Ladang Pertarungan
tanztj
January 30, 2010
INDEX SUTO SINTING | |
19.Pembantai Berdarah Dingin --oo0oo-- 21.Titisan Ilmu Setan |
SUTO SINTING
Pendekar Mabuk
Karya: Suryadi
Pendekar Mabuk
Karya: Suryadi
**1**
Rumah kuno yang berukuran besar dan punya beberapa kamar itu sekarang dikuasai oleh tokoh tua yang namanya cukup dikenal di rimba persilatan, yaitu Brahmana Gada. Laki-laki berusia sekitar enam puluh tahun kurang sedikit itu, semasa mudanya dikenal sebagai jawara upah alias pembunuh bayaran. Siapa pun sasaran orang yang harus dibunuh, tak pernah lepas dari incaran pedang mautnya.
Menginjak usia lima puluh tahun, Brahmana Gada mulai kurangi kegiatannya sebagai pembunuh bayaran. la tak lagi mau terima perintah membunuh, kecuali orang-orang bangsawan yang berani mengupahnya dengan harga tinggi.
Sekarang Brahamana Gada menguasai Rumah Busuk itu bersama beberapa orangnya. Rumah itu dijadikan Ladang Pertarungan. Sebuah arena pertarungan terbuka, dan orang-orang yang melihatnya saling bertaruh dengan uang atau barang.
Pada puncak pertarungan biasanya dimunculkan seorang jago yang menjadi andalan Brahmana Gada. Orang yang dijagokan dalam pertarungan kali ini adalah seorang berwajah dingin yang sudah lebih dari dua belas kali mengalahkan penantangnya, dan tak satu pun ada yang hidup dari semua lawannya. Orang yang belum terkalahkan itu dikenal dengan nama si Wajah Hitam. Karena setiap kali ia tampil di arena pertarungan, selalu menggunakan kain penutup wajah warna hitam, yang biasa dipakai oleh para algojo saat menjalankan tugas hukuman mati bagi korbannya.
Brahmana Gada mempunyai permainan yang sangat menarik bagi para jago silat, terutama bagi mereka yang menggemari pertarungan. Pertarungan di arena itu bisa terjadi lima kali, enam kali, atau lebih, tergantung banyak sedikitnya peminat yang mendaftarkan diri sebagai peserta pertarungan. Biasanya pertarungan itu diadakan setiap akhir minggu, atau tepatnya tujuh hari satu kali. Jika pertarungan diikuti oleh banyak peserta, maka acara tersebut bisa terjadi dari siang sampai larut malam baru usai.
Satu kali pertarungan pemenangnya akan mendapat lima puluh sikal. Pertarungan kedua, memperebutkan hadiah seratus sikal. Pertarungan ketiga mendapatkan hadiah seratus lima puluh sikal, dan begitu seterusnya. Setiap pertarungan selalu bertambah lima puluh sikal. Padahal harga sepiring nasi hanya setengah sikal.
Sikal; mata uang di masa itu.
Pemenang pertama, harus melawan penantang kedua, pemenang kedua harus bertarung melawan penantang ketiga, begitu seterusnya dan jika sudah tidak ada penantang lagi, maka pemenang terakhir itu berhadapan dengan si Wajah Hitam dalam pertarungan terakhir. Dan jika pemenang terakhir itu bisa mengalahkan si Wajah Hitam, maka ia berhak menerima sejumlah uang dua kali lipat dari semua jumlah uang yang diperolehnya dari pertarungan demi pertarungan itu. Jika ia kalah, maka jumlah uang tersebut diterima oleh si Wajah Hitam.
Brahmana Gada memperoleh uang untuk membayar hadiah-hadiah itu dari pajak perjudian yang diambil dari jumlah uang yang dijudikan mereka. Orang yang bertugas mengurus perjudian itu bernama Rangkayon, bertubuh kurus, wajah lonjong, mata agak sipit, rambut panjang berikat kain merah, dengan pakaian kesukaan warna coklat muda. Usianya sekitar empat puluh tahun.
Perjudian ini punya banyak peminat. Mereka bertaruh dengan nilai tinggi. Hanya menentukan siapa yang keluar sebagai pemenang terakhir sebelum melawan si Wajah Hitam. Dan karena banyaknya peminat perjudian itu, maka Brahmana Gada tak pernah kekurangan uang. Bahkan ia juga mengambil perempuan-perempuan penghibur yang bisa digunakan di situ oleh siapa saja dengan tarif tersendiri. Umumnya mereka yang berjudi di situ adalah orang-orang yang punya banyak uang. Bahkan beberapa di antaranya ada yang berasal dari keluarga bangsawan, saudagar, ataupun pemilik perkebunan,
Dulu, ketika Suto Sinting si Pendekar Mabuk itu membawa Bunga Bernyawa ke rumah besar itu, ia tidak menemukan ruang bawah tanah. Ternyata rumah besar itu mempunyai ruang bawah tanah yang lega, yang dulu digunakan sebagai sarana berlatih jurus-jurus bagi sebuah aliran silat keluarga pemilik rumah tersebut. Sekarang pemilik rumah itu telah dibantai habis oleh lawannya dan tak meninggalkan seorang pun ahli warisnya.
Di ruang bawah tanah itulah Brahmana Gada menggelar pertarungan dan perjudian. Ruangan itu mempunyai dua tingkat. Yang bagian atas sebagai tempat untuk menonton, dan ruang di bawahnya sebagai arena pertarungan, sehingga para penontonnya bisa menyaksikan pertarungan dalam keadaan berkeliling arena dari atas. Tinggi lantai pertarungan dengan bagian penonton hanya empat tombak.
Setiap peserta yang akan tampil selalu siap di sebuah ruangan khusus yang langsung menuju ke arena. Ruangan khusus calon Jagoan itu juga cukup lebar, bisa untuk pemanasan bagi mereka yang memerlukannya.
Seorang lelaki bertubuh pendek sedikit gemuk yang bernama Luhito bertugas sebagai ketua pertarungan, yang memimpin setiap pertarungan tanpa juri itu. Biasanya sebelum pertarungan dimulai, Luhito selalu mengumumkan nama-nama peserta yang akan tampil nantinya, lengkap dengan catatan pribadi mereka masing-masing. Sedangkan pada sebuah papan khusus di lantai atas, di depan pintu masuk rumah besar itu, ditulis nama-nama peserta yang akan tampil dalam pertarungan nanti, sehingga para penjudi bisa memilih salah satu nama yang akan dipertaruhkan menggunakan sejumlah uang miliknya.
"Para hadirin, para tamu terhormat, dan para sahabat sekalian...." begitu biasanya Luhito mengawali acara di Ladang Pertarungan itu.
"Hari ini, kita akan saksikan kehebatan para jago silat yang tak disangsikan lagi kedahsyatan jurus- jurus mautnya. Mereka yang akan tampil membuktikan kependekarannya adalah; Iblis Guru Langit, dari Bukit Lancang, yang pernah membunuh Pendekar Panca Raga, dan dikenal pula sebagai jago menggunakan kapak. Berikutnya adalah Umbara Yodya, kesatria dari Tambak Sari, yang baru turun dari pertapaannya. Berikutnya, si Elang Betina, dari Perguruan Cakra Maut, ahli menggunakan senjata rahasia. Gajah Dirgantara, dari Pulau Rakus, yang dikenal sebagai penyamun tanpa tanding, telah membunuh lebih dari seribu lawannya di laut...."
Begitulah Luhito jika memperkenalkan para peserta yang akan bertarung di arena. Luhito pandai membawakan masa perkenalan peserta sehingga tiap peserta yang mendengar namanya disebutkan dan dibangga-banggakan, merasa bertambah semangat tarungnya. Luhito segera pergi sebentar setelah selesai mengumumkan nama-nama mereka. Sampai tiba waktunya, Brahmana Gada siap di tempat duduknya, didampingi dua perempuan cantik di kanan-kirinya. Maka Luhito pun segera membuka acara di Ladang Pertarungan itu dengan berseru,
"Pertarungan pertama akan dibuka oleh Umbara Yodya...."
"Wooouww...!" para penonton bersorak, khususnya yang menjagokan Umbara Yodya.
"Umbara Yodya melawan Wisnu Rangka...!" tambah Luhito yang membuat sorak-sorai dan tepuk tangan penonton makin riuh. Terlebih setelah keduanya masuk ke arena dengan acungkan kedua tangan yang mengepal. Penonton menyambutnya dengan semakin bersemangat.
Umbara Yodya mengenakan pakaian hijau dengan senjata golok lengkung berukuran besar, gagangnya diberi kain merah bagai bendera kecil. Jika dikelebatkan terdengar bunyi wungng...!
Menandakan logam tajam itu punya berat yang cukup lumayan. Sedang Wisnu Rangka berbadan kurus, mengenakan pakaian hitam, ikat kepalanya putih, rambutnya panjang, usianya lebih tua lima tahun dari usia Umbara Yodya yang baru dua puluh tujuh tahun itu. Wisnu Rangka menggunakan tombak bergagang hitam dengan ujung tombak selain mempunyai mata tombak juga mempunyai dua mata kapak kanan-kiri yang cukup besar. Putih berkilat terkena cahaya obor yang memantul.
Wisnu Rangka maju ke tengah arena lebih dulu. Penggemarnya termasuk banyak pula. Mereka mengelu-elukan Wisnu Rangka hingga membuat Wisnu Rangka menjadi bersemangat dan bertambah beringas. Tombak panjangnya dimainkan beberapa saat, sebagai upaya pamer kegesitan terhadap penggemarnya.
Sementara itu, Umbara Yodya tampil lebih kalem, la juga menebaskan pedang besarnya ke kanan-kiri, membuat kain merah di ujung gagangnya ikut berkelebat ke sana-sini. Penggemarnya juga banyak, walau sambutan mereka tak semeriah menyambut kemunculan Wisnu Rangka. Mungkin dikarenakan nama Wisnu Rangka lebih dikenal ketimbang Umbara Yodya.
Bongng...! Suara gong ditabuh, itu pertanda pertarungan dimulai. Maka, kedua petarung itu mulai saling dekat, saling mengincar kelengahan lawan, menunggu kesempatan menyerang.
Mereka berputar-putar sejenak, kemudian Wisnu Rangka mendului menyerang dengan mengibaskan tombak berkapak dua itu ke kepala Umbara Yodya. Wusss...!
Trang...! Umbara Yodya menangkis dengan pedangnya, membuang arah gerakan tombak ke samping. Begitu tombak itu bergerak ke samping, pedang besar Umbara Yodya segera menebas dari bawah ke atas.
"Hiaaat...!"
Wungngng...!
Tebasan itu bisa dihindari oleh Wisnu Rangka. Penonton bertepuk riang, merasa lega Wisnu Rangka lolos dari maut. Mereka diam kembali, mata tak berkedip memandangi dua jago yang bertarung di tengah arena itu.
Kali ini, Wisnu Rangka menyodokkan tombaknya ke arah depan, sasaran utama adalah dada Umbara Yodya. Tapi sekali lagi Umbara Yodya berhasil menangkis dengan pedangnya. Trang...! Dan tiba-tiba ia berputar cepat, lalu kakinya menendang ke wajah Wisnu Rangka. Plokk...!
Wisnu Rangka tersentak ke belakang dan jatuh di sudut tembok. Umbara Yodya segera melompat dengan satu teriakan keras,
"Hiaaaat...!"
Wungng...! Trangng...!
Sabetan pedang Umbara Yodya kali ini ditahan oleh tombak bermata kapak itu. Ganti Wisnu Rangka yang sapukan kaki untuk menjegal lawannya agar jatuh. Tapi Umbara Yodya lebih lincah. la bersalto ke belakang dengan gerakan cepat. Plak plak plak plak...! Empat kali salto ia sudah berada di tengah arena lagi, menunggu lawannya mendekat.
Seseorang berseru, "Ayo bangkit, Wisnu! Bangkit...!"
Yang lain beseru, "Serang dia! Jangan kasih kesempatan!"
Yang di sudut berteriak, "Habisi dia, Umbara! Sikat terus!"
Wisnu Rangka bangkit. Kemudian dengan satu pekikan keras, ia melesat bagaikan terbang, dan begitu mendekati Umbara Yodya, senjatanya itu ditebaskan ke depan. Wusss...!
Umbara Yodya menepi sedikit, lalu maju dalam satu sentakan tangan mengibas miring. Wungng...! Crasss...!
"Aahg...!" Wisnu Rangka mendelik. Pinggangnya robek lebar oleh pedang besarnya Umbara Yodya. Kejap berikutnya, Wisnu Rangka pun rubuh dalam keadaan tengkurap. Darah mulai membanjiri lantai.
la kejang-kejang sesaat, kemudian diam tak bergerak selamanya.
"Hidup, Umbara...! Hidup, Umbara...!" teriak penonton dengan penuh suka cita.
Dua petugas kebersihan segera datang dan membawa pergi mayat Wisnu Rangka. Umbara Yodya segera masuk untuk beristirahat sebentar. la melewati pintu berjeruji yang ada petugasnya sendiri untuk membuka dan menutupnya. Arena yang bersimbah darah segera dibersihkan oleh petugas khusus penyapu darah.
Di pintu selatan arena ada seraut wajah terselubung yang memperhatikan pertarungan tadi. Di selatan juga ada pintu berjeruji, sama dengan pintu keluar-masuknya peserta dari kamar ke arena. Tapi pintu selatan khusus untuk keluar-masuknya si Wajah Hitam. Biasanya jika peserta sudah habis atau tinggal satu, dan pintu selatan dibuka, penonton semakin riuh menyambut kemunculan si Wajah Hitam. Pintu itu pun ditutup lagi jika kedua jago sudah siap bertarung di tengah arena.
Namun kali ini pintu selatan belum dibuka. Si Wajah Hitam hanya duduk dengan menikmati makanan kecil melalui lubang kain pada mulutnya. Matanya memandangi setiap penonton di atas melalui lobang mata pada kain hitamnya. la tampak tenang menyaksikan pertandingan adu nyawa itu.
Dari lorong selatan, tempat si Wajah Hitam menunggu giliran itu, ada tangga yang menuju ke lantai paling atas. Dari tangga itu turun seorang lelaki kurus berambut kucai, agak kemerahan, berjubah biru, dengan hidung sedikit bengkok ke kanan. Dialah yang mengurus jago unggulan, dan orang itu dikenal dengan nama Jenarpati. Usianya sudah mencapai lima puluh tahun lebih, tapi masih gesit dan bersemangat, ia juga menyukai tontonan pertarungan, sehingga ditunjuk oleh Brahmana Gada untuk mencari jago-jago unggulan, dan mengurusnya.
Jenarpati langsung temui si Wajah Hitam dan berkata, "Perhatikan permainan pedangnya Girilakon. Kurasa dialah nanti yang jadi lawanmu, Wajah Hitam!"
"Kapan dia tampil?"
"Tiga urutan lagi!"
"Aku siap diadu dengannya kapan saja!"
Jenarpati tersenyum bangga, sambil menepuk- nepuk pundak kekar si Wajah Hitam yang tidak berbaju itu.
"Aku percaya, kau pasti akan mengalahkannya! Tapi bersabarlah menunggu giliran bertarung di depan penggemarmu!"
"Hari ini banyakkah penonton yang datang?"
"Lebih banyak dari minggu lalu! Mereka semua menunggu giliranmu tampil! Jangan khawatir, kau masih punya banyak penggemar!"
"Apakah hari ini ada peserta perempuan?"
"Tidak ada! Semuanya lelaki. Memangnya kenapa?"
"Aku paling malas kalau harus bertarung melawan perempuan, seperti beberapa waktu yang lalu!"
Kembali Jenarpati memperdengarkan tawanya yang terkekeh pelan.
Tiba-tiba terdengar suara Luhito berseru, "Para hadirin, para tamu terhormat, dan para sahabat sekalian.... Pertarungan berikutnya adalah Umbara Yodya, yang sudah memenangkan pertarungan hari ini empat kali, melawan Sangkakala...!"
Prok prok prok prok...! Tepuk tangan dan sorak- sorai mereka masih bersemangat. Umbara Yodya tampil kembali. Sudah empat kali ia menjatuhkan lawannya, tapi masih tetap kelihatan tangguh dan segar.
Kemunculan Umbara Yodya disusul dengan kemunculan orang bertubuh kurus kering, tanpa baju sehingga terlihat tulang dan kulit tipisnya. Orang ini berambut panjang sepundak, tipis dan terurai lepas. Celananya kuning, tulang iganya kelihatan jelas sekali, lengannya kurus bagaikan tulang dibungkus kulit, wajahnya pun tak sedap dipandang mata. Berkumis kaku seperti kumis tikus, bermata cekung, dan berhidung rata pesek. Orang ini yang menamakan diri Sangkakala. Bersenjata sepasang sabit bergagang panjang dua jengkal.
"Hoi... mau bertarung apa mau pamer tulang?!" seru salah seorang penonton. Sangkakala diam saja tak melayani seruan itu. la berdiri di tengah arena, berhadapan dengan Umbara Yodya. Begitu gong ditabuh, bongngng...! Umbara Yodya mulai bergerak mempermainkan pedang besarnya. Tapi Sangkakala masih diam, kedua sabit tergenggam di kanan-kiri. Tapi matanya tajam memandang tiap gerakan sekecil apa pun dari Umbara Yodya.
Umbara Yodya memutarinya pelan-pelan, Sangkakala masih diam saja. Matanya melirik terus mengikuti gerakan Umbara Yodya. Bahkan ketika Umbara Yodya ada di belakangnya, Sangkakala tak mau menengok ke belakang. la memandang lurus ke depan dan mematung tak bergerak.
Seorang penonton berteriak, "Hoi, Patung Asmat! Bertarunglah, jangan diam saja!"
Sangkakala yang aneh itu bagai orang tuli. Tak didengarnya seruan itu. Tak ada rasa cemas sedikit pun.
la tahu Umbara Yodya ada di belakangnya, tapi matanya menatap lurus ke arah si Wajah Hitam. Hal itu membuat Wajah Hitam merasa heran dengan lagak aneh si kurus berambut tipis itu.
Umbara Yodya segera kelebatkan pedangnya menebas dari atas ke bawah. Kepala Sangkakala pasti terbelah menjadi dua bagian. Apalagi ketajaman pedang itu melebihi pisau cukur, tak ampun lagi tubuh yang terkena goresan sedikit pun pasti akan terluka lebar dan panjang.
Namun ketika pedang Umbara Yodya ditebaskan dari atas ke bawah, Sangkakala cepat sentakkan kedua tangannya ke belakang. Kedua sabitnya bersilang tepat di atas kepala. Trangng...! Pedang itu tertahan dua sabit yang bersilang.
"Hiaaat...!" Sangkakala berkelebat memutar sambil tangan kanannya bergerak menebas, wesss...! Cepat sekali gerakannya, dan ia berhenti bergerak dalam keadaan sedikit miring kedua tangannya ada di kiri, kakinya sedikit merendah. Lama ia bersikap begitu. Sementara itu, Umbara Yodya pun juga diam dalam posisi pedang digenggam dua tangan dan merapat di sebelah kiri pinggangnya. Mata Umbara Yodya tak bergerak, mata Sangkakala juga tak bergerak.
Tiba-tiba dari pinggang kiri Umbara Yodya menetes darah. Tes...! Penonton langsung menggaung tegang, "Huuuh...?!" Mata mereka juga tidak berkedip, dan makin terbelalak ketika Umbara Yodya tahu-tahu rubuh dan tak bernyawa lagi. Lukanya cukup dalam dan lebar. Luka itu ada di bagian lambung, dan didekap dengan kedua tangan yang memegangi gagang pedang.
Begitu Umbara Yodya jatuh tak bernyawa, orang kurus kering dan berambut kucai merah itu segera bergerak, melepaskan ketegangannya. Penonton bertepuk kagum, ada yang berseru, "Hidup Sangkakala!" Yang lainnya pun menyahut, "Hiduuup...!"
Tapi si Wajah Hitam bertanya dalam hatinya, "Siapa Sangkakala itu? Gerakannya begitu cepat dan tak disangka-sangka. Kurasa dialah pemenang terakhir dari pertarungan ini! Kurasa dialah yang akan berhadapan denganku! Hmm.... tapi, siapa dia sebenarnya?!"
**2**
Si penunggang kuda berpegang tali kekang cukup kuat, dan agaknya sudah terbiasa menghadapi lonjakan kuda seperti itu. Tapi si penunggang kuda agaknya tak biasa menghadapi angin kencang berdebu. Sekalipun demikian si penunggang kuda yang berjubah hijau sutera itu masih kelihatan tetap tenang dan merasa mampu menguasai keadaan.
Rupanya si penunggang kuda adalah seorang perempuan cantik yang berusia sekitar dua puluh lima tahun. Gadis itu mengenakan pakaian pinjung sampai batas dada yang berwarna ungu bersulam benang kuning emas. Pakaian ungunya itu dibungkus jubah hijau muda tanpa dikancingkan depannya, hingga ketika melaju bersama kudanya, jubah itu berkelebat melambai-lambai ke belakang, la mengenakan kalung lempengan berhias batuan kecil warna merah delima. la juga memakai gelang berbentuk seekor ular bermata merah delima. Sebilah pedang perak berukir dengan ujung gagangnya bermata merah delima juga, terselip di pinggang kiri.
Rambutnya disanggul ke samping dan sisanya dibiarkan berjuntai ke depan dada, kadang ke belakang. Gadis itu berkulit kuning dengan mata bulat indah, tak terlalu lebar.
Hembusan angin yang semakin kencang membuat gadis itu sedikit kebingungan, karena kudanya bagai menolak untuk melaju menembus deru angin berdebu itu. Sang kuda melompat-lompat menaikkan kaki depannya sambil keluarkan suara ringkik berkali-kali.
Debu semakin banyak, semakin membuat putih batang pohon di sekitar tanah kaki bukit itu. Gadis tersebut sipitkan mata karena takut terserang debu matanya. la berusaha atasi amukan kudanya di sela- sela hembusan badai debu yang makin lama semakin mengerikan.
Sedikit demi sedikit gadis itu bisa menggiring kudanya untuk mendekati sebuah pohon berdaun lebat yang bercabang dahan rendah. Tapi baru saja ia tiba di bawah pohon tersebut, tiba-tiba tubuhnya tersentak dari atas punggung kuda. la terlempar akibat amukan kuda yang semakin menggila.
Brukk...! Gadis itu jatuh membentur batang pohon sisi sampingnya. Kuda tersebut berlari dengan liar sambil meringkik-ringkik seakan menolak deru badai berdebu itu. Sang gadis berusaha mendapatkan kudanya lagi dengan menangkap tali kekangnya pada saat kuda membalik ke arahnya dan memutari pohon satu kali.
"Ini bukan angin badai sewajarnya!" kata gadis itu dalam hati. "Pasti ada seseorang yang mengirimkan badai berdebu ini padaku!"
Tali kekang kuda diikatkan pada dahan pohon yang rendah itu. Pada saat demikian, hembusan badai mulai reda sedikit, tapi debu-debu masih beterbangan. Kemudian sang gadis pun berlindung di belakang pohon berbatang besar itu. la berdiri dalam lindungan batang pohon sambil merapatkan badan ke batang tersebut. Angin berhembus menerpa batang pohon itu, dan tubuh si gadis selamat dari hembusan berdebu. Hanya taburan debu yang mengenai batang pohon masih sempat memercik ke tubuhnya. Tapi kulit tubuh tidak terasa seperih tadi, sebab debu-debu itu tidak langsung mengenai tubuhnya.
Tiba-tiba seberkas sinar, melesat dari atas pohon seberang. Sinar itu berpijar-pijar dan menghantam pohon pelindung si gadis. Darrr...! Pohon pun tembus berlubang, sinar merah itu melesat keluar dari dalam pohon itu tepat di samping leher atas pundak si gadis. Wesss...! Lalu sinar itu redup dan hilang sebelum membentur pohon berikutnya.
Wajah gadis itu mulai sedikit tegang. Kali ini ia yakin ada orang yang ingin mencelakakan dirinya. Siapa orangnya, ia belum tahu. Tapi yang jelas ia semakin yakin bahwa badai berdebu itu kiriman dari orang tersebut. Si gadis tak bisa mengintip ke arah pohon seberang, karena takut tiba-tiba dihantam pukulan jarak jauh begitu wajahnya tersumbul dari balik pohon.
Namun pada saat itu gadis itu sudah mulai mencabut pedangnya pelan-pelan. Matanya melirik penuh curiga dan waspada ke arah sekelilingnya. Hatinya sedikit lega melihat kudanya tidak terkena hantaman sinar merah yang berbentuk mirip ujung tombak tadi.
Kejap berikutnya angin badai hilang. Hilang dalam seketika. Seolah-olah angin yang menghembus menyerupai badai itu ditangkap oleh seseorang dari lubang penyemburnya, dan debu pun tinggal sisanya yang bertaburan tanpa hempasan kuat. Saat itulah si gadis baru berani mengintip dari balik pohon.
Ketika ia mengintip ke arah pohon seberang, tiba- tiba terdengar suara mengejutkan yang datang dari belakangnya,
"Aku di sini, Yayi!"
Cepat-cepat gadis itu berpaling dan memandang dengan mata tampak tersentak kecil. Napasnya terhempas lepas setelah ia temukan orang yang menyerangnya dengan cara aneh tadi.
Orang itu adalah perempuan tua berusia sekitar tujuh puluh tahun. Berjubah hitam dengan pakaian dalamnya putih, berbadan kurus kempot bermata cekung. Rambutnya putih dikonde tengah sisanya dibiarkan meriap ke samping dan belakang.
Nenek itu menyelipkan siwur atau gayung dari tempurung kelapa yang bergagang panjangnya dua jengkal lewat sedikit. Tempurung kelapa itu berwarna coklat tua, tampak kekar bagaikan besi. Bagian yang berlubang, yang biasa untuk menciduk air, terlihat kosong tanpa isi. Benda itulah senjata si nenek, sehingga ia dikenal dengan nama Nyai Gayung Demit.
Gadis yang tadi dipanggil sebagai Yayi itu ternyata mengenal nenek tersebut. Maka ia pun segera berkata,
"Apa maksudmu mengganggu perjalananku, Nyai Gayung Demit?!"
"Hanya sekadar ingin membunuhmu," jawab Nyai Gayung Demit seenaknya saja, seakan bicara dengan polos, tapi pandangan mata cekungnya yang tajam memancarkan nafsu untuk membunuh.
Mata Yayi terkesiap, tapi bukan berarti ia gentar mendengar kata-kata Nyai Gayung Demit. la bahkan berucap kata,
"Apa kau mampu membunuhku, Nyai?!"
"Itu persoalan mudah sekali. Bisa kulakukan sambil tidur atau sambil buang hajat di sungai! Tapi yang penting kau harus tahu dulu apa sebab aku ingin membunuhmu!"
"Bagus sekali. Aku akan mendengarkan alasanmu Nyai. Katakanlah!"
Nenek sedikit bungkuk itu pandangkan matanya ke sekeliling dengan cepat, seolah-olah ia tak ingin lengah, tak ingin pula ada pihak lain yang mendengar alasannya itu. Maka ia pun segera menjawab,
"Mendiang kakekmu yang bergelar Patok Sewu itu dulu adalah suamiku!"
Berkerut dahi Yayi seketika itu pula. la tak pernar mendengar cerita dari mendiang kakeknya atau neneknya tentang hubungan sang kakek dengan Nyai Gayung Demit itu. Yayi ingin menyanggah kata- kata tersebut, tapi ia juga ingin mendengar lebih lengkap penjelasan Nyai Gayung Demit, sehingga akhirnya ia putuskan untuk diam dan membiarkan Nyai Gayung Demit teruskan bicaranya.
"Sebelas tahun kami menikah, tapi kami tak menghasilkan keturunan. Suamiku serong dengan perempuan lain, dan perempuan itu hamil. Suamiku senang, lalu dia kawini perempuan itu dan dia ceraikan diriku yang amat dicintainya ini! Sakit hatiku kala itu, tapi aku tak punya kesanggupan apa- apa untuk melawan suamiku itu, Yayi. Sembilan bulan kemudian, perempuan itu melahirkan bayi perempuan, yaitu ibumu!"
Mata nenek kempot berambut putih itu menerawang dan sedikit menyipit ketika berucap kata,
"Aku benci dengan bayi itu! Aku ingin membunuhnya, tapi tak pernah berhasill Aku merasa iri dengan nenekmu dan bayinya, tapi kakekmu selalu berhasil mengalahkan aku! Dan bayi itu makin lama makin tumbuh menjadi dewasa! Wajah dan potongan tubuhnya persis dengan kamu, Yayi. Karena bayi yang menjadi dewasa itu adalah ibumu sendiri!"
Berdebar tegang hati Yayi. Namun ia tetap menahan segala gejolak yang ada di dalam dadanya. la masih memberi kesempatan kepada Nyai Gayung Demit untuk memuntahkan segala uneg-unegnya.
"Ketika Dewi Sekar Asih, ibumu itu, berburu dengan kakekmu, aku berhasil menawannya dan ingin membunuhnya. Tapi datang seorang penyelamat yang menggempur habis tubuhku. Penyelamat itu adalah Raden Cakrakusuma yang sekarang menjadi ayahmu dan menjadi seorang adipati. Ilmuku kalah tinggi dengannya. Maka, ketika aku melihat kau sejak ada perayaan di alun-alun, aku selalu membayang-bayangimu...."
"Kenapa sasarannya diriku? Aku tidak punya sangkut-paut masalah hubungan kakek, nenek, ayah, dan ibuku terhadap kamu, Nyai Gayung Demit!"
"Kau mirip sekali dengan ibumu! Tak bergeser sedikit pun. Dan karena sekarang ibumu tak pernah keluar dari istana tanpa pengawalan yang ketat, maka kutunggu kesempatan itu. Ternyata yang muncul adalah kesempatan untuk membunuhmu, karena kau keluar dari istana tanpa ada pengawal satu pun! Kini kesempatan membunuhmu ada di depan mataku, Yayi!" kali ini Nyai Gayung Demit bersuara menggeram.
Yayi sunggingkan senyum tipis tanpa meremeh kan, kemudian ia sambung senyumnya dengan ucapan kata,
"Apakah kau belum tahu bahwa semua ilmu kakekku sudah diturunkan padaku, Nyai Gayung Demit?!"
"Ya. Aku tahu. Hanya kau yang mewarisi ilmu kakekmu, sedangkan adikmu si Abiyasa itu justru berguru kepada si Kalong Tua! Tentunya Abiyasa tahu bahwa ilmu kakekmu tidak seberapa, sehingga Abiyasa memilih mencari guru lain! Jangan kau pikir aku takut kepadamu walau kamu sudah warisi ilmu kakekmu! Dulu memang aku tidak sanggup melawan ilmu kakekmu, tapi setelah sekian lama aku menghimpun kekuatan sendiri, sekarang aku merasa sanggup menungging-balikkan si monyet Patok Sewu itu!"
Ucapan itu membuat Yayi merah telinganya. Pedang yang sudah dihunus dari sarungnya sejak tadi semakin kuat digenggam dengan tangan kanan. Gadis cantik itu masih menahan diri untuk tidak
menyerang lebih dulu, dan ia berkata ketus,
"Demi membela kehormatan kakekku yang sudah tiada, aku pun sanggup membuatmu merangkak-rangkak pulang ke kandangmu, Nyai Gayung Demit!"
"Jangan bicara begitu, nanti nyawamu lenyap dengan cepat! Padahal aku ingin membunuhmu secara perlahan-lahan, Yayi!"
"Kau tak akan mampu menjamah tubuhku, Nenek Kempot!"
"Jahanam kau...!" Nyai Gayung Demit semakin panas hati, lalu dengan cepat ia sentakkan kakinya ke tanah dan tubuhnya pun melesat sambi! mencabut gayung siwurnya itu. "Heeaaat...!"
Tubuh tua itu bagaikan terbang ke arah Yayi, kakinya siap menendang pada saat yang tepat. Sementara itu, Yayi pun melompat ke atas dan cepat tebaskan pedangnya ke arah kaki Nyai Gayung Demit. Wutt...!
Trakkk...! Duerrr...!
Pedang itu ditangkis dengan gayung siwur. Timbul percikan api akibat benturan dua senjata itu, dan ledakan kecil yang cukup mengagumkan. Padahal gayung itu hanya terbuat dari kayu dan tempurung kelapa. Tapi karena dialiri tenaga dalam, senjata itu menjadi seperti terbuat dari besi baja yang cukup berbahaya.
Sekalipun kecil ledakan itu, namun sempat mengagetkan hati Yayi, karena hal itu di luar dugaan. Karena kaget, Yayi kehilangan konsentrasi, sehingga ketika keduanya sama-sama mendaratkan kaki di tanah, Nyai Gayung Demit segera memutar tubuhnya dengan cepat dan sebuah tendangan berkelebat mengenai wajah Yayi. Plokk!
Yayi terhuyung ke samping. Nyai Gayung Demit berputar lagi dengan cepat. Wess...! Tiba-tiba gayungnya dihantamkan ke dada Yayi. Tapi saat itu tangan kiri Yayi segera menghentak ke depan, telapak tangannya diadu dengan tempurung kelapa tersebut. Prakkk...!"
Blarrr...!
Gelombang ledakan melemparkan tubuh berwajah cantik Itu. Sinar merah yang memecah akibat benturan telapak tangan dengan tempurung kelapa itu telah membuat tenaga dalam Yayi membalik mengenai dirinya sendiri.
Tak ampun lagi ia terpental terbang dalam keadaan hilang keseimbangan badan. la bagaikan sehelai daun kering yang dilemparkan ke belakang dan jatuh terguling-guling di sela-sela akar dari pohon besar. Akar itu pipih tapi keras, dan tubuh Yayi terjepit di sela dua akar pipih itu.
la terpuruk di sana, wajahnya menelungkup, mulutnya berdarah. Melihat punggung Yayi terbuka bebas, Nyai Gayung Demit segera memanfaatkan untuk menggempur memakai senjatanya itu. la pun segera melompat dalam gerakan salto satu kali di udara, kemudian menghantamkan senjata itu di
punggung Yayi. Wusss...!
Werrr...! Buggh...!
"Aahg...!"
Sekelebat tubuh melesat di hadapan Nyai Gayung Demit. Tubuh itu menghadang dan menjadikan punggungnya sebagai pengganti punggung Yayi. Nyai Gaung Demit akhirnya menghantam punggung orang berbaju putih itu dengan senjata siwurnya. Orang berbaju putih bercelana hitam itu mengerang kesakitan. Tubuhnya terasa patah pada bagian punggung, karena pukulan gayung bertempurung itu seperti pukulan gada besi sebesar pilar. la menggeliat di samping Yayi, sementara Yayi sendiri berusaha untuk bangkit.
"Bocah koplo...!" bentak Gayung Demit kepada pemuda berbaju putih itu. "Apa untungnya kau menggantikan punggung gadis itu, jika gadis itu sendiri tidak mengharapkan begitu?! Berlagak jadi pahlawan kamu, hah?!"
Bert...! Plokkk...!
Satu tendangan kuat dihajarkan ke wajah pemuda itu oleh Nyai Gayung Demit. Bagian kepala pemuda itu tersentak, badannya segera terguling- guling.
Tapi begitu ia melihat Nyai Gayung Demit kembali mau menghantam punggung tempurung gayung dengan maksud ingin memecahkan kepala Yayi, pemuda itu segera bangkit dan melompat seperti macan. la menerjang Nyai Gayung Demit tanpa perhitungan, sehingga gagang gayung nenek tua itu menyodok pipinya dengan keras. Dess...!
Nyai Gayung Demit terjungkal dan berguling- guling di tanah, didekap kuat oleh pemuda berambut sepundak kurang itu. Mereka bergelut sesaat, sementara Yayi heran pandangi pemuda yang tak dikenalnya itu.
Plok plok desss...!
Nyai Gayung Demit berhasil menampar dan menghantam wajah pemuda berikat kepala putih itu, sehingga pemuda tersebut terpental dan terpisah dari pergulatan di tanah. Pemuda itu jatuh telentang dengan menyeringai kesakitan. Pipinya memar membiru akibat sodokan gagang siwur tadi. Bibirnya sedikit luka akibat pukulan yang terakhir itu. Nyai Gayung Demit berdiri sambil mencaci,
"Bocah mesum! Orang sudah setua ini mau diperkosa!"
Dengan napas sesak dan dada sakit, Yayi segera berkata kepada nenek tua itu, "Kurasa dia bukan bermaksud memperkosamu, tapi mau mencekik lehermul Nyai!"
"Persetan dengan anak itu! Kubunuh sekalian dia! Heaaah...!"
"Kau bergerak, maka kau mati, Nyai!" teriak Yayi sambil siap melemparkan pedang runcingnya bagai mau melemparkan tombak.
Gerakan Nyai Gayung Demit terhenti, napasnya terengah-engah. Matanya tajam memandang ke arah samping kiri yang kosong tanpa siapa pun. la sedikit miringkan kepala, seperti sedang menyimak suara yang didengarnya di kejauhan sana.
Lalu, tiba-tiba gayung yang sudah diangkat mau dihantamkan ke tubuh pemuda itu segera diturunkan. la menarik napas dan menghempaskannya sambil memandang Yayi, lalu berkata penuh kegeraman,
"Rasa-rasanya memang harus kutunda dulu niatku membunuhmu, Yayi! Aku tak mau orang- orang istana mengetahui bahwa kematianmu adalah akibat ulahku. Tapi ingat, suatu saat aku akan datang lagi menjemput nyawamu, Cah Ayu...! Hiaaah...!"
Nyai Gayung Demit melompat dalam satu sentakan ringan. Tubuhnya terangkat naik bagaikan terbang lurus, kemudian hinggap di dahan. Setelah itu ia melompat dari dahan ke dahan, berlari meninggalkan tempat itu. Dalam waktu cepat ia telah menghilang dari pandangan mata gadis cantik itu.
"Aneh! Dengan gertakan ku saja dia mau pergi cepatnya. Ada apa sebenarnya? Kurasa dia pergi bukan karena gertakanku tadi!" kata Yayi dalam hati.
Pemuda itu menggeliat pelan dan berusaha untuk bangkit. Yayi hanya memandanginya dengan mata tak berkedip dan dahi berkerut tajam. Dalam hatinya ia berkata,
"Siapa pemuda ini? Badannya besar tapi tak memiliki gerakan silat sedikit pun! Modal badan besar saja ia berani seruduk sana seruduk sini, akhirnya dia hampir mati sendiri. Bodoh amat dia?! Melihat caranya menyelamatkan diriku dari hantaman gayung itu tadi, aku yakin dia tidak punya ilmu apa-apa kecuali berani nekat pasang badan besarnya!"
Pemuda itu memang berbadan besar dan berlengan kekar. Baju putihnya yang tanpa lengan itu memperlihatkan bentuk otot dari lengan- lengannya. Bajunya diikat dengan kain merah yang melingkar di pinggang. Celananya hitam, ikat kepalanya sendiri berwarna putih. Alisnya tebal, matanya sedikit lebar, tapi berkesan kalem.
Setelah memasukkan pedangnya ke sarung pedang, Yayi segera berkata kepada pemuda berkulit coklat itu,
"Aku tidak kenal kau! Tapi kenapa kau tolong aku dengan caramu yang konyol itu?!"'
"Namaku Mahendra Soca," jawab pemuda berambut kurang dari pundak. "Aku tidak semata- mata menolong kamu, tapi aku cuma tidak suka melihat kenakalan nenek tua itu!"
Setelah ucapkan kata tersebut, Mahendra Soca melangkah ke pohon tak seberapa jauh dari tempat itu. Kemudian ia mengambil sesuatu dan membawanya mendekati Yayi lagi. Rupanya benda yang diambilnya adalah 'blandong', atau kapak untuk menebang pohon bergagang panjang. Mahendra Soca berkata kepada Yayi, ketika gadis itu memperhatikan blandong tersebut dengan pandangan sedikit merasa aneh.
"Sebagai penebang pohon dan pencari kayu, aku sering melihat nenek kempot yang bersenjata gayung itu memusuhi beberapa orang yang lebih lemah darinya. Aku sering kasihan kepada orang yang diserangnya. Entah apa saja alasan nenek kempot itu, yang jelas aku tak suka melihat kenakalannya. Karena itu, aku mencoba menahan kenakalannya dengan caraku tadi."
"Tapi itu perbuatan tolol, Mahendra! Kau bisa mati digempurnya!"
"Pikirku, tak seberapa mati jika hanya digebuk pakai gayung seperti itu. Kecuali dia bawa pedang, aku tak berani menahan tindakannya yang kuanggap nakal dan bandel itu!" Mahendra Soca memandang mata Yayi selama satu helaan napas, kemudian setelah Yayi jadi bingung dan salah tingkah ia pun berkata,
"Maaf, aku tidak pamer keberanian di depanmu. Aku hanya... hanya...."
"Sudah, lupakanlah semua itu!"
"Tapi bagaimana dengan darahmu yang tadi keluar dari mulut?" Mahendra Soca mendekat sambil menenteng kapak penebang pohonnya.
"Tidak apa-apa, aku bisa atasi sendiri!" Yayi sedikit palingkan wajah karena malu dipandangi
pemuda berwajah ganteng itu.
"Kudengar nenek kempot itu memanggilmu Yayi. Apakah itu namamu?"
"Hmmm... eh... iya! Anggap saja itu namaku, karena—karena...."
Kata-kata Yayi terhenti. la sedikit terkesiap melihat dua ekor kuda berlari ke arahnya. Dua penunggangnya segera dikenali oleh Yayi, tapi tidak demikian halnya oleh Mahendra Soca. Pemuda itu berkerut dahi memandang asing dua orang penunggang kuda, yang satu berpakaian biru tapi berompi ketat kuning, yang satunya lagi berpakaian hijau tua tanpa rompi. Orang berompi kuning itu kepalanya dibungkus dengan ikat kepala batik warna coklattua, kumisnya tipis dan tampangnya lumayan ganteng. la menyandang pedang di pinggang.
"Mahendra, kusarankan segeralah pergi sebelum kedua orang itu tiba di sini!"
"Siapa mereka itu?"
"Para pengawal kadipaten!"
"Ooo..,!" Mahendra Soca manggut-manggut, melangkah mundur setindak. "Lalu, mengapa mereka kemari? Mau apa? Dan mengapa aku harus pergi sebelum mereka tiba di sini?"
**3**
"Hegh...!" Mahendra Soca pun terpental ke belakang dan jatuh di semak-semak yang berjarak empat langkah darinya itu. Kapaknya terlepas bagai seseorang yang tak siap mempertahankan sebuah senjata.
"Ragajampi...! Jangan kau sewenang-wenang menyerang orang tak bersalah!" hardik Yayi kepada yang berompi kuning. Ternyata ia bernama Ragajampi.
"Orang itu harus dihajar, karena dia sudah melukai wajahmu, Yayi!" sambil berkata demikian, Ragajampi cepat bergerak dengan satu lompatan. Pada waktu itu Mahendra Soca sedang bangkit, dan tiba-tiba ia harus menerima serangan kaki Ragajampi yang melayang terbang itu. Buhgg...!
Gusrakkk...! Mahendra Soca terpental lagi, jauh ke dalam semak-semak ilalang. la memekik tertahan dan segera dikejar oleh Ragajampi.
Tetapi tiba-tiba tangan Yayi menyentak, kirimkan pukulan jarak jauhnya lewat telapak tangan, danlangsung mengenai punggung Ragajampi. Beggh...!
Brusss...! Ragajampi jatuh. Temannya yang berpakaian hijau turun dari kuda mau mencabut goloknya, tapi sudah didului Yayi mencabut pedangnya yang langsung ditodongkan di depan leher orang itu.
"Jangan ikut campur, Sulaya...!" geram Yayi.
"Ehmmm... anu... saya cuma mau jaga-jaga saja," jawab Sulaya dengan perasaan takut dan bimbang.
"Tinggalkan dia, Ragajampi!" sentak Yayi mengancam. Ragajampi memandang ke arah Yayi dan menjadi sedikit cemas melihat pedang Yayi sudah berada di depan Sulaya.
" Siapa pemuda itu, Yayi?"
" Seorang penebang pohon!"
" Dia menyerangmu dan kalian bertarung?"
"Pertanyaanmu bernada menuduh dia, Ragajampi! Aku tidak sukai" Yayi berkata ketus, pedangnya kembali dimasukkan ke sarungnya. Sulaya sendiri segera memasukkan goloknya. Mahendra Soca berdiri dengan masih sedikit limbung.
Ragajampi mendekati Yayi dan berkata dengan sikap tegasnya, "Aku kecewa kau keluar dari istana tanpa pamit kepada siapa pun. Kanjeng Adipati, ayahandamu marah padaku dan menyuruhku mengejar kamu! Lalu, kutemukan kau berada di sini dengan babi busuk itu! Aku kecewa sekali, Yayi!" sambil Ragajampi menuding Mahendra Soca.
Pemuda berikat kepala kain putih itu diam saja dikatakan sebagai babi busuk. Tapi Yayi merasa tak sukai dan berkata,
" Sopanlah sedikit bicara di depanku, Ragajampi!"
" Apakah aku kurang sopan padamu?"
"Aku adalah putri dari penguasa junjunganmu. Kau seharusnya hormat padaku, Ragajampi! Apakah kaul ingin aku mengadukan kepada Ayah tentang sikap tidak sopanmu selama ini?!"
Ragajampi diam. Agaknya ia terdesak dan tak bisa berkelit lagi. Ada rasa cemas dan takut yang disembunyikan di dalam sikap tegasnya itu. Tetapi Yayi melihat rasa cemas dan takut itu, sehingga ia berani mengancamnya dengan kata-kata seperti tadi.
Akhirnya Ragajampi turunkan nada suaranya, sedikit lebih rendah dari saat setelah menghantam Mahendra Soca. la berkata,
" Kanjeng Adipati menyuruhmu pulang, Yayi!"
" Aku ingin pergi sendirian!"
" Ke mana?"
" Ke suatu tempat!" jawab Yayi dengan ketus.
" Bersama pemuda itu?" Ragajampi melirik dengan penuh curiga.
" Bersama dengan dia atau tidak dengan dia, apa pedulimu?"
" Kau dalam tanggung jawabku, Yayi!"
" Apakah itu berarti aku harus selalu dekat denganmu?"
" Mestinya begitu!"
Yayi membantah, "Tidak. Kau bukan kekasihku, bukan suamiku, juga bukan saudaraku. Tak layak aku harus berdekatan terus denganmu, Ragajampi!"
"Tapi aku pengawalmu! Aku yang mendapat tugas dari ayahmu untuk selalu mengawalmu ke mana saja kau pergi, Yayi!"
"Mengawal tidak harus membatasi kebebasanku, Ragajampi! Kalau aku mau pergi dengan pemuda itu, atau pergi dengan pemuda lain, atau aku ingin berpelukan dengan pemuda mana pun, kau tak perlu menggangguku! Kau tak perlu mencak-mencak seperti tikus kebakaran jenggot!"
"Hmm...! Tikus tidak pernah punya jenggot, Yayi. Jadi kurasa aku tidak seperti apa yang kau katakan!"
"Aku tahu kau selalu merasa cemburu jika aku bicara dengan pemuda laini" kata Yayi membuat wajah Ragajampi semakin panas. Ragajampi mencoba untuk mencibir sinis. Yayi berkata lagi,
"Kau naksir aku, Ragajampi! Aku melihat gelagatmu yang konyol dan sering membuatku muak jika kau pasang gaya cemburu di depanku!"
"Yayi, sebaiknya tak perlu kita bicara soal itu, pulanglah!"
"Aku tidak mau pulang!" Yayi berjalan mendekati Mahendra Soca. Mata Ragajampi semakin nanar mengikuti arah langkah Yayi. Wajahnya semakin dingin memandang Yayi berada di samping Mahendra Soca dan memegang tangan Mahendra Soca yang tergores duri. Tidak berdarah tapi sedikit membekas merah.
" Sakitkah tanganmu?"
" Tidak. Aku tidak apa-apa. Cuma sedikit sesak rasanya dadaku."
" Maafkan atas perlakuan pengawalku yang tolol itu. Jangan sakit hati padanya, Mahendra!"
Tiba-tiba Ragajampi menyahut dari tempatnya, "Kalau dia mau balas dendam, kulayani kapan saja!"
" Pengawal! Kembali ke kudamu!" bentak Yayi dengan mata melotot.
" Yayi, aku hanya...."
"Kembali ke kudamu, Pengawal!" makin tinggi bentakan itu, dan Ragajampi dengan hati dongkol terpaksa menuruti perintah putri atasannya, la melangkah ke kuda, bergabung dengan Sulaya lagi. Dari sana ia berseru,
" Jangan lupa, kita harus segera kembali sebelum Kanjeng Adipati murka, Yayi!"
" Aku akan kembali tanpa bersamamu!"
" Tidak bisa. Kau harus dalam pengawalanku, Yayi!"
"Persetan dengan pengawalanmu!" sentak Yayi "Abiyasa pergi tapi kau tidak mencarinya! Kau tidak menjaga adikku itu! Mengapa aku pergi kau selalu ingin menjaganya?"
" Karena tugas menjaga Raden Abiyasa bukan tugasku!" jawab Ragajampi membela diri.
" Lalu apa tugasmu? Pengawal perempuan? Hanya perempuan saja yang kau kawal?"
" Tugasku menyelamatkan keluarga istana dari bahaya!"
"Kau sendiri tidak menyelamatkan diriku? Mahendra Soca inilah tadi yang menyelamatkan aku dari gempuran Nyai Gayung Demit!"
"Siapa...?!" Ragajampi kaget, matanya terbuka, demikian pula mata Sulaya. Mereka saling pandang dalam irama wajah tegang,
"Benarkah Nyai Gayung Demit tadi yang bertarung denganmu?" tanya Ragajampi seperti tak yakin dengan kata-kata Yayi.
"Hampir saja aku mati di tangannya kalau tidak diselamatkan oleh Mahendra!"
"O, jadi si kunyuk itu punya ilmu juga, sehingga bisa selamatkan kamu dari tangan nenek iblis itu?!"
"Sekalipun dia tidak punya ilmu, tapi dia berani selamatkan aku dan pertaruhkan nyawanya! Daripada kau, hanya pangkatmu saja sebagai pengawal keluarga istana, penyelamat bahaya, tapi kau belum pernah bertaruh nyawa untukku!" kata Yayi sengaja memanasi hati Ragajampi.
"Jangan berkata begitu, Yayi. Kau sangat menyinggung perasaanku!"
"Kalau tak mau tersinggung dan terhina, cari Nyai Gayung Demit itu, dan kasih pelajaran dia supaya tidak menggangguku, juga tidak mengganggu Abiyasa atau keluargaku lainnya! Atau.. barangkali kau takut berhadapan dengan Nyai Gayung Demit, hah?!"
Tambah merah wajah Ragajampi yang dikenal sebagai kesatria andalan istana itu. la kenal dan tahu siapa Nyai Gayung Demit, yang oleh keluarga istana dianggap sebagai pengacau selama ini. la juga tahu seberapa tinggi ilmu Nyai Gayung Demit, yang menurutnya punya kesaktian lebih tinggi darinya. Tapi mendengar Yayi berkata seperti tadi di depan Mahendra Soca, wajah Ragajampi bagai ditampar pakai sendal bandol. Napasnya pun terasa sesak karena menahan malu dan marah.
" Kejar dan hadapi dia. Nyai Gayung Demit lari ke timur!" kata Yayi.
" Bagaimana dengan dirimu sendiri?"
"Aku akan mencari Abiyasa dan menyeretnya pulang. Anak itu juga harus kuberi pelajaran sendiri atas kenakalannya yang pergi tanpa pamit kepadaku!" jawabi Yayi.
Setelah mempertimbangkan beberapa saat, akhirnya Ragajampi terpaksa harus membiarkan kehendak putri adipati itu. Meski ia memendam cemburu terhadap Mahendra Soca, tapi ia tak bisa melampiaskan tanpa ada alasan kuat. Maka ia pun segera pergi ke timur bersama Sulaya, anak buahnya, untuk mengejar Nyai Gayung Demit.
Setelah Ragajampi dan Sulaya menghilang dari pandangan mata, Mahendra Soca pun segera berkata! "Galak sekali orang itu!"
" Dia cemburu melihatku bersamamu, Mahendra!"!
" Apakah dia cinta padamu, Yayi?"
" Mungkin. Tapi aku muak padanya dan tak pernah tunjukkan sikap manis di depannya!"
Mahendra Soca melangkah mengambil blandongnya, setelah itu baru berkata lagi kepada Yayi,
"Menurutku, sebaiknya memang kau pulang saja. Nanti ayahmu marah padamu. Kau putri seorang adipati, harus menunjukkan sikap berbakti kepada orang tuamu, yang sekaligus adalah penguasamu!"
"Aku harus menemukan Abiyasa dulu! Adikku itu harus kubawa pulang dan jangan sampai turuti nafsu lawannya."
Mahendra Suco kerutkan dahi dan bertanya, "Nafsu yang bagaimana maksudmu, Yayi? Apakah aku boleh mengetahuinya?"
"Abiyasa ditantang oleh saudara seperguruannya yang bernama Gumarang! Persoalannya hanyalah karena Gumarang merasa iri dan tidak suka jika adikku menjadi murid kesayangan gurunya dan berhak menerima warisan ilmu 'Seblak Nyawa'. Untuk melampiaskan rasa iri yang menyakitkan hati, maka Gumarang menantang adikku, dan adikku menuruti tantangan tersebut."
"Itu berarti adikmu berjiwa kesatria dan pemberani. Bukankah itu akan membuatmu bangga mempunyai adik kesatria dan pemberani?"
"Ya. Tapi usianya masih sangat muda menurutku! Belum waktunya ia beradu kesaktian walau sesama teman seperguruannya!"
Mahendra Soca senyumkan bibirnya dalam tawa rendah yang pelan, kemudian ia berkata, "Percayalah, adikmu pasti bisa mengalahkan lawannya itu! Kau tak perlu cemas, Yayi."
"Aku tak yakin dia akan menang, karena Gumarang menantangnya di arena pertarungan, di Rumah Busuk yang dikenal sebagai Ladang Pertarungan!"
Dahi Mahendra Soca berkerut tajam sekali, matanya memandang tak berkedip. Lalu ia menggumam, "Di mana...?!"
"Ya. tentunya kau tahu, Ladang Pertarungan adalah tempatnya orang-orang sombong yang pamer kesaktian dan kekuatan. Dan orang-orang itu hanya mengorbankan nyawa secara sia-sia saja di arena pertarungan itu!"
"Kalau Gumarang dan Abiyasa berani bertarung di arena sana, itu berarti mereka berdua sama-sama punya keberanian yang setingkat!"
"Bukan soal keberanian adikku yang kucemaskan, tapi nasib adikku di pertarungan itu berbahaya. Sebab yang kudengar, kalau toh adikku bisa kalahkan semua lawannya termasuk Gumarang, maka di akhir pertarungannya, dia pun akan menghadapi lawan tangguhnya, yaitu si Wajah Hitam! Oh, aku tak bisa bayangkan betapa rapuhnya Abiyasa jika berhadapan dengan si pembantai bertopeng hitam itu! Aku sering mendengar cerita kehebatan dan kekuatan si Wajah Hitam!"
Mahendra Soca tertegun beberapa saat. Lama ia terbungkam, sambil sesekali memandang sekeliling, mencari-cari pohon yang akan ditebangnya. Lalu, terdengar suaranya berkata tanpa memandang Yayi.
"Kalau ternyata begitu keadaannya, berarti langkahmu itu benar, Yayi. Susul adikmu dan kalau bisa cegah dia agar jangan sampai ikut di arena pertarungan itu! Banyak cerita yang pernah kudengar tentang kehebatan si Wajah Hitam! Kalau adikmu berhadapan dengan si Wajah Hitam, maka dia akan menjadi bangkai dalam waktu sekejap. Hmmm...! Mengerikan sekali cerita-cerita tentang si Wajah Hitam yang pernah kudengar itu!"
"Aku percaya, dan... sepertinya memang aku harus pergi sendiri untuk mencari adikku. Suatu saat, aku ingin bicara denganmu lebih panjang lagi, kalau adikku sudah kutemukan dan kubawa pulang!"
Yayi segera menghampiri kudanya, dan melompat di atas punggung kuda. Mahendra Soca hanya memandanginya dengan lugu. Yayi berkata dari sana, "Kau tak ingin dampingi aku dalam mencari adikku?"
"Maaf, Yayi. Aku harus bekerja karena ada dua pohon lagi yang harus kutebang hari ini juga! Berangkatlah sana, dan aku berdoa supaya kau selamat di jalan!" Mahendra Soca mencoba tersenyum kepada Yayi. Gadis itu pun tersenyum tipis dan kecantikannya semakin bertambah menggoda hati saja.
Sayang sekali Mahendra Soca tidak ikut. Padahal Yayi sudah memberi pancingan supaya Mahendra Soca mau mendampingi dalam perjalanannya. Tapi agaknya Mahendra Soca lebih berat dengan tugasnya daripada mempererat tali persahabatan dengan Yayi.
"Padahal aku menyukai wajahnya yang ganteng dan tubuhnya yang tegap itu! Entah mengapa, rasa- rasanya ia lebih pintar menarik simpati ketimbang Ragajampi yang berkesan angkuh itu! Kalau saja Mahendra Soca orang berilmu, setidaknya mempunyai permainan cukup lumayan, pasti Ragajampi bisa dikalahkan saat menyerangnya tadi! Kasihan dia. Karena tak punya ilmu jadi hanya pasang badan dan siap terima gebukan dari siapa saja."
Kuda terus dipacu. Sepanjang perjalanan menuju Rumah Busuk untuk mencari adiknya yang baru berusia dua puluh tiga tahun itu, hati Yayi selalu berkecamuk tentang Mahendra Soca. Keberanian Mahendra Soca yang sangat besar dalam membela nyawa Yayi telah membuat Yayi merasa tertarik hatinya untuk lebih mengenal Mahendra Soca.
"Nanti kalau sudah kutemukan adiku," kata Yayi lagi dalam hati, "Aku akan mencari dia dan kubawa ke istana. Akan kuperkenalkan kepada Ayah dan ibu, bahwa Mahendra Soca seorang penebang kayu yang punya keberanian begitu besar. Ayah selalu menyukai pemuda yang punya keberanian tinggi. Dan kurasa Ayah tak akan marah jika kukatakan bahwa aku tertarik dengan pemuda itu. Mungkin Ayah memang tak akan marah, tapi bagaimana dengan ibu? Karena agaknya Ibu lebih suka aku bergaul dengan anak-anak bangsawan lainnya ketimbang bergaul dengan pemuda dari rakyat jelata! Ah, kurasa Ayah pasti mau menolongku membujuk Ibu supaya tak marah padaku, jika aku pulang membawa Mahendra...!"
Lewat dari pertengahan hari, ketika matahari mulai bergeser ke arah barat, Rumah Busuk yang menjadi Ladang Pertarungan itu sudah ramai dikunjungi orang. Baik para peserta maupun para penonton yang siap dengan uang taruhannya, telah memenuhi ruangan lantai bawah yang dipakai untuk Ladang Pertarungan. Mereka yang sudah mendaftar sebagai peserta, dimasukkan ke dalam ruangan khusus untuk para peserta. Tak heran jika di ruangan itu sering terjadi perkelahian sebelum mereka saling bertanding di arena.
Daftar nama peserta yang akan menjadi penantang si Wajah Hitam sudah tertera di sebuah papan, di depan pintu masuk gedung itu. Mahendra Soca ada di sana, karena dia memang sering melihat pertarungan para peserta. Saat itu, Mahendra Soca sedang pandangi papan pengumuman nama-nama peserta, dan di dalam nama-nama itu terdapat nama Gumarang dan Abiyasa,
"Kalau begitu apa yang dikatakan Yayi itu memang benar adanya," pikir Mahendra Soca dengan mulut terkatup. Kemudian ia segera bergegas menuju ke jalanan yang menanjak, tak seberapa jauh dari Rumah Busuk itu. Karena ia melihat kuda putih sedang dipacu menuju ke tempatnya berdiri. Dan kuda putih itu ditunggangi oleh seorang gadis cantik yang tak lain adalah Yayi. Mahendra Soca menyambut kedatangan gadis itu dan ingin memberitahukan bahwa nama Abiyasa memang ada di deretan nama-nama peserta.
"Hei, ternyata kau lebih dulu sampai di sini, Mahendra?"
"Ya. Karena aku tahu jalan pintas menuju tempat ini! O, ya... aku sudah lihat nama-nama peserta yang tertulis di papan pengumuman itu. Ternyata nama Abiyasa dan nama Gumarang memang ada di sana! Kalau bisa, cepatlah kau menemui pengurus pertarungan itu dan meminta agar nama Abiyasa dicoret saja. Aku akan menjaga kudamu di bawah pohon sana!"
"Celaka!" gumam Yayi dengan tegang. "Apakah pertarungannya sudah dimulai?"
"Entahlah. Tanyakan saja langsung pada mereka!"
**4**
Tetapi Yayi sibuk mencari Luhito yang tadi berseru memanggil dua peserta untuk mengawali pertarungannya. Yayi menembus jejalan manusia, tanpa mempedulikan mereka yang bertarung di arena. la berusaha mencapai tempat Luhito yang sedang melayani percakapan dengan dua orang. Tampaknya mereka sibuk mengatur pertarungan demi pertarungan.
Kalau saja Yayi tidak terlambat datang, barangkali ia bisa bicara bebas dengan Luhito atau Brahmana Gada. Sayang sekali ia terlambat. Ketika ia masuk ke gedung tua itu, pertarungan segera dimulai. la bertanya kepada seseorang tentang siapa yang bertugas mengurus para peserta, lalu orang itu memberi saran agar Yayi menemui orang yang bernama Luhito dengan ciri pendek, botak, baju putih, suara keras. Orang yang ditanya itu menambahkan,"Tapi kurasa kau terlambat, Nona! Luhito biasanya sudah tidak menerima peserta baru apabila acara sudah dimulai. Tapi, yah... coba sajalah. Barangkali Luhito punya pertimbangan dengan menghadirkan Nona di arena maka acaranya akan tambah seru lagi!"
"Aku bukan ingin mendaftarkan diri sebagai peserta, aku hanya ingin mencabut pendaftaran adikku! Menurutmu, apakah bisa nama adikku dicoret dari urutan nama peserta pertarungan ini?"
"Setahuku, nama yang sudah terdaftar, tidak bisa dicoret dan Luhito jarang mau melakukan pembatalan. Tapi, coba sajalah!"
Cemas dan berdebar-debar hati Yayi saat menembus jejalan manusia. Susah payah ia menerobos sampai akhirnya berhasil juga tiba di depan lelaki pendek yang cebol itu.
"Kurasa tidak bisa, Nona," kata Luhito setelah Yayi mengutarakan maksudnya. "Kecuali pertarungan belum dimulai, nama-nama peserta belum diumumkan, kau bisa mengusulkan untuk mencoret nama adikmu itu! Tapi kalau nama-nama mereka sudah diumumkan, kami tak mau mengecewakan para penonton di sini!"
"Kalau begitu, aku ingin bertemu dengan Abiyasa saja!"
"Tidak bisa! Setiap peserta yang sudah masuk ke ruangnya, tidak boleh ditemui oleh siapa pun! Takut ada kecurangan atau hal-hal yang tidak kami inginkan! Tapi kalau kau mau mendaftar sebagai peserta baru, masih ada kemungkinan untuk kami masukkan ke ruang peserta. Nona bisa bertemu dengan Abiyasa, tapi Nona tetap harus tampil sebagai peserta di arena nanti!"
"Aku tidak mau mati konyol!"
"Kalau begitu, jadilah penonton supaya tidak mati konyol!" jawab Luhito yang tinggi tubuhnya sebatas dada Yayi. Yayi hanya mendengus kesal, Luhito segera berkata setelah sorak penonton semakin meledak seru,
"Maaf, aku tidak bisa temani kamu. Aku harus kembali ke tengah arena untuk melanjutkan pertarungan ini!" Dan Luhito pun segera bergegas ke tengah pertarungan yang telah kotor oleh darah, dan sesosok mayat sedang diseret keluar oleh petugas kebersihan, sementara petugas lainnya membersihkan lantai berdarah.
Yayi bingung sendiri. Hatinya membatin, "Kalau kutantang mereka, pasti aku juga akan mati konyol! Jumlah orang-orangnya Brahmana Gada tidak sedikit. Di samping itu, jika kubikin kacau tempat ini supaya pertarungan batal, tentunya para penjudi itu akan mengamuk kepadaku, para peserta lainnya pun akan menyerangku, karena aku dianggap pengacau semangat mereka!"
Menurut Yayi, satu-satunya jalan harus bisa bicara langsung dengan Brahmana Gada. Orang itulah yang bisa membatalkan pertarungan Abiyasa. Perintahnya lebih ditakuti oleh Luhito ketimbang ancaman pedang tajam. Maka, Yayi pun berusaha mencapai ke tempat Brahmana Gada yang sedang duduk dan tertawa-tawa bersama tiga perempuan cantik. Mereka sedang menunggu pertarungan berikutnya dimulai.
Di pertengahan jalan menuju tempat duduk Brahmana Gada, Yayi berpapasan dengan seorang penjaga keamanan di bagian lantai penonton. la ditahan ketika hendak menuju ke tempat duduk para undangan dan tamu-tamu terhormat.
" Aku mau temui dia. Brahmana Gada!"
" Untuk keperluan apa, Nona?" tanya orang tegap berkumis itu.
" Aku mau bicara dengan dia agar mau membatalkan pertarungan untuk adikku!"
"Tidak bisa, Nona. Tuan Brahmana Gada pasti akan marah dan merasa terganggu jika Nona datang menghadap untuk keperluan seringan itu! Bisa-bisa Nona dibunuhnya!"
"Tapi aku harus membatalkan pertarungan Abiyasa, adikku itu! Dia masih terlalu muda untuk arena seperti ini!"
"Usia muda tidak berpengaruh, Nona! Yang berusia tua pun belum tentu punya keberanian sebesar yang berusia muda!"
"Aduh, tolonglah! Jangan sampai aku memaksamu dengan kekerasan!"
Tiba-tiba terdengar suara keras Luhito yang membuat hadirin menjadi tenang dan menyimak suara itu. Yayi dan pengawal tersebut juga segera membungkam mulut masing-masing.
"Pertarungan berikutnya, adalah si pemenang yang tadi telah menumbangkan Kurdogeni, yaitu si Dewa Botak, yang akan menghadapi peserta selanjutnya, yaitu Abiyasa...!"
Prok prok prok prok...! Penonton dan para tamu terhormat bertepuk tangan sambil bersorak dengan riuhnya. Hati Yayi terkejut. Matanya terbelalak. Pengawal itu berkata,
"Kurasa kau percuma menghadap Brahmana Gada, adikmu sudah tampil di arena, Nona. Lihatlah!"
Yayi mendesak ke tepi pagar pembatas lantai penonton. Hatinya semakin berdebar-debar melihat Abiyasa mengangkat tangannya dan menyentak- nyentakkan dengan penuh semangat, sehingga penonton lainnya berseru mengelu-elukan Abiyasa. Pemuda yang tampak sangat hijau untuk arena seperti itu, menggenggam sebuah pedang lengkung yang amat tajam. Pedang itu sebuah pemberian cindera mata dari seorang pendekar berasal dari Selat Gangga.
"Abi...l Abiyasa...! Tinggalkan arena!" seru Yayi dengan tegang. Tapi seruan itu tertutup oleh suara riuh gaduhnya penonton. Dalam hati Yayi sendiri menjadi terharu melihat banyaknya penonton yang seolah-olah menjagokan Abiyasa.
Sadar sudah hati Yayi, bahwa ia telah terlambat dan tak bisa mencegah niat Abiyasa yang berkobar- kobar itu. Jika ia serukan perintah berhenti dari arena, maka jelas akan semakin menurunkan nyali dan semangat Abiyasa. Yayi pun takut kalau seruannya mengganggu perhatian Abiyasa kepada lawannya.
Sementara lawannya yang berjuluk si Dewa Botak itu masih tampak bersemangat, bahkan pandangan matanya yang tajam menampakkan nafsu membunuhnya. Badannya besar, jauh lebih besar dari Abiyasa. Wajahnya tampak angker. Alisnya tebal bisa dipelintir ujungnya. Kumisnya juga tebal dengan bentuk mata yang besar dan kepala botak bagian tengahnya. Sisa rambutnya di tepian kepala sangat tipis, mungkin bisa dihitung jumlahnya.
Si Dewa Botak memegang rantai berbola baja berduri. Bola berduri itu besarnya seukuran kepala bayi. Ada dua bola berduri yang tergantung di dua ujung rantai sepanjang satu depa lebih. Jika diputarkan di atas kepala, terdengar bunyi gaung yang mendirikan bulu kuduk tiap manusia.
Tapi agaknya Abiyasa tidak merasa gentar sedikit pun. Ketika gong ditabuh, Abiyasa melompat lebih dulu sebelum bola berduri itu sempat dikibaskan. Wuttt...! Pedangnya berkelebat ke arah samping dengan cepat dan menggores lengan kekar si Dewa Botak. Cras!
"Habisi dia, Abiyasa!" teriak seseorang di sela seruan hingar-bingar mereka yang merasa girang melihat Abiyasa sudah berhasil menggoreskan pedang ke lengan lawan.
Hati Yayi pun menjadi susut kecemasannya, walau ia tahu keberhasilan Abiyasa menggoreskan pedang di lengan lawan belum berarti apa-apa bagi lawan. Justru lawan tampak semakin buas. Dengan gerakan cepat lawan pun menghantamkan bola berduri ke kepala Abiyasa.
Wungng...! Trangng...!
Abiyasa menangkisnya dengan pedang, sehingga gerakan bola berduri itu terhambat sekejap, itulah kesempatan Abiyasa untuk segera berguling ke lantai dan tebaskan pedangnya. Crass...!
Paha si Dewa Botak terluka lebar. Abiyasa yang terbaring itu segera sentakkan punggungnya dan tubuhnya melesat bangkit dengan cepat dan sigap. Jlegg...! la sudah berdiri dengan gagahnya, membuat Yayi menjadi lega bercampur bangga.
Dewa Botak kian panas. Nafsu membunuhnya semakin tinggi. Maka dengan gerakan cepat ia sabetkan berulang kali bandul baja berduri itu secara bergantian. la menyerang Abiyasa hingga Abiyasa terdesak mundur sampai ke dinding.
Wungng... wungng... wungng... wungng...!
Bandul bola berduri makin mendesak hingga tiba saatnya bandul itu menghantam kepala Abiyasa, Trangng...! Abiyasa tebaskan pedang lengkungnya dari bawah ke atas, lalu dari atas ke bawah, trangng...! Kedua bandul berduri itu sudah melayang tak tentu arah, dan Abiyasa segera sentakkan tangannya dengan cepat ke arah depan. Suttt...!
Jrubb...! Tepat menancap di ulu hati si Dewa Batok.
Sorak penonton menggelegar ketika si Dewa Botak tumbang ke belakang. Pedang lengkung itu masih menancap di ulu hati si wajah angker itu. Abiyasa mengacung-acungkan kedua tangannya menyambut kemenangan di sela sorak-sorai para penonton. Kemudian ia mencabut pedang dari tubuh mayat lawannya. la semakin mengangkat kedua tangannya yang memegang pedang itu berkeliling melingkari arena. Mata Abiyasa berbinar-binar memandangi sorak penonton yang tampak puas melihat kemenangannya.
Sayang sekali Abiyasa tak sempat melihat seraut wajah cantik milik seorang gadis yang sering membentak-bentaknya. Hati gadis itu terharu melihat kemenangan Abiyasa. Senyumnya senyum kebanggaan yang dibungkus oleh debar-debar kecemasan lembut. Betapapun bangganya, ia masih menyimpan rasa waswas, karena Gumarang belum tampil. la tahu, pertarungan yang utama buat adiknya adalah pertarungan melawan Gumarang.
Di dalam ruang peserta pertarungan, Gumarang sedang mengasah senjatanya dengan batu asahan kecil. Senjatanya adalah sebuah pedang yang tajam di dua sisinya dengan bagian ujungnya papak, tidak runcing, tapi punya ketajaman menggores setajam sisi tepi kanan-kirinya. Melihat kemunculan Abiyasa dari arena, Gumarang tersenyum sinis dan berseru,
"Doaku masih dikabulkan, kau tetap akan menang melawan siapa pun sebelum tiba gilirannya melawanku! Karena jatah kematianmu ada di tanganku, Abiyasa!"
"Tutup mulutmu, jika kau tak ingin peserta lainnya merasa kau remehkan, Gumarang!"
Seorang berbadan gemuk dengan wajah brewokan menepuk punggung Gumarang dari belakang.
"Sebentar lagi dia akan hancur oleh senjataku!" sambil orang itu menuding Abiyasa. "Setelah dia hancur, baru kepalamu yang kuhancurkan! Oleh sebab itu, tak perlu kau berkoar di dalam ruangan ini! Jika mau berkoar, nanti saja di arena!"
Tetapi sekali lagi Abiyasa ternyata mampu menunjukkan keunggulan ilmunya di depan sekian pasang mata penonton, termasuk di depan mata kakak perempuannya. Sang kakak sendiri tidak menyangka kalau adiknya punya keberanian setinggi itu, masuk dalam arena Ladang Pertarungan, sama saja mencari maut.
Karena tertarik melihat kemenangan demi kemenangan yang disandang oleh Abiyasa, Yayi menjadi lupa akan kudanya, lupa akan Mahendra Soca. Perhatiannya masih terpusat pada Abiyasa. Apalagi sekarang Abiyasa tampil kembali setelah Luhito, si pembawa acara, berseru,
"Hadirin dan para undangan terhormat, kini tinggal satu peserta yang akan melawan si pendekar kuat Abiyasa. Seperti yang sudah kukatakan tadi, saudara-saudara, bahwa sampai detik ini, sudah terkumpul hadiah sebesar empat ratus sikal yang berhak diterima oleh Abiyasa. Jika dalam pertarungan mendatang nanti, Abiyasa menang lagi, berarti dia berhak menerima empat ratus lima puluh sikal! Dan perlu saudara-saudara ketahui, jika nanti Abiyasa menang, maka dia akan berhadapan dengan orang terakhir di dalam arena pertarungan ini, yaitu sang pembantai si Wajah Hitam...!"
"Horeee...! Horeee...! Horeee...!" seru mereka bersemangat. Hampir sebagian besar mata penonton tertuju ke pintu jeruji sebelah selatan. Di sana sudah berdiri si Wajah Hitam yang kepalanya terselubung kain hitam, bertelanjang dada, mengenakan celana hitam, dan kain ikat pinggang merah. Badannya besar dengan dada lebar dan kekar. Ketika itu si Wajah Hitam tampak berdiri tegang memandangi pertarungan dengan pedang telah tergenggam di tangannya dalam keadaan belum dicabut dari sarungnya. Entah sejak kapan si Wajah Hitam berdiri di sana memperhatikan tiap pertarungan, yang jelas saat itu ia sedang jadi pusat perhatian banyak orang, termasuk Yayi.
Tetapi pikiran Yayi tak banyak bicara tentang si Wajah Hitam. Karena pada saat itu, Luhito segera melanjutkan ucapannya,
"Perlu saudara-saudara ketahui juga, kali ini, lawan yang akan berhadapan dengan Abiyasa adalah saudara seperguruannya sendiri, yaitu Guuu... maaa... raaang...!"
"Huuu...!" seru mereka kegirangan, bertepuk tangan cukup panjang. Karena baru sekaranglah saatnya terjadi sesuatu yang belum pernah dialami oleh mereka, yaitu menyaksikan pertarungan hebat dari dua orang yang berasal dari satu perguruan.
Gumarang dan Abiyasa muncul di arena. Sambutan para penonton semakin riuh lagi. Sedangkan Yayi hanya tersenyum sambil hati berdebar-debar. Sekalipun ia sudah saksikan kehebatan jurus-jurus pedang Abiyasa, tapi tentunya kali ini sang lawan bisa membaca jurus-jurus Abiyasa, sebab berasal dari satu guru. Apakah Abiyasa bisa memainkan jurus yang tidak terbaca oleh Gumarang? Itu yang tidak diketahui oleh Yayi
Bongngng...! Gong berbunyi, pertarungan dimulai. Gumarang sempat menggeram, hanya Abiyasa yang dengar.
"Saatnya kita tentukan siapa yang unggul dan layak menyandang gelar murid terbaik dari guru kita!"
"Bersiaplah dan hati-hatilah melawanku, Gumarang!" hanya itu kata-kata Abiyasa, lalu ia segera bergerak memutar bersamaan dengan gerakan lambat Gumarang. Pedang Gumarang sejak tadi sudah dikibas-kibaskan ke sekelilingnya, sepertinya ia sedang pamer kecepatan ilmu pedangnya. Sedangkan Abiyasa hanya diam saja, tak menggerakkan pedang sedikit pun. Pedang itu hanya tergenggam dengan dua tangan dan terarah ke samping, siap tebas dari atas ke bawah. Badannya sedikit membungkuk, matanya tajam tak berkedip memperhatikan setiap gerakan Gumarang.
"Hiaaat...!" Gumarang memekik sambil maju menyerang.
Wut wut wut trangng...! Crasss...!
Pedang Gumarang berkelebat cepat menyerang, tapi Abiyasa menghindar beberapa kali dan menangkis satu kali, kemudian meliukkan tubuh sedikit dan menebaskan pedang dari samping kiri ke kanan. Tebasan itu tepat mengenai leher Gumarang. Maka, tak ayal lagi Gumarang berhenti bergerak seketika. Lehernya robek besar, memercikkan darah ke mana-mana. Lalu tubuh itu pun tumbang. Brukk...!
Gumarang mati dalam dua jurus pedang Abiyasa. Sudah tentu sorak-sorai penonton semakin menggelegar keras. Rasa kagum mereka timbulkan berbagai macam suara teriakan yang memuji Abiyasa. Suara pujian mereka itu hampir menitikkan air mata Yayi karena haru melihat kemenangan adiknya.
Tetapi beberapa saat kemudian hati Yayi menjadi gundah dan gelisah. Sebab ia tahu, setelah ini Abiyasa bertarung melawan sang pembantai yang sudah sekian puluh nyawa ditebas dengan pedangnya.
Luhito berseru, "Hadirin dan para tamu terhormat, kini tiba saatnya Abiyasa menerima hadiah dua kali empat ratus lima puluh sikal, yaitu sembilan ratus sikal, jika dalam pertarungannya yang terakhir ini ia bisa kalahkan si pembantai kita selama ini, yaitu si Waaa... jaaah... Hitaaaam...!"
Drangng...! Pintu jeruji selatan dibuka dalam satu sentakan. Orang berselubung kain hitam algojo itu tampil lebih dulu di tengah arena. la mengangkat kedua tangannya yang sudah mencabut pedang itu sambil dongakkan kepala, pandangi tiap penonton yang bersorak mengelu-elukan dirinya.
"Heaaah...!" si Wajah Hitam berteriak memberi semangat sambil tampakkan kebuasannya. Penonton pun semakin gemuruh menyambut seruan Semangat itu.
Pada saat si Wajah Hitam yang tanpa memakai baju itu mengangkat kedua tangan dan memutari arena, hati Yayi menjadi sangat cemas. la melihat lawan adiknya kali ini bertubuh kekar dan tampak ganas. Di punggungnya terdapat tato pedang berdiri berlilit ular. Tato itu cukup jelas, karena membentang sepanjang tulang punggung, dari perbatasan pundak tengah, bawah tengkuk, sampai ke pinggang belakang. Tato itulah yang membuat si Wajah Hitam semakin seram dan berkesan sebagai manusia angker.
Yayi berdebar-debar. Sambil membatin, "Seharusnya Abiyasa menghentikan pertarungan ini, toh dia sudah kalahkan Gumarang! Tapi agaknya memang sulit, sebab ia harus maju menghadapi si Wajah Hitam itu. Ini sudah merupakan peraturan. Jika tidak, pasti penonton akan menyerang Abiyasa karena merasa dikecewakan! Mereka pasti ingin melihat si Wajah Hitam tumbang di tangan Abiyasa. Tak bedanya dengan diriku! Ah... mudah-mudahan Abiyasa kali ini tetap unggul melawan sang pembantai itu...!"
Para penonton yang ada di deretan tamu terhormat juga memberi seruan-seruan untuk Abiyasa. Salah seorang berseru,
"Penggal kepalanya, Abiyasa! Kutambah hadiahmu menjadi tiga kali lipat dari yang seharusnya kau terima!"
Sementara dari pihak penjudi berseru, "Kupertaruhkan rumahku untuk menjagokan kamu, Abiyasa! Lawan dia dan keluarkan jurus-jurus pamungkasmu!"
Abiyasa tetap pandangi mereka dengan senyum ketegaran sambil kedua tangannya terangkat ke atas disentak-sentakkan. Sementara itu, di telinga Abiyasa pun terdengar seseorang memanggil di sela riuhnya suara mereka. Kali ini telinga Abiyasa mendengar suara wanita,
"Abi...! Pandanglah aku, Abi...!" Cepat ia berpaling, dan tersentak kaget melihat wajah kakaknya ada di antara para penonton. Abiyasa tertegun bengong. Kejap berikut mulutnya berucap kata lirih,
"Yayi...?!" dalam desah yang tipis, namun tertangkap oleh telinga gadis cantik itu.
"Maju! Serang! Aku di sini, Abi!" kata Yayi dengan tak sadar air matanya mulai membasahi kedua mata indah itu. Yayi mengacungkan kedua tangannya yang menggenggam disentak-sentakkan. Katanya,
"Hancurkan dia! Kau harus menang, Abi! Aku di sini! Jangan kecewakan aku! Hancurkan!"
Bongng...!
Gong bertalu, pertandingan adu nyawa segera dimulai. Abiyasa berdiri berhadapan dengan si Wajah Hitam di tengah arena. Tapi sebentar-sebentar ia memandang ke arah Yayi, sebab ia sama sekali tak menduga kalau kakaknya ada di situ.
Padahal dia paling takut kepada Yayi. Dia takut kepada kakaknya yang sangat sayang kepadanya, sehingga kadang ia diperlakukan seperti anak kecil meski suka juga, dibentak-bentak dan ditampar. Tapi kali ini ia merasa heran, sebab sang kakak yang sering memberinya saran agar jangan bertarung dengan siapa pun kecuali dalam keadaan terpaksa, kini justru sang kakak memberinya semangat yang menggebu-gebu.
Si Wajah Hitam berdiri tegak dengan pedang lurus ke atas di depan wajahnya. Pedang itu mempunyai ketajaman di dua sisinya dengan bagian ujungnya runcing. Pedang itu digenggam dengan dua tangan yang berotot kekar. Di pergelangan tangan si Wajah Hitam kenakan gelang kulit berwarna hitam pula. Tubuhnya yang kekar itu tampak berkeringat dan menjadikan tubuh itu mengkilap.
Abiyasa bergerak pelan mengitari si Wajah Hitam dengan pelan-pelan. Semua penonton diam tak ada yang berkata sepatah kata pun. Napas kedua orang yang bertarung itu saja yang terdengar oleh mereka. Abiyasa mencari kelengahan, sementara si Wajah Hitam diam mematung di tengah arena dengan pedang lurus ke atas di depan dada.
Ketika Abiyasa sampai di belakang si Wajah Hitam, tiba-tiba Abiyasa menyerang dengan cepat. Wuttt...! Pedang ditebaskan dari atas ke bawah. Tapi si Wajah Hitam menangkis pedang Abiyasa dengan kepala melengkung sedikit ke belakang. Trangng...! Pedang Abiyasa tertangkis, dan si Wajah Hitam cepat berputar. Wuttt...! Craas..,!
Gerakan si Wajah Hitam berhenti dalam keadaan kedua kakinya merenggang rendah, tubuh membungkuk miring ke kiri, pedang ada di sebelah kiri, meneteskan darah segar ke lantai. Tess...!
Abiyasa terbelalak matanya. Pedangnya jatuh dari tangan, dan ia pun segera tumbang dalam keadaan robek perutnya, hampir terbelah tubuh itu menjadi dua bagian. Isi perut pun berhamburan keluar mengotori lantai arena.
"Abiii...!" jerit Yayi yang segera melompat turun dari lantai penonton, lalu cepat-cepat menghampiri adiknya yang sedang meregang nyawa itu. la menjerit sambil menangis dan berkata, "Abi...! Tahan...! Kuatkan dirimu, Abi...!" "Ya... yi... maaa... maafkan... aku...." Kepala Abiyasa tergolek dan napas pun terhembus lepas. Abiyasa pun mati, para penonton hanya bergemuruh kecil, seakan mereka ikut kecewa dengan kematian Abiyasa, yang diharapkan bisa menjadi sang pembantai yang baru.
Melihat kematian adiknya, Yayi segera bangkit berdiri dan mencabut pedangnya pada waktu si Wajah Hitam sudah hampir masuk ke pintu selatan.
"Jahanaaam...! Kubalas kematian adikku sekarang juga!"
Srakkk...! Semua petugas keamanan segera mengurung Yayi dengan maksud meredakan amarah Yayi. Mereka membujuknya agar jangan menyerang dan membalas saat itu. Luhito berkata,
"Kalau Nona setuju, akan kucantumkan nama Nona dalam pertarungan minggu depan! Kalau mau balas dendam kepada si Wajah Hitam, lakukanlah pada minggu depan di arena ini juga!"
"Baik! Aku akan tampil di minggu depan!" teriak Yayi, dan ternyata disambut oleh sorak-sorai dan tepukan para penonton.
**5**
"Kematian Abiyasa bukan kesalahan Brahmana Gada! Itu kesalahan Abiyasa sendiri! Kalau Abiyasa tidak datang dan menjadi peserta di dalam pertarungan itu, maka ia tidak akan mati semuda itu!" kata Yayi. "Penyerbuan ke Rumah Busuk hanya akan mencoreng nama baik dan wibawa Ayahanda saja, karena Ayahanda bisa dianggap oleh para tokoh dunia persilatan sebagai orang yang dungu.
Bagaimanapun juga kematian Abiyasa adalah kematian akibat suatu kebodohan! Ayahanda sering nasihati kami agar bisa kuasai diri dan nafsu, jika tidak maka kami akan mati oleh nafsu diri pribadi. Dan Abiyasa telah membuktikan nasihat Ayahanda, bahwa nafsu diri pribadi memang bisa membuatnya mati sia-sia!"
Geram kemarahan sang Adipati makin lama makin reda. Yayi terus-menerus membela pihak Rumah Busuk itu. Hal tersebut dilakukan Yayi dengan maksud agar Ladang Pertarungan jangan sampai dibubarkan dulu sebelum ia tampil di arena untuk membalas dendam kepada si Wajah Hitam. Bahkan ia pun menyembunyikan dendamnya itu dari depan ayah dan ibunya, sehingga mereka tak tahu apa yang dilakukan dan direncanakan oleh Yayi. Hanya saja, di satu kesempatan, Yayi pernahbertanya kepada ayahandanya,
"Siapa pendekar jago pedang yang Ayahanda kenal?"
Sang Adipati menjawab, "Dulu ayah mempunyai sahabat dekat yang bernama si Penggal Jagat! Beliau adalah jago pedang berilmu tinggi!"
"Di mana dia tinggalnya, Ayahanda?"
"Di Lereng Lawu. Mengapa kau tanyakan hal itu, Anakku?"
"Saya ingin belajar ilmu pedang yang lebih hebat dari yang sudah saya miliki dari kakek, Ayahanda!"
"Kalau begitu, akan kusuruh orang memanggilnya datang kemari. Ki Argapura atau si Penggal Jagat juga sahabat baik dari mendiang kakekmu, Yayi. Pasti beliau tidak keberatan untuk memenuhi undangan dari Ayah! Kami sudah seperti saudara dengan beliau!"
Betul apa kata sang Adipati. Orang yang bergelar si Penggal Jagat itu memang sudah seperti saudara sendiri, sebab dulu si Penggal Jagat hidup dengan menumpang pada keluarga kakeknya Yayi. Usianya sekarang sekitar enam puluh tahun. Tapi ia masih kelihatan gesit dan lincah dalam bergerak.
Kabarnya, Ki Argapura sekarang sudah mempunyai perguruan sendiri, dan dia hidup di Lereng Lawu bersama beberapa muridnya. Tapi ketika datang undangan ke kadipaten, Ki Argapura datang sendirian sebagai seorang saudara yang berkunjung penuh perdamaian. Bahkan ketika Ki Argapura mendengar permintaan Yayi, orang berambut putih panjang dengan jenggot putih pendek dan kumis putih tak terlalu lebat itu hanya terkekeh-kekeh menanggapinya.
"Bukankah kakekmu juga jago pedang, Yayi!"
"Benar. Tapi kata Ayah mendiang kakek masih kalah ilmu pedangnya dengan Ki Argapura! Sebab itu Ayah memilih Ki Argapura untuk menjadi guru pedang ku! Hanya beberapa jurus maut sajalah yang Ki Arga berikan pada saya. Tak perlu semuanya!"
"Agaknya kau punya maksud-maksud tertentu untuk mempelajari jurus pedangku, Yayi. Apa benar begitu dugaanku?"
"Ki Arga, terus terang saja, aku punya dendam kepada seseorang yang jago main pedangnya. Kalau aku tidak belajar ilmu pedang yang lebih hebat, aku tidak akan bisa menang melawan dia!"
Karena mereka hanya berdua pada waktu itu, maka Yayi pun menceriterakan segala apa yang dilihatnya di Ladang Pertarungan itu. Semua gerakan si Wajah Hitam ditirukan oleh Yayi saat menuturkan kehebatan ilmu pedang si Wajah Hitam itu. Dan Ki Argapura hanya manggut-manggut.
Sambil melangkah di tepi sebuah sungai yang sepi itu, Ki Argapura berkata kepada Yayi,
"Seorang jago pedang lebih banyak menggunakan indera keenamnya ketimbang keampuhan pedang pusakanya. Jika indera keenammu cukup kuat untuk melihat apa yang belum bergerak dan mendengar apa yang belum bersuara, maka gerakan pedangmu mempunyai kepastian dan ketepatan menebas."
Mereka berhenti di bawah pepohonan rindang di hutan tepi sungai. Ki Argapura meminjam pedang milik Yayi, sebab ia tidak membawa apa-apa ketika berangkat menuju kadipaten. Sambil memegang pedang dengan kedua tangannya, Ki Argapura berkata,
"Jadikan mata pedang adalah mata hatimu. Di mana mata pedang ini ingin bergerak, jangan kau tentang dengan mata hatimu! Karena pedang yang sudah menyatu dengan kekuatan indera keenam, dia akan bergerak dengan sendirinya mendului apa yang akan terjadi. Jika mata pedang sudah menjadi mata hatimu, dan gerakan pedang adalah gerakan nalurimu, maka kekuatan tenaga dalam yang tersalur di dalamnya tidak perlu berlebihan. Gerakannya pun tidak perlu mengeluarkan banyak tenaga. Pelan, tapi cepat dan pasti!"
Wuttt...! Ki Argapura menggerakkan pedang itu ke depan, seperti orang membacokkan sesuatu dengan golok. Saat pedang bergerak menebas ke depan, kaki kirinya maju menghentak. Jlegg...!
"Ini namanya jurus 'Rembulan Menebas Bintang'," katanya sambil menyunggingkan senyum tipis.
"Jurus ini titik beratnya pada ujung pedang, yang bisa memotong benda dalam jarak beberapa langkah di depannya."
Yayi manggut-manggut menyimaknya. Tapi ia jadi terkejut ketika kejap berikutnya sebatang dahan dari pohon yang masih rendah itu jatuh dalam keadaan patah terpotong. Dahan itu besarnya sebesar lengan. Dan bentuk potongannya sangat rapi.
Rupanya saat Ki Argapura memperagakan gerakan jurus pedang yang bernama jurus 'Rembulan Menebas Bintang', ia telah melakukan satu gerakan yang benar, yaitu memotong dahan tersebut tanpa menyentuhkan pedang pada sasarannya. Yayi menatap potongan dahan itu dengan mata memancarkan kekaguman.
"Ingat, hanya sedikit tenaga dalam yang perlu kau salurkan melalui pedang ini, dan biarkan dia bergerak dengan naluri dan matanya sendiri! Bukan kamu yang menggerakkan pedang, tapi pedang yang membawamu bergerak mendului apa yang belum bergerak dan belum terjadi! Dengan begitu, maka setiap gerakan lawan dapat dipatahkan dengan mudah karena sudah diketahui ke mana sasaran geraknya!"
Wukkk...! Pedang ditusukkan ke depan dengan cepat dan tahu-tahu sudah berbalik ke posisi semula. Ki Argapura memandang Yayi, lalu ia pun berkata,
"Ini namanya jurus 'Mata Malaikat'. Titik utamanya pada tenaga dalam yang ada di dalam pedang ini, bergerak dan menjadi satu dengan kecepatan naluri pedang. Lihat batang pohon itu...!"
"Oh...?!" Yayi terperangah kaget. Batang pohon itu ternyata berlubang. Tembus sampai ke belakang dan berbentuk seperti permukaan mata pedang. Ternyata pada saat pedang ditusukkan ke depan oleh Ki Argapura tadi, pedang tersebut sudah mencapai batang pohon dan menembusnya sebelum pandangan mata Yayi mencapai ke arah batang pohon. Ketika gerakan mata Yayi mencapai batang pohon, pedang itu sudah selesai dicabut dan sedang ditarik mundur dengan cepat, sehingga Yayi hanya melihat seolah-olah pedang tidak sampai menyentuh batang pohon.
"Luar biasa!" gumam Yayi, penuh dengan kekaguman yang mendebarkan.
Banyak jurus pedang yang diajarkan kepada Yayi. Tetapi Yayi harus melalui latihan dasar untuk mendapatkan naluri pedang dan mata jiwa pedang. Sekalipun keringat Yayi sudah mengucur tanda berlatih dengan sungguh-sungguh, tapi Ki Argapura melarang Yayi berhenti berlatih.
Tiba-tiba datang seorang penunggang kuda yang berpakaian seragam keprajuritan. Orang itu langsung menghadap Ki Argapura dan berkata penuh hormat,
"Ki Argapura, Kanjeng Adipati ingin bicara sebentar dengan Ki Argapura. Harap Ki Arga sudi kiranya segera menghadap Kanjeng Adipati sekarang juga!"
"Apakah ada bahaya di kadipaten?"
"Tidak ada, Ki Arga! Kanjeng hanya ingin bicara!"
"O, baik!" lalu Ki Argapura bicara kepada Yayi, "Hari ini kita selesaikan sampai di sini dulu latihan kita, Yayi. Mari kita menghadap ayahandamu karena beliau memanggil."
"Ki Arga sendirilah yang ke sana, aku masih ingin teruskan gerakan pedang yang berjurus 'Selendang Ekor Naga' ini. Nanti aku akan menyusul pulang jika sudah kurasakan cukup capek, Ki!"
Kakek tua itu terkekeh-kekeh. Lalu ia pun segera meninggalkan Yayi sendirian. Ki Argapura tidak merasa sedikit cemas walau meninggalkan Yayi di tempat sesepi itu, sebab ia yakin Yayi mampu mengatasi bahaya apa pun. Itu terlihat dari kerasnya kemauan Yayi dan lincahnya gerakan tangan Yayi dalam mempermainkan pedang.
Agaknya memang Yayi benar-benar ingin mempunyai jurus-jurus pedang yang diajarkan oleh Ki Argapura, sehingga meski ditinggalkan oleh sang Guru, Yayi tetap berlatih dengan tekun. Bahkan ketika matahari mulai bergeser ke barat, ia masih tetap berlatih penuh semangat.
Satu-satunya hal yang membuat latihan Yayi terhenti adalah datangnya suara gaduh di kejauhan. Werrr...! Brukkk...!
"Suara pohon tumbang?" pikir Yayi. Barulah ia sadar bahwa sejak tadi sebenarnya ia mendengar suara dag-dug, dag-dug, tapi tak pernah dihiraukan. Pusat pikirannya hanya ke gerakan pedang. Dan sekarang Yayi tahu, suara pohon rubuh itu adalah pohon yang habis ditebang orang. Siapakah penebangnya?
Yayi segera sentakkan kakinya dan tubuhnya melesat pergi tinggalkan tempat itu. la menuju ke arah pohon rubuh tadi. Karena ia yakin ada seseorang yang ingin ditemuinya di pohon rubuh itu. Dan ternyata dugaan Yayi tidak salah. Orang tersebut memang ada. Orang itu tak lain adalah Mahendra Soca, yang berpakaian putih tanpa lengan dengan kain pinggang kali ini berwarna hijau dan celana hitam. Pemuda itu segera memandang Yayi begitu Yayi menyapa,
"Sudah berapa pohon, Mahendra?"
"Oh, kau...! Sudah selesai latihan pedangmu?"
"Latihan yang mana?" Yayi berlagak tak mengerti maksud Mahendra Soca walau dia akhirnya tertawa dan berkata, "Rupanya kau tadi mengintip aku sedang berlatih pedang di sana?! Curang sekali kau! Kenapa tak mau menyapaku, Mahendra?"
"Aku tak mau mengganggu pikiranmu yang sedang terpusat kepada pengarahan dari gurumu tadi! Maka kutinggalkan kalian karena aku harus mendapatkan beberapa batang pohon lagi!"
***
Mahendra Soca segara mendekati Yayi. Mata Mahendra Soca memandang dengan senyum mengembang tipis menawan. Yayi jadi salah tingkah, lalu kejap berikutnya Yayi tak tahan dan mengalihkan pandangan matanya ke tempat lain.
Sejak pertemuannya di Ladang Pertarungan, ketika Mahendra Soca menjaga kudanya, Yayi belum pernah bertemu Mahendra Soca lagi. Baru kali ini ia jumpa dengan pria yang menawan hatinya itu. Dan Yayi pun merasa bersalah, karena pada waktu itu meninggalkan Mahendra Soca sampai sekian lama, sampai mungkin Mahendra Soca bosan dan pergi begitu saja, membiarkan kuda putihnya ditambatkan di sebuah batang pohon.
Setelah hening tercipta beberapa kejap, terdengarlah suara Yayi yang bernada penuh sesal dan duka mengenang kematian adiknya,
"Maafkan aku ketika itu, Mahendra. Aku meninggalkan kamu sampai sekian lama, dan ketika aku kembali ke kudaku, kau sudah tiada!"
"Ya, aku memang sedikit jengkel waktu itu, Yayi. Tapi sekarang sudah kulupakan. Toh aku pun waktu itu telah pergi meninggalkan tempat itu tanpa mau mengurus kudamu lagi! Kalau kuda itu hilang dicuri orang, itu karena kesalahanmu yang tak mau menghiraukan aku lagi dan menelantarkan aku di bawah pohon sana! Tapi, sudahlah... kuanggap hal itu tak pernah terjadi, Yayi!"
"Aku panik pada saat itu! Sampai akhirnya aku menyaksikan sendiri kematian Abiyasa di tengah arena!"
"Oh, jadi...?"
"Benar, Mahendra. Abiyasa mati dibabat pedang Wajah Hitam!"
Mahendra Soca diam dengan wajah murung.
Bahkan ia tampak gelisah dan tak berani menatap Yayi. Sikapnya yang menunduk membuat Yayi mengerti bahwa Mahendra Soca ikut bersedih atas kematian Abiyasa. Kemudian, Yayi segera mendekati Mahendra Soca yang duduk di dahan pohon yang telah ditebangnya itu, di sana Yayi berkata,
"Seharusnya waktu itu aku mengajakmu melihat kehebatan adikku, Abiyasa itu, dan juga melihat gerakan ilmu pedang si Wajah Hitam yang memang cukup tinggi itu! Salah sekali aku, karena tidak mengajakmu ke sana!"
"Bukan itu yang kupikirkan saat ini, Yayi. Tapi... sekarang aku tahu mengapa kau belajar ilmu pedang tadi. Sepertinya... kau punya dendam dan ingin melawan si Wajah Hitam itu. Bukankah begitu maksudmu, Yayi?"
"Ya. Aku memang ingin membalas kematian Abiyasa! Aku bahkan sudah mengatakan kepada pengurus Ladang Pertarungan Itu, bahwa minggu depan aku akal hadir sebagai peserta di arena itu!"
Sambil berkata demikian, mata Yayi menyipit pancarkan cahaya dendam dari dalam hatinya. Mahendra Soca memandang sejenak, kemudian menunduk lagi memainkan sebatang rumput dan berkata pelan,
"Kalau bisa jangan, Yayi."
"Jangan apa maksudmu?"
"Jangan datang ke sana. Jangan ikut dalam pertarungan. Nanti kau mati di tangan mereka!"
"Mati demi membalas dendam atas kematian adikku adalah lebih baik daripada mati konyol hanya memperebutkan sejumlah hadiah!"
"Kalau kau mati," kata Mahendra Soca, "Aku tak bisa melihatmu lagi, Yayi! Lalu ke mana aku akan bisa melihatmu jika kau mati di sana?"
Kata-kata itu meluncur dengan polos, seakan terungkap secara apa adanya. Hati Yayi sempat dibuat guncang karena ucapan lugu itu. Debar-debar yang terjadi di dalam hatinya menjadi lebih sulit diterjemahkan dengan bahasa mulut. Apalagi ketika Mahendra Soca memandangnya dengan lembut, hati Yayi semakin gundah dan tak mengerti lagi apa yang berkecamuk di dalam pikirannya.
Hanya saja, waktu itu suasana indah berkelambu resah itu menjadi buyar seketika dengan kedatangan Ragajampi. Kini di hati Yayi mulai timbul perasaan baru, yaitu perasaan benci dan geram terhadap kehadiran Ragajampi yang dianggap mengganggu kebahagiaannya.
"Tak adakah pekerjaan lainnya yang bisa kau kerjakan sebagai pengawal?!" hardik Yayi kepada Ragajampi yang datang bersama satu prajurit, bukan Sulaya. Ragajampi memandang ke arah Mahendra dan bagaikan tak mendengar ucapan Yayi tadi. Mahendra Soca beradu pandang sebentar, lalu tundukkan kepala tak berani menatap Ragajampi.
"Apa maumu datang kemari menggangguku,hah?!" bentak Yayi.
"Diutus oleh Kanjeng untuk menjemputmu! Kanjeng dan Ki Argapura ingin bicara denganmu!"
"Alasan saja!" geram Yayi.
"Kalau tak percaya, tanyakan saja kepada Wikromo!" Ragajampi menunjuk orang berseragam keprajuritan itu.
"Pulanglah, Yayi. Jangan sampai ayahandamu marah," kata Mahendra Soca dengan pelan sambil tangannya memegang pundak Yayi. Dan tiba-tiba Ragajampi menarik napas dengan wajah menjadi merah. Yayi tahu hal itu, ia semakin menambah panas hati Ragajampi dengan merapatkan badan ke tubuh Mahendra Soca, lalu wajahnya memandang pemuda itu dan mulutnya mengucapkan kata,
"Jangan kecewa, Mahendra! Kita tetap akan bisa bertemu lagi!"
"Ya. Aku tidak kecewa. Aku memaklumi kesibukan mu sebagai putri seorang adipati. Kapan- kapan kita pasti jumpa lagi, Yayi."
Ragajampi meludah ke samping setelah menarik napas menahan cemburu di dada. Matanya menyipit memandang jauh ke arah lain, seakan tak mau memperhatikan suasana mesra antara Yayi dan Mahendra Soca.
Yayi pun segera pergi setelah Mahendra Soca membujuknya agar segera berangkat ke istana. Kepergian Yayi dipandangi oleh Mahendra Soca sampai ketepian sungai. Tetapi tiba-tiba seseorang
menyerang Mahendra Soca dari belakang.
Baaahg...!
"Aahg...!" Mahendra Soca tersentak ke depan dan jatuh. Sebuah pukulan tenaga dalam tanpa suara, tanpa sinar telah menghantam punggungnya. Tetapi hal itu tidak membuat Mahendra Soca diam terkulai, melainkan berusaha untuk bangkit walau dengan susah payah dan menahan rasa sakit sebegitu dalam.
Ketika ia bangkit, tampaklah seorang berpakaian hijau tua, bersenjata golok dengan wajah bulat dan rambut keriting. Orang itu tak lain adalah Sulaya. Begitu melihat Mahendra Soca bangkit, Sulaya segera tebaskan goloknya ke pundak Mahendra Soca. Wuttt...!
Brukk...! Bukan Mahendra Soca yang roboh, melainkan Sulaya sendiri. Orang itu belum sempat mencapai pundak Mahendra Soca dengan goloknya, tiba-tiba datang angin kencang bergelombang besar yang seolah-olah telah mendorong dan melemparkan tubuhnya hingga terpental jauh. Bahkan tubuh Sulaya pun membentur batang pohon tepat di bagian kepalanya, hingga ia mengaduh tertahan karena bagian pelipisnya sempat bocor dan berdarah.
Mahendra Soca sendiri kaget melihat Sulaya jatuh secara tiba-tiba. Padahal kalau Sulaya tidak jatuh terlempar, pasti Mahendra Soca mati atau setidaknya akan terpenggal pundaknya akibat bacokan golok tajamnya Sulaya. Untung ada seseorang yang menyerang Sulaya dari suatu tempat yang tersembunyi, sehingga Mahendra Soca masih tetap utuh dan terhuyung-huyung menahan rasa sakitnya dengan mata masih terpejam kuat-kuat. Sekujur dadanya merasa panas akibat pukulan tenaga dalam Sutaya tadi.
Melihat pelipisnya berdarah, Sulaya menjadi tambah bernafsu untuk membalas serangan. Tapi karena yang ada hanya Mahendra Soca, maka niatnya untuk mencelakai Mahendra Soca semakin bertambah besar lagi. Dengan satu lompatan bagai terbang, Sulaya menerjang Mahendra Soca dengan golok tajamnya siap dibabatkan ke wajah pemuda itu.
Tetapi tiba-tiba sekelebat bayangan melesat menabraknya, dan tubuh Sulaya pun kembali terpental tak tentu arah. Brusss...! Sulaya jatuh ke semak-semak, punggungnya membentur batu runcing. Batu itu mengoyakkan punggung hingga robek dan berdarah punggung tersebut. Sulaya pun mengerang kesakitan.
Tetapi sekelebat bayangan tadi kini sudah berdiri depannya. Bayangan yang menabraknya tadi adalah bayangan tubuh seorang pemuda berpakaian coklat dan celana putih, rambutnya panjang tanpa diikat, dan menyandang bumbung tuak di punggungnya. Siapa lagi dia kalau bukan Pendekar Mabuk yang dikenal dengan nama Suto Sinting.
Sulaya maupun Mahendra Soca sama-sama heran memandang kemunculan tokoh penyandang bumbung tuak itu. Apalagi ketika itu, Suto langsung mengambil bumbung tuak dan meneguk tuaknya beberapa kali mereka semakin merasa heran melihat sikap seenaknya saja itu.
"Siapa kau?! Mengapa kau campuri urusanku dengan orang itu?!" Sulaya mencoba menggertak Suto Sinting. Tapi Pendekar Mabuk yang tampan itu menyunggingkan senyum tipisnya dan berkata,
"Siapa aku, itu tak perlu kau ketahui! Yang perlu kau ketahui, aku bukan bermaksud memusuhimu, tapi hanya mencegah perbuatanmu yang hampir menewaskan nyawa orang yang bukan tandinganmu itu!"
"Kalau begitu, kaukah tandinganku?! Hiih...!" Sulaya segera kirimkan pukulan tenaga dalam dari telapak tangannya. Tenaga dalam itu segera dibalikkan oleh Suto dengan menggunakan sentilan jarinya yang bernama jurus 'Jari Guntur'. Wuttt...! Blauggh...! Dada Sulaya jadi sasaran balik tenaga dalamnya dan ia terpental lagi lebih jauh dari kedua sentakan tadi. Telinganya membentur pohon, dan daun telinga itu pun menjadi robek berdarah.
Sulaya merasa orang berbumbung tuak itu membahayakan jika dilawan. Melalui sentilan jari yang bisa menghantam balik pukulan tenaga dalam tersebut sudah bisa diduga oleh Sulaya, bahwa orang tersebut pasti berilmu tinggi. Maka ia lebih baik memilih pergi dari tempat itu.
Setelah Sulaya pergi terbirit-birit bagai tikus dikejar kucing, Suto pun segera mendekati Mahendra Soca dan memeriksa keadaan tubuh Mahendra Soca dengan pandangan aneh. Tapi Suto segera berkata,
"Bagaimana tubuhmu? Apa yang terasa di badanmu?"
"Panas! Bagian dalam terasa panas sekali!" jawab Mahendra Soca.
"Cobalah minum beberapa teguk tuakku ini! Mudah-mudahan bisa lekas sembuh...!" Pendekar Mabuk memberikan bumbung tuaknya dengan membantu memegangi bumbung tersebut, dan Mahendra Soca meneguk tuak beberapa teguk. Anehnya, perasaan panas di dalam dada dan perut itu mulai terasa dingin setelah meneguk tuak tersebut.
"Terima kasih atas pertolonganmu," kata Mahendra Soca. "Kau kuanggap telah menyambung nyawaku. Jika kau tidak datang, aku pasti sudah mati dibacok-bacok oleh anak buahnya Ragajampi. Aku yakin dia orang yang kau labrak tadi, pasti disuruh Ragajampi untuk membunuh atau mencelakaiku!"
"Mengapa sampai ada yang ingin membunuh kamu?"
"Ragajampi cemburu dan tak suka jika aku berhubungan dekat dengan Yayi, putri seorang
adipati itu!"
"Ooo...," Suto mengangguk-angguk sambil tersenyum geli. Kemudian ia segera bertanya,
"Jadi, kau jatuh cinta sama putri adipati?"
Mahendra Soca yang badannya kembali segar dalam waktu yang cukup singkat itu, kini sunggingkan senyumnya dan berkata,
"Aku tak tahu apakah aku jatuh cinta padanya atau sekadar mengagumi kecantikannya. Yang jelas, aku suka memandangi kecantikan yang ada pada Yayi."
Suto makin lepaskan tawa walau dalam suara seperti orang menggumam. Bahkan ia geleng- gelengkan kepala sambil memandangi Mahendra Soca, sampai akhirnya Pendekar Mabuk pun berkata,
"Benarkah kau tidak mencintainya? Bagaimana jika aku yang mencintai gadis itu?"
Mahendra Soca diam, bingung menjawabnya. Tapi ia nyengir dan sembunyikan wajah dengan cara memandangi ke pohon yang tadi habis ditumbangkannya. Bahkan ia bergegas mengambil kapak blandongnya, lalu membelah dan memotong- motong batang pohon yang ditebangnya itu.
"Hei, apa artinya dengan sikapmu yang tak berani menjawab pertanyaanku?" goda Suto Sinting sambil senyum-senyum.
Dan Mahendra Soca hanya berkata, "Carilah sendiri artinya di dalam hatimu!"
**6**
Tak ada barang lain kecuali potongan kayu ukuran sehasta untuk digunakan sebagai kayu bakar pemasak nasi. Ada sebuah balai- balai juga terbuat dari potongan-potongan dahan. Di sana mereka duduk, di sana pula biasanya Mahendra Soca tidur atau beristirahat.
" Sudah lama kau tinggal di tempat terpencil ini, Mahendra?"
" Yah, cukup lama!" jawab Mahendra Soca. "Di sini tempatnya tenang."
" Memang. Tapi apakah kau tak merasa sepi dan bosan hidup dengan tumpukan kayu ini?"
"Aku menyukai tempat sepi," jawab Mahendra Soca sambil membenahi kayu yang tadi tersenggol tubuhnya dan jadi berantakan dari tumpukannya. Suto Sinting hanya pandangi keadaan sekeliling. Gubuk itu ada di tengah hutan, namun bukan hutan ganas dan buas. Hutan itu dekat persawahan, dan di seberang persawahan ada desa yang luas dan kehidupannya cukup ramai.
Gubuk itu dikelilingi oleh tanaman pohon kelapa, yang menurut pengakuan Mahendra Soca, jika musim tuai kelapa telah tiba, ia pun berubah menjadi pedagang kelapa di pasar. Jika musim menuai kelapa belum tiba, ia menjadi pedagang kayu bakar di pasar. Bahkan ia mengaku mempunyai langganan tetap untuk kayu bakarnya, yaitu sebuah perusahaan batu bata dan genteng yang ada di seberang desa tersebut. Juga sebuah kedai makan berukuran besar menjadi pelanggan tetap kayu-kayu bakarnya.
Semalaman Pendekar Mabuk diajak ngobrol oleh Mahendra Soca yang bercerita tentang Ladang Pertarungan. Suto menjadi tertarik dan ingin melihat pertarungan di arena tersebut. Oleh karenanya, Mahendra Soca segera menyanggupi ingin mengajak Suto nonton pertarungan di sana empat hari lagi. Tetapi Suto segera berkata,
"Aku tak bisa bermalam sampai empat hari di gubukmu ini! Bukan karena di sini tidak ada apa- apa, tapi karena aku punya urusan dengan seorang tabib untuk menanyakan mengenai resep obat yang dibutuhkan oleh sahabatku yang sedang sakit aneh. Jadi sebaiknya empat hari lagi aku akan kembali ke sini dan menemuimu!"
"O, ya! Itu hal yang baik. Cuma, ada satu hal yang membuatku ragu-ragu untuk datang ke Ladang Pertarungan tersebut."
"Soal apa itu, Mahendra? Kalau bisa aku akan membantumu!"
"Minggu depan, kabarnya Yayi ingin tampil di arena untuk membalas dendam atas kematian adiknya di tangan si Wajah Hitam. Padahal, si Wajah Hitam tak pernah membiarkan lawannya hidup walau sang lawan sudah menyerah! Aku takut Yayi kalah dalam pertarungan itu! Kalau dia mati terbunuh di sana, aku tak lagi bisa melihat kecantikannya! Itu bisa membuatku sedih, Suto!"
Suto manggut-manggut sebentar, kemudian berkata, "Temukan aku dengan dia, dan aku akan cegah dia agar tak datang ke pertarungan itu. Bagaimana, kau setuju?"
"Baik. Akan kuusahakan bertemu dengan Yayi!"
Karena janjinya itu kepada Mahendra Soca, maka Pendekar Mabuk terpaksa datang kembali menemui Mahendra Soca sehari sebelum menyaksikan pertarungan di arena tersebut. Ketika Suto datang, ia langsung menuju gubuknya Mahendra Soca. Orang yang ingin ditemuinya belum kelihatan, tapi Suto yakin pasti Mahendra Soca akan datang ke gubuk itu. Dan ternyata benar juga dugaan Suto, kira-kira menjelang matahari tenggelam, Mahendra Soca kembali ke gubuknya itu dengan memanggul bongkahan-bongkahan kayu. la memanggul beban berat itu sambil berlari-lari pelan.
"Hai," sapa Mahendra Soca dengan tersenyum ceria melihat Suto sudah berada di gubuknya. "Kupikir besok kau akan datang!"
"Kusempatkan satu hari sebelumnya, supaya aku bisa kau temukan dengan Yayi!"
"O, ya! Aku sudah bertemu Yayi dua hari yang lalu. Dan dia bilang, besok dia tidak jadi turun ke arena. Persiapan ilmu pedangnya belum cukup matang. Tapi ia tetap ingin datang untuk saksikan pertarungan di sana, sekaligus mau mempelajari gerakan si Wajah Hitam!"
"Syukurlah kalau begitu!" kata Suto sambil bersiap menenggak tuaknya entah yang keberapa kalinya.
"Tetapi kemauannya tetap keras, ingin terjun ke arena dalam beberapa waktu lagi. Aku tak bisa mencegah keinginannya itu!" Mahendra Soca kelihatan prihatin membayangkan usahanya membujuk Yayi yang gagal itu. Maka, Suto pun berkata,
"Aku akan mempelajari gerakan si Wajah Hitam juga. Kalau kubilang orang itu berbahaya, maka aku akan berusaha sekuat tenaga dan dengan berbagai cara supaya Yayi tak jadi ikut turun ke Ladang Pertarungan itu!"
Setidaknya Pendekar Mabuk berharap kata- katanya dapat menenangkan hati Mahendra Soca. Tapi ternyata hati pemuda itu masih gelisah. Malahan dia bertanya,
"Bagaimana nanti kalau setelah kau melihat permainan si Wajah Hitam, dan menurutmu dia tidak berbahaya?"
"Kubiarkan Yayi masuk ke arena setelah terlebih dulu kucoba bagaimana ilmunya, setinggi apa jurus pedangnya. Kalau ternyata jurus pedangnya masih tingkat rendah-rendah saja, aku akan membawa lari dia ke kadipaten dan memaksa ayahandanya untuk memenjarakan anak itu biar tidak terjun ke Ladang Pertarungan."
Mahendra Soca sempat tertawa kecil mendengar gagasan yang diucapkan Pendekar Mabuk terakhir itu. Lalu, Mahendra Soca berkata, "Kalau begitu, besok kalau bisa kita datang agak awal sehingga punya waktu untuk temui dia agak lama."
Rencana itu ternyata sedikit meleset. Mahendra Soca dan Suto datang tepat waktunya pertandingan akan dimulai. Mahendra Soca segera membawa masuk Suto ke Rumah Busuk itu. Suto sempat kaget, karena dia ingat tentang Rumah Busuk itu yang dulu pernah dipakainya menyembunyikan Bunga Bernyawa. Tapi hal itu tidak diceritakannya kepada Mahendra Soca.
Para penonton telah bersiap di tempatnya masing-masing. Masih ada beberapa orang yang sibuk mendekati Rangkayon, bagian penerima uang- uang taruhan. Luhito pun masih sibuk mondar- mandir ke sana-sini untuk mengatur jadwal pertarungan. Sementara itu, Mahendra Soca sendiri sibuk membawa Suto menerobos orang-orang itu untuk mencari tempat yang terbaik untuk mereka berdua. Dan tempat itu pun segera diperolehnya.
"Kau sering nonton pertarungan di sini?" tanya Pendekar Mabuk agak keras untuk mengimbangi suara gaduh para penonton yang agaknya sudah mulai tak sabar itu. Mahendra Soca pun menjawab,
"Boleh dibilang sering, tapi bisa dibilang tidak! Karena biasanya aku kemari karena mengantar seseorang yang ingin berjudi dan aku mendapat upah. Sambil mengantar orang berjudi, biasanya kusempatkan untuk menyaksikan pertarungan itu, kadang sampai habis kadang tak sampai habis!"
Suto menggumam pendek, pandangannya dilayangkan ke arah sekeliling. Tiap sisi yang mengelilingi arena di bawah penonton itu diperhatikan baik-baik.
"Peraturan pertarungan di sini ialah, dilarang menggunakan tenaga dalam yang berbentuk sinar atau pukulan beracun, kecuali memang senjatanya sudah beracun, itu tak jadi soal."
"Mengapa mereka tak boleh memakai pukulan tenaga bersinar?"
"Takut kalau meleset mengenai korban tak bersalah."
"Ooo..., benar, benar!" Pendekar Mabuk manggut- manggut. Dalam hatinya ia merasa aneh melihat pertarungan seperti ini, karena biasanya yang dilihat adalah pertarungan di alam bebas.
"Para hadirin," seru Luhito mengawali acara tersebut. "Para tamu dan undangan terhormat, serta para sahabat sekalian yang kami hormati.... Hari ini, ada dua belas peserta yang ingin mengadu keberuntungan di tengah arena ini! Jadi, kami jamin kalian semua akan merasa puas melihat pertarungan di sini! Tak akan rugi seandainya pertarungan saudara-saudara menemui kekalahan. Dan baiklah... kita mulai pertarungan hari ini dengan memanggil dua pasangan yang akan bertarung dengan hebatnya di tengah arena kita, yaitu Cakar Bintara melawan si Cambuk Keramat...!"
Kedua peserta yang dipanggil itu segera keluar dari pintu utara. Para penonton bersorak-sorai sekejap, lalu terdengar suara gong ditabuh agak sember, Bongngrr...!
Cakar Bintara menggunakan tombak bergagang hitam dengan bagian atasnya adalah sebilah golok lebar sedikit melengkung. Sedangkan orang kurus yang disebut si Cambuk Keramat itu hanya menggunakan senjata cambuk panjang yang ujungnya diberi pisau kecil. Keduanya sekarang sedang saling bergerak memutar mencari kesempatan lawannya lengah untuk segera diserang.
"Hiaaat...!"
Tarrr...! Cambuk Keramat menyerang dengan melecutkan cambuknya, tapi Cakar Bintara segera melenting ke atas dan bersalto, untuk kemudian tebaskan tombak pedangnya ke punggung Cambuk Keramat. Wukkk...!
Crasss...! Punggung itu menjadi sasaran empuk bagi tombak pedang. Langsung punggung tersebut terkoyak lebar. Tapi Cambuk Keramat masih tangguh berdiri, dan dengan cepatnya melecutkan cambuk ke tubuh lawannya yang baru saja mendaratkan kaki di lantai.
Tarrr...! Tarrr...! Tar, trangngng...!
Cambuk Keramat bagai mengamuk. Pisau di ujung cambuknya memercikkan api biru ketika ditangkis oleh golok lebarnya Cakar Bintara. Namun kejap berikutnya, tombak berujung golok lebar itu berkelebat dari atas ke bawah, dan wess...! Crasss...!
Senjata itu mengenai tubuh lawannya dari pundak kanan ke perut sebelah kiri. Badan itu terbelah miring seolah-olah. Cambuk Keramat menjadi tersentak dengan kepala terdongak dan mata mendelik, kemudian rubuh ke lantai dengan tersentak-sentak beberapa saat, kemudian diam tak bergerak lagi karena telah kehilangan napasnya.
Penonton bersorak-sorai mengelu-elukan Cakar Bintara. Pendekar Mabuk yang menyaksikan adegan itu menarik napas dengan maksud menahan diri untuk tidak berbuat apa pun di tempat itu. Karena melihat pertarungan tadi, Suto merasa gatal dan ingin ikut turun ke arena melawan si Cakar Bintara.
"Kapan mereka melawan si Wajah Hitam?" tanyanya kepada Mahendra Soca.
"Nanti, kalau sudah terakhir dan tinggal satu peserta yang hidup dari pertarungan-pertarungan ini."
Mahendra Soca semakin dekatkan wajah kepada Suto dan berkata lagi,
"Biasanya si Wajah Hitam ada di kamar berpintu sebelah selatan sana!" ia menuding arah dimaksud.
"Tapi mungkin sekarang dia sedang mengenakan selubung kepala dari kain hitamnya itu. Biasanya kalau dia sudah mempersiapkan diri, dia duduk atau berdiri di balik pintu selatan itu guna mempelajari jurus-jurus orang yang bakal melawannya!" "Oo...," Suto hanya manggut-manggut. "Apakah kau berminat untuk ikut turun ke arena, Suto?"
Pendekar Mabuk tertawa kecil. "Aku tak berani! Kecuali aku dan para peserta itu punya hutang nyawa pribadi, tapi untuk itu pun pasti akan kutempuh jalan damai lebih dulu!"
"Kurasa kalau kau ikut turun di arena...." "Belum tentu menang!" sahut Pendekar Mabuk sambil tertawa kecil. Mahendra Soca pun tertawa pelan, tapi tawa itu segera bungkam sama sekali, karena mata Mahendra Soca menemukan seraut wajah cantik di seberang sana. la berkata kepada Suto Sinting,
"Suto, kau lihat perempuan muda yang di sebelah orang berpakaian loreng macan tutul itu?" Mahendra Soca menuding ke arah perempuan muda tersebut. Setelah mencari sejenak, Suto pun menjawab,
"Iya! Aku melihatnya. Siapa perempuan muda itu?"
"Itu yang namanya Yayi!"
"Itu...?! Wow... cantik nian dia itu, Mahendra! Rugi kalau gadis secantik dia kau tinggalkan! Kejar terus dia sampai dapat!"
Mahendra Soca tertawa sebentar, lalu berkata, "Temuilah dia di sana! Katakan kau kenal dia dari Mahendra Soca. Lalu, ajaklah bicara tentang pertarungan ini gagalkan niatnya jika ingin bertarung melawan si Wajah Hitam. Karena...."
"Iya, iya.! Aku mengerti maksudmu!" potong Suto "Cuma aku merasa agak heran, mengapa kamu menyuruhku? Mengapa kita tidak pergi temui dia bersama!
"Kalau dia melihat aku bersamamu, dia akan sangka aku yang mendesakmu untuk pengaruhi pikirannya. Jadi, supaya kelihatannya kau punya gagasan sendiri tentang dirinya yang tak baik masuk ke arena ini, aku harus tidak boleh kelihatan berada bersamamu."
"O, begitu?! Baiklah! Akan kutemui dia dan kau tetaplah di sini. Jangan pulang dulu, supaya nanti kita bisa membicarakan tentang usahaku membujuk Yayi!"
"Baik, baik...! Aku tahu maksudmu! Aku tak akan pulang duluan!"
Suto pun menerobos di antara penonton. Yayi didekatinya dengan sikap ramah. Pendekar Mabuk berhasil berada di samping kiri Yayi, kemudian Suto berlagak mau jatuh dan menyenggol Yayi hingga gadis itu sedikit tersentak badannya. Pendekar Mabuk buru-buru berkata,
"Maaf, aku tidak sengaja!" Suto tersenyum menawan, mata Yayi menjadi tak berkedip begitu melihat ketampanan dan kegagahan Pendekar Mabuk yang belum dikenalnya itu.
"Hai, rupanya ada yang lebih ganteng dari Mahendra?!" pikir Yayi dengan hati mulai berdebar- debar.
Tapi di mulutnya Yayi berkata, "Tak apa, suasananya memang penuh," sambil ia memberikan tempat untuk Suto Sinting.
"Kau suka dengan pertarungan seperti tadi?"
"Terpaksa harus suka," jawabnya sambil tetap pandangi Suto.
Sambil lalu saja Suto memandang Yayi, karena memang begitu caranya untuk membuat seorang gadis penasaran padanya. Bahkan ia sempat meneguk tuaknya walau sedikit susah dan hampir saja bumbung tuak itu membentur kepala orang lain.
"Kau sendiri suka dengan pertarungan?" tanya Yayi.
"Tidak," jawab Pendekar Mabuk. "Hanya orang bodoh yang mau bertarung di tempat seperti ini!"
"Tapi mengapa kau hadir di sini?"
"Seorang teman mengajakku nonton sekumpulan orang bodoh di sini. Bahkan temanku itu mengatakan, mungkin minggu depan akan ada perempuan cantik yang bodoh ikut dalam pertarungan di arena bawah sana! Aku jadi tertarik, ingin melihat perempuan yang bodoh itu!"
Hati Yayi merasa tak enak. Walau belum jelas ucapan itu ditujukan kepadanya, tapi Yayi merasa sudah dinilai bodoh oleh seseorang yang belum dikenalnya itu.
"Kalau seorang perempuan terjun ke arena pertarungan di sini, pasti dia punya alasan pribadi yang tak bisa dimengerti orang lain," kata Yayi membela diri. Sikapnya jadi sedikit kaku.
"Alasan apa? Dendam? Kalau memang dendam kepada seseorang, lebih baik ditantang di luar arena! Kalau dia dendam dengan seseorang dan akan membalasnya melalui pertarungan di sini, itu namanya bodoh. Karena ia harus kalahkan dulu orang yang semestinya tidak punya masalah dengan dirinya, baru mengalahkan orang yang memang diincarnya. Nah, itu jelas pemikiran yang bodoh!"
Yayi merasa tersindir. la diam saja dan mulai kurang suka bicara dengan Suto. Pandangannya dilemparkan ke arah Luhito yang sedang mempersiapkan diri untuk tampil di tengah arena, mengumumkan pertarungan berikutnya.
Suto berkata lagi dengan mata mengarah ke arena yang masih kosong itu,
"Temanku bilang, gadis yang minggu depan akan tampil sebagai peserta bodoh itu sedang tekun mempelajari ilmu pedang untuk kalahkan si Wajah Hitam! Dalam hati aku tertawa geli mendengar cerita temanku itu. Mengapa baru sekarang mempelajari ilmu pedang? Mengapa tidak dari dulu saja? Bukankah setiap pelajaran punya manfaat sendiri bagi kehidupan kita mendatang? Hanya karena punya dendam kepada si Wajah Hitam, gadis itu mau belajar ilmu pedang. Lalu bagaimana jika ia tidak punya dendam kepada si Wajah Hitam, apakah selamanya dia jadi gadis bodoh yang tak bisa memainkan pedang?"
Semakin jelas hati Yayi, bahwa ia sedang dibicarakan oleh pemuda ganteng berperawakan tinggi, tegap, dan menawan itu. Maka, segeralah Yayi mengajukan pertanyaan pelan,
"Siapa kau sebenarnya?"
"Tak terlalu penting namaku dan siapa aku. Tapi, beberapa temanku sering memanggilku Suto Sinting!"
"O, pantas omonganmu seperti orang sinting alias gila!"
Pendekar Mabuk cuma tertawa kecil. "Yang gila sebenarnya orang yang punya rencana turun ke pertarungan ini! Temanku bilang...,"
"Siapa temanmu itu, Suto?" potong Yayi dengan peasaran sekali.
"Mahendra," jawab Suto, membuat Yayi tarik napas menahan kaget. "Dia ingin agar aku membujukmu supaya kamu tidak ikut dalam pertarungan di sini."
"Kenapa dia menyuruhmu?"
"Karena dia sayang sama kamu," jawab Suto pelan tapi jelas untuk telinga Yayi. Dan wajah Yayi
semburat merah tanda gundah.
**7**
Pendekar Mabuk merasa harus mengendurkan bujukannya untuk beberapa saat. Tak baik mendesakkan bujukan terus-menerus, bisa membuat Yayi justru semakin berkobar dendamnya dan semakin besar niatnya untuk turun ke arena pertarungan.
Menurut dugaan Suto, ilmu pedang Yayi tidak begitu tinggi. Terbukti ia terlepas kata bernada mengagumi dan heran terhadap gerakan pedang si Wajah Hitam, ketika ia menonton bersama Suto waktu itu. Sedangkan menurut Suto, gerakan jurus pedang si Wajah Hitam kala itu dianggapnya hal yang biasa dan tidak menimbulkan keheranan baginya.
Karena itu, Pendekar Mabuk jadi ingin mencoba bikin perkara dengan Yayi, kemudian memancingnya bertarung dengan pedang. Suto ingin kalahkan Yayi, supaya Yayi sadar bahwa dia hanya akan mengantar nyawa jika masih nekat mau turun ke pertarungan tersebut. Tetapi agar tidak terjadi kesalah-pahaman, Suto harus membicarakan dulu hal itu kepada Mahendra Soca. Maka, segeralah ia mencari Mahendra Soca di hutan, disekitar gubuknya yang penuh dengan potongan kayu itu.
Duggh...! Duggh...! Dugggh...! Terdengar suara pohon ditebang di kejauhan sana, Suto pun segera pergi ke arah tersebut. Siapa lagi si penebang pohon itu kalau bukan Mahendra Soca?
Tetapi pada waktu itu Suto tidak menyangka akan datangnya rombongan berkuda dari arah barat. Suto kerutkan dahi ketika melihat rombongan kuda itu berlari menuju suara tebangan pohon. Suto mengenali wajah orang berbaju hijau yang bertubuh agak pendek dan berwajah bulat itu. la adalah Sulaya, yang tempo hari pernah dihajar Suto sebelum Sulaya sempat mencelakai Mahendra Soca.
Sekarang Sulaya datang dengan tiga orang berkuda lainnya. Satu di antara mereka adalah Ragajampi. Sasaran mereka jelas ke arah di mana Mahendra Soca berada. Suto jadi ingin tahu apa yang akan dilakukan oleh Sulaya dan orang-orang itu terhadap Mahendra Soca. Segera Suto Sinting melesat melompat tinggi ke dahan pohon, dan ia mengintai apa yang terjadi di sekitar tempat penebangan pohon itu.
Mahendra Soca terkejut melihat Ragajampi datang dengan dua orang berwajah bengis itu, ditambah lagi dengan Sulaya yang wajahnya memuakkan Mahendra Soca itu. Kedatangan mereka sudah diawali dengan sikap bermusuhan yang dalam. Ragajampi tahu-tahu melepaskan pukulan jarak jauhnya ke dada Mahendra Soca. Beggh...! Mahendra Soca terpental mundur dan jatuh dengan wajah menyeringai.
"Hajar dia!" kata Ragajampi kepada dua orang bertampang keji itu. Maka keduanya segera menyeret Mahendra Soca dan mengikat pemuda yang sedang kesakitan akibat pukulan jarak jauh Ragajampi. Mahendra Soca diikat disebuah pohon tanpa bisa berkutik lagi. Tapi ia tak pernah ucapkan kata 'ampun' sedikit pun kepada Ragajampi. Seakan ia siap menerima akibat dari hubungannya dengan Yayi.
Tarrr...! Sebuah cambuk melecut di tubuh Mahendra Soca, dan membuat Mahendra Soca memekik kesakitan dengan suara tertahan. Ragajampi tetap duduk di atas kudanya, demikian juga Sulaya. Dari punggung kuda, Ragajampi berseru kepada Mahendra Soca,
"Sudah kuingatkan berapa kali padamu, Mahendra, jauhi Yayi! Jangan dekati gadis itu! Tapi mengapa kau masih nekat, Mahendra?!"
"Karena aku suka pada dia!" jawab Mahendra Soca polos dan dengan berani ia melontarkan hal itu.
Tar...! Tarr...!
Dua orang mencambuk Mahendra Soca, membuat bilur-bilur di tubuh Mahendra Soca. Untung Mahendra Soca diikat dalam keadaan masih memakai baju putihnya. Tapi baju itu tidak berlengan sehingga lengannya itulah yang banyak menjadi sasaran cambuk dua orang berwajah bengis.
"Kau terlalu bodoh, Mahendra! Kau belum tahu siapa Yayi!"
"Aku tahu, dia putri seorang adipati!" jawab Mahendra Soca sambil napasnya terengah-engah.
"Bukan itu saja!" bentak Ragajampi. "Yayi adalah kekasihku!"
"Dia tidak suka padamu, Ragajampi!"
"Karena ada kamu, maka dia jadi tidak suka padaku! Kaulah penghalang cintaku kepada Yayi, karena itu kau pun harus kulenyapkan, jika kau tidak mau menjauhi Yayi!"
"Aku rindu padanya jika tidak bertemu dia!" ucap Mahendra Soca.
Tarrr....!
"Auh...!" Mahendra Soca memekik kesakitan karena kali ini yang dicambuk adalah wajahnya.
Ragajampi tampak semakin geram, hingga ia turun dari punggung kuda dan mencambuki sendiri tubuh Mahendra Soca.
Tebb...! Dugggh...!
Suto mengirimkan pukulan jarak jauh melalui sentilan jemarinya. Pukulan itu mengenai punggung sebelah kiri Ragajampi. Orang itu tiba-tiba jatuh tersungkur dan sudah berdiri lagi. Tubuhnya menjadi kaku, tak bisa bergerak. Tapi ia bisa bicara dan kepalanya saja yang bisa berpaling ke kanan-kiri.
"Apa yang terjadi ini?! Sulaya...! Cepat bantu aku, tubuhku tak bisa bergerak!" seru Ragajampi.
Sulaya mencabut goloknya. Dengan cepat ia melemparkan golok itu dan gagangnya menghantam punggung Ragajampi. Duggh...! Keras dan kuat hantaman gagang golok tersebut, tapi membuat tubuh Ragajampi menjadi lemas dan bisa bergerak lagi.
"Ada yang menotok peredaran darahku tadi!" kata Ragajampi.
"Ya. Tapi aku sudah bebaskan totokan itu!"
"Yang kupikirkan, siapa orang yang mengirim totokan padaku?"
Mahendra Soca ikut bicara, "Yayi pasti tak rela melihat aku diikat begini, Ragajampi! Wajar jika Yayi kirimkan totokan padamu!"
Cemas juga Ragajampi mendengar hal itu, walau sendiri belum yakin betul apakah memang Yayi yang menotoknya atau orang lain. la mendengus kesal sambil memandangi wajah Mahendra Soca penuh kebencian. Lalu ia menggeram dalam berkata,
"Ingat... peristiwa saat ini adalah peringatan terakhir dariku! Kalau kau masih tetap mendekati Yayi, kulihat kau masih berduaan dengannya, tak kuberi tahu bagaimana caraku membunuhmu, yang jelas kau pasti mati!"
Merasa takut perbuatannya kepergok Yayi, maka Ragajampi pun segera lompat ke atas punggung kuda dan memerintahkan orang-orangnya untuk segera pergi. Sebelumnya, Ragajampi menyuruh satu dari dua orang berwajah bengis itu untuk melepas tali pengikat Mahendra Soca.
Mahendra Soca segera mengambil blandong dan mau dihantamkan ke orang yang tadi melepaskan tali pengikatnya itu. Tapi tiba-tiba sebuah pukulan jarak jauh datang lagi menghantam dadanya. Buhgg...!
Tubuh Mahendra Soca terpental ke belakang membentur pohon yang tadi dipakai mengikatnya. Mahendra Soca menyeringai kesakitan dan tak berani menyerang dengan blandongnya lagi. Tapi dari tempatnya berdiri bersandar di pohon itu, ia sempat berseru,
"Ragajampi...! Kalau kau memang ingin berebut cinta Yayi denganku, kita bertarung di arena pertarungan dua minggu mendatang!"
Ragajampi kaget, ia buru-buru berpaling memandang Mahendra Soca.
"Kau menantangku, Mahendra?"
"Ya. Tapi di arena sana! Kalau kau memang jago dan seorang pengawal istana, kita bertarung di arena resmi itu! Kalau kau tidak berani, lebih baik kau jadi penjaga kuburan saja! Jangan berharap mendapatkan Yayi! Sebab Yayi benci laki-laki yang banci!"
Ragajampi merasa terhina dengan ucapan itu. Tapi la berusaha tersenyum sesinis mungkin dan berkata,
"Ilmumu belum cukup untuk melawanku di arena seperti itu, Mahendra! Kalau memang kau berani, kita tentukan di sini saja! Siapa yang mati, kau atau aku!"
"Maksudmu, kalau kita bertarung di sini, kalau kamu kalah denganku, maka kamu bisa kabur tanpa menderita malu terhadap orang banyak? Oh, alangkah rendahnya nyalimu sebenarnya, Ragajampi! Aku berani bertarung denganmu di arena, disaksikan orang banyak, supaya orang banyak juga tahu, siapa di antara kita yang pantas mendapatkan Yayi! Walaupun aku pasti akan kalah padamu, tapi siapa tahu kamu punya kelemahan di situ dan aku bisa manfaatkan kelemahanmu?! Kau takut?"
" Setan!" geram Ragajampi.
" Kalau takut jangan kejar-kejar Yayi!"
" Aku tidak takut! Kusanggupi tantanganmu! Kita bertemu di arena dua minggu lagi!"
Mahendra Soca tertawa pendek, "Mudah- mudahan kau selamat, Ragajampi!"
Sulaya ingin turun dan sudah mencabut goloknya, tapi ditahan oleh Ragajampi. Mereka segera pergi setelah Ragajampi memacu kudanya lebih dulu dengan hati panas dan dada mau pecah rasanya. Mahendra Soca sempat berteriak keras-keras,
"Beritahukan hal ini kepada Yayi, biar dia melihat siapa yang kuat di antara kita berdua, Ragajampi...! Suruh dia nonton pertarungan kita!"
Setelah berseru begitu, Mahendra Soca menjatuhkan diri ke rerumputan. la terengah-engah sambil pandangi luka cambuk di lengannya. la menggerutu tak jelas, namun segera tersentak kaget setelah mendengar suara orang meluncur turun dari atas pohon dan menapak di tanah yang ada di depannya. Jlegg...!
"Suto...?!" ia sedikit terpekik. la pun bangkit dan menghampiri Pendekar Mabuk, namun Pendekar Mabuk sudah lebih dulu mendekat.
" Minumlah tuakku ini! Lukamu bisa memborok jika tak segera terobati!" kata Pendekar Mabuk.
" Ragajampi yang melakukan semua ini!" ujar Mahendra Soca setelah dia meneguk tuak Suto.
" Ya, aku melihatnya sejak tadi!"
" Edan! Kau melihatnya sejak tadi? Mengapa kau tidak mau segera menolongku?"
"Karena kau selalu menolak saranku untuk belajar ilmu silat! Dengan begini kau tentunya akan sadar, bahwa kau membutuhkan ilmu silat yang bisa untuk mempertahankan diri dari serangan lawan!"
Mahendra Soca hempaskan napas. la diam beberapa saat dan duduk di atas sebuah batu setinggi betis.
"Setiap aku menganjurkan agar kau mempelajari ilmu silat, kau selalu keberatan! Mengapa, Mahendra?"
"Aku bukan seorang pendekar," jawabnya agak ketus.
"Tapi kau perlu jaga diri!"
"Aku bisa jaga diri."
"Dengan babak belur begini kau namakan jaga diri?"
"Yang penting aku tidak mati, dan bisa membunuh Ragajampi di pertarungan nanti!"
Pendekar Mabuk tertawa. "Bagaimana mungkin kau bisa kalahkan Ragajampi kalau menghadapi serangan sekecil tadi pun kau sudah dibuat babak belur begitu?"
Tawa Pendekar Mabuk diteruskan sebentar, kemudian ia geleng-geleng kepala. Sambungnya lagi,
"Mahendra, terus terang saja, aku kagum sama keberanianmu. Kau memang siap menderita sakit, modal badan besar, dan berotot. Tapi kau tidak bisa menyerang lawan dan menumbangkannya! Apalagi kau menantang Ragajampi bertarung di arena, itu sungguh tantangan yang amat bodoh!"
Mahendra Soca tersenyum. "Kau tidak tahu jalan pikiranku, Suto!"
Berkerut dahi Suto menatap Mahendra, dan bertanyalah ia,
"Jalan pikiran yang bagaimana, maksudmu?"
"Kupancing Ragajampi untuk masuk ke arena itu. Karena aku yakin, dia tidak akan bisa mengalahkan si Wajah Hitam."
"Tapi dia bisa mengalahkan kamu, Mahendra! Dia bisa membunuh kamu!"
"Aku tak akan hadiri"
"Apa...?!"
Mahendra Soca tertawa. "Aku hanya melemparkan Ragajampi ke tengah arena, tapi aku tidak akan muncul pada saat itu. Mau tak mau dia harus menghadapi para peserta lainnya. Kalau toh dia bisa kalahkan para pesei ta, maka ia tidak akan bisa kalahkan si Wajah Hitam."
"Kalau dia bisa kalahkan si Wajah Hitam, bagaimana?"
"Aku kabur. Dan tak akan muncul lagi!"
Suto termenung sebentar, lalu dia tertawa sendiri, "Ha ha ha...! Ternyata otakmu tak sebodoh dugaanku, Mahendra! Ha ha ha...!"
"Dan kalau Ragajampi mati, orang-orang kadipaten tidak bisa menuntutku, tapi Yayi bisa menjadi milikku!"
"Ha ha ha...! Edan betul otakmu, Mahendra! Aku suka, aku suka dengan caramu berpikir," kata Suto
Sinting sambil manggut-manggut.
***
DALAM taman keputren, biasanya Yayi duduk menikmati bunga-bunga warna-warni dan curahan air kolam yang segar. Tapi sudah beberapa hari belakangan ini, Yayi tidak pernah berada di taman keputren, bahkan pagi ini ternyata ia sudah berada di hutan tepi sungai. Di sana ia berlatih ilmu pedang pemberian Ki Argapura. Si Penggal Jagat agaknya sangat sayang kepada Yayi. Dengan tekun dan penuh kesabaran, Ki Argapura menunggui gadis cantik itu berlatih pedang. Yayi sudah dianggap seperti cucu sendiri, sehingga diam-diam Ki Argapura punya kecemasan terhadap niat Yayi yang ingin maju ke pertarungan itu.
Dalam satu kesempatan, ketika mereka beristirahat, Ki Argapura sempat berkata kepada Yayi,
"Beberapa jurus pedang maut telah kau pelajari, Yayi. Dan perkembanganmu cukup pesat. Kau cepat menyerap ilmu yang kuajarkan padamu. Sungguh kau satu-satunya murid yang bisa menerima jurus- jurusku dengan waktu sesingkat ini! Tapi aku yakin, itu semua karena kemauan kerasmu yang ingin melawan si Wajah Hitam."
"Agaknya memang begitu, Ki. Tak ada pikiran lain dalam benakku kecuali ingin membalas kematian adikku di arena itu!"
"Aku mengerti jiwamu, Yayi. Tapi alangkah baiknya jika kau tak perlu turun ke arena."Yayi memandang Ki Argapura dengan wajah cemberut. "Dulu, Ki Arga setuju aku turun ke arena, sekarang Ki Arga kelihatannya melarangku untuk ke sana!"
"Dulu aku hanya memberi semangat padamu agar kau cepat kuasai ilmu pedangku. Sekarang setelah kau menguasai ilmu pedangku, aku takut kehilangan dirimu, Yayi. Aku bisa mengamuk kepada si Wajah Hitam dan pengelola Ladang Pertarungan itu jika kau sampai celaka. Padahal aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk tidak turun lagi di rimba persilatan!"
"Jadi, kalau begitu, Ki Arga tidak yakin kalau ilmu pedang yang diturunkan padaku bisa kalahkan ilmu pedangnya si Wajah Hitam?!"
"Yang kukhawatirkan bukan kekuatan jurus pedangku, tapi dendam yang ada dalam hatimu, Yayi."
Ki Argapura pandangi keadaan sekeliling sambil berkata, "Dendam adalah pedang yang paling tajam buat diri kita! Dendam yang tidak terkuasai akan membuat kelemahan seseorang, sekalipun orang itu mempunyai ilmu setinggi apa pun. Buat lawan yang pandai, dia akan memanfaatkan dendam orang lain kepadanya sebagai pembunuh naluri orang itu sendiri. Ingat, Yayi... kalau kau bertarung berdasarkan dendam, maka nalurimu akan kurang peka. Indera keenammu akan dikalahkan oleh sang nafsu. Tapi kalau kau bertarung demi suatu pertahanan diri, maka nalurimu akan menjadi setajam pedang, dan indera keenammu akan menjadi setajam silet cukur."
Yayi diam merenungi kata-kata Ki Argapura. la beri pikir, apakah ia harus membuang dendamnya kepada si Wajah Hitam? Jika dendamnya telah terbuang, maka ia tak punya keinginan bertarung dengan orang itu. Jika ia tidak punya keinginan bertarung dengan orang itu, maka sia-sia saja ia pelajari ilmu pedang Ki Argapura dengan tekun, hingga dilakukan siang-malam tanpa mengenal lelah.
Kalau ia berhasil berhadapan dengan si Wajah Hitam, apakah ia bisa menghilangkan dendamnya, jika kematian Abiyasa selalu membayang di pelupuk matanya? Rasa-rasanya Yayi tak akan sanggup membuang dendamnya kepada si Wajah Hitam. Kecuali jika orang itu telah mati di tangan orang lain, maka dendam Yayi pun akan hilang dengan sendirinya.
Saat itu, datang tiga ekor kuda yang berlari tak terlalu cepat ke arah tepian sungai. Mereka tak lain adalah Ragajampi, Sulaya, dan seorang berwajah bengis yang mencambuki Mahendra Soca beberapa waktu yang lalu. Melihat kehadiran mereka, Yayi mendengus kesal, wajahnya makin cemberut. Ki Argapura hanya meliriknya sekejap dan berlagak tidak tahu-menahu tentang sikap Yayi.
"Selamat pagi, Ki Arga," sapa Ragajampi dengan keramahan yang kaku. Senyumnya pun terlihat kurang enak dipandang mata. Namun Ki Argapura membalasnya dengan keramahan sejati.
"Yayi aman dalam pengawalanku, Ragajampi! Rasa-rasanya tak perlu kau mencemaskannya!" kata Ki Argapura tetap tersenyum.
"Aku percaya, Ki Arga. Aku hanya ingin melihat sejauh mana Yayi sudah kuasai ilmu pedangmu!"
"Tidak terlalu jauh. Masih pelajaran dasar saja," sahut Ki Argapura.
Tapi Yayi segera menyahut dengan ketus, "Apakah kau ingin mencobanya, Ragajampi?! Turunlah dari kudamu jika kau ingin mencobanya!"
Ragajampi sunggingkan senyum sinis dan berkata, "Tidak kepadamu ilmu pedangku harus kucoba, tapi mungkin kepada Mahendra!"
Terkesiap mata Yayi mendengar ucapan itu. Mata itu pun kini kembali menatap dengan tajam dan penuh keberanian.
"Jika kau sentuh dia, kucabut nyawamu kapan saja, Ragajampi!" geram Yayi mengancam.
"Dia yang membuka tantangan!" sanggah Ragajampi. "Dia yang menantangku agar bertarung di arena pertarungan itu, dua minggu lagi!"
"Apa...?!" Yayi terkejut dan mulai berdebar-debar. "Dia menantangmu? Oh, tak mungkin! Tak mungkin hal itu ia lakukan! la tidak mempunyai ilmu pedang sedikit pun. la tidak bisa berkelahi!"
"Tapi ia punya kesombongan, Yayi!" kata Ragajampi menyahut. "Kesombongan itu akan dipamerkan di depanmu! Kuakui, dia memang punya keberanian! Tapi dia juga punya kebodohan!"
Yayi mendekat dan berkata lebih geram lagi, "Kuharap kau tidak melayani tantangannya, Ragajampi!"
"O, harus! Aku harus melayani tantangannya supaya dia tidak menjadi orang sombong dan orang bodoh lagi! Dia yang menghendaki hal itu untuk menentukan siapa orang yang berhak menjadi kekasihmu, Yayi!"
"Gila!" sentak Yayi jengkel sendiri.
"Dia memang gila! Tapi untuk mempertahankan rasa hatiku kepadamu aku akan lebih gila lagi dari dia, Yayi!"
Ragajampi tertawa pelan tapi panjang, kemudian kudanya dipacu pelan hingga kuda itu melangkah meninggalkan Yayi yang tertegun dalam cekaman berbagai rasa.
"Ki Arga, aku pamit dulu dan tolong tetap jaga dia dengan baik!"
Ki Argapura hanya sunggingkan senyum dan mengangguk. Sikapnya tetap tenang, tidak menunjukkan sikap permusuhan sedikit pun. Lalu, Ragajampi masih sempat bicara kepada Yayi yang terakhir,
"Jangan lupa, Yayi.... Dua minggu lagi datanglah ke Ladang Pertarungan dan tontonlah pertarungan yang sangat mengagumkan nanti!"
Ragajampi pun pergi tinggalkan Yayi bersama tawanya yang makin lama makin menghilang. Sementara itu, Yayi semakin menggeletakkan gigi menahan kebencian terhadap Ragajampi. Matanya memandang dengan menyipit, pertanda tumbuh dendam lain di hati Yayi, yaitu dendam kepada Ragajampi.
"Siapa Mahendra itu, Yayi?" tanya Ki Argapura dengan suara pelan dan tampak hati-hati sekali, ada rasa takut menyinggung perasaan Yayi. Tapi Yayi menerima pertanyaan itu dengan baik-baik dan berkata,
"Mahendra adalah penebang kayu yang polos, tapi punya keberanian tinggi, la pernah menyelamatkan aku dari serangan Nyai Gayung Demit, walau untuk itu ia hanya pasang badan sebagai perisai yang melindungiku. Tapi ia sendiri mengalami luka dan sakit yang ditahannya."
"Apakah kau menaruh hati padanya?"
Yayi bimbang menjawabnya, akhirnya ia hanya berkata, "Mungkin begitulah maksud hatiku, tapi... tapi aku tak berani memastikan apakah dia menaruh hati padaku atau tidak!"
"Kalau benar apa yang dikatakan Ragajampi tadi, berarti Mahendra bukan saja menaruh hati padamu, tapi sudah jatuh cinta padamu. Buktinya dia berani menantang Ragajampi di arena pertarungan itu!"
"Dia memang orang bodoh!" gerutu Yayi.
"Biarkan dia membuktikan cintanya padamu,Yayi!"
"Tapi dia hanya akan mati konyol jika harus bertarung di arena itu? Yang akan dihadapi bukan hanya Ragajampi! Uuh...! Benar-benar tolol otak si Mahendra Soca itu! Apakah dia tak berpikir bahwa seandainya dia bisa menang dengan Ragajampi, toh dia akan berhadapan dengan sang pembantai si Wajah Hitam itu!"
Yayi tampak gemas sekali membayangkan kelancangan mulut Mahendra Soca, sehingga pada akhirnya ia berkata kepada Ki Argapura,
"Bisakah Ki Arga menolongku sekali lagi?"
"Apa maksudmu?"
"Tolong, ajarkan ilmu pedang pada Mahendra Soca sebelum ia nekat tampil ke arena itu, Ki! Tolonglah bekali dia!"
Ki Argapura hanya menjawab, "Lanjutkan dulu latihanmu. Sementara kau berlatih, aku akan mempertimbangkan permohonanmu itu, dan mencari cara terbaik untuk semua ini!"
Pada waktu itu, Ragajampi bersama Sulaya dan satu orang berwajah bengis sedang menuju ke sebuah desa. Karena ia mendengar kabar bahwa Nyai Gayung Demit bikin onar di desa yang masih dalam wilayah kekuasaan kedipaten itu. Kabar itu diterima mereka semalam, dan sang Adipati mengutus Ragajampi untuk membunuh Nyai Gayung Demit agar rakyat yang berada dalam wilayah kekuasaan kadipaten merasa tenteram.
Tanpa mereka sadari, saat mereka beristirahat sebentar di bawah pohon rindang, karena kuda Sulaya mengalami gangguan pada bagian kakinya, ada sepasang mata yang memperhatikan mereka dan mencuri dengar percakapan mereka dari atas pohon. Orang itu tak lain adalah Suto Sinting si Pendekar Mabuk.
Dari tempatnya bersembunyi, Suto mendengar Sulaya berkata,
"Kenapa kita tidak manfaatkan Nyai Gayung Demit untuk membunuh Mahendra saja, Ragajampi?"
"Aku ingin Mahendra mati di tanganku sendiri! Karenanya aku sangat bersyukur dia berani menantangku bertarung di arena itu!"
"Bagaimana jika pada saatnya ternyata dia tidak muncul di arena pertarungan?"
"Kau yang menjalankan tugas!"
Sulaya memandang Ragajampi, "Jalankan tugas bagaimana?"
"Kalau Mahendra Soca menjebakku di arena, dan dia tidak datang ke pertarungan itu, sementara aku sendiri mati di tangan si Wajah Hitam, maka tugasmu adalah membunuh Yayi dengan jarum beracun!"
"Aku harus membunuh Yayi?"
"Ya. Supaya Mahendra Soca sendiri tidak mendapatkan Yayi setelah kematianku!"
"Tetapi orang akan tahu kalau Yayi mati karena jarum beracunku! Aku bisa dicurigai sang Adipati, Ragajampi!"
"Pakailah jarum beracun milikku, toh aku sudah mati! Maka orang akan menduga akulah pembunuh nona manis itu, sedangkan aku sendiri sudah mati di pertarungan! Kau akan bebas, Sulaya!"
"Begitukah maumu?"
"Ya. Karena itu siapkan jarum beracunku dan incar terus Yayi, jangan sampai terhadang oleh siapa pun! Pilih lima orang yang membantumu untuk melepaskan jarum beracun itu, untuk menjaga kalau-kalau kau gagal, maka satu dari kelima orang itu akan berhasil membunuh Yayi. Tapi ingat, kalau keadaanku menang terus sampai pertarunganku dengan si Wajah Hitam juga menang, jangan kau bunuh Yayi. Nanti kau sendiri yang bisa kubunuh! Mengerti?"
"Ya. Mengerti! Akan kusiapkan lima orang sesuai rencanamu itu!" kata Sulaya dengan tegas dan patuh.
Pendekar Mabuk memegang kunci adanya sebuah persekongkolan untuk membunuh Yayi. Kunci ini sangat berharga. Karena itu, Suto sangat berhati-hati dalam persembunyiannya, agar jangan sampai diketahui oleh mereka. Sampai akhirnya Suto berhasil tetap dalam persembunyiannya ketika mereka meneruskan langkah ke sebuah desa untuk memburu Nyai Gayung Demit.
"Nyawa Yayi terancam!" pikir Suto. "Mahendra Soca harus tahu hal ini, supaya dia membatalkan tantangannya kepada Ragajampi. Sebab jika Mahendra Soca tetap menggunakan tipu muslihatnya itu untuk menjebak Ragajampi, maka nyawa Yayi yang akan jadi sasaran berikutnya. Barangkali kalau hanya Sulaya yang harus kulenyapkan demi menyelamatkan nyawa Yayi, itu mudah saja. Tapi bagaimana dengan lima orang pilihan Sulaya yang akan diberi tugas membunuh Yayi? Aku tidak tahu siapa-siapa mereka. Tak mungkin aku mengawal Yayi sampai ke dalam istananya! Jadi langkah yang terbaik adalah membatalkan tantangan Mahendra Soca! Aku harus bisa segera menemui Mahendra Soca sebelum tiba saat pertarungan!"
Sayangnya Suto tidak berhasil menemui Mahendra Soca hari itu juga. la bahkan bertemu dengan Yayi yang sedang melakukan latihan dengan tekun di tepi sungai, dengan dibantu oleh Ki Argapura yang bertindak sebagai lawan berlatih. Suto diam beberapa saat memandangi gerakan pedang Ki Argapura yang selalu dapat ditangkis dan dihindari oleh Yayi. Dalam hati Suto berkata,
"Cukup lincah juga Yayi rupanya. Tebasan- tebasannya tak pernah goyah sedikit pun. Andai bukan gurunya yang menjadi lawan berlatih, mungkin orang itu sudah cedera sejak tadi. Tapi kurasa, si Wajah Hitam masih dapat mematahkan jurus-jurus Yayi dengan jurus simpanannya. Aku yakin, si Wajah Hitam pasti punya jurus simpanan yang belum digunakan jika tidak dalam keadaan sangat mendesak!"
Tiba-tiba Ki Argapura berhenti dari semua gerakannya. Matanya melirik ke samping. Yayi memandang dengan heran. Kemudian bertanya kepada Ki Argapura,
"Ada apa, Ki Arga? Mengapa berhenti?"
"Ada yang mencuri jurus-jurus kita!"
"Hahh...?!" Yayi kaget. Segera ia putarkan pandangan matanya menyusuri tiap semak, batu, dan pohon yang bisa dipakai untuk bersembunyi.
Mendengar ucapan Ki Argapura, Pendekar Mabuk menjadi tak enak hati. Dia tak mau dikatakan sebagai pencuri jurus. Karena itu ia segera keluar dari tempat persembunyiannya. Tapi bersamaan itu ia sempat menangkap sekelebat bayangan yang melesat melarikan diri dari tempat persembunyian di seberang sungai. Suto curiga dan ingin mengejar untuk mengetahui siapa orang itu.
Tetapi suara Yayi telah memanggilnya lebih dulu, sehingga Suto mau tak mau menghampiri Yayi dan membatalkan niat mengejar sesosok bayangan, yang menurut Suto adalah seseorang yang sedang mencuri jurus pedang, seperti yang dikatakan Ki Argapura. Jadi mungkin bukan Suto Sinting yang dimaksud oleh Ki Argapura tadi, melainkan orang lain yang memang sengaja mencuri jurus pedang Ki Argapura.
Dalam hati Suto berkata, "Melihat kelebatan warna putihnya, aku curiga, jangan-jangan pencuri jurus tadi adalah Mahendra Soca sendiri?! Warna pakaiannya yang putih, seperti pakaian sehari-hari Mahendra kelihatannya, tapi aah... sebaiknya kubicarakan nanti saja!"
Yayi menyambut kedatangan Suto dalam senyum keramahan. Tapi Ki Argapura terkesiap melihat Pendekar Mabuk dan diam di tempat.
"Kau memang nakal, Suto! Mengapa harus mencuri jurus-jurus kami? Datang saja dan bergabung dengan kami, kurasa Ki Argapura tidak keberatan melatih jurus pedangnya kepadamu. Bukankah begitu, Ki Arga?"
Buru-buru Ki Argapura tersadar dari tertegunnya dan segera tersenyum menutupi kekakuannya tadi. Kemudian, Yayi memperkenalkan Suto kepada Ki Argapura dengan berkata,
"Ini temannya Mahendra, Ki. Namanya...."
Ki Arga menyahut, "Suto Sinting, murid si Gila Tuak dan punya gelar Pendekar Mabuk!"
Suto tertegun mendengar Ki Argapura menyebutkan dirinya secara lengkap. Suto juga memandang Yayi yang ternyata sama-sama terbengong mendengar apa yang dikatakan Ki Argapura.
"Dari mana Ki Arga bisa tahu namaku dan nama guruku?"
"Namamu sudah cukup kondang. Ciri-cirimu sudah banyak dikenali oleh para tokoh di dunia persilatan. Jadi tak sulit lagi bagiku untuk mengenalimu dengan hanya memandang bumbung tuakmu itu!"
Yayi mendekati Ki Argapura saat Pendekar Mabuk tersenyum malu. Yayi berkata dengan suara pelan, tapi didengar oleh Suto,
"Apakah dia orang hebat, Ki?"
"Jangan bertanya begitu, Yayi! Yang perlu kau ketahui adalah, dia juga punya guru yang bernama Bidadari Jalang. Dan yang bernama Bidadari Jalang itu jago pedang! Ilmunya jauh di atas ilmuku. Jadi kau bisa terka sendiri apakah Suto itu bisa memainkan pedang atau tidak! Tapi jangan kau mencobanya dengan pedang sungguhan, kau bisa kehilangan kelima jari tanganmu dalam satu kejap saja!"
"Ki Arga terlalu berlebihan," sahut Suto semakin tersipu malu. "Kedatanganku kemari bukan untuk membicarakan soal itu, Ki. Aku hanya ingin ingatkan sekali lagi kepada Yayi, supaya ia melupakan arena pertarungan itu. Karena ada bahaya yang menunggunya di sana jika ia nekat ingin turun ke pertarungan."
"Aku sudah ingatkan dia, Suto. Tapi agaknya hati Yayi semakin keras dan dendamnya tambah membaja. Aku bingung mengatasi dendam yang sudah membaja itu!"
"Usahakanlah, Ki. Kasihan dia! Hanya itu yang ingin kusampaikan kepada Yayi sebenarnya, tapi karena di sini ada gurunya, maka kusampaikan kepada gurunya! Aku harus pergi sekarang juga, Ki!"
Sebenarnya Yayi kecewa karena kedatangan Pendekar Mabuk hanya sebentar. la mencoba menahan Pendekar Mabuk, tapi Suto tak bisa ditahan. la terburu-buru harus pergi, karena ia sudah tak sabar ingin segerai temui Mahendra Soca yang tadi menurut dugaannya sedang mengintip Yayi.
Gubuk dikelilingi pohon kelapa itu disambangi oleh Suto dan ternyata Mahendra Soca ada di sana sedang telentang di atas balai-balai. la agaknya sedang melepas lelah dalam renungan panjangnya. Ketika Suto datang, ia sedikit terkejut, lalu tersenyum kepada Suto.
Suto pun segera berkata nyeplos. "Kau tadi mencuri jurus pedang Ki Argapura dan Yayi! Betulkah begitu, Mahendra?"
Tertawa nyengir orang muda berikat kepala putih itu. Lalu ia berkata, "Memang. Habis aku malu jika ingin ikut belajar dengan Yayi. Padahal, setelah aku merenung beberapa saat, rasa-rasanya memang aku perlu mempelajari jurus pedang, untuk sewaktu- waktu jika kepergok Ragajampi, aku sudah siap menghadapinya dengan jurus pedang yang mematikan!"
"Mengapa tidak bilang padaku saja? Aku bersedia mengajarkan ilmu pedang padamu!"
"Aku malu. Karena aku sudah pernah menolak tawaranmu berulang kali. Takut kau menertawakan aku jika aku minta diajarkan jurus-jurus pedang padamu. Dan... jujur saja kukatakan padamu, aku agak ragu apakah kau bisa jurus pedang seperti Ki Argapura itu, karena aku tak melihatmu membawa pedang. Yang kau bawa selalu bumbung tuak, jadi kupikir kau hanya menguasai jurus-jurus minum tuak agar tak sampai mabuk!"
Pendekar Mabuk tertawa geli mendengar kepolosan berpikir Mahendra Soca. Kejap berikutnya ia berkata,
"Apakah kau punya pedang? Jika kau punya, akan kuajarkan beberapa jurus pedang yang mematikan saja!"
"Aku tidak punya pedang," jawab Mahendra Soca. "Bagaimana kalau kita pakai pedang-pedangan dari kayu saja?" Mahendra Soca tersenyum dan Pendekar Mabuk semakin geli dibuatnya.
**8**
"Kelak yang kubawa bukan kepala Nyai Gayung Demit lagi, tapi kepala Mahendra sendiri!"
Yayi hanya menggeram dan mendengus kesal. Kemudian cepat-cepat masuk ke taman keputren dan tak mau melayani kata-kata Ragajampi. Di dalam benaknya, Yayi hanya punya satu pilihan, yaitu berusaha mencegah Mahendra Soca agar tidak datang ke arena pertarungan. Tetapi sudah beberapa hari ini, Yayi tidak pernah bertemu dengan Mahendra Soca. la tidak tahu pondok Mahendra Soca, sehingga ia hanya bisa menyusuri hutan untuk mencari pemuda itu.
Kalau saja Yayi menemukan pondok Mahendra Soca yang penuh dengan tumpukan kayu itu, maka ia akan tercengang girang melihat Mahendra Soca mau mempelajari ilmu silat, terutama ilmu pedang. Dan semakin girang jika Yayi tahu, Pendekar Mabuk- lah orang yang mengajarkan ilmu pedang kepada Mahendra Soca.
Pemuda berlengan kekar itu tampak dengan tekun mengikuti latihan yang diberikan Suto Sinting memakai pedang-pedangan dari kayu. Suto yang mencarikan berat kayu sesuai dengan berat pedang pada umumnya. Sayangnya, Mahendra Soca termasuk lamban dalam perkembangannya. la masih sering salah melakukan gerakan tebas, dan kuda-kudanya sering terlihat lemah.
Sering sekali kakinya diserampang oleh kaki Pendekar Mabuk karena lemahnya kuda-kuda, sehingga Mahendra Soca terpelanting jatuh dan mengaduh. Pendekar Mabuk membentak tak sabar,
"Kalau kuda-kudamu lemah, maka nyawamu tidak akan betah tinggal di ragamu! Lawan dapat dengan mudah mencabut nyawamu pakai pedangnya! Tolol amat kau ini!"
Mahendra Soca terengah-engah, kejap berikut dia berkata, "Sudahlah, kuputuskan tak perlu belajar ilmu silat lagi! Ternyata mempelajari ilmu silat justru membuat badan jadi bonyok sendiri!"
"Jangan patah semangat, Mahendra! Ingat, kau harus berhadapan dengan Ragajampi di arena nanti! Kau...."
"Eh, itu kan hanya muslihatku saja! Aku tidak benar-benar akan hadir di tengah arena pertarungan, Suto! Apa kau lupa?"
"Kau harus hadir!" kata Suto dengan tegas. "Kalau kau tak hadir, maka Ragajampi merasa tertipu. Kalau dia mati di tangan si Wajah Hitam, maka Yayi akan dibunuh oleh orang-orangnya Ragajampi!
Dengan begitu, kau tetap tidak akan mendapatkan Yayi!"
Terkejut Mahendra Soca mendengar hal itu. "Yayi akan dibunuh...?"
Suto menceritakan apa yang didengarnya dari hasil mencuri percakapan Ragajampi di sebuah pohon. Mahendra Soca menjadi tertegun bengong mendengar cerita tersebut. Suto segera berkata,
"Ada satu jalan lain yang bisa kau tempuh untuk selamatkan Yayi dari ancaman maut jarum beracun itu."
Mahendra Soca menatap Suto Sinting, tapi Pendekar Mabuk justru menenggak tuaknya sebentar, setelah itu baru berkata lagi,
"Temui Ragajampi dan mintalah maaf, lalu batalkan pertarunganmu dengannya, dan tinggalkan pula Yayi!"
"Tinggalkan Yayi...?! Rasa-rasanya itu sulit kulakui kan, Suto!"
"Kalau memang sulit, yah... kamu harus bertarung dengan Ragajampi di Ladang Pertarungan itu!"
"Ak... aku... aku... aku tak mungkin kalahkan dia, Suto!"
"Karena itu, pelajarilah tiga jurus pedang yang mematikan ini! Jangan patah semangat! Pelajari terus buat bekalmu menghadapi Ragajampi dan si Wajah Hitam nanti!"
Ya. Memang hanya tiga jurus pedang yang diajarkan pada Mahendra Soca oleh Suto Sinting si
Pendekar Mabuk itu. Tiga jurus pedang itu konon sukar dicari tandingannya, dan sulit ditangkis ataupun dilawan. Tiga jurus pedang itu adalah, jurus 'Cakra Maut', jurus 'Ekor Petir', dan jurus 'Pedang Buta'. Tapi untuk mempelajari tiga jurus pedang itu susahnya setengah mati buat Mahendra Soca. Ini mungkin disebabkan karena Mahendra Soca tidak memiliki jurus dasarnya, atau karena batin Mahendra Soca menolak.
Sementara itu, Mahendra Soca menolak untuk mendapatkan satu lagi jurus pedang maha dahsyat yang dinamakan jurus 'Pedang Siluman'. Alasan Mahendra Soca, mempelajari tiga jurus pedang saja sudah kewalahan, apalagi ditambah satu lagi 'Pedang Siluman', jelas Mahendra Soca tak akan mampu melakukannya dengan baik.
Sampai pada batas waktu yang sudah ditentukan untuk dimulainya pertarungan, Mahendra Soca masih tidak menampakkan kemajuannya sedikit pun. Suto sendiri merasa cemas akan keselamatan jiwa Mahendra Soca. Satu-satunya jalan ia harus menemui Ragajampi dan mengatakan bahwa Mahendra Soca tidak sanggup melakukan pertarungan dan tentangan itu dibatalkan. la harus segera ke istana menemui Ragajampi.
Tetapi di pertengahan jalan ia berpapasan dengan Ki Argapura yang kelihatan menyimpan ketegangan. Ki Argapura menyapa lebih dulu dan mengatakan kepada Suto,
"Sangat kebetulan sekali aku bisa bertemu denganmu di pagi ini!"
"Mengapa begitu, Ki Arga?"
"Tunjukkan padaku di mana tempat pertarungan itu. Kau mau menolongku, Suto?"
"Itu hal yang mudah, Ki. Tapi mengapa Ki Arga ingin ke sana dan tampaknya menyimpan kegundahan hati?" tanya Pendekar Mabuk.
"Yayi nekat ke sana, dan ada kabar yang mengatakan, Yayi sudah mendaftarkan diri sebagai peserta!"
"Celaka!" gumam Suto menjadi tegang juga.
"Padahal Ragajampi sendiri sudah mendaftarkan diri sebagai peserta sejak kemarin sore!"
"Gawat itu berarti Ragajampi akan bertemu Yayi juga! Sekarang di mana Yayi berada, Ki?"
"Hilang. Tak tahu di mana dan sedang dalam pencarian beberapa orang! Sejak kemarin sore dia sudah tinggalkan istana tanpa pengawalan. Pedang milik Abiyasa yang dibawanya, sedangkan pedangnya sendiri ditinggalkan."
Pantas jika Ki Argapura cemas. Suto sendiri jadi gelisah memikirkan nasib gadis keras kepala itu. Terbayang dalam ingatan Suto jika sampai Yayi berhadapan dengan si Wajah Hitam, orang yang berbadan kekar, berotot, tak pernah pakai baju, mempunyai tato pedang dililit ular di sepanjang punggungnya, mengenakan selubung dari kain hitam dan semua itu membuat Suto semakin cemas, sebab ia pun masih ingat gerakan cepat si Wajah Hitam dalam menebas lawannya. Suto yakin, Yayi tidak bisa mengimbangi gerakan cepat itu.
"Lalu, apa yang ingin Ki Arga lakukan di sana nanti?" kata Pendekar Mabuk.
"Aku akan mendaftarkan diri untuk menjadi peserta. Aku akan lindungi Yayi dari belakang!"
"Itu berarti Ki Arga akan berhadapan dengan Yayi sendiri, Ragajampi, dan Mahendra!"
"Aku bisa bikin Yayi kalah tanpa mati!"
"Kalau begitu, tak perlu Ki Arga yang lakukan, saya pun bisa! Kalau boleh, saya pinjam pedangnya Yayi. Saya sendiri yang akan turun dan menggantikan nama Mahendra!"
"Apakah aku harus menuruti saranmu jika begini?"
"Kurasa memang ada baiknya begitu, Ki Arga. Sebab, pertarungan ini sudah tidak hanya berdasarkan dendam saja, namun juga berdasarkan cemburu dan cinta."
Ki Argapura manggut-manggut. "Kalau begitu, kupinjamkan pedang Yayi kepadamu, tapi kau yang harus bertanggung jawab akan keselamatannya!"
Setelah mendapat pinjaman pedang Yayi melalui Ki Argapura, Suto pun segera melesat ke gubuk Mahendra Soca. Ada sesuatu yang ingin dilakukan Suto secara diam-diam. Tetapi sayang sekali Mahendra Soca tidak ada di tempat. Sampai lama Suto menunggu, Mahendra Soca tidak muncul juga.
Maka, Suto pun melesat pergi ke Rumah Busuk untuk mencari Mahendra Soca di sana. Sebab menurut dugaannya, Mahendra Soca pasti sudah pergi ke sana untuk mendaftarkan diri.
Suto teringat kata-kata Mahendra Soca yang terakhir yang diucapkan kemarin lusa. Mahendra Soca berkata di sela napasnya yang ngos-ngosan.
"Apa pun yang terjadi, aku tetap harus hadir di pertarungan itu, supaya Yayi tahu siapa aku sebenarnya, dan bagaimana cintaku kepadanya. Aku tak mau dikatakan sebagai laki-laki pengecut lagi!"
Tekad itu dilihat Pendekar Mabuk telah menjadi bulat di hati dan jiwa Mahendra Soca. Padahal Pendekar Mabuk tahu Mahendra Soca sama sekali belum menguasai betul tiga jurus pedang yang diberikan padanya itu.
Tiba-tiba dalam perjalanan menuju Ladang Pertarungan, Suto melewati sebuah sungai yang mempunyai gua di bagian tebingnya. Gua itu cukup rindang karena di bagian depannya tumbuh pohon berjajar. Di sela-sela kerindangan pohon itu, ia melihat Mahendra Soca sedang berlatih jurus tiga pedang pemberian Suto. Gerakannya masih lamban juga, namun kesungguhan belajarnya terlihat cukup tinggi.
Pendekar Mabuk segera melompat dan tahu-tahu mendarat di depan Mahendra Soca. Pada waktu itu Mahendra Soca sudah berkeringat, bajunya tidak dilepas dan rambutnya diikat dengan kain putih.
Mahendra Soca sempat kaget sebentar melihat Pendekar Mabuk tahu-tahu muncul di depannya. la masih memegangi pedang-pedangan. Sebelum berkata sepatah kata pun, Suto sudah lebih dulu bergerak maju dengan cepat dan... dess dess...!
Dua totokan tangan Suto mengenai bawah ketiak kanan-kiri. Totokan itu membuat Mahendra Soca seperti patung seketika. Bahkan berkedip pun tak bisa. Bicara juga tak bisa. Tapi telinganya masih mendengar ucapan Suto yang berkata,
"Maaf, Mahendra...! Karena Yayi ternyata sudah mendaftarkan diri sebagai peserta, maka aku harus menggantikan dirimu untuk melindunginya dari dalam. Sebab aku tahu, ilmu pedangnya belum seberapa dibandingkan gerakan pedang si Wajah Hitam. Aku tidak mau ia mati di tangan si Wajah Hitam. Semoga kau tidak sakit hati dengan tindakanku ini, Mahendra! Sampai jumpa setelah pertarungan selesai...!"
Wuttt...! Suto pun cepat menghilang dan membiarkan Mahendra Soca tetap menjadi patung hidup. Ketika tiba di rumah kuno yang sekarang menjadi Ladang Pertarungan itu, Suto mendaftarkan diri dengan nama Mahendra Soca. Tetapi beberapa tokoh persilatan ada yang tahu dan menegurnya,
"Bukankah kau bernama Suto Sinting, si Pendekar Mabuk itu?"
"Bukan. Aku hanya mirip dengan Suto Sinting; Namaku Mahendra Soca!"
"Apakah kau turut dalam pertarungan kali ini?"
Tapi orang itu masih memandang dengan curiga. Suto bergegas pergi dengan tetap menyandang bumbung tuak di punggungnya, sementara itu pedang milik Yayi diselipkan di pinggang kiri. la segera dibawa masuk ke ruang peserta. Dan ternyata Yayi sudah ada di sana, Ragajampi juga sudah ada di sana sedang mendekati Yayi. Ragajampi pun kaget ketika melihat Yayi ada di ruang peserta. la jadi menyesal mendaftarkan diri di situ jika toh akhirnya ia pun harus berhadapan dengan Yayi.
"Kalau tahu begini aku tidak mau menuruti tantangan Mahendra!" kata Ragajampi. "Bangsat kurap orang itu! Dia memancingku masuk kemari sementara dia sendiri tidak hadir di sini!"
"Tak perlu berang, Ragajampi!" kata Yayi dengan tenang. "Aku lebih senang jika kita bisa saling berhadapan, sehingga aku bisa membunuhmu dan melampiaskan kebencianku kepadamu!"
"Bagaimana jika kau yang mati?"
"Kuterima dengan senang hati juga!" jawab Yayi tersenyum sinis.
"Oh, tapi buatku itu tak bisa, Yayi!"
Kemudian Yayi tersentak kaget ketika Suto Sinting pun datang mendekatinya. Ragajampi curiga dan menjadi cemburu melihat Yayi bangkit dari duduknya dan berlari menyambut Suto dengan akrab. "Suto, kau datang juga?!"
"Ya," jawab Suto tersenyum tipis. "Aku mencarimu, Yayi!"
"Aku menghilang dari kemarin. Kalau tidak begitu,! Ki Argapura pasti menghalangiku. Hmmm... eh, kau ke sini untuk apa? Ikut sebagai peserta juga atau...? Hei, kau membawa pedangku?!"
"Ki Argapura yang meminjamkannya!"
"Ja... ja... jadi kau sebagai seorang peserta juga? Kau... kau nanti tampil di arena itu?"
Suto menganggukkan kepala dengan kalem. "Aku terpaksa menggantikan Mahendra."
Terperangah Yayi memandangi Suto. Kejap berikutnya, Ragajampi ikut bicara dengan ketusnya,
"Kebetulan kau sebagai peserta. Aku berharap kita bisa saling jumpa di arena, supaya Yayi bisa tahu bahwa tak sepantasnya dia bersikap ramah dan akrab denganmu seperti itu!"
Suto hanya tersenyum mendengar nada cemburu itu. Lalu, terdengar Yayi bicara sambil menggenggam tangan Suto,
"Kau... akan bertarung denganku nantinya, Suto...!"
"Sudah kuperhitungkan segalanya, Yayi. Percayalah, ini pertarungan terakhir. Ladang Pertarungan ini akan kuhancurkan dan tak akan ada lagi perjudian nyawa seperti ini!" bisik Pendekar Mabuk semakin pelan.
Terdengar suara Luhito berteriak keras membuka pertarungan hari itu. Sorak-sorai penonton memenuhi ruangan tersebut. Hati Yayi berdebar- debar sambil ia tetap duduk di samping Suto, membuat Ragajampi semakin iri dan cemburu. Namun ia terpaksa harus menahannya sampai nanti di arena akan dilepaskan habis-habisan.
Ragajampi mendapat giliran maju ke arena setelah tiga peserta ditumbangkan oleh seorang berbadan kurus yang menamakan dirinya si Golok Tengkorak. Pertarungan menjadi seru. Sorak-sorai penonton lebih menggelegar bagai ingin meruntuhkan gedung. Entah apa yang membuat mereka bagai tak sabar menyaksikan pertarungan Ragajampi dengan si Golok Tengkorak.
Golok Tengkorak akhirnya kalah. Mati di tangan pedang Ragajampi. Sejak itu, Ragajampi menguasai arena. Tiap lawan yang maju selalu berhasil ditumbangkan. Sampai akhirnya, tinggal dua peserta di dalam ruangan itu, yakni Suto Sinting dan Yayi. Wajah Yayi sempat berubah menjadi murung sekali. la berkata kepada Suto,
"Kau menggantikan Mahendra Soca untuk menyelamatkan dia dari Ragajampi, tapi tak kau pikir bahwa kita pun akhirnya akan bertarung dan saling membunuh, Suto!"
"Semuanya sudah kuatur. Jangan sedih!"
Ragajampi berhasil menumbangkan lawannya lagi. Ketika ia masuk ke ruang peserta, wajahnya berseri-seri walau bermandi keringat.
"Sekarang tinggal kita bertiga!" katanya, lalu memandang Suto, "Kuharap setelah ini aku berhadapan denganmu! Dan akan kucincang tubuhmu karena berani-beraninya menggantikan Mahendra Soca!"
"Tidak," kata Yayi menyahut, "Setelah ini kau berhadapan denganku dulu, dan aku akan membunuh mu Ragajampi!"
Ragajampi diam. Mengusap keringatnya dengan kain yang ada di situ, entah milik siapa. la pun berpikir jika habis ini dia berhadapan dengan Yayi, berarti dia harus membunuh Yayi. Jika Yayi yang berhasil membunuhnya, berarti dia tak bisa membunuh orang yang menggantikan Mahendra Soca.
Terdengar suara Luhito berseru dari arena, "Pertarungan berikutnya adalah Ragajampi melawan Maaa... hennn... draaa...!"
Ragajampi tersenyum lega. Yayi tegang, tapi Suto tetap kalem. Hanya saja, Suto segera berkerut dahi karena heran mendengar seruan para penonton yang meneriakkan nama secara bersama-sama:
"Suto, Suto, Suto, Suto, Suto...!"
Dalam hati Suto menggerutu, "Sial! Rupanya orang yang tadi bertanya namaku itu tak yakin kalau aku bernama Mahendra Soca. Dia yakin bahwa aku adalah Suto, lalu dia sebarkan kepada penonton lainnya?! Gila orang itu!"
Ketika Suto muncul setelah Ragajampi muncul lebih dulu, Suto mendapat sambutan sangat meriah dan suasana menjadi lebih menggelegar lagi. Mereka saling berdesak maju ke tepi pagar batas lantai penonton. Bahkan Brahmana Gada sempat berdiri dengan tegang tapi berwajah ceria, sebab ia tahu siapa orang yang bernama Suto Sinting itu.
Dan satu hal yang mengejutkan Suto maupun Ragajampi adalah, orang-orang kadipaten ternyata ada di sana, di antara penonton biasa. Wajah Ki Argapura pun tampak jelas tanpa suara memandang ke arah arena. Bahkan seorang berpakaian kerudung merah pun kelihatan di sana. Hanya Ragajampi yang tahu siapa wajah orang berkerudung merah itu. Tak lain adalah sang Adipati sendiri yang menyamar menjadi rakyat jelata.
Bongngng...!
Pertarungan dimulai. Ragajampi mencabut pedangnya, tapi Suto masih tenang dan belum mencabut pedang. Justru ia berdiri di tengah dan menenggak tuaknya beberapa teguk ketika Ragajampi mencari kesempatan untuk menyerang. Pada saat Suto meneguk tuaknya itulah kesempatan emas buat Ragajampi. Maka ia pun segera maju satu langkah dan menebaskan pedangnya. Wuttt...!
Suto tiba-tiba berkelebat berputar dengan cepat. Bumbung tuaknya menangkis tebasan pedang Ragajampi hingga pedang itu terpental jauh sampai ke depan pintu peserta. Lalu, bumbung itu ditarik dalam genggaman tangan kanan, dan tangan kiri Suto menghantam dada Ragajampi dengan
sentakan cepat tak terlihat mata. Plasss...! Debb...!
Brusss...! Darah menyembur dari mulut Ragajampi yang terdongak itu. Bahkan dari lubang hidung, telinga, dan mata, mengeluarkan darah kental akibat pukulan tak terlihat tadi.
Brukk...! Ragajampi jatuh terkapar, tubuhnya kejang-kejang sebentar, kemudian tersentak satu kali dan diam untuk selamanya.
"Horeeee...!" teriak penonton bersorak dengan keras dan kegirangan. Mereka mengacung-acungkan tangan yang mengepal tanda sangat puas melihat pertarungan orang yang dikenal oleh mereka sebagai Pendekar Mabuk alias Suto Sinting itu.
Ketika pintu peserta dibuka, Yayi memandang tegang, siapa yang masuk. Ternyata Suto Sinting yang masuk, itu berarti Suto yang menang. Yayi menjadi lega, namun segera murung dan tertunduk sedih.
"Jangan sedih. Serang aku dengan sungguh- sungguh, supaya mereka tidak kecewa dengan permainanmu!" kata Suto. "Aku tidak akan mempergunakan pedangmu!"
"Gunakanlah," kata Yayi dengan wajah memandang sedih. "Aku sudah siap mati di ujung pedangku sendiri!"
"Baiklah!" jawab Suto tegas.
Kejap berikutnya terdengar lagi suara Luhito yang mengumumkan pertarungan berikutnya. Penonton tetap bersorak mendukung Suto Sinting ketika Pendekar Mabuk dan Yayi masuk ke arena pertarungan itu. Wajah Ki Argapura terlihat tegang, demikian pula wajah sang Adipati. Namun mereka sama-sama diam tak memberi suara apa pun.
Bongngng...! Pertarungan dimulai. Yayi siap dengan pedangnya. Suto belum mau mencabut pedang walaupun Yayi berkata, "Cabut pedangmu, atau aku tega menebas kepalamu?!"
"Seranglah aku!"
Maka, dengan satu sentakan cepat, Yayi menggunakan jurus pedang pemberian Ki Argapura yang bernama 'Rembulan Menebas Bintang'. Tapi Suto cepat membalikkan badannya, sehingga tebasan itu mengenai bumbung tuak di punggung. Trangngng...! Suaranya nyaring sekali. Padahal seharusnya bumbung itu patah terpotong beberapa kejap berikutnya, tapi ternyata tidak. Juga ketika Yayi menggunakan jurus 'Mata Malaikat'.
Seharusnya dada Suto bolong dalam satu tusukan pedang dengan kecepatan tinggi. Tapi nyatanya ujung pedang itu justru dijepit dengan dua jari Pendekar Mabuk tepat di depan dada. Tabb...! Pedang itu bagaikan terkunci, lalu dengan satu kekuatan tenaga dalamnya, Suto sentakkan jepitan pedang itu ke samping, dan pedang itu pun terpental lepas dari tangan Yayi. Trangng...! Jatuh di lantai, jauh dari jangkauan Yayi.
"Hiaaat...!" Yayi nekat menyerang dengan pukulan tangannya.
Tapi Suto segera jongkok dengan kaki lebar dan kedua tangannya mematuk pinggang Yayi dari kanan-kiri, bagaikan dua ular kobra menyerang satu lawan. Dess, dess...!
Brukkk...! Yayi langsung jatuh bagai kain sutera dilepas dari pegangannya. Ternyata totokan itu membuat lumpuh kedua kaki Yayi untuk beberapa saat. Sementara kedua tangan Yayi masih bisa digunakan untuk menyerang, tapi kekuatannya sudah tak ada. Yayi akhirnya tertunduk bagaikan pasrah dalam kematiannya.
"Bunuh...! Bunuuuh...!" teriak Brahmana Gada dengan berapi-api. Suto memandangi penonton sekelilingnya. Mereka saling berteriak kata 'bunuh' menirukan Brahmana Gada. Sedangkan wajah Ki Argapura terlihat tegang, sama seperti wajah sang Adipati. Lalu, Suto berseru,
"Tidak ada keharusan membunuh lawan! Yang ada peraturan mengalahkan lawan!"
Brahmana Gada berseru, "Kau bisa dibunuhnya dari belakang jika tak mau membunuh dia!"
"Aku tidak mau membunuh dia, karena dia perempuan! Aku pantang membunuh perempuan yang sudah tak berdaya!" seru Suto. Rupanya Brahmana Gada pengelola arena tersebut menjadi berang dan jengkel sendiri kepada Suto, akhirnya ia berseru kepada Luhito,
"Luhito...! Panggil sekarang juga si Wajah Hitam! Tak ada masa istirahat! Panggil Wajah Hitam...!"
Pintu selatan masih kosong. Si Wajah Hitam sejak tadi belum kelihatan. Namun ketika Luhito memanggil nama si Wajah Hitam dan pintu selatan dibuka, tahu-tahu muncullah sang pembantai yang selama ini belum pernah terkalahkan.
Pendekar Mabuk sempat meminumkan tuak sebentar kepada Yayi, lalu Yayi dibawa oleh petugas keluar arena. la memperhatikan si Wajah Hitam dari sela-sela jeruji pintu sebentar, lalu maju ke tengah arena.
Si Wajah Hitam pun maju melangkah mendekati Pendekar Mabuk. Badannya berminyak karena memang diberi minyak supaya licin bila dipegang lawan. Wajahnya masih tertutup selubung hitam, hanya bagian kedua mata dan mulut saja yang tampak. Punggungnya tampak bertato pedang dililit ular. Punggung itu kekar dan kokoh kelihatannya, sama dengan urat-urat lengannya yang bertonjolan keras itu.
Jarak mereka hanya dua langkah. Pendekar Mabuk berkerut dahi ketika memandang mata si Wajah Hitam. Dan tiba-tiba gong pun berbunyi dengan keras, bongngng...!
Wuttt...! Wajah Hitam menarik selubung penutup kepalanya, dan Suto menjadi terperanjat kaget, karena wajah itu adalah wajah Mahendra Soca.
"Kaaau...!" teriak Yayi yang terpekik dari pintu utara.
Suto diam tanpa senyum, Mahendra Soca pun diam tanpa senyum. Bahkan Mahendra Soca lebih dingin menatap Suto, sementara itu Suto hanya diam dalam kebimbangan. Hatinya berkata,
"Ini benar-benar gila! Luar biasa gilanya! Aku menggantikan dia tampil di sini untuk menyelamatkan dirinya, ternyata justru dialah orang yang selama ini digelari sang pembantai!"
Terdengar Mahendra Soca berkata, "Cabut pedangmu, Suto!"
"Aku tak bisa."
"Lupakan Mahendra Soca penebang kayu. Itu hanya sebagai latihan pengumpulan tenagaku saja! Aku mencintai Yayi, tapi aku tetap harus penuhi tugasku di sini! Tugasku di luar sudah kupenuhi, yaitu memancing orang untuk masuk dalam pertarungan ini!"
"Berhentilah hidup begini, Mahendra! Yayi menunggumu!"
"Dia menunggu membalas dendam padaku! Sekarang, kau yang ada! Serang aku dan cabut pedangmu, Guru!"
Terharu hati Pendekar Mabuk mendengar Mahendra Soca memanggilnya guru. Dan hal itu hanya diatasi oleh Suto dengan menelan ludah menahan haru. Terbayang saat ia memberi pelajaran jurus tiga pedang mematikan menggunakan pedang- pedangan dari kayu. Sungguh tak bisa terbayangkan sebelumnya, mengapa akhirnya ia harus berhadapan dengan orang yang menerima pelajaran tiga pedang mematikan itu.
"Jurus tiga pedang telah kugabungkan khusus untuk melayani tokoh-tokoh sakti. Ternyata kaulah tokoh sakti yang pertama kali kulayani demi tugasku ini!"
"Kenapa kau mau lakukan tugas begini, Mahendra?!"
"Adikku tertawan di tangan Brahmana Gada! Kalau tak mau, aku akan kehilangan adikku! Dia adik perempuanku satu-satunya!"
"Kubantu kau melepaskan adikmu!" bisik Suto.
"Terlambat. Dia sudah mati saat aku menolak pertarungan ini, beberapa waktu yang lalu! Aku tak menyesal jika harus mati di tanganmu, karena aku akan menyusul adikku!"
"Baiklah, Mahendra! Kau membuatku tak punya pilihan...!" kata Pendekar Mabuk dengan lemah. Lalu, Mahendra Soca mengangkat pedangnya ke pertengahan dada lurus ke atas, siap ditebaskan dengan gerakan cepat dan menggunakan kedua tangan.
Suto hanya diam tak bergerak dengan kaki merenggang ke belakang, tangan memegang gagang pedang yang belum dicabut dari sarungnya. Lama mereka saling diam. Lama suasana menjadi sepi menegangkan! Sampai pada kejap berikutnya, Mahendra Soca bergerak maju dengan cepat sekali, dan Suto menggunakan jurus 'Pedang Siluman'-nya yang dapat bergerak cepat. Wusss... wusss...!
Zrattt...! Mereka saling memunggungi. Sama- sama diam tak bergerak. Posisi mereka tetap dalam kuda-kuda kokoh. Semua mata memandang tak berkedip. Tak bersuara. Dan tiba-tiba terdengar suara tetes air menggema di ruangan yang sunyi itu. Tes... tes... tes...!
Mata mereka pertama-tama memandang ke arah pedang yang tahu-tahu sudah dicabut Suto dan tak ada yang melihat kapan Suto mencabut pedang tersebut. Pedang itu berlumur darah. Tapi tidak menetes ke lantai darahnya.
Mata mereka segera memandang ke arah bagian kaki Mahendra Soca. Ternyata di sanalah darah menetes dari kain celana bagian tengah. Dan mereka semakin terbelalak setelah menyadari, ternyata tubuh Mahendra Soca terbelah dari pusar sampai dada, terus ke leher dan mencapai pertengahan wajah Mahendra Soca. Tepat di kening, belahan pedang itu berhenti dan sekarang merembeskan darah.
Blakkk...! Mahendra Soca jatuh terkapar dengan mata mendelik, mulut ternganga, dan tubuh terbelah rapi.
Suasana masih hening, masih sunyi, seakan mereka masih tak percaya bahwa si Wajah Hitam itu telah mati dalam keadaan terbelah bagian tengahnya. Tapi mereka tidak melihat seperti apa dan bagaimana jurus Pendekar Mabuk sehingga dapat membelah tubuh si Wajah Hitam itu.
Suto menghadap Brahmana Gada dan berseru, "Bubarkan tempat ini, atau kuhancurkan seluruh kepala anak buahmu! Sekarang juga akan kulakukan, Brahmana Gada!"
Orang gemuk itu pucat wajahnya, bingung menjawabnya. Lalu, sesosok tubuh kurus berwajah tua melompat turun ke arena dari tempat penonton. Orang itu adalah Ki Argapura yang segera berseru,
"Aku akan ikut menghancurkan orang-orangmu, Brahmana Gada! Kecuali jika kau bubarkan perkumpulan ini dan jangan ada lagi perjudian nyawa yang tidak manusiawi ini!"
Sekelebat orang berpakaian kerudung merah itu melompat pula dari atas lantai penonton. Jlegg...! Kerudungnya dibuka, dan Brahmana Gada terpekik, "Sang... sang Adipati...?!"
"Bubarkan tempat ini atau kugulung habis sampai tujuh turunanmu?!"
Hening tercipta mencekam sekali. Dan akhirnya Brahmana Gada menyerah. Ladang Pertarungannya pun tak pernah ada lagi sejak saat itu.
SELESAI
INDEX SUTO SINTING | |
19.Pembantai Berdarah Dingin --oo0oo-- 21.Titisan Ilmu Setan |