Life is journey not a destinantion ...

Penghuni Goa Keramat

INDEX BUANG SENGKETA
Utusan Dari Negeri Leluhur --oo0oo-- Misteri Patung Kematian

BUANG SENGKETA
PENDEKAR HINA KELANA
Karya : D. Affandy

© Penerbit Mutiara, Jakarta
Setting Oleh: Mutiara Typesetting
Cetakan Pertama

Hak Cipta Pada Penerbit
Dilarang Mengcopy atau Memperbanyak Sebagian atau
Seluruh Isi Buku Ini Tanpa Izin Tertulis dari Penerbit

--₪¦ « 1 » ¦₪--

Hari mulai beranjak malam ketika pemuda berwajah sangat tampan dan berpakaian merah dengan rambut di kuncir ini melewati jalan setapak di pinggiran lereng Merbabu. Langkahnya begitu ringan, seolah tiada beban apapun di benaknya. Sesekali bibirnya menyunggingkan senyum, kemudian terdengar pula syair-syair lagu yang tiada berketentuan. Terkadang suaranya merdu sehingga membuat terlena bagi pendengarnya, namun di lain waktu suaranya telah berobah tidak beraturan, sember bagai kaleng rombeng sehingga membuat berbagai jenis binatang yang berada di lereng Merbabu lari tunggang langgang dilanda ketakutan. Melihat kejadian itu pemuda berpakaian merah itu kembali tersenyum-senyum. Siapakah pemuda berpakaian serba meraih itu? Tak salah lagi rimba persilatan mengenalnya dengan julukan Pendekar Hina Kelana, murid tunggal almarhum si Bangkotan Koreng Seribu. Seorang manusia setengah dewa yang pernah mengguncangkan delapan penjuru mata angin karena kesaktian yang dimilikinya.
Pada saat itu di jalan yang sama, tidak jauh di depan sana dua orang laki-laki berusia tiga puluh sedang melakukan perjalanan dalam keadaan tergesa-gesa. Melihat penampilan mereka tak dapat disangkal bahwa mereka sebenarnya merupakan dua orang murid dari sebuah perguruan. Dalam keadaan berjalan cepat seperti itu sesekali terdengar pula suara mereka memecah keheningan. Namun suara mereka segera saja terhenti ketika mendengar suara lolongan serigala. Nampaknya mereka begitu ketakutan dengan hadirnya suara lolongan tadi. Terlebih-lebih salah seorang dari mereka yang memiliki jiwa penakut.
  "Suara apa itu, Saim...!" tanya salah seorang diantaranya sambil mempercepat langkahnya.
  Tiba-tiba suara lolongan serigala itu kembali terdengar, hanya saja kali ini jaraknya semakin bertambah dekat dengan mereka sehingga kedua laki-laki berusia tiga puluhan itu menggigil ketakutan.
  "Akh... toloong... argkh...!"
  Laki-laki yang berada di bagian paling depan merasa terkejut bukan main ketika mendengar suara teriakan kawannya yang berjalan di belakang.
  "Samm...!"
  Laki-laki yang berada di depan menghentikan langkahnya, kemudian berteriak histeris, ketika melihat seekor serigala nampak sedang mencabik-cabik tubuh kawannya. Dengan cepat ia berusaha memberikan pertolongan pada kawannya yang sedang bergumul melawan keganasan serigala itu. Dengan cepat ia segera mencabut golok besar yang menggelantung di bagian pinggang kanannya. Namun pada saat itu serigala itu bagai mengerti saja segera beralih dari tubuh kawannya dan bergerak cepat menerkam orang itu. Sementara jeritan kawannya yang telah terluka parah itu terus terdengar dari keras sampai melemah. Hingga akhirnya tidak terdengar sama sekali.
  "Grrr! Graauuk!"
  "Aark...!" lolongan maut kembali terdengar. Tubuh orang yang satunya lagi menggeletak di atas tanah dengan menderita luka-luka mengerikan di sekujur tubuhnya. Sementara itu makhluk yang berujud seekor serigala itu sesaat memandang tajam pada korban-korbannya. Kemudian segera melesat pergi meninggalkan tempat itu.
  Sementara itu pemuda berpakaian merah dengan rambut di kuncir yang mendengar suara jeritan secara lamat-lamat. Tanpa membuangbuang waktu lagi segera mengerahkan ilmu lari cepatnya yang sangat terkenal dengan nama Ajian Sepi Angin. Hanya dalam waktu yang sangat singkat tubuhnya telah berkelebat lenyap laksana terbang. Tidak lama kemudian si pemuda berkuncir yang tidak lain Buang Sengketa itu telah sampai di tempat kejadian. Pemuda berwajah tampan ini langsung terperangah begitu melihat adanya dua mayat laki-laki tidak dikenal yang terkapar dalam keadaan tubuh yang tercabik-cabik mengerikan.
  "Sayang sekali aku terlambat datang. Melihat keadaannya pastilah luka-luka yang mereka alami akibat dicabik-cabik binatang buas. Tapi...!" mendadak Buang Sengketa mengerutkan keningnya. Nampaknya ia merasa ada sesuatu yang terasa agak janggal terdapat pada mayat-mayat itu. Kemudian pemuda itu segera berlutut di samping si mayat. Setelah memeriksa bekas-bekas luka yang diderita mayat itu.
  "Kalau memang benar mereka di serang binatang buas, mengapa tubuh mereka hanya di perlakukan sedemikian rupa? Mestinya binatang itu memangsa mereka karena lapar sehingga memakan dagingnya. Namun lain lagi halnya yang terjadi dengan orang-orang ini. Benar-benar aneh." gumam Pendekar Hina Kelana pada dirinya sendiri. Kemudian pemuda tampan ini mengitarkan padangan matanya ke sekeliling daerah itu. Ia merasa tidak ada tanda-tanda mencurigakan. Hanya kebisuan malam dan desir halus angin dingin dan tetes-tetes embun yang mulai membasahi dedaunan.
  "Siapapun mereka ini tidak ada salahnya kalau aku membuat kuburan untuk mereka." ucapnya lagi sambil melangkah ke sebuah tempat yang luas. Dengan mempergunakan patahan kayu, Buang Sengketa segera memulai pekerjaannya. Karena dalam melakukan pekerjaannya itu si pemuda mengerahkan tenaga dalamnya, maka dalam waktu sekejap saja pekerjaan menggali dua buah lubang kubur itu telah di selesaikannya.
  Satu demi satu si pemuda memasukkan jasad rusak yang sudah membeku ke dalam lubang yang telah di galinya. Ketika pekerjaan menguburkan mayat itu usai. Untuk yang terakhir kalinya dipandanginya dua buah gundukan tanah merah yang berada tidak begitu jauh di depannya. Lalu terdengar pula suaranya yang agak parau.
  "Hanya itu yang dapat kulakukan, sobat!..... Kalaupun ingin kusampaikan kabar duka ini kepada orangtua kalian, aku tidak tahu di mana rumahnya. Pada pacar kalian? Maaf aku tidak punya keberanian. Aku takut mereka malah bunuh diri begitu mendengar kematian kalian."
  Setelah berkata begitu Pendekar Hina Kelana segera berlalu dari tempat itu. Sementara di langit sana bulan tidak menampakkan cahayanya. Langit berubah mendung disertai hembusan angin ribut.
  Sepanjang bukit Jajaran yang kering dan tandus berbatu kapur. Tempat itu merupakan sebuah daerah sepi yang sangat jarang dilalui oleh pejalan kaki maupun orang-orang penunggang kuda. Daerah itu dikenal sebagai daerah angker, selain itu banyak perampok dan begal berkeliaran di sana. Hanya orang-orang yang selalu percaya diri dan memiliki kepandaian tinggi saja yang berani melewati tempat itu. Sedangkan andai mereka merupakan orang-orang yang tidak mempunyai kepandaian apa-apa. Pasti akan berpikir sepuluh kali untuk melakukan perjalanan melintasi bukit Jajaran.
  Pada kenyataannya bukit Jajaran merupakan batas pemisah antara dusun Kemuning dan dusun Meranti. Pada kedua dusun itu berdiri dua perguruan silat yang cukup besar. Perguruan itu masing-masing bernama Naga Putih sedangkan yang satunya lagi bernama perguruan Dewa Suci. Adapun pemimpin dari masing-masing perguruan ini masih mempunyai hubungan yang sangat dekat. Karena ketua perguruan Naga Putih yang bernama Gupak Salaksa atau yang lebih di kenal dengan julukan si Kapak Maut masih merupakan kakak kandung ketua perguruan Dewa Suci yaitu Prameswara.
  Siang itu matahari bersinar cerah, langit resik tiada berawan. Sepanjang bukit Jajaran memang merupakan daerah tandus dan sangat jarang sekali pohon-pohon tumbuh di sana. Tidak salah kalau udara di sekitar tempat itu terasa lebih panas bila dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya. Pada saat-saat seperti itu seorang laki-laki berpakaian serba putih, berwajah tirus dengan kumis tipis bertengger di atas bibirnya, nampak sedang berjalan dalam keadaan tergesa-gesa melintasi daerah sepanjang perbukitan itu. Melihat arah langkahnya, tidak salah lagi kalau laki-laki itu sedang menuju dusun Kemuning. Dari penampilannya saja orang-orang segera tahu kalau lakilaki berusia empat puluhan itu, merupakan seorang tokoh persilatan yang memiliki kepandaian cukup tinggi.
  Demikianlah tanpa menghiraukan panas yang menyengat, laki-laki berpakaian serba putih ini terus mengayunkan langkahnya hingga sampai di sebuah tempat yang cukup teduh, ia memperlambat langkahnya.
  "Aku telah memasuki dusun Kemuning. Mudah-mudahan kakang Gupak Salaksa berada di tempat saat ini. Tetapi aku tidak tahu apakah kedua muridku memang berkunjung ke sana. Tapi seingatku...!" tiba-tiba laki-laki berpakaian serba putih ini mengerutkan keningnya.
  "Aku merasa kurang yakin mereka berani berkunjung ke perguruan Naga Putih tanpa seijinku. Meskipun ketua perguruan Naga Putih masih kakang kandungku sendiri. Waktu itu Mat Moyong dan Penjol muridku mengatakan ingin menyambangi keluarganya di dusun seberang. Hemm, pikiranku jadi tidak enak. Jangan-jangan telah terjadi...!" Prameswara tidak berani membayangkan lebih jauh lagi. Walau bagaimanapun ia merasa sayang pada kedua muridnya yang masih baru itu. Selain mereka merupakan orang-orang yang sangat penurut, juga termasuk murid yang mempunyai watak lucu. Kehadiran Mat Moyong dan Penjol di padepokan membuat suasana di tempat itu menjadi ramai dan bersemangat. Bahkan keduanya merupakan orang yang sangat disenangi oleh sesama saudara seperguruan. Tidak terkecuali dengan Prameswara sendiri.
  Sementara itu kakinya terus melangkah, secara mendadak dia dikejutkan oleh suara lolongan serigala yang berasal dari jalan yang telah dilaluinya tadi. Reflek Prameswara segera memutar tubuhnya dan memandang lurus pada jalan yang telah dilaluinya. Maka terlihatlah olehnya dalam jarak yang tidak begitu jauh, sesosok tubuh nampak berguling-guling di atas permukaan jalan. Melihat pemandangan seperti ini tentu saja laki-laki berpakaian serba putih ini menjadi terheranheran.
  "Mengapa tiba-tiba saja ia berada di situ? Padahal tadi aku tidak melihat siapa-siapa. Melihat keadaannya sepertinya ia membutuhkan pertolongan. Tapi mengapa ia menggerang bagai serigala. Ataukah suara serigala tadi berasal dari tempat lain? Ah persetan! Siapa tahu ia sedang dalam kesulitan!" berpikir sampai di situ Prameswara segera berlari-lari menghampiri orang yang sedang bergulingan itu.
  Setelah sampai di tempat. Prameswara semakin bertambah heran lagi. Ia melihat orang yang dalam keadaan menelungkup itu mengeluarkan suara erangan bagai serigala. Sedangkan kedua tangannya mendekap erat ke bagian muka. Tanpa menunggu lebih lama lagi Prameswara segera menjamah tubuh orang itu. Badannya terasa dingin tidak ubahnya bagai es, di luar dugaan begitu tubuhnya disentuh oleh Prameswara, orang itu membuka matanya. Mulutnya menyeringai sehingga membuat bergidik bagi siapa saja yang melihatnya. Bagai terbang semangat Prameswara begitu melihat rupa orang yang sedang terguling-guling itu.
  "Heh... kau bukan manusia?" tanya Prameswara sambil cepat beringsut menjauh.
  Sebagai jawaban orang itu mengerang, semakin lama suaranya berubah menjadi sebuah lolongan yang membuat nyali siapapun menjadi ciut. Prameswara tersentak kaget, kemudian melompat jauh dari orang itu. Tiba-tiba sepasang matanya membelalak lebar begitu melihat perubahan yang terjadi pada diri orang ini. Mula-mula wajah orang itu berubah ujud menjadi kepala serigala. Mulutnya menyeringai memperlihatkan taring-taring yang tajam. Sedangkan sepasang matanya yang telah berubah ujud itu nampak merah menyala, lidahnya terus menjulur meneteskan air liur yang menebarkan bau tidak sedap.
  Ketika Prameswara memperhatikan bagian tubuh lainnya, maka terlihatlah olehnya betapa tangan laki-laki itu telah ditumbuhi bulu-bulu kasar yang tidak jauh bedanya dengan bulu-bulu serigala. Bahkan jemari tangan yang telah dipenuhi dengan bulu-bulu kasar itu pun pada bagian kukunya telah berubah memanjang dan berwarna hitam. Sekilas saja Prameswara dapat melihat betapa kuku-kuku itu sangat tajam.
  "Makhluk ini ternyata sangat beringas. Heh, ia benar-benar telah menjebakku."
  Tak lama kemudian laki-laki berpakaian serba putih ini meraba gagang pedangnya. Dan ia terpaksa melompat mundur ketika melihat makhluk jejadian ini menerkam ke arahnya sambil memperdengarkan suara lolongan panjang. Di luar dugaan makhluk jejadian ini ternyata sangat gesit sekali. Prameswara yang semula hanya mengandalkan jurus-jurus tangan kosong yang dikenal dengan nama 'Menembus Awan Menggapai Bulan', merasa tidak berdaya mengembangkan jurus-jurus ini. Padahal selama puluhan tahun tidak sembarang orang mampu menahan pukulan-pukulan tangan kosongnya. Perlu diketahui Prameswara merupakan ketua perguruan yang disegani karena ketinggian ilmunya. Apalagi dalam hal memainkan ilmu pedangnya. Gerakannya menjadi sangat cepat bahkan sulit diikuti kasat mata. Itulah sebabnya dalam kalangan persilatan ia di juluki sebagai si Pedang Bayangan, justru karena kecepatannya dalam mempergunakan senjata pedang. Tetapi kali ini dengan mempergunakan tangan kosong dalam pertarungan melewati lima belas jurus ia nampak mulai terdesak menghadapi serangan ganas yang dilakukan oleh manusia berkepala serigala itu. Beberapa kali tubuhnya nyaris tersambar kuku-kuku tajam yang tidak menutup kemungkinan bahwa kuku-kuku itu mengandung racun yang ganas. Si Pedang Bayangan nampaknya tidak punya pilihan lain lagi ketika melihat makhluk jejadian itu benarbenar menghendaki nyawanya. Akhirnya tanpa berpikir panjang ia pun segera mencabut pedangnya. Tak pelak lagi Prameswara mulai mengerahkan jurus-jurus andalannya. Diantaranya adalah jurus pedang 'Menggulung Ombak Menerjang Badai dan jurus pedang Dewa Halilintar'. Dengan mempergunakan jurus-jurus pamungkas ini, senjata di tangan Prameswara berputar sedemikian sebat, sehingga berubah menjadi segulungan sinar putih membentuk sebuah perisai diri yang kokoh. Di samping itu, dalam keadaan menyerang dan mempertahankan diri, ketua padepokan Dewa Suci ini kiranya telah mengerahkan tenaga dalam yang dimilikinya. Ia menyadari lawannya kali ini selain sangat membahayakan, juga tidak mempan dengan tebasan maupun bacokan senjata tajam. Bahkan ketika ia berhasil menyarangkan tendangannya ke bagian dada lawannya. Tidak sedikitpun lawan merasakan akibatnya, makhluk jejadian itu hanya terhuyung-huyung saja. Jangankan muntah darah, robohpun tidak. Padahal pendekar golongan lurus ini telah mengerahkan tiga perempat tenaga dalam yang dimilikinya.
  Di lain pihak menyadari lawannya masih dapat menghindari sergapan kuku-kuku maupun taringnya yang runcing. Makhluk jejadian itu nampaknya menjadi sangat murka sekali. Kembali terdengar suara lolongannya yang menggidikkan. Sepasang matanya bertambah memerah. Bagian lidahnya bahkan menjulur panjang di sela-sela dengus nafasnya. Satu kesalahan besar di lakukan oleh ketua padepokan Dewa Suci itu justru pada saat itu ia terseret arus emosi. Mungkin saja karena merasa kesal melihat lawannya kebal senjata. Hingga pada satu kesempatan ia melihat pertahanan bagian bawah siluman itu nampak lemah. Sekali lagi dan tanpa menyia-nyiakan kesempatan, Prameswara langsung melakukan tendangan menggeledek. Siluman berujud mengerikan itu hanya mendengus, di luar dugaan ia menyambut tendangan itu dengan tangannya yang berkuku runcing. Prameswara yang sama sekali tidak menyangka datangnya gerakan lawan yang tiba-tiba merasa terkejut bukan main. Laki-laki berusia empat puluhan itu mencoba menarik balik serangannya, tapi gerakannya kalah cepat bila di bandingkan dengan gerakan lawannya.
  Tep! Creep!
  Tahu-tahu kaki Prameswara telah kena di tangkap oleh makhluk mengerikan itu. Secepat ia menangkap kaki si Pedang Bayangan, maka secepat itu pula siluman serigala membantingkan tubuh lawannya, hingga menimbulkan suara berdebum. Dalam keadaan panik si Pedang Bayangan membabatkan pedangnya berulang kali. Sebagaimana yang pernah ia lakukan tadi. Kali ini tubuh manusia siluman itupun tidak dapat ditembus oleh ketajaman pedangnya. Sesaat kemudian terdengar daging tubuh yang tercabik-cabik kuku dan taring manusia siluman itu. Terdengar suara lolongan yang menyayat dari mulut Prameswara yang terluka parah. Mengira mangsanya telah tewas karena kehabisan darah. Dengan cepat siluman itu meninggalkan korbannya. Pada saat seperti itulah sesosok bayangan merah berkelebat menghampiri tubuh yang sudah sekarat itu.
  "Paman! Apa yang telah terjadi denganmu?" tanya pemuda yang sudah tidak asing lagi bagi kita ini dengan suara tergetar. Tak terlukiskan betapa terenyuh hatinya ketika melihat keadaan tubuh laki-laki berpakaian putih yang telah tercabikcabik bergelimang darah itu. Tadinya Buang Sengketa sedang melakukan perjalanan ke arah Utara. Tidak begitu jauh dari laki-laki yang sedang tertimpa malapetaka itu ia menghentikan langkahnya ketika mendengar suara jeritan menyayat. Setengah berlari ia ingin mengetahui apa yang sedang terjadi. Tapi bukan main terperanjatnya hati Pendekar Hina Kelana, ketika sampai di tempat kejadian ia melihat seorang laki-laki telah terkapar dengan tubuh tercabik-cabik bagai habis di serang binatang buas. Yang membuat pemuda ini keheranan justru kejadian itu berlangsung siang hari, bahkan tidak jauh dari sebuah desa pula. Dalam keadaan termangu seperti itu, tiba-tiba Buang Sengketa mendengar erangan lemah. Menyadari keadaan laki-laki itu sudah tidak mungkin di tolong karena lukanya yang teramat parah. Pemuda itupun cepat-cepat berlutut di samping tubuh Prameswara. Kali ini terdengar suaranya yang lirih sambil memandang pada Buang Sengketa penuh harap.
  "Tolong... tolong sampaikan pada ketua perguruan Naga Putih bahwa aku memerlukan bantuannya...!"
  Belum lagi Prameswara sempat melanjutkan ucapannya, Pendekar Hina Kelana telah memotong.
  "Siapakah yang telah menyerangmu, paman? Lagi pula siapa ketua perguruan Naga Putih? Masalah pertolongan jika aku mampu pasti akan kulakukan." ucap pemuda itu menyanggupi. Tubuh yang sangat lemah itu bergerak-gerak sesaat. Dengan bersusah payah ia kembali melanjutkan.
  "Aku telah diserang oleh siluman serigala. Padahal aku baru saja ingin mencari dua orang muridku yang belum kembali. Tol... tolong beritahukan pada ketua perguruan Naga Putih bahwa mungkin saja rimba persilatan akan dilanda teror besar-besaran. Bawalah... sert..." kata-kata Prameswara terputus bersamaan dengan hembusan nafasnya yang terakhir.
  Buang Sengketa menjadi tertegun begitu mendengar penuturan laki-laki yang sekarang telah terbujur kaku ini. Seakan ia tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Bagaimana mungkin ada siluman yang berani beraksi di siang hari? Selama ini belum pernah ia mendengar apalagi melihat ada makhluk siluman melakukan teror siang-siang begini. Apalagi mengingat kejadian itu tidak begitu jauh dan sebuah dusun. Namun apabila ia melihat luka yang dialami oleh laki-laki yang tidak dikenalnya itu. Buang Sengketa merasa yakin bahwa orang yang telah menjadi mayat itu pastilah tidak berbohong. Apalagi bila ia teringat kejadian beberapa malam yang lalu. Mereka juga tewas dalam keadaan yang sama tragisnya. Atau mungkin mereka itulah yang disebut-sebut sebagai murid yang hilang? Dalam hati ia telah bertekad siapapun siluman serigala itu, ia merasa punya tanggung jawab untuk membasminya.
  Dengan perasaan serba tidak menentu, akhirnya Pendekar Hina Kelana segera memanggul mayat itu. Yang menjadi tujuannya adalah desa yang terletak tidak begitu jauh lagi jaraknya dari tempat ia berada saat itu.

 



--₪¦ « 2 » ¦₪--

  Laki-laki berumur enam puluhan itu nampak duduk merenung di atas ranting sebatang pohon. Entah apa yang sedang dipikirkannya. Tatapannya kosong menerawang jauh pada hamparan hutan rotan yang terletak tidak begitu jauh dari tempat ia berada. Sesekali kelopak matanya yang cekung dikerjab-kerjabkannya beberapa kali. Tibatiba laki-laki tua berpakaian merah dan berjanggut putih ini membantingkan kakinya pada ranting yang diinjaknya beberapa kali.
  Kraak! Buuk!
  Ranting sebesar betis orang dewasa itupun patah dan menimbulkan suara berkrotakan dan jatuh berdebum. Laki-laki itu terpana, ia merasakan bagai baru terjaga dari sebuah mimpi buruk. Kiranya dalam kekalutan yang membelenggu jiwanya tadi, tanpa sadar ia menghentakkan kakinya dengan mempergunakan tenaga dalam, sehingga menyebabkan ranting yang diinjaknya patah berderak. Hanya sebentar saja ia memperhatikan akibat yang ditimbulkan di luar kesadarannya. Sesaat kemudian ia telah kembali pada keadaan semula. Wajahnya yang penuh keriput nampak diliputi rasa duka yang mendalam. Dengan penuh penyesalan diri ia pun berkata.
  "Ketika dulu aku masih muda, aku selalu mendambakan bagaimana rasanya bila orangorang menyanjung diriku karena kesaktian yang kumiliki. Aku ingin menjadi tokoh dalam dunia persilatan, sehingga dapat menolong kaum yang lemah dari segala macam yang berbau kekerasan dan penindasan." sesaat laki-laki berpakaian merah ini menghentikan ucapannya. Bibirnya tersenyum tipis. Dirasakannya perasaan menyesak di rongga dadanya sedikit demi sedikit mulai berkurang. Kemudian ia kembali berkata-kata seorang diri.
  "Berpuluh-puluh tahun aku berusaha mewujudkan impianku. Tidak ku hitung sudah berapa banyak orang-orang berkepandaian tinggi telah menjadi guruku. Tetapi mengapa waktu itu aku tidak pernah merasa puas? Kurasakan kala itu kepandaian yang kumiliki belum seberapa." sekali lagi ia kembali menghentikan ucapannya. Sekarang di pandanginya seluruh tubuhnya seakan penuh benci. Lalu ia meraba pada bagian wajahnya yang berkeriput. Betapa ia ingin menghancurkan wajahnya sendiri. Dan apabila ia memperhatikan kedua tangannya sendiri. Ingin rasanya ia membuntungi kedua tangannya itu. Bahkan ia merasa semakin jijik melihat tangannya. Mendadak ia menangkupkan kedua belah tangannya pada bagian wajah. Hatinya terasa pedih bagai teriris sembilu. Tubuhnya terguncang-guncang menahankan rasa bersalah yang mendalam. Masih dalam keadaan seperti itu ia kembali berucap, keras dan membahana. Sehingga membuat binatang-binatang hutan lari tunggang langgang.
  "Bukit Siluman...! Kau telah membuat Sapta Dewa sakti tiada tanding. Tapi kau juga telah membuat seorang Sapta Dewa tersiksa lahir batin sepanjang sisa-sisa usianya yang renta. Mengapa kau membiarkan diriku berubah menjadi makhluk menjijikkan tanpa perasaan? Mengapa kau juga tidak mau mencegah tangan-tangan celaka ini mencabik-cabik tubuh mereka yang tiada berdosa? Padahal siapapun tidak pernah menyangka, kalau aku tidak pernah menghendakinya...!" teriaknya dengan suara semakin serak dan tubuh bergetar hebat. Nampak sekali penderitaan batin yang sedemikian besar sedang melanda diri kakek tua itu. Tetapi apapun yang terjadi atas dirinya, ia selalu tidak mempunyai kemampuan untuk mencegahnya.
  Perubahan tubuhnya yang sewaktu-waktu tidak terduga terasa benar bertentangan dengan keinginan hati nurani.
  "Berapa banyak lagi korban yang berjatuhan akibat ilmu terkutuk ini? Aku merasakan hidupku semakin sia-sia. Harapanku untuk menjadi tokoh golongan putih menjadi sirna. Keparaat...!" berkata begitu tubuhnya langsung melesat meninggalkan ketinggian pohon yang di-diaminya selama beberapa hari ini. Tubuhnya terus berkelebat menjauh memasuki daerah hutan Goa Keramat yang berada tidak jauh dari tempat itu. Dengan caranya itu hanya satu yang diharapkannya agar ia dapat menghindari jatuhnya korban yang tiada berdosa lebih banyak lagi. Namun berhasilkah apa yang dikehendakinya itu?
  Kehadiran Buang Sengketa dengan mayat seorang laki-laki di pundaknya, membuat gempar seluruh keluarga perguruan Naga Putih. Sungguhpun tubuh mayat yang sekarang telah diturunkan oleh pemuda itu dalam keadaan sangat mengerikan dan bahkan bagian wajahnya sudah sangat sulit sekali untuk dikenali. Gupak Salaksa atau yang lebih di kenal dengan julukan si Kapak Maut yang menjadi ketua perguruan Naga Putih, begitu melihat pakaian si mayat langsung mengenali bahwa tubuh yang dalam keadaan tercabik-cabik dan berlumuran darah itu tak lain merupakan adik kandungnya sendiri.
  Tiada di sangka-sangka oleh Pendekar Hina Kelana, ketua perguruan Naga Putih memeluk mayat tersebut. Hati laki-laki berpakaian kelabu ini begitu pilu demi melihat keadaan adiknya yang telah membujur kaku dengan luka sedemikian rupa. Tiba-tiba Gupak Salaksa menggeram marah. Tangannya terkepal, dan otot-otot di bagian tubuhnya bertonjolan. Sebentar diperhatikannya Buang Sengketa. Tapi mungkinkah pemuda berwajah tampan yang tidak dikenalnya ini yang telah membunuh ketua perguruan Dewa Suci? Rasanya kurang masuk di akal. Dalam kesempatan itu murid-murid perguruan Naga Putih telah mengelilingi Buang Sengketa dengan perasaan curiga. Pendekar Hina Kelana yang menyadari adanya gelagat yang tidak baik hanya tersenyum tipis. Ia tahu mereka hanya salah paham, karena pada dasarnya ia belum menjelaskan apa sebenarnya yang terjadi pada laki-laki malang itu. Semua keinginannya terpaksa ditunda karena ketua perguruan Naga Putih kelihatannya merasa terpukul menerima kenyataan yang tiada di sangka-sangka ini.
  Kini Gupak Salaksa bangkit berdiri. Secara perlahan sekarang seluruh perhatiannya langsung tertuju pada Buang Sengketa. Sepasang matanya yang diliputi kesedihan dan kemarahan itu nampak merah sekali.
  "Orang muda! Di manakah kau temukan adikku ini?" tanyanya dengan suara tergetar. Dengan sikap tenang Buang Sengketa menjawab.
  "Saya menemukan dirinya tidak jauh dari desa ini. Saat itu ia masih dapat mengatakan bahwa yang menyerangnya adalah siluman serigala." jawabnya tenang.
  Semua yang hadir di tempat itu nampak begitu terkejut sekali mendengar jawaban si pemuda. Tidak terkecuali si Kapak Maut. Berbagai dugaan bermunculan di dalam kepala mereka.
  Ketika Buang Sengketa menoleh pada ketua perguruan Naga Putih. Ia melihat laki-laki itu mengerutkan alisnya.
  "Siang-siang begini siluman serigala berkeliaran? Rasanya hal seperti itu belum pernah terjadi sebelumnya. Tapi bila melihat mayat adikku, rasanya keterangannya dapat dipercaya. Tapi siapakah pemuda tampan yang telah membawakan mayat adiknya itu? Belum pernah ia melihat pada waktu-waktu sebelumnya. Sungguhpun begitu ia merasa yakin tidak mungkin pemuda itu membohonginya. Wajahnya yang membayangkan kepolosan, serta sorot matanya yang penuh wibawa. Nampaknya dia bukan pemuda sembarangan, batin Gupak Salaksa. Setelah memperhatikan pemuda itu sejenak, laki-laki berkumis tebal ini melanjutkan.
  "Siapakah engkau ini? Rasanya aku belum pernah melihatmu sebelumnya?" tanya Gupak Salaksa dengan pandangan sedikit curiga.
  Sebenarnya terasa berat bagi Buang Sengketa untuk menerangkan siapa dirinya. Tetapi jauh di lubuk hatinya, ia juga tidak ingin laki-laki itu berprasangka buruk pada dirinya. Dengan sikap merendah, pemuda ini tanpa ragu-ragu segera menjawab.
  "Namaku Buang Sengketa...!"
"Buang Sengketa? Teringat akan keanehan namamu, aku jadi teringat tentang seorang pemuda yang berjuluk Pendekar Hina Kelana... apakah betul anda yang berjuluk pendekar yang membuat geger rimba persilatan itu?" tanya si Kapak Maut seolah ingin mencari kepastian.
  "Bagaimana paman bisa berkata begitu?" pancing Pendekar Hina Kelana.
  "Aku hanya menduga-duga saja. Terlebihlebih setelah melihat penampilanmu rasanya persis seperti apa yang dikatakan oleh orang-orang yang pernah melihat sepak terjangmu...!"
  Pendekar Hina Kelana terdiam sejenak. Kemudian tanpa bermaksud menyombongkan diri, ia berkata, "Aku memang Pendekar Hina Kelana, paman. Tapi akh, sudahlah paman. Apalah artinya semua itu, sekarang ini kita perlu menguburkan jenazah ini."
  "Ya... kita memang merasa perlu untuk menguburkan jenazahnya. Tapi selain itu kami merasa sangat bersyukur sekali karena hari ini kami dapat bertemu dengan seorang pendekar yang sangat tangguh...!"
  "Sudahlah paman! Tiada gunanya paman memujiku setinggi langit. Lagi pula di depan sang Hyang Widi semua manusia sama...!" sergah si pemuda dengan perasaan semakin tidak enak.
  "Ah... aku tidak menyangka Pendekar Hina Kelana memiliki jiwa yang rendah hati, sungguh mulia hatimu."
  "Sudah saya katakan, janganlah paman terlalu memakai segala peradatan sehingga membuat hatiku menjadi tidak enak. Panggil saja aku, Buang...!" kata si pemuda dengan wajah bersemu merah.
  "Baiklah... baiklah Buang. Emm..." Gupak Salaksa nampak seperti baru teringat sesuatu. Kemudian ia segera memerintahkan murid-murid perguruan yang dipimpinnya.
  "Jubir, Soma dan Darmadi, tolong kalian angkat mayat paman gurumu. Hari sudah sore, mungkin besok kita baru dapat menguburkannya..."
  Murid-murid yang disebut namanya itu segera mengerjakan apa yang diperintahkan oleh guru mereka. Sementara wajah-wajah mereka masih kelihatan menyimpan duka yang mendalam. Bagaimanapun Prameswara sungguhpun bukan guru mereka secara langsung, namun laki-laki ini begitu baik pada mereka. Dengan berhati-hati mereka menggotong mayat ketua perguruan Dewa Suci ini menuju ke dalam rumah.
  Malam harinya suasana berkabung terasa menyelimuti perguruan Naga Putih. Beberapa orang murid nampak siap berjaga-jaga demi menghindari sesuatu kejadian yang tidak diingini. Sementara di dalam sebuah ruangan nampak Buang Sengketa sedang bicara dengan ketua perguruan itu. Sebuah lampu minyak menjadi penerangan satu-satunya di dalam ruangan berukuran lumayan besar.
  "Apa yang dapat kita lakukan untuk mencegah siluman itu menjatuhkan korban lebih banyak lagi, Buang...?" tanya Gupak Salaksa, suaranya memecah keheningan.
  Buang Sengketa menarik nafas pendek. Sebentar ia membuang pandangan matanya ke arah lain. Ketika perhatiannya kembali tertuju pada Gupak Salaksa. Maka dengan suara berwibawa ia kembali berkata.
  "Saya tidak tahu apa yang akan paman lakukan. Namun menurut hemat saya ada baiknya paman menghubungi kaum persilatan golongan lurus, agar dapat bersikap lebih waspada. Bahkan kalau mungkin harus bersatu dalam membasmi manusia jejadian itu. Saya dapat membayangkan betapa manusia iblis itu sangat berbahaya sekali!"
  "Jadi apakah kau tidak ada minat untuk bergabung dengan para sahabat segolongan, pendekar...?" tanya Gupak Salaksa bagai tidak percaya. Yang ditanya berubah memerah parasnya.
  "Maaf, paman. Sudah tentu saya juga punya keinginan yang besar untuk bergabung dengan orang-orang segolongan sendiri. Namun saya telah memutuskan untuk mencari siluman itu dengan cara saya sendiri. Maaf, paman jangan merasa tersinggung. Sebab selain itu saya masih punya sedikit urusan yang perlu segera saya selesaikan...!" ujar Buang Sengketa beralasan.
  Kelihatannya Gupak Salaksa dapat memaklumi alasan yang dikemukakan oleh Pendekar Hina Kelana. Laki-laki itupun kemudian menganggukkan kepalanya tanda setuju.
  "Aku memang tidak dapat memaksamu, Buang Sengketa. Tapi aku dapat menerima alasan yang kau berikan padaku. Mudah-mudahan Sang Hyang Widi melindungi kita semua, sehingga kita dapat bertemu lagi tanpa kekurangan suatu apapun." ucap Gupak Salaksa dengan suara tawar.
  Walau bagaimanapun pembicaraan itu kurang serius. Sebab ketua perguruan Naga Putih sedang dalam keadaan berkabung. Apalagi yang menjadi korban keganasan manusia siluman itu kali ini adalah adik kandungnya sendiri.
  "Baiklah, paman. Rasanya malam sudah larut sekali, kalau sudah tidak ada lagi yang perlu paman tanyakan. Apakah boleh saya beristirahat?"
"Oh... ehh...!" Gupak Salaksa tergagap.
"Tentu... tentu saja kau boleh beristirahat. Kami telah menyediakan kamar untukmu." laki-laki itu kemudian mengantarkan Buang Sengketa ke kamar yang telah tersedia. Setelah Buang memasuki kamarnya, Gupak Salaksa kemudian meninggalkan ruangan itu, lalu melangkahkan kakinya me nuju ruangan tengah.

* * *



Sepak terjang siluman serigala kian hari bertambah merajalela. Korban demi korban berjatuhan. Siluman serigala itu nampaknya dalam mengambil korbannya tidak memandang bulu. Tidak perduli apakah petani biasa, kalangan persilatan. Bahkan tidak jarang diantaranya adalah pendekar-pendekar yang telah memiliki kepandaian silat tinggi. Kenyataan ini membuat kaum persilatan golongan lurus bahkan beberapa di antaranya merupakan golongan hitam menjadi sangat marah sekali. Apalagi setelah melihat para korban yang telah dibantai oleh siluman itu. Dalam waktu yang singkat mereka sepakat untuk melakukan pencarian besar-besaran. Bahkan beberapa perguruan yang berhasil dihubungi oleh ketua perguruan Naga Putih merasa sangat perlu untuk menghentikan sepak terjang manusia siluman itu dalam waktu secepatnya. Karena teror yang dilakukan oleh manusia siluman itu terjadi di sembarang daerah bahkan meluas sampai ke daerah-daerah yang jauh. Tak ayal lagi semakin banyaklah berbagai perguruan pada masa itu yang terpaksa turun tangan secara langsung. Begitupun tidak semudah yang mereka duga dalam mendapatkan siluman serigala itu. Selain kemunculannya yang secara tiba-tiba, juga mereka tidak tahu di mana tempat persembunyian siluman itu. Keadaan seperti ini terasa sangat merugikan bagi sukarelawan itu. Sejak pencarian besar-besaran itu dilakukan, tidak sedikit korban yang berjatuhan. Antara lain adalah pendekar Seruling Perak, Kutamaya atau yang lebih dikenal dengan julukan si Kipas Besi. Dasamuka atau yang lebih terkenal dengan julukan si Golok Emas. Mereka ini masih terhitung sahabat baik si Kapak Maut, ketua perguruan Naga Putih. Sayangnya orang-orang berkepandaian tinggi seperti mereka ini, setelah berhasil dihubungi oleh Gupak Salaksa lebih suka bertindak sendirisendiri. Sampai akhirnya mereka mendapat nasib yang tragis sekali. Melihat kematian orang-orang yang berkepandaian tinggi sangat menggenaskan, maka semakin bertambah besarlah amarah kaum persilatan. Mereka menyadari betapa siluman serigala itu memiliki kepandaian yang tidak terukur kehebatannya. Namun beberapa perguruan silat telah memutuskan untuk bergabung antara perguruan silat yang satu dengan perguruan lainnya secara kelompok. Dengan demikian mereka berharap kekuatan yang ada dapat diandalkan. Untuk menghadapi siluman itu bila sewaktu-waktu mereka bertemu.
  Siang itu dua rombongan yang masingmasing terdiri dari sepuluh orang, nampak menelusuri sebuah hutan kecil yang terdapat di sebuah hutan pinggiran Goa Keramat. Dua rombongan ini merupakan gabungan dari dua perguruan. Rombongan pertama berasal dari perguruan Tangan Baja yang dipimpin langsung oleh ketuanya, Desta Ketu. Sedangkan rombongan lainnya berasal dari perguruan Pisau Terbang, yang juga dipimpin langsung oleh guru besarnya, Jala Dara.
  Sudah sejak pagi mereka melakukan pencarian, namun sampai menjelang tengah hari kedua perguruan dengan jumlah dua puluh orang ini masih belum memperoleh hasil apa-apa. Pencarian yang menegangkan itu benar-benar membuat mereka lelah. Bahkan beberapa orang di antara mereka mulai merasa putus asa. Namun mereka tidak berani berkata apa-apa, karena mereka begitu takut pada gurunya masing-masing. Melihat keadaan murid-muridnya, Desta Ketu dan Jala Dara memerintahkan murid mereka untuk melepas lelah.
  Namun baru saja murid-murid itu menghenyakkan punggung mereka di atas rerumputan. Secara tiba-tiba mereka melihat seorang laki-laki berusia lanjut berjenggot putih datang menghampiri. Kini semua perhatian tertuju sepenuhnya pada laki-laki tua berpakaian merah ini. Kakek murung ini hanya diam saja, Jala Dara yang merupakan ketua perguruan Pisau Terbang baru saja hendak mengajukan pertanyaan, ketika melihat kakek itu mulai menggigil bagai orang yang sedang terserang demam panas. Semua orang yang berada di tempat itu kembali terperangah. Dan mereka menjadi lebih terkejut lagi ketika mendengar suara lolongan serigala yang keluar dari mulut si kakek yang sekarang telah berguling-guling di atas permukaan tanah.
  "Auuuungg...!"
  Suara lolongan panjang kembali terdengar. Suara lolongan itu terasa sangat berpengaruh, bahkan terasa menggetarkan gendang-gendang telinga sehingga membuat murid perguruan Tangan Baja dan Pisau Terbang terkesima, tangan dan kaki mereka bahkan terasa lumpuh tidak mampu digerak-gerakkan. Lain lagi halnya dengan Desta Ketu dan Jala Dara. Kedua orang ini menyadari betapa hebatnya pengaruh lolongan kakek tua tersebut. Sehingga secara cepat mereka mengerahkan tenaga dalam guna menghindari kemungkinan yang tidak diingini.
  "Nguuung... gungg... Guuuung...!" kembali terdengar suara lolongan yang lebih panjang lagi. Bersamaan dengan terdengarnya suara lolongan itu, maka kakek itu telah bangkit berdiri. Mengejutkan sekali, karena sekarang bagian kepala maupun kedua tangan laki-laki itu telah berubah total. Wajah orangtua tadi telah ditumbuhi oleh bulu-bulu kasar. Sepasang matanya mencorong merah membara. Sedangkan di sela-sela bibirnya, sekarang telah tumbuh dua pasang taring yang sangat runcing. Lidahnya menjulur-julur meneteskan air liur yang menebarkan bau menyengat. Bahkan kedua belah tangannya telah pula ditumbuhi oleh bulu-bulu dengan kuku-kuku memanjang berwarna hitam legam.
  Menyadari adanya bahaya yang mengancam, maka Jala Dara memberi isyarat kepada Desta Ketu untuk memberi semangat pada muridmurid mereka yang sedari tadi hanya duduk terpana akibat pengaruh lolongan manusia serigala itu.
  "Hei... kalian semua! Dialah siluman serigala itu. Cepat kalian kepung, sebelum iblis keparat ini sempat meloloskan diri...!" teriak Desta Ketu memberi perintah pada murid-muridnya. Bagai terjaga dari tidur yang panjang. Dua puluh orang murid dari dua perguruan langsung mencabut senjata dan bergerak mengurung kakek berpakaian merah yang sekarang telah berubah menjadi siluman serigala. Baru saja mereka melakukan gerakan melingkar, dua orang di antaranya mengeluarkan jeritan menyayat hati. Tubuh mereka terpelanting roboh dengan muka robek akibat sambaran kuku-kuku siluman itu yang datangnya tiada disangka-sangka. Dapat dibayangkan betapa ganasnya makhluk siluman ini. Bahkan Jala Dara sendiri yang melihat kejadian ini nampak terbelalak bagai tak percaya. Tapi rasanya mereka sudah tidak dapat berpikir lebih lama lagi, ketika mereka mendengar jeritan demi jeritan murid kedua belah pihak, disertai bergelimpangannya tubuh mereka yang bermandikan darah.

 



--₪¦ « 3 » ¦₪--

"Kalian semua bersiaplah. Biarkan kami berdua yang akan meringkus siluman iblis ini!" seru Desta Ketu memberi aba-aba pada murid mereka.
  Mendengar ucapan laki-laki berkumis serta berjenggot meranggas itu, siluman serigala mendengus marah. Jala Dara dan Desta Ketu sekarang telah terjun ke tengah-tengah gelanggang pertempuran. Tidak jauh di hadapannya, manusia siluman, itu memandangi mereka dengan tatapan mata berkilat-kilat.
  "Grauung...!" sekali saja siluman tersebut mengempos kakinya. Detik selanjutnya, tubuhnya sudah melayang dengan tangan-tangan terpentang menerkam ke arah dua orang musuhnya. Dua orang ketua perguruan ini adalah kalangan persilatan yang telah memiliki banyak pengalaman dalam berbagai pertarungan. Bahkan masing-masing ketua perguruan ini memiliki keahlian yang sangat khusus. Ketua perguruan Pisau Terbang misalnya, sangat ahli dalam menyambitkan pisau-pisau yang melilit di bagian pinggangnya. Dalam sejarahnya selama malang melintang di dunia persilatan. Pisau-pisau yang disambitkan ke arah musuh belum ada yang pernah meleset. Apalagi ia terkenal sangat cepat dalam mempergunakan senjata andalannya itu. Sedangkan kepandaian yang dimiliki oleh Desta Ketu lain lagi. Sesuai dengan nama perguruan Tangan Besi. Dia adalah seorang pendekar berkepandaian tinggi, yang dalam setiap pertarungan belum pernah mempergunakan senjata jenis apapun. Tapi dengan mengandalkan ilmu silat tangan kosong, yang sewaktu-waktu dapat berubah sekeras baja. Ia mampu merobohkan pohon yang sangat besar, menghancurkan batu gunung dan bahkan dapat meremukkan kepala gajah hanya dalam sekali pukul. Dapat, dibayangkan betapa ketua perguruan Tangan Besi memiliki tenaga sedemikian hebat. Selain itu ia juga memiliki ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tarap sempurna.
  Sementara itu begitu melihat datangnya serangan dari pihak siluman serigala yang sedemikian cepatnya. Maka tanpa menunggu lebih lama lagi, Jala Dara langsung membuang tubuhnya sekaligus lancarkan satu serangan dengan sebuah tendangan ke bagian kaki lawannya. Sedangkan Desta Ketu dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuhnya segera melompat ke udara dengan gerakan Udang Melentik. Selagi masih di udara, ketua perguruan Tangan Baja yang sangat menyadari betapa berbahayanya siluman serigala ini, langsung mengerahkan sebagian tenaga dalam ke arah kedua telapak tangannya yang terkepal. Begitu tubuh itu melesat lagi ke bawah, satu pukulan tangan kosong yang bernama 'Tangan Putih Baja Sakti' siap dihajarkan pada bagian kepala lawan yang berada di bawahnya. Saat itu manusia siluman tersebut sedang mencecar Jala Dara yang nampak mulai kerepotan karena tidak mempunyai kesempatan dalam mempergunakan pisau terbangnya. Dari bagian atas menyambar angin pukulan yang dilepaskan oleh Desta Ketu. Makhluk mengerikan ini kiranya menyadari datangnya bahaya yang sedang mengancamnya. Tanpa menoleh ia kibarkan tangannya yang berkuku runcing itu ke arah datangnya pukulan.
  "Uuuuh...!"
  Desta Ketu tersentak kaget. Masih untung pada saat itu kedua kakinya telah menjejak di atas tanah. Hampir saja ia termakan pukulannya sendiri yang membalik. Sama sekali ia tiada menyangka, pada saat manusia siluman itu sedang sibuk mencecar Jala Dara. Masih sempat mengatasi serangan yang dilancarkannya, bahkan dengan kekuatan berlipat ganda. Menyadari sampai ke situ, Desta Ketu mulai meningkatkan kewaspadaannya. Lebih dari itu iapun semakin memperhebat serangan-serangannya. Cepat sekali tubuhnya berkelebat, tetapi sehebat apapun serangan yang dilancarkannya, beberapa kali tubuhnya nyaris termakan kuku-kuku tajam siluman itu. Meskipun begitu tak jarang ia berhasil memukul tubuh manusia serigala itu dengan telak. Namun ia nampak terpana karena pukulan yang berhasil menggedor tubuh lawannya hanya membuat musuh terhuyung-huyung saja. Ternyata siluman ini kebal terhadap pukulanku, batin Desta Ketu, sedikit kecut. Manusia siluman ini kelihatannya sangat marah sekali, ia kembali memperdengarkan suara melolong yang begitu panjang, sehingga membuat sakit gendang-gendang telinga, bahkan terasa menggetarkan seisi dada. Desta Ketu maupun Jala Dara terpaksa menutup indera pendengarannya ketika mulai menyadari akibat pengaruh lolongan itu.
  Pada saat itu siluman berujud mengerikan ini semakin memperhebat serangannya. Setiap sambaran tangan maupun tendangan kakinya menebarkan hawa maut menggidikkan. Bahkan beberapa orang murid kedua perguruan yang sedang bersiap siaga menjaga segala kemungkinan tak luput dari kemarahannya. Suara pekik dan jerit menyayat kembali merobek suasana siang yang semakin bertambah panas. Melihat muridmuridnya yang semakin banyak bergelimpangan, maka mendidihlah dada Jala Dara. Tak ayal lagi senjatanya yang berupa pisau terbang yang sangat banyak jumlahnya mulai ambil bagian.
  "Saudara Desta Ketu. Berhati-hatilah, siluman keparat ini perlu diberi pelajaran dengan ini...!" berteriak begitu Jala Dara menyambitkan lima buah pisau yang terselip mengelilingi pinggangnya.
  Ziiing! Siiing!
  Senjata maut itu melesat melebihi kecepatan anak panah. Siluman serigala nampak menggerung. Lalu menyampok senjata-senjata maut yang begitu cepat menuju ke arahnya.
  Plak... plaak... pletak...!
  Senjata milik Jala Dara berpentalan ke berbagai arah. Dua di antaranya patah menjadi beberapa bagian. Melihat kenyataan ini Jala Dara tidak ingin berhenti sampai di situ saja. Laki-laki berpakaian ungu ini kembali menyambar senjata andalannya dengan jumlah berlipat ganda. Laksana kilat, ia kembali menyambitkan senjata itu ke arah lawannya. Manusia siluman memutar tubuhnya, kedua tangannya melakukan gerakan aneh sambil memukul menyongsong datangnya senjata lawannya.
  Weeer...!
  Satu sambaran angin keras yang berhawa sangat dingin melesat dari kedua tangannya. Beberapa orang murid mereka kembali terpelanting roboh tanpa mampu berkutik lagi. Kembali serangan si Pisau Terbang mental di tengah jalan. Namun satu diantara sekian banyak pisau-pisau itu berhasil menerobos pertahanan lawannya.
  Craak!
  Laksana menghantam batu karang saja layaknya senjata berujung runcing itu jatuh di bawah kaki si manusia siluman. Manusia menjijikkan itu mendengus, tiada terduga menerkam ke arah Jala Dara. Si Pisau Terbang yang sempat terkesima melihat lawan kebal terhadap berbagai senjata rasanya tidak sempat menghindari serangan yang sangat cepat itu. Masih untung dari bagian samping kiri Desta Ketu yang mengetahui kawannya dalam keadaan bahaya cepat menerjang dengan melakukan sebuah pukulan ke bagian iga.
  Buuk!
  Pukulan Desta Ketu dengan telak menghajar rusuk kiri lawannya, namun tidak membawa akibat apa-apa bagi lawan terkecuali hanya tergetar saja. Tanpa menoleh siluman ini mengibaskan tangannya.
  Breet... breet!
  "Arhhgk!" Desta Ketu menjerit panjang sambil menekap bagian wajahnya yang hancur terkena cakaran kuku lawannya. Tubuhnya terhuyung-huyung. Murid-murid perguruan Tangan Baja dan Pisau Terbang demi melihat keadaan guru mereka yang nampak mulai terdesak, tidak dapat tinggal diam lagi. Merekapun mulai ikut menyerang manusia siluman itu. Keadaan ini sebenarnya tidak dikehendaki oleh Jala Dara, namun nampaknya juga ia merasa tidak punya pilihan lain. Dengan dibantu oleh murid-muridnya, beramai-ramai mereka melakukan pengeroyokan, Manusia Serigala itu kembali melolong panjang. Hampir selalu dapat dipastikan, setiap suara lolongan berakhir maka korban-korbanpun kembali berjatuhan. Murid perguruan Tangan Besi maupun dari perguruan Pisau Terbang tidak juga berhasil menjatuhkan siluman itu. Sampai pada akhirnya mereka tidak bersisa lagi. Sekarang tinggallah Jala Dara dan Desta Ketu yang dalam keadaan terluka. Mereka tetap melakukan perlawanan sengit. Namun perlawanan merekapun tidak berlangsung lama. Mula-mula Desta Ketu yang bertindak nekad melakukan penyerangan dengan jarak dekat. Dalam kemarahannya yang sudah tidak terkendalikan lagi, kiranya satu yang terlupakan oleh Desta Ketu, bahwa apa yang dilakukan itu sebenarnya malah menguntungkan pihak lawannya. Manusia siluman itu menyeringai. Membiarkan tubuhnya dihujani pukulan Desta Ketu yang tidak begitu keras lagi karena telah kehilangan banyak darah. Hingga pada satu saat yang tepat.
  Breet! Crees...!
  "Wuaarkhh...!"
  Tubuh Desta Ketu limbung, darah menyembur dari bagian luka akibat cakaran dan ketajaman taring-taring makhluk serigala ini. Tidak cukup sampai di situ saja, siluman serigala ini kiranya bertindak lebih jauh lagi dengan merobekrobek tubuh lawannya hingga tidak berbentuk lagi. Jala Dara yang menyerang dari bagian belakang dengan sisa-sisa pisau terbangnya bagai orang gila saja layaknya demi melihat kematian yang dialami oleh Desta Ketu. Laki-laki itu menggerung sambil menghunjamkan pisau di tangannya berkali-kali. Tetapi sampai di manalah perlawanan si Pisau Terbang ini, melawan makhluk siluman ini berdua serta dibantu oleh para muridnya, mereka tak sanggup menjatuhkannya. Apalagi sekarang ia seorang diri. Dalam waktu yang singkat, Jala Dara telah menjadi bulan-bulanan makhluk siluman itu. Bahkan menjelang pertarungan empat puluh jurus. Manusia siluman itu berhasil memporak porandakan pertahanan si Pisau Terbang. Begitu kuku-kuku yang runcing serta mengandung racun ganas tersebut merobek bagian tubuh Jala Dara. Tak ayal lagi tubuh laki-laki itu terhempas di atas rerumputan. Manusia siluman memburunya. Jala Dara dengan sisa-sisa tenaga yang dimilikinya berusaha menghantam wajah lawannya dengan mempergunakan pisau di tangannya.
  Craaak...!
  Manusia jejadian itu menyeringai memperlihatkan taring-taringnya yang runcing dan meneteskan darah segar. Lidahnya menjulur-julur menebarkan bau busuk yang tiada terperikan. Jala Dara merasa tiada pilihan lain lagi. Ternyata lawannya memiliki kekebalan tubuh yang sangat luar biasa. Si Pisau Terbang melihat musuh terus memburunya, ia mencoba beringsut menjauh. Tetapi gerakannya kalah cepat bila dibandingkan gerakan tangan lawannya yang terus terulur ke arahnya.
  Sreet! Sreet...!
  Sekali lagi jeritan tinggi menyayat terasa bagai merobek hutan dan seisi lembah itu. Tubuh Jala Dara hanya berkelejat-kelejat sebentar, lalu terdiam untuk selama-lamanya.
  Mengetahui lawannya sudah tidak bergerakgerak lagi, manusia jejadian itu mengeluarkan lolongan menyeramkan. Dengan tatapan liar dipandanginya mayat-mayat yang bergelimpangan di sekitar tempat itu. Sepasang matanya yang nampak merah membara secara perlahan meredup. Secara perlahan pula tubuhnya kembali berproses kembali ke dalam ujudnya yang asli. Begitu cepat kejadian itu berlangsung, hingga kemudian tubuh manusia siluman itu telah kembali pada ujud seorang laki-laki tua. Lama sekali diperhatikannya mayatmayat yang bergelimpangan itu, batinnya menjerit sedangkan wajahnya semakin tertunduk. Ia merasa sangat berdosa sekali pada orang-orang yang telah menjadi korbannya. Seumur hidup kejadian seperti yang berada di depannya itu tidak pernah terbayangkan sama sekali. Namun dia merasa tidak mempunyai kekuatan apa-apa untuk mengatasi kebuasan ilmu yang dimilikinya. Ilmu siluman yang telah mendarah daging di dalam tubuhnya itu sudah sangat sulit untuk dikendalikan. Padahal kejadian seperti itu sangat bertentangan sekali dengan hati nuraninya. Lebih dari itu, dalam ujud siluman ia tidak mampu bahkan tidak dapat mengingat apa-apa selain menumpahkan nafsu membunuh yang berkobar-kobar, buas.
  "Ya, Tuhan. Mengapa ilmu yang kuperoleh dari bukit siluman bertentangan dengan keinginan hati nuraniku. Padahal aku berusaha mendapatkan semuanya dengan tujuan agar semua kaum persilatan tidak menganggapku sebagai orang yang lemah. Aku hanya bercita-cita menjadi seorang di antara sekian banyak golongan lurus yang paling sakti tiada duanya. Tetapi mengapa harus begini? Rasanya tidak seorang pun di kolong langit ini yang mengetahui kelemahanku. Apakah sampai menutup mata aku harus pula menjadi manusia siluman? Aku... aku tak sanggup..." gumam laki-laki tua ini. Gurat-gurat penyesalan semakin membayang jelas di wajahnya yang telah keriput di sana-sini. Bahkan tanpa dapat dicegahnya, beberapa butir air mata sempat menggelinding jatuh menuruni rongga matanya yang cekung. Dengan langkah gontai dia melangkah menuju matahari terbit, meninggalkan mayat-mayat yang bergelimpangan dengan hati gundah gulana.

 



--₪¦ « 4 » ¦₪--

Keadaan dunia persilatan kian hari kian bertambah runyam dengan sepak terjang siluman serigala yang sangat buas itu. Semua orang merasa cemas bahkan ketakutan melanda hampir seluruh lapisan masyarakat berbagai golongan. Mereka merasa takut dengan kemunculan manusia siluman yang kedatangannya tidak dapat diduga-duga dan tidak pula dapat ditentukan tempatnya. Berbagai tokoh selalu menemukan jalan buntu untuk menumpas siluman yang ternyata kebal terhadap berbagai senjata tajam itu. Seolah-olah siluman serigala itu tidak mempunyai kelemahan sama sekali.
  Masalah yang sangat besar itu tidak luput dari perhatian Pendekar Hina Kelana yang pada hari itu sedang melakukan perjalanan menjelajah hutan rimba di kaki gunung Panjar. Sudah hampir dua pekan ia melakukan pencaharian seorang diri tanpa berkeinginan untuk bergabung dengan perguruan manapun. Yang juga ikut terlibat dalam memburu manusia siluman itu. Sampai sejauh itu belum ada tanda-tanda bagi si pemuda untuk dapat bertemu dengan makhluk yang telah meminta banyak korban tersebut. Apa yang sering dijum- painya tak lain bekas korban manusia jejadian itu di sembarang tempat. Apa yang disaksikannya ini terasa menggugah naluri kependekarannya. Buang tidak dapat membayangkan bagaimana korban semakin bertambah banyak lagi jika ia tidak dapat menemukan manusia siluman itu. Yang membuat si pemuda merasa heran justru manusia siluman itu setelah melakukan aksinya raib begitu saja tanpa meninggalkan jejak sama sekali. Bahkan tak seorang pun dari sekian banyak korbannya di beri kesempatan hidup.
  Tanpa menghiraukan rasa lelah yang mendera tubuhnya pemuda itu terus menelusuri kelebatan hutan rimba. Sampai kemudian ia kembali menemukan mayat-mayat bergelimpangan dengan keadaan tumpang tindih. Keadaan mereka sama mengenaskan dengan keadaan mayat-mayat yang dijumpainya dalam waktu sebelumnya. Melihat keadaan mayat-mayat itu tahulah si pemuda, kejadian yang menimpa mereka mungkin saja berlangsung sekitar empat hari yang lalu. Buang menutup hidungnya demi menghindari bau busuk yang menusuk hidung, bahkan membuat mual perutnya.
  "Tidak mungkin menguburkan mayat-mayat yang sudah rusak ini. Selain jumlahnya terlalu banyak. Hal ini akan menyita waktu dalam usahaku memburu manusia itu." gumamnya sambil memperhatikan suasana di sekitarnya.
"Manusia iblis mana mungkin tetap berdiam di sekitar sini. Ada baiknya kalau kucari saja di tempat lain." ujar Buang Sengketa berniat meninggalkan hutan itu. Namun niatnya langsung dibatalkan ketika mendengar denting beradunya senjata tajam dan raungan binatang serigala yang berjalan cukup jauh dari tempatnya berada.
  "Aku merasa yakin suara itu bukanlah bersumber dari serigala biasa. Nampaknya ini merupakan kesempatan bagiku untuk meringkus manusia siluman itu." katanya.
  Tanpa menunggu lebih lama lagi pemuda inipun segera meninggalkan tempat itu. Dengan mempergunakan ilmu lari cepat dan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai taraf sempurna sekali. Dalam waktu sekejapan saja tubuhnya telah lenyap. Tubuhnya melesat cepat, terbang laksana dihembus badai kencang.
  Tidak sampai sepemakan sirih. Pemuda ini telah sampai di dekat daerah pertempuran. Buang berlindung di balik sebatang pohon besar untuk memastikan siapakah yang sedang terlibat dalam pengeroyokan itu. Terlihat olehnya tujuh orang pengirim barang bersenjata pedang dan tombak sedang terlibat pertarungan melawan seorang lakilaki berpakaian merah. Buang Sengketa tidak dapat memastikan dari manakah para pengirim barang ini. Yang jelas mereka nampaknya memiliki kepandaian tinggi. Mengherankan tujuh orang rombongan ekspedisi ini dalam waktu sebentar saja sudah nampak terdesak. Buang merasa penasaran, sambil tersenyum-senyum yang hanya dia sendiri yang mengetahui maknanya. Pemuda itupun berkelebat mendekati pohon lainnya agar lebih jelas dapat melihat siapakah yang menjadi lawan rombongan pengirim barang itu. Satu kesempatan yang tiada disengaja, manusia jejadian membalikkan badan dan menyerang lawan yang berada di belakangnya.
  "Hah!" Buang Sengketa terperangah. Dugaannya tidak melesat. Inilah siluman yang akhirakhir ini melakukan teror di mana-mana. Dalam keterkejutannya itu, Buang tidak dapat tinggal diam lebih lama lagi. Terlebih-lebih dalam waktu yang sangat singkat manusia siluman itu telah berhasil merobohkan lima orang rombongan pengirim barang itu. Ketika siluman iblis itu siap menghabisi sisa-sisa pengirim barang. Pada saat itu tubuh Buang Sengketa melesat cepat dari tempat persembunyiannya. Dengan mempergunakan setengah dari tenaga dalam yang dimilikinya, si pemuda berusaha menggagalkan pembunuhan keji yang dilakukan oleh si manusia siluman.
  Splaak. Deees...!
  Manusia siluman itu hanya terhuyunghuyung saja begitu kedua tangan Buang yang teraliri tenaga dalam membentur pergelangan tangan lawan yang dipenuhi oleh bulu-bulu lebat. Dua orang sisa anggota pengirim barang terhindar dari maut. Mereka merasa berterima kasih sekali dalam keadaan sangat kritis seorang dewa penolong telah menyelamatkannya dari kematian.
  Sebaliknya si manusia siluman, begitu melihat ada orang lain yang menggagalkan niatnya nampak menggerung marah. Sepasang matanya yang merah semakin berkilat-kilat. Mulutnya menyeringai memperlihatkan taring-taring tajam berlumuran darah. Bahkan lidahnya yang cukup panjang terus menjulur-julur tiada henti.
  "Gerr... Auuung...!"
  Manusia siluman ini kembali melolong. Suaranya terasa menggetarkan dada si pemuda. Sementara dua orang yang ditolongnya tadi sudah tidak kelihatan lagi batang hidungnya. Buang Sengketa menyadari betapa berbahayanya pengaruh suara yang dikerahkan dengan mempergunakan tenaga dalam itu, ia segera melindungi diri dengan cara menutup indra pendengarannya. Lalu sesungging senyum kembali menghias di bibirnya. Sambil tetap tersenyum-senyum, pemuda ini membentak marah.
  "Telah begitu banyak korban yang berjatuhan akibat ulahmu, manusia siluman! Tetapi, sampai saat ini saya lihat kau masih tetap haus darah. Dengan cara apapun saya akan menghentikan ulahmu yang melebihi iblis itu...!" teriaknya sambil mempersiapkan diri menjaga segala kemungkinan.
  Manusia siluman itu mendengus, namun entah mengapa ia menyurut langkah. Pandangan matanya meredup. Kejadian ini membuat Buang merasa heran sendiri. Tetapi si pemuda sudah tidak sempat memikirkan mengapa siluman itu agak merasa jerih berhadapan dengannya. Mungkinkah manusia siluman ini mengenal dirinya. Persetan. Bagi Buang saat itu yang paling penting melenyapkan manusia iblis yang telah merenggut banyak korban secepatnya.
"Sekarang bersiap-siaplah kau untuk menerima hukuman dariku...!" berkata begitu Pendekar Hina Kelana segera menerjang manusia siluman. Meskipun merasa sungkan. Namun manusia siluman itu mana mungkin mau dibunuh begitu saja. Dengan sigap ia mengelak. Buang Sengketa langsung memburunya dengan mempergunakan jurus silat tangan kosong Membendung Gelombang Menimba Samudra. Begitu Buang Sengketa melakukan tendangan beruntun dengan mempergunakan kedua kakinya, sementara kedua tangannya berputar cepat membentuk perisai diri. Pihak lawannya langsung berbalik dan membalas gempuran Pendekar Hina Kelana dengan mempergunakan jurus 'Siluman Membongkar Gunung'. Begitu bergerak kedua tangan manusia siluman itu melakukan cakaran ke bagian kaki Buang Sengketa. Spontan si pemuda menarik balik serangannya yang pertama. Dengan mengandalkan ilmu peringan tubuh yang sudah mencapai taraf sempurna. Pemuda itu melentikkan tubuhnya ke udara menghindari cakaran lawan yang menimbulkan angin menderu. Dapat dibayangkan betapa manusia siluman itu memiliki tenaga dalam yang tinggi. Namun Buang juga bukanlah pendekar sembarangan. Gurunya kakek Bangkotan Koreng Seribu adalah tokoh sakti setengah dewa yang mewariskan berbagai ilmu kepandaian pada pemuda itu.
  Tidak dapat disangkal, begitu serangan pertamanya dapat dipatahkan oleh si manusia siluman. Maka Buang Sengketa mulai bersiap-siap membangun serangan baru. Namun sebelum niatnya itu terlaksana, lawan telah mendahuluinya dengan melakukan satu lompatan dan menerkam ke arah Buang Sengketa. Pemuda itu seperti terkejut beberapa saat lamanya. Keadaan ini bagi lawan merupakan sebuah peluang yang tidak di siasiakan lagi. Tapi manalah manusia siluman itu tahu, bahwa semua itu hanyalah merupakan taktik Buang Sengketa belaka. Ia memang sengaja hendak memancing kemarahan lawannya. Begitu kuku-kuku runcing dan mengandung racun itu dua jengkal lagi mencapai wajahnya. Laksana kilat tubuh Buang Sengketa merunduk serendahrendahnya. Kemudian lebih cepat lagi ia merangkak ke samping kanan. Sedangkan dalam posisi seperti itu, kakinya melakukan satu jegalan ke arah kaki lawan yang sedang berada dalam posisi setengah melayang.
  Gubraak...!
  Siluman serigala itu jatuh tersungkur dengan muka mencium tanah. Buang Sengketa tersenyum sinis. Tangannya menuding ke arah lawan yang nampak sedang berusaha bangkit dari tempatnya.
  "Ha... ha... ha... ha...! Aku di sini siluman iblis. Yang kau terkam itu bayanganku. Makanya jangan kelewat nafsu...!" ejek pemuda itu sambil tersenyum-senyum.
  Siluman serigala itu menjadi gusar sekali. Dalam hati ia mengagumi kecepatan dan kehebatan jurus-jurus yang dimainkan oleh lawannya. Namun rasa malu ternyata membangkitkan naluri siluman yang menguasai jiwanya. Maka sambil memperdengarkan suara lolongan yang begitu panjang. Kali ini ia siap dengan serangan barunya dengan mempergunakan jurus 'Angkara Murka'.
  Pendekar Hina Kelana segera menyadari apa yang akan dilakukan oleh lawannya. Dengan sikap waspada ia segera mempergunakan jurus 'Si Jadah Terbuang" dan jurus 'Si Gila Mengamuk' yang tidak perlu lagi diragukan kehebatannya. Buang berharap dengan mempergunakan kedua jurus itu secara bersamaan itu ia mampu menundukkan lawannya dengan waktu secepat mungkin. Mungkin hal-hal seperti ini bukanlah merupakan sebuah pekerjaan yang sangat mudah. Namun bagi pemuda yang penuh percaya diri ini segala sesuatunya penuh pula dengan kemungkinan.
  "Grauuungg...!"
  Manusia siluman menggembor. Tubuhnya berputar-putar, seolah mengerti apa yang diincar oleh Buang Sengketa.
  "Hemm. Kutu kampret itu kiranya tahu kalau aku akan menjadikannya patung hidup yang tidak lucu...!" batin Pendekar Hina Kelana.
"Haiit! Hiaat...!"
  Buang Sengketa cepat sekali merubah jurus-jurus silatnya dengan pukulan-pukulan andalan yang dimilikinya, dengan mengerahkan sebagian tenaga dalam yang dimilikinya. Buang Sengketa sekarang telah bersiap-siap dengan pukulan 'Empat Anasir Kehidupan' yang tidak asing lagi.
  "Hiaa...!"
  Sambil melompat ke udara, Buang Sengketa hantamkan tangannya ke depan. Serangkum gelombang sinar berwarna Ultra Violet melesat cepat ke arah manusia siluman itu. Serigala jejadian itu melihat adanya sambaran hawa panas ke arah dirinya segera pula mendorongkan kedua tangannya ke depan.
  Wuuus! Blaaam...!
  Terdengar suara ledakan keras ketika dua pukulan sakti itu saling bertemu di udara. Tubuh manusia siluman itu terhuyung-huyung beberapa tindak, tubuhnya tergetar. Buang Sengketa melihat manusia siluman itu menggerung, sedangkan lidahnya yang senantiasa terjulur itu telah dipenuhi dengan darah. Menandakan bahwa manusia siluman ini menderita luka dalam yang cukup lumayan. Sedangkan Buang Sengketa sendiri begitu pukulan yang dilepaskannya beradu dengan pukulan lawannya nampak terpental dengan tubuh menghantam sebatang pohon. Namun sambil menahan rasa sakit dan tiada menghiraukan keadaannya sendiri. Dengan cepat ia segera bangkit berdiri. Detik-detik selanjutnya ia telah menyerang manusia siluman itu untuk kesekian kalinya.
  Di luar dugaan manusia siluman serigala ini merubah jurus-jurus silatnya. Rupanya ia mulai menyadari bahwa lawan yang dihadapinya kali ini merupakan seorang lawan yang tangguh. Kejadian ini sebenarnya di luar perhitungannya. Merasakan kehebatan Buang Sengketa semakin bertambah yakinlah ia dengan apa yang menjadi dugaannya. Namun baginya keadaan telah menjadi kepalang basah. Dia tidak ingin mundur lagi. Apalagi ia selalu merasa yakin dengan kemampuan yang dimilikinya. Maka dengan diawali satu jeritan menggeledek yang juga tidak ubahnya bagai suara lolongan serigala. Tubuh manusia jejadian ini berkelebat lenyap. Hanya sambaran angin saja yang terasa semakin mempersempit ruang gerak Buang Sengketa. Pemuda ini tentu saja tidak menginginkan dirinya menjadi bahan permainan lawannya. Apalagi jika sampai tersambar pukulan maupun cakaran kuku-kuku lawannya. Dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuh, pemuda ini melentingkan tubuhnya ke udara dengan satu tujuan ingin melepaskan pukulan 'Si Hina Kelana Merana' yang sangat dahsyat itu.
  "Haiit!"
  Wuuus! Wuuuss!
  Ketika Buang Sengketa menghantamkan kembali tangannya ke arah lawannya, maka serangkum gelombang sinar merah menyala yang menimbulkan udara panas luar biasa menghantam pertahanan lawannya yang juga sedang berusaha mengatasi serangan Buang Sengketa.
  Buuum!
  Bumi terasa bagai hendak kiamat saja layaknya, ketika dua tenaga dalam yang sangat besar itu saling bertemu di udara. Tubuh Buang Sengketa sendiri saat itu terpental jauh dengan menderita luka dalam serta tidak ingat apa-apa lagi. Sedangkan keadaan yang dialami oleh manusia siluman itu sebenarnya tidak jauh berbeda dengan apa yang dialami oleh Buang Sengketa. Hanya saja meskipun ia terluka dalam cukup parah. Ia terjatuh dalam posisi berdiri. Ketika dilihatnya lawan tidak ada lagi di depannya, manusia siluman itu merasa perlu menyelamatkan diri dan mengobati luka-luka dalam yang dideritanya. Maka tanpa memikirkan lawannya lagi ia segera berlari cepat menuju Goa Keramat. Sementara Buang Sengketa yang sudah mulai siuman nampak berusaha mengembalikan dan menyembuhkan luka dalam yang dialaminya dengan pengerahan hawa murni.

 



--₪¦ « 5 » ¦₪--

Bila laki-laki tua berpakaian serba putih dan bagian dalam berwarna merah ini teringat tentang segala sepak terjang yang dilakukannya selama ini. Hatinya merasa sangat sedih sekali. Rasanya sampai akhir hidupnya ia tidak mungkin mampu menebus segala dosa-dosanya yang begitu besar. Bahkan ia pun terkadang tanpa sadar sempat menitikkan air mata ketika mengobati ketua perguruan Naga Putih dan beberapa orang muridnya yang terluka akibat perbuatannya sendiri.
  Bagi orang yang tidak mengetahui asalusulnya, mungkin mereka beranggapan bahwa pengobatan yang dilakukan oleh tabib Sapta Dewa terhadap para korban siluman serigala itu merupakan juru selamat yang tiada duanya
  Bahkan berbagai golongan persilatan sendiri menyadari. Sebelum kemunculan tabib Sapta Dewa beberapa waktu yang lalu. Banyak para korban manusia siluman serigala ganas itu yang tidak dapat tertolong jiwanya. Tetapi sekarang mereka harus berlega hati, walaupun korban-korban terus berjatuhan, namun setidak-tidaknya banyak diantara mereka yang dapat diselamatkan.
  Lain lagi halnya dengan si tabib itu sendiri yang terus menerus dihantui perasaan berdosa. Semakin banyak ia berhadapan dengan para korban siluman serigala yang tak lain merupakan dirinya sendiri. Maka semakin menjeritlah hati sanubarinya. Kini tabib Sapta Dewa yang tidak diketahui asal usulnya itu, nampak berjalan terseokseok meninggalkan perguruan Naga Putih. Meninggalkan desa yang berpenduduk padat itu, untuk selanjutnya menembus kepekatan malam.
  Sementara itu tidak begitu jauh dari tempat yang dilalui oleh tabib Sapta Dewa, dari arah yang berlawanan nampak rombongan perguruan Merak Emas yang dipimpin langsung oleh ketuanya, Nyai Surti. Juga sedang melintasi jalan itu bersama beberapa orang muridnya yang keseluruhannya terdiri dari kaum wanita. Selama beberapa hari ini mereka memang sengaja merambah hutan rimba untuk mencari manusia siluman yang telah menewaskan beberapa orang muridnya. Namun usahanya itu hingga sampai sekarang tidak juga mendatangkan hasil. Bahkan kemudian diketahuinya bahwa manusia siluman itu suka berpindahpindah tempat dari suatu daerah ke daerah lain. Hal inilah yang membuat usaha perguruan Merak Emas itu selalu mengalami kegagalan dalam usaha mereka mencari siluman itu. Bahkan malam inipun hal yang sama kembali terulang. Dengan perasaan kecewa rombongan yang terdiri dari enam orang inipun terus menelusuri jalan sunyi itu.
  Ketika mereka membelok pada sebuah tikungan, tiba-tiba salah seorang murid perguruan Merak Emas yang bernama Ayu Ningsih menghentikan langkahnya. Apa yang dilakukan oleh Ayu Ningsih, sudah tentu membuat Nyai Surti terheran-heran.
  "Apa yang kau lihat, Ayu...?" tanya perempuan setengah baya ini sambil memandang ke jurusan depan.
  "Guru lihatlah...!" kata Ayu Ningsih menudingkan telunjuknya.
  "Nampaknya orang itu memerlukan pertolongan, Ayu...!" ujar ketua perguruan Merak Emas setelah memperhatikan sejenak lamanya.
  Tanpa menunggu perintah, mereka pun bergegas mendekati orang berjubah putih yang kelihatan terus berguling-guling di atas tanah. Namun ketika mereka semua sampai di tempat itu, mendadak wajah mereka berubah pucat. Kedua mata mereka membelalak seakan tidak percaya melihat pemandangan yang terjadi di depan mereka. Bagaimana tidak, tadinya mereka melihat lakilaki itu nampak seperti sedang membutuhkan pertolongan. Bahkan dengan jelas mereka melihat orang itu seperti sedang kedinginan yang tiada tertahankan. Namun ketika mereka tiba di tempat itu dengan maksud memberikan pertolongan. Tidak mereka sangka laki-laki itu sedang mengalami perobahan bentuk. Mula-mula bagian wajahnya ditumbuhi dengan bulu-bulu kasar berwarna cokelat kehitam-hitaman. Selanjutnya di sela-sela bibirnya keluar pula dua pasang taring panjang lagi tajam. Bahkan mulut orang itu tidak henti-hentinya mengeluarkan suara lolongan. Mula-mula suaranya hanya lirih saja, namun semakin lama semakin keras dan jelas. Lebih dari itu, sekarang pada bagian ujung-ujung jemarinya telah pula keluar kuku-kuku yang panjang lagi runcing. Serta merta siluman serigala itu telah melompat berdiri. Sepasang matanya yang memerah sudah nampak berkilat-kilat penuh nafsu membunuh.
  "Siluman serigala...!" desis Ayu Ningsih. Dengan cepat murid utama perguruan Merak Emas ini mencabut pedangnya. Apa yang dilakukan oleh Ayu Ningsih kemudian diikuti oleh yang lainnya. Tidak ketinggalan ketua perguruan Merak Emas pun segera pula melolos pedang pusakanya. Agaknya mereka menyadari betapa manusia siluman itu merupakan seorang lawan tangguh yang tidak dapat di anggap sembarangan.
  "Cepat kurung dia...!" perintah Nyai Surti tanpa ayal-ayalan lagi.
  Secara serentak lima orang muridnya langsung mengepung manusia siluman itu dari her• bagai penjuru. Perlu diketahui perguruan Merak Emas sungguhpun bukan merupakan sebuah perguruan yang cukup besar. Namun perguruan yang dipimpin oleh Nyai Surti itu merupakan sebuah perguruan yang sangat disegani, baik oleh kawan maupun lawan. Empat penjuru dunia persilatan mengenal perguruan Merak Emas justru karena kehebatannya dalam memainkan ilmu pedang, lebih dari itu mereka juga bahkan menguasai ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai taraf sempurna.
  Tidak heran ketika mereka secara serentak mengepung siluman serigala itu dalam gebrakan pertama saja senjata di tangan mereka langsung berkelebat, menyambar ke arah pertahanan lawan yang mereka anggap lemah. Akan tetapi manusia siluman yang mereka hadapi kali ini merupakan seorang lawan, selain memiliki ilmu kebal juga memiliki berbagai ilmu simpanan yang tidak dapat dianggap remeh. Hujan senjata yang dilakukan oleh orang-orang perguruan Merak Emas dilayaninya dengan tangkisan tangan kosong serta di balas pula dengan serangan-serangan kuku-kuku yang runcing itu. Terasa adanya sambaran angin bersiuran manakala kuku-kuku runcing yang telah meminta korban begitu banyak ini menyambar bagian wajah dan dada murid-murid perguruan Merak Emas. Acapkali mereka terpaksa menarik balik serangan pedangnya bahkan secepatnya melindungi diri dari cakaran maupun terkaman yang dilakukan oleh manusia siluman itu.
  Pertarungan sengit itupun terus berlangsung. Namun sejauh itu masih belum ada tandatanda jatuhnya korban. Padahal dalam waktu yang singkat itu pertarungan telah berlangsung lebih dari tiga puluh jurus. Di lain saat setelah berhasil keluar dari kepungan dan babatan senjata lawannya. Manusia siluman itupun dengan cepat segera merobah jurus-jurus silatnya. Mula-mula manusia siluman ini membentangkan kedua tangannya lebar-lebar. Selanjutnya dengan disertai suara lolongan setinggi langit. Tubuhnya berputar-putar. Bahkan putaran tubuh makhluk menakutkan itu semakin lama semakin kencang luar biasa. Lebih dari itu, tubuh yang dalam keadaan berputarputar itu selanjutnya melakukan gerakan-gerakan yang sangat aneh. Di lain saat berkelebat menyambar ke arah lawan yang paling dekat dengan dirinya.
  Wuut! Brebet... brebet...!
  Terdengar adanya suatu benda yang terobek saat kedua tangannya melakukan sambaran berturut-turut. Dua murid perguruan Merak Emas tersungkur roboh dengan sebuah luka di bagian perut. Tubuh kedua gadis itu nampak berkelojotan sebentar selanjutnya terdiam untuk selamalamanya. Apa yang dialami oleh saudara seperguruannya, ternyata membuat amarah murid-murid lainnya terbangkitkan. Sekarang dua orang murid merangsak dalam jarak dekat. Serangan pedang mereka menggebu-gebu. Bahkan beberapa kali, tusukan pedang mengarah pada bagian perut berhasil mencapai sasarannya. Tetapi mereka harus menelan kekecewaannya ketika dengan mata kepala sendiri yang menjadi lawan kali ini merupakan siluman yang kebal terhadap senjata tajam.
  Semuanya sudah kepalang basah. Mereka nampaknya merasa tidak mempunyai pilihan lain lagi, terkecuali menggempur manusia siluman itu dengan segenap kemampuan yang mereka miliki. Sebelum ketua perguruan Merak Emas melakukan tindakan lebih jauh lagi. Kembali terdengar suara jeritan menyayat hati. Seorang murid Nyai Surti kembali tergelimpang dengan tubuh berlumuran darah. Bahkan belum lagi hilang kegusaran wanita itu, dua murid perguruan Merak Emas nampak terhuyung-huyung sambil memegangi bagian lehernya yang tersambar cakaran manusia siluman itu. Murid perguruan Merak Emas yang malang inipun terpaksa menyusul saudara-saudaranya yang lain. Sekarang tinggallah Ayu Ningsih dan Nyai Surti. Guru dan murid satu-satunya ini kelihatan sudah sedemikian kalapnya. Sejauh itu keduanya tetap mempergunakan akal sehat agar tidak terbawa perasaan yang mungkin saja akan membawa akibat celaka bagi mereka.
  Sementara pertarungan terus berlanjut. Dalam puncak kemarahannya itu, Nyai Surti memberi aba-aba pada muridnya.
  "Ayu! Pergunakan jurus andalan Merak Emas Kembangkan Sayap...!" perintahnya melalui ilmu menyusupkan suara.
  Tanpa berkata apa-apa, gadis itu nampak melompat menjauhi pertempuran. Sekarang ia mencabut sebuah pedang lainnya yang terselip di bagian pinggang sebelah kiri. Dengan mempergunakan dua buah pedang. Tubuh Ayu Ningsih selanjutnya telah pula berkelebat lenyap. Tubuhnya sekarang telah terbungkus sinar putih yang berasal dari kelebatan pedang di tangannya yang berubah cepat luar biasa. Sebaliknya Nyai Surti pun melakukan hal yang sama. Kali ini ketua perguruan Merak Emas ini pun segera mencabut pedang pusaka lainnya. Terdengar bunyi mendengungdengung laksana ribuan suara lebah yang keluar dari sarangnya. Saat mana Nyai Surti menggelar jurus Merak Emas Kembangkan Sayap.
  Siluman serigala itu nampaknya merasa kerepotan juga menghadapi serangan yang datangnya bagai air bah itu. Dalam situasi seperti itu manusia siluman juga mengerahkan segenap kemampuan yang dimilikinya. Setelah beberapa kali berhasil menghindari sergapan mata pedang yang datangnya dari dua penjuru. Maka manusia siluman inipun segera mengerahkan pukulan 'Siluman Serigala Memburu Mangsa'. Beberapa kali manusia jejadian ini mendengus, mulutnya menyeringai memperlihatkan taring-taringnya yang tajam dan panjang. Sementara itu matanya yang berkilat-kilat dalam kegelapan malam itu nampak memancarkan sinar merah laksana bara. Sebaliknya Nyai Surti dan Ayu Ningsih tanpa menghiraukan apa yang dilakukan oleh manusia siluman itu terus berusaha merangsak lawannya dengan cara memperhebat serangan-serangannya.
  "Auuung...!"
  Manusia siluman itu melolong panjang. Pada saat itu kedua belah tangannya yang mulai mengepulkan uap putih kebiru-biruan itu sudah berubah warna menjadi hitam legam.
  "Graauuung...! Weeeest...!"
  Tanpa membuang-buang waktu lebih lama lagi, manusia siluman tersebut menghantamkan pukulannya kedua arah. Tak ayal lagi pukulan itu laksana kilat meluruk ke arah lawan-lawannya. Baik Ayu Ningsih maupun Nyai Surti yang melihat datangnya pukulan yang berbahaya itu berbalik memutar pedangnya untuk melindungi diri. Sekarang tubuh mereka benar-benar telah terbungkus oleh gulungan sinar putih laksana perak.
  Bldaarr! Bldaaar...!
  Terdengar dua ledakan berturut-turut ketika pukulan yang dilancarkan oleh manusia siluman itu membentur pertahanan lawannya. Tubuh laki-laki berkepala serigala itu sempat terhuyunghuyung beberapa tindak ke belakang. Sementara Nyai Surti sendiri jatuh kerengkangan sejauh tiga tombak. Perempuan itu kelihatannya menderita luka dalam yang tidak ringan. Dan pabila ia menoleh ke arah Ayu Ningsih. Maka ia melihat murid kesayangannya itu sudah terkapar di bawah sebatang pohon. Melihat keadaan tubuhnya yang berubah hitam kebiru-biruan itu. Nyai Surti sudah dapat merasakan bahwa Ayu Ningsih sudah tidak dapat diselamatkan lagi.
  Tidak terperikan betapa marahnya perempuan itu melihat kematian yang dialami oleh murid kesayangannya itu. Perasaan sedih bercampur dengan amarah. Membuat wajah Nyai Surti berubah merah padam. Pandangan matanya yang semula penuh welas asih. Sekarang telah pula berubah menjadi beringas dan penuh dengan isyarat membunuh meledak-ledak.
  "Seumur hidupku. Engkaulah bangsat siluman yang paling buas diantara yang pernah ku temui. Ahkh... kau benar-benar makhluk keparat yang harus dibinasakan meski pun harus menggunakan seribu satu macam cara." teriak Nyai Surti. Sementara kedua pedang di tangannya terus berputar-putar tanpa henti.
"Manusia keparaaat! Aku pasti tidak dapat mati dengan mata terpejam sebelum engkau mampus di tanganku." bentaknya lagi.
  "Hiaaat. Haiiit...!"
  Tanpa berkata apa-apa lagi, dengan sisasisa kemampuan yang dimilikinya perempuan itu kembali menerjang lawannya. Pedang di tangannya membabat ke arah bagian leher, sedangkan yang satunya lagi menebas ke bagian kaki. Si manusia siluman menyeringai memperlihatkan taringtaringnya yang panjang. Tiada diduga-duga manusia jejadian itu melakukan satu tendangan memutar ke arah bagian perut Nyai Surti, sedangkan tangannya menyambar ke arah pedang yang berkelebat ke arah bagian pangkal tenggorokannya. Rupanya ketua perguruan Merak Emas yang sudah nekad itu tidak mempunyai keinginan untuk menarik balik serangannya. Meskipun ia menyadari tendangan yang dilakukan oleh lawan sebenarnya jauh lebih berbahaya dari sambaran jari tangan yang berkuku panjang itu.
  Traaak...!
  Tidak ubahnya bagai membentur batu gunung saja layaknya ketika senjata Nyai Surti berhasil menghantam bagian tenggorokan manusia siluman. Sebaliknya yang menjadi lawannya juga berhasil menghantamkan kakinya ke bagian perut Nyai Surti. Perempuan berusia empat puluh tahun itu kembali terjengkang roboh. Darah kental menggelogok dari sela bibirnya. Wajahnya bahkan nampak pucat sekali. Di lain pihak begitu melihat lawannya sudah tiada berdaya, manusia siluman yang telah menjatuhkan lima orang korban ini nampak menggerung sesaat. Mungkin ada sesuatu yang terlintas di dalam pikirannya. Hingga akhirnya ia melarikan diri begitu saja meninggalkan Nyai Surti yang berusaha mengobati luka dalamnya dengan cara mengerahkan hawa murni.

 



--₪¦ « 6 » ¦₪--

Senja hanya tinggal bayang-bayang merah belaka, suasana di jalan yang menuju ke Goa Keramat terasa sunyi. Hanya pemuda berpakaian serba merah itu saja yang terlihat berjalan gontai menelusuri jalan itu. Sesekali terdengar pula helaan nafasnya yang terasa berat. Seolah ada sesuatu yang teramat besar menghimpit rongga dadanya sehingga membuatnya sulit untuk bernafas.
  "Siluman serigala itu ternyata sangat sakti sekali. Seumur hidup aku belum pernah melihat seorang manusia siluman yang memiliki kekebalan tubuh yang luar biasa seperti dia. Bahkan mungkin pusaka Golok Buntung tidak mampu menembus kulit tubuhnya. Apa akalku sekarang? Aku tidak dapat membiarkan manusia siluman itu berkeliaran bebas lebih lama lagi. Tapi selama aku tidak mengetahui di mana letak kelemahan makhluk itu. Maka sangat sulit bagiku untuk menjatuhkan manusia siluman itu. Mungkin jalan satusatunya yang harus kutempuh adalah menjumpai roh guruku Si Bangkotan Koreng Seribu. Hanya dengan petunjuk dari dia sajalah aku dapat menyelesaikan semua tugas-tugasku dengan baik. Dan semua itu baru dapat kukerjakan jika aku telah mempergunakan ajian 'Tinggal Rogo'...!" gumam pemuda itu sambil menghentikan langkahnya, kemudian setelah memperhatikan situasi yang terdapat di sekitarnya. Buang Sengketa segera melesat ke sebuah tempat yang tersembunyi. Sejenak ia menarik nafas panjang. Barulah setelah Buang Sengketa merasa yakin betul bahwa keadaan di sekelilingnya dalam keadaan aman. Pemuda inipun segera melipat kedua tangannya di depan dada. Kemudian setelah memejamkan kedua matanya ia berusaha mengosongkan alam pikirannya. Keadaan seperti itu berlangsung cukup lama, hingga sampai kemudian.
  Plaaass!
  Terlihat benda berbentuk kabut putih keluar dan langsung melesat meninggalkan jasad kasarnya. Betapa hebatnya ajian 'Tinggal Rogo' yang dimiliki Buang Sengketa itu sehingga dengan seizin sang Hyang Tunggal ia dapat menempuh perjalanan di alam gaib.
  Ketika kemudian roh Pendekar Hina Kelana telah bergerak jauh meninggalkan jasad kasar-nya. Maka dari arah depan ia melihat kilauan cahaya berwarna putih yang tidak jauh bedanya dengan kain kafan. Cahaya itu berpendar menyilaukan mata.
  Plaass...!
  Begitu cahaya putih itu mendekati Buang Sengketa, maka terlihatlah secara samar roh Si Bangkotan Koreng Seribu.
  "Hem. Kembali kau berkeliaran ke alam roh, apakah kau masih ingin mengatakan padaku tentang sesuatu yang tiada berguna, murid Hina?"
  "Maafkan aku guru! Aku memang telah mengganggu kehidupanmu di alam kelanggengan. Tetapi kedatanganku karena membawa berita yang sangat penting, yang aku sendiri tidak tahu jalan pemecahannya...!" kata Buang Sengketa dengan sikap menghormat.
  Roh kakek Bangkotan Koreng Seribu yang dikenal sebagai gurunya Pendekar Hina Kelana tertawa tergelak-gelak.
  "Di hadapanku kau merengek-rengek seperti anak kecil. Padahal usiamu sudah hampir seperempat abad. Heh... apakah ada sesuatu yang tidak beres?" tanyanya mencemooh.
  "Bukan muridmu ini yang tidak beres. Tetapi ada seorang lawan yang memiliki kesaktian kurang beres...!" ujar Buang Sengketa dengan sikap serius.
  "Mengapa kau tidak segera membereskannya...?" Si Bangkotan Koreng Seribu balik bertanya.
  "Justru karena aku tidak dapat melakukannya sehingga aku merasa perlu untuk menjumpaimu. Jika saja aku dapat menyelesaikannya sendiri, untuk apa aku harus bersusah payah datang menjumpaimu...!"
  "Heh. Sejak nyawaku melekat di dalam jasad kasarku. Kau memang merupakan seorang murid yang menyebalkan. Tapi aku selalu dapat memakluminya, karena kau merupakan seorang murid yang setengah gendeng." komentar laki-laki pemurung itu sambil menatap tajam pada Pendekar Hina Kelana.
  "Guru sendiri juga sinting...!"
  "Hahaha... kita memang sama-sama keblinger...!" sambut Si Bangkotan Koreng Seribu sambil terus tertawa-tawa. Tapi kemudian laki-laki pemurung itu menghentikan suara tawanya. Dengan sikapnya yang selalu acuh, roh manusia setengah dewa itu langsung berkata.
  "Sekarang katakanlah apa yang menjadi kesulitanmu...!" sikap kakek Bangkotan Koreng Seribu mendadak berubah serius.
  "Begini, guru! Aku menghadapi seorang lawan yang sangat tangguh. Tubuhnya kebal terhadap berbagai senjata tajam. Dia merupakan manusia siluman serigala yang telah meminta banyak korban. Bahkan aku sendiri hampir tidak sanggup untuk menghadapinya. Bagaimana ini guru? Apakah guru tahu di mama kira-kira letak kelemahan dari ilmu kebal yang dimilikinya?" tanya Buang Sengketa penuh harap.
  Roh Si Bangkotan Koreng Seribu terdiam untuk sesaat lamanya. Namun hanya dalam beberapa saat setelah itu sikapnya telah berubah biasa kembali.
  "Apakah kau telah merasa bahwa pusaka Golok Buntung dan cambuk Gelap Sayuto telah kehilangan pamornya? Ah... ah... sebagai seorang murid ternyata kau sangat jarang mempergunakan daya pikirmu. Tapi tidak mengapa, karena aku sendiri dapat melihat, bahwa lawan yang kau hadapi kali ini benar-benar kebal luar biasa. Tapi jangan kira setiap kekebalan itu tidak ada titik kelemahannya."
  "Itulah sebabnya aku menanyakannya pada guru!" sahut si pemuda.
  "Buang Sengketa, muridku. Sebenarnya manusia siluman itu memiliki hati yang baik. Hanya saja ia tidak dapat mengendalikan ilmu siluman yang dipelajarinya. Sehingga hampir setiap waktu ia meminta korban. Tapi kalau kau memang ingin menjatuhkan manusia siluman itu. Kelemahannya terdapat pada bagian telapak kakinya. Dan itupun baru dapat kau hadapi pada saat malam purnama penuh." kakek Bangkotan Koreng Seribu menjelaskan.
  "Tapi, guru! Apakah aku tidak dapat menjatuhkannya di saat-saat lainnya. Misalnya pada saat bulan setengah, seperempat atau tiga perempatnya...?" tanya Buang Sengketa timbul kekonyolannya.
  "Kalau kau mencari mampus. Kau dapat melakukannya kapan saja jika kau mau." bentak Si Bangkotan Koreng Seribu, kesal.
  "Maafkan aku sekali lagi, guru. Aku hanya bertanya saja. Tapi baiklah aku merasa berterima kasih dengan petunjuk yang guru berikan."
  "Nah, sekarang tunggu apa lagi. Kembalilah ke dalam jasadmu...!" perintah roh Bangkotan Koreng Seribu.
  Sekali saja seberkas cahaya putih berpendar, maka ujud dari tokoh sakti itupun lenyap begitu saja. Sementara dengan hati mantap roh Buang Sengketa kembali pula menghampiri jasadnya.
  Plaass...!
  Tidak lama setelah itu tubuh Pendekar Hina Kelana telah kembali bergerak-gerak seperti sediakala.
  "Sekarang setelah kudapatkan di mana titik kelemahannya, satu hal lagi yang harus kukerjakan adalah menemukan tempat persembunyian manusia siluman itu." kata Buang Sengketa.

* * *



Berbagai perguruan bersatu saling bahu membahu dengan perguruan lainnya. Dengan satu tujuan membasmi siluman serigala itu dalam waktu secepatnya. Namun sampai sejauh itu tandatanda mereka akan berhasil memusnahkan manusia siluman tersebut masih juga belum kelihatan. Bahkan kian hari usaha kalangan persilatan hanya menambah deretan angka korban manusia siluman itu semakin bertambah banyak. Perasaan cemas semakin menyelimuti hati mereka, kemunculan manusia siluman itu yang tidak dapat diduga-duga, membuat semua penduduk di berbagai daerah menutup pintu rumahnya rapat-rapat sejak sore. Dusun-dusun sunyi senyap bagai kuburan. Kota-kota terasa bagai mati. Setiap hati hanya mampu memanjatkan doa semoga mereka masih mampu melihat matahari esok pagi. Di sementara pihak, perasaan putus asa menghantui berbagai perguruan yang pernah maupun yang belum sama sekali ikut melakukan pemburuan serigala yang haus darah itu. Bagaimana tidak? Hampir setiap hari mereka selalu pulang dengan wajah kecewa. Bahkan beberapa perguruan yang berada di wilayah barat ada yang tidak pernah kembali ke perguruannya sama sekali. Semua orang dapat memastikan mereka pastilah tewas dibantai oleh manusia siluman yang sangat ganas itu. Pada saat begitu banyak perguruan silat dirundung putus asa yang mendalam.
  Di sebuah tempat, tepatnya di sebuah kaki bukit yang bernama bukit Gerbang Kematian, nampak sedang berkumpul lima orang tokoh persilatan yang terdiri dari golongan putih dan golongan hitam. Nampaknya dua golongan berbeda yang hampir sepanjang sejarahnya menjadi seteru ini merasa perlu bergabung untuk memburu seorang lawan yang sangat tangguh di samping memiliki ilmu kebal yang luar biasa sekali. Kelima tokoh persilatan itu antara lain adalah, Buris Rawa atau yang lebih dikenal dengan julukan Iblis Rambut Api, Selasih atau si Selendang Akherat, Aki Tapa Rewang alias manusia Halilintar. Seorang tokoh yang terkenal karena kekejamannya. Dan juga pukulan sakti yang dapat membuat hangus lawanlawannya. Sedangkan dua orang lainnya adalah Jumena dan pendeta Adi Darma. Kelebihan yang dimiliki oleh saudara seperguruan ini terletak pada permainan tasbih sakti yang dapat mulur mengejar lawannya. Saat itu mereka duduk membentuk sebuah lingkaran dengan posisi duduk bersila dan berhadap-hadapan antara yang satu dengan lainnya. Yang terlihat aneh bahkan mengundang kagum bagi orang-orang yang melihatnya adalah karena mereka berada di atas balai-balai terbuat dari bambu. Sedangkan balai-balai itu hanya mempunyai sebuah tiang penyanggah sebesar pergelangan tangan dan telah lapuk pula. Dan menyanggah berat tubuh sedemikian banyaknya. Tiang balai-balai itu tidak patah. Kenyataan ini merupakan suatu tanda bahwa kelima tokoh itu, selain memiliki kepandaian tinggi, juga mempunyai ilmu meringankan tubuh yang sangat sempurna.
  "Aku merasa dapat penghormatan yang sangat besar sekali. Sebab hari ini anda semua benar-benar memenuhi undanganku. Sehingga bersedia datang di kaki bukit Gerbang Kematian ini untuk sama-sama membicarakan masalah penting. Yang semuanya kita lakukan demi keselamatan orang banyak." seorang laki-laki berkepala botak memulai pembicaraan. Dialah pendeta Adi Darma penghuni Gerbang Kematian.
  "Sobat Adi Darma tidak usah memakai peradatan segala. Kedatanganku kemari bukan untuk melihat balai-balaimu yang reyot dan tidak menyenangkan ini, tetapi aku hanya ingin ikut serta menyumbangkan tenaga. Kuminta langsung saja bicara pada titik persoalan." yang berkata begitu adalah Buris Rawa atau yang lebih di kenal dengan julukan Iblis Rambut Api.
  "Betul... hendaklah kita segera membicarakan titik persoalan yang sebenarnya sehingga semuanya dapat kita selesaikan dalam waktu yang singkat." dukung salah seorang wanita yang bernama Selasih.
  Pendeta Adi Darma yang menjadi tuan rumah nampak mengangguk-anggukkan kenalannya. Kemudian setelah memperhatikan wajah mereka satu-persatu. Laki-laki berpakaian serba putih ini pun segera berkata.
  "Seperti yang sudah sama-sama kita ketahui, bahwa sekarang ini rimba persilatan gempar dengan kemunculan seorang manusia siluman yang mengganas dan bertindak tanpa padang bulu. Telah begitu banyak korban yang berjatuhan. Bahkan beberapa perguruan sampai tidak bersisa sama sekali. Karena siluman itu kebal dengan berbagai senjata tajam. Saya kira inilah kesulitan yang bakal kita hadapi." kata pendeta Adi Darma mengawali pembicaraannya.
  "Hemm. Sebenarnya aku tidak perduli dengan segala monyet persilatan yang gugur di tangan manusia siluman itu. Tetapi karena tindakan manusia jejadian itu melebihi dari tindakan iblis. Maka meskipun aku merupakan tokoh sesat, sudah selayaknya aku berbuat sesuatu...!" sahut Buris Rawa dengan sikap acuh.
  "Bagaimana, saudara-saudara lainnya? Apakah anda sependapat dengan apa yang dikatakan oleh saudara Buris Rawa tadi...?" tanya sang pendeta sambil mengitarkan pandangan matanya pada orang-orang yang hadir di situ.
  "Kami semua merasa setuju. Hanya saja silahkan tentukan kapan kita harus memulai usaha kita untuk menemukan manusia siluman itu...!" jawab tiga orang lainnya.
  "Sebaiknya kita baru dapat memulai pencarian itu mulai besok pagi. Sekarang matahari sudah hampir tenggelam. Terlalu banyak resiko yang bakal kita hadapi jika kita berkeliaran malam hari...!" pendeta Adi Darma sekali lagi memberi saran yang langsung diterima oleh keempat orang lainnya.
  Malam itu mereka terpaksa menginap di pondok kediaman pendeta Adi Darma dan Jumena. Di langit bulan memancarkan cahaya kuning kemilau keemasan. Sang waktu merangkak dengan pasti. Saat itu malam baru menunjukkan pukul sepuluh. Sementara Adi Darma dan Jumena tidur di dalam ruangan pondok. Sementara Buris Rawa sedang duduk bersandar di bawah sebatang pohon sambil memandangi sinar bulan yang menerobos lewat dedaunan. Selasih atau si Selendang Akherat nampak sedang melepaskan lelah di balau-balai ruangan depan pondok. Satu lagi seorang laki-laki yang bernama Aki Tapa Rewang sudah mendengkur di atas balai di samping pondok sejak sore tadi.
  Demikianlah ketika kelima tokoh ini sedang tenggelam dalam alam pikirannya masing-masing. Tiba-tiba terdengar suara seseorang yang disertai hembusan angin yang agak kencang.
  "Heh. Malam dingin... udara di mana-mana menjadi dingin. Celaka... aku, celaka diriku yang tidak dapat mengendalikan apa yang kumiliki. Tetapi kelima orang itu juga bakal celaka. Mereka pasti akan celaka di tanganku...!"
  Kata-kata yang disampaikan lewat ilmu mengirimkan suara itu menggema sampai ke seluruh penjuru bukit. Bahkan Buris Rawa yang sedang melamun memandang bulan juga sempat mendengar suara yang sebenarnya ditujukan buat mereka itu. Dengan cepat Buris Rawa segera bangkit. Kemudian tanpa berpikir panjang lagi segera pula berlari ke arah datangnya suara tadi.
  Sementara itu empat orang lainnya yang juga sempat mendengar suara yang disampaikan lewat ilmu mengirimkan suara itu segera berlompatan dari tempatnya masing-masing. Bahkan sekarang Adi Darma dan Selasih telah berada di halaman depan.
  "Apakah kau mendengar suara tadi, adi Selasih...?" tanya pendeta Adi Darma seolah ingin meyakinkan pendengarannya.
  "Aku dengar. Orang itu pastilah memiliki kepandaian tinggi sekali. Di tempat ini hanya ada kita berlima. Pastilah yang dimaksud 'Mereka' oleh orang itu tidak lain kita-kita ini."
  "Alangkah lebih baik jika kita mencari tahu siapa sebenarnya orang itu." kata Selasih memberi tanggapan.
  "Kalau begitu kita bangunkan dulu adi Jumena dan Aki Tapa Rewang...!" perintah pendeta Adi Darma kepada Selasih. Dengan cepat mereka membangunkan dua orang lainnya. Setelah itu mereka bergegas ke luar dari dalam pondok. Pada saat itu mereka tidak melihat ke mana perginya Buris Rawa.
  "Celaka! Kakang Buris Rawa telah mendahului kita...!" kata Jumena dengan mata mencaricari ke segala sudut.
  "Jangan membuang-buang waktu. Kita susul saja dia!" ucap Aki Tapa Rewang.
  Akhirnya keempat orang itu segera berkelebat pergi menembus kegelapan malam. Dalam waktu yang sangat singkat mereka telah jauh meninggalkan Gerbang Kematian. Tujuan mereka sekarang terpusat pada satu arah, di mana suara tadi berasal. Namun setelah sampai di tempat itu mereka tidak menjumpai sesuatu apapun yang mencurigakan. Keempat orang ini saling pandang sesamanya.
  "Mengherankan sekali. Tadi padahal aku mendengar suara yang sangat jelas dari sini. Namun setelah kita melakukan pencarian. Ternyata tidak ada siapa-siapa di tempat ini." gumam Selasih seperti berkata pada dirinya sendiri.
  "Anehnya kakang Buris Rawa juga tidak kita temukan. Namun entah mengapa perasaanku jadi tidak enak. Jangan-jangan...!" Jumena tidak meneruskan ucapannya. Ia merasakan sesuatu sedang terjadi pada tokoh sesat yang bernama Buris Rawa itu.
  Apa yang menjadi kekhawatiran Jumena ternyata bukan rasa kekhawatiran yang tidak bersebab, karena pada saat itu di sebuah tempat yang agak jauh terpisah Buris Rawa sedang bertarung mati-matian dengan siluman serigala yang mereka cari. Dalam gebrakan pertama itu saja Buris Rawa atau Iblis Rambut Api sudah sedemikian terdesak mendapat tekanan-tekanan dari lawan yang begitu mematikan. Bahkan ketika Buris Rawa berhasil menghantamkan pukulan telak ke bagian dada lawan, manusia siluman itu hanya terhuyunghuyung dengan darah meleleh di bagian bibirnya. Sekarang setelah melihat dengan mata kepada sendiri, sadarlah Buris Rawa bahwa lawannya memiliki kekebalan yang sangat luar biasa.
  Kini tanpa sungkan-sungkan lagi Buris Rawa segera mencabut senjatanya yang berupa bolabola berduri yang memiliki rantai panjang. Dengan mempergunakan senjata andalan ini tokoh sesat tersebut berharap dapat menghantam lawannya pada bagian titik kelemahannya, yang ia sendiri tidak mengetahui tempatnya secara pasti. Di pihak siluman serigala begitu melihat lawannya mengeluarkan senjata, nampak menyeringai buas. Dalam kegelapan malam, sinar matanya semakin bertambah merah menyala. Bahkan di lain waktu sesekali terdengar pula suara lolongannya yang panjang menyeramkan. Sementara itu lidahnya nampak terus menjulur dan meneteskan air liur menjijikkan, bahkan taring-taringnya yang nampak berkilatkilat itu bagai tak sabar untuk merobek-robek tubuh Buris Rawa.
  Pada kenyataannya Iblis Rambut Api ini adalah seorang tokoh sesat yang tidak pernah mengenal perasaan takut walau barang sedikitpun. Itulah sebabnya meskipun pada saat itu lawannya nampak sedang dilanda kemarahan dengan memperlihatkan keangkerannya. Namun Buris Rawa malah terkekeh-kekeh. Bahkan dengan suara lantang. Laki-laki berwajah angker itu malah membentak.
  "Telah begitu banyak orang-orang yang tiada berdosa tewas di tanganmu, siluman keparat. Sekarang kau harus mati di tanganku...!" teriak Buris Rawa.
  Setelah berkata begitu Buris Rawa langsung memutar-mutar bola berduri di tangannya. Sementara itu manusia siluman kelihatan sangat marah sekali. Sepasang matanya bertambah merah membara, lidah menjulur-julur meneteskan air liur yang menebarkan bau busuk menyengat hidung.
  Ngung...!
  Deees! Duess...!
  Dengan gerakan sangat cepat Buris Rawa berhasil menyarangkan pukulannya pada bagian tubuh manusia siluman serigala itu. Manusia siluman itu terhuyung-huyung. Ia merasa akibat pukulan tadi membuat kepalanya berdenyutdenyut sakit. Walaupun ia menyadari baginya apa yang baru saja ia rasakan tidak membawa akibat apa-apa. Namun ia merasa perlu untuk mengakhiri lawannya dalam waktu secepatnya.
  Pada saat itu, Buris Rawa terus mengumbar pukulan-pukulan mautnya. Di lain saat senjatanya yang berapa bola berduri itu pun ikut menabrak. Namun kali ini rupanya manusia siluman itu telah merubah jurus-jurus silatnya. Tubuh berkepala serigala itu bahkan berkelebat cepat menghindari sergapan-sergapan bola berduri. Di lain waktu dengan gerakan seringan kapas ia bersalto ke udara untuk menghindari pukulan Iblis Penggetar Jagad. Gerakan-gerakan istimewa yang dilakukan oleh manusia siluman sudah jelas mendatangkan kerugian di pihak Buris Rawa. Laki-laki bertampang seram ini merasa hanya menguras tenaga secara sia-sia. Tiada terduga Iblis Rambut Api yang gampang naik darah ini melemparkan senjatanya sedemikian rupa. Lalu ia segera merangkapkan kedua tangannya ke depan dada. Sesaat setelahnya tubuh Buris Rawa nampak bergetar hebat. Kedua telapak tangannya telah pula mengepulkan uap putih kebiru-biruan. Bahkan yang membuat siluman serigala itu terperangah dalam puncak pengerahan tenaga dalam yang dilakukan oleh lawan. Tubuh Buris Rawa menebarkan bau menjijikkan. Sedangkan rambut Buris Rawa telah berubah pula merah membara.
  Mengetahui lawan yang dihadapinya kali ini benar-benar merupakan seorang lawan yang sangat tangguh. Maka tanpa membuang-buang waktu lagi, siluman serigala segera pula mengeluarkan ilmu andalan yang berupa ajian 'Serigala Memburu Mangsa' yang tidak kalah hebatnya, tubuh manusia siluman itupun menggeletar ketika ia mengeluarkan ilmu andalannya ini. Kemudian terdengar pula suara lolongan yang terasa menggidikkan bulu roma menembus jauh sampai ke seantero hutan rimba. Bahkan empat tokoh persilatan lainnya begitu mendengar suara lolongan itu segera bergerak menuju ke tempat terjadinya pertarungan.
  Sementara itu Iblis Rambut Api dan siluman serigala terlibat pertarungan sengit. Setiap masing-masing lawan melepaskan pukulan mautnya. Maka setiap kali pula tubuh mereka terlempar beberapa tombak. Yang membuat Buris Rawa semakin bertambah marah. Justru karena ia melihat lawannya hanya sedikit menderita luka dalam saja. Lain lagi halnya dengan dirinya, setiap benturan tenaga dalam itu terjadi. Maka Buris Rawa merasa dadanya semakin bertambah sesak luar biasa. Bahkan ia merasakan adanya hawa dingin secara terus menerus menyerang tubuhnya. Sadarlah ia betapa siluman serigala itu juga memiliki pukulan beracun yang sangat ganas.
  "Hoeek!"
  Dalam keadaan terhuyung-huyung itu, Buris Rawa kelihatan muntah darah beberapa kali. Darah meleleh dari celah-celah bibirnya. Sementara hawa dingin akibat pukulan lawan yang ternyata di atas pukulan yang dimilikinya telah menyerang ke seluruh pembuluh darahnya. Laki-laki bertampang sangar itu merasa tidak mampu mengungguli lawannya. Apalagi jika harus melawan manusia siluman itu seorang diri. Kemudian berbagai akal muslihatpun bermunculan di dalam benaknya.

 



--₪¦ « 7 » ¦₪--

Namun sebelum Buris Rawa dapat menentukan langkah-langkah selanjutnya. Tiba-tiba si manusia siluman yang telah melihat lawannya sedang terluka dalam, nampak bergebrak lagi. Kali ini tubuh manusia siluman melakukan satu gerakan menerkam ke bagian perut lawannya. Buris Rawa langsung membantingkan tubuhnya begitu merasakan adanya sambaran hawa dingin menerpa bagian tubuhnya. Namun gerakan ini kalah cepatnya bila dibandingkan sambaran kuku-kuku lawannya.
  Breet... Craaak...!
  "Argggkh...!" Buris Rawa melolong setinggi langit. Tubuhnya terhuyung-huyung. Sementara darah nampak mengalir dari bagian perutnya yang memburai. Sedangkan sepasang matanya membelalak bagai hendak melompat keluar.
  Melihat lawannya dalam keadaan tiada berdaya. Siluman serigala itu mendengus-dengus. Tidak lama setelah tubuh Buris Rawa ambruk ke bumi, maka manusia siluman itupun telah pula mengeluarkan suara lolongan berkepanjangan.
  Dengan terhentinya suara lolongan manusia siluman itu, keadaan di sekitarnya berubah sunyi seketika. Bahkan makhluk siluman itu hampir saja meninggalkan korbannya yang sudah menjadi mayat, ketika secara mendadak muncul tiga orang laki-laki dan seorang perempuan mengepung dirinya.
  "Siluman keparaat!" maki Selasih ketika melihat kawan mereka dari golongan hitam telah terbujur menjadi mayat.
"Kawan-kawan. Lihatlah makhluk celaka ini telah membunuh kakang Buris Rawa dengan cara yang amat keji...!"
  Semua mata sekarang tertuju ke arah mayat Buris Rawa dan manusia siluman secara silih berganti. Bahkan beberapa di antara mereka langsung memalingkan kepada tidak tahan melihat keadaan Iblis Rambut Api yang sangat menggenaskan itu.
  "Betapa Tuhan mengutuk perbuatanmu, siapapun adanya engkau ini. Sungguh pekerjaan ini hanya pantas dilakukan oleh setan berhati iblis...!" kata pendeta Adi Darma, sambil memandang tiada berkedip pada manusia serigala yang berdiri tidak begitu jauh darinya. Manusia jejadian itu diam tiada bereaksi. Hanya pandangan matanya saja yang tajam menusuk nampak memperhatikan orang-orang yang mengepungnya.
  "Aku yakin kau bisa bicara manusia siluman!" bentak Aki Tapa Rewang merasa tidak sabaran lagi.
"Tapi kau sengaja diam membisu. Tapi... tidak mengapa, ilmu yang kau miliki benar-benar telah menyesatkanmu. Telah begitu banyak orangorang yang tiada berdosa tewas di tanganmu. Engkau pantas untuk mendapat hukuman yang setimpal...!" tambahnya lagi.
  Siluman serigala itu masih juga bungkam. Hal ini membuat Jumena yaitu adik seperguruan pendeta Adi Darma yang juga gampang naik darah, menjadi tidak sabaran lagi.
  "Siluman sialan! Kami berempat datang mewakili mereka-mereka yang telah tiada. Harap sudilah membunuh diri di depan kami, sebagai penebus dosa-dosamu yang telah melampaui batas itu. Cepatlah sebelum kami yang akan menjatuhkan hukuman lebih berat lagi padamu...!"
  Mendengar kata-kata Jumena yang bernada memerintah ini, manusia siluman itu nampak sangat marah sekali. Sekarang sinar matanya yang tadinya meredup, kini semakin bertambah merah berkilat-kilat. Mulutnya mendengus memperlihatkan dua pasang taringnya yang panjang berlumuran darah. Bahkan beberapa saat setelah itu, kembali mengeluarkan suara lolongan panjang. Empat orang pengepungnya saling berpandangan sesamanya. Rasanya mereka tidak mempunyai pilihan lain lagi, kecuali menggempur manusia jejadian itu sampai titik darah yang terakhir. Maka ketika melihat pendeta Adi Darma menerjang manusia jadi-jadian ini, maka tiga orang lainnya langsung pula melibatkan diri ke gelanggang pertempuran. Menyadari yang menjadi lawannya kali ini selain kebal juga memiliki kepandaian yang sangat tinggi. Maka dalam gebrakan pertama ini saja mereka telah mengeluarkan jurus-jurus andalan yang mereka miliki. Sebaliknya manusia siluman ini juga sadar bahwa empat orang pengeroyoknya juga memiliki kepandaian setingkat dengan Iblis Rambut Api. Ia berpikir tidak mudah menjatuhkan lawan seperti itu. Namun untuk mundur apalagi kabur baginya merupakan sebuah pantangan yang tidak perlu dilanggar. Pula kalau pun ia berhasil meninggalkan mereka. Cepat atau lambat pada suatu saat mereka pasti akan mencari dirinya.
  Berpikir sampai ke situ, tiba-tiba saja manusia siluman itu membangun sebuah serangan yang tidak kalah hebatnya dengan seranganserangan gencar yang dilakukan oleh lawanlawannya. Tidak dapat dihindari lagi. Dalam waktu sekejap saja pertarungan sengitpun berlangsung di tempat itu. Siluman serigala itu meskipun memiliki kepandaian tidak terukur. Namun kali ini lawan-lawannya merupakan orang-orang yang memiliki pengalaman dalam berbagai pertempuran. Di samping memiliki ilmu silat tinggi. Tidak pelak lagi ketika pertempuran berlangsung lima belas jurus, manusia jejadian itu sudah mulai terdesak. Bahkan dua kali tendangan menggeledek yang dilakukan oleh Aki Tapa Rewang mendarat telak di bagian punggungnya. Si manusia siluman terhuyung-huyung ke depan. Dari bagian depannya telah pula menyambut serangan pedang yang dilakukan oleh Jumena. Manusia siluman itu meskipun tubuhnya kebal terhadap berbagai senjata tajam, namun mana mau ia membiarkan tubuhnya termakan pedang lawannya. Dengan gerakan tidak terlihat. Ia mempergunakan jemari tangannya untuk menangkap ujung pedang lawannya. Sementara kaki kanannya melakukan tendangan menyilang ke arah bagian perut pendeta Adi Darma.
  "Crret! Dueees...!"
  Gerakan kilat lawan benar-benar di luar perhitungan pendeta Adi Darma. Hingga membuat pendeta itu terjengkang. Sementara itu pedang Jumena berhasil ditangkap oleh lawannya. Tariktarikan memperebutkan pedang itupun terjadi. Celakanya Jumena tidak juga melepaskan senjatanya yang terjepit di sela-sela jemari tangannya. Padahal jarak di antara mereka begitu dekat. Kesempatan yang hanya sesaat itu dipergunakan oleh si manusia siluman dengan mempergunakan kukukukunya yang tajam.
  "Adi Jumena! Awaaas...!"
  "Craaas...!"
  Peringatan pendeta Adi Darma nampak siasia belaka. Kuku yang tajam dan mengandung racun ganas telah menghunjam di bagian pangkal leher Jumena. Darah langsung menyembur dari luka-luka itu. Tiada jeritan yang terdengar. Tubuh Jumena langsung terkapar di atas tanah kering berembun, tidak begitu jauh dari tempat Aki Tapa Rewang berada. Sebagaimana yang lain-lainnya. Laki-laki berpakaian serba hitam itu pun menjadi murka demi melihat kematian tragis yang dialami oleh Jumena. Meskipun Aki Tapa Rewang merupakan tokoh golongan sesat, namun Jumena merupakan sahabat baiknya selama berpuluh-puluh tahun. Apa yang ia saksikan hari ini benar-benar telah membuka matanya. Betapa siluman serigala itu benar-benar siluman yang sangat ganas sekali. Dalam kemarahannya itu, sambil bersiap-siap mengerahkan pukulan 'Halilintar Membelah Samudra', Aki Tapa Rewang membentak, "Siluman keparat! Kau habiskan sisa-sisa hidupmu hanya untuk mengamalkan ilmu celaka itu. Sampai menutup mata, hatiku tidak akan pernah tenang sebelum berhasil membunuhmu...!"
  "Auuuungg...!"
  Sebagai jawaban, manusia siluman itu menggerung. Suaranya yang tinggi melengking bahkan serasa meruntuhkan seisi langit. Membuat bulu kuduk mereka yang ikut terlibat pertempuran merinding. Kejadian seperti itu hanya berlangsung sesaat saja. Kematian Jumena membuat mereka sudah tidak dapat berpikir lagi siapa sesungguhnya manusia siluman itu.
  Dalam pada itu Aki Tapa Rewang, pendeta Adi Darma dan Selasih atau si Selendang Akherat sama-sama telah melepaskan pukulan andalannya. Semuanya mengarah pada si manusia siluman.
  Manusia jejadian itu benar-benar terperanjat begitu melihat datangnya pukulan maut dari berbagai jurusan. Hawa dingin dan panas serasa memenuhi tempat itu. Rasanya ia tidak memiliki pilihan lain lagi untuk menyelamatkan diri. Bahkan manusia jejadian itu tidak dapat mengukur seberapa hebat akibat yang ditimbulkan oleh pukulan yang dilepaskan oleh lawan-lawannya. Namun dari sisi lain ia dapat merasakan bahwa pukulan yang dilepaskan oleh Aki Tapa Rewang tadi yang benar-benar sangat berbahaya bila dibandingkan dengan dua lainnya. Akhirnya dengan nekad manusia siluman itu mengerahkan segenap tenaga dalam yang dimilikinya untuk memapak serangan-serangan itu. Sekejap kemudian iapun telah mengembangkan tangan-tangannya. Setelah itu langsung memutarnya ke segala arah membentuk perisai diri. Terdengar suara angin bersiuran manakala kedua tangan berkuku runcing itu berkelebat cepat laksana baling-baling.
  Wuuust! Blaam! Blaam...!
  Akibat benturan yang sangat hebat itu. Membuat pohon-pohon di sekitarnya menjadi porak poranda. Bumi terguncang bagai dilanda selaksa gempa. Aki Tapa Rewang terjengkang sejauh tiga tombak. Darah kental menggelogok dari mulutnya. Jelas sekali laki-laki berjanggut putih ini mengalami luka dalam yang tidak ringan. Sementara pendeta Adi Darma terpelanting ke dalam semak-semak. Tidak dapat disangkal pendeta berjubah putih inipun mengalami luka dalam lebih serius bila dibandingkan dengan Aki Tapa Rewang. Sebaliknya Selasih atau si Selendang Akherat malah tidak berkutik-kutik lagi.
  Sebaliknya siluman serigala itupun mengalami akibat yang tidak ringan. Dengan terjadinya benturan yang sangat keras tadi. Membuat tubuh siluman serigala melesak ke dalam tanah hingga sebatas dada. Ia merasakan dadanya sesak, nafasnya terasa memburu namun tersendat-sendat. Dengan bersusah payah siluman itu mencoba membebaskan diri dari gumpalan tanah yang menghimpitnya. Setelah memakan waktu agak lama barulah siluman itu benar-benar terbebas sepenuhnya. Namun kejadian yang dialaminya benar-benar membuatnya marah sekali. Kini dengan nafas mendengus dam lidah menjulur-julur. Ia memperhatikan situasi di sekelilingnya. Namun ia sudah tidak melihat lagi adanya tiga orang lawan yang tadi hampir membuatnya terkubur hiduphidup. Rupanya di luar sepengetahuan manusia siluman. Aki Tapa Rewang, pendeta Adi Darma dan Selasih meninggalkan tempat itu dengan memanggul tubuh Jumena dan Iblis Rambut Api yang telah menjadi mayat. Mereka memang harus mengakui, tidak mungkin mampu mengalahkan manusia siluman itu, selama mereka tidak dapat mengetahui di mana titik kelemahannya. Jika pun pertarungan itu tetap dilanjutkan, mereka merasa usahanya hanya akan sia-sia saja. Apalagi mereka menyadari saat itu masing-masing telah terluka dalam cukup parah. Tidak ada pilihan lain, mereka harus pergi untuk menyembuhkan luka dalam yang mereka derita. Setelah itu baru berusaha menemukan jalan lain dalam usahanya membunuh siluman ganas dan kebal terhadap berbagai senjata itu.

 



--₪¦ « 8 » ¦₪--

Sudah satu purnama lebih Buang Sengketa melakukan perjalanan jauh dalam usahanya mencari siluman yang sangat ganas itu. Namun hingga sampai saat ini Pendekar Hina Kelana masih belum juga berhasil menemukan tempat persembunyiannya. Dengan tiada mengenal putus asa, Buang Sengketa terus melanjutkan usahanya di lain tempat. Hingga sampai siang itu si pemuda melintas di pinggiran hutan kecil yang ia ketahui merupakan jalan satu-satunya menuju perguruan Naga Putih. Dengan sikap acuh tak acuh pemuda ini mengayunkan langkahnya. Sesekali irama syair-syair lagu yang terdengar sumbang pun terlepas dari bibirnya. Tak urung Buang Sengketa tersenyum sendiri manakala menyadari lagu yang dinyanyikannya tidak enak di dengar. Meskipun untuk ukuran telinganya sendiri. "Syair jelek. Lagu jelek! Ha... ha... ha...! Ku kira sangat pantas dan wajar-wajar saja. Lha yang menyanyikan saja bukan penyair sejati. Tapi kupikir-pikir suaraku tidak kalah bagusnya bila dibandingkan dengan suara burung kutilang." gumamnya sambil terus mengayunkan langkah.
  Namun pada detik-detik selanjutnya sudah pula terdengar suara siulan yang sangat ringan. Iramanya yang tidak teratur dan terasa menyimpang dari yang dikehendakinya, membuat pemuda itu kembali menggerutu di dalam hati.
  "Uhh. Rasanya suara siulanku juga tidak bagus. Kupikir-pikir masih lebih baik lagi suara derit pintu bambu. Mau nyanyi tidak becus, mau bersiul juga hanya membuat monyet hutan lari terbirit-birit. Lebih baik diam saja...!"
  Buang Sengketa kemudian sambil tersenyum-senyum segera mempercepat langkahnya. Bahkan beberapa saat kemudian pemuda itu hampir saja mengerahkan ajian Sepi Angin jika ia tidak mendengar suara tangis seorang perempuan yang tidak begitu jelas. Karena Buang Sengketa tidak mengetahui secara pasti siapa sebenarnya yang sedang menangis itu. Maka tidak ayal lagi, ia segera mendatangi ke sumber suara tadi. Hanya dalam waktu yang sangat singkat, pemuda itu telah sampai ke tempat sumber suara tadi. Namun ia tidak segera menghampiri perempuan itu. Karena sebenarnya ia ingin tahu siapa sebenarnya perempuan setengah baya yang terus tersedu-sedu di atas kuburan yang masih sangat baru itu.
  "Murid-muridku, maafkan gurumu ini. Tiada kusangka kalian akan pergi secepat ini. Oh... betapa perguruan Merak Emas telah kehilangan kalian untuk selama-lamanya. Aku menyesal telah mengajak kalian mengadu jiwa dengan siluman serigala keparat itu. Padahal jika kuizinkan kalian tetap tinggal di perguruan, tentu nasib yang kalian alami tidak setragis ini...!" kata perempuan itu yang tidak lain merupakan ketua perguruan Merak Emas. Sekarang mengertilah Buang Sengketa, rupanya ketua perguruan Merak Emas itu baru saja kehilangan murid-muridnya. Buang Sengketa bahkan merasa yakin mungkin lima gundukan tanah merah yang masih baru merupakan kuburan para murid perguruan Merak Emas. Pendekar Hina Kelana dapat merasakan betapa sangat terpukulnya ketua perguruan Merak Emas itu karena kematian murid-murid yang dikasihinya. Apalagi mereka tewas dengan cara yang sangat menyedihkan. Sekarang dengan sikap berhati-hati sekali, pemuda itu keluar dari tempat persembunyiannya. Hal ini sebenarnya bukan di luar sepengetahuan Nyai Surti. Sebab sejak kehadiran Buang Sengketa pertama tadi sebenarnya perempuan itu sudah mengetahui kehadiran orang lain di tempat itu. Namun karena ia merasa, pendatang yang berusia masih muda itu tidak bermaksud mengganggunya meskipun sedikit ada perasaan curiga tapi ia tetap diam saja. Apalagi pada saat itu ia sedang dalam keadaan berduka.
  Baru saja Pendekar Hina Kelana hendak mengatakan sesuatu, di luar dugaan Nyai Surti telah mendahuluinya.
"Siapakah engkau ini, bocah? Sehingga begitu berani mengganggu masa berkabungku...?" tanya perempuan itu dengan suara tergetar.
  Buang Sengketa buru-buru menjura beberapa kali demi menghindari hal-hal yang tidak diharapkannya.
  "Maafkan saya, orangtua. Sama sekali saya tidak mempunyai maksud mengusik ketenanganmu. Bahkan sayapun ikut berduka cita atas musibah yang telah menimpa murid-murid perguruan Merak Emas." ujarnya dengan mimik serius.
  "Aku bertanya siapakah engkau ini yang sebenarnya?" ulang ketua perguruan Merak Emas tanpa berpaling sedikitpun juga.
  "Eeh... namaku Buang Sengketa. Saya hanya seorang pengelana biasa!" kata pemuda itu dengan sikap merendah. Sudah barang tentu begitu Buang Sengketa menyebutkan namanya, Nyai Surti terperanjat bahkan di luar dugaan si pemuda. Ketua perguruan Merak Emas inipun membalikkan tubuhnya dan memandang takjub pada si pemuda yang berdiri tidak begitu jauh dari hadapannya. Yang membuat Buang Sengketa semakin tidak mengerti adalah karena sorot mata perempuan itu meskipun masih kelihatan berduka, namun telah berubah lembut tanpa perasaan curiga apa-apa.
  "Buang Sengketa...!" ucapnya seperti ingat sesuatu.
"Melihat penampilanmu aku merasa yakin pastilah anda memiliki sangkut paut dengan almarhum Si Bangkotan Koreng Seribu. Kalau dugaanku ini benar, itu berarti andalah tokoh rimba persilatan yang memiliki gelar Pendekar Hina Kelana. Apakah benar apa yang menjadi dugaanku ini?" tanya Nyai Surti penuh harap.
  Buang Sengketa meskipun merasa sangat terkejut, bahkan tiada menyangka ketua perguruan Merak Emas tahu banyak tentang dirinya. Akhirnya hanya menganggukkan kepala saja.
  "Pendekar Hina Kelana, sudah terlalu sering aku mendengar kehebatan sepak terjangmu. Anda merupakan seorang tokoh muda yang tiada tandingnya hingga sampai saat ini...!" kata Nyai Surti polos.
  "Orangtua, janganlah memakai segala peradatan. Saya hanya seorang manusia biasa. Apapun yang ingin saya lakukan di tempat ini hanyalah dengan satu tujuan. Yaitu mencari siluman serigala yang telah menjatuhkan banyak korban...!" kata Buang Sengketa tanpa bermaksud menyombongkan diri.
  "Akupun sudah menduga, anda pasti akan melakukannya. Sungguhpun murid-muridku semua telah tewas di tangan manusia siluman itu. Namun kalau anda tidak keberatan saya bersedia mengulurkan tenaga."
  Wajah pemuda itu berubah memerah sesaat, ketika Nyai Surti menawarkan diri.
  "Maaf, Nyai...! Bukan aku menolak maksud baikmu. Tetapi mengingat manusia siluman itu telah meminta banyak korban. Maka aku telah bertekad melakukan pencarian seorang diri. Sekali lagi maafkan aku, orangtua...!"
  "Tidak kusangka, Pendekar Hina Kelana mempunyai jiwa rendah hati. Baiklah pendekar. Kalau itu sudah keinginanmu, sebagai orangtua aku hanya mampu mendoakan keselamatan dan keberhasilanmu...!" kata Nyai Surti polos.
  Buang Sengketa kembali menganggukkan kepala. Sebenarnya Buang tahu, Nyai Surti agak kecewa dengan penolakannya itu. Tapi sudah menjadi kebiasaan pemuda ini sejak dulu. Ia merasa lebih leluasa bertindak seorang diri. Daripada harus bertindak dengan campur tangan orang lain. Selain itu ia juga menghendaki agar korban yang jatuh tidak semakin bertambah banyak lagi.
  "Kuharap orangtua dapat maklum dengan keputusanku ini. Seperti yang sudah sama-sama kita ketahui siluman serigala itu selain kebal, juga sangat ganas sekali. Selama ini sangat jarang sekali setiap lawan-lawannya dibiarkan bersisa. Apalagi bila mengingat perguruan Merak Emas baru saja kehilangan beberapa orang muridnya. Saya pribadi tidak ingin korban berjatuhan lebih banyak lagi. Untuk itu saya telah memutuskan untuk mencarinya sendiri...!" kata Buang Sengketa mantap.
  Nyai Surti nampaknya sadar betul dengan apa yang baru saja dikatakan oleh pendekar itu.
  "Baiklah pendekar! Aku merasa yakin dengan kemampuan yang anda miliki. Dari sini aku hanya mampu mendoakan keselamatanmu selalu...!" kata perempuan itu mengulangi katakatanya.
  Buang Sengketa hanya menganggukkan kepalanya. Kemudian setelah berpamitan dengan ketua perguruan Merak Emas, pemuda inipun berkelebat pergi menelusuri kelebatan hutan yang sunyi lagi angker.

 



--₪¦ « 9 » ¦₪--

Nama tabib Sapta Dewa kian hari kian dikenal orang di berbagai tempat. Sudah sangat banyak korban manusia siluman serigala itu yang tersembuhkan lewat tangannya. Tidak heran jika orang merasa takjub bahkan bersikap hormat kepadanya karena selain tabib itu dapat datang sewaktu-waktu tanpa diundang. Juga pertolongan yang diberikannya tidak pernah meminta pamrih apa-apa.
  Siang itu di sebuah tempat yang agak terpencil, tabib Sapta Dewa dengan tekunnya nampak sedang mengobati beberapa orang laki-laki korban manusia siluman itu. Entah karena sudah dua hari lebih ilmu iblis yang dianutnya tidak melihat darah atau karena memang sudah waktunya penyakit anehnya kambuh. Yang jelas ketika berhadapan dengan orang terakhir yang akan disembuhkannya. Tiba-tiba saja tubuhnya nampak menggeletar hebat, bagai orang yang terserang racun ganas. Mula-mula mereka yang mendapat perawatan tabib Sapta Dewa hanya menganggap, mungkin saja orangtua budiman itu sedang mengeluarkan racun yang mengendap di bagian tubuh kawan mereka. Hal ini memang masuk akal sekali. Sebab orang yang mendapat perawatan terakhir dari tabib Sapta Dewa mengalami pembekuan darah di beberapa tempat.
  Namun ketika mereka melihat perubahan wajah dan tangan tabib Sapta Dewa yang berlangsung secara cepat itu, mereka menjadi memekik ketakutan. Bagaimana tidak? Sekarang mereka dengan jelas dapat melihat wajah tabib Sapta Dewa telah berubah sepenuhnya menjadi ujud kepala serigala. Bahkan sepasang matanya yang teduh, sekarang telah berubah merah menyala. Lebih dari itu, dari bibir laki-laki itu sekarang telah pula mengeluarkan taring panjang lagi tajam.
  "Kurang ajar. Kiranya manusia siluman itu tidak lain tabib Sapta Dewa adanya...!" teriak salah seorang laki-laki yang terus mengawasi jalannya pengobatan yang dilakukan oleh tabib Sapta Dewa. Tanpa membuang-buang waktu lagi, laki-laki itu segera menghunus goloknya dan langsung menyerang tabib Sapta Dewa alias siluman serigala yang selama ini telah mengganas di mana-mana.
  Tapi sampai di manalah kekuatan yang dimiliki oleh laki-laki itu? Walaupun golok panjangnya yang mengkilap tajam beberapa kali sempat menghantam tubuh siluman itu, namun yang menjadi lawannya tidak bergeming sedikitpun juga. Beberapa orang kembali menjadi korban. Bahkan orang-orang yang tadinya mendapat perawatan dari tabib Sapta Dewa yang sekarang telah berubah menjadi siluman, sekarang sudah tidak tersisa lagi. Sekarang hanya laki-laki itulah seorang diri mempertahankan nyawanya.
  "Auuung...!" Bersamaan dengan suara lolongan itu. Detik-detik selanjutnya tubuh siluman itu melayang. Tangan membentang membentuk gerakan mencakar ke arah laki-laki bersenjata golok itu. Nampaknya tiada kesempatan lagi bagi orang itu untuk menyelamatkan diri. Kedua matanya hanya membelalak dengan mulut terbuka. Seolah ia merasa tidak ada lagi harapan untuk melihat matahari di hari esok. Namun dalam detik-detik yang menentukan itu, tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat, langsung menyambar ke arah siluman serigala itu.
  Tuuk!
  Benturan yang sangat keras membuat manusia siluman itu tersentak kaget. Di luar dugaan, manusia jejadian itu menggerung marah demi melihat usahanya sempat digagalkan oleh orang lain. Begitu ia menoleh dan memandang ke arah samping kiri. Ia melihat seorang pemuda berpakaian merah dengan sebuah periuk mustika menggelantung di bagian pinggangnya telah berdiri tegak di sana. Bibir pemuda itu menyunggingkan seulas senyum sinis.
  "Ki sanak, menepilah! Siluman keparat ini bukan tandingan mu...!" perintah Buang Sengketa pada laki-laki jangkung yang tadinya nyaris menjadi korban manusia siluman ini. Sekarang setelah laki-laki bersenjata golok itu menyingkir. Buang Sengketa kembali berpaling pada lawannya. Pemuda itu mendengus, meskipun bibirnya tetap menyunggingkan seulas senyum.
  "Telah begitu banyak korban yang tiada berdosa akibat semua ulahmu. Tapi kupikir-pikir engkau tidak akan pernah berhenti sebelum manusia di kolong langit ini musnah seluruhnya di tanganmu. Yang sangat kusesalkan kau telah terlanjur sesat. Sehingga kau tidak pernah berpikir untuk menghentikan semua sepak terjangmu...!" bentak Pendekar Hina Kelana berwibawa.
  Manusia siluman serigala itu tertegun mendengar ucapan Pendekar Hina Kelana yang beberapa waktu lalu sempat bentrok dengan dirinya. Apa yang terjadi di dalam hati manusia siluman itu sebenarnya Buang Sengketa tidak pernah tahu. Padahal tidak perlu pemuda di hadapannya berkata seperti itu, sebenarnya sejak jauh-jauh hari. Siluman serigala itu telah menyesali perbuatannya. Bahkan ia sengaja melakukan pengobatan di mana-mana, semua itu semata-mata hanya ingin mengurangi tekanan batinnya yang sangat berat. Tetapi sejauh itu ia selalu tidak berdaya menghadapi sekaligus mengendalikan ilmu siluman yang telah mendarah daging di dalam tubuhnya.
  "Manusia keparat. Kurasa tiada gunanya aku bicara padamu. Sekarang kau harus merasakan hukuman yang sangat setimpal atas segala perbuatanmu." teriak Buang Sengketa merasa tidak sabar lagi.
  "Hiaat...!" sekali bergebrak, Buang Sengketa telah mempergunakan jurus Si Gila Mengamuk yang selama ini merupakan jurus andalan dalam melakukan serangan-serangan yang dilakukan dengan gerakan seperti orang mabuk.
  "Grauuung! Geerr...!"
  Kelihatannya manusia siluman itu menyadari lawannya kali ini sengaja datang untuk menjatuhkan hukuman terhadapnya. Namun ia tetap yakin sampai sejauh itu, pastilah lawan belum mengetahui di mana titik kelemahan dari ilmu yang dimilikinya. Karena keyakinannya itulah, maka tanpa ragu-ragu lagi manusia siluman itu segera mempergunakan jurus 'Siluman Serigala Kembangkan Kuku'. Sungguh berbahaya dan terkenal ganas jurus yang dipergunakan oleh lawannya ini. Dari gerakan menendang maupun gerakan mencakar yang mendatangkan angin dingin. Buang Sengketa segera menyadari segala sepak terjang yang dilakukan oleh lawannya mengandung racun yang sangat ganas. Tidak heran kalau secara berganti Buang Sengketa merobah jurusjurus silatnya. Semua itu dilakukannya dengan tujuan agar lawannya merasa kerepotan membaca gerakan silatnya. Sekali waktu manusia siluman yang telah terbakar api kemarahan karena merasa dipermainkan oleh lawannya ini nampak melakukan sergapan kilat yang datangnya tiada dapat diduga-duga. Tabib Sapta Dewa menyadari jurus yang dipergunakannya kali ini merupakan puncak dari seluruh jurus yang pernah dipelajarinya. Selain itu jurus yang diberi nama 'Seribu Makhluk Siluman Mengecoh Iblis' tersebut dikenal sebagai sebuah jurus yang penuh dengan tipuan-tipuan dan juga kelicikan. Bahkan Buang Sengketa sendiri dapat merasakan akibatnya.
  Setelah manusia siluman itu membuka jurus pamungkas. Berulang kali Buang Sengketa nyaris termakan cakaran maupun tendangan beruntun yang dilakukan oleh lawannya.
  "Kutu kupret ini benar-benar sangat berbahaya sekali. Kalau aku tidak cepat-cepat bertindak bukan mustahil suatu saat mukaku habis dicakarnya...!" batinnya.
  "Haiit...!" pemuda itu nyaris termakan tendangan lawannya. Masih untung ia cepat-cepat memiringkam tubuhnya. Namun tak urung ia sempat juga merasakan sambaran kaki lawannya yang bertumit besi itu.
  "Brees...!"
  "Uhh... hampir saja...!" kata pemuda itu. Karena lawannya terus berupaya memburunya ke manapun langkahnya bergerak. Tidak ayal lagi pemuda itupun melentingkan tubuhnya ke udara. Hal ini begitu mudah dilakukannya karena ia memiliki ilmu meringankan tubuh yang sangat sempurna.
  Jliiigkh...!
  Dengan gerakan yang sangat manis sekarang Buang Sengketa telah menjejakkan kakinya di atas sebuah cabang pohon. Apa yang dilakukan oleh Pendekar Hina Kelana membuat manusia siluman serigala itu menjadi terperangah, namun hal itu hanya berlangsung sesaat saja. Selanjutnya ia telah bersiap-siap melepaskan pukulan 'Serigala Memburu Mangsa'. Sebentar saja tubuh manusia siluman itu tergetar hebat. Dari kedua telapak tangannya yang terangkap di depan dada nampak telah mengepulkan kabut tipis. Begitu kedua tangan yang berkuku runcing itu ia hantamkan ke arah cabang pohon, tidak dapat dicegah lagi serangkum hawa dingin yang sangat luar biasa datang membadai menghantam Buang Sengketa. Namun sebelum pukulan itu benar-benar sampai pada sasarannya. Tubuh Pendekar Hina Kelana telah melayang dengan cara bersalto beberapa kali. Terdengar suara ledakan serasa mengguncangkan jagad manakala pukulan yang dilakukan oleh manusia siluman menghantam cabang pohon, sehingga membuatnya hancur berkeping-keping. Bekas patahan itu jatuh di atas tanah dengan menimbulkan suara berdebum. Buang Sengketa sendiri demi melihat kehebatan yang dimiliki oleh lawannya nampak bergidik. Ia tidak dapat membayangkan bagaimana jika tubuhnya terhantam pukulan keji itu.
  Sekarang setelah memikirkan segala sesuatunya, ia tidak ingin bertindak ayal-ayalan lagi. Apalagi ia masih ingat manusia siluman itu dulu tidak mempan dengan pukulan Empat Anasir Kehidupan yang dimilikinya. Bahkan dengan mempergunakan pukulan si Hina Kelana Merana, ketika itu tubuh manusia siluman itu hanya mengalami luka dalam saja. Padahal pukulan andalan yang dimilikinya dapat menghancurkan batu gunung sebesar apapun. Mengingat sampai ke situ. Sekarang si pemuda segera membuka jurus pamungkas yang diberi nama jurus Koreng Seribu.
  Selanjutnya pemuda itu menggerung keras, sambil melakukan gerakan-gerakan aneh secara silih berganti. Tubuh pemuda itu terus berkelebatkelebat laksana angin, bahkan beberapa kali kaki kanannya melakukan tendangan-tendangan kilat mengarah pada bagian kepala lawannya. Sekarang sadarlah manusia siluman itu, bahwa lawan yang dihadapinya kali ini benar-benar seorang lawan yang sangat tangguh. Padahal sejak dulu juga ia selalu berharap agar dirinya selalu terhindar dari Pendekar Hina Kelana ini. Tetapi karena ilmu celaka itulah hingga kali ini untuk yang kedua kalinya ia terpaksa berhadapan dengan pemuda itu lagi.
  "Hiaat...!"
  Sebuah serangan telak dilakukan oleh pemuda itu. Si manusia siluman berusaha menghindari terjangan yang dilakukan oleh lawannya. Namun ia harus pontang panting menghindari serangan itu ketika ia merasakan jotosan dan tendangan kaki lawannya seperti mengejar dirinya ke manapun ia berusaha menghindar.
  Duees...!
  Sebuah tendangan telah menghantam ulu hati siluman serigala. Laki-laki itu terjengkang. Tetapi ketika Buang Sengketa kembali memburunya dan memukulkan tangan kanannya ke arah dada lawan. Tiada terduga manusia siluman itu melakukan satu sapuan dengan mempergunakan kakinya.
  Duuuk! "Uhhk...!"
  Tubuh Buang Sengketa jatuh terpelanting ketika tulang betisnya terhantam tendangan lawannya. Manusia siluman itu tidak ingin menyianyiakan kesempatan yang berharga ini. Dengan cepat ia bangkit berdiri. Kemudian melakukan satu terkaman ganas ke arah Buang Sengketa yang masih dalam keadaan terlentang. Gerakan yang sedemikian cepatnya ini membuat Pendekar Hina Kelana tidak dapat menghindarkan dirinya lagi dari serangan tersebut. Namun begitu ia teringat sesuatu, pemuda itu secepatnya meloloskan pusaka Golok Buntung yang menjadi senjata andalannya. Sebagaimana pesan roh gurunya, bahwa titik kelemahan lawannya terletak pada bagian telapak kakinya yang terlindung sepatu besi. Meskipun agak ragu, namun Buang Sengketa cepat menggerakkan senjatanya yang memancarkan sinar merah menyala itu ke bagian telapak kaki lawannya. Manusia siluman itu merasa kaget bukan alang kepalang demi melihat senjata yang sangat ditakutinya itu. Namun jaraknya yang hanya beberapa senti itu dari telapak kakinya, sudah tidak mungkin lagi untuk dielakkan. Tidak dapat dihindari lagi, akhirnya.
  Craaas! Jrooos...!
  "Arrrggkh...!" manusia jejadian itu menjeritjerit setinggi langit ketika bagian telapak kakinya tertembus senjata Golok Buntung di tangannya. Buang Sengketa segera menghentakkan senjatanya dari kaki lawan. Tiada ampun tubuh manusia siluman itu terbanting keras. Tubuhnya berkelojotan, lalu sebuah keganjilan pun terjadi. Mulamula tubuh manusia siluman itu menghitam seluruhnya. Kemudian tercium bau daging terbakar yang sangat menusuk hidung. Tak lama setelah itu tubuh manusia siluman yang telah mengeluarkan asap itu langsung terbakar, hingga akhirnya musnah tiada bersisa lagi.
  Buang Sengketa menarik nafas lega, lalu bergumam pelan.
  "Sungguh kematian lebih baik bagimu...!" lalu tanpa menoleh lagi Pendekar Hina Kelana ini segera melangkah pergi.

TAMAT



INDEX BUANG SENGKETA
Utusan Dari Negeri Leluhur --oo0oo-- Misteri Patung Kematian
Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.