Kembalinya Siluman Harimau Kumbang
tanztj
September 22, 2015
INDEX BUANG SENGKETA | |
Siluman Harimau Kumbang --oo0oo-- Badai Selat Malaka |
PENDEKAR HINA KELANA
Karya : D. Affandy
Cetakan Pertama, 1991
Penerbit Mutiara, Jakarta
Hak Cipta Pada Penerbit
Dilarang Mengcopy atau Memperbanyak
Sebagian atau Seluruh Isi Buku Ini
Tanpa Izin Tertulis dari Penerbit
--₪¦ « 1 » ¦₪--
Walau begitu, sungguhpun dia telah lama meninggalkan dunia persilatan tapi ajaran silatnya terus berkembang, termasuk juga jurus-jurus Pedang Walet Merah yang diciptakannya masih segani oleh kalangan persilatan sampai saat itu. Bahkan murid tunggalnya telah pula mendirikan sebuah perguruan besar yang bernama Perguruan Walet Merah. Perguruan itu seperti kabar yang didengarnya dipercaya sebagai tempat penyimpanan Arca Harimau Kumbang lambang persatuan dari kaum bergolongan lurus. Kabar yang dia dengar itu saja bagi Sandi Marta atau si Pedang Walet Merah merupakan satu kebanggaan tersendiri. Sebab dengan berdirinya perguruan itu merupakan satu bukti bahwa muridnya Luga Kencana memang benar telah memenuhi pesan-pesan yang dulu pernah dia sampaikan pada murid tunggal itu.
Pada saat itu, Sandi Marta nampak sedang di atas sebongkah batu yang sangat licin. Sementara itu tidak begitu jauh di depannya nampak pula berdiri tegak dua batang pohon yang sangat besar. Mata tua Sandi Marta memandang sejurus pada pohon yang berdiri kokoh itu. Lalu alisnya yang sudah putih kecoklatan itu pun mengernyit. Selanjutnya dengan posisi tegak, sebelah tangannya sudah terangkat tinggitinggi. Secara perlahan kaki kanan mulai menekuk, selanjutnya dengan mengerahkan setengah dari tenaga dalam yang dia miliki, selangkah demi selangkah dia undur dari tempatnya berpijak. Sejenak dia memusatkan segala pemikirannya. Secara perlahan tenaga sakti itu mengalir ke bagian telapak tangannya. Nampak uap putih mengepul di sana lalu tubuhnya yang kurus ceking itu pun menggeletar.
Selanjutnya dengan disertai jeritan melengking Sandi Marta pukulkan kedua tangannya mengarah pada kedua pohon itu.
"Wuuss!"
Terdengar suara berdebum manakala kedua pohon itu roboh terhantam pukulan yang dilakukan oleh Sandi Marta. Maka tak pelak lagi debu-debu pun beterbangan me-ngepul ke udara. Sejenak Sandi Marta memandang kembali pada apa yang baru saja dilakukannya. Selanjutnya seorang diri dia berkata:
"Ha... kek... kek...! Aku ini sudah tua bangka. Tapi pukulan Sepasang Walet Memburu Capung masih juga sebaik yang dulu. Padahal telah lama aku tiada lagi mempergunakannya. Hemm...!" Kakek Sandi Marta bergumam. Selanjutnya sambil melayangkan pandangan matanya jauh-jauh dia berkata lagi seorang diri.
"Andai saja, hidup ini bisa terulang, jika saja aku dapat kembali seperti seorang bayi yang baru dilahirkan. Maka aku akan memilih hidup sebagaimana layaknya manusia biasa saja. Tidak perlu rumit membasmi segala sepak terjang segala kucing kurap, dan tiada pula perlu membasmi tikus-tikus yang berebut kekuasaan...!" ujar si Pedang Walet Merah yang rada-rada budek ini. Sejenak laki-laki berkepala botak plontos itu berjalan hilir mudik di atas batu berlumut sangat tebal lagi licin. Wajahnya nampak menunduk, dalam tertunduk itu, nampaklah gagang sebilah pedang berkepala Walet Merah tersembul di bagian tengkuknya yang berpunuk bagaikan sapi. Namun bukan daging, melainkan tonjolan tulang tua yang sudah merapuh.
Sementara itu dari tempat si Pedang Walet Merah berdiri tegak, nampak tiga ekor kuda berwarna hitam sedang dipacu sangat cepat oleh diri yang duduk di atasnya. Adapun kuda yang berada di bagian depan, nampak seorang laki-laki bertangan buntung di bagian kanan. Laki-laki itu berbadan tinggi, sungguhpun tidak begitu gemuk, tapi bagi si Pedang Walet Merah akan tahu bahwa orang itu tak lain merupakan murid tunggalnya. Dan dua orang lainnya merupakan muridmurid tingkat satu dan dua dari si orang penunggang kuda itu.
Tidak sampai sepemakan sirih, tiga orang penunggang kuda itu telah membelok ke sebuah tikungan yang sangat tajam. Seperti yang diharapkannya, begitu mereka sudah melewati tikungan yang kanan kirinya merupakan tebing lumut. Maka terlihat oleh mereka si Pedang Walet Merah duduk ongkangongkang sambi menimang-nimang sebuah pedang berkepala Burung Walet Merah yang pada jamannya pernah menggemparkan kaum persilatan.
Kakek tua itu masih tenggelam dalam keasyikannya, bahkan dia pun sampai tidak menyadari kalau saat itu derap langkah kuda semakin mendekat ke arahnya.
"Guru...!" Berseru Luga Kencana begitu dia melompat turun dari punggung kudanya. Seraya sudah menjatuhkan diri kemudian bersimpuh tujuh meter di bawah batu besar tempat di mana si Pedang Walet Merah berada. Laki-laki tua berkepala botak plontos itu sesaat mengalihkan perhatian-nya dari pedang yang berada di atas telapak tangannya kepada laki-laki setengah baya yang bersimpuh di bawah batu itu. Begitu dia mengenali siapa adanya laki-laki yang duduk bersimpuh di hadapannya itu, sontak matanya terbelalak lebar. Alis mata menggerimit. Luga Kencana ketua Perguruan Walet Merah. Itu pasti, namun yang membuat Sandi Marta terkejut adalah mengenai tangan Luga Kencana yang terkutung. Apakah yang telah terjadi atas diri murid tunggalnya itu? Merasa sangat penasaran, maka sekejap kemudian dia sudah bertanya.
"Luga Kencana! Apa yang telah terjadi atas dirimu...?"..... Yang ditanya sebentar menundukkan kepalanya, menjura lalu dengan wajah masih tertunduk dia menjawab pelan.
"Guru! Celaka guru...!" ucap Luga Kencana mendadak saja menjadi gugup tidak karuan. Sandi Marta agak telengkan kepalanya, dia merasa kurang jelas dengan apa yang dikatakan oleh murid tunggalnya itu. Maka:
"Sialan kau Luga! Kau ini, sudah sepuluh tahun tidak ketemu dengan gurumu, tiba-tiba begitu kau muncul telah berani pula kau memakiku, celaka...?" gerutu Sandi Marta yang salah dengar. Luga Kencana geleng-gelengkan kepalanya. Sama sekali dia tidak menyangka kalau penyakit gurunya yang budek itu semakin bertambah parah saja. Akhirnya dengan sangat sabar dan setengah menjura dia berucap kembali.
"Maaf, bukan itu maksudku, Guru! Sama sekali murid tidak ada niatan untuk memaki orang tua yang paling murid hormati. Maksud murid datang ke mari adalah ingin menyampaikan kabar tentang lenyapnya Arca Harimau Kumbang dari Perguruan Walet Merah...!" Agak keras suara Luga Kencana, hingga membuat Sandi Marta tersentak dan merasa dibentak.
"Kurang asem, berani kau membentak ku. Aku masih belum tuli, Luga! Kalau setengah budek memang iya...!" Sandi Marta diam sesaat. Sepasang matanya berputar-putar memandang Luga Kencana dan murid dari muridnya itu silih berganti. Selanjutnya dengan sorot mata kurang senang dia berkata lirih namun penuh teguran: "Manusia memang selalu begitu, andai dia merasa senang dalam hidupnya, dia selalu lupa pada asal usulnya. Gemerlapnya dunia yang sesungguhnya cuma sedikit itu telah pula membuatnya terlena. Namun sekali dia jatuh, dia akan merengek meminta bantuan siapa saja. Contohnya seperti kau ini Luga Kencana. Kedatanganmu jauh-jauh dari Perguruan Walet Merah sudah tentu membawa tujuan yang pada akhirnya akan menyeret-nyeret ku kembali ke dunia ramai bukan...?"
Luga Kencana wajahnya sebentar memerah di lain saat berubah pula memucat. Sama sekali dia tak berani memandang wajah gurunya. Memang benar dia akui, bahwa selama hampir sepuluh tahun dia tidak pernah menjenguk gurunya yang mengasingkan diri di Bukit Kramat. Hal itu sesungguhnya bukan berarti Luga Kencana tidak ingat dengan segala apa yang pernah diberikan oleh laki-laki berkepala botak ini. Tidak sama sekali. Selama ini Luga Kencana sangat sibuk dengan segala macam urusan perguruan. Belum lagi urusannya sebagai orang yang sangat dipercaya untuk menyimpan dan menjaga keselamatan Arca Harimau Kumbang yang merupakan lambang persatuan kaum persilatan bergolongan lurus. Namun walaupun arca itu sudah dijaga sedemikian ketatnya, masih saja arca tersebut masih dapat di curi oleh seseorang.
"Guru... maafkanlah. Murid memang salah karena tidak pernah mengunjungi guru di sini. Tapi semua itu karena kesibukan murid dalam mengatur suasana perguruan yang masih semerawut...!" Si Pedang Walet Merah tersenyum mencemooh begitu mendengar pengakuan muridnya. Lalu dengan sikap acuh kakek berkepala botak itu menukas.
"Kalau kau turuti, segala urusan dunia itu tiada habis-habisnya. Apa yang kau kejar Luga...? Ternyata apa yang kau lakukan hasilnya. tetap sia-sia bukan? Arca itu kini lenyap, tanganmu sudah kau korbankan pula."
Luga Kencana hanya menarik nafas pendek, mendadak dadanya terasa menyesak diliputi rasa bersalah.
"Tapi guru, tanganku ini sampai terkutung bukan karena bertarung dengan pencuri arca itu. Aku telah terlibat bentrokan dengan seorang pemuda gembel yang menamakan dirinya sebagai si Hina Kelana (Dalam Episode Siluman Harimau Kumbang)." Terbelalak kedua bola mata Sandi Marta begitu mendengar penjelasan muridnya. Sama sekali dia tiada menduga kalau hari itu dia mendengar pengakuan bahwa muridnya pernah bertemu dan bahkan sampai bentrok dengan Pendekar Hina Kelana yang sangat menghebohkan itu. Hemm. Sungguh sebagai seorang guru dan sekaligus merupakan orang tua angkatnya dia ingin mendengar sendiri seberapa hebat pendekar yang tak pernah kenal kompromi dalam membasmi segala bentuk kejahatan.
"Luga Kencana, kau sampai berselisih paham dengan bocah keturunan Raja Bunian itu. Tentu ada alasan tertentu sehingga kau melakukannya...! Coba katakan..,!" Luga Kencana terbelalak matanya begitu Sandi Marta menyebut-nyebut bahwa si Hina Kelana merupakan keturunan Raja Bunian. Sungguhpun dia belum paham betul dengan keterangan yang diucapkan gurunya itu, tapi akhirnya dia malah balik bertanya:
"Raja Bunian? Apakah maksudmu, Guru...?"
"Ditanya malah ganti bertanya! Sungguh sebagai seorang ketua perguruan kau memiliki pandangan yang sempit!" kata Sandi Marta mencela, lalu garukgaruk kepalanya yang botak itu.
"Apa maksud guru! Bocah gembel itu coba-coba melindungi anak seorang tukang tadah pencurian Arca Harimau Kumbang.
Sedangkan pencuri arca tersebut telah pula membunuh lima orang murid-muridku. Masakan aku harus tinggal diam, padahal bocah hina itu telah membunuh pula puluhan orang muridku...!" cela Luga Kencana dengan nada sedikit meninggi. Tentu saja ucapan Luga Kencana membuat Sandi Marta menjadi memerah wajahnya. Bagaimana mungkin seorang pendekar pilih tanding bersedia melindungi anak seorang tukang tadah, mungkin saja Luga Kencana hanya salah penilaian.
"Luga, janganlah kau memandang seseorang hanya secara lahiriahnya saja. Sebagai seorang pendekar pembela kebenaran, sangat mustahil si Hina Kelana mau melindungi orang yang bersalah. Pula mungkin saja kau telah mengambil tindakan yang sangat gegabah sehingga atau bahkan kau menyerang dia terlebih dahulu sehingga pemuda itu membunuh muridmuridmu!" Begitu tegas Sandi Marta berkata, tapi begitu pun dia masih berusaha membantah apa yang dikatakan oleh gurunya.
"Guru. Tak mungkin murid mau bertindak gegabah andai orang itu benar-benar tidak mencurigakan?" Sandi Marta atau si Pedang Walet Merah, hentak-hentakkan kaki karena kesalnya melihat Luga Kencana yang keras kepala itu.
"Mencurigakan bagaimana? Bukankah kau sendiri tak melihat apa yang seperti apa yang kau tuduhkan itu dengan mata kepala sendiri?"
"Tapi sumber-sumber yang dapat dipercaya mengatakan bahwa pencuri arca itu mempunyai hubungan yang sangat dekat dengan Rajenta?"
Sandi Marta kembali miringkan telinganya yang rada-rada budek itu.
"Apa katamu...?" Ulang Sandi Marta merasa kurang jelas.
"Rajenta, kononnya mempunyai hubungan dengan Gembel Pengemis dari Pulau Naga...!" kata Luga Kencana dengan suara sedikit keras.
"Hemm...!" Si Pedang Walet Merah nampak angguk-anggukkan kepalanya. Kemudian lanjutnya.
* * *
--₪¦ « 2 » ¦₪--
"Dunia ini penuh dengan segala kemungkinan, Guru! Bahkan mungkin guru tiada pernah percaya kalau Gembel Pengemis dari Pulau Naga sewaktu-waktu dapat berubah menjadi seekor Siluman Harimau Kumbang?"
Sandi Marta terbelalak matanya begitu mendengar apa yang diucapkan oleh Luga Kencana muridnya. Sama sekali dia tiada menduga bahwa tokoh sesat yang dulu hampir membuatnya celaka itu kini telah pula dapat merubah dirinya menjadi seekor siluman yang ganas.
"Dari mana dan bagaimana hal itu bisa sampai terjadi? Luga Kencana, bicara yang benar pada gurumu ini...!" kata Sandi Marta dengan sikap sangat penasaran sekali. Luga Kencana kembali menjura, setelah sebelumnya melirik pada salah seorang muridnya yang duduk bersimpuh di belakangnya.
"Salah seorang muridku yang telah kutugaskan sebagai mata-mata melihat dengan jelas bagaimana Gembel Pengemis dari Pulau Naga itu merobek-robek tubuh kawan-kawannya...!" jelas Luga Kencana dengan mimik wajah serius. Sontak Sandi Marta sambil tepuktepuk jidatnya.
"Kacau-kacau Kalaulah bangsat itu yang kini dapat berubah-rubah menjadi seekor siluman. Dunia persilatan bisa jadi berantakan, dulu sebelum dia dapat berubah menjadi penganut ilmu sesat saja sudah begitu banyak orang yang kojor di tangannya. Jangankan sekarang ini...!"
Sungguhpun Luga Kencana ingin tertawa demi mendengar apa yang dikatakan oleh gurunya yang terkadang bertabiat konyol, namun sedapatnya demi menghormati gurunya di depan murid-muridnya sendiri, maka dia hanya menundukkan kepala saja. Tetapi selanjutnya dia berucap: "Guru, Gembel Pengemis bukan penganut ilmu sesat namun arca itulah yang membuat dia dapat berubah ujud menjadi seekor siluman yang sangat berbahaya...!" kata Luga Kencana menjelaskan.
Si Pedang Walet Merah manggut-manggut, sungguhpun dia merasa kurang begitu jelas dengan apa yang dikatakan oleh muridnya.
"Apa sih yang kau maksudkan...?" Ketua Partai Walet merah geleng-gelengkan kepalanya. Dasar guru budek! Umpatnya di dalam hati.
"Maksud murid begini, Guru! Di dalam mulut Arca Harimau Kumbang terdapat sebuah kitab tipis yang di dalamnya memuat tentang ilmu pelajaran Siluman Harimau Kumbang. Dari kitab itulah Gembel Pengemis memiliki ilmu yang sangat langka itu...!"
Si Pedang Walet Merah menggerimit, walau bagaimana pun, kini Gembel Pengemis merupakan orang yang dapat membahayakan dunia persilatan. Perlukah dia campur tangan? Sedangkan dia sendiri selama ini sudah memutuskan untuk menjauhi keramaian dunia. Tapi kalau dia biarkan muridnya seorang diri merebut kembali arca yang telah dicuri oleh Gembel Pengemis. Hal itu malah berakibat sangat fatal pada diri muridnya. Seperti dia ketahui Gembel Pengemis adalah merupakan seorang dedengkot iblis yang sewaktu-waktu dapat melakukan pukulan-pukulan sangat keji yang bersumber dari kepala tongkatnya yang berkepala Naga Merah itu, tidak dia harus aku sertai walau ke mana pun dia pergi. Batin Sandi Marta dalam hati.
"Orang itu benar-benar sangat berbahaya Luga. Kau tak mungkin menghadapinya seorang diri...!"
Bukan main girangnya Luga Kencana demi mendengar isyarat yang bertujuan sangat baik itu.
"Jadi guru mau menyertai muridmu ini dalam membasmi Gembel Pengemis, dan bukan tak mungkin masih ada orang lain yang berdiri di balik dedengkot iblis tersebut...!"
Si Pedang Walet Merah itu nampak tercenung beberapa saat lamanya. Sejurus kemudian dia sudah menoleh lagi pada muridnya, lalu berkata:
"Hemm. Sudah dua puluh tahun lebih aku meninggalkan dunia persilatan. Dan sesungguhnya aku tak ingin lagi melihat darah dari pangkal leher yang terputus. Tapi kalau kupikir-pikir, rasanya aku tak tega membiarkan kau pergi menghadapi manusia iblis itu seorang diri. Dan tak mengapa kalau dalam sisasisa umurku ini ingin membantumu, atau membantu siapa saja demi kepentingan dan sebuah kebenaran. Tapi ingat, aku juga ingin melihat apakah ceritamu tentang Pendekar Hina Kelana yang sangat menghebohkan itu ada benarnya atau tidak. Kalau nantinya apa yang kau katakan itu tidak benar, maka jangan harap pertolonganku untuk memusuhi pemuda itu...!" kata Sandi Marta begitu tegas.
"Terima kasih, Guru...! Segala apa yang guru berikan pada muridmu ini, dengan apakah musti murid balas?" kata Luga Kencana sambil menjura hormat. Si Pedang Walet Merah geleng-gelengkan kepalanya yang botak mengkilat. Seraya menatap tajam pada Luga Kencana yang masih tetap duduk berlutut di hadapan gurunya.
"Sudah, aku tak perlu basa basi yang membuat perutku bagai diaduk-aduk. Ayolah kita berangkat sekarang juga!" kata Sandi Marta. Tapi alis Luga Kencana menggerimit.
"Ada apa...?" tanya si Pedang Walet Merah. Yang di tanya tersentak kaget. Lalu dengan terbata-bata: "Eee... apakah guru mau murid bonceng dibelakang kudaku...?!" tanya Luga Kencana dengan rasa harap-harap cemas. Mendadak Sandi Marta tertawa tergelak-gelak. Baik Luga Kencana, terlebih-lebih kedua muridnya nampak terkesiap. Jantung mereka bahkan berdenyut-denyut terasa sakit bukan alang kepalang. Jelaslah sudah dalam tawanya tadi di sertai tenaga dalam yang kuat. Namun sekejap saja Sandi Marta telah menghentikan tawanya. Selanjutnya tanpa menghiraukan murid dan dua orang murid Luga Kencana.
"Luga Kencana, mana cepat lari kudamu dengan lajunya Bayu Berhembus? He... he... he...!" Luga Kencana mau tak mau jadi tersenyum sendiri begitu teringat bahwa gurunya memiliki Ajian Bayu Berhembus.
"Kalau begitu marilah kita berangkat, Guru...!" Belum lagi Luga Kencana selesai, si Pedang Walet Merah sudah lenyap dari pandangan mata mereka.
"Sialan!" umpat Luga Kencana, kemudian tanpa menunggu lebih lama lagi, Ketua Perguruan Walet Merah yang sudah buntung tangannya itu pun melompat ke punggung kudanya. Selanjutnya sekali saja dia menggebrak kudanya, maka kuda-kuda itu pun melesat bagai anak panah.
* * *
Delapan hari berjalan kaki, kemarau panjang dengan terik panasnya yang membakar. Membuat gadis berwajah jelita itu sebentar-sebentar mengeluh. Bekal yang ada di dalam periuk yaitu yang berupa dendeng ikan lumba-lumba sejak kemarin sore sudah habis. Persediaan air juga habis. Tak terlihat paritparit bekas genangan air. Sumber-sumber mata air juga mengering. Kemarau hampir sepanjang tahun memang membuat suasana di sekitar perkampungan yang mereka lewati nampak kering kerontang. Celakanya lagi tak ada warung penjual makanan di kanan kiri jalan itu. Mereka terus melangkah, sesekali pemuda yang berjalan di sisi gadis itu nampak melirik ke arah bagian kaki si gadis yang sudah pecah-pecah lecet mengeluarkan darah. Sesungguhnya dia merasa iba dengan apa yang dialami oleh gadis di sisinya. Tapi nampaknya gadis itu sangat keras kepala, dipapah dia tidak mau. Digendong apalagi. Siapakah sesungguhnya pemuda tampan yang berjalan dengan gadis cantik di sampingnya. Tak lain dialah Pendekar Hina Kelana dan Dewi Wening Asih yang sedang dalam perjalanannya mencari Arca Harimau Kumbang sekaligus Siluman Harimau Kumbang yang akhir-akhir ini mulai menyebar maut di mana-mana.
"Kelana, sampai kapankah kita terus melakukan perjalanan seperti ini. Aku haus, kaki pun rasanya sudah tak kuat lagi untuk melakukan perjalanan...!" Sejenak pemuda itu menghentikan langkahnya. Menoleh sekejap, selanjutnya memandang ke arah rumah penduduk yang nampak padat dan ramai.
"Cobalah bertahan sebentar! Mungkin di depan sana kita akan mendapatkan warung tempat penjual makanan, mudah-mudahan kita dapat melepas lelah sekaligus mengisi perut yang sudah kekrukukan...!"
"Tapi aku sudah tidak kuat, Kelana...!" kata Dewi Wening Asih sambil menyeringai menahan sakit yang tiada tertahankan.
"Sudah sejak kemarin-kemarin kau kuminta supaya kugendong saja, tapi kau tak mau, siapa salah...!" Memberungut Buang Sengketa sambil memijitmijit kaki Dewi Wening Asih yang masih saja terus mengeluarkan darah. Gadis jelita itu pun tak kalah cemberutnya.
"Kau ini sungguh membosankan. Ceriwis kayak perempuan, kau kan tahu bahwa aku bukan anak kecil lagi. Aku malu kalau kau sampai menggendong ku, bagaimana nanti kata orang?"
"Menggendong orang saja apa susahnya, toh aku masih memiliki sisa-sisa tenaga kalau cuma menggendong kau yang tidak seberapa beratnya...!" Dewi Wening Asih banting-banting kakinya, geram sekali rasa hatinya. Dalam penilaiannya pemuda yang berdiri di depannya itu sangat tolol sekali. Dia tak mengerti dengan apa yang dia maksudkan.
"Kau ini memang tampan Kelana, sayangnya kau memiliki kepandaian tidak lebih dari seekor keledai...!" Buang Sengketa nampak terbelalak matanya, tiada dia menyangka kalau Dewi Wening Asih bisa bicara seketus itu.
"Luar biasa, baru kali ini aku mendengar katakata yang kasar dari mulut seorang gadis sepertimu...!"
"Kau marah...!" tanya Dewi Wening Asih semakin bertambah gusar saja.
"Ya, tentu saja...!" ujar si Hina Kelana tak kalah sengitnya.
"Kalau kau marah jalanlah sendiri, tanpa kau sekalipun aku masih bisa mencapai desa berikutnya...!" tantang Dewi Wening Asih. Tantangan itu sudah karuan saja membuat Si Hina Kelana semakin bertambah mendongkol. Selama dalam perjalanan dengan gadis itu selamanya belum pernah Dewi Wening Asih membuat enak perasaannya. Maka tanpa berkata sepatah kata pun dia langsung nyelonong saja. Begitu pun Dewi Wening Asih tiada maksud untuk mencegah kepergian Buang Sengketa yang berjalan mendahuluinya.
Karena Buang Sengketa sedikit mengerahkan ilmu lari cepatnya maka sekejap saja dia telah sampai di perkampungan yang sangat ramai. Memasuki perkampungan yang tak ubahnya bagai sebuah pasar kecil itu, Buang Sengketa mengitarkan pandangan matanya berkeliling. Nun di pertengahan desa itu, tidak jauh dari keramaian pasar, maka nampaklah olehnya sebuah waning yang sangat ramai dengan para pengunjung. Tanpa basa basi lagi, Buang Sengketa segera mengayunkan langkahnya memasuki warung tersebut. Beberapa pasang mata nampak memandang jijik atas kehadirannya. Begitu pun dengan pemilik warung yang sejak tadi nampak sibuk melayani para langganan. Buang Sengketa tiada perduli. Kelihatan acuh saja. Celingak celinguk sebentar, setelah melihat salah satu meja yang terisi setengahnya oleh para pengunjung, maka dia pun datang menghampiri.
Sebentar dia mengangguk hormat pada salah seorang laki-laki yang duduk di meja seberang. Lakilaki bertampang angker tersebut menanggapinya dengan dingin dan sorot mata kurang senang.
"Sialan, kira dia aku datang ke mari ini untuk mengemis makanan. Hina-hina begini kalau cuma membeli seisi warung ini pun aku sanggup...!" maki pemuda itu dalam hati. Persetan, tanpa buang waktu lagi dia melambaikan tangannya. Pemilik warung itu dengan sikap enggan datang menghampiri.
"Kisanak mau pesan apa...?" tanya pemilik warung yang bernama Karjo itu merasa jengah dengan penampilan dan kehadiran Pendekar Hina Kelana.
"Tukang warung, siapa sih namamu...?" tanya Buang Sengketa dengan suara sengaja dikeraskan.
"Nama saya Karjo, Kisanak...!" ucapnya sedikit ketakutan begitu melihat mata Buang Sengketa memandang tajam pada dirinya.
"Sialan, namamu jelek sekali. Bahkan lebih jelek dari pakaian dan periuk yang berada di bahu ku ini. Kau fikir aku datang ke mari untuk mengemis makanan padamu ya? Sialan betul kau ini...!" bentak Pendekar Hina Kelana sambil mengitarkan pandangan matanya ke segenap ruangan warung itu.
Menggigil tubuh Karjo begitu merasakan dengan sekali sambar saja tangannya telah berada dalam genggaman si pemuda tampan berpakaian kumuh itu. Dan matanya sedikit membeliak begitu merasakan jemari tangan Buang Sengketa menggenggamnya dengan sangat erat sekali. Semakin lama semakin bertambah sakit, bahkan seakan bagai remuk dan nyeri sampai ke tulang sumsum.
"Cring...!" Mendadak Buang Sengketa mengeluarkan uang emas dari dalam periuknya. Lalu dirogohnya keping dan meletakkannya di atas meja. Maka membeliaklah mata pemilik warung dan puluhan mata lain yang berada di dalam warung itu.
* * *
--₪¦ « 3 » ¦₪--
"Maa... maafkan saya Kisanak. Tadi itu sesungguhnya saya tiada memiliki prasangka seperti apa yang Ki Sanak duga. Tolong tangan saya ini Kisanak. Saya akan menyediakan apa yang Kisanak inginkan...!"
"Brengsek, sekarang saja kau mau bersikap seperti itu. Coba sedari tadi kek, aku pasti tidak akan berlaku sekasar itu...!" Terdengar suara menggerendeng seperti ratusan ekor kumbang manakala Buang Sengketa mengakhiri ucapannya. Buang Sengketa acuh saja, dia masih berfikir tentang Dewi Wening Asih yang belum juga muncul, padahal sudah hampir lima belas menit dia duduk di dalam warung itu. Hee. Ke mana saja perginya gadis bengal itu? Mungkinkah dia nyasar dan tak pernah singgah di warung itu.
"Kisanak silahkan nikmati pesanan yang kisanak minta...!" ucapan Karjo sembari meletakkan pesanan yang diminta oleh Buang Sengketa.
"Hemmm, letakkanlah semuanya. Gadis bengal itu membuat fikiran ku jadi tidak enak...!" gumam Pendekar Hina Kelana seperti pada dirinya sendiri. Tanpa menyahut, setelah meletakkan seluruh hidangan yang diminta oleh Buang Sengketa, maka sebentar kemudian pemilik warung itu telah meninggalkannya dengan langkah tergesa-gesa.
Sementara itu Buang Sengketa yang benarbenar sudah merasa sangat lapar sekali nampak segera menikmati hidangan yang berada di depannya. Tapi belum lagi dia selesai, nampak tiga orang laki-laki bertampang kasar memasuki warung tersebut. Sementara di atas pundak salah seorang dari tiga laki-laki itu memanggul tubuh seorang gadis. Pendekar Hina Kelana hanya melirik dengan sudut matanya saja, bahkan dia pun tiada merasa terkejut begitu melihat siapa sesungguhnya yang berada di atas pundak salah seorang dari laki-laki tersebut. Dewi Wening Asih, tak salah lagi. Gadis itu memandang memelas begitu matanya bersitatap pada Pendekar Hina Kelana. Rasain. Batin pemuda dari Negeri Bunian itu sambil meneruskan makannya.
Saat itu beberapa orang yang sedang melewatkan makan siang di warung itu satu demi satu telah meninggalkan tempat itu. Agaknya tiga laki-laki bertampang angker itu cukup dikenal siapa adanya mereka. Tak dapat disangkal, tiga orang ini adalah merupakan begundal-begundal Jali Sajiwa penguasa tunggal di Lembah Weling. Mereka memang sering datang menyantroni harta benda penduduk, bahkan tak segan-segan membunuh siapa saja yang coba-coba berani menghalangi maksud dan sepak terjang mereka. Namun kedatangannya kali ini adalah dengan maksud untuk mencari Dewi Wening Asih yang dilarikan oleh seorang pemuda berkuncir yang datang secara mendadak pada hari perkawinan ketua mereka. Tak dinyana setelah melakukan perjalanan jauh dan mencari ke sana ke mari mereka tidak juga menemukan orang yang mereka buru. Tapi secara kebetulan begitu mereka melakukan perjalanan kembali ke Lembah Weling. Di perjalanan dekat desa itu mereka bersua dengan orang yang mereka buru. Karuan saja mereka langsung meringkus Dewi Wening Asih dengan cara menotoknya terlebih dahulu.
Kini tiga orang berwajah angker itu telah duduk di atas sebuah bangku yang baru saja kosong. Sementara itu Dewi Wening Asih mereka sandarkan di salah sebuah bangku yang terletak tidak begitu jauh. Pemilik warung yang bernama Karjo itu cepat-cepat datang menghampiri, selanjutnya dengan tergopoh-gopoh dan menjura hormat. Karjo langsung bertanya:
"Tuan-tuan mau pesan apa?" Tanpa menghiraukan pertanyaan Karjo, salah seorang dari mereka memandang sesaat pada Buang Sengketa yang masih sibuk dengan makanannya. Dari caranya memandang nampak sekali kalau orang itu merasa jijik dengan keberadaan pemuda dari Negeri Bunian di tempat itu.
"Pelayan! Kami inginkan semuanya, tapi usirlah lalat-lalat menjijikkan itu, agar selera makan kami tidak terganggu...!" bentak salah seorang dari mereka sembari tetap melirik pada Pendekar Hina Kelana. Sampai sejauh itu pemuda dari Negeri Bunian itu masih berusaha menahan kesabarannya.
"Sa... saya tidak dapat melakukannya, Tuantuan...?" menyahut Karjo dengan tubuh menggigil ketakutan. Hal ini hanya membuat ketiga orang dari Lembah Weling itu menjadi sangat marah sekali.
"Goblok...! Kubilang usir lalat itu, apakah kau ingin melihat bagaimana caranya mengusir seekor lalat menjijikkan?"
Untuk ucapannya kali ini, nampaknya Buang Sengketa sudah tak sabar lagi melihat ulah tiga lakilaki dari Lembah Weling ini. Maka kini dengan masih berada di tempatnya, dia pun bergumam seperti pada dirinya sendiri.
"Hemm. Dewi Wening Asih, mengapa kau tetap diam saja, apakah kau merasa semakin benci pada pangeran mu ini. Ah... ah...! Kiranya kau lebih suka kawin dengan dedengkot sial dari Lembah Weling. Sayang pacaran sudah cukup lama tapi kau memberi putusan padaku dengan cara yang sangat menyakitkan...!" sindir Buang Sengketa tanpa menoleh-noleh lagi. Sementara itu Dewi Wening Asih yang sudah mengetahui kalau pemuda itu sedang bersandiwara, ingin mengatakan sesuatu. Namun suaranya hanya sampai di batas tenggorokan saja. Dia tiada memiliki daya, bahkan menggerakkan sebelah tangannya pun dia tiada memiliki kemampuan. Dalam pada itu Buang Sengketa mencela kembali: "Baiklah Dewi kekasihku, biarlah Hina Kelana segera merat dari hadapanmu...!" Berkata begitu Buang Sengketa sudah bersiap-siap untuk meninggalkan tempat itu. Dewi Wening Asih nampak tegang sekali, dalam hati dia sudah dapat menduga bagaimana nasibnya andai pemuda itu benar-benar meninggalkannya. Salahnya sendiri mengapa dia tak pernah berlaku sebaik yang pernah dilakukan oleh Buang Sengketa. Umpatnya.
"Jliik!"
Dua orang antara ketiga orang itu telah menghadang gang sisi meja yang akan dilewati oleh pendekar itu.
"Ee... apa katamu tadi kunyuk gembel...?" bentak salah seorang dari mereka. Alis Buang menggerimit, dengan sikap acuh dia berucap pelan namun menyakitkan hati yang mendengarkannya.
"Kroco-kroco laknat. Toh kau bukanlah bangsat tengik yang sudah rusak pendengaran. Tadi kubilang si bangsat Luga Kencana itu akan mengawini pacar ku yang cantik itu. Maka demi kebahagiaannya aku mau meninggalkan tempat ini secepatnya agar aku tak menampar mukanya yang mempesona itu...!" Ketus suara Buang. Selanjutnya dia berusaha menerobos jalan yang dirintangi oleh dua orang bertampang kasar tersebut.
"Setelah menghina ketua kami, sesudah mencaci maki seenak perutmu. Begitu mudahkah kau mau meninggalkan tempat ini. Cuih... tinggalkan dulu kepalamu, baru nanti kami akan membiarkan mu pergi begitu saja...!" Mula-mula Buang tersenyum saja, namun karena rasa geli terus menggelitik perutnya, maka tak tertahankan lagi dia pun tertawa mengekeh. Karena dalam tawanya disertai sepertiga dari tenaga dalamnya, tak ayal lagi orang-orang itu pun nampak terkejut sekali. Mereka merasakan telinganya sakit luar biasa, bahkan berdengung-dengung.
"Bangsat! Rupanya kau punya sesuatu yang kau andalkan. Pantas saja kau berani unjuk gigi di depan kami...!"
"Bicaramu ngaco belo, Sobat...! Minggirlah, majikanmu ini mau berlalu dari warung yang membosankan ini!"
"Sial dangkal...! Monyet gembel berotak miring...!"
"Hajar...!" teriak salah seorang yang sejak tadi duduk tenang-tenang di sisi Dewi Wening Asih.
"Sing! Zing!"
Sekali saja pedang-pedang berwarna hitam legam itu terenggut dari sarungnya. Secara serentak dua orang itu langsung mengurung Buang yang masih saja tersenyum-senyum.
"Sekali saja kalian melakukan kesalahan padaku, menyesal pun bagi kalian sudah tiada gunanya lagi...!" geram pemuda ini, selanjutnya dengan mempergunakan jurus Membendung Gelombang Menimba Samudra. Maka pemuda itu tanpa merasa sungkansungkan lagi segera bersiap-siap dengan pertahanannya. Saat itu dua orang bertampang beringas itu sudah melancarkan jurus-jurus pedang yang sangat mereka andalkan. Tubuh mereka berkelebat sangat cepat, tapi pedang di tangan mereka melesat lebih cepat lagi. Gerakan-gerakan membabat, menusuk datangnya silih berganti. Tapi bagi Buang, dengan mempergunakan ilmu silat tangan kosong nampaknya dia masih dapat menghindari serangan-serangan ganas yang datangnya bertubi-tubi itu.
"Hia... kia... kia...!"
"Bet! Bet!"
Buang Sengketa membuang dirinya manakala dia merasakan adanya angin senjata lawan menderu dalam ruangan itu. Namun saat itu lawan terus memburunya ke mana pun Buang Sengketa berusaha menghindar. Bahkan sedetik kemudian di luar sepengetahuan pendekar ini, dua orang itu menyambitkan sesuatu mengarah pada bagian tubuhnya. Sepuluh buah benda berwarna hitam melesat sangat cepat mengarah pada bagian-bagian yang mematikan atas diri Buang. Namun bukanlah Pendekar Hina Kelana, kalau serangan senjata beracun itu sedetik kemudian tidak diketahui olehnya.
"Bangsat!" rutuknya. Lalu masih dalam keadaan berguling-guling dia lepaskan pukulan Empat Anasir Kehidupan.
"Wuuus!"
Selarik sinar Ultra Violet datang menggebu memapaki datangnya senjata rahasia yang disambitkan oleh para iblis dari Lembah Weling. Udara di dalam ruangan warung itu son tak berubah menjadi sangat panas luar biasa. Semua orang yang berada di dalamnya menjadi sangat terkejut. Sama sekali mereka tiada menyangka kalau gembel berperiuk ini memiliki pukulan yang sangat hebat. Hanya sesaat saja mereka dapat berfikir, saat selanjutnya adalah bunyi berdebum yang sangat memekakkan gendang-gendang telinga. Senjata-senjata yang di sambitkan oleh lawanlawannya berpentalan tak tentu rimbanya. Lebih dari itu beberapa buah di antaranya membalik kepada tuannya. Andai saja mereka tidak cepat-cepat kiblatkan senjatanya sudah barang tentu mereka termakan oleh senjatanya sendiri. Tapi usai terlepas dari ancaman sendiri, tanpa mereka duga Buang telah pula mengirimkan pukulan susulan dengan tenaga dalam yang lebih besar lagi.
Sementara itu seorang lainnya yang sejak tadi menyaksikan jalannya pertarungan itu nampaknya menyadari bahwa pukulan yang dilepas oleh Buang Sengketa berkekuatan lebih besar daripada pukulan yang dilepaskannya pertama tadi. Sadar kalau kawankawannya tak mungkin mampu mengatasi datangnya selarik sinar panas yang sangat berbahaya itu. Maka dia pun tidak tinggal diam. Selanjutnya dengan mempergunakan pukulan Iblis Penunggu Mayat. Maka dia dorongkan kedua tangannya ke depan.
"Wuuur!"
Serangkum gelombang berhawa dingin luar biasa menderu menyongsong dari arah samping. Saat itu dua orang lawan yang lainnya sudah memutar pedangnya, sehingga tinggal menampak sebuah gulungan sinar hitam mengurung tubuh mereka membentuk sebuah pertahanan yang kokoh.
"Blaaar!"
Terdengar suara menggemuruh mana kala dua pukulan sakti itu saling bertubrukan. Namun nampaknya dalam adu tenaga dalam tersebut Buang Sengketa yang hanya mengerahkan setengah dari tenaga dalamnya tidak bertindak serius. Hal inilah yang merupakan satu keunggulan bagi lawannya. Tak dapat dicegah lagi tubuh Buang Sengketa terlempar dua tombak, tubuhnya kemudian menimpa tiang tengah, yang besarnya tak lebih dari paha orang gemuk itu pun patah menjadi beberapa bagian, sehingga mengakibatkan atap di atasnya menjadi amblas dan warung miring hendak roboh. Pemuda muridnya si Bangkotan Koreng Seribu merasakan punggungnya sangat sakit luar biasa. Cepat-cepat dia seka mulutnya yang banyak mengalirkan darah. Dewi Wening Asih merasa iba melihat keadaan Buang Sengketa. Sementara dari tiga orang dari Lembah Weling itu tergelak-gelak penuh kemenangan.
"Bagi kami kepandaianmu yang tiada seberapa itu tidak ada apa-apanya, Bocah gembel. Kalau kau masih penasaran. Keluarkanlah seluruh kepandaianmu, biar kami layani kau sampai mampus...!" kata laki-laki yang bernama Garu Wisesa itu begitu pongahnya.
* * *
--₪¦ « 4 » ¦₪--
"Keparaaaat! Sudah mau mampus kiranya kau masih juga dapat membebaskan gadis calon istri majikanmu...!" Membentak Garu Wisesa dengan kemarahannya yang meluap-luap. Pendekar Hina Kelana kembali lontarkan sesungging senyum sinis.
"Jangankan hanya membebaskan totokan anak-anak, memenggal kepala kalian pun sebentar lagi akan kulakukan."
"Hua... ha... ha...! Jangan mimpi sobat, bagi kami manusia yang berjuluk Pendekar Hina Kelana itu tidak ada apa-apanya...!" Buang Sengketa nampaknya sangat terkejut sekali. Bagaimana mungkin tiga orang itu dapat mengenali dirinya. Seingatnya sungguhpun dia pernah menjarah Lembah Weling untuk membebaskan Dewi Wening Asih, namun dia tiada melihat kehadiran orang itu di sana. Persetan, kalaupun mungkin bisa saja Jali Sajiwa lah yang memberitahukan ciri-cirinya pada ketiga orang itu.
"Orang-orang kesasar dari Lembah Weling, janganlah menjunjung diri setinggi langit. Aku takut kalian tak akan dapat bertemu dengan anak bini lagi di rumah...!"
"Kurang ajar. Mampuslah kau...! Hiaa...!" Senjata di tangan mereka kembali menderu. Karena mereka menyerang secara berbarengan, maka secepat apa pun pemuda itu bergerak. Namun tetap saja pedangpedang yang mengandung racun ganas itu nyaris membabat punggungnya.
"Caaat...!" jerit Pendekar Hina Kelana seraya melentikkan tubuhnya bagaikan seekor udang. Karena gerakannya yang sangat tergesa-gesa dan di luar kontrol. Maka tak ayal lagi atap warung yang terbuat dari daun kirai itu pun bobol berantakan. Sesaat saja ke tiga orang itu celingukan. Salah seorang dari mereka berseru membentak:
"Jangan biarkan dia kabur...!" Pada saat itu, dari atas atap warung bekas atap yang bobol tersebut, Buang Sengketa melayang turun kembali. Pada saat tubuhnya melayang sedemikian rupa, satu pukulan pamungkas yang di beri nama si Hina Kelana Merana. Maka menderulah satu gelombang sinar merah menyala menghajar tubuh orang-orang yang menjadi sasaran di bawahnya. Ketiga orang dari Lembah Weling terpana, gugup namun mereka juga cepat-cepat bertindak.
"Satukan pukulan Iblis Mengembara!" teriak yang menjadi pimpinan. Kesempatan yang sekedipan mata itu mereka pergunakan untuk melepaskan pukulan Iblis Mengembara. Tak dapat dicegah, tiga larik sinar hitam kelam, secara bersamaan menyambut datangnya sinar merah yang menderu deras ke arah mereka.
"Blum! Blum! Blum!"
Berpelantingan tubuh masing-masing lawan, dengan keadaan tunggang langgang. Di antara mereka ada yang menabrak kursi dan meja, sehingga membuatnya jadi berantakan. Masing-masing dari mulut dan hidung mereka sama-sama menyemburkan darah, Sementara Dewi Wening Asih yang sedari tadi berlindung di balik meja yang agak tersembunyi juga tak luput dari guncangan yang membuat tubuhnya pontang panting.
Saat itu Buang yang terjengkang di sudut ruangan nampak sudah bangkit kembali. Sungguhpun dadanya sesak luar biasa, namun sedapatnya dia berusaha mengerahkan tenaganya ke arah bagian dadanya. Setelah mengurut-urut sedikit akhirnya rasa nyeri itu pun hilang sama sekali. Lalu dengan sorot mata dingin dia memandang tajam pada tiga orang yang sedang tertatih-tatih berusaha bangkit berdiri.
"Garu Wisesa...! Nama yang sangat bagus, tapi agaknya bapak moyangmu salah memberi nama untuk seekor monyet kesasar sepertimu. Ada baiknya nama Garong Wisesa buat sebuah pekerjaan sekaligus tingkah lakumu. Hari ini juga aku tak akan memberi ampun pada monyet-monyet sesat sepertimu...!" tukas Buang Sengketa dengan rahang bergemeretakan.
"Kami masih belum kalah. Kau jangan berbesar hati dulu, sekarang terimalah jurus Pedang Iblis Lembah Weling ini...!"
"Jurus pedang dari neraka sekalipun aku tak akan mundur! Majulah kalian beramai-ramai...!" bentak Buang Sengketa dalam keadaan siap siaga dan sikap menantang. Selanjutnya terjadilah pertarungan pertarungan yang sangat sengit antara Buang Sengketa dengan tiga orang lawan dari Lembah Weling. Serangan yang mereka lancarkan datang menggebu. Dalam waktu sekejap saja Buang telah terkurung oleh gulungan sinar dan berkelebatnya senjata maut di tangan lawan-lawannya. Pemuda ini tidak tinggal diam, dengan mempergunakan jurus silat tangan kosong yang diberi nama si Gila Mengamuk, maka dengan sangat mudahnya dia masih dapat menghindari bahkan dapat membebaskan diri dari serangan-serangan yang beruntun itu.
"Mainkan jurus Iblis Menggeledek!" teriak Garu Wisesa segera merubah jurus-jurus pedangnya. Begitu dengan dua orang lainnya. Secara total permainan pedang mereka mendadak berubah cepat, Buang nampak terkesiap. Jurus si Gila Mengamuk merupakan salah satu jurus yang tingkatnya di atas jurus Membendung Samudra Menimba Gelombang. Tapi bagaimana mungkin bisa terjadi. Semakin cepat pemuda itu berkelebat maka secepat itu pula senjata di tangan lawannya datang menderu.
Mendadak Garu Wisesa kirimkan satu tendangan mengarah pada selangkangan Buang. Pedang menderu ke arah bagian kepala si pemuda. Pada saat yang bersamaan dua orang lainnya juga kirimkan tusukan kilat.
"Wuuus!"
"Hiyaaa...!" Buang mengelit datangnya tendangan kaki Garu Wisesa, sementara kaki kirinya kirimkan tendangan cepat ke arah perut lawan yang berada di belakangnya. Sungguhpun tendangan itu telak mengenai sasaran yang diinginkan, namun serangan pedang yang datangnya dari bagian samping kanan tak dapat dia hindari.
"Brebet...!"
"Ahhh...!"
Buang Sengketa mengeluh, tubuhnya terhuyung-huyung. Namun tiada kesempatan baginya untuk berfikir panjang. Pedang di tangan Garu Wisesa datang menyambut. Tiada pilihan lain bagi Buang, laksana kilat dia meraba bagian pinggangnya.
"Nguung!" Terdengar suara menggemuruh manakala sinar merah menyala mendadak telah pula tergenggam di tangan pendekar dari Negeri Bunian itu. Tak salah lagi, dialah Pusaka Golok Buntung yang sangat menghebohkan itu. Tiga orang ini secara mendadak menghentikan serangannya, mata mereka sama terbelalak begitu melihat dan memandang Golok Buntung yang berada di tangan si pemuda. Dan mereka itu menjadi lebih terkejut lagi saat mana mereka merasakan udara di ruangan yang berantakan itu menjadi sangat dingin luar biasa.
"Pendekar Golok Buntung...!" seru mereka secara hampir bersamaan. Tanpa berkata sepatah kata pun, Pendekar Hina Kelana memandang tajam pada mereka. Kedua bola matanya memerah, wajah menegang dengan bibir terkatup rapat. Namun bibir yang terkatup itu mengeluarkan bunyi mendesis bagaikan seekor Ular Piton yang sedang marah.
"Hemm. Bocah keturunan raja lelembut inilah kiranya yang telah menggemparkan dunia persilatan itu...!" kata salah seorang dari mereka dengan wajah pucat pasi.
"Hati-hati kawan, orang gembel ini bisa membuat kita celaka semuanya!" Menimpali Garu Wisesa dengan sikap waspada, sungguhpun dia sendiri memang tak kalah kecutnya bila dibanding dengan yang lain-lainnya.
"Ha... ha... ha...!" Kalaupun hari ini kalian merengek minta ampun di hadapanku, jangan kira aku akan mengampuni manusia yang selalu suka bikin onar di mana-mana.
"Kami pun tak ingin merengek minta ampun di depanmu, Pendekar Golok Buntung! Sungguhpun kesaktianmu sebanyak buih di lautan. Walaupun kehebatanmu sebanyak bintang-bintang di langit." tukas Garu Wisesa dengan mimik wajah penuh kebencian. Sinis tatapan Buang Sengketa, wajahnya mendadak berubah kelam membesi. Selanjutnya satu bentakan menggelegar pun terdengar.
"Ya Sang Hyang Widi, bukan salah bunda mengandung. Tetapi sudah suratan nasib menghendaki bahwa jalan panjang yang membentang di hadapanku sana, merupakan tetes derita berlumur darah orangorang angkara murka. Maafkanlah kalau aku dengan sangat terpaksa sekali harus melakukan ini....
Hiaaa...!" Bagai dirasuki dewa pembantai, tubuh dan golok di tangan si Hina Kelana berkelebat sangat cepatnya. Angin menderu menyertai melesatnya senjata itu. Warung yang sudah reot di sana sini terasa bergetar, tapi tiga orang dari Lembah Weling itu pun tidak tinggal diam. Dengan cepat mereka putar pedangnya sambil sesekali melepaskan pukulan-pukulan mautnya.
Buang Sengketa memang sudah mencapai puncak kemarahannya. Mulutnya terus memperdengarkan bunyi mendesis, di pihak lawan pun seranganserangan belasan sering mungkin dia lakukan. Tetapi, nampaknya senjata yang sangat menggemparkan di tangan Pendekar Hina Kelana nampaknya bukanlah sesuatu yang dapat dianggap remeh oleh mereka.
"Hiaaat. Mampus...!" Garu Wisesa kirim satu pukulan jarak jauh, namun dalam waktu bersamaan secara nekad dia juga kirimkan satu babatan pedangnya.
"Wuuut! Blam!"
Pendekar Hina Kelana terdorong ke belakang, tapi Garu Wisesa juga tercampak tubuhnya hingga melabrak dinding kayu hingga bobol. Pendekar Hina Kelana masih belum siap pada posisinya, namun datang pula serangan dari samping kanan kiri Buang Sengketa, golok di tangannya, tak dapat terhindar lagi.
"Trang! Trang!" Pedang di tangan lawan patah menjadi dua, tangan mereka tergetar sakit. Terasa bagai kesemutan. Namun nampaknya Pendekar Hina Kelana anak Raja Ular Piton Utara ini tidak ingin berlama-lama. Dia memburu ke arah kedua lawannya.
"Nguung!"
"Awaas!" Garu Wisesa yang sudah kembali dalam keadaan siap tempur memberi peringatan pada kembrat-kembratnya. Tetapi nampaknya senjata di tangan Buang Sengketa malah bergerak lebih cepat lagi.
"Heuuuup...!"
"Craaas! Craaas!"
Darah memancar dari batang leher kedua lawannya yang hampir terputus, tubuh mereka terhuyung-huyung, sementara tenggorokan mereka yang hampir terputus itu mengeluarkan bunyi berkerokokan bagai seekor kerbau yang di sembelih. Di luar sepengetahuan pemuda itu, Garu Wisesa yang sudah menciut nyalinya tanpa berfikir panjang lagi, bahkan tiada sempat menyambar Dewi Wening Asih, langsung saja melarikan diri.
"Keparat! Kiranya Iblis Lembah Weling hanyalah sebangsanya tikus pengecut!" maki pemuda itu sambil memandang sinis pada tubuh dua orang lawannya yang sudah tiada berkutik lagi. Lalu tanpa menoleh-noleh lagi, dia sudah melangkah meninggalkan warung itu setelah sebelumnya meninggalkan empat keping uang emas di atas meja yang masih tersisa. Dewi Wening Asih yang sudah merasa bersalah segera mengejarnya.
"Tunggu Kelana...!"
"Toh, kau punya kaki, berjalanlah sendirian...!" ucap pemuda itu tanpa menoleh-noleh lagi.
"Maafkan aku...! Aku telah banyak menyusahkanmu...!" Penuh penyesalan Dewi Wening Asih berucap.
"Meminta maaf itu memang mudah, tapi berusahalah untuk menyadari kesalahan dan membetulkannya...!"
"Baiklah... baiklah...! Tapi bolehkah kalau aku ikut denganmu?" tanya gadis itu setengah ragu.
"Aku tak pernah melarang siapa pun berjalan bersamaku, yang penting jangan banyak rewel...!" Tanpa kata-kata lagi, mereka terus melakukan perjalanannya menuju Lembah Gunung Batu Siwak.
* * *
--₪¦ « 5 » ¦₪--
Begitulah keadaan yang ada di sekitar pinggiran hutan berbukit hampir setiap malamnya. Tiada seekor binatang pun berseliweran di tempat itu, jangankan lagi makhluk yang disebut manusia. Namun malam itu sungguhpun bulan tiada menampak-kan diri, tetapi ada sosok tubuh yang melintasi daerah yang hampir tak terjamah oleh siapa pun. Gerakannya sangat cepat luar biasa, lincah dan berloncatan dari satu pohon ke pohon lainnya. Seekor monyetkah dia? Sama sekali tidak. Laki-laki berpakaian bangsawan itu tak lain adalah Rajenta yang sedang di tugaskan oleh guru para siluman untuk menemukan Arca Harimau Kumbang yang hilang. (Dalam Episode Siluman Harimau Kumbang).
Sejak menemukan sebagian murid-murid dari Lembah Weling, dan sedikit mendengar kabar istri dan anaknya, dia sudah bertekad untuk mengobrak abrik perguruan orang-orang yang telah membuat sengsara keluarganya itu. Dengan tanpa mempunyai maksud mengesampingkan pencarian Arca Harimau Kumbang yang telah lenyap itu, dia juga ingin mencari tahu benarkah Gembel Pengemis merupakan orang yang pantas dicurigainya. Padahal dia cukup tahu betul siapa adanya kakek renta dari Pulau Naga itu. Kalau kecurigaannya ternyata benar, haruskah dia merampas arca itu dari tangan tokoh sesat yang sangat sakti tersebut? Padahal dengan Gembel Pengemis, selama ini mereka telah membina hubungan yang sangat baik. Setan mana pun yang telah melakukan pencurian Arca Harimau Kumbang.
Tak perduli lawan maupun kawan dia harus merampasnya dari tangan mereka. Selanjutnya mengembalikannya arca itu ke Lembah Gunung Batu Siwak. Tetapi menemukan keluarganya kembali juga termasuk hal yang sangat penting. Ah, Sang Hyang Widi semoga mereka tetap dalam lindungan Mu selalu. Doanya dalam hati.
Sementara itu Rajenta telah memasuki segerombolan pohon yang sangat rindang. Tanpa menghiraukan keadaan di sekelilingnya dia terus mempercepat larinya. Tanpa sepengetahuannya mendadak meluncurlah beberapa batang pisau beracun dari atas pohon yang berada di kanan kiri semak-semak yang dilaluinya. Rajenta merasakan adanya sambaran angin senjata-senjata itu, maka tak ayal lagi dia langsung berjumpalitan. Senjata-senjata rahasia itu saling bertabrakan, sebagian besar di antaranya menancap di batang pohon.
"Bangsat, pembokong gelap! Nampakkanlah diri! Kalau tidak aku akan robohkan pohon-pohon yang ada di sekeliling ku ini...!" ancam Rajenta sambil melepaskan tiga pukulan beruntun.
"Wuuus! Bruaaak!" Dua pohon yang tegak kokoh di samping Rajenta tumbang dan roboh menimbulkan suara riuh rendah. Maka berlompatanlah beberapa sosok tubuh dari atas pohon yang roboh itu. Dari tampang dan pakaian yang dipakai mereka, Rajenta sudah mengetahui kalau mereka merupakan begundal-begundal Jali Sajiwa dari Lembah Weling. Maka saat itu juga mendidihlah darah Rajenta demi mengingat nasib yang dialami oleh anak dan istrinya. Lalu tanpa basa basi lagi dia membentak dengan gusar.
"Kalau tak salah, kalian pasti begundalnya Jali Sajiwa. Hemm, biasanya kalau ada keroco-keroconya pasti si bangsat itu ada bersama kalian. Panggillah manusia setan itu untuk berhadapan denganku...?"
"Kampret, siapakah engkau ini, berani mati kau memaki ketua kami...!" Tak kalah gusarnya muridmurid dari Lembah Weling itu pun membentak.
"Kalau tak salah, si bangsat Jali Sajiwa itu telah menculik anak dan istriku, dia perampok tengik yang perlu diberi pelajaran yang, sangat setimpal."
"Ha... ha... ha...! Kiranya engkaulah Rajenta yang telah buron sampai ke Lembah Gunung Batu Siwak. Pieee... kirain kau telah mampus di lembah yang sangat angker itu...!" Beberapa orang murid tertawa sambil mencemooh. Sementara itu beberapa orang yang berada di atas pohon telah berlompatan turun dari tempat persembunyiannya.
"Keparat. Kutanya di mana Jali Sajiwa berada...?" geram sekali laki-laki berpakaian bangsawan itu mencela.
"Rajenta, bangsawan yang jatuh tertimpa tangga! Untuk apa engkau berurusan dengan ketua kami, sedangkan berhadapan dengan murid-muridnya saja engkau kalau tidak minggat pasti telah menjadi bangkai sejak lama...!"
"Hemm! Agaknya aku harus tunjukkan pada kalian terlebih dahulu, siapa adanya Rajenta yang kini telah berada di hadapan kalian ini...!"
"Som...!"
Belum lagi salah seorang yang berbadan tinggi besar selesai dengan kata-katanya, mendadak Rajenta sudah kirimkan satu serangan kilat. Tiga orang yang paling dekat dengan si tinggi besar roboh dengan batang tenggorokan terputus bagai terkena sabetan pisau belati. Sudah barang tentu kejadian yang tiada di sangka-sangka itu membuat heran dan kejut di hati yang lainnya. Tapi sebelum mereka sempat berpikir apa yang harus mereka lakukan, Rajenta yang sudah dalam keadaan kalap itu sudah menyerang mereka, dengan kuku-kukunya yang secara tiba-tiba mencuat panjang dan tajam. Itulah salah satu Ajian Siluman Harimau Kumbang yang diberi nama Tangan Maut.
Mengetahui kawan-kawannya yang lain nampak bergelimpangan satu demi satu dengan kecepatan yang sangat sulit diduga-duga, maka yang masih selamat pun segera mencabut senjatanya masingmasing. Dalam waktu sekejap saja, di dalam gelap remang-remang terjadilah pertarungan yang sangat sengit. Dalam pada itu di luar sepengetahuan Rajenta, Jali Sajiwa nampak memperhatikan segala apa yang dilakukan oleh Rajenta terhadap muridnya. Dia sendiri merasa menjadi heran sendiri, bagaimana mungkin dalam waktu yang sangat singkat Rajenta memiliki ilmu yang sedemikian tangguhnya. Sesaat kemudian dia telah memandang pada Garu Wisesa yang nampak tegang tak begitu jauh dari sisinya.
"Heh...! Kalau kita tidak cepat-cepat turun tangan, sebentar lagi tentu orang-orang kita akan terbantai habis oleh Rajenta itu...!" ucap Jali Sajiwa tanpa mengalihkan perhatiannya dari pertempuran.
"Apa yang harus kita lakukan, Ketua...?" tanya Garu Wisesa agak jeri.
"Dia sekarang merupakan. orang yang dapat merubah ujudnya menjadi seekor harimau siluman, bukan tak mungkin murid-murid Lembah Weling dan kejadian lain tentang korban pembunuhan yang di lakukan oleh seekor binatang buas dialah pelaku-nya." kata Jali Sajiwa dengan wajah penuh kegeraman.
"Kuya, anjing buduk, janda malang. Istrinya telah mampus di tanganku, anaknya malah kabur. Benarbenar nasib ini selalu apek. Sungguhpun dia bisa berubah menjadi seribu siluman, aku tetap akan membunuhnya...!" ucap Jali Sajiwa, pelan namun suaranya tergetar dalam kemarahannya.
"Lalu bagaimana, Ketua...?" tanya Garu Wisesa masih dalam keadaan tegang.
"Guooblook! Kau hajar dia... sekarang...!"
"Ba... baiik... ketua...!" jawab laki-laki itu. Selanjutnya tanpa banyak fikir lagi ke-duanya pun dengan sekali berkelebat telah sampai di depan Rajenta yang nampak se-dang sibuk membantai murid-murid dari Lembah Weling.
"Hentikan...!" teriak Jali Sajiwa dengan kemarahan yang meluap-luap. Sontak, baik sisa-sisa murid Jali Sajiwa maupun Rajenta menghentikan serangannya.
Jali Sajiwa nampak menyapu pandang pada murid-muridnya yang bergelimpang-an, sementara Rajenta memandang sinis pada Jali Sajiwa.
"Jali Sajiwa manusia tengik, ke mana istri dan anakku...!" teriak Rajenta memecah keheningan malam. Tiada jawaban, sejenak Jali Sajiwa memandang tajam pada Rajenta dari ujung rambut sampai ujung kaki.
"Ha... ha... ha...! Mulanya aku ingin menjadikan engkau mertuaku. Sungguh sayang anakmu dibawa kabur oleh seorang gembel. Sedangkan istrimu, hemm. Sayang-nya dia juga terlalu keras kepala...!" Merah padam wajah Rajenta demi mendengar apa yang di katakan oleh musuh bebuyutannya itu (Dalam Episode Siluman Harimau Kumbang).
"Kurang ajar, kau biang kerok pencurian Area Harimau Kumbang, kau sapu ludes se-mua harta benda ku. Kini anak istriku kau binasakan...!" maki Rajenta dan dalam kemarahannya itu mendadak segalagalanya berubah, sehingga semua orang yang ada di tempat itu menjadi ciut juga nyalinya. Mula-mula tangan tumbuh bulu, kuku-kuku jemarinya semakin bertambah panjang dan tajam-tajam. Selanjutnya wajahnya pun secara perlahan menjadi sosok muka harimau kumbang.
"Siluman Harimau Kumbang...!" seru mereka setengah tertahan.
"Jali Sajiwa, katakanlah dengan sebenarnya. Kaukah yang telah mencuri Arca Harimau Kumbang? Dan kau apakan istriku...?!"
"Arca terkutuk itu, tiada sekalipun aku mencurinya. Kabar terakhir yang kudengar Gembel Pengemislah yang telah menyantroni tempat kediaman Perguruan Walet Merah. Hemm, kalau istrimu memang aku yang telah membunuhnya. Kami bahkan pernah bersenang-senang bersama...!" ejek Jali Sajiwa, sungguhpun dia tak tahu seberapa hebat kemampuan yang dimiliki oleh Rajenta yang telah berubah menjadi siluman itu, namun dia sengaja memancing kemarahan Rajenta.
Memang benar kenyataan yang sesungguhnya, Rajenta nampak sangat marah luar biasa, namun sampai sejauh mana pun kemarahannya dia masih tetap ingat pada pesan guru para siluman. (Dalam Episode Siluman Harimau Kumbang). Dia tak ingin melanggarnya, itulah satu-satunya yang terus dia ingat sepanjang perjalanannya mencari Arca Harimau Kumbang yang telah hilang itu.
"Grauuuung! Grrrr...! Dosa-dosamu telah melampaui batas Jali Sajiwa. Walaupun Arca Harimau Kumbang itu tidak ada padamu, namun hal itu bukan berarti kau tak memiliki kesalahan lain yang sama beratnya. Untuk itu, malam ini juga kau dan muridmuridmu harus membayar lunas atas hutang-hutang yang telah kau pinjam tempo hari...!"
Jali Sajiwa nampaknya masih kelihatan tenangtenang saja, dengan sudut matanya dia melirik Siluman Harimau Kumbang penjelmaan Rajenta. Siluman itu kini telah berdiri dengan keempat kakinya. Tiada lagi kata-kata apa pun yang keluar dari mulutnya terkecuali auman yang panjang yang menandakan bahwa siluman itu telah siap untuk bertarung.
"Bekas bangsawan. Malang sekali nasibmu, dulu kau memang sempat lolos, namun tidak untuk saat ini. Maka bersiap-siaplah...!"
Teriak Jali Sajiwa selanjutnya dia memberi isyarat pada para murid-muridnya. Tanpa ampun lagi, sepuluh orang sisa-sisa murid Lembah Weling segera mencabut senjata masing-masing.
"Ciaaat...! Haaaiiiit...!"
"Graung...!" Dengan sangat tangkas Siluman Harimau Kumbang berkelit, selanjutnya dengan kukukukunya yang tajam dan taring-taringnya yang panjang mengamuklah Siluman Harimau Kumbang utusan guru para siluman itu.
"Krubuti...!"
Teriak Garu Wisesa menghunus pedangnya. Dengan sangat cepat murid-murid dari Lembah Weling itu memutar tubuh dan membuat sebuah lingkaran. Siluman Harimau Kumbang itu kini sudah dalam posisi terkurung, namun dengan pandangan matanya yang liar dan sorot matanya yang merah berapi-api dia kembali mengaum menjatuhkan semangat lawanlawannya.
"Hajar! Mengapa pada bengong saja...!" Bentakan Jali Sajiwa membuat murid-muridnya terbebas dari si siluman harimau itu, mereka kembali bergebrak.
"Grauuuuung...!"
Harimau itu melesat, sekali saja kuku-kuku depannya yang tajam itu menyambar. Maka tiga orang murid Lembah Weling yang datang menyongsong dengan senjata terhunus terkapar dengan leher hampir terputus. Tetapi tidak sampai di situ saja dia bertindak. Tubuhnya kembali berlompatan gesit dan sangat cepat membabatkan pedangnya secara bertubi-tubi. Harimau Kumbang itu hanya menggeram marah, namun tubuhnya sedikit pun tiada terluka.
"Kurang ajar! Harimau itu ternyata kebal terhadap segala macam senjata tajam, kita harus mencari jalan lain." teriak salah seorang murid dari lima orang yang tersisa. Semakin bertambah gusar sajalah Jali Sajiwa dibuatnya. Dalam pada itu, dua. orang Lembah Weling kembali melolong setinggi langit. Taring-taring yang tajam dari ujud yang buas membuat murid-murid malang itu sudah tiada dapat tertolong lagi.
"Grauuung...! Hoaaar...!"
Harimau itu terpekik manakala merasakan sambaran angin pukulan yang sangat dingin dan berhawa keji melabrak tubuhnya. Tanpa ampun lagi, dia terbanting, lalu bersamaan dengan terhempasnya tubuh siluman itu, maka terdengarlah suara tawa Jali Sajiwa.
* * *
--₪¦ « 6 » ¦₪--
Siluman Harimau penjelmaan Rajenta menggerung, dikibas-kibaskannya ekor untuk memberi kekuatan baru agar dapat bangkit kembali.
"Hoaaar !" Raung siluman itu, secara perlahan dia bangkit kembali, tubuhnya terhuyung-huyung. Jali Sajiwa dan Garu Wisesa saling berpandangan sejenak. Lalu mereka pun saling menggaruk.
"Kita cecar dia dengan pukulan Iblis Beracun...!" kata mereka hampir bersamaan. Maka semakin bertambah marahlah Siluman Harimau Kumbang itu dibuatnya. Lalu, sebelum pukulan itu sampai terlepas dari para lawan-lawannya, siluman harimau itu dengan satu raungan yang sangat panjang dan membahana melesat sedemikian cepat melabrak tubuh Garu Wisesa, laki-laki bertampang angker itu menjadi gugup. Namun secepatnya dia babatkan pedangnya ke arah bagian kepala Harimau Kumbang yang berusaha menerkam bagian tengkuknya.
"Craaak! Craaak!"
"Breet! Breet!" Siluman Harimau Kumbang itu berhasil menyabetkan kuku-kuku-nya yang sangat tajam pada bagian tengkuk lawannya. Sebaliknya senjata Garu Wisesa bagai membentur batu karang saja layaknya begitu menghantam tubuh Siluman Harimau Kumbang itu. Garu Wisesa merintih-rintih, lehernya yang terobek dan mengalirkan banyak darah sudah sangat sulit untuk di gerakkan.
"Jahanam, kau telah melukai murid kesayanganku, Weer...!" Sambil memaki Jali Sajiwa sudah kirimkan pukulan Iblis Beracun tingkat tinggi. Bagaikan angin ribut, pukulan maut itu melesat dan timbulkan suara menggemuruh. Sementara Siluman Harimau Kumbang yang telah merasakan kehebatan pukulan beracun itu, juga tidak tinggal diam. Kembali dengan kegesitan yang sangat luar biasa dia kembali berkelit selanjutnya melompat menghindar. Celakanya, ke mana pun siluman itu bergerak. Pukulan Iblis Beracun yang dilepaskan oleh lawannya selalu mengikutinya. Siluman penjelmaan dari Rajenta, nyatanya juga tidak kehabisan akal. Dengan mempergunakan Ajian Tangkal Pati pemberian guru para siluman dia pukulkan tangan depan yang berubah menjadi kaki tersebut. Tak dapat dicegah, selarik gelombang berwarna putih menyerupai kabut nampak bergerak lambat namun bergumpal-gumpal. Lama kelamaan kabut itu menebal sehingga menyerupai sebuah perisai yang sangat kokoh. Pukulan lawan yang terus mengejarnya itu, tak ayal lagi langsung membentur perisai yang kekuatannya melebihi dinding baja.
"Brang!" Tubuh Jali Sajiwa terjengkang, dari celah-celah bibirnya mengalir darah kental. Tak dapat di sangkal dia terkena pukulannya sendiri yang berbalik setelah menghantam perisai baja itu.
"Ilmu Iblisss...!"
Memaki Jali Sajiwa sambil memegangi dadanya yang terasa bagaikan remuk. Siluman Harimau Kumbang hanya mengaum, dalam kesempatan itu, Garu Wisesa yang sudah banyak mengeluarkan darah, demi melihat ketuanya dalam keadaan terluka, nampaknya juga tidak tinggal diam. Dengan sisa-sisa kekuatannya, dia menyerang siluman itu secara membabi buta. Sebaliknya siluman harimau itu menggerung dengan kemarahannya yang menjadi-jadi.
"Mampus...!" teriak Garu Wisesa sambil memegangi punggung lehernya yang terus berdenyut-denyut sakit.
"Gruuung...!" Tubuh harimau itu melompat dengan posisi menerkam, dengan sangat cepat pula Garu Wisesa rendahkan tubuhnya serendah mungkin. Terkaman itu luput, hanya anginnya saja yang terasa menyambar di atas kepala. Garu Wisesa berbalik, namun terlihat pula bahwa saat itu Siluman Harimau Kumbang sudah bersiap-siap kembali dalam posisi menerkam.
"Roaaar...!"
"Bruuk!" Tubuh Garu Wisesa sudah terdorong jatuh berguling-guling, manakala Harimau Kumbang itu menerjangnya dengan kekuatan tiga seperempat tenaga dalamnya. Sekejap saja terjadilah pergumulan sengit. Begitu buas dan beringas harimau itu mencabik-cabik tubuh Garu Wisesa dengan taring dan kuku-kukunya yang sangat tajam. Laki-laki bertampang beringas itu kelabakan, dia panik. Sementara tubuhnya sendiri sudah tak tentu ujudnya. Selanjutnya dia hanya mampu menggeliat dan menggelepar saja manakala nyawanya sudah tiba di ambang tenggorokan.
"Weeeer...!"
Dalam keadaan sempoyongan, Jali Sajiwa lepaskan satu pukulan Iblis Beracun tingkat pertama. Siluman penjelmaan Rajenta itu kembali menggeram, selanjutnya dia pun tanpa sungkan lagi kerahkan ajian Selaksa Harimau Kumbang Menerjang. Secara cepat tubuh siluman harimau itu mengembar, semakin lama semakin bertambah banyak. Bahkan jumlahnya mencapai puluhan. Tak pelak lagi pukulan Iblis Beracun itu menghajar beberapa ekor kembaran harimau kumbang. Begitu pukulan itu datang menghantam, harimau-harimau itu mengaum keras, tubuh binatangbinatang itu terbanting tak karuan. Namun manakala tersungkur ke tanah, maka keanehan pun terjadi. Siluman harimau kumbang yang lainnya bermunculan dari tubuh kawannya yang terkapar.
"Ilmu iblis...!" maki Jali Sajiwa terus mengumbar pukulan-pukulan beracunnya. Siluman harimau kumbang itu kini jumlahnya mencapai ratusan ekor, Jali Sajiwa nampak semakin kewalahan, nafas kembang kempis bagai habis dikejar-kejar setan kubur. Tiada terduga-duga, siluman harimau kumbang itu secara berbarengan menyerang Jali Sajiwa dengan segenap kemampuannya.
"Graaaaar...!"
"Aakkkgggh...!" Jali Sajiwa, gembong iblis dari Lembah Weling itu menjerit-jerit kesakitan, malang sekali nasibnya. Sebab dalam sekejap tubuhnya tercabik-cabik tak karuan ujudnya. Secara perlahan namun menyakitkan, tubuh yang bergelimang dosa itu pun berkelojotan bagaikan seekor ayam disembelih, selanjutnya terdiam untuk selama-lamanya. Dengan kematian Jali Sajiwa itu, maka secara perlahan Rajenta yang masih berujud siluman harimau kumbang, nampak merapal Ajian Muluh Asal pada ujud yang sesungguhnya.
Satu demi satu siluman harimau yang mencapai puluhan ekor itu segera lenyap, berubah menjadi asap tipis. Sementara itu tubuh siluman harimau kumbang itu juga secara perlahan telah berubah pula menjadi ujud Rajenta yang sesungguhnya.
Laki-laki berpakaian bangsawan itu nampak mengeluh sambil memegangi dadanya yang terasa sangat sakit luar biasa.
"Eeggh...! Pukulan Iblis Beracun, seumur hidup aku baru merasakannya kali ini. Hemm... mudahmudahan umurku sampai untuk mencari Arca Harimau Kumbang yang dicuri oleh Gembel Pengemis dari Pulau Naga, tap,., tapi dadaku terasa sangat nyeri sekali. Kepalaku berdenyut-denyut bagai mau pecah. Mungkinkah pukulan beracun yang ku derita ini tidak separah seperti apa yang dikatakan oleh manusia iblis itu. Tapi kalau ternyata memang benar apa yang di katakannya, itu berarti hidupku hanya tinggal beberapa hari lagi... tapi... mengapa aku tak menggeledah Jali Sajiwa yang telah binasa itu. Mudah-mudahan penawarnya ada padanya...!" batin Rajenta, lalu secepatnya dia sudah menghampiri mayat Jali Sajiwa yang terkapar di antara murid-murid-nya yang lain.
Rajenta kemudian berlutut, selanjutnya segera menggeledah pakaian yang melekat di tubuh Jali Sajiwa. Kantong-kantongnya nampak kosong terkecuali berisi senjata-senjata yang sangat beracun.
Rajenta nampak sangat kecewa, tak didapatnya obat penawar racun yang mengidap di tubuhnya seperti yang dia harapkan.
"Gembong manusia iblis ini memang sungguh pandai sekali, dia telah memperhitungkan segala sesuatunya. Sekarang semuanya kuserahkan pada Sang Hyang Widi kalaupun aku tak dapat memenuhi keinginan guru para siluman, maka apa boleh buat. Yang penting setidak-tidaknya aku telah berusaha melakukan salah satu di antara apa yang diinginkannya." batinnya lagi.
Dalam keadaan bingung dan tercenung seorang diri seperti itu, mendadak, muncullah kabut putih di tengah-tengah kegelapan malam yang pekat. Rajenta terkesiap, nampaknya dia sangat mengenal kehadiran kabut tipis itu. Tak lain merupakan gurunya sendiri. Sesaat semuanya berubah hening, Rajenta ingin mengatakan sesuatu, namun serta merta terdengar guru para siluman yang tak pernah menunjukkan rupa.
"Rajenta, mengapa kau harus bingung. Aku tahu saat ini kau terkena pukulan Iblis Beracun yang sangat. ganas itu. Namun kuminta kau jangan cemas. Berjalanlah terus ke arah Utara...!" kata suara tanpa rupa menyarankan.
"Guru...! Benarkah apa yang dikatakan oleh Jali Sajiwa itu...?" tanya Rajenta dengan hati diluputi keingintahuan.
"Hemm. Semua apa yang dikatakannya itu memang benar adanya, tapi itu bisa terjadi andai kau tidak dapat mendapat pertolongan...!"
"Mungkinkah nyawaku tidak tertolong lagi...?" tanya Rajenta dengan perasaan harap-harap cemas. Guru para siluman memperdengarkan suara tawa penuh arif.
"Rajenta, di dunia ini tiada sakit yang tidak ada obatnya, semuanya bisa saja terjadi asal kau berusaha untuk melakukannya...!"
"Lalu, apakah yang harus kulakukan, Guru...?"
"Pergilah kau ke arah Utara, nanti kau akan bertemu dengan seorang pemuda berpakaian kumal, dia ada bersama-sama anakmu... tapi kau jangan gegabah. Sebab dialah Pendekar Golok Buntung yang masih merupakan keturunan raja negeri alam gaib. Dia pasti dapat melakukannya, dan andai kau bersikap baik padanya. aku juga merasa sangat yakin kalau dia mau membantu usahamu dalam mencari Arca Harimau Kumbang yang selama ratusan tahun telah lenyap dari Lembah Gunung Batu Siwak. Kuperingatkan padamu, Rajenta. Hanya dengan kembalinya arca itu sajalah yang dapat membuat Lembah Gunung Batu Siwak dapat terhindar dari bencana alam yang datang lebih hebat lagi...!"
"Baiklah, aku akan melakukannya, Guru...!"
"Pergilah secepatnya...!" kata guru para siluman. Selanjutnya suasana berubah sunyi kembali, kabut putih itu lenyap dari pandangan mata. Maka tanpa membuang waktu lagi, Rajenta dengan langkah terhuyung-huyung segera melangkah pergi.
* * *
--₪¦ « 7 » ¦₪--
"Nah seperti saudara kembar ketahui, kini segala apa yang tersimpan dalam Kitab Siluman Harimau Kumbang telah kalian peroleh dan miliki. Itu menandakan sebagai orang yang menginginkan kerja sama yang baik mau pula melakukan yang terbaik untuk kawan-kawannya satu golongan. Pokoknya ilmu Siluman Harimau Kumbang yang ada dalam kitab itu telah sama-sama kita miliki. Kini tinggal niat kita saja untuk sama-sama menjaga arca yang sangat berharga itu. Selanjutnya kita hancurkan semua kekuatan kaum golongan putih, dengan cara melakukan teror di manamana." kata Gembel Pengemis berpakaian compang camping itu membuka pembicaraan.
"Lalu apa yang kita lakukan mulai saat ini, Saudara Gembel...!" tanya si Kembar Gemuk Tinggi.
"Niat kita sudah jelas, jalan mudah untuk menguasai mereka tanpa bersusah payah adalah melakukan pada masing-masing perguruan. Setelah itu kita adu domba mereka sehingga saling bertarung. sesamanya akibat kesalah pahaman. Setelah kekuatan mereka lemah, nah saat itu kita turun menyerang...!" Gembel Pengemis mulai menanamkan gagasannya.
"Tapi, aku harus menagih hutang tanganku yang dibuntungi oleh bocah hina yang sangat tangguh itu. Grrttk.... Kalau saja aku sampai bertemu dengan orang itu, aku tak akan mengampuni jiwanya...!" Menyela si Kembar Gemuk Pendek.
"Saudaraku juga benar, Saudara Gembel...! Sakit hati ini benar-benar harus dia bayar dengan sangat setimpal. Kami masih akan terus penasaran selamanya andai kami tidak dapat darahnya dan memakan pula otaknya...!" Saudaranya yang paling tua ikut menimpali.
Gembel Pengemis dari Pulau Naga nampak tersenyum-senyum penuh kelicikan yang sangat tersembunyi.
"Membinasakan pemuda yang menamakan dirinya sebagai Pendekar Hina Kelana adalah sama gampangnya dengan membalikkan telapak tangan. Aku sendiri secara pribadi merasa sangat ingin menjajal seberapa hebatnya Golok Buntung miliknya yang sangat menggemparkan itu...!" Berkata Gembel Pengemis dengan kesombongan selangit.
"Lalu sekarang ini apa yang akan kita tempuh...!" tanya si kembar gemuk pendek ingin sebuah kepastian. Gembel Pengemis nampak terdiam, otaknya berputar mencari kemungkinan terbaik, sementara kedua matanya memandang tiada berkedip pada lampu minyak yang terletak di depannya.
"Baiknya kita berpencar, masing-masing dari kita menuju ketiga penjuru mata angin...!" ujar Gembel Pengemis kemudian tanpa mengalihkan perhatiannya pada lampu yang terletak di depannya. Ke dua manusia kembar itu saling berpandangan sesamanya, sama sekali mereka tak mengerti ke mana arah pembicaraan Gembel Pengemis.
"Mengapa kita harus berpencar, saudara Gembel Pengemis...!" tanya si Kembar Gemuk Tinggi tiada mengerti.
"O wala dala... kalau kita tidak berserak, berapa tahun kita harus dapat menguasai semua golongan persilatan...?" Kedua kembar angguk-anggukkan kepala tanda mengerti.
"Lagi pula, dengan cara berpencar begitu, teror yang kita lakukan justru akan membingungkan semua lawan-lawan kita." jelasnya lebih lanjut.
"Sebuah ide yang sangat tepat. He... he... he...! Kami tiada menyangka kalau saudara Gembel meskipun sangat tua namun memiliki pandangan yang awas...!" Puji Kembar Pedang Dewa hampir bersamaan.
"He... he... ho... ho... ho...! Lha wong aku kok...! Tidak percuma aku jauh-jauh datang dari Pulau Naga...!"
"Ta... tapi bagaimana agar keselamatan arca itu dapat terjamin, saudara Gembel Pengemis...?" tanya si Gemuk Pendek agak meragu. Kiranya keraguan itu sempat pula diketahui oleh Gembel Pengemis dari Pulau Naga. Maka cepat-cepat dia menyela:
"Saudara-saudara tak usah merasa takut, kalau arca biarkan saja aku yang membawanya. Sebab kalaupun disimpan di tempat ini, aku tak berani menjamin keselamatannya. Biarlah aku yang membawabawa-nya ke mana pun aku pergi...!" ucap Gembel Pengemis berusaha meyakinkan.
"Baiklah, kami percaya sepenuhnya pada saudara Gembel Pengemis! Tapi kalaupun kita berpencar, lalu untuk selanjutnya di mana kita harus bertemu kembali?" tanya salah seorang si kembar. Gembel Pengemis nampak terbengong-bengong, menurut pendapatnya pribadi tempat pertemuan akhir itu memang pantas untuk diketahui mulai dari saat sekarang. Sebab apa pun yang bakal terjadi nantinya, mereka harus menentukan sebuah tempat yang pada akhirnya merupakan ajang pertemuan di perbatasan antara Gunung Batu Siwak dengan lembah maut...?"
"Mengapa harus di sana, saudara Gembel Pengemis? Bukankah tempat itu merupakan sebuah tempat yang hampir sepanjang tahunnya dilanda gempa. Pula merupakan daerah yang sangat berbahaya sekali...!" kata si gemuk tinggi merasa kurang setuju.
"Aku memilih tempat itu bukan sembarang pilih, perbatasan lembah Gunung Batu Siwak merupakan sebuah daerah yang tidak pernah dijarah oleh siapa pun. Kalau di sanalah kita mengadukan pertemuan, maka aku dapat menjamin tentang keamanannya...!
"Baik...! Kami akan menurutmu kalau itu memang kami anggap juga cukup baik untuk sebuah pertemuan yang sangat penting. Tetapi perguruan mana saja yang harus kita teror...!" tanya si Gemuk Tinggi.
"Saudara Gemuk Pendek, menurutku lebih baik menuju ke arah Utara, sepanjang jalan ke Utara seingatku ada tiga perguruan yang juga patut diperhitungkan di sana. Sementara saudara kembar Gemuk Tinggi sebaiknya menuju ke Tenggara. Di bagian Tenggara itu juga terdapat dua perguruan yang sangat besar namun memiliki pimpinan yang berjiwa lemah. Sementara aku sendiri akan menuju ke arah Barat. Nah di sanalah markas besar semua kaum golongan putih. Yaitu Perguruan Walet Merah."
"Hemm. Kami menyetujui semua gagasan mu saudara Gembel Pengemis. Mudah-mudahan segala apa yang kita rencanakan akan menjadi kenyataan...!"
"Terima kasih, saudara kembar berdua atas segala kepercayaan yang anda berikan padaku...!"
"Kapan kita berangkat...!" tanya si Gemuk Pendek. Sementara si Gemuk Tinggi mengangguk mengiyakan.
"Ada baiknya kalau kita berangkat sekarang juga...!" kata Gembel Pengemis dari Pulau Naga tegas.
"Baiklah...!" Setelah mereka merasa tak ada lagi yang perlu dibicarakan maka saat itu juga mereka segera berangkat meninggalkan tempat itu. Berpisah dengan tujuan masing-masing.
* * *
Angin siang hari berhembus sepoi-sepoi basah, di saat itu Buang Sengketa dan Dewi Wening Asih yang sedang melakukan perjalanan menuju Lembah Gunung Batu Siwak, atau setidak-tidaknya menjumpai Ketua Perguruan Walet Merah. Melalui sebuah jalan yang sangat sempit dan licin, sejak pagi hari mereka tiada henti-hentinya terus melangkahkan kaki. Padahal saat itu sesungguhnya Buang Sengketa sudah merasa tak sabar lagi melihat cara jalan Dewi Wening Asih yang sangat lambat dan mirip seekor siput.
"Jalan sedari tadi cuma muter-muter di sini saja!" gerutu Buang Sengketa.
"Ceriwis, kalau tak sabar tinggal saja...!" Dewi Wening Asih bersungut-sungut sambil mencibirkan mulutnya.
"Wah jadi kau benar-benar ingin kutinggal sendirian...!"
"Ee... jangan...! Aku minta maaf. Bangsatbangsat itu membuat aku takut Kelana...!"
"Kalau begitu percepat sedikitlah langkahmu...!" perintah Buang Sengketa setengah mempercepat langkahnya. Namun mendadak pemuda itu hentikan langkahnya begitu mendengar jeritan dan teriakanteriakan orang yang sedang melakukan pertarungan. Atau lebih mirip lagi bila disebut sebuah pembantaian.
"Ada apa?" tanya Dewi Wening Asih ketika melihat Buang Sengketa malah mengendap-endap meninggalkan jalan setapak yang mereka lalui. Sebaliknya dia melangkah ke arah semak-semak belukar yang berada di sisi kanan jalan itu.
Tak lama kemudian setelah memperhatikan sesuatu yang berada di lereng bukit di bawahnya, maka Buang Sengketa memberi isyarat pada Dewi Wening Asih untuk men-dekat. Tanpa berfikir panjang, Dewi Wening Asih segera mendekat lalu dia memperhatikan ke arah yang ditunjuk oleh Buang Sengketa. Dewi Wening Asih hampir terpekik begitu melihat beberapa orang penduduk desa sedang menghadapi seekor Siluman Harimau Kumbang. Yang membuat terheranheran pemuda itu adalah karena harimau kumbang itu hanya memiliki tiga buah kaki. Sejenak pemuda dari Negeri Bunian ini nampak memperhatikan gerak gerik serangan harimau kumbang yang sangat ganas. Mengherankan, walau kakinya cuma tiga buah, tapi harimau itu dapat bergerak secepat binatang normal. Tetapi bila melihat caranya membantai orang-orang itu nampaknya harimau itu bukanlah harimau biasa. Jangan-jangan….! Tetapi mungkinkan binatang itu ada kaitannya dengan Siluman Harimau Kumbang. Kalau benar sudah barang tentu harimau itu bermaksud untuk membunuh semua orang yang berada di tempat itu. Aku harus mencegah semua perbuatannya yang brutal itu. Batin Buang Sengketa dalam hati.
"Dewi...!" panggilnya. Dewi Wening Asih semakin mendekat.
"Ada apa...?" tanyanya begitu hampir di sebelah Pendekar Hina Kelana.
"Ikutlah aku, tapi jangan berisik, aku harus menghalangi harimau yang mengganas itu. Kalau tidak orang-orang yang tiada berdosa itu pasti akan terbantai habis...!"
"Jangan, siapa tahu harimau itu sengaja membalas dendam. Mungkin juga orang-orang itu merupakan golongan hitam. Untuk apa kau bersusah payah membantu mereka, lebih baik kita meneruskan perjalanan saja...!" Buang Sengketa gelengkan kepalanya berulang-ulang.
"Tidak, kau lihatkah bahwa orang-orang itu merupakan petani biasa, mungkin juga mereka merupakan pencari rotan di hutan ini... aku harus menolongnya. Indera ku mengatakan bahwa harimau itu hanyalah merupakan seekor siluman...!" ujarnya merasa sangat yakin sekali.
"Kalau begitu marilah kita tolong mereka, aku tak dapat berbuat banyak. Semua itu terpulang padamu, seandainya kau sampai celaka, maka nasibku juga tak akan lebih baik dari nasibmu...!" Dewi Wening Asih setengah mengingatkan.
Buang Sengketa hanya diam saja, sesaat kemudian dia sudah melangkah mendekati tempat pertarungan. Semakin lama langkah mereka semakin mendekat dan bertambah dekat. Begitu semuanya sudah terlihat nyata, maka bukan main terperanjatnya pemuda dari Negeri Bunian itu. Di tempat itu lebih dari sepuluh orang mayat-mayat tiada berdosa bergeletakan. Keadaan tubuh mereka benar-benar sangat menyedihkan sekali. Buang Sengketa cepat-cepat mengalihkan perhatiannya ke arah lain, maka nampaklah hanya tinggal lebih kurang tujuh orang saja dengan senjatanya yang berupa beberapa batang golok dan tombak mengepung harimau yang sangat ganas itu. Buang menjadi geram karenanya, tanpa basa basi dia pun segera melompat memasuki kalangan pertempuran.
Kehadiran Buang Sengketa yang tiada terdugaduga itu membuat terkejut harimau kumbang maupun beberapa orang penduduk desa yang sedang melakukan pengeroyokan.
* * *
--₪¦ « 8 » ¦₪--
"Hak... kek... kek...! Siluman Harimau Kumbang...! Melihat bentuk tubuhmu yang pendek dan bertangan buntung, tak bisa ku sangkal. Engkau tak lain merupakan kunyuk dari Pulau Bawean... he... he... he...! Satu kesempatan yang bagus bagiku. Melihat tampangmu yang dapat berubah menjadi seekor siluman, aku jadi merasa sangat yakin kalian pasti ada hubungannya dengan arca yang hilang itu. Tapi... eeee... tapi ke mana kembaran mu yang satu lagi...?"
"Grauuuuung!" Siluman Harimau Kumbang yang merupakan penjelmaan si kembar Gemuk Pendek menggerung marah dengan dendamnya yang terbangkit kembali. Apa sebabnya sampai terjadi pembantaian itu?
Seperti diketahui setelah masing-masing sekutu telah mengetahui tugas-tugas-nya, maka berangkatlah si Kembar Gemuk Pendek menuju ke arah Utara. Satu perguruan kecil yang muridnya hanya berjumlah lebih kurang tiga puluh orang saja telah berhasil dia obrak abrik. Selesai menghancurkan satu perguruan milik orang-orang golongan putih, maka dia bermaksud meneruskan perjalanannya untuk membasmi perguruan berikutnya. Namun bagi si Gemuk Pendek yang sama sekali belum pernah melakukan perjalanan ke Utara, merasa sangat kesulitan untuk menempuh jalan yang sesingkat mungkin. Berulang kali dia sempat kesasar, bahkan beberapa kali dia cuma berputarputar di sekitar hutan itu. Maka bertemulah dia dengan sekawanan pencari rotan di tengah-tengah hutan itu. Tapi karena setiap pertanyaan selalu dijawab dengan kata-kata yang kurang menyenangkan, maka mau tak mau akhirnya dia pun sangat marah. Tak dapat dicegah lagi, si Gemuk Pendek yang selama ini menganggap bahwa setiap manusia selalu berada di bawah tingkatannya. Dalam waktu sekejap saja telah merubah dirinya menjadi seekor Siluman Harimau Kumbang. Satu demi satu korban-korban pun berjatuhan, semakin lama semakin bertambah banyak. Masih untuk dalam saat-saat yang sangat kritis itu muncullah Pendekar Hina Kelana. Tetapi kemunculannya malah semakin mengundang kemarahan Siluman Harimau Kumbang, karena sesungguhnya dendamnya selama ini hanyalah ditujukan pada pemuda yang dulu pernah membuntungi tangannya (Dalam Episode Siluman Harimau Kumbang).
Saat itu baik pemuda muridnya si Bangkotan Koreng Seribu, maupun Siluman Harimau Kumbang penjelmaan si kembar gemuk pendek nampak saling berpandangan. Namun sedetik kemudian Buang Sengketa sudah menyela:
"Aku tahu kalian sekarang pasti sedang melakukan teror. Kalian berpencar untuk mengelabuhi orang-orang persilatan. Huh. Siapa pun dan sebanyak apa pun Siluman Harimau Kumbang, aku tak akan pernah merasa gentar. Kau harus mati di tanganku, kali ini benar-benar tak akan kubiarkan lolos." geram pemuda itu selanjutnya dia sudah bersiap-siap dengan jurus tangan kosong si Gila Mengamuk. Siluman Harimau Kumbang menggerung bagai di rasuki setan iblis. Selanjutnya begitu dia menjejakkan kaki belakangnya, tahu-tahu tubuh Siluman Harimau Kumbang penjelmaan dari si Kembar Gemuk Pendek telah melayang menerjang Buang Sengketa yang sudah barang tentu saja berkelit dengan sangat gesitnya. Serangan awal siluman penjelmaan si Gemuk Pendek luput. Namun secepatnya dia sudah berbalik dan melakukan serangan yang lebih gencar lagi dengan kuku taringnya yang panjang-panjang.
Sementara itu Buang Sengketa yang saat itu mempergunakan jurus si Gila Mengamuk, masih kelihatan tenang-tenang saja, sekali dua dia nampak terhuyung-huyung bagai seorang pemabukan, di lain saat dia tepuk-tepuk pantatnya atau bahkan menggaruknya. Gerakan silatnya memang kacau balau tak beraturan, bahkan pukulan maupun tendangan yang dilakukannya nampak selalu ngawur dan membuat geli setiap orang yang melihatnya, tapi selalu saja pukulanpukulan itu menghantam telak pada sasarannya. Sungguhpun begitu, nampaknya Siluman Harimau Kumbang ini sangat kebal bahkan bagai tak merasakan datangnya pukulan maupun tendangan yang bertubi-tubi. Sebaliknya siluman harimau itu malah semakin bertambah buas dan terus melakukan serangan balik dengan sangat cepat sekali.
"Grauuung...!"
"Kampret! Hampir saja...!" maki Buang Sengketa, seraya melipat gandakan serangannya. Tapi sejurus selanjutnya siluman harimau berkaki tiga itu pun dengan begitu nekadnya, menerkam Buang Sengketa dari arah yang berlawanan.
"Krauuuk...!" Terdengar suara berkerokokan manakala taring-taring harimau kumbang itu menyambut kepalan tinju Buang Sengketa yang mengarah ke bagian kepalanya.
"Sialan kau siluman sesat. Aku ini masih majikanmu, aku pangeran mu, karena aku juga masih merupakan makhluk alam gaib. Kau tak mau hormat padaku malah meminta tanganku. Kurang ajar...!" makinya sambil membetot-betot tangannya yang berada di dalam mulut harimau itu. Siluman Harimau Kumbang mempertahankannya. Walaupun makhluk itu merasakan bahwa tangan lawannya telah berubah sekeras baja. Pendekar Hina Kelana akhirnya merasa tak sabar juga setelah tarik menarik berlangsung lama. Dia sudah mulai berfikir untuk melepaskan pukulan maut Empat Anasir Kehidupan, atau yang lebih hebat lagi si Hina Kelana Merana. Tapi bagaimana nantinya dengan nasib tangan kirinya yang masih tetap tergigit di dalam mulut siluman harimau itu. Mengeluarkan Pusaka Golok Buntung. Hemm, rasa-rasanya hal itu tidak perlu. Baiknya dengan mempergunakan lengkingan Ilmu Pemenggal Roh tangannya segera terlepas dari taring-taring lawannya.
"Hiiiikk!"
Terdengar gelegar berkepanjangan yang sambung menyambung tiada henti. Bumi tempat berpijak seakan-akan runtuh. Satu kesalahan yang berakibat sangat fatal secara tak sengaja telah dilakukan oleh pemuda itu. Yaitu dia lupa mengingatkan penduduk desa yang masih tersisa itu untuk menyumbat daun telinganya.
Tak dapat disangkal lagi, orang-orang itu menjerit dan jatuh terguling-guling. Gendang-gendang telinga mereka berantakan, darah mengalir dari dalamnya. Sesaat tubuh-tubuh tumpang tindih itu berkelojotan lalu terdiam untuk selama-lamanya. Sementara itu Siluman Harimau Kumbang nampak terpekik, serta merta mulutnya membuka. Secepatnya Buang Sengketa menyentakkan tangan itu dari dalamnya. Siluman Harimau Kumbang menggerung, tubuhnya terhuyunghuyung. Tapi bagai tak menghiraukan rasa sakit di bagian kuping dan dadanya, Siluman Harimau Kumbang itu kembali bersiap-siap membangun serangan.
"Sialan, gara-gara kau, aku sampai membuat mereka yang ingin kuselamatkan malah mampus...!" makinya. Selanjutnya tanpa banyak membuang waktu percuma, tubuh Buang Sengketa berkelebat sangat cepat.
"Heiiiit...!"
Pendekar Hina Kelana pukulkan tangannya ke depan. Tanpa ampun lagi, selarik sinar berwarna Ultra Violet menderu menyambut terkaman harimau kumbang yang datangnya berlawanan arah.
Sama sekali Siluman Harimau Kumbang itu tiada menyangka kalau lawannya lepaskan pukulan yang sangat berbahaya sekali. Secepatnya dia buang tubuhnya ke samping kanan. Pukulan Empat Anasir Kehidupan yang dilepas oleh Pendekar Hina Kelana mencapai sasaran kosong, namun terus melesat hingga menabrak sebatang pohon hingga menyebabkannya tumbang menimbulkan suara berdebum.
"Grauuuuung!"
"Sialan sedari tadi cuma membuat aku semakin kesal saja. Terimalah yang ini...!" jerit Buang Sengketa dengan suara menggelegar. Maka apabila kedua tangannya terpentang ke atas. Dan saat mana mulutnya mengeluarkan bunyi mendesis maka pada saat itulah dia telah mulai menyalurkan sebagian tenaga dalamnya untuk melepaskan pukulan si Hina Kelana Merana, mulailah tubuhnya bergetar. Keringat mengalir deras membasahi tubuh dan pakaiannya. Sementara itu, Siluman Harimau Kumbang penjelmaan si kembar gemuk pendek juga nampaknya menyadari bahwa pendekar yang pernah membuat buntung tangannya itu tak ingin bertindak ayal-ayalan untuk kali ini. Maka masih dalam ujud siluman, dia segera mengerahkan pukulan baru hasil ciptaan mereka. Pukulan itu adalah merupakan pukulan yang diberi nama Dendam Pedang Dewa Kembar.
"Hiaaa...!" teriak Buang Sengketa melepaskan pukulan andalannya.
"Grroaar...!" Sambil berlompatan Siluman Harimau Kumbang itu pun pukulkan kaki depannya yang hanya sebelah itu. Satu gelombang sinar kuning melesat melebihi kecepatan anak panah, sinar berhawa dingin itu terus melabrak menyongsong datangnya satu gelombang sinar merah yang telah dilepaskan oleh Pendekar Hina Kelana.
"Weeer!"
"Blaaam!"
Dua tenaga sakti saling bertubrukan di udara, tubuh orang itu sama-sama terpental tiga tombak. Buang Sengketa meringis-ringis sambil memegangi dadanya yang terasa sesak luar biasa. Sementara itu siluman penjelmaan si Kembar Gemuk Pendek setelah muntah darah masih juga berusaha bangkit berdiri. Namun nampaknya pengaruh lengkingan Ilmu Pemenggal Roh, yang meninggalkan kerusakan pada bagian otaknya membuat siluman itu mulai kehilangan daya tempurnya. Kini setelah bangkit berdiri dalam keadaan sempoyongan dia kembali berusaha untuk melakukan serangan susulan. Tapi luka dalam yang dialaminya telah pula membuat gerakan-gerakannya sudah tak stabil lagi.
"Grrr...!"
Gemetaran suara siluman itu.
"Hiaa...!" Tubuh Buang Sengketa berkelebat, sekali lagi dia lancarkan pukulan si Hina Kelana Merana. Siluman Harimau Kumbang menggerung tanda terkejut. Tapi pukulan yang dilepaskan oleh Buang Sengketa datangnya laksana badai.
"Buuum!" Tubuh Siluman Harimau Kumbang itu terbuntang dan tergulung-gulung dalam hawa yang sangat panas menyakitkan. Binatang siluman itu melolong, tapi hanya sesaat saja. Begitu tubuhnya terhempas, maka perubahan pun terjadi. Harimau kumbang yang mati dalam keadaan hangus itu, secara perlahanlahan berubah ke dalam ujudnya semula. Hingga lama-kelamaan Buang Sengketa dengan jelas dapat mengenali bahwa sesungguhnya orang itu tak lain merupakan si Kembar Pedang Dewa, yang dulu sempat melarikan diri dari tangannya.
"Akhirnya kau harus mati dengan cara lebih menyedihkan lagi, Orang sesat...!"
"Siapa dia...?" tanya Dewi Wening Asih yang secara tiba-tiba berada di sebelah Buang Sengketa. Sejenak pemuda itu memandang pada si gadis, lalu ucapannya pelan.
"Dia salah seorang lawanku...?" katanya.
Lalu tanpa basa basi lagi disambarnya tangan gadis itu. Detik selanjutnya Dewi Wening Asih merasakan tubuhnya bagai melayang bersama Buang Sengketa yang sedang mengerahkan ilmu lari cepatnya ajian Sapu Angin.
* * *
--₪¦ « 9 » ¦₪--
Sementara itu tak begitu jauh dari tempat Rajenta terkapar, nampak dua orang pejalan kaki yang kelihatannya masih sangat muda. Seorang di antaranya adalah seorang gadis yang sangat cantik, sedangkan yang menyertainya adalah seorang pemuda yang tak kalah tampannya bila dibandingkan dengan kecantikan gadis yang berjalan bersama pemuda itu. Tiada kata-kata yang terucap dari mulut mereka, manakala mereka berjalan berdampingan seperti itu. Dewi Wening Asih tenggelam dalam lamunannya tentang bagaimana nasib kedua orang tuanya. Sedangkan Pendekar Hina Kelana sendiri merasa di sibuki dengan teror Siluman Harimau Kumbang yang mulai merajalela di mana-mana. Mengherankan, di mana-mana terjadi pembunuhan secara keji dan nampaknya sangat berutal sekali. Aku merasa yakin bahwa pelaku dari teror itu tidak mungkin dilakukan oleh seorang saja, mungkin juga dua, tiga, lima, atau bahkan lebih. Tapi apa alasannya yang jelas mereka sengaja memancing kekisruhan, atau mungkin pula mempunyai maksudmaksud tertentu yang belum jelas. Arca itu juga sekarang ini entah berada di tangan siapa. Batin pemuda itu.
Sedang tenggelam dalam lamunannya seperti itu, tiba-tiba saja telinganya menangkap adanya suara rintihan seseorang. Dan nampaknya Dewi Wening Asih juga mendengar seperti apa yang didengar oleh Buang Sengketa.
"Nampaknya di sekitar sini seperti ada suara rintihan seseorang...!"
"Aku juga mendengar suara yang sama, ee... sepertinya berasal dari lereng di bawah itu...!" kata gadis itu, dengan hati berdebar.
"Ayo kita ke sana saja...!"
Lalu secara bersama-sama mereka menuruni lereng itu, tak sampai lewat sepemakan sirih maka Buang Sengketa melihat seorang laki-laki yang tiada dikenalnya terkapar di atas semak-semak belukar. Sejenak dia meneliti, selanjutnya membalikkan tubuh laki-laki berpakaian bangsawan itu. Saat itu Dewi Wening Asih menjerit tertahan, tubuhnya gemetaran, lalu tanpa dapat tertahankan lagi dia langsung menubruk Rajenta.
"Ayah... mengapa sampai terjadi begini, Ayah...!" jerit gadis itu sambil mendekap tubuh Rajenta yang sudah sangat dingin sekali. Sementara itu Buang sama sekali tiada menduga kalau laki-laki yang berpakaian bangsawan itu kiranya merupakan ayah Dewi Wening Asih. Lalu tanpa menghiraukan tangis gadis itu, Buang Sengketa segera memeriksa nadi di pergelangan Rajenta. Luar biasa orang itu ternyata masih hidup. Sungguhpun denyut jantungnya sudah sangat lemah sekali.
"Hentikan tangismu Dewi, nampaknya dia masih bisa di selamatkan. Ayolah bantu aku, tolong buka bajunya...!" kata Dewi Wening Asih memberi perintah. Selanjutnya dengan sangat cepat mereka membuka pakaian Rajenta. Setelah pakaiannya terbuka nampaklah bagian dadanya yang membiru bekas terkena pukulan beracun yang sangat ganas. Buang memandang pada Dewi Wening Asih sejenak saja, lalu:
"Dewi, cobalah kau berjaga-jaga di atas bukit sana. Beritahukan padaku andai ada apa pun yang mencurigakan. Aku akan menolong ayahmu ini, mudah-mudahan nyawanya masih tertolong...!" perintah Buang Sengketa. Dengan masih terisak, Dewi Wening Asih segera mengerjakan apa yang diperintahkan oleh Buang Sengketa.
Selanjutnya tanpa membuang-buang waktu lagi, Buang Sengketa segera menempelkan telapak tangannya pada bagian dada Rajenta, lalu dengan mengerahkan segenap perhatiannya, Buang Sengketa mulai mengerahkan sebagian tenaga dalamnya ke arah telapak tangannya. Kemudian hawa yang sangat hangat pun mengalir pada telapak tangan Pendekar Hina Kelana. Hawa murni itu terus mengalir ke bagian dada yang telah mengidap pukulan beracun. Secara perlahan namun cukup pasti, hawa murni yang disalurkan melalui tangan Buang Sengketa terus menjalar ke seluruh bagian tubuh Rajenta yang tadinya terasa sangat dingin dan kaku. Tubuh pemuda itu telah bermandi keringat, bahkan wajahnya sendiri semakin lama berubah menjadi merah padam, tubuh gemetaran demi menahan hawa dingin beracun yang kadang memberontak ingin mengatasi hawa murni yang disalurkan oleh Buang Sengketa. Semakin lama hawa murni yang disalurkan oleh Buang Sengketa semakin dilipat gandakan, sehingga lama-kelamaan menaikkan hawa beracun dan melenyapkannya, sungguhpun tidak secara tuntas.
Rajenta mengerang manakala merasakan hawa dingin dan hawa panas datang silih berganti. Walaupun begitu lama-kelamaan wajahnya yang pucat membiru itu nampak mulai mengalami perubahan sedikit demi sedikit. Setelah segalanya dianggap telah memadai, maka Buang secara perlahan menarikan tangannya kembali. Selanjutnya pemuda dari Negeri Bunian itu nampak duduk bersila, kedua tangannya menekur terlipat di dadanya. Dia merasakan letih yang teramat sangat, dan apa yang dia ingin lakukan untuk selanjutnya adalah mengembalikan semangat dan tenaganya yang telah terkuras demi menyelamatkan Rajenta, sekaligus merupakan orang tua kandung Dewi Wening Asih. Namun sebelum Pendekar Hina Kelana selesai dengan semadinya, mendadak Dewi Wening Asih berlari-lari menuruni lereng yang tidak seberapa tingginya. Melihat mimik wajahnya, nyatalah sudah kalau dia kelihatan sangat mengkhawatirkan keselamatan mereka berdua.
"Cel... celaka, ada berpuluh-puluh penunggang kuda datang ke tempat ini! Bagaimana ini Kelana...?" lapornya tergopoh-gopoh dan wajah tegang. Seperti tiada mendengar, pemuda itu masih juga menekur dalam semadinya.
"Bagaimana ini, Kelana...! Cepatlah kau bangun, orang-orang itu sudah semakin mendekat ke sini...!"
"Wah, aku belum lagi pulih tenagaku, seandainya ayah Dewi dan aku tetap bertahan di tempat ini. Maka akan celakalah semuanya. Orang-orang berkuda itu sama sekali tidak bisa diduga dari pihak kawan atau lawan. Tapi dalam situasi seperti ini aku tak bisa berharap banyak pada pihak mana pun. Tenagaku pun belum pulih betul. Hemm, apa pun yang bakal terjadi aku harus menghadapi mereka. Selanjutnya setelah menarik nafas panjang, pendekar dari Negeri Bunian ini beranjak berdiri, sesaat lamanya dia memandang pada Dewi Wening Asih yang saat itu sedang bersimpuh di dekat kaki ayahandanya.
"Kesehatan ayahmu akan segera pulih kembali, tetaplah kalian di sini. Tapi larilah ke sebuah tempat yang aman, andai aku tak sanggup menghadapi mereka." pesannya.
"Kelana! Tapi nampaknya kau sendiri masih dalam keadaan lemah, bagaimana mungkin engkau dapat mengatasi mereka yang jumlahnya mencapai puluhan orang?" Dewi Wening Asih nampak sangat khawatir sekali. Selanjutnya tanpa menoleh-noleh lagi, Pendekar Hina Kelana segera menjejakkan kakinya. Tubuhnya sekejapan saja telah lenyap dari pandangan Dewi Wening Asih.
Saat itu para penunggang kuda telah sampai pula tidak begitu jauh dari lereng itu. Secara hampir serentak mereka menarik tali kekang kuda, hingga mengakibatkan kuda-kuda itu menghentikan larinya secara mendadak pula. Adapun pemimpin penunggang kuda tak lain adalah Luga Kencana Ketua Perguruan Walet Merah. Sedangkan seorang yang berada di sebelahnya adalah seorang kakek tua renta yang merupakan guru dari Luga Kencana. Kakek itu seperti di jelaskan pada saat awal adalah seorang tokoh golongan putih yang bernama Sandi Marta, atau yang lebih dikenal sebagai si Pedang Walet Merah. Kakek tua ini sengaja menyertai perjalanan Luga Kencana, dengan maksud ingin memberi bantuan pada muridnya dalam menemukan kembali Arca Harimau Kumbang yang telah lama lenyap dari Perguruan Walet Merah sebagai pihak penanggung jawab.
"Tidak ada tanda-tanda ada orang yang kita curigai melintas di tempat ini. Padahal korban-korban Siluman Harimau Kumbang sudah terlalu banyak. Aku merasa tak yakin kalau arca yang tercuri itu dapat lenyap begitu saja. Pula sudah sangat lama aku tak pernah mendengar lagi kabar, ke mana larinya Gembel Pengemis dari Pulau Naga yang telah melarikan arca itu. Heh, kalaulah benar Gembel Pengemis dapat merubah dirinya menjadi seekor siluman, maka semakin kuatlah dugaanku kalau Gembel Pengemis itulah pelakunya!" kata Luga Kencana.
Kakek renta berkepala botak yang merasa di sampingnya masih juga terdiam. Tatapan matanya menerawang jauh memandang pada semak-semak yang membentang di hadapan mereka.
"Bagaimana pendapatmu, Guru...!" tanya Luga Kencana begitu melihat si Pedang Walet Merah hanya diam saja. Alis kakek tua itu menggerimit, dengan sudut matanya yang sudah mulai lamur dia melirik sekilas. Lalu terdengarlah ucapannya yang berwibawa.
"Semua keputusan tentang perguruan yang kau dirikan, semua ada di tanganmu, sedangkan aku hanyalah orang yang ingin melihat murid tunggalnya dapat menyelesaikan sesuatunya dengan sangat baik. Kita telah banyak membuang-buang waktu hanya ingin mendapatkan arca itu kembali. Tapi pernahkah kau menyadari bahwa sesungguhnya arca itu pun bukan milik Perguruan Walet Merah. Asal usulnya tidak jelas, dan selama aku malang melintang dalam dunia persilatan dulu, sama sekali aku tak pernah mengetahui dari mana sesungguhnya asal usul Arca Harimau Kumbang itu. Ketika kau datang mendadak kau mengatakan bahwa arca itu merupakan lambang persatuan kaum golongan lurus, keteranganmu juga semakin membuat aku bertambah bingung. Tapi akhirnya aku tiada perduli. Hingga aku mengikutimu sampai ke sini, kini juga keputusan kembali ku pulangkan padamu, dengan harapan kau dapat mengambil keputusan yang terbaik buat kelangsungan dan kelanggengan semua perguruan bergolongan lurus." katanya bijaksana.
"Guru, dengan cara bagaimana pun, arca itu harus kembali pada Perguruan Walet Merah. Lihat sajalah buktinya, satu atau tiga purnama saja arca itu berada di tangan kaum sesat, teror tentang harimau kumbang telah merajalela di mana-mana. Kalau tidak kita yang menghentikannya sepak terjang mereka, lalu siapa lagi...!" Si Pedang Walet Merah tersenyum saja demi mendengar apa yang di katakan oleh muridnya.
"Dari caramu mengambil kesimpulan saja, sudah merupakan satu bukti bagiku, bahwa sebagai ketua perguruan ternyata juga kau memiliki pandangan yang sangat sempit! Luga, janganlah merasa diri itu lebih hebat ketimbang manusia lainnya di atas dunia ini. Dengan hilangnya Arca Harimau Kumbang dari perguruan kalian, dan dengan bermunculannya siluman yang mengganas di kalangan dunia persilatan. Hal itu sudah merupakan bukti lain, bahwa kepandaian kalian untuk mengetahui tentang rahasia yang ada di dalam arca itu tidak sampai. Munculnya siluman harimau yang tiba-tiba, bagiku merupakan sesuatu yang pasti bahwa di dalam tubuh arca itu terdapat ajaran yang di dalamnya membuat tentang ilmu Siluman Harimau Kumbang....!" kata si Pedang Walet Merah secara panjang lebar.
"Murid memang bodoh, Guru! Murid tak memiliki kepandaian apa-apa. Itulah makanya murid ingin selalu memohon petunjuk guru...!" ucap Luga Kencana dengan nada merendah, sungguhpun hatinya sangat panas sekali.
"Kalau belajar sejak dulu, kau tetap merupakan murid yang tolol, tidak dapat berbuat apa pun, lebih baik Perguruan Walet Merah yang besar itu kau bubarkan saja. Setelah itu, jadilah manusia biasa agar persoalan yang kau hadapi dalam hidupmu tidak terlalu berat dan membuat rontok rambutmu...!"
"Sudahlah, Guru! Aku menghormati, aku tak ingin berdebat dengan guru sendiri, takut, nantinya aku dikata murid yang tak tahu adat...!" kata Luga Kencana dalam kemarahannya yang tertahan-tahan. Sandi Marta alias si Pedang Walet Merah hanya gelengkan kepalanya, dia merasa kesal menghadapi Luga Kencana yang tak pernah memiliki pemikiran yang luas.
Saat itu di luar dugaan mereka, dari arah semak-semak yang agak tersembunyi terdengar pula suara tawa tergelak-gelak.
* * *
--₪¦ « 10 » ¦₪--
"Bedebah bau kencur! Perlihatkanlah tampang mu, suara tawamu yang tak ubahnya bagai ringkik keledai itu membuat aku mau muntah. Kuperintahkan pada setan yang tertawa, tampakkanlah wajah sebelum kami bertindak...!" teriak Luga Kencana dengan matanya yang jelalatan.
"Ha... ha... ha...! Luga Kencana, bukan aku menyanjung gurumu yang sebelumnya tiada kukenal. Tapi menurut penglihatanku yang bodoh ini, ternyata gurumu yang berusia sudah sangat lanjut itu memiliki pandangan yang sangat luas! Kalau aku jadi engkau lebih baik aku jadi tukang sayur di pasar sana, dari pada menjadi ke tua perguruan namun tak becus berbuat apa-apa...!"
"Bangsat! Kau benar-benar perlu mendapat pelajaran yang sangat setimpal!"
"Jangan bertindak gegabah, Luga! Kita masih belum mengetahui siapa adanya orang itu." kata Sandi Marta memberi teguran. Namun nampaknya Luga Kencana merasa kurang senang dengan apa yang dikatakan oleh gurunya. Yang menurut pendapatnya sendiri bersikap terlalu lembek.
"Keparat pengintip, ku hitung sampai tiga, andai kau tak mau tunjukkan diri jangan salahkan aku andai nanti aku bertindak salah...!"
Belum lagi Luga Kencana selesai dengan ucapannya, mendadak melayanglah sosok tubuh yang tak lain Pendekar Hina Kelana adanya.
"Jliiik!" Begitu ringannya Buang Sengketa menginjakkan kakinya di atas tanah berumput tak jauh di depan mereka yang masih tetap duduk di atas punggung kudanya masing-masing.
Sejenak lamanya mereka saling berpandangan satu sama lain, di antara mereka yang hadir di situ, nampaknya Luga Kencanalah yang paling kaget dan gusar. Bagaimana tidak, pemuda berpakaian kumal dan selalu membawa-bawa periuknya ke mana pun dia pergi. Manusia inilah yang telah membuat buntung tangan kirinya. Dengan hilangnya tangan kiri itu dia harus berlatih demi mengimbangi kekurangannya. Dia sangat tersiksa dengan beban cacat yang di sandangnya selama ini. Lebih dari itu, menurut perhitungannya, pemuda gembel itu secara sengaja telah begitu berani melindungi anak seorang musuh yang mungkin juga merupakan otak pencurian arca itu. Hanya kali inilah kesempatan baginya untuk membalas. Ya benarbenar harus dibalas dengan cara yang sangat setimpal dan menyakitkan.
"Guru, bocah inilah yang telah membuat buntung tanganku, dan si hina ini pulalah yang telah dengan sengaja melindungi anak seorang tukang tadah Arca Harimau Kumbang yang hilang...!" lapornya tanpa diminta. Sandi Marta melirik pada pemuda itu, selanjutnya kembali pula perhatiannya pada Luga Kencana muridnya. Lama sekali mata mereka saling beradu pandang. Hingga akhirnya dia pun berkata tegas:
"Benarkah kau yang telah membuat buntung tangan muridku itu, hei bocah asing...?"
"Tidak salah, akulah yang telah dengan sangat terpaksa membuntungi tangan muridmu itu, Orang tua...!" jawabnya mengakui.
"Terpaksa karena dia telah menuduhku melindungi anak seorang tukang tadah arca yang sangat menghebohkan itu, padahal, seperti yang kuketahui, sama sekali aku tak pernah melihat ayahnya Dewi Wening Asih menampung arca yang dicuri oleh Gembel Pengemis dari Pulau Naga. Aku pernah datang ke rumahnya yang berantakan. Lebih dari itu, secara sengaja atau tidak sengaja, muridmu itu telah pula mengejar-ngejar Rajenta sampai ke Lembah Gunung Baru Siwak. Tuduhan muridmu itu sama sekali tidak beralasan, Orang tua...!"
"Hemm, satu tindakan yang sangat tidak terpuji...!" ucap si Pedang Walet Merah merasa kurang senang. Bukan main marahnya Luga Kencana demi mendengar apa yang dikatakan oleh Buang Sengketa, secara tidak langsung di depan gurunya sendiri. Pemuda dari Negeri Bunian itu telah dengan sengaja membongkar semua apa yang seharusnya tidak boleh diketahui oleh orang lain.
"Jangan percaya, Guru...! Budak hina itu sengaja mencoba memutar balikkan fakta." teriak Luga Kencana dengan kemarahan yang meluap-luap.
"Diamlah kau, Luga. Toh pada saatnya tiba pula giliranmu untuk kutanya. Tukas Sandi Marta nampak merasa kurang senang. Kini dia kembali pada Pendekar Hina Kelana yang tetap berdiri tegak di tempatnya. Sejenak dia memperhatikan Pendekar Golok Buntung itu dari ujung rambut sampai ke ujung kaki.
"Bocah, engkaukah yang berjuluk Pendekar Hina Kelana, dengan Pusaka Golok Buntung dan Cambuk Gelap Sayutonya yang sangat menggemparkan itu...?" Tiada berkedip pandangan mata pemuda maupun Sandi Marta. Namun dengan nada merendah akhirnya dia pun menjawab:
"Apalah artinya sebuah nama, hei orang tua. Aku hanyalah manusia hina. Kepandaian yang kumiliki juga tidak seberapa, bila dibandingkan dengan kepandaian orang-orang yang selalu memiliki pandangan yang sangat luas dan memiliki kesabaran yang sangat luar biasa...!"
Semua yang hadir di situ, menjadi terdiam. Sebagian terperangah. Namun Luga Kencana semakin gelisah saja. Sementara gurunya sendiri merasa sangat terkesan dengan apa yang dikatakan oleh pemuda itu. Selanjutnya dia pun kembali menyambung.
"Menurutmu, apakah kata-kata muridku itu dapat dipercaya...?" tanyanya membuat Buang Sengketa tersentak kaget, tiada menyangka akan mendapat pertanyaan seperti itu. Namun dengan sangat hati-hati dia pun menjawab.
"Mengenai benar tidaknya ucapan seseorang itu semua tergantung pada kejujurannya. Aku sendiri tidak dapat mengatakannya. Tapi orang tua juga kupikir-pikir bisa menanyakannya pada Sang Hyang Widi...!" Mendengar ucapan Buang Sengketa itu, Sandi Marta atau si Pedang Walet nampak tergelak-gelak. Luga Kencana sendiri merasa sangat heran, sebab selama ini dia belum pernah melihat gurunya tertawatawa sebebas itu. Dan kenyataan ini saja sudah membuktikan bahwa agaknya Sandi Marta merasa sangat setuju dengan apa yang dikatakan oleh Buang Sengketa.
"Engkau masih begini muda, namun kau memiliki pandangan yang sangat luas tak salah kalau gurumu, manusia yang memiliki umur terpanjang. Yaitu si Bangkotan Koreng Seribu telah mengangkatmu menjadi seorang muridnya...!" Menyela si Pedang Walet Merah di sela-sela gelak tawanya. Terkejutlah Pendekar Hina Kelana, dia tiada menyangka kalau Sandi Marta dapat mengetahui nama gurunya. Namun keterkejutan itu tak berlangsung lama, karena sekejap kemudian Sandi Marta telah berkata kembali.
"Bocah Hina Kelana adalah nama kebesaranmu. Siapakah namamu yang sesungguhnya...?"
"Namaku Buang Sengketa, Orang tua...!" Sandi Marta nampak angguk-anggukkan kepalanya, lalu:
"Buang, katakanlah padaku yang telah lamur ini, apakah kau mengetahui tentang arca itu...?" tanyanya penuh harap. Buang Sengketa garuk-garuk kepalanya yang tak gatal. Tetapi kemudian dengan jujur dia menjawab juga.
"Mengetahui arca secara keseluruhan memang tidak sama sekali. Tetapi menurut dugaanku yang dapat dipertanggungjawabkan kan. Arca itu sekarang berada antara Gembel Pengemis dan salah seorang kembar dari Pulau Bawean...!" Alis laki-laki renta itu menggerimit, dia masih belum dapat mengerti apa arti dari kata-kata Buang Sengketa.
"Apakah maksudmu...?"
"Orang tua kalaupun keteranganku ini agak menyimpang, maafkanlah aku! Beberapa hari yang lalu aku menjumpai salah seorang dari si kembar sedang mengoyak-ngoyak mangsanya. Mereka hanyalah penduduk desa biasa, aku berpendapat mereka sedang melakukan teror di kalangan persilatan. Lebih dari itu, sebelumnya mereka pernah bertarung dan kemudian sama-sama menghilang dengan Gembel Pengemis dari Pulau Naga. Kuat dugaanku bahwa di dalam arca itu terdapat sebuah kitab yang di dalamnya ada memuat tentang rahasia ilmu siluman...!"
"Hemm. Kiranya dugaanmu tiada meleset Buang, aku juga berpendapat demikian. Nah apakah kau berhasil menemukan mereka semuanya...?"
"Saat ini hanya salah seorang dari mereka saja yang dapat ku binasakan, namun dua orang lainnya masih dalam pencarian ku...." Sandi Marta nampak menarik nafas lega. Selanjutnya setelah menoleh pada muridnya, dia kembali berkata:
"Semua-semuanya sudah sangat jelas bagiku. Aku percayakan pencarian arca itu padamu, tapi ingat setelah arca itu kau dapat kembali, maka pulangkanlah pada yang berhak. Aku sendiri setelah tahu duduk persoalannya menjadi terang begini, telah memutuskan untuk kembali ke Bukit Keramat...!"
"Tapi, Guru...! Luga Kencana yang sejak tadi hanya diam saja kini ikut menyela.
"Tapi apa...?" tanya gurunya dengan pandangan kurang senang.
"Katanya guru ingin membantuku, tapi mengapa kini secara tiba-tiba saja memutuskan akan kembali ke Bukit Keramat...?" protes Luga Kencana.
Sandi Marta nampak terdiam sesaat lamanya, sama sekali dia tiada mengerti, mengapa muridnya yang kini sangat jauh berbeda dengan yang dulu. Cara berbicaranya pun sudah sangat lain sekali. Ini yang membuatnya semakin kecewa saja. Hingga akhirnya dia mengambil keputusan yang sangat mengejutkan bagi Luga Kencana.
"Sebuah kebenaran tidak dapat dicampur adukkan dengan ketidak benaran. Kalau kau ingin mencari jalan aman, bergabunglah dengan Buang Sengketa dalam mencari arca itu. Namun kalau kau tetap menganggapnya sebagai seorang musuh, maka kematianmu walau bagaimana pun ujudnya tidak akan ku sesali, apalagi ku tangisi. Itulah pesanku, kau masih punya kesempatan untuk menimbangnya, Luga...! Nah, sekarang aku harus kembali ke Bukit Kramat... selamat tinggal semuanya yang ada...!" Usai berkata begitu, tanpa menoleh-noleh lagi, Sandi Marta melesat meninggalkan punggung kuda tunggangannya. Lalu dengan mempergunakan ilmu lari cepat yang diberi nama Bayu Berhembus, dalam sekedip mata saja laki-laki tua renta itu pun telah menghilang dari pandangan mata.
Seperginya Sandi Marta, Luga Kencana yang memang tak pernah dapat memadamkan dendam amarahnya nampaknya semakin bertambah berang saja melihat Buang Sengketa. Selanjutnya laki-laki setengah umur itu pun mencela:
"Kunyuk gembel, pandai betul kau bermain sandiwara di depan guruku. Gara-gara mulutmu yang seperti mulut dewa, guruku jadi memusuhi ku. Jadah, kau kira dengan mundurnya Sandi Marta dalam membantuku, lalu aku juga akan mengikuti jejaknya? Puih, sekali-kali tidak. Hari ini juga semua kemarahan akan aku lampiaskan padamu...!
"Luga Kencana. Kalau kau merupakan manusia yang bijaksana, sudah barang tentu kau akan memburu Gembel Pengemis, atau salah seorang si kembar yang jelas-jelas menjadi biang racun dari semua persoalan yang ada... namun karena memang dasarnya kau ini sejenisnya keledai tolol. Nampaknya kau lebih mengutamakan dendam pribadi dari pada harus menyelesaikan urusan demi kepentingan orang banyak...!"
"Bangsaaat, kau tak perlu menggurui ku. Setelah membunuhmu aku pasti mencari mereka...!" maki Luga Kencana. Seraya langsung memberi aba-aba pada murid-muridnya yang berjumlah tidak lebih dari tiga puluh orang. Sudah barang tentu, pendekar dari Negeri Bunian itu menjadi sangat gusar sekali melihat kekerasan hati Luga Kencana. Maka untuk yang terakhir kalinya sekali lagi dia memperingatkan.
"Ketua Perguruan Walet Merah, ku ingatkan padamu sekali lagi jangan kau teruskan niatmu untuk bertarung denganku. Kalian semua akan mati siasia...!" menukas pendekar itu. Namun dengan tiada memperdulikan apa yang dikatakan oleh Buang Sengketa, semua murid-murid Perguruan Walet Merah sudah mengepungnya. Rapat.
"Bocah hina, kerahkanlah segala apa yang kau miliki. Andai tidak sekejap lagi nyawamu bakal melayang sia-sia...!"
"Serrbuuu...!" teriak salah seorang kepala murid pada kawan-kawannya. Tiada berbendung lagi, tiga puluh orang murid itu akhirnya mengeroyok Pendekar Hina Kelana dari segala penjuru.
* * *
--₪¦ « 11 » ¦₪--
"Hia...!" teriak Luga Kencana, lalu kirimkan pukulan Walet Merah Menyergap Capung. Satu gelombang angin pukulan menderu, menyertai berkelebatnya sinar ungu yang dilepaskan oleh Luga Kencana. Bagai seekor udang, Buang melentikkan tubuhnya. Sebentar dia berjumpalitan di udara, namun begitu tubuhnya menukik ke bawah satu pukulan yang berhawa sangat panas luar biasa menyambar dan menyambuti pukulan yang dilepaskan oleh Luga Kencana.
"Wuuut! Blaaang!"
Tanah tempat mereka berpijak terguncang hebat, murid-murid Perguruan Walet Merah yang datang mengepung dan menghantamkan senjatanya nampak berpelantingan ke segala penjuru arah. Sementara Luga Kencana sendiri nampak terbanting tubuhnya setelah sempat bersalto beberapa kali. Pendekar Hina Kelana yang sempat terhuyung-huyung, dengan sangat cepat sekali segera menghindari babatan senjata lawan-lawannya yang tanpa ampun terus melabraknya.
"Ciaaat...!"
"Wuuus...!"
Pendekar Hina Kelana kembali melepaskan pukulan Empat Anasir Kehidupan yang sangat ampuh itu. Lalu dengan sangat cepat satu gelombang yang berwarna ultra violet itu pun melabrak beberapa orang yang datang menyongsong dengan senjatanya.
"Arrgghk...!"
Jerit dan lolongan maut membahana memenuhi angkasa, manakala tujuh orang dari mereka sempat tersambar pukulan maut itu. Nampak tubuh mereka berpelantingan dengan keadaan hangus dan tercium daging terbakar. Melihat kematian murid-muridnya yang sangat mengenaskan itu, Luga Kencana yang sudah bangkit berdiri, kembali pada posisinya itu nampak semakin bertambah gusar saja dibuatnya.
"Keparat kau, Gembel berperiuk. Kau bunuh murid-muridku dengan cara demikian keji. Kubunuh kau...!" teriak Luga Kencana, dan saat itu juga Buang Sengketa se-dapat mungkin menghindari serangan ganas yang dilancarkan oleh ketua Perguruan Walet Merah.
"Haeeees...!"
Buang kembali berkelit, selanjutnya kirimkan satu tendangan yang sangat telak ke arah bagian perut dan selangkangan Luga Kencana. Namun di luar dugaan, Luga Kencana cabut pedang pusaka. Selanjutnya pedang itu berkiblat dan menebas ke arah bagian kaki Buang yang meluncur hampir mencapai sasarannya. Buang Sengketa mengeluarkan seruan tertahan. Lalu secepatnya tarik balik serangan yang dilancarkan oleh Luga Kencana.
"Weees!"
Serangan pedang itu luput, sebaliknya tanpa terduga-duga Luga Kencana kirimkan satu pukulan yang sangat cepat. Angin kencang menderu menyertai berhamburannya pukulan Walet Berkabung yang dilepaskan oleh Luga Kencana. Nampaknya Buang Sengketa sudah tidak memiliki waktu yang cukup untuk menghindari serangan yang datangnya sangat tiba-tiba itu.
"Haiiiit...!"
Tubuh Buang Sengketa berjumpalitan ke belakang, namun celakanya pukulan Walet Bergabung masih terus saja memburunya. Pemuda itu kelabakan, tapi dia masih sempat pukulkan tangannya untuk melepaskan pukulan si Hina Kelana Merana yang paling sangat dia andalkan itu.
Tak dapat disangkal lagi, selarik sinar berwarna merah menyala segera menyambuti pukulan yang berhawa panas dan berwarna keungu-unguan itu. Udara di sekitar tempat pertarungan mendadak menjadi sangat panas luar biasa. Murid-murid Luga Kencana nampak undur beberapa tindak, bahkan beberapa orang di antaranya berloncatan menjauh. Saat itu dua pukulan bertenaga sakti tak terhindari lagi sudah saling bertemu.
"Buuum!"
Tubuh Buang Sengketa terlempar hampir enam tombak, dadanya terasa bagai remuk, sementara darah pun menggelogok dari mulut dan hidungnya. Wajah pemuda itu pucat sekali. Dia mengerang, namun katakatanya tak begitu jelas. Di lain pihak, keadaan yang sama buruknya juga terjadi pada Luga Kencana. Tubuh ketua perguruan yang keras hati itupun sama terlempar, bahkan darah lebih banyak mengalir ketimbang apa yang dialami oleh Buang Sengketa. Namun sungguh luar biasa kemampuan dan ketahanan tubuh yang dimiliki oleh Luga Kencana. Sekejap kemudian dia telah bangkit kembali. Lalu disekanya darah kental yang berlelehan dari bibirnya, Selanjutnya dengan pedang terhunus, beserta murid-muridnya dia melakukan serangan kepada lawannya yang masih berusaha mengembalikan kekuatannya.
Nampaknya kali ini tiada kesempatan lagi bagi si pemuda untuk membebaskan diri dari serangan kilat yang datangnya dari berbagai penjuru itu. Sesungguhnya dia merasa sangat panik sekali, namun nampaknya akal sehatnya masih dapat bekerja dengan baik. Teringat pula olehnya akan ilmu Lengkingan Pemenggal Roh yang sangat luar biasa itu. Maka kesempatan yang sangat sempit itu cepat-cepat dia pergunakan untuk mengerahkan ajian Ilmu Pemenggal Roh. Sementara itu serangan lawan-lawannya hanya tinggal dua jengkal saja di atas kepalanya. Bahkan Luga Kencana sendiri merasa sangat yakin dengan sekali saja menebaskan pedangnya ke arah bagian leher si pemuda. Maka menggelindinglah kepala pemuda dari Negeri Bunian itu. Maka dengan semangat yang menggebu-gebu, dia pun semakin mempercepat gerakannya.
"Shaaaa...!"
"Heeiiiik...!"
Setinggi langit Buang Sengketa menjerit, lalu bersamaan dengan jeritannya yang tinggi menggelegar, bahkan sampai membuat luruh ranting, dan membuat goyang tumbuh-tumbuhan yang ada di sekitarnya. Maka lebih dari sepuluh orang murid-murid dari Perguruan Walet Merah terkapar menemui ajalnya. Dari telinga mengalir darah kental tiada henti, dan dari sekian banyaknya murid-murid Perguruan Walet Merah hanya tersisa lebih kurang enam orang saja. Ini adalah satu kejadian yang sangat luar biasa bagi Luga Kencana. Selama hidupnya belum sekalipun dia melihat kejadian yang mengejutkan ini. Bahkan dia sendiri merasakan betapa jantungnya sampai tergetar, sementara kepalanya juga berdenyut-denyut sakit luar biasa. Andai saja dia tidak cepat-cepat menutupi jalan indranya, sudah barang tentu dia juga menemui ajal seperti yang dialami oleh murid-muridnya yang lain. Sungguhpun begitu mana mau dia menyerah begitu saja, sudah menjadi prinsip hidupnya. Lebih baik mati berkalang tanah daripada hidup bercermin bangkai. Hatinya memang keras bagaikan baja, tetapi perhitungannya terhadap sebuah kenyataan yang terjadi selalu saja membawanya pada prinsip yang salah.
Kini sungguhpun langkahnya masih terhuyunghuyung, dengan dibantu oleh beberapa gelintir muridmuridnya, dia kembali melabrak Buang Sengketa yang sudah siap-siap dengan posisinya. Demi melihat kenekatan Luga Kencana, Pendekar Hina Kelana yang sudah merasa tidak sampai hati itu kembali memperingatkan:
"Luga Kencana! Apakah engkau hendak mengorbankan seluruh murid-muridmu hanya demi ingin melampiaskan dendammu yang tiada beralasan itu...?"
"Persetan...! Semuanya sudah kepalang basah, Gembel berperiuk. Sungguhpun engkau memiliki kepandaian setinggi ilmu para dewa. Walaupun engkau punya lengkingan suara yang dapat meruntuhkan batu gunung, jangan dikira aku akan mundur walau barang selangkah pun. Huh, katanya kau memiliki Pusaka Golok Buntung yang sangat kau andalkan, setansetan itu bilang kau juga memiliki Cambuk Gelap Sayuto yang sangat hebat. Cek... cek... cek...! Aku jadi kepingin lihat sampai di mana kehebatan pusaka yang membuat namamu terkenal di mana-mana...!" teriak Luga Kencana menantang. Pendekar Hina Kelana hanya tersenyum getir demi mendengar apa yang dikatakan oleh Luga Kencana. Kemudian dengan nada sangat berwibawa dia menjawab:
"Luga Kencana manusia tolol! Di dunia ini tiada manusia yang melebihi kepandaian dewa. Kalau kau ingin melihat bagaimana hebatnya Pusaka Golok Buntung, maka tak pernah seorang pun dari semua musuh-musuhku yang mampu melihatnya, karena sebelum maksudnya kesampaian orang-orang itu sudah keburu mampus tanpa dapat mengerti apa sesungguhnya yang telah dan pernah terjadi pada dirinya...!"
"Kau terlalu menjunjung dirimu setinggi langit, Gembel hina! Mampuslah!" Serentak dengan makiannya itu, tanpa sungkan-sungkan lagi dia telah menggempur Pendekar Hina Kelana dengan semangat yang menggebu-gebu. Buang secepatnya berkelebat menghindar, dengan mempergunakan jurus tangan kosong si Jadah Terbuang dia melayani serangan-serangan ganas yang dilakukan oleh Luga Kencana dan beberapa murid-muridnya.
"Kuperingatkan padamu sekali lagi, Ketua Perguruan Walet Merah! Urungkanlah seranganmu. Sekali lagi... urungkan...!" teriak pemuda itu. Kini dia sudah mulai berpikir-pikir untuk mempergunakan Pusaka Golok Buntung yang terselip di pinggangnya.
"Hiaaat...!" Pedang di tangan Luga Kencana datang menggebu, begitu pun senjata-senjata muridnya.
"Wut! Wut! Wut!"
"Sriiiiiiing! Trang, craaaang...!"
Terlihat bunga api berpijaran manakala senjata-senjata mereka berpatahan begitu berbenturan dengan senjata yang ada di dalam genggaman Pendekar Hina Kelana. Hanya tubuh Luga Kencana saja yang tidak terhuyung-huyung, sementara murid-muridnya tunggang langgang.
Sementara itu di tangan Buang Sengketa kini sudah tergenggam sebuah senjata yang memancarkan sinar merah menyala. Tak salah lagi itulah Pusaka Golok Buntung yang sangat luar biasa itu. Udara di sekitar tempat itu mendadak berubah dingin, tubuh lawan-lawannya terlihat menggigil. Buang Sengketa memandang tajam pada mereka ini, sementara dari bibirnya mengeluarkan bunyi mendesis-desis bagaikan seekor ular piton yang sedang marah.
"Inilah Pusaka Golok Buntung yang ingin kau lihat itu, Luga Kencana! Sekarang bersiap-siaplah untuk menghadapi ketajamannya." Seusai dengan ucapannya itu, tubuh Buang Sengketa berkelebat cepat. Golok di tangannya menyambar-nyambar sehingga menimbulkan angin menderu. Dalam waktu tidak lebih sejurus saja, baik Luga Kencana dan murid-muridnya menjadi kelabakan.
"Hiaat...!" Luga Kencana berusaha mengkelit babatan senjata maut lawannya. Cepat-cepat ditadahkannya pedang miliknya.
"Traaang!"
Senjata di tangan Luga Kencana terpental, dan patah di beberapa bagian. Maka semakin bertambah gugup sajalah Ketua Perguruan Walet Merah ini. Tetapi belum lagi dia sempat menarik nafas, senjata di tangan Buang Sengketa berkelebat mengarah pada bagian lehernya.
"Creees "
Luga Kencana terhuyung-huyung. Kedua bola matanya bagai mau melompat ke luar. Secara gelagapan dia berusaha menekap bagian tenggorokannya yang sudah terputus itu. Namun darah tetap saja membanjir tiada tercegah lagi, selanjutnya tubuh Luga Kencana terhuyung-huyung. Kemudian tanpa mampu berkata sepatah kata pun tubuh laki-laki tersuruk ke bumi dengan darah masih berlelehan. Maka tewaslah Ketua Perguruan Walet Merah yang sangat keras kepala itu dengan keadaan yang sangat menyedihkan sekali. Sedetik kemudian Buang memandang pada sisa-sisa murid Perguruan Walet Merah yang hanya tinggal beberapa orang lagi.
"Siapa yang ingin menyusul gurunya...?"tanyanya dengan nada berapi-api. Secara serentak:
"Ja... jangan bunuh kami, Tuan pendekar! Kami ini orang susah, berilah kami kesempatan untuk hidup...!" seru mereka beramai-ramai. Alis Buang Sengketa menggerimik. Satu demi satu Buang Sengketa memandang pada orang-orang yang duduk bersimpuh tidak begitu jauh di depannya. Dia merasa sangat iba sekali.
"Baiklah, aku akan mengampuni kalian! Sekarang cepat-cepat merat dari hadapanku sebelum pendirianku berubah...!"
"Terima kasih atas pengampunan pendekar. Kami mohon diri...!" Setelah berkata begitu, secara serentak mereka segera berlompatan di atas punggung kudanya masing-masing. Secepatnya pula mereka menggebrak kuda. Selanjutnya menghilang dari pandangan pendekar itu.
Lalu tanpa membuang-buang waktu lagi, Buang Sengketa segera menuruni lereng bukit. Tetapi setelah sampai di sana dia tidak melihat Dewi Wening Asih dan juga ayahnya. Pemuda ini segera meneliti tempat sekitar itu. Namun apa yang dicari-carinya juga tiada di tempat.
"Hemm. Agaknya dia sudah berangkat ke daerah lembah Gunung Batu Siwak!
Baiknya aku cepat-cepat menyusul mereka...!" Maka melesatlah tubuh pendekar ini bagaikan anak panah. Semakin lama gerakan larinya semakin bertambah cepat. Tak salah karena saat itu dia tengah mengerahkan ilmu lari cepatnya ajian Sapu Angin.
* * *
--₪¦ « 12 » ¦₪--
Namun begitu sampai di perbatasan lembah Gunung Batu Siwak betapa terkejutnya Rajenta begitu melihat kehadiran orang yang tak asing lagi dalam hidupnya. Gembel Pengemis dari Pulau Naga. Batin Rajenta merasa heran dan sangat penasaran. Namun keyakinannya bahwa arca itu ada bersamanya semakin terbukti begitu melihat sebuah buntalan menggelantung di bahu dedengkot manusia sesat itu. Maka tanpa sungkan-sungkan lagi begitu sampai di depan Gembel Pengemis dia sudah langsung menukas:
"Saudara Gembel Pengemis, bertahun-tahun kita bersahabat. Sama sekali aku tiada menyangka kalau akhirnya kau malah membuat susah semua orang...!"
Gembel Pengemis nampak sangat kaget sudah lebih setengah hari dia menunggu kedatangan para kembrat-kebratnya, yaitu si Kembar Pedang Dewa yang sedang melakukan tugas mengobrak-abrik markas kau golongan putih. Dia sendiri setelah tidak menemukan murid dan guru ketua Perguruan Walet Merah segera menghancurkan beberapa perguruan kecil golongan putih lainnya. Lalu setelah segalanya terselesaikan dia segera menuju tempat itu, Namun siapa sangka apa yang diharapkannya tidak sesuai dengan kenyataan yang dihadapinya. Maka kini tanpa sungkan-sungkan lagi, dia langsung berhadapan dengan Rajenta bekas, sahabat lamanya itu.
"Ah... ah... ah...! Selamat datang sahabat lama. Tapi ada apakah gerangan sehingga kemarahan mu membawa kemarahan yang tiada pernah kuperhitungkan...?" tanya Gembel Pengemis masih berpura-pura.
"Sialan, gara-gara Arca Harimau Kumbang itu, keluargaku jadi berantakan. Istriku menjadi korban, bahkan nyaris aku dan anakku juga...!"
"Hei... bicaramu ngelantur, Sobat. Aku tak tahu menahu tentang arca itu kau jangan menuduhku yang bukan-bukan...!"
"Saudara Gembel Pengemis, kalau engkau masih menghargai sebuah persahabatan, coba kau bukalah bungkusan yang menggelantung di pundakmu itu?" perintah Rajenta sudah tak mampu menahan kemarahannya lagi.
"Oh... oh... oh...! Permintaanmu itu tak mungkin dapat kulakukan, sebab benda ini merupakan barang titipan orang lain...!"
"Paling juga barang titipan si Kembar Pedang Dewa yang telah mampus salah seorang di antaranya. Lebih baik kau kembalikan saja arca itu padaku agar area itu kukembalikan pada yang berhak...!" teriak Rajenta.
"Hmm. Kalau begitu kau bermaksud mengangkangi arca yang kubawa ini maka baiknya aku harus menyingkir jauh-jauh darimu "
"Heiiit... mau minggat ke mana kau, Gembel Pengemis ?" Berkata begitu dia langsung kirimkan satu pukulan yang sangat telak. Lalu tanpa tinggal diam dia pun melayani serangan gencar yang dilakukan oleh Rajenta. Hawa dingin dan hawa panas saling memburu dengan kecepatan yang sangat sulit untuk diukur.
"Blumm !"
Dua-duanya terpelanting. Pukulan yang sangat besar dan disertai tenaga sakti itu pun membuat keduanya langsung muntah darah. Sementara itu nampaknya Gembel Pengemis menyadari bahwa Rajenta memang bermaksud ingin mencelakainya. Bagaimana pun dia tidak ingin arca itu sampai terjatuh ke tangan orang lain.
"Rajenta, nampaknya kau benar-benar menghendaki pertarungan yang sangat berkesan dalam hidup kita. Baiklah, bagiku tiada pilihan lagi. Tapi yakinkah kau, bahwa berhadapan denganku selamanya kau tak mungkin menang...!" jerit Gembel Pengemis tanpa sungkan-sungkan lagi.
"Hiaat !"
Tongkat di tangan Gembel Pengemis yang berkepala Naga Merah berkelebat menyongsong datangnya pukulan yang dilepas oleh Rajenta.
Maka tanpa dapat dicegah lagi, benturan keras pun terjadilah. Lagi-lagi kedua-duanya sama-sama terpental.
"Sialan! Nampaknya kau tak mungkin mengulur-ulur waktu lagi. Aku merasa yakin kalau aku robah diriku dengan sosok Siluman Harimau Kumbang, Rajenta pasti tidak dapat mengalahkan aku." batinnya penuh harap. Tak ayal lagi ajian Siluman Harimau Kumbang pun segera di rapalnya. Maka perubahanperubahan pun terjadilah. Selanjutnya dengan tiga kali berlompatan, saat Gembel Pengemis menjejakkan diri, tubuhnya telah berubah menjadi ujud Siluman Harimau Kumbang.
Hanya Dewi Wening Asih saja yang nampak sangat terkejut demi melihat perubahan-perubahan yang terjadi. Sementara Rajenta sendiri nampak tersenyum sinis.
"Hemm. Tak salah dugaan pemuda itu, kiranya kaulah yang selama ini membuat gempar dunia persilatan. Jangan kira aku pun tak dapat berubah sepertimu...! menggeram Rajenta. Selanjutnya dengan tubuh berlompatan, maka sekejap kemudian setelah merapal ajian Siluman Harimau Kumbang, tubuh Rajenta pun telah berubah pula menjadi Siluman Harimau Kumbang. Dewi Wening Asih menjadi terbelalak karenanya, dia pun tidak pernah menyangka kalau ayahnya juga dapat berubah menjadi Siluman Harimau Kumbang. Pada saat itu Buang Sengketa juga sudah sampai di tempat itu, maka begitu menghampiri Dewi Wening Asih, dia langsung bertanya.
"Mana ayahmu...?" tanyanya sembari memperhatikan kedua ekor siluman yang sedang terlibat pertarungan sengit.
"Kelana... maafkan ayahku, dia rupanya juga dapat berubah menjadi Siluman Harimau Kumbang." kata Dewi Wening Asih memelas. Mendengar ucapan Dewi Wening Asih, Buang Sengketa tiada bereaksi. Sebaliknya dia memusatkan indra keenamnya untuk menentukan sebuah kebenaran. Seperti diketahui Buang Sengketa juga masih merupakan keturunan raja di alam kedua. Begitu pikirannya menyatu dengan hatinya, maka terlihat jelaslah, bahwa Rajenta merupakan utusan guru para siluman, dan dia pun sudah dapat memastikan yang mana Rajenta dan yang mana Gembel Pengemis. Sekejap dia membuka matanya kembali.
"Aku harus segera turun membantu ayahmu...?!" katanya mantap.
"Tapi kau tak tahu yang mana ayahku yang mana pula lawannya...!" menukas Dewi Wening Asih menukas dengan ketakutan.
"Diamlah, kebenaran nanti yang akan mengatakannya...!" Selanjutnya tanpa berkata-kata lagi Buang Sengketa segera turun ke kalangan pertempuran. Sebagai orang yang telah berpengalaman, Buang Sengketa cukup menyadari bahwa lawannya akan sangat kebal dengan pukulan sakti apa pun. Dan dia pun masih ingat pesan gurunya, si Bangkotan Koreng Seribu. Bagian ekor setiap siluman adalah merupakan kepala dari manusianya, sedang bagian kepala adalah merupakan kaki dari manusianya.
"Paman Rajenta, aku tahu engkau yang mana di antara satu. Mewakili paman dan guru para siluman. Kuharap engkau mau mundur...!" teriak Buang Sengketa saat itu telah pula menggenggam Golok Buntung dan Cambuk Gelap Sayuto di tangannya.
"Grauuuung...!" Serentak dengan raungannya itu, siluman penjelmaan Rajenta mundur, selanjutnya setelah berjumpalitan beberapa kali, maka dia kembali dalam ujudnya semula.
Saat itu golok di tangan Pendekar Hina Kelana telah menderu disertai suara-suara lecutan membahana. Saat itu juga begitu Cambuk Gelap Sayuto melecut di udara, maka bertiuplah angin yang sangat kencang. Petir dan halilintar saling sambung menyambung, suasana di sekitarnya mendadak menjadi gelap gulita. Langit yang tadinya cerah kini telah gelap diliputi awan hitam. Kenyataan ini membuat terkejut semua pihak yang menyaksikan pertarungan itu. Tidak terkecuali siluman penjelmaan Gembel Pengemis dari Pulau Naga.
"Hoaaar. Grauuuuung!"
Siluman Harimau Kumbang memekik marah, tanpa perduli lagi akan keselamatannya dia langsung menyongsong Pendekar Hina Kelana dengan taring dan kuku-kukunya yang tajam. Satu kebetulan bagi Buang Sengketa untuk segera dapat menghabisi lawannya.
"Grrrrr !"
"Ctar... ctar !"
Cambuk Gelap Sayuto kembali menyambut. Siluman Harimau Kumbang nampaknya menjadi kalap, tanpa mengenal rasa takut dia menerjang kembali. Dalam kegelapan itu sinar merah yang memancar dari senjata di tangan Buang Sengketa berkelebat menyambar pada bagian ekornya.
"Craass.... Sraaas...!" Harimau itu menggerung, tubuhnya menggelusur begitu tersambar ketajaman golok di tangan Pendekar Hina Kelana. Sesaat lamanya tubuhnya berkelojotan. Perubahan pun terjadi kembali sehingga menjelmalah menjadi ujud yang sebenarnya. Dalam pada itu terdengar suara Pendekar Hina Kelana yang bergerak menjauh.
"Ambillah arca itu, kembalikan ke lembah Gunung Batu Siwak, agar karma yang menimpa segera berakhir...!" Suara peringatan itu terdengar sayupsayup bersama berhembusnya angin dan lenyapnya kabut tebal yang menyertainya.
Begitu suasana berubah menjadi terang kembali. Hanya terdapat tubuh Gembel Pengemis saja yang terkapar dengan jiwa melayang. Rupanya mempergunakan kesempatan itu, Buang Sengketa telah pergi meninggalkan tempat itu.
"Dia telah pergi...!" Dengan lesu Rajenta berucap sambil mengambil Arca Harimau Kumbang yang ada dalam bungkusan di punggung Gembel Pengemis yang hampir putus batang lehernya.
"Mungkin kita tidak mungkin lagi bertemu dengannya ayah...!" keluh Dewi Wening Asih sendu.
"Memangnya kenapa...?" tanya Rajenta tanpa menoleh.
"Aku terlalu sering menyakiti hatinya, padahal... padahal, aku terlalu mencintainya...." kata gadis itu tertunduk sedih. Setelah mengambil arca itu, kemudian Rajenta mengelus kepala anaknya.
"Ada kalanya orang-orang yang kita cintai begitu saja pergi. Tapi yakinlah suatu saat nanti juga kita akan bertemu dengannya...!" ujar Rajenta. Kemudian tanpa berkata-kata lagi, mereka segera menuju lembah Gunung Batu Siwak untuk mengembalikan area itu.
TAMAT
INDEX BUANG SENGKETA | |
Siluman Harimau Kumbang --oo0oo-- Badai Selat Malaka |