Mahesa Wulung
tanztj
August 16, 2016
INDEX NAGA GENI | |
Cersil Naga Geni --oo0oo Rahasia Barong Makara |
Seri Naga Geni
Karya : W.H. Wibowo
--¤¤¦ « 1 » ¦¤¤--
Berbagai kesibukkan tampak dari perahunya, orang-orang yang bersenjata pedang dan tombak tampak mondar mandir di bandar itu. Begitu perahu merapat, bandar segera dua orang bersenjata tadi mendekati. Mahesa Wulung mula-mula menaruh curiga dengan gelagat ini, tapi segera lenyaplah kecurigaannya, ketika ia melihat orang itu berikat, pinggang merah, satu ciri penjaga keamanan bandar Asemarang.
Dengan ramahnya, mereka mendapatkan Mahesa Wulung yang kini sudah naik ke darat.
Selamat Siang, kisanak. Sapa mereka.
Dapatlah kami mengetahui tentang diri kisanak? Sambil tersenyum Mahesa Wulung meraba lehernya dan melepaskan untaian kalung yang tersembunyi dibalik bajunya lalu diacungkan kepada kedua pengawal itu sambil memperkenalkan dirinya.
Perkenalkanlah, saya Mahesa Wulung dari Demak. Kedua pengawal itu bukan main terkejutnya melihat medali kalung yang dipegang oleh tamunya berbentuk seperti cakra bergigi empat, seperti penunjuk arah mata angin. Itulah tanda buat seorang perwira laut Kerajaan Demak.
Oh, maaf Tuan, kami tidak mengira Tuan datang dari Demak. Seru keduanya sambil menundukkan kepala memberi hormat.
Ah bapak berdua, tidak apalah sebab saya memang tidak secara resmi datang ke sini. Sayapun hanya menumpang perahu dagang saja. Balas Mahesa Wulung sambil memberi hormat kepada kedua pengawal itu.
Kalau begitu apakah kami dapat membantu Tuan dalam kunjungan ke Asemarang?
Terima kasih bapak, saya bermaksud berlibur di kota ini, selama beberapa bulan dan tinggal dengan paman saya Ki Sorengrana.
Jadi Tuankah Mahesa Wulung yang sering disebut-sebut Ki Sorengrana. Beliau sering menceriterakan Tuan kepada kami dalam saat-saat istirahat sehabis latihan keprajuritan. Kalau begitu sampaikan pula salam kami kepada Ki Sorengrana jika Tuan telah tiba di sana. Pakailah kuda kami yang tertambat itu, Tuan akan lekas sampai di sana.
Terima kasih bapak. Segera Mahesa Wulung melepaskan seekor kuda yang berwarna hitam dan dengan satu gerakan yang sukar diikuti mata, tahu-tahu Mahesa Wulung telah ada di punggung sikuda hitam dan segera dipacunya ke arah selatan masuk ke daerah yang berhutan pohon asam.
Kedua pengawal tadi cuma menggeleng-gelengkan kepala sambil mengguman.
Hmm, pantaslah kalau dia kemenakan Ki Sorengrana, dari caranya berkuda saja orang mengenalnya.
Setelah melewati pohon randu yang besar Mahesa Wulung segera membelokkan kudanya ke arah barat dan dari kejauhan tampaklah perkampungan kecil, sedang rumah pamannya segera dapat dikenal dari pohon beringin yang tumbuh subur di depan rumahnya. Tapi rumah pamannya tampak sepi-sepi saja.
Seperti ada sesuatu yang tidak beres dengan kampung ini, semua pintu-pintu dan jendela-jendela ditutup rapat. Pikir Mahesa Wulung sambil meloncat turun dari kuda. Begitu kakinya menginjak tanah dari arah belakang terasa ada angin dingin yang bertiup hebat bersama satu bayangan yang berkelebat dari atas pohon beringin.
Pukulan Lebur Waja, pikir Mahesa Wulung dengan cepat sambil memutar tubuhnya melompat kesamping. Tangan kiri ditekuk lurus ke depan sejajar kepala sedang yang kanan ditekuk pula ke belakang sejajar kepala siap mengirimkan serangan, namun tiba-tiba terdengar teriakan tahan!
Mahesa Wulung terkejut bukan kepalang demi ia membatalkan serangannya, didepannya berdiri seorang gadis berparas elok. Sinar matanya masih membayangkan rasa curiga bercampur heran melihat pukulannya Lebur Waja bisa dielakkan pemuda ini dengan mudahnya, bahkan lebih heran lagi pemuda yang biru saja datang ini akan membalasnya pula dengan pukulan yang sama.
Ha, ha, ha ! Bagus Wulung, bagus! Kau masih tetap menguasai ilmumu dengan baik.... terdengar suara dari samping rumah dan muncullah pamannya yang berwajah cerah, wajah yang telah lama dirindukannya. Sebab wajah itu bila ditentang lama ia seperti berhadapan dengan ayahnya sendiri yang telah beberapa tahun yang lalu. Mengapa tidak? Sorengrana adalah adik dari ayahnya Sorengyuda, hingga tidak mengherankan bila keduanya mempunyai wajah yang mirip. Dengan rangkulan yang penuh rasa kasih, Sorengrana menyambut Mahesa Wulung, dihatinya mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Besar bahwa ia masih berjumpa lagi dengan kemenakannya yang telah lama meninggalkannya.
Demikianlah sampai beberapa saat gadis itu masih berdiri kaku melihat gurunya Ki Sorengrana beramah tamah dengan pemuda ini. Mahesa wulung menyadari hal ini dan iapun bertanya kepada pamannya.
Paman, siapakah gadis ini yang tadi tiba-tiba saja menyerangku?
E e e, ya, ya, aku sampai lupa memperkenalkannya. Inilah muridku, juga teman sepermainanmu sewaktu kecil dulu. Dialah Niken Pandan Arum. Kata pamannya.
Pandan Arum ? Teriak Mahesa Wulung penuh kagum.
Pandan Arum yang dulu selalu meminta aku memanjat dan memetikkan bunga angsoka untuk dibuat untaian kalung. Untung paman menyebutkan namanya kalau tidak pasti aku tak akan mengenalnya lagi.
Dan ini, Pandan. Ini kemenakanku Mahesa Wulung. Sambil tersenyum tersipu-sipu Pandan Arum mencuri pandang ke arah Mahesa Wulung dan begitu pandangnya bertumbuk pandangan pemuda tampan yang hampir menjadi lawannya tadi, segera ia menganggukkan kepala dengan hormatnya, lalu dibalas pula oleh Mahesa Wulung......
Mahesa Wulung harap dimaafkan kelakuan Niken Pandan tadi. Kami sekampung memang tengah bersiap-siap untuk sewaktu-waktu menghadapi gerombolan hitam dari Alas Roban. Mereka sering membuat kekacauan-kekacauan, terutama di daerah sepanjang pantai utara mulai dari Pekalongan sampai bandar Asemarang. Dengan paksa penduduk-penduduk di situ ditariknya pajak yang tidak sedikit jumlahnya. Hal ini terang-terangan menentang kewibawaan kerajaan Demak, malahan lagi ada didesas-desuskan bahwa mereka bersekutu dengan bajak-bajak laut dari Pulau Ireng, sebuah pulau diantara Pulau-pulau Karimunjawa.
Lho, ini tamunya kok diajak bicara-bicara di luar saja marilah kita lanjutkan di dalam saja. Seru bibi Mahesa Wulung, Nyi Sorengrana yang segera pula ikut ke luar menyambut kemenakannya. Setelah mereka duduk-duduk dibalai-balai, Pandan Arum pergi ke belakang untuk ikut menyiapkan hidangan serta membantu Nyi Sorengrana yang sibuk di dapur.
Mahesa Wulung ketahuilah bahwa di daerah ini sedang timbul gangguan keamanan, oleh sebab itu kami sering mengadakan latihan-latihan keprajuritan guna menghadapi setiap kemungkinan yang bakal terjadi. Dan tadi seperti yang kau lihat, khusus kepada Pandan Arum telah saya ajarkan dasar-dasar aji pukulan Lebur Waja. Sorengrana berhenti sejenak sambil menghirup kopi panas yang telah dihidangkan.
Maka dengan kedatanganmu ini, saya turut berharap agar engkau membantu menanggulangi bahaya pengacauan serta melatih orang-orang di daerah ini dalam menggunakan senjata.
Baik Paman, sayapun tidak berkeberatan untuk tugas ini. Memang kedatangan saya ke Asemarang ini di samping berlibur juga ada tugas tersembunyi dari pimpinan armada Demak, yaitu menyelidiki kekacauan-kekacauan yang terjadi disepanjang pantai Utara, yang mungkin pula seperti kata paman ada sangkut pautnya dengan gerombolan bajak Laut Pulo Ireng. Mahesa Wulung menarik nafas seperti ada sesuatu yang lama tersembunyi di dalam kalbunya.
Selain itu Paman, dapatkah sekali ini Paman menceriterakan sejelasnya peristiwa gugurnya ayah, Soreng Yuda?
Ya, aku akan ceriterakan padamu, tetapi ini disambi hidangannya yang sederhana buatan bibimu sendiri. Maka sebentar mereka mencicipi juadah ketan yang terhidang di atas piring tembikar.
Begini Wulung, saat itu beberapa tahun yang lalu ketika Armada Demak di bawah pimpinan Adipati Junus atau Pangeran Sabrang Lor dibantu oleh Sultan Aceh dan Johor melakukan serangan ke Malaka yang telah diduduki Portugis sejak tahun 1511. Meski akhirnya tidak berhasil mengusir Portugis dari Malaka tapi, cukup menaikkan bangsa kita dan nyatanya Portugis sejak itu tidak lagi berani mencoba-coba untuk merebut tanah-tanah lainnya. Nah, disaat itulah sekali ia ketika itu berada paling belakang dari sekian puluh kapal yang beriring-iring pulang kembali kepangkalan armada Demak yang terletak di Jepara. Begitu lewat di Selat Karimata kapal ayahmu disergap oleh beberapa kapal galli Portugis. Dan rupa-rupanya telah bersekutu dengan bajak-bajak laut, sebab waktu itu terlihat pula kapal-kapal jung berbendera naga merah dengan dasar hitam.
Kapal ayahmu melawan dengan sekuat tenaga. Aku ingat kata-kata yang pernah dilahirkan dihadapanku, bahwa ia lebih baik hancur bersama kapalnya dari pada menyerah kepada Portugis. Di samping itu agaknya ayahmu bertekad untuk mencegah agar kapal-kapal Portugis tadi tak sempat menyerang iringan kapal kapal Demak lainnya, sehingga ia menjadikan dirinya perisai. Ayahmu sempat menenggelamkan sebuah kapal Portugis, sebuah lagi terbakar oleh tembakan meriam ayahmu. Tapi mereka jauh lebih banyak hingga akhirnya berhasil menenggelamkan kapal ayahmu yang dengan gagah berani bertempur sampai saat terakhir.
Ki Sorengrana sebentar berhenti berceritera sebab tenggorokannya terasa tersengal, saking terharunya dan ketika ia melirik Mahesa Wulung, terlihat olehnya butir-butir air mata yang menetes di atas pipi kemenakannya.
Tabahkan hatimu, engkaulah yang akan meneruskan perjuangan ayahmu yang tidak sia-sia itu, armada Demak dan setiap armada yang ada disegenap daerah Nusantara ini, akan lebih banyak membutuhkan putra-putranya yang berjuang seperti ayahmu itu.
Benar, paman. Sayapun telah berjanji untuk melanjutkan perjuangan, ayah. Siapa tahu suatu ketika saya dapat membekuk bajak-bajak laut yang telah membantu Portugis si penjajah itu.
Sampai sekian percakapan mereka terhenti, karena bibinya telah membawa nasi liwet dari dapur diikuti bleh Pandan arum yang membawa baki berisi sayur asem, pindang bandeng, dan sambal jeruk. Sambil meletakkan di atas balai-balai ia memberikan senyum manis kepada Mahesa Wulung. Begitulah, penuh suasana keakraban mereka berempat segera mulai makan.
Mahesa Wulung, hari telah sore. Sebentar lagi akan gelap. Tolonglah kau antar Pandan Arum pulang.
Kau tidak lupa bukan, itu kampung Sekaju yang terletak disebelah selatan sana. Pasti Ki Soratani akan gembira meiihatmu.
Ya, paman aku masih ingat jalan-jalannya? Waktu sampai di halaman Mahesa Wulung lalu melepas tambatan kudanya sementara itu muncul Niken Pandan Arum dari belakang rumah menuntun seekor kuda coklat lalu mendekati Mahesa Wulung.
Kakang Mahesa Wulung, apakah kau nanti sudi singgah sebentar kerumahku yang buruk itu? Pinta Pandan Arum.
Jangankan mengantarmu Pandan, akupun masih bersedia memanjatkan bunga-bunga soka untuk untaian kalung seperti dulu, masa kanak-kanak kita. jawab Mahesa Wulung menggoda.
Ah, kakang Mahesa Wulung ini, masih suka ndagel, nih, trimalah hih, hih. Seru Pandan Arum dengan gemas sambil beberapa kali mencubit lengan Mahesa Wulung.
Keruan saja pemuda ini berteriak peringisan. Heh, heh, sudah, sudah Pandan, aku kapok !
Ki Sorengrana dan isterinya memandang mereka dengan tersenyum-senyum di depan pintu. Ah, dasar anak muda, begitu ya bune kalau dua sahabat lama bertemu seperti kita dulu
Oooo, ini pamannya sama saja, hih, ini lho! Nyi Sorengrana mencubit pula lengan suaminya.
Keduanya tersenyum dan kembali masuk ke dalam setelah dua anak muda itu melarikan kuda-kudanya ke arah selatan serta lenyap dari pandangan mereka.
Angin senja yang segar serasa mengusap wajah mereka. Kedua anak muda itu tidak lagi memacu kudanya, tapi membiarkan kudanya berlari lari kecil kecil seenaknya. Mendekati semak pohon bambu yang terlihat di depan mereka. Cepat-cepat Mahesa Wulung berbisik kepada Pandan Arum. — Stt, Pandan. Waspadalah, ada sesuatu yang mencurigai dibalik semak-semak bambu itu. Dengarlah baik-baik.
Tapi sayang sekali ilmu Pandan Arum belum setinggi yang dimiliki oleh Mahesa Wulung sehingga ia hanya mendengar daun bambu yang bergeser-geser ditiup angin lain tidak! Sedang Mahesa Wulung berkat ilmu warisan ayahnya "Bayu Rasa" yang memungkinkan dirinya bergerak ringan seperti angin, juga bisa mendengar sesuatu dari jarak jauh lewat angin, kali ini merasa ada gerak lain diantara gerak-gerak daun bambu. Yaitu gerakan daun-daun bambu yang dikuakkan oleh tenaga lain. Bukan angin, tapi oleh tangan-tangan manusia juga terdengar jelas oleh telinganya ranting berderak kena injakan kaki.
Hee, siapa itu yang main sembunyi di semak bambu! Ayo, cepat keluar! Main-main seperti anak kecil saja! Teriak Mahesa Wulung dilambari tenaga dalam sehingga suaranya bergetar dan mengumandang di antara pohon-pohonan sekeliling.
Dengan tiba-tiba saja seleret sinar putih keluar dari semak bambu. — Awas, Pandan!— seru Mahesa Wulung. Mendengar seruan itu Pandan Arum yang telah memasang kesiagaan sejak tadi cepat bertindak. Ia menelungkupkan dirinya ke leher kudanya sehingga datar dengan punggung kuda. Sejengkal di atas kepalanya serasa anak panah lewat dengan sambaran angin yang hebat. Sekilas itu juga ia berpikir, bahwa Mahesa Wulung yang berkuda disampingnya, mungkin terkena panah karena ia tadi mendengar suara benda yang menancap namun ia menjadi terkejut seketika. Hai, orang pengecut, keluarlah! Ini panahmu telah kuterima baik-baik.
Ternyata Mahesa Wulung masih tegak duduk di atas kudanya tidak kurang suatu apa Tangan kanannya teracung keatas sedang diantara jari-jarinya terjepit sebatang anak panah. Inilah yang membuat Pandan Arum terkejut keheranan. Rupanya, suara tadi suara jepitan jari-jari Mahesa Wulung yang menangkap anak panah di tengah perjalanannya.
Bersamaan dengan itu, Mahesa Wulung segera memacu kudanya ke arah semak bambu, dari mana anak panah tadi ditembakkan. Hanya sayang ia masih kalah cepat sebab ia hanya sempat melihat kelebatan sosok tubuh yang seperti terbang meninggalkan tempat itu lalu lenyap digelap senja.
Segera Mahesa Wulung menarik kembali kekang kudanya mendapatkan Pandan Arum yang masih saja tertegun mengalami peristiwa yang baru saja terjadi.
Mari Pandan, kita meneruskan perjalanan pulang, rupa-rupanya saja ada yang tidak senang dengan kedatanganku kemari, -ujar Mahesa Wulung. Untunglah kita terhindar dari pokal yang jahat tadi dan ini anak panah yang akan kita jadikan bahan penyelidikan. Terima kasih kakang kau telah menyelamatkan diriku. -jawab Mahesa Wulung sambil memacu kudanya kembali ke arah tujuan semula. Sesaat mereka berpacu berdampingan
Hai, orang pengecut, keluarlah! Ini panahmu telah kuterima baik-baik!
-Ternyata Mahesa Wulung masih tegak duduk di atas kudanya tidak kurang suatu apa. Tangan kanannya teracung ke atas sedang diantara jari-jarinya terjepit sebatang anak panah. Nah itu kakang. Dua batang pohon asem tua yang saling bertautan itu adalah pintu gerbang ke desaku, desa Sekaju, setelah mereka melewati gerbang desa tadi kemudian Pandan Arum membelokkan kudanya ke barat yang segera pula diikuti oleh Mahesa Wulung. Di depan rumah yang ditumbuhi pohon sawo di kiri kanannya, keduanya berhenti dan turun dari kuda.
Tampak seorang laki-laki tua mendapatkan mereka. Wajahnya penuh keramahan, sedang tubuhnya masih cukup tegap.
Ayah, inilah kakang Mahesa Wulung yang mengantarku. Ia baru saja tiba dari Demak. Tentu Ayah belum lupa bukan ?
Ya, Ya aku tidak lupa nak, Mahesa Wulung putra mendiang Adi Soreng Yuda, begitu kan ? Baiklah, mari angger, kita duduk-duduk di dalam. -Ajak Ki Soratani. Lalu merekapun duduk. Serpentara Nyi Soratani menyiapkan ubi rebus dan minuman.
Angger Mahesa Wulung aku lihat tadi angger menggenggam sebatang anak panah — bertanya Ki Soratani.
Benar bapak, inilah -kata Mahesa Wulung serta menunjukkan anak panah yang sejak tadi digenggamnya, disambung dengan ceriteranya ketika peristiwa pencegatan tadi di semak pohon bambu. Kedua alis dan dahi Ki Soratani terangkat tinggi begitu ia menatap anak panah yang kini dipegangnya, suatu pertanda bahwa ada sesuatu yang membuatnya terkejut.
Hmm, angger Mahesa Wulung coba mendekatlah kemari dan dekatkan kemari lampu minyak agar kita dapat seksama meneliti anak panah ini. Kata Ki Soratani.
Ini perhatikan, mata anak panahnya, Bergigi-gigi runcing ke belakang dan setahu bapak, hal ini tidak wajar sebab daerah Asemarang sini hanya menggunakan anak panah mata biasa saja, yaitu berujung runcing tajem tanpa gigi ke belakang. Sedang itu hanya digunakan oleh gerombolan hitam dari Alas Roban saja.
Mahesa Wulung terdiam sejenak mendengar penuturan Ki Soratani itu, lalu otaknya segera berpikir keras menghubung-hubungkan peristiwa yang satu dengan yang lain sejak ia tiba dibandar Asemarang sampai saat ini.
Ya, bapak. Aku ingat sekarang, siang tadi ketika saja tiba di bandar, seseorang tampak selalu mengawasiku dari kedai minuman. Dialah rupanya salah seorang anggota gerombolan Alas Roban dan peristiwa pencegatan tadi pasti ada sangkut pautnya dengan dia.
Demikianlah setelah cukup waktu, Mahesa Wulung segera berpamitan kepada Ki Soratani suami istri dan kepada Niken Pandan Arum.
Jangan kapok lho nak, singgah kemari. Bapak, ibu akan selalu dengan senang hati menerima angger Mahesa Wulung, ujar mereka sedang Pandan Arum melepaskan pemuda itu disertai senyum yang manis. Bila diufuk Timur matahari telah mulai melepaskan sinarnya, tampaklah kesibukan di kampung Karang Asem pagi itu. Orang-orang yang pergi ke sawah hanya sebagian saja, terutama yang muda-muda pada berkumpul di halaman rumah Ki Sorengrana. Beberapa diantaranya ada yang membawa tombak, pedang dan ada pula bersenjata panah.
Setelah Ki Sorengrana memberi penjelasan secukupnya, maka merekapun segera mulai mengadakan latihan-latihan menggunakan bermacam-macam senjata.
Di bawah pohon beringin rindang tampaklah Pandan Arum melatih jurus-jurus pukulan maut "Lebur Waja". Didekatnya, tegak berdiri mengawasinya, Mahesa Wulung.
Adi Pandan, marilah kita berlatih bersama biar kita bisa saling melengkapi kekurangan-kekurangan yang ada. Seru Mahesa Wulung sambil meloncat ke muka Pandan Arum mengirimkan satu serangan tangan kanannya ke arah kepala. Meski semula terkejut cepat Pandan Arum menguasai dirinya dan dengan lincahnya memiringkan kepala ke kanan hingga serangan Mahesa Wulung mengenai udara kosong. Pada saat yang bersamaan itu Pandan Arum ganti melancarkan serangan ke arah ulu hati dengan kaki kirinya.
Mendapat serangan demikian Mahesa Wulung cepat menjejakkan kedua kakinya ke tanah sambil menyalurkan aji Bayu Rasa. Maka yang terlihat sangat mengagumkan. Seperti bola saja Mahesa Wulung melanting ke atas, dan ketika turun kembali ia membentangkan kedua tangannya dengan jari-jari yang mencefigkam. Gerak ini dipelajarinya dari gerak elang laut yang sering dilihat dan diperhatikannya selama ia berlayar kemana-mana. Jika elang laut sudah membentangkan sayapnya lebar-lebar pasti ia segera menukik ke air dan sejurus saja jari-jari kakinya tentu telah mencengkeram rnangsanya seekor ikan.
Diserang secara demikian Pandan Arum segera surut ke belakang beberapa langkah lalu iapun mulai menyalurkan aji Lebur Waja guna menyambut terkaman Mahesa Wulung. Tapi sekali lagi hatinya dibuat terkejut oleh gerakan Mahesa Wulung, begitu pukulannya hampir mengenai dada, pemuda itu tiba-tiba surut pula ke belakang dengan jungkir balik di udara dan tahu-tahu Mahesa Wulung tiba di tanah dengan berdiri tegak lengkap dengan memasang kuda-kudanya.
Bagus, kakang. Hebat sekali gerakanmu. -seru Pandan Arum sedang dihatinya iapun memberikan pujian kepada pemuda ini.
Terima kasih Pandan. -kata Mahesa Wulung-Kaupun pasti akan bisa menyamaiku jika rajin-rajin berlatih.
Sementara itu terdengar bunyi bende sekali dan merekapun berhenti mengadakan latihan keprajuritan. Sebagian pergi mencuci muka yang penuh dilekati debu, sebagian lagi telah menyiapkan sekedar hidangan menjadikan saat istirahat itu tampak lebih semarak.
Demikian juga Mahesa Wulung dan Pandan Arum tampak menikmati istirahatnya di bawah pohon beringin. Sungguh segar rasanya, lebih-lebih dengan duduk-duduk sambil makan juadah ketan dan minuman air kelapa muda.
Mahesa Wulung merebahkan dirinya ke atas akar-akar beringin sedang matanya menatap ke atas memperhatikan sulur-sulur beringin dan daunnya yang rindang.
Betapa bahagianya aku, seandainya bisa mencontoh makna pohon beringin. Akar dan sulurnya yang kuat dalam-dalam masuk ke dalam tanah menyebabkan batangnya dapat kokph berdiri. Jika aku dan setiap orang benar-benar berbakti kepada tanah airnya pastilah Nusantara akan menjadi satu negara yang kokoh. Atau dari daunnya yang rindang itu, yang dengan tulus ikhlas memberikan naungan kepada siapa saja, baik kepada yang miskin ataupun yang kaya, kepada yang berpangkat tinggi dan kepada yang rendahan. Sedemikianlah semoga aku dapat mencontohnya.
Belum lagi selesai berpikir-pikir, terdengar suara bende lagi sekali dan terasa tangannya digoncang-goncang.
Ayo, kakang kita berlatih lagi. Jangan melamun saja ah. Pagi-pagi kok sudah melamun. -seru Pandan Arum.-Kali ini paman akan melatih mereka menggunakan panah.-sambungnya -Selama di Demak apakah kakang masih sering menggunakan panah?
Tentu Pandan, aku masih tetap membawa panah kemana saja dalam mengarungi samodra. Kadang-kadang aku menggunakan panah untuk mendapatkan ikan-ikan di laut di samping keuntungan yang lain kudapatkan yaitu tetap berlatih panah. Sebab meskipun kita pandai setinggi langit tapi tidak sering dilatih, lama-lama kepandaian itu akan luntur dan surut dan musnah pada akhirnya.
Ki Sorengrana tampak sibuk membimbing mereka yang sedang berlatih. Kadang-kadang tak segan-segannya dia mengulang-ulang petunjuknya, malahan tidak jarang disertai bentakan-bentakan. Tapi orang-orang yang berlatihpun sadar bahwa bentakan-bentakan Ki Sorengrana itu demi kepentingan bersama, agar mereka dapat sempurna berlatih.
Ayo, ayo, perhatikan dalam menarik busur panahmu arahkan sejajar mata dan jangan lupa mengatur pernapasanmu.
Tetapi tiba-tiba kesibukan mereka berlatih itu dipecahkan oleh satu suara yang berdengung mengikuti seleret sinar putih meluncur dari gerumbul pohon-pohon pisang. Rupanya dengung itu tidak kecil pengaruhnya, terbukti beberapa orang terlongoh-longoh kebingungan seperti lumpuh tanpa dapat menggerakkan tubuhnya. Dengung tadi mempengaruhi perasaan seseorang dan juga kesadarannya.
Namun Mahesa Wulung berkat aji Bayu Rasanya dapatlah menebak dengan tepat bahwa dengung itu adalah dengung panah sendaren yang tengah meluncur ke arah sasarannya. Tapi siapakah sasarannya?
Begitu ia mengikuti dengung itu tahulah ia, panah itu meluncur ke arah Ki Sorengrana. Secepat kilat Mahesa Wulung bertindak. Cepat-cepat ia menarik sebatang anak panah dari kantong kulit yang bergantung dipinggangnya dan segera ditembakkannya ke arah suara yang berdengung itu. Hampir-hampir tidak mungkih rasanya itu bisa terjadi, tapi itu benar-benar terjadi. Seleret sinar putih lain memotong sinar putih pertama yang berdengung, lalu terdengarlah satu suara benturan yang keras, seolah-olah cabang pohon yang. dipatahkan oleh tenaga raksasa dan tahu-tahu jatuhlah ke atas tanah dua batang anak panah. Tapi yang sebuah patah terpotong tepat pada leher mata panahnya, sedang kira-kira dua jangkah tergeletak mata panahnya.
Mahesa Wulung lalu memungutnya, dan inilah yang membuatnya terperanjat.
Hee, lihat Pandan, lihatlah. Paman Sorengrana lihatlah ini, anak panah yang sama seperti yang digunakan oleh pencegat kemarin terhadap kami berdua. Menurut Ki Soratani mata panah itu biasa digunakan oleh gerombolan hitam Alas Roban.
Ah kau telah menyelamatkan nyawaku Mahesa Wulung. Mata Ki Sorengrana mengamat-amati mata anak panah yang diberikan oleh Mahesa Wulung. Dengan berlari-lari tibalah dua orang yang tadi mengejar ke arah asalnya anak panah sandaren meluncur. Ki Sorengrana, kami tidak menemukan sesuatu, kecuali jejak-jejak kaki saja, lapor kedua orang tadi.
Bapak guru, tunggu dulu — potong Pandan Arum sambil menunjukkan anak panah yang terpotong matanya tadi. Ada sesuatu yang diikatkan pada batang panah ini.
Ki Sorenprana lalu menerima anak panah itu dari Pandan Arum dan segera membuka simpul-simpul tali yang digunakan untuk mengikat secarik kain. Begitu dibukanya lipatan kain itu, terlihatlah tulisan dengan warna merah, berbau amis. Setelah diamat-amati ternyata tulisan dengan darah. Berbunyi. —Ki Sorengrana dan semuanya, jika masih ingin hidup lebih lama jangan sekali-kali mencoba menghalang-halangi pekerjaan kami—. Di bawah tulisan tertera semacam gambar, symbol kepala singa.
Hmm, benar kau Mahesa Wulung. Ini perbuatan gerombolan hitam Alas Roban dan ketahuilah lencana kepala singa ini sebagai ciri dari kepala gerombolan Alas Roban, dialah Singalodra-ujar Ki Sorengrana.
Gerombolan Singalodra? berbareng orang-orang menyebutnya dengan nada suara yang bergetar, pertanda bahwa mereka cukup gentar. Mengapa tidak? Setiap orang disepanjang pantai utara cukup mengenal keganasan Singaiodra. Dia mempunyai senjata sakti Trisula dan disertai dengan ilmunya "Senggara Macan" membuat dirinya merajai semua gerombolan dari Alas Roban. Beberapa saja yang telah jatuh korban karena berani menentang Singalodra. Kebanyakan mereka jatuh mati sebelum sempat mendekatinya. Karena Singalodra mempunyai kebiasaan menggertak lawannya dari jarak yang cukup jauh dilambari ilmunya "Senggara Macan", Sekali gertak saja, pasti lawannya akan jatuh karena isi rongga dadanya akan rontok.
Saudara-saudara sekalian — seru Mahesa Wulung memecah kesunyian. — Janganlah kalian merasa takut akan hal ini. Kita tidak akan sendiri-sendiri menghadapi gerombolan hitam Alas Roban. Dengan persatuan yang kokoh kita akan bersama-sama melawan mereka, saya bersedia membantu saudara-saudara.
Ya, ya kita akan tetap bersatu, kita hancurkan mereka. Serempak orang-orang berseru sambil mengacungkan tangannya ke atas penuh keyakinan.
Oleh sebab itu saudara-saudara, latihan seyogyanya kita akhiri sampai di sini dahulu, sambung Mahesa Wuiung pula. Begitulah, sehabis Ki Sorengrana mengucapkan terima kasih atas kesungguhan mereka berlatih, maka orang-orangpun bubar dan kembali ketempatnya masing-masing.
Kini tempat ini lalu kembali sepi. Yang ada disitu tinggal Ki Sorengrana, Mahesa Wulung dan Pandan Arum. Tampak Ki Sorengrana masih saja meneliti mata anak panah yang ada ditangannya.
Mahesa Wulung, aku merasa lega dan bangga mempunyai kemenakan seperti kau. Semua kepandaian dan keperwiraan ayahmu telah kau warisi dengan sempurna. Ki Sorengrana berkata.
Tapi apakah kau telah diceritai oleh ayahmu tentang guru-guru yang pernah mengajarkan keperwiraan dan kepandaian kepadanya?
Belum pernah, paman. -jawab Mahesa Wulung-Mungkin pernah juga tapi aku kini sudah lupa. Waktu ayah sering melatihku di pesisir bandar Asemarang dulu, aku masih kecil hingga kadang-kadang kurang memperhatikan ceritera-ceritera ayah. Apakah paman mengetahui, ayah pernah mempunyai guru ketika itu?
Benar, Wulung. Ayahmu dulu pernah berguru kepada pendekar sakti Bayu Sekti yang menurut ceritera ayahmu dulu, Bayu Sekti adalah masih keturunan Majapahit. Nenek moyangnya adalah pendekar-pendekar dari Bhayangkara, pasukan khusus pengawal raja. Ketika Bayu Sekti masih muda dia termasuk golongan tinggi dari tokoh-tokoh sakti di masa itu, sehingga ia sangat disegani. Terlebih lagi, dia suka berbuat kebajikan. Maka tidak jarang ia sering terlibat dalam pertempuran melawan golongan-golongan hitam yang sering membuat kekacauan disepanjang pantai utara Jawa.
Tapi kini ia sudah tidak muda lagi, lalu mengasingkan diri di sebelah selatan Asemarang. Di sana, di daerah pegunungan Tanah Putih ia tinggal dan memberikan pelajaran-pelajaran kebajikan serta keluhuran budi. Oleh sebab itu, gerombolan-gerombolan hitam merasa tidak ada lagi yang menjadi penghalang. Sehingga mereka berani lagi melakukan pengacauan-pengacauan yang dulu telah lama sekali terhenti akibat tindakan-tindakan pendekar Bayu Sekti. Kalau kau ingin menemuinya, Wulung, itu lebih baik. Mungkin kau masih akan mendapat lebih banyak bimbingan dari Panembahan Bayu Sekti. Seperti ilmu yang telah kau punyai. Bayu Rasa, itulah hasil ciptaan Panembahan Bayu Sekti. Kadang-kadang orang memanggilnya pula dengan nama Pa-nembahan Tanah Putih karena ia tinggal dipadepokan Tanah Putih. -Ki Sorengrana berhenti sejenak sambil menelan ludah, lalu berkata lagi-Kalau kau ingin ke sana, berangkatlah besok pagi-pagi dari sini, Wulung. Pesanku, kau harus waspada, sebab rupa-rupanya gerombolan hitam Alas Roban telah menyelinap ke mana-mana terbukti dengan dua peristiwa yang telah kita alami. Mungkin mereka memata-mataimu dan telah mengetahui maksud kita yang sesungguhnya.
Baik paman, besok aku akan berangkat pagi-pagi sekali dari sini. Apakah benar pegunungan Tanah Putih itu terletak di sebelah Tenggara arahnya dari kampung Borang? kembali Mahesa Wulung bertanya.
Ya. -jawab Ki Sorengrana-Saya kira ada baiknya kau tidak usah melewati kampung itu. Siapa tahu ke-pergianmu ini akan menarik perhatian gerombolan hitam Alas Roban. Pakailah jalan menerobos hutan-hutan di situ hingga kau akan cepat tiba di tanah Putih dan juga tidak terlalu menyolok. Dengan tidak terasa, matahari telah condong ke Barat, sinarnya kini sudah tidak lagi sepanas bara. Malahan angin laut yang segar bertiup ke selatan. Beberapa gerombolan burung-burung unggas lewat di-angkasa, pulang kembali kesarangnya setelah seharian
penuh pergi mencari makan.
Sesekali terdengar kokok ayam jantan mengalun dengan merdunya. Setelah meminta diri, Mahesa Wulung pergi mengantar Pandan Arum kembali kerumahnya.
--¤¤¦ « 2 » ¦¤¤--
Mahesa Wulung, hati-hatilah di jalanan nak, ini panah paman bawa pula olehmu, mungkin ada gunanya nanti. -ujar Ki Sorengrana sambil mengulurkan tangannya memberi salam. Segera Mahesa Wulung menerima panah dan menjabat tangan pamannya seraya tunduk memberi hormat.-Terima kasih paman, segala nasehat akan saya perhatikan sungguh-sungguh. Sekali lagi Mahesa Wulung memberi hormat kepada bibinya yang juga ikut mengantarnya sampai di haiaman rumah.
Selamat jalan Wulung. -seru mereka berdua-Semoga engkau berhasil dan Tuhan Yang Maha Pemurah akan menghindarkanmu dari segala mara bahaya. Mahesa Wulung lalu meloncat ke atas punggung kudanya dan memacunya ke arah selatan. Dalam sekejap saja Ki Sorengrana dan istrinya tinggal melihat debu yang beterbangan, makin lama semakin jauh dan akhirnya lenyap ditelan hutan. Kini Mahesa Wulung telah menerobos hutan dan jalannya mengikuti jalan rintisan yang hanya biasa dilalui orang. Sebenarnya ada jalan yang lebih baik dan lebar tapi itu biasa digunakan lalu lintas umum, sering orang-orang berkuda lewat di sana, orang-orang berdagang hasil bumi, sekali-kali lewat pula rombongan orang-orang memikul tandu seorang pembesar praja. Dengan demikian Mahesa Wulung merasa aman sebab ia yakin tidak akan seorangpun yang bakal menjumpainya di jalan rintisan ini.
Perjalanannya kini makin-jauh masuk ke dalam hutan. Udara pagi terasa menyegarkan rongga dada. Mahesa Wulung diam-diam merasa kagum akan keindahan alam di sini, tapi sayang kadang-kadang manusia sendirilah yang dikatakan makhluk termulia itu, yang sering merusak alam yang diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Pengasih.
Beberapa rumpun anggrek liar tumbuh di sana sini dengan beraneka warnanya. Udara pagi telah membawa baunya yang sedap itu memenuhi alam sekelilingnya. Berkas-berkas sinar mataharipun mulai menembus lewat celah-celah daun menambah indahnya panorama alam. Belum lagi Mahesa Wulung selesai menikmati suasana pagi itu, tiba-tiba saja ketika ia akan membelokkan kudanya menurut arah ke kiri, telinganya yang tajam telah menangkap derap kaki kuda dari arah selatan menuju ke utara. Terbiasa menghadapi hal-hal yang mendadak ini, Mahesa Wulung tidak kehilangan akal. Cepat-cepat ia membelokkan kudanya masuk ke tepi jalan yang rimbun oleh ilalang, dan untunglah ia bertindak dengan cepat, kalau tidak pasti ia akan berpapasan dengan orang yang baru datang itu. Berkat naluriahnya yang terlatih itu ia mengambil kesimpulan bahwa orang yang sedang mendatang itu pasti punya maksud-maksud lain, seperti Mahesa Wulung sendiri yang mencoba menghindari untuk tidak bertemu dengan siapa-siapa.
Dari balik rumput ilalang tempat ia bersembunyi itu, ia kini dapat melihat dengan jelas orang-orang yang berkuda itu. Semua ada lima orang dengan mengenakan pakaian hitam-hitam. Hampir kesemuanya bersenjata panah tapi di pinggang mereka tergantung pula pedang-pedang pendek.
Tidak hanya keadaan mereka saja yang jelas tapi percakapan merekapun jelas terdengar oleh Mahesa Wulung.
Kita serahkan saja Panembahan Tua bangka itu kepada kakang Sima Gereng dengan keempat anak buahnya, pasti sekejap saja kakek tua itu akan mampus olehnya. -kata seorang yang berkumis lebat kepada keempat orang lainnya. Pelana kudanya dialasi dengan kulit macan tutul. Disusul suara ketawa cekakakan yang memuakkan.
Rupa-rupanya yang berpelana kulit macan tutul itulah kepala dari rombongan ini -pikir Mahesa Wulung.-Dan siapakah yang dimaksud dengan sebutan kakek oleh mereka itu? Dilihat dari solah tingkahnya dan ciri-cirinya setidak-tidaknya mereka dari gerombolan penjahat, sebab untuk menghadapi seorang kakek saja mereka telah mengerahkan lima orang kawannya. Seperti yang tersebut tadi dipimpin oleh seorang yang bernama Sima Gereng. Sejurus kemudian rombongan berkuda tadi telah lenyap ke sebelah utara. Sesaat setelah itu Mahesa Wulung kembali membawa kudanya dari rumpun ilalang ke jalan yang semula dan cepat memacunya ke arah selatan, kemudian belok ke timur. Jalan yang dilaluinya tidak kini lagi mendatar tapi mulai naik dan semakin naik berbelok-belok. Mahesa Wulung telah mengambah tanah pegunungan di selatan
Asemmarang.
Di sini tanahnya ada yang seperti kapur berwarna putih, pastilah saja telah tiba di tanah Putih. Berkat ilmunya "Bayu Rasa", telinganya yang tajam itu dapat menangkap suatu bentrokan senjata di lembah sebelah sana. Meskipun hal itu belum tampak dihadapan mata, namun lewat angin yang berhembus, dapatlah Mahesa Wulung merasakannya.
Mahesa Wulung sudah tidak sabar lagi, maka dengan ujung kendali ia mencambuk leher kudanya untuk maju ke depan lebih cepat lagi.
Kalau mereka tadi menyebut kakek tua yang dikeroyok oleh Sima Gereng dengan sebuatan Panembahan, pastilah ia tidak ada lain lagi, kecuali Panem-bahan Tanah Putih atau Bayu Sekti yang harus ditemuinya. Ah, ini bahaya yang besar bagi panembahan itu. Biarpun ia gagah perwira, tapi itu kan dulu waktu masih muda sedang sekarang ini ia sudah tua dan lebih-lebih ia dikeroyok pula lima orang.
Mendapat pikiran demikian itu Mahesa Wulung sudah tidak sabar lagi, cepat-cepat memacu kudanya ke arah suara tersebut. Setelah menuruni lembah dan membelok ke kiri maka terlihat olehnya satu pemandangan yang mengagumkan.
Seorang tua berjenggot putih, berjubah kelabu dan bersenjata tongkat yang bercabang ujungnya telah sibuk dan terlibat dalam satu pertempuran hebat melawah lima orang. Tiga orang diantaranya bersenjata pedang pendek, seorang lagi bersenjata dua buah pisau panjang, dan orang kelima yang memimpin serangan keroyokan itu bersenjata penggada yang pada ujungnya. dipasangi dengan bola besi berduri-duri runcing.
Hmm, ternyata dugaanku benar, itulah pasti Panembahan Tanah Putih. Gerakannya menggunakan unsur aji Bayu Rasa seperti yang kumiliki. Tapi yang ini lebih hebat lagi, mungkin sudah lebih disempurnakan oleh Panembahan Tanah Putih. Pukulan dengan tongkatnya telah menimbulkan angin yang bergulung-gulung. Demikian pikir Mahesa Wulung diam-diam, penuh kagum. Dengan penuh perhatian ia mengikuti pertempuran ini. Untuk itu maka ia segera turun dari atas kudanya, lalu bersembunyi di belakang semak-semak. Saking terpengaruhnya oleh gerak-gerak kakek yang luar biasa itu ia secara tidak sadar turut menirukan gerakannya, mula-mula hanya menggerakkan tangannya, disusul kakinya dan akhirnya keseluruhan gerak kakek itu tertiru olehnya. Mereka, antara si kakek dan Mahesa Wulung berilmu yang sama yaitu aji Bayu Rasa meskipun Mahesa Wulung masih dalam tataran yang masih rendah, tapi setidak-tidaknya mempunyai dasar-dasar yang sama, sehingga meski ada gerak-gerak yang baru dan belum dikenalnya tapi dengan mudah dapat segera dikerjakannya.
Panembahan Tanah Putih bergerak dengan cepatnya ke sana, ke mari terkadang meloncat tinggi dan turun dengan menerkam lawannya benar-benar seperti burung sikatan menyambar belalang.
Sampai saat itu Mahesa Wulung masih sebagai penonton saja serta berkali-kali menirukan gerak Pa-nembahan Tanah Putih sebab tidaklah ia melihat kesukaran pada si kakek berjenggot putih itu. Namun kini ia sudah tidak muda lagi, jadi lama-lama ia agak kerepotan juga menghadapi lima orang lawan tangguh sekaligus.
Salah seorang dari pengeroyok itu secara diam-diam telah menjauhkan diri dari titik pertempuran dengan lompatan ke belakang. Segera ia memasang panah untuk dibidikkan ke arah si kakek.
Tapi belum lagi membidik, Mahesa Wulung bertindak lebih cepat lagi. Dipungutnya sebutir kerikil dan serta merta dilemparkannya ke arah sipembidik gelap itu. Yang terlihat hanyalah seleret sinar yang menyambar kepala si pemanah yang kontan jatuh terjungkal sambil peringisan karena sakit dan gagallah serangannya oleh lemparan kerikil Mahesa Wulung. Tentu saja orang tadi terjungkal, karena lemparan kerikil tadi juga dilambari tenaga dalam dan jurus pukulan maut "Lebur Waja". Walau masih geloyoran orang tersebut mencoba berdiri dan bersiaga. Sinar matanya penuh kemarahan, sedang pada pelipisnya terlihat bengkak kebiru-biruan mengandung darah sebesar buah salak.
Sejurus kemudian Mahesa Wulungpun terjun ke dalam pertempuran itu. Kedatangannya membuat Panembahan Bayu Sekti keheranan, lebih-lebih buat lawan-lawannya, maka pertempuran itu makin dahsyat. Antara gerak Mahesa Wulung dengan Panembahan Bayu Sekti terjalin erat saling mengisi. Jika yang satu menerkam, yang lain meloncat tinggi. Persis dua ekor sikatan kembar.
Bagi Mahesa Wulung iapun merasa kagum kepada kakek yang dengan lincah melayani tiga orang penyerangnya itu. Kini kakek itu agak ringan karena musuhnya yang dua lagi ganti menyerang si pemuda yang baru datang ini. Kini gerak kakek itu makin ganas, sedang jenggotnya yang putih itu melambai-lambai lucu tertiup angin.
Setelah belasan jurus mereka bertempur tiba-tiba terdengar satu jerit kesakitan dan ternyata Panembahan Bayu Sekti berhasil menotok jalan darah dari salah seorang penyerangnya dan bagaikan sehelai kain yang dijatuhkan, orang tadi rebah di tanah dengan tubuh yang pucat pasi tanpa daya. Sekarang masing-masing menghadapi dua orang lawan.
Dalam bertempur itu Panembahan Bayu Sekti sempat pula melirik wajah penolongnya yang baru saja datang itu. Ia belum pernah mengenalnya.
Wah, anak muda ini hebat dan yang tak habis-heranku, diapun menguasai ilmu Bayurasa dengan baik. Tidak boleh tidak ia pasti ada hubunganya dengan mendiang muridku pahlawan Sorengyuda, karena ilmu itu hanya kuajarkan kepadanya. -demikian pikir Panembahan Bayu Sekti sekilas.
Keempat gerombolan ini terpaksa harus bekerja mati-matian menghadapi kedua lawannya yang berilmu kembar ini. Sima Gereng yang menghadapi Bayu Sekti merasa kewalahan biarpun ia menggunakan penggada berujung bola besi berduri yang menimbulkan sambaran-sambaran angin yang dahsyat. Kawannya yang seorang juga berjuang tak kalah hebatnya, dengan bersenjata pedang pendek diputarnya bagaikan baling-baling berpijar mengeluarkan sinar putih yang bergulung-gulung, hingga ia mendapat julukan Kitiran.
Satu lingkaran pertempuran lagi tak kurang dahsyatnya. Mahesa Wulung yang dikeroyok oleh dua orang itu dapat bergerak dengan lincahnya ke sana ke mari. Lawannya yang seorang bersenjata sepasang pisau panjang berkilat-kilat bergerak cukup mengerikan.
Dengan kedua tangannya bersenjata pisau itu ia mampu menirukan gerak kalajengking yang sedang menerkam mangsanya, seperti sapitnya saja kedua pisau itu saling mencengkeram maka tak ada salahnya kalau kawan-kawannya memanggil dengan nama Sapit Ireng. Sedang lawannya yang seorang lagi bersenjata pedang pendek bergerak disertai wajah yang merah karena kemarahan, disebabkan pemuda yang menjadi lawannya inilah yang telah berani melempar kepalanya dengan sebutir kerikil hingga bengkak. Suatu penghinaan yang besar baginya, selama ia menjadi anggota gerombolan hitam Alas Roban belum pernah begitu mudah terjungkal jatuh hanya disebabkan lemparan seorang anak muda dengan menggunakan batu kerikil saja. Maka ia bertekat membalas sakit hatinya dengan mencencang lumat anak muda ini. Gerakan pedangnya sangat membingungkan pandangan, sekali membabat dari atas tegak lurus ke bawah dan sekali membabat dari samping mendatar sukar dikira-kirakan antara serangannya yang satu dengan berikutnya. Karena badannya pendek ia dipanggil Bugelan.
Tapi kali ini lawan yang dihadapinya bukan sembarangan, meski Mahesa Wulung berusia masih muda sekali, tapi ia berpengalaman sangat luas, bertempur di mana-mana bersama armada Demak melawan orang-orang Portugis yang berbaju besi dan ber-senjata api. Sampai saat terakhir belum satupun yang jatuh sebagai korban. Tak lama kemudian Sima Gereng mengeluarkan satu suwitan yang nyaring dan bernada tinggi, yang bagi gerombolan Alas Roban berarti harus secepatnya, mengakhiri pertempuran dan meninggalkan tempat itu. Dalam hati ia mengutuk mengumpat sejadi-jadinya kepada anak muda yang datang menolong Panembahan Tanah Putih. Kalau tidak, pasti ia berempat dengan kawannya akan dapat mengakhiri pertempuran itu dengan kemenangan pada pihaknya.
Maka Sima Gereng dengan ketiga kawannya berlompatan mundur meninggalkan arena pertempuran. Tapi disaat itu juga Panembahan Tanah Putih sempat bergerak dengan kilat dan memukulkan tongkatnya pada punggung Sima Gereng yang mana lalu berteriak dengan kesakitan dan darah merah terlihat keluar dari mulutnya. Rupanya saja Sima Gereng meski luka-luka di dalam ia tergolong jagoan dari gerombolan hitam Alas Roban sehingga ia tetap dapat berlari dengan cepatnya meninggalkan tempat itu beserta ketiga kawannya.
Sedang yang seorang lagi yang tertotok jalan darahnya oleh Panembahan Tanah Putih tetap tertinggal di situ karena dirinya tak mampu bergerak. Sewaktu keempatnya berlompatan mundur, masih terdengar teriakan Sima Gereng mengancam: —Awas kau berdua. Sekali waktu akan kulumatkan batang tubuhmul— Tapi mendengar itu Panembahan Tanah Putih cuma tertawa terkekeh-kekeh.
Setelah keempatnya lenyap digerumbul semak-semak, Panembahan Tanah Putih lalu mendekati Mahesa Wulung. —Terima kasih anak muda, angger telah bersusah payah sudi membantu pekerjaanku. Mereka tadi tiba-tiba menyerangku ketika aku pulang dari mengobati orang sakit.
Tidak apalah kakek, sayapun minta maaf sebelumnya karena telah berani turut campur dalam pertempuran tadi, hanya terdorong oleh rasa keadilan, yang merasa muak karena melihat mereka berlima mengeroyok seorang tua seperti andika.— jawab Mahesa Wulung sambil menghormat.
Marilah kau singgah ditempatku angger, agar kita bisa berbincang-bincang dengan sepuasnya, ajak orang tua ini. Dan sebelum itu ada baiknya kita menanyai orang yang tergeletak itu, dari mana asalnya mereka.
Keduanya lalu mendekati orang itu badannya kelihatan pucat dan mulutnya sebentar-sebentar menahan sakit, menyeringai-nyeringai.
Kisanak, siapakah kau dan apa maksudmu tadi mengeroyok saya? -tanya Panembahan tua itu sambil menyandarkan orang tersebut ke sebuah batu besar.
Kami harus melenyapkanmu panembahan busuk, karena kaulah yang menjadi penghalang gerombolan kami Alas Roban melakukan pekerjaan! -sahut orang itu dengan napas turun naik.
Dan lagi kami akan membalaskan sakit hati Singalodra ketua gerombolan kami yang dulu pernah kau lukai dalam pertempuran di pesisir Tegal.
Hmm, ya aku ingat sekarang! -sahut orang tua itu. -Lalu siapa guru kalian ? -tanyanya pula.
Guru kami tidak lain Ki Macan Kuping. -jawab orang itu lagi.
Mendengar nama Macan Kuping, Mahesa Wulung terkejut amat, sebab nama itu terkenal dan sering disebut-sebut orang semasa ia kecil sebagai tokoh sakti yang katanya dapat merobah dirinya menjadi macan gadungan.
Makin bertambah jelas lagi kini, iapun pernah bertempur melawanku semasa aku masih muda. Ini semuanya berkisar antara dendam lama yang turun temurun! -geram kakek tua itu. Bersamaan dengan itu terdengarlah bunyi dengung bernada tinggi dan tahu-tahu orang itu mengeluarkan teriak yang tertahan.
Aaaaacccchhhh! -Sebatang anak panah tertunjam pada dadanya dan orang tadi mati seketika.
Gila ini! -seru Panembahan Tanah Putih. -Mereka tega membunuh sendiri anak buahnya.
Rupanya mereka takut orang ini berceritera lebih banyak tentang gerombolannya. -sambung Mahesa Wulung. Sambil lalu ia memperhatikan anak panah itu dan juga anak panah yang tergantung dipinggang orang yang mati itu. Ternyata ujung mata panahnya bergigi runcing-runcing ke belakang.
Eh, ngger marilah kita berlalu dari tempat ini. Tempatku ada di atas sana. -Lalu keduanyapun berjalan bersama-beriring. Orang tua itu ada di sebelah depan sedang Mahesa Wulung di belakang sambil menuntun kudanya. Hampir-hampir tak percaya rasanya, melihat Panembahan tua itu berjalan didepannya disebabkan jalannya yang terlalu cepat sedang tempat yang dituju masih ada di sebelah atas dan jalannya makin menanjak. Sebagai anak muda ia merasa kagum menjumpai orang tua yang dapat berjalan cepat bagaikan angin.
Sesudah mereka sampai di pohon randu alas yang besar, membelok ke kiri memasuki sebuah pintu gerbang yang terdiri dari dua buah batu besar yang muncul kepermukaan tanah. Sungguh amat mengesankan. Kini tibalah mereka di sebuah padepokan.
Beberapa orang laki-laki murid Panembahan ini tampak menyambut kedatangan mereka.
Oh kyai, seru salah seorang diantaranya. -Mengapa banyak debu yang mengotori jubah Panembahan?
Ini tadi ada sedikit main-main dengan anak murid Ki Macan Kuping dari Alas Roban, jawab Panembahan tua itu
Dan ini perkenalkan tamuku. Namanya .... Eh, siapa anak muda kau tadi belum menyebutkan namamu.
Nama saya, Mahesa Wulung, Panembahan. –kata Mahesa Wulung.
Baiklah, kita membersihkan badan dulu, lalu kita duduk di dalam, -ajak Panembahan Tanah Putih kepada Mahesa Wulung.
Dalam ruang padepokan yang tampak bersih itu, Panembahan Tanah Putih duduk bersila sedang dihadapannya duduk pula Mahesa Wulung di samping murid-murid lainnya. Di ruang itu tampak beberapa kitab yang disimpan sangat rapi, diantaranya sudah ada yang kelihatan kekuning-kuningan karena lamanya. Terlihat pula oleh Mahesa Wulung tulisan-tulisan pada daun lontar yang dirangkai dengan tali berwarna merah.
Angger Mahesa Wulung kemanakah tujuanmu yang semula sebelum engkau bertemu dengan aku? tanya Panembahan kepada Mahesa Wulung.
Sebenarnya tujuan saya semula juga akan menghadap Panembahan kemari. Saya datang dari Demak dan tinggal di Asemarang di rumah paman Ki Soreng-rana. Mendengar penuturan Mahesa Wulung itu tampak wajah Panembahan menjadi cerah.
Jadi angger ini kemenakan Ki Sorengrana dari Asemarang?
Benar, panembahan. Dan saya juga putra Ki Sorengyuda.
Oooo, Allah jadi kau juga putra mendiang muridku, Ki Sorengyuda perwira itu. -seru panembahan tua itu dengan sukanya. Tampak matanya yang telah tua itu berkaca-kaca. Ia merasa terharu dan dugaannya ternyata benar, karena ketika bertempur tadi anak muda ini, tidak lain Mahesa Wulung menggunakan unsur gerak aji "Bayu Rasa" yang pernah diajarkan kepada muridnya kinasih Ki Sorengyuda.
Kalau begitu angger Mahesa Wulung, tinggallah engkau di sini beberapa lama. Kau akan kuberi gemblengan seperti mendiang ayahmu dahulu, -pinta Panembahan Tanah Putih kepada Mahesa Wulung.
Terima kasih Panembahan.
Hari demi hari, selama tinggal di padepokan Tanah Putih itu, Mahesa Wulung mendapat kemajuan yang amat cepatnya dan Panembahan Tanah Putih mempunyai kebiasaan yang aneh. Ia tidak hanya mengajarkan ilmu hanya dengan duduk-duduk di padepokan saja, tapi muridnya Mahesa Wulung dibawanya pergi berjalan-jalan ke mana-mana.
Sekali waktu diajaknya Mahesa Wulung berlari cepat. Bagi orang yang belum tahu pasti akan menganggap bahwa orang tua ini kurang sehat pikirannya masakan sudah tua begitu masih suka berlari-lari.
Mahesa Wulung coba tangkap dan kejarlah aku! -seru orang tua itu kepada muridnya. Semula Mahesa Wulung berragu mendengar permintaan orang tua ini tapi ketika ia menerkam orang itu itu untuk ditangkapnya, tiba-tiba meloncat ke atas jungkir balik di udara dan tahu-tahu ada di belakangnya.
Heee, angger Mahesa Wulung aku ada di belakangmu. -seru sang panembahan sambil menepuk punggung Mahesa Wulung. Untung Mahesa Wulung sudah terlatih, kalau tidak, ditepuk sedemikian pasti akan terhoyong-hoyong ke depan.
Heh, heh, heh, ayo Mahesa Wulung tangkaplah aku lekas! Kalau demikian caramu, kau akan jatuh sekali gebrak oleh musuhmu.
Secepat kilat Mahesa Wulung membalikkan tubuhnya dan siap menerkam ke belakang dengan jurus Lebur Waja. Tapi yah, Panembahan itu dengan lincah meloncat mundur beberapa langkah ke belakang sambil tidak lupa ketawanya yang lucu menggema di udara. Kini ia berlari-lari yang sebentar-bentar diselingi dengan loncatan.
Melihat hal itu, Mahesa Wulung segera mengejarnya pula dengan mengetrapkan ilmunya Bayu Rasa sehingga yang terlihat sangat mengagumkan pandangan. Keduanya seolah-olah dua ekor kijang yang sedang berkejar-kejaran, melompati sungai, turun ketebing sebentar naik ke lembah, sebentar lagi melompati jurang.
Sambil berkejar-kejaran Panembahan Tanah Putih memberikan petunjuk-petunjuknya kepada Mahesa Wulung.
Perhatikan Wulung. Aturlah napasmu, waktu melompat tahan dulu napasmu, dan sebelum menginjak bumi kembali jangan keluarkan. Suatu ketika hampir saja Mahesa Wulung ketika melompati jurang jatuh terperosok karena tidak sampai, tapi terasa pinggangnya disambar oleh Panembahan dan keduanya selamat sampai seberang.
Janganlah berbuat sesuatu dengan merasa ragu-ragu Wulung, itu akan mencelakakanmu nanti. Cepatlah berpikir dan bertindak.
Terima kasih guru, -kata Mahesa Wulung agak malu karena memang ia tadi merasa bimbang ketika akan melompati jurang itu.
Pada hari berikutnya diajarkannya kepada Mahesa Wulung ilmu memusatkan pikiran. Mula-mula latihan yang ringan-ringan saja seperti berdiri tegak lurus tanpa bergerak sampai waktu yang tertentu, kemudian berdiri terbalik tegak lurus dengan kepala di bawah sedang kedua tangan bertekan pada tanah sebagai penumpu. Sepintas lalu seperti latihan-latihan Yoga. Terakhir ialah latihan di bawah air terjun. Diajaknya Mahesa Wulung ke arah selatan ke tanah yang berjurang-jurang. Di sana terdapat air terjun. Di sisi tebingnya terlihat ada jenjang yang bertingkat-tingkat sangat tinggi. Orang-orang disitu menyebutnya tempat itu dengan nama Ondo Rante artinya tangga yang berantai. Dengan sikap yang berdiri lurus sedang kedua tangan ditekuk di muka dada dan kedua telapak tangan ditelengkupkan menjadi satu seperti tangan yang menyembah, Mahesa Wulung tegak di bawah air terjun dan memusatkan perhatiannya menjadi satu, sehingga hantaman dan deburan air yang terjun dari atas menimpa kepala dan tubuhnya itu tidak terasa sama sekali. Malahan kini rasanya seperti memijat-mijat tubuhnya dengan segar. Berbeda dengan mula-mula waktu mencoba, Mahesa Wulung hampir terhuyung-huyung jatuh. Ilmu atau sikap ini boleh disebut -Tugu Wasesa-yang akan membuat seseorang tetap tegak meski ada angin atau getaran yang keras menimpa tubuhnya, laksana sebuah tugu yang tidak akan retak kena panas dan tidak hanyut oleh hujan.
Begitulah Panembahan Tanah Putih tidak tanggung-tanggung dalam melatih dan menggembleng muridnya hari demi hari dan dari minggu ke minggu. Untuk yang terakhir ini panembahan tua itu melatih Mahesa Wulung dengan jurus-jurus pukulan maut yang tak kalah hebatnya dengan aji -Lebur Waja-yang telah dimiliki oleh muridnya.
Mahesa Wulung, coba kali ini kau akan kulatih dengan jurus-jurus pukulan maut. Aku belum memberinya nama terhadap aji itu, tetapi kau boleh tetap menyebutnya seperti jurus pukulan Lebur Waja yang telah diajarkan oleh pamanmu itu. Dengan menggabungkan kedua unsur pukulan itu, kau akan berhasil memiliki tenaga pukulan yang dahsyat sedahsyat aji pukulan gada yang pernah dimiliki oleh Sang Bima penengah Pendawa ialah gada Rujak Polo. Sang Bima itu pernah memukul hancur sebuah gunung anakan.
Coba perhatikan, Wulung. Salurkanlah sikap Tugu Wasesa yang telah kau pelajari dan terkenal tak goyah oleh benturan keras itu. Aku akan mengujinya dengan tiga kali pukulan dari jarak yang cukup jauh. Nah, bersiaplah untuk percobaan ini sebelum kau terima seluruhnya aji pukulan maut dari saya, ini sebagai ujian serta dasar-dasar pertama.
Ini sisi telapak tangan digunakan untuk memukul sedang dua jari tengah, telunjuk dan penengah dirapatkan lurus ke depan dan ketiga jari lainnya disatukan mengepal pada telapak tangan bisa kau gunakan sebagai penusuk setajam pedang. -kata orang tua itu dan diperhatikan sungguh oleh Mahesa Wulung, lanjutnya :
Dengan memusatkan perhatian dan menyalurkan tenaga dalam serta kekuatanmu, barulah kau memukulkan tanganmu. Sekarang yang pertama, -kata Sang Panembahan menggerakkan tangannya. Pada waktu itu keduanya ada di sebuah lembah yang sepi, tak seorangpun yang tampak. Mereka duduk berhadapan dengan jarak yang cukup jauhnya.
Panembahan Tanah Putih memukul dua jarinya ke depan dan akibatnya cukup hebat. Mahesa Wulung yang telah menyalurkan sikap Tugu Wasesa itu masih tergoyang ke belakang dari duduknya dan hampir-hampir jatuh terjengkang, hanya terkena angin pukulannya saja, belum lagi sungguh-sunggu terpukul. Kali ini Mahesa Wulung cukup merasa ngeri, dibayangkannya seandainya benar-benar terpukul, pasti akan luar biasa akibatnya, mungkin ia tak akan melihat lagi sinar matahari.
Mahesa Wulung, sekarang kau boleh bertahan dengan sikap berdiri!
Baik guru! jawab Mahesa Wulung yang segera berdiri dan bersiaga.
Ini yang kedua! -Sang Panembahan berganti memukulkan sisi tangannya ke depan dan yang kedua ini tak kalah hebatnya, Mahesa Wulung terdorong mun-dur oleh angin pukulan gurunya ke belakang beberapa jangkah. Tapi Mahesa Wulung yang terkenal tangguh itu secepatnya meloncat kembali ke depan dengan bersiaga serta menyalurkan aji Bayu Rasa dan Tugu Wasesa sekaligus sebab ia kini telah merasakan, akibat angin pukulan gurunya untuk pukulan yang ketiga ini Mahesa Wulung tidak mau meremehkan kepada gurunya.
Nah, untuk yang terakhir ini, terimalah kini pukulan yang ketiga-seru Panembahan Tanah Putih sambil memukulkan sisi telapak tangannya ke depan. Tenaga angin dari pukulan yang ketiga inilah terhebat dari pada yang pertama dan kedua. Biarpun Mahesa Wulung telah dibentengi oleh aji Bayu Rasa dan Tugu Wasesa, tak dapat dibuat mempertahankan dirinya dari angin pukulan ini, maka tak ampun lagi dirinya terpental jatuh ke belakang jungkir balik beberapa tumbak jauhnya. Di sini aji Bayu Rasa masih ada perlunya, sehingga meskipun ia jatuh jungkir balik, tidaklah terlalu keras terasa dan juga tidak menyebabkan luka-luka yang berarti, kecuali goresan-goresan kecil yang berdarah.
Heh, heh, memang aku percaya kau ulet sekali Mahesa Wulung. Pada pundakmulah aku boleh meletakkan harapanku, agar kau menjadi seorang yang perwira, setia dan berbudi luhur. Baiklah, kita pulang dulu sekarang dan mengobati luka-lukamu itu. Besok kau boleh mulai puasa mutih, sebelum kuajarkan padamu jurus pukulan maut ini. Hanya pesanku saja, jangan kau sembrono dan sembarangan menggunakan pukulan maut ini jika tidak perlu sekali. Apakah kau bersedia mengindahkan pesanku ini Wulung?
Baik sang Panembahan, saya akan sungguh-sungguh mengikuti pesan-pesan Panembahan.
Ingatlah, meskipun seseorang telah punya kesaktian ataupun mempunyai kekuasaan yang besar, bila ia menyombongkannya lebih-lebih menggunakannya dengan keliru dan sewenang-wenang pasti ia akan runtuh, sebab Tuhan tidak menyukai orang yang demikian itu dan Ia akan menghukumnya. Sejak zaman dahulu hal ini sudah diceriterakan dalam ceritera-ceritera wayang, dalam kitab-kitab Mahabharata dan Ramayana. Kenapa sang Rahwana Raja yang mula-mula sakti dan berkuasa itu runtuh, sebab ia menggunakan kekuasaannya sewenang-wenang serta menyalah gunakan kesaktiannya. -begitu tutur Panembahan Tanah Putih kepada Mahesa Wulung.
Ia begitu kasih kepada muridnya ini, karena ia melihat dari mata anak muda itu, terpancar sinar keberanian dan keluhuran budi. Hidupnya telah dipenuhi dengan berbagai peristiwa yang penuh dengan suka duka, menjadikan orang itu kaya akan pengalaman-pengalaman hidup.
Justru itulah, ia ingin memberikan apa-apa yang dimilikinya itu kepada seseorang yang dapat dipercayainya, agar dharma hidupnya tidak terputus karena ketuaannya itu, tapi dapat dilanjutkan demi kepentingan hidup bebrayan di dunia. Oleh sebab itu ia tidak setengah hati dalam mendidik muridnya. Keesokan harinya setelah mencari hari-hari yang baik, mulailah oleh Panembahan Tanah Putih menggembleng Mahesa Wulung dalam menerima ilmunya jurus-jurus pukulan maut. Ia merasa bangga dan puas melihat Mahesa Wulung muridnya tekun dalam mempelajarinya setahap demi setahap. Berkat kerajinannya itu dan terutama karena memangnya Mahesa Wulung sudah mempunyai dasar, maka dalam waktu yang tidak terlalu lama ia telah dapat menguasai jurus pukulan maut itu. Kesemuanya itu tercapai berkat bimbingan dan pendidikan sempurna dari gurunya.
Pecahan sinar matahari telah merayapi bukit-bukit di sebelah timur, mengawali matahari yang kini mulai menjelma. Kicau-kicau burung terdengar dipagi itu sangat ramainya. Dikesegaran udara pagi itu tampaklah dua orang bergegas-gegas meninggalkan padepokan Tanah Putih. Mereka berjalan beriring menuju ke arah selatan, mendaki perbukitan. Yang depan tampak tua, mengenakan jubah dan bertongkat sedang yang dibelakangnya berjalan seorang yang masih muda berbadan tegap berikat kepala hitam. Setelah mereka menerobos hutan, tibalah keduanya dilembah yang subur, ditengahnya mengalir sebuah sungai kecil berair jernih.
Mahesa Wulung, setelah kau kulatih, sekarang aku ingin tahu sampai di mana usaha yang telah aku rintis itu. Coba kau tunjukkan aji pukulan maut ciptaan kita yang baru itu kepadaku
Mahesa Wulung segera bersiaga, kaki kirinya melangkah ke depan serong kiri setengah langkah, sementara tangan kirinya ditekuk ke depan dengan sisi telapak tangan lurus ke depan sejajar kepala sedang tangan kanannya dilipat ke samping belakang sejajar pula dengan kepala.
Nah, sekarang cobalah dengan tusukan dua jari. Wulung! seru Panembahan Tanah Putih. Lihat pohon pisang besar yang ada di depanmu itu, Pakailah ia sebagai sasaran!
Mahesa Wulung menyalurkan, segera tenaga dalamnya dilambari dengan pemusatan pikiran. Matanya setengah terpejam dan redup. Maka dengan gerak yang kilat Mahesa Wulung menusukkan kedua jarinya ke pohon pisang didepannya dan terjadilah satu pemandangan yang mengerikan. Begitu jarinya menyentuh dan masuk ke dalam batang pisang yang besar itu terjadilah perubahan pada pohon pisang yang mula-mula segar bugar kehijauan itu mendadak menjadi kuning layu. Kemudian kering kerontang bagaikan terkena panas api yang berlipat-lipat dan setelah itu makin mengering dan menjadi abu serta runtuh ke tanah berserak-serak ke sana kemari.
Mahesa Wulung yang mengerjakan dan melihat sendiri akibat tusukannya dengan dua jari itu hampir-hampir tak percaya. Selama ini meskipun ia telah diajari oleh pamannya tentang aji Lebur Waja itu, akibat pukulannya tak sehebat ini, paling-paling hanya mampu merubuhkan lawannya saja. Tapi kini setelah digabungkan dengan aji pukulan maut dari Panembahan Tanah Putih, bukan saja sasarannya roboh begitu saja, tapi hancur menjadi abu hanya disebabkan tusukan kedua jarinya. Maka seperti orang yang mimpi dan tidak percaya ia menggigit bibirnya yang ternyata terasa sakit, jadi ia benar-benar tidak mimpi.
Heh, heh, heh, kau tidak mimpi Wulung, itu sungguh-sungguh kau alami. kata Panembahan Tanah Putih sambil ketawa lucu, janggutnya yang putih dan panjang itu ikut tergerai-gerai berguncang karena ketawanya.
Ah, Panembahan. Saya hampir-hampir tak percaya ini semua. Kata Mahesa Wulung. Saya tak dapat membayangkan akibatnya seandainya sasaran tadi seorang lawanku seorang manusia.
Begitulah Wulung, memang akibatnya sangat ngeri. Oleh sebab itu tak boleh pukulan aji "Lebur Waja" ini kau gunakan sembarangan, lebih-lebih terhadap orang-orang lumrah, maksudku orang-orang yang tidak mempunyai ilmu apa-apa. Saya kira, setahuku hanya Ki Macan Kuping yang mempunyai ilmu sejajar dengan aji "Lebur Waja", Dialah guru kepala gerombolan hitam Alas Roban, si Singajodra. Ketika sama-sama muda kami pernah terlibat dalam satu pertempuran. Biarpun ia kukenai pukulan mautku, tetapi kulitnya hanya gosong-gosong saja dan ia masih sempat melarikan diri dengan mengumpat-umpat. Entah waktu itu. apakah karena dia memang mempunyai daya tahan yang hebat atau mungkin juga pukulanku yang kurang mengendap dan matang seperti ini. Ujar orang tua itu sambil membelai-belai janggutnya yang putih.
Nah sekarang Wulung, cobalah pukulan sisi telapak tanganmu! lanjutnya. Di sebelah itu terdapat batu hitam. Pakailah olehmu sebagai sasaran,
Mata Mahesa Wulung yang mengikuti arah seperti yang ditunjukkan oleh jari panembahan tua itu, terbelalak saking terkejutnya demi terlihat olehnya batu hitam yang dimaksud oleh gurunya itu, ternyata besarnya sebesar kerbau yang sedang mendekam.
Namun sekarang ini ia tidak lagi merasa ragu-ragu menghadapi lawan seperti apapun.
Begitulah, setelah bersiaga dan menyalurkan tenaganya ke sisi telapak tangan kanannya, Mahesa Wujung dengan satu terkaman loncat yang indah tapi menimbulkan sambaran angin panas itu memukul batu hitam yang sebesar kerbau dan kali ini terjadi pula satu kejadian yang lebih dahsyat dari pada tadi.
Batu hitam ini dengdn satu letusan yang menggelegar pecah dan hancur menjadi bubuk pasir setelah terpukul oleh sisi telapak tangan Mahesa Wulung.
Sekali lagi Mahesa Wulung terheran-heran melihat ini semua. Ia tidak nyana sama sekali akan memiliki aji pukulan yang sedahsyat itu. Di dalam hatinya ia mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Besar, atas pemberian tenaga yang luar biasa ini. Ia pun berjanji akan tidak sembarangan menggunakan ajinya ini, kecuali terhadap mereka-mereka terutama gerombolan-gerombolan hitam yang mengacau dan merongrong kewibawaan pemerintahan Demak serta membuat kesengsaraan terhadap sesama manusia.
Nah Wulung, itu tadi kesemuanya engkau hanya menghadapi lawan-lawan yang tidak bergerak tapi yang akan menjadi lawan-lawanmu nanti tidak lain juga manusia seperti kita ini dan mungkin juga dia mempunyai pula ilmu yang tinggi. Untuk itu, sekarang lawanlah aku, kita telah mempunyai ilmu yang sama meskipun kau masih harus lebih banyak lagi berlatih.
Mahesa Wulung mendengar penuturan gurunya itu, menjadi tunduk beragu. Kalau ia kini tahu kehebatan aji Lebur Waja, dan harus menggunakan untuk melawan gurunya sendiri, ia akan cemas melihat akibatnya.
Hee Wulung! Kali ini kau harus melawanku sekuat tenaga. Kalau tidak, kau akan kuhajar sendiri dengan aji "Lebur Waja" sehingga maut. Ayo, lawanlah aku! seru Panembahan Tanah Putih dengan kerasnya menggelegar memantul ketebing-tebing lembah disekitarnya.
Saat itu awan yang berarak-arak kehitaman membawa uap air berjalan, ke arah selatan menghalang-halangi sinar matahari pagi sehingga lembah itu sebentar terang dan sebentar gelap tertimpa bayangan awan hitam.
Uap air yang bertebaran di udara itu telah membiaskan sinar matahari menjadi tujuh warna yang melengkung menambah keseraman lembah itu. Ia ingat ceritera orang-orang tua yang mengatakan bahwa pelangi itu adalah tangga yang digunakan oleh para bidadari untuk turun ke bumi, karena keperluan sesuatu.
Apakah para bidadari itu ingin melihat aku bertempur melawan guruku sendiri? Ah, pikiran gila! bantahnya sendiri. Biarlah seandainya mereka turun untuk ini, mereka akan kecewa sebab aku tidak akan sudi melawan guruku! Belum habis Mahesa Wulung berangan-angan itu terpecah oleh suara gurunya yang keras.
Kau tunggu apa lagi Wulung, begitukah caramu dalam menghadapi seorang lawan? bentak orang tua itu. Dahinya mengkerut dan alisnya bertemu sedang pada matanya terpancar sinar kemarahan.
Tapi di sini tidak ada lawanku, guru. Hanya kita berdua saja. Dan guru bukanlah lawanku! jawab Mahesa Wulung kecemasan.
Lupakanlah basa-basi itu Wulung. Kalau kau belum bertemu lawan akulah sendiri yang akan melawanmu sebagai lawan yang pertama! Mahesa Wulung tak habis herannya melihat perangai gurunya itu, lalu ia ingat bahwa orang-orang yang sakti, berilmu tinggi sering mempunyai tabiat-tabiat yang aneh. Maka ia mengambil keputusan untuk melawan orang tua itu.
Baiklah guru, kalau itu kehendakmu, aku akan melawanmu. Sebelumnya, aku meminta maaf lebih dulu, kata Mahesa Wulung sambil mengangguk tunduk, memberi hormat kepada Panembahan Tanah Putih.
Di tengah saat ia memberi hormat gurunya itu, tiba-tiba ia merasakan angin yang bertiup keras sekali dan gerak naluriahnya membuat ia secepatnya berkelit ke samping sambil bersiaga. Untung ia telah mempelajari sikap "Tugu Wasesa". Kalau tidak, pasti ia akan terbanting jatuh. Tidak lain angin yang keras itu ialah tenaga pukulan dari gurunya sendiri.
Kini ia ganti menyerang dengan sepakan kaki kirinya mengarah lambung orang tua ini. Mendapat serangan ini orang tua berjenggot putih itu secepatnya meloncat mundur sedang tangan kanannya membabat kaki kiri Mahesa Wulung. Tapi Mahesa Wulung yang cekatan itu cepat-cepat menarik kembali serangan kakinya hingga serangan orang tua itu tidak mengenai sasarannya. Begitu mereka bertempur dengan serunya disertai gerak-gerak yang makin lama makin cepat dan berlingkar-lingkar sukar diikuti pandangan mata. Mahesa Wulung bertempur dengan gigih laksana seekor banteng yang mengamuk sedang orang tua berjenggot itu bagaikan seekor rajawali yang menyambar-nyambar mengincar mangsanya. Setelah beberapa jurus mereka bertempur itu; Panembahan Tanah Putih tampak mengambil sikap pukulan mautnya. Melihat ini Mahesa Wulung sejenak terkejut, tapi iapun segera pula menyalurkant tenaga dalamnya dan mengambil sikap pukulan maut yang serupa siap dilontarkan.
Sebaiknya aku juga menggunakan pukulan maut Lebur Waja dari pada aku mati konyol begitu saja! pikir Mahesa Wulung sambil meloncat ke depan. Sekejap itu terlihatlah dua bayangan berkelebat saling menerkam dengan sikap yang sama, dan keduanya tampak sama-sama terdorong surut ke belakang beberapa langkah. Itulah hebatnya dua aji Lebur Waja yang beradu menjadi satu. Masing-masing yang terdorong tadi kini bersiaga pula untuk melanjutkan pertempurannya. Benar-benar mereka itu tangguh.
Panembahan tua itu kini menyerang Mahesa Wulung dengan menggunakan tongkatnya sedang Mahesa Wulung melihat lawannya menggunakan senjata tongkat, cepat-cepat ia maraba pinggangnya dan sekejap tergenggamlah pada tangannya sepucuk keris. Merekapun kembali bertempur dengan hebatnya.
Suatu ketika orang tua itu memukulkan tongkatnya ke arah dada Mahesa Wulung. Sayangnya, serangan dengan tongkat itu kembali menemui tempat ko-song karena keburu Mahesa Wulung dalam saat yang genting itu berkelit ke samping kiri, sementara keris ditangan kanannya bergerak menusuk ke arah perut orang tua berjenggot putih.
Sungguh mengejutkan tusukan keris Mahesa Wulung bagi orang tua, itu, maka ia lekas-lekas merubah gerak tongkatnya meluncur kebawah untuk menahan keris anak muda yang tengah ditusukkan itu. Maka kedua senjata itu beradu dan saling melekat sesamanya. Baik Panembahan Tanah Putih ataupun Mahesa Wulung sejenak itu berdiam diri masing-masing seperti sedang beristirahat, walau senjata masing-masing masih tetap terpegang di tangan. Hanya kalau kita memperhatikah wajah kedua orang itu, tampaklah saling tegang menegang, saling berpandangan tak berkedip matanya. Mereka sedang mengadu tenaga dalam.
Baik Mahesa Wulung atau Panembahan Tanah Putih sendiri sama-sama menyalurkan tenaga dalam, kesenjata yang terpegang ditangan. Lama-lama oleh Mahesa Wulung terasa tangannya yang pemegang keris menahan tindihan tongkat gurunya, menjadi semutan dan bergetar. Satu pertanda bahwa meskipun ia mempunyai ilmu yang sama dengan gurunya, ia masih tetap satu tingkat lebih rendah di bawah gurunya.
Mahesa Wulung masih tetap bertahan dengan mengerahkan segenap kekuatan dalamnya menahan tekanan tongkat sang guru. Pada dahinya terbit bintik-bintik keringat yang makin besar dan besar lalu mengalir kemukanya seperti anak sungai. Sementara ketegangan itu berlangsung, terjadi pula peristiwa yang lain menambah ketegangan itu makin tegang.
Satu desingan nyaring mengikuti seleret sinar yang dengan cepatnya langsung menuju ke arah Mahesa Wulung. Tapi Panembahan Tanah Putih dengan segera menggerakkan tongkatnya yang sedang menindih keris muridnya dengan setengah lingkaran mencegat sinar itu. Sesaat kemudian terdengar suara benturan keras tak disusul dengan jatuhnya benda kecil di tanah di samping mereka, ialah sebuah baji, sejenis pisau kecil runcing.
Panembahan tua itu kini menyerang Mahesa Wulung dengan menggunakan tongkatnya sedang Mahesa Wulung melihat lawannya menggunakan senjata tongkat, cepat cepat ia meraba pinggangnya dan sekejap tergenggamlah pada tangannya sepucuk keris. Mereka-pun kembali bertempur dengan hebatnya. Siapa ini berbuat gila-gilaan! teriak orang tua itu dengan nada setengah marah.
Di sana, kira-kira jarak sepelempar lembing terlihat semak ilalang yang dikuakkan dan muncullah seorang bertubuh besar, berbibir tebal dengan kumis dan jenggotnya lebat, kemudian berjalan ke arah mereka.
Maaf, bapak Panembahan, itu tadi perbuatanku. Kata orang yang baru datang itu. Aku tadi melihat anak muda ini begitu lancang berani menyerang sang Panembahan.
Gangsiran! Kau muncul lagi sekarang.....dan masih berani berbuat gila-gilaan. Hampir saja kau melukai pemuda ini. Kata sang panembahan tua.
Tapi.... tapi kulihat tadi ia menyerang panembahan dengan keris terhunus. Sebagai bekas murid aku ingin menunjukkan rasa terima kasihku. Orang itu berkata sambil menundukkan kepala karena menghindari tatapan mata orang tua itu yang tajam.
Aku tak butuh pertolongamu Gangsiran, dan apakah kau sudah lupa bahwa aku telah mengusirmu dari padepokan dan melarangmu memasuki daerah padepokan Tanah Putih!
Masih ingat panembahan, waktu itu aku mabuk tuak. Sekarang aku insaf dan akan meminta ampun kepadamu sang panembahan. Perkenankanlah aku menjadi muridmu lagi. pinta orang itu.
Tidak! Kau telah menyelewengkan ajaran-ajaran yang kuberikan. Sekarang lekas berlalu dari sini, sebelum aku menjadi marah! begitu hardik Panembah-an Tanah Putih kepada Gangsiran. Tak sudi aku melihat kedatanganmu kemari!
Mendengar itu, Gangsiran merebahkan diri ke tanah dihadapan sang Panembahan sambil berkata menghiba-hiba.
Guru mohon dimaafkan guru, aku sudah insaf. Izinkanlah aku memperbaiki kesalahan-kesalahan yang telah aku buat. Biarlah Tuhan mengutukku kalau aku masih berani menyeleweng.
Guru, siapakah dia itu? tanya Mahesa Wulung yang sejak tadi memperhatikan adegan yang cukup mengharukan ini.
Dialah Gangsiran bekas muridnya dulu. Dia pernah beberapa saat tinggal di padepokan Tanah Putih untuk mempelajari semua ilmu hidup, tentang keperwiraan, keluhuran budi dan sebagainya. Sebelum itu berjanji patuh kepadaku, karena ia benar ingin menjadi muridku. Tapi ia suka minum-minum tuak dan tidak jarang mencuri-curi turun ke desa Borang, bahkan sampai-sampai ke Asemarang untuk bermain judi. Itulah sebabnya ia kuusir dari padepokan, orang tua itu berkata dan sebentar ia menarik napas dalam-dalam.
Tapi apakah guru sampai hati menolak permintaannya tadi? bukankah ia telah insaf dan berjanji akan memperbaikinya, guru? kata Mahesa Wulung merasa terharu melihat wajah Gangsiran.
Ya, aku bukan seorang yang kejam. Baiklah, kau Gangsiran. Kau aku terima lagi menjadi muridku asal kau benar-benar bertobat.
O, terima kasih Panembahan, terima kasih. Seru Gangsiran keriangan. Air matanya bercucuran saking gembira dan terharu. Aku akan sungguh-sungguh mematuhi perintah sang Panembahan.
Nah, Gangsiran lihatlah jelas-jelas pemuda ini yang hampir-hampir kau lukai tadi, Dialah muridku kemenakan Ki Sorengrana dan putra mendiang muridku Ki Sorengyuda. kata orang tua itu.
Jadi dia .... dia kemenakan Ki Sorengrana? Ah, aku kenal kepadanya. Harap dimaafkan aku dimas, atas kelakuanku tadi. Semula aku mengira bahwa adi benar-benar menyerang sang panembahan sebab aku melihat adi kelihatan bersungguh-sungguh dalam bertempur dengan panembahan ! Sudahlah kakang Gangsiran, lupakan sajalah hal itu. Toh kita masih selamat tak kurang suatu apa. jawab Mahesa Wulung. Keduanya berjabat tangan erat-erat.
Latihanpun diakhiri oleh mereka dan ketiganya berjalan pulang menuruni bukit, menerobos hutan dan akhirnya tibalah mereka di jalan kecil yang me-nuju ke arah padepokan Tanah Putih.
Matahari berangsur-angsur bergeser ke arah barat dan makin lama makin condong hingga akhirnya lenyap di sana di sebelah barat dibalik pohon-pohonan seperti ditelan oleh mulut seorang raksasa. Di langit tampaklah bintang-bintang gemerlapan ribuan banyaknya dan malampun tibalah. Kesepian menelan padepokan Tanah Putih yang terpencil itu.
Kedatangan Gangsiran kembali kepadepokan Tanah Putih itu menambah kesegaran di situ. Ternyata Gangsiran di samping ahli sebagai pelempar baji atau pisau kecil, ia juga ahli membuat orang tertawa terpingkal-pingkal. Gangsiran memang suka be-ceritera dan melucu. Kini ia betul-betul telah bertobat.
Sang panembahan, beberapa waktu yang lalu, saya pernah singgah di sebuah kampung dikaki Gunung Brintik di barat sana. Orang-orang di situ berceritera kepadaku bahwa di angkasa di atas Gunung Brintik sering terlihat seekor ular seperti naga yang melayang-layang dan menyala hijau kebiru-biruan. Penduduk di situ sering pula menyaksikan ular itu muncul dan lenyap di sebuah gua di atas Gunung Brintik dan mereka menduga ular itu berasal dari sebuah senjata.
Sebuah senjata? tanya Mahesa Wulung keheranan.
Benar sebuah senjata, tapi apa macamnya aku tidak tahu dimas. Begitulah aku pernah mencoba untuk mendapatkannya tapi tidak berhasii bahkan diriku hampir saja tewas karena diserang ular itu di dalam gua. Dari mulutnya menyembur ke luar seperti api yang menyala hijau kebiru-biruan sangat panasnya melebihi api biasa yang berwarna merah. Gangsiran menghentikan ceriteranya.
Memang itu tidak mudah mencari senjata, sambung Panembahan Tanah Putih. Pertama orangnya harus berhati bersih dan berbudi luhur serta tidak sombong. Kedua, orangnya, mesti mempunyai ilmu yang cukup untuk menerima pusaka itu, sebab tidak jarang orang yang tidak berilmu apa-apa menyimpan sebuah pusaka hingga pikirannya terguncang dan tidak waras. Ketiga, pusaka itu sendiri kadang-kadang tidak mau begitu saja jatuh dan disimpan orang yang tidak disenanginya. Terhadap sebuah pusaka, kita mesti berhati-hati. Begitu kita berbuat kesalahan, pusaka itu akan lenyap dan pergi meninggalkan diri kita. Tentu kalian masih ingat kisah keris Sangkelat dan Condong Campur yang musna dari tempat penyimpanannya karena ia merasa marah dan tidak cocok dengan keadaan di situ, sebentar Panembahan tua itu berhenti berceritera. Ah, kita lupa terlalu asyik berceritera. Ini diminum kopinya sebelum kebacut dingin.
Sambil menikmati air kopi, Mahesa Wulung masih memikir-mikirkan ceritera itu tadi. Ia merasa tertarik dengan kisah ular yang menyala hijau kebiru-biruan.
Guru, apakah kiranya aku diizinkan jika suatu waktu pergi menyelidiki pusaka itu? tanya Mahesa Wulung sambil meletakkan kembali air kopinya kebalai-balai.
Boleh, kau memang ada perlunya pergi ke Gunung Brintik untuk menyelidiki ular pusaka itu. Ajaklah Gangsiran serta ke sana supaya dapat membantumu. Mungkin satu minggu lagi baru ada hari yang baik, ujar orang tua itu. Dahulu ceritera nenekku, entah ini benar atau tidak, berkata bahwa mendekati surutnya kerajaan Majapahit dan timbulnya pemberontakan-pemberontakan, ada sebuah pusaka berbentuk cambuk bernama Kyai Naga Geni yang musna dari gedung pusaka kerajaan. Mungkin ini tersebab ia tidak merasa senang menyaksikan perpecahan antara tokoh-tokoh Majapahit yang pada hakekatnya sama dengan merobek-robek dadanya sendiri dari dalam dan inilah yang mempercepat keruntuhannya. Pusaka tadi ketika pergi meninggalkan tempatnya berubah menjadi ular yang menyala hijau kebiru-biruan terbang ke angkasa. Jika itu ada hubungannya dengan ular yang sering tampak melayang di atas Gunung Brintik, pastilah bahwa ular itu tidak lain ialah pusaka Kyai Naga Geni.
Panembahan Tanah Putih mengakhiri ceriteranya, sementara itu Mahesa Wulung dan Gangsiran menghabiskan kopinya. Keadaan kembali menjadi hening. Di luar terdengar desau angin diseling suara jengkerik bersahut-sahutan dengan merdunya.
Nah, angger berdua aku terlalu lama berceritera kepada kalian, sampai aku lupa bahwa malam telah larut. Baiklah, kita pergi tidur sekarang. Kita perlu beristirahat. kata panembahan tua itu sambil berdiri dan lalu disusul oleh Mahesa Wulung serta Gangsiran berdiri. Mereka pergi ke kamar masing masing dan pergi tidur.
--¤¤¦ « 3 » ¦¤¤--
Adi Mahesa Wulung, kau di sini melamun? Aku tadi mencarinya ke mana-mana, kata orang yang mendekat itu.
Hee, kakang Gangsiran. Sahut Mahesa Wulung. Benar kakang, aku tengah melamun merindukan kota Demak. Apakah adi ingin lekas-lekas pulang? tanya Gangsiran.
Tidak kakang, aku tidak ingin lekas pulang sebelum tugas yang dipikulkan kepundakku selesai dan beres.
Lihat dimas, di sini banyak tumbuh pohon bambu yang bagus. Dari pada kau melamun, baiklah kubuatkan nanti sebuah seruling yang dapat mengobati rindumu, kata Gangsiran sambil meraba pinggangnya mengeluarkan pisau kecil lalu pergi kesemak bambu. Tak lama kemudian kembalilah ia dengan membawa dua potong bambu kuning.
Ini adi Wulung, kubuatkan kau sebuah dan aku sebuah.
Terima kasih kakang. Gangsiran memang cekatan dan rajin. Setelah sesaat menghaluskan potongan bambu itu, segera membuat lubang-lubang nada sebanyak enam buah dan sebuah lagi lubang untuk meniup seruling itu. Hasilnya tidak mengecewakan. Selain potongan bambu kuning itu dipilih dari batang yang terbaik, pada kedua ujung seruling masih dibuatnya lagi goresan-goresan semacam hiasan menambah indahnya.
Kini Mahesa Wulung tidak lagi melamun. Kerinduannya akan kotanya, ayahnya yang sudah tiada disalurkannya lewat irama sulingnya. Nadanya mengalun-alun indah dibawa oleh tiupan angin yang berlalu. Kadang-kadang berirama naik, kadang-kadang menurun mengharukan siapa yang mendengar. Gangsiran yang mula-mula juga akan meniup serulingnya, menjadi terpesona mendengarnya.
Tiba-tiba saja seperti digerakkan oleh suatu ilham yang timbul di dalam hatinya, Mahesa Wulung berpikir.
Ah, betapa seandainya aku menyalurkan aji "Bayu Rasa" yang telah aku miliki ini lewat irama serulingku? Maka bibirnyapun segera bergerak meniup seruling itu dengan dilambari ilmunya'"Bayu Rasa". Terasa iramanya menjadi lain dari pada tadi. Benar-benar mengherankan. Suara yang keluar dari seruling itu menjadi beralun-alun dengan hebat, sesekali berubah bergulung-gulung sampai memantul ke tebing-tebing jurang dan lembah dipojok sana. Beberapa burung elang yang terbang di angkasa melingkar-lingkar irama seruling Mahesa Wulung, menari-nari dengan indahnya menuju ke arah utara.
Mahesa Wulung yang kini sedang asyik meniup serulingnya itu tiba-tiba dipecahkan oleh suara gemerisik di semak ilalang di sebelah utara. Keluarlah dari dalam semak berlari-lari seekor katak yang tengah dikejar seekor ular. Mahesa Wulung terkejut kemudian dengan nada setengah marah kepada ular itu, serulingnya ditiup dengan nada meninggi seolah-olah sebagai luapan perasaan marahnya. Gangsiran yang mengikuti peristiwa ini, tidak kalah herannya. Suara seruling bernada tinggi ini seperti mempunyai daya pukulan. Ular yang tengah mengejar katak tadi terpental jatuh ke belakang sambil melingkar-lingkar kesakitan. Rupanya ular itu benar-benar timbul kemarahannya karena merasa serangannya gagal. Kepalanya kembali ditegakkan tinggi-tinggi siap menyerang lagi katak yang tengah melarikan diri itu. Tapi setiap kali ia menyerang dan meluncur ke depan setiap kali pula ia dipukul jatuh oleh suara seruling Mahesa Wulung yang bernada tinggi.
Akhirnya ular itu merasa kewalahan dan dengan cepat-cepat meluncur balik kembali kesemak-semak ilalang. Katak itu meloncat-loncat dan sejenak berhenti di muka Mahesa Wulung seolah-olah menyatakan rasa terima kasihnya karena telah menyelamatkan dirinya dari bahaya maut. Setelah itu kembali dengan lompatan-lompatan panjang berlalu dari tempat itu menuju ke sebuah mata air.
Mahesa Wulung tersenyum melihat katak itu lenyap dibalik batu-batuan dan kembali ia menerukan tiupan serulingnya. Sementara itu Panembahan Tanah Putih yang tengah membalik-balik kitab daun lontar di padepokan menjadi heran pula mendengar alunan nada seruling yang mempunyai tenaga dalam itu. Maka ditutupnya kitab lontar itu dan disimpannya kembali. Panembahan Tanah Putih bangkit dari duduknya dan pergi mencari arah sipeniup seruling itu.
Ketika ia menerobos semak-semak pohon dan tiba di tempat yang ditumbuhi pohon bambu dan ilalang terlihatlah seseorang duduk di atas sebuah batu tengah asyik meniup seruling. Sedang di sampingnya berdiri pula seorang yang tengah menikmati suara seruling itu. Setelah didekatinya, Panembahan tua itu tampak tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
Ah, kau benar-benar hebat Wulung, Kau telah mengetrapkan aji "Bayu Rasa" sebaik-baiknya, kata Panembahan tua itu dari belakang. Mahesa Wulung terkejut nenghentikan tiupan serulingnya seraya menoleh ke belakang demikian juga Gangsiran. Tapi irama serulingnya masih sesaat memantul dan bergema di tebing-tebing jurang di sebelah selatan.
Oh, sang panembahan, selamat pagi guru, kata mereka bersama-sama ketika dilihatnya Panembahan Tanah Putih berdiri di belakang mereka. Ya, ya, selamat pagi angger semua. Kata panembahan tua itu seraya duduk pula di atas batu hitam di samping Mahesa Wulung.
Aku tadi merasa terpikat dengan tiupan serulingmu, Wulung.
Memang guru, dimas Wulung benar-benar hebat. Ia telah berhasil mengusir dan memukul jatuh seekor ular yang sedang mengejar seekor katak. Juga beberapa burung elang yang sedang terbang di langit ikut menari-nari mengikuti irama serulingnya. Gangsiran berkata menceriterakan kejadian-kejadian yang baru saja lewat.
Begitulah memang harapanku Wulung. Seorang guru kadang-kadang hanya mengajar seorang muridnya dengan dasar-dasarnya yang pokok, tapi sang murid itu sendiri mempunyai kewajiban untuk mengembangkan ilmu yang telah diterima dari gurunya itu sesuai dengan pribadinya serta pengalaman-pengalamannya. Kadang-kadang seorang murid sampai bisa melebihi gurunya karena ia lebih rajin dan teliti, menambah ilmunya.
Terima kasih guru! jawab Mahesa Wulung.
Coba aku pinjam sebuah serulingnya Gangsiran. pinta orang tua itu dan segera pula Gangsiran mem-berikan seruling dari tangannya. Wulung dan Gangsiran, marilah kita mencoba meniup seruling bersama-sama dengan aji Bayu Rasa. Aku ingin tahu bagaimana jadinya nanti.
Baik sang panembahan.
Tapi jangan lupa mengetrapkan sikap Tugu Wasesa agar kalian tahan dengan getaran-getaran yang timbul dari seruling ini.
Demikianlah setelah mereka mengetrapkan sikap Tugu Wasesa. Panembahan Tanah Putih dan Mahesa Wulung bersama-sama meniup serulingnya sedang Gangsiran diam mendengarkan iramanya. Mula-mula irama mereka sama. Terasa getaran di udara mengalun indah berlingkar-lingkar saling melilit. Sejurus kemudian mulailah mereka memperdengarkan irama yang berlainan. Kedua getaran iramanya kini saling berkejaran dan terkam menerkam seperti dua ekor naga yang tengah berkelahi. Sesaat lagi yang satu berirama rendah sehingga seolah-olah menukik turun ke bawah. Sedang yang kedua berirama tetap tinggi. Tiba-tiba yang pertama tadi berirama tinggi kembali seperti mengejar suara yang kedua. Melihat hal ini maka suara seruling yang kedua tidak tinggal diam, maka iapun menjadi rendah menyambut suara pertama yang tengah naik ke atas. Maka terdengarlah dua benturan yang keras menggelegar di udara seperti puluhan petir. Beberapa ekor burung yang tengah hinggap di ranting-ranting semak terkejut dan terbang sembari berteriak-teriak. Ketiga-tiganya tampak pula terperanjat melihat akibat tiupan seruling mereka. Baik Panembahan Tanah Putih maupun Mahesa Wulung sendiri tidak nyana kalau benturan irama seruling yang dilambari aji Bayu Rasa bisa sedemikian hebat-nya.
Gangsiran yang rupa-rupanya belum sempurna sikap Tugu Wasesanya terpaksa menutup kedua belah telinganya karena kurang tahan mendengar getaran irama seruling yang beradu itu. Mereka bertiga akhirnya menghentikan permainan seruling yang mana kala matahari mulai lewat di atas kepala mereka dan berangsur-angsur bergeser ke barat, dan pulanglah mereka bertiga kembali kepadepokan Tanah Putih. Malamnya Mahesa Wulung dan Gangsiran dipanggil oleh Panembahan Tanah Putih untuk bercakap-cakap dipendapa.
Wulung, besok adalah hari baik yang telah kita nanti-nantikan itu. Apakah kau masih berminat menyelidiki ular pusaka Kyai Naga Geni? tanya tua itu.
Masih berminat, guru, kata Mahesa Wulung ingin sekali menyatakan ceritera tentang pusaka itu. Nah, kalau begitu kalian boleh berangkat besok pagi-pagi sekali. Dari padepokan sini, kamu berdua naik kuda saja ke arah Barat lewat tanah pegunungan. Bawalah bekal, kamu mungkin nanti tidak menjumpai kampung dijalanan. Ingat, segala sesuatu yang telah aku ajarkan kepada kalian, hendaknya dipergunakan sebaik-baiknya. Terima kasih Sang Panembahan.
Apakah kiranya kami diizinkan untuk mempersiapkan segala sesuatu malam ini juga?.
Ya, ya, itu lebih baik. Dengan demikian kalian bisa pagi-pagi memulai perjalanan kata orang tua itu.
Saya akan senantiasa berdoa agar cita-cita dan tugasmu berhasi!, Wulung !
Percakapan singkat malam, itupun selesailah, karena Mahesa Wulung dan Gangsiran akan segera mengatur barang-barangnya. Sebenarnya, mereka itu masih lelah sebab seharian telah bekerja dan berlatih, tapi itupun tak terasa sekali, karena mereka memang orang-orang yang suka bekerja.
Udara pagi amat cerah, secerah wajah-wajah yang berdiri di halaman padepokan Tanah Putih. Sang Panembahan berjanggut putih dan beberapa orang murid kini berjabat tangan dengan Mahesa Wulung dan Gangsiran yang berdiri di dekat kudanya. Selamat jalan angger Mahesa Wulung dan Gangsiran. Semoga Tuhan akan melindungi kalian diperjalanan, kata Panembahan Tanah Putih itu, sementara matanya yang telah tua tampak berkaca-kaca.
Selamat tinggal Sang Panembahan dan para kisanak semua mudah-mudahan kita akan berjumpa pula dengan tiada kurang suatu apa, seru mereka sambil meloncat kepunggung kudanya masing-masing. Sekali lagi sang Panembahan mendekati Gangsiran sambil berkata. Gangsiran, jagalah angger Mahesa Wu-lung baik-baik dan aku mengampuni segala dosa-dosamu.
Baik guru, aku akan jaga dia baik-baik seperti menjaga nyawaku sendiri, Gangsiran berkata penuh haru, lalu kekang kudanya ditarik dan dipukulkan ke leher kudanya untuk menyusul Mahesa Wulung yang telah berjalan lebih dahulu didepannya.
Merekapun meninggalkan padepokan itu dengan memacu kuda-kudanya segera ke arah barat melewati tanah pegunungan yang penuh lekuk-lekuk jurang itu. Sepanjang perjalanan terlihat semak-ilalang dan rumput-rumput liar lainnya tumbuh di sana sini berombak-ombak bagaikan riak air laut yang tersapu oleh angin. Sedang pohon-pohon besar tumbuh tidak terlampau rapat letaknya, seperti pohon siwalan yang terlihat berjejer-jejer tumbuh dengan suburnya.
Adi Mahesa Wulung, aku merasa seperti tidak akan pernah sampai lagi kepadepokan Tanah Putih, suara Gangsiran memecah kesunyian.
Mengapa kakang? tanya Mahesa Wulung keheranan.
Entahlah, sebabnya tak dapat aku jelaskan dimas. Akupun hanya merasakannya secara tiba-tiba.
Janganlah itu dirisaukan kakang. Serahkan saja hal itu kepada Tuhan. Kepada Nyalah kita berlindung dan kepada Nya pula kita memohon.
Benar dimas kata-katamu itu.
Terima kasih atas nasehatmu.
Sementara mereka berdua melarikan kudanya ke arah barat, jauh di atas sana, di atas tebing jalan itu terkuaklah semak ilalang oleh jari-jari tangan dan sepasang mata dengan tajam mengawasi gerak perjalanan Mahesa Wulung dan Gangsiran.
Hmm, mereka memacu kudanya ke arah barat. Rupa-rupanya mereka menuju ke Gunung Brintik dan menaruh minat terhadap pusaka Kyai Naga Geni. Ha, ha, ha bagus. Manakala mereka berhasil mendapatkan pusaka itu, segera disaat itu pula sang Naga Geni pasti pindah ketanganku.
Bayangan tadi berkelebat dengan cepat mendapatkan beberapa orang temannya yang telah menunggunya sejak tadi di balik rumpun bambu.
Ayo cepat naik ke kudamu masing-masing. Kita buntuti mereka dari jauh! Kali ini Sima Gereng akan membuat perhitungan dengan Mahesa Wulung, ha, ha, ha !
Segera mereka berlompatan dan naik kekudanya masing-masing, lalu memacunya turun dari atas tebing mengikuti jejak jejak kedua mangsanya. Mereka sengaja untuk membiarkan Mahesa Wulung lebih dahulu berusaha mendapatkan pusaka Kyai Naga Geni itu, setelah berhasil barulah mereka akan merebutnya. Itulah sebabnya mereka tidak akan mengganggu kedua mangsanya lebih dahulu. Sima Gereng dan orang-orangnya itu sebenarnya kurang menaruh minat terhadap pusaka itu, sedang bentuknya pun mereka belum pernah tahu. Yang mereka tahu hanyalah, se-tiap orang bahkan anak buahnya pun sendiri yang pernah mencoba masuk ke gua dan mencari pusaka itu, pada mati konyol dengan badan yang hangus-hangus setelah bertempur melawan seekor ular besar yang menyala biru kehijau-hijauan. Hingga semenjak itu tak seorangpun berani mencoba memasuki gua itu lagi. Kini dengan tiba-tiba saja Sima Gereng tahu bahwa Mahesa Wulung akan berusaha mendapatkan pusaka itu. Heh, heh, heh, inilah kesempatan untuk membuat jasa untuk Ki Singalodra dan untuk menyerahkan pusaka itu kepadanya, ia bersedia menukar dengan emas, intan dan uang yang berlimpah. Ini namanya menangguk ikan di air keruh, pikir Sima Gereng diam-diam, kemudian berpesan kepada anak buahnya. Awas jangan ganggu mereka, sebelum pusaka itu diperolehnya.
Mereka dengan diam-diam mengikuti Mahesa Wulung dan Gangsiran, sedang jaraknyapun mereka jaga benar-benar agar selalu cukup jauh dan langkah-langkah mereka tidak terdengar oleh Mahesa Wulung yang bertelinga tajam itu.
Setelah beberapa lama mereka berjalan menempuh tanah pegunungan yang berlembah dan bertebing-tebing itu sampailah di kampung Bergota yang dulu disebut juga Pulau Tirang. Disinilah pernah tinggal Pangeran Mode Pandan putera Adipati Junus, raja Demak yang terkenal pula dengan nama Pangeran Sabrang Lor karena suka berlayar ke Utara bertempur melawan orang-orang Portugis. Di Pulau Tirang itu Pangeran Mode Pandan mendirikan Perguruan Agama dan tinggalah di sana bersama puteranya Raden Pandan Aran. Sementara itu Sima Gereng bersama anak buahnya mengambil jalan lain untuk menjauhi kampung Bergota agar tidak diketahui oleh siapapun. Mahesa Wulung dan Gangsiran singgah di desa itu beberapa saat untuk melepaskan lelahnya sebeium meneruskan tujuannya ke Gunung Brintik yang letaknya ada di sebelah barat kampung Bergota. Mahesa Wulung dan Gangsiran yang singgah di desa itu sempat pula bercakap-cakap dengan Ki Waru sahabat lama Gangsiran. Benar-benarkah kisanak berkeras hati untuk menyelidiki Pusaka Naga Geni dari Gunung Brintik itu? tanya Ki
Waru dengan wajah yang ragu-ragu.
Benar Ki Waru. Jawab Mahesa Wulung.
Kalau boleh saya nasehati, sebaiknya Kisanak tidak usah meneruskan maksud itu. Telah berapa saja jatuh menjadi korban karena mencoba mendapatkan Pusaka Kyai Naga Geni yang belum pernah diketahui bentuknya itu!
Terima kasih atas nasehat itu bapak. Tapi kami akan tetap dengan sungguh-sungguh menyelidiki Pusaka itu supaya kami tahu apakah itu benar-benar ada atau hanya kabar bohong belaka. Tentang berhasil atau tidaknya, itu tidak menjadi soal bagi kami. Kita manusia wajib berusaha tetapi Tuhanlah yang akan menentukan. Dengan demikian kami tidak akan berkecil hati seandainya kami tidak berhasil mendapatkan Pusaka itu. Demikian Mahesa Wulung berkata dengan tenangnya sampai membuat Ki Waru mengangguk-angguk karena saking kagumnya akan kekerasan tekat kedua tamunya itu.
Ah, kisanak, kau memang benar-benar berjiwa perwira. Aku turut bangga berkenalan dan bercakap-cakap dengan kisanak berdua. Mereka bertiga sangat akbrabnya, berbagai hal mereka bicarakan dengan ramahnya tapi bagi Ki Waru sangat merasa sayang karena waktunya sangat sebentar dan tamunya harus meminta diri untuk segera melanjutkan perjalanannya ke Gunung Brintik. Mahesa Wulung dan Gangsiran kini melanjutkan perjalanannya ke arah barat serta memacu kudanya.
Kita usahakan untuk tiba di sana sebelum matahari terbenam kakang. Sebab kalau kemalaman, kita sukar mencari letak gua itu diwaktu gelap, kata Mahesa Wulung seraya menambah kecepatan lari kudanya.
Benar adi Wulung. sahut Gangsiran, Ayo kita cepat-cepat. Maka keduanyapun memacu kuda-kudanya yang kini lari cepat seperti dikejar setan itu, dan tak lama kemudian setelah membelok ke barat daya sampailah mereka di daerah Gunung Brintik. Setelah keduanya turun dari kuda, segera menuju ke semak-semak di bawah pohbn siwalan serta mengikatkan kedua binatang itu pada sebuah pohon yang tersembunyi letaknya. Sinar matahari yang masih cukup terang itu memberikan bantuan kepada mereka untuk menemukan letak gua tersebut.
Pada mulut gua tumbuh semak-semak seperti melindungi tempat itu dari pandangan mata, sedang dinding-dinding mulut gua itu penuh ditumbuhi lumut liar coklat kehijauan diseling-seling tumbuhnya pohon paku di sana sini menambah keseraman suasana.
Kakang Gangsiran, kau menunggu aku di luar gua sampai aku keluar membawa pusaka itu. Kalau terjadi apa-apa, lekas beri tahu aku.
Baik adi Wulung, berhati-hatilah.
Nah, kakang aku masuk sekarang juga, kata Mahesa Wulung, lalu bergegas memasuki gua itu. Sungguh seram bentuk gua itu. Di samping lumut-lumut liar, pada dindingnya, yang lembab oleh air muncul pula akar-akar pohon yang bergantung-gantung seperti ular menantikan mangsanya. Dari arah perut gua itu terdengar bunyi tetes-tetes air berirama seperti lagu maut. Ketika Mahesa Wulung lebih masuk lagi, kakinya terantuk sesuatu yang berwarna putih dengan tiba-tiba dan betapa terkejutnya demi dikeruk-keruk tanah yang menutup benda putih itu, muncul tengkorak manusia! Bulu tengkuk Mahesa Wulung berdiri seketika, tapi disaat itu pula diucapkan doa dan segera tenanglah hatinya. Setelah lima jangkah lagi Mahesa Wulung bergerak maju, tampaklah sebuah batu hitam besar, licin dengan permukaan datar. Di samping batu agak jauh letaknya terlihat pula kerangka manusia! Rupanya batu itu biasa digunakan oleh orang-orang untuk tempat duduk di dalam ruangan gua yang luas itu.
Mahesa Wulung lalu duduk bersila di atas batu itu dengan tenangnya untuk beristirahat sejenak. Kini senja telah tiba. Sebentar lagi gua ini akan bertambah gelap dan untuk menyelidiki tentang pusaka itu sudah tidak mungkin lagi.
Baiklah aku lanjutkan saja penyelidikanku besok pagi pikir Mahesa Wulung dengan tidak lupa memasang kewaspadaannya.
Keesokan harinya, Mahesa Wulung menyelidiki keadaan gua sampai ke lekuk-lekuk dindingnya. Tapi tidak ada tanda-tanda adanya sebuah pusaka, bahkan ular naga yang sering disebut-sebut orang itu juga tidak tampak.
Namun Mahesa Wulung belum berputus asa, maka hari demi hari ditunggunya sesuatu yang mungkin terjadi yang bisa menunjukkan tanda-tanda, pusaka itu. Sima Gereng yang membuntuti Mahesa Wulung dan Gangsiran tiba pula di tempat itu. Mereka lalu mencari tempat tersembunyi untuk menunggu mangsanya. Tampak pula oleh mereka Gangsiran yang dengan enaknya duduk diantara semak-semak di muka gua.
Anak-anak, lihat dan awasi betul-betul gua itu. Jika kau lihat seseorang keluar dari dajam gua segera kita serang bersama-sama. Kini kita bergantian istirahat!
Tepat pada hari yang kelima pada suatu senja, terlihat cahaya terang di langit, berwarna hijau kebiru-biruan meluncur dengan cepatnya ke atas Gu-nung Brintik. Itulah agaknya yang biasa disebut orang-orang dengan nama NDARU yang menurut kata, barang siapa kejatuhan ndaru akan mendapat kebahagiaan. Sementara itu Gangsiran yang berjaga-jaga di depan gua tertidur kelelahan sehingga ia tidak melihat cahaya itu. Sebaliknya dengan Sima Gereng serta anak buahnya dapat menyaksikan cahaya kebiru-biruan itu. Mula-mula cahaya itu setelah tiba di atas bukit tempat gua itu terletak, melayang-layang berputar. Sedang Sima Gereng dengan anak buahnya menjadi terkejut demi terlihat oleh mereka diantara sinar kebiruan itu tampak bentuk ular naga berwarna hijau kebiru-biruan dengan mulutnya yang sebentar-bentar ternganga serta mengeluarkan api dengan warna yang serupa kulit tubuhnya. Akhirnya ular itu melayang turun dan masuk ke dalam gua.
Cahaya terang yang tiba-tiba menyinari gua itu sangat mengejutkan Mahesa Wulung lebih-lebih lagi dengan masuknya ular besar seperti naga berwarna hijau kebiru-biruan itu. Agaknya ular itupun terkejut pula melihat Mahesa Wulung yang tengah duduk bersila. Kepalanya segera diangkat tinggi dan menyambar ke arah Mahesa Wulung duduk itu, tapi Mahesa Wulung yang sudah digembleng oleh Panembahan Tanah Putih itu cukup waspada maka begitu ular itu menyambar, secepat itu pula ia mengelak ke samping. Ternyata sambaran ular itu menimbulkan angin yang hebat, terlihat dari pasir-pasir yang terhambur karenanya. Sang ularpun kini terhenti sejenak sambil tajam mengawasi Mahesa Wulung.
Rupa-rupanya ia keheranan melihat mangsanya dengan mudah dapat menyelamatkan diri dari serangannya, kembali ular itu bersiap-siap menyerang. Mulutnya ternganga lebar. Melihat ini Mahesa Wulung ingat ceritera tentang ular itu yang biasa menggunakan semburan apinya dalam membinasakan lawannya, lalu bersiap-siap pula. Ternyata tepatlah perhitungannya, ular itu cepat menyemburkan api hijau kebiruan dari mulutnya. Mahesa Wulung sekali lagi mengelak ke kiri hingga api semburan ular itu terkena dinding dan terlihatlah betapa lumut-lumut liar serta dinding gua yang hangus dan terbakar habis menjadi abu, sedang dindingnya terlihat berkepul mengeluarkan asap karena kepanasan. Mahesa Wulung kini lebih berhati-hati lagi, ia tidak berani menganggap ringan ular itu.
Hemm, aku tak boleh hanya mengelakkan serangannya dan selalu bertahan saja tapi akupun harus pula menyerangnya. Maka secepatnya Mahesa Wulung meloncat menyerang ular itu ke arah kepalanya dengan pukulan sisi telapak tangannya, Tapi sekali ini ganti Mahesa Wulung yang dibikin terkejut melihat ular itu dengan tenangnya memiringkan kepalanya sehingga pukulan. Mahesa Wulung lewat sejengkal dari kepalanya mengenai udara kosong. Dengan begitu Mahesa Wulung tiba di samping ular itu dan kini ular itupun segera membalas serangan lawannya dengan memukulkan ekornya ke tubuh Mahesa Wuluhg. Mendapat serangan demikian Mahesa Wujung secepat kilat meloncat ke kanan hingga ekor ular itu tidak, mengenai tubuhnya tetapi memukul dinding gua. Beberapa batu-batu kerikil dan lumut-lumut liar rontok dari dinding gua akibat sabetan ekor ular itu.
Dalam pertempuran di dalam gua itu Mahesa Wulung selalu mudah mematahkan serangan-serangan ular itu karena sinar biru kehijauan yang memancar dari ular itulah yang telah menolong pandangan Mahesa Wulung, sehingga ia dapat mengetahui setiap gerak dari serangan-serangannya. Gerak Mahesa Wulung kini masih bertambah garang bahkan selalu dapat menyusup diantara gerakan-gerakan tubuh ular yang menyerangnya, laksana burung sikatan yang terbang diantara celah pohon-pohonan.
Tiba-tiba disaat pertempuran melawan ular itu Mahesa Wulung teringat pesan gurunya, untuk setiap kali menggunakan semua pengalaman-pengalamannya. Ya ia ada membawa seruling yang pernah dicobanya dipadepokan Tanah Putih. Mengapa ia kini tidak mempergunakannya? Mahesa Wulung teringat akan hal ini cepat-cepat menarik serulingnya lalu ditiupnya dengan lambaran ilmunya Bayu Rasa. Suaranya mengalun merdu penuh rasa kasih sayang dan kelembutan. Memang, Mahesa Wulung, berusaha mempengaruhi ular untuk kemudian ditangkapnya hidup-hidup, karena iapun merasa heran terhadap ular ini yang tubuhnya memancarkan cahaya biru kehijauan. Mungkinlah ini petunjuk tentang pusaka Naga Geni yang dicarinya!
Terkena oleh suara serulingnya, ular itu tidak lagi menyerang Mahesa Wulung, seakan-akan ia terpesona akan iramanya. Kini ia menjadi tenang, ke-palanya diangkat serta mengangguk ke sana ke mari. Malahan oleh Mahesa Wulung terlihatlah bahwa mata ular itu berkaca-kaca seperti mata seseorang yang rindu atau mengharukan sesuatu. Mahesa Wulung sangat terkejut dan herannya melihat hal ini, karena selenyap ular itu, di kedua belah ta-ngannya tergenggam sebuah cambuk yang mengeluarkan cahaya biru kehijau-hijauan. Dengan gemetar cambuk yang ada di tangannya itu diamat-amatinya.
Sekarang Mahesa Wulung akan mencoba mengakhiri tiupan serulingnya serta menangkap ular itu. Begitu cepat ia menyelipkan serulingnya kepinggangnya, kembali, serta menerkam ke arah ular itu. Satu tangan mencengkeram kepala, satu tangan lagi ke tubuh ular. Sementara sisa-sisa tiupan serulingnya masih menggema di ruang gua itu. Ular yang tubuhnya dicengkeram oleh kedua tangan Mahesa Wulung berlandaskan aji Lebur Waja itu tak dapat bergerak lagi, hanya ia menggetarkan tubuhnya, setelah itu terlihat tubuhnya mengeluarkan asap dan sedikit demi sedikit tubuhnya makin mengecil, kecil dan akhirnya lenyap sama sekali. Mahesa Wulung sangat terkejut dan herannya melihat hal ini, karena selenyap ular itu, dikedua belah tangannya tergenggam sebuah cambuk yang mengeluarkan cahaya biru kehijau-hijauan. Dengan gemetar cambuk yang ada ditangannya itu diamat-amatinya. Ternyata pegangan cambuk itu berbentuk kepala ular sampai kelehernya, sedang batang tubuh cambuk sampai keujungnya beranyam-anyam menyerupai sisik ular. Sambil mengucapkan syukur kepada Tuhan Yang Maha Besar, diciumnya cambuk itu, sebagai pernyataan gembira karena Tuhan telah mengizinkan mendapat pusaka itu, pusaka kyai Naga Geni yang berwujud cambuk.
Mahesa Wulung cepat bergegas keluar dari gua itu yang kini kembali sunyi, hanya terdengar tetes-tetes air saja. Di depan mulut gua itu didapatinya Gangsiran menunggu dengan berdiri kecemasan. Begitu dilihatnya Mahesa Wulung muncul dari dalam gua, segera mendapatkannya,
Ah, adi Mahesa Wulung. Apakah adi sehat-sehat saja ? O, Syukur adi Mahesa Wulung telah mendapatkannya. Aku pun turut menyatakan gembira adi. Tiupan serulingmu sungguh-sungguh hebat. Bersamaan kata-kata Gangsiran selesai, sekonyong-konyong berlompatanlah kelima orang mengepung mereka berdua. Walaupun hanya dalam kegelapan senja Mahesa Wulung dapat mengenal mereka.
Hemm, diantara mereka pernah kukenal dalam pertempuran dipadepokan Tanah Putih. pikir Mahesa Wulung. Hee, apa maksudmu mengepung kami berdua! serunya pula.
Ha, ha, ha, kau mau tahu maksudku? Serahkan saja pusaka yang baru kau dapat itu kepada kami. Sebagai gantinya nyawa kalian akan selamat, ha, ha, ha. teriak Sima Gereng sambil mengacungkan penggadanya yang berujung bola besi berduri.
Engkau ingin pusaka ini? Boleh kau dapat setelah melayang nyawaku. Mari ambil sendiri kalau kau ingin pusaka ini!
Mendengar kata Mahesa Wulung itu, Sima Gereng menjadi marah. Sambil berteriak nyaring, Sima Gereng bergerak menyerang yang segera pula diikuti oleh keempat anak buahnya.
Terjadilah di muka gua itu pertempuran yang cukup dahsyat. Mahesa Wulung sibuk melayani tiga orang lawan, seorang diantaranya adalah Sima Gereng sendiri, sedang yang dua lagi bersenjata pedang pendek. Untuk kedua kalinya Sima Gereng menjadi kecewa melihat Mahesa Wulung dengan mudahnya mematahkan setiap serangan-serangan. Bahkan dengan cambuknya yang bergulung rapi itu ia dapat mendesak mundur Sima Gereng dengan kedua anak buahnya. Sima Gereng menjadi semakin marah.
Ayo, Mahesa Wulung, cepat berikan pusaka itu supaya kau masih sempat menikmati cahaya matahari besok pagi, teriak Sima Gereng sambil bertempur gerakannya bertambah ganas.
Hee, Sima Gereng, boleh kau kerahkan semua tenagamu. Mahesa Wulung tidak takut dengan gertak sambalmu. Balas Mahesa Wulung yang mana kata-kata itu makin membuat darah Sima Gereng terasa makin mendidih.
Adapun Gangsiran yang dikeroyok oleh dua orang bersenjata pedang pendek itu dengan baiknya menangkis serangan-serangan pedang lawannya yang menyambar bergulung-gulung mengerikan. Sekali-kali ia melirik ke arah Mahesa Wulung yang tengah menghadapi tiga orang lawannya. Dalam pada itu Gangsiran teringat akan janjinya bahwa ia dengan sungguh-sungguh akan menjaga temannya, Mahesa Wulung. Maka secepatnya ia bermaksud mengakhiri pertarungan itu serta membantu pula Mahesa Wulung.
Gangsiran yang selama ini menghadapi lawan-lawannya, hanya menggunakan senjata pisau belati panjang, sedang pisau-pisau kecilnya kali ini belum sempat mempergunakannya karena jarak untuk melemparkannya harus cukup jauh. Kini kedua lawan Gangsiran makin mendesak dari dua arah samping kiri dan kanan disertai bacokan-bacokan pedang pendeknya. Untunglah bahwa ia cukup tangkas, bahkan ketika sebuah pedang lawan hampir mendarat dikepalanya, secepat itu pula Gangsiran berkelit ke samping lawan dan tangannya yang bersenjata pisau belati panjang bergerak dengan cepat. Tahu-tahu lawannya tadi menggeliat, pedangnya terlepas sedang kedua tangannya mencoba memegang pinggangnya sambil mengeluarkan teriakan tertahan. Terlihat diantara sela-sela jari mengalir darah merah dan kemudian rebah ke tanah.
Sementara itu, Mahesa Wulung yang dikeroyok ketiga lawannya dapat bergerak dengan lincahnya dan seperti kilat ia meloncat menghindari setiap serangan senjata yang tertuju kepadanya, kemudian dengan berjungkir batik di udara seperti burung sikatan, melenting tinggi dan akhirnya mendarat di atas tanah kembali. Ketiga lawannya berdesir melihat cara Mahesa, Wulung bergerak dan diam-diam mereka mengeluh di dalam hati mengapa sampai terlibat dalam pertempuran dengan orang ini.
Sima Gereng yang telah habis beberapa jurus dalam menyerang Mahesa Wulung rupanya sudah tidak sabar lagi memperpanjang waktu. Sekonyong-konyong tangannya meraba ikat pinggangnya dan berkelebat dengan cepat, maka melayanglah beberapa butir bulatan logam ke arah Mahesa Wulung. Namun Mahesa Wulung yang telah sejak semula curiga melihat Sima Gereng makin menjauh dari titik pertempuran, dengan tangkasnya mengibaskan cambuknya ke udara dan sejurus kemudian butir-butir logam yang melayang itu tersapu, bersih berjatuhan ke tanah. Sima Gereng amat terkejut melihat senjata rahasianya gagal dalam tugasnya. Selama ini belum pernah seorang lawanpun bisa lolos begitu mudah.
Kini ganti kedua anak buah Sima Gereng menyerang. Bersamaan dengan kedua lawannya yang berbareng membacokkan pedang pendeknya kearah dada, Mahesa Wulung sekali lagi melayangkan cambuknya ke arah mereka sambil berseru: Kalian ingin pusaka ini, nih ambillah olehmu.
Kedua lawan Mahesa Wulung terpental hebat ketika ledakan cambuk pusaka itu menimpa mereka, laksana dua batang pohon yang kesambar petir keduanya tumbang ke tanahdengan kulit tubuhnya terbakar hangus.
Baik Mahesa Wulung dan lebih-lebih Sima gereng sendiri sangat terkejut menyaksikan kehebatan pusaka cambuk Naga Geni ini. Maka dengan suwitan nyaring Sima gereng berloncatan mundur kesemak-semak diikuti oleh anak buahnya yang tinggal seorang itu. Tapi sekali ini Gangsiran tidak mau begitu saja ditinggal lari oleh lawannya. Begitu ia mencoba meloncat mundur, Gangsiran menghentikannya dengan lemparan pisau belati panjangnya hingga lawannya terhenyak dan jatuh terkapar di atas ilalang dengan sebuah belati menghias dadanya. Sementara itu Sima Gereng yang tengah meloncat melarikan diri terlihat oleh Gangsiran yang segera pula mengejarnya. Cahaya merah di langit barat telah lenyap diganti oleh sinar-sinar perak yang purnama dan bintang-bintang lainnya yang kini tampak bertebaran di langit. Kegelapan semak-semaklah yang menolong Sima Gereng dapat lolos dari kejaran
Gangsiran.
Kini Gangsiran berdiri di atas rumpun ilalang diantara dua gerumbul semak setelah menghentikan kejarannya. Ia mencoba-coba mencari arah lenyapnya Sima Gereng. Ketika itu terdengar desir daun-daunan dari sebuah semak-semak, lalu berkelebatlah sebuah bayangan kearahnya dan langsung menyerangnya dengan tusukan keris. Gangsiran amat terkejut, tapi segera dapat menguasai keadaan dan keduanyapun segera terlibat dalam perkelahian. Mula-mula sekali Gangsiran mengira bahwa yang menyerangnya itu setidak-tidaknya anak buah dari Sima Gereng tapi melihat senjata keris lawan serta cara berpakaiannya yang rapih, tidak mungkinlah bahwa orang itu dari gerombolan hitam Alas Roban. Belum habis keheranannya, sekali lagi hatinya dibikin tergoncang ketika dari gerumbul semak yang sama meloncat pula sebuah bayangan yang segera terjun menyerang dirinya. Dua orang lawan kini yang harus dihadapi dan keduanyapun bersenjata keris. Mahesa Wulung yang melihat Gangsiran mengejar Sima Gereng mula-mula diam membiarkannya, tapi setelah lama Gangsiran tidak muncul kembali bahkan terdengar olehnya derak ilalang terpijak-pijak oleh kaki maka secepatnya ia meloncat ke arah suara itu.
Hee, pasti ada sesuatu yang terjadi dengan kakang Gangsiran, pikir Mahesa Wulung serta mempercepat larinya. Pikirannya memang benar sebab begitu ia tiba di tempat itu tampak tiga bayangan yang tengah terlibat dalam satu perkelahian. Persis seperti Gangsiran, mula-mula Mahesa Wulung pun mengira bahwa dua orang yang menyerang Gangsiran itupun dari gerombolan hitam Alas Roban. Tapi begitu ia mendekati lingkaran perkelahian itu serta melihat senjata mereka keris, Mahesa Wulungpun beragu. Tambahan lagi begitu ia melihat cara mereka berpakaian rapih dan melihat ikat pinggangnya menyebabkan Mahesa Wulung berteriak:
Berhenti. Ternyata mereka berikat pinggang merah. Ketiganya terhenti setelah mendengar teriakan yang mengguntur itu dan bersama-sama menoleh ke arah itu. Terlihatlah Mahesa Wulung berjalan dengan tenang mendekati mereka. Ditangannya tergenggam gulungan cambuk berwarna biru kehijauan.
Ooooh, benarkah ini anak mas Mahesa Wulung? seru kedua orang itu sambil menyarungkan kerisnya. Mahesa Wulung sendiri segera dapat mengenali mereka, ialah kedua orang penjaga bandar Asemarang yang pernah meminjamkan kuda kepadanya. Mereka adalah Kerpu dan Tambakan.
Ya, bapak berdua, inilah aku Mahesa Wulung! Kedua orang itu yang dengan ramahnya segera menjabat tangan Mahesa Wulung bergantian.
Bapak Kerpu dan Tambakan, mungkin tadi terjadi salah paham. Apakah bapak berdua tahu siapa tadi yang bapak serang?
Belum anak mas, kami memang belum tahu. Kalau begitu apakah kami boleh mengetahui siapakah kisanak ini yang tadi telah mengadu tenaga dengan kami? tanya Kerpu sambil melemparkan pandangan ke arah Gapgsiran yang masih tegak kebingungan. Nah, bapak berdua, perkenalkan ini kakang Gangsiran kakang seperguruanku, murid Panembahan Tanah Putih.
Murid Panembahan Tanah Putih? berseru mereka setengah terkejut, demi mendengar nama Panembaban Tanah Putih disebut.
Memang benar kami telah salah paham kalau begitu. Wah untung belum sampai terjadi korban. Anak mas Gangsiran, maafkan kami berdua atas kekeliruan tadi. Semula kami sewaktu melihat angger berlari-lari mengira bahwa angger termasuk salah seorang gerombolan Alas Roban.
Tidak apalah bapak berdua. Kesalahan serta kekeliruan-kekeliruan antara sesama manusia dalam kehidupan kita adalah kejadian yang wajar. Selama kita sadar bahwa kesalahan-kesalahan itu dapat diperbaiki, maka kesalahan itupun akan membuat kita lebih dewasa dalam berpikir dan bertindak agar hal-hal yang keliru tadi tidak terulang kembali, kata Gangsiran kepada kedua orang bekas lawannya. Maka diam-diam Kerpu dan Tambakan manggut-manggut serta memuji dalam hati atas kata-kata Gangsiran yang bening keluar dari pikiran yang cerah. Pertanda bahwa Gangsiran bukan orang yang suka mendendam. Maaf anakmas Mahesa Wulung, apakah sebenarnya yang baru terjadi disini? bertanya pula Kerpu kepada Mahgsa Wulung.
Beberapa gerombolan hitam Alas Roban telah menyerang kami berdua, bapak.
Begitulah memangnya angger. Mereka mulai mengganas di mana-mana dengan kejamnya tanpa takut akan dosa atas perbuatannya. Dan hal inilah yang membuat kami sampai di sini karena mencari-cari angger Mahesa Wulung.
Apakah sesuatu yang telah terjadi? tanya Mahesa Wulung.
Benar. Sesuatu telah terjadi dan telah melanda kampung Karang Asem! jawab Kerpu dan seketika kelihatan wajah Mahesa Wulung menjadi tegang. Pikirannya berlari ke arah pamannya Ki Sorengrana.
Melihat angger Mahesa Wulung, kami akan menceritakan kejadian itu selengkapnya. Tiga hari yang lalu ketika kami tengah bertugas di bandar Asemarang, seorang petani telah menemui kami dan melaporkan bahwa kampung Karang Asem pagi itu telah diserang oleh gerombolan hitam Alas Roban. Kali ini penyerangan dipimpin sendiri oleh Singalodra dengan puluhan anak buahnya. Pamanmu dan para penduduk di situ rupa-rupanya sudah tahu akan kabar penyerangan itu, ternyata bahwa mereka telah bersiap-siap lebih dulu sehingga dengan gegap gempita merekapun pergi menyongsong kedatangan Singalodra beserta anak buahnya, dan terjadilah saat itu juga pertempuran hebat. Jerih payah pamanmu Ki Sorengrana yang telah melatih mereka menggunakan senjata tidak sia-sia. Beberapa saat kemudian, beberapa orang gerombolan kena dirobohkan oleh pukulan maut Lebur Waja dari Ki Sorengrana. Sementara itu pula ada satu, dua anak buah Ki Sorengrana tewas di ujung senjata gerombolan Alas Roban. Darah merah yang memercik dari luka-luka serta teriak kesakitan diseling gemerincingnya senjata yang beradu membikin pertempuran itu makin lebih berkobar, dan makin gila. Gila karena manusia-manusia di saat itu saling berbunuhan. Kata-kata damai telah hilang dari kamus pikiran. Kini mereka hanya teringat semboyan : Dimatikan oleh musuh atau mematikan musuh. Dalam pertempuran ini tampak jelas kekejaman dan kebuasan gerombolan Alas Roban. Mereka menggunakan apa saja dalam menyerang musuhnya. Seperti penggada berujung bola besi berduri, kampak, rantai, disamping senjata-senjata biasa lainnya. Sambil mendobrak pertahanan Ki Sorengrana, Singalodra berteriak nyaring: Hee, tikus-tikus kecil, rasakan sekarang pembalasanku. Inilah hukuman bagi orang-orang yang mencoba menghalangi gerombolan Alas Roban! Lekas menyerah semua sebelum kalian kucincang habis.
Teriakan ancaman Singalodra memang cukup mengerikan tapi itu tidak digubris sama sekali oleh Ki Sorengrana dan anak buahnya, sebab mereka telah bertekad lebih baik mereka mati membela keadilan dan kebenaran dari pada menyerah kepada gerombolan Alas Roban. Kemarahan Singalodra menjadi-jadi setelah melihat bahwa ancamannya tidak digubris.
Cepat basmi tikus-tikus itu, jangan beri ampun! perintahnya kepada anak buahnya dan pertempuranpun semakin seru. Beberapa anak buah Ki Sorengrana mencoba mengepung Singalodra. Melihat itu hantu Alas Roban ini menggemakan tertawanya dari balik topeng harimaunya. Topengnya yang berbentuk sederhana ternyata mempunyai pengaruh luar biasa bagi setiap lawan yang menghadapinya. Para pengepung itu merasa ngeri memandang topeng Singalodra sehingga sebagian besar pengamatan mereka hilang karenanya. Maka mudahlah Singalodra menangkis setiap serangan pengepungannya bahkan dua orang di antaranya rebah ke tanah termakan ujung senjata trisulanya. Namun beberapa orang anak buah Ki Sorengrana lainnya terjun pula ke situ ikut mengepungnya. Malahan beberapa di antaranya segera melepaskan anak panahnya ke arah Singalodra. Untuk serangan anak panah inipun Singalodra cuma memperdengarkan tertawanya yang seram dan sekali menggerakkan trisulanya setengah lingkaran ke udara tersapu bersihlah semua anak panah serta berjatuhan ke tanah. Para pengepung sangat terkejut melihat hal ini dan sebelum mereka sadar terdengarlah pula gema tertawa Singalodra dari balik topengnya yang makin lama makin bernada tinggi, membikin nyeri rongga dada para pengepungnya. Itulah kalau Singalodra mulai merancarkan aji pemunahnya. Senggara Madan. Tertawanya terus menanjak tinggi lalu berubah seperti geram dari auman harimau yang marah. Akibatnya hebat sekali, satu persatu lawannya menjadi pucat pasi dan perlahan-lahan jatuh terduduk sambil menekankan kedua tangan ke atas dada seperti mencoba menahan sesuatu yang tengah terjadi. Memanglah, sesuatu telah terjadi pada isi rongga dada mereka yang mulai rontok akibat ketawa dan auman Singalodra. Yang dilambari aji Senggara Macan. Akhirnya, sebentar kemudian rebah ke tanah dengan darah mengalir dari mulutnya, sedang sebagian melarikan diri sambil berteriak-teriak.
Belum habis Singalodra menikmati kemenangannya mendadak satu bayangan berkelebat cepat menyerangnya. Namun bagi hal ini tidak mengejutkan Singalodra, meski diam-diam ia kagum, masih ada orang yang berani menyerangnya selagi ia tengah melancarkan aji Senggara Macannya.
Pantas. Rupanya inilah jagoan dari Karang Asem, serunya.
Benar! Akulah Sorengrana yang akan melawanmu! teriak Ki Sorengrana sambil menyerangnya dengan pedangnya. Ketika Singalodra merasakan bahwa serangan Ki Sorengrana cukup berat, ia tidak mau bermain-main lagi maka geraknyapun menjadi semakin ganas. Persis seperti harimau kelaparan yang sedang menyerang mangsanya dengan rakus. Dengan senjatanya Trisula yang bergulung-gulung seperti badai itu, ia mampu menangkis setiap serangan pedang Ki Sorengrana.
Tetapi Ki'Sorengrana cukup tangguh memainkan pedangnya yang sudah matang terlatih, sehingga yang terlihat hanyalah kilatan sinar menyambar-nyambar serta mematuk-matuk mengerikan menyerang gulungan tombak lawan. Begitulah pertempuran berlangsung dengan dahsyatnya. Singalodra yang telah banyak terlatih serta murid kinasih Ki Macan Kuping, hantu Alas Roban itu beberapa kali menyerbu kampung-kampung di sepanjang pantai utara Jawa. Karena mereka tidak mau membayar pajak yang telah ditetapkan oleh Singalodra. Beberapa orang pula yang telah cukup terkenal ketika mencoba menentang perbuatannya telah dicintainya dan berakhir dengan bertekuknya lutut mereka serta bersedia membayar pajak itu. Dan sekali inilah masih ada orang yang berani mencoba menentangnya, sehingga ia bertekat akan membinasakan lawannya Singalodra telah terbiasa oleh pekerjaannya. Merampok, menyiksa dan membuat baginya seolah-olah nyawa adalah barang permainan yang mudah didapat.
Satu ketika tusukan tombak Singalodra ditangkis oleh sabetan pedang Ki Sorengrana. Keduanya sama-sama mengerahkan tenaga dalamnya hingga benturan kedua senjata itu telah mengakibatkan keduanya terdorong mundur beberapa langkah. Bahkan lebih dari itu sebab Ki Sorengrana mengetrapkan pukulan Lebur Wajanya menyebabkan Singalodra setelah terdorong surut lalu jatuh terduduk dengan kedua belah tangan masih menggenggam trisulanya. Kejadian itu seperti sekejap mata saja, sebab tiba-tiba dengan cepat Singalodra berdiri pula tegak tanpa cacat sedikitpun. Melihat ini, Ki Sorengrana dengan geramnya melangkah ke arah Singalodra untuk menyerangnya kembali.
Meskipun masih agak berkunang-kunang, ternyata Singalodra dapat mengatasi pukulan Lebur Waja. Dalam saat tegang ini, di kala Ki Sorengrana melangkahkan kakinya untuk menyerang Singalodra yang masih berdiri kepeningan itu, satu bayanqan melesat ke belakang Ki Sorengrana dengan dua ujung jarinya langsung menotok punggung Ki Sorengrana dan sejurus kemudian iapun jatuh terkulai lemas ke tanah. Ternyata jalan darahnya telah tertotok oleh orang ini yang berbaju hitam panjang, berikat kepala merah soga berbencah-bencah hitam serta mengenakan ikat pinggang kulit harimau tutul, sehingga Ki Sorengrana tak berdaya lagi.
Hi, hi, hi, ha, ha, ha. Nah lihat Singalodra, musuh mu telah aku rubuhkan dengan totokan jalan darah. Dengan hal yang sama telah aku rubuhkan pula murid perempuannya yang bernama Pandan Arum! Ayo, cepat ikat mereka berdua. Kita akan bawa mereka ke sarang kita di Alas Roban. Kita gunakan mereka untuk memancing Mahesa Wulung datang ke sana. Ha, ha, ha, ha! Macan Kuping tertawa sambil mengelus-elus kumisnya.
Melihat Ki Sorengrana jatuh tak berdaya, anak buahnya menjadi cerai-berai bagaikan anak ayam kehilangan induknya.
Sebagian melarikan diri mencari selamat, sedang sebagian lagi yang masih mencoba melawan, dengan mudah dirubuhkan mati oleh anak buah Singalodra tanpa ampun. Nah, begitulah cerita petani tadi kepada kami berdua. Dialah salah seorang dari pengepung-pengepung Singalodra yang
melarikan diri.
Kerpu sejenak menghentikan ceritanya. Keempatnya diam membisu, masing-masing sibuk dengan pikirannya. Keheningan malam telah terasa betul-betul mencekam suasana. Kemudian ia melanjutkan lagi.
Begitulah setelah kami menerima laporan dari petani itu segera kami menyiapkan dua regu penjaga keamanan bandar Asemarang menuju ke kampung Karang Asem. Rumah yang habis terbakar masih kelihatan mengepulkan asap hitam dengan tiang-tiangnya yang telah hitam menjadi arang. Beberapa orang perempuan tampak meratapi beberapa korban keganasan gerombolan Alas Roban yang berkaparan di sana-sini, maka secepatnya kami turun tangan membantu mereka serta mengubur para korban itu. Di antara perempuan-perempuan, itu kelihatan Nyi Sorengrana. Setelah kami mendapatkannya, tahulah kami bahwa jauh sebelum penyerangan itu, perempu-an-perempuan, anak-anak dan orang-orang tua telah bersembunyi dan mengungsi di sebuah hutan di selatan Karang Asem sehingga mereka selamat tak kurang satu apa. Tampak pula sisa-sisa anak buah Ki Sorengrana yang sibuk merawat orang-orang yang terluka. Sayang sekali bahwa kedatangan kami terlambat, kalau tidak tentu kami dapat mengusir, setidak-tidaknya mencegah agar mereka tidak dapat membuat korban lebih banyak.
Demikianlah atas keterangan Nyi Sorengrana kami segera menempatkan sebagian penjaga di Karang Asem sedang kami berdua berusaha mencari angger Mahesa Wulung untuk menyampaikan kejadian tersebut. Mula-mula kami menuju ke padepokan tanah putih. Di sana kami bertemu dengan Panembahan Tanah Putih yang menceriterakan bahwa angger Mahesa Wulung sedang menyelidiki pusaka Naga Geni di Gunung Brintik. Maka secepatnyalah kami ke mari mencari angger. Pesan sang Panembahan, agar angger Mahesa Wulung secepatnya berusaha membebaskan Ki Sorengrana dan Pandan Arum. Kerpu mengakhiri ceriteranya. Hemm, sungguh-sungguh mereka gerombolan ganas dan licik pula. Baiklah kalau demikian kami berdua dengan kakang Gangsiran akan diam-diam menyusup ke Alas Roban dan membebaskan paman Sorengrana serta adi Pandan Arum, kata Mahesa Wulung.
Angger Mahesa Wulung, kita atur saja mulai sekarang untuk menyerang Alas Rpban. Kami secepatnya akan kembali ke Asemarang serta menyiapkan penyerangan itu. Dengan gabungan pasukan pengawal bandar Asemarang serta sisa-sisa anak buah Ki Soreng-rana kami akan berkuda menyusuri pantai utara dan kira-kira seminggu kami akan tiba di sana. Nah, pada hari itulah kami akan melancarkan serangan yang mendadak!
Baik bapak. Saya setuju dengan rencana bapak berdua itu, lalu kapankah bapak Kerpu dan Tambakan kembali ke Asemarang?
Angger Mahesa Wulung, sebaiknya kami berangkat pulang sekarang. Lebih cepat kami menyiapkan diri lebih baik. Begitulah setelah berjabat tangan de-ngan Mahesa Wulung dan Gangsiran, mereka cepat mengambil kudanya yang tertambat di sebuah semak-semak dan kemudian sebentar saja keduanya telah berpacu ke utara.
Demikian pula Mahesa Wulung dan Gangsiran segera mengambil kuda-kudanya tapi mereka berdua tidak memacu kudanya melainkan cuma berjalan biasa saja, karena jarak yang mereka tempuh masih cukup jauh, sedang mereka harus menjaga kuda-kudanya agar tidak terlalu lelah. Tambahan lagi jalan yang dilalui ke barat itu tidak rata tapi berbukit-bukit sehingga mereka harus berhati-hati.
--¤¤¦ « 4 » ¦¤¤--
Kakang Gangsiran, di depan kita dibalik gerombol pohon-pohon itu terletak sebuah desa. Apakah kakang berminat untuk singgah sebentar? bertanya Mahesa Wulung.
Terima kasih dimas. Aku kira, kita tidak mengambil jalan yang melewati desa itu, melainkan kita cari jalan melingkar di selatan desa itu, jawab Gangsiran pula. Mahesa Wulung dapat membenarkan pendapat Gangsiran itu, sebab dengan mengambil jalan itu mereka menjauhi kemungkinan bertemu dengan orang-orang lain, tanpa menimbulkan korban yang banyak. Bahkan jika mungkin ia akan berusaha mem-bebaskan pamannya Ki Sorengrana serta Pandan Arum tanpa melibatkan pasukan Asemarang dalam pertempuran di Alas Roban.
Malam itu meskipun bulan bersinar dengan terangnya, namun cahayanya tak dapat menembus kepekatan rimba Alas Roban, yang hampir sebagian besar dipenuhi oleh pohon-pohon karet tahun yang tumbuh dengan liarnya. Cabang-cabangnya serta daunnya saling bertautan seolah-olah memang sengaja menghalang-halangi sinar rembulan memasuki daerahnya, bagaikan tangan-tangan hantu yang menjaga sarangnya. Tapi dikepekatan rimba yang lembab itu jauh di sana, diperut rimba itu terdapatlah rumah-rumah kayu beberapa buah. Di muka rumah yang terbesar di antara rumah-rumah itu terdapat sebuah tanah luas sebagai halamannya dan terpasanglah di situ sebuah api unggun dikelilingi oleh orang-orang bersenjata. Sebagian ada yang duduk, sebagian lagi berdiri. Sedang di pojok timur halaman itu terpasang seperangkat gamelan lengkap dengan penabuh, pesinden serta penarinya. Tetapi kesemuanya diam membisu seperti tengah menunggu sesuatu yang penting dan semua pandangan mata mereka tertuju ke pintu rumah besar. Tak lama kemudian pintu rumah besar itupun terbukalah serta muncul dari dalam rumah, dua sosok tubuh yang kekar.
Seorang mengenakan kulit harimau tutul sebagai bajunya dan mukanya tersembunyi dibalik topeng harimau yang seram. Tangannya menggenggam se-buah tombak trisula.
Seorang lagi berbaju hitam dengan ikat kepala merah berbunga-bunga hitam dan pada pinggangnya tergantung sebuah pedang panjang. Keduanya berjalan ke tengah lingkaran orang-orang bersenjata itu, serta berhentilah mereka, bila keduanya telah tiba di sana. Di antara orang-orang yang mengelilingi api unggun itu terdengar bisik membisik sesamanya. Mereka telah menunggu-nunggu keduanya sejak tadi.
Lihatlah sebentar lagi, Ki Macan Kuping serta Singalodra pasti akan segera membuka pesta kemenangan kita. Dan kita akan mabuk-mabuk minum tuak sambil menari-nari bersama gadis-gadis itu.
Nah itu-itu lagi yang kau bicarakan, seolah-olah hanya menari dan mabuk-mabuk yang kau ingat dalam benakmu.
Lho apa salahnya dengan diriku, bukankah itu hal yang wajar? Menari, menyanyi serta mabuk-mabuk akan membuat kita awet muda.
Ya, tapi dengan begitu aku teringat penyerangan kita ke Karang Asem, beberapa hari yang lalu, kata seorang yang masih muda.
Mengapa dengan Karang Asem? tanya orang yang berkumis tebal teman si orang muda itu. Kan mereka sudah kita hancurkan.
Dari sebab itulah aku selalu teringat! Orang-orang kampung itu yang kita binasakan berkaparan di mana-mana, merintih kesakitan. Dengan menari-nari itu, seolah-olah kita menari di atas mayat bangkai mereka.
Ah, sudahlah Dugel. Lupakan saja hal itu. Aku maklum kau masih anggota baru, belum terbiasa melihat orang mati. Tetapi jangan kuatir, tunggulah. Sebentar lagi kau akan biasa melihatnya. Bahkan kau akan menyesal bila tidak ikut menyembelih orang dalam setiap penyerangan gerombolan kita ke desa-desa.
Hiiii, menyembelih orano? si orang muda yang bernama Dugel kelihatan bergetar, bulu tengkuknya berdiri mendengar kata kata temannya itu.
Sudahlah Dugel, kita selesai ngobrol. Nih, minumlah tuak biar lebih hangat badanmu! kata sikumis tebal sambil menyorongkan tangannya yang berisi cangkir tembikar penuh tuak yang melimpah kepada si Dugel.
Sejurus kemudian mereka menghentikan bisik-bisiknya, bila Ki Macan Kuping mengangkat kedua belah tangannya.
Anak-anakku semua, aku berterima kasih atas keberanianmu yang telah kau perlihatkan dalam penyerangan, ke Karang Asem. Sekarang pesta ini adalah untuk merayakan kemenangan kita itu. Nah, malam ini bersuka-sukalah, menyanyi, menari bersama gadis-gadis itu, minum tuak sepuas-puasmu, atau apa saja terserahlah! Besok kita masih punya pekerjaan yang besar!
Begitu selesai Ki Macan Kuping bicara, serempak gamelan ditabuh orang dan berdirilah para tledek itu serta memulai tarian-tariannya yang menggairahkan diseling oleh suara pesinden yang tidak kalah gairahnya. Sebentar saja suasana menjadi hangat, dan bertambah hangat bila beberapa orang telah mulai pada mabuk tuak. Beberapa orang berdiri dan sambil sempoyongan, mereka menandak-nandak terjun ke tengah arena tari itu.
Sambil menari, sebentar-sebentar diisi mulutnya dengan minuman tuak hingga berceceran ke tanah. Seorang lagi lebih lucu, kelihatan menari sambil mulutnya menggigit setusuk satai daging yang masih berkepul-kepul kepanasan, melintang pada kedua sudut mulutnya.
Heee, lihat itu Bugelan sedang beraksi! teriak salah seorang dari penonton. Mereka tertawa terbahak-bahak melihat kelucuan Bugelan. Sementara itu seorang lagi yang menari dengan tangan serabutan laksana geraknya sapit seekor kalajengking bergeser-geser mendekati Bugelan.
Wah, itu Sapit Ireng beraksi pula! seru mereka. Tiba-tiba dengan gerak yang cepat hampir-hampir sukar ditangkap mata, Sapit Ireng menggerakkan kepalanya kemuka kepala Bugelan dan sekejap itu terlihatlah mulutnya mencengkam dua iris daging satai yang terlolos dari tusukan satai di mulut Bugelan.
Hebat kau Sapit Ireng! teriak seorang penonton. Ia dapat mengambil tusukan daging satai dari mulut Bugelan. Tidak hanya penonton saja yang ketawa, juga Ki Macan Kuping serta Singalodra ikut pula tertawa menyaksikan ketangkasan Sapit Ireng.
Ayo, konco-konco, puaskan gembiramu! Ini adalah pesta untukmu! teriak Singalodra keras-keras. Serentak mendengar kata Singalodra pemimpin mereka itu, beberapa orang yang mula-mula malu-malu segera berdiri pula dan terjun ke tengah arena ikut menari kesenangan.
Irama gamelanpun dipukul semakin keras, dengan nada yang gila-gilaan. Bila sudah demikian, gema iramanya mengalun ke segenap penjuru hutan sampai ke desa-desa yang terletak di sekitar Alas Roban. Bahkan, karena letak Alas Roban itu di tepi pantai Utara Jawa suara gamelan gila itu sekali-sekali terdengar sampai ke pantai, membuat siapa saja yang mende-ngar menjadi meremang bulu tengkuknya, karena merekapun sadar bahwa suara gamelan itu berasal dari perut hutan Alas Roban satu tanda pula kalau gerombolan hitam Singalodra dari Alas Roban sedang berpesta pora menikmati kemenangannya. Demikianlah, pesta pora itu mencapai larut malam dan sekonyong-konyong saja, kemeriahan pesta agak terganggu, bahkan beberapa orang cepat menyiapkan senjatanya, manakala derap kaki kuda terdengar sayup-sayup yang makin lama terdengar bertambah dekat. Seorang penjaga pintu gerbang masuk sarang gerombolan itu yang berdiri di sebelah sana tampak melambai-lambaikan pedangnya yang terhunus. Serentak mereka pada menarik napas lega, karena itu adalah tanda aman dan yang datang tentulah kawan sendiri.
Benarlah isyarat lambaian pedang itu, sebab tak lama kemudian muncul seorang berkuda mendekati mereka dengan tubuhnya yang mandi peluh. Beberapa goresan luka-luka kecil terlihat pula pada tubuhnya.
Hee, bukankah itu kakang Sima Gereng! teriak salah seorang dari mereka yang serentak berdiri menunggu orang berkuda.
Ya, betul itu Sima Gereng! teriak yang lain pula. Tapi mengapa ia pulang sendiri? Di mana empat orang kawan kita yang lain! Sebentar saja mereka hiruk-pikuk membicarakan Sima Gereng yang pulang sendirian saja, sementara gamelanpun menjadi reda, semakin reda dan akhirnya berhenti sama sekali yang diikuti para penarinya segera menghentikan tariannya pula. Bahkan beberapa orang penari ikut pula menggerombol mengelilingi Sima Gereng yang kini telah turun dari kudanya.
Ki Macan Kuping dan Singalodra tampak pula berjalan mendekati Sima Gereng.
Mengapa engkau pulang sendirian Sima Gereng, di mana keempat anak buahmu itu? tanya Singalodra dengan pandangan matanya yang tajam mengawasi Sima Gereng.
Kami telah menjalankan tugas ki lurah, tapi ketiwasan! jawab Sima Gereng sambil menundukkan kepala. Sedang napasnya turun naik.
Ketiwasan bagaimana? Ayo, ceriterakan tugasmu. Jangan bicara sepotong-sepotong! seru Singalodra dengan marah.
Ampun ki lurah, kami berlima telah berhasil menghadang Mahesa Wulung yang telah membawa pusaka Naga Geni. Wujud pusaka itu ialah sebatang cambuk yang menyala kebiruan. Kemudian terjadilah pertempuran dan kami berusaha merebut pusaka itu, hanya sayangnya ternyata Mahesa Wulung tidak sendirian tapi membawa teman, seorang yang pandai melempar pisau.
Hmmm, itu pasti si Gangsiran, penjudi edan! potong Singalodra dengan geramnya. Teruskan bicaramu goblok, ayo! Dengan gugup Sima Gereng meneruskan pula ceriteranya. Setelah kami bertempur, tiba-tiba Mahesa Wulung menggunakan pusaka itu untuk melawan kami dan akibatnya luar biasa. Dua orang anak buah saya yang terkena cambuknya, seketika jatuh mati dengan tubuh hangus kemerahan seperti daging satai yang dipanggang api.
Mendengar keampuhan pusaka itu, orang-orang terperanjat sekali, termasuk Singalodra serta Ki Macan Kuping sendiri yang sudah tergolong tingkatan atas dalam ilmu kesaktian. Dan juga dengan Mahesa Wultung sendiri, ternyata orang yang hebat. Angin pukulannya saja bisa menumbangkan saya. Untunglah saya cukup tangkas ki lurah, hingga saya dapat mengelak menghindarkan serangannya.
Plak! plak! plak! tiba-tiba dengan gesitnya Singalodra menampar Sima Gereng yang sekaligus jatuh tertelentang dengan sudut mulutnya berdarah. Sima Gereng tampak meringis-ringis sambil meraba bibirnya. Sebentar terdengar keruyuk-keruyuk dalam mulutnya dan cepat-cepat Sima Gereng meludah. Tampak darah merah keluar diikuti tiga buah benda putih meloncat keluar dari mulutnya, akibat tamparan Singalodra.
Ampun! Aduh, aduh, gigi saya copot, teriak Sima Gereng kesakitan. Itulah hukuman bagimu goblog! Kau berani memuji-muji musuhmu di depanku he! Mengapa kau tidak ikut mampus bersama keempat anak buahmu sekali, teriak Singalodra kemarahan sambil melototkan matanya yang bengis kejam itu.
Ampun Ki Lurah, saya berkata sebenarnya. Sayapun sudah berjanji demi setan-setan penjaga Alas Roban ini, bahwa saya suatu ketika akan membalas dendam kepada Mahesa Wulung, si keparat itu.
Hem, bagus, bagus, aku akan pegang sumpahmu itu. Meskipun kau gagal, saya akan masih mengampunimu! Dan lagi kita telah berhasil menangkap paman Mahesa Wulung, Ki Sorengrana serta muridnya sekaligus yang bernama Pandan Arum. Dengan mereka berdua, kita pancing Mahesa Wulung masuk ke sarang kita ini. Kita akan tukarkan kedua orang itu dengan pusaka Naga Geni. Setelah itu baru kita bereskan mereka!
Hua, ha, ha, ha, bagaimana anak-anak?! Seru Singalodra.
Akur! Setuju, ki lurah! teriak orang-orang serempak, menyetujui pendapat Singalodra.
Nah, kalau begitu sekarang ayo, kalian kembali ke tempatnya masing-masing. Kita teruskan pesta pora ini! seru Ki Macan Kuping. Kini gamelanpun ditabuh lagi dan kembali mereka menari-nari, mabuk-mabuk tuak, serta menyanyi-nyanyi dengan bebasnya tanpa patokan-patokan seni yang ada, tanpa aturan tata tertib sehingga kadang-kadang diantaranya timbul pukul memukul dengan ternannya saking mabuknya dengan minuman tuak. Jika sudah begitu teman-teman yang lain cuma tertawa menyaksikan mereka, sedang penari-penari malahan tambah menari dengan gairahnya. Baginya hal-hal itu, berkelahi, mabuk-mabuk, sudah biasa terjadi di kalangan gerombolan hitam Alas Roban sehingga mereka tak usah kuatir. Begitulah suasana pesta gerombolan hitam Alas Roban terus berlangsung sampai langit di sebelah Timur disaput oleh warna-warna merah sang matahari. Beberapa ayam jantan mulai berkokoh bersahut-sahutan, suaranya menggema di perkampungan itu yang tersembunyi letaknya di perut rimba Alas Roban.
Debu serta kerikil-kerikil berhamburan oleh kaki-kaki kuda yang dipacu secepat angin menyusuri jalan sepanjang pantai Utara Jawa.
Kakang Gangsiran, kita telah melewati Kali Bodri.
Tapi sayang adi Mahesa Wulung, kita tidak sempat singgah di perguruan Kyai Kendil Wesi di Kaliwungu. Kalau singgah, tentu kita mendapat petunjuk-petunjuk yang perlu.
Benar kakang, tapi tak usah kita cemas. Dengan berjalan terus menyusur pantai ke barat, pasti kita akan sampai ke Alas Roban. Aku masih ingat jalan-jalannya ke sana, kata Mahesa Wulung. Memang waktu kita amat sempit dalam tugas kita ini. Lain kali saja kita usahakan singgah ke sana. Berapa lama keduanya telah berkuda tak lagi terasa, disebabkan perasaan mereka yang telah disibuki oleh persoalan-persoalan yang rumit. Mahesa Wulung ingin cepat sampai untuk membebaskan pamannya serta Pandan Arum. Sedang Gangsiran sibuk pula memikirkan cara-cara menerobos penjagaan gerombolan Alas Roban.
Sekarang kita mulai memasuki desa Weleri adi Mahesa Wulung, ujar Gangsiran. Lihatlah itu di sana! Pintu gerbang masuk ke desa telah dijaga oleh orang-orang bersenjata.
Ayolah kita cepat-cepat ke sana kakang. Setiap keterangan pasti berguna bagi kita, seru Mahesa Wulung sambil mempercepat lari kudanya ke arah desa itu. Gangsiran tak pula ketinggalan cepat-cepat ia mengejar Mahesa Wulung, sehingga tak lama kemu-dian keduanya telah sampai ke pintu gerbang masuk desa Weleri. Seorang di antara penjaga-penjaga itu, ketika melihat dua orang asing mendekati pintu gerbang, cepat-cepat mendapatkan Mahesa Wulung serta Gangsiran.
Badan orang ini amat tegap, kumis dan jenggot yang lebat menumbuhi mukanya yang bulat, menambah keangkerannya.
Maaf, kisanak berdua. Daerah ini tertutup untuk perjalanan ke barat sebab gerombolan Alas Roban sedang merajalela di sana. Reruntuhan rumah-rumah di pojok itu, adalah hasil kebiadapan mereka yang telah merampok desa ini dengan kejamnya. Rumah-rumah mereka bakar, sementara beberapa orang yang mencoba melawannya telah disembelih mati! kata orang itu sambil mengawasi Mahesa Wulung dan Gangsiran setengah curiga mulai dari kepala sampai ke ujung kaki.
Kalau kisanak berdua boleh aku peringatkan dan masih cinta akan hidup, sebaiknya kisanak kembali saja ke timur.
Mengapa harus kembali ke timur! kata Mahesa Wulung tajam. Malah kalau kisanak ingin tahu pula, kami berdua akan datang ke Alas Roban untuk mem-bebaskan orang-orang yang tertawan oleh gerombolan Alas Roban.
Ha, ha, ha, membebaskan tawanan-tawanan dari tangan Singalodra? Omong kosong! Bualanmu tidak laku di sini kisanak. Tahukah kisanak, baru-baru ini sepasukan desa Karang Asem yang dipimpin oleh Ki Sorengrana, telah binasa dilabrak oleh gerombolan Singalodra. Bahkan Sorengrana sendiri kena tertawan oleh mereka, seru orang itu dengan nada setengah mengejek. Apalagi kisanak cuma berdua saja!
Mahesa Wulung meloncat turun dari atas kudanya lalu mendekati orang yang berkata penuh kesombongan itu.
Kisanak, bagi kami berdua tidak ada satu halanganpun yang kami takutkan, karena kami hanya percaya bahwa Tuhan Yang Maha Kuasa akan memberikan bantuanNya menyelesaikan tugas ini.
Tidak! Kalau Dadapan bilang tidak, maka tak seorangpun boleh melanggar kata-katanya. Kata-katanya adalah juga hukumnya. Nah, sebaiknya kalian berdua tidak sampai membuat jengkel kami. Kalau kisanak memaksa, terpaksa harus berhadapan dengan saya, si Dadapan murid Perguruan Empu Paku Waja, kata Dadapan sambil menepuk-nepuk dadanya.
Mendengar nama Perguruan Empu Paku Waja, Mahesa Wulung serta Gangsiran yang masih duduk di atas kuda ikut terkejut. Mereka pernah mendengar keampuhan Empu Paku Waja yang terkenal itu.
Kami datang ke sini tidak untuk mencari perselisihan, kisanak, kata Mahesa Wulung pelan dengan maksud untuk meredakan suasana yang telah panas. Tapi Dadapan cepat-cepat membalasnya.
Ha, itu pendapat anak yang manis. Kalau begitu segeralah berlalu dari sini, supaya kalian masih bisa menikmati sinar matahari.
Terima kasih, kami berdua akan tetap memasuki Alas Roban!
Gila! Berani memaksa Dadapan bertindak? Nah, kau akan merasakan sedikit pelajaran dari kekurang ajaranmu! Mari kita bermain-main sebentar untuk memanaskan badan
Dadapan mulai melancarkan serangannya dengan pedang terhunus. Sambarannya menimbulkan suara berdesing dan angin yang dingin menderu-deru.
Mula-mula Mahesa Wulung tak ingin melayani sikap Dadapan yang sombong itu. Tapi bila ia telah diserang dengan pedang terhunus maka tak ada lagi cara yang baik buat memberi pelajaran kepada Dadapan selain dengan menyambut serangannya.
Tusukan pertama Dadapan ke arah lambung dapat dihindarkan oleh Mahesa Wulung dengan memiringkan tubuhnya ke kiri sambil tangan kanannya diketukkan ke tangan Dadapan yang memegang pe-dang. Aaaakh. Dadapan berteriak setengah tertahan dengan mulutnya yang menyeringai-nyeringai menahan sakit. Merasakan serangannya gagal, Dadapan menjadi penasaran. Segera ia mengeluarkan permainan pedangnya yang hebat. Ujung pedangnya berkelebatan dengan sinar yang menyilaukan mata merupakan satu lingkaran yang mengurung Mahesa Wulung. Diam-diam Mahesa Wulung memuji ketinggian ilmu pedang Dadapan, hanya sayang pemiliknya rupa-rupanya terlalu sombong memakainya. Pedang di tangannya, gerakannya kini berganti. Selain mematuk-matuk ke atas dan ke bawah, juga membabat dari samping kiri dan kanan.
Mendapat serangan pedang yang hebat ini, Mahesa Wulung mengerahkan tenaga dalamnya berlambaran ilmunya Bayu Rasa dan tiba-tiba tubuhnya melenting ke atas berjungkir balik di udara, kaki ke atas dan kedua tangannya ke bawah, menerkam Dadapan bagaikan gerak rajawali menyambar mangsanya ke bawah. Sekali ini, Mahesa Wulung tidak menggunakan pukulan Lebur Waja karena ia hanya menggunakannya bila melawan gerombolan hitam Alas Roban serta orang-orang jahat lainnya. Sedang lawannya sekarang. Si Dadapan ini, bukanlah orang yang jahat, tapi orang yang sombong karena merasa dirinya paling berkuasa menjaga keamanan di tempat itu sehingga orang-orang harus tunduk kepadanya. Dadapan seketika terkejut melihat gerak Mahesa Wulung, cepat ia bermaksud menghindarkan terkaman lawan tapi terlambat! Tahu-tahu tangannya kena ditangkap oleh Mahesa Wulung sehingga terasa pedangnya yang digenggam kini merasa bergetar hebat. Tangan Mahesa Wulung yang mencekam pergelangan tangan kanannya itu terasa seperti dua buah dinding baja yang menghimpit, makin lama mengunci semakin keras dan tak lama kemudian tangannya terasa kesemutan, pandangannya berkunang-kunang. Dadapan jatuh terduduk dan pedangnya terlepas dari genggamannya.
Maaf Dadapan aku tak bermaksud menyakitimu. Itu tadi aku lakukan karena terpaksa untuk menghindarkan seranganmu! Percayalah! Mahesa Wulung berkata dengan wajah yang cerah. Sama sekali ia tidak menaruh benci. Hatinya yang polos itu berkata bahwa musuhnya ini bukanlah orang yang jahat seharusnya binasa oleh tangannya.
Mula-mula Dadapan agak curiga melihat sikap Mahesa Wulung ini. Jangan jangan itu hanya siasat saja, namun demi dilihatnya wajah Mahesa Wulung yang cerah, bahkan kini mengulurkan tangan untuk menolongnya berdiri yakinlah bahwa Mahesa Wulung betul-betul tidak bermaksud memusuhinya. Kini terbukalah hati Dadapan bahwa semua itu terjadi karena kesombongannya, karena terlalu mengandalkan ilmu pedangnya dari Empu Paku Waja, yang tak pernah terkalahkan itu.
Ooh, maaf kisanak. Maafkan semua tindakanku yang kasar dan tolol itu! seru Dadapan sambil membungkuk memberi hormat lawannya, ia menyesal sekali telah memperlakukan Mahesa Wulung dengan kasar.
Lupakan hal itu Dadapan, yang sudah berlalu biarlah berlalu. Waktu yang akan datang masih banyak untuk berlaku lebih bijaksana lagi, Dadapan, aku tadi sangat mengagumi permainan pedangmu itu, mungkin suatu saat akan kuminta kau mengajariku. Harapanku hanyalah jangan menggunakan ilmu pe-dangmu itu untuk menuruti nafsu kemarahan saja, secara serampangan. Sebab walau jaya dan perwiranya manusia itu, jika keperwiraannya tadi dipergunakan untuk maksud-maksud yang bertentangan dengan kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa, maka akan runtuh dan terkutuklah manusia tadi oleh Nya! ujar Mahesa Wulung dengan tenang sambil menghela napas dalam-dalam.
Dadapan mendengar itu, menundukkan kepalanya ke bawah, tak terasa matanya berkaca-kaca terharu. Selama ini ia sering memperlakukan orang lain dengan kasar sehingga ia ditakuti oleh kawan-kawannya. Hanya saja takutnya tadi bukan takut lantaran cinta atau sayang, tapi orang-orang pada takut karena saking bencinya melihat kelakuannya.
Terima kasih Kisanak, terima kasih. Kau telah membuatku insyaf akan segala kelakuanku yang tidak baik selama ini, kata Dadapan pelan. Dan kini sebagai rasa terima kasihku, saya bersedia membantu kisanak untuk membebaskan tawanan-tawanan dari cengkeraman gerombolan Alas Goban.
Baiklah Dadapan, saya tidak keberatan untuk menerima bantuanmu, kata Mahesa Wulung. Nah, hampir saya lupa. Ini perkenalkan kakang Gangsiran dari Tanah Putih dan saya sendiri Mahesa Wulung dari Demak. Betapa terkejut Dadapan mendengar nama mereka. Keduanya sudah cukup terkenal di tanah pesisir Utara Jawa terutama Mahesa Wulung sendiri yang terkenal sebagai perwira laut Armada Demak, namanya sangat ditakuti oleh bajak-bajak laut dan gerombolan-gerombolan hitam. Ia seorang perwira yang masih muda, tapi bijaksana dan suka membela kebenaran serta keadilan. Untunglah pertarungan tadi tidak sampai berlarut-larut dan sekarang ia tidak perlu cemas karena Mahesa Wulung yang bijaksana itu telah mengampuninya. Demikianlah setelah mengaso sejenak, Mahesa Wulung, Gangsiran dan Dadapan berangkat meneruskan perjalanannya ke arah barat sedang beberapa teman Dadapan tetap tinggal di tempatnya untuk menjaga keamanan daerah Weleri. Mereka bertiga kini terus berpacu ke arah barat laut karena jalan ke barat biasa dijaga oleh orang-orang dari gerombolan Alas Roban. Dari jauh sudah terlihat warna hijau kehitaman yang membentang amat panjangnya. Itulah hutan Alas Roban yang menjadi sarang gerombolan hitam pengacau dan perusak keamanan. Hutan itu yang berdinding tebal dengan pohon-pohon karet tahun, seperti tak tertembus oleh siapapun, lebih-lebih orang di sekitarnya percaya bahwa hutan itu, tempat tinggal para setan dan hantu-hantu bersarang sehingga me-reka tak pernah mendekati hutan-hutan itu apalagi sampai mengimpikan masuk ke dalamnya. Bahkan beberapa orang tua pernah berkata, walau diupah dengan dinar emas sekalipun mereka tak bersedia menjamah hutan itu. Rasa ngeri, takut dan kabar keangkeran hutan itu selalu ditiup-tiupkan oleh seorang yang bernama Ki Singa. Ia cukup terkenal sebagai seorang pawang yang biasa menangkap binatang-binatang buas, terutama harimau. Satu keanehan pada diri Ki Singa ialah, ia sering muncul di suatu tempat dengan tiada terduga. Sebentar muncul di sini, sebentar lagi muncul di tempat lain secara tiba-tiba dan orang pun tidak ada yang tahu tempat tinggalnya.
Makin dekat, semakin jelas terlihat oleh mereka bertiga keadaan hutan Alas Roban yang terletak di tepi pantai utara. Deburan ombak yang memecah ke pantai sayup-sayup terdengar. Bila laut pasang naik, maka sebagian air laut masuk ke dalam hutan sehingga pohon-pohon karet raksasa yang tumbuh paling dekat dengan pantai tergenang air, menambah seramnya keadaan Alas Roban. Itulah kiranya mengapa hutan itu sampai disebut Alas Roban artinya hutan yang dapat dilanda banjir (rob). Matahari makin berkurang sinarnya setelah letaknya condong ke barat, menjadikan tempat itu samar-samar oleh kabut putih yang mengambang di udara. Baik Mahesa Wulung, Gangsiran ataupun Dadapan sekarang lebih hati-hati, sebab kesuraman jalan yang akan mereka tempuh itu yang penuh dengan akar-akar melintang serta ceruk-ceruk tanah yang cukup dalam bisa mencelakakan langkah-langkah kuda mereka. Untuk itu mereke terpaksa bergerak maju dengan pelan-pelan.
Sekonyong-konyong tanpa dinyana, ketenangan suasana dipecahkan oleh berderaknya ranting-ranting serta dedaunan dan satu bayangan hitam berkelebat di muka mereka yang muncul tiba-tiba dari balik lekuk-lekuk akar pohon karet raksasa.
Berhenti!! teriak orang yang baru muncul itu dengan kedua tangannya diacungkan ke depan berbareng yang mana menimbulkan hempasan angin yang menabrak ketiga pendatang itu.
Apa maksud kisanak bertiga pada waktu begini keluyuran di tepi hutan Alas Roban ini!?
Kami bertiga ingih melihat-lihat pemandangan di sini, jawab Mahesa Wulung sekaligus meneliti orang itu dengan pandangan tajam.
Bohong! teriak orang itu dengan membelalakan satu matanya, sementara satu matanya tetap menyipit karena ada bekas-bekas luka yang membuatnya be-gitu.
Aku tahu, kalian mencoba menipuku. Kalau Ki Singa boleh memperingatkan kalian, sebaiknya cepat-cepat angkat kaki dari tempat ini sebelum satu bencana dari rimba larangan ini menimpa kisanak bertiga.
Oh, jadi bapaklah yang biasa disebut Ki Singa itu? seru Dadapan saking herannya.
Cocok! Akulah yang dipariggil orang-orang Ki Singa itu. Hi, hi, ha, ha, ha, ha! orang itu tertawa dengan suara yang mengerikan. Kumisnya yang melengkung ke bawah itu ikut terguncang-guncang oleh ketawanya.
Apakah kisanak bertiga ini belum pernah dengar bahwa rimba ini sarang hantu dan setan?
Belum, bapak. Oleh sebab itu kami ingin sekali melihat penghuni-penghuni rimba, setan-setan dan hantu seperti yang bapak ceriterakan tadi, jawab Ma-hesa Wulung. Mendengar itu Dadapan ikut pula menyambung: Malahan kalau mungkin, kami akan menangkapnya sekali untuk kami pertontonkan kepada orang-orang, biar mereka tidak lagi takut kepada setan dan hantu-hantu.
Hmm, sungguh kurang ajar kisanak bertiga! Berani mempermainkan kata-kata serta peringatanku, ha! Baiklah, tapi aku telah katakan semuanya, tentang bencana-bencana yang datang dari rimba larangan dan kalian bertiga semoga mampus olehnya! kata Ki Singa keras-keras diiringi loncatan ke belakang dan tubuhnya lenyap ditelan kepekatan rimba Alas Roban dalam sekejap mata, membuat mereka bertiga tertegun keheranan. Peristiwa yang baru lewat seperti mimpi saja, Ki Singa yang muncul tiba-tiba dan lenyap pula dengan tiba-tiba.
Cahaya bintang-bintang dan bulan yang sebentar-sebentar tertutup mega berarak sangat indah dipandang mata, tapi bagi mereka bertiga, terasa tidak indah setelah mendengar ancaman Ki Singa itu. Ya, bencana apa yang bakal muncul, mereka belum tahu. Oleh sebab itu mereka lebih waspada, menghadapi setiap kemungkinan yang terjadi. Setelah mencari tempat yang cukup baik, ketiganya lalu menambatkan kudanya dalam semak-semak. Di antara lipatan-lipatan akar-akar sebuah pohon karet tahun yang besar, mereka bertiga beristirahat.
Sebenarnya mereka ingin sekali melanjutkan penyelidikannya menerobos hutan Alas Roban itu, tapi malam telah turun, hingga keadaan di dalam hutan itu tampak hitam pekat tanpa cahaya bulan atau bintang yang mampu menerobosnya. Daun-daun karet sangat lebatnya.
Malam bertambah larut dan semakin larut. Tak ada sesuatu yang tampak mencurigakan bagi mereka. Demikianlah antara Mahesa Wulung, Gangsiran dan Dadapan terjalin rasa persahabatan yang erat, mereka merasa senasib di dalam hutan itu, sama-sama bertekad menumpas gerombolan hitam Alas Roban yang ganas dan telah sekian lama merajalela di pantai Utara.
Bergantian mereka tidur dan berjaga. Embun malam mulai turun dari kabut-kabut yang menebai menyelimuti tepi hutan itu, berbutir-butir menempel pada daun-daun yang berkilat laksana permata.
Bila bulan makin merendah pada cakrawala barat, langit di sebelah timurpun mulai cerah dengan saputan warna-warna merah jingga. Di antara semak-semak dalam hutan itu tampak bayangan hitam menyelinap-nyelinap di balik pohon-pohonan. Sebentar-sebentar bayangan itu mengendap kemudian bergerak dengan cepatnya, tapi aneh sekali, langkah-langkahnya tak menimbulkan suara sedikitpun. Terang sekali bahwa orang ini memakai ilmu meringankan tubuh, sampai-sampai geraknya seperti tidak menginjak tanah.
Heh, mereka yang bercokol di tepi hutan itu orang-orang berbahaya! Kinilah saatnya aku binasakan mereka dengan kucing-kucingku ini. Sekaligus aku ingin tahu sampai di mana kekuatan mereka.
Bayangan hitam itu bergumam sendiri seperti ada sesuatu yang diajaknya bicara. Memanglah, ia dikawan, oleh dua bayangan bermata biru kehijauan dan menyala ganas yang berdiri di belakangnya seperti prajurit menunggu perintah atasannya.
Dengan satu tepukan kecil dan kemudian jari telunjuknya diarahkan ke tepi hutan, dua bayangan bermata hijau itu melesat menuju kesasarannya. Telinga Mahesa Wulung yang tajam itu mula-mula dapat menangkap sayup-sayup kokok ayam jantan dari tengah-tengah rimba Alas Roban.
Hmmm ... ini satu tanda bahwa di tengah hutan pasti ada tanda-tanda, kehidupan yang lanyak, karena kokok ayam jantan tadi bukanlah ayam hutan tapi ayam piaraan.
Tetapi sejurus lagi telinganya menangkap getaran yang lain pula. Cepat Mahesa Wulung memperingatkan kedua sahabatnya.
Kakang Gangsiran dan Dadapan, hati-hatilah. Aku mendengar sesuatu yang bergerak di atas pepohonan!
Begitu selesai berkata dan bersiaga ketiganya, mendadak terdengar auman harimau dari atas pohon di depan mereka. Dua pasang mata hijau liar memandang kearah mereka yang kemudian bergerak dengan cepat meluncur dan menerkamnya bersama-sama.
Awas macan tutul! teriak Gangsiran sambil mencabut pisau kecil dari ikat pinggangnya dan langsung dilemparnya kearah binatang itu. Begitu ia melempar pisaunya, tubuhnya bergerak kesamping.
Di tengah lompatannya, harimau tutul itu mengaum kesakitan sebab pisau kecil Gangsiran tepat be-sarang menunjam di antara kedua matanya. Tubuhnya melayang ke bawah dan begitu menginjak tanah segera ia bangkit dan menerkam sasaran lainnya di sebelah kiri. Namun Dadapan telah pula bersiaga lalu menyambut terkaman binatang itu dengan sabetan pedangnya yang terkenal tepat merobek leher harimau tutul. Darah merah menyembur dari lukanya. Tubuhnya tampak terhuyung-huyung dan kemudian rebah ke tanah. Mati.
Sementara itu Mahesa Wulung berhasil menghindar dari terkaman lawannya. Harimau itu, merasa gagal serangannya menggeram hebat karena marah. Tubuhnya kini merendah ke tanah, yang depan mendatar sedang yang belakang lebih tinggi. Dengan auman keras, ia menerkam Mahesa Wulung yang telah bersiaga menyalurkan kekuatan dalamnya dengan aji Lebur Waja. Setelah berkelit ke samping dan serangan harimau itu lewat sejengkal dari tubuhnya, tampak tangannya segera bergerak. Kraaakkk! Suara gemeretak tulang pecah berbareng dengan auman bernada tinggi, tubuh harimau tutul itu melenting tinggi ke atas dan sesaat lagi terdengar gemuruh tubuhnya jatuh ke tanah tak berkutik lagi. Akibatnya pukulan Mahesa Wulung hebat sekali. Tubuh harimau itu hangus kehitaman sedang kepalanya pecah.
Ketika kedua harimau tutul itu mati, bayangan hitam tadi yang tidak lain ialah Ki Singa sangat terperanjat. Kedua binatang itu telah terlatih bertahun-tahun dalam membunuh orang, kali ini begitu mudah dikalahkan oleh mangsanya. Dengan mengutuk-ngutuk Ki Singa meloncat ke dalam hutan kembali, tubuhnya lenyap di balik semak-semak.
--¤¤¦ « 5 » ¦¤¤--
Sejurus kemudian terdengar suara bende yang dipukul tiga kali. Orang-orang serentak bergerak mengelilingi tiga tonggak itu dengan memegang senjata, merupakan pagar manusia yang rapat. Pintu rumah terbesar membuka, Ki Macan Kuping keluar diikuti Singalodra. Suasana menjadi hening seketika. Setelah keduanya memandang sekeliling, Singalodra memberi perintah kepada anak buahnya.
Sima Gereng, cepat keluarkan ketiga tawanan itu kemari dan segera ikat mereka ke tiang-tiangnya itu! Sima Gereng, diikuti lima orang berjalan menuju ke sebuah rumah yang jendelanya beruji besi dan dijaga kuat oleh beberapa orang bersenjata tombak. Sesaat kemudian tampak tiga orang keluar dari rumah itu dengan tangan terikat ke belakang. Mereka dikawal kuat yang dipimpin oleh Sima Gereng
berjalan ke arah tiang-tiang itu.
Tanpa dapat melawan sedikitpun ketiganya lalu diikat pada ketiga tiang itu erat-erat. Hanya dari sinar mata mereka dapat terbaca bahwa mereka menaruh kebencian kepada gerombolan itu. Sorengrana dan Pandan Arum menggeletukkan gigi melihat tingkah gerombolan-gerombolan, sedang tubuhnya tak dapat berbuat apa-apa akibat totokan jalan darah oleh Ki Macan Kuping.
Kawan-kawan lihatlah. Kita hari ini akan melihat pelaksanaan hukuman kepada tiga orang yang telah berani menentang gerombolan hitam Alas Roban. Singalodra berkata kepada anak buahnya, lalu sekali lagi ia memberikan isyarat kepada Sima Gereng. Tapi kita orang-orang pengecut kalau membunuh begitu saja orang-orang yang tak berdaya. Mereka akan kita beri kesempatan untuk mempertahankan diri. Nah, Sima Gereng, lepaskan tawanan yang ketiga lalu berikan sebilah pedang biar ia sempat membela diri.
Meski dengan tubuh masih lemas, orang yang ketiga itu masih dapat memegang pedang dengan baik dan kedua kakinya kukuh berdiri di tengah arena. Matanya melirik kepada Ki Sorengrana yang terikat seperti meminta sesuatu.
Soma, lawanlah mereka sebisamu agar kau tidak mati sia-sia, tapi mati sebagai perwira, seru Sorengrana sambil berkaca-kaca matanya. Ia terharu melihat Soma anak buahnya yang kini berdiri di tengah arena. Begitu juga dengan Pandan Arum, tak sampai hati melihat tontonan ini. Diam-diam ia berdoa semoga Tuhan memberikan pertolongan-Nya. Tiba-tiba saja ia merasa rindu kepada Mahesa Wulung yang selama ini selalu membela dirinya. Tapi kali ini, apakah ia akan tiba? Ah entahlah, hanya Tuhan Yang Maha Tahu. Terdengar suara bende sekali.
Seorang yang berambut gondrong tanpa ikat kepala mendatangi Soma dan langsung mengirimkan serangan dengan penggada. Soma sempat berkelit ke samping namun tak urung tubuhnya kena keserempet senjata lawan hingga terpental. Terdengar ketawa riuh serta ejekan-ejekan dari pagar manusia itu. Sekali lagi musuh mengayunkan penggadanya, tapi dengan manis Soma merendahkan tubuhnya dan tangannya yang berpedang itu bergerak mendatar. Waaak terdengar suara sobekan disusul teriakan panjang. Tubuh sirambut gondrong itu terhuyung-huyung lalu rebah ke tanah. Darah berceceran dari luka perutnya yang memanjang dan menganga itu. Semua menjadi terkejut melihat kejadian ini, maka cepat-cepat Singalodra berseru: Ayo, kawan-kawan apa yang kalian tunggu? Binasakan tawanan ini dengan cepat.
Laksana gelombang samodra orang-orang bergerak mengepung Soma. Meskipun ia masih sempat melawan, bahkan melukai beberapa orang anak buah Singalodra, akhirnya ia kerepotan oleh bacokan-bacokan dan tusukan-tusukan senjata lawan. Sejurus kemudian Soma rebah ke tanah dengan luka-luka pada tubuhnya yang mengerikan.
Pengecut! Jahanam, teriak Sorengrana melihat mengroyokan terhadap Soma. Sementara itu Pandan Arum memejamkan mata menyaksikan kekejaman orang-orang itu.
Lihat ini Sorengrana! Sebentar lagi tubuhmu akan seperti itu, ha, ha, ha, ha. Singalodra tertawa kegirangan seperti anak kecil, menang dalam adu jengkerik.
Semua kejadian itu tanpa setahu mereka terus diikuti oleh enam pasang mata dari tiga jurusan yang berbeda. Salah seorang dengan bersenjata cambuk mengawasi tontonan itu dari atas cabang pohon. Dan betapa berdegup jantung orang itu bila melihat Si-ngalodra berjalan ke arah Pandan Arum yang terikat pada tonggak itu.
Tapi kau terlalu cantik Arum. Kau tak kubiarkan mati asalkan bersedia menjadi istriku wong manis! berkata begitu Singalodra mendekat lagi untuk memegang dagu Pandan Arum yang runcing tapi gadis ini secepatnya memalingkan kepalanya.
Cih, aku tak sudi menjadi istrimu, penjahat tengik! Lebih baik mati berkalang tanah.
Hi, hi, ha, ha, ha, ha. Orang cantik kalau marah semakin cantik. Eman-eman kalau wong ayu seperti kau mati muda. Arum. Percayalah, kau akan kujadikan ratu Alas Roban mendampingiku. Hi, hi, hi, ha, ha, ha. Mata Singalodra dibalik topeng harimau itu mengawasi Pandan Arum yang dadanya padat itu turun naik menahan marahnya. Setan. Kalau kalian berani mengganggu kami, pasti kalian akan
binasa! Tuhan akan menghukummu.
Heh, heh, heh, tikus-tikus kecil walaupun tak berdaya masih berani memberi ancaman?! Bagus, kalau kau berkepala batu, akan kuberi pelajaran. Sapit Ireng! Cepat tunjukkan ketajaman pisaumu kepada gadis itu. Sayat kulit wajahnya biar hilang cantiknya dan sombongnya.
Sapit Ireng segera mencabut dua belati panjangnya dan melangkah mendekati Pandan Arum. Tapi belum lagi sempat mengangkat pisau belatinya, tu-buhnya jatuh terpelanting seperti dihantam petir.
Semua terkejut. Sebentar tubuhnya mengejang-ngejang kemudian diam tak bergerak. Pada dahi Sapit Ireng terpancang dalam-dalam sebuah pisau kecil.
Belum habis herannya mereka, tiba-tiba dari atas pohon melesat satu bayangan bersenjata cambuk terjun ke tengah arena.
Hi, hi, hi, ha, ha, ha. Inilah yang kutunggu-tunggu. Nah, Mahesa Wulung serahkan pusaka cambukmu itu untuk kami tukar dengan paman dan gadismu itu!
Sudah cukup banyak tingkahmu selama ini, Singalodra. Nah, sekaranglah kita bertemu muka untuk membuat satu perhitungan yang pasti.
Singalodra tidak menjawab tapi langsung menyerang dengan tombaknya yang bermata tiga itu dan bergerak luar biasa cepatnya seolah-olah, mata tombaknya berubah dari tiga menjadi ratusan hingga menimbulkan pusaran angin dingin. Namun ia terperanjat bahwa Mahesa Wulung setiap kali dengan mudah dapat menghindarkan serangannya dengan putaran cambuknya yang dahsyat melebihi kecepatan baling-baling. Sinar putaran cambuk Mahesa Wulung kelihatan menyala biru dengan sambaran angin panas.
Beberapa orang yang mencoba mengeroyok Mahesa Wulung terkena sabetan cambuk Mahesa Wulung, Kiai Naga Geni seketika jatuh mati dengan badan hangus kehitaman. Melihat ini Singalodra berdesir hatinya. Kini serangannya lebih terperinci. Selama ini belum pernah ada yang sanggup melawan ilmu tombaknya
Sekali lagi mereka dibuat terkejut dengan melesatnya dua bayangan ke tengah arena. Ki Macan Kuping tak tinggal diam. Tubuhnya meloncat menyambut bayangan yang langsung menyerangnya. Begitu pula Sima Gereng cepat menghadang bayangan yang satu lagi. Kini terjadilah tiga lingkaran pertempuran yang berlangsung dengan hebatnya. Masing-masing mengeluarkan ilmu simpanannya untuk menghadapi lawannya. Mereka bertempur sampai beberapa jurus.
Sima Gereng yang bersenjata penggada dengan berujung bola besi berduri itu mendapat perlawanan hebat dari lawannya, Gangsiran yang bersenjata pisau belati panjang melengkung. Lingkaran ketiga adalah Dadapan dengan ilmu pedangnya Empu Paku waja melawan Ki Macan Kuping yang bersenjata pedang berukuran luar biasa besarnya, menyambar-nyambar dengan suara desingan yang menyayat hati.
Belum habis herannya mereka, tiba-tiba dari atas pohon melesat satu bayangan bersenjata cambuk terjun ke tengah arena. Ketika matahari makin tinggi dan membuat bayang-bayang sepanjang tubuh, Mahesa Wulung bergerak makin cepat maka sesaat kemudian terasalah Singalodra agak terdesak dan keringat mengalir dari lubang-lubang kulitnya. Suatu ketika cambuk Mahesa Wulung membelit tombak trisula Singalodra. Keduanya menyalurkan tenaga dalamnya untuk menarik senjata lawannya, namun Singalodra terpaksa terkejut ketika gagang tombaknya yang dipegang terasa semakin panas laksana bara api. Ternyata keampuhan cambuk Naga Geni mulai merayapi tombak trisulanya. Dengan satu teriakan nyaring, Mahesa Wulung menghentakkan cambuknya hingga tombak Singalodra terpental ke udara dan patah menjadi dua, membuat pemiliknya pucat pasi dan mengutuk sejadi-jadinya.
Kemudian sekali lagi cambuk Mahesa Wulung melayang menyambar mukanya dan topengnya yang selama ini memberi kekuatan sakti, pecah terkena ujung cambuk Naga Geni. Diam-diam Mahesa Wulung mengucap syukur kepada Tuhan yang telah memberi kekuatan luar biasa itu. Sedang sebaliknya, Singalodra makin hilang semangatnya karena topeng itu berarti nyawanya juga. Mahesa Wulung segera dapat mengenal wajah itu sekarang. Tidak lain adalah Ki Singa yang pernah menghadangnya di tepi hutan.
Nah, Singalodra, kau kini tak bersenjata lagi. Jangan takut, aku tak mau disebut pengecut. Marilah kita bermain-main tanpa senjata.
Baru saja Mahesa Wulung selesai mengikatkan cambuk Naga Geni kepinggangnya, Singalodra telah mengambil sikap siaga, dua tangannya dipasang lurus ke depan dengan memusatkan pikiran dan kekuatan dalamnya. Tahu sikap lawannya ini Mahesa Wulung yakin bahwa lawannya siap melepaskan aji pemungkasnya.
Tak meleset dugaannya. Dari mulut Singalodra keluar geram dan auman harimau yang bernada tinggi menggetarkan udara sekeliling, bahkan lebih dari pada itu, getaran aji Senggoro Macan cukup dahsyat. Daun-daun pohon yang sudah tidak muda lagi rontok dari tangkainya. Kelelawar-kelelawar dan burung-burung beterbangan ke udara, malahan satu, dua jatuh ke tanah termakan getaran itu. Beruntung sekali Mahesa Wulung telah dilatih oleh Panembahan Tanah Putih untuk menahan getaran-getaran yang sekeras geledek, maka dalam menghadapi Singalodra ia tak berkecil hati biarpun pada gertakan pertama ia tergeser ke belakang beberapa jangkah. Dalam pada itu ia teringat tiba-tiba bahwa ia membawa seruling yang terselip pada ikat pinggangnya. Maka sekejap kemudian ia telah melolos serulingnya dan mulai meniupnya. Suaranya menggema menggelegar membelit-belit ke udara dengan nada yang tinggi. Kedua getaran yang berasal dari dua sumber itu bertemu dan mengguntur seperti suara rajanya petir. Beberapa kali suara itu beradu di udara tapi lama kelamaan getaran dari aji Singalodra makin terdesak dan punah digulung oleh nada seruling Mahesa Wulung. Merasa adjinya terkalahkan, Singalodra melesat ke depan menyerang lawannya dengan tiba-tiba. Sayangnya lawannya kali ini adalah murid kinasih gemblengan Panembahan Tanah Putih, maka Mahesa Wulungpun tidak ingin memperpanjang waktu lagi, segera disongsongnya Singalodra dengan pukulan mautnya Lebur Waja. Tubuhnya dimiringkan ke kiri mengelakkan terkaman Singalodra sekaligus mengirimkan tusukan jarinya ke dada lawan. Tubuh Singalodra terpental ke belakang dan jatuh ke tanah. Pada dadanya terlihat dua buah luka bekas tusukan jari Mahesa Wulung berwarna merah kehitaman seperti terbakar. Tubuhnya menggeliat, mukanya membayang warna merah menyala, ke-mudian berubah putih lalu menjadi hijau dan sesaat setelah dari dadanya terdengar suara keruyuk-keruyuk, mulutnya menyeringai mengeluarkan darah hitam kental dan matilah Singalodra seketika.
Bersamaan dengan itu terdengar pula raungan hebat. Kiranya Gangsiran telah menyelesaikan pertempurannya. Sima Gereng rebah ke tanah dengan be-lati Gangsiran tertanam pada dadanya. Melihat Singalodra murid kinasihnya roboh, Ki Macan Kuping meloncat meninggalkan Dadapan unjuk menerkam Mahesa Wulung dengan sabetan pedang pusakanya yang luar biasa besarnya. Agak terkejut Mahesa Wulung mendapat serangan tiba-tiba ini cepat ia memutar tubuhnya dan menangkis pedang yang hampir membabat kepalanya itu dengan seruling yang masih dipegangnya pada tangan kiri. Satu benturan keras terdengar disusul terpentalnya tubuh Mahesa Wulung ke atas dan seruling di tangannya pecah berkeping-keping. Demikian pula pedang Ki Macan Kuping terpental jatuh, tapi tubuhnya tetap tegak berdiri hanya bergeser sedikit ke belakang. Memang hebat Ki Macan Kuping, hanya dialah sanggup bertahan terhadap pukulan Lebur Waja. Mahesa Wulung yang terpental itu masih sadar akan dirinya hingga ia tiba kembali ke atas tanah dengan kaki tegak dan cepat bersiaga ini sangat mengherankan Ki Macan Kuping. Hmm, memang tangguh anak muda ini. Biasanya siapa yang kena bentur tenagaku akan terpental dan hancur tubuhnya.
Pandangan Mahesa Wulung masih berkunang-kunang pening. Hal ini terlihat oleh Ki Macan Kuping. Cepat ia meraba sesuatu pada ikat pinggangnya lalu dilemparnya ke arah Mahesa Wulung.
Hih! Mampus kau bocah bandel. Di saat yang tegang itu satu bayangan berkelebat mendekap melindungi tubuh Mahesa Wulung.
Ahhh! terdengar teriakan tertahan dari mulut orang itu.
Dimas Mahesa Wulung, hati-hatilah. Dia memakai jarum beracun.
Kakang Gangsiran! Kakang Gangsiran! teriak Mahesa Wulung sambil mengguncang tubuh Gangsiran yang telah lemas. Beberapa jarum berbisa dari lemparan Ki Macan Kuping telah bersarang ke dalam tubuhnya, berjalan mengalir mengikuti peredaran darahnya. Bertambah marah Ki Macan Kuping melihat Mahesa Wulung masih segar-bugar, cepat ia memungut pedangnya yang menggeletak di tanah dan segera menyerang Mahesa Wulung kembali. Tetapi tak terduga-duga satu bayangan putih melesat memotong jalannya dan pedangnya bergetar hebat kemudian lepas setelah tertimpa sabetan tongkat yang ujungnya bercabang dua.
Macan Kuping! Akulah yang akan menghadapimu. Tua sama tua.
Heh, heh. Kau Bayu Sekti telah sekian lama mendekam di dalam kandangmu, kini masih ingin bermain-main denganku? seru Ki Macan Kuping membuka serangannya. Keduanya tenggelam dalam pusaran angin yang menderu akibat gerakan mereka saling terkam menerkam. Kalau gerak Ki Macan Kuping seperti harimau, tubuh Panembahan Tanah Putih yang ringan seperti kapas itu menyerangnya, mematuk-matuk seperti burung garuda.
Bersamaan dengan munculnya Panembahan Tanah Putih, pasukan Asemarang yang bergerak dengan gelar tapal kuda itu mengepung sarang gerombolan Alas Roban. Kedua ujungnya masing-masing dipimpin oleh Kerpu dan Tambakan, sedang bagian tengah di-pimpin oleh Panembahan Tanah Putih yang kini telah terlibat pertempuran dengan Ki Macan Kuping.
Sementara itu pula Dadapan telah melepaskan tali-tali yang mengikat tubuh Ki Sorengrana dan Pandan Arum lalu keduanya dibawa ke tempat yang aman. Gemerincing senjata beradu menggema di dalam hutan Alas Roban. Melihat beberapa tokoh-tokoh andalannya mati, laskar gerombolan hitam Alas Roban kehilangan semangatnya.
Mahesa Wulung setelah melihat Gangsiran jatuh terkulai cepat-cepat membawanya, ke bawah sebuah pohon dan menyandarkannya di situ. Tubuhnya melesat kembali ke tengah arena pertempuran itu dengan memutar cambuknya. Meskipun beberapa orang datang menyerangnya bersama-sama, namun dengan mudahnya dapat merobohkan mati mereka satu demi satu. Benar-benar ia mengamuk setelah tahu, kalau Gangsiran terluka. Begitulah beberapa saat kemudian laskar gerombolan Alas Roban dapat ditumpas, beberapa orang yang menyerah ditawan oleh laskar Asemarang.
Tahu bahwa ia tak mungkin memenangkan pertempuran itu, Ki Macan Kuping cepat melesat ke belakang untuk kabur. Tapi sebelum itu Panembahan Tanah Putih sempat mengirimkan pukulan tongkatnya ke dada kiri Macan Kuping yang seketika terlentang jatuh dengan mulutnya mengeluarkan darah merah. Memang Ki Macan Kuping punya kekuatan luar biasa. Biar tenaganya telah hilang separo, tapi ia masih sempat kabur dengan satu loncatan panjang ke dalam semak-semak, tubuhnya lenyap dalam sekejap mata.
Awas kalian! Tunggulah beberapa waktu lagi aku datang untuk menebus kekalahanku ini! teriak ancaman Ki Macan Kuping menggema. Melihat musuhnya lari, Panembahan Tanah Putih cuma tersenyum. Kemudian ia berjalan kearah Ki Sorengrana dan Pandan Arum yang duduk dengan lemas. Dengan usapan tangannya, ia membebaskan pengaruh totokan jalan darah pada tubuh Ki Sorengrana dan Pandan Arum.
Sang Panembahan, cepatlah. Itu di sana kakang Gangsiran terluka! seru Dadapan yang datang dengan tergopoh-gopoh. Merekapun berlompatan ke sana mengikuti Dadapan. Di balik sebuah semak terlihatlah pemandangan yang mengharukan. Mahesa Wulung duduk dan pada pangkuannya terbaring tubuh Gang-siran yang pucat pasi. Orang tua itu dengan teliti memeriksa dan mencoba mengobati tubuh Gangsiran yang terluka, tapi matanya tampak sayu dan ia menggelengkan kepalanya.
Terlambat sudah. Racun ini terlalu keras kerjanya... kata orang tua itu hingga membuat orang-orang di situ terkejut, lebih-lebih Mahesa Wulung sendiri yang merasa telah diselamatkan nyawanya oleh Gangsiran.
Guru biarlah ....! Aku telah menunaikan tugasku… dimas Mahesa Wulung telah selamat ... apakah guru mengampuni .... semua kesalahan-kesalahanku. Anakku Gangsiran. Kau tak lagi mempunyai kesalahan-kesalahan. Sejak lama aku telah mengampunimu....
Panembahan Tanah Putih berkata dengan bercucuran air matanya. Demikian pula Mahesa Wulung, Dadapan, Sorengrana, Pandan Arum dan lainnya.
Kalau demikian ... aku merasa lapang ... Guru, aku pergi sekarang selamat tinggal dimas Mahesa Wulung
... dan semuanya ... aku pamit aku
kembali kepadaNya hhhh!
Gangsiran memejamkan mata, senyumnya tersungging pada bibirnya seolah-olah ia merasa berbahagia sekali. Ya, ia kini berbahagia jiwanya telah kembali ke alam baka. Gangsiran sudah tidak ada lagi di dunia. Pandan Arum yang berperasaan halus itu tak tahan melihat pemandangan yang mengharukan itu. Ia merebahkan kepala di dada Mahesa Wulung yang bidang itu. Badannya lemah, cepat Mahesa Wulung yang masih terharu dan bingung itu menangkap tubuh Pandan Arum sebelum ia terkulai ke tanah. Dan ternyatalah bahwa Pandan Arum pingsan.
Pandan! Pandan Arum! Kembali Panembahan Tanah Putih sibuk, ia memijit-mijit kening gadis itu dan dikeluarkan sebuah cupu dari saku jubah putihnya. Serbuk putih dituang sedikit ke atas tangannya dan digosokkan ke dahi Pandan Arum, lalu sedikit lagi diciumkan ke hidung gadis itu dengan sapu tangan yang putih bersih. Tak lama kemudian mata Pandan Arum tampak bergerak-gerak. Ia telah mulai sadar. Atas anjuran orang tua itu dipapahlah Pandan Arum ke sebuah rumah di tempat itu untuk beristirahat seperlunya.
Begitulah mereka istirahat sejenak di rumah-rumah perkampungan gerombolan hitam Alas Roban. Berkat penyelidikan yang teliti dapatlah diketemukan beberapa bukti-bukti yang menunjukkan adanya hubungan antara gerombolan Alas Roban dengan bajak laut Pulau Ireng dari Karimun Jawa, berupa surat-surat, mata uang dan beberapa perhiasan.
Pada suatu sore yang cerah, tampaklah iring-iringan laskar berjalan menyusuri pantai utara menuju ke timur. Dari jauh masih membayang hutan Alas Roban dengan deretan pohon-pohon karet tahun dan sayup-sayup terdengar hempasan gelombang laut uta-ra. Ketika mereka memasuki wilayah Asemarang, dari arah timur terlihatlah debu berkepul ke udara dan satu bayangan orang berkuda mendekati mereka. Ia mengenakan seragam prajurit Demak dengan baju lengan panjang putih. Dengan cekatan ia menghentikan kudanya tepat di muka barisan laskar Asemarang. Ahh, ini kakang Kerpu dan Tambakan, selamat sore kakang! sapa orang itu dengan mengangguk hormat kepada dua orang berkuda yang terdepan.
E, e, e, ini adi Jagayuda. Selamat sore. Kau kelihatan tergopoh-gopoh adi. Adakah sesuatu yang pen-ting?
Betul kakang, aku diutus menyampaikan surat ini oleh Panglima Faletehan untuk Kakang Mahesa Wulung.
Nah itulah dia yang berkuda di tengah barisan ini. Sampaikanlah secepatnya surat itu kepadanya.
Jagayuda segera memacu kudanya ke tengah barisan.
Kakang Mahesa Wulung, aku diutus menyampaikan surat ini untukmu. Terimalah.
Jagayuda memberikan gulungan kertas yang berciri stempel kerajaan Demak kepada Mahesa Wulung.
Terima kasih adi. Mahesa Wulung segera membuka surat itu dan membacanya. Tampak ia menganggukkan kepala, pertanda bahwa ia mengerti akan isinya.
Sang Panembahan, paman Sorengrana dan adi Pandan Arum, maafkanlah bahwa saya terpaksa tidak dapat menyertai perjalanan yang menyenangkan ini karena saya harus mendahului pulang ke Demak. Ada tugas baru yang amat penting.
Tak apalah angger. Kami sudah tahu akan tugas yang terpikul oleh angger Mahesa Wulung. Seorang perwira lebih mendahulukan kepentingan negara dari pada kepentingan diri pribadi. Bukankah begitu angger? Nah, selamat jalan angger. Doa restu kami menyertaimu. Semoga Tuhan memberkahi kita semua. Panembahan Tanah Putih memberikan salamnya kepada Mahesa Wulung dan keduanya berjabat tangan dengan eratnya. Setelah itu menyusul pamannya Ki Sorengrana dan terakhir ia menjabat tangan Pandan Arum. Terasa getaran aneh mengalir lewat tangannya. Keduanya seperti terkunci mulutnya tak mampu berkata panjang lebar. Hanya degupan jantungnya yang berkata-kata : Selamat jalan, kakang!
Selamat tinggal adi Pandan Arum. Kita akan bertemu lagi! kata Mahesa Wulung sambil menyentakkan tali kekang kudanya keluar dari barisan.
Selamat jalan adi Mahesa Wulung! teriak Dadapan dari ekor barisan sambil melambai-lambaikan pedangnya.
Selamat tinggal semuanya! teriak Mahesa Wulung dengan memacu kudanya bersama Jogoyudo meninggalkan barisan itu menuju ke arah timur. Sebentar saja keduanya sudah merupakan dua titik kecil dengan debu berkepul-kepul yang makin lama makin lenyap. Mata Pandan Arum mengikutinya sampai dua titik itu lenyap dari pandangan matanya. Tak terasa pipinya telah basah oleh air mata yang mengalir dari sudut matanya yang indah itu.
Ceritera ini berakhir dengan tumpasnya gerombolan hitam Alas Roban. Tapi apakah tugas baru bagi Mahesa Wulung dan bagaimana dengan Ki Macan Kuping yang lari itu?
Nah tunggulah ceritera berikutnya "RAHASIA BARONG MAKARA" yang tak kalah hebatnya. Pembaca akan menjumpai lagi Mahesa Wulung yang perkasa itu.
T A M A T
INDEX NAGA GENI | |
Cersil Naga Geni --oo0oo Rahasia Barong Makara |