INDEX JAKA SEMBUNG | |
Membabat Kiyai Murtad --oo0oo-- Badai Di Laut Arafuru |
JAKA SEMBUNG
Pendekar Dari Gunung Sembung
Karya Djair Warni
Pendekar Dari Gunung Sembung
Karya Djair Warni
1
Matahari semakin condong ke Barat dan beringsut perlahan-lahan menuju ke kaki langit. Cahaya yang terang berangsur-angsur pudar dan membeku kemerah-merahan, pertanda siang akan segera berganti malam. Burung-burung tampak pulang ke sarang, sementara penduduk Desa Kandanghaur melakukan tugasnya sebagai muslim, shalat jemaah di surau atau di rumah masing-masing. Di rumah Pak Penghulu, yang letaknya di pinggir jalan desa, kelihatan cahaya lampu yang terpancar dari celah-celah dinding. Beberapa orang laki-laki dan perempuan, bergegas-gegas masuk ke halaman dan menuju ke rumah yang lumayan besarnya."Barangkali kita terlambat," ujar salah seorang ibu dari rombongan itu dengan nada ragu. Ketika itu, terdengar suara adzan sayup-sayup dari jauh.
"Tidak," jawab Pak Kinong, "Itu baru adzan Isya.
Paling-paling Pak Penghulu sedang menunggu kita." Ibu Kinong memberi salam sambil mengetuk pin-
tu. Tidak lama kemudian, pintu dibuka dari dalam. Cahaya lampu yang menyembul ke luar dari pintu memperjelas wajah-wajah tamu yang datang.
"Oh, kalian, masuklah!" Ibu Penghulu yang sudah mengenal kedua orang tua itu mempersilahkan tamunya masuk dengan ramah.
"Ada Bapak, Bu?" tanya pemuda yang berdada bidang dan berperawakan cukup kekar.
"Tentu! Ia memang menunggu kalian sejak tadi." Tidak lama kemudian, Pak Penghulu pun mem-
persilahkan tamu-tamunya duduk di tikar yang telah tersedia dan memulai acara pernikahan kedua mudamudi yang sangat terkenal di desa kecil itu. "Pak Penghulu!" kata Pak Kinong mewakili kedua muda-mudi yang hendak menikah itu. "Berhubung kedua calon mempelai ini tidak mempunyai orang tua lagi, sebagai wali dan saksi adalah saya sendiri."
Kedua calon pengantin itu mengangguk, membenarkan.
"Baiklah, kita mulai," ujar Pak Penghulu dengan membuka kitab Pengantar Nikah sambil bertanya kepada calon pengantin laki-laki.
"Siapa namanya?" "Parmin, Pak!" "Nama Neng, siapa?"
Roijah tersenyum. Ia merasa lucu karena sudah kenal masih berpura-pura belum kenal.
"Nama saya Roijah, Pak!"
"Roijah, kau mencintai Parmin?" Gadis itu mengangguk sambil tersenyum.
"Kau, Parmin? Juga mencintai Roijah?" "Saya mencintainya, Pak!"
"Bagus! Suatu perkawinan yang tidak dilandasi oleh rasa saling mencintai, tidak akan kekal sampai kakek-nenek, mengerti?"
"Mengerti, Pak!" jawab kedua calon pengantin itu serentak.
"Alhamdulillah"
Sejenak suasana menjadi hening. Semua yang hadir menundukkan kepala menunggu acara akad nikah yang akan segera berlangsung. Tetapi tiba-tiba keheningan itu mendadak berubah dengan suara hiruk pikuk yang datang dari luar, diawali dengan dobrakan jendela dan pintu bertubi-tubi.
"Tenang!" ujar Penghulu dengan suara gugup.
Melihat gejala yang tidak baik itu, Parmin bangun dan secepat kilat melompat ke depan pintu diikuti oleh Roijah. Mereka berdiri bahu-membahu siap untuk menghadapi setiap kemungkinan yang akan terjadi. "Kalian siapa?" bentak Parmin dengan gemas." "Kami malaikat maut yang hendak mencabut
nyawamu, mengerti?" jawab salah seorang pengepung itu dengan sombong, sementara kawannya mengusapusap mata golok yang ada di tangannya.
"Begitu mudah kau pikir?" sela Roijah dengan sinis. "Sebaiknya kita tidak perlu banyak bacot dengan orang-orang seperti ini, Kang," tambah gadis itu dengan menahan amarahnya.
Serentak dengan kata-kata Roijah berakhir, Parmin dengan cekatan yang luar biasa menyerang orangorang yang berniat jahat itu. Sekali gebrak, kedua musuh itu terpental dan jatuh tak berkutik lagi dengan tangan memegang dada menahan sakit.
Roijah dengan nalurinya sebagai pesilat dan gerak matanya yang cukup waspada, tiba-tiba mendapat serangan dari belakang yang sama sekali tidak diduga. Tetapi, gadis itu bukan wanita sembarangan. Dengan gerakan secepat kilat membalik badannya sambil membetot kain yang sedang dipakainya dan menggasak kedua penyerang gelap itu. Dengan tangan kirinya yang terlatih ia menghunjam pukulan keras ke muka lawannya yang berada di depan, sedangkan lawan yang berada di belakangnya dikebut dengan pintalan kain yang berisi tenaga dalam, sehingga terjengkang jatuh dan disudahi dengan suatu tendangan maut telak di dadanya.
Pada saat senggang itu, Parmin mendekati kekasihnya sambil berbisik, "Hati-hati Dik, tempat ini telah terkepung rapat. Kita harus berusaha menerobos mereka."
Roijah mengangguk dan menatap Parmin sejenak, seakan-akan menyatakan, ia bersedia mati bersama. Sementara itu, seorang musuh yang berperawakan tinggi tegap dengan golok panjang di tangan berdiri tegak di halaman, tidak begitu jauh dari Parmin dan Roijah berada.
"Bagus! Akhirnya kau ke luar juga mengantar nyawa kepadaku," katanya sambil tersenyum sinis. Ia menatap Parmin dengan wajah garang serta mengancam, "Kalau kau tidak turun ke halaman dan menyerah kepada kami, aku akan membunuhmu dan membakar rumah ini menjadi abu, dengar?"
Gertak yang begitu, sudah tidak asing lagi di telinga Parmin. Karena itu, ancaman tersebut sedikit pun tidak digubris. Hanya yang menjadi pikiran, nasib Pak Kinong. Dia orang awam dalam hal seperti itu.
"Pak Kinong! Selamatkan diri Bapak," seru Parmin dari jauh.
"Aduh! Berhati-hatilah, Den!" jawab Pak Kinong khawatir.
Pertempuran meluas ke halaman. Parmin dan Roijah memberikan perlawanan sengit. Korban di pihak lawan berjatuhan. Kedua pendekar muda itu mengamuk sejadi-jadinya. Mereka bertekad mempertahankan diri sampai tetes darah terakhir. Namun yang merisaukan hati, pasukan pengepung terus bertambah, seakan-akan tidak pernah habis. Mati satu tambah sepuluh. Kedua pendekar itu benar-benar merasa kelabakan, hampir tak ada celah yang memungkinkan mereka dapat menyelamatkan diri. Tetapi, watak pendekar tidak pernah menyerah. Parmin dan Roijah terus berlaga sekuat tenaga. Tekad dan semangat bertempur kedua pendekar muda itu, hampir-hampir saja membuat musuh yang berlipat ganda tidak dapat bertahan.
Dalam keadaan demikian, tiba-tiba dari sebuah sudut yang gelap muncul tiga sosok tubuh. Salah seorang di antaranya maju ke depan sambil bertolak pinggang.
"Ha, ha, ha...!" tokoh itu tertawa dingin seraya
memberi perintah kepada bawahannya dengan suara yang berwibawa.
"Minggirlah kalian! Biar aku menyelesaikan si Ujang dan si Neng ini. Kelihatannya kalian menjadi makanan empuk si Jaka Sembung dan si Bajing Ireng itu."
Parmin yang disebut si Jaka Sembung dan Roijah si Bajing Ireng terkesima sejenak. Mereka serentak menatap wajah keras dan sorot mata yang tajam dari musuh yang baru hadir itu. Parmin sempat berbisik kepada Roijah, "Kelihatannya dia pembunuh berdarah dingin yang tidak boleh dianggap enteng." Roijah hanya mengangguk membenarkan kesan kekasihnya itu.
"Seorang serdadu kompeni Belanda mendampinginya, Kang!"
"Ya, kini baru jelas padaku. Mereka semua tidak lain dari antek-antek kompeni Belanda yang menjual harga dirinya sebagai bangsa sekaligus mengkhianati kita semua," jelas Parmin dengan kesal. Roijah mengangguk tanpa tanggapan, kecuali menyatakan kesan bahwa jagoan yang menjual diri kepada musuh itu seakan-akan berasal dari daerah Banten.
"Apakah kau termasuk juga seorang pengkhianat bangsa yang silau dengan gemercingnya uang gulden?" tanya Parmin tanpa disadari kata-kata itu melompat dari mulutnya.
"Hei, Ujang! Kau jangan bicarakan tentang pengabdian kepadaku! Itu terlalu muluk. Aku hanya ingin yang gampang-gampang saja. Perut tidak bisa dibujuk dengan alasan pengabdian, tetapi harus disumbat dengan kenyataan: Harus makan!"
"Oh, begitu?" "Mengapa tidak!" jawab si wajah seram itu. "Kalau begitu, kau hampir sama dengan anjing,
yang jika dikasih daging akan menggigit siapa saja musuh tuannya," tukas Parmin dengan nada keras.
"Kau menghinaku?" tanya pendekar itu dengan suara datar.
"Bukan saja menghina, tetapi aku ingin manusia seperti kau tidak boleh hidup lama," jawab Parmin sambil menyerang berbarengan dengan Roijah. Sementara orang itu masih tetap berdiri pada posisi kedua tangan di dada. Ketika itu terjadilah suatu keajaiban yang luar biasa.
Pada jarak sedepa sebelum serangan Jaka Sembung dan Bajing Ireng sampai ke tubuhnya, tiba-tiba tubuh Parmin dan Roijah terlempar keras ke belakang sejauh sepuluh depa.
Ketika Parmin bangkit dan menyiapkan sebuah jurus andalan yang baru, pendekar berdarah dingin itu masih tetap tegak berdiri di tempatnya dengan tenang.
"Oh, celaka! Orang ini memiliki ilmu kontak," gumamnya perlahan, "Meminjam tenaga lawan untuk suatu pukulan balik."
Sebelum Parmin dan Roijah sempat berpikir lebih jauh, tiba-tiba orang itu berteriak dengan sekuatkuatnya sambil melepaskan gerak tangannya secepat kilat. Angin kibasan dalam jarak 10 depa itu membuat tubuh Parmin dan Roijah seperti terlipat ke belakang akibat dorongan keras laksana angin puting beliung.
Parmin dan Roijah berusaha meluruskan badannya kembali dalam posisi tegak, tetapi pendekar yang lebih mementingkan perut itu sekali lagi membuat gerakan melilit seperti memeras kain cucian. Akibat gerakan isyarat yang luar biasa itu, tubuh kedua pendekar muda tersebut melintir hebat, kemudian jatuh tak berdaya. Tubuh Parmin dan Roijah jungkir balik dan menggelepar mengikuti gerak tangan musuhnya seperti benda elektronik yang dikendali dengan remote control. Lebih parah lagi, sendi-sendi tulang mereka gemerutuk lemas laksana seekor ular yang disentak dari kepala dan ekornya, sehingga sama sekali tidak berdaya.
Melihat keberhasilannya, pendekar hitam itu segera melangkah ke dekat kedua pendekar muda, yang sudah tidak dapat menggerakkan otot-otot mereka lagi. "Oh, kasihan! Hanya begitu sajakah kemampuan kalian?" ujarnya dengan nada sinis. Tetapi ejekan itu tidak mendapat tanggapan sama sekali. Pendekar berwajah angker yang diiringi oleh serdadu kompeni Belanda itu memanggil beberapa orang anak buahnya dan memerintahkan agar kedua korban itu diikat den-
gan tali yang kuat.
"Good! Kowe orang Inlander yang baik, Rasek!" puji perwira kompeni Belanda itu, dengan tersenyum. "Tuan besar van Eisen akan sangat senang dengan keberhasilanmu. Ia pasti menyediakan hadiah besar buat Kowe orang dan Kowe orang akan menjadi kaya."
Malam itu juga, mereka mengusung Parmin dan Roijah seperti mengusung binatang hasil buruan. Iring-iringan para pemburu itu bersorak sorai. Mereka berbondong-bondong menuju ke gedung tuan tanah Belanda, Yan van Eisen.
Pak Kinong dengan sangat terharu mengikuti dari dekat peristiwa Parmin dan Roijah. Ia kelihatan begitu terharu sambil mengeluh pada dirinya. "Waduh celaka, Den Parmin dan Den Roijah tertangkap oleh begundalbegundal kompeni Belanda. Ya, Allah ya Tuhan lindungilah mereka!"
Dengan rasa putus asa dan tubuh basah kuyup karena keringat dingin dan air mata yang berlinang, Pak Kinong dan Bu Kinong meninggalkan tempat bersejarah itu dengan terhuyung-huyung kembali ke rumahnya diikuti oleh para pengiring yang lain.
Dengan langkah yang terseok-seok Pak Kinong menuju ke pondok ladangnya yang terletak di tepi hutan Loyang.
Sebelum ia sampai ke pondoknya, ia seperti mendengar suatu panggilan yang menyebut namanya, "Pak Kinong tunggu!" Orang tua itu sangat mengenal suara tersebut. Itu pasti suara burung beo Parmin yang pandai berbicara.
Sebenarnya Penghulu Kinong sudah tak asing lagi dengan hutan Loyang, baik bahaya atau kepantangannya. Tetapi, karena perasaan terharunya terhadap nasib Parmin dan Roijah, ia lupa bahwa memasuki hutan Loyang di malam seperti ini sungguh sangat berbahaya. Akibat kelalaiannya itu hampir saja ia menjadi korban binatang buas yang sangat ditakuti penduduk setempat.
Ketika Pak Kinong hampir dekat ke pondoknya, sekonyong-konyong seekor raja hutan yang cukup besar muncul dari balik semak-semak. Binatang itu mengaum dengan sekuat-kuatnya. Karena terlalu kaget ia jatuh terkulai dan pingsan tidak berapa jauh dari tempat raja hutan itu berada.
Burung beo kesayangan Parmin yang terus membayang-bayangi Pak Kinong kelihatan sangat cemas. Burung itu berusaha menghalang-halangi harimau besar yang hendak mendekat ke tubuh orang tua yang tidak berdaya itu. Berkali-kali harimau buas hutan Loyang itu hendak melahap tubuh Pak Kinong, tetapi selalu saja dihalangi oleh sang Beo dengan cara terbang cepat sambil mengepak-ngepak sayapnya dekat mata si raja hutan tersebut. Akhirnya burung beo yang cerdik itu terkena juga cakaran sang harimau sehingga berdarah. Kini sang Raja Hutan yang lapar itu sudah tak acuh lagi pada burung Beo. Binatang itu telah bersiapsiap untuk menerkam tubuh Pak Kinong, sementara burung Beo yang berusaha melindunginya sudah tidak berdaya lagi. Ketika binatang buas tersebut hendak menerkam tubuh Pak Kinong dengan bernafsu, tibatiba tubuh harimau itu terpelanting ke belakang dengan keras. Binatang itu meraung dengan suara yang menggetarkan. Raja Hutan Itu sangat marah karena maksudnya terhalang. Tidak jauh dari tempat itu berdiri tegak sesosok tubuh kekar dengan pakaian serba hitam. Harimau jantan yang merasa terhina itu, segera menyerang penghalang maksudnya tadi. Dengan raungan yang menggentarkan seisi hutan Loyang, harimau besar itu meloncat dan menerkam musuh barunya, tetapi secepat kilat pendekar baju hitam itu berhasil mengelak, bahkan dengan tangan kanan yang cekatan berhasil menghunjamkan pukulan ke lambung harimau ganas itu sehingga jatuh tersungkur ke tanah dan tidak pernah bangun kembali.
Setelah berhasil melumpuhkan sang raja hutan, orang berbaju hitam itu dengan langkah perlahan menghampiri Pak Kinong yang masih tergeletak di tanah. Sang penolong itu segera mengeluarkan sebuah botol kecil dalam saku baju hitamnya. Isi botol yang sudah dibukanya diciumkan ke hidung Pak Kinong. Tak lama kemudian orang tua itu pun siuman kembali. Setelah melihat kiri kanan, Pak Kinong perlahan-lahan menoleh kepada penolongnya, Pak Kinong mencoba mengusap-ngusap matanya beberapa kali, tetapi yang terlihat wajah penolongnya yang itu juga. Pak Kinong mencoba mengingat-ingat kembali kemudian dengan yakin ia bertanya.
"Andakah yang membunuh harimau itu?" Orang itu mengangguk. "Aneh!" seru Pak Kinong pada dirinya.
"Apa yang aneh?" tanya orang yang baru menolongnya dengan heran.
"Mengapa Anda tidak membiarkan saja aku mati di tangan binatang buas itu? Nyawaku ini tidak berarti apa-apa jika dibandingkan dengan nyawa Jaka Sembung dan Bajing Ireng yang Anda bunuh."
"Apa maksudmu orang tua?"
"Bukankah Anda yang melumpuhkan Jaka Sembung dan Bajing Ireng?" tubuh Pak Kinong dengan nada benci.
"Aku tak mengerti bicaramu, Sobat! Dan aku juga tidak pernah melumpuhkan orang-orang yang kau sebut Jaka Sembung dan Bajing Ireng itu?"
"Anda yang menangkap mereka sesudah Anda melumpuhkannya dengan ilmu iblis seperti yang Anda gunakan untuk melumpuhkan harimau tadi."
Pendekar berbaju hitam itu mengerutkan keningnya sejenak pertanda ia tidak mengerti sama sekali tentang tuduhan yang dilancarkan Pak Kinong kepadanya.
"Pak! Aku baru saja datang dari Kulon dan secara kebetulan aku lewat di tempat ini dan melihat Bapak dalam bahaya serta aku dengan ikhlas menolongnya, tidak lebih dari itu!" jelas pendekar berbaju hitam itu dengan polos.
"Jadi, Anda anggap aku yang keliru menuduh?" "Mungkin Bapak keliru!"
"Kalau aku bohong, biarlah aku dimakan Iblis," ujar Pak Kinong dengan penuh keyakinan. "Andalah orang yang telah memperlakukan Den Parmin dan Den Roijah secara biadab di Desa Kandanghaur semalam."
"Kalau Bapak tidak percaya kepadaku, terserahlah!" kata Pendekar berbaju hitam sambil melangkah pergi meninggalkan tempat itu. Sementara Pak Kinong terus menyumpah-nyumpahnya.
Penolong Pak Kinong itu mencoba memahami tuduhan-tuduhan yang dilemparkan kepadanya, tetapi ia tetap tidak mengerti bahkan tidak merasa sama sekali pernah melakukan apa yang dituduhkan oleh orang tua itu.
Ketika Pak Kinong hendak meninggalkan hutan Loyang, ia kembali meyakinkan diri apakah harimau itu benar-benar telah mati? Dalam hati orang tua itu, timbul lagi tanda tanya, "Mengapa orang itu mau menolongku?" Tetapi Pertanyaan itu tetap tidak terjawab.
Pada waktu Pak Kinong melangkah beberapa langkah, setitik darah segar jatuh dari pohon mengenai telapak tangannya. Ia kaget, "Darah siapakah gerangan ini?" pertanyaan itu timbul mendadak dan mendorong orang tua itu untuk mengetahuinya.
"Pak Kinong!" ujar, Beo ajaib dengan suara nyaring di atas pohon. "Syukur kau selamat! Apa yang telah terjadi dengan Den Parmin dan Den Roijah?"
"Kau di situ, Beo? Turunlah!"
Beo yang cerdik itu pun turun dan bertengger di tangan Pak Kinong.
"Kau terluka Beo?" gumam Pak Kinong bersahabat, "Apa yang pernah terjadi denganmu? Mari kita segera pulang! Lukamu bisa membusuk jika tidak cepat diobati."
Dengan Beo di tangan, Pak Kinong bergegasgegas meninggalkan tempat itu. Pak Kinong sangat mengkhawatirkan keselamatan Beo ajaib tersebut.
***
2
Setelah Jaka Sembung dan Bajing Ireng dilumpuhkan begundal kompeni Belanda bernama Rasek, kedua pendekar muda itu diusung beramai-ramai dengan kedua tangan mereka diikat erat-erat ke belakang.Peristiwa tertangkapnya Jaka Sembung dan Bajing Ireng, malam itu juga tersebar luas di desa kecil Kandanghaur. Mereka diam-diam berkumpul dan memanjatkan doa demi keselamatan kedua pendekar itu.
Tuan tanah Yan Van Eisen, raja Kandanghaur yang terkenal kejam itu, tertawa lebar melihat orangorang yang selama ini selalu menghambat segala ambisinya, sudah tertangkap hidup-hidup dan tidak merupakan halangan lagi terhadap usaha mereka memeras rakyat.
Keesokan harinya, Parmin si Jaka Sembung dan Roijah si Bajing Ireng, dihadapkan kepada Yan van Eisen, penguasa Kandanghaur di rumah kediamannya yang cukup besar dan luas itu. Dengan tangan yang terikat ketat ke belakang, kedua pendekar rakyat, pembela hak asasi serta keadilan dan kebenaran itu, duduk berlutut di lantai tanpa hak membela diri.
Yan van Eisen menatap kedua tahanannya itu dengan penuh kebencian dan rasa dendam, tanpa sedikit pun merasa berterima kasih dan berhutang budi pada rakyat Kandanghaur yang telah memberikan kehidupan manis kepadanya sebagai bangsa yang menumpang hidup di kepulauan Nusantara yang ramah dan makmur.
Sebelum Yan van Eisen melampiaskan rasa marahnya kepada Jaka Sembung dan Bajing Ireng yang sedang meringkuk di hadapannya, Tuan tanah itu berkata dengan manis kepada Leonard van Eisen, anaknya yang menjadi perwira dan memimpin langsung penangkapan atas kedua pendekar rakyat Kandanghaur itu.
"Leonard, aku sangat bangga dengan keberhasilanmu menangkap kunyuk-kunyuk ini," Yan van Eisen menuding Parmin dan Roijah. "Peristiwa besar ini akan kulaporkan ke atas dan kuharapkan Jij akan mendapat penghargaan yang layak," tambah Yan van Eisen menatap anaknya yang senyum bangga.
"Kuharapkan begitu, Papie,"
Yan van Eisen mengangguk-angguk. Kemudian ia menoleh ke arah Rasek yang berdiri di belakang Leonard.
"En Jij Rasek! Kowe orang Inlander jempolan. Kowe orang berjasa besar kepada Kompeni. Jij berhasil menangkap pemberontak yang mencoba melawan pemerintah Kerajaan Belanda di sini. Ik akan memberikan hadiah uang kepada Kowe orang, supaya Kowe orang senang hati dan selalu membantu pemerintah Belanda yang ada di Kandanghaur ini, mengerti?"
"Saya, Tuan. Saya selalu siap membantu Tuan," ujar Rasek dengan bangga sambil mengangkat tangan memberi hormat.
"Goed!" Yan van Eisen merasa sangat puas dengan begundalnya yang satu itu. Kemudian tuan tanah yang kejam itu menoleh ke arah Jaka Sembung dan Bajing Ireng yang dengan pasrah menyerahkan nasibnya kepada Tuhan.
"God verdomme zeg!" sekonyong-konyong Belanda gemuk itu menghardik kedua tahanannya yang tidak berdaya dengan kasar.
"Kowe orang berdua musti terima hukum berat, mengerti? Kalian harus dihukum mati karena berontak melawan pemerintah Belanda yang berkuasa."
"Terserah Tuan!" cetus Parmin. Di wajahnya terbayang rasa benci dan muak melihat tuan tanah yang telah terlalu banyak menimbulkan penderitaan kepada rakyat.
"Seharusnya, Tuan dan sebangsa Tuan yang hidup di kepulauan Nusantara kami berterima kasih kepada bangsa dan negeri kami yang telah memberikan Tuan-tuan kehidupan dan kemewahan, yang di negeri Tuan-tuan belum tentu Tuan-tuan peroleh," tambah Parmin dengan berarti. Mendengar kata-kata Parmin yang cukup pedas itu, van Eisen seperti disambar petir. Cuping telinganya yang besar tampak bergerakgerak, pertanda sangat marah.
"Kowe orang berani melawan orang Belanda, ya?" ujar Belanda gemuk itu sambil mendekati Parmin. Kemudian dengan tidak disangka, Yan van Eisen mengayunkan tongkatnya ke kepala Parmin, tetapi untung pendekar itu berhasil mengelak ke samping sehingga pukulan yang keras itu tidak mengena telak di kepalanya. Parmin menatap Yan van Eisen dengan tatapan marah sambil berkata:
"Sungguh Tuan tidak kesatria! Tuan hanya berani dengan orang yang tangannya terbelenggu seperti saya. Lepaskan saya, saya tidak takut bertarung dengan Tuan satu lawan satu. Itu adat kami di kepulauan ini, selalu menyelesaikan masalah secara jantan."
Yan van Eisen terpaku sejenak: Kata-kata Jaka Sembung benar-benar terasa pada dirinya dan ia sangat terpukul. Kemudian dengan menahan marah, ia mendekati Jaka Sembung dan berkata dengan nada datar.
"Jaka Sembung! Sebaiknya Kowe orang mau bekerja sama dengan kompeni. Kami sangat senang dan kami memberi Kowe orang dengan gaji yang besar," sampai di situ berhenti sejenak sambil memperhatikan wajah Jaka Sembung, kemudian Belanda itu meneruskan saran dan bujukkannya yang sekaligus berisi ancaman, "Jika saran ku tidak dapat kau pertimbangkan, kau tidak mempunyai waktu lagi untuk besok, mengerti?!"
"Maksud Tuan?" tanya Jaka Sembung dengan marah.
"Besok pagi-pagi Kowe orang akan digantung di tiang gantungan."
Parmin alias Jaka Sembung terdiam sejenak. Hatinya tergoncang juga mendengar nasibnya akan berakhir di tiang gantungan. Ia sama sekali tidak gentar menghadapi mati, tetapi soal Roijah benar-benar merisaukannya.
"Bagaimana Jaka Sembung?" Yan van Eisen mendesak.
"Lebih baik gantunglah aku dari pada aku bekerjasama dengan penjajah bangsaku dan penindas rakyat Kandanghaur," jawab Parmin tanpa sedikit pun merasa gentar.
Mendengar Jaka Sembung berkata begitu, pitam Yan van Eisen mendadak naik ke kepala dan suatu tamparan kuat melayang ke pipi pendekar itu. Roijah menjerit di hatinya melihat kekasihnya diperlakukan sekasar itu, tetapi ia tidak bisa berbuat apa-apa. Ia terbelenggu dengan kaki tangannya seperti lumpuh: Seketika di hatinya melintas niat untuk meminta maaf kepada Belanda tuan tanah itu, demi keselamatan Parmin, tetapi kemudian ia menyadari, ia seorang kesatria yang berjuang tidak hanya untuk membela kekasih, tetapi untuk kepentingan rakyat banyak. Kepentingan rakyat lebih utama baginya daripada kepentingan pribadi semata-mata.
Yan van Eisen yang sedang kalap itu, tidak saja menampar Parmin berkali-kali, tetapi juga menendang dadanya sampai Parmin jatuh telentang. Namun dengan kekuatan semadinya yang kuat, Parmin tidak merasa terlalu sakit akibat pukulan dan tendangan itu.
"Bagaimana nasib kita, Kang?" tanya Roijah setengah berbisik ketika Belanda buncit itu meninggalkan mereka berdua.
"Tawakallah Dik, semoga Tuhan selalu bersama kita," jawab Parmin dengan tersenyum, meskipun di dalam hatinya menangis. Roijah mengangguk perlahan dan dari sudut matanya menetes setitik air mata bening yang mengalir menelurusi pipinya dan akhirnya jatuh ke pangkuannya sendiri tanpa tangan menyekanya karena kedua tangannya terikat ketat ke belakang.
"Kau menangis Roijah?" tanya Parmin dengan suara parau. Roijah menggeleng lemah dan menundukkan kepala melihat air matanya yang membasahi kainnya.
"Jangan menangis, Dik! Karena tangisan seorang pejuang bisa berarti suatu penyesalan tentang apa yang telah kita baktikan kepada orang banyak. Kau menyesal dalam pengorbanan mu selama ini, Dik?"
"Tidak, Kang!" bantah Roijah dengan tegas.
Parmin mengangguk-angguk; angguk yang penuh arti, "Alhamdulillah." ucapnya dengan tersenyum pahit. "Kalau kita menangis, Dik, rakyat akan terus menangis karena kehilangan harapan," tambah Parmin.
"Kang!" tiba-tiba Roijah berpaling ke arah Parmin dan berkata dengan nada haru. "Kalau kau dihukum gantung oleh Belanda, bagaimana aku? Aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Aku lebih senang turut digantung bersamamu."
"Mengapa harus berkata begitu, Dik? Bukankah patah tumbuh, hilang berganti? Kalau aku digantung oleh Belanda karena membela rakyat dan martabat bangsa, aku tidak begitu gundah karena kau masih ada untuk melanjutkannya, bukan begitu?" * * *
Pada waktu Yan van Eisen memperagakan kekejamannya terhadap Parmin, sepasang mata mengintip di balik kain pintu. Seorang gadis bermata biru dengan rambut panjang ikal berwarna kuning emas menyaksikan langsung bagaimana perlakuan Papinya terhadap rakyat di tempat mereka tinggal. Setiap pukulan tangan dan kaki yang dihunjamkan Papinya terhadap Parmin, disaksikan dengan mata sendiri.
"Aku setuju! Salah benar, Nederland selalu yang terbaik," gumam gadis itu mewakili suara hati nuraninya, "Tetapi perlakuan Papi terhadap anak negeri seperti itu, sungguh-sungguh mengurangi rasa hormatku kepadanya. Aku tak sampai hati melihat kekejaman itu berlangsung di depan mataku, walaupun itu dilakukan terhadap pemberontak yang merongrong kekuasaan pemerintah Belanda."
Malam itu juga, di alun-alun pasar Kandanghaur dipersiapkan sebuah tiang gantungan. Rasek dan orang-orangnya segera menyebarkan berita bahwa seorang pemberontak akan segera dihukum mati di tiang gantungan itu.
Rakyat Kandanghaur semua merasa duka, meskipun antek-antek kompeni Belanda tidak memberitahukan siapa yang akan digantung itu. Rakyat sudah dapat menebak. Kegelisahan rakyat terjadi di pelosok-pelosok desa di seluruh Kandanghaur. Mereka tidak tahu jalan apa yang mereka tempuh untuk menyelamatkan Jaka Sembung.
Daerah Kandanghaur sehari sebelumnya, tampak lengang. Penduduk hampir tidak melakukan kegiatan apa-apa. Kesedihan dan rasa cemas terbayang di wajah setiap penduduk. Mereka sangat prihatin, jika benar-benar Jaka Sembung alis Parmin dihukum gantung.
Ada pikiran-pikiran di sebagian masyarakat un-
tuk mengajukan permintaan kepada Yan van Eisen agar hukuman mati atas Parmin diganti dengan hukuman lain yang lebih ringan. Tetapi pikiran itu tidak pernah ada yang berani mengajukan kepada Yan van Eisen. Mereka takut kalau usul yang demikian berakibat jelek terhadap mereka.
Keesokan harinya, pagi-pagi buta, pelaksanaan hukuman mati di tiang gantungan atas diri Jaka Sembung alias Parmin dilaksanakan. Tubuhnya tergantung tanpa meninggalkan pesan apa-apa. Jaka Sembung secara jasad sudah tiada, tetapi jasanya hidup dan tumbuh terus di hati setiap rakyat Kandanghaur, kecuali yang berjiwa pengkhianat.
Penduduk yang lewat di alun-alun, menatap jasadnya sejenak kemudian meninggalkan tempat itu dengan air mata dan kesedihan yang mendalam. Caci maki rakyat terhadap Yan van Eisen serta begundalbegundalnya, terdengar di mana-mana: Keji! Biadab!
Sampai siang hari, alun-alun pasar Kandanghaur menjadi sepi, tak seorang pun penduduk yang keluar. Mereka berkabung diam-diam di rumah masingmasing. Sementara jenazah Jaka Sembung terus tergantung di tiang gantungan tanpa ada seorang pun yang berani menurunkannya. Di leher Jaka Sembung tergantung tulisan: JAKA SEMBUNG DE EXTREMIST!
Di balik tembok tahanannya, Roijah alias Bajing Ireng menatap tenang lewat jeruji besi. Ia tidak menangis; setitik air matanya tidak kelihatan. Di wajahnya hanya terbayang Parmin dan terngiang di telinganya pesan-pesan yang pernah diucapkan oleh pendekar itu.
"Kalau kita menangis, Dik, rakyat akan menangis terus karena kehilangan harapan." Kata-kata itu terngiang terus-menerus di telinga Roijah. Roijah bertanya pada dirinya, apakah aku dapat memenuhi pesan Parmin: Patah tumbuh hilang berganti?
Roijah hanya berdoa semoga ia tabah dan mampu meneruskan perjuangan kekasihnya yang sangat dicintainya. Dari pandangan matanya yang bening dan pasrah terpancar rasa begitu tawakal.
Sore harinya, jenazah Jaka Sembung itu baru diturunkan. Para penduduk Kandanghaur berdatangan dari tiap penjuru. Mereka berbondong-bondong ingin meminta jenazah pendekar Parmin untuk dikebumikan secara Islam, tetapi maksud tersebut ditolak mentahmentah oleh Yah van Eisen. Malahan penduduk yang datang diancam untuk ditembak jika tidak lekas-lekas meninggalkan alun-alun pasar itu. Mungkin Belanda takut, kalau-kalau rakyat Kandanghaur kalap melawan mereka. Akhirnya dengan penuh rasa haru bercampur benci kepada Belanda buncit, Yan van Eisen, mereka terpaksa juga mundur tanpa berhasil membawa jenazah Jaka Sembung.
Rakyat Kandanghaur, kembali ke rumah masingmasing dengan rasa penuh prihatin. Sebagian besar mereka berkumpul di surau-surau atau di masjid, memanjatkan doa untuk Jaka Sembung, semoga arwahnya diberikan tempat yang layak, sesuai dengan amal ibadahnya. Tujuh hari penuh, surau dan masjid dipadati oleh kaum muslimin yang memanjatkan doanya untuk Jaka Sembung.
Malam itu juga, setelah rakyat Kandanghaur meninggalkan alun-alun, Yan van Eisen memberikan perintah kepada orang-orangnya untuk segera membuang jenazah pendekar itu ke hutan Loyang sehingga binatang-binatang buas yang ada di hutan tersebut dapat melalapnya tanpa bekas. Sementara itu, para penduduk tidak berputus asa, mereka tetap ingin memperoleh jenazah Jaka Sembung untuk dimakamkan secara baik dan menurut agama Islam. Karena itu, mereka memilih beberapa orang yang dapat dipercaya untuk mencari keterangan di mana jenazah Jaka Sembung itu disembunyikan atau dibuang oleh tuan tanah gendut itu.
Akhirnya, berkat kesungguhan para penyelidik rakyat, mereka berhasil mengetahui bahwa jenazah Jaka Sembung dibuang ke jurang hutan Loyang.
Ketika begundal-begundal Yan van Eisen itu telah meninggalkan hutan Loyang, penduduk Kandanghaur yang sangat mencintai Jaka Sembung, malam itu juga berangkat menuju hutan Loyang. Nyala suluh dan obor penduduk mencari jenazah Jaka Sembung membuat seluruh hutan itu menjadi terang benderang. Mereka bertekad untuk sepenuh hati untuk mencari jenazah Parmin Jaka Sembung sampai dapat meskipun hanya tulang belulangnya.
Usaha pencaharian jenazah itu sampai tengah malam belum juga diketemukan petunjuk, bahkan darahnya pun tidak setitik terlihat, seandainya jenazah tersebut sudah dilahap binatang buas.
"Hei, Opang! Kok tidak ada jenazah itu di hutan ini?" tanya seorang pemuka rakyat, "Di mana kau lihat jenazah Jaka Sembung mereka buang?"
"Kalau saya tak salah di lembah ini, Pak." "Sungguh heran!" keluh pemuka rakyat itu den-
gan lesu.
"Kau yakin?" tanya Pak Kuwu seraya menatap Opang.
"Berani sumpah, Pak," jawab Opang dengan po-
los.
"Tetapi, kenapa tidak ada bekas-bekasnya?" ke-
luh yang lain. "Diseret macan ke sarangnya barangkali," duga yang lain lagi.
Tetapi, percakapan menduga-duga itu segera terhenti. Darah mereka tersirap mendengar suara seruling dengan lagu rakyat daerah Cirebon. Suara seruling itu begitu merdu dan mengalun sedih melukiskan kedukaan hati peniupnya.
Sejenak suasana menjadi senyap, kecuali suara seruling itu yang terus mendayu-dayu menyayatkan hati, sehingga ada di antara mereka yang hadir itu menitikkan air mata, apalagi kesedihan dan rasa berkabung memang sedang menyelinap di hati mereka itu. Saking terharunya, satu demi satu mereka terduduk di tanah seperti mendengar suara seruling ajaib yang datang tiba-tiba dari langit.
Ketika suara seruling itu berhenti, barulah mereka tersentak.
"Kobel, mengapa kau menangis?" tanya seorang tua yang duduk di dekatnya. "Jaka Sembung, Wak!" Semua yang mendengar ucapan si Kobel, menekur kepala.
"Aku yakin, Jaka Sembung tidak wafat. Dia telah bangkit kembali dan menjadi Dewa," kata seseorang di antara mereka dengan suara yang meyakinkan.
"Aku juga yakin," kata yang lain. "Semasa hidupnya ia memang suka memainkan seruling. Suara seruling itu pasti tiupan Jaka Sembung, tetapi dia tidak mungkin jadi Dewa, karena ia sangat taat pada ajaran agama Islam."
"Mungkin beliau seorang nabi, yang memperlihatkan mukjizatnya kepada kita," ujar seorang anak muda dengan nada sungguh-sungguh, tetapi cepat dipotong oleh seorang kyai yang sejak tadi tidak memberikan komentar.
"Ngawur kamu! Mana ada nabi yang turun sesudah Nabi Muhammad S.A.W!"
"Makanya, kalau tidak tahu, jangan sok tahu," ujar seorang anak muda lain sambil tertawa.
"Siapa yang sok tahu, hah?" bentak anak muda pertama dengan nada marah.
"Hei! Mengapa jadi bertengkar kalian?" tegur Pak Kuwu menengahi.
Akhirnya berita tentang seruling di tengah hutan Loyang yang dianggap ditiup oleh Jaka Sembung, menjalar dari mulut ke mulut dengan cepat serta saling membumbui, lambat laun menjadi legenda. Orangorang yang tidak suka berpikir, lantas cepat percaya bahwa Jaka Sembung tidak mati, tetapi lenyap begitu saja. Padahal menurut cerita yang disaksikan dengan mata kepala oleh kaki tangan Yan van Eisen, Jaka Sembung itu sudah tewas digantung, kemudian jenazahnya dibuang di lembah hutan Loyang. Seekor harimau besar segera menyeret mayat itu ke sarangnya dan apa yang terjadi... tidak ada yang tahu.
Selama berbulan-bulan, rakyat Kandanghaur masih saja membicarakan keanehan yang terjadi di hutan Loyang sehubungan dengan bunyi seruling gaib dan lenyapnya jenazah Jaka Sembung.
Di warung-warung cerita itu terus menjadi pembicaraan hangat.
"Kau percaya itu, Kawan?" tanya seseorang yang sedang ngopi di sebuah warung kepada kawannya.
"Kalau ya, biarlah! Biar roh Jaka Sembung datang menyabut nyawa Belanda gendut yang suka memeras itu!" jawab yang ditanya dengan seenaknya.
Akhirnya desas desus yang berkembang dalam masyarakat desa di Kandanghaur, sampai juga ke telinga Yan van Eisen.
"Onmoeglijk," teriak Yan van Eisen, seperti menutupi rasa ketakutannya, tetapi di hatinya timbul keragu-raguan. "Celaka, kalau itu benar!" gumamnya dengan gelisah. Ia menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Beberapa bawahannya yang hadir di kamar kerjanya ketika itu diam-diam dapat membaca kekhawatiran yang timbul dalam benak atasannya itu.
Ketika Leonard van Eisen datang menghadap ke kamarnya karena dipanggil, Yan van Eisen berdiri dari kursinya dan bertanya dengan suara setengah berbisik. "Kau dengar sas-sus tentang Jaka Sembung yang kini tersebar luas dalam masyarakat Kandanghaur?"
"Ya, Papi."
"Bagaimana pendapatmu, aku ingin dengar!" "Nonsens, Papi! Menurut laporan Inlanders baya-
ran itu, mayat Jaka Sembung mereka lihat dimakan harimau."
"Apakah mereka bisa dipercaya?"
"Ik yakin, Papi. Papi tidak perlu ragu!" jawab anaknya yang perwira kompeni itu dengan meyakinkan.
"Goed! Papi puas dengan penjelasan mu."
Sepeninggal Leonard, Yan van Eisen masih juga mondar-mandir di kamar kerjanya. Kegelisahannya yang tadi mereda, ketika itu muncul kembali. Ia tetap masih ragu-ragu pada keterangan orang-orangnya. Desas-desus Jaka Sembung masih hidup benar-benar sangat mempengaruhi ketenangannya. Kini ia merasa lebih ketakutan lagi daripada sebelum Parmin dihukum gantung...
***
3
Suatu petang kelihatan Leonard van Eisen sedang bersiap-siap dengan kuda hitamnya. Dari jauh adiknya, Elsye memperhatikan Leonard dengan cermat."Ini pasti ada urusan penting yang hendak diselesaikan," gumam gadis itu dengan penuh rasa ingin tahu.
"Aku harus mencegatnya dan mengetahui rencana itu. Ini mungkin mengenai Bajing Ireng!" bisik hatinya.
Ketika Leonard memacu kudanya dengan cepat, tiba-tiba Elsye mencegatnya dari jauh. Leonard menghentikan kudanya sambil bertanya dengan heran.
"Ada apa, Elsye!" "Boleh aku tahu?"
"Tentang apa?" Leonard tambah heran. "Kau hendak ke mana?"
"Aku hendak ke tangsi untuk membicarakan sesuatu dengan orang-orangku tentang "
"Tentang Bajing Ireng, bukan?" "Bagaimana kau tahu?"
"Naluriku sebagai wanita, Leonard!"
"Lantas apa maksudmu?" tanya Leonard agak kesal kepada adiknya itu.
"Aku tidak bermaksud apa-apa, Leonard," jawab Elsye dengan nada lembut, "Hanya aku ingin tahu hukuman apa yang dijatuhkan Papi kepada perempuan muda itu? Apakah ia akan digantung juga seperti kekasihnya, Jaka Sembung?"
"Tidak!" jawab Leonard dengan tegas sambil turun dari kudanya.
"Ia akan mendapat hukuman yang lebih berat daripada Jaka Sembung karena selain ia seorang ekstremis yang membangkang terhadap Kompeni, juga seorang pencuri yang telan menguras persediaanpersediaan padi di gudang Papi."
"Hukuman yang lebih berat bagaimana maksudmu?" usut Elsye ingin tahu.
"Papi telah menjatuhkan hukuman siksa kepada Bajing Ireng itu."
"Hukum siksa?" tanya Elsye dengan kening berkerut, "Dalam bentuk apa, Leonard?"
"Seluruh badannya akan digores-gores dengan pisau. Kemudian di luka-luka itu dipoleskan air asam dan garam," jelas Leonard dengan nada kesombongan.
"Wow, alangkah pedihnya," ujar Elsye dengan suara yang hampir tak terdengar. "Bukankah itu suatu perbuatan yang sadis, Leonard?"
"Justru itu yang dikehendaki Papi!"
"Kau tidak mengubahnya dengan hukuman lain?" "Kurasa tidak! Papi memang menginginkan perempuan itu mati secara pelan-pelan," jawab Leonard
seperti menyokong keputusan Yan van Eisen ayahnya. "Untuk apa hukuman sesadis itu? Bukankah kita
orang Belanda berbudaya tinggi?" cetus Elsye dengan rasa haru di wajahnya.
Mendengar ucapan Elsye yang keluar dari hati nuraninya yang dalam, Leonard van Eisen sejenak terdiam. Ia menatap adiknya dengan perasaan kecut.
"Sebenarnya, sejak dahulu aku mengenalmu sebagai Leonard van Eisen, seorang perwira yang bijaksana, tetapi sekarang " kalimat itu terputus.
"Hei, sebenarnya kau hendak mengatakan apa terhadapku?" bentak sang kakak.
"Aku tidak mampu mengatakan apa-apa kepadamu, tetapi aku memerlukan kebenaran. Sebenarnya siapa yang menjatuhkan vonis seperti itu kepada Bajing Ireng, Papi atau Kau? Aku ingin kejujuran," kata Elsye dengan sungguh-sungguh.
"Aku yang mengusulkan kepada Papi dan Papi menyetujuinya," jawab Leonard dengan jujur pada akhirnya.
Leonard adalah seorang perwira yang memulai karirnya sejak berdinas di Batavia. Selama karirnya itu ia dikenal atasannya sebagai perwira yang sangat luwes dan pandai mengambil hati pribumi. Karena itu, tidak heran kalau dia selalu berhasil menjinakkan pemberontakan baik melalui bujukan maupun kekerasan. Karena kelebihannya itu, oleh Gubernur Jenderal ia ditunjuk untuk menumpas pemberontak di daerah Cirebon. Ia datang ke Kandanghaur bersama adiknya yang perempuan, Elsye, sedang Yan van Eisen ayahnya, sudah sebelumnya berada di daerah itu sebagai tuan tanah. Elsye datang dari negeri Belanda ke Batavia untuk melewatkan masa libur sekolahnya dan kebetulan ikut Leonard abangnya, ke Kandanghaur sekaligus untuk berkumpul dengan orang tuanya.
"Jadi, kau yang mengusulkan dan Papi hanya menyetujui?"
Leonard mengangguk seperti malu kepada adiknya itu.
"Kalau begitu, tidak ada salahnya kalau kau pula yang menarik kembali usul itu dan menggantikannya dengan hukuman lain." saran Elsye dengan nada hormat.
"Baiklah akan ku coba, lihat saja nanti!"
"Dank U Wei, Leonard!" Ketika Leonard hendak menaiki kudanya, Elsye menahannya.
"Apa lagi, Elsye?"
"Satu lagi pertanyaanku, keberatan kau?"
"Apa? Seharusnya kau tidak bertanya lebih banyak kepadaku di jalan," jawab Leonard tersenyum, karena sebenarnya ia menyayangi adik perempuannya itu.
"Tidak banyak yang kutanyakan lagi, apalagi liburan ku hanya tinggal beberapa waktu saja."
"Jadi, apa yang ingin kau tanya?"
"Rupanya, Papi sangat gembira dengan dinas mu di daerah Cirebon ini."
"Maksudmu?"
"Kau sangat berarti bagi Papi. Beliau akan menggunakan kekuasaanmu di daerah ini untuk merampas kembali tanah-tanah milik pribumi yang selama ini telah dibebaskan oleh Jaka Sembung dan Bajing Ireng. Yang ingin kutanyakan bagaimana sikapmu sebagai perwira? Apakah kau juga sependapat dengan Papi?"
"Mengapa tidak?" jawab Leonard tanpa berpikir, "Tugasku selain untuk mengabdi kepada negara, juga sekaligus mengabdi kepada orang tua. Aku harus mengembalikan tanah-tanah Papi seperti sediakala."
"Tetapi, bukankah tanah-tanah itu milik pribumi yang diperoleh dengan menggunakan pengaruh pemerintah Belanda?" tanya Elsye secara terbuka dan jujur. "Elsye!" ujar Leonard dengan nada membujuk. "Pribumi tidak perlu punya tanah. Mereka cukup makan dengan upah yang diperoleh dari Papi sebagai tuan tanah. Mereka orang-orang bodoh Elsye, dan kita lebih pandai dari mereka. Lagi pula yang harus kau ingat, kekayaan Papi juga berarti kekayaan kita, bukan?" Elsye tidak menjawab. Ia hanya menatap Leonard dengan tatapan yang penuh arti. Tatapan gadis yang polos itu terasa menusuk hati Leonard, tetapi ia tidak pernah membuka hatinya lagi untuk kepentingan orang lain, selain kepentingan pribadi yang selalu di
atas segalanya.
Meskipun demikian, pembicaraan singkat yang pernah berlangsung dengan adiknya itu, pada saatsaat senggang selalu terngiang dan secara diam-diam ia membenarkan kata-kata adiknya itu.
Tetapi kekuasaan yang ada di tangannya, tampak lebih deras memacu daripada kebenaran yang datang sekali-sekali.
Beberapa waktu setelah pembicaraan Elsye dengan Leonard berlangsung, kesibukan di kalangan kompeni Belanda di Kandanghaur nampak menonjol seperti pada waktu peristiwa penangkapan Jaka Sembung dan Bajing Ireng. Para penduduk yang melihat kesibukan-kesibukan itu mulai bertanya-tanya lagi. Sebagian besar mereka menduga, kesibukan kompeni itu pasti erat hubungannya dengan Bajing Ireng.
"Kita bakal berkabung lagi," ujar seorang tokoh masyarakat.
"Berkabung?" tanya orang-orang yang mendengar pernyataan itu dengan serentak, "Berkabung tentang apa?"
"Mungkin Bajing Ireng hendak digantung pula oleh kompeni."
"Bapak tahu dari mana?" tanya seorang dengan nada cemas.
"Hanya perasaanku," jawab tokoh masyarakat itu, pelan.
"Mudah-mudahan tidak, Pak!"
"Semua juga mengharapkan begitu, Jang!"
Pembicaraan yang singkat di warung itu segera menyebar luas sampai ke pelosok-pelosok desa, apalagi dugaan itu datangnya dari seorang tokoh masyarakat.
Belum lagi hilang rasa sedih dan berkabung atas gugurnya pahlawan rakyat Jaka Sembung, kini kedukaan lain menyusup pula ke hati rakyat laksana sembilu tajam yang menyayat-nyayat mereka.
Kesibukan kompeni tambah meningkat. Suatu pagi serdadu-serdadu Belanda di bawah komando Leonard van Eisen, mengeluarkan perintah kepada para penduduk, agar seluruh rakyat di wilayah itu berkumpul di halaman Desa Kandanghaur. Setiap orang yang lalu lalang, diperintahkan oleh serdadu-serdadu itu agar turut mengumpulkan kawan-kawan mereka sedesa. Mereka yang sudah berkumpul itu segera digiring ke alun-alun.
"Benar dugaan Pak Hambali, Bajing Ireng akan dihukum gantung pula oleh kompeni keparat itu," bisik seorang anak muda dengan nada penuh kemarahan.
Salah seorang penduduk yang tidak mengerti masalah, dengan lugu berbisik kepada kawannya, "Ada apa ini, hah?"
"Paling-paling Belanda hendak mempertontonkan kekejamannya lagi kepada kita," jawab yang ditanya dengan bernafsu. Ia tidak sadar bahwa di belakangnya ada seorang serdadu. Serdadu itu segera menyentaknya dengan keras, kemudian memukul dengan gagang senjata di kepalanya sampai pingsan, sambil menghardik.
"Mampus!" Orang-orang yang menyaksikan kejadian itu menundukkan kepala. Mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Itulah tragisnya orang lemah!
Ketika semua rakyat sudah berkumpul di alunalun pasar, mereka kaget. Di tengah-tengah lapangan, terlihat seorang gadis dipalang di sebuah tonggak segi tiga dengan kedua kaki tangannya terikat ketat. Leonard dan Rasek, penghianat bangsanya, berdiri tidak jauh dari tempat Bajing Ireng dipalang.
Semua yang menyaksikan peristiwa itu tampak ciut hatinya dan putus asa. Mereka membayangkan bagaimana seramnya hukuman yang akan diderita oleh Roijah.
Tidak jauh dari tempat Roijah dipalang itu, terlihat pisau dan sebuah mangkok yang berisi cairan. "Mungkin Bajing Ireng akan menerima hukuman
picis atau hukuman siksa," pikir mereka yang mengerti, "Sungguh keji! Kejam!"
Beberapa saat suasana menjadi tegang. Alunalun diselimuti oleh rasa sedih dan duka yang mendalam. Tiba-tiba penduduk yang turut dipaksa menyaksikan kekejaman itu tersentak dari lamunan. Leonard van Eisen maju sedikit ke depan dan dengan suara keras ia berkata.
"Perhatian. Perhatian! Sebagaimana yang sedang Kowe orang saksikan, seorang pemberontak yang berani menentang kekuasaan Belanda, Bajing Ireng, hari ini akan menjalankan hukumannya. Atas nama Gubernur Jenderal dan demi kemuliaan Kerajaan Belanda, kami menjatuhkan hukuman picis kepada pemberontak dan maling besar Bajing Ireng ini," sambil menunjuk kepada Roijah, "Dan Kowe orang semua harus melaksanakannya."
"Kami?"
"Kami?"
"Kami? Yang harus melakukannya? Sungguh biadab, tidak! Tidak!"
"Tidak, tidak pantas sama sekali, budi baik dibalas dengan kekejaman. Lebih pantas rasanya kalau bajingan itu yang kita hukum bersama-sama," kata seorang kyai melampiaskan gejolak hatinya.
Setelah berpidato di depan penduduk Kandanghaur yang isi pidatonya tanpa disadari menyatakan kebencian kepada orang-orang Belanda secara tidak langsung, perwira tinggi Kerajaan Belanda itu melangkah perlahan-lahan ke arah Bajing Ireng alias Roijah, kemudian dengan kedua tangannya yang cukup kukuh itu merobek baju kebaya Roijah di bagian atas, sambil berkata: "Hendaknya hukuman ini menjadi contoh bagi Kowe orang yang mau berontak dan sekarang setiap orang harus maju ke depan untuk mengiris tubuh Bajing Ireng ini."
Sejenak suasana menjadi tegang. Rakyat yang hadir di alun-alun itu tidak seorang pun yang kelihatan maju ke depan untuk melakukan perintah Belanda itu.
Melihat kekakuan yang demikian, serdaduserdadu kompeni Belanda segera bertindak. Seorang serdadu maju mendorong seorang penduduk yang berdiri paling depan. "Ayo Kowe orang maju!" Orang yang dipaksa itu tidak beranjak sedikit pun dari tempatnya. Akhirnya dengan sedikit kekerasan, serdadu mendorongnya dari belakang dengan senjata.
"Ayo, cepat sayatkan kulitnya dengan pisau dan oleskan lukanya dengan air garam dan air asam ini," perintah sang serdadu dengan kasar. Tampaknya semakin dipaksa, penduduk-penduduk itu semakin seperti lumpuh dan tak mampu berdiri.
"Lakukan, Pak! Aku rela demi keselamatanmu," ujar Roijah dengan nada lembut. "Aku rela kalian yang melakukannya daripada Belanda busuk itu."
Mendengar kata-kata Roijah, justru mereka tidak mampu melakukannya. Tubuh mereka menjadi gemetar dan keringat dingin membasahi sekujur badan mereka.
"Ayo lakukan cepat, goblok!" desak serdadu yang memaksa mereka.
"Tidak, tidak!" kata orang itu setengah berteriak. Kemudian menangis tersedu-sedu sambil bersimpuh di kaki Roijah.
"Oh, Gusti Allah! Cabutlah nyawaku saja daripada berkhianat kepada orang yang telah membela kami." "God verdomme zeg!" bentak serdadu itu kehilangan akal. Sambil mengayunkan gagang bedil yang ada di tangannya ke kepala penduduk yang tidak berdosa itu. Orang itu jatuh tersungkur di tanah, disaksikan oleh penduduk lainnya.
"Mampus Kowe!" bentaknya.
"Hei, serdadu busuk! Tembak saja aku ini!" kata orang itu dengan nekad kehilangan sabar. Melihat sikap penduduk tersebut yang berani melawan, serdaduserdadu kompeni Belanda yang memang berwatak kasar segera memasukkan laras bedilnya ke mulut penduduk yang malang dan berbudi itu.
"Kau harus mampus!" bentak serdadu itu dengan keras dan suatu letusan terdengar, dibarengi dengan suara teriakan pilu yang singkat. Orang itu pun rubuh ke tanah dan meninggal seketika.
Roijah yang melihat peristiwa itu, darahnya seakan-akan mendidih. Ia mencoba meronta, tetapi ikatan di tangan dan kakinya terlalu mengetat.
"Biadab!"seru Roijah sambil menatap mata serdadu yang kejam itu dengan tajam.
"Ha... ha...!" ketawanya dengan mengejek, "Itu suatu contoh yang baik. Setiap orang yang mencoba melawan kompeni, akan kami kirim ke neraka!"
Seorang pemuka masyarakat dengan berani berkata gamblang:
"Saudara-saudara, batas kesabaran kita sudah dilangkahi oleh kunyuk-kunyuk gila ini. Kita harus melawan!"
Mendengar kata-kata berani yang diucapkan oleh seorang pemimpin mereka, suasana segera berubah. Di luar dugaan serdadu-serdadu Belanda itu mendadak rakyat Kandanghaur unjuk gigi. Kini rasa takut mereka lenyap seketika. Semangat kesetiakawanan mendadak menyala di dada mereka. Dendam terhadap kebuasan Belanda mulai berkobar. "Gantung Leonard!" "Cincang Belanda busuk!"
"Usir anjing keparat!" dan banyak lagi ungkapan rakyat yang melukiskan kebencian dan dendam kepada orang-orang Belanda. Perlahan-lahan rakyat mengepung mereka. Leonard tercengang heran. Kakinya seperti terpaku di tanah. Sementara rakyat semakin marah dan akhirnya rakyat tidak terkendalikan lagi. Dengan kekuatan dan keberanian yang luar biasa, mereka menyikat habis-habisan serdadu Belanda. Banyak serdadu kompeni Belanda yang tewas. Leonard kewalahan mempertahankan diri. Tetapi perlawanan ini tidak berlangsung lama. Akhirnya rakyat terpaksa melarikan diri ketika Rasek, pendekar dari Banten itu turun ke gelanggang membantu Belanda. Dengan ilmu iblisnya, Rasek menggebrak ke sana ke mari sehingga dalam sekejap saja penduduk yang melawan Belanda itu banyak yang menjadi korban.
Setelah peristiwa itu terjadi, semangat Leonard van Eisen untuk malang melintang di Kandanghaur menjadi turun. Peristiwa yang tidak disangka-sangka itu, ternyata banyak membawa hikmah. Hukuman picis yang dijatuhkan kepada pendekar Bajing Ireng dibatalkan. Leonard tidak berani lagi melaksanakannya. Selain itu, sejak peristiwa tersebut, perwira tinggi Belanda, Leonard van Eisen mulai bersikap sangat hatihati dan tak mau lagi menganggap rakyat enteng.
Beberapa hari kemudian, Leonard mengundang adiknya ke kamar kerjanya.
"Leonard! Kau panggil aku?" tanya Elsye ketika gadis yang cerdas itu memenuhi undangan tersebut.
"Ya, kau keberatan?"
"Malah aku senang diundang abang ku," jawab Elsye tersenyum. "Bukan mengejek kegagalan ku?"
"Tidak! Aku tak suka mengejek orang lain, apalagi kau abang ku, tetapi ada yang akan berani mengejek kegagalanmu itu," kembali Elsye tersenyum.
"Siapa?" tanya Leonard penasaran.
"Mungkin dirimu sendiri yang tidak suka mempertimbangkan saran orang lain," jawab Elsye, "Dan mungkin juga penyesalan mu."
"Kau berfilsafat denganku, mentang-mentang kau kuliah di Fakultas Filsafat," ujar Leonard dengan kebanggaan yang disembunyikan di hatinya, ia sangat bangga pada Elsye, tidak saja karena adiknya itu memang cantik, tetapi buah pikirannya juga brilian.
"Elsye, maafkan aku!" ujar Leonard sambil duduk dekat adiknya.
"Mengenai apa?"
"Mengenai saran mu yang tidak pernah kupertimbangkan tentang hukuman terhadap Bajing Ireng," jawab Leonard.
"Ya, ternyata kau meleset, bukan?" sesal Elsye tidak langsung. "Pribumi di negeri mana pun yang akan kau hadapi, jangan kau anggap merasa takut kepada kita karena kita kuat dan bersenjata."
"Begitu analisis mu?" potong Leonard dengan tersenyum.
"Malahan kita yang harus menghargai mereka karena mereka pemilik negeri ini. Soal kita berhasil menjajah mereka, itu soal kekuatan fisik," ujar Elsye sungguh-sungguh.
"Itukah sebab aku gagal menghukum Bajing Ireng?" tanya perwira tinggi itu setengah berdiskusi.
"Antara lain memang itu, tetapi yang lebih pokok ialah cara bertindak mu yang salah. Seandainya kau memilih hukum tembak saja, amanah pribumi tidak akan meluap sehebat itu. Karena itu, kalau boleh aku mengusulkan hukuman terbaik bagi Bajing Ireng ialah hukum tembak. Begitu juga bagi ekstremis-ekstremis lain," jelas Elsye berpendapat.
"Saran mu kurasa cukup, Elsye," ujar Leonard tiba-tiba seperti tersinggung, merasa didikte. "Aku akan memilih cara lain yang dapat memuaskan hatiku." ujar Leonard yang ternyata memiliki sifat pantang untuk disinggung.
"Aku boleh tahu, cara apa yang kau pikirkan
itu?"
"Bajing Ireng akan diikat dan diseret dengan ku-
da di sepanjang jalan desa. Untuk pengamanannya akan ku datangkan sejumlah serdadu, bersenjata lengkap dari Cirebon," jelas Leonard menahan hati.
"Hentikan nafsu sadisme itu! Aku tidak setuju dengan caramu itu," bantah Elsye meskipun ia tahu Leonard sudah mulai kesal dengan saran-sarannya.
"Elsye! Kau harus tahu, aku ini adalah Letnan Jenderal Leonard van Eisen yang diserahi kekuasaan di daerah Cirebon ini untuk menumpas pemberontak pribumi. Karena itu tidak seorang pun berhak membantah kemauan dan keputusanku, mengerti?"
Elsye terdiam dan tersinggung. Tetapi, ia tahu benar sifat abangnya yang sama sekali tak mau mempertimbangkan pendapat orang lain. Karena itu, ia tidak ingin mempersoalkan hal itu lagi sebab memang bukan haknya. Elsye bangkit dari duduknya dan pamit kepada abangnya tanpa sedikit pun memperlihatkan rasa tersinggungnya.
Sepeninggal Elsye, perwira tinggi kompeni Belanda itu termenung sejenak. Rasa penyesalannya berkata kasar kepada Elsye sempat mengusiknya beberapa saat...
Leonard, seorang militer yang suka menggunakan tangan besi hampir dalam setiap masalah. Sebagai perwira tinggi, ia sama sekali tidak mudah terpengaruh dengan pendapat orang lain, termasuk pendapat adiknya yang sudah duduk di perguruan tinggi seperti Elsye.
Dalam masalah tanah, Leonard benar-benar turun tangan langsung. Ia bertekad untuk terus membantu Papinya dalam usaha merampas kembali tanahtanah penduduk yang pernah diperjuangkan oleh Jaka Sembung sebelum ia digantung.
Sekarang Jaka Sembung sudah tak ada lagi. Kebebasan Yan van Eisen untuk menindas dan merampas milik rakyat, sudah tidak terhalang lagi. Bajing Ireng yang masih hidup, sudah tidak dapat berbuat apa-apa karena meringkuk dalam tahanan Leonard van Eisen.
Yan van Eisen dengan memperalat anaknya; Leonard, menghimpun sejumlah tukang pukul yang ditakuti rakyat dengan tugas mematok kembali tanahtanah yang selama ini digarap oleh para petani, yang semasa Jaka Sembung masih hidup berhasil diperjuangkan dan dikembalikan kepada para petani pemilik.
Itulah asal mulanya permusuhan antara tuan tanah Yan van Eisen dengan Parmin Jaka Sembung dan Roijah Bajing Ireng, yang kemudian berakhir dengan tragis untuk kemenangan tuan tanah Yan van Eisen yang dibantu langsung oleh kekuatan militer di bawah pimpinan Leonard van Eisen.
Suatu hari yang naas, serombongan tukang pukul Yan van Eisen mendapat perintah dari majikan mereka untuk kembali mematok tanah-tanah yang dulu pernah pindah tangan menjadi milik Yan van Eisen. Desas-desus itu sudah lama didengar para petani dan mereka telah bersiap-siap untuk mempertahankan hak miliknya, sumber hidup mereka.
Sebidang tanah yang sedang digarap oleh pemiliknya didatangi oleh tukang pukul tuan tanah. Tanpa bertanya dan berbasa-basi sedikit pun, orang-orang Yan van Eisen yang berwajah seram dan kasar itu melakukan pematokan dan mendirikan tanda pemilik yang berbunyi : TANAH MILIK VAN EISEN. Tentu saja pemiliknya menjadi marah.
"Hei, tunggu dulu! Apa itu?" tanya seorang pemilik sawah.
"Kalian tidak bisa baca, apa?" jawab tukang pukul itu dengan kasar.
"Tanah milik van Eisen?" keluh para petani itu, "Sungguh lucu! Kapan Belanda buncit itu datang ke mari membawa tanah, hah?"
"Hei, kalian jangan banyak bacot," hardik tukang pukul sambil mengeluarkan goloknya. "Siapa yang masih ingin hidup tinggalkan tanah ini. Mulai hari ini sawah yang kalian garap menjadi hak van Eisen kembali, mengerti?"
"Edan!" keluh petani pemilik.
"Siapa yang edan?" tantang tukang pukul sambil menjambret leher baju para petani sekaligus ditolaknya jatuh ke lumpur sawah. Tidak puas dengan perlakuan kasar seperti itu, rumahnya didatangi dan anak bininya diancam akan dibunuh. Akhirnya tanah itu jatuh juga ke tangan van Eisen.
Lain lagi dengan petani-petani yang bernyali besar. Mereka tetap mencoba mempertahankan hak miliknya. Kalah memang urusan belakangan.
Seorang petani yang memergoki orang-orang suruhan van Eisen memancang patok di pinggir tanahnya, langsung melabrak.
"Hei, apa-apaan ini? Cabut kembali, sebelum golokku berbicara," ancam petani yang berani. Tukang pukul itu kaget mendadak. Kemudian perlahan-lahan kagetnya hilang. Mereka mulai memperlihatkan senyum mengejek, sambil berkata:
"O, kau berani juga rupanya menghadapi kami." "Mengapa harus takut? Tanah ini milikku yang
sah, warisan turun temurun dari nenek moyang ku, bukan milik Belanda buncit itu, tahu?"
"Kemarin memang milikmu," bantah tukang pukul bayaran dengan tegas, "Tetapi hari ini sudah menjadi milik van Eisen."
"Kalian boleh menganggap begitu, tetapi patok itu harus kalian cabut sekarang juga," kata petani yang berbadan tegap, sambil mencabut goloknya.
"Kalau tidak kami cabut?"
"Harus kataku, sebelum golokku berbicara," ancam sang petani.
Sejenak suasana menjadi tegang. Kedua suruhan van Eisen berunding sebentar. Kemudian dengan nada mengalah berkata, "Baiklah kalau begitu, patok akan ku cabut." Ia berkata demikian sambil mendekati patok sementara kawannya yang lain berpura-pura meninggalkan tanah sawah itu. Hati pemilik sawah menjadi lega. Rasa marahnya lenyap seketika, tetapi apa yang terjadi?
Ketika seorang di antara mereka berpura-pura mencabut patok, temannya yang seorang lagi yang posisinya berada di belakang pemilik tanah, secepat kilat berbalik dan membokong petani itu dari belakang sehingga goloknya terpental jauh. Sementara itu, suruhan yang tadinya berpura-pura mencabut patok, segera memungut golok dan menghantam pemilik sawah yang belum sempat bangun. Tetapi di luar dugaan, suatu tendangan keras mengenai tepat di dada penyerang sehingga ia tak pernah bangun lagi untuk selama-lamanya. Namun pertarungan itu belum berakhir. Melihat temannya jatuh tergeletak di tanah, si pembokong yang semula mencabut goloknya dan membacok dari belakang tanpa sempat terjengkang oleh petani malang itu. Melihat korbannya bermandi darah, si tukang pukul segera ngibrit ketakutan.
Sementara itu, pemilik tanah yang menderita luka parah tersebut tampak beringsut perlahan-lahan mendekati patok dan dengan tenaganya yang masih tersisa, ia berhasil mencabut patok yang membawa malapetaka itu. Kemudian dengan pasrah ia menutup usianya setelah berjuang mempertahankan hak miliknya...
Di bagian lain di desa itu juga, peristiwa perampasan tanah milik para petani oleh orang-orang Yan van Eisen terus berlangsung. Tanah-tanah petani yang bernyali kecil, direbut dengan paksa tanpa perlawanan, tetapi petani-petani yang berani, tetap mempertahankan tanah miliknya, meskipun harus nyawa tantangannya.
Peristiwa perampasan tanah yang sering terjadi di Kandanghaur itu, semakin menggelisahkan rakyat. Ketenangan dan kenyamanan hidup di desa tersebut berangsur-angsur semakin hilang. Rakyat semakin tertekan dan penderitaan mereka semakin mendalam.
Pada saat-saat seperti itu, kembali mereka membutuhkan orang seperti Jaka Sembung dan Bajing Ireng. Tetapi kapan orang-orang seperti itu muncul lagi untuk membela mereka? Pertanyaan itu hampir timbul setiap hari di tengah-tengah masyarakat desa, tetapi juga mereka menyadari Jaka Sembung dan Bajing Ireng tidak mungkin datang lagi untuk menjadi pembela.
Belum lenyap lagi bermacam ancaman yang dialami oleh para petani, muncul pula berita yang tersebar dari mulut ke mulut tentang banyak petani yang terbunuh akibat mempertahankan hak miliknya dirampas oleh begundal-begundal tuan tanah Yan van Eisen.
Para pemuka masyarakat yang mengerti hukum, berkali-kali berusaha untuk mencari keadilan, terutama di pejabat tingkat atas di Cirebon, tetapi usaha itu sama sekali tidak pernah membawa hasil. Leonard anak tuan tanah Yan van Eisen mampu mempetieskan semua pengaduan tersebut.
Di suatu bagian desa, masih dalam Desa Kandanghaur terjadi pula suatu peristiwa yang hampirhampir tidak masuk akal.
Seperti biasa, dua orang begundal kaki tangan Yan van Eisen datang ke tanah sawah seorang petani yang sedang menggarap tanahnya. Dengan sikap sama sekali tidak memperdulikan pemiliknya, langsung memancang patok "van Eisen" di pinggir sawah yang sedang digarang itu. Melihat kenekatan dan kesombongan begundal-begundal tersebut, pemilik tanah menghentikan pekerjaannya. Petani itu datang mendekati dan bertanya:
"Mengapa di sawahku kau pancang patok van Ei-
sen?"
Pertanyaan itu tidak dijawab. Kedua pelaku ter-
sebut seakan-akan memperlihatkan kesan, kok ada orang yang berani bertanya seperti itu pada mereka.
"Hei, kalian budek?" ulang pemilik sawah dengan nada kesal.
"Sedikit budek," jawab salah seorang di antara mereka, "Ada apa rupanya?"
"Mengapa di sawahku kau pancang patok van Eisen?" ulang petani itu dengan nada kesal.
"Heii... kau mimpi barangkali?! Dengar kataku, tanah ini telah lama kau jual kepada van Eisen dan uangnya sudah habis kau pakai untuk mengawinkan anakmu yang janda itu, bukan?"
Petani itu sejenak tercengang, "Aku belum pernah berhubungan sekalipun dengan tuan tanah kejam itu. Apalagi untuk menjual tanah sawah warisan ayahku ini," bantah pemilik sawah dengan nada heran.
"Aku tidak pernah punya anak perempuan, apalagi mengawinkan anak yang sudah janda seperti kalian katakan," tambah pemilik sawah dengan dongkol.
"Ha...! Petani ini pandai berbohong juga rupanya," ujarnya tukang pukul gemuk yang berkumis lebat.
"Kalian yang pembohong dan mengada-ada!" bantah petani itu dengan marah. "Sekarang segera cabut patok itu!"
"Kalau kami tak mau mencabutnya?" tanya kedua tukang pukul itu serentak.
"Kalian harus mencabut, kalau kau tidak mau ribut denganku!"
"Tidak!" jawab mereka berbarengan.
"Jadi, kalian benar-benar hendak mencari garagara denganku?"
"Kalau ya, bagaimana?" kedua kaki tangan van Eisen itu memang mencari ribut.
"Ooh, kalian menantangku?" tanya pemilik sawah itu setengah berteriak sambil secepat kilat mengayunkan paculnya menyerang kedua jagoan tuan tanah itu. Tetapi, secepat kilat pula kedua mereka mengelak ke samping dan salah seorang di antara mereka berhasil menangkap tangan petani itu serta mempelintirnya dengan kuat sehingga pacul yang dipegangnya terpental jauh, serentak dengan terdengar suara pekik kesakitan, petani itu pun jatuh ke lumpur akibat lambungnya tersodok deras oleh musuh.
Ketika petani itu berusaha bangun kembali, begundal gemuk yang berkumis tebal bersiap-siap hendak menginjak tengkuknya, tetapi tiba-tiba ia tersentak kuat. Tangan kanannya terbelit ketat dengan seutas tali besar dan tubuhnya terjungkal ke belakang masuk lumpur.
"Jangan bertindak sekasar itu, mengerti!" terdengar suatu bentakan lembut yang ke luar dari mulut seorang wanita cantik yang duduk tenang di atas kudanya, yang tak lain adalah Elsye van Eisen sendiri.
"Tapi... ini perintah Tuan Besar Leonard, Nona," kata si kumis gendut itu membela diri.
"Aku tahu, tetapi bukan berarti kalian harus bertindak semau-maunya. Kalian tidak dibenarkan bertindak di luar batas menghajar para petani yang tidak berdosa, mengerti?"
"Mengerti, Nona!" jawab mereka serentak.
"Kalau kalian tidak mengindahkan nasihatku, aku takkan segan-segan menghukum kalian. Laksanakan perintah majikanmu ini dengan baik, dengar?"
Kedua begundal itu mengangguk. "Nah! Tinggalkan tempat ini segera!" perintah Nona Belanda dengan tegas. Sementara itu pemilik sawah yang penuh dengan lumpur bangun berlutut dengan penuh hormat sambil berkata:
"Terimakasih! Nona telah menolong hamba! Jika Nona tidak ada, tentulah hamba telah mati di tangan mereka!"
Elsye hanya mengangguk lembut. Di hatinya timbul rasa iba dan terharu, adakah pantas manusia selembut dan sesopan itu harus dianiaya dan diperas terus menerus?
"Sayang sekali, aku tidak dapat berbuat banyak untuk membebaskan kalian dalam hal ini, meskipun Leonard itu abang kandungku, namun jalan hidup kami berlainan. Maafkan aku dan selamat berpisah!" ujar Nona yang baik hati itu.
Ketika Elsye van Eisen meninggalkan tempat yang hampir-hampir saja meminta korban, petani pemilik sawah itu perlahan-lahan bangun dan berdiri tegak. Di hatinya, terlintas suatu pengakuan, "Rupanya tidak semua orang Belanda berhati kejam, tetapi sayang jumlah yang baik seperti itu sedikit sekali. Kapan kiranya bangsa Indonesia bisa lepas dari belenggu penjajahan ini? Sayang orang-orang seperti Jaka Sembung sudah tiada."
Petani itu terus berdiri sambil memandang gadis Belanda yang baik hati itu sampai kudanya menghilang di kelokan yang penuh semak belukar, sementara hari berangsur-angsur menjadi remang-remang senja.
Malam semakin larut. Rakyat Kandanghaur sebagian besar telah tertidur pulas. Mereka lelah akibat kerja keras di sawah dan di ladang-ladang. Sawah dan ladang itulah tumpuan hidup mereka, di samping usaha-usaha lain sebagai sambilan untuk memanjangkan hidup.
Suasana sunyi meliputi desa kecil itu. Hanya cahaya bulan yang remang-remang telah membuat desa itu sedikit hidup dan bergairah.
Dalam cahaya yang remang-remang itulah kelihatan dari jauh sesosok tubuh mungil berjalan setengah mengendap-endap menuju pabrik penggilingan padi milik Yan van Eisen.
Pabrik penggilingan padi ini, sejak kehadiran Leonard di Kandanghaur sudah dirombak menjadi rumah tahanan yang penuh dengan kamar-kamar berjeruji besi.
"Semoga James telah mengatur segala-galanya," gumam sosok tubuh itu sendirian. Sementara langkahnya semakin dipercepat menuju ke rumah tahanan itu.
Tidak lama kemudian, sosok tubuh itu menyelinap dengan hati-hati ke dalam rumah tahanan. Di depan pintu gerbang besi yang kukuh, sosok tubuh tersebut berhenti. Matanya tertuju kepada seseorang serdadu yang sedang berjaga-jaga di bagian depan.
"James!" serunya perlahan. Yang dipanggil tersentak sambil melihat ke arah datangnya suara yang seperti sudah dikenal itu.
"Elsye!" seru Jemas membalas.
"Sssst," desis Elsye sambil mengisyaratkan telunjuk di mulutnya pertanda hati-hati. Elsye masuk perlahan-lahan mendekati James.
"Bagaimana semua telah kau atur?"
"Semua aman, masuklah!" ujar penjaga itu dengan yakin.
"Di mana perempuan itu ditahan?" "Kau mau bicara dengannya?"
Elsye mengangguk sambil tersenyum. Ia memang gadis cantik yang ramah, yang mampu menundukkan hati laki-laki, apalagi James sebagai bawahan abangnya. James mengantarkan Elsye sampai ke pintu kamar, tempat Roijah si Bajing Ireng ditahan.
"Ya, Dank U Well!" ujar Elsye sambil mengisyaratkan James kembali ke tempat penjagaannya semula.
Elsye segera bertemu dan bertatapan muka dengan pendekar wanita terkenal di seluruh daerah Cirebon itu. Kesan pertama yang menyelusup di benaknya ketika itu ialah kecantikan Roijah, kesederhanaan sikap dan kewibawaannya yang dapat terasa.
"Oh, siapa Anda?" tanya Roijah ketika melihat seorang gadis berambut pirang di tengah malam masuk ke kamar tahanannya.
"Aku Elsye, adik kandung Leonard van Eisen." "Perwira tinggi yang pernah hendak menghu-
kumku dengan hukuman yang luar biasa itu?"
Elsye mengangguk, "Tetapi janganlah Anda menganggap aku musuh. Kehadiranku di hadapan Anda di tengah malam seperti ini semata-mata karena ingin bersahabat dan jika mungkin ingin menolong Anda," ucap Elsye dengan suara tulus yang dapat dirasakan oleh Roijah.
"Anda bermaksud menolongku?" tanya Roijah dengan tenang.
"Benar! Aku ingin membantu Anda untuk lari dari tempat celaka ini."
"Apa yang mendorong Anda melakukan pekerjaan yang begitu berbahaya untuk diri Anda?" tanya Roijah si Bajing Ireng tambah heran.
"Aku tak sampai hati kaum ku disiksa dengan biadab, meskipun kita berlainan kulit dan bangsa," jawab Elsye dengan lembut, "Tetapi perikemanusiaan tidak pernah membeda-bedakan itu," tambah Elsye sampai memegang bahu Roijah yang duduk dengan kedua tangannya terbelenggu rantai.
"Elsye, apa yang Anda ketahui tentang nasibku selama dalam tahanan ini?" tanya Roijah ingin tahu.
"Anda akan bernasib sangat buruk, Roijah! Anda akan menerima hukuman yang sama buruknya dengan hukuman yang pernah gagal dilaksanakan beberapa waktu yang lalu" jawab Elsye dengan nada sedih.
"Ceritakan kawan, seburuk apa pun hukuman yang akan ditimpakan kepadaku, supaya aku akan bersiap-siap menerimanya dengan tabah."
"Anda akan diseret dengan kuda sepanjang jalan desa besok pagi."
"Besok pagi?" tanya Roijah tersendat nafasnya. "Sekarang bersiaplah untuk lari bersamaku!"
tanya Elsye dengan bersungguh-sungguh.
Mendengar kata-kata yang diucapkan oleh Elsye, Roijah si Bajing Ireng terkesima. Ia menatap Elsye dengan pandangan yang mendalam. Roijah seperti bermimpi mendengar kata-kata seorang gadis Belanda yang sedang berlutut di depannya. "Anda ragu, Roijah?"
"Tidak!"
"Kalau begitu cepatlah! Serdadu-serdadu jaga di luar adalah orang-orangku. Mereka telah ku sogok dan Anda dapat ke luar dengan aman," tambah Elsye meyakinkan.
Tetapi, baru saja sampai di situ ia berkata, di luar terdengar suara letusan senjata api.
"Ha?! Suara apa itu?" tanya Roijah yang sudah siap untuk lari.
"Aku tak tahu," jawab Elsye dengan gugup. Ia segera melompat ke luar. Hatinya tiba-tiba menjadi kecut, kemudian ia terperanjat ketika melihat tubuh James terkapar di depan pintu gerbang berlumuran darah. Sesosok tubuh menyeringai kepadanya dengan sebuah pistol yang masih berasap di tangannya
"Mengapa kau ada di sini?" tiba-tiba terdengar suara Leonard.
Aku mau bertemu dengan James, yang sekarang telah kau bunuh," jawab Elsye dengan sangat marah.
"Untuk apa kau ke kamar tahanan?"
"Mengapa, kalau aku hanya ingin buang air kecil," jawab Elsye dengan lancar tanpa kegugupan di wajahnya sedikit pun.
"Bukan dengan seorang tahanan?"
"Tidak ada yang kukenal di dalam tahanan mu," jawab Elsye jengkel.
"Godverdomme!" teriak Leonard sambil mengayunkan gagang pistolnya ke muka Elsye sehingga Elsye jatuh terduduk. Tidak puas dengan perlakuan yang sekasar itu, ia menarik tangan adiknya dengan kuat, kemudian menyeret tubuhnya dengan bengis.
Semua yang terjadi di depan tahanan disaksikan oleh Roijah dengan penuh rasa haru. Di sepanjang jalan menuju ke rumahnya, Elsye diseret dengan kejam sehingga pakaiannya robek-robek dan lutut beserta betisnya luka berdarah.
"Lepaskan aku Leonard, lepaskan! Lepaskan!" teriaknya.
Kekejaman Leonard benar-benar diperagakan dengan sungguh-sungguh. Elsye diseret dari rumah tahanan militer sampai ke rumahnya yang jauhnya tidak kurang dari seratus lima puluh meter.
Sesampai di rumah, kedua belah tangan Elsye diikat kuat-kuat ke sebuah tiang. Kemudian dengan sebuah cambuk, Elsye dicambuki bertubi-tubi sehingga kulitnya yang mulus itu terkelupas mengeluarkan darah. Tubuhnya seperti mengkerut dan kejang. Elsye meratapi dengan sedih dan memilukan, tetapi tidak berhasil menggugah kekerasan hati abangnya yang kejam itu.
Leonard benar-benar sudah kemasukan setan. Dengan kalap ia terus mencambuk adiknya sehingga akhirnya Elsye tidak mampu bertahan dan pingsan.
Teriakan Elsye dan suara cambuk yang berkalikali itu akhirnya membangunkan Yan van Eisen dari tidur nyenyaknya. Dengan sempoyongan tuan tanah tamak itu keluar dari kamar tidurnya menuju ke ruangan tempat suara hiruk pikuk itu terdengar
"Hei, apa yang kau lakukan? Berhenti!" teriak Papinya dengan marah.
"Papi! Elsye bersekongkol dengan ekstremis itu!" lapor Leonard dengan wajah bengis dan penuh keringat. "Dia telah berkhianat kepada negara!" tambahnya.
"Jadi, hendak kau apakan dia? Hendak kau bunuh? Hendak kau gantung?" damprat Papinya marah, "Jika itu yang kau inginkan bunuh dan gantunglah aku. Aku sudah tua dan mungkin tidak kau perlukan lagi dalam segala hal!" wajah Yan van Eisen merah padam.
"Papi! Ik adalah penguasa penuh di daerah ini.
Jadi tak ada seorang pun berhak mencampuri urusanku!" tukas Leonard dengan tegas tanpa mempertimbangkan lagi siapa yang sedang berbicara di depannya. "O, begitu?" tanggap Papienya dengan cepat, "Te-
tapi harus kau ingat, jika kau bertindak sembarangan kepada Elsye anakku, kau akan berhadapan denganku di pengadilan militer kelak."
Leonard terdiam. Pengawal-pengawalnya pun terdiam.
"Peter! Lepaskan dia!" perintah Leonard kepada ajudannya. Peter segera melaksanakan perintah itu. Elsye bangkit perlahan-lahan dituntun oleh Papinya. Elsye yang seluruh badannya disengat cambukan Leonard, menangis tersedu-sedu di kamar Papinya, Yan van Eisen. Luka-luka yang diderita Elsye dibersihkan dengan teliti oleh Papinya dan kemudian diobati,
***
4
Peristiwa di rumah tahanan militer yang terjadi malam itu sangat dirahasiakan, James yang hanya tertembak di bahunya segera diangkut ke rumah sakit dan dirawat.Regu pengawal digantikan dengan regu baru. Tetapi dl luar pengetahuan serdadu-serdadu jaga itu menyelinap sesosok tubuh dengan langkah ringan tanpa sedikit pun bersuara.
Seorang serdadu yang sedang berjaga-jaga di pintu gerbang, tiba-tiba jatuh terkapar hanya dengan suatu pukulan tangan tepat di kuduknya. Serdadu itu rubuh terduduk tanpa sedikit pun mengeluarkan suara. Sosok tubuh itu tanpa banyak membuang waktu lalu masuk ke pintu gerbang kemudian menyelonong ke kantor.
"Ini dia," gumam orang itu sambil merenggut serangkaian kunci yang tergantung di kantor itu. Kemudian dengan langkah tenang tetapi pasti, membuka sebuah kamar yang terletak di tengah-tengah.
"Klek!" terdengar suara kunci dengan jelas.
Roijah yang masih belum tidur karena hatinya gelisah memikirkan nasib Elsye yang ingin menolongnya, tapi akhirnya ia sendiri mendapat malapetaka. Mendengar suara kunci kamarnya seperti dibuka orang, ia mengangkat kepala lambat-lambat. Tiba-tiba suatu panggilan terdengar jelas di telinganya,
"Roijah! Roijah!"
"Siapa?" tanya Bajing Ireng setengah berbisik karena suara yang memanggil namanya itu sudah sangat terkenal di telinganya. Di depannya berdiri sesosok tubuh samar-samar yang terlihat dari cahaya lampu yang terpasang di tengah-tengah gang.
"Oh. Kau Akang Parmin? Kau masih hidup. Akang?" ucap Roijah sambil merangkul orang yang sangat disayangi itu.
"Roijah! Aku masih hidup!" ujar bayangan samar itu dengan nada rindu dan berusaha meyakinkan kekasihnya bahwa pertemuan itu bukan dalam mimpi.
"Akang datang tepat waktunya," kata Roijah dengan gembira. "Kalau tidak, mungkin kita tidak akan bertemu lagi untuk selama-lamanya." Roijah semakin ketat memeluk Parmin, seakan-akan tak hendak dilepaskan lagi.
"Apa maksudmu, Ijah?"
"Besok pagi aku harus menjalani hukuman seret dengan kuda di sepanjang jalan desa," jelas Roijah dengan titikan air mata yang terasa hangat di bahu Parmin.
"Bagaimana kau tahu, Dik?"
"Panjang ceritanya, Kang! Nanti akan kuceritakan sesampai di luar," jawab Bajing Ireng sambil memperlonggar pelukan.
"Kalau begitu, marilah kita keluar segera dari neraka ini," ujar Parmin si Jaka Sembung sambil menarik tangan Roijah. Sebagai seorang pendekar yang memiliki ilmu tinggi untuk keluar masuk seperti itu tidaklah sukar.
Parmin dan Roijah segera keluar dari kamar tahanan itu. Mereka berjalan di gang dengan perlahanlahan. Sesampai di samping kantor, Roijah berbisik, "Banyak penjaganya, Kang!"
"Jangan ragu, Insya Allah, Tuhan selalu menyertai maksud baik kita," Parmin balas berbisik sambil meremas tangan Roijah dengan lembut. Sementara itu, di luar pintu gerbang kelihatan dua orang serdadu mengawal seorang tangkapan. Salah seorang di antaranya setengah berteriak minta dibuka pintu.
Parmin dan Roijah melihat kesempatan itu, "Bersiaplah, Dik!" kata Parmin dan begitu pintu terbuka berkelebatlah dua bayangan serentak dengan jatuhnya ketiga serdadu yang ada di depan pintu gerbang. Kejadian yang mendadak itu, telah membuat suasana kalang kabut, panik dan ketakutan.
Roijah dan Parmin telah berada di luar Rumah Tahanan.
Di ufuk Timur tampak fajar kemerah-merahan. Kokok ayam jantan mulai terdengar di sana sini. Seorang dua penduduk mulai meninggalkan rumahnya menyusuri jalan desa menuju ke alun-alun dan ke tempat-tempat lain untuk mencari penghidupan. Sementara itu suasana sibuk di Rumah Tahanan Militer semakin memuncak. Ketiga Serdadu yang jatuh kelengar di pintu gerbang, setelah mendapat perawatan seperlunya bangun kembali dengan terheranheran.
Seorang tangkapan yang sempat melihat peristiwa aneh itu dan kebetulan tidak berniat melarikan diri, padahal kesempatan itu ada, didengar keterangannya. Ia diperiksa oleh penjaga kepala dengan teliti.
"Kau lihat orang itu?" tanya pemeriksa dengan nada biasa.
"Hanya sepintas lalu, Tuan." "Berapa orang mereka?"
"Kalau tidak salah dua orang; seorang laki-laki dan seorang perempuan."
"Siapa nama mereka?" pemeriksa mulai memben-
tak.
"Saya tidak kenal, Tuan!" jawab orang separuh
baya itu dengan gugup.
"Masa tidak kenal, begitu kau hendak masuk dan pintu terbuka ia mabur dari sini. Pasti kau ada hubungan dengan dia," tuduh pemeriksa dengan wajah mulai bengis.
Ketika kepala jaga itu hendak melanjutkan pemeriksaan, seorang serdadu masuk ke kamar periksa dan melapor.
"Tugas telah dilaksanakan! Jenderal akan segera ke mari. Laporan selesai."
Mendengar laporan itu, hati Kepala Jaga mendadak tidak enak. Ia bangkit dari kursinya sambil memanggil seorang serdadu lain yang sedang tugas di luar.
"Bawa tahanan ini ke sel," perintahnya sambil menarik tangan serdadu yang baru selesai melapor dan mengajaknya ke suatu tempat istirahat di bagian belakang.
"Apa reaksi Jenderal mendengar laporanmu?" tanya Kepala Jaga itu khawatir.
"Ia marah-marah dan memukul-mukul meja seperti orang kalap," jawab serdadu yang ditanya dengan nada prihatin.
"Celaka!" seru Kepala Jaga sambil bersandar ke sandaran kursinya dengan lesu.
"Mengapa Kapitan?"
"Ia pasti menghukum kita karena dianggap kita teledor dalam menjalankan tugas, terutama aku," jelas Kepala Jaga itu dengan gelisah.
"Apa mungkin begitu?" tanya serdadu bawahan tersebut seperti tidak yakin.
"Kau belum tahu wataknya karena kau baru ditempatkan di sini, tetapi contohnya pasti kau ingat James, Kepala Jaga yang semalam ditembak oleh Jenderal Leonard hanya karena tidak ada di tempat ketika, ia datang ke kantor jaga.
Sehabis berkata begitu, Kepala Jaga terkejut langsung bangkit dari kursinya kembali ke kantor jaga seperti didorong oleh firasatnya. Benar saja, baru ia membenah-benah mejanya, Letnan Jenderal Leonard van Eisen datang marah-marah dengan wajah bengis.
"Rasek! Sebentar lagi hari akan pagi. Kau kutugaskan sekarang untuk segera mencari Bajing Ireng dan penolongnya. Tangkap mereka dan bawa ke mari hidup-hidup, mengerti?" perintah Leonard dengan tegas, "Kurasa mereka belum jauh dari desa ini," tambah Jenderal yang berdisiplin ketat itu.
Ketika Rasek meninggalkan Rumah Tahanan Militer itu, hari mulai terang. Angin pagi Kandanghaur berhembus sejuk, seakan-akan hendak menyejukkan hati Rasek dan Jenderal Leonard van Eisen yang penuh dendam. Rasek sebagai seorang pendekar yang tinggi ilmu hitamnya, sejenak bersemadi untuk mengetahui ke arah mana kedua buronan itu lari. Kemudian dengan tersenyum ia segera menggunakan ilmu lari angin dan menuju ke tempat sasarannya. Ia bergerak seperti seekor tupai dari pohon ke pohon sambil mengintai lawan yang dicarinya itu. Tubuhnya yang ringan itu melesat ke sana ke mari dengan mudah dan akhirnya matanya yang seperti radar itu sempat melihat dua orang yang sedang berlari cepat menuju ke arah Utara.
Rasek tersenyum dan dengan diam-diam ia bermaksud membuat suatu kejutan, menghadang kedua buruannya itu dari depan. Ia seperti terbang dan sebentar sudah berada di depan Parmin dan Roijah dalam jarak kurang lebih lima puluh meter.
"Kita terperangkap, Roijah!" ujar Parmin terhenti. "Jadi?" bisik Roijah.
"Kita terpaksa mundur karena melawan Rasek sama artinya dengan bunuh diri," kata Parmin sambil menarik tangan Roijah untuk lari. Tetapi, alangkah kaget mereka, tidak jauh dari tempat itu kelihatan Rasek lain semakin dekat menuju ke arah mereka.
"Aneh, Rasek ada di depan dan di belakang kita," keluh Roijah dengan sedikit khawatir, "Tidak ada pilihan lain Akang, sebagai pendekar kita harus melawan."
"Aku bukan Rasek! Aku musuhnya, biarlah aku melawan dia!" kata orang yang mirip dengan Rasek sambil tersenyum, "Kalian bukan tandingannya, anak muda!"
"Alhamdulillah!" ucap Parmin sambil menatap Roijah yang sedang siap-siap untuk bertempur, "Mundur Dik, biar kita jadi penonton hari ini," tambah Parmin. Roijah berangsur-angsur baru pulih dari ketegangannya. Kelihatannya Rasek sama sekali tidak memperhatikan kehadiran orang lain yang semakin dekat ke arahnya. Ia hanya melihat dan memusatkan perhatiannya kepada kedua buronan yang sedang dikejarnya itu.
"Hei, bocah! Kalian mau lolos ke mana?" teriak Rasek dengan suara yang menggema di setiap penjuru. "Lupakan mereka, Kawan!" seru pendekar berba-
ju hitam, yang wajahnya mirip dirinya,
"Kau hanya berani dengan anak ingusan yang bukan tandingan mu!"
Rasek terkesima sejenak, kemudian bertanya dengan kasar, "Siapa kau yang suka mencampuri urusan orang lain?"
"Ha, ha, ha.... Kau tidak kenal lagi padaku?" jawab orang yang ditanya dengan senyum mengejek. "Setahun lebih aku mencari kau ke mana-mana, akhirnya kutemukan juga disini telah menjadi begundal Belanda dan ikut memusuhi bangsa sendiri."
Rasek menatap musuh yang tidak dicari-cari itu. Semakin dipandang semakin ia teringat kepada kakaknya yang sudah lama tidak pernah bertemu. "Apakah ia saudaraku itu," tanya Rasek dalam hatinya dengan ragu. "Kalau saudaraku mengapa ia datang tidak untuk membantuku, tetapi sebaliknya berpihak pada buronan ku? Sungguh terlalu orang ini dan aku ingin memberikan sedikit pelajaran kepada tamu yang tidak sopan ini."
"Kau siapa sebenarnya? Aku tidak kenal padamu! Tetapi datang-datang seperti ingin mencari musuh denganku," ujar Rasek menahan hati.
"Ooo, baiklah! Aku akan jelaskan kepadamu," jawab orang itu dengan tersenyum, "Aku ini adalah prajurit Sultan Hasanuddin dari Banten yang berjuang bahu membahu dengan adikku mengusir Belanda dari tanah tumpah darah ini, tetapi sayang adikku kini telah memilih jalan terburuk bagi sejarah hidupnya sekaligus juga bagi keturunan ayah dan ibunya. Ia menjual harga dirinya demi kepentingan orang kulit putih yang membunuh dan menjajah bangsanya, bukankah itu sangat memalukan, Kawan?"
Rasek terkesima sejenak. Kenangannya melayang jauh di masa ia menjadi prajurit setia Sultan Hasanuddin. "Kalau begitu orang yang berdiri di hadapanku dengan pongah ini adalah saudaraku."
"Jadi, apa maksudmu?" tanya Rasek tetap berpura-pura tidak kenal bahwa yang berdiri di depannya itu adalah kakaknya sendiri.
"Aku hendak mengajak kau kembali ke jalan yang benar!" ujar pendekar berbaju hitam itu dengan tegas, "Tinggalkan segera loji orang kulit putih yang bukan tempatmu," tambah orang itu tegas.
"Kalau aku tak mau?" Rasek bersikeras
"Agaknya kau benar-benar telah berubah, lebih mementingkan dirimu sendiri daripada kepentingan tanah air dan bangsa mu," ujar pendekar itu dalam mata yang mulai berapi-api.
"Jadi, kalau aku tak mau mendengar khotbahmu itu, kau mau apa?" tantang Rasek yang juga mulai kesal.
"Aku ingin menagih sumpah pengawal Hasanuddin, yang pernah kau ucapkan di depan kitab suci setahun yang lalu. Kalau sumpah itu tak kau penuhi aku akan membunuhmu," ancam pendekar tersebut sambil menyerang dengan cepat.
"Caaat!"
Rasek melejit dengan cepat sambil melakukan gerakan salto di atas untuk kemudian dapat menyerang lawannya dari belakang. Sementara ia melejit itu ia sempat melepaskan kata, "Aku jemu menjadi pengikut Sultan Hasanuddin yang fanatik itu!"
"Karena kau silau dengan gemercing uang Belanda!" jawab pendekar yang tangguh itu sambil berkelit memutar badannya dengan cepat sehingga sasaran tendangan Rasek sama sekali tidak mengena. Akhirnya terjadilah suatu pertempuran seru antara abang adik kembar tapi berbeda prinsip itu, yang semula samasama menjadi pengawal Sultan Hasanuddin dari Banten.
Alam sekitarnya menjadi porak poranda akibat terkena angin pukulan tenaga dalam dari kedua pendekar yang sama-sama tangguh itu.
Jaka Sembung dan Bajing Ireng menyaksikan pertempuran ini dari jauh di semak-semak belukar. Ketika pertempuran itu berlangsung semakin hebat, tiba-tiba pasukan kecil serdadu kompeni Belanda di bawah pimpinan Leonard muncul. Yan van Eisen yang matanya cukup jeli meskipun sudah tua, sepintas lalu berhasil menangkap sekelebat bayangan yang diperkirakan tidak lain dari Roijah dan penolongnya. Dengan gerak reflek ia segera membidik dan melepaskan suatu tembakan. Nasib Roijah belum naas. Roijah berhasil dengan cepat menjatuhkan diri ke tanah sambil dengan cepat pula melemparkan goloknya ke arah Belanda gendut itu. Hasilnya sungguh sangat memuaskan, golok Roijah tepat menancap di hulu hati Yan van Eisen sehingga pistol yang digunakan untuk menembak Bajing Ireng terjatuh, serentak dengan dirinya rubuh pula. "Papi!" seru Leonard memburu ke dekatnya, teta-
pi ia tertegun karena sesosok tubuh melesat ke arahnya. Pistol yang ada di tangannya dengan cepat diarahkan ke tubuh Parmin, tapi sebelum senjata itu berhasil meletus tongkat besi Parmin telah melayang ke mukanya dan pistolnya terpental jauh.
Parmin secepat kilat menyerang perwira tinggi Belanda itu dan dengan satu tatakan di tengkuk melalui tangan kanan Parmin, ditambah suatu sodokan dengan tangan kiri di ulu hati. Leonard ambruk muntah darah dan menemui ajalnya seketika.
Pada waktu Parmin hendak meninggalkan tempat itu, ia mendadak kaget karena laras senapan-senapan tertuju ke tubuhnya hanya tinggal ditarik pelatuknya saja. Ajal Parmin belum ditentukan Tuhan di tangan mereka. Parmin dengan tenang memandang mereka satu per satu. Kemudian berpura-pura mengangkat tangannya ke atas, tetapi tiba-tiba tangan yang diangkat itu dengan cepat menggebrak!
Keempat serdadu Belanda itu sehingga keempat senjatanya hendak ditembakkan kepadanya terpental jauh. Serdadu-serdadu yang rubuh itu pun tidak pernah bangun lagi.
Keenam orang Belanda yang datang ke situ telah menemui ajalnya semua. Parmin dan Roijah meneliti satu per satu tubuh lawan yang tergeletak itu.
"Belanda ini yang memerintahkan aku digantung," kata Parmin sambil menunjuk dengan kakinya kepada Yan van Eisen.
"Tetapi, yang paling kejam, Kang, ini!" ujar Roijah yang berdiri dekat Leonard. "Dia ini yang merencanakan hukuman picis untuk. Kalau Akang tidak datang mengeluarkan aku dari Rumah Tahanan Militer itu, hari ini aku sedang diseret si jahat ini di sepanjang jalan desa."
"O, ya bagaimana kau tahu hukuman seperti itu yang akan kau terima?" tanya Parmin sambil menarik tangan Roijah ke tempat persembunyiannya semula.
"Nona Elsye adik kandung Leonard yang datang ke kamar tahanan ku sebelum Akang datang."
"Untuk apa?" tanya Parmin heran.
"Ia hendak menolong aku minggat dari tahanan." "Tetapi, mengapa tak jadi?"
"Keburu ketahuan oleh abangnya ini. Seorang Kepala Jaga yang bersekongkol dengan Elsye ditembak di tempat. Elsye sendiri disiksa dan diseret di sepanjang jalan mulai dari Rumah Tahanan sampai ke rumah van Eisen.
"Aneh juga! Apa yang mendorong gadis itu hendak menolongmu?" tanya Parmin.
"Sederhana saja alasannya," jawab Roijah. "Ia tidak sampai hati membiarkan kaumnya diperlakukan di luar perikemanusiaan."
"Lantas?" tanya Parmin, namun Roijah tak perlu menjawab.
"Mari kita lihat pertempuran sengit antara kedua orang Banten itu, Kang!"
Ketika itu, dari jauh terlihat kedua mereka itu tidak lagi bertarung fisik dan kecekatan silat, tetapi sudah menggunakan pertarungan tenaga dalam dari jarak jauh.
Kedua pendekar yang sama-sama memiliki ilmu tinggi itu mengeluarkan ilmu tenaga dalam masingmasing, sehingga pada titik konsentrasi tertinggi kekuatan tenaga dalam itu mereka salurkan ke arah lawan. Rumput-rumput yang ada di antara jarak kedua mereka mendadak hangus kekeringan. Tubuh mereka masing-masing bergetar hebat, tetapi tidak ada seorang pun yang jatuh dan menderita luka dalam. Mereka sama kuat dan sama tangguh.
Akhirnya mereka sampai pada kesimpulan bahwa salah seorang atau kedua-duanya harus mati.
Pendekar berbaju hitam dan menyebut dirinya sebagai pengawal Sultan Hasanuddin Banten, menyilangkan kedua belah tangannya di dada sampai mencapai bahu, ia berkata, "Demi keagungan Sultan... kau harus mati, Rasek." Sedangkan Rasek sendiri dengan membentangkan kedua belah tangannya ke samping, ia berkata: "Maafkan Matilah kau, Kakang!"
Dan apa yang terjadi?
Sejenak kedua mereka seperti menahan sakit yang luar biasa. Kemudian tiba-tiba tubuh mereka ambruk. Di mulut mereka keluarlah darah hitam kental.
Melihat pendekar berbaju hitam itu ambruk, Parmin dan Roijah segera keluar dari semak-semak. Kedua pendekar muda itu datang melihat orang yang sudah menyelamatkan mereka, yang kemudian mereka tahu orang itu pula yang telah menyelamatkan Pak Kinong dari moncong harimau hutan Loyang.
"Kami sangat berterima kasih kepada Bapak," ujar Parmin dengan rasa terharu. Roijah yang selama ini tidak pernah menangis, kini menangis di dalam hati. Air matanya setitik demi setitik mengalir ke pipinya kemudian jatuh ke baju hitam pendekar kesatria itu.
Sebelum ia menutup mata terakhir ia sempat berpesan kepada Parmin, "Teruskan perjuangan mu melawan penjajah dalam bentuk apapun, anak muda. Karena kalian berdua merupakan harapan rakyat yang lemah dan memerlukan pembelaan mu."
Sejenak terdiam. Nafasnya turun naik dengan kencang, kemudian biasa kembali. Ketika dia meneruskan pula pesannya, "Aku telah mendengar namamu yang kesohor, Jaka Sembung. Kau jangan khawatir, seluruh rakyat Banten berdiri di belakangmu dan doa mereka tidak habis-habisnya untuk kalian," sampai di sini pesan itu terhenti lagi.
Parmin yang selama ini seperti berhati baja, tidak pernah menyerah dalam kedukaan apa pun, kali ini tanpa terasa air matanya menetes juga. Keharuannya yang mendalam telah menyebabkan ia sadar, bahwa dirinya juga tidak terlepas dari perasaan dan kelemahan.
"Jaka Sembung dan Bajing Ireng, kepadamu ku gantungkan harapan agar para pendekar tangguh di setiap daerah Nusantara kita bersatu untuk mengusir penjajah. Semoga Tuhan melindungi perjuangan kita. " sampai di situ ia berpesan, perlahan-lahan kepa-
lanya lunglai ke samping kanan...
"Ia telah meninggalkan kita," ujar Parmin sambil membuka ikat kepalanya menutup wajah pendekar yang baik hati itu. "Inna lillahi wa innailaihi roo jiuun "
Parmin dan Roijah bangkit perlahan-lahan. Hati mereka seperti tersayat-sayat. "Sayang orang gagah dan setia seperti ini harus meninggalkan kita," ujar Jaka Sembung dengan nada haru.
Angin petang berhembus lembut seperti membawa cerita damai yang mengakhiri peperangan. Seluruh padang luas itu bermandikan sinar matahari sementara beberapa pohon rindang seperti mengundang orang untuk berteduh di bawahnya.
"Kita berteduh di bawah pohon itu, yuk!" ajak Parmin seraya menarik tangan Roijah.
"Belum waktunya bersantai, Kang! Keamanan diri kita belum terjamin lagi," kata Roijah menolak dengan halus.
"Itulah yang hendak kita rencanakan, Dik!" jelas Parmin tersenyum.
"Apa rencana kita sekarang, Kang?" tanya Roijah sambil duduk di rumput hijau.
"Menurut Ijah apa?" Parmin balas bertanya. Roijah tidak menjawab. Matanya memandang lu-
rus jauh ke depan.
"Aku ingin dengar rencanamu, Ijah!" kata Parmin, tapi Roijah justru bangun dari duduknya seperti ada sesuatu yang terlihat dari jauh, "Tunggu, Kang!" ujarnya dengan sungguh-sungguh.
"Ada apa?" Parmin setengah berbisik. "Kelihatannya ada seorang gadis yang Sedang
menangis di sana!"
Parmin bangkit perlahan-lahan dari duduknya. Kemudian memejamkan matanya sejenak untuk menangkap suara yang dibawa angin.
"Benar! Ia berbicara bahasa Belanda dan menyebut-nyebut Papi."
"Tidak salah lagi, Kang! Itu dia Elsye!" kata Roijah sambil mengangkat kaki hendak berlari ke tempat itu.
"Tunggu dulu, Ijah! Mungkin itu sebuah perangkap untuk kita," jelas Parmin berpandangan jauh. Roijah segera mengurungkan maksudnya dan perlahanlahan duduk kembali.
Apa yang terlihat oleh Roijah memang benar. Seorang serdadu yang berhasil lolos datang menemui Elsye membawa berita kematian orang tuanya dan kakaknya. Dengan hati yang gundah dan pikiran kacau, gadis yang baik hati itu langsung menuju ke tempat yang diberitahukan oleh serdadu itu.
Begitu melihat Papinya yang sudah tidak bernyawa lagi, ia memeluk dan mencium serta meratap sejadi-jadinya.
"Papi! Mengapa kau meninggalkan Ik sendiri di negeri orang yang memusuhi mu? Mengapa Papi memilih kematian yang tidak terhormat di negeri yang rakyatnya lemah lembut dan sopan terhadap siapa pun. Ike tidak mampu menyalahkan mereka... bagaimana pun mereka tetap benar karena mereka mempertahankan haknya di negerinya sendiri."
Kemudian Elsye menoleh pula ke arah mayat abangnya.
"Kau Leonard sombong dan angkuh di negeri ini, padahal semua yang kau makan dan kau minum hasil bumi negeri ini; hasil keringat rakyat di sini, tetapi kau bertindak terlalu kasar dan ondankbaar terhadap mereka bahkan kepadaku adikmu sendiri. Sekarang apa yang ku takuti tentang diri kalian semua sudah terjadi. Patah sudah tempat aku bergantung, hilang sudah tempat aku berpijak. Tak ada tempat aku berharap kasih lagi. Satu-satunya jalan yang terbaik untukku ialah menyusulmu Papi." ratap Elsye sambil mencoba menjangkau sebuah pistol yang tergeletak tidak jauh dari mayat Leonard. Tetapi, tiba-tiba tangannya terhalang oleh sebuah kaki bersepatu. Elsye menjadi heran sehingga pandangannya perlahan-lahan diangkat ke atas.
"Elsye, kekasihku," terdengar suatu suara. "Oh, James! Kau masih hidup?" tanya Elsye seperti bermimpi.
"Aku pernah dirawat, tetapi seorang kawanku yang dekat dengan Leonard mengatakan, jika aku hidup aku akan diadili dan dihukum berat karena bersekongkol dengan ekstrimist," cerita James dengan sedih.
"Lantas?" tanya Elsye tak sabar karena apa yang menimpa diri James tidak lepas dari kesalahannya juga.
"Klinik yang merawatku menaruh kasihan kepadaku. Dia seorang kawan karib ku yang pernah ku bela dan kuselamatkan dari maut. Tanpa setahuku ia membuat laporan resmi kepada Leonard. Dalam laporan itu ia menyatakan aku telah meninggal akibat luka yang ku derita"
Leonard sebagai perwira tinggi yang terlalu sibuk, laporan kawanku tanpa diperiksa lalu di-acc saja. Badanku yang kelihatan seperti mayat akibat bius, segera diamankan oleh kawan-kawanku dengan bantuan pribumi sehingga aku selamat seperti yang kau lihat sekarang ini," James menutup ceritanya sambil tersenyum.
"Oh, James! Kini aku sebatangkara, tidak punya siapa-siapa lagi, kecuali kau," kata Elsye pasrah.
"Jangan bersedih, sayang! Aku akan menemanimu dan menjaga mu untuk selama-lamanya," ujar James turut terharu.
Semua percakapan James dengan Elsye disadap oleh kedua pendekar Jaka Sembung dan Bajing Ireng melalui penginderaan yang sudah terlatih. Kini mereka tahu pasti, James bukan lagi berstatus serdadu Belanda, tetapi orang asing sipil yang menyimpan rahasia tersendiri. Rahasia James berada di tangan mereka. Karena itu, Parmin dan Roijah tak ragu datang mendekati mereka untuk menyatakan rasa belasungkawanya kepada Elsye.
"Maafkan kami, Elsye!" kata Roijah lembut sambil melirik ke arah James yang kelihatan salah tingkah.
"Roijah?" tanya Elsye kaget. Ia menatap Bajing Ireng dengan heran. Roijah mengangguk perlahan, "Terima kasih atas kebaikan Nona, yang menyebabkan Nona banyak mendapat kesulitan," ucap Roijah dengan tulus. Ketulusan itu terasa ke hati Elsye. Ia bangkit perlahan-lahan dari sisi James sambil mengulurkan tangan kepada Roijah dan Parmin. Mereka bersalaman dengan penuh rasa haru.
James pun segera mengulurkan tangan kepada Parmin dan Roijah.
"Benar kata-katamu yang terakhir kepadaku di rumah tahanan malam itu, Elsye, bahwa rasa kemanusiaan itu akan mampu membuat bangga yang berlainan dan berbeda kulit hidup bersahabat," kata Roijah dengan tersenyum.
"Kau masih ingat saja, Roijah?" "Memang tak ingin kulupakan, apalagi kata-kata mutiara itu baru pernah kudengar dari mulutmu."
"Tetapi, maafkan kami Elsye dan James!" tukas Parmin.
"Tentang apa?" tanya James ramah, berubah si-
kap.
"Tuan Yan van Eisein menemui ajalnya bukan
karena niat kami ingin membalas dendam, tetapi dialah yang mula-mula mencoba membunuh Roijah dengan tembakan, sehingga akhirnya untuk membela diri Roijah tidak punya pilihan lain," jelas Parmin si Jaka Sembung.
"Begitu pula dengan Tuan Leonard," jelas Roijah. "Ia sangat menaruh dendam pada Jaka Sembung ini."
James dan Elsye begitu kaget ketika mengetahui, yang berdiri di depan mereka adalah orang yang pernah dihukum gantung oleh kompeni beberapa waktu yang lalu.
"Bagaimana mungkin ia masih hidup?" pikir James seperti tidak percaya. Pikiran yang sama juga melintas di benak Elsye, tetapi kedua mereka belum berani bertanya dengan terus terang.
"Roijah dan Jaka Sembung!" kata Elsye dengan tenang, "Aku mengerti semua dari penjelasan kalian berikan tadi. Karena itu aku ingin melupakannya untuk selama-lamanya, yang sudah biarlah berlalu."
Sementara itu, matahari mulai tenggelam di ufuk Barat. Cahaya kemerah-merahan seperti menunggang awan yang sedang berarak semakin lama semakin menghilang dan akhirnya lenyap.
Suasana di tempat naas itu semakin remang. "Elsye dan James, mari kita bersahabat; saling
menghormati!" ujar Roijah dengan penuh keikhlasan. "Kalian berdua akan kami lindungi sebagai warga
terhormat di Kandanghaur ini. Kalian tidak perlu khawatir, aku Parmin si Jaka Sembung dan ini Roijah si Bajing Ireng menjadi jaminan atas keselamatan kalian berdua," kata Parmin selanjutnya.
"Aku tidak pernah meragukan kebaikan hati mereka," bisik Elsye kepada James. Ketika Jaka Sembung dan Bajing Ireng telah berlalu.
"Aku juga, Els!" bisik James sambil merangkul pinggang Elsye dengan penuh kemesraan.
***
5
Berita munculnya kembali Jaka Sembung dan Bajing Ireng, dengan kemenangan mereka menghancurkan tirani tuan tanah asing yang memperalat para pendekar pribumi untuk merampas tanah rakyat dan menimbulkan kesengsaraan di Kandanghaur, telah tersebar luas dari mulut ke mulut.Rakyat yang selama ini tertekan dan selalu dirundung rasa ketakutan, kini mulai bersemangat lagi. Gairah hidup mereka bangkit kembali. Bek Marto, ayah Roijah almarhum mendapat tekanan dari tuan tanah Belanda, sehingga terpaksa melakukan tindakan-tindakan yang sangat merugikan rakyat. Tetapi, rakyat Kandanghaur yang sebagian besar terdiri dari para petani tidak dapat mendalami perasaan Bek Marto itu. Mereka hanya tahu, Bek Marto turut menekan rakyat. Kepala Desa itu benar-benar dalam keadaan serba salah. Membela rakyat ia terancam oleh tuan tanah yang disokong oleh Kompeni Belanda. Sebaliknya, membantu tuan tanah ia jelek di mata rakyat. Kedudukannya benar-benar terjepit.
Kini hati Kepala Desa itu tiada lagi. Seandainya ia masih hidup, ia menyambut calon menantunya itu dengan gembira.
Ketika Jaka Sembung dan Bajing Ireng muncul di Desa Kandanghaur, penduduk desa menyambutnya dengan meriah. Setiap orang yang bertemu dengan kedua pendekar itu, lupa tujuannya hendak ke mana. Mereka pasti mengikuti dan mendampingi tamu agung yang pulang ke desa membawa kemenangan. Mereka merasa bangga, Desa Kandanghaur memiliki pahlawan rakyat.
Sebelum Jaka Sembung dan Bajing Ireng tiba di rumah almarhum Bek Marto, penduduk desa kelihatan berdatangan terus menerus dan bergabung menjadi barisan yang panjang.
Mereka berteriak-teriak: "Hore, horee, horee!" tak henti-hentinya.
Ibu-ibu rumah tangga dan anak-anak berhamburan ke luar rumah dan berdiri di tepi pagar menunggu arakan panjang itu lewat dan sekaligus ingin menyaksikan wajah Jaka Sembung dan Bajing Ireng, meskipun Bajing Ireng alias Roijah sudah banyak yang kenal karena gadis itu dilahirkan dan dibesarkan di Desa Kandanghaur.
Sampai malam hari pawai kemenangan dan kegembiraan rakyat terus berlangsung.
"Gagah orangnya, ya?" kata seorang gadis cantik ketika melihat Jaka Sembung yang jalan berdampingan dengan Bajing Ireng.
"Calon istrinya juga cantik!" jawab yang ditanya. "Dia Jaka Sembung, ya?"
"Ya, mengapa?"
"Kata ayahku, Jaka Sembung itu sangat sakti. Ia sudah digantung Belanda sampai mati, tetapi hidup lagi," kata seorang anak laki-laki gemuk yang terus menerus matanya mengikuti arakan Jaka Sembung itu sampai jauh dan akhirnya menghilang di sebuah kelokan.
Begitulah pandangan rakyat Desa Kandanghaur dari yang kecil sampai orang dewasa yang akhirnya lambat-lambat laun menjadi legenda yang berkembang dan terpatri dalam hati masyarakat daerah Cirebon.
Sementara arak-arakan itu berlangsung terdengar jel-jel yang meneriakkan, "Hidup Pahlawan kita Jaka Sembung dan Bajing Ireng! Hidup Pemimpin kita! Kami akan selalu setia mengikuti perjuangan mu!"
Arak-arakan itu berakhir tengah malam di depan rumah Bek Marto. Dari situ, penduduk satu per satu meninggalkan halaman rumah tersebut sesudah pamit pada Jaka Sembung dan Bajing Ireng.
Seminggu kemudian, sesuai dengan rencana Jaka Sembung dan Bajing Ireng, Pak Kinong dan Bu Kinong mempersiapkan suatu upacara ulang pernikahan Bajing Ireng dengan Jaka Sembung yang pernah dahulu gagal akibat penyerbuan serdadu kompeni Belanda di rumah Penghulu.
Menjelang waktu pernikahan tiba, rakyat dari berbagai desa datang membawa beras, sayur mayur bahkan beberapa orang kaya di desa itu menyumbang kambing, sapi dan kerbau. Pendeknya pesta yang akan berlangsung itu sama sekali tidak membuat tuan rumah pusing kepala. Pak Kinong dan Bu Kinong hanya mengatur orang yang bekerja dan menyiapkan peralatan yang diperlukan untuk sebuah pesta besar.
Kalau pesta yang sering berlangsung di desa itu memilih-milih orang yang diundang dan terbatas, pesta kali ini untuk merayakan hari pernikahan dan perkawinan Jaka Sembung dan Bajing Ireng, sama sekali tidak dikeluarkan undangan.
"Mengapa begitu, Kang?" tanya Roijah heran. "Aku takut, Ijah, kalau ada orang-orang di desa ini yang terlupakan dan luput dari undangan," jelas Jaka Sembung.
"Jadi, bagaimana mereka tahu?"
"Aku sudah bicara pada Pak Kinong agar beliau menghubungi semua penduduk desa Kandanghaur dan sekitarnya untuk hadir di pesta kita. Tak ada seorang pun yang harus kita perlakukan istimewa, semua sama rata. Hanya "
"Hanya siapa, Kang?"
"Hanya Elsye dan James yang harus kita undang khusus karena mereka warga terhormat dan istimewa di Kandanghaur," jawab Jaka Sembung dengan tersenyum, "Setuju kau..,?"
"Sangat setuju, Kang."
Hari Minggu yang ditunggu-tunggu itu pun tiba. Kesibukan di rumah keluarga almarhum Marto memang luar biasa. Belum pernah terjadi suatu peralatan perkawinan yang begitu besar, yang mengundang orang seluruh wilayah Kandanghaur. Benar-benar sebuah pesta dari rakyat untuk rakyat.
Mulai pagi para undangan sudah berdatangan. Laki-laki perempuan hadir ke pesta yang meriah itu. Semua yang hadir berpakaian indah dan baru. Bau kapur barus dan minyak wangi yang keluar dari pakaian simpanan yang sudah lama tidak dipakai campur aduk dalam ruangan. Si kecil Kinong pun tampak dalam keramaian itu dengan riangnya. Dia adalah anak tunggal Pak Kinong dan Bu Kinong.
Setiap tamu yang datang segera dilayani dengan makan. Mereka silih berganti datang dan pergi tak henti-hentinya. Seksi tamu yang terdiri dari mudamuda yang tangkas, dengan penuh pengorbanan bekerja tanpa mengenal lelah. Mereka tampak gembira dan serba ramah.
Parmin dan Roijah yang bersanding di kursi pelaminan tampak tersenyum. Pak Kinong dan Bu Kinong berdiri di samping Parmin dengan bangga, karena mereka adalah pengganti orang tua kedua mempelai. Sedangkan di samping Roijah tampak Elsye dan James yang tak kalah bangga, karena menjadi warga khusus di Desa Kandanghaur.
Para undangan banyak yang heran melihat sepasang orang asing turut memeriahkan perkawinan Parmin dan Roijah dengan suasana sangat bersahabat.
"Banyak sekali yang hadir, Kang!" bisik Roijah dengan suara sangat bahagia. "Untung acara pernikahan sudah berlangsung semalam."
Parmin hanya mengangguk. Matanya ter-tuju kepada seorang penari muda yang menari dengan lemah gemulai seirama dengan gendang dan gung yang ditabuh.
"Kau bisa menari, Roijah?" tanya James yang berdiri di dekatnya. Roijah mengangguk ramah, "Hampir semua gadis Jawa Barat dapat memainkan kesenian daerahnya, James!"
"Bagus sekali!" puji pemuda Belanda itu sambil menoleh kepada Elsye.
Pesta perkawinan Jaka Sembung dengan Bajing Ireng berlangsung selama tujuh hari, tujuh malam dan terus menerus dibanjiri oleh penonton yang datang dari tiap penjuru desa tanpa habis-habisnya sehingga pesta itu hampir-hampir mirip pasar malam. Bisa dimaklumi karena saat itu Desa Kandanghaur adalah desa yang paling makmur di daerah Cirebon.
***
6
Malam itu desa Kandanghaur bermandikan cahaya bulan. Hamparan sawah yang luas setantang mata sampai ke pantai Laut Jawa, memberikan suatu pemandangan sejuk teram-temaram. Di setiap halaman rumah terlihat anak-anak bermain galah atau kucing-kucingan. Kadang-kadang terdengar nyanyian traditional yang mendayu-dayu dari kejauhan, yang sekali-sekali ditingkahi oleh suara seruling yang merdu.Parmin dan Roijah duduk berdua di sebuah balai-balai menikmati keheningan alam dan panorama sawah yang membentang luas di sekitar tempat tinggal mereka.
"Akang Parmin! Boleh aku tahu sesuatu yang aneh tentang dirimu?" ujar Roijah sambil mendekatkan badannya ke bahu Parmin.
"Apa yang aneh padaku, Dik?" tanya Parmin si Jaka Sembung sambil memperbaiki duduknya.
"Banyak keanehan yang belum pernah Akang ceritakan padaku,"
"Antaranya?"
"Tentang kau yang sudah menjalani hukuman gantung di tiang gantungan di alun-alun pasar sampai mati, kok tiba-tiba hidup lagi? Ceritakan kepadaku, Kang!"
"Eeeh, apa aku belum pernah ceritakan padamu?" tanya Parmin.
"Yah! Kalau Akang sudah ceritakan untuk apa aku tanya lagi?"
"Memang keterlaluan aku ini! Kukira hal itu sudah kuceritakan kepadamu," ujar Jaka Sembung yang kadang-kadang memang suka melucu.
"Ah, jangan berolok-olok lagi, Kang!" kata Roijah sambil mencubit tangan suaminya,
"Untuk apa sih harus diceritakan, aku sendiri sudah lupa," kata Jaka Sembung tersenyum.
"Ceritakan, tidak?" desak Roijah sambil memperketat cubitannya.
"Aduh! Aduh! Sakit Roijah, sakit!" "Hayo ceritakan!"
"Aduh, aduh, aduh... Aduh! Ya, akan kucerita-
kan!"
"Tapi, syaratnya tidak boleh ceritakan orang lain,
janji?"
"Ya, janji!"
"Dahulu, aku pernah mendaki Gunung Ciremai untuk mencari ilmu. Di gunung itu, aku bertemu dengan seorang petapa bongkok tua yang wajahnya mirip Begawan Dorna dalam dunia pewayangan. Ngomongngomong akhirnya pertapa sakti ini mengangkat aku sebagai muridnya. Tentu saja aku tidak menolak karena kehadiranku di puncak Gunung Ciremai itu memang untuk mencari ilmu," sampai di sini Jaka Sembung berhenti sejenak.
"Wah, Kang! Apa hubungannya dengan Akang tahan digantung?" tanya Bajing Ireng tak sabar.
"Eeeh! Tak sabar benar nyonya ini!" Parmin bercanda, "Tak mau cerita lagi ahk."
Parmin pura-pura beranjak dari balai.
"Teruskan, tidak?" ancam Roijah sambil mencubit
lagi.
"Ya, ya aku cerita!"
"Beberapa waktu aku tinggal bersamanya di se-
buah pondok. Di situ aku mendapat pelajaran silat, ilmu menggunakan tongkat dan ilmu penginderaan untuk mendengar percakapan orang dari jarak jauh yang Dik Roijah miliki juga. Selain itu ada suatu ilmu khusus dan langka yang diberikan kepadaku dan kuanggap sangat penting dan aneh ialah 'Ilmu Pernapasan Bebek'."
"Ilmu Pernapasan Bebek? Aneh sekali namanya!" seling Roijah dengan kening berkerut.
"Ya, kegunaannya pun aneh, digantung berjamjam masih tidak mati," ujar Parmin sambil tersenyum.
"Jadi, Akang lolos gantungan karena ilmu itu?" "Bukan? Tetapi karena pertolongan Tuhan lewat
ilmu itu," jawab Parmin memperbaiki anggapan yang bersifat takabur.
"Aku masih merasa aneh dengan ilmumu itu, Kang!"
"Aneh? Mengapa harus merasa aneh? Secara akal saja pun dapat dimengerti."
"Secara akal, kata Akang?"
"Ya, coba dengar baik-baik! Jika seseorang membeli seekor bebek dari pasar, orang pasti memegang lehernya, sehingga kakinya tergantung ke bawah, kadang-kadang cukup lama. Tetapi, bebek itu tidak mati meskipun lehernya tercekik dalam waktu yang lama. Sampai di rumah pembelinya, binatang itu masih tetap hidup. Itulah kira-kira persamaannya!"
Roijah mengangguk-angguk. Ia mulai mengerti dan masuk akal.
"Mengapa bebek itu bisa bertahan meskipun lehernya tercekik?" tanya Roijah dengan sungguhsungguh sambil memperbaiki duduknya.
"Karena bebek mempunyai jalan pernapasan kedua yaitu melalui lubang duburnya," jelas Parmin.
"Bagaimana dengan Akang?" tanya Roijah ingin
tahu.
"Prinsipnya sama. Ketika aku digantung, aku pun
menggunakan cara bernafas bebek. Aku tak mungkin bernapas dengan paru-paru karena jalan pernapasan ku lewat leher sudah tercekik. Aku cepat-cepat menggunakan ilmu "Hening Cipta" yaitu memusatkan perhatianku untuk bernafas dengan perut besar dan memompa udara melalui lubang dubur."
"Jadi dengan cara itu, Akang dapat terus berna-
fas?"
"Tentu! Tetapi cara bernapas yang demikian me-
merlukan latihan lama," jelas Parmin.
"Orang-orang Belanda mengira, Akang benarbenar sudah mati," ujar Roijah sambil mengajak Parmin masuk ke rumah.
"Kau juga mengira begitu, bukan?"
"Semua orang pun mengira begitu," jawab Roijah. "Karena itu, aku sangat kaget ketika Akang datang ke kamar tahanan ku pagi-pagi buta itu."
"Mengapa kau mau berpelukan dengan orang itu, padahal kau tahu aku telah mati?" tanya Parmin menguji.
"Tidak! Aku yakin kau yang datang." "Mengapa kau yakin?"
"Suara Akang meyakinkan aku!" "O, begitu?"
"Tapi, Kang! Menurut berita yang tersiar di Rumah Tahanan Militer itu yang dapat kutangkap, jenazah mu telah dikuburkan oleh serdadu-serdadu kompeni di hutan Loyang, tetapi bagaimana caranya kau dapat ke luar dari kuburan itu?" tanya Roijah sambil menyediakan makan malam.
"Aku tidak pernah dikuburkan oleh serdaduserdadu itu, tetapi aku dicampakkan begitu saja ke dalam jurang, lantas mereka pulang. Ketika aku dicampakkan dari atas jurang, aku segera menggunakan ilmu meringankan tubuh sehingga ketika jatuh aku tidak mengalami luka yang berarti." "Lantas bagaimana, Kang?"
"Seekor harimau sebesar sapi, dengan mata yang melotot seperti obor mendekati tubuhku yang sedang berpura-pura mati. Semakin lama semakin dekat dengan tubuhku dan pada waktu ia mengaum keras hendak menerkam, suatu tendangan keras ku arahkan ke moncongnya dan ia terpental jauh jatuh terjerembab. Kemudian diam-diam binatang buas itu berlalu. Rupanya ia jera mendapat calon korban yang sanggup membela diri.
Tidak lama kemudian, di sana-sini di hutan Loyang terlihat obor-obor yang menyala menerangi seluruh hutan. Suara hiruk-pikuk mulai terdengar. Rupanya mereka orang-orang kampung yang datang ke hutan itu untuk mencari jenazah ku."
"Aneh!" seru seorang di antara mereka, "Jangankan jenazahnya, suatu bekas pun tak ada yang dapat dijadikan petunjuk untuk mencarinya." kata salah seorang pemimpin rombongan.
"Ya," potong yang lain, "Jika jenazah Jaka Sembung itu sudah dimakan harimau, tentu sekurangkurangnya ada bekas-bekas darah yang tercecer. Ini sama sekali tidak ada." celoteh mereka.
"Tetapi, bukankah banyak di antara penduduk yang mencari Akang itu, menyangka Akang masih hidup karena mereka mendengar suara seruling membawakan lagu sendu?"
"Ah, itu mungkin hanya perasaan mereka saja," jawab Parmin.
Ia diam sejenak, kemudian ia tersenyum sambil berkata, "Lucu juga kalau kuingat-ingat, Ijah!" kata Parmin menutup ceritanya.
Angin malam yang sejuk berhembus sepoi-sepoi mengusap daun padi yang mulai menguning membawa hawa dingin yang nyaman. Sementara nyanyian Bubui Bulan yang mengalun di malam sepi itu terdengar sayup-sayup, dinyanyikan oleh para remaja desa dari kejauhan seakan-akan mengantar kedua penganten baru itu ke peraduan.
TAMAT
Jawabannya akan Anda temukan pada episode selanjutnya, yaitu: Badai di Laut Arafura
INDEX JAKA SEMBUNG | |
Membabat Kiyai Murtad --oo0oo-- Badai Di Laut Arafuru |