Life is journey not a destinantion ...

Bentrok Di Kali Serang

INDEX NAGA GENI
Kutukan Patung Intan --oo0oo Harta Tanjung Bugel

MAHESA WULUNG
Seri Naga Geni
Karya : W.H. Wibowo

--¤¤¦ « 1 » ¦¤¤--

HUTAN-HUTAN di sebelah timur daerah Mata Air Kembar Tiga telah nampak suram dan agaknya patutlah kalau tempat itu menjadi sarang bahaya dan maut. Pohon-pohon yang besar, perkasa, tegak dengan megahnya bagai pencakar-pencakar langit yang menimbulkan perasaan ngeri dan seram bagi siapapun.
Dan maut memang tengah bergulat di situ. Sebab di tepi tanah tanggul rawa berlumpur hidup, terlihatlah dua orang yang berusaha mati-matian agar mereka tidak terseret masuk ke dalam rawa maut itu. Kedua orang itu yang tidak lain adalah Daeng Matoa serta gadis Sandai mencoba menahan tarikan dari jari-jemari tangan pendekar Seguntur yang telah mengunci pada pergelangan tangan Daeng Matoa.
Seguntur kini telah tenggelam ke dalam lumpur liat yang menyedot segala sesuatu yang tercebur di situ. Apalagi bila benda tadi mempunyai jumlah berat cukup banyak serta bergerak-gerak. Hal ini akan mempercepat daya penyedotan yang hebat oleh lumpur tadi.
Dari keseluruhan tubuh Seguntur, cuma tangannya saja yang masih berada di permukaan lumpur karena bergantung pada lengan Daeng Matoa. Rupanya sisasisa tenaga terakhir dari Seguntur masih tersalur pada jari-jari tadi sehingga benar-benar mengunci pada pergelangan tangan si pendekar Bugis bagaikan bersenyawa dan melekat menjadi satu.
Daeng Matoa sendiri tak dapat berbuat apa-apa oleh hal ini. Pikirannya menjadi bingung lantaran dua persoalan yang tengah dihadapinya. Pertama ia harus berusaha melepaskan jari-jari Seguntur bila ia tidak ingin terseret serta turut tenggelam ke dalam rawa berlumpur hidup. Kedua, ialah pernyataan gadis Sandai yang mengatakan bahwa dirinya telah dicintai oleh gadis ini dan bersedia mati berbareng di dalam rawa maut ini.
Nah, kedua hal inilah yang membuat Daeng Matoa menjadi buntu pikirannya. Kalau toh kematian itu harus dihadapinya seorang diri, itu tak menjadi soal, sebab sudah menjadi jamak lumrahnya bila seorang pendekar akan mati pada suatu ketika.
Tetapi jika pada waktu-waktu yang setegang itu ia mendengar pencurahan cinta seorang gadis, akan menjadi lain soalnya. Rasa bahagia tapi juga bercampur rasa cemas serta menyesal bercampur aduk, berputar di dalam benaknya.
Yah, siapa tak bakal merasa bahagia bila dirinya telah dicurahi cinta seorang gadis yang semanis Sandai ini. Rasa dada akan meledak saking bangganya. Hanya sayangnya pernyataan cinta tadi terlahir dalam suasana pergulatan dengan maut.
"Sandai, mengapa tidak kau tinggalkan diriku, agar engkau terhindar dari maut yang bakal merenggut nyawaku!" ujar Daeng Matoa dengan nada parau serta terharu.
"Tidak, kekasih! Jika kau mati, aku akan tinggal seorang diri serta merana sepanjang hidupku. Maka jalan yang terbaik adalah ikut mati bersamamu!" seru Sandai seraya kedua tangannya masih memeluk punggung Daeng Matoa agar mereka tidak lekas terseret ke dalam rawa itu.
"Ternyata usaha Sandai ini tidak banyak faedahnya, sebab sedikit demi sedikit bersama tubuh Daeng Matoa, Sandai telah makin terenggut dari tanah tanggul di tepi rawa dan pastilah sebentar kemudian mereka berdua akan tercebur pula ke dalam rawa berlumpur hidup itu.
"Demi cintaku padamu, tinggalkanlah aku sendiri, Sandai!" sekali lagi Daeng Matoa terdengar berseru parau.
"Tidak, Daeng! Tidak!" sahut gadis Sandai dengan wajah pucat serta dada turun naik terengah-engah.
"Aku lebih senang mati bersamamu, Daeng!"
Sekonyong-konyong dalam saat yang sedemikian tegangnya itu, di mana maut tengah mengancam nyawa Daeng Matoa serta Sandai, melesatlah satu bayangan manusia dari sebelah barat rawa maut lalu melintas di depan kepala Daeng Matoa serta Sandai dengan berteriak nyaring.
"Hyaaaat!"
Dalam saat yang pendek serta kecepatan yang sukar dilihat oleh mata, bayangan tadi menebaskan pedang di tangannya setengah lingkaran ke bawah disusul oleh bunyi benda terpenggal gemeretak mengagetkan Daeng Matoa serta Sandai.
Craaas!
Pergelangan tangan Seguntur terputus lepas dan darah menyembur ke segala arah, membasahi lumpurlumpur di sekitarnya.
Sebentar kemudian lengan Seguntur yang terputus tadi telah tersedot seluruhnya ke dalam lumpur dan lenyaplah sudah tubuh Seguntur bersama Patung Intan tanpa bekas kecuali beberapa gelembung udara yang timbul di permukaan lumpur, tepat di mana Seguntur tenggelam.
"Oookh!" seru Daeng Matoa kaget dan cepat ia mengibas-ibaskan tangannya disertai perasaan ngeri, sebab telapak tangan beserta jari-jari Seguntur masih melekat pada pergelangan tangannya.
Dengan bunyi berkecopak, potongan telapak tangan Seguntur tadi tercebur pula ke tengah rawa berlumpur hidup ini, dan sesaat kemudian lenyaplah pula benda itu dari permukaan rawa.
Gadis Sandai terpekik serta bersedu-sedan sambil merebahkan kepalanya ke dada Daeng Matoa yang seketika disambut oleh pendekar ini dengan penuh kasih sayang.
"Oh, kita telah selamat, Daeng. Kita telah terhindar dari maut. Pastilah arwah nenek moyangku telah memberikan pertolongan," seru Sandai terisak-isak.
"Terima kasih, Sandai," ujar Daeng Matoa seraya membelai-belai rambut Sandai dengan mesranya.
"Kita telah selamat sekarang dan ketamakan telah menenggelamkan Seguntur ke dalam rawa maut ini."
Kiranya akan betahlah untuk lebih lama menyandarkan kepalanya ke dada pendekar Daeng Matoa, bila saja Sandai tidak terkejut oleh seruan dari tepi rawa sebelah timur sana.
"Daeng! Haai! Engkau baik-baik saja?!".....
Mendengar seruan ini Daeng Matoa serta Sandai cepat berpaling ke sebelah timur dan terperanjatlah mereka berdua, karena di tepi rawa sebelah timur, terlihatlah Mahesa Wulung tengah membersihkan pedangnya yang merah oleh darah dengan beberapa lembar daun.
Maka seketika itu tahulah mereka bahwa yang memenggal putus pergelangan tangan Seguntur adalah Mahesa Wulung itu sendiri! Kemudian Daeng Matoa serta Sandai cepat-cepat melangkah ke arah tepi rawa sebelah timur untuk mendapatkan sahabatnya.
"Kami berdua mengucapkan terima kasih kepada Andika, Saudara Wulung," ujar Daeng Matoa seraya memegang lengan Mahesa Wulung.
"Jika Anda tidak muncul, mungkin kami akan terkubur di dasar rawa berlumpur hidup ini."
Sambil bergumam Mahesa Wulung menganggukangguk oleh kata-kata Daeng Matoa tadi.
"Yah, aku terpaksa memapas lengan Seguntur itu, dan rasanya hal ini agak kelewat kejam. Kemungkinan lain untuk menyelamatkan kalian berdua dari tarikan jari-jari Seguntur tidak ada dan hanya itulah satu-satunya cara yang dapat kukerjakan."
"Sudah selayaknya Anda berbuat itu, sebab Seguntur bukanlah orang yang patut kita kasihani," ujar Daeng Matoa.
"Dan lagi, dia telah berkomplot dengan gerombolan Bengara serta sisa-sisa anak buah Kapal Hantu," sambung gadis Sandai.
"Ternyata dia pulalah yang mendalangi pencurian Patung Intan itu."
"Sayang. Kini lenyaplah Patung Intan itu dan terkubur di dasar rawa maut. Tetapi bersama itu berarti lenyap pula Kutukan Patung Intan yang selama ini telah menghantui Lembah Sampit," ujar Mahesa Wulung dengan wajah agak kecewa.
Dalam pada itu, dari sebelah barat muncullah serombongan orang dari balik semak-semak lebat. Mereka adalah pendekar Bontang bersama Goro, kemudian Tagoh Hulu, si tua Tawau dengan dada terbalut, dan Pandan Arum serta beberapa orang anak buah Tawau.
Sesaat kemudian mereka telah saling menceritakan pengalaman masing-masing. Ketika mendengar penuturan akan kematian Seguntur yang tenggelam ke dasar rawa bersama Patung Intan itu, si tua Tawau agak terkejut pula.
Mendadak ia lalu teringat akan pengalamannya ketika mereka tersesat di taman bunga maut pemakan daging. Bukankah waktu itu jalan yang mereka tempuh telah lenyap dan ia telah menduga bila yang berbuat demikian, melenyapkan jejak-jejak tadi, adalah Seguntur sendiri. Kini percayalah ia sekarang bahwa dugaan tadi tidak keliru lagi. Segunturlah yang selama ini telah merupakan duri dalam daging, seorang musuh yang tinggal di dalam selimut. Pada lahirnya ia seperti kawan, tapi di baliknya ia adalah musuh yang sangat licin!
"Patung Intan itu telah lenyap dan kembali ke asalnya, ke dalam bumi yang telah mengandungnya semula," ujar si tua Tawau kepada Mahesa Wulung yang berdiri di sebelahnya.
"Kita tak patut menyesalinya lagi. Anda tahu pegunungan-pegunungan di sebelah timur sana?" bertanya Tawau seraya menunjuk ke arah timur.
"Mengapa, Bapak?" sahut Mahesa Wulung.
"Di sanalah terletak daerah Purukcahu, tempat asal bahan-bahan permata intan banyak ditemukan orang. Dan Anda tentu masih ingat akan ceritaku dulu, bahwa bahan permata dari Patung Intan itupun berasal dari sana."
Mahesa Wulung mengangguk mengerti dan si tua Tawau berkata pula, "Marilah kita pulang, sebelum malam tiba."
"Maaf aku tak dapat menyertai kalian," sela pendekar tua Bontang kepada sahabat-sahabatnya.
"Kami berdua mengucapkan selamat jalan dan semoga kalian selamat tak kurang suatu apa."
"Terima kasih, sahabat. Anda telah cukup banyak membantu kami," ujar Tawau seraya menjabat tangan si Bontang dengan eratnya.
"Kami serombongan mengucapkan selamat jalan pula kepada Anda berdua."
Setelah saling meminta diri, Bontang bersama Goro melesat ke cabang pohon dan mereka berdua dengan lincahnya meloncat dari satu pohon ke pohon yang lain dan lenyaplah sebentar saja di sebelah selatan. Sedang Tawau dan rombongannya segera bergerak ke arah barat untuk kembali ke Lembah Sampit.
Tawau bersama Tagoh Hulu berjalan paling depan, kemudian menyusul Mahesa Wulung serta Pandan Arum, sedang di belakangnya, berjalan berdampingan, si gadis Sandai bersama Daeng Matoa. Kemudian paling akhir adalah beberapa anak buah si tua Tawau.
Rombongan kecil itu berjalan beriring menempuh jalan rintisan dengan enaknya. Mereka kini telah merasa lega setelah pengganggu-pengganggu keamanan kampung Lembah Sampit telah binasa.
Meskipun Patung Intan itu turut tenggelam bersama Seguntur ke dalam rawa maut, namun mereka tak menyesalinya. Sebab dengan begitu berarti lenyap pula Kutukan Patung Intan yang selalu membawa bencana.
Bila mereka meninjau dari nilai kebendaan, memang Patung Intan tadi sangat berharga, bahkan mungkin tak terukur jika dinilai dengan mata uang. Selain bahan patung itu sendiri terbuat dari permata intan yang besar, juga halnya si pencipta patung tersebut sungguh sangat berharga dan patut terpuji.
Kini kaki-kaki mereka melangkah dengan mantapnya memapaki tanah-tanah hutan itu tanpa merasa was-was ataupun kuatir lagi. Rasanya buat mereka ini sekarang menjadi lebih indah daripada dahulu. Kalau dahulu mereka tak sempat menikmati hutan-hutan belantara ini lantaran rasa cemas ataupun takut, kini mereka tidak begitu lagi.
Mereka benar-benar merasa segar menghirup udara sore yang bercampur bau bunga-bungaan yang mekar di waktu senja, seperti anggrek-anggrek kelarat dan bunga-bunga liar lainnya. Maka perjalanan pulang inipun tak terasa melelahkan buat mereka. Dan menjelang sang malam turun ke bumi, si tua Tawau beserta rombongan telah tiba di kampung Lembah Sampit dengan selamat.
Sekali lagi Mahesa Wulung dapat menyaksikan betapa keakraban serta rasa kekeluargaan yang sangat dalam terjalin di antara mereka para penduduk Lembah Sampit ini.
Ketika Tawau beserta rombongan kecil itu tiba, tidak sedikit para penduduk yang berbondong, berlarian menyambut mereka dan akhirnya malam itu pula si tua Tawau lalu bercerita panjang lebar tentang kisah pencarian Patung Intan sampai pertempuran mereka melawan si liar pendekar Bengara serta sisa-sisa anak buah Kapal Hantu. Sewaktu cerita Tawau sampai pada pengkhianatan pendekar Seguntur, mereka hampir tak mau percaya akan hal itu, namun setelah orang tua itu menjelaskan panjang lebar tentang segala sesuatu yang menyangkut diri Seguntur, barulah orang-orang tadi memakluminya.
Sementara itu, Mahesa Wulung yang duduk berdampingan bersama Pandan Arum, tampak beberapa kali saling berbisik sambil melemparkan lirikan ke arah Daeng Matoa yang lagi asyik bercakap-cakap dengan Sandai. Keduanya tampak sangat mesra dan penuh kasih sayang, sehingga hal itulah yang menyebabkan Mahesa Wulung berbisik-bisik kepada Pandan Arum tadi.
"Stt, Adi Pandan Arum. Lihatlah, betapa mesra dan asyiknya mereka bercakap-cakap bersama," terdengar Mahesa Wulung berbisik.
"Heh, akupun melihatnya, Kakang. Rupanya hati mereka mulai bertemu," jawab Pandan Arum dengan setengah berbisik disertai senyum penuh arti.
"Aku telah lama melihat pendekatan mereka. Sejak kita dulu tersesat di taman pohon-pohon pemakan daging itulah aku telah tahu bahwa Sandai telah jatuh hati kepada Daeng Matoa dan karenanya aku merasa syukur pula."
"Aku pun ikut gembira, Kakang. Mereka berdua aku rasa sangat cocok dan sepadan, serta patutlah jika keduanya telah saling berjodoh."
"Dan aku juga tak perlu cemas lagi, Adi," bisik Mahesa Wulung dan ini membuat Pandan Arum agak tertegun.
"Eh, apa yang Kakang cemaskan semula?!"
"Heh, heh, heh. Semula aku cemas, bahwa Adi Pandan Arum akan mencemburukan aku dengan si gadis Sandai ini!"
"Eeh... mmm... hih! Ini rasakan, kalau orang suka menggodaku!" desah Pandan Arum seraya jari-jari tangannya beraksi mencari sasaran ke lengan Mahesa Wulung serta mencubitnya.
"Usss... aduh... aduuuuh! Ah, jangan diulang, Adi Pandan. Cubitanmu bagai bara api panasnya dan membuat dadaku bergoncang," ujar Mahesa Wulung seraya tangan kanannya cepat-cepat mencegah serta menggenggam jari-jari Pandan Arum tadi, hingga kekasihnya ini tak dapat mengulang cubitannya kembali, kecuali diam tak berdaya serta membiarkan jarijarinya tetap dalam genggaman tangan Mahesa Wulung. Dan kemudian pendekar muda ini tergetar pula dadanya ketika Pandan Arum menyandarkan kepalanya ke bahu kiri Mahesa Wulung.
"Kakang Wulung, kapankah kita pulang ke Demak?!" terdengar tiba-tiba Pandan Arum bertanya lirih.
"Aku rasa tak lama lagi, Adi Pandan. Bukankah persoalan di sini telah selesai, Adi? Dan tentunya Adi Jagayuda serta orang-orangnya telah cukup lama menunggu kita di Teluk Sampit di selatan sana."
Sementara Mahesa Wulung serta Pandan Arum bercakap-cakap itu, tak antara lama si tua Tawau pun telah rampung mengakhiri ceritanya kepada para penduduk tadi. Dengan demikian, sejurus lagi menjadi sunyilah kembali tempat itu. Si tua Tawau serta para penduduk kembali ke rumah mereka masing-masing. Begitu pula dengan Mahesa Wulung, Pandan Arum, Daeng Matoa serta Sandai.
Semenjak malam itu dan hari-hari berikutnya, hubungan Daeng Matoa serta Sandai kian bertambah erat dan agaknya di antara keduanya telah ada kata sepakat untuk membina keluarga dan perkawinan mereka. Hal itu tentu saja sangat menggembirakan bagi seluruh penduduk kampung Lembah Sampit.

* * *



Selang beberapa hari, kelihatanlah kesibukan di pantai Teluk Sampit. Sebuah kapal jung berbendera Makara kuning emas di atas dasar biru laut tengah bersiap untuk bertolak ke tengah laut. Sedang di pantai, berpuluh-puluh orang manusia berderet memandang kapal jung itu dengan asyiknya.
Di antara puluhan manusia itu, si tua Tawau, Tagoh Hulu, Sandai, Mahesa Wulung, Pandan Arum serta Daeng Matoa dan juga Jagayuda tampak saling berjabat tangan dengan mesranya.
Yah, hari itu adalah saat perpisahan yang mengharukan setiap orang yang berada di pantai itu. Si tua Tawau yang menahan perasaan harunya tadi berkalikali menghapus butir-butir air mata yang meluncur dari sudut matanya.
Begitu pula Sandai tiba-tiba saja memeluk Pandan Arum dengan terisak-isak dan berkata dengan nada bergetar.
"Nona Pandan Arum, Anda akan pergi... kita akan berpisah. Aku akan selalu mengenang kebaikan Anda selama kita bergaul sebagai dua orang saudara di pulau ini."
Pandan Arum terharu pula oleh kata-kata itu dan membuat pelukannya kepada gadis Sandai semakin erat. Lalu jawabnya, "Aku pun akan senantiasa mengenangmu, Sandai. Aku turut berdoa semoga perkawinanmu dengan Saudara Daeng, akan selamat dan berbahagia serta terimalah salamku." Pandan Arum kemudian mengecup pipi Sandai.
"Sayang, jika Anda tak dapat menghadiri perkawinan kami nanti," ujar Sandai dengan manja.
"Yah, memang sayang. Tetapi bukankah itu masih sebulan lagi? Sedang kami harus segera kembali ke Demak," ujar Pandan Arum seraya mengelus-elus punggung Sandai.
"Sebab kami telah cukup lama tinggal di sini"
Dalam pada itu terdengarlah hiruk-pikuk sebentar, dan ketika beberapa orang tampak menepi, muncullah pendekar tua Bontang beserta sahabatnya si Goro, seekor orang utan yang berperawakan kekar dan selalu menemaninya ke mana saja.
Mahesa Wulungpun cepat menyambut Bontang serta merangkulnya dengan kata yang bernada haru untuk meminta diri kepada bekas gurunya itu. Keruan saja orang tua inipun ikut terharu pula dan ia menitikkan air matanya.
"Selamat jalan, anakku," ujar Bontang pelan.
"Kami berterima kasih kepadamu, sebab kedatanganmu ke mari telah menjernihkan suasana, menghancurkan setiap tindak kejahatan. Pergilah anakku, tugas-tugas lainnya tentu telah menantimu. Pergilah dan kami akan menantimu setiap masa. Kita berpisah di sini, tetapi hati kita akan tetap bertaut selamanya."
Perpisahan yang mengharukan itupun berakhir ketika Mahesa Wulung bersama Pandan Arum dan Jagayuda serta para anak buah kapal satu demi satu naik ke atas kapal.
Sesaat kemudian dayung-dayung kapal mulai bergerak berbareng seirama membelah air laut dengan lincahnya, dan kapal jung itu sedikit demi sedikit makin merenggang dari pantai Teluk Sampit, diiringi lambaian tangan serta teriakan-teriakan selamat jalan yang sambung-menyambung memenuhi udara pagi di pantai. Beberapa burung camar dan bangau terkejut dan terbang dari balik rumpun-rumpun pohon bakau, dan di bawah, ikan gelodogpun berlarian masuk ke dalam lubang-lubang rumahnya saking kaget akan sorak-sorai dari mulut orang-orang di pantai Teluk Sampit.
Mahesa Wulung, Jagayuda dan Pandan Arum berdiri di buritan kapal serta memandang ke arah pantai Teluk Sampit yang kelihatannya semakin mengecil dan menjauh.
Agaknya di pantaipun si tua Tawau, Daeng Matoa, Sandai serta yang lain-lainnya masih berdiri pula memandang ke arah laut, mengikuti Kapal Barong Makara yang semakin mengecil dan seolah-olah menjadi titik hitam untuk kemudian lenyap di cakrawala selatan bagai ditelan oleh ujung laut yang menganga luas tak bertepi itu.
Kapal jung berbendera Makara kuning emas itu kini telah berlayar dengan laju, sementara layar-layarpun telah dikembangkan sepenuhnya.
Mahesa Wulung yang masih berdiri di buritan itu, tiba-tiba saja terkejut oleh permata kalung milik Pandan Arum yang tersembul dari balik bajunya.
Permata kalung itu berbentuk setengah lingkaran terbuat dari batu permata hijau yang diikat dengan logam emas berukir sangat indahnya. Ya, ia pernah pula melihatnya beberapa waktu yang lalu. Pandangan mata Mahesa Wulung tak hentinya terpaku pada benda itu sampai akhirnya Pandan Arum merasa resah dipandang secara demikian oleh kekasihnya.
"Idiiih, mengapa Kakang Wulung memandang dadaku seperti itu? Apakah aku keliru memakai baju?"
"Eh... uh... tidak, Adi Pandan," sahut Mahesa Wulung dengan tergagap-gagap saking kaget dan tersadar dari sikapnya.
"Aku... eh... bukan bajumu yang membuatku tercenung sedemikian itu, tetapi permata kalungmu itulah sebabnya."
"Mengapa, Kakang?!" sambung Pandan Arum keheranan.
"Aku ingat pula bahwa beberapa waktu yang lalu, Kakang Wulung pun pernah terpesona oleh permata kalungku ini, bukan?!"
"Benar, benar," ujar Mahesa Wulung.
"Sebab ada suatu keganjilan yang aku lihat pada permata kalungmu itu."
"Keganjilan?!" seru Pandan Arum lebih kaget.
"Aku rasa biasa saja, Kakang Wulung. Kalung ini adalah pemberian ayahku dari Asemarang."
"Adi Pandan Arum tak percaya?" sela Mahesa Wulung pula.
"Bagaimana kalau aku dapat menunjukkan keganjilan itu?!"
"Silakan, Kakang Wulung," ujar Pandan Arum seraya mengikuti sikap Mahesa Wulung yang memasukkan tangannya ke balik bajunya sendiri dan kemudian tampaknya menggenggam sesuatu yang diambil dari balik baju tadi.
"Nah, Adi Pandan Arum, sekarang cobalah lihat serta perhatikan baik-baik, apa yang engkau lihat pada telapak tanganku ini!" berkata Mahesa Wulung seraya membuka genggaman tangannya dengan segera dan karenanya Pandan Arum terpekik saking herannya, sebab pada telapak tangan kekasihnya itu terdapat seuntai kalung emas dengan permata hijau setengah bulat persis kepunyaan Pandan Arum itu sendiri.
"Oookh! Kalung itu!" seru Pandan Arum takjub.
"Kalung itu persis kepunyaanku ini." Berkata demikian gadis ini seraya melepaskan kalung yang sama dari lehernya lalu diulurkan kepada Mahesa Wulung.
"Luar biasa!" desis Mahesa Wulung seraya menjajarkan kedua kalung tersebut masing-masing dengan tangan kiri dan kanannya, lalu bagian permata kalung hijau yang merupakan irisan garis tengah lurus dan rata ditempelkan pada bagian yang sama dari kalung yang sebuah lagi sampai kedua permata kalung itu betul-betul sekarang berbentuk satu lingkaran penuh."
"Lihatlah, Adi Pandan Arum! Perhatikan baik-baik. Bukankah hal ini benar-benar merupakan satu keganjilan yang tiada taranya?!" ujar Mahesa Wulung.
"Dari mana Kakang Wulung memperoleh kalung seperti ini?" tanya Pandan Arum segera.
"Tentu permata kalung ini berasal dari batu yang sama, yakni sebuah bulatan yang kemudian dipecah atau dipotong menjadi dua bagian."
"Tak salah lagi, Adi Pandan Arum," ujar Mahesa Wulung sambil mengamati permata dua kalung itu.
"Guratan-guratan pada permukaan permata hijau inipun saling melengkapi antara yang satu dengan yang lain. Aku rasa, guratan-guratan ini pasti ada artinya bagi kita. Dan ketahuilah Adi Pandan, bahwa kalung ini aku terima dari Endang Seruni."
"Siapa Endang Seruni itu, Kakang Wulung?!" tanya Pandan Arum setengah curiga terhadap keterangan kekasihnya.
"Dia adalah putri dari Ki Lurah Mijen yang aku selamatkan dari tangan para penjahat dan ia menyerahkan kalung permata hijau ini sebagai pernyataan terima kasihnya," demikianlah Mahesa Wulung bercerita kepada kekasihnya, Pandan Arum, dan selanjutnya diceritakan pula segala pengalamannya ketika ia tinggal di Desa Mijen beberapa waktu yang lewat.
"Mmm, aku ingin berkenalan dengan dia," ujar Pandan Arum.
"Tentu Kakang tidak akan berkeberatan untuk mengajakku ke Desa Mijen kelak."
"Ah, dengan senang hati aku akan membawamu ke sana, Adi Pandan Arum," kata Mahesa Wulung kepada kekasihnya.
"Sebab memang sedari semula, ketika aku melihat permata kalungmu itu, aku bermaksud menyelidiki serta menanyakannya kepada Ki Lurah Mijen."
"Ooh, itu bagus, Kakang Wulung! Aku sangat setuju dengan pikiranmu tadi. Semoga persoalan kalung kembar bermata hijau ini segera dapat dipecahkan." Tampak wajah Pandan Arum bersinar.
"Begitulah harapanku, Adi Pandan," sambung Mahesa Wulung pula.
"Aku kira, guratan-guratan pada permukaan permata kalung ini mengandung suatu rahasia."
"Suatu rahasia?!" ulang Pandan Arum dengan kagetnya demi mendengar penuturan kekasihnya ini.
"Maksud Kakang, goresan-goresan ini mengandung sesuatu arti?"
"Tepatnya begitu, Adi," jawab Mahesa Wulung seraya memberikan kalung milik Pandan Arum kembali.
"Seolah-olah guratan-guratan ini merupakan sebuah peta atau tulisan-tulisan tersembunyi." Pandan Arum yang telah menerima kalungnya kembali segera mengamati permata kalung hijau tersebut, sementara hatinya dapat membenarkan ketajaman otak Mahesa Wulung.
"Hmm, hatiku kini seperti terbuka oleh pendapatmu, Kakang Wulung," berkata Pandan Arum kepada pendekar muda di sampingnya.
"Tetapi jika demikian, sama artinya bahwa kedua kalung ini saling melengkapi dan membutuhkan antara yang satu dengan yang lain." 
"Nah, jika demikian maksud Adi Pandan, itu berarti bahwa menguasai sebelah kalung hijau saja, tak akan ada manfaatnya bagi si pemakai," ujar Mahesa Wulung.
"Kalau begitu, kita harus menjaga baik-baik kalung kembar ini sampai kita tiba di Desa Mijen serta menanyakan rahasia kalung ini kepada Ki Lurah," Pandan Arum berkata seraya memakai kalungnya kembali. Kapal jung Barong Makara kini berlayar ke arah tenggara dan angin bertiup dengan derasnya mengembangkan layar-layar dengan penuh, hingga kapal melaju dengan lancarnya.
Sesekali beberapa ikan terbang muncul ke permukaan air dan mencutat lalu melayang-layang di atas gelombang laut bagaikan ingin berlomba dengan kapal ini.
Betapa rindunya seluruh awak kapal terhadap sanak-keluarga yang telah beberapa waktu berpisah, tak dapat terlukiskan. Namun kini mereka merasa lega setelah tugas-tugas mereka berhasil dan kembali berlayar menuju Demak.

* * *




--¤¤¦ « 2 » ¦¤¤--

MUARA KALI SERANG yang bertemu dengan Laut Jawa kelihatan amat tenangnya. Air sungai yang mengalir ke utara lalu bersatu dan bercampur dengan air laut. Sore itu udara amat panasnya terasa di pori-pori kulit. Untunglah angin pantai bertiup cukup menyegarkan.
Tetapi di balik ketenangan muara Kali Serang itu terlihatlah dua sosok bayangan yang berkelebatan amat serunya. Gerakan mereka sedemikian gesit hingga kadang-kadang sampai sukar ditangkap oleh mata dan merupakan bayang-bayang atau sinar hitam yang bergulung-gulung saling melibat.
Kedua manusia ini sesungguhnya tengah bertempur dengan tangan-tangan kosong belaka, sebab setiap kali cuma telapak-telapak tangan atau totokan-totokan jari-jari tangan yang kelihatan saling beradu atau berbenturan.
Setiap kali mereka menangkis dan memukul, setiap kali pula mulut mereka berdua meneriakkan jeritan yang dahsyat memantul dan menggetarkan udara dari muara Kali Serang.
Yang seorang masih kelihatan cukup muda dan bertubuh kekar dengan kumis tebal melintang di atas bibir, sedang dagunya dihiasi pula oleh bulu-bulu janggut yang hitam legam. Sedang lawan yang seorang lagi, sudah agak tua, yang terlihat dari kumis dan jenggotnya yang sudah agak keputihan kelabu. Rambutnya yang tanpa ikat kepala itu cuma tumbuh pada sisi kepala serta bagian belakang saja. Bagian kepala sebelah atas gundul, tanpa selembar rambutpun yang tumbuh di situ. Orang tua ini bersenjatakan sebilah gada pemukul yang ujungnya berduri-duri runcing tajam, dan tergantung pada pinggang kirinya.
Agaknya mereka telah bertempur mengadu tenaga dalam puluhan jurus, dan keduanya mencucurkan keringat berleleran di tubuhnya.
Ketika matahari makin merendah ke cakrawala barat, dan keduanya masih bertempur sengit tanpa menunjukkan tanda-tanda adanya pihak yang kalah atau yang menang, sekonyong-konyong meloncatlah si orang botak tadi surut ke belakang hampir sepuluh langkah jauhnya.
"Hyaaat!" teriakan nyaring terdengar dan kedua kaki si botak tadi mendarat di tanah dan berdiri dengan kokohnya bagai tugu karang.
Taaap!
Begitu pula si orang muda menghentikan gerakannya dan berdiri dengan tangguh dalam sikap yang sama dengan si botak tadi.
"Hua, ha, ha, ha kowe memang bocah hebat, Lawunggana! Tak kecewa aku mengangkatmu sebagai murid tunggal Bango Wadas!"
"Terima kasih, Guru!" ujar si orang muda yang dipanggil dengan nama Lawunggana tadi. — Namun, mengapa guru menghentikan latihan kita ini?!"
"Hua, ha, ha, ha, kau memang cukup tangguh, Lawunggana. Tetapi kita selama ini hanya bertempur dengan tangan kosong belaka. Maka jurus berikutnya, pakailah sepasang pisau cagakmu sebagai senjata untuk melawanku!"
Lawunggana sejenak merasa ragu-ragu oleh katakata Ki Bango Wadas ini, sehingga sesaat iapun tak bisa berkata-kata.
"Lawunggana!" bentak Bango Wadas dengan marahnya.
"Kau dengar kata-kataku tadi?! Cabutlah senjatamu itu!"
"Maksud Guru, aku harus melawanmu dengan senjata andalanku ini?!" berkata Lawunggana setengah ragu seraya meraba kedua hulu senjatanya yang tersembul dari ikat pinggangnya.
"Apakah ini berarti bahwa aku harus pula melukaimu dengan senjataku?!"
"Berbuatlah sesuka hatimu, Lawunggana!" sahut Bango Wadas dengan meringis garang.
"Hadapilah aku, seperti engkau betul-betul menghadapi seorang lawan yang bakal mengganyangmu! Hua, ha, ha, ha."
Lawunggana tanpa ragu-ragu lagi segera mencabut kedua senjata pisau cagaknya sambil berkata, "Baiklah, Guru. Aku terpaksa menggunakan senjataku ini atas permintaanmu. Semoga saja tidak akan benarbenar menggores kulit dagingmu, Ki Bango Wadas."
"Keparat! Ha, ha, ha, ha. Jangan terlalu manja Lawunggana! Sebab sesungguhnya tak ada seorang musuh yang betul-betul menaruh belas kasihan terhadap lawannya," seru Bango Wadas seraya melototkan mata.
"Kalau kau tak bersedia menggores kulit dagingku, maka giliran senjataku inilah yang bakal menyobek tubuhmu!"
Bango Wadas kemudian mencabut gada berduri dari pinggang kirinya serta memutar-mutar dengan tangan kanannya, sampai menimbulkan suara berdesau serta cahaya berkeredipan dari ujung-ujung duri senjata yang terbuat dari baja runcing.
"Majulah Lawunggana, kata-kataku adalah juga perintahku dan tak ada alasan buat menolaknya!"
Lawunggana mulai membuka jurus serangannya. Kedua tangannya yang masing-masing bersenjata pisau bercabang dua itu bergerak dengan lincah bagai cakar-cakar rajawali yang menyerang mangsanya. Mula-mula gerakan tersebut adalah setempat dan kedua kaki Lawunggana tanpa berubah dari tempatnya.
Namun, bersamaan teriakan dahsyat yang keluar dari mulut Lawunggana, melesatlah ia ke arah Ki Bango Wadas dan langsung menyerangnya dengan dahsyat.
Laksana terkaman seekor harimau kelaparan, Lawunggana melesat, tapi bersamaan itu pula Bango Wadas telah bersedia. Direndahkannya tubuhnya serendah mungkin sementara senjata gada berduri di tangan kanannya berputar tak kalah hebat.
Kedua sosok bayangan tadi saling berbentrok dan senjata-senjata mereka saling bergempur dengan bunyi gemerincing dibarengi lidah-lidah api bertebaran meloncat ke udara sore.
Traaang!
Lawunggana kemudian melesat ke samping setengah terpental oleh tenaga benturan tadi, sedang Bango Wadas masih tetap berdiri tegak pada tempatnya sambil tertawa terkekeh-kekeh.
Melihat kenyataan ini, Lawunggana tidak menjadi berkecil hati. Dan selagi gurunya tadi masih tertawa panjang, ia kembali berteriak seraya melesat menyerang kembali ke arah Bango Wadas.
Sekali lagi si botak ini berkelit ke samping seraya menyabetkan penggadanya ke arah kedua senjata pisau cagak yang terjulur menyambar ke tubuhnya.
Crang!
Kembali Lawunggana terpental, tapi ia dengan lincahnya melenting ke udara tiga putaran dan cepat mendarat kembali ke tanah.
"Bagus! Bagus! Kini giliranku menyerang!" seru Bango Wadas dengan berseru hebat.
"Hyaaaat!"
Lawunggana yang baru saja mendarat itu sangat terkejut, begitu penggada berduri logam runcing itu menyambar lambungnya dalam kecepatan tak terduga. Untunglah Lawunggana adalah murid gemblengan dari si botak Bango Wadas yang sakti, maka sebelum perutnya tersobek oleh sambaran senjata gurunya, ia terlebih dulu melontarkan diri ke atas sebuah pokok kayu yang kering dan hinggap berdiri di atasnya, laksana seekor elang.
Tentu saja si botak Bango Wadas tidak mau memberi hati kepada muridnya ini. Biarpun ia telah berhasil lolos dari serangannya ia masih tetap ingin menguji kemampuan muridnya, si Lawunggana.
Penggada berdurinya sekali lagi menghajar ke arah pokok kayu yang kering tadi dan menimbulkan suara berderak keras hingga Lawunggana yang berdiri di atas pokok kayu tadi sangat terkejut. Pendekar berkumis lebat ini melihat bahwa pokok kayu kering yang dihinggapinya ini bergoyang keras dan kemudian roboh ke bawah.
Sangat mujur bahwa Lawunggana ini telah bersiaga, maka begitu pokok kayu kering itu roboh ia cepat meloncat ke belakang beberapa jauhnya.
Bango Wadas secara diam-diam mengagumi segala ketrampilan muridnya, meski ada beberapa kekeliruan kecil yang tidak berarti.
Lawunggana terpaksa mengerahkan segenap tenaganya, sebab dirasanya bahwa gurunya benar-benar menyerangnya dengan pukulan-pukulan dan jurusjurus maut.
"Benarkah Ki Bango Wadas ingin membunuhku?" pikir Lawunggana setengah ragu.
"Hmm, bagaimanapun juga aku harus menghadapinya. Memang ia kadang-kadang berwatak aneh dan keras."
Itulah sebabnya maka Lawunggana mengerahkan segenap tenaga dan ilmu serta jurus-jurus ajaran gurunya, maka tak heran bila tubuhnya kadang-kadang melesat menerkam bagai seekor harimau tetapi mampu pula berloncatan dengan lincah menghindari setiap serangan gada berduri logam milik Ki Bango Wadas. Benar-benar Lawunggana dapat bergerak selincah tupai.
Namun betapapun pandainya seorang murid, toh dia akan masih selalu di bawah kemampuan gurunya beberapa tingkat jauhnya. Ini terlihat pada jurus-jurus berikutnya.
Sambaran-sambaran gada berduri logam dari Bango Wadas semakin rapat mengurung serta mencecar Lawunggana, sehingga sebentar saja pendekar berkumis tebal tadi telah dikurung oleh gumpalan sinar putih gemerlapan yang mengandung hawa maut.
Bagaimanapun kedua pisau cagaknya bergerak untuk mengimbangi sambaran-sambaran senjata gurunya, namun Lawunggana semakin jauh dan tenggelam oleh lawannya.
Dalam setiap benturan senjata, setiap itu pula Lawunggana terkejut, sebab jari-jarinya terasa pedih dengan rasa yang menyengat-nyengat ke segenap bagian tubuhnya.
Lawunggana jadi berkeringat. Peluhnya mengalir menganak sungai dan badannya mulai terasa penatpenat. Entah, selama bertempur ini ia telah menghabiskan beberapa puluh atau ratusan jurus, ia tak sempat menghitung lagi.
Kini ia tak mampu lagi membalas serangan-serangan gurunya, jadi semua jurusnya hanyalah jurus mempertahankan diri atau menangkis saja. Lebih daripada itu ia tak tahan, serta tidak mampu.
Demikianlah, pada suatu saat ketika gada berduri logam itu meluncur deras ke arah dadanya, Lawunggana cepat memapaki dengan kedua pisau cagaknya dan terjadilah benturan paling dahsyat.
Craaang! "Aaaakh!"
Sebuah jeritan kecil terlontar dari bibir bersamaan tubuh Lawunggana ini terpental dan rebah ke tanah. Saat itu pula Lawunggana tak dapat berkutik lagi. Sambil duduk di atas rumput, ia masih tetap menggenggam kedua pisaunya dan siap menghadapi setiap kemungkinan yang bakal terjadi.
Melihat itu semua, Bango Wadas jadi tertawa terkekeh-kekeh panjang.
"Hua, ha, ha, ha. Bagus, Lawunggana! Bagus! Aku puas melihatmu dan aku tak kuatir lagi seandainya kamu betul-betul bertempur melawan seorang musuh."
"Jadi, Guru tidak betul-betul bermaksud membunuhku?!" seru Lawunggana ragu-ragu.
"Hah, kau jangan terlalu bodoh, Lawunggana! Mana ada seekor macan memakan anaknya sendiri!" bentak Ki Bango Wadas dengan wajah tegang dan menyebabkan Lawunggana tertunduk ke tanah dengan hati kecut dan berdebar-debar.
Ya, memang sudah sepatutnya bila Ki Bango Wadas menjadi marah oleh perkataan muridnya itu. Masakan seorang guru dapat sampai hati membunuh muridnya yang baik dan tunggal itu.
Entah kalau dengan murid yang murtad dan menyeleweng, pasti seorang guru akan menghajarnya sendiri.
Akan tetapi, Lawunggana bukan terbilang dalam golongan itu. Ia adalah murid yang patuh dan setia pada gurunya. Dengan demikian, maka perkataannya yang gegabah serta sembrono itu membuat Bango Wadas menjadi marah. Kendati demikian, Ki Bango Wadas adalah seorang yang berpengetahuan luas, dan ia dapat memaklumi bila perkataan Lawunggana tadi keluar berdasarkan dorongan rasa takut maupun panik. Maka betapapun marahnya Bango Wadas yang botak itu, dapat memaafkan kesalahan muridnya ini.
"Maaf, Guru. Aku memang murid yang tolol dan Andika sudah patut memberi hukuman kepadaku!" ujar Lawunggana seraya masih tertunduk ke bawah.
"Tak apa, Lawunggana," sahut Ki Bango Wadas.
"Aku telah memaafkanmu, dan marilah kita beristirahat sejenak." Demikian ajak si botak itu kepada muridnya.
Kedua orang itu kemudian berjalan menuju ke pohon kering yang roboh oleh penggada Bango Wadas beberapa saat yang lewat, dan selanjutnya mereka duduk berdampingan.
Dalam pada itu, langit di sebelah barat telah disepuh oleh warna merah kelam, sedang awan kehitaman beberapa gumpal tampak mengalir ke selatan dengan malasnya.
"Lawunggana," ujar Bango Wadas sambil menoleh ke arah muridnya, "kau telah cukup aku beri ilmu dan kau telah aku pandang cukup untuk menghadapi lawan yang bagaimanapun tangguhnya."
"Terima kasih, Guru," sahut Lawunggana seraya menghela nafas.
"Dan kini aku telah rindu benar dengan desaku, Mijen."
"Hmmm, yah, yah. Aku masih ingat benar. Kau hampir empat tahun tinggal bersamaku sejak pertemuan kita yang pertama. Bahkan aku masih ingat sewaktu kau datang dengan babak belur dan bercerita kepadaku, bahwa dirimu habis dihajar oleh Sela Ganden, pendekar jagoan dari Desa Mijen."
"Hehhh," desah Lawunggana dengan mata memandangi langit senja di sebelah barat.
"Itu semua terjadi, sebab aku masih sangat hijau di waktu itu, sehingga aku tak berdaya melawan Sela Ganden." Lawunggana sejenak berhenti berkata dan matanya menatap terus ke langit barat, seakan-akan mencoba mengingat seluruh kejadian yang telah dialaminya.
Warna langit barat yang merah kelam, semerah warna darah yang dulu pernah keluar dari mulutnya ketika ia dihajar oleh Sela Ganden beberapa tahun yang lalu.
Waktu itu ia ingat betul dan kini gambaran-gambaran peristiwa yang silam seolah-olah bangkit dan terpancang di ruang matanya kembali.

* * *



Saat senja hari di Desa Mijen, dan lebih tepatnya di pekarangan belakang rumah Ki Lurah Mijen. Dengan asyiknya ia tengah asyik bercakap-cakap dan bercanda dengan Endang Seruni, si gadis mungil dan lincah putri dari Ki Lurah Mijen. Ia mengenal gadis ini sejak masa kecil, dan sampai besarpun ia masih mengenalnya dengan baik.
Kalau dahulu Lawunggana selalu menganggap Endang Seruni sebagai teman bermain saja, kini tidak begitu lagi. Wajah dan tubuh Endang Seruni yang makin meningkat ke alam dewasa itu membuat Lawunggana berpikir lain.
Yah, ia tak tahu, mengapa tiba-tiba pandangannya terhadap Endang Seruni berubah dengan sendirinya. Ia heran bila setiap kali bertemu dan bercakap-cakap dengan gadis itu hatinya seolah-olah berdebar-debar dan bersorak dengan gemuruhnya.
Namun lama-kelamaan sadarlah Lawunggana bahwa ia telah jatuh cinta dan kasmaran terhadap Endang Seruni itu.
Senja telah turun dan kedua muda-mudi ini tengah asyik bercakap-cakap. Apa yang terasa oleh Lawunggana kemudian adalah keindahan yang begitu sempurna.
Langit senja yang berwarna lembayung itu, begitu indah dan kini bersatu dengan keindahan wajah Endang Seruni, menjadikan Lawunggana terasa bagai terlambung oleh alam mimpi.
Hanya saja, Lawunggana tidak sadar bahwa di balik dedaunan rumpun pisang, beberapa pasang mata tengah menatap mereka berdua dan inilah pangkal utama bahwa senja itu, adalah senja yang terakhir bagi Lawunggana di Desa Mijen.
Demikianlah, sesudah senja makin menggelap, maka iapun meminta diri kepada Endang Seruni dan sejurus kemudian gadis inipun berlari ke dalam rumah.
Lawunggana segera meninggalkan pekarangan itu dan berjalan dengan tenangnya tanpa menaruh rasa cemas ataupun curiga sedikitpun. Ia tidak tahu bahwa dirinya tengah diintai.
Ketika kemudian Lawunggana sampai di dekat pepohonan rindang, tiba-tiba telinganya menangkap bunyi berdesing yang menuju ke arahnya disertai seleret sinar putih yang menyambar cepat sekali.
"Oh, apa ini?" keluh Lawunggana seraya mengendap ke bawah. Sebagai pemuda yang masih kurang berisi di dalam ilmu persilatan tentu saja ia merasa gentar menghadapi hal ini.
Craaaap!
Terdengar bunyi menancap dan alangkah kagetnya demi mata Lawunggana melihat sebuah pisau belati panjang menancap hampir separuh lebih pada batang pohon di dekatnya.
Seketika Lawunggana bergemetaran dan cepat-cepat ia bangkit serta kemudian berlari menjauhi tempat itu. Akan tetapi, belum lagi dua tombak jauhnya ia belari, mendadak berlompatanlah tiga bayangan tubuh manusia dari balik rumpun-rumpun pisang yang gelap.
"Berhenti, pengecut!" bentak seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi kekar menghadang di tengah jalan dengan berkacak pinggang.
"Kau berani memasuki pekarangan Ki Lurah Mijen dalam waktu yang tidak semestinya, haah?!"
"Dan lagi dia berani bercanda dengan Endang Seruni secara sembunyi-sembunyi!" seorang lainnya dari mereka, ikut berbicara pula.
"Akan kita apakan dia, Kakang Sela Ganden?"
"Heh, heh, heh, heh. Baiknya kita beri pelajaran secukupnya kepada bocah ingusan ini!" seru si tubuh kekar yang dipanggil dengan nama Sela Ganden itu! "Adi Pakisan dan Sorogenen, bersiaplah jangan sampai cecunguk ini dapat lolos dari tangan kita!"
"Bagus!" seru kedua orang lainnya hampir berbareng, sambil memperdengarkan suara gigi-gigi mereka yang bergemeretak berkerot-kerot menakutkan.
Lawunggana masih saja bergemetaran tanpa dapat berbuat apa-apa. Makin lama makin dekatlah jarak ketiga manusia tadi menghampiri ke arah dirinya.
Yang paling tengah adalah Sela Ganden yang melangkah dengan tegapnya seraya menatap tajam dengan mata yang berapi penuh kemarahan.
"Ooh, berhenti kalian!" ujar Lawunggana dengan paniknya.
"Endang Seruni adalah sahabatku dan aku tak berbuat kurang sopan kepadanya."
"Hiah, hah, hah, hah," Sela Ganden terdengar lagi tertawa serta melangkah terus ke arah pemuda tadi berdiri.
"Kau boleh menangis minta ampun serta mencium telapak kakiku supaya aku menaruh belas kasihan kepadamu, cecunguk!"
Lawunggana tak dapat berbuat apa-apa. Untuk melawan ketiga orang ini tak bakal mungkin terlaksana. Bukankah ia telah mengenal bahwa ketiga orang ini adalah jagoan-jagoan dari desanya yang juga merupakan pengawal Ki Lurah?
Biarpun begitu akhirnya Lawunggana tak punya pilihan lain dan ia telah bersiap-siap untuk berbuat seperti apa yang diminta oleh Sela Ganden tadi, yakni meminta ampun kepadanya. Namun dalam hati kecilnya timbullah bisikan yang menentang keputusannya tadi.
"Ah, aku laki-laki dan tak berbeda dengan mereka. Aku tak sudi meminta ampun ataupun menyembah di hadapannya. Itu adalah perbuatan yang hina! Bagaimanapun aku akan menolaknya!"
"Hei, lekas meminta ampun kepadaku!" bentak Sela Ganden dengan garang.
"Atau kau pilih aku hajar?!"
Lawunggana tak berkata-kata lagi, kecuali ia meloncat ke arah Sela Ganden dengan mengirim satu tendangan kaki yang mengancam kepala orang ini.
Ternyata Sela Ganden memang bukan orang yang sembarangan serta mudah diremehkan, maka serangan tiba-tiba tersebut ditangkisnya dengan kibasan tangan kirinya ke arah luar dan saat itu pula terdengarlah benturan cukup keras dibarengi suara mengaduh.
Bruuk! "Aduuuh!"
Lawunggana terpental dan jatuh ke atas tanah cekakaran sambil peringisan menahan rasa sakit dan pedih pada kakinya. Kini iapun sadar betapa hebatnya tenaga Sela Ganden ini. Rasa takut, patah semangat serta nekad bergelut di dalam dadanya. Memang sebagai seorang lelaki tidak boleh mundur setapak bila menghadapi bahaya yang timbul di hadapannya. Maka melesatlah kembali Lawunggana ke arah Sela Ganden yang masih saja berdiri dengan tenangnya serta melirik ke arah Sorogenen yang mengangguk-angguk sambil tersenyum penuh arti.
Begitu loncatan Lawunggana tadi mencapai separuh tujuan, sekonyong-konyong kaki Sorogenen menyelonong ke depan dan tepat mengait kaki Lawunggana. Dengan disusul sebuah hentakan kecil maka sudah cukup membuat loncatan pemuda tanggung ini kehilangan keseimbangan serta terjungkal ke tanah.
Tubuh Lawunggana seperti menghunjam ke bawah dengan kepala lebih dulu, sesaat kemudian disusul bunyi berkecopak serta air lumpur yang berterbangan muncrat ke mana-mana.
"Ha, ha, ha, ha," terdengar ledakan ketawa menggema di udara malam.
"Lihat! Ada celurut mandi lumpur!"
Lawunggana tertelungkup di atas tanah, tepat di atas kubangan lumpur dengan muka yang kehitaman coklat karena tertutup lumpur. Pandangan matanya terasa kabur, serta berkunang-kunang.
Ketika ia melongok ke atas, tampaklah ketiga mulut lawannya terbuka lebar serta tertawa terbahak-bahak. Melihat ini, Lawunggana sangatlah marahnya. Suara tertawa serta hinaan seperti merasuk sampai ke otaknya melalui kedua telinga, membuat Lawunggana makin marah.
"Heh, heh, heh, bocah ingusan! Kalau kau belum pandai bersilat jangan sekali-kali berani mendekati seorang gadis, apalagi yang cantik seperti Nyi Endang Seruni tadi!" kata Sela Ganden sambil memilin kumisnya.
"Lekas berlalu dari tempat ini sebelum hilang kesabaranku!"
"Hi, hi, hi, hi! Lucu! Sangat lucu! Bocah ini betulbetul sekarang mirip dengan hantu penjaga sawah! Hi, hi, hi," terdengar pula Pakisan mengejek kepada Lawunggana yang kini masih terhenyak di atas kubangan lumpur itu dengan tubuh yang masih lemas dan kesakitan.
"Keparat!" teriak Lawunggana dengan geram seraya kedua belah tangannya meraup lumpur di dekatnya, serta sekaligus dilemparkannya ke arah ketiga orang lawannya.
"Ini, makanlah olehmu!"
Bukan main terkejutnya Sela Ganden beserta kedua temannya, sebab serangan Lawunggana tadi sangatlah tiba-tiba datangnya, sehingga ketiganya tak sempat mengelak lagi dan tahu-tahu muka mereka telah berlepotan oleh lumpur.
Bahkan lebih dari itu, mulut Sela Gandenpun terkena lumpur pula, dan karenanya pendekar jagoan ini mengumpat-umpat serta meludah-ludahkan lumpur yang sedikit masuk ke dalam mulutnya.
"Kurang ajar! Setan ingusan! Bocah tidak tahu dikasih belas kasihan! Sorogenen dan Pakisan! Ayo, tangkap celurut edan ini!" teriak Sela Ganden, dan sejurus kemudian mereka bertiga telah berloncatan ke arah Lawunggana.
Sebagai seorang pemuda, sudah barang tentu Lawunggana tidak mau begitu saja menyerah pada keadaan. Maka sebelum ketiga lawannya terlalu dekat, ia secepat kilat bangkit berdiri serta menerjang ke arah mereka bertiga.
Baik Sela Ganden, Pakisan ataupun Sorogenen jadi terperanjat melihat terjangan Lawunggana itu, meskipun cuma sesaat saja. Mereka bertiga sadar bahwa Lawunggana itu adalah pemuda yang bandel, tak takut oleh ancaman mereka.
"Haaaet!" Lawunggana setengah meloncat serta mengirim pukulan tangannya ke arah kepala Sela Ganden sedang kakinya menerjang ke bahu Pakisan. Maka sesaat kemudian terjadilah benturan-benturan seru dan menggentarkan hati siapa saja yang menyaksikan.
Tubuh Pakisan tergetar beberapa langkah ke samping, terkena tendangan kaki Lawunggana. Tapi bersamaan itu pula Sela Ganden dengan dahsyatnya menangkis pukulan pemuda ini dan disusul ia melancarkan pukulan sisi telapak tangannya ke lambung Lawunggana.
Plaaak! "Heekkk!"
Keluhan pendek terdengar dari bibir Lawunggana disusul oleh tubuhnya terpelanting ke samping dan terhempas kembali ke tanah becek dengan nafas tersengal-sengal.
Tubuh Lawunggana sekarang kelihatan lemas bagaikan tak bertenaga sama sekali. Dengan susah payah akhirnya ia berusaha untuk bangun, tetapi tibatiba Sela Ganden menyambar leher bajunya serta mencengkeramnya sekali dan menggoncang-goncang dengan keras, tak ubahnya seorang petani yang tengah menggoncang buah kelapa yang baru saja dipetiknya.
"Tahu rasa kau, hah!" teriak Sela Ganden dengan geramnya dan kemudian tangan kanannya beraksi menampari pipi pemuda yang dalam cengkeramannya tadi dengan geramnya berkali-kali sampai kepala Lawunggana ini tergolek ke kiri dan ke kanan berulangulang. Sejurus kemudian, dari sudut mulut Lawunggana mengalir darah merah dan ini membuat Sela Ganden makin beringas. Tamparannya makin ganas bertubitubi melanda kepala Lawunggana.
Mengalami hal ini, Lawunggana yang sudah tak berdaya itu lalu meludahkan cairan darah mulutnya ke arah muka Sela Ganden. Keruan saja pendekar jagoan ini bukan kepalang marahnya, setelah mukanya berlepotan darah akibat semprotan dari mulut Lawunggana.
"Kurang ajar!" teriak Sela Ganden sangat marah.
"Pakisan dan Sorogenen! Ayo jangan tinggal diam! Kita buat pesta bocah bandel ini!"
Sela Ganden berteriak seraya memukul dagu Lawunggana hingga pemuda itu terhuyung-huyung dan secepat itu pula Pakisan menyongsongnya dengan sebuah tendangan telapak kakinya dan akibatnya Lawunggana terpelanting ke samping.
Sekali ini Sorogenen mengambil bagian. Begitu tubuh pemuda tersebut terhuyung-huyung pula, ia menyambutnya pula dengan sebuah kibasan telapak tangan dan tepat menghajar pelipis Lawunggana.
Tak ampun lagi pemuda ini terjajar ke samping sementara dari mulutnya keluar kata-kata yang terputus-putus.
"Aaakh... bagus, kau main keroyok, pengecut busuk. Awas suatu waktu aku akan membalas "
Kata-kata ini meskipun terucap dengan terputusputus, sudah cukup membuat telinga ketiga orang itu menjadi merah!
"Celurut bandel! Sudah tak berdaya begitu masih berani mengancam, ha?! Ayoh teman-teman, hajar celurut ini lebih hebat!" seru Sela Ganden dan kembali Lawunggana menjadi bulan-bulanan pukulan serta tendangan ataupun dupakan dari Sela Ganden, Pakisan dan Sorogenen.
Tubuh Lawunggana kini tak ubahnya sebuah bola mainan yang sebentar tercampak ke sana dan sebentar pula terpelanting ke mari, tanpa berdaya untuk mengelak ataupun lari.
Sebentar kemudian Lawunggana tergeletak rebah ke tanah. Tubuhnya babak-belur dan ia cuma sempat mengeluh lemah. Sementara itu ketiga orang tadi tertawa terkekeh-kekeh mengelilingi tubuh Lawunggana yang terkulai di tanah becek berlumpur.
Agaknya Sela Ganden masih belum reda dendamnya, sebab meski tubuh pemuda itu telah tak berdaya, beberapa kali ia masih menyepak Lawunggana tersebut dengan ujung kakinya, sampai korbannya menggeliat-geliat kesakitan.
"Nah, kau tahu rasa sekarang, hah?! Bocah ingusan yang sombong!" seru Sela Ganden kembali seraya meludah ke bawah, ke tubuh Lawunggana.
"Pakisan dan Sorogenen! Mari kita tinggalkan celurut ini. Biar dia mengenangkan kehangatan pukulanpukulan kita tadi!"
Ketiga orang tersebut segera berlalu meninggalkan tempat itu serta membiarkan tubuh Lawunggana tergeletak di comberan berlumpur. Mereka lenyap di sebelah timur, menerobos semak-semak bambu sambil tak ketinggalan memperdengarkan suara tertawanya yang terkekeh-kekeh memuakkan.
Sampai beberapa saat Lawunggana tak sadarkan diri dan malampun berlalu dengan tenangnya, seperti tidak pernah terjadi apa-apa di situ. Udara dingin mulai merayap ke segenap sudut pepohonan dan seluruh Desa Mijen yang telah membisu, sepi.
Perlahan-lahan dan sangat lemahnya, Lawunggana mulai sadar dan bergerak-gerak lalu mencoba bangkit. Tapi karena saking lemah dan rasa sakit yang masih menyengat-nyengat pada lambungnya, maka rebahlah ia kembali ke atas comberan lumpur dengan merintih kesakitan.
Dengan sangat bersusah payah, pemuda ini merayap bangkit, sementara kepalanya dipenuhi rasa dendam yang menyala-nyala berkobar bagai api tersiram minyak.
Wajah Sela Ganden serta kedua temannya tadi masih tergambar dengan jelasnya di ruang matanya dan setiap kali pula ia bersumpah untuk membalas dendam kepada mereka atas pengeroyokan terhadap dirinya ini!
Akhirnya Lawunggana dapat berdiri dan berjalan dengan sempoyongan ke arah barat laut. Ia tiba di tepi Sungai Serang dan berhenti sejenak di atas sebuah batu besar.
"Hmmm, aku tak akan kembali ke Desa Mijen. Aku akan pergi entah ke mana. Biarlah aku menyusuri Sungai Serang ini sampai ke muaranya sana. Aku belum akan kembali, sebelum aku mempunyai kesaktian dan ilmu silat yang dapat mengalahkan Sela Ganden bertiga!" demikian kata Lawunggana di dalam hatinya.
Di kala itu, malam makin bertambah larut sedang bintang-bintang di angkasa bertaburan memancarkan sinarnya yang berkedip-kedip. Bulan yang cuma separuh bulat itu menyinarkan cahayanya yang lemah menerangi muka bumi dengan suasana yang samarsamar redup.
Lawunggana terus berjalan menyusuri aliran Sungai Serang ke arah muara sambil terhuyung-huyung serta sebentar-sebentar terpaksa istirahat. Telah beberapa jauhnya ia berjalan, tak dapatlah ia mengetahuinya dengan pasti, dan apa yang bakal menimpa dirinya ia tak perduli lagi. Bahaya apapun ia tak akan takut. Binatang buas? Atau hantu pemakan manusia barangkali, ia tak gentar menghadapinya.
Langkah-langkah kaki Lawunggana makin sempoyongan dan pandangan matanya sebentar-sebentar kabur kembali.
"Ah, apakah aku akan pingsan kembali?" desis Lawunggana seraya terus melangkahkan kakinya. Telinganya masih mendengar aliran air Sungai Serang yang gemercik merdu, namun suara gemercik air sungai itupun akhirnya lenyap pula, bersamaan tubuhnya makin terhuyung lemah. Dan di saat itulah Lawunggana melihat dalam kekaburan pandangannya, sebuah bayangan berkelebat ke arah tubuhnya yang hampir rebah disertai suara ketawa yang terkekehkekeh menyeramkan.
Maka selanjutnya terasalah bahwa tubuhnya dipondong oleh orang ini, serta dibawanya melesat ke arah muara. Dan selanjutnya sampai sekarang ia mengenal bahwa si penolong ini tidak lain adalah Ki Bango Wadas yang sekarang menjadi gurunya sendiri.

* * *



Lawunggana masih duduk di samping gurunya, Ki Bango Wadas. Mereka saling berdiam diri, dan Ki Bango Wadas yang telah banyak pengalaman itu tahulah agaknya bahwa murid tunggalnya tengah melamun.
"Apa yang engkau lamunkan, Lawunggana?!" bertanya si botak itu kepada muridnya.
"Mengenang masamasa yang lalu?"
Lawunggana seperti tersentak dari mimpi oleh pertanyaan Ki Bango Wadas, lalu segera menjawabnya.
"Maaf, Guru. Memang benar bahwa aku tengah melamunkan pengalaman yang silam. Aku ingin benar menengok desaku, Mijen. Telah cukup lama aku tinggalkan."
"Hmm, aku maklum akan hal itu, Lawunggana," ujar Bango Wadas.
"Aku tak akan menghalang-halangimu, sebab tak akan ada bahaya yang perlu engkau kuatirkan. Engkau sudah cukup mendapat ilmu dariku dan aku percaya, bahwa segala persoalan akan dapat engkau pecahkan sendiri."
"Beribu-ribu terima kasih, Guru," sambung Lawunggana.
"Kini aku akan dapat membalas sakit hatiku kepada Sela Ganden, Pakisan dan Sorogenen."
"Yah, jadi kau sungguh-sungguh akan menghajar mereka bertiga?!" seru Ki Bango Wadas dengan girangnya.
"Bagus, bagus. Aku sangat gembira mendengar maksudmu tadi dan semoga engkau akan berhasil. Dengan begitu mereka akan segera tahu, siapakah engkau ini. Yakni si Lawunggana murid tunggal Ki Bango Wadas ini! Dan mereka kita gentarkan dengan segera. Yah, nama Bango Wadas akan segera menggoncangkan dada mereka dan muncul kembali setelah hampir tujuh tahunan lenyap dari otak mereka!"
Mendengar kata-kata itu, sudah barang tentu kalau Lawunggana terperanjat dan pikirannya yang tajam segera dapat mengambil kesimpulan bahwa gurunya ini pasti mempunyai satu rahasia. Mengapakah Ki Bango Wadas telah mengasingkan diri selama hampir tujuh tahun, seperti yang baru saja dikatakannya tadi?!
"Lawunggana, berangkatlah engkau besok pagi ke desa itu dan engkau pasti akan dapat menemui gadismu lagi, yakni si Endang Seruni!" Ki Bango Wadas berkata lagi seraya menepuk-nepuk pundak Lawunggana, murid tunggalnya ini.
Mendengar kata-kata gurunya, Lawunggana seketika menjadi berseri-seri wajahnya dan roman muka Endang Seruni seperti terbayang di hadapannya dengan wajah cantik dan menggairahkan.
"Ah, hampir empat tahun ia tak kulihat lagi," begitu bisik Lawunggana dalam hati.
"Pasti sekarang ia lebih cantik."
Dari wajah yang cerah itu, Ki Bango Wadas tahulah akan keadaan muridnya, dan tak lama kemudian iapun bangkit berdiri serta berkata pula — Lawunggana, bersabarlah untuk menjumpai kekasihmu itu. Sekarang, ayolah kita pulang dulu. Hari telah cukup gelap!"
"Eh... baik, Guru," berkata Lawunggana agak tergagap dan cepat-cepat ia bangkit serta melangkah mengikuti gurunya ke arah barat.
Mereka berjalan beriring melewati semak-semak belukar dan sesudah melewati ladang kecil bertanaman jagung, merekapun tiba di sebuah hutan kecil dengan pepohonan-pepohonan yang rindang dan lebat.
Akhirnya setelah sampai pada sebuah batu besar, keduanya berjalan melingkar ke utara dan tibalah ke sebuah pondok bambu yang kecil tapi cukup rapi dan kelihatan bersih.
Sementara Ki Bango Wadas membuka pintu, Lawunggana segera menyalakan dian minyak dengan batu apinya, maka terang-benderanglah ruangan itu. Pada dinding-dinding bambu, tergantunglah beberapa macam senjata, seperti tombak, golok dan keris serta beberapa kantong kain putih yang berisi obat-obatan, selembar kulit yang berisi tulisan-tulisan terpasang pula pada dinding tadi dengan rapi.
Sesudah Ki Bango Wadas serta Lawunggana membersihkan diri, mereka berdua menyiapkan makan malamnya yang terdiri dari nasi jagung dengan lauknya ikan sungai yang telah dibakar disertai sejumput cabai dan garam.
Terasalah oleh Lawunggana betapa lelah dan laparnya setelah ia menempuh latihan tataran terberat dari gurunya. Hidangan malam tadi dilahapnya dengan segera, sesuap demi sesuap.
"Segeralah engkau tidur, Lawunggana," ujar Ki Bango Wadas kepada muridnya.
"Agar engkau bisa bangun pagi-pagi besok, sebab perjalananmu cukup jauh."
Lawunggana mengangguk perlahan sambil menyelesaikan makannya, demikian pula Ki Bango Wadas.
Di luar, malampun semakin larut dan embun menghiasi dedaunan berbutir-butir gemerlapan laksana permata intan, sedang kabut malam perlahan-lahan merayapi permukaan tanah seolah-olah hendak menelan hutan kecil muara Kali Serang ini.

* * *




--¤¤¦ « 3 » ¦¤¤--

PULUHAN KAPAL dan perahu-perahu berlabuh di Bandar Jepara dengan tenangnya. Terkadang satu dua kapal bertolak dan ada juga yang datang untuk berlabuh.
Suara gemericik ombak-ombak kecil yang memecah ke tepi pantai terdengar silih-berganti diseling jeritanjeritan burung camar laut yang terbang merendah dan berputar di angkasa.
Di pendapa Tamtama yang terletak tidak jauh dari Bandar Jepara, duduklah Mahesa Wulung, Pandan Arum dan Jagayuda serta beberapa tamtama lainnya seperti Ki Tambakbayan dan Ranujaya. Juga Wira Sengkala serta Sandi Pradangga tampak pula dudukduduk bersama mereka.
"Angger Mahesa Wulung," ujar Ki Tambakbayan dengan hormatnya, "syukurlah bahwa Angger telah berhasil menghancurkan Kapal Hantu itu. Laporan telah aku kirimkan ke Demak dan lengkap menceritakan segala pengalaman Angger ketika berada di pulau Borneo."
"Terima kasih, Bapak," jawab Mahesa Wulung.
"Ki Rikma Rembyak belum terdengar kabar beritanya sedang Kapal Hantu tadi memang menggunakan senjatasenjata panah Braja Kencar dalam setiap pengacauannya, seperti yang telah berhasil aku rampas serta kuserahkan kepada Bapak kemarin."
"Yah, memang Ki Rikma Rembyak sukar dicari jejaknya. Tapi Angger tak usah kuatir, sebab suatu ketika pastilah ia akan dapat kita bekuk batang lehernya!" demikian kata Ki Tambakbayan.
"Sekarang Angger boleh beristirahat beberapa saat, sampai ada tugas baru bagimu nanti."
"Ke manakah rencana Andika sekarang?" tanya Sandi Pradangga yang bermata tajam tapi berwajah ramah itu.
"Mmm, kami akan berkunjung ke Desa Mijen untuk menengok Ki Lurah Mijen. Di samping itu, ada sesuatu hal yang perlu aku tanyakan kepada Ki Lurah tadi."
Sandi Pradangga agak berkerut oleh penuturan Mahesa Wulung, namun kemudian iapun tersenyum.
"Ke Desa Mijen? Ah, agaknya ada urusan pribadi?!"
Mahesa Wulungpun tersenyum seraya berkata, "Benar, Kakang Sandi. Aku bersama Adi Pandan Arum akan datang menemui Ki Lurah Mijen, selama waktu istirahat itu."
"Itu pilihan yang baik," ujar Sandi Pradangga pula.
"Semoga liburan Andika akan menyenangkan."
"Terima kasih," kata Mahesa Wulung pula.
"Kami akan berangkat besok pagi dengan berkuda ke sana."
Demikianlah, Mahesa Wulung, Pandan Arum, Jagayuda dan Ki Tambakbayan serta yang lain-lainnya masih asyik bercakap-cakap di Pendapa Tamtama itu sampai sang matahari condong ke langit barat.
Tepat sang senja mulai hadir, selesailah sudah percakapan mereka dan masing-masing lalu kembali ke tempat tinggalnya. Mereka boleh dikatakan telah merasa puas dengan hancurnya Kapal Hantu itu, sebab sejak itu pula terasalah bahwa pelayaran serta lalu-lintas perniagaan di lautan telah lancar kembali, pulih seperti sediakala. Nama Kapal Hantu telah lenyap dari percaturan dan dilupakan untuk selama-lamanya seperti juga nama Monyong Iblis yang pernah menggegerkan kalangan tamtama serta prajurit Demak sebagai seorang golongan hitam yang telah berkali-kali mengacau keamanan.
Keesokan harinya, di pagi yang berhawa segar, berpaculah dua ekor kuda ke arah selatan meninggalkan Pendapa Tamtama dengan derapan yang cepat.
Ketika mereka berdua melewati pintu gerbang selatan kota Jepara, beberapa prajurit kawal segera mengangguk dan memberi hormat kepada kedua penunggangnya yang tidak lain adalah Mahesa Wulung serta Pandan Arum.
Debu serta kerikil berloncatan ke tepi jalan oleh derapan kaki-kaki kuda mereka. Di sepanjang jalan terlihatlah para petani yang berangkat untuk menggarap sawahnya di daerah selatan kota Jepara.
Semula mereka agak terkejut melihat dua orang berpacu tadi. Tapi setelah dekat, orang-orang inipun seketika melambai-lambaikan tangannya serta mengangguk hormat kepada kedua penunggang kuda ini.
Yah, siapakah yang tidak mengenal Mahesa Wulung, pendekat utama, serta Perwira Laut dari Armada Demak ini?
Mereka terus berpacu menuruti jalan yang menuju ke selatan, menyusuri pantai Jepara dengan hiasan ombak berdebur memecah ke pantai.
Sementara itu pula, jauh lebih ke sebelah selatan sana, sebuah perahu sampan yang kecil dan cukup hanya ditempati oleh seorang penumpang tengah meluncur menentang arah aliran Kali Serang menuju ke arah tenggara.
Air sungai yang tenang mengalir menuju ke muara di sebelah barat laut, tidaklah merupakan halangan bagi si pendayung. Pemuda yang berdayung dan berkumis tebal ini tidak lain adalah Lawunggana, si murid tunggal dari si botak sakti Ki Bango Wadas. Tangan yang kokoh dan cekatan itu dapat berdayung dengan lincah dan silih berganti dari sisi kiri dan kanan.
Pantulan cahaya matahari yang menimpa permukaan air, bergemerlapan menambah keindahan suasana pagi. Lawunggana kadangkala tersenyum sendiri bila memikirkan Desa Mijen yang akan ditujunya. Wajah Endang Seruni berkali-kali melintas di depan pelupuk matanya, sehingga Lawunggana semakin cepat mendayung sampannya ini, sedang hatinya berkata-kata sendiri.
"Endang Seruni... hampir empat tahun aku tak melihatnya. Tapi cintaku kepadanya terasa makin subur dan mendalam. Ohh, mudah-mudahan iapun demikian pula tidak mengkhianati prasetya cintanya kepadaku."
Sangat lajunya sampan pendekar berkumis tebal ini mengarungi air, ringan bagaikan selembar daun kering dan cepat laksana ikan berenang. Peluhpun mengalir dari dahi Lawunggana kemudian mengalir ke bawah bercucuran, namun kesemuanya itu tidaklah mengurangi semangat Lawunggana. Malahan boleh dikata bahwa keringat-keringat tadi mempersegar tubuhnya.
Tiba-tiba saja, sewaktu ia sampai pada bagian sungai yang kiri-kanannya bertebing pepohonan semak ilalang, bambu dan gelagah, hatinya merasa berdentang-dentang dan seolah-olah ada beberapa pasang mata yang tengah mengawasinya.
Tebing pepohonan bambu, gelagah dan ilalang itu ternyata cukup panjang, dan inilah yang membuat Lawunggana semakin berdebar-debar dadanya.
Suara gemercik air yang terdengar sepanjang perjalanan Lawunggana mendadak dipecahkan oleh suara berdebur dari tepi sungai sebelah kiri disusul oleh air memercik beberapa saat ke atas.
Mata Lawunggana yang tajam segera dapat melihat adanya bahaya yang mendatang.
"Hemm, inilah agaknya makhluk-makhluk yang mengintaiku sejak tadi," gumam Lawunggana seorang diri. Ia melihat sebuah benda bergerak cepat, sedikit di bawah permukaan air dengan menimbulkan arus dan gelombang kecil ke arah sampannya.
"Buaya!" desis Lawunggana.
"Sekarang aku harus berhati-hati menghadapinya!" Selesai berkata, ia cepat melolos pedangnya.
"Aku harus mendahului menyerangnya lebih dulu sebelum ekornya memukul badan perahuku yang kecil ini."
Byuuur!
Sekali lagi terdengar suara dari tebing sebelah kanan. Pendekar berkumis tebal itu segera dapat melihat tubuh seekor buaya terjun ke dalam air, sedang buaya lainnya yang masih bermalas-malas acuh tak acuh kepada temannya yang terjun ke dalam air tadi.
Lawunggana terperanjat bukan main, ketika dua ekor binatang air itu dengan cepat berenang ke arah perahunya dari samping kiri dan kanan.
"Serangan berbareng!" desah Lawunggana seraya meletakkan pedang yang telah dilolosnya tadi dan cepat-cepat ia berdayung kembali disertai pengerahan seluruh tenaga. Maka sejurus kemudian, perahu sampan Lawunggana meluncur ke depan lebih cepat dan akibatnya, kedua ekor buaya tadi cuma menerkam air belaka dan saling bertubrukan.
Buaya-buaya lainnya agaknya melihat bahwa serangan kedua temannya tadi menemui kegagalan dan mereka berterjunan ke dalam air, menimbulkan gelombang-gelombang kecil dan riak air bergejolak menyeramkan.
Sepintas lalu Lawunggana teringat akan cerita Jaka Tingkir yang bertempur melawan buaya-buaya di Kedung Srengenge. Tetapi apakah itu cerita sesungguhnya atau hanya cerita kiasan saja, ia tidaklah tahu dengan pasti.
Alangkah terkejutnya pendekar berkumis tebal ini apabila dari sebelah depanpun terlihat beberapa ekor buaya mencegat arah sampannya, sehingga sesaat Lawunggana seperti orang linglung terbengong-bengong tanpa tahu apa yang harus diperbuatnya.
Dan waktu sesaat ini cukup bagi binatang air itu melakukan serangannya. Seekor di antaranya segera menabrakkan tubuhnya yang berkulit keras bergerigi sampai sampan Lawunggana yang kecil itu bergoncang hebat.
Untunglah pendekar muda ini tidak kehilangan keseimbangan dan ia cepat-cepat menyambar pedangnya dengan tangan kanan, sementara tangan kirinya menggenggam dayung.
Kembali seekor buaya menyerangnya dari sebelah kiri dengan benturan punggung dan kali ini Lawunggana tidak tinggal diam. Cepat ia menyabetkan dayungnya ke bawah, ke arah punggung si penyerang dan buaya menggeliat serta berputar di air, tetapi dayung di tangan kirinya seketika patah menjadi dua.
Tepat di saat itu seekor buaya lain tiba-tiba menyabetkan ekornya yang kokoh dan tebal dari sisi kanan perahu. Maka akibatnya sampan perahu kecil ini bergoncangan keras dan oleng ke kiri lalu terbalik! Dan di sekitarnya beberapa ekor buaya telah mengapung.
"Hyaaat!" Lawunggana berteriak keras dan ia melenting ke atas berbareng perahu kecilnya itu terbalik. Dengan sebuah loncatan yang manis, ia melayang turun dan mendarat di atas sebuah punggung seekor buaya.
Merasa punggungnya kena injak ini, si raja air segera menyabetkan ekornya. Tetapi Lawunggana yang selalu waspada secepat kilat melesat dari punggung buaya tersebut sambil tak lupa menghunjamkan pedangnya ke lekukan leher sebelah belakang binatang air ini.
Buaya tadi menggeliat hebat dan dari punggungnya menyembur darah merah pekat ke permukaan air sungai dan menyebar bercampur dengan raungan dari mulut lebarnya.
Tap!
Kedua kaki Lawunggana mendarat pula pada punggung buaya yang lain, untuk kemudian melenting pula ke arah punggung buaya lainnya sambil memutar pedangnya secepat angin lesus serta sekali-sekali dihunjamkan ke punggung si raja air ini. Sebentar saja beberapa ekor buaya telah berhasil dilukainya.
"Aku harus menepi selekasnya!" desis Lawunggana seraya bergerak ke arah tepi sungai sebelah kanan.
Demikianlah, dengan meloncat dari satu punggung buaya ke punggung buaya yang lainnya, Lawunggana segera tiba di tepi sungai sebelah kanan.
Ketika tiba di darat, ia masih melayangkan pandangannya ke tengah sungai dan terlihatlah beberapa ekor buaya berputar menggeliat-geliat akibat luka-luka tikaman pedang Lawunggana tadi, sedang buaya-buaya lainnya rupanya telah membenamkan diri dalamdalam ke dasar sungai.
Akhirnya Lawunggana bergegas meninggalkan tebing sungai itu serta mendaki ke arah tanggul. Di depannya, jauh di antara hutan-hutan kecil di sebelah sana, terhamparlah petak-petak sawah yang kehijauan subur.
"Di sanalah terletak Desa Mijen!" desis Lawunggana. Iapun berjalan menuju ke arah petak-petak sawah itu.
Di langit matahari bersinar dengan teriknya dan beberapa awan putih bagaikan gumpalan-gumpalan kapas raksasa mengalir ke arah selatan.
Hutan kecil makin bertambah dekat dan Lawunggana masih ingat betul-betul akan masa-masa kecilnya. Di tepi hutan kecil itulah terdapat sebuah mata air yang jernih, tempat ia dahulu bermain-main bersama Endang Seruni di masa kecil dahulu.
Sebuah dorongan batin yang kuat, seolah-olah memerintahkan agar ia menengok mata air itu dan karenanya Lawunggana kemudian membelok ke barat, ke tepi selatan hutan kecil.
Tiba-tiba saja telinga Lawunggana menangkap sebuah alunan tembang, lagu Asmarandana yang menyayat, menggayut-gayut melambangkan sebuah hati yang rindu dan jatuh cinta tapi kemudian menceritakan kepatahan, hati yang hancur dan rusak. Hal ini membuat Lawunggana terhenyak, sampai ia terhenti langkahnya.
Ia sendiri seperti terkena dan dapat merasakan isi dari nyanyian yang mengharukan tadi. Akan tetapi, yang lebih membuat heran Lawunggana, adalah suara si penembang itu. Yah, ia seperti pernah mendengar suara itu, tapi siapakah orang itu?
Maka, secepatnyalah Lawunggana berlari ke arah mata air di sebelah selatan hutan kecil ini.
Ia ingin mengetahui, siapakah kiranya si penembang ini, dan itulah sebabnya ia menguakkan beberapa dedaunan semak belukar di depannya. Sama sekali ia tak bermaksud membuat kaget orang ini, sehingga Lawunggana mengambil keputusan untuk mengintip terlebih dahulu.
Bersamaan terkuaknya dedaunan itu, tampaklah olehnya seorang gadis duduk membelakang berambut hitam bersanggul kecil dan ujungnya terurai ke bawah sampai ke punggung. Lehernya yang jenjang berkulit sawo matang itu, berkilatan terkena pantulan cahaya matahari yang menimpa air sendang.
Gadis tersebut duduk di atas sebuah batu hitam yang besar, dan menjorok di atas permukaan mata air ini, sedang tangannya memegang serta mempermainkan setangkai bunga mawar merah.
Lawunggana semakin berdebar hatinya dan ia ingin mengenal serta melihat wajah gadis itu. Dengan melangkah perlahan-lahan serta hati-hati sekali ia, mengambil arah memutar dan berjalan mengendap-endap ke arah samping gadis itu duduk. Sebentar berhenti dan sebentar melangkah kembali.
Namun entah apa sebabnya bila tahu-tahu kakinya telah salah memilih jalan sehingga terinjaklah sebatang dahan kering yang seketika patah berderak! Maka seketika itu pula si gadis berpaling ke arahnya dengan pandangan mata yang tajam sesaat, dan kemudian terbeliak lebar. Begitu pulalah dengan Lawunggana sendiri. Ia menatap gadis itu dengan mata tak berkedip seperti seorang yang terkena sihir dahsyat.
Kedua orang itu saling berpandangan beberapa lama tanpa kata-kata yang keluar dari mulut mereka.
Lawunggana mulai melangkahkan kakinya ke depan, sementara gadis itupun telah bangkit dan berjalan ke arah Lawunggana mendatang. Keduanya masih saja saling berpandangan.
Ketika jarak antara mereka berdua semakin dekat dan kira-kira tinggal tiga tombak lagi, keduanya segera berlari saling menyongsong.
"Endang Seruniiii!" seru Lawunggana dengan suara bergetar parau.
"Kakang Lawunggana!" teriak lirih gadis itu dengan suara yang bergetar pula.
Jarak semakin dekat dan seperti digerakkan oleh tenaga yang sama, mereka berdua sama-sama mengembangkan kedua belah tangannya ke depan.
Sesaat kemudian terjadilah adegan yang mesra, tapi juga mengharukan. Endang Seruni, yakni gadis yang bermain-main dengan setangkai bunga mawar merah tadi kini mendekap Lawunggana dan memeluknya sangat erat.
Begitu juga pendekar berkumis lebat itupun tak ketinggalan. Dipeluknya pula gadis bertubuh sintal dan padat ini dengan mesranya, seolah ia ingin menjadi satu dan tak berpisah lagi. Yah, empat tahun perpisahan bukanlah waktu yang pendek bagi dua orang yang berkasih-kasihan.
"Kakang Lawunggana, oookh," desah Endang Seruni seraya merebahkan kepalanya ke dada pendekar berkumis lebat ini, dan di situ merasakan ketenangan yang mendalam.
"Adi Endang Seruni," bisik Lawunggana sambil membelai rambut gadis itu dengan usapan yang penuh kemesraan.
"Aku selalu merindukanmu selama empat tahun ini."
Endang Seruni menengadahkan kepalanya menatap wajah Lawunggana.
"Aku pun begitu... Kakang," ujar gadis ini dan tangannya menahan jari-jari pendekar muda yang menarik dagunya ke atas.
"Mmm engkau mulai nakal, Kakang."
"Kau semakin cantik saja, Adi Seruni," bisik Lawunggana setengah menggoda, membuat gadis itu tersenyum dan memejamkan matanya yang berbulu hitam melengkung. Iapun tak tahu bahwa Lawunggana menundukkan kepalanya dan alampun seperti impian bagi kedua kekasih itu.
Sesaat kemudian, Endang Seruni berontak, melepaskan pelukan pendekar muda itu serta meraba bibirnya yang baru saja merasakan kehangatan mesra dari kekasihnya.
Gadis itu berpaling membelakangi Lawunggana disertai isakan-isakan kecil dengan tiba-tiba. Pikirannya menjadi bingung karena pertemuannya dengan Lawunggana yang telah berpisah sekian lama tanpa kabar beritanya.
Memang sebenarnya ia masih mengharap akan pertemuannya dengan Lawunggana ini. Tetapi bukankah ia belum lama sembuh dari kepatahan hatinya serta cintanya kepada Mahesa Wulung beberapa waktu yang lalu?
Lawunggana menjadi terperanjat oleh perubahan sikap Endang Seruni yang tiba-tiba, dan iapun berkata pelan.
"Adi Seruni," ujarnya, "mengapakah engkau, Adi? Adakah seseorang yang telah merebut cintamu kepadaku?"
Oleh pertanyaan tadi, Endang Seruni tak dapat berkata apa-apa, melainkan membisu saja sampai didengarnya kembali Lawunggana berkata pula.
"Adi Seruni, ketahuilah bahwa aku tak pernah melupakanmu selama ini. Aku masih tetap mencintaimu, Adi!"
"Cinta?!" desis Endang Seruni dengan setengah mencibir dan bernada sumbang.
"Huh, aku tidak sudi mengenal cinta lagi! Cinta telah membuatku hidup sengsara!"
Sehabis berkata demikian, Endang Seruni kemudian berlari meninggalkan mata air itu, menuju ke arah jalan ke Desa Mijen, meninggalkan Lawunggana seorang diri terbengong keheranan.
"Seruni! Adi Seruni... tunggu dulu!" teriak Lawunggana serta berusaha menahan Endang Seruni, tetapi gadis ini segera berseru dengan lantangnya.
"Jangan sentuh aku lagi! Biarlah aku merasakan kehancuran hatiku. Pergilah engkau, Kakang Lawunggana. Biarkan aku seorang diri!"
Lawunggana terhenyak antara sadar dan ragu-ragu. Apa yang ditemuinya, adalah peristiwa yang mulamula menyenangkan, mesra, penuh harapan hidup kemudian hancur oleh kenyataan yang penuh tanda tanya dan kegelisahan hidup, bercampur-aduk menjadi satu, membuat kepalanya seperti pusing dan akan meledak!
Ia masih dapat melihat arah lari gadis itu yang menuju ke arah gerbang Desa Mijen.
"Apakah yang menyebabkan Endang Seruni menderita perasaan seburuk itu?! Heh, bagaimanapun juga aku harus mengetahui sebab musababnya!" desah Lawunggana.
"Dan satu-satunya jalan untuk mengetahuinya ialah bertanya langsung kepada Ki Lurah Mijen sendiri. Pasti ayah Endang Seruni itu akan bersedia menjelaskan duduk perkaranya!"
Dan akhirnya Lawunggana menyadari bahwa apa yang dialaminya saat ini adalah kejadian yang benarbenar ada dan bukanlah cuma sekadar mimpi belaka.
Pendekar muda inipun segera berlari ke arah jalan yang baru saja dilewati oleh Endang Seruni menuju ke gerbang Desa Mijen dengan cepatnya.
Beberapa orang yang melihat kejadian ini agak tercengang-cengang. Mereka merasa janggal bahwa seorang gadis seperti Endang Seruni ini, apalagi dia sebagai putri seorang kepala desa telah berlari-lari di sepanjang jalan desa, ketika pulang ke rumahnya.
Tetapi orang-orang desa tadi akan lebih terkejut apabila ia melihat pula seorang pemuda berkumis tebal dan berjenggot tampan juga berlari-lari kecil agak jauh di belakang Endang Seruni. Beberapa orang yang agak tertarik segera membuntuti mereka.
Demikianlah, tak lama kemudian Endang Seruni telah memasuki halaman pendapa kelurahan dan beberapa orang yang tengah duduk di situ segera terkejut karenanya.
Ki Lurah Mijen dan istrinya serta beberapa abdi pelayan yang berada di situ dengan tergopoh-gopoh menyambut putrinya seraya berseru.
"Endang Seruni... lho mengapa engkau berlari-lari, Nak?!"
Yang ditanya tidak lekas menjawab, melainkan ia merangkul ibunya dan merebahkan kepalanya pada pangkuan Nyi Lurah.
"Karena aku terkejut, Ibu," ujar Endang Seruni dengan manja.
"Ketika aku main-main di sendang, tibatiba datanglah Kakang Lawunggana menemuiku."
"Lawunggana?! Pemuda yang telah sekian lama menghilang itu muncul kembali?" ujar Ki Lurah Mijen sambil tersentak kaget.
"Di mana dia sekarang, Nak?"
"Aku lihat dia juga berlari mengikuti dan mungkin akan ke mari, Bapak," kata Endang Seruni pula.
Nyi Lurah dapat merasakan bahwa anak gadisnya ini terengah serta berdebar-debar hatinya. Maka iapun mengajak putrinya ini untuk masuk ke dalam.
"Ayo, Nduk. Marilah minum air dulu, biar hatimu tenang."
"Baik, Bu," kata Endang Seruni serta melangkah ke dalam rumah dalam rangkulan mesra ibunya, Nyi Lurah Mijen.
Ki Lurah segera bergegas ke luar halaman untuk menyatakan cerita putrinya, Endang Seruni. Jika seandainya benar bahwa Lawunggana datang ke rumahnya, ia akan menyambutnya dengan baik, sebab sebagai orang tua yang bijaksana ia telah tahu bahwa sejak kecil mula, antara Lawunggana dan Endang Seruni telah terjalin persahabatan yang erat, bahkan orang tua inipun tahu bila persahabatan mereka berdua ini telah berkembang menjadi jalinan cinta yang pertama.
Sejak semula, Ki Lurah Mijen telah cocok dengan pemuda Lawunggana yang berperangai halus, lagi sopan itu. Tetapi sayang beberapa tahun yang lalu, ia telah pergi meninggalkan desa ini tanpa ia tahu sebab mulanya.
Dalam penuh tanda tanya itu, serta ketidak-tahuan itu, Ki Lurah telah mengira bila antara Lawunggana dengan Endang Seruni, terjadi suatu pertengkaran. Namun dugaan inipun akhirnya keliru sama sekali. Sebab Endang Seruni sendiri telah berkata kepadanya bahwa antara mereka berdua tidak ada pertengkaran ataupun perselisihan.
Lebih heran lagi Ki Lurah Mijen, demi Endang Seruni bercerita pula kalau sesungguhnya ia telah bercakap-cakap di pekarangan rumah pada suatu sore, sebelum Lawunggana, akhirnya menghilang sama sekali beberapa tahun lamanya. Nah, jika demikian, pastilah terjadi sesuatu yang menyebabkan pemuda itu pergi dari desa ini!
Begitulah, kejadian yang telah hampir empat tahun terjadi itu membuat Ki Lurah Mijen teringat kembali akan segala kejadian dan peristiwa yang silam.
"Permisi, Ki Lurah!" terdengar suara yang bergetar dari luar halaman, menjadikan orang tua ini geragapan bagai terbangun dari mimpi.
"Eh, ooo... engkau adalah Lawunggana, bukan?" bertanya Ki Lurah Mijen seraya mempersilakan tamu mudanya ini masuk ke halaman.
"Marilah masuk, Nak. Wah, engkau sekarang amat gagah."
Yang dipuji sangat berdebar dan tertunduk malu, kemudian berjalan di samping Ki Lurah menuju ke pendapa rumah. Mereka kemudian duduk di ruang pendapa dan Ki Lurah yang telah tidak sabar itu lekaslekas membuka percakapan.
"Angger Lawunggana," ujar Ki Lurah Mijen, "kedatanganmu sangat mengejutkan kami, tetapi kamipun merasa senang pula."
"Terima kasih, Ki Lurah. Tapi harap dimaafkan kalau aku telah mengejutkan orang-orang di desa ini."
"Tak apa, Ngger. Tak apa. Meskipun Andika telah pergi menghilang dari desa ini beberapa tahun lamanya, bagi kami Angger masih kami anggap penduduk desa ini," berkata Ki Lurah Mijen dengan ramah.
"Sekarang, katakanlah kepadaku, Angger Lawunggana. Agaknya ada sesuatu yang amat penting, menilik kedatanganmu langsung ke mari dengan peluh yang bercucuran."
"Memang penting, Bapak," jawab Lawunggana.
"Sebelum di desa ini, aku telah melewati sebuah mata air. Di situ aku bertemu seorang gadis yang ternyata adalah Adi Endang Seruni. Pertemuan kami yang tiba-tiba itu sangat menggembirakan bagi kami. Tetapi sayang, suasana gembira tadi berubah ketika aku berkata kepadanya bahwa aku masih tetap mencintainya. Dengan tiba-tiba saja Adi Endang Seruni berlari meninggalkanku seorang diri seraya berkata bahwa ia tidak ingin mendengar kata-kata cinta lagi."
Ki Lurah Mijen mengangguk-angguk oleh keterangan dan tutur kata Lawunggana tadi. Setelah berdiam sesaat kembali ia berkata, "Angger Lawunggana, semoga Angger tidak lantas terkejut oleh sikap Endang Seruni tadi, dan maafkanlah dia seluas-luasnya. Memang, sudah agak beberapa lama Endang Seruni sering bersikap begitu dan suka melamun, menyendiri di tempat-tempat yang sunyi. Hal ini tentu menyusahkan kami sekeluarga, dan orang-orang kampungpun juga turut berprihatin karenanya."
"Eh maaf, Bapak. Adakah sebab-sebabnya sampai Adi Endang Seruni bersikap demikian itu?"
"Memang, Angger. Ada sebab-sebabnya, namun persoalan ini tidak dapat dipersalahkan terhadap orang lain semata-mata. Sebab begitu sulit dan menyusahkan."
"Jika diijinkan, aku ingin mengetahuinya, Bapak," ujar Lawunggana pula.
"Sebab bagaimanapun juga, aku masih mengharapkan Adi Endang Seruni."
"Sekarang dengarlah, Angger. Beberapa waktu yang lalu, di daerah ini pernah dikacau oleh orang-orang jahat dari gerombolan Topeng Reges. Mereka sering mengacau dan membuat bencana di sana-sini. Malah akhirnya dengan kurang ajar mereka berani menculik Endang Seruni."
"Jadi Adi Endang Seruni pernah diculik?!" ujar Lawunggana.
"Benar, Angger. Secara kebetulan seorang perwira dari Demak telah menolongnya. Dan dengan begitu, seharusnya dialah yang menjadi calon suaminya. Sebab sejak diculiknya Endang Seruni, Bapak telah mengadakan sayembara, bahwa siapa yang berhasil membebaskan Endang Seruni dari tangan orang-orang Topeng Reges itu, ia akan kujadikan suaminya."
"Tetapi, mengapakah selanjutnya, Bapak?" potong Lawunggana dengan hati berdebar-debar.
"Perwira Demak tadi ternyata menolak keputusan sayembara tadi, sebab ada dua hal yang membuatnya bersikap begitu. Pertama, ia tidak sengaja memasuki sayembaraku itu dan pertolongannya tadi hanyalah terdorong oleh suatu kewajiban belaka. Kedua ia telah dicintai oleh seorang gadis lain dan iapun telah mencintainya pula. Nah, kedua hal itulah yang menyebabkan Endang Seruni tidak jadi kawin dengan perwira Demak tadi, sehingga selanjutnya menyebabkan Endang Seruni berkelakuan pemurung dan pelamun. Kadang-kadang ia lekas marah dan mudah tersinggung."
"Heh, keterlaluan si Perwira Demak itu," ujar Lawunggana setengah jengkel.
"Seharusnya ia tak menolak keputusan sayembara itu. Meskipun hal tadi juga berarti bahwa aku akan kehilangan Adi Endang Seruni. Namun toh aku tak akan menyesal, karena Endang Seruni akan mendapatkan seorang suami yang berpangkat."
"Memang benar. Akan tetapi kami juga tidak bisa menyalahkan dia. Dia punya alasan-alasan yang dapat kita pahami, Angger."
"Siapa nama Perwira Demak itu, Bapak?"
"Dia bernama Mahesa Wulung," ujar Ki Lurah Mijen.
"Dan dia pulalah yang dapat membinasakan Ki Topeng Reges!"
"Hebat! Luar biasa!" desis Lawunggana kaget setengah kagum.
"Nama kedua orang tadi telah terkenal di daerah sekitar Asemarang, Demak dan Jepara. Mereka adalah orang-orang yang sakti, Ki Lurah."
"Memang benar, Angger Lawunggana."
"Itulah sebabnya aku ingin bertemu dengan Mahesa Wulung."
"Apakah perlunya, Angger?" Ki Lurah Mijen berkata dengan suara yang mengandung rasa cemas.
"Apakah Angger."
"Aku kepingin mengukur tenagaku dengan dia, Bapak," sahut Lawunggana tajam.
"Supaya aku tahu sampai dimanakah kesaktian seorang Perwira Demak yang telah berani menolak seorang gadis secantik Endang Seruni!"
"Ah, janganlah menambah kesulitan sendiri, Angger," desah Ki Lurah Mijen.
"Kami sendiri telah mencoba melupakan kejadian itu dan lagi alasan-alasan Mahesa Wulung dapat kami pahami. Andapun pasti mengerti, bahwa cinta dan perkawinan tidak selalu harus dipaksakan."
"Itu benar. Tetapi apakah kedudukan Bapak tidak merasa diremehkan oleh sikap Mahesa Wulung tadi?"
"Sebagai seorang yang berpikir dangkal, sikap Mahesa Wulung tadi memang membuatku marah. Namun sebagai seorang kepala desa dan seorang tua yang berpikir luas aku tidak merasa dihinakan olehnya."
"Itu pendapat Bapak! Akan tetapi pendapatku lain lagi," kata Lawunggana dengan suara keras. Agaknya pengaruh didikan Ki Bango Wadas yang keras dan tajam benar-benar telah merasuk dan meresap ke tulang sumsum dan hatinya.
"Ketahuilah, Ki Lurah. Sebagai seorang yang mencintai Endang Seruni, perbuatan serta sikap Mahesa Wulung tadi sangat menyakitkan hatiku. Maka aku wajib membalaskan perbuatannya itu."
"Janganlah kau turuti bisikan hati dendammu itu, Angger Lawunggana. Sangat berbahaya, dan lagi tidak akan membawa faedah bagimu," ujar Ki Lurah Mijen
kecemasan.
Meskipun telah dibujuk-bujuk, Lawunggana tidak mau mengerti akan kemauan orang tua ini. Bahkan dengan jengkelnya ia telah menggenggam sebuah cangkir tembikar yang ada di sampingnya dan kemudian meremasnya sekali, sehingga hancur dengan suara berkeretakan lalu ditaburkan ke lantai dalam bentuk taburan serbuk tanah hitam kemerahan.
Keruan saja Ki Lurah Mijen terkejut bukan main melihat hal ini. Tidak dikiranya sama sekali Lawunggana mampu berbuat sehebat begitu dan mengerikan hatinya. Jika seandainya cangkir tadi adalah tangan manusia, pastilah bisa dibayangkan kalau tangan tersebut akan lumat!
"Biar, aku akan mencari Mahesa Wulung serta mengadu kekuatan dengan dia. Aku akan menghajarnya!" teriak Lawunggana seraya bergegas melangkah ke luar halaman.
"Tunggu, Angger Lawunggana!" seru Ki Lurah Mijen, sehingga Lawunggana terhenti langkahnya di ambang pintu.
"Engkau jangan berbuat menuruti kehendak nafsu amarah, Angger. Itu tidak akan baik jadinya dan engkau akan menyesal nantinya!"
"Menyesal? Tidak! Aku tidak akan-menyesal!" bentak Lawunggana dengan suara keras.
"Apa yang aku ucapkan akan betul-betul kulaksanakan!"
"Ingatlah, Angger Lawunggana. Mahesa Wulung adalah seorang Perwira Kerajaan dan dia bukan orang sembarangan!"
"Justru itulah, Bapak. Seorang Perwira Kerajaan harus betul-betul berlaku bijaksana!"
"Tak ada seorang manusia yang bersifat sempurna, Angger. Baik Mahesa Wulung, aku sendiri ataupun Angger Lawunggana pula. Sebagai seorang ayah aku telah bersalah karena menyayembarakan anakku, dan Angger sebagai seorang yang mencintai Endang Seruni, terlalu lama Angger meninggalkannya tanpa kabar berita apapun. Nah, itulah sekadar contoh kecil akan kesalahan-kesalahan kita."
"Betul! Memang semua itu benar!" sahut Lawunggana.
"Tak ada manusia yang sempurna. Akan tetapi ketidak-sempurnaan jangan terlalu menghalangi manusia untuk berbuat bijaksana!"
"Angger Lawunggana, apakah maksudmu yang sebenarnya? Apakah maksudmu untuk mengadu tenaga dengan Mahesa Wulung tidak semata-mata didorong oleh nafsu amarahmu saja?"
"Itu bukan menjadi soal! Pokoknya dia akan kusuruh meminta maaf kepadaku dan kepada Adi Endang Seruni. Dan kemudian dia harus mengembalikan cinta Adi Endang Seruni kepadaku!"
Lawunggana sangat jengkel dan marah tampaknya, maka segera ia akan bergegas ke luar. Namun tepat di saat itu pula dari dalam rumah muncullah Endang Seruni serta Nyi Lurah.
"Kakang Lawunggana, janganlah kau turuti kemarahan hatimu itu!" seru Endang Seruni seraya menahan lengan Lawunggana. Dan untuk kedua kalinya pula Lawunggana terhenti langkahnya.
"Engkau ingin membuatku lebih bingung dan lebih menderita lagi?!"
"Mengapa engkau berkata demikian, Adi Seruni? Apakah itu berarti engkau melarangku untuk bertarung melawan Mahesa Wulung?"
"Yah, memang aku melarangmu, Kakang!"
"Nah, kalau begitu artinya engkau masih mengharapkan cinta dari Mahesa Wulung!" bentak Lawunggana.
"Salah! Engkau terlalu kejam jika berkata demikian. Memang mula-mula aku mengharapkan begitu karena kekosongan hatiku dan mengingat jasa-jasanya. Tetapi sekarang tidak lagi," ujar Endang Seruni sambil terisak-isak.
"Sekarang antara aku dan Mahesa Wulung tidak ada apa-apa lagi, sebab sesungguhnya dia telah mempunyai seorang kekasih dan sudah sepantasnyalah bila ia menolakku. Kami menghargai sikapnya itu."
"Jadi engkau sendiri tidak merasa dihinakan olehnya, Adi Seruni?!" potong Lawunggana dengan setengah heran.
"Sama sekali tidak! Jika ia menerimanya, itu berarti Kakang Mahesa Wulung mengkhianati kekasihnya," ujar Endang Seruni.
"Hmmm!" desah Lawunggana manggut-manggut dan mulai memahami keadaan yang dihadapinya. Meskipun demikian, dia adalah murid Ki Bango Wadas yang beradat keras dan tidak suka mengalah, lebihlebih lagi dia adalah murid tunggalnya. Maka dengan sendirinya dia tidak mau begitu saja mencabut maksudnya dan berkatalah Lawunggana kemudian.
"Baiklah Adi Seruni, aku berjanji tidak akan mencari Mahesa Wulung. Akan tetapi jika aku sampai berjumpa dengan dia, di suatu tempat di mana saja, aku akan tetap membuat perhitungan serta mengadu tenaga dengan dia."
Mendengar keterangan Lawunggana ini, baik Ki Lurah Mijen, istrinya maupun Endang Seruni sendiri merasa sedikit lega. Dalam hati mereka berharap, semoga antara Mahesa Wulung dan Lawunggana tidak akan pernah saling berjumpa. Terutama dengan Endang Seruni yang tidak menginginkan terjadinya bentrokan di antara mereka berdua.
Ia telah tahu bahwa Mahesa Wulung adalah seorang Perwira Demak yang sakti, sedang Lawunggana pun juga seorang yang berilmu tinggi. Telah dilihatnya betapa dengan mudahnya Lawunggana meremas sebuah cangkir tembikar sampai hancur. Ini sudah cukup sebagai bukti akan kehebatan tenaga dalam Lawunggana.
Pendapa kelurahan ini sesaat menjadi lengang, sepi dan masing-masing manusia yang ada di situ terdiam membisu seperti tenggelam dalam renungannya sendiri-sendiri.
Angin sejuk bertiup dengan lembut menyapu pucuk-pucuk pepohonan di halaman Kelurahan Mijen dan udara panas segera tersapu bersih. Kini hawa segar terasa melonggarkan dada dan menyegarkan kulit.
Dalam hati kecil Endang Seruni merasa gembira juga oleh kedatangan kembali Lawunggana di Desa Mijen ini. Hanya saja ia masih bercemas hati pula, jika mengingat akan tekad Lawunggana yang ingin mengadu tenaga dengan Mahesa Wulung.
Sementara itu Ki Lurah Mijen sendiri merasa agak senang dengan munculnya kembali si Lawunggana, sebab ia berhadap mudah-mudahan dengan jalan inilah Endang Seruni dapat menjadi sembuh dari penyakit murung dan melamunnya. Bukankah semasa dulu kedua anak muda ini saling bergaul erat dan saling mencinta?
Kebisuan tadi tidak berlangsung lama, sebab tibatiba saja dari arah jalanan di muka halaman kelurahan, terdengarlah suara menggeledek keras, membuat semua orang yang berada di pendapa kelurahan terkejut semuanya.
"Cecunguk Lawunggana! Kau berani menginjak tanah pedesaan Mijen ini serta membuat keributan di sini hee!?" terdengar teriakan seorang berperawakan kekar yang ternyata adalah Sorogenen.
"Oooh, ayah! Lihatlah, Paman Sorogenen telah mengetahui kedatangan Kakang Lawunggana!" ujar Endang Seruni dengan sangat cemasnya.
"Tenang sajalah, Nak. Engkau tak perlu cemas dengan hal ini. Serahkan semuanya kepada Tuhan Yang Maha Esa," ujar Ki Lurah Mijen dengan tenangnya.
"Benar, Pak. Semoga tidak akan ada korban apaapa serta tidak terjadi pertumpahan darah," desah Endang Seruni kecemasan.
Tiba-tiba saja Lawunggana telah meloncat ke luar halaman sambil berteriak garang.
"Sorogenen! Heh, heh, heh, heh. Ternyata engkau masih mengingatku dengan baik dan engkau tentunya masih mengingat ketika engkau menghajar serta menjebloskanku ke dalam lumpur comberan!"
"Memang aku tak pernah melupakanmu, cecunguk! Meskipun engkau telah berhias kumis tebal serta jenggot yang bagus, tetapi aku tak pernah lupa akan tampangmu! Sayang, kedua temanku telah tidak ada lagi. Kalau masih ada, pasti mereka akan bersenang hati menghajarmu kembali!" teriak Sorogenen.
"Bah! Engkau jangan menganggap seperti dulu-dulu lagi! Sekarang engkau boleh mencoba tenagaku dan jangan menyesal bila engkau akan segera dapat aku robohkan!"
"Heh, besar sangat mulut kosongmu itu! Sebelum bermain-main denganku coba lihat dulu permainan pedangku ini!" teriak Sorogenen sekaligus melolos pedangnya serta melihat ke atas sebuah pohon mangga di mana buahnya tengah melebat tumbuh.
"Hyaaat!" Sorogenen meloncat ke atas dengan sigapnya seraya melibatkan pedangnya dan berbareng tubuhnya tiba di tanah kembali, berjatuhlah sebutir buah mangga dengan terbelah menjadi empat bagian dan terserak di atas tanah.
"Heh, heh, heh, aku kagum akan kepandaianmu, sobat! Tapi jangan keburu berbangga sebelum melihat jurus pedangku pula!" demikian Lawunggana berkata seraya memetik tiga lembar daun mangga sekaligus dilemparnya ke udara. Setelah itu dengan secepat kilat tangannya bergerak mencabut pedangnya, disusul oleh tebasan yang dilakukannya amat cepat.
"Hyaaaat!"
Sebuah sinar kilatan pedang Lawunggana melintas di udara, kemudian ketiga lembar daun tadi melayang ke atas tanah, masing-masing terpotong tiga bagian!
Melihat ini semua, orang-orang di halaman kelurahan serentak terperanjat kagum. Begitu pula Sorogenen sendiri ikut terperanjat pula, sedang dalam hatinya ia mengumpat-umpat oleh pameran yang dilakukan oleh Lawunggana ini.
Namun Sorogenen sama sekali tidak mau menunjukkan kekalahannya dalam hal olah senjata ini. Sebagai seorang yang pernah bersahabat serta berjuang bersama-sama dengan Mahesa Wulung, sedikit banyak ia telah banyak mengetahui serta belajar dari permainan pedang Mahesa Wulung yang terkenal dengan nama Sigar Maruta.
"Lawunggana!" sekali lagi Sorogenen berteriak.
"Tunjukkan semua kepandaianmu supaya aku bisa mengukur sampai di mana aku harus mengatasi kesaktianmu!"
Mendengar kata-kata ini, wajah Lawunggana seketika berubah menjadi warna merah membara, menunjukkan betapa ia marah dan geramnya. Ia melangkah ke samping sedikit lagi, lalu berhenti tepat di bawah sebuah dahan pohon.
"Sorogenen!" terdengar Lawunggana berteriak nyaring.
"Lihatlah kecepatan pedangku ini untuk terakhir kalinya. Setelah itu kau akan merasakan sendiri kehebatannya!"
Semua orang berdebar-debar mendengar kata-kata Lawunggana ini, lalu disusul sebuah teriakan melengking dibarengi tubuh Lawunggana melesat ke atas, sementara pedangnya sekaligus menebas ke atas dengan bunyi berdesing.
Sejurus kemudian, Lawunggana melayang turun sambil menyarungkan pedangnya kembali dan orangorang di situ masih saja terpesona melihatnya. Tampaknya pedang Lawunggana tak mengenai apa-apa.
"Nah, sekarang lihatlah ke atas dahan pohon di atasku ini," Lawunggana berkata kepada Sorogenen.
"Aku kuatir kau tidak akan dapat menyamainya, sobat!"
Sorogenen serta orang-orang yang berada di halaman itu serentak terhenyak kaget demi sesaat kemudian mata mereka melihat bagaimana daun-daun hijau dahan tersebut satu demi satu, selembar demi selembar, jatuh melayang ke bawah dengan tangkai daunnya berbekas irisan terpotong oleh mata pedang Lawunggana, tidak kurang dari lima belas lembar daun jumlahnya!
Sorogenen mendesis penuh kagum. Ia tak mengira bahwa anak muda yang dulu pernah dihajar oleh Sela Ganden habis-habisan, kini telah mencapai kepandaian yang begitu luar biasa hebatnya. Sesungguhnya saja Sorogenen tidak ingin mengungkap-ungkapkan peristiwa yang lama. Jika ia menegur Lawunggana, itu hanyalah sekadar untuk memperingatkan agar pemuda ini tidak membuat keributan-keributan. Benarbenar ia menguatirkan akan hal ini dan agaknya saja ia telah menduga kalau peristiwa ini akan berlarutlarut.
Bagaimanapun saja kekuatiran Sorogenen, sebagai seorang jagabaya atau penjaga keamanan desa ia tidak mudah dipertakuti oleh permainan senjata dari seorang anak muda seperti Lawunggana ini. Itulah sebabnya iapun berseru kepada Lawunggana dengan kerasnya, "Heh, Lawunggana! Kau kira aku tak mampu berbuat seperti itu pula?!"
"Hah, ha, ha, ha. Panas hatimu ya!?" ejek Lawunggana kepada Sorogenen. — Sekarang, tunjukkanlah kemampuanmu pula!"
"Bagus! Akan kutunjukkan permainan yang tidak kalah baiknya, supaya kaupun sadar dengan siapa engkau berhadapan!"
Sorogenen mengakhiri kata-katanya dan tahu-tahu ia dengan sebat melenting ke atas seraya menyabetkan pedangnya.
Wesss! Trak!
Terdengarlah sebuah benturan, disusul kemudian tubuh Sorogenen tiba kembali di tanah dengan enaknya.
Beberapa saat kemudian tidak juga terlihat adanya kejadian apa-apa. Maka Lawunggana seketika berteriak mencemoohkan.
"Hah, mana, Sorogenen? Mana kehebatan ilmu pedangmu itu?! Kalau tak becus, janganlah sekali-sekali mencoba beraksi di depan hidungku!"
"Bersombonglah sesukamu, Lawunggana. Akan tetapi, lihatlah lebih dulu dahan pohon di atasku ini!" sahut Sorogenen tajam.
"Setelah itu kau boleh tertawa semaumu!"
Lawunggana terpaksa melihat ke atas, ke arah dahan pohon yang tumbuh menjulur tepat di atas Sorogenen, sedang orang-orang lainpun juga memperhatikan dahan itu.
Tiba-tiba Pletaaak!
Dahan pohon itu terbelah menjadi dua, dengan masing-masing bagian membuka keluar dan bergetar.
"Ookh!" Orang-orang di situ termasuk Lawunggana terguman lirih melihat dahan yang mula-mula tampak tidak apa-apa, tahu-tahu telah terbelah.
Dengan begitu tahulah mereka bahwa sebenarnya dahan tadi telah beberapa saat terbelah, tetapi baru saat inilah ia kelihatan dengan jelas dan gamblang!
Dada Lawunggana bergoncang pula oleh kejadian itu dan ia mengakui diam-diam bahwa ilmu pedangnya dengan ilmu pedang Sorogenen ini tidaklah terpaut terlalu banyak. Tetapi tentang ilmu silat bertangan kosong, belum tentulah demikian.
"Nah, kau bisa lihat, Lawunggana, bahwa ilmu pedangku tidak terlalu jauh ketinggalan dari ilmu pedangmu! Maka lebih baik kau lekas berlalu saja dari Desa Mijen ini!"
"Kurang ajar!" teriak Lawunggana demi mendengar kata-kata pengusiran dari Sorogenen tadi. Serentak marahnya meluap bagaikan air bah yang tak terbendung lagi dan kemudian meledaklah kata-katanya.
"Sorogenen! Kau tak dapat memperlakukanku seperti dulu-dulu lagi. Kalau kau masih ingin juga mencobanya, marilah lakukan maksudmu itu!"
"Haaa, jadi dengan kata-kata kau tak dapat aku peringatkan, hee! Rupanya kau menghendaki kekerasan?!" teriak Sorogenen dengan marahnya.
"Yah, dengan kekerasan sekalipun aku tak akan takut menghadapimu!" seru Lawunggana menantang.
"Celurut busuk!" Sorogenen berteriak sekaligus melesat ke arah pendekar muda berkumis lebat ini.
"Matilah engkau, Lawunggana!"
Tak ubahnya sebuah kitiran maut, pedang Sorogenen berputar sangat cepatnya melanda ke arah Lawunggana diiringi bunyi suitan nyaring mengiris hati.
"Hyaaat!"
Lawunggana terperanjat bukan main! Pedang Sorogenen itu dilihatnya sangat cepat meluncur ke arah dirinya. Namun Lawunggana masih sadar dan secepat pedang itu meluncur, ia mengendap serendah mungkin ke samping.
Syraaat! Trak! Tak! Tak!
Terdengar bunyi serentetan yang mengejutkan dan tiba-tiba tiga potongan dahan pohon di dekat Lawunggana tertebas patah.
Melihat demikian hebat serangan Sorogenen, Lawunggana sambil mengendap melolos pedangnya sekaligus menyabetkan ke arah kaki Sorogenen.
"Haap!" Dengan lincah Sorogenen melenting ke atas hingga pedang Lawunggana berlalu menebas angin dan kedua kakinya selamat!
Akan tetapi Lawunggana cepat merubah serangannya lagi. Pedangnya yang tadi mengancam kaki Sorogenen bergerak ke atas, menusuk ke dada lawannya. Orang-orang yang menyaksikan terpekik berbareng melihat betapa ujung pedang itu meluncur deras kedada Sorogenen. Mereka membayangkan bahwa sebentar lagi dada Sorogenen akan berlubang tembus sampai ke punggung! Tampaklah Endang Seruni memejamkan mata kengerian.
"Uuuh!"
Desah terkejut keluar dari mulut orang-orang yang ada di halaman kelurahan, sampai Endang Seruni terpaksa membuka matanya kembali.
Mereka melongo ketika tubuh Sorogenen berjumpalitan ke belakang beberapa kali dan kini giliran kedua kalinya pedang Lawunggana menusuk udara kosong!
Oleh serangan-serangannya yang gagal, Lawunggana segera menjadi lebih meluap marahnya dan menerjanglah ia menyerbu ke arah Sorogenen.
Tentu saja Sorogenen amat terperanjat melihat desakan Lawunggana yang tanpa memberi kesempatan kepada dirinya, maka secepat kilat ia menangkis tebasan pedang lawannya.
Traaang!
Terdengar sebuah benturan nyaring dan terasa bahwa pedang Sorogenen tergetar, memedihkan jarijemarinya dan hampir-hampir saja pedangnya terlepas! Sedang Lawungganapun terhenyak kaget oleh benturan tadi. Ia merasa kalau tebasan pedangnya seolaholah menghantam sebuah tembok karang, sehingga ia
terpental ke belakang beberapa langkah.
Sekarang, mereka berdua masing-masing sadar, kalau kekuatan mereka hampir seimbang dan sama kuatnya.
Itulah sebabnya Lawunggana tidak lekas-lekas menyerang kembali, sementara Sorogenen dengan cepat bersiaga kembali. Keduanya berhadapan sesaat tak ubahnya dua ekor jago yang tengah bersiap-siap untuk berlaga, sementara kedua mata mereka saling tentangmenentang dengan tajamnya.
Lawunggana sadar bahwa Sorogenen mempunyai kekuatan yang luar biasa dan untuk selanjutnya ia harus berhati-hati. Sebaliknya, Sorogenen tahu kalau Lawunggana mempunyai tenaga dalam yang hebat juga. Hal ini terasa ketika ia berbentur pedang dengan dia, seluruh buku jari-jarinya menjadi pedih dan hampir saja pedangnya terlempar jatuh!
Sejurus kemudian sesudah keduanya saling bersiaga, mendadak Lawunggana menerjang ke arah Sorogenen, langsung dengan tusukan mematikan ke arah tenggorokannya.
Hampir saja Sorogenen terlengah bila ia tidak mendengar bunyi desing pedang lawannya yang deras meluncur ke arahnya. Untungnya ia cepat berkelit dan ganti pedangnya dengan cepat menebas ke arah lengan Lawunggana.
Tentu saja pendekar berkumis tebal ini secepat kilat menarik lengannya kembali seraya mengutuk jengkel.
"Setan alas!"
Selanjutnya ia membalasnya dengan sebuah sabetan mendatar ke arah lambung Sorogenen membuat lawannya ini cekakaran bergulingan ke belakang menyelamatkan perutnya. Dengan begitu mereka menjadi lebih beringas dan pertempuran berlangsung tambah sengit.
Suatu kali Lawunggana berhasil melenting ke udara menghindari tebasan pedang Sorogenen, meskipun akhirnya ujung pedang itu sempat menyobek kain batiknya.
Alangkah marahnya Lawunggana dan tiba-tiba pula ia menyambar ke bawah sekaligus menetakkan pedangnya menuju kepala Sorogenen.
Claaang!
Sorogenen buru-buru menangkis dengan pedangnya pula dan sekali ini celakalah dirinya, sebab oleh getaran pedang-pedang itu, kembali jari-jemari menjadi pedih dan terlepaslah pedangnya, terpelanting jatuh ke tanah.
Maka terdesaklah Sorogenen dan sebelum sempat ia bergerak lebih lanjut, tahu-tahu ujung pedang Lawunggana ini telah menempel di dadanya.
"Heh, heh, heh, nyawamu sudah berada di ujung pedang ini, Sorogenen! Tahu kau, hah?! Tapi aku bukan seorang pengecut yang suka membunuh orang tak bersenjata ataupun suka main keroyok seperti tampangmu itu!"
"Jangan cerewet! Kalau mau bunuh aku, bunuhlah!" seru Sorogenen keras-keras.
"Hah, tak perlu kau berkaok-kaok, Sorogenen," ujar Lawunggana seraya menyarungkan kembali pedangnya, dan secepat kilat ia menyabetkan sisi telapak tangannya ke arah kepala Sorogenen.
Plaaak!
Demikian cepatnya serangan ini sampai ia tak sempat menghindar sama sekali dari serangan Lawunggana, maka terkaparlah Sorogenen jatuh ke tanah setelah pelipisnya kena hajaran Lawunggana tadi.
Seluruh pandangan mata Sorogenen seketika berkunang-kunang dan sebelum ia sempat berbuat sesuatu, kepalan tinju Lawunggana telah menyambar dagunya.
Praak!
Sorogenen terpelanting kembali ke atas tanah dan dari sudut bibirnya mengalirlah setetes darah segar, diiringi rintihan pelan. Pandangan matanya sebentar kabur, sebentar jelas menatap ke arah Lawunggana yang meringis kepuasan melihat dirinya terhampar di tanah, di halaman Kelurahan Mijen.
"Nah, begitulah rasanya kalau orang dihajar, Sorogenen!" seru Lawunggana geram.
"Kau masih ingat ketika engkau mengeroyok serta menghajarku?!"
Duuk!
Habis berkata itu, Lawunggana sekali lagi melancarkan tendangan kaki ke pundak Sorogenen, sehingga tubuhnya terjerembab terguling di tanah dengan merintih-rintih. Tetapi rupanya Lawunggana masih menganggap belum cukup balasan yang diterima oleh Sorogenen. Itulah sebabnya beberapa pukulan lagi yang sangat deras bersarang pada kepala dan tubuh Sorogenen, sampai orang ini berlepotan darah dan megapmegap.
"Tahan kemarahanmu, Kakang Lawunggana!" tibatiba terdengar ucapan lembut bernada cemas dari arah belakang tubuh Lawunggana, membuat pendekar muda ini seperti terbangun dari mimpi buruknya, lalu ia lekas berpaling ke belakang.
"Janganlah kau teruskan perbuatanmu ini, Kakang," ujar Endang Seruni yang berada di belakang Lawunggana seraya memegang pundaknya.
"Bukankah ia telah tak berdaya sama sekali?!"
"Mmm, memang benar, Adi Seruni," ujar Lawunggana kemudian.
"Urusan pribadiku dengan Sorogenen telah selesai. Aku telah puas dengan menghajarnya, dan aku minta maaf karena telah membuat keributan di sini."
"Ya, aku dapat memaklumi maksudmu, Kakang Lawunggana," ujar Endang Seruni dengan nada sedih.
"Kini, biarlah aku berlalu dari sini, Adi Seruni," berkata Lawunggana.
"Aku akan kembali ke pondokku, di muara Kali Serang."
"Kau akan pergi?" tanya Endang Seruni.
"Mudah-mudahan aku bisa menengokmu kembali." Lawunggana kemudian mengangguk hormat kepada
Ki Lurah Mijen serta orang-orang desa yang telah menggerombol di situ.
"Bapak Ki Lurah Mijen, serta para kisanak sekalian," ujar Lawunggana halus, "sekali lagi aku minta maaf, bahwa perbuatan lancangku menghajar Kisanak Sorogenen ini adalah sekadar memenuhi sumpahku untuk membalas perbuatannya beberapa tahun yang lalu. Sekarang ijinkanlah aku meminta diri."
Mendengar ini, Ki Lurah Mijen menganggukkan kepala, namun beberapa orang yang menggerombol di halaman kelurahan ini, tampak bergegas untuk mengepung serta menghalang-halangi Lawunggana. Untunglah Ki Lurah Mijen cepat melihat gelagat yang kurang baik ini dan lekas-lekas ia berseru, "Kertipana, dan Kisanak-kisanak sekalian! Janganlah menambah keributan lagi. Biarlah Angger Lawunggana segera berlalu dari tempat ini."
Kertipana serta orang-orang lainnya lalu menyingkir serta memberi jalan kepada Lawunggana yang berjalan dengan enaknya meninggalkan halaman kelurahan. Biarpun begitu ia masih tetap berwaspada menghadapi setiap kemungkinan yang bisa terjadi.
Setelah keluar dari halaman, Lawunggana berbelok ke barat dan dengan beberapa lompatan panjangnya ia telah lenyap di balik pohon-pohon besar.

* * *




--¤¤¦ « 4 » ¦¤¤--

HALAMAN KELURAHAN Desa Mijen sepi kembali. Beberapa orang yang ada di situ satu demi satu meninggalkan halaman, sedang Kertipana dan tiga orang lainnya lalu menggotong tubuh Sorogenen dan dibawanya ke pendapa kelurahan.
Ki Lurah Mijen, Nyi Lurah serta Endang Seruni bergegas untuk masuk ke dalam. Akan tetapi, mendadak terdengar derap-derap kaki kuda dari arah utara.
Keruan saja mereka yang ada di halaman terperanjat melihat di sebelah utara. Dalam cahaya matahari sore yang telah sangat rendah itu, terlihatlah debudebu putih berkepul-kepul naik ke atas dan dua sosok bayangan kuda dengan penunggangnya berderap menuju ke arah pendapa kelurahan.
Ki Lurah Mijen serta orang-orang lainnya menanti serta ingin melihat, siapakah gerangan yang berkuda menuju ke arah mereka ini?
Perlahan-lahan kedua penunggang kuda tadi makin mendekat dan bertambah dekat. Kuda-kuda mereka tidak berpacu lagi melainkan berlari-lari kecil.
Ki Lurah Mijen kelihatan mengangkat dahi seperti berusaha mengingat akan kedua penunggang kuda itu. Salah seorang di antaranya, ia seperti pernah mengenalnya. Bentuk tubuh serta gerakan tubuhnya seolaholah ia pernah melihatnya.
Oleh keremangan senja, wajah kedua penunggang kuda itu tidak dikenalnya, namun tak lama kemudian wajah Ki Lurah Mijen berseri dan mulutnya mendesis, "Angger Mahesa Wulung!"
Memang benarlah terkaan Ki Lurah Mijen itu. Pikirannya yang tajam dan daya ingatnya yang baik tidak keliru lagi. Kedua penunggang kuda itu adalah Mahesa Wulung dan Pandan Arum.
Ketika mereka tiba di depan halaman kelurahan, Ki Lurah telah datang menyambutnya sementara itu di belakangnya, tampaklah Endang Seruni berlari-lari kecil ikut menyambut kedua tamu itu.
"Selamat sore, Ki Lurah Mijen," ujar Mahesa Wulung seraya meloncat turun dari punggung kudanya, demikian pula dengan Pandan Arum yang dengan amat lincahnya turun dari kuda.
"Ooh, Angger Mahesa Wulung, selamat datang ke Desa Mijen, Angger," sapa Ki Lurah dengan ramah dan hormatnya.
"Terima kasih, Bapak," ujar Mahesa Wulung.
"Kami berdua datang ke mari karena ada sesuatu perkara dan sesuatu hal yang akan kutanyakan kepada Bapak."
"Eeeh, tentulah itu sangat penting bagi Angger," Ki Lurah Mijen berkata.
"Dengan senang hati tentulah Bapak akan membantumu, Angger. Baiklah nanti akan kita bicarakan di dalam."
"Kakang Mahesa Wulung, lama benar Kakang tidak mengunjungi kami?" berkata Endang Seruni dengan nada manja.
"Agaknya ada kesibukan-kesibukan tugas di Demak?"
"Benar, Adi. Banyak tugas-tugas yang harus kami rampungkan di sana."
Dalam pada itu, Pandan Arum merasa berdebar-debar hatinya. Melihat sikap manja dan lincah dari Endang Seruni tadi, ia sedikit merasa cemburu kepadanya. Apalagi jika ia mengingat bahwa kekasihnya, Mahesa Wulung pernah tinggal cukup lama di Desa Mijen ini.
Tetapi yang membuat Pandan Arum lebih berdebar lagi adalah wajah gadis itu. Wajah itu seolah-olah adalah cermin dari wajahnya sendiri. Entah mengapa ia merasakan ada sesuatu rahasia yang tersembunyi pada diri Endang Seruni ini. Terutama kalung permata hijau yang telah diberikan gadis itu ternyata sama dan kembar dengan kalungnya sendiri.
Begitulah maka keganjilan-keganjilan itu membuat Pandan Arum lebih tertarik akan gadis tersebut.
Ketika itu pula rupanya Endang Seruni merasakan apa yang dirasakan oleh Pandan Arum, yakni kemiripan wajah mereka berdua. Bedanya, Pandan Arum kelihatan lebih tua sedikit daripadanya.
Mahesa Wulung memahami kekakuan ini, maka ia berkata dengan ramahnya kepada Endang Seruni.
"Adi Endang Seruni, mari aku perkenalkan dengan gadis ini. Ia bernama Pandan Arum."
Pandan Arum tersenyum, begitu pula Endang Seruni.
"Nama yang bagus," gumam Endang Seruni seraya mengulurkan tangannya kepada Pandan Arum.
"Perkenalkan, namaku Endang Seruni."
"Nama Andika pun sangat bagusnya," kata Pandan Arum.
"Bagaimana kalau aku memanggil yunda kepada Nona?" tanya Endang Seruni seraya tersenyum manis.
"Dengan senang hati aku terima dan tentunya aku juga menyebut Andika sebagai Adi Seruni."
"Terima kasih," Endang Seruni berkata sambil menatap Pandan Arum dari kepala sampai ke bawah.
"Ooh, rupanya Yunda seorang pendekar pula agaknya," berkata pula Endang Seruni karena ia melihat sebilah pedang tergantung di pinggang kiri Pandan Arum.
"Ooo, ini cuma sekadar untuk menjaga diri saja, Adi Seruni," Pandan Arum berkata dengan merendahkan diri.
"Dan seseorang yang bersenjata bukan berarti ia seorang pendekar."
Endang Seruni tersenyum gemas mendengar katakata Pandan Arum, dan tiba-tiba saja ia mencubit lengan gadis itu.
"Mmm, Yunda Arum memang pintar mengelak, tapi aku yakin Andika adalah seorang pendekar."
Mereka berempat segera melangkah masuk ke pendapa kelurahan dan kemudian mereka duduk di sebuah balai-balai besar di ruangan itu.
"Bapak Ki Lurah Mijen," Mahesa Wulung membuka percakapan, "aku tadi melihat dari jauh ada kesibukan orang-orang di halaman kelurahan ini. Aku seperti melihat seseorang digotong-gotong dan dibawa ke dalam rumah."
"Aaakh, itu cuma peristiwa kecil, Angger Mahesa Wulung," berkata Ki Lurah Mijen.
"Yang digotong tadi adalah Sorogenen. Ia kepayahan setelah berkelahi mengadu tenaga dengan Lawunggana dan ia dikalahkan."
"Lawunggana?!" ulang Mahesa Wulung kaget. Siapakah dia, Ki Lurah?"
Oleh pertanyaan ini, terpaksalah Ki Lurah Mijen bercerita secara singkat tentang Lawunggana, tentang Sela Ganden, Pakisan, Sorogenen serta segala peristiwa dan persoalan mereka.
Tampaklah Mahesa Wulung manggut-manggut penuh pengertian, lalu berkata, "Jangan kuatir, Ki Lurah. Biarlah nanti aku membantu mengobati Sorogenen."
"Terima kasih, Angger Mahesa Wulung," sambung Ki Lurah Mijen.
"Sekarang silakan Angger mengatakan apa-apa yang harus aku bantukan kepada Angger Mahesa Wulung."
Mahesa Wulung segera merogoh sesuatu dari balik bajunya dan terlihatlah seuntai kalung dengan permata hijau di atas telapak tangannya.
"Lihatlah, Ki Lurah Mijen. Kalung ini diberikan oleh Adi Endang Seruni beberapa waktu yang lalu."
"Yah, aku pun telah diberitahu oleh Nini Endang Seruni tentang kalung tersebut, dan aku tak keberatan bahwa kalung itu sekarang berada di tangan Angger."
"Terima kasih, Ki Lurah. Namun karena kalung itu pulalah yang membawaku sampai ke mari."
"Mengapa, Angger Mahesa Wulung?"
"Ternyata kami berdua merasa ada sesuatu yang ganjil dalam kalung ini. Nah, sekarang Adi Pandan Arum pun akan menunjukkan kalungnya, Ki Lurah."
Pandan Arum segera membuka untaian kalung dari lehernya dan diserahkannya kepada Mahesa Wulung. Lalu kedua kalung itu ditimang di atas kedua telapak tangannya.
"Inilah kalung milik Adi Endang Seruni dan Adi Pandan Arum. Kedua-duanya ternyata kembar, Ki Lurah!"
"Kalung itu?! Ookh, kalung Soca Wilis yang telah sekian lama hilang dan terpisah kini bertemu kembali!" seru Ki Lurah Mijen dengan mata terbelalak keheranan dan mulut ternganga.
Demikian pula Mahesa Wulung, Pandan Arum dan Endang Seruni sendiri ikut terperanjat oleh kata-kata Ki Lurah Mijen itu.
Ki Lurah Mijen kemudian menatap wajah Pandan Arum lama-lama dan lalu bertanya kepada gadis itu.
"Benarkah Angger yang memiliki kalung permata hijau tadi?"
"Begitulah sesungguhnya, Bapak Ki Lurah Mijen."
"Apakah kalung ini tidak Angger peroleh dari pembelian?" bertanya kembali Ki Lurah Mijen.
"Ooooo, tidak, Bapak Ki Lurah. Kalung ini aku terima dari ayahku sendiri," ujar Pandan Arum.
Ki Lurah Mijen menjadi berseri-seri wajahnya dan kembali bertanya, "Kalau begitu, siapakah ayahmu itu, Nona?"
"Beliau bernama Ki Soratani."
"Ki Soratani?! Tidak keliru lagi! Yah tidak keliru lagi!" seru Ki Lurah Mijen dengan gembira, membuat Mahesa Wulung, Pandan Arum dan Endang Seruni terperanjat serta ingin mengetahui apakah sebab-sebab yang membuat Ki Lurah Mijen segembira itu.
"Kami tidak mengetahui, Ki Lurah Mijen, apakah yang membuat Bapak juga sangat tertarik oleh kedua kalung kembar ini?" ujar Mahesa Wulung.
"Dan tadi Andika menyebutnya dengan nama Soca Wilis?!"
"Hmm, ketahuilah, Angger Wulung. Sesungguhnya kedua kalung itu berasal dari diriku sendiri!"
"Berarti kedua kalung itu adalah kepunyaan Ki Lurah?!" Pandan Arum bertanya pula dengan wajah penuh tanda tanya.
"Bagaimanakah itu bisa terjadi, Bapak?" bertanya pula Endang Seruni.
"Bukankah Yunda Pandan Arum telah bercerita bahwa kalung itu pemberian ayahnya sendiri?!"
"Nah, kalian bertiga, ketahuilah pula. Sebelum permata kalung ini dibuat sebagai perhiasan untuk kedua kalung ini, semula adalah berasal dari sebuah batu yang sama, dari sebuah permata yang tadi aku sebut dengan nama Soca Wilis, artinya Mata Hijau. Permata tadi kemudian dipecah menjadi dua bagian dan kami jadikan permata untuk kalung tersebut."
"Tetapi mengapakah kalung yang sebuah tadi sampai berada di tangan Ki Soratani?" bertanya Mahesa Wulung.
"Aakh, itu ada ceritanya, Angger Wulung! Dan sangat panjang serta ada hal-hal yang pasti bakal membuat kalian bertiga akan terkejut dan mungkin tidak percaya," ujar Ki Lurah Mijen dengan tenangnya.
"Kalau demikian, dapatkah kami bertiga mendengar cerita atau riwayat kalung kembar Soca Wilis itu?" bertanya kembali Mahesa Wulung.
"Ya, berceritalah, Bapak!" Endang Seruni mendesak pula.
"Aku ingin tahu siapakah Ki Soratani dan siapakah Yunda Pandan Arum ini sesungguhnya!"
"Baiklah, Angger Wulung, Pandan Arum dan kau Endang Seruni. Dengarlah baik-baik ceritaku ini supaya jelas dan kalian memahaminya," Ki Lurah Mijen berkata membuka ceritanya.
Dahulu kala adalah seorang saudagar kaya yang terkenal ramah, berbudi baik dan suka menolong sesamanya. Ia berdagang emas intan dan perhiasan yang berharga tinggi. Kekayaannya yang banyak serta keluhuran budinya ternyata membawa dirinya banyak dikenal oleh orang-orang dari kalangan pemerintahan kerajaan Demak dan daerah-daerah lainnya.
Ia sering keluar masuk daerah-daerah untuk memperdagangkan perhiasan emas intannya tadi. Tidak jarang untuk perjalanan yang jauh itu ia membawa serta keluarga serta pengawal-pengawalnya. Ia telah menjelajah hampir seluruh pesisir utara Jawa serta kotakota besar yang terdapat di situ. Agaknya memang ia mempunyai darah pengembara yang mengalir dalam tubuhnya.
Ia mempunyai dua orang anak perempuan yang waktu itu masih mungil-mungil dan manis. Kedua anak itu dibawanya serta dalam pengembaraannya ke mana-mana.
Pada suatu kali, aku sempat berjumpa dengannya di kota Jepara dalam perjalanannya ke daerah timur. Begitu berkenalan, kami segera menjadi akrab dan ia lalu memintaku untuk menyertainya selama perjalanan itu serta bersedia membayarku dengan layak.
Agaknya iapun tahu bahwa aku banyak berpengalaman serta mengetahui perihal permata dan batu-batu mulia. Hal itu tentu penting bagi perdagangannya.
Untuk penawarannya itu, aku menyatakan bersedia dan ini membuatnya ia menjadi senang. Begitulah kami akhirnya bekerja sama dan kami terus menyusuri pantai Jepara ke utara dan selanjutnya akan mengitari pantai daerah Jepara tadi ke timur dan akan terus mengembara sampai ke daerah Surabaya.
Selama perjalanan itu, kami bersahabat semakin erat dan akhirnya ia telah menganggapku sebagai saudara ataupun keluarganya sendiri.
Yang paling menarik hatiku ialah kedua anak perempuannya yang masih kecil itu.
Kedua anak itu sangat manja dengan aku. Mereka kadang-kadang aku gendong ke mana-mana dan sering aku ajak bermain-main. Meskipun aku masih belum berkeluarga pada waktu itu, namun kesayanganku pada kedua anak kecil tersebut tidak berbeda dengan anak kandungku sendiri.
Entah mengapa sebabnya, terkadang aku telah menganggap mereka sebagai anakku sendiri. Dan karena kasih sayangku kepada kedua anak kecil itu, aku menghadiahkan sebuah permata hijau yang aku sebut dengan nama Soca Wilis tadi kepada saudagar kaya tersebut. Aku meminta agar permata tadi menjadi milik kedua anak perempuannya yang mungil.
Atas persetujuan kami, akhirnya permata Soca Wilis itu kami potong menjadi dua bagian dan berbentuk setengah lingkaran. Begitu baiknya permata hijau tersebut yang menurut kata orang tergolong batu permata giok berasal dari tanah seberang utara, menjadi sangat indahnya meskipun telah terpotong dua bagian.
Oleh saudagar kaya sahabatku itu, kedua permata bagus yang kini telah menjadi dua bagian, dipasang pada dua buah kalung emas sebagai hiasannya.
Kalung kembar tadi lalu dikalungkan pada leher kedua anak perempuan mungilnya yang masing-masing bernama Pandan Arum dan Pandan Sari.
Saudagar kaya tadi di samping banyak mempunyai sahabat-sahabat, tak jarang pula mempunyai musuhmusuh yang selalu mengintai harta bendanya. Dan memang begitulah kehidupan di dunia ini, selalu disertai dua kemungkinan. Makin banyak seseorang mempunyai harta atau pangkat, makin banyak pula ia mempunyai musuh atau saingan. Dan seharusnya memang manusia tidaklah boleh begitu lakunya.
Seorang bijaksana dan berbudi luhur seharusnya akan senang bila melihat seseorang atau sahabatnya memperoleh kekayaan atau pangkat yang baik. Tapi manusia begini memang jarang dicari. Biasanya ia akan malah menjadi iri atau dengki karenanya.
Nah, sesungguhnya itulah yang biasa pula menjadi sumber bencana bagi ketentraman dan kehidupan bebrayan manusia. Karena dengki dan iri tadi kadangkadang sebuah negeri menyerang dan menghancurkan negeri lain. Seorang pendekar membinasakan pendekar lainnya dan begitu masih banyak contohnya.
Begitulah pada suatu ketika, kami telah tiba di daerah Tanjung Jati yaitu pesisir utara daerah Jepara. Di situ kami merasa akan adanya seseorang yang selalu membayangi rombongan kami. Hal itu telah dilaporkan oleh beberapa orang pengawal kepada kami.
"Bahaya!" desis saudagar tadi.
"Lagi-lagi bahaya selalu membuntuti kita, sahabat!"
"Tapi Andika tak perlu kuatir. Bukankah kita mempunyai pengawal-pengawal yang cukup tangguh?!"
"Memang, itu benar. Hanya saja kita harus mengingat bila sampai terjadi sesuatu keributan atau pertumpahan darah akibat harta bendaku ini, pastilah aku akan sangat menyesal karenanya."
"Hmm, Andika mempunyai pendapat yang benar, Ki Saudagar. Akan tetapi Ki Saudagar harus pula mengingat bahwa bukanlah semata-mata kesalahan kita kalau orang sampai mengiri atau dengki karena melihat harta benda kita. Seharusnya kesalahan itu berasal dari diri mereka sendiri, Ki Saudagar, yaitu kesalahan mereka yang tidak dapat mengatur nafsunya."
"Sahabat," ujar saudagar kaya tadi kepadaku, "adakalanya aku ingin berhenti sebagai pedagang harta perhiasan emas intan dan beralih sebagai seorang petani saja."
Mendengar pendapat Ki Saudagar itu, aku sesaat menjadi kaget, namun akupun dapat memakluminya pula.
"Ki Saudagar," aku berkata kepadanya.
"Pikiran Andika itu sangat bijaksana. Tapi di manakah Ki Saudagar akan menetap sebagai petani kelak?"
"Aku belum tahu, sahabat," ujar Ki Saudagar tadi.
"Biarlah akan aku pikirkan lebih dahulu. Dan kelak aku memilih nama Soratani."
Begitulah percakapanku dengan Ki Saudagar sahabatku, dan dari situlah aku tahu betapa luhurnya dia. Perjalananpun kami teruskan ke timur dan rombongan Ki Saudagar ini tidak mendapat rintangan sesuatu apa.
Walaupun begitu, sesungguhnya bahaya selalu mengancam kami serombongan, dan akhirnya kami mendapat laporan bahwa di belakang kami terlihat pula segerombolan manusia yang kami duga adalah orang-orang jahat!
Berita ini sangat mengejutkan kami. Akan berbalik? Itu tak mungkin, sebab berarti akan langsung berhadapan dengan gerombolan tadi! Lari ke selatan? Itu sama sulitnya, sebab di selatan terdapat tanah pegunungan dan Gunung Muria yang menjulang tinggi dan merupakan dinding penghalang yang sukar ditembus!
Maka jalan satu-satunya adalah terus menempuh jalan ke timur menyusuri pantai utara Jawa. Kami berharap setelah tiba di Juwana akan mendapat pertolongan dari laskar keamanan di kota itu.
Dalam pada itu rombongan orang-orang yang mengikuti kami rupanya punya siasat pula. Terkadang jarak mereka terlalu dekat dan kadang-kadang pula mereka menghilang seperti berhenti menguntit kami. Namun besoknya mereka muncul pula jauh di belakang kami.
Akhirnya tibalah kami di daerah Tanjung Bugel, dan Ki Saudagar mempunyai keputusan yang tiba-tiba. Ia memerintahkan para pengawal untuk berjaga-jaga sedang sebagian pengawal lainnya membantu kami untuk menanam barang dagangan kami yang berujud benda-benda perhiasan emas intan yang kami taruh di dalam sebuah guci berukir indah.
Setelah harta benda tadi kami tanam, kemudian kami memberi tanda serta membuat peta rahasia pada kedua permata kalung hijau tadi secara cepat dan sederhana.
Nah, itulah sebabnya kalian akan mendapatkan goresan-goresan pada permukaan kalung permata hijau kembar ini. Kedua batu hijau tadi masing-masing berisi sebuah bagian dari peta harta itu. Jika kedua batu permata hijau ini disatukan tepat pada sisi yang semula, maka akan kita dapatlah peta harta yang selengkapnya.
Malam itu kami selesai menanam harta perhiasan tersebut di pantai Tanjung Bugel dan secepatnya kami meneruskan perjalanan ke arah selatan.
Malampun makin bertambah larut dan beberapa orang telah ada yang menguap karena lelah dan mengantuk. Namun apa daya, kami harus secepatnya berjalan dan tiba di daerah Juwana.
Ki Saudagar berkuda sambil mendukung Pandan Arum dan di belakangnya berkuda Nyi Saudagar dengan wajah cemas dan murung. Sedang aku sendiri berkuda pula sambil mendukung si kecil—Pandan Sari. Kedua anak perempuan mungil inipun telah tertidur kelelahan di punggung kuda pada dukungan kami masing-masing.
Suatu bencana memang tidak dapat diperkirakan datangnya. Kami cuma membawa kuda enam ekor dan pengawal-pengawal lainnya berjalan kaki mengiringi kami.
Di pagi buta, menjelang subuh, mendadak kami telah dikepung dan diserang oleh segerombolan orangorang bersenjata. Kami dapat memastikan bahwa para penyerang itu adalah orang-orang yang selalu menguntit rombongan kami.
Pertempuranpun berlangsung dengan seru. Dentang senjata dan percikan bunga api dari senjata-senjata yang beradu memenuhi udara di situ.
Kadangkala terdengar jeritan menyayat hati dari arah yang tidak aku ketahui. Udara masih terlalu gelap bagi kami sehingga pertempuran menjadi sangat kalut. Sambil berkuda dan mendukung si kecil mungil Pandan Sari tadi, akupun menebaskan pedangku ke kiri-kanan untuk menangkis setiap senjata yang menyerang kami.
Beberapa orang yang berhasil aku robohkan dengan pedangku, aku tak tahu dengan pasti, kecuali terasa dalam pedangku telah membentur beberapa benda lunak diiringi jerit kesakitan.
Di samping itu terdengar pula olehku kuda yang meringkik-ringkik dan berpacu menjauhi tempat pertempuran ini. Sedang aku sendiri tak bisa bertahan terus-terusan begini. Di samping merepotkan, juga sangat membahayakan si kecil mungil yang aku dukung ini. Lebih-lebih lagi setelah si mungil Pandan Sari ini terbangun dan menangis ketakutan.
Saat itulah aku merasa bahaya telah benar-benar mengancam diri kami berdua. Segera aku derapkan kudaku ke arah selatan sementara pedangku terus berputar sebagai baling-baling menghalau setiap penghalang.
Kudaku terus kupacu ke arah selatan. Aku tak tahu bagaimana nasib Ki Saudagar beserta istri dan si kecil mungil Pandan Arum ataupun para pengawal kami.
Tetapi dalam hati kecilku aku berdoa dan berharap semoga bunyi derap kaki-kaki kuda yang semula aku dengar tadi adalah derap kuda-kuda Ki Saudagar dan istri serta ketiga pengawalnya. Yah, aku mencemaskan sekali nasib mereka. Namun aku tak dapat berbuat banyak kecuali menyelamatkan si kecil Pandan Sari yang berada dalam dukunganku ini.
Dalam udara subuh itulah aku terus berpacu dan berpacu ke arah selatan sampai akhirnya tiba di daerah Juwana. Dengan segera aku melaporkan kejadian itu kepada pasukan pengawal kota dan pagi itu juga bersama-sama pasukan tadi kami memeriksa tempat terjadinya pertempuran semalam.
Ternyata di situ cuma menggeletak beberapa mayat pengawal rombongan kami serta orang-orang dari pihak penyerang. Adapun mayat Ki Saudagar, istrinya, ataupun si mungil Pandan Arum tidak kami temukan. Dengan demikian yakinlah kami bahwa Ki Saudagar masih selamat dan inilah yang benar-benar kami harapkan. Tetapi ke manakah mereka ini?
Setelah kejadian itu, aku mengembara mencari jejak hilangnya Ki Saudagar tadi. Tetapi sampai sekian lama kami tak menemukannya, sehingga akhirnya kami menetap di Desa Mijen ini.
Adapun nama si mungil Pandan Sari telah kuganti dengan Endang Seruni dengan maksud agar kenangan pahit dan memilukan itu lenyap dari benak kepalaku, dan sejak itu pula Endang Seruni telah kuanggap sebagai anak kandungku sendiri sampai sekarang.
Begitulah Ki Lurah Mijen menyudahi ceritanya seraya memandang ke wajah Endang Seruni dan berkata pula kemudian, "Maaf, Angger Seruni. Maafkanlah bila akhirnya aku telah menceritakan hal ini kepadamu. Bukan maksudku untuk melukai hatimu, Nak. Bukan. Aku menceritakan hal itu karena aku merasa gembira bila sesungguhnya Pandan Arum masih selamat dan sekarang duduk bersamamu ini!"
Mata Endang Seruni berkaca-kaca sambil mencoba menahan isak tangisnya lalu katanya, "Tap... tapi, Bapak, bagaimana aku dapat yakin bahwa Yunda Pandan Arum ini adalah kakakku yang sesungguhnya, kakak kandungku sendiri?"
"Aku masih ingat dengan gamblang, Angger Seruni, bahwa pada lekukan lengan kiri si mungil Pandan Arum terdapat sebuah tahi lalat hitam."
Begitu mendengar kata-kata Ki Lurah Mijen ini, Pandan Arum seperti digerakkan oleh tenaga batinnya dan secepat kilat ia menyingsingkan lengan baju kirinya serta menatapnya dengan tajam.
"Oooh, ada tahi lalat di sini!" desis Pandan Arum tertegun.
Ia melihat sendiri dan juga Ki Lurah Mijen, Mahesa Wulung dan Endang Seruni juga menatap sebuah tahi lalat yang terdapat pada lelukan lengan kiri Pandan Arum itu.
"Jadi... jadi kau adalah adikku sendiri, Endang Seruni?!" seru Pandan Arum seraya memeluk Endang Seruni yang segera itu pula disambut oleh Endang Seruni dengan dekapan mesra dan disertai isak tangis keharuan.
"Yunda... Pandan Arum... akulah adikmu si Pandan Sari.... Ooh...," rintih Endang Seruni seraya mendekap tubuh Pandan Arum lebih erat.
"Adikku sayang...," terdengar isak Pandan Arum sambil mengusap membelai-belai kepala Endang Seruni dan kemudian menciumi pipi gadis itu.
"Ooh, aku sudah merasakannya sejak semula, Adi Seruni. Sejak aku melihat wajahmu yang sangat mirip dengan wajahku sendiri."
Di tengah saat yang mengharukan ini, Nyi Lurah keluar dari ruang dalam diiringi seorang wanita membawa talam berisi cangkir-cangkir tembikar berisi minuman dan sepiring ketela rebus. Iapun semula terkejut melihat anak gadisnya bertangis-tangisan dengan gadis tetamu ini. Namun iapun akhirnya terharu serta terisak-isak setelah mendapat penjelasan singkat dari Ki Lurah Mijen tentang duduk perkara yang sesungguhnya dan terpendam selama ini.
"Syukurlah bila Ki Saudagar sekeluarga masih selamat," ujar Ki Lurah Mijen bersyukur.
Sekonyong-konyong di tengah keharuan ini, Mahesa Wulung secara tiba-tiba telah mencabut pisau belati kecil dari balik bajunya serta sekaligus melemparkannya ke atas langit-langit genting sirap.
Claaap! "Aaaaakh!"
Semua orang di situ terkejut dan telinga mereka mendengar langkah-langkah pincang di atas genting atap dan berlari menjauh dan kemudian lenyap tak terdengar lagi!
Pisau belati yang menancap pada langit-langit atas itu sesaat kemudian menetes-neteskan cairan darah segar ke atas lantai membuat mereka terpekik ngeri.
"Percakapan kita telah didengar oleh si pengintai gelap, Ki Lurah!" ujar Mahesa Wulung.
"Dengan begitu maka berarti kedua kalung Soca Kumala ini berada dalam bahaya!"
"Ooh, celaka! Kata-katamu benar, Angger Wulung.
Maka, aku minta agar Andika menjaga keduanya!"
"Jangan takut, Ki Lurah. Akan kujaga baik-baik kedua kalung ini!" berkata Mahesa Wulung dengan tenangnya, membuat mereka menjadi tenang pula serta hilang cemasnya.
Malam makin larut, dan sunyi senyap penuh keheningan segera menelan suasana Desa Mijen.

* * *




--¤¤¦ « 5 » ¦¤¤--

DI PAGI CERAH, tampaklah tiga sosok tubuh manusia tengah berjalan-jalan di tepi Kali Serang tak jauh dari Desa Mijen. Mereka adalah Mahesa Wulung, Pandan Arum dan Endang Seruni atau Pandan Sari itu. Ketiganya tampak berwajah cerah, secerah sinar mata- hari pagi yang memanahkan sinar-sinarnya.
"Kakang Wulung," ujar Pandan Arum dengan tenangnya, "siapakah kiranya si pengintai gelap pada malam yang lalu itu?!"
"Hmm, pasti dari gerombolan yang bermaksud jahat dan menaruh minat pada persoalan kita, lebih-lebih terhadap kalung kembar ini," berkata Mahesa Wulung.
"Serta rahasia yang tersembunyi di belakangnya."
"Dan sekarang, kalung yang telah aku berikan kepada Kakang Wulung, juga harus aku pakai kembali?" bertanya Endang Seruni. Mengapa Kakang Wulung?"
"Aku ingin supaya kedua kalung itu tetap berada pada masing-masing pemiliknya semula, dan aku cukup menjaganya dari luar saja," Mahesa Wulung berkata.
"Terima kasih, Kakang Wulung," ujar Endang Seruni.
Mereka bertiga meneruskan perjalanannya, berjalan-jalan menghirup udara pagi yang masih segar ini. Pohon-pohon besar yang banyak bertumbuhan di sepanjang jalan itu daunnya beriak-riak tersapu angin pagi yang sejuk. Dan ketika mereka tiba di depan sebuah pohon asam yang sangat lebatnya, tiba-tiba Mahesa Wulung berhenti serta memberi isyarat pula kepada Pandan Arum dan Endang Seruni supaya berhenti.
"Hati-hati!" ujar Mahesa Wulung.
"Aku merasa bahwa di atas pohon asam di depan kita itu ada gerakangerakan manusia!"
"Oookh," desah Pandan Arum dan Endang Seruni berbareng. Keduanya berdebar-debar oleh perkataan Mahesa Wulung.
"Heeei, sobat!" seru Mahesa Wulung dengan lantangnya.
"Apakah maksudmu yang sebenarnya?! Apakah perlumu pagi-pagi begini memanjat-manjat pohon asam?!"
Tepat selesainya kata-kata Mahesa Wulung, sebuah bayangan tiba-tiba pula melesat turun dari atas pohon asam tersebut dan mendarat di tanah.
"Lawunggana!" berdesis Endang Seruni dengan cemasnya.
"Eeeh, dialah orang yang bernama Lawunggana itu?" bertanya Mahesa Wulung kepada Endang Seruni.
"Benar, Kakang Wulung. Berhati-hatilah!"
Suasana menjadi tegang. Lawunggana berdiri bertolak pinggang di hadapan mereka bertiga. Sorot matanya tajam mengawasi Mahesa Wulung dan Endang Seruni berganti-ganti.
"Sobat, apakah engkau yang bernama Lawunggana?"
"Hah, engkau sudah tahu namaku, kisanak!" ujar Lawunggana.
"Bagus! sekarang sebutlah pula namamu!"
"Aku Mahesa Wulung!"
"Mahesa Wulung? Ha, ha, ha, ha. Pucuk dicinta, ulam tiba!" seru Lawunggana gembira sambil tertawa terbahak-bahak kesenangan.
"Kebetulan sekali. Aku telah lama menunggu-nunggu saat pertemuan ini! Aku ingin mengukur tenaga melawanmu!"
"Apakah ini berarti sobat berusaha mencari kesulitan?" bertanya Mahesa Wulung.
"Dan apa alasan-alasan Anda dalam hal ini?!"
"Engkau pernah membuat kecewa terhadap Endang Seruni kekasihku itu! Kau tahu, itu sama artinya dengan menghina diriku!" teriak Lawunggana dengan kerasnya serta bersinar-sinar sorot mata kemarahannya.
"Kakang Lawunggana! Jangan kau teruskan maksudmu!" Seru Endang Seruni kecemasan.
"Hal itu telah berlalu dan selesai."
"Tapi bagi diriku belum berarti selesai, Adi Seruni," seru Lawunggana.
"Aku telah bersumpah untuk bertempur melawan Mahesa Wulung! Maka janganlah menghalangi maksudku!"
Mahesa Wulung yang pernah mendengar perihal Lawunggana dari Ki Lurah Mijen segera bersiaga dan ia tidak terkejut ketika Lawunggana itu melesat ke arah dirinya.
"Haaaet!"
Sambaran pedang di tangan Lawunggana bagai kilat menyambar leher Mahesa Wulung. Tapi pendekar Demak ini dengan tenangnya mengegoskan bahunya ke kanan, dan lalulah pedang lawan tadi dengan menebas angin. Dalam waktu yang sependek itu pula, secara kilat Mahesa Wulung mencabut pedangnya sekali menetak ke punggung pedang Lawunggana tadi.
"Craaaang!"
Bukan main terkejutnya Lawunggana akibat benturan pedang Mahesa Wulung itu. Seakan-akan ia dibentur oleh satu pukulan tenaga raksasa yang membuatnya seketika terpental ke samping beberapa langkah, tunggang-langgang.
Meskipun begitu Lawunggana tidak lupa mengetrapkan ilmu mengentengkan tubuh sehingga iapun berjumpalitan tanpa menyinggung tanah dan selamatlah kepalanya.
Sambil bersiaga kembali, Lawunggana menggeram marah, bagaikan seekor harimau melihat mangsanya. Sementara itu Mahesa Wulung berdiri dengan tangguhnya laksana tonggak besi yang tak goyah oleh gempa sedahsyat apapun.
Dengan sebuah teriakan dahsyat, Lawunggana menerjang kembali ke arah Mahesa Wulung, lalu berulanglah pertarungan sengit. Terkadang tubuh mereka berdua hanya tampak sebagai bayang-bayang hitam yang berputaran dengan dua gulungan sinar pedang yang putih kebiruan berkilatan ditimpa sinar matahari pagi yang kini mulai bergeser meninggi. Pertempuranpun semakin bertambah lebih hebat lagi.
Pada suatu ketika Mahesa Wulung berhasil mendesak kedudukan Lawunggana yang kini telah bermandi peluh itu. Sebuah tebasan pedang Mahesa Wulung yang disertai segenap himpunan tenaga dalam telah berhasil menggetarkan pedang lawannya dan akhirnya dengan bacokan ke bawah secara tiba-tiba membuat Lawunggana cekakaran menangkis serangan tersebut.
Claaang!
Terdengar sebuah benturan yang amat keras dan terpental lepaslah pedang Lawunggana dari jari-jemarinya disertai jerit kesakitan dari mulutnya.
"Eaaakh!"
Namun begitu senjatanya lepas, si pendekar kumis lebat segera meloncat ke samping sekaligus melolos kedua pisau bercabang dari ikat pinggangnya.
Dengan senjatanya ini, Lawunggana seperti menjadi lebih bergairah dan lebih beringas dalam melancarkan serangan-serangannya terhadap lawannya. Kedua pisau cagak atau bercabang tadi seperti benar-benar hidup bersambaran susul-menyusul seperti cakar rajawali yang tengah kelaparan menyerang mangsanya.
Kini Mahesa Wulung terpaksa terkejut melihat kedua senjata Lawunggana itu. Kekagetannya itu ternyata ada benarnya pula, sebab pada jurus-jurus berikutnya terasa olehnya bahwa kedua pisau bercabang itu selalu mencecar dan mengurung dirinya.
Bila saja yang diserang itu bukan Mahesa Wulung, mungkin sudah sejak jurus yang pertama orangnya akan pecundang atau paling sedikit sudah bertekuk lutut. Akan tetapi lawan Lawunggana kali ini adalah Mahesa Wulung, seorang perwira laut dari Armada Demak yang telah sekian kali bertempur, bertualang mengarungi laut-laut serta menghadapi berbagai-bagai rintangan serta bahaya. Maka pertempuran antara kedua pendekar ini kelihatan seimbang dan seru.
Gulungan sinar pedang Mahesa Wulung berdesir mengerikan siapa saja, termasuk Pandan Arum dan Endang Seruni yang menonton pertempuran mereka dengan dada berdegupan. Keduanya melihat bahwa kedua senjata pisau bercabang milik Lawunggana berdesingan di antara gulungan sinar pedang Mahesa Wulung, tak ubahnya dua ekor burung seriti yang berloncatan di antara gulungan tubuh seekor ular yang hendak mencaploknya.
"Uuh, ini berbahaya!" desis Mahesa Wulung sambil berloncatan menindas setiap serangan Lawunggana yang semakin ganas.
Pada jurus yang keempat puluh dan jurus-jurus berikutnya, Mahesa Wulung mau tak mau harus mengakui bahwa senjata pisau bercabang yang sangat aneh milik Lawunggana itu benar-benar luar biasa ampuh dan hebat gerakannya.
Kalau semula kedua pisau bercabang itu cuma menyerang ke arah bagian-bagian tubuh Mahesa Wulung saja, sekarang lebih meningkat lagi dengan menyerang pedang pendekar Demak ini. Maka justru hal inilah yang lebih berbahaya lagi.
Begitulah, pada suatu ketika tebasan pedang Mahesa Wulung berhasil ditangkis oleh pisau bercabang tadi tepat jatuh di antara sela-sela cabang pisau tersebut. Dengan begitu terjepitlah pedang Mahesa Wulung tadi! Mahesa Wulung segera sadar akan bahaya yang kini telah mengancam di depan hidungnya. Maka secepat ia berusaha menarik pedangnya, namun belum lagi berhasil pisau cabang yang sebuah lagi segera menjepit pula terhadap pedangnya! Sekali lagi Mahesa Wulung terkejut karenanya.
"Hia, ha, ha, ha," terdengar Lawunggana terkekehkekeh kegirangan.
"Kau kaget, sobat?! Kasihan! Itulah jurus Kepiting Menjepit Bulan yang tak terkalahkan!"
Habis berkata demikian, Lawunggana kemudian memutar dan memelintir kedua pisau cabangnya, sehingga pedang yang berada di sela-sela jepitan itu tergetar hebat!
Dengan sekuatnya Mahesa Wulung berusaha menahan pedangnya yang ikut terputar itu, tapi alangkah sukarnya. Kemudian tangannya terasa ikut bergetar dan jari-jarinya merasa kesemutan.
"Lepaaas!"
Terdengar Lawunggana membentak dengan suara menggeledek diiringi hentakan dan pelintiran sepasang pisau cabangnya berbareng.
Akibatnya, terlepas dan terbetotlah pedang Mahesa Wulung itu dari tangannya, membuat pendekar Demak ini terkejut bagai orang mimpi di siang bolong. Ia hampir-hampir tak percaya begitu melihat pedangnya terampas serta kemudian tercampak di atas rerumputan.
"Heei, sobat Mahesa Wulung!" seru Lawunggana seraya mengangkat muka menyombong.
"Berhati-hatilah kowe! Mungkin sebentar lagi kedua lengan atau kakimu akan terbetot lepas oleh pisau cabangku ini! Ha, ha, ha, ha!"
"Hyaaat!" Lawunggana kemudian berteriak seru sambil melesat menyerang ke arah Mahesa Wulung. Kedua pisau cabang Lawunggana tersebut menyerang kembali, mengurung seluruh bagian-bagian lemah dari tubuh Mahesa Wulung.
Melihat ini Pandan Arum serta Endang Seruni menjadi kecemasan. Pandan Arum bermaksud menolong Mahesa Wulung itu, tapi bagaimana caranya serta apa yang harus diperbuatnya, ia tidaklah tahu.
Mahesa Wulung segera terpaksa berloncatan, melenting kesana-kemari menghindari serangan-serangan pisau bercabang di tangan Lawunggana itu, karena ia tak berpedang lagi.
"Berhenti, Kakang Lawunggana! Sudahilah pertempuran ini!" Terdengar Endang Seruni berseru kepada Lawunggana, sementara dalam hati ia merintih penuh sesal, sebab semua peristiwa ini tidak sedikit bersumber pada dirinya.
"Ha, ha, ha, jangan turut campur, kekasih. Lihatlah saja nanti. Aku bersedia berhenti serta berdamai asal sobat Mahesa Wulung bersedia meminta maaf serta bertekuk lutut kepadamu, wong ayu!"
"Perkataanmu itu tak mungkin, Kakang Lawunggana! Kau lihat aku sekarang berdiri di samping gadis ini?! Dialah kekasih Mahesa Wulung sendiri. Di antara kami tidak ada lagi persoalan dendam ataupun bersalah!" kembali Endang Seruni berseru.
"Haaah, aku belum puas dengan ceritamu saja, Adi Seruni. Aku ingin lihat dengan mata kepalaku sendiri bahwa sobat Mahesa Wulung benar-benar berlutut di depanmu dan di depanku sekarang!"
Mahesa Wulung sedikit tersinggung mendengar kata-kata Lawunggana yang sangat tajam ini. Tiba-tiba saja ia meloloskan sebuah cambuk berwarna biru kehijauan dari balik bajunya seraya menggumam.
"Hmmm, biarlah aku pakai cambuk pusaka ini lebih dulu. Aku kepingin mencobanya di depan Lawunggana. Namun aku harus berusaha agar pendekar ini tidak sampai celaka oleh cambuk Naga Geniku!"
"Lawunggana, marilah kita lanjutkan permainan kita tadi secepatnya!" seru Mahesa Wulung lantang.
"Haaaet!" Lawunggana tanpa berkata-kata lagi lalu melesat ke depan menerjang Mahesa Wulung kembali.
Tapi sekali ini Lawunggana ganti terkejut pula, apabila ia terpaksa mundur karena ia melihat bahwa Mahesa Wulung telah memutar cambuk Naga Geninya sampai lawannya cuma melihat sebuah lingkaran mendesis-desis berwarna biru kehijauan.
Dan lebih terkejut lagilah Lawunggana, sebab sekonyong-konyong ujung cambuk Naga Geni menyambar dan melilit pada lengan kirinya. Saat itu terasa lengannya seperti dirambati oleh aliran hawa panas menyerikan sendi-sendi tulang, dan apabila ujung cambuk tadi ditarik oleh Mahesa Wulung, membekaslah pada kulit lengannya lingkaran-lingkaran merah seperti bekas terbakar.
Lawunggana menyerang kembali, tapi tak ada faedahnya lagi. Keampuhan kedua pisau cabangnya seperti tertelan oleh kehebatan perbawa dan kesaktian cambuk Naga Geni.
Akhirnya ujung cambuk itu menyambar dan membentur kedua ujung pisau cabang Lawunggana dengan dua ledakan berturutan.
Daar! Daaar! "Eeeaah!"
Lawunggana melepaskan kedua pisau cabangnya, yang tiba-tiba saja terasa sebagai bara api panas dan terpelanting ke atas tanah. Belum lagi ia sempat memperbaiki sikap, tiba-tiba ujung cambuk Mahesa Wulung meledak-ledak di sekitar kepalanya dengan suara yang sekeras petir mengurung dengan rapatnya.
"Aaaaduh!" Lawunggana merintih serta menutup
kedua belah telinganya dengan tangan, namun suara ledakan cambuk itu terasa masih saja menyengatnyengat telinganya. Hingga pendekar ini rebah bergulingan di tanah, cambuk Naga Geni masih saja meledakledak.
"Kakang Wulung, jangan kau celakai dia! Kasihan Kakang Lawunggana itu!" ujar Endang Seruni seraya memeluk lengan Mahesa Wulung dengan eratnya.
"Jangan kuatir, Adi Seruni. Ia tak akan celaka atau mati. Aku tahu kau masih mencintainya, bukan? Syukurlah! Tapi aku harus memberi sedikit pelajaran kepadanya, agar sifat keras kepala dan mau menang sendiri itu terkikis habis dari relung hatinya!" ujar Mahesa Wulung dengan tenang.
"Oh, jika begitu aku berterima kasih!" ujar Endang Seruni dengan hati lega.
Sementara itu Mahesa Wulung segera menyimpan kembali cambuk pusaka Naga Geni ke dalam bajunya serta iapun lalu memungut kembali pedangnya yang tadi tercampak jatuh di atas rumput.
Sekonyong-konyong mereka dikejutkan oleh sesosok tubuh yang berkelebat cepat dari sebelah utara dan langsung menerjang Mahesa Wulung dengan sambaran-sambaran penggada berduri.
Wesss! Wees! Syaaat!
Penggada berujung duri-duri tersebut mengurung Mahesa Wulung dengan bertubi-tubi. Untunglah pendekar Demak ini cukup tangkas dan iapun menebaskan pedangnya ke sana-ke mari menyambut setiap serangan lawan dengan gigih dan tangkas.
"Busyet! Keparat!" teriak si penyerang yang berkepala botak mirip burung bangau itu dan berputaran di udara lalu mendarat di atas tanah dengan ringannya.
"Setan! Kau mencampuri urusan kami?!" seru Mahesa Wulung.
"Mengapa tidak! Kau telah mencelakai muridku! Belum tahu kau, haa?! Akulah si Bango Wadas dari Muara Serang!" teriak si penyerang itu membuat Mahesa Wulung setengah kaget dan cemas.
"Sekarang kau harus mati di tanganku, keparat!"
Ki Bango Wadas melesat dan menerjang kembali ke arah Mahesa Wulung dan terjadilah pertempuran dahsyat untuk kedua kalinya di tepi Kali Serang ini. Masing-masing menumpahkan segala ilmu dan kepandaiannya, membuat pertempuran tersebut semakin hebat serta mencemaskan siapa saja yang melihatnya.
Sampai di sini, berakhirlah cerita seri Naga Geni "Bentrok di Kali Serang" dan segera akan sampai kepada Anda, seri Naga Geni yang berikutnya yakni "Harta Tanjung Bugel". Di sini para pembaca akan tahu siapakah sesungguhnya Ki Bango Wadas dan bagaimana dengan Lawunggana serta Harta Tanjung Bugel itu!

TAMAT



INDEX NAGA GENI
Kutukan Patung Intan --oo0oo Harta Tanjung Bugel
Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.