Kembang Darah Setan
tanztj
August 17, 2012
INDEX JOKO SABLENG | |
18.Bara Di Kedung Ombo --oo0oo-- 20.Geger Topeng Sang Pendekar |
JOKO SABLENG
Pendekar Pedang Tumpul 131
Karya: Zhaenal Fanani
Pendekar Pedang Tumpul 131
Karya: Zhaenal Fanani
BAB 1
LINTASAN bumi telah lama dibungkus sang malam. Rembulan merah dadu mengambang di permukaan langit yang hitam angker, membuat hamparan bumi samar-samar membentuk warna merah saga.Laksana dikejar setan, satu bayangan hitam tampak berkelebat cepat melintasi rimba belantara lebat dan gelap. Sosok bayangan itu tiba-tiba lenyap. Bayangan kelebatannya baru terlihat lagi tatkala dia muncul di ujung belantara yang berbatasan dengan pesisir. Pada satu tempat tidak jauh dari pesisir, si bayangan hitam hentikan larinya. Dia tegak tak bergerak dengan kepala mendongak.
Saat lain kepala orang ini berpaling ke kanan. Lalu perlahan-lahan kakinya bergerak melangkah. Orang ini baru hentikan langkahnya lagi tatkala sejarak lima tombak di hadapannya tampak julangan beberapa batu karang. Untuk beberapa saat, orang ini edarkan pandangannya berkeliling menembusi kegelapan. Kedua tangannya bergerak terangkat lalu merangkap di depan dada.
Dia pasang telinga baik-baik. Pandangan matanya jelas tidak melihat apa-apa di depan sana. Tapi pendengarannya dengan jelas dapat menangkap suara-suara aneh dari balik julangan batu karang. Suara itu mirip desahan-desahan panjang orang yang sedang menunggu saat ajal. Namun saat lain suara itu berubah menjadi dengusan keras.
Orang yang tegak dengan kedua tangan merangkap di dada edarkan mata sekali lagi. Kejap lain sosoknya telah melesat ke depan. Tahu-tahu orang ini telah berada di puncak salah satu julangan batu karang. Ternyata julangan di mana orang berada adalah salah satu julangan batu karang yang berjajar melingkari sebuah tempat terbuka.
Alam telah membentuk tempat terbuka itu sedemikian rupa hingga tempat itu laksana bekas puing-puing reruntuhan kerajaan. Melingkari tempat terbuka tampak beberapa julangan batu karang dengan permukaan tebing naik turun yang di ranggasi semak belukar dan ilalang tinggi. Tepat di tengah tempat terbuka, tampak sebuah gugusan batu agak panjang yang di bagian ujung-ujungnya tertancap batu pipih. Pada bagian atas salah satu ujung gugusan batu terlihat sebuah altar dari batu cadas putih.
"Kampung Setan! Ternyata keadaannya lebih menggidikkan daripada namanya!" gumam orang yang berdiri di atas salah satu julangan batu karang yang melingkari tempat terbuka.
"Tidak terlihat adanya siapa-siapa, namun jelas terdengar desahan-desahan orang sekarat!" Orang ini gerakkan kepala tengadah memandangi rembulan. "Hari ketiga belas purnama ketiga. Tiga belas ribu tiga puluh tiga hari. Hem... Mudah-mudahan perhitungan itu tidak salah! Suara-suara desahan mungkin satu petunjuk kalau perhitungan itu..."
Gumaman orang belum selesai, tiba-tiba tempat itu di buncah suara lolongan panjang bersahut-sahutan. Namun cuma sekejap. Di lain saat suara lolongan lenyap. Keadaan berubah senyap!
Orang di atas julangan batu karang arahkan pandangannya pada gugusan batu berujung dua batu pipih yang mirip makam. Kalau bukan orang yang punya maksud tertentu dan tidak punya kepandaian sangat tinggi, sudah pasti orang di atas julangan batu karang akan pulang balik, karena bersamaan dengan lenyapnya suara lolongan, kabut putih tampak turun dari jajaran lamping batu-batu karang di sekitar tempat itu. Hingga pandang mata orang terhalang.
Setelah perhatikan sekali lagi, orang di atas julangan batu karang berkelebat turun dan melangkah perlahan-lahan menembusi kabut. Namun langkah orang ini tertahan tatkala mendadak dari tengah kabut terdengar lagi desahan-desahan panjang disusul lolongan tinggi!
"Jahanam! Apa yang perlu ditakutkan! Dia butuh pertolongan!" desis orang seraya buka rangkapan kedua tangannya. Meski orang ini berusaha tepiskan perasaan takut, namun tak urung dadanya berdebar keras. Malah sosoknya tampak sedikit bergetar. Pakaian yang dikenakan mulai basah.
Setelah dapat tenangkan gejolak dadanya, orang ini dorongkan kedua tangannya ke depan. Terdengar deruan angker. Kabut putih tersibak dan benda di belakangnya terdengar berderak hancur. Gugusan batu membentuk makam bernisan batu pipih terlihat lagi. Bersamaan itu, suara desahan dan lolongan lenyap!
Orang itu tidak menunggu lama. Dia segera jejakkan kaki. Sosoknya melesat dan serta-merta sudah tegak lima langkah di samping gugusan batu makam. Namun kali ini dia tidak membuat gerakan apa-apa. Dia hanya memandang tak berkesip pada gugusan batu makam dihadapannya......
"Aku harus yakinkan dahulu jika suara desahan manusia sekarat tadi benar-benar berasal dari dalam makam itu! Aku tak boleh terkecoh! Orang menamakan tempat ini Kampung Setan. Siapa pun adanya manusia penghuninya, jelas akan lebih licik daripada setan!"
Orang ini tegak dengan kepala sedikit digerakkan mendongak. Telinganya dipasang baik-baik. Pandang matanya tak beranjak dari batu makam. Beberapa saat berlalu. Tak ada suara desahan dan lolongan. Keadaan sunyi mencekam. Orang di dekat makam luruskan kepalanya. Lalu melangkah maju empat tindak. Sepasang matanya melirik berkeliling.
Perlahan-lahan dia jongkok. Lalu pandangi batu pipih di bagian ujung makam. Orang ini sorongkan kepala, sementara tangan kanannya bergerak ke batu pipih yang dibuat sebagai batu nisan. Tangan orang ini mengusap permukaan batu pipih.
"Kosong! Tak tertera nama!" gumamnya. Lalu orang ini bergerak sorongkan kepala ke kiri, ke batu pipih di ujung satunya. Tangan kirinya mengusap permukaan batu pipih.
"Sama!" desisnya sambil bergerak bangkit. Untuk sekian kalinya, orang ini kembali tatapi gugusan batu yang membentuk makam. Dia menunggu. Namun hingga agak lama, suasana tetap sunyi.
"Hem... Apa aku salah hitung?! Berarti aku harus menunggu sampai hari tiga belas purnama depan! Atau jangan-jangan..."
Gumaman orang terputus. Telinganya jelas menangkap desahan suara meski hanya lamat-lamat. Suara itu seperti menggaung pada satu tempat dalam. Orang di dekat makam buru-buru lipat tubuhnya dengan telinga diletakkan di gugusan batu makam. Namun orang ini terlengak.
Baru saja telinganya menyentuh bagian atas batu makam, suara lolongan panjang terdengar. Bukan suara lolongan panjang itu yang membuat orang melengak kaget, tapi bersamaan dengan terdengarnya suara lolongan, pijakan kedua kakinya bergetar keras! Saat lain laksana disapu gelombang luar biasa dahsyat, sosok orang ini terjengkang lima langkah dari batu makam!
"Keparat! Kekuatan apa yang baru saja menghantam ku?!" Orang itu cepat bergerak bangkit. Dengan tabahkan hati, dia perlahan-lahan melangkah kembali ke dekat makam. Tapi belum sampai kakinya bergerak, satu suara terdengar.
"Siapa pun kau adanya yang saat ini ada di luar! Kau beruntung sekaligus celaka!"
Suara itu terdengar membahana sekalipun seolah datang dari tempat yang sangat jauh dan dalam. Orang di luar makam menahan napas. Sikapnya tegang. Hingga untuk beberapa saat orang ini kancingkan mulut tidak menyambut suara yang baru saja terdengar. Dia kini yakin suara itu diperdengarkan orang dari dalam makam.
"Hem... Apa yang belum kupercaya akhirnya jadi kenyataan! Makam itu berpenghuni! Tapi apa maksud ucapannya?! Beruntung sekaligus celaka..." Orang di luar makam membatin.
"Lebih baik ku yakinkan dahulu, apakah penghuni ini benar-benar manusia terakhir dari generasi Kampung Setan ini!"
Orang di luar makam kembali gerakkan kaki melangkah. Setelah kerahkan tenaga dalam dia perdengarkan suara. "Apakah kau yang di dalam makam yang baru saja bersuara?!"
Terdengar desahan panjang. Disusul dengan suara. "Matamu tidak buta! Apakah kau melihat ada orang lain di situ, hah?!"
"Hem... Bagus! Kau juga tidak tuli! Sekarang katakan siapa kau adanya!"
"Jahanam! Percuma kau datang pada saat yang tepat kalau kau masih bertanya!" terdengar suara dari dalam makam batu bernisan batu pipih.
"Kau belum tunjukkan tampang! Bagaimana aku tidak boleh bertanya?!"
"Kalau kau ingin tahu tampangku, mengapa kau masih diam, hah?!"
"Lalu apa yang harus kulakukan?!" tanya orang di luar makam.
"Jahanam! Jangan-jangan kau manusia yang tersesat jalan!"
Terdengar suara tawa pendek di luar makan. "Malam ini adalah hari ketiga belas purnama ketiga! Malam ini adalah hari yang ketiga belas ribu tiga puluh tiga hari kau berada di dalam makam! Apakah keteranganku ini masih membuatmu mengatakan aku orang tersesat jalan?!"
"Kalau kau sudah tahu, mengapa kau masih bertanya siapa aku dan apa yang harus kau lakukan?!" suara dari dalam makam terdengar makin keras.
"Kau bisa berbuat licik, tapi aku bukan manusia tolol!"
"Keparat! Apa maksudmu?!" tanya suara dari dalam makam.
"Aku tahu malam ini kau butuh pertolongan orang lain! Jadi hidup matimu berada di tanganku. Kita belum pernah bertemu. Sudah layak kau katakan siapa dirimu!"
Mendadak terdengar suara gelakan tawa panjang dari dalam makam. Karena suara gelakan tawa itu membahana dan laksana datang dari tempat yang jauh dan dalam, suara tawa itu begitu menggidikkan. Begitu suara gelakan tawa lenyap terdengar suara.
"Ucapanmu tidak salah, Manusia! Tapi jangan lupa, kedatanganmu malam ini juga punya maksud tertentu! Dan apa yang kau inginkan nanti ada di tanganku!"
Orang di luar makam balik perdengarkan suara tawa panjang. "Apa yang kuinginkan tidak sebanding jika ditukar dengan kebutuhan mu malam ini! Perlu kau tahu, tidak lama lagi pagi akan menjelang, sementara tidak ada orang lain selain aku! Nyawamu hanya tinggal menunggu saat saja! Kalau aku tinggalkan tempat ini..."
Orang di luar makam tertawa dahulu lalu lanjutkan ucapan. "Bukan saja dendam mu tidak terbalas, lebih celaka lagi kau akan terkubur untuk selamanya!"
Untuk beberapa lama tidak terdengar suara sahutan dari dalam makam. Sementara orang di luar makam tampak gerakkan kepala berkeliling.
"Hai, Manusia!" kembali terdengar suara dari dalam makam. "Kau benar-benar manusia keparat! Apa kau kira begitu aku terkubur selamanya, kau akan dapatkan apa yang kau maksud, hah?!"
"Masih banyak sesuatu lain yang melebihi apa yang kini ditanganmu! Sekarang jangan banyak mulut. Jawab saja semua pertanyaanku tadi!"
Tidak ada sahutan dari dalam makam. Orang di luar makam dongakkan kepala lalu berujar.
"Rupanya kau lebih suka terkubur selamanya! Bagus! Tunggulah saat-saat kematianmu! Selamat tinggal!"
Meski orang di luar makam telah mengucapkan begitu, namun orang ini tidak beranjak dari tempatnya.
"Tunggu!" tiba-tiba terdengar suara dari dalam makam. "Aku akan jawab pertanyaanmu..."
Suara dari dalam makam terputus sejenak. Orang di dalam makam sepertinya menunggu sahutan dari luar makam. Namun hingga ditunggu agak lama orang di luar tidak perdengarkan sahutan, terdengar lagi suara dari dalam makam.
"Hai! Kau masih berada di luar?!"
Orang di luar tidak menyahut. Malah dia tidak berani membuka suara, membuat suara dari dalam makam terdengar kembali.
"Hai! Kau masih di luar, bukan?!"
"Sudah kukatakan jangan banyak mulut!" Orang di luar makam membentak garang.
Terdengar desahan panjang. "Aku Setan Liang Makam!! Sekarang akan kukatakan apa yang harus kau..."
"Katakan sekali lagi siapa kau adanya!" potong orang di luar makam.
"Setan Liang Makam!"
"Hem... Berarti bukan kau orang yang butuh bantuan!" Orang di luar makam cepat angkat bicara menyahut.
"Tunggu! Setan Liang Makam adalah gelar yang ku pakai begitu aku dimakamkan di tempat terkutuk ini! Aku sebenarnya adalah Maladewa, generasi terakhir dari Penguasa Kampung Setan!"
"Bagus! Aku sekarang tanya, kau masih ingin keluar dan hidup?!" tanya orang di luar makam.
"Jahanam!" kata orang yang sebutkan diri sebagai Maladewa yang kini telah bergelar Setan Liang Makam. "Aku tak akan katakan siapa diriku kalau ingin mampus!"
"Apa yang dapat kau berikan padaku kalau aku mengeluarkan mu?!"
Tidak ada suara sahutan. Orang di luar makam arahkan pandangannya pada gugusan batu makam. "Kau tahu tentang sebuah senjata sakti Kembang Darah Setan?!"
Hanya suara desahan panjang yang terdengar, tanpa adanya suara. Orang di luar makam tertawa pendek, lalu berucap. "Kau bukan Maladewa generasi terakhir Penguasa Kampung Setan!"
Habis berkata begitu, orang di luar makam melangkah. Tapi gerakan langkahnya tertahan tatkala tiba-tiba dari dalam makam terdengar lagi ucapan.
"Tunggu! Aku tahu tentang Kembang Darah Setan! Itu adalah barang pusaka peninggalan Penguasa Kampung Setan ini!"
"Hem... Apa Kembang Darah Setan ada padamu?!"
"Aku tak mau jawab sebelum kau lakukan sesuatu untukku!"
"Malam ini aku yang punya kuasa atas nyawamu! Jangan minta sesuatu sebelum kau jawab semua tanyaku. Kau dengar?!"
Terdengar makian panjang pendek. "Tak kuduga sama sekali kalau benda pusaka itu yang diinginkan manusia jahanam ini!" bisik Maladewa alias Setan Liang Makam. Lalu bertanya. "Kau inginkan Kembang Darah Setan?!"
Orang di luar makam tertawa panjang. "Kurasa benda itu tidak ada apa-apanya dibanding bantuan yang akan kau minta dariku!"
"Persetan! Lebih baik aku terkubur di sini daripada memberikan benda itu padamu!"
"Hem... Begitu?! Apa kau kira aku tak bisa mengambil Kembang Darah Setan setelah nyawamu putus?! Apa kau kira aku tak tahu bagaimana membuka makam ini, hah?!"
"Kau sangka aku percaya dengan gertakan mu?!" Setan Liang Makam balik bertanya.
Orang di luar makam putar kepala perhatikan julangan batu karang yang laksana memagari tempat dimana gugusan makam batu berada. Lalu berucap. "Julangan batu karang berjumlah tiga belas. Aku tinggal menghancurkan julangan nomor satu yang lurus di sebelah kanan makam, lalu nomor tiga dan nomor tiga belas. Masih kurang keteranganku?!"
"Jahanam sialan! Manusia ini benar-benar tahu semuanya! Apa..."
"Jangan banyak menunda waktu!" kata orang diluar makam memutus gumaman Setan Liang Makam.
"Baik! Kembang Darah Setan akan kuberikan padamu! Tapi aku harus keluar dahulu dari tempat laknat ini!"
"Aku bukan manusia tolol! Aku ingin. Buktikan dahulu kalau kau benar-benar Maladewa dan Kembang Darah Setan berada ditanganmu!"
"Bangsat! Bagaimana kau bisa buktikan kalau aku belum keluar dari sini?!"
"Itu urusanku! Kau tunggulah!"
BAB 2
ORANG diluar makam arahkan pandangannya pada julangan batu karang tepat lurus di sebelah kanan gugusan batu yang membentuk makam. Kejap lain orang ini telah membuat lompatan satu kali. Gerakannya serta-merta membawa dirinya tahu-tahu telah tegak hanya sejarak lima langkah dari hadapan julangan batu karang yang tepat lurus di samping batu makam. Sejenak orang ini memandangi julangan batu karang dihadapannya. Saat lain kedua tangannya telah terangkat kebelakang. Lalu disentakkan kedepan.Wuuutt! Wuuttt!
Satu gelombang angin berkelebat angker menghantam julangan batu karang. Sejenak julangan batu karang tidak bergeming. Namun di lain saat tiba-tiba terdengar suara bergemuruh dahsyat!
Bummm!
Julangan batu karang laksana disapu kekuatan luar biasa. Tempat di mana batu karang tegak menjulang bergetar hebat. Lalu batu karang itu longsor dengan pecah berantakan! Anehnya, tidak satu pun pecahan batu karang itu yang mencelat mental!
Bersamaan dengan ambruknya julangan batu karang, tiba-tiba gugusan batu makam bergetar. Sesaat kemudian batu pipih sebelah kanan di ujung makam retak dan kejap lain batu pipih itu mencelat ke udara meninggalkan lobang memanjang sebesar satu jengkal!
"Jahanam! Apa yang kau lakukan?!" terdengar teriakan dari dalam makam. Karena ujung makam telah berlobang, maka teriakan itu mencuat membahana.
Orang di luar makam tidak menyahut. Dia putar tubuh lalu berkelebat dan sosoknya telah tegak kembali dua langkah di samping makam batu. "Maladewa! Tempatmu kini telah sedikit terbuka! Aku..."
"Hai, Manusia! Aku Setan Liang Makam! Bukan Maladewa!" tukas suara dari dalam makam.
"Keparat! Peduli setan siapa kau! Aku hanya ingin tahu bahwa Kembang Darah Setan berada di tanganmu! Sekarang tunjukkan Kembang Darah Setan itu!"
"Manusia licik! Jangan harap aku akan turuti ucapanmu!"
Orang di luar makam tertawa bergelak. "Ingat! Keselamatan nyawamu ada ditanganku! Dan waktu yang kau miliki cuma sedikit! Jangan buang-buang waktu atau kau akan menyesal!"
Terdengar makian dari dalam makam. "Kalau saja aku tidak punya tujuan, lebih baik aku terkubur di sini selamanya daripada turut ucapan manusia jahanam ini!" desis suara dari dalam makam. Lalu berucap. "Kau akan lihat barang yang kau inginkan! Tapi jangan harap kau bisa berbuat macam-macam!"
"Hem... Dengan terbukanya lobang di ujung makam, sebenarnya secara tak langsung aku telah memperpanjang nyawanya! Tapi apa boleh buat. Hanya ini satu-satunya jalan yang bisa kulakukan!" membatin orang di luar makam. Lalu berujar.
"Cepat tunjukkan Kembang Darah Setan itu!"
Orang di luar makam arahkan pandang matanya ke ujung makam yang telah berlobang. Gerak-geriknya jelas menunjukkan kalau dada orang ini dilanda perasaan gelisah. Apalagi tatkala pandang matanya belum juga menangkap sesuatu dari dalam lobang.
"Jangan-jangan dia menipuku! Celaka kalau dia sampai tidak tunjukkan benda itu, sementara makam batu telah berlobang!" kata orang di luar makam dalam hati lalu berteriak.
"Jangan kau berani tarik pulang apa yang telah kau ucapkan!"
Tidak ada suara sahutan dari dalam makam. Orang di luar makam sudah hendak perdengarkan suara lagi, namun diurungkan tatkala tiba-tiba sepasang matanya melihat cahaya mencuat dari lobang memanjang di ujung makam batu. Lalu tampaklah sebuah kuncup bunga berwarna merah menyala pancarkan sinar terang menyilaukan. Disusul kemudian dengan tiga lembar daun melingkar di bawah kuncup berwarna hitam, putih, dan merah! Tatkala angin malam berhembus, kuntum bunga yang kini muncul dari dalam lobang makam bergoyang pelan. Namun bersamaan itu terdengar deruan angker!
"Kembang Darah Setan!" desis orang di luar makam dengan suara bergetar. Entah karena apa, saat itu juga kepalanya berputar dengan mata liar mengawasi berkeliling. Lalu kembali pada kuntum bunga di atas lobang makam. Tanpa buka mulut mendadak orang ini berkelebat. Tangan kanan kirinya bergerak menyambar!
Wuutt! Wuuutt!
Orang di luar makam tersentak lalu mundur dua langkah. Bersamaan itu terdengar suara tawa panjang menggetarkan seantero tempat itu dari dalam makam.
"Kau kira semudah itu kau akan ambil barang yang kau inginkan?!"
Orang di luar makam tidak menjawab. Dia tegak dengan kedua tangan bergetar dan mata mendelik besar. Dia heran bercampur geram. Dia tadi telah kerahkan ilmu peringan tubuh serta tenaga dalam yang dimiliki. Namun gerakannya belum juga mampu menyambar kuntum bunga di atas lobang ujung makam. Diam-diam hatinya merasa gundah. Kini dia maklum, siapa pun orang yang namakan dirinya Setan Liang Makam, dia adalah manusia berkepandaian tinggi.
"Manusia!" terdengar suara dari dalam makam. "Kau telah lihat Kembang Darah Setan! Kau juga telah lihat, aku bukan yang seperti kau duga! Apa sekarang kau masih bimbang bahwa akulah Maladewa bergelar Setan Liang Makam, hah?!"
Orang di luar makam masih juga tidak perdengarkan jawaban. Orang di dalam makam perdengarkan dengusan keras lalu bersuara lagi.
"Lekas keluarkan aku dari tempat celaka ini!"
"Aku akan turuti permintaanmu, tapi serahkan dahulu Kembang Darah Setan!"
"Manusia sialan! Aku tadi telah katakan, Kembang Darah Setan akan kuberikan padamu! Tapi keluarkan aku dahulu!"
"Aku yang buat peraturan! Bukan kau! Serahkan Kembang Darah Setan dahulu!"
"Ha Ha Ha...! Baru saja kau hendak berlaku licik! Bagaimana mungkin aku percaya pada mulut mu?!" Dari dalam makam terdengar suara tawa bergelak.
"Terserah padamu! Kalau kau tak berikan dahulu, berarti kau akan tetap di makam ini!"
Suara gelakan tawa terputus laksana di renggut setan. Berganti dengan makian panjang pendek. Namun saat lain berganti lagi suara tawa panjang.
"Kau telah berlaku bodoh, Manusia! Dengan terbukanya lobang, apakah kau kira aku akan segera mampus?!"
"Nyawamu memang akan selamat. Tapi apa kau yakin bisa keluar, hah?! Kau tetap akan menunggu ajal di tempat ini!"
"Ha Ha Ha...! Nyawaku telah selamat! Aku tinggal menunggu orang yang datang untuk keluarkan aku! Kalaupun itu tidak terjadi, aku lebih memilih mampus di sini! Persetan dengan kau! Enyahlah dari sini!"
"Setan alas! Apa aku harus keluarkan bangsat itu? Bagaimana kalau dia berbalik lidah? Tapi kalau tidak ku keluarkan dan memang ada orang yang tiba-tiba muncul?! Hem... Lobang itu telah membuat nyawanya selamat meski dia tetap tidak akan bisa keluar kalau julangan batu karang nomor tiga dan nomor tiga belas tidak dihancurkan. Hem... Apa yang harus kulakukan sekarang?!"
Orang di luar makam melangkah mondar- mandir dengan mata sesekali memandang ke arah lobang memanjang di ujung makam, lalu ke arah julangan batu karang yang memagari tempat itu. Sementara lamat-lamat di dalam makam juga terdengar gumaman.
"Kalau manusia itu tidak keluarkan aku dari tempat jahanam ini, aku tidak yakin apakah masih ada orang yang akan datang ke tempat ini! Dan itu berarti dendam kesumat ku tidak akan terbalas! Tapi... Rasanya berat untuk berikan Kembang Darah Setan ini! Membunuh orang bagiku semudah membalik telapak tangan, tapi dengan Kembang Darah Setan di tanganku, selain pekerjaanku makin mudah, penampilan ku juga jadi keren! Hem... Kalau memang tidak ada jalan lain, terpaksa Kembang Darah Setan akan kuberikan pada manusia jahanam itu! Tapi itu hanya sementara..."
Setelah bergumam begitu, orang di dalam makam perdengarkan suara. "Hai, Manusia! Bagaimana?! Apa kau masih inginkan Kembang Darah Setan?!"
Orang di luar makam tertawa pendek. "Bukankah kau ingin mampus di situ?! Persetan dengan Kembang Darah Setan!"
"Hai, tunggu! Aku memang setan, tapi aku adalah orang yang pegang janji! Kembang Darah Setan akan kuberikan padamu begitu aku keluar dari sini!"
"Itu berarti kau masih ingin mampus di situ!"
"Hem... Baik! Kita ambil jalan tengah! Kembang Darah Setan akan ku letakkan! Begitu aku keluar kau boleh ambil! Bagaimana?!"
Orang di luar makam berpikir sejurus. Lalu berteriak. "Baik! Tapi kalau kau berani memperdayaiku, kau akan ku kubur untuk selamanya!"
"Ingat! Kau yang telah coba memuslihati ku! Jadi jangan bicara sembarangan! Juga jangan harap kau bisa berlaku licik lagi padaku meski Kembang Darah Setan berada lepas dari genggamanku!"
Belum habis ucapan orang, dari lobang di ujung makam kembali mencuat cahaya merah bertabur cahaya hitam dan putih. Orang di luar makam tersentak kaget. Karena bersamaan dengan munculnya cahaya dari dalam lobang terdengar suara menderu-deru angker. Lalu muncullah setangkai bunga berkuncup merah dan berdaun tiga lembar berwarna merah, putih, dan hitam.
Orang di luar makam surutkan langkah satu tindak. Lalu kerahkan tenaga dalam untuk lindungi diri agar tubuhnya tidak tersapu dan terjengkang roboh. Karena ternyata Kembang Darah Setan mencuat keluar dengan berputar-putar! Hingga perdengarkan deruan angker bersahut-sahutan! Anehnya meski Kembang Darah Setan kini telah mengapung di atas makam tanpa ada tangan yang memegang, kembang itu terus berputar-putar!
"Manusia!" kata suara dari dalam makam. "Kembang Darah Setan telah lepas dari tanganku dan berada di depan matamu! Tapi sekali kau berani mendekat, nyawamu akan putus! Kau baru bisa mengambilnya begitu aku keluar!"
Orang di luar makam perhatikan Kembang Darah Setan yang berputar-putar di atas makam. Dia tampak bimbang. Setelah agak lama berpikir, akhirnya dia berucap keras. "Baik! Janjimu adalah gantungan nyawamu! Sekali kau berbalik lidah, nyawamu juga akan melayang!"
Habis berkata begitu, orang di luar makam berkelebat ke samping kanan dan tegak di hadapan julangan batu karang nomor tiga dari julangan batu karang yang telah ambruk. Kedua tangannya ditarik lalu serta-merta disentakkan ke depan. Seperti halnya tadi, julangan batu karang sesaat tidak bergeming, namun di lain kejap bergetar keras sebelum akhirnya ambruk tanpa adanya satu pun pecahan batu karang yang mencelat mental!
Begitu julangan batu karang nomor tiga ambruk, orang ini melompat dan kini tegak di depan julangan batu karang nomor tiga belas. Karena jajaran batu karang melingkar itu sebanyak tiga belas, sementara nomor satu adalah julangan batu karang yang tepat di sebelah kanan batu makam, maka julangan batu karang nomor tiga belas adalah julangan batu karang persis di samping batu karang nomor satu yang telah ambruk. Tanpa menunggu lama, orang ini juga sentakkan kedua tangannya. Julangan batu karang bergetar sebelum akhirnya ambruk.
Bersamaan dengan ambruknya julangan batu karang nomor tiga dan nomor tiga belas, gugusan batu makam bergetar keras lalu terdengar ledakan dahsyat. Batu pipih di ujung makam sebelah kiri terbang ke udara, lalu gugusan batu makam laksana diterpa gelombang dahsyat dan ambyar berkeping-keping!
Ketika hamburan batu makam luruh, tampak lobang menganga hitam dan dalam! Anehnya, di atas lobang menganga hitam dan dalam itu, Kembang Darah Setan tetap mengapung berputar-putar dengan keluarkan deruan-deruan angker! Orang di luar makam tidak berani berlaku ayal. Bagaimanapun juga dia masih meragukan ucapan orang yang selama ini hanya dikenalnya dengan nama Maladewa tanpa pernah melihat tampangnya. Dia berkelebat ke dekat makam yang kini telah terbuka menganga.
Secepat kilat kedua tangannya bergerak menyahut. Karena dia sadar bahwa deruan angker yang mencuat keluar dari putaran Kembar Darah Setan bukan deru sembarangan, dia kerahkan segenap tenaga dalam yang dimiliki. Sosok orang di luar makam memang sempat terhuyung ke belakang, namun kedua tangannya masih kuasa untuk menyambar. Namun baru saja kedua tangan orang ini menyentuh tangkai kembang, satu gelombang melesat deras dari dalam lobang.
Wuuttt!
Orang di luar makam tersentak kaget. Bukan saja kedua tangannya tertahan, namun saat lain kedua tangannya terdorong balik ke belakang! Malah kalau dia tidak segera kuasai diri, niscaya sosoknya akan terhumbalang roboh!
"Jahanam! Kau hendak berlaku curang! Kau ingkar janjimu! Nyawamu harus putus!" teriak orang di luar makam. Kedua tangannya diangkat tinggi.
"Kita perlu bicara dahulu!" terdengar sahutan dari lobang bekas gugusan batu makam yang terbongkar.
Suara orang dari lobang belum lenyap, tampaklah sesuatu merambat di bibir lobang. Entah karena terkesima atau memang turuti ucapan orang, orang di luar makam hentikan gerakan kedua tangannya yang tadi hendak lepaskan pukulan. Dia tegak memandang dengan mata tak berkesip. Dibantu cahaya sang rembulan serta cahaya yang menebar dari Kembang Darah Setan, orang dengan jelas dapat melihat apa yang bergerak merambat dari bibir lobang.
"Kerangka tangan!" desis orang di luar makam dengan mata makin terpentang besar.
Kalau saja dia tidak terpaku dengan Kembang Darah Setan, mungkin orang ini akan segera berlalu. Karena yang muncul dari bibir lobang memang kerangka kedua tangan yang bergerak pelan-pelan seolah cari tumpuan. Begitu kerangka kedua tangan telah terlihat sampai pergelangan, tiba-tiba kerangka kedua tangan itu bergerak menekan. Saat lain tampaklah kerangka kaki yang merambat dari bagian ujung lobang.
Tak lama kemudian, muncul rambut awut-awutan di batok kepala yang bagian mukanya juga hanya merupakan kerangka tanpa daging! Sepasang rongga matanya amat dalam dan di dalamnya tampak berputar dua bola mata yang melotot besar. Begitu kerangka kaki kedua telah muncul di bibir lobang dan kerangka kepala telah terlihat, orang yang baru muncul dari dalam lobang ini gerakkan kedua telapak tangannya menekan.
Orang yang sejak tadi berada di luar makam tak mau bertindak gegabah. Serta-merta tangannya disentakkan ke depan. Dia menduga, orang yang baru muncul akan berkelebat lakukan serangan dengan bertumpu pada gerakan kedua telapak tangannya. Namun dugaan orang meleset. Dia buru-buru tarik pulang kedua tangannya yang hendak lepaskan pukulan, karena ternyata orang yang baru saja muncul dari lobang bukannya hendak berkelebat, melainkan tarik tubuhnya ke atas. Namun mungkin karena kedua telapak tangannya tidak sanggup menahan beban anggota tubuhnya, sosok kerangka orang ini terguling!
BAB 3
ORANG yang sejak tadi berada di luar makam terlengak. Bukan saja kini telah dapat melihat dengan jelas bagaimana bentuk dan tampang manusia yang baru saja muncul dari dalam lobang bekas gugusan batu yang membentuk makam, tapi juga karena ternyata meski manusia yang tadi menggelari diri dengan Setan Liang Makam itu hanya merupakan kerangka tanpa daging, namun kerangka anggota tubuhnya tidak patah walau jatuh berguling! Bahkan dia juga tidak bergeming meski saat itu tidak jauh dari tempat menderu-derunya putaran Kembang Darah Setan yang perdengarkan suara angker dan cuatkan gelombang dahsyat!"Hampir tak percaya kalau tidak melihat dengan mata kepala sendiri!" gumam orang yang sejak tadi berada di luar makam. "Kekuatannya luar biasa! Tapi melihat dia baru saja jatuh terguling, jelas menunjukkan kalau saat ini kekuatannya habis! Aku harus segera bertindak!"
Memikir sampai di situ, orang yang sejak tadi berada di luar makam kerahkan segenap tenaga dalam yang dimiliki. Lalu kedua tangannya serta-merta disentakkan ke depan.
"Jahanam! Apa yang kau lakukan?!" teriak Setan Liang Makam dengan angkat kepalanya. Namun gerakan kepala orang yang hanya merupakan kerangka ini tersentak berhenti. Saat lain sosok kerangkanya terlempar dan jatuh bergedebukan sejarak tiga tombak dari lobang mana dia tadi muncul.
Orang yang baru saja lepaskan pukulan tidak menunggu lama. Dia segera melompat ke depan. Setan Liang Makam angkat tubuhnya yang terbungkus pakaian compang-camping bahkan nyaris telanjang. Tangan kirinya diangkat lalu digerakkan perlahan saja.
Wuuttt!
Orang yang tadi sudah berada dekat lobang dan hendak menyambar kembali Kembang Darah Setan terkesiap. Sosoknya terdorong deras hingga mundur dua langkah!
"Manusia! Kembang Darah Setan tetap akan jadi milikmu! Tapi katakan dahulu siapa kau!" Setan Liang Makam perdengarkan suara sambil perlahan-lahan bergerak duduk. Sepasang bola matanya mendelik memandang liar ke arah orang diseberang.
Orang yang di seberang balas memandang. Lalu mendongak sambil berkata. "Aku Joko Sableng!"
"Hem... Nama bisa saja dibuat! Sekarang aku ingin tahu bagaimana bentuk tampangmu!" kata Setan Liang Makam.
Orang yang baru katakan diri sebagai Joko Sableng mendengus keras. Orang ini ternyata mengenakan penutup pada kepalanya dan hanya menyisakan lobang pada bagian sepasang matanya hingga tampangnya tidak bisa dikenali.
"Kau terlalu banyak permintaan!" kata Joko Sableng.
"Aku tak akan memberikan Kembang Darah Setan pada orang yang hanya ku tahu namanya tanpa ku kenali tampangnya!" ujar Setan Liang Makam.
"Hem... Jahanam itu pasti mengulur waktu sambil pulihkan tenaga dalamnya! Daripada urusan tambah tak karuan, lebih baik ku turuti permintaannya!" batin Joko Sableng. Orang ini angkat tangannya.
Breettt!
Penutup kepala dan wajah Joko Sableng tersentak robek. Sepasang mata Setan Liang Makam terpentang besar memperhatikan tampang orang. Ternyata dia adalah seorang pemuda berwajah tampan. Rambutnya panjang sedikit acak-acakan. Sepasang matanya tajam. Pada kepalanya melingkar ikat kepala berwarna putih.
"Dari mana kau tahu rahasia Kampung Setan?!" bertanya Setan Liang Makam dengan mata terus perhatikan tampang dan sosok tubuh orang di seberang.
"Itu urusanku! Kau kini telah tahu siapa aku dan bagaimana tampangku! Sekarang saatnya kau tepati janjimu sebagai imbalan aku keluarkan mu dari tempat celaka itu!" kata Joko Sableng.
"Kau belum jawab pertanyaanku!"
"Itu tidak ada dalam perjanjian kita!"
Setan Liang Makam perdengarkan tawa panjang hingga tulang sekujur wajahnya bergerak-gerak. "Janji tadi kuucapkan saat aku masih di dalam kubur celaka itu! Sekarang urusannya lain! Aku telah berada di luar, berarti perjanjian bisa saja berubah!"
"Keparat! Manusia setan sepertimu memang layak mampus!"
"Tunggu!" tahan Setan Liang Makam begitu melihat Joko Sableng angkat kedua tangannya. "Baik! Aku tidak memaksamu mengatakan dari mana kau tahu rahasia Kampung Setan ini. Tapi kau harus jawab dahulu satu pertanyaanku lagi!"
"Jangan harap kau bisa berlaku licik! Aku tahu, kau mengulur waktu untuk pulihkan tenagamu!"
Habis berteriak begitu, Joko Sableng melompati lobang bekas makam batu. Kejap lain, laksana terbang dia berkelebat dan sejarak satu tombak dia lepaskan pukulan jarak jauh bertenaga dalam tinggi. Dua gelombang berkelebat deras ke arah Setan Liang Makam. Orang ini angkat tangan kiri kanannya yang hanya merupakan kerangka tulang. Namun karena gerakannya terlalu lambat, belum sampai dia sempat sentakkan kedua tangannya, dua gelombang dahsyat telah menghantam!
Setan Liang Makam berseru tertahan. Sosoknya terlempar sejauh dua tombak dan hampir saja membentur julangan batu karang yang telah ambruk. Sepasang matanya membelalak besar. Sosoknya bergetar keras. Di lain pihak, begitu lepaskan pukulan, Joko Sableng putar tubuh lalu sekali bergerak sosoknya telah melesat. Dengan kerahkan tenaga dalamnya, tangan kiri kanannya berkelebat menyahut Kembang Darah Setan.
Deruan angker terhenti begitu Kembang Darah Setan tersahut tangan Joko Sableng. Pemuda ini cepat masukkan Kembang Darah Setan ke balik pakaiannya. Namun belum sampai Kembang Darah Setan masuk ke balik pakaian, dari arah belakang menyambar gelombang dahsyat.
"Hem... Jahanam itu masih kuasa lepaskan pukulan! Aku akan coba kehebatan Kembang Darah Setan ini!" Joko Sableng tarik pulang tangannya yang hendak simpan Kembang Darah Setan. Serta-merta benda yang pancarkan cahaya tiga warna itu disentakkan ke depan.
Wuuutt!
Terdengar gelombang yang dahsyat membawa cahaya merah, hitam, dan putih. Gelombang yang datang menghajar dari belakang Joko Sableng serta-merta ambyar berkeping dan bertaburan ke udara. Hebatnya, cahaya tiga warna terus merangsek kedepan.
"Sialan keparat!" maki Setan Liang Makam. Orang ini cepat pejamkan mata sementara kedua tangannya dilintangkan di depan dada. Kejap lain sosok Setan Liang Makam tersapu ke belakang menghantam bekas julangan batu karang yang telah ambruk!
Setan Liang Makam cepat memeriksa. Orang ini rasakan sekujur tubuhnya laksana patah-patah. Pakaian compang-camping yang masih melekat pada tubuhnya hampir saja musnah. Lalu orang ini coba kerahkan tenaga dalam. Tapi sikapnya jelas menunjukkan kalau dia kecewa besar. Karena bukan saja dia mampu kerahkan tenaga dalamnya, tapi mengangkat kedua tangannya pun dia tidak kuasa!
Joko Sableng melirik ke seberang. "Luar biasa! Dia tidak mengalami cedera berarti meski baru saja terhantam telak Kembang Darah Setan! Tapi kurasa dia telah tak berdaya! Aku harus cepat tinggalkan tempat ini!"
Joko Sableng lirikkan mata ke samping kiri kanan. Namun sebelum dia bergerak melesat, dari arah seberang terdengar Setan Liang Makam berteriak.
"Kau jangan mimpi bisa pergi, Manusia!" Meski telah maklum kalau belum bisa kerahkan tenaga dalam, namun Setan Liang Makam tidak mau berdiam diri tatkala menangkap gelagat jika Joko Sableng hendak loloskan diri berkelebat. Dia segera gulingkan tubuh.
Tahu kalau orang masih belum bisa kerahkan tenaga dalam, Joko Sableng urungkan niat untuk berkelebat pergi. Dia acungkan tangan kanan yang menggenggam tangkai Kembang Darah Setan.
"Seharusnya kau berterima kasih nyawamu tidak ku cabut saat ini! Tapi kalau kau ingin mampus, aku tak keberatan mengantar nyawamu ke neraka!"
Setan Liang Makam hentikan gulingan tubuhnya. Dia rupanya sadar, kalau sekali lagi Kembang Darah Setan menghantam tubuhnya, dia tak yakin apakah masih mampu bertahan!
Joko Sableng turunkan tangan kanannya yang menggenggam tangkai Kembang Darah Setan. "Bagus! Nyawamu saat ini masih kuampuni karena aku tahu kau masih ingin membuat perhitungan dengan seseorang! Dan aku masih memberi kesempatan padamu untuk mengambil Kembang Darah Setan kelak kalau kau mampu!" Habis berkata begitu, Joko Sableng melangkah. Mendapat tujuh langkah, pemuda ini berhenti. Berpaling sejurus pada Setan Liang Makam. Kejap lain dia berkelebat tinggalkan tempat itu dengan senyum tersungging.
Begitu sosok Joko Sableng lenyap, Setan Liang Makam mendongak. "Joko Sableng! Kau akan menyesal tidak membunuhku malam ini! Itu adalah satu kebodohan yang kelak akan kau tangguk ganjarannya! Kau bisa berlari sampai membelah bumi! Kau bisa menyelam sampai ke dasar laut! Tapi jangan harap kau temukan tempat sembunyi dari jangkauan tanganku!"
Perlahan-lahan Setan Liang Makam angkat kedua tangannya. Lalu sepasang bola matanya dipejamkan. Saat lain orang ini tak bergerak-gerak. Hanya gerakan tulang dadanya yang menunjukkan jika dia masih hidup.
Pada satu tempat agak jauh dari tempat di mana Setan Liang Makam berada, Joko Sableng hentikan kelebatannya. Kepalanya sejurus berputar. Yakin tak ada orang lain, dia keluarkan Kembang Darah Setan dari balik pakaiannya. Meski benda yang pancarkan cahaya tiga warna itu terlipat di balik pakaian orang, namun begitu dikeluarkan, benda itu tidak gugur atau menjadi rata!
Untuk beberapa lama Joko Sableng perhatikan Kembang Darah Setan di tangannya. Saat lain tangan kirinya terangkat ke bagian leher. Perlahan-lahan dia mengelupas kulit di bagian lehernya lalu ditarik ke atas. Di bawah suasana yang sudah agak terang karena bentangan langit sebelah timur telah dibias cahaya sinar matahari, kini tampak jelas seraut wajah di balik kelupasan kulit yang tertarik.
Ternyata dia adalah seorang laki-laki berusia agak lanjut. Sepasang matanya besar tajam. Kumisnya panjang berwarna putih. Orang yang tadi sebutkan diri sebagai Joko Sableng dan mengenakan topeng kulit tipis membentuk raut wajah seorang pemuda ini campakkan kulit tipis di tangan kirinya. Lalu tangan kirinya kembali terangkat kearah kepala. Rambut yang hitam sedikit acak-acakan dijambak lalu disentakkan ke atas.
Bretttt
Rambut itu terangkat. Di bawahnya kini terlihat kepala berambut putih panjang sebatas bahu! Rambut palsu dicampakkan ke atas tanah. Lalu sambil sunggingkan senyum, orang ini berkelebat tinggalkan tempat itu.
BAB 4
SAMPAN tidak begitu besar terbuat dari papan kayu itu menepi saat matahari condong ke barat. Satu sosok tubuh laksana terbang melesat turun. Jelas dari gerakannya kalau orang ini memiliki kepandaian tidak rendah. Tanpa pedulikan kanan kiri, orang yang baru saja melesat turun dari sampan melangkah.Kalau tadi dia melesat turun laksana terbang, kini orang ini melangkah perlahan-lahan. Kepalanya di dongakkan. Mulutnya bersiul dendangkan nyanyian. Lalu tangan kirinya diangkat. Jari kelingkingnya dimasukkan ke lobang telinga! Hingga sambil bersiul, orang ini yang ternyata seorang pemuda berparas tampan mengenakan pakaian warna putih-putih melangkah sambil berjingkat-jingkat keenakan.
Pada satu tempat yang sarat dengan jajaran pohon rindang, si pemuda hentikan langkah. Kepalanya berputar memandangi jajaran pohon. Lalu melangkah kembali mendekati sebuah pohon agak besar yang bagian bawahnya tidak tersentuh jilatan matahari. Masih dengan bersiul, pemuda ini henyakkan pantatnya dengan punggung bersandar.
"Anak manusia! Hentikan siulan keparatmu!" Mendadak satu suara menegur.
Si pemuda tersentak kaget. Siulannya terputus. Tangan kirinya tertahan di samping kepalanya. Tapi entah untuk menutupi rasa terkejutnya, si pemuda tersenyum lalu palingkan kepala ke samping dari mana tadi suara teguranterdengar. Senyum si pemuda pupus seketika. Malah kini mulutnya menganga dengan mata terpentang besar.
Tidak jauh dari batang pohon di mana dia bersandar, tampak tegak satu sosok tubuh. Orang itu tegak di atas kakinya dengan kepala lurus menghadap si pemuda. Yang membuat si pemuda tercengang bahkan kuduknya meremang, orang yang baru saja perdengarkan teguran dan kini tahu-tahu tegak tidak jauh dari tempatnya itu mengenakan pakaian warna hitam kebesaran. Jelas kalau pakaian yang dikenakan seolah bukan miliknya sendiri, apalagi pada beberapa tempat tampak bekas ceceran darah yang telah mengering!
Tapi bukan pakaian itu saja yang membuat si pemuda laksana hendak meloncat terbang. Pada anggota tubuhnya yang terlihat, anggota tubuh itu hanya merupakan kerangka tanpa daging sama sekali! Sepasang matanya menjorok masuk dalam tulang rongga yang dalam. Tapi dua bola mata itu besar dan bersinar tajam! Rambutnya awut-awutan menutupi sebagian wajahnya yang hanya merupakan tengkorak!
Si pemuda yang duduk di bawah pohon menghela napas seraya membatin. "Bagaimana manusia seperti ini masih bisa hidup malah bisa membentak?! Aku yakin di balik pakaian kebesaran itu juga hanya merupakan kerangka-kerangka tanpa daging! Siapa makhluk ini sebenarnya?! Atau jangan-jangan ini tipuan pandang mataku saja..."
Si pemuda usap-usap sepasang matanya. Lalu sambil disorongkan ke depan, sepasang matanya dipentangkan besar-besar. "Betul! Pandang mataku tidak mengada-ada! Ini asli..." gumam si pemuda lalu ragu-ragu dia pandangi sekujur tubuh orang di hadapannya.
"Di balik keangkeran sosoknya, jelas orang atau setan ini menyimpan suatu kekuatan hebat! Kedatangannya yang tidak bisa ku siasati adalah salah satu bukti!"
Sementara itu begitu si pemuda berpaling dan sorongkan mukanya ke depan seolah ingin meyakinkan pandangan matanya, orang yang dipandang tertawa bergelak! Tapi laksana direnggut tangan setan, orang ini putuskan selakan tawanya. Tulang mulutnya bergerak membuka.
"Ternyata waktu yang memisahkan kita hanya lima hari!"
Si pemuda kernyitkan dahi lalu bergerak bangkit. "Heran... Sepertinya dia mengenalku dan pernah bertemu! Padahal jangankan bertemu, dalam angan pun aku belum pernah membayangkan orang bertampang begini!" membatin si pemuda lalu angkat bicara. Dia coba tersenyum meski tengkuknya terasa dingin.
"Kau tak salah bicara dengan orang?!"
Orang yang ditanya dan bukan lain adalah Setan Liang Makam kembali tertawa. "Lima malam yang lalu aku berkata. Kau bisa berlari sampai membelah bumi. Kau bisa menyelam sampai ke dasar laut! Tapi jangan harap kau temukan tempat sembunyi dari jangkauan tanganku!" Setan Liang Makam kembali gerakkan kepalanya mendongak.
"Ternyata kau hanya punya kesempatan lima hari! Dan itu sebenarnya sudah terlalu lama untukmu!"
Si pemuda di hadapan Setan Liang Makam makin heran. Dia buka mulut lagi. "Kau tak salah bicara dengan orang?!"
Setan Liang Makam luruskan kepalanya. Sepasang matanya menatap liar. Pelipis kiri kanannya bergerak-gerak. "Manusia! Sebenarnya aku tidak akan memberikan ampunan bagi selembar nyawamu! Tapi mengingat pertolonganmu tempo hari, niatku ku ubah! Nyawamu ku perpanjang. Tapi kembalikan Kembang Darah Setan padaku!"
Si pemuda celingukan. "Jangan-jangan dia bicara dengan orang di sekitar ku yang tidak bisa kulihat. Tapi kalau benar, mengapa bola matanya memandang ke arah ku?! Orang ini benar-benar aneh. Dia bicara yang tak ku mengerti juntrungannya! Kembang Darah Setan. Hem... Baru kali ini aku mendengar nama itu! Apa itu nama seorang gadis cantik?! Ah... Itu akan ku tanyakan nanti. Sekarang aku ingin tahu, apakah orang ini bicara denganku..."
Setelah menatap agak lama, si pemuda buka mulut lagi. "Kau bicara denganku?!"
"Joko Sableng! Jangan membuat aku mengubah niat!" teriak Setan Liang Makam.
Si pemuda kali ini benar-benar terkejut. Malah kalau tidak cepat sadar, kedua kakinya akan tersurut mundur. "Aneh... Dia tahu siapa namaku! Padahal dalam mimpi pun aku tak pernah berkenalan dengannya! Atau jangan-jangan dia salah lihat dengan orang yang sama wajahnya denganku! Tapi... Namanya...?! Apa mungkin ada orang yang sama rupa dan namanya denganku?!"
Setelah menenangkan gejolak dalam dadanya si pemuda yang bukan lain adalah Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko Sableng berucap. "Sahabat! Harap kau tenangkan hati. Pandanglah aku baik-baik! Aku punya dugaan kau salah bicara dengan orang..."
Habis berkata begitu, Joko busungkan sedikit dadanya. Lalu perlahan-lahan dia putar tubuhnya seolah ingin tunjukkan pada orang siapa dia adanya dari muka serta belakang. Begitu Joko tegak menghadap Setan Liang Makam kembali, murid Pendeta Sinting ini terperangah. Orang dihadapannya bukannya memandang ke arahnya, melainkan tengadah!
"Kau kira bisa mengelabui ku, hah?! Cepat serahkan Kembang Darah Setan padaku! Dan kau boleh pergi! Tapi ingat, jangan sampai kau bertemu muka lagi denganku! Jika itu terjadi, maka saat itulah kematianmu datang!"
Setan Liang Makam gerakkan tangannya ke depan. Telapak tangannya yang hanya berupa kerangkatulang membuka dengan punggung di bawah. "Jangan kau berlagak membanyol di depanku! Cepat serahkan!"
Joko angkat kedua tangannya ke dekat telinga kanan kirinya. Telinganya digosok-gosok dengan kepala digelengkan. "Sahabat! Boleh aku tanya?!"
"Kalau itu syarat kembalinya Kembang Darah Setan, aku akan menjawab meski tanpa itu, mudah bagiku mengambilnya bahkan dengan nyawamu sekalian!" ujar Setan Liang Makam.
Joko tak hiraukan ancaman orang. Dia cepat buka mulut bertanya. "Siapa kau sebenarnya?!"
"Orang hendak mampus terkadang ucapannya aneh-aneh!" kata Setan Liang Makam. "Tapi mengingat pertolonganmu, dengan senang hati aku akan menjawab! Aku Setan Liang Makam!"
"Hem... Aku tadi masih ragu-ragu. Aku khawatir memang penglihatanku yang lupa. Tapi kini aku jadi yakin. Karena telingaku pun baru pertama kali ini mendengar nama itu! Tapi apa gunanya keyakinan ini kalau dia benar-benar seolah telah mengenalku?! Kalau hanya mengenal tak jadi apa. Yang membuatku deg-degan, dia meminta barang yang bukan saja baru ku dengar, tapi juga belum ku mengerti bagaimana bentuknya! Kembang Darah Setan...!"
"Cepat serahkan padaku!" sahut Setan Liang Makam begitu mendengar Joko menggumam secara tak sadar.
"Kembang Darah Setan!" kata Joko. "Apa itu berupa gadis cantik?!"
Setan Liang Makam tidak perdengarkan sahutan, Hanya sepasang matanya yang makin membelalak liar. Tulang sekujur raut wajahnya bergerak-gerak. Tangannya yang diulurkan ke depan ditarik pulang.
Melihat gelagat, Joko buru-buru sambung ucapannya. "Sahabat! Aku bukan bermaksud bercanda! Karena sebenarnya aku tak mengerti apa itu Kembang Darah Setan! Biasanya yang memakai kembang adalah seorang gadis berparas cantik..."
"Joko Sableng! Waktuku tidak banyak! Kau tahu, aku masih punya urusan dengan seseorang!" ujar Setan Liang Makam. Orang ini diam-diam sebenarnya coba menindih perasaan geram dan gelisah. Sejak tadi dia terus membatin. "Kekuatanku memang telah pulih. Namun apakah aku mampu menghadapinya jika harus bentrok dengan Kembang Darah Setan di tangannya?! Tapi persetan. Aku telah membunuh beberapa orang hanya karena mencari tahu di mana manusia itu berada! Kini dia sudah di depan mataku!"
"Sahabat Setan Liang Makam! Harap kau ketahui, kau sebut namaku sudah benar! Yang tidak benar, kau meminta Kembang Darah Setan padaku! Juga aku tidak pernah memberi pertolongan padamu! Seumur-umur aku baru kali ini bertemu denganmu!"
Mendengar keterangan murid Pendeta Sinting, Setan Liang Makam tertawa terbahak-bahak. Lalu berkata. "Aku terima ucapan gilamu itu! Bahkan sekalipun kau tidak mengaku sebagai Joko Sableng! Asal saja kau serahkan benda milikku itu!"
"Gawat! Urusan ini tidak main-main! Dia rupanya tidak bergurau!" kata Joko dalam hati. "Herannya bagaimana semua ini bisa terjadi?!"
"Sahabat Setan Liang Makam!" kata Joko pada akhirnya setelah menemui jalan buntu memikir apa yang kini dihadapi. "Bagaimana kau bisa mengenalku sebagai Joko Sableng?!"
"Pertanyaan gila apa yang kau ucapkan, Manusia?!" bentak Setan Liang Makam. Kesabaran orang ini rupanya tidak bisa ditahan lagi. "Kalau kau tidak mau serahkan baik-baik, berarti aku tak usah menunggu mencabut nyawamu sampai kita bertemu lagi!"
"Tahan!" ujar murid Pendeta Sinting melihat urusan semakin runyam. "Kau tidak sedang bercanda, bukan?!"
"Kau bernasib buruk berani bermain-main denganku, Manusia!" hardik Setan Liang Makam. Kedua tangannya terangkat lalu serta-merta disentakkan ke depan.
Wuuutt! Wuuutt!
Dua gelombang dahsyat berkelebat angker. Joko sempat terkesiap. Dia buru-buru melompat ke samping selamatkan diri. Hingga dua gelombang angin menghantam beberapa jajaran pohon di seberang sana. Lima pohon agak besar langsung berderak tumbang!
Setan Liang Makam beliakkan sepasang bola matanya. Saat lain sosoknya melesat dan tahu-tahu telah tegak di hadapan Joko dengan tangan kiri kanan langsung lepaskan pukulan ke arah kepala dan dada. Karena tak ada kesempatan lagi untuk berkelebat menghindar, sementara pukulan telah datang menghajar, murid Pendeta Sinting angkat kedua tangannya menyongsong kedua tangan Setan Liang Makam.
Takkk! Takkk!
Dua benturan keras terdengar. Masing-masing orang sama tersurut satu tindak. Joko sempat membelalak hampir saja tidak percaya dengan pandangan matanya. Kerangka kedua tangan yang baru saja berbenturan dengan kedua tangannya bukannya berderak patah, sebaliknya membuat kedua tangannya bergetar keras!
Di lain pihak, diam-diam Setan Liang Makam juga sedikit terkesima. Beberapa hari yang lalu, dia memang sempat membunuh beberapa orang karena pertanyaannya tak di jawab orang. Namun saat itu orang yang dibunuh tak melakukan perlawanan berarti karena sudah ciut nyalinya melihat tampang angkernya. Hingga dia tak bisa mengukur sampai di mana kekuatan kedua tangannya.
Dia memang merasa kalau pukulan jarak jauh yang dilepas tidak mengalami perubahan meski kedua tangannya telah berubah menjadi kerangka tanpa daging. Tapi dia masih merasa sangsi apakah kedua tangannya masih mampu bertahan jika berbenturan langsung. Saat dia berkelebat dan lancarkan pukulan jarak jauh ke arah kepala dan dada Joko, diam-diam sebenarnya Setan Liang Makam masih dilanda bimbang.
Namun begitu benturan benar-benar terjadi, dia merasa girang. Karena apa yang ditakutkan tidak terjadi. Padahal dia tahu, jika si pemuda menangkis kedua tangannya dengan tenaga dalam kuat. Mungkin untuk yakinkan kenyataan, untuk beberapa saat Setan Liang Makam memeriksa kedua tangannya yang baru saja bentrok.
"Hem... Hilangnya daging akibat terkubur di tempat terkutuk itu nyatanya tidak membawa pengaruh apa-apa pada kedua tangan ku! Hem..."
Setan Liang Makam arahkan pandangannya pada murid Pendeta Sinting yang saat itu tengah tegak dengan dada di buncah berbagai hal yang tak bisa dijawab. Melihat kedua tangannya tidak mengalami cedera, Setan Liang Makam makin percaya diri. Hingga tanpa menunggu lebih lama lagi, dia melangkah maju.
"Sahabat!" ujar murid Pendeta Sinting. "Kita bicara baik-baik agar urusan yang tak tentu juntrungannya ini jelas bagi kita berdua! Kuharap kau jujur mengatakan sebenarnya yang terjadi!"
"Terlambat, Manusia! Kita baru bicara setelah kau berikan Kembang Darah Setan padaku! Lagi pula aku perlu beberapa keterangan dari mulutmu! Tiga puluh enam tahun terkubur membuatku buta akan apa yang tengah terjadi!"
"Astaga!" gumam Joko dalam hati. "Dia bilang tiga puluh enam tahun terkubur. Berarti aku angin pun belum jadi! Lalu bagaimana mungkin tahu-tahu dia mengenalku dan minta Kembang Darah Setan padaku?! Aku jadi bingung!" Murid Pendeta Sinting menarik napas panjang. Seolah masih menduga kalau orang salah lihat, Joko berucap.
"Sahabat! Kau benar-benar yakin pernah jumpa denganku?!"
"Jahanam! Apa ada dua manusia yang nama dan tampangnya sama persis, hah?!"
"Kau tadi bilang bertemu aku lima hari yang lalu. Di mana?!"
"Hem... Justru aku yang harus tanya padamu. Dari mana kau tahu rahasia Kampung Setan?! Dari mana kau tahu aku bisa selamat pada hari tiga belas purnama ketiga setelah aku masuk dalam tempat celaka itu selama tiga belas ribu tiga puluh tiga hari?!" Setan Liang Makam balik ajukan tanya, membuat murid Pendeta Sinting makin bingung.
"Sialan betul! Urusan apa sebenarnya yang tengah kuhadapi ini?!" ujar Pendekar 131 dalam hati seraya perhatikan orang di hadapannya berlama-lama. "Aku masih yakin benar, selama hampir satu purnama ini aku berdiam diri di Jurang Tlatah Perak. Turut perintah Eyang Pendeta Sinting, aku harus menemuinya tiga hari setelah purnama peristiwa di Kedung Ombo. Tapi ternyata Eyang Guru tidak ada di tempatnya!
Aku menunggu hingga hampir satu purnama dan ketika kusadari Eyang Guru tidak akan muncul dalam hari-hari terakhir ini, terpaksa aku hendak mencarinya. Belum sampai satu hari di luar, tahu-tahu ada orang yang mengatakan bertemu denganku lima hari yang lalu! Lalu meminta benda yang tak ku mengerti! Malah kini ditambah pertanyaan tentang sebuah Kampung Setan!"
Joko gelengkan kepalanya berulang-ulang. Gerakan kepala murid Pendeta Sinting tampaknya ditanggapi lain oleh Setan Liang Makam. Orang ini lantas buka suara.
"Bagus! Aku tahu bagaimana caranya agar mulutmu bicara!"
Habis berkata begitu, Setan Liang Makam jejakkan kaki kirinya. Sosoknya doyong ke depan. Saat lain tiba-tiba sosoknya berputar di udara. Lalu kedua kakinya terangkat. Dengan satu sentakan, sekonyong- konyong di depan hidung Joko telah berkelebat sepasang kaki tanpa daging!
Karena masih tenggelam dengan urusan pelik yang kini dihadapi, Joko sudah sangat terlambat untuk menghadang tendangan kedua kaki orang. Hingga dia hanya berkelit dengan tarik tubuhnya kebelakang. Namun Setan Liang Makam tidak mau kehilan- gan sasaran. Apalagi dia tahu kalau lawan sudah tidak sempat menghadang gerakannya. Hingga begitu lawan menarik tubuhnya ke belakang, Setan Liang Makam sentakkan sekali lagi tubuhnya.
Wuuttt! Bukkk! Bukkk!
Sosok murid Pendeta Sinting terpental sampai beberapa langkah. Terhuyung-huyung dan hampir saja roboh kalau dia tidak cepat kerahkan tenaga dalam untuk kuasai diri. Joko rasakan dadanya dilanggar hantaman dahsyat, hingga untuk sesaat mulutnya megap-megap. Jalan darahnya laksana tersentak-sentak. Saat dia melirik, sepasang matanya mendelik. Pakaian bagian dadanya berlobang-lobang!
Dada murid Pendeta Sinting mulai bergolak. Dia merasa tidak pernah berurusan dengan orang. Kini bukan saja orang itu mau diajak bicara baik-baik, tapi sudah jelas-jelas menginginkan selembar nyawanya!
"Setan Liang Makam!" teriak Joko. "Setan sekalipun punya batas kesabaran! Apalagi manusia sepertiku! Aku telah bicara baik-baik, tapi kau malah bicara tak karuan! Sekarang apa maumu?!"
Setan Liang Makam tertawa bergelak mendengar ucapan murid Pendeta Sinting. "Ternyata kau bukan saja pandai menghitung hari menunggu kesempatan hari bebas ku! Kau juga pintar bercanda dan berpura-pura! Tapi saat ini kau mengajak bercanda pada orang yang salah!"
Setan Liang Makam dongakkan kepala. Tangan kirinya terangkat. Jari telunjuknya tepat menunjuk ke arah Pendekar 131. "Aku mau Kembang Darah Setan sekaligus nyawamu!"
Ucapan Setan Liang Makam belum selesai, tangan kanannya sudah bergerak berkelebat. Tangan kirinya yang tadi menunjuk cepat pula disentakkan ke depan. Murid Pendeta Sinting yang tidak mau lagi mengulangi kesalahan tidak tinggal diam. Kedua tangannya serta-merta didorong ke depan.
Bummm!
Terdengar ledakan tatkala gelombang yang melesat dari kedua tangan Setan Liang Makam bertemu dengan gelombang angin yang menyambar dari kedua tangan Joko. Baik Setan Liang Makam maupun Pendekar 131 sama tidak bergeming dari tempat masing-masing. Hanya sosok mereka yang tampak bergetar. Tanda kalau keduanya sudah siapkan diri. Setan Liang Makam angkat kedua tangannya lurus ke atas kepala dengan mengepal. Terdengar suara berkeretekan. Sepasang bola matanya mendelik.
Di seberang, Pendekar 131 tidak mau berlaku ayal. Dia segera pula kerahkan tenaga dalam pada kedua tan- gannya siapkan pukulan 'Lembur Kuning', karena menduga Setan Liang Makam akan lepaskan pukulan andalannya. Tiba-tiba Setan Liang Makam perdengarkan suara menggembor keras. Kedua tangannya disentakkan!
BAB 6
PENDEKAR 131 sempat kerutkan dahi dan buru-buru tarik pulang kedua tangannya yang hendak lepaskan pukulan 'Lembur Kuning'. Di depan sana, Setan Liang Makam sentakkan kedua tangannya. Bukannya lepaskan pukulan dan menyentak ke depan, melainkan orang ini sentakkan kedua tangannya ke bawah hingga kedua tangannya menekuk!"Aneh! Apa sebenarnya kemauan orang ini?! Jangan-jangan dia memang..." kata hati murid Pendeta Sinting terputus. Tanah tempat di mana kedua kakinya berpijak tiba-tiba bergetar hebat. Belum tahu apa yang terjadi, kedua kakinya laksana disedot keku- atan dahsyat dari dalam tanah, hingga di lain kejap tahu-tahu kedua kakinya telah masuk ke dalam tanah sebatas betis!
Maklum akan gelagat tidak baik, buru-buru Joko gerakkan kedua bahunya untuk melesat keluar. Namun saat bersamaan tiba-tiba terdengar deruan angker. Memandang ke depan, Joko tersentak. Dari arah depan dua gelombang dahsyat telah menerjang ganas! Malah bersamaan itu sosok Setan Liang Makam telah berkelebat dengan kedua tangan siap menghantam!
"Jangkrik! Gerakannya tadi hanya tipuan belaka!" gumam Joko. Lalu cepat dorong kedua tangannya lepas pukulan 'Lembur Kuning'.
Satu cahaya kuning membawa gemuruh dah- syat serta hawa panas melesat menghadang gelombang yang dilepas Setan Liang Makam. Terdengar dentuman menggelegar. Gelombang dan sinar kuning serta-merta bertabur menghantam dahan serta ranting jajaran pohon di sekitar tempat itu. Batang-batang pohon bergetar keras dan beberapa di antaranya berdebam tumbang setelah tanahnya rengkah dan akar-akarnya tercabut.
Kelebatan sosok Setan Liang Makam tertahan di udara. Namun orang ini segera lipat gandakan tenaga dalamnya meski dia merasakan sekujur anggota tubuhnya bergetar dan panas laksana dipanggang. Hingga tak lama kemudian, sosoknya berkelebat lagi menerjang ke arah murid Pendeta Sinting.
Di lain pihak, sosok Pendekar 131 tampak bergoyang-goyang dan bergetar hebat. Dia cepat berusaha sentakkan kedua kakinya agar keluar dari dalam tanah. Namun belum sampai dia gerakkan kaki, sosok Setan Liang Makam telah satu langkah di hadapannya dengan kedua tangan lepaskan hantaman deras! Joko tak mau ambil risiko. Laksana kilat kedua tangannya segera diangkat untuk menyongsong hantaman kedua tangan lawan.
Bukkk! Bukkk!
Kedua tangan masing-masing orang sama terpental balik. Sosok Setan Liang Makam tersurut empat langkah ke belakang dengan lutut hampir saja menekuk. Tulang mulutnya terbuka perdengarkan suara tertahan. Meski dari mulutnya tidak terlihat aliran darah, namun dari sikapnya jelas kalau orang ini telah terluka bagian dalam meski tidak begitu parah!
Di seberang depan, sosok Joko tercabut dari dalam tanah dan tergontai-gontai mundur sampai beberapa langkah. Dadanya bergetar keras dan kedua tangannya lunglai ke bawah laksana tak bertenaga. Dari mulutnya tampak memercik darah. Meski hanya sedikit, tapi jelas menunjukkan kalau bentroknya pu- kulan dan tangan telah mengakibatkan luka dalam.
"Daripada melayani orang yang urusannya membuatku pusing, lebih baik aku segera pergi dari sini!" kata Joko dalam hati. Murid Pendeta Sinting perhatikan Setan Liang Makam sejurus. Saat lain sosoknya berputar lalu berkelebat tinggalkan tempat itu.
Setan Liang Makam ternyata tidak berdiam diri. Sebelum Joko berkelebat lebih jauh, dia juga berkelebat memotong arah kelebatan Joko dan tahu-tahu sosoknya telah tegak menghadang di depan murid Pendeta Sinting.
"Apa boleh buat! Hal ini terpaksa kulakukan dari pada cari penyakit!" desis Joko lalu serta-merta hantamkan kedua tangannya ke tanah dua langkah di hadapan Setan Liang Makam.
Bummm!
Tanah di depan Setan Liang Makam langsung rengkah dengan tanah berhamburan ke udara menutupi pemandangan. Setan Liang Makam yang menduga diserang lawan tidak tinggal diam. Kedua tangannya pun menghantam kedepan.
Bummm!
Untuk kedua kalinya terdengar ledakan dahsyat. Pemandangan makin pekat. Dan Setan Liang Makam rupanya tahu gelagat orang. Hingga begitu pemandangan tertutup hamburan tanah, orang ini tidak menunggu. Dia cepat melesat menembus kepekatan tanah. Namun tak berapa lama kemudian terdengar suara makian panjang pendek Setan Liang Makam.
"Jahanam bangsat! Kau saat ini bisa lolos! Tapi ucapanku tetap berlaku! Kau tak akan bisa sembunyi dari jangkauan tanganku!"
Setan Liang Makam tegak dengan tubuh bergetar keras dan kedua tangan mengepal. Dia tidak peduli tubuhnya terkena hamburan tanah yang luruh. Satu kejutan membuat Setan Liang Makam pentangkan bola matanya besar-besar. Telinganya menangkap suara orang berkata.
"Kulihat kau sedang mengalami keadaan tidak enak! Mau berbagi keterangan denganku?!"
"Suaranya beda. Tapi siapa tahu manusianya sama?!" desis Setan Liang Makam. Dia cepat putar diri karena terdengarnya suara datang dari arah belakangnya. Kedua tangan diangkat tinggi siap lepaskan pukulan.
Namun karena hamburan tanah belum benar- benar sirna, Setan Liang Makam untuk beberapa saat menunggu. Begitu hamburan tanah sirna dan pemandangan terang, Setan Liang Makam mendelik tak berkesip memandang ke depan. Saat yang sama mulutnya perdengarkan bentakan keras.
"Katakan siapa kau?!"
Kira-kira sejarak lima belas langkah dari tempat tegaknya Setan Liang Makam, tampak berdiri seorang laki-laki berusia agak lanjut mengenakan pakaian putih. Sepasang matanya besar tajam. Kumisnya lebat juga berwarna putih. Rambutnya panjang sebahu telah berwarna putih pula. Sejenak laki-laki berambut dan berkumis putih ini memandang tajam pada Setan Liang Makam. Baik paras maupun sikapnya orang ini tak menampakkan rasa terkejut sama sekali meski saat ini Setan Liang Makam pasang tampang angker, apalagi baru saja dia kehilangan orang yang dicari.
"Mau sedikit berbagi keterangan denganku?!" Bertanya laki-laki di seberang.
"Keparat! Aku tanya siapa kau?! Kalau kau tidak segera jawab, aku tak ada beban mencabut nyawamu!" Sambil mengancam, Setan Liang Makam arahkan pandangannya ke kiri kanan.
Orang yang diancam angkat bahu seraya tersenyum. Namun pandang matanya menyengat tajam. Sesaat kemudian dia buka mulut. "Jangan terlalu keras bicara, Kawan! Aku hanya seorang yang kebetulan lewat. Tak ada maksud hati untuk ikut campur urusanmu! Aku hanya menawarkan berbagi keterangan denganmu! Itu pun kalau kau tidak keberatan...!"
"Bangsat! Kau terlalu banyak buka mulut! Aku tanya sekali lagi siapa kau?!" hardik Setan Liang Makam.
Orang di seberang alihkan pandangannya kejurusan lain. "Aku Kiai Laras!"
Setan Liang Makam dongakkan kepala. Kedua tangannya yang tadi diangkat tinggi perlahan-lahan diturunkan. "Hem...bRasa-rasanya aku pernah menden-lgar nama yang baru dikatakan manusia itu! Tapi aku lupa, siapa dan di mana! Gara-gara kuburan terkutuk itu, aku jadi lupa segalanya! Sampai-sampai aku lupa apa nama tempat tinggal orang yang harus kubunuh! Sialan benar!" Setan Liang Makam diam-diam berkata sendiri dalam hati. Lalu arahkan pandang matanya ke depan.
"Manusia!" bentak Setan Liang Makam. "Dari ucapanmu tadi, kurasa kau telah tahu apa yang baru saja terjadi! Kuperintahkan kau menyingkir dari sini!"
"Hem... Jadi kau keberatan jika kuajak berbagi keterangan denganku?!"
"Jahanam! Keterangan apa yang bisa kau beri- kan padaku, hah?! Kau tahu apa soal aku?! Jangan mencari mampus tak berguna!"
Mungkin karena masih tenggelam dalam kecewa, Setan Liang Makam sampai lupa kalau saat ini dia sebenarnya membutuhkan keterangan dari orang lain, karena tiga puluh enam tahun bukanlah waktu yang pendek. Segalanya bisa berubah bahkan mungkintak bisa dikenali lagi.
"Aku tidak tahu apa urusanmu dengan pemuda yang tadi lolos dari kejaran mu. Tapi aku tahu betul siapa pemuda itu sebenarnya!" kata orang yang sebutkan diri sebagai Kiai Laras.
"Hem... Begitu?! Dengar baik-baik, Manusia! Kau tak akan kubiarkan tinggalkan tempat ini sebelum memberi keterangan tentang pemuda laknat tadi! Kau dengar?!"
"Hem... Sebenarnya itu tidak adil!" ujar Kiai Laras. "Tapi untukmu aku dengan senang hati akan berikan keterangan! Hanya saja aku tidak akan berikan keterangan pada orang yang tidak kukenal siapa namanya..."
"Aku Setan Liang Makam!"
"Tunggu!" Tiba-tiba Kiai Laras menyahut cepat. "Rasanya baru kali ini aku dengar gelarmu itu! Apakah kau seorang tokoh yang baru saja muncul dalam kalangan dunia persilatan?!"
Setan Liang Makam tertawa panjang. "Dunia persilatan bukan barang baru bagiku! Kalau selama ini orang belum kenal gelarku, karena aku baru menyandangnya lima hari yang lalu!"
"Hem... Pasti kau baru saja melakukan sesuatu yang luar biasa! Keadaan tubuhmu lain dengan kebanyakan orang..." kata Kiai Laras dengan tersenyum.
"Jahanam! Ini bukan karena kehendakku! Ada tangan manusia yang membuatku jadi begini rupa! Dan kemunculanku saat ini salah satunya adalah mencari manusia yang membuat tubuhku jadi begini ini!"
"Ah... Kau mau katakan siapa orang yang kau cari itu?!"
"Sialan! Kau bertanya atau sedang menyelidik, hah?!" hardik Setan Liang Makam.
"Jangan salah sangka! Aku hanya bertanya tanpa maksud menyelidik. Siapa tahu aku bisa memberimu keterangan! Melihat kau tidak kenal betul dengan pemuda yang lolos dari tanganmu tadi, aku menduga kau telah sekian lama tidak muncul di kalangan dunia persilatan walau kau menyatakan dunia persilatan bukanlah barang baru bagimu!"
"Joko Sableng! Apa keparat itu begitu dikenal dalam dunia persilatan?!"
"Saat ini siapa pun pasti mengenalnya! Dialah Pendekar Pedang Tumpul 131!"
Setan Liang Makam tertawa pendek. "Semua orang boleh mengenalnya! Jahanam itu boleh bergelar siapa saja! Tapi jangan kira aku kesulitan menekuk tubuhnya!"
Kiai Laras anggukkan kepala. "Masih mau katakan siapa orang yang kau cari selain Joko Sableng?!" tanya sang Kiai.
"Itu urusanku! Aku bisa mencari dan menemu- kan sendiri! Dan siapa pun yang berani menjamahnya, itu pertanda nasib buruk baginya!" Setan Liang Makam hentikan ucapannya sejenak sebelum akhirnya melanjutkan. "Sekarang aku ingin tahu siapa sebenarnya pemuda keparat Joko Sableng itu!"
"Kau pernah dengar tentang cerita kitab sakti bernama Kitab Serat Biru dan Kitab Sundrik Cakra?!"
"Dalam dunia persilatan, beredarnya cerita tentang kitab sakti bukan hal baru lagi! Tapi selama ini aku belum bisa buktikan kebenaran cerita itu!"
"Kau pernah dengar seorang tokoh bergelar Pendeta Sinting dari Jurang Tlatah Perak?!"
"Namanya pernah singgah di telingaku. Tapi aku belum pernah lihattampangnya!"
"Kau pernah dengar tentang kegegeran di Pulau Biru dan di Kedung Ombo?!"
"Sialan! Kau malah yang balik bertanya!" hardik Setan Liang Makam. "Aku tidak pernah dengar segala macam kegegeran!"
Kiai Laras tersenyum. "Dengar, Kawan! Joko Sableng adalah anak manusia yang berhasil menda- patkan kitab sakti Kitab Serat Biru dan Kitab Sundrik Cakra! Sementara Pendeta Sinting adalah gurunya! Menurut kabar yang beredar, banyak tokoh kelas tinggi harus menemui ajal di tangannya saat terjadi kegegeran di Pulau Biru serta Kedung Ombo!"
"Hem... Rupanya banyak juga pengetahuanmu!Siapa kau sebenarnya?!" bertanya Setan Liang Makam.
Kiai Laras gelengkan kepala. "Aku hanyalah orang biasa. Kalaupun aku mengetahui perihal pemuda itu, karena saat ini siapa pun pasti mengetahuinya juga! Karena cerita tentang anak manusia itu sudah jadi buah bibir semua orang!"
"Hem... Rupanya telah banyak perubahan semenjak aku terkubur dalam makam celaka itu!" kata Setan Liang Makam dalam hati lalu pandangi Kiai Laras dengan seksama.
"Manusia ini tidak berkata dusta! Dia bukan orang biasa! Tampang dan sikapnya tidak membayangkan rasa takut sama sekali saat bertemu denganku! Kedatangannya juga tak dapat kuketahui! Hem... Seandainya dia tidak memberi keterangan tentang pemuda itu, ingin sekali aku menggebuknya!"
Setan Liang Makam dongakkan kepala. Tanpa buka suara, laki-laki yang anggota tubuhnya hanya berupa kerangka tanpa daging ini balikkan tubuh. Lalu terdengarlah suaranya.
"Lekas angkat kaki dari sini!"
Kiai Laras belalakkan sepasang matanya. Sebelum orang ini sempat buka suara, Setan Liang Makam telah sambung ucapannya. "Aku tidak akan mengatakan sekalipun pada setan orang yang kucari!"
Sosok Kiai Laras bergetar keras tanda orang ini menindih perasaan geram. "Kalau saja aku tidak membutuhkan orang yang selama ini dia cari, sudah sejak tadi-tadi ku pecah tulang mulutnya!"
"Manusia!" bentak Setan Liang Makam dengan suara bergetar keras. "Kalau kau masih disitu, aku tak segan membuatmu angkat kaki tanpa nyawa!"
Kiai Laras menggumam tak jelas. Kejap lain orang ini membuat gerakan berputar lalu berkelebat tinggalkan tempat itu. Tanpa balikkan tubuh, Setan Liang Makam telah tahu kalau orang di belakangnya telah berkelebat pergi.
"Hem... Dugaanku makin kuat. Manusia yang katakan diri sebagai Kiai Laras bukan orang biasa. Dia ingin mengorek keterangan dariku tentang orang yang kucari dan harus kubunuh! Jangan-jangan..." Setan Liang Makam tidak teruskan kata hatinya. Sebaliknya dia cepat putar diri. Bola mata liar memandang berke- liling. "Astaga! Jangan-jangan dia tahu rahasia Kampung Setan! Apa rahasia itu telah muncul menebar dalam rimba persilatan?! Terkutuk! Kalau hal itu benar. Dan Kembang Darah Setan masih belum bisa ku genggam, celakalah aku! Pemuda jahanam itu harus kutemukan dahulu! Tidak bertemu dengannya, gurunya pun jadilah! Sang murid pasti tidak akan tinggal diam kalau gurunya dalam kesulitan!"
Setan Liang Makam mendongak. "Pendeta Sinting... Jurang Tlatah Perak!" Setan Liang Makam membuat gerakan satu kali. Sosoknya melesat tinggalkan tempat itu laksana dikejar setan!
BAB 7
MURID Pendeta Sinting berlari tanpa pedulikan kanan kiri. Yang terpikir dalam benaknya adalah menghindar sejauh mungkin dari orang yang baru pertama kali ditemuinya dan sebutkan diri dengan gelar Setan Liang Makam. Dia yakin benar, bahwa orang itu baru pertama kali dijumpai. Nama gelarnya juga baru didengarnya. Namun yang membuatnya tak habis pikir dan bingung, Setan Liang Makam telah mengenal dirinya! Meminta Kembang Darah Setan dan bertanya tentang Kampung Setan! Nama-nama yang juga baru didengarnya.Ketika telah berlari sejarak dua ratus tombak, baru Joko memperlambat larinya. Selain berusaha mencari tempat berlindung, dia juga merasakan dadanya agak sesak. Ini akibat bentrokan dengan Setan Liang Makam. Walau tidak mengalami luka dalam yang cukup parah, namun tak urung mempengaruhi jalan pernafasannya.
Setelah merasa yakin langkahnya tidak diikuti orang, Pendekar 131 hentikan larinya. Lalu buru-buru menyelinap di balik bongkahan tunggul pohon kelapa besar yang banyak bertebaran di sekitar tempat mana dia kini berada. Joko segera henyakkan pantat dengan punggung bersandar. Sepasang matanya dipejamkan lalu menghela napas dalam-dalam.
"Anak muda! Kau kira tempat ini aman untuk berlindung?!" satu suara mendadak terdengar.
Paras wajah murid Pendeta Sinting seketika berubah tegang. Helaan nafasnya terputus. Meski dia yakin suara yang baru saja terdengar bukan suara Setan Liang Makam, namun tak urung membuatnya tersentak kaget. Laksana disentak setan, Joko cepat berpaling.
Dari bongkahan tunggul pohon kelapa bertaut tiga buah, satu raut wajah milik seorang laki-laki berusia agak lanjut muncul menghadap ke arahnya. Karena orang ini juga duduk bersandar, murid Pendeta Sinting belum bisa melihat bagaimana sosoknya. Namun halini sudah membuat Joko merasa agak lega. Karena yang muncul bukanlah raut SetanLiang Makam.
"Apa dia memang telah berada di situ sebelum aku datang?! Tapi mengapa dia seolah tahu aku mencari tempat sembunyi?!" diam-diam Joko membatin sambil memperhatikan raut wajah orang di seberang.
Raut wajah orang tua di seberang bergerak ke jurusan lain lalu terdengar dia bersuara. "Anak muda! Kau benar-benar seorang yang sangat beruntung!"
Pendekar 131 kernyitkan kening. "Jangkrik! Urusan gila apa lagi ini?! Dengan orang tua ini pun aku rasa baru jumpa pertama kali! Anehnya, dia seolah sudah mengenalku dan mengatakan aku beruntung!"
Belum sampai Joko buka mulut bertanya, orang tua di seberang sana telah berkata tanpa berpaling. "Kalau tak salah, bukankah kau Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko Sableng murid seorang tokoh dari Jurang Tlatah Perak bergelar Pendeta Sinting?!"
Murid Pendeta Sinting tidak menyahut. Dia rupanya masih terkesima dengan ucapan orang. Dan diam-diam dadanya berdebar. Dia rupanya dapat menangkap apa yang akan dibicarakan orang selanjutnya.
"Dia mengatakan aku beruntung. Jangan-jangan maksud ucapannya ini masih ada kaitannya dengan pembicaraan Setan Liang Makam..."
"Anak muda! Kau tahu apa kegunaan barang pusaka yang ada di tanganmu?!" si orang tua di seberang ajukan tanya.
"Barang pusaka?! Barang pusaka apa?!" gumam Joko dengan kepala menggeleng.
"Orang Tua! Aku tidak mengerti juntrungan bicaramu! Siapa kau?!"
Orang tua di seberang sana putar tubuh. Kini orang tua itu tepat menghadap ke arah Joko. Dan Joko dengan jelas dapat melihat siapa adanya orang. Dia adalah seorang laki-laki berusia lanjut. Rambutnya putih panjang. Raut wajahnya telah disamaki kerut-kerutan. Sepasang matanya besar agak sayu. Kumis dan jenggotnya lebat juga telah berwarna putih. Orang ini mengenakan pakaian warna putih yang dilapis dengan jubah besar warna hitam. Pada cuping hidung sebelah kiri tampak melingkar anting kecil dari akar hitam.
"Anak muda! Buanglah rasa curiga! Aku sama sekali tidak menginginkan barang pusaka itu meski siapa pun yang tahu ceritanya akan mati-matian memburu!"
"Gila! Dua kali aku harus berhadapan dengan orang-orang yang tak ku mengerti apa maksud bicaranya!" Joko berkutat sendiri dengan batinnya. Lalu sekali lagi buka suara bertanya.
"Orang tua! Kau telah mengenalku! Harap kau sudi sebutkan diri!"
"Hem... Aku Kiai Lidah Wetan...!"
"Benar dugaanku. Berarti aku baru kali ini berjumpa dengannya!" kata Joko dalam hati begitu mendengar orang sebutkan nama. "Orang tua! Kau mau menerangkan apa mak- sud ucapanmu tadi?!"
Orang tua yang sebutkan diri sebagai Kiai Lidah Wetan tertawa perlahan. "Aku tidak bisa menerangkan panjang lebar! Lagi pula kalau kau mencari benda itu pasti kau lebih tahu banyak dibandingkan diriku!"
"Orang tua! Kau dari tadi sebut-sebut barang benda pusaka! Aku benar-benar tidak mengerti!"
"Ah... Kau masih juga berpura-pura! Itu menunjukkan kalau kau curiga jika aku menginginkan Kembang Darah Setan itu..."
Murid Pendeta Sinting melengak. Tanpa sadar dia bergerak merangkak mendekati Kiai Lidah Wetan. Begitu tepat berada di hadapan si orang tua, Pendekar 131 segera angkat bicara. "Orang tua! Dua kali ini aku mendengar orang sebut-sebut Kembang Darah Setan! Perlu kau ketahui, aku tidak tahu menahu tentang Kembang Darah Setan!"
Joko hentikan ucapannya seraya memperhatikan orang tua yang duduk di hadapannya. Lalu teruskan bicara. "Kau ada hubungan apa dengan Setan Liang Makam?!"
"Hem... Ini satu bukti kalau kau berkata dusta, Anak Muda!" ujar Kiai Lidah Wetan. "Kau baru saja sebut nama Setan Liang Makam, adalah satu hal aneh kalau kau tidak mengenal Kembang Darah Setan!"
"Aku baru saja bertemu dengan manusia setan itu!" kata Joko agak keras karena mulai jengkel dengan urusan pelik yang tidak juga bisa terjawab.
"Alasan mudah dicari, Anak Muda! Dan setiap orang yang telah berhasil mendapatkan barang pusaka pasti akan mencari alasan agar barangnya tidak pindah ke tangan orang lain!"
"Edan! Ini benar-benar edan!" gumam murid Pendeta Sinting dengan gelengkan kepala. Lalu berujar dengan suara agak parau.
"Orang tua! Kau mengira aku membawa Kembang Darah Setan?!"
Yang ditanya hanya menjawab dengan perdengarkan suara tawa perlahan, membuat Joko makin merasa kebingungan. Dalam puncak kebingungannya akhirnya Joko buka mulut.
"Orang tua! Apa yang kau maksud Kembang Darah Setan adalah seorang nenek cantik yang akhir-akhir ini banyak dibicarakan orang itu?!"
Yang ditanya lagi-lagi hanya perdengarkan tawa perlahan tanpa buka mulut menjawab. "Hem... Mungkin ini satu isyarat kalau aku harus tinggalkan tempat ini jauh-jauh agar tidak lebih dalam terlibat tentang urusan gila ini!" kata Joko dalam hati. Tanpa buka mulut lagi, murid Pendeta Sinting bergerak bangkit meski sebenarnya dia ingin mengorek keterangan lebih banyak dari orang tua di hadapannya.
Acuh tak acuh bahkan tanpa memandang Kiai Lidah Wetan berkata. "Kusarankan agar kau berlaku hati-hati, Anak Muda! Setan Liang Makam pasti tidak akan membiarkan mu enak berkeliaran! Bahkan sebentar lagi mungkin akan banyak orang yang mencarimu!"
Murid Pendeta Sinting berpaling. "Simpan dahulu ramalan mu, Orang Tua! Aku tidak tahu urusan Kembang Darah Setan gila itu! Dan persetan dengan orang-orang yang akan mencariku!"
Kiai Lidah Wetan hanya tersenyum mendengar ucapan keras murid Pendeta Sinting. Dia ikut bergerak bangkit. Memperhatikan Joko sekilas lalu berkata. "Kau telah membuka sebagian rahasia Kampung Setan! Mudah-mudahan semua urusan selanjutnya bisa berjalan dengan lancar!"
Habis berkata begitu, Kiai Lidah Wetan putar tubuh setengah lingkaran. Lantas melangkah tanpa memandang lagi pada Pendekar131.
"Tunggu!" Joko melompat dan tegak menghadang jalan Kiai Lidah Wetan. "Di mana Kampung Setan itu?!"
Kiai Lidah Wetan pandangi Joko dari rambut sampai ujung kaki. "Pertanyaan yang seharusnya tidak memerlukan jawaban, Anak Muda! Karena dimana kau mendapatkan Kembang Darah Setan, itulah Kampung Setan!"
"Benar-benar hebat! Dalam waktu hampir satu purnama, telah terjadi hal-hal aneh yang kurasa tidak masuk akal tapi jadi kenyataan!"
"Kau tak usah heran, Anak Muda! Keajaiban bisa saja terjadi sewaktu-waktu tanpa satu isyarat!" ujar Kiai Lidah Wetan. Orang tua ini tersenyum lalu menyisi ke samping sebelum akhirnya lanjutkan langkah.
Joko baru putar diri ketika dirasa si orang tua sudah agak jauh. Sesaat murid Pendeta Sinting pandangi langkah-langkah si orang tua di depan sana. "Aku tak tahu pasti apa sebenarnya yang terjadi! Dan mendengar ucapan-ucapannya, orang tua itu sepertinya tahu banyak urusan ini! Hem... Aku jadi penasaran!"
Joko segera berkelebat ke jurusan mana Kiai Lidah Wetan melangkah jauh di depan sana dilihatnya si orang tua hampir saja lenyap dari pandangannya. Joko jadi lupa kalau dia sudah memutuskan untuk pergi jauh-jauh dari tempat itu dan tidak ingin terlibat lebih jauh dalam urusan yang tidak pernah dimengerti dan tidak bisa terjawab. Pada satu tempat Joko tegak kebingungan, kepalanya celingukan ke samping kiri kanan.
"Heran. Apa dia tahu kalau kuikuti lalu sembunyi?!"
Sekian lama pentang mata dengan kepala berputar, namun matanya tidak melihat siapa-siapa di sekitar tempat itu. "Ah.... Lebih baik aku..."
"Anak muda! Mengapa kau mengikutiku?!" satu suara mengejutkan Joko. Satu sosok tubuh muncul keluar dari balik batangan pohon. Belum sampai Joko buka mulut, orang yang baru saja muncul dan tidak lain adalah Kiai Lidah Wetan telah mendahului.
"Anak muda! Tentang Kembang Darah Setan dan rahasia Kampung Setan, pengetahuanku tidak lebih banyak darimu! Jadi percuma kau mengikuti langkahku! Kau tidak akan mendapatkan apa-apa!"
"Orang tua! Terus terang aku buta sama sekali dengan Kembang Darah Setan serta Kampung Setan!"
Kiai Lidah Wetan menggeleng. "Aku tidak tahu harus berkata apa, Anak Muda! Tapi dengan Kembang Darah Setan yang ada di tanganmu, kau kelak tentu akan tahu sendiri..."
Seolah tidak memberi kesempatan pada murid Pendeta Sinting, Kiai Lidah Wetan sudah sambung ucapannya sebelum Joko angkat bicara. "Kuharap kau tidak mengikutiku!"
Joko kancingkan mulut dengan mata memperhatikan ke arah Kiai Lidah Wetan. Yang dipandang tidak peduli. Dia putar tubuh lalu berkelebat.
"Urusan pelik dan gila!" desis murid Pendeta Sinting. Lalu melangkah perlahan-lahan dengan dada disarati berbagai hal yang membuatnya tertawa dengan dahi berkerut.
Saat matahari sejengkal lagi masuk tenggelam ke kaki langit di sebelah barat, sosok yang berkelebat laksana angin itu hentikan larinya. Di depan sana terlihat sebuah tanah menggunung tinggi yang pada salah satu lamping samping kanannya terdapat lobang goa. Di sekitar lobang goa, meranggas semak belukar lebat hingga kalau orang tidak perhatikan dengan seksama, pasti tidak tahu kalau di balik ranggasan semak belukar lebat ada sebuah lobang goa.
Untuk beberapa saat, orang yang tegak di depan lobang goa yang samar-samar terlihat gerakkan kepala ke samping kiri kanan. Sepasang matanya yang besar agak sayu memandang menyelidik. Saat lain dia berkelebat menerabas semak belukar sebelum akhirnya lenyap masuk melewati lobang goa.
Lima langkah melewati lobang goa, orang yang tadi masuk yang ternyata adalah seorang laki-laki berusia lanjut mengenakan jubah hitam melapis pakaian warna putih berambut panjang warna putih dan pada sebelah kiri cuping hidungnya melingkar anting dari akar hitam dan bukan lain adalah Kiai Lidah Wetan, hentikan kelebatannya. Kepalanya cepat berputar dengan mata mengawasi bagian dalam goa yang ternyata tidak begitu besar. Pada bagian ujung, tampak tanah agak tinggi.
"Hem... Kiai Laras belum datang..." gumam Kiai Lidah Wetan. Perlahan-lahan orang tua ini melangkah ke arah tanah yang agak tinggi di sebelah ujung dalam goa.
Baru saja Kiai Lidah Wetan injakkan kakinya di atas tanah yang-agak tinggi, semak belukar di luar mulut goa bergerak-gerak. Saat lain satu sosok tubuh telah tegak di mulut bagian dalam goa. Kiai Lidah Wetan cepat berpaling. Kedua tangannya terbuka mengembang. Jelas jika orang tua ini sewaktu-waktu siap lepaskan pukulan. Namun begitu mengenali siapa adanya sosok yang tegak di mulut goa, Kiai Lidah Wetan cepat buka suara.
"Adikku... Bagaimana dengan pekerjaanmu?!"
Orang yang ditanya tidak segera menjawab. Dia melompat dan tahu-tahu telah tegak di hadapan Kiai Lidah Wetan. Dia adalah seorang pemuda berparas tampan mengenakan pakaian putih-putih. Rambutnya hitam sedikit acak-acakan. Siapa pun yang melihat pemuda ini dan pernah bertemu dengan Pendekar 131, pasti tidak akan melihat perbedaannya!
"Aku gagal mengorek keterangan dari manusia setan si Setan Liang Makam tentang siapa orang yang di carinya!" berkata pemuda yang wajahnya sama persis dengan murid Pendeta Sinting.
Kiai Lidah Wetan anggukkan kepala. "Kita memang perlu waktu!"
Pemuda dihadapan Kiai Lidah Wetan angkat tangannya. Tangan kiri ke arah leher, tangan kanan ke arah rambut. Perlahan-lahan tangan kiri mengelupas kulit tipis mulai dari lehernya. Sementara tangan ka- nan menarik rambutnya. Begitu kulit tipis terkelupas, tampaklah seraut wajah orang berusia agak lanjut berkumis lebat berwarna putih. Sepasang matanya besar. Dan di bawah rambut hitam sedikit acak-acakan yang tertarik tangan kanan tampak kepala berambut putih sepanjang bahu. Orang ini ternyata bukan lain adalah Kiai Laras!
"Kau sendiri bagaimana?!" tanya Kiai Laras yang tadi mengenakan kulit tipis yang membuat raut wajahnya sama persis dengan murid Pendeta Sinting.
"Apa yang kita rencanakan berjalan dengan baik! Pemuda itu sedang dalam kebingungan! Kita tinggal lanjutkan rencana! Dan sejak saat ini kau harus selalu mengenakan penyamaran!"
"Tapi..."
"Kau harus hindari pertemuan dengan Setan Liang Makam!" tukas Kiai Lidah Wetan. "Kalaupun kau terpaksa ingin bertemu dengannya, kau harus lepas dahulu penyamaranmu!"
"Hem... Meski aku gagal membuat Setan Liang Makam buka mulut, tapi satu hal yang pasti, manusia setan itu untuk sementara ini akan mencari Pendekar 131 atau Pendeta Sinting!" ujar Kiai Laras. "Hanya apakah mungkin Setan Liang Makam bisa tundukkan guru dan murid itu?!"
"Tak usah gelisah! Setan Liang Makam bukan manusia sembarangan! Aku yakin, selama ini dia belum tunjukkan semua kepandaiannya! Di lain pihak, kau harus segera buat kegegeran di mana-mana! Sementara perlahan-lahan aku akan mengikuti langkah Setan Liang Makam! Kalau saatnya tiba, Kembang Darah Setan kita berikan pada Setan Liang Makam dan diam-diam kita memotongnya dari belakang!"
"Sayang... Seandainya Setan Liang Makam mau buka mulut, kita tidak usah repot-repot harus mengikutinya! Karena Kembang Darah Setan sudah berada di tangan kita!" kata Kiai Laras seraya menghela napas dalam.
"Ini urusan besar, Adikku! Wajar kalau Setan Liang Makam tidak akan gegabah buka suara! Tapi percayalah, saatnya akan tiba juga!" sahut Kiai Lidah Wetan sambil memandang adiknya berlama-lama. Saat lain dia sambung ucapannya. "Hem... Adikku. Kau telah mengatakan Kembang Darah Setan berhasil kau ambil dari tangan Setan Liang Makam! Tapi selama ini kau belum tunjukkan padaku..."
Kiai Laras balas memandang kakaknya dengan pandangan lain. "Kau tidak percaya?"
Kiai Lidah Wetan tertawa pendek. "Kalau aku tidak percaya, untuk apa kulakukan semua ini?! Aku hanya ingin melihatnya..."
"Kembang Darah Setan bukan barang sembarangan. Jadi aku menyimpannya di satu tempat!"
"Hem... Aku tak yakin dengan ucapannya! Kembang Darah Setan pasti berada di balik pakaiannya! Hem... Tunggulah, kau nanti akan tahu siapa aku! Dan kau akan menyesal! Begitu Setan Liang Makam berhasil menemukan orang yang dicari, saat itu tidak ada urusan antara adik dan kakak!" membatin Kiai Lidah Wetan.
Kalau diam-diam Kiai Lidah Wetan membatin begitu, di pihak lain Kiai Laras juga berkata sendiri dalam hati. "Jangan harap kau bisa memuslihati aku! Kembang Darah Setan tetap akan berada di tanganku sampai saatnya tiba! Dan aku tidak segan mengantar nyawamu ke neraka kalau kau berani berbuat macam-macam!"
Kiai Laras berpaling ke mulut goa. "Keadaan sudah gelap. Kalau tidak ada yang perlu kita bicarakan, kita berpisah dahulu dan lakukan seperti apa yang kita rencanakan!"
Kiai Lidah Wetan tersenyum dingin. "Dalam urusan ini, kita memang tidak boleh buang-buang waktu!"
Kiai Laras berkelebat ke arah mulut goa. Tangan kiri kanannya bergerak. Tatkala sesaat kemudian sosoknya melesat keluar dari mulut goa, tampangnya sudah berubah menjadi seorang pemuda berparas tampan tak ada bedanya dengan Pendekar 131! Kiai Lidah Wetan mengawasi kepergian adiknya dengan seringai. Lalu perlahan-lahan duduk di atas tanah agak tinggi. Saat lain orang tua ini telah pejamkan sepasang matanya dengan kedua tangan bersedekap di depan dada.
BAB 8
PENDEKAR 131 Joko Sableng hentikan langkah di satu persimpangan. Saat itu matahari sudah berangkat agak tinggi. Memandang ke sebelah kanan tampak hamparan ladang yang ditumbuhi ubi jalar dan jajaran pohon kelapa. Lurus kedepan terlihat sebuah kedai agak besar. Sejurus murid Pendeta Sinting arahkan pandang matanya ke hamparan ladang lalu beralih ke kedai yang tampak sepi. Kali ini sikap murid Pendeta Sinting tampak bimbang. Malah sesekali kepalanya celingukan dan berpaling ke belakang."Busyet! Gara-gara urusan aneh itu aku jadi serba salah! Hem... Apa sebaiknya yang kulakukan sekarang?! Kembali ke Jurang Tlatah Perak menemui Eyang Guru?! Ke mana sebenarnya Eyang Guru bersama Nenek Ni Luh Padmi?! Kalau tidak ada apa-apa seharusnya Eyang Guru harus berada di Jurang Tlatah Perak. Apalagi dia sudah mengatakan padaku agar menemuinya tiga hari setelah peristiwa Kedung Ombo! Tapi nyatanya hingga hampir satu purnama kutunggu, Eyang Guru tidak ada kabar beritanya! Hem... Apa sebaiknya aku menemui Kakek Gendeng Panuntun? Tapi di mana orang tua itu harus kucari...?!"
Mengingat Gendeng Panuntun, tiba-tiba Joko teringat Sitoresmi. "Gadis cantik itu... Belum begitu lama diambil oleh Kakek Gendeng Panuntun sudah maju demikian pesat! Seandainya aku tahu di mana tempat tinggalnya. Beberapa kali dia selamatkan nyawaku! Malah dia mau berbalik pikiran dan menentang gurunya. Saat-saat seperti ini aku ingin seorang teman bicara!" Joko menghela napas panjang.
Dengan wajah kusut, murid Pendeta Sinting melangkah ke arah kedai. Sejenak langkahnya dihentikan di pintu kedai. Sepasang matanya mengedar ke dalam kedai. Lalu perlahan-lahan dia masuk. Seorang berusia agak lanjut buru-buru mendekat lalu mempersilakan. Setelah memesan makanan Joko mengambil duduk di bangku yang pandangannya bisa leluasa ke halaman kedai.
Saat itulah baru Joko tahu kalau di bagian pojok kedai duduk seorang perempuan berusia lanjut. Karena perempuan ini duduk lurus sejajar, dengan jelas Joko dapat melihat raut wajahnya.
Nenek itu mengenakan pakaian warna merah menyala. Tapi bukan warna merah itu yang membuat murid Pendeta Sinting sempat terbelalak. Baju bagian atas yang dikenakan si nenek adalah baju tanpa lengan. Hingga seluruh tangannya yang berkulit gelap terlihat sampai pundak! Dan potongan baju itu amat cingkrang. Hingga sebagian kulit perutnya yang juga berwarna gelap kelihatan. Kalau Joko melihat si nenek dari arah depan, pasti akan jelas dapat melihat pusar si nenek!
Sementara pakaian bawah si nenek juga berwarna merah menyala. Pakaian bawahnya merupakan celana pendek sejengkal di atas lutut. Hingga pahanya yang berkulit gelap tampak jelas sekali. Pada lehernya melingkar tiga untai kalung dari kerang. Rambutnya yang telah berwarna putih dikepang dua dan pada ujungnya diberi pita kembang-kembang.
Rambut depannya di poni menutupi sebagian keningnya yang telah mengeriput dan berwarna gelap. Sepasang matanya besar menjorok masuk ke dalam rongga yang gelap dan dalam. Alis matanya tebal dan hitam saling bertautan. Dari raut wajahnya, yang tampak mencorong hanyalah bibirnya. Karena bibir si nenek dipoles warna merah tebal!
Saat Joko melirik, si nenek tampak kedipkan sebelah matanya, membuat murid Pendeta Sinting buru-buru alihkan bola matanya ke depan dengan membatin. "Mudah-mudahan hanya cara berhiasnya saja yang aneh! Tidak sampai ikut-ikutan dengan urusan gila seperti kemarin yang membuat kepalaku seperti pecah memikirkannya..."
Entah karena apa, Joko tidak bisa berlama- lama memandang ke depan. Dia seolah ingin meyakinkan bahwa si nenek bukan seperti dua orang yang ditemuinya sebelum ini. Hingga dia perlahan-lahan gerakkan kepalanya ke samping, arah mana si nenek berada. Tapi mendadak gerakan kepala Joko terhenti. Di samping sana, si nenek terlihat angkat tangan kanannya dengan siku bertumpu pada meja. Jari-jari tangan kanannya digerak-gerakkan melambai! Kedua matanya di kedip-kedipkan berulang kali. Sementara bibirnya yang merah mencorong dibikin tersenyum lebar!
Karena sudah telanjur berpaling dan dilihatnya si nenek melambai dengan bibir tersenyum, akhirnya murid Pendeta Sinting angkat tangannya dengan siku ditumpukan pada meja. Jari-jari tangannya digerakkan melambai. Bibirnya pun dibuat tersenyum, malah sebelah matanya sejenak dikedipkan berulangkali. Mungkin merasa mendapat sambutan, nenek di seberang buka mulut.
"Hai...!"
"Hai...!" Joko menyambut. Lalu buru-buru alihkan pandangannya berharap semuanya akan berakhir sampai di situ. Dia mulai merasa ada yang tidak beres dengan si nenek. Namun belum sampai Joko arahkan pandangannya ke jurusan lain, nenek di seberang telah sambung ucapannya.
"Tidak keberatan ku temani makan?!"
Dada murid Pendeta Sinting mulai berdebar. Pertemuannya dengan Setan Liang Makam dan orang tua yang sebutkan diri sebagai Kiai Lidah Wetan membuat nya selalu merasa khawatir. Apalagi melihat dandanan aneh si nenek. Untung saat itu dari bagian dalam kedai muncul si orang tua yang mendekat ke arah mejanya dengan membawa makanan yang dipesan. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Joko. Begitu si orang tua yang rupanya sebagai pemilik kedai hidangkan makanan, Joko buka mulut.
"Kelihatannya sepi. Apa pada hari-hari lainnya juga begini?"
Si pemilik kedai memandang sejurus pada mu- rid Pendeta Sinting. Lalu melirik pada si nenek. "Kedai ini biasanya ramai pengunjung. Hanya tiga hari ini terasa sepi..." jawab si pemilik kedai dengan suara pelan setengah berbisik.
"Kalau biasanya ramai dan tiga hari ini sepi, tentu ada sebabnya..." ujar Joko.
"Aku tak tahu apa sebab sebenarnya! Hanya sedikit banyak mungkin karena kedatangan nenek itu! Tiga hari berturut-turut dia muncul di kedai ini. Herannya, ia sampai setengah hari berada di kedai! Seolah dia menunggu seseorang..."
"Bisa menduga siapa kira-kira yang ditunggu?!" Entah karena apa Joko tiba-tiba menanyakan hal itu.
"Aku tak berani bertanya. Dia selalu berkata keras membentak-bentak. Kalaupun dia tampak tersenyum, itu terlihat saat kau datang! Hem... Jangan-jangan kaulah orang yang ditunggu..."
Murid Pendeta Sinting makin berdebar. Hatinya gelisah. Dia tidak mau melihat pada si nenek di seberang. "Pernah tanya siapa namanya?!" tanya Joko dengan suara makin dikecilkan.
Mungkin agar tidak terlalu dicurigai, si pemilik kedai tampak membersihkan meja dengan sehelai kain yang sedari tadi dibawanya sambil berkata. "Pernah seorang pembantuku iseng bertanya. Tapi jawabannya adalah sambaran tangannya! Tamparan itu memang tidak keras. Anehnya orang yang bertanya langsung terjengkang roboh! Sejak saat itu dia berhenti jadi pembantu. Sejak saat itu pula orang-orang yang hendak masuk kedai buru-buru berbalik begitu melihat si nenek..." Si pemilik kedai memandang pada Joko. "Anak muda... Makanan dan minuman yang terhidang di depanmu tidak usah kau bayar, bahkan aku akan memberi tambahan uang kalau kau bisa mengajak nenek seronok itu pergi jauh-jauh dari sini!"
"Busyet! Rupanya aku harus menemui hal yang tak kalah aneh dan lucunya!" ujar Joko dalam hati seraya menarik napas panjang. Namun sejauh ini dia belum melirik lagi ke arah si nenek. Malah untuk meredakan debaran dadanya dia mulai makan apa yang terhidang di hadapannya.
Di hadapannya, sambil terus membersihkan meja dan tidak memandang pada murid Pendeta Sinting, si pemilik kedai berkata. "Bagaimana, Anak Muda?! Kau bersedia bukan membawa nenek itu?! Kulihat dia tadi menyapa mu dengan ramah dan tersenyum lebar! Kau pun berwajah tampan. Dari penampilan mu, kurasa kau seorang yang suka menggandeng beberapa teman wanita. Untuk kali ini tidak apa bukan menggandeng seorang nenek-nenek?! Kau tinggal sebutkan berapa imbalan yang kau minta..."
Mendengar ucapan si pemilik kedai, mau tak mau Joko harus tahan tawanya hingga bahunya bergerak turun naik. Namun mendadak gerakan kedua bahu Joko terhenti. Sepasang matanya tak berkesip memandang ke depan. Karena tahu-tahu si nenek berdandan seronok telah tegak tidak jauh dari mejanya dengan tangan kanan melambai dan bibir tersenyum.
"Hai...!" kata si nenek. "Kau tadi belum jawab pertanyaanku!"
Joko tergagu. Di hadapannya si pemilik kedai buru-buru angkat kaki tapi sebelum berlalu, orang tua ini masih sempat kerdipkan mata dan tersenyum.
"Hai...! Tidak keberatan bukan aku menemanimu duduk?!" Si nenek berkata lagi. Tapi tanpa menunggu jawaban orang, nenek berdandan seronok yang pusarnya kelihatan ini sudah duduk berseberangan di hadapan Joko dengan sebelah kaki diangkat dan diletakkan di paha kaki satunya.
"Sendirian?!" tanya si nenek sambil tangannya mainkan untaian kalung yang melingkari lehernya. Kali ini sambil bertanya, si nenek tidak menatap lang- sung melainkan melirik malu-malu!
Karena belum dapat redakan gejolak, murid Pendeta Sinting menjawab dengan anggukan kepalanya. Sementara matanya memandang ke jurusan lain.
"Boleh tahu siapa namamu?!" Si nenek kembali ajukan tanya.
"Joko... Joko Sableng..."
"Nama bagus, sebagus tampang orangnya. Punya gelar?!"
Joko gelengkan kepala. Tapi kali ini sudah mulai berani memandang ke arah si nenek. Di hadapannya, si nenek pun tidak malu-malu lagi arahkan pandangannya pada murid Pendeta Sinting.
"Boleh tahu hendak ke mana?!" tanya si nenek.
"Mencari kakekku yang sudah hampir satu purnama ini tidak kunjung pulang..." sahut Joko sambil perha- tikan lebih seksama pada nenek yang duduk di hadapannya.
"Dasar laki-laki! Pasti kakekmu telah tergoda seorang perempuan hingga lupa pulang dan tidak ingat cucu! Siapa nama kakekmu yang hilang itu?!"
" Jangkrik! Bagaimana aku harus menjawab?!" Joko bingung sendiri. Namun karena tak mau dicurigai berkata dusta, dan saat itu teringat akan peristiwa di Kedung Ombo beberapa waktu lalu, Joko segera menjawab.
"Namanya Raden Mas Antar Bumi..."
"Hem... Jadi kau masih keturunan darah biru..."
"Kau sendiri siapa, Nek...?!" tanya Joko untuk alihkan pembicaraan. Namun begitu teringat akan cerita si pemilik kedai, tampang Joko seketika berubah.
Si nenek tertawa panjang dan bergelak-gelak hingga si pemilik kedai sempat nongolkan kepalanya di belakang sana. "Kau pasti mendapat kabar dari orang tua pemilik kedai waktu kalian bisik-bisik tadi...!" ujar si nenek di sela gelakan tawanya. "Kau tahu, aku terpaksa menampar orang itu karena sambil bertanya, matanya iseng memelototi pusar dan ketiakku!"
Murid Pendeta Sinting tersedak mendengar keterangan si nenek. Dan tanpa sengaja matanya tertuju pada ketiak kanan kiri si nenek.
"Hai!" Tiba-tiba si nenek berteriak keras. "Apa kau ingin mengalami nasib sama?!"
Cepat-cepat Joko berpaling dengan tawa ditahan-tahan. "Bagaimana orang tidak akan iseng melihat ketiaknya, karena daerah itulah yang paling mudah dilihat daripada yang lainnya!" kata Joko dalam hati lalu berucap.
"Nek... Kau belum jawab tanyaku..."
"Kau tahu, Anak Muda! Kaulah seorang yang beruntung!"
Joko tersentak kaget. Wajahnya kembali berubah tegang. Dia teringat akan ucapan Kiai Lidah Wetan. "Dia juga mengatakan aku orang yang beruntung! Jangan-jangan ini masih ada hubungannya dengan urusan gila itu..."
"Kau beruntung, karena kaulah satu-satunya orang yang mengetahui namaku dari mulutku sendiri..."
Ketegangan Joko mereda. "Siapa, Nek...?!"
Si nenek angkat kedua tangannya dirangkapkan ke depan dada. Kepalanya bergerak mengangguk-angguk. Saat yang sama bibirnya yang merah terbuka. "Alam memberi ku nama Dayang Sepuh...!" Si nenek lepaskan rangkapan kedua tangannya. "Menurutmu, bagaimana nama yang diberikan alam padaku?!"
"Hem.... Sesuai!" sahut murid Pendeta Sinting. "Lalu alam memberimu gelar apa, Nek?!"
Kembali si nenek yang baru saja sebutkan namanya Dayang Sepuh angkat kedua tangannya merangkap di depan dada. Lalu buka suara. "Alam memberi ku gelar Dayang Sepuh!" Seperti tadi, habis berkata, si nenek buka rangkapan kedua tangannya, lalu bertanya. "Bagaimana gelaran alam yang diberikan padaku?!"
"Hem... Tepat!" ujar Joko meski dalam hati berkata. "Apa dia tidak tahu kalau nama dan gelar biasanya berbeda?! Atau dikiranya nama itu gelar, dan gelar itu nama. Hem... Tapi aku harus waspada. Dandannya aneh dan seronok. Jangan-jangan ini hanya penutup agar siapa dia sebenarnya tidak diketahui! Dua kali aku bertemu dan harus berhadapan dengan orang aneh. Mungkin yang satu ini juga aneh hanya belum kuketahui..."
"Nek... Dari sikapmu, sepertinya kau sedang menunggu seseorang! Kekasih atau teman biasa?!" Joko mulai berani bertanya.
Dayang Sepuh tertawa pendek. "Kau bukan menduga, Anak Muda! Kau mendengar dari bisikan pemilik kedai tadi! Hik Hik Hik...! Aku memang tengah menunggu kemunculan seseorang!"
"Kau yakin dia akan muncul di sini?! Atau kau memang sudah sepakat untuk bertemu di sini?!"
"Seumur hidup aku tak pernah bersepakat!"
"Hem.... Barangkali kau sering melihatnya datang ke kedai ini?!"
"Jika aku melihatnya, aku tidak tunggu dua kali!"
"Ah... Mungkin kau dengar dari seseorang kalau orang itu akan muncul di sini!"
"Siapa saja yang bisa menunjukkan, aku berani memberi imbalan besar!"
"Hem... Orang itu musuh besarmu...?"
"Aku tidak pernah membuat permusuhan!"
"Sulit menebak!" gumam Pendekar 131 setelah merenung sejenak. "Ditebak kekasih kurang pas. Ditebak teman biasa, nadanya mengancam. Ditebak lawan, katanya tidak punya musuh. Jangan-jangan dia menunggu kakekku...!" Joko tertawa sendiri dalam hati. Lalu bertanya.
"Kalau kau sudah tiga hari menunggu di sini, berarti kau merasa pasti orang itu akan muncul di sini. Bukankah begitu?!"
"Alam memberi ku pelajaran agar aku tidak memastikan sesuatu!"
Tak sabar akhirnya Joko bertanya. "Siapa sebenarnya orang yang kau tunggu?!"
"Seorang pemuda yang dikenal dengan julukan Pendekar Pedang Tumpul 131!"
BAB 9
LAKSANA disentak kekuatan dahsyat, kepala murid Pendeta Sinting berpaling sembunyikan perubahan wajahnya. Deburan dadanya laksana disentak-sentak. Dia coba mengalihkan perhatian ke belakang di mana tadi si pemilik kedai lenyap masuk. Diam-diam dia berkata dalam hati."Pasti ini masih ada kaitannya dengan urusan gila itu! Daripada kepala makin pusing, lebih baik aku tinggalkan tempat ini!"
"Aku melihat wajahmu berubah kaku tegang! Jangan-jangan kau mengenal orang yang baru kukatakan!" berkata Dayang Sepuh lalu tertawa cekikikan. "Atau kau tegang karena melihat ketiakku tadi, he?!"
Joko arahkan pandangannya ke arah Dayang Sepuh. Bibirnya tersenyum. Lalu kepalanya digerakkan menggeleng. "Begitu kau katakan nama orang yang kau tunggu, aku baru teringat sesuatu..."
"Apa...!" tanya Dayang Sepuh dengan suara keras. "Kakekku pernah cerita, kalau orang yang kau sebut tadi sudah meninggal dunia pada beberapa purnama yang lalu!"
Dayang Sepuh pentangkan mata besar-besar. "Katakan di mana dia mati dan dikuburkan! Lalu siapa yang membunuhnya?!"
Joko gelengkan kepala. "Aku tidak sempat menanyakannya pada Kakek. Karena aku tidak tertarik dengan hal-hal berbau kematian. Tapi kalau kau ingin tahu, kelak aku akan menanyakan pada Kakek, dan jika kita bertemu lagi, akan kukatakan padamu!"
Habis berkata begitu, Joko beranjak bangkit. Dayang Sepuh memperhatikan dengan tangan mainkan untaian kalung di lehernya. "Hendak ke mana, Anak Muda?!"
"Cerita tentang Kakek membuatku teringat apa yang harus kulakukan!" Joko melangkah ke arah pintu kedai. Namun langkahnya tertahan tatkala dari arah belakang tiba-tiba Dayang Sepuh angkat bicara.
"Anak muda! Aku nenek yang sudah banyak makan pengalaman dari yang manis-manis sampai yang terpahit! Aku tahu pasti di mana tempat yang kira-kira di tongkrongi kakekmu!"
Saat Joko berpaling hendak menyahut, murid Pendeta Sinting terkesiap. Ternyata si nenek telah satu langkah di belakangnya dan berkata dengan bibir tersenyum lebar.
"Aku ikut mencari kakekmu..."
Pendekar 131 putar tubuh. Lagi-lagi belum sempat Joko buka mulut, si nenek telah mendahului angkat bicara. "Apa aku kurang pantas mendampingimu?!" Si nenek angkat kedua tangannya berkacak pinggang. Lalu putar tubuhnya dua kali.
"Tapi bukankah kau menunggu seseorang...?!"
"Kau telah mengatakan orang itu sudah meninggal! Apa kau kira orang yang sudah mampus bisa muncul di sini?! Dan mendengar cerita tentang kakekmu, aku jadi penasaran ingin tahu. Siapa nyana aku ada jodoh dengan kakekmu?! Melihat cucunya berwajah tampan, sang kakek pasti tak jauh berbeda..."
Tidak menunggu sahutan orang, Dayang Sepuh telah melangkah maju. Tangan kanannya tiba-tiba menggandeng tangan Joko, lalu enak saja dia menyentak hingga tubuh Joko berputar. Saat lain si nenek telah keluar dari pintu dengan tangan menggandeng erat-erat lengan murid Pendeta Sinting!
Yang membuat murid Pendeta Sinting heran dan dadanya berdebar keras, bagaimanapun dia coba lepaskan diri namun sia-sia. Ketika si nenek dan Joko telah berada di halaman kedai, dari arah kedai tiba-tiba terdengar suara teriakan.
"Hai, Anak Muda..."
Joko berpaling. Di pintu kedai, si orang tua pemilik kedai tegak dengan bibir tersenyum lalu berteriak. "Perjanjian kita tadi! Kau bisa ambil imbalannya kapan kau mau!"
Joko tidak menyahut. Hanya dalam hati dia mengomel. "Hari ini kau yang beruntung! Dan aku yang mendapat celaka!"
"Cucuku...! Apa kau pernah dengar selentingan kalau kakekmu sudah punya kekasih?!" Dayang Sepuh berkata seraya menarik lengan murid Pendeta Sinting teruskan langkah.
Joko terpaksa tersaruk-saruk mengikuti langkah si nenek. Meski dia mendengar ucapan si nenek, namun Joko tidak menjawab. Dia seolah tenggelam dengan apa yang akan dihadapinya. Namun begitu, dia sedikit merasa agak lega, karena Dayang Sepuh tidak mengenal siapa dirinya.
"Cucuku...! Mengapa kau diam tak menjawab?!"
"Cucuku! Cucuku!" kata murid Pendeta Sinting dalam hati. Lalu berkata. "Aku tidak pernah mencampuri urusan kakekku! Hanya kudengar dia akan mengawini seorang gadis...!"
"Ah... Dengan begitu dugaanku tidak meleset! Pasti kakekmu berparas jantan! Berkumis lebat, berjambang keren, dan dadanya berbulu..."
"Kau salah, Nek! Kakekku kepalanya plontos gundul! Dia memang berkumis. Tapi kumisnya bisa dihitung dengan jari! Soal dadanya, jangankan bulu, tempat tumbuhnya bulu hampir-hampir tidak ada! Kalau jambang, dia memang berjambang. Tapi jangan kaget. Jika tertarik, jambangnya akan jatuh! Dia mengenakan jambang palsu!"
"Ah... Kalau begitu, tampang kakekmu pasti sangat lucu! Kau tahu, Cucuku. Tampang yang lucu-lucu begitu yang kucari selama ini...!"
"Busyet! Gawat kalau sudah begini! Hem... Mumpung dia tidak mengenalku, ada baiknya kutanyakan mengapa dia menungguku! Siapa tahu, dari mulutnya aku bisa sedikit membuka urusan pelik yang kuhadapi..."
Berpikir begitu, kalau tadi Joko coba lepaskan diri dari gandengan tangan si nenek, kini justru tangan satunya memegang lengan Dayang Sepuh. Hingga kedua orang ini melangkah sambil saling memegang lengan satu sama lain.
"Nek...! Kakekku biasanya tidak pernah bicara sungguhan. Hingga aku hampir tidak percaya apakah cerita tentang seorang pemuda yang dikatakannya sudah meninggal dan ternyata orang yang kau tunggu, adalah benar adanya! Kau sendiri mengapa menunggu pemuda itu?!"
"Cucuku...! Rupanya aku dan kakekmu benar- benar ada jodoh! Sekarang aku tidak peduli, apakah kakekmu akan mengawini seorang gadis atau tidak! Aku akan merebut hati kakekmu!"
"Nek... Apa maksudmu...?!"
"Kalau kakekmu tidak pernah bicara sungguhan, aku pun seharusnya demikian!"
"Jadi..."
"Aku tidak menunggu seseorang! Kalaupun aku sampai tiga hari berturut-turut berada di kedai itu, hanya karena mengikuti suara alam!"
"Apa yang dikatakan alam padamu...?!" tanya Joko meski dengan dahi berkerut.
"Aku akan bertemu jodoh..."
"Tapi mengapa kau sebut-sebut Pendekar Pedang Tumpul 131!" Dayang Sepuh hentikan langkah. Saat itu mereka berada di satu tempat yang sejauh mata memandang tampak hamparan ladang ubi jalar yang sangat rapat. Si nenek berpaling menghadap murid Pendeta Sinting.
"Kulihat kau begitu tertarik sekali dengan orang itu!"
"Hem... Karena aku pernah dengar sedikit tentang dia meski aku tidak kenal siapa dia sebenarnya..."
"Ah... Sayang sekali, Cucuku! Aku tidak bisa menambah pengetahuanmu tentang orang itu! Tapi suara alam membisikkan, kakekmu tahu banyak tentang orang itu! Untuk itulah mengapa aku berkata, aku ada jodoh dengan kakekmu!"
"Suara alam lagi, suara alam lagi!" desis murid Pendeta Sinting. "Bagaimana sekarang? Aku harus dapat lepaskan diri dari nenek ini! Tak mungkin aku membawanya ke hadapan Eyang Guru! Urusannya akan jadi makin panjang dan tak karuan! Apalagi jika Nenek Ni Luh Padmi masih ada bersama Eyang Guru... Bisa-bisa kedua nenek ini akan saling pentang tangan adu jiwa!"
"Nek...! Kau bersungguh-sungguh hendak ikut mencari kakekku?!" tanya Joko setelah agak lama berpikir.
"Jodoh telah di depan mata! Lautan luas akan ku arungi. Gelombang badai akan ku langkahi. Kobaran api pun akan ku seberangi. Apakah itu belum membuatmu yakin?!"
Joko cengar-cengir meski dadanya makin disarati pikiran-pikiran yang membuatnya makin gelisah. "Nek... Kalau kau benar-benar ingin ikut mencari, bagaimana kalau kita berpencar saja? Lima hari di muka kita jumpa lagi di dekat kedai tadi. Kalau kita sama-sama gagal menemukan, aku akan mengajak mu ke tempat kakekku!"
"Cucuku...! Kau memang telah katakan siapa nama kakekmu, kau juga telah katakan ciri-cirinya. Namun rasanya sulit bagiku mengenalinya! Mungkin ada orang yang serupa dengan kakekmu, tapi bukan dia! Kalau itu nanti yang kutemui, apa kau tidak akan menyesal?!"
"Kau bisa menanyakan padanya kalau aku juga sedang mencarinya. Kalau dia mengenalku, berarti dialah orangnya! Kau tak usah ragu-ragu lagi!"
"Cucuku...! Seorang laki-laki, kalau sudah tertarik dengan perempuan, apa pun akan dilakukan! Maksudku, seandainya aku jumpa dengan orang yang mirip kakekmu tapi sebenarnya bukan. Lantas dia jatuh cinta padaku. Dia mengatakan kenal denganmu dan sialnya aku juga tertarik padanya. Apa jadinya nanti?! Kau tahu, Cucuku. Selama ini banyak kakek-kakek yang menaruh hati padaku. Bahkan pemuda-pemuda pun banyak juga yang coba-coba mendekatiku. Tapi, Cucuku... Sejak suara alam membisikkan padaku, terus terang aku jatuh cinta pada kakekmu...!"
"Edan! Rupanya yang kuhadapi kali ini lebih gila dari dua yang sebelumnya!"
"Jadi..." Si nenek lanjutkan ucapannya sambil melangkah lagi. Namun kali ini Joko tidak lagi menggandeng lengan si nenek. "Daripada aku salah jatuh cinta, lebih baik kita terus mencari bersama-sama! Atau kau ingin berpencar karena melihat dandan ku kurang aduhai...?!"
Si nenek lepaskan gandengan tangannya pada lengan murid Pendeta Sinting. Kedua tangannya terangkat rapikan kepangan rambutnya lalu menatap poni di depan keningnya. Saat lain dia kebut-kebutkan kedua tangannya pada bajunya yang cingkrang dan celana pendeknya ditarik-tarik sedikit kebawah seakanma lupa hanya yang gelap terlihat.
Kalau saja Joko tidak sedang menghadapi urusan aneh dan memusingkan kepalanya, tentu dia sudah akan meledak tawanya melihat tingkah nenek di sampingnya. Apalagi saat bersamaan, si nenek putar tubuh membelakangi. Dari saku bajunya nenek ini mengeluarkan bungkusan kecil yang ternyata berisi serbuk berwarna merah. Si nenek angkat wajah sedikit, lalu jari telunjuknya diusap-usapkan pada serbuk merah dan tak lama kemudian diangkat ke wajahnya.
Murid Pendeta Sinting tak tahu apa yang dilakukan si nenek. Yang dilihatnya, begitu si nenek balikkan tu- buhnya lagi, bibirnya makin merah menyala. Sementara pada bagian kiri pipinya tampak rona warna merah! Namun karena kulit wajahnya gelap, rona warna merah pada kedua pipinya membuat wajahnya makin jadi angker!
"Cucuku... Kita lanjutkan perjalanan cinta ini...!"
"Untuk sementara aku akan mengikutinya sambil cari jalan untuk lolos. Siapa tahu pula dia nanti mau katakan apa sebenarnya yang membuatnya menungguku! Aku pikir, dia menyimpan sesuatu..."
Berpikir begitu, akhirnya Joko melangkah mengikuti langkahan Dayang Sepuh yang sambil berjalan terus menerus menata poni rambutnya yang tersibak terkena hembusan angin.
BAB 10
TIDAK lama setelah murid Pendeta Sinting berlalu bersama Dayang Sepuh dari kedai, dari jurusan barat tampak satu sosok tubuh melangkah ke arah kedai. Orang ini hentikan langkah di halaman kedai. Memandang sejurus ke dalam ruangan kedai lalu perlahan-lahan melangkah mendekat. Si pemilik kedai buru-buru melangkah mendekati."Hem... Untung pemuda itu tadi berhasil membawa si nenek berdandan seronok. Kalau tidak, pasti orang ini pun akan balik langkah..." Si pemilik kedai sejurus beliakkan mata memandang orang di depan pintu.
"Hem... Gadis cantik... Kalau saja tiap hari ada gadis begini yang datang, kedaiku pasti akan makin ramai pengunjung..."
"Silakan... Silakan masuk..." kata si pemilik kedai dengan senyum lebar.
Orang yang disapa tersenyum lalu luruskan langkah memasuki kedai. Dia adalah seorang gadis berparas cantik jelita. Mengenakan pakaian warna merah. Rambutnya dikuncir ekor kuda hingga lehernya yang jenjang dan putih terlihat jelas. Si gadis memesan makanan lalu melangkah mencari tempat duduk membelakangi halaman kedai. Si pemilik kedai tersenyum-senyum lalu cepat menghilang di belakang. Dan tak lama kemudian muncul lagi dengan membawa pesanan si gadis.
"Hem... Sebenarnya Anak Muda tadi sepantasnya berpasangan dengan gadis ini. Bukan dengan nenek yang umbar pusar serta ketiaknya! Masih lumayan kalau kulitnya putih mulus. Hem... Sudah kulitnya gelap, bulu ketiaknya bergerombolan! Bau lagi!" Si pemilik kedai tanpa sadar bergidik sambil tersenyum. Tapi wajahnya jelas membayangkan perasaan ngeri dan geli.
"Ada sesuatu yang salah dengan ku...?!" bertanya si gadis baju merah tatkala melihat gidikan pada raut wajah si pemilik kedai. Yang ditanya buru-buru gelengkan kepala sambil tersenyum. Entah karena tidak mau menyinggung perasaan pengunjung kedainya, si orang tua berkata.
"Baru saja ada kejadian yang lucu! Tapi menguntungkan bagi kedaiku..." Tanpa diminta, si pemilik kedai menceritakan kejadian yang baru saja berlangsung. Si gadis tampak tersenyum mendengar cerita si orang tua.
"Untungnya pemuda itu suka canda dan konyol. Dan herannya si nenek seronok itu tiba-tiba berubah sikap. Dia begitu ramah dan selalu senyum-senyum begitu bertemu si pemuda! Malah keduanya saling bergandengan tangan saat keluar dari sini..."
"Bisa gambarkan ciri-ciri si pemuda yang menggaet hati nenek itu?!" Iseng si gadis bertanya sambil mengunyah makanan dihadapannya.
"Parasnya tampan. Rambutnya segini!" Si pemilik kedai lintangkan tangan di atas pundaknya. "Rambutnya sedikit acak-acakan. Mengenakan ikat kepala warna putih. Baju dan celananya juga berwarna putih. Matanya tajam meski dia sangat ramah dan banyak omong..."
Si gadis tiba-tiba hentikan gerakan mulutnya yang mengunyah. Dahinya berkerut. "Mendengar ciri-ciri yang dikatakan orang tua itu, jangan-jangan dia... Ah. Tapi mungkin saja orang lain yang sama..."
Menangkap sikap si gadis, si pemilik kedai termangu sejenak. "Jangan mudah tertarik. Meski dia pemuda tampan dan sepintas serasi denganmu, namun aku menduga dia bukan pemuda yang cocok untuk di jadikan teman hidup! Aku laki-laki dan tahu sedikit tentang perangai laki-laki. Pemuda yang kuceritakan tadi tampaknya orang yang mudah jatuh cinta, meski hal itu bisa sedikit menolong kedaiku..."
"Mungkin dengar pemuda tadi sebutkan nama...?" tanya si gadis.
"Telingaku sudah agak berkurang. Lagi pula aku berada di belakang saat keduanya berbincang-bincang. Namun aku lamat-lamat masin dengar dia sebutkan nama Joko. Entah Joko apa, aku sudah tidak mendengarnya lagi..."
Kali ini si gadis tak dapat lagi sembunyikan perubahan raut wajahnya. Si pemilik kedai kernyitkan kening. "Kau pernah bertemu dengannya?! Kau harus berhati-hati..." ujar si orang tua.
"Ke mana mereka pergi?!" Si gadis ajukan tanya.
Si orang tua memandang sejurus pada si penanya. Sambil menggeleng perlahan tangannya menunjuk pada satu arah. Namun mendadak si orang tua tarik pulang tangannya laksana disentak setan. Sepasang matanya mendelik menyipit. Mulutnya hendak berkata namun tidak ada suara yang terdengar.
"Ada apa...?!" Si gadis bertanya heran.
"Dia... Dia muncul lagi..." Terbata-bata si pemilik kedai berucap. Namun di lain saat dia bisa tenangkan gejolak. Dia tersenyum sambil berkata.
"Mungkin dia mau ambil imbalan yang kujanjikan. Aku tadi terkejut. Kukira dia muncul bersama si nenek. Tak tahunya dia sendirian..."
Belum sampai ucapan si orang tua selesai, si gadis telah beranjak bangkit lalu putar tubuh dengan mata memandang ke arah mana si orang tua tadi menunjuk. Seorang pemuda berwajah tampan berambut sedikit acak-acakan yang diikat dengan ikat kepala warna putih tampak melangkah perlahan-lahan menu- ju arah kedai. Pemuda ini sempat hentikan langkah tatkala merasa dirinya diperhatikan dua orang dari dalam kedai. Sejenak paras si pemuda berubah. Tapi saat lain bibirnya telah tersenyum seraya lanjutkan langkah.
"Joko..." Si gadis berbaju merah bergumam.
Si pemilik kedai berpaling. "Hem... Rupanya kau telah mengenalnya. Kuharap kau tidak menceritakan apa yang tadi kukatakan padamu! Aku tadi hanya menduga-duga tanpa punya prasangka apa-apa...." Paras wajah si pemilik kedai tampak merah padam.
Si gadis tersenyum sambil gelengkan kepala. "Tidak usah gelisah. Justru aku berterima kasih karena kau telah memberi nasihat padaku. Hanya mungkin dugaanmu tentang pemuda ini keliru. Aku sedikit banyak telah mengenalnya..."
"Hemm... Pemuda temanmu itu telah menolongku. Untuk itu kau pun kali ini kubebaskan membayar..."
Si gadis berbaju merah menggeleng. "Urusanku denganmu lain dengan urusannya denganmu. Aku tidak akan membiarkan sesuap nasi yang ku makan ku peroleh dengan cuma-cuma..."
Si pemilik kedai tidak menyahut. Dia segera berlalu ke belakang. Saat si pemilik kedai lenyap di ruangan belakang, si pemuda yang tadi berada di luar telah tegak di pintu kedai dan edarkan pandangannya ke bagian dalam. Sepasang matanya tampak sedikit terbeliak tatkala membentur pada sosok gadis berbaju merah. Di lain pihak, si gadis memandangnya dengan bibir tersenyum. Namun senyum si gadis mendadak putus tatkala ditunggu agak lama si pemuda tidak juga buka suara menyapa. Dia hanya memandang dan tampak gugup.
"Heran... Apa dia lupa padaku...?! Padahal pertemuan itu belum lama sekali. Atau ada perubahan pada diriku hingga dia tidak ingat?!" Si gadis membatin seraya tundukkan kepala perhatikan dirinya.
Si pemuda teruskan langkah lalu duduk di sebuah bangku yang berseberangan dengan gadis berbaju merah. Sesekali matanya melirik dengan dahi berkerut.
"Aku yakin benar kalau dia adalah Joko Sableng Pendekar 131!" Si gadis kembali berkata sendiri dalam hati. "Hem... Aku sengaja meninggalkan Guru hanya untuk mencarinya. Tapi rasanya percuma saja perjalananku ini kalau orang yang kucari sudah kutemukan namun tak mengenalku lagi Hem... Rupanya nasihat orang tua tadi ada benarnya. Tapi kurasa adalah aneh kalau dia berubah demikian cepat. Atau sebaiknya aku menegur dahulu?!"
Si gadis berbaju merah arahkan pandangannya pada si pemuda. Mulutnya membuka hendak berkata. Namun saat lain tiba-tiba si gadis urungkan bicara. Dia tampak ragu-ragu. Sementara di seberang sana si pemuda tampak tersenyum sambil anggukkan kepala, membuat keraguan si gadis lenyap. Dia kembali buka mulut lalu berkata.
"Kau... Kau Joko, bukan...?!"
Yang ditanya mengernyit lalu tersenyum lebar. "Tidak salah..." katanya seraya beranjak bangkit dan melangkah ke arah si gadis. Namun pandangannya ke jurusan lain jauh ke halaman kedai.
"Maaf..." kata Joko begitu dekat dengan tempat duduk gadis berbaju merah. "Akhir-akhir ini banyak urusan yang membuat kepalaku pusing. Hingga jangankan kau, orang yang sudah kukenal betul kadang- kadang aku jadi tidak ingat..."
"Hem... Menurut yang kudengar, akhir-akhir ini memang dia sedang terlibat dalam urusan besar. Aku maklum kalau dia lupa padaku... Padahal apa dia tahu kalau selama ini aku tidak bisa melupakannya. Atau jangan-jangan ada gadis lain yang membuatnya lupa pada orang yang pernah dikenalnya. Ah, dia seorang pendekar. Tugas menyelamatkan rimba persilatan akan dijadikan tujuan utama daripada yang lainnya!"
Berpikir begitu, akhirnya gadis berbaju merah buka mulut lagi. "Aku Dewi Seribu Bunga..."
"Ah... Aku ingat sekarang..." ujar Joko lalu duduk di depan gadis berbaju merah yang baru saja sebutkan nama Dewi Seribu Bunga.
"Tidak disangka kalau kita jumpa di sini... Aku tadi sebenarnya sudah menduga-duga. Aku yakin benar telah mengenalmu! Aku hanya mencoba, apakah kau masih ingat padaku..."
Dewi Seribu Bunga tersenyum. "Sifatnya tidak berubah! Jadi dia tadi hanya pura-pura tidak mengenalku. Dasar sableng!"
"Pendekar 131..."
Joko lintangkan telunjuk jari tangan pada bi- birnya membuat Dewi Seribu Bunga tidak lanjutkan ucapannya. "Dewi... Harap panggil namaku saja..."
"Hem... Aku dengar kau memang sedang menghadapi urusan besar. Aku baru saja keluar dari kediaman Guru sejak kita berpisah di Pulau Biru itu. Aku hanya dengar-dengar kau punya urusan dengan Malaikat Penggali Kubur dan beberapa tokoh lainnya! Mau kau bercerita padaku...?"
Joko pandangi gadis di hadapannya berlama- lama membuat yang dipandang merasa jengah hingga dia alihkan pandangannya ke jurusan lain dengan dada berdebar.
"Urusan dengan Malaikat Penggali Kubur sudah selesai. Tapi justru urusan yang kini kuhadapi lebih sulit dibanding urusan dengan Malaikat Penggali Kubur! Beberapa orang yang tidak kukenal tiba-tiba saja menuduhku mengambil benda pusakanya dan mati-matian hendak membunuhku kalau aku tidak memberikan benda itu! Dan rupanya kabar itu telah menebar. Terbukti aku sempat jumpa dengan seseorang. Dia ju- ga mengatakan kalau aku mendapatkan benda pusaka orang! Padahal aku yakin dan percaya. Aku tidak pernah mengenal orang-orang itu apalagi mengambil barang pusakanya!"
"Bagaimana bisa begitu?!" gumam Dewi Seribu Bunga.
"Kau saja pasti bingung. Apalagi aku! Tapi nyatanya itulah yang terjadi! Padahal barang yang diminta dan katanya kuambil, baru kali ini aku mendengar namanya. Belum lagi yang meminta adalah seorang yang selain punya kepandaian sangat tinggi, juga mengerikan!"
"Hai..." Tiba-tiba terdengar suara dari arah bagian dalam. Saat Joko berpaling, si pemilik kedai tampak tersenyum lalu melangkah mendekat. Tangan kanannya menggenggam kantong berwarna hitam.
"Anak muda..." kata orang tua pemilik kedai. "Aku tadi sempat membicarakan mu dengan gadis ini. Sama sekali tidak kusangka kalau kalian berdua adalah dua sahabat..."
Si pemilik kedai memandang silih berganti pada Joko dan Dewi Seribu Bunga. Lalu meletakkan kantong kain hitam di atas meja. "Seperti perjanjian kita. Hanya inilah imbalan yang bisa kuberikan!"
Joko kerutkan dahi. Dewi Seribu Bunga tersenyum. Sementara melihat sikap Joko, si pemilik kedai tersenyum. Dalam hati orang tua ini diam-diam berkata. "Dasar laki-laki! Akan selalu berpura-pura jika belangnya ketahuan!"
"Anak muda! Kau yakin si nenek tidak akan kembali ke sini lagi, bukan?!" kata si pemilik kedai. Matanya mengerling pada Dewi Seribu Bunga.
Untuk sesaat Joko terdiam. Namun kejap lain sudah tersenyum seraya berkata. "Tak usah khawatir. Aku menjamin kalau dia tak akan kembali!"
Si pemilik kedai angkat bahu lalu melangkah ke belakang sambil menggumam. "Ditaruh di mana nenek tadi?! Ah... itu urusannya! Yang penting dia tak akan muncul lagi disini..."
Begitu si orang tua berlalu, Joko cepat berbisik pada Dewi Seribu Bunga. "Apa yang diceritakan orang tua itu tadi padamu?!"
Dewi Seribu Bunga hanya tersenyum sambil gelengkan kepala. "Sudahlah. Kurasa dia sangat berterima kasih padamu. Hem... Kembali pada urusanmu tadi. Siapa orang yang katamu meminta barang pusakanya dan menurutmu berkepandaian sangat tinggi dan mengerikan itu?!"
"Kita cari tempat untuk saling cerita. Di sini kurasa kurang aman..."
Tanpa menunggu sahutan, Joko sudah bangkit. Di lain pihak, karena bertemu dengan orang yang dicari dan selama ini dirindukan, Dewi Seribu Bunga buru-buru ikut bangkit. Lalu melangkah mengikuti Joko yang sudah mendahului. Begitu mereka berdua telah berada di halaman kedai, dari ruangan dalam kedai si orang tua tampak memperhatikan dengan kepala menggeleng.
"Besar sekali rezeki anak muda itu. Sekali jalan mendapat dua keuntungan! Tapi aku menduga dia bukan orang yang bisa dipercaya... Ah, kenapa aku menduga orang yang tidak-tidak? Gadis itu sendiri sudah merasa yakin kalau anak muda itu baik! Hem... Gadis itu sendiri rupanya lupa, bahwa dengan munculnya si pemuda, dia tidak ingat kalau apa yang masuk dalam perutnya belum dibayar... Dasar orang muda! Pasti dia sedang jatuh cinta..."
Pada satu tempat yang sepi dan banyak ditumbuhi jajaran pohon, Joko hentikan langkah. Dia memilih batangan pohon paling besar dan berdaun rindang yang di kanan kirinya ditumbuhi rumput hijau tebal. Joko langsung sandarkan punggung ke batangan pohon lalu pandangi Dewi Seribu Bunga yang kini telah tegak di hadapannya.
"Dewi... Aku sangat gembira bertemu dengan- mu lagi. Karena pada saat-saat seperti ini, aku butuh seseorang yang bisa kuajak memecahkan urusan yang sedang kuhadapi..." Dewi Seribu Bunga laksana terbang mendengar ucapan Joko.
"Aku akan dengan senang hati menemanimu..." kata Dewi Seribu Bunga lirih. Dada gadis ini berbunga-bunga. Kalau saja dia tidak segera sadar dan perturutkan hati, gadis ini ingin sekali memeluk pemuda yang selama ini tidak bisa dilupakan dan selalu dirindukan.
"Kau tadi belum mengatakan orang..."
"Dia menggelari dirinya Setan Liang Makam!" tukas Joko memotong ucapan Dewi Seribu Bunga. "Barang pusaka miliknya dia sebut-sebut Kembang Darah Setan.... Kau pernah mendengar gelar dan nama barang itu?!" tanya Joko.
Dewi Seribu Bunga gelengkan kepala. Joko rangkapkan kedua tangannya bersedekap. "Apa kau juga pernah dengar tentang seseorang bernama Kiai Lidah Wetan...?!"
Kembali Dewi Seribu Bunga gelengkan kepala. Joko arahkan pandangannya jauh. Lalu bertanya lagi. "Kau pernah dengar sebuah kampung yang dinamai Kampung Setan?"
Untuk kesekian kalinya Dewi Seribu Bunga menjawab dengan gelengan kepala. Joko menghela napas panjang. "Itulah beberapa hal yang membuatku pusing! Seperti halnya dirimu, aku juga tak pernah tahu tentang nama-nama orang, benda pusaka serta kampung yang baru saja kukatakan! Herannya. Semua itu ti-ba-tiba muncul dan melibatkan diriku..."
"Kita perlu segera menyelidik! Mungkin di belakang semua ini ada orang yang sengaja memasang dirimu sebagai umpan..." ujar Dewi Seribu Bunga.
Joko tertawa pendek. "Lalu apa untungnya mereka melibatkan diriku bahkan menjadikan aku sebagai umpan?!"
"Kau seorang pendekar yang sudah dikenal. Tidak mustahil akan banyak orang yang merasa kecewa dengan semua tindakanmu selama ini! Mereka tidak berani langsung menghadapimu, lalu mencari jalan lain. Buktinya orang sudah mengenalmu padahal kau yakin belum pernah bertemu! Kalau tidak diberi tahu orang yang sudah mengenalmu, dari mana mereka tahu?!"
"Aku sudah berpikir ke arah sana. Tapi aku sudah menelusuri satu persatu orang yang kuduga berada di balik semua ini. Tapi sejauh ini tidak seorang pun yang kurasa pantas diduga sebagai biang keladinya!"
"Kalau begitu dugaanmu, sekarang tinggal hanya ada satukemungkinan..."
"Apa...?!" tanya Joko dengan bersungguh-sungguh.
"Kau harus telusuri satu persatu orang yang berada dekat denganmu. Tidak mustahil orang yang selama ini baik terhadapmu tapi di belakangnya menghunus belati dan sewaktu-waktu menikam mu jika kau lengah! Orang seperti ini memang sulit ditelusuri, tapi bencana yang diakibatkan akan lebih berbahaya daripada musuh yang terang-terangan!"
Joko tengadahkan kepala. "Tapi apa mungkin...?!"
Dewi Seribu Bunga tersenyum. "Kau tentunya masih ingat peristiwa di Pulau Biru, bukan?!"
Joko tidak menyahut. Dewi Seribu Bunga tidak menunggu. Dia lanjutkan ucapannya. "Kau pasti masih ingat bagaimana gadis cantik berjubah merah bernama Sitoresmi mengkhianati gurunya Dewi Siluman. Dewi Siluman sendiri selama itu pasti tidak menduga kalau duri itu muncul dari orang terdekatnya!"
"Kau tidak bermaksud mengatakan bahwa di belakang semua ini adalah eyang guruku sendiri, bukan?!" tanya Joko.
Dewi Seribu Bunga gelengkan kepala. "Aku yakin, Pendeta Sinting tidak akan lakukan ini! Tapi kau harus mulai mencari orang yang berada dekat denganmu!"
Joko pejamkan sepasang matanya seolah ber- pikir. Setelah agak lama, tiba-tiba Joko buka matanya lebar-lebar. Lalu berkata. "Aku bodoh! Untung kau memberi jalan! Aku ingat sekarang. Pasti dia!"
"Joko...! Kau kali ini berhadapan dengan orang dalam selimut. Kau jangan gegabah memastikan sebelum jelas benar! Karena risikonya akan membuatmu putus hubungan. Jadi kau harus menyelidik dahulu..."
"Betul! Tapi sedikit banyak aku kini sudah tahu! Dan aku hampir yakin dialah orangnya!"
"Siapa...?!"
"Cucu Dewa!"
Dewi Seribu Bunga pandangi pemuda dihadapannya dengan mata sedikit menyipit. "Aku belum kenal dengan orang yang baru saja kau katakan. Tapi kau mau mengatakan apa alasanmu menduga dialah orangnya?!"
"Dia pernah bersekutu dengan Malaikat Penggali Kubur! Hanya anehnya, tiba-tiba saja dia berpihak padaku waktu terjadi peristiwa di Kedung Ombo! (Baca serial Joko Sableng dalam episode Bara di Kedung Ombo).
"Aku tidak tahu kejadian di Kedung Ombo. Aku hanya mendengarnya saja. Tapi kalau demikian halnya, kau harus berhati-hati padanya! Hanya saja kau masih harus menyelidik dahulu..."
Joko anggukkan kepala. "Kau mau bukan menemaniku menyelidik?!"
BAB 11
GADIS berbaju merah di hadapan Joko tersenyum lalu berkata. "Seandainya kau tidak meminta, aku akan menawarkan diri untuk ikut menyelidik urusanmu ini! Aku... Aku sebenarnya memang mencarimu..."Dewi Seribu Bunga alihkan pandangannya begitu sadar apa yang baru saja diucapkannya. Paras wajahnya berubah merah. Dalam hati gadis ini berkata sendiri. "Mengapa aku berkata terus terang padanya...? Apa nanti dia tidak memandang rendah padaku...? Apa..."
Dewi Seribu Bunga tidak lanjutkan kata hatinya. Karena saat itu kedua bahunya terasa dipegang. Dia makin tidak berani arahkan pandangannya pada Joko yang saat itu telah tegak tepat di hadapannya dengan kedua tangan memegang bahunya. Tapi diam-diam gadis ini merasa damai meski dadanya mulai berdebar.
"Aku tidak bisa mengatakan apa-apa, Dewi... Ucapan terima kasih mungkin terlalu tidak ada artinya dibandingkan kerelaanmu untuk ikut menyelidik urusan ku..."
Dewi Seribu Bunga berpaling. Wajah keduanya kini hanya terpaut satu setengah jengkal. "Kau tak usah mengatakan apa-apa. Aku sudah merasa bahagia kau tidak menolak ku ikut terlibat dalam urusan ini. Mulanya aku ragu-ragu. Karena kau pernah menolak ku waktu geger peristiwa Kitab Serat Biru...."
Joko lepaskan pegangan bahu tangannya pada bahu Dewi Seribu Bunga. Kini kedua tangannya mengambil kedua tangan si gadis dan digenggamnya erat-erat. Seraya memandang lekat-lekat wajah gadis di hadapannya, Joko berkata pelan.
"Saat ini urusannya beda dengan urusan Kitab Serat Biru. Lagi pula terus terang saja, selama ini aku selalu teringat padamu..."
Mendengar ucapan Joko, seolah tak sadar, Dewi Seribu Bunga rebahkan wajahnya di dada Joko. "Aku mencarimu karena sebenarnya aku tak kuasa memendam rasa rindu ingin jumpa denganmu..."
Joko lepaskan pegangan pada kedua tangan Dewi Seribu Bunga. Kedua tangannya terangkat keatas. Lalu sibakkan kunciran rambut si gadis. Saat yang sama wajahnya bergerak dan mencium kuduk Dewi Seribu Bunga.
Dewi Seribu Bunga lingkarkan kedua tangannya pada pinggang si pemuda. Dadanya makin bergelora. Di pihak lain, Joko terus ciumi kuduk si gadis dan perlahan-lahan menjalar pada lehernya. Dewi Seribu Bunga tarik wajahnya dari dada Joko. Saat itulah Joko langsung dekatkan wajahnya ke wajah si gadis. Bibirnya mengulum bibir merah bergetar milik Dewi Seribu Bunga. Mula-mula Dewi Seribu Bunga hanya diam, tapi tak lama kemudian mulai membalas ciuman Joko dengan mata setengah dipejamkan.
Sosok Joko tampak bergetar. Aliran darahnya menyentak-nyentak. Entah berapa lama keduanya saling berciuman, yang pasti pada satu saat tiba-tiba Dewi Seribu Bunga tepiskan kedua tangan Joko yang mulai buka kancing pakaiannya. Malah sebagian da- danya telah terbuka hingga lembahan dua pasang payudaranya yang putih mencuat terlihat jelas.
Namun Joko tidak peduli. Dia angkat kembali kedua tangannya lalu kembali diletakkan di dada si gadis. Sementara wajahnya disorongkan untuk mencari wajah Dewi Seribu Bunga. Mungkin karena terlalu keras sorongan Joko, sementara Dewi Seribu Bunga coba menghindar, tak ampun lagi Joko menubruk sosok Dewi Seribu Bunga hingga kedua orang ini saling jatuh bertindihan di atas rumput tebal.
Dewi Seribu Bunga memekik tertahan. Dia coba meronta dari tindihan sosok Joko. Tapi Joko rupanya sudah tenggelam dalam amukan nafsu. Dia tidak memberi kesempatan pada Dewi Seribu Bunga. Dia langsung menciumi wajah si gadis. Sementara kedua tangannya menggapai ke sana kemari. Malah mulai menarik pakaian bawah Dewi Seribu Bunga hingga paha gadis ini tersingkap lebar.
"Joko! Jangan teruskan...!" bisik Dewi Seribu Bunga sambil pegang tangan Joko yang terus hendak singkapkan pakaiannya.
Joko tidak menyahut. Malah semakin liar dan agak kasar. Dewi Seribu Bunga pejamkan sepasang matanya dengan dada berdebar keras. Gadis ini tampak bimbang. Lalu buka kelopak matanya sambil berkata. Kali ini suaranya sedikit keras.
"Joko! Kau dengar ucapanku, bukan? Ku mohon jangan teruskan...!"
Joko seolah tidak mendengar ucapan orang. Dia terus menciumi wajah Dewi Seribu Bunga dengan tangan coba terus singkap pakaiannya. Dewi Seribu Bunga pegang kedua pundak Joko lalu disentakkan ke belakang. Namun sebelum kedua tangannya menyentak. Kedua tangan Joko telah menangkapnya dan ditindih dengan kedua tangannya.
"Joko! Jangan lupa diri! Aku tak segan memukulmu kalau kau hendak berbuat yang tidak-tidak!" ancam Dewi Seribu Bunga.
Joko lagi-lagi tidak mau hentikan perbuatannya. Malah dengan satu gerakan cepat, tangan kirinya bergerak!
Brettt!
Pakaian bagian dada Dewi Seribu Bunga robek, hingga sepasang payudaranya terbuka lebar. Saat yang sama, tangan Joko satunya bergerak ke bawah.
"Gila! Apa yang akan kau lakukan?!" teriak Dewi Seribu Bunga. Kedua tangannya yang telah lepas dari tindihan kedua tangan Joko menggapai lalu tepiskan wajah Joko. Kakinya disentakkan keatas.
Joko rupanya tahu gelagat. Dia cepat tekankan kedua kakinya, hingga sentakan kedua kaki Dewi Seribu Bunga tertahan. Malah karena tertekan dan baru saja bergerak ke atas, kini kedua kaki si gadis tampak terbuka agak melebar ke samping.
Dewi Seribu Bunga tahu bahaya yang akan mengancam. Dia cepat kerahkan tenaga dalamnya. Serta-merta kedua tangannya dihantamkan ke arah punggung Joko yang masih menindih tubuhnya. Joko sejenak tersentak. Sepasang matanya berapi-api memandang pada wajah di bawahnya.
"Joko! Sadarlah!" teriak Dewi Seribu Bunga.
Joko menyeringai. Senyumnya kali ini lain. Dan seraya tertawa pendek dia gerakkan wajahnya hendak mencium lagi. Saat bersamaan kedua tangannya bergerak. Dewi Seribu Bunga tidak tinggal diam. Dia membiarkan wajahnya diciumi, tapi bersamaan itu tangannya bergerak lagi menghantam dari bawah ke arah lambung samping kanan Joko. Sementara tangan satunya menyentak bahu Joko.
Karena dalam keadaan sangat bernafsu, Joko tidak bisa kuasa diri. Sosoknya terguling ke samping. Sebelum tubuhnya benar-benar terguling, kaki sebelah Dewi Seribu Bunga yang telah bebas lakukan satu tendangan.
Bukkk!
Tubuh Joko terpental bergulingan di atas rumput. Dewi Seribu Bunga cepat bergerak bangkit. Saat Joko hendak angkat kepalanya, Dewi Seribu Bunga melompat lalu tangan kiri kanannya bergerak.
Plakkk! Plaaakkk!
Kepala Joko tersentak ke samping kanan kiri dengan keras. Lalu kepalanya kembali menyentuh rumput dengan mulut berdarah. Dewi Seribu Bunga sesaat pandangi sosok Joko dengan dada disarati berbagai perasaan. Saat lain gadis ini balikkan tubuh begitu sadar kalau pakaian bagian dadanya terbuka. Setelah rapikan pakaian seadanya tanpa berkata lagi dia melangkah tinggalkan tempat itu.
"Tunggu!" teriak Joko sambil bergerak bangkit dan usap darah yang keluar dari mulutnya.
Sepuluh langkah di depan sana, Dewi Seribu Bunga hentikan langkah. Tanpa berpaling gadis ini berkata. "Rupanya kita tidak bisa bersama-sama lagi. Aku melihatmu lain dengan dulu! Kau telah membuyarkan kerinduan yang selama ini kupendam! Kau telah membuatku kecewa! Tidak kusangka kalau kau hendak tega berbuat tidak senonoh padaku! Aku... Aku menyesal bertemu denganmu! Kau rupanya tak beda dengan serigala berbulu domba! Aku selama ini salah duga. Dan aku hampir yakin, bahwa semua urusan yang baru saja kau katakan hanyalah dusta belaka! Dusta! Kau kejam! Kau laki-laki keparat!"
Habis berteriak begitu, Dewi Seribu Bunga tengadahkan kepala. Saat lain dia berkelebat tinggalkan tempat itu dengan sepasang mata berlinang air mata. Joko bergerak bangkit. Dia tidak berusaha berkelebat menyusul. Dia hanya pandangi sosok Dewi Seribu Bunga hingga lenyap didepan sana. Bibirnya yang berdarah sunggingkan senyum. Lalu sambil rapikan pakaian dan rambutnya dia tinggalkan tempat itu.
Dewi Seribu Bunga tidak tahu jelas sudah berapa jauh dia berkelebat. Dia baru hentikan kelebatan tubuhnya saat dirasakan nafasnya tersengal dan dadanya sedikit sesak. Dia memandang berkeliling. Ternyata dia berada pada satu lembah menurun sarat dengan batu-batu karang dan jauh di depan sana terlihat julangan puncak bukit. Dewi Seribu Bunga menghela napas panjang. Kedua tangannya masih terlihat bergetar keras. Dadanya turun naik. Selain baru saja berlari, dirinya juga masih dibungkus guncangan hebat. Lalu perlahan-lahan melangkah dan duduk di salah satu lamping batu seraya berusaha menindih perasaan dan tenteramkan diri.
"Joko..." gumam Dewi Seribu Bunga dengan mata memandang jauh ke bawah. "Mengapa semua itu kau lakukan padaku...? Aku datang jauh-jauh mencarimu karena aku tak bisa melupakan dan menyimpan rasa rindu. Tapi setelah kau kutemukan, kau malah membuatku kecewa dan menyesal. Apa sifatmu sebenarnya memang begitu? Aku hampir saja tidak percaya pada diriku sendiri! Pada apa saja yang baru terjadi! Seandainya kau cepat sadar saat kuperingatkan, mungkin aku masih bisa maklum. Tapi nyatanya kau tidak peduli dengan peringatanku! Malah seolah kau buat-buat dan sepertinya semua ini sudah kau rencanakan terlebih dahulu!"
Dewi Seribu Bunga angkat kedua tangannya mengusap matanya yang basah. "Apa yang harus kuperbuat sekarang? Perjalananku kini rasanya sudah tidak ada ujung pangkalnya! Apa aku harus kembali saja?!" Dewi Seribu Bunga menghela napas panjang. "Dalam keadaan begini, tempat yang sunyi hanya akan menambah beban pikiranku! Namun, melanjutkan perjalanan, aku sudah tak punya tujuan lagi. Mengapa nasibku demikian jelek? Mengapa aku merindukan orang yang ternyata selama ini memendam rencana jijik padaku?! Mengapa?!"
Dewi Seribu Bunga tengadah. Bahunya masih tampak berguncang. "Joko... Apakah kau berbuat begitu karena tahu aku mencarimu dan merindukan mu? Kau lalu memandangku begitu rendah. Ah, rasanya aku masih belum percaya semua ini benar-benar terjadi! Aku juga hampir tidak percaya dengan segala urusan yang kau ceritakan padaku! Tentang Setan Liang Makam, tentang Kembang Darah Setan, tentang Kiai Lidah Wetan bahkan tentang Kampung Setan! Mungkin itu hanya karangan mu belaka agar aku tertarik dan hatiku luluh! Kau tak tahu, Joko! Tanpa adanya ceritamu itu, aku sudah tertarik padamu! Tapi kini aku jadi ragu. Apakah masih tersisa setitik perasaan padamu! Aku jadi takut. Perasaan cintaku akan berubah jadi benci berkarat dan tak akan sirna sebelum tanganku berlumuran darahmu..."
Tanpa sadar Dewi Seribu Bunga angkat kedua tangannya kembali dan dikembangkan di depan wajahnya. Gadis cantik bekas murid tokoh tingkat tinggi golongan hitam yang dikenal dengan julukan Maut Mata Satu dan akhirnya diambil murid oleh Dewi Es setelah peristiwa Pulau Biru ini tersentak kaget. Sepasang matanya melihat paras wajah Joko di kedua telapak tangannya!
Dan dari sela-sela jarinya terlihat darah merah mengalir deras hingga sirnakan bayangan wajah Joko. Dewi Seribu Bunga menggigit bibirnya. Bayangan tumpahan darah di telapak tangannya lenyap. Saat lain gadis ini telah tekapkan kedua telapak tangan pada wajahnya. Lalu terdengar isakan tangisnya.
BAB 12
DEWI Seribu Bunga tidak tahu sampai seberapa lama dia tenggelam dalam gejolak yang membuat dadanya laksana hendak pecan dan air matanya mengalir. Yang pasti, pada satu saat tiba-tiba dia merasa tidak sendirian di tempat itu. Gadis berparas cantik yang kini telah diangkat jadi murid oleh Dewi Es ini cepat seka air matanya."Apakah dia mengikutiku?! Kalau benar, apa yang harus kulakukan?! Menemuinya dan memaklumi apa yang baru saja hendak diperbuatnya padaku? Atau langsung saja menggebuknya?! Hem... Aku memang selalu merindukannya, tapi kalau dia punya niat keji padaku, apa artinya?! Dia baru saja akan bertindak kurang ajar padaku. Manusia macam dia perlu diberi pelajaran agar tidak mengambil korban lebih banyak lagi!"
Dewi Seribu Bunga tegarkan hati. Bagaimanapun juga orang yang akan dihadapinya adalah seorang yang selama ini dirindukan dan orang mana dia telah tetapkan pilihan sebagai labuhan hati. Dia tindih kuat-kuat perasaan bimbang dan ragu. Seraya kerahkan tenaga dalam pada kedua tangannya, dia cepat sentakkan kepala ke belakang.
Sesaat sepasang mata Dewi Seribu Bunga membesar. Hanya sejarak lima langkah di belakangnya duduk seorang nenek berambut putih. Sepasang matanya melotot besar. Pada rambutnya yang disanggul tinggi tampak tusuk konde besar berwarna hitam. Nenek ini mengenakan pakaian panjang warna coklat.
Melihat dirinya diperhatikan, si nenek sunggingkan senyum. Namun karena wajahnya angker, senyumnya tidak membuat Dewi Seribu Bunga merasa lega. "Gadis cantik... Apakah keberadaanku di sini membuatmu terganggu?!" menegur si nenek. "Aku tadi sebenarnya hendak mengatakan keberadaanku di sini. Tapi karena kulihat kau sedang terlena, niatku kubatalkan..."
Mungkin karena masih merasa geram dengan peristiwa yang baru saja dialaminya, Dewi Seribu Bunga segera menyahut dengan suara agak keras. "Kita belum saling kenal! Kuharap katakan siapa kau sebenarnya...!"
Si nenek tersenyum meski terlihat sekali dipaksakan. "Aku seorang perempuan yang telah banyak makan garam kehidupan! Melihat kau berada di tempat sepi begini dan tenggelam dalam isak tangis sampai tidak merasa kehadiran orang lain, aku bisa menebak apa yang saat ini menimpamu! Siapa pun orang yang mengalami apa yang kini sedang menimpamu, pasti akan lebih senang berada sendirian di tempat sepi! Tapi menurutku, itu bukanlah satu-satunya jalan yang dapat mengubah keadaan! Kau akan makin tenggelam...!"
"Harap tidak menduga-duga seenaknya! Aku pun tidak butuh nasihatmu! Kalau kau tak mau sebutkan diri, adalah lebih baik segera tinggalkan tempat ini!"
Si nenek kerutkan dahi seraya memandang lekat-lekat pada gadis di hadapannya. Entah sadar atau tidak, si nenek bergumam. "Kalau saja aku tidak pernah mengalami hal yang sama sepertimu saat masih muda, sudah sejak tadi-tadi aku tinggalkan tempat ini!" Lalu seraya bergerak bangkit, si nenek berkata agak keras.
"Aku Ni Luh Padmi! Selamat tinggal!" Si nenek yang sebenarnya tidak lain memang Ni Luh Padmi adanya segera putar diri. (Mengenai Ni Luh Padmi baca serial Joko Sableng dalam episode Muslihat Sang Ratu).
"Nek, tunggu!" Dewi Seribu Bunga menahan gerakan Ni Luh Padmi yang hendak melangkah.
Tanpa berpaling ke belakang, Ni Luh Padmi berucap. "Aku ingin tahu, apakah kau telah dapat tenangkan diri?! Kalau tidak, percuma kita bicara!" Nada suara si nenek terdengar agak ketus.
"Ucapannya tadi membuktikan kalau dia memang pernah mengalami seperti hal yang saat ini sedang ku alami. Tidak ada salahnya aku berbincang dengannya! Aku perlu orang yang bisa kuajak berbagi rasa..."
Membatin begitu, akhirnya Dewi Seribu Bunga berkata seraya bergerak putar tubuh. "Maafkan kalau aku tadi bicara keras padamu. Nek... Aku..." Dewi Seribu Bunga tak kuasa lanjutkan ucapannya.
Ni Luh Padmi balikkan tubuh. Memandang sejurus pada si gadis yang duduk bersandar menghadap dirinya. Kepala si nenek menggeleng perlahan. "Aku tahu mengapa kau berkata keras padaku. Aku maklum..." Ni Luh Padmi maju dua tindak lalu perlahan-lahan duduk dihadapan Dewi Seribu Bunga. "Siapa namamu, Gadis Cantik..."
Dewi Seribu Bunga usap sepasang matanya yang dirasa kabur karena masih tergenang air mata. "Nek... Rasanya tidak ada artinya pujianmu itu. Karena wajah cantik hanya mendatangkan nafsu kotor!"
"Aku tahu... Itu kita bicarakan nanti. Sekarang katakan dahulu namamu, atau barangkali kau punya gelar? Kulihat dari gerak-gerik mu, kau seorang gadis yang punya ilmu..."
"Aku hanya gadis biasa, Nek! Aku Dewi Seribu Bunga..."
"Nama bagus. Sesuai dengan yang menyandang!" puji Ni Luh Padmi membuat paras wajah Dewi Seribu Bunga merebak merah merona.
"Sayang... Nasibmu mungkin tidak sebagus namamu! Mau katakan apa yang sedang kau alami, Dewi...?!"
Dewi Seribu Bunga tidak segera menjawab. Parasnya bimbang. Seolah dapat menangkap kebimbangan orang, Ni Luh Padmi segera sambung ucapannya.
"Kita memang baru saling kenal! Di antara kita tidak ada silang sengketa! Lebih dari itu, kita sama-sama perempuan! Aku tidak berniat ikut campur urusanmu. Tapi bicara dari hati ke hati kurasa tidak ada ruginya bagi kita! Hem... Namun kalau kau ragu-ragu, memang tidak usah kau katakan!"
"Nek... Ucapanmu tadi membuatku bertanya- tanya. Apa kau memang pernah mengalami seperti yang saat ini kuhadapi?!"
"Tiap manusia punya pengalaman sendiri- sendiri! Tapi sikap seorang gadis sepertimu mudah sekali ditebak sedang dilanda kemelut apa!" Ni Luh Padmi arahkan pandangannya ke jurusan lain. Tatapannya terlihat kosong.
"Asmara... Dan kecewa! Bukankah itu yang kini sedang menyelimuti hatimu?" tanya Ni Luh Padmi seraya masih memandang jauh. Lagi-lagi Dewi Seribu Bunga tidak segera menyahut. Ni Luh Padmi berpaling pada Dewi Seribu Bunga.
"Tiga hal yang harus kau lakukan, Dewi... Pertama, lupakan laki-laki yang membuatmu kecewa! Kedua, cari segera pengganti! Kalau kau tidak bisa lakukan keduanya, pilih paling akhir, bunuh laki-laki yang membuatmu kecewa!"
Dewi Seribu Bunga tersentak mendengar ucapan si nenek. "Dari nada bicaranya, jelas kalau nenek ini pernah disakiti!" Membatin si gadis lalu berkata.
"Tiga hal yang mudah diucapkan. Tapi rasanya tidak mudah melakukannya, Nek!"
Ni Luh Padmi mendadak tertawa panjang. "Itulah kebodohan yang sering dilakukan perempuan! Dia lebih mendahulukan perasaan daripada kenyataan! Dia lebih suka menderita berkepanjangan daripada membuat perhitungan tuntas!"
"Apakah kau sekarang sedang melakukan perhitungan itu, Nek?" tanya Dewi Seribu Bunga.
"Hem... Kau pintar juga melihat arah bicara orang! Tapi bukan berarti aku akan cerita padamu ten- tang urusanku..."
Dewi Seribu Bunga tersenyum. "Nek... Kau tadi mengatakan kita memang baru kenal. Di antara kita juga tidak ada silang sengketa! Kita pun sama-sama perempuan. Aku tidak bermaksud ikut campur urusanmu. Tapi menurutmu tadi, tidak ada ruginya kita bicara dari hati ke hati. Menurut dugaanku, kau juga sedang di landa asmara, dan kecewa! Dan saat ini kau tengah lakukan pilihan paling akhir..."
Paras muka si nenek berubah. Dia menahan napas dengan kepala mendongak. Namun sejauh ini dia belum buka mulut lagi. Dia seakan masih coba menekan perasaan. Di lain pihak, Dewi Seribu Bunga menunggu dengan dada berdebar keras. Dia kembali teringat akan kejadian yang baru saja dialaminya. Dan diam-diam dia memikirkan ucapan si nenek.
"Apakah mungkin aku dapat begitu saja melakukannya? Dan kurasa sulit untuk mencari penggantinya! Tapi bisakah aku melakukan pilihan terakhir seperti ucapan nenek itu?! Membunuh Joko...?!" Kepala gadis ini bergerak menggeleng perlahan. "Rasanya sulit bagiku melakukan ketiganya..."
"Dewi..." tiba-tiba Ni Luh Padmi sudah buka suara. "Karena kita sama perempuan, memang ada baiknya kita saling membagi cerita. Tapi kau harus cerita dahulu padaku..."
Dewi Seribu Bunga sejurus memandang pada si nenek. Lagi-lagi si nenek dapat menangkap perasaan bimbang gadis di hadapannya. Tapi kali ini si nenek tidak mau menunggu. Dia segera buka mulut mendahului Dewi Seribu Bunga.
"Siapa laki-laki yang membuatmu berada di sini tenggelam dalam tangis dan kecewa?!"
"Untuk menjaga agar kita tidak saling ikut campur urusan yang lain, bagaimana kalau aku tidak sebutkan namanya?!"
"Hem... Begitu, terserah padamu!"
Dewi Seribu Bunga memandang sekali lagi pada Ni Luh Padmi, lalu beralih ke bawah sana ke lereng-lereng lembah seraya berkata. "Pada mulanya aku mendapat tugas dari guruku untuk mencari sebuah benda pusaka. Namun ternyata seseorang telah mendahuluiku! Guruku lantas memerintahkan padaku merebut benda itu dari orang yang telah berhasil mendapatkannya dan membunuh pemiliknya! Tapi aku gagal melaksanakan tugas Guru. Malah aku mulai tertarik pada orang yang seharusnya kubunuh karena orang itulah yang telah mendapatkan benda pusaka itu! Hingga pada satu saat, terjadi peristiwa besar yang membuat guruku tewas! Aku lantas diambil murid oleh seseorang!"
Sejenak Dewi Seribu Bunga hentikan keterangannya, Masih dengan memandang jauh ke lereng lembah, gadis ini lanjutkan keterangan. "Selama berpisah dengan pemuda yang telah mendapatkan benda pusaka, itu, siang malam aku tak bisa melupakannya. Aku selalu ingin jumpa. Namun karena guruku masih mencegah kepergianku, aku terpaksa memendam kerinduan ini! Hingga pada satu kesempatan, guruku mengizinkan aku keluar dari tempatnya. Kesempatan ini tak ku sia-siakan. Aku berusaha mencarinya. Dan usahaku tidak percuma. Aku jumpa dengannya. Aku sangat gembira. Lebih-lebih setelah dia mengatakan kalau sebenarnya dia juga tidak bisa melupakan ku! Tapi kegembiraan dan tumpahan rindu ku nyatanya tidak berlangsung lama, karena..."
"Dia telah punya kekasih lain! Dan kau melihat dengan mata kepalamu sendiri!" tukas Ni Luh Padmi.
Dewi Seribu Bunga gelengkan kepala perlahan, membuat Ni Luh Padmi kerutkan dahi. "Kalau hanya punya kekasih lain, mungkin aku masih bisa memakluminya, karena dia adalah seorang pemuda tampan dan berilmu. Gadis-gadis pasti akan berusaha mendekati. Malah kalaupun dia bersama gadis lain di depan mataku, aku mungkin masih bisa menahan diri. Karena dialah orang yang selama ini memenuhi hari-hari ku. Kalau aku tidak menyukainya, aku bahkan akan mengatakan suka!"
"Gila! Itu hanya akan membawamu terperosok ke jurang kehancuran! Kau hanya turutkan perasaan! Tanpa menimbang baik buruknya! Bahkan mungkin kau akan mengatakan baik meski dia manusia keji! Bukankah begitu...?! Selanjutnya kau akan rela korbankan nyawa walau demi kehidupannya dengan perempuan lain!"
Dewi Seribu Bunga terdiam mendengar, ucapan keras Ni Luh Padmi. Di hadapannya, si nenek tampak komat-kamitkan mulut. Lalu berucap lagi meski nadanya sudah direndahkan.
"Dewi... Aku dahulu hampir punya perasaan yang sama dengan dirimu. Namun, pada akhirnya aku menyesali semua ketololan itu! Kau tahu apa akhirnya yang kudapat? Duka rana seumur hidup! Dan dendam berkarat!"
"Nek... Jadi itukah yang membuatmu memilih jalan paling akhir?" Bertanya Dewi Seribu Bunga.
"Aku tahu. Saat ini juga pasti kau tidak bisa melupakannya dan mencari pengganti! Bahkan mungkin kau masih ragu-ragu untuk lakukan pilihan terakhir membunuhnya! Tapi perlu kau ketahui, Anak Cantik... Itulah akhirnya yang membuatku sengsara! Aku tidak cepat ambil keputusan dan bimbang! Kalau tidak,hari ini pasti aku tidak berada disini!"
"Hem... Berarti nenek ini sedang dalam perja-lanan mencari kekasihnya dahulu! Dan yang pasti, dia akan membunuhnya!" kata Dewi Seribu Bunga dalam hati. Lalu gadis ini utarakan apa yang ada di dalam hatinya.
"Siapa orang yang saat ini tengah kau cari, Nek...?!"
"Agar antara kita tidak ada yang saling ikut campur urusan, lebih baik kau tak usah tahu siapa orangnya!"
"Dari namamu kuduga kau bukan dari daerah tanah Jawa..."
Ni Luh Padmi tidak menyahut. Dewi Seribu Bunga lanjutkan ucapannya. "Nek, aku dilahirkan di tanah Jawa. Sedikit banyak aku tahu siapa orang yang namanya sudah dikenal. Mungkin aku bisa membantumu..."
Ni Luh Padmi tertawa. "Terima kasih... Tapi aku tidak mau merepotkan mu. Aku memang bukan dari tanah Jawa. Dan orang yang kucari memang di tanah Jawa ini. Lebih dari itu aku telah menemukan orang yang kucari!"
"Ah.... Berarti kau telah membunuhnya...!"
Ni Luh Padmi gelengkan kepala. "Jahanam itu berhasil lolos dari tanganku! Tapi bukan berarti nyawanya akan lama bersemayam di tubuhnya! Ini gara-gara kebodohan ku sendiri!" Entah sadar atau tidak, Ni Luh Padmi akhirnya menceritakan perjalanannya.
"Belum lama berselang terjadi kegegeran di Kedung Ombo. Dari beberapa orang yang kutemui, serta dari penyelidikanku sendiri, aku menduga orang yang kucari akan muncul di Kedung Ombo. Dugaanku tidak meleset. Namun aku sedikit lengah dan terkecoh. Karena jahanam itu muncul di Kedung Ombo dengan menyamar. Aku baru mengetahuinya setelah aku ditolong olehnya." (Baca peristiwa ini pada episode Bara di Kedung Ombo).
Ni Luh Padmi menghentikan penuturannya sejenak. Lalu lanjutkan ucapannya. "Saat itu aku menyesal! Membiarkan orang yang harus kubunuh memberi pertolongan padaku! Aku memaki diri sendiri yang bodoh dan lengah. Tapi aku juga masih menimbang, kalau saat itu aku membunuhnya, hal itu tak mungkin. Aku turut terlibat dalam kegegeran itu dan terluka. Sementara jahanam itu meski juga terluka, namun saat itu bersama-sama beberapa orang sahabatnya yang ku maklumi berilmu tinggi-tinggi. Hingga aku menindih perasaan dan mencari saat yang baik..."
Kembali Ni Luh Padmi hentikan penuturannya seraya menghela napas panjang. Lalu sambung ucapannya. "Jahanam itu berusaha merayu ku. Tapi sejak pertama kali melangkah dari lereng Gunung Agung, aku telah bertekad untuk mencabut nyawanya, hingga jangankan dia merayu, menyembah tujuh hari tujuh malam mencium kakiku, aku tidak akan surutkan niat! Begitu kami telah terpisah dari beberapa sahabatnya, dia mengatakan hendak mengajakku ke tempat tinggalnya! Saat itulah kupikir waktu yang baik untuk lenyapkan nyawanya. Aku bukan saja menolak diajak ke tempat tinggalnya, tapi aku langsung menyerangnya habis-habisan! Pada mulanya jahanam itu pura-pura tidak mau melawan. Aku tidak peduli! Baik melawan atau tidak, bagiku nyawanya harus putus! Aku menghujaninya dengan beberapa pukulan. Hingga nyawanya hampir saja melayang seandainya tidak muncul seseorang yang menyelamatkannya dan membawanya pergi!"
Ni Luh Padmi mendongak. Wajahnya menge- lam. Jelas kalau si nenek coba menekan perasaan geram. Di hadapannya, Dewi Seribu Bunga mendengarkan dengan seksama. Gadis ini belum buka mulut menyahut. Dia seolah menunggu sampai si nenek selesai dengan penuturannya, karena diam-diam dia merasa tidak enak begitu mengetahui kalau Ni Luh Padmi ikut terlibat dalam kegegeran di Kedung Ombo. Karena dia baru saja mendapat keterangan dari Joko apa saja yang terjadi di Kedung Ombo. Dia merasa yakin kalau si nenek telah tahu siapa Joko.
"Aku berusaha mengejar. Tapi keparat yang menyelamatkan jahanam itu berilmu tidak rendah. Dia berhasil hilang dari kejaranku! Bahkan aku juga tidak berhasil mengetahui siapa dia orangnya! Yang pasti dia adalah seorang perempuan! Mungkin saja gendak barunya!"
"Kau tidak mendatangi tempat tinggalnya?!" Dewi Seribu Bunga bertanya. Gadis ini coba bertanya dengan kaitkan tempat tinggal orang yang dicari si nenek dengan harapan dia akhirnya akan mengetahui siapa orangnya.
"Percuma aku ke tempat tinggalnya. Dia pasti tidak mungkin bersembunyi di sana!"
"Kau tahu di mana tempat tinggalnya?!"
"Aku pernah mengobrak-abrik tempat tinggalnya! Tapi jangan tanya di mana tempat itu!"
Dewi Seribu Bunga simpan rasa kecewanya, Ni Luh Padmi tidak sebutkan di mana tempat tinggal orang yang dicari. Namun gadis ini tidak kehilangan akal, dia bertanya lagi. "Kalau dia seorang yang terkenal dalam kalangan dunia persilatan, tentu dia punya seorang murid. Kau tidak coba mencari keterangan dari muridnya?"
"Jahanam itu memang punya seorang murid! Tapi rasanya percuma juga mencari keterangan dari murid jahanam itu! Karena antara murid dan gurunya tidak ada bedanya!"
"Tidak ada bedanya bagaimana, Nek?!" Dewi Seribu Bunga terus menyelidik.
"Keduanya sama gilanya! Bahkan si murid kurasa akan lebih gila lagi di masa mendatang! Tapi aku tak akan membiarkan murid jahanam itu, karena dia telah berani mempermainkan aku! Dia kelak juga harus mendapat hajaran!"
"Apakah muridnya juga muncul di Kedung Ombo, Nek...?!"
Ni Luh Padmi kali ini tidak segera menjawab. Sebaliknya memandang lekat-lekat pada Dewi Seribu Bunga. "Jangan-jangan kau hendak mengorek keterangan dari mulutku!"
Dewi Seribu Bunga terkejut. Wajahnya merah padam. Namun gadis ini segera sunggingkan senyum seraya menggeleng. "Apa untungnya keterangan darimu, Nek... Kalaupun aku bertanya, semata-mata karena ingin tahu. Kudengar seorang pemuda juga muncul di Kedung Ombo saat kegegeran itu terjadi..."
"Hem... Kau tadi belum katakan apa sebabnya kau tenggelam menangis sendirian di sini!" Ni Luh Padmi alihkan pembicaraan, membuat Dewi Seribu Bunga harus menelan kecewa lagi. Dan pertanyaan si nenek membuat wajahnya berubah murung.
"Kalau bukan karena ada perempuan lain, pasti ada sesuatu yang hebat yang membuatmu kecewa dengan laki-laki pujaan mu itu! Aku ingin tahu..." ujar Ni Luh Padmi.
"Dia telah menuturkan ceritanya. Tidak baik kalau aku sembunyikan perihal ini. Lagi pula dia tidak akan kuberi tahu siapa adanya orang yang membuatku kecewa..."
Setelah membatin begitu, akhirnya Dewi Seribu Bunga berkata. "Dia telah berani hendak berbuat tidak senonoh padaku..."
"Keparat!" Tiba-tiba Ni Luh Padmi memaki, membuat Dewi Seribu Bunga tersentak. Tapi sebelum lebih jauh Dewi Seribu Bunga memberi keterangan, si nenek telah buka mulut.
"Pada laki-laki macam begitu kau masih menimbang-nimbang?! Pada laki-laki jahanam begitu kau masih rela keluarkan air mata?!"
Ni Luh Padmi tertawa, namun laksana direnggut setan, dia putuskan tawanya sendiri lalu berucap. "Jika saja aku jadi kau, Dewi... Aku tidak akan pikir panjang lagi! Bukan hanya membunuhnya tiga kali, tapi membetot senjatanya!"
Mendengar ucapan si nenek, paras muka Dewi Seribu Bunga merah padam. Namun gadis ini masih bisa memahami mengapa si nenek sampai berkata begitu. Dia adalah orang yang baru saja gagal lampiaskan dendam meski telah menemukan orangnya.
"Dewi..." kata Ni Luh Padmi. "Siapa laki-laki itu?!"
Dewi Seribu Bunga gelengkan kepala. "Biarlah dia jadi urusanku sendiri, Nek... Kau masih punya urusan lain!"
"Tapi setidaknya aku bisa memberi sedikit hajaran pada senjatanya biar tidak berlaku kurang ajar pada gadis-gadis lain! Orang macam dia pasti sudah banyak memakan korban!"
"Ah... Dugaanmu mungkin tidak benar, Nek... Mungkin saja saat itu..."
"Gila!" Si nenek telah memotong ucapan Dewi Seribu Bunga. "Pada orang yang telah benar-benar hendak menghancurkan masa depanmu kau masih juga membelanya!"
"Aku tidak membelanya, Nek! Karena menurut penglihatanku selama ini, juga menurut yang banyak kudengar, dia orang baik. Hanya..."
"Hanya apa...?!" sahut Ni Luh Padmi.
Dewi Seribu Bunga tidak menjawab. Gadis ini sendiri sebenarnya masih bimbang. Dia masih bingung tak habis pikir mengapa Joko tega hendak melakukan itu padanya. Melihat Dewi Seribu Bunga tidak menyahut, Ni Luh Padmi segera berkata.
"Kau tidak bisa teruskan ucapanmu. Berarti terusannya adalah, dia orang baik, tapi tingkahnya menjijikkan dan keji! Kau tahu, Dewi... Seorang laki-laki yang tulus, tidak akan berbuat macam-macam! Apalagi sampai hendak memperkosa mu! Sebaliknya dia akan menjaga perasaan dan kehormatanmu! Kau jangan perturutkan cinta dan cinta! Cinta hanya berkaitan dengan nafsu! Begitu nafsunya terpenuhi, maka dengan sendirinya cinta itu akan pudar dan lenyap!"
"Apa kau mengalami begitu, Nek?!"
"Sialan! Kalau jahanam yang kucari itu sampai berani berbuat begitu, sudah dulu-dulu nyawanya ku cabut dan senjatanya kurencah!"
Meski ngeri mendengar ucapan Ni Luh Padmi, tapi mau tak mau membuat Dewi Seribu Bunga menahan tawa. Gadis ini hendak buka mulut, namun bersamaan dengan itu, Ni Luh Padmi telah berkata sambil hadapkan wajahnya ke arah barat.
"Sebentar lagi hari akan gelap! Aku harus pergi. Tapi sebelumnya kau mau katakan siapa laki-laki kurang ajar itu?!"
Dewi Seribu Bunga gelengkan kepala. "Kita sudah sepakat tidak akan libatkan diri dengan urusan masing-masing! Jadi biarlah urusan ini kuselesaikan sendiri. Kalau kita nanti berjumpa lagi, pasti akan kuceritakan padamu siapa dia, asalkan kau juga berterus terang mengatakan siapa orang yang kau cari untuk yang kedua kalinya ini..."
"Hem..." Ni Luh Padmi menggeleng perlahan. "Cinta kadangkala memang membelenggu tangan dan kaki, bahkan mulut! Tapi jika cinta itu pudar, bukan saja belenggunya yang akan lepas, tapi tidak tertutup kemungkinan belenggu itu sendiri yang akan jadi senjata pembunuh!"
Ni Luh Padmi beranjak bangkit. Dia memandang sekilas pada Dewi Seribu Bunga. "Satu hal lagi yang harus kau perhatikan, Dewi... Jangan percaya pada cinta! Karena sekali langkahmu masuk, itulah awal langkahmu menuju kehancuran! Dan sekali kau masuk, tidak mungkin kau menapak langkah untuk kembali!"
Habis berkata begitu, Ni Luh Padmi tersenyum lalu berkelebat ke arah timur. Dewi Seribu Bunga sejenak perhatikan sosok si nenek. "Ucapannya ada benarnya, tapi terlalu berlebihan. Hem... Mungkin karena dia masih dibungkus dengan dendamnya akibat cinta..."
Begitu sosok Ni Luh Padmi lenyap di depan sana, Dewi Seribu Bunga berkelebat menuruni lembah. Namun pikirannya kini tambah bingung. Dan berbagai hal makin sarat memenuhi dadanya.
BAB 13
BAIK Dewi Seribu Bunga maupun Ni Luh Padmi tidak sadar, bahwa sejak tadi satu sosok tubuh tampak mengendap-endap pada salah satu lamping batu tanpa membuat gerakan atau suara. Meski orang ini sembunyi agak jauh, namun telinganya masih dapat mendengar apa yang diperbincangkan si gadis dan si nenek.Begitu Dewi Seribu Bunga berkelebat menuruni lembah, orang di lamping batu bergerak keluar. Memandang sejenak ke arah kelebatannya sosok Dewi Seribu Bunga. Bibir orang ini sunggingkan senyum. Dia bukan lain adalah Joko yang baru saja akan memperkosa Dewi Seribu Bunga. Lalu pemuda ini arahkan pandangannya ke timur, arah yang diambil Ni Luh Padmi. Saat lain pemuda ini berkelebat ke arah timur.
Meski malam telah jatuh, namun cahaya sang rembulan yang tinggal separo masih mampu membuat lintasan bumi agak terang. Apalagi saat itu hamparan langit tidak digantungi buntalan awan hitam. Hingga walau sejenak tadi tampak kebingungan tentukan arah, namun pada akhirnya si pemuda yang mengejar kelebatan sosok Ni Luh Padmi dapat mengetahui jejak si nenek.
Di lain pihak, mungkin karena baru mengenai daerah yang dilewati, Ni Luh Padmi tampak tidak mempercepat larinya. Kalaupun dia terlihat berkelebat cepat, itu hanya saat melewati jalan agak besar dan lurus. Pada satu tempat agak lapang yang jauh dari jajaran pohon dan semak belukar, mendadak Ni Luh Padmi hentikan larinya. Kepalanya mendongak sementara sepasang matanya melirik ke samping kanan kiri. Telinganya dipasang baik-baik.
"Sejak dari lembah menurun tadi, kurasa ada orang yang mengikutiku! Apakah gadis tadi?! Hem... Mengapa dia mengikutiku?! Tapi..."
Si nenek tak teruskan kata hatinya. Dia lebih pertajam pendengaran. "Hem... Dia berada tidak jauh dari sini. Mungkin berada di potion yang berbatasan dengan tanah lapang ini. Aku harus memancingnya keluar! Di depan sana ada beberapa pohon dan semak belukar. Saat aku tiba disana, pasti dia akan melewati tanah lapang ini. Hem..."
Si nenek sekali lagi tajamkan telinga. Lalu berkelebat teruskan lari. Begitu sampai pada jajaran pohon di depan, Ni Luh Padmi makin percepat larinya, lalu tiba-tiba membelok pada salah satu batangan pohon dan menyelinap sembunyi dengan mata memandang tak berkesip ke arah tanah lapang yang baru dilewatinya. Ni Luh Padmi tidak menunggu lagi. Baru saja sepasang matanya mementang, dari satu batangan pohon di seberang, satu sosok bayangan putih berlari cepat melintasi tanah lapang.
"Jahanam! Manusia lain!" desis si nenek, lalu cepat berkelebat keluar dan tahu-tahu sosoknya telah tegak menghadang lajunya orang yang berlari melintasi tanah lapang.
"Sebutkan nama dan apa tujuanmu mengikutiku!" bentak si nenek.
Orang yang berlari sesaat tampak tersentak kaget. Dan buru-buru hentikan larinya seraya memandang ke depan. Belum sampai orang yang ditanya buka mulut, tiba-tiba si nenek telah melompat ke depan dan tegak hanya sejarak lima langkah dari hadapan orang. Sepasang matanya langsung mendelik angker.
"Kau!" desis Ni Luh Padmi saat mengetahui siapa orang dihadapannya.
Lagi-lagi orang di hadapan Ni Luh Padmi yang bukan lain adalah si pemuda yang mencuri dengar pembicaraan Ni Luh Padmi dan Dewi Seribu Bunga tersentak. Namun saat lain pemuda ini telah sunggingkan senyum.
"Bagus! Nyatanya aku tidak usah mencarimu! Kau yang datang sendiri mencari mati! Tapi nyawamu masih kuampuni asal kau mau jawab satu pertanyaanku!" Ni Luh Padmi sudah buka mulut. "Di mana kau simpan gurumu!"
Yang ditanya tidak segera menjawab. Namun diam-diam si pemuda membatin. "Aku belum mengenal betul nenek jahanam ini! Tapi dari kaitan pembicaraannya tadi dengan apa yang ditanyakan, aku bisa segera menduga kalau yang dicari adalah Pendeta Sinting! Hem... Satu kebetulan yang tidak terduga..."
"Anak sinting! Kau dengar ucapanku! Lekas jawab!"
Yang dibentak lagi-lagi sunggingkan senyum sebelum akhirnya buka mulut. "Nek! Yang kau maksud guruku, guruku yang mana?!"
"Keparat! Siapa lagi kalau bukan manusia sinting itu!"
"Bukankah kau pergi berdua saja setelah peristiwa Kedung Ombo?! Bagaimana kau bisa tanya padaku?! Justru seharusnya aku yang tanya padamu! Kau bawa ke mana guruku?!"
Ni Luh Padmi sejenak tampak terdiam. Tapi saat lain dan telah membentak lagi. "Gurumu lolos dari tanganku bersama gendaknya! Kau pasti tahu di mana mendekamnya gendak gurumu! Katakan padaku!"
"Ah... Nek! Aku sekarang tidak akan mempermainkan mu lagi! Apalagi setelah aku mendengar apa urusanmu dengan guruku! Terus terang aku tidak suka punya seorang Guru yang menyia-nyiakan seorang perempuan..."
"Hem... Bagus! Tapi jangan harap aku percaya ucapanmu! Kau pasti tak beda dengan gurumu!"
"Ah... Kau masih juga salah sangka! Aku..."
"Jangan banyak mulut! Katakan di mana mendekamnya gendak gurumu!" potong Ni Luh Padmi.
"Nek... guruku mempunyai beberapa gendak dan perempuan simpanan! Kau bisa katakan bagaimana ciri-cirinya?!"
Meski saat itu pancaran sinar rembulan tidak begitu terang, namun si pemuda dapat dengan jelas melihat perubahan pada wajah si nenek di hadapannya. Malah tubuh nenek itu bergetar keras dengan mulut komat-kamit. Tanda sedang menindih perasaan geram.
"Bajingan betul! Saat itu aku tidak jelas melihat bagaimana orangnya. Hemm. Tapi kalau dia mau sebutkan beberapa nama dan tempat tinggalnya, sudah cukup bagiku mencari jejaknya..." Ni Luh Padmi membatin dalam hati. Lalu berkata.
"Gendak gurumu tidak jelas kulihat tampangnya! Tapi kurasa kau dapat menduga-duga siapa orangnya dan di mana tempatnya! Tapi ingat, Anak Sinting. Kalau kau berkata dusta, kelak kulumat mulutmu!"
Si pemuda mendongak seolah berpikir. Sesaat kemudian dia angkat bicara. "Guruku punya beberapa gendak. Tapi yang paling disayang dan berilmu tinggi cuma satu. Kurasa dia berada di sana..."
"Persetan disayang atau berilmu tinggi! Aku tanya siapa dan di mana!" hardik Ni Luh Padmi dengan mata mendelik besar.
"Namanya Nyai Tandak Kembang..."
"Hem... Tinggalnya?!" Tak sabar si nenek menyahut.
"Di sebuah goa di sebelah samping Bukit Kalingga. Perjalanan setengah hari dari sini ke arah utara!"
"Hem... Bagaimana ciri-cirinya tampang manusia itu?!"
"Kau kelak akan tahu sendiri jika sampai di sana..."
"Hem... Lalu siapa lagi kira-kira yang kau duga di tempati gurumu saat ini?!"
"Nek! Antara beberapa gendak guruku tidak saling akur! Malah saat ini mereka saling berlomba untuk membunuh Guru meski dengan jalan belakang dan diam-diam! Jadi kalau kau tidak menemukan di Bukit Kalingga, kau bisa tanyakan pada Nyai Tandak Kembang! Pasti dia akan tunjukkan padamu! Asal kau bisa merayu..."
"Keparat! Siapa sudi merayu! Kalau dia tidak mau katakan, aku tak segan memutus sekalian nyawanya!" sentak Ni Luh Padmi.
"Ah, kalau begitu maumu, silakan! Aku pun sebenarnya sangat tidak suka pada beberapa gendak guruku! Jika saja tidak memandang Guru, sudah ku cabut nyawanya satu persatu!"
Ni Luh Padmi tampak sunggingkan senyum dingin mendengar ucapan si pemuda. "Siapa percaya pada ucapan murid manusia sinting sepertimu, Bocah! Bagaimanapun juga kau pasti masih mendapat didikan dari gurumu cara mendustai orang! Tapi, kau jangan coba-coba berkata dusta padaku!"
Si pemuda tertawa panjang mendengar kata-kata Ni Luh Padmi. "Sejahat-jahatnya seorang Guru, tak mungkin dia mengajari cara mendustai orang, Nek! Dan kalaupun seorang murid berkata dusta, itu..."
"Sudah!" tukas si nenek. "Kau banyak mulut seperti jahanam gurumu!"
"Ah... Dari tadi kau selalu memaki-maki guruku! Padahal kulihat kalian begitu mesra saat di Kedung Ombo..."
"Sialan! Kalau saat itu jahanam gurumu tidak menyamar, sudah sejak kemunculannya kutamatkan riwayatnya! Dan kau jangan coba-coba berani mengungkit peristiwa Kedung Ombo! Saat itu aku tidak minta bantuanmu! Jadi jangan berkata tentang segala budi!"
Si pemuda lagi-lagi tertawa mendengar ucapan si nenek. "Aku tidak mengatakan segala budi! Aku hanya mengingatkan, bahwa kau harus berhati-hati!"
Seperti diketahui, saat terjadi peristiwa Kedung Ombo, Pendekar 131 sempat menyelamatkan nyawa Ni Luh Padmi waktu bentrok dengan Dewi Siluman. (Lebih jelasnya silakan baca serial Joko Sableng dalam episode Bara di Kedung Ombo).
"Anak sinting! Dengar, sekali lagi kau berani memperingatkan diriku, aku tidak sulit mencopot lidahmu!"
Si pemuda tidak acuhkan ancaman si nenek. Malah saat lain dia berkata. "Nek... Boleh aku tanya sesuatu?!"
Ni Luh Padmi tatapi paras wajah pemuda di hadapannya untuk beberapa lama. Entah karena apa si nenek lantas menjawab. "Kau mau tanya apa?!"
"Guruku sama sekali tidak pernah cerita tentang dirimu. Kalau kau tidak..."
Belum sampai ucapan orang selesai, Ni Luh Padmi sudah angkat bicara memotong. "Mungkin kau lupa aku pernah mengatakan padamu mengenai diriku dan niatku mencari gurumu. Tapi, tak apalah ku ulangi sekali lagi. Aku bernama Ni Luh Padmi! Datang dari seberang pulau! Dan tujuanku semata-mata mencabut nyawa gurumu! Dari karena kau adalah muridnya, sekaligus kau telah memberi keterangan padaku, maka tujuanku jadi bertambah..."
"Bertambah bagaimana, Nek?!"
"Kalau keteranganmu dusta, tujuan tambahan itu adalah mencabut nyawamu!"
"Kalau keteranganku benar?!"
Ni Luh Padmi tidak menjawab. Dia balikkan tubuh lalu tanpa berkata apa-apa lagi dia berkelebat tinggalkan tanah lapang. Si pemuda tidak menunggu lama. Begitu Ni Luh Padmi berkelebat pergi, si pemuda putar tubuh setengah lingkaran menghadap ke arah utara. Saat lain sosoknya telah melesat menembusi kegelapan yang semakin merangkak.
Ujung langit sebelah timur sudah terang kekuningan tatkala Ni Luh Padmi mencapai kawasan sebuah bukit. Pada satu tempat si nenek hentikan larinya. Tubuh dan pakaian coklat panjang yang dikenakan basah kuyup. Jelas kalau si nenek baru saja kerahkan segenap ilmu meringankan tubuhnya untuk segera sampai di tempat tujuan. Ini pula menunjukkan kalau si nenek sebenarnya sudah tidak sabaran dan tidak kuat menekan gejolak hawa kemarahan dan dendam. Untuk beberapa lama Ni Luh Padmi putar kepala dengan mata memandang berkeliling.
"Menurut arah yang ditunjuk anak sinting itu, tanpa bertanya mungkin dugaanku benar bahwa inilah Bukit Kalingga! Karena di sekitar daerah ini kulihat tidak ada lagi julangan bukit..." Si nenek mengambil kesimpulan. Lalu mulai arahkan pandang matanya ke bagian lamping bukit.
"Hem... Di sebelah sini rupanya tidak ada goa! Aku akan berputar..." Ni Luh Padmi segera melangkah mengitari bagian bawah bukit. Langkahnya baru terhenti tatkala lamat-lamat sepasang matanya melihat sebuah lobang di lamping bukit yang sebagian tertutup rindang dedaunan. Hingga kalau orang tidak teliti, maka lobang itu akan lewat dari pandangannya.
"Hem... Mungkin inilah tempat yang dimaksud anak sinting itu! Aku harus tetap berhati-hati. Meski ucapannya seperti bersungguh-sungguh, tapi aku belum percaya! Siapa tahu dia malah menjerumuskan! Tapi kalau. benar demikian, ke mana pun langkahnya, anak sinting itu akan kukejar!"
Seraya kerahkan tenaga dalam pada kedua tangannya, Ni Luh Padmi perlahan-lahan melangkah mendekati lobang yang sebagian tertutup rindang dedaunan. Sepasang matanya tidak henti liar melirik kanan kiri. Sementara telinganya dipasang baik-baik. Lima langkah dari hadapan lobang, Ni Luh Padmi hentikan langkah.
"Hem... Lobang mulut goa tertutup daun. Aku tak bisa melihat bagian dalamnya! Apakah aku akan menunggu terbitnya matahari biar bisa melihat bagian dalam...?!" Si nenek arahkan kepalanya ke timur. Langit memang semakin terang. Namun belum mampu menerabas kawasan bukit di mana si nenek berada.
"Ah... Terlalu lama menunggu sinar matahari!" desis Ni Luh Padmi. Saat lain nenek ini telah melompat dan tegak di samping kanan mulut goa. Tangan kiri kanannya bergerak.
Wuusss! Wuusss!
Satu gelombang menghampar. Rindang dedaunan yang menutup lobang mulut goa tersapu amblas dengan dahan dan ranting langsung porak-poranda. Lobang mulut goa kini terbuka menganga tanpa penghalang. Ni Luh Padmi sesaat tegak menunggu.
"Hem... Tak ada gerakan orang! Tak ada suara!" kata si nenek dalam hati. "Jangan-jangan goa ini tak berpenghuni! Tapi belum lega rasanya kalau belum menyelidik sendiri ke dalam!"
Ni Luh Padmi angkat kedua tangannya lalu melompat dan langsung tegak di mulut goa. Sepasang matanya terpentang besar tak berkesip memandang ke dalam goa. Sesaat matanya hanya melihat kegelapan. Namun setelah agak lama, matanya mulai terbiasa dan perlahan-lahan dapat melihat ke dalam goa. Namun sejauh ini si nenek belum melihat siapa-siapa! Membuat dadanya mulai dibungkus rasa geram dan marah.
"Jangan-jangan anak sinting itu tunjukkan tempat yang salah! Atau barangkali aku keliru menuju sasaran?!"
Baru saja Ni Luh Padmi membatin begitu, satu kejutan besar membuat si nenek melengak kaget. Karena tiba-tiba satu suara terdengar!
"Pagi-pagi begini rupanya ada tamu berkunjung..."
Ni Luh Padmi tegak dengan dada berdebar. Bukan hanya heran karena dia tidak bisa menentukan suara itu milik seorang laki-laki atau perempuan, namun dia juga tersentak, karena suara tadi bukan terdengar dari dalam goa, melainkan dari luar goa dan jelas tidak jauh dari tempatnya tegak berdiri! Laksana disentak setan, kepala Ni Luh Padmi cepat berpaling ke arah mana suara tadi terdengar. Sepasang mata si nenek langsung mendelik.
Hanya sejarak tujuh langkah dari arah sampingnya, di antara ranggasan semak belukar yang agak rimbun, si nenek melihat satu kepala berambut putih, menunjukkan kalau si pemilik kepala telah berusia lanjut. Karena Ni Luh Padmi belum bisa melihat wajah orang, nenek ini cepat menghardik dengan kedua tangan diangkat siap lepaskan pukulan.
"Siapa kau?!"
Kepala di antara semak belukar bergerak terangkat. Ni Luh Padmi menggereng marah. Karena si pemilik kepala itu ternyata adalah seorang laki-laki! Padahal yang dicari si nenek adalah seorang perempuan!
GEGER TOPENG SANG PENDEKAR
INDEX JOKO SABLENG | |
18.Bara Di Kedung Ombo --oo0oo-- 20.Geger Topeng Sang Pendekar |