-ronta, tapi Dedemit Alam Akhirat yang tengah lupa diri tidak sudi melepaskannya. Pegangannya pun dipertahankan pada kuduk gadis itu. Dan dengan rakus dijarahnya sepasang bibir Dewi. Baru setelah merasa cukup puas, gadis itu dilepaskannya.
Dewi menatap dengan sinar mata berkilat-kilat. Perutnya kini mendadak mual. Mulut Dedemit Alam Akhirat ternyata berbau busuk. Sepertinya, di dalam mulut laki-laki berwajah kasar itu terdapat onggokan bangkai! Sekuat tenaga, ditahannya keinginan untuk muntah.
"Sisa upahmu kutagih belakangan, Dewi," ujar Dedemit Alam Akhirat Napasnya terdengar agak memburu.
Tapi Dewi sama sekali tidak mempedulikannya. Dengan gerak isyarat, disuruhnya beberapa orang anak buah Dedemit Alam Akhirat membawa tubuh Dewa Arak.
Namun gerombolan pemakan manusia yang diperintahnya justru malah menoleh ke arah Dedemit Alam Akhirat. Baru ketika tokoh sesat yang menggariskan itu menganggukkan kepala, mereka bergerak memenuhi permintaan Dewi.
Dewi pun berjalan mendahului. Di belakangnya, berjalan gerombolan pemakan manusia yang memawa tubuh Dewa Arak. Baru di belakangnya lagi, berjalan belasan orang gerombolan lainnya bersama Dedemit Alam Akhirat.

****

5

Dengan langkah pasti, Dewi melangkah memasuki salah satu dari sekian banyak gua yang terdapat di dinding gundukan batu yang besar menyerupai bukit itu.
Anak buah Dedemit Alam Akhirat yang membawa tubuh Dewa Arak yang terkulai lemas, mau tak mau ikut pula melangkah masuk ke dalam. Tapi yang lain, dan juga Dedemit Alam Akhirat masuk ke gua lain, tidak ikut masuk ke gua yang dimasuki Dewi.
Gua itu ternyata mempunyai lorong yang cukup panjang dan berliku-liku. Baru setelah jarak yang ditempuh mencapai dua belas tombak, lorong gua mulai membesar dan melebar.
Di sini, tidak hanya ada satu lorong gua saja, tapi ada empat buah lorong. Dewi yang rupanya sudah cukup mengetahui tempat itu segera memilih lorong gua kanan.
Setelah menempuh jalan sekitar delapan tombak, sampailah mereka pada sebuah ruangan yang cukup luas, dan anehnya cukup terang. Dewi sama sekali tidak pernah ambil pusing mengenai asal sinar yang membuat ruangan gua jadi terang. Mungkin bagian atap gua yang terbuat dari batu itu menyerap sinar, dan memantulkannya. Namun gadis bertubuh molek itu sama sekali tidak mempedulikannya.
"Masukkan dia ke dalam kurungan itu!" perintah Dewi sambil menudingkan telunjuk ke arah salah satu dinding gua yang berupa ruang tahanan. "Dan tinggalkan tempat ini!"
Dua orang anak buah Dedemit Alam Akhirat segera melemparkan tubuh Dewa Arak ke sudut ruangan, lalu melangkah lebar meninggalkan tempat itu. Mereka sama sekali tidak menoleh-noleh lagi.
Dewi menatap tubuh kedua orang manusia biadab itu hingga lenyap dari pandangan, baru kemudian melangkah masuk menghampiri Arya yang tergolek lemah tak berdaya. Totokan Dedemit Alam Akhiratlah yang menyebabkannya demikian.
Itulah sebabnya, meskipun tubuhnya sudah tidak terikat lagi. Dewa Arak sama sekali tidak mampu untuk bergerak lagi.
Dewi melangkah menghampiri Dewa Arak dengan sinar mata aneh. Tapi, pemuda berpakaian ungu itu sama sekali tidak mengetahui karena wajahnya terhalang rumbai-rumbai.
Begitu telah berada di dekat Dewa Arak yang terbaring, gadis bertubuh molek itu menghempaskan pantarnya dan duduk di situ.
"Kau...," sebuah ucapan serak keluar dari mulut Dewi. "Betapa inginnya aku membunuhmu. Kaulah yang telah membunuh ayahku. Tapi,
mengapa kau juga yang telah menyelamatkanku dari malapetaka yang mengerikan?"
Arya mengernyitkan alisnya, pertanda tengah berpikir keras. Sepertinya suara seperti ini pernah didengarnya. Tapi kapan dan di mana, dia lupa. Hanya satu hal yang dapat diterka. Gadis yang berada di perkampungan orang biadab itu mempunyai urusan dengannya.
"Siapakah kau sebenarnya, Nisanak?" tanya pemuda berpakaian ungu itu setelah lama berpikir tanpa mendapat jawaban sepotong pun.
"Jangan selak ucapanku, Dewa Arak!" sergah Dewi keras. "Dengarkan saja dulu ceritaku, baru nanti kau akan mengetahuinya."
Dewa Arak pun terdiam. Bukan karena menuruti perintah gadis berkulit putih itu, tapi merasa tidak ada gunanya bertanya lagi.
"Aku dilanda perasaan bimbang," lanjut Dewi. "Di satu pihak, aku ingin membalas kematian ayahku. Tapi di sisi lain, aku tidak bisa melupakan begitu saja pertolonganmu atas bahaya mengerikan yang hampir menimpaku...."
Gadis berpakaian ala kadarnya itu menghentikan ucapan sejenak untuk menenangkan perasaannya.
"Begitu kudengar kau akan menuju Pulau Selaksa Setan, aku bergegas mendahuluimu. Pulau ini dulu adalah milik salah seorang yang menjadi guru ayahku. Makanya, begitu aku datang, masalahnya langsung kuceritakan. Namun demikian, aku tidak memberitahukan nama, sehingga dia terpaksa memanggilku Dewi. Karena, katanya wajahku cantik bukan kepalang. Guru ayahku itu memang bersedia membantu, tapi dengan satu syarat..."
Sampai di sini, Dewi mendadak menghentikan ucapannya. Jelas lanjutan cerita itu menyedihkan hatinya.
Sementara itu Arya hanya diam saja mendengarkan. Dia sama sekali tidak bertanya, meskipun gadis bertubuh molek itu menghentikan ceritanya.
"Aku harus bersedia menjadi pendamping hidupnya. Orang yang telah pernah menjadi guru ayahku itu mencintaiku, Dewa Arak"
"Apakah orang yang kau maksudkan adalah laki-laki kasar yang telah menotokku?" tanya Dewa Arak setengah hati karena khawatir tidak akan mendapatkan jawaban Dewi. Rupanya, pemuda berpakaian ungu ini tidak mampu juga menahan rasa ingin tahunya.
Dewi menganggukkan kepala.
"Dia berjuluk Dedemit Alam Akhirat," sahut gadis berwajah cantik jelita itu setengah mendesah.
"Hanya untuk membalas dendam padaku saja kau harus mempertaruhkan segalanya, Nisanak?" tanya
Dewa Arak lagi, merasa heran.
"Tidak hanya pada kau saja, Dewa Arak," sambut Dewi cepat. "Tapi juga pada Setan Mabuk, yang telah menghinaku!"
"Ah...!"
Seruan keterkejutan terdengar dari mulut Dewa Arak begitu mendengar ucapan Dewi yang terakhir. Kini sudah bisa diduga siapa sebenarnya gadis yang mengenakan rumbai-rumbai pada wajahnya itu. Ha-nya ada seorang gadis yang diselamatkannya dari bahaya mengerikan Setan Mabuk. Dan gadis itu adalah....
"Kau..., kau..., Malinda...?" tanya Arya terbata-bata.
Baru saja Arya mengucapkan demikian, wanita bertubuh menggiurkan itu merenggut rumbai-rumbai di wajahnya.
Pralll...!
Seketika itu juga seraut wajah cantik terpampang di hadapan Dewa Arak. Dan memang, itu adalah wajah Malinda, putri Mayat Kuburan Koneng!
"Sebelum aku membalas dendam atas perbuatanmu terhadap ayahku..., aku ingin membalas budi padamu Dewa Arak," kata Dewi yang ternyata adalah Malinda.
Putri Mayat Kuburan Koneng itu menghentikan ucapannya sebentar. Tampak jelas kalau hatinya merasa berat melanjutkan kata-katanya.
"Kau adalah pemuda pertama yang telah melihat tubuhku, Dewa Arak. Padahal aku telah bersumpah, hanya orang yang akan menjadi suamiku saja yang berhak melihat tubuhku. Dan apabila aku tidak menyukainya, dia harus mati!"
Wajah Dewa Arak seketika memucat. Disadari kalau dirinya sekarang akan berhadapan dengan sebuah persoalan rumit.
"Tapi.... Tapi..., Setan Mabuk toh melihatnya pula. Bahkan dia lebih gila lagi...," bantah Arya terbata-bata.
Ngeri hati Dewa Arak membayangkan harus menjadi suami Malinda. Bagaimana nanti dengan Melati? Ah! Betapa rindu hatinya pada gadis berpakaian serba putih itu. Hanya Melati-lah satu-satunya wanita yang ingin dijadikan istri. Tidak ada yang lain! Tidak pula Malinda!
"Sumpahku hanya ditujukan untuk para pemuda, Dewa Arak. Dan kaulah orang pertamanya. Bahkan kau pula yang telah menyelamatkanku dari bahaya mengerikan itu," tandas Malinda.
"Lalu..., bagaimana janjimu pada Dedemit Alam Akhirat?" Arya mencoba untuk berkelit.
"Aku bukan jenis orang yang suka mengingkari janji, Dewa Arak!" dengus gadis bertubuh molek itu. "Janjiku pada Dedemit Alam Akhirat
tetap kupenuhi. Tapi, tentu saja setelah aku membalas budi, sekaligus dendam padamu!"
"Tapi..., bukankah kalau kau tidak menyukai pemuda yang melihat tubuhmu, akan kau bunuh juga?" Arya masih terus mencoba berkelit.
Kontan selebar wajah Malinda memerah, bahkan sampai ke kedua telinganya.
"Beruntunglah kau, Dewa Arak. Kau terhitung pemuda yang cukup menarik."
Pelan sekali ucapan yang keluar dari mulut Malinda. Jelas kalau gadis itu merasa malu mengucapkan kata-kata itu. Bahkan sewaktu mengatakannya, sama sekali tidak berani mengangkat kepala.
"Jadi...?" Arya memutuskan ucapannya dengan suara bergetar karena perasaan tegang.
"Kau tetap menjadi suamiku, sekalipun hanya sehari saja!"
Kali ini ucapan Malinda terdengar tegas dan mantap. Bahkan diucapkan seraya mengangkat kepalanya.
Arya kontan terperanjat. Pemuda berambut putih keperakan ini terkejut bukan kepalang. Bahkan seandainya ada halilintar yang menyambar di dekatnya, masih tidak seperti ini kekagetan yang melanda hatinya.
"Bagaimana, Suamiku? Kau bersedia, bukan? Kau tahu, aku ingin mempersembahkan kesucianku ini pada orang yang kusukai. Dan kaulah orangnya, Dewa Arak! Aku tidak ingin orang seperti Dedemit Alam Akhirat yang merenggutnya!"
Setelah berkata demikian, tangan Malinda membelai pipi Dewa Arak. Perlahan tangannya merayap turun ke leher, kemudian ke dada. Gadis itu berusaha menanggalkan pakaian Dewa Arak dengan tangan kanannya. Sementara sebelah tangannya lagi, mulai melucuti pakaiannya sendiri.
Karuan saja hal ini membuat Dewa Arak kalap bukan kepalang.
"Kumohon, jangan lakukan itu, Malinda," pinta Arya mengiba.
Dan inilah yang pertama kali dilakukan pemuda berambut putih keperakan itu. Mendapat ancaman siksaan ataupun maut dia tidak pernah memohon. Tapi, kali ini Dewa Arak yang terkenal itu mengajukan permohonan pada lawannya.
Tapi, Malinda sama sekali tidak mempedulikannya. Dia terus melanjutkan pekerjaannya. Dan kini, dua buah bukit kembar yang padat indah, dan membusung, mencuat keluar.
Arya menelan ludah melihat pemandangan indah yang terpampang di hadapannya. Buru-buru matanya dimeramkan. Diusirnya pikiran kotor yang menyelinap ke benaknya.
Arya berusaha memusatkan pikiran untuk membebaskan totokan yang membuat tubuhnya lemas. Tapi, ternyata totokan Dedemit Alam
Akhirat memang luar biasa. Arya tidak mampu membebaskan dengan pengerahan tenaga dalamnya.
"Hmh...!"
Malinda menggertakkan gigi karena kesal melihat Dewa Arak memejamkan mata.
"Orang seperti kau rupanya ingin dipaksa, Dewa Arak!"
Setelah berkata demikian, putri Mayat Kuburan Koneng itu melangkah meninggalkan Arya. Tapi, tak lama kemudian sudah kembali sambil membawa sebuah kendi.
"Dengan minuman dalam kendi ini, mau tidak mau kau akan melayani kemauanku, Dewa Arak!" Malinda yang sudah tidak mengenal rasa malu lagi, mengacungkan kendi itu.
Dada Dewa Arak berdebar tegang. Meskipun belum pernah merasakan, tapi dari cerita yang didengar bisa diketahui isi kendi itu. Apalagi kalau bukan minuman perangsang nafsu birahi!
Dengan langkah perlahan-lahan, putri Mayat Kuburan Koneng itu mendekati Dewa Arak, untuk meminumkan cairan di dalam kendi itu!
Mendadak terdengar suara mendesing nyaring disusul meluncurnya sebuah benda sebesar ibu jari tangan ke arah Malinda. Dari desingan itu saja, sudah bisa diterka kekuatan tenaga dalam yang terkandung dalam lontaran itu.
Malinda terperanjat. Saat itu, seluruh perhatiannya memang tengah tercurahkan pada Dewa Arak, sehingga kewaspadaannya agak berkurang. Maka serangan yang datangnya begitu tiba-tiba itu membuatnya agak gugup. Dan....
Pyarrr...!
Kendi di tangan gadis yang tengah dirasuk birahi itu kontan hancur berantakan ketika benda sebesar ibu jari tangan yang ternyata adalah batu menghantamnya. Isinya pun berpercikan ke sana kemari.
Malinda meraung begitu melihat minuman perangsang yang akan diberikan pada Dewa Arak habis terbuang. Bergegas pakaiannya dirapikan kembali, lalu...
Srattt..!
Dengan didahului suara gemeretak gigi, pedang putri Mayat Kuburan Koneng telah tercabut. Sinar terang berkilauan ketika pedang itu keluar dari sarungnya.
Tapi kemarahan hebat yang menggelora dalam dadanya kontan menciut, berganti rasa gentar ketika melihat orang yang telah
menghancurkan kendinya. Dia adalah seorang kakek berkepala botak. Tubuhnya pendek, gemuk, dan gendut. Bajunya berupa rompi yang terbuat dari bulu burung garuda. Dan anehnya, tidak ada alis yang tampak di atas matanya.
"He he he...! Selamat berjumpa lagi, Wanita Liar...! He he he...!"
Kakek berkepala botak itu mengangkat guci araknya yang besar ke atas kepala. Dan....
Glek.. glek.. glek..!
Suara tegukan keras terdengar ketika arak itu melewati tenggorokannya.
"Setan Mabuk..!" desis Malinda. Suaranya bergetar karena perasaan gentar yang melanda.
Kakek berperut gendut yang memang Setan Mabuk itu hanya terkekeh pelan. Sementara kedudukan kedua kakinya tampak terhuyung-huyung.
"Haaat..!"
Namun dari rasa takut tiba-tiba Malinda jadi nekat. Gadis itu melompat menerjang Setan Mabuk. Pedang di tangannya meluncur cepat ke arah leher kakek itu.
"He he he...!"
Kakek pemabukan itu hanya tertawa terkekeh. Sambil menurunkan guci arak, tangan kirinya bergerak menangkap pedang Malinda.
Tappp...!
Begitu pedang itu tertangkap, Setan Mabuk langsung membetotnya. Maka putri Mayat Kuburan Koneng tak kuasa menahan. Di samping tenaga dalamnya jauh lebih rendah, keadaan tubuhnya sekarang sangat menguntungkan lawan. Sehingga, tubuhnya kontan tertarik ke depan!
Sebuah seringai kejam nampak tersungging di mulut Setan Mabuk. Tangannya yang menggenggam pedang segera disorongkan ke arah perut Malinda. Maka....
Crottt..!
Darah kontan muncrat-muncrat ketika gagang pedang itu amblas ke dalam perut gadis bertubuh menggiurkan itu hingga ke punggung. Ada keluhan tertahan yang keluar dari mulut putri Mayat Kuburan Koneng. Sepasang matanya membelalak, menahan rasa sakit yang mendera.
Setan Mabuk melepaskan cekalan pada pedangnya, maka tubuh Malinda pun ambruk ke tanah. Diam tidak bergerak lagi untuk selamanya.
"Hhh...!"
Arya menghela napas berat melihat semua peristiwa itu. Meskipun ada sedikit perasaan menyesal atas nasib yang menimpa gadis berwajah
cantik jelita itu, tapi rasa syukur di hatinya jauh lebih besar. Memang, kematian adalah jalan satu-satunya yang terbaik untuk Malinda.
Masih dengan tawa terkekeh-kekeh, dan sambil menenggak araknya, Setan Mabuk melangkah terhuyung-huyung menghampiri Dewa Arak.
Sekali kakek berkepala botak ini mengulurkan tangan menyentuh tubuhnya, maka Dewa Arak terbebas dari totokan yang membelenggu.
Sejenak Arya menggerakkan tangan dan kaki untuk memperlancar aliran darahnya.
"Dari mana kau tahu aku berada di sini, Setan Mabuk?" tanya Dewa Arak. Memang pemuda berpakaian ungu ini merasa heran melihat kemunculan kakek berkepala botak itu pada saat yang tepat.
"He he he...!"
Setan Mabuk tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Dengan sikap tidak peduli, dia tertawa terkekeh seraya menenggak araknya kembali. Suara tegukan keras terdengar ketika arak itu melewati tenggorokannya.
"He he he...! Aku datang lebih dulu, Dewa Arak," kata kakek itu seraya meneguk arak kembali. Kakek berkepala botak ini ternyata benar-benar seorang tukang minum! "Tapi ketika kulihat suasana sepi, aku jadi curiga dan tidak langsung mendarat. Dugaanku pasti ada sesuatu yang terjadi. Maka kuputuskan untuk kembali."
Setan Mabuk menghentikan ucapannya. Kemudian, dituangkannya guci arak itu ke mulut. Mau tidak mau, Dewa Arak terpaksa diam menunggu kelanjutan cerita kakek itu.
"Di tengah jalan, aku bertemu rombongan orang yang akan pergi ke Pulau Selaksa Setan. Maka segera masalahnya kuutarakan, dan mereka kusuruh mencari pulau terdekat untuk mendarat. Sedangkan aku kembali menyelidiki pulau itu."
Kakek berkepala botak itu kembali menghentikan ucapannya. Guci araknya kembali di angkat ke atas kepala, kemudian dituangkan ke mulut. Untuk yang kesekian katinya terdengar suara tegukan keras ketika arak itu singgah di tenggorokannya.
Setan Mabuk menurunkan guci araknya kembali, kemudian diusapnya arak yang membasahi pinggir mulutnya dengan punggung tangan. Kasar dan menjijikkan sekali cara kakek itu membersihkan mulut. Bahkan tanpa mengenal malu, dia bertahak. Suaranya keras mirip lenguh seekor kerbau.
"He he he...! Ketika tiba di sana, kulihat beberapa orang tengah menyeret perahu. Semula, aku tidak tahu pemilik perahu itu. Tapi kemudian kau muncul lalu diserang gerombolan orang biadab. Jelaslah sudah, siapa pemilik perahu itu. He he he...!"
Lagi-lagi Setan Mabuk menghentikan ceritanya sebentar.
"Di saat kau terjebak tambang mereka, hampir saja aku menolongmu. Tapi maksud itu kuurungkan, ketika muncul sesosok tubuh yang membuatku terperanjat"
"Maksudmu..., Dedemit Alam Akhirat?" duga Arya langsung
"Heh...?! Kau mengenalnya juga, Dewa Arak?!" Sepasang mata Setan Mabuk terbelalak lebar.
Dewa Arak menggelengkan kepala.
"Aku mendengar julukannya dari gadis itu...," Arya menudingkan telunjuk kanan ke arah mayat Malinda.
"He he he...! Sudah kuduga...," kata Setan Mabuk sambil mengangguk-anggukkan kepala. "Jadi, kau belum tahu persis tentang tokoh itu, Dewa Arak?"
Pemuda berpakaian ungu itu kembali menggelengkan kepala.
"He he he...! Kau tahu, Dewa Arak. Dengan adanya Dedemit Alam Akhirat, sudah bisa kuperkirakan kalau anak buah yang berpakaian sekadarnya itu adalah makhluk-makhluk pemakan manusia. Dan memang, Dedemit Alam Akhirat berasal dari suku itu pula."
"Jadi, pertarungan itu harus dibatalkan, Setani Mabuk?!"
"He he he...! Tentu saja tidak, Dewa Arak!"l sambut Setan Mabuk cepat.
"Lalu, bagaimana dengan Dedemit Alam Akhirat dan anak buahnya?"
"Kita harus menyingkirkan mereka terlebih dahulu!" tandas Setan Mabuk.
Arya tercenung. Menyingkirkan mereka? Haruskah ajakan kakek berkepala botak itu dipenuhinya. Padahal, dia tidak melihat adanya kejahatan yang dilakukan penghuni pulau itu.
"He he he...! Kau ingin makhluk-makhluk buas itu keluar dari pulau ini dan mengacau desa-desa, Dewa Arak?!" desak kakek berperut gendut itu. "Kau tahu, mereka belum keluar dari pulau ini, karena tengah menunggu mangsa-mangsa lain. Mereka telah memangsa tokoh-tokoh persilatan yang berdatangan kemari! Itulah sebabnya, tempat ini sepi."
Arya mengernyitkan dahinya. Hati pemuda berambut putih keperakan ini bimbang bukan kepalang. Apakah semua ucapan Setan Mabuk harus dipercayainya saja? Tidak! Dia harus bertindak hati-hati, dan tidak langsung percaya pada ucapan itu. Arya telah tahu, siapa Setan Mabuk. Seorang tokoh sesat yang berhati kejam dan keji!
"He he he...! Bagaimana, Dewa Arak? Kau takut?!" Setan Mabuk memanas-manasi.
"Tidak ada istilah takut dalam sejarah hidupku, Setan Mabuk!" sergah Dewa Arak keras.
"He he he...! Tapi kau kelihatannya ragu-ragu, Dewa Arak! Apa lagi kalau bukan karena takut?" sindir kakek berkepala botak itu sambil tersenyum mengejek.
"Mari kita cari mereka!" Dewa Arak memutuskan dengan suara setengah membentak.
"He he he...!"
Setan Mabuk hanya tertawa terkekeh-kekeh saja, kemudian melangkah terhuyung-huyung meninggalkan tempat itu sambil menuangkan arak ke mulutnya. Dewa Arak yang telah terbakar perasaannya mengikuti di belakang.

6

Langkah Setan Mabuk dan Dewa Arak mendadak terhenti di ambang gua. Pemandangan yang terlihat di depan gualah yang menyebabkan mereka bersikap demikian.
Dalam jarak sekitar dua tombak di depan gua, tampak berdiri belasan orang penghuni pulau. Yang paling depan adalah Dedemit Alam Akhirat. Sementara di belakangnya, bergerombol makhluk pemakan manusia.
"Grrrhhh...!"
Dedemit Alam Akhirat menggeram keras. Jelas sekali kalau laki-laki berwajah kasar ini dilanda kemaahan hebat. Dan hal ini tidak aneh, karena dia sudah bisa memperkirakan nasib Dewi, begitu melihat Dewa Arak ada di sebelah Setan Mabuk. Wanita yang menarik hatinya itu pasti telah tewas!
"Kaukah orang yang berjuluk Setan Mabuk?!" tanya pemimpin makhluk pemakan manusia dengan suara keras mengguntur.
Kakek berkepala botak tidak langsung menjawab. Dengan sikap tidak peduli, diangkat guci araknya ke atas kepala kemudian dituangkan ke mulutnya.
Glek... glek... glek..!
Suara tegukan keras terdengar ketika arak itu melewati tenggorokan.
"Keparat..!"
Dedemit Alam Akhirat berteriak memaki. Kemarahannya yang memang sejak tadi sudah bernyala-nyala, jadi semakin berkobar-kobar. Sikap tidak peduli Setan Mabuk-lah yang menyebabkan laki-laki berwajah kasar itu kalap. Memang, Dedemit Alam Akhirat memiliki keangkuhan tinggi. Pantang baginya diremehkan orang lain!
Belum juga gema makiannya lenyap, laki-laki berwajah kasar lalu menggerakkan tangan kanannya. Jari telunjuk dan jari tengah menuding lurus, sedangkan sisa jari yang bin dikepalkan.
Suara cicit tajam laksana puluhan ekor tikus terjepit terdengar seiring gerakan tangan Dedemit Alam Akhirat.
Setan Mabuk tidak berani bertindak main-main lagi. Dan memang, dia tidak pernah menganggap remeh Dedemit Alam Akhirat. Maka begitu tangan lawan bergerak, dan ada serentetan angin tajam yang menyambar ke arah kepalanya, buru-buru tubuhnya ditundukkan.
Pyarrr...!
Dinding atas mulut gua itu kontan hancur berantakan ketika angin pukulan jarak jauh yang dilepaskan Dedemit Alam Akhirat menghantamnya. Batu-batu kecil pun seketika berguguran.
Baik Dewa Arak maupun Setan Mabuk tercekat melihat hal ini. Dalam hati, kedua tokoh besar dunia persilatan itu memuji kehebatan ilmu pukulan jarak jauh lawan tadi.
"He he he...! Kalau aku tidak salah duga, bukankah itu 'Ilmu Jari Pemutus Gunung' yang tersohor, Dedemit?!" kata Setan Mabuk, kalem dan bernada merendahkan. Seakan-akan, pertunjukan yang dipamerkan pimpinan makhluk-makhluk pemakan manusia itu sama sekali tidak memiliki keistimewaan apa pun.
Karuan saja sikap yang ditunjukkan Setan Mabuk itu semakin menambah kemarahan Dedemit Alam Akhirat
"Grrrhhh...!"
Diiringi geraman yang membuat suasana di sekitar tempat itu bergetar hebat Dedemit Alam Akhirat melancarkan serangan bertubi-tubi menggunakan 'Ilmu Jari Pemutus Gunung'!
Alhasil, suasana di sekitar tempat pun ramai dipenuhi suara mencicit tajam menyakitkan telinga yang susul-menyusul.
Ternyata, serangan Dedemit Alam Akhirat itu tidak hanya ditujukan pada Setan Mabuk saja. Tapi juga pada Dewa Arak! Kedua tokoh berbeda aliran itu terpaksa dibuat pontang-panting dalam menghindari serangan itu.
"He he he...! Lucu sekali...! Baru pertama kali terjadi tiga makhluk luar biasa bertarung sekaligus! Dewa, Dedemit, dan Setan. He he he...! Sungguh ajaib sekali,..!"
Sambil terus bergerak ke sana kemari, Setan Mabuk mengoceh tak karuan. Hal ini membuat kemarahan pimpinan orang-orang biadab itu semakin menjadi-jadi.
Di saat Dedemit Alam Akhirat, Setan Mabuk, dani Dewa Arak terlibat pertempuran, mendadak makhluk-makhluk pemakan manusia menoleh ke arah belakang.
Ternyata, dari arah sana berdatangan banyak sekati tokoh persilatan! Jumlah mereka tak kurang dari seratus orang!
Kali ini tanpa menunggu persetujuan pimpinannya lagi, orang-orang biadab itu bergerak menyerbu! Maka, serbuan ini disambut hangat oleh tokoh-tokoh persilatan. Sesaat kemudian pertarungan besar-besaran pun terjadi.
"Hih...!"
Mendadak Dewa Arak melenting ke belakang, kemudian bersalto beberapa kali menjauhi kancah pertarungan. Pemuda berambut putih
keperakan ini bermaksud membiarkan Setan Mabuk bertarung menghadapi Dedemit Alam Akhirat. Risih rasa hatinya bertarung keroyokan seperti itu.
Dedemit Alam Akhirat tidak bisa berbuat apa-apa, selain membiarkan saja pemuda berpakaian ungu itu keluar dari kancah pertarungan. Laki-laki berwajah kasar itu menyibukkan diri dalam menghadapi Setan Mabuk.
Seandainya disuruh memilih, pimpinan makhluk pemakan manusia ini memang lebih suka bertarung melawan Setan Mabuk, daripada Dewa Arak. Banyak alasan yang mendasarinya. Di antaranya, karena Dewa Arak seorang tokoh muda. Hal lainnya, karena Setan Mabuk telah banyak menimbulkan kemarahan hatinya.
Kini dengan tidak adanya Dewa Arak, Dedemit Alam Akhirat lebih leluasa melancarkan serangan. Kedua tangannya semakin bertubi-tubi mengirimkan serangan-serangan jarak jauh dengan ilmu 'Jari Pemutus Gunung'.
Tapi semua serangan itu mudah berhasil dikandaskan Setan Mabuk. Sama seperti Dewa Arak, dia pun memiliki ilmu aneh. Langkahnya terhuyung-huyung, tapi anehnya tidak ada satu serangan pun yang berhasil mengenainya. Semuanya lolos dari sasaran yang dituju.
Dalam waktu sebentar saja, sepuluh jurus telah terlewati. Tapi sampai sekian lamanya, Setan Mabuk belum mampu melancarkan serangan balasan. Karena, masih berjarak terlalu jauh. Memang, Dedemit Alam Akhirat berusaha mengajak lawan bertarung jarak jauh.
Ilmu 'Jari Pemutus Gunung' memang menguntungkan Dedemit Alam Akhirat untuk bertarung dalam jarak jauh. Dan memang, ilmu itu dikhususkan untuk pertarungan jarak jauh.
Setan Mabuk tentu saja tidak sudi diajak bertarung jarak jauh. Itulah sebabnya, dalam setiap gerakan mengelak, kakek berperut gendut ini selalu berusaha memperpendek jarak. Namun hal itu selalu berakhir dengan kegagalan. Gerakannya sudah bisa ditebak Dedemit Alam Akhirat. Maka usaha kakek berkepala botak itu segera dipatahkan.
Mau tak mau, Setan Mabuk terpaksa menggunakan semburan-semburan araknya untuk balas menyerang. Apalagi dia tidak memiliki ilmu khusus untuk bertarung jarak jauh seperti Dedemit Alam Akhirat.
Keadaan seperti ini tentu saja menguntungkan Dedemit Alam Akhirat. Betapapun lihainya Setan Mabuk mengelak, tapi kalau dihujani serangan terus-menerus, tentu saja akan kewalahan juga. Dan kalau hal
seperti ini berlangsung terus, hasil akhir dari pertarungan ini sudah bisa ditebak! Setan Mabuk akan roboh di tangan Dedemit Alam Akhirat!
Sementara itu, setelah memperhatikan pertarungan antara Setan Mabuk dan Dedemit Alam Akhirat sesaat Dewa Arak mengalihkan perhatian pada pertarungan yang berlangsung antara gerombolan pemakan manusia dengan rombongan tokoh-tokoh persilatan.
Sepasang mata pemuda berambut putih keperakan itu terbelalak begitu melihat kejadian yang terpampang di depan matanya.
Memang, pertarungan antara dua buah kelompok itu telah berlangsung belasan jurus. Beberapa orang pun telah menjadi korban, dan ternyata berasal dari pihak tokoh persilatan. Sebuah hal wajar, mengingat gerombolan pemakan manusia itu memiliki kekebalan. Sehingga meskipun dihujani berbagai senjata, sedikit pun mereka tidak terluka sama sekali. Sedangkan tokoh-tokoh persilatan itu tidak memiliki kekebalan.
Tapi sebenarnya bukan kekebalan tubuh penghuni Pulau Selaksa Setan yang membuat Arya terperanjat. Tapi, tindakan yang dilakukan orang-orang biadab itulah yang membuat matanya terbelalak. Tatkala ada seorang lawan yang berhasil dirobohkan, berduyun-duyun anak buah Dedemit Alam Akhirat merubung tubuh yang tergolek meregang maut. Maka pesta yang mengerikan pun dimulai.
Sama sekali makhluk-makhluk yang tengah asyik berpesta pora itu tidak mempedulikan serangan-serangan yang dilancarkan lawan-lawannya. Karena saat itu mereka tengah menyantap makanan lezat yang terhidang.
Beberapa kali tubuh makhluk-makhluk yang tengah sibuk menyantap itu terguling ketika serangan-serangan yang dilancarkan lawan menghantam. Tapi dengan gesit, mereka bangkit kembali dan meneruskan pestanya.
Kontan perut Arya mual melihat pemandang menjijikkan yang terpampang di hadapannya. Hampir hampir saja isi perut yang mendadak ingin keluar, tidak kuat ditahannya. Ternyata semua yang dikatakan Setan Mabuk sama sekali benar. Orang-orang biadab itu memang pemakan manusia! Ngeri rasanya membayangkan bila makhluk-makhluk itu keluar dari pulau, lalu masuk ke desa-desa. Dengan kekebalan tubuhnya, jangankan orang-orang desa, tokoh-tokoh persilatan pun akan mendapat kesulitan yang tidak sedikit dalam menanggulangi mereka.
Pemuda berpakaian ungu ini tahu kalau untuk mencegah orang-orang biadab itu tidak ada jalan lain kecuali membasminya. Mereka tidak akan bisa dinasihati karena memang tidak ubahnya binatang buas. Manusia sudah merupakan makanan pokoknya.
Memperhatikan sekilas saja, Dewa Arak tahu kalau tokoh-tokoh persilatan pasti akan tewas semuanya. Padahal, jumlah tokoh itu paling
sedikit lima kali lipat dari jumlah makhluk pemakan manusia. Tapi karena lawan tidak bisa dibinasakan, korban-korban yang berjatuhan semuanya berasal dari gerombolan tokoh persilatan.
Maka sambil mengeluarkan suara melengking nyaring, Dewa Arak melompat terjun dalam kancah pertarungan. Dan begitu masuk, guci araknya langsung saja dihantamkan ke arah kepala salah seorang makhluk biadab itu.
Tapi seperti juga kejadian yang dialami tokoh-tokoh persilatan, kejadian yang sama pun menimpa Dewa Arak. Lawan yang terkena hantaman guci araknya disertai pengerahan tenaga dalam sepenuhnya, memang terpental jauh dan jatuh berdebuk di tanah. Namun, sesaat kemudian bangkit kembali tanpa kurang suatu apa.
Arya benar-benar takjub. Peristiwa ini mengingatkannya pada lawan tangguhnya yang juga memiliki kekejaman luar biasa. Tokoh itu berjuluk Raksasa Kulit Baja. Dan berkat petunjuk Ular Hitam yang membimbingnya, Dewa Arak berhasil membunuh lawan yang luar biasa itu (Untuk jelasnya, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode "Dewi Penyebar Maut").
Maka tanpa ragu-ragu lagi, Dewa Arak segera mengeluarkan sesuatu dari bagian dalam pakaiannya. Ternyata daun kelor! Memang sejak pertarungannya dengan Raksasa Kulit Baja, Dewa Arak selalu mengambil daun kelor di tiap-tiap tempat.
Tapi kali ini pemuda berpakaian ungu ini kecelik. Orang-orang biadab itu sama sekali tidak terpengaruh walaupun ranting daun kelor itu sampai hancur lebur menggebuki sekujur tubuh mereka.
Arya tidak putus asa. Maka dikeluarkannya bambu kuning. Tapi kejadian yang sama terulang. Sementara itu, orang-orang biadab itu kembali berhasil melahap seorang tokoh persilatan lagi.
Dalam cekaman rasa putus asa, Dewa Arak mengumbar jurus-jurus yang jarang digunakannya. Jurus 'Membakar Matahari' dan jurus 'Pukulan Belalang'. Tapi, hasilnya sama sekali tidak berbeda.

7

Setan Mabuk menjadi khawatir melihat banyaknya tokoh persilatan yang satu demi satu berguguran. Apalagi ketika ada beberapa di antara yang tewas itu adalah jago-jago minum yang akan bertarung.
"Tahan Dedemit Bau ini, Dewa Goblok! Biar aku yang akan membasmi mereka?" teriak Setan Mabuk.
Kakek berperut gendut ini memang masih belum bisa memperpendek jarak. Padahal pertarungan sudah berlangsung lebih dari empat puluh jurus. Maka tidak aneh kalau Setan Mabuk terdesak. Bahkan beberapa bagian rompinya telah koyak-koyak terserempet angin serangan pukulan jarak jauh Dedemit Alam Akhirat.
Arya kini tidak ragu-ragu lagi. Telah dibuktikan sendiri kebenaran ucapan Setan Mabuk. Maka begitu mendengar seruan itu, tubuhnya melesat memasuki kancah pertarungan antara Setan Mabuk dengan Dedemit Alam Akhirat.
Begitu memasuki arena pertarungan, langsung saja Dewa Arak melancarkan serangan bertubi-tubi ke arah Dedemit Alam Akhirat mempergunakan ilmu 'Delapan Cara Menaklukkan Harimau'. Pemuda be-rambut putih keperakan ini sengaja mengeluarkan ilmu itu untuk memberi kesempatan pada Setan Mabuk agar bisa keluar dari arena pertarungan.
"Hmh...!"
Dedemit Alam Akhirat mendengus melihat serangan itu. Memang, dari deru angin kuat yang mengawalinya, bisa diperkirakan kalau lawannya kali ini memiliki tenaga dalam kuat bukan kepalang. Tapi, hal itu tidak mengurangi keberaniannya untuk langsung menyambuti serangan yang bertubi-tubi itu.
Plak, plak, plak...!
Suara keras beradunya dua pasang tangan yang sama-sama mengandung tenaga dalam tinggi terdengar. Bunyi benturan itu layaknya seperti benturan antara dua batang logam keras.
Baik Dewa Arak maupun Dedemit Alam Akhirat sama-sama terdorong ke belakang akibat benturan itu. Namun ada satu hal yang membuat pemuda berambut putih keperakan itu terkejut. Ternyata punggung kedua tangannya berdarah! Luar biasa! Dan memang, kedua tangan Dedemit Alam Akhirat dalam penggunaan ilmu 'Jari Pemutus Gunung', telah menjadi lebih tajam daripada pedang pusaka. Dan sesungguhnya, pedang pusaka sekalipun tidak akan mampu melukai kulit Dewa Arak kalau tidak berada di tangan seorang tokoh yang memiliki tenaga dalam amat kuat.
"Ha ha ha...!"
Dedemit Alam Akhirat tertawa terbahak-bahak.
Dengan rakus, dijilatinya darah dari luka di tangan Arya yang menempel pada jari-jari tangannya.
Sepasang mata Dewa Arak kontan terbelalak. Bukan karena tangannya yang terluka, tapi karena tindakan lawan yang menjilati darahnya! Rupanya Dedemit Alam Akhirat ini tidak ubahnya anak buahnya sendiri. Sama-sama pemakan manusia!
Tapi Arya tidak bisa berlama-lama dalam keterpakuannya karena laki-laki berwajah kasar itu telah kembali menyerang. Jangankan tangannya, angin pukulan serangannya saja sudah cukup untuk membuat kulit tubuh Dewa Arak terluka.
Sadar akan ketangguhan lawan, Dewa Arak tidak mau bersikap sungkan-sungkan lagi. Sambil mengelak, dijumputnya guci arak. Dan....
Gluk.. gluk.. gluk...!
Suara tegukan dari arak yang melewati tenggorokan Arya terdengar. Dan seperti biasanya, tubuh pemuda berpakaian ungu itu kemudian oleng ketika hawa arak yang hangat merayap naik dari lambung, terus ke kepalanya.
Dan dengan ilmu 'Belalang Sakti' andalannya, Dewa Arak mengadakan perlawanan terhadap Dedemit Alam Akhirat. Tak pelak lagi, pertarungan sengit antara dua orang yang sama-sama memiliki kepandaian tinggi pun berlangsung.
Arya kini benar-benar mengeluarkan seluruh kemampuan yang dimiliki. Ilmu 'Belalang Sakti'nya di keluarkan sampai ke puncak kemampuan. Kedua tangan, guci, dan juga semburan araknya, dikeluarkan semua untuk menggilas habis perlawanan Dedemit Alam Akhirat.
Tapi lawan yang dihadapi Dewa Arak bukan orang sembarangan. Setan Mabuk yang menghadapi Dedemit Alam Akhirat lebih dulu, telah membuktikan kelihaian pemimpin orang-orang biadab itu. Buktinya, dia tidak mampu mengajak lawannya bertarung dalam jarak dekat.
Sama seperti ketika menghadapi Setan Mabuk, melawan Dewa Arak pun Dedemit Alam Akhirat menggunakan kelebihan ilmunya. Dia juga mengajak Dewa Arak untuk bertarung jarak jauh. Dipaksanya pemuda berambut putih keperakan itu untuk bertarung yang menguntungkan dirinya.
Pertarungan antara kedua tokoh itu berlangsung cepat. Hal ini tidak aneh, mengingat kedua belah pihak memang sama-sama memiliki kecepatan gerak luar biasa. Suara mencicit dari setiap serangan yang dilan-carkan Dedemit Alam Akhirat terdengar, ditingkahi bunyi berdesir, mengaung, dan bercelegukan yang keluar dari gerakan Dewa Arak. Sehingga, suasana pertarungan jadi hingar bingar.
Ramainya pertarungan antara Dewa Arak menghadapi Dedemit Alam Akhirat ternyata tidak kalah ramainya lagi pertarungan antara Setan Mabuk dan rombongan melawan anak buah Dedemit Alam Akhirat.
Ternyata, Setan Mabuk tidak hanya membual saja sewaktu mengatakan kalau sanggup membasmi orang-orang biadab yang memiliki kekebalan pada kulit tubuhnya. Kakek berperut gendut itu ternyata mengetahui kelemahan anak buah Dedemit Alam Akhirat.
"Pisahkan buntalan kain hitam yang ada di pinggang mereka...!" seru Setan Mabuk lantang.
Mendengar seruan keras itu, tokoh-tokoh persilatan yang sejak tadi sudah putus asa menjadi timbul kembali semangatnya. Serentak pandangan mereka dialihkan pada bagian pinggang orang-orang biadab itu.
Memang seperti yang dikatakan kakek berkepala botak itu, pada bagian pinggang makhluk pemakan manusia itu terdapat buntalan kain hitam kecil yang diikatkan pada tali pinggang terbuat dari tumbuh-tum-buhan.
Sebagian besar tokoh persilatan merasa heran mendengar perintah Setan Mabuk itu. Hanya sebagian kecil saja yang bisa mengerti kalau buntalan kain kecil berwarna hitam itu adalah sejenis jimat. Dan itulah yang menyebabkan kulit tubuh anak buah Dedemit Alam Akhirat kebal. Selama ada buntalan hitam itu, mereka tetap tidak bisa dilukai. Dan apabila tidak ada buntalan itu, baru mereka bisa dibunuh.
Meskipun tidak mengerti, tapi tokoh persilatan yang sebagian besar itu menuruti juga perintah Setan Mabuk. Dan memang, tidak ada salahnya mencoba-coba.
Kali ini tokoh-tokoh persilatan itu menujukan serangan-serangan untuk memisahkan buntalan kain hitam itu dari bagian pinggang.
Keragu-raguan yang menghinggapi perasaan sebagian tokoh persilatan mulai memudar ketika melihat tanggapan makhluk-makhluk pemakan manusia itu atas serangan yang tertuju ke arah buntalan kain hitam.
Anak buah Dedemit Alam Akhirat terlihat cemas. Kini mereka selalu mengelak dan tidak membiarkan serangan-serangan mengenai tubuh mereka.
Hasil yang diperoleh benar-benar membuat hati mereka berbunga-bunga. Makhluk-makhluk yang semula kebal itu, kini bisa dilukai setelah buntalan kain hitam itu berhasil dilepaskan. Maka semakin besarlah semangat mereka jadinya.
Sekarang keadaan berubah banyak! Makhluk-makhluk pemakan manusia kini mulai terdesak hebat. Memang kalau dibuat perbandingan, kepandaian yang dimiliki oleh seorang makhluk pemakan manusia itu paling hanya menyamai seorang murid persilatan yang baru masuk perguruan. Mereka memang tidak memiliki kepandaian yang terlalu hebat, karena Dedemit Alam Akhirat tidak mengajari ilmu silat.
Tidak aneh jika korban di antara mereka pun berguguran, karena satu orang di antara mereka menghadapi beberapa orang lawan.
Tak lama kemudian, makhluk-makhluk pemakan manusia itu pun sudah tidak ada yang berdiri tegak lagi. Semua bergeletakan di tanah dalam keadaan tidak bernyawa lagi.
Begitu semua orang biadab Penghuni Pulau Selaksa Setan itu tewas, Setan Mabuk dan sisa tokoh-tokoh persilatan mengalihkan perhatian pada pertarungan antara Dewa Arak menghadapi Dedemit Alam Akhirat. Dedemit Alam Akhirat meskipun tidak bisa memperhatikan secara jelas karena dia harus memusatkan perhatian pada Dewa Arak, ternyata mengetahui semua kejadian yang menimpa anak buahnya. Berbagai perasaan kini mendera hatinya.
Memang bukan Dedemit Alam Akhirat yang memberikan jimat itu. Tapi dukun suku makhluk pemakan manusia, yang kini telah tewas tersapu badai. Dukun itu memang ahli dalam ilmu hitam. Berbagai ilmu hitam dimilikinya. Bermacam-macam jimat dibuatnya. Di antaranya adalah jimat yang membuat tubuh tidak bisa dilukai!
Kalau tidak melihat buktinya sendiri, Dedemit Alam akhirat tidak akan percaya. Betapa tidak? Isi buntalan itu hanya berupa tulang-tulang manusia. Ada yang tulang jempol, kelingking, dan macam-macam lagi.
Sementara itu, pertarungan Dewa Arak melawan Dedemit Alam Akhirat telah lebih dari tujuh puluh jurus. Dan selama itu belum nampak ada tanda-tanda yang akan keluar sebagai pemenang. Meskipun begitu, tampak jelas kalau Dewa Arak berada dalam pihak yang terdesak. Pemuda berambut putih keperakan itu sama sekali tidak mampu balas menyerang. Dan andaikata menyerang, hanya dengan semburan araknya saja. Dewa Arak lebih sering menggunakan jurus 'Delapan Langkah Belalang', untuk mengelakkan setiap serangan Sedangkan jurus 'Belalang Mabuk'nya mati kutu!
Beberapa kali Dewa Arak berusaha mengadakan pertarungan jarak dekat, tapi usahanya selalu kandas. Dia malah kadang-kadang terpaksa melompat mundur kembali, karena cecaran serangan lawan yang bertubi-tubi. Dedemit Alam Akhirat juga melompat mundur ke belakang, untuk mempertahankan jarak.
Arya mengeluh dalam hati, menyadari betapa sulitnya mendekati lawan. Disadarinya kalau keadaan begini terus, dia akan mengalami kerugian sendiri. Betapapun hebatnya langkah ajaib dalam jurus 'Delapan Langkah Belalang', tapi serangan yang datang ke arahnya bagaikan hujan. Jadi, bukan suatu hal yang mustahil kalau serangan lawan akhirnya akan berhasil mengenainya. Maka harus dicari terobosan untuk melakukan serangan balasan agar lawan tidak terus-menerus menghujani serangan.
"Hih...!"
Sambil melenting ke atas untuk menghindari serangan lawan, Dewa Arak menghentakkan kedua tangannya ke depan. Arya menggunakan jurus 'Pukulan Belalang', untuk membuat serangan lawan berhenti beberapa saat. Ini dilakukan agar bisa mendesak lawan.
Wusss...!
Angin keras berhawa panas menyengat berhembus keras ke arah Dedemit Alam Akhirat. Karuan saja hal ini membuat laki-laki berwajah kasar itu terperanjat. Serangan Dewa Arak memang sama sekali tidak diduga, karena datangnya secara tiba-tiba.
Tahu akan kedahsyatan serangan pukulan jarak jauh itu, Dedemit Alam Akhirat melempar tubuh ke samping dan bergulingan di tanah.
Dewa Arak tidak mau menyia-nyiakan kesempatan baik itu. Buru-buru dia melompat, memburu tubuh yang tengah bergulingan. Ini adalah satu-satunya kesempatan untuk memaksa lawan bertarung dalam jarak dekat.
Dedemit Alam Akhirat tahu maksud lawannya. Maka, dia pun terus bergerak menjauh.
Tapi, Arya pun tidak mau menyia-nyiakan kesempatan itu. Maka, pemuda berambut putih keperakan itu terus melompat memburu seraya melancarkan serangan bertabi-tubi.
Tak pelak lagi, sebuah kejar-kejaran yang aneh pun terjadi. Dedemit Alam Akhirat yang terus menerus bergulingan untuk menjauhkan diri, dan Dewa Arak yang tak henti-hentinya bergerak memburu.
Akhirnya, Dedemit Alam Akhirat tidak punya pilihan lagi. Kalau dipaksakan terus berguling, bukan tidak mungkin akan celaka di tangan Dewa Arak. Maka terpaksa tangannya digerakkan untuk menangkis.
Plakkk, plakkk, plakkk..!
Kembali terjadi benturan keras antara dua pasang tangan yang sama-sama mengandung tenaga dalam tinggi. Dan untuk yang kedua kalinya, tangan Dewa Arak terluka kembali.
Kali ini Arya bertindak cepat. Buru-buru ditotoknya jalan darah di sekitar luka untuk menghentikan aliran darah. Kemudian, langsung dilancarkannya serangan bertubi-tubi kembali.
Dedemit Alam Akhirat tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Terpaksa keinginan lawannya harus diladeni untuk bertarung dalam jarak dekat.
Dengan terjadinya pertarungan jarak dekat ini, pertempuran yang terlihat jadi lebih menarik. Kedua belah pihak kini dapat saling melancarkan serangan.
Sebenarnya, ilmu 'Jari Pemutus Gunung' sama sekali tidak berkurang kedahsyatannya bila bertarung dalam jarak dekat. Sementara ilmu 'Belalang Sakti' juga lebih mengandalkan pertarungan jarak dekat. Bila dilakukan dalam jarak jauh, akan pupus keampuhannya.
Dedemit Alam Akhirat mengeluh dalam hati. Kini setelah bertarung dalam jarak dekat, baru dirasakan beratnya serangan-serangan Dewa Arak. Ilmu lawan yang begitu aneh, dan mempunyai perkembangan tidak terduga-duga, benar-benar membuatnya kewalahan. Sukar diperkirakan serangan lanjutan yang akan dilancarkan Dewa Arak.
Satu hal lagi yang membuat hati pemimpin orang-orang biadab itu heran adalah, pemuda berambut putih keperakan itu seperti tidak peduli dan malah menenggak araknya. Tapi anehnya, justru setelah menenggak araknya dan kemudian kedudukan kalanya oleng, serangan yang dilancarkan terhadapnya malah berhasil dielakkan.
Meskipun memang ilmu 'Belalang Sakti' yang dimiliki Dewa Arak adalah sebuah ilmu yang luar biasa, tapi karena yang dihadapi pun bukan lawan sembarangan, maka baru setelah melewati dua ratus jurus, lawan mulai terdesak. Itu pun karena yang dihadapinya sudah mulai merasa lelah.
Seiring timbulnya perasaan lelah itu, tenaga Dedemit Alam Akhirat pun mulai mengendur. Dan dengan sendirinya, serangan-serangan yang dilancarkannya tidak sedahsyat sebelumnya. Bahkan gerakannya pun tidak sigap lagi.
Sementara serangan-serangan dan kegesitan Dewa Arak tampak seperti tidak berkurang. Gerakan-gerakan pemuda berambut putih keperakan itu masih terlihat gesit. Serangan-serangannya pun masih terasa dahsyat. Seakan-akan, tenaga Arya sama sekali tidak berkurang.
Tidak merasa lelahkah pemuda berpakaian ungu ini? Ah, mustahil! Tidak mungkin Dewa Arak tidak merasa lelah! Apalagi sampai empat puluh jurus lamanya, seluruh kemampuan yang dimiliki dikerahkan untuk memaksanya bertarung dalam jarak dekat. Berbagai macam pertanyaan dan bantahan berkecamuk dalam benak Dedemit Alam Akhirat.
Sama sekali Dedemit Alam Akhirat tidak tahu kalau arak yang diminum pemuda berambut putih keperakan itulah yang telah membuat tenaganya pulih kembali.
Semakin lama, keadaan Dedemit Alam Akhirat semakin mengkhawatirkan, karena tenaganya terus merosot. Dan dengan sendirinya
keampuhan ilmu 'Jari Pemutus Gunung'nya pun jadi berkurang pula. Me-mang ilmu itu amat mengandalkan pada kekuatan tenaga dalam. Orang yang tidak memiliki tenaga dalam tinggi, tidak akan mampu memiliki ilmu 'Jari Pemutus Gunung'.
Tidak aneh kalau kini laki-laki berwajah kasar ini mulai terdesak hebat. Keampuhan ilmunya semakin merosot seiring semakin lemah tenaganya. Sementara keampuhan ilmu Dewa Arak sama sekali tidak beru-bah, karena tenaga dalam yang dimilikinya sama sekali tidak berkurang.
Semula, benturan tangan Dewa Arak sama sekali tidak berpengaruh pada Dedemit Alam Akhirat. Tapi kini, keadaan banyak berubah. Setiap kali terjadi benturan, membuat tangannya terasa sakit dan ngilu bukan kepalang. Bahkan beberapa kali pemimpin makhluk pemakan manusia itu terhuyung-huyung ke belakang setiap kali terjadi benturan.
"Hih...!"
Sambil mengeluarkan seruan melengking nyaring Dewa Arak kembali melancarkan serangan bertubi-tubi. Kedua punggung tangannya dalam permainan jurus 'Belalang Mabuk', memukul bertubi-tubi ke arah ulu hati dan dada dengan kekuatan penuh. Namun mana mampu Dedemit Alam Akhirat berbuat banyak?
Tak pelak lagi, tubuhnya pun terhuyung-huyung ke belakang. Dadanya seketika terasa sesak bukan kepalang. Terutama sekali tangannya. Kedua tangan itu seperti patah-patah!
Di saat itulah, Dewa Arak melompat melakukan tendangan dengan kedua kaki ke arah dada lawan. Persis seperti seekor ayam jago yang merangsek lawannya.
Desss...!
Suara berderak keras dari tulang dada yang berpatahan dan semburan darah segar dari mulut, mengiringi terlemparnya tubuh Dedemit Alam Akhirat. Seketika itu juga, tokoh yang menggiriskan itu tewas tanpa sempat bersambat lagi.
Brukkk!
Diiringi suara berdebuk nyaring, tubuh tokoh sesat yang menggiriskan itu jatuh ke tanah sekitar dua belas tombak dari tempat semula. Setelah berkelojotan sejenak kemudian dia diam tidak bergerak lagi untuk selamanya. Mati!
"Horeee...!"
Sambutan meriah dari tokoh-tokoh persilatan bergemuruh menyambut kemenangan Dewa Arak. Tapi tentu saja tidak semuanya bersikap seperti itu. Ada sebagian yang diam saja melihat kemenangan Dewa Arak. Satu di antara mereka adalah Setan Mabuk. Dan kakek berperut gendut itu malah menenggak araknya.
Glek...glek... glek...!

8

Waktu berlalu tak terasa. Terkadang cepat seperti anak panah yang terlepas dari busurnya, tapi tak jarang seperti seekor keong merayap.
Akhirnya waktu yang dinantikan untuk pertarungannya raja-raja arak tiba. Bulan bulat penuh yang tampak di langit memancarkan sinarnya yang berwarna kuning keemasan di Pulau Selaksa Setan. Sehingga, suasana di pulau itu cukup terang.
Di Pulau Selaksa Setan sendiri telah berkumpul tokoh-tokoh persilatan baik dari aliran hitam, maupun dari aliran putih. Memang, pertarungan memperebutkan kedudukan sebagai jago minum arak ini tidak hanya terbatas untuk satu golongan saja. Tapi terbuka bebas bagi siapa saja yang berminat.
Belasan orang tokoh persilatan yang bertindak sebagai penonton, sekaligus juri dan saksi untuk melihat siapa di antara mereka yang unggul, telah ramai berkumpul. Mereka berdiri mengelilingi sebuah lapangan luas terbuka, dari di bagian tengahnya terdapat batu-batu yang berbentuk sebagai meja dan kursi.
Di kanan kiri dua batu besar, lebar, dan pipih terdapat dua buah batu yang jauh lebih kecil daripada batu yang dipakai sebagai pengganti meja itu. Tapi seperti juga batu besar, batu kecil itu pun mempunyai permukaan pipih. Bisa diperkirakan kalau kegunaan batu kecil itu adalah sebagai pengganti bangku.
Dugaan itu tidak keliru, karena pada batu kecil yang berada di sebelah kanan batu lebar tengah duduk seorang laki-laki bertubuh tinggi besar. Perutnya buncit. Tampak cambang bauk lebat menghias wajahnya. Dialah tokoh yang berjuluk Raja Minum Danau Sengon.
Dari julukannya, bisa diketahui dari mana asal tokoh tua bercambang bauk lebat ini. Asalnya, dari Danau Sengon. Dialah yang telah menjadi pemenang dalam pertarungan antara raja-raja arak tahun kemarin.
Di desa-desa sekitar Danau Sengon, julukan Raja Minum Danau Sengon amat terkenal. Dia mendapat julukan Raja Minum, setelah tidak seorang pun jago-jago minum di daerahnya yang mampu mengalahkannya. Telah puluhan, bahkan mungkin ratusan kali dia bertarung minum tanpa pernah kalah!
Oleh karena itu, timbul keinginannya untuk menjadi raja minum tak terkalahkan bukan hanya di tempatnya saja. Tapi juga di dunia persilatan.
Ternyata bukan hanya dia saja yang berpikiran demikian. Jago-jago minum wilayah lain pun memiliki maksud sama. Maka diadakanlah pertemuan antara mereka, dan ditentukan pertarungan minum itu.
Selama beberapa kali pertemuan, Setan Mabuk yang menjadi juara, baru tahun kemarin Raja Minum Danau Sengon keluar sebagai pemenang.
Karena telah menjadi juara, maka Raja Minum Danau Sengon yang terlebih dulu duduk di arena pertarungan. Laki-laki pemabukan ini akan berusaha mempertahankan gelar sebagai Jago Arak Nomor Satu.
"Siapa yang akan menjadi penantang pertamaku?" tanya laki-laki bertubuh tinggi besar itu. Suaranya keras mengguntur. Jelas kalau dikeluarkan lewat pengerahan tenaga dalam yang tidak rendah. Dan me-mang, Raja Minum Danau Sengon ini bukan hanya jago minum saja, tapi juga dalam hal ilmu silat.
Laki-laki bercambang bauk lebat ini segera mengalihkan pandangannya ke arah tiga orang yang akan menjadi lawannya, karena beberapa di antara raja-raja arak yang akan mengikuti pertarungan telah tewas di tangan anak buah Dedemit Alam Akhirat. Sementara yang lain sama sekali tidak diketahui nasibnya. Sama sekali semua orang itu tidak tahu kalau raja-raja arak dan para tokoh persilatan yang akan menonton telah habis dibantai makhluk-makhluk pemakan manusia itu.
Ketiga orang itu adalah Dewa Arak, Setan Mabuk, dan seorang laki-laki yang juga berperut buncit. Tubuhnya tinggi besar, dan berkumis tebal. Dialah yang menjadi lawan berat Raja Minum Danau Sengon tahun lalu. Laki-laki berkumis tebal itu berjuluk Biang Guci Gunung Kari, karena dia memang berasal dari Gunung Kari.
"Ha ha ha...!"
Sambil tertawa terbahak-bahak, laki-laki berkumis tebal yang berjuluk Biang Guci Gunung Kari ini melangkah meninggalkan kerumunan orang. Dia kemudian menghampiri arena pertarungan. Bukan sembarangan tawa yang dikeluarkan Biang Guci Gunung Kari ini. Suara tawanya ternyata dikeluarkan lewat pengerahan tenaga dalam tinggi. Rupanya, dia tidak mau kalah dalam hal unjuk gigi kepada musuh bebuyutannya, Raja Minum Danau Sengon.
Berbarengan langkah majunya laki-laki berkumis tebal itu, beberapa orang persilatan pun bergerak maju sambil membawa guci-guci besar yang berisi arak. Mereka kemudian membawanya ke arah tempat Raja Minum Danau Sengon.
"Akulah yang akan menjadi lawan pertamamu, Raja Minum!" sambut Biang Guci Gunung Kari, tak kalah keras.
"Ha ha ha...!" Raja Minum Danau Sengon tertawai bergelak. "Apakah kau sudah berlatih keras untuk mengalahkanku, Biang Guci?! Kalau tidak, lebih baik kau kembali daripada jatuh di tempat yang sama sampai dua kali!"
"Kau boleh umbar bacotmu yang busuk itu sepuasmu, Raja Minum! Yang jelas, gelar Jago Arak Nomor Satu akan kurebut dari tanganmu!" Biang Guci Gunung Kari yang rupanya tidak bisa berdebat, langsung saja memutus pembicaraan.
Belum lagi gema ucapannya habis, laki-laki berkumis tebal ini sudah duduk di atas bangku kecil yang masih kosong.
Empat orang persilatan yang berpakaian, seragam warna kuning, dan rupanya bertindak sebagai juri, meletakkan delapan buah guci besar yang penuh arak di atas meja batu. Tak lupa, dua buah gelas bambu pun diletakkan di depan kedua jago minum yang akan bertarung.
"He he he...!"
Sambil tertawa terkekeh-kekeh, Raja Minum Danau Sengon menjumput guci araknya, kemudian menuangkan ke dalam gelas bambunya. Ringan saja sepertinya guci itu di tangannya. Padahal guci itu besar sekali, dan penuh berisi arak!
"Hmh...!"
Biang Guci Gunung Kari mendengus. Dengan sikap tidak mau kalah dari lawannya, tangannya diulurkan ke arah guci arak. Gerakannya tampak sembarangan saja. Dan sepertinya tanpa pengerahan tenaga sama sekali. Tapi, toh guci arak itu berhasil diangkat dan juga dituangkan ke dalam gelas bambunya.
Begitu Raja Minum Danau Sengon meletakkan kembali guci arak itu di meja, Biang Guci Gunung Kari pun telah meletakkan kembali gucinya di tempat yang sama. Tampak jelas kalau laki-laki berkumis tebal itu tidak mau kalah lagak terhadap lawannya.
Kedua belah pihak saling tatap sejenak. Masing-masing dengan sorot mata memancarkan ejekan. Baru kemudian, Raja Minum Danau Sengon selaku pemenang tahun lalu, mengangkat gelas bambu dan me-nenggak isinya.
Biang Guci Gunung Kari pun tidak mau kalah. Buru-buru diangkatnya gelas bambu, dan ditenggak araknya. Pertarungan adu minum pun telah dimulai.
Dewa Arak, Setan Mabuk, dan semua tokoh persilatan memperhatikan jalannya pertarungan penuh perhatian. Sepasang mata mereka semua hampir tidak berkedip memperhatikan gelas demi gelas arak yang masuk ke dalam perut Biang Guci Gunung Kari dan Raja Minum Danau Sengon.
Sebagai orang-orang persilatan, semua tokoh yang berada di situ tahu sesuatu yang mendukung tokoh itu bertarung agar keluar sebagai pemenang. Selain kebiasaan meminum arak, juga tenaga dalam yang kuat memegang peranan penting.
Semua tokoh persilatan berharap, agar salah satu tokoh yang bertarung itu menang tipis dari lawannya. Karena bila hal itu terjadi, pertarungan akan dilanjutkan kembali dalam adu semburan arak dan pertarungan.
Tapi ternyata hal yang diharapkan tidak terjadi. Baru satu guci arak yang dihabiskan, Biang Guci Gunung Kari sudah kelenger. Kepalanya sudah berputar ke sana kemari. Mulutnya pun sudah mengoceh tak karuan. Sementara, Raja Minum Danau Sengon baru memerah saja wajahnya. Meskipun juga sudah terpengaruh dengan arak yang diminumnya, tapi tidak separah lawannya. Memang arak yang disuguhkan untuk pertarungan antara raja-raja arak itu tergolong keras.
Melihat pertunjukan ini saja, sudah bisa diperkirakan siapa yang akan keluar sebagai pemenang. Dan memang, ketika guci arak yang kedua baru ditenggak satu gelas, Biang Guci Gunung Kari tak kuat lagi mengangkat gelas araknya. Bukan itu saja. Laki-laki berkumis tebal ini mendadak bangkit dari duduknya, lalu berjalan meninggalkan arena pertarungan sambil mengoceh tak karuan. Jelas, kalau pikirannya sudah tidak berjalan normal lagi. Jalannya pun lucu. Sekali melangkah ke depan, tapi kemudian ke belakang dua kali. Itu pun dengan terhuyung-huyung.
Hanya beberapa langkah saja Biang Guci Gunung Kari melangkah. Untuk kemudian, tubuhnya ambruk ke tanah.
Orang-orang persilatan yang berseragam kuning pun bergegas menghampiri, dan membawa laki-laki berkumis tebal yang sudah setengah tidak sadar untuk meninggalkan tempat itu.
"Ha ha ha...!" Raja Minum Danau Sengon tertawa terbahak-bahak menyambuti kemenangannya. Meskipun begitu, melihat raut wajahnya yang sudah mulai merah padam, semua orang tahu kalau dia tidak akan mampu minum sampai satu setengah guci arak lagi.
Sesuai peraturan, tokoh yang telah bertarung minum, tidak akan bertarung lagi sampai esok harinya. Maka kini pertarungan dilanjutkan antara Dewa Arak melawan Setan Mabuk.
Menilik dari keadaan Arya, hampir semua orang persilatan menjagoi Setan Mabuk Mereka semua tahu, siapa adanya kakek berkepala botak itu. Dialah orang yang telah memegang gelar juara Jago Arak Nomor Satu untuk berkali-kali pertarungan.
Bukan hanya itu saja. Perut Dewa Arak yang tidak, buncit, dan usia Arya yang masih muda, lebih membuat tokoh persilatan itu condong menjagoi Setan Mabuk!
Pertarungan seperti yang berlangsung antara Raja Minum Danau Sengon dan Biang Guci Gunung Kari kembali berlangsung. Tapi, kali ini antara Dewa Arak menghadapi Setan Mabuk.
Sebenarnya Arya tidak yakin kalau akan mampu menandingi kemampuan Setan Mabuk dalam hal minum arak, setelah melihat sendiri kemampuan Raja Minum Danau Sengon. Dewa Arak memang bukan seorang pemabukan. Walaupun memang tidak bisa melepaskan arak dari kehidupannya, tapi dia tidak pernah minum arak sampai berguci-guci. Dewa Arak hanya minum sekadarnya saja karena bukan pecandu arak.
Kalau saja tidak mengingat janji, Arya lebih suka menolak tantangan itu. Tapi sekarang hal itu tidak mungkin dilakukannya lagi. Kini, Dewa Arak telah duduk berhadapan dengan Setan Mabuk untuk mengadu kemampuan dalam hal meminum arak.
"He he ke...! Tunjukkan kemampuanmu kalau tidak ingin julukanmu hapus, Dewa Arak!" ejek Setan Mabuk sambil mulai menenggak arak yang berada dalam gelas bambunya.
Arya sama sekali tidak menanggapi ejekan itu. Dengan sikap tenang diangkatnya arak yang berada di dalam gelas bambu dan dituangkan ke mulutnya.
Kini pemuda berpakaian ungu ini mempunyai semangat memenangkan pertarungan adu minum, kalau tidak ingin kehilangan gelarnya. Padahal, dia risih mendapat julukan seperti itu. Tapi, alangkah malunya bila julukannya tergusur. Harus menang! Begitu keputusan Dewa Arak!
Berbeda dengan Arya yang merasa ragu bisa mengungguli lawan, Setan Mabuk yakin sekali kalau dirinya akan mampu mengalahkan lawan. Banyak alasan yang menyebabkan kakek berkepala botak itu begitu yakin. Satu di antaranya adalah usia pemuda itu yang masih begitu belia! Sedangkan dirinya telah puluhan tahun lamanya hidup bergelimang arak. Arak baginya sudah merupakan bagian dari hidup.
Pertarungan adu minum pun dimulai. Gelas demi gelas ditenggak kedua tokoh berbeda aliran, dan juga berbeda usia itu.
Para tokoh persilatan mulai merasa heran dan takjub ketika melihat Dewa Arak ternyata sanggup menandingi Setan Mabuk dalam meminum arak. Bahkan hingga habis satu buah guci, tidak tampak adanya perubahan pada wajah Arya. Karuan saja hal itu membuat heran bukan hanya tokoh-tokoh persilatan. Setan Mabuk dan juga Raja Minum Danau Sengon pun kaget bukan kepalang. Dari pertunjukan itu saja sudah bisa dilihat kalau kekuatan Dewa Arak berada di atas Biang Guci Gunung Kari dan Raja Minum Danau Sengon. Buktinya, Raja Minum Danau Sengon sendiri sewaktu menghabiskan seguci arak, wajahnya merah padam. Jelas, dia telah
terpengaruh hawa arak! Tapi, pemuda berambut putih keperakan itu ternyata sama sekali tidak terpengaruh.
Jangankan semua orang yang melihat, Dewa Arak sendiri pun merasa heran. Sama sekali di luar dugaan kalau dirinya sanggup menghabiskan seguci arak itu tanpa terpengaruh sama sekali. Padahal, semula dikira tidak akan sanggup, karena memang tidak pernah meminum arak sampai sebanyak itu. Dan bila minum pun, baik dalam pertempuran yang paling berat, biasanya tidak sampai seguci. Paling banyak hanya setengah guci. Guci kecil lagi! Dan dia mabuk!
Sama sekali pemuda berpakaian ungu itu tidak tahu kalau arak yang biasa diminumnya amat keras! Jauh lebih keras daripada arak yang paling keras sekalipun! Bahkan arak untuk pertandingan ini, seperti tidak ada apa-apanya. Oleh karena itu, karena sudah terbiasa dengan arak yang sangat keras, Arya sama saja seperti meminum air putih biasa saat minum arak itu!
Begitu satu guci telah selesai, dilanjutkan dengan guci kedua. Sampai akhirnya isi guci itu pun kandas, kedua tokoh yang bertarung belum ada yang mengalah.
Akhirnya, sampai perut kedua tokoh itu tidak mampu lagi menenggak arak, tetap saja belum mabuk. Maka Setan Mabuk pun menghentikan pertarungan. Memang secara pasti belum ketahuan, siapa yang keluar sebagai pemenang. Tapi melihat raut wajah kakek berkepala botak yang mulai merah padam, sementara wajah Arya masih biasa, sudah bisa diduga siapa yang akan keluar sebagai pemenang. Dan Setan Mabuk pun mengetahui hal itu. Maka, rasa penasarannya pun semakin menjadi-jadi.
Keesokan harinya, pertarungan pun dilanjutkan. Tapi kali ini tidak adu minum arak lagi, melainkan adu ketangkasan meruntuhkan beberapa butir batu yang digantung di atas cabang pohon. Belasan butir batu dijajarkan. Baik Dewa Arak maupun Setan Mabuk akan mengadu kemampuan merobohkan batu-batu itu dalam jarak tiga tombak!
"He he he...!"
Setan Mabuk tertawa terkekeh. Dengan pongahnya kakinya melangkah maju mengambil kesempatan menjadi peserta pertama.
Kakek berperut buncit itu menyipitkan sepasang mata, menatap jajaran batu-batu yang digantungkan di atas cabang pohon.
Glek... glek... glek...!
Suara tegukan keras dan kasar terdengar ketika arak yang dituangkan kakek berperut buncit itu jatuh ke dalam mulut. Tapi kali ini tidak langsung ditelan, melainkan disimpan dalam mulutnya sehingga kedua pipinya tampak menggembung. Dan....
Pruhhh...!
Setan Mabuk menyemburkan arak yang disimpan dalam mulutnya. Seketika itu juga, arak itu meluncur ke arah tali-tali yang menggantung batu-batu itu. Suara mendesing nyaring terdengar tatkala arak itu meluncur deras menuju sasaran.
Tasss, tasss, tasss...!
Tiga belas buah batu jatuh berguguran ke tanah tatkala percikan-percikan arak Setan Mabuk memutuskan tali-tali penggantungnya.
"He he he...!"
Sambil terkekeh-kekeh, Setan Mabuk menatap Dewa Arak, penuh kemenangan. Tapi Arya sama sekali tidak mempedulikannya. Dengan langkah tenang, pemuda berambut putih keperakan itu melangkah menghampiri tempat gantungan batu.
Kemudian guci araknya diangkat ke atas kepala. Dan....
Gluk... gluk... gluk...!
Suara tegukan terdengar ketika arak itu masuk ke dalam mulut Dewa Arak. Seperti juga Setan Mabuk, Dewa Arak pun tidak menelan arak itu melainkan, menyemburkannya!
Pruhhh...!
Laksana anak panah, percikan arak itu melesat ke arah batu yang bergantungan di cabang lainnya Memang, batu untuk sasaran Dewa Arak dan Setan Mabuk ditempatkan pada cabang yang berlainan.
Tasss, tasss, tasss...!
Batu-batu kontan berguguran dan jatuh ke tanah ketika tali-tali penggantungnya putus. Seketika itu juga pandangan mata semua tokoh persilatan yang ada di situ, beralih ke arah batu-batu yang bergeletakan di tanah. Batu-batu kecil yang masih terlibat tali.
Dengan pandangan mata, tokoh-tokoh persilatan itu menghitungnya. Ternyata jumlahnya empat belas! Lebih banyak satu buah ketimbang batu yang dijatuhkan Setan Mabuk.
"Grrrhhh...! Awas serangan, Dewa Arak!"
Setan Mabuk menggeram keras melihat kekalahannya. Sudah dua kali dia dikalahkan Dewa Arak. Meskipun yang pertama kali tidak secara jelas, tapi semua orang yang menonton mengetahuinya.
Seiring lenyap geramannya, kakek berperut buncit itu melompat menerjang Dewa Arak! Guci besar tangannya meluncur deras ke arah kepala Arya.
Dewa arak yang memang sudah bersiaga sejak semula, tidak menjadi gugup. Buru-buru kepalanya ditundukkan. Dan....
Wusss...!
Sambaran guci itu melesat lewat di atas kepala Arya. Menilik dari rambut dan pakaian pemuda berambut putih keperakan yang berkibaran keras, bisa diperkirakan kekuatan tenaga dalam yang terkandung dalam ayunan guci lawan.
Dewa Arak tidak berani bertindak ayal. Buru-buru guci araknya diangkat ke atas kepala. Lalu....
Gluk... gluk... gluk...!
Suara tegukan terdengar ketika arak itu melewati tenggorokan Dewa Arak dalam perjalanan menuju ke perut. Seketika itu juga, ada hawa hangat yang beredar di dalam perut Arya dan perlahan naik ke atas kepala.
Pertarungan antara dua tokoh yang sama-sama tangguh, dan sama-sama memiliki ilmu aneh pun tidak bisa dielakkan lagi. Maka tokoh-tokoh yang berada di sekitar tempat itu buru-buru menjauh.
Kini pertarungan yang aneh pun berlangsung. Pertarungan aneh ini mungkin untuk pertama kalinya terjadi di dunia persilatan. Dua orang tokoh sakti yang sama-sama memiliki ilmu aneh. Menggeliat-geliat, terkadang lemas seperti orang mabuk akan jatuh. Tapi tak jarang secara mendadak mengejang kaku penuh kekuatan. Perubahan gerakan kedua orang itu me-mang terjadi secara tiba-tiba. Dari lembut berubah keras. Juga, sebaliknya.
Tapi berbeda ketika menghadapi Dedemit Alam Akhirat melawan Setan Mabuk, Dewa Arak sama sekali tidak mengalami kesulitan. Ilmu yang dimiliki lawan mirip ilmu yang dimilikinya. Sehingga, dia tidak mengalami kesulitan menghadapinya.
Pertarungan antara kedua tokoh itu berlangsung menarik, karena berkali-kali keduanya mengadu guci atau semburan arak.
Tapi setelah pertarungan berlangsung hampir seratus jurus, tampak keunggulan Dewa Arak. Ilmu yang dimiliki Setan Mabuk meskipun mirip dengannya, tapi mengandung banyak kelemahan di sana-sini. Dan ini jelas berbeda jauh dengan ilmu 'Belalang Sakti'nya.
Setan Mabuk menggertakkan gigi ketika menyadari kalau tidak akan bisa mengungguli Dewa Arak. Tampak jelas, pemuda berambut putih keperakan itu memiliki ilmu yang lebih tinggi mutunya. Gerakan guci, tangan, kaki, dan araknya merupakan satu kesatuan yang saling tunjang-menunjang dan menutup celah-celah yang dapat digunakan lawan untuk memasukkan serangan.
Sadar kalau dirinya tidak akan mungkin bisa mengalahkan Dewa Arak, kakek berperut buncit itu jadi nekat untuk mengadu nyawa. Maka
tanpa mempedulikan keselamatan diri, kakek berkepala botak itu melancarkan serangan secara membabi buta.
Arya tahu, kalau Setan Mabuk tidak akan bisa disadarkan. Lagi pula, dia adalah seorang tokoh sesat yang kejam dan berbahaya. Adalah suatu kewajiban baginya untuk melenyapkan tokoh itu selama-lamanya.
"Hattt..!"
Sambil mengeluarkan pekikan nyaring, Setan Mabuk yang telah tidak mempedulikan keselamatan diri mengayunkan gucinya ke arah kepala Dewa Arak.
Wuttt..!
Guci itu lewat setengah jengkal di depan wajah ketika Arya menarik kepala ke belakang. Tidak hanya itu saja yang dilakukan pemuda berpakaian ungu itu. Pada saat yang bersamaan, kaki kanannya mencuat ke arah leher.
Setan Mabuk yang sejak tadi sama sekali tidak mempedulikan pertahanan, menjadi terkejut bukan kepalang. Sedapat mungkin, dia berusaha mengelak. Tapi...
Tukkk...!
Usaha kakek berperut buncit itu sia-sia belaka. Kala Arya telah terlebih dulu menghantam lehernya dengan telak. Tanpa sempat bersambat lagi, Setan Mabuk jatuh berdebuk di tanah. Dan selagi Setan Mabuk terjerembab, Dewa Arak cepat melesat kembali. Langsung dijejaknya leher tokoh sesat itu sekali lagi. Akibatnya, kontan kakek itu tewas.
"Hhh...!"
Arya menghela napas berat. Ditatapnya mayat Setan Mabuk. Setelah mengedarkan pandangan pada tokoh-tokoh persilatan yang ada di sekitarnya, pemuda berambut putih keperakan itu melangkah meninggalkan tempat itu. Hanya dalam beberapa kali langkah saja, tubuhnya sudah berada di pinggir pantai.
Tanpa peduli pada panggilan dan pandangan tokoh-tokoh persilatan, Dewa Arak mengambil sebuah perahu yang berada di situ dan mengayuhnya meninggalkan pulau.
Raja Minum Danau Sengon dan semua tokoh persilatan yang ada di situ, hanya bisa memandangi kepergian Dewa Arak Dalam hati, mereka mengakui kalau Dewa Arak-lah yang berhak menjadi Jago Arak Nomor Satu!

SELESAI

INDEX AJI SAKA
23.Setan Mabuk --oo0oo-- 25.Penghuni Lembah Malaikat
Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.