Life is journey not a destinantion ...

Sengketa Kalung Pusaka

INDEX NAGA GENI
Harta Tanjung Bugel --oo0oo Pendekar Gagak Cemani

MAHESA WULUNG
Seri Naga Geni
Karya : W.H. Wibowo

--¤¤¦ « 1 » ¦¤¤--

BULAN MASIH tergantung di angkasa ketika pertempuran di daerah Tanjung Jati itu mencapai puncaknya. Cahaya yang terang dan tanpa sepotong awanpun membuat arena pertempuran terang-benderang, sehingga memungkinkan masing-masing orang mengetahui lawannya.
Namun Mahesa Wulung, Ki Lurah Mijen maupun Pandan Arum serta Endang Seruni dan Jagabaya Cangkring sama sekali tidak mengetahui bahwa dari balik batu-batu karang tersembul tubuh-tubuh manusia yang telah siap menembakkan panah-panahnya ke arah tubuh-tubuh mereka.
Tanpa mengetahui akan datangnya bahaya yang bakal merenggut nyawa-nyawa mereka, kelima orang ini masih saja gigih bertempur menghadapi keroyokan anak buah Bido Teles.
Ki Bango Wadas tertawa menyeringai. Dibiarkannya para anak buah Bido Teles terus menyerang ke arah Mahesa Wulung. Setiap kali seorang di antara mereka terpukul roboh oleh sambaran cambuk Naga Geni di tangan Mahesa Wulung. Sedang Ki Bango Wadas sendiri selalu menjauhkan diri dari setiap jangkauan ujung cambuk tersebut, dan hanya sekali-kali saja dia menyerang langsung ke arah Mahesa Wulung.
Ketika Ki Bango Wadas merasa bahwa waktunya telah tiba dan tidak ada gunanya lagi membiarkan keempat lawannya menambah korban pada anak buahnya, tiba-tiba iapun bersuit nyaring melengking menyelusup ke segenap penjuru dan dedaunan, sambil berteriak, "Hancurkan mereka!"
Bunyi berdesing bersahutan, kejar-mengejar terdengar mengaung di udara malam mengiringi belasan anak panah yang melesat ke arah rombongan Ki Lurah Mijen tersebut. Mula-mula Mahesa Wulunglah yang lebih dulu sadar akan munculnya bahaya tersebut, dan ia melihat betapa belasan anak panah telah menyambar ke arah mereka dari beberapa arah dengan kencangnya.
Maka sesaat Mahesa Wulung merasa tertegun, sebab bahaya tersebut tidak mungkin dihadapi seorang diri. Apalagi mereka berada di tempat yang berjauhan.
Nah, dalam saat yang begitu mengerikan itulah tiba-tiba saja terjadi suatu kejadian lain yang menakjubkan pandangan.
"Hyaaat!"
Satu teriakan melengking dahsyat terlontar ke udara bersamaan satu bayangan manusia bercaping melesat dan berloncatan mengitari arena pertempuran dengan gerakan kilat sehingga tidak mengherankan bila yang tampak adalah bayangan hitam melulu.
Sambil bergerak tadi, si tokoh bercaping senantiasa mengobat-abitkan pedang di tangan kanannya diseling pula oleh kibasan sarung pedang di tangan kirinya.
Di saat itu pula terdengar benturan nyaring berkalikali, susul-menyusul.
Triing! Tring! Craak! Craak! Craak!.....
Ternyata itulah akibat benturan mata pedang si tokoh bercaping yang setiap kali berhasil dengan tepat menyapu anak panah-anak panah yang tengah meluncur menuju ke arah sasarannya, yakni tubuh-tubuh Ki Lurah Mijen, Mahesa Wulung, Pandan Arum, Endang Seruni dan Jagabaya Cangkring!
Maka sekejap mata saja tersapu rontoklah semua anak panah dari udara, lalu berjatuhan ke atas tanah.
Keruan saja orang-orang yang berada di medan pertempuran menjadi melongo oleh kemunculan si tokoh bercaping yang telah berhasil menyapu segenap anak panah tersebut.
Terlebih-lebih bagi para pemanah yang telah merasa melepaskan tembakan-tembakan panahnya tadi seakan-akan tercenung bagaikan patung-patung bernyawa yang terbisu di balik batu-batu karang.
Demikian pula dengan Ki Bango Wadas, Bido Teles serta segenap anak buahnya tak kalah herannya menyaksikan pemandangan yang begitu mengagumkan. Mereka serentak saling menduga dan bertanya-tanya di dalam hati siapakah sebenarnya si tokoh bercaping yang baru saja muncul tadi?
Ternyata Mahesa Wulung, Ki Lurah Mijen, Pandan Arum, Endang Seruni serta Jagabaya Cangkring terpesona pula oleh si tokoh bercaping yang baru saja menyelamatkan nyawa-nyawa mereka. Maka diam-diam kelima orang ini mengucapkan syukur di dalam hati karena bencana yang dapat terhindar itu.
Paling tersadar lebih dahulu adalah para pemanah tadi. Merasa serangannya gagal sama sekali, maka secepat kilat mereka memasang kembali anak panahnya pada busur-busur mereka untuk kemudian dibidikkan ke arah sasarannya kembali, yakni rombongan Ki Lurah Mijen tersebut.
Namun sebelum mereka, yakni para pemanah tadi, sempat bertindak lebih lanjut, sekonyong-konyong si tokoh bercaping itu sekali lagi berkelebat melesat ke arah mereka dibarengi teriakan garang terlontar dari mulutnya.
"Haaaaiit!"
Sungguh hebat gerakan si tokoh bercaping tadi, yang begitu cepat laksana prahara melanda sasarannya dan sekejap kemudian beberapa pemanah roboh terguling ke tanah dengan masing-masing terluka tebasan pedang pada badannya. Sedang dua tiga orang lainnya yang masih selamat terpaksa mengumpatumpat, sebab busur-busur panah mereka telah terpotong putus menjadi dua bagian dan tidak ada kemungkinan gunanya lagi.
Seraya mencampakkan potongan-potongan busur panahnya, mereka serentak berloncatan turun ke arena pertempuran setelah mencabut golok-goloknya.
Melihat ini, Mahesa Wulung dapat menarik nafas lega, setelah penyerangan gelap dari anak buah Bido Teles gagal berantakan. Dan itulah sebabnya mengapa sesaat kemudian gerakan Mahesa Wulung semakin hebat dan sigap. Cambuknya berkali-kali melecutkan ledakan-ledakan keras mengerikan hati para lawannya.
Kehadiran si tokoh bercaping tadi benar-benar mengacaukan pengepungan rombongan Bido Teles dan Ki Bango Wadas terhadap Ki Lurah Mijen serta rekanrekannya. Setiap pedang di tangan pendekar bercaping tadi berkelebat, pasti menimbulkan korban yang mati ataupun paling sedikit terluka parah. Dan sudah barang tentu, para anak buah Bido Teles tergetar hatinya, sehingga ke mana si pendekar bercaping menuju, di situ pula mereka menjauh menghindarinya. Kalau toh pendekar bercaping tersebut memburunya dengan seranganserangannya, maka mereka paling-paling hanya menangkis dan menghadapinya dari jarak jauh saja.
Dengan kedatangan pendekar bercaping tadi, maka bertambahlah lawan yang harus dihadapi oleh anak buah Bido Teles, sehingga tekanan serangan terhadap Ki Lurah Mijen serta rekan-rekannya menjadi berkurang.
Dalam pada itu, Mahesa Wulung senantiasa memperhatikan pendekar bercaping yang telah menolongnya. Sejak tadi ia sibuk menduga-duga siapakah sebenarnya orang ini? Dilihat dari gerakan-gerakan serta jurus-jurus pedangnya, ia seakan-akan pernah mengenalnya. Mahesa Wulung melihat adanya unsur-unsur gerakan Sigar Maruta yang juga bercampur dengan unsur gerakan lainnya lagi. Dengan begitu, maka unsur gerakan Sigar Maruta yang semula dilihatnya menjadi semakin kabur dan lenyap oleh jalinan jurus-jurus yang lain. Tetapi beberapa saat kemudian unsur gerakan Sigar Maruta menjadi muncul kembali.
Hal ini membuat Mahesa Wulung semakin tertarik oleh kegesitan ilmu pedang si pendekar bercaping. Tapi sayang wajahnya yang tertutup oleh bayangan gelap dari capingnya, membuat Mahesa Wulung tak dapat meneliti siapakah orang ini sesungguhnya?
Di lain pihak, Ki Bango Wadas dan Bido Teles mengumpat-umpat dalam hati oleh turut campurnya si pendekar bercaping tadi. Mereka melihat bahwa beberapa orang anak buahnya telah berkaparan di tanah tak bernyawa.
"Wah, celaka jika terus-terusan begini!" desis Ki Bango Wadas.
"Bisa habis orang-orang Bido Teles oleh mereka dan akhirnya kedua kalung hijau ini akan jatuh ke tangan mereka kembali!"
Sementara itu Bido Telespun rupanya berpikir yang sama. Setelah dilihatnya bahwa beberapa orang anak buahnya telah mati, cepat-cepat ia mengambil satu keputusan.
"Hmmm, aku harus mengundurkan diri selekas mungkin. Yang penting, kedua kalung hijau itu telah berada di tangan kami dan harus kami larikan segera!" Maka tak antara lama, tampaklah Bido Teles memasukkan jari-jari tangan kirinya ke dalam mulut lalu menyusul sebuah suitan nyaring melengking membelah kesepian malam, menyusur ke segenap lekuk lekuk batu karang dan pepohonan tua.
Mahesa Wulung, Ki Lurah Mijen serta rekan-rekan lainnya sangat terkejut mendengar suara tersebut. Bahkan si pendekar bercaping itu terkejut pula karenanya. Bagaikan hantu-hantu malam, segenap anak buah Bido Teles segera berloncatan melesat meninggalkan arena pertempuran dan lenyaplah di balik batu-batu karang, termasuk pula kedua pemimpinnya, Ki Bango Wadas dan si Bido Teles sendiri.
Baik Ki Lurah Mijen maupun Mahesa Wulung serta rekan-rekan lainnya tak berusaha mengejar mereka. Selain berbahaya, juga tak ada gunanya lagi. Sebab, bukankah tujuan utama mereka menyelamatkan Endang Seruni? Dan itu semua telah berhasil karena pertolongan si pendekar bercaping yang telah muncul secara tiba-tiba, tepat di saat mereka diancam bencana.
Maka cepat-cepat mereka bermaksud mendekat dan menyatakan terima kasihnya kepada si pendekar bercaping. Tetapi alangkah mereka dibuat terkejut untuk kedua kalinya, karena secara tiba-tiba pula si pendekar bercaping menggenjotkan kakinya ke tanah dan tubuhnya melesat ke arah selatan laksana belalang melontarkan diri.
"Heei, Kisanak! Tunggu...!" seru Ki Lurah Mijen mencegah si pendekar bercaping itu. Tetapi orang tersebut bagaikan bayang-bayang melesat dan sebentar saja telah lenyap di balik semak-semak ilalang.
"Aaakh, sayang sekali ia telah pergi!" desah Ki Lurah dengan nada kecewa sambil menyarungkan kembali kerisnya.
"Kita tak sempat mengucapkan terima kasih kepadanya."
Mahesa Wulung yang telah berada di dekat Ki Lurah dapat pula memahami kekecewaan orang tua ini. Sebab sudah seharusnya mereka menyatakan terima kasih, apabila sebuah pertolongan telah diberikan oleh seseorang. Terlebih lagi pertolongan tersebut sungguh kelewat besar artinya bagi keselamatan mereka.
"Yah, memang sayang sekali, ia telah pergi!" sambung Mahesa Wulung.
"Mudah-mudahan kita akan bertemu lagi dengan dia dan kita dapat mengucapkan terima kasih kita kepadanya!"
"Mudah-mudahan begitu!" ujar Ki Lurah pula.
"Nah, Angger Mahesa Wulung, sekarang kita teruskan perjalanan kita ke arah Tanjung Bugel."
"Baik, Bapak," ujar Mahesa Wulung seraya berloncatan menuju ke kudanya yang masih saja berdiri di dekat sebuah pohon mati dengan meringkik-ringkik kecil.
Dengan sigap iapun cepat-cepat meloncat ke atas punggung kudanya, lalu dipacunya ke arah timur bersama-sama Ki Lurah Mijen, Pandan Arum, Endang Seruni dan Jagabaya Cangkring.
Sebentar saja mereka berlima telah kabur ke sebelah timur bersama kudanya, meninggalkan debu berkepul serta derap kaki kuda yang gemuruh suaranya.

* * *



Sedang di saat itu pula, jauh di sebelah selatan dari bekas medan pertempuran, berdirilah si pendekar bercaping di atas gundukan batu karang. Ia melayangkan pandangannya ke bekas tempat pertempuran tersebut dengan mengelus-elus dagunya.
"Mmmm, ternyata mereka telah mempersengketakan kalung pusaka itu, dan sekarang telah jatuh ke tangan gerombolan Bido Teles! Mereka kini pergi ke arah timur. Heh, ke mana arah tujuan mereka? Sedang orang-orang gerombolan Bido Teles itupun aku lihat berjalan menuju ke arah timur. Hmmm, jadi tujuan mereka adalah sama, yaitu ke arah timur. Dan rupanya di sana telah menunggu sesuatu yang penting atau berharga!" demikian pikir si pendekar bercaping dan sejurus kemudian ia telah meloncat turun mendekati bekas arena pertempuran.
Tempat tersebut kini telah menjadi sepi kembali, dan tampaklah beberapa tubuh berkaparan tak berkutik terjelapak di atas tanah dan batu-batu karang, memberikan pemandangan yang mengerikan dan seram.
"Aku akan menyelidiki mayat-mayat itu. Siapa tahu akan dapat memberikan petunjuk-petunjuk yang penting bagi diriku!"
Si pendekar bercaping segera mulai meneliti tubuhtubuh yang tak berkutik tadi. Satu, dua, tiga tubuh telah diperiksanya, tetapi tak satupun keterangan yang diperoleh. Juga pada tubuh yang keempat tak terdapat petunjuk apa-apa. Kesemuanya telah tak bernyawa lagi.
Namun tiba-tiba pada tubuh yang kelima, si pendekar bercaping berjongkok agak lama, sementara kedua matanya berkilat gembira sebab kedua tangannya yang tengah memeriksa tubuh orang tersebut, telah menangkap adanya detak-detak jantung yang sangat lemah.
"Orang ini belum mati sama sekali!" desis si pendekar bercaping.
"Semoga ia masih dapat berkata-kata!" Si pendekar bercaping lalu mengusap-usap wajah orang tersebut dan sesaat kemudian orang itupun membuka matanya, sedang nafasnya telah tersengal sengal.
"Kisanak," ujar si pendekar bercaping dengan nada lemah-lembut, "teman-temanmu telah kabur semuanya dan engkau tertinggal di sini seorang diri. Aku bermaksud menolongmu, namun lebih dulu jawablah pertanyaanku ini."
"Earrrgh... apa... yang ingin... kau ketahui?" ujar orang tersebut dalam suara yang sangat lemah, hampir tak terdengar.
"Ke manakah tujuan kalian? Aku lihat teman-temanmu menuju ke arah timur!" kata pendekar bercaping.
"Mereka... men... menuju ke Tanjung Bugel...!"
"Oooh, ke Tanjung Bugel?!" desis pendekar berca ping.
Sementara itu tak jauh dari belakang si pendekar bercaping, sesosok tubuh lain yang tadi terkapar membisu, tiba-tiba saja mulai bergerak dan tersadar dari pingsannya. Ternyata ia hanya terluka parah pada bahunya yang kelihatan seperti terbelah oleh bekas senjata tajam. Ketika mulai sadar dan matanya menatap ke sebelah muka, orang ini menyeringai garang. Ia melihat si pendekar bercaping yang tadi telah menebas bahunya dalam pertempuran, kini tengah duduk membelakang di depannya.
"Hmmm, inilah saat pembalasanku yang tepat!" pikir orang ini seraya memungut goloknya yang tergeletak di dekatnya. Dengan sisa tenaganya yang terakhir, ia menubruk ke arah pendekar bercaping seraya membacokkan goloknya ke arah kepala lawannya.
Si pendekar bercaping yang lagi menolong orang pertama tadi, tiba-tiba merasakan suara berdesing di belakangnya dan secepat kilat ia bertindak! Sambil mengegoskan tubuhnya ke kiri, ia melolos pedangnya dan sekaligus berkelebat menebas setengah lingkaran.
Apa yang terjadi kemudian sungguh mengejutkan. Si penyerang tersebut berteriak hebat dan menebah perutnya dengan tangan kiri.
"Haaaargh!" Tubuh orang ini menjadi limbung dan terjungkal ke depan merobohi orang pertama yang telah ditolong oleh si pendekar bercaping.
"Aaaargh!" terdengar teriakan kedua yang mengerikan, sehingga si pendekar bercaping terkejut pula karenanya. Dan begitu ia melihat ke samping, tampaklah bahwa golok si penyerang yang roboh tadi telah menghunjam ke dada orang pertama.
"Keduanya telah mati!" desis pendekar bercaping sesudah sesaat ia memeriksa kedua tubuh orang itu.
"Heh, itulah rupanya tebusan atas dosa-dosa mereka!"
Ia menyarungkan kembali pedangnya dan berjalan ke arah timur dengan bergumam, "Aku harus segera tiba di Tanjung Bugel dan melihat apakah yang bakal terjadi di tempat itu!"
Dengan loncatan-loncatan kecil dari batu ke batu dan dari satu semak ke semak belukar yang lain, si pendekar bercaping bergegas ke arah timur dan sejurus kemudian telah lenyap ditelan malam.
Sang rembulan telah condong ke cakrawala barat dan beberapa kelelawar terbang mencicit melintasi bekas arena pertempuran seperti terkejut melihat mayatmayat yang berkaparan di atas tanah dan batu-batu karang di Tanjung Jati.

* * *




--¤¤¦ « 2 » ¦¤¤--

GULUNGAN OMBAK putih berkejaran memecah di sepanjang pantai selatan Pulau Mondoliko. Pulau yang ditumbuhi oleh semak liar pohon pisang dan ilalang serta pohon kelapa itu tampak sepi-sepi saja.
Namun sebenarnya tidaklah demikian. Di antara sela-sela rumpun pohon pisang, kelihatan orang-orang berjaga-jaga dengan bersenjata tombak dan pedang.
Mereka senantiasa mengawasi pantai tersebut yang langsung berhadapan dengan pantai utara Jawa. Setiap ada gerakan yang mencurigakan dari kapal-kapal, mereka segera melaporkan kepada pemimpin mereka yakni Ki Rikma Rembyak.
Di pusat pulau, terdapatlah beberapa rumah-rumah kayu dikelilingi oleh dinding-dinding tinggi terbuat dari batang-batang pohon kelapa, merupakan benteng yang cukup tangguh menahan serangan-serangan dari luar.
Di halaman sebuah rumah terbesar, tampak beberapa orang berkerumun, berkeliling menghadap ke arah pintu, di mana Ki Rikma Rembyak tengah duduk di atas sebuah kursi berukir indah bersepuh warna emas sangat megahnya.
Pendekar berambut gondrong awut-awutan ini menampakkan wajah kaku dengan sorot mata menatap tajam ke arah sebuah tepi lingkaran manusia di sebelah barat, di mana seorang berwajah garang tapi kepucatan telah terikat kedua belah tangannya.
"Garangpati!" teriak Rikma Rembyak dengan suara menggeledek.
"Kau telah melaporkan bahwa Kapal Hantu kebanggaanku telah hancur! Hal itu telah pula aku terima dari laporan si Andini Sari. Dan kemudian kau ternyata melarikan diri dari Kapal Hantu tadi serta membiarkannya hancur. Kau telah ingkar dari tugasmu, Garangpati! Untuk kesalahanmu yang pertama itu mungkin aku bisa memaafkan, akan tetapi ketika untuk kedua kalinya engkau lari dari medan pertarungan, serta membiarkan si Mata Siji dan Bengara tewas di tangan Mahesa Wulung serta orang-orangnya, aku tak bisa lagi mengampuni! Engkau harus menerima hukuman, sebagai contoh bagi segenap pengikutku yang berani meninggalkan temannya dalam keadaan terancam bahaya!"
Mendengar kata-kata itu semua, Garangpati cuma tertunduk diam. Tak sepatah katapun yang keluar dari mulutnya, apalagi sampai berani menatap wajah pemimpinnya yang berambut gondrong itu. Sama sekali ia tak berkutik dan tinggal menanti, apakah hukuman yang bakal dijatuhkan kepadanya.
"Garangpati! Kau tahu akan segala kesalahanmu itu semua?" seru Ki Rikma Rembyak dengan kerasnya.
Garangpati mengangguk kecil seraya menjawab pelan, "Tentu, Kiai. Memang aku bersalah dalam hal tersebut dan aku bersedia menerima hukumannya."
"Bagus! Kau masih punya sifat jantan, Garangpati. Tetapi aku tak akan semena-mena menjatuhkan hukuman terhadap anak buahku. Aku masih ingin memberi kesempatan kepadamu untuk memperlihatkan sampai dimana kepandaianmu selama ini!" Ki Rikma Rembyak berkata seraya meringis puas, lalu berserulah kembali menyebut sebuah nama.
"Jagal Wesi! Masuklah ke dalam gelanggang ini!"
Garangpati terkejut mendengar nama itu dan sejurus kemudian iapun melihat seorang bertubuh kekar memasuki gelanggang dengan langkah-langkah tegap setengah kaku. Orang ini cuma mengenakan baju tak berlengan dan pada kedua pergelangan tangannya mengenakan gelang perisai dari logam.
Garangpati terpaksa mengernyitkan keningnya, sebab baginya nama Jagal Wesi baru kali ini didengarnya, dan terang saja ia belum mengenal orang tersebut. Kini yakinlah Garangpati bahwa Jagal Wesi adalah orang baru di dalam gerombolan Rikma Rembyak.
Dua orang anak buah Rikma Rembyak lainnya segera melepaskan ikatan tali pada tangan Garangpati, sesudah itu keduanya kembali ke dalam tempatnya pada pagar manusia yang setengah berjejal untuk menyaksikan adu kekuatan antara Jagal Wesi dengan Garangpati.
Merasa tangannya telah bebas, Garangpati segera bersiaga dengan jurus pembukaannya, sementara kedua matanya menatap tajam ke arah Jagal Wesi yang juga telah bersiaga.
"Hmm, tak keliru lagi perkiraanku. Orang ini adalah orang baru!" pikir Garangpati.
"Aku harus dapat mengalahkannya kalau tidak ingin mendapat malu lebih besar. Dengan mengalahkannya aku berarti dapat menghapus arang yang telah mencoreng mukaku!"
Keduanya melangkah saling mendekat dan ketika jarak antara kedua orang tersebut tinggal kira-kira satu tombak, mereka berseru seraya membuka serangannya.
"Heeeittt!"
Keduanya ternyata bergerak dalam waktu yang bersamaan sehingga serang-menyerang tadi gagal. Kini keduanya bersiaga lagi, lalu saling mengitari lingkaran dan mengawasi segala gerak-gerik lawannya.
"Jagal Wesi, lekas robohkan si Garangpati itu!" seru Rikma Rembyak seraya meringis tidak sabar.
"Maaf, Ketua. Saya ingin memberi kesempatan menyerang pertama kepada rekan Garangpati. Sebab aku ingin tahu apakah ia benar-benar mempunyai kemampuan bertempur setelah dua kali ia melarikan diri dari gelanggang pertempuran!" ujar Jagal Wesi.
Alangkah marahnya Garangpati sesudah mendengar kata-kata Jagal Wesi yang bernada mengejek itu. Maka iapun berseru kepada lawannya, "Jagal Wesi! Ocehanmu memanaskan hatiku. Kau orang baru di sini dan apakah kau telah mengalami sendiri terlibat dalam pertempuran-pertempuran dahsyat seperti aku?!"
Jagal Wesi tertawa terbahak-bahak mendengar perkataan Garangpati tadi dan iapun berkata pula, "Heh, heh, heh. Rekan Garangpati, janganlah Anda menyombongkan diri karena telah ikut di dalam pertempuranpertempuran dahsyat tadi. Meskipun aku orang baru di dalam pengikut Ki Rikma Rembyak, aku tak akan takut menghadapi orang lama seperti Anda!"
"Keparat! Awas jagalah seranganku ini!" seru Garangpati seraya membuka jurus serangannya.
"Nah, ayo, rekan Garangpati! Seranglah aku dengan sepuasmu!" ujar Jagal Wesi sambil tersenyum.
"Haaaittt!" Garangpati berteriak sekaligus melayangkan tebasan sisi telapak tangan kanannya ke arah leher Jagal Wesi.
Namun lawannya yang bertubuh kekar itu cukup waspada. Begitu pukulan Garangpati melayang ke arah lehernya, ia secepat kilat menangkis dengan kedua tangannya bersilang.
Praaak
Benturan hebat terjadi..
Masing-masing tergetar tubuhnya dan rupanya Garangpati telah mempersiapkan serangan susulan, sebab dengan mendadak kaki kirinya menendang ke arah lambung Jagal Wesi.
Terkejut bukan main si Jagal Wesi mendapat serangan yang tiba-tiba, dan boleh dipastikan bahwa tendangan tersebut tidak sempat ditangkisnya. Maka tibatiba pula ia menggenjotkan kakinya ke tanah sehingga tubuhnya mencutat ke atas dan akibatnya tendangan kaki Garangpati cuma mendapatkan tempat kosong saja.
Terpaksalah Garangpati melompong melihat kedua serangan beruntunnya telah gagal mengenai lawannya dan kini ia mengakui diam-diam bahwa Jagal Wesi cukup gesit sebagai lawan yang harus dihadapi.
Akan tetapi, dasar Garangpati tidak mau begitu saja dikecewakan oleh kegagalan serangannya, oleh karenanya pula secepat kilat ia menyerang kembali si Jagal Wesi dengan gencarnya.
Bertubi-tubi dan bergulung-gulung serangan tangan Garangpati menerjang lawannya laksana seleret ombak badai yang menghempas ke pantai menimbulkan bunyi berdesau dan rasa nyeri terhadap siapa saja yang mendengarnya.
Hanya saja, Jagal Wesi cukup ulet dan tangkas. Sehingga ia tidak perlu menjadi cemas oleh seranganserangan tadi. Setiap pukulan Garangpati melanda tubuhnya, setiap kali pula Jagal Wesi berhasil menangkis ataupun mengelak dengan tepat.
Pertempuran tersebut meningkat semakin seru, bertepatan sang matahari bergeser makin ke atas. Di sekeliling terdengarlah berkali-kali suara tertahan ataupun teriakan kecil pada setiap kali terjang-menerjang itu berlangsung.
Bunyi kemerosak dari dedaunan pohon kelapa yang banyak tumbuh di sekitar perumahan itu, seperti ingin ikut berteriak dan bersorak atas pertempuran seru tersebut. Memang angin cukup kencang, membuat daundaun kelapa melambai-lambai dan menghempas ke kiri-kanan dengan kerasnya.
Rikma Rembyak mengangguk-angguk melihat pertempuran tersebut. Wajahnya sebentar tegang dan sebentar berseri serta tertawa lebar kegirangan, persis seorang tukang adu ayam melihat dua ekor jago tengah berlaga.
Jurus demi jurus susul-menyusul dan Garangpati terpaksa mengakui akan kekuatan Jagal Wesi yang senantiasa berhasil mengatasi serangan-serangannya.
Sebenarnya Garangpati memang belum mengerahkan segenap tenaganya, sebab ia ingin lebih dulu menyelidiki kemampuan lawannya yang bertubuh kekar itu.
Sekarang tahulah sudah si Garangpati bahwa Jagal Wesi bukan lawan yang boleh dipandang dengan sebelah mata saja. Perkiraannya yang semula meremehkan Jagal Wesi, karena dianggapnya cuma anggota baru dari anak buah Ki Rikma Rembyak, kini ternyata meleset sama sekali. Sejak saat itulah ia berusaha menyerang Jagal Wesi dengan sungguh-sungguh. Maka sebentar itu pula ia mengerahkan segenap ilmu dan jurus silatnya yang sedikit banyak pernah dipelajarinya dari mendiang si Mata Siji dan pendekar liar Bengara ketika ia berada di hutan Borneo beberapa waktu yang lalu.
Sebentar kemudian terlihatlah kalau gerakan silat Garangpati semakin cepat dan ganas. Loncatan-loncatan yang dibuatnya sungguh mengagumkan, mirip dengan gerakan kera yang lagi bertarung.
Melihat ini, Jagal Wesi dan orang-orang lainnya tersentak kagum, sedang Ki Rikma Rembyak sendiri cuma manggut-manggut dan menyeringai sambil berpikir sendirian.
"Hmmm, Garangpati cukup tangguh. Tapi sayangnya ia setiap kali terlibat dalam pertempuran yang dahsyat selalu ngacir dan pulang kandang sendirian. Nah, sekarang ini biarlah ia mendapat lawan yang seimbang. Aku yakin Jagal Wesi tidak akan mengecewakanku!"
Pertempuran benar-benar menjadi seru, apabila Garangpati telah mengerahkan segenap ilmunya. Kini serangan-serangan dari pihak Garangpati tidak cuma sekadar serangan tetapi telah dilambari dengan tenaga dalam, sehingga setiap benturan tenaga dengan Jagal Wesi membuat lawannya yang berperawakan kekar itu tergetar beberapa langkah surut sambil peringisan menahan sakit.
"Tak kuduga sama sekali bahwa Garangpati mempunyai kepandaian sedemikian tinggi! Keparat!" demikian desis Jagal Wesi.
"Pantas dia selalu diikutsertakan dalam tugas-tugas besar. Akan tetapi sekarang ini aku diperintahkan Ki Rikma Rembyak untuk menghajarnya, maka mulai saat ini aku akan berusaha mengalahkannya! Harus!"
Jagal Wesi tiba-tiba meloncat ke samping dan memutar pinggangnya ke kanan dan ke kiri. Setelah itu ia merentangkan pula kedua tangannya ke samping dan hal ini menyebabkan Garangpati tersenyum mengejek dan berkata, "Heh, heh. Rupanya si tubuh kekar ini hendak terbang melarikan diri dari ilmuku yang terakhir!"
Belum habis Garangpati menggerundal, mendadak ia dikagetkan oleh teriakan dahsyat melengking.
"Huuraaah!"
Dan sambil berteriakan tadi tahu-tahu tubuh Jagal Wesi telah melesat ke arahnya.
"Jurus Cucut Terbang!" desah Garangpati demi kedua matanya melihat bahwa tubuh Jagal Wesi meluncur menerjang ke arah dirinya, tak ubahnya seekor ikan cucut menerjang calon korbannya.
Garangpati tak dapat menghindar terlalu jauh dan ia cepat-cepat menangkis tebasan kedua tangan Jagal Wesi yang meluncur ke atas kepalanya dengan mempergunakan kedua kepalan tangannya.
Bruuuk!
Benturan dahsyat tak dapat dihindari lagi dan tubuh Garangpati terguling di tanah seraya mengaduh. Namun ternyata ia tidak kehilangan kewaspadaannya dan secepat kilat ia menggelindingkan tubuhnya ke samping, sebab Jagal Wesi telah menggenjotkan kaki kanannya ke arah dadanya.
Untung saja Garangpati tidak terlambat menggulingkan tubuhnya, sebab jika terlambat sedikit saja, tidak mustahil bahwa dadanya akan jebol atau ambleg tertimpa oleh genjotan kaki Jagal Wesi.
Kraaak... byaaaar!
Genjotan kaki Jagal Wesi cuma mendapat tanah halaman yang berbatu-batu dan akibatnya tanah tadi berlobang sedalam kurang lebih dua jengkal disertai pecahan batu dan kerikil mencurat ke mana-mana. Beberapa orang penonton terpekik ngeri bercampur kagum, demikian pula Ki Rikma Rembyak melotot matanya keheranan oleh ilmu silat Jagal Wesi tadi.
Sedang Garangpati sendiri lekas-lekas bangkit serta bersiaga kembali, sementara dadanya kembang-kempis dengan jantungnya berdentang-dentang amat santernya.
"Toblas, toblas! Setan mana yang telah menggurui Jagal Wesi sampai ia mempunyai ilmu yang sedemikian hebatnya?!" gerundal Garangpati.
"Baiklah, biarpun bagaimana, aku akan melawan mati-matian terhadap Jagal Wesi."
Memang benar, si Garangpati memperlipatgandakan serangannya kepada Jagal Wesi, sebab iapun telah bertekad bahwa pertempuran ini harus dihadapinya dengan sungguh-sungguh.
Namun itu bukan berarti bahwa Jagal Wesi akan segera dapat didesaknya. Lawannya yang bertubuh kekar tadi terus saja gencar melancarkan seranganserangannya dan makin lama, terasalah oleh Garangpati kalau jurus-jurus silatnya telah terlibat dan tertindih oleh jurus-jurus Jagal Wesi.
Garangpati terpaksa mengeluh di dalam hati. Dan betapapun ia telah mengerahkan segenap tenaga dan ilmunya, tetapi Jagal Wesi baginya terasa seperti mempunyai tenaga berlipat-lipat, sedang tangannya yang kekar itu bergerak bagaikan tangan-tangan hantu.
Bahkan Jagal Wesi tersenyum-senyum sambil menangkis sebuah pukulan yang dilancarkan Garangpati serta berkata, "Ayo, Garangpati, tumpahkan segenap kekuatanmu!"
"Keparat! Terimalah ini!" Teriak Garangpati seraya menebaskan telapak tangannya ke pundak Jagal Wesi, berbareng sebelah tangannya yang lain menjotos ke arah ulu hati. Keruan saja Jagal Wesi terkejut setengah mati. Namun ia secepat itu pula menangkis jotosan Garangpati yang meluncur ke arah ulu hatinya. Sedang tebasan telapak tangan Garangpati sama sekali tak sempat dihindarinya dan meluncur ke pundaknya.
Akibatnya, Jagal Wesi tergetar ke samping peringisan menahan rasa nyeri yang menyengat pundaknya. Biarpun begitu Jagal Wesi sempat pula melayangkan tendangan kakinya ke lutut Garangpati dan tepat mengenai sasarannya, disusul bunyi suara....
Krepyeeeek!
Dan menjeritlah Garangpati seperti orang disembelih, sebab akibat tendangan Jagal Wesi tadi mengakibatkan mata lutut Garangpati meleset bergeser ke samping.
Jagal Wesi tak memberi ampun lagi kepada lawannya, sebab tiba-tiba tangan kirinya telah menyodokkan pukulan yang langsung bersarang ke perut Garangpati.
"Heeecck!"
Tubuh Garangpati meliuk ke depan dengan mulut ternganga, dan sekali lagi Jagal Wesi mengirim tebasan sisi telapak tangannya ke punggung Garangpati membuat orang ini tersentak tubuhnya menggeliat ke belakang bagai cacing kepanasan sambil menjerit keras.
"Hoooaduuuh!"
Tubuh Garangpati terhuyung-huyung sesaat lalu oleng dan roboh tersungkur ke tanah serta menyemburkan darah segar dari mulutnya.
Sementara Jagal Wesi yang terkena pukulan tenaga dalam Garangpati pada pundaknya menjadi berkeringat dan agak lemas, lalu bersandarlah ia pada sebuah tiang kayu di tepi halaman rumah.
"Cukup!" seru Ki Rikma Rembyak serta memberi isyarat kepada beberapa orang anak buahnya untuk menggotong tubuh Garangpati, sambil bertanya pula, "Bagaimana anak-anak, periksalah tubuh Garangpati! Apakah ia ?"
"Masih hidup, Kiai! Garangpati cuma pingsan saja!" ujar seorang anak buahnya.
"Hemm, kuat juga dia. Nah, anak-anak, rawatlah Garangpati ke pondok kalian!"
"Baik, Kiai," ujar mereka berbareng, dan kemudian bersama-sama menggotong tubuh Garangpati ke arah pondok mereka untuk dirawat seperlunya. Sedang Jagal Wesi sendiri setelah lebih dulu mengangguk hormat kepada Ki Rikma Rembyak, iapun mengeloyor pergi bersama anak buah Ki Rikma Rembyak lainnya.
Sesaat Ki Rikma Rembyak masih duduk di tempatnya seraya mengikuti langkah-langkah Jagal Wesi dengan hati penuh bertanya-tanya tentang anggotanya yang baru itu serta kesaktian yang dipunyainya.
Bagi dirinya, nama Jagal Wesi memang asing dan baru, tapi menilik kesaktian Jagal Wesi yang baru saja disaksikan ketika bertempur melawan Garangpati, menjadi yakinlah Ki Rikma Rembyak bahwa Jagal Wesi pastilah seorang pendekar ulung. Terutama jurusjurus Cucut Terbang yang tadi telah dipamerkan oleh Jagal Wesi bukanlah sekadar jurus gertakan untuk menakut-nakuti saja, tetapi adalah jurus sakti yang ampuh.
Sekilas tergoreslah perasaan cemas, kuatir, kalaukalau Jagal Wesi adalah seorang pendekar yang diselundupkan oleh pihak lawan. Tapi menilik kesetiaan Jagal Wesi terhadap dirinya, terhapuslah rasa kekuatiran tadi dari bilik hatinya.
Memang tak perlu diherankan bila Ki Rikma Rembyak selalu menaruh kecurigaan terhadap siapa saja, sebab selama ini ia telah berhasil memiliki catatan rahasia Panah Braja Kencar yang semula milik mendiang Empu Baskara. Baginya, catatan tadi sangat berharga dan akan dipertahankan dengan nyawanya dan nyawa anak buahnya. Itu pula sebabnya mengapa selama ini ia bersembunyi di Pulau Mondoliko, pulau yang penuh rahasia bagi orang luar. Yah, memang ia sebenarnya menyayangkan akan kematian gurunya, yakni Ki Topeng Reges yang telah tewas di tangan Mahesa Wulung beberapa waktu berselang. Dan sebagai pewaris tunggalnya, Ki Rikma Rembyak telah bertekad untuk meneruskan cita-cita gurunya yakni mengumpulkan segenap tokoh-tokoh hitam serta mendirikan pemerintahan tersendiri untuk menandingi Demak.
Bila ia teringat akan kematian Ki Topeng Reges, kehancuran Kapal Hantu, dan sahabat-sahabatnya yang telah tewas di daratan Pulau Borneo, maka hatinya seperti terbakar. Dendamnya terhadap Mahesa Wulung dan sahabat-sahabatnya makin menyala dan ingin sekali ia berhadapan langsung dengan Mahesa Wulung untuk membinasakan pendekar Demak ini!

* * *



Segenap Pulau Mondoliko telah tenggelam dalam cahaya senja, dan pepohonan nyiur yang memagari pantai pulau ini tersaput oleh warna merah kekuningan yang terpancar dari sang matahari yang kini telah separo lebih tenggelam di cakrawala barat.
Suasana tenang yang terjelma oleh datangnya senja ini tiba-tiba saja dikejutkan oleh teriakan-teriakan di sebelah tenggara pulau.
Di pantai tersebut, tampaklah beberapa orang berbondong-bondong mengiringkan dua orang yang terikat tangannya. Para pengiring tadi ternyata membawa senjata-senjata beraneka ragam, di antaranya ada yang membawa senapan-senapan lasak yang masih sangat sederhana bentuknya. Sebagian lagi membawa barang-barang yang dipanggul dalam karung-karung dan peti-peti.
Sesungguhnyalah orang-orang tersebut adalah para pengikut ataupun anak buah Ki Rikma Rembyak yang baru saja pulang dari tugasnya, yakni mencegat perahu-perahu dagang yang berani mendekat ke daerah Pulau Mondoliko.
Iring-iringan kecil ini langsung berjalan menuju ke pusat pulau di mana perumahan gerombolan Ki Rikma Rembyak ini berada.
Di halaman rumahnya, Ki Rikma Rembyak telah berdiri dengan bertolak pinggang, untuk menanti iringiringan tadi dan kemudian menerima laporan dari anak buahnya serta hasil barang-barang rampasan.
"Kiai, tunggulah sebentar lagi. Pasti Kiai akan puas dengan hasil yang kami peroleh hari ini," ujar seorang anak buah Ki Rikma Rembyak yang berdiri di dekatnya.
"Hmmm, kau peroleh di mana barang-barang tersebut, Soma?!" tanya Ki Rikma Rembyak sambil melirik ke arah Soma.
"Apakah rombonganmu tidak terlalu jauh mengadakan aksinya?"
"Ooo, tidak Kiai. Perahu dagang tersebut kami tangkap karena berlayar terlalu dekat dan rupanya mencoba mendarat di Pulau Mondoliko ini."
"Heh, heh! Itu bagus, Soma. Bagus!" ujar Ki Rikma Rembyak saking gembiranya seraya menepuk-nepukkan tangannya ke punggung Soma Karang.
Mendapat tepukan tangan pada punggungnya sudah tentu Soma Karang merasa bangga karena dapat memuaskan pemimpinnya, tapi begitu kena tepuk tangan Ki Rikma Rembyak tadi, tiba-tiba Soma Karang tergetar tubuhnya dan terbatuk-batuk sampai beberapa saat.
"Uhuk-uh, uh, uhuk, huk!"
Keruan saja Ki Rikma Rembyak sendiri menjadi kaget dan sadarlah ia, maka segera pula menghentikan tepukan tangannya pada punggung Soma Karang. Dilihatnya wajah anak buahnya ini setengah pucat akibat tepukan tangan Ki Rikma Rembyak yang cukup berat.
Dalam hati, Soma Karang mengakui kehebatan tenaga dalam Ki Rikma Rembyak tadi. Baru ditepuk begitu saja orang sudah terbatuk-batuk akibat nafas yang tak lancar, menyebabkan Soma Karang sesaat menjadi lemas seperti dilolosi tulang sungsumnya. Apalagi kalau Ki Rikma Rembyak sampai melancarkan pukulan tangannya dengan kekuatan penuh, boleh dibayangkan lawannya akan rontok isi dadanya atau pecah paru-parunya.
"Aah, sungguh mengerikan!" demikian pikir Soma Karang seraya memperbaiki dirinya.
Dalam pada itu, Andini Sari yang berdiri di dekat Ki Rikma Rembyak terkejut pula karenanya. Memang ia telah memaklumi akan kehebatan ayahnya yang berambut gondrong awut-awutan ini.
"Heh, kasihan juga Soma Karang itu. Untunglah ia seorang jagoan pula," berkata Andini Sari dalam hatinya.
Sedang agak jauh dari tempat Ki Rikma Rembyak berdiri, kelihatan pula bahwa Jagal Wesi tercengang oleh kejadian tadi dan iapun manggut-manggut seraya menggerundal.
"Huh, luar biasa tangan Ki Rikma Rembyak! Adakah seseorang yang mampu menandinginya?"
Belum lagi terjawab pertanyaan Jagal Wesi di dalam gerundalnya tadi, tiba-tiba dari arah tenggara terlihatlah iring-iringan manusia dengan satu dua orang yang membawa obor di tangan. Suasana senja dengan sisasisa warna semburat merah di langit barat, membuat suasana perkampungan di pusat pulau tersebut menjadi seram dan mencekam perasaan.
Iring-iringan manusia tadi berhenti di depan halaman rumah Ki Rikma Rembyak dan dua orang tawanan yang digiring di sebelah depan, tahu-tahu didorong oleh para pengawal, sehingga keduanya jatuh tersungkur di tanah tepat di depan Ki Rikma Rembyak berdiri.
Kedua tawanan tadi duduk berlutut di tanah sementara keduanya menatap ke atas dan betapa kagetnya, bila orang yang berdiri di hadapan mereka adalah Ki Rikma Rembyak yang namanya telah sekian lama ditakuti dan menjadi momok bagi ketenteraman.
Ketika kedua tawanannya masih saja menatap ke arahnya, segera Ki Rikma Rembyak berseru, "Keparat! Kau berdua, tikus-tikus kecil tidak lekas memberi hormat di hadapanku?!"
Mendengar ini, tawanan yang termuda lekas membungkuk hingga wajahnya hampir menyentuh tanah, sedang yang tertua malah sebaliknya. Dengan sorot pandangan mata penuh geram dan kebencian si tawanan tua menentang wajah Ki Rikma Rembyak seraya berkata tajam.
"Mana sudi aku menghormat seorang benggolan pengacau negara seperti tampangmu?!"
"Kurang ajar! Kau berani pentang mulut semaumu menghina pemimpinku?! Ayo lekas tunduk dan beri hormat kepada Ki Rikma Rembyak!" teriak salah seorang pengawal sambil menginjakkan kakinya ke punggung si tawanan tua sehingga orang tersebut terjerumus ke tanah dengan mukanya mencium debu.
"Nah, begitu saja tunduk di hadapannya, kan tidak ada jeleknya! Memang, dasar orang suka mencari penyakit!" ujar si pengawal sambil terus menggusur-gusurkan kakinya ke arah pundak dan leher si tawanan tua, sampai wajah orang ini terbeset-beset pada permukaan tanah dengan luka-luka mengelupas mengeluarkan darah, sementara debu dan tanah melekat pada segenap kulit wajahnya.
"Aaaaaakh... aduh... aduuuu!" rintih si tawanan yang tua seraya berguling di tanah, sedang si pengawal tadi tertawa terkekeh-kekeh disambung oleh ketawa segenap anak buah Ki Rikma Rembyak yang berada di situ. Demikian pula Ki Rikma Rembyak sendiri tertawa cekakakan terbahak-bahak demi melihat wajah si tawanan bandel tadi seperti mengenakan topeng dari tanah berdebu tercampur darah. Maka penuhlah tempat tersebut dengan derai ketawa yang gemuruh laksana ketawa sekumpulan hantu yang mendapat mangsanya. Semua tertawa dengan kerasnya, kecuali Andini Sari dan Jagal Wesi yang justru mengerutkan keningnya melihat siksaan terhadap si tawanan tua tadi.
"Hua, ha, ha, ha. Itulah hadiah bagi orang bandel dan keras kepala," ujar Ki Rikma Rembyak.
"Dan sekarang aku akan sekali lagi memberi kesempatan kepadamu, agar engkau memperbaiki sikapmu. Ayo lekas tunduk di hadapanku," Ki Rikma Rembyak berseru dengan bengisnya.
Tetapi sekali lagi pendekar jagoan berambut gondrong ini terbelalak melihat kenyataan yang dihadapinya. Bukannya si tawanan tua lantas bersimpuh ataupun tunduk meminta ampun, malahan sebaliknya, si tawanan tua mendelik menentang wajah Ki Rikma Rembyak dan kemudian ia meludah ke tanah sambil berkata, "Tidak pantas Angkara bersimpuh di hadapanmu, Rikma Rembyak! Hanya monyet-monyet sajalah yang pantas berbuat demikian!"
Bagai sambaran petir kata-kata Angkara terdengar oleh Ki Rikma Rembyak dan secepat itu pula, pendekar rambut gondrong ini melancarkan tendangan kakinya ke arah tawanan tua.
Praaak! Angkara terguling ke tanah sambil menjerit kesakitan begitu tendangan kaki Ki Rikma Rembyak bersarang di dagunya.
Di saat itu pula si tawanan muda lalu menjatuhkan dirinya seraya mendekati Angkara yang telah tergeletak tak berdaya.
"Oh, janganlah Tuan menyiksa pamanku ini," ujar si tawanan muda kepada Ki Rikma Rembyak dengan kata-kata yang memohon belas kasihan.
"Lebih baik biarkan dia hidup, dan bunuhlah saya sebagai gantinya jika Tuan menghendaki."
Ki Rikma Rembyak terperanjat sesaat namun dia kemudian tertawa terkekeh-kekeh lalu berkata pula, "Bagus. Kalau itu yang kalian kehendaki, segera akan kamu peroleh. Kamu akan segera mati dengan caracaraku yang istimewa dan menyedapkan!"
Jagal Wesi kaget mendengar keputusan tersebut dan begitu pula dengan Andini Sari. Meskipun ia adalah anak Ki Rikma Rembyak, namun terhadap kekejaman-kekejaman yang sering dilakukan ayahnya, ia tidak menyetujuinya.
"Ayo anak-anak, malam ini nanti kita akan menghukum mereka di Tambak Mati. Siapkan segala sesuatunya untuk keperluan ini, dan sekarang, seret mereka ke tempat hukuman. Ikat mereka di sana dan jaga baik-baik!" ujar Ki Rikma Rembyak.
"Boleh dihukum sekarang juga, Kiai?" tanya Soma Karang setengah tak sabar.
"Hah, jangan sekarang! Tunggu saja nanti keputusanku!" sahut Ki Rikma Rembyak tajam.
"Oleh sebab itu, jaga kedua tawanan itu baik-baik. Kalau sampai lari, kau nanti sebagai gantinya untuk menerima hukumanku! Tahu?!"
"Beb... beb... baik, Kiai!" ujar Soma Karang tergagap-gagap saking kagetnya.
"Kami akan menjaga mereka baik-baik!"
Maka sesaat kemudian Soma Karang serta beberapa orang anak buah Ki Rikma Rembyak lainnya segera menggiring kedua orang tawanan tadi ke arah barat.
"Ah, Bapak akan menghukum mereka sekarang juga dan tidak pada hari-hari yang lain?" bertanya Andini Sari seraya mendekati ayahnya.
"Tentu saja! Bukankah kau tadi mendengar sendiri bahwa mereka telah menentang dan menghina ayahmu ini?!" jawab Ki Rikma Rembyak.
"Apakah kau membiarkan dan senang jika aku dihina oleh seorang tawanan?"
"Tapi Bapak, mungkin mereka dapat kita ampuni dan dapat kita pergunakan tenaganya."
"Bah, aku pantang berbuat demikian, Sari!" sahut Ki Rikma Rembyak.
"Orang yang telah menghinaku, apalagi berani meludah di depanku, harus aku hukum mati!"
"Oooh," desah Andini Sari. Ia tahu, bila ayahnya mengambil satu keputusan, sukarlah untuk dirubahnya lagi, dan karenanya, Andini Sari tak berkata lagi.
"Sari, hukuman tetap akan kulaksanakan terhadap mereka malam nanti!" berkata lagi Ki Rikma Rembyak.
"Jika kau ingin melihat, datanglah ke Tambak Mati. Dan kalau tidak, lebih baik engkau pergi tidur!"
Andini Sari mengangguk dan permisi kepada ayahnya lalu melangkah pelan-pelan meninggalkan tempat tersebut, sementara Jagal Wesi mengikuti dengan pandangan matanya dari kejauhan.
Tempat tersebut kembali menjadi sunyi, dan tak seorang pun yang tampak, kecuali bunyi desau angin malam menggoyangkan daun-daun nyiur. Ki Rikma Rembyak telah masuk ke dalam rumahnya, begitu pula Andini Sari telah kembali ke pondoknya yang terletak tidak jauh dari rumah ayahnya. Ketika membuka pintu pondok, Andini Sari segera disambut oleh seorang wanita setengah tua dengan tergopoh dengan pertanyaan, "Angger Sari, apa yang terjadi di luar? Bibi melihat wajahmu sangat murung dan tadi aku mendengar suara ribut serta jeritanjeritan di halaman."
"Oh, mereka telah menangkap dua orang asing dan ayah akan menghukum mati keduanya malam nanti."
"Mmm, tapi itu kan sudah biasa terjadi di sini, Sari?" ujar wanita setengah tua tadi seraya manggutmanggut.
"Tapi Bibi Rukmi," jawab Andini Sari, "sebenarnya aku merasa muak melihat siksaan-siksaan dan pembunuhan terhadap orang-orang asing yang menjadi tawanan di Pulau Mondoliko ini."
"Stt, jangan keras-keras berkata demikian, Sari. Jika ayahmu mendengarnya, pasti akan marah kepada kamu, dan mungkin akan menghukummu pula!" kata Bibi Rukmi dengan wajah kecemasan.
"Nah, lekaslah kau lupakan saja hal itu, Sari. Kini cucilah tanganmu dan makanlah, sebelum sayurnya menjadi dingin."
"Terima kasih, Bibi Rukmi," ujar Andini Sari serta menyiapkan makanan malamnya.

* * *




--¤¤¦ « 3 » ¦¤¤--

KINI sang rembulan telah mengembang di angkasa malam, dan di saat itulah Ki Rikma Rembyak bersama empat orang pengawalnya telah menuju ke arah barat, ke arah Tambak Mati, di tempat mana kedua tawanan akan segera menjalani hukumannya.
Langkah-langkah mereka begitu tenang dan mantap melewati jalan-jalan yang sebentar-sebentar menyelinap di sela semak belukar di bawah naungan pohonpohon kelapa. Ki Rikma Rembyak berjalan di sebelah muka dan keempat pengawalnya berjalan di belakang.
Dalam pada itu, agak jauh dari mereka berlarianlah sesosok bayangan ramping meloncat dengan gerakan yang lincah, selincah tupai. Kadang-kadang bayangan tadi berhenti sejenak di balik batang pohon kelapa dan sejurus lagi berlari kembali mengikuti langkah-langkah Ki Rikma Rembyak beserta keempat orang pengawalnya.
"Hemmm, betapapun aku ingin melihat hukuman apa yang bakal dijatuhkan oleh Bapak kepada kedua orang tawanan tersebut!" gumam si bayangan yang tak lain adalah Andini Sari.
Andini Sari terus mengendap-endap dan mengikuti ayahnya, Ki Rikma Rembyak, yang dengan tenangnya menuju ke Tambak Mati. Sebentar kemudian, tibalah mereka di dekat pantai dan suara berdebur dari ombak yang memecah terdengar sangat jelasnya.
Segera Andini Sari berhenti di balik sebuah batu karang dan mengawasi apa yang terjadi di Tambak Mati tersebut. Terlihatlah Ki Rikma Rembyak menemui kedua tawanan yang terikat pada batu karang. Dan di sekitarnya, bersiaplah para pengawal yang semenjak tadi menjaga di situ.
"Bagaimana Jagal Wesi, apakah segala sesuatunya telah beres?" tanya Ki Rikma Rembyak kepada Jagal Wesi yang mengepalai penjagaan di situ.
"Semuanya beres, Kiai," jawab Jagal Wesi.
"Dan kedua tawanan itu siap menerima hukumannya!"
"Bagus! Nah, sekarang bawalah ke mari tawanan yang tertua lebih dulu!" kata Ki Rikma Rembyak dengan beringas. Rambutnya yang gondrong acak-acakan itu tertiup angin malam sehingga sebentar-sebentar menutup matanya yang berkilatan bagai mata serigala kelaparan.
Dua orang pengawal segera membawa Angkara ke depan dengan tangan terikat dan diajukan ke depan Ki Rikma Rembyak yang telah siap menjatuhkan hukumannya. Semua mata mengikuti tindakan Ki Rikma Rembyak, sebab mereka belum tahu sampai saat ini, tentang hukuman apakah yang akan diberikan oleh pemimpinnya kepada Angkara. Mereka tidak melihat Ki Rikma Rembyak membawa senjata, maka merekapun mengira bahwa pemimpinnya akan memukul tubuh Angkara berkali-kali sampai rontok isi dadanya ataupun tulang-belulangnya.
Wajah Angkara menjadi kepucatan namun pandangan matanya kelihatan tenang dan menatap tajam ke arah Ki Rikma Rembyak. Baginya, ia sudah tidak mempunyai harapan untuk hidup lagi.
Tiba-tiba semua mata terkejut begitu Ki Rikma Rembyak mengeluarkan sebuah bumbung bambu kecil dari balik bajunya seraya tersenyum meringis. Dan mereka lebih terkejut lagi karena iapun lalu memungut sebuah batu bulat yang tergeletak di atas tanah, tak jauh dari kakinya.
"Nah, anak-anak. Kalian telah tahu keampuhan serbuk maut Panah Braja Kencar. Sekarang lihatlah ia akan kutuangkan ke atas batu kecil ini!" Ki Rikma Rembyak berkata seraya menuang dan melumuri batu kecil bulat tadi dengan serbuk putih dari dalam bumbung kecilnya.
"Kini segera lepaskanlah ikatan tangan Angkara itu!"
Dua orang pengawal cepat-cepat melepaskan talitemali yang mengikat tangan Angkara, sehingga tawanan tua ini dapat bebas menggerakkan kedua tangannya.
"Angkara! Kamu jelas harus menerima hukuman dari tanganku. Tetapi aku tidak begitu saja menjatuhkan hukuman ini. Aku masih mau memberi kesempatan kepadamu untuk lari dari tanganku. Ini, lihatlah batu yang ada di tanganku. Kau boleh lari ke arah pantai sekuat-kuatnya dan berusaha menghindari lemparan batu ini supaya tidak sampai mengenai tubuhmu. Jika engkau berhasil, maka kau boleh pergi dari pulau ini dengan menggunakan perahu yang telah tersedia di pantai. Dan itu berarti pula bahwa pemuda kemenakanmu itu akan bebas!" demikian ujar Ki Rikma Rembyak seraya menimang-nimang batu bulat tadi di atas tangannya.
"Nah, sekarang mulailah!"
Betapapun cemasnya, Angkara segera memusatkan tenaganya dan sebentar kemudian ia telah berlari dengan kencangnya, sambil sekali-sekali ia menoleh ke belakang untuk mengetahui apakah Ki Rikma Rembyak telah melemparkan batunya.
Ki Rikma Rembyak masih saja tersenyum-senyum melihat Angkara berlari ke arah pantai. Dan ketika hampir dirasanya bahwa si tawanan telah mencapai jarak lebih dari delapan tombak, tiba-tiba dengan kecepatan kilat, Ki Rikma Rembyak melemparkan batu tersebut ke arah Angkara dan melesat dengan cepatnya.
Akibat pergeseran udara, maka lumuran serbuk yang telah melekat pada lapisan batu bulat tadi menjadi menyala. Dan memang inilah kehebatan serbuk maut Panah Braja Kencar. Dengan demikian maka batu bulat tadi menyala terang kebiruan, tak ubahnya sebuah bintang berekor atau meteor yang melesat ke arah Angkara dengan kecepatan kilat.
Angkara terkejut ketika ia merasakan suara berdesis di belakangnya, maka secepatnya ia menoleh serta bersiap untuk mengelakkan dirinya. Akan tetapi alangkah terkejutnya, sebab sebuah bulatan benda bersinar terang dan menyala itu langsung meluncur ke arah dirinya. Karenanya, sesaat Angkara terkejut dan terpukau dan ia tak sempat menghindari lagi ketika benda tersebut menyambar pundaknya!
"Eeearrrgghh!"
Suara jerit melengking keluar dari mulut Angkara disusul tubuhnya berguling di tanah dalam keadaan mengerikan. Tubuh Angkara tampak mengering hangus berwarna biru dan tak bernapas lagi. Sungguh kematian yang mengerikan! Semua yang menyaksikan terlongoh kagum dan ngeri, tak ketinggalan pula Andini Sari yang mengintip dari batu karang. Hanya Ki Rikma Rembyaklah yang tertawa terkekeh-kekeh.
"Sekarang bawa kemari juga tawanan muda itu! Ia akan mati pula dengan cara yang serupa!" ujar Ki Rikma Rembyak.
Ketika si tawanan muda tadi telah dihadapkan ke depan Ki Rikma Rembyak, mendadak Jagal Wesi mengajukan usulnya.
"Kiai, jika Andika berlapang hati, biarlah aku saja yang membereskan si tawanan muda itu. Aku ingin ia bertarung melawanku sebelum ia mati oleh kedua tanganku ini!"
"Hemmm, itu baik juga, Jagal Wesi. Dengan cara apapun, aku tidak perduli. Asal ia segera mati dan lumayan juga buat tontonan anak buahku yang lain, heh, heh, heh!" berkata Ki Rikma Rembyak kesenangan.
Si tawanan muda yang telah dilepas ikatannya itu segera bersiaga menghadapi Jagal Wesi, namun iapun menjadi terperanjat sesaat bila sekilas ia melihat bahwa mata Jagal Wesi mengerdip-ngerdip kepadanya.
"Hee, sebut namamu sebelum engkau mati!" seru Jagal Wesi seraya membuka serangannya.
"Aku adalah Pakerti dari Tegal Arang dan siap menanti seranganmu!" teriak tawanan muda tersebut.
"Bagus! Terimalah ini! Haaait!" Jagal Wesi menerjang Pakerti, si tawanan muda itu, dan sebentar kemudian terjadilah pertarungan sengit.
Namun itu tidak berlangsung lama, sebab setelah mencapai sepuluh jurus, Pakerti mulai terdesak dan pada jurus kelima belas Pakerti kena tertotok jalan darahnya oleh jari-jari Jagal Wesi sehingga pemuda itu tak berdaya lagi ketika tebasan telapak tangan Jagal Wesi menerjang punggungnya.
"Heeerrrgh!"
Pakerti menyemburkan darah segar dari mulutnya dan terjelapak rebah ke tanah tanpa berkutik lagi.
Seruan kagum terdengar dari mulut-mulut anak buah Ki Rikma Rembyak yang lain.
"Hebat si Jagal Wesi!"
Ki Rikma Rembyak merasa puas juga melihat Jagal Wesi dapat membinasakan lawannya.
"Kiai, sekarang ijinkanlah tubuh orang ini aku bawa ke pantai dan akan kulempar ke laut biar menjadi santapan ikan-ikan di sana!" ujar Jagal Wesi.
"Heh, itu terserah kepadamu, Jagal Wesi. Mayat itu sekarang menjadi urusanmu!" kata Ki Rikma Rembyak, lalu iapun memerintah anak buahnya.
"Ayo anak-anak, kita kembali ke benteng!"
Jagal Wesi cepat-cepat mengangkat tubuh Pakerti dan dipanggulnya ke atas pundak, lalu dibawanya ke arah pantai. Sedang Ki Rikma Rembyak bersama anak buahnya telah berjalan ke arah timur, kembali ke pusat perumahan gerombolannya.
Sambil berjalan itu, Jagal Wesi dapat mendengarkan detak jantung pemuda yang dipanggulnya ini, sambil bergumam.
"Oh, sayang sekali jika pemuda ini betul-betul mati. Untunglah ia tadi telah aku totok jalan darahnya lebih dulu, dan semoga saja ia tidak cedera terlalu berat!" Jagal Wesi terus saja melangkah ke arah pantai dan tibalah ia pada daerah semak pohon bakau yang banyak tumbuh di atas tanah pantai.
Tak lama kemudian Jagal Wesi membelok ke kiri lalu menyelinap di balik pohon-pohon bakau tersebut. Sebentar ia menengok ke kiri dan ke kanan seperti hendak meyakinkan bahwa tidak ada seorang pun yang melihat ataupun mengikutinya.
Kemudian Jagal Wesi menurunkan tubuh Pakerti dengan pelan dan hati-hati sekali diletakkan di atas tanah, sedang kepalanya ditahannya dengan lengan kiri Jagal Wesi supaya tetap tertegak.
Sekali lagi Jagal Wesi melihat di sekitarnya dan setelah merasa aman, segera ia menotokkan jari-jarinya ke dada Pakerti.
Seperti terkena jilatan api, tubuh Pakerti lalu menggeliat dan bergerak-gerak tersadar dari pingsannya.
Pakerti perlahan-lahan membuka matanya dan begitu pandangan matanya yang pertama tadi menatap wajah Jagal Wesi, ia segera membuka mulut untuk berteriak. Tapi untunglah Jagal Wesi terlebih dulu menutup mulutnya.
"Settt, jangan berteriak!" bisik Jagal Wesi.
"Pakerti, tenanglah, aku bermaksud baik! Aku akan menolongmu lari dari pulau ini!"
Keruan saja Pakerti menjadi kaget setengah mati mendengar kata-kata Jagal Wesi. Ia tidak lekas mengerti dan menjadi heran, sebab bukankah tadi Jagal Wesi telah menghajarnya setengah mati. Sedangkan sekarang, Jagal Wesi malah berusaha menyelamatkan dirinya.
"Oh, tidak masuk akal!" demikian pikir Pakerti.
"Mungkin orang ini bermaksud menjebakku, atau membuat lelucon barangkali. Tidak berbeda dengan Paman Angkara yang disuruhnya berlari, kemudian dibunuh oleh mereka!"
"Mengapa Anda termangu-mangu? Aku berkata sungguh-sungguh. Nih, minumlah butiran obat, agar badanmu tidak lemah dan pulih kembali kekuatanmu!" begitu ujar Jagal Wesi seraya mengambil sebuah butiran benda sebesar buah ceremai berwarna hijau kecoklatan yang terbalut oleh selembar sapu tangan dan dikeluarkan dari dalam ikat pinggangnya.
Benda tadi diterima oleh Pakerti dengan pandangan penuh tanda tanya dan setengah curiga kepada Jagal Wesi, sehingga membuat Jagal Wesi menjadi tidak sabar dan segera berkata pula.
"Lekas makanlah obat itu dan segera pergi meninggalkan pulau ini. Aku telah menyediakan sebuah perahu kecil lengkap dengan layarnya yang masih tergulung. Sebaiknya Anda berdayung dahulu sampai ke tengah dan bila telah cukup jauh, barulah kau gunakan layar tersebut!"
"Tap tapi mengapa Andika berbuat ini semua dan
bermaksud menolongku lolos dari pulau ini?" bertanya Pakerti kepada Jagal Wesi.
"Maaf, aku tak berkesempatan panjang lebar mengatakan alasan-alasan tersebut," jawab Jagal Wesi.
"Jelasnya aku tak sampai hati membiarkan dirimu tewas di tangan mereka! Nah, sudah jelas bukan?"
"Oh, terimakasih jika demikian," ujar Pakerti serta secepatnya menelan butiran obat pemberian Jagal Wesi tadi.
"Lalu dengan apakah aku harus membalas budi Andika yang sebaik ini?"
"Eeh itu tak perlu, Kisanak," jawab Jagal Wesi.
"Anggaplah ini bukan apa-apa. Sebab dalam mengerjakan sesuatu, lebih-lebih menolong seseorang yang menderita kesusahan, aku tak mengharapkan balas jasa apapun! Oleh sebab itu tak perlu Anda memikirkannya lebih jauh," demikian kata-kata Jagal Wesi yang membuat Pakerti semakin kagum dan akhirnya iapun yakin bahwa Jagal Wesi bukan termasuk golongan orang-orang Ki Rikma Rembyak.
"Hanya saja aku ada sebuah pesan dan aku harap engkau sampaikan selekas mungkin ke Demak."
"Sebuah pesan?!" ulang Pakerti kaget.
"Ya, sebuah pesan. Terimalah ini!" ujar Jagal Wesi sambil menyerahkan sebuah tabung bambu kecil tersumbat, yang dikeluarkan dari lipatan ikat pinggangnya.
"Tabung bambu ini engkau serahkan saja kepada salah seorang tamtama Demak dan katakanlah berasal dari Jagal Wesi di Pulau Mondoliko."
"Tetapi bagaimanakah aku bisa mengenal bahwa dia seorang tamtama Demak?" Pakerti bertanya.
"Hmm, Andika dapat mengenal mereka dari kalung yang dipakainya. Permata kalung itu berbentuk lingkaran dengan empat jari-jari mata angin, mirip sebuah cakra."
"Cukup jelas sudah apa yang Andika terangkan dan ijinkanlah aku berangkat sekarang juga!" ujar Pakerti seraya memasukkan tabung bambu tadi ke dalam ikat pinggangnya.
"Yah, berangkatlah segera, Pakerti. Berhati-hatilah dan semoga engkau selamat!" Jagal Wesi berkata seraya menjabat tangan Pakerti yang disambutnya dengan erat oleh pemuda itu.
Tak antara lama, Pakerti telah turun ke dalam perahu yang tertambat di celah pohon-pohon bakau dan mulailah ia mendayungnya ke tengah dengan hati-hati dan perlahan-lahan. Sekali lagi Pakerti melambaikan tangan ke arah Jagal Wesi sebagai ucapan selamat tinggal, dan dibalas pula oleh Jagal Wesi.
Perahu kecil tadi bergerak ke arah tengah dan semakin jauh, menuju ke arah selatan bagaikan selembar daun terapung di atas air, bermandikan sinar rembulan yang kini telah jauh bergeser ke langit barat. Jagal Wesi menarik nafas lega ketika Pakerti bersama perahunya semakin menjauh, hampir lenyap dari pandangan matanya. Yang terakhir sekali ia melihat sebuah layar mulai dikembangkan pada tiang perahu Pakerti tadi dan tampaknya perahu kecil itu bertambah laju meluncur di atas permukaan laut.
Sekali lagi Jagal Wesi menarik nafas panjang. Tetapi mendadak saja ia dibuat kaget oleh suara ketawa kecil yang terdengar dari sebelah belakang.
"Bahaya!" demikian pikir si Jagal Wesi.
"Ada seorang yang telah melihat perbuatanku! Dan satu-satunya jalan ialah melenyapkannya, sebelum ia sempat membocorkan kejadian tadi kepada ketua Ki Rikma Rembyak!"
Habis berpikir demikian, Jagal Wesi secepat kilat membalikkan dirinya, sekaligus melemparkan sebuah pisau kecil yang dicabutnya dari ikat pinggang kiri dan seketika melesat ke arah bayangan manusia yang berdiri di atas ketinggian bongkah batu karang sejauh kurang lebih tujuh tombak lebih dari tempat Jagal Wesi berdiri!
Weeesss. ! Traaang!
Jagal Wesi terpaksa kaget, sebab tanpa dinyana orang tersebut juga menyambut lemparan pisau Jagal Wesi dengan sebuah pisau pula, sehingga kedua pisau tadi berbentur dan kemudian terpelanting tercampak ke atas tanah
Keruan saja Jagal Wesi kaget setengah mati dan tahulah ia bahwa orang tersebut pastilah berkepandaian tinggi.
"Huh, siapakah orang itu? Ki Rikma Rembyak? Wah celaka bila orang tersebut adalah Ki Rikma Rembyak sendiri!" begitu pikir Jagal Wesi. Maka secepat kilat Jagal Wesi telah bersiaga dan ia siap mencabut pedangnya bila saja orang tersebut tidak keburu berteriak nyaring.
"Tahan dulu, Saudara Jagal Wesi!"
Orang tersebut dengan beberapa loncatan ringan seringan daun kering terhembus angin, melesat turun dari atas batu karang langsung menuju ke arah Jagal Wesi.
"Suara perempuan!" desis Jagal Wesi terperanjat dan bercampur takut.
"Hih, setankah dia?!"
Akan tetapi Jagal Wesi kemudian menjadi kaget, sebab orang tersebut adalah Andini Sari, putri dari Ki Rikma Rembyak sendiri!
"Nona Andini Sari?!" seru Jagal Wesi.
"Sudah lamakah Andika berada di tempat tadi?"
"Sudah sementara waktu, Saudara Jagal Wesi," kata Andini Sari seraya tersenyum manis membuat Jagal Wesi semakin kaget, tetapi juga semakin gelagepan, begitu melihat bibir gadis yang merah itu mengulum senyum.
Dalam cahaya terang bulan ia terpesona oleh Andini Sari yang kelihatan semakin cantik, bertubuh semampai dan berdada padat, benar-benar seperti putri keraton yang pernah dilihatnya di pulau Jawa.
"Tapi, ah persetan!" pikir Jagal Wesi.
"Toh dia adalah putri Ki Rikma Rembyak! Tambahan lagi ia telah melihat bahwa aku telah membebaskan Pakerti! Maka aku harus waspada terhadapnya!"
"Saudara Jagal Wesi! Aku melihat bahwa Andika menjadi geragapan oleh kedatanganku ini?!" begitu Andini Sari bertanya.
"Tidak keliru lagi, Nona Andini Sari," sahut Jagal Wesi tajam-tajam.
"Aku kuatir bahwa kita harus segera bertempur!"
"Bertempur? Hmmm, apakah itu disebabkan aku telah memergoki perbuatanmu?" Andini Sari berkata.
"Tepatnya demikian!" ujar Jagal Wesi.
"Karena Nona telah melihat bahwa aku menolong Pakerti untuk lolos dari pulau ini, maka itu berarti bahwa keselamatanku akan terancam dan tidak mustahil kalau Andika akan segera melaporkan kepada ayahmu, Ki Rikma Rembyak itu!"
"Anda keliru, Jagal Wesi!" sahut Andini Sari sambil wajahnya merengut.
"Anda pun rupanya beranggapan bahwa antara aku dan ayahku ada persamaan watak dan sikap?"
"Mengapa tidak?!" kata Jagal Wesi.
"Bukankah Nona masih putri Ki Rikma Rembyak sendiri?"
"Benar!" sambung Andini Sari.
"Namun itu bukan alasan bahwa aku harus mempunyai watak yang sama dengan dia! Apakah Anda masih teringat cerita Ramayana? Nah, meskipun satu saudara, tetapi tidak ada kecocokan antara Rahwana dengan adik-adiknya seperti Kumbakarna dan Wibisana! Mereka bahkan sering bertentangan pendapat!"
"Hmmm, apakah Nona Andini Sari mencoba menjelaskan bahwa Nona tidak sepaham dengan Ki Rikma Rembyak?" bertanya Jagal Wesi.
"Begitulah jelasnya, jika Anda mau percaya!" ujar Andini Sari.
"Jika tidak, Anda boleh meneruskan maksudmu, bertarung melawan aku. Jangan kira bahwa aku akan takut untuk menghadapi Anda!"
"Lho, eeh tidak! Tidak, Nona Andini Sari! Jika katakata Nona benar, maka biarlah aku mengurungkan maksudku tadi, dan sebaliknya aku meminta maaf kepada Andika!"
Andini Sari tampak menghela nafas lega mendengar kata-kata Jagal Wesi tadi, kemudian iapun berkata, "Ngngng, jadi Anda sekarang bisa memaklumiku?"
"Baiklah Nona Andini Sari," ujar Jagal Wesi.
"Kini aku merasa tenang bahwa di pulau ini masih ada orang yang sepaham dengan diriku, yakni untuk "
"Menentang kekejaman yang semena-mena!" sahut Andini Sari menyambung kata-kata Jagal Wesi tadi.
"Oleh sebab itu, tak perlu Anda merasa kuatir lagi kepadaku."
"Terima kasih Nona Andini Sari," berkata Jagal Wesi seraya menatap ke barat, ke arah langit malam yang bening itu dan iapun bergumam perlahan.
"Sang rembulan semakin mendekati cakrawala."
"Yah, malam telah kelewat larut dan aku harus secepatnya pulang ke rumah," kata Andini Sari.
"Andika akan pulang? Marilah aku antar sampai ke rumah," Jagal Wesi berkata.
"Jangan! Sebaiknya kita pulang sendiri-sendiri saja, sahabat," kata Andini Sari.
"Aku tak mengharap orangorang lain menjadi curiga karena pertemuan kita ini."
Jagal Wesi tak mencoba mendesak dan membiarkan gadis itu berjalan, melangkah ke arah timur menuju ke pusat pulau, dan iapun terpaksa mendesis kagum bila dengan beberapa loncatan panjang Andini Sari telah lenyap dari depan pandangan matanya, kecuali tinggal satu titik hitam yang bergerak-gerak, jauh di sebelah sana.

* * *



Masih saja termangu dan rasanya tidak percaya si Jagal Wesi terhadap kejadian yang baru saja berlalu. Seorang anak seperti Andini Sari sampai berani menentang sikap ayahnya sendiri. Namun hal itupun telah dijelaskan oleh Andini Sari beberapa saat yang lalu, sehingga ia tidak lagi kuatir bila gadis itu akan mengkhianatinya.
Demikianlah, sampai pagi hari Jagal Wesi baru dapat tidur sebentar dan tiba-tiba saja ia terbangun oleh langkah-langkah kaki yang lewat di depan pondoknya. Maka cepat-cepat Jagal Wesi mencuci muka dan menyisipkan pedangnya, lalu pergi ke luar.
"Hee, orang-orang itu menuju ke pesisir selatan. Apakah yang terjadi di sana?" pikir Jagal Wesi setelah ia meninggalkan ambang pintu pondoknya.
Tiba-tiba saja terdengarlah bunyi tiupan terompet kulit siput yang arahnya dari sebelah selatan, membuat Jagal Wesi mengernyitkan keningnya.
"Hmm, itu tanda berkumpul dan ada orang yang akan berlayar! Siapa pula mereka ini?" demikian kata Jagal Wesi di dalam hatinya.
"Sebaiknya aku harus cepat-cepat pergi ke sana juga!"
Dengan langkah-langkah lebar, Jagal Wesi berjalan ke arah pantai selatan dan di jalanan, beberapa orangpun tampak bergegas pergi ke sana pula.
Sementara itu, sebuah perahu layar telah disiapkan di pantai ketika Jagal Wesi tiba di tempat tersebut. Kurang lebih sepuluh orang berjajar lengkap dengan senjata-senjatanya, dan di muka mereka Ki Rikma Rembyak berdiri dengan tegapnya.
Di antara orang-orang yang berjajar itu, terlihatlah di antaranya Garangpati, Soma Karang, si Tongkol dan lain-lainnya lagi.
Tak lama kemudian, Ki Rikma Rembyak berkata kepada rombongan kecil tersebut.
"Anak-anak, kalian harus pergi ke pesisir utara Jawa untuk menghubungi saudara-saudara kita di sana. Bantulah Ki Bido Teles di sana. Tugas-tugas lainnya, nanti akan dijelaskan oleh Soma Karang! Dan kau Garangpati, kau kuberi kesempatan lagi untuk melaksanakan tugas dariku ini. Laksanakan sebaik-baiknya. Jika kau gagal, kau jangan harap kembali ke mari! lebih baik kau membunuh diri saja!"
Garangpati mengangguk dan kemudian tunduk ke bawah tanpa berani menatap sedikitpun kepada pemimpinnya, namun dalam hati ia telah berjanji bahwa sekali ini ia akan sepenuhnya melaksanakan tugasnya. Iapun telah bertekad untuk lebih baik mati daripada gagal untuk ketiga kalinya. Bagi gerombolan Ki Rikma Rembyak, kegagalan yang ketiga adalah tabu, dan pula berarti kematian bagi si pelaku. Kalau tidak mati karena membunuh diri, maka teman-teman sen dirilah yang akan membunuhnya!
Tak antara lama, orang-orang tersebut telah berloncatan turun ke perahu, sesudah Ki Rikma Rembyak memberi aba-aba untuk berangkat. Secepat dayungdayung bergerak, secepat itu pula perahu yang ditumpangi mereka meluncur ke tengah laut dan sebentar kemudian mereka telah memasang layar perahunya.
Soma Karang masih menatap ke utara ke arah pantai Pulau Mondoliko yang semakin menjauh dan mengecil itu. Kini yang tampak hanyalah pucuk-pucuk pohon kelapa yang melambai-lambai daunnya, sedang orang-orang yang berada di pantai cuma tinggal terlihat sebagai titik-titik kecil saja.
Ketika mereka telah jauh berada di tengah laut, Soma Karang lalu membuka selembar kulit yang tadi telah diterima dari Ki Rikma Rembyak.
"Hehhh, aku harus mendarat di tempat ini!" gumam Soma Karang sambil memperlihatkan tulisan dan peta kasar dari pantai utara Jawa yang melingkari Gunung Muria.
"Memang sesuai dengan petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh Bido Teles beberapa waktu yang lalu!"
Selesai membaca surat itu, Soma Karang segera melipatnya serta disimpannya kembali ke ikat pinggangnya.
"Si Tongkol, jagalah kemudinya baik-baik!" ujar Soma Karang kepada si pemegang kemudi.
"Baik, Kakang Soma!" sahut si Tongkol dengan tersenyum lebar.
"Jangan kuatir, kemudi ini akan aku jaga dan aku kemudikan seperti aku menjaga gadis kekasihku sendiri!"
"Ha, ha, ha, ha," terdengar suara ketawa riuh dari segenap awak perahu termasuk Soma Karang pula.
"Ohh, kau selalu membicarakan wanita, si Tongkol?" kata Soma Karang sambil menahan sisa-sisa ketawanya.
"Apakah hanya itu yang kau pikirkan?"
"Maaf, Kakang Soma. Habis, hanya wanitalah yang dapat menambah semangatku!" sahut si Tongkol sambil mengelus dan menciumi ujung kemudi perahu, membuat kawan-kawan lainnya semakin riuh tertawa.
Demikianlah, anak buah Ki Rikma Rembyak itu berkelakar dan saling mengganggu tanpa merasa bahwa mereka telah jauh berlayar meninggalkan Pulau Mondoliko.
Dalam pada itu, sekali-sekali Soma Karang melirik ke arah Garangpati yang tengah menggosok-gosok sebilah pedang di tangannya. Sejak tadi Soma Karang melihat bahwa Garangpati cuma berdiam diri dan sedikit ketawa saja.
"Hmmm, Kakang Garangpati kelihatannya sibuk berpikir. Agaknya ia benar-benar memikirkan peringatan terakhir dari ketua Ki Rikma Rembyak!" berkata Soma Karang di dalam hatinya.
"Memang tugas ini adalah kesempatannya yang terakhir untuk memperbaiki dirinya! Jika gagal berarti ia harus mati!"
Perahu yang ditumpangi mereka terus membelah air laut meluncur ke arah tenggara. Dari sebelah selatan terlihatlah bentuk Gunung Muria yang berpuncak tiga membayang dengan indahnya, bagaikan raksasa yang tengah tidur dengan lelapnya berselimut awan putih beberapa potong. Para awak perahupun menjadi lebih gembira karena tak lama lagi mereka akan tiba di daratan.


--¤¤¦ « 4 » ¦¤¤--

ENAM ORANG berkuda tampak menyusuri kaki timur Gunung Muria menuju ke utara. Mereka baru saja meninggalkan Desa Tegalreja yang telah disinggahi beberapa saat untuk sekadar melepaskan lelah dan minum serta makan secukupnya.
Mereka berpacu kembali, melewati jalan rintisan yang berlika-liku di sepanjang kaki gunung. Beberapa orang desa yang kebetulan lewat segera menepi dan terpaksalah mereka dibuat keheranan bila mereka melihat bahwa seorang di antara orang-orang yang berkuda tadi, mengenakan topeng kain putih yang menutupi mukanya.
Namun merekapun cuma berdiam diri sebab mereka pernah mendengar bahwa kadang-kadang orang sakti sering berlaku aneh. Ada yang bertopeng, ada yang berkerudung kulit macan, berkuku panjang-panjang yang dipolesi dengan racun dan sebagainya.
Begitulah, maka mereka berenam terus berpacu tanpa menjumpai rintangan apapun. Sesudah melewati beberapa hutan-hutan kecil dan beberapa gerumbul pohon-pohon bambu mereka mulai memasuki daerah pedesaan lagi.
"Bapak Pendekar Bayangan, kita telah memasuki Desa Tayu," ujar Lawunggana.
"Tujuan kita hampir tercapai dan di pojok utara sanalah terletak Tanjung Bugel."
"Yah, kita sekali lagi singgah sebentar sambil mencari keterangan-keterangan tentang Ki Bango Wadas dan kawan-kawannya. Tetapi berhati-hatilah. Sebisabisanya jangan sampai membuat keributan!" Pendekar Bayangan berkata kepada Lawunggana dan juga kepada Kertipana, Sorogenen dan dua orang jagabaya yang berkuda di belakang.
Beberapa sawah yang mulai menghijau terlihat menyenangkan hati, lebih-lebih bagi bapak-bapak tani yang telah mengolah dan mengerjakannya sehingga batang-batang padi tersebut tumbuh dengan suburnya.
Ketika memasuki Desa Tayu, mereka berenam segera menghentikan kuda-kudanya di muka sebuah warung dan menambatkannya pada batang-batang pohon di dekat pagar halaman.
Pendekar Bayangan, Lawunggana dan lain-lainnya lalu melangkah masuk ke dalam warung. Namun mereka segera mengernyitkan dahinya bila di sebuah meja yang lain, terdapatlah enam orang duduk-duduk seraya minum tuak dengan sebentar-sebentar tertawa terkekeh-kekeh.
Akan tetapi rupanya para peminum tuak itupun terkejut pula melihat enam orang tamu baru masuk ke dalam warung dan terutama mereka sangat tertarik kepada Pendekar Bayangan yang mengenakan topeng kain putih itu.
Tak lama kemudian Pendekar Bayangan beserta rombongannya telah pula duduk dengan minumminum tuak, sambil bercakap-cakap seperlunya.
"Stttt, Lawunggana, berhati-hatilah! Keenam orang peminum tuak di sebelah sana itu selalu memperhatikan kita!" demikian bisik Pendekar Bayangan kepada Lawunggana.
"Benar, Bapak! Baiklah, aku akan senantiasa berhati-hati," jawab Lawunggana seraya memberi isyarat pula kepada keempat sahabat yang duduk di dekatnya.
"Hemm, jadi kuda-kuda yang tertambat di samping warung itu rupanya adalah milik mereka!" bisik Kerti pana.
"Berarti mereka adalah orang-orang asing dan datang dari tempat jauh! Bukankah begitu, Bapak?!" ujar Sorogenen pula.
"Memang, bisa jadi demikianlah sesungguhnya," kata Pendekar Bayangan membenarkan.
Keenam peminum tuak di meja sebelah sana itu memang sesungguhnya memperhatikan Pendekar Bayangan dan kelima orang pengikutnya. Dan mereka lebih tertarik kepada Pendekar Bayangan yang bertopeng itu. Mereka tertawa terbahak-bahak bila Pendekar Bayangan menyingsingkan ujung bawah dari topeng kainnya bila ia hendak minum tuak dari mangkuk tembikarnya.
Yang paling keras tertawa adalah seorang yang berbibir tebal dan bermata tajam. Agaknya orang inilah pemimpin dari para peminum tuak tadi.
"Heh, heh, heh, heh. Lihatlah teman-teman, di sana ada seorang bertopeng. Rupanya dia adalah seorang penari topeng keliling yang lagi tidak laku!"
"Hi, hi, hi. Dan kita patut menaruh belas kasihan kepadanya, Kakang Dobleh!" ujar seorang peminum tuak lainnya dengan suara sember karena hidungnya yang besar dan pesek itu.
"Betul, Adi Dempok. Kita harus kasihan kepadanya. Nah, teman-teman, keluarkan uang tembagamu dan berikan kepada tukang penari topeng itu. Heh, heh, heh."
Mendengar perintah Dobleh tadi, maka masing-masing segera mengeluarkan sekeping uang tembaga dari ikat pinggang. Tetapi mereka tidak begitu saja memberikan uang tembaga tadi, dan inilah yang membuat Pendekar Bayangan dan rombongannya terkejut.
Keenam peminum tuak tadi tiba-tiba meletakkan masing-masing uang tembaganya ke dalam telapak tangannya lalu digenggam erat-erat. Sesaat kemudian mereka membuka kepalan tangannya dan sekaligus melemparkan uang tembaganya tadi ke arah meja Pendekar Bayangan diiringi teriakan Dobleh.
"Nah, topeng barangan, terimalah sekadar belas kasihan dari kami! Heh, heh, heh!"
Tak-tak-clap-clap-clap-tak!
Terdengar bunyi menancap membuat Pendekar Bayangan, Lawunggana dan yang lain-lain terkejut bukan main, apalagi setelah di atas permukaan meja di depan mereka bertancapan enam gulungan uang tembaga!
"Luar biasa! Tenaga dalam yang sempurna!" desis Pendekar Bayangan penuh kagum. Mereka, lebih-lebih para pengikut Pendekar Bayangan, tidak bisa mengerti mengapa keenam keping uang tembaga yang tadinya bulat terbuka dan cukup tebal itu dengan mudah tergulung seperti gulungan pucuk daun pisang muda yang lagi tumbuh.
Demikianlah, kelima pengikut Pendekar Bayangan terdiam bisu dengan perasaan tegang dan dada berdentang-dentang, kecuali keenam peminum tuak yang melempar uang tadi malah tertawa ramai.
"Kakang Dobleh, lihatlah! Mereka melongo ketakutan setengah mati!" seru Dempok kegirangan.
"Kasihan "
"Heh, heh, heh. Memang kasihan kalau mulut mereka yang melongo itu kemasukan lalat!" ujar Dobleh.
"Benar, Kakang Dobleh!" sahut Dempok seraya memungut seiris juadah ketan seraya berteriak.
"Hee, sobat, awas mulutmu!" Dan berbareng itu pula Dempok mengibaskan tangannya tadi ke arah tempat Pendekar Bayangan.
Wesss!
Juadah ketan tadi melayang dan tahu-tahu telah menyumbat ke dalam mulut Sorogenen yang lagi melongo. Keruan saja Sorogenen segera menyemburkan juadah ketan tadi ke tanah seraya menyumpah-nyumpah, menyebabkan Dobleh dan kawan-kawannya semakin keras tertawa.
"Kurang ajar!" desis Lawunggana seraya meraba hulu pedangnya.
"Kita harus melabrak mereka!"
"Sabar Lawunggana!" cegah Pendekar Bayangan.
"Kita harus hati-hati. Mereka bukan orang-orang sembarangan. Keenamnya pasti pendekar-pendekar jagoan!"
"Tapi, Bapak. Jika kita berdiam diri, pasti mereka akan lebih kurang ajar lagi!" sela Lawunggana.
"Biarlah aku yang meladeni mereka, Lawunggana. Kalian lihat saja nanti. Jika aku benar-benar kewalahan, barulah kalian boleh turun tangan!" Pendekar Bayangan berkata seraya tersenyum di balik topengnya. Lalu ia menatap ke arah Dobleh dan kawan-kawannya dan berkata, "Heee, para sobat! Kalian telah bermurah hati memberikan uang-uang tembaga ini. Tapi sayang kami masih mempunyai persediaan lebih dari cukup!"
Sambil berkata begitu Pendekar Bayangan seraya mencabuti keenam gulungan uang tembaga yang menancap di atas permukaan meja di depannya, lalu dengan mudahnya membuka gulungan uang tembaga tadi satu demi satu sehingga menjadi lurus dan bulat seperti sediakala.
"Ooooh!" desis Dobleh beserta kawan-kawannya. Demikian pula Lawunggana, Sorogenen, Kertipana dan dua orang jagabaya yang duduk semeja dengan Pendekar Bayangan sendiri ikut terkejut, lebih terkejut daripada ketika mereka melihat uang tembaga tadi masih tergulung.
Dobleh, Dempok dan keempat teman lainnya terpaksa ganti melongo keheranan, sebab merekapun tak habis mengerti betapa orang bertopeng tersebut dapat membuka gulungan uang tembaga tadi, semudah orang membuka gulungan selembar kertas belaka.
Bagaimanapun kenyataannya, sesungguhnya lebih mudah menggulung selembar uang logam daripada membuka dan meluruskan uang logam yang telah tergulung supaya pulih seperti sediakala.
Belum lagi Dobleh dan kawan-kawannya habis keheranan, tiba-tiba Pendekar Bayangan telah melempar kembali ke arah meja para peminum tuak tadi!
Crak-crak-crak-cep-cep-cep!
Keenam buah uang tembaga tersebut bertancapan pada permukaan meja si Dobleh dalam satu garis lurus seperti berbaris.
"Terimalah kembali uangmu itu!" seru Pendekar Bayangan kepada Dobleh dan kawan-kawannya.
"Keparat!" desis Dobleh seraya mencabut mata uang tembaga yang tertancap di permukaan meja di depannya. Tapi alangkah kagetnya bila mata uang tadi tidak tercabut bahkan bergerak saja tidak! Begitu pula kelima orang pengikutnya pada mengutuk-ngutuk setelah mereka tak berhasil mencabut uang tembaga itu, yang keadaannya telah menancap separo lebih ke dalam kayu permukaan meja.
"Permainanmu tidak begitu jelek, topeng barangan!" bentak Dobleh seraya mengangkat meja tersebut dengan sebelah tangan lalu dilemparkan ke arah Pendekar Bayangan.
"Terimalah hadiahku ini!" teriak Dobleh mengiringi meja yang dilemparnya tadi melayang ke arah sasarannya, yakni Pendekar Bayangan.
Namun sebelumnya Pendekar Bayangan telah berjaga lebih dulu, maka begitu meja tadi melayang ke arah tempatnya, secepat kilat ia melancarkan pukulan tenaga dalamnya yang telah terkenal dengan nama Pukulan Angin Bisu ke arah meja itu.
Plestak... byaaaarr!
Meja tadi tahu-tahu ambrol di tengah lemparannya dan berantakan runtuh ke permukaan lantai warung.
Melihat ini Dobleh beserta kelima orangnya segera berloncatan ke luar warung.
"Topeng barangan! Ayo keluar! Kita bermain-main sedikit!" teriak Dobleh dengan kerasnya.
Beberapa pengunjung ataupun tamu lainnya segera bersembunyi di pojok warung dan sebagian lagi menyingkir ke luar.
Dengan tenangnya Pendekar Bayangan melangkah ke luar dan mendapatkan Dobleh yang telah meneriakkan tantangannya tadi.
"Heh, kau masih ingin bermain-main?" ujar Pendekar Bayangan dengan tenangnya.
"Yaaaah! Aku masih ingin mendapat sedikit pelajaran dari kamu, topeng barangan. Bersiaplah!" teriak Dobleh sambil mengkomat-kamitkan bibir tebalnya.
"Hyaaat!" seru Dobleh dan melesat ke arah Pendekar Bayangan dengan pukulan tangannya, yang segera disambut oleh Pendekar Bayangan menyilangkan kedua tangannya di depan dada.
Blaaaakkkk!
Terdengar benturan seru dan tubuh Dobleh tampak terpental ke belakang, tapi dengan sigap ia mendaratkan kakinya ke tanah. Sedang Pendekar Bayangan tetap berdiri tegak, bergeming saja tubuhnya tidak! Hanya saja kedua tumitnya agak melesak masuk ke tanah, akibat menahan pukulan tangan Dobleh. Dengan ini jelaslah bahwa peminum tuak berbibir tebal ini memiliki tenaga dalam yang cukup hebat!
Setelah terpental itu, Dobleh seketika berseru, "Topeng barangan! Kamu sungguh hebat! Tapi sampai di sini dulu permainan kita! Lain kali kita lanjutkan lagi!" Dobleh bersama kelima kawannya segera bergegas melangkah ke samping warung dan mendapatkan kuda-kudanya. Mereka segera berloncatan ke punggung kudanya dan memacunya sekali ke arah utara meninggalkan warung tersebut.
Orang-orang yang menyaksikan pertandingan singkat tadi terpaksa terlongoh keheranan, sementara Pendekar Bayangan dan para pengikutnya telah duduk kembali di tempatnya.
Mereka masih beberapa saat tinggal di situ sambil menghabiskan minuman dan panganan yang telah terhidang. Sesudah itu merekapun menyerahkan sekadar uang kepada pemilik warung sebagai pengganti meja dan mangkuk-mangkuk tembikar yang pecah akibat perbuatan Dobleh dan kawan-kawannya tadi.
"Eh, terima kasih, Tuan!" berkata si pemilik warung kepada Pendekar Bayangan.
"Untunglah Tuan telah memberi sedikit pelajaran kepada keenam pendekar liar tadi sehingga mereka tidak akan berani ugal-ugalan lagi! Tetapi untunglah Tuan tidak mendapat cedera sedikitpun. Sebab sesungguhnya keenam tadi adalah pendekar-pendekar jagoan. Nah, tahukah Tuan, siapa keenam orang tadi?!"
"Eeehm, tidak, Kisanak. Jika Andika tahu, lalu siapakah mereka itu?" tanya Pendekar Bayangan.
"Mereka adalah Sasta Tunggal, atau si Setan Enam Serangkai dari Pegunungan Kendeng!" ujar si pemilik warung dengan suara bergetar.
"Si Setan Enam Serangkai?!" desis Pendekar Bayangan dengan kaget.
"Hmm, memang aku pernah mendengar nama Sasta Tunggal dari Gunung Kendeng. Rupanya tidak hanya isapan jempol belaka, tapi sungguhsungguh ada!"
"Tapi mengapakah mereka keluyuran sampai ke tempat ini, Bapak?" bertanya Lawunggana.
"Bukankah Pegunungan Kendeng terletak jauh di sebelah selatan sana?"
"Ya, itulah anehnya! Pasti mereka punya tujuan tertentu!" Pendekar Bayangan membenarkan.
"Akh, biarlah. Kita tak perlu lagi menggubris mereka. Marilah kita meneruskan perjalanan kita!"
Setelah meminta diri kepada pemilik warung, Pendekar Bayangan beserta kelima pengikutnya segera melanjutkan perjalanannya ke Tanjung Bugel. Mereka berpacu ke arah utara dengan cepatnya.

* * *




--¤¤¦ « 5 » ¦¤¤--

SEBUAH PERAHU telah mendarat di pantai Tanjung Bugel, lalu para penumpangnya segera menyeret perahu tadi ke balik sebuah batu karang yang menjorok ke air, sehingga terlindung dari pandangan mata.
Sesudah perahu tadi tersembunyi, para awak perahu segera berlarian ke darat dan bersembunyi di balik batu-batu karang pantai.
"Kakang Soma Karang, apakah engkau yakin bahwa tempat inilah yang harus kita tuju?" bertanya si Tongkol kepada pemimpin rombongan.
"Tidak keliru lagi, si Tongkol," sahut Soma Karang seraya melihat peta yang ada di tangannya.
"Tempat inilah yang ditandai oleh Ki Rikma Rembyak sesuai dengan petunjuk dari Bido Teles! Dan tempat inilah yang dinamakan Tanjung Bugel!"
"Tanjung Bugel!" ulang si Tongkol.
"Nama yang agak aneh! Tetapi lalu apakah tugas kita di sini?!"
"Kita menunggu kedatangan Kakang Bido Teles dan teman-temannya!" ujar Soma Karang.
"Hemm, jadi kita akan menanti di sini?" menyela Garangpati ikut berbicara.
"Apakah kita tidak perlu mencari si Bido Teles saja? Mungkin kita bisa berpencar."
"Maaf, Kakang Garangpati. Perintah Ki Rikma Rembyak cuma mengharuskan kita menunggu Kakang Bido Teles di tempat ini! Maka langkah-langkah selain daripada yang dituliskan di dalam surat ini, tidak bisa dibenarkan!" ujar Soma Karang.
"Sebab selain melanggar perintah, juga berbahaya bila kita terpecah-pecah!"
"Hmm, terserah jika demikian," gumam Garangpati.
"Engkau memimpin rombongan ini dan bertanggung jawab atas tugas tersebut. Aku cuma sekadar menga jukan usul saja!"
Suasana menjadi sepi sejenak dan tiba-tiba mereka terkejut oleh bunyi derapan kaki kuda dari sebelah barat, sehingga Soma Karang dan rombongannya terperanjat.
"Kawan-kawan, lekas bersembunyi!" seru Soma Karang.
"Kita lihat saja, siapa yang mendatang itu!"
Mendengar perintah itu, maka orang-orang rombongan Soma Karang berloncatan dengan gesitnya ke balik batu-batu karang ataupun semak-semak yang cukup lebat.
Sebentar-sebentar terdengar ringkikan kuda dan debu yang berkepulan ke udara berbareng gemuruh derap kaki kuda yang semakin dekat, membuat tanah Tanjung Bugel bagaikan bergetar dan bergoyang.
Rombongan berkuda tadi segera berhenti dan para penunggangnya berloncatan turun dari punggung kuda. Mereka ini ternyata adalah Ki Bango Wadas, Bido Teles dan anak buahnya.
"Marilah kita bekerja dengan cepat, Bido Teles!" ujar Ki Bango Wadas.
"Persiapkan anak buahmu untuk menyediakan alat-alat penggalinya! Nah, bagaimana?"
"Baik! Tapi sayangnya kita cuma membawa tiga buah cangkul saja. Biarlah yang lain nanti menggali dengan pedang dan goloknya!" jawab Bido Teles. Ki Bango Wadas segera mengeluarkan dua buah kalung permata hijau yang disimpannya di dalam kantong ikat pinggangnya. Setelah itu ia menggatukkan kedua permata hijau tadi pada sisi-sisi lurusnya sehingga keduanya merupakan lingkaran bulat.
"Nah, inilah tanda timbunan harta Tanjung Bugel yang kita cari!" ujar Ki Bango Wadas.
"Lihatlah ini, Bido Teles. Ada tanda bulatan bercabang-cabang! Yah, aku yakin bahwa yang dimaksud adalah sebuah pohon tua! Dan ini di dekat tanda pohon tua terlihat tanda tiga bulatan bersusun. Hemm, lihatlah di sebelah selatan itu, kita lihat tiga buah batu karang besar bertumpuk! Dan tidak jauh pula kita lihat ada sebuah pohon beringin tua yang telah gundul!"
"Tapi apa arti tanda telapak kaki di samping angka dua puluh lima ini?" sela Bido Teles seraya memperhatikan pada kedua permata kalung hijau tersebut.
"Itu berarti bahwa kita memperoleh ukuran tersembunyi, yakni dua puluh lima langkah kaki dari arah batu karang tiga bersusun!" ujar Ki Bango Wadas.
"Akan tetapi, tentang pohon beringin itu apakah tidak mungkin terjadi satu kekeliruan?!" tanya Bido Teles seraya menatap ke arah pohon beringin tua yang telah gundul itu dengan ragu-ragu.
"Heee, satu kekeliruan?" sambung Ki Bango Wadas kaget.
"Maksud Andika?"
"Begini, Ki Bango Wadas," ujar Bido Teles.
"Rahasia tentang harta Tanjung Bugel ini telah bertahun-tahun lewat. Dengan demikian mungkin pohon yang dimaksud dalam peta permata hijau itu telah lama mati dan pohon beringin gundul yang sekarang kita jumpai ini mungkin tumbuhan yang baru. Jadi bukan pohon yang dimaksud!"
"Hmmm, bisa juga begitu," ujar Ki Bango Wadas dengan manggut-manggut.
"Ternyata Andika berpikir dengan baik. Namun Andika pun harus pula ingat bahwa pohon beringin itu mampu mempertahankan hidupnya sampai puluhan tahun dan juga batu karang bersusun itu bukanlah sekadar batu yang mudah rapuh dimakan jaman," demikianlah kata-kata Ki Bango Wadas seraya melihat kembali pada kedua permata kalung hijau itu.
"Nah, sekarang marilah dilanjutkan pemeriksaan kita. Lihatlah titik-titik ini berasal dari sumbernya, yakni batu karang bersusun yang lurus menuju ke arah pohon tua itu!"
"Heh, heh, heh, jelaslah sekarang ini!" sela Bido Teles.
"Jadi petunjuknya lurus dari batu karang bersusun tiga segaris atau searah dengan pohon beringin tua, dan sejauh dua puluh lima langkah. Kemudian berhenti dan galilah tempat tersebut, sebab di bawahnya tertimbun seguci dan beberapa peti kecil yang berisi emas intan perhiasan yang tak ternilai harganya."
"Nah, sekarang mulailah kita bekerja!" kata Ki Bango Wadas dengan tak sabar lagi.
Ki Bango Wadas, Bido Teles dan anak buahnya segera berlarian ke arah batu karang bersusun tiga dan mulailah mereka membuat ukuran-ukuran sesuai dengan petunjuk-petunjuk pada batu permata hijau yang telah berada pada tangan Ki Bango Wadas.
Mereka mengambil jarak dua puluh lima langkah dan kemudian mulailah mereka menggali permukaan tanah. Tanpa mengenal rasa lelah mereka terus menggali dan menggali semakin dalam sampai akhirnya, seorang di antara anak buah Bido Teles berteriak kegirangan dan sangat serunya.
"Hei, lihatlah! Paculku menerjang sebuah leher guci yang besar."
"Husss, jangan berteriak keras-keras, Blending!" ujar Bido Teles kepada anak buahnya.
"Terus saja gali dan lebih cepat kalau bisa!" Mereka bekerja semakin cepat hingga sebentar saja tergalilah sudah guci perunggu berukir indah. Bersamaan itu pula tergali pula beberapa peti kecil di sekitar guci tadi.
Para penemu peti kecil tadi rupanya sudah tidak sabar lagi untuk mengetahui apakah isi yang terkandung di dalamnya. Maka cepat-cepat mereka membuka peti tersebut dengan tergesa-gesa.
Namun berbareng tutup peti tadi terbuka maka terdengarlah bunyi tiga desingan lemah dan tiga orang yang tepat berada di depan mulut peti tadi menjerit keras lalu roboh ke tanah sambil berkelojotan.
Ki Bango Wadas dan Bido Teles yang melihat hal itu cepat-cepat berusaha menolong ketiga orang tadi, tetapi sudah terlambat!
"Jarum-jarum beracun telah memasuki tubuh mereka! Bagaimana, Ki Bango Wadas?" desis Bido Teles.
"Tak dapat ditolong lagi, sobat," ujar Ki Bango Wadas setelah ia memeriksa tubuh korban-korban tersebut.
"Racun telah beredar ke dalam darahnya!"
"Hmm, tiga orang anak buahku telah menjadi korban lagi!" gumam Bido Teles.
"Tentunya kita harus lebih hati-hati dalam membuka tutup guci itu! Siapa tahu bahwa mautpun telah mengintai di situ!"
"Lihatlah, Kakang Bido Teles!" berkata Sigayam sambil membawa salah satu dari peti kecil yang telah terbuka tadi.
"Uang-uang emas! Kita semua akan kaya!"
Mata Bido Teles seketika bersinar melihat uang emas tersebut yang berkilapan tertimpa sinar matahari siang dan kemudian iapun berkata kepada Sigayam.
"Nah, kalau begitu, lekaslah kau buka tutup guci itu, Sigayam!"
"Baik, Kakang!" Sigayam berkata seraya meletakkan peti kecil tadi, lalu mendekati guci perunggu dengan hati-hati, seperti mendekati seorang musuh. Dengan segera pula dicabutnya pedang di pinggang kirinya untuk kemudian digunakan sebagai pencungkil tutup perunggu dari guci itu.
Klang!
Tutup guci tersebut terlepas dan menggelinding ke bawah bersamaan Sigayam dan orang-orang lainnya mengendapkan diri, sebab takut kalau-kalau menjadi korban seperti ketiga orang yang membuka peti kecil tadi.
Akan tetapi sampai beberapa lama tidak terjadi sesuatu hal, seperti berloncatannya jarum-jarum beracun ataupun lain-lainnya, sehingga Ki Bango Wadas, Bido Teles, Sigayam dan orang-orang lainnya dapat menarik nafas lega.
Maka Bido Teles buru-buru memeriksa isi guci perunggu tersebut. Dan begitu tangannya menjumput seuntai kalung emas yang berhiaskan permata-permata intan yang gemerlapan, iapun berseru dengan girangnya.
"Ha, ha, ha, ha! Lihat, kawan-kawan! Lihatlah ini! Kita semua akan kaya. Ha, ha."
"Sobat Bido Teles," berkata Ki Bango Wadas, "sebaiknya kita kumpulkan seluruh harta penemuan Tanjung Bugel ini, kemudian kita bagi rata!"
"Ha, ha, ha, ha. Mengapa tergesa-gesa, Kiai? Apakah Andika kuatir kalau tidak menerima bagianmu?" bertanya Bido Teles seraya memain-mainkan kalung intan yang ada di tangannya.
"He, hanya bagianku?! Jangan lupa, sobat! Aku harus menerima pula bagian untuk muridku si Lawunggana!" Ki Bango Wadas berkata dengar tajam, sehingga Bido Teles menjadi terkejut.
"Sayang, Ki Bango Wadas! Maaf sebesar-besarnya, bahwa aku cuma dapat menyerahkan bagian untukmu saja, Kiai! Sebab ketahuilah, bahwa si Lawunggana muridmu itu, tidak ikut bekerja bersama kita. Maka tidak sepantasnya bila iapun harus mendapat bagiannya!" demikian kata-kata Bido Teles.
"Eh, bukankah aku yang menerimanya adalah sama saja?" seru Ki Bango Wadas dengan nada keras.
"Ho, ho, ho. Tidak bisa, Kiai! Andika tahu, berapa orang anak buahku yang telah tewas dalam usaha mencari Harta Tanjung Bugel ini?"
"Itu bukan urusanku!" sahut Ki Bango Wadas.
"Memang bukan urusanmu!" kata Bido Teles.
"Tapi itu semua telah terjadi dan mereka itu benar-benar telah bekerja di dalam rombongan ini! Sedang muridmu itu, tidak ikut bekerja di sini, maka bagaimana kami dapat menilai kemampuannya? Apalagi ia akan meminta bagiannya! Nah, itu tak bisa kami berikan!"
"Keparat," teriak Ki Bango Wadas yang merasa bahwa tipuannya untuk mendapatkan dua bagian dari harta tersebut tidak berhasil.
"Kalian mau mencoba mengkhianatiku, Bido Teles?!"
"Ooo, tidak sekali-sekali demikian, Ki Bango Wadas!" sela Bido Teles.
"Sabarlah, Andika akan segera menerima bagianmu saja. Dan itu akan sudah lebih dari cukup buat hidupmu bertahun-tahun."
"Tidak! Aku mau dua bagian!" teriak Ki Bango Wadas.
"Dan kalian jangan coba-coba mempersulit atau menipuku!"
"Hooo, Andika menghendaki kekerasan, Ki Bango Wadas?!" bertanya Bido Teles seraya meringis.
"Andika tahu bahwa aku mempunyai anak buah yang cukup banyak?!"
"Heeehh! Kau kira aku takut dengan tikus-tikus kecil itu, haah?!" Ki Bango Wadas mulai bersiaga dan ia telah menggenggam hulu penggadanya.
"Jangan Kiai menyesal nanti!" seru Bido Teles sambil tersenyum, sebab ia melihat bahwa di belakang Ki Bango Wadas telah bersiap seorang anak buahnya yang siap membacokkan pedang lebarnya ke arah kepala si botak Bango Wadas!
Tetapi memang dasar Ki Bango Wadas tidak bisa diremehkan begitu saja, begitu ia merasa desiran di belakang tubuhnya, maka secepat kilat ia menyabetkan penggada berdurinya ke belakang.
Prooaak! "Eeaaarrgh!"
Si penyerang gelap anak buah Bido Teles itu seketika roboh dengan kepala remuk disertai darah berhamburan. Sedang Ki Bango Wadas kemudian tertawa terkekeh melihat korbannya tadi roboh menemui ajalnya. Iapun segera berseru.
"Bido Teles, lihatlah itu anak buahmu! Mampus sudah! Nah, apakah itu tidak cukup sebagai peringatan pendahuluan?!"
Bido Teles menggeram marah, dan tiba-tiba ia bersuit nyaring, bertepatan dari balik batu-batu karang dan semak-semak berloncatanlah Soma Karang beserta pengikutnya. Memang itulah isyarat yang mereka tunggu-tunggu dan sebenarnya mereka telah sejak tadi mengawasi rombongan Bido Teles.
"Kakang Bido Teles! Inilah kami datang!" seru Soma Karang sambil meloncat ke samping Bido Teles, sementara pengikut-pengikut Soma Karang lainnya segera bersiaga dan menyiapkan senjatanya.
"Setan alas!" seru Ki Bango Wadas.
"Kalian licik, Bido Teles. Kau telah menyiapkan orang-orangmu untuk mengeroyok diriku!"
"Heh, heh, heh. Kau mau apa, mau apa sekarang, Bango Wadas?!" ujar Bido Teles.
"Meskipun sakti luar biasa, kau toh tak akan mampu menghadapi keroyokan pendekar-pendekar dari gerombolan Ki Rikma Rembyak ini!"
"Hooh? Jadi kalian begundal-begundal dari Rikma Rembyak," seru Ki Bango Wadas.
"Hmm, bagusbagus!"
"Ho, ho, ho. Kau takut bukan?" seru Ki Bido Teles kepada Ki Bango Wadas.
"Oleh sebab itu, minggat sajalah sebelum tubuhmu lumat kami gilas!"
"Keparat! Jangan buru-buru sombong kau, Bido Teles! Dengarlah suara derap kuda dari sebelah selatan itu!" Ki Bango Wadas berteriak dan memanglah dari sebelah selatan muncul enam orang berkuda yang langsung menuju ke arah Ki Bango Wadas yang lagi dikepung itu.
Tanpa diduga-duga, keenam orang berkuda itu sekonyong-konyong mengibaskan tangannya, disusul bunyi berdesing nyaring dan tahu-tahu enam orang anak buah Bido Teles yang lagi mengepung Ki Bango Wadas terjungkal ke tanah, dengan masing-masing dahinya tertembus oleh sekeping mata uang tembaga!
Bukan main kagetnya Bido Teles, Soma Karang dan segenap rombongannya, ketika enam orang dari anak buahnya telah tergeletak tak bernyawa lagi. Kini ganti Ki Bango Wadaslah yang terkekeh-kekeh kegirangan, sementara keenam orang pendatang tadi segera berloncatan turun dari punggung kudanya dan segera mendapatkan Ki Bango Wadas.
"Ha, ha, ha, ha. Nah, lihatlah Bido Teles! Kalian tahu siapa yang berdiri di sampingku ini?! Mereka adalah Sasta Tunggal atau Setan Enam Serangkai dari Pegunungan Kendeng!"
Keruan saja Bido Teles serta segenap gerombolannya menjadi kaget sekali. Mereka mengenal bahwa Setan Enam Serangkai dari daerah selatan itu sangat ditakuti dan hampir boleh dikatakan bahwa mereka telah merajai Pegunungan Kendeng dan daerah sekitarnya.
Dalam pada itu, Ki Bango Wadas telah merasa tenang, sebab kini dirinya telah dibela oleh Sasta Tunggal yang telah diundangnya beberapa waktu berselang. Sedang tangan kirinya berkali-kali meraba dua kalung permata hijau yang disimpannya dalam lipatan ikat pinggangnya. Sesungguhnya ia kuatir kalau-kalau terjatuh, sebab kedua kalung inilah yang sangat berharga dan juga pangkal dari sengketa kalung pusaka dan harta Tanjung Bugel!
"Kurang ajar!" sumpah Bido Teles.
"Kaupun juga licik, Bango Wadas! Kau telah melibatkan Setan Enam Serangkai dalam persoalan ini!"
"Heh, heh, heh, heh. Tak perlu mengumpat! Kenyataannya kita sama-sama liciknya. Dan sekarang, siapa yang berhasil menang dalam pertempuran nanti, dialah yang boleh menggotong seluruh harta Tanjung Bugel itu!" demikian teriak Ki Bango Wadas.
"Bagus!" seru Bido Teles.
"Ayo, kawan-kawan, hancurkan si botak itu dengan kawan-kawannya! Serbuuu!"
Pertempuran hebat tak tercegah lagi. Begitu teriakan Bido Teles mengumandang di atas udara Tanjung Bugel ini, seketika itu pula menerjanglah Bido Teles beserta seluruh rombongannya ke arah Ki Bango Wadas dan enam pendekar dari selatan itu.
Dengan sabetan penggadanya, Ki Bango Wadas menyambut serangan Bido Teles yang menyerang dengan pedang lebarnya, sementara Soma Karang, Garangpati, si Tongkol, Blending, Sigayam dan lain-lainnya telah menerjang ke arah Setan Enam Serangkai.
Namun alangkah kagetnya Soma Karang beserta rombongannya bila ternyata Setan Enam Serangkai itu berkekuatan dahsyat. Mereka masing-masing bersenjatakan pedang yang tajam pada kedua belah sisinya dan gerakan mereka selalu berpasangan.
Dengan begitu maka Soma Karang dan kawan-kawannya terpaksa harus mengerahkan segenap tenaganya untuk menghadapi Sasta Tunggal dari Pegunungan Kendeng ini!
Memang sangat hebat si Setan Enam Serangkai. Maka sudah pantaslah bila mereka disebut dengan nama demikian. Gerakannya benar-benar mirip sekawanan setan yang kelaparan. Mereka kadang-kadang bertempur dalam garis memanjang sehingga merupakan seleret ombak ganas yang siap menyapu lawanlawannya. Terkadang mereka menjadi setengah lingkaran gerakannya, mirip cepit udang atau bentuk tapal kuda sampai pertahanan Soma Karang dan rekanrekannya terpaksa berantakan bila mereka tidak ingin dikurung serta dicepit oleh si Setan Enam Serangkai dari daerah selatan itu.
Berkali-kali Soma Karang langsung menerjang ke arah pemimpin dari Setan Enam Serangkai tersebut, tapi setiap kali pendekar dari Pulau Mondoliko ini dibuat kagum oleh tangkisan-tangkisan yang dilancarkan oleh si pemimpin Setan Enam Serangkai yang berbibir tebal, lebar dan bermata tajam.
"Haa, ha, ha, ha. Tikus-tikus yang mau main curang! Mau apa kau sekarang, haa?!" teriak si pemimpin berbibir tebal kepada Soma Karang.
"Mumpung masih ada waktu, lekaslah angkat kaki dan tinggalkan harta Tanjung Bugel untuk kami! Jika tidak, maka kau akan segera binasa di bawah pedangku ini!"
"Keparat. Manusia berbibir setebal sumur itu masih berani jual tampang di muka anak buah Ki Rikma Rembyak?!" seru Soma Karang.
"Sebut dulu namamu, hah!"
"Ha, ha, ha, ha. Akulah yang bernama Dobleh Kelana, pemimpin dari Sasta Tunggal atau Setan Enam Serangkai ini!" jawab si pemimpin berbibir tebal tadi seraya memutar-mutar pedangnya sampai merupakan lingkaran sinar putih dan berdesis-desis mengiris hati.
Sesaat Soma Karang agak terkejut, namun akhirnya iapun tertawa menggeletar.
"Hi, hi, ha, ha. Permainan pedangmu tidak begitu jelek, sobat berbibir sumur! Tapi cobalah untuk menyerangku jika kau mampu!"
Belum lagi Soma Karang meneruskan kata-katanya, mendadak Dobleh telah melesat menerjang ke arah dirinya. Untunglah iapun telah bersiaga sejak semula. Maka begitu pedang lawannya menyambar, secepat kilat Soma Karang menangkiskan pedangnya.
Craaaang!
Kedua-duanya, baik Soma Karang sendiri maupun Dobleh Kelana, menjadi saling terperanjat akibat benturan kedua senjata mereka. Keduanya tergetar surut beberapa langkah dibarengi pedang-pedang mereka tergetar di dalam genggaman.
Maka tak urung Soma Karang menjadi terheran-heran bahwa gempuran pedang lebarnya yang dilambari kekuatan penuh, dan biasanya sanggup sekali pukul rontok terhadap lawan-lawannya, kini ternyata kandas dalam tangkisan pertama Dobleh Kelana.
Dengan demikian makin sadarlah Soma Karang, bahwa julukan Setan Enam Serangkai terhadap Dobleh Kelana berenam itu betul-betul cocok dengan kenyataannya. Gerak dan tindak-tanduk mereka mirip setan-setan liar tak terurus.
Begitu juga sebaliknya. Dobleh Kelana juga merasa heran mengapa lawannya ini sanggup menerima terjangan pedangnya. Padahal ia mengira bahwa pedang lawannya akan segera terpental lepas dari tangan Soma Karang.
Karenanya masing-masing menjadi maklum bahwa kekuatan mereka tidak selisih banyak bedanya dan merupakan lawan yang seimbang.
Terbentanglah sudah pertempuran yang semakin meningkat seru dan menyeramkan. Bila pedang bermata kembar si Dobleh Kelana sanggup mengaungngaung berputar dahsyat, maka pedang lebar Soma Karang mampu menebas-nebas dengan sambaran mautnya.
Pada waktu yang sama pula, Garangpati bertempur dengan tangguhnya melawan Dempok atau orang kedua dari Setan Enam Serangkai. Tokoh selatan yang berhidung pesek dan besar, bagaikan buah jambu air menggandul itu, ternyata bukan lawan yang boleh dianggap ringan dan semaunya.
Pada gebrakan dan jurus pertama saja, terasalah oleh Garangpati kalau Dempok memiliki kekuatan tersembunyi. Orang seperti Garangpati yang telah bertempur di mana-mana dan kenyang akan asam garamnya, segera menjadi tahu bagaimanakah yang harus diperbuatnya dalam menghadapi Dempok itu. Tidak lain ialah menumpahkan segenap tenaga dan ilmunya secara total!
Di sebelah lain, si Tongkol, Blending, Sigayam dan lain-lainnya juga terlibat dalam pertarungan seru melawan keempat Setan Enam Serangkai yang lain. Anggapan mereka yang semula mengira bahwa golongannya akan selalu menang dan ditakuti lawan-lawannya, ternyata sekarang menjadi keliru, sebab kali ini mereka menemukan lawan yang imbang.
Ki Bango Wadas memutar penggada berdurinya dan bunyi berdesau terdengar bersamaan cahaya berkilatan dari duri-duri logam yang runcing dan setiap saat dapat merobek tubuh Bido Teles. Karenanya Bido Teles terpaksa mengomel dalam hati menghadapi lawannya yang berkepala botak ini. Kalau saja ia tak mempunyai kepandaian tinggi, jangan harap mampu menandingi si botak dari muara Kali Serang itu. Sebagai pendekar jagoan dari seluruh pengikut-pengikut Ki Rikma Rembyak, Bido Teles tak mau mendapat malu oleh temantemannya jika sampai dikalahkan oleh Ki Bango Wadas, maka Bido Teles senantiasa mencurahkan segenap kemampuannya.
Pertempuran di pantai Tanjung Bugel untuk memperebutkan harta emas intan yang tak ternilai harganya itu menjadi kian menghebat, sementara sang surya makin bergeser ke arah barat dengan malasnya.
Sampai puluhan jurus mereka saling serang-menyerang dan berusaha menjatuhkan lawan-lawannya agar mereka segera dapat menguasai harta Tanjung Bugel itu.
Yah, harta yang begitu banyak, teramat mahal untuk dihargai, telah menyeret kedua gerombolan itu bertempur bertegang leher dan urat serta memperjudikan nyawanya. Ketamakan dan nafsu memperkaya diri memang sering melanda setiap hati nurani manusia, sehingga mereka tidak jarang saling bercakaran sendiri. Saling gilas-menggilas dengan segala tipu daya dan akal licinnya, menerobos batas-batas lingkaran persaudaraan dan persahabatan. Maka tak heran bila norma kemanusiaan sering terpunah karenanya.
Bila sudah begitu, mereka lebih mirip sekawanan serigala atau hewan-hewan liar yang saling mencercah untuk kemudian saling melahap, dan hukum rimbalah yang telah bersarang serta bermukim di setiap relungrelung hati dan pori-pori kulit mereka.
Dan terakhir sekali bila mereka telah saling hancur ataupun menang dan mengangkangi harta itu, akhirnya mereka pasti akan menyesal. Sebab untuk hal itu mereka telah banyak mengorbankan segala-galanya. Tiada sesuatu yang langgeng atau abadi seperti kekayaan berlimpah-limpah yang tengah mereka perebutkan itu. Berbahagialah manusia yang masih sadar dan eling akan dirinya. Dan daerah Tanjung Bugel itu seperti tergoncang dan bergetar oleh pertempuran itu. Tiba-tiba terdengarlah satu jeritan bila pundak si Garangpati tergores oleh pedang Dempok.
Garangpati merasakan pedih dan terasalah sesuatu mengalir dari pundak kirinya. Darah! Ya, ujung pedang telah merobek bajunya dan menggores kulitnya. Namun justru karenanya, Garangpati menjadi lebih garang dan beringas. Pedangnya makin gencar menyerang Dempok.
Jeritan Garangpati tadi sempat membuat pertahanan Ki Bango Wadas melonggar, sehingga Bido Teles mempergunakan kesempatan itu untuk membabatkan pedangnya ke arah lawannya.
Breettt!
Untunglah Ki Bango Wadas keburu mengegoskan tubuhnya ke samping dan hanya kainnyalah yang terobek oleh pedang Bido Teles.
"Keparat! Benar-benar dia menggunakan pertahananku yang lowong dengan baik," gerutu Ki Bango Wadas.
"Untunglah perutku tidak ikut terburai! Tapi terimalah ini, Bido Teles!"
Bido Teles yang sedikit takabur karena dapat menyobek kain Ki Bango Wadas menjadi sedikit lengah dan menjadi geragapan begitu penggada si botak itu menghajar ke arah kepalanya! Ia masih sempat menangkiskan pedangnya, tapi akibatnya terpentallah tubuh Bido Teles bergulingan ke belakang beberapa kali. Namun dengan sigapnya pula Bido Teles melenting berdiri dan siap bertempur kembali.
Sementara itu, jauh di pojok barat, Ki Lurah Mijen telah mengendap-endap di balik semak belukar. Mereka telah turun dari kudanya.
"Nah, lihatlah Angger Wulung. Mereka bercakar-cakaran sendiri. Inilah kesempatan kita untuk memukul mereka!" ujar Ki Lurah Mijen.
"Marilah Angger dan biarlah Endang Seruni nanti menjaga kuda-kuda yang telah kita tambatkan itu!"
"Baik, Bapak. Ayolah!" seru Mahesa Wulung seraya melolos pedangnya. Sedang Pandan Arum telah mengurai selendang jingganya, sebab ia yakin bahwa jumlah musuh yang mesti dihadapi jauh lebih banyak dan hanya dengan senjata selendangnya ia merasa lebih aman.
Sebentar kemudian empat bayangan telah melesat ke arah medan pertempuran dan siap terjun ke dalamnya, bagaikan empat ekor rajawali yang siap menerkam mangsanya!
Kedatangan mereka berempat ternyata mengagetkan kedua gerombolan yang lagi bertempur. Baik Ki Bango Wadas ataupun Bido Teles segera tahu siapakah mereka berempat itu!
Tambah mengejutkan lagi, begitu selendang jingga Pandan Arum melecut pada salah seorang pengikut Bido Teles, maka seketika orang tersebut terjungkal dengan muntah darah. Bersamaan waktunya pula, pedang Mahesa Wulung telah menemukan korbannya juga.
Ki Bango Wadas, demi melihat bahaya yang mengancam dirinya beserta kawan-kawannya segera berpikir dengan sibuknya dan tiba-tiba ia menemukan satu pikiran. Pertempuran antara pihaknya dengan pihak Bido Teles harus ditunda untuk sementara, sebab jika tidak maka besar kemungkinan bahwa rombongan mereka berdua akan berantakan, dan Ki Lurah Mijen beserta pengikutnya akan dengan mudah menumpas mereka!
"Bido Teles!" teriak Ki Bango Wadas.
"Mari persengketaan kita sementara ditunda dan bersama-sama kita hancurkan Ki Lurah Mijen serta pengikutnya itu!"
"Hmm, pikiran yang bagus!" seru Bido Teles.
"Tapi setelah itu, pertempuran antara kita harus dilanjutkan lagi!"
"Setuju!" seru Ki Bango Wadas dan kemudian seperti digerakkan oleh kekuatan yang sama, mereka segera bersuit memberi tanda kepada para pengikutnya. Maka seketika kedua gerombolan itupun seperti tersadar dari mimpinya. Mereka segera dapat mengetahui manakah musuh mereka yang sebenarnya! Yaitu, tidak lain adalah Ki Lurah Mijen beserta pengikutnya!
Mereka segera beramai-ramai menyerangnya, sehingga Ki Lurah Mijen, Mahesa Wulung, Pandan Arum serta Jagabaya Cangkring menjadi terkurung dan terdesak!
"Kurang ajar!" desis Mahesa Wulung.
"Kita terjebak! Mereka telah bersatu kembali!"
Dan memang sesungguhnyalah, bahwa mereka kerepotan. Betapapun saktinya seseorang, tapi bila menghadapi keroyokan dari musuh-musuh yang kelewat banyak dan juga terhitung pendekar-pendekar jagoan, maka pastilah akan terdesak karenanya!
Sebentar kemudian tampaklah bahwa Ki Lurah Mijen dan pengikutnya berada dalam bahaya dan bayangan maut telah membayangi mereka!
Mahesa Wulung diam-diam mengeluh di dalam hati.
"Hmm, Bapak Pendekar Bayangan belum muncul. Apakah mereka menemui kesulitan? Terlalu banyak musuh-musuh yang harus aku hadapi. Aku harus segera menggunakan cambuk Naga Geni!"
Demikianlah, Mahesa Wulung bermaksud menggunakan cambuk pusakanya. Akan tetapi sebelum maksud itu terlaksana, mendadak saja dari arah barat melesatlah seorang bercaping dan bersenjata pedang, lalu terjun ke dalam kancah pertempuran!
Mahesa Wulung tak sempat terlalu lama memperhatikan tokoh bercaping ini, sebab begitu terjun orang tersebut segera berkelebatan ke sana-ke mari sedang pedang di tangannya menyambar-nyambar bagai ujung jari elmaut, menyerang orang-orang dari pengikut Ki Bango Wadas dan Bido Teles!
Sebentar kemudian beberapa orang telah roboh oleh pedang si tokoh bercaping, membuat Ki Bango Wadas dan Bido Teles menggeram marah.
"Hooh! Siapakah orang bercaping itu? Ia membela rombongan Ki Lurah Mijen!" gerundal Ki Bango Wadas.
"Keparat! Tapi biarlah. Aku punya bingkisan buat dia!"
Ki Bango Wadas menatap tajam ke arah si tokoh bercaping kemudian ia mengambil sebuah ruas tabung bambu dari balik ikat pinggangnya.
"Hmm, memang dia luar biasa! Tapi aku ingin tahu, apakah ia mampu menangkis jarum-jarum mautku ini!"
Dengan cepatnya Ki Bango Wadas mengibaskan tabung bambu tadi ke arah si tokoh bercaping dan seketika itu pula beterbanganlah jarum-jarum maut yang pangkalnya berumbai benang-benang merah menuju ke sasarannya!
Pendekar bercaping sangat terkejut mendengar bunyi berdengung seperti suara puluhan lebah, dan ketika ia menoleh ke arah sumber suara tersebut, tampaklah benda-benda berkeredapan merah menuju ke arah dirinya dengan kecepatan luar biasa.
"Senjata-senjata rahasia!" desis pendekar bercaping sambil memutar pedang di tangannya untuk menangkis jarum-jarum maut tadi. Memang usaha pendekar bercaping tadi berhasil. Bunyi gemerincing senjata pedangnya yang berhasil menangkis rontok jarum-jarum maut tadi terdengar amat nyaring. Namun beberapa jarum maut yang menyambar ke bawah tubuhnya tak berhasil ditangkis dan langsung menancap, bersarang kepada si pendekar bercaping! "Aaaargh!" rintih si pendekar bercaping seraya roboh ke tanah dan berkelojotan. Buru-buru ia meraba pahanya dan mencabut jarum-jarum maut yang bersarang pada dagingnya.
Akan tetapi bisa dari jarum-jarum maut tadi memang luar biasa. Sebentar saja si pendekar bercaping merasakan bahwa kakinya sudah tidak mempunyai rasa lagi, sedang dadanyapun menjadi sesak.
"Kakiku mulai lumpuh!" desah pendekar bercaping.
Sementara itu Mahesa Wulung menjadi terperanjat begitu dilihatnya si pendekar bercaping yang telah membelanya terjatuh ke tanah. Cepat-cepat ia melesat ke arah sana, dan alangkah kagetnya bila ia segera mengenal si pendekar tadi.
"Bapak Camar Seta!" seru Mahesa Wulung seraya merangkul bekas gurunya itu, serta berusaha menolongnya!
"Tak ada faedahnya lagi, Angger Mahesa Wulung," desah Ki Camar Seta.
"Racun si botak ia memang sangat keras dan tak ada harapan lagi untuk mencegahnya."
Mahesa Wulung tak segera dapat berkata kecuali tersedu sedih melihat nasib Ki Camar Seta. Ia sudah beberapa lama tak bertemu, dan kini mereka dipertemukan dalam saat-saat yang mengharukan. Meskipun mulai kepucatan wajahnya, tapi Ki Camar Seta masih tersenyum seraya menepuk-nepuk pundak Mahesa Wulung.
"Angger Wulung, tabahkan hatimu, Nak! Jika aku telah tiada lagi, maka rawatlah caping dan pedangku ini dan sampaikan salamku kepada Angger Pandan Arum serta sahabat-sahabat lainnya!"
"Ba... pak!" ujar Mahesa Wulung.
"Tapi tak mungkin Andika akan tewas. Aku akan menolongmu, Bapak!"
"Terima kasih... terima kasih," sahut Ki Camar Seta.
"Engkau memang murid yang berbakti, Wulung. Namun ketahuilah, bahwa racun yang telah mengeram di dalam tubuhku ini sangat hebat!" Ki Camar Seta tampak semakin lemah dan pucat, sehingga Mahesa Wulung menjadi berputus asa.
"Angger... Wulung. Ber... hati-hatilah... engkau menghadapi si botak itu... Nak," ujar Ki Camar Seta dengan terputus-putus dan lemah. Wajahnya yang tua dengan kumis putih kelihatan pucat sekali.
"Bapak Camar Seta!" desah Mahesa Wulung seraya merangkul pendekar bercaping itu lebih erat, seolaholah ingin menahan kematian bekas gurunya itu.
"Biarlah... aku berlalu..., Nak. Aku su... dah tua. Ibarat... selembar daun... yang telah menguning layu... dan setiap saat akan runtuh ke bumi... itu pasti ter... jadi... aaakkh "
Ki Camar Seta makin lemah dan terakhir sekali ia terdengar bergumam menyebut nama Tuhan Yang Maha Besar dengan suara hampir tak terdengar, tapi ia telah menyebutnya dengan ketulusan hati dan kekuatan terakhir. Setelah itu kepala Ki Camar Seta terkulai dalam pelukan Mahesa Wulung.
Dengan hati-hati sekali Mahesa Wulung membaringkan tubuh Ki Camar Seta ke atas tanah. Matanya yang berkaca-kaca itu kemudian menatap tajam ke arah Ki Bango Wadas yang masih berdiri congkak di kejauhan.
"Hua, ha, ha, ha. Biarlah ia mampus si caping bobrok itu," teriak Ki Bango Wadas.
"Jika kau ingin membelanya, majulah lekas kemari, supaya engkau pun segera binasa menyusulnya!"
"Setan botak!" berseru Mahesa Wulung.
"Marilah kita buktikan kata-katamu itu!" Kemudian dengan teriakan dahsyat, seperti teriakan seekor harimau yang marah, Mahesa Wulung meloncat menerjang ke arah Ki Bango Wadas.
Melihat lawannya menerjang, Ki Bango Wadas telah bersiaga pula dan putaran penggada berduri di tangannya segera menyambut tebasan pedang Mahesa Wulung. Maka pertempuran hebatpun segera terjadi.
Di saat pertempuran itu tengah berkecamuk, beberapa orang anak buah Bido Teles secara diam-diam mengangkat peti-peti kecil. Yah, begitu kecilnya petipeti itu yang masing-masing sisinya berukuran lebih kurang satu jengkal. Dengan begitu maka sangat mudahlah membawanya. Berbeda dengan guci yang berukuran kelewat besar itu, dan memerlukan tenaga lebih dari satu orang untuk mengangkutnya.
Di saat itu, Garangpati yang telah terluka dan kini berhadapan dengan Jagabaya Cangkring tiba-tiba menjerit, sebab ketika ia menghindari tusukan tombak Jagabaya Cangkring, ternyata kurang cepat gerakannya. Maka tak ampun lagi mata tombak lawannya itu berhasil menggores pundaknya. Biarpun begitu Garangpati masih gigih bertempur.
Meskipun Mahesa Wulung dapat menandingi Ki Bango Wadas, tapi di pihak lain Ki Lurah Mijen, Pandan Arum dan Jagabaya Cangkring semakin terdesak oleh lawan-lawannya. Lebih-lebih dengan Bido Teles dan Setan Enam Serangkai yang menyerang dengan gencar membuat mereka bertiga harus mengerahkan segenap ilmu dan tenaganya dengan sepenuh daya.
Dan melihat itu Mahesa Wulung menjadi cemas. Tapi bagaimanakah ia harus membantu mereka bertiga, sebab iapun terlibat dalam pertempuran melawan Ki Bango Wadas yang ternyata berkekuatan hebat.
Sekonyong-konyong dari arah selatan muncullah enam sosok bayangan manusia yang berloncatan menuju ke medan pertempuran itu.
"Bapak Pendekar Bayangan!" desis Mahesa Wulung dengan gembira, sedang Ki Bango Wadas bahkan sebaliknya, ia menjadi cemas oleh kedatangan pendekar bertopeng putih itu dengan kawan-kawannya. Bahkan ia menjadi gemetar marah bila di antara orang-orang yang baru muncul itu tampaklah si Lawunggana!
Ki Lurah Mijen, Pandan Arum dan Jagabaya Cangkring menjadi bergembira oleh kedatangan Pendekar Bayangan dan rombongannya. Semangat mereka menjadi lebih menyala seperti juga gerak serangannya.
Kini si Bido Teles langsung berhadapan dengan Pendekar Bayangan, sedang Soma Karang masih gigih menyerang Ki Lurah Mijen. Di sebelah lain, Pandan Arum, Lawunggana, Kertipana, Sorogenen dan dua orang jagabaya dengan gencarnya menyerang Setan Enam Serangkai dan pengikut-pengikut Bido Teles lainnya seperti si Tongkol, Kerang dan kawan-kawannya.
Meskipun lawan-lawan yang harus dihadapi Setan Enam Serangkai dan rekan-rekannya bertambah, namun suasana tidak begitu banyak perubahannya. Setan Enam Serangkai dari daerah selatan tadi ternyata mampu bertempur dengan tenaga berlipat-lipat. Terutama mereka mempunyai jurus-jurus yang saling berpasangan dan saling mengisi sehingga serangan-serangan mereka ibarat segulungan ombak ganas yang berganti-ganti menghempas ke arah lawan-lawannya. Bila hempasan yang pertama kandas maka hempasanhempasan berikutnya menyusul. Begitulah pertempuran di Tanjung Bugel tadi, menjadi semakin hebat, seperti tak akan ada akhirnya.
Di tengah keriuhan tersebut, tak antara lama terdengarlah satu jeritan nyaring berbareng lecutan selendang jingga Pandan Arum yang berhasil menerjang dada Kerang. Pengikut Bido Teles ini segera terhenyak. Pedangnya terlepas dan tampaklah ia berusaha menekan dadanya, tapi sesaat kemudian terlontaklah darah segar dari mulutnya dan robohlah Kerang ke tanah tanpa dapat berkutik lagi.
Satu korban telah jatuh lagi, akan tetapi pertempuran tidak akan berhenti karenanya, bahkan menjadi hebat. Sebab dengan jatuhnya korban-korban itu, maka mereka menjadi lebih hati-hati dan gigih dalam menghadapi lawan-lawannya.
Dan mereka yang kurang gigih dan cekatan akan segera tergilas oleh serangan-serangan lawannya, seperti halnya kedua orang jagabaya dari Desa Mijen yang tiba-tiba menjerit parau, begitu pedang-pedang dari Dobleh Kelana dan Dempok masing-masing menghunjam ke dada dan lambung kedua orang jagabaya tadi. Keduanya seketika roboh tanpa sesambat lagi.
Bido Teles menjadi bernafsu apabila serangan-serangannya berkali-kali kandas terhadap Pendekar Bayangan. Tokoh bertopeng putih ini cuma bersenjata tongkat kayu bercabang, namun itupun sudah cukup hebat bila dimainkan dan digerakkan oleh tangan Pendekar Bayangan.
Pedang lebar Bido Teles yang digerakkan dengan kekuatan penuh dan ilmu yang sempurna selalu mengancam Pendekar Bayangan. Demikian tajamnya mata pedang Bido Teles yang berhulu gading itu, selalu berkilatan tertimpa sinar matahari siang, merupakan seleret sinar putih yang bergulung-gulung mengerikan.
Memang, berkali-kali terjadi benturan antara pedang Bido Teles dengan tongkat bercabang si Pendekar Bayangan, dan setiap kali itu pula, pedang Bido Teles bergetar seraya tubuhnya bergeser surut ke belakang, sedang Pendekar Bayangan bergeming saja tidak. Tubuh dan senjatanya seolah-olah merupakan tonggak baja yang tak mudah goyah oleh apapun,
Bido Teles merasa kalah tenaga, tapi beruntunglah bahwa ia memiliki kelincahan bergerak sehingga ia mampu menghindari serangan-serangan tongkat bercabang dari Pendekar Bayangan.
Di pojok lain, Ki Bango Wadas yang menghadapi Mahesa Wulung selalu gencar melancarkan seranganserangannya. Penggadanya yang berduri logam dan runcing yang menunjukkan jumlah lawan yang telah dibunuhnya, berputaran menerjang Mahesa Wulung dengan hebat.
Sekali ini ia tak mau tanggung-tanggung menghadapi pendekar muda dari Demak itu, sebab ia telah sadar, bahwa lawannya yang masih lebih muda daripada dirinya telah memiliki ilmu bertingkat tinggi. Betapa tidak, karena jika ilmunya cuma rendah saja, mana bisa ia mampu bertahan terhadap serangan-serangannya lebih dari tiga puluh jurus.
"Hmm, memang hebat si Mahesa Wulung ini. Kepandaiannya tidak bertaut banyak dengan kepandaianku!" gerundal Ki Bango Wadas.
"Tapi tunggulah. Jurus-jurus penggada mautku belum sampai pada puncaknya!"
Demikianlah, keduanya bertempur semakin dahsyat, lebih-lebih ketika keringat mereka mulai mengalir dari lobang-lobang kulitnya, maka yang tampak kemudian seolah-olah adalah gulungan asap saling melibat dan melingkar-lingkar.
"Mahesa Wulung!" seru Ki Bango Wadas.
"Lekaslah berlalu dari tempat ini selagi masih sempat, sebab aku masih memberi waktu dan kelonggaran untuk itu!"
Mendengar itu Mahesa Wulung tertawa lirih, namun nadanya cukup menyakitkan telinga Ki Bango Wadas, sehingga pendekar botak itupun seketika berteriak marah.
"Edan! Apa yang membuatmu ketawa, hoa?!"
"Kata-kata ancamanmu tadi! Engkau seolah-olah berhadapan dengan bocah cengeng dan menganggapku sebagai anak kecil yang mudah terbirit-birit lari oleh gonggongan kata-katamu itu!"
"Keparat!" teriak Ki Bango Wadas marah seperti juga sorot matanya yang telah merah, seperti hendak membakar lawannya.
"Terimalah jurus-jurus mautku ini."
Mahesa Wulung terkejut namun hanya sesaat, sebab di saat itu pula ia telah menyiapkan sikap Tugu Wasesa untuk menahan hempasan gada berduri Ki Bango Wadas.
Jraaang!
Bunyi gemeroncang terdengar akibat benturan pedang Mahesa Wulung dengan penggada berdurinya Ki Bango Wadas, mengagetkan orang-orang di sekelilingnya.
Kedua senjata tadi seketika terpelanting lepas dari tangan-tangan pemegangnya. Baik Mahesa Wulung maupun Ki Bango Wadas masing-masing terpental surut ke belakang beberapa langkah.
Tampaklah Mahesa Wulung menggosok-gosok telapak tangan kanannya yang terasa panas, begitu pula dengan Ki Bango Wadas yang segera menghembushembus tangan kanannya, sebab rasanya bagai terbakar oleh kobaran api.
"Nah, kita masing-masing tak bersenjata lagi. Sekarang aku ingin tahu apakah kau mampu bertempur dengan tangan kosong melawanku!" seru Ki Bango Wadas yang sekaligus menerjang kembali ke arah Mahesa Wulung. Keduanya bertempur kembali dengan serunya.
Di saat itu pula, dengan tewasnya kedua orang jagabaya dari Mijen, maka Pandan Arum, Lawunggana, Kertipana dan Sorogenen menjadi kerepotan dalam menghadapi Setan Enam Serangkai dan pengikutpengikut Bido Teles lainnya. Tiba-tiba ketika perhatian mereka dicekam oleh kedahsyatan pertempuran, terdengarlah derai ketawa bernada tinggi yang susul-menyusul dan kemudian memenuhi udara, berderak-derak menyeramkan. Suara ketawa tadi seolah-olah menelusuri segenap sudutsudut batu karang, pepohonan dan juga telinga-telinga yang mendengarnya, mirip teriakan burung gagak yang lagi gusar.
Begitu tiba-tiba dan besarnya pengaruh suara ketawa tadi, sehingga untuk sejenak para peserta pertempuran terhenti dan melirik ke arah sekelilingnya. Dan alangkah kagetnya bila di atas puncak dahan beringin gundul bertenggerlah sesosok tubuh manusia berpakaian kebiruan dan pada punggungnya ia mengenakan selembar kain selimut atau mantel, berbunga-bunga coklat biru dengan dasar putih menggelantung bagaikan sayap seekor burung.
"Ha, ha, ha, ha, khak, khak, khak.... Setan Enam Serangkai!" teriak si tokoh berselimut tadi.
"Di manamana engkau selalu terlibat dalam perbuatan jahat! Pulanglah engkau ke kandangmu! Apakah engkau menunggu sampai Gagak Cemani menyeretmu?"
"Kurang ajar!" seru Dobleh Kelana dengan marahnya berbareng tangan kirinya menyambitkan beberapa mata uang logam yang seketika beterbangan ke arah tokoh berselimut yang menyebut namanya Gagak Cemani.
Namun sebelum uang logam tadi mengenai tubuhnya, Gagak Cemani telah lebih dulu melenting meninggalkan pohon beringin gundul itu dan tahu-tahu telah mendarat kembali, hinggap di atas batu karang bertumpuk tiga dengan kecepatan yang mengagumkan. Setelah itu Gagak Cemani kemudian melesat turun ke atas tanah tanpa menimbulkan suara sedikitpun, tak ubahnya gerakan hantu. Terdengar kembali teriakannya yang lantang.
"Setan Enam Serangkai! Sambutlah kedatanganku ini dengan hangat. Sediakanlah tenagamu buat melayani seranganku!"
Habis berkata demikian iapun melolos golok panjangnya dan segeralah Gagak Cemani terjun ke dalam lingkaran pertempuran, di mana Setan Enam Serangkai terdapat di dalamnya.
Kedatangan pendekar asing ini ternyata besar pengaruhnya bagi Mahesa Wulung. Semangatnya seolaholah makin berkobar dan bergairah dalam menghadapi si botak, Ki Bango Wadas.
Ketika telapak tangan kanan Ki Bango Wadas menghempas ke arah dada Mahesa Wulung, segera disambut pula oleh lawan mudanya itu dengan tangkisan telapak tangan kanannya.
Taaap!
Begitulah kedua telapak tangan kanan mereka tadi bertemu dan seakan-akan melekat menjadi satu. Dorong-mendorong dengan tenaga dalam, segera berlangsung hebat. Masing-masing berkutat untuk memenangkan pertempuran.
Bagi orang lain yang tidak mengerti, pasti akan tercengang. Mengapakah selagi yang lain-lain sibuk bertempur, maka kedua orang itu cuma saling dorongmendorong dengan telapak tangan kosong saja. Kelihatannya seperti tengah bermain-main tanpa arti sedikitpun, bahkan membosankan, sebab gerak mereka menjadi lamban. Tapi, bagi yang faham akan pertarungan dan faham tentang dahsyatnya tenaga dalam, maka mereka akan terkagum oleh pertempuran bisu antara Ki Bango Wadas melawan Mahesa Wulung.
Keduanya telah berkeringat, sementara masing-masing tangan kanannya yang beradu menjadi tergetar hebat, seperti gemetarnya seorang penderita sakit demam panas.
Sejurus kemudian, dengan perlahan-lahan Ki Bango Wadas mulai tergeser ke belakang dan kemudian iapun merasakan betapa dada dan nafasnya menjadi semakin sesak. Tiba-tiba Ki Bango Wadas menyeringai dan mengerang untuk akhirnya memuntahkan darah segar dari mulutnya sebagai pertanda bahwa dadanya telah tergempur oleh tenaga dalam Mahesa Wulung.
Merasa bahwa dadanya telah mendapat luka dalam, Ki Bango Wadas dengan sebatnya menerkam ke arah kepala Mahesa Wulung untuk kemudian diremasnya dengan sisa-sisa tenaga yang masih ada.
Hanya saja Mahesa Wulung tak mau memberi kelonggaran lagi kepada musuh besarnya ini. Bukankah Ki Bango Wadas ini yang telah menewaskan Ki Camar Seta bekas gurunya beberapa saat berselang. Tambahan lagi Mahesa Wulung masih sangat menyintai kepalanya, sehingga dengan cepat ia mengelakkan terkaman Ki Bango Wadas, sementara ia telah bersiaga menghadapi segala kemungkinan.
Ternyata kekuatiran dan kesiagaan Mahesa Wulung besar pula artinya, sebab begitu terkamannya meleset, Ki Bango Wadas telah melancarkan tendangan kaki kanannya ke arah lambung lawan.
Wuuuuuutt!
Tendangan kaki Ki Bango Wadas meluncur amat derasnya, tapi sekali lagi Mahesa Wulung berhasil menangkisnya dengan tebasan sisi telapak tangannya.
Namun Ki Bango Wadas tidak berhenti sampai di situ saja. Sekali lagi ia menunjukkan, siapa sesungguhnya Ki Bango Wadas dan betapa tangguhnya dia ini. Biarpun tendangannya gagal, kaki kiri Ki Bango Wadas dengan secepat kilat mengait kaki Mahesa Wulung. Maka keduanyapun segera roboh ke atas tanah bergulingan saling tindih-menindih silih berganti, sementara dari mulut Ki Bango Wadas senantiasa terlihat darah merah yang menetes-netes mengerikan.
Suatu kali Ki Bango Wadas berhasil menindihi Mahesa Wulung dan kedua belah tangannya menyengkeram serta mencekik leher lawan mudanya ini.
"Heeekh!" Mahesa Wulung mengeluh pendek karena leher dan nafasnya jadi sesak akibat cekikan tangan Ki Bango Wadas yang dilambari pemusatan tenaga. Merasakan tekanan dari lawannya, Mahesa Wulung memutar otaknya untuk mencari jalan bagaimana ia harus menyelesaikan pertempuran ini.
Memang Ki Bango Wadas masih gigih bertempur. Luka dalam pada dadanya tadi bukannya membuat dia lalu berkecil hati ataupun lari terbirit-birit. Tapi malah seperti menimbulkan gairah dan semangat untuk bertempur habis-habisan sampai mati dan hancur bersama-sama lawannya.
Untunglah Mahesa Wulung telah memiliki bekalbekal yang cukup sempurna sesudah ia mengalami beberapa gemblengan dari tokoh-tokoh pendekar utama seperti Panembahan Tanah Putih dari Asemarang, mendiang Ki Camar Seta dan Pendekar Bayangan yang sekarang ini juga terlibat dalam kancah pertempuran yang sama. Dan beruntunglah pendekar muda dari Demak ini, seandainya kejadian seperti sekarang ini terjadi pada beberapa tahun yang lalu, maka boleh dipastikan bahwa Mahesa Wulung sudah akan terpukul atau tercekik mati, karena Ki Bango Wadas bukanlah tokoh sembarangan.
Saat ini yang selalu terukir di dalam otak Mahesa Wulung adalah kematian Ki Camar Seta yang baru saja terjadi beberapa saat yang lalu, dan lebih-lebih dengan pesannya yang mengatakan agar dia berhati-hati menghadapi Ki Bango Wadas, si hantu dari muara Serang. Begitulah, sebelum kedua belah tangan Ki Bango Wadas benar-benar meremukkan lehernya, Mahesa Wulung segera menekuk lututnya ke atas dan berhasil menempatkan kedua telapak kakinya pada lambung Ki Bango Wadas.
Setelah itu dengan mengerahkan kekuatannya, Mahesa Wulung menjejakkan kakinya ke atas dan seketika terdengarlah keluhan orang yang kesakitan perutnya bersamaan terlambungnya tubuh Ki Bango Wadas ke atas.
"Aaaargh!"
Memang hebat Ki Bango Wadas! Biarpun tubuhnya mencelat ke udara toh dengan sigapnya sempat memutar tubuhnya beberapa kali untuk kemudian turun ke bawah dengan mendaratkan kedua kakinya terlebih dulu. Ia segera bersiaga kembali untuk menyerang Mahesa Wulung. Dan dengan langkahnya yang pelan-pelan sedikit sempoyongan, Ki Bango Wadas menghampiri lawannya.
Tiba-tiba saja Mahesa Wulung agak terkejut, sebab dilihatnya si botak itu mengembangkan kedua belah tangannya ke depan dengan seluruh jari-jarinya kaku bagai cakar-cakar burung bangau.
"Huh, dia akan melancarkan terkaman mautnya!" desis Mahesa Wulung.
"Kiranya inilah saatnya aku harus mempergunakan pukulan "Lebur Waja"-ku!"
Mahesa Wulung secepatnya memusatkan segenap kekuatan lahir dan batinnya serta mengatur aliran nafasnya, tepat di saat yang sama ia melihat Ki Bango Wadas menerkam ke arahnya dengan kecepatan yang luar biasa serta berteriak dengan suara menakutkan.
"Haah, mati lumat kau, Mahesa Wulung!"
Namun sekali ini Mahesa Wulung sama sekali tak berusaha untuk menghindar, bahkan dengan tekad yang besar serta penuh kepercayaan diri sendiri ia menantikan benturan terkaman Ki Bango Wadas itu dengan aji Lebur Waja yang telah disiapkannya.
Begitulah, sikap Mahesa Wulung yang berdiri tegap dengan kedua belah kaki kekar bagai tonggak-tonggak baja yang terpancang dalam-dalam di tanah, tak ubahnya seekor banteng yang selalu waspada menantikan sang harimau yang dengan hebatnya menerkam ke arah dirinya.
Bayangan tubuh Ki Bango Wadas cuma sekilas saja ketika menerkam Mahesa Wulung. Setelah itu terdengarlah bunyi benturan dahsyat menggemuruh dan tubuh Ki Bango Wadas terpelanting ke tanah bergulingan, sedang Mahesa Wulung cuma tergetar sedikit saja di tempatnya.
Tubuh Ki Bango Wadas seperti hangus terbakar, bagaikan daging panggang yang terlalu lama diperam dalam tungku api. Kendatipun begitu, si botak dari muara Serang ini mencoba bangkit, tapi sekali mulutnya melontakkan darah hitam kental ke tanah, Ki Bango Wadas lalu roboh terjungkal tak berkutik lagi.
"Hoooorrgh!"
Benturan serta disusul dengan jatuhnya tubuh Ki Bango Wadas menyebabkan semua orang terperanjat. Lebih-lebih dengan rekan-rekan Ki Bango Wadas sendiri, seperti Setan Enam Serangkai dari daerah Kendeng yang terlongoh keheranan. Mereka tak habis mengerti betapa seorang pendekar gemblengan seperti sahabatnya, Ki Bango Wadas itu, dapat dipukul roboh dan mati oleh lawannya yang jauh lebih muda.
Begitu pula Bido Teles dan para anak buahnya. Meskipun dengan matinya Ki Bango Wadas itu berarti tambahnya bagian emas mereka dari Harta Tanjung Bugel, tapi tak urung merekapun keheranan pula jika Mahesa Wulung dapat mengalahkan si pendekar botak tersebut. Setelah lawannya roboh dan mati, Mahesa Wulung cepat-cepat memungut pedangnya yang tergeletak di tanah, ketika beberapa saat yang lalu terpental lepas dari tangannya akibat benturan melawan penggada Ki Bango Wadas.
Bagaikan seekor belalang, Mahesa Wulung meletik dan terjun ke dalam lingkaran pertempuran kembali untuk membantu rekan-rekannya yang masih gigih bertempur di tempatnya.
Ki Lurah Mijen yang bertarung melawan Soma Karang sebentar tampak terdesak oleh libatan-libatan pedang lawannya, tetapi sebentar itu pula ia ganti mendesak Soma Karang. Ujung kerisnya yang sangat runcing itu seakan-akan selalu bergetar menjadi puluhan jumlahnya serta mengancam kedudukan lawannya.
Soma Karang yang telah seringkali turun dalam gelanggang pertempuran terpaksa kagum pula menghadapi orang tua ini. Maunya ia cuma menggunakan jurus-jurus ringan saja, sebab toh akhirnya Ki Lurah Mijen akan dapat dirobohkannya dalam waktu yang singkat. Akan tetapi Soma Karang menjadi terkecoh sebab orang tua itu sangat tangguh, maka dikerahkannyalah segenap kekuatannya, sehingga serangannya menjadi berlipat-lipat, dan mengalir sambung-menyambung tiada hentinya.
Dengan demikian maka sedikit demi sedikit keadaan menjadi berubah. Tampaklah kini bahwa Ki Lurah Mijen berkali-kali menangkis dengan repotnya akan serangan-serangan yang dilancarkan oleh Soma Karang. Bahkan dalam beberapa jurus kemudian ujung pedang Soma Karang telah berhasil menggores lengan kirinya, menyebabkan Ki Lurah Mijen menggeram menahan sakit.
"Ha, ha, ha. Nah, Ki Lurah. Apa jeleknya jika engkau lekas-lekas menyingkir serta membawa pulang teman-temanmu yang lain. Jika engkau bersedia, aku akan membagikan sebagian emas dari Harta Tanjung Bugel itu kepadamu," ujar Soma Karang.
"Bedebah!" Ki Lurah Mijen berseru.
"Engkau mencoba untuk menyuapku, heh?! Aku bukan tampangnya pejabat yang kau maksudkan itu!"
"Heh, heh. Bukankah aku seorang manusia, seperti juga kamu? Seperti juga kita semua? Dan untuk setiap manusia uang adalah berguna dan penting sekali! Maka Andika tak usah malu-malu, Ki Lurah. Untuk urusan semacam itu aku tak akan menyinggung-nyinggung kedudukan Anda!"
"Setan brekakasan!" Ki Lurah Mijen berseru.
"Hanya orang bermoral bobroklah yang dapat menyetujui permintaanmu itu. Ketahuilah, bahwa harta ini adalah milik kami dan kalian berusaha menyerobotnya!"
"Hmm, persoalannya cukup berbelit-belit, Ki Lurah! Setiap orang yang mau, boleh saja mengakui sebagai si empunya harta Tanjung Bugel, ini seperti halnya kamu sendiri. Tetapi, itu bukan berarti jatuhnya harta ini semua ke pangkuanmu dengan mudahnya. Yang berhak memiliki adalah yang berhasil keluar sebagai pemenang dari gelanggang pertempuran ini!"
"Yah, apalagi yang kau tunggu sekarang?!" sahut Ki Lurah Mijen.
"Cobalah keluar sebagai pemenangnya!"
"Awas! Kau sudah mulai terluka oleh senjataku ini, Ki Lurah! Kerismu yang pendek itu tak akan mampu menandingi pedangku ini! Caaaattt!" Soma Karang menerjang ke arah Ki Lurah Mijen dan terjadilah lagi pertempuran yang lebih seru antara mereka. Namun itu cuma beberapa saat saja dan kembali Ki Lurah terdesak oleh serangan-serangan Soma Karang. Maka terpaksalah Ki Lurah mundur dan terus mundur ke belakang sampai suatu ketika ia tersandung sebongkah batu karang dan jatuh terjengkang. Soma Karang terkekeh-kekeh kegirangan. Cepat diangkat pedang di tangannya tinggi-tinggi untuk selanjutnya dihunjamkan ke bawah untuk menembus dada Ki Lurah Mijen yang telah tertelentang tak berdaya.
"Modar kowe!" seru Soma Karang. Troaang!
Soma Karang terkejut begitu pedangnya tak jadi menembus dada Ki Lurah, tetapi malah tertangkis oleh sebuah pedang yang begitu menyelonong bersamaan berkelebatnya bayangan manusia ke arahnya.
"Maaf, sobat. Akulah tandinganmu sekarang!" seru Mahesa Wulung yang telah menyelamatkan Ki Lurah Mijen itu.
"Kurang ajar, kau mengganggu seleraku! Matilah sekalian kalau kau menghendakinya!" seru Soma Karang sambil menebaskan pedangnya ke leher Mahesa Wulung dengan tiba-tiba.
"Heeit!" desis Mahesa Wulung seraya mengendap dan menggerakkan pedangnya dengan tiba-tiba dan cepat, hingga tahu-tahu ujungnya telah membersit lengan kiri Soma Karang.
Bukan main kagetnya tokoh dari Pulau Mondoliko ini, begitu dengan mudahnya ia kena dilukai oleh lawannya dalam jurus gebrakan yang pertama. Maka segeralah ia menerjang kembali ke arah Mahesa Wulung. Pedang-pedang mereka saling melibat, menusuk dan sambar-menyambar, mirip dua ekor ular yang lagi bertanding.


--¤¤¦ « 6 » ¦¤¤--

Matahari telah semakin merendah ke cakrawala barat, seolah-olah ingin lekas-lekas tenggelam di sebelah sana, karena tak sampai hati menyaksikan pertempuran yang masih berlangsung dengan sengitnya itu.
Dalam pada itu, Garangpati telah banyak menderita luka-luka sehingga gerakannya menjadi kian berkurang lincahnya. Ia merasa bahwa mata tombak si Jagabaya Cangkring terus-menerus menerjangnya dan ia tak banyak kesempatan untuk melawannya. Tiba-tiba, Garangpati melihat bahwa beberapa orang temannya telah mengangkat peti-peti kecil Harta Tanjung Bugel ke arah perahu di sebelah utara, sedang di sekitarnya sudah banyak pula para pengikut Bido Teles dan Soma Karang yang tergeletak mati.
"Aku harus cepat-cepat ke perahu! Aku tak ingin tertinggal di sini sendiri!" pikir Garangpati sambil sekonyong-konyong melemparkan pedangnya ke arah Cangkring, sehingga lawannya ini terpaksa mengendapkan dirinya ke bawah meskipun agak sedikit terlambat. Karenanya, ikat kepala Cangkring tersambar lepas oleh pedang Garangpati.
Dengan gesitnya Garangpati menyelinap-nyelinap di antara batu-batu karang untuk segera mendekati arah perahu yang disembunyikan di balik bongkah karang di tepi pantai.
Langit makin menggelap di sebelah timur, maka Garangpati agak hati-hati mencari jalan ke perahu. Pada saat itu telinga tajamnya tiba-tiba menangkap ringkik kuda di sebelah barat tak jauh dari tempatnya.
"Hah, kuda siapa yang berada di sana?" pikir Garangpati seraya berhenti sejenak dan mengendap ke arah barat.
"Jika aku berhasil mendapatkan kuda, biarlah aku lari ke mana saja. Daripada aku kembali kepada Rikma Rembyak aku mesti mati di tangannya!"
Garangpati berloncatan dengan gesitnya ke arah suara ringkikan kuda dan alangkah kagetnya bila ia mendapatkan seorang gadis cantik yang berdiri seorang diri tengah menunggu empat ekor kuda.
"Lhah, bocah ayu! Hi, ha, ha, ha. Berilah aku seekor kuda yang tertambat dan ikutlah bersama Garangpati!" ujar Garangpati menyeringai.
"Tit... ti... tidak! Pergi... kau!" seru Endang Seruni ketakutan, sementara Garangpati dengan tubuhnya yang telah luka-luka dan pakaiannya yang terkena bercak-bercak darah, perlahan-lahan mendekati Endang Seruni dengan gelagat mengancam.
"Kau harus ikut aku, sebagai penunjuk jalan dan juga sebagai milikku!" teriak Garangpati seraya menyerbu ke arah Endang Seruni. Tapi gadis ini dengan gesitnya mengelak kemudian lari ke arah selatan.
Sambil menggeram marah Garangpati berbalik dan mengejar sasarannya ke arah selatan, sehingga kejarmengejar terjadi beberapa saat sebab tiba-tiba saja Garangpati melesat dan menubruk kaki Endang Seruni sehingga keduanya jatuh berguling di tanah.
"Ha, ha, ha. Sudah kukatakan agar engkau tak usah melarikan diri jika berhadapan dengan Garangpati! Sekarang engkau harus menurut kata-kataku!" ujar Garangpati seraya bangkit dan menghampiri Endang Seruni yang masih terduduk di tanah dengan ketakutan.
"Jangan! Jangan dekati aku! Aaakh... tooo... long!" teriak Endang Seruni dengan suara keras mengumandang.
Suasana di medan pertempuran makin menjadi suram. Bido Teles serta Soma Karang sempat menyaksikan beberapa orang anak buahnya mengangkut petipeti kecil Harta Tanjung Bugel ke arah pantai, menuju ke perahu mereka. Apabila kedua tokoh dari Mondoliko itu mengetahui bahwa jumlah anak buahnya makin menipis dan mereka telah dapat merampas sebagian emas itu, maka Bido Teles tiba-tiba bersuit keras ke udara. Maka seperti digerakkan oleh tenaga yang sama, Bido Teles, Soma Karang serta segenap anak buahnya mengundurkan diri dan berlarian ke arah pantai.
"Mundur!"
Melihat ini, terkejutlah Pendekar Bayangan, Mahesa Wulung, Jagabaya Cangkring dan Ki Lurah Mijen. Hampir saja mereka berempat mengejar lawanlawannya jika tidak lekas-lekas Ki Lurah Mijen berseru.
"Tahan! Lihatlah guci yang berisi emas intan ini! Mereka tak sempat mengangkutnya!"
Bersamaan waktunya pula, Setan Enam Serangkai merasa terkejut oleh mundurnya Bido Teles beserta segenap anak buahnya. Apalagi dengan matinya Ki Bango Wadas sendiri yang semula telah mengundangnya untuk datang ke Tanjung Bugel ini, berarti ia tak ada perlunya lagi untuk tinggal lebih lama.
Dobleh Kelana bermaksud untuk mengajak rekanrekannya untuk meninggalkan tempat tersebut, tapi celakanya si Gagak Cemani selalu mendesaknya terusmenerus tanpa memberi kesempatan sedikitpun.
"He, he, he, engkau bermaksud lari, bukan?!" sapa si Gagak Cemani kepada Dobleh Kelana sambil tersenyum mengejek.
"Keparat! Kawan-kawan! Ayo, lekas tinggalkan lawan-lawanmu si tikus-tikus kecil itu dan bantulah aku untuk mencincang si Gagak edan ini!" teriak Dobleh Kelana kepada kelima rekannya yang lain. Mereka segera meninggalkan lawan-lawannya seperti, Pandan Arum, Lawunggana, Kertipana serta Sorogenen dan kelimanya segera menerjang ke arah Gagak Cemani berbareng dalam serangan berpasangan.
Sebentar kemudian Gagak Cemani telah terlibat dalam pertempuran dahsyat melawan Setan Enam Serangkai itu, yang gerakannya sukar ditangkap oleh mata kecuali gulungan bayangan yang melibat dan mengurung Gagak Cemani itu. Ternyata pendekar berselimut dan berkumis melintang inipun mampu bergerak bagaikan seekor burung gagak yang gesit dan dahsyat. Tubuhnya berkali-kali meletik menyelinap dan menyambar di antara gulungan bayangan keenam tubuh lawannya.
"Munduuur!" tiba-tiba Dobleh Kelana berteriak kepada rekan-rekannya dan mereka berenam segera melesat ke arah selatan dengan gerakan gesit bagai hantu-hantu malam.
Namun dalam waktu yang sama pula, golok panjang Gagak Cemani berkelebat dengan gesitnya.
Weeest.
"Ha, ha, ha. Selamat minggat, sobat-sobat. Tapi perhatikanlah dahimu itu, Dobleh Kelana!" seru Gagak Cemani kepada keenam lawannya yang kabur ke arah selatan.
Setan Enam Serangkai tersebut melesat bagaikan angin dan sebentar saja mereka telah mendapatkan keenam ekor kudanya yang tertambat dan kaburlah dari tempat ini. Tetapi manakala Dobleh Kelana meraba dahinya yang terasa pedih-pedih itu, mendadak ia mendesis kaget, "Terluka! Ujung golok Gagak Cemani telah melukaiku!"
Suasana sesaat terhening dan sepi. Namun dari arah barat terdengarlah sekali lagi jeritan meminta tolong yang mengumandang di udara sore.
"Tolooooong!"
"Itu suara Endang Seruni!" seru Lawunggana seraya berloncatan melesat ke arah barat.
"Apa yang terjadi dengan dia?"
Sebagai seorang pemuda yang mendengar jeritan kekasihnya, maka Lawunggana segera mengetrapkan segenap kemampuannya untuk berlari secepat angin ke arah barat. Akan tetapi sebuah bayangan biru kehitaman juga melesat ke arah barat melampaui jarak yang lagi ditempuh oleh Lawunggana, sehingga pendekar muda inipun kaget karenanya.
"Gagak Cemani!" desis Lawunggana.
"Oh, dia juga lari ke sana! Apakah maksudnya?!"
Lawunggana tanpa menoleh lagi mencurahkan segenap kemampuan larinya menuju ke barat, sementara di sebelah belakang beberapa orang bergegas pula lari ke sana, di mana Endang Seruni dengan ketakutan selalu menghindar dari jangkauan tangan Garangpati yang dengan nakalnya selalu menakut-nakuti Endang Seruni untuk mendekapnya.
"Tolooong!"
Sekali lagi Endang Seruni berteriak keras-keras saking ngerinya, apalagi jika ia melihat kedua mata Garangpati yang liar berkilat seperti hendak melahap tubuhnya yang padat semampai ini.
"Heh, he, he. Mau lari ke mana kau, ha?! Tak akan ada orang lain yang bakal menolongmu, bocah ayu!" seru Garangpati dengan meringis.
"Percayalah. Mereka tak mendengarmu, sebab sibuk bertempur menghadapi lawan-lawannya!"
"Apakah kau yakin dengan kata-katamu, bedebah!" seruan dahsyat mengejutkan Garangpati yang terdengar dari belakang, sehingga Garangpati secepat kilat membalikkan diri dengan terbelalak.
"Kau... kau...?" seru Garangpati.
"Akulah Gagak Cemani!" ujar si pendatang itu dengan tajamnya.
"Kawan-kawanmu telah kabur semua!" Ketika itu pula Lawunggana tiba-tiba muncul dan tiba di tempat tersebut. Endang Seruni yang melihat kedatangannya, segera berlari-lari dan mendekap ke kasihnya.
"Ooh, Kakang Lawunggana. Garangpati itu! Ia mencoba membawaku kabur. Untunglah kalian lekas-lekas datang!" ujar Endang Seruni seraya terisak-isak.
Mendengar ini, Lawunggana cepat-cepat bersiap untuk turut menyerang Garangpati, tetapi Gagak Cemani lebih dahulu berkata, "Sobat Lawunggana! Biarlah si tikus ini aku yang menyelesaikan. Kalian lihat saja, apakah tikus busuk ini mampu mempertahankan dirinya!"
Merasa telah terjepit, Garangpati melesat menerjang Gagak Cemani. Tapi alangkah kagetnya bila lawannya ini cuma bergeser sedikit dan tahu-tahu serangannya telah meleset.
Gagak Cemani tak tinggal diam. Iapun menyerang lawannya, dan terjadilah pertempuran sengit antara Garangpati dengan Gagak Cemani. Pukulan-pukulan tangan dan tendangan kaki Garangpati bertubi-tubi mencecar dan menghajar ke arah Gagak Cemani, tetapi pendekar berkumis melintang ini gerakannya cukup gesit, dan sambil bertempur itu, Gagak Cemani sekali-sekali tertawa dengan suara burung gagak, membuat lawannya menjadi ngeri.
"Haak, krak, krak, kraaak."
Tak antara lama, sesudah memperdengarkan tawanya itu, serangan Gagak Cemani bertambah hebat. Ujung jari-jarinya berkali-kali menyentuh kulit tubuh Garangpati dan ini terasa oleh lawannya bagai cocokan paruh burung yang menyebabkan rasa nyeri dan pedih-pedih.
"Ayo Garangpati! Mana keberanianmu?" seru Gagak Cemani.
Akhirnya Garangpati menjadi makin penasaran dan serangannya sudah tak teratur lagi. Pokoknya asal ganas dan ribut saja dan semua itu terdorong oleh nafsu amarahnya.
Gagak Cemani menebaskan kepalan tangannya ke leher Garangpati, ketika pertahanan lawannya pada tempat itu terlowong sesaat.
Kraack! "Huaaarrgh!"
Garangpati menggeliat dengan mulut yang megapmegap, dan tak lama kemudian terlontaklah darah segar keluar dari mulutnya disertai rintihan untuk kemudian terguling roboh tanpa bernyawa lagi!
Endang Seruni dan Lawunggana buru-buru mendapatkan Gagak Cemani serta menghaturkan terima kasih atas pertolongan yang diberikan oleh si pendekar berkumis melintang ini. Demikian pula Pendekar Bayangan, Mahesa Wulung, Pandan Arum, Ki Lurah Mijen, dan lain-lainnya yang baru saja tiba di tempat tersebut segera mengucapkan terima kasih.
"Hmm, Andika telah membantu mengusir si Setan Enam Serangkai itu!" ujar Ki Lurah Mijen.
"Jika tidak karena Andika, mungkin kami masih lebih lama menghadapi mereka."
"Eh, janganlah Bapak terlalu merendahkan diri. Sebab di antara Tuan-tuan ini terdapat pendekar-pendekar ulung dan besar kemungkinan bahwa tingkatan ilmuku ada beberapa tingkat di bawah mereka," demikian kata-kata Gagak Cemani yang selalu berusaha merendahkan dirinya, sehingga orang-orang yang hadir di situ menjadi kagum karenanya.
Mereka lalu saling memperkenalkan diri dan ternyata Gagak Cemani adalah orang yang peramah serta pandai bergaul. Bahkan ia tak keberatan untuk memenuhi undangan Ki Lurah Mijen.
"Baiklah, Bapak. Aku bersedia mengunjungi Desa Mijen serta menyaksikan pesta perkawinan putrimu dengan Kisanak Lawunggana ini."
"Terima kasih," ujar Ki Lurah.
"Tapi apakah persoalannya hingga Angger sampai tiba di tempat ini dari daerah Ponorogo yang sejauh itu?"
"Eh, itu hanya memenuhi permintaan ayahku, Ki Banyak Sekti," kata Gagak Cemani.
"Dan tentang hal itu kelak akan kuceritakan."
"Oooh, jadi Angger adalah putra Ki Banyak Sekti?!" seru Ki Lurah Mijen dengan kaget. Begitu pula Pendekar Bayangan, Mahesa Wulung, Pandan Arum dan lain-lainnya.
Senjapun telah tiba dan mereka telah selesai merawat mayat-mayat yang tertinggal di situ serta menguburnya sekali, sedang harta Tanjung Bugel itupun telah mereka bongkar untuk diangkutnya pula ke Desa Mijen.
Maka sesaat kemudian tampaklah iring-iringan orang berkuda menuju ke arah selatan dalam keremangan cahaya ujung malam yang berhiaskan ribuan bintang di langit kelam.

Hingga di sini selesailah cerita seri Naga Geni "Sengketa Kalung Pusaka" dan segera menyusul seri Naga Geni, yakni "Pendekar Gagak Cemani". Pembaca akan mengerti kelanjutan kisah Bido Teles dan kawankawannya, begitu pula Sasta Tunggal atau si Setan Enam Serangkai dari Pegunungan Kendeng. Dan yang tak kalah asyiknya adalah perjuangan pendekar Gagak Cemani. Benarkah ia lebih dahsyat dan lebih sakti daripada Mahesa Wulung?

TAMAT



INDEX NAGA GENI
Harta Tanjung Bugel --oo0oo Pendekar Gagak Cemani
Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.