Life is journey not a destinantion ...

Menumpas Bergola Ijo

INDEX JAKA SEMBUNG
Si Gila dari Muara Bondet --oo0oo-- Raja Rampok dari Lereng Ciremai

JAKA SEMBUNG
Pendekar Dari Gunung Sembung
Karya Djair Warni

Setelah berpisah dengan saudara angkatnya Si Gila dari Muara Bondet, Parmin kembali berjalan menuju ke selatan melanjutkan perjalanan tugasnya. Tak lama kemudian ia sengaja memperlambat langkah kakinya karena daerah tujuannya sudah di ambang pintu. Apa yang telah dikatakan si pemilik warung di desa Celancang kemarin ternyata benar. Perjalanan ke Gunung Jati dengan berjalan kaki memakan waktu sekitar satu jam dan itu telah terbukti ketika Parmin mulai memasuki sebuah bukit yang ditumbuhi pohon-pohon dan merupakan tempat pemakaman yang sangat luas.
Pemandangan di sekitar bukit tersebut sungguh menakjubkan dan mempunyai keindahan yang khas. Pohonpohon jati besar tumbuh di atas bukit itu, bagaikan berbaris teratur. Di sebelah barat berdiri bukit lainnya, yaitu Gunung Sembung yang bagi Parmin terlihat berada di sebelah kanan Gunung Jati. Awan bergulung-gulung di atas bukit itu. Desiran angin yang bertiup menerpa pohon-pohon jati menimbulkan gemerisik dedaunan yang bergesekan bagai satu rangkaian nyanyian alam. Kicau burung bersahutsahutan mengiringi suara gemerisik itu dengan riuhnya. Dari kaki bukit sampai ke puncak berjajar makam-makam dengan teratur.
Parmin berhenti sejenak.
Ia mengamati seluruh keadaan bukit itu dengan penuh rasa syukur. Nafasnya berhembus kuat-kuat ke dalam rongga dadanya menikmati udara segar yang menyelimuti daerah tersebut. Bukit inilah yang dinamakan orang Gunung Jati. Bukit yang penuh dengan makam-makam di mana di puncaknya terdapat tempat persemayaman terakhir Fatahilah. Fatahilah atau Falatehan sering disebut-sebut sebagai Sunan Gunung Jati. Tetapi menurut sumbersumber yang dapat dipercaya, hal itu tidak benar. Pasarean atau kuburan Syarief Hidayatullah sebagai Sunan Gunung Jati sendiri terletak di Gunung Sembung yakni sebuah bukit yang ukurannya lebih kecil, penuh ditumbuhi pohon-pohon sembung, dan berada di sebelah barat Gunung Jati. Di antara kedua bukit itu melintang jalan raya perintis yang dibuat oleh Kumpeni Belanda.
Setelah merasa puas, Parmin segera mengayunkan langkahnya menelusuri jalan setapak yang melintas di lereng-lereng bukit Gunung Jati sampai ke puncaknya. Jalan itu terbuat dari batu yang disusun berundak-undak terus menanjak ke puncak Gunung Jati. Kanankiri jalan itu ditumbuhi rumput-rumput liar setinggi betis kaki. Rupanya jalan itu sengaja dibuat oleh penduduk setempat untuk mempermudah orang-orang yang datang dari seluruh pelosok daerah berziarah ke pekuburan itu.
Sampai sekarang kedua bukit itu menjadi tempat keramat. Apalagi pada saat bulan Maulud, menjelang tanggal dua belas, tempat itu ramai dikunjungi orang, dari pelbagai daerah. Mereka datang membawa kembang tujuh warna dan kemenyan yang katanya untuk dipersembahkan kepada arwah dalam kuburan itu untuk meminta berkah. Ada juga yang minta panjang jodoh, murah rejeki, panjang umur, dan lain-lain. Suatu kepercayaan yang telah melanggar ajaran agama Islam itu sendiri.
Parmin terus berjalan menelusuri jalan setapak itu dengan semangat. Cukup melelahkan juga, karena keadaan jalan itu agak licin dan menanjak. Akhirnya tak berapa lama kemudian sampailah ia di tepi semak-belukar. Tiba-tiba Parmin menghentikan langkahnya ketika melihat banyak sekali lalat berterbangan di sekitar semak-belukar yang berada di hadapannya.
"Lalat bangkai! Pasti ada bangkai di balik semak-semak itu, Hm... baunya menusuk hidung!" gumam Parmin menahan nafas. Ia segera menghampiri semaksemak itu lalu disibaknya. Parmin terperanjat melihat sesosok tubuh seorang laki-laki yang mulai membusuk dan mulai membengkak. Parmin lalu berjongkok memperhatikan keadaan mayat itu. Ia mengatur nafas untuk meredam rasa mual yang menyerang perutnya. Kedua mata mayat itu melotot keluar dengan mulut yang menyeringai seperti menahan rasa sakit dan takut yang teramat hebat. Tubuhnya berbalut pakaian serba hitam dengan kain sarung lusuh bercampur tanah menyilang di dadanya. Anggota badannya terlihat terjulur kaku dengan seluruh tubuh dikeremuni lalat.
"Tangan kanannya masih memegang sebuah golok yang sudah mulai berkarat. Mungkin sudah beberapa hari terkapar di sini. Agaknya ia seorang jago silat"
Kemudian Parmin segera menguburkan mayat itu di bawah sebuah pohon yang rindang dengan sebuah tonggak kayu sebagai nisannya. Hatinya bertanya-tanya.
"Mayat siapakah? Aku akan mencari keterangan orang-orang di desa. Orang itu tewas terbunuh dengan luka sobekan yang menganga di tenggorokan dan perutnya. Melihat dari lukanya, pasti pembunuhnya menggunakan senjata berbentuk pengait. Benar-benar sadis"
Setelah melepaskan lelah sejenak, Parmin lalu kembali mengayunkan langkahnya menuju perkampungan desa di sekitar Gunung Jati. Pikirannya masih dipenuhi dengan berbagai pertanyaan mengenai kejadian tadi.
"Kurasa alat semacam itu tidak terdapat dalam dunia persilatan tetapi aku dapat memastikan bahwa pembunuhnya adalah seorang jago silat yang tinggi!"
Tak terasa ia sudah memasuki mulut desa itu. Tetapi begitu ia jejakkan kakinya di desa itu, dirasakannya sesuatu yang aneh.
"He, mengapa suasana desa ini sunyi-senyap? Ada apa gerangan?" tanyanya dalam hati sambil terus melangkah. Parmin mengamati daerah itu dengan seksama. Tiap rumah penduduk diperhatikannya. Tidak terlihat tandatanda kehidupan. Hanya suara angin yang berhembus kencang dan merontokkan daun-daun kering sehingga berserakan di pelataran rumah-rumah itu.
"He, betul-betul sepi! Tak seorangpun penduduk yang menampakkan batang hidungnya! Mungkinkah desa ini terserang wabah penyakit menular yang sangat ganas? Atau ada suatu peristiwa yang menghantui mereka sehingga tidak berani keluar dari dalam rumah? Apakah mereka tidak mengerjakan pekerjaannya sehari-hari di sawah atau di ladang?" desah Parmin dalam hati.
Sunyi lengang keadaan yang menyelubungi desa itu. Jangankan seorang penduduk yang tampak, hewan piaraanpun tidak ada juga yang tampak berkeliaran di luar. Semua pintu rumah tertutup rapat. Tidak terdengar suara sedikitpun dari tiap rumah yang dilalui Parmin dan agaknya rumah-rumah itu sengaja ditinggalkan oleh pemiliknya masing-masing.
Parmin hanya berdiri terpaku tepat di tengah-tengah jalan desa itu. Matanya menyapu ke segala penjuru. Alisnya mengernyit karena merasa heran.
"Aneh bin ajaib! Desa ini betulbetul seperti desa mati!" Kemudian ia mengayunkan langkahnya perlahan-lahan sambil memusatkan seluruh panca inderanya mencari segala kemungkinan adanya sesuatu yang dapat dijadikan petunjuk untuk menyingkap tabir yang menyelimuti desa itu.
"Hm.... di mana aku bisa mencari keterangan? Baiklah, aku akan mencoba mengetuk pintu salah satu rumah! Mudah-mudahan...!" gumamnya penuh hrap sambil berjalan, menghampiri sebuah rumah penduduk yang berada tepat di samping kanannya. Terlihat sampah berserakan di pelataran rumah tersebut. Dari luar, rumah itu terlihat gelap tanpa ada sepercik cahaya matahari yang menerobos masuk meneranginya. 
itu. Parmin mengetuk pintu papan rumah
"Asalamualaikum. !"
Ia diam sejenak menunggu sahutan dari dalam, tetapi tak terdengar. Dicobanya sekali lagi, tetap saja ia tak memperoleh jawaban. Dicobanya lagi berulang-ulang, hasilnya tetap saja sama. Kemudian dengan hati kesal Parmin segera meninggalkan rumah tak berpenghuni itu. Kepalanya menengadah ke atas. Terlihat matahari mulai meninggi.
"Sudah waktunya shalat zuhur!" ujarnya pelan sambil menghapus keringat yang mengalir di keningnya. Ia lalu melangkah menjauhi desa mati itu mencari masjid yang terdekat dari sana.
Sementara itu dari balik sebuah pohon beringin yang terletak tidak jauh dari rumah yang diketuknya, berdiri sesosok tubuh tinggi besar mengintai. Kepalanya gundul plontos. Ia mengenakan pakaian serba hijau yang menutupi seluruh tubuhnya yang berkulit hitam.
Kumisnya melintang lebar di bawah hidungnya yang mancung besar. Sinar matanya memancarkan gejolak mem bunuh yang sangat besar sehingga tubuhnya yang berkulit hitam itu lambat laun berubah menjadi hijau legam. Tangan kanannya terbuat dari besi berbentuk tabung yang ujungnya dilengkapi dengan sebuah senjata pengait yang sangat tajam, untuk menggantikan telapak tangannya yang buntung. Begitu hebat ilmu yang dimilikinya hingga Parmin sendiri tidak mengetahui keberadaan sosok tubuh hijau itu yang nyaris sama dengan warna daun-daun pohon di sekitarnya.
Sorot matanya tak lepas dari segala gerak-gerik Parmin. Ia memutar tubuhnya, terus memandangi punggung Parmin sampai menghilang dari pandangannya. Kemudian sosok tubuh hijau itu keluar dari tempat persembunyiannya dan berdiri tegak tersenyum penuh arti. Ia lalu melejit entah kemana.
Siapakah sosok tubuh hijau itu? Mengapa ia mengintai Parmin secara diam-diam? Dan apa yang selanjutnya akan diperbuat terhadap diri Parmin?
***

Parmin mulai memasuki kawasan masjid yang terletak di kompleks Pasarean Sunan Gunung Jati di Gunung Sembung. Masjid itu berpagar tembok dengan dua gapura berdiri kokoh sebagai pintu gerbangnya. Di setiap tembok yang mengelilingi tempat itu terdapat piring-piring keramik Cina yang ditempelkan dengan jarak tertentu. Hanya sayang di sana-sini di tumbuhi lumut sehingga terlihat agak dekil.
Ketika Parmin masuk melewati gapura itu terlihat makam-makam yang berdiri teratur di seputar halamannya dengan pohon-pohon beringin yang tumbuh sebagai pelindung. Angin bertiup sepoi-sepoi bertiup menyapu tempat itu menimbulkan suasana sejuk dan nyaman di pelataran masjid itu.
Parmin lalu berjalan menapak di atas jalan yang terbuat dari anyaman batu bata sebagai penghubung antara pintu gerbang menuju ke pintu masuk masjid.
"Aku ingin bertemu dengan juru kunci Pasarean ini! Mudah-mudahan aku bisa mendapat keterangan!" gumam Parmin dalam hati sambil melepaskan kain pengikat kepalanya dan kain sarung yang menyilang di dada, yang kemudian diletakkannya di lantai dekat pintu masjid. Ia berjalan menuju tempat air wudhu yang terletak di samping masjid di bawah sebuah pohon beringin. Parmin menggulung celana pangsinya sampai batas lutut.
"Bismillah...!" ucapnya sambil menggosok-gosokkan kedua tangannya dengan air yang memancur dari sebuah guci keramik yang besar dan berukir. Ketika sedang membasuh wajahnya dengan air itu, tiba-tiba Parmin merasakan adanya kehadiran seseorang di belakangnya.
"Siapa kau anak muda? Mataku yang sudah rabun ini merasa bahwa kau bukan penduduk asli desa ini, bukan? Dari manakah asalmu, Nak?" tanyanya pelan dengan suara agak parau memecah kesunyian.
Parmin melihat sekilas.Ternyata ia seorang lelaki tua yang sudah berumur kira-kira tiga perempat abad dengan kumis dan jenggot yang hampir memutih semuanya. Melalui cara ia berjalan agaknya bapak itu memiliki ilmu silat yang cukup tinggi.
Parmin tersenyum penuh hormat. "Betul Pak! Aku datang dari
pantai Eretan. Apakah Bapak juru kunci Pasarean ini? Kalau benar, dapatkah Bapak memberikan keterangan mengapa desa ini seperti desa yang mati?" tanya Parmin berharap sambil membersihkan sela-sela jari kakinya dengan air padasan itu.
"Entahlah! Tetapi aku hanya memberi saran, berhati-hati dengan dirimu, Nak!"
Parmin agak terperanjat mendengar jawaban lelaki tua itu, singkat dan tegas.
Setelah berkata begitu orang tua itu segera berlalu dengan tergopohgopoh meninggalkan Parmin yang belum selesai melakukan wudhunya. Wajahnya terbersit rasa takut yang sangat besar. Mungkin ia tidak mau menanggung resiko apabila banyak bercerita kepada orang yang belum dikenalnya tentang segala sesuatu yang menyangkut keadaan desa Gunung Sembung.
Parmin menoleh memanggil orang tua itu.
"Hei, Pak! Tunggu dulu! Aku mau bertanya lagi! Tunggu...!" tetapi ia tak mengindahkan teriakan Parmin memanggilnya ia terus saja melangkah keluar dari pelataran masjid sampai menghilang dari pandangan.
"Hm... aneh sekali orang itu! Ada apa sebenarnya yang terjadi di daerah ini? Aku tak habis pikir!"
Kemudian setelah Parmin mengangkat kedua tangannya untuk berdoa sehabis wudhu, ia lalu berjalan masuk ke dalam ruangan masjid untuk menunaikan kewajibannya sebagai seorang muslim.
Seusai shalat zuhur, Parmin menyandarkan tubuhnya pada salah satu pilar dalam ruangan itu dengan santai. Pilar-pilar yang terdapat dalam masjid Gunung Jati berjumlah sembilan buah yang berdiri kokoh menyangga bangunan itu. Pilar-pilar tersebut berhiaskan ukiran-ukiran yang sangat indah dan piring-piring keramik Cina yang menempel pada tembok ruangan tersusun sedemikian rupa dari ukuran yang terkecil dikombinasikan dengan ukuran yang besar. Mihrab masjid dihiasi bingkai berhias kaligrafi yang berisi kalimat-kalimat suci Al Qur’an, dengan warna kombinasi hijau, kuning dan hitam. Lantainya terbuat dari batu pualam yang mengkilap. Bila sinar matahari memancar ke dalam ruangan masjid maka lantai pualam itu memantulkan cahaya yang terang namun menyejukkan suasana dan jika kita melihatnya dari kejauhan, lantai itu seakan-akan seperti hamparan air telaga yang jernih.
Suasana yang hening dan nyaman serta hembusan angin yang menyapu seluruh ruangan masjid itu, tiba-tiba mendatangkan rasa kantuk Parmin yang sedang menikmati keindahan hasil karya arsitektur yang sangat indah namun sangat unik tersebut. Berkali-kali ia menguap, pikirannya tetap melekat pada peristiwa yang baru saja dialaminya tadi.
"Oahmmmm... aneh! Sampai mereka pun tak melakukan shalat berjamah di masjid ini karena mungkin penduduk desa ini dicekam rasa takut keluar rumah... Oahmm!! Biarlah aku berbaring-baring sejenak!" ucapnya pelan sambil merobohkan diri di lantai dekat pilar itu. Tangan kanannya dilipat menjadi tumpuan kepala dan kirinya berpangku pada kedua kakinya yang menekuk. Parmin tidur seperti seekor kucing. Agaknya posisi tubuh seperti itu berguna untuk dapat bergerak cepat bila sewaktu-waktu terdapat serangan gelap yang datang mendadak. Dan tak lama kemudian Parmin memejamkan matanya. Enak betul ia tidur. Seperti tak terjadi sesuatu yang baru dialaminya.
Sementara di atas atap masjid sayup-sayup terdengar suara halus, seperti suara langkah kaki orang yang sedang berjalan. Suaranya sangat lembut hampir menyatu dengan suara angin yang berhembus saat itu, menandakan ilmu meringankan tubuh yang dimiliki orang itu sudah sempurna. Orang tersebut bertubuh tinggi besar. langkahnya terhenti di saat mencapai pinggiran atap tepat di atas pintu masuk masjid Gunung Sembung.
Ternyata tak lain dan tak bukan adalah orang yang berpakaian serba hijau tadi.
Dan secara tak terduga dan sangat cepat, bayangan hijau itu melesat menyambar tubuh Parmin yang sedang tertidur lelap. Tetapi rupanya Parmin sudah terlatih dalam menghadapi segala bentuk serangan lawan secepat apapun. Tubuhnya langsung melejit ke atas menghindar dari sabetan yang mengancam jiwanya dan hanya kain sarungnya saja yang ia gunakan sebagai selimut tidur tadi, tercampak di atas lantai.
"Traak!!" sabetan itu hanya mengenai pilar di dekat Parmin. Tubuh hijau itu lantas meliuk-liuk di udara dan mendarat kakinya dengan mantap, dihadapan Parmin yang sedang menghimpun tenaga melalui pernafasan. Kedua tangannya tertentang diatas kepala, kemudian menyilang ke atas ubun-ubunnya.
"Tunggu dulu! Siapakah kau dan apa maksudmu!" seru Parmin siap siaga, tetapi tubuh tinggi besar itu tak menjawab. Ia hanya mengangkat tangan kanannya yang bersenjatakan pengait sambil menggeram keras.
"Hiaaaat...!" tubuhnya lantas melesat ke arah Parmin yang lebih dahulu melejit ke atas. Senjatanya kembali menemui sasaran lain.
"Traak!" lagi-lagi pilar dalam masjid itu yang tergores. Ukiran yang menghiasi tiang-tiang itu hancur berkeping-keping mengotori lantai.
"Hei, kau tidak menghargai sama sekali tempat suci ini! Sebutkan nama dulu, kawan! Dan mengapa kau hendak membunuhku!"
Sampai kali inipun bukan jawaban yang diterima Parmin, tetapi serangan kilat kembali menerjang dirinya. "Wess..." Parmin segera bersalto di udara untuk menghindar dengan gerakan yang sangat mengagumkan.
"Hm... manusia macam apa ini? Gerakannya demikian gesit! Sebelum aku menginjak ke tanah, ia sudah menyerangku lagi!"
Bayangan hijau itu terus-menerus mencecar Parmin, Rupanya ia penasaran, karena setiap serangan luput tak mengenai sasaran. Sedangkan Parmin hanya dapat menghindar dan tak punya kesempatan untuk membalas serangan itu. Dengan satu sentakan ia melejit keluar mengalihkan serangan lawannya agar tidak merusak pilar-pilar dalam masjid itu. Parmin menghendaki pertarungan itu dilanjutkan di pekarangan masjid, tetapi ternyata bayangan hijau tersebut tidak mau terpancing dan meladeni kehendak Parmin. Ia tak mengejar, melainkan menghilang entah kemana.
Parmin menjejakkan kakinya dengan menatap di tengah-tengah areal pekuburan. Kelebatannya yang cepat merontokkan daun-daun kering di sekitar tempat itu. Ia langsung memasang kuda-kuda siap menghadapi serangan berikut. Tetapi bayangan hijau itu tak kunjung muncul kembali. Gerakan orang itu teramat cepat sehingga tak dapat ditangkap oleh mata Parmin. Tubuhnya seolah-olah ditelan perut bumi.
Parmin melemparkan pandangannya ke segala penjuru tempat itu mencari jejak lawannya, tetap saja bayangan hijau itu tak menampakkan batang hidungnya lagi. Rupanya ia tahu bahwa Parmin bukanlah orang sembarangan seperti korban-korbannya yang terdahulu. Jangankan melukai tubuh, menyentuh sedikitpun belum terlaksana walaupun serangannya dilakukan secara mendadak dan bertubi-tubi.
Parmin menghela nafas panjang. Matanya tetap memantau ke segala arah. Hanya suara desiran angin yang dapat dirasakannya.
"Hm... licik!" gerutu murid tunggal Ki Sapu Angin.
Perlahan-lahan ia kembali masuk ke dalam masjid melanjutkan tidurnya yang terganggu. Ternyata dari atas sebuah pohon beringin sepasang mata merah memandang Parmin dengan penuh geram. Tubuhnya seakan-akan berasap karena keringatnya yang menguap pertanda ia menahan dendam yang sedang berkecamuk di dalam dirinya. Lalu ia melesat hilang ke dalam hutan.
Sementara itu di dalam sebuah madrasah, berkumpul para alim ulama setempat. Mereka sedang mengadakan rapat tertutup. Ada suatu peristiwa yang teramat penting yang harus segera mereka selesaikan. Para alim ulama itu terdiri dari enam orang yang rata-rata sudah tua. Masing-masing duduk bersimpuh di atas tikar anyaman daun pandang saling berhadapan. Di tengahtengah mereka tersedia seperangkat peralatan minum lengkap dengan isinya. Madrasah itu terbuat dari bilik anyaman bambu dengan tiang-tiang kayu yang berdiri kokoh menumpu bangunan itu. Di salah satu sudut ruangan madrasah terdapat sebuah rak kayu yang berisikan kitab-kitab suci Al-Qur’an dan kitab-kitab hadits yang tersusun rapi. Di dekat salah satu tiang itu terdapat sebuah rak sebagai tempat untuk menyimpan payung dan tombaktombak berjajar. Pada kayu-kayu penguat bilik terpajang berbagai macam jenis senjata tajam. Sedangkan pada setiap tiang-tiang kayu, terukir motif hiasan yang menggambarkan daun-daun sembung yang merupakan ciri atau
lambang daerah Gunung Sembung.
Disamping sebagai tempat pengajian, madrasah itu juga berfungsi sebagai perguruan silat. Orang-orang dari berbagai pelosok daerah datang menuntut ilmu agama dan ilmu silat untuk bekal hidup sebagaimana layaknya orang-orang pada jaman itu, sehingga anggota madrasah tersebut kian hari kian bertambah banyak jumlahnya. Sedangkan yang menjadi pemimpin madrasah itu adalah Kiyai Haji Subekti Achmad yang sekaligus pula sebagai guru silat di Gunung Sembung dan daerah sekitarnya.
Suasana rapat itu hening sejenak.
Setelah menghela nafas panjang dan mengucap salam, Kiyai Subekti mulai angkat bicara yang didengarkan oleh rekan-rekannya dengan penuh perhatian.
"Seperti anda ketahui bahwa rakyat Gunung Sembung dan sekitarnya sekarang telah mengingkari agamanya sendiri dan berpaling dari kaidah Islam! Mereka tidak lagi menyembah Allah, tetapi menyembah iblis yang menamakan dirinya Bergola Ijo?" suaranya terdengar berat memecah keheningan suasana dalam ruangan madrasah.
"Dan yang masih tetap beriman kepada Allah kini dapat dihitung dengan jari saja!" sinar mata Kiyai Subekti berubah tajam dan penuh selidik terhadap para ulama lainnya yang duduk berderet di sekelilingnya satu-persatu. Ditatap seperti itu oleh Kiyai Subekti, mereka menjadi kikuk dan serba salah. Apakah orang yang paling mereka segani seperti Kiyai Subekti Achmad kini mulai meragukan dan mulai curiga terhadap keimanan para pengikutnya? "Ini adalah suatu hal yang sangat menyedihkan dan merupakan kewajiban kita sebagai kaum muslimin untuk menentang kemusrikan yang sudah merajalela di kalangan masyarakat. Seperti anda ketahui bahwa hari ini menjelang waktu zuhur, rakyat Gunung Sembung tidak ada yang berani keluar pintu rumah. Mereka percaya kepada sang dukun yang kesurupan roh Bergola Ijo yang mengatakan bahwa pada hari ini Bergola Ijo akan meminta korban nyawa manusia lagi! Calon korbannya adalah orang-orang yang keluar rumah di saat menjelang waktu zuhur! Masyarakat percaya akan hal itu, karena memang telah terbukti sejak beberapa minggu ini banyak mayat bergelimpangan di tengah jalan dengan bekas luka yang sama!"
Kiaya Subekti berhenti sejenak menarik nafas.
Jelas tergurat pada wajahnya yang keriput rasa kecewa yang sangat dalam. "Kita sekalian bertekad untuk menghancurkan kemunkaran itu! Kita berjuang sampai titik darah penghabisan menentang orang-orang yang telah ingkar. Bila perlu kita gunakan kekerasan! Semoga Allah selalu melindungi hamba-Nya yang beriman!" lanjut Kiyai Subekti berapi-api, disambut dengan ucapan amien dari semua
rekannya. Kiyai Subekti mengakhiri pembicaraannya dengan pembacaan doa diikuti oleh para ulama lainnya sehingga terciptalah suasana sakral yang membuat keyakinan masing-masing menjadi lebih dalam dan bertekad untuk memperjuangkan ajaran-ajaran agama Islam secara benar. Mereka rela mati syahid demi mempertahankan agama.
***

Matahari mulai tergelincir ke kaki langit sebelah barat. Adzan ashar baru saja menggema ke seluruh pelosok Gunung Sembung dan Gunung Jati yang merupakan sepasang bukit kembar berdiri berdampingan sebagai kawasan penguburan. Burung-burung mulai enggan bernyanyi. Dan para penduduk desa masih belum berani juga menampakkan dirinya. Mereka tidak mau mati konyol karena mereka percaya bahwa iblis pencabut nyawa itu masih berkeliaran di luar untuk mencari mangsa.
Tetapi di ruangan lain dalam madrasah seusai rapat tadi, berkelebat-kelebat dua sosok tubuh saling terjang-menerjang.
Gerakan kedua orang itu terlihat lincah dan mantap.
"Awas kaki! bagus, loncatanmu cukup gesit!" teriak seorang pemuda bertubuh tegap sambil melancarkan pukulannya menyambar-nyambar seorang gadis yang sedang meliuk-liuk tubuhnya di udara mengelak dari serangan yang tertuju kepadanya. Rambutnya yang panjang hitam legam terurai sebatas pinggang turut melambai-lambai mengikuti gerak tubuhnya lincah. Lalu ia menghenyakkan kakinya dengan mantap di atas lantai sambil merentangkan kedua tangannya membentuk jurus baru.
"Ayo serang kau lagi!" serunya penuh semangat. Nafasnya terdengar ngos-ngosan kelelahan. Tapi sorot matanya yang tajam namun bening pertanda rasa percaya diri yang tak mudah goyah dalam pribadi pendekar wanita itu.
Sementara lawan latihnya hanya berdiri tegak sambil berkacak pinggang memperhatikan tersenyum bangga.
"Sudah! Kali ini latihan kita cukup sekian!" katanya menggelenggelengkan kepalanya sebagai tanda pujian terhadap kemajuan-kemajuan yang telah berhasil dicapai oleh adik latihnya.
"Hm... tak sia-sia ayahmu menggemblengmu setiap hari. Aku sudah kewalahan melawanmu. Benar-benar pesat kemajuan yang kau capai selama ini!"
Pipi gadis itu bersemu merah mendapat pujian dari laki-laki yang telah membantu melatihnya. Tapi ia segera mengalihkan perasaannya dengan mengambil peragaan jurus-jurus lanjutan.
"Aku belum puas! Ayolah kita mulai lagi beberapa jurus saja!" pintanya merajuk.
Pemuda itu menghela nafas dan berusaha mencari alasan.
"Agaknya kau tidak mendengar beduk magrib berbunyi? Nanti saja sehabis shalat isya kita lanjutkan lagi!" ujarnya sambil menyambar kopiah hitam yang disangkutkan di paku yang menancap pada tiang penyangga itu.Tapi gadis itu masih penasaran. Ia terus saja membentuk jurus baru dengan gerakan yang lebih semangat. Kakinya bergerak perlahan menyiku di atas lantai dengan kedua tangan yang bergerak seperti kepak sayap burung rajawali melambai-lambai, tetapi pemuda itu tetap tak peduli.
"Ah, sudahlah Ratna!" katanya sambil membetulkan letak kain sarung yang melilit melingkar di pinggangnya. Ia menoleh sebentar ke arah Ratna yang masih memasang kuda-kuda.
"Dan lain kali harus kau ingat, jika latihan lagi nanti rambut mu yang panjang dan indah itu hendaknya diikat agar jangan awut-awutan seperti kuntilanak yang sedang terbang!" ledeknya sambil tertawa renyah. "Ah, bisa saja kau!" sahut Ratna dengan kesal tapi manja. Ia lalu mencubit pinggang pemuda itu dengan gemas. "Ih!"
"Aduh! Sakit ah!" teriak pemuda itu sambil berusaha menghindar dari cubitan Ratna. Tanpa sengaja tangannya memegang tangan halus Ranta yang berusaha mencubitnya lagi. Sejenak mereka diam terpaku dan saling bertatapan mata. Pemuda itu menatap wajah gadis di hadapannya yang bundar dengan dua lesung pipi bila ia tersenyum, penuh gelora asmara. Ratna membalas tatapan itu dengan perasaan yang tak menentu. Tangan mereka saling menggenggam dengan mesra. Pemuda itu mengembangkan senyumnya, demikian halnya si gadis. Ia memandangi bibir Ratna yang tipis seakan-akan ia ingin segera mengecup bibir yang rekah menantang itu.
Kemudian pemuda itu mendekatkan wajahnya perlahan-lahan, sedangkan Ratna memejamkan mata menunggunya. Tetapi di saat wajah mereka mulai dekat, tiba-tiba pemuda itu menarik kembali wajahnya dengan cepat karena adzan maghrib yang masih berkumandang membuat ia sadar akan perbuatannya.
"E.... aku ke masjid dulu!" ujarnya agak gugup sambil melepaskan genggaman tangannya. Sedangkan Ratna membuka matanya perlahan. Hatinya kecewa. Ia hanya dapat menganggukkan kepalanya.
Tanpa menoleh lagi pemuda itu ke luar meninggalkan madrasah itu berjalan menuju masjid untuk segera menunaikan shalat maghrib. Ratna memandangi punggung lelaki yang dicintainya dari balik pintu dengan perasaan bangga. Ia memuji dalam hati. Ia bersyukur bahwa Anwar, kekasihnya tidak melanjutkan niatnya tadi. Hal itu menandakan bahwa keimanan pemuda pujaannya masih cukup kuat untuk menanggulangi godaan.
Siapakah kedua remaja itu?
Yang dipanggil Ratna itu atau nama lengkapnya Ratna Zullifah adalah putri tunggal Kiyai Subekti Achmad dan pemuda yang bertubuh tegap itu adalah murid kesayangan Pak Kiyai sendiri. Tampak di antara mereka telah terjalin benang cinta kasih.
***

Di saat itu dalam masjid Gunung Sembung, Parmin duduk bersila sendirian seusai berzikir. Sementara orang-orang muslim yang tinggal di sekitar masjid itu mulai banyak berdatangan untuk turut melaksanakan shalat maghrib berjamaah. Tak ketinggalan Kiyai Subekti Achmad yang pertama kali memasuki masjid tersebut. Ia agak terperanjat melihat seorang pemuda duduk bersila dengan tenang tanpa merasa terusik oleh kehadirannya. Dalam hatinya bertanyatanya, siapa gerangan pemuda pendatang itu?
Parmin sendiri merasakan adanya orang-orang yang mulai duduk berjajar membuat saf di sekitarnya.
"Hm... baru sekarang aku bertemu dengan pendudukan desa ini. Sejak tadi aku cuma duduk sendirian saja di sini! Tapi... apakah mereka cuma shalat maghrib saja? Tadi siang tak kulihat mereka!" tanya Parmin dalam hati.
Kemudian Kiyai Subekti bersama murid kesayangannya melintas di hadapan dan melirik ke arahnya. Parmin memperhatikan orang tua berjanggut putih itu dengan seksama. Cara meliriknya terasa tajam seperti menguliti dirinya bulat-bulat. Langkahnya pelan tapi mantap menandakan ia seorang jago silat yang berilmu tinggi.
"Guruku, Ki Sapu Angin pernah mengatakan bahwa di daerah Gunung Sembung ada seorang alim ulama dan guru silat yang sangat termasyur! Aku rasa inilah orangnya!" gumam Parmin.
Setelah beberapa langkah melewatinya, Parmin diam-diam mendengar bisikan orang tua itu kepada muridnya. "Siapakah anak muda yang duduk di belakang itu, Anwar? Tampaknya ia orang yang berisi!"
"Aku tidak tahu, Pak! Semua penduduk desa ini kukenal satu persatu. Barangkali ia seorang musafir!" sahut muridnya sambil menatap Parmin.
Mereka berjalan beriringan diikuti oleh para ulama lainnya menuju saf yang terdepan. Parmin lalu beringsut dari duduknya turut berjalan mengikuti mereka untuk membentuk saf demi saf. Ia kagum terhadap orang tua itu karena penglihatannya sangat tajam. Parmin berdiri di antara deretan jamaah dalam masjid itu.
"Hm... orang tua dan pemuda itu berdiri tepat di belakang imam. Aku akan ambil tempat dekat mereka!" ucapnya pelan sambil mengayunkan langkahnya mengisi tempat yang kebetulan kosong di sebelah kanan Kiyai Subekti.Shalat maghrib telah dimulai. Suasana hening syahdu menyelimuti mereka. Masing-masing memusatkan pikirannya ke hadirat Allah penuh kekusyukan. Tetapi bagi seorang jago silat tentu mempunyai kelebihan naluri untuk bisa menangkap hal-hal yang terjadi disekelilingnya.
Pada saat rakaat kedua Parmin merasakan adanya gelagat buruk yang akan menimpa mereka. Ketika Kiyai Subekti mengangkat kedua tangannya smabil mengucapkan takbir yang sengaja diperkeras.
"Allahu Akbar!"
Tiba-tiba berkelebat sebuah bayangan hijau menyambar orang tua itu dengan cepat. Tetapi Kiyai Subekti telah melesat lebih cepat dari serangan gelap itu. Sedangkan muridnya Anwar melejit ke atas dan meliuk ke samping kanan sambil berteriak. Dan Parmin yang berada di sebelah Kiyai Subekti hanya mengelak ke samping pilar masjid berlawanan arah dengan arah datangnya serangan tak terduga itu. Ia menyilangkan tangannya di dada siap-siaga.
Sementara Kiyai Subekti Achmad dengan kecepatan yang tidak dapat ditangkap oleh mata orang-orang biasa terbang keluar masjid ke pelataran sambil bersalto di udara mengalihkan perhatian bayangan hijau agar tidak mengganggu shalat jamaah lainnya. Begitu cepat kejadian itu sehingga mereka tidak mengetahui bahwa Kiyai Subekti telah hilang dari tempatnya, kecuali Parmin dan Anwar. Parmin hanya memperhatikan semua itu dengan tenang tanpa peduli. Lalu ia kembali ke dalam saf melanjutkan shalat yang telah dibatalkannya.
Pertarungan itu dilanjutkan di luar pekarangan masjid. Kiyai Subekti berusaha mengimbangi serangan yang dilancarkan bayangan hijau itu terhadap dirinya secara beruntun. Dengan satu gerakan yang cepat bayangan hijau itu melesat ke sana ke mari seperti sebuah meteor. Sinar hijau terlihat berkelebat kian ke mari menjelajahi pekarangan masjid.
Dan Anwar yang melihat gurunya sedang bertarung menghadapi serangan bayangan hijau itu segera melompat terjun untuk membantu Kiyai Subekti. Tetapi bayangan hijau itu melayang lenyap ke dalam semak-semak di sebelah masjid begitu Anwar mendaratkan kakinya di atas tanah menengahi pertarungan mereka. Hanya bias warna hijau yang tersisa melintas areal pekuburan itu. Kiyai Subekti hanya dapat mengikuti arah tubuh itu bergerak hilang dengan pandangan matanya tanpa dapat mengejarnya.
"Hebat! Hebat! Datang dan pergi seperti kilat menyambar! Aku yang sudah tua bangka ini sangat kagum dengan ketangkasannya yang luar biasa. Tetapi sangat disesalkan... ia terlalu licik!" umpat Kiyai Subekti sambil menurunkan kedua tangannya yang menyilang diatas kepalanya. Ia menghela nafas dan membetulkan letak kain sarungnya yang miring.
Anwar mendekati gurunya dengan wajah cemas. Keringatnya mengalir membasahi keningnya. Nafasnya bergemuruh.
"Siapa dia, Pak? Dan mengapa bermaksud membunuhmu?" tanya Anwar sambil menyeka keringat.
Pak Kiyai memalingkan wajahnya. "Seingatku aku tidak pernah
mempunyai musuh. Mungkin ia seseorang yang datang dari jauh hanya untuk menguji kemampuan ilmu silatku atau ada alasan lain! Ah... sudahlah. Mari kita kembali ke dalam masjid!" ucap Kiyai Subekti mengajak muridnya.
Kemudian mereka berdua berjalan untuk mengambil air wudhu lagi melanjutkan shalat maghribnya yang tadi terputus. Orang-orang yang berada di dalam seusai shalat berhamburan keluar melihat apa yang telah terjadi terhadap diri Kiyai Subekti Achmad. Sedangkan Parmin tetap duduk bersila membaca doa wirid dan tinggal sendirian di dalam masjid. Dan Kiyai Subekti hanya tersenyum ketika mereka bertanya tentang kejadian tadi. Ia menjelaskan bahwa ada seseorang yang menginginkan kematiannya. Tetapi Kiyai Subekti memperingatkan kepada rekanrekannya agar selalu waspada terhadap rongrongan yang sewaktu-waktu datang mematahkan semangat perjuangan mereka.
Dalam malam ini Parmin terpaksa tidur di dalam masjid. Malam berganti pagi. Sang surya memancarkan cahayanya ke seluruh alam. Cakrawala di kaki langit sebelah timur berbesit sinar kemerah-merahan. Kokok ayam dan kicau burung bersahutsahutan dengan riuhnya menyambut datangnya pagi. Kabut sebagian menyelimuti daerah Gunung Sembung dan sekitarnya.
Parmin berjalan menyusuri kampung Gunung Sembung mencari sekedar makanan untuk sarapan pagi. Dalam hatinya timbul niat untuk tinggal beberapa hari lagi di sini karena ia tertarik pada peristiwa yang telah dialami oleh Kiyai Subekti yang juga pernah dialaminya kemarin.
Parmin merentangkan kedua tangannya kuat-kuat sambil menghirup udara segar pagi ini. Ia berlari-lari kecil menelusuri jalan setapak sampai di pinggir kampung mendadak sontak langkahnya terhenti karena melihat suatu perubahan yang telah terjadi di kampung tersebut.
"Aneh, hari ini menjadi kebalikan dari hari kemarin! Sekarang orangorang justeru banyak berkeliaran di luar rumah! Ada apa gerangan?" tanya Parmin heran dalam hati. Ia memperhatikan orang-orang kampung Gunung Sembung berduyun-duyun keluar dari rumahnya masing-masing bersama sanak keluarganya. Gadis-gadis remaja berpakaian kebaya berwarna-warni bercanda ria dengan sesama temannya berjalan beriringan menuju suatu tempat. Sepertinya mereka sedang mengadakan suatu perayaan. Tua-muda, besar-kecil, semuanya berbaur menjadi satu membentuk sebuah barisan seperti karnaval.
Parmin mengernyitkan dahinya. "Dan... lihat! Wajah mereka
berseri-seri! Tidak ada rasa takut tergores di wajah mereka seperti kemarin. Aneh!"
Memang seluruh penghuni kampung Gunung Sembung dilanda suka-ria seakan-akan beban yang telah menghimpit mereka akhir-akhir ini lepas begitu saja pada hari ini. Dari jauh terlibat gerombolan para pemain gamelan lengkap dengan pakaian pertunjukkannya turut mengiringi barisan itu dengan meriahnya. Barisan itu terus berjalan dipimpin oleh seorang laki-laki tua menuju ke suatu tempat. Sepertinya mereka mengadakan pesta panen padi atau yang sejenisnya. Parmin segera berbaur ke dalam barisan itu mengikuti arus manusia entah ke mana. Di dalam otaknya penuh
oleh seribu pertanyaan.
Melihat dari dandanan para gadis desa dan segala jenis makanan berhias yang dibawahnya agaknya mereka menuju ke suatu perayaan perkawinan. Tetapi Parmin tetap tidak mengerti.
"Aneh sekali kelakuan penduduk desa ini! Bukankah mereka kemarin seperti berkabung. Tapi hari ini mereka malah mengadakan pesta Apa artinya semua ini?"
Parmin lalu memperlambat langkahnya agar dapat mengikuti barisan itu dari belakang, dan pada persimpangan jalan ia sengaja menyelinap memotong jalan meninggalkan barisan itu. Pemuda itu segera memasuki suatu daerah di dalam hutan dan di sana Parmin lebih heran lagi menyaksikan suatu pemandangan yang terpampang di hadapannya. Di sebuah pohon beringin yang sangat besar dengan akar-akar gantungnya menjuntai sampai ke bawah, terlihat orang-orang berkumpul membakar kemenyan dan meletakkan berbagai macam sesajian. Dari mulai kembang tujuh warna sampai ayam panggang tersedia rapi dipenuhi hiasan dan buah-buahan. Mereka semuanya bertelanjang dada duduk bersila dengan teratur dengan kain lurik mem-balut tubuhnya dengan perut sampai ke lutut yang mempunyai satu lipatan tepat didepan pangkal pahanya masing-masing. Kepala mereka semuanya diikat dengan kain yang serupa. Parmin berjalan mendekati orang-orang itu dan memperhatikan segala perbuatan mereka. "Apa-apaan ini? Mereka menyembah pohon! Gila!" kutuknya pelan sambil berdiri tegak di belakang mereka.
Tiba-tiba salah seorang pimpinan mereka menaburkan bubuk kemenyan di atas pedupaan yang sudah dipenuhi bara api. Asap mengepul dari pedupaan itu menyebarkan aroma kemenyan menyelimuti udara disekitarnya. Tubuh orang itu bergetar hebat. Sepertinya ia kesurupan. Matanya mendelik. Giginya gemeretuk keras. Suaranya menggeram. Seluruh wajahnya merah padam.
Setelah sekian lama dalam keadaan begitu, perlahan-lahan orang itu lemas sambil menundukkan kepalanya terdiam. Kemudian tegak kembali. Matanya terpejam. Kedua tangannya dirapatkan menempel pada dadanya. Mulutnya bergerak komat-kamit membaca mantera. Dan para pengikutnya di belakang turut merapatkan tangannya di dadanya masing-masing sambil memejamkan mata memusatkan pikiran.
"Gusti Bergola Ijo, ampunilah kami yang terlambat mengadakan pesta dan mempersembahkan sesajian ini!" kata orang itu sambil menaburkan bubuk kemenyan ke dalam pedupaan di sebelah kanannya.
Asap kemenyan kembali mengepul. "Kini permintaan gusti telah kami
penuh semuanya. Semoga gusti tidak murka lagi dan mohon berkah untuk kami sekalian!" lanjutnya sambil membaca mantera. Kepala orang itu teranggukangguk diikuti oleh para pengikutnya.
Parmin menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Masya Allah! Mereka menempuh jalan sesat!"
Tanpa bicara sepatah katapun, ia langsung menganyunkan langkah menuju tempat di mana suara gamelan berkumandang meninggalkan orang-orang sesat itu. Dari jauh terlihat kerumunan orang banyak memenuhi alunalun. Suara gamelan terdengar keras seperti mengiringi suatu pertunjukan. Parmin segera mendekat. Ternyata para penduduk sedang menikmati sebuah pertunjukan wayang kulit. Dengan dalangnya yang sangat terkenal di daerah Cirebon dan sekitarnya yakni Ki Dalang Ambet. Para penduduk berjubel saling berdesak-desakan ingin menyaksikan pertunjukan itu dari dekat, karena pesta yang demikian jarang sekali di selenggarakan sehingga mereka bersemangat untuk saling berebut tempat orang menonton di barisan paling depan.
Sebagaimana dikatakan orang bahwa wayang kulit adalah suatu kesenian yang diciptakan oleh Sunan Kalijaga sebagai alat untuk menyebarkan agama Islam di tanah Jawa, maka setiap ajaran-ajaran Islam selalu diselipkan dalam setiap pertunjukkan wayang kulit.
Parmin berdiri agak ke tengahtengah kumpulan orang-orang. Ia juga sangat menyukai pagelaran wayang kulit. Tabuhan gamelan mulai perlahanlahan berkumandang menandakan bahwa pertunjukan akan segera dimulai. Dalang Ambet melagukan tembang pembuka dengan manis sekali membuat penonton seolah-olah terpaku tanpa bergerak sedikit pun mendengarkan tembang itu.
Dalang Ambet selain dikenal sebagai dalang, ia juga dikenal sebagai seorang alim ulama yang disegani. Oleh karena itu dalam setiap lakon yang didalanginya selalu bernilai unsur-unsur keagamaan dan keTuhanan sesuai dengan ajaran agama Islam. Banyak orang menyukai pertunjukannya sehingga mereka yang tinggal jauh dari tempat pertunjukan itu rela menempuh perjalanan jauh untuk menyaksikannya.
Tak berapa lama kemudian Dalang Ambet sudah mulai menggelarkan lakon wayang kulitnya dengan semangat. Tangan kanannya memegang tokoh Arjuna sedangkan tangan kirinya memegang tokoh Kresna. Ki Dalang tak hentihentinya bersuluk dengan bahasa Jawa kuno yang merupakan syair pengantarnya. Ia lalu menancapkan kedua tokoh wayang itu di kedebok pisang yang terpampang di depannya, saling berhadap-hadapan dimana Kresna berdiri tegak sedangkan Arjuna dalam posisi agak condong ke depan merendah. Terdengar Ki Dalang Ambet bercerita disusul dengan dialog.
"Wahai adikku Dipati Arjuna, camkanlah dalam sanubarimu bahwa tiada Tuhan yang wajib disembah melainkan Allah!" kata Ki Dalang sambil mengaungkan tangan tokoh Kresna seakan-akan sedang memberi petunjuk.
"Janganlah engkau menyembah pohon-pohon, gunung, laut, bumi, bulan, matahari, jin ataupun manusia! Karena semua itu diciptakan oleh Allah. Kakanda merasa sedih dan prihatin terhadap manusia didunia ini yang telah mulai mengingkari agama Tuhan. Mereka semua sekarang menyembah seorang jin yang mereka menamakan Bergola Ijo!" ujar Ki Dalang Ambet berapi-api.
Secara tak langsung ia telah mengingatkan para penduduk akan kemungkaran yang telah mereka lakukan selama ini. Belum habis Sang batara Kresna memberi wejangan kepada Adipati Arjuna, tiba-tiba wajah Ki Dalang Ambet berubah menjadi biru mengerikan menahan rasa sakit yang meletup-letup dari dalam tubuhnya. Bibirnya bergetar kuat. Matanya melotot.
"Hoak...!" Dari mulutnya menyembur darah kental kehitam-hitaman membasahi wayang kulit yang berdiri tegak di hadapannya. Tubuhnya berkelejatkelejat dan langsung ambruk menimpa peralatan gamelan di belakangnya. Tangannya mengejang keras sambil memegangi perutnya. Sekujur tubuhnya meregang sejenak dan akhirnya diam tak berkutik untuk selama-lamanya.
Seketika itu orang-orang menjadi panik bukan main. Para pemain gamelan berhamburan di atas panggung menabrak segala peralatannya sehingga menimbulkan suara yang gaduh semrawut. Orang-orang yang menyaksikan pertunjukan itu berlarian ke sana ke mari menyelamatkan diri masing-masing karena mereka percaya kutukan Sang Bergola Ijo menjadi kenyataan dan mereka tidak mau jadi korbannya. Sedangkan Parmin sendiri langsung melesat hilang kembali ke masjid. Mau tidak mau pertunjukkan wayang kulit itu terpaksa dihentikan.
Jenazah Ki Dalang Ambet kemudian dibawa ke madrasah Kiyai Subekti Achmad untuk diurus. Para ulama lainnya datang berkumpul di dalam madrasah menyatakan rasa bela sungkawa. Mereka duduk bersila mengelilingi jenazah Ki Dalang Ambet yang sudah ditutupi sehelai kain putih. "Innalillahi wainnailaihi rojiun! Semoga arwah almarhum mendapatkan tempat yang layak di alam baka. Almarhum telah menunaikan kewajiban suci! Almarhum telah mati syahid!" kata Kiyai Subekti memimpin doa bagi arwah Ki Dalang Ambet.
Mereka semalaman melaksanakan tahlil, setelah sore itu juga jenazah Ki Dalang Ambet dikebumikan. Satu lagi korban telah jatuh akibat ulah Bergola Ijo. Mereka telah kehilangan seorang alim ulama yang cukup disegani dan selalu berjuang menyebarkan agama Islam melalui wadah keseniannya. Daerah Gunung Sembung dan Gunung Jati telah kehilangan seorang seniman besar.
Namun kematian Ki Dalang Ambet justru membuat para alim ulama semakin bertekad untuk menegakkan ajaran agama. Satu hilang esa terbilang.
Sejak peristiwa mengerikan itu, rakyat Gunung Sembung dan sekitarnya semakin takut kepada Bergola Ijo. Sebaliknya para pengikut Bergola Ijo semakin bertambah jumlahnya. Mereka menjadi kafir dan murtad! Kematian Ki Dalang Ambet telah membuktikan bahwa barang siapa menentang Sang Bergola Ijo akan bernasib seperti itu.
***

Hari mulai gelap. Bulan bersinar redup soolah-olah turut berduka cita terhadap kematian seorang ulama. Suasana desa Gunung Sembung terlihat sunyi-senyap. Tak ada seorangpun penduduk yang berani menampakkan diri di luar. Mereka lebih suka berdiam diri di dalam rumah. Rasa takut akan kutukan Sang Bergola Ijo yang setiap saat mengancam telah tertanam kuat dalam dalam keyakinan mereka. Hanya kelelawar yang berani muncul terbang di udara dengan kepak sayapnya yang terdengar menyeramkan dan tembang serangga-serangga malam selalu setia menemani tugas sang bulan di langit.
Dalam malam ini adalah malam yang kedua Parmin menginap di masjid Gunung Sembung. Sampai saat ini belum berhasil memecahkan misteri yang sedang menyelubungi desa Gunung Sembung dan sekitarnya. Pada malam itu ia sedang duduk merenung sendirian bersandar dengan kedua tangan dilipat sebagai bantalan kepala di sebuah pilar dalam masjid itu. Kakinya ia rentangkan lurus-lurus. Matanya memandang ke atas langit-langit masjid seakan-akan ia coba bertanya kepada saksi-saksi bisu yang ada di sekitarnya.
"Aku tak habis pikir terhadap penduduk desa ini, mengapa begitu mudah dipengaruhi faham asing? Mungkinkah semua umat manusia akan berubah menjadi kafir? Ah, tidak! Tidak! Tidak ada kekuatan apapun yang mampu menentang kekuasaan Tuhan! Allahu Akbar! Tuhan Maha Besar! Maha Kuasa!" ucap Parmin memuji kebesaranNya.
Berdasarkan rangkaian peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini ia dapat menarik kesimpulan bahwa antara peristiwa yang satu dengan peristiwa yang lainnya saling berkaitan. Semunya hampir memiliki persamaan yaitu menyangkut Bergola Ijo yang mereka sebut-sebut sebagai jin penguasa desa Gunung Sembung dan sekitarnya.
Sementara itu malam semakin larut. Kabut mulai turun perlahanlahan menyelimuti kaki bukit Gunung Sembung. Para penduduk desa telah tertidur dengan lelap dibuai mimpi. Angin bertiup kencang membawa embun malam yang membuat ngilu tulang-tulang sum-sum. Tapi hal itu sama sekali tak dirasakan Parmin yang sedang tenggelam dalam pikirannya.
Tiba-tiba ia tersentak dari lamunannya. Ia mendengar langkahlangkah halus di belakang masjid. Parmin segera memusatkan panca inderanya.
"Suara orang berjalan di belakang masjid. Sangat mencurigakan! Aku harus melihatnya!" desahnya sambil meningkatkan pendengarannya menangkap sumber suara itu. Secepat kilat Parmin melompat keluar dari masjid dan melesat tanpa menimbulkan suara menuju datangnya langkah-langkah itu. Ia bersembunyi di balik sebuah pohon besar di tengah pekuburan. Maka terlihat olehnya dua orang berjalan di antara nisan-nisan kuburan sambil berbisikbisik.
"Pekerjaanmu tadi siang berhasil memuaskan, Warto! Majikan kita Bergola Ijo pasti merasa senang dan itu berarti hadiah satu hektar sawah untukmu!"
"Ya, waktu ada perayaan aku berpura-pura jadi tukang antar minuman. Dan racun itu kutuangkan ke dalam gelas minuman Dalang Ambet sial itu!"
Kedua orang itu ternyata adalah kaki tangan Bergola Ijo. Seorang lakilaki tua dengan sorot mata yang tajam memandang puas pada Warto temannya yang bermulut monyong dengan kumis lebatnya yang tumbuh menutupi kedua bibirnya yang tebal. Laki-laki tua itu rupanya tak lain adalah orang yang kemarin bertemu Parmin di pelataran masjid saat ia sedang mengambil air wudhu siang hari.
Parmin memperhatikan keduanya dengan geram. Tak terasa tangannya mengepal keras.
"Hm, ternyata mereka adalah manusia-manusia licik dan keji!" maki Parmin dalam hati dan tak ia sadari dahan pohon di dekatnya patah oleh remasan tangannya.
Setelah menyeberangi jalan perintis buatan Kumpeni Belanda, kedua orang itu berjalan menuju Gunung Jati yang letaknya berada di sebelah timur Gunung Sembung dan Parmin terus mengikutinya tanpa suara.
"Ah, satu hektar sawah itu tak seberapa! Kau tentunya lebih kaya karena kepandaianmu sebagai dukun palsu penyambung lidah Bergola Ijo! Ya, kan?"
"Huh, apaan! Satu kali aku purapura kesurupan dan mengoceh makan asap pedupaan serta menelan setengah kilo kemenyan, upahku cuma dua ekor kerbau. Sial!"
"He... hei, jangan berkata begitu! Nanti kau jadi korban tajamnya senjata pengait Bergola Ijo, baru tahu rasa kau!"
Suasana hening sejenak.
Kedua orang itu terus saja berjalan menelusuri jalan berundakundak dengan hamparan kuburan berderet-deret dikiri-kanannya, menuju ke puncak Gunung Jati. Nafas mereka terdengar ngos-ngosan karena menempuh jalan menanjak dan berliku-liku sedemikian rupa.
Parmin mengendap-endap di selasela pekuburan sambil terus mengikuti mereka. Sekali-sekali suara cicit kelelawar mengejutkan ke dua orang itu dan pendekar muda dari pantai Eretan itu.
"Seorang telah mampus! Yang lainnya tentu menunggu giliran untuk menyusul!" seru Warto memecah kesunyian itu sambil mendengus.
"Dengan matinya Dalang Ambet, maka tinggal seorang lagi musuh berat gusti Bergola Ijo yakni Kiyai Subekti!" sahut laki-laki tua itu meringis.
Pembicaraan itu membuat Parmin mengerti akan duduk persoalan yang selama ini masih melekat dalam otaknya.
"Oh, rupanya orang yang berpakaian serba hijau itulah yang mereka sebut sebagai Bergola Ijo!"
Sampai di puncak bukit Gunung Jati, dua sosok tubuh itu lenyap begitu saja dari pandangan Parmin. Ia lalu segera memburu mereka. Parmin kehilangan jejak. Matanya mengamati seluruh tempat ketika kedua orang tadi lenyap.
"He, kemana mereka? Apakah mereka mempunyai ilmu sihir sehingga dapat lenyap dari pandangan mata? Ah, tidak mungkin! Tapi... apakah itu? Sepertinya sebuah lubang gua. Mungkin mereka masuk ke dalamnya!" ujar Parmin penuh harap.
Tanpa pikir panjang lagi ia segera merosot turun menghampiri mulut sebuah gua yang letaknya tersembunyi dengan semak-semak yang tumbuh hampir menutupi mulut gua tersebut. Akar-akar pohon menjuntai ke bawah menghalangi pintu gua itu. Parmin lantas menyibak semak-semak yang sebagian berduri itu dengan perlahan-lahan. Matanya tetap memantau tempat itu dengan cermat untuk menjaga kemungkinan adanya perangkap rahasia yang mungkin sengaja dipasang di mulut gua tersebut. Merasa aman, Parmin mulai memasuki mulut gua itu. Lubang gua itu ternyata kecil sekali, hanya dapat dimasuki seorang saja dan ia terpaksa harus berjongkok untuk menelusurinya. Dinding gua penuh ditumbuhi lumut basah sehingga lorongnya menjadi licin.
Parmin melangkah dengan hati-hati sekali.
"Hm... biarlah aku terus masuk ke dalamnya! Mungkin di sinilah sarang Bergola Ijo itu! Dua orang tadi tentunya pembantu yang bertindak sebagai perantara untuk mengelabui penduduk desa. Sungguh licin cara penipuan mereka! Tetapi atas dasar apa mereka melakukan semua itu? Harus kuselidiki!" gumam Parmin sambil bergerak maju terus menjajaki lorong gua itu.
Setibanya di dalam, gua itu semakin lebar. Tanpa mengenal lelah Parmin terus merayap semakin jauh ke dalam. Udara mulai terasa hangat. Berarti di dalam gua ini terdapat sumber api.
"Betul! Seperti ada cahaya api dari dalam sana! Aku harus berhatihati jangan sampai tertangkap basah!" desahnya sambil terus merayap. Dalam keremangan cahaya yang terpancar dari sebuah tempat, di sekitar lantai gua itu terlihat pemandangan yang sangat menyeramkan. Tengkorak kepala manusia banyak berserakan di atas batu-batu runcing yang berlumut. Di langitlangit dan di dasar gua terdapat stalagnit dan stalagtit yang menambah suasana seram dalam gua tersebut.
Parmin terus menelusuri liku-liku gua itu mendekati arah datangnya cahaya yang memancar. Tak lama kemudian terdengar suara seseorang yang bernada berat dan serak menggema ke seluruh relung gua. Terlihat seorang laki-laki bertubuh tinggi besar duduk bersila di atas sebuah batu pipih yang berbentuk altar dengan angkuhnya sambil menatap kedua orang yang tadi dikuntitnya, duduk berhadapan dengan orang tersebut. Di tengah-tengah mereka menyala kobaran api besar dari dalam sebuah kuali yang terbuat dari kuningan berukir. Di sebelah orang yang bertubuh besar itu duduk seorang pemuda dengan kumis tipis di atas bibirnya. Alisnya tebal dan mengenakan ikat kepala kain putih. Wajahnya cukup tampan. Sepertinya ia murid Bergola Ijo.
"Hm, itulah orang yang pernah coba-coba membunuhku di dalam masjid!" gumam Parmin menggeser kaki kanannya yang mulai terasa kesemutan karena berdiri dengan posisi kaki yang setengah berlutut.
Rupanya Sang Bergola Ijo sedang mendengarkan kerja kedua orang pembantunya.
Ia tersenyum lebar. Giginya yang besar berderet tampak menyeringai seram.
"Bagus! Bagus! Rancana kita hampir berhasil! Pemerintah Kumpeni Belanda akan memberikan penghargaan kepada kita! Ha ha ha ha!" suara tawanya menggaung menggetarkan seluruh dinding gua itu. Parmin mengatur nafas menahan getaran tenaga dalam yang merasuki telinganya yang terpancar melalui suara tawa itu. Batu-batu kecil rontok dari atas dinding karena tidak kuat menahan getaran tersebut.
Tiba-tiba Bergola Ijo menghentikan tawanya. Seluruh tubuhnya seketika berubah menjadi hijau. Matanya merah saga menahan amarah yang sedang bergejolak di dalam tubuhnya. Kumisnya bergerakgerak mengikuti gerak mulutnya yang menggeram dengan suara gigi yang menggerutuk keras. Satu-persatu pembantunya ditatap dengan sorot mata yang tajam. Mereka tak berani membalas tatapan majikannya yang terkenal sangat ganas dan tak segan-segan membunuh bagi siapa saja yang membangkangnya. Kedua orang itu harus menundukkan kepalanya karena mereka ngeri terhadap Sang Bergola Ijo.
"Orang-orang berotak cerdik dan kuat keagamaannya seperti Dalang Ambet harus mampus terlebih dahulu! Sayang Kiyai Subekti Achmad belum berhasil kukirim ke akhirat! Tetapi aku bersumpah suatu saat nantinya dia pasti menyusul Dalang itu!" dengus Bergola Ijo. Tangan kanannya yang berbentuk senjata pengait diacungacungkannya.
"Tahukah kalian, mengapa orangorang seperti itu harus dilenyapkan dari muka bumi ini? Karena mereka merupakan otak dan panutan bagi masyarakat di sekitarnya. Otak yang seperti itulah yang kelak menjadi pemimpin dan memupuk serta mengobarkan semangat jiwa patriot rakyat agar bersatu untuk memberontak terhadap Pemerintah Kumpeni Belanda. Ini yang harus kita cegah mulai sekarang! Dan atas perjuangan saudara-saudara. Pemerintah Kumpeni Belanda akan memberikan imbalan berupa harta kekayaan dan pangkat jabatan untuk saudara-saudara!" sambung Bergola Ijo membesarkan hati para pembantunya agar tetap bersemangat mengadakan infiltrasi dan agitasinya. Maka semangat merekapun kembali berkobarkobar seperti kobaran api di dalam anglo besar di hadapan mereka.
"Dan tahukah kalian! Bahwa daerah Gunung Sembung Dan Gunung Jati adalah daerah yang akan menjadi pelopor pemberontakan di karesidenan Cirebon ini? Karena Pemerintah Kumpeni Belanda tahu bahwa seluruh rakyat Gunung Sembung adalah pemeluk agama Islam yang sangat kuat! Disinilah tempat berkumpulnya para alim ulama sejak abad kelima belas dan jalan satusatunya untuk melemahkan semangat persatuan dan jiwa kepahlawanan itu ialah dengan jalan merontokkan iman mereka dan mengikis kepercayaan mereka terhadap agama. Dan lihatlah, kita telah berhasil! Mereka sebagian besar kini menyembah Bergola Ijo! Menyembah aku! Ha ha ha ha ha ... mereka sekarang menjadi kafir!" Bergola Ijo tertawa bangga. Suara tawanya yang mengandung tenaga dalam yang besar kembali menggetarkan seluruh isi gua itu. Terdengar bergemuruh seperti hendak menggetarkan seluruh isi gua itu.
Sementara itu Parmin terus mendengarkan pembicaraan tersebut dengan seksama. Hatinya terbakar dan jiwa kesatriannya bergejolak.
"Bangsat! Kini aku tahu betapa busuknya rencana mereka! Semuanya ternyata penipu jahanam! Bergola Ijo pantas saja dapat bergerak dengan leluasa melebarkan sayapnya karena di belakangnya berdiri Pemerintah Kumpeni Belanda! Orang seperti dia memang pantas menjadi makanan golokku!" geram Parmin.
Beberapa saat kemudian rapat rahasia itu dinyatakan bubar oleh Bergola Ijo. Tiba-tiba seorang pemuda yang sejak tadi duduk berdiam diri saja di samping Bergola Ijo beringsut menghadap gurunya duduk bersimpuh membuka suara.
Bergola Ijo dapat menangkap gelagat perasaan muridnya.
"Apa yang hendak kau katakan, Barna?" tanyanya sambil menggeser tangan kirinya menumpu di atas pahanya.
"Pak Guru! Kiranya sudah tepat waktu bagiku untuk melampiaskan dendam kepada Anwar murid Kiyai Subekti itu, Pak Guru!" pinta Barna berharap. Bergola Ijo mengernyitkan dahinya sejenak untuk berpikir.
Ia melihat sinar mata muridnya mengharapkan izin darinya.
"Hm...baiklah, kuijinkan! Kepandaianmu sudah cukup untuk menandingi orang yang menjadi sainganmu dalam memperebutkan cinta. Tapi ingat, jangan kau ceritakan kepada orang-orang, siapa gurumu, mengerti? Aku datang jauh-jauh dari seberang lautan bukan cuma untuk membela kepentingan pribadimu! Aku bersedia mengajarkan sedikit kepandaianku hanya karena kau bersedia menjadi mata-mataku, mengerti kau, Barna?"
"Segala perintah Guru akan kujunjung tinggi, asalkan aku bisa mendapatkan anak gadis Kiyai Subekti itu!" sahutnya dengan mata yang berbinar-binar sambil membungkukkan tubuhnya memberi hormat kepada orang yang bertubuh besar dihadapannya. Hatinya lega karena kini dapat restu dari gurunya. Ternyata antara Barna dan Anwar terlihat masalah pribadi. Mereka berdua mencintai Ratna Zullifah putri tunggal Kiyai Subekti Achmad dan Barna mengaku kalah dalam mendapatkan cinta Ratna yang lebih menyukai Anwar yang pendiam dan taat beribadah sesuai ajaran agama dibandingkan dengan dirinya yang bersifat berandalan dan selalu mengganggu anak gadis orang. Timbul rasa dendam yang membara dalam dirinya terhadap Anwar sehingga ia rela menjadi budak Sang Bergola Ijo. Sekarang saat balas dendam itu telah tiba!
Tiba-tiba Bergola Ijo menggeram keras memecah kesunyian dalam gua itu. Para pembantunya pun terperanjat. Keringat dingin mengucur membasahi kening mereka. Dalam hati mereka berdua menduga-duga tentu ada sesuatu yang membuat majikannya menggeram seperti itu.
Pasti menyangkut masalah penting. "Aku mau bertanya! Apakah kalian
tahu siapa pemuda yang menginap di masjid akhir-akhir ini? Apakah dia termasuk dalam kelompok musuh kita? Jawab! Kalian harus tahu bahwa dia bukan orang sembarangan, mengerti?!" bentak Bergola Ijo pada kedua pembantunya.
Sementara itu Parmin sendiri terkesiap ketika dirinya disebut.
"Pak Guru, aku mengenal semua orang yang tinggal di Gunung Sembung dan Gunung Jati ini. Kurasa ia hanya seorang musafir yang kebetulan singgah untuk berziarah ke makam Sunan Gunung Jati atau makam pemuka agama lainnya, guru! Sepertinya dia tidak mempunyai hubungan terhadap persoalan kita!" sahut Barna penuh keyakinan diri. Bergola Ijo percaya dengan keterangan yang diberikan oleh muridnya. Luapan amarahnya berangsurangsur mereda. Demikian juga dengan Parmin, ia merasa lega karena dirinya tidak dicurigai oleh Bergola Ijo dan para pengikutnya.
"Syukurlah jika demikian. Itu berarti dia tidak akan merepotkan kita!"
"Ya, gusti! Dan menurut perkiraan kami besok atau lusa dia sudah berlalu dari sini!" ujar Warto dengan wajah berseri-seri. Hatinya lega, karena ia kuatir bila Bergola Ijo murka terhadap mereka apabila hasil kerjanya tidak berhasil. Majikannya tak segan-segan membunuh orangnya sendiri bila mengecewakan.
Untuk sementara Parmin segera meninggalkan gua itu karena ia tidak ingin tertangkap basah pada saat ia sedang mengintai. Parmin kembali ke masjid untuk melepaskan lelah. Sampai di sana ia langsung menyandarkan tubuhnya pada salah satu pilar yang berdiri kokoh tepat di tengah-tengah ruangan masjid dengan santai. Sebagian tubuhnya terbungkus kain sarung karena udara malam mulai terasa menusuk sendi-sendi tulangnya. Pikirannya masih dipenuhi oleh peristiwa yang baru saja dialaminya. "Rencana Bergola Ijo itu bertentangan dengan tekad bangsaku! Maka merupakan tugasku untuk merintanginya. Tunggulah saat kehancuranmu!" ancam Parmin dalam hati. Satu tugas lagi harus diselesaikannya. Dan tak terasa tubuhnya melorot dari sandarannya karena tak kuat menahan rasa kantuk yang menyerang dirinya. Tak lama kemudian terdengar suara dengkuran halus Parmin yang sudah tertidur pulas.
***

Malam pun telah berganti pagi. Sang surya memancarkan sinarnya yang keperakan menerangi segenap alam raya. Kokok ayam terdengar riuh rendah menyambut datangnya pagi. Burungburung berkicauan memperebutkan makanan di atas sebuah pohon. Dari jauh bukit Gunung Jati dan Gunung Sembung terlihat berjajar sangat indah dengan gumpalan awan putih yang bergulung-gulung menyelimutinya. Daundaun padi bergerak melambai-lambai bagai tangan seorang penari mengikuti arah tiupan angin. Gemerisik suara air pancuran bambu yang jatuh memercik di atas batu menambah suasana pagi yang indah itu. Perlahan-lahan sang surya bergerak meninggi. Dari kejauhan terlihat seorang dara berjalan lemah gemulai dengan ayunan pinggulnya yang ramping sambil memegang sebuah bakul yang berisi makanan. Tubuhnya yang sintal berlapiskan kain kebaya bercorak kembang-kembang, berlenggak-lenggok dengan riangnya menelusuri pematang sawah. Jejak kakinya tak membekas pada pematang sawah yang baru saja selesai dibuat orang karena ia tak lain dan tak bukan adalah Ratna Zullifah putri tunggal Kiyai Subekti Achmad.
Ratna berjalan menghampiri seorang pemuda yang bertubuh tegap sedang mengayunkan cangkulnya di tengah sawah. Tubuhnya yang kekar berman-dikan keringat terlihat legam berkilat ditimpa sinar sang surya yang menye-ngat. Otot-otot tubuhnya menonjol gempal ketika ia menancapkan cangkulnya ke lumpur sawah dengan sepenuh tenaga. Pemuda tegap itu adalah Anwar kekasih Ratna.
Dan Ratna berjalan tenang sambil melantunkan sebuah nyanyian. Suaranya yang merdu menawan berkumandang dibawah desiran angin yang bertiup sepoi-sepoi di hamparan sawah.
"Burung elang terbang melayang, datang menyambar ayam gundul... tahukah kanda, adinda datang harap dikau meletakkan cangkul." Anwar yang sedang mencangkul itu tiba-tiba berhenti karena merasakan sesuatu yang merdu merasuk ke dalam telinganya. Ia berdiri tegak menoleh sambil menarik senyum dan ayunan cangkulnya berhenti di awang-awang.
Anwar lalu membalas nyanyian itu penuh ceria.
"Ayam putih dipatuk elang, elang mati terkena taji... kekasih hati sudahlah datang, kebetulan kakanda letih dan sunyi."
Kemudian ia meloncat ke pematang sawah dengan sigap. Ia segera mencuci tangan dan kakinya dengan air yang mengalir masuk ke dalam areal sawahnya. Lalu Anwar meraih cangkulnya yang tergeletak di tepi pematang dan tersenyum ceria menyambut kedantangan gadis si jantung hatinya.
"Ah, Ratna! Bisa saja kau membuat aku bertambah cinta kepadamu dan teruslah kau bernyanyi, sayang! Aku akan bertambah semangat mengayunkan cangkul bila kau sudi menemaniku di sini! Kebetulan aku sudah merasa lapar!" ujar Anwar menatap Ratna dalam-dalam yang telah berdiri di hadapannya dengan senyum termanis. Hari ini ia begitu cantik menawan mengenakan kain kebaya dengan rambut yang dibentuk membentuk sanggul. Hatinya bangga mempunyai gadis yang penuh perhatian kepadanya. Lalu Anwar menggandeng tangan Ratna dengan mesra berjalan ke sebuah pohon yang rindang untuk berteduh dan membuka isi bakul yang dibawa kekasihnya. Genggaman tangan keduanya erat sekali. Mereka duduk santai di atas rumput hijau yang terhampar di bawah pohon itu untuk menyantap makanan.
Sementara Ratna memijit mesra punggung tegap Anwar penuh kasih sayang. Sekali-sekali dicubitnya manja membuat Anwar menggelinjang kesakitan. "Aku tak ingin kau terlalu keras membanting tulang, Anwar! Kekayaan mudah dicari, tetapi aku kuatir kalaukalau kau jatuh sakit karena terlampau giat bekerja!" kata Ratna manja sambil membelai bahu kekasihnya dengan
lembut.
"Ah, itu tak jadi soal! Pokoknya asal ada kau yang setiap saat memijitku seperti ini!" sahutnya sambil mengaduk-aduk air teh dalam gelas keramik dengan sendok.
"Dasar kolokan, ih!" seru Ratna mencubit pinggang Anwar dengan gemas sehingga Anwar menggelinjang kegelian. Hampir-hampir menumpahkan isi gelas yang dipegangnya. Ia membalas mencubit pipi mulus milik kekasihnya dengan gemas pula. Ratna cemberut senang diperlakukan seperti itu. Dalam hatinya ia bahagia mempunyai kekasih seperti Anwar yang suka bercanda. Ratna lalu membelakangi Anwar sambil menekuk wajahnya.
"Aduh... jangan cemberut seperti itu, sayang." goda Anwar menatap wajah Ratna dalam-dalam. Ratna pura-pura bersungutsungut. Tapi tak lama kemudian mereka tertawa ceria berbarengan. Lalu Ratna duduk bersebelahan dengan Anwar bergelayut manja di bahunya. Sepertinya mereka tidak mau dipisahkan oleh siapapun. Dunia ini seolah-olah milik mereka berdua. Terasa hangat menjalar di bahu Anwar sesuatu yang menempel hangat dan lunak pada lengan kirinya. Sesuatu yang tumbuh sebagimana umumnya gadis yang sedang mekar. Seketika itu juga rasa lelah yang menghantui tubuhnya lenyap tak berbekas sama sekali.
"Ratna, semoga Allah memberkahi kita. Aku berjanji pada diriku sendiri bila panen nanti hasilnya memuaskan, aku akan datang melamar kepada ayahmu! Kita segera menikah, sayang!" bisik Anwar sambil mencium lembut kening Ratna.
"Oh, benarkah itu, Anwar!" tanya Ratna sengit. Anwar menganggukkan kepalanya. Sinar matanya terasa lembut merasuk dalam hati Ratna. "Aku sangat bahagia mendengarnya!"desah Ratna semakin bergelayut erat di bahu Anwar yang membelai-belai kedua pipinya. Kemudian mereka mulai menyantap makanan yang terdapat dalam bakul di hadapan mereka. Ratna sengaja memasak sayur asem kegemaran Anwar kekasihnya. Lauk ikan asin dan sambal terasi menyemarakkan hidangan mereka hari ini. Begitu nikmatnya mereka melaliap makanan sambil bercanda ria, sampaisampai mereka tak memperhatikan keadaan di sekelilingnya.
Tiba-tiba terdengar suara yang menggelegar membuyarkan suasana itu.
"Ya! Kau akan segera menikah di akhirat sana, Anwar!"
Anwar cepat menoleh mencari datangnya suara tak ramah itu. Terlihat dibelakang mereka berdua, tiga orang berdiri tegak berkacak pinggang menatap nanar kepadanya. Tiga orang itu adalah Barna, Warto dan seorang laki-laki berkepala botak dengan sepasang telinganya yang lebar. Di pergelangan tangannya terdapat gelang akar bahar. Demikian juga dengan pergelangan kakinya.
Anwar terperanjat sekali sehingga nasi yang berada di dalam mulutnya menyembur ke luar. Hatinya terbakar mendengar hinaan yang dilontarkan Barna.
"Ayo kita kepung! Cari tempat masing-masing kawan! Tapi awas jangan sampai melukai gadis itu!" teriak Barna keras sambil mencabut golok panjang yang terselip di pinggangnya. Sementara kawan-kawannya segera mengambil posisi mengurung lawannya dengan ketat.
Anwar segera meraih cangkul yang ia letakkan di dekat akar pohon-pohon itu yang menyembul ke luar dengan cepat. Sedangkan Ratna berdiri siap siaga. Matanya menatap Barna dengan penuh kebencian.
"Barna! Kau memang benar-benar manusia licik! Di mana letak kejantananmu sebagai laki-laki? Dasar anak dukun kafir!" maki Ratna dengan sengit.
"Diam!! Siapa suruh kau memilih calon suami kuli cangkul, hah! Harta bapakku cukup untuk dimakan sampai tujuh turunan!" sahut Barna menyombongkan diri. Matanya tak lepas menatap Ratna.
"Kau mengukur nilai seseorang begitu rendahnya! Tahukah kau, derajad manusia hanya dapat diukur dengan budi baiknya bukan dengan harta benda!" sambung Ratna lebih nyaring.
Mendapat jawaban yang terasa menusuk hatinya, seketika darah muda Barna mendidih naik ke ubun-ubunnya. Matanya merah saga. Nafasnya bergemuruh. Ia sakit hati dihina di depan banyak orang, terutama di hadapan Anwar saingannya.
"Persetan! Tidak ada lagi waktu buat main rayu-rayuan! Dan jangan kau mengajariku! Minggir kau!" bentak Barna menggelegar sambil mengibasngibaskan golok panjangnya yang teracung di atas kepalanya. Dengan satu teriakan yang melengking ia langsung menerjang Anwar dengan sepenuh tenaga. Anwar sudah siap mengayunkan cangkulnya menghadapi serangan mereka.
"Ciaaat...!" Anwar melejit ke atas menghindari sabetan senjata Barna yang rnenderu-deru seperti angin beliung mengarah perutnya dengan cepat. Melihat pemimpinnya mulai melakukan serangan, Warto dan si botak itu bersiap siaga sambil menghunuskan senjatanya masing-masing. Warto berdiri agak membungkuk sambil memutar-mutarkan sepasang trisulanya dengan cepat dan si botak mengayunkan senjatanya yang berbentuk seperti buah duren dengan tali rantai besi yang panjang menimbulkan suara desingan yang menyakitkan telinga.
Pada saat Anwar akan menjejakkan kakinya di tanah, kembali sabetan golok panjang Barna meluncur ke arahnya, maka terpaksa ia harus bersalto di udara dan langsung melayang menerjang lawannya tepat berada di depannya yang sedang menunggu. Tubuhnya dengan cepat meliuk-liuk dan membabatkan cangkulnya menghantam si botak yang tidak sempat mengelak dengan sekuat tenaga. Terdengar jeritan melengking membelah langit disusul dengan ambruknya tubuh pendek gemuk dengan punggung yang hampir terbelah dua menimbulkan suara yang keras bagai gunung runtuh. Si botak berkelejatan seperti seekor ayam yang dipotong kemudian meregang sejenak dan diam untauk selamalamanya. Darah segar berlumuran membasahi rumput di sekitarnya.
Barna menjadi kalap bukan main melihat temannya tewas secara niengerikan terkena babatan cangkul Anwar. Tanpa bicara lagi ia lantas merangsak Anwar dengan cepat sekali. Golok panjangnya berkelebat ke sana ke mari membentak sebuah gulungan seperti ombak yang datang menghantam karang di tepi pantai. Sinar kuning memantul akibat kelebatan senjatanya yang begitu cepat. Anwar meliuk-liukkan tubuhnya di udara sambil berusaha mencari kelemahan lawannya. Pertahanan Barna cukup ketat sehingga ayunan cangkulnya tidak dapat menembusnya. Anwar hanya dapat menghindar tanpa dapat membalas serangan lawannya yang bertubi-tubi. Dengan satu ayunan yang kuat, tiba-tiba cangkulnya beradu keras golok panjang Barna ketika keduanya meloncat secara bersamaan sehingga menimbulkan percikan api di udara. Anwar merasakan tangan kanannya kesemutan. Tenaga dalamnya kalah setingkat dibandingkan Barna.
Mereka berdua bertarung sudah menghabiskan sekitar tiga puluh jurus silat, tetapi keadaannya masih seimbang. Masing-masing saling mendesak dengan mengeluarkan semua ilmu kepandaian yang mereka dapat dari gurunya. Tapi itu tak berselang lama. Terlihat pertarungan itu mulai pincang. Anwar mulai kewalahan menghadapi serangan Barna yang semakin bertubi-tubi.
Sementara itu melihat kekasihnya terdesak, Ratna segera melompat untuk turut membantu. Tapi tiba-tiba ia hadang Warto yang menyeringai sinis sambil menyilangkan kedua trisula di dadanya. Giginya yang kehitam-hitaman terlihat menjijikan saat ia tertawa.
"Ha ha ha ha ha! Kau benar-benar bandel, Ratna! Jangan turut campur urusan laki-laki. Aku takut melukaimu!"
Ratna tak tahan lagi membendung amarahnya. Lalu dengan sigap ia meloncat menyerang Warto yang segera menggeser tubuhnya sedikit maka serangan Ratna hanya melukai tempat kosong dengan sia-sia. Gerakannya yang kurang terarah dan kurang lincah itu disebabkan karena ia mengenakan kain kebaya sebagaimana layaknya seorang wanita dalam keadaan sehari-hari. Ratna hanya mengandalkan jurus tengan kosongnya saja tanpa dapat melancarkan tendangan.
Warto cuma mengelak ke kanan dan ke kiri menghindari pukulan lawannya tanpa membalas serangan, karena ia memang ditugaskan agar tidak melukai Ratna.Sementara itu di luar dugaan, Barna melesat cepat melintas di atas kepala Anwar sambil membabatkan golok panjangnya hingga memutuskan gagang cangkul yang dipegangnya mencoba melindungi batang lehernya sendiri dengan cangkul itu. Seketika mata cangkul itu terpelanting jauh dari Anwar. Ia lalu melempar potongan gagang cangkul itu secara mendadak menghunjam ke arah Barna yang sudah berdiri siap menyabet punggungnya. Dengan satu gerakan yang manis Barna menyabetkan senjatanya untuk menangkis potongan gagang cangkul itu sehingga menjadi potongan-potongan pendek dan berpelantingan jatuh di atas tanah.
Anwar terpana melihat kehebatan permainan golok panjang milik Barna. Ia benar-benar terpaku. Melihat semua Barna itu barna segera mengambil kesempatan emas itu dengan satu gerakan cepat langsung meloncat menyerang Anwar secara mendadak.
"Nah, kini terimalah ajalmu, monyet sawah! Akhirnya kau akan tahu siapa aku ! Hiyaaat..!" teriakannya menggelegar merobek-robek udara. Golok panjang di tangan kanannya mengacung tinggi siap menebas kepala Anwar yang masih diam terpaku. Ia tak sempat lagi mengelak. Kedua kakinya seakan-akan tak dapat digerakkan untuk menghindar.
"Allahu Akbar!" ucapannya pasrah.
Di saat yang sama, Warto berhasil mendesak Ratna yang kelihatan tenaganya mulai mengendor. Ratna terdesak mundur ke belakang menuju sebuah pohon menghindari babatan sepasang trisula Warto yang bergerak sangat cepat. Dengan satu lontaran yang kuat, Warto meLempar trisulanya yang berada di tangan kanannya meluncur ke arah Ratna dan menancap pada kain kebayanya sehingga terpantek di batang pohon yang berada di belakangnya.
"Oh!" Ratna tak dapat bergerak. Tubuhnya terpaku ketat pada batang pohon itu dan Warto tertawa cengengesan melihatnya.
"Agaknya dengan cara ini aku bisa membuatmu diam. Tak usah kuatir Den Ayu, cuma baju kebayamu saja yang cacat!" ujar Warto setengah merayu sambil berkacak pinggang memperhatikan Ratna yang berusaha meronta-ronta melepaskan diri. Ternyata trisula itu menancap cukup dalam karena diluncurkan dengan tenaga dalam yang sangat kuat sehingga sulit bagi Ratna untuk membebaskan dirinya.
Pada detik yang sama Barna sedang melayang di udara lalu menukik siap menyambar Anwar seperti seekor burung elang yang sedang mengincar mangsanya. Dan pada detik-detik kritis itu, tibatiba sesosok bayangan berkelebat menyambar tangan Barna yang sedang mengayunkan senjatanya mengarah tempat di kepala Anwar.
"Auu....!" teriak Barna kesakitan. Golok panjangnya terpental jauh melejit ke udara lalu jatuh menancap di atas tanah. Sedangkan tubuhnya sendiri terjungkal beberapa meter ke belakang. Kemudian disusul dengan munculnya sesosok tubuh yang tak diketahui dari mana datangnya. Dengan sangat ringan, orang tersebut menapak di atas tanah langsung membentuk posisi siap-siaga menghadapi Barna yang terlentang sambil memegangi tangan kanannya yang biru bengkak akibat pukulan orang itu. Barna menatap nanar pada orang yang berdiri dihadapannya. Seluruh wajahnya merah padam menahan rasa sakit dan amarah yang bercampur jadi satu.
"Setan! Siapakah kau? Mengapa mencampuri urusan orang lain? Jawab!" hardik Barna sambil berusaha bangun dan pasang kuda-kuda. Sementara Anwar berdiri heran menyaksikan semua itu.
Ia segera tahu bahwa orang yang menolong dirinya tak lain adalah seorang pemuda yang turut shalat berjamaah di masjid Gunung Sembung. Ia tak menyangka sama sekali bahwa pemuda pendatang ini ternyata adalah seorang jago silat yang luar biasa. Apa yang dikatakan gurunya Kiyai Subekti memang benar.
Dan Parmin tersenyum menatap benar.
"Aku adalah seorang musafir pembela yang benar dan menumpas yang jahat!" sahut Parmin tenang.
Tapi matanya dapat menangkap sebuah serangan seseorang yang berada di belakangnya dengan sebuah senjata trisula yang terhunus siap menghunjam punggungnya. Tubuh Warto melayang mengancam punggung Parmin. Dengan satu gerakan yang memukau, Parmin membalikkan tubuhnya setengah jongkok lalu menjambret tubuh Warto dengan kuat.
"Ciaat!" kedua tangannya memanggul tubuh Warto yang berusaha merontaronta melepaskan diri. Sedangkan senjatanya hilang entah ke mana.
"Lihat, kawanmu ini bisanya cuma membokong lawan dari belakang dan tukang racun seperti pantasnya menjadi umpan buaya-buaya di sungai Pekik ini! Nah, pergilah ke sana!" teriak Parmin sambil melemparkan tubuh Warto ke dalam air sungai Pekik yang banyak dihuni buaya-buaya.
"Aaaa...!" teriak Warto menggema ke seluruh hamparan sawah. Tubuhnya melayang deras ke tengah-tengah sungai dengan posisi kepala berada di bawah.
"Tolooooong!" Warto melengking menyayat hati. Air sungai yang semula tenang, tiba-tiba menggelegak memercikkan airnya ke udara. Air sungai itu seketika berubah menjadi merah oleh darahnya sendiri. Tubuh Warto menggelepar-gelepar di bawah taring seekor buaya yang sedang kelaparan dan melahapnya dengan buas. Tangannya menggapai-gapai meminta pertolongan. Tubuhnya timbul tenggelam dipermainkan amukan buaya-buaya itu. Lalu tubuhnya hilang ke dalam air sungai Pekik meninggalkan gelembunggelembung buih di atasnya. Satu orang kaki tangan Bergola Ijo kini telah tewas menyusul temannya yang lainnya.
Ratna menutup wajahnya tak tahan menyaksikan peristiwa yang sangat mengerikan itu. Tubuhnya mengeluarkan keringat dingin. Anwar melihat itu langsung menghampirinya dan mencabut trisula yang memakai baju kebaya kekasihnya. Ratna lantas menjatuhkan kepalanya di dada bidang Anwar menumpahkan rasa takut yang menjalar dalam dirinya. Mereka saling berpelukan dengan erat.
Barna menyaksikan temannya tewas secara mengerikan, seketika darahnya mendidih deras. Ia menjadi kalap bukan main dan langsung menerjang Parmin secara membabi buta. Dengan mengandalkan pukulan tangan kosongnya Barna mencoba merangsak Parmin sekenanya, sehingga murid Ki Sapu Angin ini hanya dengan menggeser-geser tubuhnya mengelak dari serangan itu. Hawa nafsu membunuh yang menggebu-gebu telah menutup hati Barna sehingga setiap pukulan yang dilancarkannya selalu mengenai tempat kosong.
Pada satu kesempatan, tiba-tiba Barna menjatuhkan dirinya untuk meraih golok panjangnya yang tertancap di tanah tepat berada beberapa langkah didepannya.
Tetapi usaha itu kalah cepat karena Parmin sudah terlebih dahulu mengetahui siasat buruk itu. Maka dengan satu gerakan cepat tubuhnya meloncat dan menginjak tangan kanan Barna yang hendak menggapai senjatanya.
"Aaaaaow!" teriak Barna kesakitan. Tangan kanannya berderak remuk. Ia menggeliat-geliat di tanah menahan sakit yang luar biasa sambil mengurut tangannya. Sakit dan malu ia dipecundangi seperti itu, apalagi oleh orang yang tak dikenalnya sama sekali.
Parmin menyaksikan Barna sambil tetap berdiri siap siaga.
"Dosamu tidak terlalu besar untuk kutangani! Kau hanya diperbudak oleh rasa dendam cinta!" kata Parmin mengingatkan. Sebenarnya ia merasa kasihan melihat pemuda segagah Barna berbuat pengecut dalam persoalan cinta. Mungkin karena jiwa pemuda itu masih terlalu mentah dan kebetulan pula mendapat seorang guru seperti Bergola Ijo. Parmin tak perlu menyingkirkan Barna karena pemuda saingan Anwar ini tak terlibat dalam permasalahan yang dilakukan Bergola Ijo akhir-akhir ini.
"Pulanglah! Sampaikan kepada gurumu bahwa aku menunggunya di tepi sungai Pekik ini nanti malam! Jika dia benar-benar seorang jagoan, tentu akan datang menyambut tantanganku!" perintah Parmin.
Barna diam saja dan dengan perlahan-lahan ia beringsut sambil tetap memegangi tangan kanannya yang sudah lumpuh itu. Matanya menatap Parmin sejenak seakan-akan ingin menyatakan rasa terimakasih kepada Parmin yang membiarkan dirinya tetap hidup. Ia juga menoleh kepada Anwar yang berdiri di samping Ratna seperti ingin mengucapkan perasaan bersalah dan minta maaf. Namun kedua bibirnya terkatup rapat.
Tetapi mereka mengerti.
Kemudian Barna berjalan terseokseok sambil menundukkan kepalanya. Wajahnya merah padam menahan malu dipecundangi oleh seorang musafir apalagi di hadapan Ratna, gadis yang dicintainya selama ini.
Parmin memandangi punggung Barna sampai menghilang dari pandangannya. Ia bersyukur dalam hati dapat membuat Barna menyadari kekeliruannya. Lalu ia segera mendekati Anwar dan Ratna yang sedang bergandengan tangan dengan mesra. Sepasang merpati itu mengangguk hormat kepada pemuda pendatang yang telah menolong mereka.
Parmin mengembangkan senyumnya menyapa mereka.
"Assalamualaikum! Anda berdua baik-baik saja, bukan?"
"Waalaiukum salam! Kami mengucapkan banyak terima kasih atas keringanan tangan anda untuk menolong jiwa kami! Dan kami sangat mengagumi anda!" ucap Anwar dengan bahasa pujian.
"Ah, itu adalah kewajiban kita menolong sesama manusia! Secara kebetulan tadi aku lewat ke sini dan melihat anda berdua dalam keadaan terdesak oleh berandal-berandal itu!" sahut Parmin merendah. "Kami merasa senang jika anda sudi kiranya mampir ke pondok kami nanti!" sambung Anwar dengan penuh harap.
"Insya Allah! Dan terima kasih atas undangan anda kepada musafir yang hina seperti aku. Dan sudilah anda sampaikan salamku kepada Kiyai Subekti Achmad. Aku sangat mengagumi perjuangan beliau! Sampai jumpa lagi!" kata Parmin melesat hilang di balik semak-semak.
Dua sejoli itu saling berpandangan heran. Di dalam benak mereka penuh dengan berbagai macam pertanyaan. Pemuda pengembara yang selama ini tak menarik perhatiannya selama satu dua kali shalat berjamaah di masjid Gunung Sembung justru sekarang sudi mengulurkan tangannya dan berhasil menyelamatkan mereka berdua.
Siapa dia sebenarnya? Dengan ilmu setinggi itu siapakah gurunya? Untuk tujuan apakah dia mengembara sampai ke Gunung Sembung ini? Rasanya mustahil kalau dia cuma hendak berziarah ke makam Sunan Gunung Jati!
Mereka berdua diam sejenak.
"Eh, dia menantang guru si Barna! Mungkin dia sengaja datang dari jauh untuk menyelesaikan urusannya!" kata Ratna memecah suasana hening itu. "Hm...boleh jadi! Tetapi siapakah guru silat si Barna itu?" tanya Anwar sambil melemparkan pandangannya ke arah hamparan sawah-sawah di depannya. "Mungkin si Barna berguru di desa lain! Kalau dari permainan ilmu silatnya tadi, tentu gurunya sendiri bukan orang sembarangan! Setidaktidaknya ia setingkat dengan ayahmu, Ratna!" ujar Anwar membuyarkan lamunan Ratna yang diam terpaku. Agaknya ada sesuatu hal yang membuat kekasihnya melamun. Entah apa, Anwar sendiri tidak tahu. Ia lalu menatap mata
kekasihnya penuh selidik.
"Eh...iya! Tak kusangka dia menaruh dendam kepadamu, Anwar!" sahut Ratna berusaha menyembunyikan perasaannya itu. Perasaan seorang gadis yang tentunya bangga kalau dirinya sampai diperebutkan oleh pemuda-pemuda yang gagah.
Kemudian Anwar menggandeng tangan kekasihnya dengan mesra kembali ke tempat mereka tadi berteduh untuk meneruskan santapan siang. Tak terasa matahari sudah berada tepat di atas kepala mereka di tengah-tengah lengkungan langit. Sinarnya memancar sangat terik membuat tenggorokkan menjadi kering. Ratna membenahi sisa makanan ke dalam bakulnya untuk segera pulang. Ia ingin menceritakan seluruh kejadian tadi kepada ayahnya. Sedangkan Anwar kembali menceburkan diri ke tengah sawah melanjutkan pekerjaannya mencangkul sawah dengan penuh semangat sambil bersiul-siul kecil.
Sementara itu Parmin telah kembali ke masjid Gunung Sembung untuk beristirahat dan melaksanakan shalat zuhur. Sepanjang perjalanan, hatinya tergugah memikirkan kecantikan Ratna yang hampir mirip dengan raut wajah Roijah kekasihnya. Dari mulai rambutnya yang panjang hitam legam sampai bibirnya yang tipis merekah. Hanya ada perbedaannya tentu. Roijah adalah seorang gadis yang penuh kelembutan, sedangkan Ratna agak bersifat kelaki-lakian.
Ingatannya kembali melayang pada peristiwa-peristiwa lalu ketika saat pertama kali ia berjumpa dengan Roijah kekasihnya alias Si Bajing Ireng. Pada waktu itu ia menolong Roijah yang sedang terancam jiwanya di tangan pendekar botak yang berjulukan Dewa Suci Penyebar Bala. Pertemuan yang singkat itu ternyata membuat hatinya terpateri kepada anak gadis kepala desa Kandang Haur itu dan membuat dirinya tidak dapat mencintai gadis lain.
Parmin tersenyum-senyum sendirian. Karena terbuai oleh lamunan indahnya, tak terasa dirinya telah sampai di depan pintu gerbang masjid Gunung Sembung. Parmin tersentak kaget lalu segera bergegas menuju ke serambi masjid untuk mengambil air wudhu. Wajahnya terasa segar terkena siraman air yang memancur dari guci keramik itu. Pikirannya kembali menjadi jernih.
Di dalam shalatnya ia berdoa mohon petunjuk dan kekuatan kepada Allah untuk memusnahkan Sang Angkara Murka yang telah menyebarkan ajaranajaran kafir dan telah menimbulkan serangkaian pembunuhan di kawasan Gunung Sembung dan Gunung Jati. Dan seusai melalukan shalat zuhur, Parmin merebahkan dirinya beristirahat untuk memulihkan tenaganya dalam menghadapi pertarungan nanti malam.
***

Hari mulai malam. Bulan purnama memancarkan sinarnya yang keemasan menerangi seluruh jagat raya. Sinarnya memantul ke permukaan air sungai Pekik yang begitu tenang tak beriak, namun di balik ketenangan itu tersimpan sesuatu misteri. Desiran angin berhembus pelan membuat suasana malam itu semakin indah. Suara seranggaserangga malam berkumandang dengan riuhnya berbaur dengan suara nyanyian kodok-kodok sawah yang bersahutsahutan. Gemerisik batang-batang padi yang saling bergesekan di tiup angin yang kadang-kadang berhembus dengan kencang terdengar seperti iringan gamelan di malam hari.
Tiba-tiba suara riuh seranganserangan malam terhenti karena permukaan air sungai Pekik yang tadinya tenang menghanyutkan seketika beriak-riak. Terlihat menyembul berpuluh-puluh ekor buaya cukup besar, berjajar seperti potongan balok-balok kayu yang mengapung-apung di permukaan air. Hanya sepasang matanya saja yang memancarkan cahaya berwarna kuning terlihat jelas sehingga dari jauh seolah-olah berpuluh-puluh kunangkunang sedang beterbangan di permukaan air sungai Pekik. Pemandangan malam itu sesuai dengan satu bait syair lagu yang menyatakan "Terang bulan terang di kali, buaya timbul disangka mati." Buaya-buaya itu benar-benar sedang menikmati keindahan sinar bulan purnama yang memberikan rangsangan bagi mereka untuk melakukan perkawinan sehingga mereka berperilaku sangat ganas. Dan malam itu merupakan malam yang sangat indah bagi buaya-buaya penghuni sungai Pekik.
Sementara dari kejauhan terlihat sesosok tubuh berdiri tegak di tepian sungai Pekik memandang lepas ke permukaan air yang mengalir beriak-riak dihempas gerakan seekor buaya-buaya yang ada di dalamnya. Sebuah pohon yang besar dan rindang dengan batangnya menjorok ke tengah-tengah sungai itu melindungi dirinya dari pancaran bulan purnama. Ia adalah Parmin, seorang musafir pembela kebenaran dan keadilan.
"Aku telah menunggunya di sini sejak tadi! Tetapi belum juga tampak batang hidung manusia kafir itu! Kalau begitu ia memang benar-benar seorang pengecut yang hanya berani membunuh orang-orang dari belakang!" umpat Parmin dalam hati. Tetapi matanya tetap memantau seluruh penjuru di sekitar sungai Pekik itu.
Tak berapa lama kemudian, di sebe-ang sungai tempatnya berdiri terlihat kelebatan sebuah bayangan hijau dan langsung berpijak di atas tanah dengan mantap seperti sebuah meteor yang jatuh ke bumi. Biasan sinar hijau itu masih dapat terlihat walaupun sumber cahayanya sudah sampai di tanah menandakan ilmu meringankan tubuh yang dimiliki orang itu sudah sempurna.
"Nah, itulah dia! Dan kuharap ini adalah malam yang terakhir aku menginap di desa Gunung Sembung!" gumam Parmin menatap lurus-lurus ke seberang sungai Pekik di mana Sang Bergola Ijo berdiri tegak sambil berkacak pinggang. Tubuh orang itu terlihat dari jauh menyala-nyala seperti sebongkah bara api berwarna hijau.
Mereka berdua saling bertatapan tak bergerak sedikitpun. Keduanya masing-masing memusatkan pikiran dan tenaganya. Tercipta suasana yang hening tapi menegangkan. Masing-masing belum mau membuka serangan.
Tiba-tiba terdengar suara berat parau menggelegar merobek-robek kesunyian malam itu.
"Ha ha ha ha ha! Janganlah kau merasa bangga dapat mengalahkan muridku Barna yang tolol itu, hai monyet kecil! Aku telah bertualang ke seluruh benua Asia belum pernah kutemui manusia bermulut besar seperti kau!" teriak Bergola Ijo dengan lantang. Suaranya menggetarkan pohonpohon di sekitar tempat itu. Seketika juga suara nyanyian kodok-kodok di sawah terhenti. Daun-daun kering berguguran dari cabangnya tak sanggup menahan getaran yang ditimbulkan oleh suara itu.
Betapa dasyat tenaga dalam yang dimiliki Bergola Ijo. Gaungnya terasa menusuk-nusuk telinga Parmin. Tapi ia segera mengatur nafasnya dengan cepat meredam kekuatan gaung itu. Matanya terpejam dengan kedua telapak tangannya merapat keras di depan dada. Kepalanya agak tertunduk. Tak lama kemudian Parmin kembali berdiri tegak dan membuka matanya perlahan-lahan.
"Sejak lahir ke dunia akupun baru menemui seorang jin yang doyan makan nasi seperti manusia! Aku kagum dengan segala tipu muslihatmu sebagai seorang penjilat penjajah bangsaku, hai Tuhan gadung yang gundul!" ledek Parmin dengan sengit.
"Dan jangan kau coba-coba melawan kekuasaan Ilahi! Lawanlah aku, makhluknya terlebih dahulu!" lanjutnya menantang Bergola Ijo.
"Ha ha ha ha ha! Bacotmu ternyata sama lebarnya dengan moncong-moncong buaya ini! Dan tahukah kau, bahwa sebentar lagi buaya-buaya ini akan berpesta pora memperebutkan bangkaimu?" sahut Bergola Ijo menggelegar sambil menunjuk-nunjuk buaya-buaya yang tetap mengambang tenang hilir mudik berenang tanpa merasa terusik dengan kehadiran kedua pendekar yang saling melancarkan perang saraf dari tepi sungai yang berlawanan.
Parmin membalas ancaman lawannya dengan sindiran yang tajam.
"Bangkaiku atau bangkai busukmu?"
Seketika wajah Bergola Ijo berubah menjadi merah menyala, matanya nanar. Tangan kanannya yang bersenjatakan sebuah pengait bergetar hebat. Giginya yang besar-besar bergemeretuk keras. Dan secara tiba-tiba dengan satu teriakan yang melengking melumpuhkan urat-urat saraf dan memekakan telinga bagi yang mendengarnya, melompat ke tengahtengah sungai Pekik untuk menerjang Parmin. Tubuhnya besar dan tinggi itu meluncur cepat menggunakan punggung buaya-buaya itu sebagai batu-batu loncatan untuk menyeberang. Tangan kirinya menyiku di dada dan tangan kanannya yang bersenjata pengait mengacung tinggi siap merobek-robek tubuh lawannya.
Parmin menahan nafas siap dengan jurus silatnya.
Bergola Ijo membabatkan senjatanya sekuat tenaga ke arah leher Parmin yang secara bersamaan melenting ke atas untuk mengelak sehingga senjata Bergola Ijo hanya mengenai batang pohon di belakang Parmin dan merobek kulit batang pohon tersebut.
Parmin melejit sambil bersalto ke udara ke tengah-tengah sungai Pekik. Sebelum kakinya menginjak di punggung salah satu buaya Bergola Ijo kembali menyerangnya dengan ganas sambil mengayun-ayunkan senjatanya. Ia segera melesat lagi sambil mencabut goloknya yang terselip di pinggangnya untuk menangkis kilatan senjata lawannya yang bertubi-tubi mencerca tubuhnya.
"Trang!" terdengar suara nyaring berdenting dari dua buah senjata logam yang berisi dengan tenaga dalam masing-masing. Akibatnya mereka berdua terjungkal dan secara berbarengan membuat gerakan salto ke belakang mengimbangi tubuh agar tidak jatuh ke sungai kembali ke tempatnya semula berseberangan. Masing-masing menapakkan kakinya dengan menatap di tanah.
Bergola Ijo memasang jurusjurusnya lebih handal dan sementara Parmin di seberangnya sedang memasang kuda-kuda sambil memutar-mutarkan goloknya. Mereka menghimpun tenaga dalam. Lalu keduanya melesat bersamaan ke tengah-tengah dan seketika terjadi bentrokan di udara disusul dengan terdengarnya bunyi berdenting dua senjata tajam yang berbenturan menimbulkan percikan bunga-bunga api. Tubuh keduanya melesat ke belakang dan menjejakkan kakinya di atas punggung buaya. Dari sela bibir mereka meleleh darah segar. Tenaga dalam mereka ternyata setara.
Sementara dari jauh di balik semak-semak mengintai sepasang mata liar menyaksikan pertarungan itu. Berkali-kali ia berdecak kagum terhadap kedua pendekar itu. Sekalisekali ia meringis kesakitan karena udara yang bertiup malam itu sangat dingin menusuk-nusuk luka yang dideritanya. Pergelangan tangan kanannya terlihat di keremangan sinar bulan, agak kehitaman-hitaman seperti dilumuri oleh ramuan obat-obatan. Ia adalah Barna murid Sang Bergola Ijo.
Telah berpuluh-puluh jurus mereka sudah kerahkan dalam pertarungan itu tetapi masing-masing belum berhasil mendesak lawannya. Tubuh keduanya basah bermandikan keringat. Mereka masih seimbang.
Sekarang keduanya telah berdiri tegak berseberangan.
Bergola Ijo mengangkat senjata ke atas kepalanya perlahan-lahan sambil menggeram dengan tangan kirinya menyiku di depan dadanya. Sedangkan Parmin memusatkan pikirannya untuk mengerahkan jurus andalannya yakni jurus "Hening Cipta" dengan golok yang menyilang di dadanya. Matanya terpejam.
Sesaat kemudian mereka berdua melesat berbarengan ke tengah-tengah sungai dan bentrok di udara. Maka pada kesempatan itulah saat yang paling baik untuk membabatkan senjatanya masing-masing.
"Hiyaaat...!"
Teriak keduanya menggema ke seluruh tempat itu. Tiba-tiba terdengar jerit yang menyeramkan dari sosok tubuh tinggi besar berwarna hijau yang meluncur ke permukaan sungai Pekik.
"Aaaaaaa...!"
Air sungai Pekik memercik tinggi ke udara tatkala tubuh Bergola Ijo amblas ke dalamnya, yang langsung disambut oleh para penghuni sungai tersebut. Terdengar bunyi gemeretak taring-taring tajam buaya mencabikcabik tubuh itu dengan buas menimbulkan riakan air yang seketika menjadi merah. Dalam sekejap tubuh Bergola Ijo lenyap berkeping-keping masuk ke dalam perut buaya-buaya sungai Pekik yang selalu tidak pernah merasa kenyang.
Tak lama kemudian permukaan air sungai itu kembali tenang seperti sedia kala dan Parmin menjejakkan kakinya dengan mantap di tepi sungai sambil menyarungkan goloknya yang berlumuran darah Bergola Ijo. Rupanya pada saat keduanya perpapasan di udara tadi, golok Parmin terlebih dulu bersarang dan membabat perut Bergola Ijo hingga seluruh isi perutnya terburai keluar tanpa sempat mengadakan serangan balasan.
"Alhamdulillah! Akhirnya aku berhasil memusnahkan setan laknat itu!" ucap Parmin sambil mengusap wajahnya dengan kedua tangannya merasa bersyukur. Tiba-tiba ia tersentak kaget mendengar suara manusia berkata pelan memecah keheningan.
"Allahu Akbar! Tuhan telah menumpas orang-orang kafir dan murtad melalui perantara seorang musafir muda yang gagah perkasa. Kami mengucapkan syukur yang sebesar-besarnya kepadamu, ya Allah!! Amin Ya Robal Alamin!"
Parmin menoleh mencari datangnya suara itu.Ternyata di belakangnya telah berdiri Kiyai Subekti Achmad beserta para ulama lainnya yang menatapnya dengan penuh rasa kagum dan suka-cita. Wajah mereka penuh keceriaan. Kemudian Kiyai Subekti Achmad melangkah ke depan dan berdiri berhadapan dengan Parmin.
Sepasang bola matanya berkacakaca.
"Ternyata mata tuaku yang sudah rabun ini tak menduga adanya penipuan yang direncanakan untuk menghancurkan keyakinan terhadap ajaran Allah, yang terjadi di sekitarku! Kini kami tahu semua persoalan ini dan kami telah menyaksikan pertarungan dahsyat tadi! Kami sangat berterima kasih dan mengagumimu, pendekar muda!" kata Kiyai Subekti sambil memeluk tubuh Parmin erat-erat, Air matanya berlinang mengalir di pipinya dan jatuh menetes di bahu Parmin yang juga turut merasa haru. Kiyai Subekti lalu melepaskan pelukannya dan kembali menatap seluruh wajah Parmin dalam-dalam. Senyumnya mengembang sambil meremas bahu murid Ki Sapu Angin itu kuat-kuat. Parmin merasa risih di perlakukan terlalu istimewa oleh Kiyai Subekti Achmad, seorang ulama besar yang terkenal ke seluruh pelosok tanah Cirebon. Kemudian para ulama lainnya secara bergantian memeluk Parmin mengucapkan selamat dan turut berbangga atas kemenangan yang besar itu.
Sementara awan di langit mulai bergerak sehingga bulan tampak timbul tenggelam di angkasa. Disusul dengan tiupan angin yang berhembus kencang menyapu daerah itu seakan-akan turut mengucapkan selamat kepada Parmin dengan tertumpasnya Sang Angkara Murka.
Lalu mereka berjalan beriringan meninggalkan tempat itu menuju ke tempat kediaman Kiyai Subekti Achmad, sebuah madrasah yang telah kesohor di seluruh pelosok tanah Cirebon dan seantero tanah Pasundan. Hati mereka terasa lega karena salah satu rintangan yang menghalangi perjuangan agama Islam telah musnah.
Di lain tempat tak jauh dari tempat itu, muncul dari balik semaksemak seorang pemuda menatap mereka sampai menghilang di kegelapan malam. Perlahan-lahan Barna mengayunkan langkahnya menuju ketepi sungai Pekik. Ia berdiri tegak niemandang tempat di mana guru Bergola Ijo tewas di makan buaya-buaya sungai Pekik. matanya terus memandangi air sungai itu dengan nanar. Tak terasa air matanya meleleh jatuh menetes ke atas tanah. Ia merasa kehilangan orang yang membimbingnya hidup walaupun gurunya merupakan musuh bagi para ulama di daerah Gunung Sembung dan Gunung Jati.
Tubuhnya bergetar hebat. Di dalam hatinya mengalir darah dendam kepada Parmin. Ia bersumpah di depan sungai Pekik, pada suatu saat membalas sakit hati dan kematian gurunya terhadap murid Ki Sapu Angin. Dendam yang sangat besar yang tengah berkecamuk di dalam dirinya membuat rasa sakit di pergelangan tangan kanannya seketika hilang tak berbekas.
Setelah cukup lama Barna berdiam diri sambil memandang lepas ke tengahtengah sungai Pekik, perlahan-lahan langkahnya mengayun meninggalkan tempat itu pergi entah kemana. Seiring dengan suara adzan yang berkumandang dari masjid Gunung Sembung menggema ke seluruh pelosok.
Keesokkan harinya, Kiyai Subekti Achmad beserta para alim ulama lainnya dan sejumlah penduduk desa Gunung Sembung, mengadakan acara sederhana sebagai tanda syukur atas kemenangan umat Islam dalam menghadapi kekuatan Sang Kafir.
Di dalam ruangan madrasah ditengah-tengah mereka, terhidang nasi tumpeng lengkap dengan segala laukpauknya dan kue-kue khas daerah itu. Parmin duduk bersebelahan dengan Kiyai Subekti Achmad sebagai tamu terhormat. Sebenarnya ia malu diperlakukan seperti itu, tapi demi menghormati Kiyai Subekti terpaksa ia lakukan semua itu.
Tiba-tiba suasana dalam madrasah yang tadinya agak riuh, berubah menjadi hening ketika Kiyai Subekti Achmad terbatuk-batuk kecil untuk memulai acara tersebut.
"Kami sebagai orang tertua di Gunung Sembung ini menyatakan penghargaan setinggi-tingginya atas jasa-jasa anda sekalian dalam perjuangan agama Islam! Terutama kepada Parmin sebagai wakil dari kaum muda pendekar bangsa yang memiliki kewajiban dan tanggung jawab terhadap agama, bangsa dan tanah air tercinta! Maka dengan ini perkenankanlah kami memberikan gelar atau nama kependekaran baginya yakni JAKA SEMBUNG!" kata Kiyai Subekti Achmad penuh semangat.
Ia lalu memerintahkan seorang ulama untuk membawakan sebuah kotak kayu jati yang berukir ke hadapannya. Kiyai Subekti perlahan-lahan membuka kotak itu dan mengambil sebuah kalung yang terletak di dalamnya, lantas berdiri diikuti oleh para ulama lainnya dan sejumlah penduduk menyaksikan Kiyai Subekti yang tengah berhadapan dengan Parmin.
"Dan terimalah kalung yang bertuliskan kalimat syahadat ini sebagai tanda kenangan dari kami. Kalung ini adalah harta yang paling berharga yang kami punyai! Dahulu kalung ini adalah hadiah dari Sunan Gunung Jati kepada kakekku karena jasa beliau dalam penyebaran agama Islam!" kita Kiyai Subekti Achmad sambil menyematkan kalung itu di leher Parmin yang tak kuasa menolaknya.
Peristiwa itu terasa sangat sakral. Kemudian Kiyai Subekti memeluk Parmin erat-erat diikuti oleh para ulama lainnya yang hadir di sana. Dan acara selanjutnya ditutup dengan pembacaan doa oleh salah seorang ulama penuh kekusukan.
Selesai memanjatkan doa, secara serempak mereka menyantap hidangan yang tersedia sambil berbincangbincang penuh suka-cita. Suasana gembira menyelimuti madrasah Kiyai Subekti Achmad.
Dan pada hari itu juga rakyat desa Gunung Sembung mengantarkan kepergian Parmin yang sekarang bergelar Jaka Sembung dengan penuh keharuan yang mendalam. Mereka berbondong-bondong melepas Jaka Sembung sampai di perbatasan desa. Banyak di antara mereka yang mengucurkan air mata menghadapi perpisahan tersebut, tak terkecuali Ratna puteri tunggal Kiyai Subekti Achmad. Gadis pendekar yang cantik itu mengusap air matanya dengan sehelai sapu tangan. Sementara pemuda idamannya berdiri di sampingnya memandang kepergian Parmin sampai menghilang di balik pepohonan di kelokan jalan.
"Dia layak mendapat penghargaan dan nama julukan Jaka Sembung itu!" ujar Anwar memancing perasaan Ratna.
"Ya, dia seorang pemuda yang gagah perkasa. Kita sangat merasa kehilangan atas kepergiannya. Andai saja agak lebih lama dia menetap bersama kita..." jawab Ratna tertahan. "Kita...?" tukas Anwar dengan
nada agak cemburu.
Agaknya kehadiran Parmin, murid tunggal Ki Sapu Angin di Gunung Sembung, diam-diam membuat murid Kiyai Subekti itu merasa takut kekasihnya sampai jatuh hati.
"Ya, kita! Aku, kau dan seluruh masyarakat di daerah Gunung Jati dan Gunung Sembung ini!" jawab Ratna mengejutkan lamunan Anwar. "Bukan kau?" kembali Anwar bertanya karena penasaran.
"Heh, kau tak usah cemburu, sayang! Parmin bukan jenis pemuda mata keranjang yang tega merebut kekasih temannya sendiri dan kalau memang aku menyukai dia, aku juga tidak mau bertepuk sebelah tangan!" jawab Ratna menggoda.
Sementara Kiyai Subekti Achmad beserta para ulama lainnya telah kembali ke tempat tinggalnya masingmasing. Demikian juga dengan para penduduk desa Gunung Sembung. Anwar dan Ratna masih berdiri di antara orang-orang yang mulai melangkah pulang satu-persatu.
Agaknya perpisahan itu menimbulkan hikmah yang sangat besar di antara mereka.

S E L E S A I


INDEX JAKA SEMBUNG
Si Gila dari Muara Bondet --oo0oo-- Raja Rampok dari Lereng Ciremai

Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.