Misteri Tengkorak Berdarah
tanztj
January 29, 2012
INDEX JOKO SABLENG | |
10.Jejak Darah Masa Lalu --oo0oo-- 12.Warisan Laknat |
JOKO SABLENG
Pendekar Pedang Tumpul 131
Karya: Zhaenal Fanani
Pendekar Pedang Tumpul 131
Karya: Zhaenal Fanani
BAB 1
SOSOK berjubah hitam besar dan panjang, serta wajahnya ditutup dengan cadar hitam itu berlari laksana angin. Namun demikian sesekali kepala orang ini berpaling ke belakang, jelas jika dia dihantui suatu kebimbangan. Sosok berjubah dan bercadar hitam yang tidak lain adalah Dewi Siluman berlari tanpa bisa pusatkan perhatian. Pikirannya tertuju pada Ki Buyut Pagar Alam.Sebenarnya perempuan ini enggan tinggalkan tempat terjadinya bentrok. Tapi begitu maklum bahwa orang berjubah abu-abu terusan, ilmu kepandaiannya berada di atasnya malah tidak berada di bawah Ki Buyut Pagar Alam, anak Daeng Upas ini cepat berfikir dua kali. Apalagi ketika didengarnya TengKorak Berdarah mengatakan tidak akan membiarkan hidup keturunan atau kerabat Daeng Upas. (Seperti diceritakan pada episode sebelumnya Jejak Darah Masa Lalu).
Terjadilah bentrok antara Dewi Siluman dan Ki Buyut Pagar Alam dengan Tengkorak Berdarah Namun kepandaian kedua orang itu rupanya masih berada di bawah Tengkorak Berdarah, malah pada akhirnya, Ki Buyut Pagar Alam menyarankan agar Dewi Siluman segera tinggalkan tempat terjadinya bentrok untuk selamatkan diri.
"Kalau aku ikut tewas di tangan manusia hahanam ini maksud tujuannya akan tercapai! Hem... Bagaimanapun juga aku harus selamatkan diri meski terasa berat meninggalkan Ki Buyut. Dengan begitu, aku masih punya kesempatan mendalami kepandaian dan memburu Kitab Serat Biru yang ada di tangan Pendekar 131... Setelah itu aku akan menuntut balas" batin Dewi Siluman saat itu.
Lalu ketika K Buyut Pagar Alam berteriak menyuruhnya berlari sambil lepaskan pukulan, anak Daeng Upas ini melesat tinggalkan tempat itu. Pada satu tempat yang rindang, Dewi Siluman hentikan larinya. Lalu duduk bersandar pada sebatang pohon.
"Ibu telah terbunuh. Apakah Ki Buyut akan menyusul?! Murid-muridku pun malah telah terlebih dahulu tewas. Ada yang hidup tapi bertindak bodoh hingga sampai lupa diri!" gumam Dewi Silumai mengingat pada kejadian beberapa waktu lalu Pulau Biru.
Seperti diketahui, waktu terjadi kegegeran di Pulau Biru, kedua muridnya Wulandari dan Ayi Laksmi akhirnya harus menemui ajal di tangan Dewi Seribu Bunga. Satu-satunya murid yang masih hidup adalah Sitoresmi. Namun gadis itu telah berbalik arah. Seperti diketahui, Sitoresmi yang mendapat tugas memburu rahasia Kitab Serat Biru pada akhirnya jatuh hati pada Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko Sableng hingga dia lupa tugasnya malah beberapa kali membantu sang Pendekar. (Lebih jelasnya silakan baca serial Joko Sableng dalam episode Neraka Pulau Biru)
"Ah... Jika Ki Buyut tak bisa bertahan, berarti aku akan hidup sebatang kara. Hem... Aku sekarang yakin, manusia jahanam berjubah abu-abu itulah yang membunuh Ibu! Ibu... Belum sempat kau katakan siapa ayahku, ternyata kau telah pergi. Pada siapa kelak aku harus bertanya? Kau tak pernah mau mengatakan siapa orang yang tahu tentang ayahku... Malang benar nasibku!"
Dewi Siluman sesenggukan. Lalu tarik kedua kakinya menekuk ke atas. Wajah bercadar yang sepasang matanya keluarkan air mata itu segera ditekapkan rapat pada kedua tangannya. Kedua tangannya melingkar pada kedua kakinya. Beberapa saat berlalu. Dewi Siluman tidak tahu berapa lama dia menangis sesenggukan dan bicara sendiri dengan tekapkan wajahnya yang bercadar pada kedua pahanya seperti itu. Anak Daeng Upas ini baru putuskan sesenggukannya saat menyadari bahwa di tempat itu sekarang dia tidak lagi berada sendirian.
Menangkap ada yang tidak beres di tempat itu, kepala Dewi Siluman yang merapat pada pahanya pun bergerak terangkat. Dari mulut perempuan ini terdengar seruan kaget. Serentak dia bangkit berdiri bersandar pada batang pohon di belakangnya. Sepasang matanya yang sembab berubah berkilat. Wajah di balik cadarnya berubah antara khawatir dan geram.
“Keparat ini tau-tau muncul disini!! Kapan datangnya? Apakah dia mendengar ucapanku tadi?!"
Di hadapan Dewi Siluman hanya sejarak lima langkah terlihat seorang kakek tegak dengan kepala tengadah seolah memandangi rindangnya dedaunan yang mampu menghadang sengatan sinar matahari. Namun sebenarnya orang ini tidak sedang menatapi rindangnya hijau dedaunan. Kedua mata orang ini hanya tampak putihnya saja menunjukkan bahwa orang ini tidak bisa melihat alias buta. Sedang tangan kanannya tidak henti mengusap-usap sebuah cermin bulat pada pangkal ikat pinggangnya yang besar didepan perutnya yang menggelendot lebar.
Begitu Dewi Siluman habis membatin dan belum sempat buka mulut keluarkan suara, kakek bermata buta yang bukan lain adalah Gendeng Panuntun luruskan kepala menghadap sang Dewi. Sepasang matanya yang putih mengerjap. Lalu terdengar suaranya.
"Harap maafkan diri tua ini jika mengejutkanmu..."!
Dewi Siluman tidak menyahut. Hanya diam-diam dia terus membatin. "Ada perlu apa orang ini? Kalau dia berniat buruk... Tapi tak mungkin. Seandainya dia mau, tentu dia telah lakukan waktu aku tidak menyadari kedatangannya! Namun bagaimanapun juga dia punya silang sengketa denganku! Urusan Kitab Serat Biru gagal karena ulahnya juga!"
"Anak gadis. Aku ikut bersedih dengan apa yang terjadi menimpa dirimu... Tapi aku akan lebih bersedih lagi kalau kau tidak mengikuti saranku nanti. Untuk hal itulah aku mendatangimu! Aku tidak tahu apakah ibumu pernah cerita apa tidak. Tapi tak ada jeleknya kalau aku memberitahukan padamu..."
Gendeng Panuntun sengaja hentikan ucapannya memberi kesempatan pada Dewi Siluman untuk buka suara. Tapi sejauh ini tampaknya Dewi Siluman masih belum buka mulut hingga akhirnya Gendeng Panuntun lanjutkan kata-katanya.
"Sebenarnya di antara kita masih ada pertalian saudara meski bukan satu kandung. Ibumu Daeng Upas adalah kakak seperguruanku. Hanya karena sedikit kesalahpahaman akhirnya hubungan jadi retak. Tapi percayalah. Aku masih menganggap ibumu saudaraku, termasuk kau juga!"
Dewi Siluman tertawa pendek. Untuk pertama kalinya dia buka mulut perdengarkan suara. "Kau menganggap ibuku masih saudara itu urusanmu! Aku tidak peduli! Hanya perlu kau ketahui, aku menghitungmu sebagai musuh besar yang layak dilempar ke dunia lain!"
Gendeng Panuntun tertawa panjang mendengar tahutan Dewi Siluman. Sambil terus usap-usap cermin bulatnya kakek bermata buta ini berkata.
"Kalau kau menghitung musuh besar, aku juga tidak ambil peduli. Aku tetap menghitungmu sebagai saudara Karena anggapan itulah aku datang menemuimu memberi saran agar semua kesalahpahaman lenyap lebih-lebih kau bisa terhindar dari kemalangan berlarut-larut!"
..... Dewi Siluman mendengus. Lalu membentak "Kau tahu apa tentang diriku?!"
Gendeng Panuntun gelengkan kepala seraya terus tertawa. "Kau memang lebih tahu dirimu dari pada aku. Tapi pada satu sisi, aku tahu apa yang tidak kau ketahui! Maaf, jangan kira aku meramal! Aku hanya punya firasat..."
Entah karena apa, tiba-tiba Dewi Siluman sipitkan mata lalu membatin. "Menurut yang kudengar, manusia satu ini memang punya kehebatan tersendiri. Aku akan tanya perihal Ki Buyut..." Lalu anak Daeng Upas ini berkata.
"Kemalangan apa sebenarnya yang kau katakan tadi, Katakan padaku!"
Gendeng Panuntun terdiam beberapa sebelum akhirnya berkata. "Sebelumnya aku ikut bela sungkawa. Tapi harap kau bertahan menerima suratan ini..." Gendeng Panuntun menghela napas panjang dahulu. Sementara dada Dewi Siluman berdebar. Perempuan ini rupanya bisa menebak arah ucapan si kakek, dia tidak keluarkan suara.
"Anak cantik. Untuk sementara ini kuharap kau pergi. Ke mana kau hendak menuju terserah, penting kau jangan melibatkan diri dalam rimba persilatan! Carilah orang yang bisa kau buat untuk berlindung, karena kau sekarang sudah tidak memiliki sapa-siapa lagi! Yang ku..."
"Kau maksud adik ibuku yang bernama Ki Buyut Pagar Alam telah terbunuh, begitu?!" tukas Dewi Siluman memotong ucapan Gendeng Panuntun.
"Begitulah dugaanku..." jawab si kakek pelan. "Aku ikut bersedih..."
Tubuh Dewi Siluman gemetar. Tapi akhirnya dia hanya dapat menarik napas mengeluh.
"Ibumu menurut penglihatanku juga telah mendahului pamanmu itu. Demikian juga ayahmu..."
Kali ini Dewi Siluman tersentak dan berseru tertahan mendengar ucapan terakhir Gendeng Panuntun. Perempuan ini cepat berkata. "Katakan siapa sebenarnya ayahku?!"
"Ayahmu sebenarnya adalah seorang tokoh yang dalam dunia persilatan lebih dikenal dengan Datuk Besar. Sudah beberapa tahun aku tidak mendengar kabar beritanya sampai kuketahui tiba-tiba dia telah meninggal..."
"Datuk Besar... Aku pernah dengar nama itu. Tapi aku benar-benar tidak menduga kalau dia adalah ayahku! Hem... Apakah dia juga terbunuh di tangan Siluman berjubah abu-abu itu seperti ucapan ancamannya?!"
Membatin begitu lalu Dewi Siluman berujar. "Kau tahu ayahku meninggal. Kenapa dia meninggal? Sakit atau dibunuh orang? Di mana dia beradanya?"
"Sebab pangkal kematian ayahmu tidak kuketahui. Sebelumnya dia bertempat tinggal pada satu tempat sunyi. Tapi percuma kau mencarinya. Kukira ibumu telah mengurus jenazahnya jauh dari tempat tinggalnya semula"
Dewi Siluman menarik napas dalam. Gendeng Panuntun mendongak. "Anak gadis cantik... Sekarang jalan terbaik bagimu adalah cari orang tempat berlindung. Kau tidak bisa hidup sendirian terus menerus. Aku tahu, di balik kain cadarmu, tersembunyi satu wajah cantik. Hanya laki-laki bodoh yang tidak merasa tertarik."
Meski dalam keadaan dibuncah berbagai perasaan, mendengar ucapan Gendeng Panuntun mau tak mau wajah di balik cadar hitam sang Dewi tampak berubah memerah.
"Anak cantik. Terus terang saja. Yang kumaksud tadi adalah kuharap kau segera kawin..."
Dewi Siluman tercengang. Tidak menduga kalau arah ucapan Gendeng Panuntun ke arah sana. Namun ketercengangan anak Daeng Upas ini hanya sekejap. Saat lain justru dia tertawa.
"Mengapa kau tertawa? Apakah ucapanku lucu?!"
"Bukan hanya lucu. Tapi kau telah bicara lancang" sahut Dewi Siluman. "Aku tahu bagaimana mendapat kebahagiaan tanpa harus turuti ucapanmu"
"Ah... Kau berkata begitu karena kau belum merasakan bagaimana nikmatnya berkeluarga! Kalau kau tahu, mungkin kau merasa menyesal tidak sedari dulu kawin...! Jika kau belum percaya, coba tanya pada orang-orang yang telah berpasangan!"
"Orang tua! Kau telah bicara ngelantur dan terlalu jauh urusi persoalanku! Dan perlu kau ketahui, aku tidak akan kawin sebelum tanganku dapat memutus batang leher orang yang berbuat keji pada Ibu serta Ki Buyut!"
"Aku tahu. Tapi kuharap kau juga mau dengar saranku yang tadi. Percayalah, lebih baik kau berubah pikiran..."
Lalu tanpa hiraukan orang yang mulai jengkel, Gendeng Panuntun tertawa bergelak. Lalu balikkan tubuh dan melangkah meninggalkan Dewi Siluman yang tegak dengan mata mendelik. Perempuan ini sebenarnya hendak berkelebat menyusul, karena dia teringat akan kejadian di Pulau Biru. Tapi mendadak anak Daeng Upas ini batalkan niat ketika dilihatnya di depan sana Gendeng Panuntun hentikan langkah. Lalu kepalanya mendongak seakan pandangi rimbun dedaunan. Saat lain terdengar orang ini berkata.
"Urusan telah selesai. Kita segera pergi..."
"Aneh... Orang buta itu apa telah gila hingga bicara sendiri? Atau..."
Dewi Siluman tidak lanjutkan gumamannya. Sebaliknya dia terkesiap takkala sepasang matanya tiba-tiba menangkap satu sosok tubuh melayang turun dari pohon besar berdahan rindang di atas dimana Gendeng Panuntun berada.
"Astaga! Dia bersama orang lain..." desis sang Dewi. Perempuan bercadar dan berjubah hitam ini segera berkelebat untuk mengetahui siapa adanya orang yang baru melayang turun.
Tapi belum sempat Dewi Siluman melesat, Gendeng Panuntun telah berkelebat bersama orang yang baru melayang dari atas pohon. Anak Daeng Upas ini hanya bisa melihat jubah merah menyala yang dikenakan orang, lalu mendengar suara tawa cekikikan yang jelas menunjukkan kalau orang yang baru saja turun mengenakan jubah warna merah menyala adalah seorang perempuan!
Sepeninggal Gendeng Panuntun, Dewi Siluman duduk bersimpuh dengan kedua tangan dikatupkan pada wajahnya yang tertutup cadar hitam. Bahu perempuan ini terlihat berguncang dan terdengar isakan tangisnya. Beberapa saat berlalu. Setelah dapat menguasai perasaan, Dewi Siluman turunkan kedua tangannya dari wajah. Kepalanya lalu mendongak. Meski dia merasa jengkel dengan ucapan-ucapan Gendeng Panuntun namun mau tak mau hatinya terusik juga menyimak kembali ucapan orang tua bertubuh besar gemrot itu.
"Apa yang harus kulakukan sekarang? Menuruti ucapan orang buta itu?!" Mulut di balik cadarnya tersenyum malah terdengar keluarkan suara tawa perlahan.
"Kawin! Hem... Rasanya sampai saat ini belum ada seorang laki-laki yang menarik hatiku. Tapi mengapa kadang kala wajah pemuda itu tak bisa kulupakan? Padahal dendamku padanya setinggi langit! Pemuda itu memang tampan hingga Sitoresmi sampai berani berkhianat. Tapi ah... Mengapa aku jadi memikirkan pemuda yang seharusnya kubunuh? Sialan betul!"
Dewi Siluman memaki sendiri sambil kepalkan kedua tangannya. "Aku tidak akan kawin sebelum semua urusan ini selesai tuntas!"
Perempuan berjubah serta bercadar hitam ini arahkan pandangannya ke jurusan mana tadi Gendeng Panuntun berkelebat pergi. "Perempuan berjubah merah bukan lain pasti si nenek sialan bergelar Ratu Malam itu. Kalau mereka berdua pergi bersama dan sepertinya terburu-buru pasti ada masalah penting. Aku harus menyelidik. Jangan-jangan ini masih ada hubungannya dengan pumuda sableng itu!"
Dewi Siluman bangkit. Setelah edarkan pandangannya berkeliling dia berkelebat ke arah mana si Gendeng Panuntun dan perempuan berjubah merah menyala yang tidak lain memang Ratu Malam adanya berkelebat pergi.
Kita tinggalkan dahulu Dewi Siluman yang di buncah berbagai perasaan begitu mendengar keterangan Gendeng Panuntun. Kita kembali sejenak pada Prabarini serta Puspa Ratri. Seperti diketahui, sebelum terjadi bentrok lebih jauh antara Puspa Ratri dengan Saraswati, mendadak muncul Prabarini yang kemudian mengajak anaknya tinggalkan tempat perkelahian. Pada satu tempat agak sepi, Prabarini hentikan larinya.
Setelah memandang berkeliling, perempuan ini duduk di atas tanah. Puspa Ratri yang berlari di belakangnya segera pula berhenti lalu duduk di hadapan ibunya. Untuk beberapa saat Prabarini memandangi wajah anaknya. Dia menghela napas panjang. Wajah dan sikapnya jelas membayangkan rasa tidak enak di hati. Setelah agak lama Prabarini alihkan pandangannya ke jurusan lain sambil berkata.
"Puspa... Ibu harap kau nanti tidak salah paham. Ini kukatakan dahulu karena apa yang hendak kita bicarakan menyangkut pemuda yang pernah kita tolong beberapa waktu lalu..."
Puspa Ratri hanya pandangi ibunya tanpa buka mulut. Paras gadis cantik ini tampak murung malah sepertinya dia enggan untuk bicara.
"Puspa... Ibu tahu. Kau menyukai pemuda itu. Tapi rasanya tidak pantas jika kau sampai adu mulut sampai hendak saling bunuh! Kau seorang perempuan. Laki-laki akan besar kepala kalau dibela mati-matian begitu rupa. Dan hal itu justru kelak akan menjadi bumerang bagimu".
Sebenarnya Puspa Ratri enggan menyahut ucapan ibunya. Namun mungkin karena ingin membela diri, akhirnya gadis ini berkata. "Aku tidak akan bertindak kasar kalau tidak melihat gadis itu berlaku licik hendak mencelakai! Apalagi dia bersekongkol dengan orang lain untuk merampas benda yang kurasa sangat berharga sekali".
"Kau hanya dituntun perasaan cemburu, Puspa Ratri”.
"Ibu...! Kalau gadis itu terus terang dan berlaku baik-baik, aku tidak akan ambil peduli. Mungkin memang sudah berjodoh. Tapi dia berlaku pura-pura! Malah kurasa Joko sebelumnya tidak mengetahui kalau pemuda berkumis tipis berpakaian hitam-hitam itu adalah seorang gadis. Kalau dia tidak mau bertemu orang dan menyamar, pasti di balik semua itu punya tujuan tertentu. Dan tujuannya pasti jahat!!"
Air muka Prabarini sejenak berubah. Sambil sunggingkan senyum dia berujar. "Kau menyindirku...?"
"Aku tidak menyindir Ibu yang selalu menyaru dengan mengenakan bedak tebal agar tidak dikenal. Hanya biasanya orang menyamar tak mau dikenal, punya tujuan tidak baik!"
Kembali Prabarini tersenyum mendengar ucapan anaknya. Lalu berkata. "Bagaimana kau bisa berpendapat begitu?"
"Kalau tujuan kita baik, mengapa kita takut tunjukkan wajah asli? Kebaikan tidak perlu ditutup-tutupi..."
"Ucapanmu benar. Tapi kau jangan samakan semua orang yang menyamar punya tujuan jahat. Tindakan boleh sama, tapi tujuan pasti berbeda!"
Mungkin karena selama ini ibunya tidak mau jelaskan apa sebenarnya yang menjadi tujuannya menyamar, lagi pula karena masih tidak suka dengan tindakan ibunya, Puspa Ratri akhirnya berkata lagi.
"Orang melihat bukan pada hati yang tidak kelihatan. Tapi pada tindakan! Apa pun alasan Ibu, orang pasti menduga tujuan Ibu menyamar adalah tidak baik!"
"Anakku... Untuk sementara ini aku memang harus menerima penilaian itu! Tapi kelak semua akan tahu bahwa aku punya tujuan baik..."
"Kelak kapan, Ibu...?" tanya Puspa Ratri.
"Aku tak dapat menentukan kapan waktunya. Namun jelas hal itu akan terjadi!"
"Selama ini Ibu selalu berkata begitu. Bukan hanya dalam urusan ini saja. Tapi juga soal keterangan yang menyangkut Ayah..."
Prabarini tampak menghefa napas. "Anakku... lihatlah! Kuharap kau bersabar. Kuharap juga kau tidak terlalu jauh berprasangka pada gadis berpakaian hitam-hitam itu..."
Puspa Ratri tatap wajah ibunya lekat-lekat. Sedang matanya memandang tajam pada bola mata ibunya. Lalu terdengar ucapannya. "Ibu rasanya selalu membela gadis itu!"
"Aku tidak membela. Aku hanya ingin mendudukkan urusan agar nantinya tidak berlarut-larut. Kau tentu masih ingat ucapanku tempo hari. Kau kuminta jauhi pemuda itu. Karena aku sudah tahu karena ada gadis lain yang telah menyukainya! Aku khawatir terjadi apa-apa. Ternyata apa yang kukhawatirkan benar-benar terjadi... Aku menyesal mengapa tempo hari tidak mengatakan terus terang padamu apa sebabnya aku mengharap agar kau menjauhi pemuda itu..."
"Ibu... Ibu tidak usah merasa menyesal. Aku tidak apa-apa kalau pemuda itu sudah punya pilihan! Yang tidak kusukai adalah sikap gadis itu! Ibu tahu nanti bagaimana akhirnya pemuda itu sampai mendapat celaka!"
"Itu dua hal yang berbeda, Puspa...! Bila seseorang mencintai, maka tidak mungkin orang itu menginginkan celaka pada orang yang dicintai!"
"Menuruti ucapan Ibu, berarti gadis itu hanya pura-pura menyintai pemuda itu!" kata Puspa Ratri. Suaranya agak meninggi.
"Tidak semudah itu menduga isi hati orang, Anakku..."
"Tapi setidaknya bisa dilihat dari sikapnya bukan?!"
Prabarini gelengkan kepala. "Sikap orang belum bisa dijadikan pertimbangan. Kadang kala orang bersikap karena terpaksa!"
"Tapi sikap gadis itu kurasa bukan karena terpaksa! Dia telah rencanakan matang sebelumnya. Kalau tidak bagaimana mungkin kemunculannya hampir bersamaan dengan Tengkorak Berdarah? Mereka berdua tentu bersekongkol!"
Prabarini tersentak mendengar ucapan anaknya. Diam-diam dalam hati dia membatin. "Anak ini dari tadi menyatakan jika Saraswati bersekongkol dengan orang lain. Tak kusangka kalau yang dimaksud adalah Tengkorak Berdarah! Hemmm... Jangan-jangan... Lasmini"
"Puspa... Coba ceritakan apa sebenarnya yang tadi terjadi!"
Setelah memandang ibunya sesaat, Puspa Ratri lalu menceritakan tentang pertemuannya dengan Pendekar 131 hingga akhirnya murid Pendeta Sinting terhantam pukulan dan tendangan Tengkorak Berdarah setelah memberikan kitab bersampul kuning dan mahkota bersusun tiga. Untuk kedua kalinya Prabarini terkesiap. Malah perempuan ini sempat terlonjak saking kagetnya.
"Aku yakin. Dia adalah Lasmini! Malapetaka akan makin merajalela kalau urusan ini tidak segera diatasi. Kitab itu... Bagaimana bisa begitu mudah diberi tahu pada orang? Anak itu terlalu sembrono! Kitab itu harus segera diselamatkan..."
"Kau yakin orang itu adalah Tengkorak Berdarah?"
"Joko sempat berbincang dengan orang itu! Mereka tampaknya sudah saling kenal. Tapi tak tahunya..."
Ucapan Puspa Ratri belum selesai, Prabarini telah memotong. "Bagaimana ciri-ciri orang yang kau katakan Tengkorak Berdarah itu?!"
"Sekujur tubuhnya tertutup jubah terusan warna abu-abu. Pada dadanya terlihat gambar sebuah tengkorak..."
"Kau bisa menebak orang itu laki-laki atau perempuan?!" Prabarini terus ajukan tanya untuk meyakinkan dugaannya.
"Karena wajah bahkan seluruh anggota tubuhnya tertutup, aku tidak bisa menentukan laki perempuannya. Hanya dari suaranya, jelas kalau dia adalah seorang laki-laki".
"Apakah dia juga mengenal gadis berpakaian hitam yang saat itu juga ada di situ?"
"Aku berani mengatakan mereka sekongkol karena rupanya mereka seperti sudah saling mengenal!"
"Hah...? Bagaimana ini? Apakah mungkin Lasmini telah mengenali Saraswati? Kalau betul rencanaku akan gagal!" kembali Prabarini berkutat dengan kata hatinya.
"Kenapa Ibu begitu penasaran. Ibu mengenal orang yang bergelar Tengkorak Berdarah itu?!" tanya Puspa Ratri merasa curiga dengan pertanyaan ibunya lebih-lebih pada perubahan wajahnya.
Untuk beberapa saat Prabarini tidak jawab pertanyaan anaknya. Mungkin karena tak mau membuat anaknya jadi curiga, akhirnya Prabarini menjawab.
"Kalangan rimba persilatan kini sedang dilanda kegemparan. Hal itu dihubung-hubungkan orang dengan Tengkorak Berdarah dan Istana Hantu. Karena selama ini orang hanya tahu nama Tengkorak Berdarah, tanpa satu pun orang yang mengetahui bagaimana orangnya. Jadi kalau kau bertemu dengan orang yang bergelar Tengkorak Berdarah, tentu aku ingin meyakinkan. Aku pernah sedikit dengar tentang orang itu..."
"Hem... Apakah sama dengan orang yang kukatakan?!"
"Sama persis tidak. Hanya mirip..." ujar Prabarini.
Puspa Ratri kerutkan dahi. Sepasang matanya mengarah pada jurusan lain.
"Mendengar keteranganmu, jangan-jangan ada dua Tengkorak Berdarah!"
"Anak ini pandai menduga... Tapi biarlah untuk sementara ini dia hanya menduga-duga dahulu. Dan aku harus segera lakukan sesuatu..."
Berpikir begitu, Prabarini bergerak bangkit. Memandang lekat-lekat pada anaknya lalu berkata. "Puspa... Kuharap untuk sementara ini kau tidak ke mana-mana dahulu sebelum aku datang. Kalau sampai dalam dua hari di depan aku tidak datang. Kuminta kau datang ke sekitar Istana Hantu. Tapi ingat, kau harus bertindak hati-hati...!"
Puspa Ratri tampak terkejut. Dia ikut bergerak bangkit. Lalu bertanya. "Ada apa sebenarnya, Ibu...?!"
"Saat ini bukan saat yang baik untuk bercerita. Kelak kau akan tahu sendiri. Kau ingat pesanku baik-baik. Dan jaga dirimu baik-baik!"
Puspa Ratri hendak mengatakan sesuatu. Namun sebelum suaranya terdengar, Prabarini telah mendahului bicara. "Kau juga jangan membuat urusan baru dengan gadis itu sebelum dua hari di depan!"
Selesai berkata begitu, perempuan yang selama ini selalu sembunyikan wajah aslinya dengan bedak tebal ini putar diri. Kejap lain sosoknya berkelebat tinggalkan Puspa Ratri yang memandangnya dengan hati dibuncah berbagai tanya.
BAB 2
Suasana di penghujung malam menjelang dini hari itu diselimuti hawa dingin menembus tulang dan kepekatan kabut. Kemana mata memandang yang terlihat hanyalah lamunan warna putih yang membungkus apa saja di lingkaran bumi. Laksana dikejar setan, satu sosok bayangan yang seluruh anggota tubuhnya tertutup jubah terusan warna abu-abu dari kaki sampai rambut itu berkelebat cepat. Dalam beberapa saat saja dia sudah berada jauh dari tempatnya semula di satu lereng bukit. Pada satu tempat, orang ini hentikan larinya. Kepalanya di balik jubah abu-abu terusan bergerak memutar, lalu tengadah seolah menembusi kepekatan kabut."Saat ini adalah hari yang ditentukan Prabarini. Jahanam betul! Kalau saja dia tidak menggantung urusan dengan mengaitkan Saraswati, sudah sejak malam itu kuakhiri hidupnya! Hem... Apakah benar perempuan itu mengetahui keberadaan anakku? Apa ini bukan tipu muslihat?"
Orang berjubah terusan abu-abu yang tidak lain adalah Tengkorak Berdarah adanya tiba-tiba tertawa. "Walau aku belum sempat mempelajari kitab bersampul kuning ini, tapi kedua tanganku masih mampu mengakhiri hidup Prabarini jika dia berani bertindak tolol memuslihatiku!"
Tangan kanan orang ini terlihat bergerak meraba perutnya. Dia lalu menghela napas panjang. "Sebenarnya aku ingin segera mempelajari kitab ini, tapi aku belum tenang jika tidak buktikan ucapan Prabarini!"
Setelah bergumam sendiri, akhirnya dia berkelebat teruskan larinya menuju arah barat. Bersamaan dengan itu perlahan-lahan sang surya memperlihatkan diri menggantikan malam dan menyapu lamunan kabut. Ketika matahari merayap semakin mendekati titik tengah, Tengkorak Berdarah hentikan larinya. Dia putar kepala di balik jubah terusan abu-abunya ke sekeliling tempat di mana saat ini dia berada. Ternyata dia berada pada satu tempat yang banyak ditumbuhi pohon besar. Dan di sebelah depan sana terlihat satu bangunan mirip sebuah istana yang pintu gerbangnya terbuka.
"Hem... Perempuan itu belum kelihatan batang hidungnya! Jangan-jangan dia tidak muncul di tempat ini! Tapi aku akan menunggu..." desis Tengkorak Berdarah. Lalu berkelebat dan berlindung di balik satu batang pohon.
Seperti dituturkan dalam episode Jejak Darah Masa Lalu, Prabarini meminta Tengkorak Berdarah datang menemuinya di sebuah pancuran di sebelah timur Kampung Pandan. Di situ Prabarini membuka penyamarannya. Perempuan ibu Puspa Ratri ini pun akhirnya dapat menduga siapa adanya orang yang lain mengenakan jubah abu-abu terusan dan selalu memaklumkan diri sebagai Tengkorak Berdarah.
Dia ternyata adalah Lasmini, istri pertama suami Prabarini. Saat itu sebenarnya Lasmini alias Tengkorak Berdarah yang telah menimbun benci itu hendak melampiaskan dendam hatinya. Namun niatnya diurungkan karena Prabarini menyebut-nyebut nama Saraswati yang ternyata adalah anak perempuan tunggal Lasmini yang selama ini dicarinya. Di tempat itu juga Prabarini hendak mengantarkan Lasmini untuk menemui anaknya tapi dia minta syarat agar Tengkorak Berdarah membuka penyamarannya dan berkata jujur.
Namun Lasmini menolak. Pada akhirnya Prabarini memberi waktu tiga hari di depan pada Lasmini agar menemuinya di halaman Istana Hantu. Tengkorak Berdarah alias Lasmini sebenarnya enggan memenuhi permintaan Prabarini, apalagi setelah dia mendapatkan kitab bersampul kuning serta mahkota bersusun tiga dari tangan Pendekar 131 Joko Sableng. Namun karena pertemuan ini ada sangkut pautnya dengan anak perempuannya yang selama ini dicari-cari, akhirnya Lasmini memutuskan untuk memenuhi permintaan Prabarini meski dia belum sempat mempelajari kitab bersampul kuning yang baru didapatnya.
Baru saja sosok Tengkorak Berdarah lenyap berlindung di balik pohon, kesunyian di sekitar halaman Istana Hantu mendadak dipecah oleh suara orang mendehem. Tengkorak Berdarah tersentak kaget. Dia memaklumi jika di tempat itu kini ada orang lain. Kepala di balik jubah terusan abu-abunya bergerak cepat ke arah sumber suara. Namun karena di sekitar tempat itu banyak jajaran pohon besar, orang ini tidak menangkap adanya seseorang!
"Keparat! Apakah dia perempuan laknat itu?! Atau orang lain?!" desis Tengkorak Berdarah.
Karena ditunggu agak lama tidak terdengar lagi suara orang dan tidak ada tanda-tanda akan munculnya seseorang, sementara dia sadar di tempat itu ada orang, Tengkorak Berdarah salurkan tenaga dalam pada kedua tangannya. Lalu berteriak garang.
"Orang bersembunyi! Mengapa berlaku pengecut tidak tunjukkan tampang?!"
Tidak terdengar suara sahutan atau munculnya seseorang, membuat Tengkorak Berdarah mulai geram. Orang ini untuk kedua kalinya berteriak.
"Aku tahu kau berada di sekitar tempat ini! Siapa pun kau adanya tunjukkan dirimu!" Terdengar orang berdehem. Lalu disusul dengan suara. "Aku memenuhi permintaanmu! Kuharap kau juga segera keluar dari balik pohon!"
Suara orang belum selesai, satu sosok bayangan berkelebat dari balik salah satu pohon, lalu tegak di tempat agak terbuka. Sementara kepala Tengkorak Berdarah mengikuti tubuh yang baru saja berkelebat dan kini telah berada di tempat terbuka sejarak kira-kira sepuluh tombak dari tempatnya. Orang ini ternyata perempuan berpakaian warna putih. Rambutnya yang telah bertabur warna putih digelung. Walau usianya tidak muda tapi sekali lihat orang dapat menduga jika saat mudanya perempuan ini berwajah cantik.
"Prabarini!" bisik Tengkorak Berdarah mengenali siapa adanya orang yang kini tegak di seberangnya.
Namun dia tidak segera keluar dari tempat bersembunyinya. Orang ini masih merasa khawatir jika ada orang lain lagi di tempat itu. Hingga setelah memandang sejurus ke arah perempuan yang bukan lain memang Prabarini, kepala Tengkorak Berdarah bergerak ke kanan kiri.
"Aku telah menuruti permintaanmu. Mengapa kau masih tidak mau muncul?!"
Prabarini buka mulut sambil arahkan pandangannya ke pohon di mana Tengkorak Berdarah berlindung sembunyikan diri. Tengkorak Berdarah mendengus. Sekali berkelebat, sosoknya telah berdiri empat tombak di hadapan Prabarini. Lalu terdengar dia berujar.
"Aku datang memenuhi perjanjian!"
Prabarini pandang lekat-lekat pada sosok Tengkorak Berdarah. "Hem... Dia masih menyarukan suaranya mirip suara laki-laki!"
"Waktuku sangat terbatas! Beberapa urusan lain menungguku! Bicara langsung saja. Mana Saraswati" kata Tengkorak Berdarah jelas menunjukkan rasa tidak sabar.
"Kuharap kau bersabar sedikit, Lasmini! Ada beberapa peristiwa yang membuat pertemuan ini jadi berubah di luar rencana."
"Setan! Kau jangan mimpi bisa membohongiku dengan segala macam alasan! Dan harap mulutmu tidak menyebut siapa namaku! Kau dengar?!" bentak Tengkorak Berdarah.
Prabarini anggukkan kepala. "Tidak susah menuruti perkataanmu. Tapi jangan kau bersalah duga aku membohongimu dengan alasan! Sesuatu yang tidak terduga benar-benar terjadi! Tapi aku masih percaya, urusan ini akan selesai asal kau mau sedikit bersabar!"
"Kalau saja urusan ini tidak ada sangkut pautnya dengan Saraswati, tanganku sudah tak sabar ingin segera mengakhiri napasmu!" desis Tengkorak Berdarah sambil tengadah. "Lalu sampai kapan aku harus menunggu, hah?! Dan urusan apa yang menghambat sampai pertemuan ini jadi berlarut-larut?!"
"Urusan itu kau yang membuat. Kau secara tak terduga berhasil mendapatkan sebuah kitab dari seorang pemuda! Itulah yang membuat urusan ini jadi berubah di luar rencana!"
Sepasang kaki di balik jubah abu-abu terusan tersurut satu tindak. Meski sekujur tubuh orang ini tertutup, namun jelas jika dia tidak dapat sembunyikan rasa kagetnya. "Jahanam! Bagaimana perempuan ini tahu aku memperoleh kitab itu?!" kata Tengkorak Berdarah dalam hati. Lalu membentak. "Apa hubunganmu dengan pemuda itu?! Kekasih gelapmu?!"
Prabarini tertawa perlahan sambil geleng-gelengkan kepala. "Dalam hidupku hanya ada satu laki-laki. Aku pun sudah punya anak perempuan yang menginjak dewasa. Kurasa tidak pantas jika aku masih memiliki hubungan dengan laki-laki, apalagi dia seorang pemuda!"
"Hem... Begitu? Lalu kenapa urusan pemuda jadi menghambat urusan kita?!"
"Pemuda itu ada kaitannya dengan apa yang hendak kita selesaikan!"
Jawaban Prabarini membuat dada Tengkorak Berdarah berdebar. Dia coba menduga arah ucapan Prabarini. "Beberapa kali aku bertemu dengan pemuda itu sampai secara tak terduga dia menyerahkan kitab bersampul kuning dan mahkota bersusun tiga. Pada beberapa kali pertemuan dia selalu bersama-sama seorang gadis. Jangan-jangan gadis itu... Dan pemuda itu adalah laki-laki yang pernah dikatakan Prabarini sebagai..."
Dada Tengkorak Berdarah makin berdebar. Dia teringat akan ucapan Prabarini ketika bertemu di sebelah timur Kampung Pandan tiga bulan yang lalu. "Prabarini! Katakan terus terang. Apa kaitannya pomuda itu dalam urusan kita!"
"Tanpa munculnya orang yang kita kehendaki, percuma mengatakan kaitannya dengan urusan kita. Jadi kuharap kau mau mengerti dan bersabar barang sedikit!"
Rupanya Tengkorak Berdarah mulai agak geram karena Prabarini tidak mau menuruti permintaannya. Dia arahkan kepalanya lurus menghadap Prabarini. Lalu berkata. "Aku tak pernah punya urusan dengan pemuda itu! Jika ada itu adalah urusan di luar urusan kita! Maka jangan mengait-ngaitkan urusan orang lain ke dalam urusan kita!"
"Ucapanmu benar! Tapi apa hendak dikata. Ketentuan suratan mengharuskan kita menerima kenyataan ini! Dan justru pemuda itulah yang membuatku memintamu membuka diri!"
"Urusan jahanam! Kenapa urusan ini jadi mengait-ngaitkan orang lain?!" desis Tengkorak Berdarah tak habis mengerti. Dadanya makin diselimuti beberapa duga dan tanya, membuatnya makin tak sabar dan makin jengkel. Namun dia masih coba menahan diri. Lalu dia sentakkan kepalanya ke jurusan lain. Saat itulah satu bayangan berkelebat cepat dan kejap lain lenyap laksana ditelan bumi.
"Ada orang... Aku tidak bisa mengenali tapi aku bisa memastikan dia seorang perempuan!" bisik Tengkorak Berdarah dalam hati. Lalu kembali hadapkan kepalanya ke arah Prabarini.
"Kalau kau mengundang orang lain selain aku, lekas suruh keluar orang itu! Jangan sampai aku salah turunkan tangan maut padanya!" Prabarini menghela napas. Lalu putar sedikit tubuhnya ke kanan.
"Kau tak usah sembunyikan diri! Kedatanganmu memang kutunggu..." kata Prabarini.
Rupanya perempuan ini sudah tahu jika baru saja ada orang berkelebat dan tiba-tiba lenyap sembunyikan diri. Dia juga sudah dapat mengenali siapa adanya orang itu. Begitu Prabarini selesai berucap, satu bayangan hijau berkelebat lalu tahu-tahu sejarak delapan langkah di samping kanan Prabarini telah tegak seorang perempuan berbaju hijau.
"Gadis itu!" seru Tengkorak Berdarah tidak menyangka jika orang yang baru muncul adalah seorang gadis berparas cantik mengenakan baju hijau yang beberapa kali sempat ditemuinya. Malah terakhir ditemuinya, gadis berbaju hijau yang tidak lain adalah Puspa Ratri ada bersama Pendekar 131 dan sedang terlibat adu mulut dengan seorang gadis berpakaian hitam-hitam yang selama ini selalu mengenakan kumis tipis menyamar sebagai seorang pemuda. (Tentang pertemuan ini siiakan baca serial Joko Sableng dalam episode Jejak Darah Masa Lalu).
Untuk beberapa lama kepala Tengkorak Berdarah memperhatikan Puspa Ratri lalu beralih pada Prabarini. "Kalau gadis itu kau tunggu, apakah dia ada sangkut pautnya dengan urusan kita?! Dan siapa sebenarnya dia?" tanya Tengkorak Berdarah meski sedikit banyak telah menduga siapa adanya si gadis. Karena sekali lihat jelas ada kesamaan raut wajah Prabarini dengan gadis yang baru muncul.
"Dia adalah salah seorang yang harus jadi saksi pertemuan ini! Dia adalah anakku. Namanya Puspa Ratri," kata Prabarini, lalu berpaling pada Puspa Ratri dan berkata.
"Puspa Ratri. Beri hormat padanya..."
Puspa Ratri tidak segera melakukan apa yang dikatakan ibunya. Sebaliknya gadis ini menatap tajam pada Tengkorak Berdarah dengan tenggorokan turun naik menindih gejolak dalam dadanya. Bahkan sebenarnya gadis ini sejak muncul dan tahu siapa adanya orang berjubah abu-abu terusan, dia hendak meloncat lepaskan satu tendangan. Seperti diketahui, Puspa Ratri sempat mengetahui bagaimana orang berjubah abu-abu terusan menghantam Pendekar 131 saat mengembalikan kitab bersampul kuning dan mahkota bersusun tiga.
"Puspa... Kau dengar ucapanku!" ujar Prabarini begitu melihat Puspa Ratri masih tegak dengan mata nyalang memandang ke arah Tengkorak Berdarah.
Puspa Ratri menoleh pada ibunya. "Ibu! Orang inilah yang berlaku pengecut merampas milik orang! Tidak pantas orang macam dia diberi penghormatan!"
"Aku tahu. Tapi kau harus dapat memilah urusan. Masalah peristiwa tempo hari dengan urusan sekarang adalah dua hal yang berbeda!"
Entah karena masih merasa geram dengan tindakan Tengkorak Berdarah beberapa hari berselang, Puspa Ratri belum juga melakukan apa yang dikatakan Ibunya. Dia masih tegak dengan bibir tersenyum dingin. Meski demikian sebenarnya diam-diam Puspa Ratri juga membatin.
"Apa maksud Ibu menyuruhku datang ke tempat ini? Ada masalah apa sebenarnya antara Ibu dengan orang ini? Kalau tidak salah lihat ini adalah pertemuan kedua kalinya antara ibu dengan orang ini! Pasti ada urusan penting..."
Seperti diketahui, Prabarini berpesan agar Puspa Ratri datang ke sekitar Istana Hantu kalau dia tidak datang menemuinya dalam dua hari di muka. Ketika itu Puspa Ratri dibuncah dengan beberapa pertanyaan sepeninggal ibunya. Dan begitu ditungu selama dua hari ibunya tidak muncul, Puspa Ratri merasa tidak enak. Dia segera mengadakan perjalanan menuruti pesan ibunya menuju Istana Hantu. Di lain pihak, begitu mendengar pengakuan Prabarini tentang siapa adanya Puspa Ratri serta mengetahui sikap si gadis, Tengkorak Berdarah perdengarkan dengusan keras. Lalu berkata.
"Prabarini! Aku tak butuh penghormatan dari anakmu! Dan kau jangan menyesal jika nanti mulutnya kurobek kalau dia berani berkata kurang ajar!"
Prabarini tertawa perlahan. "Kau harus dapat memaklumi sikap seorang anak muda. Dia akan selalu mendahulukan hawa marah daripada pikiran jernih. Harap kau tidak ikut terseret mengikuti sikapnya..."
Tengkorak Berdarah terdiam beberapa lama sebelum akhirnya berkata keras. "Sekarang katakan apa maumu dengan pertemuan ini! Kulihat orang yang kau janjikan tidak muncul menampakkan diri. Mungkin kau sengaja menyangkut pautkan dia hanya agar aku datang memenuhi permintaan sementara kau sendiri dan anakmu punya maksud lain! Kuperingatkan, jangan sekali-kali coba memuslihatiku. Tapi bukan berarti itu sebagai jaminan!"
"Maksudmu?!" tanya Prabarini.
"Selesai atau tidak urusan ini, kau tetap harus lenyap dari muka bumi!"
"Hai… Jaga mulutmu!" teriak Puspa Ratri.
Tengkorak Berdarah angkat tangan kirinya menunjuk lurus ke arah Puspa Ratri, sedang kepalanya tetap menghadap Prabarini. "Kau! Kalau ikut-ikutan buka mulut bicara tak karuan, tak ada beban buat tanganku untuk mengantarmu sekalian ke liang lahat!"
Puspa Ratri tampaknya tidak bisa lagi menahan gejolak hatinya. Sesaat setelah Tengkorak Berdarah bicara, gadis ini cepat angkat kedua tangannya hendak lepaskan satu pukulan.
Puspa! Tahan!" seru Prabarini seraya melompat dan mencekal kedua tangan anaknya. "Jangan kau menambah urusan yang belum dimulai" bisiknya sambil turunkan kedua tangan Puspa Ratri.
Prabarini memandang pada Tengkorak Berdarah. Mulutnya membuka hendak bicara, tapi saat lain perempuan ini katupkan lagi mulutnya. Sikapnya malah menunjukkan kebimbangan hati.
"Bagaimana sekarang? Gadis itu tampaknya tidak akan muncul. Dan pemuda itu aku tak tahu dimana dia sekarang berada! Apakah aku harus menunda lagi urusan ini? Ini gara-gara kejadian yang tidak kuperhitungkan itu. Hingga aku gagal menemui pemuda dan gadis itu karena harus menemui Lasmini! Hem... Kini semuanya berjalan di luar rencana!"
Baru saja Prabarini membatin begitu, Tengkorak Berdarah telah membentak. "Kau bungkam tidak jawab pertanyaanku. Berarti kalian berdua memang telah punya niat buruk mangundangku ke tempat ini! Tapi kalian akan menyesal karena kalian secara tak sengaja mengundang maut!"
Belum sampai Prabarini buka mulut ucapkan kata-kata, sekonyong-konyong di tempat itu terdengar suara. Duutt!! Duuttt!! berulang kali. Kejap lain terdengar suara orang berkata.
"Maut biasanya datang tanpa undangan, kecuali bagi orang yang sengaja membuat silang sengketa dan keras kepala!"
Bersamaan terdengarnya suara, sebuah benda yang ternyata adatah bundaran karet mirip dot bayi melayang dan mengapung di udara tak jauh dari tempat tegaknya Tengkorak Berdarah. Kejap lain satu sosok tubuh berkelebat dan tahu-tahu di tempa itu tegak seorang pemuda dengan kepala di bawa kaki di atas!
BAB 3
"Dewa Orok". Terdengar Tengkorak Berdarah mendesis mendapati siapa adanya si pemuda. Untuk beberapa saat lamanya dia perhatikan si pemuda mulai dari ujung kaki sampai kepala yang dibuat tumpuan tubuh orang. Lalu kepala di balik jubah abu-abunya bergerak menghadap Prabarini."Hem... Ternyata perempuan ini mengundang banyak manusia ke tempat ini! Apa dikira aku takut?!"
Prabarini sendiri tampak terkejut dengan kemunculan si pemuda yang bukan lain memang Dewa Orok adanya. "Bagaimana pemuda ini tiba-tiba muncul ditempat ini? Nada ucapannya menunjukkan jika kemunculannya tidak secara kebetulan! Ada perkara apa antara pemuda ini dengan Lasmini? Ah... Kehadirannya akan menambah suasana jadi kacau! Bagaimana sekarang?"
Puspa Ratri meski terlihat tidak begitu terkejut namun kemunculan Dewa Orok makin membuat hatinya dipenuhi beberapa pertanyaan. "Untuk apa Ibu mengundang orang ini? Aku jadi bingung sendiri tentang urusan ini!"
Selagi masing-masing orang di tempat itu dbuncah dengan pikiran masing-masing, tiba-tiba Dewa Orok membuat gerakan sekali.
Wutttt!
Kini si pemuda ini tegak dengan kepala di atas kaki di bawah. Tapi dia tegak dengan bertumpu pada kedua ibu jari kakinya. Saat lain mulutnya menyedot. Bundaran karet yang mengapung di udara laksana ditarik ke be-lakang dan melesat masuk ke mulut Dewa Orok.
"Prabarini!" kata Tengkorak Berdarah. "Masih ada lagi yang ditunggu?!"
Prabarini menghela napas panjang. Ucapan Tengkorak Berdarah jelas mengisyaratkan seolah-olah Prabarini sengaja mengundang kemunculan Dewa Orok. Hal ini membuat Prabarini merasa tidak enak. Dia lalu berkata.
"Harap kau tidak salah sangka. Aku tidak mengundang orang itu untuk datang kemari!"
Tengkorak Berdarah mendengus keras. "Begitu?! Hem... Kalau ucapanmu benar, kuharap kau mengusir manusia tak diundang itu". "Pemuda tak dikenal! Kami punya urusan yang harus diselesaikan tanpa adanya orang lain! Harap kau sudi mendengarkan dan segera tinggalkan tempat ini!" kata Prabarini.
Dia berkata bukan karena menuruti perintah Lasmini alias orang yang selama ini memaklumkan diri sebagai Tengkorak Berdarah, namun semata-mata karena dia tak ingin urusannya jadi berantakan dengan hadirnya orang yang tidak ada hubungannya. Dewa Orok memandang silih berganti pada Prabarini dan Tengkorak Berdarah. Lalu semburkan bundaran karet di mulutnya. Begitu bundaran karet mencuat dan mengapung di depan wajahnya, pemuda bertangan buntung ini buka mulut berkata.
"Seperti kematian, aku datang memang tanpa undangan. Dan seperti angin topan, aku tidak akan tinggalkan tempat ini dengan berhampa tangan!"
Prabarini kerutkan kening. Seraya perhatikan Dewa Orok lebih saksama dia berkata. "Aku tidak mangerti apa maksud ucapanmu! Harap katakan terus terang!"
"Kedatanganku bukan tanpa maksud. Tapi urusanku hanya dengan orang berjubah abu-abu yang sembunyikan wajah itu. Aku minta maaf kalau mengganggu sedikit urusanmu!" ujar Dewa Orok sambil tersenyum pada Prabarini. Pemuda ini lalu berpaling pada Tengkorak Berdarah dan teruskan bicara.
"Kalau kau ingin urusan di sini tidak terhambat, lekas serahkan barangku yang ada padamu!"
Tengkorak Berdarah terkesiap kaget. Dia sama sekali tidak menduga dengan ucapan Dewa Orok. Diam-diam dia membatin. "Jangan-jangan jahanam ini tahu perihal kitab dan mahkota bersusun tiga itu! Sialan betul! Bagaimana banyak orang tahu jika kedua benda itu ada padaku?!"
Meski Tengkorak Berdarah tahu akan barang yang diminta Dewa Orok, namun dia tak mau tunjukkan kalau barang itu ada di tangannya. Setelah berpikir agak lama dia perdengarkan suara. "Kita memang sempat berjumpa. Tapi adalah aneh kalau kau sekarang minta sesuatu padaku. Kurasa waktu jumpa dahulu kau tidak memberikan apa-apa padaku!”
Dewa Orok tertawa bergelak. “Tempo hari aku memang tidak memberikan apa-apa padamu, tapi kau menerima barang milikku dari tangan orang lain!"
"Hem... Dugaanku tidak meleset. Pasti kitab dan mahkota itu yang dimaksud!” pikir Tengkorak Berdarah. Lalu berujar. "Coba katakan benda apa yang kau minta! Dan katakan pula dari tangan siapa aku menerimanya. Jangan coba berani mengarang cerita!"
"Tak perlu kukatakan dari siapa kau menerima barang itu. Yang pasti benda itu ada padamu. Benda itu berupa mahkota bersusun tiga berwarna kuning!"
Walau sebelumnya sudah menduga, namun begitu telinganya mendengar sendiri, tak urung Tengkorak Berdarah terkejut. Tapi hal itu membuat orang berjubah abu-abu terusan ini berpikir lain. "Selama ini kudengar Dewa Orok adalah seorang tokoh yang disegani meski jarang tampakkan diri. Kalau dia memburu mahkota bersusun tiga ini, tentu benda ini selain berharga mahal juga tak tertutup kemungkinan merupakan sebuah senjata yang memiliki kehebatan! Hem... Apalagi benda ini ditemukan bersama sebuah kitab!"
Berpikir sampai di situ, akhirnya Tengkorak Berdarah berkata, "Kau tidak mau katakan siapa orang yang memberikan benda itu padaku! Dan buka telingamu lebar-lebar. Aku tidak punya benda yang kau minta itu, baru kali ini aku mendengar benda yang baru kau sebut! Kau mengerti?!"
Mendengar ucapan Tengkorak Berdarah, sesaat Dewa Orok terlihat bimbang. Sementara Puspa Ratri tampak kernyitkan kening. Gadis ini sudah buka mulut hendak berkata, namun Prabarini buru-buru pelototkan mata lalu berbisik.
"Jangan ikut campur agar urusan tidak tertunda! biarkan mereka menyelesaikan urusannya sendiri!"
"Tapi..."
Belum sampai Puspa Ratri lanjutkan ucapan, Prabarini telah gelengkan kepala dan menukas. "Aku tahu. Pemuda itu meminta pada orang yang tepat! tapi kita harus berhati-hati. Kita belum kenal betul siapa sebenarnya pemuda bertangan buntung itu! bukan tak mungkin dia salah seorang yang memburu benda itu lantas mengaku benda itu miliknya!"
Kedua anak dan ibu ini lalu arahkan pandangannya pada Dewa Orok. Karena saat itu si pemuda tertawa bergelak.
"Dewa Orok!" teriak Tengkorak Berdarah memutus gelakan tawa si pemuda. "Kau tidak tuli, Apalagi yang kau tunggu di sini, hah?! Apakah kau menunggu diusir dengan tubuh tanpa nyawa?!"
"Tadi sudah kukatakan, aku datang seperti sebuah kematian, dan pergi bagaikan angin topan! Mana mungkin aku berlalu begitu saja?!"
"Berarti kau cari mampus!" hardik Tengkorak Berdarah.
"Kau salah! Aku cari benda milikku, tidak cari mampus! Dan aku pasti tidak salah meminta padamu!"
Tengkorak Berdarah ganti tertawa. "Kau memang tidak salah meminta padaku kalau yang kau minta adalah kematian!"
Habis berkata begitu, Tengkorak Berdarah angkat kedua tangannya. Sementara Dewa Orok tampak pentangkan mata dengan mulut komat-kamit.
"Celaka!! Urusan akan makin berantakan kalau kedua orang ini tidak dicegah!" gumam Prabarini. Perempuan ini lalu berteriak. "Tahan serangan!"
Tengkorak Berdarah urungkan niat lepaskan pukulan namun kedua tangannya tetap berada di atas. Sedangkan Dewa Orok berpaling pada Prabarini dengan mulut terkancing tanpa ucapkan sepatah kata.
"Harap kau suka menunggu jika punya urusan dengan sahabatku itu!" ujar Prabarini pada Dewa Orok.
Dewa Orok memandang lekat-lekat Prabarini. Sejenak kemudian dia anggukkan kepala dan berucap. "Baiklah! Aku akan menunggu sampai urusanmu selesai!"
Habis berkata begitu, Dewa Orok kempotkan mulut menyedot. Bundaran karet yang mengapung melesat masuk ke dalam mulutnya. Dia lalu cepat balikkan tubuh dan melangkah berjingkat-jingkat kearah sebatang pohon. Sejarak tiga langkah dari batang pohon, pemuda bertangan buntung ini jejakkan kedua tumitnya ke tanah. Tubuhnya melenting dua tombak ke udara. Kejap lain sosoknya telah bersandar pada batang pohon dengan kaki di atas kepala dibawah!
"Prabarini!" kata Tengkorak Berdarah. "Aku tak mau ada orang lain mendengar urusan kita! Suruh pemuda itu enyah dari sini!"
"Aku tak berhak mengusirnya! Lagi pula kurasa dia tidak akan ikut campur urusan kita!"
"Jika begitu kau tak ingin urusan ini selesai!"
"Maksudmu...?"
Belum sampai Tengkorak Berdarah perdengarkan suara jawaban, mendadak satu bayangan tampak berlari. Dalam sesaat saja bayangan itu telah berada tidak jauh dari tempat Dewa Orok berada. Orang ini sebenarnya hendak teruskan larinya, namun langkahnya tertahan ketika tiba-tiba Dewa Orok gerakkan sepasang kakinya ke samping seolah menghalangi jalan orang.
"Kau datang di belakangku. Harap antri dan jangan membuat ulah dahulu!" kata Dewa Orok setelah semburkan bundaran karet di mulutnya.
Orang yang baru muncul sesaat pandangi gerakan sepasang kaki Dewa Orok yang terayun-ayun di udara menghalangi langkah dan pandangannya. "Dewa Orok!" gumam orang yang larinya terhalang.
"Harap turuti ucapanku. Jangan bergerak dari tempatmu dan sabarkan hati jika melihat sesuatu yang mengejutkan!" ujar Dewa Orok lalu gerakkan sepasang kakinya kembali tegak ke atas berselonjor pada batang pohon.
Begitu pandangan orang tidak terhalang, mendadak orang yang baru muncul di belakang Dewa Orok pentangkan matanya melihat ke depan. Kejap lain orang ini berkelebat. Namun lagi-lagi gerakannya tertahan karena Dewa Orok kembali rentangkan sepasang kakinya.
"Sudah kubilang. Harap antri tunggu giliran!"
"Aku tak bisa menunggu!" sentak orang di belakang Dewa Orok.
Puspa Ratri, Prabarini, serta Tengkorak Berdarah serentak gerakkan kepala masing-masing kearah datangnya suara orang membentak.
"Joko Sableng!" seru Puspa Ratri dengan wajah berseri. Gadis ini hendak melangkah ke arah orang yang baru saja muncul dan bukan lain memang Pendekar 131 Joko Sableng. Namun Prabarini cepat rentangkan tangan kanannya halangi jalan Puspa Ratri seraya berbisik.
"Sekarang bukan saat yang baik untuk berbasa-basi!"
Sepasang mata Puspa Ratri membelalak pandangi bagian samping kanan wajah ibunya. Tenggorokannya turun naik. Namun sebelum mulutnya terbuka ucapkan kata-kata, Prabarini telah lanjutkan ucapannya.
"Jangan ikuti perasaan!"
Puspa Ratri kancingkan mulut rapat-rapat. Pandangannya beralih pada Pendekar 131 yang memandang dengan mata berkilat pada Tengkorak Berdarah. Sementara Prabarini sejenak menatap pada murid Pendeta Sinting lalu arahkan pandangannya ke jurusan lain. Diam-diam ibu Puspa Ratri ini membatin.
"Syukur pemuda ini muncul! Urusan akan jadi beres! Tapi... Bagaimana jika Saraswati tidak menampakkan diri?!"
Tengkorak Berdarah adalah orang yang paling terkejut dengan munculnya murid Pendeta Sinting. Bersamaan dengan berpalingnya kepala, sepasang kaki di balik jubah abu-abu terusan tersurut satu tindak.
"Jahanam! Ternyata manusia satu itu belum tewas. Bagaimana dia bisa selamat dari pukulanku?!" ujar Tengkorak Berdarah dalam hati. "Urusan dengan perempuan laknat itu belum dimulai, sudah datang lagi urusan lebih besar. Aku bisa saja meladeni mereka satu persatu, tapi jika mereka maju bersama?!"
Diam-diam orang ini menjadi tegang sendiri karena sebelumnya dia telah mengetahui sampai di mana tingkat kepandaian Pendekar 131. Dan walau dia belum sempat mengetahui kepandaian Dewa Orok, namun setidaknya dia dapat mengukur, sebab selama ini dia banyak mendengar tentang pemuda bertangan buntung itu. Tengkorak Berdarah arahkan kepalanya menghadap Prabarini.
"Jangan-jangan perempuan sinting ini yang mengatur semua pertemuan ini! Sialan betul! Kalau tahu begini, menyesal aku tidak mempelajari dahulu kitab yang kuperoleh! Namun aku..."
"Langkahmu tidak akan jauh dari tanganku!" teriak Pendekar 131 seraya menunjuk pada Tengkorak Berdarah, memutus kata hati orang berjubah abu-abu terusan ini.
Meski wajahnya tidak kelihatan, namun gerakan kepala dan tangan Tengkorak Berdarah mengisyaratkan jika orang ini sesaat tampak tegang mendengar ucapan murid Pendeta Sinting. Hingga untuk beberapa lama dia tidak perdengarkan suara. Tapi begitu orang ini dapat kuasai diri, dia segera perdengarkan dengusan keras lalu tertawa pendek seraya berujar.
"Kau masih beruntung karena tanganku masih mangampuni selembar nyawamu. Tapi jika saat ini kau bicara kurang ajar tanganku tidak akan lagi memberi ampun!"
Ucapan Tengkorak Berdarah belum selesai, murid Pendeta Sinting sudah berkelebat. Sepasang kaki Dewa Orok yang hendak bergerak menghalangi cepat didorong. Lalu tegak enam langkah di hadapan Tengkorak Berdarah.
"Aku bicara cuma satu kali! Serahkan kembali kitab bersampul kuning itu!" ujar murid Pendeta Sinting dengan suara keras. Tangan kanannya mengulur ke depan membuat sikap meminta. Kelima jari-jari tangannya digerak-gerakkan. Meski bibirnya tersenyum namun senyum seringai dan dingin.
Tengkorak Berdarah kembali perdengarkan dengusan keras. "Aku akan mengembalikan kitab itu, namun mungkin kitab itu sudah tidak ada artinya bagimu. Tanganku akan terlebih dahulu mengantarmu ke neraka sebelum tanganmu sempat menerimanya!"
Bersamaan dengan selesainya ucapan, kedua tangan Tengkorak Berdarah iaksana kilat bergerak ke atas. Saat lain tiba-tiba menyentak ke depan lepaskan pukulan jarak jauh!
BAB 4
Satu gelombang angin luar biasa dahsyat menderu ganas ke arah murid Pendeta Sinting. Puspa Ratri terkesiap kaget. Raut wajahnya tegang dan dadanya didera rasa gelisah dan khawatir akan keselamatan sang Pendekar. Di sebelahnya, Prabarini tersentak. Dia sama sekali tidak menduga secepat itu Tengkorak Berdarah lepaskan pukulan."Urusan kitab tidak sepenting urusan yang sedang kuhadapi. Aku tidak mau salah satu terluka sebelum urusanku menjadi jelas!" membatin Prabarini. Maka perempuan ini segera sentakkan kedua tangannya.
Wuuttt! Wuuttt!
Terdengar satu deruan keras. Kejap lain satu gelombang angin berkiblat memangkas pukulan Tengkorak Berdarah. Di seberang depan, begitu Tengkorak Berdarah lepaskan pukulan, murid Pendeta Sinting tak tinggal diam. Seraya salurkan tenaga dalam pada dada kerahkan jurus 'Sukma Es' untuk lindungi diri, kedua tangannya serta-merta diangkat lalu didorong ke depan.
Meski murid Pendeta Sinting tidak langsung lepaskan pukulan andalan, namun karena dalam dirinya telah terpendam tenaga dalam si kakek dalam kuil, maka begitu kedua tangannya bergerak mendorong, melesat satu gelombang bukan hanya membawa angin dahsyat luar biasa, namun juga mengeluarkan suara menggidikkan.
Di tempat agak jauh, Dewa Orok yang tegak berselonjor kaki ke atas tampak bingung. Pemuda ini rupanya maklum kalau Tengkorak Berdarah dalam keadaan terjepit, karena pukulannya harus menghadang dua pukulan sekaligus. Walau dia menduga Tengkorak Berdarah mampu menahan tapi setidak-tidaknya dia tidak akan bisa selamatkan diri dari cedera. Padahal dirinya masih membutuhkan mahkota dari tangan Tengkorak Berdarah. Pemuda ini khawatir kalau Tengkorak Berdarah menyimpan mahkota bersusun tiga di satu tempat dan dia akan kesulitan mengorek keterangan jika sampai Tengkorak Berdarah benar-benar mengalami cedera apalagi sampai tewas.
Berpikir sampai ke sana, begitu melihat Prabarini dan Pendekar 131 sama-sama lepaskan pukulan menghadang pukulan Tengkorak Berdarah, pemuda bertangan buntung ini segera hentakkan sepasang kakinya ke batangan pohon di mana dia berselonjor. Bersamaan dengan itu, sosoknya mencelat balik ke depan. Masih di atas udara cepat sekali tubuhnya membuat gerakan jungkir balik satu kali. Begitu sepasang kakinya hendak menjejak tanah, pemuda ini gerakkan tubuhnya ke belakang. Kejap lain disentakkan ke depan.
Wetttt!!!
Dari dada pemuda bertangan buntung ini melesat gemuruh gelombang angin deras menjajari pukulan Tengkorak Berdarah untuk menghadang dua pukulan yang tengah melabrak.
Tengkorak Berdarah keluarkan gerengan marah. Dia sama sekali tidak menyangka kalau Prabarini akan ikut-ikutan menghadang pukulannya. Namun orang ini sedikit merasa lega karena melihat Dewa Orok membantu dirinya meski dia tidak mengetahui kenapa tiba-tiba Dewa Orok berlaku begitu. Namun dia masih tidak berani berlaku ayal. Dia maklum gabungan pukulan Prabarini dan Pendekar 131 bukan hanya akan mampu menahan pukulannya namun tidak mustahil akan membuat dirinya terjengkang roboh.
Dalam keadaan seperti itu maka kitab bersampul kuning serta mahkota bersusun tiga hanya akan lewat di tangannya dan kembali akan jadi milik orang lain. Berpikir begitu, serta-merta dia lipat gandakan tenaga dalamnya lalu kembali kedua tangannya bergerak menyusuli pukulannya.
Di lain pihak, melihat Tengkorak Berdarah lakukan pukulan susulan sementara dari arah samping Dewa Orok ikut membantu, Prabarini dan Pendekar 131 segera pula lipat gandakan tenaga dalam masing-masing. Lalu hampir berbarengan, kedua orang Ini lepaskan lagi satu pukulan. Dewa Orok tercekat sendiri melihat pukulan-pukulan yang kini menderu di udara. Dia sebenarnya hendak ikut kirimkan pukulan susulan. Tapi gerakannya terlambat. Sebelum tubuhnya bergerak ke depan menyentak, terdengar ledakan dahsyat.
Bummm! Bummm!
Suara ledakan belum lenyap, kejap lain kembali tempat itu dibuncah ledakan lagi lebih dahsyat ketika pukulan susulan masing-masing orang bentrok di udara. Tanah di tempat itu bergetar keras dan bertaburan ke udara. Di depan sana terlihat pijaran api laksana letusan gunung.
Tatkala terjadi ledakan, Puspa Ratri adalah orang pertama yang terlihat mencelat. Walau gadis ini punya kecepatan luar biasa dalam gerakannya, namun karena pukulan-pukulan yang bentrok dilepas oleh orang-orang yang bertenaga dalam tinggi, maka meski dia sempat berkelebat terlebih dahulu namun tak urung sosoknya masih tidak mampu menahan bias bentroknya beberapa pukulan. Hingga kelebatannya tersapu dan sosoknya mencelat lalu terguling di atas tanah.
Hampir bersamaan dengan mencelatnya sosok Puspa Ratri, sosok Dewa Orok mental tersapu. Sebenarnya pemuda ini tidak akan sampai langsung mental begitu terjadi bentrok pukulan. Namun karena saat itu dia hendak ikut lepaskan pukulan susulan, maka dia tidak mampu imbangi diri. Hingga saat itu juga sosoknya mental sampai dua tombak lalu jatuh terduduk sebelum tubuhnya menghantam satu batang pohon.
Pemuda ini sejenak geleng-gelengkan kepala mengatasi rasa pening pada kepalanya. Raut wajahnya yang tampan berubah pucat. Tubuhnya gemetar. Mulutnya yang selalu menyedot-nyedot bundaran karet tampak bergerak makin keras. Hingga saat itu terdengar suara duuttt! Duuttt! berulang kali.
Tiba-tiba Dewa Orok putuskan sedotannya. Wajahnya yang pucat mengernyit. Lalu dia semburkan bundaran karet di mulutnya. Bundaran karet itu mencuat mengapung di depan wajahnya. Untuk beberapa saat si pemuda perhatikan bundaran karetnya. Sepasang matanya mendelik. Ternyata bundaran karet itu telah dilapis warna merah. Jelas jika pemuda ini telah terluka bagian dalam.
Di bagian lain, begitu terdengar ledakan kedua, sosok Pendekar 131 terpental sampai tiga tombak ke belakang. Murid Pendeta Sinting cepat membuat gerakan bergulingan di tanah. Lalu pada gulingan keempat dia sentakkan kedua tangannya di atas tanah. Tubuhnya serentak bangkit berdiri. Sosoknya untuk beberapa saat tergontai-gontai malah hampir saja terjengkang jika dia tidak segera melompat lalu melayang turun dengan kedua kaki tegak di atas tanah.
Walau sebelumnya telah salurkan jurus ‘Sukma Es’ untuk lindungi diri namun karena bentrok pukulan itu dilepas orang-orang bertenaga dalam tinggi, mau tak mau beberapa saat murid Pendeta Sinting masih merasakan sesak pada dadanya. Wajahnya pun berubah. Kedua tangannya laksana tegang kaku.
Tak jauh dari tempat murid Pendeta Sinting, Prabarini tampak megap-megap. Sosoknya bersandar pada batang pohon dengan mata terpejam dan dada turun naik. Kedua tangannya menelikung ke belakang merangkul batangan pohon untuk imbangi diri agar tubuhnya tidak melorot jatuh. Mulutnya komat-kamit. Dan segaris warna merah tampak di sudut bibirnya.
Di seberang, meski sempat dibantu Dewa Orok namun bentroknya pukulan susulan yang tidak sempat dibantu Dewa Orok membuat sosok Tengkorak Berdarah terpelanting deras ke belakang. Lalu jatuh terkapar tak bergerak. Namun hanya sekejap. Saat lain terdengar orang ini membentak garang. Sosoknya kembali ke udara lalu terhuyung-huyung tegak dengan kedua tangan dan kaki bergeletaran. Dari jubah terusan abu-abunya di bagian wajah terlihat merembes warna merah.
Bentroknya pukulan-pukulan bertenaga dalam tadi jelas telah membuat masing-masing orang mengalami cedera bagian dalam. Hingga begitu suara ledakan lenyap, tempat itu dibungkus keheningan. Tidak seorang pun yang buka mulut keluarkan ucapan. Tidak ada yang membuat gerakan. Masing-masing orang pusatkan perhatian pada diri masing-masing untuk mengatasi cedera, termasuk Puspa Ratri meski gadis ini tidak secara langsung terlibat dalam bentrokan pukulan.
Beberapa saat berlalu. Tiba-tiba murid Pendeta Sinting yang terlebih dahulu dapat kuasai diri karena sebelumnya telah lindungi diri dengan jurus 'Sukma Es', segera berkelebat ke arah Tengkorak Berdarah. Tanpa berkata sepatah kata, murid Pendeta Sinting ulurkan tangan kanan membuat gerakan meminta. Hanya kepala tampak mengangguk dengan bibir tersenyum dingin.
Melihat hal ini Dewa Orok tak tinggal diam. Setelah menyedot masuk bundaran karetnya dia berkelebat. Dan tahu-tahu sosoknya telah tegak tiga langkah di samping murid Pendeta Sinting menghadap Tengkorak Berdarah. Tanpa berpaling pada Pendekar 131 pemuda bertangan buntung ini semburkan bundaran karetnya lalu berkata.
"Mahkota itu. Serahkan kembali padaku!"
Pendekar 131 yang sejenak tadi tampak hendak mengibaskan tangan khawatir kalau Dewa Orok melakukan serangan, cepat urungkan niat dan kembali memandang tajam ke arah Tengkorak Berdarah.
"Pemuda bertangan buntung ini sulit ditebak apa maksudnya. Tadi dia sepertinya membantuku, sekarang ikut-ikutan hendak memaksaku! Keparat!" maki orang berjubah abu-abu terusan dalam hati. Tapi sejauh ini dia belum perdengarkan suara atau memberikan apa yang diminta dua orang di hadapannya. Namun sesaat kemudian Tengkorak Berdarah perdengarkan suara tawa panjang. Puas tertawa dia berkata.
"Kalian sia-sia saja. Aku memilih di antara kita bertiga tidak ada yang memiliki dua benda itu! Kita akan mati bersama-sama! Ha Ha Ha...!"
Mendengar ucapan Tengkorak Berdarah, Pendekar 131 menyeringai. Sementara Dewa Orok senyum-senyum lalu melirik pada murid Pendeta Sinting dan berujar.
"Orang muda. Bagaimana? Apa kau setuju berjalan ke neraka bersama orang ini?"
"Apa enaknya jalan-jalan bersama orang yang tidak jelas juntrungan wajahnya? Apa lagi mendengar suaranya dia adalah seorang laki-laki. Kalau laki-laki normal tidak jadi masalah. Yang ku khawatirkan laki-laki ini seorang kakek yang suka pemuda-pemuda! Bagaimana kalau kau saja yang menemaninya jalan-jalan?" ujar Joko lalu tertawa bergelak.
"Ah. Sayang. Sebenarnya aku tertarik dengan tawaran jalan-jalan yang langka ini apalagi ditemani dengan kakek yang suka pemuda-pemuda. Hanya aku tidak punya waktu banyak... Bagaimana kalau kita nanti minta cerita saja pada orang ini tentang perjalanannya ke neraka itu?!" sahut Dewa Orok lalu ikut tertawa.
"Jika begitu, keputusan kuubah! Kalian berdua akan berjalan bersama ke neraka tanpa aku!" teriak Tengkorak Berdarah dengan suara bergetar.
Baik Pendekar 131 maupun Dewa Orok masih teruskan gelakan tawanya mendengar ucapan Tengkorak Berdarah. Namun tidak demikian halnya dengan Prabarini. Perempuan ini tampak gelisah.
"Aku tak bisa berdiam diri! Orang-orang itu sepertinya sudah sama-sama nekat hendak saling bunuh untuk meminta dan mempertahankan kitab serta mahkota itu!"
Sementara itu melihat dua pemuda di hadapannya terus tertawa, Tengkorak Berdarah menggerung keras. Saat lain kedua tangannya terangkat.
"Jangan mimpi kalian bisa mendapatkan apa yang kalian minta!" teriaknya lalu melompat ke arah Dewa Orok sambil kirimkan satu tendangan. Sementara kedua tangannya yang terangkat berkelebat menghantam ke arah Pendekar 131 yang tegak tidak jauh dari Dewa Orok.
Dewa Orok cepat lorotkan tubuh hingga punggungnya sejajar tanah. Pada saat bersamaan kedua kakinya terangkat ke atas memangkas tendangan maut Tengkorak Berdarah.
Bukkk!
Dua kaki beradu keras di udara. Sosok Tengkorak Berdarah tampak bergoyang-goyang. Hal ini membuat hantaman kedua tangannya yang mengarah pada Pendekar 131 melenceng. Padahal saat itu murid Pendeta Sinting telah pula lepaskan satu jotosan. Tengkorak Berdarah tampak kalang kabut. Karena Dewa Orok teruskan gerakan kakinya mencari sasaran, hingga mau tak mau Tengkorak Berdarah harus meladeni kalau tidak mau terkena tendangan pemuda bertangan buntung ini. Di lain pihak dia harus hindarkan diri dari jotosan murid Pendeta Sinting!
Karena gerakan kaki Dewa Orok begitu gencar, akhirnya Tengkorak Berdarah memutuskan untuk menghadang dahulu tendangan si pemuda, sementara kedua tangannya dipalangkan di depan kepala untuk lindungi diri. Namun perhitungan orang berjubah abu-abu ini meleset. Karena ternyata gerakan kaki Dewa Orok hanya untuk memecah perhatiannya agar Pendekar 131 bisa leluasa lepaskan pukulan.
"Jahanam!" maki Tengkorak Berdarah begitu menyadari apa yang dilakukan Dewa Orok. Tapi kesadaran orang ini terlambat. Karena bersamaan dengan itu satu tangan murid Pendeta Sinting telah menderu ke arah kepalanya!
Sejengkal lagi kepala di balik jubah abu-abu terusan itu terhantam, satu tangan mendorong tubuh murid Pendeta Sinting, hingga bukan saja pukulannya melesat jauh dari sasaran kepala orang, namun tubuhnya sempat terjajar satu tindak ke samping. Joko Sableng cepat berpaling. Sepasang matanya menatap tak berkesip pada Prabarini yang kini tegak tiga langkah di sampingnya dan baru saja mendorong tubuhnya hingga pukulannya melenceng.
Di lain pihak, Dewa Orok segera bergulingan lalu bangkit dengan bertumpu pada kedua ibu jari kakinya empat langkah di samping Pendekar 131. Meski wajah pemuda bertangan buntung ini tampak berubah karena kakinya tadi sempat memangkas tendangan Tengkorak Berdarah, namun begitu melihat Prabarini yang baru saja selamatkan Tengkorak Berdarah, si pemuda tersenyum lalu arahkan pandangannya pada murid Pendeta Sinting sambil berujar.
"Rupanya tempat kita akan diganti dengan nenek cantik itu. Bagaimana...? Apakah kau setuju, Orang Muda?!"
"Ah... Kakek berjubah abu-abu itu bagus sekali nasibnya! Ada nenek cantik yang suka rela hendak menemaninya jalan-jalan ke neraka. Tentu aku setuju! Hitung-hitung memberi kesempatan orang tua menikmati kebahagiaan!" jawab murid Pendeta Sinting sambil senyum-senyum.
Sepasang mata Prabarini mendelik besar mendengar ucapan Dewa Orok serta Pendekar 131. Di sebelah belakang, Puspa Ratri memandang tajam pada murid Pendeta Sinting sambil bergumam tidak Jelas. Sementara Tengkorak Berdarah diam-diam merasa heran dengan sikap Prabarini. Pertahan-lahan rasa curiganya kalau pertemuan ini diatur Prabarini lenyap. Namun dendamnya yang sudah berkarat membuatnya tidak tergoyah.
"Jangan harap perbuatanmu ini akan membuatku melupakan apa yang pernah kau lakukan pada beberapa tahun silam! Jangan mimpi! Aku tetap akan membunuhmu!" ujar Tengkorak Berdarah dalam hati.
"Orang-orang muda" kata Prabarini seraya arahkan pandangannya silih berganti pada Dewa Orok dan murid Pendeta Sinting. "Jangan bicara kurang ajar tak tahu aturan! Kalian berdua kuharap menyingkir dahulu! Jangan berani buka mulut ikut campur!"
"Mana bisa begitu?!" ujar Joko Sableng.
"Betul. Mana bisa begitu?!" timpal Dewa Orok ikut-ikutan.
"Dengar! Aku tidak akan campur tangan urusan kitab dan mahkota! Aku ada urusan lain! Jadi jangan menduga yang bukan-bukan!"
Habis berkata begitu, Prabarini berpaling pada Tengkorak Berdarah. Namun tiba-tiba perempuan ini kancingkan mulut urungkan niat berucap. Sebaliknya matanya membesar melihat jauh ke depan ke arah jajaran batang pohon. Kejap lain dia buka mulut berkata.
"Harap tidak sembunyikan diri!"
Semua orang di tempat itu sama mengernyit. Saat lain semua kepala bergerak ke arah mana pandangan Prabarini memandang!
BAB 5
Dari balik satu batang pohon besar sejarak sepuluh tombak dari tempat Prabarini tegak, terdengar gumaman orang. Namun untuk beberapa saat lamanya belum ada tanda-tanda adanya orang yang keluar tampakkan diri. Sementara dari balik lindungan batang pohon, satu sosok yang baru saja berkelebat dan sempat ditangkap oleh pandangan Prabarini diam-diam merasa cemas dan khawatir."Aku melihat Joko ada di antara beberapa orang. Orang berjubah abu-abu itu juga ada di sana. Lalu gadis berbaju hijau itu. Ada apa gerangan? Sayang, sudah hampir tiga hari ini Ayah tidak bisa kuketahui di mana beradanya! Apakah orang berjubah abu-abu itu...?! Ah... Semua ini membuatku jadi pusing memikirkannya. Perempuan itu sudah tahu aku berada di sini! Kurasa tidak ada gunanya lagi bersembunyi..."
Lalu orang ini memandang berkeliling. Setelah menarik napas panjang orang ini melangkah keluar dari balik pohon. Seraya melangkah sepasang mata orang ini memandang pada satu persatu orang yang ada di tempat itu. Prabarini tersenyum dan menghela napas lega. Puspa Ratri mendelik angker dengan bibir tersenyum dingin. Dewa Orok hanya memandang sekilas lalu arahkan pandangannya ke jurusan lain, demikian pula Tengkorak Berdarah. Yang paling tampak terkejut adalah murid Pendeta Sinting. Seraya memandang tak berkesip, Joko bergumam.
"Raka Pradesa!"
Seorang pemuda berkumis tipis mengenakan pakaian warna hitam-hitam kini tegak sepuluh tombak di samping Prabarini dan Tengkorak Berdarah.
"Gadis itu masih menyamar sebagai seorang pemuda!" desis Puspa Ratri kesal. Matanya makin membelalak memandangi pemuda berkumis tipis yang bukan lain adalah Saraswati yang selama ini masih mengenakan kumis palsu hingga mirip seorang pemuda.
"Beberapa hari berselang dia bisa lolos karena kemunculan Ibu! Mumpung sekarang ada orang berjubah abu-abu, dia tidak akan bisa lagi mungkir! Gadis itu pasti bersekongkol dengan orang berjubah abu-abu ini! Kini saatnya harus kubuktikan di hadapan Joko dan Ibu siapa dia sebenarnya!"
Berpikir begitu, Puspa Ratri segera melompat lalu tegak tujuh langkah di hadapan Raka Pradesa alias Saraswati. Begitu kakinya menginjak tanah, gadis ini segera buka mulut dengan suara lantang.
"Hari ini kau tak akan bisa mungkir lagi! Kaulah biang kerok kejadian beberapa hari berselang!"
"Puspa Ratri! Jangan..."
Puspa Ratri berpaling pada Joko Sableng yang baru saja buka mulut. Dan menukas ucapan murid Pendeta Sinting dengan mata memandang tajam.
"Joko Jangan tertipu dengan ucapan dan tingkah seorang Gadis yang menyamar sebagai pemuda berkumis tipis itu bukan manusia baik-baik yang bisa dijadikan sahabat! Di balik semua ucapan dan tingkahnya dia menyimpan niat busuk! Kau pasti masih ingat kejadian tiga hari berselang. Kitab dan mahkota lenyap disambar orang karena uahnya! Jadi sudah layak manusia macam dia disingkirkan Buang rasa bimbang dan keraguanmu kalau kau tak ingin tertipu lebih jauh!"
Raka Pradesa menyeringai. Sepasang matanya memperhatikan Puspa Ratri lekat-lekat yang kin telah berpaling dan memandang ke arah Raka Pradesa. Untuk beberapa saat kedua orang ini saling perang pandang. Tiba-tiba Raka Pradesa angkat tangan kanannya. Kumis tipis palsunya ditanggalkan lalu dicampakkan di atas tanah. Ikatan pada rambutnya dilepas. Lalu kepalanya digoyang-goyang hingga saat itu juga rambutnya lepas tergerai ke bahu dan punggungnya. Kini berubahlah sosok Raka Pradesa menjadi seorang gadis muda berparas cantik bermata bulat berambut panjang. Tangan kanannya yang baru saja menanggalkan kumis dan ikatan rambutnya terus bergerak dan kini diluruskan menunjuk ke arah Puspa Ratri.
"Gadis berbaju hijau! Jaga mulutmu! Ucapanmu hanya berdasar pada rasa cemburu gila! Kau ingin cari muka di depan orang! Apakah dengan caramu itu kau kira cukup untuk mengalihkan perhatian orang dan menyingkirkan aku?!"
Saraswati tertawa pendek. Dia rupanya tidak memberi kesempatan pada Puspa Ratri untuk buka mulut menyahut. Karena sesaat kemudian dia telah lanjutkan ucapannya.
"Aku tidak terima kau tuduh! Meski kau tidak sendirian, jangan kira aku takut!"
Merasa ditantang, Puspa Ratri cepat berpaling pada ibunya dan berujar. "Harap tidak ikut campur! Ini urusan sendiri!" Lalu pandangannya beralih pada Dewa Orok, murid Pendeta Sinting, serta Tengkorak Berdarah. "Kuharap kalian juga tidak ikut-ikutan!"
Habis berkata begitu, Puspa Ratri arahkan pandangannya pada Saraswati. "Kau telah dengar ucapanku! Kau tak usah khawatir ada orang membantuku! Kita selesaikan urusan tempo hari satu lawan satu!"
Mendengar ucapan Puspa Ratri, Dewa Orok melirik pada Pendekar 131 lalu berbisik. "Orang muda! Meski aku tidak tahu apa urusan sebenarnya, namun aku dapat menduga kaulah yang menjadi pangkal sebab. Kau harus lakukan sesuatu! Kalau tidak, kau akan menyesal! Kau tidak akan memperoleh salah satu di antara dua dara cantik itu! Kalau mereka saling mengalah, untuk yang ini aku bersedia kau beri yang mana saja..."
Joko balas meiirik dengan pandangan tajam. "Jangan bergurau untuk urusan yang satu ini! Ini urusan sulit!"
Dewa Orok tertawa bergelak membuat semua kepala berpaling ke arahnya. Dewa Orok tidak pedulikan semua mata yang memandang padanya. Dia buka mulut. "Siapa yang bergurau, Orang Muda! Aku bersungguh-sungguh! Aku menawarkan diri untuk menerima siapa saja yang nanti kau berikan padaku di antara keduanya! Tapi dengan syarat!"
Murid Pendeta Sinting mendelik. "Jangan bicara sembarangan! Lagi pula siapa mau di antara keduanya padamu? Apalagi kau pasang syarat! Apa kau kira..."
Suara Pendekar 131 diputus oleh gelakan tawa Dewa Orok. "Jangan keburu marah-marah, Orang Muda! Aku belum katakan apa syaratku!"
Dewa Orok hentikan ucapannya. Memandang satu persatu silih berganti pada Puspa Ratri dan Saraswati. Lalu lanjutkan ucapannya. "Aku mau menerima salah satu kalau di antara mereka mau! Kalau mereka tidak mau, apa susahnya menarik tawaranku?! Ha Ha Ha...! Tapi percayalah, di antara mereka atau kedua-keduanya pasti mau denganku!"
"Dewa Orok!" teriak Puspa Ratri dengan suara keras pertanda marah. "Jangan bicara ngelantur! Siapa mau denganmu?!"
"Orang cantik! Aku hanya tawarkan diri! Kalau kau tidak mau itu terserah. Aku tidak merasa rugi dengan penolakanmu. Masih banyak gadis yang mau menerimaku. Ha Ha Ha...!" sambi! terus tertawa Dewa Orok berpaling pada Saraswati. "Kau bagaimana? Juga menolak kehadiranku di sisimu?!"
Saraswati tidak mengangguk juga tidak menggeleng. Mulutnya pun tidak ucapkan kata-kata. Hanya sepasang matanya tampak memandang tak berkesip pada Dewa Orok lalu berkata dalam hati. "Orang aneh..."
Ketika Dewa Orok sedang berbincang dengan Puspa Ratri dan Saraswati, diam-diam murid Pendeta Sinting berpikir. "Pangkal sebab utama semua ini adalah orang berjubah abu-abu itu! Aku harus segera dapat mengetahui siapa dia sebenarnya. Lebih dari itu kitab bersampul kuning harus kudapatkan kembali! Setelah itu urusan gadis-gadis ini mudah diselesaikan!"
Murid Pendeta Sinting lalu berbisik pada Dewa Orok. "Kau ajak kedua gadis itu terus bercakap-cakap. Aku akan mcnyelesaikan urusan dengan orang berjubah abu-abu! Setelah itu nanti kita atur urusan kedua gadis itu. Kalau nantinya mereka mau, kau bisa membawa keduanya sekaligus! Aku yang nenek-nenek itu tidak apa-apa!"
Belum sampai Dewa Orok menyahuti ucapan Pendekar 131, Joko telah berkelebat ke arah Tengkorak Berdarah. Khawatir kalau Prabarini ikut campur lagi, seraya melompat, Joko berteriak.
"Nenek cantik! Kau tak usah cemas. Aku hanya membutuhkan kitab darinya! Setelah itu kau boleh memilikinya!"
Kedua tangan murid Pendeta Sinting langsung lepaskan pukulan ke arah kepala dan perut Tengkorak Berdarah. Saat itu sebenarnya Prabarini tidak akan tinggal diam. Namun setelah berpikir sekali lagi, apalagi setelah mendengar ucapan Joko walau ucapannya sedikit membuatnya marah, akhirnya dia memutuskan untuk berdiam diri. Dia lalu melangkah mendekati Puspa Ratri.
Sementara mendapat serangan mendadak, Tengkorak Berdarah yang sedari tadi ikut larut dalam suasana di tempat itu, segera mundur dua tindak. Tangan kirinya diangkat lalu dibabatkan ke samping memangkas tangan Joko yang menghantam ke arah kepalanya. Pada saat yang sama, kaki kanan di balik jubah abu-abunya tergerak terangkat melabrak tangan Joko yang berkelebat ke arah perutnya.
Bukkk! Bukkk!
Tubuh Joko terjajar balik dua langkah. Sedangkan Tengkorak Berdarah terhuyung-huyung karena saat terjadinya bentrok, orang ini hanya bertumpu pada kaki kirinya. Melihat hal demikian, Joko tak sia-siakan kesempatan. Murid Pendeta Sinting ini segera kerahkan tenaga dalam pada kedua tangannya siapkan pukulan sakti 'Lembur Kuning'. Saat itu juga kedua tangannya berubah warna. Tempat itu pun disemburati cahaya berwarna kekuningan. Kejap lain Joko sentakkan kedua tangannya ke depan.
Wuuutt! Wuuutt! Cahaya kekuningan melesat membawa serta suara gemuruh dahsyat dan hawa panas.
"Celaka kalau sampai pemuda itu arahkan pukulannya pada tubuh Lasmini!" desis Prabarini ketika berpaling dan melihat apa yang sedang terjadi. Dewa Orok tersenyum-senyum. Sementara Puspa Ratri dan Saraswati hanya memandang dengan mulut terkancing.
"Jahanam!" maki Tengkorak Berdarah seraya cepat kuasai diri lalu sentakkan kedua tangannya ke depan.
"Bummm!" Satu ledakan keras mengguncang tempat itu membuat tanah pijakan semua orang di tempat itu bergetar dahsyat, bahkan Saraswati dan Puspa Ratri terlihat bergoyang-goyang keras hendak jatuh.
Melihat keadaan seperti itu, Prabarini cepat berpaling pada anaknya lalu pegang bahunya menahan. Sementara Dewa Orok cepat melompat ke arah Saraswati dan tegak menempelkan punggungnya pada punggung gadis berpakaian hitam-hitam ini. Anehnya bersamaan dengan menempelnya punggung Dewa Orok, goyangan tubuh Saraswati terhenti seketika.
"Orang cantik! Kau tidak apa-apa...?!"
Saraswati terkejut. Dia berpaling ke belakang. "Aku... Aku tidak apa-apa!" jawab Saraswati dengan raut merah tersipu-sipu. Lalu tarik tubuhnya dari punggung Dewa Orok. Namun gadis ini terkesiap. Dia gagal menarik tubuhnya!
"Kuasai diri dahulu! Jangan keburu marah-marah!" bisik Dewa Orok.
Saraswati maklum akan ucapan orang. Karena saat itu sepasang kakinya memang masih terasa bergetar meski sosok atasnya diam tak bergerak. Setelah agak lama, baru Dewa Orok tarik tubuhnya lalu balikkan tubuh tegak menjajari Saraswati. Sepasang matanya menatap bundaran karetnya yang mengapung di udara dan tampak berputar-putar karena bias bentroknya pukulan. Pada saat itu semua telinga orang mendengar suara bergedebukan. Semua kepala bergerak berpaling.
"Joko!" seru Puspa Ratri dan Saraswati hampir berbarengan melihat sosok murid Pendeta Sinting jatuh terduduk dengan tubuh bergetar dan wajah pucat pasi dan dada bergerak keras turun naik. Kedua gadis ini hendak berkelebat, namun sebelum keduanya bergerak, Joko telah bangkit berdiri dan memandang ke arah Tengkorak Berdarah yang saat itu terkapar dengan jubah terusannya bagian wajah telah berubah warna merah.
"Mudah-mudahan dia kuat bertahan. Karena aku telah berjanji pada nenek itu untuk tidak mencelakainya! Sayang dia salah perhitungan! Sebenarnya aku tadi tidak langsung mengarahkan pukulan 'Lembur Kuning' ke arahnya. Namun dia salah duga dan menangkis..." gumam murid Pendeta Sinting. Lalu tanpa keluarkan ucapan lagi, sosoknya berkelebat ke arah Tengkorak Berdarah yang sedang terkapar.
Melihat hal ini, Dewa Orok tak tinggal diam. Bersamaan dengan melesatnya Pendekar 131, pemuda bertangan buntung ini berkelebat juga ke arah Tengkorak Berdarah.
"Tahan!" seru Prabarini khawatir akan apa yang hendak dilakukan Pendekar 131 dan Dewa Orok.
Namun seruannya seakan tidak terdengar oleh kedua orang itu. Keduanya teruskan kelebatan tubuh masing-masing. Tengkorak Berdarah tampak terkejut. Kepala di balik jubah abu-abunya menyentak. Namun kejap lain orang ini perdengarkan tawa panjang dan berkata.
"Bagus! Kita akan mati bersama-sama!" Selesai berucap begitu, Tengkorak Berdarah angkat kedua tangannya lalu disentakkan ke arah murid Pendeta Sinting dan Dewa Orok yang terus berkelebat ke arahnya. Satu gelombang angin luar biasa dahsyat menyambar ke depan.
"Awas!" teriak Joko memperingatkan Dewa Orok. Lalu murid Pendeta Sinting ini jatuhkan diri bergulingan di atas tanah. Sambaran angin dahsyat lewat di atas kepalanya.
Di lain pihak, Dewa Orok gerakkan bahunya. Sosoknya laksana disentak dari bawah. Tubuhnya melenting tiga tombak ke udara. Sambaran angin yang melesat ganas dari kedua tangan Tengkorak Berdarah menggebrak tempat kosong di bawah sosok Dewa Orok. Selamat dari serangan, Dewa Orok membuat gerakan jungkir balik dua kali. Kejap lain sosoknya telah tegak dengan kaki di atas kepala di bawah di samping kepala Tengkorak Berdarah!
Tengkorak Berdarah menggerung keras. Kedua tangannya serta-merta lepaskan pukulan ke arah wajah Dewa Orok. Tapi gerakan kelebat tangannya terlambat. Satu totokan bersarang di bawah ketiaknya. Seketika itu juga sekujur tubuhnya kaku tegang tak bisa digerakkan.
"Bangsat keparat! Siapa berlaku pengecut?I" teriak Tengkorak Berdarah dengan kedua tangan tetap mengapung di udara.
Terdengar suara tawa dari arah samping. "Apa hendak dikata. Kau keras kepala mengajak orang jalan-jalan ke neraka!"
"Jahanam! Keparat!" rutuk Tengkorak Berdarah seraya arahkan pandangannya ke samping, di mana saat itu tampak Pendekar 131 bangkit setelah lakukan totokan.
Murid Pendeta Sinting memandang sejurus ke arah Tengkorak Berdarah lalu melirik pada Dewa Orok dan berujar. "Bagaimana enaknya sekarang?!"
"Bagaimana terserah kau saja! Yang penting sekarang kuminta tolong padamu untuk ambilkan barangku! Tak pantas rasanya harus meraba-raba dengan kaki!"
"Jangan berani menyentuh tubuhku!" teriak Tengkorak Berdarah.
Joko tersenyum. Lalu melangkah satu tindak. "Kita sama laki-lakinya. Jangan khawatir. Untuk apa menyentuh-nyentuh tubuhmu! Bukankah apa yang kau miliki tidak jauh beda dengan punya pemuda terjungkir itu?!" kata Joko lalu jongkok. Kedua tangannya bergerak ke arah tubuh Tengkorak Berdarah.
"Hai! Harap ambil yang kau butuhkan saja! Jangan berani bertindak lain!" Mendadak Prabarini berteriak. Perempuan ini jelas khawatir kalau tangan Joko meraba bagian atas tubuh Tengkorak Berdarah.
Joko sejenak memandang ke arah Prabarini. Keningnya berkerut. "Aneh. Mengapa nenek itu berkata begitu? Orang ini tadi juga seakan terkejut dan melarangku menyentuh tubuhnya! Jangan-jangan..." Joko tidak lanjutkan ucapannya karena saat itu Dewa Orok berujar.
"Orang muda! Tunggu apa lagi? Urusanmu yang satu belum selesai! Jadi jangan membuang-buang waktu!"
Joko teruskan kedua tangannya ke pinggang orang berjubah abu-abu terusan. Lalu melebar ke arah perutnya. Sementara Tengkorak Berdarah terus berteriak. Saat kedua tangannya merasakan satu sembulan benda di perut Tengkorak Berdarah, Joko hentikan rabaannya.
"Hem... Jubah ini terusan tanpa kancing bagian depan. Kalau langsung kulepas semuanya, bagaimana kalau dia tidak mengenakan pakaian dalam?!"
Murid Pendeta Sinting berpikir sejenak. Sementara Prabarini memandang tidak berkesip. Pandangan perempuan ini jelas membayangkan rasa gelisah dan cemas. Malah mulutnya tampak komat-kamit hendak ucapkan sesuatu. Saat itulah tiba-tiba kedua tangan Joko yang masih menempel di perut orang menyentak keras ke atas.
Breetttt!
Jubah abu-abu terusan yang dikenakan Tengkorak Berdarah robek menganga bagian perut. Lalu tampaklah sebuah kitab bersampul kuning dan sebuah mahkota yang juga berwarna kuning. Dengan hati-hati Joko mengambil kitab serta mahkota itu. Sedangkan Tengkorak Berdarah terus memaki makin keras. Namun percuma saja karena dia hanya bisa keluarkan suara tanpa bisa gerakkan tubuh. Untuk beberapa lama murid Pendeta Sinting memperhatikan kitab bersampul kuning serta mahkota bersusun tiga di tangannya.
"Hem... Kurasa masih asli..." gumam Joko lalu bangkit dan melangkah ke arah Dewa Orok.
Dewa Orok bergerak satu kali. Kejap lain pemuda bertangan buntung ini telah tegak dengan kepala di atas kaki di bawah. "Aku harus memeriksanya dahulu! Jangan-jangan telah dipalsukan! Tolong dekatkan padaku!" kata Dewa Orok sambil julurkan kepalanya ke depan ketika Joko perlihatkan mahkota bersusun tiga.
"Hem... Untung belum berubah!" ujar Dewa Orok. "Tolong sekali lagi. Masukkan mahkota itu ke balik pakaianku! Tapi awas. Jangan berani meraba-raba! Bukan apa. Aku geli"
Joko mendengus pelan. "Lagi pula siapa mau meraba-raba tubuhmu!" kata Joko dengan suara tinggi. Namun dia turuti permintaan Dewa Orok memasukkan mahkota bersusun tiga ke balik pakaiannya setelah menyimpan kitab bersampul kuning ke balik bajunya.
"Urusan telah selesai! Biarkan orang ini diurus oleh nenek itu! Kita pergi sekarang!" ujar Joko pada Dewa Orok.
"Kalian berdua akan menyesal kalau tidak membunuhku sekarang!" teriak Tengkorak Berdarah saking jengkelnya karena tidak bisa berbuat apa-apa.
"Sebenarnya aku mau saja menuruti permintaanmu. Tapi sayang aku tadi telah berjanji pada nenek cantik itu!" ujar Joko Sableng lalu balikkan tubuh.
"Tunggu!" tahan Dewa Orok sambil melompat menjajari Joko dan berbisik. "Urusanmu belum selesai Orang Muda, Gadis-gadis itu..."
Murid Pendeta Sinting gelengkan kepala. "Bukankah tadi sudah kukatakan bahwa jika urusan dengan orang berjubah abu-abu selesai, kedua gadis itu boleh kau bawa! Jadi sekarang kau yang punya urusan dengan mereka! Aku harus pergi!"
Habis berkata begitu, Pendekar 131 berkelebat tinggalkan tempat itu. Melihat ha! ini, Prabarini segera berteriak lantang. Namun sebelum suaranya keluar, satu suara berat telah terdengar mendahului.
"Pendekar Pedang Tumpu! 131! Harap jangan pergi dulu! Kita harus bicara!"
Murid Pendeta Sinting tarik pulang tubuhnya yang sudah siap berkelebat. "Aneh... Telingaku rasanya mengenali suara orang yang baru saja bicara!" gumam Joko lalu berpaling pada datangnya suara.
Bersamaan dengan itu Dewa Orok yang masih tegak memikirkan ucapan Joko ikut-ikutan berpaling. Demikian pula Prabarini, Puspa Ratri, dan Saraswati. Tengkorak Berdarah yang masih terkapar dengan tertotok setelah susah payah bisa gerakkan kepalanya menghadap ke arah mana orang sama-sama berpaling. Meski orang berjubah abu-abu ini adalah orang terakhir yang hadapkan kepala, namun jelas dialah orang pertama yang terlihat paling terkejut. Malah dari mulutnya terdengar seruan tertahan.
Sementara di seberang, Puspa Ratri membelalak. Saraswati surutkan langkah satu tindak. Dewa Orok kembung kempiskan mulut menyedot-nyedot bundaran karetnya yang sejenak tadi ditarik masuk setelah sekian lama mengapung di udara. Di sebelah Dewa Orok, Pendekar 131 pentangkan sepasang matanya dengan mulut bergumam. Yang terlihat tenang adalah Prabarini.
Dewa Orok sejenak gelengkan kepala. Bundaran karetnya disemburkan keluar. Lalu mulutnya terbuka. "Aneh... Jangan-jangan orang itu bukan manusia biasa! Tapi hantu jejadian yang bisa merubah tubuhnya jadi banyak! Kau lihat! Orang yang tegak itu baik tinggi dan pakaian jubah yang dikenakan sama persis dengan orang yang terkapar itu! Kembarannya atau bagaimana?!"
"Hem... Benar dugaan Gendeng Panuntun. Ada dua Tengkorak Berdarah! Mungkin yang baru datang itu adalah Tengkorak Berdarah yang sempat membuatku jatuh masuk ke dalam ruangan dalam tanah! Tapi... Aku belum bisa memastikan yang mana sebenarnya penghuni Istana Hantu. Semuanya sama persis!" kata Joko dalam hati.
Selagi belum ada yang buka mulut bicara, orang yang menahan kepergian murid Pendeta Sinting gerakkan tubuh. Tahu-tahu sosoknya telah tegak tiga langkah di samping Saraswati!
BAB 6
Dia adalah seseorang yang anggota tubuhnya mulai dari rambut sampai kaki ditutup dengan jubah besar berwarna abu-abu. Kalau orang melihat, tidak ada bedanya antara orang yang kini tegak di samping Saraswati dengan orang yang kini terkapar tegang tak bisa bergerak karena ditotok oleh murid Pendeta Sinting.Untuk beberapa saat orang berjubah abu-abu di samping Saraswati hadapkan kepalanya ke arah orang yang terkapar. Lalu beralih pada Saraswati. Saraswati sendiri tampak bimbang. Dia gerakkan kepalanya bolak-balik memandang ke arah orang di sampingnya lalu ke arah orang yang terkapar.
"Yang mana ayahku?! Bagaimana bisa begini?!" gumam Saraswati tak habis mengerti. Selagi Saraswati dilanda kebimbangan, tiba-tiba orang berjubah abu-abu di sampingnya berbisik.
"Saraswati... Bebaskan orang yang tertotok itu!"
Saraswati kernyitkan kening. "Apakah kau..." Ucapan si gadis belum selesai, orang di sampingnya anggukkan kepala sambil berbisik lagi.
"Anakku... Lekas lakukan apa yang kukatakan!"
Meski hatinya masih disamaki berbagai tanya, akhirnya Saraswati melangkah ke arah orang berjubah abu-abu terusan yang masih terkapar tegang.
"Kau mau apa?! Jangan berani berbuat yang tidak-tidak! Kau kelak akan menyesal!" teriak Tengkorak Berdarah dengan suara keras meski dirinya tak bisa gerakkan anggota tubuhnya.
Saraswati hentikan langkah. Sepasang matanya menatap tajam tak berkesip. Dadanya bergerak turun naik pertanda gadis ini merasa jengkel dengan ucapan orang itu. Merasa dirinya dipandang begitu rupa oleh Saraswati, Tengkorak Berdarah makin geram. Dia kembali perdengarkan suara keras.
"Kau dengar ucapanku! Jangan berani berlaku bodoh jika tak ingin menyesal kelak!"
"Bukan aku yang bodoh! Tapi kau yang berlaku picik! Terlalu buruk menduga setiap orang!" teriak Saraswati tak bisa menahan kesal mendengar ucapan orang. Habis berkata begitu, gadis ini balikkan tubuh lalu melangkah ke tempatnya semula. Baru melangkah tiga tindak, orang berjubah abu-abu yang baru datang telah perdengarkan suara.
"Jangan pedulikan ucapannya. Lakukan saja apa yang kukatakan!"
"Aku tak mau! Orang macam dia tidak pantas ditolong!" jawab Saraswati lalu teruskan langkah.
"Aku pun tak minta tolong!" sahut Tengkorak Berdarah.
"Wah... Mungkin dia mau kalau kau yang menolong, Orang Muda! Bukankah dia lebih menyukai pemuda daripada gadis?" Orang yang keluarkan suara adalah Dewa Orok.
"Mana bisa begitu? Mungkin dia menginginkan kau yang melakukannya! Bukankah caramu pasti lain daripada yang lain?!" sahut Joko sementara pandangannya terus tak beranjak dari orang yang tegak di samping Saraswati.
Belum sampai ucapan murid Pendeta Sinting selesai, mendadak Prabarini telah berkelebat dan tahu-tahu sudah tegak di samping sosok Tengkorak Berdarah yang masih terkapai. Prabarini langsung jongkok dan berbisik peian.
"Lasmini! Harap kau tidak keras kepala. Ini saat yang baik untuk membuka apa yang kukatakan padamu tempo hari! Aku akan membebaskanmu dari totokan. Jangan berprasangka jelek. Kalau mau, bukankah pemuda itu bisa berbuat apa saja terhadapmu?"
"Aku tidak memintamu membebaskan diriku dari totokan pemuda gila itu! Aku tak akan..."
Prabarini gelengkan kepala. "Terserah kau minta atau tidak. Tapi aku punya keharusan untuk membebaskanmu..."
Tengkorak Berdarah mendengus. "Ini kau lakukan hanya agar aku melupakan perbuatanmu di masa lalu? Jangan berharap! Untuk ucapkan terima kasih pun jangan mimpi kau akan mendengarnya dari mulutku!"
"Tidak ada maksud seperti yang kau katakan, Lasmini! Aku pun tak mengharap ucapan terima kasih darimu! Semua ini kulakukan agar urusan kita hanya berhenti sampai pada kita berdua..." ujar Prabarini pelan.
"Dari kemarin kau katakan begitu! Tapi nyatanya kau menipuku dengan mengundang beberapa orang!"
"Aku tidak mengundang mereka! Mungkin ini suatu berkah bagi kita karena dengan munculnya orang-orang di tempat ini, urusan di antara kita jadi tuntas!"
"Urusan kita tidak akan tuntas sebelum salah satu di antara kita menemui ajal!"
"Ah... Terserah padamulah. Yang pasti aku suah melupakan kisah masa lalu..."
d
Habis berkata begitu, Prabarini gerakkan tangan menekan pada bagian bawah ketiak Tengkorak Berdarah. Merasa dirinya bisa gerakkan tubuh, laksana terbang, Tengkorak Berdarah serentak bangkit berdiri. Tanpa diduga sama sekali oleh Prabarini tangan kanan Tengkorak Berdarah berkelebat lepaskan satu pukulan.
Bukkk!
Prabarini terpental satu tombak dan jatuh terjengkang.
"Ibu!" teriak Puspa Ratri menghambur pada Prabarini. Lalu menolong perempuan itu bangkit berdiri. Prabarini tersenyum seraya mengusap dadanya yang baru saja terhantam tangan Tengkorak Berdarah.
"Tidak apa-apa, Anakku..."
"Jahanam tak tahu budi! Kubunuh kau!" teriak Puspa Ratri seraya memandang tajam pada Tengkorak Berdarah. Gadis ini seperti kalap, lalu berkelebat hendak lepaskan tendangan ke arah Tengkorak Berdarah.
"Puspa... Sudahlah. Ada urusan lebihbpenting yang harus segera diselesaikan!" ujar Prabarini sambil pegangi lengan anaknya.
"Puspa..." Tiba-tiba orang berjubah abu-abu yang tegak di samping Saraswati perdengarkan suara mengikuti ucapan Prabarini. Kepala di balik jubah abu-abunya menghadap lurus ke arah Puspa Ratri yang tegak di samping ibunya.
"Prabarini... Puspa Ratri... Ah... Kuharap kalian..." Orang berjubah abu-abu ini tidak lanjutkan gumamannya karena saat itu tiba-tiba Prabarini telah buka mulut. Wajahnya dihadapkan ke arah orang yang tegak di samping Saraswati.
"Orang berjubah abu-abu! Harap kau suka buka penyamaranmu!"
Orang di samping Saraswati sejenak arahkan kepalanya ke arah Tengkorak Berdarah yang baru saja tegak. Lalu menghadap pada satu persatu orang di tempat itu. Saraswati berpaling. Setelah merasa yakin bahwa orang berjubah abu-abu terusan di sampingnya adalah ayahnya, gadis ini berbisik.
"Ayah... Siapa perempuan itu?" Orang yang ditanya tidak menjawab. Sebaliknya orang ini angkat kedua tangannya ke atas kepala. Kejap lain kedua tangannya menyibak ke kanan kiri.
Brettt! Brettt!
Jubah terusan abu-abu bagian kepala orang di samping Saraswati robek membelah di bagian kepala. Orang ini teruskan sibakkan tangannya hingga robekan itu terus menjalar ke bawah. Semua mata orang di tempat itu sama mementang memperhatikan. Mereka mula-mula melihat rambut putih. Lalu sepasang mata yang sayu ditingkah alis mata yang juga telah memutih. Kemudian tampaklah sebuah hidung agak mancung dan kumis lebat putih. Di bawahnya terlihat satu bibir yang sedang tersenyum. Namun jelas senyum itu penuh misteri.
"Dugaanku tidak salah..." gumam Prabarini begitu dapat melihat seluruh wajah orang yang tadi tertutup jubah abu-abu terusan.
"Ibu! Siapa laki-laki itu? Sepertinya kau mengenali betul!" kata Puspa Ratri pelan.
"Sebentar lagi kau akan mengetahuinya" jawab" Prabarini tanpa menoleh.
"Panjer Wenyi!" Tiba-tiba Tengkorak Berdara alias Lasmini berteriak. Laksana hendak terbang, orang berjubah abu-abu yang bagian perutnya robek akibat sentakan tangan Pendekar 131 ini berkelebat. Namun langkahnya tertahan karena bersamaan dengan itu Prabarini telah melompat dan tegak menghadang.
"Jangan perturutkan hati! Buang dulu rasa dendam! Saatnya telah tiba bagi kita untuk saling membuka diri!"
"Jahanam! Untuk apa membuka diri! Semuanya sudah jelas!" seru Tengkorak Berdarah.
"Bagimu memang sudah jelas! Tapi tidak bagi orang lain!"
"Apa pedulinya orang lain, hah?! Jahanam itu harus mati di tanganku! Termasuk juga kau dan anakmu"
"Orang lain memang tidak akan peduli! Tapi di sini ada orang yang harus kau pedulikan! Lebih-lebih orang itu butuh kejelasan yang selama ini dicari-cari! Jangan buat dia merana sepanjang hidupnya!"
"Apa maksud ucapanmu?!"
"Kau masih ingat ucapanku tempo hari. Bukalah dahulu penutup wajahmu!"
"Kau telah dengar ucapanku tempo hari. Sekali aku bilang tidak, tidak!"
"Berarti kau memperpanjang duka rana darah dagingmu!"
Ucapan Prabarini membuat Tengkorak Berdarah terdiam beberapa lama. "Saraswati... Apakah anakku berada di sini?" ujar Tengkorak Berdarah pada akhirnya dengan suara bergetar. Suara orang ini hampir-hampir tidak terdengar.
"Sudan bertahun-tahun dia mencarimu! Apakah kau masih akan sembunyikan wajah?!" ujar Prabarini dengan anggukkan kepala dan tersenyum. Namun sepasang mata perempuan ini tampak berkaca-kaca.
Tengkorak Berdarah hadapkan kepalanya ke arah Saraswati. Dada orang ini berdebar. "Apakah dia...?" Entah karena apa tiba-tiba kedua tangan Tengkorak Berdarah bergerak ke atas.
Brettt! Breett!
Seketika jubahterusan bagian wajah dan kepala Tengkorak Berdarah robek menganga. Sepasang mata murid Pendeta Sinting dan Dewa Orok yang sedari tadi hanya diam mendengarkan, membelalak besar-besar. Namun bersamaan dengan itu, Dewa Orok berujar.
"Orang muda. Kau tidak beruntung hari ini! Kalau kau tadi sedikit nakal mau meraba-raba ke atas perut orang, pasti kau akan menemukan sesuatu yang lain!"
Joko tidak menyahut. Dia hanya pandangi orang di seberang depan dengan berkata dalam hati. "Hem... Makanya dia tadi marah-marah saat aku hendak meraba tubuhnya! Tak tahunya dia adalah seorang..."
Joko geleng-geleng kepala. Namun tiba-tiba murid Pendeta Sinting hentikan gerakan kepalanya yang menggeleng. Kini kepalanya silih berganti menghadap ke arah Saraswati dan Tengkorak Berdarah yang baru saja membuka penutup wajahnya.
"Heran... Wajah keduanya..."
"Hampir sama!" sahut Dewa Orok menyahuti ucapan murid Pendeta Sinting. Ucapan Dewa Orok memang benar, karena begitu Tengkorak Berdarah membuka penutup wajahnya maka tampaklah satu wajah seorang perempuan yang hampir sebaya dengan Prabarini. Sama halnya saperti Prabarini, meski sudah tidak muda lagi tapi masih kelihatan cantik. Lebih dari itu, raut wajah perempuan ini hampir mirip dengan Saraswati!
"Terima kasih kau mau membuka diri..." kata Prabarini dengan suara bergetar. Perempuan ini segera putar diri menghadap Saraswati. Namun dia tidak segera angkat bicara meski mulutnya telah membuka.
"Ada apa ini? Mengapa semua orang memandangku demikian rupa?!" pikir Saraswati melihat semua mata tertuju ke arahnya. Belum sampai Saraswati mendapat jawaban atas pertanyaan hatinya, Prabarini berujar.
"Panjer Wengi! Kau harus jelaskan semua ini!"
Orang di samping Saraswati yang dipanggil Panjer Wengi menghela napas panjang. Semua mata kini tertuju pada laki-laki berusia lanjut namun masih membayangkan ketampanan ini. Mulut semua orang sama terkancing hingga suasana jadi hening.
"Prabarini..." gumam orang tua yang dipanggii Panjer Wengi. "Sebelumnya kuharap kau mau memaafkan aku. Seharusnya aku yang melakukan pekerjaan seperti ini. Tapi karena aku harus melakukan sesuatu yang lebih penting, terpaksa aku harus berdiam diri, bahkan untuk beberapa tahun lamanya aku harus sembunyikan diri di balik bangunan. Prabarini... Mungkin aku adalah seorang laki-laki yang pantas menerima caci maki karena aku harus menanyakan padamu tentang anak kita..."
Sejenak Panjer Wengi hentikan ucapannya. Matanya kini terarah pada Puspa Ratri. Gadis yang dipandang tampak sipitkan mata dengan dada berdebar.
"Prabarini... Adakah anak gadis disampingmu adalah Puspa Ratri anak kita?"
Prabarini tidak menjawab. Sepasang mata perempuan ini telah menitikkan air mata. Kepalanya bergerak menoleh pada Puspa Ratri yang saat itu juga sedang berpaling ke arahnya
"Ibu..." kata Puspa Ratri seraya melompat mendekat ke arah Prabarini. Namun begitu tegak di samping ibunya, Puspa Ratri tidak kuasa buka mulut lanjutkan ucapan.
"Puspa..." bisik Prabarini dengan suara bergetar. Bahunya berguncang menahan isak. "Dia adalah orang yang selama ini kau tanyakan, Anakku... Bagaimanapun tindakannya selama ini, kuharap kau mau mengerti, Dia adalah ayahmu..."
Puspa Ratri tegak dengan kaki bergetar. Sepasang matanya membeliak menatap ke arah Panjer Wengi. Saat itulah tiba-tiba Panjer Wengi melompat dan tegak dua tindak di depan Puspa Ratri dengan kedua tangan mengembang.
"Anakku... Harap maafkan ayahmu yang selama ini tidak..."
Panjer Wengi hanya bisa berucap sampai di situ. Setelah itu yang terdengar hanyalah gumaman tidak jelas karena suaranya laksana tersumbat di tenggorokan. Sementara gadis di hadapan Panjer Wengi masih tampak tegak tak bergeming. Puspa Ratri seolah masih tidak percaya dengan apa yang baru saja didengar dan kini ada di hadapannya.
"Anakku... Memang sudah tidak pantas diriku kau sebut sebagai..." belum sampai Panjer Wengi teruskan ucapannya, mendadak Puspa Ratri telah menghambur lalu dirangkulnya tubuh orang yang tegak di hadapannya.
Gadis ini tidak kuasa lagi berkata. Hanya isakannya yang terdengar. Beberapa saat berlalu. Tiba-tiba seraya masih merangkul Puspa Ratri, kepala Panjer Wengi berpaling pada Saraswati yang sejak tadi tampak bingung tak tahu harus berbuat apa, malah hampir tidak percaya dengan kejadian di depan matanya. Panjer Wengi lambaikan tangannya ke arah Saraswati. Gadis ini sejenak masih terlihat bimbang. Namun akhirnya dia melangkah juga mendekati Panjer Wengi.
"Anakku..." bisik Panjer Wengi. "Puspa Ratri adalah saudaramu lain ibu. Kuharap kau..."
Lagi-lagi Panjer Wengi tidak kuasa teruskan ucapannya. Sementara sepasang mata Saraswati tak berkesip memandang ke arah Puspa Ratri yang masih rebahkan wajah di dada Panjer Wengi.
"Puspa Ratri... Saraswati... Kalau selama ini di antara kalian ada ganjalan. kuharap mulai saat ini semua itu kalian lenyapkan!" kata Prabarini yang ternyata telah tegak di samping Saraswati.
Puspa Ratri angkat kepalanya. Lalu memandang pada Saraswati. Untuk beberapa saat kedua gadis ini saling berpandangan. Dada masing-masing gadis ini dilanda berbagai perasaan. Tiba-tiba Puspa Ratri lepaskan pelukannya pada tubuh Panjer Wengi. Lalu melangkah satu tindak ke arah Saraswati. Pada saat yang sama Saraswati juga melangkah maju. Kejap lain kedua gadis ini telah saling berpelukan dengan erat.
"Saraswati... Maafkan kalau selama ini aku menuduhmu yang bukan-bukan... Maafkan diriku yang selalu berkata kasar padamu..." ujar Puspa Ratri disela isakannya.
"Tidak... Akulah yang harus minta maaf. Aku terlalu keras kepala tidak mau menerima kenyataan!"
"Sudahlah... Tidak ada yang perlu dimaafkan. Kalian berdua tidak ada yang bersalah. Yang tua-tua inilah sebenarnya pangkal dari semua ini hingga di antara kalian berdua tidak saling mengenal..." kata Panjer Wengi. Lalu balikkan tubuh hendak merangkul Prabarini. Namun perempuan ini segera menghindar sambil berkata pelan.
"Panjer Wengi jangan kau buat suasana hati orang tambah panas. Masih ada yang harus kau jelaskan pada Saraswati..."
Panjer Wengi arahkan pandangannya pada Lasmini yang tegak dengan wajah merah padam dan dada berdebar tak karuan. Perempuan yang selama ini memaklumkan diri sebagai Tengkorak Berdarah ini sudah bisa menebak siapa adanya gadis berpakaian hitam-hitam yang masih berpelukan dengan Puspa Ratri. Malah begitu Saraswati memeluk Puspa Ratri, perempuan ini laksana hendak menghambur ke depan. Namun melihat Prabarini dan Panjer Wengi yang bukan lain adalah suaminya sendiri berada dekat di situ, Lasmini menahan diri.
"Saraswati..." kata Panjer Wengi pelan. "Kau telah menemukan saudaramu. Sekarang jangan biarkan dia berdiri sendirian di sana..."
Saraswati lepaskan pelukannya pada Puspa Ratri. Lalu memandang ke arah mana Panjer Wengi memandang. "Perempuan itu... Perempuan yang selama ini mengenakan jubah seperti Ayah. Apakah dia..."
Saraswati berpaling pada Panjer Wengi. Belum sempat dia utarakan apa yang ada dalam hatinya, Panjer Wengi telah mendahului berucap. "Mendekatlah ke sana. Ajaklah dia kemari..."
"Ayah... Apakah dia..."
"Saraswati... Dialah ibumu..." sahut Prabarini.
Mulut Saraswati terkancing. Isakannya seketika terhenti. Sepasang matanya kembali memandang ke arah Lasmini lalu beralih pada Panjer Wengi seolah ingin penjelasan.
"Betul, Saraswati. Dialah ibumu..." kata Panjer Wengi dengan suara hampir tak terdengar.
Bersamaan selesainya ucapan Panjer Wengi, laksana hendak terbang, Saraswati berlari ke arah Lasmini. Lasmini tak dapat menahan debaran dadanya. Seketika tangisnya meledak. Kejap lain dia melompat menyongsong Saraswati.
"Ibu..." Suara Saraswati tersendat. Kedua tangannya langsung memeluk tubuh Lasmini yang telah menyongsongnya dengan pelukan erat. Gadis ini kembali terisak.
Sementara Lasmini tak berkata apa-apa saking larutnya. Perempuan ini hanya memeluk anaknya erat-erat sambil menciumi wajah dan mengusap-usap rambutnya dengan air mata berderai. Untuk beberapa saat semua mata orang tertuju pada ibu dan anak yang saling berpelukan dan bertangisan itu.
"Ibu... Mulai saat ini kuharap Ibu mau hidup bersama. Jangan kita berpisah lagi..." bisik Saraswati setelah dapat kuasai diri.
"Anakku... Terlalu berat derita yang kurasakan. Sudah terlalu lama aku menahan duka ini... Ini semua gara-gara ulah seorang perempuan. Kalau tidak, tak mungin kita berpisah..."
"Ibu... Lupakanlah semua yang pernah terjadi..."
"Mengucapkan memang mudah, Anakku. Tapi tahukah kau, betapa aku harus hidup merana bahkan sampai tidak mengenalimu! Tidak, Anakku. Orang yang membuat kita sengsara begini harus mendapat balasan setimpal!"
"ibu... Jangan mencabut sesuatu yang baru kudapat! Bertahun lamanya aku mendambakan kebahagiaan. Apakah Ibu tega memutuskan begitu saja?"
"Kau jangan salah paham, Anakku. Justru kebahagiaan itu akan lebih terasa kalau dapat melenyapkan orang yang selama ini membuat kita berpisah!"
"Semua kejadian berpangkal pada diriku! Kini kau berhak lakukan apa saja padaku!" Mendadak satu suara menyahuti ucapan Lasmini.
Saraswati dan Lasmini berpaling. Sejarak tiga langkah di samping mereka berdua, Panjer Wengi tegak dengan kepala tengadah. Saraswati rasakan kedua tangan Lasmini yang masih memeluknya bergetar keras. Dadanya bergerak cepat turun naik. Sepasang matanya mendelik angker memandangi Panjer Wengi. Kejap lain Lasmini lepaskan pelukannya pada Saraswati, lalu sambil menyeringai dia menghadap Panjer Wengi.
"Panjer Wengi! Kau memang berhak menerima imbalan setimpal. Tapi bukan hanya kau satu-satunya yang harus menerimanya! Perempuan liar itu juga pantas merasakannya!" kata Lasmini dengan suara keras sambil arahkan telunjuknya pada Prabarini. Suara Lasmini kini terdengar asli. Tidak seperti selama ini yang selalu sarukan suaranya mirip seorang laki-laki.
"Lasmini... Jangan salahkan orang lain. Akulah pangkal semuanya!"
Lasmini mendengus. "Dalam keadaan begini kau masih juga membelanya!" lalu perempuan ini angkat kedua tangannya.
"Ibu...!" seru Saraswati sambil pegangi kedua tangan Lasmini. "Apakah tidak ada ampun bagi satu kesalahan?"
"Kesalahannya sudah setinggi langit! Tidak ada pengampunan selain nyawanya terputus!"
"Saraswati. Ucapan ibumu benar. Mungkin hanya itulah satu-satunya penebusan yang harus kuterima. Dan aku ikhlas menerimanya. Karena selimut rahasia kini telah terungkap. Aku telah menemukan anakku dan kau Saraswati telah tahu siapa ibumu. Yang kuharap, setelah kepergianku nanti, kalian bisa hidup rukun dan melenyapkan segala ganjalan..."
"Tidak semudah itu semuanya akan jadi selesai, Panjer Wengi! Aku telah bulat hati untuk melenyapkan semua orang yang pernah membuatku merana!" kata Lasmini. Bara dendam pada dada perempuan ini rupanya belum dapat digoyahkan.
Saat itulah tiba-tiba Prabarini berkelebat dan tahu-tahu telah tegak di hadapan Lasmini. Perempuan ini sunggingkan senyum lalu berkata. "Lasmini... Aku telah berjanji padamu. Jika semua urusan ini jadi jelas, aku akan pasrah padamu. Sekarang kurasa semuanya sudah terungkap jelas. Aku tidak akan mengingkari janjiku. Sekarang lakukanlah apa yang kau mau!"
Ucapan polos Prabarini membuat Lasmini tergagap dan terdiam untuk beberapa lama. Sementara itu mendengar apa yang dikatakan ibunya, Puspa Ratri segera melompat dan kini tegak di samping ibunya. Diam-diam dalam hati gadis ini berkata.
"Aku tidak akan membiarkan orang itu lakukan apa saja pada Ibu!"
Tiba-tiba Lasmini tertawa panjang. Lalu berkata. "Prabarini! Sebelumnya aku memang ingin membunuh dengan tanganku sendiri. Tapi sekarang ku ubah. Aku ingin melihatmu mampus dengan tanganmu sendiri!"
"Ibu!" ujar Saraswati. "Mengapa Ibu tega mengatakan begitu? Apakah..."
"Saraswati. Dengarlah. Perempuan itulah yang membuat kita berpisah. Perempuan itu tega memutus kebahagiaan kita hingga kita harus menanggung duka sengsara. Kurasa apa yang kuminta masih jauh di bawah penderitaan yang kita alami akibat perbuatannya!"
"Ibu... Semua itu sudah berlalu. Jerih payahnya untuk mempertemukan kita kurasa jauh lebih besar dibanding dengan apa yang pernah dilakukannya!"
"Saraswati. Kau tidak tahu apa-apa dalam hal ini. Aku yang merasakan! Aku yang mengalami!"
"Ibu! Baiklah. Anggap memang itu satu kesalahan yang tidak berampun. Tapi sekali ini aku mewakilinya untuk meminta maaf padamu! Kalau kau hendak turunkan tangan maut, jangan lakukan padanya! Bunuhlah aku... Atau Ibu ingin aku lakukan sendiri?"
Habis berkata begitu, sambil menangis berurai air mata, Saraswati angkat kedua tangannya ke samping kanan kiri kepalanya. Tanpa diduga semua orang, tiba-tiba orang berpakaian hitam-hitam ini hantamkan kedua tangannya ke arah kepalanya sendiri!
Lasmini terkesiap kaget. Perempuan ini cepat bergerak menangkap kedua tangan Saraswati sebelum tangan itu sempat menghantam kepala. Lasmini lalu memeluk Saraswati dan kembali kedua orang ini sama bertangisan. Setelah agak lama, Lasmini berujar sambil renggangkan pelukannya.
"Saraswati... Untuk sementara aku harus pergi dahulu. Jagalah dirimu baik-baik..."
"Ibu..."
"Saraswati... Untuk kali ini jangan kau tanyakan ke mana aku akan pergi. Percayalah. Tak lama kita akan berkumpul lagi dan hidup bersama..." kata Lasmini sambil membelai rambut anaknya. Lalu putar diri menghadap ke arah Prabarini.
"Prabarini! Kau masih beruntung hari ini. Kalau saja tidak ada anakku, aku tak akan segan-segan membunuhmu! Termasuk juga kau Panjer Wengi! Tapi kalian jangan merasa lega dahulu. Keputusanku tetap tidak akan berubah! Kalian berdua masih harus mampus di tanganku!" Habis berkata begitu, Lasmini meludah lalu berkelebat tinggalkan tempat itu.
"Ibu!" teriak Saraswati.
Namun Lasmini seakan tak hiraukan panggilan anaknya. Perempuan ini terus berkelebat dan lenyap di balik jajaran pohon. Semua orang tidak tahu, jika seraya berkelebat pergi air mata makin banyak mengalir dari sepasang mata perempuan yang selama ini mengaku sebagai Tengkorak Berdarah dan sebenarnya adalah istri pertama Panjer Wengi, laki-laki yang selama ini menghuni Istana Hantu. Sesaat setelah Lasmini pergi, tiba-tiba dua bayangan berkelebat. Kejap lain tampak dua orang telah tegak di tempat itu!
BAB 7
"Ratu Malam! Gendeng Panuntun!" Pendekar 131 yang sedari tadi kancingkan mulut melihat apa yang sedang terjadi di seberang depan, adalah orang yang pertama kali berteriak begitu mengenali siapa adanya dua orang yang baru muncul. Murid Pendeta Sinting ini cepat berkelebat lalu berdiri tegak di hadapan kedua orang yang bukan lain memang Ratu Malam dan Gendeng Panuntun adanya. Ratu Malam hadapkan wajahnya ke arah Joko. Mulutnya yang selalu mainkan gumpalan tembakau hitam komat-kamit. Kejap lain nenek berambut putih sebatas tengkuk dan mengenakan jubah warna merah menyala ini berkata."Kelakuanmu tidak berubah, Setan Jelek! Di mana-mana selalu bikin urusan dengan gadis-gadis! Sampai kapan kau akan terus begitu, hah?!"
Murid Pendeta Sinting tidak segera menyahut ucapan Ratu Malam. Dia melirik sebentar ke arah Puspa Ratri dan Saraswati yang wajahnya tampak berubah. Lalu cepat membungkuk memberi penghormatan pada Ratu Malam dan Gendeng Panuntun yang tampak tegak dengan kepala tengadah dan tangan kanan usap-usap cermin bulat yang ada di depan perutnya. Kakek gendut ini berpaling sejurus pada Ratu Malam lalu buka mulut.
"Kau juga tidak berubah! Selalu marah-marah tak ada juntrung. Sampai kau tak sadar di mana saat ini berada dan siapa saja orang-orang yang ada di sekitarmu!"
Mendengar ucapan Gendeng Panuntun, cepat Ratu Malam putar kepalanya dengan mata mendelik. Ketika sepasang matanya menumbuk pada sosok Panjer Wengi, nenek ini tampak terkesiap malah kedua pasang kakinya tersurut satu tindak. Namun keterkejutan nenek berjubah merah ini hanya sesaat. Saat lain tubuhnya dicondongkan ke depan, mulutnya komat-kamit. Sementara kedua tangannya mengusap-usap sepasang matanya.
"Hampir tak dapat kupercaya! Tapi rasanya benar-benar dia!" gumamnya lalu berpaling pada Gendeng Panuntun.
Kakek ini tidak hiraukan Ratu Malam yang tampak dilanda kebimbangan. Sebaliknya si kakek bertubuh besar ini melangkah perlahan ke arah Panjer Wengi. Sejarak enam langkah dia berhenti. Lalu menjura hormat.
"Eyang Guru... Terimalah salam hormatku..."
Mengetahui apa yang dilakukan Gendeng Panuntun, Ratu Malam cepat melompat lalu ikut-ikutan menjura pada Panjer Wengi sambil berkata.
"Eyang Guru... Mohon dimaafkan. Aku sama sekali tidak menduga..."
Joko tercenung dengan mata mendelik. Sementara Puspa Ratri dan Saraswati saling pandang tidak mengerti. Hanya Prabarini yang kelihatan tenang-tenang saja. Sementara Dewa Orok yang berdiri agak jauh tampak mengernyit lalu menyedot bundaran karet mulutnya hingga perdengarkan suara duuutt! Duuuttt! berulang kali.
“Tidak kusangka sama sekali kalau orang tua yang kuyakin adalah penghuni Istana Hantu itu adalah guru mereka. Lebih-lebih tidak kukira jika kedua gadis itu adalah anak-anaknya! Aku harus mengucapkan terima kasih padanya..." kata Joko lalu melangkah. Begitu sejajar dengan Gendeng Panuntun, murid Pendeta Sinting cepat memberi penghormatan.
"Orang tua. Terima kasih atas semua yang telah kau lakukan padaku... Dan harap maafkan kalau selama ini aku punya prasangka buruk dan pernah berbuat kurang ajar padamu..."
Panjer Wengi menghela napas panjang. Sepasang matanya yang sudah sayu pandangi ketiga orang di hadapannya. "Sekar Mayang dan kau Rawadan, aku gembira melihat kalian berdua masih sehat-sehat saja. Lebih dari itu, aku merasa senang karena kalian berdua selama ini mau membantu pemuda itu serta menjalankan pesan yang pernah kukatakan!"
Orang yang disebut dengan Sekar Mayang dan Rawadan bukan lain adalah Ratu Malam dan Gendeng Panuntun. Sekar Mayang dan Rawadan adalah nama asli Ratu Malam dan Gendeng Panuntun.
Ratu Malam angkat kepalanya pandangi Panjer Wengi yang tidak lain adalah gurunya. "Eyang Guru... Terus terang, aku tadi masih bimbang. Karena selama ini kami duga Guru telah tiada..."
Panjer Wengi tersenyum. "Satu tugas telah mengharuskanku bertindak demikian, Sekar Mayang."
Habis berkata begitu, kepala Panjer Wengi menoleh pada Pendekar 131 lalu berkata. "Anak muda. Kau juga tak perlu minta maaf. Sekali lagi, tugas yang telah mewajibkan aku bertindak seperti yang kau alami! Pesanku padamu, jagalah kitab yang sekarang ada di tanganmu sebagaimana kau menjaga dirimu sendiri! Dan dengan telah berhasilnya kau miliki kitab itu, maka selesailah tugasku! Kini segala urusan rimba persilatan ada pada pundakmu!"
Beberapa saat Panjer Wengi diam. Lalu arahkan pandangannya pada Ratu Malam dan Gendeng Panuntun, "Sekar Mayang, Rawadan. Aku harus pergi sekarang..." Panjer Wengi putar diri menghadap Puspa Ratri dan Saraswati yang ada di sampingnya.
Eyang Guru... Ada satu hal yang ingin kutanyakan padamu!" kata Ratu Malam menahan gerakan Panjer Wengi.
"Katakanlah, Sekar Mayang..."
"Sejak peristiwa terbukanya Istana Hantu hingga kini, ketiga muridmu lenyap tidak ada beritanya. Sementara orang menduga kalau ketiganya..."
"Sekar Mayang..." potong Panjer Wengi. "Tentang ketiga saudaramu itu panjang ceritanya. Aku tidak bisa menerangkan di sini. Lebih baik kau nanti minta cerita pada mereka. Tak lama lagi kau akan menemuinya..."
Panjer Wengi teruskan putaran tubuhnya menghadap Puspa Ratri dan Saraswati. "Anak-anakku... Kita cari tempat yang baik untuk berbincang-bincang dari hati ke hati agar semua ganjalan yang masih ada bisa sirna."
Puspa Ratri dan Saraswati saling pandang. Dan secara tak sadar kedua gadis ini lantas berpaling pada murid Pendeta Sinting. Dada keduanya sama berdebar. Mereka tak tahu harus berkata apa. Karena keduanya ternyata masih saudara satu ayah lain ibu. Sementara hati keduanya sudah sama-sama menyukai Pendekar 131.
"Bagaimana ini? Mungkinkah aku harus berebut dengan Puspa Ratri, saudaraku sendiri? Tapi aku tak dapat mendustai diri sendiri. Aku menyintai pemuda itu" kata Saraswati dalam hati.
Di lain pihak, diam-diam Puspa Ratri juga membatin. "Hari ini aku menemukan ayahku. Tapi haruskah semuanya kutebus dengan duka yang lain? Akankah harus kulepas pemuda itu? Padahal aku... Ah... Apakah yang harus kukatakan pada Saraswati? Apa yang harus kulakukan?!"
Apa yang saat itu melanda pada hati masing-masing gadis rupanya dapat ditangkap oleh Prabarini. Perempuan ini mendehem, membuat Puspa Ratri dan Saraswati paling kan wajah ke arahnya. "Puspa, Saraswati. Kalian berdua membutuhkan waktu agak panjang untuk memutuskan apa yang harus kalian lakukan. Kalian butuh saling terbuka. Yang kuharap nanti, jangan kalian ambil keputusan dengan dilandasi perasaan cemburu".
Paras wajah Puspa Ratri dan Saraswati sama bersemu merah. Prabarini melangkah mendekati Puspa Ratri. Lalu berkata pelan.
"Apa yang dikatakan ayahmu benar. Kau ikutlah dia agar bisa berbincang lebih tenang..."
"Ibu... Kita harus bersama-sama!" ujar Puspa Ratri.
Prabarini gelengkan kepala sambil tersenyum. "Kau telah bertemu dan tahu siapa ayahmu. Kau perlu waktu untuk bersama dengannya agar kau tahu banyak siapa ayahmu sebenarnya. Untuk sementara ini aku tidak dapat menyertaimu. Kau pasti sudah tahu apa sebabnya. Kuharap kau mau mengerti..."
Habis berkata begitu, Prabarini mencium wajah anaknya. "Jaga dirimu baik-baik. Ambillah keputusan tanpa adanya penyesalan di kemudian hari." Perempuan ini lantas memandang pada Saraswati lalu mendekat. Lengan gadis ini dipegangnya. "Saraswati... Kau harus dapat menerima kenyataan ini. Lebih dari itu kau harus bisa memahami apa yang dilakukan ibumu! Dan tak lupa aku juga minta maaf padamu atas kejadian semua ini..."
Tanpa menunggu sahutan dari Saraswati. Prabarini berpaling pada Panjer Wengi. Dia sepertinya hendak buka mulut bicara. Namun dia tampak ragu-ragu. Hingga untuk sesaat perempuan ini hanya memandang ke dalam bola mata sayu milik suaminya itu. Lalu tanpa berkata apa-apa lagi dia berkelebat tinggalkan tempat itu.
Puspa Ratri hendak mengejar, namun Panjer Wengi cepat berucap. "Anakku... Percayalah apa yang dikatakan ibumu. Tak lama lagi kita pasti akan bertemu lagi. Sekarang kita harus pergi..."
Panjer Wengi melangkah lalu berhenti di antara Puspa Ratri dan Saraswati. Kedua tangannya memegang satu persatu lengan Puspa Ratri dan Saraswati. Lantas menariknya perlahan untuk mengajak keduanya pergi dari tempat itu. Puspa Ratri dan Saraswati sejurus sama arahkan pandangannya pada murid Pendeta Sinting. Saat lain keduanya saling berpandangan. Wajah keduanya sama berubah merah. Tanpa buka mulut lagi, keduanya lalu melangkah mengikuti Panjer Wengi.
"Setan Jelek!" kata Ratu Malam begitu sosok Panjer Wengi, Puspa Ratri dan Saraswati pergi. "Kau jangan berani macam-macam pada gadis-gadis itu!"
"Kau jangan terlalu menduga yang tidak-tidak, Nenek" Yang menyahut adalah Gendeng Panuntun.
"Diam kau! Aku bicara dengan Setan Jelek ini! Kau harus tahu, kalau sampai terjadi apa-apa nantinya pada gadis-gadis itu, tak urung kita juga hanya akan mendapat getahnya! Padahal Setan Jelek ini yang makan nangkanya!"
"Ratu Malam..." ujar Joko seraya tersenyum. "Kau tak perlu khawatir, aku tahu siapa diriku dan siapa gadis-gadis itu!"
"Hem... Bagus kalau kau sadar begitu! Tapi jika kelak kau keluar dari apa yang kau ucapkan, aku tak segan memuntir kepalamu meski aku tahu kau kini telah mendapatkan kitab sakti!" kata Ratu Malam lalu berpaling pada tempat di mana tadi Dewa Orok berada.
"Hem... Ke mana minggatnya temanmu tadi?!"
Pendekar 131 memandang ke tempat Dewa Orok berada. Ternyata pemuda bertangan buntung itu memang tak ada lagi di tempatnya semula. Selagi Ratu Malam dan Pendekar 131 mencari-cari tiba-tiba terdengar satu debuman keras. Serentak Ratu Malam dan murid Pendeta Sinting berpaling ke arah datangnya suara debuman.
"Pintu Istana Hantu..." gumam Joko seraya mendelik memandang jauh ke depan ke arah Istana Hantu.
Dari tempatnya berdiri, baik Ratu Malam maupun Joko melihat pintu Istana Hantu telah menutup. Tapi kali ini bukan tertutupnya gerbang pintu Istana Hantu yang membuat kedua orang ini terus pentangkan mata masing-masing. Melainkan dari depan gerbang pintu yang baru keluarkan debuman menutup, tampak tiga sosok tubuh melangkah ke tempat mereka berada!
BAB 8
Orang paling kanan adalah seorang kakek berambut putih disanggul ke atas. Seraya melangkah kakek ini dongakkan sedikit kepalanya dengan mulut terbuka menganga! Di sebelahnya terlihat seorang perempuan berambut panjang bergerai. la mengenakan jubah putih panjang. Ada keanehan pada perempuan ini. Wajahnya terlihat samar-samar karena dari atas kepalanya tampak curahan rintik-rintik air yang tiada putus-putusnya Meski demikian, baik jubah maupun sekujur tubuhnya tidak basah! Sementara orang yang paling kiri adalah seorang laki-laki berusia agak lanjut. Rambutnya yang putih dibiarkan bergerai.Tiba-tiba kakek yang berada di sebelah paling kanan yang terus membuka mulut dan bukan lain adalah Iblis Ompong angkat tangan kanannya memberi isyarat agar kedua orang di sampingnya dan tidak lain adalah Dewi Es dan saudara seperguruannya Dewa Sukma, hentikan langkah.
"Iblis Ompong, Dewi Es, Dewa Sukma!" seru murid Pendeta Sinting begitu mengenali siapa adanya ketiga orang yang baru saja melangkah keluar dari pintu Istana Hantu.
Sementara Ratu Malam memandang dengan pelototkan sepasang matanya yang sipit. Gendeng Panuntun tengadah dengan matanya yang putih mengerjap dan tangan kanan mengusap cermin bulatnya.
"Wah, ternyata masih ada sumur di ladang dan kita bisa menumpang mandi. He He He.... Ternyata kita masih sama berumur panjang dan bisa berjumpa lagi!" Mendadak Iblis Ompong berkata
"Hem... Kalau ingin menumpang mandi jangan di sumur, lebih baik di kali. Kukira kalian semua telah terkubur hingga putus harapan untuk bersua lagi!" Gendeng Panuntun menyahut.
"Biduk melaju deras diterpa gelombang. Angin bertiup kencang ke arah timur. Kalau Yang Maha Penyayang masih..."
"Sudah! Sudah!" tukas Ratu Malam memotong ucapan Iblis Ompong. "Kalian tua-tua masih juga bicara tak berujung pangkal!" Nenek berjubah merah menyala ini pasang tampang cemberut. Sepasang matanya menatap tajam pada Iblis Ompong yang masih menganga lalu buka mulut lagi.
"Lantika! Sekarang ceritakan ke mana kalian menghilang selama ini! Kalian sepertinya tak tahu bagaimana aku kalian buat bingung!" ucap Ratu Malam seraya sebut nama asli Iblis Ompong.
Iblis Ompong tertawa bergelak dahulubsebelum akhirnya berkata. "Sekar Mayang. Harap kau tidak terbawa marah dahulu. Untuk pertanyaanmu ada yang lebih layak menjawab!" kata Iblis Ompong lalu seraya masih buka mulut, dia berpaling pada Dewa Sukma. Yang dilirik angkat bahu lalu berujar.
"Dengarlah. Semenjak kita pulang dari Pulau Biru, aku menangkap isyarat akan adanya sesuatu yang bakal terjadi! Untuk menjaga segala hal yang bakal menimpa rimba persilatan, secara diam-diam aku mengajak Iblis Ompong dan Dewi Es untuk menyelidik. Karena pangkal semua yang bakal terjadi kuduga ada di Istana Hantu, maka kita bertiga langsung menuju Istana Hantu. Namun apa yang kami temukan adalah di luar dugaan! Kami bertiga gagal memasuki Istana Hantu, malah kami harus menderita luka-luka dan pingsan. Ketika kami sadar, ternyata kami telah berada di sebuah ruangan. Di sanalah akhirnya kami bertemu dengan penghuni Istana Hantu. Kukira kau telah tahu, siapa sebenarnya penghuni Istana Hantu itu!"
"Hem... Lalu kenapa kalian tidak minta untuk keluar?" tanya Ratu Malam.
"Itu sudah kulakukan. Tapi Eyang Guru tidak mengizinkan! Dia bilang kami harus menunggu!"
"Tapi seharusnya kalian bisa beralasan, agar aku tidak terombang-ambing! Kalian bisa enak-enakan, sementara aku ke sana kemari bertanya-tanya!"
"Kau tahu bagaimana sifat Eyang Guru!" ujar Dewa Sukma sambil arahkan matanya pada murid Pendeta Sinting.
"Sudahlah, Sekar Mayang. Semuanya sudah berlalu... Tidak ada gunanya memperdebatkan yang telah terjadi. Kini semuanya sudah jelas," sahut Gendeng Panuntun lalu orang bermata putih ini arahkan wajahnya berpaling pada Pendekar 131.
"Anak muda! Kau tadi telah dengar apa yang diucapkan Eyang Guru kami. Kini semuanya tergantung padamu. Kami semua harus pergi..."
"Betul! Kau juga harus ingat-ingat pesanku tadi! Kalau ingin gadis, cari saja yang lain! Jangan berani menggoda kedua gadis putri Eyang Guru!" ucap Ratu Malam lalu tanpa berpaling pada murid Pendeta Sinting nenek ini melangkah ke arah Iblis Ompong.
"Wah. Nasib anak itu beruntung sekali. Selain mendapat kitab sakti juga diperebutkan anak-anak gadis!" kata Iblis Ompong lalu balikkan tubuh.
"Itulah manusia sekarang! Jangankan gadisnya, nenek-neneknya pun tidak lagi merasa malu berebut seorang kakek!" Menyahut Gendeng Panuntun lalu seraya tertawa bergelak orang ini melangkah mendekati Iblis Ompong.
Ratu Malam hentikan langkah. Memandang silih berganti pada Iblis Ompong dan Gendeng Panuntun. Air mukanya berubah. Mulutnya yang selalu mainkan gumpalan tembakau hitam terhenti seketika.
"Huh! Enak saja kalian bicara! Kelak kalian akan buktikan bahwa bukan perempuan yang berebut makhluk laki-laki. Tapi sebaliknya laki-lakilah yang akan setengah mati berebut manusia perempuan!"
Murid Pendeta Sinting yang sedari tadi hanya diam tiba-tiba melompat ke depan. Sambil menjura dia berkata. "Untuk kesekian kalinya aku mengucapkan terima kasih atas segala bantuan kalian semua! Aku akan selalu mengingat pesan dan ucapan-ucapan kalian!"
Mendengar ucapan murid Pendeta Sinting, Ratu Malam balikkan tubuh. Sepasang matanya mendelik. "Kau tidak cukup hanya mengingat! Tapi harus kau jalankan!"
Pendekar 131 hanya anggukkan kepala tanpa berkata apa-apa. Ratu Malam balikkan tubuh kembali lalu melangkah mendahului Iblis Ompong yang masih tegak membelakangi. Sesaat kemudian Gendeng Panuntun juga teruskan langkah. Kejap kemudian Dewi Es dan Dewa Sukma juga sama putar diri. Lalu melangkah menyusul Ratu Malam dan Gendeng Panuntun. Yang terakhir bergerak adalah Iblis Ompong.
Sebenarnya Joko ingin menanyakan keadaan Dewi Seribu Bunga dan Sitoresmi. Seperti diketahui, sejak peristiwa di Pulau Biru, Dewi Seribu Bunga dibawa oleh Dewi Es sementara Sitoresmi diambil Gendeng Panuntun. Namun karena khawatir Ratu Malam akan marah-marah, akhirnya Joko urungkan niat meski dengan demikian kerinduannya pada kedua gadis itu makin bertambah.
"Ah... Suatu hari kelak aku akan menanyakan perihal dua gadis itu!" gumam Joko seraya pandangi kelima orang saudara seperguruan itu yang terus melangkah hingga akhirnya lenyap di depan sana.
"Sekarang aku harus segera mempelajari kitab ini, bukan tidak mungkin akan banyak orang yang menginginkannya."
Berpikir begitu, murid Pendeta Sinting laksana dikejar setan gentayangan berkelebat ke arah timur. Namun pemuda dari Dusun Kampung Anyar dan beberapa tahun sempat digembleng di dalam Jurang Tlatah Perak oleh dedengkot rimba persilatan Pendeta Sinting ini berlaku cerdik. Dia tahu bahwa dirinya kini membawa sebuah benda sakti yang jika sampai jatuh ke tangan orang tidak bertanggung jawab maka rimba persilatan akan mengalami malapetaka. Dia berkelebat ke arah timur namun jika ada tikungan jalan dia segera menelikung dan seakan-akan teruskan larinya mengikuti arah jalan yang menelikung. Tapi di tengah jalan dia berbelok lagi dan berlari lebih cepat menuju lurus jurusan timur.
Ketika hari mulai gelap, dan saat memasuki sebuah pesisir pantai baru dia memperlambat larinya. Dia lalu melangkah ke arah beberapa gugusan batu karang. Setelah melewati beberapa gugusan batu karang, akhirnya dia hentikan langkah pada satu gugusan batu karang paling tinggi yang menghadap laut.
"Hem... Tempat ini sepertinya belum ada yang mengendus sejak kutinggalkan beberapa waktu lalu," ujar murid Pendeta Sinting dalam hati.
Tapi sekali lagi dia tidak mau bertindak ayal. Meski merasa yakin tidak ada orang yang berada di tempat itu, dia sekali lagi arahkan pandangannya berputar dengan mata dipentang lebar-lebar. Setelah benar-benar merasa yakin tak ada orang lain, Pendekar 131 lesatkan diri ke gugusan batu paling tinggi. Ternyata di situ ada sebuah batu karang yang membentuk lobang di bagian depannya.
Meski kini telah tegak di depan batu karang yang membentuk goa dan beberapa waktu yang lalu digunakan sebagai tempat bersemadi sebagai rangkaian dari apa yang ada dalam Kitab Serat Biru, tapi murid Pendeta Sinting tidak segera masuk. Dia tegak sebentar lalu longokkan kepala ke dalam batu karang yang membentuk goa. Sejenak kegelapan menyambut pandangan matanya. Namun setelah ia mulai agak terbiasa, dia sedikit banyak bisa menyiasati keadaan dalam goa.
Setelah menghela napas panjang dan meraba perut dan pinggangnya di mana tersimpan kitab bersampul kuning dan Pedang Tumpul 131, dia melangkah perlahan memasuki goa. Lalu mengitari bagian dalam goa untuk meyakinkan bahwa dia berada sendirian di tempat itu. Tak berselang lama, akhirnya murid Pendeta Sinting duduk dengan bersandar punggung menghadap pada mulut goa. Saat itulah dia baru menyadari bahwa dia telah melupakan sesuatu.
"Bagaimana aku harus membuka kitab ini kalau keadaannya gelap begini? Apa aku harus menunggu sampai pagi datang dan menghabiskan waktu malam ini untuk istirahat? Tapi aku tak sabar ingin segera membukanya! Namun dalam keadaan gelap begini apa mungkin?!"
Setelah tidak menemukan jalan keluar, akhirnya murid Pendeta Sinting memutuskan menunggu sampai datangnya pagi. Namun meski demikian keingintahuannya pada kitab bersampul kuning itu tidak dapat ditahan. Akhirnya meski keadaan gelap, dia keluarkan kitab dari balik pakaiannya. Kedua tangannya sesaat tampak bergetar. Lalu perlahan-lahan kitab bersampul kuning yang tulisan luarnya sudah tidak bisa dibaca lagi itu didekatkan ke depan matanya.
Saat itulah tiba-tiba murid Pendeta Sinting rasakan sambaran angin dari arah samping! Menangkap gelagat tidak beres, apalagi datangnya sambaran angin dari arah samping sementara dia tidak menangkap adanya orang yang memasuki goa, yang menunjukkan bahwa ada orang sebelum dia memasuki goa itu, cepat dia selinapkan kitab bersampul kuning ke balik pakaiannya lalu berpaling ke samping kanan seraya membentak.
"Siapa?!"
Tak ada suara jawaban. Murid Pendeta Sinting pentang mata besar-besar. Dia tidak melihat adanya seseorang, membuat mau tak mau tengkuknya dingin. Saat itulah kembali dia rasakan desiran sambaran angin. Kali ini datangnya dari samping kiri. Laksana kilat, Joko cepat putar kepala. Namun dia jadi tersentak sendiri. Matanya yang dijerengkan lebar-lebar masih tidak menangkap ada orang!
"Jangan berani bergurau! Tunjukkan tampangmu!" Tak sabar murid Pendeta Sinting kembali membentak dengan kedua tangan telah siap lepaskan pukulan. Belum juga ada tanda-tanda adanya orang atau terdengarnya suara jawaban.
"Aku yakin aku tidak sendirian di tempat ini! Aku harus menyelidik!" gumam Joko lalu bangkit.
"Tetap di tempatmu, Anak Muda!" Mendadak terdengar suara.
Joko terkesiap. Bukan saja terkejut namun juga karena dia tidak dapat menentukan sumber arah datangnya suara yang baru saja terdengar. Joko tidak kehilangan akal. Dengan tetap duduk dia segera putar tubuhnya. Namun hingga putaran ketiga, dia tetap tidak dapat menangkap adanya orang! Selagi dia kebingungan, tiba-tiba menyeruak asap putih dari luar lobang goa. Asap putih itu cepat bergerak lalu berputar-putar di hadapan Joko. Belum sampai Joko membuat gerakan atau buka mulut, asap putih lenyap. Kini di hadapannya telah tegak seorang kakek mengenakar pakaian jubah putih panjang.
"Selamat bertemu kembali, Joko..."
Murid Pendeta Sinting angkat kepalanya pandangi wajah orang yang tegak di hadapannya. "Astaga! Bukankah kakek ini orang yang kutemui takkala aku mempelajari Kitab Serat Biru dan bersemadi di sini?”
Mengenali siapa adanya Orang Tua di hadapannya, murid Pendeta Sinting segera menjura dalam-dalam. (Mengenai Orang Tua ini silakan baca serial Joko Sableng dalam episode Gerbang Istana Hantu).
"Joko... Yang Maha Kuasa telah mempertemukan kita kembali. Aku hanya perlu menceritakan perihal dua kitab yang telah kau miliki dan memberitahukan beberapa hal. Harap dengarkan baik-baik..." kata Orang Tua seraya hentikan ucapannya sejenak sebelum akhirnya melanjutkan.
"Sebelum kau berhasil mendapatkan kitab bersampul kuning itu tentunya kau telah mengalami rangkaian kejadian yang mungkin belum kau mengerti. Sebenarnya kedua kitab itu diciptakan oleh seorang sakti pada masa Kerajaan Singasari. Mungkin karena begitu hebatnya isi kedua kitab itu, pada akhirnya kedua kitab itu menjadi barang pusaka kerajaan yang tidak sembarang orang dapat menyentuh apalagi membuka dan memilikinya. Namun di atas semua itu, kuasa serta takdir Yang Mana Tinggi tidak bisa dihadang oleh siapa pun juga.
Seorang gadis berparas cantik bernama Maharani, yang diambil murid oleh salah seorang putra mahkota yang dibuang karena diketahui hasil hubungan gelap sang Permaisuri dengan seorang abdi kerajaan, berhasil menerobos penjagaan bangunan tempat penyimpanan barang pusaka kerajaan setelah berhasil mengelabui gurunya sendiri yang juga adalah putra mahkota yang terbuang serta membunuh beberapa orang bekas kepercayaan kerajaan yang mengetahui seluk beluk kedua kitab itu.
Tapi ambisi Maharani akhirnya kandas akibat sumpah pada gurunya. Dia terjebak dalam ruangan rahasia dan terjerumus ke dalam lobang bawah tanah. Tapi sebelum dia terjerumus masuk, Maharani masih sempat menyambar kitab bersampul kuning. Selain itu sebelumnya Maharani telah membekal pula sebuah mahkota bersusun tiga warisan dari sang Permaisuri yang diberikan pada putra mahkota yang terbuang.
Sementara kitab bersampul biru yang tidak lain adalah Kitab Serat Biru, berhasil diselamatkan oleh seorang tokoh kerajaan bernama Gandung Sedayu. Namun meski berhasil menyelamatkan Kitab Serat Biru, Gandung Sedayu terluka dalam cukup parah. Untung saat itu muncul seorang penyelamat. Dia adalah guruku sendiri. Pada akhirnya nyawa Gandung Sedayu tak tertolong. Sementara Kitab Serat Biru pada akhirnya diserahkan padaku oleh mendiang guruku. Tapi aku hanya mendapat tugas untuk menjaga kitab itu hingga nanti sampai pada orang yang paling berhak memilikinya.
Namun usia manusia terbatas. Sebelum orang yang berhak memiliki kitab itu muncul, aku telah meninggal. Tapi sebelum itu aku sudah berpesan pada seorang yang kuangkat sebagai muridku agar kelak memberikan kitab itu pada orang yang memiliki ciri-ciri tertentu. Aku juga berpesan kalau sampai menginjak lanjut usia dan orang yang ditentukan belum juga muncul, kuharap dia menyerahkan kitab itu pada orang yang dipercaya.
Pada akhirnya muridku menyerahkan Kitab Serat Biru pada muridnya yang terpercaya. Muridnya ini akhirnya menyerahkan kitab itu pada muridnya bernama Ki Ageng Mangir Jayalaya. Di lain pihak, melalui sebuah mimpi seorang anak manusia bernama Panjer Wengi yang saat itu menjadi seorang tokoh golongan putih yang disegani berhasil mengetahui seluk beluk kedua kitab itu. Dia juga berhasil mengetahui jalan menuju Pulau Biru di mana Ki Ageng Mangir Jayalaya berada.
Mungkin karena takut akan rahasia besar itu tercium orang lain, akhirnya Panjer Wengi membuat peta dan dibagikan pada kelima muridnya. Dia berpesan pada kelima muridnya untuk memberikan lembaran-lembaran peta itu pada anak manusia yang punya ciri-ciri khusus. Setelah memberikan pesan dan lembaran peta pada kelima muridnya, Panjer Wengi sengaja menghilang dari kancah rimba persilatan.
Dia lalu bertempat tinggal sembunyikan diri di bangunan tua bekas bangunan tempat penyimpanan benda-benda pusaka kerajaan yang dikenal orang dengan Istana Hantu. Dia mengetahui bahwa di dasar bangunan itu masih tersimpan kitab bersampul kuning serta mahkota bersusun tiga. Dia lalu dikenal orang dengan julukan Tengkorak Berdarah. Untuk selanjutnya mungkin kau telah tahu jalan ceritanya..." kata si Orang Tua mengakhiri ucapannya.
Joko mendengarkan kisah yang dituturkan orang dengan saksama. Sementara si Orang Tua menghela napas sejenak. Lalu buka mulut kembali.
"Joko... Kedua kitab itu kini telah kau miliki, karena memang kaulah anak manusia yang ditentukan berjodoh dengan kedua kitab itu. Namun ada satu hal yang harus kau ketahui. Setiap langkah baik pasti telah didahului oleh satu langkah jelek. Tidak beda dengan terciptanya kedua kitab itu. Karena kedua kitab itu diciptakan setelah adanya seorang sakti berhaluan hitam yang berhasil menciptakan sebuah kitab maha sakti tiada tanding. Kitab hitam ini diciptakan selangkah lebih awal dari kedua kitab itu. Namun semenjak terciptanya kedua kitab itu, kitab hitam seakan lenyap tiada berita. Tidak seorang pun yang mengetahui di mana beradanya. Namun yang pasti kitab hitam itu masih ada. Aku mendapat firasat, bahwa kitab hitam itu akan segera ditemukan orang. Ini adalah satu hal yang sangat membahayakan bagi kelangsungan kedamaian umat manusia. Aku tidak tahu pasti, apakah kedua kitab itu bisa mengalahkan kitab hitam itu atau tidak."
Orang itu sejurus menghela napas panjang. Lalu meneruskan. "Joko... Tugasmu yang terutama adalah menjaga kelangsungan kedamaian umat manusia. Sementara hal itu tidak akan terwujud selagi kitab hitam itu masih ada. Kitab hitam itu adalah ancaman berbahaya. Setelah kau selesai mempelajari kitab bersampul kuning, kau harus segera mencari kitab hitam itu. Bukan untuk dipelajari namun untuk dimusnahkan!"
"Kalau itu demi umat manusia, aku akan mencari dan memusnahkannya. Tapi dapatkah memberiku barang sedikit petunjuk tentang kitab hitam itu?" Joko angkat bicara untuk pertama kalinya.
"Inilah hal yang selama ini tidak diketahui dan diduga orang. Petunjuk beradanya kitab hitam itu berada pada mahkota bersusun tiga warisan sang Permaisuri yang sempat dibawa Maharani dan ikut terjerumus ke dalam bawah tanah!"
Murid Pendeta Sinting tersentak. "Bagaimana ini? Mahkota itu kini telah berada di tangan Dewa Orok. Jangan-jangan orang itu mengetahui rahasia yang tersimpan pada mahkota itu lalu mengarang cerita..." Joko sebenarnya hendak mengungkapkan apa yang di batinnya. Namun sebelum dia buka mulut, Orang Tua di hadapannya telah mendahului berkata.
"Kau tentu punya cara bagaimana mendapatkan mahkota itu dan sekaligus menyelamatkan rimba persilatan. Sekarang aku harus pergi..."
Orang Tua di hadapan murid Pendeta Sinting angkat tangan kanannya lalu disentakkan perlahan saja ke atas. Dari tangan kanannya melesat satu cahaya terang. Cahaya itu bergerak lurus ke atas. Anehnya meski si Orang Tua telah tarik pulang tangan kanannya, cahaya itu tetap bersinar hingga ruangan goa sedikit terang.
Bersamaan dengan tertariknya tangan kanan si Orang Tua, perlahan-lahan sosok si Orang Tua laksana dibungkus asap putih. Kejap lain sosoknya lenyap. Joko hanya dapat melihat meliuknya asap putih menyeruak keluar dari ruangan goa! Pendekar 131 baru sadar, lalu buru-buru menjura hormat.
"Terima kasih atas segala petunjukmu..."
"Jangan buang-buang waktu. Lekas kau pelajari apa yang ada pada kitab itu!"
Terdengar suara yang Joko tidak dapat menentukan dari mana sumbernya. Namun murid Pendeta Sinting merasa hafal betul dengan suara yang baru saja terdengar. Pendekar 131 segera keluarkan kembali kitab bersampul kuning dari balik pakaiannya. Karena di ruangan itu kini ada cahaya, maka Joko kini dapat melihat dengan jelas. Dengan dada sedikit berdebar dan tangan gemetar, Joko cepat letakkan kitab bersampul kuning pada pangkuannya. Perlahan-lahan lalu dibukanya sampul kitab itu. Pada halaman pertama hanya tertera tulisan agak besar berbunyi.
"Kitab Sundrik Cakra."
Joko lalu membuka halaman kedua. Di situ tertera tulisan.
Kitab ini hanya diperuntukkan bagi anak manusia yang telah memperoleh isi pada Kitab Serat Biru.
Murid Pendeta Sinting menghela napas dalam. Dadanya makin berdebar. Dia lalu membuka halaman ketiga yang ternyata halaman yang terakhir. Di situ hanya ada gambar tiga jari. Jari telunjuk, jari tengah, dan jari manis. Tidak ada tulisan atau petunjuk lain, membuat Joko kerutkan dahi berpikir.
"Jangan-jangan ini sama dengan apa yang ada pada Kitab Serat Biru. Aku hanya menempelkan jari-jariku pada gambar ini..." ujar Joko dalam hati ingat apa yang pernah didapat pada Kitab Serat Biru.
Joko perhatikan gambar tiga jari itu lekat-lekat. "Hem... Jari telunjuk berada pada sebelah kiri, berarti ini tangan kanan!"
Tanpa menunggu lama, Joko segera angkat tangan kanannya. Jari telunjuk, jari tengah, dan jari manis segera dipentangkan menurut gambar yang tertera. Lalu perlahan-lahan diletakkan di atas gambar. Bersamaan dengan menempelnya ketiga jari tangan kanan murid Pendeta Sinting pada gambar, Joko merasakan hawa dingin menusuk masuk lewat ketiga jari-jarinya. Kejap lain tubuhnya berguncang keras. Namun saat lain hawa dingin itu sirna. Guncangan tubuhnya pun terhenti. Dan perlahan-lahan dari kitab bersampul kuning itu mengepul asap. Ketika asap lenyap, tangan Joko tampak menggantung di udara. Kitab Sundrik Cakra lenyap tiada bekas sama sekali!
Murid Pendeta Sinting tidak terlalu terkejut dengan kejadian ini karena hal itu pernah terjadi saat dia mempelajari dan membuka Kitab Serat Biru. Yang membuatnya sedikit tersendat adalah bersamaan dengan sirnanya Kitab Sundrik Cakra, sinar cahaya yang menerangi ruangan goa yang berasal dari sentakan tangan si Orang Tua ikut redup seketika hingga ruangan goa kembali digenggam kegelapan.
"Aku akan mencoba apa kehebatan isi kitab tadi..."
Murid Pendeta Sinting salurkan tenaga dalam pada tangan kanannya. Sejenak dia merasakan hawa dingin pada ketiga jari tangan kanannya. Ketika tangan itu disentakkan ke depan, melesat tiga larik cahaya kuning sebesar jari tangan. Kejap lain terdengar ledakan dahsyat. Saking tidak menduga, murid Pendeta Sinting sempat terlonjak sendiri. Batu karang di sebelah depan hancur berantakan. Ruangan goa di mana Joko berada bergetar laksana diguncang gempa hebat. Disusul dengan longsornya dinding ruangan goa sebelah samping, lalu merembet ke tengah. Langit-langit ruangan pun berhamburan. Hingga ruangan goa itu dibuncah beberapa derakan suara bergemuruh.
"Celaka! Aku bisa terkubur di sini kalau tidak segera menyingkir!"
Secepat kilat, Joko bangkit lalu berkelebat keluar ruangan goa. Pada saat bersamaan terdengar suara letupan beberapa kali. Ketika Joko menoleh, gugusan batu karang yang membentuk ruangan goa itu ambruk!
"Sialan! Terpaksa malam ini aku harus tidur di tempat terbuka!" gumam Joko lalu melangkah mencari gugusan batu yang agak rata.
Pada sebuah gugusan batu agak rata yang menghadap laut murid Pendeta Sinting duduk bersila seraya sandarkan punggung pada gugusan batu karang di belakangnya. Dia lalu rangkapkan kedua tangan dengan menarik napas panjang coba pusatkan pikiran. Anehnya yang muncul adalah bayangan wajah cantik Dewi Seribu Bunga. Begitu dia dapat menepis raut wajah gadis itu, muncul paras Sitoresmi! Murid Pendeta Sinting coba lenyapkan bayangan paras Sitoresmi. Namun kini muncul sosok Puspa Ratri.
Pada akhirnya Pendekar 131 Joko Sableng buka kelopak matanya. Anehnya kini terlihat jelas bayangan Saraswati di depan matanya! Murid Pendeta Sinting hanya bisa geleng-geleng kepala sambil bergumam tidak jelas. Anehnya lagi, begitu bayangan Saraswati sirna yang muncul kini adalah raut wajah Ratu Malam disusul dengan Iblis Ompong yang tegak dengan pantat menungging dan mulut terbuka menganga.
"Sialan betul! Daripada melihat yang tua-tua lebih baik kubayangkan saja gadis-gadis tadi!" ujar Joko lalu kembali katupkan kelopak matanya.
Dia tersentak, karena bagaimanapun dia coba mengingat wajah-wajah Dewi Seribu Bunga, Sitoresmi, Puspa Ratri, maupun Saraswati tidak satu pun dari raut wajah gadis-gadis itu muncul! Justru yang terbayang adalah Iblis Ompong...!
S E L E S A I
WARISAN LAKNAT
INDEX JOKO SABLENG | |
10.Jejak Darah Masa Lalu --oo0oo-- 12.Warisan Laknat |