Life is journey not a destinantion ...

Mayat Hidup

INDEX AJI SAKA
57.Perguruan Kera Emas --oo0oo-- 59.Titipan Berdarah

AJI SAKA
DEWA ARAK
Penerbit Cintamedia, Jakarta

1

"Jangan...! Hentikan...!" Teriakan keras penuh kekhawatiran menguak keheningan malam yang menyelimuti persada ini. Suara itu beras al dari dalam sebu ah hutan.
Lebih tepatnya, dari salah satu pohon yang ada di seberang sana.
Keributan itu membuat beberapa ekor burung hantu yang hinggap di pohon berterbang an. Tampak seorang pemuda berpakai an ungu dan berambut putih keperakan terb aring di atas salah satu cabang pohon.
Sikap dan sepasang matanya yang terpejam menunjukkan pemuda itu tengah tertidur. Jelas, teriakan-teriakan itu keluar tanp a disadari. Pemuda berambut putih keperakan itu tengah b ermimpi! Dari tidurnya yang gelisah, agaknya mimpi pemuda itu kurang baik.
Semakin lama keadaan pemuda berambut putih keperakan semakin mengkhawatirk an. Seruan-seruan k ekhawatiran sen antiasa keluar dari mulutnya.
Sampai akhirnya, ketika mimpi itu mencapai puncaknya, pemuda berambut putih keperakan terb angun.
"Ahhh...! Kiranya aku bermimpi..." Pemuda itu mendesah penuh rasa syukur. Kemudian, duduk di cabang pohon dengan kedua kaki terjulur ke bawah. Kedua tangannya mengusap wajah y ang dibanjiri peluh-peluh seb esar j agung. Tampaknya mimpi yang dialaminya cukup mencek am jiwa. Kalau tidak, mustahil pemuda itu mengeluarkan peluh seperti itu. Sebab udara malam sangat dingin hingga menusuk tulang.
"Tapi, benarkah semua ini hanya bunga tidur saja"! Apakah ini bukan sebuah pert anda"! Kalau hany a mimpi biasa, mengapa terjadi berturut-turut dan dengan kejadian yang sama"!" Tanpa merubah sikap duduknya, pemuda berambut putih keperakan itu menggumam pelan.
Terbayang kembali di matanya mimpi yang selalu berulang menghias tidurnya. Seorang gadis cantik berpakaian putih tengah berjuang menghadapi maut. Gadis itu berusaha mempertahank an selembar nyawanya dari belitan seekor ular b esar, yang m elilit sekujur tubuhnya. Mulut ular itu hendak memangsa kep alanya! Di saat gadis berpakaian putih tengah berjuang tampak puluhan batang pedang meluncu r ke berb agai bagian tubuhnya. Pedang-p edang yang membuat pemuda berambut putih keperakan b ergidik ngeri. Senjata-s enjata tajam itu berwarna kemerahan sep erti besi dibakar.
Sementara itu, tepat di atas gadis berpakaian putih tampak seekor naga berwarn a merah meny ala. Naga merah itu berusaha menghambat luncuran pedang-p edang aneh itu. Beberapa kali, binatang raksasa itu berusah a memapaki serbu an ped ang. Tapi, tubuhnya selalu terpental ke atas seperti membentur sesuatu yang tidak nampak! Mimpi itulah yang dialami pemuda berambut putih keperakan! Dalam mimpi dilihatnya kepala gadis berpak aian putih masuk ke dalam mulut ular.
Tidak hanya itu. Pedang-pedang merah menyal a itu pun menembus sekujur tubuhnya. Anehnya, pada saat senjata tajam itu mengenai sasaran, naga merah yang besar itu sudah tidak ada lagi! "Melati...," ujar pemuda berambut putih keperakan tanpa menyembunyikan rasa khawarir.
"Apakah yang terjadi dengan dirimu"!" Memang, gadis berpak aian putih yang ad a di dalam mimpi itu bernama Melati. Sekarang, sudah dapat diterka siapa pemuda berambut putih keperakan. Ya! Dia adalah Arya Buana at au yang lebih dikenal dengan julukan Dewa Arak. Usai berkat a, Arya segera melompat turun......
Laksana d aun kering, Arya mend aratk an kedua kakiny a di tanah.
Tidak ada sedikit pun bunyi yang terdengar ketika pemuda itu hinggap.
"Rasanya ada kejadian yang membahayak an nyawamu, Melati. Aku yakin mimpi-mimpi yang kualami sebuah isyarat. Kalau tidak guruku, Ki Gering Langit, yang memberitahukannya. Tentu belatang raksasa di alam gaib. Mungkin kesimpulan yang kuambil tidak berlebihan," gumam Arya kembali.
Seketika Arya teringat akan kejadian yang dialaminya sebelum mimpi-mimpi buruk itu muncul. Hai-hal yang semula tidak terlalu dipedulikannya. Tapi sekarang, semua itu teringat kembali! Sebelum mimpi-mimpi buruk itu muncul, rasa gelisah selalu datang mendera batin Arya. Rasa gelisah yang tidak diketahui sebabnya. Perasaan itu muncul begitu saja.
Dan ketika Ary a memutar ben aknya untuk men cari seb ab, keterkejutanl ah yang diterima. Saat pemikirannya sampai pada Melati, rasa takut yang sangat langsung meny eruak ! Sayangny a, Dewa Arak tidak mempedulikannya.
Sikap tidak pedulinya terus berlanjut meski mimpi buruk mulai muncul. Pemuda berambut putih keperakan itu baru memperhatikan ketika mimpi itu berulang terusmenerus. Keyakinan Dewa Arak semakin men ebal ketika teringat dirinya memiliki indra keenam, naluri! Dia dapat merasak an adany a bah aya yang tengah mengancam. Hal itu didapatkan Dewa Arak secara tidak sengaja.
(Untuk lebih jelasnya, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode "Dalam Cengkeraman Biang Iblis" dan "Kemelut Rimba Hijau").
Yakin akan kesimpulan yang didapat, pemuda itu melesat meninggalkan hutan itu. Tanpa ragu-ragu seluruh ilmu meringankan tubuhnya dikerahkan. Seketika itu pula bentuk tubuhnya lenyap. Yang terlihat hanya sekelebatan bayang an ungu, melesat cepat menuju ke arah timur. Kalau saja ada penduduk desa yang melihatnya, tentu akan menyangka sosok bayangan itu hantu yang tengah berkeliaran mencari mangsa!

***

Siang itu cuaca ben ar-benar tidak menyen angkan. Matah ari yang berad a tepat di atas kepal a memancarkan sinarnya deng an garang.
Seakan-akan deng an sinarny a itu sang Surya hend ak melelehk an ap a saja yang ada di permukaan mayap ada.
Dalam cuaca sepanas itulah serombongan pasukan berkuda berp acu cepat meninggalkan Hutan Rajang. Derap langkah kaki kuda mengusik keheningan siang. Debu yang mengepul tinggi semakin menambah pengap udara siang yang sudah tidak menyenangkan.
Rombongan berkuda itu berjumlah sepuluh orang. Semuanya mengenak an serag am prajurit kerajaan. Hany a gadis cantik berambut panjang tergerai yang tidak mengenakanny a. Gadis itu berpakaian putih.
"Keyakinanku tidak melesat bukan, Gusti Ayu Melati"!" ujar lelaki setengah bay a yang b erkuda di seb elah gadis berpak aian putih. Mereka berdua berkud a paling depan.
"Aku tidak mengerti maksud ucapanmu, Paman Patih"!" tanya gadis brepak aian putih yang ternyata Melati. Seraya menolehkan kep ala dan menatap wajah seteng ah tua di sebelahnya.
"Mengenai keb erhasilan tugas ini, Gusti Ayu," jelas lelaki setengah baya. Ia ad alah patih Kerajaan Bojong Gading. Lelaki tua itu bernama Patih Rantaka.
Meskipun Patih Rantaka menghentikan ucap annya, Melati tidak menggunakan kes empatan itu untuk memberikan tanggapan. Bahkan dia malah berdiam diri, menunggu kelanjutan ucapan Patih Rantaka.
"Bukankah sejak semula sudah kukatakan bahwa dengan keberadaanmu di sini, Gusti Ayu, gerombolan pengacau itu akan dapat kita hancurk an. Kenyataan tidak melesat kan"!"lanjut Patih Rantaka.
"Hik hik hik...!" Melati tertawa untuk menutupi rasa b angga yang muncul di hati.
Dia tahu pujian itu dikeluarkan dengan tulus. Patih Rantaka, seperti juga prajurit Kerajaan Bojong Gading lainya, sangat meng aguruinya. Mereka yakin tidak ada lawan yang dapat menandingi putri angkat junjungan mereka.
"Kau bisa saja, Paman Patih," ucap Melati setelah berhasil menekan rasa banggany a.
"Kemenangan yang kudapat sebenarnya lebih pantas disebut kemujuran. Sebab lawan yang kuhadapi memiliki kepandaian di bawahku!" "Hik hik hik...! Kau benar, Melati! Dan s ekaranglah saatnya kau akan mendap at giliran sebagai orang yang dikalahkan ! Kau akan mampus di tanganku!" Sebuah suara keras menggem a ke seluruh tempat itu. Suara itu terdengar lebih dulu sebelum Patih Rantaka sempat menyambuti ucapan Melati.
Karuan saja kejadian yang tidak disangka-sangka itu sangat mengejutkan rombongan Keraj aan Bojong Gading. Tanpa diperintah lagi mereka langsung menyeb ar dan bersikap wasp ada. Bahkan...
Srattt, sing, singgg! Sinar-sinar terang berkilau an ketika prajurit-prajurit Kerajaan Bojong Gading menghunus senjata. Kemudian, menyilangkan di depan dada.
Sikap itu menunjukkan mereka telah siap untuk menghadapi segala kemungkinan yang terjadi.
Keterk ejutan yang sama pun melanda Melati dan Patih Rantaka.
Hanya saja Melati lebih dapat mengendalikan diri. Gadis itu tetap bersikap tenang. Namun sepasang m atanya dialihkan k e arah suara itu datang.
Sedangkan tanganny a diacungkan ke atas memberi isyarat pad a rombongan untuk menghentikan perjalanan.
Di depan Melati, hanya berjarak sekitar tiga tombak, berdiri sesosok tubuh ramping di atas sebuah cabang pohon yang menjorok ke jalan. Belum sempat gadis berpakaian putih itu memperhatikan lebih seksama, sosok ramping itu telah lebih dulu bertindak. Sosok itu melompat ke bawah seperti burung melayang turun.
Ringan tanpa suara sosok ramping itu mendaratkan kaki di tanah, tiga tombak di depan Melati. Melihat kejadian ini, Melati semakin meningkatkan kewaspadaan.
Dari pertunjukan yang dipamerkan sosok ramping, Melati dapat memperkirak an tingkat kepandaian lawan. Sungguh pun yang dipertunjukkan hanya ilmu meringankan tubuh, Melati tidak berani bertindak gegabah. tingkat ilmu meringankan tubuh sosok ramping itu amat tinggi.
Bukan tidak mungkin jika kepandaiannya pun luar biasa.
Memang, ada kemungkinan lain. Misalnya, sosok ramping itu hanya memiliki ilmu meringankan tubuh yang hebat. Tapi ilmu silatnya biasa saja.
Tapi, itu hanya kemungkinan kecil saja.. Namun yang pasti Melati tidak menjadi gentar. Gadis itu tetap tenang.
"Siapa kau, Ni"! Rasanya aku tidak pemah berurusan deng anmu.
Mengapa kau menghadang perjalanan kami"!" tanya Melati penuh wibawa.
Sikap seorang panglima kerajaan! Seraya mengajukan pert anyaan, Melati memperhatikan sosok yang berdiri di hadapannya. Barangkali saja dia bisa menemukan ciri-ci ri yang dapat membuatnya mengenali sosok itu.
Tapi usaha Melati sia-sia, Dia tidak dapat mengenalinya. Sosok ramping itu mengenakan penutup wajah. Selubung merah menyala yang hanya mempunyai dua buah lubang kecil untuk mata. Pakaian dengan warna yang sama membungkus tubuhnya yang ramping dan berisi. Potongan tubuh dan suarany a menyebabk an Melati dapat menduga sosok ramping itu adalah seorang wanita! "Mungkin kau tidak mengenalku, Melati. Tapi, aku cukup mengenalmu. Kurasa tanp a penjelas an lagi pun kau telah tahu mengap a aku menghadang perj alananmu," sambut wanita berpakai an merah dingin.
Melati menganggukkan k epala. Sepasang alisnya yang indah tampak berkerut. Dia merasa pernah mend engar suara itu. Tapi kapan dan di mana dia lupa.
"Maksud yang tidak baik bukan"!" sindir Melati seraya menyunggingkan senyum sinis.
"Tepat!" sambut wanita berpakai an merah tegas. Kep alanya dianggukkan.
"Lalu... alasannya"!" kejar Melati penasaran ingin tahu.
Wanita berpakaian merah tertawa mengejek.
"Sayang sekali, Melati. Aku ingin merahasiakan alasanny a kepad amu. Aku ingin kau mati tidak tenang. Mati penasaran! Hik hik hik...!" "Keparat!" maki Melati geram.
"Kaulah yang akan mampus di tanganku, Pengecut! Hih!" Dengan gerakan indah Melati melompat turun dari punggung kuda.
"Menyingkir dari sini, Cilik," ucap Melati. Ditepuknya dengan lembut punggung binatang tunggangannya.
Binatang itu tampak mengerti. Sambil mengeluarkan ringkikan pelan, kuda bertubuh kecil dengan bulu berwarna coklat itu membalikkan tubuh dan melangkah menjauhi majikannya. Tak aneh kalau Melati memberinya nama Cilik! Ternyata bukan hanya Cilik yang menjauhi tempat itu. Patih Rantaka dan semu a prajurit Kerajaan Bojong Gading pun menghindar. Kini tinggal Melati dan wanita berpakaian merah yang berada di tempat itu. Kedua wanita itu berhadapan dalam jarak tiga tombak.

***

Baik Melati maupun wanita berpakaian merah rupany a menyadari kalau lawan yang akan dihadapi memang tangguh. Keduanya bertindak hati-hati. Tidak ada satu pun yang berani melancarkan serang an lebih dulu.
Merek a saling menghampiri dengan sikap waspada.
Sebagai tokoh tingkat tinggi, Melati tahu melakukan penyerangan lebih dulu terhadap lawan yang memiliki kepandaian tinggi merupakan tindakan yang sangat merugikan. Setiap penyerang an berarti akan membuka celah-cel ah bagai lawan untuk serangan.
Tapi, setelah menunggu sekian lama tidak ada serangan dari wanita berpak aian merah, Melati kehilangan kesab aran.
"Haaat..!" Didahului teriakan keras yang membuat prajurit Keraj aan Bojong Gading dan Patih Rantaka menutup telinga, gadis berpakaian putih itu melancarkan serangan. Melati mengawali gebrakannya d engan sebuah tend angan kaki kanan lurus ke arah dada wanita berpak aian merah.
Wuttt! Deru angin keras membuat debu m engepul tinggi, mengiringi tibanya serangan itu. Dari sini dapat diketahui kekuatan serangan Melati.
Tendangan itu mampu menghancurkan pohon sebesar tiga pelukan orang dewasa! Wanita berpakaian merah pun menyadari kedahsyatan serangan lawan. Tapi dia tidak menjadi gentar. Wanita itu tetap berdiam diri di tempatnya. Tidak terlihat tanda-tanda akan meng elakkan serangan itu.
Baru ketika serangan menyamb ar dekat, wanita berpak aian merah mulai bertindak. Kaki kirinya dilangkahkan ke belakang. Sedang tangan kanannya memap aki serang an deng an sebuah tetak an ke arah perg elangan kaki Melati.
Takkk! Benturan keras dua tenaga dalam tinggi itu pun tidak bisa dielakkan lagi.
Akibatnya, mereka merasakan bagi an yang berbenturan tergetar hebat.
Meskipun demikian, Melati berada dalam kedudukan yang kurang menguntungkan. Sikap tangkisan wanita berpakaian merah membuat kaki Melati seperti dijadikan sasaran serangan.
Tapi Melati tidak mempedulikan rasa sakit yang melanda. Begitu serang annya dapat ditangkis, secepat itu pula serangan susulannya meluncur.
Dan itu dilakukan dengan kaki yang sama.
Wuttt! Dengan kecepatan seo rang ahli, Melati menarik kakinya sedikit.
Lalu diluncurkan kembali dalam sebuah tendangan miring ke arah leher.
Cepat bukan main tibanya serangan itu. Buru-buru wanita berpak aian merah melompat ke belakang dengan menjejakkan kaki.
Serangan Melati mengenai tempat kosong. Kaki gadis berpakaian putih itu menghantam beberapa jengkal di hadapan lawan.
Namun, Melati teryata sudah memperhitungkan hal itu. Maka begitu serangan susulannya gagal, kaki kirinya langsung dijejakkan.
"Hih!" Ketika tubuhnya berad a di udara, Melati mengibaskan kaki kirinya.
Itu dilakukannya sambil memutar tubuh! Wusss! Wajah wanita berpak aian merah seketika berub ah. Sungguh tidak disangkanya serang an Melati demikian bertubi-tubi dan susul-menyusul, sehingga tidak memberikannya kesempat an untuk memperbaiki kedudukan.
Yang lebih mengejutkan sasaran Melati kali ini adalah pelipisnya! Padahal bagian itu merupakan salah satu anggota tubuh manusia yang terlemah.
Jangankan terken a telak, terserempet saja sudah cukup untuk membuat nyawa melayang ke alam baka! Tapi, lagi-lagi wanita berpakaian m erah m ampu membuktikan kalau ia bukan orang sembarangan. Dalam keadaan yang agak terjepit seperti itu dia mampu melakukan tindakan penyelamatan. Wanita berpakaian merah segera menekuk lututnya. Dibentuknya kuda-kud a serendah mungkin.
Sehingga.... Wusss! Kibasan kaki Melati meny ambar lewat beb erap a jari di atas k epala wanita berpakai an merah. Saking kuatnya tenaga yang terkandung, pakaian wanita berpak aian merah sampai terkibar keras! Pada saat yang bersamaan dengan mendaratny a kedua kaki Melati di tanah, wanita berpakaian merah berh asil memperbaiki kedudukan. Tapi, Melati tidak mempedulikannya sama sekali. Serangan-s erang an kembali dilancark an.
Kali ini wanita berpakai an merah sudah siap ! Dia pun memberikan sambutan hangat. Tak pelak Iagi, pertarungan sengit pun berlangsung.

2

Pada jurus-jurus awal, Melati maupun wanita berpakai an merah belum mengeluarkan ilmu-ilmu andalan. Namun demikian, pertarungan sudah berlangsung dahsyat. Bunyi menderu, mencicit, mengaung menyemaraki jalannya pertarungan.
Bukan hanya itu saja. Tanah terbongkar di sana-sini, debu mengepul tinggi ke udara, dan daun-daun serta ranting berguguran dari pohonnya. Itu semua terjadi akibat serang an-serangan yang tidak menemui sasaran.
Karen a khawatir terk ena angin serang an yang nyasar itulah, Patih Rantaka dan prajurit Kerajaan Bojong Gading lebih menjauhi kancah pertarung an. Mereka semua tahu bahayany a. Jangankan terkena, terserempet angin serangan itu pun sudah cukup untuk membuat nyawa mereka terancam.
Rombongan Kerajaan Bojong Gading melangk ah mundur tanpa mengalihkan perhatian dari kan cah pertarung an. Seakan mereka khawatir jika berpaling sebentar saja pertarung an akan b erakhir tanp a sempat mereka lihat.
Akibatnya, mengedip pun sedapat mungkin tidak mereka lakukan.
Padahal, sekalipun mereka memusatkan perhatian boleh dibilang tak ada yang dap at merek a saksikan. Pertarung an berlangsung demikian cepat.
Tidak terlihat jelas orang-orang yang tengah bertarung.
Yang terlihat hanya dua sosok bayangan putih dan merah berkelebat cepat. Terkadang dua sosok bayang an itu terpisah. Tapi lebih sering mereka saling belit. Bila terpisah hanya berlangsung sekejap. Sesaat kemudian mereka telah saling belit kembali.
Hanya itulah yang disaksikan prajurit-prajurit Kerajaan Bojong Gading. Walaupun begitu mereka tetap menyaksikanny a dengan penuh perhatian. Meski mereka tidak melihat jelas. Tapi dari kelebatan sosok Melati dan wanita berpakaian merah yang berbed a, mereka dapat perkirakan keadaan yang tengah berlangsung.
Sampai saat ini rombongan Kerajaan Bojong Gading belum dapat meramalkan. Sulit untuk memperhatikan pihak yang berad a di atas angin.
Pertarungan masih berl angsung seimbang. Melati dan wanita berp akaian merah masih saling berusaha merobohkan lawan.
Kesimpulan yang diambil rombongan Kerajaan Bojong Gading memang tidak keliru. Pertarungan kedua wanita itu masih berlangsung seimbang.
Padahal, tiga puluh lima jurus telah berlalu.
Beberap a kali tangan atau kaki mereka berbenturan, hingga tubuh keduanya terg etar heb at. Bahkan terhuyung-huyung. Hal ini menandakan kekuatan tenag a dalam merek a memang berimbang.
Ketika pertarung an menginjak jurus kelima puluh satu, wanita berpak aian merah sudah tidak bisa menahan sabar lagi. Seraya menggertakk an gigi, dengan sebuah gerakan an ah tubuhnya dibanting ke tanah, kemudian menggelinding seperti bola.
Tentu saja Melati tidak membiarkan kesempatan baik itu. Buru-buru dikerjarny a tubuh yang tengah bergulingan itu. Lalu, tangan kanannya diayunkan ke arah kep ala. Tiba-tiba....
Singgg! Diiringi bunyi berdesing nyaring yang menyakitkan telinga dan kilauan sinar yang menyilaukan mat a, wanita berp akaian merah rneluncurk an pedangny a memapaki serangan Melati! Karuan saja Mel ati terkejut bukan main. Tangannya bisa putus bila berbenturan dengan p edang wanita berpak aian merah! Karen a itu, tanpa membuang-buang waktu Melati menarik pulang tangannya. Dibarengi dengan langk ah mundur kaki kirinya.
Wuttt! Tangan Melati selamat! Batang ped ang wanita b erp akaian merah membabat angin.
Tapi, rupanya wanita berpakaian merah tidak mempedulikan keberh asilan tangkisannya. Begitu dilihatnya Melati menghentikan serangan dan mundur, tubuhnya langsung dilentingkan. Sesaat kemudian, dia telah berdiri di atas kedua kakinya.
Pada saat yang b ersam aan, Melati mencabut pedangny a. Kini senjata itu disilangkannya di depan dada. Hal ini terpaksa dilakukan Melati karen a lawan telah menggunakan senjata. Gadis itu tidak mau bertangan kosong menghadapi orang selihai wanita berp akaian merah. Tanpa senjata saja wani ta itu sudah demikian lihai, apalagi dengan pedang di tangan. Sulit untuk dibayangkan! Dan Melati tidak perlu menunggu terlalu lama untuk membuktikan kebenaran dugaannya. Dengan diawali teriakan nyaring membahana, wanita berpak aian merah mulai melancarkan serangan.
Singgg! Wanita berpakai an merah membuk a seranganny a dengan tusukan lurus ke arah leher.
Wuttt! Ujung pedang wanita itu meluncur lewat beberapa jengkal di atas kepala begitu Melati merend ahkan tubuhnya. Tindakannya tidak terhenti sampai di situ. Sambil mengelak, pedangnya ditusukkan ke arah perut lawan.
Singgg! Cukup mengejutkan dan mendadak serangan balasan Melati. Tapi wanita berpak aian merah tidak menjadi gugup. Bergegas kakinya dijejakkan, sehingga tubuhnya melayang ke atas melewati kepala Melati. Dari sana, tusukannya dilancark an ke arah kuduk gadis berpak aian putih itu.
Sekarang Melati tidak mempunyai kesempat an untuk mengelak.
Andaikata dipaksakan pun akibatnya tidak kecil. Maka, menangkislah satu-satunya jalan. Dan tindakan itulah yang dilakukan Melati! Gadis berpak aian putih itu menangkis dengan cara meng ayunkan pedangnya ke b elakang. Tentu saja gerakan itu dilakukannya sambil membalikkan tubuh. Tranggg! Benturan dua batang senjata terdengar. Bunyinya keras bukan main.
Disertai berpercikanny a bunga-bung a api.
Dengan mantap wanita berp akaian merah mendaratkan kedua kakinya di tanah. Sementara Melati telah siaga. Malah, gadis berpakaian putih itu lebih dulu melancarkan serangan.
Pertarungan yang jauh lebih seru dan menarik pun terjadi. Melati mengamuk bagai harimau luka. Ilmu 'Pedang Seribu Naga' andalannya dikerahkan, sampai gerakan ped angnya menimbulkan bunyi menggerung keras.
Tapi, ternyata ilmu pedang wanita berpakaian merah tidak kalah hebat. Setiap serangan Melati mampu dipatahkan. Bahkan, serangan balasan yang tak kalah hebatnya dilancarkan wanita itu.
Gerak an pedang wanita berpak aian merah demikian cepat dan hampir tanpa suara. Mirip kilat. Tidak nampak akibat pada tempat yang dilewati, kecuali bila menghantam sasaran. Suatu kedahsyatan yang tersembunyi! Hanya orang yang berhadapan langsung yang dapat merasakan.
Tentu saja keadaan ini dialami Melati.
Karen a masing-masing memiliki ilmu pedang yang dahsyat, pertarung an jadi berlangsung seimbang. Sampai lebih dari delapan puluh jurus tidak terlihat tanda-tanda yang lebih unggul. Keduanya silih berganti melancarkan serangan.
Kead aan di sekitar p ertarungan sulit digambarkan. Angin serangan mereka membuat cabang-cab ang pohon putus dari batangnya.

***

"Haaat...!" Di jurus kesembilan puluh satu, wanita berpakaian merah melompat tinggi ke atas. Ketika telah mencapai ketinggian dua tombak, luncuran tubuhnya terhenti. Karena tenag a luncuran ke atas sudah tidak ada lagi. Saat itulah tubuhnya berbalik. Kini kepalanya di bawah dan kedua kakinya di atas.
Jari-jari kedua tanganny a disatukan sewaktu menggenggam pedang. Kedua tangan itu terjulur lurus ke bawah, sehingga kedudukan tubuh wanita berpakaian merah tegak lurus. Dalam kead aan s eperti itu tubuhnya meluncur k e arah Melati yang tepat berada di bawahny a. Yang menggiriskan hati, dalam keadaan demikian tubuhnya berpusing seperti gasing. Serangan wanita berpak aian merah itu lebih mirip dengan membor.
Melati terkejut bukan main. Disadarinya betapa berb ahaya serangan itu. Melati ingin mengelak. Tapi, ternyata tidak mampu! Sepertinya ada kekuatan tak nampak yang membuat tubuhnya terpaku. Gadis itu tidak mengerti mengapa ini bisa terjadi! Tapi sebagai pendekar y ang telah cukup lama merambah dunia persilatan, sebuah dugaan muncul dibenakny a. Apakah kead aan yang dialaminya ini disebabkan oleh serangan lawanny a" Seketika itu pula Melati teringat akan cerita Dewa Arak tentang ilmu-ilmu aneh dan menakjubkan di dunia persilatan. Di antaranya adalah ilmu yang membuat lawan tidak bergerak sewaktu serang an dilancark an.
Bahkan, tidak hanya membuat lawan meng alami kesukaran bergerak, tapi juga sulit bernapas. Dewa Arak sendiri pernah mengalaminya (Untuk lebih jelasnya silakan baca serial Dewa Arak dalam episode "Rahasia Syair Leluhur").
Melati tahu hanya ada satu jalan untuk menyelamatkan nyawanya.
Menangkis! Tanpa menunggu lebih lama Melati memutar pedangnya di atas kepala.
Bunyi menggerung keras seperti naga murka terdeng ar. Tanda-tanda Ilmu Pedang Seribu Naga! Cepat bukan main Melati memutar senjatanya. Hingga bentuk pedangnya lenyap. Yang terlihat hanya kilatan sinar berkilauan di atas kepala.
Trang, tranggg! Terdengar bunyi dahsyat ketika dua batang pedang berbenturan.
Tidak hanya sekali, tapi ber-kali-kali. Sebab, serangan pedang wanita berp akaian merah itu berputar! Hebatnya, meskipun Melati berhasil menangkis serangan, tapi luncuran pedang wanita berpak aian merah tidak berhenti sampai di situ.
Senjata itu terus meluncur. Dan...
Crattt! "Akh!" Melati menjerit tertahan ketika ujung pedang wanita berp akaian merah menggurat perg elang an tanganny a. Cukup dalam, sehingga darah merembes keluar dari bagian yang terluka.
Dan sebelum Melati sempat berbu at sesuatu, wanita berp akaian merah kembali melan cark an serangan. Itu dilakukannya ketika tubuhnya meluncur turun. Wanita itu mengayunkan kedua k akinya bersamaan.
Akibatnya.... Desss! "Hukh!" Keluhan tertah an kembali dilontarkan Melati. Kaki lawan mendarat telak di perutnya. Keras bu kan main, sehingga tubuh gadis berpakaian putih itu lerlempar ke bel akang. Pedangnya t erlep as dari gengg aman. Untungnya, di saat-saat terakhir Melati sempat mengerahk an tenaga d alam. Kalau tidak, di saat tubuhnya melayang tentu nyawanya pun melayang ke alam baka! Meskipun demikian, bukan berarti Melati tidak mengalami kejadian apa pun. Perutnya terasa sakit bukan main. Gadis berpakaian putih itu tampak sulit bemapas. Brukkk! Bunyi berdebuk keras terdengar ketika tubuh Melati membentur tanah, setelah melayang-lay ang beberap a tombak. Luka yang dideritanya membuat gadis itu tidak mampu mendarat dengan baik Melati menyeringai merasakan sakit yang mendera punggungnya ketika berbentu ran deng an tanah. Saat itulah, serangan susulan wanita berpakaian merah kembali meluruk. Pedang di tangannya terayun deras ke arah Melati.
"Terimalah kematianmu, Melati!" seru wanita berpakian merah keras penuh keyakin an. Tentu saja Melati tidak ingin kepalanya dipisahkan dari bad an.
Untuk menangkis adalah tidak mungkin. Hanya m engelak y ang dapat menyelamatkan selembar nyawanya. Tapi, elakan macam apa yang dapat dilakukan orang yang tel ah terluka sep erti Melati" Hanya ad a satu, bergulingan! Crakkk! Pedang wanita berpakaian merah amblas hampir setengahnya.
Pedang itu menghantam tanah ketika Melati telah lebih dulu menggulingkan tubuh sehingga tidak berada di tempatnya lagi.
"Keparat!" maki wanita berp akain merah geram melihat keg agalan serang annya.
Sambil menggertakkan gigi, dikejarny a Melati. Serangan -seranganny a pun menyusul datang.
Pemandangan yang agak an eh segera terlihat. Melati terus menggulingkan tubuh. Sementara wanita berp akai an merah meng ejarny a ke mana gadis berpak ain putih itu pergi, seraya menghujaninya dengan serang an-serangan ped ang. Memang, beberapa kali Melati berhasil mengelakkan serangan demi serang an. Tapi sampai beberapa lama gadis itu dapat bertahan"

***

Semua kejadian itu tidak lepas dari perhatian Patih Rantaka dan prajurit-prajurit Kerajaan Bojong Gading. Tapi, apa yang dapat mereka lakukan" Ikut terjun ke arena dan menolong Melati" Bagaimana mungkin" Kalau gadis berpak aian putih itu saja dapat dikalahkan, bagaimana merek a" Bukan hanya alasan itu yang membuat rombongan Kerajaan Bojong Gading memaksakan diri tidak memberikan pertolongan. Keyakian yang demikian terpatri bahwa putri junjungan mereka ini akan d apat mengat asi lawan, dan takut kena marah kalau mencoba memberikan pertolongan.
Memang, prajurit-prajurit Kerajaan Bojong Gading, apalagi pasukan khususnya, merupakan o rang-o rang yang sang at menjunjung tinggi kegagah an. Pantangan besar bagi mereka untuk melakukan peng eroyok an.
Apalagi, pertarungan Melati dan wanita berp akain merah berlangsung adil! Oleh karen a itu, Patih Rantaka dan semua prajurit Keiajaan Bojong Gading berdiam diri. Mereka hanya memperhatikan jalannya pertarungan dengan sorot mata cemas. Dalam hati mereka berharap Melati dapat mengat asi keadaan yang tidak menguntungkan itu. Tapi, harapan memang tidak selalu sesuai dengan kenyataan.
Bukkk! "Ahhh...!" Melati mengeluarkan jeritan kag et ketika tubuhnya membentur serang an pohon. Akibatnya, gulingan tubuhnya terhenti. Saat itulah serangan pedang wanita berp akaian merah meluncur ke arahnya! Bukan hanya Melati yang dilanda keterkejutaa Patih Rantaka dan prajurit Kerajaan Bojong Gading pun demikian. Tarikan wajah dan sorot mata mereka memancark an keterkejutan yang amat sangat, melihat bahaya maut tengah mengancam keselam atan putri junjungan mereka.
"Terimalah kematianmu, Melati!" seru wanita berpakaian merah keras, penuh keyakinan Crakkk! Pedang wanita berpakaian merah amblas hampir setengahnya.
Pedang itu menghantam tanah ketika Melati telah lebih dulu menggulingkan tubuh sehingga tidak berada di tempatnya lagi.
Saking kagetnya, tanpa sad ar mereka serempak m eluruk ke tempat Melati tergolek. Senjata-senj ata yang tergengg am di tangan telah siap diayunkan. Rombongan Kerajaan Bojong Gading ini lupa akan kegagahan.
Yang ada di benak mereka adalah menyelamatk an nyawa Melati. Orang yang mereka kagumi. Walaupun tindakan yang dilakukan rombongan Kerajaan Bojong Gading demikian cepat, rasanya tidak akan mungkin dapat menyelamatkan Melati.
Jarak mereka terlalu jauh.
Padahal, serangan wanita berp akain merah tebh hampir men capai sasaran. Hanya kejadian luar biasa yang dapat menyelamatkan nyawa putri angkat Raja Kerajaan Bojong Gading itu. Tapi, mungkinkah kejadian luar biasa itu akan terjadi secara kebetulan" Pada saat orang berad a di ambang maut" Ternyata kejadian itu memang bukan hal yang mustahil! Di saat-saat yang amat gawat itu melesat sesuatu yang berwarna gel ap! Wuttt! Takkk! "Akh...!" Wanita berpakaian merah menjerit kesakitan. Di saat itu pedangnya hampir memenggal kepala Melati, seleret benda berwarna gelap yang ternyata batu sebesar dua ibu jari menghantam belakang siku tangan kanannya.
Telak dan keras bukan main, hingga tangan itu langsung lumpuh! Pedang yang tergenggam itu terlepas dari pegang an dan jatuh ke tanah.
Cappp! Pedang itu menancap di tanah, beberapa rambut dari pinggang Melati. Untuk yang kesekian kalinya wanita berpakaian merah men emui kegagal an Bertepatan deng an lumpuhnya tangan kanan wanita berpakaian merah, dari tempat rombongan Kerajaan Bojong Gading melesat sesosok tubuh.
Gerakannya sangat cepat. Yang terlihat hanya sekelebat bayangan ungu dalam bentuk tidak jelas, melesat cepat menuju tempat Melati "Hup!" Tanpa menimbulkan bunyi sosok berpakaian ungu itu mendarat di depan Melati. Sosok itu berdiri membelakangi. Sehingga gadis berpakaian putih itu hanya dapat melihat bagian belakang tubuhnya. Punggung yang kekar dan dibanduli guci arak itu sangat dikenal Melati. Rambutnya yang panjang putih keperakan melambai -lambai ditiup angin Tapi, ternyata bukan hanya Melati yang mengenal sosok berpakaian ungu. Wanita berpakaian merah pun mengenalnya. Wanita itu mundur selangkah begitu melihat sosok berambut putih keperakan. Rasa k agetnya memang tidak bisa dilihat, karena wajahnya tertutup topeng. Namun, ini bisa diketahui dari ucapan-u cap annya.
"Dewa Arak..."! Kau... kau.... Mengapa ada di sini"!" ucap wanita berpak aian merah terb ata-b ata Sosok yang memang tidak lain Dewa Arak, yang mempunyai nama asli Arya Buana, tersenyum dingin. Ada ancaman mengerikan terk andung di sana.
Penyebabny a adal ah ketika melihat ny awa M elati hampir saja melayang.
Andaikata dia terlambat sesaat saja, mungkin nyawa gadis berpak aian pu tih itu sudah melayang ke alam baka! Kenyataan ini membuat Dewa Arak murka bukan main.
"Mengapa"! Kau kag et, Manusia Pengecut"! Sekarang, dengan adanya aku jangan harap dap at meneruskan k ekejianmu terhad ap Melati!" tandas Dewa Arak keras.
Wanita berpakain merah mengg eleng-g elengkan k epal a. Entah apa arti gelengannya. Sementara sepasang matanya berputar liar, seperti tengah mencari jalan untuk meloloskan diri.
Sambil terus bersikap demikian, kedua kakinya melangkah ke belakang. Tindakan yang dilakukannya menunjukkan wanita itu merasa gentar.
Dewa Arak menol eh sejen ak ke belak ang untuk melihat kead aan Melati. Hanya sekilas saja! Meskipun demikian, telah cukup bagi Dewa Arak untuk mengetahui keadaan kekasihnya. Kenyat aan yang didapatnya membuat pemuda itu semakin geram Arya tahu Melati mend erita luka yang cukup parah!

3

Kesempatan di saat Dewa Arak meng alihkan memperh atian pada Melati dipergunakan seb aik-baiknya oleh wanita berp akaian merah. Dengan bergeg as tubuhnya dibalikkan. Kemudian melesat cepat meninggalkan tempat itu. Tapi....
"Jangan harap dapat pergi begitu saja setelah melakukan kekejian ini!" Seraya meng eluark an perny ataan p enuh wibawa. Dewa Arak melesat mengejar wanita b erp akai an merah. Dan b egitu telah berada di belakangny a, pemuda berambut putih keperakan itu melompat ke atas melewati kepal a buruanny a. Dewa Arak b ersalto beb erapa kali seb elum mendarat dengan mantap beberap a tombak di depan wanita berpakaian merah.
"Menyingkir dari tempat itu, Dewa Arak! Atau... terpaksa aku akan menyerangmu...!" desis wanita berpakaian merah, tajam.
Dewa Arak mengernyitkan dahi. Pendekar muda itu tahu wanita berpak aian merah gelisah. Suaranya demikian jelas menyiratkan kegalauan peras aannya. Namun bukan hal itu yang membuat kernyitan di dahi Arya.
Bukan nada kegelisahanny a, melainkan....
"Siapa kau, Nisanak"! Cepat buka selubungmu. Aku yakin pemah mengenalmu.... Setidak-tidaknya suaramu pemah kudengar..." "Persetan dengan ucapanmu! Hih!" Usai berkata, wanita berpak aian merah melompat menerjang Dewa Arak deng an pukulan tangan kanan lurus ke arah dad a. Tahu kalau lawan yang dihadapi jauh lebih lihai dari Melati, wanita berpakaian merah mengarahk an seluruh tenaga dal amnya.
Wuttt! "Hm...!" Dewa Arak menggumam pelan melihat serangan lawan. Pemuda itu bersikap tenang. Tak dilakukan tindakan apa pun sampai serangan lawan menyambar dek at. Baru setelah itu ia bertindak cepat.
Dewa Arak menarik kaki kanannya ke bel akang seraya menggerakk an tangan kanan.
Wuttt! Kreppp! "Ihhh...!" Warrita berp akaian merah menj erit kaget. Tahu-tahu perg elangan tangan kanannya telah kena cek al. Gerakan Dewa Arak terlalu cepat untuk dihadapi. Sungguhpun demikian, wanita berpakaian merah bukan lawan yang dapat dipecundangi dengan mudah. Sebelum Dewa Arak sempat melancarkan serang an lanjutan, dengan sebuah gerakan aneh dari jurus 'Ular' pergelang an tangan kanan wanita itu diputar. Dan....
Plasss! Cekalan tangan Dewa Arak berh asil dipunahkan. Tindakannya ternyata tidak terhenti sampai di situ. Bersamaan dengan berhasil dibebaskan tangan kanannya, tangan kirinya menggedor dad a Dewa Arak! Prattt! Terdengar bunyi benturan keras ketika Dewa Arak memapaki dengan gerakan y ang sama! Dalam cekam an kemarahan y ang meluap melihat wanita berpak aian merah hampir saj a membunuh kekasihnya, Dewa Arak mengerahkan seluruh tenag a dalamnya pad a tangkisan itu.
Akibatnya menggiriskan. Tubuh wanita berp akaian merah terjengkang ke bel akang. Wanita itu merasakan sekujur tubuhnya lumpuh.
Terutama bagian yang berbenturan langsung. Kedua tangannya terasa sakit dan ngilu! Bahkan sukar untuk digerakkan.
Meskipun demikian, wanita berpak aian merah masih mampu mendarat deng an kedu a kaki lebih dulu. Malah dengan cara yang p atut diberikan acung an ibu jari. Wanita itu berhasil mendarat dengan mantap! Dewa Arak yang masih diamuk amarah tidak memberikan kesempatan sedikit pun pada lawan. Langsung saja serangan susulannya meluncur.
Pemuda berambut putih keperakan itu meluruk ke arah wanita berpak aian merah seraya mengirimkan serang an bertubi-tubi ke arah dada! Arya menggunak an ilmu 'Delapan Cara Menaklukan Harimau' ! Wanita berpakain merah terkejut melihat cepatnya serang an itu.
Padahal, dia baru saja berdiri tegak di tanah. Sudah tidak mungkin lagi untuk mengelak. Terpaksa dipapakiny a serang an itu. Meski kedua tangannya belum pulih seperti sedia kala.
Plak, plakkk, bukkk! "Hukh!" Rentetan kejadianny a demikian cep at. Memang, wanita berp akaian merah berh asil menangkis serangan Dewa Arak. Tapi hanya dua! Padahal, Dewa Arak mengirimkan serangan bertubi-tubi. Tak pelak lagi, serangan yang ketiga mendarat telak di dadanya.
Akibatnya, wanita berpakai an merah terhuyung ke belak ang. Bunyi menggelogok terdeng ar dari kerongkonganny a. Tampaknya, dia terluka dalam dan memuntahkan darah segar. Hanya saja tidak terlihat karena mulutnya tertutup selubung merah menyala.
Tapi kejadian selanjutnya menjadi bukti kalau wanita itu menderita luka tak ringan. Wanita berpakaian merah jatuh dan tidak bangkit lagi.
Bersamaan d engan rubuhnya wanita berp akaian merah, Dewa Arak menghentikan gerak annya. Ditatapnya tubuh yang tergolek di tanah itu sekilas.
Lalu langkahnya diayunkan menuju tempat Melati Tampak di sana Patih Rantaka dan prajurit-prajurit Kerajaan Bojong Gading tengah mengerumuni putri angkat raja Kerajaan Bojong Gading.
"Harap menyingkir sebentar. Biar kuperiksa luka-lukanya," ucap Arya pelan meminta perhatian.
Kerumunan prajurit itu pun langsung menyeruak memberi jalan.
Tanpa buang-buang waktu, pemuda berambut putih keperakan itu segera berjongkok dan memeriksa kead aan Melati Gadis berpak aian putih itu pingsan setelah melihat kehadiran Dewa Arak.
Agaknya, gadis itu tidak kuat menahan luka luka yang diderita.
"Bagaimana, Dewa Arak"!" Patih Rantaka yang sudah tidak sabar lagi segera mengajukan pertanyaan, ketika dilihatnya Dewa Arak tercenung setelah m emeriksa keadaan Melati.
"Dia selamat, Paman. Memang luka-lukanya parah. Tapi tidak sampai mencabut nyawany a," jawab Arya singkat.
Patih Rantaka mengangguk-angguk gembira. Gambaran peras aan yang sama tampak di wajah prajurit-p rajurit Kerajaan Bojong Gading.
Pemberitahuan Dewa Arak telah membuat mereka merasa lega. Melati selamat! "Untung kau datang tepat pada waktunya Dewa Arak," ucap Patih Rantaka.
"Kalau tidak... kami tentu akan kehilangan sekali..." Prajurit-prajurit Kerajaan Bojong Gading menganggukan kepal a, menyatakan persetujuannya at as ucapan patih Kerajaan Bojong Gading itu.
"Aku pun bersyukur, Paman." Hanya itu jawaban yang diberikan Arya. Patih Rantaka pun diam.
Lelaki tua itu tidak memberikan tangg apan lagi. Yang dilakukan h anya mengangguk-angguk an kepala. Karena Patih Rantaka tidak mengajukan pertanyaan lagi, Dewa Arak memberikan pengobatan terhad ap Melati.
Semua diperhatikan oleh rombongan Kerajaan Bojong Gading dengan hati penuh rasa syukur.

***

"Bagaimana kau tahu aku berad a di Hutan Hanjang, Kakang"!" Pertanyaan itu keluar dari mulut seorang gadis berpak ain putih.
Siapa lagi kalau bukan Mel ati" Gadis itu tengah duduk di atas punggung kuda yang melangkah pelan.
Seraya b ertany a Melati menoleh k e arah sosok yang berada di sebelahnya. Seorang pemud a berambut putih keperakan. Dewa Arak! Pemuda itu tidak menunggangi kuda, tapi berjalan kaki. Di belakang muda-mudi ini berjalan rombongan Kerajaan Bojong Gading. Berkuda paling depan adalah Patih Rantaka! Sementara itu, Dewa Arak tidak segera menjawab pertanyan Melati.
Pemuda itu termenung sebentar seperti tengah mencari jawaban.
"Tentu saja dari ayahmu, Melati," jawab Arya setengah menggoda.
"Maksudmu... Ayahanda Prabu Nalanda, Kakang"!" terka Melati memastikan.
Arya mengangguk memberik an tebakan kek asihnya.
"Jadi kau ke istana Bojong Gading lebih dulu?" kejar Melati lebih jauh.
Lagi-lagi pemuda berambut putih keperakan itu mengangguk.
"Kalau tidak ke san a, bagaimana mungkin aku dapat meng etahui kau dan pasukan mu berada di sini, Melati"!" Arya balas mengajukan pertanyaan.
Melati mengangguk-anggukan kep ala menyad ari keben aran ucapan Dewa Arak.
"Lalu..., mengapa kau mencariku, Kakang"!" tanya Melati, setelah tercenung ses aat lamanya.
"Barangk ali ada urusan yang sangat penting?" Dewa Arak mengangguk.
Melati langsung tercenung dan menarik tali kekang kudanya.
Hingga binatang itu menghentikan langkah. Karena Melati berkud a paling depan, Patih Rantaka dan prajurit-prajurit Kerajaan Bojong Gading pun terpaksa mengh entikan kuda mereka. Kal au tidak, kuda-kuda itu akan menabrak Melati dan Arya.
Setelah terdiam sesaat Melati kemudian menoleh ke belakang.
"Paman Patih....," sapa Melati lembut "Hamba, Gusti Ayu Melati," jawab Patih Rantaka cepat seraya memberi hormat "Tolong sampaikan pada Ayahand a Prabu aku tidak dapat kemb ali ke istana. Ada urusan yang amat penting. Bila urusan ini telah selesai aku akan ke istana," ujar Melati.
"Akan hamba sampaikan, Gusti Ayu Melati," sambut Patih Rantaka penuh hormat Ini salah satu sikap Melati yang amat dikagumi Patih Rantaka.
Meskipun mempunyai hak untuk memberikan perintah, gadis berpakaian putih itu selalu melakukannya dengan sopan.
"Terima kasih, Patih Rantaka," sambut Melati seraya tersenyum manis.
Tapi sebelum Patih Rantaka memberikan tanggapan, tiba-tiba Dewa Arak memberikan isyarat agar tidak ada seorang pun yang berbicara. Pemuda berambut putih keperakan itu mendengar sesu atu.
Maka tanpa membantah sedikit pun, Melati dan seluruh rombongan berdiam diri. Malah, tanpa sadar merek a menahan nap as.
"Kau benar, Kakang !" timpal Melati cepat "Ada bunyi benturan senjata." "Benar, Melati!" sambut Arya.
"Ada pertarung an yang tengah berlangsung. Dari bunyinya yang agak sam ar, agakny a jarakny a cukup jauh dari sini." "Bagaimana, Kakang"! Harusk ah kita ke sana?" "Benar, Melati," jawab Arya pasti.
"Barangkali saja ada orang yang membutuhkan pertolongan kita." Mendengar tanggapan Dewa Arak, tanpa menunggu lama Melati menghela tali kekang kudanya. Kuda coklat itu melesat cepat laksana kilat.
Meskipun lebih kecil dari kuda umumnya, binatang tunggangan Melati ini memiliki kecepatan lari y ang mengaguruk an dan k ekuatan b erpacu dalam jarak jauh.
Memang, terasa janggal bila dibandingkan dengan tubuhnya yang kecil.
Tapi betapapun cepatnya lari Cilik, Dewa Arak mampu mengimbangi. Hanya dalam beberapa kali lesatan pemud a berambut putih keperakan itu telah berhasil menjajari Cilik.
Cilik memang seekor kuda. Tapi kuda pilihan. Binatang tunggangan yang bertubuh kecil itu biasa berpacu. Karen a itu, begitu melihat Dewa Arak berada di sebelahnya, tanpa dipacu lagi oleh Melati dia segera menambah kecep atannya. Nalurinya membisikkan kalau dia harus berada di depan pemuda berambut putih keperakan itu.
Kali ini Cilik kecewa.
Meski seluruh kemampuan larinya dikeluarkan, tetap saja di a tiak mampu meninggalkan. Laksan a bayang an, pemuda beram but putih keperak an itu tetap berada di sebelah Cilik.
Sementara di belakang merek a, Patih Rantaka dan prajurit Kerajaan Bojong Gading memacu binatang tunggangannya. Itu dilakukan agar mereka tidak tertinggal jauh oleh Dewa Arak dan Melati! Sementara itu, Dewa Arak dan Melati tak perlu menunggu terlalu lama untuk mengetahui penyebab bunyi riuh rendah itu. Beberapa saat kemudian, tampak sepuluh tombak di hadapan mereka terp ampang sebuah pertarung an.
Alis sepasang pend ekar mud a itu berkerut. Mereka m elihat sebuah pertarung an yang sangat tidak adil. Seorang lelaki tinggi kurus yang sudah sangat tua diserang oleh dua orang lelaki muda kekar bersenj ata golok.
Tapi, rupanya kakek tinggi kurus itu bukan orang sembarangan.
Meskipun dikeroyok ia masih mampu melakukan perlawan an sengit.
Tongkat di tangannya beberapa kali berb enturan deng an golok-golok lawan, dalam upayanya untuk menyelamatkan selembar nyawa. Ternyata, bunyi benturan senjata inilah yang didengar oleh Dewa Arak! "Rasanya kak ek itu membutuhkan bantuan, Kakang," ucapa Mel ati tanpa mengendurk an lari binatang tunggangannya.
"Benar, Melati," jawab Dewa Arak. Suaranya terd engar biasa.
Tidak terengah-eng ah sep erti orang y ang berl ari cepat. Bahkan, tidak ada setitik peluh pun membasahi wajahnya.
"Kalau tidak, dia akan tewas di tangan lawan lawanny a." Melati mengangguk-angguk memben arkan pend apat Arya. Dan memang, perkiraan pemud a berambut putih keperak an itu tidak salah. Gadis itu pun dapat melihat keadaan kakek tinggi kurus sudah sangat mengkhawatirk an. Terlihat jelas kakek itu terdesak hebat Usia yang sudah tua membuat napas kakek tinggi kurus megap-meg ap seperti ikan dilemparkan k e darat. Padahal, pertarungan sepertinya bam berlangsung beberapa jurus. Bila pertarungan terus berlanjut, kakek tinggi kurus itu akan mati kehabisan napas.
Karen a melihat keadaan yang gawat itu, Dewa Arak tidak mau membuang-buang waktu. Kecepatan lariny a ditambah. Akibatnya, Cilik tertinggal.
"Hentikan!" Belum juga gema ucapan itu lenyap, tubuh Dewa Arak telah mendarat di tengah arena pertarung an. Pemuda berambut putih keperakan itu mendarat tepat di antara kedua belah pihak yang bertarung.
Tentu saja keberadaan Dewa Arak yang demikian mendadak mengejutkan mereka yang t engah bertarung. Terutama kedu a lalaki kek ar yang hampir saja berhasil mengirim nyawa kakek tinggi kurus ke alam baka, karen a kagetnya, gerak an merek a terhenti di udara.
"Siapa kau, Kisanak" Mengapa mencampuri urusan kami"!" tanya salah seorang, yang berkumis tebal.
"Tidak usah berbasa-b asi lagi, Kiwul! Bacok saja Habis perkara!" seru rekanny a, yang berdahi lebar. Terasa jelas nada ketidaksabaran di dalamnya. Tapi Ielaki berkumis tebal yang bernama Kiwul tidak menuruti seruan rekanny a. Sepasang matanya yang diarahkan pada Dewa Arak menuntut jawaban. Dan, harapan Kiwul memang terkabul.
"Aku Arya. Bukan maksudku mencampuri umsan kalian. Tapi, bagaimana mungkin aku berdiam diri melihat ketidakadilan di sini"!" "Berbuat ketidak adilan"!" Kiwul mengernyitkan d ahi.
"Tahukah kau masalah yang tengah kami hadapi, Arya"!" "Tidak," jawab Arya sejujurny a.
"Tapi, biar bagaimanapun aku tidak bisa membiarkan seorang kakek tua dikeroyok dua lelaki kekar!" Kiwul tersenyum pahit.
"Kuharg ai kegagahanmu, Arya. Tapi, asal kau tahu saja, kakek yang kau bela ini adalah seo rang penipu dan p embunuh! Dan orang yang telah menjadi korban ulahnya adalah guru kami. Beliau hampir tewas akibat tindakannya. Apakah kami diamkan saja perbuatanny a"!" Seketika itu juga Dewa Arak terdiam. Sungguh tidak disangkanya jawaban seperti itu yang akan diterimanya. Kepalanya segera ditolehkan ke belakang untuk menanyakan kebenaran ucapan Kiwul pada kakek tinggi kurus.
Mendadak....
"Mengapa kau masih saja membuang-buang waktu dengan percuma, Kiwul"!" Seraya mengeluarkan perny ataan itu, rekan Kiwul mengayunkan goloknya ke arah leher Dewa Arak! Wuttt! "Ganta!" Kiwul berseru kaget melihat tindakan Ganta. Apalagi, ketika menyadari dia tidak mempunyai kesempatan untuk mencegah. Hanya teriakan kaget yang dapat dikeluarkannya. Sementara itu golok Ganta terus meluncur deras menuju sasaran.
Dewa Arak ters enyum. Hanya dengan sekali lihat Arya tahu serang an yang dianggap Kiwul amat berbah aya tidak berarti sedikit pun baginya.
Memang, hanya deng an sekilas pemuda berambut pu tih keperakan itu bisa mengetahui kekuatan tenaga dalam lawan. Ternyata, tenaga yang menggerakk annya adalah tenag a dalam biasa-biasa saja! Tidak perlu dikhawatirkan.
Keren a itu, Dewa Arak berdi am diri di tempatnya. Tidak terlihat tanda-tand a dia akan menangkis atau mengelak. Karuan saja keny ataan itu membuat Kiwul semakin kelabakan.
Takkk! Bunyi berdetak keras terdengar. Mata golok Ganta membentur batang leher Dewa Arak, membuat kaget semua orang yang berada di situ.
Terutama Ganta. Golok itu membalik seperti menghantam gurupalan karet keras!

4

"Rupanya kau mempunyai kulit yang kebal, heh"! Sekarang, coba rasak an ini!" Ganta menusukkan goloknya ke mata Dewa Arak. Sungguh sebuah serang an berbah aya, karen a betapapun tingginya kepandai an seseorang tak akan mungkin dapat membuat mata menjadi kebal.
Karen a itu, Dewa Arak tidak bisa membiarkan serangan itu. Di samping karena d apat mengakib atkan sepas ang matany a menjadi buta, pemuda berambut putih keperakan itu pun ingin memberikan pel ajaran atas sikap keras kepala Gant a. Arya segera mengulurkan tanganny a.
Kreppp! Batang golok Ganta berhasil dicengkeram Dewa Arak. Lalu, sebelum Ganta menyad ari sepenuhny a, pemuda berambut putih keperakan itu telah menggerakkan jari-jarinya.
Takkk! Bunyi berdetak keras mengiringi patahny a batang golok Ganta.
Seketika, wajah Ielaki berdahi lebar itu nampak memucat. Kenyataan ini baru menyadark an dirinya kalau pemuda yang berdiri di hadapanny a itu memiliki kepandai an yang sangat tinggi.
Tanpa perlu dicegah lagi oleh Kiwul, Ganta menghentikan serangan dan melangkah mundur.
"Bagaimana" Puas"!" tanya Dewa Arak tanpa meng ejek. Sepasang matanya menatap tajam-t ajam. Tidak ada tanggapan sedikit pun dari Ganta dan Kiwul. Kejadian yang dilihat terlalu mengetjutkan, hingga membuat mereka terkesima.
"Sekarang, mungkin kalian bisa menjelaskan permas alahanny a.
Kalau tidak, apa pun yang terjadi aku akan membela kakek ini!" tandas Dewa Arak tegas. Kiwul dan Ganta saling berpandangan.
"Hhh...!" Kiwul menghela nafas panj ang. Rupanya, dia bermaksud memberitahukan sejel asnya masalah yang di hadapi.
"Kami berdua adalah murid Ki Aswatama..." Sampai di sini Kiwul menghentikan ucapannya. Ditatapnya Dewa Arak untuk melihat tanggapan pemud a berambut putih keperakan itu. Dia tahu nama gurunya cukup dikenal sampai ke beberapa des a, sebagai seorang guru silat yang jarang tandingannya.
Tapi Kiwul harus kecewa. Harapannya untuk melihat keterkejutan Dewa Arak pupus. Pemuda itu tidak tampak terk ejut. Memang, Dewa Arak tidak mengenal nama Ki Aswatama. Demikian pula dengan Melati yang berdiri di sebelah kakek tinggi kurus, di belakang Dewa Arak.
"Kami berdua dan guru tinggal di Desa Palung, " lanjut Kiwul.
"Beberap a hari yang lalu Ganta melihat seorang penduduk desa yang telah berusia lanjut dianiaya oleh tukang-tukang pukul Juragan Trestajumena Geni, orang kaya di Desa Palung dan desa-desa sekitarny a." "Dia seorang penindas penduduk!" selak Ganta begitu Kiwul menghentikan ceritany a untuk mengambil napas.
Kiwul mengangguk.
"Apa yang dikatakan Gan ta memang tidak salah. Tapi, Juragan Trestajumena Geni tidak bisa sepenuhnya disalahkan.
Para pen duduk desa yang teng ah dililit kesulitan datang padanya dan meminjam uang. Juragan Trestajumena Geni mem ang memberikanny a, tapi dengan perj anjian pengemb aliannya jauh lebih bes ar dari pinjaman. Dia mengenak an renten yang cukup besar. Jika penduduk tidak bisa segera mengembalikan, harta milik yang senilai pinjaman akan disita. Nah! Penduduk setengah tua itu disiksa karena dianggap melanggar pemjanjian.
Dia tidak mampu membayar hutangnya yang mencekik leher karena bunga yang terus berbunga." Kiwul menghentikan ceritanya. Ditelannya liur untuk membasahi tenggorokannya yang saat itu terasa kering.
"Rupanya, pinjaman yang harus dikembalikan petani tua itu amat besar. Karen a telah terlalu lama dan bunga itu beranak pinak. Sedang harta satu-satunya yang berh arg a hanya rumahny a. Maka rumah itulah yang disita oleh tukang-tukang pukul Juragan Trestajumena Geni. Lelaki tua itu menolak. Dan, tukang-tukang pukul itu pun menyiksanya ag ar dia mau meninggalkan rumah itu!" "Apa yang dikatak an Kiwul memang b enar!" Lagi-l agi Ganta menyela.
"Tapi, saat itu istri petani tua itu tengah sakit parah. Jangankan meninggalkan rumah, untuk bangkit saja sudah susah. Petani tua itu pun minta waktu, Tapi yang didapat malah siksaan. Karena tak tahan melihat kekejian itu, aku ikut campur! Akibatnya terjadi pertarungan."Aku terpaksa membantu Ganta. Karena jika hal itu tidak kulakukan, dia akan tewas di tangan tukang tukang pukul Juragan Trestajumena Geni yang cukup lihai dan berjumlah banyak," timpal Kiwul.
"Memang, dengan berdu a kami dapat mengusirnya! Mereka kabu r. Tapi masalahnya tidak berh enti sampai di situ. Besoknya mereka datang dalam jumlah yang lebih besar. Tanpa gentar kami menyambutnya." "Namun karena jumlah mereka terlalu besar, kami terdesak. Untung di saat terakhir, guru kami muncul dan membantu. Untuk yang kedua kalinya para tukang pukul Juragan Trestajumena Geni kami pukul mundur," Ganta yang menyambuti.
"Anehnya, beberapa hari setelah itu guru kami mendadak sakit. Kami panggil dia untuk mengobati guru!" Ganta menudingkan jari telunjuknya ke arah kakek tinggi kurus.
"Dia pun datang. Kemudian memeriksa luka guru kami. Tapi hasilnya, bukannya sembuh tapi malah bertambah parah. Guru kami lumpuh total setelah diperiksanya! Padah al, ia mengaku sebagai orang yang ahli mengobati berbagai macam luka. Tapi nyatanya"! Dia tidak lebih dari seorang penipu!" "Kalian sabh paham!" sergah kak ek tinggi kurus cepat.
"Semakin parahny a luka Ki Aswatama bukan karena aku salah mengobati. Tapi, atas perbuatan mereka juga!" Dewa Arak dan Melati terdiam mendengar bant ahan kakek tinggi kurus. Dalam cerita Ganta dan Kiwul, mereka tidak mendengar adanya orang yang melukai Ki Aswatama. Tapi, mengapa kakek tinggi kurus mengatakan semakin beratnya luka guru silat itu karena perbuatan seseo rang! Sebelum Dewa Arak atau Melati mengutarak an perasaan haranny a, kakek tinggi kurus telah melanjutkan ucapannya.
"Perlu kalian berdua ketahui, bukannya sombong kalau kukatakan luka-luka bagaiman apun dapat kusembuhkan. Banyak orang yang membuktikannya sendiri!" "Tapi kenyataannya"! Kau tidak bisa membuktikan bualanmu!" bantah Ganta dengan suara tinggi.
"Luka-luka yang diderita Ki Aswatama lain! Luka itu tidak terjadi secara wajar.
Dia telah menjadi korban ilmu hitam. Ilmu teluh. Tapi kalian tetap tidak percaya dan mengerti apalagi menuduhku penipu! Perlu kutegaskan sek ali lagi. Luka-luka bagaimanapun parahny a, aku yakin dapat menyembuhkannya. Tapi luka yang tidak wajar, bukan karena ilmu hitam!" Sekarang Dewa Arak sudah mengerti persoalan yang mereka hadapi. Itu hanya kesalahpahaman belak a. Memang, kalau menuruti perasaan pemuda berambut putih keperak an itu tidak percaya akan cerita kakek tinggi kurus. Tapi kenyataan telah mengajarkan pad anya bahwa hal-hal mistik itu bisa saja terjadi! Banyak hal yang tidak dapat diterima oleh akal manusia.
Namun, toh itu terjadi. Maka meskipun agak ragu Dewa Arak memutuskan untuk membantu kakek tinggi kurus. Pemuda berambut putih keperak an itu mencoba mempercay ai cerita itu.
"Tenang." Dewa Arak mengangkat tangannya ke atas, mencegah pecahny a pertamngan akibat suasana yang mulai memanas.
"Tidak ada perso alan yang selesai bila perasaan diletakk an di depan!" Rupanya, ucapan Dewa Arak membuat Ganta dan Kiwul serta kakek tinggi kurus sadar. Mereka terlihat menahan diri. Tidak menuruti nafsu amarah sep erti sebelumnya.

***

"Mengapa kau bisa mengajukan dugaan kalau Ki Aswatama terkena ilmu hitam" Dari mana kau meng etahuinya?" tanya Dewa Arak pada k akek tinggi kurus. Kakek itu menatap wajah Dewa Arak penuh selidik.
"Karena aku melihat tanda-tandany a." "Bisa beritahukan tand a-tand a yang kau mak sudk an, Ki Aswatama?" desak Dewa Arak.
"Tidak, Anak Muda," jawab kakek tinggi kurus seraya menggelengkan kep ala.
"Sebab, sulit untuk dikatakan. Hanya yang perlu kau ketahui, aku pun sedih melihat nasib Ki Aswatama. Tapi apa daya" Aku tidak mampu menolongnya. Meskipun tahu penyebabnya. Apabila kupaksakan untuk menolong, pengirim ilmu hitam itu akan murka. Aku pun akan dikirimkannya ilmu hitam!" "Sekarang p ersoalanny a telah jelas," ucap Dewa Arak ten ang.
"Sebuah kesalahpah aman telah terjadi. Dan...." "Masalahnya belum selesai, Kisanak!" sergah Ganta penasaran.
"Dia belum menjelaskan mengapa luka guru bertambah parah sewaktu selesai diperiksanya!" "Itu hanya sebuah kebetulan Ganta! Aku yang sial. Di saat aku selesai memeriksa, pengirim ilmu hitam itu mengirimkan serangan yang lebih kuat" Kali ini Dewa Arak mengangguk. Disadarinya kemungkinan besar ucapan k akek tinggi kurus itu benar. Arya cukup bany ak mengetahui mengenai ilmu-ilmu aneh yang terkadang tidak masuk akal.
"Menurutku, ucapan itu ada benarnya. Kalau boleh kuusulkan, daripada k alian bersusah pay ah memburu kakek ini lebih baik urus dan rawatlah guru kalian. Atau salah seorang di antara kalian merawatnya, dan seorang lagi mencari ahli obat dapat menyembuhkan penyakitnya." Ganta dan Kiwul berpandangan. Usul Dewa Arak ada benarny a.
Saat itu guru mereka yang tengah sakit keras dan pasti membutuhkan seseorang.
Mengap a merek a malah meninggalkannya" "Terima kasih atas usulanmu, Arya," ucap Kiwul seraya tersenyum.
"Saranmu benar-ben ar tepat. Aku khilaf." Kemudian Kiwul membalikkan tubuh, dan melesat meninggalkan tempat itu diikuti oleh Ganta. Lelaki berdahi lebar itu tidak mengucapkan terima kasih. Yang dilakukannya hanya menganggukk an kepala. Itu pun sekilas saja.
Dewa Arak, Melati, dan kakek tinggi kurus memandangi kepergian Ganta dan Kiwul hingga tubuh mereka lenyap di kejauhan.
"Terima kasih atas bantuanmu, Arya. Kalau tidak ad a dirimu mungkin aku telah menjadi mayat," ucap kakek tinggi kurus penuh rasa syukur.
"Lupakanlah, Ki. Bukankah orang hidup memang harus saling tolong-menolong"!" bantah Dewa Arak halus.
"Lalu.... Sekarang ke mana tujuanmu, Ki?" tanya Melati yang sejak tadi berdiam diri.
"Tentu saja kembali, Nisanak. Tempat tinggalku tak jauh dari sini.
Apakah kalian ingin singgah"!" "Terima kasih. Sayang, kami masih mempunyai urusan penting lainnya. Kami tengah terburu-buru. Tapi, percayalah. Kelak bila ada waktu senggang kami akan singgah di tempatmu. Selamat tinggal, Ki!" Usai berkata, Dewa Arak melesat meninggalkan tempat itu.
Tindakan pemuda berambut putih keperakan itu segera diikuti Melati. Sesaat kemudian, sepasang muda-mudi berwaj ah elok itu telah melesat jauh. Sosok tubuh mereka semakin mengecil dan akhirnya lenyap ditelan kejauh an.
"Hhh...!" Setelah menghembuskan nap as berat, kakek tinggi kurus meninggalkan tempat itu pula. Dia kembali menuju tempat tinggalnya.
Sekejap kemudian, suasan a di sekitar tempat itu menjadi hening.
Tidak ada lagi bunyi benturan senjata atau teriak an keras membahana. Yang tersisa hanya kesunyian.

***

"Akh!" Jerit tertahan bernada kesakitan itu keluar dari mulut Melati.
Tubuhnya terhuyung-huyung ke depan. Kalau Dewa Arak yang b erlari di sebelahnya tidak seg era mengulu rkan tangan men angkap bahuny a, gadis berpak ain putih itu pasti jatuh terjerembab di tanah! "Apa yang terjadi, Melati?" tanya Dewa Arak. Rasa k aget dan khawatir membias di wajahnya. Pemuda berambut putih keperakan itu menatap wajah Melati penuh selidik. Rasa kaget yang melandanya semakin besar. Wajah gadis itu tampak pucat pasi. Butir-butir keringat sebesar biji jagung membanjiri wajahnya.
"Aku juga tidak mengerti, Kakang," jawab Melati deng an bibir menyeringai kesakitan.
"Tahu-tahu saja paha kananku terasa sakit bukan main. Seperti..., ada sebatang tombak yang menusuk di sana." Dewa Arak mengarahk an tatapan ke arah paha Melati. Tapi, tidak dijumpai tanda-tanda seperti yang dimaksud. Paha Melati masih seperti biasa.
Tidak terlihat bekas tusukan tombak! Hal itu membuat Dewa Arak bertanya-tanya dal am hati.
"Apakah Melati tidak keliru" Dan rasa seperti yang dikatakannya tidak pernah ada" Tapi, kalau tidak, mengapa tiba-tiba tubuh gadis itu tersungkur" Tak mungkin dia tersandung kerikil! Lalu, apa sebenarnya yang telah terjadi?" "Sekarang, coba kau berdiri tegak kembali," ujar Dewa Arak setelah beberapa saat termenung Pemuda itu kemudian melepaskan peganganny a. Tubuh gadis berpak aian putih itu tidak dipapahnya lagi.
Tanpa banyak membantah, Melati melaksanakan perintah kekasihnya. Memang, semula dia berdiri dengan bertumpu pada kaki kiri.
Tapi baru saja kaki kanannya diluruskan Melati memekik kesakitan. Dengan segera kedudukannya dikembalikan sep erti semula, berdiri pada kaki kiri.
Dewa Arak kaget bukan main melihat kenyataan ini. Dengan jelas dilihatnya kaki kanan Melati tidak bisa lurus. Seperti ada s esuatu yang mengganjal di sana. Padahal, tidak terlihat sesuatu pun di kaki gadis berpak aian putih itu.
"Mengapa, Melati?" tanya Arya cemas seraya memegang bahu gadis itu untuk membantunya berdiri.
"Aku tidak tahu, Kakang," keluh Melati.
"Seperti ada sesuatu yang menancap di paha kananku hingga tembus!" "Hhh...!" Dewa Arak menghembusk an napas berat. Dia sedikit pun tidak mengerti kejadian yang tengah menimpa kekasihnya. Benaknya diputar untuk mencari jawaban. Tapi, tetap tidak diketemukannya.
Tiba-tiba pemuda berambut putih keperakan itu teringat akan mimpi-mimpi buruk yang masih menganggu tidurnya. Perasaan gelisah akan keselamatan Melati pun melanda hatinya. Betapapun telah diusahakan untuk menghilangkan peras aan itu, tetap saja dia tidak mampu.
Memang, ada perbedaan antara mimpi-mimpinya. Dalam mimpinya tubuh gadis berpakai an putih itu dililit ular besar yang siap m elahap kepalany a. Sementara serbuan pedang -pedang merah menyala meluncur datang. Tapi, mimpimimpi yang belakangan ini menghias tidurnya tidak lagi disertai ular besar.
Ingatan itu membuat Dewa Arak tersent ak. Mengapa sejak bertemu Melati ada pengurangan dalam rnimpinya" Pemuda berambut putih keperakan itu segera menyadari adanya kemungkinan lain di sini. Disadarinya mimpi yang dialaminya bukan sekadar bunga tidur.
Memang, setelah beberapa k ali belalang raks asa masuk ke dalam dirinya, Dewa Arak meras akan perub ahan. Ia dapat meras akan keb erad aan seseorang di sekitarnya, adany a bah aya y ang mengan cam, dan sedikit mengerti bahasa binatang.
Karen a kesad aran ak an perub ahan dalam dirinya dan kejadian yang sekarang dialami Melati serta teringat kembali akan pengurangan rnimpinya, Dewa Arak mulai mengambil kesimpulan. Bukan tidak mungkin mimpi-mimpi itu merupakan firasat yang didapatnya berkat belalang raksasa di alam gaib. Sejak semula Dewa Arak memang sudah menduga mimpi-rnimpi itu bukan sekedar bunga tidur. Tapi, kejaidan yang menimpa Melati menjadikannya berpikir lebih sungguh-sungguh. Pemuda itu memutar otaknya lebih keras. Sesaat kemudian, Arya telah dap at menemukan kesimpulannya. Kini, Dewa Arak dapat memperhatikan kalau ular dan pedang-p edang yang tertuju ke arah Melati di dalam mimpi itu, dalam kenyataan sebenarnya ad alah bah aya-b ahay a yang tengah meng ancam gadis itu. Mengenai tidak adanya lagi ular yang membelit Melati, menjadi pertanda kalau satu bahaya telah terlewati. Kalau begitu bahaya pertama adalah wanita berpak aian merah !

***

"Apa yang harus kulakukan sek arang, Kakang?" tanya Mel ati bingung.
Pertanyaan itu membuat Dewa Arak sad ar dari lamunanny a.
Perhatiannya dialihkan pada gadis berp akaian putih.
"Aku sendiri masih bingung, Melati. Lebih baik kau periksa tempat yang terasa sakit. Barangkali saja ada tanda-t anda yang mencu rigakan...." Wajah pucat Melati langsung memerah. Memeriksa bagian yang terasa sakit sama saja dengan melucuti celananya. Bagaimana mungkin hal itu di lakukan. Meskipun Dewa Arak kekasihnya, rasa malu terhadap pemuda berambut putih keperakan itu tetap ada.
Dewa Arak rupanya m engerti. Pemuda itu segera mengetahui penyebab memerahnya wajah Melati sampai ke kedua telinganya.
"Kalau begitu, kita cari tempat yang aman," ucap Dewa Arak.
Kepalany a menoleh ke sana kemari mencari tempat yang cukup aman.
"Nah! Kurasa di sana cukup aman!" tunjuk pemuda berambut putih keperakan itu ke arah sisi jalan yang ditumbuhi pepohonan dan semak-semak cukup lebat.
Melati memperhatikan tempat itu sesaat sebelum menganggukkan kepala menyetujui. Maka, Dewa Arak pun segera memapah tubuh gadis berpakaian putih itu dan membawanya ke sana, ke balik semak-semak dan pepohonan.
Baru setelah itu, Dewa Arak membalikkan tubuh dan membiarkan Melati sendirian memeriksa bagian yang sakit.
Dewa Arak menunggu dengan perasaan tidak sabar. Rasanya waktu berjalan demikian lambat Dia ingin secep atnya mendeng ar hasilnya dari muhat Melati. Sesaat kemudian....
"Akh!" Sukma Dewa Arak bagai leny ap dari raga men dengar jerit tertahan Melati. Jerit kesakitan! Padahal, yang tengah ditunggunya ad alah panggilan Melati. Tanpa menunggu lebih lama, pemuda berambut putih keperak an itu membalikkan tubuh dan melesat ke tempat Melati berada.
Saat itulah didengarnya bunyi berdebuk keras. Tanpa melihat lagi pun Dewa Arak dap at menerk a bunyi itu terjadi karen a ambrukny a tubuh Melati ke tanah.
"Melati!" Teriakan Dewa Arak tercek at di tenggorokan. Kedua kakinya terasa lemas. Penyebabnya adalah p emandang an yang terpampang di had apanny a.
Tubuh Melati tampak tertelungkup di tanah. Meskipun terlihat gerak an dari gadis berpak ain putih itu, tapi keadaannya menimbulkan ras a khawatir pada Dewa Arak 5 Menghadapi keny ataan y ang tidak disangka-sangk a itu Dewa Arak terkejut bukan main. Pemuda itu terkesima di depan Melati. Tapi hanya sebentar saja. Sesaat kemudian, Arya telah menjatuhkan diri untuk memeriksa kead aan Mel ati. Dewa Arak mem balikkan tubuh kekasihnya.
Tampak wajah Melati sangat pucat.
"Apa yang terjadi, Melati?" Dengan penuh k ekhawatiran Dewa Arak meng ajukan pertany aan. Celana Mel ati yang telah agak terlu cuti dibetulkannya. Jelas gadis itu telah melaksanakan perintahnya seb elum akhirnya menjerit dan terjatuh. Sempat terlihat oleh Dewa Arak paha Mel ati yang putih dan halus.
Tidak terlihat tanda-tanda yang menunjukkan adanya luka! "Seperti sebelumnya, Kakang! Sepertinya.... ada tombak yang menusuk... Kali ini paha kiriku, kakang...," ujar Melati terbata-bata.
"Apa"!" Dewa Arak terpekik kag et. Paha kiri. Itu berarti kedua kaki Mel ati tidak bisa dipergunakan lagi! M eelati lumpuh"! Hampir Dewa Arak tidak percaya akan kenyataan ini.
"Benar, Kakang. Sekarang aku tidak bisa berdiri," lanjut Melati, seperti mengetahui apa yang dipikiran dan yang berk ecamuk di benak Dewa Arak.
Terdengar bunyi brekerotok an keras seperti tulang-tulang berpatah an, ketika dalam kemarah an yang menggeleg ak tenaga dal am Dewa Arak berk eliaran sendiri.
"Sebenarny a... apakah yang tengah menimpaku, Kak ang" Aku benar-benar tidak mengerti," ucap Melati sedih.
"Kalau kau mengetahuiny a, katakanlah, Kakang. Jangan biarkan aku dilanda ketidakmeng ertian seperti ini!" "Hhh...!" Dewa Arak menarik napas dalam-dal am, dan menghembuskannya kuat-kuat.
"Apakah kau ingat kejadian yang menimpa Ki Aswatama..."!" "Maksudmu..., kejadian yang menimpaku sama denganny a, Kakang"!" tanya Melati meminta kepastian.
"Yahhh.... kira-kira begitu Melati." Dewa Arak mengangguk sambil menghela napas berat.
"Hanya itu jawaban yang paling mungkin, Melati.
Sebab, tidak mungkin kejadian kejadian yang menimpamu terjadi dengan sendirinya.
Andaikata pun nanti kenyataan ini tidak benar, setidak-tidaknya ada usaha yang telah kita lakukan." "Apa yang akan kau lakukan, Kakang?" tanya Melati ingin tahu.
Dewa Arak tercenung s ejenak. Dahinya b erk ernyit dalam. Tampaknya pemuda itu tengah berpikir.
"Untuk sementara kita temui dulu Ki Aswatama. Barangkali dia telah sembuh. Kita bisa minta pertolongan darinya," jawab Dewa Arak.
"Mengapa kau tidak mencoba mengobatiku, Kakang"!" "Bagaimana aku dapat mengobatimu, Melati. Jenis penyakitmu saja tidak kutemukan.
Menurut pemeriksaanku, kau sehat-sehat saja." "Jadi..."!" Melati menggantung ucapannya di tengah jalan.
"Seperti yang telah kukatakan tadi, kita akan menjumpai Ki Aswatama!" Kali ini tidak ada tanggapan dari Melati. Gadis berpakaian putih itu tahu keputusan yang diambil kekasihnya biasanya tidak pemah keliru. Jadi, diputuskan untuk menerimanya.
Dewa Arak pun tahu. Maka, tanpa membu ang-buang waktu segera diangkatnya tubuh Melati. Kemudian dibawanya berlari cepat meninggalkan tempat itu. Arya tidak berani bertindak lamban. Disadarinya nyawa Melati bagai telur di ujung tanduk. Sewaktu-waktu bisa saja dia dibunuh!

***

5

Dari pembaritahu an seorang penduduk, Dewa Arak tahu tempat kediaman Ki Aswatama. Ganta dan Kiwul ternyata tidak berdusta. Guru mereka amat dikenal. Padahal, tempat tinggalnya jauh dari pemukiman penduduk. Itu didengar Dewa Arak dari mulut para penduduk.
Kekhawatiran ak an keselam atan Melati membuat Dewa Arak tidak peduli tindakannya membuat kegemparan di tempat-tempat yang dilalui.
Pemuda berambut putih keperak an itu melalui jalan-jalan utama desa dengan menggunakan ilmu lari cepatnya.
Karuan s aja, banyak penduduk y ang merinding bulu kuduknya.
Melihat kelebatan bay angan ungu dalam bentuk yang tidak jelas. Kalau saja kejadiannya malam hari mungkin mereka sudah lari tunggang langgang.
Semakin lama rumah-rumah penduduk yang semula berjajar di kanan kiri jalan mulai jarang. Letak rumah yang satu dengan yang lain mulai berjauhan. Sampai akhirnya yang tamp ak di kanan kiri h anya jajaran tanaman dan pepohon an. Pemandangan itu dilihat Dewa Arak beb erapa saat lamanya sebelum di kejauhan tampak sebuah bangunan sederhan a.
Tapi, pemuda itu kelihatan terkejut. Di depan bangunan itu terdapat banyak sosok manusia. Sekali lihat saja Dewa Arak segera tahu sosok-sosok itu tengah terlibat pertarungan. Pemandangan itu membuat Dewa Arak semakin mempercepat lariny a.
Arya khawatir akan terjadi hal buruk yang tidak diharapkan.
Kian dekat dengan pondok Ki Aswatama semakin jelas pemandang an yang terlihat. Kini pemuda itu bisa mengetahui sosok-sosok yang bertarung. Ternyata Ganta dan Kiwul yang melawan serombongan orang kekar. Jumlah mereka cukup banyak, tak kurang dari dua belas orang! Meski masih berada dalam jarak belasan tombak dan hanya memperhatikan sekilas, Dewa Arak bisa memperkirak an kekuatan masing-masing pihak. Secara pero rang an kepand aian Ganta d an Kiwul berad a di atas lawan-lawanny a. Tapi, karena jumlah lawan jauh lebih banyak, murid-murid Ki Aswatama itu terdesak hebat Kalau dibiarkan, Ganta dan Kiwul akan tewas di tangan para Pengroyoknya. Kead aan mereka sudah demikian mengkhawatirkan. Hampir tidak ada serang an balasan yang mereka kirimkan. Kedua orang itu hanya mengelak dan men angkis. Kini keduanya telah berada di pintu pondok. Tak lama lagi mereka akan didesak masuk! Ketidakberadaan Ki Aswat ama untuk memban tu murid-muridnya membuat Dewa Arak merasa heran. Apakah guru silat itu belum sembuh dari saitnya" Namun, Dewa Arak segera membuang pertanyaan itu. Jaraknya telah demikian dekat. Dan, dengan sekali jejakan saja, kaki pemuda berambut putih keperakan itu telah melesat ke dalam kancah pertarungan.
"Hih!" Di saat tubuhnya masih berada di udara Dewa Arak mengibaskan tangan kirinya. Serangkum angin besar meny eru ak membuat tubuh para pengeroyok Ganta dan Kiwul terlempar ke belakang bagai dihempas angin badai! Senjata-s enjata mereka berlep asan dari gengg aman.
Untung, Dewa Arak tidak bermaksud menjatuhkan tangan maut.
Kibasannya itu hanya untuk melontarkan tubuh lawan-lawannya, tanpa melukai. Hal itu dilakukan Arya karena belum mengetahui permasalahan mereka. Siapa yang salah dan yang benar belum jelas.
Ringan bagai daun kering, Dewa Arak mendaratkan kedu a kakinya di antara murid-murid Ki Aswatama dan para pengeroyokny a yang bergelimpangan di tanah.
"Arya....!" Kiwul dan Ganta berseru hampir bersam aan ketika melihat sosok yang berdiri membelakangi mereka. Sosok yang telah menyelamatkan nyawa mereka.
Meskipun hanya melihat bagi an belak ang tubuh Dewa Arak, kedua murid Ki Aswatama bisa mengenali. Ciri-ciri Arya memang terlalu menyolok! Dewa Arak membalikkan tubuh seraya menyunggingkan senyum.
"Terima kasih atas pertolonganmu. Kalau tidak, mungkin kami sudah tewas di tangan mereka," ucap Kiwul dengan gembira.
"Lupakanlah, Kiwul. O, ya, siapa mereka" Mengap a kalian terlibat pertarung an denganny a"!" tanya Dewa Arak ingin tahu.
Kiwul dan Ganta menatap sosok-sosok kekar yang tengah berus aha bangkit. Terlihat jelas kegeraman dalam pandang mata mereka.
"Merek a adalah orang -orang yang kuceritak an padamu, Arya." "Ah!" seru Arya kaget.
"Jadi..., mereka adal ah anak buah Juragan Trestajumena Geni"!" "Benar." Kali ini Ganta yang menjawab seray a menganggukkan kepala.
"Rupanya, mereka meras a penasaran dengan kek alahan yang mereka terima beberapa h ari yang lalu. Sekarang mereka dat ang lagi. Anehnya, mereka sep erti mengetahui kalau sekarang guru kami tidak dapat membantu.
Dan.... Awas, Arya!" Dengan terp aksa Gant a menghentikan ceritanya di tengah jalan.
Saat itu dilihatnya rombongan tukang-tukang pukul Juragan Trestajumena Geni meluruk ke arah Dewa Arak Golok dan pedang diayunkan deras ke arah berbag ai bagian tubuh Dewa Arak.
Sebenarny a, peringatan Ganta hampir tidak bergun a. Tanpa diberitahukan pun Dewa Arak telah mengetahui serangan itu. Memang, pemuda itu tidak melihat. Tapi, telinganya yang tajam menangkap desir angin yang menyambar deras ke arahny a.
Karen a itu, tanpa membuang-buang waktu lagi Dewa Arak segera membalikkan tubuh. Dengan tangan kirinya, dihadapinya semu a serangan yang mengancam. Tak, tak, takkkk! Bunyi berdetak keras sep erti benda-b enda logam berb enturan terdengar berkali-k ali. Tangan kiri Dewa Arak beradu dengan senjata-s enjata lawan! Deng an mengerahkan tenag a dalamnya yang sudah mencapai tingkat sempurna, Dewa Arak mampu membuat tangannya tak kal ah kuat dengan besi baja! Melihat Ganta dan Kiwul terdesak, Dewa Arak segera melesat ke dalam kancah pertarungan. .
"Hih!" Dewa Arak langsung mengibaskan tangan kiri nya. Serangkum angin besar menyemak membuat tubuh para pengeroyok Ganta dan Kiwul terlempar ke belakang bagai dihempas angin badai! Akibatnya tidak berh enti hanya sampai di situ. Jerit tertahan pun keluar dari mulut para pengeroyok Arya. Mereka merasakan tangan yang menggenggam senjata teras a sakit dan hampir lumpuh! Tubuh mereka pun terhuyung-huyung ke belakang.
Di saat itulah Dewa Arak mengibaskan tangan kirinya. Untuk kedua kalinya berh embus angin yang sang at kuat. Bahkan, jauh lebih dahsyat dari sebelumnya. Tubuh anak buah Juragan Trestajumena Geni melayang -layang ke belakang seperti daun kering dipermainkan angin.
Semua kejadian itu dilihat jelas oleh Ganta dan Kiwul. Kalau tidak melihat sendiri, mereka tidak akan percay a. Belasan tukang pukul Juragan Trestajumena Geni dibuat tak berdaya oleh Dewa Arak hanya dalam segebrakan! Begitu tinggikah kepandaian pemuda berambut putih keperakan ini" Kenyataan yang mengejutkan hati itu membuat murtd murid Kl Aswatama terkesima.
Sampai Dewa Arak membalikkan tubuh dan mengalihkan perhatian ke arah mereka, Ganta dan Kiwul tetap terpana.

***

"Ehm!" Dewa Arak terpaksa berd ehem agak keras untuk menyadarkan kedua murid Ki Aswat ama dari terkesimany a. Dan memang, usah a pemuda beram but putih keperakan ini tidak sia-sia.
"Eh,... Oh...!" Hanya itu yang keluar dari mulut Ganta dan Kiwul.
"Jadi.... Guru kalian belum sembuh?" Dewa Arak segera mengajukan pertany aan. Tak peduli pada sikap salah tingkah Ganta dan Kiwul.
"Be... belum," jawab Kiwul agak terbata-b ata.
"Bahkan keadaannya semakin parah, Arya," tambah Ganta.
"Hhh...!" Dewa Arak menghela nap as berat. Lenyap su dah harapanny a untuk mendapatkan kesembuhan bagi Melati. Tapi, tidak seluruhnya. Disadarinya kalau Ki Aswatama merupakan kunci untuk mengetahui siapa pelaku kejahatan terh adap Melati. Bukankah guru silat itu menerima kiriman ilmu hitam" Dewa Arak yakin kalau tindak kejahatan itu orang yang sama. Saat itulah Ganta dan Kiwul melihat sosok yang berada di bahu kanan Dewa Arak.
"Apa yang terjadi denganny a, Arya" Bukankah dia k awan seperjal ananmu?" tanya Kiwul seraya menudingkan jari telunjuknya.
"Panjang ceritanya, Kiwul," jawab Dewa Arak singkat.
"Sayang sekali aku tidak mempunyai waktu untuk menceritakannya. Aku minta maaf.
Sebab, keadaanny a sudah sangat mendesak." "Kami bisa mengerti, Arya," jawab Ganta mencoba bijaksana.
"Terima kasih, Ganta." Arya gembira d engan tanggap an yang mereka berikan.
"Bisa aku melihat keadaan guru kalian?" "Mengapa tidak?" jawab Ganta dan Kiwul bersamaan.
Dua murid Ki Aswatama itu segera mend ahului melangkah masuk.
Dewa Arak mengikuti di belakangnya. Sekilas pemuda berambut putih keperak an itu sempat melempar pandang ke arah rombongan tukang pukul Juragan Trestajumena Geni.
Setelah berhasil bangkit, mereka segera kabur meninggalkan tempat itu. Agaknya, mereka menyad ari kalau Dewa Arak lawan yang tidak bisa dihadapi.
Sambil sesekali menoleh ke belakang, rombongan anak buah Juragan Trestajumena Geni berlari tunggang langgang. Tapi, kekhawatiran mereka tidak terbukti. Dewa Arak tidak mempedulikan mereka, dan masuk ke dalam pondok Kiwul.
"Beginilah keadaan guru kami, Arya." Dewa Arak memandang sosok yang terbariring di balai-balai bambu. Dia adalah seorang lelaki tua. Tubuhnya tinggi besar. Kumis tebal melintang menghias wajahnya. Sayang, keangkeran sosok itu tertutup oleh sorot matanya yang sayu. Jelas, kakek tinggi besar itu tengah menderita sakit.
"Aku turut prihatin atas peristiwa yang menimpamu. Ki Aswatama." Hanya itu yang dapat dikatakan Dewa Arak Ki Aswatama mencob a membentuk senyuman di bibir. Tapi rasa sakit yang melanda menggagalkanny a. Justru yang tampak adalah seringai kesakitan.
"Terima kasih, Anak Muda. Ganta dan telah banyak bercerita mengenai dirimu. Keadaanmu mengingatkanku akan seorang pendek ar muda yang namanya saat ini tengah menggetark an dunia persilatan. Apakah kau orangnya, Anak Muda" Kudengar nama yang kau sebut pun memiliki kemiripan. Arya?" Meski agak terputus-putus, Ki Aswatama berh asil menyelesaikan ucapanny a. Dewa Arak menganggukk an kep ala. Pemuda itu tahu tokoh yang dimaksud guru silat Desa Palung ini. Pasti Dewa Arak! Dan pemuda berambut putih keperakan ini tidak tega membohongi orang yang tengah di ambang kematian.
"Dugaanmu tidak keliru, Ki Aswatama. Memang, orang-o rang persilatan menjulukiku Dewa Arak." Sekilas sepasang mata tua Ki Aswatama berbinar-bin ar.
"Sungguh suatu kebahagian yang besar bertemu denganmu sebelum nyawaku pergi meninggalkan raga, Dewa Arak." "Kau terlalu berlebih an, Ki Aswatama. Aku hanya seorang pemuda biasa yang memiliki banyak keterbatas an. Kedatang anku kemari pun karena ingin meminta pertolongan padamu." Dewa Arak langsung pada pokok persoalan, karena khawatir kakek tinggi besar itu keburu tewas.
"Katakanl ah, Dewa Arak. Aku akan berbahagia sekali bila dapat membantumu. Ini sungguh di luar dugaanku!" Dewa Arak tidak buru-buru mengajukan permasalahanny a.
Benaknya diputar untuk mencari kata-k ata yang tepat. Sementara Ganta dan Kiwul diam saja. Tidak sedikit pun mereka tampak kag et. Bahkan, ketika Dewa Arak menyebutkan julukannya. Mereka belum pemah mendengar julukan seperti itu. Letak desa ini memang agak terpen cil. Jauh terpisah dari desa-d esa lainnya.
Dengan tidak adanya tanggapan dari Ganta dan Kiwul, Ki Aswatama dan Dewa Arak jadi leluasa melanjutkan pembicaraan. Sekarang, pemuda berambut putih keperakan itu sudah berhasil menemukan kata-kata yang tepat.
"Begini, Ki Aswatama. Kudengar kau menderita sakit yang aneh.
Apakah betul demikian?" tanya Dewa Arak hati-h ati.
"Benar," jawab Ki Aswatama singkat.
"Bisa kau jelaskan keanehanny a, Ki Aswatama?" desak Arya lebih jauh.
"Hhh...!" Ki Aswatama menghela napas.
"Aku tidak pemah terkena serang an lawan.
Tapi, tahu-tahu saja beberapa hari yang lalu seperti ada benda tajam, tombak atau sejenis itu, menembus kedua pahaku. Saat itu aku tengah berdiri. Tak pelak lagi, aku jatuh tersungkur. Dan sejak saat itu aku lumpuh...!" Wajah Dewa Arak langsung memucat. Kejadian yang menimpa Ki Aswatama ternyata sama d engan Melati. Pemuda berambut putih keperakan itu merasa khawatir kekasihnya akan mengalami nasib seperti kakek tinggi besar itu.
Meskipun demikian, ada harap an menyala di dal am dada Dewa Arak. Sebab, sudah dapat diketahui kalau pelaku tindak keji itu adalah orang yang sama. Dengan demikian, Arya bisa melacaknya dari Ki Aswatama!

6

Seiring dengan timbulnya semangat itu, keraguan Arya pun menyeruak. Siapa orang yang s ampai hati berbuat seperti itu" Dan mengapa hal itu dilakukannya" "Semula kucoba mengobati penyakit ini sendiri," lanjutnya, membuat Dewa Arak menghentikan lamunannya.
"Tapi tidak berhasil. Lalu, kusuruh Ganta dan Kiwul memanggil ahli obat ternam a di desa-des a sekitar sini" Kakek tinggi besar itu menghentikan ucapannya sejenak untuk mengatur napasny a yang terlihat terengah -eng ah. Meskipun hanya bercerita, keadaannya yang buruk itu cukup menguras tenaganya.
"Tapi ahli obat itu ternyata tidak mampu menyembuhkan penyakitku. Katanya, aku bukan terk ena p enyakit atau luka bias a. Tapi luka akibat ilmu hitam. Ilmu teluh. Kebetulan dia mempunyai sedikit pengetahuan tentang ilmu itu. Tapi, sayangnya dia tidak bisa mengobati penyakitku." "Apa saja yang diceritak annya mengen ai ilmu teluh itu, Ki?" tanya Dewa Arak.
"Cukup banyak. Katanya, tokoh yang mengirimkan penyakit ini bermaksud menyiksaku. Dia ingin melihatku mati secara pelahan-lah an.
Karen a kalau dia ingin membunuhku, dengan mudah hal itu dapat dilakukannya," jeals Ki Aswatama.
Cerita Ki Aswatam a membuat Dewa Arak merasa ng eri bukan main. Nyawa Melati bagai telur di ujung tanduk. Kalau orang itu menginginkannya, dengan mudah nyawa Melati dibuat melayang! "Apakah orang yang kau panggul itu juga mengalami nasib sepertiku?" tanya Ki Aswatama seraya mengarahkan pandang an kepada tubuh Melati yang berada di bahu kanan Dewa Arak "Yahhh...," jawab Arya setengah mendesah.
"Kedua kakinya dilumpuhkan..." "Keji!" seru Ki Aswatama agak keras.
"Orang semuda itu harus menerima kenyat aan demikian. Hati-hatilah, Dewa Arak. Kekejian itu masih berlanjut. Tokoh itu melakukannya secara bert ahap. Aku yakin dia akan melumpuhkan kedua tangannya seperti yang dilakukannya terhad apku!" "Jahanam!" Dewa Arak b erteriak hingga pondok itu tergetar heb at.
Bahkan, Ganta dan Kiwul sampai terjingkat kaget "Tidak akan kubiarkan hal ini terjadi! Tak akan!" Sepasang mata Dewa Arak m encorong t ajam, menyorotkan sinar kehijauan bag ai mata harimau dalam gel ap! Meng erikan ! Ganta, Kiwul dan Ki Aswatama tak terasa bergidik melihatnya. Mereka tahu pemuda berambut putih keperakan itu tengah dilanda kemarah an hebat! "Boleh aku mengajukan pertanyaan lagi, Ki"!" tanya Dewa Arak dengan suara bergetar karen a amarah yang masih bergelora.
Ki Aswatama mengangguk. Wibawa yang memancar dari diri Dewa Arak ketika pemuda beram but putih keperakan itu murka membuat lidah kakek tinggi besar itu kelu.
"Apakah kau bisa memperkirakan orang yang telah melakukan kekejian terhad apmu"!" "Kalau kau tanyakan orang yang telah melakukan perbuatan ini, terus terang aku tidak tahu. Tapi bila kau menanyakan orang yang berad a di balik semua ini, aku dapat memberikan jawab annya. Sebab, banyak bukti-bukti yang menguatkannya." Dahi Dewa Arak berk ernyit sebentar.
"Aku mengerti maksdumu, Ki. Bukankah kau ingin mengatakan kalau pelaku perbuatan keji ini hanya orang suruhan"!" "Begitulah, Dewa Arak," jawab Ki Aswatama yakin.
"Kalau begitu siapa o rang yang b erdiri di belakang layar itu, Ki"!" desak Arya pen asaran.
"Juragan Trestajumena Geni!" tag as kakek tinggi besar itu mantap.
Sepasang alis Dewa Arak berkerut dalam.
"Apakah kau mempuny ai alasan yang kuat sehingga melontarkan tuduhan seperti itu terhadapnya?" "Banyak alasanny a, Dewa Arak! Pertama, aku adalah hamb atannya dalam melakukan tindak kekejian terhadap penduduk desa. Dan mungkin dianggapnya b erbah aya. Terbukti dengan ketidak -berh asilannya menumpasku sewaktu mengirim orang-orangny a kemari. Tapi alasan lebih kuat yang membuat kecurigaanku terh adapny a semakin keras adal ah sikap anak buahny a ketika tadi datang ke sini. Apakah Ganta d an Kiwul belum menceritak annya kep adamu"!" Dewa Arak mengalihkan pandanganny a ke arah dua murid Ki Aswatama deng an sorot mata penuh pertanyaan.
"Sudah, Guru. Kami telah memberitahukannya," jawab Ganta mendahului rekanny a.
"Tapi tidak ada sal ahnya kal au kami ulangi lagi, biar jelas. Mungkin tadi Arya tidak terlalu memperhatikannya." "Kecu rigaan kami semakin menguat karena sewaktu datang tadi, rombongan anak buah Juragan Trestajumena Geni langsung menantang kami. Katanya, kami tidak akan seberuntung dulu lagi. Karena tidak ada orang yang akan membela kami. Jumlah mereka pun menambah keanehan itu. Dengan jumlah sedikit mereka ingin meringkus kami. Beberapa hari yang lalu, di waktu dihajar tunggang-langg ang oleh kami bertiga, jumlah mereka jauh lebih banyak. Paling tidak dua kali lipat dari sekarang," urai Kiwul panjang lebar.
"Mungkin benar jumlah mereka berkurang. Tapi, kemampuan perorangannya jauh di atas penyerang-p enyerang yang dulu," timpal Dewa Arak mengemukak an pendap atnya.
"Tidak, Arya," jawab Kiwul bersikeras.
"Semua penyerbu yang tadi adalah orang-o rang yang melakukan penyerangan beb erap a waktu yang lalu." "Kalau begitu, aku akan pergi dulu, Ki," ucap Arya setelah termenung sesaat "Mengapa terges a-g esa, Dewa Arak" Ke mana kau akan pergi?" tanya Ki Aswatam a kaget melihat keputusan Dewa Arak yang b egitu mendadak.
"Mendatangi Juragan Trestajumena Geni, Ki. Aku akan mengorek keterang an dari mulutnya. Benarkah dia yang berdiri di belakang semua ini" Kalau benar demikian, mudah-mudahan masalah ini akan tuntas. Selamat tinggal, Ki!" Dewa Arak segera melesat meninggalkan tempat itu.
"Selamat jalan, Dewa Arak! Semoga berhasil!" seru Ki Aswatama agak mengeraskan suaranya ag ar terdengar.

***

Tidak sulit bagi Dewa Arak untuk mencari tempat kediaman Juragan Trestajumena Geni. Karena tadi sewaktu menuju tempat tinggal Ki Aswatama, Arya telah melewatinya. Orang terkaya di beberap a desa itu tinggal di rumah yang mewah dan megah, terkurung pagar batu tinggi. Tak kurang dari satu setengah tombak tingginya.
"Berhenti!" Hardikan keras disertai todongan dua batang tombak membuat Dewa Arak menghentikan ayunan kakiny a. Pemuda berambut putih keperakan itu telah berada di depan pintu gerbang rumah Juragan Trestajumena Geni. Dua orang lelaki menjaga pintu gerbang. Penjaga-penj aga itu bertubuh kekar dan berwajah kasar. Yang menghardik Dewa Arak mempunyai tompel besar di pipi kanan.
"Siapa kau" Dan apa kep erluanmu k emari?" tanya penjag a satunya lagi, yang berkepala botak. Suaranya tak kalah bengis dari rekannya.
Dua orang penj aga itu memang tidak termasuk orang-o rang yang melakukan peny erbuan k e tempat tinggal Ki Aswatama. Karena itu, mereka tidak mengenal Dewa Arak! Dewa Arak teng ah mengej ar waktu. Karuan saja, Ary a jengkel mendapat hambatan seperti itu. Tidak ada waktu lagi baginya untuk bermain-main. Maka, tangan kirinya segera dikibaskan.
"Wuaaa!" Dua orang tuk ang pukul Juragan Trestajumen a Geni itu menjerit ngeri. Tubuh mereka tiba-tiba melayang. Padahal, keduanya yakin Dewa Arak tidak meny entuh tubuh merek a. Penjaga-penj aga itu hanya meras akan angin dahsyat berhembus kencang. Dan, itu terjadi ketika Dewa Arak mengibaskan tangannya.
Tapi Dewa Arak tidak mempedulikan n asib kedua penj aga itu.
Dengan sekali lesatan Arya berhasil melewati pintu gerbang. Kini, pemuda beram but putih keperakan itu telah berada di halaman depan yang luas. Di kanan dan kiri yang berdekatan dengan tembok tampak membentang hamparan bunga-bunga indah.
Dewa Arak tertegun kebingungan. Di hadapannya terdapat beberapa bangunan megah. Tapi yang paling mewah dan besar adalah bangunan yang te-l etak di bagian tengah.
"Rupanya, ini bangunan induk. Di sinilah Juragan Trestajumena Geni tinggal," bisik Dewa Arak dalah hati.
Kedatang an Arya terny ata segera diketahui oleh tukang-tukang pukul Juragan Trestajumena Geni. Itu terjadi karena hampir di setiap sudut terdapat mereka.
"Penyelundup...! Ada penyelundup...!" "Kepuuung...! Jangan biarkan lolos...!" Teriakan-teri akan keras terdeng ar saling bersahutan. Sesaat kemudian, derap kaki-k aki yang berlari menghant am bumi menyambuti.
Hanya dalam sekejap Dewa Arak telah dikurung. Sementara pemuda berambut putih keperakan itu tetap berdiri di tempatnya.
Meskipun telah terkurung Dewa Arak tetap bersikap ten ang.
Sepasang matany a berk eliaran k e sana kemari memperhatikan para pengepungnya. Tatapan pemuda itu berhenti di depan pintu bangunan termegah. Di sana berdiri seorang lelaki berpak aian indah. Dua orang bertampang angker berad a di kanan kirinya. Sementara dua orang lagi berjaga-jaga di anak tangga terbawah yang menuju ke pintu bangunan megah itu.
Tanpa diberitahu Dewa Arak sudah bisa menduga siapa lelaki berpak aian indah itu. Pasti Juragan Trestajumena Geni! Sayang, pemuda berambut putih keperakan itu tidak bisa terlalu lama memperhatikannya.
Karen a....
"Siapa kau, Keparat! Sungguh berani menyatroni tempat tinggal Juragan Trestajumena Geni!" tuding seorang lelaki pendek kek ar yang berad a tepat di depan Dewa Arak. Melihat tindak-tanduknya, kedudukannya tentu tidak sama dengan yang lainnya.
"Dialah orang yang kami ceritakan itu, Pratala!" teriak salah seorang di antara para pengepung.
"Benar!" sambung yang lainnya.
"Betul!" Satu suara lagi memberikan dukungan.
"Dia lihai sekali!" Lelaki pendek kekar yang ternyat a bernam a Pratala menggertakkan gigi. Lelaki itu geram bukan main begitu mengetahui sosok yang berdiri di hadapanny a orang yang telah menggagalkan rencana meleny apkan Ganta dan Kiwul.
Sebab, dirinya yang mendapat teguran dari Juragan Trestajumena Geni. Karen a dialah yang menjadi pimpinan tukang-tukang pukul Juragan Trestajumena Geni.
"Kalau begitu, bunuh dia!" sem Pratala keras.
Tanpa diperintah dua kali, tukang-tukang pukul Juragan Trestajumena Geni yang telah mengepung Dewa Arak langsung melancarkan serang an.
Senjata yang sejak tadi terhunus di tangan diayunkan ke arah sasaran.
Sing, sing, wukkk! Bunyi-bunyi tajam mengiris telinga mengawali tibanya hujan berbag ai macam senjata.
Dewa Arak tetap tenang. Ditunggunya hingga semua serangan menyambar dek at.
Setelah itu Arya baru bertindak. Dengan ilmu meringankan tu buhnya, pemuda berambut putih keperak an itu mengelakkan setiap serangan. Tubuhnya berkelebat an di antara senjata lawan.
Pratala geram bukan main melihat Dewa Arak mampu meloloskan diri. Lincah bagai kera Dewa Arak berk elebatan di sela-sel a hujan serangan ! Pertarungan pun tidak dapat dihindarkan. Namun, tidak berlangsung seimbang. Terbukti, beberapa gebrakan kemudian ketika Dewa Arak mulai melancarkan serangan. Jerit kesakitan mengiringi berp entalanny a tubuh tukang pukul Juragan Trestajumena Geni satu demi satu! "Haaat...!" Pratala yang sangat murka melompat menerjang Dewa Arak. Golok besar yang menj adi senjata and alanny a diayunkan ke k epala Arya. Bila berhasil mengenai sasaran, lelaki pendek kekar itu yakin tubuh Arya akan terbelah menjadi dua.
Tapi, Dewa Arak tidak menjadi gugup. Padahal pada saat itu tubuhnya tengah berada di udara. Dengan tenang tangan kirinya dipalangkan di atas kepala. Pemuda itu memapaki bacokan golok Pratala dengan pergelang an tangan! Takkk! Bunyi keras terdengar. Golok Pratala berbenturan dengan tangan Dewa Arak yang terlindungi tenaga dal am kuat. Seketika itu pula, golok itu terpental balik. Pratala merasakan tanganny a panas dan sakit, sehingga hampirhampir senjatany a terlepas dari cekalan.
Sementara Dewa Arak sedikit pun tidak mengalami kejadian yang merugikan. Tangannya tetap utuh. Jangankah putus, tergores pun tidak.
Malah, dengan kecepatan luar biasa tangan kirinya dihantamkan ke arah dada Pratala. Pemimpin tukang pukul Juragan Trestajumena Geni itu terkejut bukan main. Dia menyadari adanya bahaya yang mengancam. Tapi saat itu kedudukan tubuhnya tidak menguntungkan. Dia masih berada di udara.
Meskipun demikian, diusahakan sebisanya untuk mengelak. Dan....
Plakkk! "Huakh...!" Pratala melolong ketika telapak tangan kiri Dewa Arak dengan telak menghantam sasaran. Bunyi berdetak keras tulang-tulang patah langsung terdengar. Darah segar menyembur dari mulut pimpinan tukang-tukang pukul Juragan Trestajumena Geni. Dan tubuhnya melay ang meninggalkan raga.
Kejadian ini tidak hanya mengejutkan tukang tukang pukul Juragan Trestajumena Geni. Tapi juga Juragan Trestajumena Geni sendiri. Dan sebelum keterkejutan merek a sima, dengan sekali lesatan Dewa Arak berhasil keluar d ari kepungan. Tubuh pemuda berambut putih keperak an itu melesat cepat ke arah Juragan Trestajumena Geni ! Tindakan Dewa Arak membu at semua mata yang ad a di situ terbelalak l ebar. Tindakan pemuda itu benar-ben ar menggiriskan h ati. Anak tangga yang berjumlah bel asan langsung dilewatinya. Sekejap kemudian Arya telah berada di puncak! Satu tombak di hadapan Juragan Trestajumena Geni.
Kejadian tak disangka-sangk a ini membuat tukang-tukang pukul Juragan Trestajumena Geni kelab akan. Berbondong-bondong merek a berlari mengejar Dewa Arak. Demikian pula dua tukang pukul yang berjaga di anak tangga terb awah. Mereka berlari-l ari melewati anak tangg a untuk menyelamatkan nyawa majikannya.
Tapi, tindakan mereka kal ah cep at oleh dua orang berwajah angk er yang berad a di kanan kiri Juragan Trestajumena Geni. Secepat kilat keduanya men cabut pedang yang terg antung di punggung. Kemudian menyerang Dewa Arak bagai harimau luka.
Sing, sing! Kedua ped ang itu meluncur ke arah leh er dan ulu hati Dewa Arak! Arya tahu serangan kedua orang itu tidak bisa disamakan dengan serang an-serangan seb elumnya. Tenaga dalam serangan itu jauh lebih kuat dari Pratala, Ganta maupun Kiwul.
Tapi semua itu bukan berarti Dewa Arak men jadi gentar. Waktu yang mendesak membuat Arya tak ragu-ragu lagi mengerahkan selumh kemampuannya. Cepat kakinya dijejakkan. Hingga, tubuhnya melayang ke atas. Tak pelak lagi, serangan kedu a pedang itu menyamb ar lewat di bawah kakinya.
Di saat tubuhnya berada di udara itulah Dewa Arak bertindak.
Tangan dan kakinya digerakkan dengan cepat ke arah kedua lawanny a.

7

Bukkk! Dukkk! "Akh, akh!" Dua lelaki berwajah g arang itu menjerit tertahan k etika kaki dan tangan Dewa Arak mendarat telak di dada dan tengkuk mereka.
Tulang dada itu hancur berantak an. Sedang leher kawannya langsung patah. Saat itu juga nyawa kedua peng awal kep ercayaan Juragan Trestajumena Geni melayang ke alam baka. Tubuh keduanya ambruk ke tanah. Semua kejadian itu berlangsung di depan mata Juragan Trestajumena Geni. Karuan saj a, lelaki berpakai an mewah itu ketakutan bukan main. Buru-buru tubuhnya dibalikkan dan berlari ke dalam. Tapi....
Langkah Juragan Trestajumena Geni langsung terhenti. Mendadak Dewa Arak berdiri di hadapannya. Dengan sikap kalap juragan itu berbalik kembali. Tapi, sebelum maksudnya teriaksana Dewa Arak telah mengulurkan tangan. Dan....
Kreppp! "Akh, ekh!" Napas Jurag an Trestajumena Geni ters engal-sengg al saat tangan Dewa Arak mencekal leher bajunya, dan mengangkatnya ke atas tanpa kesulitan yang berarti.
"Kau tidak usah takut, Tuan Saudagar! Percay alah, aku tidak akan membunuhmu asal kau mau menjawab pert anyaanku dengan jujur. Kau bersedia"!" tanya Dewa Arak dengan garang.
Juragan Trestajumena Geni hanya dapat mengangguk-anggukan kepala menyetujui tawaran yang diajukan Dewa Arak Rasa takut yang mencek am membuat lidahnya terasa kelu, sehingga sukar untuk berbicara.
Dewa Arak lalu menurunkan tubuh lelaki berpakaian mewah itu dan melepaskan cekalanny a.
"Awas! Jangan sekali-kali kau berbohong padaku. Bila hal itu kau lakukan, ke mana pun kau bersembunyi akan kucari. Dan..., kau tidak akan mati dengan enak!" ancam Dewa Arak sungguh-sungguh.
Kekhawatiran yang sangat akan keselamatan Melati membuat Dewa Arak tidak main-main. Sengaja ditunjukkannya sikap keras agar lawan-lawanny a tidak berani bertindak sembarang an. Patut dimaklumi kecem asan hati pemuda berambut putih keperakan itu. Sebab, luka yang diderita Melati semakin bertambah parah. Tangan kananya kini lumpuh! "Aku berjanji ak an berk ata sejujurnya.
Tapi, apakah kau benar-benar akan menep ati janjimu"!" Khawatir dengan keselamatan nyawany a.
Juragan Trestajumena Geni memberanikan diri mengeluarkan pertanyaan itu.
"Jangan samak an aku deng an kalian. Bagiku sebuah janji lebih berharga dari nyawa!" tandas Dewa Arak teg as.
"Tapi, aku masih belum yakin kalau kau belum mengucapkannya,," desak Juragan Trestajumena Geni.
"Baik! Dengar baik -baik. Demi kehormatanku, aku bersumpah tidak akan membunuh Juragan Trestajumena Geni bila dia bersedia menjawab pert anyaanku deng an jujur!" "Sekarang aku percaya," sambut Jurag an Trestajumena Geni.
"Dan ingat, Anak Mua.
Orang-orang yang berada di belakangku menjadi saksi sumpahmu." "Aku tahu," sahut Dewa Arak tak sabar, setelah mengerling sejenak ke arah rombongan tukang pukul yang telah berada di belakang Juragan Tres tajumena Geni.
"Sekarang giliranku, Tuan Saudagar." "Silakan," jawab Juragan Trestajumena Geni "Benarkah kau yang menyuruh orang untuk membuat Ki Aswatama sakit?" Juragan Trestajumena Geni tertegun. Terlihat jelas dia merasa ragu untuk menjawabnya. Tentu saja, Dewa Arak mengetahuiny a.
"Tidak usah ragu-ragu, Tuan Saudagar. Ingat sumpah yang kuucapkan !" sambung Dewa Arak cepat "Hhh...!" Juragan Trestajumena Geni meng -hela n apas panj ang.
"Benar." "Benarkah orang yang kau suruh itu menggunakan ilmu hitam?" kejar Dewa Arak.
Juragan Trestajumena Geni mengangguk.
"Apakah sel ain terhad ap Ki Aswatama kau m emberikan p erintah untuk menyakiti orang lain?" tanya Dewa Arak lagi, agak berget ar suaranya karen a peras aan tegang yang meland a.
"Tidak!" jawab Juragan Trestajumena Geni mantap.
"Aku hanya mendendam pada Ki Aswatama. Hanya pada dialah kuberikan perintah untuk mengirimkan serangan gaib!" "Kau yakin, Tuan Saudagar?" kejar Dewa Arak setengah tidak percaya. Seraya men atap lelaki berp akaian mewah itu tepat pada kedua bola matanya. Ingin diketahuinya kejujuran juragan itu lewat sinar matanya.
"Aku berkata dengan sejujurnya, Anak Muda!" tandas Juragan Trestajumena Geni sedikit tidak senang.
Dewa Arak pun terdiam. Dirasakan kesungguhan dalam ucapan dan sikap lelaki berpakaian mewah itu. Dan Arya percaya Juragan Trestajumena Geni tidak berbohong.
"Pertanyaan terakhir, Tuan Saudagar. Siapakah orang yang telah mengirimkan serangan gaib itu" Dan di mana tempat tinggalnya?" Seketika itu pula selebar wajah Juragan Trestajumena Geni berubah.
Pucat pasi bagai tak berdarah. Tampaknya, pertanyaan itu mengejutkan hatinya.
Dewa Arak bukan orang bodoh. Pemuda itu tahu Juragan Trestajumena Geni merasa cemas untuk menjawabnya.
"Waktuku tidak banyak, Tuan Saudagar. Cepat berikan jawaban.
Atau..., terpaksa aku turun tangan untuk mencabut nyawamu"!" ancam Dewa Arak dengan sungguh-sungguh.
Pemuda berambut putih keperakan itu khawatir Juragan Trestajumena Geni tidak berani memberikan jawaban. Jika hal itu terjadi, habislah harapanny a. Terpaksa dia mulai dari awal lagi. Dan mungkin Melati telah keburu tewas.
Rupanya, gertakan Dewa Arak manjur juga. Meskipun dengan takut-takut Juragan Trestajumena Geni mau juga membuka mulutnya.
"Aku sendiri tidak tahu pasti siapa dia, Anak Muda. Yang jelas, dia seorang ahli ilmu hitam. Mungkin dukun. Salah seorang anak buahku yang memberitahuku mengenai dia. Namanya Mbah Lulur Jagad. Tinggal di puncak Bukit Rajang. Di sana ada sebuah gua. Itulah tempat tinggalnya," urai Juragan Trestajumena Geni.
Dewa Arak menging at semua ket erang an Juragan Trestajumena Geni. Kemudian, setelah yakin tidak ada yang ditanyakan lagi, Arya melesat meninggalkan tempat itu.
Cepat bukan main gerakan pemuda berambut putih keperakan itu.
Sehingga meskipun Juragan Trestajumena Geni dan tukang-tukang pukulnya sejak tadi mengawasi, hanya melihat kelebat an bayang an ungu yang tidak jelas.
Bayangan itu melesat ke arah pintu gerbang. Deng an sekej ap sosok tubuh itu telah berada di luar dan terus melesat pergi.
"Hhh...!" Juragan Trestajumena Geni menghela nap as lega melihat Dewa Arak memenuhi janjinya. Dengan langkah l esu tubuhnya dibalikkan.
Kemudian kakinya mel angkah memasuki bangun an induk. Sementara tukang-tukang pukulnya tanpa diperintah lagi mengurus rakan-rekan mereka yang terluka maupun tewas

***

"Keparat!" Makian keras penuh kem arah an keluar dari mulut seorang n enek berambut awut-awutan. Pakaian serba hitam membungkus tubuhnya yang tinggi kurus.
Kalung, gelang, anting, dan ikat pinggang yang terbuat dari ular yang dikeringkan menghiasi anggota-anggota tubuhnya.
"Ada apa, Mbah"!" Sebuah suara lembut dan halus menangg api makian nenek berpak aian hitam. Sesaat kemudian, pemilik langkah itu menghampiri si nenek.
Ternyata dia seorang wanita berwajah cantik jelita. Tubuhnya montok menggiurkan dan terbungkus p akaian merah menyal a, membuat kecantikanny a semakin menyolok.
"Si keparat Trestajumena Geni membuka rahasiaku p ada Dewa Arak, Ayu," jawab nenek berpakai an hitam. Terasa jelas kegeraman di dalamnya.
"Rupanya dia sudah ingin mampus! Tapi, kematian terlalu enak baginya. Dia harus menerima hukuman yang lebih berat. Akan kuteror dia.
Kubunuh semua anak bu ahnya dulu. Ayo, Ayu! Cepat buatlah bonek a yang banyak!" Tanpa membantah wanita berpakaian merah yang dipanggil Ayu melaksanak an perintah nen ek berpak aian hitam, yang tidak lain Mbah Lulur Jagad! Diambilnya kain-kain berwarna hitam dari sudut ruangan. Kemudian, dibentuknya menjadi sebuah boneka yang amat sederh ana.
"Mbah...," ucap Ayu seraya terus membuat boneka.
"Hm...!" Tanpa menoleh, Mbah Lulur Jagad menyambuti dengan menggumam pelan.
"Mengapa tidak lekas kau tusuk mati saja si Melati keparat itu! Jika dia tewas tenanglah hatiku!" "Hhh...!" Sambil menghela napas, Mbah Lulur Jag ad menoleh. Sepasang matanya yang kemerah an dan mengandung sinar aneh menatap wajah Ayu lekat-lekat.
"Sudah telanjur, Ayu. Sekarang, tidak mungkin lagi langsung kuarahk an jarum-jarumku ke jantungnya. Aku mempunyai aliran ilmu hitam yang agak berbed a. Dengan bonek a-bonek a yang kubuat, aku tidak hanya dapat menyiksa atau membunuh seo rang dari jarak jauh. Tapi, juga dapat membuatnya menjadi mayat hidup yang taat dengan segala perintahku!" Mbah Lulur Jagad menghentikan uraianny a. Sebuah beneka diacungkanny a dengan tangan kiri, dan jarum tergenggam di tangan kanan.
"Untuk hal yang pertama, tidak sulit. Begitu membuat boneka yang mewakili diri seseorang, aku dapat mel akukan ap a saja y ang kuinginkan! Setiap kali boneka ini kutusuk dengan jarum, orang yang diwakili boneka ini akan kesakitan. Kucopot kakinya, maka kaki orang itu akan copot. Dan kalau kutusuk jantungnya, dia akan mati!" Kembali Mbah Lulur Jagad menghentikan ceritanya. Ditatapnya wajah Ayu lekat-lek at. Nenek itu memberi kesempatan pad a Ayu untuk mengajukan pertany aan. Tapi, Ayu tidak menggunakan kesempatan itu.
Mungkin dia telah paham dengan semua yang diceritakan Mbah Lulur Jagad.
"Cara yang kedua, berbeda dengan ilmu hitam umumnya. Cara ini sulit. Ada tahap tahapnya. Dan caranya pun tidak sembarangan. Setiap tahap membutuhkan mantera sendiri dan waktu yang agak lam a. Cara ini kupergunak an untuk orang-o rang yang memiliki kepandai an tinggi. Ki Aswatama, terutama Melati, masuk golongan ini. Aku bermaksud menjadikan merek a mayat-may at hidup yang taat perintahku!" "Kapan meraka akan menjadi seperti yang kau harapkan, Mbah?" tanya Ayu ingin tahu.
"Untuk Ki Aswatama saat ini juga bisa kulakukan. Tinggal tusuk bagian jantung boneka ini. Dia akan mati! Setelah itu, kuhidupkan lagi. Dan dia akan menjadi mayat hidupku yang paling patuh akan segala perintah yang ku harapkan. Kau tahu, Ayu. Apa yang kuinginkan langsung dilaksanakan oleh mayat hidup itu. Seakan-ak an aku dan dia satu pikiran!" "Tapi, Mbah. Bukankah kau katakan Trestajumena Geni telah membuka rah asiamu terh adap Dewa Arak. Itu berarti dia b erad a dalam perjalan an menuju ke sini. Apakah sebelum Dewa Arak tiba kau telah bisa menjadikan Melati sebagai mayat hidup?" "Belum." Mbah Lulur Jagad menggelengkan kepala.
"Dia baru saja kulumpuhkan lengan kananny a. Membutuhkan waktu dua hari untuk melumpuhkan tangan yang lain. Kemudian, tiga hari untuk menusuk jantungnya. Baru setelah itu dia akan menjadi mayat hidup!" "Kalau demikian, Dewa Arak ak an keburu tiba di sini!" keluh Ayu.
"Tenanglah, Ayu. Memang, tindakan Trestajumena Geni membuat aku harus bertindak cepat Tapi, jangan khawatir. Aku yakin Dewa Arak tidak akan sampai di sini. Dia akan tewas di perjalan an. Sebenarny a, sayang juga orang sehebat dia harus tewas. Tapi, bagaimana lagi" Dia tidak bisa kujadikan mayat hidup! Ada kekuatan aneh yang tidak kumengerti, menolakkan jarum yang kutusukkan ke tubuhnya!" "Mbah!" seru Ayu mencoba membantah.
"Jadi.., kau bermaksud menjadikannya seb agai mayat hidup" Apakah kau tidak mendengar permintaanku waktu itu?" Mbah Lulur Jagad men atap wajah wanita b erpakaian merah dalam-dalam.
"Kau benar-benar gadis aneh, Ayu," ucap nenek berpakaian hitam seray a menggeleng-g elengkan kep ala.
"Cintamu kepadanya ternyata benar-b enar buta.
Bukankah menurutmu dia tidak membalas cintamu" Dan gadis berpakaian putih yang bernama Melati itu adalah tunangannya" Mengapa kau masih mengharapk annya?" "Aku yakin, apabila Melati tidak ada Dewa Arak akan mencintaiku.
Bukankah aku memiliki wajah cantik dan tubuh yang bagus"! Karena itu, sejak awal kuminta kau membunuh Melati, Mbah! Aku kecewa sekali begitu kutahu Melati tidak kau bunuh!" Kembali Mbah Lulur Jagad menggeleng-gel engkan kepal a.
"Apakah kau tidak sakit hati, Ayu" Bukankah Dewa Arak yang menggagalkanmu di saat pedangmu hampir memenggal kep ala Melati.
Bahkan, dia pula yang telah meny ebabkanmu terluka berat" Dan kau ditinggalkannya begitu saja di tengah jalan" Kalau tidak ada aku yang menolongmu, bagaimana nasibmu" Tapi, apa balasanmu" Memperk enalkan nama aslimu pun tidak!" "Maafk an aku, Mbah," ucap wanita berpakaian merah.
"Bukannya aku mau merahasiak annya darimu. Tapi, aku telah berjanji tidak akan memperken alkan nama asliku bila Melati belum mati di tanganku!" Mbah Lulur Jagad hanya mengangkat bahu mendengar pernyataan itu. Perhatiannya kembali dialihkan pad a benda b enda y ang tergolek di depannya. Dua buah bonek sederhana. Yang satu didandani seperti wanita.
Sedangkan satunya lagi persis kakek-kak ek.
Yang menggiriskan hati, pada kedua boneka itu tertancap jarum-jarum yang tajam berkilatan. Hanya pada bonek a yang berupa kakek-k akek jarum itu lebih banyak. Dua menancap pada kedua paha. Dua lagi pada kedu a bahu. Sedangkan p ada bonek a wanita p ada k edua pah a dan satu bahu.
Dengan pand ang mata berbinar-binar, nenek berpak aian hitam itu mengambil boneka kakek-kakek. Kemudian, diambilnya pula sebuah jarum besar yang putih mengkilat. Sambil menggumamkan kata-k ata yang tidak jelas, karena diucapkan d engan pel an dan cepat, jarum itu dihujamkan ke dada sebelah kiri boneka kak ek Jrebbb! Jarum besar dan panjang itu menembus hingga bagian belakang tubuh boneka tua itu. Pemandangan seperti ini yang terlihat di gua tempat tinggal Mbah Lulur Jagad. Tapi, di rumah Ki Aswatama sangat mengejutkan! Ki Aswatama yang tengah terbaring lemah di balai-balai bambu dan dijaga kedua muridnya, tiba-tiba mengeluarkan keluhan tertahan. Kedua tangannya didekapkan ke dada kiri. Sepasang mata kakek itu membelalak lebar seperti orang meregang nyawa. Lalu mendadak sontak tubuhnya lemas dan tidak bergerak lagi.
"Guru...!" Jeritan kaget dan cemas itu keluar dari mulut Ganta. Dipanggil-panggilnya gurunya. Tapi, Ki Aswatama tidak memberikan tanggapan sedikit pun.
"Guru...!" seru Kiwul pula tak kalah kerasnya.
Karen a dilihatnya kakek tinggi besar tidak memberikan tanggap an, diguncangguncangkanny a tubuh tua itu. Berharap ad a keajaiban d an Ki Aswatama bangun.
Tapi harapan kedu a orang itu sia-sia. Kakek tinggi besar itu tidak memberikan tanggapan sama sekali. Melihat kenyataan itu, Ganta dan Kiwul pun yakin Ki Aswatama telah tewas "Guru...!" Hampir bersam aan Ganta d an Kiwul merebahk an wajah di kanan dan kiri dada Ki Aswatama. Kekh awatiran mereka terbukti. Kakek tinggi besar itu akhirnya tewas.

8

"Hik hik hik...!" Mbah Lulur Jagad tergelak m elihat tingkah laku Ganta d an Kiwul.
Ternyata, nenek berpakai an hitam itu melihat melalui sebuah bola kaca yang besarny a hampir sekepala manusia dewasa.
Tapi tidak lama Mbah Lulur Jagad bersikap demikian. Boneka tua itu lalu didekatkan ke atas sebuah pedup aan yang meng epulkan asap berbau wangi. Bau kemenyan! Pendupaan, bola kaca, boneka-boneka dan jarum-jarum besar dan panjang tergeletak semua di depan nenek ahli sihir itu.
Mbah Lulur Jagad membiarkan bonek a tua itu terkena asap pendupaan. Malah, bonek a itu digoyangkan-goy angkan di atasny a. Sementara mulu-ny a menggumamkan k ata-k ata yang sukar ditangkap artinya. Nenek itu tengah m engucapk an mantera-m antera. Cukup lama juga Mbah Lulur Jagad berbuat seperti itu.
"Atas nama roh-roh penasaran dan setan-setan di neraka, bangkitlah kau, Ki Aswatama. Dan mulai sek arang kau menjadi bud akku. Apa yang kuinginkan kau yang laksanakan! Bangkit! Bangkit!" Usai berkata begitu, Mbah Lulur Jagad mengambil kendi dan menuangkanny a ke dalam mulut. Berkumur-kumur beberap a saat. Lalu....
"Pruhhhh!" Mbah Lulur Jagad menyemburkan air kendi yang berasal dari tujuh mata air dan telah direndam dalam tujuh macam kembang itu, pada boneka tua di atas pendupaan! Baru setelah itu semua tindakannya dihentikan.
Sekarang, dengan sorot mata berbinar, nenek berpakaian hitam itu mengarahk an tatapannya, pada bola kaca di depannya. Tampak di sana Gantar dan Kiwul telah meng angkat kepal a. Kedua orang muda itu saling berpand angan.
"Hik hik hik...!" Mbah Lulur Jagad kembali tertawa terkikih ketika melihat mulut Ki Aswatama bergerak -gerak. Maka, buru-buru dicabutinya jarum-jarum panjang yang menyate tubuh boneka tua itu.
Kembali perhatiannya dialihkan. Dan ketika Ki Aswatama mulai bergerak bangkit, Mbah Luhur Jagad pun mulai dengan percobaan pertamany a.
"Bunuh kedua orang muda itu!" bisik Mbah Lulur Jagad dalam hati.
Akibatnya sungguh luar bias a! Sambil mengeluarkan geraman keras, Ki Aswatama mengayunkan kedua tangannya ke sisi kanan dan kiri.
Tindakan kakek tinggi besar itu membuat Gantar dan Kiwul, yang semula terpaku melihat orang yang telah mati hidup kembali, terkejut bukan main.
Kedua orang muda itu segera meny adari bahaya y ang mengancam.
Maka, sebisanya mereka berusaha meyelam atkan selembar nyawa. Dan itu dilakukan dengan membuang tubuh ke belakang. Tapi....
Crokkk, crokkk! Terdengar bunyi keras seperti sesuatu yang hancur ketika kedua tangan Ki Aswatama menghantam kepala Ganta dan Kiwul. Tanpa sempat mengeluark an jeritan lagi, mereka ambruk ke lantai. Tewas! "Hik hik hik...!" Mbah Lulur Jagad gembira bukan main melihat keberhasilan rencanany a. Sekarang, diperintahkanny a Ki Aswat ama keluar dan berdiri di depan pintu, menghadang kedatang an Dewa Arak. Karena pemuda berambut putih keperakan itu harus melewati tempat tinggal Ki Aswatama bila ingin menuju Bukit Rajang. Jalan itu adalah satu-satunya jalan yang paling dekat.
Dan, memang dugaan Mbah Lulur Jagad tidak salah. Dewa Arak memilih jalan yang melalui pondok Ki Aswatama untuk mencapai puncak Bukit Kajang. Pemuda berambut putih keperakan yang tengah terburu-buru ini mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuhnya, agar dapat segera tiba di tempat tujuan.
Karen a itu, hanya dalam waktu singkat pondok Ki Aswatama telah terlihat. Kali ini Dewa Arak tidak berm aksud untuk singgah. Waktunya sudah tidak memungkinkan lagi. Maka pemuda itu memutuskan untuk tidak mengendurkan lariny a meskipun melalui depan pondok Ki Aswatama.
Tapi sebelum niat itu terlaksana, sepasang mata Dewa Arak membelalak lebar ketika melihat pemandangan di depannya. Di sana tampak sesosok tubuh berdiri di depan pondok Ki Aswatama.
Yang mengejutkan Dewa Arak adal ah saat melihat wajah sosok itu.
Wajah itu adalah Ki Aswatama! Bukankah kakek tinggi besar itu sedang terbaring sakit" Mengapa sek arang terlihat begitu segar" Bahkan seperti menunggu kedatanganny a.

***

"Ki Aswatama...!" Begitu jarak antara mereka tingggal tujuh tombak lagi, dan telah melihat jelas kalau sosok itu adalah Ki Aswatama, Dewa Arak berteriak gembira.
Tapi kegembiraan Dewa Arak pupus ketika merasakan hal aneh merayapi dirinya. Dia meras akan ad a bahay a mengancam. Bahkan bahaya besar! Dewa Arak tahu ini adalah nalurinya. Maka, pemuda itu pun bersikap waspada.
Meskipun terlihat biasa saja, seluruh urat saraf dan otot-otot tubuhnya menegang. Siap menghadapi segala sesuatu yang tidak diharapkan! Keheranan Dewa Arak semakin membesar ketika menyadari kenyataan aneh. Kian dekat dengan Ki Aswatama rasa gelisahnya semakin menjadi.
Kenyataan itu mengherankan Dewa Arak. Buru-buru larinya dihentikan. Sekarang Arya mel angkah biasa. Sepasang mat anya diarahkan pada sosok Ki Aswatama.
Dewa Arak merasak an tengkuknya merinding. Padahal, tanda seperti ini hanya akan muncul bila dia bertemu dengan makhluk aneh.
Apakah Ki Aswatama bukan manusia" Pertanyaan itu membuat Dewa Arak menghen tikan langkah. Arya mulai curiga pada Ki Aswatama. Pemuda itu berdiri berhadapan dengan kakek tinggi besar itu dalam jarak tiga tombak.
"Arrrggghhh...!" Tiba-tiba Ki Aswatama meng eluark an geraman an eh. Bunyinya seperti raungan binatang buas yang terluka. Kemudian, kakek tinggi besar itu menerkam Dewa Arak bagai seekor harimau menerkam mangsany a.
Untung Dewa Arak sudah bersiap-siap. Meskipun demikian, pemuda berambut putih keperakan itu terkejut juga. Serangan Ki Aswatama demikian cepat dan dahsyat! Keh ebat annya berpuluh kali lipat dari serangan harimau yang paling buas sekalipun! Wusss! Dewa Arak tercek at ketika meras akan angin sambaran serangan Ki Aswatama. Angin keras itu sanggup melemparkan tubuhnya kalau tidak segera mengerahkan t enaga d alam pad a kedu a kali. Padahal, serang an itu belum juga tiba. Dewa Arak ad alah pend ekar y ang berwatak hati-h ati. Karena itu, Arya tidak seg era m emapaki serang an itu. Cepat kakinya dijejakkan hingga tubuhnya melesat ke atas melampaui kepala Ki Aswatama. Pemuda itu bersalto beberapa kali sebelum mendarat di tanah.
Tapi sebelum Dewa Arak sempat berbuat sesuatu, Ki Aswatama telah melancarkan s erangan susulan. Kak ek itu menggulingkan tubuhnya di tanah.
Kemudian ketika telah berada di dekat Dewa Arak, tubuhnya dilentingkan.
"Arrrggghhh...!" Lagi-lagi dengan diiringi geraman keras yang tidak layak keluar dari mulut manusia, tangan kanannya disampokkan ke pelipis Dewa Arak.
"Ah!" Dewa Arak terpekik kaget. Bukan hanya karena kecepatan serangan itu. Tapi juga karena sempat melihat tangan Ki Aswatama. Kuku-kuku runcing, panjang, melengkung, dan berwarn a kehitaman menghi asi ujung-ujung jarinya. Padahal, Dewa Arak tahu kakek tinggi besar itu tidak memelihara kuku! Hal ini membuat Dewa Arak yang cerdik segera dapat menarik kesimpulan. Sesuatu telah menimpa diri Ki Aswatama. Dan siapa pun sosok yang berdiri di hadapannya, yang jelas amat berbahay a bila dibiarkan hidup! Mungkin sosok ini memang Ki Aswatama. Tapi berkat ilmu hitam telah berhasil dijadikan makhluk mengerikan! Demikian kesimpulan Dewa Arak yang sadar akan banyaknya ilmu-ilmu aneh yang terkadang tidak masuk akal.
Keputusan yang diambil membuat Arya memutuskan untuk memapaki serangan itu. Ia ingin merasakan sendiri kekuatan tenaga Ki Aswatama! Maka, Dewa Arak segera mengayunkan tangan kirinya dengan mengerahk an seluruh tenaga dal amnya.
Plakkk! Benturan keras dua tang an yang dialiri ten aga d alam tidak dapat dielakkan lagi. Akibatnya, tubuh Dewa Arak terhuyung-huyung beberapa langkah.
Sementara tangan y ang berbenturan teras a ngilu! Ini menandakan tenaga dalamnya masih di bawah tenaga dal am Ki Aswatama.
Seketika itu pula Dewa Arak sadar kalau Ki Aswatama yang dihadapinya ini adalah makhluk jadi-jadian. Sebab, tidak mungkin seorang guru silat desa, betapapun tinggi ilmunya, memiliki tenaga dalam lebih kuat darinya! Tapi, Dewa Arak tadak bisa memikirkan hal itu lebih jauh. Ki Aswatama telah kembali melancarkan serangan yang tak kalah dahsyatnya.
Hingga, Dewa Arak harus mengerahkan s eluruh kemampuanny a. Ilmu 'Delapan Cara Menaklukkan Harimau' dan Ilmu 'Sepasang Tangan Penakluk Naga' warisan ay ahnya dikeluark an. Pemuda itu kelihatannya tidak memiliki kesempatan untuk mengambil guci araknya.
Semula pertarung an berl angsung seimbang; Tapi keadaan itu tidak berlangsung sampai lima jurus. Menginjak jurus kelima, Dewa Arak mulai terdesak.
Banyak hal yang menyeb abkan pemud a berambut putih keperakan itu terdesak.
Keberad aan Melati di bahunya, dan tambahan lagi hanya menggunakan sebelah tangan. Sehingga, kedahsyatan ilmu-ilmu wansan ayahnya berkurang.
Melati pun menyadari keadaan kekasihnya yang gawat.
"Lempark an aku, Kakang! Lemparkan!" seru Melati memohon.
Gadis berpakaian putih itu menyadari kalau keadaan seperti ini terus dibiarkan dia dan kekasihnya akan tewas.
Ketika pertarung an memasuki jurus ketujuh dan keadaan Arya semakin terjepit oleh serangan -serangan Ki Aswatama y ang menderu-d eru laksana gelombang laut, Dewa Arak memutuskan untuk memenuhi permintaan Melati.
"Bersiaplah, Melati!" Usai berkata, tubuhnya bergerak ke samning untuk mengelakkan serang an lawan, Arya melempark an tubuh kekasihnya.
Wuttt! Begitu tubuhnya melayang, Melati segera memusatkan pikiran agar dapat mendarat dengan baik, Saat itu dia hanya mempunyai sebelah tangan yang masih berguna. Tangan kanannya lumpuh total! Srattt! Melati mencabut pedangnya ketika melihat tubuhnya meluncur deras menuju sebatang pohon besar. Kalau tidak berbuat sesuatu, sudah dapat dipastikan tubuhnya akan membentur batang pohon. Dan kesudahannya akan tidak menyenangkan. Kini dengan ped ang terhunus Melati siap menghadapi kejadian selanjutnya. Cappp! Pedang itu menancap sampai hampir seteng ah nya ketika Melati menggengam pedangnya tegak lurus. Gerakan itu dilakukan Melati untuk membuat senjatanya yang lebih dulu membentur pohon, dan liukan tubuhnya. Kemudian, tanpa menemui kesulitan yang berarti Melati berhasil duduk dengan kedua kaki terjulur di tanah.
Ternyata bukan hanya Melati yang mendapatkan keberuntung an.
Arya pun demikian. Di saat tubuhnya melayang guci arak yang tergantung di punggung diambil. Dan, segera dituangkan ke mulutnya.
Gluk... Gluk... Gluk...! Bunyi tegukan terdengar ketika arak itu melewati tenggorokan Dewa Arak. Terasa ad a hawa hangat yang berputar di perut. Lalu, pelahan-l ahan naik ke atas. Dan....
Jliggg! Dewa Arak berhasil mendarat dengan kedua kaki lebih dulu. Tapi tak dengan mantap. Kedudukan tubuhnya sempoyongan seperti akan jatuh.
Karen a kedua kakiny a bdak menapak tanah deng an tetap. Tapi, justru dalam keadaan seperti itu serangan-s erangan Ary a sang at membahay akan lawan.
Ilmu 'Belalang Sakti' andalannya telah siap dipergunakan!

***

Ki Aswatama sedikit pun tidak mempedulikan hal itu. Untuk kesekian kalinya dia men erjang Dewa Arak d engan serangan -serangan dahsyat.
Tapi kali ini kakek tinggi besar itu kecewa. Dengan terhuyung-huyung seperti akan jatuh, gerakan khas jurus 'Delapan Langkah Belalang', Dewa Arak mengelakkan setiap lawan. Hingga, setiap amukan kakek tinggi besar itu selalu mengenai tempat kosong.
Tindakan Dewa Arak tidak berhenti sampai di situ. Dengan menggunakan jurus 'Belalang Mabuk' dan 'Pukulan Belalang', dilancark annya des akan-d esak an terhad ap Ki Aswatam a yang telah menjadi makhluk jadi-jadian.
Memang sungguh hebat ilmu 'Belalang Sakti'. Tangan, kaki, guci, dan semburan arak merupak an satu kesatuan yang menggilas habis pertahan an dan periawanan lawan.
Meskipun demikian, bukan berarti mayat hidup Ki Aswatama dapat dengan mudah ditaklukkan. Dia dap at melakukan perlawanan sengit yang mengakibatkan pert arungan berlangsung menarik dan menggiriskan.
Bunyi mendecit, menderu, dan mengaung menyemaraki jalannya pertarung an. Ditambah dengan geraman-g eram an Ki Aswatama yang menggiriskan hati. Dan bunyi tegukan ketika di tengah-tengah pertarungan Dewa Arak menyempatkan diri meminum arak.
Pertarungan berlangsung dengan cep at. Tak terasa pertarung an telah menginjak jurus keseratus. Dan selama itu belum nampak tanda-tanda pihak yang lebih unggul. Padahal, tempat pertarungan telah kacau bag ai habis dilanda badai.
Pertarungan itu rupanya dimanfaatkan oleh Dewa Arak yang cerdik.
Tanpa disadari lawan, pemuda berambut putih keperakan itu menggiring lawannya ke satu tempat. Tempat itu adalah puncak Bukit Rajang! Kini, pertarung an dua tokoh itu berlangsung di lereng Bukit Rajang.
Bukan hanya Ki Aswatama y ang tidak menyad ari maksud Dewa Arak. Mbah Lulur Jagad dan Ayu yang menyaksikan jalannya pertamngan melalui bola kristal pun tidak menyadari hal itu. Memang, pemandangan yang tampak di dalam kaca tidak terlalu luas. Tapi, latar belakang pertamngan yang terus berubahrubah seharusnya terlihat oleh Mbah Lulur Jagad! Bahkan, Melati yang terus bergerak mengikuti pertarungan tidak menyadariny a. Gadis itu bergerak dengan bantuan pedang. Tampaknya, Melati tidak terlalu memperhatikan karen a selumh perhatiannya tertumpah pada kancah pertamngan.
"Hih!" Pada suatu kesempatan, setelah berhasil membuat Ki Aswatama melompat ke atas, Dewa Arak menghentakkan kedua tangannya. Pemuda beram but putih keperakan itu melancarkan jurus 'Pukulan Belalang'.
Wusss! Deru angin keras berhawa panas menyeng at meluncur ke arah Ki Aswatama. Mayat hidup itu terkejut bukan main melihat serangan yang datangnya tidak di sangka-sangk a. Meskipun demikian, dicobanya untuk mengelak. Dan....
Bresss! Telak dan keras pukul an jarak j auh Dewa Arak mengh antam perut Ki Aswatama. Seketika itu pula, tubuh kakek tinggi besar itu terlempar jauh ke belakang dan melayang -layang beb erap a tombak.
Tapi, sebelum tubuh mayat hidup Ki Aswatama jatuh berdebuk terjadi sebuah peristiwa yang mengejutkan. Mayat hidup itu bersalto beberapa kali dan mendarat di tanah tanpa luka sedikit pun! Tidak tampak tanda-tand a dia baru saja terken a jurus 'Pukulan Belalang' yang amat dahsyat! Tentu saja kenyataan ini sangat mengejutkan Dewa Arak. Sambil mengeluark an geraman mengerikan, mayat hidup Ki Aswatama kemb ali melancarkan serangan. Mau tidak mau Dewa Arak menyambutnya kembali.
Sekarang alur pert arungan b erubah. May at hidup Ki Aswatama rupanya telah m enyadari kalau dirinya tidak bisa dilukai. Maka, serang an-serangan yang dilancark annya tidak memikirkan pertah anan lagi.
Bahkan ketika Dewa Arak melan carkan serangan, dibiarkan saja. Kemudian mayat hidup itu melancarkan serangan bal asan.
Akibatnya, Dewa Arak kerepot an bukan main. Beberapa kali serang annya harus ditarik pulang kal au dia masih ingin selamat. Diciptakannya kes empatan sampai kead aan menjadi aman. Baru kemudian dilancark an serang an. Dan memang serangan itu tepat mengenai sasaran. Malah yang mematikan! Tapi ternyata mayat hidup Ki Aswatama benar-ben ar alot! Dia tetap tidak mengalami luka sedikit pun! Tak terasa pertarung an sudah berlangsung dua ratus dua puluh lima jurus. Dewa Arak tahu kalau keadaan tidak berubah, dia akan tewas di tangan lawannya yang tangguh ini. Sebab, Ki Aswatama tidak bisa ditewaskan.
Dewa Arak seg era t eringat ak an peristiwa yang p emah dialaminya. Kalau ingin makhluk jejadian ini tewas, penggeraknyal ah yang harus dibinasakan (Untuk jelasnya menganai hal ini, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode "Penganut Ilmu Hitam").
Yakin akan k esimpulan yang didap at, Dewa Arak memutuskan untuk membunuh Mbah Lulur Jagad lebih dulu. Maka, tempat pertarungan pun terus digeser s ehingga sampai di mulut gua tempat tinggal Mbah Lulur Jagad! Begitu melihat gua itu, bergegas Dewa Arak meny elinap masuk.
Saat itulah Mbah Lulur Jagad baru sadar! Rasa cemas meland a hatinya.
Nenek itu pun bersiap -siap untuk kabur, bila kead aan tidak menguntungkan pihaknya! Mbah Lulur Jagad merasa lega ketika melihat Ki Aswatama ikut melesat masuk mengejar Dewa Arak.
Tapi hal ini sudah diperhitungkan pemuda berambut putih keperakan itu. Cepat kedua tangannya dihentakkan ke depan. Mengirimkan serang an jurus 'Pukulan Belalang'! Wusss! Bresss! Tubuh Ki Aswatama melayang-lay ang ke belakang seperti daun kering terhempas angin. Serang an Dewa Arak menghantam dadany a dengan telak! Kesempatan itu dipergunakan sebaik-b aiknya oleh Dewa Arak.
Arya terus melesat masuk ke dalam gua. Untung gua itu tidak begitu panjang.
Dan lorongnya pun hanya satu. Hanya dalam sekejap pemuda berambut putih keperakan itu telah berhasil mencapai bagian tengah gua yang cukup luas dan terang. Di tempat ini Dewa Arak melihat Mbah Lulur J agad d an wanita berpak aian merah tengah b ersiap-si ap untuk melarikan diri. Tanpa pikir panjang lagi, Dewa Arak mengh entakkan kedu a tanganny a secara bertubi-tubi. Suatu tindakan yang hampir tidak pemah dilakukan pemuda berambut putih keperakan itu, melancarkan jurus 'Pukulan Belalang' secara berantai ! Hal ini dilakukannya karena Dewa Arak khawatir serang annya akan berhasil dielakkan nen ek berp akaian hitam, yang diduganya Mbah Lulur Jagad! Bila hal itu terjadi mayat hidup Ki Aswatama akan segera masuk dan pertarung an pun kembali berlangsung.
Wusss, wusss, wusss! Heru angin keras berhawa pan as meluncur susul-menyusul ke arah Mbah Lulur Jagad. Karuan saja, nenek berpakaian hitam itu terkejut bukan main.
Datangnya serangan itu demikian mendadak. Apalagi dilancarkan dengan bertubitubi. Sebisanya nenek itu berusaha mengelak.
Memang, dua buah serangan Arya b erhasil dielakk an. Tapi tidak demikian dengan serangan berikutnya. Telak dan keras mengh antam dada Mbah Lulur Jagad ! Saat itu juga tubuhnya melayang d eras ke belak ang dan terhempas menabrak dinding. Tanpa sempat merintih lagi, Mbah Lulur Jagad tewas dengan selu ruh tubuh hangus! Samar-sam ar tercium bau daging terbakar.
Begitu melihat Mbah Lulur Jagad tewas, Dewa Arak segera melesat keluar gua. Sempat dilihatnya wanita berpakaian merah kabur melalui lorong yang lain. Tapi tidak dipedulikannya. Pemuda berambut putih keperakan itu tahu hal pertama yang harus dilakukannya ad alah segera meninggalk an gua, sebelum gua itu ambruk. Serangan jurus 'Pukulan Belalang' yang sebagian besar nyasar dan mengenai dinding gua telah menyebabkan seisi gua bergetar hebat! Meskipun demikian, Dewa Arak semp at melihat banyak boneka-bon eka yang terbuat dari kain hitam tertusuk jarum besar panjang pada bagian dada kirinya. Arya tidak tahu kalau beneka-bonek a itu mewakili tukangtukang pukul Juragan Trestajumena Geni.
"Hahhh...!" Dewa Arak menghel a napas leg a begitu telah berad a di hiar gua.
Tampak di depan gua tergeletak tubuh Ki Aswatama. Dugaannya ternyata benar.
Dengan tewasny a Mbah Lulur Jagad, mayat hidup itu pun tewas pula! Diam-diam Dewa Arak bersyuku r Mbah Lulur Jagad memiliki kepandai an silat yang tidak begitu tinggi. Sehingga, dapat ditewaskannya dalam serangkai an serang an berturut-turut.
Hanya satu h al yang masih menggayuti ben ak Dewa Arak. Wanita berpak aian merah. Meskipun hanya sekilas, Arya d apat mengen alinya.
Wanita itu adalah Ranti, murid Perguruan Pedang Perak y ang dulu mengenak an pakaian biru. (Untuk jelasnya, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode "Maut dari Hutan Rangkong" dan episode "Macan-Macan Betina").
Seketika itu pula Arya teringat, mengapa dia seperti mengenal suara wanita berpakaian merah itu. Sungguh tidak disangkanya kalau Ranti belum juga menghentikan tindak kejahatannya terh adap Melati Tapi, Dewa Arak seg era mengusir s emua pikiran itu, Arya teringat akan Melati.
Gadis berpakaian putih itu telah terbebas dari maut. Arya yakin tidak lama lagi Melati akan sembuh. Bukankah Mbah Lulur Jagad telah tewas" Dengan hati lega kakinya diayunkan menuju tempat Melati.

SELESAI



INDEX AJI SAKA
57.Perguruan Kera Emas --oo0oo-- 59.Titipan Berdarah

Berita Top News - ANTARA News

Suara.com - Informasi Berita Terkini dan Terbaru Hari Ini

Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.

Followers